Pencarian

Playboy Dari Nanking 16

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 16


"Baiklah, terima kasih. Kami akan mengetuk tapi kalau kau bohong kau akan kuberikan kepada pembantu-pembantuku ini, lalu dibunuh!" dan Gak-taijin yang memberi Isyarat kepada Ok-tu-kwi lalu minta agar si Setan Pemabok atau Setan Judi itu mengetuk pintunya. Ok-tu-kwi melangkah dan mengetuk tapi tiba-tiba dinding pintu tergetar. Dan ketika kakek itu terkesiap karena dia tak sadar menginjak lantai berbahaya tiba-tiba lantai itu terjeblos dan kakek ini terpelanting ke bawah, tepat bersamaan dengan terbukanya pintu itu.
"Heiiii"!"
Yok Bi dan lain-lain terkejut. Nenek ini membentak dan seketika melepas ikat pinggangnya, menjeletarkannya ke lubang menyambar suaminya itu. Dan ketika si Pemabok menangkap dan menerima ujung tali ini, disendai dan disentak naik maka dengan muka pucat namun marah Ok-tu-kwi berjungkir balik keluar lubang, tepat di saat lubang itu menutup kembali dengan otomatis.
"Keparat, bedebah jahanam. Sungguh kurang ajar sekali!"
"Sst, tak perlu marah. Tempat ini memang penuh alat-alat rahasia, Ok-tu-kwi. Tapi itu juga bukan salah Cun-ongya karena kita masuk seperti pencuri. Sebaiknya kita meminta selir itu mengetuk pintu. Di depan ada pintu lain yang tertutup dan ruangan ini rupanya berlapis-lapis!" Gak-taijin, yang tertegun tapi lega melihat pembantunya selamat sudah membujuk dan menyabarkan si Pemabok ini. Kalau Ok-tu-kwi berteriak-teriak dan mereka main serampangan saja, memaki a-tau marah-marah kepada Cun-ongya dikhawatirkan bahwa jebakan-jebakan lain a-kan mencelakai mereka. Siapa tahu Cun-ongya bergerak dari dalam dan mereka roboh satu per satu, sebelum berhadapan sendiri dengan Cun-ongya itu. Maka ketika dia mengedip dan memandang selir i-tu, yang menggigil dan gemetar di sana maka si Pemabok menggeram dan berkelebat menerkam wanita ini.
"Kau mau menjebak aku, kubunuh nanti. Hayo buka pintu yang lain itu dan jangan sekali-kali menyuruh kami lagi!"
"Am". ampun"!" selir itu terbang semangatnya. "Aku" aku tak menjebak siapa-siapa, taihiap. Aku" aku memang tak berani!"
"Tapi sekarang kau harus melakukan itu. Atau kuanggap kau sengaja mencelakai aku dengan berpura-pura tidak tahu!"
"Aduh, jangan dicekik. Biarlah kulaksa-nakan perintahmu!" dan si selir yang berteriak dilepas Ok-tu-kwi lalu berlari-lari ketakutan membuka pintu di depan. Memang di ruangan ini ada dua pintu besar, yang pertama tadi sudah menjebak Ok-tu-kwi namun untung dapat lolos berkat bantuan isterinya. Sekarang pintu kedua ini dan semua mata berdebar memandang itu. Dan ketika selir itu tersedu-sedu ke pintu ini, lari begitu saja secara serampangan maka begitu dia tiba di situ tanpa pikir panjang lagi tangannya menarik dan membuka pegangan atau "handel" pintu. Tapi begitu pintu terkuak dan berderit, Gak-taijin dan lain-lain terbelalak memandang maka tiga batang panah tiba-tiba menyambar dan menghunjam tubuh selir itu dari balik dinding.
"Aduh" cep-cep-cep!"
Gak-taijin dan lain-lain terkejut. Mereka melihat selir itu roboh namun pintu terbuka lebar, seseorang ada di dalam dan Ok-tu-kwi berseru keras mendahului yang lain-lain, berkelebat dan segera disusul oleh yang lain-lain. Dan ketika berturut-turut lima orang itu ada di dalam dan tertegun memandang tumpukan peti-peti harta, orang yang ada di dalam menoleh pada mereka maka berserulah semua nya memanggil orang ini.
"Cun-ongya!"
Pria berpakaian indah itu tersenyum. Dia mengangguk dan bersinar-sinar memandang tamu-tamunya ini, Gak-taijin menyelinap dan sudah berdiri di situ pula. Dan ketika orang-orang itu tertegun dan takjub memandang peti-peti harta, karena semuanya terbuat dari emas dan isinya benar-benar membuat mata melotot maka pangeran itu tertawa menjumput sekepal emas permata.
"Ha-ha, kalian, Gak-taijin" Datang di malam-malam begini" Ah, kalian rupanya mengilar kepada benda-benda ini. Boleh kalian ambil kalau suka!"
"Tidak," Gak-taijin cepat sadar dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menangkap sesuatu yang aneh dari nada bicara pangeran itu. "Kami datang bukan untuk harta pusaka, ongya, melainkan minta perlindungan dari musuh-musuh kami!"
"Hm, begitukah" Musuh-musuh yang mana" Dan apakah kedatangan kalian diketahui orang lain" Kalian sembrono dan pantas dihukum. Berani datang ke kamar rahasiaku!"
"Maafkan kami," gubernur she Gak bangkit berdiri. "Kami sudah mencari paduka secara baik-baik, ongya, namun tak ketemu. Kami dipaksa keadaan, terpaksa berbuat begini."
"Hm, dan ada orang lain yang melihat kalian?"
"Tidak."
"Tapi selirku terbunuh!"
"Maaf, kami tak bermaksud membunuhnya, ongya. Dia tewas karena nasibnya jelek!"
"Tapi kalian pasti melewati para pengawal atau selir-selirku yang lain, juga pelayan!"
"Semua sudah kami bereskan, tak akan ada yang tahu!"
"Maksudmu kalian membunuhnya?"
"Kami dipaksa keadaan," gubernur ini berkelit secara halus. "Kami benar-benar tak berdaya, ongya. Dan kini mohon perlindunganmu agar menyelamatkan kami dari musuh-musuh yang ada di belakang!"
"Hm!" suara itu disusul oleh lemparan emas permata ke dalam peti, berkerincing. "Kalian ganas dan kejam, taijin. Seharusnya tak usah selir-selirku dibunuh. Kalian terlalu!"
"Kami dipaksa keadaan," gubernur itu mengelak lagi. "Siapapun tentu kami bunuh, ongya, kalau keselamatan kami diancam. Paduka tentu lebih tahu ini!"
Cun-ongya tertawa mengejek, mengangguk-angguk. Dari nada suara Gak-taijin itu dia tahu bahwa diapun bisa dibunuh kalau membahayakan keselamatan gubernur itu, juga kawan-kawannya. Dan karena Gak-taijin rupanya betul-betul terjepit dan keadaannya tak menguntungkan, Ok-tu-kwi dan lain-lain saling pandang diberi isyarat maka dengan tenang pangeran ini menarik kursi dan m duduk, mempersilahkan yang lain.
"Sebaiknya ceritakan apa yang terjadi sebelum aku dapat memberikan pertolongan. Dan kalian"." Cun-ongya menunjuk Ok-tu-kwi dan kawan-kawannya itu. "Duduklah, Ok-tu-kwi. Dan dengarlah ancaman Gak-taijin ini yang begitu manisnya."
"Ampun!" gubernur itu terkejut, membelalakkan mata. "Hamba tak mengancam paduka, ongya. Sungguh mati hamba tak berani mengancam paduka!"
"Ha-ha, aku tahu. Tapi sudahlah, ceritakan apa yang terjadi dan kenapa kau terbirit-birit ke sini!"
"Pasukan Bu-goanswe menghancurkan kami. Kami dipukul habis-habisan karena Dewa Mata Keranjang dan muridnya itu juga ada di sana!"
"Hm, Fang Fang?"
"Benar, pemuda itu, ongya. Dia sedemikian hebatnya hingga melebihi gurunya sendiri. Tanya Ok-tu-kwi dan lain-lainnya ini!"
"Tapi sudah dua bulan ini pemuda itu lenyap. Kita sama tahu bahwa Fang Fang tak malang-melintang lagi di dunia kang-ouw!"
"Dia bertapa, pangeran," Ok-tu-kwi tiba-tiba berseru. "Dan begitu dia muncul tiba-tiba saja kami yang hampir dapat membunuh gurunya mendadak gagal dan pecah berantakan!"
"Dan kami sekarang tinggal berempat," Twaliong, orang tertua dari Cap-ji Koai-liong menyambung, giginya berkerot-kerot. "Dewa Mata Keranjang dan muridnya itu membuat susah kami, ongya. Kalau saja pemuda itu tak di sana tentu kami sudah menghancurkan musuh-musuh kami!"
"Ceritakan yang baik," Cun-ongya berkerut kening memandang gubernur she Gak. "Agaknya ada hal-hal yang di luar perhitungan kita, taijin. Coba ulangi dan ceritakan secara lengkap kejadian itu."
Gak-taijin mengangguk. Gubernur ini menelan ludah sebelum mengulangi ceritanya, bahwa pasukannya dipukul hancur begitu murid Dewa Mata Keranjang itu muncul, padahal mereka sudah mendesak dan hampir memperoleh kemenangan di mana musuh melarikan diri ke Liang-san. Dan ketika di puncak gunung itu mereka mengalami kekalahan total, pasukan hancur karena orang-orang macam. Ok-tu-kwi dan teman-temannya ini dikalahkan Fang Fang yang membantu gurunya maka gubernur itu berapi-api mengepal tinju, menutup.
"Kami menelan kekalahan gara-gara bocah ini. Setelah dia mengacau di See-wai dan menangkap bupati-bupati lain maka kami mengira dia tak akan muncul lagi setelah menghilang dua bulan. Tak tahunya bocah itu ada di Liang-san dan Dewa Mata Keranjang rupanya tahu. Sekarang kami kehilangan pasukan, ongya. Dan hampir semua sekutu-sekutu kami tak ada lagi yang dapat mengangkat senjata!"
"Berarti perdagangan senjata selesai," Cun-ongya mengangguk-angguk, tersenyum aneh. "Kalau begitu bagaimana pendapatmu, Michael" Adakah yang dapat dilakukan lagi setelah ini?"
Semua orang menoleh. Cun-ongya memandang pemuda kulit putih itu dan tiba-tiba semua perhatian tertuju ke sini. Michael, pemuda itu, tersenyum licik dan tertawa aneh, maju selangkah. Dan ketika dia membungkuk dan memberi hormat, baru kali itu diajak bicara maka pemuda ini menjawab,
"Menurut pendapatku perang untuk sementara memang harus diakhiri. Perdagangan senjata selesai, meskipun suatu saat kelak dapat dihidupkan lagi. Orang-orangmu ini terlalu bodoh, pangeran. Tapi boleh juga karena keuntungan yang sama-sama kita nikmati sudah cukup besar. Negeriku dapat kubujuk untuk mengalihkan dagang senjatanya dengan negara lain. Dan kalau sewaktu-waktu ongya merasa perlu boleh menghubungi kami lagi untuk menumpuk kekayaan. Ha-ha!"
Ok-tu-kwi dan lain-lain terkejut. Di depan pangeran pemuda itu berani tertawa begitu lebar, seolah di rumah sendiri. Tapi ketika mereka merasa ganjil dengan pernyataan itu, bahwa perang dapat disulut dan didalangi tokoh-tokoh penting, kiranya telah terjadi jual beli di belakang layar, demi mengeruk keuntungan yang amat besar tiba-tiba Ok-tu-kwi menyeringai dan mengangguk-angguk.
"Ah, kiranya semua ini adalah permainan paduka, Cun-ongya" Paduka sengaja menciptakan kerusuhan untuk mengambil keuntungan dari kekacauan ini?"
"Hush, tutup mulutmu!" Yok Bi, yang cerdik dan tidak sesembrono suaminya membentak. "Kau bicara dengan pangeran, Pemabok. Dan dia adalah atasan junjungan kita!"
"Benar," Gak-taijin pura-pura menegur, seperti ketakutan rapi matanya berseri-seri. "Kau jangan menuduh yang bukan-bukan, Ok-tu-kwi. Apa yang dilakukan Cun-ongya pada hakekatnya memberi makan kepada kita, senang-senang!"
"Dengan perdagangan senjata api" Jual beli di balik layar" Ha-ha, cerdik sekali, Gak-taijin. Dengan adanya kerusuhan-kerusuhan begitu maka ongya dan kau dapat mengenyam keuntungan berlipat ganda, sementara kami hanya mendapat upah ala kadarnya saja. Ah, kami protes. Imbalan buat kami harus ditingkatkan sepuluh kali lipat!"
"Hm, kalian bicara ngawur," Cun-ongya tersenyum dan tiba-tiba bangkit berdiri. "Kalau masalah keuntungan tidaklah terlalu untung, Ok-tu-kwi, cukup untuk makan dan menghidupi seorang isteri. Kekayaanku adalah warisan keluarga, bukan melulu dari perdagangan senjata gelap. Kalau kau ingin menikmati harta karun boleh saja kau ambil sepuluh kantung emas berlian itu!" dan tertawa memandang kakek ini, yang terkekeh dan menggelogok araknya tiba-tiba pangeran membalik dan menendang meja di deparinya. Dan begitu terdengar suara keras dan semua terkejut, kamar itu bergemuruh dan roboh tiba-tiba dari segala penjuru menyambar anak-anak panah atau tombak yang menyerang mereka.
"Heiii"!"
Kejadian itu sungguh di luar dugaan. Cun-ongya, yang sudah berlari dan memencet tombol lagi tiba-tiba lenyap di balik dinding. Dari mana-mana berhamburan anak-anak panah itu dan peti-peti harta jatuh diguncang getaran keras. Langit-langit kamar itu roboh dan lantainyapun berderak seakan diguncang gempa. Mereka yang tadi tak menaruh kecurigaan karena pangeran berada di tengah tiba-tiba sudah kehilangan lawannya karena Cun-ongya lenyap di pintu rahasia. Dan ketika semua itu ditambah lagi oleh desing atau sambaran senjata-senjata maut, tombak dan anak-anak panah menyerang dari segala penjuru maka Ok-tu-kwi membentak dpn isteri serta keempat temannya juga bergerak dan menangkis hujan serangan i-tu, ada yang terpental tapi satu dua lolos. Ok-tu-kwi menjerit karena pangkal lengannya tertusuk, isterinya juga berteriak karena sebatang tombak menancap di paha. Dan ketika empat dari Cap-ji Koai-liong juga berseru keras menghalau sambaran senjata-senjata gelap, empat dinding di kamar itu tiba-tiba berlubang semua meluncurkan tombak atau anak-anak panah ini maka sebuah jeritan mengiringi kegaduhan itu karena Gak-taijin lebih dulu terpanggang tubuhnya.
"Aduh"!"
Semua pucat. Bagai mendapat mimpi buruk tahu-tahu mereka melihat tubuh majikan mereka itu penuh dengan tombak dan anak-anak panah. Tentu saja tewas seketika. Tak kurang dari seratus panah dan tombak menancap di tubuh Gak-taijin, tembus dan darah segar bercucuran bagai kran bocor. Sungguh mengerikan! Dan ketika kamar itu roboh padahal Ok-tu-kwi dan teman-temannya ini menangkis sana-sini, sibuk menghalau dan menyelamatkan diri maka gemuruh langit-langit yang ambruk menyusul hiruk-pikuknya peti-peti harta, yang terlempar dan tertindih mengeluarkan ledakan-ledakan keras.
"Semua keluar!"
Namun teriakan atau seruan si Pemabok Itu menggelikan. Ok-tu-kwi lupa bahwa semua arah sudah tertutup. Pintu yang tadi ada di luar tahu-tahu hancur ditimpa dinding tembok, padahal itu adalah pintu satu-satunya dari mana mereka tadi datang, juga tentunya dari mana tadi Cun-ongya masuk. Maka begitu dia berteriak tapi semua penjuru berdetak bagai diserang ratusan gajah, debu dan meja kursi mencelat bersamaan dengan ratusan tombak atau panah maka dua jeritan ngeri lagi terdengar dan si Pemabok tak tahu siapa yang roboh binasa itu. Dia sendiri sudah melihat sebuah lubang dan dimasukinyalah lubang ini, masuk dan menyelinap bagai seekor tikus. Tapi ketika dari lubang itu mendesis seekor ular besar dan tahu-tahu sebuah mulut menganga akan mencaploknya, Ok-tu-kwi kaget dan mengayun buli-bulinya maka ular itu hancur dan pecah kepalanya.
"Ke mari!"
Si Pemabok ditarik seseorang. Isterinya, yang juga sedang menyelamatkan diri dari runtuhan kamar tiba-tiba menyambarnya keluar. Ok-tu-kwi terkejut tapi membiarkan diri ditarik karena isterinya itu melihat lubang lain di bawah, bukan di samping melainkan di bawah. Dan ketika isterinya itu terjun dan membawanya turun, Ok-tu-kwi terbeliak tapi siap mari bersama isterinya maka isterinya i-tu berseru agar dia menggerak-gerakkan bulibuli araknya menjaga keseimbangan.
"Jangan diam saja. Tolol! Ayun sebelah tanganmu untuk menjaga keseimbangan!"
Ok-tu-kwi sadar. Dalam keadaan seperti itu di mana kepanikan melanda mereka, masing-masing tentu ingin menyelamatkan diri dan tak perduli yang lain maka dia menggerak-gerakkan tangannya menjaga keseimbangan. Tubuh mereka meluncur turun dan tiba-tiba bertemu benda lunak dingin. Suara ceprot juga mengiringi jatuhnya tubuh mereka itu. Dan ketika mereka tahu-tahu sudah berada di rawa berlumpur, busuk, maka Ok-tu-kwi tersentak karena tubuhnya terus terhisap ke bawah.
"Augh" auph!"
Si Kuda Binal juga sama-sama terkejut. Ketika tubuhnya amblas dan terus terhisap ke bawah, seperti suaminya, maka nenek inipun terkesiap dan mengkirik. Yok Bi menjejak ke bawah namun celaka justeru tertarik ke dalam, menjerit dan selendang yang dipegangnya tiba-tiba digerakkan ke kiri, menjeletar dan tiba-tiba menyangkut sesuatu, ujung sebuah batu. Dan ketika nenek itu menarik dan tubuhnya terangkat naik, untung, maka nenek itu sudah berjungkir balik dan hinggap di dinding sumur dengan selamat.
"Tolong..!"
Seruan itu tak perlu diulang. Suaminya, yang sudah tersedot dan tinggal sedada tiba-tiba mengeluh dan minta tolong. Nenek itu kembali menggerakkan selendangnya dan dibelitlah leher suaminya itu. Dan ketika Yok Bi menyentak dan menarik kuat maka Ok-tu-kwi terangkat dan melayang ke arah isterinya ini, menyumpah serapah.
"Aduh, keparat jahanam. Kita terjeblos ke tempat tinja!"
"Apa?"
"Tinja! Kita terlempar ke sumur tinja, Yok Bi. Kau tolol dan goblok sekali membawa aku terjun ke tempat ini. Aduh, aku ingin muntah". huakk!" dan si Pemabok yang benar-benar muntah dan mencak-mencak akhirnya membuat si nenek juga terbelalak dan muntah-muntah, melihat air kekuning-kuningan dan nenek itu roboh pingsan. Tak kuat! Dan ketika si Pemabok terbelalak dan kaget melihat isterinya pingsan, ini berarti pekerjaan baginya maka suara gemuruh atau runtuhan kamar lenyap tak terdengar lagi. Di lubang sumur itu juga berjatuhan keping-keping papan. Ok-tu-kwi harus menutup mata kuat-kuat setiap kali bunyi "ceprot" terdengar di situ, yakni ketika keping-keping papan atau runtuhan tembok kamar meluncur di sumur tinja ini. Baunya sungguh luar biasa sekali, cukup menguras isi perut untuk muntah-rmuntan! Tapi ketika si Pemabok itu melihat tusuk konde isterinya, bergerak cepat dan sudah menusuk-nusuk dinding sumur untuk membuat jalan naik maka kakek itu merayap dari bekas lubang-lubang tusukan untuk mendaki ke atas. Isterinya dipanggul dan susah payah juga si Pemabok ini keluar sumur. Empat kali dia muntah lagi karena uap tinja mengiringinya naik, sungguh kakek ini marah besar. Dan ketika dia melompat dan tiba di atas, isterinya membuka mata dan kebetulan sadar maka masing-masing melihat bahwa pakaian mereka berlepotan benda kuning. Barangkali, tinja seluruh istana tumplek-blek di situ!
"Huakk..!" Yok Bi hendak pingsan lagi, disambar atau ditarik suaminya menuju ke sebuah kamar mandi. Ok-tu-kwi sendiri tanpa banyak cakap sudah langsung mencebur ke bak mandi yang masih utuh itu, berjingkrak-jingkrak. Kamar sudah hancur namun bak mandi ini masih utuh, untung juga. Dan ketika isterinya juga mencebur dan suami isteri itu memaki-maki Cun-ongya, membersihkan tubuh dan melepas pakaian kotor maka dalam keadaan telanjang bulat begitu sekonyong-konyong muncul pengawal dan teriakan-teriakan gaduh.
"Heii" itu mereka. Tangkap pengacau!?
Suami isteri ini terkejut. Mereka sedang sama-sama bugil karena sibuk membersihkan tubuh. Bau tinja rasanya tak hilang-hilang dan mereka terutama Yok Bi tak habis-habisnya kecipak-kecipuk, bahkan, jebar-jebur dan tak tahu bahwa Cun-ongya telah memanggil pengawal untuk mencari mereka. Kalau ada yang meloloskan diri maka harus dibunuh. Ini perintah. Maka begitu kamar rahasia itu hancur dan suami isteri ini selamat, meskipun terluka maka Yok Bi tiba-tiba melengking dan melayang keluar dari dalam bak mandi, telanjang bulat!
"Heiii?""
Pengawal terbelalak. Dalam marah dan gusarnya barangkali nenek ini lupa bahwa tubuhnya tak tertutup selembar ka-inpun, enak saja melayang keluar dan kakinya bergerak ke kiri kanan melepas tendangan. Tentu saja pengawal melotot karena tertegun dan geli. Bayangkan, nenek itu melayang keluar dengan kaki terpentang lebar pula. Tapi begitu mereka ternganga dan tak dapat menahan geli, Yok Bi sudah melayang dan menghantam mereka maka dua pengawal itu roboh dengan kepala pecah!
"Ahh, awas"!" yang lain segera sadar dan berteriak. Nenek itu telah membunuh dan melengking untuk kedua kalinya, berkelebat dan menyambar mereka. Dan ketika berturut-turut kaki dan jari nenek itu menampar maka enam pengawal tewas seketika dan roboh menjerit.
"Heii..!" si Pemabok sadar dan meloncat keluar pula. "Kau tak berpakaian, Yok Bi. Kau telanjang bulat. Jangan macam-macam memamerkan tubuhmu yang buruk!"
"Kau juga!" nenek itu membalik, membentak suaminya. "Kaupun telanjang, Pemabok. Jangan memamer-mamerkan tubuhmu yang keriput kalau punya rasa malu!"
Ok-tu-kwi terbelalak. Lupa bahwa ia-pun telanjang tiba-tiba kakek ini menyambar mayat pengawal. Di situ ia membelejeti pakaian mayat itu dan tergesa-gesa memakainya sendiri. Tapi baru masuk selutut tiba-tiba muncul Bu-goanswe dan Koktaijin.
"Kau kiranya!" bentakan itu mengejutkan si Setan Pemabok. "Mampuslah, Ok-tu-kwi. Dan benar kiranya bahwa kalian ada di kota raja". dess!" dan si kakek yang mencelat dan kaget menerima serangan tiba-tiba berteriak karena celana yang mau dipakai memberebet lebar, robek selangkangannya dan tentu saja si Pemabok yang sial ini menjerit. Dia terguling-guling oleh pukulan Bu-goanswe dan meloncat bangun tapi dikejar lagi, jatuh dan terlempar dan sibuklah kakek itu mengelak sana-sini. Dan karena dia masih telanjang karena pakaian mayat itu tak sempat dipakainya, keadaan sungguh runyam maka nenek Yok Bi juga mendapat serangan Koktaijin yang membentak dan menerjang masuk.
"Des-dess!"
Nenek itu mengeluh tertahan. Lain suaminya lain pula dia. Karena kalau suaminya jelek-jelek sudah menyambar mayat pengawal, melepas dan mau mengenakan pakaian mayat itu adalah nenek ini yang tak sudi karena para pengawal itu adalah laki-laki. Si nenek terlalu sombong untuk mengenakan pakaian mayat-mayat itu, tak mau tahu keadaan darurat. Maunya dia akan mencari pelayan wanita atau siapapun asal wanita untuk dibelejeti pakaiannya, tak menduga kalau Koktaijin dan Bu-goanswe tiba-tiba muncul di situ. Maka begitu diserang dan Koktaijin bukan orang biasa, jenderal itu ahli pukulan Iweekeh maka dia terpelanting karena di samping kaget dia juga gugup dan malu, bergulingan menjauhkan diri.
"Tak tahu malu, menyerang nenek-nenek telanjang?" Yok Bi mencaci maki. "Hayo beri kesempatan untuk berpakaian, Koktaijin. Baru setelah itu kau boleh hadapi aku!"
Koktaijin tertegun. Si nenek bergulingan menjauh dan tiba-tiba dia tak mengejar, rikuh. Apa yang dikata memang betul juga dan iapun merah mukanya melihat keadaan nenek itu. Bukan maksudnya menyerang nenek-nenek yang telanjang bulat. Tapi ketika ia memberi kesempatan dan nenek itu meloncat bangun tiba-tiba Yok Bi membalik dan melarikan diri, tangannya melempar pelor-pelor ledak yang berbahaya.
"Awas". dar-dar-dar!"
Koktaijin melempar tubuh ke kiri. Si nenek kabur dan saat itu Ok-tu-kwi juga terkekeh menyusul isterinya. Asap hitam menghalangi pandangan dan kaburlah dua orang itu keluar. Gedung Cun-ongya tiba-tiba menjadi ramai karena ratusan pengawal berjaga di situ, mengepung. Kiranya, hancur dan runtuhnya kamar rahasia tadi telah mengundang orang-orang ini, apalagi Bu-goanswe dan pasukannya telah datang, terkejut oleh banjir dan kekalutan penduduk oleh air yang berlebihan. Di mana-mana terdapat perahu getek namun Bu-goanswe segera mendengar keributan di gedung Cun-ongya ini, datang dan menyiapkan pasukannya di luar. Dan ketika Koktaijin juga memerintahkan anak buahnya berjaga di situ, sebagian menolong penduduk maka Yok Bi dan suaminya lenyap sementara di sebelah barat istana tiba-tiba terdengar keributan dan bentakan-bentakan.
"Cap-ji Koai-liong ada di sini. Heii, Cap-ji Koai-liong ada di sini!"
Bu-goanswe dan Koktaijin sama-sama menggerakkan kaki. Mereka marah oleh hilangnya Ok-tu-kwi suami isteri, kini tiba-tiba di sebelah barat terdengar teriakan-teriakan itu. Dan ketika dua orang itu bergerak dan mengejar ke sini, dua bayangan mengamuk dan merobohkan pasukan mereka maka dua menteri negara ini gusar karena Twaliong dan Ji-liong ada di situ.
"Bedebah!" Bu-goanswe mendahului dan menggerakkan kedua tangannya menghantam. "Mana majikanmu, Twaliong. Menyerahlah atau kau mati!"
Twaliong, laki-laki ini, mengelak dan menggerakkan ruyungnya. Ternyata dia selamat dan berhasil keluar dari runtuhan kamar rahasia. Dua anak panah menancap di pundaknya namun mereka mencabut dan mematahkannya. Ji-liong sang adik tak bernasib lebih baik daripada kakaknya dan mereka gusar oleh perbuatan Cun-ongya. Dua sute mereka tewas oleh senjata-senjata di dalam, kini mereka keluar dan coba menyelamatkan diri namun tak tahunya Bu-goanswe tiba di situ. Pasukannya baru datang dan mengepung di empat penjuru, tentu saja mereka pucat dan tak melihat jalan keluar. Dan karena jalan keluar hanya merobohkan pengawal dan itu sudah dilakukan oleh mereka ini maka belasan pengawal roboh binasa dibabat ruyung, sayang keburu didatangi Bu-goanswe ini dan Twaliong menangkis pukulan lawan. Dan ketika ruyungnya terpental karena kalah tenaga, dia luka-luka sementara lawan segar bugar maka Twaliong bersuit keras melayang ke atas genteng, memberi aba-aba adiknya.
"Lari, lewat atas!"
Bu-goanswe membentak. Jenderal tinggi besar ini berkelebat ketika lawan melayang berjungkir balik, Koktaijin juga menyusul karena Ji-liong mengikuti kakaknya ke atas genteng. Dan ketika dua orang itu digempur pukulan, Twaliong dan adiknya baru saja menginjakkan kaki maka mereka terpelanting dan jatuh lagi ke bawah.
"Keparat!" Twaliong timbul nafsu membunuhnya. "Kau boleh membinasakan kami, goanswe. Tapi kami juga akan membunuhmu". siutt!" dan ruyung yang bergerak dan menyambar jenderal itu, yang berteriak dan sudah menyuruh pembantunya mengepung tiba-tiba mengangkat tangan menangkis ruyung.
"Prak!" ruyung pecah. Bu-goanswe mengerahkan sinkangnya dan lawanpun berseru keras karena terhuyung, terbelalak karena senjatanya itu hancur di tangan lawan, meskipun hanya bagian ujungnya saja dan Twaliong masih dapat mempergunakan yang lain. Dan ketika jenderal itu bergerak dan melancarkan serangan lagi, membalas, maka Twaliong terdesak dan orang tertua dari Cap-ji Koai-liong yang biasa melakukan keroyokan ini pucat mukanya karena harus berhadapan satu lawan satu, mengeluh dan mundur-mundur dan gentarlah laki-laki itu menghadapi kebengisan Bu-goanswe. Tak ada ampun di mata jenderal itu dan Twaliong semakin cemas lagi ketika melihat adiknya juga terhuyung-huyung menghadapi Koktaijin. Mereka menghadapi lawan yang berat karena mereka sudah luka-luka. Kalau tidak, barangkali seimbang. Dan ketika Bu-goanswe menggeram bertanya di mana gubernur she Gak, hal yang membuat mata laki-laki ini bersinar-sinar tiba-tiba Twaliong menjawab bahwa Gak-taijin itu sudah dibunuh Cun-ongya.
"Kami" kami tertipu. Gak-taijin dibunuh Cun-ongya. Ada sesuatu yang hendak kami beritahukan kepada kalian, Bu-goanswe. Hentikan seranganmu dan biarkan kami pergi untuk ditukar dengan sebuah keterangan rahasia!"
"Omong kosong!" jenderal itu tak percaya. "Sudah banyak kalian membuat susah, Cap-ji Koai-liong, dan sudah lama pula kalian membantu pemberontak. Di Liang-san kalian hendak membunuhku, sekarang tak ada ampun kecuali mati". dess!" Twaliong ditendang, mengeluh dan memaki dan adiknyapun di sana tiba-tiba membujuk pula Koktaijin. Menteri itu ditawari suatu rahasia dan Koktaijin mengerutkan kening. Lain Bu-goanswe lain pula menteri ini, yang lebih halus dan a-mat perasa. Maka ketika Ji-liong berkali-kali menyatakan itu dan ruyungnya gemetar mempertahankan diri maka Koktaijin bertanya apa yang hendak dikatakan lawannya itu, apa rahasia itu.
"Ini rahasia besar, tak gampang diberikan. Kalau kau mau membiarkan aku lewat maka hal itu kukatakan!"
"Hm, kalian orang-orang licik!" Koktaijin waspada. "Aku tak gampang percaya kepadamu, Ji-liong. Tapi boleh katakan apa rahasia itu dan pantaskah diim-bali dengan nyawa kalian!"
"Ini tentang Cun-ongya, bahwa" bahwa dia?"
"Ada apa?"
"Cun-ongya mendalangi semua kerusuhan ini. Dia". cep!" namun sebatang panah besar yang tiba-tiba mendesing dan menancap di tenggorokan Ji-liong, menghentikan kata-kata itu tiba-tiba membuat
Ji-liong roboh dan berteriak. Ruyung di tangannya lepas dan saat itu menyambar lagi panah kedua, menancap dan mengenai dada kirinya. Dan ketika laki-laki itu berkelojotan dan tewas, Koktaijin terkejut dan menoleh ke belakang maka di teras atas tampak Cun-ongya memegang busur, sikapnya dingin.
"Taijin, bunuh dan tangkap semua pengikut-pengikut pemberontak. Jangan diberi ampun!" dan menjepret lagi sebuah panah besar, yang mendesing dan menuju Twaliong maka laki-laki itu juga menjerit dan terjungkal roboh. Twaliong dan adiknya memang sudah luka-luka oleh panah-panah rahasia, kini menghadapi pula Bu-goanswe dan Koktaijin yang mengejar mereka. Maka begitu panah dilepas dan mengenai tenggorokan laki-laki itu, sama seperti adiknya, maka panah kedua menyambar dan menancap lagi di dada kiri.
"Crep!"
Habislah riwayat Cap-ji Koai-liong. Mereka binasa dan roboh oleh panah Cun-ongya. Semua tertegun tapi tiba-tiba bersorak-sorai, Cun-ongya memang seorang ahli panah yang baik karena suka berburu. Kini dari atas loteng dia menghabisi dua orang Cap-ji Koai-liong itu. Dan ketika Cun-ongya tersenyum dan melambaikan tangannya, masuk dan menghilang kembali ke dalam gedung maka Koktaijin dan Bu-goanswe saling membelalakkan mata.
"Apa yang dikatakan Ji-Iiong tadi?" Bu-goanswe berbisik.
"Entahlah," rekannya juga menjawab lirih. "Katanya ongya mendalangi semua kerusuhan ini, goanswe. Tapi aku tak dapat mempercayai. Kita harus mencari Gak-taijin apakah betul-betul terbunuh!"
"Nanti dulu!" Bu-goanswe tiba-tiba berkelebat. "Apakah kau tak curiga keadaan ini, taijin" Maksudku apakah kau tak curiga kenapa orang-orang ini ada di sini!"
"Maksudmu?"
"Kenapa mereka berada di gedung Cun-ongya.?"
"Ah, hati-hati!" Koktaijin terkejut, memandang tajam wajah jenderal Bu itu.
"Kau jangan termakan Ji-liong, goanswe. Menuduh ongya amatlah berbahaya. Kita sebaiknya tak usah meraba-raba sebelum jelas benar!"
"Aku tidak menuduh, tapi aku curiga!"
"Maksudmu?"
"Ini antara kita sendiri, taijin. Aku melihat hal-hal aneh yang luar biasa di sini. Lihat betapa Cun-ongya tiba-tiba membunuh Ji-liong dan kakaknya itu!"
"Mereka memang musuh, pemberontak?
"Aku tahu, tapi kenapa tiba-tiba harus dibunuh" Bukankah kita dapat melakukannya dan ongya selama ini tak pernah melepas serangan" Aku, ah". sudahlah, taijin. Kita cari gubernur she Gak itu dan lihat apakah betul dia mati atau belum!" dan geram melompat ke gedung, si Pemabok dan isterinya masih harus mereka cari maka Bu-goanswe bergerak dan menyuruh pasukan mengurung rapat-rapat Tak ada sejengkal tanahpun yang boleh terlewati, musuh harus ditangkap mati a-tau hidup. Dan ketika Koktaijin juga merasa aneh kenapa Cun-ongya tiba-tiba turut campur, hal yang tak pernah dilakukan maka dua menteri itu mengejar dan mencari Ok-tu-kwi. Si Pemabok tak mungkin dapat lolos karena tempat itu benar-benar masih terkepung. Jangankan manusia, nyamukpun tak mungkin lolos tanpa diketahui. Dan ketika dua orang itu bergerak mencari sisa-sisa pemberontak, hujan masih turun dengan deras dan membasahi pakaian ratusan orang yang ada di situ maka Cun-ongya yang telah membunuh dan menghabisi nyawa Twaliong dan adiknya masuk ke ruangan belakang di mana terdapat sebuah gudang tua, busur masih di tangannya.
"Bagus, perbuatanmu sempurna sekali, ongya. Begitu merasa tak diperlukan maka akupun hendak kau bunuh!"
Cun-ongya terkejut. Dia baru saja menutup pintu gudang ketika dari balik pintu yang lain muncul seorang pemuda meng genggam senjata api, tertawa aneh dan Cun-ongya tertegun karena Michael ada di situ. Mata menyinarkan kemarahan ditahan dan pangeran ini tentu saja terkejut. Busur di tangan cepat digerakkan tapi tiba-tiba terdengar suara "klik", moncong pistol itu sudah siap tembak! Dan ketika pangeran ini tersentak dan pucat, Michael sudah melangkah maju maka sambil menyeringai pemuda itu menendang dan melepaskan panah di tangan lawannya.
"Jangan macam-macam, peluruku lebih cepat daripada anak panahmu. Kau binatang dan pengkhianat, Cun-ongya. Teman sendiri tega kau bunuh!"
"Hm, apa maumu," Cun-ongya tiba-tiba memperoleh ketenangannya kembali, sikapnya luar biasa. "Kau dan aku sama-sama dalam bahaya, Michael. Mampu mem bunuh aku tak mungkin kau mampu keluar dari tempat ini. Kaupun pasti mati!"
"Kau jahanam keparat!" pemuda itu beringas memandang lawan. "Kenapa kau hendak membunuh aku pula" Bukankah a-ku dapat menyediakan senjata seperti keinginanmu" Kau tak tahu budi, Cun-ongya. Setelah berhasil menyimpan demikian banyak harta karun lalu membunuh kami untuk melenyapkan jejak. Kau dapat membunuh aku namun tuan Smith tahu pula perbuatanmu ini. Rahasiamu bakal dibongkar!"
"Tak mungkin," Cun-ongya tertawa dingin. "Ini rahasia besar, Michael. Kalau temanmu membuka rahasia maka tak ada orang yang akan percaya. Aku selama ini menggembar-gemborkan permusuhanku dengan perdagangan senjata api. Kau tahu sendiri bahwa di luar aku memusuhi kalian!"
"Kau memang licik. Tapi negeriku dapat membuka kedokmu, Cun-ongya. Dan namamu tetap hancur!"
"Ha-ha, itu lebih tak mungkin lagi. Semuanya sudah kuperhitungkan, Michael. Kau terlalu bodoh dan gegabah kalau mengira begitu. Jika negerimu berani membuka rahasiaku maka negerimu bakal dikecam dunia. Dianggap bangsa yang merusak dan menghancurkan bangsa lain dengan perdagangan senjata gelapnya. Ha-ha, kau tak tahu politik!"
"Apa" Kau?"
"Tutup mulut!" sang pangeran tiba-tiba membentak. "Kau anak muda yang harus belajar banyak, Michael. Negerimu juga menerima keuntungan-keuntungan yang besar dari hasil kerja sama selama ini. Dan di negerimupun keuntungan itu banyak dilahap oleh gubernur jenderalmu. Kalian orang-orang kecil tak perlu tahu pekerjaan orang-orang besar. Serahkan senjatamu dan pergilah baik-baik dari tem pat ini!" dan ketika pemuda itu terbelalak dan merah padam, Cun-ongya yang menjadi tawanan justeru bersikap seolah yang menawan maka Michael yang gusar dan naik pitam tiba-tiba menyodokkan laras senjata apinya ke dahi pangeran itu. Maksudnya ingin menyakiti atau melukai, anehnya pangeran itu tersenyum-senyum dan gembira. Michael tak tahu bayangan di belakangnya dan hadirnya bayangan itulah yang membuat sang pangeran berseri-seri. Sikapnya berani dan termasuk pongah. Dan ketika pemuda itu menyerang dan gemas menghajar dahi lawannya, Cun-ongya tak berkelit dan tenang-tenang saja maka bayangan tinggi besar yang tahu-tahu sudah ada di belakang pemuda ini mendadak menggeram dan menyambar pemuda itu, memukul pistolnya.
"Michael, kau harus kembali ke Inggris!"
Michael terkejut. Pemuda ini tak tahu dan tentu saja tiba-tiba terpekik. Pergelangan tangannya dipukul seseorang dan tiba-tiba terangkatlah tubuhnya untuk kemudian dibanting ke lantai. Dan ketika pemuda itu berteriak dan merasa hancur, tulang-tulangnya seakan remuk maka pistol yang mencelat sudah disambar bayangan tinggi besar ini yang bergerak dan menginjak leher pemuda itu, cepat sekali.
"Kau melanggar perintah gubernur jenderal. Berani datang lagi ke Tiongkok!"
Pemuda itu tertegun. Setelah dia melihat siapa lawannya ini, yang menggeram dan berkerot gigi maka pemuda itu tiba-tiba pucat. Apalagi ketika dua bayangan lain berkelebatan pula di situ dan sudah berdiri mengelilinginya. Michael sampai tak dapat bicara karena itulah gurunya Frederick dan Leo serta James, tiga rekannya dari tanah seberang! Dan ketika pemuda itu ah-uh-ah-uh tak mampu menge luarkan kata-kata, injakan itu kuat sekali di lehernya maka Frederick, pria gagah setengah baya ini mengarahkan pistolnya kepada Cun-ongya.
"Pangeran, agaknya tak perlu kita mainmain lagi. Anak muda ini memang bodoh, tak tahu permainan orang-orang besar. Aku sebagai orang tua dan rakyat biasa tak ingin mencampuri hal-hal seperti ini. Hidupku sudah tenang di bukit Green-park, tak ingin mengotori masa tuaku dengan nafsu menumpuk uang. Bebaskan kami dan kamipun akan membebaskan dirimu?"
"Ha-ha, kau jujur dan rendah hati, tuan Frederick. Dan aku mengagumimu sebagai orang yang jujur dan pendekar sejati di negerimu. Baiklah, asal kau tutup mulut dan tidak membuka rahasiaku maka mudah saja aku menyelamatkan kalian. Michael kuanggap anak kecil yang i-kut-ikutan secara tidak sengaja. Gak-taijin telah kubunuh, tapi Ok-tu-kwi dan isterinya masih hidup, berkeliaran di sini. Kalau kau mau menolong aku dan membunuh dua pembantu Gak-taijin itu kupikir permintaanmu dapat lebih kupenuhi lagi!"
"Kau licik, itu urusanmu sendiri.?" jago. tua ini marah. "Kami orang-orang asing tak ada sangkut-pautnya dengan anak buah Gak-taijin, pangeran. Kau tak dapat memaksa kami untuk melakukan ini!"
"Ha-ha, kalau begitu aku juga tak men jamin apakah aku dapat "mengeluarkan kalian dengan selamat dari tempat ini. Kau tinggal pilih, menolong aku atau Dewa Mata Keranjang dan muridnya akan segera mendahului kita!"
Frederick melotot. Pendekar dari Barat itu merasa disudutkan tapi akhirnya mengangguk. Disebutnya nama Dewa Mata Keranjang dan Fang Fang membuat kakek gagah ini dapat berpikir baik, menerima alasan itu. Dan ketika dia menendang Michael dan pemuda itu mengeluh pingsan, Leo dan James disuruh mengikat tawanan maka jago tua itu bertanya di mana kira-kira Ok-tu-kwi dan isterinya itu.
"Mereka jelas masih berkeliaran di sini, tapi aku dapat menunjukkan di mana kira-kira mereka berada. Mari, kuantar!" dan ketika Cun-ongya membuka tutup Iantai memperlihatkan jalan di bawah tanah, gudang tua itu ternyata memiliki jalan rahasia maka pangeran itu membawa teman-temannya menuruni tangga. Pendekar dari Barat menempel ketat di belakang lawannya dan ujung pistol tak pernah jauh dari tengkuk lawan. Cun-ongya tersenyum dan berkata bahwa mereka tak perlu khawatir, tak mungkin dia menjebak. Dan ketika seperempat jam kemudian mereka naik di sebuah anak tangga berbatu maka terdengar suara orang bercakap-cakap.
"Nah, itu mereka. Ok-tu-kwi dan isterinya ada di atas sini. Mereka bersembunyi di dapur istana, tepat seperti dugaanku!"
Frederick tertegun. Memang ada suara di atas sana, suara kakek-kakek dan nenek-nenek yang serak basah. Mereka mencaci-maki Cun-ongya dan rupanya tem pat itu benar-benar tempat aman, terbukti tak ada orang lain di situ dan mereka berani bicara keras-keras. Dan ketika jago tua itu tertegun apa yang harus diperbuat, Cun-ongya memberi tanda dan berbisik.
"Sebaiknya suruh seorang muridmu keluar, lalu kau dan muridmu yang satu menembak. Ini kesempatan satu-satunya, tuan Frederick. Atau kau akan kehilangan kesempatan itu dan semua gagal!"
"Kami tak mau berbuat curang," James tiba-tiba berkata. "Kalau kita keluar maka kita hadapi mereka secara jantan, ongya. Bukan bersikap pengecut dan menembak di belakang!"
"Hm, terserah kalianlah," Cun-ongya merah mukanya. "Aku hanya memberi nasihat, James; Kalau ada apa-apa tanggung sendiri."
"Benar," si jago tua sependapat. "Kami akan keluar dan menghadapi mereka secara jantan, ongya, bukan bersembunyi dan menembak di belakang. Sebaiknya a-ku keluar dan biar Leo menjaga di sini!" dan melompat mengejutkan kakek dan nenek-nenek itu, langsung membentak maka pria gagah ini berseru,
"Hei, menyerahlah baik-baik, Ok-tu-kwi. Atau kami, akan menembak". dor!" dan senjata api yang memuntahkan pelurunya ke atas tiba-tiba membuat dua orang itu terkejut dan membelalakkan mata, melihat kakek tinggi besar ini menodongkan pistol dengan kedua tangan dan saat itu James muncul pula menyusul gurunya. Dua orang ini sudah membuat Ok-tu-kwi dan isterinya tertegun, maki-maki-an segera terhenti oleh pandang mata yang heran dan kaget. Mereka heran dan kaget karena guru dan murid ini tahu-tahu muncul dari dalam tanah, seperti siluman saja. Tapi ketika Ok-tu-kwi terkekeh dan menggelogok araknya, balik membuat si jago Barat tertegun dan merasa heran mendadak arak menyembur menghantam wajahnya, cepat sekali.
"Heh-heh, kau kiranya, tuan Frederick. Good". good" tapi aku tak mau begitu saja menyerah padamu. Pistolmu basah". crott!" dan arak yang menghambur bagai hujan, tajam dan mengenai muka si jago tua tiba-tiba membuat kakek itu terkesiap dan berteriak keras, lawan membanting tubuh ke kiri dan bergulingan di bawah dengan tendangan berantai. Hebat sekali Pemabok ini dan kakek itu terbelalak. Tapi karena Frederick sudah memberi peringatan dan Ok-tu-kwi menyerang, tak menghiraukan seruannya tadi maka si jago tuapun membentak dan". membanting tubuh ke bawah sambil melepas tembakan.
"Dor-dor"!"
Ok-tu-kwi tak menyangka. Sambil bergulingan dan menendang ini ia mengharap mampu mengejutkan lawan dan mencuri kesempatan. Tapi begitu lawan juga membanting tubuh ke bawah dan menyambut serangannya, kaki bertemu tembakan maka tak ayal Ok-tu-kwi menjerit dan mengaduh kesakitan, meskipun lawan juga terlempar dan terkena tendangannya tadi.
"Des-dess!"
Jago dan Barat mengeluh, la berhasil melukai lawan tapi pinggangnyapun terkena tendangan kuat. Ok-tu-kwi masih hebat meskipun dalam keadaan seperti itu. Kakek dan nenek ini sudah tidak telanjang bulat lagi karena sudah mengenakan pakaian, Yok Bi agak kedodoran dan rupanya menyambar seorang dayang yang lebih besar tubuhnya. Dan ketika dua o-rang itu sama-sama terlempar dan Yok Bi terkejut, suaminya mengaduh kena tembakan maka nenek ini berkelebat dan menyerang si jago Barat itu.
Namun James tak tinggal diam. Membentak agar nenek itu berhenti, James mengarahkan pistolnya maka Yok Bi mendengus menggerakkan jarum beracunnya. Nenek itu terus melancarkan pukulan ke Frederick sementara tangannya yang lain menyerang pemuda kulit putih itu pula. Dan ketika James menggeram dan melepas tembakan, mengelak namun jarum menancap di pundak maka pemuda itu terhuyung dan pelurunya meleset.
"Dor..!"
Si jago Barat tersentak. Dia sedang bergulingan meloncat bangun ketika tahu-tahu nenek ini menyerangnya, cepat dia membanting tubuh lagi dan pukulan itu menghajar tanah. Dan ketika si nenek mengejar lagi dan kakek ini pucat maka sesosok bayangan berkelebat dan menghantam Yok Bi dari belakang.
"Nenek keparat, jangan serang guruku".. dess!"
Yok Bi terkejut, terpekik dan terpelanting karena pukulan itu telak mengenainya. Pukulan itu bukan sembarang pukulan melainkan pukulan Pek-in-ciang (Pukulan Awan Putih), ilmu pukulan yang dimiliki Dewa Mata Keranjang. Dan ketika nenek itu menjerit dan terlempar bergulingan, kaget mengira siapa maka Syl-via muncul di situ dan nenek ini tertegun. Tak tahu bahwa gadis itu memiliki ilmu pukulan itu dari Fang Fang.
"Kau..?"
Namun sebatang panah mendesing. Nenek ini tersentak karena tiba-tiba dari lubang di bawah tanah itu melesat sebatang panah besar, suaranya bercuit bagai kilat berkelebat. Dan ketika dia melempar tubuh lagi maka Cun-ongya muncul di situ memberi seruan, tertawa.
"Sylvia, serang nenek itu lagi. Atau kakakmu akan roboh binasa terkena jarum beracun" singg?" dan sebatang panah yang kembali mengejar dan menyerang si nenek tiba-tiba membuat Yok Bi marah bukan kepalang karena ituiah musuh besarnya, Cun-ongya yang licik dan cerdik dan yang kini tak memberinya kesempatan untuk meloncat bangun. Dan ketika dia melengking dan mencabut tusuk kondenya, melontarkannya kepada Cun-ongya maka pangeran itu menjerit dan berseru tertahan, benda itu menancap di pundaknya, amblas sampai ke pangkal!
"Kau?"" pangeran ini mendelik. "Kau berani melukai aku, Yok Bi" Jahanam, kubunuh kau"!" namun Cun-ongva yang terguling dan roboh, mengeluh oleh rasa panas dan gatal yang tiba-tiba menyerangnya mendadak melihat nenek itu terkekeh dan sudah meloncat bangun, berkelebat ke arahnya.
"Hi-hik, kau tahu artinya sakit, pangeran" Tahu rasanya dilukai" Nah, tusuk konde itu akan mengeram sampai nyawamu terbang ke neraka. Tapi aku ingin menghancurkan kepalamu sebagai pembayar sakit hati" wut!" dan si nenek yang bergerak dan melepas pukulan, kedua tangan menghantam ke depan tiba-tiba membuat Cun-ongya pucat dan terbelalak, pundaknya tak dapat digerakkan namun saat itu berkelebat sebuah bayangan lain yang amat luar biasa, membentak dan menangkis pukulan nenek itu. Dan ketika Yok Bi menjerit dan terpelanting roboh, Dewa Mata Keranjang muncul di situ maka kakek ini terkekeh-kekeh sementara Yok Bi bergulingan ngeri dengan muka pucat dan gentar.
"Aihh" dess!"
Nenek itu melotot. Kalau Dewa Mata Keranjang tiba-tiba datang di situ dan menolong Cun-ongya, padahal di situ masih ada si pendekar Barat dan Sylvia yang menyambar kakaknya, James terluka dan. menggigit bibir maka nenek itu kaget bukan main. Di luar sana banyak musuh-musuh menunggu sementara suami-nyapun terpincang-pincang bangkit berdiri. Frederick menyerangnya lagi dan kakek itu bernafsu untuk menangkap hidup-hidup, si Pemabok tak mau dan jadilah mereka bertanding adu cepat. Ok-tu-kwi meloncat-loncat sedangkan lawannya menubruk atau menerkam dengan sengit. Frederick tak mempergunakan senjata apinya karena lawan sudah terluka, tak tahunya arak masih menyemprot-nyemprot dari mulut lawan menghujani seluruh tubuhnya, dari kepala sampai ke kaki. Dan karena hujan arak itu seperti tusukan jarum-jarum tajam, pedas dan sakit mengenai kulit maka Ok-tu-kwi terbahak-bahak mengejek lawan, bergerak sebisanya dan matapun berputaran liar untuk melarikan diri. Keadaan tak memungkinkan baginya untuk bertahan lagi. Di ruang rahasia tadi dia sudah terluka oleh anak-anak panah gelap, kini muncul pula gadis kulit putih itu dan Cun-ongya. Bahkan, terakhir adalah Dewa Mata Keranjang! Maka ketika isterinya terlempar dan terguling-guling oleh tangkisan Dewa Mata Keranjang, Ok-tu-kwi terkejut dan pucat mukanya maka tiba-tiba kakek itu menjadi marah oleh tubrukan-tubrukan lawan, membentak dan suatu saat membentur tubuh lawannya itu.
"Tuan Frederick, aku akan membunuhmu".. bress!" Ok-tu-kwi melakukan gerak licik, kaki mengait dan tiba-tiba naik ke atas, menghantam selangkangan laki-laki tinggi besar itu, tentu saja membuat lawannya terkejut karena selama ini si Pemabok itu selalu menghindar dan berkelit saja, tak pernah menyambut keras dengan keras. Maka ketika tiba-tiba tubruk-annya disambut lawan dan Ok-tu-kwi menaikkan lutut menghantam kemaluan, pendekar dari Barat ini tak menyangka maka dia berteriak menggunakan telapak tangannya untuk menangkis tapi pada saat itu tangan kiri lawan bergerak merampas pistolnya.
"Ha-ha!" Ok-tu-kwi terbahak-bahak. "Sekarang kau mampus, Mister Frederick Dan terimalah hadiahku". dor-dor!" dan dua peluru yang meletus dan menyambar kakek tinggi besar itu akhirnya mengenai lawan dan pendekar dari Barat ini mengaduh, terjungkal dan darah mengucur dari kaki dan punggungnya. Kakek tinggi besar itu marah dan pucat sekali karena lawan benar-benar curang, padahal dia selama ini tak mempergunakan senjata api untuk menyudutkan lawan. Dan ketika kakek itu terguling-guling dan merintih di sana, Ok-tu-kwi terbahak mendapatkan senjata api maka dia membabi-buta menembakkan pistolnya itu ke segala penjuru. Dewa Mata Keranjang menjadi sasaran utama tapi Ok-tu-kwi lupa bahwa kakek ini memiliki ilmu kebal, dua peluru runtuh mengenai tubuhnya dan sebuah yang lain disampok terpental. Dewa Mata Keranjang terkejut karena Ok-tu-kwi membabi-buta. Tapi ketika terdengar suara "klik" dan pistol itu kosong, kehabisan peluru maka si Pemabok pucat dan tiba-tiba sebuah letusan lain menyambar dari samping kirinya mengenai atas telinganya.
"Dor!"
Ok-tu-kwi menggeliat dan roboh terjengkang. Leo, yang muncul dari bawah tanah melihat gurunya dilukai, marah dan bergerak membalas kakek itu tiba-tiba membuat Ok-tu-kwi jatuh terjerembab. Kakek ini tak menyangka bahwa di dalam lubang masih ada orang lain lagi, itulah Leo yang tadi menjaga tawanannya. Dan ketika Yok Bi menjerit karena suaminya tewas seketika, kepala berlumuran darah maka nenek itu menjerit dan membentak pemuda ini. "Kau iblis keparat!"
Namun Dewa Mata Keranjang bergerak mendahului. Melihat nenek itu mening galkannya untuk menyerang si pemuda kulit putih, padahal pemuda itu termasuk menyelamatkan orang-orang di situ maka kakek ini berkelebat dan menangkis pukulan si nenek. Yok Bi melengking dan gusar, Dewa Mata Keranjang sudah bergerak di tengah melindungi lawannya itu. Dan ketika nenek ini marah memukul sekuat tenaga, pita merah di atas kepalanya juga ikut meledak menyambar kepala kakek itu maka Dewa Mata Keranjang menangkis dan sudah membuat si nenek terjengkang dan roboh terguling-guling.
"Dess!"
Yok Bi si nenek sial mengeluh. Dia tak kuat menerima tangkisan itu dan Dewa Mata Keranjang memang bukan lawannya. Dikeroyok berduapun kakek itu masih lebih lihai. Maka begitu dia terlempar dan terbanting, celakanya menuju Cun ongya maka si pangeran tiba-tiba mengait sebuah pistol dan dengan dua jari kaki mengokang tiba-tiba Cun-ongya melepas tembakan.
"Dor!"
Tak ada yang tak terperangah oleh kejadian ini. Cun-ongya, yang tak dapat menggerakkan pundaknya karena luka ternyata dapat menembak dengan jari-jari kakinya. Inilah luar biasa dan Sylvia maupun yang lain-lain terkejut melihat itu, kagum. Sylvia sendiri tersentak karena ia sebagai seorang gadis vang mahir bersenjata api sekalipun tak dapat mempergunakan kakinya untuk menembak. Kejadian itu sungguh mentakjubkan dan membuat orang terbelalak. Tapi ketika Sylvia dan lain-lain bertepuk tangan, memuji, maka Dewa Mata Keranjang tiba-tiba berkelebat dan mengeluh menyambar nenek itu, yang tertembus peluru.
"Ah, kenapa membunuh nenek ini, ongya" Dia tak perlu dibunuh, cukup dihukum saja. Celaka!" dan si kakek yang bergerak dan mengangkat tubuh itu lalu memanggil-manggil bekas lawannya, karena Yok Bi betapapun adalah juga pernah menjadi kekasihnya!
"Hei, jangan terburu mati, Yok Bi. Ada aku di sini. Buka matamu, bicaralah!"
Semua tertegun. Dewa Mata Keranjang yang menotok dan menggerak-gerakkan tubuh itu ternyata berkali-kali memanggil si nenek, entah apa maksudnya. Tapi ketika nenek itu membuka mata, si kakek menunduk dan menekan jalan darah di punggung, berbisik bertanya sesuatu maka Dewa Mata Keranjang bertanya di mana Gak-taijin.
"Dia" dia terbunuh. Cun-ongya" Cun-ongya yang membunuhnya".!"
"Dan siapa dalang semuanya ini, Yok Bi" Kenapa majikanmu ke tempat ini?"
"Aku" aduh" cari saja Lauwtaijin atau Thaitaijin, Cing Bhok. Mereka" mereka akan menerangkan padamu. Cun-ong-ya" Cun-ongya manusia iblis!"
Dewa Mata Keranjang tertegun. Dia mencoba memperpanjang umur nenek itu namun tak berhasil. Peluru menembus dada dan Yok Bi tak kuat. Hanya sedetik saja usahanya itu berhasil, selanjutnya nenek ini terkulai dan percakapan di antara mereka membuat orang-orang tertegun, tak ada yang mendengar. Tapi ketika berkelebat bayangan-bayangan orang dan berturut-turut Mien Nio dan Bu-goanswe muncul di situ, bersama Koktaijin, maka mereka cepat menolong Cun-ongya yang tak mampu bangun berdiri, mengeluh dan pucat kehijauan mukanva.
"Ongya terkena racun!" Mien Nio berseru dan menyadarkan yang lain, tertegun melihat suaminya memeluk mayat Yok Bi, diam-diam terbakar. Bukan karena cemburu melainkan semata tak senang karena Yok Bi jelas adalah wanita sesat, bukan orang baik-baik! Dan ketika seruannya itu menyadarkan Dewa Mata Keranjang, yang terkejut dan tertegun pula melihat pandang mata isterinya maka Sylvia di sana juga mengeluh dan sesenggukan melihat kakaknya roboh lemas, pucat kehijauan seperti Cun-ongya pula.
"Kakakku juga". tolong, tolonglah"!"
Bu-goanswe dan lain-lain bergerak. Hujan sudah berhenti dan mereka terpencar menolong yang luka-luka. Semua terkejut dan terheran-heran bagaimana orang-orang kulit putih ini tiba-tiba ada di istana. Kakek tinggi besar Frederick menahan sakit dan menyeringai oleh dua peluru yang mengenai kaki dan punggungnya, ditolong dan dihampiri Koktaijin karena Bu-goanswe menolong Cun-ongya. Mien Nio sudah berkelebat dan menolong James, membantu Sylvia. Dan ketika Leo juga berlutut dan berkerut-kerut melihat wajah temannya yang kehijauan, racun menjalar dan memasuki tubuh maka Mien Nio meloncat dan menyambar suaminya.
"Cun-ongya dan pemuda itu keracunan. Tolong mereka dan selamatkan jiwanya!"
"Tak usah buru-buru," si kakek menyeringai dan mengeluarkan sebungkus obat. "Ini dari saku Yok Bi, Mien Nio. Berikan kepada mereka sebelum terlambat."
"Kau meraba-raba tubuh wanita itu?"
"Jangan cemburu, aku sedang mengorek sebuah keterangan rahasia. Ini urusan lelaki, cepat kau tolong mereka dan nanti saja kita bicara!"
Mien Nio tertegun. Pandang matanya yang semula marah tiba-tiba lenyap, suaminya ini sungguh-sungguh. Dan ketika dia bergerak dan bungkusan itu ternyata penawar racun, memberikannya kepada Cun-ongya dan James maka dua laki-laki itu akhirnya sadar dan membuka mata, Cun-ongya lebih dulu.
"Mana Bu-goanswe.."
"Hamba di sini! Ada apa, ongya" Perlu perintah lagi?"
"Aku" aku ingin tahu para pemberontak yang kau tangkap. Siapa saja mereka-mereka itu!"
"Ah, paduka baru saja siuman, belum sembuh benar. Bukankah sebaiknya ber istirahat dan besok saja, ongya" Gak-taijin dan pembantu-pembantunya sudah terbunuh, paduka tak usah khawatir!"
"Tidak, aku" ah, antarkan aku ke kamarku, goanswe. Dan kita bicara empat mata di sana!"
"Dan orang-orang ini?" Bu-goanswe menuding James dan teman-temannya. "Apakah mereka harus ditangkap, ongya" O-rang kulit putih sudah tak diijinkan masuk"
"Mereka teman-temanku?" Cun-ongya melirik Frederick dan murid-muridnya itu, juga Dewa Mata Keranjang. "Biarkan mereka bebas dan jangan diganggu!"
Bu-goanswe mengangguk. Meskipun heran dan kaget bagaimana orang-orang kulit putih ini ada di situ tapi sang jenderal tak berani membantah. Dan ketika dia membawa pangeran ke dalam gedung, Koktaijin dan lain-lain tak diijinkan mengikuti maka Dewa Mata Keranjang berkelebat dan bertanya,
"Ongya, aku juga tak boleh masuk?"
"Maaf, ini urusan pribadi, Tan-taihiap Aku ingin bicara penting dengan Bu-goanswe. Terima kasih atas pertolonganmu!"
"Dan bocah yang masih pingsan itu?"
Cun-ongya tertegun, teringat Michael. Dan minta agar pemuda itu masuk bersamanya maka Bu-goanswepun terkejut.
"Apa" Membawa pemuda ini pula, ongya" Dalam keadaan pingsan begini?"
"Paduka tak perlu khawatir," Frederick tiba-tiba terpincang maju. "Michael biarlah diserahkan kepadaku, ongya. Dan kami sebaiknya pergi saja meninggalkan negeri ini!"
"Tidak, sekarang biar kau bersamaku dulu, Frederick. Bawa pemuda itu dan Bu-goanswe menjaga di luar. Aku tiba-tiba ingin bicara lebih dulu denganmu!" dan ketika jago Barat itu tertegun dan mengerutkan kening, Bu-goanswe juga terbelalak karena sikap Cun-ongya tiba-tiba beru bah-ubah, hal yang mengherankan maka kakek tinggi besar itu dipaksa mengangguk dan mengikuti. Cun-ongya sudah masuk ke dalam kamar pribadinya dan Michael dipanggul ke dalam, kakek inilah yang membawa. Dan ketika Bu-goanswe menjaga di luar dan Leo serta teman-temannya menjadi cemas, gelisah, maka tiba-tiba terdengar tembakan dan bergeraklah Bu-goanswe mendobrak pintu kamar, disusul oleh Koktaijin dan juga Dewa Mata Keranjang, yang diam-diam curiga dan memperhatikan segala gerak-gerik pangeran itu.
"Apa yang terjadi! Siapa melepas tembakan!"
Semua tertegun. Bu-goanswe dan lain-lain terkejut karena mungkin Cun-ongya diganggu. Tapi ketika melihat pangeran itu tak apa-apa sementara Michael sudah berlumuran darah, kepalanya ditembus peluru maka semua terbelalak sementara kakek tinggi besar itu tiba-tiba terhuyung, pucat mukanya.
"Pangeran, kau". kau kejam!"
"Maaf, sekarang sudah selesai, tuan Frederick. Kau telah menghukum muridmu sendiri. Silahkan kembali ke negerimu dan terima kasih atas pengertianmu ini!" lalu ketika kakek itu mengeluh dan mengepal tinju, Cun-ongya berseri dan bersinar-sinar maka kakek itu tiba-tiba menyambar tubuh Michael dan berkelebat keluar, menahan kemarahan atau perasaan yang meledak-ledak.
"Leo, kita pulang!"
Bu-goanswe dan lain-lain kembali tertegun. Mereka tak tahu apa yang terjadi kecuali Michael yang sudah terbunuh. Siapa yang melepas tembakan mereka tak tahu. Barangkali Cun-ongya barangkali pula kakek itu. Sungguh misterius, penuh teka-teki! Tapi ketika kakek itu berkelebat dan memanggil muridnya, lenyap dan sudah menghilang di luar maka Cun-ongya tiba-tiba menyuruh semua keluar kecua li Bu-goanswe. Jenderal ini berdetak dan Koktaijin pun tiba-tiba memainkan matanya. Setelah peristiwa itu tiba-tiba dua orang ini sama-sama menjadi tak nyaman. Cun-ongya sungguh mencurigakan. Tapi karena dia adalah saudara kaisar dan berarti junjungan mereka, tak mungkin permintaannya dihalangi maka Bu-goan swepun mengangguk dan lain-lain segera keluar. Koktaijin berbisik agar rekannya berhati-hati dan begitu pintu kamar ditutup segera Dewa Mata Keranjang diminta mengintai. Kakek ini mengangguk sebelum Koktaijin habis bicara, bergerak dan sudah lenyap menempel di langit-langit ruangan, telinga dipasang sementara mata tak berkedip memandang ke bawah. Di dalam kamar itu Cun-ongya bertanya jawab dengan Bu-goanswe, tak kelihatan serius atau membahayakan dan berkerut-lah kening kakek ini. Dan ketika setengah jam kemudian pintu kamar dibuka dan Bu-goanswe keluar dengan selamat, Koktaijin menyambut dan sang pangeran masuk ke kamar lain maka Bu-goanswe menjawab bahwa dia diminta mengumpulkan semua tawanan yang masih hidup, tawanan-tawanan penting.
"Lauwtaijin dan Thaitaijin diminta menghadap ongya di wisma Merpati. Am bil mereka sementara Tiong-taijin dan lain-lain dikumpulkan di penjara bawah tanah. Mereka akan dihadapkan sri baginda besok pagi?"
"Kenapa terburu-buru" Bukankah sudah larut malam dan ongyapun capai?"
"Entahlah, aku hanya menerima perintah, taijin. Dan aku harus melaksanakannya!"
"Dan apa yang kalian bicarakan tadi."
"Ongya mencari tahu siapa saja nama-nama pemberontak yang berhasil kita tangkap."
"Dan kau sebutkan semuanya?" Dewa Mata Keranjang tiba-tiba bergerak, menyela.
"Ya, tak ada yang perlu disembunyikan, Dewa Mata Keranjang. Dan aku juga tak biasa bohong!"
"Bodoh! Di mana Lauwtaijin dan Thaitaijin itu. Biar kuambil mereka!"
"Mereka di gedungku?"
"Baik, kau tunggu di sini, goanswe. A-ku akan mengambilnya!" dan lenyap meninggalkan dua orang itu, Bu-goanswe mengerutkan kening sementara Koktaijin tiba-tiba bergerak dan menyusul kakek itu maka jenderal inipun akhirnya berkelebat dan mengejar pula si Dewa Mata Keranjang.
"Hei, apa yang akan kaulakukan, Dewa Mata Keranjang. Jangan membuat susah aku!"
Namun kakek ini sudah terbang di sana. Lupa kepada isterinya dan lain-lain tiba-tiba saja kakek itu menuju ke gedung Bu-goanswe. Dewa Mata Keranjang teringat kata-kata Yok Bi sebelum ajalnya, bahwa dia dapat menyelidiki semuanya itu dari Louw-taijin, Atau Thaitaijin. Dan ketika kakek ini berkelebat dan mendobrak pintu kamar tawanan, mendorong dan menjungkirbalikkan tiga penjaga maka kakek itu tertegun karena Lauwtaijin tak ada, hanya tinggal Thaitaijin saja!
"Mana rekanmu, kenapa sendirian saja!"
Thaitaijin, laki-laki yang pucat dan sekarang kurus itu tampak menggigil. Dia tertotok di kursinya dan kakek ini membebaskan tawanan. Thaitaijin mengeluh dan seketika roboh lemas, terguling. Dan ketika kakek itu bertanya di mana Lauwtaijin maka pemberontak yang dulu lolos dan bergabung lagi dengan Gak-taijin ini meratap.
"Ampun, tolong". tolonglah aku, Dewa Mata Keranjang. Lauwtaijin dibawa muridmu. Lepaskan aku dari sini dan jangan serahkan aku kepada Cun-ongya!"
"Apa yang terjadi!" si kakek terkejut. "Muridku membawa temanmu" Kau tidak berdusta?"
"Berani sumpah!" laki-laki itu gemetaran. "Fang Fang datang bersama seorang kakek, Dewa Mata Keranjang. Aku tak mengenal siapa itu karena mereka sebentar saja di sini. Muridmu membawa Lauwtaijin!"
"Dan kau!" Dewa Mata Keranjang tertegun. "Kenapa dibiarkan di sini" Apa maksud muridku itu?"
"Aku tak tahu, tapi kira-kira mengorek peristiwa busuk ini!"
"Busuk bagaimana. Apanya yang busuk!"
"Aku" aku, ah" apakah kau mau menyelamatkan aku kalau aku menceritakan rahasia besar ini, Dewa Mata Keranjang" Apakah kau mau menolong aku dengan sebuah imbalan rahasia penting!"
"Cepat ceritakan. Kalau benar tentu kubebaskan dirimu. Tapi kalau bohong maka aku akan membunuhmu!"
"Aku" aku hanya alat saja dari Cun-ongya. Dia inilah sumber penyakit. Cun-ongya mengadakan hubungan senjata gelap dengan bangsa asing dan kami disuruhnya membuat kerusuhan!"
"Maksudmu?"
"Kami membeli senjata-senjata itu, Dewa Mata Keranjang, dan Cun-ongya membelinya dari bangsa asing, dengan keuntungan berlipat ganda. Dan karena senjata tak akan habis kalau tidak digunakan maka untuk memenuhi keinginannya lalu kami disuruh berperang dan mengacau di perbatasan. Bangsa asing mengadakan hubungan diam-diam dengan pangeran, dan kami pioner-pionernya yang disuruh maju!"
"Tapi Cun-ongya memusuhi bangsa asing, gencar menghalangi jualbeli senjata!"
"Itu di luarnya, karena maksudnya agar jualbeli senjata itu dapat dimonopolinya sendiri. Cun-ongya tak mau orang-orang seperti aku berhubungan langsung dengan bangsa asing. Sebab kalau begitu tentu keuntungannya berkurang dan Cun-ongya gigit jari! Tidak, semua itu taktik belaka darinya, Dewa Mata Keranjang. Agar orang luar tertipu. Dan karena Cun-ongya memang cerdik dan licin seperti belut maka tak ada satupun yang menyang ka bahwa justeru dia inilah sumber jualbeli senjata api. Kami adalah pioner-pionernya yang mendapat keuntungan tidak seberapa, jauh dibanding dia sendiri!"
"Kau bicara benar?"
"Sumpah mati. Dewa Mata Keranjang. Biar aku disambar geledek kalau bohong. Aku hanya alatnya dan dialah pula yang membebaskan aku dan Lauwtaijin agar dapat membuat lagi kerusuhan yang berarti jualbeli senjata gelap terus hidup!"
Kakek ini tertegun. Mendengar dan melihat sikap Thaitaijin tiba-tiba Dewa Mata Keranjang terbelalak. Memang dia sudah mencium bau itu namun masih kurang yakin. Sumber biang penyakit memang diciumnya di kota raja, di istana. Dan ketika Thaitaijin bercerita lagi bahwa dia pasti dibunuh, tak mungkin dihukum lagi seperti dulu maka laki-laki ini meratap dan berlutut di depan Dewa Mata Keranjang.
"Hanya tiga orang vang tahu persis masalah ini, yakni aku dan Lauwtaijin serta Gak-taijin. Kamilah orang-orang kedua di balik layar, karena kamilah yang berhubungan langsung dengan pangeran. Tolong, selamatkan jiwaku, Dewa Mata Keranjang. Karena Cun-ongya pasti akan membunuh aku dan Lauwtai|in ataupun Gak-taijin!"
"Dan orang-orang kulit putih itu?"
"Merekalah utusan gubernur jenderal. Dulu tuan Smith tapi sekarang Michael!"
"Dan Michael dibunuh. Ah, betul katamu, Thaitaijin. Tapi kaupun juga busuk karena mau menikmati keuntungan bersama. Kau juga bukan warga negara yang baik!" dan ketika Thaitaijin terkejut karena Dewa Mata Keranjang marah-marah, sungguh tak disangkanya bahwa sahabatnya yang disangka jujur dan memperhatikan negara ternyata adalah sebaliknya, Cun-ongya merupakan sumber dari jualbeli senjata api maka saat itu pintu ditendang dan muncullah Bu-goanswe, merah padam dengan ketiga orang penjaga di tangannya.
"Dewa Mata Keranjang, siapa membawa orang-orangnya Cun-ongya ini" Siapa menggantikan mereka dengan penjaga-pen-jagaku sendiri?"
"Apa maksudmu?" Dewa Mata Keranjang terkejut, mukanya juga merah padam, merasa tertipu oleh tingkah Cun-ong ya. "Tanya mereka sendiri itu, goanswe. Jangan tanya aku. Aku mau pergi!" tapi ketika Thaitaijin berteriak dan roboh mengaduh-aduh, mendekap perutnya dan berputaran seperti ayam disembelih maka Dewa Mata Keranjang tak jadi pergi dan tertegun melihat tawanan itu.
"Aduh, aku". aku keracunan. Aku diracun!"
Kakek itu berubah. Bu-goanswe yang menendang dan melempar tiga penjaga ini lalu melompat dan menyambar Thaitaijin. Tawanan itu muntah-muntah dan dari mulutnya keluar busa. Dan ketika jenderal itu terkejut melihat mangkok piring di situ, padahal dia merasa belum menyuruh memberikan makanan atau minuman maka ditanyanya tawanannya itu siapa yang memberi.
"Mereka". tiga orang itu. Apakah mereka bukan penjaga-penjagamu, goanswe" Apakah mereka". aduh!" dan Thaitaijin yang roboh dan muntah-muntah, dilepas karena Bu-goanswe sudah menyambar dan menangkap seorang di antara tiga penjaga tiba-tiba dibuat menggeliat-geliat seperti anjing dalam sekarat.
"Siapa yang memberi makan. Apakah benar kalian bertiga!"
"Beb" benar. Kami disuruh Cun-ongya, goanswe. Datang menggantikan tiga orang anak buahmu. Mereka dipanggil ke sana!"
"Dan mana Lauwtaijin!"
"Kami tak tahu". dess!" dan Bu-soanswe yang menendang pengawal itu sampai pingsan tiba-tiba mendengar seruan Dewa Mata Keranjang bahwa Lauwtaijin dibawa Fang Fang. Dan ketika jenderal itu tertegun dan membalik, Koktaijin berkelebat dan muncul di situ maka Thaitaijin menggelepar-gelepar dan berbusa seluruh mulut dan hidungnya.
"Apa yang terjadi. Ada apa dengan tawanan!"
"Dia diracun. Cun-ongya mengganti pengawalku dan memberikan makanan dan minuman ini!"
"Apa?"
"Kita cari dia!" Bu-goanswe mendobrak pintu kamar, daun pintu itu menutup lagi karena tebal, kini ditendang sampai hancur dan terbelalaklah Koktaijin menyaksikan kejadian itu. Tawanan tak dapat bicara lagi dan dia coba menolong namun Thaitaijin tiba-tiba terkulai dan menghembuskan napasnya terakhir. Dan ketika dia terbelalak karena Lauwtaijin tak ada di situ maka Dewa Mata Keranjang berkelebat dan mendengus padanya.


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Taijin, kita benar-benar ditipu luar dalam. Ternyata orang nomor satu yang kumaksudkan itu adalah Cun-ongya. Mari ke sana dan kita tuntut tanggung jawabnya!"
Koktaijin tak dapat bertanya-tanya lagi. Bu-goanswe dan Dewa Mata Keranjang telah terbang ke gedung Cun-ongya. Di sana Bu-goanswe menggeram-geram dan marah tapi juga bingung. Maklumlah, dalang di balik layar ternyata justeru adalah Cun-ongya sendiri, adik kaisar. Dan ketika mereka tiba di sana dan berkelebat menuju kamar ternyata pangeran rebah dan juga mengerang-erang!
"Aduh, keparat si Yok Bi itu. Terkutuk bisa racunnya. Aduh. kalian salah memberi obat, goanswe. Aku justeru menelan racun!"
"Apa yang terjadi?" Bu-goanswe malah tertegun. "Bagaimana ini ongya. Kenapa bisa begitu!"
"Dia menebus dosanya." sebuah suara tiba-tiba terdengar, dingin, di samping pintu. "Cun-ongya menelan dosanya, goanswe. Dan aku menyesal tak dapat berbuat apa?
"Fang Fang"!" Bu-goanswe terkejut tiba-tiba melihat pemuda itu berdiri di belakang pintu memanggul mayat seseorang, Lauwtaijin! Dan ketika jenderal itu juga terkejut karena di belakang Fang Fang terlihat seorang kakek memegang seruling, juga seorang gadis cantik bermata biru maka jenderal ini bergerak dan menerkam pemuda itu, tak menghiraukan dua orang di belakang pemuda ini.
"Fang Fang, apa yang terjadi. Kenapa Cun-ongya tiba-tiba sekarat!"
"Dia kupertemukan dengan Lauwtaijin ini, goanswe, dan tiba-tiba tampak ketakutan. Dan ketika aku juga memanggil Han-ciangkun karena dia pernah dibebaskan Cun-ongya maka Cun-ongya tiba-tiba marah dan akan membunuh mereka, dengan tusuk konde itu!"
"Lalu?" Bu-goanswe gemetar.
"Tentu saja kucegah, goanswe. Mereka ini saksi hidup untuk kaisar. Tapi Cun-ong ya nekat dan tetap menyerang, kutangkis dan tiba-tiba tusuk konde itu mencelat mengenai perutnya. Dan ketika dia roboh dan mengambil obat ternyata keliru dengan racun yang diam-diam diambil dari kantung Yok Bi!"
"Ah, dan tusuk konde itu". bukankah dibuang oleh subomu Mien Nio?"
"Diambilnya lagi, goanswe, secara diam-diam. Dia ingin menghabisi orang terakhir yang nanti dianggapnya berbahaya. Dalam keadaan tidak terduga. Dan karena di catatan ini ada nama guruku dan aku sendiri agaknya ongya juga ingin menamatkan hidupku dengan tusuk konde maut itu. Sayang mengenainya sendiri dan kau baca ini!"
Bu-goanswe tertegun, menerima catatan-catatan dari orang yang akan dibunuh. Cun-ongya memberi silang merah pada nama-nama yang akan dihabisi, entah dengan jebakan kamar-kamar rahasia atau senjata api, karena Cun-ongya juga seorang jago tembak yang di luar dugaan. Bu-goanswe teringat betapa dengan jari-jari kakinya pangeran itu juga dapat membunuh Yok Bi. Mengejutkan! Dan ketika jenderal itu terbelalak karena namanya juga ada di situ, berikut Koktaijin maka jenderal ini menggigil dan mundur.
"Ongya, kau" kau juga akan membunuh aku?"
"Tentu, kau tak dapat diajak kerja sama seperti Lauwtaijin dan lain-lainnya itu, goanswe. Dan kaupun sudah mulai mengetahui sepak terjangnya. Siapapun yang dianggap berbahaya pasti akan dibunuh oleh ongya!"
"Tapi". tapi?"
"Sudahlah," Fang Fang, yang menjawab dan membuat jenderal itu pucat dan marah serta penasaran tiba-tiba menunjuk pada mayat Lauwtaijin dan Han-ciang kun itu.
"Apakah Thaitaijin juga sudah tewas termakan racun" Ongya menyuruh pengawal-pengawalnya untuk memberikan makanan atau minuman beracun. Dan aku tak dapat mencegah ini karena semuanva sudah terlambat!"
"Fang Fang"!" Dewa Mata Keranjang berkelebat masuk, menyambar bagai burung. "Kau ada di sini" Dan Cun-ongya, eh"!" kakek itu tertegun, berhenti dan tepat meluncur di depan muridnya itu karena menyusul Bu-goanswe. Sang kakek terbelalak dan Cun-ongya merintih-rintih, sekarat. Dia salah makan obat karena kantung yang terlempar dari mayat Yok Bi ternyata bukan penawar racun, melainkan justeru penambah racun! Dan ketika pangeran itu menggeliat-geliat dan Koktaijin muncul belakangan pula, tertegun, sama dengan kakek itu maka Bu-goanswe menutupi muka menyerahkan daftar nama-nama yang akan dibunuh itu kepada dua orang ini.
"Ongya sungguh keji, tak pilih bulu. Ah, aku tak dapat tinggal lagi di sini. Dewa Mata Keranjang. Aku ingin melepaskan kedudukanku menjadi rakyat biasa!"
"Apa yang terjadi!"
"Kau baca saja itu, tanya muridmu Fang Fang!"
"Ongya terjebak oleh nafsu menumpuk kekayaan," sebuah suara tiba-tiba terdengar, menyusul berkelebatnya tubuh Bu-goanswe itu. "Dan apa yang ditanam kini dipetik hasilnya, Dewa Mata Keranjang. Maaf bahwa aku barangkali mengganggumu di sini."
"Sin-kun Lo-jin!" Dewa Mata Keranjang membalik, tiba-tiba terkejut dan baru menyadari bahwa di belakang muridnya masih ada dua orang. "Ah, kau di sini, tua bangka" Ada apa?"
"Maaf, aku menemani cucuku turun gunung, Dewa Mata Keranjang. Belajar dan mencari pengalaman tentang hidup."
"Dan kau jauh-jauh meninggalkan Himaiaya?"
"Cucuku ini tak betah di gunung, ingin mencari yang lain."
"Hm!" dan Dewa Mata Keranjang yang tertegun dan terbelalak lebar tiba-tiba memandang gadis mata biru di samping kakek itu, bersinar-sinar dan memandang Fang Fang namun gadis itu tiba-tiba mendengus, berkelebat dan lenyap di luar. Dan ketika Dewa Mata Keranjang terkejut dan Sin-kun Lo-jin atau Sin-kun Bu-tek juga terkejut maka terdengar suara gadis itu bahwa "pengalaman di kota raja sudah selesai".
"Kakek, kita kembali. Cukup kejadian memuakkan ini. Kau telah membuktikan kepada Fang Fang bahwa kata-katamu benar!"
"Nah," Sin-kun Bu-tek tersenyum. "Aku dipanggil cucuku, Dewa Mata Keranjang. Kami hanya sebagai penonton yang mengamati semuanya ini dari luar. Selamat tinggal, dan maaf!" dan si kakek yang berkelebat dan lenyap pula tiba-tiba disusul Dewa Mata Keranjang yang berteriak memanggil.
"Tunggu, jangan pergi dulu, Sin-kun Lo-jin. Aku hendak bicara!"
"Apa yang akan kaubicarakan!" Sin-kun Lo-jin tak berhenti, bergerak dan tetap menyusul cucunya, terbang mengerahkan ilmunya. "Silahkan bicara kalau ingin bicara, Dewa Mata Keranjang. Tapi aku tak dapat berhenti karena cucuku sudah jauh di sana!"
"Baiklah," Dewa Mata Keranjang mengangguk, melesat dan mengimbangi kakek itu. "Aku hendak bertanva apakah cucumu masih sendiri, tua bangka. Kalau sendiri bagaimana kalau dijodohkan dengan muridku!"
"Ha-ha, soal itu" Kenapa tidak tanya kepada yang bersangkutan sendiri" Aku tak dapat menjawab, Dewa Mata Keranjang. Silahkan tanya cucuku dan langsung saja kepada yang berkepentingan!"
"Baiklah," Dewa Mata Keranjang tiba-tiba menggerakkan kedua lengan dengan cepat, seperti baling-baling, langsung mengerahkan Sin-bian Ginkangnya (Ginkang Kapas Sakti). "Aku akan menyusul cucumu, tua bangka. Dan kutanya dia!" dan ketika kakek itu melesat dan meluncur seperti siluman, gadis mata biru terkejut karena kakek itu tahu-tahu di sampingnya maka bertanyalah Dewa Mata Keranjang akan itu.
"Hei, aku ingin melamarmu untuk muridku, nona. Apakah kau masih sendiri dan mau!"
"Aku tak sudi!" jawaban itu ketus, mengejutkan kakek ini. "Meskipun muridmu lihai tapi hidungnya kotor. Dewa Mata Keranjang. Bersihkan dulu hidungnya itu dan jangan ajari dia bermain cinta dengan wanita. Aku menolak!" dan ketika kakek itu tertegun sementara Sin-kun Butek menyusul, tertawa, maka kakek itu berseru agar Dewa Mata Keranjang tidak mengganggu lagi.
"Nah, cucuku sudah menjawab, menyakitkan tetapi jujur. Selamat tinggal, Dewa Mata Keranjang. Dan jangan ganggu kami lagi!"
. Si Dewa Mata Keranjang tertegun. Kakek ini berhenti dan tentu saja merah padam, gadis yang tepat menjadi pasangan muridnya itu ternyata menolak, tegas dan getas. Dan ketika kakek itu mengeluh dan kecewa, melotot, maka berkesiur angin di belakangnya dan berkelebatlah muridnya.
"Suhu, jodoh tak dapat dipaksa. Aku menyadari kekeliruan-kekeliruanku. Sudahlah jangan kecewa dan aku akan bertapa sebagai pendeta!"
"Eh, bagaimana dengan Cun-ongya itu. Apakah sri baginda sudah tahu!"
"Koktaijin telah melapor. Dan puteri We juga datang."
"Dan Bu-goanswe?"
"Sri baginda tak mengabulkan permohonannya, suhu. Dan Bu-goanswe tetap menduduki jabatannya. Tapi aku sendiri tak dapat dicegah, gelar Pangeran Muda yang diberikan sri baginda kukembalikan."
"Apa?"
"Benar. Aku tak mau menikmati kesenangan-kesenangan duniawi, suhu. Kesenangan-kesenangan itu tak membawa kepada kebahagiaan. Aku ingin bertapa dan melanjutkan samadhiku dulu" wut!" dan Fang Fang yang berkelebat mendahului gurunya, lenyap dan menghilang di depan tiba-tiba membuat Dewa Mata Keranjang tersentak karena muridnya mengeluarkan kesaktian seperti yang dulu diperlihatkan di Liang-san. Dia berteriak dan memanggil-manggil namun muridnya itu tak mau berhenti, hanya merupakan satu titik kecil di depan dan akhirnya lenyap ke Liang san. Muridnya itu hendak bertapa. Menebus atau menghilangkan dosa-dosa. Dan ketika kakek itu melongo dan sebuah bayangan lain meriotong dan muncul dari samping maka terdengar seruan isterinya, Mien Nio.
"Suamiku, apakah kau sudah tak ingat kepadaku lagi?"
"Ooh..!" sang kakek sadar, mengangguk. "Tentu saja tidak, Mien Nio. Mari kita susul murid kita itu dan aku tiba-tiba juga ingin bertapa!"
"Boleh, aku mengiringi, suamiku. Mari kita bersihkan jiwa dan raga kita!" dan ketika kakek itu berkelebat dan menyambar isterinya, terbang dan meluncur ke Liang-san maka di istana terjadi mendung yang amat besar. Sri baginda terbelalak dan tertegun melihat semua peristiwa itu. Adiknya, Cun-ongya, ternyata merupakan biang semua pemberontakan di balik layar. Mengadakan hubungan langsung dengan orang-orang kulit putih dan membagi-bagikan senjata untuk menyulut peperangan. Entah apa maksud adiknya i-tu dengan semua sepak terjangnya ini. A-pakah melulu ingin menumpuk kekayaan ataukah mungkin malah ingin merebut kekuasaan, lewat orang-orang macam Gak-taijin dan Lauwtaijin itu. Dan menarik napas dalam-dalam mengamati jenasah adiknya, mayat yang mulai membusuk dan cepat berbau maka sri baginda memerintahkan agar mayat itu segera dimakamkan. Bukan sebagai pengacau melainkan sebagai pahlawan. Aneh! Dan ketika Bu-goanswe terkejut dan mengerutkan keningnya, bertanya, maka sri baginda dingin menjawab.
"Dia adalah saudaraku, goanswe. Dan aku tak ingin rakyat mengetahui coreng ini. Istana dan kerabatnya adalah orang-orang terhormat. Kalau ada satu dua yang menyeleweng maka tak perlu semuanya harus dianggap kotor. Umumkan kepada rakyat bahwa kematian adikku atas kecurangan pemberontak. Jangan diumumkan bahwa dialah tokoh para pemberontak!"
"Dan Gak-taijin serta lain-lainnya itu?"
"Kubur mereka sebagai pemberontak, goanswe, dan pasang namanya sebagai pengkhianat!"
"Tapi mereka adalah tangan kanan a-dik paduka, seharusnya diperlakukan sama!"
"Kau tak perlu membantah, goanswe. Laksanakan perintahku dan tutup rahasia ini rapat-rapat!"
Sang jenderal tertegun. Aneh dan luar biasa bahwa Cun-ongya dimakamkan secara kenegaraan. Tokoh yang seharusnya dimaki dan dicerca ini malah mendapat penghormatan istimewa. Tapi ketika terdengar helaan napas di belakangnya dan Koktaijin muncul, sri baginda sudah masuk ke dalam dan muram wajahnya maka rekannya itu berbisik bahwa di dunia ini memang bisa terjadi hal yang macam-macam.
"Tak usah risau. Kita laksanakan perintah sri baginda, goanswe. Dan kerjakan saja apa yang seharusnya dikerjakan."
"Tapi aku penasaran"!"
"Aku juga. Tapi aku juga dapat menerima alasan sri baginda, goanswe. Ini demi nama baik istana. Siapapun tentu tak mengharap bahwa di tempat ini terjadi hal yang memalukan. Rakyat tahunya baik. Sri baginda dan kerabatnya adalah o-rang-orang turunan dewa!"
"Hm, aku mengerti. Baiklah, besok kita makamkan jenasah Cun-ongya dengan tembakan meriam!" dan gusar namun tak dapat melampiaskan kemarahannya, jenderal ini kalah oleh perintah junjungannya maka jenasah Cun-ongya dirawat baik-baik sementara mayat Gak-taijin ataupun Lauwtaijin diperlakukan seperti anjing. Tiga tubuh yang membujur di tempat itu dilempar ke dalam satu lubang. Gak-tal-jin maupun Lauwtaijin dan Thaitaijin hilang hak-haknya sebagai manusia biasa, yang punya dosa dan kelalaian. Dan ketika keesokannya Cun-ongya dimakamkan dengan segala kehormatan, dihargai dan dihormati sebagai kerabat istana yang a-gung maka Bu-goanswe cemberut sepanjang hari. Seminggu kemudian minta lagi berhenti namun tak dikabulkan. Kaisar melihat bahwa jenderal ini adalah seorang yang jujur dan dapat dipercaya. Dan karena di situ juga ada Koktaijin yang membujuk dan menghiburnya akhirnya untuk melepas kesal jenderal ini minta cuti.
"Hamba ingin beristirahat sebulan di Liang-san. Harap paduka mengijinkannya."
Kaisar mengijinkan. Tapi ketika jenderal itu berangkat dan meninggalkan kota raja, sendirian, tiba-tiba muncul Koktaijin mencegat di pintu gerbang.
"Akupun mendapat cuti. Mari kita berjalan bersama-sama. Aku juga ingin menenangkan dan membuang ingatan buruk itu, goanswe. Kita sama-sama menjadi saksi atas kejadian lucu yang tidak lucu!"
"Hm, aku tak mau bicara itu lagi. Aku ingin menemui dan bercakap-cakap dengan Fang Fang!"
"Aku juga. Ingin kutahu bagaimana keadaan pemuda itu sekarang. Apakah masih bertapa dan ingin benar-benar menjadi pendeta!"
"Menurutmu bagaimana?"
"Sulit kukatakan, goanswe. Tapi akhir-akhir ini wataknya mulai berobah."
"Ya, tapi kekasih-kekasihnya hamil semua. Aku khawatir bahwa sepuluh atau duapuluh tahun lagi pemuda itu menerima akibat perbuatannya. Jangan-jangan usahanya gagal!"
"Semoga tidak, goanswe. Mari kita lihat!" dan ketika dua orang itu bergerak dan melanjutkan langkahnya, pembicaraan mulai berkisar ke Fang Fang maka di sana pemuda itu duduk bersamadhi bagaikan arca. Tak bergeming dan tak bernapas seolah mati. Gurunya mula-mula terkejut melihat itu, maklumlah, tarikan napas keluar masuk tak ada. Tapi ketika denyut jantung masih berdetak dengan halus, nyaris tak kelihatan maka Dewa Mata Keranjang justeru kagum karena Fang Fang telah mampu manunggal dengan a-lam sekelilingnya yang hening namun justeru menyimpan kekuatan dahsyat. Seperti angin atau udara yang dapat diam sama sekali namun juga mampu bergerak sewaktu-waktu untuk menjadi topan yang mengerikan.
"Dia telah menyedot tenaga sakti bumi dan langit. Ah, Fang Fang mendapatkan Thian-te Sinkang (Sinkang Langit Bumi)?"
Mien Nio tertegun. Dia yang mengikuti suaminya untuk mencari tempat bertapa, di sekitar situ, memang melihat sesuatu yang ajaib pada diri murid suaminya itu. Fang Fang tak bergerak seperti patung namun ubun-ubun kepalanya mengeluarkan uap putih. Samar-samar kaki tangannya mengeluarkan uap putih pula dan jadilah pemuda itu mandi uap. Dan ketika perlahan-lahan tubuh pemuda itu terangkat naik, mengambang di permukaan tanah maka Mien Nio juga menjadi kagum dan membelalakkan mata.
"Hebat, muridmu ini luar biasa sekali, suamiku. Agaknya dia benar-benar dapat melanjutkan tapanya dan menjadi orang sakti!"
"Ya, dan aku sudah kalah segala-galanya, Mien Nio. Baik kepandaian maupun bercinta. Tiga pacarnya jadi semua, sementara aku masih juga goblok dan sia-sia!"
"Maksudmu?"
"Ha-ha, tidakkah kau ingat bahwa muridku ini mempunyai keturunan" Aku a-kan mempunyai cucu-cucu, Mien Nio. Dan muridku benar-benar ampuh sekali, jantan. Ha-ha, aku kalah tapi aku senang!"
"Hush..!" dan ketika Mien Nio menegur dan terbelalak merah, kakek itu terbahak maka Dewa Mata Keranjang sudah berkelebat dan duduk di batu yang lain, bersinar-sinar memandang muridnya itu dan Mien Niopun melotot. Tapi ketika sua minya memberi tanda dan minta agar ditemani, mereka akan bertapa dan member sihkan batin maka Dewa Mata Keranjang duduk dan bersamadhi.
"Ayolah, aku ingin kuat-kuatan dengan muridku. Siapa yang lebih lama bertapa!"
"Kau mau bertanding?"
"Ha-ha, tak ada salahnya, Mien Nio. Ayo ke mari dan duduk di sampingku!"
Wanita itu mengangguk. Bergerak dan memenuhi permintaan suaminya segera Mien Nio duduk bersebelahan. Suaminya menyenggol lengannya dan berkedip, isyarat matanya nakal tapi wanita itu tersenyum saja. Dan ketika Dewa Mata Keranjang memusatkan perhatian dan duduk bersila, tak menggoda isterinya lagi maka kakek itu mau mengadu kuat siapakah yang tahan dalam bertapa ini. Dia atau muridnya. Tapi karena di situ ada isterinya, sekali dua mereka juga sering bersenggolan maka seminggu tak bergeming tiba-tiba membuat kakek itu gelisah, panas dingin.
"Ah, aku tak kuat, Mien Nio. Bau tubuhmu membuat pikiranku kacau. Aku kalah!"
Mien Nio terkejut. Suaminya tiba-tiba mencium dan gagallah usaha tapa itu. Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak dan menyambar isterinya ini. Dan ketika Mien-Nio membuka mata dan kaget, dia memang hanya menemani saja maka suaminya itu berkelebat dan turun gunung.
"Ha-ha, aku lagi-lagi kalah, Mien Nio. Biarlah muridku meneruskan tapanya dan kita bersenang-senang!"
"Ih, maksudmu?"
"Eh, apakah kau tak rindu" Uwah, aku sudah kangen, Mien Nio. Aku tak kuat. Hayo berikan aku kesempatan bercinta dan kita bercumbu seperti burung-burung yang berkicau itu, ha-ha!"
Mien Nio tersenyum. Dia membiarkan saja suaminya menciumi dan terbang ke bawah gunung. Diam-diam dia juga tergetar dan mengharapkan kesenangan itu. Sebenarnya dia hanya pura-pura saja bertapa seperti suaminya, sering melirik dan memandang suaminya. Dan karena pandang an wanita memang tajam dan penuh "strom", Dewa Mata Keranjang rupanya terkena dan roboh maka kakek itu tak mampu melanjutkan samadhinya tergoda panah asmara. Mereka terbang dan tertawa-tawa, Mien Nio memeluk dan balas menciumi suaminya ini. Sudah terbayang di benak mereka bahwa sebentar lagi mereka akan melepas rindu dan berahi, menikmati manis dan indahnya cinta. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang menurunkan isterinya dan siap mencari tempat persembunyian yang baik, karena betapapun Mie Nio tentu tak mau di tempat terbuka men dadak muncul Koktaijin dan Bu-goanswe.
"Haii..!" seruan itu membuat suami isteri ini tertegun. "Mau ke mana. Dewa Mata Keranjang. Dan ada apa mencari tempat sesepi ini. Mana murid kalian Fang Fang!"
Kakek itu menyeringai. Melihat Bu-goanswe dan Koktaijin tiba-tiba muncul di situ, "mengganggu acara" tiba-tiba kakek ini mendongkol juga. Segera dia melepas isterinya dan tak jadi mencium, tertawa tapi dimakinya dua tamunya itu kenapa datang ke situ. Dan ketika Bu-goanswe menjelaskan bahwa dia ingin membuang waktu, melepas cutinya dengan alari keindahan Liang-san maka diam-diam kakek ini melirik isterinya dan tertawa Kecut.
"Sial," bisiknya. "Kita diganggun. Mien Nio. Tapi aku tak dapat menolak mereka. Dapatkah kau mengusirnya?"
"Hush," sang isteri menjawab, balas berbisik. "Memangnya siapa mereka ini, suamiku" Bu-goanswe adalah orang yang menjadi saksi atas sumpahmu. Bahwa kau tak akan mengambil isteri lagi. Sambut mereka dan biar acara kita nanti malam saja. Aku menyiapkan hidangan!"
"Wah, kau tak jadi memberi?"
"Di hadapan mereka ini" Terlalu, jangan macam-macam, suamiku. Hayo sambut mereka dan jangan bertanya-tanya lagi. Lihat, mereka curiga kepada kita, terbelalak. Kalau kau memaksa tentu aku tak mau!" dan ketika Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak dan memandang mendongkol, kesenangannya diganggu maka Bu-goanswe bertanya apa yang mereka katakan itu, apa bisik-bisik itu.
"Ha-ha, isteriku mau menyiapkan hidangan. Tadinya khusus untukku tapi sekarang beralih kepada kalian. Sial, kalian mengganggu, goanswe. Tapi tak apa, aku senang!" dan ketika Mien Nio melengos dan tersipu jengah, suaminya itu melepas kata-kata yang mengandung arti maka Koktaijin tertawa membungkuk hormat.
"Maaf, kami tak menyangka bahwa kedatangan kami mengganggu, Dewa Mata Keranjang. Kalau tahu begitu tentu kedatangan kami diundur, biar isterimu selesai memberi hidangan dulu!"
"Ha-ha, hidangan apa" Memangnya Dewa Mata Keranjang ini doyan makan" Dia lebih suka wajah-wajah cantik, taijin. Barangkali Mien-hujin (nyonya Mien) hendak mengikatnya di suatu tempat agar tidak keluyuran ke mana-mana lagi. Kalau begitu, tentu aku juga akan mencocok hidungnya seperti kerbau!"
"Sst, bukan begitu," sang rekan memainkan biji matanya, Bu-goanswe tak mengerti. "Mereka hendak memadu cinta, goanswe. Tentu ingin melepas ketegangan setelah berbulan-bulan melacak Gak-taijin. Hayo, kita ke puncak saja dan mencari Fang Fang!" dan ketika Bu-goanswe tertegun dan mengerti, terbelalak, maka tiba-tiba jenderal itu berkelebat dan menuju puncak, tertawa bergelak.
"Ah, begitukah, Dewa Mata Keranjang" Aduh, maaf. Aku memang tolol. Haha!" dan ketika dua orang itu berkelebat ke puncak, Bu-goanswe mengerti apa yang dimaksud Koktaijin maka Dewa Mata Keranjang terkekeh gembira mendapat kesempatan lagi. Dia sudah menyambar isterinya dan Mien Nio terkejut, dibawa dan diciumi di tempat lain. Dan karena Dewa Mata Keranjang memang kakek bergairah muda, semangatnya tak pernah padam untuk urusan wanita maka begitu Bu-goanswe ke puncak iapun sibuk sendiri melanjutkan hasratnya semula, tak mau menunggu nanti malam karena sudah tak tahan. Betapapun tempat itu adalah wilayahnya, dia tuan rumah. Dan ketika Bu-goanswe ke puncak mencari Fang Fang, yang tentu saja gagal, Fang Fang bersamadhi bagai arca maka dua orang tamu ini mengagumi sikap dan cahaya yang memancar dari tubuh pemuda itu. Bu-goanswe tak menghiraukan lagi Dewa Mata Keranjang yang sibuk dengan kekasihnya. Baik dia tiaupun Koktaijin sama-sama terkejut melihat tapa yang khusuk dari pemuda ini. tapa yang memancarkan cahaya batin dan pemuda itu mulai mengambang. Bagai dewa! Dan ketika dua orang itu kagum dan tentu saja tak berani mengganggu, Fang Fang yang dulu sudah lain dengan Fang Fang yang sekarang maka dua orang itu menghela napas dan Bu-goanswe tiba-tiba duduk pula bersila di tempat itu.
"Luar biasa, pancaran batinnya hebat sekali, taijin. Fang Fang yang ini rupanya sudah bukan Fang Fang yang dulu. Playboy dari Nanking ini sudah berubah!"
"Benar, dan dia memiliki kelebihan daripada gurunya, goanswe. Fang Fang telah mampu mengendalikan nafsu berahinya!"
"Ah, aku jadi ingin berkhusuk seperti dia. Biar kubersihkan batinku pula!" dan ketika jenderal itu duduk dan memejamkan mata, keheningan dan kedamaian tempat itu ikut menunjang maka jenderal ini ingin menghabiskan cutinya dengan bersamadhi. Kok-taijinpun mengikuti dan segera dua orang itu bersila. Masing-masing ingin mendapatkan kedamaian setelah diguncang oleh persoalan yang benar-benar di luar dugaan. Dan ketika mereka sama-sama memejamkan mata maka mulailah dua pembesar ini menarik perhatian mereka dari alam duniawi. Mereka ingin menyatu dengan yang lebih agung dan lenyaplah kerut-merut di wajah keduanya, terutama Bu-goanswe. Dan begitu mereka khusuk bersamadhi maka tak ada lagi yang dapat mengganggu.
Pembaca yang budiman, dengan selesainya cerita ini berakhirlah sudah kisah si Plavboy Dari Nanking itu. Fang Fang telah bertapa dan mencoba merobah tindak-tanduknya. Pancaran cahaya batin telah memancar dari tubuhnya. Apakah pemuda itu benar-benar kelak akan menjadi pertapa" Mampukah dia melepaskan diri dari Ceng Ceng maupun Ming Ming atau Eng Eng" Fang Fang boleh saja melepaskan diri dari ketiga gadis cantik itu. Tapi karena Eng Eng dan lain-lainnya itu telah mengandung atas hasil perbuatan Fang Fang maka tak akan semudah itu pemuda ini membebaskan diri. Urusan dunia akan menyeretnya kembali nanti. Selama manusia masih hidup maka tak mungkin sepenuhnya membebaskan diri. Dan karena tiga gadis itu akan mencarinya lagi, mereka menaruh sakit hati dan kemarahan besar mereka. Anda akan dapat mengikuti lagi lanjutan kisah ini. Eng Eng dan lain-lainnya itu akan muncul lagi dalam kisah baru, bersama anak-anak mereka. Dan karena kisah ini memang akan disambung lagi maka mudah-mudahan kita dapat bertemu dalam kisah itu: PLAYGIRL DARI PAKKING. Anda akan penulis ajak berjumpa lagi dengan tokoh-tokoh kisah ini. Ada beberapa lagi yang memang harus diselesaikan, seperti Sylvia dan lain-lainnya itu. Dan karena kisah itu sendiri masih akan merupakan kisah yang panjang, kita akan bertemu lagi dengan gadis kulit putih ini dan teman-temannya biarlah, kita bertemu lagi dalam kisah yang baru itu.
Sebagai cerita hiburan ringan penulis harap mudah-mudahan ada manfaatnya bagi pembaca. Tapi karena sebagai manusia biasa penulis tentu juga memiliki kekurangan di sana-sini, yang mungkin tidak memuaskan Anda biarlah penulis mohon maaf. Mudah-mudahan kita bertemu dalam kisah yang lebih menyenangkan. Penulis akan coba untuk menyajikan sesuatu lagi yang lebih segar. Semoga.
Salam hangat untuk pembaca di manapun Anda berada!
T A M A T Solo, 01-02-1989
Dewi Ular 5 Renjana Pendekar Karya Khulung Anak Berandalan 1
^