Pencarian

Playboy Dari Nanking 4

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 4


"Keparat, tahan napas. Hangatkan tubuh!"
Dewa Mata Keranjang kagum. Sebelas kekasihnya ini tiba-tiba menahan napas dan mengerahkan sinkang menghangatkan tubuh. Mereka membentak dan berkelebatan menyerang dirinya, mengelak pukulan-pukulan dinginnya dan membalas atau menyelinap di antara Im-bian-kunnya itu, hal yang dapat dilakukan karena mereka berjumlah sebelas, tidak seorang diri di mana lm-bian-kunnya otomatis harus dipecah, jadi satu lawan sebelas dan tentu saja Im-bian-kun yang tidak sepenuh tenaga ini dapat dihadapi mereka. Dan ketika mereka berhasil menghangatkan tubuh dan hawa dingin lm-bian-kun tak berhasil membekukan mereka maka kakek itu tertawa bergelak memuji lawan, hal yang aneh.
"Bagus, kalian cerdik, Lin Lin. Tapi kalian tak dapat merobohkan aku!"
"Jangan besar mulut!" nenek Lin Lin membentak. "Kalau kami tak dapat merobohkanmu biarlah kami mati, Cing Bhok. Dan kami akan mempergunakan segala akal dan daya untuk membunuhmu, sebelum kami sendiri mampus!"
"Ah, kalian jangan terlalu keras. Kalian semua adalah kekasihku, orang-orang yang kucinta. Masa kalian demikian kejam dan tidak mengingat kenangan manis kita" Eitt" sabar, Lin Lin. Dan May-may juga" dess!" si kakek mencelat, terbawa oleh Sin-bian Cin-kangnya dan dua nenek itu kagum. Tadi mereka menyerang dan si Dewa Mata Keranjang tak dapat mengelak, karena sembilan teman mereka yang lain menghantam dan melepas pukulan dari kiri dan kanan, juga belakang. Tapi begitu si kakek mencelat dan berjungkir balik oleh Ilmu Kapasnya yang luar biasa maka Im-bian-kun sedikit mengendor dan mereka menerjang la;:.;.
"Pecah perhatiannya. Serang muridnya yang pingsan itu!"
Si kakek terkejut. Tiba-tiba nenek berpayudara besar, Bhi Cu, berteriak memperingatkan teman-temannya. Nenek itu sudah berseru lantang agar Fang Fang yang menggeletak di tanah diserang, dibunuh. Dan ketika nenek Bi Giok mengangguk dan tertawa kejam, karena dia yang kebetulan paling dekat dengan pemuda itu tiba-tiba nenek ini sudah berkelebat dan membacok leher Fang Fang, dengan Kiam-ciang atau Tangan Pedangnya itu!
"Kau benar," nenek ini berseru. "Membunuh pemuda ini sama halnya melenyapkan calon mata keranjang yang baru, Bhi Cu. Biarlah kubunuh dia dan kalian tahan si tua bangka itu" singg!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Kakek itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan yang menggetarkan isi bukit, dahsyat mengaum bagai singa lapar. Dan ketika sepuluh lawannya menjerit karena mereka tiba-tiba terpeleset mendadak kakek itu sudah melepas pukulan Awan Putih atau Pek-in-kang ke punggung Bi Giok.
"Enyah kau" dess!" nenek Bi Giok terlempar, jauh terbanting dan menjerit disana, muntah darah dan terguling-guling. Dan ketika nenek itu mengeluarkan keluhan kecil dan tidak bergerak, entah mati atau pingsan maka saudaranya, nenek Bi Hwa melengking penuh kemarahan.
"Keparat, kau membunuhnya, Cing Bhok" Kau menurunkan tangan kejam kepada adikku" Jahanam terkutuk, kau bunuh aku sekalian atau aku yang akan membunuhmu!" dan si nenek yang kalap dan marah berteriak keras tiba-tiba menubruk dan menghantamkan Tangan Pedangnya, yang lain-lain tertegun sejenak tapi nenek kedelapan, Ai Ping, tiba-tiba berkelebat ke arah Fang Fang, coba mengulangi kegagalan Bi Giok untuk membunuh pemuda itu. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang lagi-lagi mengeluarkan geraman menggetarkan dan Pek-in-kang menyambar nenek itu maka nenek ini menjerit dan roboh muntah darah pula, membuat nenek-nenek yang lain gentar!
"Siapa pun tak boleh membunuh muridku. Enyah" dess!" nenek itu melayang bagai layang-layang putus, terbanting dan berdebuk di sana dan tak bergerak pula seperti nenek Bi Giok. Yang lain pucat dan ngeri. Ternyata Dewa Mata Keranjang kalau marah sungguh mengecutkan, otomatis mereka menjadi gentar dan mundur. Dan ketika pukulan nenek Bi Hwa dikelit mudah dan Dewa Mata Keranjang berkelebat dan mendorong dua orang yang ada di depan tiba-tiba kakek itu sudah menyambar muridnya dan terbang turun gunung.
"Aku tak mau bermusuhan dengan kalian. Biarlah aku pergi dan kalian jangan cari aku!"
"Keparat!" nenek Lin Lin tiba-tiba sadar lebih dulu. "Kau belum membayar hutangmu kepada kami, Cing Bhok. Kalau kau melindungi muridmu itu biarlah kauserahkan dulu nyawamu kepadaku!"
"Tak usah sombong. Kalian bersebelas tak akan dapat mengalahkan aku, Lin Lin. Kalau aku kejam tentu kalian sudah roboh semua!"
"Tapi kau membunuh Bi Giok!" nenek Bi Hwa tiba-tiba menjerit. "Jangan kau lari, Cing Bhok. Bunuh aku sekalian agar genap kekejaman dirimu?"
"Aku tak membunuh adikmu!" kakek itu berseru. "Bi Giok hanya pingsan saja, Bi Hwa. Lihat dan periksa dia. Paling-paling hanya tergetar sedikit!"
"Dan kau membunuh Ai Ping!" nenek Bhi Cu berseru. "Siapa bilang kau tidak kejam terhadap kami?"
"Sudahlah, Ai Ping pun tak kubunuh, Bhi Cu. Dia hanya pingsan seperti Bi Giok. Kalian jangan kejar aku dan selamat tinggal" wut!" si kakek mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa, lenyap dan tahu-tahu sudah jauh di bawah gunung. Lalu ketika kakek itu membelok dan menghilang di bawah sana maka lawan-lawannya tertegun dan terbelalak.
"Kejar! Kejar jahanam itu! Jangan biarkan Cing Bhok lolos membawa muridnya!"
"Benar, muridnya itu calon mata keranjang yang akan menggantikan gurunya, Bwee Kiok. Kejar dan tangkap dia sampai dapat!"
Namun bagaimana sebelas wanita ini menangkap si Dewa Mata Keranjang" Tadi dikeroyok sebelaspun kakek itu dapat meloloskan diri, apalagi sekarang, setelah dia menghilang dan turun gunung. Maka ketika mereka berteriak-teriak sementara bayangan kakek itu sudah lenyap entah ke mana maka Dewa Mata Keranjang tak dapat ditangkap karena bayangannya sudah tidak kelihatan! Kakek itu sudah jauh meninggalkan gunung dan tak mungkin sebelas nenek itu mengejarnya. Dewa Mata Keranjang mengeluarkan Sin-bian Cin-kangnya dan terbanglah kakek itu seperti siluman. Pohon-pohon berkelebatan di belakangnya saking cepatnya kakek itu lari, tak ada orang yang sanggup mengejar. Dan ketika Bwee Kiok dan lain-lain menangis dan membanting-banting kaki di sana maka kakek ini sudah meluncur di balik bukit dan lenyap seperti siluman!
0o0-dw-o0o "Aduh, jangan keras-keras. Mati aku!" Fang Fang menggeliat dan merintih ketika suhunya menekan jalan darah di belakang punggung. Sekarang Dewa Mata Keranjang Cing Bhok sudah meletakkan muridnya di sebuah guha, dua hari dua malam menjauhkan diri dari kejaran sebelas kekasihnya. Di sepanjang jalan kakek ini telah berusaha mengobati muridnya namun pukulan Bwee Kiok terlampau berat, hampir dia gagal dan dua hari itu Fang Fang masih tak sadarkan diri. Maka ketika hari ketiga muridnya itu mengeluh dan langsung membuka mata, terkejut dan girang tapi juga kesakitan melihat gurunya maka kakek ini lega dan mata pun segera bersinar-sinar.
"Bagus, tahan sekali lagi, Fang Fang. Aku harus menghentikan bekas luka di jalan darah yang mengalir ke jantung. Bwe Kiok sungguh terlalu, membuatmu hampir saja mampus. Tahan, dan gigir bibirmu kuat-kuat!"
Fang Fang tersentak. Gurunya tiba-tiba menekan jalan darah yang dimaksud, membuat dia menjerit namun cepat digigitnya bibir kuat-kuat. Dan ketika rasa sakit luar biasa dapat ditahan dan sembilan jalan darah ditotok kakek itu maka terakhir Fang Fang mengeluh dan mengaduh.
"Selesai, telan obat ini!"
Fang Fang menerima. Tujuh butir o-bat diterimanya sekaligus, disuruh telan dan diapun menelan. Dan ketika rasa sakit perlahan-lahan berkurang dan pungung yang nyeri hilang pengaruhnya maka pemuda ini bangkit duduk dan mendesis.
"Luar biasa, teecu hampir saja mampus!"
"Ya, dan untung sinkang di tubuhmu kuat, Fang Fang. Bokongan nenek itu sungguh terlalu dan kejam. Kau hampir saja binasa!"
"Dan mana dia sekarang?" Fang Fang teringat. "Dan Ceng Ceng?" katanya khawatir. "Mana gadis itu, suhu" Di mana dia?"
"Hm, sementara ini tak usah pikirkan dia lagi, Fang Fang. Ceng Ceng pingsan ketika gurunya hendak membunuhmu. Dan Bwee Kiok, hmm" mereka semua datang mengeroyok!"
"Maksud suhu?" Fang Fang tertegun. "Mereka siapa" Siapa semua itu?"
"Bhi Cu dan lain-lain, A-fang. Semua kekasih-kekasihku itul"
"Hah" Jadi suhu?"
"Mereka datang dan mengeroyok. Dan aku terpaksa merobohkan dua di antara mereka!" kakek ini lalu bercerita, didengar muridnya dan Fang Fang pun terbelalak. Dan ketika ceritanya selesai dan kakek itu menarik napas tapi tersenyum bangga, aneh!, maka Dewa Mata Keranjang menutup, "Lihat, mereka marah-marah karena tak mau aku membagi cinta. Tapi karena aku adalah lelaki dan sebagai lelaki aku bebas menemukan pilihan maka mereka tak dapat berbuat apa-apa dan akhirnya marah-marah. Ha-ha, itu tanda cinta mereka terhadap gurumu, Fang Fang. Kalau mereka tak cinta dan ingin menghendaki aku sebagai milik mereka seorang maka mereka tak akan marah-marah dan mengeroyok aku!"
"Dan suhu melukai nenek Bi Giok atau Ai Ping!"
"Hm, terpaksa, Fang Fang. Aku tak akan membiarkan mereka membunuhmu!"
"Berarti suhu lebih memberatkan teecu daripada mereka!"
"Tentu! Mana mungkin guru membiarkan muridnya dibunuh, A-fang" Kalau mereka mau membunuhmu maka aku tentu saja harus mencegah. Kau kudidik dan kubesarkan bukan sehari dua hari!"
Fang Fang tiba-tiba terharu. Dia melihat sinar mata gurunya yang berkilat marah ketika membicarakan itu. Gurunya lebih mencinta dia daripada sebelas kekasihnya, satu perasaan cinta seorang tua kepada anak, atau guru terhadap murid. Dan ketika Fang Fang menjatuhkan diri berlutut dan gemetar mengucap terima kasih maka gurunya tiba-tiba tertegun dan tertawa bergelak.
"Hei, apa yang kaulakukan ini" Kau berterima kasih" Ha-ha, aku gurumu, Fang Fang. Dan kau muridku. Sudah sepantasnya aku melindungimu dan tidak membiarkan kau dibunuh mereka. Bangunlah, dan jangan menangis!"
Fang Fang terisak. "Suhu, bagaimana tidak menangis kalau kecintaanmu demikian besar melebihi kecintaanmu terhadap sebelas kekasihmu itu" Bukankah seharusnya tak perlu kau bermusuhan dengan mereka hanya karena membela murid?"
"Hm-hm, kau salah! Mereka memusuhiku bukan karena dirimu, Fang Fang, melainkan karena kisah-kasihku yang kujalin sejak belasan tahun yang lalu. Kau hanya tersangkut belakangan saja, bukan karena itu! Tidak, bangunlah, A-fang. Jangan merasa terlalu bersalah karena justeru akulah vang menjadi biang dari semuanya ini. Kalau mereka tidak pernah menjalin cinta denganku dan kupilih seorang di antaranya saja tentu tak akan ada yang marah-marah dan mengamuk seperti itu!"
"Dan suhu melayani mereka semua!"
"Ha-ha, siapa dapat menolak" Di masa mudanya mereka cantik-cantik, A-fang. Dan sebagai lelaki terus terang saja aku tertarik. Mereka itu membuatku jatuh cinta, dan mereka pun akhirnya menerima cintaku. Masa harus dilewatkan begitu saja seperti orang membuang angin" Ah, tidak, Fang Fang. Rejeki besar tak boleh ditampik dan aku sengaja menerima semuanya. Itu satu kenikmatan besar!"
Fang Fang tersenyum geli. Memang akhirnya dia tahu bahwa suhunya ini seorang yang romantis, siapapun rasanya akan diterima asal dia cantik, tak perduli gadis atau janda, seperti nenek-nenek yang sudah diketahuinya itu. Dan ketika Fang Fang tertawa dan gurunyapun terbahak maka pemuda ini bangkit berdiri namun tiba-tiba mau jatuh.
"Eh, kau belum sembuh betul. Jangan terpengaruh oleh perasaan berlebihan!"
Fang Fang mengangguk. "Betul, lukaku belum semuanya pulih, suhu. Aku masih merasa sedikit gigitan rasa sakit ketika berdiri tadi."
"Kau harus bersila, memulihkan tenaga. Mari, kubantu kau dan setelah itu kita pergi!"
"Suhu mau mengajakku ke mana" Tidak kembali lagi ke gunung?"
"Wah-wah, kau mau menyuruh gurumu didatangi mereka-mereka itu" Ha-ha, tidak. Kita tidak kembali ke gunung, Fang Fang. Bukan takut melainkan sengaja menjauhi permusuhan. Kalau setahun dua tahun lagi kemarahan mereka sudah reda maka tak apa kembali ke tempat asal. Sementara ini kita pergi jauh, jangan sampai dicari mereka!"
"Suhu mau ke mana?"
"Hm, aku hendak menjumpai sahabatku, ke Nanking!"
"Nanking?"
"Ya, aku mempunyai kenalan baik di sana, A-fang. Dan sudah lama aku tidak bertemu. Hm! Aku tiba-tiba rindu kepadanya!"
"Seorang wanita?"
"Ha-ha, kenapa berpikiran begitu?"
"Hm," Fang Fang semburat. "Kau senang dengan wanita, suhu. Dan sahabatmu pasti wanita pula, dan cantik!"
"Kali ini kau salah!" sang suhu tertawa terbahak. "Bukan wanita melainkan, pria, A-fang. Tepatnya pangeran Cun. Dia sahabatku yang tinggal di istana!"
"Di istana?"
"Ya. Eh, kenapa omong melulu" Hayo, bersila, bocah. Dan kubantu kau untuk memulihkan luka dengan cepat!" Dewa Mata Keranjang mendorong, membuat Fang Fang jatuh terduduk dan tertawalah pemuda itu ketika tebakannya salah. Tak dinyana kalau suhunya mempunyai kenalan seorang pria, laki-laki. Dan bahwa sahabat gurunya itu justeru seorang pangeran maka Fang Fang menjadi kagum dan bersinar-sinar, sayang tak boleh melantur pikirannya karena dia harus segera memusatkan konsentrasi. Gurunya telah membantu di belakang dan lengan gurunya sudah menempel di pundak. Dan ketika gurunya berkata bahwa dia harus mengatur dan mengalirkan sinkangnya maka sinkang gurunya mulai meresap dan masuk.
"Jangan ke mana-mana, pusatkan seluruh perhatian pada pemulihan diri ini."
Fang Fang mengangguk. Akhirnya dia menyadari pentingnya penyembuhan itu, sudah memejamkan mata dan tak lama kemudian pemuda inipun sudah mengikuti petunjuk gurunya. Dan ketika sinkang mulai bergerak-gerak dan naik turun di seluruh tubuh akhirnya hawa hangat mencairkan yang dingin untuk memperlancar jalannya darah. Dua jam Fang Fang bersila dan akhirnya gurunyapun menarik tangannya, berkata cukup. Dan ketika Fang Fang merasa segar dan luka benar-benar dirasa sembuh maka pemuda ini meloncat bangun dan berseru,
"Wah, hebat. Lukaku sudah benar-benar sembuh!"
"Tapi kau tak boleh bertempur. Sehari dua hari ini tak boleh ada pengeluaran tenaga berlebihan, Fang Fang. Kau harus benar-benar menjaga dirimu dan tidak melanggar!"
"Aku tahu," si pemuda mengangguk. "Tapi aku akan mempercepat proses penyembuhan ini dengan olah raga, suhu. Mari kita terbang dan berlomba ke Nanking!"
"Kau siap?"
"Siap!"
"Baik, kalau begitu mari!" dan sang guru yang tertawa berkelebat ke depan tiba-tiba lenyap dan sudah mengajak muridnya berolah-raga, mengeluarkan keringat dan Fang Fang pun tertawa. Pemuda itu merasa segar setelah gurunya mem bantu mengalirkan sinkang. Penyembuhan sudah ada tinggal menjaga dirinya agar sehari dua ini tidak bertempur, karena hal itu dapat membahayakan. Dan ketika guru dan murid sudah sama-sama mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak karena sang murid sudah berendeng di sebelahnya maka kakek ini berseru menambah kecepatan.
"Hayo, susul gurumu!"
Fang Fang tersenyum. Gurunya berkelebat jauh di depan dan sekali bergerak sudah mencapai sepuluh meter! Bukan main. Kakek ini mengajak muridnya berlomba dan tertawalah Fang Fang ditantang gurunya itu. Dan karena gurunya mempergunakan Sin-bian Ginkang dan ilmu itu memang merupakan ilmu meringankan tubuh yang paling hebat maka diapun bergerak dan sudah mengerahkan Sin-bian Gin kangnya.
"Slap!"
Fang Fang menyusul, juga sepuluh meter dan sudah berendeng kembali dengan gurunya itu. Dewa Mata Keranjang terbahak gembira dan menambah kecepatannya lagi, duapuluh meter sekali ayun. Namun ketika sang murid dapat mengikuti dan Fang Fang tetap mendampingi gurunya maka kakek itu terbahak-bahak menambah kecepatannya, tigapuluh meter". empatpuluh meter". dan ketika sekali ayunan kaki sudah mencapai seratus meter maka keduanya bukan lagi berlari cepat melainkan terbang seperti iblis!
"Ha-ha, bagus, Fang Fang. Bagus! Kau sudah mencapai tingkat sempurna dalam ilmu meringankan tubuhmu ini" slap-slap! Guru dan murid sudah tak dapat diikuti bayangannya lagi. Mereka sudah tidak bergerak seperti manusia biasa melainkan seperti siluman, cepat dan luar biasa dan tahu-tahu sudah jauh di depan, hanya merupakan titik kecil yang tak dapat dilihat lagi. Dan karena mereka sama-sama mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang paling hebat dan hanya orang-orang yang memiliki kesaktian luar biasa saja yang dapat melakukan itu maka Nanking, kota di selatan yang jaraknya ribuan li tahu-tahu sudah dirambah hanya dengan perjalanan setengah hari saja.
"Kita memasuki kota. Perlahan dan perjambat larimu!"
Fang Fang mengangguk. Memang dia sudah melihat adanya pintu gerbang tembok kota, memperlambat larinya namun tetap saja lari yang dikurangi ini luar biasa. Gurunya bergerak dan tahu-tahu sudah menyelinap memasuki pintu gerbang, yang dijaga empat pengawal di kiri kanan gerbang. Dan ketika Fang Fang menyusul dan empat pengawal itu berteriak kaget karena mereka melihat dua bayangan cepat yang tahu-tahu hilang dan tidak diketahui siapa maka empat pengawal itu melongo dan mengira bertemu setan.
"Iblis, apakah yang kulihat tadi" Hantukah?"
"Benar, aku serasa didatangi siluman atau hantu, Gok-twako. Dan mereka lenyap dan hilang di dalam!"
"Serasa menembus tembok!" pengawal pertama berseru. "Roh yang gentayangan-kah" Ah, cepat pasang lilin, teman-teman. Kita usir roh jahat dengan sembahyang!"
Empat pengawal ribut-ribut. Fang Fang di sana tertawa dan geli sendiri, gurunya sudah masuk dan diapun mengikuti. Memang bayangan mereka tak mungkin dapat diikuti, apalagi oleh para pengawal seperti penjaga-penjaga pintu gerbang i-tu. Dan ketika mereka bergerak dan terus memasuki istana, tempat tinggal yang luar biasa mewah maka Fang Fang mulai ternganga dan takjub melihat bangunan gedung-gedung yang tinggi serta indah.
"Ah, inikah istana itu, suhu" Mewah dan demikian indahnya dengan taman-taman yang luas?"
"Ha-ha, benar, Fang Fang. Dan tak heran kalau kau melongo dan ah-oh begini. Hayo masuk, kita cari gedung Cun-ong-ya (pangeran Cun)!" gurunya sudah berkelebat, tadi menggapai ke belakang dan Fang Fang hampir saja tertinggal. Sebenarnya sejak memasuki kota Fang Fang sudah dibuat kagum. Rumah-rumah besar di kiri kanan jalan yang tadi dilewati sung guh luar biasa baginya. Fang Fang selama ini hanya melihat rumah-rumah kecil dan sederhana di gunung, jadi tak aneh kalau dia merasa takjub dan kagum akan gedung hartawan yang indah dan besar. Dan ketika semuanya itu masih tak menang dengan kompleks istana yang luas lagi mewah maka pemuda ini takjub akan indahnya taman-taman bunga yang diatur resik dan rapi, dari jauh harum bunganya sudah menyengat hidung!
"Hebat, luar biasa sekali. Taman ini tak kurang dari sehektar!"
"Ha-ha, anak gunung!" gurunya tertawa bergelak. "Jangan menghitung luasnya, bocah. Tapi lihat keindahan dan keasriannya!"
"Ya-ya, itu juga, suhu. Aku takjub dan kagum. Ah, berhenti sebentar. Aku mau menikmati bunga berwarna-warni ini" Fang Fang berhenti, kagum memandang taman luas yang terisi bunga bermacam-macam. Ada anggrek ada angelia, ada kaktus dan bunga matahari. Dan karena kebetulan semua bunga itu sedang berkembang dan mekar berwarna-warni maka keindahan luar biasa itu terpampang mentakjubkan pemuda ini.
"Hei..!" sang guru berseru. "Jangan berhenti, A-fang. Kita terus!"
"Ah-ah, nanti dulu!" sang murid terlanjur takjub. "Aku mengagumi taman luas ini, suhu. Jangan terburu-buru dan tung gu sebentar!"
"Kau minta kujewer?"
"Ah, tidak. Atau suhu silahkan mencari pangeran Cun dan aku di sini dulu!"
"Heh?"
"Benar. Aku takjub dan tak habisnya mengagumi keindahan ini, suhu. Biarkan aku sebentar dan silahkan suhu mencari Cun-ongya. Maaf, aku tak ingin diganggu!" Fang Fang sudah mendesis, menyuruh gurunya pergi dan sang guru tentu saja melotot. Mana ada murid bicara seperti itu kalau bukan murid si Dewa Mata Keranjang" Dan karena kakek ini seorang aneh yang tidak banyak terikat peradatan maka kakek itu terbahak dan menjewer telinga muridnya.
"Ha-ha, baik, bocah. Kau tunggu di sini dan biar aku mencari Cun-ongya!"
Fang Fang meringis. Dia sudah ditinggal gurunya setelah dijewer sejenak, tidak sakit karena sang guru hanya sekedar melepas gemasnya saja. Fang Fang tertawa dan gurunyapun tertawa. Dan ketika kakek itu berkelebat dan pergi meninggalkan muridnya seraya berseru agar sang murid tetap di situ maka Fang Fang berputar-putar dan mulai takjub akan bunga-bunga di sekelilingnya.
Baru selama ini dia memasuki istana, dan baru selama ini pula melihat kompleks taman bunganya yang luas dan indah. Bunga warna-warni yang ditata apik dan serasi sungguh menunjukkan suasana taman yang memiliki seni tinggi. Fang Fang takjub akan itu. Dan ketika dia melangkah ke sana ke mari dan berkali-kali mulutnya mendecak kagum maka terngangalah pemuda ini melihat patung-patung pualam yang menghiasai pinggiran taman. Ada sebuah patung yang dibuat dengan model jongkok, ada pula yang berdiri dan kecil tidak rata tapi pahatannya jelas buatan seorang ahli. Dan ketika Fang Fang mendengar kecipak air dan sebuah kolam ikan mas tampak di tengah taman tiba-tiba pemuda ini tertegun dan sudah berdiri di situ.
"Ah, patung bidadari yang luar biasa cantiknya!" Fang Fang ternganga akan sebuah patung di tepi kolam, berdiri mengamatinya dan patung itu tidak berkedip. Eh, patung memang tak mungkin berkedip! Dan ketika Fang Fang mendekat dan takjub akan patung ini maka pemuda itu tersentak ketika mata patung ini berkejap!
"Jagad Dewa Batara!" pemuda ini berseru. "Ahli patung di istana mampu membuat patung yang bisa berkejap" Ah-ah, luar biasa cantiknya kau, patung indah. Luar biasa molek dan mengagumkan hatiku!" Fang Fang terbuka mulutnya, kaget ternganga bengong karena "patung" itu bisa berkejap. Di antara segala patung yang ada di situ maka patung ini adalah patung yang memikat hati Fang Fang. Patung ini tampak hidup dengan pakaian putihnya yang bersih, berikat pinggang merah dan renda-renda emas di pinggiran bajunya sungguh bukan barang murah. Fang Fang pernah mendengar bahwa renda-renda emas begitu harganya sekian tail emas. Hanya kaum bangsawan atau hartawan kaya-raya yang mampu menyulam pinggiran bajunya dengan benang emas seperti itu. Dan ketika pemuda ini takjub dan bengong akan patung yang dililit pakaian indah maka pemuda itu tersentak kembali ketika patung ini bisa bicara.
"Kau siapa" Bagaimana berani memasuki taman istana?"
Fang Fang mencelat mundur. Dia kaget bukan main dan berseru tertahan, melihat mulut patung terbuka tapi akhirnya menutup kembali. Bola mata patung kembali bergerak-gerak dan heran serta ngerilah dia akan kenyataan ini. Fang Fang mengira bertemu patung siluman, atau patung keramat yang diisi "roh" oleh ahli patung yang mumpuni. Maka begitu patung bidadari ini bicara padanya dan bertanya dia siapa tiba-tiba Fang Fang seakan menghadapi malaikat atau patung sakti!
"Maaf, aku" eh. Aku A-fang, patung ajaib. Fang Fang. Namaku Fang Fang dan aku ke sini atas ajakan guruku, Dewa Mata Keranjang!"
"Hm, Dewa Mata Keranjang?" Fang Fang kembali ternganga-nganga, melihat patung bisa bicara. "Kau muridnya?"
"Beb" betul. Kau siapakah, patung dewi" Lancangkah aku bertemu denganmu?"
"Hm, kau lancang. Dan harus dihukum! Pengawal, tangkap pemuda ini!"
Fang Fang kaget. Di kiri kanan tiba-tiba terdengar bentakan dan muncullah enam pengawal bersenjata, tombak. Mereka tampak terkejut melihat pemuda itu sementara Fang Fang juga terkejut karena ada patung bisa memerintah manusia! Maka begitu para pengawal menubruk maju dan senjata mereka mengancam tubuhnya tiba-tiba Fang Fang berkelebat dan lenyap entah ke mana.
"Hei, aku bukan pengacau. Aku pendatang baik-baik!"
Enam pengawal tersentak. Mereka mendengar suara si pemuda di belakang dan cepat menoleh, ternyata Fang Fang sudah ada di sana dan berdiri tolah-toleh, sebentar memandang patung yang cantik jelita itu sedang sebentar kemudian menggoyang-goyang tangan ke arah pengawal. Fang Fang masih terkesiap dan bengong oleh perintah patung ini, yang mampu bicara. Tapi ketika para pengawal membentak dan maju menyerang lagi maka Fang Fang bergerak dan enam pengawal itu didorong ke sana ke mari.
"Minggir, kalian jangan salah paham" des-dess!" enam pengawal tunggang-langgang, kaget terpekik keras dan Fang Fang pun beraksi. Enam tombak yang mencelat ke udara ditangkap dan ditekuk. Dan ketika pemuda itu mendemonstrasikan tenaganya hingga tombak menjadi belasan potong maka pengawal ganti menjadi pucat mengira bertemu pemuda siluman!
"Ong-ciangkun (panglima Ong), tolong. Kami bertemu pemuda siluman!"
Sebuah bayangan kuning berkelebat. Seorang laki-laki bertampang keras muncul terkejut, melihat pengawal tunggang-langgang sementara tombak mereka patah-patah ditekuk Fang Fang. Dan ketika Ong-ciangkun, panglima itu, terkesiap dan terbelalak memandang Fang Fang maka sebatang golok beronce telah dicabutnya cepat dan menyambar Fang Fang.
"Tuan puteri, harap masuk ke dalam. Seorang maling hina rupanya terlewat mata" siut!" golok menyambar ganas, menuju leher pemuda ini dan Fang Fang tentu saja mengelak. Fang Fang terkejut mendengar seruan "tuan puteri", yang ditujukan kepada "patung" itu. Dan ketika dia menoleh dan melihat bidadari itu mengangguk dan menggerakkan kakinya, mundur menjauh tiba-tiba Fang Fang sadar bahwa patung yang disangkanya "patung" itu ternyata seorang manusia, puteri yang cantik jelita, puteri istana!
"Ah, kiranya dia seorang puteri" Begitu molek dan cantiknya" Aduh, tertipu aku, Ong-ciangkun. Kusangka dia patung batu yang hidup dan jelmaan seorang dewi!" Fang Fang berseru mendusin, mengelak sana-sini serangan golok beronce itu dan lawannya terkejut. Panglima ini gusar melihat bacokan atau tusukan-tusukan goloknya luput, tak satu pun mengenai pemuda itu. Dan ketika dia berteriak marah dan enam pengawal yang sudah bangun itu dibentaknya marah agar maju lagi maka enam pengawal mencabut senjata baru dan sudah mengeroyok Fang Fang.
"Ting-tang!"
Fang Fang menyentil-nyentilkan kuku jarinya. Tombak dan golok disentil terpental dan Ong-ciangkun serta enam pengawal kaget. Panglima baju kuning itu terkesiap karena di samping terpental juga telapaknya terasa pedih dan panas, sentilan kuku jari pemuda itu demikian kuat dan ampuh, padahal tampaknya belum sepenuh tenaga. Fang Fang melakukannya sambil mendelong ke arah puteri yang sudah memutar tubuhnya itu, kini berlari-lari kecil memasuki sebuah pavilliun indah, di sebelah taman. Dan ketika sang puteri lenyap dan Fang Fang sadar tiba-tiba pemuda itu berteriak dan mengejar, semangatnya terlanjur terbawa si jelita.
"Hei, tunggu, puteri. Aku mau bicara!"
Enam pengawal dan panglima Ong terpelanting. Fang Fang kini bergerak dan mendorong mereka, golok membacok bahunya tapi patah, dibiarkan dan Fang Fang sengaja menerima golok dengan sinkangnya. Dan ketika Ong-ciangkun berteriak dan enam pengawal terdorong jatuh bangun maka Fang Fang berkelebat dan lenyap mengejar sang puteri.
"Keparat!" Ong-ciangkun marah. "Kejar pemuda itu, pengawal. Tangkap! Dan panggil Pek-i-busu (Pengawal Istana Baju Putih)"
Fang Fang dikejar. Ong-ciangkun sudah berteriak-teriak memaki pemuda itu, menyuruh enam pengawal mengejar sementara yang seorang sudah memukul genta bahaya. Kontan membuat gaduh istana dan seratus bayangan putih berkelebatan cepat. Mereka itulah Pek-i-busu yang merupakan pengawal bayangan, menjaga di luar taman dan kini masuk dengan cepat, mendengar genta bahaya dipukul dan ributlah enam pengawal memberi tahu bahwa seorang pemuda datang mengacau. Sang puteri diganggu dan Pek-i-busu terkejut. Mereka merasa kecolongan karena tahu-tahu seorang pemuda mampu menyelinap ke taman, di luar pengetahuan mereka. Dan ketika komandannya, Pek-ciang-busu (Komandan Tangan Putih) berkelebat mendampingi Ong-ciangkun maka panglima ini berseru gemetar menuding ke dalam.
"Dia memasuki pavilliun, mengejar sang puteri"."
"Siapa?"
"Entahlah, aku tak tahu namanya, Pek-ciang-busu. Tapi jelas dia pemuda lihai yang sanggup menahan bacokan golokku!"
"Kebal?"
"Benar, dia kebal!"
Dan ketika dua orang itu berkelebat dan memasuki pavilliun maka tampaklah Fang Fang celingukan mencari ke sana ke mari, gagal tak menemukan sang puteri dan pemuda ini heran. Pavilliun itu tidak besar, sang puteri lenyap entah ke mana, seakan menghilang di balik tembok. Dan ketika Fang Fang tak menemukan yang dicari dan bentakan-bentakan a-tau ribut-ribut di luar didengarnya tak perduli maka Ong-ciangkun dan Pek-ciang-busu berkelebat melihatnya, yang sedang longak-longok.
"Itu dia, keparat!" Ong-ciangkun sudah menyambar golok barunya, menerjang dan berseru pada Pek-ciang-busu agar membekuk si pemuda. Fang Fang sudah terkepung dan pemuda ini berkelit. Para busu di luar sudah berlompatan masuk dan melihat dirinya pula. Dan ketika bayangan putih menyambar cepat dan Pek-ciang-bu-su mengiring di belakang panglima Ong maka sebuah pukulan menghantam dahsyat ke pemuda ini.
"Plak-dess!"
Fang Fang terkejut. Dia menangkis golok Ong-ciangkun dan menghindar pukulan si busu, tak tahunya dikejar dan tembok di belakang menghadang pemuda ini untuk bergerak menjauh, apa boleh buat menggerakkan tangan satunya dan ditang-kislah pukulan busu itu. Dan ketika dinding tergetar tapi Pek-ciang-busu mencelat maka busu ini berteriak kaget sementara Ong-ciangkun sendiri terhuyung.
"Keroyok dia, panggil semua anak buahmu!"
Sang busu mengangguk. Sekali gebrak segera dia tahu bahwa pemuda ini amat lihai. Fang Fang melempar dirinya dalam satu tangkisan kuat, dia sudah bertahan tapi tetap mencelat juga. Dan ketika busu itu menjadi pucat dan kaget serta marah maka dia melengking dan seratus busu di luar kamar berhamburan datang.
"Tangkap pemuda ini. Awas, hati-hati!"
Namun Fang Fang berkelebat mendahului. Dia teringat pesan suhunya bahwa tak boleh membuat ribut. Itu adalah istana dan tak boleh dia membuat geger di tempat ini, apalagi kunjungan gurunya adalah untuk bertemu Cun-ongya, sahabatnya. Maka begitu melihat tuan puteri hilang entah ke mana dan Fang Fang kecewa tak menemukan puteri ini maka pemuda itu berkelebat dan menggerakkan tangannya ke kiri kanan.
"Minggir, aku bukan pengacau!"
Belasan busu terpekik kaget. Sama seperti enam pengawal pertama merekapun terdorong dan terpelanting bergulingan. Fang Fang tak menyentuh mereka kecuali angin pukulannya itu, yang sanggup membuat musuh tunggang-langgang dalam jarak setombak. Dan ketika sebelas busu berteriak kaget dan terpelanting ke kiri kanan maka Fang Fang berkelebat dan sudah keluar dari pavilliun itu.
Namun busu di luar amat banyak. Mereka itu telah bersiap sementara Komandan Tangan Putih juga kembali melompat bangun. Bersama Ong-ciangkun komandan ini amat marah. Tugas dan tanggung jawabnya benar-benar terancam oleh kehadiran pemuda itu. Maka begitu dia berteriak dan menyuruh pengawal memagar betis maka Fang Fang sudah terkurung dan harus menggerak-gerakkan kedua tangannya lagi untuk menerobos kepungan.
"Tangkap pemuda itu. Kepung rapat!" Fang Fang marah. Tiada niat di hatinya untuk bermusuhan dengan para busu ini. Terpaksa dia berkelebatan meroboh-robohkan lawan dengan pukulan jarak jauh. Dan ketika hal itu sudah dilakukan dan Fang Fang berseru berulang-ulang bahwa mereka diminta minggir maka kepungan menyibak lagi dan Fang Fang berjungkir balik di atas kepala lawan.
"Nah, jangan serang lagi. Biarlah aku pergi!" Fang Fang sudah lolos di luar, mengejutkan semua orang karena tadi dengan kedua tangan mendorong-dorong dia sudah membuat pasukan Pek-i-busu terpelanting tak keruan. Mereka tak ada yang sanggup menahan pukulan pemuda itu. Dan ketika Fang Fang berjungkir balikan turun di sana maka pemuda ini bergerak dan lenyap seperti siluman, masuk ke gedung lain, mencari tuan puteri!
"Kejar! Bedebah pemuda itu. Tangkap dia!"
Ong-ciangkun dan Pek-ciang-busu malah kaget. Fang Fang ternyata menuju ruang balairung di mana para menteri sedang bersidang. Ada utusan asing sedang bercakap-cakap dengan para menteri istana, membicarakan urusan dagang. Maka begitu Fang Fang menuju ke sana dan dua orang ini tentu saja kaget dan marah kontan muka mereka menjadi pucat dan putih seperti kertas.
-o0oodwo0o0"
Jilid : VII "TANGKAP! Tangkap pemuda itu. Kejar!"
Suasana menjadi gaduh. Ruang balairung yang dipenuhi para menteri mendadak ribut, semuanya menoleh dan melihat bayangan Fang Fang itu, pemuda yang menuju ke arah mereka dan para pengawal di luar balairung tentu saja terkejut. Mereka tidak berjumlah banyak karena sudah mempercayakannya kepada pasukan Pek-i-busu, jadi di situ hanya sekedarnya saja dan sekarang jusreru Pek-ciang-busu, komandan Pek-i-busu berteriak-teriak. Bersama Ong-ciangkun mereka tampak mengejar seorang pemuda, yang masuk dan mendatangi ruang balairung, hal yang tentu saja membuat para pengawal marah.
Maka ketika Fang Fang berkelebat ke arah mereka dan pemuda itu mau memasuki ruang sidang tiba-tiba delapan pengawal membentak dan menyerang pemuda itu, menusuk dengan tombak mereka.
"Berhenti, anak muda. Jangan mengacau di sini!"
Namun Fang Fang tertawa. Dikeroyok seratus busu saja dia tidak takut, apalagi hanya delapan pengawal, para penjaga ruang sidang. Maka begitu menyampok dan tombak delapan pengawal ditampar jari-jarinya maka delapan pengawal itu terjengkang sementara tombak mereka sendiri patah-patah.
"Ha-ha, siapa pun tak dapat mencegah aku. Minggir, aku mencari tuan puteri". plak-plak!" Fang Fang mematah-ma-tahkan tombak para pengawal, bergerak dan sudah berkelebat masuk. Ruang sidang yang penuh para menteri membuat pemuda ini mengerutkan kening, Fang Fang tidak tahu itu tapi akhirnya juga tidak perduli. Sebagai murid Dewa Mata Keranjang yang bersifat angin-anginan ia pun ketularan watak itu, tertawa dan berkelebat masuk. Tapi ketika Fang Fang mau nyelonong terus dan agak heran melihat beberapa orang bule di situ tiba-tiba membentak dua orang tinggi besar yang marah menubruk pemuda itu.
"Bocah, pergi kau. Di sini bukan tempat mainmain". wut!"
Fang Fang terkejut. Dari belakang menyambar dua pukulan dahsyat yang lain daripada pukulan Ong-ciangkun, bahkan Pek-ciang-busu sekalipun. Dari angin pukulan itu segera dia tahu bahwa seseorang berkepandaian tinggi menyerangnya, pukulannya berhawa dingin tapi Fang Fang tentu saja tidak takut. Maka ketika dia membalik dan terpaksa menangkis pukulan itu, tak dapat mengelak, maka dua benturan terdengar menggelegar bagai gunung meletus.
"Dess!"
Fang Fang terlempar. Pemuda ini berteriak tertahan karena dua pukulan itu kuat bukan main, dia merasa sesak dadanya dan terkejut, cepat berjungkir balik membuang pukulan itu. Dan ketika Fang Fang melayang turun dan melihat dua laki-laki tinggi besar bergoyang di situ, tergetar oleh pukulannya maka Ong-ciang-kun dan Pek-ciang-busu sudah tiba di situ, napas memburu.
"Koktaijin, bocah ini mengacau. Tangkap dia!"
"Benar, dan bunuh dia, taijin. Pemuda ini mengganggu puteri We Yin!"
"Hm, begitukah?" si tinggi besar di sebelah kiri, yang jenggotnya tebal menggeram. Dia tadi terkejut karena Fang Fang mampu membuang tenaga benturan dengan cara demikian tepat, berjungkir balik dan tidak terluka. Dan ketika teman satunya berdiri mengerutkan kening dan merah padam maka Koktaijin yang dipanggil Ong-ciangkun ini sudah membentak dan mencengkeram Fang Fang lagi.
"Robohlah!"
Geraman atau bentakan itu menggetarkan jantung. Fang Fang sudah diserang dan Koktaijin yang tinggi besar maju dengan cepat, menubruk dan kelima jarinya yang sebesar pisang ambon menyambar tiba, tahu-tahu sudah di ujung hidung Fang Fang. Dan ketika Fang Fang mengelak namun kelima jari itu tetap mengejar, mengikuti ke manapun dia lari maka Fang Fang tersentak dan cepat menggerakkan tangannya menghantam.
"Dukk!"
Koktaijin terpental. Fang Fang tergetar tapi tidak terdorong, tubuhnya hanya bergoyang sedikit dan berteriaklah Koktaijin yang tinggi besar itu dengan seruan kaget. Setelah satu lawan satu ternyata pemuda ini mampu mementalkannya, Koktaijin berjungkir balik dan mendeliki di sana, melotot sebesar jengkol. Dan ketika temannya terkejut dan Ong-ciangkun berteriak keras tiba-tiba panglima ini sudah menyerang dan para busu yang ada di situ juga menggerakkan senjata mengikuti aba-aba komandannya, yang juga sudah menerjang dan menyerang Fang Fang.
?Trang-tring!" Fang Fang berkelebatan, mengelak sana-sini dan tertawa-tawa membagi tendangan. Kedua tangannya dipakai untuk menangkap dan mematah-matahkan senjata lawan, bahkan merampas sebatang di antaranya dan diputarlah senjata itu untuk menangkis senjata-senjata yang berhamburan. Dan ketika Fang Fang dikeroyok namun cepat dan tangkas pemuda itu sudah membuat lawan menjerit ber pelantingan maka Koktaijin dan temannya tiba-tiba berkelebat maju.
"Minggir"!" dua orang itu mendorong Pek-i-busu yang berada di depan. Mereka membentak menyuruh Pek-ciang-busu menarik anak buahnya, bergerak dan sudah berdua menyerang Fang Fang. Dan ketika pukulan atau tamparan bercuitan dari dua laki-laki ini di mana senjata rampasan Fang Fang dipakai tapi patah bertemu Koktaijin dan temannya maka Fang Fang terkejut karena serangan dua orang ini jauh lebih Kanas daripada keroyokan seratus busu.
"Des-dess!"
Fang Fang terpelanting. Sebentar saja dia sudah kehilangan lawannya itu dan Koktaijin serta temannya sudah berputaran cepat mengelilingi dirinya. Para busu bersorak dan sidang pun tiba-tiba berhenti. Fang Fang tak tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan dua orang menteri tangguh, yang brewokan itu adalah Kok taijin atau menteri perdagangan sementara yang satunya lagi adalah Bu-goanswe, jenderal Bu, sekaligus juga menteri pertahanan dan menteri yang tinggi besar tapi tidak brewokan ini tertegun melihat Fang Fang tidak segera roboh, terpelanting tapi sudah bergulingan meloncat bangun dan kini berkelebatanlah pemuda itu mengikuti putaran tubuh mereka. Dan ketika Bu-goanswe berteriak keras dan Koktaijin juga membentak melepas pukulan-pukulan cepat maka keduanya sudah mengerahkan ginkang dan tiba-tiba berseliweran naik turun mengejar Fang Fang.
"Kepung pemuda ini dari muka belakang. Lepaskan pukulan-pukulan Im-kang (Dingin)!"
Fang Fang dibuat sibuk. Bu-goanswe yang gagah dengan bentakan kerasnya itu sudah menyuruh Koktaijin melepas pukulan-pukulan lm-kang. Sejak tadi sebenarnya Fang Fang sudah merasa adanya pukulan-pukulan dingin ini. Tapi ketika Bu-goanswe berseru dan jenderal bermuka per segi itu mengerotokkan kesepuluh jari-jari tangannya tiba-tiba saja serangkum pukulan dahsyat mencegat jalan lari Fang Fang.
"Des-dess!"
Fang Fang terkejut. Dia dicegat dan Koktaijin di belakang juga menghantam, tak ayal dia berjungkir balik menangkis dua pukulan dari muka dan belakang itu. Dan ketika dia terpental tapi lawan juga terhuyung maka ketiga-tiganya terkejut karena lawan ternyata luar biasa.
"Hebat, anak ini benar-benar siluman. Tangkap dia hidup-hidup?"
"Tapi dia berbahaya, goanswe. Tak mungkin menangkap hidup-hidup pemuda seperti ini!"
"Kita kerahkan segala daya dan akal. Aku ingin tahu siapa dia!" dan dua pembesar tinggi yang sudah bergerak melepas pukulan-pukulan lagi akhirnya kagum dan memuji Fang Fang, mau tak mau memang harus mengakui bahwa pemuda ini luar biasa. Mereka berdua sudah maju mengeroyok namun si pemuda mampu berkelit dan menghindar sana-sini, bahkan menangkis dan setiap pertemuan tenaga tentu membuat mereka tergetar. Harus diakui belum pernah mereka menghadapi pemuda macam begini, baik keberaniannya maupun kepandaiannya. Fang Fang dinilai berani karena telah memasuki istana, hal yang bisa diancam dengan hukuman mati karena dapat dianggap sebagai pengacau liar, bahkan bisa dicap macam-macam karena keberaniannya itu dapat membahayakan istana. Bahwa dia dapat masuk sejauh itu saja sudah cukup menjadi bukti bah wa istana kebobolan. Dua pembesar tinggi itu tentu saja tidak tahu bahwa Fang Fang adalah murid si Dewa Mata Keranjang, tokoh hebat yang kepandaiannya memang luar biasa. Dan ketika mereka mendesak namun gagal, serangan-serangan mereka tertolak dan kini Fang Fang malah mengeluarkan Sin-bian Ginkangnya untuk berkelebatan mendahului mereka maka tepuk tangan kagum mulai terdengar dari sekumpulan orang bule di tengah.
Fang Fang mendengar suara-suara pujian dalam bahasa asing. Dia tak mengerti tapi dapat memahami itu, karena tiga orang bule di sana, pemuda-pemuda berambut pirang tampak berseri-seri dan bertepuk kagum, saling berbicara dan satu sama lain tertawa, mengangguk-angguk. Dan ketika Koktaijin maupun Bu-goan-swe tentu saja marah dan merah padam maka satu guntingan keduanya dielak Fang Fang dengan cara menyelinap cepat, seperti hiu ronggeng.
"Slap!"
Dua pukulan luput. Fang Fang tertawa sementara tiga pemuda pirang juga tertawa. Mereka berkata-kata dalam bahasa asing yang banyak desisan, menunjuk dan menuding-nuding. Tapi ketika seorang laki-laki tua membentak mereka dan tiga pemuda itu terkejut tiba-tiba mereka sadar bahwa tak seharusnya memuji musuh.
"Kalian jangan membuat malu aku. Hayo bantu tuan rumah!"
Fang Fang tak mengerti. Laki-laki gagah berambut pirang yang pandai berbahasa Han itu ternyata memarahi tiga pemuda pirang ini. Dia membentak dan menyuruh ketiganya membantu Koktaijin maupun Bu-goanswe, bantuan yang belum diketahui bagaimana oleh Fang Fang. Tapi ketika ketiganya mengangguk dan bangkit berdiri tiba-tiba Fang Fang mendengar seruan aneh dari tiga pemuda itu agar Koktaijin maupun Bu-goanswe menjauhkan diri, mencabut sesuatu, benda hitam yang berlaras pendek.
"Goanswe, mundur sedikit. Serahkan pemuda ini kepada kami". dor-dor!"
Fang Fang tersentak. Letusan senjata api tiba-tiba terdengar, tiga peluru menyambarnya dan Fang Fang melihat itu, timah-timah panas yang tentu saja belum dikenal baik. Dia hanya melihat semacam "senjata rahasia" bulat panjang berpuntir cepat, cepat dan luar biasa dan tahu-tahu menuju dadanya. Dan ketika Fang Fang tercekat namun nalurinya yang tinggi memberi tahu bahwa dia harus mengelak dan melempar tubuh bergulingan maka Fang Fang sudah melakukan itu dan tiga peluru pistol lewat di sisi telinganya.
"Ces-ces!"
Fang Fang serasa terbang sukmanya. Benda yang dapat dirasanya berbahaya itu lewat hanya serambut saja di sisi telinganya, panas membakar namun dia selamat. Hanya rambutnya tergores dan terbakar, mengeluarkan suara seperti benda panas direndam air. Dan ketika, Fang Fang meloncat bangun dan kaget serta marah, karena tiga butir peluru tadi benar-benar berbahaya maka Bu-goanswe dan Koktaijin mendapat senjata yang sama, lemparan dari kakek gagah berambut pirang, yang tadi membentak tiga pemuda bule itu.
"Goanswe, taijin. Sekaranglah kalian berkesempatan mempergunakan senjata api. Terimalah ini, dan pergunakan!"
Fang Fang terbelalak. Untuk pertama kalinya dia baru tahu bahwa senjata pendek berlaras bulat itu kiranya pistol, senjata api. Tapi Bu-goanswe dan Koktaijin yang menggeleng menolak penjberian ternyata berseru,
"Maaf, kami tak ingin bersenjata api, tuan Smith. Anak muda ini biarlah kami lawan dengan cara kami. Dan maaf tak perlu tiga pembantumu membantu!" Koktaijin sudah membentak lagi, maju dengan marah dan Mr. Smith, kakek gagah berambut pirang itu tertegun. Dua senjata api yang diberikannya ternyata ditolak balik. Baik Bu-goanswe maupun Koktaijin tak mau mempergunakan itu, mengebut dan dua senjata api itupun kembali ke tuannya. Dan ketika kakek itu menerima dan kagum, terbelalak, maka di sana Fang Fang memuji dan lega tidak menghadapi senjata aneh yang belum dikenalnya itu.
"Bagus, kalian gagah, Koktaijin, Ha-ha, kalau begitu kita bertanding seperti biasanya bangsa Han mengadu silat" plak-dess!" Fang Fang berani menggulung lengan bajunya, menangkis dua pukulan Im-kang dan dua menteri gagah itu terdorong. Fang Fang tertawa-tawa sementara penonton mendecak. Baru kali itu mereka melihat seorang pemuda mampu menghindari datangnya peluru cepat, karena biasanya tak ada yang sanggup melakukan itu. Dan ketika di sana Fang Fang kembali melayani lawannya dan Koktaijin maupun Bu-goanswe menggeram dan menggigit bibir maka tiga pemuda bule yang tadi melepas senjata api tertegun dan bengong oleh kecepatan gerak Fang Fang, yang mampu melempar tubuh sedemikian cepat dan tepat.
"Hebat, dia luar biasa. Pemuda mengagumkan!"
"Ya, tapi dia pengacau, Michael. Jangan puji dia di depan ayah!"
"Sst, jangan keras-keras. Kalian tak usah berisik!" dan ketika tiga pemuda berambut pirang itu kagum memandang Fang Fang sementara Fang Fang mendengar percakapan ini maka Bu-goanswe dan Koktaijin membentak berang, marah dan penasaran karena sudah duapuluh jurus mereka tak dapat merobohkan pemuda ini. Fang Fang melihat keduanya bergerak dari muka dan belakang, Koktaijin melengking dan Bu-goanswe juga berseru keras. Dua pukulan berasap putih menghantam Fang Fang dari depan dan belakang. Dan ketika Fang Fang melihat bahwa pukulan ini dilakukan sepenuh tenaga, karena u-rat-urat di muka dua orang itu menegang dan jelas berbahaya maka Fang Fang mengerahkan Pek-in-kang dan secepat kilat berseru menangkis.
"Biang!"
Dua orang itu terbanting. Koktaijin terlempar sementara Bu-goanswe juga terguling-guling. Dua orang itu mengeluh tapi Fang Fang sendiri terhuyung, terkejut karena tiba-tiba dadanya terasa panas dan sesak. Dan ketika Fang Fang teringat bahwa tak seharusnya dia mengeluarkan tenaga berlebihan mendadak saja dia terbatuk dan melontakkan darah segar, kambuh kembali lukanya yang baru diobati sang suhu.
"Huak!"
Para busu tiba-tiba bersorak. Mereka melihat Fang Fang jatuh terduduk, kaget mengusap dada karena saat itulah Fang Fang sadar bahwa dia melanggar larangan gurunya. Dia baru saja sembuh, seharusnya beristirahat, tak boleh bertempur. Dan karena dia sudah bertanding dengan orang-orang macam Bu-goanswe dan Koktaijin itu tiba-tiba luka di punggungnya kambuh dan napas pemuda inipun sesak.
"Celaka, aku lupa. Bagaimana ini?"
Fang Fang tak dapat berpikir panjang. Ong-ciangkun, yang melihat dia jatuh terduduk setelah beradu pukulan dengan Bu-goanswe dan Koktaijin tiba-tiba membentak maju. Panglima ini girang karena Fang Fang muntah darah, dianggapnya kalah ketika beradu pukulan tadi, tentu saja tak tahu akan luka Fang Fang yang baru sembuh. Dan ketika panglima itu melompat dan Pek-ciang-busu serta yang lain-lain juga maju berloncatan maka Fang Fang siap diringkus atau ditangkap.
"Bunuh pemuda ini. Serang dia!"
Fang Fang terkejut. Dia bangkit berdiri namun tiba-tiba jatuh lagi, terduduk. Sesak di dadanya menghebat saja dan tiba-tiba dia muntah darah lagi. Dan ketika pemuda itu terkejut dan pucat menyaksikan beringasnya lawan maka Bu-goanswe membentak dan tiba-tiba berseru agar pemuda itu ditangkap saja.
"Jangan bunuh dia, tangkap saja!"
Fang Fang menahan sakit. Saat itu golok dan tombak sudah berhamburan ke atas tubuhnya. Dia mengelak namun tetap terkena, golok Ong-ciangkun membabat dan melukai pundaknya. Dia tak dapat mengerahkan sinkang hingga kekebalannya hilang. Dan ketika Fang Fang mengeluh dan Pek-ciang-busu juga melepas satu hantaman hingga dia mencelat maka saat i-tulah jari Bu-goanswe menyambar dan Fang Fang menerima sebuah tepukan.
"Plak!"
Pemuda ini roboh. Fang Fang sudah diangkat dan dilempar ke arah pengawal, diringkus. Dan ketika dia tak dapat bergerak lagi karena saat itu seluruh tubuhnya menggigil hebat tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan pengawal yang meringkus tubuhnya berpelantingan.
"Hei, lepaskan muridku". des-des-dess! para pengawal berteriak, menjerit dan ter lempar tak keruan dan saat itu muncullah si Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok. Kakek ini terbelalak melihat suasana ribut-ribut, ulah dari muridnya. Dan ketika dia bergerak dan pengawal berpelantingan tak keruan maka Bu-goanswe, yang kaget dan terbelalak melihat kakek itu tiba-tiba berseru, hampir berbareng dengan Koktaijin yang juga mengenal kakek itu.
"Dewa Mata Keranjang"!"
"Ha-ha!" kakek ini tertawa bergelak. "Benar, aku, goanswe. Dan kau adalah Bu goanswe, bukan" Dan ini tentu Koktaijin. Ah, kalian masih sama-sama gagah meskipun mulai tua! Ha-ha, aku gembira bertemu kalian tapi jangan ganggu muridku ini. Dia sebelumnya terluka, baru saja sembuh dan tentu kumat kalau bertempur mengeluarkan tenaga berlebihan. Eit, maaf, goanswe. Aku menolong muridku dulu!" dan si Dewa Mata Keranjang yang berlutut dan menolong muridnya segera menempelkan lengan dan berseru, "Fang Fang, kau bandel. Bukankah sudah kubilang bahwa sehari dua ini kau tak boleh bertanding" Bu-goanswe dan Koktaijin itu cukup hebat. Kalau kau dikeroyok padahal baru saja sembuh dari lukamu tentu lukamu kambuh. Nah, tarik napas panjang-pan jang dan telan obat ini!"
Fang Fang berseri-seri. Dia menahan sakit tapi girang bahwa gurunya datang di saat yang tepat. Gurunya sudah menempelkan lengan di pundaknya dan mengalirkan sinkang. Dia mengangguk dan cepat menelan sebutir obat yang diberikan gurunya pula. Dan ketika dua menit kemudian dia sudah tidak sesak lagi dan dada terasa lapang maka masuklah seorang laki-laki berpakaian indah yang mengeluarkan suara lembut,
"Taijin, apa yang terjadi" Siapa yang membuat ribut-ribut?"
"Ah," dua orang itu menoleh, cepat memberi hormat. "Pemuda ini datang mengacau, pangeran. Dan kami tidak tahu bahwa dia adalah murid si Dewa Mata Keranjang!"
"Hm, bagaimana bisa begitu" Siapa dapat menjawab?"
"Dia mengganggu puteri We!" Ong-ciangkun tiba-tiba maju berlutut. "Pemuda ini mengacau di taman, pangeran. Dan kami datang serta memergokinya. Kami tak tahu bahwa dia adalah murid si Dewa Mata Keranjang. Barangkali paduka dapat bertanya kepada kakek itu!"
"Hm!" laki-laki ini, yang ternyata pangeran adanya mengangguk-angguk, tahu maksud omongan Ong-ciangkun, yang hendak meminta tanggung jawab kakek itu. "Baiklah kutanya si Dewa Mata Keranjang ini, ciangkun. Sekarang mundurlah!"
Semua orang memberi hormat. Tiga pemuda bule dan kakek gagah yang tadi melempar pistol juga cepat-cepat memberi hormat ketika beradu pandang dengan pangeran ini, yang ternyata Cun-ongya adanya. Dan ketika semua mundur kembali dan sang pangeran menghampiri Dewa Mata Keranjang maka kakek itu bangkit berdiri tertawa-tawa.
"Muridku memang kurang ajar. Sepatutnya dia memberi keterangan dan minta maaf!"
Sang pangeran tersenyum. "Siapakah namanya?"
"Hayo!" kakek itu menarik sang murid. "Berlutut di depan pangeran dan sebutkan dirimu, A-fang. Sekaligus berikan keterangan bagaimana kau sampai membuat ribut-ribut begini!"
"Maaf, hamba Fang Fang," Fang Fang berlutut, harus memberi hormat di depan seorang bangsawan di hadapan sekian banyak orang. "Hamba tak bermaksud mengacau, pangeran. Hanya secara kebetulan saja bertemu paduka puteri di taman. Tadinya, hm" hamba menyangka patung. Maaf, hamba akan bercerita," dan Fang Fang yang memulai ceritanya dengan jujur lalu didengar dan disambut anggukan Cun-ongya, yang berkali-kali harus tersenyum dan geli mendengar cerita pemuda itu, karena Fang Fang menceritakannya dengan jujur dan polos. Dan ketika pangeran itu tertawa dan menepuk pundak Fang Fang maka dia berseru,
"Gadis yang kau lihat adalah adikku. Dia puteri We Yin, bukan patung!"
"Itulah, hamba" hamba tak tahu, pangeran. Tadinya hamba mengamati patung-patung di taman dan adik paduka itu berdiri sama tinggi, tak berkedip, agung dan anggun hingga hamba terpesona. Tapi ketika dia berkejap dan bertanya siapa hamba, hal yang mengejutkan hamba barulah hamba tahu bahwa yang hamba hadapi bukanlah sebuah patung yang berisi roh hidup melainkan seorang gadis demikian jelita melebihi dewi-dewi kahyangan!"
"Ha-ha!" sang pangeran tertawa bergelak. "Muridmu pandai merayu, Dewa Mata Keranjang. Agaknya berbakat dan persis kau?"
"Ah, ha-ha!" Dewa Mata Keranjang juga tertawa, bergelak. "Murid tak akan jauh dari gurunya, pangeran. Tapi sebaiknya kita tak mengganggu di sini karena kulihat Bu-goanswe dan Koktaijin sibuk menghadapi tamu!"
"Benar," pangeran ini mengangguk. "Mari ke gedungku, Tan-taihiap (pendekar Tan). Di sini sedang ada sidang dan perlu kiranya aku minta maaf atas ketidaktahuan muridmu tadi!" dan sang pangeran yang membalik dan menghadapi semua orang lalu berseru mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk memintakan maaf atas keributan yang dibuat Fang Fang. Semua orang telah mendengar apa yang menjadi sebab mula-mula, pemuda itu tak tahu dan mereka diminta memberikan maafnya. Dan ketika semua orang mengangguk dan tentu saja tak berani membantah, karena pangeran sendiri yang bicara maka Cun-ongya menekankan bahwa guru dan murid itu adalah tamunya.
"Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok adalah sahabatku. Dia tamuku. Harap kalian memberinya maaf dan silahkan melanjutkan sidang!"
Semua orang mengangguk bersinar-sinar. Kalau Cun-ongya sendiri sudah bicara seperti itu dan menganggap Fang Fang tamunya maka tentu saja tak ada orang yang berani mengeluarkan suara. Bu-goanswe sendiri akhirnya mengangguk meskipun alis berkerut, Koktaijin juga begitu dan ada bayangan rasa khawatir di wajah dua orang pembesar itu. Mereka melirik Dewa Mata Keranjang dan juga Fang Fang, pemuda yang harus diakui amat lihai dan baru mereka tahu bahwa kalau tidak terluka belum tentu pemuda itu dapat mereka robohkan. Dewa Mata Keranjang memang sahabat Cun-ongya dan sudah lama mereka tahu, meskipun sudah lama juga kakek itu tak pernah berkunjung, baru hari ini menampakkan diri dan muridnya tahu-tahu menimbulkan geger. Dan ketika Cun-ongya sudah meminta maaf dan guru serta murid itu diajak ke gedungnya sendiri maka sidang para menteri dilanjutkan lagi dan suasana pun pulih.
Fang Fang sudah berada di gedung pangeran Cun dan dipersilahkan duduk, tadi gurunya sudah di situ tapi berkelebat keluar, gara-gara keributan tadi. Dan ketika sang pangeran tersenyum dan guru serta murid duduk di hadapannya maka Fang Fang mulai mendengar akan adanya perobahan di dalam negeri.
-0-dw-o0 "Maaf, tadi terputus sejenak. Tapi sekarang barangkali dapat kulanjutkan," sang pangeran tersenyum, menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan dan mata Fang Fang cepat menyambar. Lima pelayan cantik-cantik sudah muncul mengeluarkan minuman dan makanan kecil. Ruangan yang demikian luas dan bersih sungguh nyaman sekali ditinggali, sejak masuk gedung tadi. Fang Fang sudah mengagumi tempat tinggal Cun-ongya ini. Dan ketika sang pangeran mulai bercerita sementara hidangan sudah dikeluarkan satu per satu maka pemuda ini kagum akan pelayan yang cantik-cantik tapi masih lebih kagum lagi akan kecantikan puteri We Yin di dalam taman.
"Kau lihat ke sini, jangan meleng kemana-mana!" sang guru tiba-tiba tertawa, membentak muridnya dan Fang Fang pun merah mukanya. Dia tak ada maksud apa-apa kecuali mengagumi gedung besar ini dan penghuninya. Cun-ongya dinilai ramah dan para pelayannya pun cantik-cantik. Fang Fang mengagumi itu tapi tidak ada pikiran lebih. Maka ketika sang pangeran mulai bercerita tapi pikirannya terbang ke sana ke mari maka gurunya yang melihat itu sudah menegur dan tertawa menyuruh muridnya duduk menghadapi tuan rumah.
"Di sini kita diundang, Cun-ongya sudah menemui kita. Nah, hadapi tuan rumah dan jangan memandangi pelayan-pelayan itu, Fang Fang. Nanti sang pangeran bisa gusar dan kau diusirnya!"
"Ha-ha, tidak," sang pangeran tertawa. "Aku tahu siapa kau dan siapa muridmu ini, Dewa Mata Keranjang. Kalau sudah melihat wanita rasanya tak akan puas sebelum mengamati sejauh mungkin!"
"Ah, tidak," Fang Fang menyeringai. "Hamba mengagumi isi gedung dan tempat tinggalmu ini, pangeran. Hamba memang kagum dan baru kali ini melihat istana yang demikian megah dan besar. Hamba takjub!"
"Kau baru kali ini turun gunung?"
"Ha-ha, benar!" sang kakek mendahului. "Belum pernah muridku kuajak ke kota raja, pangeran. Maka jangan heran kalau dia masih kedusun-dusunan!"
"Ah, tak apa," dan sang pangeran yang tersenyum dan mengangguk tertawa lalu melanjutkan lagi bicaranya. "Eh, sampai mana kita tadi" Aku lupa"."
"Kau menceritakan tentang masuknya orang-orang Eropah, terutama bangsa Perancis dan Inggeris!"
"Ya-ya, itu tadi. Mereka-mereka itu. Hm, bangsa Tiongkok mulai kesisipan pengaruh-pengaruh jelek, Dewa Mata Keranjang. Bahwa tukar-menukar hubungan dagang ini ternyata membawa pengaruh negatip bagi kebudayaan bangsa Han!"
"Bagaimana maksud pangeran?"
"Maksudku sedikit tetapi pasti unsur-unsur kebudayaan Barat mau dimasukkan ke sini. Aku khawatir akan nasib bangsaku. Mereka licik dan cerdik merusak kebudayaan kita dengan pengaruh setan!"
"Hm, aku masih tak mengerti. Dan katakan kenapa kedatanganku justeru kebetulan bagi paduka!"
"Begini," sang pangeran tampak serius. "Hubungan dagang antara kita dengan orang-orang Barat sudah tak dapat dicegah lagi, Dewa Mata Keranjang. Mula-mula memang saling menguntungkan kedua belah pihak tapi akhir-akhir ini aku melihat sesuatu yang lain. Mata awasku melihat bahwa mereka hendak memasukkan gaya kebudayaan mereka yang seronok, kotor dan menjijikkan. Aku sudah mengisiki sri baginda kaisar tapi beliau kurang percaya. Nanti kalau sesuatu yang rusak sudah terlanjur terjadi dan bangsa Han tak dapat melepaskan diri barulah sri baginda percaya betul tapi aku khawatir bahwa semuanya itu bakal terlambat!"
"Hm, aku masih kurang jelas. Coba ceritakan bagaimana mula-mula bangsa Barat itu memasuki Tiongkok!"
"Mereka memerlukan porselin dan sutera dari kita, juga teh dan tembikar-tembikar halus yang amat mereka senangi. Dan karena kita memerlukan perak-perak mereka sebagai alat pembayaran atau tukar-menukar barang ini maka semuanya mula-mula berjalan sama menguntungkan tapi akhir-akhir ini mulai lain."
"Lain bagaimana?"
"Mereka menawarkan minyak tanah dan tenunan, sebagai pengganti perak yang mulai berkurang di pihak mereka."
"Hm, apa bedanya, pangeran" Bukankah barter ini masih menguntungkan?"
"Tidak, minyak tanah mereka tak begitu digemari rakyat kita, Dewa Mata Keranjang. Dan tenunan mereka juga kalah halus dan baik dengan tenunan yang dihasilkan kita. Barang-barang mereka kurang laku, kecuali jam (selai). Tapi karena makanan ini juga tidak merata penggemarnya maka tukar-menukar ini mulai merugikan Tiongkok!"
"Hm, lalu?"
"Mereka mulai menjual senjata api!"
"Eh, benda bulat hitam itu?" Fang Fang tiba-tiba terkejut, teringat ampuhnya senjata ini. "Benar berbahaya senjata itu, pangeran. Aku hampir saja kena dan roboh!"
"Yang meletus tadi?" sang guru terbelalak.
"Ya, yang meletus tadi, suhu. Dan tiga pemuda bule itu hendak membantu Bu-goanswe!"
"Hm, siapa mereka?"
"Aku tak tahu. Barangkali Cun-ongya tahu!"
"Mereka adalah James dan ayahnya, tuan Smith. Sedang yang dua itu adalah pembantu-pembantu dekatnya bernama Michael dan Leo!"
"Hm, nama-nama yang asing!" Fang Fang mengerutkan kening. "Bagaimana menyebut yang kedua tadi, pangeran" Michael?"
"Ya, sebut saja dengan lidah kita. Mikael. Itu namanya."
"Dan tuan Smith, siapa dia?"


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang nomor dua setelah gubernur jenderal Inggeris. Mereka orang-orang Inggeris yang berkedudukan di London!"
"London" Mana itu?" Fang Fang terbelalak, merasa asing dan aneh mendengar ini.
"London adalah pusat pemerintahan mereka, A-fang. Seperti halnya kota raja di sini."
"Oh, ibu kota pemerintah?"
"Ya."
"Hm..!" Fang Fang mengangguk-angguk. "Dan tempat itu jelas jauh, pangeran. Barangkali ribuan li dari sini."
"Benar, dan mereka menyeberangi lautan untuk menuju ke tempat kita. Mereka termasuk pedagang-pedagang pemberani!"
Fang Fang kagum. Memang untuk menuju Tiongkok dengan menyeberangi lautan sedemikian luas dan berbahaya sungguh membutuhkan satu keberanian dan tekad besar. Tuan Smith dan putera serta pembantu-pembantunya itu jelas orang-orang yang pemberani, mereka telah menunjukkan itu. Dan ketika pangeran kembali bercerita bahwa di Tiongkok ada perobahan dengan adanya tukar-menukar barang di antara bangsa Tiongkok dengan bangsa Eropah maka pangeran mulai menyatakan kekhawatirannya akan kejadian akhir-akhir ini. Bahwa bangsa Barat khususnya lnggeris mulai kehabisan alat pembayaran mereka, perak. Bahwa mereka mulai mengajukan alat pembayaran lain sebagai lanjutan hubungan dagang itu. Beberapa komoditi ditawarkan, minyak tanah dan tenunan. Tapi ketika dua benda itu kurang disukai rakyat Tiongkok dan pihak Barat kebingungan mencari pengganti maka tiba-tiba mereka menawarkan senjata api untuk tukar-menukar barang!
Memang, waktu itu Tiongkok sudah mulai berhubungan dengan dunia luar, dunia Barat. Orang-orang lnggeris dan Perancis mulai mengadakan hubungan dagang dengan bangsa Tiongkok ini. Juga beberapa bangsa lain seperti Afrika dan India juga tak luput dari incaran bangsa Barat ini. Mereka menawarkan dan menjual apa yang mereka punyai, untuk selanjutnya mengambil atau membeli barang-barang apa yang mereka inginkan. Dan karena Tiongkok menarik perhatian mereka dengan teh atau sutera-sutera indah di mana barang-barang tembikar halus dan porselin juga mempesona bangsa Barat ini maka jalinan dagang tak terelakkan lagi.
lnggeris, melalui gubernur jenderalnya mengadakan hubungan dagang langsung. Mereka membayar dengan perak, hal yang disukai pihak Tiongkok. Namun ketika persediaan perak mulai menipis di dunia dan lnggeris bingung mendapatkan penggantinya maka mereka berusaha menawarkan alat pembayaran yang lain namun minyak atau tenunan mereka tak laku di negeri ini. Orang-orang Tiongkok tak begitu menyukai barang dagangan mereka, tenunan mereka justeru lebih halus dari bangsa Barat itu. Dan ketika perak akhirnya habis padahal bangsa lnggeris masih memerlukan tembikar dan porselin atau barang-barang lain dari bangsa Tiongkok karena hal itu menguntungkan mereka maka senjata api mulai ditawarkan.
"Negeri anda banyak pengacau. Dengan ini tentu mereka mudah dibasmi".. dor-dor!" letusan senjata api pertama kali dipamerkan, membuat pejabat-pejabat tinggi Tiongkok terperangah. Mereka baru pertama kali itu melihat "senjata rahasia" yang demikian ampuh dan cepat. Tak mungkin ada orang berkelit kalau senjata itu sudah meletus, apalagi dalam jarak dekat. Dan ketika bisik-bisik di antara pembesar tinggi sudah merata dan mereka tertarik untuk menerima tawaran itu, mengganti perak dengan senjata api maka Tiongkok mulai dibanjiri senjata api ini.
Namun sayang, efek samping dari barang baru itu ada. Para pejabat tinggi negara yang tentu saja berkeinginan besar untuk memiliki senjata itu mulai memberikannya pada para pengawal mereka. Pengawal-pengawal pribadi ini diberi dan dilatih untuk mempergunakan senjata api. Barang baru yang mulai berjangkit di kalangan istana ini mulai menjadi sok dan gagah-gagahan di tangan pemiliknya. Pengawal menteri satu bersombong-sombong di depan pengawal menteri lain, masing-masing menyatakan diri bahwa mereka lebih mahir, sekali "dor" dapat membunuh lawan tanpa dua kali tarikan picu. Jadi masing-masing menyatakan diri lebih jago. Dan karena pernyataan itu memancing rasa tidak senang yang lain dan tentu saja yang direndahkan merasa marah maka permusuhan antar pengawal tak dapat dicegah lagi. Permusuhan ini kian hari kian menajam. Mereka yang berlagak dan saling menyombongkan diri akhirnya baku hantam, saling menembak temannya sendiri. Dan ketika istana dikejutkan oleh letusan-letusan senjata api maka tigapuluh tujuh pengawal Thaitaijin dan Lauwtaijin roboh bergelimpangan.
Istana geger. Akhirnya kejadian itu diusut dan kaisar marah bukan main. Mereka yang lancang segera dihukum, dua kepala pengawal dipecat dan dijebloskan penjara. Tapi ketika dua orang itu dimasukkan kamar tahanan dan siap menjalani hukuman tiba-tiba saja mereka yang ternyata masih menyimpan senjata api lain mendadak saling tembak dan masing-masing roboh terkapar!
Thaitaijin dan Lauwtaijin tertegun. Mereka tak mengetahui semua permusuhan ini. Mereka memberikan senjata itu adalah untuk menjaga keamanan gedung. Bukan untuk saling baku hantam atau tembak sesama teman. Dan ketika kejadian itu menyadarkan mereka dan mengejutkan keduanya maka dua pembesar tinggi ini menerima getah. Mereka diturunkan pangkatnya sebagai menteri muda, dipindah dan dijauhkan dari istana. Dan ketika semuanya itu masih ditambah larangan kaisar bahwa senjata api tak boleh dipergunakan orang Han maka bangsa Barat kehilangan sumber pembayarannya yang berharga!
"Siapa pun tak boleh memiliki senjata api. Hanya orang-orang biadab itu saja yang memegangnya. Biarkan mereka, dan jangan kita ikuti!"
Orang-mung Barat merah padam. Mereka sendiri akhirnya dibatasi dan ke manapun mereka berjalan di situ pula mereka diawasi. Kaisar dan bangsa Tiongkok memang menganggap orang-orang asing itu sebagai bangsa "biadab", sebutan yang sebenarnya membuat telinga merah dan mudah membuat darah mendidih. Tapi karena bangsa Barat juga menganggap bangsa Tiongkok sebagai bangsa biadab maka ejek-mengejek di antara mereka menjadi klop.
Tuan Smith, yang diutus gubernur jenderal Inggeris mulai kebingungan. Kalau senjata api tak dapat dijadikan tukar-menukar barang dan hal itu mengancam keuntungan mereka dalam mengambil teh atau tembikar dan barang-barang lain dari Tiongkok yang amat menguntungkan mereka tentu hubungan dagang itu terancam bubar. Orang-orang Barat amat menyukai barang-barang Tiongkok. Inggeris sendiri mendapatkan keuntungan yang amat besarnya dari hubungan dagang itu. Maka ketika alat pembayaran mereka mulai terancam karena minyak dan lain-lain sudah ditolak maka pengambilan barang-barang dari Tiongkok bisa terputus.
"Kita lakukan apa saja agar hubungan dagang ini tak berhenti. Cari titik-titik lemah dari bangsa Tiongkok agar mereka terus menyerahkan barang-barang yang kita butuhkan!" gubernur jenderal memberikan perintahnya, turun ke tuan Smith itu dan bingunglah pria setengah baya dari Inggeris ini. Jalan keluar hampir buntu. Dan ketika keadaan yang tidak menguntungkan Inggeris ini berlangsung sekian bulan tiba-tiba saja di perbatasan terjadi pemberontakan!
Thaitaijin, dan Lauwtaijin, ternyata diam-diam menaruh sakit hati. Setelah mereka diusir dari istana dan diturunkan pangkatnya ternyata dua pembesar tinggi itu tidak menerima keadaan. Jauh dari kota raja ibarat jauh dari ladang yang gemuk. Mereka terbiasa hidup enak dan senang di kota raja. Maka begitu dijauhkan dan ditaruh di dekat perbatasan tiba-tiba saja keduanya bersekongkol.
Lauwtaijin, yang diam-diam memiliki senjata api tiba-tiba mengajak bergabung Thaitaijin yang juga diam-diam memiliki senjata api. Dua pembesar tinggi itu memang menyimpan banyak senjata api ketika di istana, menumpuknya di gudang senjata dan cepat-cepat menyelamatkannya begitu kaisar memerintahkan larang an bersenjata api. Mereka memiliki berpeti-peti hasil pembelian secara diam-diam dengan pihak Barat. Dan ketika mereka diusir dan sakit hati tentu saja setinggi langit tiba-tiba keduanya melatih pasukan dan merebut atau merampas kedudukan di perbatasan, yang dipimpin Gwa ciangkun, panglima she Gwa.
Waktu itu Gwa-ciangkun tentu saja tidak menduga. Lauwtaijin maupun Thaitaijin adalah teman, sesama rekan. Mereka sama-sama pembantu kaisar dan pemberontakan atau serangan dua pembesar tinggi itu tentu saja tidak dinyana panglima she Gwa ini. Maka ketika dia diserang dan pasukannya dilumpuhkan maka seribu tentara dikuasai dan ditundukkan Thaitaijin ini, yang menggabung kekuatan dengan Lauwtaijin.
"Bunuh yang melawan, dan tangkap hidup-hidup bagi yang mau menyerah!"
Gwa-ciangkun ditangkap. Disuruh memilih hidup atau mati tentu saja panglima ini pilih hidup. Dia tidak takut akan kematian melainkan menyerah semata untuk pembalasan lebih lanjut. Gwa-ciangkun sebenarnya adalah panglima gagah yang pemberani, diam-diam menyerah untuk membalas kekalahannya. Maka ketika dia ditangkap dan dua bekas rekannya itu menawannya panglima ini lalu pura-pura tunduk.
"Kalian bermain api, mengkhianati kaisar. Kenapa kalian lakukan ini, Thaitaijin" Bukankah sebaiknya kalian membebaskan kami dan berbaik seperti semula" Aku tak akan melapor ke Istana, dan semua pasukanku kujamin tak akan menceritakan ini pada siapa pun!" panglima itu bicara pada lawannya, bermaksud menyadarkan namun dua pembesar tinggi itu mendengus. Mereka berkata bahwa mereka membalas sakit hati, karena kaisar telah memperlakukan mereka dengan semena-mena, menurunkan pangkat dan mengusir mereka ke tempat yang jauh, tempat kering di mana mereka tak bisa menumpuk kekayaan dan hidup bersenang-senang, seperti halnya kalau mereka di kota raja. Maka ketika panglima she Gwa itu berkata seperti itu mereka justeru tertawa mengejek.
"Tak perlu membujuk. Dilaporkan pun kami tak takut, Gwa-ciangkun. Kami telah mengambil putusan dan tak takut akan semua yang terjadi. Kami siap menerima hasil perbuatan kami dan justeru kami akan menyerang istana untuk melempar kaisar!"
"Kalian keliru".."
"Diam, atau kau akan kutembak" dor-dor!" dan Thaitaijin yang menggerakkan pistolnya melepas tembakan akhirnya hampir saja membunuh si panglima, peluru melesat dan menyambar pinggir panglima she Gwa itu, serambut saja mengenai kulit dan panglima ini pucat. Dia tak dapat bicara meskipun di dalam hati tentu saja marah bukan main. Kalau tak ada niat membalas kekalahan barangkali dia akan menubruk lawannya itu, tak gentar menyambut kematian. Namun karena dia berpikiran jauh ke belakang dan semua ucapan dua bekas rekannya itu ditelan, mentah-mentah maka dia ditangkap dan Thaitaijin maupun Lauwtaijin meminta dia untuk membantu dua orang itu.
"Kami akan melatih pasukanmu dengan senjata api. Kau ikutlah kami dan kita bersatu!"
"Maaf, sementara ini aku belum dapat, taijin. Kesetiaanku kepada kaisar masih tebal. Aku tak dapat memenuhi permintaan kalian dan boleh kalian bunuh aku kalau tidak puas!"
"Hm, kau gagah. Tapi tolol! Kalau tidak melihat kegagahanmu ini tentu kami sudah membunuhmu, ciangkun. Kami mem butuhkan orang-orang gagah macam dirimu ini tapi yang berpikiran sehat. Kalau kau belum dapat menerima tawaran baik kami biarlah kami bersabar dan lihat sampai kapan kau mau!"
Gwa-ciangkun bersinar-sinar. Dua lawannya itu tertawa mengejek dan meninggalkannya, pasukannya dilatih dan seribu tentara perbatasan dikuasai. Dia hanya melihat saja segala sepak terjang dua orang itu. Dan ketika pasukannya mulai mahir bersenjata api dan pasukan yang dipunyai dua orang pemberontak itu juga menyatu dan menggabung sambil mengawasi maka Thaitaijin dan Lauwtaijin akhrinya menyerang dan mulai memasuki pedalaman.
"Mereka benar-benar berbahaya," Cun-ongya menarik napas panjang, meneruskan ceritanya, mata bersinar-sinar. "Dua pemberontak itu akhirnya didengar kaisar, Dewa Mata Keranjang. Dan sri baginda tentu saja marah bukan main. Kami diperintahkan menumpasnya. Tapi karena mereka bersenjata api dan pasukan istana hanya mempergunakan senjata tombak dan pedang maka pasukan kami berkali-kali hancur, kalah!"
"Hm, senjata api memang hebat. Letusannya luar biasa dan pelurunya pun menyambar dengan amat .luar biasa cepat," Fang Fang berkejap-kejap, teringat serangan tiga pemuda bule tadi dan sang pangeranpun mengangguk-angguk. Dia memandang penuh harapan kepada pemuda ini karena tadi Fang Fang dapat mengelak sambaran peluru yang demikian cepat. Maka bersinar memandang pemuda itu dan gurunya pangeran ini berkata,
"Benar, senjata api tak dapat dilawan dengan senjata biasa, Fang Fang. Kecuali oleh orang-orang macam dirimu dan gurumu ini. Kau mengagumkan, tembakan mereka dapat kauhindari. Hm, kami membutuhkan sebanyak-banyaknya pemuda-pemuda macam dirimu ini!"
"Ha-ha!" Dewa Mata Keranjang tertawa penuh maklum. "Aku tahu maksudmu, pangeran. Dan jangan khawatir muridku akan menolak. Sekarang ceritakan bagaimana dengan orang-orang Barat itu!"
"Mereka melihat kesempatan bagus," sang pangeran berkedip-kedip, tiba-tiba sinar matanya berkilat tak rela. "Adanya pemberontakan ini didengar mereka. Dewa Mata Keranjang. Dan kini mereka menawarkan lagi usulan untuk menjual senjata api, untuk menumpas pemberontakan dua pembesar khianat itu!"
"Dan sri baginda menolak?"
"Hm, tidak. Tapi juga tidak segera menerimanya. Paman Li menasihati sri baginda untuk tidak tergesa menerima tawaran mereka."
"Tapi senjata api harus dihadapi dengan senjata api pula!"
"Benar, itu kalau perajurit, Dewa Mata Keranjang. Tapi kalau senjata api meng hadapi orang selihai dirimu agaknya tak banyak bisa berbuat!"
"Ha-ha, kau memuji diriku. Baiklah, lalu bagaimana" Dan siapa paman Li itu" Ah, lama aku tak ke sini, dan tiba-tiba saja sudah mendengar perobahan demikian banyak!" Dewa Mata Keranjang menggaruk-garuk telinganya, menyesal tak pernah menemui sahabatnya dan negara tiba-tiba saja sudah dipenuhi bermacam cerita. Datangnya orang-orang Barat dan masuknya mereka sambil membawa senjata api sungguh tidak diketahuinya. Terlalu lama dia mengeram di gunung. Dan ketika pangeran bersinar dan menjentikkan kukunya maka pangeran menjawab,
"Paman Li adalah penasihat kaisar. Dia adalah Li-thaikam, orang yang dekat juga denganku. Dan karena aku khawatir sri baginda mengambil keputusan terburu-buru maka lewat Li-thaikam inilah aku memberikan pandangan-pandanganku. Dan sampai saat ini usulan mereka belum dijawab!"
"Dan untuk itu mereka bersidang!" Fang Fang tiba-tiba menimbrung. "Ah, benar-benar kesempatan bagus bagi mereka, ongya. Tapi apakah ruginya menerima tawaran itu" Bukankah benar bahwa senjata api harus dihadapi dengan senjata api pula" Terlepas dari pro dan kontra aku pribadi mengagumi senjata orang Barat itu, ongya. Benar-benar luar biasa dan melebihi senjata-senjata rahasia milik orang-orang kang-ouw!"
"Hm, benar. Tapi bahayanya dapat memecah belah diri sendiri, seperti apa yang pernah dilakukan anak buah Thaitaijin dan Lauwtaijin itu."
"Itu karena kurangnya pengawasan, ong ya. Kalau diatur sedemikian rupa dan dijaga ketat agaknya tak sembarang orang berani membunyikan senjata api!"
"Benar, tapi bantuan atau pertolongan bangsa asing selamanya harus kita waspadai, Fang Fang. Mereka tak memberikan bantuan atau pertolongan dengan begitu saja. Mereka mengharap untung yang amat besar dari tukar-menukar ini, seperti halnya mereka mengambil barang-barang dari kita, teh dan porselin itu, juga sutera!"
"Hm, dagang memang selalu begitu," Dewa Mata Keranjang kini menyeringai. "Orang dagang selalu mengharapkan untung besar, pangeran. Kalau tidak besar bukan dagang! Asal ada timbal balik di sini dan masing-masing sama mendapatkan untung besar kukira tetap tidak apa-apa!"
"Kau keliru," sang pangeran menggeleng. "Keuntungan materi dapat diatur, Dewa Mata Keranjang. Tapi kerugian di bidang lain dapat membahayakan negara. Ada pengaruh buruk dari bangsa Barat itu yang hendak diinjeksikan ke bangsa Han, dan itu adalah kebudayaan mereka!"
"Hm, kebudayaan" Bagaimana ini?"
"Kau tak akan mengerti, tapi kelak kau akan menyadari. Bangsa Barat itu suka dansa-dansi, bebas berhubungan antara lelaki dan perempuan. Kalau hal ini tidak diwaspadai sejak dini maka bangsa kita bisa terkena pengaruh itu dan rusak moralnya!"
"Ah!" Dewa Mata Keranjang terkejut, muka berobah, tiba-tiba merah gelap. "Maksudmu?"
"Maaf, aku tidak menyinggung dirimu, Dewa Mata Keranjang. Tapi hendak berkata bahwa pengaruh Barat hendak disusupkan di sini. Mereka hendak membawa kebudayaan mereka untuk mengganti kebudayaan di sini, dengan lain kata mereka hendak merusak kebudayaan bangsa Han dengan dansa-dansi asing itu, hubungan lelaki-perempuan!"
"Seperti diriku?"
"Jangan salah paham, aku tidak menyebutmu rusak moral. Kau suka wanita dan mempunyai banyak kekasih adalah atas dasar suka sama suka, Dewa Mata Keranjang. Karena para wanita itupun sudah mengetahui siapa dirimu dan berani menerimamu. Kau berpetualang lain dengan mereka. Sebab kalau kau didasari a-tas rasa suka sama suka, cinta, adalah mereka itu semata memuaskan nafsu berahi saja! Nah, jangan salah paham dengan semua kata-kataku ini, Dewa Mata Keranjang. Kau dan mereka lain, meskipun tampaknya sama!"
"Ha-ha!" Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. "Yang menyebabkan aku begini sebenarnya adalah kau juga, pangeran. Kalau kau tak membujukku untuk tinggal di istana dan menikmati wanita-wanita cantik tentu aku tak akan begini jadinya. Ha-ha, kau tak berani menyalahkan aku karena sama halnya akan menyalahkan dirimu juga!"
"Hm," sang pangeran merah mukanya, tersenyum. "Kau benar, Dewa Mata Keranjang. Tapi kalau kau tak terpengaruh dan kuat daya tahanmu tentu kaupun tak akan ikut-ikutan. Ah, sudahlah. Kita memang lemah terhadap pengaruh luar, yang memabokkan!" dan ketika keduanya sama tertawa dan Fang Fang tersenyum, geli dan bersinar-sinar maka Cun-ongya kembali bercerita akan maksudnya.
"Aku mencarimu ke mana-mana, mengutus orang tetapi gagal. Ke mana kau selama ini" Bersembunyi di mana kau, Dewa Mata Keranjang?"
"Ha-ha, aku menyembunyikan diriku di Liang-san!"
"Pantas, dan kau ke sini tentu karena ada kesulitan!"
"Ha-ha, kau bermata tajam. Sebenarnya kesulitan bukanlaji kesulitan, pangeran. Melainkan semata menjauhi permusuhan hingga aku ke sini. Terus terang aku dilabrak sebelas kekasihku, yang datang dan marah-marah mengeroyok aku. Dan karena aku tak ingin memusuhi mereka karena sebenarnya merekapun masih kucinta maka daripada melayani kemarahan lebih baik aku kemari dan minta perlindunganmu!"
"Hm, kau lihai, tak perlu perlindungan. Bilang saja bahwa kau ingin menyembunyikan diri di istana dan bersenang-senang!"
"Ha-ha, tidak sepenuhnya begitu, pangeran. Aku sudah tua, masalah wanita atau senang-senang sudah cukup. Aku sebenarnya bermaksud menyelamatkan muridku ini!"
"Dari kemarahan kekasih-kekasihmu itu?"
"Benar."
"Hm," sang pangeran tertawa. "Aku khawatir muridmu kauajak untuk maksud yang lain, Dewa Mata Keranjang. Kau hen dak meneruskan tabiatmu pada diri muridmu ini!"
"Ha-ha, pangeran terlalu menduga berlebihan. Baiklah, lihat saja, pangeran. Tapi aku benar-benar ingin menjauhkan muridku ini dari permusuhan kekasih-kekasih-ku itu!"
"Apa yang terjadi?"
"Biasa, kecemburuan!"
"Dan kau ingin mendidik muridmu di sini?"
"Ha-ha, tak perlu curiga. Muridku dapat bersenang-senang di mana dia suka, pangeran. Tapi aku akan memberitahunya agar berhati-hati kalau di istana!"
"Baiklah, harap peristiwa lama tak terulang lagi, Dewa Mata Keranjang. Aku telah mendapat maaf dari sri baginda kaisar dan urusan itu telah dapat dihapuskan. Harap kau menjaga muridmu dan menasihatinya kalau di sini."
"Jangan khawatir, aku tahu," dan ketika Fang Fang mengerutkan kening dan tidak mengerti, kenapa dua orang itu bicara seperti itu maka gurunya bertanya lagi tentang maksud pencariannya.
"Aku ingin meminta pertolonganmu, terus terang saja," sang pangeran bersinar-sinar, menjawab lirih. "Kau telah melihat dan mendengar ceritaku akan masuknya bangsa Barat ini, Dewa Mata Keranjang. Dan tanpa kujelaskan agaknya kau sudah tahu!"
"Hm," kakek itu mengangguk-angguk. "Sebagian besar telah kutahu, pangeran, kumengerti. Tapi jelaskan saja tugas apa yang harus kulakukan bersama muridku ini."
"Kebetulan kalian datang berdua. Aku ingin membuat kejutan."
"Kejutan bagaimana?"
"Satu di antara kalian harus mengamati dan mengawasi gerak-gerik tuan Smith itu, yang lain ke perbatasan!"
"Hm!" kakek ini terkejut. "Kenapa harus memisah kami, pangeran. Aku tak dapat membiarkan muridku sendiri, Fang Fang belum pengalaman!"
"Itu dapat diatur. Dia dapat pergi ke perbatasan dan kau mengamati serta mendekati rombongan tuan Smith itu, secara diam-diam. Aku curiga akan tindak-tanduk mereka di balik semua penawaran ini."
"Maksud pangeran?"
"Kau tahu mereka telah menawarkan kembali senjata apinya, Dewa Mata Keranjang. Dan aku sebenarnya malu bahwa di negeri ini ada pemberontak! Lauwtaijin dan Thaitaijin telah mencemarkan nama negara, kau tangkap mereka itu dan bawa ke mari. Dan kalau kau dapat menangkap mereka hidup-hidup dan pemberontakan di perbatasan dapat dipadamkan maka tawaran senjata api itu tak perlu kita terima dan usaha-usaha orang-orang Barat itu dapat kita bendung agar tidak terlalu intim dengan kita!"
"Hm, paduka kiranya hendak mencegah masuknya budaya asing itu dengan mengendalikan diri dalam urusan perdagangan."
"Benar."
"Dan paduka cemas akan nasib bangsa kalau sudah disusupi kebudayaan Barat itu!"
"Benar."
"Tapi apakah kebudayaan itu benar-benar berbahaya bagi rakyat, pangeran" Bukankah itu semua tergantung daya tahan kita seperti paduka sendiri menyindir hamba masalah pengaruh?"
"Hm, tak usah dibantah bahwa manusia mudah terpengaruh dan terbawa oleh nikmat duniawi berupa kesenangan, Dewa Mata Keranjang. Apalagi kesenangan sex! Meskipun aku dan kau juga termasuk orang-orang yang begini tapi hal ini ingin kucegah jangan sampai melebar. Kita orang istana memang suka melakukan itu, tapi rakyat tak boleh karena negara bisa kacau!"
"Hm, paduka bersikap tidak adil. Kalau paduka, para bangsawan dan pembesar tinggi negeri boleh melakukan itu kenapa rakyat tak boleh, pangeran" Paduka dan mereka sama saja, sama-sama manusia yang terbawa oleh kodrat kemanusiaannya untuk menikmati kesenangan hidup!"
Sang pangeran merah mukanya. Kalau bukan Dewa Mata Keranjang yang bicara tentu dia sudah marah. Kakek itu bicara blak-blakan tanpa sungkan, menuding ketidakadilan di istana sementara orang lain, dalam hal ini rakyat, tak boleh melakukan seperti apa yang mereka lakukan. Tapi ketika pangeran itu berhasil menguasai hatinya lagi dan tertawa maka pangeran berkata,
"Dewa Mata Keranjang, kau tahu bahwa kaum bangsawan atau pembesar-pem-besar negeri sudah mendapat hak istimewa dalam hal begini. Mereka mendapat tugas berat di pundaknya untuk mengatur rakyat, kehidupannya. Dan karena tugas ini memang berat dan penuh resiko maka kukira sudah sewajarnya apabila semuanya itu diimbangi dengan kesenangan untuk penyegar rohani. Bukankah pekerjaan berat harus diimbangi suatu kesenangan agar tidak terlalu berat terasa?"
"Ha-ha, paduka pandai bicara! Berat atau tidak itu sudah menjadi kewajiban mereka, pangeran. Kalau tak mau berat tak usah saja menjadi abdi rakyat. Pemimpin memang dituntut begitu, sudah tugasnya untuk mengatur rakyat. Kalau ini dijadikan dalih untuk mencari kenikmatan hidup maka pemimpin macam itu sebenarnya bukan model pemimpin sejati. Sudahlah, aku tahu semuanya ini dan tak usah dibicarakan panjang lebar. Salah-salah lidahku nanti keselio, ha-ha!" dan Dewa Mata Keranjang yang tak mau bicara tentang pejabat istana lalu minta agar pangeran menetapkan keinginannya, perintah untuk mereka berdua itu.
"Aku ingin kau dan muridmu membagi tugas. Kau mengamati gerak-gerik tuan Smith itu dan muridmu menumpas pemberontakan di perbatasan!"
"Hm, begitu?" kakek ini manggut-mang-gut, tiba-tiba menoleh pada muridnya. "Bagaimana menurut pendapatmu, Fang Fang" Kau setuju?"
"Ah, ini terserah suhu," Fang Fang tersenyum. "Aku hanya menurut perintah, suhu. Kalau kau bilang baik tentu bagiku juga baik. Kalau kau bilang tidak tentu bagiku juga tidak. Terserahlah, aku tak dapat memberikan komentar."
"Eh, jangan begitu, bocah. Setidak-tidaknya kau mempunyai gambaran tentang ini. Bagaimana pendapatmu tentang orang-orang Barat itu!"
"Mereka menarik, dan gagah-gagah. Secara fisik aku mengagumi mereka!"
"Celaka!" kakek ini tertawa. "Kau mengagumi penampilan lahiriah, A-fang. Kau tidak melihat sepak terjang mereka itu, maksud buruk seperti yang Cun-ongya beritahukan!"
"Hm, aku belum membuktikannya sendiri, bagaimana tahu tentang itu" Sudahlah, diperintahkan apapun aku menurut, suhu, tinggal terserah kau dan aku berangkat!"
Sang kakek terbahak, menoleh lagi pada Cun-ongya. "Nah, lihat," katanya. "Kami berdua siap menjalankan tugas, pangeran. Tapi agaknya tak seperti keinginanmu. Aku punya usul, entah kau setuju atau tidak."
Sang pangeran berseri, gembira. "Usul apa, Dewa Mata Keranjang" Asal baik tentu aku setuju!"
"Begini, tugas sebaiknya dibalik saja. Aku ke perbatasan dan muridku ini di sini!"
Sang pangeran tertegun.
"Maaf, aku tak mengenal anak-anak muda itu, pangeran. Kukira lebih cocok kalau Fang Fang mendekati mereka dan aku ke perbatasan. Anak-anak muda pembantu tuan Smith itu agaknya lebih cocok dengan Fang Fang daripada aku. Mereka muda sama muda, lagi pula telah berkenalan sejenak, meskipun lewat pistol. Kalau kau setuju biarlah aku yang ke perbatasan dan muridku ini di sini, menyelidiki serta mendekati mereka!"
Cun-ongya terkejut. Tiba-tiba dia mengerutkan kening berpikir keras. Fang Fang ini telah membuat onar dan hampir saja keributan itu menimbulkan korban. Murid Dewa Mata Keranjang ini agak membuat hatinya was-was dan tak dapatlah pangeran itu menjawab dengan segera. Tapi ketika kakek itu tertawa dan berkejap aneh tiba-tiba Dewa Mata Keranjang memberi jaminan.
"Aku tanggung muridku tak bakal mengulang sejarah lama. Aku dapat memberitahunya. Kalau paduka khawatir boleh semuanya ini ditimpakan kepadaku sebagai orang yang bertanggung jawab!"
"Hm, bukan begitu," Cun-ongya merah mukanya. "Aku cukup percaya padamu, Dewa Mata Keranjang. Tapi muridmu ini masih baru di istana. Jangan-jangan"."
"Tidak," kakek itu tertawa. "Fang Fang tak akan merepotkanmu, pangeran. Kalau kau khawatir?" kakek ini tiba-tiba mendekat, berbisik tertawa. "Bukankah ada gadis-gadis bule yang kausebutkan itu" Nah, biarkan mereka berdua, pangeran. Dan muridku tak akan mengganggu puteri-puteri istana!"
Pangeran tiba-tiba tersenyum. Fang Fang tak mendengar bisikan itu karena gurunya sengaja tak mau memperdengarkan suaranya. Dia melihat Cun-ongya tiba-tiba tertawa dan tersenyum lebar, mengangguk-angguk. Dan ketika gurunya menarik mundur kepalanya dan terbahak gembira maka pangeran berseru,
"Baiklah, boleh, Dewa Mata Keranjang. Kau memang cerdik dan pandai melihat jauh ke depan. Aku setuju, kau boleh ke perbatasan dan muridmu ini di sini!"
Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Dia membalik dan tiba-tiba menepuk pundak muridnya. Dan ketika Fang Fang terkejut namun gembira karena kembali ingatannya tertuju pada puteri We Yin maka gurunya berkata, "He, kau di sini, Fang Fang. Pangeran telah setuju dan kita berpisah. Aku hendak ke perbatasan, tapi ingin kuberi pesan. Jangan mengganggu lagi puteri-puteri istana atau gurumu harus bertanggung jawab kepada kaisar dan kita tak boleh tinggal di sini lagi!"
"Hm," Fang Fang tersenyum, mengangguk tak perduli, diam-diam tentu saja tertawa. "Aku mengikuti perintahmu, suhu. Aku berjanji."
"Baiklah, kalau begitu selanjutnya boleh kautanyakan pada pangeran apa yang harus atau akan kaulakukan. Begitu, pangeran?" lalu ketika sang pangeran mengangguk dan tersenyum maka kakek ini tiba-tiba berkelebat, tertawa di luar. "Pangeran, kalau begitu aku pergi. Tolong jaga baik-baik muridku itu agar tidak melantur" wut!" dan sang kakek yang terbahak dan lenyap di luar sana tiba-tiba berbisik pada muridnya, melalui ilmu mengirim suara dari jauh, "A-fang, awas, jangan bikin malu gurumu. Pangeran akan mengaturmu agar dekat dengan pemuda-pemuda bule itu. Di sana ada tiga ceweknya yang boleh kaudekati. Ha-ha, berkenalanlah!"
Fang Fang tersenyum. Dia mengangguk tapi tentu saja tidak tertarik. Hm, pikirannya tiba-tiba bekerja kembali pada wajah jelita puteri We Yin itu, dia tergetar, berdebar dan tentu saja diam-diam sudah menyembunyikan maksud untuk menemui sang puteri lagi. Kebetulan dia ditaruh di istana! Dan ketika Fang Fang tersenyum dan sang pangeran memberi petunjuk-petunjuk lebih lanjut maka Dewa Mata Keranjang dan muridnya mulai bekerja untuk istana!
-O-dd-ww-O- "Hebat!" tiga pemuda berseru kagum, duduk mengelilingi meja. "Pemuda itu dapat mengelak peluru kita, James. Dia orang pertama yang mampu menghindari senjata api dari kita bertiga!"
"Benar," James, pemuda gagah berambut pirang yang duduk di sebelah kanan mengangguk, bersinar-sinar. "Murid Dewa Mata Keranjang itu memang hebat, Michael. Dan aku kagum. Kalau saja dia dapat menjadi pembantu ayah!"
"Hm, apa yang kalian bicarakan?" pria setengah baya tiba-tiba muncul, keluar dari kamarnya. "Apa yang kalian bicarakan, James" Siapa yang kalian kagumi?"
"Anak muda itu, murid si Dewa Mata Keranjang!"
Si tua tertegun, tiba-tiba mendengus. "Dia calon lawan yang berbahaya, aku tak suka!" lalu ketika tiga anak muda itu terkejut dan membelalakkan mata maka si tua gagah yang bukan lain tuan Smith adanya melangkah lebar dan keluar meninggalkan tiga pemuda itu. "James, di luar masih ada pekerjaan untuk kalian. Jangan mengobrol saja!"
-0odwo0" Jilid : VIII JAMES, pemuda gagah itu tertegun. Ayahnya memperingatkan mereka bahwa di luar memang masih ada pekerjaan, mereka tak boleh mengobrol saja. Maka mendesah meletakkan botol minumannya pemuda ini bangkit berdiri menggapai dua temannya yang lain.
"Michael, ayah benar. Di luar masih menunggu pekerjaan. Hayo kita berangkat dan selesaikan pekerjaan itu!"
Dua pemuda bangkit aras-arasen. Leo, pemuda ketiga tampak mengomel pula. Tapi ketika James membentak dan menyuruhnya diam maka pemuda inipun tak banyak mulut dan bangkit berdiri, pergi keluar.
"Kita bersiap-siap. Tugas kita belum sepenuhnya berhasil, Leo. Ayah bisa kena marah kalau kita di sini tak bekerja sungguh-sungguh!"
Leo mengangguk. Michael di sebelahnya juga mengangguk, bergumam. Tapi ketika mereka pergi tiba-tiba muncul utusan dari Cun-ongya.
"Nanti malam ongya mengundang kalian. Ada perjamuan keluarga."
"Ah, perjamuan apa" Ada keramaian-kah?"
"Tidak, hanya sedikit pesta kecil, tuan muda. Genap empatpuluh tahunnya Cun ongya."
"Ah-ah, terima kasih. Bagus kalau begitu. Kami datang!"
Lalu ketika utusan itu pergi pemuda gagah ini berseri memandang dua temannya. "Leo, Michael, apa yang akan kita hadiahkan pada Cun-ongya" Kalian ada gagasan?"
"Hm, apalagi kalau bukan senjata api" Pangeran sedang berulang tahun, James. Baik sekali memberikan jenis senjata baru kepadanya. Kita bisa minta pada ayahmu untuk memberikan pistol kaliber 38 itu!"
"Ah, ini bagus. Betul juga, mudah-mudahan ayah tidak keberatan! Mari kita bekerja!" tapi ketika pemuda-pemuda itu hen dak berangkat dan menuruni tangga tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan seorang gadis berambut pirang muncul berseru nyaring,
"Hei, mana pemuda yang katanya mampu menghadapi senjata api, James" Apakah dia kebal" Mana pemuda itu?"
"Eh, kau, Sylvia. Dari mana" He, tadi ayah mencari-carimu. Jangan keluyuran saja di tempat ini" cup!" sebuah kecupan tiba-tiba mendarat di pipi James, memotong kata-katanya dan gadis yang baru datang itu tertawa begitu riang. Ia adalah gadis pirang berwajah cantik, matanya berbinar-binar dan begitu hidup bak bintang kejora. Sikapnya yang bebas dan tidak malu-malu jelas membedakan gadis ini dari gadis-gadis Han, nyatalah dia gadis kulit putih yang cantik tapi juga gagah. Dan ketika James mendapatkan ciumannya dan Leo serta Michael tiba-tiba berseri melihat gadis ini maka Sylvia, gadis itu, memegang lengan James dan mengguncangnya tertawa.
"Eh, kenapa ditanya malah balas bertanya" Aku mendengar ribut-ribut kemarin, James. Dan katanya ada seorang pemuda lihai yang kebal senjata api! Mana dia" Mana pemuda itu" Siapa namanya?"
"Hm, kau nyerocos saja seperti kembang api tiada habisnya. Aku tak mau menjawab pertanyaanmu kalau kau tak menjawab ke mana saja kau kemarin!"
"Aku pergi bersama puteri We, berbu-
"Benar, James. Kemarin sang puteri bicara padaku tentang pemuda yang datang mengganggunya. Lalu sebal dan marah dia kemudian kuajak berburu!"
"Berdua saja?"
"Tidak, bersama beberapa pengawal. Kenapakah" Eh, kau ini aneh. Ditanya belum menjawab sudah memberondong saja dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Hayo jawab pertanyaanku tadi apakah betul a da pemuda kebal senjata api!"
James tersenyum. "Tidak," katanya. "Tak ada pemuda kebal senjata api di sini. Yang benar ialah pemuda itu dapat menghadapi senjata api?"
"Dapat menghadapi senjata api berarti kebal!" si gadis memotong. "Bagaimana kau bilang tidak, James" Kok aku jadi bingung!"
"Kau suka memotong pembicaraan orang," James melotot, gemas. "Kalau orang belum selesai bicara jangan main potong dulu, Sylvia. Makanya dengar apa yang hendak kuceritakan tapi, eh" di sini ada Leo dan Michael!"
"Ha-ha!" Leo, pemuda ketiga tertawa bergelak. "Tak, apa, James. Teruskan saja bicara karena kami telah mengenal watak adikmu ini!"
"Benar," Michael, yang tersenyum-senyum kecut juga bicara, menyambung. "Tak apa adikmu ingin bercakap-cakap, James. Sylvia memang begitu dan kami sudah tahu."
"Ah, maaf," James tertawa, menyuruh adiknya menoleh. "Beri salam dulu pada mereka, Sylvia. Jangan bikin maiu kakakmu!"
"Hai!" si gadis memberi salam, menoleh. "How are you, Leo" Apa kabar, Michael?"
"Fine, thanks."
"Ha-ha, terima kasih!" dan ketika dua pemuda itu membalas sambil tertawa maka Sylvia si gadis cantik ini sudah menoleh lagi pada kakaknya, tak perduli pada dua pemuda itu.
"Aku ingin bercakap-cakap denganmu, di dalam. Bisakah?"
"Kau mau bicara apa?"
"Banyak, James. Banyak hal-hal yang ingin kuketahui. Kalian bertiga mau ke manakah dan dapatkah kuganggu sebentar?"
"Hm," James memandang dua temannya, memberi isyarat. "Kalian pergi duluan, Leo. Aku menyusul. Adikku ingin bicara!"
Leo mengangguk. Ganda ketawa tapi tidak menunjukkan kemendongkolan pemuda berhidung mancung ini pergi, memutar tubuhnya. Tapi Michael pemuda satunya yang agak menggerutu bicara sebelum pergi,
"Aku harap kau tidak melupakan pekerjaanmu juga, James. Jangan lama-lama agar perintah ayahmu dapat bertiga kita rampungkan!"
"Tentu, jangan khawatir," dan Michael yang pergi memutar tubuhnya lalu memberi senyum menarik pada Sylvia, tak digubris dan pemuda itu mendongkol. Dan ketika dua temannya itu pergi dan sudah mengurus tugasnya masing-masing maka Sylvia mengajak kakaknya masuk.
"Aneh kau ini," kakaknya menegur. "Michael tampak tak suka melihat sikapmu, Sylvia. Janganlah terlampau acuh pada dua temanku itu!"
"Ih, memangnya kenapa" Aku harus bermanis-manis dan menyambut Michael dengan hangat" Cih, dialah yang harus tahu diri, James. Ayah adalah majikannya dan jelek-jelek aku nona majikan pula!"
"Hush, kau tak boleh terlalu sombong! Jangan berkata-kata seperti itu di depan mereka!"
"Biarlah, memang aku tak acuh pada mereka itu!" dan sang adik yang sudah duduk menarik kursi lalu tertawa memandang kakaknya yang cemberut. "James, aku ingin mendengar pemuda yang kebal itu. Siapa dia dan di mana sekarang!"
"Kau mau apa?" sang kakak juga menarik kursi, mengerutkan kening. "Dia adalah Fang Fang, Sylvia. Murid si Dewa Mata Keranjang!"
"Dewa Mata Keranjang" Siapa orang ini?"
"Tokoh lihai di Tiongkok, amat disegani dan menjadi sahabat Cun-ongya pula!"
"Ah-ah, hebat kalau begitu. Dan si Fang Fang itu menjadi muridnya! Aih, bolehkah aku berkenalan, James" Boleh aku melihat dan menyaksikan kepandaian pemuda itu?"
"Hm, kau mau apa" Apa yang ingin kaulakukan?"
"Aku ingin tahu kelihaiannya, dan melihat apakah dia kebal peluru!"
"Tidak, tak mungkin itu. Tak ada orang kebal peluru! Hm, pemuda itu hanya memiliki kepandaian mengagumkan saja, Sylvia. Dan ilmu meringankan tubuhnya luar biasa sekali. Dia dapat berkelit di udara ketika berjungkir balik menghindari senjata api kami bertiga!"
"Ah, ceritakan itu. Aku ingin dengar!" dan si cantik yang duduk merobah posisi kakinya lalu bersinar-sinar memandang si kakak, minta agar James menceritakan itu dan berceritalah pemuda berambut pirang ini dengan mata bersinar-sinar pula. James memang kagum dan tak dapat disangkal bahwa diapun tertarik terhadap murid si Dewa Mata Keranjang itu, Fang Fang. Dan ketika ceritanya selesai dan Sylvia bangkit berdiri maka gadis ini bertepuk tangan mendecak kagum.
"Hebat, luar biasa sekali. Fantastis! Ah, dapatkah kau membawa aku berkenalan dengan pemuda itu, James" Bisakah kau membuktikan padaku akan kehebatan si Fang Fang ini?"
"Aku juga ingin berkenalan. Tapi kau, hmm?" si kakak memandang tajam. "Kau lebih dari itu, Sylvia. Kau sudah cenderung tertarik dan tergila-gila. Kau mencurigakan!"
"Eh!" si adik terkejut, tiba-tiba berobah mukanya, merah. "Apa maksudmu, James" Kau menganggap aku?"
"Benar!" si kakak memotong, alis bergerak naik. "Kau jangan jatuh cinta kepada orang Han, Sylvia. Kau tahu mereka ini masih bangsa biadab dan tak layak mendapatkan orang lnggeris!"
"Aku bukan jatuh cinta!" si gadis bang kit berdiri, tiba-tiba marah dan membentak. "Aku hanya ingin tahu dan mengagumi pemuda itu, James. Kau tahu kita adalah orang-orang pengagum kegagahan kalau ada sesuatu yang luar biasa, jantan! Kau tak boleh menuduhku yang macam-macam dan lagi mana bisa jatuh cinta kepada orang yang belum dilihat wajahnya!"
"Maaf," sang kakak bersikap lunak. "Aku hanya memperingatkanmu, Sylvia. Dan jangan marah kalau aku salah. Sudahlah, Fang Fang memang lihai dan aku sendiri menaruh kagum!" lalu berdiri menyuruh adiknya duduk sang kakak sudah meredakan kemarahan gadis ini, kembali bercerita tentang Fang Fang dan Sylvia tampak melotot gusar, tak mau duduk dan tiba-tiba berlari keluar. Dan ketika sang kakak tertegun karena ceritanya tak lagi menarik maka Sylvia sudah menghilang di luar dan baru pemuda itu bangkit mengejar.
"Hei, tunggu. Nanti dulu! Maafkan aku, Sylvia. Tapi aku dapat mengajakmu berkenalan dengan pemuda itu!"
"Aku tak perduli!" Sylvia mempercepat larinya. "Aku sudah tidak ingin kauajak lagi, James. Kau terlalu menghina aku dengan kata-katamu tadi!"
"Eh-eh, maaf. Jangan lari dulu dan lihat ini!" dan si pemuda yang cepat menangkap dan menyambar lengan adiknya lalu buru-buru mengeluarkan kartu undangan. "Malam ini Cun-ongya berulang tahun. Tidakkah kau ingin ikut" Ayah tak dapat datang, Sylvia, dan kita mewakili. Hayo jangan ngambek lagi karena si Fang Fang pasti ada juga di sana!"
"Aku tak ingin mengenal pemuda itu!"
"Kita tidak berkenalan, melainkan datang memenuhi undangan pangeran Cun!"
"Biarlah, aku tak ikut!" dan ketika si gadis meronta dan melepaskan diri maka si pemuda tertegun karena sang adik sudah melarikan diri lagi, menangis. "James jangan membujuk aku lagi. Sekali kau mengejar tentu aku tak mau sudah dan kita bakal berkelahi!"
James, pemuda ini, menarik napas pan jang. Dia tahu kekerasan watak gadis itu dan tak mengejar adiknya lagi. Dan ketika dia hanya mengikuti dengan pandang mata dan melihat adiknya melompat di atas punggung kuda maka adiknya itu sudah mencongklang dan terbang seperti dikejar setan.
"Hati-hati, awas di jalan raya!"
Namun Sylvia tak menghiraukan. Gadis ini terlanjur marah dan mendongkol pada sang kakak, perasaannya tersinggung dan tak mau dia menggubris kata-kata itu. Dan ketika kudanya terbang dan meluncur deras keluar istana maka para pengawal melongo dan terbelalak melihat larinya gadis ini, beberapa di antaranya berbisik-bisik dan belasan pasang mata memandang kagum tubuh sintal itu. Sylvia memang tinggi besar untuk ukuran gadis-gadis Han dan si cantik berambut pirang itu sudah lari kencang di atas kudanya, kabur dan keluar kota. Dan ketika para pengawal menyeringai namun tak satupun berani mengganggu, karena gadis itu adalah puteri tuan Smith yang menjadi tamu negara maka si cantik sendiri sudah lenyap dan keluar dari gerbang kota raja, tanpa pengiring.
"Hei, mau ke mana!" penjaga di pintu gerbang sempat berteriak, bertanya. Tapi ketika Sylvia hanya mendengus dan tidak mengacuhkan pertanyaan itu maka pengawal melihat gadis ini menuju hutan di luar gerbang kota raja.
"Sialan, mentang-mentang tamu terhormat. Kalau bukan gadis itu tentu sudah kukejar dan kutangkap!"
"Sudahlah," temannya tertawa. "Gadis yang satu ini memang istimewa, Akun. Kaukejarpun tak akan ada gunanya. Kita semua tahu bahwa dia bukan gadis lemah. Bukankah dikeroyok sepuluh pengawalpun dia menang" Apalagi di pinggangnya itu ada senjata api. Wah, tak usah mengganggu saja!" dan ketika pengawal ini tertawa dan temannya menyeringai maka Sylvia yang sudah lenyap di sana memang tak akan mungkin diganggu siapapun lagi. Meskipun sendiri gadis itu bersenjata, tidak bersenjata apipun sebenarnya dia bukanlah gadis lemah, karena ia dan kakaknya adalah orang-orang yang belajar bela diri yuyitsu, semacam seni bela diri dari Jepang karena mereka memiliki seorang guru dari negeri Sakura itu, ditambah dengan ilmu bela diri mereka sendiri berasal dari Barat, sejenis ilmu bantingan atau perkelahian perorangan, yang biasanya dipergunakan di atas kuda. Dan ketika gadis itu lenyap dan menghilang memasuki hutan maka penjaga sudah tak dapat melihat bayangan gadis ini lagi. Namun, ketika mereka mendecak dan berbisik-bisik membicarakan gadis ini mendadak sesosok bayangan mirip iblis berkelebat di samping mereka, mengejar kuda yang sedang lari kencang itu.
"Hei, siapa lagi ini?"
"Siapa dia?"
"Ha-ha!" bayangan itu tertawa. "Aku iblis penjaga pintu gerbang, pengawal. Siapkan kembang dan dupa atau kalian roboh" wut-wut!" penjaga pintu gerbang berteriak kaget, tahu-tahu terlempar dan mereka sudah tak melihat bayangan seperti iblis itu lagi. Mereka terkejut dan tentu saja pucat. Dan ketika tawa bayangan itu bergema sampai lama maka empat penjaga menggigil dan berseru, dua di antaranya tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.
"Siluman! Kita bertemu penghuni alam halus! Aih, siapkan dupa dan kembang se-mangkok, kawan-kawan. Atau kita mampus dan tak melihat anak isteri lagi!"
"Benar," yang satu menyambung. "Iblis penghuni pintu, gerbang keluar, kawan-kawan. Dan dia mengejar gadis puteri tuan Smith itu. Ah, entah apa yang terjadi dan sebaiknya kita lapor komandan!"
Semua gemetar dan mengangguk. Mereka tak melihat siapa itu dan tentu saja menganggap bayangan yang luar biasa cepatnya ini adalah iblis. Kalau bukan, siapa lagi" Maka begitu bangkit gemetar dan terhuyung memutar tubuh dua di antaranya sudah berlari sementara dua yang lain menyiapkan kembang dan dupa, barangkali kembang setaman! Dan ketika para penjaga ribut-ribut di sini dan bayangan itu sudah mengejar Sylvia maka si cantik berambut pirang ini tak menyadari adanya pengganggu.
Panji Wulung 13 Kampung Setan Karya Khulung Perjodohan Busur Kumala 3
^