Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 2

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 2


dia rasakan tubuhnya ringan sekali menggeliat ia terus
melenting bangun.
Ternyata dihadapannya terdapat seorang dara baju hijau,
usianya di antara enam belas tahun. Dara itu tengah
tersenyum kepadanya.
Cu Jiang buru2 memberi hormat:
"Terima kasih atas pertolongan nona."
Dara itu tertawa mengikik.
"Namaku Siau Hui, jangan berterima kasih kepadaku,
tetapi berterima kasihlah kepada nonaku." katanya seraya
menunjuk ke samping.
Menurutkan arah yang ditunjuk dara itu, Cu Jiang
berputar tubuh dan ah ia terlongong-longong seperti patung.
Tiga tombak jauhnya, tampak seorang gadis yang
dandanannya seperti seorang puteri keraton dan cantiknya
laksana bidadari turun dari kahyangan. Tubuhnya yang
langsing ramping bagaikan setangkai bunga melati yang
dihempus angin membuai.
Puteri jelita itu tengah mengulum senyum yang mengikat
jiwa. Kecantikan puteri jelita itu tak dibawah jelita Ho
Kiong Hwa yang dijumpainya beberapa hari yang lalu itu.
Jika terdapat perbedaan maka letaknya hanyalah sikap
dan cahaya muka kedua jelita itu. Ho Kiong Hwa memiliki
sifat yang lemah lembut seperti sifat kewanitaan. Tetapi
jelita yang berada di di hadapan itu, memiliki sifat
kekerasan macam sikap seorang pendekar wanita.
Si cantik itu juga gemetar hatinya ketika beradu pandang
dengan Cu Jiang. Senyumnyapun pelahan2 lenyap, berganti
dengan pipinya yang bertebar merah.
Sikap si jelita itu benar2 membuat hati Cu Jiang berdebar
keras dan semangatnya melayang.
Keduanya seperti terpukau. Tak sepatahpun keluar dari
mulut masing2. Beberapa jenak kemudian Cu Jiang cepat tersadar. Ia
menyadari bahwa sikapnya itu kurang sopan. Segera ia
membungkuk tubuh dan berseru:
"Terima kasih atas pertolongan nona."
Wajah si cantik itu tersipu merah.
"Ah, tak usah siangkong mengatakan begitu. Siapakah
siangkong ini?"
"Namaku Cu Jiang."
"Dari perguruan manakah Cu siangkong ini?"
"Ini . . . mohon nona suka maafkan..."
"Kalau siangkong tak leluasa mengatakan, tak perlulah
siangkong memaksa diri."
"Mohon tanya siapakah nama yang mulia dari nona?"
"Aku Ki Ing."
"Ki Ing?" Cu Jiang mengulang. Ia tahu nona cantik itu
hanya mengatakan nama dan tidak menyebut shenya.
"Hm."
"Lalu bagaimana aku harus memanggil nona?"
"Panggil namaku saja."
"Apakah itu pantas , . ."
"Sudahlah, tak perlu memikirkan pantas atau tak
pantas." "Bagaimana kalau kupanggil nona Ki?"
"Baik."
Tentulah ada sebabnya mengapa si cantik itu tak mau
mengatakan shenya. Dan Cu Jiang pun tak mau mendesak.
Demikian pula tentang asal usul si cantik itu, dia tak mau
bertanya dengan melilit. Karena dia merasa, dia sendiri juga
sedang merahasiakan dirinya.
"Bagaimana nona dapat datang ke dalam hutan belantara
sini dan menolong . . ."
"Anggap saja secara kebetulan."
Cu Jiang tahu bahwa tadi dirinya telah di bawa oleh dara
baju hijau yang bernama Siau Hui itu.
Seorang dara tampaknya begitu lemah tetapi ternyata
mampu mengangkut tubuh Cu Jiang berlari sampai
beberapa li jauhnya, bukankah suatu peristiwa yang luar
biasa" Jelas dara itu tentu bukan dara sembarangan.
Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada puteri
cantik yang menyebut dirinya bernama Ki Ing. Jika
bujangnya memiliki kepandaian begitu hebat, tidakkah
nona majikannya akan lebih hebat lagi"
Merenungkan nona dan bujangnya begitu hebat
kepandaiannya. diam2 Cu Jiang malu dalam hati. Kini baru
ia menyadari betapa kecil dan rendah kepandaian yang
dimilikinya. Dunia ini benar2 penuh dengan manusia2 yang
berkepandaian tinggi, ia menganggap dirinya seperti "katak
dalam tempurung", menganggap kalau kepandaiannya
sudah hebat tetapi ternyata di luar, masih banyak orang2
yang jauh lebih sakti kepandaiannya.
"Nona, lebih baik kita lekas2 tinggalkan tempat ini." kata
Siau Hui. Puteri cantik itu mengangguk. Sepasang bola matanya
yang bersinar terang bagai bintang kejora, sejenak mengeliar
pandang ke wajah Cu Jiang.
"Betulkah karena melindungi seorang nona jelita, Cu
siangkong terlibat permusuhan dengan orang2 Gedung
Hitam" " tanya si cantik.
Cu Jiang terkejut sekali. Mengapa puteri cantik itu tahu
peristiwa yang lalu.
"Benar." ia mengiakan.
"Karena hal itu selanjutnya dalam dunia persilatan Cu
siangkong tentu bakal menghadapi bermacam-macam
kesulitan!" kata puteri cantik itu pula.
"Benar. Tetapi aku bersumpah takkan mundur."
"Aku hendak memberikan sebuah benda kepada Cu
siangkong."
Mendengar itu bujang Siau Hui hendak membuka mulut
tetapi tak jadi bicara.
"Nona Ki hendak memberi aku sebuah benda?" tiba2 Cu
Jiang tergerak hatinya.
"Hm, hanya sebuah mainan anak2, sebagai tanda
perkenalan kita saat ini!" puteri cantik itu terus
mengeluarkan sebuah bungkusan dan dibukanya. Dengan
dua buah jari tangannya yang runcing seperti bulu landak,
ia menjepit sebuah benda berwarna hijau tua. Ternyata
sebuah pending kumala hijau.
Pending adalah hiasan pada dada atau ikat pinggang,
terbuat dari permata.
Tergetar hati Cu Jiang saat itu. Wajahnyapun merah.
"Aku sudah berterima kasih sekali mendapat pertolongan
nona, mengapa masih akan diberi benda yang begitu
berharga lagi..."
Pipi si cantik itu Juga bertebar merah tetapi dengan suara
lantang ia berkata:
"Ah, bukan benda berharga, melainkan sekedar untuk
kenang2an saja !"
Seorang gadis suci yang mirip dengan puteri keraton,
telah memberikan benda yang dipakaianya pada seorang
pemuda yang baru saja dikenalnya. Apakah artinya itu"
Naluri Cu Jiang sebagai seorang anak muda cepat dapat
menanggapi maksud si cantik. Diam2 timbul pertimbangan
dalam hatinya. Menerima atau menolak pemberian itu"
"Nona..." teriak Siau Hui.
Tetapi si cantik cepat memberi isyarat supaya bujang itu
jangan banyak bicara. Ia menyerahkan pending kumala itu
kepada Cu Jiang, katanya:
"Pending kumala ini adalah pusaka warisan keluarga.
Jika menghadapi kesulitan, Cu siangkong boleh mengeluarkan pending ini, tentu ada manfaatnya !"
Kembali hati Cu Jiang tergetar. Siapakah sesungguhnya
puteri cantik ini" Mengapa pending pemberiannya itu dapat
mempunyai daya-guna sedemikian besar"
"Ah, nona Ki, bagaimana aku berani menerima !"
"Jika ada orang bertanya, katakan terus terang kalau aku
yang memberi. Lain2 hal tak perlu siangkong katakan." kata
puteri cantik itu pula terus maju mengangsurkan pending
itu kepada Cu Jiang.
Apa boleh buat, Cu Jiang terpaksa menyambutinya.
Si cantik Ki Ing tertawa. "Cu siangkong, kini kita telah
mengikat tali persahabatan."
Ada suatu perasaan dalam hati Cu Jiang yang sukar
diutarakan. Menerima budi dari seorang jelita, adalah yang
paling berat sendiri. Apa yang terjadi saat itu, benar2 tak
terduga sama sekali.
Apabila kedua nona dan bujang itu tak datang tepat pada
waktunya untuk memberi pertolongan, tentulah saat itu dia
sudah menjadi seorang tawanan pihak Gedung Hitam.
Entah bagaimana jadinya, ia tak dapat membayangkan.
Tetapi siapa dan bagaimana asal usul puteri cantik Ki Ing
itu, Cu Jiang benar2 tak mengerti.
"Cu siangkong, sampai jumpai." Cu Jiang buru2
memberi hormat dan membalas:
"Terima kasih nona. Budi nona kelak tentu kubalas!"
Dalam menghadapi saat2 yang mendebar hati itu,
tampak sikap dan wajah si cantik makin mempesonakan.
Dada Cu Jiang seperti tak dapat bernapas.
"Aku tak senang mendengar ucapan tentang balas budi
dan terimakasih." bergetaranlah bibir yang mungil dari si
cantik itu menghambur kata2 yang merdu.
"Bukan .... bukan hiasan bibir... tetapi apa yang
kukatakan itu memang keluar dari kesungguhan hatiku,"
kata Cu Jiang agak terbata-bata.
Si cantik Ki Ing tertawa.
"Baiklah, kuterima, sampai Jumpa!"
Sambil melambaikan tangan, tubuh yang lemah gemulai
dari puteri cantik itu segera diiring Siau Hui masuk kedalam
hutan. Entah bagaimana, saat itu Cu Jiang merasa seperti
kehilangan sesuatu. Ia termenung-menung
seperti kehilangan semangat. Beberapa waktu kemudian baru ia
tersadar. Luka pada bahu dan dadanya putih penuh dengan
lumuran darah merah. Untung dia berada di tengah
gunung, sehingga tiada orang tahu.
"Ah, siapakah gerangan puteri cantik itu " Mengapa dia
muncul dalam hutan belantara ini " Adakah secara
kebetulan saja puteri itu menolong dirinya dari cengkeraman orang Gedung Hitam atau memang . ..." ia
berpikir dan berpikir. Tetapi makin memikirkan makin ia
tak mengerti jawabannya.
Ia teringat bagaimana Ong Tiong Ki buru2 melepaskan
dirinya karena mendengar ringkik kudanya. Ah, tak
mungkin tanpa sebab kuda itu akan meringkik-ringkik kalau
tidak diganggu orang. Dan siapa lagi pengganggunya kalau
bukan kedua nona dan bujangnya itu.
Hm, betapa akan pecah dada si Mata-Jeli Ong Tiong Kie
kalau mengetahui bahwa dia telah dikibuli oleh dua orang
gadis saja. Dia mengusap-usap pending kumala pemberian si cantik
tadi. Teraba pending itu masih menebarkan bau harum.
Diam2 pikirannya melayang.
Kali ini mengembara ke dunia persilatan banyak sudah ia
bertemu dengan wanita2 cantik. Tetapi selama itu tak
pernah hatinya terpikat. Tak terduga selama dalam
perjalanan pulang, ia telah bertemu dengan dua orang gadis
cantik yang sangat meninggalkan kesan dalam hatinya...
Saat itu cuaca dalam hutan makin gelap, pertanda
matahari sudah mulai kelam. Kembali ia teringat akan
rumahnya. Maka iapun segera ke luar dari hutan dan
melanjutkan perjalanan.
Saat itu dia berada di tengah pegunungan. Jalan yang di
tempuhnya bukan jalan umum. Ia berjalan pada tempat2
yang dapat di lalui dengan tujuan ke suatu arah tertentu.
Dia tak merasa lelah. Pikirannyapun hanya ingin lekas2
pulang, bahkan kenangannya pada wajah si jelita Ho Kiong
Hwa dan puteri cantik Ki Ing juga terhapus.
Teringat akan keadaan dirinya, ia agak bingung
bagaimana nanti memberi penjelasan kepada ayahnya.
luka-lukanya melihat pun tentu akan menghujani
pertanyaan. Tiba2 ia melihat pada puncak gunung di sebelah depan
tampak beberapa sosok bayangan manusia yang berlari-lari
mendatangi kearahnya. Makin lama makin dekat. Karena
cuaca gelap, ia tak dapat melihat jelas, apakah bayangan itu
manusia atau binatang.
Tetapi pada lain saat segera ia merasa ada sesuatu yang
tak beres. Jika binatang, tentu bukan begitu caranya berlari.
Tetapi jika bangsa manusia, bagaimana mungkin di daerah
belantara yang begitu sepi terdapat manusia, apalagi saat itu
tengah malam. Darimanakah mereka itu "
Adakah kawanan anak buah Gedung Hitam yang
hendak mengejar jejaknya "
Buru2 Cu Jiang percepat larinya dan menjelang terang
tanah tibalah dia disebuah lembah buntu. Berhenti sejenak
mengawasi, ia melihat lembah itu merupakan sebuah hutan
yang lebat sekali.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena saat itu kabut masih belum lenyap maka sukarlah
untuk masuk kedalam lembah hutan itu. Terpaksa ia
berhenti beberapa waktu.
Tiba2 ia bernyanyi sebuah lagu yang sering dinyanyikan
ayahnya. Lagu itu ciptaan raja terakhir dari ahala Tong
yang telah kehilangan negerinya.
Cu Jiang sengaja menyanyikan lagu itu agar terdengar
oleh ayahnya bahwa dia sudah pulang. Tetapi ternyata
tiada suatu reaksi apa2.
Lembah buntu itu terpisah dengan sebuah jurang. Untuk
mencapai tepi karang yang di seberang harus menggunakan
tali. Dan biasanya tali itu harus dilempar dari tepi seberang
dan ditarik dari sana.
Cu Jiang menunggu munculnya tali itu. Dan jalan itu
merupakan jalan pendek. Kalau tidak dia harus mengitari
lagi sampai sepuluhan li jauhnya baru dapat mencapai
rumahnya. Kembali ia mengulang nyanyian lagi dengan nyaring,
Tetapi tetap tiada penyahutan apa2. Sunyi senyap
disekeliling lembah itu.
Tiba2 ia seperti merasakan satu firasat yang tak enak.
Serentak ia teringat akan beberapa sosok bayangan yang
dilihatnya semalam. Ia bingung dan gelisah.
Terpaksa ia mengambil jalan melingkar yang agak jauh
itu. Ketika matahari naik sepenggalan tingginya barulah dia
tiba di sebuah rumah penduduk yang tinggal di gunung itu.
Ditempat rumah penduduk itulah dia biasanya menitipkan
kuda apabila dia turun dan naik gunung.
Tempat itu di huni oleh dua orang suami isteri yang
menjadi keluarganya. Mereka mempunyai seorang anak
perempuan yang sering bersama dengan orang tua Cu
Jiang. Dari tempat itu hingga ke rumahnya, Cu Jiang harus
menempuh perjalanan delapan li lagi. Jika tidak biasa dan
tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, sukar orang
untuk melintasi daerah yang berbahaya keadaannya seperti
tempat itu. "Paman Liok!" segera Cu Jiang berteriak memanggil
penghuni rumah. Biasanya apabila dia datang yang
menyambutnya tentu dua ekor anjing pemburu yang
dipelihara oleh penghuni rumah itu. Tetapi aneh, saat itu
keadaan rumah itu sunyi senyap saja.
Cu Jiang terkesiap. Apakah yang terjadi" Apakah benar2
telah terjadi peristiwa yang tak diharapkan"
Serentak ia enjot tubuh dan lari menuju ke rumah
pondok itu. Krak.... pintu pondok yang terbuat dari papan kayu
segera berderak terbuka. Ah .... kedua ekor anjing pemburu
yang besar dan galak, ternyata sudah terkapar dalam
kubangan darah.
Saat itu Cu Jiang makin yakin bahwa sesuatu telah
terjadi dalam rumah pondok itu. Selekas ia melangkah
masuk, hidungnya segera terbaur hawa yang anyir baunya.
Dan ketika matanya memandang, hai.... ia menjerit,
pandang matanya terasa berbinar-binar, bumi dirasakan
seolah berputar-putar terasa ....
Di lantai telah terkapar dua sosok mayat yang sudah tak
utuh keadaannya. Kedua sosok mayat itu terendam dalam
kubangan darah yang sudah mengental. Mereka tak lain
adalah kedua suami isteri Liok So.
Seketika dinginlah tubuh Cu Jiang. Kedua suami isteri
itu telah ikut pada keluarganya sejak berpuluh tahun. Kini
mereka telah dibunuh orang secara begitu keji.
Siapakah yang membunuh mereka" Dan di manakah
Siau Hiang. anak perempuan kedua suami isteri itu" Ia
mencari kian kemari di sekeliling pondok tetapi tak melihat
anak itu. Kemudian ia menuju ke kamar sebelah barat. Astaga !
Kembali ia menjerit keras dan serentak terhuyung
sandarkan diri pada pintu. Hampir saja ia rubuh terduduk!.
Ganas, ngeri benar. Di atas pembaringan tampak tubuh
seorang dara yang telanjang. Wajahnya menampilkan kerut
ketakutan dan ketakutan yang hebat. Seumur hidup Cu
Jiang takkan melupakan wajah itu.
Entah sampai berapa waktu, barulah Cu Jiang tenang
hatinya. Dia mencucurkan air mata. Dengan mengerut
geraham ia menghampiri kepembaringan dan berseru
dengan sedih: "Cici Siau Hiang." ia menyambar selimut dan ditutupkan
pada tubuh mayat itu. Juga diketahuinya bahwa dara itu
telah mati menjadi korban perkosaan manusia terkutuk.
"Bunuh ! Bunuh !" ia menjerit kalap seraya mencabuti
rambutnya sendiri. Airmatanya mulai bercampur darah.
Saat itu hanya ada satu tujuan dalam hatinya. Bunuh
dan mencincang tubuh manusia yang telah mengganas
kedua suami isteri dan Siau Hiang. Ia hendak meminum
darah dan memakan daging pembunuh keji itu.
Perasaan dendam yang membara telah menghanguskan
dada Cu Jiang dan terkulailah di lantai dibawah ranjang itu.
Dia mengharap kesemuanya itu hanya suatu Impian
buruk. Tapi ah, ia menggigit bibir dan sakit. Jelas itu bukan
impian melainkan kenyataan.
Beberapa saat kemudian ia mulai sadar. Bahwa
kesemuanya itu suatu kenyataan yang harus dihadapi.
Semangatnya serentak bangkit. Segera ia membuat sebuah
liang untuk mengubur kedua suami isteri dan anaknya.
Kemudian dia berlutut di hadapan gundukan makam
dan berdua, dengan sedih:
"Paman Liok, bibi Liok dan taci Hiang. Selama aku Cu
Jiang masih bernyawa, aku bersumpah untuk membalaskan
dendam ini."
Selesai dengan penguburan itu, segera ia bergegas
menuju ke rumah. Ingin sekali ia mengetahui bagaimana
keadaan rumah tangganya.
Ia lari menerobos ke dalam hutan. Langkahnya
sempoyongan dan pakaiannya compang camping terlanggar
duri. Badannya letih sekali.
Tengah hari tampaklah sudah pondok kediamannya.
"Pah. mah, aku sudah pulang !" teriaknya dengan penuh
ketegangan. Tetapi tiada penyahutan sama sekali. Cepat ia pesatkan
larinya dan ketika tiba dimuka pintu, ia rasakan kedua
kakinya amat berat sekali. Terpaksa ia berhenti untuk
memulangkan napas yang tersengal-sengal.
Dia tak berani membayangkan apa yang akan
ditemuinya dalam rumah itu. Hanya dia berdoa. Dia
mengharap pondok yang kosong itu. tidak terjadi sesuatu,
melainkan hanya seperti yang sudah2, setiap kali
kediamannya diketahui orang, ayahnya tentu segera pindah
ke lain tempat.
Kali ini mudah-mudahan juga begitu. Dia percaya, tokoh
seperti ayahnya yang diagungkan sebagai Dewa-pedang
tentu dapat mengatasi segala bencana. paling tidak, dapat
menjaga diri. Demikian dia berusaha untuk menghibur diri, tetapi tak
urung hatinya masih berdebar-debar, keringat dinginpun
mulai mengucur. Bahkan karena cemas, ia hampir tak
berani masuk ke dalam pintu pondok itu. Karena hanya dua
kemungkinan yang didapatnya. bila rumah itu kosong,
tentu keluarganya telah pindah ke lain tempat atau tentu
sudah..." Ia tak berani melanjutkan dugaannya. Kematian dua
suami isteri Liok dan anaknya, kembali terbayang di
pelupuknya. Segera ia menyadari betapa lemah dan tak
berguna dirinya itu. Sebenarnya ia tak percaya kepada
segala malaekat dan lain2, tetapi entah bagaimana saat itu
ia berdoa agar malaikat benar2 membantu dan melindungi
keluarganya. Saat itu matahari bersinar tetapi baginya, sekeliling
tempat itu tampak remang2 seperti terbungkus halimun.
Ia ulurkan tangan hendak mendorong pintu tetapi tidak
ditariknya kembali. Dia kembali tegak mematung di depan
pintu. Tiba2 di udara terdengar seekor burung gagak terbang
melintas dan berbunyi seram sehingga menggigillah hati Cu
Jiang. Bulu romanyapun meremang tegak.
Sebenarnya bunyi burung gagak itu sudah biasa ia dengar
selama tinggal di hutan itu. Tapi entah bagaimana saat itu
hatinya merasa seram sekali.
Nasib merupakan sesuatu garis hidup yang tak dapat di
robah. Dan sesuatu yang sudah menjadi kenyataan tak
dapat dia menghindarinya.
Akhirnya ia menyadari hal itu. Dengan mengertek gigi,
ia segera mendorong pintu dan melangkah masuk. Hatinya
berdebar keras, darahnya serasa berhenti...
Alat2 dalam ruang pondok itu masih tampak seperti
biasa, tiada yang kacau dan porak poranda. Juga tak
tampak bekas2 pertempuran. Dia menghela napas longgar
lalu memegang ujung meja. Ia berusaha untuk menenangkan ketegangan hatinya dan mengusap peluh
yang membasahi kepala.
Beberapa saat kemudian baru ia melangkah ke dalam
untuk memeriksa. Semua alat dan perlengkapan dalam
ruang itu masih seperti sediakala. Hanya suasananya sepi
sekali. Ketegangannya pun ber angsur-2 menyurut.
Apakah artinya itu" Apakah yang telah terjadi dalam
rumahnya itu"
Jika pindah tentulah paling tidak orang tuanya akan
membawa kasur dari dalam rumah itu, seperti adat
kebiasaannya yang lalu, tentu diberi sebatang obor untuk
pertandaan. Dia kembali ke ruang muka dan mengadakan
pemeriksaan yang teliti. Ia mengharap akan dapat
menemukan suatu jejak. Ketika memandang ke dinding
tembok di mana biasanya ayahnya menggantung pedangnya, ia terkejut. Ternyata pedang ayahnya itu sudah
tak tampak lagi. Ia tahu pedang itu sebuah pedang pusaka,
pedang yang telah mengangkat nama ayahnya sebagai
tokoh Dewa-pedang yang termasyhur dalam dunia
persilatan. Dia jatuhkan diri duduk terkulai di kursi. Sesaat ia tahu
apa yang harus dilakukan.
Tiba2 ia teringat akan sebuah guha rahasia yang terletak
di ujung lembah. Mungkin kedua orang tuanya ke pintu
sana. Maka tanpa berayal lagi ia terus lari ke luar menuju ke
tepi lembah. Tepi lembah merupakan sebidang tanah
karang yang luas. Disela-sela karang tumbuh rumput2 yang
tinggi. "Hai, darah . . . !" serentak ia menjerit kaget dan tertegun
berhenti. Penemuan itu telah membuat hatinya menggigil.
Memandang ke muka ia melihat sepanjang tanah penuh
dengan tetesan darah, ia menuju menurutkan arah bekas2
noda darah itu.
Jelas menunjukkan bahwa tempat itu habis menjadi
ajang pertempuran. Hanya bagaimana kesudahan pertempuran itu, tak diketahui.
Di antara kubangan darah, tampak dua buah kutungan
jari tangan. Seketika kepala Cu Jiang pusing sekali. Ia
membungkuk, menjemput kedua kutungan jari itu.
Dilihatnya jari itu terpapas dengan rata sekali sehingga
dapat diketahui kalau terbabat oleh senjata yang amat tajam
sekali. Dan jari itu menunjukkan jari tengah dan jari manis.
Kulitnya kasar, jelas tentu milik orang lain, bukan jari
ayahnya. Memandang agak jauh ke muka ia melihat sebuah
kutungan lengan tangan. Dengan mengerut geraham, ia
melempar jari itu dan menghampiri ke tempat kutungan
lengan. Menilik dari lengan bajunya, jelas kutungan lengan
itu berasal dan lain orang.
Ia mendapat kesan bahwa pertempuran yang telah
berlangsung di tempat itu tentu seru dan dahsyat sekali.
Siapakah musuh yang mengganggu ayahnya itu" Apakah
orang Gedung Hitam" Menurut dugaannya, kecuali pihak
Gedung Hitam, dalam dunia persilatan rasanya tiada lain
tokoh yang berani me musuhi ayahnya. Tetapi mengapa
ayahnya bermusuhan dengan pihak Gedung Hitam!
Selama ini belum pernah ayahnya menceritakan tentang
peristiwa itu. Cu Jiang makin bingung dan tak dapat
merangkai dugaan apa2.
Teringat akan sikap dan ucapan Ong Tiong Ki, jelas
bahwa pihak Gedung Hitam memang sedang giat mencari
jejak ayah Cu Jiang. Dengan begitu, yang bertempur
dengan ayahnya di tempat itu tentulah orang Gedung
Hitam. Ia lanjutkan maju ke muka. Di tepi lembah pada
segerumbul batu2 karang runcing, samar2 seperti kelihatan
sehelai kain ujung baju.
Serentak jantung Cu Jiang berdebar keras. Dengan
memeriksa baju itu dapatlah ia mengetahui siapa yang
menjadi korbannya, musuh atau keluarganya sendiri.
Dengan pesat ia segera melesat maju.
"Hai..."
Cu Jiang menjerit dan rubuh ke tanah . . ..
-ooo0dw0ooo-

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid 3 Musibah. Entah berapa lama Cu Jiang pingsan tak ingat diri itu.
Apa yang disaksikan saat itu telah menghancurkan hatinya.
Pandang matanya berbinar-binar. Dunia ini serasa gelap
baginya. Dan dia tak ingat apa2 lagi.
Ketika sadar, dengan lesu dia duduk memandang ke
muka. Empat sosok mayat yang terbentang di hadapannya
itu, membuat hatinya hancur berantakan.
Keguncangan besar telah menimbulkan penderitaan
hebat dalam sanubarinya sehingga ia tak dapat menangis
melainkan mengucurkan airmata saja.
Ayah, ibu, adik lelaki dan adik perempuannya telah mati
dibunuh musuh. Tangan ayahnya masih mencekal pedang
Seng-kiam, sekujur tubuhnya penuh luka2 sehingga
menyerupai manusia darah.
Adik lelaki dan adik perempuannya juga mengenaskan
keadaannya. Kaki dan tangan mereka lenyap. Sedang
mamahnya lebih ngeri lagi keadaannya. Telanjang, tangan
dan kakinya diikat pada empat buah tiang. Jelas mamahnya
itupun telah dirusak kehormatannya sebelum dibunuh.
Nasibnya seperti Siau Hui, anak perempuan dari bujang
Liok. Oh, dunia .... Adakah dunia ini terdapat perbuatan yang lebih keji dari
itu" Cu Jiang seperti orang gila. Semangatnya seperti terbang
dari dalam tubuhnya. Hatinya seperti dicacah-cacah melihat
adegan saat itu.
Tak tahu dia apakah dia masih pantas hidup di dunia ini"
Adakah dia masih berhak disebut manusia lagi"
Kedukaan yang hebat telah menghancurkan kesadaran
pikirannya. Tiba2 ia tertawa keras. Nadanya macam burung
hantu mengutuk di tengah kuburan. Kumandangnya
memenuhi empat penjuru lembah.
Beberapa saat kemudian ia berhenti tertawa. Suasanapun
kembali diliputi hawa pembunuhan yang sunyi.
Sepasang biji mata Cu Jiang seperti pecah dan
mengucurkan airmata darah. Wajahnya pucat lesi seperti
mayat. Dia berdiri, sempoyongan. Mencabut pedang terus
hendak di tikam ke dadanya....
"Uh. . ." tiba2 ia menjerit kaget ketika dadanya terkena
ujung pedang. Sakit. Dan serentak ia tersadar dan
kelimbungannya.
"Tidak! Aku tak boleh mati! Pengecut kalau aku bunuh
diri. Itu hanya menghindari tanggung jawab saja!"
Dan pedangnyapun terkulai.
Tiba2 terdengar suara orang berseru seram dan sinis:
"Hm, siapa bilang engkau tak boleh mati" Engkau, budak
kecil, harus mati juga, ha, ha, ha...."
Cu Jiang cepat berputar tubuh. Tiga tombak jauhnya,
entah kapan, telah muncul tiga manusia aneh. Mereka
bertubuh tinggi besar semua. Yang berdiri di tengah,
akhirnya mempunyai benjolan daging besar. Sedang yang
berdiri di sebelah kiri wajahnya pucat seperti mayat hidup.
Yang sebelah kanan, berwajah menyeramkan. Mukanya
penuh brewok, giginya merongos, matanya cekung ke
dalam dan berkilat2 menakutkan. Hidungnya bengkok
seperti paruh burung kakak tua.
Orang yang berwajah pucat seperti mayatpun berseru
dengan suara seram:
"Ah, tidak sia2 kita menunggu. Akhirnya kita
memperoleh kelinci kecil ini, Lekas bereskan saja.
Membabat rumput harus mencabut sampai akarnya!"
"Membabat rumput tidak mencabut akarnya, begitu
musim semi tiba, tentu akan tumbuh lagi." si hidung
bengkok menyambuti.
Lelaki yang dahinya tumbuh benjolan daging, tertawa
mengekeh: "Soal ini memang telah di duga lotoa. lekas kerjain saja
dan lekas kita pergi!"
Darah Cu Jiang saat itu serasa beku. Matanya merekah
mengucurkan darah. Dadanya hampir meledak karena di
luap dendam kemarahan yang hebat. Dengan kalap ia
segera menerjang.
Uh . . . ternyata Ketiga manusia aneh itu sudah terpencar
dalam tiga tempat.
"Ha, ha, ha. ha ...."
"Heh, heh, heh, heh . . . ."
"Huh, hun, huh, huh . . . . "
Tiga macam nada tawa yang menyeramkan berhamburan menusuk telinga Cu Jiang.
Tetapi saat itu Cu Jiang sudah tak menghiraukan segala
apa. Adakah kepandaiannya kalah dengan lawan, dia tak
ambil pusing lagi. Dia ingin benar mencincang ketiga
manusia aneh itu.
"Sebutkan nama kalian!" teriaknya dengan kalap.
Lelaki yang dahinya tumbuh daging benjolan, berseru
seram: "Engkau belum pantas menanyakan diri kami!"
"Kawanan anjing Gedung Hitam?"
"Anak jadah!" lelaki berwajah pucat meraung marah.
Mengangkat tangan terus menghantam.
Kedua kawannyapun hampir berbareng, juga menghantam. Tiga gelombang angin pukulan yang dahsyat
segera melanda Cu Jiang.
Anak muda itu hampir tak sempat lagi menangkis
ataupun menghindar. Tubuhnya segera mencelat ke udara
dan melayang ke bawah lembah. Pedangnyapun terlepas
jatuh. "Mudah sekali, ha, ha, ha, ha ... "
"Heh, heh, heh, heh .... "
"Huh, huh, huh, huh .... "
Ketiga manusia aneh itupun segera lari pergi. Dan
lembah sunyi senyap seperti semula.
Cu Jiang memiliki dasar latihan silat yang cukup kokoh.
Ketika terlempar ke udara, ia menyadari kalau dirinya akan
jatuh ke dasar lembah. Tentu tulang belulangnya akan
hancur berantakan.
Segera dia mengempos semangat dan meringankan
tubuh, dengan sekuat tenaga ia bergeliatan ke dinding
lembah. Tetapi pukulan ketiga manusia aneh itu terlalu sakti
sekali. Angin pukulan mereka menderu tubuh Gu Jiang
terpisah jauh dari dinding lembah. Dan dinding lembah
itupun licin sekali, tak mungkin ia dapat hinggap di situ.
Memang dengan mengerahkan tenaga tadi, Cu Jiang
berhasil mendekati dinding lembah, tetapi ia terkejut dan
mengeluh. Begitu menyentuh dinding lembah, tubuhnya
malah meluncur deras ke bawah...
"Habis sekarang riwayatku ..." diam2 ia mengeluh dalam
hati. Mungkin hanya ingatan itu yang masih sempat singgah
dalam benaknya. Setelah itu ia terus dicengkam oleh rasa
ngeri membayangkan kematian.
Duk.... Terasa tubuhnya bergetar keras. Kemudian dia tak ingat
apa2 lagi. Gelap sudah dunia ini.
Rasa kesedihan, nafsu hendak membalas dendam, tak
dapat dirasakan lagi.
Adakah kematian itu sesuatu yang sedap dan nikmat"
Bukankah mati itu sudah terbebas dari segala derita hatin
dan derita hidup"
Ada kalanya orang ingin mati tetapi tidak mati. Tetapi
orang yang takut mati bahkan malah dikejar kematian.
-ooo0d-w0ooo- Pada tanah karang di puncak lembah, tampak sesosok
bayangan merah sedang berjalan mondar-mandir. Sebentar-
sebentar kedengaran menghela napas.
Mantel warna merah yang tersangkut pada lehernya, ber
kibar2 tertiup angin sehingga tampak tubuhnya yang
langsing itu makin tambah gemulai.
Siapakah dia"
Di ujung tanah lapang dekat pada hutan, tampak
segunduk kuburan yang baru. Sedang batu nisan yang
tertulis di situ, berbunyi:
Tempat peristirahatan yang terakhir dari Dewa-pedang
Cu Beng Ko, isteri dan putera puterinya.
Persembahan: Ang Nio Cu.
Walaupun saat itu sudah senja hari tetapi sosok
bayangan merah itu masih berada di tempat itu. Mulutnya
berkemak kemik:
"Sebenarnya nasibnya tidak harus berumur pendek,
tetapi . . . "
Malampun menebarkan kabut hitam. Bumi hitam kelam
dan gunung2 bagaikan gunduk2 raksasa hitam.
Entah kapan, bayangan merah itupun lenyap. Siapakah
dia" Siapakah yang tertanam dalam makam itu" Benarkah
Giok-siu-lo Lamkiong Hau, isteri dan kedua putera
puterinya"
Dan pada batu nisan itu tertera nama Ang Nio Cu yang
mempersembahkan. Adakah Ang Nio Cu yang mengubur
dan membuatkan batu nisan itu"
Mengapa" Apakah hubungan Ang Nio Cu dengan Lam kiong Hau"
Adakah Ang Nio Cu yang membunuh mereka lalu
timbul perasaan
menyesal dan mengubur jenasah korbannya itu"
Ah, sungguh misterius sekali.
Suatu aliran hawa panas yang menyengat tubuh, telah
membuat Cu Jiang tersadar. Ia membuka mata dan ah . . .
ternyata dia berada dalam sebuah gua.
Di dekatnya terdapat setumpuk kayu yang tengah
menyala. Suatu perapian. Asap putih yang mengepul ke
atas, membuat puncak langit gua putih.
Lama baru Cu Jiang pulih kesadaran pikirannya.
"Apakah tidak mati?" ia mulai heran.
"Tidak, engkau masih hidup!" tiba2 sebuah suara parau
terdengar menyahut.
Cu Jiang terkejut dan mengangkat kepala, ia hendak
bangkit .... "Jangan bergerak!" suara parau dari seorang tua itu
berseru mencegah.
"Aduh," Cu jiang mengerang kesakitan ketika tubuhnya
bergerak. Ia rubuh kembali.
Ia keliarkan pandang ke dalam guha itu tetapi tak
melihat barang seorang manusiapun. Kemanakah orang tua
yang bicara tadi"
Ia berpikir kemungkinan orang itu tentu berada di ujung
sebelah belakang tempat ia berbaring. Dan suara itu di
pantulkan dapat kumandang dalam guha sehingga sukar
baginya untuk menentukan arahnya.
Jatuh ke dalam dasar jurang yang begitu curam, tentulah
tubuh akan hancur lebur. Tetapi ternyata ia masih hidup.
Benarkah itu" Ia hampir tak percaya pada dirinya sendiri.
Jiwa manusia memang aneh. Kadang lemah tetapi
kadang ulet sekali.
"Apakah locianpwe yang menolong jiwaku?" serunya.
"Bukan, jiwamu memang belum di takdirkan hilang.
Engkau jatuh di rumpun rotan mencelat ke atas, baru jatuh
ke tanah. Jika tidak begitu, meskipun tubuhmu dari besi,
tetap akan hancur lebur."
Saat itu Cu Jiang jelas memperhatikan bahwa orang yang
bicara itu berada di belakangnya. Tetapi sayang dia tak
dapat berputar tubuh.
"Budi kebaikan locianpwe menolong jiwa ku, pasti
takkan kulupakan seumur hidup . . ."
"Budak, kau hanya karena jodoh saja."
"Mohon tanya siapakah nama locianpwe?"
"Ini . . . sudah lama aku membuang namaku. Panggil
saja Ko-tiong-jin!"
"O . . . " seru Cu Jiang.
Ko-tiong-jin artinya Orang-dari-lembah. "Engkau ini
bagaimana sih?"
Peristiwa ngeri yang di alaminya ketika di atas lembah,
sejenak terbayang dalam benak Cu Jiang. Ia mengerang lalu
muntah darah. "Budak, engkau tak mati itu sudah merupakan kejadian
yang ajaib. Jangan engkau mengeluarkan kemarahan atau
luka-dalam tubuhnya akan merekah lagi dan kalau terjadi
begitu, dewapun tak mampu menolong jiwamu lagi."
Cu Jiang mengucurkan airmata campur darah. Lama
sekali baru dia dapat terbebas dari kedukaan.
"Buyung, siapakah namamu?"
"Wanpwe bernama Cu Jiang."
"Murid perguruan mana?"
"Dari keluarga sendiri. Ayahku bernama Cu Beng Ko . .
." "Engkau . . . putera dari Dewa-pedang?"
"Ya. Apakah locianpwe kenal padanya?"
"Berpuluh tahun yang lalu pernah bertemu satu kali.
Engkau mengatakan mendiang ayah tadi, apakah dia. . ."
Cu Jiang pejamkan mata. Hatinya bergolak2. Kemudian
baru berkata: "Ayah, ibu dan adik perempuan serta adik laki2, terpaksa


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus menyingkir ke puncak lembah untuk menghindari
musuh..." "Oh, makanya tiap kali aku melihat sosok2 bayangan
berkelebatan di puncak lembah ini. Kiranya keluargamu
menjadi tetanggaku. Hayo ceritakan lagi..."
"Ketika pulang dari berkelana, keluargaku satu rumah
semua telah di bunuh mati secara mengerikan. Bahkan aku
sendiripun telah di hantam pembunuh itu hingga terlempar
kebawah jurang ini."
"Siapakah musuh itu?"
"Soal itu wanpwe tak tahu."
"Tapi menghantam engkau jatuh ke sini?"
"Tiga manusia aneh yang tak diketahui namanya.
Kesaktiannya luar biasa sekali ..."
"Bagaimana ujudnya?"
"Yang seorang, dahinya tumbuh benjolan daging. Yang
kedua, wajahnya pucat seperti mayat. Dan yang ketiga,
bibirnya sumbing sehingga giginya tampak menonjol
keluar, mukanya penuh brewok..."
"Hah. . . apa senjata mereka?"
"Tangan kosong!"
"Hanya tiga orang saja ?"
"Rasanya tentu masih ada lagi tetapi yang muncul hanya
tiga orang itu."
"Bukankah perawakannya tinggi besar?"
"Benar..."
"Rasanya mirip dengan Sip-pat thian-mo..."
"Sip pat-thian-mo?" Cu Jiang berteriak kaget.
"Hanya dugaan, tetapi tak mungkin."
"Mengapa?"
"Sudah berpuluh-tahun kedelapan belas momok dunia
itu menghilang dari dunia persilatan. Dan menilik
umurnya, tak mungkin mereka mempunyai permusuhan
dengan orang tuamu."
"Aku bersumpah hendak menuntut balas!"
"Buyung, jangan bersedih, mungkin...."
"Mungkin bagaimana..."
Ko-tiong-jin atau Orang tua-dari-lembah menghela napas
dan berkata pelahan-lahan:
"Cu Jiang, engkau harus tabah untuk menghadapi
ketentuan nasib yang menimpa pada diri mu. Nasib yang
malang. . ."
Cu Jiang tergetar, serunya: "Nasib malang bagaimana?"
Ko-tiong-jin merenung dan menimang2 bagaimana dia
harus memberi keterangan kepada anak muda itu. Sampai
lama baru dia berkata:
"Sungguh suatu nasib yang luar biasa bahwa engkau tak
sampai mati. . ."
"Wanpwe takkan melupakan budi pertolongan locianpwe," tukas Cu Jiang.
"Cu Jiang, dengarkanlah. Kini engkau menjadi seorang
pemuda cacat!"
Mendengar itu seketika Cu Jiang terlongong-longong
seperti orang kehilangan semangat. Cacat!
Suatu nasib yang mengerikan, lebih malang dari yang
malang. Segala harapan dan cita2nya akan lenyap bagai
awan di hembus angin. Menuntut balas dan segala macam
sumpah, pun akan ikut amblas.
"Thian sungguh tak adil. Malaekat sungguh jahat.
Mengapa aku tak mati saja!" serentak dia berteriak kalap.
Ko tiong-jin menghela napas.
"Aku sudah berusaha sekuat tenaga tetapi hanya dapat
menyelamatkan jiwamu, tak dapat menolong engkau dari
derita cacat!"
Air mata darah bercucuran dari mata Cu Jiang, Dengan
suara beriba2 ia berseru:
"Locianpwe, apakah aku masih berharga untuk hidup?"
"Mengapa tidak" Adakah engkau begitu memandang
enteng pada jiwamu" Nasibku jauh lebih mengerikan dari
engkau tetapi aku tetap bertahan hidup," sahut Ko-tiong-jin.
"Tetapi aku sudah cacat, tidakkah lebih baik mati
daripada hidup?"
"Ilmu kepandaian masih tetap ada."
"O. tenagaku masih?"
"Ya."
"Lalu bagai mana cacat tubuhku ini?"
"Tidak lututmu sebelah kanan hancur. Walaupun dapat
kusambung tetapi sekarang lebih pendek sedikit dari
semula..."
Mendengar itu timbullah harapan Cu Jiang serunya:
"Apakah hanya cacat begitu?"
"Masih ada lagi . . . . "
"Apa?"
"Engkau telah kehilangan wajahmu yang tampan."
"Hai . . . mukaku?"
"Hm, wajahmu penuh dengan bekas2 noda hitam!"
Tanpa disadari Cu Jiang terus merabah air-mukanya.
Memang kini kulit mukanya tidak sehalus yang lalu
melainkan terdapat bintik2 yang kasar. Separoh muka
bagian kiri, penuh dengan noda2 bekas luka. Sedang
sebagian dari tulang pipi sebelah kanan melesak. Hanya
kedua matanya yang masih utuh tak kurang suatu apa.
Tiba2 dia tertawa nyaring. Nadanya penuh kerawanan
dan kehampaan. "Muka tampan atau buruk, aku tak memikirkan! "
serunya. "Bagus, buyung. Engkau harus dapat menerima apa saja,
penderitaan maupun kegembiraan. Barang siapa dapat kuat
menerima coba derita yang orang biasanya tak dapat
menerima, barulah dia akan menjadi manusia unggul dari
manusia lainnya."
"Saat ini aku masih belum dapat bergerak."
"Engkau telah pingsan selama delapan hari delapan
malam! " "Hah?"
"Benar, " kata Ko-tiong-jin, "untung aku mengerti sedikit
tentang ilmu pengobatan dan beruntung dapat menyembuhkan lukamu.
"Locianpwe seperti melahirkan aku..."
"Sudahlah, jangan membicarakan soal itu. Telah kupetik
beberapa ramuan daun obat dan kujadikan pil. Setelah
minum, besok pagi engkau tentu dapat bangun. Sekarang,
beristirahatlah dulu, besok kita sambung bicara lagi."
Plak .... sebutir pil melayang jatuh ke samping kepala Cu
Jiang. Diam2 Cu Jiang heran. Kalau sudah mau menolong
dirinya mengapa orang aneh yang menyebut dirinya dengan
nama Ko tiong-jin itu tak mau unjuk diri"
Ia tak mau mengambil pil itu, melainkan bertanya:
"Locianpwe, dapatkah aku melihat wajah locianpwe" "
"Minum obat dulu, jangan bicara yang tak berguna!"
"Tetapi aku tetap merasa ...."
"Engkau curiga?"
"Ah, tidak, locianpwe. Hanya ingin mengenangkan
wajah penolongku yang budiman itu. "
"Lekas minum obat itu dulu! "
Cu Jiang terpaksa menurut. Ia mengambil bungkusan
dan membukanya. Isinya sepuluh butir pil sebesar buah
kelengkeng. Sebutir demi sebutir dia terus menelannya. Ia
tak peduli bagaimana pahit rasanya.
"Buyung, di sisi bantalmu telah tersedia air."
Cu Jiang berpaling. Memang di sisi bantalnya terdapat
semangkuk air. Iapun mengambil dan meminum untuk
pengantar pil. Beberapa saat kemudian, ia rasakan segumpal hawa
panas mulai meluap dari perut terus ke dada, kemudian
pelahan lahan mengalir ke kaki dan lengan. Makin lama
makin hebat sehingga tubuhnya terasa seperti digodok.
Keringatpun bercucuran deras seperti hujan. Dan
terakhir pikirannya mulai limbung, gelap dan tak ingat apa2
lagi .... Ketika membuka mata ia tak merasa sakit lagi. Tak tahu
ia berapa lama telah pingsan tadi.
Perapian di samping tempat tidurnyapun telah ditambah
pula dengan kayu yang baru. Asap berkemelut menyesakkan napas.
Ia mencoba untuk duduk dan ternyata tak apa2. Tetapi
ketika berdiri, tubuhnya agak sempoyongan dan hampir
rubuh ke dalam unggun api.
Saat itu baru dia menghayati betapa penderitaan seorang
yang cacad itu. Kakinya sebelah kiri bukan saja lebih
pendek, pun sukar untuk dijulur-turutkan, kaku sekali.
Betapa sedih hati Cu Jiang, sukar dilukiskan lagi
Tetapi hal itu suatu kenyataan. Tak mungkin dapat ia
tolak. Bahwa jatuh dari atas jurang yang sedemikian tinggi
tidak sampai mati memang sudah merupakan suatu
kemujijadan. Kalau hanya cacad tubuh dan wajahnya, tentu
sudah sewajarnya.
Segera ia alihkan pikirannya. Ia ingin melihat siapakah
yang telah menolong jiwanya itu.
Memandang ke muka, ia melihat pintu gua pada jarak
lima tombak jauhnya. Di sebelah luar gua, berkabut tebal
sehingga tak kelihatan apa2.
Memandang ke sebelah dalam gua itu, ternyata di
sebelah dalam masih terdapat sebuah gua lagi.
Ia tak berani sembarangan masuk tetapi lebih dulu ia
berseru dengan nada hormat:
"Locianpwe ....!"
"Bagaimana keadaanmu sekarang ini?" tiba2 terdengar
Ko tiong-jin menyahut.
"Obat pemberian lo cianpwe memang mustajab sekali.
Kini aku sudah sembuh. "
"Bagus. Apa engkau hendak bicara kepadaku" "
"Aku hendak menghadap locianpwe. "
"Engkau .... apa sungguh harus bertemu muka dengan
aku" "
"Benar, locianpwe."
"Sudah lebih dari sepuluh tahun lamanya aku tak pernah
melihat wajah manusia lain. "
"Aku hendak menghaturkan terima kasih yang setulus
hati kehadapan locianpwe"
Sampai beberapa jenak tak terdengar suara apa2 dari Ko-
tiong-jin. Rupanya dia tengah merenung.
"Baiklah," akhirnya ia berkata, "kululuskan engkau
melihat wajahku. Mungkin ada manfaatnya bagimu.
Masuklah!"
Berdebar-debar Cu Jiang ketika dengan langkah yang
terseok-seok masuk kegua bagian dalam.
Gua itu diterangi dengan penerangan yang redup.
Pertama yang dilihatnya, yalah sebuah meja dan sebuah
kursi terbuat dari pokok kayu yang dibelah. Bentuknya
kasar. Diatas meja buatan Ko-tiong-Jin itu penuh dengan buah-
buahan. Bahan makanan yang menjadi ransum orang itu.
Disebelah dalam tampak sebuah tempat tidur yang
beralas tumpukan rumput kering.
Dan ketika pandang mata Cu Jiang berkeliar lebih lanjut,
hai Menjeritlah mulut pemuda itu dengan serentak. Dia
gemetar. Jantungnya serasa copot. Benar2 dia tak
menyangga sama sekali, bahwa perwujudan dari Ko-tiong
jin itu sedemikian rupa.
Diatas tempat tidur yang berada didinding gua, duduklah
seorang mahluk yang aneh. Tubuhnya penuh dengan bulu,
kumis dan Jenggotnya melingkar-lingkar lebat. Matanya
hanya satu dan memancarkan sinar yang berapi-api.
Pakaiannya compang camping, hampir tidak menyerupai
pakaian lagi. Bagian bawah dari pakaiannya amblong
karena kedua kakinya hilang.
Ko-tiong-jin tertawa gelak2.
"Buyung, engkau masih jauh lebih baik dari diriku,
bukan ?" Sesaat Cu Jiang tersadar akan dirinya. Buru2 ia berlutut
dan menghaturkan hormat.
"Harap locianpwe memaafkan karena wanpwe kurang
tata." "Bangun dan duduklah di kursi!"
Setelah memberi hormat lagi barulah Cu Jiang duduk di
kursi yang terbuat dan belahan pokok pohon. Sesaat tak
tahulah bagaimana ia hendak bicara.
"Makanlah buah-buahan Itu untuk pengisi perut," seru
Ko-tiong-jin pula.
Seperti diingatkan, Cu Jiang baru teringat bahwa
perutnya memang lapar sehingga pandang matanya
berbinar-binar. Tanpa sungkan lagi ia terus mengambil dan
memakannya. Diantaranya terdapat buah yang sebenar
mangkok. Ketika digigit, mengucurkan air yang banyak dan
manis. Ia belum pernah makan buah semacam itu.
"Lo cianpwe, buah apakah ini ?"
"Namanya buah tasusu, dapat menambah tenaga. Jarang
terdapat dalam dunia. Tetapi didasar lembah ini banyak
sekali." "Buah tasusu?"
"Ya," kata Ko-tiong-jin, "selama pingsan delapan hari
delapan malam, hanya dengan sari air buah itu, dengan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat engkau dapat pulih lagi tenagamu."
"O." "Bagaimana kesanmu setelah melihat wajah ku ini ?"
"Lo cianpwe tentu menderita suatu peristiwa yang amat
menyedihkan sekali."
Ko-tiong-jin menengadahkan kepala dan tertawa gelak2.
"Musibah yang menimpa diriku itu tak kalah mengerikan
dari penderitaanmu."
"Maukah locianpwe menceritakan kepadaku."
"Ah, hidupku yang sekarang ini sudah habis. Tak perlu
ku uraikan peristiwa itu."
Keduanya lalu diam. Hanya dalam hati masing2 yang
masih bicara. Setelah makan tiga biji buah tasusu, rasa
panas pada tubuh Cu Jiang hilang. Semangatnya mulai
agak segar lagi. Tetapi apabila teringat akan peristiwa yang
menimpa dirinya, ia hendak menangis tetapi airmatanya
sudah kering. Lebih dulu Ko-tiong-Jin yang memecah keheningan
suasana, katanya:
"Buyung, besok pagi2, keluarlah engkau dari lembah !"
Tergetar hati Cu Jiang seketika. Pertama, berat rasanya
atas budi pertolongan orang tua itu. Dan kedua, ia merasa
kasihan sekali atas nasib yang diderita Ko-tiong-jin.
"Dan locianpwe sendiri ?"
"Akan layu bersama rumput2 disini."
"Aku akan menemani locianpwe disini sampai akhir
hayat locianpwe."
"Ha, ha, ha, ha!" Ko tiong-Jin tertawa, "nak,
kesungguhan hatimu memang mengesankan. Tetapi aku
sudah tak mempunyai selera lagi terhadap manusia hidup.
Hanya...."
"Hanya apa, locianpwe?"
"Masih mempunyai sebuah keinginan yang belum
terlaksana. Tetapi keinginan itu juga sukar untuk
dilaksanakan. Tetapi . . . tetapi . . . ah, perasaanku sudah
mati. jiwaku masih hidup, belum dapat meninggalkan
ragaku yang sudah tak keruan ini. Apa boleh buat!"
Sebutir airmata menitik dari ujung pelupuk orang tua itu.
"Dapatkah aku membantu lo cianpwe?" tanya Cu Jiang
dengan sungguh2.
"Tidak !"
"Mengapa locianpwe harus menderita sendiri?"
"Nasib menentukan begitu. Tidak mau menderita lalu
mau apa?" "Bukankah tadi lo cianpwe mengatakan masih
mempunyai suatu masalah yang belum terselesaikan?"
"Sampai pada saat itu, tidak selesaipun sudah selesai
sendiri." "Silahkan locianpwe memberi pesan kepadaku, agar aku
dapat membantu untuk menyelesaikannya."
"Tak usah."
"Dengan sungguh hati aku. . ."
"Tetapi aku tak mau menerima budimu."
"Mengapa lo cianpwe memiliki pikiran begitu?"
"Memang watakku tak senang menerima budi orang."
"Jika begitu aku yang telah menerima pertolongan
locianpwe, akan tak punya kesempatan lagi untuk
membalas budi locianpwe itu?"
"Nak, bersiap2lah besok engkau akan tinggalkan tempat
ini." "Jika lo cianpwe tak memberi kesempatan kepadaku
untuk membalas budi, seumur hidup aku pasti menderita
hatin." "Nak, kesungguhan hatimu itu, sudah lebih dari cukup . .
." Cu Jiang jatuhkan diri berlutut seraya berkata dengan
tegang: "Apabila locianpwe tak mau meluluskan, akupun takkan
berbangkit."
Butir airmata yang tertahan di ujung pelupuk Ko-tiong-
jin akhirnya menitik keluar juga.
"Bangunlah ..." serunya. "Locianpwe meluluskan?"
"Ah, nak, kululuskan engkau. Tetapi aku masih meminta
kepadamu agar jangan menganggap itu sebagai batas budi
kepadaku. Ikutilah garis takdir, berhasil atau gagal tak usah
engkau hiraukan . . ."
"Baiklah, locianpwe . . . , " kata Cu Jiang seraya
berbangkit dan duduk di kursi pula.
Mata yang tinggal sebuah dari Ko-tiong-jin tampak
berkaca2 memancar sinar sedih dan marah. Beberapa saat
kemudian baru dia berkata:
"Aku hendak minta kepadamu melakukan sebuah hal ..."
"Harap locianpwe segera memberitahu." kata Cu Jiang
dengan sigap. Agaknya tegang sekali hati orang tua itu sehingga
napasnya ter-sengal2. Setelah menenangkan diri beberapa
saat, ia berkata:
"Soal ini merupakan soal yang terkandung dalam hatiku.
Karena soal itulah maka aku tetap bertahan hidup
walaupun sudah bukan layak di sebut manusia lagi..."
"Wanpwe akan ingat dengan sungguh2."
"Tahukah engkau apa sebab aku sampai menjadi cacat
begini rupa?"
"Mohon locianpwe suka memberitahu."
"Aku dicelakai oleh seorang sahabat yang dekat
hubungannya dengan aku ..."
"Sahabat yang paling dekat?"
"Benar. Seorang kawan akrab yang pura2 bersikap taat
dan baik."
"Siapa?"
"Sebun Ong yang bergelar Bu-lim-seng-hud."
Cu Jiang melonjak kaget. Bu-lim-seng-hud atau Buddha-
hidup dunia-persilatan Sebun Ong termasyhur dalam dunia
persilatan. Di kalangan aliran Pek-to (putih) dia termasuk
tokoh yang terkemuka.
Tokoh itu seorang penegak keadilan, menjunjung
kebenaran dan pembasmi kejahatan. Semasa hidupnya,
mendiang ayah Cu Jiang pernah memuji tokoh itu. Tetapi
tadi Ko-tiong-jin menyebutnya sebagai kawannya yang
akrab dan mencelakai dirinya.
Cu Jiang benar2 heran.
"Locianpwe mengatakan Sebun Ong?" ia menegas pula.
"Engkau tak percaya?"
"Bukan tak percaya, melainkan. . ."
"Terpengaruh oleh namanya yang termasyhur?"
"Memang namanya terkenal sebagai tokoh yang baik."
"Itulah mengapa kukatakan dia seorang manusia jahat
yang pura2 bersikap baik."
"Apakah locianpwe kenal baik sekali dengan dia?"
"Ya."
"Jika demikian tentulah locianpwe juga seorang tokoh
yang termasyhur dalam dunia persilatan?"
"Ah, tak perlu dikata lagi. Engkau bantu aku mencarikan
seseorang ..."
"Siapa?"
Tiba2 nada suara Ko-tiong-jin berobah bengis sekali,
serunya: "Ho-hou Tio Hong Hui!"
"Ratu kembang Tio Hong Hui . . ."
"Hm."
"Wanita cantik nomor satu dalam dunia persilatan itu?"
"Benar."
"Dia mempunyai dendam permusuhan dengan locianpwe?"
"Dia adalah isteriku."
"Jika begitu," seru Cu Jiang dengan nada tergetar,
"locianpwe ini tentulah tokoh pendekar-besar dari
Tionggoan Cukat Ong yang pernah menggetarkan dunia
persilatan pada beberapa puluh tahun yang lampau!"
"Benar. Engkau tak kecewa sebagai putera dari Dewa-
pedang, pengetahuanmu luas benar."
Hati Cu Jiang tegang sekali. Ia tak menyangka bahwa
seorang pendekar besar bakal menderita nasib begitu
mengenaskan. "Locianpwe hendak mencari Tio cianpwe..."
"Jangan menyebutnya cianpwe. Wanita itu tak layak
mendapat kehormatan disebut cianpwe!" teriak Ko-tiong-jin
dengan bengis. Cu Jiang terkesiap.
"Aku tak mengerti persoalannya."
Mata Ko-tiong-jin bersinar tajam, memancarkan dendam
yang menyala-nyala. Dengan mengerut geraham dia
berkata pula: "Dengarkan. Delapan belas tahun yang lalu, aku dan
Sebun Ong bersama-sama menemui seorang gadis. Tetapi
akhirnya gadis itu memilih aku. Setelah itu akupun
hentikan petualanganku dalam dunia persilatan. Aku
menikah dan menuntut penghidupan yang tenang."
"Se-bun Ong masih bersikap baik. Tampaknya dia tak
sakit hati dan hubungan kita masih seperti sediakala dan
akupun tak mengandung kecurigaan apa2 kepadanya.
Bahkan aku memuji peribadinya."
"Apakah gadis itu bukan Ratu kembang Tio Hong Hui ?"
karena tak dapat menahan diri, Cu Jiangpun menyeletuk.
"Ya, memang dia. Tahun kedua dari pernikahanku, dia
telah melahirkan seorang bayi perempuan yang kucintai
bagaikan mutiara..."
"Ah," desuh Cu Jiang.
"Tahun ketiga, anak perempuanku itu genap berusia
setahun. Ketika itu aku sedang mencari daun obat ke
pegunungan. Tak kusangka sangka Sebun Ong menyusul.
Dengan terus terang dia mengaku bahwa dia tak dapat
melupakan rasa cintanya terhadap Tio Hong Hui. Dan
bahkan diapun mengaku bahwa dia telah melakukan
perbuatan terlarang dengan Tio Hong Hui."
"Apakah locianpwe percaya ?"
"Sudah tentu tidak percaya. Tetapi
dia dapat mengunjukkan bukti."
"Bukti?"
"Benar. Sebuah bungkusan Ho-pau (kantong uang) yang
selalu berada ditubuh wanita hina itu. Sebun Ong
menerangkan bahwa Tio Hong Hui tak senang pada diriku
karena aku tak suka bercumbu rayu, tidak mempunyai
selera untuk mengadakan hubungan kelamin, hanya
mencurahkan waktu dan perhatian untuk belajar silat.
Memang benar, aku memang begitu dan terpaksa mau
tak mau harus percaya keterangannya...."
"Lalu?"
"Sebun Ong mengakui kesalahannya dan menyatakan
penyesalannya yang tak terhingga karena telah berbuat yang
hina, menghianati kawan sendiri. Dia minta supaya aku
membunuhnya . .. ."
"Oh..."
"Saat itu tergerak hatiku. Aku menghela napas dan
mengatakan bahwa memang nasibku yang jelek. Aku akan
mengasingkan diri jauh dari dunia keramaian."
"Lalu ?"
"Ah, tak kusangka sama sekali bahwa Sebun Ong itu
seorang binatang yang berjiwa manusia. Seorang manusia
yang berhati binatang. Pada saat aku tak berjaga jaga, tiba2
dia menyerang aku. Setelah aku rubuh, dengan buas ia
menghancurkan sebelah mataku. Karena dia menyerang
cepat dan dahsyat, aku tak sempat membalas. Kepandaiannya memang lebih tinggi dari aku apalagi dia
menggunakan pedang memapas kedua kakiku lalu
menendang tubuhku kedalam jurang ini . .."
"Jahanam !" teriak Cu Jiang serentak. Ko tiong-jin
mengertak gigi. "Adalah karena belum ditakdirkan mati,
tubuhku tersangkut pada gerumbul rotan sehingga tubuhku
tak hancur. Dan ternyata tumbuh-tumbuhan dalam dasar
jurang ini merupakan daun2 obat yang mujarab sehingga
selamatlah jiwaku. Begitulah kisah hidupku mengapa aku
berada disini. ."
"Bukankah locianpwe suruh aku mencari Tio Hong Hui .
. ." "Dia adalah biang keladinya. Bunuhlah dia!"
"Baik, aku tentu akan melakukan pesan locianpwe! "
"Masih ada sebuah lagi. Apabila bertemu dengan anak
perempuanku, lindungilah dirinya. Kini dia tentu sudah
berumur 17 tahun . . ."
"Semua pesan lo cianpwe pasti akan kulakukan! "
"Ah. sekarang aku baru dapat mati dengan meram. Ini
memang kehendak Yang Kuasa. Di dasar jurang yang
begini dalam, ternyata engkau datang. Apa yang semula tak
pernah kuharapkan, kini ternyata akan terlaksana ..."
"Sebaiknya locianpwe tinggalkan tempat ini nanti akan
kuusahakan tempat tingaal yang sesuai untuk locianpwe.
Begitu pula setelah bertemu dengan puteri locianpwe, tentu
akan kuajak datang agar merawat locianpwe..."
"Tidak, buyung, aku tak mau bertemu muka dengan
manusia lain lagi?"
"Termasuk puteri lo cianpwe?"
"Kenapa?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak mau menyiksa batinnya ..."
"Tetapi walaupun locianpwe cacat, semangat locianpwe
masih penuh . . . " Ko-tiong-jin tertawa hambar.
"Batin dan raga telah hancur. Hanya mengandalkan
obat. Memang obat dapat menolong jiwa tetapi tidak dapat
menyambung umur. Aku pernah belajar soal ilmu obat2an
maka tahu jelas tentang hal itu."
Mendengar itu ber-linang2lah airmata Cu Jiang.
"Jika locianpwe menginginkan begitu...."
"Sudahlah, jangan banyak omong. Tubuhku sudah tak
utuh dan hatiku ingin sekali agar wanita hina itu mati, baru
aku dapat mati dengan meram. Tetapi baik atau buruk,
anak itu dia yang melahirkan. Cinta ayah kepada anak dan
cinta ibu kepada anak, sama2. Bagaimana aku dapat
bertemu muka dengan anak perempuanku itu?"
Mendengar itu barulah Cu Jiang tahu alasan yang
sebenarnya dari Ko-tiong-jin. Sebagai seorang pemuda yang
cerdas, cepatlah Cu Jiang dapat menyadari hal itu. Dia tak
mau memaksakan hal2 yang tak di inginkan orang tua itu.
Diam2 ia memutuskan. Kelak apabila berhasil menemukan puteri Ko tiong-jin, dia akan mengajaknya
berunding lagi.
"Siapa nama puteri locianpwe itu?" tanyanya.
"Waktu kecil kuberi nama Beng Cu. Tetapi dia ikut
ibunya yang hina, namanya tentu berganti."
"Lalu cara bagaimana aku dapat mengenalinya?"
"Apabila bertemu dengan wanita yang cabul, tentu dapat
diketahuinya."
"Baik. "
"Dua buah benda ini akan kuberikan kepadamu ..." kata
Ko-tiong jin lalu mengambil sebuah kantong uang dan
sebuah kantong kecil, diberikan kepada Cu Jiang.
"Kantong uang ini adalah lima belas tahun yang lalu
dibawa Sebun Ong sebagai bukti tentang penyelewengan
Tio Hong Hui. Untung sampai sekarang masih kusimpan.
Apabila bertemu dengan perempuan hina Tio Hong Hui itu,
serahkanlah kantong itu. Tak perlu engkau turun tangan . .
." "Tak perlu turun tangan?" ulang Cu Jiang heran.
"Dalam kantong uang itu berisi benda yang amat
beracun sekali. Barang siapa menyentuhnya tentu mati. Di
dunia tak ada obatnya lagi. Racun itu hasil buatanku selama
bersusah payah mempelajari sampai sepuluh tahun. Ingat,
jangan sekalikah engkau membuka kantong itu."
Gemetar Cu Jiang mendengar pesan itu.
"Di dalamnya berisi racun ganas?"
"Dengan begitu sama artinya akulah yang turun tangan
membunuhnya sendiri."
"Dan kantong kecil ini?"
"Apabila bertemu dengan anak perempuanku, serahkan
kantong kecil itu. Katakan, di dalamnya terdapat pesanku .
. ." Cu Jiang menyambuti dengan kedua tangan. Ia masih
ngeri membayangkan kantong uang itu.
"Juga kantong kecil, jangan engkau buka. Kecuali anak
perempuanku, jangan sampai kantong kecil itu jatuh ke
tangan orang lain!"
"Baik, aku ingat semua pesan locianpwe."
"Nak, apakah permintaanku itu terlalu berlebihan?"
"Ah, mengapa locianpwe mengatakan begitu, " cepat2
Cu Jiang berseru, "jiwaku ini adalah locianpwe yang
memberi. Soal begini saja tentu tak berarti bagiku."
"Beristirahatlah di gua luar. Hari segera terang tanah dan
engkau dapat ke luar dari jurang ini."
"Apakah terdapat jalan yang tembus keluar."
"Ada. Kuketemukan jalan itu setahun yang lalu ketika
aku mencari daun obat. Menuruni jurang ini kira2 lima li
jauhnya, akan tiba di sebuah aliran air yang melintas
gunung. Karena saat ini sedang musim kering, airnya tentu
juga kering dan dapat di gunakan orang untuk melintasi
gunung." "Oh."
"Pergilah!"
Serentak Cu Jiang menghaturkan hormat yang penuh
khidmat dan haru. Kemudian ia menuju ke gua luar. Api
unggun hanya tinggal sedikit. Dia menambah kayu bakar
lalu duduk bersandar pada dinding gua.
Pikirannyapun mulai melalu lalang memikirkan berbagai
peristiwa. Musuh yang membunuh ayah bunda, adik lelaki
dan adik perempuannya. Dan terutama jenasah ibunya
yang telanjang, benar-benar meledakkan dadanya.
Ia ingin menangis, meraung, menjerit dan ngamuk agar
dapat melampiaskan dendam hatinya.
Di amuk dendam kemarahan itu, ia tak dapat tidur. Ia
mencabuti rambut kepalanya Segenggam demi segenggam
di lemparnya dalam api yang menyala. Dengan perbuatan
itu agaknya ia dapat meredakan kedukaan dan dendam
hatinya. Tetesan darah mengucur turun dari mukanya tetapi dia
tak merasakannya.
Api di perapian pun padam. Angin berhembus dingin
dari luar, menyusup kedalam gua Namun dia tetap duduk
bersandar pada dinding gua. sedikitpun tak bergerak.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam, menerjang
masuk dari luar gua. Cu Jiang terbelalak kaget dan cepat
ayunkan tangannya.
"Jangan!" tiba2 terdengar suara bentakan Dan nada
suaranya adalah nada Ko-tiong-jin.
Mendengar itu cepat Cu Jiang menghentikan tangannya.
Memandang dengan teliti gunduk bayangan hitam itu, ia
baru mengetahui kalau seekor kera besar yang membawa
buah-buahan. Kera itu menyeringaikan mulut, memperlihatkan giginya yang tajam dan memandang Cu
Jiang dengan marah.
Saat itu Ko-tiong Jin sudah melayang ke samping Cu
Jiang lalu menggapaikan tangannya:
"Toa Hek. kemarilah. Ini kawan sendiri."
Rupanya kera besar itu mengerti bahasa manusia.
Dengan langkah pelahan-lahan ia berdiri dihadapan Ko
tiong-Jin. Beberapa jenak memandang tajam kepada Cu
Jiang lalu melangkah masuk ke gua dalam.
"Itulah kera hitam yang kupelihara," kata Ko tiong-jin
"sifatnya yang buas masih belum hilang sama sekali. Dia
memiliki tenaga yang kuat sekali. Jago silat yang tidak
tinggi kepandaiannya tentu sukar mendekatinya. Dia
mempunyai rasa setia kepada tuannya."
Cu Jiang mengangguk.
Setelah beberapa kali memandang ke luar gua, Ko-tiong-
jin berkata pula:
"Nak, sekarang engkau boleh berangkat!"
Berat rasa hati Cu Jiang untuk berpisah dengan orang tua
yang bernasib malang itu. Walaupun hanya berkumpul
dalam waktu yang singkat, tetapi ia menganggap orang tua
itu sebagai seorang cianpwe yang baik budi. Juga ia merasa
kasihan serta simpati atas keadaan diderita olehnya,
seorang yang pernah harum namanya dalam dunia
Cu Jiang tak pernah melupakan budi pertolongan Ko-
tiong-jin yang telah menyelamatkan jiwanya dari kematian.
Tahu bahwa saat itu ia akan berpisah, Cu Jiang tak dapat
berkata apa2. Hanya wajahnya amat berduka dan
airmatanya berlinang-linang.
Ko-Tiong jin tertawa gelak2.
"Nak, perjalanan hidupmu masih panjang. Penuh
dengan kepahitan dan derita. Engkau harus berlatih
meneguhkan batinmu."
Airmata Cu Jiang bercucuran deras.
"Terima kasih locianpwe." Katanya dengan suara parau
dicengkam keharuan.
"Bagaimana rencanamu setelah keluar dari lembah ini ?"
"Mencari jejak musuh."
"Dengan kepandaian yang engkau miliki sekarang ini ?"
Ko-tiong-jin menegas.
Semangat Cu Jiang segera menurun. Memang ia
menyadari bahwa dengan kepandaiannya saat itu, tak
mungkin dia hendak melakukan pembalasan. Ibarat hanya
seperti telur beradu dengan ujung tanduk.
Sedang mendiang ayahnya yang begitu sakti pun
akhirnya dapat dicelakai orang, apalagi dirinya yang terpaut
jauh sekali dari ayahnya.
Cu Jiang menundukkan kepala. Ko tiong-jin bergeliat
dan menepuk bahu anak muda itu, serunya:
"Nak, jangan putus asa. Manusia wajib berusaha. Adalah
karena aku merasa kepandaianku masih kalah dengan
mendiang ayahmu maka aku tak dapat membantu apa2
kepadamu. Tetapi aku hendak menghaturkan sebuah kata
nasehat padamu "untuk melakukan pembalasan, sampai
tiga tahun pun belum terlambat". Carilah seorang guru
kenamaan untuk belajar ilmu silat yang lebih tinggi, barulah
nanti engkau lakukan pembalasan itu. Tetapi .... guru yang
sakti itu memang sukar ditemukan. Kesemuanya itu
tergantung pada jodoh dan rejekimu!"
Cu Jiang mengangguk dalam2.
"Akan kuukir dalam sanubariku semua pesan locianpwe."
"Jika mendiang ayahmu yang begitu sakti dalam ilmu
pedang dapat dicelakai musuh, Jelas bahwa musuhmu itu
tentu bukan tokoh sembarangan. Engkau harus berhati-hati,
jangan sampai mengalami kehancuran yang sia2...."
"Baik."
"Walaupun tiada hubungan dengan mendiang ayahmu,
tetapi aku sekaum dengan dia. Dan aku mengagumi
peribadinya. Ayahmu mengalami bencana dan aku
mendapat musibah begini, bukan disebabkan karena
perjuangan kami membela kebenaran dan keadilan tetapi
memang karena suatu peristiwa yang menyedihkan
sekali..."
"Aku kurang jelas akan maksud locianpwe." kata Cu
Jiang. "Sewaktu masih hidup, pernahkah ayahmu menceritakan
tentang musuhnya ?"
"Tak pernah."
"Jika begitu, tentu sukar engkau melakukan penyelidikan."
"Pada waktu itu aku melihat beberapa hal yang dapat
kujadikan pegangan untuk mencari jejak si pembunuh.
Pada saat itu kutemukan dua buah kutungan jari, sebuah
lengan. Dengan bukti itulah akan kucari musuh itu. "
"Oh..."
"Dan masih ada lagi . . . . "
"Apa" "
"Orang Gedung Hitam ketika menyelidiki asal usul
diriku pernah berusaha menekan aku supaya memberitahukan tempat ayahku. Itulah sebabnya maka
keras dugaanku bahwa orang Gedung Hitamlah yang
melakukan pembunuhan itu ... "
"Gedung Hitam" Aku tak pernah mendengar nama itu! "
"Gerombolan
Gedung Hitam mengacau dunia persilatan, kemungkinan terjadi pada waktu locianpwe
mendapat musibah ..."
"Ya, mungkin begitu. Bagaimana gerombolan itu?"
"Begitu muncul mereka melakukan pembunuhan besar-
besaran di kalangan kaum persilatan, seluruh dunia
persilatan di Tionggoan diancam oleh bayang2 kecemasan
dan kegelisahan!"
"Siapakah pemimpin mereka?"
"Tak seorangpun yang tahu!"
"Oh, dunia persilatan memang banyak sekali urusannya.
Aliran Ceng-pay dan Shia-pay, timbul tenggelam silih
berganti. Demikian kehidupan dunia persilatan dari masa
ke masa. Tetapi ada sebuah dalih yang menjadi kenyataan
bahwa Kejahatan itu akhirnya harus menyerah pada
Kebaikan. Golongan Shia-pay tentu kalah dengan golongan
Ceng-pay!"
"Benar."
"Nak, engkau memiliki kecerdasan dan bakat yang bagus
sekali. Mungkin dalam dunia persilatan jarang terdapat
orang yang bertulang sebagus engkau. Sayang engkau
menderita musibah sedemikian menyedihkan, sebelah
kakimu cacad. Hal itu mungkin akan mempengaruhi
kemajuan dari latihan ilmu silatmu. Tetapi jangan kecewa.
Semua itu sudah digariskan Thian. Jangan putus asa dan
teruskanlah usahamu dengan hati lapang!"
"Baik, lo cianpwe."
"Nah, sekarang engkau boleh berangkat."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan rasa yang berat, Cu Jiang berbangkit lalu
memberi hormat:
"Selamat tinggal, locianpwe. Mudah-mudahan kita akan
lekas berjumpa kembali."
"Ya, ya, mudah-mudahan aku masih hidup sampai
waktu itu. Per.... gilah! "
"Harap locianpwe baik2 menjaga diri. "
"Dan lagi . . . ."
"Oh, apakah lo cianpwe hendak memberi pesan lagi?"
"Dua buah hal yang perlu kupesan kepadamu. Pertama,
sembunyikan dirimu jangan engkau mengatakan asal
usulmu. Demi menjaga tindakan musuh yang hendak
membasmi seluruh keluargamu. Kedua, apabila Thian
mengabulkan harapanku dan engkau berhasil menemukan
anak perempuanku itu, jangan mengatakan kalau aku masih
hidup. Katakan saja . . . aku sudah berada di alam baka . . ."
Dalam mengatakan ucapan yang terakhir itu, suara Ko-
tiong jin agak sember. Air matanyapun berlinang-linang.
Cu Jiangpun ikut terharu sekali.
"Akan kuingat semua pesan locianpwe itu."
Ia terus berbangkit, memandang sejenak kepada Ko-
tiong-jin lalu dengan langkah tertatih-tatih ia melangkah ke
luar. Suasana di luar guha masih gelap tertutup kabut pagi
sehingga ia tak dapat melihat jelas keadaan di sekeliling. Cu
Jiang menuruni lembah. Dicobanya untuk menggunakan
ilmu meringankan tubuh. Tetapi karena kakinya cacad, ia
tak leluasa berlari. Dengan tertatih-tatih dia berlari, hanya
lebih cepat sedikit dari orang biasa.
Teringat akan keadaan itu, kemarahannya memuncak
lagi. Dengan susah payah barulah ia berhasil keluar dari
barisan karang tajam dan tiba di saluran air seperti yang
dikatakan Ko-tiong jin.
Saluran air itu terletak di bawah batu karang, berasal dari
sebuah gua. Karena musim panas, saluran air itupun hanya
sedikit airnya. Kalau musim hujan, tentu tak mungkin
orang dapat menggunakannya untuk berjalan menembus
gua. Cu Jiang segera merangkak masuk ke dalam terowongan
gua itu. Sekonyong-konyong ia berteriak kaget sekali.
Dia terlongong-longong di tepi kubangan air yang
merupakan sebuah telaga kecil.
Di permukaan air ia melihat sesosok bayangan yang
mengerikan sekali. Rambut terurai kusut, wajahnya penuh
dengan noda hitam, pakaian compang camping penuh
berlumuran bintik2 percikan darah. Siapapun tentu akan
ketakutan apabila melihat bayangan itu.
Cu Jiang tenangkan semangatnya. Memandang keempat
penjuru. Tetapi tak tampak barang seorang manusia
lainnya. Kembali memandang ke permukaan air, ia masih
melihat bayangan yang mengerikan itu.
Tiba2 ia tersadar dan serentak lemas lunglailah kakinya.
Ia terkulai duduk di tanah lalu ia berteriak kalap:
"Inilah aku! Ya, aku sendiri, Cu Jiang!"
Habis berteriak kalang kabut, ia tertawa seram. Nadanya
penuh dendam dan kedukaan. Air matanya bercucuran.
Untuk pertama kali di permukaan air itu ia dapat melihat
roman mukanya. Dan raut mukanya itu ternyata jauh lebih
mengerikan dari apa yang di bayangkan.
Adakah manusia seperti diriku sekarang ini layak
bertemu muka dengan orang"
Ia bertanya dan bertanya pada dirinya sendiri. Sebagai
jawaban, meluaplah dendam kebenciannya. Seluruh
pikiran, semangat dan raganya, terbakar hangus oleh
dendam kesumat. Dia tak suka kepada segala apa di dunia
ini lagi. Dia benci pada dunia.
Dendam kesumat telah menghancur leburkan hati
nuraninya. Dendam kesumat, seolah telah menyebabkan jiwanya
meninggalkan raga.
Dendam kesumat telah membuat dirinya menjadi
manusia yang berobah wataknya. Ia merasa langit telah
berubah, bumi berganti dan dirinyapun juga berobah.
"Cu Jiang yang sekarang, bukan Cu Jiang yang dulu
lagi," ia meratap dan memberingas.
Akhirnya ia bangkit, meraung raung seperti seekor
binatang buas dan dengan langkah terhuyung-huyung ia
melintasi terowongan itu, menurutkan aliran air. Beberapa
tombak jauhnya, keadaannya gelap sekali sehingga tak
dapat melihat tangannya sendiri. Namun ia tetap kalap.
Dengan jatuh bangun ia terus lari.
Tubuh Cu Jiang berlumuran darah akibat terbentur
dengan dinding terowongan gunung.
Tetapi dia telah mati rasa. Dia tak memikirkan rasa sakit
lagi. Hanya lari, ya, lari terus sejauh kakinya masih kuat...
Tiba2 disebelah muka merekah penerangan. Ternyata
telah tiba disebuah lorong atau jalanan lembah. Karena
kehabisan tenaga dia jatuh di saluran air, napasnya
tersengal-sengal keras.
Hampa. Hampa diluar hampa didalam. Pikirannya
sehampa langit yang luas.
Tak lama kemudian sang surya mulai memancarkan
sinarnya ke penjuru lembah. Awanpun berarak-arak di
puncak lembah. Tanpa terasa karena merendam diri di saluran air, noda
darah pada lukanya tercuci bersih, tetapi sebagai gantinya
luka itupun memberinya rasa sakit. Dan rasa sakit itu
pelahan-lahan menyadarkan pikirannya lagi. Dia segera
meninggalkan saluran air. Sinar mentari pagi menghangatkan pula tubuhnya. Pelahan-lahan semangatnyapun segar kembali.
Peristiwa berdarah dalam rumah tangganya kembali
terlintas dalam benaknya ....
Paman Liok, Siau Hiang anak perempuan satu-satunya
dari paman Liok, bibi Liok . .. ayahnya, mamah, adik
perempuan .... mereka telah dibunuh secara kejam oleh
musuhnya. Darah mereka telah menumpah. Darah mereka hanya
tinggal dalam dirinya. Dia adalah satu-satunya darah
mereka yang masih hidup. Jika dia mati, habislah
semuanya. Tidak ! "Aku tak boleh mati!" Jika aku mati dendam darah itu
pasti tak dapat kubalas." kata hatinya. Dam bulatlah sudah
keputusannya. Dia harus hidup untuk menuntut balas atas
kematian kedua orang tua, adiknya dan kedua bujang Liok
serta anaknya itu.
Setelah semangat hidupnya bangkit, dia segera menuju
ke arah yang dikehendakinya. Sejam kemudian tibalah dia
di tempat pondok paman Liok.
Memandang pondok ditengah hutan belantara yang
sunyi senyap itu, dia menghela napas.
"Ah, yang mati, sudah mati. Tetapi yang hidup ini ?"
Dia melangkah masuk kedalam pondok. Dihadapan abu
ketiga anak beranak itu. dia tegak berdoa. Setelah itu ia
segera melintasi hutan dan menuju ke tempat tinggal ayah
bundanya. Pondok dan segala isi rumah masih sama seperti
beberapa hari yang lalu. Hanya ia terkejut ketika melihat
sebuah makam. Segera ia menghampiri makam itu.
"Hai, siapakah yang membuat makam ini?"
"Ang Nio cu!" ia berteriak kaget setelah membaca tulisan
pada batu nisan itu.
"Mengapa Ang Nio-cu datang kemari" Dan mengapa dia
mendirikan makam untuk ayah bundaku ?" keheranan Cu
Jiang makin menjadi2.
Ang Nio cu, momok wanita yang membunuh jiwa
manusia seperti membunuh nyamuk, mengapa mau
mendirikan makam untuk ayah bunda Cu Jiang.
Aneh! Benar2 aneh. Cu Jiang tertegun dalam kehilangan
faham. Ketika melintasi hutan dan melihat pertandaan dari Ang
Nio cu, ia segera mendengar suara momok wanita itu
mengancam hendak membunuhnya. Tetapi tiba2 wanita itu
merobah keputusannya. Adakah Ang Nio-cu memang
mengikuti jejaknya hingga tiba di situ" Jika benar, apakah
dia mengetahui tentang peristiwa yang terjadi di sini"
Cu Jiang benar2 bingung.
Dia berlutut dan menelungkupi makam. Ketika tersadar,
matahari sudah terbenam. Malam itu dia tidur di makam
orang tuanya. Keesokan harinya, ia berlutut pula di depan nisan
makam dan berdoa:
"Ayah, mah, adikku berdua. Aku bersumpah akan
membalaskan dendam berdarah ini. Sejak saat ini aku tak
mau mengucurkan air mata lagi."
Habis bersembahyang, dia berbangkit. Tak berapa jauh
dari tempatnya, ia melihat sebatang pedang yang kutung
berkilau-kilauan tertimpa sinar matahari. Dikenalinya
pedang itu adalah milik ayahnya. Dihampirinya pedang itu
lalu di bungkusnya dengan robekan lengan baju dan di
simpannya dalam dada bajunya.
Pedangnya sendiri tiga hari yang lalu telah hilang ketika
dia di tendang jatuh ke dasar jurang oleh ketiga mahluk
aneh itu. Setelah itu ia kembali berlutut di depan makam dan
menghaturkan hormat yang penghabisan kali. Kemudian ia
berbangkit dan menuju ke pondok kediamannya.
Dia mencari lemari untuk berganti pakaian. Dengan
mengenakan pakaian dari kain kasar dan caping, kini dia
berobah menjadi seorang manusia baru. Orang tentu tak
kenal lagi bahwa dia adalah Cu Jiang, putera dari Dewa-
pedang Cu Beng Ko yang termasyhur.
Selesai berpakaian ia mengambil cermin. Ah, ternyata
dia sendiripun tak kenal dengan dirinya yang baru itu.
Dia tak mau bersedih lagi. Yang ada dalam hatinya
hanyalah "dendam kesumat". Dia telah bersumpah di
hadapan makam kedua ayah-bundanya bahwa sejak saat itu
dia tak mau mengucurkan airmata lagi.
Setelah mengemasi bekal yang perlu, dia segera
tinggalkan rumah yang penuh kenangan pahit itu.
Racun yang tersimpan dalam kantong pemberian Ko-
tiong-jin, memberi peringatan kepadanya. Bahwa untuk
membalas dendam, tak mungkin dengan mengandalkan
ilmu kepandaian tetapi harus dengan akal. Tak peduli
apapun caranya yang penting dendam itu cepat terhimpas.
Soal mencari guru sakti dan berguru menuntut ilmu
kepandaian yang sakti, memang hanya tergantung dari
jodoh tetapi tak dapat diharapkan dengan pasti.
Kemanakah dia harus mencari guru sakti " Dan sampai
berapa tinggikah ukuran ilmu-silat yang sakti itu" Jika
musuhnya itu benar pemimpin Gedung Hitam, siapakah
tokoh dalam dunia persilatan yang mampu melebihi
kesaktiannya" Karena jika ada tokoh yang lebih unggul dari
pemimpin gerombolan Gedung Hitam, tak mungkin
gerombolan Gedung Hitam dapat merajalela dalam dunia
persilatan. Demikian untuk belajar silat hingga mencapai tataran
yang tinggi, bukan suatu pekerjaan yang dapat dilakukan
dalam setahun dua tahun, tetapi harus bertahun-tahun
bahkan belasan tahun. Lalu kapankah dendam itu akan
dapat terbalas"
Akhirnya tibalah Cu Jiang di sebuah kota kecil. Dia agak
takut. Dia kuatir orang akan takut melihat wajahnya. Pun
juga hal itu dapat mengundang peristiwa-peristiwa yang
sangat tak diharapkan.
Tetapi dia tak dapat terus menerus mengasingkan diri
dan tak mau bertemu orang. Untuk membalas sakit hati ia
harus melakukan penyelidikan dan hal itu berarti bahwa ia
harus bertemu dan bergaul dengan orang.
Akhirnya ia keraskan hati dan berjalan tertatih-tatih ke
arah kota itu. "Hai..." tiba2 seorang perempuan menjerit, menutupi
muka dan lari ketakutan ketika melihat wajah Cu Jiang.
Cu Jiang hentikan langkah. Betapa sedih rasa hatinya
saat itu, sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dulu setiap
mata gadis tentu akan berusaha untuk selalu memandangnya. Tetapi kini mereka tentu akan membuang
muka. Dendam kesumat makin tebal dalam sanubarinya.
Beberapa waktu kemudian baru ia timbul keberaniannya
untuk melanjutkan masuk ke dalam kota.
Sepanjang jalan banyak orang yang menjerit dan
berteriak kaget. Ada yang menghindar, ada pula yang
mengikuti untuk melihatnya lebih jelas. Bahkan anak2 yang
nakal melemparinya batu.
Ingin sekali dia membunuh mereka. Tetapi mereka
rakyat yang tak berdosa dan diapun tak mungkin dapat
membunuh habis mereka. Maka ditekannya perasaannya.
Dengan sabar ia berjalan.
Pada saat ia masuk yang pertama kali ke dalam sebuah
rumah makan, jongos segera

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

deliki mata dan membentaknya: "Hai, berhenti . . . mau apa engkau!"
Darah Cu Jiang meluap, namun dengan mengertek gigi
ia balas bertanya:
"Apa perlunya kalian membuka pintu?"
"Di sini rumah makan, sudah tentu kami menjual
makanan dan minuman."
"Kalau begitu setiap orangpun berhak membeli di sini."
"Carilah lain rumah makan saja!"
"Apa maksudmu?"
"Dikuatirkan tetamu yang makan di sini akan muntah
melihat engkau."
Hawa pembunuhan serentak meluap sehingga sepasang
mata Cu Jiang berkilat-kilat memancarkan api, ketika
memandang jongos itu.
Jongos itu ketakutan dan menyurut mundur, seorang
lelaki pertengahan umur segera melangkah maju. Rupanya
dia pemilik rumah makan itu. Dia berhenti dihadapan Cu
Jiang dan mengawasinya dengan alis berkerut.
"Apa engkau orang dari desa ?"
Memang pakaian dari kain kasar yang dikenakan Cu
Jiang saat itu, biasanya dipakai orang desa.
"Jangan urusi aku orang desa atau orang kota. Aku bisa
membayar apa yang kumakan dan minum. Apakah tidak
boleh ?" "Silakan engkau cari lain rumah makan saja."
"Tidak ! Aku hendak makan disini."
Lelaki pertengahan umur itu deliki mata
lalu membentak: "Manusia cacat, disini bukan tempatmu main gila !"
Ribut2 itu telah mengundang perhatian tetamu2 lain.
Mereka serempak datang melihat. Begitu melihat wajah Cu
Jiang, berobahlah cahaya muka mereka. Ada yang muak,
ada pula yang kasihan.
"Engkau menghina aku orang cacat?" teriak Cu Jiang.
"Apa salah" Apakah engkau ini lelaki yang tampan ?"
Kata2 pemilik rumah makan itu menimbulkan gelak
tawa dari sekalian tetamu.
Kata2 itu benar2 telah menikam perasaan hati Cu Jiang.
Dia tak dapat menahan kesabarannya lagi. Dangau deliki
mata ia membentak:
"Apakah engkau pemilik rumah makan ini?"
"Ya."
"Rumah makan yang engkau usahakan ini menjual
makanan kepada orang atau tidak ?"
"Ya, tetapi tidak kepadamu."
Saat itu diluar rumah makan telah banyak orang yang
iseng melihat ribut2 itu. Mereka juga ikut memperbincangkan wajah Cu Jiang.
"Apa engkau tak menyesal ?" Cu Jiang menegas geram.
"Orang cacat, enyahlah, jangan membuat naik darahku !"
bentak pemilik itu.
Wajah Cu Jiang yang seram makin mengerikan ketika
memancarkan hawa pembunuhan. Dengan mendengus dia
menggeram. "Hm, engkau sendiri yang minta mati !" Secepat kilat
tangan kanannya menyambar. Walaupun kaki yang kiri
cacat, tetapi tenaga kepandaian Cu Jiang masih tetap tak
hilang. Sambarannya itu hebat sekali, tak sembarang jago silat
dapat menghindari.
"Auh...!" pemilik rumah makan itu menjerit ngeri ketika
tubuhnya diangkat seperti anak kecil. Kelima jari Cu Jiang
menyusup kedalam daging tubuhnya sehingga darah
bercucuran deras.
Sekalian orang menjerit kaget. Mereka tak kira bahwa
orang desa yang berwajah buruk dan cacat kakinya itu
ternyata memiliki kepandaian yang sedemikian hebat.
Jongos segera mengajak kawan-kawannya untuk menyerbu. Ada yang membawa pentung, serok api dan
pisau. "Aduh .. . aduh" Cu Jiang mengangkat tubuh pemilik
rumah makan yang diayun-ayunkan sebagai senjata.
Kawanan jongos itu tak berani turun tangan dan mereka
sendirilah yang mundur karena terbentur dengan senjata
istimewa dari Cu Jiang.
"Tuan, ampunilah jiwaku. Aku punya biji mata tetapi tak
dapat melihat gunung Thaysan !" pemilik rumah makan
menjerit jerit minta ampun.
"Sahabat, jangan !" tiba2 terdengar suara yang
menggetarkan telinga Cu Jiang.
Mengangkat muka memandang kedepan, Cu Jiang
melihat seorang tua berjenggot putih dan pakaian putih,
tengah melangkah masuk. Sikapnya amat berwibawa sekali.
"Lotiang, kojiu dari mana ?" tegur Cu Jiang dengan
masih marah. Dengan pelahan tetapi penuh kekuatan, orang tua
berjenggot putih itu menyahut:
"Dengan ilmu kepandaian sahabat yang begitu hebat,
masakah sembabat hendak menuruti nafsu kepada
penduduk biasa ?"
Mendengar itu Cu Jiang terkesiap. "Aku seorang cacat
yang hina!" Orang tua jenggot putih itu tertawa gelak-gelak:
"Mengapa sahabat merendah diri. Lepaskanlah dia !"
"Apakah lotiang hendak memintakan ampun untuknya?"
"Bila sahabat suka memberi muka kepadaku, akan
kusuruh mereka segera mempersiapkan hidangan untuk
menghaturkan maaf."
"Ya, aku akan menghaturkan maaf!" teriak pemilik
rumah makan yang seperti ayam hendak disembelih.
Cu Jiang lepaskan cengkeramannya, bluk . . pemilik
rumah makan itu jatuh ke lantai dan merintih-rintih
kesakitan. Setelah memandang beberapa jenak pada Cu Jiang,
orang tua jenggot putih itu mengangguk, katanya:
"Sahabat, maukah engkau menemani aku minum arak?"
Cu Jiang sudah mengetahui bahwa ia sedang berhadapan
dengan seorang tua yang bukan sembarangan. Serentak ia
mengangguk: "Biarlah aku yang mengundang lotiang!"
Orang tua jenggot putih itu segera menarik tangan Cu
Jiang diajak masuk ke dalam. Dia memilih sebuah tempat
di ujung ruang yang sepi.
Setelah ditolong oleh jongos, pemilik rumah makanpun
berteriak-teriak:
"Lekas siapkan hidangan . . . menghaturkan maaf."
Dengan wajah cemberut, jongospun segera menyiapkan
hidangan. Tetamu2pun kembali ke tempat duduknya lagi.
Hanya pandang mereka senantiasa mencurah ke arah Cu
Jiang. Setelah duduk, Cu Jiang segera bertanya nama orang tua
itu. "Aku orang she Gong."
"Gong?"
"Ya Apakah engkau belum pernah mendengar she itu?"
"Baru pertama kali ini."
"Dan siapakah namamu?"
Cu Jiang teringat akan pesan Ko-tiong-jin agar jangan
membuka rahasia dirinya. Maka ia segera memberi
keterangan: "Karena sejak kecil menderita nasib yang malang dan
terlunta lunta, she-ku sudah tak pernah kupakai lagi. Yang
hanya menyebutku sebagai Gok ji. "
"Gok-ji?" ulang orang tua berjenggot putih. Gok-ji
artinya Anak sengsara. "Ah, Gok-ji memang suatu nama
yang istimewa dan dalam sekali artinya."
Tergetar hati Cu Jiang mendengar kata2 orang tua itu. Ia
tahu bahwa orang tua itu tentu seorang yang aneh juga.
Saat itu jongos datang membawa hidangan makanan dan
arak. Kedua orang itupun segera makan.
Entah apa yang sedang dipikir orang tua itu. Diam2 Cu
Jiang merasa heran akan kemunculan orang tua itu yang
secara tiba2- Dia tak tahu siapa sebenarnya orang tua itu
dan apa tujuannya. Jika dia seorang musuh, baiklah ia
berhati-hati menghadapinya.
Takaran minum orang tua itu hebat benar. Setiap habis
dia tentu mengisi lagi cawannya dan terus diteguknya
sehingga poci arak yang dibawakan jongos itu habis isinya.
Diam2 Cu Jiang semakin waspada. Setelah meneguk
secawan, ia minta maaf dan mulai makan nasi. Tetapi
orang tua itu terus saja minum arak. Delapan poci yang
dibawa si jongos berturut-turut, telah diludaskan semua.
Sekalian tetamu leletkan lidah karena heran.
Setelah kenyang. Cu Jiang letakkan mangkuknya
demikian pula orang tua itu.
"Mari kita pergi!" kata orang tua itu.
Cu Jiang terbeliak, serunya: "Pergi" Ke mana" "
Rupanya dengan mengucapkan ajakannya tadi, orang
tua itu sudah berbangkit dan terus ngeloyor. Ia berpaling,
sahutnya: "Pindah ke lain tempat!"
Cu Jiang makin tergetar hatinya. Dia belum tahu asal-
usul orang tua itu dan baru saja ia mengenalnya di rumah
makan situ. Orang tua itu hanya menyebutkan orang she Gong,
tetapi tak mengatakan siapa namanya. Pada hal dalam
dunia ini, tak ada orang yang menggunakan she Gong.
"Aneh, mengapa dia mengajak aku pindah ke tempat
lain" Untuk apa" Bercakap-cakap"
Apa yang dipercakapkan" Aku tak kenal kepadanya, " diam2 Cu Jiang
membatin. Kemudian ia merangkai dugaan andaikata orang
tua itu tertarik perhatiannya kepada dirinya" Ah tak
mungkin. Dia membantah pikirannya sendiri. Masakan
pemuda berwajah seperti dirinya, dapat menarik perhatian
orang. "Adakah dia bermaksud jahat?" pikirnya pula. Tetapi dia
membantah lagi, "Ah, tak mungkin. Bukankah dia sudah
berganti wajah" Tak mungkin orang akan mengenali bahwa
aku adalah pemuda Cu Jiang yang tampan dulu. "
Saat itu orang tua sudah tiba di ambang pintu. Akhirnya
timbullah pikiran Cu Jiang untuk mengetahui siapakah
orang tua itu dan apakah maksudnya mengajak dia.
Dia serentak berbangkit, mengambil sekeping hancuran
perak dan diletakkan di atas meja sebagai pembayarannya.
"Tidak usah, tuan. Majikan kami mengatakan memang
sengaja hendak menghidangkan makanan dan arak selaku
permohonan maaf kepada tuan, " jongos bergegas
menghampiri. Cu Jiang deliki mata.
"Tak perlu ! "
Dia terus melangkah menyusul si orang tua. Keduanya
melangkah ke luar. Sepanjang jalan, setiap orang yang
melihat Cu Jiang tentu terkejut ngeri.
Sampai di sebuah tempat sepi di luar kota, Cu Jiang
hentikan langkah dan berseru:
"Apakah yang lotiang hendak katakan kepadaku?"
Orang tua itupun berhenti, berpaling dan tegak
berhadapan dengan Cu Jiang.
"Sahabat, apakah engkau benar bernama Gok ji?"
"Benar. Mengapa lotiang bertanya begitu?"
"Dengan tujuan apa sahabat merusakkan tubuhmu
sendiri?" tanya si orang tua.
"Aku .... tak mengerti."
"Pada jaman dahulu, Ong Cu telah mengutungi
lengannya sendiri kemudian pura2 menyerah pada bangsa
Kim. Tujuannya tak lain ialah hendak membebaskan Liok
Ban Liong, putera dari menteri negeri Kim yang setia tetapi
terkena fitnah. Ong Cupun menggunakan nama Gok-jin.
Apakah sahabat juga hendak mencontoh cerita itu ?"
Mendengar itu Cu Jiang tertawa gelak2.
"Sungguh kebetulan sekali. Itu hanya kebetulan saja
sama. Lotiang terlalu jauh membuat penilaian."
"Katakan hal itu memang secara kebetulan sama," kata
orang tua Itu dengan nada tegang, "tetapi kata2 sahabat itu
tidak sungguh2, mudah sekali diketahui. . ."
"Bagaimana lotiang mudah mengetahuinya?"
"Kesatu, pakaianmu dengan tindakan kata-katamu tidak
sepadan. Kedua, sinar matamu juga berkilat kilat tajam,
menandakan ada sesuatu yang terkandung dalam hatimu.
Ketiga, gerakan tanganmu tadi bukan main hebatnya. Bagi
orang yang ahli, jelas tentu mengetahui bahwa engkau tentu
memiliki ilmu silat yang hebat, Keempat, melihat tingkah
lakumu, jelas baru saja. Entah karena apa, tetapi yang jelas
bukan pembawaan sejak kecil. Dan tak mungkin sejak kecil
engkau diberi nama Gok-ji. Bagaimana pendapatmu,
salahkah penilaianku ini?"
Karena isi hatinya di buka, keringat dingin pun
bercucuran membasahi tubuh Cu Jiang. Tajam sekali
pandang mata orang tua itu sehingga sekali lihat dia sudah
dapat mengetahui tentang diri nya.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kalau musuh juga dapat menilai begitu, tentu
sukarlah aku menyembunyikan diriku," diam-diam ia
mengeluh. Seketika timbul keinginannya untuk mengetahui siapa
sesungguhnya orang tua itu.
"Kalau menurut pendapat lo-tiang sendiri, bagaimana?"
ia balas bertanya.
"Sahabat tentu berasal dari keluarga yang ternama dan
sahabatpun mempunyai bahan tulang yang bagus sekali.
Sebab apa sahabat menyembunyikan muka sahabat yang
sesungguhnya?" kata orang tua itu pula.
"Apakah aku boleh menyangkal pandangan lo-tiang?"
"Aku tak bermaksud menyelidiki urusan peribadi orang
Benar atau salah dugaanku tadi, bukan soal yang penting
bagiku." "Tetapi lotiang memanggil aku kemari, tentu akan
memberi suatu petunjuk, bukan?"
"Tentu."
"Silahkan lotiang memberitahu."
"Aku hendak mencari seorang pewaris yang lain dari
yang lain . . ."
"Lotiang menjatuhkan pilihan padaku?"
"Benar."
Cu Jiang tertawa keras. "Mengapa lotiang memilih diriku
seorang yang cacat begini?"
"Aku tertarik sekali dengan bahan tulangmu!" Seketika
teringatlah Cu Jiang akan paderi Thian-hian-cu dan imam
Go-leng-cu yang juga ingin mengambil murid kepadanya
dengan alasan begitu juga.
"Apakah lotiang hendak menjadikan diriku seorang jago
yang mampu menandingi selaksa orang?"
"Ada kemungkinan begitu." Cu jiang terkejut. Jika
demikian tentu orang tua itu seorang yang sakti sekali.
"Sahabat, apakah engkau tak pernah mendengar bahwa
warna hijau itu berasal dari biru dan lebih tua dari biru . . ."
Memang dalam hati Cu Jiang sudah memutuskan untuk
mencari jalan melaksanakan pembalasan dendam keluarganya. Sudah tentu tidak begitu mudah dia terpikat
oleh kata2 dari seorang yang belum dikenalnya. Serentak ia
memberi hormat dan berkata:
"Ai, aku tak berharga buat lotiang. Terima kasih sekali
atas perhatian lotiang!"
Seketika berobah cahaya wajah orang tua itu, serunya:
"Janganlah sahabat melewatkan kesempatan yang jarang
terdapat ini."
Tanpa ragu Cu Jiang menjawab: "Seorang cacat seperti
diriku, bagaimana berani memiliki harapan besar.
Maafkanlah apabila aku tak dapat memenuhi harapan
lotiang." Habis berkata ia segera melangkah pergi. Orang tua itu
mengejarnya. "Apakah sahabat menganggap aku membual"
Ingin bukti ?"
Makin orang itu penasaran, makin Cu Jiang ingin lekas2
menghindarkan diri.
"Ah, tak usah," katanya menjawab pertanyaan orang tua
yang hendak mengunjukkan bukti.
Orang tua itu menghela napas dan berkata seorang diri:
"Bahan yang bagus memang sukar diperoleh. Tak
berjodoh memang menjengkelkan."
Namun walaupun mendengar, Cu Jiang tetap lanjutkan
langkah. Dia sudah mempunyai ketetapan takkan
mengunjukkan jejak dirinya agar jangan diketahui musuh.
Diam2 ia geli terhadap orang tua itu. Ia heran mengapa
banyak sekali orang yang ingin mengangkatnya sebagai
murid. Kalau dulu dia memang mungkin tertarik. Tetapi
sekarang, cita2nya tak banyak lagi. Dia sudah putus asa,
sudah dapat melakukan pembalasan kepada musuhnya.
Ooood=woooO Jilid 4 Balas dendam!. Ya, memang mudah di ucapkan tetapi melakukannya
sukar bukan kepalang. Siapa musuhnya itu, pun dia tak
tahu. Maka dia gentayangan ke mana2 tanpa suatu tujuan
yang tertentu. Sekarang wajahnya hanya menimbulkan rasa seram dan
ejekan orang tetapi tidak menarik perhatian mereka.
Setelah mendengar nasihat orang tua tadi, diapun harus
menyesuaikan diri, sebagai orang biasa, orang desa yang
sesuai dengan keadaannya saat itu. Dengan demikian tentu
dapat menghapus kecurigaan orang.
Tengah dia berjalan. Beberapa kuda hitam mencongklang pesat dari sampingnya. Penunggangnya
mengenakan pakaian hitam, mukanya di tutup kain
kerudung dan pakai mantel warna hitam.
"Pengawal hitam" diam2 Cu Jiang berteriak dalam hati.
Cepat ia kerahkan tenaga dan lari mengejar.
Tetapi karena kaki kirinya cacat, beberapa saat
kemudian, ia sudah kehilangan jejak mereka. Terpaksa ia
hentikan pengejarannya.
Tetapi baru ia berhenti dari arah belakang terdengar
lengking tertawa.
Cu Jiang cepat berputar tubuh. Ah.... seperti disambar
kilat, mulutnya segera menganga hendak berteriak tetapi
tiba2 ia mengatupkannya lagi. Suara yang hendak
diluncurkannya ditelannya kembali.
Dari belakang tampak dua orang penunggang kuda.
Yang satu, seorang puteri keraton yang cantik gilang
gemilang. Dan yang satu seorang dayang cantik dalam
pakaian warna biru.
Kedua dara dan bujang itu tak lain adalah kedua gadis
yang telah menolong dirinya dari ancaman kelak kelompok
Pengawal Hitam yang bernama Mata-sakti Ong Tiong Ki.
Ki Ing demikian nama menurut pengakuan puteri jelita
itu telah memberinya pending (giok-pwe) kumala hijau tua.
Benda itu masih dipakaianya.
Kini dia merasa malu sendiri. Yang lalu biarlah lalu. Dia
berusaha untuk menekan perasaan hatinya, walaupun
hatinya seperti disayat-sayat.
"Nona, cobalah lihat wajahnya itu . ." tiba2 Siau Hui
dikejutkan suara bujang dara berseru. Ki Ing tak
menanggapi kata2 bujangnya, tetapi memandang kearah Cu
Jiang. "Apakah engkau tadi mengejar rombongan itu?"
tegurnya. Cu Jiang masih tertegun, terlongong-longong dalam
kerisauan hatinya. Ia tak menjawab apa2.
"Hai, nona aku bertanya kepadamu !" teriak Siau Hui.
Cu Jiang gelagapan dan berpaling. "O.. .. bertanya
kepadaku?" katanya tersendat-sendat.
Puteri cantik itu tertawa lalu mengulang pertanyaannya
tadi: "Apakah engkau mengejar rombongan penunggang kuda
yang tadi ?"
"Mengejar .... ah, tidak mengejar siapa-siapa," kembali
Cu Jiang menyahut dengan nada tergetar.
"Bukankah engkau hendak mengejar rombongan
penunggang kuda yang tadi?" masih puteri cantik itu
menegas. Hati Cu Jiang seperti disayat sembilu. Ia lantas
menjawab dengan kata2 yang tolol:
"Ah. aku ... hanya iseng saja !"
"Apakah engkau pernah belajar silat ?"
"Heh, heh ... hanya belajar beberapa hari saja."
"Engkau tahu siapa rombongan penunggang tadi !"
"Tidak.... tidak tahu. Hanya tampaknya garang sekali."
"Tolol! Lain kali engkau harus hati2, jangan sampai
kehilangan jiwa tanpa mengetahui apa2."
Dampratan "tolol" itu. bagaikan duri yang menusuk ulu
hati Cu Jiang. Tetapi dia harus belajar sabar. Ia tidak marah
melainkan tertawa dan miringkan kepala.
"Apakah sekedar iseng2 mengejar saja, bila kehilangan
jiwa ?" "Kuberitahu kepadamu, engkau juga tak mengerti.
Cukup ingat sajalah. Lain kali kalau bertemu dengan
rombongan Pengawal Hitam yang berkuda, engkau lebih
baik menyingkir saja."
Dalam berkata itu bau tubuh si jelita bertebaran
dihembus angin. Nadanya bagai burung kenari, berkicau.
Diluar kesadaran, Cu Jiang memandang wajah si jelita yang
pernah menghadiahkan pending kumala kepadanya.
Dari kata-katanya itu, ia dapat mengetahui akan
kehalusan budi jelita itu. Tetapi oh, nasib . .. . dia merasa
tak layak lagi menerima budi kebaikan jelita itu.
Cu Jiang terlongong-longong. Pikirannya melayang-
layang Rupanya bujang Siau Hui tak sabar, serunya.
"Nona, mari kita balik saja."
"Balik ?"
"Disekitar tempat ini telah kita jelajahi semua, tetapi
jejaknya tidak dapat kita ketemukan ..."
Jejaknya" Siapakah yang dimaksud dengan dia itu "
Kembali hati Cu Jiang seperti tersayat-sayat...
"Aku harus menemukan dia !" seru si jelita.
"Ah, Janganlah nona terlalu merindukan dia."
"Tutup mulutmu!" bentak si Jelita," dia tentu juga belum
meninggalkan tempat ini. . ."
"Apakah tidak terlalu berbahaya nona menghadiahinya
pending kumala itu" Apabila loya tahu."
"Tutup mulutmu ?" kembali si jelita membentaknya lagi.
Saat itu hati Cu Jiang seperti ditusuk ujung pedang. Jelas
yang hendak dicari si jelita itu bukan lain adalah dirinya.
Oh, apakah dia masih sesuai menjadi pasangan jelita itu
" Tidak ! Tidak ! Seribu kali tidak ! Dia menyadari bahwa
saat itu dia bukanlah Cu Jiang beberapa hari yang lalu. Kini
dia seorang manusia yang cacad.
Ah, betapa perasaan Jelita itu apabila tahu bahwa
pemuda yang hendak dicarinya itu ternyata kini adalah si
muka buruk yang tengah bicara dengannya. Tidakkah hati
jelita itu hancur berantakan . . . .
Ah, tidak! Dia harus menderita segala kehancuran hati
itu. Janganlah gadis jelita itu ikut menderita. Biarlah dalam
hati jelita itu tetap bersemayam suatu kenangan yang indah.
Cu Jiang merasa bahwa dia harus lekas pergi. Sesaat
lebih lama berhadapan dengan puteri jelita itu, sesaat lebih
lama lagi kehancuran hatinya. Mungkin dia akan gila.
Maka dengan kuatkan hati, tanpa berkata sepatahpun
juga, dia terus ayunkan langkah. Dia tak berani lagi
berpaling memandang jelita itu. Juga tak sepatahpun kata
selamat tinggal, dia tak berani mengucapkan.
"Nona, orang itu sungguh tak tahu aturan sekali . . ."
Siau Hui melengking.
"Ah, orang desa apalagi cacat," jawab si jelita," jangan
engkau salahkan dia. Aku lebih merasa kasihan kepadanya
daripada menyesali dia tak tahu aturan!"
Mendengar itu hati Cu Jiang bercucuran darah . . .
Terdengar kuda kedua gadis itu mulai berderap, makin
lama makin jauh...
Cu Jiang jatuhkan diri diaduk di tepi jalan. Dia bagaikan
seorang yang baru sembuh dari penyakit berat. Kini hanya
rasa pedih yang mencengkram hatinya. Dia bagaikan
seorang yang terlempar ke dalam lautan penderitaan. Makin
lama makin tenggelam dan tenggelam . . .
Lama sekali dia berjuang dalam laut penderitaan itu.
Sampai pada suata saat dapatlah ia tegak lagi.
"Cu Jiang, ah, Cu Jiang! Beban hidupmu masih berat
dengan tugas dendam berdarah. Kini engkaupun telah
cacat. Mengapa engkau masih tenggelam dalam lamunan
asmara" Hapuslah segala perasaan asmara itu.
Kuburlah apa yang engkau pernah rasakan terhadap
jelita itu. Hanya dengan bersikap secara jantan itu, barulah
engkau dapat menyelesaikan beban hidupmu yang maha
berat itu!" katanya seorang diri.
Serentak dia melonjak bangun. Kini dia seolah terlepas
dari himpitan beban yang berat. Sambil tundukkan kepala,
ia melanjutkan langkahnya dengan kakinya yang pincang,
Kini dia hendak menuju ke Kui-ciu lagi.
Dia tetap hendak menyembunyikan dirinya agar jangan
sampai menarik perhatian orang. Maka diapun berjalan
biasa tak mau gunakan ilmu berlari cepat.
Maka sampai matahari condong ke barat, dia masih
belum mencapai kota Kui-ciu walau pun sudah tampak di
depan mata. Tak berapa lama awanpun mulai mengabur gelap disusul
dengan suara kilat sambar menyambar dan tak lama
kemudian hujan mulai mencurah.
Karena tiada tempat tujuan yang tertentu dan tak
terburu-buru mencapai suatu tempat maka Ciu Jiangpun tak
tergesa-gesa. Karena hujan terus tiada hentinya, dia segera
cari tempat meneduh. Memandang ke sekeliling penjuru ia
melihat segerumbul hutan pohon siong. Dia duga tentu
merupakan perumahan orang atau mungkin sebuah kuil.
Karena tiada orang, dia segera menggunakan ilmu lari
cepat menuju ke arah hutan pohon siong itu.
Tiba di tengah hutan dia sudah basah kuyup. Walaupun
tak sampai kedinginn tetapi juga tak enak rasanya.
Memandang ke muka ternyata memang di situ terdapat


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah biara. Ia girang dan terus lari menuju ke pintu biara.
Biara itu sunyi senyap, tiada orang dan tiada asap
pedupaan. Suasananya agak menyeramkan. Cu Jiangpun
melangkah masuk.
Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan berkelebat di
lorong serambi. Ketika memandang dengan lebih seksama
ternyata sosok tubuh itu bergelantungan di atas tiang
penglari, kedua kakinya terangkat di atas lantai.
Cu Jiang terkejut sekali. Jelas orang itu tentu bunuh diri.
Segera ia lari menghampiri.
Uh ... ia menjerit tertahan ketika hampir tergelincir jatuh.
Ternyata kakinya telah menginjak kubangan darah yang
masih basah memenuhi lantai, Ketika memandang ke arah
orang yang mati gantung diri itu, ia menjerit kaget.
"Hai..."
Korban itu bertubuh tinggi besar dan mengenakan jubah
warna hijau. Lehernya terjirat seutas tali yang tergantung
pada tiang penglari. Sebuah cempuling besi menancap dada
tembus sampai ke punggungnya. Cempuling itu masih
mengucurkan darah merah . . .
"Hakim Hijau!" teriak Cu Jiang ketika mengenali korban
itu sebagai Hakim Hijau dari Gedung Hitam yang berilmu
tinggi. Thian-hian-cu, salah seorang tokoh dari Bu-lim Sam-cu
atau tiga-tokoh dunia persilatan yang termasyhur, pun tak
mampu mengalahkan Hakim Hijau itu.
Siapakah yang mampu membunuh dan menggantungnya"
Siapakah yang berani membunuh seorang tokoh
terkemuka dari Gedung Hitam itu"
Menilik noda darah yang masih belum kering, jelas
pembunuhan itu belum lama terjadinya.
Sekonyong-konyong dari arah pintu biara terdengar
suara ringkikan kuda. Cu Jiang terkejut. Pada lain saat
terdengar suara orang bicara. Dan beberapa sosok tubuh
segera lari masuk kedalam ruang biara.
Walaupun suasana gelap tapi Cu Jiang dapat melihat
bahwa orang2 yang tengah lari menyerbu kedalam biara itu
sama mengenakan mantel hitam.
"Ah, Pengawal Hitam," serunya dalam hati. "hm,rupanya aku beruntung dapat bertemu dengan
mereka!" Cepat ia mendapat pikiran. Serentak ia melesat kedalam
ruang dan bersembunyi dibelakang cekungan tempat
patung. Dia tak takut berhadapan dengan kawanan Pengawal
Hitam itu dari Gedung Hitam itu. Tetapi demi
melangsungkan rencananya, dia tak boleh bertindak secara
gegabah. Dia memang belum tahu pasti apakah orang Gedung
Hitam itu yang membunuh kedua orang tua dan kedua
adiknya. Tetapi ia tahu jelas bahwa mereka memang
bernafsu sekali hendak menangkap dirinya.
Empat orang Pengawal Hitam segera menerjang masuk
ke dalam ruang sembahyang.
"Hai . . . hai . . . . ! " mereka berempat menjerit kaget
sekali ketika melihat mayat Hakim Hijau yang bergelantungan pada tiang penglari. Mereka tersurut
mundur dengan wajah pucat seperti melihat hantu.
Tempat Cu Jiang bersembunyi tepat menghadap ke
ruang sembahyangan maka dia dapat melihat jelas apa yang
terjadi di ruang itu.
Menyusul masuklah dua orang Pengawal Hitam dengan
mengempit seorang pemuda yang berlumuran darah. Di
belakangnya mengikut seorang lelaki tinggi besar yang
mengenakan jubah putih, wajahnya berbentuk bundar dan
putih seperti kertas.
"Hai, mengapa ribut2 itu ! " bentak orang berjubah putih
itu. Salah seorang dari keempat Pengawal Hitam yang kaget
dicekik setan tadi segera berseru dengan terbata-bata:
"Hatur hormat kepada Hu-hwat, Liok . . . Liok Hu-hwat
. . . . " "Liok hu hwat bagaimana?"
"Dibunuh orang!"
"Apa?" orang berjubah putih itu memekik kaget. Entah
dengan gerakan apa, tahu2 dia sudah melesat di serambi
ruang besar. Cu Jiang menduga-duga. Menilik pakaiannya yang
istimewa, hampir serupa dengan pakaian Hakim Hijau
hanya warnanya yang berbeda, kemudian sebutannya juga
hu-hwat (pelindung hukum), Cu Jiang menduga orang itu
tentulah Pek poan-koan atau Hakim Putih.
Siapa nama Hakim Hijau, tiada seorang anak buah
Gedung Hitam yang tahu. Demikian pula dengan Hakim
Putih itu. Yang diketahui mereka hanya menyebut
jabatannya. Jika yang berjubah hijau disebut Hakim Hijau
maka yang berjubah putih itupun dipanggil Hakim Putih.
Melihat keadaan Hakim Hijau seketika Hakim Putih
menjerit-jerit aneh. Wajahnya pucat lesi, mata mendelik
seperti orang dicekik setan.
"Bagaimana peristiwa itu?" serunya.
"Ketika hamba beramai ramai masuk, Hek-poan-koan
sudah dalam keadaan begitu." sahut salah seorang
Pengawal Hitam.
Kedua Pengawal Hitam yang mengepit seorang pemuda
itu, ketika masuk ke dalam ruang juga tertegun.
Bum.... Tiba2 Hakim Putih menggentakkan kakinya ke lantai.
Seketika ruang itu berguncang keras. Debu campur guguran
tembok berhamburan rontok.
Diam2 Cu Jiang bercekat dalam hati. Rupa2nya Hakim
Putih itu lebih sakti dari Hakim Hijau.
"Turunkan!" perintahnya.
"Baik," seru anak buahnya. Dua orang Pengawal Hitam
segera maju. Yang seorang memeluk tubuh Hakim Hijau
dan yang seorang mencabut pedang lalu melonjak menabas
tali. Mayat Hakim Hijau dibaringkan dilantai.
Hakim Putih segera memeriksanya.
"Pembunuhan ini baru terjadi setengah jam yang lalu.
Lekas sebar orang dan tangkaplah setiap orang yang
mencurigakan dalam daerah sekeliling lima puluh li !"
"Baik " seorang Pengawal Hitam segera lari keluar.
Memandang mayat Hakim Hijau itu, tubuh Hakim Putih
gemetar keras sampai gerahamnya bergemeretukan.
"Hm, ternyata ada orang yang berani terang-terangan
bermusuhan dengan Gedung Hitam!" geramnya.
Dari celah2 tempat persembunyiannya, Cu Jiang dapat
mengintai jelas bahwa pemuda yang dibawa oleh kedua
Pengawal Hitam tadi, tubuhnya mandi darah dan wajahnya
menyeramkan. Jelas sebelumnya dia tentu melakukan pertempuran
hebat melawan orang2 Gedung Hitam. Menilik wajahnya,
dia baru berumur dua puluhan tahun.
Memandang ketiga Pengawal Hitam, orang berjubah
putih atau Hakim Putih memberi perintah:
"Siapkan semua keperluan dan bawalah jenasah pulang
!" Ketiga Pengawal Hitam itu mengiakan lalu memberi
hormat dan mengundurkan diri.
Saat itu hujanpun sudah berhenti. Ruang itu kini
bertabur kabut malam. Hakim Putih melangkah masuk,
berdiri membelakangi arca lalu berseru nyaring:
"Bawa masuk !"
Pemuda itu segera digusur kedalam.
Dalam pada itu hati Cu Jiang kebat kebit tak keruan.
Jika saja dirinya sampai diketahui Hakim Putih itu, tentulah
akan menghadapi bahaya besar. Dia tak kenal siapa
pemuda itu dan apa sebabnya sampai diringkus orang
Gedung Hitam. Sambil menatap pemuda itu, berserulah Hakim Putih
dengan nada seram:
"Budak, dengarkan. Engkau tulis sepucuk surat untuk
orang tua keras kepala itu. Suruh dia dalam waktu sepuluh
hari harus menyerahkan kitab Sin-hong pit kiok untuk
menukar dengan jiwamu ..."
"Tidak !" seru pemuda itu dengan keras.
"Engkau kepingin mati ?"
"Seorang lelaki berani hidup mengapa harus takut mati?"
seru pemuda itu dengan gagah.
"Heh, heh, heh," Hakim Putih tertawa mengekeh,
"sungguh mempunyai pambek yang perwira. Tetapi apabila
engkau mati, bukankah si tua keras kepala itu akan mati
dengan mata terbuka . . ."
"Tutup mulutmu!"
"Baiklah," kata Hakim Putih, "sekarang aku hendak
pinjam sebuah lenganmu untuk barang bukti. Apabila si tua
keras kepala itu tetap tak mau menyerahkan kitab, tiap tiga
hari sekali, dia akan menerima kiriman sepotong anggauta
badanmu. Dan yang terakhir batok kepalamu!"
Dengan mata berkilat2 memancar api kemarahan,
berserulah pemuda itu:
"Hakim Putih, iblis durjana, engkau tentu akan
membayar apa yang engkau lakukan!"
Mendengar itu Cu Jiang makin membenarkan dugaannya bahwa orang yang berjubah putih Itu adalah
pek-poan-koan atau Hakim Putih.
"Aku tak pernah menarik kembali kata2ku," seru Hakim
Putih, "lekas potong lengan kirinya!" Salah seorang
Pengawal Hitam serentak mencabut pedang. Tetapi pemuda
itu tak takut. Dengan mengernyut geraham ia memandang Pengawal
Hitam itu dengan berapi2. Sikapnya benar2 menunjukkan
seorang ksatrya yang tak gentar menghadapi maut.
"Sekali lagi aku hendak bertanya," seru Hakim Putih,
"maukah engkau menulis surat itu?"
"Huh, apa engkau kira ayahku mau menyerahkan buku
itu?" dengus si pemuda.
"Apakah sebuah kitab lebih berharga dari putera
tunggalnya?"
"Seumur hidup ayah tak pernah tunduk kepada orang."
sahut si pemuda.
"Tetapi hal ini tentu lain ..."
"Ayahku tentu akan menuntut balas!"
"Justeru kebenaran sekali kalau dia mau ke luar dari
sarangnya. Mudah untuk di urus!" sambut Hakim Putih.
"Coba sajalah!"
"Potong lengannya." teriak Hakim Patih. Pengawal
Hitam yang sudah siap dengan pedang itupun segera
mengangkat senjatanya ....
Cu Jiang terpukau tak tahu apa yang harus di lakukan, Ia
menyadari kalau dirinya bukan tandingan Hakim Putih itu.
Jika ia nekad keluar, bukan saja tak dapat menyelamatkan
pemuda itu pun bahkan dia sendiripun tentu celaka.
Pada hal dia harus hidup demi melaksanakan tugasnya.
Karena tegang, tanpa disadari dia telah menimbulkan suara.
Hakim Putih cepat memberi isyarat supaya Pengawal
Hitam yang menabas dulu. Kemudian dia berseru bengis:
"Hai. siapa itu, hayo lekas keluar !" Cu Jiang terkejut
sekali. Tetapi karena jejaknya sudah ketahuan dia harus
unjuk diri saja. Maka dengan mengertak gigi dia segera
merangkak keluar dari lubang tempat arca.
"Budak jorok, mengapa engkau disitu?" setelah terkejut
melihat wajah Cu Jiang yang buruk, Hakim Putih segera
menegur. "Aku .... meneduh disini," sahut Cu Jiang dengan
Suling Emas Dan Naga Siluman 14 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Panji Sakti 3
^