Pencarian

Badai Awan Angin 26

Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Bagian 26


Ternyata si to-su lebih cerdik dari si hwee-shio. Melihat Uh-bun Tiong kabur ke jalan buntu, dia malah curiga.
"Kenapa Uh-bun Tiong tidak mencari jalan lain, tapi dia lari ke jalan buntu. Jangan-jangan dia sudah menyiapkan sebuah perangkap?" pikir si to-su.
1850 Maka itu dia segera memperingatkan kawannya.
"Awas jebakan, Suheng !" kata si to-su.
Sebelum suara si to-su selesai memberi peringatan, dugaan si to-su memang tidak salah. Tiba-tiba Seng Liong Sen muncul dari persembunyiannya, pedangnya langsung menusuk ke arah si hwee-shio.
Ketika tusukan itu datang si hwee-shio kaget setengah mati, dia coba berkelit dari serangan Seng Liong Sen.
Sambil berkelit dia berteriak keras karena kaget. Serangan Seng Liong Sen dilakukan sekali, namun arah yang dituju tujuh sasaran yang sangat berbahaya.
"Bangsat!" teriak si hwee-shio yang terluka terkena tusukan Seng Liong Sen. Dia berputar dan agak limbung dan terjatuh.
Saat itu Uh-bun Tiong yang dikejarnya membalikkan tubuhnya dan membentak keras ke arah si hwee-shio.
"Terjun kau!" bentak Uh-bun Tiong.
Karena hwee-shio itu terluka, dia tidak bisa menahan serangan Uh-bun Liong yang kalap. Tubuh si hwee-shio yang gendut terjungkal dan masuk ke dalam jurang. Tak lama terdengar suara keras dari tongkat si hwee-shio yang membentur batu jurang, ditambah jeritan mengerikan dari si hwee-shio gemuk lalu suara itu hilang. Mungkin hweeshio itu telah mati di dalam jurang. Melihat kawannya terjatuh si to-su kaget. Dia maju dan coba menyerang Seng Liong Sen.
"Bajingan, kau harus membayar nyawa Su-hengku!"
bentak si to-su. Pedang si to-su langsung menusuk ke arah Seng Liong Sen dengan ganas. Uh-bun Tiong tertawa.
1851 "Jiwamu saja belum tentu selamat, tapi kau masih banyak bacot!" kata Uh-bun Tiong.
Golok Uh-bun Tiong membabat ke arah pinggang lawan.
Saat itu si to-su sedang menyerang Seng Liong Sen, dan Uh-bun Tiong mengejar si to-su. Ketika si to-su menusukkan pedangnya ke arah Seng Liong Sen, pemuda ini menangkis serangan si to-su dengan keras. Tapi karena bentrokan itu keras sekali, tangan Seng Liong Sen terasa kesemutan.
Kebutan di tangan kiri si to-su menyabet pedang Seng Liong Sen hingga terbelit dan pedangnya tertarik. Kebutan itu juga menyambar ke wajah Seng Liong Sen hingga muka Seng Liong Sen terasa sakit. Si to-su pun sibuk menangkis serangan golok Uh-bun Tiong yang bertubi-tubi. Buru-buru Seng Liong Sen menghindar dari bahaya maut itu. Saat itu terdengar suara si to-su yang menjerit kesakitan, dia menghindar dan terjatuh ke bawah lalu kabur.
"Ah, hampir saja aku celaka...." kata Uh-bun Tiong sambil tertawa.
Tubuh Uh-bun Tiong sudah mandi darah karena lukalukanya. Ketika itu Seng Liong Sen sedang merasakan wajahnya perih karena terkena serangan kebutan si to-su.
Wajah pemuda ini pun berdarah.
"Ah, kau terluka" Kau telah membantuku, jika tidak...."
kata Uh-bun Tiong. Sekarang wajah Seng Liong Sen bertambah
menyeramkan karena tambahan luka oleh kebutan lawan. .
"Sayang dia kabur!" kata Seng Liong Sen kesal.
"Sudahlah itu sudah cukup baginya, mereka sudah mati tiga orang dan hanya satu yang bisa kabur. Sekalipun 1852
begitu, lukanya lebih parah dibanding luka kita!" kata Uhbun Tiong. "Aku punya obat luka, kau obati lukamu!"
Sesudah mengobati luka mereka turun dari tebing yang curam, rumah atap yang mereka diami sudah jadi abu, Uhbun Tiong mengajak Seng Liong Sen pergi.
"Saudara Uh-bun, kita berpisah di sini saja. Kau mau ke mana?" kata Seng Liong Sen.
"Terima kasih, setelah kau memberi petunjuk tentang tenaga dalam ajaran Khie Wie, aku yakin aku bisa berlatih sendiri," kata Uh-bun Tiong. "Kebetulan aku juga ada janji dengan orang. Percayalah budimu akan kubalas kelak!"
"Saling membantu dalam keadaan terancam sudah biasa," kata Seng Liong Sen. "Kau tidak perlu sungkan.
Tapi sebelum berpisah, ada yang ingin kutanyakan padamu, apa kau mau menjelaskannya padaku?"
"Katakan saja, jika aku bisa akan kujelaskan padamu,"
kata Uh-bun Tiong. "Aku cuma ingin tahu, kenapa Khie Wie menyuruhku membunuh isteri kedua Gak Liang Cun" Padahal dia meminta agar aku melindungi Gak Liang Cun?" kata Seng Liong Sen. "Lalu bagaimana asal-usul Gak Hu-jin" Kenapa ilmu silatnya begitu tinggi?"
Uh-bun Tiong berpikir sejenak.
"Baik akan kujelaskan, tapi kau harus berjanji jangan mengatakan tentang pertemuan kita ini!" kata Uh-bun Tiong.
"Baik! Kalau perlu aku bersumpah di depanmu!" kata Seng Liong Sen.
"Kau tak perlu bersumpah, asal kau berjanji saja sudah cukup," kata Uh-bun Tiong.
1853 "Baiklah," kata Seng Liong Sen.
"Gak Liang Cun baru saja merayakan ulang tahunnya, padahal nyonya Gak lebih tua dari suaminya itu," kata Uhbun Tiong. "Sekarang usia Nyonya Gak 50 tahun. Nyonya Gak puteri seorang penjahat besar, dia ikut berpetualang di kalangan kang-ouw. Dia sebenarnya she Bwee, nama ayahnya Bwee Kiam Hoo. Apa kau pernah mendengar nama itu?"
"Belum!" jawab Seng Liong Sen. "Kalau dia anak seorang penjahat besar, kenapa dia jadi isteri Gak Liang Cun" Padahal Gak Liang Cun tidak mahir ilmu silat dan hanya jadi seorang pegawai sipil!"
"Bwee Kiam Hoo lebih tua, dia seangkatan gururmu, pantas jika kau tidak mengetahui tentang dia," kata Uh-bun Tiong. "Mengenai riwayat mereka aku mengetahuinya dari orang tuaku. Suami Nyonya Gak semula bukan Gak Liang Cun, tapi orang lain! Kau heran?"
"Jadi dia sempat menikah sebelum menjadi isteri Gak Liang Cun?" kata Seng Liong Sen.
"Benar, suami anak perempuan Bwee Kiam Hoo itu suheng anaknya sendiri, sesama penjahat! Mereka bergabung dengan kelompok penjahat lain. Suatu hari kelompok Bwee Kiam Hoo mendapat rejeki besar, dia bermaksud menguasai harta itu bagi kelompok mereka. Tetapi hal ini diketahui oleh empat kelompok yang bergabung. Karena tak senang, empat kelompok itu bergabung menyerang kelompok Bwee Kiam Hoo. Ketika itu Bwee Kiam Hoo dan menantu lelakinya terbunuh."
"Bagaimana tentang anak perempuan Bwee Kiam Hoo?"
"Ketika itu dia sudah hamil tiga bulan saat suami dan ayahnya meninggal," kata Uh-bun Tiong. "Saat markas 1854
mereka diserbu kebetulan dia tidak ada di sana! Gak Liang Cun ketika itu baru berumur 20 tahun dan baru lulus sebagai Kie-jin. Dengan bersemangat Gak Liang Cun pergi ke Ceng-ciu mencari kerja. Di tengah jalan dia dihadang perampok, dan putri Bwee Kiam Hoo sedang lewat.
Melihat hal itu dia menolong Gak Liang Cun dari bahaya, hingga kemudian mereka menjadi suami-isteri."
"Apa tujuan dia mau menikah dengan Gak Liang Cun?"
tanya Seng Liong Sen. "Dia berharap, kelak Gak Liang Cun akan menjadi pejaoat tinggi. Dengan demikian dia bisa menggunakan pengaruh suaminya untuk membalas dendam," kata Uhbun Tiong.
"Apa kau tahu kenapa Gak Liang Cun pun mau menikahinya?" tanya Seng Liong Sen.
"Pertama untuk balas budi karena dia diselamatkan jiwanya. Yang kedua, Gak Liang Cun seorang yang gila pangkat dan kedudukan, pasti kau tahu apa tujuannya?"
kata Uh-bun Tiong. "Jadi Gak Liang Cun ingin menggunakan kepandaian silat istrinya untuk membantu dia agar naik pangkat dan mendapatkan harta," kata pemuda itu.
"Benar! Sekalipun isterinya lebih tua dan sudah hamil, bagi Gak Liang Cun tidak masalah." kata Uh-bun Tiong.
"Apalagi dia anak seorang penjahat besar, uang simpanannya banyak. Maka itu dengan tak segan-segan dia gunakan uangnya untuk menyuap pejabat agar bisa memenuhi ambisi suaminya menjadi orang berpangkat!"
"Lucu juga, anak penjahat membantu suaminya menangkap penjahat, tentu tugas ini tidak sulit," kata Seng Liong Sen.
1855 "Maka itu tidak sampai setahun Gak Liang Cun langsung naik pangkat menjadi Ti-koan, dia terkenal sebagai pembesar anti penjahat. Sesudah itu jika ada daerah yang kurang aman, atasan Gak Liang Cun langsung memindahkan dia ke tempat yang tidak aman itu untuk diamankan. Dengan bantuan pasukan suaminya, Nyonya Gak berhasil membunuh empat orang musuh ayah dan suami pertamanya. Bahkan Gak Liang Cun pun
pangkatnya semakin tinggi!"
"Wanita itu lihay sekali," kata Seng Liong Sen. "Tapi ada yang meragukan aku, Gak Liang Cun naik pangkat dan menjadi kaya berkat bantuan isteri tuanya. Pantas dia hormat dan segan terhadap sang istri. Tetapi kenapa dia berani mengambil dua orang istri muda" Aku lihat malah istri mudanya yang mendapat kasih sayang. Kenapa Gakhu-jin yang lihay maudimadu?"
"Kedua isteri muda itu pun dia yang mencarikan untuk suaminya," kata Uh-bun Tiong.
"Aneh, kenapa begitu?" tanya Seng Liong Sen.
"Sebab dia dengan Gak Liang Cun namanya saja suamiisteri, tapi hakekatnya tidak," jawab Uh-bun Tiong.
Karena kejadian itu mirip dengan apa yang dialami Seng Liong Sen sendiri, perasaan Seng Liong Sen jadi tersinggung, maka itu dia langsung diam dan tidak berkata apa-apa lagi.
Uh-bun Tiong mengira Seng Liong Sen belum paham apa yang dia maksud, sambil tertawa dia menjelaskan,
"Mungkin kau tidak mengerti maksudku tadi. Hal ini karena Gak-hu-jin tetap setia kepada suami yang pertama.
Sedangkan dia menikah dengan Gak Liang Cun hanya untuk saling memperalat saja. Padahal keduanya belum pernah tidur bersama. Untuk menyambung keturunan Gak, 1856
terpaksa dia mencarikan isteri muda untuk suaminya.
Sedangkan istri muda kedua Gak Liang Cun seorang pengamen silat keliling yang sudah kenal dengan Nyonya Gak. Kalau isteri muda yang ketiga dari kalangan orang biasa."
"Apa hubungan Khie Wie dengan Gak Liang Cun dan isterinya?" tanya Seng Liong Sen.
"Ayah Khie Wie salah seorang dari keempat kawan sekutu yang dibunuh oleh Nyonya Gak, ketika pasukan pemerintah menyerang sarang mereka! Hanya Khie Wie yang lolos dari kepungan tentara."
"Jadi Khie Wie bermaksud menuntut balas kematian ayahnya. Tapi, dia jatuh cinta pada anak perempuan nyonya Gak, begitu kan?" kata Seng Liong Sen.
"Benar, mungkin sudah takdir harus begitu." kata Uhbun Tiong. "Hubungan mereka itu berlangsung cukup lama.
Pada suatu malam mereka ketahuan oleh Nyonya Gak, sedang Khie Wie belum selihay sekarang. Dia bukan tandingan Nyonya Gak yang lihay. Ketika nyonya Gak akan membunuh Khie Wie, puterinya berlutut memintakan ampun bagi Khie Wie serta mengaku dia sudah hamil.
Bukan main kagetnya nyonya Gak. Kemudian dia suruh anaknya pergi dulu dan berjanji tidak akan membunuh Khie Wie. Sedangkan soal pernikahan sementara ditunda dulu.
"Mungkin nona Gak tidak tahu kalau Khie Wie musuh ibunya?" kata Liong Sen.
"Benar," kata Uh-bun Tiong. "Tapi begitu melihat gaya silat Khie Wie, Nyonya Gak langsung mengetahui bahwa Khie Wie musuhnya. Itu sebabnya dia menyuruh anaknya pergi. Sesudah itu Nyonya Gak berkata, "Aku setuju kau menikah dengan puteriku, asalkan kau mau menghapus permusuhan kita!".
1857 Tanpa pikir panjang Khie Wie setuju dia bersumpah dan berjanji tidak akan membalas dendam. Kemudian baru Nyonya Gak meminta agar Khie Wie mengajukan lamaran secara resmi. Karena Gak Liang Cun tidak pernah ikut campur urusan isteri tuanya, jika sudah disetujui, dengan sendirinya Gak Liang Cun setuju.
Mendengar cerita itu diam-diam Seng Liong Sen merasa heran kenapa Uh-bun Tiong mengetahui urusan pribadi Khie Wie. Bahkan apa pun yang dikatakan oleh Nyonya Gak kepada Khie Wie diketahuinya, dia curiga.
"Apa dengan demikian pernikahan mereka jadi berlangsung tanpa rintangan?" kata Seng Liong Sen sedikit heran.
"Sungguh di luar dugaan," kata Uh-bun Tiong. "Saat Khie Wie datang sesuai perjanjian, kedatangannya diterima oleh nona Gak, bahkan dia diajak ke ruang dalam. Saat itu nona Gak menyuguhi dia arak. Saat arak itu diminum, tibatiba wajah Khie Wie berubah hebat!"
"Oh, jadi dia diracun?" kata Seng Liong Sen.
"Benar, dia diracun," kata Uh-bun Tiong. "Dengan wajah pucat Khie Wie menunjuk ke arah nona Gak sambil berkata, "Kau......kau tega me......"
Belum sampai kata-katanya selesai, ketika itu bermunculan anak buah Gak Liang Cun yang
mengurungnya. "Bagaimana sikap nona Gak ketika itu?" tanya Seng Liong Sen.
"Wajah nona Gak berubah pucat secara mendadak.
Tibatiba dia rebut cawan arak yang sedang dipegang oleh Khie Wie dan langsung diminum sampai habis sisa arak itu 1858
sambil berkata, "Khie Toa-ko, aku ingin mati bersamamu, bukan aku yang meracunimu! Apa kau mencurigaiaku?"
Buru-buru Khie Wie merangkul tubuh nona Gak, sedang tangan yang lain digunakan untuk melawan musuh, beberapa anak buah Gak Liang Cun berhasil dia robohkan.
"Katakan ini kemauan ayahmu atau ibumu?" kata Khie Wie pada nona Gak.
"Ini bukan kehendak mereka, tapi kehendak istri kedua Ayahku!" jawab nona Gak.
"Oh, begitu," kata Seng Liong Sen sambil mengangguk.
"Pantas Khie Wie hanya menyuruhku membunuh isteri kedua Gak Liang Cun saja!"
"Sekalipun sudah keracunan, Khie Wie tetap mengepit nona Gak dan menerjang keluar kepungan dengan kalap.
Untung Khie Wie baru minum seteguk arak itu, sisanya diminum oleh nona Gak. Maka itu keadaan nona Gak sangat gawat. Sambil membawa-bawa kekasihnya, siang dan malam Khie Wie berlari ke kota Souw-ciu. Dia bermaksud mencari tabib yang terkenal bergelar "Say-hoa-to". Sampai di tempat tabib itu dia memohon agar tabib sakti itu menyelamatkan isterinya."
Tiba-tiba Seng Liong Sen terperanjat.
"Tabib "Say-hoa-to" di Souw-ciu, apa itu tabib she Ong?"
kata Liong Sen. "Benar! Jadi kau pun kenal padanya?" kata Uh-bun Tiong. "Setelah tabib Ong memeriksa denyut nadi nona Gak, dia menghela napas panjang sambil berkata,
"Sebenarnya aku bisa menyembuhkan dia, cuma sayang dia sedang hamil. Jika mau diselamatkan kedua-duanya rasanya sulit aku lakukan!"
1859 Seng Liong Sen mengawasi kawan barunya.
"Ternyata Khie Wie meminta nona Gak yang diselamatkan." lanjut Uh-bun Tiong. "Mengenai kandungan isterinya dia tidak keberatan dikorbankan. Tapi isterinya berkeras agar kandungannya diselamatkan, karena itu darah daging Khie Wie dan dia. Tabib Ong tidak berani menjamin dia bisa menyelamatkan ibu atau kandungannya itu" Dia bilang dia akan berusaha sebisa mungkin agar kedua-duanya bisa selamat. Ternyata nona Gak bisa melahirkan, dan dia pun hidup. Tetapi hanya kuat selama tiga bulan, akhirnya nona Gak meninggal juga"
Aneh, sesudah itu kelihatan Uh-bun Tiong meneteskan air mata. Melihat hal itu tentu saja Seng Liong Sen keheranan.
"Nona Gak tidak berdosa, pantas Khie Wie sangat menyesali kematiannya. Setiap tahun dia merayakan ulang tahun isterinya itu!" kata Seng Liong Sen. "Lalu bagaimana dengan Nyonya Gak, apa dia mau menerima begitu saja kematian putrinya?"
"Sesudah kejadian itu, Gak Liang Cun dan isteri keduanya berlutut di depan Nyonya Gak untuk minta ampun. Istri kedua Gak Liang Cun mengakui dia yang mengatur rencana untuk membunuh Khie Wie. Maksud semua itu demi kebaikan suaminya. Ketika itu Gak Liang Cun pangkatnya sudah tinggi. Jika orang mengetahui dia punya menantu seorang penjahat besar, pasti hal itu akan merugikan nama baik dan kedudukannya. Karena urusan sudah terjadi, ditambah lagi istri kedua suaminya itu kawan baik Nyonya Gak sejak kecil, dan dia juga yang mengambilnya untuk jadi istri muda Gak Liang Cun.
Terpaksa Nyonya Gak terpaksa mengampuni kesalahan mereka. Tatkala itu Nyonya Gak belum tahu anak perempuannya sudah mati. Kematian putrinya baru dia 1860
ketahui selang setahun kemudian. Selama setahun dia menyesali tindakan membunuh segenap keluarga keempat musuhnya. Maka itu pantas jika dia menerima ganjaran seperti itu. Ketika kau bertarung dengan Nyonya Gak, dia mengira kau Khie Wie, maka itu dia tidak mencelakaimu.
Apa kau tahu hal itu?" kata Uh-bun Tiong.
Ucapan Uh-bun Tiong membuat Seng Liong Sen heran.
"Rupanya dia ingin membela Nyonya Gak dan meminta agar aku tidak memusuhinya!" pikir Seng Liong Sen.
Sesudah itu Seng Liong Sen tertawa.
"Sekarang aku tahu masalahnya," kata Seng Liong Sen.
"Khie Wie menantu Nyonya Gak, maka itu mana boleh aku menuntut balas kepadanya. Ditambah lagi kepandaianku bukan tandinganmya, jika aku hendak membalas dendam pun mana mungkin!"
"Semua sudah kuceritakan, sekarang aku ingin bertanya padamu, selama kau berada di tempat Khie Wie, apa kau pernah melihat ada tamu yang mencari dia atau tidak"
Misalnya tetangganya?"
"Apa yang kau maksudkan Jen Thian Ngo" Dari katakata Khie Wie mereka saling menghormati, dan tidak ikut campur urusan masing-masing!" jawab Seng Liong Sen.
"Ya. memang begitu kelihatannya. Tetapi karena ada masalah denganmu, mau tidak mau Khie Wie ikut campur urusan Jen Thian Ngo." kata Uh-bun Tiong.
"Benar dia ikut campur karena menolongiku, tetapi aku tak yakin Jen Thian Ngo mengetahui kejadian itu!" kata Seng Liong Sen. "Malah mungkin Jen Thian Ngo mengira aku sudah mati!"
1861 Tampak Uh-bun Tiong senang sesudah berhasil memancing keterangan dari Seng Liong Sen tentang hubungan Khie Wie dengan Jen Thian Ngo itu. Sesudah diatahu Jen Thian Ngo tidak mengetahui Khie Wie telah menyelamatkan Seng Liong Sen, diam-diam dia berpikir,
"Jika demikian aku bisa minta bantuan Jen Thian Ngo agar dia ada di pihakku untuk menghadapi Khie Wie.
Padahal sebenarnya aku kurang suka pada pribadi Jen Thian Ngo."
Sementara itu hari sudah pagi dan gubuk atap itu sudah terbakar menjadi abu. Seng Liong Sen mengajak Uh-bun Tiong pergi dari situ. Tapi Uh-bun Tiong kelihatan masih termangu-mangu.
"Tadi kau bilang Khie Wie meminta agar kau kembali lagi dalam waktu setengah tahun?" kata Uh-bun Tiong.
"Benar, kenapa?" tanya Seng Liong Sen.
"Tadi aku lihat kau masih mencintai istrimu, aku sangsi kau mau menjadi menantu Khie Wie?" kata Uh-bun Tiong.
"Saudara Uh-bun, bukankah kita sudah berjanji tidak akan menutupi rahasia kita masing-masing." kata Seng Liong Sen.
Mendadak Uh-bun Tiong tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?" kata Seng Liong Sen.
"Jadi kau ingin membohongiku?"
"Aku tertawa karena aku lihat kau sangat takut kepada Khie Wue," kata Uh-bun Tiong. "Tapi kau jangan salah paham, jika kau tidak ingin menjadi menantu Khie Wie, aku bisa menolongmu."
"Apa maksudmu?" tanya Liong Sen. "Maksudmu......."
1862 "Kau jangan sangsi," kata Uh-bun Tiong bersungguhsungguh, "bukan maksudku ingin mengujimu.
Karena kau telah membantuku, maka aku pun ingin membantumu, agar kau selamat!"
"Apa maksudmu kau bicara begitu?" kata Seng Liong Sen.
"Aku yakin Khie Wie telah meracunimu" Racun itu akan bekerja dalam waktu setengah tahun, betul tidak?" kata Uhbun Tiong.
"Aku tidak tahu!" jawab Seng Liong Sen. "Memang setiap kali setelah berlatih, aku selalu merasakan seperti ada yang tidak beres. Bisa jadi aku memang telah diracun olehnya!"
"Andaikan kau diracun pun, kau tidak perlu kuatir, kau boleh pergi ke tempat tabib sakti Say-hoa-to di Souw-ciu untuk minta pertolongannya," kata Uh-bun Tiong.
Sekarang Seng Liong Sen mengerti maksud Uh-bun Tiong. Apalagi dia juga sudah tahu alamat tabib sakti she Ong itu. Malah tabib itu sudah berpesan agar dia datang ke tempatnya dalam waktu sebulan ini. Tenyata waktunya sudah hampir tiba.
"Apa sudah sampai waktunya?" tanya Uh-bun Tiong.
"Masih tiga bulan lagi!" kata Seng Liong Sen.
"Karena batas waktu masih tiga bulan lagi, kau masih bisa pulang menemui Khie Wie seandainya kau tidak bisa disembuhkan. Kau jangan kuatir aku akan melaporkan perbuatanmu pada Khie Wie, aku akan merahasiakannya.
Nah, terpaksa kita harus berpisah."
Seng Liong Sen kagum melihat langkah Uh-bun Tiong masih tangkas dan berlari bagaikan terbang, walaupun 1863
tubuhnya penuh luka, sedangkan dia tidak sanggup berlari cepat sekalipun lukanya tidak separah Uh-bun Tiong. Tak lama dia mencari sepotong kayu untuk dijadikan tongkat, lalu melangkah ke bawah dengan perlahan.
Sambil berjalan dia merenungkan kembali apa yang dibicarakan dengan Uh-bun Tiong tadi. Dia ingat pada Khie Kie, tapi dia juga tidak bisa melupakan Ci Giok Hian.
Tengah berpikir tak menentu, tanpa terasa dia sudah ada di suatu selat batu karang yang sempit. Tiba-tiba di balik gundukan batu-batu karang, terdengar ada suara orang merintih kesakitan. Seng Liong Sen terkejut, belum sempat berpikir, orang itu sudah melihat kedatangan Seng Liong Sen. Dia muncul secara tiba-tiba dari balik batu. Tak lama mereka sudah saling berhadapan, dan sama-sama terkejut.Rupanya orang itu to-su yang melukai Seng Liong Sen.
"Hai keparat! Kau masih hudup" Mana Uh-bun Tiong?"
kata si to-su. Dari pertanyaan to-su itu, Seng Liong Sen langsung tahu kalau to-su itu takut kepada Uh-bun Tiong.
"Oh, jadi kau belum mampus!" kata Seng Liong Sen.
Baru saja dia selesai bicara dari balik batu muncul lagi seseorang, yaitu hwee-shio gendut itu. Semula si hwee-shio disangka sudah mati, ternyata masih hidup.
"Keparat!" bentak hwee-shio gendut itu "Kau datang lagi karena kau ingin mengantarkan nyawamu?"
Si gendut terus memaki. Tubuhnya mandi darah, suaranya pun sudah mulai parau, hingga dia tidak sanggup memaki lagi. Dia terhuyung-huyung mau roboh, terpaksa dia memegangi tongkat yang tertancap di tanah.
1864 Barangkali belum takdir dia harus mati di jurang. Ketika terjerumus ke jurang, tongkatnya menyentuh tanah dan menancap masuk ke dalam tanah. Maka itu kecepatan jatuhnya agak tertahan. Kedua tangan si hwee-shio sempat memegang tongkatnya erat-erat. Dengan demikian tubuhnya tidak sampai terbanting dengan keras. Tapi tidak urung perutnya terluka. Untung kawannya bisa menemukan dia. Keadaan hwee-shio yang kelihatannya parah, membuat Seng Liong Sen teringat pada nasibnya sendiri, ketika dia terjerumus ke jurang karena didorong oleh Wan-yen Hoo. Dia jadi kasihan pada hwee-shio itu.
"Maaf terpaksa tadi aku bertarung dengan kalian, sekarang aku tidak berniat jahat. Malah lebih baik kita damai...." kata Seng Liong Sen.
"Kawan, jangan dengarkan kata-katanya. Sekarang lebih baik kita balas sakit hati kita!" kata si hwee-shio.
Seng Liong Sen melompat mundur.
"Tunggu dulu!" kata Seng Liong Sen.
"Kau tak akan bisa lolos dari tanganku!" ejek to-su.
"Katakan kau sebenarnya mau apa?"
"Uh-bun Tiong baru saja pergi. Aku tidak bermaksud memusuhi kalian, tapi jika kalian memaksa, baik akan kuhadapi kalian!" kata Seng Liong Sen. "Aku bisa berteriak memanggil Uh-bun Tiong agar dia kembali lagi!"
"Kau jangan percaya padanya!" kata si hwee-shio gendut.
"Lekas bunuh saja dia! Kalau perlu kita mati bersamanya!"
Ketika mendengar Seng Liong Sen berkata, dia akan memanggil Uh-bun Tiong, to-su itu kaget.
1865 "Ah, benar juga masakan dia disuruh jalan sendiri"
Padahal dia sedang terluka?" pikir si to-su. "Tapi temanku pun benar, lebih baik buru-buru membunuh dia!"
Tanpa banyak bicara dia ayunkan kebutnya ke arah Seng Liong Sen sambil membentak.
"Kau licik! Maka itu aku harus membunuhmu!" kata si to-su sengit.
Seng Liong Sen yang sudah tahu betapa lihaynya si to-su, cepat dia putar pedangnya untuk menangkis dan berkelit. Tapi tidak urung dia tersabet juga oleh kebutan lawan, pakaian Seng Liong Sen robek dia merasa pedih.
Seketika Seng Liong Sen sadar bahwa keadaan to-su itu cukup parah. Tenaga dalamnya pun sudah berkurang banyak. Jika Seng Liong Sen mau melabrak secara nekat, dia bisa terlepas dari tangan si to-su. Maka itu timbul keberanian Seng Liong Sen. Dia gunakan jurus ajaran Khie Wie, dia langsung menyerang dengan hebat. Melihat Seng Liong Sen bertarung sendirian saja dan tidak memanggil Uh-bun Tiong, to-su itu yakin Uh-bun Tiong sudah pergi jauh. Sekarang dia tidak perlu kuatir lagi.
"Coba kau maju, mampukah kau mengalahkan aku?"
ejek si to-su. Kebutan yang tajam bagaikan jarum itu, kembali menyabet ke muka Seng Liong Sen. Pemuda ini mengangkat pedang lalu menangkis, secuil ujung kebutan itu terbabat kutung oleh pedang Seng Liong Sen, tapi bagian dada anak muda ini pun terhajar kebutan. Pedang di tangan kiri si to-su langsung menusuknya. Serangan ini cukup lihay, si to-su yakin dia akan berhasil melukai lawannya. Tetapi di luar dugaan gerakan Seng Liong Sen cepat, mendadak pedang pemuda itu menebas ke bagian 1866
bawah, serentak membalas menyerang. Serangan itu berubah secara beruntun ke tiga sasaram.
"Oh!" To-su itu berteriak kaget. "Eh, Bun Yat Hoan itu apamu?"
Kali ini serangan Seng Liong Sen menggunakan jurus ajaran Bun Yat Hoan. Sebenarnya dia tidak bermaksud menggunakan jurus dari Bun Yat Hoan, tapi terpaksa karena terdesak dia keluarkan.
"Bun-tay-hiap tokoh persilatan yang sangat kuhormati.
Kenapa kau tanya dia?" jawab Seng Liong Sen.
Anak muda ini menjawab begitu karena dia mengira to-su itu anak buah Gak Liang Cun yang tak punya hubungan dengan gurunya. Maka itu saat si to-su lengah, Seng Liong Sen menyerang beberapa kali dengan cepat.
Si to-su berpikir karena Bun Yat Hoan tidak pernah menikah, tidak mungkin dia punya anak walau dia pernah mendengar Bun Yat Hoan punya murid yang lihay dan ganteng.
"Ah mana mungkin orang buruk ini muridnya?" pikir si tosu.
Saat itu si to-su gusar ketika diserang demikian gencar oleh Seng Liong Sen.
"Bangsat!" bentak si to-su. "Apa kau kira aku tak bisa membunuhmu?"
Sesudah itu dia melancarkan serangan balasan dengan tidak kalah lihaynya. Maka itu dalam sekejap kembali Seng Liong Sen terdesak sehingga terpaksa pemuda itu melakukan perlawanan hebat menggunakan jurus dari Khie Wie. Melihat perubahan ilmu silat pemuda itu, si to-su keheranan.
1867 "Siapa yang mengajarimu ilmu silat itu?" bentak si to-su.
"Jangan banyak bicara, siapa guruku bukan urusanmu!"
kata Seng Liong Sen. Tak lama Hwee-shio gendut yang sedang bersandar di batu ikut bicara.
"Kenapa kau sangsi" Dia bukan murid Khie Wie, dia hanya diminta bantuan oleh Uh-bun Tiong! Sudah bereskan saja dia!"
"Kau benar, aku memang terlalu sangsi!" kata si to-su sambil tertawa.
Sebenarnya suara to-su itu sudah mulai lemah, walau serangan pedang dan kebutannya lihay sekali. To-su ini sadar pada keadaannya. Dia sudah tak akan sanggup bertahan lebih lama lagi. Maka itu dia sengaja bertarung lebih cepat dengan harapan bisa segera mengalahkan anak muda itu. Seng Liong Sen terdesak, tapi dia bertahan dengan sekuat tenaganya. Diam-diam dia curiga ketika mendengar ucapan si hwee-shio tadi.
"Kenapa dia yakin aku undangan Uh-bun Tiong dan dia bilang aku bukan murid Khie Wie! Kalau begitu Uh-bun Tiong bukan orang kepercayaan Khie Wie seperti pengakuannya" Dari ucapan hwee-shio itu jelas antara Uhbun Tiong dan Khie Wie bermusuhan?" pikir Seng Liong Sen.
Lagi-lagi Seng Liong Sen terluka dua kali, syukur di tempat yang tidak berbahaya, sebaliknya napas to-su itu pun mulai memburu. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Tapi dia terus menyerang tak mengendurkan serangannya. Lambat-laun langkah keduanya sudah mulai lambat dan tidak bertenaga.
1868 Semula hwee-shio itu berteriak untuk memberi semangat kepada kawannya, tetapi makin lama suaranya semakin parau saja akhirnya suaranya tidak terdengar lagi. Sambil melancarkan serangan gencar to-su itu kuatir pada keselamatan kawannya. Tiba-tiba terdengar tenggorokan hwee-shio itu ngorok, sesudah itu mendadak dia jatuh terguling. Si to-su kaget sampai menjerit..
Dengan tak ayal lagi pedang Seng Liong Sen menusuk, tapi ujung kebutan si to-su sempat membelit pedang pemuda itu. Menyusul pedang di tangan si to-su menebas.
Saat tebasan sampai Seng Liong Sen menggunakan gagang pedang menyodok iga si to-su. Terdengar suara keras.
Ternyata tulang iga to-su itu patah terkena sodokan gagang pedang Seng Liong Sen.
Sedangkan sikut si to-su sempat menyikut dada Seng Liong Sen dengan keras. Kedua orang itu sama-sama berteriak tertahan dan keduanya sama-sama jatuh tersungkur di tanah.
Mereka sama-sama terluka parah dan mereka tak sanggup bangun lagi. Sekalipun keduanya saling mendelikan mata mereka, tapi keadaan mereka sekarang tergantung siapa yang tenaganya bisa pulih lebih dulu, maka dialah yang bisa membunuh lawannya.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o-
BAB 68 Rahasia Uh-bun Tiong Ketahuan; Seng
Liong Sen Terjebak Di Rumah Tabib Ong
Orang yang paling cemas saat itu si to-su dibanding Seng Liong Sen. Hal itu dia ketahui karena memang lukanya sangat parah. Dia perkirakan sekalipun tenaganya sudah pulih sebagian dan dia mampu membunuh lawannya, tapi 1869
tenaganya mungkin akan terkuras habis hingga dia tidak sanggup menolong temannya.
Saat itu Seng Liong Sen sedang berpikir keras.
"Tak lama lagi riwayatku akan tamat bersama si to-su."
pikir pemuda itu. Tiba-tiba terdengar to-su itu berkata dengan perasaan kesal.
"Sayang sekali!" kata si to-su.
"Apa yang kau sayangkan?" bentak Seng Liong Sen tapi dengan suara perlahan.
Dalam keadaan loyo, mau tak mau terjadi kontak mulut antara Seng Liong Sen dengan si to-su.
"Melihat gaya bersilatmu, aku kira kau punya hubungan dengan Bun Tay-hiap dan Khie Wie, sekalipun kau bukan murid mereka, betul tidak?" kata si to-su.
"Lalu apa maumu?" kata Seng Liong Sen.
Ketika itu Seng Liong Sen sudah mengira tak bakal selamat lagi. Maka itu dia pikir untuk apa dia menyangkal.
"Bun Tay-hiap terkenal sebagai pemimpin Bu-lim, sedangkan Khie Wie sekalipun dia berdiri di antara yang baik dan jahat, dia terhitung tokoh yang lumayan di Dunia Persilatan. Sedang kau telah belajar ilmu silat dari kedua tokoh itu, tidak memilih jalan yang baik, malah membantu kejahatan," kata to-su.
"Kau bilang aku membantu kejahatan" Apa kau tidak salah" Bukankah kau yang berbuat begitu?" ejek Seng Liong Sen.
1870 "Percuma saja kau belajar ilmu silat dari Bun Tay-hiap, ternyata kau tidak bisa membedakan yang buruk dan yang baik!" kata si to-su.
"Hm! Sekarang aku tahu, karena aku membantu Uh-bun Tiong, kau anggap aku membantu orang jahat! Begitu"
Tetapi bagaimana dengan kalian yang membantu Gak Liang Cun" Apa itu yang kau maksud orang baik?" ejek Seng Liong Sen.
"Oh, kalau begitu kau tidak tahu siapa Uh-bun Tiong itu?" kata si to-su.
"Sekalipun tidak tahu asal-usulnya, paling tidak aku tahu dia bukan pengikut bangsa Kim atau Mongol!" kata Seng Liong Sen.
"Hm! Pasti Uh-bun Tiong tidak bilang dia menjadi sahabat musuh bangsa Han! Tapi karena dia anak buah Gak Liang Cun, itu artinya dia sahabat musuh bangsa Han!"
Seng Liong Sen kaget. "Benarkah dia anak buah Gak Liang Cun" Tapi kenapa kedua anak buah Gak Liang Cun dibunuhnya" Sedangkan kalian datang bersama kedua anak buah Gak Liang Cun untuk mengerubutinya."
Agaknya si to-su bertambah kaget dan heran.
"Jadi kau benar-benar tidak tahu asal-usul Uh-bun Tiong?" tanya si to-su.
"Sebenarnya siapa dia?" tanya Seng Liong Sen.
"Dia keponakan istri Gak Liang Cun, diangkat menjadi anak angkat oleh Gak Liang Cun," kata si to-su. "Dia juga banyak membantu Gak Liang Cun menangkapi para 1871
penjahat hingga banyak kawan-kawan kaum Liok-lim (Rimba Hijau) menjadi korban keganasannya!"
Seng Liong Sen sedikit pun tidak menduga kalau Uh-bun Tiong anak angkat Gak Liang Cun.
"Kau jangan ngaco! Aku sudah melihat sendiri kejadian tadi!" kata Seng Liong Sen.
"Benar, kau melihat Uh-bun Tiong membunuh dua perwira itu dan kau melihat kami datang bersama dua perwira itu. Tetapi semua itu ada sebabnya!" kata si to-su.


Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa sebabnya, coba kau jelaskan." kata Seng Liong Sen.
"Kisahnya panjang, harus dimulai dari riwayat Nyonya Gak. Semula dia....."
"Tentang Nyonya Gak aku sudah tahu, dia puteri kepala penjahat!" kata Liong Sen. "Begitu kan?"
"Ya, kalau begitu singkatnya begini. Dua perwira yang terbunuh itu bekas anak buah ayah Nyonya Gak yang bekerja sebagai anak buah Gak Liang Cun tapi sebenarnya mereka bukan anak buah Gak Liang Cun, dan mereka sangat berbeda! Seperti yang sudah kau ketahui, ayah Nyonya Gak terbunuh oleh empat kelompok penjahat."
"Aku heran, jika benar mereka bekerja dan setia kepada Gak Liang Cun dan isterinya, kenapa Uh-bun Tiong yang kau bilang keponakan isteri Gak Liang Cun malah membunuh mereka?" kata Seng Liong Sen.
"Karena di antara mereka terdapat persengketaan dan dendam. Uh-bun Tiong membantu Gak Liang Cun menumpas para penjahat, di antara penjahat itu ada seorang saudara angkat kedua orang bekas anak buah Nyonya Gak. Padahal sebelumnya mereka sudah sepakat akan saling memberi kelonggaran kepada teman sendiri.
1872 Karena itulah di antara kedua orang itu dengan Uh-bun Tiong terjadi permusuhan, apa lagi kedua orang itu bukan tandingan Uh-bun Tiong. Jadi sekalipun dendam mereka tahan saja dulu!"
"Apa Uh-bun Tiong masih pengikut Gak Liang Cun?"
"Sudah 20 tahun dia meninggalkan Gak Liang Cun."
"Aneh, kenapa bisa begitu?" kata Liong Sen.
"Uh-bun Tiong mencintai puteri Nyonya Gak, tapi ternyata Nyonya Gak malah akan menikahkan putrinya dengan Khie Wie! Mengenai dia diangkat jadi anak angkat pun, tujuannya agar dia tidak menikah dengan putri Nyonya Gak! Belakangan dia mengetahui rahasia itu, hingga dia geram dan kabur!" kata si to-su.
Seng Liong Sen mengangguk tanda mengerti. Tak lama dia berpikir.
"Pantas ketika Uh-bun Tiong mendengar puteri Gak Hujin meninggal, dia meneteskan air mata. Oh, jadi dia bukan sahabat Khie Wie, sebaliknya dia justru musuh besarnya!"
kata Liong Sen.. "Kau benar," kata si to-su sambil tertawa. "Jadi siapa yang bilang dia sahabatnya" Malah ketika istri Khie Wie baru meninggal, aku dengar dia mencari Khie Wie untuk diajak pibu! Terapi saat bertanding Uh-bun Tiong kalah, dan Khie Wie mengampuni jiwanya!"
Seng Liong Sen menganggguk, baru sekarang dia tahu duduk persoalannya. Kini sadarlah kalau dia tertipu oleh Uh-bun Tiong. Rupanya dia minta diajari ilmu silat Khie Wie untuk membalas dendam.
1873 "Jadi hubungan Nyonya Gak dengan suaminya itu hanya hubungan palsu belaka!" sambung si to-su. "Setelah puterinya meninggal. Nyonya Gak jadi sebatang kara.
Ketika terjadi pertarungan di ruang pesta ulang tahun suaminya, dua anak buah Nyonya Gak ketika melihat kehadiran Uh-bun Tiong, langsung melapor kepada Nyonya Gak. Setelah mendengar laporan itu. Nyonya Gak menugaskan kedua perwira itu untuk mencari Uh-bun Tiong. Tentu saja kedua perwira itu senang, sebab jika mereka berhasil menemukan Uh-bun Tiong maka mereks bisa membalas dendam."
"Nyonya Gak ingin memanggil Uh-bun Tiong agar mereka bisa berkumpul kembali, sedangkan kedua perwira itu bermaksud lain, begitu?" kata Seng Liong Sen.
"Benar!" kata si to-su. "Karena kami dengar Uh-bun Tiong ada di Yang-ciu, maka kami pun bergegas datang untuk mencarinya! Itu sebabnya kami bergabung dengan kedua perwira itu mencari dia!"
Sesudah mendengar semua cerita itu, bukan main dongkol dan kesalnya Seng Liong Sen. Hampir saja dia mengorbankan jiwanya hanya untuk kepentingan Uh-bun Tiong yang licik itu.
"Semua sudah aku jelaskan," kata si to-su. "Sekarang aku ingin tahu, apa hubunganmu dengannya?"
"Jelas aku tertipu olehnya!"
"Siapa sebenarnya kau?" tanya si to-su penasaran.
"Maaf, sebelum menjawab aku ingin tahu, siapa Anda semua Tuan pendekar" Apakah kalian sahabat Bun Tayhiap?" kata Seng Liong Sen.
1874 "Kami tidak pantas disebut pendekar," kata si to-su.
"Terusterang kami juga tidak kenal pada Bun Tay-hiap, tapi kami sangat kagum pada beliau!"
Jawaban si to-su itu membuat Seng Liong Sen senang sekali.
"Apa kau murid Bun Tay-hiap?" tanya si to-su.
"Aku bukan muridnya. Mana pantas aku menjadi muridnya, aku hanya mempelajari beberapa jurus ilmu pedangnya saja, "jawab Seng Liong Sen berbohong.
Setelah tenaganya pulih sedikit. Seng Liong Sen mengobati lukanya. Sedang si to-su cuma mengawasinya saja.
"Tadi tanpa sengaja kita telah bertarung," kata Seng Liong Sen. "Lebih baik sekarang kita sudahi saja pertengkaran ini. Bagaimana pendapatmu?"
"Baiklah, apa kau sudah bisa berjalan?" tanya si to-su.
"Rasanya sudah bisa!" jawab Liong Sen.
Dia mengambil sepotong kayu yang akan dijadikan tongkat.
"Aku rasa aku sudah bisa meninggalkan tempat ini," kata Seng Liong Sen.
"Baik silakan kau jalan dulu," kata si to-su. "Terimalah sebutir pil ini untuk tambah tenaga, semoga kau bisa sampai di Souw-ciu!"
"Untuk apa aku ke Souw-ciu?" kata Seng Liong Sen sedikit terperanjat.
"Bukankah sudah kukatakan tadi, tabib sakti she Ong yang bergelar Say-hoa-to itu ada di sana?" kata si to-su.
"Lukamu tidak ringan, jika ingin segera sembuh terpaksa 1875
kau harus mencari dia. Aku cuma khawatir jika kawanku ini sadar, dia akan merintangimu!"
Sebenarnya si to-su pun kuatir Seng Liong Sen berubah pikiran dan membunuh mereka.
"Terima kasih, tapi ada satu lagi permintaanku." kata Seng Liong Sen.
"Katakan saja, apa?" kata si to-su agaknya tak sabar.
"Mengenai pertemuan ini, aku harap tidak kau katakan pada siapapun!" kata Seng Liong Sen.
"Baik," jawab si to-su.
Sesudah mendapat jawaban itu, Seng Liong Sen langsung pergi. Saat Seng Liong Sen menoleh, dia kesal dan dongkol seolah baru sadar dari mimpi buruk. Dia kesal karena tertipu oleh Uh-bun Tiong.
"Aku tidak mungkin ke Pek-hoa-kok," pikir Seng Liong Sen. "Aku pun puas karena sudah melihat Ci Giok Hian.
Tapi untuk rukun kembali dengannya, rasanya tidak mungkin! Aku tak tahu, apakah aku harus kembali ke tempat Khie Wie atau tidak" Jika aku kembali maka aku akan berada di dalam kekangan orang itu!"
Dia seolah melihat wajah Khie Wie dan puterinya Khie Kie yang berharap dia segera kembali ke sana.
"Aku masih ingat wajahnya, saat aku akan berangkat, dia begitu tulus cintanya. Tapi sayang aku harus mengecewakan cintanya yang murni itu!" pikir Liong Sen.
"Aku lebih senang menganggap dia sebagai adik saja. Tapi jika aku kembali aku pasti harus menikah dengannya!"
1876 Batas akhir yang diberikan Khie Wie masih tiga bulan lagi. Tetapi dia mengambil keputusan akan ke Souw-ciu dulu.
"Aku harus mencari tabib Ong di sana!" pikirnya.
Seng Liong Sen meneruskan perjalanan. Sesampai di tempat persewaan perahu, dia langsung menyewa sebuah perahu, dan meminta agar tukang perahu mengantarkannya ke kota Souw-ciu.
Selama di atas perahu beberapa hari lamanya, Seng Liong Sen bisa beristirahat. Tanpa disadari kesehatannya mulai pulih. Sekarang tinggal luka dalamnya saja yang belum pulih. Namun Seng Liong Sen sudah bisa bergerak dengan leluasa. Walau wajahnya masih kelihatan pucat.
Dalam perjalanan yang cukup lama membuat Seng Liong Sen bisa beristirahat dengan baik. Ditambah pula di sepanjang perjalanan dia tidak mengalami suatu gangguan.
Pada suatu hari, perahu yang ditumpangi Seng Liong Sen sampai di kota yang dituju.
Pujian tentang keindahan kota ini memang benar. Kota Souw-ciu memang indah sekali. Ada kata pepatah di kalangan bangsa Han mengatakan : "Di langit ada surga, di bumi ada kota Souw-ciu dan kota Hang-ciu."
Seng Liong Sen memang menyaksikan keindahan kota Souw-ciu tersebut. Sesudah turun dari perahu Seng Liong Sen berjalan kaki menyusuri jalan kota yang ramai. Sambil berjalan mata Seng Liong Sen terus memperhatikan nama toko atau merk di sepanjang jalan. Dia mencari merek "Say-hoa-to" papan nama milik Tabib Ong.
Ketika asyik berjalan mata Seng Liong Sen melihat papan nama perusahaan sutera, tetapi pintu perusahaan itu 1877
tertutup rapat. Pada pintu perusahaan sutera itu tertempel kertas segel dengan cap tanda penyitaan dari pemerintah.
Seng Liong Sen meneruskan perjalanan mencari tempat usaha Tabib Ong. Sesudah melewati beberapa puluh toko akhirnya dia melihat sebuah toko yang menjual hasil bumi, tapi pintunya juga tertutup rapat. Itu menandakan bahwa toko tersebut disita oleh pemerintah setempat.
Rasa ingin tahu Seng Liong Sen memaksanya bahwa dia harus meminta keterangan seseorang. Dia bertemu dengan seorang tua yang kebetulan lewat di situ. Ketika ditanya oleh seorang berwajah buruk, orang tua itu ketakutan. Tapi setelah Seng Liong Sen membujuknya dan orang tua itu tahu kalau Seng Liong Sen bukan penduduk setempat, orang tua itu mau memberi penjelasan singkat. Dari orang tua itu pemuda ini mengetahui bahwa pemilik toko hasil bumi itu seorang she Sun. Dia terkenal sebagai orang kaya yang baik hati. Tapi entah kenapa, kata orang tua itu, belum lama ini toko hasil buminya disita untung pemilik toko tidak tertangkap.
"Terima kasih," kata Seng Liong Sen pada orang tua itu.
Sesudah itu dia melanjutkan mencari toko milik Tabib Ong. Sambil berjalan Seng Liong Sen mengingat-ingat ucapan dua saudagar yang bertemu di rumah Ti-hu she Gak. Saudagar Lauw mengaku sebagai pedagang kain sutera, sedang orang she Sun pedagang hasil bumi di kota Souw-ciu.
"Jadi dua toko yang disegel itu pasti milik mereka!" pikir Seng Liong Sen. "Oh, mungkin karena mereka berdua ikut dalam aksi perampokan di gedung ti-hu di Yang-ciu!"
Seng Liong Sen pun tahu, bahwa mereka bersahabat dengan tabib she Ong, walau tempo hari tabib Ong tidak tinggal bersama dengan mereka.
1878 "Aku tak tahu, mungkin tabib Ong tersangkut perkara perampokan itu?" pikir Seng Liong Sen.
Tak lama karena perutnya sudah terasa lapar. Seng Liong Sen singgah di sebuah rumah makan. Ditambah lagi dia pikir siapa tahu dia bisa mendapatkan keterangan di rumah makan itu.
Kebetulan rumah makan itu sedang sepi, hingga Seng Liong Sen bisa langsung memesan satu poci teh dan beberapa buah kue. Sesudah itu dia mulai ngobrol dengan pemilik rumah makan itu.
"Tuan dari mana?" tanya pemilik rumah makan.
"Aku dari Yang-ciu dan sengaja datang ke sini."
"Ada keperluan apa"
"Aku dengar di kota ini ada seorang tabib yang bergelar Say-hoa-to. Katanya dia she Ong, apa benar?" kata Seng Liong Sen.
"Tuan mau berobat padanya?"
"Benar, apa Tuan tahu di mana tempat tabib itu praktek?" kata Liong Sen.
"Sayang sekali, Tuan datang pada saat yang tidak tepat!"
kata tuan rumah. "Maksud Tuan" Apa dia tidak ada di rumah?" kata Liong Sen.
Sebelum pertanyaan Seng Liong Sen dijawab, datang dua orang tamu dan pemilik rumah makan itu langsung menghampiri kedua tamunya itu.
"Tidak perlu repot, Thio Lauw-pan," kata kedua tamu itu. "Kami ini kenalan lama. Layani saja tamumu itu. Aku lihat kalian sedang asyik sekali bicara!"
1879 Pemilik rumah makan itu yakin kedua tamu itu sudah mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Obrolan biasa saja, tamuku ini datang dari luar kota.
Katanya dia ingin berobat!" jawab pemilik rumah makan.
"Ah, pasti dia sedang mencari Tabib Ong, bukan?"
"Tepat sekali," jawab Seng Liong Sen ikut bicara. "Tapi aku tak tahu di mana rumah tabib itu" Maka itu aku bertanya kepada Tuan Thio!"
"Tadi sudah kusarankan, sebaiknya dia pulang saja," kata tuan rumah dengan cepat, sikapnya agak mencurigakan.
"Kubilang padanya, adat tabib Ong sangat aneh. Di antara sepuluh orang yang datang mau berobat, jika ada yang diterima hal itu sudah sangat beruntung sekali!"
"Ah, Tuan ini baru datang dari tempat yang jauh. Tidak ada salahnya jika dia mau mencoba. Siapa tahu dia salah satu dari sekian pasien yang beruntung diterima oleh tabib Ong," kata tamu yang bertubuh tinggi besar.
"Benar sekali," kata temannya, "jika kau ingin ke tempat praktek tabib Ong, dari sini kau harus berjalan terus dijalan raya ini. lalu belok ke kiri dan belok kanan. Di ujung jalan terakhir itulah klinik pengobatan tabib Ong."
"Kalau begitu dia ada di tempat?" kata Seng Liong Sen.
"Ya, ada! Tapi jika kau datang bulan lalu, dia tidak ada.
Katanya sedang berpergian. Sekarang dia sudah pulang!"
kata si tamu. Melihat sikap pemilik rumah makan yang mencurigakan, dan seperti takut pada kedua tamu baru itu Seng Liong Sen agak curiga. Tapi dia tidak takut pada kedua tamu itu.
"Aku sudah ada di sini, jadi harus menemui tabib Ong!"
pikir Seng Liong Sen. 1880 Sesudah mengucapkan terima kasih, Seng Liong Sen pamit. Dia ikuti petunjuk kedua orang itu. Tak lama dia menemukan rumah tabib Ong. Begitu sampai di depan rumah tabib Ong. dia lihat pintu rumahnya terbuka.
"Ternyata rumahnya tidak disegel, berarti dia tidak ikut terlibat dalam perampokan di rumah ti-hu she Gak?" pikir Seng Liong Sen.
Saat Seng Liong Sen mengawasi lewat pintu rumah tabib Ong, seseorang menghampirinya.
"Tuan mau berobat?" kata orang itu.
"Benar," kata Liong Sen.
"Silakan masuk!" kata orang itu."Tunggu sebentar, akan kuberitahu Tabib Ong!"
Seorang pelayan menyilakan Seng Liong Sen duduk, sedang pelayan yang lain menyuguhkan secawan teh.
"Tuan datang dari tempat jauh, tentu lelah. Silakan minum tehnya sekadar untuk menghilangkan dahaga." kata pelayan.
Melihat sikap pelayan yang menyambutnya agak lain dari biasanya, Seng Liong Sen curiga.
"Terima kasih, sungguh harum teh ini!" kata Seng Liong Sen.
"Memang, ini teh Sio-ciong-teh pilihan, rasanya enak sekali jika diminum ketika masih hangat." kata pelayan itu.
Seng Liong Sen curiga, dan takut kalau teh itu dicampur racun, maka dia angkat cawan teh itu agak tinggi, hingga cawan teh jadi agak terhalang oleh lengan bajunya. Sambil menunduk dia terlihat seolah sedang meneguk air teh itu.
"Ah, enak sekali teh ini!" kata Seng Liong Sen.
1881 Tapi tiba-tiba cawan teh itu dijatuhkan ke lantai. Sedang kepala Seng Liong Sen terkulai ke atas meja dan tertidur nyenyak. Melihat hal itu kedua pelayan tadi bertepuk tangan gembira sekali.
"Hm! Dia berhasil kita kerjai!" kata salah seorang pelayan.
Tanpa pikir panjang kedua pelayan tadi bertepuk tangan gembira.
"Bocah ini telah berhasil kita kerjai!"
Salah seorang segera mengambil tambang hendak membelenggu Seng Liong Sen yang mereka kira sudah terbius dan tertidur lelap. Saat pelayan itu sudah dekat, tibatiba Seng Liong Sen berdiri dan langsung mencekal tangan pelayan yang membawa tambang itu, sedang yang seorang lagi sempat mundur dan menendang Seng Liong Sen.
"Hm! Kau mau berlagak di depanku, rasakan kelihayanku!" bentak Seng Liong Sen.
Tendangan pelayan yang seorang lagi diegos oleh Seng Liong Sen hingga tidak mengenai sasaran, sebaliknya tepat mengenai kawannya sendiri.
"Duuk!" "Aduh!" Keduanya mengeluh dan terguling di lantai. Tapi tak lama datang lagi pelayan lain, mereka berkepandaian cukup tinggi. Tak lama Seng Liong Sen sudah dikepung oleh mereka. Melihat musuh berjumlah banyak, mau tak mau Seng Liong Sen kuatir juga.
"Dari pada tertangkap lebih baik aku kabur saja." pikir Seng Liong Sen.
1882 Seng Liong Sen mendadak menyerang dengan hebat, ketika lawannya menghindar dia gunakan kesempatan itu untuk kabur. Begitu Seng Liong Sen berhasil keluar rumah, dia sampai di ambang pintu pagar. Tapi tiba-tiba sebuah golok menyambar ke arahnya.
"Kau mau kabur ke mana?" bentak orang itu.
Seng Liong Seng menggunakan pedangnya menangkis serangan golok itu. Saat Seng Liong Sen mengawasi penyerangnya, ternyata mereka itu kedua tamu yang ada di rumah makan dan yang memberi alamat tabib Ong.
"Hm! Ternyata kalian! Sekarang rasakan pedangku ini!"
kata Seng Liong Sen. Pedang Seng Liong Sen dipakai menyerang, ke arah satu dua sasaran. Dia coba mendesak kedua lawannya itu dengan hebat. Kedua orang itu terpaksa harus mundur menghindari serangan gencar dari Seng Liong Sen.
Beberapa pelayan yang mengejar Seng Liong Sen pun sudah sampai, mereka langsung mengepung pemuda itu. Dalam keadaan sangat terdesak, Seng Liong Sen membalikkan tubuhnya, lalu kembali masuk ke dalam rumah, karena musuh terlalu banyak. Sesudah bertarung sekian lama. Seng Liong Sen kaget karena kepalanya terasa pening.
Rasa pening ini mungkin karena luka dalam Seng Liong Sen belum sembuh. Sedang pertarungan itu telah menguras seluruh tenaganya. Sekarang keadaan Seng Liong Sen mulai terdesak. Merasa dirinya tidak berdaya, Seng Liong Sen nekat. Segera melakukan serangan cepat.
"Ayo maju semua!" bentak Seng Liong Sen. "Jika aku bisa membunuh satu di antara kalian, bisa dikatakan imbang! Tapi jika aku bisa membunuh kalian berdua, aku yang untung!"
1883 Mendengar ucapan pemuda itu, kawanan penjahat itu jadi ngeri juga dan tidak ingin mengadu jiwa. Maka itu merekajadi agak keder menghadapi serangan Seng Liong Sen yang nekat.
Melihat pemuda itu mulai nekat, di antara mereka ada yang melompat mundur. Kesempatan ini digunakan oleh Seng Liong Sen untuk melompat. Dia mencoba mendekati pintu keluar. Sayang tenaga Seng Liong Sen mulai lemah.
Saat dia tak tahan lagi, tubuhnya mulai limbung. Mata Seng Liong Sen sudah mulai kabur. Diam-diam dia mengeluh agak putus asa. Pada saat sangat kritis bagi Seng Liong Sen, terdengar suara gemerincing.
"Hai bodoh! Bukankah yang kalian cari aku?" bentak orang itu. "Aku orang she Sun ada di sini!"
Saat Seng Liong Sen mengawasi ke arah orang itu, dia lihat seorang lelaki gemuk sedang memutarkan alat hitung bangsa Tionghoa (Sui-poa). Dia sedang melabrak para pengepung yang tadi mengeroyok Seng Liong Sen. Orang itu dikenal oleh pemuda ini ketika di Yang-ciu.
"Saudara Liong jangan takut, ayo ikut aku!" kata orang she Sun itu.
Segera orang she Sun ini menarik tangan Seng Liong Sen yang dia ajak pergi. Ketika itu Seng Liong Sen sudah sulit berjalan, tubuhnya limbung, jika tak dibantu dia bisa roboh saat itu juga.
Mereka berdua berusaha menerjang mencoba keluar dari kepungan musuh, karena sulit sekali, terpaksa Seng Liong Sen pasrah diseret oleh orang she Sun itu. Sekalipun tubuhnya tambun, orang she Sun cekatan dan lincah sekali.
Saat bebeapa musuh menyerang secara bersamaan maka senjata sui-poa orang she Sun itu bekerja! Senjata lawan dia tangkis dengan keras.
1884 "Trang! Tring!"
Maka berjatuhanlah senjata lawannya terlepas dari tangan mereka. Senjata itu terbuat dari baja murni, beratnya luar biasa. Saat lawan sedang panik karena senjatanya terlepas dari tangan mereka, maka kesempatan ini digunakan oleh orang she Sun untuk melompat ke atas rumah sambil mengepit tubuh Seng Liong Sen. Tiba-tiba kedua tubuh mereka melayang naik ke atas rumah.
Dengan beberapa kali melompat mereka sudah jauh meninggalkan tempat musuh-musuhnya. Beberapa orang berusaha mengejar mereka, tapi mendadak orang she Sun mengayunkan senjatanya. Secara bersamaan beberapa buah biji sui-poa menyambar ke arah para pengejarnya.
"Aduh! Aduh!" Beberapa orang yang terkena biji sui-poa langsung menjerit kesakitan. Sambil tertawa dan tetap mengepit tubuh Seng Liong Sen orang she Sun ini kabur dan tak ada yang berani merintanginya lagi. Dalam keadaan setengah sadar Seng Liong Sen merasakan tubuhnya seperti terapung di udara. Hatinya sedikit lega karena sekarang mereka berada di tempat yang aman. Tapi tubuh pemuda ini terasa lemah sekali hingga dia pingsan.
Saat Seng Liong Sen sadar kembali, dia merasakan seolah tubuhnya sedang berada di sebuah ayunan. Sayupsayup dia mendengar suara deru angin dan merasakan tiupannya. Ombak pun terasa menghantam perahu yang dinaikinya. Suara orang yang sudah dikenal berkata,
"Ternyata kau sudah siuman, Liong Siauw-hiap!"
"Saudara Liong, orang yang sedang kau cari ada di sini!
Coba kau lihat, apa kau masih mengenali kami?" kata yang lainnya.
1885 Pemuda itu mengawasi ke arah mereka, ternyata mereka ada tiga orang. Dia girang tapi juga kaget. Orang itu ternyata memang Tabib Ong yang sedang dia cari. Di sebelah tabib itu Sun Chu Kiok, saudagar hasil bumi.
Sedang yang ada di sebelah kanan, ialah Lauw Keng, pedagang kain sutera yang dia kenal saat berada di Yangciu.
"Kau orang yang bisa menepati janji," kata tabib Ong.
"Tapi sayang aku tak bisa menunggu kedatanganmu di rumahku! Sungguh aku malu hingga menyusahkan kau!"
Pemuda ini berusaha bangun untuk memberi hormat.
"Jangan bangun dulu, lukamu parah," kata tabib Ong.
"Terima kasih, Tabib Ong!" kata Liong Sen. "Aku girang, sekalipun dalam kesulitan, kau mau menemuiku. Entah bagaimana aku harus berterima kasih?"
Dia juga mengucapkan terima kasih pada orang she Sun.
"Jangan see-ji, bukan aku yang menolongimu, tapi Tabib Ong!" kata Sun Chu Kiok.
"Aku membantumu hanya dengan mulutku saja, sedang yang mengeluarkan tenaga saat ada bahaya bukan aku!
Padahal kau sedang menghadapi bahaya lebih besar dari bahaya yang mengancam diriku," kata Tabib Ong.
Sun Chu Kiok memberi penjelasan seperlunya pada pemuda itu, hingga akhirnya Seng Liong Sen mengetahui apa yang terjadi. Tabib Ong telah menduga Seng Liong Sen akan datang memenuhi undangannya dulu. Selama beberapa hari, Sun Chu Kiok dan Lauw Keng secara bergiliran mengintai di sekitar rumah tabib Ong. Maka itu saat Seng Liong Sen tertipu oleh musuh, mereka melihatnya. Lalu Sun Chu Kiok turun tangan menolongi Seng Liong Sen.
1886 Seng Liong Sen sangat berterima kasih pada mereka.
Padahal mereka cuma kenalan tidak disengaja, tapi mereka menaruh perhatian padanya hingga Seng Liong Sen jadi terharu.
"Aku tidak pernah menghiraukan orang yang mau berobat padaku, walaupun dia seorang pembesar. Tetapi jika sahabat kaum pendekar yang minta tolong, aku akan berusaha menolong mereka! Ketika di Yang-ciu, kau banyak membantu kaum kami, maka itu mana mungkin aku tinggal diam melihat kau terjebak oleh musuh."
Sun Chu Kiok menjelaskan kenapa perusahaannya disita oleh pihak berwajib, begitu pun tempat pengobatan tabib Ong, itu semua karena tindakan mereka ketika di kota Yangciu.
"Peristiwa itu telah diketahui karena perbuatan kami dan kawan-kawan. Semula Cian Tiang Cun ada di rumah tabib Ong, tapi karena dua hari yang lalu dia pergi sekarang sisa anak buahnya yang tertinggal hanya jago kelas dua. Maka itu aku bisa melabrak mereka dengan mudah." kata Sun.
Sesudah itu tabib Ong memeriksa keadaan Seng Liong Sen, lalu memberi penjelasan tentang penyakit pemuda itu.
"Lukamu bertambah berat. Barangkali sesudah bertarung di Yang-ciu, kau bertarung lagi dengan jago yang Iwee-kangnya tinggi. Tetapi jangan takut, penyakitmu bisa diobati luar dan dalam hingga sembuh!" kata tabib Ong.
"Sedangkan penyakit aneh yang memang sudah ada, itu yang berbahaya!"
"Aku sudah tidak terlalu mencemaskan lagi penyakitku itu, karena mati dan hidup manusia sudah takdir dari Tuhan. Tapi yang aku ingin tahu, penyakit apa sebenarnya itu?"
1887 "Dari hasil pemeriksaanku, tiga tahun lagi kau akan terserang Cauw-hwee-jip-mo! Asal penyakit itu karena salah berlatih Iwee-kang. Apakah kau kenal dengan penjahat bernama Khie Wie?"
Seng Liong Sen kaget mendengar pertanyaan itu.
"Jadi dia tahu aku belajar dari Khie Wie?" pikir Seng Liong Sen.
Karena bingung dia tidak berani berterus-terang, maka itu dengan terpaksa dia menjawab sekenanya.
"Ya! Nama itu memang pernah aku dengar, tapi aku tidak kenal." jawab Seng Liong Sen.
"Dia telah menghilang dari dunia Kang-ouw 20 tahun yang lalu. Wajar jika kau tidak kenal padanya," kata tabib Ong. "Dulu Khie Wie pun pernah berobat padaku, saat dia keracunan. Waktu itu tenaga dalamnya belum sempurna, walau sudah ada tanda-tanda dari denyut nadinya bahwa kelak dia pasti akan mengalami Cauw-hwee-jip-mo yang parah. Keadaan denyut nadinya ketika itu sama seperti nadimu sekarang. Apa kau bisa memberitahuku siapa gurumu?"
"Maaf, Guruku berpesan dia tidak ingin namanya diketahui orang lain, maka itu terpaksa aku tak bisa memberi tahu," kata Seng Liong Sen.
Mendengar jawaban itu sekalipun kelihatan kurang puas, tabib Ong tidak memaksa. Seng Liong Sen pun tidak tahu akan ke mana mereka sekarang. Saat dia akan bertanya, datang tukang perahu memba-wakan semangkuk bubur dan beberapa jenis sayuran.
"Karena sudah sehari semalam kau tidak makan apa-apa, tentu kau lapar." kata tabib Ong. "Silakan kau makan dulu, sesudah makan baru kita bicara lagi."
1888 Seng Liong Sen langsung makan apa yang disediakan untuknya. Sedang Sun Chu Kiok dan Lauw Keng minum arak berdua sambil tersenyum puas.
"Sayang kau belum boleh minum arak," kata Sun Chu Kiok.
"Ini arak Kui-hoa-ciu yang terkenal di daerah Thay-ouw, tentu saja enak rasanya," kata tabib Ong. "Tapi kau bukan tidak boleh minum arak, asal arak yang bermanfaat bagi kesehatanmu tentu saja boleh!"
"Arak apa itu?" tanya Lauw Keng.
"Arak Pek-hoa-ciu buatan keluarga Ci di Pek-hoa-kok,"
kata tabib Ong. Seng Liong Sen kaget ketika mendengar nama keluarga Ci di Pek-hoa-kok disebut-sebut, sebab pikirnya keluarga Ci di Pek-hoa-kok yang dimaksud tidak lain pasti keluarga Ci Giok Hian.
"Arak Pek-hoa-ciu buatan keluarga Ci, rasanya tidak sulit untuk mendapatkannya, karena aku kenal pemiliknya.
Ketika ada di Yang-ciu, tapi sekarang nona Ci sedang pergi ke Kimkee-leng!" kata Sun Chu Kiok.
"Sepengetahuanku di rumah nona Ci ada seorang tukang kebun, kita coba bertanya padanya, apa di rumah majikannya masih tersimpan arak yang dimaksud itu?" kata Lauw Keng.
"Jika arak itu penting untuk Saudara Liong, bagaimana pun kita harus mengusahakannya!" kata Sun Chu Kiok.
"Jika perlu kita cari nona Ci ke Kim-kee-leng!"
"Benar, saat di Yang-ciu aku lihat nona Ci pun menaruh perhatian pada saudara Liong!" kata Lauw Keng sambil tertawa. "Dia bilang dia berhutang budi dan belum sempat 1889
mengucapkan terima kasih padamu! Jika dia tahu keadaanmu di sini, aku yakin dia bersedia datang ke mari! "
Seng Liong Sen pun kaget mendengar keterangan itu langsung berpikir, "Semoga dia tidak datang ke mari. Sebab jika dia tahu siapa aku, lebih baik aku mati saja!"
Sesudah makan Seng Liong Sen merasa tubuhnya agak segar. Sambil bersandar pada dinding perahu, Seng Liong Sen mengawasi jajaran gunung di tepi danau.
Pemandangan di tempat itu indah sekali. Menyaksikan pemandangan itu Seng Liong Sen kaget.
"Di mana kita sekarang?" kata Seng Liong Sen.
"Ini daerah Thay-ouw, apa Saudara Liong belum pernah ke sini?" kata Sun Chu Kiok sambil tertawa.
"Ah, bisa gawat aku! Jika benar ini danau Thay-ouw!"
pikir Seng Liong Sen. "Semula akan kukatakan padamu," kata tabib Ong.
"Seharusnya kau ikut bergembira, sebab nama Ong Cong-ceecu dari Thay-ouw, itu Ong It Teng! Pasti kau pun kenal, bukan". Nah, kita akan ke sana. Aku yakin selama kau istirahat di sana, kau tidak perlu takut diganggu oleh musuh!"
Seng Liong Sen kaget bukan kepalang, sebab Ong It Teng sahabat gurunya.
"Aku sudah mendengar namanya, tapi sayang belum berkenalan dengan beliau!" kata Seng Liong Sen.
"Aku juga belum kenal," kata tabib Ong, "Tapi karena kami membawa surat pribadi Tu Hok dari Kim-kee-leng, maka itu kami ke sana untuk berlindung di tempat Ong Cee-cu andaikata terjadi suatu masalah."
1890 "Aku cuma bertemu dua kali dengannya, saat itu dia sedang berunding dengan Su-hu. Tapi dia tidak memperhatikan aku. Jika Giok Hian samar padaku, apalagi dia!" pikir Seng Liong Sen. Tapi tak urung jantung pemuda itu berdebar juga.
Tak lama perahu mereka sudah merapat ke tepi danau.
Ternyata kedatangan mereka sudah ditunggu oleh anak buah Ong Cee-cu. Untuk mengangkut Seng Liong Sen pun telah disiapkan sebuah joli yang biasa digotong oleh empat orang. Saat Seng Liong Sen sudah dinaikkan lalu dibawa ke atas gunung.
Begitu sampai dia dipertemukan dengan Ong It Teng yang menyambutnya dengan ramah. Seng Liong Sen segera memberi hormat dan Ong It Teng pun langsung berkata,
"Saudara Liong, urusanmu sudah aku ketahui semuanya!"
Bukan main terkejutnya Seng Liong Sen mendengar ucapan tuan rumah itu.
"Ah, ternyata rahaiaku sudah diketahuinya?" pikir Seng Liong Sen.
Kemudian Ong It Teng langsung menyambung
katakatanya. "Kejadian di Yang-ciu, bantuanmu itu sangat berharga,"
kata Ong It Teng. "Aku dengar kau berhasil menolongi Nona Ci!"
Bukan main lega hati Seng Liong Sen sesudah mengetahui bahwa yang dibicarakan Ong It Teng ternyata kejadian di gedung Tihu she Gak itu. Dengan sikap merendah dia langsung menjawab.
"Itu sudah kewajiban sesama sahabat!" kata Liong Sen.
1891 "Ngomong-ngomong tentang nona Ci, nasibnya perlu dikasihani. Apa saudara Liong sudah mengetahui kisah hidupnya?"
Bukan main kagetnya pemuda ini, jantungnya
berdebardebar tak hentinya. Dia mencoba menenangkan diri.
"Keluarga Ci di Pek-hoa-kok keluarga persilatan yang terkenal, aku cuma tahu nona Ci puteri keluarga Ci, lebih dari itu aku tidak tahu." kata Seng Liong Sen.
"Kalau begitu, Saudara Liong belum tahu dia sudah janda," kata Ong It Teng. "Nama suaminya Seng Liong Sen, murid pewaris Bun Yat Hoan, seorang Bu-lim-beng-cu daerah Kanglam. Sayang, katanya pemuda cekatan dan pandai itu menurut kabar terakhir yang aku dengar tewas di tangan Wan-yen Hoo, anak Wan-yen Tiang Cie, panglima pasukan pengawal kerajaan Kim. Saat pemuda itu meninggal mereka menikah belum setahun. Kasihan nona Ci yang masih muda itu jadi janda!"
Ong It Teng tidak tahu kalau suami Ci Giok Hian adalah dia.
Untuk menutupi rasa kagetnya Seng Liong Sen berkata,
"Sayang memang. Sejak dulu wanita cantik nasibnya selalu buruk!"
"Ada lagi yang aku benci mengenai adat kolot, jika suami meninggal sang isteri harus menjadi janda selamanya," kata Ong It Teng. "Menurut pendapatku, kita kaum Kang-ouw tidak perlu menghiraukan aturan kuno itu!"
"Pendapatmu begitu, Ong-cecu, tapi aku tidak tahu bagaimana pendapat nona Ci?" kata Sun Chu Kiok sambil tertawa.
1892 "Dia belum punya anak, kenapa harus jadi janda selamanya," kata Ong It Teng.
"Hai, rupanya Ong Cee-cu punya maksud menjadi comblang nona Ci?" kata Lauw Keng.
"Aku memang punya maksud itu, tapi aku kira pendapat ini terlalu terburu-buru," kata Ong It Teng.
Seng Liong Sen cukup cerdik, dia bisa menangkap maksud ucapan Ong It Teng. Dia terharu mendengar ucapan Ong It Teng itu. Dari nada ucapan Ong It Teng, dia ingin menjodohkan Seng Liong Sen pada Ci Giok Hian.


Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tak tahu aku ini suaminya, masakan aku akan kau jodohkan pada istriku sendiri?" pikir Seng Liong Sen.
Melihat pemuda itu diam saja, Ong It Teng sadar.
"Saudara Liong kau harus istirahat. Sesudah kau sembuh nanti kita bicarakan lagi masalah ini!" kata Ong It Teng.
Memang tabib Ong tidak bergelar kosong, dia bisa menyembuhkan luka-luka Seng Liong Sen dengan cepat.
Sesuai gelarnya Hoa To yang mengambil nama tabib terkenal di Zaman Tiga Negara, memang lihay.
"Apa kau sudah merasa kuat untuk berlatih tenaga dalam. Saudara Liong?" kata tabib Ong.
"Aku mohon petunjuk, LoCian-pwee. Sesudah lukaku sembuh, jika aku tidak berlatih tubuhku terasa tak enak,"
kata Liong Sen. "Jika demikian mau tak mau kau harus berlatih tenaga dalam itu!" kata tabib Ong. "Jangan takut, aku akan usahakan agar kau bisa bebas dari rasa demikian itu! Kau akan kuajari bagaimana menyembuhkan kecanduan itu dengan cara ilmu pengobatan! Jika sudah sembuh, tenaga dalam ajaran Khie Wie itu akan bermanfaat bagimu."
1893 Seng Liong Sen senang mendengar keterangan itu. Jika benar begitu, maka dia akan lebih lihay dari Uh-bun Tiong yang telah menipunya.
Setelah berobat dan istirahat selama sebulan di tempat Ong It Teng sekarang hati Seng Liong Sen mulai tentram.
Setiap hari dia diobati dengan tusuk jarum. Seng Liong Sen pun tidak lupa berlatih tenaga dalam.
Sesudah lewat beberapa waktu lagi, tanpa minum obat dari Khie Wie tubuh Seng Long Sen terasa segar dan nyaman sekali.
Selama istirahat dia selalu menghindari bertemu dengan Ong It Teng dengan harapan rahasia dirinya tidak ketahuan. Tak lama Ong It Teng mulai sibuk memimpin para bajak, hingga dia juga jarang bertemu dengan Seng Liong Sen.
Pada suatu hari, sesudah Seng Liong Sen selesai berlatih dia merasakan tubuhnya segar sekali. Maka itu dia pikir sudah saatnya dia akan meninggalkan Thay-ouw. Ketika itu datang pesuruh memberi kabar.
"Di luar ada tamu ingin bertemu dengan Liong Siauwhiap!" kata pelayan itu dengan hormat.
Seng Liong Sen kaget dan cemas sebelum dia tahu siapa tamu yang datang ingin menemui dirinya. Tapi terpaksa Seng Liong Sen dengan perlahan-lahan berjalan akan menemui tamu tersebut. Sebelum masuk ke ruang tamu, Seng Liong Sen sempat mendengar ucapan Ong It Teng.
"Aku tidak mengira Uh-bun Tiong sekarang sudah muncul di Dunia Kang-ouw lagi. Apa kau bertemu dengannya?" kata Ong It Teng.
"Sebenarnya aku tidak bertemu dengannya, tapi kawan kita sempat melihatnya!" kata suara tamu itu.
1894 "Siapa yang dimaksud kawan kita olehnya" Apakah itu aku?" pikir Seng Liong Sen.
Tak lama Seng Liong Sen masuk ke ruang tamu. Di sana dia lihat Sun Chu Kiok dan Lauw Keng sedang berbincang dengan seorang tua yang belum dikenalnya. Ong It Teng memperkenalkan tamu itu pada Seng Liong Sen.
"Tuan ini bernama Han Seng Tek!" kata Ong It Teng.
"Dia salah satu Cee-cu di bawah perintahku. Saat kau baru datang dia masih di Yang-ciu!"
"Saudara Liong sebenarnya kita sudah pernah bertemu!"
kata Han Seng Tek pada Liong Sen.
"Benarkah, aku agak lupa, di mana ya?" kata Seng Liong Sen.
"Saat terjadi keributan di rumah Gak Liang Cun, aku juga ada di sana!" jawab Han Seng Tek. "Karena masalah belum selesai, aku tinggal di sana beberapa hari lagi!"
"Kami sedang membicarakan Uh-bun Tiong, apa kau kenal dengannya?" kata Ong It Teng.
"Terus-terang pengalamanku masih rendah, aku tidak kenal dia!" jawab Seng Liong Sen.
"Bagaimana Khie Wie, kau kenal?" tanya Ong It Teng lagi.
"Tentang penjahat itu aku dengar dari Tabib Ong," kata Seng Liong Sen.
"Umur Uh-bun Tiong hampir sebaya dengan Khie Wie, mereka lihay. Tapi keduanya sempat menghilang dari kalangan Kang-ouw dalam waktu yang hampir sama." kata Ong It Teng.
"Uh-bun Tiong tidak bisa disamakan dengan Khie Wie,"
kata Han Seng Tek. "Sekalipun Khie Wie jahat, tapi dia 1895
bukan kawan bangsa asing. Hanya sifatnya aneh, dia berdiri di antara yang jahat dan yang baik! Lain lagi Uh-bun Tiong, dia pembantu utama Gak Liang Cun. Aku tidak tahu kenapa dia meninggalkan orang she Gak itu" Sekarang dia muncul kembali dan kabarnya mendapat atasan yang lebih hebat!"
"Tadi kau bilang ada kawan kita yang melihatnya, siapa mereka?" kata Ong It Teng.
"Seorang to-su bernama Khu Tay Beng dan berganti nama jadi It Beng Tay-su dan hwee-shio bernama Theng Pek Keng atau dipanggil Pek Hwee Tay-su," kata Han Seng Tek.
"Jadi yang dia sebut kawan kita itu mereka?" pikir Seng Liong Sen yang pernah bertarung dengan mereka hidup dan mati. "Tapi aku tidak kuatir karena to-su itu sudah berjanji akan tutup mulut! Tapi aku tak tahu apa dia bisa memegang janji atau tidak?"
"Kedua orang itu bermusuhan dengan Uh-bun Tiong sudah 20 tahun yang lalu karena saudara angkat mereka terbunuh oleh Uh bun Tiong!" kata Han Seng Tek. "Sekali ini Uh-bun Tiong dapat mereka temukan di suatu lembah di luar kota Yang-ciu. Dalam pertarungan itu hampir saja jiwa Pek Hweeshio melayang, It-beng To-jin terluka parah.
Waktu aku bertemu dengan mereka, keadaan Pek-hwee tampak payah dan berjalan pincang."
"Aneh juga, setahuku kepandaian mereka tidak lemah, seorang lawan seorang saja selisihnya tidak banyak, masa mereka berdua kalah di tangan Uh-bun Tiong?" kata Ong It Teng.
"Barangkali Uh-bun Tiong dibantu oleh orang lain?" kata Sun Chu Kiok.
1896 Mendengar kisah itu Seng Liong Sen ingat
pengalamannya dan jadi tegang sendiri, dia kuatir bisa jadi Pek Hwee-shio akan membongkar apa yang terjadi antara dia dengannya waktu itu. Tapi Han Seng Tek telah berkata lagi.
"Aku pikir demikian, namun menurut cerita it Beng To-jin kekalahan mereka disebabkan karena terjebak oleh akal licik Uh-bun Tiong sehingga mereka sama-sama terluka.
Tapi menurut pikirku, rasanya keterangan It Beng To-jin itu meragukan. Tadi sudah kukatakan bisa jadi Uh-bun Tiong mendapatkan Cu-kong yang lebih tinggi dari Gak Liang Cun, yang aku maksudkan Wan-yen Hoo, putra Wan-yen Tiang Cie dari Kerajaan Kim. Tapi aku kira Uh-bun Tiong tidak mendapat bantuan dari Wan-yen Hoo. Aku yakin It Beng menyembunyikan sesuatu dan tidak mau berterusterang. Lebih baik kita tunggu saja kedatangan mereka berdua, baru masalah ini akan lebih jelas!" kata Han Seng Tek.
"Aku harus segera meninggalkan Thay-ouw. Tak lama lagi sudah hari ke 49, sesuai kata Tabib Ong. Semoga saja mereka tidak segera datang!" pikir Seng Liong Sen. "Aku harus segera pergi sebelum mereka datang!"
Tetapi tanpa diduga tiba-tiba terdengar suara terompet dan Han Seng Tek bangun dari kursinya.
"Aku kira ada tamu yang datang!" kata Han Seng Tek.
"Kau benar, pasti itu bukan tamu biasa," kata Ong It Teng sambil tertawa riang.
Suara terompet itu sebagai tanda bagi Ong Cee-cu agar bersiap menyambut kedatangan tamu agung. Karena Ong It Teng sendiri yang akan menyambut tamu itu, pasti tamu yang datang itu bukan tamu biasa.
1897 Hati Seng Liong Sen berdebar karena khawatir kalau tamu yang datang itu It Beng To-jin dan Pek Hui Hwee-shio adanya. Dia bangun dari kursinya dan bermaksud hendak mohon diri akan kembali ke kamarnya. Tapi Ong It Teng menahan agar dia tidak pergi.
"Jangan ke mana-mana, kau tunggu di sini. Siapa tahu kau juga kenal dengan tamu itu!" kata Ong It Teng.
Mendengar keterangan itu pemuda ini bertambah kaget, tapi karena tuan rumah yang minta dia menunggu, terpaksa Seng Liong Sen menurut karena kuatir orang
mencurigainya. Dia duduk kembali di kursinya. Ternyata tamu itu Kok Siauw Hong!
"Aku kira kalian sudah saling kenal sebelumnya, bukan?"
kata Ong It Teng. "Benar, kami pernah bertemu di Yang-ciu," kata Kok Siauw Hong. "Liong-heng, melihat kau terluka, kami ikut kuatir, pasti sekarang kau sudah sembuh, bukan?"
"Terima kasih atas perhatianmu," jawab Seng Liong Sen.
"Aku sembuh berkat pertolongan Tabib Ong, aku sekarang sudah sehat! Kau ke mari, ada khabar apa?"
"Kedatanganku justru atas permintaan Nona Ci untuk melihat keadaanmu," kata Kok Siauw Hong.
Tentu saja Seng Liong Sen heran, dari mana Ci Giok Hian tahu dia berada di tempat Ong It Teng. Saat Seng Liong Sen sedang kebingungan Ong It Teng tertawa.
"Aku yang memberitahu Nona Ci, bahwa kau berobat di sini!" kata Ong It Teng.
"Nona Ci sekarang ada di Kim-kee-leng sedang membantu melatih laskar wanita di sana, karena itu aku 1898
mengusulkan agar menjemput Saudara Liong untuk datang ke Kim-keeleng." kata Kok Siauw Hong.
"Benar, demikian harapan Nona Ci!" kata Ong It Teng.
"Kau telah menyelamatkan jiwa nona Ci, dia sangat berterima kasih dan ingin segera bertemu denganmu," kata Kok Siauw Hong.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o-
BAB 69 Takut Ketahuan Rahasianya Seng Liong
Sen Kabur; Pertarungan Dengan Para Bajak
Ketika Ci Giok Hian melihat Seng Liong Sen untuk kedua kalinya di Pek-hoa-kok, dia agak curiga. Malah nona Ci berharap siapa tahu dia bisa bertemu lagi dengan pemuda itu, tetapi karena takut menjadi bahan gunjingan juga untuk menghindari prasangka buruk orang-orang, dia tidak ingin pergi bersama-sama dengan Kok Siauw Hong.
Ong It Teng dan Kok Siauw Hong melanjutkan
berbincangbincang dengan pemuda itu dan ingin bersahabat dengan Liong Sen. Maka itu sengaja Kok Siauw Hong duduk berendeng dengan Liong Sen untuk diajak berbincangbincang. Saat itulah tiba-tiba Kok Siauw Hong merasa seperti pernah melihat pemuda bermuka buruk itu, tetapi dia lupa entah di mana" Maka itu dia sengaja menatap wajah pemuda itu lebih serius. Seng Liong Sen yang ditatap begitu tentu saja jadi gelisah tak karuan. Mau tak mau air mukanya berubah.
"Saudara Liong," kata Kok Siauw Hong sambil tertawa,
"aku rasa kau mirip dengan seorang temanku!"
1899 Mendengar ucapan itu Seng Liong Sen terkejut karena dia duga Kok Siauw Hong sudah mengenali siapa dirinya.
Maka itu buru-buru dia menjawab.
"Ah, mana mungkin di dunia ini ada orang lain yang mukanya seburuk aku?" kata Seng Liong Sen.
"Mendengar kata-katamu aku ingat pada seseorang, kau memang agak mirip dengannya," sela Ong It Teng sambil tertawa. "Tidak hanya wajahmu yang mirip, malah perawakanmu pun sama dengannya! Kawan yang Kok Siauwhiap maksudkan itu, pasti Seng Liong Sen murid Bun Tay-hiap, bukan?"
"Betul Ong Cee-cu! Tapi sayang Seng Siauw-hiap sudah meninggal, jika dia masih hidup dan kita lihat mereka dari belakang, kita akan mengira mereka itu saudara kembar!"
kata Kok Siauw Hong. "Ada-ada saja! Mana boleh aku disamakan dengannya!"
kata Seng Liong Sen yang tubuhnya mulai berkeringat.
"Sungguh bahagianya aku jika aku bisa menjadi murid Bun Tay Hiap!"
Mendadak Ong It Teng bicara sungguh-sungguh.
"Jika Liong-heng benar berminat ingin jadi murid beliau, aku bisa menjadi perantaramu. Suami nona Ci yang meninggal itu pun murid Bun Tay-hiap, sedang kau telah menyelamatkan jiwa Nona Ci, jika Bun Tay-hiap menerimamu sebagai muridnya, ini suatu peristiwa yang menarik juga?" kata Ong It Teng.
Tampak Seng Liong Sen sedikit gugup oleh ucapan Ong It Teng itu. Dia harus bersyukur saat itu tabib Ong masuk ke tempat itu. Ong It Teng memperkenalkan Kok Siauw Hong kepada tabib Ong dan mengatakan usahanya mencari Pekhoa-ciu di rumah Ci Giok Hian tidak berhasil.
1900 "Jangan kuatir. Nona Ci punya resep arak obat keluarganya, sekalipun dia ada di Kim-kee-leng arak itu dapat disulingnya," kata Kok Siauw Hong berusaha melegakan hati Seng Liong Sen.
"Sebenarnya hanya sepuluh hari lagi pengobatan tarap pertamaku akan berakhir," kata tabib Ong. "Tapi jika pengobatanku itu ditambah dengan Pek-hoa-ciu, penyakit Liong-heng ini dapat dipunahkan sampai keakar-akarnya.
Ya, sekarang sudah tiba saatnya untuk kau tusuk jarum, harap Liong-heng ikut aku ke kamarmu."
Seng Liong Sen girang mendengar ajakan itu, dengan demikian dia bisa bebas dari tatapan Kok Siauw Hong yang tajam dan menyelidik itu. Maka itu dia mohon diri ikut tabib Ong untuk tusuk jarum di kamarnya. Dengan keterampilan yang luar biasa tabib Ong mengobati Seng Liong Sen dengan tekun.
Malam harinya.... Seperti biasa pikiran Seng Liong Sen kacau hingga dia tak bisa tidur. Menurut nasihat tabib Ong dia diminta tinggal beberapa hari lagi di tempat Ong It Teng. Tabib Ong yakin Seng Liong Sen akan sembuh total. Tetapi melihat sikap Kok Siauw Hiong tadi siang yang seolah mencurigainya, Seng Liong Sen bingung sendiri. Yang lebih membingungkan Seng Liong Seng, bagaimana jika Kok Siauw Hong mengajak dia pergi ke Kim-kee-leng" Hal itu akan membuat dia bertemu lagi dengan Ci Giok Hian.
Kekhawatiran yang lain dia takut jika si To-su dan Hweeshio itu akan segera tiba di rumah Ong It Teng. Dengan hati tak tentram karena merasa berdosa, Seng Liong Sen jadi tertekan. Maka itu dia mengambil keputusan akan meninggalkan tempat Ong It Teng secara diam-diam.
1901 Setelah membuat sepucuk surat, dia meletakkan surat itu di atas tempat tidurnya, kemudian pergi dari tempat orang she Ong yang baik hati itu.
Dengan sabar Seng Liong Sen menunggu sampai fajar menyingsing, hal ini dia putuskan agar bisa berjalan ke tepi danau. Ketika sampai di sana, dia mendapatkan sebuah perahu kecil. Ketika itu tukang perahu kepercayaan Ong It Teng yang sudah kenal dengannya, menganggap dia sebagai tamu Cong Cee-cu mereka. Tapi Seng Liong Sen berbohong pada tukang perahu itu. bahwa dia sudah sembuh. Sekarang dia harus pulang. Dia pun mengaku bahwa dia pergi seijin dari Ong It Teng. Tapi tukang perahu itu sangsi karena tidak seorang pun yang mengantarkan kepulangan pemuda itu, karena dia sudah tahu tamu itu pendekar yang terluka saat terjadi perampokan di Yang-ciu, dia tidak menolak permintaan pemuda itu yang minta diseberangkan.
Apalagi ketika itu cuaca cerah, angin pagi meniup sepoisepoi basah. Ini membuat tubuh orang menjadi segar.
Seng Liong Sen naik ke perahu, dia duduk bersandar di tepian perahu sambil memandang ke permukaan danau.
Dia sangat berduka, "Dunia seluas ini seolah tidak ada tempat bagiku!"
pikirnya. Tanpa terasa terbayang dua nona cantik di otaknya, satu Ci Giok Hian yang jelita, sedang yang lain nona Khie Kie.
Sekalipun dia tahu bagaimana cintanya nona Khie Kie kepadanya, tapi dengan terpaksa dia harus mengecewakan gadis yang masih polos itu.
"Untung penyakitku sudah tidak berbahaya lagi walau belum sembuh sama sekali," pikir pemuda itu. "Untuk selanjutnya aku harus berkelana sendirian di dunia Kangouw!"
1902 Karena sedang mengenang pengalamannya yang pahit getir dengan suka-dukanya, Seng Liong Sen tidak merasa saat itu sudah tengah hari. Perahu itu pun sudah mengarungi setengah dari danau Thay-ouw yang luas itu.
Sedang daratan di seberang sudah kelihatan dari jauh.
Hati Seng Liong Sen sedikit lega. Tak lama lagi dia sudah akan meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba tampak sebuah tongkang besar melaju ke arah perahu mereka.
Tukang perahu itu kaget. "Eh, itu tongkang siapa" Aku rasa itu bukan perahu milik kami!" kata si tukang perahu.
Kapal tongkang itu besar sekali, berbeda dengan perahu mereka. Saat itu si tukang perahu baru ingat mengenai kekalahan Kiauw Sek Kiang dalam pertempuran laut di sungai Tiang-kang (Yang-cee-kiang), dia salah seorang bajak laut dari wilayah Laut Timur.
"Eh, jangan-jangan itu kapal mereka!" kata tukang perahu itu cemas bukan main. Buru-buru dia nembelokkan perahunya kembali ke tengah danau.
"Hai, akan kau dayung ke mana perahu ini?" tanya Seng Liong Sen keheranan saat tahu perahu itu berbelok arah.
"Aku akan menemui mereka," kata tukang perahu. "Mau apa kapal mereka memasuki wilayah ini?"
Tak lama kapal besar itu meluncur dengan cepat hingga berpapasan dengan perahu kecil. Tukang perahu itu membentak lantang.
"Hai, siapa kalian dan mau apa datang ke mari?" kata si tukang perahu.
1903 Terlihat di haluan kapal muncul tiga orang lelaki bertubuh kekar, seorang di antaranya membentak, "Kau siapa" Atas dasar apa kau berani menanyai kami?"
"Aku dari Tong-teng-san Barat," jawab tukang perahu.
"Oh, jadi kau anak buah Ong It Teng!" seru lelaki tadi sambil tertawa terbahak-bahak.
Dia memberi tanda pada kedua kawannya. Ternyata ketiga tampak garang dan mereka anak buah bajak.
"Jadi kalian ini anak buah Su Thian Tek dan Kiauw Sek Kiang!" bentak tukang perahu.
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Benar! Ternyata hari ini kau sedang sial bertemu dengan kami!" kata orang itu.
"Lihat saja siapa yang sial?" kata Seng Liong Sen.
Baru saja Seng Liong Sen menghunus pedangnya, mendadak kedua lelaki tadi melompat dan berakrobat di udara. Saat turun dia hinggap di haluan perahu kecil itu.
Namun, sebelum kaki mereka menginjak perahu. Seng Liong Sen mendahului menusuk dua kali.
Salah seorang langsung mengayunkan goloknya, dengan gerakan "Eng-kek-tian-khong" (Elang menerkam dari udara), segera golok orang itu membacok ke bawah. Sedang orang yang ada di sebelah kanannya, membuka kedua telapak tangannya mencoba mencengkram bahu Seng Liong Sen.
Meski ilmu silat kedua orang itu tinggi, tapi mana mampu melawan ilmu pedang Seng Liong Sen yang lihay.
Saat sinar pedang pemuda itu menyambar, tak ampun lagi jari tangan lelaki di sebelah kanan terpotong putus dan terjungkal ke dalam danau. Ketika pedang Seng Liong Sen 1904
berbalik, golok musuh yang sedang membacok itu tertangkis. Saat itu disusul oleh tendangan kaki Seng Liong Sen, tanpa ampun lagi pria di sebelah kiri itu pun tercebur ke danau.
Melihat Seng Liong Sen berhasil mengalahkan musuhmusuhnya, tukang perahu itu lega. Dia mengambil terompet dan langsung meniupnya. Lalu dia dayung perahu itu sekuat tenaganya.
"Hai, kenapa kau putar perahu ini?" teriak Seng Liong Sen.
"Terpaksa aku harus kembali untuk memberi khabar pada Ong Cee-cu! Maaf Liong Tay-hiap, aku menghalangi keberangkatanmu," kata tukang perahu.
Suara terompet tukang perahu itu sebagai tanda bahaya.
Karena perahu nelayan yang kelihatan hanya sebuah dan berada terlalu jauh dari mereka, maka tukang perahu itu berpikir dia harus segera memutar haluan untuk memberi laporan kepada Ong It Teng. Saat itu kedua orang yang terjungkal ke danau, timbul lagi ke permukaan air sambil berteriak.
"Hm! Kalian mau lari ke mana?" kata seorang bajak itu.
Bagi para bajak laut, air danau bukan penghalang.
Mereka bisa berenang cepat dan mengejar ke arah perahu kecil itu. Pria tinggi besar yang berada di haluan kapal pun berteriak.
"Mau kabur ke mana, terima senjataku!" kata orang itu.
Dia mengangkat jangkar kapal dan langsung
dilemparkan ke arah perahu kecil itu.
"Braaak!" 1905 Jangkar itu tepat menghantam atap perahu nelayan hingga berantakan. Perahu kecil itu pun berguncang hebat!
Kemudi perahu tak mampu dikuasai lagi oleh si nelayan.
Saat jangkar besar itu masih bergerak turun akan menghantam dasar perahu. Seng Liong Sen menggunakan pedang-nya untuk menyontek jangkar itu. Tak lama jangkar yang tadi akan jatuh ke atas lantai perahu, terlontar ke danau! Seng Liong Sen pun mencoba menggunakan ilmu memberatkan tubuh untuk menahan olengan perahu kecil itu.
Pada saat itu air danau sudah mulai merembes masuk ke dalam perahu. Karena dasar perahu itu sudah berlubang, perlahan-lahan perahu itu mulai karam.
Lubang di dasar perahu itu dibuat oleh dua pria yang terluka oleh Seng Liong Sen tadi. Melihat keadaan sudah mendesak, tukang perahu itu jadi kalap, dia terjun ke danau untuk melabrak kedua orang itu. Sayang Seng Liong Sen tidak bisa berenang, maka itu saat dua orang itu bekerja sedang membocorkan perahunya, dia tak bisa
mencegahnya. Tak lama air danau berubah merah, itu berarti ada orang yang terluka. Selang sesaat dua orang itu sudah muncul lagi di permukaan danau. Jelas sudah tukang perahu itu tewas di tangan kedua bajak yang kejam itu.
"Hai, apa kau juga mau ikut mampus di danau?" kata bajak itu.
Melihat tukang perahu telah binasa. Seng Liong Sen nekat, sebelum perahu itu karam dan dia mati konyol, dia berpikir. Melawan lebih baik! Maka itu dia melompat ke danau.
1906 Tadi kedua bajak laut itu sudah dihajar oleh Seng Liong Sen, sekarang pemuda itu berani masuk ke danau, tentu saja mereka ingin membalas dendam atas perlakuan Seng Liong Sen tadi. Begitu Seng Liong Sen terjun ke dalam danau, mereka segera menyergapnya. Salah seorang menekan kepala Seng Liong Sen ke dalam air dan yang lain memeluk paha pemuda itu agar Liong Sen tenggelam ke dalam danau.
Saat kepalanya ditenggelamkan ke dalam air danau, Seng Liong Sen yang tidak bisa berenang gelagapan.
Terpaksa dia harus minum air danau cukup banyak. Saat dalam keadaan kritis dengan sekuat tenaga dia meronta dan melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan seluruh tenaganya.
Dengan tangannya yang bergerak tak menentu Seng Liong Sen berhasil meraih kepala bajak laut itu dan langsung dikepit dengan keras. Sekarang mereka bertiga bergumul jadi satu. Seng Liong Sen bergumul menggunakan sisa-sisa tenaganya.
Ketika orang sedang bergumul timbul-tenggelam di dasar danau, di luar dugaan dua bajak laut yang pandai berenang itu, ternyata tidak dapat menahan napas seperti Seng Liong Sen.
Akhirnya keduanya lemas dan mati tenggelam di danau.
Setelah melepaskan kedua mayat musuhnya, Seng Liong Sen pun kepayahan bukan main.
Dalam keadaan sadar dan tak sadar dia merasakan tubuhnya seolah-olah sedang melayang di udara, terlempar naik turun oleh ombak, tidak lama dia pingsan.
Esok harinya..... 1907 Ketika Ong Tay-hu hendak mengobati Seng Liong Sen baru diketahuinya, bahwa pemuda itu telah lenyap.
Tabib Ong terkejut dan cepat melaporkan kejadian itu kepada Ong It Teng. Ong It Teng heran, dia tak percaya pemuda itu pergi tidak melapor lagi padanya. Semua orang keheranan atas kepergian pemuda itu.
"Kemana dia" Masa dia pergi begitu saja tanpa pamit padaku?" kata Ong It Teng. "Padahal penyakitnya belum sembuh benar."
"Apa maksud dia pergi tanpa pamit" Barangkali......"
kata Kok Siauw Hong, tapi tak meneruskan kata-katanya.
Mereka memeriksa kamar pemuda itu, di sana mereka menemukan sepucuk surat ucapan terima kasih kepada tabib Ong dan tuan rumah dan dia minta maaf atas kepergiannya tanpa pamit.
Yang mengagetkan, dalam surat itu dia mengatakan bahwa dia sudah bertekad akan mengasingkan diri.
"Heran! Ah, barangkali karena dia tak mau ke Kim-keeleng?" pikir Kok Siauw Hong. "Barangkali dia ingin menghindar dari Nona Ci?"
Sesudah itu Kok Siauw Hong berkata pada Ong It Teng.
"Dia bersikap sangat aneh," kata Kok Siauw Hong.
"Aku pikir begitu," kata Ong It Teng. "Dia menguasai dua aliran silat yang berbeda. Satu aliran baik dan satunya aliran hitam."
Semua termenung tapi tiba-tiba Ong It Teng bicara lagi.
"Apa kau kira dia itu murid Khie Wie?" kata Ong It Teng.
1908 "Sejak Khie Wie menghilang 20 tahun yang lalu, aku tidak pernah mndengar dia punya murid," kata Tabib Ong.
"Tapi tenaga dalam pemuda itu memang aliran Khie Wie, aku tahu karena aku pernah mengobatinya!"
"Jika benar dia murid Khie Wie itu tidak masalah," kata Ong It Teng. "Sekalipun dia dari aliran sesat dia bisa berbuat baik."
"Anda benar, mungkin dia takut kita menghina dia!" kata Tabib Ong.
Ketika mereka sedang asyik berbincang datang laporan dari penjaga pintu.
"Ada laporan dari peronda di danau!" kata penjaga itu.
"Peronda itu minta bertemu dengan Cee-cu!"
Ong It Teng senang. Dia mengira jejak pemuda itu telah diketahui, segera si pelapor diminta masuk. Sesudah pelapor itu masuk Ong It Teng meminta agar segera dia melapor.
"Tadi pagi saat kami sedang meronda di sekitar danau, kami melihat sebuah kapal besar mendatangi. Kapal itu berpapasan dengan sebuah perahu kecil milik kita. Dari perahu kecil terdengar suara terompet minta bantuan!" kata orang itu.
"Ah, itu pasti kapal bajak Su Thian Tek dan Kiauw Sek Kiang," kata Ong It Teng. "Siapa orang kita yang ada di perahu itu?"
"Jarak kami dengan perahu itu terlalu jauh, yang kami ketahui di atas perahu itu penumpangnya dua orang!" kata si pelapor.
Seorang anak buah Ong It Teng bernama Ciu Eng ikut bicara.
1909 "Yang aku ketahui, perahu itu dibawa oleh Tio Kan Lu, hari itu dia bertugas menyambut dan mengantar tamu. Tapi siapa yang ada di perahu bersamanya?" kata Ciu Eng.
"Kalau begitu, dia pasti tamu kita yang sedang berobat itu!" kata Ong It Teng. "Bagaimana selanjutnya?"
"Ketika kami dengar suara terompet, kami langsung ke sana! Dari jauh kami lihat orang di perahu sedang bertarung dengan orang dari kapal itu. Kemudian mereka terjun ke danau dan bertarung di danau. Orang itu lihay ilmu pedangnya. Tio Kan Lu terjun ke danau, tapi naas dia tewas!"
"Bagaimana kawannya?" kata Ong It Teng.
"Sesudah perahu kecil itu tenggelam orang itu bertarung di danau, kedua musuhnya mati tenggelam," kata pelapor itu.
"Apa kau sudah menyuruh orang mencari jenazah Tio Kan Lu dan kawannya?" kata Ong It Teng.
Sebelum pelapor itu menjawab, terdengar suara terompet yang ditiup panjang tiga kali dan pendek satu kali, itu tanda ada musuh datang.
Ong It Teng kaget segera dia perintahkan anak buahnya berkumpul dan siap menghadapi musuh. Datang laporan baru menyatakan, bahwa di danau terlihat lima buah kapal musuh mendatangi.
"Bulan lalu bajak Su Thian Tek dan Kiauw Sek Kiang dilabrak oleh pasukan kerajaan Song, sekarang mereka datang ke Thay-ouw mencari tempat bersembunyi," kata Han Seng Tek. "Itu pasti kapal milik Kiauw Sek Kiang!"
Ketika mereka masih berunding datang laporan baru.
1910 "Dari bagian hulu danau datang pasukan kerajaan," kata pelapor.
"Kita harus mengusir bajak Su Thian Tek dan Kiauw Sek Kiang, mereka budak bangsa Mongol!" kata Ong It Teng.
"Ong Cee-cu, kita harus waspada. Han To Yu sudah berdamai dengan bangsa Kim dan tak bersedia bergabung dengan tentara rakyat!" kata Han Seng Tek.
"Kau benar Saudara Han! Tapi sekarang kita boleh gabung dengan tentara Kerajaan Song untuk menumpas kawanan bajak, tapi kita pun harus waspada terhadap mereka!" kata Ong It Teng.
Sesudah itu Ong It Teng segera mengeluarkan perintah mengerahkan seratus buah kapal untuk mengejar kapal bajak itu. Maka bergeraklah anak buahnya mengejar para bajak. Tak lama datang laporan.
"Ong Cee-cu, jenazah Tio Kan Lu sudah ditemukan, juga dua mayat bajak itu. Sedang mayat kawan Tio tak ditemukan!" kata pelapor itu.
"Mudah-mudahan saudara Liong selamat dan ditemukan oleh nelayan kawan kita," kata Ong It Teng. "Tapi masih hidupkah dia?"
Ong It Teng yang ditemani Kok Siauw Hong dan Ciu Engsegera naik ke perahu lalu berangkat ke medan pertempuran. Perahu itu meluncur cepat mengejar bajak yang dipimpin oleh Su Thian Tek dan Kiauw Sek Kiang.
Tak lama terlihat lima buah kapal bajak dari kejauhan, tapi segera menghilang di balik gelagah. Di hulu sayupsayup terdengar suara genderang pertempuran pasukan kerajaan Song. Mendengar suara genderang itu Ong It Teng girang.
1911 "Sekarang para bajak sudah tak bisa meloloskan diri lagi!
Sekalipun kapal mereka kuat dan persenjataannya baik, percuma saja!" kata Ong It Teng. "Sekarang mereka menemui jalan buntu!"
"Apa maksud Ong Cee-cu?" kata Kok Siauw Hong.
"Tempat itu bernama Tim-go-tang, sedang kapal bajak menuju ke sana. Itu artinya mereka terjebak di sana!" kata Ong It Teng. "Pada bagian hulu air danau itu dalam, sebaliknya bagian hilirnya dangkal sekali. Tempatnya pun sempit mirip sebuah botol. Artinya mereka masuk ke perangkap sendiri!"
"Oh begitu!" kata Kok Siauw Hong.
"Ayo kita ke sana untuk menutup jalan keluar mereka, dengan demikian mereka tidak bisa berbalik lagi!" kata Ong It Teng.
"Jelas pasukan kerajaan itu pasukan "Harimau Terbang"
pimpinan Kang-lam-tay-hiap Ciu Cioh, berarti menguntungkan kita," kata Ciu Eng tangan kanan Ong It Teng.
Mendengar kata-kata Ciu Eng, Kok Siauw Hong kaget dia langsung berkata pada Ong It Teng.
"Aku lupa memberitahu Ong Cong-cee-cu, bahwa komandan pasukan "Harimau Terbang" sudah diganti oleh orang lain!" kata Kok Siauw Hong.
Mendengar keterangan itu Ong It Teng terkejut.
"Diganti oleh siapa" Apa yang terjadi dengan Ciu Cioh?"
kata Ong It Teng. Kok Siauw Hong menjelaskan tentang siasat Han To Yu atas Ciu Cioh.
1912 "Sekarang Ciu Cioh sudah mengundurkan diri dari jabatannya, siapa pimpinan pasukan "Harimau Terbang" itu aku pun tidak tahu." kata Kok Siauw Hong.
"Aku tak peduli siapa pemimpin pasukan itu, karena kita pun sanggup mengalahkan kawanan bajak itu!" kata Ong It Teng. "Sekalipun pasukan pemerintah tidak membantu kita!"
Ong It Teng memerintahkan mempercepat laju
perahunya, sehingga perahu-perahu di belakangnya tertinggal jauh. Tidak lama perahu Ong It Teng sudah mendekati Tim-go-tang.
Sedang kelima kapal bajak itu pun sudah melihat perahu Ong It Teng. Dua buah kapal di antaranya sudah berputar haluan dan mengerek bendera pengenal, yaitu bendera bergambar tengkorak milik Kiauw Sek Kiang saat malangmelintang di laut lepas.
Mungkin kapal pertama rombongan bajak itu sudah tahu bagian hilir airnya sangat dangkal dan kapal mereka bisa kandas, maka itu Kiauw Sek Kiang memerintahkan berputar haluan dan siap bertempur dengan Ong It Teng. Di kapal yang kedua Kiauw Sek Kiang berdiri tegak sambil tertawa.
"Sebelum aku berkunjung ke tempatmu, ternyata kau sudah menyambut kedatangan kami!" kata Kiauw Sek Kiang. "Ah, terima kasih, aku jadi malu!"
"Benar, aku datang untuk mengantarmu ke neraka!"
jawab Ong It Teng. "Eh, kenapa kau begini galak?" kata Kiauw Sek Kiang.
"Kita berbeda aliran, maka itu kita punya jalan masingmasing!" kata Ong It Teng. "Tak ada yang perlu kita bicarakan lagi!"
1913 "Kata-katamu itu sungguh keliru Saudara Ong!" kata Kiauw Sek Kiang. "Kau penguasa Thay-ouiw, sedang aku penguasa Tiang-kang. Kita sama-sama musuh kerajaan Song. Bukankah itu berarti kita satu haluan" Mari kita bergabung melawan pasukan kerajaan!"
"Tutup mulutmu!" bentak Ong It Teng. "Siapa yang mau bekerja sama denganmu" Kau pengkhianat yang bersekongkol dengan bangsa Mongol!"
Wajah Kiauw Sek Kiang berubah merah.
"Oh, karena sekarang kau ingin membantu tentara kerajaan, terpaksa aku pun tidak akan see-ji see-ji lagi padamu!" kata Kiauw Sek Kiang.


Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, tua bangka ini tak tahu diri! Rasakan ini!" kata seorang pria kekar sambil melemparkan jangkar kapal ke arah perahu Ong It Teng.
"Bangsat ini yang menenggelamkan perahu Tio Kan Lu!"
teriak anak buah Ong It Teng yang sempat melihat pertempuran itu.
Melihat jangkar melayang ke arahnya Ong It Teng segera menyambar sebuah tongkat besi dan menyampok jangkar yang menyambar itu.
"Trang!" terdengar suara nyaring.
Jangkar itu berubah arah dan jatuh ke danau.
"Rasakan kelihayanku!" bentak Ong It Teng.
Toya besi yang dipegangnya langsung disambitkan sebagai lembing ke arah lawan. Lelaki kekar itu tercengang karena jangkarnya dengan mudah disampok jatuh oleh Ong It Teng. Saat toya besi menyambar ke arahnya, dia sedang bengong. Tentu saja dia tidak sempat mengelak. Secara tiba-tiba toya besi itu sudah menebus dadanya. Dia sempat 1914
menjerit mengerikan segera roboh dan binasa. Saat itu kapal Kiauw Sek Kiang sudah tiba, dia sedang memegang sebatang toya besi.
"Luar biasa kepandaianmu itu! Mari kita bertanding!"
kata Kiauw Sek Kiang. Toya besi yang dipegang Kiauw Sek Kiang panjangnya hampir tiga meter, sedang jarak antara kapal dan perahu Ong It Teng lebih dari empat meter, maka itu sodokan toya besi Kiauw Sek Kiang tidak mencapai sasaran ketika dia menyerang Ong It Teng.
Sebuah perahu menghadapi lima kapal musuh, tentu saja tidak seimbang kekuatannya. Sebenarnya saat itu Ong It Teng masih punya kesempatan untuk melarikan diri. Tapi sebagai Cong-cee-cu dari 72 bajak di Thay-ouw, ditambah pihak lawan sudah menantangnya bertarung, dia tak ingin menunjukkan kelemahannya.
Dia mengambil sebatang toya besi lain untuk menyambut toya besi Kiauw Sek Kiang. Maka tedengar suara benturan nyaring disertai lelatu api.
"Traang!" Kiauw Sek Kiang memutarkan toya besinya untuk menekan toya besi Ong It Teng tetapi dengan cepat toya besi Ong It Teng yang lebih pendek berbalik menekan di atas toya besi lawan. Pertarungan kedua jago itu seimbang, kedua-duanya sama kuat. Tak lama di atas kapal muncul lagi seorang pria kekar. Dia lebih kekar dari yang tertembus toya besi Ong It Teng tadi. Orang itu bersenjata rantai yang ujungnya ada gaetan tajamnya. Dengan cepat orang itu melemparkan gaetan itu ke arah perahu Ong It Teng untuk menggaet perahu lawan. Senjata itu disebut "Lian-cu-kauw"
atau "Gaetan berantai".
1915 Ternyata pria itu Ciong Bu Pa yang tenaganya besar dan kuat. Melihat rantai itu meluncur Kok Siauw Hong coba membabat dengan pedangnya.
"Trang!" Terdengar suara nyaring, tapi rantai itu tidak putus oleh pedang Kok Siauw Hong. Ciong Bu Pa segera
menggemakan rantai itu hingga pedang Kok Siauw Hong tergaet oleh gaetannya dan terpental.
Pertarungan Ong It Teng dan Kiauw Sek Kiang berlangsung ketat.
"Braak!" Tiba-tiba terdengar gaetan Ciong Bu Pa mencantol ke perahu Ong It Teng. Kemudian dengan sekuat tenaga Ciong Bu Pa menarik rantai yang dipegangnya hingga perahu yang ditumpangi Ong It Teng terseret pelahan-lahan ke arah kapal bajak. Ciu Eng dan anak buahnya berusaha mendayung perahu mereka agar tidak tertarik oleh musuh.
Tetapi mereka kalah kuat oleh Ciong Bu Pa yang tenaganya besar sekali.
Melihat perahu mereka dan kapal bajak akan
bertabrakan hingga akan terbalik dan tenggelam. Kok Siauw Hong segera melompat tinggi ke atas. Sambil berakrobat sekali di udara, dia turun ke bawah. Ujung pedangnya mengarah ke dada Ciong Bu Pa. Walau serangan ini belum tentu berhasil, tapi jika Ciong Bu Pa terpaksa menangkis, perahu itu akan lolos dari bahaya.
Tak diduga orang yang menangkis serangan Kok Siauw Hong bukan Ciong Bu Pa, tapi Kiauw Sek Kiang. Dengan tangan kanan memegang toya besi Kiauw Sek Kiang yang 1916
sedang bertarung dengan Ong It Teng menyentil pedang Kok Siauw Hong dengan tangan kirinya.
"Trang!" Pedang Kok Siauw Hong berubah sasaran. Saat tubuhnya ada di udara, dan serangannya tak mengenai sasaran, Kok Siauw Hong harus menghadapi cengkraman Kiauw Sek Kiang.
Terpaksa Kok Siauw Hong menyambar tangan lawan sambil coba memutar pedang menyerang lawan. Tapi Kiauw Sek Kiang membentak keras.
"Enyah kau!" kata Kiauw Sek Kiang.
Tubuh Kok Siauw Hong terdorong keras ke belakang.
Kok Siauw Hong kaget, dia yakin akan tercebur ke danau. Melihat bahaya mengancam Kok Siau Hong, Ciu Eng dan anak buahnya menjerit kuatir. Tapi dengan tangkas luar biasa Kok Siauw Hong, masih sempat menyambar rantai besi yang ada kaitnya saat dia terdorong tadi. Sekarang tubuhnya bergantung di rantai besi, tak lama tubuh pemuda itu meluncur ke arah perahunya.
Saat Kok Siauw Hong dalam bahaya, perhatian Ong It Teng sedikit terganggu hingga toya besinya pun yang agak pendek tertekan oleh Kiauw Sek Kiang. Menyaksikan lawannya terdesak, Kiauw Sek Kiang tertawa terbahakbahak.
"Mari kita sudahi perkelahian ini. Kita tak perlu mencari siapa yang kalah dan menang. Asal kau mau berjanji tak ikut campur urusanku, lebih baik kita berdamai!" kata Kiauw Sek Kiang.
Sebenarnya tawaran itu nadanya angkuh karena Kiauw Sek Kiang merasa berada di atas angin. Jika Ong It Teng 1917
bersedia menerima tawarannya, dia akan menyuruh Ciong Bu Pa melepaskan perahu lawannya.
Tapi saat itu kapal angkatan laut kerajaan Song dari hulu sudah semakin dekat, sedang seratus perahu cepat anak buah Ong It Teng pun sudah tiba. Sedang anak panah sudah dilepaskan dari kapal kerajaan Song dan sudah mengenai kapal bajak.
Ong It Teng tidak menghiraukan tawaran Kiauw Sek Kiang, dia hingga mendengus, sambil kakinya ditancapkan di atas perahunya. Tak lama toya besinya segera diputar balikkan di atas toya lawan.
Pijakan kaki Ong It Teng yang kuat membuat perahu itu agak tertahan. Sedangkan Ciong Bu Pa berusaha menarik rantai untuk menarik perahu itu, hingga jarak perahu dan kapal bajak sudah semakin dekat saja. Jika perahu itu bertabrakan dengan kapal bajak, pasti perahu itu akan tenggelam.
Saat keadaan semakin gawat datang sebuah perahu dengan cepat. Tapi ketika perahu itu semakin dekat, ternyata itu bukan perahu kerajaan Song maupun perahu anak buah Ong It Teng. Kok Siauw Hong kaget. Saat itu perahu kecil itu meluncur ceoat menerobos melewati tiga buah kapal bajak. Tak lama perahu kecil itu sudah ada di samping kapal Kiauw Sek Kiang.
Kiauw Sek Kiang sedikitpun tidak gentar melihat kedatangan perahu kecil itu, dia yakin di antara anak buah kapal pemerintah Song, tak ada orang yang gagah. Apalagi yang datang hanya sebuah perahu kecil.
Saat itu anak buah Kiauw Sek Kiang yang ada di atas kapal sudah siap dengan anak panah mereka, ada juga yang memegang gaetan dan siap menggaet perahu kecil itu.
Tibatiba terdengar suara suitan panjang dari perahu kecil 1918
itu. Tak lama melompat seseorang dengan cepat luar biasa.
Tubuhnya melayang ke atas kapal bajak bagaikan terbang saja. Beberapa anak panah menyambar ke tubuh orang itu.
Tapi heran ternyata dia tidak menangkis atau pun menangkap anak panah itu. Tetapi anak panah itu berjatuhan sendiri.
Kiauw Sek Kiang terkejut sesudah mengenali orang itu.
Ternyata kakek itu berpakaian hijau, dia adalah Wan Ceng Liong, musuh besar Kiauw Sek Kiang dari Beng-shia-to.
Tahun lalu Kiauw Sek Kiang dan anak buahnya pernah datang ke Beng-shia-to dan mengacau di sana. Dalam pertarungan itu Wan Ceng Liong terkepung oleh Kiauw Sek Kiang. Untung datang Kiong Cauw Bun dari Hekhong-to menyelamatkannya. Sekarang Wan Ceng Liong datang untuk membalas dendam.
Begitu melompat ke atas kapal. Wan Ceng Liong langsung menyerang Ciong Bu Pa yang sedang menarik rantai yang tersangkut pada perahu Ong It Teng. Terpaksa Ciong Bu Pa menarik rantainya untuk menghadapi lawan.
Dengan demikian perahu Ong It Teng bebas dari gaetannya.
"Hm. dulu kau ikut mengacau di pulauku, sekarang aku harus menghajarmu!" kata Wan Ceng Liong.
Ciong Bu Pa maju, kepalannya segera menghantam ke arah Wan Ceng Liong. Tapi dia heran karena serangan itu hebat sekali, namun sasarannya seolah menghilang, tahutahu tangan Ciong Bu Pa terasa sakit karena dicengkram oleh Wan Ceng Liong.
Wan Ceng Liong langsung menarik tangan Ciong Bu Pa mengikuti arah pukulan Bu Pa, Ciong Bu Pa yang tertarik dengan cepat, tak ampun lagi tubuhnya nyelonong ke depan dan......
1919 "Biur!" Tubuh tinggi besar itu tercebur ke dalam danau.
Kiauw Sek Kiang kaget. Dia lepaskan toya besinya lalu menghadapi Wan Ceng Liong. Tangan Kiauw Sek Kiang langsung menghantam ke arah lawan sebanyak tiga kali.
Tapi serangannnya ditangkis oleh Wan Ceng Liong yang langsung balas menyerang. Kiauw Sek Kiang coba menangkis serangan mendadak dari Wan Ceng Liong yang luar biasa cepatnya. Tapi Kiauw Sek Kiang yang coba menangkis tak berhasil hingga pukulan Wan Ceng Liong tepat menghajar dada Kiauw Sek Kiang.
"Duuk!" "Aduh!" keluh Kiauw Sek Kian yang langsung muntah darah.
Pada saat itu anak buah Kiauw Sek Kiang maju semua untuk mengepung Wan Ceng Liong. Sesudah berhasil menghajar Kiauw Sek Kiang, Wan Ceng Liong tertawa.
"Aku hanya menagih satu pukulan padamu, hutangmu lunas!" kata Wan Ceng Liong pada Kiauw Sek Kiang.
Sesudah itu Wan Ceng Liong melompat ke atas perahu Ong It Teng yang baru tiba.
"Kawan-kawan, segera kalian tutup jalan keluar mereka!" kata Ong It Teng. "Mereka seolah ikan yang sudah masuk ke dalam jaring. Kini kalian tinggal menangkapinya saja!"
Saat itu kapal perang kerajaan Song tiba hingga kapal bajak laut terjepit dari depan dan belakang. Namun kapal bajak itu terus maju. Jika kapal bajak sampai di air yang dangkal, kapal mereka akan kandas di sana. Melihat hal itu Kiauw Sek Kiang panik dia mengambil tindakan nekat.
1920 "Tinggalkan kapal kita, rebut perahu musuh!" kata Kiauw Sek Kiang.
Karena para bajak itu sudah terbiasa hidup di tengah lautan yang gelombangnya besar, mereka jadi sangat mahir bermain di air hingga mereka tidak takut pada musuh.
Secara serempak mereka melompat ke danau dan berusaha merebut kapal perang lawan, terutama kapal perang kerajaan Song.
Angkatan laut kerajaan Song diberi nama "Harimau Terbang" dan pernah dipimpin oieh Ciu Cioh, sekalipun anak buahnya tidak setangkas para bajak laut, tapi cukup gagah berani menghadapi para bajak yang hendak merebut kapal mereka. Begitu kepala bajak laut itu muncul ke permukaan danau, segera mereka menghujaninya dengan anak panah.
Sebagian dari bajak itu memang berhasil meraih tepi kapal, tapi sebelum sempat naik, tangan mereka dibacok oleh para perajurit hingga kutung dan jatuh ke kembali ke danau. Saat itu terdengar jeritan mengerikan dari kawanan bajak itu.
Ciong Bu Pa berhasil melompat ke atas sebuah kapal kerajaan Song. Ketika dia diserang oleh para prajurut, Ciong Bu Pa membentak sambil menyerang dengan hebat.
Terjadi pertarungan hebat di danau. Tak lama danau pun merah oleh darah.
Tak lama Ciong Bu Pa berhasil merebut salah sebuah kapal kerajaan, begitu pula Kiauw Sek Kiang pun berhasil merampas kapal yang lain. Melihat musuh berhasil merebut kapal kerajaan, Ong It Teng memimpin anak buahnya menyusuri danau untuk mengejar kedua kapal yang dinaiki Kiauw Sek Kiang dan Ciong Bu Pa. Tak terduga mereka 1921
disambut oleh hujan anak panah dari pasukan kerajaan Song.
"Kami laskar rakyat Thay-ouw yang membantu kalian menangkap bajak, kenapa kalian serang kawan sendiri?"
teriak Ong It Teng. "Jangan hiraukan mereka, serang terus!" kata komandan kapal perang kerajaan Song. "Ini perintah Perdana Menteri Han! Mereka semua harus dihabiskan!"
Mendengar teriakan komandan itu Wan Ceng Liong gusar. Dia menyambut dua batang anak panah yang menyambar ke arahnya. Dengan sekuat tenaga dia sambitkan anak panah itu ke arah bendera kapal perang kerajaan Song hingga tembus dan menancap di meja dekat panglima angkatan laut kerajaan.
Kisah Si Pedang Kilat 11 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Bentrok Para Pendekar 9
^