Bende Mataram 13
Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 13
menurunkan tangannya semau-maunya sendiri, la bisa dikutungi, diputuskan urat-nadinya, dicukil matanya atau dicabut lidahnya. Memikirkan ancaman hukuman ini, hatinya jadi keder sampai seluruh tubuhnya menggigil.
Guru adalah seorang yang keras hati dan keras kepala. Jika ia mempunyai tujuan, takkan dapat dilepaskan jika belum tercapai. Titisari adalah anak satu-satunya. Bagaimana bisa guru
membiarkan dia merantau mengarungi lautan seorang diri" Hm... apakah benar guru berada tak jauh dari sini" pikirnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adik kecil!" akhirnya ia memutuskan. "Kali ini biarlah kita berpisah di sini untuk selama-lamanya. Meskipun aku murid murtad, aku masih menghormati ayahmu sebagai guru. Selama
hidupku, dia akan kusembah sebagai dewaku juga. Karena hari ini aku tak dapat menemui,
sudikah kamu mewakiliku menyampaikan sembah sujudku?"
Sehabis berkata begitu, kemudian ia menjejak tanah berjumpalitan. Dan sebentar saja
bayangnya tidak nampak lagi.
Semua orang kagum menyaksikan keperkasaan si iblis. Pantas semenjak Perang Giyanti orang segan kepadanya. Ternyata namanya tiada kosong melompong. Benar-benar ia manusia tangguh dan sukar dilawan.
Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan hendak menghampiri
Titisari, mendadak saja mereka mendengar suara gedebukan orang lagi bertempur. Begitu
menoleh, mereka melihat Sangaji dan Nuraini sedang dalam bahaya kena gempuran Yuyu
Rumpung. Tanpa diminta lagi. Wirapati terus saja melesat menghampiri sambil mengirimkan
bogem mentah. Tentu saja, Yuyu Rumpung yang masih kesakit-sakit-an terkejut mendengar
kesiur angin, la sadar kalau lawannya kali ini bukan seempuk Sangaji. Maka cepat-cepat ia bergeser tempat. Tetapi serangan Wirapati bukan serangan murahan. Begitu serangannya yang pertama kena dihindari, lantas saja menyusullah serangannya yang kedua dan ketiga. Kena
diberondong serangan berantai demikian, Yuyu Rumpung tak berdaya. Dasar ia masih luka, maka dengan gampang dia kena kemplang sehingga mundur terhuyung-huyung.
"Sangaji! Siapa orang ini?" Wirapati minta keterangan.
"Dialah yang melukai Panembahan Tirtomoyo dengan akal licik," jawab Sangaji.
Wirapati tak kenal siapakah Panembahan Tirtomoyo, sehingga ia tak begitu mengindahkan.
Terus saja dia berkata, "Lain kali, jika kamu bersua dengan dia, lekas-lekaslah menyimpang. Dia terlalu berbahaya bagimu."
Sangaji mengangguk. Mendadak ia dihampiri Ki Hajar Karangpandan,
"Apa kau bilang tadi?"
Pendeta edan itu terkejut, waktu Sangaji menyebut-nyebut kakak-seperguruannya. Ia ingin
minta keterangan dengan jelas.
"Panembahan Tirtomoyo dilukai orang itu."
"Di mana dia sekarang?"
"Dia di penginapan. Semalam aku mencoba mencari ramuan obat yang disembunyikan orang itu."
Mendengar keterangan Sangaji, Ki Hajar Karangpandan lantas saja melesat mengepung Yuyu
Rumpung. Ia tahu apa arti ramuan obat itu bagi kakak-seperguruannya yang lagi menderita luka.
Sudah barang tentu, Yuyu Rumpung jadi keripuhan. Baru saja melawan Wirapati belum tentu dia bisa menang, apalagi dikerubut dua orang. Itulah sebabnya, begitu ia mencoba bergerak, Ki Hajar Karangpandan dan Wirapati sudah dapat menjungkirbalikkan, sehingga mukanya jadi babak belur.
"Keluarkan obatnya!" bentak Ki Hajar Karangpandan.
Yuyu Rumpung sangat mendongkol terhadap Sangaji. Dendamnya terhadap si bocah naik
setinggi kuping. Dengan napas terengah-engah sambil melototi Sangaji, ia menyahut, "Dia telah mencuri semua ramuan obatku. Mengapa kalian hendak mengkerubutku yang tengah luka" Jika
kalian ingin mencoba kepandaian, tunggulah barang dua tiga bulan lagi. Nah, itulah namanya pertandingan adil. Siapa yang mampus bukanlah soal penting."
Mendengar ujar Yuyu Rumpung, Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan mengundurkan diri.
Sebagai seorang ksatria, mereka tak sudi berlawanan dengan seseorang yang sedang menderita luka. Lagi pula, ramuan obat sudah berada di tangan Sangaji.
"Baik! Kamu boleh lari ngacir. Tapi awas, jika kamu berani mengusik bocahku, aku seorang tua takkan bakal melepaskanmu hidup-hidup. Biar kamu berada di ujung langit, pasti akan kucari untuk memperhitungkan untung rugi," ujar Ki Hajar Karangpandan.
Meskipun hatinya mau meledak direndahkan demikian rupa oleh Ki Hajar Karangpandan mau
tak mau Yuyu Rumpung terpaksa menelan bulat-bulat. Dengan dada mendongkol ia
mengundurkan diri. Dia sadar, tak bisa ungkulan melawan mereka. Karena itu bagaimana dia berani mengumbar mulut. Tetapi diam-diam ia berjanji akan mengadu kepandaian melawan
mereka di kemudian hari. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bocah," kata Ki Hajar Karangpandan kepada Sangaji. "Kamu tadi bilang, Panembahan Tirtomoyo berada di penginapan. Dapatkah kamu menunjukkan di mana dia berada?"
Sangaji mengangguk, la hendak melangkah pergi, tiba-tiba mendengar seseorang menegor,
"Hm...! Bagaimana kalian sampai hati meninggalkan jenazah sahabatmu?"
Mereka semua terkejut seperti tersengat lebah. Serentak mereka menoleh, dan nampaklah
seorang laki-laki tua berjalan tertatih-tatih memasuki lapangan. Dia adalah Panembahan
Tirtomoyo. "Aki!" teriak Sangaji gembira. Lantas saja ia lari menghampiri sambil mengeluarkan bungkus obatnya. "Inilah obatnya. Entah benar entah tidak. Aku hanya mengambilnya dengan begitu saja..."
Panembahan Tirtomoyo menyambut Sangaji dengan gembira dan terharu. Bungkus obat itu lalu dibukanya, la memeriksanya sebentar.
"Hm... meskipun bercampur aduk, tetapi semua yang kubutuhkan terdapat di sini."
Sangaji bergembira bukan kepalang sampai ia meloncat-loncat ke udara. Dasar ia seorang
pemuda yang polos dan sederhana. Apa yang terasa di dalam hati, lantas saja dinyatakan tanpa segan-segan.
"Eh... Hajar! Muridmu seorang laki-laki sejati," tegur Panembahan Tirtomoyo. "Dia seorang jempolan, sampai-sampai aku nyaris terungkap dalam jebakannya."
Ki Hajar Karangpandan terdiam. Tetapi ia segera sadar akan arti teguran kakak-
seperguruannya. Dengan setulus hati ia membungkuk hormat kepada Jaga Saradenta dan
Wirapati. "Tuan pendekar sekalian, terimalah hormatku setulus-tulusnya. Aku bangga terhadap murid Tuan. Bahkan aku patut mengucapkan terima kasih pula. Hm, seumpama tiada Tuan-tuan
sekalian, apakah arti hidupku ini. Aku akan dikutuk sejarah. Karena jasa Tuan sekalian, maka aku tak terlalu menderita malu apabila kelak aku bertemu dengan arwah ayah murid Tuan. Tentang muridku sendiri, tak usahlah dibicarakan. Juga bunyi tantanganku dua belas tahun yang lalu. Di sini dan pada hari ini, aku menyatakan takluk."
Juga Saradenta dan Wirapati terkejut mendengar kata Ki Hajar Karangpandan. Mereka tahu,
mengapa pendeta itu mengakui takluk. Semata-mata, karena muridnya mengecewakan hatinya.
Mereka jadi bersyukur. Sebab dengan demikian tidaklah sia-sia masa perantauannya selama dua belas tahun di daerah barat. Tetapi Jaga Saradenta cepat-cepat berkata merendahkan diri.
"Eh"sang Pendeta! Biar bagaimanapun juga, kami belum puas, sebelum melihat murid kami dan murid Tuan mengadu kepandaian. Alasan Tuan, mengaku kalah belum meyakinkan kami sama sekali belum kami ketahui bagaimana tinggi rendahnya ilmu murid Tuan."
"Tidak!" potong Ki Hajar Karangpandan. "Dengan ini benar-benar aku mengaku kalah. Marilah kita berbicara sebagai laki-laki! Dan dengarkan bicaraku."
Mereka berbicara sambil berjalan menghampiri jenazah Wayan Suage. Sangaji membimbing
Panembahan Tirtomoyo yang berjalan bertatih-tatih sambil menelan ramuan obat dengan
ludahnya. Sekonyong-konyong ia melihat Titisari berdiri tegak di tengah lapangan. Hatinya girang bukan main, sampai ia mau lari menghampiri. Tetapi tatkala kakinya hendak bergerak, ia
mendengar Ki Hajar Karangpandan.
"Laki-laki seluruh dunia tahu semua, bahwa dirinya dihidupi alam bukan semata-mata mencari makan-minum untuk memuaskan perut. Karena mereka sadar, bahwa dirinya bukan termasuk
golongan binatang atau iblis. Kewajiban mereka sebagai darmanya sejati ialah, ikut serta memelihara kesejahteraan -jagat sekuasa-kuasanya. Karena itu pula, mereka mengutamakan jiwa luhur di atas segalanya," ia berhenti sebentar mengesankan. Meneruskan, "Tuan pendekar sekalian berbicara atas dasar mengadu kepandaian" Cuh! Apakah arti ilmu pengetahuan, jika tidak didasari sari-sari hati sejati. Hm...! Biarpun andaikata, muridku memiliki ilmu setinggi langit, apakah artinya jika dibandingkan dengan murid Tuan yang memiliki jiwa luhur dan watak-watak ksatria sejati" Lihatlah, dia tahu menempatkan diri dan menempatkan persoalan. Sewaktu dia terlepas dari pengawasan gurunya, ia sudah kuketemukan berada di lapangan ini mempertaruhkan nyawa untuk ikut membela orang lemah sekuasa-kuasanya."
"Sedangkan jika dibandingkan dengan para pendekar yang berkumpul di Pekalongan,
kepandaiannya sama sekali tak sebanding. Anak yang lagi belajar beringus tapi sudah memiliki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jiwa begitu luhur, bukankah pantas kita junjung tinggi" Inilah seorang ksatria sejati," ia berhenti lagi. Kemudian berkata dengan suara bergelora, "Tuan-tuan sekalian! Memompa segala bentuk kepandaian kepada seorang murid adalah jauh lebih mudah daripada menanamkan bibit watak
ksatria sejati. Iblis pun dapat menyulap manusia goblok menjadi seorang yang berilmu tinggi. Dan jika nilai manusia hanya didasarkan pada suatu taraf ilmu pengetahuan dan ilmu kepandaian belaka, apakah jadinya jagat ini. Semua laki-laki tahu, bahwa jagat ini bakal penuh dengan iblis dan setan! Karena itu terimalah hormatku atas jasa tuan pendekar berdua."
Sampai di sini selesailah sudah persoalan yang berlarut sampai dua belas tahun. Jaga
Saradenta dan Wirapati dinyatakan menang oleh Ki Hajar Karangpandan. Itulah saat yang
diharapkan mereka berdua. Dengan demikian, terbacalah sudah jerih payahnya.
Mereka kemudian membimbing Panembahan Tirtomoyo berjalan besama-sama. Orang tua itu
kemudian menerangkan mengapa dia tiba-tiba sudah berada di pinggir lapangan. Semalam ia
menunggu kembalinya Sangaji dengan hati gelisah. Ketika dia mendengar kesibukan penduduk kota membicarakan suatu pertempuran seru di lapangan, dengan menguatkan diri ia pergi
menjenguk, la melihat mereka sedang mengadu tenaga. Meskipun hatinya ingin membantu, tetapi kesehatan badannya tak mengizinkan.
"Yuyu Rumpung bukan orang sembarangan," katanya. "Sekiranya dia tidak terluka secara kebetulan, tidak gampang-gampang dia kalian gebu pergi."
Mereka kemudian duduk mengelilingi jenazah Wayan Suage, sedang Sangaji membawa Titisari
duduk pula di antara mereka.
Ki Hajar Karangpandan nampak perasa menyaksikan duka-cita Nuraini.
"Nona," katanya perlahan. Maukah Nona menceritakan tentang kehidupan ayah-angkat Nona selama beberapa tahun berselang?"
Nuraini menegakkan kepala. Dengan wajah bermuram ia berkata, "Selama delapan tahun lebih, dia mengajakku merantau tak tentu tujuannya. Belum pernah kami berdiam pada suatu tempat.
Hanya sekali, dia pernah mengajakku menjenguk Dusun Karangtinalang, untuk memperbaiki
reruntuhan rumahnya. Katanya, meskipun tidaklah sementereng dahulu, tetapi cukuplah baik untuk tempat tinggal. Meskipun demikian, dia tak mau mendiami rumah itu. Dia berkata kepadaku, hendak mencari keluarga Made Tantre dahulu..."
Tatkala mengucapkan nama Made Tantre, gadis itu bersuara setengah berbisik. Ia nampak
segan-segan. "Bagaimana persoalannya, kamu sampai diambil sebagai anak-angkatnya?"
"Dahulu dia dirawat oleh almarhum ayahku." Nuraini memberi penjelasan. "Setelah ayahku meninggal, aku dipungutnya sebagai anak-kandungnya sendiri. Aku senang mendapatkan
perlindungannya. Sebagai ayah dia tak pernah mengecewakan hatiku. Hanya saja ia terlalu
bersusah payah mencarikan jodohku yang sepadan menurut hematnya," dan kembali ia bersuara perlahan. Mukanya lantas saja menjadi merah dadu.
Sambil berebahan Panembahan Tirtomoyo mendengarkan si gadis berbicara. Setelah menelan
ramuan obat, ia merasa menjadi segar. Ingatannya melayang kepada si gadis sewaktu melayani Sanjaya dalam gelanggang adu-nasib. Lantas saja ia menyambung, "Eh" sebentar, Nona.
Bolehkah aku bertanya kepadamu?"
Nuraini menoleh kepadanya. Ia tidak menjawab, tetapi pandang matanya bersinar, suatu tanda bahwa hatinya berkenan.
"Siapakah yang mengajarimu mengenal ilmu tata-berkelahi?"
"Semenjak berumur empat tahun aku diajari satu, dua jurus oleh ayahku. Anak-anak Jawa Barat mengenal ilmu berkelahi semenjak kanak-kanak, tak peduli apakah dia seorang laki-laki atau perempuan," jawab Nuraini dengan terus-terang. "Tetapi ayah-angkatku memberi bahan-bahan sangat berharga pula. Dalam setiap perkelahianku aku selalu mengutamakan jurus-jurus ajaran ayah-angkatku yang jauh lebih perkasa daripada ajaran ayahku sendiri."
"Hm," dengus Panembahan Tirtomoyo sambil mengerinyitkan dahi. "Aneh! Aku melihatmu jauh lebih gagah daripada ayah-angkatmu sendiri, kenapa?"
"Barangkali dugaan Aki tidak terlalu salah. Memang aku pernah diajari seorang berilmu sebanyak tiga jurus. Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu, tatkala aku diajak ayah-angkat merantau ke Jawa Timur."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah dia?" Panembahan Tirtomoyo menegas sungguh-sungguh.
"Aki, maafkan! Aku telah berjanji kepadanya tak akan membuka nama besarnya terhadap siapa saja. Sebenarnya beliau akan mewariskan seluruh ilmunya. Sayang, otakku tumpul dan tiada guna."
Panembahan Tirtomoyo terdiam, la tak menegas lagi agar memperoleh keterangan. Tetapi ia
masih berpikir terus memecahkan teka-teki itu. Selama Nuraini melayani Sanjaya, ia melihat si gadis menggunakan jurus aneh dan bagus luar biasa. Ia mencoba menebak-nebak siapakah
pencipta jurus itu, namun ia tetap tak berhasil. Ia yakin, kalau si pengajar itu pasti seorang berilmu yang sangat tinggi dan tak ingin namanya dikenal. Setelah mendapat dugaan demikian, ia mengalihkan pembicaraan.
"Eh, Hajar! Bukankah kamu guru Sanjaya?"
Ki Hajar Karangpandan mengangguk malas seraya berkata, "Ah, tak pernah kuduga, kalau aku akan dikecewakan. Inilah akibat watakku yang sok ugal-ugalan. Sekarang aku memetik buah
pakartiku sendiri. Andaikata aku selalu meniliknya, pastilah anak edan itu sedikit mempunyai keluhuran budi. Hm...!"
"Sejak kapan kau menjadi gurunya?"
"Tepatnya sembilan tahun sembilan bulan yang lalu," jawab Ki Hajar Karangpandan. "Pada tahun itu juga aku telah menemukan dia secara kebetulan, yakni setelah ketinggalan tiga tahun."
Sehabis berkata demikian, kemudian ia menghadap kepada Jaga Saradenta dan Wirapati.
"Aku hampir berputus asa. Maklumlah, aku mengira bernasib sial. Aku sudah merasa pasti, akan merasa kalah dalam gelanggang adu kepandaian. Pada suatu hari aku menjenguk kembali Desa Karangtinalang. Mendadak aku melihat ibu Sanjaya berada di depan rumahnya, dengan
dikerumuni pengawal-pengawal hamba kerajaan. Terus saja aku kuntit dan akhirnya mendengar kabar bahwa ia diangkat menjadi selir Pangeran Bumi Gede.
Hm... sama sekali tak kuketahui, bahwa pangeran itulah yang menjadi pembunuh kedua
sahabatku. Sekiranya aku tahu, bagaimana sudi aku berhubungan dengan dia semata-mata karena ingin mengambil murid anak-isteri sahabatku yang terkena malapetaka."
"Yakinkah kamu, bahwa gurunya hanya kamu seorang belaka?" potong Panembahan
Tirtomoyo. "Memang aku tak menunggui dan menilik dia pada setiap harinya. Mengapa?"
"Aku menemukan sesuatu yang aneh. Ada jurus-jurus yang belum kukenal."
"Eh... apa kamu sudah mengetahui?"
"Kemarin siang, secara kebetulan aku melihat muridmu sedang mengadu tenaga melawan Nona itu, sahabatmu dan Sangaji."
"Inilah kegoblokkanku. Inilah kesembronoanku. Memang terang-terangan, aku diingusi," kata Ki Hajar Karangpandan dengan suara mengguntur. Dan serentak dia berdiri sambil meledak lagi.
"Sekarang kudis itu sudah mulai kucium dan kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Menurut katamu, kamu telah berada di pinggir lapangan semenjak tadi. Mestinya kamu tahu pula, siapakah yang sedang kita gempur bersama. Monyet itu memanggilnya guru dan bahkan mengadu agar aku dibinasakan. Karena aku dikatakan sebagai guru murtad!"
Teringat akan iblis Pringgasakti, mendadak saja teringatlah dia pula kepada Titisari. Serentak ia mengalihkan pandang. Jaga Saradenta dan Wirapati tak terkecuali.
"Hai Nona!" bentaknya. "Kudengar tadi iblis itu memanggilmu adik kecil. Sebenarnya kamu siapa?"
Perlahan-lahan Titisari berdiri. Tak senang ia mendengar pertanyaan Ki Hajar Karangpandan yang bernada kasar.
"Kamu berbicara dengan siapa?" sahutnya angkuh.
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
16 SENJATA RAHASIA "Aku berbicara denganmu," BENTAK KI HAJAR KARANGPANDAN dengan muka merah-padam.
"Kau sangka apa aku ini, sampai kamu membentak-bentak seperti penyamun?"
"Apa kau bilang?"
Tanpa meladeni Ki Hajar Karangpandan, Titisari lantas saja berputar hendak melangkah pergi.
Jaga Saradenta yang berwatak berangasan, lalu berkata nyaring, "Nona! Mengapa kamu bersikap tak menghargai orang-orang tua?"
"Hm! Seseorang yang belum saling berkenalan dan tiada hubungan sanak-keluarga, lalu membentak-bentak kepada seorang gadis belia di tengah lapangan dan di dekat jenazah seorang, pantaskah di sebut orang tahu harga diri?"
Tajam kata-kata si gadis, sehingga mereka semua terkejut dan merasa malu. Ki Hajar
Karangpandan sebenarnya tidak bermaksud menghina atau kurang tata-santun. Kalau saja
berbicara membentak-bentak penuh luapan amarah, adalah semata-mata kerena teringat akan
sepak terjang muridnya yang sangat menyakitkan hatinya. Sebaliknya Sangaji yang berwatak sederhana, polos, dan jujur sama sekali tak menyangka"bahwa Titisari berani mengadu
ketajaman lidah mereka yang dihormati dan dihargai. Itulah sebabnya, lantas saja ia ikut membentak.
"Titisari! Jangan berkurangajar!"
Mendengar tegoran Sangaji, gadis itu lalu menundukkan mukanya ke tanah, la seperti minta maaf dan bersedia mengakui kesalahannya.
Wirapati yang berwatak lebih lapang daripada kedua rekannya, kemudian berkata.
"Eh, Nona. Sebenarnya aku hendak menyatakan terima kasih kepadamu. Karena telah
menolong nyawa kami."
Wirapati memang tiada bermusuhan dengan Pringgasakti. Kalau ia sampai ikut berkelahi,
adalah semata-mata karena ikrar setia kawan. Lagi pula, ia jujur. Dengan sebenarnya ia merasa tak ungkulan melawan Pringgasakti. Sebaliknya Jaga Saradenta tidaklah demikian. Si tua
berangasan itu sudah menaruh dendam kesumat terhadap si iblis semenjak zaman mudanya.
Meskipun lawannya itu berilmu tinggi, bagaimana ia sudi mengakui kelemahan diri. Serentak ia menyahut cepat, "Eh, apa kau bilang" Gadis itu telah menolong nyawa kita" Mana bisa aku sudi menerima budinya" Biar kita berkelahi sampai mampus, apa pedulinya?"
"Hm" dengus Titisari. Hatinya kembali menjadi panas dan mendongkol melihat lagak Jaga Saradenta. Katanya tajam, "Kamu berbicara perkara budi" Siapa pula yang kesudian memberi budi kepadamu" Kalau aku mengusir si Abu, semata-mata karena kepentinganku sendiri. Waktu itu aku melihat Sangaji dalam bahaya. Ingin aku menolong dia, karena di antara semua ini hanya dia seorang yang kukenal dengan baik. Nah, kalian mau bilang apa?"
"Sangaji?" mereka mengulang serentak. Seperti saling berjanji mereka menoleh ke arah Sangaji. Sudah barang tentu, anak muda itu menjadi kikuk. Mereka seolah-olah berkata
kepadanya, "Hm... semenjak kapan kamu berkenalan dengan seorang gadis?"
Dengan agak gugup, lantas saja Sangaji membungkuk hormat terhadap mereka seraya berkata,
"Maaf... mestinya siang-siang aku harus sudah memperkenalkan. Dia adalah sahabatku."
"Sahabatmu?" Jaga Saradenta heran.
"Ya, sahabatku. Aku berkenalan dengannya di tengah jalan."
"Eh, begini gampang kamu mengikat persahabatan," gerutu Jaga Saradenta.
Mendadak Panembahan Tirtomoyo tertawa terkekeh-kekeh. Katanya kepada Sangaji, "Anak baik! Kemarin kamu berbicara mengenai seorang sahabat yang mempermain-mainkan orang-orang Banyumas. Bukankah sahabatmu seorang pemuda" Ehem... apakah dalam waktu semalam
saja kamu menemukan seorang sahabat lain" Sahabat... sahabat..."
Merah-padam muka Sangaji mendengar ujar Panembahan Tirtomoyo. Meskipun tak diucapkan
dengan terang, tetapi Sangaji merasa seperti diejek. Maklumlah, Titisari dikiranya sahabat yang baru dijumpainya semalam belaka. Maka buru-buru, ia memberi penjelasan siapakah Titisari sebenarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu lantas saja mengerinyitkan dahi dengan sungguh-sungguh. Teringatlah dia, tatkala Titisari mempermainkan anak buah sang Dewaresi ia mempunyai kesan buruk. Gerak-geriknya
mencurigakan. Ilmu apa yang dipergunakan, belum dapat diterkanya.
Sekarang ia menyaksikan pula, bahwa si gadis mempunyai hubungan rapat dengan Pringga-
sakti. Keruan saja diam-diam meningkatlah kecurigaannya. Dalam benaknya ada sesuatu yang berkelebat, tetapi apakah itu ia belum mengerti.
"Anak yang baik," katanya. Tetapi ia menelan kata-katanya yang hendak diucapkan. Sebagai seorang pendeta yang saleh, ia berbeda jauh dengan adik-seperguruannya Ki Hajar
Karangpandan. Tak mau ia menyakiti hati atau menusuk perasaan orang. Tetapi Ki Hajar Karangpandan yang masih terikat kuat kepada masalah keduniawian dengan segera tahu bahwa kakaknya
seperguruan telah mempunyai pendapat yang tak jadi diucapkan. Maka ia berkata mendesak,
"Kamu mau berkata apa" Berkatalah!"
Panembahan Tirtomoyo bangkit tertatih-tatih. Ramuan obat yang baru saja ditelannya benarbenar menolong kesehatannya dengan cepat. Dengan mata tajam ia merenungi Titisari, tetapi mulutnya tetap terkunci rapat-rapat. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau mau berkata apa?" desak Ki Hajar Karangpandan lagi.
Karena desakan itu, akhirnya dengan menarik napas panjang ia berkata minta keterangan,
"Titisari... bukankah begitu namamu?"
Titisari mengangguk. Ia nampak tenang tetapi sikapnya seperti seorang yang siap untuk
bertempur. "Titisari!" Panembahan Tirtomoyo melanjutkan. "Kami semua adalah orang-orang tua yang sudah pikun. Tolong terangkan, apakah hubunganmu dengan Pringgasakti. Sebab antara kami dan dia mempunyai tali persoal-an yang kuat, semenjak kamu belum lahir."
Titisari mendengus sekali. Kemudian menjawab, "Apakah Tuan-tuan sekalian mempunyai hak mendesak aku agar memberi keterangan?"
Sangaji yang selalu menghargai dan menghormati orang-orang lebih tua daripadanya, terkejut mendengar ujar si gadis. Sekarang ia bisa membenarkan dugaan Panembahan Tirtomoyo bahwa
sahabatnya memiliki sifat-sifat liar. Maka gugup ia berkata mencoba, "Titisari! Baiklah kukenalkan siapakah mereka. Beliau adalah Panembahan Tirtomoyo yang kukatakan padamu semalam.
Kemudian... kemudian beliau berdua itu adalah guruku. Sedangkan beliau ini, Ki Tunjungbiru dan..."
"Dia adik-seperguruanku. Namanya Ki Hajar Karangpandan. Dia seorang pendeta pula. Hanya agak galak," sahut Panembahan Tirtomoyo.
Terhadap Sangaji, gadis itu mempunyai kesan sendiri. Begitu ia mendengar ujar Sangaji,
sikapnya lantas menjadi lunak.
"Dengan si iblis dan si jahanam itu, mestinya tak sudi aku berbicara."
Mendengar kalimat permulaan keterangan Titisari, mereka yang mendengar jadi heran tertarik.
Seleret cahaya terang, berseri pada wajah mereka masing-masing. Mereka mulai berkesan baik terhadapnya. Dan tanpa disadari, mereka berdoa mudah-mudahan Titisari tiada hubungan sanak-keluarga dengan iblis itu. Ini semua demi kelancaran persahabatan Sangaji"anak-didiknya dan anak yang berkesan baik. Dengan demikian, kan tidak akan sampai menerbitkan gelombang yang kurang enak dalam dada mereka masing-masing.
"Aku kenal dengan mereka semenjak masih berumur enam tahun," Titisari mulai.
"Mereka?" Panembahan Tirtomoyo memotong.
"Ya, mereka"Abu dan Abas. Entah di mana Abas sekarang berada. Mereka dulu berguru pada ayahku. Tetapi mereka bukan membalas budi pada ayah. Bahkan air susu dibalas dengan air tuba.
Mereka mencuri kitab pusaka ayah. Karena peristiwa itu, ibuku meninggal dunia dengan sedih.
Maklumlah, kitab itu adalah kitab pusaka turun-temurun dari keluarga kami."
Panembahan Tirtomoyo mendadak sadar, bahwa iblis itu mestinya berjumlah dua orang yang
dahulu terkenal dengan sebutan Pringgasakti dan Pringga Aguna. Ki Hajar Karang-pandan, Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati, mestinya juga tahu. Hanya saja ia heran, mengapa mereka tak berkesan sesuatu tatkala menyinggung nama Abas alias Pringga Aguna. Orang tua itu belum mengerti, bahwa Pringga Aguna telah mampus di Jakarta. Sedangkan Ki Hajar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karangpandan yang berwatak acuh-takacuh tak ambil pusing terhadap hal-hal yang membutuhkan pengamatan yang seksama.
"Karena hilangnya kitab pusaka itu juga, perangai ayah lantas berubah. Dia menjadi pendiam luar biasa dan menjadi seorang pemarah," Titisari melanjutkan. "Semua nelayan dan para pegawai dihukumnya kejam. Sedangkan terhadapku, ia tak memperhatikan lagi seperti dahulu. Jarang sekali ia berbicara manis kepadaku dan sering bepergian entah ke mana. Barangkali berusaha merebut kembali kitab pusaka kami. Karena itu dalam hatiku, aku selalu berdoa semoga iblis itu bisa ter-bekuk lehernya. Sayang, aku telah berjumpa dengan dia di sini. Sedangkan Ayah entah berada di mana kini. Sekiranya Ayah mengetahui tempat beradanya, alangkah..."
"Siapakah ayahmu itu, Nona?" Panembahan Tirtomoyo memotong lagi.
Gadis itu menyiratkan pandang kepada Sangaji. Kemudian menjawab, "Ayahku seorang adipati di kepulauan Karimun Jawa. Namanya Surengpati Mesgapati. Mengapa?"
Mendengar nama Adipati Surengpati, mereka semua jadi terkejut. Wajah mereka berubah
hebat seperti seorang anak melihat momok yang menakutkan. Sangaji heran tak kepalang
menyaksikan perubahan mereka. Lantas saja dia jadi sibuk menebak-nebak.
Terhadap Adipati Surengpati, sesungguhnya mereka semua mempunyai kesan setengah baik
setengah tidak. Sebagai pejuang-pejuang pembela bangsa, mereka kenal tokoh Surengpati
sebagai seorang ksatria anti Belanda. Dia dahulu berada di salah satu istana keluarga ningrat di Yogyakarta. Tetapi karena bencinya terhadap Belanda, ia memilih mengasingkan diri dan
bermukim di seberang lautan. Karena sikapnya itu, semua pejuang menaruh hormat kepadanya.
Tetapi sebagai manusia Adipati Surengpati terkenal sebagai seorang yang berwatak angkuh, tinggi-hati, sombong, mau menang sendiri dan kejam. Terhadap para pejuang-pejuang bangsa, ia bersikap merendahkan. Karena ia menganggap ilmunya jauh lebih tinggi daripada semua manusia yang hidup di persada bumi ini. Umurnya kini belum melampaui 50 tahun. Tetapi menurut kabar, ilmu kepandaiannya benar-benar patut dikagumi. Kalau tidak masa seorang iblis semacam
Pringgasakti sampai berguru kepadanya. Dan kalau si iblis Pringgasakti saja sudah susah dilawan, mereka bisa membayangkan bagaimana tinggi ilmu kepandaian Adipati Surengpati. Mereka sadar, bahwa ilmu kepandaian Adipati Surengpati sudah mencapai suatu taraf yang susah untuk dijajaki.
"Bagus-bagus," tiba-tiba Ki Hajar Karang-pandan berkata setengah bersorak. "Tulang-belulang boleh berserakan tapi tulang-belulang itu pada suatu kali pasti berkumpul juga."
Mereka semua heran mendengar ujar Ki Hajar Karangpandan, karena tak tahu maksudnya.
Melihat mereka sibuk menebak-nebak arti kata-katanya, pendeta edan itu senang luar biasa.
Lantas saja dia berkata lagi,
"Bukankah cukup terang" Lihat! Muridku yang murtad berguru kepada iblis itu. Dan anak didik kalian"Sangaji"bersahabat dengan anak guru si iblis. Ha, apakah bukan setali tiga uang?"
Jaga Saradenta si penaik darah, serentak mendamprat, "Mana bisa begitu" Muridmu murtad dan menjadi murid iblis. Muridku hanya berkawan dengan anak guru si iblis. Di manakah ada titik persamaannya?"
"Eh"masa kalian tak kenal siapakah Adipati Surengpati" Sekali muridmu berkawan dengan anaknya, masa si Jangkrik Bongol akan membiarkan anak-didikmu luput dari pengamatannya?"
Adipati Surengpati memang mendapat sebutan gelar Jangkrik Bongol, karena dia seorang
pendekar yang ulet dan berani bertanding tak mengenal lelah kepada siapa saja, seperti seekor jangkrik bongol (jangkrik aduan). Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru, Wirapati dan Jaga Saradenta kenal perangai Ki Hajar Karangpandan yang ugal-ugalan dan edan-edanan. Tetapi
dibalik ke-edan-edanan-nya itu, sesungguhnya ia seorang pendekar yang cerdik. Dia pandai bertanding tenaga dan mengadu mulut. Sekiranya tidak demikian, bagaimana dia bisa menjerat Jaga Saradenta dan Wirapati dalam suatu perjanjian edan-edanan pula dengan memutar lidah belaka. Teringat akan ini, sebenarnya Jaga Saradenta sudah jeri, tapi dia seorang pendekar yang berangasan dan gampang naik darah. Karena itu bagaimana sudi membiarkan diri dipilin orang.
"Apakah kamu berani bertaruh denganku?" tantang Jaga Saradenta.
Mendengar kata-kata bertaruh itu, hati Jaga Saradenta berdegupan. Maklumlah karena terikat oleh suatu pertaruhan dahulu, terpaksalah ia meninggalkan rumah-tangganya selama dua belas tahun. Apakah kali ini ia akan mengalami kepahitan itu lagi" Meskipun ia mempunyai pikiran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demikian, sebagai seorang ksatria lantas saja dia membusungkan dadanya. Tetapi tatkala ia hendak berkata, mendadak Panembahan mengalihkan pembicaraan.
"Hai! Kalian ini terlalu memikirkan kepentingan diri. Bagaimanakah dengan jenazah sahabat kalian ini" Apakah dia akan kalian biarkan terbaring di sini" Lihat, semua penduduk Pekalongan mengawaskan kita semua."
Karena ujar Panembahan Tirtomoyo, semua jadi terkejut. Ki Tundjungbiru yang pendiampun,
ikut tersadar. Sebagai seorang kesatria, tadi ia tertarik benar kepada kata-kata Ki Hajar Karangpandan dan Jaga Saradenta. Teringatlah dia dahulu pada zaman Perang Giyanti. Juga di Kota Pekalongan inilah dia pernah bertempur lima hari lima malam melawan si pendeta edan perkara pantat. Dan akhirnya saling berjanji tidak akan kawin sepanjang hidupnya.
Mereka kemudian duduk dengan takzim kembali. Ki Hajar Karangpandan segera menghampiri
Nuraini dan berkata dengan penuh perasaan.
"Bagaimana menurut pendapatmu Nona" Di manakah ayah-angkatmu hendak kau kebumikan?"
Nuraini benar-benar nampak berduka. Matanya berkaca-kaca. Dengan menunduk dia
menjawab, "Dia berasal dari Desa Karangtinalang. Biarlah kubawanya pulang ke kampung halamannya."
Mendengar ujar gadis itu, semua jadi kaget. Sebab Desa Karangtinalang bukan dekat letaknya.
Belum tentu satu bulan bisa dicapai dengan perjalanan kaki. Segera mereka membujuk Nuraini agar dikebumikan saja di Kota Pekalongan. Tetapi Nuraini tetap kukuh. Katanya, "Ayah-angkatku berasal dari Bali dan beragama Hindu. Menurut pantas jenazahnya harus dibakar. Kemudian
abunya akan kubawa pulang ke kampung halaman."
Teringat akan upacara penguburan seseorang yang beragama Hindu, mereka jadi berpikir lain dan menyetujui pendapat Nuraini. Mereka lantas saja bekerja. Sebagai kesatria-kesatria yang sudah banyak berpengalaman, mereka dapat bekerja cepat. Segera jenazah Wayan Suage dibawa ke luar kota dan dibakar di pinggir hutan. Mereka menunggu sampai api padam. Dan apabila abunya telah diserahkan kepada Nuraini, maka masing-masing berpamit hendak melanjutkan
perjalanannya masing-masing.
Panembahan Tirtomoyo sudah hampir sembuh. Bersama Ki Hajar Karangpandan dan Ki
Tunjungbiru, mereka berangkat ke Timur menuju padepokannya. Sedangkan Jaga Saradenta
hendak pulang menjenguk kampung-halamannya dahulu yang sudah lama ditinggalkan. Baginya, tugas memenuhi perjanjian sudah diselesaikan dengan baik.
"Engkau pasti akan kembali dahulu ke Sejiwan, bukan?" tanyanya kepada Wirapati.
Pendekar muda itu mengangguk. Kemudian berkata pula, "Pekerjaan kita sudah selesai. Hanya saja, masih ada urusan lain. Anak-didik kita, bukankah akan menunggu jenazahnya. Dengan
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian, kita tak boleh membiarkan dia bekerja seorang diri. Karena itu, setelah kamu
menjenguk kampung-halaman barang dua tiga bulan, cepatlah menyusul ke Sejiwan! Sangaji akan kubawa ke sana dan biarlah kita menunggumu di sana pula."
Mereka berpisah dengan rasa haru dan gembira. Maklumlah, mereka sudah berkumpul dan
merasa senasib sepaham selama dua belas tahun. Rasa kawan lebih cenderung kepada rasa
saudara-sekandung belaka. Dan rasa gembiranya terjadi, karena masing-masing akan melihat kampung halamannya yang sudah dirindukan semenjak lama.
Wirapati hendak menyertai Nuraini pulang ke Desa Karangtinalang. Ia memilih arah jalan yang pernah dilalui dua belas tahun yang lalu, tatkala habis mengunjungi padepokan Kyai Lukman Hakim di Cirebon. Sangaji dan Titisari hendak dibawanya serta pula.
Mendadak Sangaji teringat akan kudanya si Willem.
Maka ia minta izin hendak mengambilnya dahulu, kemudian akan menyusul secepat mungkin.
"Sangaji! Selama hidupmu baru kali ini kamu menginjak daerah Jawa Tengah dengan sadar.
Pastilah kamu belum paham akan lika-liku jalannya menuju ke Karangtinalang. Lebih baik, kamu langsung saja menuju ke Sejiwan. Kamu bisa lewat Semarang, Magelang, kemudian mengambil
jalan jurusan Kedungkebo. Sebelum kamu sampai di Purworejo, tanyalah kepada salah seorang penduduk di mana letak Desa Loano. Dan kamu pasti akan diantarkan sampai ke Sejiwan."
Tetapi di luar dugaan, Sangaji menolak sarannya. Katanya, "Sebenarnya senang aku boleh berjalan seorang diri sambil mencari pengalaman. Hanya saja aku harus menjenguk kampung
Karangtinalang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa?" Wirapati dan Titisari minta keterangan berbareng. Kemudian Titisari meneruskan,
"Melihat Karangtinalang, mengapa mesti tergesa-gesa?"
"Ya, mengapa begitu?" Wirapati menegas. "Kamu harus menghadap kakek-guru dahulu.
Setelah memperoleh nasehat-nasehatnya, barulah bersama-sama menjenguk kampung
Karangtinalang. lngat-ingatlah, kamu masih harus menempuh perjalanan lagi ke timur untuk menuntut dendam kepada Pangeran Bumi Gede. Dan lawanmu itu bukan lawan yang empuk.
Nasihat-nasihat kakek-guru harus kauperhatikan benar-benar."
Sangaji menundukkan kepala. Kemudian berkata setelah berbisik, "Guru! Sebenarnya...
sewaktu aku berada dengan Paman Wayan Suage di pondokan, beliau berpesan agar aku mencari dua pusaka warisanku yang dipendamnya pada suatu tempat dekat Desa Karangtinalang."
Sangaji kemudian menerangkan dengan jelas semua kalimat Wayan Suage tentang dua pusaka
yang disimpannya di dekat tebing sungai sebelah timur desa Karangtinalang, sebagai pusaka warisan. Pusaka apakah itu, sama sekali dia tak mengerti. Sebagai seorang yang berhati jujur dan sederhana, sebenarnya tiada nafsunya untuk mewarisi pusaka segala. Ia hanya ingin melakukan pesan orang yang sudah mati dengan sebaik-baiknya.
Mendengar tentang dua pusaka itu, sebaliknya Wirapati jadi tertegun. Pada saat itu juga, teringatlah dia kepada kejadian dua belas tahun yang lalu, tatkala sedang menolong Wayan Suage. Dia pernah bertengkar mengenai pusaka itu yang menerbitkan malapetaka belaka. Ia
bahkan menyarankan diberikan kepada gerombolan orang-orang Banyumas agar tak usah
menanggung derita. Tetapi Wayan Suage tetap mempertahankan, malah lantas mencurigai dirinya hendak merebutnya. Maka teranglah, bahwa kedua pusaka itu pasti termasuk suatu persoalan yang penting. Ki Hajar Karangpandan pun menyinggung pula tentang kedua pusaka itu, tatkala hendak menetapkan suatu perjanjian.
Pendeta itu menghendaki, barangsiapa menemukan kedua pusaka tersebut harus
mengembalikan kepada pemiliknya yang syah. Yakni, kepada anak-anak Wayan Suage dan Made
Tantre. Dan selama dua belas tahun, tak pernah lagi ia mempersoalkan kedua pusaka tersebut. Ki Hajar Karangpandan pun tiada menyinggung-nyinggung sama sekali. Mendadak saja kini
persoalan kedua pusaka timbul lagi. Keruan saja, hatinya jadi tegang kembali. Dasar ia berwatak usilan dan berjiwa seorang kesatria besar. Apabila sudah mau bekerja tak mau pula bekerja kepalang-tanggung. Maka mendengar tentang di mana beradanya kedua pusaka tersebut, lantas saja timbullah keinginannya hendak menyelesaikan persoalan itu sama sekali. Pekerjaan itu dipandangnya sebagai suatu kewajiban pula.
Hm, biarlah pendeta edan itu lebih menghargai jerih payah kita berdua. Kalau kedua pusaka itu bisa kukembalikan kepada yang berhak, bukankah aku dapat memerintahkan dia membungkuk
hormat dan menyembah tiga kali" Mendapat pikiran demikian, terbesitlah kegembiraannya, pikir Wirapati. Segera dia menepis, "Benarkah Wayan Suage mewariskan kedua pusaka itu kepadamu?"
Sangaji mengulangi tiap kalimat Wayan Suage lagi tatkala berada di pondokan. Dan diam-diam Wirapati merasa bersyukur. Sebab, jika kedua pusaka tersebut menjadi milik Sangaji, bukankah benar-benar ia berhasil merebut kemenangan mutlak"
"Apakah dia tidak menerangkan macam kedua pusaka itu kepadamu?" tanya Wirapati lagi.
Sangaji menggelengkan kepala. Memang Wayan Suage sama sekali tidak menerangkan
macamnya, karena waktu itu dia tak sempat lagi. Rumah penginapan sudah terkepung rapat oleh pasukan-pasukan Pangeran Bumi Gede.
Sekonyong-konyong Titisari menyahut, "Apakah itu bukan pusaka Pangeran Semono" Eh,
mestinya bukan. Pusaka Pangeran Semo-no berjumlah tiga."
"Engkau berkata apa, Nona?" Wirapati menegaskan. Muka Titisari tiba-tiba nampak terkesiap, seperti seorang yang kelepasan rahasia. Didesak Wirapati guru Sangaji yang dihormati, terpaksa ia berkata lagi, "Aku hanya mengira... barangkali pusaka Pangeran Semono."
"Mengapa kamu bisa menduga demikian?"
"Semalam"waktu kami berkeliaran di dalam halaman kadipaten mencari ramuan obat, aku tersesat di serambi belakang. Kulihat mereka sedang berkumpul membicarakan suatu rahasia.
Karena besar rasa ingin tahuku, kuberanikan diri mengintip pembicaraan mereka. Dan kudengar mereka membicarakan pusaka Pangeran Semono."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tentang pusaka Pangeran Semono semua pendekar yang bermukim di Jawa Tengah
mengetahui belaka. Wirapati mendengar pusaka keramat itu dari gurunya. Dan dahulu, karena tertarik kepada persoalan pusaka tersebut ia sampai mengikuti rombongan penari yang aneh dari Banyumas dan ternyata sedang memperebutkannya. Hanya saja tiada rangsangnya hendak
memiliki. Kalau saja ia menceburkan diri ke dalam persoalan itu, sematamata hanya panggilan naluriahnya. Tak rela ia melihat kelaliman dan kerusuhan bermain di depan kelopak matanya.
Meskipun, sekarang persoalannya adalah sama, tetapi panggilan hidupnya berseru lain. Besar hasratnya hendak membahagiakan murid dan menentramkan arwah yang sudah pulang ke alam
baka. Titisari terus saja menceritakan semua yang didengarnya semalam di ruang belakang
kadipaten. Tak lupa pula ia menggambarkan bagaimana sang Dewaresi mendesak Pangeran Bumi Gede, tentang tempat beradanya Ki Hajar Karangpandan. Karena itulah orang yang dahulu pernah merampas pusaka Pangeran Semono.
"Tetapi... mereka menyebutkan jumlahnya tiga buah. Sebuah Jala, Keris dan Bende. Andaikata benar... masa berada di tangan Wayan Suage selama itu, tanpa diketahui orang?" kata Titisari menyatakan pertimbangannya.
Wirapati menaikkan alis. Dengan sungguh-sungguh ia mendengarkan tiap kata Titisari yang
menceritakan kembali pengalamannya semalam. Kemudian ia berpaling kepada Sangaji.
"Apakah Wayan Suage tidak menyebut macam bentuk pusaka itu?"
Sangaji menggelengkan kepala sambil menjawab, "Waktu aku minta keterangan, ia tak sempat lagi berbicara. Rumah penginapan telah terkepung rapat."
Kembali Wirapati menaikkan alis. Didongakkan kepalanya ke udara dan lama ia tak-berbicara.
Benaknya seolah-olah lagi berjuang merangkaikan semua pengalamannya dan apa yang pernah
didengarnya tentang pusaka Pangeran Semono.
"Baiklah. Kamu boleh mengambil kudamu. Aku dan Nuraini akan berangkat dahulu. Aku akan memberi tanda jalan bagimu, agar kamu mudah menyusul kami," kata Wirapati memutuskan.
Mereka lantas berpisah. Wirapati membimbing Nuraini yang dibawanya berjalan cepat
mengarah ke pegunungan yang berdiri berderet di sebelah selatan. Mereka akan menempuh
perjalanan yang panjang. Mungkin pula satu bulan belum tentu tiba di Sejiwan. Maklumlah, waktu itu hutan rimba masih padat memenuhi persada Pegunungan Sumbing-Sundoro-Dieng.
Sangaji berdiri terhenyak untuk beberapa saat lamanya, la heran menyaksikan gurunya begitu nampak tergesa-gesa. Mengapa mesti begitu, pikirnya. Otaknya yang sederhana belum juga dapat menebak, bahwasanya pada dewasa itu semua orang gagah sedang mengincar pusaka
warisannya. Untung dia mempunyai seorang kawan yang cerdik dan cerdas. Dan nampaknya akan setia mendampingi di mana saja dia berada.
"Aji," kata kawan itu. "Ayo kita cepat-cepat pergi dan menyusul gurumu."
"Mengapa cepat-cepat?" Masih saja ia minta keterangan.
Titisari tidak menjawab. Dengan tersenyum lebar sambil menarik tangan, ia memperlihatkan cahaya matanya yang berkilat-kilat.
"Kamu memang seorang yang berhati mulia," katanya kemudian. "Itulah sebabnya aku senang berkawan denganmu. Ayo! Ayo kita berjalan menyusuri pantai mencari karang. Lantas
menggarungi sawah mencangkul ladang. Nanti dua, tiga bulan lagi baru menyusul."
"Eh! Mengapa kamu berkata begitu?" Sangaji terkejut, la benar-benar nampak tolol. Kemudian minta penjelasan cepat, "Titisari! Otakku memang bebal. Maukah kamu menerangkan sejelas-jelasnya, mengapa kita harus cepat-cepat menyusul guru" Apakah guru berangkat akan
menempuh bahaya?" "Ya dan tidak," jawab Titisari berteka-teki. "Tetapi aku tak berani bertaruh, bahwa gurumu itu telah memperoleh pegangan kuat untuk bertindak secepat mungkin. Eh... apakah benar rejekimu begini besar?"
"Rejeki apa?" ulang Sangaji. "Titisari! Mengapa kamu bicara tak karuan?"
"Sekiranya kamu menjadi raja... hm... berapa jumlah permaisurimu?" Titisari tak perduli. Dan Sangaji jadi blingsatan. Gugup dia memotong dengan suara tinggi. "Raja" Raja apa" Raja kera?"
Titisari tertawa nyaring dan terus lari menuju ke kota. Karuan saja Sangaji mau tak mau harus memburunya seperti seorang sopir menancap gas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai! Hai! Kau harus menerangkan! Kau berbicara tentang rejeki dan raja. Apa sih maksudmu?"
"Aku berkata sungguh-sungguh! Bukan main-main," sahut Titisari. Tetapi ia tak mau memberi penjelasan. Bahkan larinya kian dipercepat.
Menjelang senja hari, mereka telah tiba di penginapan. Pelayan penginapan girang melihat datangnya Sangaji dan Titisari.
"Tuan Muda baik-baik saja, bukan" Apa terlalu lelah" Boleh nanti hamba pijat."
Pelayan itu mengira, Sangaji mendapat seorang teman berjalan semalam suntuk sebagai
lazimnya pemuda bongor pada zaman itu. Sebaliknya Sangaji tak berpikir sampai sejauh itu.
Otaknya lagi dikusutkan oleh ucapan Titisari yang terus melengking-lengking tiada hentinya dalam pendengarannya. Dengan berdiam diri ia melemparkan beberapa potong uang dan memerintahkan mengemaskan pakaiannya. Karuan saja pelayan itu bergirang hati sampai mau meloncat-loncat seperti anjing. Lalu mendobrak kamar melakukan perintah.
"Pendeta tua tadi pagi keluar dari penginapan tanpa pamit. Karena kami memandang Tuan Muda, kami biarkan dia pergi tanpa meninggalkan uang sepeserpun."
Sangaji tahu, yang dimaksudkan pendeta tua itu adalah Panembahan Tirtomoyo yang
merendamkan diri semalam dalam pengaron. Serentak ia menyahut, "Hm... bukankah kamar ini aku yang menyewa?"
"Bukan perkara kamar, Tuan. Tetapi kami sudah terlanjur menyediakan masakan-masakan yang empuk. Kami berbelanja sendiri, agar tak mengecewakan Tuan."
Sangaji tahu, pelayan penginapan itu ingin menunjukkan jasa. Maka segera ia membayar
semua harga masakan beserta persenannya dan meninggalkan penginapan. Kembali lagi si
pelayan jadi bergirang hati. la mengantarkan tamunya sampai ke luar jalan. Kemudian berkata takzim. "Sebentar lagi senja hari tiba. Di manakah Tuan akan menginap. Apakah... apakah..." ia mengerling kepada Titisari dengan berkulum senyum.
Merah muka Sangaji mendengar dan melihat laku pelayan itu. Ingin ia mendamprat, tetapi
tidak menemukan kata-kata. Maklumlah, tak biasa ia mengumbar mulut. Maka dengan berdiam
diri ia berjalan di samping Titisari yang telah mendahului.
"Aji! Mengapa tak kau puntir hidungnya?" tegur Titisari. Tiba-tiba ia mengangsurkan segenggam uang. Katanya, "Ini. Dengan pelayan semacam itu, tak perlu kamu bermurah hati."
Sangaji terperanjat, karena uang itu adalah uang pembayaran penginapan, masakan dan
persen. Gugup ia berkata, "Kau... kau... "
"Aku mengambilnya kembali dari kantung tanpa bunga. Apa salahnya?" potong Titisari tanpa perasaan. Sangaji jadi terbungkam. Pikirnya, gadis ini benar-benar mempunyai sifat-sifat liar.
Tetapi pelayan itu memang pantas dihukum demikian. Mendakwa seorang gadis suci sebagai
bunga jalan adalah keterlaluan.
Sebelum petang hari tiba, si Willem telah diketemukan. Mereka meneruskan perjalanan ke arah selatan. Pada waktu itu masa bulan purnama. Bulan telah tersembul di udara berbareng dengan tenggelamnya matahari. Ombak laut berdebur dahsyat dan meniupkan angin segar ke daratan.
Willem ternyata seekor kuda yang gagah perkasa. Meskipun dibebani dua orang majikan,
langkahnya tetap kuat dan tegar.
"Aji!" tiba-tiba Titisari berkata sambil mengibaskan rambutnya.
Sangaji duduk di belakang punggung Titisari. Karena Titisari mengibaskan rambutnya, pipinya kena geser sehingga darahnya jadi terkesiap, jantungnya lantas saja berde-gupan. Tatkala hidungnya mencium harum wewangian yang membersit dari rambut si gadis, mulutnya mendadak saja seperti tergagu.
"Hai! Kau lagi melamunkan siapa" Nuraini?" tegur Titisari sambil tertawa. Mendengar teguran itu, keruan saja Sangaji jadi terperanjat setengah mati. Gugup ia menjawab, "Mengapa kamu mendakwa yang bukan-bukan?"
"Tadi kamu berbicara perkara rejeki dan raja. Sekarang perkara... Tak bisakah kamu
membicarakan yang lain?"
"Baik"kamu tak suka membicarakan, justru aku ingin membicarakan," sahut Titisari cepat.
"Bukankah gadis itu..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa?" potong Sangaji. Cepat ia mengingat-ingat peristiwa pagi hari tadi, sewaktu Wayan Suage meninggalkan pesan penghabisan kepada Ki Hajar Karangpandan dan gurunya, Wirapati.
Teringat, bahwa Titisari kala itu belum muncul hatinya agak jadi tenang.
Titisari tertawa perlahan sambil mendongakkan kepala.
"Belum selesai aku berbicara, kenapa kamu begitu gugup" Aku hanya ingin menyatakan kesan hatiku, bahwa mulai hari ini dia menjadi seorang anak yatim-piatu. Siapa yang bakal melindungi?"
Mendengar kata-kata itu, Sangaji bersyukur dalam hati. la jadi geli melihat kegelisahannya sendiri. Lantas menyahut, "Dia yatim-piatu atau tidak, apa peduliku?"
Sangaji bermaksud mau membersihkan diri dengan kata-kata tajam. Tapi ia lupa, bahwa gadis yang duduk di dekatnya adalah seorang gadis yang cerdas dan cerdik luar biasa pada zaman itu.
Kalau saja, ia berkata penuh perasaan seperti watak aslinya, pastilah si gadis tiada menaruh curiga. Sebaliknya oleh kata-katanya yang keras, Titisari jadi keheran-heranan. Dengan tiba-tiba saja raut muka Titisari berubah hebat. Dahinya berkerinyit dan matanya membersitkan sedikit air.
Sangaji tak melihat perubahan itu, karena dia berada di belakang punggungnya. Hanya saja ia melihat si gadis menundukkan kepala seakan-akan sedang berpikir keras.
"Titisari... apakah kata-kataku ada yang salah?" kata sangaji hati-hati.
"Tidak! Kamu tak bersalah. Sama sekali tak bersalah," sahut Titisari dengan berbisik. Kemudian memandang jauh ke depan. Dan lama ia berdiam diri.
Sangaji jadi gelisah. Dasar ia berhati polos dan jujur, lantas saja merasa salah. Ia menyangka dan percaya, bahwa Titisari sudah bisa menebak peristiwa tadi pagi. Terhadap Titisari ia sudah merasa takluk semenjak bertemu di restoran Cirebon. Tetapi kalau dikatakan ia menerima pesan Wayan Suage dengan sungguh-sungguh adalah tidak benar. Maka ia berkata, "Nuraini memang patut dikasihani. Ia tak berayah-bunda lagi. Tetapi antara aku dan dia tidak ada hubungan keluarga. Apakah menurut pendapatmu, aku harus mendampingi pulang ke kampung halaman dan mencarinya sampai... Titisari, kalau kemarin pagi aku berkelahi melawan Sanjaya begitu mati-matian, sebenarnya aku mengharapkan agar dia tak disia-siakan pemuda itu."
"Benarkah itu?" tiba-tiba Titisari memotong dengan suara riang.
"Ya, mengapa?" "Seumpama... ada seseorang yang hendak memisahkan persahabatan kita ini, apa yang akan kau lakukan?"
Sangaji jadi tercengang-cengang mendengar ucapan Titisari. Dan bagaimana goblok pun
seorang pemuda, samar-samar pasti dapat menebak maksud hati seorang gadis yang berkata
demikian. Dengan suara bergetar ia menyahut, "Eh, kamu ini ngomong apa" Siapa yang akan
memisahkan kita?" "Seumpama gurumu?"
"Guruku orang berbudi. Tak bakal mereka memisahkan kita."
"Gurumu yang lain, begitu galak. Aku tak senang melihat congornya."
Sangaji terkejut. Selamanya ia menghargai dan menghormati gurunya lebih daripada siapa
saja, mendadak Titisari berani men-congor-congorkan. Tentu saja, hatinya terkesiap sampai sekujur tubuhnya menjadi dingin.
"Titisari! Kaumaksudkan guruku Jaga Saradenta" Biarpun dia galak, tidaklah segalak seekor binatang. Mengapa kamu..."
"Eh, aku bersakit hati" Antara dia dan kamu memang ada hubungannya. Tapi denganku, sama sekali tidak ada hubungan sanak-keluarga. Tetapi mengapa dia memandangku seperti anak
siluman" Kalau dia menyebutku setali tiga uang dengan iblis"karena aku anak siluman dan adik Abu dalam suatu perguruan"apa salahnya aku menyebut mulutnya sebagai congor" Orang boleh memakiku dengan istilah iblis, kenapa aku tak boleh memaki dia dengan istilah congor?"
Sangaji terdiam karena tak pandai berdebat. Meskipun bisa dibenarkan tata-sikap si gadis, tetapi ia merasakan sesuatu yang kurang tepat. Hanya saja, tak pandai ia mengungkapkan kesan rasa itu. Akhirnya dia berkata, "Kamu adalah sahabatku yang tak terpisahkan. Kupinta janganlah berkata demikian terhadap guruku yang kuhormati dan kujunjung tinggi. Lagi pula, dia tadi tak langsung menyebutmu iblis. Dia hanya menirukan ucapan pendeta Ki Hajar Karangpandan untuk membela diri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik. Terhadapmu memang aku bersedia takluk buat selama hidupku," sahut Titisari. "Hanya saja, gurumu itu tak terkesan baik kepadaku."
"Barangkali, karena dia benci kepada Pringgasakti."
"Pringgasakti bukan aku. Aku bukan Pringgasakti. Mengapa mesti dipersangkut-pautkan" Nah, andaikata dengan alasan itu dia memisahkan persahabatan kita ini, apakah yang akan kau
lakukan?" Dengan semangat berkobar-kobar Sangaji meledak.
"Aku hendak menggenggam tanganmu dan kubawa menghadap padanya. Dan aku akan
berkata, Ini adalah Titisari. Dia bukan iblis atau keluarga iblis. Dia manusia baik."
Terdorong oleh semangatnya yang berkobar dalam dada, tanpa terasa ia menggenggam
pergelangan tangan Titisari dan ditarik ke dadanya.
Mula-mula Titisari tersenyum geli menyaksikan laku Sangaji. Tapi mendadak hatinya tergetar karena Sangaji begitu sungguh-sungguh.
"Aji! Gurumu itu mungkin dapat kauberi pengertian. Tetapi terhadap pendeta gila yang menyebutku iblis, belum tentu kamu berhasil," katanya perlahan.
"Titisari!" suara Sangaji gemetaran. "Kalau dia hendak memisahkan kita... biarlah kita minggat ke Jakarta."
"Kalau dia tetap memburu?"
"Biarlah kita mati. Apa kamu takut mati?"
Semangat Titisari terbangun. Hatinya berdebar-debar, karena terharu mendengar ucapan
Sangaji yang sederhana tetapi sungguh-sungguh. Benar! Paling baik kita mati, pikirnya. Apakah ada yang melebihi mati" Lantas ia menjawab, "Aji! Mulai detik ini aku akan mendengarkan tiap patah katamu. Mati pun bukan soal bagiku. Karena itu selama-lamanya kita tak akan berpisah."
"Memang! Kita takkan berpisah untuk selama-lamanya. Sudah kukatakan kemarin malam di pantai, bahwa kamu adalah seorang gadis yang termanis."
"Betulkah itu?" Titisari tertawa nakal.
Muka Sangaji terasa menjadi panas. Meskipun demikian ia mengangguk. Di waktu itu
semangatnya sedang berkobar-kobar dengan dahsyat, sehingga tak ingatlah dia bahwa
tunangannya di Jakarta masih setia menunggunya. Pemuda itu sama sekali tak menduga kalau Sonny de Hoop di kemudian hari akan merupakan sumber keruwetan dan kesulitan tak terhingga.
Demikianlah perjalanan mereka lantas saja menjadi lancar. Bulan makin nampak gede. Sinarnya bersemarak menentramkan hati dan penglihatan.
Kira-kira menjelang tengah malam, mereka berhenti mencari penginapan. Maklumlah, mereka
kini merasa capai karena semenjak kemarin benar-benar tidak tidur sekejap pun, meskipun hati mereka girang luar biasa. Lagi pula tanda jalan yang dijanjikan Wirapati takkan dapat terlihat pada malam hari.
Willem dilepaskan dengan begitu saja. Dan mereka menghempaskan diri di atas tanah kering, berselimut udara dan berbantal batu. Dinyalakan suatu pendiangan kecil dan sebentar saja telah tertidur lelap.
Menjelang pagi hari, angin meniup begitu tajam dan dingin. Suasana hening dan sunyi.
Mendadaklah terdengar suara sebongkah batu menggelinding ke bawah. Kaget mereka
menyepakkan mata dan seolah-olah sudah saling berjanji, pandang matanya saling memberi
isyarat. Perlahan-lahan mereka menegakkan kepala. Mereka melihat Willem lagi menggaruk-garuk tanah. Mengira, suara tadi datangnya dari perbuatan si Willem, mereka berbaring kembali.
Pendiangan yang sudah lama padam, dibiarkan tak menyala.
Waktu subuh hampir lewat, kembali mereka terbangun oleh suara yang mencurigakan. Kini,
mereka benar-benar bersiaga. Serentak mereka menegakkan punggung dan menjela-jahkan mata.
Mereka melihat si Willem terbaring tak jauh daripadanya. Binatang ini pun mendadak saja
menegakkan kepala dan serentak bangkit berderekan. Mereka kian jadi curiga. Hati-hati mereka mengadu punggung dan memperhatikan sekelilingnya. Tetapi suasana menjelang fajar hari tetap hening dan sunyi menyayat. Meskipun demikian, tak berani mereka lengah sedikit pun. Sampai matahari timbul di udara, mereka tetap siaga.
Karena tempat sekitarnya tidak ada mata air, mereka meneruskan perjalanan ke selatan
mengikuti tanda jalan yang ditinggalkan Wirapati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Titisari! Apakah kamu mempunyai firasat diikuti seseorang?" Sangaji minta pertimbangan.
"Tidak hanya semalam," sahut Titisari. "Semenjak kita berpisah dengan gurumu, perasaan itu telah kurasakan."
"Mengapa?" "Kedua pusaka warisanmu itu bukan sembarang pusaka."
"Masa begitu?" Sangaji tak yakin. "Seumpama semalam ada orang jahat, kenapa tidak mencuri si Willem?"
"Justru itu, dugaanku kian kuat. Orang yang semalam menjenguk kita, bukan seorang penjahat murahan atau maling kuda. Pastilah jejak kita akan diikuti, sampai kamu berhasil mengambil pusakamu. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja kamu telah terkepung rapat."
Mendengar ulasan Titisari, bulu roma Sangaji menggeridik. Tetapi ia membungkam mulut.
Tatkala matahari telah sepenggalah tingginya, mereka sampai di sebuah dusun agak ramai
yang berada di kaki Gunung Sumbing. Sangaji membeli seekor kuda putih untuk Titisari. Dan mereka melanjutkan perjalanan lagi. Sebenarnya Titisari lebih suka menunggang kuda berbareng.
Tetapi Sangaji merasa kikuk oleh pandang orang dan merasa kurang leluasa. Mau tak mau Titisari menerima alasan itu.
Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah sungai yang jernih airnya. Segera mereka
mencencang kudanya dan terjun ke dalam sungai.
Biarpun Sangaji dibesarkan di Jakarta, belum pernah sekali juga berenang di laut atau di sungai. Karena itu ia berdiri di tepian setinggi dada. Sebaliknya Titisari terus saja menyelam di dasar sungai dan timbul di seberang sana. Ia berenang gesit dan cekatan seperti seekor ikan.
Wajahnya riang luar biasa.
"Aji!" serunya. "Selama hidupku aku berada di antara air. Ayo kuajari kau berenang."
Sangaji menggelengkan kepala. Ia takut air. Sekiranya tak teringat semenjak pagi tadi belum mandi, takkan gampang-gampang ia mencelupkan tubuhnya ke dalam sungai.
Titisari seorang gadis yang nakal. Segera ia menghampiri dan berkata nyaring.
"Idddiiih... anak laki-laki, masa tak bisa berenang?"
Belum lagi Sangaji menangkis ejekannya. Mendadak ia menyelam. Sangaji bercelingukan
mencarinya, tapi gadis nakal itu lama tak muncul-muncul. Karuan saja, hati Sangaji berdebar-debar. Hampir saja ia mengira, Titisari hilang disambar buaya atau mendapat bahaya lainnya, mendadak kakinya serasa dibetot orang. Kaget ia meronta, tetapi ia kena seret terus. Ketika ia melihat, bahwa dirinya diseret ke tengah, ia takut setengah mati.
"Hai! Hai!" ia berteriak sambil memukuli air.
Pada waktu itu, ia seperti terlempar berputaran dan Titisari muncul di permukaan sambil
tertawa nyaring. Karuan saja, Sangaji gelagapan sampai meneguk air beberapa kali.
"Pukulkan tanganmu dan jejakkan kakimu! Air sekelilingmu pandanglah sebagai musuhmu!"
teriak Titisari menasihati.
Mau tak mau Sangaji tunduk pada nasihatnya, meskipun hatinya mendongkol bukan main.
Tetapi aneh setelah tangan dan kakinya berserabutan tak karuan juntrungnya, tubuhnya tidak tenggelam lagi. Bahkan ia bisa berputar-putar dan maju membungkuk-bungkuk seperti katak
bangkotan. Titisari tertawa terpingkal-pingkal. Kemudian mulai mengajar bagaimana harus berenang.
Setelah itu cara mengatur napas.
Bagi Sangaji pelajaran mengatur napas dengan memukul tangan dan kaki adalah mudah.
Pertama-tama ia mengenal ilmu tata-berkelahi dan ilmu pernapasan dari Ki Tunjung-biru. Maka dua jam kemudian, ia sudah bisa berenang seperti seorang ahli berenang kelas empat. Dia sudah bisa mulai berputar-putar mengikuti Titisari ke mana gadis itu berenang. Dan lambat-laun ia mendapat suatu kegembiraan baru yang belum pernah dirasakan selama hidupnya.
Dia tak mengenal lelah sampai waktu luhur telah lewat. Sekarang Titisari yang jadi repot. Sama sekali ia tak menduga kalau muridnya begitu giat dan tak mengenal lelah. Maka cepat-cepat, ia berseru, "Aji! Apa kita mau tidur dan makan di dalam air?"
"Kenapa?" "Aku lapar! Ayo tolong aku mencari ikan." Sehabis berkata demikian, cepat ia menyelam dan menguber-nguber ikan sampai hampir menjelang senja. Mereka kemudian berbaring di tepi sungai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil membakar ikan. Titisari ternyata pandai memasak. Dengan cekatan ia memetiki daun-daun dan dimasak menjadi sayur berikan.
Sangaji sudah memeras tenaga hampir sehari penuh dalam kubangan air, maka ia
menggerumuti masakan itu seperti kuda.
"Kalau saja kita membekal nasi, alangkah sedap," katanya.
Mendapat ingatan itu, lantas saja mereka berbelanja di dusun. Membekal beras dan bumbu.
Kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Demikianlah, empat hari telah dilampaui dengan senang dan tidak ada halangan. Hanya saja pada malam hari, mereka selalu berjaga, karena suara yang pernah didengar senantiasa berada di dekatnya. Pada hari kelima, langit hitam tebal. Lalu terdengarlah suara dentuman guruh saling menyusul.
"Kamu takut, Titisari?" tanya Sangaji.
"Dulu aku pernah takut pada guruh. Dalam bayanganku, seolah-olah naga besar melingkar dan menyusur mega hitam. Kini... apa lagi sekarang, sama sekali tidak takut."
"Kenapa?" "Karena aku dekat denganmu. Biarpun guruh itu benar-benar seekor naga raksasa sakti, aku tidak gentar. Karena apakah yang melebihi mati" Sekiranya naga itu menyerang, pasti kamu melawan sekuasa-kuasamu dan kalau kamu terpaksa gugur, akupun akan menuntut bela.
Sekiranya aku bisa membunuh naga itu, aku akan mendaki gunung setinggi-tingginya sambil
memapah jenazahmu. Kemudian akan kubawa meloncat ke jurang. Nah, dengan begitu kita akan selalu bersama dan tidak ada sesuatu kekuatan apa pun juga yang akan memisahkan kita."
Hebat pengaruh kata-kata itu yang diucapkan dalam suasana jagad dalam keadaan remang-
remang hampir hujan. Sangaji begitu terharu, sampai menekan pergelangan tangan Titisari dan hampir saja diciumnya.
Hujan benar-benar turun sangat derasnya. Mereka tak memedulikan. Terus saja mereka
melanjutkan perjalanan. Tapi tatkala malam hari tiba, mereka berteduh di sebuah gua
(sebenarnya lebih merupakan kubangan tebing gunung) dan cepat-cepat mengeringkan pakaian.
Titisari segera memasak air dan menanak nasi. Kemudian membakar beberapa ekor ikan sungai.
Tatkala hendak menyambal (ikan itu akan dipenyetkan dalam sambel dengan jeruk pecel),
mendadak ia mendengar suara langkah di luar mulut gua. Belum lagi ia memberi isyarat, Sangaji telah memipitkan diri di belakang dinding mulut gua. Tahu-tahu di depannya muncul seorang lakilaki berkepala botak yang terus saja tertawa menyeringai. Dialah Yuyu Rumpung penasihat sang Dewaresi.
"Hm... begini besar rejekimu sampai masih bisa masak ikan segala," katanya.
Sangaji terkejut setengah mati, sampai mulutnya tergugu. Sebaliknya Titisari lantas saja mendamprat.
"Eh... jadi baru malam ini kamu muncul terang-terangan. Rupanya hujan besar membuatmu gagal menepati siasatmu. Kamu terpaksa membatalkan rencanamu menguntit kami, bukan?"
"Hai bocah edan! Siapakah kawanmu ini" Begini cantik. Apakah dia bisa diganyang pula seperti ikan yang dibakar?"
Panas hati Sangaji, mendengar ucapan Yuyu Rumpung yang menghina Titisari. Biarpun sadar
tenaga sendiri tiada unggulan, lantas saja ia menyerang.
Yuyu Rumpung kini telah pulih kembali seratus persen, tetapi sembilan bagian telah dimiliki.
Karuan saja, begitu Sangaji melontarkan serangan dengan tertawa besar ia menangkap
pergelangan tangannya dan dilontarkan balik.
Tubuh Sangaji terpental masuk ke dalam gua menubruk Titisari.
"Cepat minggir!" serunya gugup, karena merasa tak dapat menguasai diri.
"Mengapa mesti minggir?" sahut Titisari sambil menyambut. "Bukankah tidak ada yang bisa melebihi mati?"
Karuan saja, kena benturan tubuh Sangaji yang terpental karena dorongan tenaga Yuyu
Rumpung, Titisari terpelanting sampai menumbuk dinding gua. Meskipun demikian, ucapannya menimbulkan semangat berjuang yang menyala dahsyat dalam dada Sangaji.
"Bagus! Tidak ada kekuatan manapun yang mampu memisahkan kita," seru Sangaji. Dan terus saja dia kembali menyerang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia memang berwatak ulet, tabah dan tahan uji. Meskipun kena gempuran Yuyu Rumpung
setiap kali ia menyerang, masih saja dia tidak jera. Bahkan dia berusaha sekuat tenaga agar bisa membobol mulut gua.
Titisari pun tak tinggal diam. Hanya saja dia cerdik. Dengan cekatan ia menerkam kayu
pembakar dan hendak dipergunakan sebagai senjata, la tak memperdulikan ikan-ikan yang sedang dibakarnya. Sekonyong-konyong berkelebatlah bayangan putih. Bayangan putih itu, terus saja menyanggah maksud Titisari sambil berkata, "Eh"eh, sayang Nona! Sayanglah pada ikan-ikan itu!"
Terus saja bayangan putih itu sibuk menyalakan api dan menaruh ikan-ikan dengan hati-hati di atas bara. Titisari heran berbareng terkejut. Dengan tajam ia mengamat-amati bayangan putih itu.
Ternyata ia adalah manusia yang berkulit putih (bule).
"Ai... sayang-sayang! Rupanya Nona pandai membakar ikan! Teruskan membuat pecel lele!
Jangan pedulikan bangsa cecurut itu."
Mendengar ucapan orang berkulit putih itu, sepercik harapan timbul dalam hatinya. Dasar ia cerdik dan cerdas, lantas saja bisa menebak bahwa orang berkulit putih itu bukan kawan Yuyu Rumpung. Pikirnya, di mulut gua Yuyu Rumpung berjaga-jaga dengan kuat dan sedang mengadu tenaga dengan Sangaji. Bagaimana orang ini tiba-tiba saja bisa melesat memasuki gua" Apa dia memiliki ilmu siluman?"
Mendapat pikiran demikian lantas dia berkata mencoba.
"Perkara membuat pecel lele, itu sih gampang. Tapi kawanmu itu mengotori gua dengan abu tanah begini rupa."
"Kawan yang mana?" dengus orang berkulit putih.
"Yang botak itu."
"Hm... orang seperti anjing kudisan itu, bagaimana bisa jadi kawanku" Suruh dia pergi dan menjauhi gua. Bilang aku si jembel tua yang memerintahkan!"
Titisari berbimbang-bimbang. Melihat Titisari berbimbang, orang berkulit putih itu lantas berkata lagi, "Bilang, burung gagak berbulu putih yang menghendaki."
Mendengar ucapan orang berkulit putih itu, sekonyong-konyong mata Titisari menyala berkilat-kilat. Serentak ia meloncat maju sambil membentak.
"Hai botak tua! Kamu diperintahkan pergi menjauhi gua. Gagak Seta yang perintah!"
Mendengar nama Gagak Seta, benar saja Yuyu Rumpung lantas saja berdiri tegak. Mukanya
berubah hebat. Pucat dan bergemetaran.
"Apa kau bilang?" katanya dengan suara tertahan.
Belum lagi Titisari menjawab, Gagak Seta yang masih saja membungkuki ikan-ikan bakaran
menyahut. "Kau anjing, enyahlah cepat-cepat! Aku si jembel tua mau makan. Dan kau anak muda, wakili aku menggaplok botaknya tujuh kali."
"Menggaplok?" Sangaji menegas heran.
"Aku bilang gaplok, gaploklah! Tak bakal dia berani membalas atau mampu membalas."
Benar juga. Tatkala Sangaji mencoba-coba meraba pipinya, si botak tak berani berkutik. Maka ia benar-benar menggaplok. Kali ini lebih keras sampai mulut si botak mengeluarkan darah. Dan pada gaplokan yang ke enam, tiba-tiba Titisari berteriak, "Nanti dulu! Akupun tadi kena dipelantingkan, karena itu dia harus membayar."
Setelah berkata demikian, ia bukan lagi menggaplok tetapi menghantam dada Yuyu Rumpung
pulang-balik sampai pendekar itu meringis kesakitan.
"Bagus! Bagus!" seru orang berkulit putih dengan gembira. "Kamu begitu bersemangat dan aku senang melihat seorang yang bersemangat. Nah, sekarang suruhlah dia pergi jauh-jauh!"
Tanpa diperintah lagi, Yuyu Rumpung lantas mengundurkan diri, setelah membungkuk dua kali.
Sangaji heran luar biasa. Ia tahu, pendekar itu sangat galak dan ganas. Mengapa tiba-tiba dia menjadi begitu jinak" Apakah orang yang lagi membungkuki ikan itu majikannya"
"Hai Nona kecil! Apa kamu akan membiarkan ikan-ikanmu terbakar hangus?" teriak orang berkulit putih.
Sangaji menoleh ke Titisari dan ia tercengang-cengang lagi melihat kawannya itu begitu
penurut. Percaya, kalau Titisari yang cerdik dan cerdas otak pasti sudah menemukan sesuatu hal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang beralasan, segera ia datang membantu. Tetapi baru saja, ia hendak berjongkok tiba-tiba orang yang menamakan diri Gagak Seta itu menolaknya.
"Jangan sampai kau sentuh ikan-ikan itu. Tanganmu akan mengotori dan menabah selera."
Kena dorong itu, Sangaji terkejut, la merasakan suatu
tenaga dahsyat yang halus sehingga tiba-tiba saja tubuhnya
sudah kena digeser pergi sampai memepet dinding.
Teringat akan sikap Yuyu Rumpung yang tiba-tiba jadi jinak
oleh suatu gertakan saja dan ia sendiri merasakan pula
tenaga orang itu begitu dahsyat, mau tak mau ia harus bisa
menempatkan diri. ... ia bukan lagi menggaplok tetapi menghantam dada
Yuyu Rumpung pulang-balik sampai pendekar itu meringis
kesakitan. "Paman! Apakah benar-benar Paman doyan sambel lele?"
tiba-tiba Titisari berkata dengan suara riang dan ikhlas.
"Apa kamu merasa kurugikan?"
"Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya ingin minta
ketegasanmu. Kalau Paman doyan ikan lele, biarlah esok
hari aku menangkap yang lebih banyak lagi. Dan aku akan
memasakkan Paman yang istimewa."
"Eh Nona kecil! Aku singgah kemari karena kebetulan
saja. Sewaktu aku lagi mengutuki hujan tiba-tiba aku
mencium bakaran ikan."
Dengan cekatan Titisari melayani orang itu. Ia membakar terasi yang segera menusuk hidung sangat tajam, sampai orang kulit putih itu mulutnya jadi berliur.
"Wah cepat! Cepat!" orang itu menjerit-jerit. "Aku bisa mati kausiksa."
Titisari tertawa geli menyaksikan perangai orang kulit putih itu. Tatkala ia mendengar, bahwa orang itu bernama Gagak Seta, teringatlah dia akan tutur-kata ibunya. Orang itu pernah
bertanding melawan ayahnya mengadu kepandaian. Masing-masing tiada yang kalah atau
menang. Tadi, sewaktu ia melihat orang bule bisa masuk ke dalam gua seperti kelelawar sampai bisa menerobos penjagaan Yuyu Rumpung, ia sudah curiga.
Karena ciri khas pribadi Gagak Seta itu ialah warna kulitnya yang putih. Ayahnya sering
menyebutnya sebagai si jembel bule. Ia adalah salah seorang dari tujuh tokoh sakti pada zaman itu. Pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kedua, Pangeran Mangkubumi I. Ketiga, Adipati Surengpati.
Keempat, Kyai Haji Lukman Hakim. Kelima, Gagak Seta. Keenam, Kebo Bangah. Dan ketujuh,
Raden Mas Said yang terkenal dengan Pangeran Samber Nyawa. Mengingat dia menduduki urut
nomor lima, bisa dibayangkan betapa tinggi kepandaiannya bahkan kini, sesudah Pangeran
Mangkubumi I, Kyai Haji Lukman Hakim dan Pangeran Samber Nyawa sudah wafat, ia menduduki nomor urut yang ketiga. Sebenarnya nomor urut itu adalah tutur-kata orang belaka. Andaikata keempat tokoh sakti itu saling bertempur mengadu kepandaian tidak salah seorang yang bisa memperoleh tingkat tertinggi. Masing-masing memiliki gegebengan (ilmu kepandaian) sendiri yang sudah mencapai tingkat sempurna.
Waktu itu Titisari selesai mempenyet tiga ekor ikan lele dan diserahkan dengan senyum ikhlas kepada Gagak Seta. Ternyata Gagak Seta seperti orang sebulan tidak makan. Begitu dia mencium bau ikan, terus saja tangannya menyambar dan dengan serakah dijejalkan ke dalam mulutnya, la makan begitu bernafsu, sampai ketiga ekor lele itu lenyap hingga ke tulang-tulangnya.
"Bukan main! Bukan main!" serunya memuji. "Entah kau ini anak iblis, anak setan atau anak malaikat! Tanganmu begitu sedap, sampai aku benar-benar merasa takluk. Hai, bagaimana kamu bisa membuat ikan kali ini begini nikmat" Setua ini, belum pernah aku merasakan suatu
kenikmatan seperti hari ini."
Titisari tertawa dan ia menyodorkan dua ekor ikan lagi yang sebenarnya adalah bagiannya dan bagian Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah! Bagaimana aku..." Gagak Seta menolak. "Kamu berdua belum makan..." Tetapi mulutnya berkata demikian, tangannya sudah menyambar dan sebentar saja dua ikan lele itu telah habis digerogoti. Setelah itu dia berjungkir-balik sambil menekan perutnya.
"Hai perut edan! Perut bangsat! Bagaimana kamu berani menggaglak (menelan) milik orang!"
Mula-mula Sangaji heran menyaksikan perangai orang itu. Berdiam diri ia beradu pandang
dengan Titisari. Tetapi begitu mendengar ucapannya, mau tak mau ia tersenyum geli.
"Hai anak muda!" tiba-tiba Gagak Seta berdiri tegak di depannya sambil merogoh kantongnya, ia berkata lagi, "Kulihat tadi, kamu belum kebagian. Berapa aku mesti bayar?"
"Aku bukan seorang penjual makanan," jawab Sangaji sederhana. "Seumpama aku pun seorang penjual makanan, terhadapmu tak bakal kuminta uang. Kamu kuanggap sebagai sahabat."
"Eh, mana bisa begitu" Malam ini hujan badai. Malam begini ini, enaknya makan serba hangat dan minum."
"Aku takkan mati kelaparan, karena tidak makan ikan lele sekali saja." Sangaji tersenyum.
Gagak Seta tertawa lebar. Dengan agak sungkan (segan-segan), ia berkata, "Inilah sulit.
Selama hidupku, tak pernah aku menerima budi seseorang. Meskipun aku seorang jembel."
"Apakah arti lima ikan lele" Lagi pula kami tidak membelinya. Kami hanya mengambil dari sungai. Kalau kamu ingin membalas budi, nah lemparkan uangmu ke dalam sungai."
Gagak Seta terkekeh-kekeh. Mendadak Titisari menyambung.
"Kamu tadi ingin menikmati minuman hangat pada malam hari begini" Bagus! Tunggulah
barang sebentar! Aku akan memasak kopi untukmu."
"Hai! Hai! Jangan! Jangan! Bagaimana aku bisa menerima pemberianmu?" teriak Gagak Seta.
Tetapi sekali lagi mulutnya mengucap demikian, tangannya lantas saja mengeluarkan tempurung usang dari dalam ikat pinggangnya dan terus diangsurkan kepada gadis itu.
Titisari tersenyum geli sambil mengerlingkan mata kepada Sangaji.
"E-hem! Anak muda!" kata Gagak Seta kepada Sangaji. "Apakah dia isterimu?"
Merah muka Sangaji mendengar pertanyaan itu. Belum lagi dia menjawab, Gagak Seta
meneruskan. "Dia begitu pintar dan cekatan. Kau sangat beruntung! Hm... sekiranya dulu ada yang sudi jadi istriku dan kemudian mempunyai anak gadis seperti dia, tanggung kukantongi selama hidupku.
Kau tak bakal bertemu, anak muda. Eh, siapa namamu?"
Sangaji hendak membuka mulut, tetapi sekali lagi Gagak Seta memotong.
"Kulihat tadi kedua kudamu kehujanan di luar. Apa kamu mau membiarkan binatang-binatang itu sakit perut?"
Teringat akan kudanya, Sangaji terkejut. Ya, kedua kudanya tadi belum lagi diteduhkan ke dalam gua. Ia hanya mencencangnya begitu saja di bawah mahkota dedaunan. Sama sekali tak terpikirkan, kalau mahkota dedaunan belum tentu dapat melindungi deras hujan turun terusmenerus tiada hentinya. Serentak ia meloncat dan melesat ke luar gua. Hujan deras tak
diacuhkan, Pakaiannya yang kotor kena debu gua sewaktu berkelahi tadi, cepat jadi basah kuyup.
Gagak Seta mengawaskan dengan meng-urut-urut jenggotnya yang berwarna kelabu. Berkata
kepada Titisari, "Apa dia suamimu?"
Tadi Titisari mendengar Gagak Seta menegas kepada Sangaji tentang hubungannya. Gadis itu ingin sekali mendengarkan jawaban Sangaji. Kini, di luar dugaannya dia pun menghadapi suatu pertanyaan yang mestinya mudah, tapi tiba-tiba begitu sulit. Sampai otaknya yang cerdaspun tak kuasa menjawab. Mau dia mengiakan, mendadak saja jantungnya berdegupan.
Gagak Seta tidak mendesak. Ia hanya tertawa perlahan sambil berputar menghadap padanya.
"Anak muda itu seperti tabiatku."
"Apakah yang sama?" Titisari menyahut sulit mengatasi perasaannya.
"Agak ketolol-tololan, seperti masa mudaku. Mungkin otaknya bebal. Coba lihat! Terhadap binatang saja, dia berani membiarkan dirinya kehujanan. Apakah kekuatan tubuhnya jauh lebih kuat daripada kuda?"
Orang tua itu lantas tertawa terkekeh-kekeh.
"Justru demikian, aku senang berkawan dengan dia," Titisari membela.
"Hai! Kawan?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa" Kalau terhadap binatang saja dia begitu memperhatikan, terlebih-lebih terhadap seorang manusia."
"Bagus!" Gagak Seta tertawa menggelora.
"Mengapa kamu tertawa?"
"Aku ingin tertawa dan tertawalah aku. Siapakah yang melarang orang tertawa?" Gagak Seta menyahut cepat. Kemudian berkata kepada dirinya sendiri. "Alangkah untung kawanmu itu... eh suamimu... eh kawanmu. His! His! Kurangajar mulut ini."
Tahulah Titisari, bahwa orang tua itu sedang menggoda padanya. Sekaligus merahlah mukanya dan hatinya jadi mendongkol. Hanya aneh, dalam hati kecilnya terbersit rasa syukur yang
membahagiakan. Tetapi seorang perempuan bukanlah perempuan, apabila tak bisa main
sandiwara. Maka dengan wajah cemberut ia mengangsurkan tempurung Gagak Seta kepada
pemiliknya kembali. "Baik. Terimalah harta-bendamu ini kembali. Aku tak mau memasakkan kopi bagimu."
"Hai! Hai! Mengapa?" Gagak Seta terkejut.
"Tak senang aku kau olok-olok."
"Siapa yang mengolok-olok?"
"Kau tadi ngomong apa?"
"Itu kan mulutku. Dan mulutku bukan aku!"
Gagak Seta membela diri sungguh-sungguh. Dan mau tak mau Titisari tertawa geli juga dalam hati, menyaksikan perangai orang itu yang aneh. Pikirnya, memang benar kata orang.
Bahwasanya orang yang berilmu tinggi seringkah mempunyai tabiat-tabiat dan kebiasaan-
kebiasaan yang aneh serta edan-edanan. Maka ia mengurungkan niatnya dan segera ia
membungkuki perdiangan memasak kopi.
Dalam pada itu, Sangaji telah memasukkan kedua kudanya. Karena tiada tonggak atau batu
yang mencongakkan diri dari dinding gua, terpaksa ia menghunus pedang pemberian Mayor
Willem Erbefeld dan ditancapkan ke tanah dengan sekali tetak. Kemudian ia mengikat kendali kedua kudanya sekaligus.
"Hai anak muda! Apa kamu mau tidur bersama kuda?"
"Apakah sekiranya mengganggu Paman?" balas Sangaji bertanya.
"Tidak! Tidak! Sama sekali tidak!" Gagak Seta menyahut dan terus berbaring di tanah. Sebentar saja ia mendengkur bagaikan babi hutan.
Heran Sangaji mengamat-amati. Kemudian dengan berjingkat-jingkat ia menghampiri. Sekali
lagi ia memeriksa dan mengamat-amati. Dan benar-benar orang tua itu tidur mendengkur. Aneh, pikirnya, la habis berbicara dengan suara kuat. Lalu dengan tiba-tiba bisa tertidur begitu gampang.
Ilmu apakah ini" Tertarik kepada tingkah-laku Gagak Seta yang aneh itu.
"Kukira dia benar-benar tidur," kata Titisari yakin. "Ayahku pernah membicarakan tentang suatu ilmu penutup panca-indera yang bisa tahan terhadap segala senjata tajam atau racun. Ilmu itu namanya Keyong Buntet. Aku sendiri belum pernah menjumpai seseorang yang berilmu demikian.
Tetapi mengingat dia pernah bertempur berkali-kali melawan Ayah, pastilah ia bukan orang sembarangan."
"Dia?" Titisari mengangguk. "Apakah perkaranya?" Sangaji minta keterangan.
"Itulah soal orang-orang tua. Kamu kenal nama-nama tokoh sakti pada zaman ini" Yang pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kemudian ayahku. Kemudian dia"Gagak Seta. Dan keempat,
Seorang tokoh dari perbatasan Jawa Barat. Nama gelarnya Kebo Bangah."
Hai! Apakah dia Gagak Seta yang pernah dibicarakan guruku" pikir Sangaji. Hatinya terkesiap.
Lantas saja dengan hormat ia menjauhi. Berkata pada Titisari setengah berbisik, "Dulu aku pernah mendengar Ki Tunjungbiru menyebut-nyebut namanya tatkala berjumpa dengan kedua guruku.
Ah! Inilah anehnya!"
"Apakah di jagad ini ada sesuatu peristiwa yang kebetulan" Kenapa aku bisa berjumpa dengan dia?"
Titisari tidak menjawab. Dengan berdiam diri ia menyiduk air panas dengan tempurung Gagak Seta. Kemudian menghampiri orang tua itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, kau mau apa?" Sangaji terkejut.
"Ingin kutahu, apakah benar-benar Gagak Seta dan apakah dia benar-benar memiliki ilmu Keyong Buntet," sahut Titisari. "Sekiranya dia berilmu Keyong Buntet, pastilah kulitnya tidak mempan dan dia pun tidak bergeming, sekiranya tidak memiliki, pastilah dia bisa menghindari sebelum air mendidih ini menyiram tubuhnya."
Dan berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan ia menyiramkan air panas itu. Sangaji
terkesiap bukan kepalang. Mau ia meloncat mencegah sedapat-dapatnya. Mendadak saja ia
melihat suatu keanehan. Orang tua itu seperti tak mempunyai rasa. la tetap tidur mendengkur dan tubuhnya tak bergeming.
Semenjak kanak-kanak, Sangaji hidup di Jakarta dan bergaul rapat dengan kompeni-kompeni
Belanda. Sedikit banyak, cara berpikir orang-orang Barat terekam juga dalam benaknya. Terhadap ilmu-ilmu sakti, tak pernah ia mendengar kabar. Kecuali tatkala bertemu dengan Panembahan Tirtomoyo dan mendapat keterangan daripadanya. Namun demikian, tak pernah ia yakin bahwa ilmu yang disebutkan Titisari benar-benar bisa membuat kulit daging begitu kebal. Pikirnya, apakah benar ilmu itu yang melindungi tubuhnya atau dia penjelmaan siluman"
Sambil berjalan kembali ke perdiangan, Titisari berkata, "Aji! Barangkali kamu belum pernah melihat wayang kulit."
"Ya. Kenapa?" "Kalau kamu sekali melihat, kutanggung akan tertarik. Sebab di sana kamu akan mengenal banyak sekali tokoh-tokoh sakti yang disebut orang, Ksatria. Seorang ksatria mengutamakan kegesitan yang kecerdasannya apabila bertempur melawan raksasa. Dia cekatan dan berusaha jangan sampai kena sentuh. Itulah ilmu yang kita pelajari dan kita kenal pula. Tetapi di samping itu, ada pula suatu ilmu sebagai pagar diri. Yakni, ilmu kekebalan yang disebut ilmu Kedotan.
Barangsiapa memiliki ilmu itu tak gampang-gampang bisa dilukai senjata. Itulah yang belum pernah kaukenal. Kau percaya tidak?"
Perlahan-lahan Sangaji duduk berjongkok sambil mengamat-amati tubuh Gagak Seta. Berkata
setengah berbisik, "Pernah aku mendengar pengertian itu dari Panembahan Tirtomoyo."
"Dan kamu sangsi, bukan?"
"Ya." "Sekarang kamu telah menyaksikan kejadian aneh di depan matamu. Bagaimana pendapatmu?"
Sangaji tak cepat menjawab, la seperti lagi bergulat penuh selidik. Akhirnya berkata sambil melepas napas.
"Titisari! Entahlah! Otakku bebal dan aku merasa dungu. Bagiku... kalau aku sendiri belum memiliki dan merasakan sendiri pula, rasanya aku belum bisa mengiyakan. Entahlah... mengapa aku mempunyai pendapat demikian" Tak salah bukan?"
Titisari meruntuhkan pandang ke perdiangan. la membungkam. Meskipun otaknya cerdas luar
biasa, bagaimana dia bisa mengadili ucapan Sangaji yang dinyatakan dengan jujur. Sangaji sendiripun tak pernah mengira kalau pernyataan itu dikemudian hari akan terjadi. Dia tidak hanya memiliki ilmu semacam itu, bahkan akan memiliki suatu ilmu tertinggi di jagad ini.
Waktu itu, air telah mendidih benar-benar. Dengan cekatan Titisari mengaduk bubuk kopi.
Harum kopi mengasap ke seluruh ruang goa. Mendadak saja, hidung Gagak Seta bergerak-gerak.
Belum lagi Titisari selesai mengadukkan gula, orang tua itu sudah melesat dan sekaligus
menyambar tempurungnya. "Harum! Harum! Eh, Hidungku! Hm... kau percaya tidak anak muda" Hidungku ini nyaris kupotong sendiri karena begitu galak."
Sangaji dan Titisari terperanjat. Sama sekali mereka tak mengira, orang tua itu bisa bangun dengan sekonyong-konyong. Tadi ia tak bergeming karena siraman air panas. Tapi dengan hawa kopi hangat belaka, hidungnya bisa mengajak bangun. Ini aneh dan menggelikan.
Mau tak mau, kedua pemuda itu sibuk menduga-duga pribadi pendekar sakti tersebut.
"Ah, Nona kecil! Benar-benar aku takluk padamu," kata Gagak Seta setelah menghirup kopinya.
"Hm, begini lezat. Sepuluh tahun lamanya aku pernah mengaduk-aduk dapur istana Kasunanan dan Kasultanan. Tak pernah sekali juga, aku menikmati kopi sehebat ini. Barangkali benar-benar kamu anak iblis."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berkata demikian, ia tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian dengan mulut serabutan ia
mencoba menghirup habis kopinya.
Titisari waktu itu membuat tiga tempurung kopi. Sebenarnya satu untuk Sangaji dan lain
untuknya sendiri. Tetapi ketika melihat keserakahan Gagak Seta, ia menyerahkan kopinya. Bahkan Sangaji dengan hormat berbuat demikian juga.
"Hai! Apa kalian akan menyuapku?" tegur Gagak Seta seperti uring-uringan. Tetapi ia menerima juga suguhan. Dan dengan sekali hirup, ia menghabisi riwayat kopi hangat pada malam hari itu.
"Hai! Hai! Perutku!" Gagak Seta menyesali perutnya sendiri. Lantas ia mengeluarkan seonggok tembakau dan seikat kelobot (kulit jagung).
Dengan penuh kepuasan, ia menggulung sebatang rokok raksasa dan disumpalkan ke dalam
mulutnya. Sangaji melompat ke per-diangan menolong menyalakan, kemudian duduk dengan
takzim di depannya. "Hm," dengus Gagak Seta sambil mengepulkan asap ke udara. "Aku tahu, kalian begini bersikap baik kepadaku karena mempunyai maksud yang tidak baik. Kalian mau menyuapku, agar aku sudi mengajari sesuatu ilmu bukan?"
Sangaji hendak membantah, mendadak ia melihat pandang mata Titisari memberi isyarat
kepadanya. Karena itu ia batal sendiri.
"Baiklah! Tak mengapa. Aku telah menenggak kopi dan semua ikan kalian. Rasanya kurang adil, jika aku tak membayar dengan sepantasnya. Nah, aku ingin kalian memperlihatkan kepandaian macam apa kepadaku."
Sangaji menoleh kepada Titisari minta pertimbangan. Gadis itu mengangguk kecil. Dan mereka berdua lantas berdiri.
"Paman!" tiba-tiba Titisari berkata, "Sama sekali tak kuduga bahwa Paman seorang jahat."
"Jahat?" Gagak Seta heran. "Paman berpura-pura tidur untuk mendengarkan pembicaraan kami bukan?"
Sebentar Gagak Seta terhentak. Kemudian menangkis, "Baik. Aku mendengar semua
pembicaraanmu, Apa salahnya?"
"Bagus!" Titisari membalas. "Kami pun menyuguh seseorang sekedarnya, karena kami hanya mempunyai beberapa ekor ikan lele, sambel dan kopi. Tapi Paman mengatakan tidak baik.
Manakah yang tidak baik."
Kembali Gagak Seta terhenyak. Kemudian tertawa meledak.
"Iblis kecil! Kau benar-benar licik!" serunya, "Baiklah, aku mengaku kalah. Tetapi seumpama orang membayar, aku masih kurang satu lagi. Aku menggerogoti ikan-ikanmu dan kalian sudah menagih bayarannya dengan menyiram air panas. Aku telah menghirup habis kopimu... Nah,
untuk ini aku belum membayar. Sekarang mau kutebus dan kubayar hutang itu. Karena aku tak sudi berhutang budi pada kalian."
"Paman sudi membayar, juga baik. Tidak membayar pun, baik pula."
"Kenapa?" "Sebab dalam hal ini tidak ada jual-beli. Kalau aku menyiram air panas, bukan maksudku menagih bayaran. Sama sekali tidak! Tapi semata-mata, karena ingin mendapat keyakinan apakah Paman benar-benar tokoh sakti bernama Gagak Seta."
"Apa ada yang bakal memalsu?" Gagak Seta memotong.
"Apa ada Gagak Seta palsu?" Titisari tak mau mengalah.
"Di manakah Gagak Seta palsu?" Gagak Seta tersinggung.
"Kalau Paman sudah yakin tidak Gagak Seta palsu, mengapa Paman membicarakan perkara palsu dan tulen?"
Untuk ketiga kalinya, Gagak Seta terhenyak, la mengamat-amati Titisari secermat-cermat.
Kemudian tertawa berkakakan.
"Belut kecil! Benar-benar kamu seperti anak iblis!" serunya kagum. Kemudian mengalihkan pembicaraan, "Baik! Nah, kamu anak muda, siapakah namamu?"
Sangaji yang semenjak tadi berdiam diri, kemudian menjawab, "Namaku Sangaji. Dan dia Titisari."
"Hm, nama bagus! Kamu mau minta pelajaran ilmu apa" Bilang! aku akan mengajarimu sejurus dua jurus sampai bisa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji diam berpikir. Tak tahu dia apakah yang harus dikemukakan. Dalam soal ilmu
kepandaian tata-berkelahi sesungguhnya pengetahuannya kurang luas. Maklumlah, dia hanya
menjadi murid Jaga Saradenta dan Wirapati dalam waktu empat tahun saja.
Selama itu"karena tergesa-gesa, kedua gurunya tak pernah memberinya pengertian tentang
macam ilmu yang berada di persada bumi ini.
"Paman Gagak Seta." Tiba-tiba Titisari menolong dia berbicara. "Dia ini seorang laki-laki yang sok uring-uringan. Dia gampang marah. Kalau dia kalah bertanding melawanku, dia
menggeremengi aku sepanjang hari sampai kupingku ngeri dibuatnya."
"Hai! Kapan aku pernah menggeremengimu... ?" Sangaji memotong tergegap-gegap. Tetapi kakinya terus digencet Titisari, sehingga tahulah dia bahwa kawannya itu sedang mengarang cerita burung. Maka terpaksa ia membungkam mulut.
Gagak Seta tertawa. Sebagai seorang tokoh sakti tahulah dia, bahwa gadis cilik itu sedang mencari alasan untuk menutupi kedunguan Sangaji dalam lapangan ilmu berkelahi. Tetapi ia berdiam membungkam mulut.
"Kulihat gerak-gerik kalian, bukan seorang segoblok kerbau. Paling tidak, kalian sudah pernah belajar berkelahi lima tahun. Sekarang, coba kalian bertempur! Ingin aku melihat."
Titisari segera mengajak Sangaji berkelahi. "Ayo, Aji! Kita bertempur."
"Bertempur?" Sangaji berbimbang-bimbang.
"Ya. Bertempur! Kalau kamu tak memperlihatkan seluruh kepandaianmu, bagaimana Paman Gagak Seta sudi mengajarimu?"
Sangaji menyahut setelah sejurus diam menimbang-nimbang.
"Tetapi... kalau aku tak becus, janganlah menyalahkan guruku. Semua itu terjadi karena ketololanku. Paman Gagak Seta, berilah aku petunjuk-petunjuk yang berguna bagiku."
Gagak Seta tersenyum menjawab, "Memberi petunjuk satu dua jurus, tak mengapa. Tetapi memberi petunjuk lebih dari lima jurus, itu lain perkara."
Sangaji heran mendengar jawaban orang itu. Tetapi belum sempat ia berpikir, mendadak saja Titisari telah menyerangnya sungguh-sungguh.
"Awas!" gertaknya.
Sangaji benar-benar diserangnya bertubi-tubi. Karena
tidak berniat berkelahi bersungguh-sungguh, maka ia kena
gebuk empat kali beruntun.
"Berkelahilah yang sungguh-sungguh! Paman Gagak Seta
bukan orang sembarangan. Dia tahu, kamu berkelahi dengan
sungguh-sungguh atau tidak," bisik Titisari.
Karena bisikan itu, terbangunlah semangat Sangaji. Maka
ia terus saja menangkis si gadis dan sekali-kali melepaskan
serangannya. Dalam hal tenaga dan keuletan, Sangaji
menang jauh daripada Titisari. Maklumlah, selain watak asli,
Sangaji telah menghisap getah pohon Dewadaru. Gerakannya
gesit dan kuat. Setiap pukulannya mengandung perbawa.
Tetapi Titisari pun bukan seorang gadis sembarangan. Dia
anak Adipati Karimun Jawa Surengpati. Meskipun belum
sempurna setidak-tidaknya ia pernah mendapat didikan dan
asuhan ayahnya. Karena itu, gerak-geriknya luar biasa aneh
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan gesit, la mengenal macam-macam ilmu. Tatkala ia kena
desak, mendadak saja dua tangannya ditarik seolah-olah meringkaskan diri. Kemudian di luar dugaan, ia menyapu tubuh Sangaji dari bawah.
"Bagus!" puji Gagak Seta gembira. "Kamu siluman cerdik."
Sangaji kena hantam beberapa kali, tetapi ia belum mampu membalas. Maka ia mau mendesak
Titisari dengan sungguh-sungguh. Tenaganya berlipat ganda. Dalam tubuhnya seakan-akan ada suatu bendungan air yang hendak membobol tanggul. Hanya sayang, ia belum pandai
menyalurkan. Itulah sebabnya, tenaga yang dahsyat hanya tersekap dalam tubuh seperti air bergolak. Sekalipun demikian, ia nampak bersemangat. Beberapa kali ia merangsak dan
mendesak. Kini, Titisari benar-benar repot. Seumpama bertempur benar-benar ia akan dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dikalahkan Sangaji dalam waktu tiga jam lagi. Maklumlah, tenaganya takkan mampu menandingi tenaga getah Dewadaru. Gagak Seta sendiri, diam-diam heran, pikirnya, anak goblog ini seperti punya mukjizat. Eh, mukjizat apa yang dimilikinya"
Sejalan dengan pikirannya, ia melihat Titisari kena desak Sangaji sampai ke pojok. Mendadak saja di luar dugaan, gadis itu mengeluarkan ilmu simpanannya ajaran khas dari ayahnya. Itulah ilmu "Meninju Udara Kosong" yang terkenal dengan sebutan "Ilmu Gora Mandala." Seseorang yang sudah mahir ilmu ini akan dapat mementalkan seekor kerbau dari jarak dua puluh langkah. Bisa dibayangkan betapa dahsyat ilmu ini. Konon pada zaman dulu, yang terkenal memiliki ilmu ini adalah pahlawan Majapahit Kasan-Kusen dan Adipati Jipang Panolan Arya Penangsang. Mereka diceritakan bisa menggugurkan gunung dengan sekali hantam dari jarak jauh.
Itulah sebabnya, begitu Titisari mengeluarkan ilmu dahsyat simpanannya, lantas saja ia bisa mengatasi kekalahannya. Untung, dia belum mahir. Bahkan belum menguasai sepertujuh bagian.
Karena itu hanya dapat membuat Sangaji repot karena gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang aneh luar biasa. Enam kali ia berhasil menghantam tubuh Sangaji. Kemudian meloncat ke luar gelanggang sambil tertawa.
"Titisari, kamu hebat!" Sangaji kagum. Matanya berkilat-kilat karena girang.
Waktu itu Gagak Seta mengerenyitkan dahi.
"Ayahmu memiliki ilmu kepandaian yang jarang ada tandingnya di jagad ini. Mengapa kamu menghendaki aku mengajar dua tiga jurus kepadamu" Apa kamu mau mengolok-olokku?" katanya dengan suara dingin.
Titisari terperanjat. Pikirnya, darimana dia mengenal ilmu ayahku" Bukankah Ilmu Gora
Mandala ciptaan ayah sendiri" Sehabis berpikir demikian, segera ia bertanya, "Paman! Apakah Paman kenal ayahku?"
"Mengapa tidak?" sahut Gagak Seta dengan suara agak keras. "Dia iblis! Siluman dari Karimun Jawa. Sedangkan aku dijuluki orang Gagak Seta. Meskipun namaku sebenarnya, Saring. Kami
pernah bertempur setiap setahun sekali untuk menguji kepandaian."
Titisari heran. Sebagai anak Adipati Surengpati tahulah dia, bahwa ayahnya sangat ditakuti orang. Ilmunya tinggi dan belum pernah bertempur melawan seseorang melebihi tiga jurus.
Karena itu diam-diam ia berpikir, dia pernah bertempur beberapa kali melawan Ayah. Dia masih tetap segar bugar. Kalau tak memiliki ilmu tinggi, bagaimana mungkin bisa bertanding melawan Ayah. Kemudian ia mencoba.
"Paman! Bagaimana Paman bisa mengenalku?"
"Kalau aku belum mengenalmu sebelumnya, bagaimana aku berani menyebut dirimu sebagai anak iblis. Coba, larilah kamu ke danau. Jengukkan mukamu ke permukaan air. Pandang matamu, bentuk mukamu dan alismu, bukankah seperti wajah siluman dari Karimun Jawa" Apa lagi setelah melihat cara berkelahimu. Hm, meskipun belum pernah aku berjumpa denganmu, tetapi ilmu Gora Mandala itu takkan muncul di depan mataku, apabila bukan keluarga siluman dari Karimun Jawa.
Di seluruh jagad ini, hanya ayahmu yang memperdalamnya."
Titisari mendongkol, mendengar Gagak Seta selalu menyebut ayahnya sebagai siluman, tetapi ia tahu kalau sebutan itu sebenarnya adalah tata-sikap menghargai ayahnya. Maka ia bisa
berlagak tak menghiraukan.
"Paman selalu menyebut ayahku sebagai siluman. Maksud Paman hendak berkata bahwa
ayahku hebat bukan?"
"Memang ayahmu hebat!" sahut Gagak Seta dingin. "Tetapi dia bukanlah nomor wahid di kolong langit ini."
Titisari melompat kecil karena girang dan bangga, katanya nyaring.
"Kalau begitu, Pamanlah orang nomor wahid di kolong langit ini."
"Itu pun bukan," bantah Gagak Seta. "Pastilah kamu pernah mendengar, bahwa di kolong langit ini ada tujuh orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti. Bih! Inilah gelar berlebih-lebihan.
Kami, Kyai Kasan Kesambi, Mangkubumi 1, Pangeran Samber Nyawa, Kebo Bangah, Kyai Haji
Lukman Hakim, ayahmu dan aku adalah manusia-manusia biasa yang terdiri dari darah dan
daging. Kami hanya memiliki suatu kepandaian sedikit dan pada suatu kali pernah mengadu
kepandaian. Ternyata yang kami akui nomor satu ialah Kyai Kasan Kesambi. Dan kedua Pangeran Mangkubumi 1."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah Kyai Kasan Kesambi?" Titisari minta keterangan.
"Apakah ayahmu tak pernah membicarakan dia?" Titisari menggelengkan kepala.
"Aku tahu," tiba-tiba Sangaji menyela.
Titisari dan Gagak Seta menoleh padanya. Mereka nampak heran.
"Darimana kamu tahu!" Titisari bertanya.
"Guruku bernama Wirapati. Menurut guru, Kyai Kasan Kesambi adalah gurunya. Jadi dia adalah kakek-guruku."
"Hai!" Gagak Seta terperanjat. "Jika demikian, kalian ini minum air dari suatu sumber hebat!
Mengapa kalian minta pengajaran daripadaku?"
"Benar ayahku seorang berilmu tinggi, tapi dia terlalu angkuh," kata Titisari. "Aku bahkan diusirnya pergi."
"Hai! Hai! Siluman itu bertambah hari bertambah sesat!" maki Gagak Seta.
Titisari tak senang mendengar Gagak Seta memaki ayahnya.
"Dia adalah ayahku. Tak senang aku mendengar Paman memaki Ayah sebagai siluman sesat."
Gagak Seta tercengang mendengar teguran Titisari. Kemudian tertawa berkakakan sambil
berkata, "Bagus! Bagus! Inilah namanya si anak berbakti kepada orangtua. Tetapi orangtua menyia-nyiakan si anak."
Sehabis berkata demikian, ia menoleh kepada Sangaji. "Hai anak lolol! Kamu mengaku cucu-murid Kyai Kasan Kesambi. Tapi kamu tak dapat berkelahi dengan baik. Entah kakekmu itu hendak mendidikmu sebagai pendeta atau memang kamulah yang goblok."
"Akulah yang goblok," sahut Sangaji.
Gagak Seta terhenyak heran. Sebentar ia mengamat-amati pemuda itu. Kemudian berkata
sambil memanggut-manggut kecil.
"Tahulah aku kini. Anak murid Kyai Kasan Kesambi sudi mengambilmu sebagai murid, karena kamu seorang berhati jujur. Tapi sayang... menjadi seorang pendekar tidak hanya mengutamakan kejujuran belaka, la harus sanggup mengatasi segala hal. Tidak hanya yang nampak terang, tetapi yang busuk pun harus bisa melihat dan mengatasi dengan sekali pandang. Bakatmu sangat
miskin. Karena itu aku heran, mengapa puteri seorang Adipati Karimun Jawa sudi berkawan
denganmu." Sangaji tak bersakit hati. Dia malah tertawa. Titisari pun tidak tersinggung pula. Dengan merendahkan diri dia menyahut, "Paman! Justru dia tolol, aku senang bila dia bisa berkawan dengan Paman. Ayahku belum pernah melihat dia. Kelak apabila melihatnya, pastilah kawanku ini bisa membanggakan diri sebagai teman Paman Gagak Seta. Aku tanggung, ayahku akan segan
begitu mendengar kawanku menyebut nama Paman Gagak Seta."
"Iblis kecil!" maki Gagak Seta. "Kepandaian ayahmu belum kau warisi sepersepuluh bagian.
Tetapi sifat iblisnya telah kau warisi seluruhnya. Apakah aku begitu tolol sampai kena kau sanjung puji" Kau berdua tak pantas menjadi kawanku. Yang satu goblog dan yang lain anak iblis. Selamat malam."
Sehabis berkata demikian, dengan suatu kesehatan luar biasa ia menyambar tempurungnya.
Dan tahu-tahu tubuhnya telah melesat ke luar gua.
Sangaji tercengang-cengang sampai mulutnya terlongoh. Dia berdiri tertegun mengawasi
melesatnya Gagak Seta. "Titisari!" katanya sejurus kemudian. "Benar-benar dia seorang yang luar biasa. Tabiatnya pun luar biasa pula."
"Sebenarnya dia seorang yang baik hati. Hatinya mulia pula," sahut Titisari sambil duduk terhenyak seperti menghempaskan diri. Tetapi sesungguhnya dia seorang gadis yang cerdik luar biasa. Dengan ketajaman matanya, ia melihat kuping Willem dan kawannya tegak. Suatu tanda, bahwa binatang itu melihat sesuatu.
Telah diketahui bahwa ketajaman indera binatang jauh lebih tajam daripada indera manusia.
Maka ia menduga, kalau Gagak Seta belum meninggalkan gua sungguh-sungguh. Mempunyai
dugaan demikian lantas saja dia berkata seperti menyesali diri.
"Aji! Dengan sebenarnya kukatakan kepadamu, ilmunya lebih tinggi daripada Ayah. Sayang, dia terlalu cepat meninggalkan kita..."
Sangaji heran. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kamu belum pernah menyaksikan macam kepandaiannya. Mengapa kamu bisa berkata
demikian?" "Ayahku sering berkata kepadaku."
"Apa katanya?" "Ayahku berkata, bahwa pada zaman ini orang yang bisa mengalahkan dia hanya Paman Gagak Seta seorang. Kyai Kasan Kesambi pun tak mampu. Sebab orang tua itu sudah menarik diri dan hidup sebagai pertapa belaka. Sayang! Sungguh sayang! Sekiranya kita bisa memperoleh warisan kepandaiannya, ayahku yang mengusirku akan terkejut bila melihat kepandaianku. Pasti dia tak berani sembrono lagi mengusirku."
Dugaan Titisari benar-benar tepat. Gagak Seta belum meninggalkan gua. Memang tadi, ia
hendak meninggalkan gua. Tetapi hujan belum lagi reda dan ia tahu, kalau sekitar tempat itu tidak ada gua lagi. Maka dia memepet dinding mulut gua sambil memasang telinga. Inginlah dia tahu, apa yang dibicarakan anak iblis itu. la yakin, bahwa Titisari dan Sangaji takkan mengetahui dirinya.
Tetapi orang pandai pun kadang-kadang bisa salah duga. la tak memperhitungkan tentang kedua kuda anak-anak muda itu yang mempunyai indera jauh lebih tajam daripada kodrat manusia.
Maka ia kena dipermainkan Titisari.
Pikir orang tua itu, eh"nampaknya Adipati Surengpati tak pernah mengagumi diriku. Tak
tahunya, di dalam hatinya ia menghormati dan menghargai aku. Siapa menyangka demikian" la menjadi berbesar hati, bangga dan puas. Hatinya berubah menjadi senang. Sama sekali tak
diduganya pula kalau Titisari sebenarnya lagi mereka-reka cerita.
"Aji!" kata Titisari. "Kukatakan kepadamu, bahwa ayahku memang seorang pendekar tiada bandingnya. Kau pasti sudah pernah mendengar kemasyhuran namanya."
"Ya. Pernah aku mendengar nama ayahmu disebut-sebut Ki Tunjungbiru," sahut anak muda itu dengan sungguh-sungguh.
"Hanya sayang, aku belum pernah berguru kepadanya. Ilmu yang kutuntut daripadanya, hanya sekelumit. Inilah kesalahanku sendiri. Semenjak kanak-kanak, aku senang dimanjakan. Kurang rajin dan senang bermain-main mencari ikan dengan para nelayan. Coba, kalau aku tidak begitu, pasti aku sudah bisa menghajar orang-orang macam Yuyu Rumpung dan begundal-begundal
Pangeran Bumi Gede." Sampai di sini Titisari nampak bermurung. Pandangnya diruntuhkan ke tanah dan seolah-olah dia benar-benar sedang berduka. Tapi sebenarnya dia lagi bermain
sandiwara. Kemudian meneruskan, "Tadi sewaktu aku bertemu dengan Paman Gagak Seta, hatiku yang penuh sesal sekaligus bisa tersapu bersih. Kenapa" Sebab aku berpengharapan bisa berguru kepadanya. Ilmunya lebih tinggi daripada Ayah. Jika aku pulang membekal tiga, empat ilmunya saja sudah berani berlagak di depan Ayah. Sayang... sungguh sayang! Apakah kata-kataku
menyinggung perasaan hati Paman Gagak Seta?"
"Titisari! Perasaanku tak sehalus kamu. Sama sekali tak dapat menjelaskan, apakah kamu tadi menyinggung perasaan Paman Gagak Seta," sahut Sangaji gugup sebab anak muda itu melihat kedua mata Titisari nyaris menitikkan air mata.
"Ah! Pasti aku telah menyinggung perasaannya. Baik kusadari maupun tidak. Sebab dia adalah seorang pendekar yang berhati mulia. Jika tidak tersinggung perasaannya, mengapa sampai
meninggalkan kita?" Titisari nampak berduka benar. Mendadak saja dia menangis. Hebat permainan sandiwaranya.
Sebaliknya Sangaji jadi gugup benar. Dengan sekuasa-kuasanya, ia mencoba menghiburnya
dengan memeluk lehernya. Karena hiburan dan pelukan Sangaji itu, tiba-tiba Titisari menjadi bersedih hati benar-benar. Tangisnya kian naik. Kali ini benar-benar menangis terharu, karena merasa diri anak yatim-piatu. Ibunya telah tiada dan ia berada jauh di rantau orang.
Gagak Seta yang berdiri memepet dinding gua, menjadi tertarik hatinya. Orang tua itu mengira, bahwa gadis itu lagi menangisi dirinya.
"Aji!" kata Titisari tersekat-sekat. "Ayah pernah berkata kepadaku, bahwa Paman Gagak Seta mempunyai suatu ilmu sakti tiada bandingnya di kolong langit ini. Menurut ayah, ilmunya itu sangat disegani rekan-rekannya. Sampai Kyai Kasan Kesambi dan Pangeran Mangkubumi segan
pula kepadanya. Kabarnya Raden Mas Said gelar Pangeran Samber Nyawa itu pun, takut
kepadanya. Tapi ilmu apakah itu... ah aku lupa. Hm... kalau kita berdua bisa mewarisi ilmu itu... o, betapa goncang dunia ini. Ah... hm... ilmu apakah itu" Mengapa aku kini jadi pelupa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari berlagak seperti menyesali kebebalan ingatannya. Sebaliknya Gagak Seta masih belum juga sadar, bahwa dirinya lagi dipermainkan orang. Karena Titisari terlalu memuja ilmunya dan memuji dirinya begitu berkali-kali dan nampak bersungguh-sungguh, ia jadi tak kuat menahan hati. Lantas saja ia melesat memasuki gua, sambil berkata menerangkan.
"Ilmu itu bernama Kumayan Jati."
Titisari terkejut bukan kepalang. Tetapi ia girang luar biasa. Segera menyahut, "Ya benar!
Benar!" Sehabis berkata demikian, ia berdiri dan melompat-lompat setengah menandak sambil
merangkul leher Sangaji. Sudah barang tentu, anak muda itu jadi kelabakan. Ia sudah terperanjat oleh kedatangan Gagak Seta kembali, kini ditambah dengan tingkah-laku Titisari yang bisa berubah mendadak dari menangis jadi girang luar biasa. Dia yang berhati polos dan jujur, bagaimana bisa mengerti permainan sandiwara itu.
Pedang Tanpa Perasaan 14 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Riang 10
menurunkan tangannya semau-maunya sendiri, la bisa dikutungi, diputuskan urat-nadinya, dicukil matanya atau dicabut lidahnya. Memikirkan ancaman hukuman ini, hatinya jadi keder sampai seluruh tubuhnya menggigil.
Guru adalah seorang yang keras hati dan keras kepala. Jika ia mempunyai tujuan, takkan dapat dilepaskan jika belum tercapai. Titisari adalah anak satu-satunya. Bagaimana bisa guru
membiarkan dia merantau mengarungi lautan seorang diri" Hm... apakah benar guru berada tak jauh dari sini" pikirnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adik kecil!" akhirnya ia memutuskan. "Kali ini biarlah kita berpisah di sini untuk selama-lamanya. Meskipun aku murid murtad, aku masih menghormati ayahmu sebagai guru. Selama
hidupku, dia akan kusembah sebagai dewaku juga. Karena hari ini aku tak dapat menemui,
sudikah kamu mewakiliku menyampaikan sembah sujudku?"
Sehabis berkata begitu, kemudian ia menjejak tanah berjumpalitan. Dan sebentar saja
bayangnya tidak nampak lagi.
Semua orang kagum menyaksikan keperkasaan si iblis. Pantas semenjak Perang Giyanti orang segan kepadanya. Ternyata namanya tiada kosong melompong. Benar-benar ia manusia tangguh dan sukar dilawan.
Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan hendak menghampiri
Titisari, mendadak saja mereka mendengar suara gedebukan orang lagi bertempur. Begitu
menoleh, mereka melihat Sangaji dan Nuraini sedang dalam bahaya kena gempuran Yuyu
Rumpung. Tanpa diminta lagi. Wirapati terus saja melesat menghampiri sambil mengirimkan
bogem mentah. Tentu saja, Yuyu Rumpung yang masih kesakit-sakit-an terkejut mendengar
kesiur angin, la sadar kalau lawannya kali ini bukan seempuk Sangaji. Maka cepat-cepat ia bergeser tempat. Tetapi serangan Wirapati bukan serangan murahan. Begitu serangannya yang pertama kena dihindari, lantas saja menyusullah serangannya yang kedua dan ketiga. Kena
diberondong serangan berantai demikian, Yuyu Rumpung tak berdaya. Dasar ia masih luka, maka dengan gampang dia kena kemplang sehingga mundur terhuyung-huyung.
"Sangaji! Siapa orang ini?" Wirapati minta keterangan.
"Dialah yang melukai Panembahan Tirtomoyo dengan akal licik," jawab Sangaji.
Wirapati tak kenal siapakah Panembahan Tirtomoyo, sehingga ia tak begitu mengindahkan.
Terus saja dia berkata, "Lain kali, jika kamu bersua dengan dia, lekas-lekaslah menyimpang. Dia terlalu berbahaya bagimu."
Sangaji mengangguk. Mendadak ia dihampiri Ki Hajar Karangpandan,
"Apa kau bilang tadi?"
Pendeta edan itu terkejut, waktu Sangaji menyebut-nyebut kakak-seperguruannya. Ia ingin
minta keterangan dengan jelas.
"Panembahan Tirtomoyo dilukai orang itu."
"Di mana dia sekarang?"
"Dia di penginapan. Semalam aku mencoba mencari ramuan obat yang disembunyikan orang itu."
Mendengar keterangan Sangaji, Ki Hajar Karangpandan lantas saja melesat mengepung Yuyu
Rumpung. Ia tahu apa arti ramuan obat itu bagi kakak-seperguruannya yang lagi menderita luka.
Sudah barang tentu, Yuyu Rumpung jadi keripuhan. Baru saja melawan Wirapati belum tentu dia bisa menang, apalagi dikerubut dua orang. Itulah sebabnya, begitu ia mencoba bergerak, Ki Hajar Karangpandan dan Wirapati sudah dapat menjungkirbalikkan, sehingga mukanya jadi babak belur.
"Keluarkan obatnya!" bentak Ki Hajar Karangpandan.
Yuyu Rumpung sangat mendongkol terhadap Sangaji. Dendamnya terhadap si bocah naik
setinggi kuping. Dengan napas terengah-engah sambil melototi Sangaji, ia menyahut, "Dia telah mencuri semua ramuan obatku. Mengapa kalian hendak mengkerubutku yang tengah luka" Jika
kalian ingin mencoba kepandaian, tunggulah barang dua tiga bulan lagi. Nah, itulah namanya pertandingan adil. Siapa yang mampus bukanlah soal penting."
Mendengar ujar Yuyu Rumpung, Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan mengundurkan diri.
Sebagai seorang ksatria, mereka tak sudi berlawanan dengan seseorang yang sedang menderita luka. Lagi pula, ramuan obat sudah berada di tangan Sangaji.
"Baik! Kamu boleh lari ngacir. Tapi awas, jika kamu berani mengusik bocahku, aku seorang tua takkan bakal melepaskanmu hidup-hidup. Biar kamu berada di ujung langit, pasti akan kucari untuk memperhitungkan untung rugi," ujar Ki Hajar Karangpandan.
Meskipun hatinya mau meledak direndahkan demikian rupa oleh Ki Hajar Karangpandan mau
tak mau Yuyu Rumpung terpaksa menelan bulat-bulat. Dengan dada mendongkol ia
mengundurkan diri. Dia sadar, tak bisa ungkulan melawan mereka. Karena itu bagaimana dia berani mengumbar mulut. Tetapi diam-diam ia berjanji akan mengadu kepandaian melawan
mereka di kemudian hari. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bocah," kata Ki Hajar Karangpandan kepada Sangaji. "Kamu tadi bilang, Panembahan Tirtomoyo berada di penginapan. Dapatkah kamu menunjukkan di mana dia berada?"
Sangaji mengangguk, la hendak melangkah pergi, tiba-tiba mendengar seseorang menegor,
"Hm...! Bagaimana kalian sampai hati meninggalkan jenazah sahabatmu?"
Mereka semua terkejut seperti tersengat lebah. Serentak mereka menoleh, dan nampaklah
seorang laki-laki tua berjalan tertatih-tatih memasuki lapangan. Dia adalah Panembahan
Tirtomoyo. "Aki!" teriak Sangaji gembira. Lantas saja ia lari menghampiri sambil mengeluarkan bungkus obatnya. "Inilah obatnya. Entah benar entah tidak. Aku hanya mengambilnya dengan begitu saja..."
Panembahan Tirtomoyo menyambut Sangaji dengan gembira dan terharu. Bungkus obat itu lalu dibukanya, la memeriksanya sebentar.
"Hm... meskipun bercampur aduk, tetapi semua yang kubutuhkan terdapat di sini."
Sangaji bergembira bukan kepalang sampai ia meloncat-loncat ke udara. Dasar ia seorang
pemuda yang polos dan sederhana. Apa yang terasa di dalam hati, lantas saja dinyatakan tanpa segan-segan.
"Eh... Hajar! Muridmu seorang laki-laki sejati," tegur Panembahan Tirtomoyo. "Dia seorang jempolan, sampai-sampai aku nyaris terungkap dalam jebakannya."
Ki Hajar Karangpandan terdiam. Tetapi ia segera sadar akan arti teguran kakak-
seperguruannya. Dengan setulus hati ia membungkuk hormat kepada Jaga Saradenta dan
Wirapati. "Tuan pendekar sekalian, terimalah hormatku setulus-tulusnya. Aku bangga terhadap murid Tuan. Bahkan aku patut mengucapkan terima kasih pula. Hm, seumpama tiada Tuan-tuan
sekalian, apakah arti hidupku ini. Aku akan dikutuk sejarah. Karena jasa Tuan sekalian, maka aku tak terlalu menderita malu apabila kelak aku bertemu dengan arwah ayah murid Tuan. Tentang muridku sendiri, tak usahlah dibicarakan. Juga bunyi tantanganku dua belas tahun yang lalu. Di sini dan pada hari ini, aku menyatakan takluk."
Juga Saradenta dan Wirapati terkejut mendengar kata Ki Hajar Karangpandan. Mereka tahu,
mengapa pendeta itu mengakui takluk. Semata-mata, karena muridnya mengecewakan hatinya.
Mereka jadi bersyukur. Sebab dengan demikian tidaklah sia-sia masa perantauannya selama dua belas tahun di daerah barat. Tetapi Jaga Saradenta cepat-cepat berkata merendahkan diri.
"Eh"sang Pendeta! Biar bagaimanapun juga, kami belum puas, sebelum melihat murid kami dan murid Tuan mengadu kepandaian. Alasan Tuan, mengaku kalah belum meyakinkan kami sama sekali belum kami ketahui bagaimana tinggi rendahnya ilmu murid Tuan."
"Tidak!" potong Ki Hajar Karangpandan. "Dengan ini benar-benar aku mengaku kalah. Marilah kita berbicara sebagai laki-laki! Dan dengarkan bicaraku."
Mereka berbicara sambil berjalan menghampiri jenazah Wayan Suage. Sangaji membimbing
Panembahan Tirtomoyo yang berjalan bertatih-tatih sambil menelan ramuan obat dengan
ludahnya. Sekonyong-konyong ia melihat Titisari berdiri tegak di tengah lapangan. Hatinya girang bukan main, sampai ia mau lari menghampiri. Tetapi tatkala kakinya hendak bergerak, ia
mendengar Ki Hajar Karangpandan.
"Laki-laki seluruh dunia tahu semua, bahwa dirinya dihidupi alam bukan semata-mata mencari makan-minum untuk memuaskan perut. Karena mereka sadar, bahwa dirinya bukan termasuk
golongan binatang atau iblis. Kewajiban mereka sebagai darmanya sejati ialah, ikut serta memelihara kesejahteraan -jagat sekuasa-kuasanya. Karena itu pula, mereka mengutamakan jiwa luhur di atas segalanya," ia berhenti sebentar mengesankan. Meneruskan, "Tuan pendekar sekalian berbicara atas dasar mengadu kepandaian" Cuh! Apakah arti ilmu pengetahuan, jika tidak didasari sari-sari hati sejati. Hm...! Biarpun andaikata, muridku memiliki ilmu setinggi langit, apakah artinya jika dibandingkan dengan murid Tuan yang memiliki jiwa luhur dan watak-watak ksatria sejati" Lihatlah, dia tahu menempatkan diri dan menempatkan persoalan. Sewaktu dia terlepas dari pengawasan gurunya, ia sudah kuketemukan berada di lapangan ini mempertaruhkan nyawa untuk ikut membela orang lemah sekuasa-kuasanya."
"Sedangkan jika dibandingkan dengan para pendekar yang berkumpul di Pekalongan,
kepandaiannya sama sekali tak sebanding. Anak yang lagi belajar beringus tapi sudah memiliki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jiwa begitu luhur, bukankah pantas kita junjung tinggi" Inilah seorang ksatria sejati," ia berhenti lagi. Kemudian berkata dengan suara bergelora, "Tuan-tuan sekalian! Memompa segala bentuk kepandaian kepada seorang murid adalah jauh lebih mudah daripada menanamkan bibit watak
ksatria sejati. Iblis pun dapat menyulap manusia goblok menjadi seorang yang berilmu tinggi. Dan jika nilai manusia hanya didasarkan pada suatu taraf ilmu pengetahuan dan ilmu kepandaian belaka, apakah jadinya jagat ini. Semua laki-laki tahu, bahwa jagat ini bakal penuh dengan iblis dan setan! Karena itu terimalah hormatku atas jasa tuan pendekar berdua."
Sampai di sini selesailah sudah persoalan yang berlarut sampai dua belas tahun. Jaga
Saradenta dan Wirapati dinyatakan menang oleh Ki Hajar Karangpandan. Itulah saat yang
diharapkan mereka berdua. Dengan demikian, terbacalah sudah jerih payahnya.
Mereka kemudian membimbing Panembahan Tirtomoyo berjalan besama-sama. Orang tua itu
kemudian menerangkan mengapa dia tiba-tiba sudah berada di pinggir lapangan. Semalam ia
menunggu kembalinya Sangaji dengan hati gelisah. Ketika dia mendengar kesibukan penduduk kota membicarakan suatu pertempuran seru di lapangan, dengan menguatkan diri ia pergi
menjenguk, la melihat mereka sedang mengadu tenaga. Meskipun hatinya ingin membantu, tetapi kesehatan badannya tak mengizinkan.
"Yuyu Rumpung bukan orang sembarangan," katanya. "Sekiranya dia tidak terluka secara kebetulan, tidak gampang-gampang dia kalian gebu pergi."
Mereka kemudian duduk mengelilingi jenazah Wayan Suage, sedang Sangaji membawa Titisari
duduk pula di antara mereka.
Ki Hajar Karangpandan nampak perasa menyaksikan duka-cita Nuraini.
"Nona," katanya perlahan. Maukah Nona menceritakan tentang kehidupan ayah-angkat Nona selama beberapa tahun berselang?"
Nuraini menegakkan kepala. Dengan wajah bermuram ia berkata, "Selama delapan tahun lebih, dia mengajakku merantau tak tentu tujuannya. Belum pernah kami berdiam pada suatu tempat.
Hanya sekali, dia pernah mengajakku menjenguk Dusun Karangtinalang, untuk memperbaiki
reruntuhan rumahnya. Katanya, meskipun tidaklah sementereng dahulu, tetapi cukuplah baik untuk tempat tinggal. Meskipun demikian, dia tak mau mendiami rumah itu. Dia berkata kepadaku, hendak mencari keluarga Made Tantre dahulu..."
Tatkala mengucapkan nama Made Tantre, gadis itu bersuara setengah berbisik. Ia nampak
segan-segan. "Bagaimana persoalannya, kamu sampai diambil sebagai anak-angkatnya?"
"Dahulu dia dirawat oleh almarhum ayahku." Nuraini memberi penjelasan. "Setelah ayahku meninggal, aku dipungutnya sebagai anak-kandungnya sendiri. Aku senang mendapatkan
perlindungannya. Sebagai ayah dia tak pernah mengecewakan hatiku. Hanya saja ia terlalu
bersusah payah mencarikan jodohku yang sepadan menurut hematnya," dan kembali ia bersuara perlahan. Mukanya lantas saja menjadi merah dadu.
Sambil berebahan Panembahan Tirtomoyo mendengarkan si gadis berbicara. Setelah menelan
ramuan obat, ia merasa menjadi segar. Ingatannya melayang kepada si gadis sewaktu melayani Sanjaya dalam gelanggang adu-nasib. Lantas saja ia menyambung, "Eh" sebentar, Nona.
Bolehkah aku bertanya kepadamu?"
Nuraini menoleh kepadanya. Ia tidak menjawab, tetapi pandang matanya bersinar, suatu tanda bahwa hatinya berkenan.
"Siapakah yang mengajarimu mengenal ilmu tata-berkelahi?"
"Semenjak berumur empat tahun aku diajari satu, dua jurus oleh ayahku. Anak-anak Jawa Barat mengenal ilmu berkelahi semenjak kanak-kanak, tak peduli apakah dia seorang laki-laki atau perempuan," jawab Nuraini dengan terus-terang. "Tetapi ayah-angkatku memberi bahan-bahan sangat berharga pula. Dalam setiap perkelahianku aku selalu mengutamakan jurus-jurus ajaran ayah-angkatku yang jauh lebih perkasa daripada ajaran ayahku sendiri."
"Hm," dengus Panembahan Tirtomoyo sambil mengerinyitkan dahi. "Aneh! Aku melihatmu jauh lebih gagah daripada ayah-angkatmu sendiri, kenapa?"
"Barangkali dugaan Aki tidak terlalu salah. Memang aku pernah diajari seorang berilmu sebanyak tiga jurus. Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu, tatkala aku diajak ayah-angkat merantau ke Jawa Timur."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah dia?" Panembahan Tirtomoyo menegas sungguh-sungguh.
"Aki, maafkan! Aku telah berjanji kepadanya tak akan membuka nama besarnya terhadap siapa saja. Sebenarnya beliau akan mewariskan seluruh ilmunya. Sayang, otakku tumpul dan tiada guna."
Panembahan Tirtomoyo terdiam, la tak menegas lagi agar memperoleh keterangan. Tetapi ia
masih berpikir terus memecahkan teka-teki itu. Selama Nuraini melayani Sanjaya, ia melihat si gadis menggunakan jurus aneh dan bagus luar biasa. Ia mencoba menebak-nebak siapakah
pencipta jurus itu, namun ia tetap tak berhasil. Ia yakin, kalau si pengajar itu pasti seorang berilmu yang sangat tinggi dan tak ingin namanya dikenal. Setelah mendapat dugaan demikian, ia mengalihkan pembicaraan.
"Eh, Hajar! Bukankah kamu guru Sanjaya?"
Ki Hajar Karangpandan mengangguk malas seraya berkata, "Ah, tak pernah kuduga, kalau aku akan dikecewakan. Inilah akibat watakku yang sok ugal-ugalan. Sekarang aku memetik buah
pakartiku sendiri. Andaikata aku selalu meniliknya, pastilah anak edan itu sedikit mempunyai keluhuran budi. Hm...!"
"Sejak kapan kau menjadi gurunya?"
"Tepatnya sembilan tahun sembilan bulan yang lalu," jawab Ki Hajar Karangpandan. "Pada tahun itu juga aku telah menemukan dia secara kebetulan, yakni setelah ketinggalan tiga tahun."
Sehabis berkata demikian, kemudian ia menghadap kepada Jaga Saradenta dan Wirapati.
"Aku hampir berputus asa. Maklumlah, aku mengira bernasib sial. Aku sudah merasa pasti, akan merasa kalah dalam gelanggang adu kepandaian. Pada suatu hari aku menjenguk kembali Desa Karangtinalang. Mendadak aku melihat ibu Sanjaya berada di depan rumahnya, dengan
dikerumuni pengawal-pengawal hamba kerajaan. Terus saja aku kuntit dan akhirnya mendengar kabar bahwa ia diangkat menjadi selir Pangeran Bumi Gede.
Hm... sama sekali tak kuketahui, bahwa pangeran itulah yang menjadi pembunuh kedua
sahabatku. Sekiranya aku tahu, bagaimana sudi aku berhubungan dengan dia semata-mata karena ingin mengambil murid anak-isteri sahabatku yang terkena malapetaka."
"Yakinkah kamu, bahwa gurunya hanya kamu seorang belaka?" potong Panembahan
Tirtomoyo. "Memang aku tak menunggui dan menilik dia pada setiap harinya. Mengapa?"
"Aku menemukan sesuatu yang aneh. Ada jurus-jurus yang belum kukenal."
"Eh... apa kamu sudah mengetahui?"
"Kemarin siang, secara kebetulan aku melihat muridmu sedang mengadu tenaga melawan Nona itu, sahabatmu dan Sangaji."
"Inilah kegoblokkanku. Inilah kesembronoanku. Memang terang-terangan, aku diingusi," kata Ki Hajar Karangpandan dengan suara mengguntur. Dan serentak dia berdiri sambil meledak lagi.
"Sekarang kudis itu sudah mulai kucium dan kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Menurut katamu, kamu telah berada di pinggir lapangan semenjak tadi. Mestinya kamu tahu pula, siapakah yang sedang kita gempur bersama. Monyet itu memanggilnya guru dan bahkan mengadu agar aku dibinasakan. Karena aku dikatakan sebagai guru murtad!"
Teringat akan iblis Pringgasakti, mendadak saja teringatlah dia pula kepada Titisari. Serentak ia mengalihkan pandang. Jaga Saradenta dan Wirapati tak terkecuali.
"Hai Nona!" bentaknya. "Kudengar tadi iblis itu memanggilmu adik kecil. Sebenarnya kamu siapa?"
Perlahan-lahan Titisari berdiri. Tak senang ia mendengar pertanyaan Ki Hajar Karangpandan yang bernada kasar.
"Kamu berbicara dengan siapa?" sahutnya angkuh.
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
16 SENJATA RAHASIA "Aku berbicara denganmu," BENTAK KI HAJAR KARANGPANDAN dengan muka merah-padam.
"Kau sangka apa aku ini, sampai kamu membentak-bentak seperti penyamun?"
"Apa kau bilang?"
Tanpa meladeni Ki Hajar Karangpandan, Titisari lantas saja berputar hendak melangkah pergi.
Jaga Saradenta yang berwatak berangasan, lalu berkata nyaring, "Nona! Mengapa kamu bersikap tak menghargai orang-orang tua?"
"Hm! Seseorang yang belum saling berkenalan dan tiada hubungan sanak-keluarga, lalu membentak-bentak kepada seorang gadis belia di tengah lapangan dan di dekat jenazah seorang, pantaskah di sebut orang tahu harga diri?"
Tajam kata-kata si gadis, sehingga mereka semua terkejut dan merasa malu. Ki Hajar
Karangpandan sebenarnya tidak bermaksud menghina atau kurang tata-santun. Kalau saja
berbicara membentak-bentak penuh luapan amarah, adalah semata-mata kerena teringat akan
sepak terjang muridnya yang sangat menyakitkan hatinya. Sebaliknya Sangaji yang berwatak sederhana, polos, dan jujur sama sekali tak menyangka"bahwa Titisari berani mengadu
ketajaman lidah mereka yang dihormati dan dihargai. Itulah sebabnya, lantas saja ia ikut membentak.
"Titisari! Jangan berkurangajar!"
Mendengar tegoran Sangaji, gadis itu lalu menundukkan mukanya ke tanah, la seperti minta maaf dan bersedia mengakui kesalahannya.
Wirapati yang berwatak lebih lapang daripada kedua rekannya, kemudian berkata.
"Eh, Nona. Sebenarnya aku hendak menyatakan terima kasih kepadamu. Karena telah
menolong nyawa kami."
Wirapati memang tiada bermusuhan dengan Pringgasakti. Kalau ia sampai ikut berkelahi,
adalah semata-mata karena ikrar setia kawan. Lagi pula, ia jujur. Dengan sebenarnya ia merasa tak ungkulan melawan Pringgasakti. Sebaliknya Jaga Saradenta tidaklah demikian. Si tua
berangasan itu sudah menaruh dendam kesumat terhadap si iblis semenjak zaman mudanya.
Meskipun lawannya itu berilmu tinggi, bagaimana ia sudi mengakui kelemahan diri. Serentak ia menyahut cepat, "Eh, apa kau bilang" Gadis itu telah menolong nyawa kita" Mana bisa aku sudi menerima budinya" Biar kita berkelahi sampai mampus, apa pedulinya?"
"Hm" dengus Titisari. Hatinya kembali menjadi panas dan mendongkol melihat lagak Jaga Saradenta. Katanya tajam, "Kamu berbicara perkara budi" Siapa pula yang kesudian memberi budi kepadamu" Kalau aku mengusir si Abu, semata-mata karena kepentinganku sendiri. Waktu itu aku melihat Sangaji dalam bahaya. Ingin aku menolong dia, karena di antara semua ini hanya dia seorang yang kukenal dengan baik. Nah, kalian mau bilang apa?"
"Sangaji?" mereka mengulang serentak. Seperti saling berjanji mereka menoleh ke arah Sangaji. Sudah barang tentu, anak muda itu menjadi kikuk. Mereka seolah-olah berkata
kepadanya, "Hm... semenjak kapan kamu berkenalan dengan seorang gadis?"
Dengan agak gugup, lantas saja Sangaji membungkuk hormat terhadap mereka seraya berkata,
"Maaf... mestinya siang-siang aku harus sudah memperkenalkan. Dia adalah sahabatku."
"Sahabatmu?" Jaga Saradenta heran.
"Ya, sahabatku. Aku berkenalan dengannya di tengah jalan."
"Eh, begini gampang kamu mengikat persahabatan," gerutu Jaga Saradenta.
Mendadak Panembahan Tirtomoyo tertawa terkekeh-kekeh. Katanya kepada Sangaji, "Anak baik! Kemarin kamu berbicara mengenai seorang sahabat yang mempermain-mainkan orang-orang Banyumas. Bukankah sahabatmu seorang pemuda" Ehem... apakah dalam waktu semalam
saja kamu menemukan seorang sahabat lain" Sahabat... sahabat..."
Merah-padam muka Sangaji mendengar ujar Panembahan Tirtomoyo. Meskipun tak diucapkan
dengan terang, tetapi Sangaji merasa seperti diejek. Maklumlah, Titisari dikiranya sahabat yang baru dijumpainya semalam belaka. Maka buru-buru, ia memberi penjelasan siapakah Titisari sebenarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu lantas saja mengerinyitkan dahi dengan sungguh-sungguh. Teringatlah dia, tatkala Titisari mempermainkan anak buah sang Dewaresi ia mempunyai kesan buruk. Gerak-geriknya
mencurigakan. Ilmu apa yang dipergunakan, belum dapat diterkanya.
Sekarang ia menyaksikan pula, bahwa si gadis mempunyai hubungan rapat dengan Pringga-
sakti. Keruan saja diam-diam meningkatlah kecurigaannya. Dalam benaknya ada sesuatu yang berkelebat, tetapi apakah itu ia belum mengerti.
"Anak yang baik," katanya. Tetapi ia menelan kata-katanya yang hendak diucapkan. Sebagai seorang pendeta yang saleh, ia berbeda jauh dengan adik-seperguruannya Ki Hajar
Karangpandan. Tak mau ia menyakiti hati atau menusuk perasaan orang. Tetapi Ki Hajar Karangpandan yang masih terikat kuat kepada masalah keduniawian dengan segera tahu bahwa kakaknya
seperguruan telah mempunyai pendapat yang tak jadi diucapkan. Maka ia berkata mendesak,
"Kamu mau berkata apa" Berkatalah!"
Panembahan Tirtomoyo bangkit tertatih-tatih. Ramuan obat yang baru saja ditelannya benarbenar menolong kesehatannya dengan cepat. Dengan mata tajam ia merenungi Titisari, tetapi mulutnya tetap terkunci rapat-rapat. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau mau berkata apa?" desak Ki Hajar Karangpandan lagi.
Karena desakan itu, akhirnya dengan menarik napas panjang ia berkata minta keterangan,
"Titisari... bukankah begitu namamu?"
Titisari mengangguk. Ia nampak tenang tetapi sikapnya seperti seorang yang siap untuk
bertempur. "Titisari!" Panembahan Tirtomoyo melanjutkan. "Kami semua adalah orang-orang tua yang sudah pikun. Tolong terangkan, apakah hubunganmu dengan Pringgasakti. Sebab antara kami dan dia mempunyai tali persoal-an yang kuat, semenjak kamu belum lahir."
Titisari mendengus sekali. Kemudian menjawab, "Apakah Tuan-tuan sekalian mempunyai hak mendesak aku agar memberi keterangan?"
Sangaji yang selalu menghargai dan menghormati orang-orang lebih tua daripadanya, terkejut mendengar ujar si gadis. Sekarang ia bisa membenarkan dugaan Panembahan Tirtomoyo bahwa
sahabatnya memiliki sifat-sifat liar. Maka gugup ia berkata mencoba, "Titisari! Baiklah kukenalkan siapakah mereka. Beliau adalah Panembahan Tirtomoyo yang kukatakan padamu semalam.
Kemudian... kemudian beliau berdua itu adalah guruku. Sedangkan beliau ini, Ki Tunjungbiru dan..."
"Dia adik-seperguruanku. Namanya Ki Hajar Karangpandan. Dia seorang pendeta pula. Hanya agak galak," sahut Panembahan Tirtomoyo.
Terhadap Sangaji, gadis itu mempunyai kesan sendiri. Begitu ia mendengar ujar Sangaji,
sikapnya lantas menjadi lunak.
"Dengan si iblis dan si jahanam itu, mestinya tak sudi aku berbicara."
Mendengar kalimat permulaan keterangan Titisari, mereka yang mendengar jadi heran tertarik.
Seleret cahaya terang, berseri pada wajah mereka masing-masing. Mereka mulai berkesan baik terhadapnya. Dan tanpa disadari, mereka berdoa mudah-mudahan Titisari tiada hubungan sanak-keluarga dengan iblis itu. Ini semua demi kelancaran persahabatan Sangaji"anak-didiknya dan anak yang berkesan baik. Dengan demikian, kan tidak akan sampai menerbitkan gelombang yang kurang enak dalam dada mereka masing-masing.
"Aku kenal dengan mereka semenjak masih berumur enam tahun," Titisari mulai.
"Mereka?" Panembahan Tirtomoyo memotong.
"Ya, mereka"Abu dan Abas. Entah di mana Abas sekarang berada. Mereka dulu berguru pada ayahku. Tetapi mereka bukan membalas budi pada ayah. Bahkan air susu dibalas dengan air tuba.
Mereka mencuri kitab pusaka ayah. Karena peristiwa itu, ibuku meninggal dunia dengan sedih.
Maklumlah, kitab itu adalah kitab pusaka turun-temurun dari keluarga kami."
Panembahan Tirtomoyo mendadak sadar, bahwa iblis itu mestinya berjumlah dua orang yang
dahulu terkenal dengan sebutan Pringgasakti dan Pringga Aguna. Ki Hajar Karang-pandan, Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati, mestinya juga tahu. Hanya saja ia heran, mengapa mereka tak berkesan sesuatu tatkala menyinggung nama Abas alias Pringga Aguna. Orang tua itu belum mengerti, bahwa Pringga Aguna telah mampus di Jakarta. Sedangkan Ki Hajar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karangpandan yang berwatak acuh-takacuh tak ambil pusing terhadap hal-hal yang membutuhkan pengamatan yang seksama.
"Karena hilangnya kitab pusaka itu juga, perangai ayah lantas berubah. Dia menjadi pendiam luar biasa dan menjadi seorang pemarah," Titisari melanjutkan. "Semua nelayan dan para pegawai dihukumnya kejam. Sedangkan terhadapku, ia tak memperhatikan lagi seperti dahulu. Jarang sekali ia berbicara manis kepadaku dan sering bepergian entah ke mana. Barangkali berusaha merebut kembali kitab pusaka kami. Karena itu dalam hatiku, aku selalu berdoa semoga iblis itu bisa ter-bekuk lehernya. Sayang, aku telah berjumpa dengan dia di sini. Sedangkan Ayah entah berada di mana kini. Sekiranya Ayah mengetahui tempat beradanya, alangkah..."
"Siapakah ayahmu itu, Nona?" Panembahan Tirtomoyo memotong lagi.
Gadis itu menyiratkan pandang kepada Sangaji. Kemudian menjawab, "Ayahku seorang adipati di kepulauan Karimun Jawa. Namanya Surengpati Mesgapati. Mengapa?"
Mendengar nama Adipati Surengpati, mereka semua jadi terkejut. Wajah mereka berubah
hebat seperti seorang anak melihat momok yang menakutkan. Sangaji heran tak kepalang
menyaksikan perubahan mereka. Lantas saja dia jadi sibuk menebak-nebak.
Terhadap Adipati Surengpati, sesungguhnya mereka semua mempunyai kesan setengah baik
setengah tidak. Sebagai pejuang-pejuang pembela bangsa, mereka kenal tokoh Surengpati
sebagai seorang ksatria anti Belanda. Dia dahulu berada di salah satu istana keluarga ningrat di Yogyakarta. Tetapi karena bencinya terhadap Belanda, ia memilih mengasingkan diri dan
bermukim di seberang lautan. Karena sikapnya itu, semua pejuang menaruh hormat kepadanya.
Tetapi sebagai manusia Adipati Surengpati terkenal sebagai seorang yang berwatak angkuh, tinggi-hati, sombong, mau menang sendiri dan kejam. Terhadap para pejuang-pejuang bangsa, ia bersikap merendahkan. Karena ia menganggap ilmunya jauh lebih tinggi daripada semua manusia yang hidup di persada bumi ini. Umurnya kini belum melampaui 50 tahun. Tetapi menurut kabar, ilmu kepandaiannya benar-benar patut dikagumi. Kalau tidak masa seorang iblis semacam
Pringgasakti sampai berguru kepadanya. Dan kalau si iblis Pringgasakti saja sudah susah dilawan, mereka bisa membayangkan bagaimana tinggi ilmu kepandaian Adipati Surengpati. Mereka sadar, bahwa ilmu kepandaian Adipati Surengpati sudah mencapai suatu taraf yang susah untuk dijajaki.
"Bagus-bagus," tiba-tiba Ki Hajar Karang-pandan berkata setengah bersorak. "Tulang-belulang boleh berserakan tapi tulang-belulang itu pada suatu kali pasti berkumpul juga."
Mereka semua heran mendengar ujar Ki Hajar Karangpandan, karena tak tahu maksudnya.
Melihat mereka sibuk menebak-nebak arti kata-katanya, pendeta edan itu senang luar biasa.
Lantas saja dia berkata lagi,
"Bukankah cukup terang" Lihat! Muridku yang murtad berguru kepada iblis itu. Dan anak didik kalian"Sangaji"bersahabat dengan anak guru si iblis. Ha, apakah bukan setali tiga uang?"
Jaga Saradenta si penaik darah, serentak mendamprat, "Mana bisa begitu" Muridmu murtad dan menjadi murid iblis. Muridku hanya berkawan dengan anak guru si iblis. Di manakah ada titik persamaannya?"
"Eh"masa kalian tak kenal siapakah Adipati Surengpati" Sekali muridmu berkawan dengan anaknya, masa si Jangkrik Bongol akan membiarkan anak-didikmu luput dari pengamatannya?"
Adipati Surengpati memang mendapat sebutan gelar Jangkrik Bongol, karena dia seorang
pendekar yang ulet dan berani bertanding tak mengenal lelah kepada siapa saja, seperti seekor jangkrik bongol (jangkrik aduan). Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru, Wirapati dan Jaga Saradenta kenal perangai Ki Hajar Karangpandan yang ugal-ugalan dan edan-edanan. Tetapi
dibalik ke-edan-edanan-nya itu, sesungguhnya ia seorang pendekar yang cerdik. Dia pandai bertanding tenaga dan mengadu mulut. Sekiranya tidak demikian, bagaimana dia bisa menjerat Jaga Saradenta dan Wirapati dalam suatu perjanjian edan-edanan pula dengan memutar lidah belaka. Teringat akan ini, sebenarnya Jaga Saradenta sudah jeri, tapi dia seorang pendekar yang berangasan dan gampang naik darah. Karena itu bagaimana sudi membiarkan diri dipilin orang.
"Apakah kamu berani bertaruh denganku?" tantang Jaga Saradenta.
Mendengar kata-kata bertaruh itu, hati Jaga Saradenta berdegupan. Maklumlah karena terikat oleh suatu pertaruhan dahulu, terpaksalah ia meninggalkan rumah-tangganya selama dua belas tahun. Apakah kali ini ia akan mengalami kepahitan itu lagi" Meskipun ia mempunyai pikiran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demikian, sebagai seorang ksatria lantas saja dia membusungkan dadanya. Tetapi tatkala ia hendak berkata, mendadak Panembahan mengalihkan pembicaraan.
"Hai! Kalian ini terlalu memikirkan kepentingan diri. Bagaimanakah dengan jenazah sahabat kalian ini" Apakah dia akan kalian biarkan terbaring di sini" Lihat, semua penduduk Pekalongan mengawaskan kita semua."
Karena ujar Panembahan Tirtomoyo, semua jadi terkejut. Ki Tundjungbiru yang pendiampun,
ikut tersadar. Sebagai seorang kesatria, tadi ia tertarik benar kepada kata-kata Ki Hajar Karangpandan dan Jaga Saradenta. Teringatlah dia dahulu pada zaman Perang Giyanti. Juga di Kota Pekalongan inilah dia pernah bertempur lima hari lima malam melawan si pendeta edan perkara pantat. Dan akhirnya saling berjanji tidak akan kawin sepanjang hidupnya.
Mereka kemudian duduk dengan takzim kembali. Ki Hajar Karangpandan segera menghampiri
Nuraini dan berkata dengan penuh perasaan.
"Bagaimana menurut pendapatmu Nona" Di manakah ayah-angkatmu hendak kau kebumikan?"
Nuraini benar-benar nampak berduka. Matanya berkaca-kaca. Dengan menunduk dia
menjawab, "Dia berasal dari Desa Karangtinalang. Biarlah kubawanya pulang ke kampung halamannya."
Mendengar ujar gadis itu, semua jadi kaget. Sebab Desa Karangtinalang bukan dekat letaknya.
Belum tentu satu bulan bisa dicapai dengan perjalanan kaki. Segera mereka membujuk Nuraini agar dikebumikan saja di Kota Pekalongan. Tetapi Nuraini tetap kukuh. Katanya, "Ayah-angkatku berasal dari Bali dan beragama Hindu. Menurut pantas jenazahnya harus dibakar. Kemudian
abunya akan kubawa pulang ke kampung halaman."
Teringat akan upacara penguburan seseorang yang beragama Hindu, mereka jadi berpikir lain dan menyetujui pendapat Nuraini. Mereka lantas saja bekerja. Sebagai kesatria-kesatria yang sudah banyak berpengalaman, mereka dapat bekerja cepat. Segera jenazah Wayan Suage dibawa ke luar kota dan dibakar di pinggir hutan. Mereka menunggu sampai api padam. Dan apabila abunya telah diserahkan kepada Nuraini, maka masing-masing berpamit hendak melanjutkan
perjalanannya masing-masing.
Panembahan Tirtomoyo sudah hampir sembuh. Bersama Ki Hajar Karangpandan dan Ki
Tunjungbiru, mereka berangkat ke Timur menuju padepokannya. Sedangkan Jaga Saradenta
hendak pulang menjenguk kampung-halamannya dahulu yang sudah lama ditinggalkan. Baginya, tugas memenuhi perjanjian sudah diselesaikan dengan baik.
"Engkau pasti akan kembali dahulu ke Sejiwan, bukan?" tanyanya kepada Wirapati.
Pendekar muda itu mengangguk. Kemudian berkata pula, "Pekerjaan kita sudah selesai. Hanya saja, masih ada urusan lain. Anak-didik kita, bukankah akan menunggu jenazahnya. Dengan
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian, kita tak boleh membiarkan dia bekerja seorang diri. Karena itu, setelah kamu
menjenguk kampung-halaman barang dua tiga bulan, cepatlah menyusul ke Sejiwan! Sangaji akan kubawa ke sana dan biarlah kita menunggumu di sana pula."
Mereka berpisah dengan rasa haru dan gembira. Maklumlah, mereka sudah berkumpul dan
merasa senasib sepaham selama dua belas tahun. Rasa kawan lebih cenderung kepada rasa
saudara-sekandung belaka. Dan rasa gembiranya terjadi, karena masing-masing akan melihat kampung halamannya yang sudah dirindukan semenjak lama.
Wirapati hendak menyertai Nuraini pulang ke Desa Karangtinalang. Ia memilih arah jalan yang pernah dilalui dua belas tahun yang lalu, tatkala habis mengunjungi padepokan Kyai Lukman Hakim di Cirebon. Sangaji dan Titisari hendak dibawanya serta pula.
Mendadak Sangaji teringat akan kudanya si Willem.
Maka ia minta izin hendak mengambilnya dahulu, kemudian akan menyusul secepat mungkin.
"Sangaji! Selama hidupmu baru kali ini kamu menginjak daerah Jawa Tengah dengan sadar.
Pastilah kamu belum paham akan lika-liku jalannya menuju ke Karangtinalang. Lebih baik, kamu langsung saja menuju ke Sejiwan. Kamu bisa lewat Semarang, Magelang, kemudian mengambil
jalan jurusan Kedungkebo. Sebelum kamu sampai di Purworejo, tanyalah kepada salah seorang penduduk di mana letak Desa Loano. Dan kamu pasti akan diantarkan sampai ke Sejiwan."
Tetapi di luar dugaan, Sangaji menolak sarannya. Katanya, "Sebenarnya senang aku boleh berjalan seorang diri sambil mencari pengalaman. Hanya saja aku harus menjenguk kampung
Karangtinalang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa?" Wirapati dan Titisari minta keterangan berbareng. Kemudian Titisari meneruskan,
"Melihat Karangtinalang, mengapa mesti tergesa-gesa?"
"Ya, mengapa begitu?" Wirapati menegas. "Kamu harus menghadap kakek-guru dahulu.
Setelah memperoleh nasehat-nasehatnya, barulah bersama-sama menjenguk kampung
Karangtinalang. lngat-ingatlah, kamu masih harus menempuh perjalanan lagi ke timur untuk menuntut dendam kepada Pangeran Bumi Gede. Dan lawanmu itu bukan lawan yang empuk.
Nasihat-nasihat kakek-guru harus kauperhatikan benar-benar."
Sangaji menundukkan kepala. Kemudian berkata setelah berbisik, "Guru! Sebenarnya...
sewaktu aku berada dengan Paman Wayan Suage di pondokan, beliau berpesan agar aku mencari dua pusaka warisanku yang dipendamnya pada suatu tempat dekat Desa Karangtinalang."
Sangaji kemudian menerangkan dengan jelas semua kalimat Wayan Suage tentang dua pusaka
yang disimpannya di dekat tebing sungai sebelah timur desa Karangtinalang, sebagai pusaka warisan. Pusaka apakah itu, sama sekali dia tak mengerti. Sebagai seorang yang berhati jujur dan sederhana, sebenarnya tiada nafsunya untuk mewarisi pusaka segala. Ia hanya ingin melakukan pesan orang yang sudah mati dengan sebaik-baiknya.
Mendengar tentang dua pusaka itu, sebaliknya Wirapati jadi tertegun. Pada saat itu juga, teringatlah dia kepada kejadian dua belas tahun yang lalu, tatkala sedang menolong Wayan Suage. Dia pernah bertengkar mengenai pusaka itu yang menerbitkan malapetaka belaka. Ia
bahkan menyarankan diberikan kepada gerombolan orang-orang Banyumas agar tak usah
menanggung derita. Tetapi Wayan Suage tetap mempertahankan, malah lantas mencurigai dirinya hendak merebutnya. Maka teranglah, bahwa kedua pusaka itu pasti termasuk suatu persoalan yang penting. Ki Hajar Karangpandan pun menyinggung pula tentang kedua pusaka itu, tatkala hendak menetapkan suatu perjanjian.
Pendeta itu menghendaki, barangsiapa menemukan kedua pusaka tersebut harus
mengembalikan kepada pemiliknya yang syah. Yakni, kepada anak-anak Wayan Suage dan Made
Tantre. Dan selama dua belas tahun, tak pernah lagi ia mempersoalkan kedua pusaka tersebut. Ki Hajar Karangpandan pun tiada menyinggung-nyinggung sama sekali. Mendadak saja kini
persoalan kedua pusaka timbul lagi. Keruan saja, hatinya jadi tegang kembali. Dasar ia berwatak usilan dan berjiwa seorang kesatria besar. Apabila sudah mau bekerja tak mau pula bekerja kepalang-tanggung. Maka mendengar tentang di mana beradanya kedua pusaka tersebut, lantas saja timbullah keinginannya hendak menyelesaikan persoalan itu sama sekali. Pekerjaan itu dipandangnya sebagai suatu kewajiban pula.
Hm, biarlah pendeta edan itu lebih menghargai jerih payah kita berdua. Kalau kedua pusaka itu bisa kukembalikan kepada yang berhak, bukankah aku dapat memerintahkan dia membungkuk
hormat dan menyembah tiga kali" Mendapat pikiran demikian, terbesitlah kegembiraannya, pikir Wirapati. Segera dia menepis, "Benarkah Wayan Suage mewariskan kedua pusaka itu kepadamu?"
Sangaji mengulangi tiap kalimat Wayan Suage lagi tatkala berada di pondokan. Dan diam-diam Wirapati merasa bersyukur. Sebab, jika kedua pusaka tersebut menjadi milik Sangaji, bukankah benar-benar ia berhasil merebut kemenangan mutlak"
"Apakah dia tidak menerangkan macam kedua pusaka itu kepadamu?" tanya Wirapati lagi.
Sangaji menggelengkan kepala. Memang Wayan Suage sama sekali tidak menerangkan
macamnya, karena waktu itu dia tak sempat lagi. Rumah penginapan sudah terkepung rapat oleh pasukan-pasukan Pangeran Bumi Gede.
Sekonyong-konyong Titisari menyahut, "Apakah itu bukan pusaka Pangeran Semono" Eh,
mestinya bukan. Pusaka Pangeran Semo-no berjumlah tiga."
"Engkau berkata apa, Nona?" Wirapati menegaskan. Muka Titisari tiba-tiba nampak terkesiap, seperti seorang yang kelepasan rahasia. Didesak Wirapati guru Sangaji yang dihormati, terpaksa ia berkata lagi, "Aku hanya mengira... barangkali pusaka Pangeran Semono."
"Mengapa kamu bisa menduga demikian?"
"Semalam"waktu kami berkeliaran di dalam halaman kadipaten mencari ramuan obat, aku tersesat di serambi belakang. Kulihat mereka sedang berkumpul membicarakan suatu rahasia.
Karena besar rasa ingin tahuku, kuberanikan diri mengintip pembicaraan mereka. Dan kudengar mereka membicarakan pusaka Pangeran Semono."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tentang pusaka Pangeran Semono semua pendekar yang bermukim di Jawa Tengah
mengetahui belaka. Wirapati mendengar pusaka keramat itu dari gurunya. Dan dahulu, karena tertarik kepada persoalan pusaka tersebut ia sampai mengikuti rombongan penari yang aneh dari Banyumas dan ternyata sedang memperebutkannya. Hanya saja tiada rangsangnya hendak
memiliki. Kalau saja ia menceburkan diri ke dalam persoalan itu, sematamata hanya panggilan naluriahnya. Tak rela ia melihat kelaliman dan kerusuhan bermain di depan kelopak matanya.
Meskipun, sekarang persoalannya adalah sama, tetapi panggilan hidupnya berseru lain. Besar hasratnya hendak membahagiakan murid dan menentramkan arwah yang sudah pulang ke alam
baka. Titisari terus saja menceritakan semua yang didengarnya semalam di ruang belakang
kadipaten. Tak lupa pula ia menggambarkan bagaimana sang Dewaresi mendesak Pangeran Bumi Gede, tentang tempat beradanya Ki Hajar Karangpandan. Karena itulah orang yang dahulu pernah merampas pusaka Pangeran Semono.
"Tetapi... mereka menyebutkan jumlahnya tiga buah. Sebuah Jala, Keris dan Bende. Andaikata benar... masa berada di tangan Wayan Suage selama itu, tanpa diketahui orang?" kata Titisari menyatakan pertimbangannya.
Wirapati menaikkan alis. Dengan sungguh-sungguh ia mendengarkan tiap kata Titisari yang
menceritakan kembali pengalamannya semalam. Kemudian ia berpaling kepada Sangaji.
"Apakah Wayan Suage tidak menyebut macam bentuk pusaka itu?"
Sangaji menggelengkan kepala sambil menjawab, "Waktu aku minta keterangan, ia tak sempat lagi berbicara. Rumah penginapan telah terkepung rapat."
Kembali Wirapati menaikkan alis. Didongakkan kepalanya ke udara dan lama ia tak-berbicara.
Benaknya seolah-olah lagi berjuang merangkaikan semua pengalamannya dan apa yang pernah
didengarnya tentang pusaka Pangeran Semono.
"Baiklah. Kamu boleh mengambil kudamu. Aku dan Nuraini akan berangkat dahulu. Aku akan memberi tanda jalan bagimu, agar kamu mudah menyusul kami," kata Wirapati memutuskan.
Mereka lantas berpisah. Wirapati membimbing Nuraini yang dibawanya berjalan cepat
mengarah ke pegunungan yang berdiri berderet di sebelah selatan. Mereka akan menempuh
perjalanan yang panjang. Mungkin pula satu bulan belum tentu tiba di Sejiwan. Maklumlah, waktu itu hutan rimba masih padat memenuhi persada Pegunungan Sumbing-Sundoro-Dieng.
Sangaji berdiri terhenyak untuk beberapa saat lamanya, la heran menyaksikan gurunya begitu nampak tergesa-gesa. Mengapa mesti begitu, pikirnya. Otaknya yang sederhana belum juga dapat menebak, bahwasanya pada dewasa itu semua orang gagah sedang mengincar pusaka
warisannya. Untung dia mempunyai seorang kawan yang cerdik dan cerdas. Dan nampaknya akan setia mendampingi di mana saja dia berada.
"Aji," kata kawan itu. "Ayo kita cepat-cepat pergi dan menyusul gurumu."
"Mengapa cepat-cepat?" Masih saja ia minta keterangan.
Titisari tidak menjawab. Dengan tersenyum lebar sambil menarik tangan, ia memperlihatkan cahaya matanya yang berkilat-kilat.
"Kamu memang seorang yang berhati mulia," katanya kemudian. "Itulah sebabnya aku senang berkawan denganmu. Ayo! Ayo kita berjalan menyusuri pantai mencari karang. Lantas
menggarungi sawah mencangkul ladang. Nanti dua, tiga bulan lagi baru menyusul."
"Eh! Mengapa kamu berkata begitu?" Sangaji terkejut, la benar-benar nampak tolol. Kemudian minta penjelasan cepat, "Titisari! Otakku memang bebal. Maukah kamu menerangkan sejelas-jelasnya, mengapa kita harus cepat-cepat menyusul guru" Apakah guru berangkat akan
menempuh bahaya?" "Ya dan tidak," jawab Titisari berteka-teki. "Tetapi aku tak berani bertaruh, bahwa gurumu itu telah memperoleh pegangan kuat untuk bertindak secepat mungkin. Eh... apakah benar rejekimu begini besar?"
"Rejeki apa?" ulang Sangaji. "Titisari! Mengapa kamu bicara tak karuan?"
"Sekiranya kamu menjadi raja... hm... berapa jumlah permaisurimu?" Titisari tak perduli. Dan Sangaji jadi blingsatan. Gugup dia memotong dengan suara tinggi. "Raja" Raja apa" Raja kera?"
Titisari tertawa nyaring dan terus lari menuju ke kota. Karuan saja Sangaji mau tak mau harus memburunya seperti seorang sopir menancap gas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai! Hai! Kau harus menerangkan! Kau berbicara tentang rejeki dan raja. Apa sih maksudmu?"
"Aku berkata sungguh-sungguh! Bukan main-main," sahut Titisari. Tetapi ia tak mau memberi penjelasan. Bahkan larinya kian dipercepat.
Menjelang senja hari, mereka telah tiba di penginapan. Pelayan penginapan girang melihat datangnya Sangaji dan Titisari.
"Tuan Muda baik-baik saja, bukan" Apa terlalu lelah" Boleh nanti hamba pijat."
Pelayan itu mengira, Sangaji mendapat seorang teman berjalan semalam suntuk sebagai
lazimnya pemuda bongor pada zaman itu. Sebaliknya Sangaji tak berpikir sampai sejauh itu.
Otaknya lagi dikusutkan oleh ucapan Titisari yang terus melengking-lengking tiada hentinya dalam pendengarannya. Dengan berdiam diri ia melemparkan beberapa potong uang dan memerintahkan mengemaskan pakaiannya. Karuan saja pelayan itu bergirang hati sampai mau meloncat-loncat seperti anjing. Lalu mendobrak kamar melakukan perintah.
"Pendeta tua tadi pagi keluar dari penginapan tanpa pamit. Karena kami memandang Tuan Muda, kami biarkan dia pergi tanpa meninggalkan uang sepeserpun."
Sangaji tahu, yang dimaksudkan pendeta tua itu adalah Panembahan Tirtomoyo yang
merendamkan diri semalam dalam pengaron. Serentak ia menyahut, "Hm... bukankah kamar ini aku yang menyewa?"
"Bukan perkara kamar, Tuan. Tetapi kami sudah terlanjur menyediakan masakan-masakan yang empuk. Kami berbelanja sendiri, agar tak mengecewakan Tuan."
Sangaji tahu, pelayan penginapan itu ingin menunjukkan jasa. Maka segera ia membayar
semua harga masakan beserta persenannya dan meninggalkan penginapan. Kembali lagi si
pelayan jadi bergirang hati. la mengantarkan tamunya sampai ke luar jalan. Kemudian berkata takzim. "Sebentar lagi senja hari tiba. Di manakah Tuan akan menginap. Apakah... apakah..." ia mengerling kepada Titisari dengan berkulum senyum.
Merah muka Sangaji mendengar dan melihat laku pelayan itu. Ingin ia mendamprat, tetapi
tidak menemukan kata-kata. Maklumlah, tak biasa ia mengumbar mulut. Maka dengan berdiam
diri ia berjalan di samping Titisari yang telah mendahului.
"Aji! Mengapa tak kau puntir hidungnya?" tegur Titisari. Tiba-tiba ia mengangsurkan segenggam uang. Katanya, "Ini. Dengan pelayan semacam itu, tak perlu kamu bermurah hati."
Sangaji terperanjat, karena uang itu adalah uang pembayaran penginapan, masakan dan
persen. Gugup ia berkata, "Kau... kau... "
"Aku mengambilnya kembali dari kantung tanpa bunga. Apa salahnya?" potong Titisari tanpa perasaan. Sangaji jadi terbungkam. Pikirnya, gadis ini benar-benar mempunyai sifat-sifat liar.
Tetapi pelayan itu memang pantas dihukum demikian. Mendakwa seorang gadis suci sebagai
bunga jalan adalah keterlaluan.
Sebelum petang hari tiba, si Willem telah diketemukan. Mereka meneruskan perjalanan ke arah selatan. Pada waktu itu masa bulan purnama. Bulan telah tersembul di udara berbareng dengan tenggelamnya matahari. Ombak laut berdebur dahsyat dan meniupkan angin segar ke daratan.
Willem ternyata seekor kuda yang gagah perkasa. Meskipun dibebani dua orang majikan,
langkahnya tetap kuat dan tegar.
"Aji!" tiba-tiba Titisari berkata sambil mengibaskan rambutnya.
Sangaji duduk di belakang punggung Titisari. Karena Titisari mengibaskan rambutnya, pipinya kena geser sehingga darahnya jadi terkesiap, jantungnya lantas saja berde-gupan. Tatkala hidungnya mencium harum wewangian yang membersit dari rambut si gadis, mulutnya mendadak saja seperti tergagu.
"Hai! Kau lagi melamunkan siapa" Nuraini?" tegur Titisari sambil tertawa. Mendengar teguran itu, keruan saja Sangaji jadi terperanjat setengah mati. Gugup ia menjawab, "Mengapa kamu mendakwa yang bukan-bukan?"
"Tadi kamu berbicara perkara rejeki dan raja. Sekarang perkara... Tak bisakah kamu
membicarakan yang lain?"
"Baik"kamu tak suka membicarakan, justru aku ingin membicarakan," sahut Titisari cepat.
"Bukankah gadis itu..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa?" potong Sangaji. Cepat ia mengingat-ingat peristiwa pagi hari tadi, sewaktu Wayan Suage meninggalkan pesan penghabisan kepada Ki Hajar Karangpandan dan gurunya, Wirapati.
Teringat, bahwa Titisari kala itu belum muncul hatinya agak jadi tenang.
Titisari tertawa perlahan sambil mendongakkan kepala.
"Belum selesai aku berbicara, kenapa kamu begitu gugup" Aku hanya ingin menyatakan kesan hatiku, bahwa mulai hari ini dia menjadi seorang anak yatim-piatu. Siapa yang bakal melindungi?"
Mendengar kata-kata itu, Sangaji bersyukur dalam hati. la jadi geli melihat kegelisahannya sendiri. Lantas menyahut, "Dia yatim-piatu atau tidak, apa peduliku?"
Sangaji bermaksud mau membersihkan diri dengan kata-kata tajam. Tapi ia lupa, bahwa gadis yang duduk di dekatnya adalah seorang gadis yang cerdas dan cerdik luar biasa pada zaman itu.
Kalau saja, ia berkata penuh perasaan seperti watak aslinya, pastilah si gadis tiada menaruh curiga. Sebaliknya oleh kata-katanya yang keras, Titisari jadi keheran-heranan. Dengan tiba-tiba saja raut muka Titisari berubah hebat. Dahinya berkerinyit dan matanya membersitkan sedikit air.
Sangaji tak melihat perubahan itu, karena dia berada di belakang punggungnya. Hanya saja ia melihat si gadis menundukkan kepala seakan-akan sedang berpikir keras.
"Titisari... apakah kata-kataku ada yang salah?" kata sangaji hati-hati.
"Tidak! Kamu tak bersalah. Sama sekali tak bersalah," sahut Titisari dengan berbisik. Kemudian memandang jauh ke depan. Dan lama ia berdiam diri.
Sangaji jadi gelisah. Dasar ia berhati polos dan jujur, lantas saja merasa salah. Ia menyangka dan percaya, bahwa Titisari sudah bisa menebak peristiwa tadi pagi. Terhadap Titisari ia sudah merasa takluk semenjak bertemu di restoran Cirebon. Tetapi kalau dikatakan ia menerima pesan Wayan Suage dengan sungguh-sungguh adalah tidak benar. Maka ia berkata, "Nuraini memang patut dikasihani. Ia tak berayah-bunda lagi. Tetapi antara aku dan dia tidak ada hubungan keluarga. Apakah menurut pendapatmu, aku harus mendampingi pulang ke kampung halaman dan mencarinya sampai... Titisari, kalau kemarin pagi aku berkelahi melawan Sanjaya begitu mati-matian, sebenarnya aku mengharapkan agar dia tak disia-siakan pemuda itu."
"Benarkah itu?" tiba-tiba Titisari memotong dengan suara riang.
"Ya, mengapa?" "Seumpama... ada seseorang yang hendak memisahkan persahabatan kita ini, apa yang akan kau lakukan?"
Sangaji jadi tercengang-cengang mendengar ucapan Titisari. Dan bagaimana goblok pun
seorang pemuda, samar-samar pasti dapat menebak maksud hati seorang gadis yang berkata
demikian. Dengan suara bergetar ia menyahut, "Eh, kamu ini ngomong apa" Siapa yang akan
memisahkan kita?" "Seumpama gurumu?"
"Guruku orang berbudi. Tak bakal mereka memisahkan kita."
"Gurumu yang lain, begitu galak. Aku tak senang melihat congornya."
Sangaji terkejut. Selamanya ia menghargai dan menghormati gurunya lebih daripada siapa
saja, mendadak Titisari berani men-congor-congorkan. Tentu saja, hatinya terkesiap sampai sekujur tubuhnya menjadi dingin.
"Titisari! Kaumaksudkan guruku Jaga Saradenta" Biarpun dia galak, tidaklah segalak seekor binatang. Mengapa kamu..."
"Eh, aku bersakit hati" Antara dia dan kamu memang ada hubungannya. Tapi denganku, sama sekali tidak ada hubungan sanak-keluarga. Tetapi mengapa dia memandangku seperti anak
siluman" Kalau dia menyebutku setali tiga uang dengan iblis"karena aku anak siluman dan adik Abu dalam suatu perguruan"apa salahnya aku menyebut mulutnya sebagai congor" Orang boleh memakiku dengan istilah iblis, kenapa aku tak boleh memaki dia dengan istilah congor?"
Sangaji terdiam karena tak pandai berdebat. Meskipun bisa dibenarkan tata-sikap si gadis, tetapi ia merasakan sesuatu yang kurang tepat. Hanya saja, tak pandai ia mengungkapkan kesan rasa itu. Akhirnya dia berkata, "Kamu adalah sahabatku yang tak terpisahkan. Kupinta janganlah berkata demikian terhadap guruku yang kuhormati dan kujunjung tinggi. Lagi pula, dia tadi tak langsung menyebutmu iblis. Dia hanya menirukan ucapan pendeta Ki Hajar Karangpandan untuk membela diri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik. Terhadapmu memang aku bersedia takluk buat selama hidupku," sahut Titisari. "Hanya saja, gurumu itu tak terkesan baik kepadaku."
"Barangkali, karena dia benci kepada Pringgasakti."
"Pringgasakti bukan aku. Aku bukan Pringgasakti. Mengapa mesti dipersangkut-pautkan" Nah, andaikata dengan alasan itu dia memisahkan persahabatan kita ini, apakah yang akan kau
lakukan?" Dengan semangat berkobar-kobar Sangaji meledak.
"Aku hendak menggenggam tanganmu dan kubawa menghadap padanya. Dan aku akan
berkata, Ini adalah Titisari. Dia bukan iblis atau keluarga iblis. Dia manusia baik."
Terdorong oleh semangatnya yang berkobar dalam dada, tanpa terasa ia menggenggam
pergelangan tangan Titisari dan ditarik ke dadanya.
Mula-mula Titisari tersenyum geli menyaksikan laku Sangaji. Tapi mendadak hatinya tergetar karena Sangaji begitu sungguh-sungguh.
"Aji! Gurumu itu mungkin dapat kauberi pengertian. Tetapi terhadap pendeta gila yang menyebutku iblis, belum tentu kamu berhasil," katanya perlahan.
"Titisari!" suara Sangaji gemetaran. "Kalau dia hendak memisahkan kita... biarlah kita minggat ke Jakarta."
"Kalau dia tetap memburu?"
"Biarlah kita mati. Apa kamu takut mati?"
Semangat Titisari terbangun. Hatinya berdebar-debar, karena terharu mendengar ucapan
Sangaji yang sederhana tetapi sungguh-sungguh. Benar! Paling baik kita mati, pikirnya. Apakah ada yang melebihi mati" Lantas ia menjawab, "Aji! Mulai detik ini aku akan mendengarkan tiap patah katamu. Mati pun bukan soal bagiku. Karena itu selama-lamanya kita tak akan berpisah."
"Memang! Kita takkan berpisah untuk selama-lamanya. Sudah kukatakan kemarin malam di pantai, bahwa kamu adalah seorang gadis yang termanis."
"Betulkah itu?" Titisari tertawa nakal.
Muka Sangaji terasa menjadi panas. Meskipun demikian ia mengangguk. Di waktu itu
semangatnya sedang berkobar-kobar dengan dahsyat, sehingga tak ingatlah dia bahwa
tunangannya di Jakarta masih setia menunggunya. Pemuda itu sama sekali tak menduga kalau Sonny de Hoop di kemudian hari akan merupakan sumber keruwetan dan kesulitan tak terhingga.
Demikianlah perjalanan mereka lantas saja menjadi lancar. Bulan makin nampak gede. Sinarnya bersemarak menentramkan hati dan penglihatan.
Kira-kira menjelang tengah malam, mereka berhenti mencari penginapan. Maklumlah, mereka
kini merasa capai karena semenjak kemarin benar-benar tidak tidur sekejap pun, meskipun hati mereka girang luar biasa. Lagi pula tanda jalan yang dijanjikan Wirapati takkan dapat terlihat pada malam hari.
Willem dilepaskan dengan begitu saja. Dan mereka menghempaskan diri di atas tanah kering, berselimut udara dan berbantal batu. Dinyalakan suatu pendiangan kecil dan sebentar saja telah tertidur lelap.
Menjelang pagi hari, angin meniup begitu tajam dan dingin. Suasana hening dan sunyi.
Mendadaklah terdengar suara sebongkah batu menggelinding ke bawah. Kaget mereka
menyepakkan mata dan seolah-olah sudah saling berjanji, pandang matanya saling memberi
isyarat. Perlahan-lahan mereka menegakkan kepala. Mereka melihat Willem lagi menggaruk-garuk tanah. Mengira, suara tadi datangnya dari perbuatan si Willem, mereka berbaring kembali.
Pendiangan yang sudah lama padam, dibiarkan tak menyala.
Waktu subuh hampir lewat, kembali mereka terbangun oleh suara yang mencurigakan. Kini,
mereka benar-benar bersiaga. Serentak mereka menegakkan punggung dan menjela-jahkan mata.
Mereka melihat si Willem terbaring tak jauh daripadanya. Binatang ini pun mendadak saja
menegakkan kepala dan serentak bangkit berderekan. Mereka kian jadi curiga. Hati-hati mereka mengadu punggung dan memperhatikan sekelilingnya. Tetapi suasana menjelang fajar hari tetap hening dan sunyi menyayat. Meskipun demikian, tak berani mereka lengah sedikit pun. Sampai matahari timbul di udara, mereka tetap siaga.
Karena tempat sekitarnya tidak ada mata air, mereka meneruskan perjalanan ke selatan
mengikuti tanda jalan yang ditinggalkan Wirapati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Titisari! Apakah kamu mempunyai firasat diikuti seseorang?" Sangaji minta pertimbangan.
"Tidak hanya semalam," sahut Titisari. "Semenjak kita berpisah dengan gurumu, perasaan itu telah kurasakan."
"Mengapa?" "Kedua pusaka warisanmu itu bukan sembarang pusaka."
"Masa begitu?" Sangaji tak yakin. "Seumpama semalam ada orang jahat, kenapa tidak mencuri si Willem?"
"Justru itu, dugaanku kian kuat. Orang yang semalam menjenguk kita, bukan seorang penjahat murahan atau maling kuda. Pastilah jejak kita akan diikuti, sampai kamu berhasil mengambil pusakamu. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja kamu telah terkepung rapat."
Mendengar ulasan Titisari, bulu roma Sangaji menggeridik. Tetapi ia membungkam mulut.
Tatkala matahari telah sepenggalah tingginya, mereka sampai di sebuah dusun agak ramai
yang berada di kaki Gunung Sumbing. Sangaji membeli seekor kuda putih untuk Titisari. Dan mereka melanjutkan perjalanan lagi. Sebenarnya Titisari lebih suka menunggang kuda berbareng.
Tetapi Sangaji merasa kikuk oleh pandang orang dan merasa kurang leluasa. Mau tak mau Titisari menerima alasan itu.
Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah sungai yang jernih airnya. Segera mereka
mencencang kudanya dan terjun ke dalam sungai.
Biarpun Sangaji dibesarkan di Jakarta, belum pernah sekali juga berenang di laut atau di sungai. Karena itu ia berdiri di tepian setinggi dada. Sebaliknya Titisari terus saja menyelam di dasar sungai dan timbul di seberang sana. Ia berenang gesit dan cekatan seperti seekor ikan.
Wajahnya riang luar biasa.
"Aji!" serunya. "Selama hidupku aku berada di antara air. Ayo kuajari kau berenang."
Sangaji menggelengkan kepala. Ia takut air. Sekiranya tak teringat semenjak pagi tadi belum mandi, takkan gampang-gampang ia mencelupkan tubuhnya ke dalam sungai.
Titisari seorang gadis yang nakal. Segera ia menghampiri dan berkata nyaring.
"Idddiiih... anak laki-laki, masa tak bisa berenang?"
Belum lagi Sangaji menangkis ejekannya. Mendadak ia menyelam. Sangaji bercelingukan
mencarinya, tapi gadis nakal itu lama tak muncul-muncul. Karuan saja, hati Sangaji berdebar-debar. Hampir saja ia mengira, Titisari hilang disambar buaya atau mendapat bahaya lainnya, mendadak kakinya serasa dibetot orang. Kaget ia meronta, tetapi ia kena seret terus. Ketika ia melihat, bahwa dirinya diseret ke tengah, ia takut setengah mati.
"Hai! Hai!" ia berteriak sambil memukuli air.
Pada waktu itu, ia seperti terlempar berputaran dan Titisari muncul di permukaan sambil
tertawa nyaring. Karuan saja, Sangaji gelagapan sampai meneguk air beberapa kali.
"Pukulkan tanganmu dan jejakkan kakimu! Air sekelilingmu pandanglah sebagai musuhmu!"
teriak Titisari menasihati.
Mau tak mau Sangaji tunduk pada nasihatnya, meskipun hatinya mendongkol bukan main.
Tetapi aneh setelah tangan dan kakinya berserabutan tak karuan juntrungnya, tubuhnya tidak tenggelam lagi. Bahkan ia bisa berputar-putar dan maju membungkuk-bungkuk seperti katak
bangkotan. Titisari tertawa terpingkal-pingkal. Kemudian mulai mengajar bagaimana harus berenang.
Setelah itu cara mengatur napas.
Bagi Sangaji pelajaran mengatur napas dengan memukul tangan dan kaki adalah mudah.
Pertama-tama ia mengenal ilmu tata-berkelahi dan ilmu pernapasan dari Ki Tunjung-biru. Maka dua jam kemudian, ia sudah bisa berenang seperti seorang ahli berenang kelas empat. Dia sudah bisa mulai berputar-putar mengikuti Titisari ke mana gadis itu berenang. Dan lambat-laun ia mendapat suatu kegembiraan baru yang belum pernah dirasakan selama hidupnya.
Dia tak mengenal lelah sampai waktu luhur telah lewat. Sekarang Titisari yang jadi repot. Sama sekali ia tak menduga kalau muridnya begitu giat dan tak mengenal lelah. Maka cepat-cepat, ia berseru, "Aji! Apa kita mau tidur dan makan di dalam air?"
"Kenapa?" "Aku lapar! Ayo tolong aku mencari ikan." Sehabis berkata demikian, cepat ia menyelam dan menguber-nguber ikan sampai hampir menjelang senja. Mereka kemudian berbaring di tepi sungai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil membakar ikan. Titisari ternyata pandai memasak. Dengan cekatan ia memetiki daun-daun dan dimasak menjadi sayur berikan.
Sangaji sudah memeras tenaga hampir sehari penuh dalam kubangan air, maka ia
menggerumuti masakan itu seperti kuda.
"Kalau saja kita membekal nasi, alangkah sedap," katanya.
Mendapat ingatan itu, lantas saja mereka berbelanja di dusun. Membekal beras dan bumbu.
Kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Demikianlah, empat hari telah dilampaui dengan senang dan tidak ada halangan. Hanya saja pada malam hari, mereka selalu berjaga, karena suara yang pernah didengar senantiasa berada di dekatnya. Pada hari kelima, langit hitam tebal. Lalu terdengarlah suara dentuman guruh saling menyusul.
"Kamu takut, Titisari?" tanya Sangaji.
"Dulu aku pernah takut pada guruh. Dalam bayanganku, seolah-olah naga besar melingkar dan menyusur mega hitam. Kini... apa lagi sekarang, sama sekali tidak takut."
"Kenapa?" "Karena aku dekat denganmu. Biarpun guruh itu benar-benar seekor naga raksasa sakti, aku tidak gentar. Karena apakah yang melebihi mati" Sekiranya naga itu menyerang, pasti kamu melawan sekuasa-kuasamu dan kalau kamu terpaksa gugur, akupun akan menuntut bela.
Sekiranya aku bisa membunuh naga itu, aku akan mendaki gunung setinggi-tingginya sambil
memapah jenazahmu. Kemudian akan kubawa meloncat ke jurang. Nah, dengan begitu kita akan selalu bersama dan tidak ada sesuatu kekuatan apa pun juga yang akan memisahkan kita."
Hebat pengaruh kata-kata itu yang diucapkan dalam suasana jagad dalam keadaan remang-
remang hampir hujan. Sangaji begitu terharu, sampai menekan pergelangan tangan Titisari dan hampir saja diciumnya.
Hujan benar-benar turun sangat derasnya. Mereka tak memedulikan. Terus saja mereka
melanjutkan perjalanan. Tapi tatkala malam hari tiba, mereka berteduh di sebuah gua
(sebenarnya lebih merupakan kubangan tebing gunung) dan cepat-cepat mengeringkan pakaian.
Titisari segera memasak air dan menanak nasi. Kemudian membakar beberapa ekor ikan sungai.
Tatkala hendak menyambal (ikan itu akan dipenyetkan dalam sambel dengan jeruk pecel),
mendadak ia mendengar suara langkah di luar mulut gua. Belum lagi ia memberi isyarat, Sangaji telah memipitkan diri di belakang dinding mulut gua. Tahu-tahu di depannya muncul seorang lakilaki berkepala botak yang terus saja tertawa menyeringai. Dialah Yuyu Rumpung penasihat sang Dewaresi.
"Hm... begini besar rejekimu sampai masih bisa masak ikan segala," katanya.
Sangaji terkejut setengah mati, sampai mulutnya tergugu. Sebaliknya Titisari lantas saja mendamprat.
"Eh... jadi baru malam ini kamu muncul terang-terangan. Rupanya hujan besar membuatmu gagal menepati siasatmu. Kamu terpaksa membatalkan rencanamu menguntit kami, bukan?"
"Hai bocah edan! Siapakah kawanmu ini" Begini cantik. Apakah dia bisa diganyang pula seperti ikan yang dibakar?"
Panas hati Sangaji, mendengar ucapan Yuyu Rumpung yang menghina Titisari. Biarpun sadar
tenaga sendiri tiada unggulan, lantas saja ia menyerang.
Yuyu Rumpung kini telah pulih kembali seratus persen, tetapi sembilan bagian telah dimiliki.
Karuan saja, begitu Sangaji melontarkan serangan dengan tertawa besar ia menangkap
pergelangan tangannya dan dilontarkan balik.
Tubuh Sangaji terpental masuk ke dalam gua menubruk Titisari.
"Cepat minggir!" serunya gugup, karena merasa tak dapat menguasai diri.
"Mengapa mesti minggir?" sahut Titisari sambil menyambut. "Bukankah tidak ada yang bisa melebihi mati?"
Karuan saja, kena benturan tubuh Sangaji yang terpental karena dorongan tenaga Yuyu
Rumpung, Titisari terpelanting sampai menumbuk dinding gua. Meskipun demikian, ucapannya menimbulkan semangat berjuang yang menyala dahsyat dalam dada Sangaji.
"Bagus! Tidak ada kekuatan manapun yang mampu memisahkan kita," seru Sangaji. Dan terus saja dia kembali menyerang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia memang berwatak ulet, tabah dan tahan uji. Meskipun kena gempuran Yuyu Rumpung
setiap kali ia menyerang, masih saja dia tidak jera. Bahkan dia berusaha sekuat tenaga agar bisa membobol mulut gua.
Titisari pun tak tinggal diam. Hanya saja dia cerdik. Dengan cekatan ia menerkam kayu
pembakar dan hendak dipergunakan sebagai senjata, la tak memperdulikan ikan-ikan yang sedang dibakarnya. Sekonyong-konyong berkelebatlah bayangan putih. Bayangan putih itu, terus saja menyanggah maksud Titisari sambil berkata, "Eh"eh, sayang Nona! Sayanglah pada ikan-ikan itu!"
Terus saja bayangan putih itu sibuk menyalakan api dan menaruh ikan-ikan dengan hati-hati di atas bara. Titisari heran berbareng terkejut. Dengan tajam ia mengamat-amati bayangan putih itu.
Ternyata ia adalah manusia yang berkulit putih (bule).
"Ai... sayang-sayang! Rupanya Nona pandai membakar ikan! Teruskan membuat pecel lele!
Jangan pedulikan bangsa cecurut itu."
Mendengar ucapan orang berkulit putih itu, sepercik harapan timbul dalam hatinya. Dasar ia cerdik dan cerdas, lantas saja bisa menebak bahwa orang berkulit putih itu bukan kawan Yuyu Rumpung. Pikirnya, di mulut gua Yuyu Rumpung berjaga-jaga dengan kuat dan sedang mengadu tenaga dengan Sangaji. Bagaimana orang ini tiba-tiba saja bisa melesat memasuki gua" Apa dia memiliki ilmu siluman?"
Mendapat pikiran demikian lantas dia berkata mencoba.
"Perkara membuat pecel lele, itu sih gampang. Tapi kawanmu itu mengotori gua dengan abu tanah begini rupa."
"Kawan yang mana?" dengus orang berkulit putih.
"Yang botak itu."
"Hm... orang seperti anjing kudisan itu, bagaimana bisa jadi kawanku" Suruh dia pergi dan menjauhi gua. Bilang aku si jembel tua yang memerintahkan!"
Titisari berbimbang-bimbang. Melihat Titisari berbimbang, orang berkulit putih itu lantas berkata lagi, "Bilang, burung gagak berbulu putih yang menghendaki."
Mendengar ucapan orang berkulit putih itu, sekonyong-konyong mata Titisari menyala berkilat-kilat. Serentak ia meloncat maju sambil membentak.
"Hai botak tua! Kamu diperintahkan pergi menjauhi gua. Gagak Seta yang perintah!"
Mendengar nama Gagak Seta, benar saja Yuyu Rumpung lantas saja berdiri tegak. Mukanya
berubah hebat. Pucat dan bergemetaran.
"Apa kau bilang?" katanya dengan suara tertahan.
Belum lagi Titisari menjawab, Gagak Seta yang masih saja membungkuki ikan-ikan bakaran
menyahut. "Kau anjing, enyahlah cepat-cepat! Aku si jembel tua mau makan. Dan kau anak muda, wakili aku menggaplok botaknya tujuh kali."
"Menggaplok?" Sangaji menegas heran.
"Aku bilang gaplok, gaploklah! Tak bakal dia berani membalas atau mampu membalas."
Benar juga. Tatkala Sangaji mencoba-coba meraba pipinya, si botak tak berani berkutik. Maka ia benar-benar menggaplok. Kali ini lebih keras sampai mulut si botak mengeluarkan darah. Dan pada gaplokan yang ke enam, tiba-tiba Titisari berteriak, "Nanti dulu! Akupun tadi kena dipelantingkan, karena itu dia harus membayar."
Setelah berkata demikian, ia bukan lagi menggaplok tetapi menghantam dada Yuyu Rumpung
pulang-balik sampai pendekar itu meringis kesakitan.
"Bagus! Bagus!" seru orang berkulit putih dengan gembira. "Kamu begitu bersemangat dan aku senang melihat seorang yang bersemangat. Nah, sekarang suruhlah dia pergi jauh-jauh!"
Tanpa diperintah lagi, Yuyu Rumpung lantas mengundurkan diri, setelah membungkuk dua kali.
Sangaji heran luar biasa. Ia tahu, pendekar itu sangat galak dan ganas. Mengapa tiba-tiba dia menjadi begitu jinak" Apakah orang yang lagi membungkuki ikan itu majikannya"
"Hai Nona kecil! Apa kamu akan membiarkan ikan-ikanmu terbakar hangus?" teriak orang berkulit putih.
Sangaji menoleh ke Titisari dan ia tercengang-cengang lagi melihat kawannya itu begitu
penurut. Percaya, kalau Titisari yang cerdik dan cerdas otak pasti sudah menemukan sesuatu hal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang beralasan, segera ia datang membantu. Tetapi baru saja, ia hendak berjongkok tiba-tiba orang yang menamakan diri Gagak Seta itu menolaknya.
"Jangan sampai kau sentuh ikan-ikan itu. Tanganmu akan mengotori dan menabah selera."
Kena dorong itu, Sangaji terkejut, la merasakan suatu
tenaga dahsyat yang halus sehingga tiba-tiba saja tubuhnya
sudah kena digeser pergi sampai memepet dinding.
Teringat akan sikap Yuyu Rumpung yang tiba-tiba jadi jinak
oleh suatu gertakan saja dan ia sendiri merasakan pula
tenaga orang itu begitu dahsyat, mau tak mau ia harus bisa
menempatkan diri. ... ia bukan lagi menggaplok tetapi menghantam dada
Yuyu Rumpung pulang-balik sampai pendekar itu meringis
kesakitan. "Paman! Apakah benar-benar Paman doyan sambel lele?"
tiba-tiba Titisari berkata dengan suara riang dan ikhlas.
"Apa kamu merasa kurugikan?"
"Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya ingin minta
ketegasanmu. Kalau Paman doyan ikan lele, biarlah esok
hari aku menangkap yang lebih banyak lagi. Dan aku akan
memasakkan Paman yang istimewa."
"Eh Nona kecil! Aku singgah kemari karena kebetulan
saja. Sewaktu aku lagi mengutuki hujan tiba-tiba aku
mencium bakaran ikan."
Dengan cekatan Titisari melayani orang itu. Ia membakar terasi yang segera menusuk hidung sangat tajam, sampai orang kulit putih itu mulutnya jadi berliur.
"Wah cepat! Cepat!" orang itu menjerit-jerit. "Aku bisa mati kausiksa."
Titisari tertawa geli menyaksikan perangai orang kulit putih itu. Tatkala ia mendengar, bahwa orang itu bernama Gagak Seta, teringatlah dia akan tutur-kata ibunya. Orang itu pernah
bertanding melawan ayahnya mengadu kepandaian. Masing-masing tiada yang kalah atau
menang. Tadi, sewaktu ia melihat orang bule bisa masuk ke dalam gua seperti kelelawar sampai bisa menerobos penjagaan Yuyu Rumpung, ia sudah curiga.
Karena ciri khas pribadi Gagak Seta itu ialah warna kulitnya yang putih. Ayahnya sering
menyebutnya sebagai si jembel bule. Ia adalah salah seorang dari tujuh tokoh sakti pada zaman itu. Pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kedua, Pangeran Mangkubumi I. Ketiga, Adipati Surengpati.
Keempat, Kyai Haji Lukman Hakim. Kelima, Gagak Seta. Keenam, Kebo Bangah. Dan ketujuh,
Raden Mas Said yang terkenal dengan Pangeran Samber Nyawa. Mengingat dia menduduki urut
nomor lima, bisa dibayangkan betapa tinggi kepandaiannya bahkan kini, sesudah Pangeran
Mangkubumi I, Kyai Haji Lukman Hakim dan Pangeran Samber Nyawa sudah wafat, ia menduduki nomor urut yang ketiga. Sebenarnya nomor urut itu adalah tutur-kata orang belaka. Andaikata keempat tokoh sakti itu saling bertempur mengadu kepandaian tidak salah seorang yang bisa memperoleh tingkat tertinggi. Masing-masing memiliki gegebengan (ilmu kepandaian) sendiri yang sudah mencapai tingkat sempurna.
Waktu itu Titisari selesai mempenyet tiga ekor ikan lele dan diserahkan dengan senyum ikhlas kepada Gagak Seta. Ternyata Gagak Seta seperti orang sebulan tidak makan. Begitu dia mencium bau ikan, terus saja tangannya menyambar dan dengan serakah dijejalkan ke dalam mulutnya, la makan begitu bernafsu, sampai ketiga ekor lele itu lenyap hingga ke tulang-tulangnya.
"Bukan main! Bukan main!" serunya memuji. "Entah kau ini anak iblis, anak setan atau anak malaikat! Tanganmu begitu sedap, sampai aku benar-benar merasa takluk. Hai, bagaimana kamu bisa membuat ikan kali ini begini nikmat" Setua ini, belum pernah aku merasakan suatu
kenikmatan seperti hari ini."
Titisari tertawa dan ia menyodorkan dua ekor ikan lagi yang sebenarnya adalah bagiannya dan bagian Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah! Bagaimana aku..." Gagak Seta menolak. "Kamu berdua belum makan..." Tetapi mulutnya berkata demikian, tangannya sudah menyambar dan sebentar saja dua ikan lele itu telah habis digerogoti. Setelah itu dia berjungkir-balik sambil menekan perutnya.
"Hai perut edan! Perut bangsat! Bagaimana kamu berani menggaglak (menelan) milik orang!"
Mula-mula Sangaji heran menyaksikan perangai orang itu. Berdiam diri ia beradu pandang
dengan Titisari. Tetapi begitu mendengar ucapannya, mau tak mau ia tersenyum geli.
"Hai anak muda!" tiba-tiba Gagak Seta berdiri tegak di depannya sambil merogoh kantongnya, ia berkata lagi, "Kulihat tadi, kamu belum kebagian. Berapa aku mesti bayar?"
"Aku bukan seorang penjual makanan," jawab Sangaji sederhana. "Seumpama aku pun seorang penjual makanan, terhadapmu tak bakal kuminta uang. Kamu kuanggap sebagai sahabat."
"Eh, mana bisa begitu" Malam ini hujan badai. Malam begini ini, enaknya makan serba hangat dan minum."
"Aku takkan mati kelaparan, karena tidak makan ikan lele sekali saja." Sangaji tersenyum.
Gagak Seta tertawa lebar. Dengan agak sungkan (segan-segan), ia berkata, "Inilah sulit.
Selama hidupku, tak pernah aku menerima budi seseorang. Meskipun aku seorang jembel."
"Apakah arti lima ikan lele" Lagi pula kami tidak membelinya. Kami hanya mengambil dari sungai. Kalau kamu ingin membalas budi, nah lemparkan uangmu ke dalam sungai."
Gagak Seta terkekeh-kekeh. Mendadak Titisari menyambung.
"Kamu tadi ingin menikmati minuman hangat pada malam hari begini" Bagus! Tunggulah
barang sebentar! Aku akan memasak kopi untukmu."
"Hai! Hai! Jangan! Jangan! Bagaimana aku bisa menerima pemberianmu?" teriak Gagak Seta.
Tetapi sekali lagi mulutnya mengucap demikian, tangannya lantas saja mengeluarkan tempurung usang dari dalam ikat pinggangnya dan terus diangsurkan kepada gadis itu.
Titisari tersenyum geli sambil mengerlingkan mata kepada Sangaji.
"E-hem! Anak muda!" kata Gagak Seta kepada Sangaji. "Apakah dia isterimu?"
Merah muka Sangaji mendengar pertanyaan itu. Belum lagi dia menjawab, Gagak Seta
meneruskan. "Dia begitu pintar dan cekatan. Kau sangat beruntung! Hm... sekiranya dulu ada yang sudi jadi istriku dan kemudian mempunyai anak gadis seperti dia, tanggung kukantongi selama hidupku.
Kau tak bakal bertemu, anak muda. Eh, siapa namamu?"
Sangaji hendak membuka mulut, tetapi sekali lagi Gagak Seta memotong.
"Kulihat tadi kedua kudamu kehujanan di luar. Apa kamu mau membiarkan binatang-binatang itu sakit perut?"
Teringat akan kudanya, Sangaji terkejut. Ya, kedua kudanya tadi belum lagi diteduhkan ke dalam gua. Ia hanya mencencangnya begitu saja di bawah mahkota dedaunan. Sama sekali tak terpikirkan, kalau mahkota dedaunan belum tentu dapat melindungi deras hujan turun terusmenerus tiada hentinya. Serentak ia meloncat dan melesat ke luar gua. Hujan deras tak
diacuhkan, Pakaiannya yang kotor kena debu gua sewaktu berkelahi tadi, cepat jadi basah kuyup.
Gagak Seta mengawaskan dengan meng-urut-urut jenggotnya yang berwarna kelabu. Berkata
kepada Titisari, "Apa dia suamimu?"
Tadi Titisari mendengar Gagak Seta menegas kepada Sangaji tentang hubungannya. Gadis itu ingin sekali mendengarkan jawaban Sangaji. Kini, di luar dugaannya dia pun menghadapi suatu pertanyaan yang mestinya mudah, tapi tiba-tiba begitu sulit. Sampai otaknya yang cerdaspun tak kuasa menjawab. Mau dia mengiakan, mendadak saja jantungnya berdegupan.
Gagak Seta tidak mendesak. Ia hanya tertawa perlahan sambil berputar menghadap padanya.
"Anak muda itu seperti tabiatku."
"Apakah yang sama?" Titisari menyahut sulit mengatasi perasaannya.
"Agak ketolol-tololan, seperti masa mudaku. Mungkin otaknya bebal. Coba lihat! Terhadap binatang saja, dia berani membiarkan dirinya kehujanan. Apakah kekuatan tubuhnya jauh lebih kuat daripada kuda?"
Orang tua itu lantas tertawa terkekeh-kekeh.
"Justru demikian, aku senang berkawan dengan dia," Titisari membela.
"Hai! Kawan?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa" Kalau terhadap binatang saja dia begitu memperhatikan, terlebih-lebih terhadap seorang manusia."
"Bagus!" Gagak Seta tertawa menggelora.
"Mengapa kamu tertawa?"
"Aku ingin tertawa dan tertawalah aku. Siapakah yang melarang orang tertawa?" Gagak Seta menyahut cepat. Kemudian berkata kepada dirinya sendiri. "Alangkah untung kawanmu itu... eh suamimu... eh kawanmu. His! His! Kurangajar mulut ini."
Tahulah Titisari, bahwa orang tua itu sedang menggoda padanya. Sekaligus merahlah mukanya dan hatinya jadi mendongkol. Hanya aneh, dalam hati kecilnya terbersit rasa syukur yang
membahagiakan. Tetapi seorang perempuan bukanlah perempuan, apabila tak bisa main
sandiwara. Maka dengan wajah cemberut ia mengangsurkan tempurung Gagak Seta kepada
pemiliknya kembali. "Baik. Terimalah harta-bendamu ini kembali. Aku tak mau memasakkan kopi bagimu."
"Hai! Hai! Mengapa?" Gagak Seta terkejut.
"Tak senang aku kau olok-olok."
"Siapa yang mengolok-olok?"
"Kau tadi ngomong apa?"
"Itu kan mulutku. Dan mulutku bukan aku!"
Gagak Seta membela diri sungguh-sungguh. Dan mau tak mau Titisari tertawa geli juga dalam hati, menyaksikan perangai orang itu yang aneh. Pikirnya, memang benar kata orang.
Bahwasanya orang yang berilmu tinggi seringkah mempunyai tabiat-tabiat dan kebiasaan-
kebiasaan yang aneh serta edan-edanan. Maka ia mengurungkan niatnya dan segera ia
membungkuki perdiangan memasak kopi.
Dalam pada itu, Sangaji telah memasukkan kedua kudanya. Karena tiada tonggak atau batu
yang mencongakkan diri dari dinding gua, terpaksa ia menghunus pedang pemberian Mayor
Willem Erbefeld dan ditancapkan ke tanah dengan sekali tetak. Kemudian ia mengikat kendali kedua kudanya sekaligus.
"Hai anak muda! Apa kamu mau tidur bersama kuda?"
"Apakah sekiranya mengganggu Paman?" balas Sangaji bertanya.
"Tidak! Tidak! Sama sekali tidak!" Gagak Seta menyahut dan terus berbaring di tanah. Sebentar saja ia mendengkur bagaikan babi hutan.
Heran Sangaji mengamat-amati. Kemudian dengan berjingkat-jingkat ia menghampiri. Sekali
lagi ia memeriksa dan mengamat-amati. Dan benar-benar orang tua itu tidur mendengkur. Aneh, pikirnya, la habis berbicara dengan suara kuat. Lalu dengan tiba-tiba bisa tertidur begitu gampang.
Ilmu apakah ini" Tertarik kepada tingkah-laku Gagak Seta yang aneh itu.
"Kukira dia benar-benar tidur," kata Titisari yakin. "Ayahku pernah membicarakan tentang suatu ilmu penutup panca-indera yang bisa tahan terhadap segala senjata tajam atau racun. Ilmu itu namanya Keyong Buntet. Aku sendiri belum pernah menjumpai seseorang yang berilmu demikian.
Tetapi mengingat dia pernah bertempur berkali-kali melawan Ayah, pastilah ia bukan orang sembarangan."
"Dia?" Titisari mengangguk. "Apakah perkaranya?" Sangaji minta keterangan.
"Itulah soal orang-orang tua. Kamu kenal nama-nama tokoh sakti pada zaman ini" Yang pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kemudian ayahku. Kemudian dia"Gagak Seta. Dan keempat,
Seorang tokoh dari perbatasan Jawa Barat. Nama gelarnya Kebo Bangah."
Hai! Apakah dia Gagak Seta yang pernah dibicarakan guruku" pikir Sangaji. Hatinya terkesiap.
Lantas saja dengan hormat ia menjauhi. Berkata pada Titisari setengah berbisik, "Dulu aku pernah mendengar Ki Tunjungbiru menyebut-nyebut namanya tatkala berjumpa dengan kedua guruku.
Ah! Inilah anehnya!"
"Apakah di jagad ini ada sesuatu peristiwa yang kebetulan" Kenapa aku bisa berjumpa dengan dia?"
Titisari tidak menjawab. Dengan berdiam diri ia menyiduk air panas dengan tempurung Gagak Seta. Kemudian menghampiri orang tua itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, kau mau apa?" Sangaji terkejut.
"Ingin kutahu, apakah benar-benar Gagak Seta dan apakah dia benar-benar memiliki ilmu Keyong Buntet," sahut Titisari. "Sekiranya dia berilmu Keyong Buntet, pastilah kulitnya tidak mempan dan dia pun tidak bergeming, sekiranya tidak memiliki, pastilah dia bisa menghindari sebelum air mendidih ini menyiram tubuhnya."
Dan berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan ia menyiramkan air panas itu. Sangaji
terkesiap bukan kepalang. Mau ia meloncat mencegah sedapat-dapatnya. Mendadak saja ia
melihat suatu keanehan. Orang tua itu seperti tak mempunyai rasa. la tetap tidur mendengkur dan tubuhnya tak bergeming.
Semenjak kanak-kanak, Sangaji hidup di Jakarta dan bergaul rapat dengan kompeni-kompeni
Belanda. Sedikit banyak, cara berpikir orang-orang Barat terekam juga dalam benaknya. Terhadap ilmu-ilmu sakti, tak pernah ia mendengar kabar. Kecuali tatkala bertemu dengan Panembahan Tirtomoyo dan mendapat keterangan daripadanya. Namun demikian, tak pernah ia yakin bahwa ilmu yang disebutkan Titisari benar-benar bisa membuat kulit daging begitu kebal. Pikirnya, apakah benar ilmu itu yang melindungi tubuhnya atau dia penjelmaan siluman"
Sambil berjalan kembali ke perdiangan, Titisari berkata, "Aji! Barangkali kamu belum pernah melihat wayang kulit."
"Ya. Kenapa?" "Kalau kamu sekali melihat, kutanggung akan tertarik. Sebab di sana kamu akan mengenal banyak sekali tokoh-tokoh sakti yang disebut orang, Ksatria. Seorang ksatria mengutamakan kegesitan yang kecerdasannya apabila bertempur melawan raksasa. Dia cekatan dan berusaha jangan sampai kena sentuh. Itulah ilmu yang kita pelajari dan kita kenal pula. Tetapi di samping itu, ada pula suatu ilmu sebagai pagar diri. Yakni, ilmu kekebalan yang disebut ilmu Kedotan.
Barangsiapa memiliki ilmu itu tak gampang-gampang bisa dilukai senjata. Itulah yang belum pernah kaukenal. Kau percaya tidak?"
Perlahan-lahan Sangaji duduk berjongkok sambil mengamat-amati tubuh Gagak Seta. Berkata
setengah berbisik, "Pernah aku mendengar pengertian itu dari Panembahan Tirtomoyo."
"Dan kamu sangsi, bukan?"
"Ya." "Sekarang kamu telah menyaksikan kejadian aneh di depan matamu. Bagaimana pendapatmu?"
Sangaji tak cepat menjawab, la seperti lagi bergulat penuh selidik. Akhirnya berkata sambil melepas napas.
"Titisari! Entahlah! Otakku bebal dan aku merasa dungu. Bagiku... kalau aku sendiri belum memiliki dan merasakan sendiri pula, rasanya aku belum bisa mengiyakan. Entahlah... mengapa aku mempunyai pendapat demikian" Tak salah bukan?"
Titisari meruntuhkan pandang ke perdiangan. la membungkam. Meskipun otaknya cerdas luar
biasa, bagaimana dia bisa mengadili ucapan Sangaji yang dinyatakan dengan jujur. Sangaji sendiripun tak pernah mengira kalau pernyataan itu dikemudian hari akan terjadi. Dia tidak hanya memiliki ilmu semacam itu, bahkan akan memiliki suatu ilmu tertinggi di jagad ini.
Waktu itu, air telah mendidih benar-benar. Dengan cekatan Titisari mengaduk bubuk kopi.
Harum kopi mengasap ke seluruh ruang goa. Mendadak saja, hidung Gagak Seta bergerak-gerak.
Belum lagi Titisari selesai mengadukkan gula, orang tua itu sudah melesat dan sekaligus
menyambar tempurungnya. "Harum! Harum! Eh, Hidungku! Hm... kau percaya tidak anak muda" Hidungku ini nyaris kupotong sendiri karena begitu galak."
Sangaji dan Titisari terperanjat. Sama sekali mereka tak mengira, orang tua itu bisa bangun dengan sekonyong-konyong. Tadi ia tak bergeming karena siraman air panas. Tapi dengan hawa kopi hangat belaka, hidungnya bisa mengajak bangun. Ini aneh dan menggelikan.
Mau tak mau, kedua pemuda itu sibuk menduga-duga pribadi pendekar sakti tersebut.
"Ah, Nona kecil! Benar-benar aku takluk padamu," kata Gagak Seta setelah menghirup kopinya.
"Hm, begini lezat. Sepuluh tahun lamanya aku pernah mengaduk-aduk dapur istana Kasunanan dan Kasultanan. Tak pernah sekali juga, aku menikmati kopi sehebat ini. Barangkali benar-benar kamu anak iblis."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berkata demikian, ia tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian dengan mulut serabutan ia
mencoba menghirup habis kopinya.
Titisari waktu itu membuat tiga tempurung kopi. Sebenarnya satu untuk Sangaji dan lain
untuknya sendiri. Tetapi ketika melihat keserakahan Gagak Seta, ia menyerahkan kopinya. Bahkan Sangaji dengan hormat berbuat demikian juga.
"Hai! Apa kalian akan menyuapku?" tegur Gagak Seta seperti uring-uringan. Tetapi ia menerima juga suguhan. Dan dengan sekali hirup, ia menghabisi riwayat kopi hangat pada malam hari itu.
"Hai! Hai! Perutku!" Gagak Seta menyesali perutnya sendiri. Lantas ia mengeluarkan seonggok tembakau dan seikat kelobot (kulit jagung).
Dengan penuh kepuasan, ia menggulung sebatang rokok raksasa dan disumpalkan ke dalam
mulutnya. Sangaji melompat ke per-diangan menolong menyalakan, kemudian duduk dengan
takzim di depannya. "Hm," dengus Gagak Seta sambil mengepulkan asap ke udara. "Aku tahu, kalian begini bersikap baik kepadaku karena mempunyai maksud yang tidak baik. Kalian mau menyuapku, agar aku sudi mengajari sesuatu ilmu bukan?"
Sangaji hendak membantah, mendadak ia melihat pandang mata Titisari memberi isyarat
kepadanya. Karena itu ia batal sendiri.
"Baiklah! Tak mengapa. Aku telah menenggak kopi dan semua ikan kalian. Rasanya kurang adil, jika aku tak membayar dengan sepantasnya. Nah, aku ingin kalian memperlihatkan kepandaian macam apa kepadaku."
Sangaji menoleh kepada Titisari minta pertimbangan. Gadis itu mengangguk kecil. Dan mereka berdua lantas berdiri.
"Paman!" tiba-tiba Titisari berkata, "Sama sekali tak kuduga bahwa Paman seorang jahat."
"Jahat?" Gagak Seta heran. "Paman berpura-pura tidur untuk mendengarkan pembicaraan kami bukan?"
Sebentar Gagak Seta terhentak. Kemudian menangkis, "Baik. Aku mendengar semua
pembicaraanmu, Apa salahnya?"
"Bagus!" Titisari membalas. "Kami pun menyuguh seseorang sekedarnya, karena kami hanya mempunyai beberapa ekor ikan lele, sambel dan kopi. Tapi Paman mengatakan tidak baik.
Manakah yang tidak baik."
Kembali Gagak Seta terhenyak. Kemudian tertawa meledak.
"Iblis kecil! Kau benar-benar licik!" serunya, "Baiklah, aku mengaku kalah. Tetapi seumpama orang membayar, aku masih kurang satu lagi. Aku menggerogoti ikan-ikanmu dan kalian sudah menagih bayarannya dengan menyiram air panas. Aku telah menghirup habis kopimu... Nah,
untuk ini aku belum membayar. Sekarang mau kutebus dan kubayar hutang itu. Karena aku tak sudi berhutang budi pada kalian."
"Paman sudi membayar, juga baik. Tidak membayar pun, baik pula."
"Kenapa?" "Sebab dalam hal ini tidak ada jual-beli. Kalau aku menyiram air panas, bukan maksudku menagih bayaran. Sama sekali tidak! Tapi semata-mata, karena ingin mendapat keyakinan apakah Paman benar-benar tokoh sakti bernama Gagak Seta."
"Apa ada yang bakal memalsu?" Gagak Seta memotong.
"Apa ada Gagak Seta palsu?" Titisari tak mau mengalah.
"Di manakah Gagak Seta palsu?" Gagak Seta tersinggung.
"Kalau Paman sudah yakin tidak Gagak Seta palsu, mengapa Paman membicarakan perkara palsu dan tulen?"
Untuk ketiga kalinya, Gagak Seta terhenyak, la mengamat-amati Titisari secermat-cermat.
Kemudian tertawa berkakakan.
"Belut kecil! Benar-benar kamu seperti anak iblis!" serunya kagum. Kemudian mengalihkan pembicaraan, "Baik! Nah, kamu anak muda, siapakah namamu?"
Sangaji yang semenjak tadi berdiam diri, kemudian menjawab, "Namaku Sangaji. Dan dia Titisari."
"Hm, nama bagus! Kamu mau minta pelajaran ilmu apa" Bilang! aku akan mengajarimu sejurus dua jurus sampai bisa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji diam berpikir. Tak tahu dia apakah yang harus dikemukakan. Dalam soal ilmu
kepandaian tata-berkelahi sesungguhnya pengetahuannya kurang luas. Maklumlah, dia hanya
menjadi murid Jaga Saradenta dan Wirapati dalam waktu empat tahun saja.
Selama itu"karena tergesa-gesa, kedua gurunya tak pernah memberinya pengertian tentang
macam ilmu yang berada di persada bumi ini.
"Paman Gagak Seta." Tiba-tiba Titisari menolong dia berbicara. "Dia ini seorang laki-laki yang sok uring-uringan. Dia gampang marah. Kalau dia kalah bertanding melawanku, dia
menggeremengi aku sepanjang hari sampai kupingku ngeri dibuatnya."
"Hai! Kapan aku pernah menggeremengimu... ?" Sangaji memotong tergegap-gegap. Tetapi kakinya terus digencet Titisari, sehingga tahulah dia bahwa kawannya itu sedang mengarang cerita burung. Maka terpaksa ia membungkam mulut.
Gagak Seta tertawa. Sebagai seorang tokoh sakti tahulah dia, bahwa gadis cilik itu sedang mencari alasan untuk menutupi kedunguan Sangaji dalam lapangan ilmu berkelahi. Tetapi ia berdiam membungkam mulut.
"Kulihat gerak-gerik kalian, bukan seorang segoblok kerbau. Paling tidak, kalian sudah pernah belajar berkelahi lima tahun. Sekarang, coba kalian bertempur! Ingin aku melihat."
Titisari segera mengajak Sangaji berkelahi. "Ayo, Aji! Kita bertempur."
"Bertempur?" Sangaji berbimbang-bimbang.
"Ya. Bertempur! Kalau kamu tak memperlihatkan seluruh kepandaianmu, bagaimana Paman Gagak Seta sudi mengajarimu?"
Sangaji menyahut setelah sejurus diam menimbang-nimbang.
"Tetapi... kalau aku tak becus, janganlah menyalahkan guruku. Semua itu terjadi karena ketololanku. Paman Gagak Seta, berilah aku petunjuk-petunjuk yang berguna bagiku."
Gagak Seta tersenyum menjawab, "Memberi petunjuk satu dua jurus, tak mengapa. Tetapi memberi petunjuk lebih dari lima jurus, itu lain perkara."
Sangaji heran mendengar jawaban orang itu. Tetapi belum sempat ia berpikir, mendadak saja Titisari telah menyerangnya sungguh-sungguh.
"Awas!" gertaknya.
Sangaji benar-benar diserangnya bertubi-tubi. Karena
tidak berniat berkelahi bersungguh-sungguh, maka ia kena
gebuk empat kali beruntun.
"Berkelahilah yang sungguh-sungguh! Paman Gagak Seta
bukan orang sembarangan. Dia tahu, kamu berkelahi dengan
sungguh-sungguh atau tidak," bisik Titisari.
Karena bisikan itu, terbangunlah semangat Sangaji. Maka
ia terus saja menangkis si gadis dan sekali-kali melepaskan
serangannya. Dalam hal tenaga dan keuletan, Sangaji
menang jauh daripada Titisari. Maklumlah, selain watak asli,
Sangaji telah menghisap getah pohon Dewadaru. Gerakannya
gesit dan kuat. Setiap pukulannya mengandung perbawa.
Tetapi Titisari pun bukan seorang gadis sembarangan. Dia
anak Adipati Karimun Jawa Surengpati. Meskipun belum
sempurna setidak-tidaknya ia pernah mendapat didikan dan
asuhan ayahnya. Karena itu, gerak-geriknya luar biasa aneh
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan gesit, la mengenal macam-macam ilmu. Tatkala ia kena
desak, mendadak saja dua tangannya ditarik seolah-olah meringkaskan diri. Kemudian di luar dugaan, ia menyapu tubuh Sangaji dari bawah.
"Bagus!" puji Gagak Seta gembira. "Kamu siluman cerdik."
Sangaji kena hantam beberapa kali, tetapi ia belum mampu membalas. Maka ia mau mendesak
Titisari dengan sungguh-sungguh. Tenaganya berlipat ganda. Dalam tubuhnya seakan-akan ada suatu bendungan air yang hendak membobol tanggul. Hanya sayang, ia belum pandai
menyalurkan. Itulah sebabnya, tenaga yang dahsyat hanya tersekap dalam tubuh seperti air bergolak. Sekalipun demikian, ia nampak bersemangat. Beberapa kali ia merangsak dan
mendesak. Kini, Titisari benar-benar repot. Seumpama bertempur benar-benar ia akan dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dikalahkan Sangaji dalam waktu tiga jam lagi. Maklumlah, tenaganya takkan mampu menandingi tenaga getah Dewadaru. Gagak Seta sendiri, diam-diam heran, pikirnya, anak goblog ini seperti punya mukjizat. Eh, mukjizat apa yang dimilikinya"
Sejalan dengan pikirannya, ia melihat Titisari kena desak Sangaji sampai ke pojok. Mendadak saja di luar dugaan, gadis itu mengeluarkan ilmu simpanannya ajaran khas dari ayahnya. Itulah ilmu "Meninju Udara Kosong" yang terkenal dengan sebutan "Ilmu Gora Mandala." Seseorang yang sudah mahir ilmu ini akan dapat mementalkan seekor kerbau dari jarak dua puluh langkah. Bisa dibayangkan betapa dahsyat ilmu ini. Konon pada zaman dulu, yang terkenal memiliki ilmu ini adalah pahlawan Majapahit Kasan-Kusen dan Adipati Jipang Panolan Arya Penangsang. Mereka diceritakan bisa menggugurkan gunung dengan sekali hantam dari jarak jauh.
Itulah sebabnya, begitu Titisari mengeluarkan ilmu dahsyat simpanannya, lantas saja ia bisa mengatasi kekalahannya. Untung, dia belum mahir. Bahkan belum menguasai sepertujuh bagian.
Karena itu hanya dapat membuat Sangaji repot karena gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang aneh luar biasa. Enam kali ia berhasil menghantam tubuh Sangaji. Kemudian meloncat ke luar gelanggang sambil tertawa.
"Titisari, kamu hebat!" Sangaji kagum. Matanya berkilat-kilat karena girang.
Waktu itu Gagak Seta mengerenyitkan dahi.
"Ayahmu memiliki ilmu kepandaian yang jarang ada tandingnya di jagad ini. Mengapa kamu menghendaki aku mengajar dua tiga jurus kepadamu" Apa kamu mau mengolok-olokku?" katanya dengan suara dingin.
Titisari terperanjat. Pikirnya, darimana dia mengenal ilmu ayahku" Bukankah Ilmu Gora
Mandala ciptaan ayah sendiri" Sehabis berpikir demikian, segera ia bertanya, "Paman! Apakah Paman kenal ayahku?"
"Mengapa tidak?" sahut Gagak Seta dengan suara agak keras. "Dia iblis! Siluman dari Karimun Jawa. Sedangkan aku dijuluki orang Gagak Seta. Meskipun namaku sebenarnya, Saring. Kami
pernah bertempur setiap setahun sekali untuk menguji kepandaian."
Titisari heran. Sebagai anak Adipati Surengpati tahulah dia, bahwa ayahnya sangat ditakuti orang. Ilmunya tinggi dan belum pernah bertempur melawan seseorang melebihi tiga jurus.
Karena itu diam-diam ia berpikir, dia pernah bertempur beberapa kali melawan Ayah. Dia masih tetap segar bugar. Kalau tak memiliki ilmu tinggi, bagaimana mungkin bisa bertanding melawan Ayah. Kemudian ia mencoba.
"Paman! Bagaimana Paman bisa mengenalku?"
"Kalau aku belum mengenalmu sebelumnya, bagaimana aku berani menyebut dirimu sebagai anak iblis. Coba, larilah kamu ke danau. Jengukkan mukamu ke permukaan air. Pandang matamu, bentuk mukamu dan alismu, bukankah seperti wajah siluman dari Karimun Jawa" Apa lagi setelah melihat cara berkelahimu. Hm, meskipun belum pernah aku berjumpa denganmu, tetapi ilmu Gora Mandala itu takkan muncul di depan mataku, apabila bukan keluarga siluman dari Karimun Jawa.
Di seluruh jagad ini, hanya ayahmu yang memperdalamnya."
Titisari mendongkol, mendengar Gagak Seta selalu menyebut ayahnya sebagai siluman, tetapi ia tahu kalau sebutan itu sebenarnya adalah tata-sikap menghargai ayahnya. Maka ia bisa
berlagak tak menghiraukan.
"Paman selalu menyebut ayahku sebagai siluman. Maksud Paman hendak berkata bahwa
ayahku hebat bukan?"
"Memang ayahmu hebat!" sahut Gagak Seta dingin. "Tetapi dia bukanlah nomor wahid di kolong langit ini."
Titisari melompat kecil karena girang dan bangga, katanya nyaring.
"Kalau begitu, Pamanlah orang nomor wahid di kolong langit ini."
"Itu pun bukan," bantah Gagak Seta. "Pastilah kamu pernah mendengar, bahwa di kolong langit ini ada tujuh orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti. Bih! Inilah gelar berlebih-lebihan.
Kami, Kyai Kasan Kesambi, Mangkubumi 1, Pangeran Samber Nyawa, Kebo Bangah, Kyai Haji
Lukman Hakim, ayahmu dan aku adalah manusia-manusia biasa yang terdiri dari darah dan
daging. Kami hanya memiliki suatu kepandaian sedikit dan pada suatu kali pernah mengadu
kepandaian. Ternyata yang kami akui nomor satu ialah Kyai Kasan Kesambi. Dan kedua Pangeran Mangkubumi 1."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah Kyai Kasan Kesambi?" Titisari minta keterangan.
"Apakah ayahmu tak pernah membicarakan dia?" Titisari menggelengkan kepala.
"Aku tahu," tiba-tiba Sangaji menyela.
Titisari dan Gagak Seta menoleh padanya. Mereka nampak heran.
"Darimana kamu tahu!" Titisari bertanya.
"Guruku bernama Wirapati. Menurut guru, Kyai Kasan Kesambi adalah gurunya. Jadi dia adalah kakek-guruku."
"Hai!" Gagak Seta terperanjat. "Jika demikian, kalian ini minum air dari suatu sumber hebat!
Mengapa kalian minta pengajaran daripadaku?"
"Benar ayahku seorang berilmu tinggi, tapi dia terlalu angkuh," kata Titisari. "Aku bahkan diusirnya pergi."
"Hai! Hai! Siluman itu bertambah hari bertambah sesat!" maki Gagak Seta.
Titisari tak senang mendengar Gagak Seta memaki ayahnya.
"Dia adalah ayahku. Tak senang aku mendengar Paman memaki Ayah sebagai siluman sesat."
Gagak Seta tercengang mendengar teguran Titisari. Kemudian tertawa berkakakan sambil
berkata, "Bagus! Bagus! Inilah namanya si anak berbakti kepada orangtua. Tetapi orangtua menyia-nyiakan si anak."
Sehabis berkata demikian, ia menoleh kepada Sangaji. "Hai anak lolol! Kamu mengaku cucu-murid Kyai Kasan Kesambi. Tapi kamu tak dapat berkelahi dengan baik. Entah kakekmu itu hendak mendidikmu sebagai pendeta atau memang kamulah yang goblok."
"Akulah yang goblok," sahut Sangaji.
Gagak Seta terhenyak heran. Sebentar ia mengamat-amati pemuda itu. Kemudian berkata
sambil memanggut-manggut kecil.
"Tahulah aku kini. Anak murid Kyai Kasan Kesambi sudi mengambilmu sebagai murid, karena kamu seorang berhati jujur. Tapi sayang... menjadi seorang pendekar tidak hanya mengutamakan kejujuran belaka, la harus sanggup mengatasi segala hal. Tidak hanya yang nampak terang, tetapi yang busuk pun harus bisa melihat dan mengatasi dengan sekali pandang. Bakatmu sangat
miskin. Karena itu aku heran, mengapa puteri seorang Adipati Karimun Jawa sudi berkawan
denganmu." Sangaji tak bersakit hati. Dia malah tertawa. Titisari pun tidak tersinggung pula. Dengan merendahkan diri dia menyahut, "Paman! Justru dia tolol, aku senang bila dia bisa berkawan dengan Paman. Ayahku belum pernah melihat dia. Kelak apabila melihatnya, pastilah kawanku ini bisa membanggakan diri sebagai teman Paman Gagak Seta. Aku tanggung, ayahku akan segan
begitu mendengar kawanku menyebut nama Paman Gagak Seta."
"Iblis kecil!" maki Gagak Seta. "Kepandaian ayahmu belum kau warisi sepersepuluh bagian.
Tetapi sifat iblisnya telah kau warisi seluruhnya. Apakah aku begitu tolol sampai kena kau sanjung puji" Kau berdua tak pantas menjadi kawanku. Yang satu goblog dan yang lain anak iblis. Selamat malam."
Sehabis berkata demikian, dengan suatu kesehatan luar biasa ia menyambar tempurungnya.
Dan tahu-tahu tubuhnya telah melesat ke luar gua.
Sangaji tercengang-cengang sampai mulutnya terlongoh. Dia berdiri tertegun mengawasi
melesatnya Gagak Seta. "Titisari!" katanya sejurus kemudian. "Benar-benar dia seorang yang luar biasa. Tabiatnya pun luar biasa pula."
"Sebenarnya dia seorang yang baik hati. Hatinya mulia pula," sahut Titisari sambil duduk terhenyak seperti menghempaskan diri. Tetapi sesungguhnya dia seorang gadis yang cerdik luar biasa. Dengan ketajaman matanya, ia melihat kuping Willem dan kawannya tegak. Suatu tanda, bahwa binatang itu melihat sesuatu.
Telah diketahui bahwa ketajaman indera binatang jauh lebih tajam daripada indera manusia.
Maka ia menduga, kalau Gagak Seta belum meninggalkan gua sungguh-sungguh. Mempunyai
dugaan demikian lantas saja dia berkata seperti menyesali diri.
"Aji! Dengan sebenarnya kukatakan kepadamu, ilmunya lebih tinggi daripada Ayah. Sayang, dia terlalu cepat meninggalkan kita..."
Sangaji heran. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kamu belum pernah menyaksikan macam kepandaiannya. Mengapa kamu bisa berkata
demikian?" "Ayahku sering berkata kepadaku."
"Apa katanya?" "Ayahku berkata, bahwa pada zaman ini orang yang bisa mengalahkan dia hanya Paman Gagak Seta seorang. Kyai Kasan Kesambi pun tak mampu. Sebab orang tua itu sudah menarik diri dan hidup sebagai pertapa belaka. Sayang! Sungguh sayang! Sekiranya kita bisa memperoleh warisan kepandaiannya, ayahku yang mengusirku akan terkejut bila melihat kepandaianku. Pasti dia tak berani sembrono lagi mengusirku."
Dugaan Titisari benar-benar tepat. Gagak Seta belum meninggalkan gua. Memang tadi, ia
hendak meninggalkan gua. Tetapi hujan belum lagi reda dan ia tahu, kalau sekitar tempat itu tidak ada gua lagi. Maka dia memepet dinding mulut gua sambil memasang telinga. Inginlah dia tahu, apa yang dibicarakan anak iblis itu. la yakin, bahwa Titisari dan Sangaji takkan mengetahui dirinya.
Tetapi orang pandai pun kadang-kadang bisa salah duga. la tak memperhitungkan tentang kedua kuda anak-anak muda itu yang mempunyai indera jauh lebih tajam daripada kodrat manusia.
Maka ia kena dipermainkan Titisari.
Pikir orang tua itu, eh"nampaknya Adipati Surengpati tak pernah mengagumi diriku. Tak
tahunya, di dalam hatinya ia menghormati dan menghargai aku. Siapa menyangka demikian" la menjadi berbesar hati, bangga dan puas. Hatinya berubah menjadi senang. Sama sekali tak
diduganya pula kalau Titisari sebenarnya lagi mereka-reka cerita.
"Aji!" kata Titisari. "Kukatakan kepadamu, bahwa ayahku memang seorang pendekar tiada bandingnya. Kau pasti sudah pernah mendengar kemasyhuran namanya."
"Ya. Pernah aku mendengar nama ayahmu disebut-sebut Ki Tunjungbiru," sahut anak muda itu dengan sungguh-sungguh.
"Hanya sayang, aku belum pernah berguru kepadanya. Ilmu yang kutuntut daripadanya, hanya sekelumit. Inilah kesalahanku sendiri. Semenjak kanak-kanak, aku senang dimanjakan. Kurang rajin dan senang bermain-main mencari ikan dengan para nelayan. Coba, kalau aku tidak begitu, pasti aku sudah bisa menghajar orang-orang macam Yuyu Rumpung dan begundal-begundal
Pangeran Bumi Gede." Sampai di sini Titisari nampak bermurung. Pandangnya diruntuhkan ke tanah dan seolah-olah dia benar-benar sedang berduka. Tapi sebenarnya dia lagi bermain
sandiwara. Kemudian meneruskan, "Tadi sewaktu aku bertemu dengan Paman Gagak Seta, hatiku yang penuh sesal sekaligus bisa tersapu bersih. Kenapa" Sebab aku berpengharapan bisa berguru kepadanya. Ilmunya lebih tinggi daripada Ayah. Jika aku pulang membekal tiga, empat ilmunya saja sudah berani berlagak di depan Ayah. Sayang... sungguh sayang! Apakah kata-kataku
menyinggung perasaan hati Paman Gagak Seta?"
"Titisari! Perasaanku tak sehalus kamu. Sama sekali tak dapat menjelaskan, apakah kamu tadi menyinggung perasaan Paman Gagak Seta," sahut Sangaji gugup sebab anak muda itu melihat kedua mata Titisari nyaris menitikkan air mata.
"Ah! Pasti aku telah menyinggung perasaannya. Baik kusadari maupun tidak. Sebab dia adalah seorang pendekar yang berhati mulia. Jika tidak tersinggung perasaannya, mengapa sampai
meninggalkan kita?" Titisari nampak berduka benar. Mendadak saja dia menangis. Hebat permainan sandiwaranya.
Sebaliknya Sangaji jadi gugup benar. Dengan sekuasa-kuasanya, ia mencoba menghiburnya
dengan memeluk lehernya. Karena hiburan dan pelukan Sangaji itu, tiba-tiba Titisari menjadi bersedih hati benar-benar. Tangisnya kian naik. Kali ini benar-benar menangis terharu, karena merasa diri anak yatim-piatu. Ibunya telah tiada dan ia berada jauh di rantau orang.
Gagak Seta yang berdiri memepet dinding gua, menjadi tertarik hatinya. Orang tua itu mengira, bahwa gadis itu lagi menangisi dirinya.
"Aji!" kata Titisari tersekat-sekat. "Ayah pernah berkata kepadaku, bahwa Paman Gagak Seta mempunyai suatu ilmu sakti tiada bandingnya di kolong langit ini. Menurut ayah, ilmunya itu sangat disegani rekan-rekannya. Sampai Kyai Kasan Kesambi dan Pangeran Mangkubumi segan
pula kepadanya. Kabarnya Raden Mas Said gelar Pangeran Samber Nyawa itu pun, takut
kepadanya. Tapi ilmu apakah itu... ah aku lupa. Hm... kalau kita berdua bisa mewarisi ilmu itu... o, betapa goncang dunia ini. Ah... hm... ilmu apakah itu" Mengapa aku kini jadi pelupa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari berlagak seperti menyesali kebebalan ingatannya. Sebaliknya Gagak Seta masih belum juga sadar, bahwa dirinya lagi dipermainkan orang. Karena Titisari terlalu memuja ilmunya dan memuji dirinya begitu berkali-kali dan nampak bersungguh-sungguh, ia jadi tak kuat menahan hati. Lantas saja ia melesat memasuki gua, sambil berkata menerangkan.
"Ilmu itu bernama Kumayan Jati."
Titisari terkejut bukan kepalang. Tetapi ia girang luar biasa. Segera menyahut, "Ya benar!
Benar!" Sehabis berkata demikian, ia berdiri dan melompat-lompat setengah menandak sambil
merangkul leher Sangaji. Sudah barang tentu, anak muda itu jadi kelabakan. Ia sudah terperanjat oleh kedatangan Gagak Seta kembali, kini ditambah dengan tingkah-laku Titisari yang bisa berubah mendadak dari menangis jadi girang luar biasa. Dia yang berhati polos dan jujur, bagaimana bisa mengerti permainan sandiwara itu.
Pedang Tanpa Perasaan 14 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Riang 10