Pencarian

Bende Mataram 16

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 16


mengikuti jurus-jurus yang sudah ditentukan. Dalam suatu perkelahian kiranya diperkenankan memutar-balikkan atau mencampuradukkan dengan ilmu lain. Semuanya harus disesuaikan
dengan corak-perkelahiannya. Memperoleh pendapat demikian, Sangaji bisa menambal
kekurangannya jurus ilmu sakti Kumayan Jati dengan ilmu ajaran Jaga Saradenta dan Wirapati.
Maka makin lama ia menjadi makin tangguh dan berbahaya.
Sang Dewaresi jadi kerepotan. Kini ia tak dapat menebak corak jurus lawannya. Nampaknya
jadi kacau dan campur-aduk, tapi anehnya jauh lebih berbahaya dan sukar diduga. Mendapat kesan, bahwa Sangaji sukar dirobohkan dengan segera, maka sang Dewaresi merubah tata-berkelahinya. Kini ia memperlambat gerakannya seolah-olah berayal. Kemudian melontarkan
ejekan menghina untuk memanaskan hati lawan. Memang dia seorang raja tak bermahkota yang sudah berpengalaman. Selain mengenal ilmu sakti ajaran pamannya, pandai pula berperang urat-syaraf. Maka Sangaji kena dijebaknya sehingga anak muda itu berkelahi dengan bernafsu.
"Hm, inilah ilmu si jembel Gagak Seta?" ejek sang Dewaresi. "Kukira ilmunya setinggi gunung, tak tahunya hanya ilmu silat pasaran."
Hati Sangaji jadi panas mendengar nama Gagak Seta direndahkan demikian rupa. Maka ia
membalas mendamprat. "Ilmuku tiada sangkut-pautnya dengan dia. Benar aku sudah memperoleh petunjuknya, tapi akulah yang dasar goblok."
"Eh, benarkah kamu si goblok atau si kerbau tolol itu?" Sang Dewaresi tertawa terkekeh-kekeh.
Hati Sangaji kian mendongkol. Dengan penuh semangat, ia mendesak. Sebaliknya, sang
Dewaresi hanya melayani dengan ayal-ayalan. Orang itu sudah memperhitungkan perkelahian itu dalam jangka waktu panjang. Pikirnya, biar habis tenaganya dahulu, baru kuhajar kalang-kabut.
Memang, lambat-laun tenaga Sangaji jadi kendor juga, meskipun semangat tempurnya masih
berkobar-kobar. Mendadak sang Dewaresi melesat dengan gesit. Kemudian menyerang dengan
tiba-tiba. Tangan kanannya mencengkeram rambut dan yang lain menyodok ke arah dada. Selain itu, kakinya didepakkan menyerang lambung.
Benar-benar Sangaji dalam keadaan bahaya. Nampaknya sulit untuk mengelak.
Titisari yang menonton adu kepandaian itu dengan waspada, terkejut melihat kekasihnya
terancam bahaya. Sejak tadi dia sudah mempersiapkan senjata bidiknya yang terdiri dari isi sawo.
Benci dia melihat tingkah-laku manusia dari barat itu. Maka begitu memperoleh kesempatan, ia hendak menghajar dengan diam-diam. Kini ia melihat bahaya, karuan saja hatinya tercekat. Cepat ia melontarkan senjata bidikan tujuh delapan biji sekaligus.
Sang Dewaresi terkejut melihat berkelebat-nya senjata bidik itu. Cepat ia melolos pedang tipisnya dan menyapu sekian biji itu. Hanya saja dia merasa aneh. Terang sekali, dia sudah berhasil menyapu bersih, tetapi lututnya menjadi sakit. Dengan hati terkejut ia melompat mundur dan terus memeriksanya. Ternyata ada sebutir biji sawo yang berhasil menembus kainnya dan menancap pada kulitnya. Tentu saja ia marah bukan kepalang. Dengan menggerung dia meledak.
"Binatang manakah yang membokong dari jauh" Kalau berani, marilah berhadap-hadapan
dengan terang-terangan..." Belum lagi ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah benda melayang cepat menyambar kepadanya. Ia hendak mundur, tetapi sia-sia belaka. Tahu-tahu mulutnya telah tersumbat penuh. Ia kaget bercampur gusar, karena mulutnya mendadak terasa asin. Cepat-cepat ia menyemburkan keluar. Ternyata yang menyumbat mulutnya adalah sekerat tulang itik.
Ia mendongak ke atas, karena dari sanalah asal serangan tadi. Tapi sekali lagi ia kena hajar.
Mendadak saja atap rumah seperti rontok. Dan debu berbareng pecahan genting merontoki
matanya. Dengan gemas, terpaksalah dia melompat ke samping. Kembali dia mendongak dan
mulutnya siap mengumpat. Tetapi sekali lagi, sebelum mulutnya berhasil melepaskan suara, sekerat tulang menyumbatnya dengan tiba-tiba. Kali ini rasanya masam dan pedas bukan
kepalang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dipermainkan demikian, hatinya mau meledak. Maklumlah, selama hidupnya belum pernah dia
dipermainkan seseorang begitu kurang ajar. Dengan menggerung, ia menyemburkan tulang itu dari mulutnya. Tepat pada saat itu berkelebatlah sesosok bayangan turun dari atas. Karena mendongkol, segera ia menyambutnya dengan pukulan dahsyat. Tapi kembali dia heran, dia tak berhasil mengenai sasaran. Sebaliknya tangannya seperti menangkap sesuatu. Tatkala dilihat ternyata tulang kepala seekor kambing. Ia mendongkol berbareng heran. Dan kembali ia
mendongakkan kepala. Dan terdengarlah seorang berkata, "Nah, bagaimana dengan ilmu silat pasaran?"
Sangaji dan Titisari mengenal suara itu. Berbareng mereka berseru girang. "Paman Gagak Seta!"
Sekalian orang yang berada di serambi rumah itu
mendongakkan kepala ke atap. Mereka melihat Gagak
Seta lagi menggerogoti paha kambing dengan
nyamannya. Mulutnya penuh dengan bongkahan-
bongkahan daging, sedangkan kedua tangannya
berkutat mencengkeram tulangnya seolah-olah khawatir
akan terlepas. Melihat Gagak Seta, hati sang Dewaresi jadi kecut.
Dengan hormat ia berkata, "Ah, kiranya Paman berada
di atas. Dari sini aku memberi hormat."
Benar-benar dia membungkuk hormat. Kemudian
membuang tulang batok kambing ke lantai.
"Hm, kau masih mengenalku?" dengus Gagak Seta
dingin. Dengan acuh tak acuh masih saja dia
menggerogoti paha kambing.
"Bukankah aku pernah bertemu dengan Paman"
Dengan ini aku menyesali diriku sendiri, mengapa
mataku begini buta sampai tak mengetahui Paman.
Sewaktu aku berjumpa dengan Paman, segera aku
mengirimkan warta Sekalian orang yang berada di serambi rumah itu mendongakkan kepala ke atap. Mereka
melihat Gagak Seta lagi menggerogoti paha Kambing dengan nyamannya.
kilat dengan burung dara. Aku memperoleh petunjuk-petunjuk yang berharga, bagaimana aku
harus membawa diri jika bertemu dengan Paman. Dan pamanku menyampaikan pesannya, agar
aku menghaturkan hormatnya kepada Paman. Pamanku berdoa dan selalu berharap, agar Paman
tetap sehat wal'afiat."
"Eh, Kerbau Bandot itu pandai juga berpura-pura," tukas Gagak Seta. "Mestinya dia harus memakiku kalang-kabut dan mengutuki Tuhan pula, mengapa aku belum mampus. Aku memang
seorang pencuri ayam dan pencuri kambing. Lihat apa yang kugerogoti ini, tapi aku bukanlah seorang pencuri anak dara. Hai! Apakah pamanmu masih sehat kuat?"
Benar-benar sang Dewaresi tak dapat berkutik ditelanjangi Gagak Seta di depan orang banyak.
Tetapi mengingat kesaktian Gagak Seta ia harus pandai membawa diri. Maka dia hanya
mengangguk kecil belaka. "Hai kunyuk!" tegur Gagak Seta garang. "Kau tadi bilang, bahwa ilmuku adalah ilmu pasaran.
Bukankah kamu sengaja merendahkan?"
Sang Dewaresi sedih bukan main ditegur demikian. Gerutunya menyesali diri, "Hm" siapa mengira, dia sudah berada di situ. Benar-benar ilmunya tak boleh dibuat gegabah..." Kemudian berkata dengan takzim, "Paman, maafkan kelancanganku ini. Karena menurutkan hati saja, aku mengoceh tak keruan."
Gagak Seta tertawa terbahak-bahak sambil melompat turun ke lantai.
"Kau tadi menyebut anak muda itu sebagai orang gagah. Tapi ternyata dia kena kau kalahkan.
Jika begitu kamulah si orang gagah. Ha ha ha ..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sang Dewaresi tak berani menyahut sembarangan. Meskipun hatinya mendongkol bukan main,
ia berjuang mati-matian untuk menguasai. Karena apabila sampai kena terjebak, dia bisa babak-belur menghadapi seorang sesakti pamannya.
Gagak Seta berkata lagi, "Aku tahu, karena kamu percaya kepada ilmu si bangkotan busuk, maka kau mengira bisa berbuat semau-maunya di wilayah ini. Benarkah dengan berbekal ilmu bangkotan itu kau bisa malang-melintang tanpa tandingan" Hm! Hm! Jangan bermimpi! Selama aku belum mampus, kukhawatirkan kamu tak mendapat tempat di sini."
Sang Dewaresi masih terus mengendalikan diri. Dengan membungkuk terpaksa ia menyahut,
"Paman adalah pendekar sakti seperti pamanku sendiri. Karena itu, aku wajib patuh kepada semua kehendak Paman. Paman menghendaki apa?"
"Eh, kau bilang apa" Bagus! Kau hendak memaksaku, agar menghina angkatan muda" Mana bisa begitu?"
Sang Dewaresi membungkam mulut. Itulah satu-satunya sikap untuk melawan Gagak Seta agar
selamat. "Dengarlah!" damprat Gagak Seta. "Aku si tua bangkotan ini tidaklah sekerdil pamanmu. Kalau hatiku lagi berdendang kerapkali aku memberi satu dua petunjuk kepada seseorang yang
kejatuhan rejeki. Seperti Sondong Majeruk itu. Tapi ia hanyalah suatu ilmu kasar belaka. Dia belum boleh di sebut sebagai ahli warisku. Karena itu, kau tak boleh merendahkan ilmuku sebagai ilmu silat pasaran. Hm! Hm! Bukanlah aku tukang membual, tapi kalau aku sudah mengangkat seorang murid yang langsung kudidik, belum tentu tak dapat menjungkir-balikkan tampangmu meskipun kau sudah mewarisi ilmu pamanmu. Kau percaya tidak?"
"Tentu, tentu. Bagaimana aku tak percaya?" sahut sang Dewaresi berpura-pura.
"Bagus! Kau pandai berpura-pura!" tukas Gagak Seta yang dapat membaca isi hatinya.
"Mulutmu berkata begitu tapi hatimu memaki kalang-kabut. Pamanmu kerbau bangkotan pun pandai berbicara seperti monyong-mu."
"Tidak, tidak. Sama sekali tidak. Masa aku berani memaki Paman?"
"Paman Gagak Seta!" sela Titisari gemas. "Jangan percaya ocehannya! Di dalam hatinya, dia sedang memakimu kalang-kabut!"
"Bagus! Bagus!" Gagak Seta kena terbakar. "Jadi kau berani memaki?"
Berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu pedang
tipis sang Dewaresi telah berpindah ke tangannya. Sudah barang tentu sang Dewaresi terperanjat bukan main. Selama hidupnya, belum pernah pedangnya terampas dengan terang-terangan. Dia merasa diri termasuk golongan pendekar yang gesit, tangkas dan cekatan. Namun dibandingkan dengan kepandaian Gagak Seta, benar-benar dia mati kutu. Mau tak mau terpaksalah dia menelan kenyataan yang pahit itu.
"Hm!" dengus Gagak Seta. "Pedang apakah ini?"
Titisari menyahut, "Itulah pedang yang biasa dipergunakan memasak di dapur. Kalau bukan untuk menyembelih babi, mungkin ayam pengkor (pincang)"
Mendengar kata-kata Titisari, hati sang Dewaresi mendongkol tak kepalang. Matanya sampai merah dan dengan bersungut-sungut mengawasi Titisari. Tetapi Titisari tak peduli. Dengan pandang mata tajam pula ia menentangnya. Dasar sang Dewaresi gandrung kepadanya, maka ia mau mengalah. Hilanglah kemendongkolan hatinya dan seketika jadi gregetan (gemas). Ih! Sekali kau kutangkap, takkan kulepaskan sebelum tubuhmu reyot tak keruan. Ingat-ingatlah itu!
ancamnya dalam hati. "Hai pencuri dara, dengarkan!" kata Gagak Seta. "Jika aku melawanmu"biarpun kamu mendatangkan seribu dewa"takkan kau memperoleh tempat berpijak. Karena itu, aku hendak
melantik seorang murid untuk melawanmu ..."
Benar-benar sang Dewaresi direndahkan. Seketika itu juga panaslah hatinya. Dengan berani ia membalas.
"Saudara tolol ini, tadi bertempur denganku beberapa jurus. Seumpama Paman tidak
mengganggu, pastilah aku akan dapat menumbangkan. Lantas, Paman hendak melantik murid
yang mana lagi?" Gagak Seta tertawa gelak sambil mengerling kepada Sangaji yang menelan hinaan sang
Dewaresi dengan berdiam diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anakku Sangaji, apakah kamu muridku?"
Teringatlah Sangaji, bahwa orang tua itu dahulu menolak kehendaknya tatkala menyebutnya
sebagai guru. Bahkan sewaktu ia hendak bersembah, dia membalas memberi sembah pula. Maka cepat ia menjawab, "Aku tak mempunyai rejeki untuk menjadi muridmu."
"Nah, kau telah mendengar," kata Gagak Seta kepada sang Dewaresi. Dan sang Dewaresi menjadi heran. Ih! Jadi dia bukan muridnya" Habis, siapakah guru anak itu" Dia begitu hebat!
pikirnya. Dalam pada itu Gagak Seta tak mengindahkan apa yang berkutik dalam hati sang Dewaresi.
Dengan mata bersinar-sinar ia merenungi Sangaji dan berkata memutuskan.
"Hari ini dan jam ini pula, aku hendak melantik seorang murid. Dan engkaulah kulantik menjadi muridku. Apakah kau senang mempunyai guru seperti aku?"
Mendengar keputusan Gagak Seta, Sangaji girang bukan main. Serentak ia membungkuk dan
bersembah dengan takzim sampai berulang tujuh kali.
"Hai anak tolol!" damprat Gagak Seta. "Kau hanya bersembah seperti orang tak waras.
Mengapa mulutmu tak mengucapkan sepatah kata, menyebut aku sebagai gurumu?"
"Dalam hatiku, Paman adalah guruku. Tetapi pada saat ini belum berani aku menyebut Paman sebagai guruku, sebelum memperoleh izin kedua guruku. Aku berjanji hendak minta izin kedua guruku ..."
Sejenak Gagak Seta merenungi ucapan Sangaji. Akhirnya tertawa panjang sambil berkata,
"Benar" Itulah perbuatan seorang yang berhati mulia, yang tak mau melupakan asal-usul. Nah, biarlah sekarang aku melengkapi ilmumu. Aku akan mengajarmu empat jurus pelengkap. Lihat!"
Gagak Seta kemudian mengajari empat jurus pelengkap ilmu sakti Kumayan Jati yang
berjumlah delapan belas jurus. Seperti diketahui, Sangaji sudah memiliki empat belas jurus Ilmu Kumayan Jati. Maka kini lengkaplah sudah. Tinggal enam jurus lagi yang merupakan kunci
mendampar musuh dengan pelontaran tenaga dahsyat.
Dengan sabar Gagak Seta mengulangi keempat jurus itu sampai Sangaji paham benar. Tahu-
tahu matahari sudah menyingsing di timur. Burung-burung mulai memperdengarkan suaranya.
Dan penduduk mulai pula bekerja mencari nafkah. Dalam serambi rumah baru itu, jadi terang benderang.
Terhadap sang Dewaresi, Sangaji gemas dan geram. Ingin sekali ia menumbangkan orang itu
yang bersikap sewenang-wenang dan mau menang sendiri. Maka ia menekuni empat jurus
tambahan itu dengan penuh semangat dan dendam berkobar-kobar. Sebentar saja, sudahlah ia dapat memahami.
Sebaliknya, sang Dewaresi heran menyaksikan tingkah laku Gagak Seta. "Bagaimana orang mengajari seseorang di depan lawannya" Bukankah hal itu menggelikan benar" Di dunia mana saja suatu ilmu diajarkan kepada seseorang dengan rahasia. Tujuannya untuk mengejutkan lawan dan menghujani pukulan tertentu yang tak terduga sama sekali." Mendadak suatu pikiran berkelebat dalam benaknya. Pikirnya, apakah orang tua itu sengaja hendak merendahkan aku"
Memperoleh pikiran demikian cepat ia merenungi dan ikut pula menekuni empat jurus itu. Dasar otaknya cerdas dan cerdik. Maka dengan mudah ia sudah dapat memahami dan ternyata keempat jurus itu amat sederhana dan mudah dihapal. Tetapi satu hal ia salah perhitungan. Memang Ilmu sakti Kumayan Jati nampaknya sederhana. Namun justru kesederhanaannya itulah letak kuncinya yang tersulit. Seseorang yang cerdas otaknya dan cepat memahami takkan dapat menyelami
intisari Ilmu Kumayan Jati dengan sempurna, seperti Titisari. Karena dasar rahasia serta kunci ilmu sakti Kumayan Jati itu ialah berdasarkan suatu tenaga ajaib khas milik tata-jasmani yang tersembunyi.
Sangaji berhasil menelaah ilmu sakti Kumayan Jati, karena pertama-tama, ia memiliki getah sakti pohon Dewadaru yang tiada duanya dalam dunia ini. Kedua, otaknya tidak begitu cerdas dan pengucapan hatinya sangat sederhana. Itulah suatu keuntungan yang tak pernah terduga oleh manusia mana pun juga di dunia ini. Agaknya tabiat dan cetakan manusia Sangaji seolah-olah sengaja disediakan alam untuk menjadi ahli waris Ilmu Kumayan Jati di kemudian hari.
Demikianlah, setelah keempat jurus ilmu sakti Kumayan Jati sudah dipahami, mulailah ia
bertempur kembali melawan sang Dewaresi. Sang Dewaresi tiada takut melawannya, karena dia sudah paham akan keempat jurus itu. Dengan pandang merendahkan ia bahkan mulai pula
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyambut serangan Sangaji dengan jurus yang baru diajarkan tadi. Tapi mendadak, terkejutlah dia. Tiba-tiba ia menemui suatu kesulitan yang tak terduga. Benar, gerakan keempat jurus itu sama sekali tak salah, tetapi tatkala hendak mengerahkan tenaga jasmani, ia merasa seperti tercebur dalam rawa berlumpur. Karuan saja cepat-cepat ia hendak menarik kembali. Tapi kasep, Sangaji waktu itu terus melontarkan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah lengkap. Gugup sang Dewaresi menangkis dengan sekenanya. Inilah suatu kesalahan telak yang ditunggu-tunggu setiap pukulan ilmu sakti itu. Yakni, membuat lawan sibuk demikian rupa, sehingga terpaksa menangkis. Maka begitu sang Dewaresi menangkis pukulan Sangaji ia terlontar mundur empat langkah.
Seketika itu juga, pucatlah muka si raja tak bermahkota itu. Seluruh tubuhnya terasa nyeri.
Napasnya pun nyaris terdesak ke dalam rongga dada. Untung, bagaimanapun juga. Dia adalah kemenakan seorang pendekar sakti pula. Sebentar dapatlah ia menguasai diri dan terus
menyerang Sangaji dengan pukulan-pukulan ajaran pendekar Kebo Bangah. Ilmu ajaran pendekar sakti Kebo Bangah ini, terlarang keras untuk diperlihatkan di sembarang tempat. Kecuali apabila dalam keadaan terjepit. Sekarang, sang Dewaresi menggunakan ilmu ajaran itu. Suatu tanda, bahwa dia sudah merasa terjepit. Tapi, meskipun sudah mencurahkan seluruh kepandaiannya, hasilnya hanya berimbang. Ia tak berhasil menumbangkan Sangaji.
"Sungguh berbahaya!" keluhnya dalam hati. "Apabila aku tak dapat terjatuhkan di depan mata si jembel itu, pastilah akan runtuh keharuman nama pamanku."
Sambil bertempur ia memeras otak. Mendadak, teringatlah dia akan ilmu simpanan pamannya
yang khusus diciptakan untuk melawan tokoh-tokoh sakti seangkatan pamannya. Ilmu itu baru separoh bagian yang sudah diwarisi. Pamannya benar-benar berpesan, agar menyimpan ilmu itu.
Sebab apabila sampai ketahuan salah seorang pendekar seangkatannya, akan sia-sialah usahanya untuk merebut kedudukan sebagai pendekar sakti nomor wahid. Dengan berkerut-kerut ia berpikir dalam hati, hm, apakah dalam keadaan begini, aku tak diperkenankan menggunakan ilmu rahasia itu" Semenjak kanak-kanak, aku dididik Paman untuk mewarisi ilmu saktinya. Tetapi ternyata aku tak dapat berbuat banyak terhadap murid si jembel Gagak Seta yang baru saja diberi pelajaran.
Kalau aku sampai kena dikalahkan... apakah kata si jembel itu terhadap Paman"
Masih saja dia beragu hendak mengeluarkan ilmu rahasia keluarganya. Tetapi ia kena desak terus, bahkan seringkali kena terhajar. Sedangkan tadinya, ia merasa bisa memenangkan Sangaji.
Dasar, ia berwatak manja dan mau menang sendiri, tak dapatlah lagi ia menggenggam rahasia ilmu keluarganya dapat terdesak mundur mendadak saja ia melontarkan pukulan dahsyat dan
aneh. Pukulan itu mengeluarkan desis seperti seekor ular hendak menyemburkan bisa. Tubuhnya berkelebat seperti bayangan dan bergerak melilit lawan.
Melihat serangan itu, Sangaji segera menangkis. Tetapi di luar dugaan, ia seperti kehilangan tenaga tangan lawan. Tangan sang Dewaresi sekonyong-koyong lemas seperti ular.
Inilah suatu pantangan utama, bagi ilmu sakti Kumayan Jati yang berpokok kepada tenaga
keras. Tetapi andaikata Sangaji sudah berpengalaman, sebenarnya ia bisa pula merubah menjadi pukulan lembek seperti yang pernah diperlihatkan Gagak Seta dua bulan yang lalu, tatkala menghadapi sebatang pohon.
"Plok!" Batang leher Sangaji kena tamparan sang Dewaresi, tanpa dapat membalas. Ia terperanjat. Cepat ia menundukkan kepala dan membalas serangan dengan dahsyat. Tapi sekali lagi, ia menghadapi suatu tangan yang lemas-lembut. Sang Dewaresi ternyata bertempur dengan melenyapkan tenaga. Ia hanya mengadu kegesitan, menggeser kaki atau mengelak. Itulah
sebabnya, maka tenaga lontaran ilmu sakti Kumayan Jati yang membutuhkan sasaran kuat, tiada berdaya sama sekali. Tenaga pukulannya seperti deru angin meninju udara kosong.
"Plok!" Sekali lagi sang Dewaresi berhasil menghajar batang leher. Dan kembali Sangaji terperanjat. Cepat ia berputar dan melontarkan pukulan gempuran. Sang Dewaresi tak mau
menangkis dengan mengadu tenaga. Tangannya lemas kembali dan bergerak dengan berputaran.
Memperoleh pengalaman dua kali berturut-turut, betapa bebal otak Sangaji, bisa juga berpikir cepat. Buru-buru, ia menarik lontaran pukulannya. Kemudian teringatlah dia akan pukulan lemas.
Segera ia hendak menandingi tata-berkelahi sang Dewaresi dengan pukulan lemas. Tetapi
berbareng dengan terbersitnya pikiran itu, pundaknya sudah kena terhajar lagi. Kali ini terasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panas, dan nyeri. Dan belum lagi dia bisa menggunakan jurus-jurus lembek, dua kali berturut-turut ia kena terpukul.
"Anakku Sangaji, mundur!" perintah Gagak Seta. "Hitunglah kamu kalah satu kali. Maklum, kamu kalah berpengalaman dengan dia. Tak mengapa."
Sangaji seorang pemuda penurut. Begitu mendengar perintah Gagak Seta, terus saja ia
meloncat ke luar gelanggang. Dengan menahan rasa sakit, masih saja ia sempat membungkuk
terhadap lawannya menyatakan kekalahannya. Katanya, "Benar-benar aku mengagumimu. Aku menyatakan kalah terhadapmu."
Lega hati sang Dewaresi mendengar pengakuan itu. Dengan membusungkan dada, ia
mengerlingkan mata kepada Titisari. Mulutnya berkulum senyum, namun ia tak berani berkata sepatah kata pun untuk lebih menggait perhatian gadis yang digandrungi itu.
Dalam pada itu Gagak Seta, terdengar tertawa bergelak-gelak. Kemudian berkata nyaring.
"Si Kerbau Bangkotan ternyata seorang bandot yang rajin juga. Dua puluh tahun tak pernah bertemu. Mendadak kini mempunyai ilmu simpanan hebat. Kau boleh menyatakan terima-kasih
kepada pamanmu, karena aku si jembel belum memperoleh ciptaan untuk memecahkan ilmu
rahasia keluargamu. Nah, pergilah kamu dari sini dengan baik-baik. Aku takkan mengganggumu."
Mendengar ujar Gagak Seta, sang Dewaresi terkejut. Pikirnya, aduh, celaka! Karena terpaksa, aku mengeluarkan ilmu rahasia ini. Paman berpesan agar aku merahasiakan benar, karena
berbahaya apabila kena dilihat salah seorang pendekar sakti lawan Paman. Kini, ternyata si jembel itu sudah mengetahui. Hm, kalau sampai Paman mengetahui kelancanganku, aku bisa dihukumnya berat."
Teringat akan pesan pamannya, kegembiraan hatinya lenyap seperti embun terhembus cerah
matahari. Dengan membungkam mulut ia membungkuk hormat terhadap Gagak Seta. Sekonyong-
konyong Titisari berseru, "Eh, tunggu dulu. Aku mau berbicara denganmu."
Mendengar seruan Titisari, sang Dewaresi heran menebak-nebak, sampai terhentilah
langkahnya hendak keluar serambi depan. Ia mengamat-amati gadis itu. Matanya berkilat-kilat, karena jantungnya berdebar.
Titisari kemudian bersembah kepada Gagak Seta sambil berkata takzim.
"Paman Gagak Seta! Berlakulah adil. Aku selalu bersama dengan Sangaji. Mengapa, hanya dia seorang yang Paman terima sebagai murid?"
Gagak Seta tercengang mendengar kata-kata Titisari. Kemudian tertawa sambil menggelengkan kepala. Menjawab, "Sebenarnya, aku sudah melanggar pantanganku sendiri dengan menerima seorang murid. Selama aku hidup sampai hari ini, belum pernah terbintik dalam otakku hendak menerima seorang murid. Tapi ternyata, nasi sudah menjadi bubur. Sangaji sudah menjadi
muridku. Karena itu pula, tak dapat lagi aku berbuat suatu kesalahan. Dengan terpaksa aku harus mengecewakan hatimu. Tapi ayahmu sendiri luar biasa pandainya. Bagaimana bisa aku mengambil puterinya sebagai muridku?"
Titisari terperanjat dan mukanya berubah seperti tersadar. Kemudian dengan perlahan-lahan dia berkata, "Oh maaf! Aku lupa, kalau Paman takut kepada ayahku," dia membentak dengan muka membara.
"Kau berkata apa" Aku takut" Hm... hm..."
"Mengapa Paman tak berani menerimaku sebagai murid?"
Gagak Seta kena terbakar hatinya. Seketika itu juga menjawab, "Aku tak berani menerimamu sebagai muridku" Siapa bilang" Nah, saksikan semua. Mulai hari ini, aku mengambil seorang murid baru lagi. Yakni kamu! Mustahil, si setan belang akan bisa menggerogoti tulang-belulangku ..."
Titisari tertawa girang. Jebakannya ternyata berhasil. Maka dengan suara nyaring ia berkata,
"Ucapan seorang jantan bernilai seribu ekor kuda, kata pepatah. Mulai sekarang, guru jangan menyesal mempunyai murid seperti aku. Sekarang murid minta penerangan kepada guru,
bagaimana cara menandingi ilmu si ku-nyuk itu yang bergerak seperti ular?"
Gagak Seta diam berpikir. Tak tahu dia menebak maksud Titisari. Tetapi dia percaya, akan kecerdikan otaknya. Pastilah anak siluman belang itu mempunyai maksud tertentu, pikirnya. Maka ia tertawa gelak. Tatkala hendak memberi penjelasan, sekonyong-konyong Titisari berkata,
"Bukankah untuk menangkap ular, harus dipergunakan tali" Nah, tali itu harus melingkar demikian rupa sampai si ular akan terlilit sedikit demi sedikit."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus!" seru Gagak Seta girang. Dasar ia seorang pendekar bertabiat Jenaka serta ugal-ugalan (sembrono), maka kumatlah dia ketika mendengar kelakar Titisari. Dengan bertepuk tangan dia berkata lancar, "Apa lagi, kalau kamu mempunyai garam. Maka tak perlulah kau bersusah payah mencari tali. Cukup dengan menebarkan segenggam garam dan ular itu akan kelojotan (terkapar) kehilangan tenaga gerak. Dia akan mati lemas tanpa bersuara..."
Sang Dewaresi tak mengerti ke mana tujuan percakapan ini. Tetapi dia merasa lagi
dipermainkan. Dengan pandang tak senang ia membersitkan penglihatan dengan benak menebak-nebak. Matanya merah membara oleh hawa penasaran dan kurang tidur.
"Sebenarnya apakah kehendakmu memanggilku?" tegurnya tak bersabar lagi.
Dengan tersenyum Titisari menatap wajahnya. Kemudian menjawab, "Hai, kamu berbicara dengan siapa?"
Sang Dewaresi tercengang. Membalas, "Bukankah aku bersedia menerima perintahmu?"
"Bagus!" Titisari tertawa menggoda. Tiba-tiba ia merogoh suatu benda berbungkus dari dalam dadanya. Tatkala dikibarkan ternyata sebuah kebaya berduri tajam, entah terbuat dari bahan apa.
Ketika Gagak Seta melihat benda itu, ia berjingkrak karena girangnya. Katanya nyaring, "Ah! Anak siluman! Apakah kamu menerima warisan benda mustika itu dari ayahmu" Hm, dengan
mengenakan perisai mustika Syech Siti Jenar, kamu akan menjadi kebal. Dan tiada barang tajam di dunia ini yang dapat menembusnya. Hai! Apakah ayahmu sudah menceritakan riwayat perisai mustika itu?"
Titisari menggelengkan kepala dengan mata berseri. Dalam pada itu, semua yang hadir di
serambi, mengarahkan seluruh perhatiannya kepada benda mustika yang berwujud kebaya
berwarna hitam halus dan berduri tajam.
Gagak Seta kemudian berkata lagi sambil tertawa mendongak ke atap.
"Anakku! Menurut kabar, perisai mustika itu dahulu, adalah milik Narpati Gajah Mada Mahapatih kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya pula, mengapa Mahapatih Gajah Mada tak dapat dilawan orang. Ia terkenal sakti dan kebal. Setiap negeri yang didatanginya dengan tergesa-gesa
menyatakan takluk. Kemudian mustika itu jatuh ke tangan pahlawan Majapahit Kusen (pahlawan Kasan-Kusen). Pahlawan itulah yang berhasil menewaskan Sunan Kudung, salah seorang calon wali Bintara. Juga Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Giri tak mampu mengalahkannya.
Setelah negeri Majapahit runtuh, tiada kabar beritanya lagi tentang benda mustika itu.
Tiba-tiba Sunan Kudus mengabarkan, bahwa benda itu jatuh ke tangan Syech Siti Jenar. Inilah bahaya. Maka dengan tergesa-gesa Sunan Kalijaga menciptakan sebuah baju sakti pula bernama Kotang Ontokusuma yang dikabarkan sebagai baju sakti Arya Gatotkaca, Raja Pringgadani yang oleh kesaktian baju tersebut bisa terbang mengarungi angkasa. Inilah suatu cara untuk dapat mengurangi pengaruh kesaktian benda warisan Mahapatih Gajah Mada terhadap rakyat." Orang tua itu berhenti mengesankan. Ia tertawa perlahan dan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Sekarang kulihat kamu mendapat warisan benda sakti Syech Siti Jenar. Aku tak usah berkhawatir lagi. Aku percaya, kau bisa menggebuki ular buduk kemenakan si Kerbau Bandotan. Hanya saja, mulai hari ini kamu harus sanggup memperlihatkan gigimu. Seperti almarhum Syech Siti Jenar, pahlawan sakti yang tiada terlawan. Kau tahu" Tabiat dan perangai Syech Siti Jenar adalah setali tiga uang dengan ayahmu. Sifatnya menyendiri, kokoh pendiriannya dan tak perdulian terhadap segala. Itulah sebabnya, mengapa Syech Siti Jenar dibenci oleh sekalian wali. Aha... biar orang percaya kepada cerita itu, aku sekelumit pun tak sudi mendengarkan. Bagaimana mungkin,
rahasia bisa berubah menjadi anjing buduk" Itulah fitnah! Padahal tatkala Syech Siti Jenar dihukum, sama sekali tiada mengadakan perlawanan. Seumpama beliau melawan, kutanggung
sekalian wali di Demak akan bisa dijungkir-balikkan. Begitulah juga nasib ayahmu. Meskipun hampir semua orang yang merasa dirinya gagah benci kepada ayahmu, aku si jembel tetap
menghormati. Tapi itu pun bukan berarti, bahwa aku setuju kepada tingkah-lakunya."
"Paman! Paman berbicara tak keruan juntrungnya," tukas Titisari. "Aku lagi menghadapi ular bandot dan bukan lagi menghadapi salah seorang wali."
Gagak Seta terkejut. Kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menyahut.
"Ah, betul! Memang mulutku senang melantur tak keruan juntrungnya. Nah, sekarang
perlihatkan kemampuanmu menangkap ular bandot."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus! Aku murid Gagak Seta, masa tak mampu menjungkir-balikkan ular itu?" Titisari berseru nyaring. Dan sambil mengenakan baju mustika, lantas saja memasuki gelanggang.
Sang Dewaresi tiada gentar, meskipun sedikit banyak hatinya terpengaruh juga oleh riwayat benda mustika itu. Pikirnya, walaupun kamu mengenakan perisai dari dewa, masa tak mampu
merobohkanmu dalam satu gebrakan saja." Kemudian berkata, "Nona, silakan maju! Aku rela mati dalam tanganmu yang kuning langsat."
"Idih!" maki Titisari. "Semua ilmu tempurmu, adalah suatu ilmu lumrah. Tiada harganya untuk kaupamerkan kepadaku. Murid Gagak Seta ingin melihat ilmu rahasiamu yang busuk. Ayo, kita mulai! Tapi berjanjilah! Jika kamu sampai menggunakan ilmu lain, kau terhitung kalah."
Dengan tersenyum sang Dewaresi menjawab, "Aku akan melayani sekehendakmu."
"Hm"hm... tak kukira, kau ular bandot bisa juga pandai berbicara," Titisari tertawa. Tiba-tiba saja tubuhnya melesat. Dan dengan menggunakan Ilmu Ratna Dumilah ajaran Gagak Seta ia terus menyerang dengan bertubi-tubi. Sesungguhnya ilmu sakti Ratna Dumilah membutuhkan kegesitan untuk mengacaukan perhatian lawan. Itulah sebabnya, maka tubuh Titisari berkelebat seperti bayangan. Sebentar ia melontarkan pukulan tangan dan tiba-tiba berubah menjadi tendangan kaki tanpa berhenti.
Sang Dewaresi terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya, kalau Titisari memiliki ilmu demikian hebat. Kini, tak lagi dia berani merendahkan lawan. Cepat ia menggeserkan kaki dan mengelak selekas mungkin. Kemudian ia menekuk lengan dan dengan lemas melontarkan
serangan balasan. Itulah salah satu jurus ilmu rahasia pendekar sakti Kebo Bangah. Sasaran bidikannya menjurus ke pundak. Barangsiapa kena terhajar, pasti akan roboh seketika itu juga.
Tapi mendadak, tangannya sakit luar biasa, kecuali itu tenaga lontarannya seperti terbalik.
Sebentar heranlah dia, teringat akan benda mustika cerita Gagak Seta tersadarlah dia. Cepat-cepat ia memeriksa tangannya selintasan karena takut kena racun. Ternyata darah mulai mengucur membasahi kulitnya. Itulah akibat baju berduri yang tajam luar biasa. Tetapi darahnya tetap merah. Suatu tanda bahwa duri benda mustika itu tiada mengandung racun. Maka legalah hatinya.
Meskipun demikian, hatinya jadi ciut.
Kini ia tak memperoleh sasaran bidikan yang terulang. Seluruh lengan, punggung dan dada
Titisari terlindung oleh benda mustika yang benar-benar tak mempan oleh tinju betapa keras pun.
Untuk menyerang kaki, tidaklah mungkin. Karena Titisari bisa bergerak demikian gesit dan sukar diduga. Satu-satunya tempat yang kosong dari lindungan benda sakti ialah, muka dan rambut, la jadi kebingungan, sambil berlompatan menghindari serangan, ia berpikir keras.
Tak kukira, gadis begini hebat kepandaiannya. Benar-benar puteri adipati Karimun Jawa yang sakti dan murid Gagak Seta yang tiada cela. Tapi kalau aku mengalah, bagaimana mungkin aku melihat sinar matahari lagi. Sebaliknya, jika kuterkam mukanya, bukankah sayang seribu sayang!
Dia begini cantik jelita. Apakah rambutnya saja yang harus kurenggut" Ah, rasanya kurang pantas.
Aku akan dituduh sebagai seorang yang berlaku kasar dan meninggalkan tata-tertib gelanggang...
Hm... hm... Benar-benar, ia tak dapat memperoleh keputusan, karena itu, ia jadi kerepotan. Makin lama, ia makin kena terdesak. Hatinya kagum bukan main dan bertambah gandrung kepada Titisari.
Maklumlah, hampir seluruh kepandaiannya sudah dicurahkan untuk merobohkannya dengan
menggunakan ilmu rahasia pamannya. Tadi, dia begitu gampang menampar Sangaji. Tapi kali ini macet, karena Titisari menggunakan perisai benda mustika yang tak mempan kena tinju dan
pukulan. Syukurlah dia cerdas, la merobek lengan bajunya dan tangannya segera dibebatnya.
Dalam hatinya sudah memperoleh keputusan hendak menyerang muka Titisari dan merenggut
rambut. Jika perlu ia memberanikan diri memukul tubuh yang diselimuti benda mustika. Pikirnya, tanganku sudah terlindung pula, masa tak mampu menembus perisai benda mustika.
Tetapi sekonyong-konyong Titisari meloncat keluar gelanggang sambil berseru mendamprat.
"Kau palsu! Kau kalah! Kau hendak menggunakan ilmu lain."
Sang Dewaresi terkejut. Memang tata-berkelahi ilmu rahasia pamannya, tidak diperkenankan menggunakan pembebat tangan sebagai pelindung. Maka dengan terpaksa ia menyahut, "Ah"aku lupa, Nona..."
"Nah, sekarang teranglah bahwa ilmu keluargamu yang kau banggakan, tiada mempan
berhadap-hadapan dengan murid Gagak Seta," dengus Titisari dengan licin. "Artinya pula, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ilmu rahasiamu tiada anehnya. Sewaktu dulu kita mengadu kepandaian di serambi kadipaten
Pekalongan, malaslah aku untuk memperlihatkan kemampuanku. Karena itu, aku kalah. Tapi kini ternyata sama kuat. Kau masih mendongkol. Baik! Aku pun masih mendongkol."
Semua yang mendengar ujar Titisari, jadi terheran-heran. Mereka berpikir, "Gadis ini benarbenar licin." Sebenarnya belum tentu dia bisa mengalahkan sang Dewaresi. Hanya dengan menggunakan kelicinan akal, dia bisa mengalahkan. Tapi mengapa, dia seolah-olah hendak
menantang lagi."

Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya Gagak Seta yang dapat menebak akal Titisari tertawa dalam hati. la percaya, bahwa muridnya yang satu ini amat cerdas otaknya dan tak segan-segan menggunakan akal licin di luar dugaan orang. Maka itu dengan tenang, ia terus menggerogoti tulang kambingnya sampai licin bersih.
"Nona! Aku menerima semua pernyataanmu. Tak perlu lagi, kita meneruskan bertempur. Apa gunanya, kita bertempur sungguh-sungguh?" ujar sang Dewaresi kuwalahan.
"Hih, enak saja kamu berbicara," tukas Titisari. "Ingat, dahulu di serambi kadipaten pernah aku kau permainkan. Aku kau ajak bertempur dalam satu lingkaran. Kini, aku pun akan membalas menantangmu bertempur dalam satu lingkaran pula."
Sang Dewaresi merasa terdesak. Tantangan Titisari tak dapat ditolaknya, mengingat dia dulu menantangnya berkelahi pula dalam suatu lingkaran. Maka berkatalah dia terpaksa.
"Nona, di antara kita siapa yang kalah, tidak penting. Tapi jika Nona benar-benar bergembira hendak menantang mengadu kepandaian denganku, aku hanya bersedia melayani belaka."
"Eh, kau mulut palsu, dengarkan," potong Titisari tak peduli. "Dahulu, sewaktu aku terpaksa bertempur melawanmu, aku kalah suara. Semua yang hadir dalam ruang kadipaten adalah
sahabat-sahabatmu belaka yang bersiaga membantumu, jika kamu kalah. Kini lainlah suasananya.
Di belakang berderetlah sahabat-sahabatmu. Aku pun berada di tengah sahabat-sahabatku."
Meskipun jumlahnya kalah besar dengan jumlah begundal-begundal-mu, tak apa. Di sini aku
berani mengeluarkan ilmu kepandaianku untuk melawanmu. Aku tak usah takut, begundal-
begundalmu akan membantumu."
"Hm," dengus sang Dewaresi geli bercampur mendongkol.
"Sekarang marilah kita membuat garis lingkaran seperti dahulu."
"Baik," sahut sang Dewaresi. Dan seperti tatkala di kadipaten Pekalongan, sang Dewaresi menggarit suatu lingkaran dengan ujung kakinya.
Anak buah Gagak Seta benci terhadap sang Dewaresi. Tetapi menyaksikan kesaktian orang itu bisa menggarit lantai dengan ujung kaki, mau tak mau mereka memuji dalam hati. Sebab, apabila seseorang tiada memiliki tenaga sakti tak mungkin dapat menggarit lantai sedalam satu kaki dengan hanya menggunakan tekanan ujung kaki.
"Bagus!" seru Titisari girang. "Ingatlah! Dulu kamu mengikat kedua belah tanganmu untuk melawanku. Sekarang pun, aku hendak bertanding dengan meniru caramu merendahkan lawan.
Aku mau mengikat kedua kakiku. Nah dengan demikian, adillah tata-pertandingan adu kepandaian ini."
Semua yang mendengar ujar Titisari heran sampai terlongong-longong. Pikir mereka serentak, gadis ini meskipun cerdik dan pandai, bagaimana dapat melawan kesaktian sang Dewaresi dengan mengikat kedua kakinya" Lagi pula daerah geraknya begitu terbatas. Apakah dia memiliki ilmu siluman" Sang Dewaresi sendiri heran bukan kepalang. Dengan mengerutkan kening, sibuklah dia menduga-duga. Sangaji pun diam-diam ikut berpikir keras. Hanya Gagak Seta seorang diri yang masih saja menggayemi (memamah) sekerat dagingnya dengan nyamannya.
Pada saat itu, tiba-tiba leher bajunya terasa tercekam oleh suatu tangan yang kuat Tubuhnya terangkat lebih tinggi lagi sampai hampir mengenai atap.
Titisari terus memasuki lingkaran, la melepas cindenya dan kedua kakinya kemudian diikatnya erat. Dengan pandang berkilatan ia menantang pandang Dewaresi tanpa berkedip.
"Benar-benarkah Nona hendak melawanku dengan kedua kaki terikat?" Sang Dewaresi masih sibuk menebak-nebak.
"Kau kira apa murid Gagak Seta ini" Bilanglah dengan terus terang, apakah kamu dulu atau akulah yang menyerangmu terlebih dahulu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan mengerling garis lingkaran sang Dewaresi menjawab, "Aku adalah seorang laki-laki.
Sudah barang tentu harus menerima seranganmu terlebih dahulu. Kemudian akan
kupertimbangkan, apakah aku perlu membalas serangan pula."
"Kau licin sekali!" damprat Titisari. "Kau hendak menaksir kelemahan lawan terlebih dahulu, bukan" Kemudian membalas serangan dengan sekali hantam. Bagus! Mari kita mulai. Siap?"
Melihat Titisari begitu bersikap tenang, sang Dewaresi beragu. Pikirnya, dalam lingkaran sekecil ini, apakah yang hendak dilakukan terhadapku. Tapi... siapa tahu dia mempunyai ilmu rahasia di luar dugaan. Baiklah aku menyerangnya saja terlebih dahulu untuk melihat bagaimana cara dia mengelak dan melontarkan serangan. Mendapat pikiran demikian, maka dengan licin dia berkata,
"Nona... sebenarnya dalam suatu arena pertempuran, tiada beda antara kedudukan seorang wanita dan pria. Jika aku membiarkan Nona menyerangku terlebih dahulu, itu berarti bahwa aku merendahkan Nona. Baiklah biar aku dahulu yang menyerangmu."
Tapi berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan Titisari telah memotong dengan seruan
nyaring, "Awas serangan!"
Ia melihat Titisari meloncat dengan menjejakkan ujung kakinya yang terikat. Belum lagi dia dapat menduga bagaimana gadis itu menyerang, tiba-tiba terlihatlah barisan isi sawo berkeredep menghujani dirinya. Inilah suatu serangan yang tak pernah diduganya.
Sang Dewaresi terkejut bukan main. Untuk menangkisnya dengan pedang tipisnya, tiada
sempat lagi. Jarak antara dia dan Titisari terlalu dekat, karena mereka berdua berada di dalam satu lingkaran. Satu-satunya daya untuk menangkis
senjata bidik itu hanyalah lengan bajunya. Tetapi
lengan bajunya sudah terlanjur disobeknya tadi, tatkala
hendak dipergunakan membebat kedua tangannya
untuk melawan baju mustika Titisari. Hendak meloncat
mundur, berarti kalah. Sebaliknya membiarkan
tubuhnya ditembus senjata bidik lawan, berarti akan
mati terjengkang dalam lingkaran dengan hati
penasaran. Dalam keadaan terjepit ia menjejak tanah
dan tubuhnya terus terloncat ke udara dan mengapung
tinggi. Dengan demikian, semua senjata bidik Titisari
lewat berdesingan di bawah tapak kakinya. Tetapi
celaka. Belum lagi dia turun ke tanah, Titisari sudah
menghujani serangan bidikan untuk kedua kalinya.
"Lihat serangan kedua!" seru gadis itu.
Serangan kali ini, benar-benar tak dapat dihindarkan
lagi. Maklumlah, tubuhnya masih berada di udara. Lagi
pula serangan itu meliputi semua bidang gerak. Atas"
bawah" samping-menyamping dan bertebaran begitu
padat. Itulah hasil ajaran Gagak Seta untuk melawan
tabuan kelingking binatang piaraan Kebo Bangah.
"Tamatlah riwayatku," sang Dewaresi mengeluh dengan putus asa. "Tak kuduga, gadis ini begitu kejam!"
Pada saat itu, tiba-tiba leher bajunya terasa tercekam oleh suatu tangan kuat. Tubuhnya
terangkat lebih tinggi lagi sampai hampir mengenai atap. Kemudian terdengarlah suara senjata Titisari berdesingan lewat di sampingnya. Tahulah dia, bahwa ada seseorang yang menyelamatkan jiwanya. Belum lagi dia sempat mengetahui siapakah yang menjadi malaikat penolongnya,
tubuhnya telah terlempar jatuh ke tanah. Sebenarnya lemparan itu tiada keras. Tapi aneh. la seperti tak dapat bergerak, sehingga ia jatuh dengan menyangga lengan.
Mau tak mau, ia terpaksa jatuh tersungkur mencium tanah. Seketika itu juga sadarlah dia, bahwa yang menolong dirinya adalah Gagak Seta. Sebab di antara mereka tidak ada orang yang melebihi kepandaiannya selain Gagak Seta. Itulah sebabnya, begitu ia berhasil merayap bangun, terus saja ngeloyor (pergi) keluar rumah dengan diikuti seluruh anak buahnya.
"Paman! Mengapa Paman menolong ular bandot itu?" Titisari menyesali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gagak Seta tertawa. Menjawab, "Dengan pamannya, aku bersahabat baik meskipun jahatnya bukan kepalang. Kalau kemenakannya sampai mati oleh tangan muridku, kesannya kurang baik."
Setelah berkata demikian, ia menepuk-nepuk pundak Titisari sambil berkata penuh bangga. "Anak manis! Karena kecerdikanmu, kamu telah mengangkat nama perguruanmu. Untuk jasamu, apakah yang harus kulakukan terhadapmu?"
Titisari bergembira mendapat pujian gurunya. Dengan menggigit bibir dia menyahut, "Paman!
Tongkat paman yang buruk itu, begitu menakutkan hatiku sampai Yuyu Rumpung tak berani
berkutik." "Eh, anak cerdik" Tapi meskipun aku sudi mempertimbangkan ujarmu itu, tak dapat aku mengajarimu. Aku hanya akan mewariskan satu-dua tipu silat kepadamu dalam beberapa hari ini.
Sayang, hari ini aku begitu malas."
"Aku akan menyediakan beberapa masakan kegemaran Paman."
"Hari ini, tiada sempat untuk menikmati masakanmu. Lain kali apakah buruknya?"
Dalam pada itu Sondong Majeruk dan kawan-kawannya menghampiri Sangaji dan Titisari untuk menyatakan terima-kasih. Gusti Ratnaningsih pun telah berhasil membebaskan diri dan segera menarik tangan Titisari. Seperti terhadap saudara sekandungnya, puteri itu terus mengutarakan rasa hatinya, la amat terharu memperoleh pertolongannya.
"Paman Suryaningrat yang menjadi guru Tuan Puteri adalah adik-guru Sangaji. Nah, dengan demikian, kita semua sebenarnya adalah satu keluarga perguruan," ujar Titisari seraya memperkenalkan Sangaji.
Gusti Ratnaningsih sejenak terhenyak. Kemudian dengan suatu luapan kegirangan yang tak
tertahankan, menarik pergelangan tangan Sangaji dan diajaknya berbicara.
Sondong Majeruk kemudian membungkuk hormat kepada Gagak Seta dan ikut menyatakan
gembira bahwa orang tua itu kini sudah mempunyai dua orang murid. Dia tahu, bahwa Gagak
Seta benar-benar melanggar pantangannya sendiri dengan mengambil murid. Dia yang hanya
memperoleh warisan satu jurus belaka, menaruhkan harapan besar kepada Sangaji. Segera dia menoleh kepada Sangaji sambil berkata takzim.
"Meskipun berusia jauh lebih muda dariku, aku akan memanggilmu kakak, karena kakak adalah murid panembahan Gagak Seta. Nah, terima hormatku. Apabila senggang, sudilah kiranya singgah di rumahku di Desa Nglaran."
Dengan tersipu-sipu, Sangaji membalas hormat Sondong Majeruk. Wajahnya bersemu merah,
karena tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Ucapan Sondong Majeruk patut kau dengarkan," kata Gagak Seta kepada Sangaji. "Sudah sewajarnya, kamu dipanggilnya kakak. Karena dalam suatu perguruan, tingkatan ilmu merupakan tataran kehormatan dan bukan usia jasmani."
Mendengar ujar Gagak Seta, maka Sangaji terpaksa juga menerima panggilan itu, meskipun
hatinya masih merasa canggung.
"Tahukah kamu hai anakku, bahwasanya adikmu Sondong Majeruk itu sebenarnya adalah
seorang kepala polisi dusun. Dialah Kepala Kampung Dusun Nglaran. Nah, kalian sekarang sudah menjadi sahabat. Hatiku bersyukur bukan kepalang. Sekarang muridku yang kecil kuperintahkan mengantarkan Gusti Retnoningsih pulang ke Pesanggrahan. Aku sendiri mempunyai urusan
penting yang belum selesai kukerjakan."
Sampai di sini, mereka berpisah. Gagak Seta pergi ke jurusan timur. Sondong Majeruk dan
kawan-kawannya mengarah ke utara. Sedangkan Titisari mengantarkan Gusti Retnoningsih pulang ke Pesanggrahan. Sangaji ikut pula mengawal, karena mengkhawatirkan mereka akan bertemu
dengan sang Dewaresi di tengah jalan.
Ternyata Gusti Retnoningsih seorang puteri bangsawan yang ramah. Di sepanjang jalan, ia
terus berbicara dengan Sangaji dan Titisari. Terhadap Sangaji ia mengabarkan, bahwa sebenarnya dia belum berhak di sebut murid Suryaningrat. Karena ilmu yang diwarisi belum sampai
seperempat bagian. Dan terhadap Titisari ia menerangkan, kalau murid-murid Gagak Seta tersebar luas di persada wilayah Jawa Tengah. Kebanyakan mereka menjabat pangkat kepala kampung
atau polisi pangreh-praja. Mereka dahulu adalah bekas pengikut Gagak Seta tatkala Perang Giyanti sedang berkecamuk hebat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
18 HANTU BERKELIARAN DI SIANG HARI
SEKEMBALINYA dari pesanggrahan Gusti Retnoningsih, Sangaji dan Titisari terus mencari
kudanya. Kemudian melanjutkan perjalanan mengarah ke timur. Setelah hari hampir mendekati luhur, sampailah mereka di suatu jalanan yang sulit. Di depan mereka, bukit-bukit mulai
menghadang. Gundukan-gundukan tanah yang menyekati perjalanan, penuh batu-batu tajam dan semak-belukar.
Mereka kemudian beristirahat. Setelah memperoleh pohon rimbun, segera mereka merebahkan
diri. Dan sebentar saja, sudah memasuki alam lain. Maklumlah, satu malam suntuk mereka berada dalam ketegangan. Seluruh urat-syarafhya bekerja dengan mati-matian, dan sekarang mendapat kesempatan untuk bernapas. Tetapi hidup ini memang kerdil. Belum lagi mereka tidur lelap selama satu jam, tiba-tiba pendengaran mereka yang tajam menangkap bunyi derap kuda. Seperti saling berjanji, mereka menegakkan kepala dan sambil bertiarap terus mengarahkan pandangannya.
Herannya, mereka melihat San-jaya yang datang berderap dengan diikuti seorang laki-laki pendek tegap. Dialah pendekar Abdulrasim dari Madura. Dan ketika sampai di gundukan, Sanjaya
melompat ke tanah dan menuntun kudanya. Abdulrasim pun menirukan perbuatan majikannya.
Dengan demikian, mereka kini meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
"Di manakah terjadinya pertempuran itu?" Sanjaya minta penjelasan kepada Abdulrasim.
"Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau dan Sawungrana sudah berhasil mengejarnya.
Kemungkinan sekali, mereka berada tak jauh dari sini. Mari!"
Dengan cepat mereka menuruni gundukan. Kemudian sambil melompat ke atas punggung,
cemetinya menghajar paha kudanya kalang-kabut. Terang sekali, bahwa mereka dalam keadaan tergesa-gesa.
Setelah mereka lenyap di balik gerombol pohon, Sangaji dan Titisari bangkit dengan berbareng.
Mereka saling pandang dengan kepala berteka-teki.
"Sungguh berbahaya!" bisik Titisari. "Seumpama ular itu mengetahui diri kita, mau tak mau kita terpaksa berolahraga. Untunglah kita mempunyai kebiasaan mencencang kuda jauh dari tempat kita beristirahat."
"Apa yang membahayakan?"
"Hm, anak pamanmu itu, licin seperti ular. Kau harus berhati-hati."
Sangaji tertawa melalui hidung. "Dia lagi tersesat. Sekiranya kelak aku berhasil menyadarkan pasti dia akan kembali ke jalan yang benar," katanya.
"Hm," dengus Titisari. Kemudian tanpa menoleh ia mencari kudanya. Sangaji mengikuti dari belakang.
"Aji!" kata gadis itu lagi. "Kau jangan enak-enak berdendang. Mereka tadi membicarakan tentang pertempuran. Siapa yang sedang mereka kejar, itulah yang harus kauperhatikan."
"Apa sangkut-pautnya dengan aku?"
Titisari tak segera menjawab, la melompat ke atas punggung kudanya. Seraya menarik kendali, ia berkata mengajak.
"Kau ikut, tidak" Aku ingin melihat siapakah yang lagi bertempur."
Sebenarnya Sangaji ingin cepat-cepat menuju ke Sejiwan. Gunung Damar sudah berdiri di
depan. Oleh petunjuk Nuraini dahulu tahulah dia, bahwa Dusun Sejiwan berada di baliknya, la khawatir, gurunya sudah terlalu lama menunggu dirinya. Tapi mengingat tabiat kekasihnya yang rupanya dimanjakan keluarganya, maka mau tak mau ia harus pandai membawa diri. Demikianlah, ia menyertainya tanpa membantah.
Mereka menuruni gundukan dan mengikuti jejak kuda Sanjaya. Willem adalah seekor kuda yang benar-benar perkasa serta cekatan. Seperti pandai membaca gejolak hati majikannya, ia terus berderap kencang mengikuti jejak. Itulah sebabnya, dengan cepat mereka berdua telah sampai di suatu lapangan yang berada di dekat tebing Sungai Bogowonto.
"Lihat! Mereka benar-benar sedang bertempur!" seru Titisari.
Waktu Sangaji mengamat-amati, nampaklah dua orang laki-laki setengah umur sedang
berkelahi dengan sengit menghadapi keroyokan enam orang.
"Hai!" Titisari cemas, "Bukankah itu gurumu" Paman Wirapati!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ucapan Titisari, Sangaji terkesiap. Cepat ia menjepit perut Willem. Kuda itu lantas saja meloncat dan terbang secepat kilat. Apabila sudah berada di tepi lapangan tak usahlah Sangaji beragu lagi. Memang, gurunya sedang bertempur melawan kerubutan lawan. Lantas
siapakah yang berada di sampingnya membantu gurunya itu" Pahlawan itu sebaya dengan usia gurunya. Hanya saja tubuhnya agak pendek tetapi berkesan lebih kokoh dan mantap.
Mereka mempergunakan senjatanya ma-sing-masing. Suatu tanda, bahwa mereka memasuki
saat-saat yang tegang dan tak berani merendahkan lawannya. Dengan demikian, senjata mereka nampak berkere-depan di tengah matahari yang bersinar terik.
"Hai! Siapakah yang bertempur tak mengenal tata-tertib?" teriak Titisari melengking. Mereka berhenti bertempur sejenak, tetapi sesaat kemudian perkelahian mulai lagi. Bahkan makin sengit dan seru.
"Guru! Biarlah aku memasuki gelanggang!" seru Sangaji. Suara Sangaji kini jauh berbeda dengan dua bulan yang lalu. Dia kini sudah memiliki tata-pernapasan ilmu sakti Kumayan Jati.
Karena itu suaranya bertenaga hebat bagaikan gerung harimau terluka. Karuan saja, mereka yang bertempur jadi kaget, sampai tanpa disadari sendiri masing-masing melompat mundur dua
langkah. Sangaji pun tak terkecuali. Selama menekuni ilmu Gagak Seta, belum pernah sekali juga dia berteriak. Diamdiam ia bersyukur dalam hati, karena ternyata kepandaiannya kini bertambah maju tanpa sadar. Sebaliknya mendengar suara itu" meskipun bertenaga luar biasa"Wirapati segera mengenalnya. Dengan setengah tercengang, ia berseru girang, "Apakah anakku Sangaji berada di sana?"
Wirapati ternyata tak berani lengah barang sebentar pun sehingga tiada menoleh.
"Benar, aku Sangaji!" sahut Sangaji.
Karena girangnya Wirapati terus saja menjejak tanah dan berlompat berjumpalitan di udara.
Sudah sering Sangaji menyaksikan kepandaian gurunya berjumpalitan di udara. Tapi kali ini, dia benar-benar kagum. Karena tanpa melihat, Wirapati dapat berjumpalitan terbang di udara dan turun dengan manis sekali satu langkah di depannya. Kalau Sangaji sendiri sebagai muridnya terus kagum, lainnya tak usah dibicarakan lagi. Mereka tercengang-cengang sampai mulutnya
terlongoh-longoh. Ternyata mereka adalah Yuyu Rumpung, Abdulrasim, Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan Sanjaya. Hanya orang yang membantu Wirapati itu sajalah yang masih nampak tak bergerak dari tempatnya. Pandang matanya tetap tajam dan angker.
"Kangmas Bagus Kempong! Inilah muridku selama pergi meninggalkan perguruanku," seru Wirapati. Kemudian ia mengarah kepada Sangaji, "Aji! Dialah paman gedemu ) kakak-seperguruanku."
Sangaji adalah seorang pemuda yang mengutamakan tata-santun di atas segalanya. Maka
begitu mendengar ujar gurunya, terus saja menghampiri dan membungkuk hormat kepada Bagus Kempong.
"Anakku terima-kasih. Siapa namamu?" kata Bagus Kempong sambil mendengarkan kelegaan hatinya.
"Sangaji." "Nama bagus!" pujinya. Kemudian berseru kepada Wirapati, "Adik Wirapati! Engkau menemukan bahan bagus dan luar biasa. Muridmu begini hebat!"
Wirapati terus menghampiri dan memeluknya dari belakang. Bagus Kempong membalas
pelukan itu pula. Nampaknya mereka tak mengacuhkan kehadiran lawannya yang berjumlah lebih banyak dan bersiaga menyerang dengan tiba-tiba.
"Eh, monyet! Anjing!" Maki seorang laki-laki berkepala botak dan bertubuh pendek. "Kamu akan segera berangkat ke neraka apa perlu berpeluk-pelukan seperti perempuan?"
"Eh, kaubangkotan jahanam, masih beranikah mengumbar suara di hadapanku?" tiba-tiba Titisari menyahut tajam.
Mendengar suara Titisari, Bagus Kempong menoleh. Kemudian bertanya kepada Wirapati,
"Siapakah Nona ini?"
Belum lagi Wirapati menjawab, Sangaji cepat-cepat memberi penjelasan. "Dia adalah kawanku berjalan, Paman."
"Oh," terdengar Bagus Kempong tercengang. Tetapi dia tak berkata lagi.
Dalam pada itu, Yuyu Rumpung maju selangkah dengan pandang berkilat-kilat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku tidak berbicara kepadamu, mengapa kamu begini kurang ajar?"
"Eh, enak saja kamu bicara," damprat Titisari berani. "Kauhilang, pamanku ber-peluk-pelukan seperti perempuan. Kautahu, di antara semua yang berada di sini, hanya akulah seorang
perempuan. Nah, bukankah kamu menghina aku?"
Wajah Yuyu Rumpung berubah. Tetapi karena ucapan Titisari benar, mau tak mau ia harus
menelan rasa gusarnya. Sekonyong-konyong pendekar Abdulrasim berkata nyaring.
"Nona! Bukankah kita sudah saling mengenal?"
"Lantas?" "Nona adalah puteri Adipati Surengpati. Terimalah hormatku. Kemudian kupinta, agar Nona jangan ikut campur dalam urusan ini."
Abdulrasim rupanya masih teringat akan peringatan sang Dewaresi dahulu di halaman
kadipaten, bahwa sekali-kali jangan melibatkan diri dengan puteri Adipati Surengpati. Karena apabila sampai terli-bat, urusan bisa jadi runyam. Adipati Surengpati yang disegani dan ditakuti semua orang gagah di penjuru tanah air ini, bagaimana bisa tinggal diam apabila mendengar puterinya dihina seseorang. Maka pendekar itu mencoba membersihkan diri. Sebaliknya, tatkala Bagus Kempong mendengar Abdulrasim menyebutkan nama Adipati Surengpati, ketika itu juga
berkerut-kerut-lah dahinya. Sebagai murid Kyai Kasan Kesambi, tahulah dia siapa Adipati
Surengpati. Meskipun belum pernah bersua dengan orangnya, tapi menurut tutur-kata gurunya tidak begitu menyenangkan. Karena Adipati Surengpati terkenal angkuh, kejam dan penyendiri.
"Sangaji," bisiknya, "... apakah kawanmu itu benar-benar puteri Adipati Surengpati?"
Sangaji mengiakan sambil mengangguk, dan Bagus Kempong nampak menghela napas.
Dengan pandang tajam ia mengawaskan gerak-gerik Titisari yang nampak berkesan liar.
"Aji!" tiba-tiba Titisari berkata kepada Sangaji. "Bukankah itu sahabatmu. Anak-angkat Pangeran Bumi Gede, Tuan Sanjaya" Hai, bagaimana dia bisa berada di sini" Tolonglah tanyakan, di mana kini kakakku Nuraini berada?"
Mendengar ujar Titisari, Sangaji terkejut dan tersipu-sipu. Sanjaya dan Abdulrasim berubah hebat wajahnya. Mereka saling memandang dengan pandang keripuhan.
"Nona! nDoromas Sanjaya adalah sesem-bahanku. Aku sudah bersikap hormat kepadamu,
mengapa engkau bersikap kurang ajar?" tegur Abdulrasim.
"Tak bolehkah aku berkata sebenarnya?" sahut Titisari dengan tertawa.
Abdulrasim jadi kuwalahan. Memang apa yang dikatakan Titisari adalah peristiwa sebenarnya.
Waktu itu dia pun lagi menghadap Sanjaya. Kemudian terdengar jendela rumah diketuk orang.
Dan tahu-tahu seorang gadis lemah-lembut sudah berada di dalam kamar. Sebagai seorang
pendekar, ia diajar menghargai ucapan seseorang yang benar, meskipun akan menyakiti hati.
Karena itu dia terpaksa membungkam mulut.
Sebaliknya Sanjaya yang berhati licin, dengan tenang terus melangkah maju. la tersenyum
sambil mengangguk. Berkata lemah-lembut.
"Perkara itu, bukankah bisa dibicarakan pada waktu lain" Pada saat ini, kami sedang menghadapi suatu perkara yang harus kami selesaikan." la berhenti mengesankan. Kemudian mengarah kepada Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau dan Sawungrana yang nampak tak
bersabar lagi. Berkata kepada mereka, "Apakah yang harus kita lakukan?"
"Hm" dengus Cocak Hijau. "Gadis itu, bukankah yang datang berkeluyuran di halaman kadipaten?"
Sanjaya terhenyak heran. Ia merenungi Titisari dengan pandang berkilat.
"Semenjak dahulu... ingin aku memuntir lehernya," kata Cocak Hijau lagi, "sekarang, jangan biarkan dia mengacau lagi. Serahkan dia kepadaku."
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa halus tetapi tajam menusuk hati. Itulah guru Sangaji, sang perwira Wirapati. Pendekar itu dengan maju selangkah terus menungkas.
"Kata-katamu tidaklah mudah engkau laksana-kan, selama aku masih berada di sini. Cobalah!"
Kata-kata Wirapati terkenal sederhana, tetapi berwibawa. Dan begitu mendengar ucapannya
Cocak Hijau yang berwatak bera-ngasan, lantas saja menggeser maju hendak melancarkan
serangan. Tetapi Sanjaya dengan cepat mencegah. Katanya angkuh terhadap Wirapati.
"Antara kami dan Tuan belum pernah berkenalan. Kecuali tatkala Tuan berada di alun-alun kadipaten Pekalongan. Waktu itu, kami berlaku lapang dada. Mengingat Tuan tidak tersangkut-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
paut dalam urusan dahulu. Tapi kini, lainlah halnya. Tuan berani memasuki daerah terlarang kami.
Tuan berani pula mengganggu pekerjaan kami. Itulah suatu pantangan bagi kami. Nah,
kembalikan pusaka itu!"
Mendengar Sanjaya berbicara tentang pusaka, Sangaji kaget. Dengan wajah berubah tegang, ia melemparkan pandang kepada Wirapati dan Titisari. Kemudian dengan perlahan-lahan ia memasuki gelanggang dan berdiri di samping gurunya.
"Kau berbicara tentang apa?"
Wirapati menegas dengan tenang.
"Tentang pusaka warisan kami."
"Apa sangkut-pautnya dengan kami?"
"Eh"hm." Sanjaya tersenyum manis. "Kami bukan anak-anak yang belum pandai beringus.
Bukankah Tuan Guru si bocah tolol itu, kami mempunyai persoalan sendiri. Beradanya Tuan di sekitar daerah terlarang itu, masakan secara kebetulan saja. Mestinya bocah tolol itu sudah mengungkapkan rahasia pusaka warisan kami kepada Tuan."
Sangaji sudah biasa disebut sebagai anak tolol, la tak memedulikan. Sebaliknya tidaklah
demikian halnya Titisari, gadis yang memujanya di atas segala. Mendengar dia disebut sebagai bocah tolol, serentak gusarlah gadis itu. Tajam dia mendamprat,
"Hai! Kau berani mentolol-tololkan kawanku. Kau ular busuk, tutuplah mulutmu!" la menoleh kepada Sangaji. Terus memberi saran, "Aji! Dulu, aku pernah mendengar kisah gurumu yang galak berlawanan berbicara dengan pendeta edan Hajar Karangpandan. Bahwasanya antara engkau dan ular itu mempunyai ganjelan yang harus kauselesaikan. Inilah suatu kesempatan yang bagus sekali untuk membuktikan, bahwa engkau bukanlah seorang pemuda tolol. Hajarlah dia biar
belajar bersopan santun. Kalau Kak Nuraini gusar, akulah lawannya."
HEBAT KATA-KATA TITISARI. SEPERTI GELEDEK DI SIANG HARI mereka yang mendengar jadi
terpengaruh. Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan Abdulrasim tidak begitu jelas mengetahui persoalannya yang terjadi antara Sanjaya dan Sangaji. Mereka hanya menebak-nebak belaka, setelah munculnya peristiwa Wayan Suage dahulu di tengah lapangan hijau di Pekalongan. Meskipun tiada yang membicarakan lagi, tetapi sedikit banyak masuk pula dalam perhatian mereka. Secara samar-samar mereka mulai menduga-duga peristiwa gelap yang
meliputi diri Pangeran Bumi Gede, Raden Ayu Bumi Gede dan Sanjaya.
Terhadap Sangaji dan Titisari, mereka berempat mempunyai pengalamannya sendiri. Yuyu
Rumpung mengenal Sangaji, sebagai seorang yang harus dihantam rampung. Karena dia menaruh dendam sebesar bongkahan batu pegunungan. Maklumlah, kehormatan dirinya terus-menerus
merosot tak keruan semenjak terlibat dengan anak muda itu. Dan Manyarsewu serta Cocak Hijau me-ngenal Sangaji selagi mengadu kepandaian melawan Sanjaya di lapangan arena. Mereka
berdua menyaksikan, bahwa Sanjaya akan dapat mengalahkannya. Hanya saja, pemuda asing itu ulet luar biasa. Sebaliknya Abdulrasim dan Sawungrana hanya mengenal Titisari belaka, tatkala gadis itu berada di serambi kadipaten Pekalongan. Terhadap Sangaji, mereka tak mempunyai perkara yang harus diselesaikan. Lainlah halnya dengan Wirapati, Titisari, Sanjaya dan Sangaji sendiri.
Mereka mengetahui belaka, apa yang terjadi dan apa yang harus diselesaikan. Dengan
demikian, mereka yang terbersih dari sekalian anasir itu, hanyalah Bagus Kempong sebagai seorang pendekar murid Kyai Kasan Kesambi yang ketiga. Dia berada di luar garis dengan kepala berteka-teki. Maklumlah, dengan Wirapati baru saja dia bertemu. Waktu itu, dia lagi meronda mengelilingi wilayahnya. Mendadak saja, ia melihat seseorang yang lagi bertempur menghadapi kerubutan. Sebagai seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang terkenal dan mengutamakan jiwa
ksatria, heranlah dia menyaksikan suatu pertempuran berat sebelah. Itulah suatu perkelahian yang bertentangan dengan tata-tertib seorang ksatria. Segera ia menghampiri. Alangkah kaget dan terharunya, karena tiba-tiba kenallah dia siapa yang lagi bertempur menghadapi kerubutan. Dialah adik-seperguruan yang hilang tiada kabar-beritanya selama 12 tahun. Tanpa ragu-ragu lagi, dia terus terjun ke gelanggang dan merabu musuh adik seperguruannya kalang kabut. Wirapati
segera mengenal ka-kak-seperguruannya. Hatinya terharu bukan kepalang. Ingin dia cepat-cepat menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi lawannya bukanlah lawan sembarangan. Kecuali berjumlah lebih banyak, sesungguhnya termasuk golongan pendekar-pendekar sakti pilihan. Itulah sebabnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
antara mereka berdua belum sempat berbicara seleluasa-lelusanya. Dan belum lagi mereka bisa menyelesaikan pertempuran, datanglah lagi suatu desakan baru. Sanjaya dan Abdulrasim datang mengkerubut. Kemudian datang pulalah Sangaji dan Titisari yang membuat mereka bisa bernapas selintasan.
"Anakku Titisari," kata Wirapati tiba-tiba. "Se-sungguhnya persoalan antara Sangaji dan Sanjaya adalah persoalanku dan gurunya, dan antara aku dan gurunya, sudah memperoleh suatu
penyelesaian. Hal ini tak perlu dikutik- kutik lagi. Karena itu selama aku ada, Sangaji dan Sanjaya tak kuperkenankan mengadu kepandaian. Kecuali apabila berdasarkan alasan lain."
"Ah, ya" Titisari meraba keningnya dan se-olah-olah tersadar. "Bukankah Ki Hajar Karangpandan menyatakan, bahwa dia menyerah kalah" Dengan begitu, anak-angkat pangeran itu dinyatakan kalah pula. Jika demikian sama sekali tidak pada tempatnya dia menyebut Sangaji dengan istilah tolol. Bahkan dialah sebenarnya yang tolol sebagai jago godogan. Bukankah begitu?"
Terang sekali, Titisari menjatuhkan pamor Sanjaya di hadapan orang banyak. Karuan saja,
Sanjaya yang biasa mengagung-agungkan diri menjadi mendongkol. Dengan mata berkilatan dia berkata, "Nona... aku bukan guruku. Guruku bukan aku pula."
"Bagus!" potong Titisari. Kemudian menoleh kepada Wirapati seraya berkata membakar hati.
"Dialah yang menantang. Apakah kita akan membiarkan tantangan itu tak terjawab."
Wirapati kenal akan kenakalan dan keliaran Titisari sewaktu berada di tengah lapangan hijau di Pekalongan. Ia tahu pula, bahwa otaknya cerdas luar biasa. Tetapi sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, tak gampang-gampang kena terbakar hatinya. Kehormatan dirinya, melarang muridnya bertempur melawan seseorang murid tanpa kehadiran gurunya. Maka dengan tenang dia berkata, "Sudah kukatakan, selama aku berada di sini, tidak kuperkenankan mereka mengadu kepandaian. Aku khawatir akan ditertawakan para saktiawan seluruh dunia ini."
"Baik. Paman bersitegang mempertahankan kehormatan diri. Tapi mengapa, Paman sampai terlibat dalam pertempuran melawan mereka" Paman ternyata dikerubut mereka yang tak tahu malu. Apakah menghadapi bangsa cecurut demikian, masih perlu Paman menginjak sendi-sendi kehormatan diri" Bih!"
Diejek sebagai bangsa cecurut, Yuyu Rumpung, Manyarsewu dan Cocak Hijau yang beradat
berangasan, tak dapat lagi menyabarkan diri. Serentak mereka menyerang berbareng. Wut! Tapi benar-benar aneh. Dengan sedikit menggeserkan kaki, Titisari luput dari hantaman mereka
bertiga. Keruan saja muka mereka berubah hebat.
"Nah, tu lihat! Bukankah mereka benar-benar bangsa cecurut?" ejek Titisari.
Wirapati dan Bagus Kempong terkesiap hatinya, tatkala gadis itu diserang tiga pendekar
dengan berbareng. Mau mereka bergerak mengulur tangan. Tapi ternyata Titisari jauh lebih gesit daripada mereka. Maka diam-diam mereka kagum kepada kegesitannya.
"Jahanam anak haram!" maki Yuyu Rumpung. "Jangan terburu-buru berbesar hati, engkau bisa mengelakkan serangan kami. Hayo maju! Akulah yang mewakili nDoromas Sanjaya."
"Ih, bandot tua ini benar-benar tak tahu malu," balas Titisari. "Aji! Kauwakili aku menghajar botaknya yang mengkilat itu!"
Yuyu Rumpung benar-benar kuwalahan. Segera ia menarik kedua tangannya bersiap
menyerang. Waktu itu Sangaji telah memasuki gelanggang.
"Aji, mundur!" seru Wirapati yang meng-khawatirkan keselamatan muridnya. "Bukankah sudah kupesankan padamu bahwa engkau harus menghindari dia?"
Tetapi Titisari menyahut, "Paman! Terhadap si botak bandotan ini, tak perlu Paman
membesarkan hatinya. Dia pantas dihajar! Dan biarlah Aji menghajar mulutnya yang kotor!
Bukankah Paman bertempur melawan mereka untuk mempertahankan pusaka warisan Aji"
Ternyata anak-angkat pangeran itu merasa diri berhak mewarisi pusaka ayahnya. Idih! Terhadap ayah kandungnya tidak mau mengakui, tetapi begitu mendengar pusakanya, mulutnya lantas
ngiler. Benar-benar berhati jahanam!"
Memang Titisari benci benar terhadap Yuyu Rumpung. Pertama-tama, ia pernah bertempur dan pernah melihat pemuda pujaannya dikalahkan sewaktu baru memiliki ilmu sakti Kumayan Jati tiga jurus. Dalam hatinya kini ingin menguji ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah dimiliki Sangaji
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lengkap. Ia percaya, bahwa Sangaji akan dapat menaklukkan pendekar itu sampai tujuh turunan. Kalau harapannya ini terkabulkan, bukankah Wirapati akan kagum pula kepadanya"
Tetapi ucapan Titisari tanpa disadarinya sendiri, telah menusuk hati dua orang. Selain Yuyu Rumpung, Sanjaya pula. Pemuda itu sekaligus menggerung karena geramnya. Dengan meluapnya amarahnya, ia terus menerjang dengan satu jurus serangan yang sangat berbahaya. Tangannya mencengkeram dan mengancam kepala. Itulah jurus ilmu sesat ajaran iblis Pringgasakti.
Sangaji terkejut melihat serangan itu. Teringatlah dia bahwa dengan jurus itu pula pergelangan tangan Wayan Suage kena dipatahkan. Dan begitu teringat akan nasib Wayan Suage, sekaligus tergetarlah hatinya. Suatu endapan api amarah bergolak dalam dadanya. Rasa muak dan jijik terhadap Sanjaya sekaligus meledak dahsyat. Dan tanpa dipikir lagi, ia menyambut serangan Sanjaya dengan satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang maha kuat. Bum! Seperti layang-layang terputus, Sanjaya terpelanting sepuluh langkah dan jatuh terjungkal di atas tanah dengan memuntahkan darah.
Semua orang terkejut menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan secepat itu. Titisari yang tahu akan kehebatan ilmu sakti Kumayan Jati, terkejut juga. Sama sekali tak diduganya, bahwa Sangaji dapat memukul roboh Sanjaya hanya dalam satu gebrakan saja.
"Monyet! Binatang!" maki Yuyu Rumpung kalang-kabut. Dia terus menyerang dengan kedua tangannya berbareng. Tenaganya tak terperikan besarnya.
Waktu itu Sangaji sedang dalam termangu-mangu. Seperti Titisari, sama sekali tak diduganya bahwa ilmu saktinya sudah maju demikian pesat, sehingga dapat menumbangkan Sanjaya dalam satu gebrak, la heran berbareng terharu. Sebab betapapun juga Sanjaya adalah teman
sepermainan sewaktu kanak-kanak. Meskipun kesan hati kanak-kanaknya sudah terlalu samar-
samar, tetapi terhadap Wayan Suage ia mempunyai kesan mendalam. Mendadak saja ia
mendengar kesiuran angin.
"Aji! Awas!" teriak Titisari terperanjat.
Syukur, Sangaji, sudah memiliki ilmu petak pendekar sakti Gagak Seta. Dalam keadaan terjepit, kakinya terus menjejak tanah. Dengan sedikit menggeserkan kaki ia terhindar dari marabahaya.
Kemudian ia melontarkanserangan balasan dengan menggunakan jurus Jaga Saradenta dan
Wirapati berbareng. Yuyu Rumpung telah mengenal ilmu sakti pemuda itu, tatkala bertempur di luar Dusun
Karangtinalang. Teringat akan kedahsyatan ilmu itu, serta pula menyaksikan bagaimana Sanjaya roboh dalam satu gebrakan saja terus ia menjatuhkan diri ke tanah dengan bergulungan. Hasilnya ia benar-benar tertipu. Ternyata pukulan Sangaji adalah pukulan biasa. Meskipun demikian, karena Sangaji kini sudah memiliki ilmu tata-pernapasan Gagak Seta, tenaga pukulannya berderu juga.
Seumpama pukulan mendarat di dagunya belum tentu dia bisa mempertahankan diri.
"Anakku Sangaji!" seru Wirapati. "Janganlah tergesa-gesa hendak merebut kemenangan dengan cepat."
Mendengar suara gurunya, hati Sangaji ter-bombong ). Tekadnya menjadi bulat, untuk
memperlihatkan kemampuannya di hadapan gurunya. Maka ia menghampiri Yuyu Rumpung yang
sudah bersiaga membalas serangan.
Sangaji telah memperoleh pengalaman bertempur melawan sang Dewaresi. Meskipun gaya ilmu
serangan Yuyu Rumpung berbeda dengan sang Dewaresi, tetapi titik tolaknya ada persamaannya.
Yakni, mengutamakan kelincahan dan kedahsyatan tenaga. Biarlah aku berhemat melepaskan
tinju Kumayan Jati, pikirnya. Dan berbekal pikiran demikian, ia melawan Yuyu Rumpung dengan ilmu Jaga Saradenta dan Wirapati yang diaduknya se-rapih mungkin. Itulah sebabnya, maka pertempuran nampak berimbang.
Diam-diam Wirapati bergembira dalam hati, menyaksikan kemajuan muridnya. Ternyata tenaga Sangaji jauh berbeda dengan kemampuannya dua bulan yang lalu. Kini, setiap pukulannya
mempunyai pengaruh yang cukup menggetarkan. Kesiur angin berderu-deru menyapu samping-
menyamping. Tetapi lawan yang dihadapinya bukanlah lawan yang empuk. Bagaimanapun juga,
Yuyu Rumpung adalah seorang pendekar sakti"mahaguru dan penasehat sang Dewaresi. Dengan
Wirapati saja, belum tentu dapat dikalahkan.
"Kau mencari mampus! Jangan salahkan aku!" ancam Yuyu Rumpung dengan gemas. Terus saja ia merangsak maju.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aji! Jangan terlalu banyak memberi hati!" seru Titisari nyaring.
Mendengar seruan kekasihnya dan melihat serangan Yuyu Rumpung kian berbahaya, Sangaji
terus merubah tata-berkelahinya. Perlahan-lahan ia meninggalkan jurus-jurus ilmu Jaga Saradenta yang mengutamakan tenaga jasmani. Kemudian bergerak lincah, memasuki ilmu Wirapati.
Bagus! pikir Yuyu Rumpung gembira. Tahulah aku sekarang. Anak itu hanya memiliki tenaga
dahsyat. Ilmunya tiada yang istimewa. Biarlah kini kukurungnya. Memperoleh pikiran demikian, ia meloncat ke samping dan melibat rapat.
Titisari jadi bingung menyaksikan Sangaji terkurung rapat, la berharap-harap, agar ke-kasihnya mengeluarkan ilmu saktinya Kuma-yan Jati. Namun sekian lama, masih saja kekasihnya berputar-putar dengan tangkisan dan pukulan jasmaniah belaka. Gelisah ia melemparkan pandang kepada Wirapati yang nampak pula mengerutkan dahi. Rupanya Wirapati mencemaskan muridnya pula.
Sebagai seorang guru inginlah dia menolong muridnya. Tetapi jiwa ksatria tidak memperkenankan.
Mendadak terdengar Sangaji berkata nyaring.
"Guru! Titisari! Ijinkanlah aku menghajar orang ini!"
Setelah berkata demikian, tangannya mulai bergerak aneh. Kemudian mengibas udara dan
terus membalas merangsak. Yuyu Rumpung melihat gerakan aneh itu. Sebagai seorang pendekar yang sudah biasa mengagungkan kepandaian sendiri, tak mau ia mendesak. Ia tetap bersitegang dan inilah saat yang dike-hendaki ilmu Kumayan Jati.
Terus saja, Sangaji meliuk. Kaki kanannya menggeser cepat. Melihat gerakan ini, Yuyu
Rumpung terperanjat. Sekaligus teringatlah dia kepada daya gempur ilmu anak muda itu. Cepat ia menarik kedua tangannya dan disilangkan untuk melindungi dada. Kemudian sikunya ditekuknya pula, untuk membarengi menyodok. Inilah cara pertahanan berbareng melontarkan serangan.
Biasanya, dengan gerakan ini dia bisa menumbangkan lawan dengan sekali sodokan. Tetapi kali ini, dia bukan menghadapi lawan yang berilmu lumrah. Inilah kesalahan yang tak terampunkan.
Maka tiba-tiba saja, tubuhnya bergetar. Sangaji telah melepaskan satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang keras. Belum lagi Yuyu Rumpung mempersiagakan serangan balasan, sekali lagi Sangaji melontarkan pukulan yang aneh. Pundaknya kena terhajar. Rongga dadanya lantas saja menjadi sesak dan tubuhnya tiba-tiba terus terlempar sejauh lima belas langkah.
Semua orang menjadi kaget kembali, hingga mereka memperdengarkan rasa herannya. Justru
pada saat itu, terjadilah suatu keanehan lain. Mendadak nampaklah sesosok bayangan berkelebat dengan menerkam kain leher Yuyu Rumpung. Bayangan itu kemudian berdiri dengan tegak.
Ternyata dia adalah seorang laki-laki berkulit hitam mengkilat, bibirnya tebal berkepala gede.
Roman wajahnya terkesan dingin beku. Dia tersenyum pahit dengan pandang mata berkilat-kilat.
Semua yang melihat mereka menjadi terperanjat setengah mati, karena orang itu adalah iblis Pringgasakti.
"Guru!" seru Sanjaya bergembira dan terus saja menyongsong kedatangan Pringgasakti dengan terhuyung-huyung. Ia hendak datang bersembah, mendadak ia mundur selangkah, karena di
belakang gurunya nampak sesosok tubuh lain yang mengenakan jubah panjang warna abu-abu.
Perawakan sesosok tubuh itu, tinggi semampai. Dan wajahnya benar-benar mengerikan dan
menggigilkan hati. Barang-siapa sekali melihat wajahnya, takkan sudi melihat wajahnya untuk yang kedua kalinya.
Waktu itu, Wirapati dan Bagus Kempong sedang saling memandang. Mereka heran,
menyaksikan Sangaji dapat menumbangkan lawan dengan sekali pukul. Tadi mereka berdua
sudah mengadu kekuatan dengan Yuyu Rumpung.
Orang itu termasuk seorang pendekar yang tangguh. Bagaimana mungkin, bisa dilontarkan lima belas langkah oleh seorang anak kemarin sore seperti layang-layang putus" Sedang mereka
terheran-heran dan sibuk menduga-duga, muncullah iblis Pringgasakti dan sesosok tubuh berjubah abu-abu yang berwajah menyeramkan. Wirapati terperanjat melihat munculnya Pringgasakti,
sampai hatinya tergetar. Sedangkan Bagus Kempong yang belum mengenal Pringgasakti,
tersentak melihat sesosok tubuh yang berwajah menyeramkan.
Wirapati terus maju menghadapi Pringgasakti. Dengan sedikit membungkuk dia berkata, "Aku atas nama rekanku Jaga Saradenta menyambut kedatanganmu, dua bulan yang lalu kita pernah bertemu. Mestinya engkau masih mengenal aku."
"Hm." Dengus Pringgasakti, "Apakah engkau bernama Wirapati murid Kyai Kasan Kesambi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar." "Kauhilang atas nama si dogol Jaga Saradenta menyambut kedatanganku" Bagus! Memang aku lagi mencari padanya. Bukankah kematian adikku ada hubungannya dengan dia?" Bagus Kempong yang mendengarkan percakapan antara adik-seperguruannya dan Pringgasakti, tiba-tiba terkejut.
Sebagai salah seorang murid Kyai Kesambi, dapatlah dia dengan cepat menebak bahwa orang itu pasti ada hubungan tertentu dengan gurunya. Dia bergerak maju pula, siap menghadapi
kemungkinan. "Adik Wirapati! Apakah dia pernah mengenal guru kita?" tanyanya nyaring.
"Menurut kabar, dia pernah bertempur selama tujuh hari tujuh malam mengadu kepandaian pada zaman Perang Giyanti."
"Hm-hm." Pringgasakti menggerung. Kemudian beralih mengamat-amati Sanjaya, yang berdiri tegak dengan wajah pucat lesi. Ia terperanjat, sewaktu melihat mulut Sanjaya berdarah pula.
Tanyanya menegas, "Apakah nDoromas bertempur dengan mereka?"
Sanjaya mengangguk. Dengan setengah berbisik dia berkata, "Bukankah engkau sudah
menerima wartaku?" Pringgasakti memperdengarkan tertawanya. Dengan menyipitkan matanya berkatalah dia,
"Apakah dia gadismu?"
Mendengar ujar Pringgasakti, Sanjaya nampak gugup. Ia mendehem tertahan seolah-olah
minta dengan sangat kepada gurunya, agar merahasiakan tentang gadis itu. Tetapi Titisari yang cerdas, dengan cepat dapat membaca apa yang masih berkesan samar-samar.
"Eh, pantas! Malam itu kakakku Nuraini tiada datang lagi ke pondok. Siapa menduga, telah mengabdikan diri kepada anak pangeran yang ganteng ini untuk menyampaikan berita. Aji!
Apakah dugaanku ini salah?" katanya nyaring.
Sangaji adalah seorang pemuda yang berhati sederhana. Ia tak pandai menangkap kalimat-
kalimat sindiran atau ejekan tajam. Lagi pula, pada saat itu hatinya sedang tegang, melihat kedatangan Pringgasakti dan sosok tubuh yang berjubah abu-abu yang tetap berdiam diri seperti tugu tak bernyawa. Itulah sebabnya, tatkala mendengar ucapan Titisari yang ditujukan
kepadanya, ia menjadi terkejut. Gugup ia hendak menjawab, tetapi mendadak terdengarlah
Pringgasakti tertawa bergelora.
"Eh, adik kecilku. Rupanya kita selalu berjodoh untuk selalu bertemu," katanya.
"Abu! Benar-benar engkau tak memandang mata terhadap ayahku," damprat Titisari geram.
"Kauhilang apa?" sahut Pringgasakti cepat. Hatinya tergetar juga, meskipun gadis itu menggunakan nama ayahnya untuk menciutkan keberaniannya. Yuyu Rumpung yang sejak tadi
diterkamnya sampai tak berkutik, dilemparkan seperti sekantung goni. Ia kena pukul ilmu sakti Kumayan Jati yang membuatnya terlempar sampai lima belas langkah. Belum lagi bisa tegak di atas tanah. Tahu-tahu kain lehernya kena terkam Pringgasakti dan ia terus dijinjing seperti sekantung goni tak berharga. Dia terkatung-katung tanpa dapat berkutik, sementara Pringgasakti berbicara. Dan baru terlempar di atas tanah, sewaktu hati Pringgasakti tergetar oleh ucapan Titisari. Seluruh tubuhnya menjadi luar biasa dan dengan tertatih-tatih ia mencoba bangun, Kemudian duduk di pinggir sana bagai seorang pengemis bangkrut.
"Kauhilang apa?" terdengar Pringgasakti mendesak.
"Di depanku engkau masih saja berani mengangkat-angkat kematian adikmu. Mengapa tak teringat akan budi ayahku?"
"Itu adalah perkaraku," bentak Pringgasakti. "Karena mengingat ayahmu, minggirlah kau."
"Hm, enak saja bicara. Tahukah kamu, bahwa Paman Wirapati dan Paman Jaga Saradenta
adalah guru sahabatku" Jika kamu berani menghinanya, samalah halnya engkau menghinaku dan menghina ayahku," ujar Titisari.
Mendengar ujar Titisari, Pringgasakti nampak bergelisah. Bagaimanapun juga, ia benar-benar takut kepada ayah Titisari. Tetapi apabila bersikap mengalah terhadap seorang gadis kecil di depan para pendekar, bagaimana mungkin" Tiba-tiba terdengarlah Wirapati berkata menungkas,
"Anakku Titisari, biarlah hal ini kita selesaikan sendiri. Antara aku dan dia, tiada mempunyai suatu perkara. Tetapi, apabila dia menghina rekanku Jaga Saradenta, bagaimana aku dapat bertopang dagu" Dahulu, aku pernah menerima janji Ki Tunjungbiru agar melupakan peristiwa balas dendam itu. Dan aku segera menerima serta menyetujui, karena aku tak mempunyai sesuatu perkara yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
harus kuselesaikan. Jaga Saradenta pun menyetujui juga, meskipun wataknya yang berangasan, masih saja mengantongi dendam. Kini kudengar, iblis itu mengungkit-ungkit kematian adiknya.
Inilah suatu soal, di mana aku tak dapat berdiri di luar garis. Karena aku hadir, pada malam kematian saudaranya. Nah, biarlah dia mencari perhitungan kepadaku, apabila dia sengaja
membuat gara-gara." "Hohaaa... bagus! Bagus! Tuhan Maha
Pemurah. Akhirnya dugaanku menemui kebenaran." Pringgasakti menggeram setinggi langit.
"Jadi benar-benarkah adikku mati, perbuatan kalian?"
Mendengar ucapan Pringgasakti, semua yang hadir kecuali Bagus Kempong kaget bercampur
heran. Mereka semua pernah menyaksikan sepak-terjang iblis itu yang sakti luar biasa. Mereka sibuk menduga-duga, pastilah saudaranya lebih hebat daripadanya. Bagaimana dapat dibinasakan oleh Wirapati.
"Pringgasakti! Meskipun saudaramu terbinasa, tapi dia mati secara ksatria. Beberapa lawannya, telah dapat ditewaskan pula. Itulah kejadian lima tahun yang lalu," kata Wirapati dengan tenang.
"Dunia ini sesungguhnya luas. Tak dapatlah engkau sekali menjejak sudah menemukan dasarnya.
Tetapi jika engkau penasaran kepadaku, nah majulah!"
Pringgasakti tertawa dingin. Katanya angkuh, "Kau mempunyai teman, suruhlah meng-kerubut aku."
Belum lagi Wirapati menyahut, Bagus Kempong telah berada di sampingnya. Kakak
seperguruannya, bagaimana bisa tinggal diam melihat dia hendak bertempur menentukan matihidup. Justru pada saat itu, majulah Sangaji. Pemuda itu berkata dengan tekad bulat. "Guru!
Biarlah aku maju terlebih dahulu."
Pringgasakti tertawa mendongak. Sambil meludah ke tanah, ia berkata, "Kau bocah ingusan hendak maju pula" Bagaimana aku dapat berlawanan dengan anak kemarin sore?"
Sangaji adalah seorang pemuda jujur. Apabila sudah diputuskan, tak gampang-gampang
merubah niatnya. Maka untuk memperkokoh kedudukannya, dia menjawab, "Adikmu itu,
sebenarnya akulah yang membunuh. Kematiannya tiada sangkut-pautnya dengan guruku."
Mendengar ujar Sangaji, Pringgasakti terperanjat seperti tersambar geledek. Tiba-tiba saja, dia menggerung tinggi dan meledak.
"Apa kauhilang" Apa kauhilang" Engkaulah yang membunuh adikku" Oah... oah... oah...
bangsat kecil! Kukirimkan kepalamu ke neraka biar digerogoti anjing-anjing iblis!"
Sebat luar biasa, ia terus menerkam. Di luar dugaannya Sangaji dapat mengelak manis sekali dengan ilmu petak Gaga Seta. Katanya sambil meloncat, "Tahan, biarlah kuberi keterangan terlebih dahulu. Lima tahun yang lalu, aku masih kanak-kanak. Tetapi hal itu bukanlah berarti, bahwa aku akan mengingkari tanggung-jawab. Adikmu menerkam aku dengan tiba-tiba. Karena
gugup aku menarik pelatuk pistol. Secara kebetulan menembus pusat. Adikmu terus terjengkang mati. Sekarang, baiklah kau memperhitungkan hutang-piutang itu kepadaku. Aku seorang laki-laki takkan melarikan diri mengungsi sampai ke ujung langit. Sebaliknya, engkau berjanji tak boleh lagi menuntut kesalahan tangan ini terhadap kedua guruku. Kausanggup?"
"Benarkah kau laki-laki sejati, sehingga takkan kabur?"
"Pasti tidak!" "Baiklah. Dengan ini aku menghapus semua tuduhanku terhadap kedua gurumu. Tapi, kau sekarang harus kubawa untuk kukorbankan kepada adikku."
"Abu," tiba-tiba Titisari menungkas. "Dia pun seorang laki-laki sejati. Bagaimana bisa kaubawa dengan begitu saja?"
"Adik kecil! Kauhilang apa?" Pringgasakti menegas.
"Dia adalah ahli waris satu-satunya dari pen-dekar Jaga Saradenta dan Wirapati murid Kyai Kasan Kesambi yang termasyhur," kata Titsari. "Sekarang ini, murid Kyai Kasan Kesambi hampir mewarisi kepandaian gurunya. Lihat, di samping pendekar Wirapati berdirilah seorang pendekar gagah. Dialah kakak-seperguruan-nya yang bernama Bagus Kempong. Mereka berdua jika mau,
akan dapat mengambil nyawamu dengan mudah. Tetapi ternyata mereka tak bergerak. Suatu
tanda, bahwa mereka mengampuni nyawamu.... Sebaliknya engkau tak mengenal tingginya udara.
Tanpa memedulikan mereka, kau lantas saja hendak menggondol muridnya. Bagaimana bisa
begitu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cuh, bah!" Pringgasakti meludah di tanah. "Kauhilang, mereka mengampuni aku" Eh, anak murid Kyai Kasan Kesambi! Gurumu pernah bertempur melawan aku selama tujuh hari tujuh
malam, sewaktu mudanya. Apa kalian benar-benar sudah mewarisi ilmu gurumu" Mari-mari kita mencoba-coba!"
"Apa perlu mereka melayani kamu," potong Titisari. "Melawan muridnya seorang diri, belum tentu engkau dapat memenangkan. Kaupercaya, tidak?"
Direndahkan demikian rupa oleh Titisari, sudah barang tentu meledaklah amarah Pringgasakti.
Dengan menggarit-garit tanah seperti laku seekor kuda, mulutnya berkaokan setinggi udara.
Kemudian membentak, "Jikalau dalam tiga jurus tak dapat aku merubuh-kannya sampai mampus, aku membenturkan kepalaku di sini biar hancur."
Meskipun hanya sekilas pandang, Pringgasakti pernah melihat Sangaji bertempur melawan
musuh-musuhnya, tatkala berada di lapangan hijau di Pekalongan. Diapun pernah mendengar
kabarnya. Karena itu, ia tak memandang mata terhadap pemuda itu. Hanya saja, sama sekali tak diketahuinya, bahwa pemuda itu sudah mewarisi sebagian besar ilmu sakti Kumayan Jati yang tiada duanya dalam dunia ini.
"Bagus! Semua orang di sini menjadi saksinya. Tapi tiga jurus sebenarnya terlalu sedikit. Aku beri kesempatan sampai sepuluh jurus," kata Titisari.
"Tidak," sahut Sangaji. "Akan kulawan dia sampai delapan belas jurus."
"Kauhilang apa" Delapan belas jurus?" Pringgasakti heran, kemudian tertawa panjang merendahkan. Katanya lagi, "Baiklah, kau cari mampus."
"E-hm, kau jangan tergesa-gesa berbesar kepala," tegur Titisari. "Lebih baik, semua kawan-kawanmu, suruhlah menjadi saksinya. Juga pengawalmu itu, suruhlah menghitung tiap jurusnya."
"Pengawal?" Pringgasakti heran. "Siapakah yang mengawal aku" Aku datang seorang diri.
Selama hidupku, tak pernah aku memelihara pengawal."
"Habis, siapakah yang berdiri di belakangmu itu" Dia mengenakan jubah abu-abu dan
bertopeng iblis." Cepat luar biasa, Pringgasakti memutar tubuh sambil mencengkeram. Orang yang mengenakan
jubah abu-abu itu, tetap berdiri bagaikan tugu. Tetapi benar-benar aneh. Entah bagaimana caranya mengelak, tahu-tahu dia lolos dari cengkeraman Pringgasakti. Wajahnya tak berubah.
Tetap kejang dan mengerikan penglihatan.
Pringgasakti terkejut. Dengan muka berubah ia minta penjelasan.
"Kausiapa" Apa yang kaukehendaki, sehingga selalu mengikuti aku?"
Suara iblis itu terdengar agak bergetar. Terang sekali, bahwa jantungnya lagi berdegup keras.
Tetapi orang berjubah abu-abu itu seperti tak menghiraukan. Dia tetap diam tak bergerak.
Pringgasakti kemudian menubruk dengan sebat. Tapi untuk kedua kalinya, dia gagal. Ia
mengulangi lagi dan kembali gagal pula. Nampaknya, orang itu sama sekali tak bergerak. Hanya saja, anehnya tak dapat kena serangan. Sudah barang tentu semua orang menjadi kaget heran.
Tanpa merasa, mereka terus mengikuti gerak-gerik orang berjubah abu-abu itu, yang bergerak mundur melintasi lapangan. Akhirnya, tegak kembali di antara deretan barisan pohon yang
merupakan sepetak hutan bersemak belukar.
"Engkaukah yang meniup seruling menolong aku?" tanya Pringgasakti menegas. Dan semua yang mendengar pertanyaan Pringgasakti terheran-heran belaka.
"Orang itu menolong Pringgasakti?" pikir mereka.
Belum lagi habis keheranan mereka, menjuruslah suatu kejadian yang tiada nalar. Mendadak saja orang berjubah abu-abu itu bergerak, tahu-tahu melesat lenyap menerobos semak belukar.
Dengan menggerung Pringgasakti memburunya. Tetapi meskipun Pringgasakti sebat luar biasa, ternyata yang diubernya tak dapat dikejarnya. Orang berjubah abu-abu itu benar-benar seperti hantu melenyapkan diri di siang hari bolong.
"Abu!" teriak Titisari, "Orang itu lenyap tak keruan."
Dengan berjumpalitan Pringgasakti mendarat di tempatnya semula di bawah sebatang pohon
agak rindang. Ia berdiri terheran-heran sambil mulut berkomat-kamit, "Benar-benar hebat. Aku tak mampu mengejarnya."
"Ya, kau tak mampu. Masakan engkau tak dapat mengejarnya?" Titisari membakar hatinya.
"Kejarlah dia! Dan jangan kau main raksasa ganas di sini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pringgasakti terhenyak sejenak. Wajahnya berubah-ubah. Nampaknya dalam hatinya sedang
berkecamuk suatu perjuangan yang hanya diketahuinya sendiri. Mendadak saja, dia mendongak sambil menggeram.
"Huahaaa... bocah! Siapa namamu yang membunuh adikku?"
Dengan tak mengenal takut. Sangaji menjawab, "Aku bernama Sangaji."
"Bagus! Bersiaplah menerima mautmu," ancam Pringgasakti. Tubuhnya nampak menggigil, sedang kedua belah tangannya tiba-tiba membersitkan segumpal asap tipis. Itulah suatu ilmu sesat yang terkenal dengan nama ilmu hitam janda Calon Arang yang sudah lama lenyap dari persada bumi. Barangsiapa yang kena tersentuh, akan terbakar kering seperti ayam terpanggang.
Tetapi ternyata dia tak bergerak. Hatinya penuh kebimbangan.
"Apakah engkau sudah bersiaga?" gertaknya. Ucapannya berkesan lebih di alamatkan kepada dirinya sendiri yang berada dalam kebimbangan. Terasalah di sini, bahwa keagungan gurunya yang diancamkan Titisari kepadanya, nampak berpengaruh pula.
"Ya, aku siap!" sahut Sangaji. Dan pemuda itu telah bersiaga menjaga diri dengan ilmu sakti Kumayan Jati.
Mendengar Sangaji sudah bersiaga, secepat kilat Pringgasakti menyerang dengan tiada ragu-ragu lagi. Tangan kanannya berkelebat dan menyusullah tangan kirinya dengan jari
mencengkeram seketika itu juga, angin berke-siur dengan menebarkan gulungan asap tipis.
Titisari dan Wirapati terperanjat sampai memperdengarkan seruan cemasnya. Bagus Kempong
yang berpribadi setenang air telaga tercekat pula hatinya. Mukanya berubah menjadi pucat.
Tetapi di luar dugaan, Sangaji dapat mengelak dengan tepat sambil melontarkan tangan
kirinya. Itulah jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang kedua belas. Pinggasakti kaget. Ia mendengar kesiur angin berderu. Cepat-cepat ia menghindar. Namun, kasep juga. Memang ilmu sakti
Kumajan Jati, adalah suatu ilmu yang tiada duanya di dunia. Dahulu, sewaktu Pringgasakti bertempur melawan Kyai Kesambi, ilmu itu belum terlahir. Karena itu, ilmu sakti Kumayan Jati masih asing bagi Pringgasakti. Tiba-tiba saja pundaknya kena terhajar dan ia terpental tiga langkah. Tetapi Pringgasakti bukanlah seorang pendekar lumrah. Ia terkenal sakti luar biasa.
Namanya menggetarkan dunia semenjak puluhan tahun yang lalu. Meskipun pundaknya terhajar, tubuhnya kuat bagaikan sebatang pohon baja. Ia hanya tergoyang selin-tasan, mendadak saja memental balik dengan menusukkan suatu serangan maut. Inilah suatu kejadian yang tak
terduga- duga. Sangaji terperanjat bukan kepalang. Cepat-cepat ia hendak menangkis dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati keenam. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Ia kalah cepat. Tiba-tiba saja lengan kirinya telah kena tercengkeram tangan Pringgaskti yang berasap. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, sampai ia memekik karena kesakitan. Ontunglah, dalam tubuhnya mengalirlah suatu getah sakti pohon Dewadaru yang tanpa disadarinya sendiri, lantas saja bergolak melindungi kulit dagingnya. Itulah sebabnya, ia masih bisa mempertahankan diri terhadap cengkeraman tangan Pringgasakti yang berasap.
Pada detik-detik berbahaya tangan kanannya terus saja bergerak. Jari telunjuk dan tengah berputar menusuk dada. Itulah gerak tipu jurus ke-tujuh ilmu sakti Kumayan Jati. Barangsiapa yang kena tertusuk kedua jari itu, pasti akan tertembus, meskipun andaikata berperisai baja.
Mestinya tangan kiri harus membantu menyodok. Tetapi sayang, lengan kirinya sudah
tercengkeram lawan. Maka ia hanya bergerak secara untung-untungan belaka.
Sebaliknya, Pringgasakti cukup awas dan berwaspada. Begitu ia mendengar kesiur angin yang mendesis, tahulah dia bahwa lawan lagi menggunakan suatu jurus ilmu sakti yang masih asing baginya. Meskipun demikian, tak mau dia melepaskan cengkeramannya. Ia hanya mengelak
dengan endapan tubuh. Tetapi, gerakan dua jari Sangaji, sebenarnya adalah suatu gerakan tipu daya. Mendadak saja berubah menjadi tinju dan menghantam pundaknya yang sebelah. Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati berpokok kepada tenaga dahsyat yang membutuhkan sasaran benturan tak bergoyang. Gagak Seta dahulu pernah memberi contoh, bagaimana dengan mudah
bisa mematahkan sebatang pohon sepelukan orang. Meskipun Sangaji belum bisa mewarisi daya tenaga ilmu sakti Kumayan Jati secara keseluruhannya, tetapi setidak-tidaknya tujuh bagian sudah dimiliki. Maka begitu pundak Pringgasakti kena hajar, menjeritlah iblis itu kesakitan. Tangan kirinya yang dibuatnya mencengkeram lengan Sangaji tergetar dan menjadi lemas. Ia hendak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertahan sekuat-kuatnya. Di luar dugaan, ilmu sakti Kumayan Jati mempunyai kodrat aneh luar biasa. Makin lawan bertahan, makin menjadilah kesaktiannya. Pringgasakti lantas saja kena terangkat naik dan dilemparkan jungkir-balik.
Sangaji sendiri sewaktu menyerang lawan, ia membarengi dengan merenggutkan lengan
kirinya. Itulah sebabnya, begitu Pringgasakti kena dipentalkan, ia terjengkang pula ke belakang oleh dorongan tenaganya sendiri. Dengan demikian, kedua orang itu terhuyung-huyung berbareng dan bersama-sama pula menubruk pohon yang berdiri di sekitarnya.
Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar mereka cukup besar dan kokoh. Meskipun demikian,
ternyata tak tahan menerima tubrukan mereka. Dahan-dahannya patah bergemeretak. Dan
mahkota daunnya runtuh berhamburan seperti sebuah tembok dinding tumbang berpuing.
Semua yang menyaksikan kejadian itu, kaget sambil berteriak kagum. Bagus Kempong saling
berpandangan dengan Wirapati. Mereka heran berbareng girang.
"Darimanakah muridmu memperoleh ilmu itu?" Bagus Kempong minta ketegasan kepada Wirapati dengan berbisik. Wirapati mengerling kepada Titisari. Pendekar itu mengira, Titisari-lah yang mengajari ilmu itu.
Pringgasakti yang sudah dapat berdiri tegak menyerang Sangaji kembali. Iblis itu kini, tak berani lagi meremehkan ) lawannya. Dengan angin menderu-deru, ia menyambar dengan ganas.
Hatinya gregetan dan penuh penasaran. Namun Sangaji dapat menjaga diri dengan rapat. Dengan demikian kedua orang itu bertempur dengan mengeluarkan kepandaiannya masing-masing.
Pringgasakti mengeluarkan ilmu ajaran Adipati Surengpati yang diandalkan. Sedangkan Sangaji bertempur dengan menggunakan ilmu Kumayan Jati, ajaran Gagak Seta. Secara tak resmi,
masing-masing kini mewakili keharuman nama gurunya masing-masing.
Sangaji sudah berhasil mempertahankan diri selama delapan belas jurus. Bahkan kini, dia bisa mencampur adukkan dengan sari-sari ilmu Jaga Saradenta, ilmu Wirapati dan ilmu petak Gagak Seta. Lima puluh jurus sudah lewat dengan cepatnya. Meskipun demikian, Pringgasakti belum berhasil mengalahkan. Bahkan untuk mendesak mundur saja, tak mampu.
Titisari menonton pertempuran itu sambil tersenyum-senyum bangga. Mukanya yang cantik
bertambah molek. Sedangkan Wirapati dan Bagus Kempong berdiri terheran-heran. Di pihak lain Sanjaya nampak pucat lesi. Dalam hatinya timbullah suatu pengakuan, bahwa dia kini bukan lagi tandingannya Sangaji yang disebutnya sebagai pemuda tolol.
Manyarsewu dan Cocak Hijau yang memandang rendah kepandaian Sangaji, jadi kecelik.
Mereka benar-benar kagum dan tergetarlah hatinya. Abdulrasim dan Sawungrana yang belum
kenal akan kepandaian Sangaji, merasa bersyukur bahwa mereka belum sampai mengadu tenaga.
Seumpama merekalah yang harus melawan pemuda itu, belum tentu bisa bertahan dalam tiga
jurus belaka. Sebaliknya, Yuyu Rumpung yang tadi kena ditumbangkan seperti pohon keropos, jadi terhibur melihat Pringgasakti tak dapat berbuat sesuatu ter-hadap Sangaji. Dengan demikian ia tak usah merasa malu.
"Wirapati," bisik Bagus Kemong, "Muridmu bukan main hebatnya."
Wirapati membalas pujian itu, dengan mengangguk... Seluruh perhatiannya terpusat pada
gerak-gerik mereka yang bertempur.
"Pringgasakti benar-benar hebat," pikirnya.
"Pantaslah, dia bisa bertahan menghadapi Guru selama 7 hari 7 malam... Tapi kini, Sangaji ternyata bisa mempertahankan diri."
Tiba-tiba terdengar Bagus Kempong berkata lagi, "Wirapati! Harus kuakui, bahwa aku belum tentu dapat melawan musuh guru kita dalam sepuluh jurus saja. Hm, tapi muridmu itu, bagaimana dia bisa begini hebat" Dengan cara bagaimanakah engkau bisa menyulapnya menjadi Dewa
Surapati?" Titisari yang mendengar bisik Bagus Kempong girang bukan main. Serentak ia berseru nyaring kepada Pringgasakti.
"Abu! Sekarang sudah enam puluh jurus lebih. Bukankah kamu harus menyerah kalah?"
Mendengar seman Titisari, Pringgasakti mendongkol hatinya. Pikirnya, celaka! Hampir seabad usiaku dalam dunia ini. Dan semenjak kanak-kanak aku belajar sesuatu ilmu. Tetapi aku tak sanggup mengalahkan bocah ini. Seumpama aku belum mengenal ilmu Adipati Surengpati, sudah semenjak tadi aku ditumbangkan. Memperoleh pikiran demikian tekadnya lantas menjadi bulat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biar langit runtuh, tak mau dia mundur selangkah pun. Maka seruan Titisari tak didengarkan lagi.
Ia memusatkan seluruh perhatiannya dan kemudian menyerang Sangaji lebih dahsyat lagi.
Sambaran tangannya membawa angin berderu-deru. Tangannya berserabutan. Kakinya berputar-
putar menendang ke seluruh penjuru. Bertempur dengan penuh nafsu sebenarnya merupakan
pantangan utama bagi setiap pendekar. Karena itu akan kehilangan keseimbangan, keselarasan dan pengamatan. Sepak terjangnya lantas jadi ngawur.
Di pihak sana, Sangaji memperhebat kewas-padaannya. Pemuda itu kecuali memiliki getah sakti Dewadaru, sudah menelan ilmu petak Gagak Seta. Gerak-geriknya cekatan, lincah dan tangkas.
Napasnya tetap teratur dan seolah-olah tiada mengenal lelah.
Tak lama kemudian, seratus jurus telah lewat. Setelah itu, Pringgasakti mulai bisa berpikir, la menenangkan diri, dengan membesarkan hatinya sendiri.
Enam puluh tahun yang lalu, pernah aku bertempur tiada henti selama 7 hari 7 malam.
Masakan aku kalah dengan bocah ingusan ini. Biarlah kuamat-amati dahulu corak ilmunya. Apabila tenaganya mulai habis, aku akan menyerang dengan sekali tumbang, katanya dalam hati.
Dengan berbekal pikiran ini, ia mulai mem-perhatikan gerak-gerik ilmu Sangaji yangberbahaya ternyata bermacam ragam. Pada saat-saat tertentu ia menjadi berbahaya, apabila pukulan yang aneh mulai membidik sasaran. Dan tubuhnya senantiasa tergetar, jika kena hantaman.
Memperoleh penglihatan ini, cepat-cepat ia meloncat mundur. Ia telah memperoleh warisan
sepertiga bagian ilmu meninju udara dari Adipati Surengpati. Maka ia segera merubah tata berkelahinya dari jarak jauh. Maksudnya hendak membuat Sangaji letih.
Memang ilmu sakti Kumayan Jati membutuhkan jarak pendek, apabila hendak memperlihatkan
kedahsyatannya. Tetapi sebenarnya apabila Sangaji sudah bisa mewarisi enam jurus terakhir yang merupakan bombar-demen ), dia takkan menemui sesuatu kesulitan. Sasaran jauh atau dekat, tidak merupakan soal lagi. Gagak Seta pernah membuktikan bahwa dia bisa menumbangkan
pohon dari jarak jauh. Hanya sayang, jurus terakhir belum diturunkan kepada pemuda itu.
Sepertii diketahui, jurus ilmu sakti Kumayan Jati berjumlah dua puluh empat. Sangaji baru mewarisi delapan belas jurus pukulan. Kecuali itu, latihannya belum masak pula.
Kedahsyatannya bagaimanapun juga, masih belum dapat menempati taraf yang dikehendaki.
Itulah sebabnya, lambat-laun tenaganya kian surut. Kelincahannya mulai nampak berkurang.
Dalam pada itu, matahari mulai condong ke barat. Pantulan sinar angkasa agak melemah.
Angin meniup berputaran dari utara ke barat. Mereka yang bertempur masih belum mau
mengalah. Tapi Sangaji benar-benar mulai nampak kendor. Sedangkan Pringgasakti yang sudah berpengalaman, makin lama makin nampak menghimpun tenaga terakhir.
Titisari jadi gelisah, menyaksikan kekasihnya makin kehilangan tenaga. Segera ia berseru nyaring lagi kepada Pringgasakti,


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Abu! Dua ratus jurus sudah lewat! Apakah kau tetap membandel tak kenal malu?"
Pringgasakti berlagak bisu-tuli. Ia menyerang Sangaji dengan jurus berantai yang tiada
memberi kesempatan lawan untuk bernapas. Melihat kebandelannya, Titisari akhirnya jadi bingung juga. Mendadak timbullah pikirannya, la berteriak kepada Sangaji, "Aji! Lihat!"
Kemudian ia meloncat-loncat kecil sambil menghampiri pohon. Waktu itu Sangaji segera
mengerling kepadanya. Melihat Titisari berlompat-lompatan kecil, tahulah dia menebak maksudnya. Maka segera ia merubah tata-berkelahinya. Kini dia menitik-beratkan perkelahiannya kepada tata-ilmu petak Gagak Seta sambil sekali-kali menghantam dengan ilmu sakti Kumayan Jati.
Pringgasakti jadi penasaran. Ternyata Sangaji kini tak mau lagi berusaha mendekati padanya dengan melontarkan serangan dari jauh. Dia bahkan makin menghindari dengan gerak-gerik
menjauh. Karena itu, terpaksalah Pringgasakti yang berganti menghampiri. Tapi terus saja, Sangaji mundur berputaran. Yang menjengkelkan ialah, apabila Pringgasakti menubruk maju, pemuda itu terus menangkis dengan salah satu jurus ilmu saktinya.
Pringgasakti jadi mendongkol. Hatinya dengki benar kepada Titisari. Dengan menggerung ia menubruk lagi. Sangaji meloncat mundur dan berdiri tegak di bawah pohon. Begitu tubrukan Pringgasakti tiba, ia berpura-pura menangkis. Mendadak saja, meloncat gesit dan hilang di balik pohon. Keruan saja, Pringgasakti menubruk batang pohon. Oleh hebatnya tenaga gempurannya, pohon itu sampai berderak patah. Dan pada saat itu, Sangaji membarengi dengan pukulan sakti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kumayan Jati, Pringgasakti kaget, namun sudah kasep. Pundaknya kena terhajar dan ia jatuh bergulungan di atas tanah.
Memperoleh pengalaman pahit itu, bukan main gusar hati iblis itu. Terus saja ia menghimpun tenaganya. Rasa nyeri tak diindahkan lagi. Dengan sebat ia melompat bangun dan terus
memburu. Waktu itu Sangaji belum memperbaiki tempat kedudukannya. Ia terperanjat, karena tak mengira musuh begitu gesit. Dengan untung-untungan ia melompat ke samping. Tak urung
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 6 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Kemelut Kerajaan Mancu 6
^