Pencarian

Bende Mataram 2

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 2


mengusap-usap mata, ia mencoba mengamat-amati Wirapati.
"Apa kau bukan termasuk salah seorang dari mereka?" Kata Wayan Suage dengan pelahan.
Wirapati menggelengkan kepala.
"Apa kamu yang datang hendak mengabarkan sesuatu kepada kami?"
Wirapati mengangguk. "Ah!" Wayan Suage kaget. Ia menegakkan lehernya. "Apa yang mau kau sampaikan kepada kami?"
"Rumahmu telah terkepung orang-orang dari Banyumas. Keselamatan keluargamu terancam bahaya," jawab Wirapati kering.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar jawaban Wirapati, mendadak Wayan Suage menangis seru. Dan di antara tangisnya
ia mengisahkan peristiwa terkutuk itu yang menghancurkan kesejahteraan keluarganya.
"Mencapai suatu martabat tinggi bukan tergantung pada pusaka sakti. Alat yang sempurna adalah kemampuan diri sendiri," kata Wirapati. "Kenapa orang mesti menggantungkan nasibnya kepada kekeramatan suatu benda yang takkan berkutik apabila tak digerakkan oleh tangan orang hidup?"
Tak terduga Wayan Suage merasa tersinggung oleh kata-katanya. Matanya menyala. Alisnya
tegak. Dan terdengarlah suaranya melontarkan isi hatinya.
"Apa kaukira aku mabuk martabat tinggi, kekuasaan besar kesaktian khayal"lantas ingin mengangkangi pusaka ini" Kau salah duga, Saudara! Aku bukan termasuk orang-orang macam
begitu." "Kenapa kau pertahankan pusaka itu begitu mati-matian?"
"Karena aku dipercayai orang untuk menyimpan dan merawatnya. Sekiranya kamu diberi
kepercayaan seseorang untuk menyimpan dan merawat sesuatu benda dan kemudian datanglah
orang-orang mau merampasnya, apa yang akan kau lakukan?"
Wirapati terdiam. Pikirnya, akupun akan mempertahankan diri demi kepercayaan itu. Matipun rasanya senang, karena pulang sebagai laki-laki sejati.
Wayan Suage manangis lagi. Kali ini tambah menyayat hati.
"Saudara," katanya. "Katakanlah kepadaku, bagaimana nasib yang lain?"
Melihat keadaannya yang menyedihkan, tak sampai hati ia mengabarkan nasib keluarganya.
Tetapi ia diminta memberi penjelasan, maka mau tak mau harus berbicara.
"Rumahmu terbakar habis menjadi abu. Itu pasti. Kulihat tadi, seorang perempuan yang mendekap anaknya dibawa lari si pemuda jahanam. Kemudian kudengar pula salah seorang
rombongan penari Banyumas mau merawat isteri yang mati kena senjata racun si pemuda. Si
anak kecil pastilah diselamatkan pula." Kata Wirapati dengan tenang.
"Bagaimana nasib saudaraku yang mati di dalam rumah?" potong Wayan Suage. Perhatiannya ditumpahkan kepada mayat Made Tantre dan bukan kepada anak-isterinya. Diam-diam Wirapati memuji keluhuran budinya.
"Selanjutnya tak tahulah aku. Kukira, mayatnya terbakar menjadi abu. Siapa yang mau bersusah payah menyingkirkan mayat seseorang, sedangkan seluruh isi rumah dalam keadaan
bahaya." "Ah!" Wayan Suage memekik. Tubuhnya terkulai dan jatuh menelungkup di atas tanah.
Wirapati gugup. Cepat-cepat ia memeluknya dan memangku kepalanya.
"Dia sudah mati sebelum terbakar!" serunya. "Biar tubuhnya terbakar habis, dia tak menderita lagi."
Perlahan-lahan Wayan Suage membuka matanya. Dengan suara lemah ia menjawab, "Aku
tahu... Aku tahu, semua akan kembali ke asal. Aku tahu, itulah upacara kematian yang sempurna bagi kepercayaan kami di Bali. Tapi aku tahu pula, dia mati penasaran ... dia mati penasaran ...
dia mati penasaran ..."
Kata-kata terakhir itu diucapkan berulang kali. Makin lama makin lemah. Kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Ia pingsan tak sadarkan diri.
Seringkali Wirapati menyaksikan orang mati karena sesuatu malapetaka. Tapi hatinya belum pernah terguncang seperti kali ini. Terasa benar dalam dirinya, betapa besar deru hati orang itu yang terguncang oleh sesuatu nasib buruk dengan tiba-tiba.
Dalam keadaan hening, mendadak pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah
berderapan. Langkah-langkah itu mendatangi dan mengepung gerumbulan pohon tembelekan.
"Ssst, mereka datang lagi," bisiknya kepada Wayan Suage yang sebenarnya tidak ada gunanya, la memapah tubuh Wayan Suage dan diletakkan ke dalam rimbun mahkota daun. Dia sendiri
kemudian bertiarap sambil menajamkan pendengaran.
Langkah-langkah itu sekonyong-konyong berhenti. Mereka saling berbisik, suatu tanda kalau tempatnya bersembunyi belum diketahuinya dengan pasti. Terdengar kemudian suara siul bersuit, dan disusul dengan langkah-langkah tadi.
"Celaka! Mereka datang," mendadak Wayan Suage berkata. Ternyata dia telah memperoleh kesadarannya kembali. "Bawalah aku lari ke sana."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita telah terkepung rapat," sahut Wirapati berbisik.
"Kalau hati-hati, pasti kita masih dapat lolos dari kepungan mereka."
"Dengarkan!" Wirapati memotong. "Yang datang adalah mereka yang menyelamatkan istri dan anak saudaramu. Serahkan pusaka itu kepada mereka sebagai alat penukar."
"Hai," kata Wayan Suage dengan suara bergetar. "Saudaraku telah mengorbankan diri demi pusaka ini. Akupun harus sanggup berkorban pula. Mati tak jadi soal. Kalau kau tak sudi
melindungi aku, biarlah tinggalkan saja aku di sini. Aku tidak akan menyesal dan tidak takut mati."
"Mengapa kamu begitu keras kepala" Apa untungnya?" Wirapati mendongkol.
"Aku sendiri tidak punya keuntungan sedikit pun. Tapi pusaka ini dipercayakan kepadaku agar kelak kuberikan kepada anak-anak kami. Setelah aku menyerahkan pusaka ini atas nama
saudaraku pula, aku lantas bunuh diri menyusul ke nirwana."
Wirapati tertegun mendengar kekerasan hatinya, la terharu dan kagum. Direnungi raut
mukanya. Terlihat dua lapis bibirnya yang mengatup rapat, suatu tanda dari keteguhan hati.
Sebagai murid Kyai Kasan Kesambi, dia dajar menghargai suatu kebajikan dan keluhuran budi.
Maka kesan-kesan yang diperolehnya itu lantas saja membakar semangat perwiranya. Wirapati memanggut. "Tenteramkan hatimu. Aku akan selalu rada di sampingmu." Betapa gembira rasa hati Wayan Suage tak terperikan. Jantungnya sampai berdetakan keras. Tapi justru oleh
kegoncangan itu, ia jatuh pingsan. Maklumlah, kekuatan tubuhnya makin melemah karena
darahnya terus saja mengalir.
Apa orang ini bisa tertolong nyawanya! pikir Wirapati. Kemudian ia memusatkan perhatiannya kepada mereka yang datang. Terdengarlah suara pohon gemeretakan. Seseorang telah
menendangnya patah. Wirapati kaget. Hebat tenaga orang itu, diam-diam memuji dalam hati.
Langkah-langkah itu makin lama makin jelas. Suara ribut terjadi di segala penjuru. Mereka mematahkan dahan-dahan dan membabat belukar. Tiba-tiba Wirapati melihat mereka
merentangkan tali. Cepat-cepat Wirapati berjaga-jaga. Tahulah dia, mereka akan membakar
semak-belukar yang berada di sekitarnya.
Wirapati berpaling kepada Wayan Suage yang masih belum berkutik. Apa yang harus
kulakukan" la melihat ke depan. Sebagian dari mereka berjalan berpencar. Makin lama makin mendekati gerumbulan tempat dia bersembunyi.
Aku harus membelokkan perhatiannya, pikir Wirapati. Memikir demikian, lantas saja dia
meloncat keluar dari gerumbulan dan menerjang. Mereka segera mengepung sambil
memperdengarkan siul bersuitan. Dan mau tak mau, terpaksalah Wirapati mundur mendekati
gerumbulan. "Kau serahkan tidak pusaka itu!" ancam salah seorang dari mereka.
"Pusaka apa yang harus kuserahkan?" Wirapati menyahut.
"Di mana orang itu?" dengus orang itu seperti tak mendengarkan ucapannya.
Ditanggapi demikian, Wirapati jadi sakit hati.
Orang ini tak memandang mata padaku. Perlu apa lagi aku meladeninya, pikirnya.
"Di mana orang itu?" pertanyaan itu terdengar diulangi.
"Dia sudah kutelan," jawab Wirapati.
Mendengar jawaban Wirapati, mata orang itu menyala. Bentaknya, "Aku maafkan
perbuatanmu, kenapa kamu bersikap kurang ajar?"
Wirapati tersenyum. Mendadak seorang yang berdiri di barat lantas menyerang. Wirapati tahu, mereka semua bertenaga besar. Tetapi ia ingin mencoba. Maka ia menangkis dengan mengadu
tenaga. Tubuhnya bergetar, tetapi orang itu terpental empat langkah.
"Bangsat!" makinya. Ia merangsak maju. Teman-temannya merapat pula. Dengan bersuit, mereka menerjang. Wirapati menjejak tanah dan melayani mereka dengan mengandalkan
kecepatannya. Sepuluh kali gempuran telah berlangsung dengan cepat. Baik Wirapati dan mereka, tak mau
mengalah. Mendadak terdengarlah suara suitan nyaring dua kali dari kejauhan. Mereka lantas mengundurkan diri dengan berbareng. Wirapati heran. Pandangnya menebak-nebak. Tak usah dia menunggu lama atau nampaklah batang-batang pohon telah terbakar hangus. Semak belukar dan ranting-ranting liar sebentar saja terbakar pula. Asap hitam bergulungan menutupi penglihatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Alangkah terkejut Wirapati. Tiba-tiba, api bisa membakar batang-batang pohon begitu cepat. Ia mengeluh dalam hati, matilah aku sekarang. Apa dosaku"
Teringatlah dia akan sungai yang letaknya tak jauh dari gerumbulan tempat persembunyiannya.
Dengan cepat ia lari ke sana. Sekonyong-konyong di antara bunyi gemeretak pepohonan yang sedang terbakar, terdengar suit panjang bersahut-sahutan. Wirapati menghentikan langkahnya. Ia menajamkan pendengaran.
"Ohoi! Mereka sudah terkepung rapat. Kenapa tak diserbu saja?" terdengar suara dari arah barat.
"Tunggu sampai mereka mati hangus. Pemuda itu tak gampang dirobohkan," sahut suara dari sebelah utara.
Hati Wirapati tergetar. Ia bimbang. Dijenguk-nya arus sungai yang keruh berlumpur. Ingin ia cepat-cepat terjun ke dalamnya, tapi teringatlah kemudian nasib Wayan Suage.
"Hai bangsat muda! Cepat menyerah! Kau akan segera kami tolong!" ancam suara dari arah selatan. "Apa perlu buang nyawa dengan sia-sia?"
Wirapati mulai mempertimbangkan ancaman itu. "Aku tak bermusuhan dengan mereka. Maksud mereka semata-mata hanya mau merebut pusaka itu. Apa perlu aku berkepala batu. Apa
keuntunganku" Baiklah kuserahkan saja, barangkali mereka mau mengampuni orang itu pula."
la menoleh ke arah gerumbulan. Tetapi pikiran yang lain segera mengendapkan. Bagaimana
mungkin aku berbuat begitu. Aku murid Kyai Kasan. Kalau aku mendengarkan ancaman mereka, berarti aku takluk. Apa nama perguruanku tak terseret juga" Ah, tak mungkin aku menurunkan martabat perguruanku.
Mendapat pikiran demikian, hilanglah ke-ragu-raguannya. Ia melesat ke gerumbulan. Niatnya sudah tetap. Ia hendak mendukung Wayan Suage dan akan bersama-sama terjun ke dalam
sungai. Sekiranya di ujung sana mereka menghadang dia takkan menyerah. Nama perguruan akan diutamakan. Kalau perlu akan meninggalkan Wayan Suage dan menerjang mereka sebisa-bisanya.
Selagi ia mau memasuki gerumbul, tiba-tiba ia mendengar suara suitan panjang tiga kali
berturut-turut. Kemudian terdengarlah suara teriakan bergema melintasi udara. Pohon-pohon tergetar oleh pantulan suara itu.
Wirapati tertegun. Suara apa itu, ia berteka-teki, mendongak ke udara. Suara teriakan itu berulang lagi. Kali ini lebih dahsyat. Tiba-tiba saja terdengarlah kesibukan di setiap penjuru.
"Hajar! Hajar! Hajar!" terdengar suara orang yang tadi mengancam. Dan lainnya segera menyambung. Suara mereka agak bergetar membayangkan kesan rasa takut.
Wirapati benar-benar tercengang. Tak habis mengerti mengapa mereka jadi ketakutan. Suara yang menggema tadi memang dahsyat Apa suara raksasa" Ah, apa mungkin raksasa hidup di
jaman ini. Apa itu suara binatang"
"Hajar datang! Celaka!" terdengar suara menjerit.
Hajar! Apa itu, Wirapati berteka-teki. Pada saat itu nyala api kian menjadi-jadi. Hawa sangat panas dan asap hitam bertambah menyesakkan pemapasan. Sekonyong-konyong ia mendengar
teriakan dahsyat lagi. Kali ini sangat dekat. Dia heran membayangkan kecepatan itu. Tadi suara teriakannya berada lebih kurang seribu langkah. Dalam tiga kali teriakan rasanya sudah begini dekat. Bagaimana mungkin, kalau bukan seekor burung garuda yang mempunyai kecepatan
terbang tak terkatakan. Kuda yang dapat lari sangat cepatpun takkan mampu menempuh jarak seribu langkah dalam sekejap. Tiba-tiba rasa herannya kian melonjak. Dengan suara gedebukan, terjadilah kesibukan seorang demi seorang terdengar jatuh terpental. Kemudian menyusul suara tertawa berkakakkan. Ah, manusia! Manusia macam apa"
"Hayo ngaku! Di mana dia?" terdengar bentakan gemuruh.
"Ampun ... ampun ..."
"Bagus! Kalian tak mau jawab."
Bluk! Terdengar orang menjerit dan tak bersuara lagi. Jelas orang itu mati kena hantaman.
Wirapati tak tahan lagi digulung asap dan myala api. Ia ingin segera memasuki gerumbulan menolong Wayan Suage. Tetapi sebatang pohon yang terbakar hangus roboh menimpa
gerumbulan. Ia melesat ke tebing dan menerjunkan diri ke dalam sungai.
Di seberang sana, suara gedebukan berlangsung sangat cepat. Berkali-kali orang yang disebut Hajar membentak-bentak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau tidak mau buka mulut, aku habisi nyawa kalian!"
"Dia tadi ... dilarikan ..."
"Siapa yang dilarikan" Pusaka atau tuan rumah?"
"Dia bersama-sama ...!"
Bluk! Orang itu menjerit dan mati terjengkang. Wirapati tak sempat lagi mendengarkan
kesibukan itu. Perhatiannya kini mengarah kepada gerumbul. Celaka, pikirnya. Gerumbulan
terbakar. Apa dia mati terbakar"
Dengan sekuat tenaga, ia mencoba merangkaki tebing. Tetapi panas api tak tertahankan lagi.
Terpaksa ia menjauhi dan akhirnya mendaki tebing seberang.
Ia melihat suatu keajaiban di daratan. Orang-orang yang mengepungnya tadi, menggeletak
berserakan di atas tanah. Bulu kuduknya menggeridik. Tak terbayangkan macam apa Hajar itu, yang begitu gampang membinasakan orang-orang Banyumas.
* * * ORANG yang disebut Hajar itu sesungguhnya Hajar Karangpandan tamu Wayan Suage dan
Made Tantre. Setelah dia berpesan kepada tuan rumah agar menyimpan kedua pusaka Pangeran Semono baik-baik untuk anak-anaknya, lantas saja dia pergi dengan suatu kecepatan
mengagumkan. Sengaja dia berbuat demikian, agar mengesankan tuan rumah. Pikirnya, kalau aku tak memperlihatkan sedikit kemampuanku, pastilah mereka akan menyiagakan pesanku. Sayang, kalau kedua pusaka keramat itu jatuh ke tangan orang-orang yang haus kekuasaan.
Pada petang hari sampailah dia di Dusun Bandangan. Niatnya hendak mengadakan perjalanan
ke timur. Mula-mula akan dijenguknya kota Magelang. Kemudian Yogyakarta. Dan dari sana akan kembali ke pertapaannya di kaki Gunung Lawu di Dusun Karangpandan. Di Desa Bandangan ia
berhenti di sebuah kedai kopi. Seharian dia kehujanan, dan pakaiannya basah kuyup. Meskipun tubuhnya kuat perkasa, tapi lambat-laun dingin air meresap ke ?ulit dagingnya. Untuk
menghangatkan tubuh, ia perlu minum kopi barang segelas.
Hari telah menjadi gelap. Awan hitam satang berarak-arak. Ia mendekati tungku api sambil menenangkan pikiran. Kopinya diteguknya sedikit demi sedikit dan dinikmati selama mungkin.
Mendadak selagi memikirkan perjalanan yang akan ditempuhnya, terdengarlah bunyi kentungan tanda bahaya. Ia menegakkan kepala. Di jalan terjadilah suatu kesibukan. Nampaklah kemudian dua orang polisi desa berlari-larian. Tertarik pada kesibukan itu lantas saja ia melompat ke jalan.
Ia adalah seorang pendeta bekas pendekar liar. Sejak muda gemar merantau dan berbuat
kebajikan untuk kepentingan umum. Ia benci Belanda dan menyatakan diri sebagai musuh
utamanya. Karena kebenciannya itu, seringkali ia membunuh orang-orang yang mau bekerja sama dengan Belanda. Lambat laun usianya kian menjadi tua, merubah peranannya sedikit demi sedikit.
Ia berusaha mengendalikan diri. Akhirnya menjadi seorang pende: ta sebagai penebus kesalahan-kesalahan yang lampau. Meskipun demikian hatinya yang penuh gejolak petualang tak gampang hilang dari perbendaharaan. Setiap kali melihat atau mendengar suatu peristiwa yang
bertentangan dengan kepentingan umum, selalu saja ia usilan. Itulah sebabnya, begitu ia melihat kesibukan dan mendengar bunyi kentung tanda bahaya terus saja mengejar dua orang polisi desa tadi.
"Kentung tanda bahaya apa itu?" tanyanya.
"Terang sekali tanda bahaya kebakaran dan pembunuhan," jawab polisi desa serempak.
"Di mana ada kebakaran dan pembunuhan?"
"Siapa yang tahu" Bunyi kentung dari arah barat."
Mendapat keterangan" itu, bergegas ia kembali ke kedai membayar kopi. Ia masih mempunyai sisa uang perjalanan lima kelip. Kemudian pamit dan lari ke arah barat.
Di sepanjang jalan ia mencari keterangan. Tatkala sampai di Desa Kamarankan, terdengarlah suatu warta yang mengejutkan.
"Desa Karangtinalang menjadi lautan api. Enggak jelas, rumah siapa yang mula-mula terbakar."
Kata seorang polisi desa.
Hajar Karangpandan mempercepat langkahnya. Dengan cepat sampailah dia di batas Desa
Karangtinalang. Benar saja, di sebelah Darat nampakiah api menjilat langit. Mendadak saja ia melihat salah seorang rombongan Banyumas yang telah dikenalnya dalam pertempuran tadi sore.
Ia bekuk orang itu dan diseretnya ke tepi sawah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang telah terjadi?" desaknya. Orang itu gemetaran ketika mengenal dirinya dan tak dapat menjawab pertanyaan Hajar Karangpandan dengan cepat. Tahulah dia akibatnya. "Tetapi Hajar Karangpandan tak dapat diperlakukan menurut pertimbangannya. Dia mendesak lagi sambil
memijat pundak. Orang itu berteriak kesakitan. Maka dengan terpaksa ia menerangkan
malapetaka yang telah menimpa keluarga Wayan Suage dan Made Tantre.
Seketika itu berubahlah wajah Hajar Karangpandan. Ia pucat bergetaran, karena sedih
bercampur marah. Hatinya begitu menyesal dan lantas saja menjadi sesak. Ia tahu, kalau
malapetaka itu terjadi akibat kedua pusaka sakti yang diberikan kepadanya.
"Siapa pemimpinmu" Gandi?"
"Gandi sudah mati terbunuh di tengah jalan."
"Lantas siapa?"
"Kodrat. Orangnya tinggi jangkung, tapi banyak pula di antara kami yang berperawakan tinggi."
"Sekarang dia di mana" Bilang?"
"Dia membawa seorang perempuan dan seorang anak."
Mendidih darah Hajar Karangpandan. la tak dapat mengendalikan amarahnya. Dan tanpa
ampun lagi. Orang itu dibantingnya mati ke tanah.
Seperti kemasukan setan ia memasuki desa langsung menuju rumah Wayan Suage dan Made
Tantre. Seluruh desa jadi sibuk. Laki-laki dan perempuan berlarian kalang-kabut. Kanak-kanak menangis dengan pekikan tinggi. Tapi Hajar Karangpandan tak mempedulikan itu semua. Otaknya sedang dirumun berbagai gagasan yang menggugat-gugat perlakuannya terhadap keluarga yang tadinya hidup tentram damai.
O, Hajar! Hajar! Dengan ramah tamah keluarga itu menyambut kedatanganmu. Tetapi mereka
kau celakakan akibat ulahmu. Kalau mereka tak kau beri kedua pusaka itu, pastilah sampai saat ini masih hidup aman damai. Apa yang akan kau lakukan sekarang" Pikirannya terus berputar tak tenang.
Digugat pikiran demikian, hatinya hampir meledak, la menyibakkan kerumunan penduduk yang lagi sibuk memadamkan api. Hatinya pilu tersayat-sayat. Rumah panjang yang tadi masih berdiri begitu megah, kini hancur berantakan jadi abu.
Mendadak terciumlah bau daging hangus. Tanpa menghiraukan pertimbangan yang lain, ia
melesat menerobos puing tiang-tiang rumah. Bara api diinjaknya berserakan.
Ia melihat beberapa mayat menggeletak hangus. Ah, pastilah ini akibat suatu pertempuran
seru. Kata hatinya hampir meledak. O Hajar, mengapa kamu menghancurkan kebahagiaan orang"
Karena tak tahan diamuk deru hatinya, ia menghajar tiang-tiang rumah sehingga menjadi roboh berserakan. Orang-orang yang melihat sepak-terjangnya, memekik terkejut dan undur serentak.
Tetapi ia tak mempedulikan. Segera ia membungkuki tiap mayat dengan pertolongan sebatang kayu yang masih menyala. Beberapa saat kemudian mayat Made Tantre telah dikenalnya. Ia
jongkok. Tangannya menggigil.
"Bukankah kamu yang bernama Made Tantre?" bisiknya. "Kamu seorang laki-laki seperti kata-katamu sendiri. Sekarang akulah saksinya, kamu benar-benar seorang laki-laki sejati. Di mana anak-istrimu" Di mana pula sahabat serta anak-istrinya" Made Tantre! Made Tantre aku amat menyesal berkenalan denganmu begitu cepat. Tak kukira, kamu berani mempertahankan kedua
pusaka itu semata-mata karena pesanku. Baik, selama hidupku aku takkan tentram sebelum dapat mewujudkan harapanmu. Akan kucari anak dan kedua pusaka itu."
Setelah berkata demikian, ia bersujud dalam. Mukanya kena abu dan hangus. Selang beberapa lama kemudian, ia menegakkan kepalanya. Mukanya berubah menjadi hitam kelabu. Dalam malam gelap, seluruh kepalanya tidak nampak lagi oleh penglihatan mata. Orang-orang kampung yang mengawasinya dari jauh meremang bulu romanya. Karena mengira dia penjelmaan setan tak
berkepala. Malam itu juga ia berangkat hendak mencari jejak. Tadi dia mendapat penjelasan, kalau
pemimpin rombongan Banyumas membawa seorang perempuan dan seorang anak. Tak seduli
anak dan istri siapa, ia harus merebut kembali. Dia berjanji dalam hati akan merawat dan mengasuhnya sebaik mungkin sebagai penebus kesalahan.
Secepat kilat ia menuju ke barat. Ia berputar-putar dari desa ke desa. Dugaannya keras, kalau rombongan dari Banyumas belum meninggalkan Desa Karangtinalang jauh-jauh. Bukankah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keluarga Wayan Suage tidak ada di lengah puing rumahnya. Entah mereka sela-t atau tertawan, pastilah kedua pusaka itu masih ada padanya.
Dugaannya tepat. Waktu itu Kodrat"si tinggi jangkung"berada di gardu di dekat Desa
Kaliputih. Ia lagi memeriksa Rukmini dan Sangaji untuk mendapat keterangan tentang kedua pusaka Pangeran Semono. Empat orang bawahannya disuruhnya berjaga di sekitar gardu,
sedangkan yang lain diperintahkan menjejak lenyapnya Wayan Suage. Mendadak ia mendengar
salah seorang penjaganya menjerit tinggi. Terkesiap ia menjenguk ke luar dilihatnya seseorang yang berpakaian pendeta lagi membekuk penjaga itu. la kenal bahaya dan cepat-cepat mendekap mulut Rukmini dan Sangaji. Kedua orang itu kemudian diringkusnya cepat dan digulingkan ke dalam kotak penyangga gambang (sejenis tetabuhan). Kemudian ia melompat keluar. "Siapa?"
bentaknya. Hajar Karangpandan sedang menghajar ketiga penjaga yang lain sekali rampung. Mendengar
bentaknya itu, segera ia menghampiri.
"Bilang, siapa yang bernama Kodrat?"
Belum lagi Kodrat membuka mulut, lengannya kena disambar dan ditekuk ke punggung.
Alangkah sakit! Tak berani dia berkutik. Ia berpura-pura bersikap lemah seolah-olah seorang yang tak mempunyai kepandaian berkelahi. Kemudian berkata merintih, "Sang pendeta mencari siapa?"
"Orang yang bernama Kodrat si jahanam itu. Apa betul kamu?"
"Bukan, bukan! Dia pemimpin kami," sahut Kodrat dengan licik. "Dia... dia... ke sana dengan membawa seorang perempuan dan anak..."
Hajar Karangpandan kena dikelabui. Dikendorkan terkamannya tetapi pandang matanya masih
tajam luar biasa. Kodrat memanggil salah seorang penjaganya yang tadi kena hantam Hajar Karangpandan.
Dengan suara gugup dia berkata, "Tolong antarkan sang Pendeta ini ke Kodrat!"
Penjaga yang kesakitan itu terlongok-longok keheranan. Dia belum dapat memahami akal
pemimpinnya. "Cepatlah!" desak Kodrat dengan suara khawatir. "Cepat antarkan!"
Ia mendorong penjaga itu dan dipaksa membawa Hajar Karangpandan pergi. Kemudian
memberi perintah kepada penjaga yang lain. "Ikuti dia dan serang pendeta itu!"
Setelah memberi perintah demikian, cepat-cepat ia memanggul kotak penyangga gambang.
Dan lari memasuki kepekatan malam. Ia tahu, pendeta itu pasti akan mencarinya lagi. Melihat tenaganya yang besar tidaklah sukar membekuk keempat bawahannya tadi. Dan mau tak mau
mereka pasti mengaku siapa dia sebenarnya.
Berpikir demikian, ia jadi ketakutan. Larinya dipercepat. Dalam sekejap saja, Desa Kaliputih telah ditinggalkannya jauh. Taksirnya, kalau tidak ada halangan lagi Desa Selakrama yang terletak di tepi jalan Wonosobo"Banyumas akan dapat dicapainya sebelum tengah malam. Tetapi Sangaji yang diringkusnya di dalam kotak penyangga gambang mulai merintih. Akhirnya malahan
menangis ketakutan. "Diam!" bentaknya. Karena dibentak Sangaji tidak diam. Sebaliknya tangis Sangaji makin keras.
Dia pun memanggil ibunya amal berisik.
"Diam!" bentak Kodrat lagi. "Kalau tak mau diam, kulempar ke kali. Ayo, diam tidak!"
Sangaji kian meronta mendengar bentakan itu. Seumur hidupnya, belum pernah dia dibentak
ayah-bundanya. Keruan saja bentakan itu membuatnya menggigil ketakutan, la mulai meronta-ronta di dalam kotak penyangga gambang. Kodrat jadi kuwalahan.
Akhirnya Kodrat berbicara pada Rukmini dengan nada mengancam, "Hai suruhlah anakmu
menutup mulut! Cepat!"
Rukmini yang semenjak dilarikan dari rumah kehilangan iman, tidak menyahut. Hatinya amat berduka, dendam dan benci kepada semuanya. Tetapi hati ibunya tidak begitu saja terenggut hilang. Jika terdengar anaknya menangis, ia memiringkan badan. Rasa hatinya kian tersayat-sayat.
Dipipitkan badannya ke anaknya, tetapi mulutnya tak mampu bicara.
"Hai! Kau dengar tidak tangis anakmu" Bagaimana kalau sampai terdengar orang, apa jadinya!"
bentak Kodrat jengkel. Ia menunggu. Rukmini tidak menyahut. Hanya kotak penyangga gamelan terasa bergoyangan. Tetapi sangis si anak kian menjadi-jadi. Ia mendongkol. Diturunkan kotak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penyangga gamelan dari pundaknya, kemudian diletakan di tanah, ia membuka ringkusannya dan menampar pipi Sangaji.
"Mengapa kautampar dia," bentak Rukmini.
"Kau dapat menutup mulutnya tidak" Suruhlah dia diam!" sahutnya tak peduli. "Kalau tidak, kulempar dia ke kali. Apa rugiku?" Perkataan Kodrat bukanlah ancaman semata. Dia dapat berbuat begitu. Karena pertimbangan itulah, terpaksa Rukmini membujuk anaknya.
"Jangan kau ringkus dia," kata Rukmini setengah meminta belas kasihan.
"Apa kau bilang?" bentak Kodrat. "Mestinya harus kusekap mulutnya dengan kain."
Rukmini terdiam. Air matanya meleleh, la benci laki-laki itu. Tetapi ia tak berdaya melawannya.
Tenaganya terasa hilang sebagian karena peristiwa yang maha dahsyat baginya.
"Sekarang dengarkan!" kata Kodrat lagi, "Kalian kupanggul lagi. Tetapi jika anakmu menangis, terpaksa kalian berdua kuajak jalan kaki. Kau bisa memikirkan akibatnya. Langkahku panjang dan cepat. Kalian akan kupaksa jalan berlari-larian. Dan kalad anakmu rewel di sepanjang jalan, kubunuh diaj Kaupaham ini?"
Rukmini diam tak menyahut. Hatinya hambar. Ia bertekad ingin ikut mati juga, jika anaknya dibunuh.
"Hai dengarkan lagi!" kata Kodrat mengesankan. "Mulai sekarang kau harus tunduM pada semua perintahku. Membantah sedildi atau mengingkari atau mengkhianati, tanggung sendiri akibatnya. Aku terpaksa memJ bunuhmu."
Rukmini memalingkan muka. Anaknya di-l dekapnya erat. Pandangnya mengarah ka jauh
sana"ke arah desanya. Hatinya ter-j guncang manakala teringat akan nas suaminya yang mati di tengah rumah. Tad| ia tak melihat nyala api membakar rumahnnya. Seandainya dia melihat itu, belum tentu dia sanggup berdiri lagi.
Pada saat itu, ia dan anaknya dinaikkan lagi ke dalam kotak penyangga gambang. Kali ini, Kodrat tak meringkusnya. Ia membiarkan bebas, hanya saja mereka dipaksa agar berbaring.
Dengan demikian takkan menimbulkan kecurigaan orang.
Kotak penyangga gambang itu kemudian cipanggulnya dan ia meneruskan perjalanan,
langkahnya dipercepat. Tujuannya ke Desa Selakrama. Pikirnya, kalau aku berhasil mencapai batas daerah Banyumas sebelum fajar hari, amanlah sudah. Tapi kalau si jahanam itu tiba-tiba
mengejarku... Apa yang harus kulakukan" Otaknya lantas saja bekerja. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pamannya yang bertempat tinggal di Desa Segaluh. Pamannya berna-ma Jaga Saradenta.
Dia bekas seorang kepala pasukan tentara Banyumas dalam perang Giyanti. la benci kepada
Belanda. Benci juga kepada semua yang berbau Kerajaan Su-suhunan Surakarta. Maklumlah,


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai salah seorang prajurit Pangeran Mangkubumi ia berpaham memusuhi Susuhunan Paku
Buwono II. Dia terkenal berani, tangkas dan sakti. Setelah perang selesai, ia diangkat menjadi Gelondong (kepala lima sampai sepuluh kepla kampung Surakarta) Segaluh. Kodrat adalah
seorang laki-laki yang berotak licin. Pikirnya, aku adalah bawahan sang Dewaresi yang bekerja sama dengan Belanda. Tapi kalau aku bisa menempatkan diri, pamanku pasti mau menjadi
pelindungku. lebih baik aku ke sana saja. Kalau si jahanam datang, biarlah Paman yang
menghadapi. Mendapat ide seperti itu, bangkitlah semangatnya. Dikerahkan tenaganya sekuat-kuatnya. Dan menjelang jam dua, sampailah di rumah Jaga Saradenta.
Pintu rumah segera digedornya, la mengancam Rukmini juga agar bersikap membantu apa
yang dikatakan. Belatinya diperlihatkan. Bisiknya tajam, "Awas! Inilah bagianmu."
Kodrat pandai bermain sandiwara. Begitu ia melihat pamannya membuka pintu, lantas saja dia berlutut dan merangkul kedua lututnya. Katanya dengan menangis sedu-sedan, "Tolong, Paman tolong!"
"Hai, kenapa!" Jaga Saradenta kaget. Dua tiga tahun, dia tak pernah bersua dengan kemenakannya. Tahu-tahu, ia diratapi demikian rupa. Hati siapa yang tak terguncang.
"Aku dihina orang. Aku dikejar orang. Aku mau dibunuhnya."
"Ah, siapa berani menghinamu. Siapa berani mengejar. Dan siapa yang mau membunuhmu, hamba Adipati Banyumas. Tidak ada yang berani kurang ajar padamu."
"Dia orang asing, Paman. Dia mengenakan pakaian pendeta. Tetapi pendeta cabul. Pendeta begundal kompeni Belanda yang menjual dirinya menjadi mata-mata."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kena betul permainan ini di dalam hati Jaga Saradenta. Segera ia membawa kemenakannya
duduk di kursi. Pada saat itu isterinya ikut terbangun pula. Melihat kemenakannya menangis sedu-sedan, sibuklah dia tak keruan. Buru-buru ia menyalakan lampu besar. "Kenapa, kenapa," katanya.
"Biarlah dia bicara, Bu," kata Jaga Saradenta.
Kodrat memanggut-manggut cepat. Isaknya dinaikkan dan ia berlutut lagi di hadapan
pamannya. Melihat itu, isteri Jaga Saradenta tahu diri. Segera ia mengundurkan diri, memasuki dapur memasak air teh.
"Nah, katakan!" desak Jaga Saradenta.
"Tetapi apa Paman mau menolong?" ujar Kodrat. "Celakalah nasibku, kalau Paman tak peduli."
Terangkan dulu. Biar kupertimbangkan." Jga Saradenta terpengaruh.
Tadi sore aku dolan ke rumah pelara-lara (penglipur lara). Di sana aku berjumpa dengan
seorang perempuan cantik yang berasal dari Wonosobo. perempuan itu membawa anaknya ..."
"Hm ... macammu!" bentak Jaga Saradenta. Kalau ibumu masih, bagaimana kamu berani memandang mukanya. Apa untungnya mengumbar nafsu birahi begitu rupa" Bedebah!"
"Dengarkan dulu Paman," rengek Kodrat mengambil hati. "Sebenarnya tak biasa aku dolan ke rumah pelara-lara. Aku datang ke sana semata-mata karena suatu laporan. Katanya di rumah itu ada seorang perempuan yang dirundung nasib buruk terpaksa menjua diri. Ternyata laporan itu setengah benar. Perempuan dan anaknya itu sebenarnya terculik oleh seorang bangsat yang
membutuhkan uang. Dia lantas dijual kepada pengurus rumah pelara-lara. Menyaksikan perlakuan itu. aku tak bisa tinggal diam. Kemudian, perempuan dan anaknya itu kurampas dan kulindungi.
Tetapi pengurus rumah pelara-lara itu bilang, kalau perempuan itu disediakan untuk kepentingan serdadu-serdadu Belanda. Sebentar malam, mereka akan datang, pengantarnya telah dikirimkan terlebih dahulu."
"Lantas!" Jaga Saradenta tak sabar. Darahnya mendidih mendengar kisah rekaan itu.
"Aku bilang tak takut dan kubawa perempuan dan anaknya itu. Niatku mau kuantarkan ke Wonosobo. Mendadak aku dikejar seorang yang berpakaian pendeta. Si begundal kompeni. Aku diancam, dihardik dan akhirnya kutempur dia sebisa-bisanya. Jahanam betul dia kuat seperti kerbau. Lenganku hampir dipatahkan."
"Ah!" potong Jaga Saradenta. Darahnya meluap. Tetapi pikirannya dapat berjalan tenang. Ia melemparkan pandangan melihat Rukmini dan Sangaji, ia menuding, "Apa dia yang kau
maksudkan?" , "Ya ... dialah gara-gara peristiwa ini. Tapi niatku pasti. Bagaimana pun juga, akan kuantarkan dia sampai ke kampung halamannya."
"Apa betul?" teriak Jaga Saradenta kepada Rukmini.
Pandang mata Rukmini bergetaran. Ia ragu-ragu. Kemudian ia melihat mata Kodrat menyala
tajam. Tangannya meraba hulu hatinya. Maka dengan terpaksalah ia mengangguk.
"Janganlah Paman desak begitu rupa!" Kodrat menyesali. "Peristiwa yang menimpa dirinya, sudah cukup menghina kehormatannya."
Jaga Saradenta menunduk dalam. Pikirnya, benar juga ujar bocah ini. Tak sopan aku mendesak dia agar bicara.
"Sekarang di mana pendeta bangsat itu?" icatanya kepada Kodrat.
"Tadi dia mengejar-ngejarku. Pasti dia segera datang ke sini."
"Hm ..." Jaga Saradenta berpikir keras. "Dia seorang pendeta, katamu" ... hm, mustahil dia berbuat begitu. Mustahil dia di rumah pelara-lara."
"Aku bilang dia mengenakan pakaian pendeta. Apa dia benar-benar seorang pendeta, hanya iblis yang tahu. Bukankah seorang begundal kompeni bisa saja mengenakan pakaian yang
dikehendaki." Kata-kata Kodrat masuk akal. Maka orang tua itu benar-benar terjebak. Serentak ia berdiri sambil berkata memerintah. "Bawalah dia masuk! Biar dia istirahat di bilik sebelah. Lantas kau ikut aku keluar."
"Paman! Biarlah aku bersembunyi di dalam saja ... A a aku takut benar pada bangsat itu..."
"Kucing!" maki Jaga Saradenta. "Bagaimana mungkin aku punya kemenakan yang licik?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Kodrat tak mengenal malu. Sudah terlanjur basah kuyup. Permainan tidak boleh berhenti di tengah jalan. Segera dia berkata minta belas-kasih. "Bunuhlah aku di sini saja. daripada menanggung malu di depan pendeta cabul. Tadi dia telah memakiku begitu rupa. sampai-sampai nama bapak-ibu, Paman dan ia semuanya ... semuanya diseret-seret. Mulut pendeta cabul itu begitu kotor!"
Jaga Saradenta diam menimbang-nimbang. Akhirnya diluluskan permintaan kemenakannya.
Rukmini dan Sangaji dipanggilnya dan oiantarkan masuk ke bilik.
Kodrat sangat gembira. Dia tak usah mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan yang
merugikan. Segera ia memasuki bilik itu juga sambil menjaga Rukmini serapi mungkin.
"Kodrat!" tiba-tiba terdengar Jaga Saradenta berkata. "Kuatkah pendeta itu?"
"Dia kuat seperti kerbau. Tinjunya tak terawan."
Jaga Saradenta diam agak ragu-ragu. Katanya lagi, "Baiklah, aku akan menghadapinya
sebisaku. Tapi seumpama aku kalah, larilah kau ke timur. Carilah sebuah gunung yang terletak di sebelah utara Bagelen. Gunung itu bernama Gunung Damar. Di kaki Gunung Damar sebelah timur ada dusun bergama Sejiwan. Aku mempunyai seorang sahabat bernama Kyai Kasan. Dia seorang sakti. Di dusun itu ia membuka sebuah perguruan. Muridnya lima orang. Jika kamu datang atas namaku, pasti dia mau menolong kesulitanmu. Kau dengar pesanku ini?"
"Ya, Paman," sahut Kodrat sambil menelan ludah. "Tetapi aku yakin, Paman dapat mengalahkan bangsat itu."
Jaga Saradenta kemudian keluar pintu. Dia berdiri di tengah serambi depan sambil menyalakan pelita. Waktu itu Desa Segaluh sunyi sepi. Alam seolah-olah berhenti berbicara Tiba-tiba ia mendengar langkah orang, ia melompat dan lari ke pekarangan. Ditajamkan matanya. Dan
nampaklah seorang laki-laki berpakaian pendeta menghampiri pintu pagar. Dialah Hajar
Karangpandan. Setelah ia disesat-sesatkan oleh orangnya Kodrat, lambat-laun sadarlah dia. Segera dia
membentak, "Di mana dia?"
"Dia siapa?" orang itu membalas bertanya.
"Kodrat." "Kodrat" Masyaallah ..." bawahan itu terbeliak. "Tuan mencari Kodrat" Bukankah Tuan sudah berjumpa?"
"Yang mana?" Hajar Karangpandan menjadi gusar.
"Tadi... yang Tuan bekuk di depan gardu."
"Ah! Kenapa kalian tak mau bilang! Jahanam!" maki Hajar Karangpandan. Dengan penuh kemarahan dihajarnya mereka habis-habisan. Kemudian ia lari mengejar.
Sebagai seorang yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam perantauan, dengan cepat
ia dapat mencium jejak buruannya. Dia hanya tertinggal beberapa saat. Tatkala Kodrat berada di dalam rumah Jaga Saradenta, dia telah melintasi Desa Segaluh. Se-Dentar dia berputar-putar. Ketika jejak Kodrat tak diketemukan, yakinlah dia kalau Kodrat pasti berada di sekitar Desa Segaluh. Kembalilah dia ke desa itu dengan niat hendak mengaduk-aduk seluruh penduduk.
Untuk melaksanakan niatnya itu, ia datang ierlebih dahulu ke Gelondongnya. Ia hendak minta ijin. Secara kebetulan Gelondong Jaga Saradenta telah menghadangnya. Begitu dia ~iasuk ke halaman, mendadak saja Jaga Saradenta menyerangnya tanpa berbicara.
Cepat ia mengelak dan kemudian membalas menyerang, la tahu, penyerangnya mempunyai
tenaga yang ampuh. Tetapi tak dihiraukannya. Begitulah, maka bentrokan tangan tak dapat
dihindarkan. Masing-masing terkejut. Jaga Saradenta tergetar mundur lima angkah sedangkan tubuh Hajar Karangpandan terguncang-guncang.
Jaga Saradenta lantas saja merasa dirinya takkan dapat merebut kemenangan. Meskipun
demikian, ia menyerang juga. Hajar Karangpandan menggempurnya lagi. Dan sekali lagi dia
terpental mundur. Kali ini lebih hebat. Ia jatuh tertelungkup mencium tanah. Belum lagi dia berdiri, Hajar Karangpandan telah mencekik lehernya.
"Kenapa kamu menerjang aku tanpa bicara?" tegurnya.
Jaga Saradeta tergugu. Direngguknya ceku-kukan itu, "Kau seorang pendeta memasuki
pekarangan orang di tengah malam, apa maksudmu?" sautnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku mencari buruanku."
"Siapa buruanmu?"
Hajar Karangpandan menimbang-nimbang. Niatnya tadi mau minta ijin kepada Gelondong
Dusun Segaluh diurungkan karena ketinggian hatinya. Ia meludah ke tanah.
"Aku tak bermusuhan dengan kamu. Tapi kamu menyerang. Bagus! Kalau kau masih
penasaran, lain hari aku datang ke sini. Sekarang aku tak punya waktu lagi."
Jaga Saradeta sadar, ia bukan tandingan si pendeta. Maka ia berlaku sabar.
"Tuan seorang pendeta. Pastilah hati Tuan lebih lapang dan lebih berbudi dari padaku. Maafkan perlakuanku tadi Tuan. Aku Gelondong Dusun Segaluh. Sudah beberapa waktu lama, dusun ini dihampiri perusuh-perusuh. Karena itu aku selalu mencurigai orang-orang yang berjalan di tengah malam."
Hajar Karangpandan tertawa dingin. Pandangannya menyelidiki ke dalam rumah.
"Bagus!" dengusnya. "Seorang Gelondong menyembunyikan seorang buruan. Apa itu benar?"
"Siapa buruan Tuan?" bantah Jaga Saradenta. "Memang aku mempunyai seorang tamu, tetapi dia kemenakanku."
Hajar Karangpandan diam, ragu mendengar ujar Jaga Saradenta.
"Orang itu membakar rumah dan membunuh orang. Dia melarikan orang pula ..." katanya sambil mendongakkan kepala.
"Siapa dia" ..." Jaga Saradenta terkejut. Tetapi sandiwara Kodrat tadi masih saja mempunyai pengaruh dalam hatinya, la mensiasati rajar Karangpandan. la mecurigai kelicinan orang. Lantas saja berkata meneruskan, "Di mana ada kebakaran dan pembunuhan?"
"Kalau kau tak percaya kata-kataku ini, ayo ickut! Di sana ... di timur ... di Desa Karangtinalang.
Hm ... kau seorang Gelondong. Baiklah aku menaruh percaya kepadamu, tetapi kalau buruanku itu ternyata bersembunyi di rumahmu, akan kubunuh seluruh keluargamu".
Setelah berkata demikian, sekali melesat ia hilang dari pandangan. Jaga Saradenta tertegun keheranan. Kagum dia akan kesaktian tamunya. Pikirnya, dia tak berniat jahat, kalau dia mau pastilah nyawaku sudah melayang... barangkali Kodrat yang salah tafsir.
Memikir begitu, lantas saja dia memasuki rumah. Waktu itu Kodrat telah lama mengintip di belakang pintu. Melihat Hajar Karangpandan meninggalkan halaman, legalah hatinya. Ia terus menyongsong pamannya.
"Mengapa bangsat itu Paman biarkan berlalu?"
"Bedebah! Sini kamu!" bentak Jaga Saradenta. "Aku bukan bangsat penakut, tetapi aku membutuhkan keterangan yang benar. Sekarang ikut aku."
"Ke mana?" Kodrat gemetaran.
"Ke Karangtinalang," sahut Jaga Saradenta. "Perempuan itu biar ditemani bibimu. Aku tanggung dia takkan terusik oleh siapa pun juga."
Setelah berkata begitu, ia menyeret Kodrat ke luar pekarangan. Kemudian larilah ia secepat angin. Dan mau tak mau, Kodrat terpaksa ikut berlari pula. Di bawah pengawasan pamannya dia tak bisa main gila lagi.
Pada saat itu Hajar Karangpandan telah meninggalkan Desa Segaluh. Ia kembali ke Desa
Karangtinalang. Tujuannya hendak mencari jejak yang lain. Dia telah tahu di mana Kodrat berada.
Jaga Saradenta telah mengabarkan perihal seorang kemenakan yang datang di rumahnya. Siapa lagi kalau bukan dia. Dengan demikian, dia tinggal minta pertanggungjawaban Jaga Saradenta.
Jika melindungi kemenakannya, ia sudah mempunyai keputusan. Seluruh keluarga Jaga Saradenta akan dihabisi nyawanya.
Tatkala sampai di Desa Karangtinalang ia menjenguk tempat dia menghajar orangnya Kodrat.
Dilihatnya ia masih menggeletak di tanah dengan mengerang-ngerang kesakitan.
"Nah, dengarkan!" bentaknya.
Mendengar suaranya, mereka menjadi ketakutan. Tetapi mereka tak berdaya apa pun juga.
Terdengar suara Hajar Karangpandan. "Kalian masih kuampuni. Sekarang aku minta keterangan yang jelas. Siapa yang bicara benar akan kuampuni. Yang tidak, akan kudepak mati. Tahu!" Ia berhenti sejenak. "Di mana teman-temanmu yang lain" Jawab!"
la menghampiri orang yang menggeletak di sebelah utara. Orang itu diam tak menyahut. Tak mau dia berkhianat. Lagi pula apa gunanya" Tadi dia ikut menerangkan siapa Kodrat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akibatnya ia mendapat ganjaran begitu rupa. Sebaliknya Hajar Karangpandan tak sabar. Sekali depak matilah orang itu.
Menyaksikan keganasannya, mau tak mau yang lain jadi terpengaruh. Yang menggeletak di
sebelah barat segera berkata sebisa-bisa-nya, "Mereka bertugas mengikuti jejak. Pusaka di bawa lari."
"Bagus! Kau kuampuni," kata Hajar Karangpandan. Setelah berkata begitu dua orang lainnya didepaknya mati. Sedang yang berbicara tadr diinjak lehernya hingga pingsan tak sadarkan diri.
Hajar Karangpandan menghampiri rumah Wayan Suage dan Made Tantre. la menyelidiki tapak-
tapak kaki. Sebentar saja dia telah menemukannya, tetapi hari masih saja gelap gulita. Meskipun demikian, ia tak putus asa. Di waktu fajar hampir menyingsing, nampaklah tapak-tapak kaki di mana-mana dengan cukup jelas. Segera ia melesat dengan kecepatan yang tak terlukiskan.
Beberapa waktu kemudian, sampailah dia di atas gundukan tinggi. Pandangnya menyapu, la
melihat titik-titik hitam. Itu mereka! Mendadak dilihatnya asap mengepul tebal. Hutan yang berdiri berleret di kaki pegunungan nampak terbakar.
"Jahanam! Apa mereka sedang membakar tempat persembunyiannya Wayan Suage," ia
khawatir. Untuk menghambat pembakaran hutan itu, ia mengumpulkan seluruh tenaganya.
Napasnya dipusatkan ke perut.
Kemudian sambil mendongak ke udara ia berteriak tak ubah Guntur Sejuta (nama ilmu
kesaktian). Suaranya bergelora menusuk udara. Burung-burung yang menginap di atas pohon-
pohon, kaget oeterbangan. Batang pohon-pohon tergetar pula. Daun-daun kering runtuh
bertubrukan. Kemudian larilah ia amat pesat. Dia mengulangi teriakannya dua kali lagi. Pada teriakan yang ketiga kalinya, sampailah dia di tepi hujan. Segera ia menurunkan tangan ganas untuk
membangunkan pengaruh tertentu. Empat orang mati terjengkang sekaligus.
"Mana Wayan Suage?" Ia membentak sambil membekuk korbannya yang kelima.
"Siapa Wayan Suage?" sahut orang itu menggigil. Orang itu benar-benar belum mengenal nama buruannya. Tapi Hajar Karangpandan menduga lain. Ia mengira, orang itu mengecohnya. Maka tanpa memberi kesempatan lagi, ia mengemplangnya mati.
Yang lain jadi ketakutan, mereka saling bersuitan mengabarkan tanda bahaya. Tetapi Hajar Karangpandan berlalu sangat cepat. Ia melesat terbang tak ubah seekor burung garuda dan
membunuh mati dua orang lagi. Kini tinggal dua orang yang masih hidup, la menyabarkan diri agar mendapat keterangan. Bentaknya, "Mana Wayan Suage?"
Seperti yang lain mereka menyahut, "Siapa Wayan Suage?"
"Bangsat! Pusaka itu! Bukankah kalian mau merampok pusaka itu?"
"Dia ... dia di sana ... seorang pemuda bersamanya..." orang itu menuding ke lautan api.
Betapa hebat pengaruh kata-kata itu terhadap Hajar Karangpandan tak dapat terlukiskan.
Dengan mata liar ia merenungi nyala api. Hatinya serasa hampir meledak.
"Apa pemuda itu pimpinanmu?" dampratnya.
Dua orang itu akan membuka mulut, mendadak Hajar Karangpandan telah menerkam dahsyat.
Mereka terpental ke udara dan menghembuskan napasnya yang penghabisan sebelum tubuhnya
terbanting di tanah. Hebat gempuran itu. Dia berhasil menewaskan sembilan orang seorang diri. Sebabnya, karena mereka telah merasa ngeri terhadapnya. Mereka telah kena gertak sebelum bertempur.
Hajar Karangpandan menggeram seperti seekor singa. Pandangannya tak beralih dari hutan
api. Tiba-tiba ia meloncat ke dalam dan terbang menjelajah hutan yang sedang terbakar. Tetapi meskipun berkulit kebal, tak seorang pun tahan berenang dalam lautan api. Sebentar saja, dia melesat ke luar dan berdiri tertegun dengan hati terguncang hebat.
Tatkala itu dia menoleh, pandangnya bentrok dengan pandang mata seorang pemuda yang
perdiri gagah di tepi sungai. Itulah Wirapati murid keempat Kyai Kasan Kesambi. Tanpa berbicara lagi, Hajar Karangpandan lantas saja menyerang. Wirapati terkejut, tepat ia menghindar sambil mengirimkan sodokan. Hajar Karangpandan terkejut. Pikirnya, orang ini bisa mengelakkan
seranganku sambil menyerang, ini hebat. Ia mengulangi lagi lebih dahsyat.
Hajar Karanpandan mempunyai watak mau menang sendiri. Sebaliknya Wirapati bukan pula
orang sembarangan. Dia angkuh dan tinggi hati. Selain itu seluruh hatinya bersujud kepada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perguruannya. Menurut kepercayaannya, tidak ada ilmu lain yang bisa menandingi ilmu
perguruannya. Demikianlah, jika mendapat serangan lagi tak mau dia mengelak. Ia ingin
mencoba-coba seperti yang dilakukannya pada orang Banyumas. Kesudahannya ia menumbuk
batu. Karena begitu tangannya kebentrok, seketika itu juga terpentallah dia tiga langkah. Tetapi Hajar Karangpandan pun mundur terjengkang selangkah.
Wirapati kaget bukan main. Sadarlah dia. kalau sikap keagung-agungan akan membahayakan
diri sendiri. Maka sekarang bersikap waspada dan hati-hati.
Hajar Karangpandan mempunyai kesan pula. Ia kagum pada kekuatan si pemuda. Biasanya
orang tak tahan menerima pukulannya. Tetapi meskipun pemuda itu tahan menerima pukulan,
terpental juga tiga langkah.
"Bagus!" ia memuji. "Tapi hari ini kau bakal mampus di tanganku! Sayang, sayang! Punya kepandaian begitu hebat, kenapa jadi bangsat?"
Wirapati tahu, orang itu salah duga. Tetapi dia terlalu tinggi hati untuk menjelaskan
kesalahpahaman itu. Cepat ia siaga.
Ketika itu, Hajar Karangpandan menyerang lagi dengan garangnya. Tangannya yang kanan
mencengkeram mengarah kepala, sedangkan yang kiri menyodok tulang rusuk. Wirapati cukup
waspada. Ia mengendapkan diri sambil mengirimkan tendangan.
Sodokan Hajar Karangpandan kebentur kakinya, la terguling ke samping dan tepat pada saat cengkeraman Hajar Karangpandan turun ke bawah. Suatu kesiur angin menyambar lambungnya.
Sikunya lantas digerakkan sambil menjejak kaki.
Hajar Karangpandan tahu bahaya. Mau tak mau terpaksa ia meloncat mundur. Dia luput dari
serangan itu. Kemudian menerjang menerkam dada. Wirapati menundukkan kepalanya sambil
menyapu kaki. Hajar Karangpandan tak sempat mengelak. Betisnya kena terhajar. Tetapi Wirapati kena
ditubruk pundak kirinya. Keduanya bercucuran keringat dingin. Kemudian berdiri tegak sambil mengatur napas.
Hajar Karangpandan jadi panas hati. la merangsak lagi dengan benturan-benturan dahsyat.
Wirapati tak berani mengadu tenaga, la melesat menghindari sambil mengayunkan tangan.
Dengan demikian, pertarungan bertambah seru. Masing-masing dapat bergerak dengan gesit dan cekatan.
Kala itu di pinggir gelanggang berdirilah dua orang laki-laki yang mengawasi pertarungan tanpa mengedipkan mata. Mereka adalah Jaga Saradenta dan Kodrat.
Jaga Saradenta berkesan lain, setelah menyaksikan kebakaran itu. Ia mencurigai Kodrat dan berniat menghapuskan diri dari salah sangka. Sebagai seorang yang jujur tak suka dia memihak kepada orang yang salahi, Meskipun orang itu kemenakannya sendiri: Maka diringkuslah lengan kemenakannya dan dibawa lari mengikuti jejak kaki Hajar Karangpandan.
la kalah cepat dalam hal berlari. Lagi pula, ia dibebani berat badan kemenakannya yang ikufc berlari ogah-ogahan. Meskipun demikian, ia mencoba mengejar. Sesampainya di tepi hutan
dilihatnya dua orang lagi bertempur seru. Legalah hatinya demi nampak berkelebatnya Hajar Karangpandan. Tetapi siapakah pemuda itu" Ia minta penjelasan kepada kemenakannya.
"Apa dia termasuk salah seorang bawahanmu?" bentaknya bengis.
Kodrat menggelengkan kepala.
"Bagaimana yang benar?" bentaknya lagi. Mendadak ia melihat mereka meloncat mundur dua langkah.
"Hai, siapa kau sebenarnya" Bilanglah sebelum mampus!" Kata Hajar Karangpandan nyaring.
"Apa perlu menyebut nama?" sahut Wirapati.
Hajar Karangpandan mendongakkan kepala sambil tertawa meriah.
"Bagus! Bagus! Kaumampus tanpa nama, jangan salahkan aku Hajar Karangpandan. Nah,
kaudengar sudah namaku. Kau tak perlu lagi penasaran di alam kuburmu."
Wirapati tersenyum, "Mengapa kamu meracau tak keruan" Siapa bilang Wirapati akan mati"
Aku murid keempat Kyai Kasan Kesambi bagaimana mungkin gampang mau kau punahkan?"
"Hm!" Hajar Karangpandan meludah ke tanah. "Ayo, kita buktikan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lantas saja dia menyerang cepat. Wirapati menangkis. Ia kena gempur sampai mundur
selangkah. Kemudian membalas menyerang dengan cepat pula. Keduanya menggunakan
serangan-serangan berbahaya dan mematikan.
Syahdan, ketika Jaga Saradenta mendengar disebutnya nama sahabatnya yang bermukim di
Gunung Damar terkejutlah dia. Ah, dia murid sahabatku. Kalau sampai terluka parah, aku tidak bisa berpeluk tangan, pikirnya. Ia yakin, kalau murid Kyai Kasan Kesambi takkan mungkin berbuat sesuatu hal yang rendah. Sedangkan Hajar Karangpandan bertempur dengan suatu tuduhan
tertentu. Menduga demikian, ia jadi gelisah.
Akhirnya dia berseru, "Tahan! Tahan! Ayo kita bicara!"
Dalam suatu pertempuran sengit, sudah barang tentu seruan Jaga Saradenta tak tergubris.
Hajar Karangpandan yang mengenal suara Jaga Saradenta malah mendakwa yanJ bukan-bukan.
."Kamu kawanan bangsat, ayo maju sekalian!" dampratnya.
Dia lantas memperhebat serangannya. Sebentar saja Wirapati kena dirangsak mundur sampai
ke tepi batas lautan api. Karuan sajaj Jaga Saradenta mendongkol berbareng khawatir. Mengingat kepada guru Wirapati, dia terus melompat membantu dan mengirimkan gempuran.
"Monyet!" maki Hajar Karangpandan. "Kamu kira aku mau lari lintang-pukang?"
Wirapati heran mendapat bantuan itu. Dia mau menebak-nebak siapa orang itu, menda-; dak
Hajar Karangpandan telah menyerangnya-bengis. Terpaksa dia memusatkan seluruh perhatiannya dan membalas menyerang.
Hajar Karangpandan jadi keripuhan di-kerubut dua orang, meskipun Jaga Saradenta bertempur dengan setengah hati. Maklumlah, dia tak menghendaki pertempuran itu. Kalau" sekarang sampai mengadu kekuatan semata-mata karena terpaksa, demi melihat murid sahabatnya terangsak
mundur. Eh, ternyata dia bukan orang sembarangan, pikir Hajar Karangpandan. Untung dia tidak muda lagi. Kutaksir umurnya kira-kira 70 tahun. Kalau kupaksa bertempur berputaran, akan kulihat apa napasnya masih panjang. Sambil berpikir begitu, segera ia mengadu kegesitan.
Seakan-akan seekor burung garuda ia menyambar cepat dan rapih dia menyerang bertubi-tubi.
Jaga Saradenta tak sanggup pnengikuti gerakan itu. Cepat-cepat ia menutup diri. Dadanya
dilindungi dan ia merendahkan badan. Sebaliknya Wirapati dapat mengimbangi kegesitan Hajar Karangpandan. Dengan menjejak tanah ia memotong tiap serangan, tetapi ia menghindari suatu perbenturan karena merasa diri tak sanggup menandingi tenaga lawan.
4 PENGEJARAN LAMBAT laun Wirapati dan Jaga Saradenta menemukan titik pertemuan. Mereka lantas dapat
bekerja sama dengan rapi. Wirapati menyerang bagian atas dan sanggup mengadu kegesitan.
Sedangkan Jaga Saradenta meliuk-liuk rendah mengancam bagian bawah dada. Hajar
Karangpandan tercengang-cengang. Apa mereka berasal dari
satu perguruan" pikirnya. Hajar Karangpandan tak pernah
berpikir, Jaga Saradenta bersahabat dengan guru Wirapati"
Kyai Kasan Kesambi. Dalam perang Giyanti Jaga Saradenta
seringkali mendampingi Kyai Kasan Kesambi dan sudah
mengenal liku-liku ilmunya. Meskipun belum keseluruhannya,
tetapi dasar pokoknya tidak asing baginya. Itulah sebabnya,
setelah memperhatikan gerak-gerik Wirapati teringatlah dia
akan sepak-terjang sahabatnya. Segera ia dapat mengimbangi
dan menyesuaikan diri. Wirapati berotak encer. Begitu melihat permainan Jaga
Saradenta, lantas saja Wirapati memperkuat diri. Dasar dia
merasa tak sanggup melawan Hajar Karangpandan seorang diri,
maka oleh ketinggian hatinya ia ingin menang mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bangsat!" maki Hajar Karangpandan. Benar-benar kalian kawanan bangsat jempolan. Eh, siapa mengira umur setua ini berjumpa dengan kalian."
Dia meloncat mundur dua langkah. Wirapati dan Jaga Saradenta lantas memburu. Itulah yang diharapkan. Begitu mereka berdua menerjang jebakannya, ia lantas menggempur dengan
tangannya berbareng. Jaga Saradenta kena terhantam dadanya. Seketika itu juga dia terpental tiga langkah dan lontak darah. Wirapati kena dihajar pundaknya dan jatuh terbanting di tanah.
Tetapi Hajar Karangpandan juga terkena serangan mereka. Serangan Jaga Saradenta mengenai ujung lehernya, sedangkan kaki Wirapati tepat menendang pinggang. Ia berteriak kesakitan dan jatuh tertelungkup.
Ketiga-tiganya lantas duduk bersemedi. Pernapasannya diaturnya cepat-cepat sambil
menajamkan pendengaran untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Sesaat
kemudian, Jaga Saradenta mulai bicara. "Nanti dulu Saudara, tahan sebentar. Kita bicara dulu."
"Apa yang harus dibicarakan," sahut Hajar Karangpandan angkuh. Tetapi hatinya
sesungguhnya menghendaki istirahat barang sebentar.
"Aku seorang tua bernama Jaga Saradenta, Gelondong Desa Segaluh. Aku mau berbicara."
"Bicaralah! Apa perlu memperkenalkan nama." Jaga Saradenta tak mendengarkan ocehan Hajar Karangpandan.
"Kukira dalam hal ini, terjadi salah paham. Coba aku minta penjelasan, kenapa kamu bertempur dengan anak muda ini?"


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm!" Hajar Karangpandan menyibirkan mulut. "Dia bangsat muda, menculik sahabatku.
Bagiku, kalau aku sudah mengaku bersahabat dengan seseorang... Mengorbankan nyawa
bukanlah suatu perbuatan yang sok gagah. Sejak dulu, orang menghargai suatu persahabatan sejati. Bersedia mengorbankan nyawa merupakan dasar tali persahabatan. Sekarang sahabatku dibunuh orang. Masa aku tinggal berpeluk tangan belaka."
"Kata-katamu benar-benar suara seorang kesatria sejati," sahut Jaga Saradenta. "Tetapi benarkah anak muda ini menculik sahabatmu" Lihat, aku belum berkenalan dengan dia. Meskipun begitu aku mau bicara. Tidak ada keuntunganku sama sekali dalam hal ini, kecuali besar
keinginanku untuk mengikis kesalahpahaman kalian berdua."
Wirapati mendongkol campur geli melihat lagak Hajar Karangpandan. Di antara ketiga orang, dialah yang terluka ringan. Pundaknya hanya terasa kaku. Setelah beristirahat sebentar, ia dapat bergerak dengan agak leluasa lagi.
"Aku memang bangsat muda penculik sahabatmu," katanya sengit. "Rumahnya, akulah yang membakar. Pusakanya akulah yang merampas. Lantas kau mau apa?"
Hajar Karangpandan tercengang-cengang mendengar ucapannya. Dia seorang sembrono dan
ugal-ugalan. Tapi justru mendengar kata-kata Wirapati yang bernada sembrono dan tinggi hati, malahan dia jadi tertarik.
"Apa kamu bilang?" ujarnya agak lunak.
"Kau bilang aku bangsat muda yang menculik sahabatmu. Memang aku bangsat muda penculik sahabatmu."
"Kau bilang pembakar rumah juga?"
"Ya. Malahan akulah si bangsat perampas pusakanya. Sekarang kamu mau apa" Ayo,
bertempur dua bulan lagi," lantas Wirapati berdiri tegak.
Hajar Karangpandan adalah orang yang tidak tahan disumbari orang. Tapi ia mulai bisa
berpikir, ketika mendengar Wirapati mengakui sebagai pembakar rumah. Sedangkan dia mendapat keterangan, kalau orang-orang Banyumas yang berbuat begitu. Bukankah mereka juga yang
membakar hutan" "Bangsat! Apa kamu kira aku jera padamu?" bentak Hajar Karangpandan. Dan ia memaksa diri mau berdiri. Tetapi Jaga Saradenta menengahi.
"Tahan! Kau anggap apa aku ini?" teriaknya nyaring.
Hajar Karangpandan mengurungkan niatnya. Kemudian Jaga Saradenta berpaling kepada
Wirapati. "Kau heran kenapa aku datang membantu. Sebenarnya tidak ada niatku mencampuri soal ini. Tetapi kudengar kau menyebutkan nama sahabatku Kyai Kasan Kesambi. Kau menyebut pula sebagai muridnya. Makanya aku tak bisa tinggal diam. Bukankah bersedia mengorbankan nyawa adalah dasar mutlak bagi suatu persahabatan sejati seperti kata Ki Hajar itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar Jaga Saradenta adalah sahabat gurunya, Wirapati jadi bersabar hati. Perlahan-lahan dia duduk kembali. Tetapi pandang matanya tak beralih dari Hajar Karangpandan.
"Sekarang perkenankan aku bertanya kepadamu, anak muda," kata Jaga Saradenta lagi.
"Bagaimana mula-mula kamu ada di tempat ini?"
"Aku datang dari Cirebon diutus guruku. Kebetulan melintasi Desa Karangtinalang. Kudengar tentang peristiwa pusaka sakti. Maka kuculik sahabatnya dan kubakar hidup-hidup di dalam hutan."
"Ah! berkatalah yang benar."
"Bukankah aku sudah mengatakannya?"
"Bangsat! Iblis!" Maki Hajar Karangpandan kalang, kabut. Sekarang tahulah dia, hatinya sedang dipermainkan pemuda itu. Diam-diam ia menyesali hatinya sendiri yang masih saja mudah meluap.
"Tiba-tiba kau menyerang, masa aku sudi mendengarkan ocehanmu?" Wirapati membalas dengan sengit.
"Nah, apa kubilang," potong Jaga Saradenta. "Kalian salah paham. Aku juga. Ini semua gara-gara si biadab Kodrat. Dia memang kemenakanku, tapi dalam soal ini tidak ada lagi sanak
saudara. Siapa yang bersalah harus di hukum".
Jaga Saradenta langsung menoleh mencari kemenakannya. Tetapi Kodrat tak nampak batang
hidungnya. "Bangsat! Mana dia?" Ia terkejut.
Darahnya lantas saja naik ke leher. Tubuhnya menggigil, karena hatinya serasa hampir
meledak. "Kurang ajar! Dia melarikan diri, selagi kita bertempur," teriaknya tinggi.
"Hm," Hajar Karangpandan mencibirkan bibir. "Kamu tua bangka berlagak melindungi. Tapi kau dengar kata-kataku semalam. Kalau benar-benar dia berada di rumahmu, akan kuhabisi seluruh keluargamu. Sekarang kau mau bicara apa?"
Jaga Saradenta tak sanggup berbicara lagi. Hatinya penuh pepat. Siapa mengira,
kemenakannya ternyata licik dan sampai hati membiarkan dirinya menanggung malu. Padahal
tadinya ia mengharapkan keterangan kemenakannya akan menghapus kesalahannya semalam.
Setelah itu, dia akan meminta maaf. Tak tahunya, dirinya sekarang kian terperosok ke dalam masalah.
Hajar Karangpandan tertawa terbahak-bahak. Senang hatinya, melihat orang keripuhan.
"Ayo bicaralah! Kamu kan laki-laki juga?" ujarnya.
"Tak sanggup lagi aku menelan peristiwa ini. Kaulah yang bicara. Kalau tidak mau, ya sudah kita bertempur lagi sampai mati," sahut Jaga Saradenta. Kalau tadi ia ingin menghindari pertempuran mati-matian, kini sebaliknya.
Wirapati jadi perasa, ia dapat merasakan gejolak hati Jaga Saradenta, karena tadi dia juga mengalami gejolak rasa begitu juga, tatkala dihujani tuduhan Hajar Karangpandan.
"Hai pendeta edan," katanya, "belum tentu kami berdua yang kau tuduh menjadi biang keladi terbunuhnya sahabatmu, kalah bertempur melawan tampangmu. Tapi dalam hal berbicara kamu
menang. Nah, bicaralah! Kami berdua akan tunduk pada keputusanmu."
Ih, pemuda ini berwatak kesatria, kata Hajar Karangpandan dalam hatinya. Kukira dia benarbenar tidak menurunkan tangan jahat kepada sahabat-sahabatku. Baiklah aku bicara perlahan-lahan. Siapa tahu, ia bisa kuajak serta membalas budi pada kedua sahabatku itu.
Berpikir demikian, ia lantas berkata, "Kamu berdua kuanggap mempunyai mulut laki-laki.
Kautahu bukan, harga mulut laki-laki senilai seribu nyawa manusia. Nah, sekarang aku mau berbicara. Tapi aku minta tiga syarat."
"Sebutkan!" kata Wirapati dan Jaga Saradenta berbareng.
"Syarat pertama: kalian harus menjawab pertanyaanku dengan sebenar-benarnya. Syarat kedua: kalian harus patuh dan mentaati tiap-tiap keputusanku. Syarat ketiga: kalian tidak boleh mengingkari janji. Sangsinya kalian akan digerumuti setan sampai tujuh turunan. Dan di alam baka, kalian akan diuber-uber sampai terbirit-birit sepanjang zaman. Nah, bagaimana?"
Mendengar ujar Hajar Karangpandan, mereka berdua mendongkol campur geli hati. Tetapi
mereka terpaksa mengangguk.
"Bagus. Sekarang syarat pertama. Dengarkan, aku bicara," Hajar Karangpandan mulai. "Hai, kau anak muda, tahukah kamu bagaimana peristiwa ini mula-mula terjadi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wirapati menggelengkan kepala sambil menjawab, "Aku hanya mendengar mereka saling
memperebutkan dua buah pusaka. Kebetulan aku menguntit perjalanan orang-orang Banyumas
yang menyamar sebagai rombongan penari. Kulihat pula, mereka bertempur dengan seorang
pemuda sebelum sampai ke tempat tujuan."
"Siapa pemuda itu?"
"Hanya setan yang tahu. Dialah yang membunuh salah seorang sahabatmu dengan senjata rahasia sewaktu berada dalam rumah. Kukira, mayat sahabatmu itu hangus terbakar oleh api yang dinyalakan oleh orang-orang Banyumas. Pemuda itulah yang membawa lari anak isteri salah
seorang sahabatmu." "Ke mana dia melarikan mereka?"
"Tanyalah pula kepada setan dan iblis!"
Mendengar jawaban Wirapati, melonjaklah amarah Hajar Karangpandan. Hatinya bergolak.
Diayunkan tinjunya ke udara. Kemudian menggempur tanah berhamburan.
SETELAH MENGGEMPUR TANAH IA MENUNDUK DALAM
NAPASNYA terengah-engah. Tubuhnya bergetar. Wirapati dan Jaga Saradenta mengawasi
dengan hati menebak-nebak. Melihat perangai Hajar Karangpandan yang aneh, mereka berjaga-jaga. Siapa tahu, Hajar Karangpandan lantas saja menyerang mereka untuk melampiaskan
marahnya. Tetapi Hajar Karangpandan diam saja. Matanya malahan menutup rapat. Dan
perlahan-lahan napasnya mulai teratur. Terdengar dia mengeluarkan bunyi dengkur parau.
Mereka berduapun diam-diam menjadi kagum. Itulah cara yang sempurna untuk mengurangi
tekanan guncangan hati. Gejolak darah dapat disalurkan juga. Kalau seseorang tidak mempunyai kesadaran yang dalam, bagaimana ia dapat berbuat begitu. Sebab perbuatan itu untuk
menenangkan diri. Mendadak Hajar Karangpandan mendongakkan kepala. Raut mukanya yang tadi nampak
bengis, telah sirna. Matanya memancarkan pandangan yang tajam dan lembut. Ia menghela napas dalam, katanya, "Anak muda, kulihat di dalam rumah itu empat mayat menggeletak bertebaran selain mayat sahabatku. Siapa mereka?"
"Mana kutahu," sahut Wirapati. "Waktu aku memasuki rumah, mereka berdiri tegak saling mencurigai. Kukira, mereka habis bertempur. Napasnya masih terengah-engah."
"Jahanam itu saling memperebutkan pusaka," potong Hajar Karangpandan.
"Tepat dugaanmu. Tatkala sahabatmu yang mati itu kena senjata rahasia, mereka lantas datang berebut. Dua orang mati kena hantaman sahabatmu yang lain. Dua orang lainnya
terpatahkan lengan dan kakinya oleh si pemuda. Kemudian terjadilah kekacauan itu. Rumah
dibakar. Si pemuda membawa lari anak dan isteri salah seorang sahabatmu. Dan aku
menggendong sahabatmu yang luka parah." "Kenapa luka parah?"
"Mata kakinya kena senjata si pemuda. Untuk mencegah menjalarnya racun, kupagas
betisnya." "Hm." "Tetapi dia kehilangan banyak darah. Ketika kusembunyikan di gerumbulan dalam hutan ini, beberapa kali dia jatuh pingsan. Sayang, sebelum aku sempat menolongnya hutan terbakar. Aku terpelesat jauh. Kucoba menghampiri, tetapi panas api tak dapat kutahan. Maafkan. Aku orang tak berguna ..."
"Tidak! Akupun tak tahan berenang dalam lautan api," potong Hajar Karangpandan. "Cuma sahabatku yang bernasib buruk. Tetapi ... tetapi semuanya ini akulah yang mendatangkan gara-gara. Kalau aku tak menyerahkan kedua pusaka kepada mereka ..."
la tak meneruskan. Mendadak dia berdiri dan lari menghampiri batas hutan. Kemudian dia
bersujud rendah sampai mencium tanah. Tatkala kepalanya menegak lagi, ia berteriak nyaring sampai menggetarkan tanah, "Wayan Suage! Wayan Suage! Dengarkan kata-kataku! Kau seorang laki-laki sejati. Sayang, akulah yang menjerumuskanmu ke dalam lumpur malapetaka. Aku
bersumpah kepadamu, akan kucari anak-isterimu sepanjang hidupku. Akan kurawat dan kuasuh anakmu seorang itu. Semoga rohmu di alam baka melindungi aku. Kuharapkan pula kamu
mengampuni kesalahanku."
Dia berdiri tegak. Membungkuk. Kemudian berputar mengarah Wirapati dan Jaga Saradenta.
"Sekarang, marilah kita bertempur. Inilah syarat kedua," katanya meledak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ucapannya itu, sudah barang tentu Wirapati dan Jaga Saradenta dibuat terkejut.
Sama sekali tak diduganya, Hajar Karangpandan tiba-tiba menantang mereka bertempur setelah nampak berlaku begitu lemah dan sabar.
Tetapi sebagai seorang kesatria, meskipun sedang menderita luka, takkan sudi memperlihatkan kelemahan diri. Segera mereka berdiri tegak dan bersiaga.
"Eh, kalian mau apa?" damprat Hajar Karangpandan.
"Bukankah kamu tadi menantang kami bertempur?" Wirapati heran.
"Betul! Tapi aku belum habis bicara. Syarat kedua belum lagi kuuraikan. Duduklah!" Wirapati dan Jaga Saradenta saling memandang. Kalau menurut tabiatnya, mereka merasa dipermainkan orang ini. Bagaimana bisa menerima hinaan itu. Tetapi mereka kalah janji. Terpaksalah mereka duduk kembali dengan hati memaki-maki.
"Kau Gelondong Segaluh, tak usah lagi aku bertanya kepadamu. Kamu sudah dikelabui si bangsat Kodrat. Cuma, kamu diberi kesempatan Tuhan melihat anak-isteri salah seorang
sahabatku. Siapa yang dilarikan si Kodrat dan siapa pula yang dilarikan si pemuda jempolan itu, aku pun tak tahu. Tapi kita bertiga pernah mendengar atau melihat mereka yang kena
malapetaka, maka kitapun tak dapat membuta tuli. Kebajikan seorang kesatria semenjak dulu cuma satu. Yakni, ingin bekerja sekali berarti kemudian mati. Kau setuju tidak kata-kataku yang belakangan ini?"
"Bicaralah! Jangan kau berlagak seperti guru!" bentak Jaga Saradenta.
"Tapi kalian harus menerima keputusan setiap kata-kataku. Itulah celakanya!" Hajar Karangpandan kemudian tertawa senang. "Sekarang, aku menantang kalian berdua berkelahi sampai mampus."
"Bagus!" potong Jaga Saradenta dan Wirapati berbareng.
"Nanti dulu, dengarkan!" teriak Hajar Karangpandan. "Aku belum habis bicara. Perkelahian sampai mati itu harus dilakukan dalam jangka panjang."
"Apa kita berkelahi mengadu racun?" Wirapati tak sabar.
"Racun cuma bisa bertahan paling lama dua bulan," jawab Hajar Karangpandan. "Sebaliknya aku menghendaki masa lebih lama lagi. Yakni, selama dua belas tahun."
"Gila!" jerit Jaga Saradenta sambil membanting tangan. "Aku sudah berumur tujuhpuluhan tahun. Belum pernah kudengar orang berkelahi sampai mati dalam waktu dua belas tahun.
Barangkali cuma dongeng belaka. Cerita Bharatayuda dalam wayang purwapun cuma 18 hari. Ini syarat edan! Syarat gendeng! Syarat gila!"
"Ah, kalau begitu kalian ini kesatria-kesatria kosong mlompong." Hajar Karangpandan membakar hati. "Tak sudi lagi aku bicara."
Dibakar demikian, Jaga Saradenta lantas saja meledak. "Bangsat! Kau tak usah memancing kemarahanku. Cepat katakan, apa maumu!"
"Bagus!" puji Hajar Karangpandan. "Kita ini bangsa kesatria sejati, bukan kesatria kampungan.
Kalau kita bertaruh, masakan bertaruh gampang-gampangan seperti anakanak kampung. Sekali kita ingin mendaki gunung, pilihlah gunung yang tertinggi di dunia. Sekiranya kita terpeleset mampus ke dalam jurang, nama kita sedikit bisa diagungkan orang-orang. Hai, apa pendapatmu anak muda?"
Wirapati yang semenjak tadi diam, kaget mendapat pertanyaan itu. Sebagai anak muda.
memang ia tertarik dengan omongan Hajar Karangpandan yang penuh teka-teki. Hatinya sedang menduga-duga tentang perkelahian sampai mati dalam jangka dua belas tahun. Karena
pertanyaan mendadak itu, ia mengangguk kosong.
"Ah, inilah calon kesatria jempolan," kata Hajar Karangpandan sungguh-sungguh. "Sekarang dengarkan baik-baik. Telinga harus kalian lebarkan benar. Jangan sampai kalian kehilangan tiap patah kata. Kalian akan rugi sendiri. Karena kata-kataku ini kelak akan menentukan di kemudian hari."
"Monyet, cepatlah!" potong Jaga Saradenta tak sabar. Ia terbatuk-batuk kecil dan menyemburkan segumpal darah. Hajar Karangpandan merenungi, kemudian katanya, "Kita sudah berjanji akan bertempur sampai mati dalam jangka dua belas tahun. Adapun corak pertempuran itu begini. Kita mengadu kepandaian sejati. Yang kumaksudkan kepandaian sejati, bukan mengadu tinju dan tendangan. Bahkan bergerak sedikitpun tabu. Mengadu tinju dan tendangan, mengadu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kekebalan kulit dan senjata tajam itu perbuatan gampang. Kalau hanya begitu semua orang yang berilmu sekarang ini pasti bisa melakukannya."
"Lantas!" Jaga Saradenta dan Wirapati ternganga-nganga.
"Kita bertiga ini, setidak-tidaknya termasuk manusia-manusia yang bisa malang-melintang di seluruh jagad tanpa halangan dan rintangan. Marilah kita mencukil sejarah yang lain daripada anak-anak yang bakal dilahirkan."
"Kau bilang, kita bakal bertempur sampai mati, apa maksudmu?" potong Jaga Saradenta.
"Untuk mengambil keputusan, siapa di antara kita yang menang."
"Tapi kau bilang, kita tak boleh menggunakan tangan, kaki, kekebalan kulit dan senjata. Lantas apa yang kau mau?" Wirapati menyahut.
Hajar Karangpandan membusungkan dada.. Dengan bersikap agung ia menjawab, "Aku akan melawan kalian berdua. Dalam jangka dua belas tahun, kita akan memutuskan siapakah yang
menang. Tetapi kecuali mengadu kepandaian, kita mengadu pula kesabaran dan akal budi."
Wirapati yang tadi bersikap tenang, mendadak kehilangan kesabaran. Lantas saja mendamprat.
"Apa kita mengadu mulut" Atau mengadu betah-betahan bertapa" Atau mengadu membuat
jimat-jimat sakti" Atau mengadu membuat obat dan racun untuk dapat menghidupkan kedua
sahabatmu itu" Baiklah, aku menyerah.r
"Bukan! Bukan!" sahut Hajar Karangpandan seraya tertawa riuh.
"Lantas?" sambung Jaga Saradenta. "Apa kau ingin kita mengadu mencuri ayam, mencopet atau menculik perempuan?"
"Bukan! Bukan!" tertawa Hajar Karangpandan kian meriuh.
"Cepat katakan! Jangan berputar tak keruan juntrungannya!" bentak Jaga Saradenta mendongkol.
"Baiklah kukatakan," akhirnya Hajar Karangpandan berkata perlahan. "Kalau kita berputar kembali mengapa kita sampai berkelahi ini adalah semata-mata urusan berbuat suatu kebajikan kepada dua orang sahabatku. Kalian tahu, anak-isteri yang dibawa lari Kodrat itu kukira anak isteri Made Tantre. Sebab mereka berdua dilarikan setelah gerombolan bangsat Banyumas menyerbu
rumah. Bukankah begitu, anak muda."
Wirapati mengingat-ingat.
"Si pemuda jempolan itu menyambar seorang perempuan yang berdiri memipit dinding.
Sedangkan isteri sahabatmu yang mati, kulihat jatuh pingsan di sampingnya. Akulah yang
mendorongnya agak menjauh, tatkala hendak memeluk mayat suaminya."
"Tepat dugaanku," Hajar Karangpandan berlega hati. "Kalian berdua sudah pernah melihat juga. Dan siapa yang membawanya lari, telah diketahui pula oleh Gelondong Jaga Saradenta."
"Betul. Kemenakanku yang membawanya lari," kata Jaga Saradenta. "Tetapi kalau kau bilang aku kenal betul raut mukanya, masih kurang tepat. Aku hanya melihat dia selintas saja."
"Tetapi sekutumu anak muda ini, cukup lama mengenal raut mukanya. Jadi kuanggap kalian berdua sudah mengenal baik-baik. Sebaliknya meskipun aku baru mengenal muka isteri Wayan Suage selintasan pula, kuanggap diriku telah mengenal baik-baik juga. Nah, kita berlaku adil.
Kalian harus tahu, kalau aku bersahabat dengan mereka berdua baru berlangsung kemarin sore dalam waktu beberapa jam saja."
Wirapati dan Jaga Saradenta saling memandang. Sama sekali mereka berdua tak menduga,
persahabatan Hajar Karangpandan itu baru berjalan seperempat hari. Melihat dan menyaksikan sepak terjangnya, mereka lantas saja menghargai keluhuran budinya. Sekarang, mana bisa
mereka mengalah dalam soal keluhuran budi" Maka dengan diam-diam, mereka sudah mulai
mengadu panggilan keluhuran budi.
"Tentang nasib anak-isteri Wayan Suage. serahkan kepadaku. Aku akan mencarinya sampai ketemu, biar pemuda itu bersembunyi di ujung langit. Itulah dasar syarat kedua."
"Eh ... jadi kita berdua kau suruh mencari anak-isteri Made Tantre sebagai syarat pertaruhan?"
"He-e." "Siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang. Begitulah maksudmu?"
"Baru separoh menang," ujar Hajar Karangpandan dengan tersenyum. "Sebab kalau hanya bertaruh macam begitu, adalah pekerjaan yang mudah. Tetapi yang separoh lagi, itulah baru bernapas pertaruhan sejati."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa itu?" Jaga Saradenta dan Wirapati berseru berbareng.
"Hai"itulah syarat ketiga. Dengarkan kujelaskan. Seperti kalian ketahui, Wayan Suage dan Made Tantre masing-masing mempunyai seorang anak laki-laki. Anak mereka masing-masing
dibawa lari kedua bangsat itu yang mempunyai arah bertentangan. Aku akan mendidik dan
mengajar anak Wayan Suage yang dilarikan oleh si pemuda jempolan. Dan kalian berdua mendidik dan mengajar anak Made Tantre. Nah, bagaimana?"
Jaga Saradenta dan Wirapati ternganga keheranan. Mereka belum dapat menangkap maksud
Hajar Karangpandan. Maka mereka berdua membungkam mulut.
"Kita menunggu waktu sampai dua belas tahun lagi," kata Hajar Karangpandan meneruskan.
"Anak mereka kini sudah berumur kurang lebih tujuh tahun. Jadi dalam masa dua belas tahun lagi, mereka sudah berumur 19 tahun. Cukuplah sudah kita golongkan orang-orang dewasa. Mereka
berdua kemudian kita ajak ke mari. Ke tempat ini. Kita mengundang pula orang-orang gagah pada jaman ini sebagai saksi. Kemudian mereka berdua kita adu. Di saat itulah kita bisa mengambil keputusan, siapa di antara mereka berdua yang menang. Kalah dan menangnya masing-masing
samalah juga kalah dan menangnya kita bertiga."
"Mengapa bukan kita yang bertempur?" dengus Wirapati.
"Kalau kita bertempur, jumlah kita berlebih seorang. Seumpama kalian berdua memenangkan aku, itupun bukan suatu kemenangan terhormat. Sebab jumlah kalian lebih banyak. Sebaliknya kalau aku memenangkan kalian, juga bukan suatu kemenangan yang mentereng. Sebab setelah
dua belas tahun Gelondong Jaga Saradenta sudah jadi orang pikun. Sedangkan si anak-muda, sudah sewajarnya aku menang karena umurku jauh lebih tua dan berpengalaman."
"Kau bilang sampai mampus, apa maksudmu?"
"Kalau kalian tidak sungguh-sungguh mendidik dan mengajar anak Made Tantre, maka orang-orang gagah di kolong langit ini akan kusuruh mencincang kalian berdua sampai mampus. Mayat-mayatmu akan kulemparkan ke kali itu. Nama kalian kusuruh menyoraki dan menghapuskan dari ingatan setiap orang. Nah, jadi setanpun kalian tak punya tempat."
Wirapati tercengang-cengang, sedang Jaga Saradenta tertawa cekakakan karena geli dan
mendongkol. Tapi mereka sudah berjanji akan patuh dan mentaati setiap kata-kata Hajar
Karangpandan yang sudah diputuskan. Maka mereka tak berdaya sedikitpun untuk meringankan atau mengurangi.
"Kurangajar! Kaulicin seperti belut!" maki Jaga Saradenta kemudian. "Kau cuma melepaskan beberapa patah kata-kata ugal-ugalan dan kau memaksa kami berdua memeras keringat selama dua belas tahun. Ini gila."
Wajah Hajar Karangpandan berubah. Memang ia bisa merasakan kebenaran ujar Gelondong
Jaga Saradenta. Tetapi ia harus mengatasi kesan itu, demi menebus dosa kepada kedua
sahabatnya. Maka ia tertawa panjang dengan pandang menghina.
"Mengapa kamu tertawa" Mana yang lucu?" damprat Jaga Saradenta.
"Bagaimana aku tidak tertawa. Meskipun aku belum pernah berkenalan dengan kalian, tapi telah lama kudengar nama kalian yang harum. Wirapati, murid ke-empat Kyai Kasan Kesambi
Gunung Damar. Tiap orang tahu ketenarannya. Jaga Saradenta Gelondong Segaluh, bekas
perajurit Pangeran Mangku-bumi. Tiap orang tahu pula kegagahannya. Tak tahunya, hari ini Tuhan mempertemukan aku dengan kalian. Kulihat ketenaran nama kalian yang gagah-agung-mulia, sama sekali tak cocok dengan ... hi hi hi ... ha ha ha ..."
Gelondong Jaga Saradenta kena dibakar hatinya. Darahnya lantas saja panas mendidih. Ia
menggempur tanah, tatkala hendak membuka mulut. Hajar Karangpandan mendahului, "Orang gagah sejati akan memandang enteng setiap janji yang telah diucapkan. Pengorbanan jiwa,
bukanlah suatu soal untuk kebajikan. Gajah Mada, Narasuma, Sawung Galing. Mundingsari,
jayaprafta, Trunajaya, Ontung Surapati, Hasanudin, mereka semua adalah orang-orang gagah yang bersedia mengorbankan nyawa untuk suatu kebajikan. Mengapa kita yang hidup di atas bumi tempat mereka hidup tidak menerima warisan sedikitpun juga" Ini mengherankan! Barangkali karena hati kita ini sekerdil katak bangkotan."
Wajah Jaga Saradenta menjadi pucat. Begitu juga Wirapati. Tubuhnya menggigil seperti
menahan arus air. Sejurus kemudian mereka menundukkan kepala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau benar. Memang aku bangsa kerdil. Baiklah kucoba kebajikan ini. Kalau di kemudian hari aku menang bertaruh, itulah nasib baik." Kata Jaga Saradenta galau.
"Perkataan seorang laki-laki sejati!" sahut Hajar Karangpandan cepat. Ia menjadi gembira karena merasa menang. Kemudian berpaling ke Wirapati. "Selesailah sudah perjanjian ini. Kau bagaimana, anak muda?"
Wirapati mengangguk. "Bagus. Cuma aku ingin bicara separah kata lagi." Hajar Karangpandan mengesankan. "Di antara kita bertiga, hanya kita berdua yang pernah melihat kedua pusaka Pangeran Semono."
"Mengapa hal itu dibicarakan juga?" potong Wirapati tak senang. "Biar orang menghadiahkan pusaka itu kepadaku, tak sudi aku menerimanya."
"Aku tak menuduh buruk kepadamu. Sekiranya kamu mau merampas, pastilah sudah berada dalam genggamanmu. Itu aku tahu. Cuma aku ingin titip sepatah kata. Seumpama nasibmu bagus dan pada suatu hari kautemukan kedua pusaka Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik,
berjanjilah kepadaku kalau kedua pusaka itu harus kauberikan kepada kedua anak-anak asuhan kita. Siapa yang pantas memiliki Bende Mataram dan siapa pula yang pantas memiliki keris Kyai Tunggulmanik, bukanlah soal."
"Aku berjanji."
"Nah, tak usah kita pikirkan pusaka itu lagi. Kita berpisahan di sini. Ingat! Dua belas tahun lagi kita bertemu di tempat ini," kata Hajar Karangpandan. Ia berdiri dan mendadak melesat pergi.
"Ayo kita pergi," ajak Gelondong Jaga Saradenta. "Lebih cepat kita cari, lebih baik."
"Biarlah kususul dia seorang diri," sahut Wirapati.
"Jangan! Kau belum mengenal jalan ke barat. Lagi pula, kau tak punya bekal cukup. Mari singgah ke Segaluh. Setelah kuserahkan kekuasaan pemerintahan dusun kepada wakilku, kita berangkat bersama-sama. Mati hidup kita mulai sekarang ada di tangan kita berdua."
Mereka berangkat ke barat. Jaga Saradenta tidak berani berlari karena luka dalamnya masih perlu perawatan beberapa hari lamanya. Sedang Wirapati melangkahkan kaki dengan setengah hati. Teringatlah dia kepada saudara-saudara seperguruannya. Bulan depan mereka akan
menerima ajaran Ilmu Majangga Seta. Dapatkah dia ikut serta" Memikirkan hal itu, hatinya lemas.
Tetapi apabila dia dapat menyelesaikan masa mencari anak-isteri Made Tantre barang seminggu, rasanya masih belum ketinggalan. Semangatnya muncul kembali. Ingin ia lari secepat-cepatnya, kalau tak ingat luka Jaga Saradenta.
Kodrat waktu itu telah meninggalkan Desa Segaluh. Tatkala Jaga Saradenta ikut bertempur, ia merasa mendapatkan kesempatan. Ia bersyukur kepada Tuhan atas kemurahannya. Segera
terbanglah dia menuju Desa Segaluh. Sepanjang jalan dia berpikir. Ke manakah aku mau lari"
Kembali ke Banyumas, tidaklah mungkin. Sang Dewaresi mana bisa mengampuni aku, kecuali
kalau aku membawa pusaka.
Ia sangat sedih. Ia kutuk Hajar Karangpandan sampai tujuh turunan. Ia maki si pemuda
Wirapati yang menolong melarikan Wayan Suage. la kutuk pula pamannya, yang hampir
membuatnya susah. Mendadak timbullah pikirannya, baiklah aku lari ke Jakarta. Di sana aku akan menggabungkan diri kepada kompeni. Rukmini biarlah kubawa ke Jakarta untuk oleh-oleh. Pastilah serdadu-serdadu Belanda akan berterima kasih kepadaku. Siapa tahu, aku lantas diberi pangkat sebagai upah jasa.
Mendapat pikiran demikian, tegarlah hatinya. Larinya kian dipercepat. Sebentar saja sampailah dia ke rumah pamannya. Rukmini dan Sangaji masih terkunci rapat dalam bilik. Ia bersyukur setinggi langit. Kemudian dengan dalih mengantarkan Rukmini pulang ke kampung halamannya, ia diizinkan bibinya meneruskan perjalanan.
"Ke mana pamanmu?"
"Dia lagi melayani si pendeta cabul. Sebentar lagi juga pulang," katanya.
Dia terus menuju ke barat. Sangaji digendongnya sebagai umpan Rukmini. Di Dusun
Kotawaringin ia mengambil jalan air. Dibelinya sebuah rakit dan terus menuju ke utara. Tiba di Dusun Wonosari ia memaksa seorang penambang menukar rakit. Mula-mula penambang rakit
menolak. Tetapi dengan diancam belati, terpaksa dia menyerah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada senja hari sampailah dia di persimpangan Kali Klawen. Legalah hatinya, karena yakin pamannya tidak mengejarnya lagi. Tetapi ia salah duga. Setelah Jaga Saradenta menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada wakilnya, segera dia berangkat. Ia berpesan kepada isterinya agar jangan mengharap-harap kedatangannya sebelum membekuk si Kodrat.
Mula-mula mereka berdua melalui jalan besar. Sampai di Kota Waringin, mereka mulai ragu.
Kebetulan sekali mereka mendengar kabar tentang seseorang yang membeli rakit. Peristiwa itu jarang terjadi. Segera mereka menduga-duga. Maka diputuskan hendak meneruskan perjalanan melintasi air.
Sepanjang jalan mereka berunding dan menduga-duga ke mana arah perginya si Kodrat.
Sampai di Wonosari jejak Kodrat kian" nyata. Pemilik rakit yang diancam Kodrat, menjual berita kepada seluruh penduduk. Ramailah orang membicarakan. Jaga Saradenta dengan mudah
mendapatkan keterangan. Cepat-cepat dikayuhnya rakit ke barat. Waktu itu senja hari mulai tiba.
Jarak mereka sebenarnya sudah sangat dekat dengan Kodrat. Kira-kira lewat petang hari, mereka semua akan bertemu.
Mendadak Kodrat mempunyai pikiran lain. Rakitnya ditepikan, Kemudian dibakarnya, setelah itu ia membawa Rukmini berjalan lewat daratan, mengarah ke barat-daya. Melintasi desa-desa dan pegunungan.
Rukmini merasa sangat lelah. Lelah semuanya. Baik tenaga maupun hatinya. Ia mengajak
berhenti. Kodrat terpaksa menuruti, meskipun hatinya uring-uringan. Syukur, meskipun kasar dia bukan pemuda bangor. Angan-angannya hanya merindukan derajat dan pangkat tinggi. Itulah
sebabnya, tak pernah terlintas dalam pikirannya hendak mengganggu Rukmini.
Mereka menginap di sebuah gubuk. Pada fajar hari perjalanan dilanjutkan. Kali ini lewat air untuk menghemat tenaga. Pada petang hari meneruskan perjalanan lewat darat. Demikianlah
terus-menerus dilakukan sampai hampir dua minggu lamanya. Akhirnya sampailah mereka di kota Cirebon. Mereka menginap di sebuah penginapan. Hati Kodrat mulai tak tenteram. Ia berpikir untuk mencari tempat tinggal. Sebab bekal perjalanan mulai tipis. Lagi pula berkelana tanpa berhenti, rasanya kurang menyenangkan. Rukmini atau si bocah bisa terserang sakit. Kalau sampai begitu, akan gagallah rencananya.
Hari itu selagi dia berada di dalam kamar penginapan, mendadak didengarnya suara pamannya yang tengah berbicara dengan pemilik penginapan. Dia lagi mencari keterangan tenang dirinya.
Ia kaget bukan kepalang. Segera ia mengintip. Di samping pamannya berdiri seorang pemuda berperawakan gagah tetapi mukanya agak kusut. Itulah Wirapati yang dulu bertempur dengan Hajar Karangpandan.
Melihat mereka berdua, hatinya ciut. Cepat-cepat ia mengajak Rukmini meninggalkan
penginapan. Rukmini menolak, karena merasa kejatuhan bintang penolong. Dia hendak menjerit.
Mendadak Kodrat menubruk Sangaji dan mengancamkan belatinya. Terpaksalah ia mengurungkan niatnya dan mau tak mau mengikuti Kodrat meninggalkan penginapan lewat pintu belakang.
Sepanjang jalan Kodrat memaki-maki dan memukuli Rukmini yang dapat membahayakan
nyawanya. Ia mengancam akan membunuhnya bila laku itu diulangi sekali lagi. Tetapi Rukmini tak mengenal takut. Hatinya sudah terlalu pepat. Lagi pula semenjak suaminya meninggal, hatinya sudah menjadi kosong. Kalau saja tak ingat akan nyawa anaknya, sudah lama ia ingin bunuh diri.
Demikianlah, pada suatu hari dia diajak menginap di sebuah losmen. Rukmini sengaja
mengusut-usutkan rambutnya agar menarik perhatian orang. Kodrat dongkol bukan main. Ia
menghunus belatinya dan benar-benar ingin menikamnya mati. Rukmini lantas saja berdoa dalam hati memanggil suaminya, "Kuserahkan keselamatan anakmu kepadamu. Lindungilah dia. Aku akan mati bersama jahanam itu."
Setelah berdoa, ia menubruk maju. Kodrat terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya, kalau Rukmini akan berlaku demikian. Karena terkejut, belatinya sampai jatuh ke tanah. Mereka lantas saja berebutan mencapai belati. Tetapi Rukmini seorang perempuan. Selain kalah tangkas, kalah tenaga pula. Sangaji pun waktu itu merisaukan hatinya. Dia menangis ketakutan.
Lemah lunglailah sekujur badannya. Ia membiarkan Kodrat mencapai belatinya. Dadanya
kemudian dihadapkan. Tetapi Kodrat tidak menikamnya.
"Janganlah kau menggoda hatiku, Rukmini. Aku berjanji takkan bersikap kasar lagi kepadamu.
Tetapi janganlah kamu mencelakakan aku," kata Kodrat melunak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kodrat kemudian membawa Sangaji pergi meninggalkan losmen. Rukmini terpaksa mengikuti
demi anaknya. Kini, perjalanan tidak lewat darat lagi. Untuk mengurangi gangguan Rukmini, Kodrat membeli sebuah perahu. Ia bermaksud meneruskan perjalanan lewat laut. Seorang nelayan yang lagi menjala di pinggir laut diajaknya serta.
"Bantulah aku mengayuh perahu ini sampai pantai Jakarta. Sesampainya di Jakarta, perahu kuberikan kepadamu," bujuk Kodrat.
Sudah barang tentu si nelayan itu gembira. Kebetulan pula, ia seorang nelayan yang lagi rudin.
Perahu ikannya digulung gelombang pada beberapa bulan yang lalu. Sekarang datanglah suatu rejeki tak terduga. Bagaimana ia dapat membiarkan kesempatan bagus ini berlalu begitu saja.
Demikianlah"setelah berlayar selama satu minggu, sampailah mereka di Jakarta. Kodrat amat gembira. Begitu kakinya menginjak pantai, ia berloncat-loncatan dan menandak-nandak. Rasanya, ia seperti dilahirkan kembali ke dunia.
Di Jakarta Kodrat segera mencari sebuah pondokan. Di pondokan itu ia beristirahat selama tiga hari tiga malam untuk melemaskan otot-ototnya dan ketegangan hatinya. Ketika telah merasa sehat kembali, ia mencari hubungan ke tangsi-tangsi kompeni Belanda. Kebetulan waktu itu, kompeni Belanda sedang membutuhkan tenaga tentara Bumiputera. Kodrat diterima lamarannya sebagai serdadu, la mendapat gaji lumayan jumlahnya. Bahkan, ia mendapat sebuah kamar pula.
Segera pulanglah dia ke pondokan dengan membawa warta gembira. Tetapi sesampainya di
pondokan, Rukmini dan Sangaji tidak ada. Ditanyakan mereka kepada tetangga sebelah-
menyebelah. Tetapi tetangganya tidak ada yang dapat memberi keterangan. Maklumlah, Rukmini seorang pendatang baru.
Kodrat jadi uring-uringan. Ingin dia mencarinya sampai ketemu. Tetapi ia sayang kepada
pekerjaannya yang baru. Baiklah aku bersabar dulu, pikirnya. Dia seorang perempuan lagi
membawa anak pula. Pastilah tidak dapat meninggalkan kota asing ini. Perlahan-lahan kucari, pasti ketemu. Seminggu dua minggu, ia berusaha mencari setiap kali habis dinas. Namun
usahanya sia-sia. Akhirnya ia mendongkol dan penuh dendam. Ia berjanji dalam hati, hendak membunuh mereka berdua.
Hari terus merangkak-rangkak tiada henti. Bulan Agustus 1792 telah tiba. Dunia dalam keadaan terguncang. Di Eropa timbul masalah-masalah persengketaan. Di Negeri Belanda pun tak
terkecuali. Negeri-negeri jajahan menjadi suatu ajang pembicaraan ramai. Pe-rebutan-perebutan kekuasaan antara pemilik-pemilik modal dan para pangeran kian menjadi sengit.
Kedudukan VOC di Jakarta mulai pula berbicara. Kegelisahan-kegelisahan terjadi. Pemimpin-pemimpin militer kini menunjukkan giginya kepada para pengusaha. Masing-masing saling
memperkuat diri. Maka tenaga kesatuan militer Bumiputera makin banyak dibutuhkan untuk
mempertahankan hak-hak tertentu.
Orang-orang Belanda mulai memperhatikan kesetiaan dan kesanggupan begundal-begun-
dalnya. Hadiah-hadiah dan pangkat-pangkat dibagikan dengan murah.
Kodrat yang menyerahkan seluruh hidupnya kepada pekerjaannya sudah semenjak lama
berusaha memperoleh perhatian layak. Tidaklah mengherankan, kalau dalam masa tiga bulan saja ia kejatuhan bintang cemerlang.
Pangkatnya naik menjadi Kopral dan ia dipindahkan di bagian pasukan berkuda. Selain itu ia dipilih pula sebagai pengawal pribadi Mayor Nieuwenhuisz.
Mayor Nieuwenhuisz seringkali keluar daerah. Ia selalu diajak serta. Sebagai seseorang yang biasa menghamba, maka dengan cepat juga ia dapat mengambil hati majikannya yang baru. Ia dijanjikan pangkat sersan apabila dapat bekerja dengan baik pada masa tiga bulan lagi. Janji itu alangkah menyenangkan dan membesarkan hatinya.
Pada suatu hari, Mayor Nieuwenhuisz mengirimkan VOC ke Cirebon dengan tugas mengawasi
keluarga Sultan Kanoman. Ada berita, kalau rakyat Cirebon dengan diam-diam menyusun suatu pemberontakan.
Kodrat ditugaskan memimpin regu penggempur di samping mengatur pengawalan. Tugas kali
ini tak menyenangkan hatinya. Ia takut berangkat ke Timur. Wirapati dan pamannya, masih saja merupakan momok baginya. Ia sadar dan mengenal watak pamannya Orang tua itu takkan
berhenti mengikuti jejaknya selama dia belum berhasil meringkus dirinya. Tetapi ia tak berdaya menolak tugas itu. Maka berangkatlah dia dengan 250 serdadu berkuda. Kudanya berderap gagah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan diiringi tetabuhan dan genderang. Kesannya menggairahkan hati. Desa-desa yang dilewati kaget terbangun. Penduduknya berlari-larian ke jalan, berdiri mengagumi.
Pada tanggal 24 Agustus 1792, pasukan berhenti dan berkemah di Jatibarang. Mereka memilih sebuah lapangan luas. Tenda-tenda kemudian didirikan. Penjagaan-penjagaan diadakan dengan waspada, karena mereka akan memasuki daerah pemberontakan.
Selama itu hati Kodrat tidak tenteram. Ia merasa seperti diincar pamannya dan Wirapati. Tetapi entah di mana mereka berdua berada, tak dapat dia menduganya.
Pra-rasa manusia kerapkali benar. Itulah karunia alam sebagai pelengkap jasmaniah tiap
manusia dalam hukum mempertahankan jenis. Sungguh! Waktu itu Jaga Saradenta dan Wirapati benar-benar tidak jauh daripadanya.
Mereka berdua telah menjelajah seluruh daerah Cirebon selama tiga bulan lebih. Mereka tak mengenal lelah mencari keterangan tentang jejak Kodrat. Hanya tak pernah terfintas dalam pikirannya, kalau Kodrat melintasi lautan. Itulah sebabnya, perjalanannya berlarut-larut tanpa pedoman yang pasti.
Pada hari itu mereka berdua sampai di Jatibarang, bertepatan dengan kesibukan penduduk
kota mewartakan datangnya pasukan kompeni Belanda. Sebagai dua orang yang berpaham
menentang penjajahan mereka tertarik kepada berita itu. Ingin mereka menyaksikan kekuatan kompeni dari dekat. Siapa tahu pengalaman itu kelak ada gunanya di kemudian hari.
Mendadak, mereka melihat seorang kopral bangsa Bumiputera, Jaga Saradenta lantas saja
mengenal siapa dia. Cepat ia membisiki Wirapati.
"Apa benar dia Kodrat?" Wirapati minta keyakinan.
"Hm. Biar dia berganti rupa seribu kali sehari, aku tak bisa dikecohnya. Semenjak kanak-kanak, akulah yang mengasuh dan merawatnya," sahut Jaga Saradenta. Tetapi setelah berkata demikian, ia jadi bersedih hati. Teringatlah dia masa kanak-kanak kemenakannya.
Pada malam harinya, mereka berdua mulai bekerja. Waktu itu bulan gede telah lampau
beberapa hari. Dunia jadi gelap pekat. Keadaan demikian menolong pekerjaan mereka.
Di tengah lapang, kompeni-kompeni sedang menyalakan api unggun. Angin malam mulai
menyelinapi tubuh. Itulah sebabnya, maka serdadu-serdadu banyak yang meninggalkan tendanya.
Menjelang tengah malam, mereka mulai mengundurkan diri. Rasa lelah karena perjalanan
panjang mulai berbicara. Kodrat mendapat giliran jaga malam. Ia memimpin dua belas orang serdadu. Jaga Saradenta dan Wirapati yang mengintip dari luar menemui kesukaran. Mereka
mengusahakan diri agar jangan terlibat dalam suatu perkelahian. Biarpun mereka kuat, masa kuasa melawan kompeni sebanyak itu.
Karena pertimbangan itu maka mereka menunggu saat yang tepat. Tiga empat jam mereka
menunggu. Kodrat tidak juga terpisah dari teman-temannya. Malahan seringkali dia berada di dalam tenda penjagaan. Hal itu menjengkelkan hati Jaga Saradenta dan Wirapati. Tetapi sampai fajar hari harapan mereka tak terkabul. Terpaksalah mereka melepaskan buruannya.
Keesokan harinya mereka mencoba lagi. Pada tengah malam dikunjunginya perkemahan
kompeni dengan diam-diam. Kodrat tidak nampak. Dia habis mendapat giliran jaga ?nalam. Maka malam itu dia istirahat. Kembali mereka gagal.
Pada malam ketiga habislah sudah kesabarannya. Mereka bertekad mau menerjang masuk.
Tenda-tenda dijenguknya. Tatkala bersua dengan seorang penjaga mereka membekuknya dan
dibawanya lari ke suatu tempat. Mereka mengorek keterangan tentang di mana Kodrat. Serdadu itu disiksanya. Mau tak mau terpaksa memberi penjelasan.
Serdadu itu kemudian diikat erat-erat pada sebatang pohon. Mereka kembali menyusup lenda perkemahan yang berada di sebelah timur. Kodrat waktu itu baru saja datang dari berunggun api.
Tadi dia menyanyi dan menari sebagai penghibur hati. Kesan itu masih dibawanya saat pulang ke tenda. Ia bersiul-siul kecil serta berdendang lemah. Mendadak terasalah kesiur angin memasuki tenda. Ia menoleh. Tahu-tahu mulutnya kena bungkam dan teringkuslah Kodrat tanpa bisa
membuat perlawanan. Dua tiga kawannya yang masih bangun kaget bukan kepalang. Mereka lantas saja berteriakan.
Jaga Saradenta segera mengambil tindakan cepat. Digempurnya mereka bersama. Dalam sekejap saja, mereka terpental ke tanah dan jatuh pingsan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi teriakan mereka membangunkan seluruh kesatuan militer. Terompet tanda bahaya
melengking di tengah malam. Serdadu-serdadu berlari-larian dan dengan cepat bersiaga penuh.
Wirapati dan Jaga Saradenta menemui kesulitan kini. Dengan cepat mereka menerobos ke
utara. Tetapi serdadu-serdadu yang berada di perkemahan utara sudah pada keluar dengan
senjatanya masing-masing.
"Cepat ke kandang kuda!" kata Wirapati nyaring sambil memapah Kodrat.
Mereka berdua lantas saja menghampiri kandang kuda dan melepaskan kuda-kuda. Kegaduhan
segera terjadi. Kuda-kuda lari berse-rabutan dan menerjang tenda-tenda kalang-kabut.
Terpaksalah serdadu-serdadu kompeni membagi perhatiannya. Mereka digulung-gulung oleh suatu kesibukan terkutuk. Dengan mempergunakan kegaduhan itu Jaga Saradenta dan Wirapati berhasil meloloskan diri.
Sekarang mereka telah berada jauh dari perkemahan. Mulailah mereka mengkompes mulut
Kodrat tentang di mana beradanya Rukmini dan anaknya. Kodrat mengharapkan suatu ampunan.
Dikisahkan riwayat perjalanannya dengan terus-terang. Diterangkan pula maksudnya melarikan Rukmini dan Sangaji. Tetapi ia gagal, karena mereka berdua melarikan diri tidak ada beritanya lagi.
"Kodrat!" kata Jaga Saradenta menegas. "Aku ini pamanmu. Semenjak kanak-kanak kau kuasuh dan kudidik. Kenapa sekarang kamu tega membuat aku mendapat kesulitan. Kenapa?"
Kodrat mengenal watak pamannya. Segera ia menjatuhkan diri sambil meratap. "Paman! Kalau aku membawa lari Rukmini dan anaknya, semata-mata karena terpaksa demi tugas. Dulu aku
diberi tugas sang Adipati Dewaresi merampas kembali pusaka itu. Pusaka itu ternyata hilang.
Bukankah satu-satunya jalan untuk mendapat keterangan adalah dari mulut salah seorang
anggota keluarga mereka?"
"Jahanam! Karena kamu gila kedudukan, mereka kaubuat susah begitu rupa. Mereka sudah cukup dihancurkan malapetaka. Mengapa kau sampai hati membebani kesedihan lagi ke anak-isteri mereka. Apa kau mau memperkosanya?"
"Tidak, sama sekali tidak! Tuhan menjadi saksi," sahut Kodrat cepat.
Jaga Saradenta merenungi, la melihat panelang mata kemenakannya sungguh-sungguh. Dia
ingin percaya. Kemudian berpaling kepada Wirapati minta pertimbangan.
"Wirapati, sesungguhnya dia tidak begitu berdosa. Tidak ada bukti, ia tidak berniat mencelakakan keluarga Wayan Suage dan Made Tantre. Perbuatannya hanya terdorong karena
rasa tugas belaka. Untuk ini aku bisa mengampuni. Dan, diapun tidak merusak kehormatan
Rukmini atau menyiksa Sangaji. Bagaimana pendapatmu?"
Wirapati sudah lama menaruh dendam. Masa ajaran Ilmu Mayangga Seta yang dirindukan
semenjak lama, tak dapat dicapainya lagi. Ini semua gara-gara si Kodrat Seumpama Kodrat tidak melarikan Rukmini dan Sangaji, pastilah masih ada harapan untuk mengejar waktu. Tetapi diapun sebenarnya bukan manusia bengis. Hati nuraininya penuh dengan pengucapan-pengucapan
kemanusiaan. Sebaliknya membebaskan Kodrat tanpa hukuman, rasanya kurang memuaskan
hatinya. "Kita berdua telah susah payah. Lagi pula tidak gampang memergoki dia, sekiranya Tuhan tak menaruh belas-kasih. Seumpama kita berdua tiada melihat dia pada hari ini, perjalanan kita bisa jadi mengalami waktu empat lima tahun. Aku telah kehilangan suatu kesempatan bagus. Karena itu aku menuntut ganti kerugian." Kata Wirapati tegas.
"Apa itu?" Jaga Saradenta berlega hati. Sebab bagaimanapun juga tak sampai hati ia mengadili kemenakannya.
"Dua bulan yang lalu mestinya aku telah menerima ajaran suatu ilmu sakti dari guruku. Tapi gara-gara ini, gagallah aku. Untuk minta pengajaran ulangan di kemudian hari tidaklah gampang."
"Lantas?" "Kemenakanmu kini menjadi serdadu. Nampaknya dia mantap."
"Biar mantap, tak sudi aku mempunyai kemenakan jadi begundal Belanda!" teriak Jaga Saradenta.
"Bagus! Kupinta dia mulai hari ini menanggalkan pakaian kompeni. Kemudian ikut kita berdua mencari Rukmini dan Sangaji. Ini baru adil."
"Kaudengar Kodrat! Betul-betul adil keputusan itu." Jaga Saradenta lantas saja menguatkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kodrat menundukkan kepala. Wajahnya berubah pucat. Keputusan itu sangat berat baginya.
Bagaimana dia dapat melepaskan pangkatnya/ Ke mana dia lantas hendak pergi"
Dia merasa telah kehilangan tempat. Kehilangan pelindung pula. Kalau Adipati Dewaresi tiba-tiba datang menagih kesetiaannya, apa yang akan diandalkannya. Tetapi ia sadar, dirinya berada dalam kekuasaan mereka, la tak berani membantah biar sepatah katapun.
"Nah"sekarang tanggalkan pakaian begundalmu!" perintah Jaga Saradenta garang.
Kodrat terpaksa menurut. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benaknya.
"Paman! Aku adalah kemenakan Paman. Pekerjaan menjadi serdadu Belanda ini, karena
terpaksa. Aku takut pada hukuman Paman. Tak tahunya Paman memberi ampun begini besar
kepadaku. Tetapi aku adalah keturunan kesatria. Tak dapat aku meninggalkan kesatuan kompeni secara kasar dan liar. Apa Paman sampai hati nama kemenakanmu menjadi omongan orang. Biar yang mengomongkan orang-orang Belanda," katanya.
Jaga Saradenta adalah seseorang yang mengutamakan nama dalam pergaulan hidup. Ia dapat
menerima kata-kata kemenakannya.
"Lantas?" katanya.
"Biarlah aku minta keluar dengan terus terang kepada komandanku." "Apa dalihmu?"
"Aku akan membuang senjataku. Dengan dalih aku kalah berkelahi melawan Paman sehingga senjataku terampas, sudahlah cukup kuat. Aku akan dihukumnya terlebih dahulu. Itu pasti. Tapi pada malam hari, kuharap Paman datang mengunjungi perkemahan lagi. Bawalah aku lari."
"Hm. Masa aku segoblok pendapatmu," damprat Jaga Saradenta. "Kompeni sekarang akan mempertebal kewaspadaannya setelah peristiwa semalam."
"Kalau begitu, berusahalah Paman mengikuti perjalanan mereka."
Jaga Saradenta melemparkan pandang kepada Wirapati. Ia menimbang-nimbang. Akhirnya
menyetujui. Kodrat bergembira. Segera ia mencium lutut pamannya dan cepat-cepat kembali ke perkemahan.
"Janganlah Paman meninggalkan tempat ini. Sehari ini pasti mereka berusaha menangkap Paman," serunya.
Jaga Saradenta mengiakan. Ia menunggu di tempat itu dengan Wirapati sambil
memperbincangkan cara mencari Rukmini dan Sangaji secepat mungkin agar tak menghabiskan
waktu. Harapan demikian terasa tebal dalam hatinya, mengingat Kodrat telah menyanggupkan diri untuk menyertai.
Waktu itu fajar hari mulai tiba. Dingin pagi mulai pula meresapi tubuh. Mereka berbaring di rerumputan sambil memandang bintang-bintang di langit. Kemudian kelelahan terasa datang
dengan diam-diam. Tertidurlah mereka tanpa dikehendaki sendiri seperti kena bius.
Berapa lama mereka tidur hanya alam sekitarnya yang dapat menerangkan. Tiba-tiba mereka
bangun terkejut. Pendengarannya yang tajam mendengar derap kuda yang mendekat. Tahu-tahu mereka telah terkepung rapat. Dua puluh serdadu mengancamkan pandang bengis. Mereka
bersenjata pedang. Ada pula yang memperlihatkan tiga empat pucuk senapan.
Jaga Saradenta dan Wirapati serentak bangkit berdiri. Mereka menyapukan pandangan.
Mendadak dilihatnya Kodrat berada di antara mereka sambil tersenyum menusuk hati. Melihat Kodrat, Jaga Saradenta lantas saja dapat menebak. Sekujur badannya menggigil. Hatinya terasa hampir meledak. Dengan pandang menyala ia membentak. "Kodrat! Apa artinya ini?"
Kodrat seolah-olah tak mendengar bentakannya. Ia menoleh kepada pasukannya. Memberi
perintah, "Maju! Kepung rapat. Kalau bisa, tangkaplah pengacau itu hidup-hidup. Bila melawan habisi nyawanya."
Pasangan Naga Dan Burung Hong 9 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Pendekar Jembel 6
^