Pencarian

Pertemuan Di Kotaraja 1

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 1


"Pertemuan Di Kotaraja
~ SERI 4 OPAS ~
== 4 Warriors==
Karya : Wen Rui An
Penyadur : Tjan ID
Empat opas terdiri dari: Put-Cing (si Tanpa perasaan), Tiatjiu
(si Tangan besi), Tui-bing (si Pengejar nyawa) dan Lenghiat
(si Darah dingin).
2 Leng-hiat (si Darah dingin): opas paling muda, ilmu
pedangnya tak bernama. Di kota Ciang-ciu membongkar intrik
pembunuhan yang dilakukan ahli waris si Iblis pedang darah
terbang (Hui-hial kiam-mo) Pa Siok-jin.
Tui-bing (si Pengejar nyawa) sangat mahir dalam ilmu
permainan kaki dan ilmu meringankan tubuh. Membongkar
misteri pembunuhan dalam Yu leng-san-ceng (Perkampungan
Hantu). Tiat-jiu (si Tangan besi): memiliki sepasang tinju yang tiada
tandingan. Put-cing (si Tanpa perasaan): mahir dalam akal muslihat
serta senjata rahasia.
Jilid 1 DAFTAR ISI: Bab I: TANGAN PEMBUNUH
1. Jeritan Mengerikan
2. Dimulai Dari Kecurigaan
3. Diakhiri Dengan Kematian
Bab II: TANGAN BERDARAH
4. Memasuki Alam Baka
5. Bun-lui Dari Kwan-tong
6. Menjebol Barisan
7. Membunuh Sahabat
Bab III: TANGAN BERACUN
8. Buronan Naga Penjara darah
9. Memisah Emas Menyembah Buddha
10.Bertarung Melawan Barisan Serigala
11.Dua Jagoan Gagah
12.Pertempuran Tiga Partai
13.Pertempuran Sebelas Pedang
3 Bab I. TANGAN PEMBUNUH.
1. Jeritan Mengerikan.
Jeritan mengerikan yang begitu memilukan hati
berkumandang secara tiba-tiba! Suara itu berasal dari sebuah
bangunan loteng di sayap timur gedung utama.
Suasana gembira yang sedang meliputi semua orang yang
hadir dalam gedung utama, seperti suara orang yang sedang
minum arak sambil berjudi, seketika terhenti secara
mendadak. Semua orang terhenyak, kaget oleh datangnya
jeritan mengerikan itu.
Sebagian besar orang yang hadir dalam ruang gedung itu
rata-rata bertubuh kekar, bermata tajam dan menggembol
senjata. Dari dandanan serta tampang mereka, dapat
diketahui bahwa asal-usul orang-orang ini pasti bukan orang
sembarangan. Di tengah ruangan terpampang sebuah tulisan yang besar,
"Siu" atau "panjang usia", sementara semua perabot dan
peralatan yang ada di sana hampir semuanya indah dan
mewah. Jelas keluarga pemiliknya adalah keluarga kaya raya.
Yang lebih hebat lagi, di samping ruang utama ada berjajar
empat buah bangku kebesaran yang terbuat dari kayu
cendana. Di atas keempat buah bangku kebesaran itu duduk
empat orang kakek yang telah berusia lanjut.
Orang pertama berambut putih dan beralis perak. Raut
mukanya bersih, tubuhnya jangkung dan penuh welas-asih.
Sebilah pedang tersoreng di punggungnya. Orang ini tak lain
adalah tokoh persilatan nomor wahid, jago paling termashur di
kota C'iang-ciu. Orang memanggilnya Te-it-tiau-liong (Naga
nomor wahid) Leng Giok-siu.
Konon ilmu pedang Tiang-khong-sip-ci-kiam (ilmu pedang
salib penembus langit) yang dimilikinya tiada tandingan di
kolong langit. Jarang ada jagoan yang sanggup menerima
jurus serangannya. Tapi sayang usianya sudah lanjut, sudah
4 bertahun-tahun dia simpan pedangnya dan hidup
mengasingkan diri.
Orang kedua adalah seorang kakek berambut putih dengan
wajah yang merah segar. Di pinggangnya tersoreng sebilah
golok yang amat tipis. Senjata itu tak pernah bergeser dari
tubuhnya. Jalan darah Thay-yang-hiat di kiri-kanan jidatnya
menonjol tinggi, jelas tenaga dalamnya amat sempurna.
Dia adalah Te-ji-tiau-liong (Naga nomor dua) Buyung Suiin.
Ilmu golok Jit-sian-chan (tujuh babatan berputar) yang
diyakininya sangat hebat dan tiada tandingan. Wataknya
keras, tegas dan lurus. Semua jago dari kalangan Hek-to akan
pecah nyali dan buru-buru menyingkir bila mendengar nama
Buyung Sui-in. Orang ketiga adalah seorang kakek yang dandanannya
setengah Tosu setengah awam. Rambutnya hitam, jenggotnya
panjang, penampilannya dingin lagi angkuh. Sebuah hud-tim
(senjata kebutan) selalu berada di tangannya.
Orang ini bermarga Sim bernama Ciok-kut, berada dalam
urutan keempat berjuluk Te-si-tiau-liong (Naga keempat).
Ilmu silat yang dimilikinya tinggi dan sakti. Senjata hudtimnya
yang merupakan salah satu senjata langka disebut
Ciok-kut-hud (kebutan salah tulang). Tapi sayang wataknya
aneh, dingin, kaku dan tidak berperasaan. Walaupun begitu,
dia terhitung seorang manusia jujur yang berhati lurus dan
setia-kawan. Kelemahannya adalah dia kelewat sadis dan
selalu telengas terhadap lawannya.
Orang-orang dari kalangan Hek-to akan segera menyingkir
atau bersembunyi bila bertemu Buyung Sui-in, maka bila
bertemu Sim Ciok-kut, mungkin mau bergerak selangkah pun
tidak berani. Orang keempat adalah seorang kakek bercambang hitam
yang mengenakan pakaian penuh tambalan. Sewaktu melotot,
matanya lebih besar dari uang tembaga. Alisnya tebal dengan
mata besar, biarpun perawakan tubuhnya sedikit pendek,
namun kekar berotot seperti sebuah kuali baja. Sepasang
5 tangannya kasar, dua kali lebih kasar daripada tangan orang
biasa. Orang ini tidak membawa senjata. Ilmu silat andalannya
adalah ilmu kebal Thiat-poh-san (baju kain baja), ditambah
ilmu Cap-sah-thay-po (tiga belas thay-po) dan Tong-cu-kang
(ilmu jejaka). Konon kesempurnaan ilmunya sudah mencapai
sebelas bagian, bukan saja kebal terhadap berbagai senjata,
biarpun sebuah bukit ambruk dan menindihi tubuhnya pun
belum tentu akan membuatnya mati.
Dari lima ekor naga, wataknya paling keras dan berangasan.
Dia tak lain Te-ngo-tiau-liong (Naga kelima) Kui Keng-ciu.
Mereka semua disebut orang Bu-lim-ngo-tiau-liong (Lima
naga dari dunia persilatan). Sejak dulu nama mereka sudah
tersohor akan kehebatan serta kependekarannya. Sayang usia
mereka makin bertambah tua, hingga kegiatan mereka pun
bertambah sedikit. Meski begitu, belum ada orang berani
mengutak-atik kebesaran lima naga ini.
Yang disebut Lima naga dari Bu-lim adalah Naga pertama
Leng Giok-siu pandai dalam Tiang-khong-sip-ci-kiam, Naga
kedua Buyung Sui-in mahir memainkan Jit-sian-chan, Naga
ketiga Kim Seng-hui ahli menggunakan Sah-cap-lak-jiu-bukong-
pian (tiga puluh enam jurus ilmu ruyung kelabang),
Naga keempat Sim Ciok-kut mahir Ciok-kut-hud dan naga
kelima Kui Keng-ciu mahir ilmu kebal.
Di kota Ciang-ciu dan sekitarnya, nama besar kelima orang
ini ibarat matahari di tengah awan. Hampir semua orang kenal
dan hormat kepada mereka.
Hari ini adalah hari ulang tahun ke-50 Te-sam-tiau-liong
(Naga ketiga) Kim Seng-hui. Para jago yang berkumpul dalam
ruang utama adalah para jago yang datang dari berbagai
daerah untuk mengucapkan selamat kepada Sah-cap-lak-jiubu-
kong pian Kui Keng-ciu atas ulang tahunnya yang ke-50.
Suara jeritan mengerikan itu berasal dari atas loteng, dan
ternyata berasal dari mulut Kim Seng-hui, tuan rumah yang
sedang berulang tahun.
Apa yang sebenarnya telah terjadi"
6 Setelah bergemanya jeritan itu, mendadak suasana pulih
kembali, hening.
Ada beberapa orang jago segera melompat bangun sambil
melolos senjata, ada sementara orang yang tidak tahu apa
yang telah terjadi. Suasana jadi kalut, suara gaduh bergema
memecah keheningan dalam ruangan.
Tiba-tiba terdengar seseorang berbicara. Suara itu lembut
lagi pelan. Namun begitu, suara pembicaraannya mampu
mengatasi suara gaduh yang menggema di ruangan, membuat
semua orang seketika menjadi tenang kembali.
Terdengar orang itu berkata, "Saudara semua, jeritan tadi
memang berasal dari Kim-samte. Kami belum tahu apa yang
telah terjadi, tapi aku mohon kerja-sama saudara sekalian.
Harap tenang dan menahan diri, dengan begitu kami baru bisa
mendengar lebih jelas, melihat lebih jelas apa gerangan yang
telah terjadi. Bila ditemukan ada di antara kalian yang
berusaha meninggalkan arena atau mencoba melarikan diri,
tolong tangkap segera orang itu, terima kasih!"
Berpaling ke arah asal suara pembicara itu, semua orang
melihat Leng Giok-siu masih duduk di kursi utama sembari
berbicara, sementara Buyung Sui-in, Sim Ciok-kut dan Kui
Keng-ciu entah sedari kapan sudah lenyap dari situ.
Malahan semua orang tak ada yang tahu sejak kapan
ketiga orang jago itu meninggalkan ruang utama.
"Saudara sekalian," kembali Leng Giok-siu berkata sambil
tersenyum. "Buyung-jite, Sim-site dan Kui-ngote telah pergi
melakukan pemeriksaan. Dengan kemampuan Kim-samte,
apalagi dibantu jite, site dan Ngote, biar ada kejadian yang
betapa hebat pun rasanya mereka masih sanggup buat
menghadapinya."
Para jago pun duduk kembali ke tempat masing-masing.
Malah ada yang berseru sambil tertawa, "Dari lima naga Bulim,
sudah empat naga yang bertindak. Rasanya memang tak
ada masalah yang tak dapat mereka atasi!"
"Ya, betul!" sambung yang lain sambil tertawa pula. "Begitu
suara jeritan bergema, aku lihat Buyung-jihiap dan KuiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
7 ngohiap telah melesat keluar dari ruangan. Gerakan tubuh
mereka luar biasa cepatnya, sampai aku pun tak sempat
melihat dengan jelas."
"Tentu saja kau tak sempat melihat jelas," jago yang lain
menimpali. "Mereka adalah para Cianpwe yang berilmu tinggi.
Tak heran kalau reaksi serta gerakan tubuh mereka luar biasa
cepatnya. Kita semua ini apa" Mana dapat menandingi
kelihaian mereka?"
Gelak tawa pun bergema lagi memenuhi ruangan.
Leng Giok-siu ikut tertawa, padahal diam-diam ia
mengernyit dahi, sebab tak ada orang lain yang lebih tahu
ketimbang dia. Sah-cap-lak-jiu-bu-kong-pian (tiga puluh enam
jurus ruyung kelabang) Kim Seng-hui tak bakal sembarangan
menjerit kalau bukan menghadapi masalah serius.
Apalagi jeritannya jelas adalah jeritan mengerikan yang
memilukan hati!
Apapun yang terjadi, tiga orang saudaranya yang
melakukan penyelidikan pasti akan kembali untuk memberi
laporan. Paling tidak, akan berusaha menenteramkan
perasaan orang banyak.
Sebenarnya apa yang telah terjadi" Kenapa terjadi justru
pada saat Kim Seng-hui sedang merayakan ulang tahunnya
yang ke-50"
Mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat.
Sim Ciok-kut dengan wajah sehitam pakaian yang dikenakan
telah muncul kembali ke dalam ruangan. Leng Giok-siu segera
berkerut kening, karena ia saksikan sepasang tangan Sim
Ciok-kut penuh belepotan darah.
Jerit kaget dan teriakan terperanjat kembali bergema di
dalam ruangan. "Toako, coba kau ke sana sebentar," bisik Sim Ciok-kut
kemudian dengan lirih.
"Baik!" sahut Leng Giok-siu. Bagai segumpal awan di
angkasa dia meluncur keluar dari ruangan dengan kecepatan
luar biasa. 8 Suara bisik-bisik kembali bergema memecah keheningan.
Para jago mulai menduga-duga apa yang telah terjadi.
Sementara itu dengan wajah hijau membesi Sim Ciok-kut
berkata dengan suara keras, sepatah demi sepatah, "Sebelum
duduk perkaranya jelas, harap kalian jangan meninggalkan
tempat ini. Siapa berani membangkang berarti mati!"
Perkataan itu diutarakan dengan suara berat tapi
bertenaga, hawa membunuh yang terpancar bagai sayatan
golok. Sesaat kemudian suasana jadi teramat hening,
sedemikian sepinya hingga suara nyamuk yang terbang pun
terdengar jelas.
Ketika melangkah keluar dari ruang utama, Leng Giok-siu
berpikir tiada habisnya. Tapi begitu berada di luar, ia segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk meluncur
pergi dengan kecepatan bagaikan kilat.
Di antara kibaran baju berwarna kuning, sekejap kemudian
dia sudah melewati pesanggrahan Ci-in-khek, berbelok ke arah
gardu Siang-sim-teng lalu setelah melampaui beranda Tiokyap-
lang dia langsung meluncur ke atas sebuah loteng di sisi
timur. Baru melangkah masuk ke dalam gedung, Leng Giok-siu
sudah melihat para pelayan keluarga Kim berkumpul di depan
beranda dengan wajah gugup, mata memerah dan tubuh kaku
membeku, sementara para sanak-famili keluarga Kim
berduyun-duyun naik ke loteng untuk melihat apa yang telah
terjadi. Seorang di antara mereka segera menyongsong
kedatangan Leng Giok-siu sambil berseru diiringi isak-tangis.


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Toaya"
"Apa yang telah terjadi?" tegur Leng Giok-siu dengan nada
suara berat. Sebelum ada jawaban, mendadak Buyung Sui-in
menongolkan kepalanya dari atas loteng sambil berteriak,
"Toako, cepat naik kemari!"
9 Leng Giok-siu melambung ke udara, lalu menerobos keluar
lewat jendela. Tapi apa yang kemudian terlihat di dalam ruang
kamar itu.membuatnya berdiri tertegun.
Ruangan itu adalah kamar tidur Te-sam-tiau-liong, Kim
Seng-hui. Sebetulnya ruangan itu dihiasi dengan kain serba merah,
merah segar yang menandakan panjang usia. Tapi kini, merah
yang menyelimuti seluruh ruangan nampak begitu seram,
menakutkan ....
Merah itu bukan merahnya kain, tapi merah darah segar.
Darah segar berwarna merah kehitam-hitaman berceceran
hampir di setiap sudut kamar.
Kim Seng-hui terkapar di tanah, tergeletak di atas
genangan darah.
Dia masih mengenakan jubah sutera yang indah. Separuh
tubuhnya bersandar di pembaringan dengan punggung
menghadap pintu besar. Sesaat menjelang ajal, dia masih
menekan dada sendiri. Darah kental mengucur keluar dari
tempat itu, menggenangi lantai, menodai seluruh
pembaringan. Luka yang merenggut nyawanya terletak persis di dadanya.
Ceceran darah dimulai dari pintu kamar yang terbuka lebar
hingga tepi pembaringan. Ini menunjukkan jika peristiwa
pembunuhan berlangsung di depan pintu, sementara Kim
Seng-hui yang terluka parah berusaha kabur hingga tepi
pembaringan. Tangannya yang sebelah malah sempat
merogoh ke bawah bantal, berusaha melolos ruyung
hitamnya. Dia termasyhur dalam dunia persilatan karena Sah-cap-lakjiu-
bu-kong-pian yang maha hebat. Tapi lantaran hari ini
adalah hari ulang tahunnya yang ke-50, maka senjata itu tidak
digembol dalam saku.
Walau Leng Giok-siu berpengalaman dan banyak
menghadapi pertarungan sengit, namun Kim Seng-hui adalah
saudara angkatnya yang sudah bergaul puluhan tahun. Tak
urung kejadian ini membuat sekujur badannya gemetar,
10 gejolak emosi yang menggelora nyaris membuat dia
melelehkan air mata.
Kim-hujin (Nyonya Kim) bersama sanak keluarga Kim
berkumpul di dalam kamar sambil menangis menjerit-jerit.
Sambil berusaha menahan rasa pedih dalam hatinya, Leng
Giok-siu membangunkan Kim-hujin seraya menghiburnya, "Enso
ketiga, kau jangan kelewat sedih. Kematian Samte adalah
urusan kami empat bersaudara. Kami pasti akan berusaha
untuk membalaskan dendam sakit hatinya.
Saking sedihnya menangis, Kim-hujin jatuh tak sadarkan
diri. Segera Leng Giok-siu menyalurkan tenaga murninya
menembus urat penting di tubuh perempuan itu. Ketika sadar
kembali dari pingsannya, sembari menangis tersedu-sedu Kimhujin
berteriak, "Toapek ... oooh toapek! Seng-hui telah tewas
... bagaimana dengan diriku" Katakanlah ... bagaimana
dengan aku.... Sejak tadi Te-ngo-tiau-liong Kui Keng-ciu sudah mengepal
tinjunya kencang-kencang. Keluhan yang menyayat hati ini
kontan membuat otot-otot tubuhnya semakin menegang,
bahkan seluruh tulang berbunyi gemerutuk keras. Lalu
teriaknya dengan penuh gusar, "Anak jadah, bajingan
terkutuk! Berani amat kau membantai Samkoku" Aku Kuilongo
bersumpah hendak mengadu jiwa denganmu!"
Sembari berteriak, ia menerjang keluar dari ruangan.
Dengan cekatan Buyung Sui-in segera menyelinap keluar,
menghadang jalan perginya.
"Ngote, kau akan mengadu jiwa dengan siapa?" tegurnya.
Kui Keng-ciu agak melengak, menyusul kemudian
teriaknya, "Aku tak peduli siapa orang itu! Pokoknya akan
kucari satu per satu. Semua tamu yang hadir akan kuobrakabrik!
Masa aku tak bisa mengenalinya?"
Kembali Buyung Sui-in tertegun.
"Ngote, jangan sembrono..." cegahnya.
"Jangan halangi aku! Kalau tidak, jangan salahkan kalau
kau pun akan kutinju!" ancam Kui Keng-ciu sambil meraung
marah. 11 "Ngote, jangan ceroboh!" dengan suara berat dan dalam
tiba-tiba Leng Giok-siu menghardik.
Tampaknya terhadap Leng Giok-siu, Kui Keng-ciu menaruh
perasaan kagum, hormat dan sangat penurut. Ia tidak berani
berulah lagi. Sambil berjongkok dan menangis tersedu ia
berseru, "Samko ... wahai Samko, siapa yang telah
mencelakaimu" Katakanlah pada Longo, siapa yang telah
membunuhmu .... Aku bersumpah akan mencincangnya
hingga hancur berkeping-keping. Aku harus membalaskan
dendam sakit hatimu ini!"
Sementara itu Leng Giok-siu berkata dengan kening
berkerut, "Enso ketiga, aku rasa peristiwa pembunuhan ini
lebih baik dilaporkan dulu kepada yang berwajib. Mungkin
tindakan itu jauh lebih baik."
Pelan-pelan Kim-hujin mengangkat kepalanya, air mata
membasahi seluruh wajahnya, air mata bercampur darah.
Mendadak ia seperti teringat sesuatu, lalu katanya, "Kedua
sahabat karib Seng-hui semasa hidupnya adalah opas paling
tersohor di kolong langit. Leng-hiat (si Darah dingin) dan Liu
Ce-in. Kini mereka pun hadir di ruang utama. Mengapa tidak
mengundang mereka untuk membantu melakukan
penyelidikan?"
"Mereka berdua pun hadir?" seru Leng Giok-siu kegirangan.
"Aaah, kalau begitu ada harapan kasus pembunuhan Samte
dapat segera terungkap!" Siapakah Liu Ce-in"
Liu Ce-in bukan siapa-siapa. Liu Ce-in adalah opas nomor
wahid di seputar Ngo-ou-kiu-ciu (lima telaga sembilan sungai).
Kalangan hitam maupun kalangan putih serta dua belas partai
besar yang dipuja orang menyebutnya sebagai 'Dewa opas'.
'Dewa opas' bukan dimaksudkan dia adalah dewa di antara
para opas. Gelar ini mencerminkan cara kerjanya yang macam
dewa, sepak terjang yang luar biasa dan kemampuan
mengungkap kasus yang luar biasa.
Selain memiliki kecerdasan yang luar biasa, kungfu yang
dimiliki Liu Ce-in pun sangat hebat. Dia bahkan masih sangat
12 muda, usianya belum melampaui tiga puluh tahun, sementara
senjata andalannya hanya sebuah pipa huncwe kecil.
Konon belum pernah ada jago tangguh yang bisa bertarung
lebih dari dua puluh gebrakan di bawah gencaran serangan
huncwe kecilnya itu.
Selain cerdas dan tangguh, Dewa opas Liu Ce-in punya
banyak mata-mata serta informan yang tersebar di seantero
dunia. Khususnya dalam kalangan para opas, dia ibarat
seorang Toa-loya yang jujur dan bijaksana. Nyaris semua
pegawai pengadilan taat dan tunduk kepadanya.
Sudah hampir tujuh tahun Liu Ce-in bersahabat dengan Bulim-
ngo-tiau-liong.
Dan kini Kim Seng-hui mati terbunuh. Sudah sewajarnya
bila Liu Ce-in mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya untuk membantu melakukan pelacakan serta
penyelidikan. Tentang Leng-hiat, si Darah dingin, siapa pula dia"
Si Darah dingin baru berusia dua puluh tahun. Dia terhitung
opas paling muda dalam kalangan Lak-san-bun. Biarpun
begitu, dia justru merupakan salah satu di antara 'Empat opas'
yang amat termashur di kolong langit.
Yang dimaksud sebagai Empat opas adalah Put-cing (si
Tanpa Perasaan), Tiat-jiu (si Tangan Besi), Tui-bing (si
Pengejar Nyawa) dan Leng-hiat (si Darah dingin). Sementara
si Dewa opas Liu Ce-in sama sekali tidak tercantum dalam
daftar itu. Empat opas terdiri dari jago kelas wahid dalam dunia
persilatan. Masing-masing memiliki kemampuan serta
kelebihan yang luar biasa. Si Darah dingin adalah satu di
antaranya. Ketika berusia enam belas tahun, ia sudah berulang kali
membuat jasa hebat. Karir kerjanya menanjak, belum pernah
ada buronan kelas kakap yang berhasil lolos dari
cengkeramannya. Belum pernah ada kawanan penjahat yang
berhasil mengalahkan dirinya.
13 Ketika berusia delapan belas tahun, gara-gara ingin
membekuk seorang Mo-ong, Raja iblis, yang berilmu tinggi,
dia rela bersembunyi di dalam sarang iblis selama sebelas hari
tanpa bicara tanpa bergerak. Tidak makan dan tidak minum,
yang dinantikan hanya sebuah kesempatan emas. Begitu
peluang emas muncul, dalam satu sergapan yang tak terduga
ia menghabisi nyawa si Raja iblis itu.
Seorang pemuda yang baru berusia delapan belas tahun
ternyata berhasil membekuk seorang Raja iblis, bisa
dibayangkan betapa gemparnya sungai telaga oleh
keberhasilannya itu.
Ketika berusia sembilan belas, seorang diri ia masuk ke
hutan rjmba mengejar tiga belas orang perampok ulung.
Akhirnya ia berhasil membantai mereka satu per satu, bahkan
pemimpin mereka yang berilmu silat satu kali lipat lebih hebat
dari dirinya pun berhasil dibinasakan di bawah ujung
pedangnya. Ketika ia balik ke kota karesidenan dengan penuh luka
bacokan di sekujur badannya, semua orang mengira umurnya
tak bakal panjang. Siapa tahu, belum sampai dua bulan ia
sudah bisa menunggang kuda lagi untuk melacak dan
memburu kaum penyamun.
Si Darah dingin pandai menggunakan pedang, penyabar
dan ulet. Ilmu pedangnya tak bernama, tapi setiap tusukan
pedangnya selalu cepat, tepat dan telengas. Semuanya tanpa
nama maupun julukan.
Dia selalu beranggapan jurus .serangan hanya kembangan,
hanya nama kiasan yang tak berarti. Gerakan tusukan yang
bisa mematikan lawan itulah ilmu pedang sejati.
Maka biarpun usia si Darah dingin masih sangat muda,
namun status serta kedudukannya dalam kalangan pengadilan
justru luar biasa tinggi dan terhormat.
Walau begitu, lantaran dia masih muda, lagi pula keras
hatinya, banyak opas dan petugas pengadilan yang enggan
takluk kepadanya. Mereka lebih rela mengabdi kepada Liu CeTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
14 in ketimbang kepadanya. Tak heran kalau nama besar Liu Cein
justru berada jauh di atasnya.
Si Darah dingin baru setahun kenal dengan Kim Seng-hui.
Namun dengan Leng Giok-siu, dia punya pengalaman bekerjasama
dalam penumpasan seorang perampok ulung dari Cangciu
yang berilmu tinggi. Hubungan persahabatan mereka telah
berlangsung tiga tahun lebih.
Kini Kim Seng-hui tertimpa kemalangan, dibunuh orang
secara misterius. Tentu saja si Darah dingin tak bisa berpeluk
tangan. Saat ini si Darah dingin sudah berdiri. Selama dia masih
bisa berdiri tak nanti dia duduk. Baginya duduk hanya akan
mengendorkan semangat serta kewaspadaannya. Bila bertemu
musuh, reaksinya pasti kurang cepat, gerak tubuhnya pasti
kurang cekatan.
Sementara itu Liu Ce-in masih duduk. Selama dia bisa
duduk, tak bakal dia bangkit berdiri. Baginya berdiri hanya
membuat semangatnya kendor, tenaganya melemah. Bila
bertemu musuh, reaksinya jadi tidak lincah, kurang cekatan.
Hanya dalam kondisi istirahat yang berlebihan, kondisi tubuh
baru akan segar dan memiliki tenaga yang paling besar.
Biarpun berbeda prinsip, arah pandangan yang mereka tuju
saat ini ternyata sama. Mereka sedang berada di dalam kamar
tidur Kim Seng-hui, mengawasi tubuh Kim Seng-hui yang
terkapar di lantai, tergeletak di tengah genangan darah.
"Saudara Leng," pelan-pelan Liu Ce-in berkata. "Sewaktu
kau naik kemari, apakah keadaan dalam kamar sudah begini?"
"Lohu telah turunkan perintah," sahut Leng Giok-siu
dengan suara berat dan dalam, "siapa pun dilarang
menggeser atau mengalihkan barang yang ada di sini. Siapa
pun dilarang meninggalkan tempat duduknya."
Liu Ce-in menunduk sambil termenung sejenak, lalu
kembali tanyanya, "Saudara Leng, sewaktu naik ke loteng,
apakah kau menjumpai seseorang yang mencurigakan?"
15 "Begitu Samte menjerit kesakitan, Jite, Site dan Ngote
sudah berlarian menyusul kemari, sementara Lohu tetap
tinggal di ruang utama, menenangkan para tamu."
"Sewaktu tiba di atas loteng, pintu sudah berada dalam
keadaan terbuka," Buyung Sui-in menerangkan. "Segera aku
sadar bahwa keadaan tidak beres. Bersama Site dan Ngote,
kami langsung menerjang masuk, dan kami ... kami melihat
Samte bersandar di sisi pembaringan. Dia bersandar sambil
berpekik "Apa yang dia teriakkan" Kau sempat mendengar secara
jelas?" tergerak paras muka Liu Ce-in.
Dengan pedih Buyung Sui-in menggeleng, "Samko seperti
sedang berseru, 'kau ... loteng (Lo) tahu-tahu nyawanya
sudah melayang. Masih untung Site lebih tenang dia bilang
akan pergi memanggil Toako ... kemudian ... kemudian enso
ketiga dan sanak yang lain berdatangan
Liu Ce-in menghembuskan napas panjang, katanya sambil
menghela napas, "Ai... sayang Kim-samhiap tak sempat
mengutarakan kata-katanya."
"Sempat!" mendadak si Darah dingin menyela.
"Oh ya?"
"Apakah di sini ada orang dari marga Lo (loteng)?" tanya si
Darah dingin dengan suara membeku.
Kim-hujin menghentikan tangisannya, sesudah termenung
dan berpikir sejenak, jawabnya, "Tidak ada. Rasanya di sini


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak ada orang dari marga Lo."
"Di antara tamu undangan juga tak ada," Buyung Sui-in
menimpali. "Mungkinkah yang dimaksud orang dari marga Liu?" tibatiba
Liu Ce-in mengingatkan.
"Betul!" seru Leng Giok-siu sambil menggebrak meja.
"Semestinya ada! Biar Lohu lakukan pemeriksaan."
"Sesaat menjelang kematiannya, Kim-samhiap pasti telah
mengucapkan kata-kata yang sangat penting," gumam Liu Cein
16 "Dan kata-katanya, pasti nama dari pembunuh biadab itu "
sambung si Darah dingin.
Darah dingin jarang bicara, sebab itu ucapannya sering
penuh tekanan, tegas, singkat dan tandas.
Sebaliknya Liu Ce-in agak banyak bicara, tapi setiap
perkataannya selalu dilandasi alasan yang kuat, pemikiran
yang cerdas dan enak didengar.
Tak selang berapa saat kemudian, Leng Giok-siu sudah
balik sambil membawa sebuah daftar nama. Katanya setelah
menghela napas, "Ternyata dugaan kalian betul. Di antara
tamu undangan memang ada dua orang berasal dari marga
Liu, dari anggota keluarga pun ada seorang yang berasal dari
marga Liu."
"Oh ya ..." Apakah ada yang mencurigakan?" tanya Liu Cein.
Leng Giok-siu menggeleng.
"Dari dua orang tamu yang bermarga Liu, seorang bernama
Liu Yap-hu. Dia sama sekali tak tahu ilmu silat. Ia seorang
tauke rumah pegadaian. Lantaran seringkah menjual barangbarang
berharga kepada Samte, maka dalam pesta ulang
tahunnya kali ini, Samte sengaja mengundangnya. Semestinya
orang ini tidak patut dicurigai."
"Yang seorang lagi?"
"Orang ini sedikit tahu kungfu, namanya juga kurang baik.
Tapi dia selalu taat, hormat dan tunduk pada Samte. Bila
orang semacam ini ingin menyerang Samte dan
membunuhnya dalam sekali gebrakan, walau Samte dalam
keadaan tidak siaga, dengan mengandalkan kungfunya
rasanya mustahil. Dia bernama Liu Kiu-ji, julukannya Thi-ci (si
penggaris besi). Namanya kurang seberapa dikenal dalam
dunia Kangouw. Aku rasa kalian berdua pun tak pernah
mendengarnya bukan?"
Liu Ce-in segera tertawa, katanya, "Liu Kiu-ji berusia empat
puluh tiga tahun, senjatanya sebuah penggaris besar dengan
panjang dua depa tiga inci. Suka minum, suka perempuan.
Biar tak punya kemampuan tapi suka membuat keonaran dan
17 mencari gara-gara. Dia pernah ditangkap satu kali dan
dijebloskan ke dalam penjara besar di kota Liu-ciu. Tak punya
sanak tak punya keluarga, tapi terhadap saudara Kim, dia
memang amat memuja-muja, bahkan sering memuji setinggi
langit bila berada di hadapan orang."
Liu Ce-in, si Dewa opas ini memang luar biasa sekali.
Biarpun cuma seorang Bu-lim-siau-cut yang tak terkenal,
ternyata ia dapat menghapalkan identitas serta biodatanya
dengan begitu jelas dan terperinci.
Leng Giok-siu agak tertegun, pujinya kemudian, "Dewa
opas memang tak malu disebut Dewa Opas. Sungguh
mengagumkan, sungguh mengagumkan."
"Ah, mana, mana ... kita yang makan nasi dari mangkuk
semacam ini, memang mesti hapal di luar kepala semua
biodata orang-orang persilatan itu."
"Tentang Liu Kiu-ji, aku kurang tahu," sela si Darah dingin
tiba-tiba. "Siapa pula sang pelayan yang satunya lagi?"
"Dia semakin tak mungkin," sahut Leng Giok-siu sambil
tertawa, "sebab dia adalah seorang bocah perempuan yang
baru berusia tujuh tahun. Seorang dayang kecil yang baru
dibeli Samte. Jangan lagi melakukan pembunuhan, untuk
membedakan mana perayaan perkawinan dan mana perayaan
kematian pun dia masih rancu."
"Jiwi," tiba-tiba Buyung Sui-in menyela, "apakah kita perlu
memeriksa setiap tamu yang hadir dalam ruang utama"
Adakah di antara mereka yang pernah meninggalkan tempat
perjamuan ketika terjadinya peristiwa ini?"
"Apakah semua yang hadir dalam ruang utama benar-benar
adalah sahabat kalian?" tanya Liu Ce-in.
"Lohu sudah selidiki, tak ada yang datang dengan mencatut
nama orang lain."
"Mungkinkah di antara tamu yang hadir ada yang punya
perselisihan atau ikatan dendam dengan Kim-samhiap?"
"Tidak mungkin," sahut Kim-hujin sembari sesenggukan,
"tidak mungkin. Sewaktu akan mengundang para tamu yang
akan diundang menghadiri pesta ulang tahun ini, Seng-hui
18 telah berunding denganku. Oleh karena kami kuatir akan
terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan dalam pesta ini,
maka semua orang yang kemungkinan bisa membuat onar,
atau orang yang dulu pernah terlibat perselisihan, tak seorang
pun yang kami undang. Siapa nyana ... siapa nyana ...
ternyata...."
Ledakan isak tangis membuat ia tak sanggup
menyelesaikan kata-katanya.
"Kalau begitu, tolong saudara Leng kirim utusan
memberitahukan kepada Sim-sihiap. Suruh dia lepaskan
semua tamu yang tertahan di ruang utama. Kehadiran mereka
tidak banyak membantu, karena siapa pun tak mengira akan
terjadi peristiwa semacam ini."
Tiba-tiba tertampak seorang pelayan berlari masuk dengan
tergopoh-gopoh dan berseru dengan napas tersengal, "Hamba
... hamba ... bukan hamba berhasil kabur, tapi dia ... dia telah
membebaskan hamba"
"Siapa yang melepaskan kau?" tegur Leng Giok-siu dengan
kening berkerut. "Bagaimana tampang wajahnya" Apakah kau
sempat melihat jelas?"
"Hamba tidak berani berpaling," kembali pelayan itu
menjawab agak tergagap, "waktu itu hamba sudah ketakutan
setengah mati ... hamba anggap nasib lagi mujur karena tidak
... tidak dibunuh"
"Apakah kau tahu, apa alasannya membebaskan dirimu?"
tanya Liu Ce-in.
"Orang itu ... orang itu menyusupkan setahil perak ke saku
hamba ... dia sangat royal ... setahil perak .. lalu menyerahkan
juga sepucuk surat. Dia minta hamba serahkan surat itu
kepada Tayjin ... Bukan ... bukan hamba yang minta persen,
dia bilang ... bila hamba tidak melaksanakan perintahnya, dia
... dia akan mencekik ... akan mencekik tengkuk hamba
sampai mati"
"Mana suratnya?" tanya si Darah dingin.
Dengan tangan gemetar pelayan itu menyerahkan sepucuk
surat. Baru saja Kim-hujin akan menerimanya, Liu Ce-in sudah
19 menggoyangkan tangannya mencegah. Kemudian dia sambut
surat itu, diayun-ayunkan sebentar di muka jendela, lalu
setelah menyumbat lubang hidung sendiri dengan kapas, ia
merobek sampul surat itu.
Ternyata isinya memang sepucuk surat. Tak ada jebakan,
tak ada racun dan tak ada intrik jahat apapun.
Setelah yakin aman, baru Liu Ce-in serahkan surat itu ke
tangan Kim-hujin.
Selesai membaca isi surat itu, tiba-tiba Kim-hujin menjerit
keras lalu roboh tak sadarkan diri. Lekas Leng Giok-siu
menitahkan dayang untuk menggotong pergi Kim-hujin.
Setelah mengambil surat itu, dengan suara lantang dia pun
membaca isinya:
"Ditujukan kepada Naga nomor satu Leng Giok-siu, Naga
nomor dua Buyung Sui-in, Naga nomor empat Sim Ciok-kut,
dan Naga nomor lima Kui Keng-ciu. Masih ingat dengan
hutang darah Hui-hiat-kiam-mo (iblis pedang darah terbang)
Pa Siok-jin sepuluh tahun berselang" Hari ini keturunannya
khusus datang untuk menagih hutang. Korban pertama adalah
Kim Seng-hui, menyusul kemudian dalam tiga hari mendatang
Lima naga dari dunia persilatan akan lenyap dari muka bumi,
akan kubantai semuanya untuk menebus dendam kesumat
sedalam lautan yang telah berlangsung sepuluh tahun
lamanya. Nantikan saja hari kematian kalian.
Tertanda, Keturunan Kiam-mo
Hui-hiat-kiam-mo" Iblis pedang darah terbang" Nama yang
disebutkan bukan saja membuat Kim-hujin jatuh pingsan
seketika, bahkan Leng Giok-siu, Buyung Sui-in maupun Kui
Keng-ciu pun dibuat terkesiap hingga paras mereka berubah
jadi pucat pias.
Liu Ce-in serta si Darah dingin ikut tergetar mimik
mukanya! 20 Pertempuran itu adalah pertempuran berdarah 'Lima naga
membantai Iblis latah' yang sangat berdarah dan tersohor di
kolong langit. Gara-gara pertempuran ini, kehidupan Lima naga dari dunia
persilatan selalu diliputi perasaan waswas. Setiap kali
menyinggung pertempuran melawan Pa Siok-jin, perasaan
mereka selalu terkesiap.
Kalau bukan lantaran Kwan Keng-san sangat ketat
mendidik anak muridnya, hingga murid-muridnya berhasil
meyakinkan kungfu yang tangguh, sulit bagi Lima naga untuk
membinasakan si Iblis latah. Sementara itu meski anak murid
Pa Siok-jin sudah mewarisi ilmu sakti iblis pedang darah
terbang, namun lantaran tidak tekun berlatih dan selalu
membuat keonaran dengan hanya mengandalkan nama besar
gurunya, maka begitu guru mereka terbunuh, para muridnya
pun segera bubar dan melarikan diri, tercerai-berai. Masingmasing
menyembunyikan nama serta hidup terpencil. Tak
seorang pun yang berani muncul lagi dalam dunia persilatan.
Walau begitu, karena ilmu silat Pa Siok-jin sudah diwariskan
semua kepada mereka, maka bila suatu ketika mereka berhasil
menguasai kepandaian silat itu, dunia persilatan pasti akan
kacau-balau lagi, dan bayangan gelap inilah yang selalu
menghantui jalan pikiran Lima naga dari dunia persilatan.
Kini keturunan Iblis pedang darah terbang sudah muncul
kembali, akhirnya muncul untuk membalas dendam. Tak heran
kalau si Darah dingin serta Liu Ce-in yang begitu tangguh pun
ikut terkesiap setelah mengetahui berita ini.
Keheningan yang luar biasa mencekam seluruh ruangan.
Semua orang saling berpandangan dengan perasaan ngeri,
begitu pula dengan Leng Giok-siu, Buyung Sui-in serta Kui
Keng-ciu. Sekilas perasaan ngeri menghiasi wajah mereka.
Tiba-tiba Kui Keng-ciu melompat bangun seraya berseru,
"Kalau mau datang biarlah datang. Si Iblis tua saja sudah kami
pecundangi, masa anak-cucu kura-kura tak mampu kami
hadapi" Hmmm, jika bernyali datanglah kemari, akan kubantai
mereka satu per satu!"
21 Suasana hening mencekam seluruh ruangan. Tak seorang
pun yang memberi tanggapan. Yang terdengar hanya
suaranya yang keras, nyaring dan lantang.
"Baiklah," seru Leng Giok-siu kemudian sambil melipat
surat itu, "kini keturunan Pa Siok-jin telah datang. Kami Lima
naga dari dunia persilatan pun belum terlalu tua sehingga tak
sanggup mencabut pedang. Rasanya masih punya kemampan
untuk melangsungkan duel berdarah!"
Liu Ce-in termenung sambil berpikir sejenak, kemudian
katanya, "Berbicara kepandaian silat yang kalian berempat
miliki, rasanya memang tak perlu takut menghadapi ahli waris
Pa Siok-jin. Persoalannya sekarang adalah musuh ada di
tempat gelap sedang kita berada di tempat terang. Hingga kini
kita masih belum tahu siapa ahli waris keluarga Pa. Hal inilah
yang bisa menimbulkan kerugian besar bagi kalian."
"Yang lebih penting lagi," sambung si Darah dingin, "dilihat
dari kungfunya, belum tentu dia mampu menandingi kalian
berempat, tapi masalahnya begitu pedang darah terbang Pa
Siok-jin dilepaskan, bila kurang waspada dan tidak siap
menghadapi bokongan pedang darah terbang, maka biar
memiliki kungfu yang sangat lihai pun sulit rasanya untuk
menghindari serangan itu."
"Oleh karena itu, hal paling utama yang harus kita lakukan
sekarang adalah mencari tahu siapakah ahli waris Pa Siok-jin,"
ujar Liu Ce-in lagi. "Aku pikir paling baik jika Sim-sihiap
melepaskan dulu semua tamu yang tertahan di gedung utama.
Kita tak boleh memukul rumput dan mengejutkan ular, hingga
memberi kesempatan kepada lawan untuk semakin
menyembunyikan identitasnya."
Leng Giok-siu manggut-manggut, kepada Buyung Sui-in
segera perintahnya, "Jite, tolong sampaikan masalah ini
kepada Sim-site, sekalian undang dia untuk berkumpul di sini.
Sementara itu, urusan di dalam ruang utama kuserahkan
padamu." "Baik!" jawab Buyung Sui-in. Dengan sekali lompatan dia
sudah meluncur ke ruang utama.
22 Liu Ce-in menghela napas panjang, kembali ia termenung
beberapa saat lamanya. Kemudian katanya lagi, "Gerak tubuh
yang dimiliki orang itu amat cepat. Padahal baru saja Kimsam-
hiap menjerit ngeri, kalian sudah menyusul kemari. Tapi
kenyataannya ia tetap berhasil meloloskan diri."
"Maknya!" umpat Kui Keng-ciu dengan mata melotot dan
kepalan menggenggam. "Kalau sampai kutemukan, akan ku.."
Tiba-tiba pelayan yang menyampaikan surat itu kembali
berseru penuh ketakutan, "Lapor ... lapor Leng-toaya"
"Ada apa" Cepat katakan!" dengan tak sabar Leng Giok-siu
menghardik. "Sebelum hamba menuju ke ruang utama tadi, hamba lihat
... hamba seperti melihat A-hok berjalan lewat dengan wajah
pucat pasi. Waktu itu hamba sekedar iseng dan bertanya ...
bertanya apa yang telah dia lakukan. Dia ... dia jawab, dia
sempat melihat orang yang membunuh Loya, tapi ... tapi ...
takut untuk mengatakan"
"Apa dia bilang siapa orang itu?" seru Leng Giok-siu sambil
melompat bangun.
"Ti ... ti ... tidak. Kemudian hamba pun menuju ke gedung
utama. Sewaktu lewat kebun, lalu


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaah, tak heran sewaktu aku menerjang kemari, A-hok
seperti ingin menyampaikan sesuatu kepadaku ... Waktu itu
karena lagi tergesa-gesa, aku tak sempat berhenti"
"Bagus!" seru Liu Ce-in dengan wajah berubah. "Inilah
petunjuk yang sangat penting. Dimana A-hok sekarang?"
"Dia ... dia seperti amat ketakutan, katanya ... katanya
akan menuju ke gudang kayu bakar."
"Bagus," seru Liu Ce-in, "saudara Leng, aku dan Kui-ngohiap
akan menginterogasi A-hok untuk mengetahui manusia
macam apa yang telah ia lihat. Kui-ngohiap sangat hapal
dengan situasi gedung Kim. Dengan kehadirannya, akan
diketahui manusia macam apa yang telah dilihat A-hok. Selain
itu, saudara Darah dingin, kau pandai melacak orang dan tak
pernah gagal. Tolong kuntitlah Liu Kiu-ji setelah para tamu
bubar nanti, sebab dulu dia ditangkap di kota Liu-ciu lantaran
23 dicurigai terlibat dalam sebuah pembunuhan gelap. Dia
kemudian dibebaskan karena kurang bukti. Di antara sekian
banyak orang, dia yang paling mencurigakan. Bila dia
pembunuhnya, maka setelah menguntit sampai di rumahnya,
coba carilah alat senjata yang mungkin dipakai buat
melakukan pembunuhan ... Saudara Leng, urusan Kim-hujin
dan sanak lainnya tolong kau yang atur."
"Hai ..." Leng Giok-siu menghela napas panjang, "gara-gara
urusan kami bersaudara, kalian jadi ikut repot. Sungguh bikin
Lohu merasa tak tenang."
"Kau tak perlu sungkan," jawab Liu Ce-in hambar, "Kimsamhiap
adalah sahabatku serta saudara Darah dingin. Lagi
pula pekerjaan kami memang semacam ini. Jadi kenapa kau
mesti berterima kasih" Bila kasusnya kelewat berat, kami akan
segera minta bantuan Ceng Ci-tong serta Ko San-cing untuk
membantu. Di seputar kota Cang-ciu boleh dibilang mereka
adalah kawakan yang tahu seluk-beluk sini. Dengan kehadiran
mereka, urusan ini tentu akan terungkap lebih dini. Jadi mari
kita bekerja sesuai tugas masing-masing."
Leng Giok-siu kegirangan, katanya, "Asal jago tangguh
macam Ceng Ci-tong dan Ko San-cing mau turun tangan, biar
Pa Siok-jin hidup kembali, belum tentu dia bisa berbuat
banyak terhadap kami."
Oleh karena masalah ini adalah rentetan dari peristiwa
besar dalam dunia persilatan, pelakunya adalah keturunan
seorang tokoh silat tersohor. Dapat dipastikan pembunuhan
sadis lainnya segera akan menyusul.
Karenanya pihak berwajib harus menurunkan seluruh jago
jago tangguhnya untuk menanggulangi kasus ini.
Beberapa tahun terakhir, pihak yang berwajib memang
banyak bermunculan opas-opas hebat. Empat opas serta
Dewa opas adalah beberapa di antaranya.
Untuk wilayah seputar kota Cang-ciu, opas kenamaan yang
paling membuat pusing kawanan okpa dan perompak dari
rimba hijau adalah Thi-jui (si Gurdi besi) Ceng Ci-tong. Usia
orang ini belum lewat tiga puluh tahun, tapi baik dalam ilmu
24 silat maupun kecerdasan otak, dia memiliki kemampuan yang
melebihi siapa pun. Ia bahkan memiliki hubungan yang sangat
akrab dengan para pejabat tinggi. Oleh karena itu, di antara
kawanan opas di kota Cang-ciu, dia termasuk Raja opas di
antara kawanan opas lainnya.
Dia mempunyai seorang sahabat sehidup-semati yang
bernama Ko San-cing.
Di kota Cang-ciu terdapat seratus ribu orang pasukan Jingpeng.
Untuk menjadi pelatih seratus ribu orang pasukan Jingpeng,
tentu saja kungfu harus luar biasa. Jabatan pelatih akan
diganti setiap tiga tahun, dan Ki-sin-ciang (si Toya dewa
raksasa) Ko San-cing berhasil merjjabatnya selama tiga
periode secara beruntun.
Kedua orang ini boleh dibilang merupakan tokoh penting di
kalangan pengadilan kota Cang-ciu.
Tentu saja nama besar mereka tak mampu melampaui
kebesaran nama Liu Ce-in maupun si Darah dingin. Tetapi
khusus di kota Cang-ciu, nama besar kedua orang ini jauh
lebih cemerlang, jauh lebih termasyhur ketimbang nama besar
si Darah dingin berdua.
Bila Darah dingin dan Liu Ce-in digabung Ceng Ci-tong dan
Ko San-cing, persis apa yang dikatakan Leng Giok-siu, biar si
Iblis pedang darah terbang Pa Siok-jin hidup kembali, bila
empat opas itu ditambah empat naga dunia persilatan, maka
Pa Siok-jin sendiri juga sulit untuk melakukan tindakan
apapun. Tapi sedemikian sederhanakah persoalan ini" Mustahil! Tak
mungkin masalahnya begitu sederhana!
Waktu itu Liu Ce-in dan Kui Keng-ciu sedang berjalan
menuju ke gudang kayu bakar. Kui Keng-ciu berjalan di muka
sementara Liu Ce-in mengikuti dari belakang.
Sembari menelusuri jalan, Kui Keng-ciu mengomel tiada
henti. Terdengar ia berseru, "... sewaktu kami berhasil
membantai Pa Siok-jin tempo hari, sebetulnya aku sudah
mengusulkan untuk mencabut rumput hingga ke akarnya.
Maknya! Ketiga orang murid Pa Siok-jin si iblis jahat itu mesti
25 dibantai juga. Tapi Toako dan Jiko tak setuju, katanya harus
berbelas-kasih dengan memberi kesempatan hidup kepada
mereka ... Memberi kesempatan! Huhhh ... apa jadinya
sekarang" Samko malah dibantai orang! Apakah mereka pun
memberi kesempatan ...?"
Liu Ce-in tidak berkomentar, dia hanya mendengarkan
omelan itu dengan mulut terbungkam.
Sementara itu senja telah menjelang tiba. Matahari senja
sudah tenggelam di balik bukit, suasana terasa hening dan
sepi, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Sejak terjadinya peristiwa pembunuhan itu, para tamu telah
bubar. Para pembantu pun berkumpul di ruang depan dengan
wajah berduka. Tak heran kalau suasana di tempat lain amat
sepi. Setelah berjalan sekian lama, akhirnya tibalah Kui Keng-ciu
berdua di depan sebuah rumah bobrok. Dia pun berteriak
keras, "A-hok, A-hok ... cepat keluar! Aku ingin bertanya
kepadamu!"
Orang yang berada di dalam rumah bobrok itu menyahut
dan membuka pintu.
Kembali Kui Keng-ciu membentak gusar, "Pengecut kau!
Dasar manusia tidak bernyali! Kenapa mesti menutup pintu
rapat-rapat" Takut dibunuh orang" Hmmm, kalau ada yang
berani berbuat onar di sini, aku Kui-longo pasti tak akan
mengampuninya"
Mendadak Liu Ce-in membungkukkan badan sambil berseru
nyaring, "Ada orang melompati tembok masuk kemari!"
Belum selesai bicara, tiba-tiba badannya melejit ke udara,
seakan baru saja menghindari serangan semacam amgi. Ia
lalu balik melancarkan sebuah pukulan.
"Blaaam!" pukulan itu menghajar telak dinding batu di luar
sana, membuat dinding itu roboh. Di antara debu dan pasir
yang beterbangan di udara, tampak sesosok bayangan
manusia menyelinap keluar dari sana.
26 Sambil membentak gusar Kui Keng-ciu menerjang ke sana,
teriaknya, "Lo Liu, kau kejar dari arah sana, aku mengejar dari
sini. Kita lihat, dia bisa kabur kemana lagi!"
Dengan dua-tiga kali lompatan, ia sudah mengejar keluar
dari lingkungan kebun. Tampak gerakan tubuh orang di depan
sana cepat dan ringan. Melihat dirinya gagal menyusul orang
itu, kembali Kui Keng-ciu menghardik, "Bangsat! Kalau punya
nyali, jangan kabur! Ayo layani dulu beberapa buah pukulan
kakekmu!" Sambil berkata, ia lepaskan pukulan dahsyat. "Blaam!"
serangan itu bersarang telak pada sebatang pohon, membuat
pohon itu tumbang ke tanah.
Di tengah dentuman keras dan dedaunan yang
beterbangan di udara, tampak Leng Giok-siu, Buyung Sui-in
serta Sim Ciok-kut telah menyusul tiba dengan kecepatan
tinggi. "Longo, siapa orang itu?" tegur Leng Giok-siu nyaring.
"Ada orang hendak membokong kita!" sahut Kui Keng-ciu
dengan napas tersengal.
"Dimana orangnya?"
Ketika Kui Keng-ciu mengamati lagi dengan seksama, yang
tampak hanya ranting serta dahan pohon yang bertumbangan.
Tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Melihat itu, teriaknya kembali dengan penuh kegusaran,
"Rupanya dia kabur ke sana. Sialan benar bangsat itu,
rupanya dia tak berani bertarung melawanku!"
"Longo, kau sudah menemukan A-hok?" kembali Leng Gioksiu
bertanya. "Belum. Baru saja tiba di gudang sana, kami berjumpa
dengan orang ini."
"Mana saudara Liu?"
"Dia pun sedang mengejar orang itu."
"Aduh celaka! Cepat kita beri bantuan!" seru Leng Giok-siu
gelisah. Kembali tampak bayangan tubuh berkelebat. Tahu-tahu
Leng Giok-siu bertiga sudah berada puluhan kaki dari tempat
27 semula, tinggal Kui Keng-ciu seorang masih tertinggal di sana
dan berdiri tertegun tanpa mengetahui apa yang harus
diperbuat. Hampir pada saat bersamaan Leng Giok-siu, Buyung Sui-in
dan Sim Ciok-kut tiba di depan gudang kayu bakar. Tapi apa
yang kemudian terlihat membuat mereka bertiga berdiri
tertegun, terkesima!
Di depan pintu gudang kayu bakar berdiri seseorang yang
berdandan pembantu rumah tangga. Dia adalah A-hok.
Anehnya, ketika melihat kehadiran mereka bertiga, A-hok
tidak memberi hormat, tidak tertawa, juga tidak bicara. Dia
hanya memelototi mereka dengan matanya mendelik.
Kalau seorang pelayan yang bertemu majikannya tak
memberi hormat, malah mengawasi dengan mata melotot,
maka hanya ada dua jawaban. Kalau bukan mata sudah buta,
berarti matanya tidak bisa melihat apa-apa lantaran orangnya
sudah tewas. A-hok bukan orang buta, berarti dia memang orang yang
sudah tewas. Dengan wajah hijau membesi Sim Ciok-kun berjalan
menghampirinya. Baru saja ujung jarinya menyentuh tubuh Ahok,
tahu-tahu A-hok sudah roboh terjungkal ke tanah.
Tidak nampak bekas luka apapun di tubuh bagian muka Ahok,
tapi baju di bagian punggungnya sudah basah oleh
cucuran darah segar. Tampaknya luka itu disebabkan tusukan
sebuah senjata yang runcing, langsung menembus jantungnya
tapi sama sekali tak sampai tembus hingga dada bagian muka.
Sepasang mata A-hok melotot. Dia tewas dengan mulut
ternganga lebar. Sorot matanya penuh diliputi perasaan takut
dan ngeri, mulutnya ternganga seperti hendak mengatakan
sesuatu. Manusia macam apa yang telah dijumpainya" Kenapa ia
nampak begitu takut, gugup dan ngeri.
"Longo keliru besar," ujar Sim Ciok-kut kemudian dengan
suara dingin, "tidak seharusnya ia tinggalkan A-hok."
28 Buyung Sui-in ikut menghela napas panjang, "Ya, A-hok
sudah tidak punya kesempatan lagi untuk bicara. Tapi apa
yang sebenarnya hendak dia katakan?"
"Semoga saja opas Liu tidak apa-apa," mendadak Leng
Giok-siu menyela.
Belum selesai ia berbicara, tampak seseorang terpeleset
jatuh dari atas atap gudang kayu bakar dan nyaris roboh
terjerembab ke tanah.
"Hah, saudara Liu!" pekik Buyung Sui-in kaget.
Liu Ce-in memaksakan diri untuk menyahut. Paras mukanya
pucat-pasi, tangannya menekan di atas dada sendiri.
Tampaknya ia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.
Segera Leng Giok-siu maju ke depan dan memayang
tubuhnya. Tegurnya kemudian, "Saudara Liu, kenapa kau?"
Dengan biji mata terbalik dan napas tersengal, ia terbatuk
beberapa saat. Selang berapa saat kemudian baru ia mampu
berkata, "Setibanya di sini tadi, kami temukan ada orang yang
mencurigakan. Maka aku bersama Kui-ngohiap melakukan
pengejaran. Orang yang kukejar tampaknya segera akan
tertangkap, namun secara tiba-tiba dari balik tikungan di
sudut dinding sana muncul seorang manusia berkerudung.
Sungguh lihai ilmu silatnya, serangan yang dilancarkan amat
cepat, membuat aku sulit untuk menghindar. Terpaksa aku
pun melayani dengan keras lawan keras! Sebuah pukulannya
bersarang telak tepat di dadaku. Hahaha ... tapi lukanya juga
tak ringan, dia termakan sebuah pukulanku!"
"Hai, gara-gara persoalan ini, nyaris saudara Liu kehilangan
nyawa. Sungguh menyesal keluh Leng Giok-siu sambil
menghela napas panjang.
Liu Ce-in ikut menghela napas panjang. "Sebetulnya bukan
kesalahanmu. Kungfu lawan memang terlalu tangguh,"
katanya. "Tahukah saudara Liu, ilmu silat apa yang digunakan pihak
lawan?" tanya Sim Ciok-kut dingin.
"Serangan yang dilancarkan pihak lawan kelewat cepat.
Aku sendiri juga tak jelas ilmu pukulan apa yang telah
29 digunakan, tapi yang pasti serangan itu tak sampai mencabut
nyawaku! Bila pukulannya tidak kuhadapi dengan keras lawan
keras, keadaanku mungkin akan semakin payah. Karena kami
masing-masing termakan sebuah pukulan lawan, maka
sewaktu melancarkan serangan berikutnya, dia malah sudah
tidak mampu mengerahkan segenap tenaganya lagi."
"Saudara Liu, lebih baik kau beristirahat dulu sejenak," kata
Buyung Sui-in. "Tidak perlu. Apakah si Darah dingin masih ada di sini?"
"Rasanya dia sudah pergi menguntit Liu Kiu-ji," jawab Leng
Giok-siu. Liu Ce-in manggut-manggut. Mendadak seperti teringat
akan satu hal, ia menjerit, "Mana Kui-ngohiap?"
"Tak usah kuatir," jawab Buyung Sui-in sambil tertawa,
"baru saja kami bertemu dengannya


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum selesai bicara, tiba-tiba senyumnya hilang lenyap.
Disusul kemudian terdengar Leng Giok-siu berkata dengan
suara dalam, "Dia ketinggalan barisan, cepat kita periksa!"
Di tengah kebun terlihat sebatang pohon tumbang ke
tanah, dedaunan berserakan di sekelilingnya. Pohon yang
sangat rimbun itu terpapas kutung jadi dua akibat sebuah
pukulan yang dahsyat.
Sewaktu Kui Keng-ciu mengejar musuh tadi, pohon itu
terhajar oleh pukulannya dan tumbang ke tanah. Di samping
pohon yang tumbang terkapar pula sesosok tubuh manusia.
Ceceran darah segar yang mengucur keluar dari tubuh
orang itu terserap oleh guguran dedaunan yang berserakan di
sekelilingnya. Orang yang terkapar di tengah genangan darah segar itu
tak lain adalah Kui Keng-ciu, Naga kelima dunia persilatan.
Tadi, dialah yang menghajar pohon itu hingga tumbang.
Siapa pula yang menghajarnya hingga terkapar"
Orang semacam dia semestinya tidak gampang
ditumbangkan. Ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu kebal Kimkong-
put-huay-sin-kang. Malah ilmu kebal macam Cap-sahthay-
po yang diyakini pun sudah mencapai tingkat sempurna.
30 Masih ditambah lagi dia pun memiliki ilmu Thi-po-san dan
sejak kecil belajar ilmu jejaka Tong-cu-kang.
Tapi kenyataannya, dia sudah roboh terkapar di tanah.
Di kala Leng Giok-siu, Buyung Sui-in dan Sim Ciok-kut
berangkat ke gudang kayu bakar, dia telah dirobohkan orang.
Suara pertarungannya pun tak pernah terdengar. Mungkinkah
orang yang memiliki ilmu kebal ini telah dirobohkan orang
tanpa sempat meronta atau membalas"
Liu Ce-in tidak bicara, dia menyulut sebuah lentera untuk
menerangi sekeliling tempat itu. Di tengah keremangan cuaca,
tampak cahaya api berkilat dan-bersinar menembus
kegelapan. Tiba-tiba Leng Giok-siu seperti berubah jadi seorang kakek
kurus kering. Belum pernah orang melihat Leng Giok-siu yang
tersohor karena ilmu pedang Tiang-khong-sip-ci-kiam itu
berubah jadi demikian tua, berubah jadi demikian kurus dan
layu. Sekujur tubuh Buyung Sui-in kelihatan gemetar keras. Dari
balik cahaya yang remang-remang tertampak wajahnya basah
oleh cucuran air mata.
Sementara itu, paras Sim Ciok-kut hijau membesi. Jubah
hitamnya nampak bergelombang karena menahan emosi.
Padahal saat ini baru menjelang senja, senja pertama sejak
terjadinya peristiwa berdarah itu. Sehari saja belum lewat....
Mendadak Sim Ciok-kut berkata dengan suara yang luar
biasa dingin dan tenangnya, "Luka mematikan Ngote berada di
kedua belah keningnya. Tay-yang-hiat di kening kiri dan kanan
nya telah disodok orang dengan jari tangan."
Liu Ce-in manggut-manggut, sambungnya kemudian,
"Dengan perkataan lain, orang yang membunuh Kui-ngohiap
sudah sangat hapal dan mengenali ilmu silat yang ia pelajari.
Dia tahu kalau Tay-yang-hiat merupakan satu-satunya titik
kelemahan yang dimiliki Kui-ngohiap."
"Biarpun begitu," kata Leng Giok-siu dengan suara berat,
"kendatipun Ngote berada dalam keadaan tidak siap, rasanya
31 mustahil ada orang yang berhasil membunuh Kui-ngote hanya
dalam sekali gebrakan saja."
"Benar," Liu Ce-in manggut-manggut. "Tay-yang-hiat
adalah jalan darah kematian, tapi tak gampang menyerang
bagian itu secara mudah. Apalagi dengan kehebatan ilmu silat
yang dimiliki Kui-ngohiap."
"Kecuali terhadap orang yang sudah sangat dikenal oleh
Ngo-te," sela Sim Ciok-kut tiba-tiba.
"Betul! Berarti pembunuhnya adalah seorang yang sudah
amat dikenalnya!" sambung Buyung Sui-in.
"Tapi kenyataannya, sebelum kita tahu siapa orang itu, kita
telah kehilangan dua orang saudara," seru Sim Ciok-kut sambil
tertawa dingin.
Setelah termenung sebentar, Leng Giok-siu pun berkata
dengan nada berat, "Kalau begitu, mulai sekarang kita tak
boleh saling berpisah hingga memberi kesempatan kepada
pihak lawan untuk turun tangan. Paling tidak, bila ingin
melakukan sesuatu tindakan, harus ada dua orang yang
mendampingi. Kita memang tak takut mati. Tapi paling tidak,
jangan sampai mati konyol!"
"Aduh, celaka!" tiba-tiba Liu Ce-in menjerit. "Ada apa?"
"Tampaknya pihak lawan bukan hanya seorang. Kini si
Darah dingin sedang menguntit Liu Kiu-ji. Bila kematian Kuingohiap
dan A-hok ada keterkaitannya dengan Liu Kiu-ji,
berarti posisi si Darah dingin saat ini...."
"Jika begitu, mari kita segera menyusulnya!" seru Buyung
Sui-in sambil menggebrakkan kaki.
"Buyung-samhiap tak perlu terburu napsu. Yang mereka
incar adalah nyawa kalian bertiga ... aku rasa, kita perlu
segera minta bantuan Ceng Ci-tong dan Ko San-cing!"
Seraya berkata dia mengeluarkan dua ekor merpati pos dari
sakunya. Selesai mengikat dua lembar surat yang telah
ditulisnya, ia lepaskan burung itu ke udara.
Diiringi suara lirih, dua ekor burung merpati itu melesat ke
balik kegelapan malam. Sekejap kemudian bayangannya
sudah lenyap dari pandangan.
32 Sambil mengawasi bayangan merpati posnya yang
menjauh, Liu Ce-in bergumam lirih, "Semoga saja dengan
hubungan baikku terhadap mereka berdua, besok sebelum
fajar menyingsing, mereka berdua sudah tiba di sini."
Meski sudah berusia empat puluhan tahun, Liu Kiu-ji masih
kelihatan segar, sehat dan kuat. Sejak meninggalkan gedung
keluarga Kim, ia sama sekali tidak menunjukkan rasa sedih
ataupun berduka.
Ketika sudah melalui beberapa gang, dia mulai
mengeluarkan guci araknya dan sambil berjalan menenggak
air kata-kata. Belum lagi tiba di depan pintu rumah, ia sudah
mabuk berat. Melihat hal itu, si Darah dingin berkerut kening. Nyaris dia
urung melanjutkan kuntitannya. Tapi ia coba bersabar.
Setelah berpikir sejenak, si Darah dingin melanjutkan
kembali kuntitannya. Paling tidak dia ingin tahu apa yang akan
dilakukan orang ini setibanya di rumah.
Liu Kiu-ji seperti belum puas dengan seguci araknya.
Selesai menghabiskan tetesan arak yang terakhir, dia mulai
mengetuk pintu rumah seorang setan arak. Kembali dua orang
itu ngobrol ke sana kemari, yang dibicarakan hanya hal-hal
yang tak penting, sampai akhirnya Liu Kiu-ji jadi tak suka hati
dan meninju orang itu sampai semaput. Kemudian dengan
sempoyongan kembali ia melanjutkan perjalanannya.
Malam sudah makin larut, kegelapan mulai mencekam
seluruh jagad. Entah berapa banyak jalan dan lorong yang sudah
ditelusuri Liu Kiu-ji, sampai akhirnya ia temukan sebuah rumah
dan menerobos masuk ke dalam.
Ternyata rumah itu adalah sebuah tempat pembuatan
tembikar. Kalau di siang hari para pekerja membakar tembikar
di situ, maka di kala malam tiba, mereka pun pergi
meninggalkan tempat itu. Di tempat seperti inilah Liu Kiu-ji
berdiam. 33 Suasana semakin hening, malam semakin larut. Yang
terdengar hanya gonggongan anjing yang sahut-menyahut di
kejauhan sana. Pelan-pelan si Darah dingin mulai mendekati pintu rumah.
Pikirnya, "Kalau toh ia menginap di sini, lebih baik aku
langsung mencari dan mengajaknya bicara duluan."
Baru saja dia akan mengetuk pintu, mendadak ia
menemukan sesuatu yang tak beres. Tiba-tiba saja, entah apa
sebabnya, tahu-tahu gonggongan anjing berhenti secara
mendadak ... Dalam tertegunnya, tanpa sadar ia tingkatkan
kewaspadaan untuk menghadapi hal yang tak diinginkan.
Benar juga. Di saat dia masih terkesima, mendadak muncul
tujuh delapan belas macam senjata rahasia yang meluncur ke
arahnya dari sekeliling ruang bangunan itu.
Selain cepat dan tepat, serangan berbagai amgi itu muncul
tanpa menimbulkan sedikit suara pun! Yang tampak di bawah
remang cahaya rembulan hanya sinar hijau kebiruan yang
menyilaukan mata. Jelas semua senjata rahasia itu telah
dipoles dengan racun ganas.
Si Darah dingin segera pula mencengkeram ke depan.
Tangan yang semula mengetuk pintu berubah jadi
cengkeraman. "Blaaam!" dia betot pintu rumah itu lalu
ditamengkan ke depan badannya ... "Tuk, tuuk, tuuuk, tukkk,"
semua sambaran senjata rahasia itu menghajar telak persis di
atas permukaan pintu.
"Siapa" Siapa di situ?" dari dalam rumah terdengar Liu Kiuji
berseru kaget. Pada saat itulah, dari setiap bilik dalam rumah itu
bermunculan tiga empat orang yang menghunus golok
panjang. Mereka mengenakan baju berwarna hitam dengan
kain kerudung berwarna hitam pula. Di bawah kilatan cahaya
yang menyilaukan mata, terlihat seluruh golok tajam itu
sedang diayunkan membacok ke tubuh si Darah dingin!
Dalam kondisi seperti ini, si Darah dingin sendiri pun tidak
berminat banyak bicara. Dia kerahkan tenaga dalamnya, lalu
34 ditelakkan ke atas pintu kayu kuat-kuat. Seketika itu juga
semua senjata rahasia yang semula menancap di dinding pintu
berbalik arah dan menyambar ke arah kawanan manusia
berbaju hitam itu.
Dalam terkesimanya, segera kawanan manusia berbaju
hitam berkelit ke samping sambil mengayunkan golok mereka.
Tiga manusia berbaju hitam segera menjerit kesakitan, lalu
roboh terkapar di tanah.
Ternyata senjata rahasia itu betul-betul sangat beracun.
Tak selang berapa saat kemudian, tiga manusia berbaju hitam
itu sudah tewas dalam keadaan mengerikan.
Melihat kejadian ini, kawanan jago berbaju hitam lainnya
segera berteriak keras, serentak mereka ayunkan golok dan
menyerang si Darah dingin.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, si Darah dingin
mundur selangkah. Tiba-tiba ia lolos pedangnya dan langsung
menyerang ke arah kelompok orang terbanyak.
Ia sadar sudah masuk perangkap. Dalam keadaan demikian
hanya satu jalan yang bisa dia lakukan; menerjang masuk ke
dalam kepungan dan membunuh sebanyak mungkin.
Inilah prinsip kerja si Darah dingin. Tak pernah ada
perbuatan yang tak berani dilakukan si Darah dingin.
Caranya mencabut pedang sangat aneh. Ia mencabut
pedang sambil membalikkan tangan karena pedang itu berada
di pinggangnya, tanpa sarung pedang. Pedang tanpa sarung
biasanya memang lebih cepat dilolos.
Ia berpendapat bahwa pedang digunakan untuk
membunuh lawan, bukan.untuk ditonton atau diperlihatkan
pada orang lain. Dan inipun merupakan prinsip hidup si Darah
dingin. Bentuk pedang itu ramping dan tipis, panjang tapi tajam.
Gampang menyerang namun susah bertahan. Karena itu, si
Darah dingin hanya tahu menyerang tanpa bertahan. Dia
berpendapat, pertahanan paling bagus adalah melakukan
penyerangan. Sekali lagi, ini juga prinsip dari si Darah dingin.
35 Orang persilatan hanya tahu dia memiliki empat puluh
sembilan jurus pedang, semuanya tanpa nama. Tetapi jurus
serangannya sangat mengerikan.
Ketika si Darah dingin mulai menerjang ke muka, kawanan
manusia berkerudung itu mulai menjerit kesakitan. Diiringi
teriakan ngeri, ada yang rpboh terkapar, ada pula yang maju
mengepung. Di bawah cahaya rembulan, terlihat percikan darah segar
berhamburan kemana-mana .... Seorang jago berkerudung
yang berada di depan si Darah dingin seketika tertusuk telak
dan roboh terkapar. Namun orang kedua kembali mendesak
tiba. Ayunan golok yang berkilauan mengancam bagian tubuh
yang mematikan.
Lagi-lagi orang kedua roboh terkapar bermandikan darah.
Tapi orang ketiga pun kembali meluruk tiba.
Belum lama pertarungan berlangsung, mendadak di tengah
bentakan nyaring dan teriakan keras, terdengar seorang
berseru lantang, "Bangsat ini kelewat hebat, kita tak sanggup
menghadapinya ... Kabur... cepat kabur!"
"Tidak bisa, pemimpin memerintahkan kita untuk
membunuhnya!"
"Kita bukan tandingannya!"
"Biar bukan tandingan, kita tetap harus menyerang!"
"Kami tak sanggup! Cepat kabur... cepat kabur Di tengah
jeritan ngeri yang menyayat hati, lagi-lagi tiga orang jago
berkerudung roboh terkapar.
"Dia sudah terluka!" tiba-tiba terdengar seorang berseru
keras. "Ya, lihat! Dia sudah termakan sebuah bacokanku!"
"Tidak ... dia masih setangguh tadi
"Lebih baik kita cepat kabur saja! Tampaknya dia sudah
terluka." "Ya ... coba lihat, darahnya mengucur deras Orang ketiga
kembali terkapar bermandikan darah. Tapi orang keempat
sudah menerjang tiba. Belum lagi pertarungan berlangsung
setengah hari, separuh di antara kawanan jago berkerudung
36 itu sudah melarikan diri dengan terbirit-birit. Sisanya juga tak
berminat untuk bertarung lebih jauh. Sambil bertempur
mereka coba melarikan diri .... Tak ada orang kelima!
Yang tersisa saat ini hanya rembulan yang masih bersinar
di awang-awang. Cahaya itu begitu bening, begitu lembut.
Godaankah" Atau sebuah dosa"
Cahaya rembulan yang menyoroti wajahnya itu, menyinari
kepalanya, tubuhnya ... Apakah cahaya itu sedang menembusi
dosa-dosanya" Atau bahkan sedang membersihkan noda-noda


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dosanya" Si Darah dingin berdiri di bawah cahaya rembulan. Di
tangannya masih tergenggam pedang tipis lagi panjang.
Sebuah luka bacokan di atas bahunya, darah segar masih
nampak mengucur.
Betapapun parahnya luka yang ia derita, Darah dingin
bukan jago yang mau roboh hanya lantaran terluka. Apalagi
semenjak terjun ke dunia persilatan, luka semacam ini
terhitung luka yang sangat ringan.
Di bawah pancaran sinar rembulan, yang terlihat sejauh
mata memandang hanya darah! Darah yang berceceran di
setiap sudut ruangan, darah yang menggenangi empat puluh
tiga sosok mayat.
Ya. Ada empat puluh tiga orang yang tewas. Dia terpaksa
harus membunuh, karena setiap kali pedangnya dilolos, maka
pihak lawan akan tergeletak mampus. Jangankan pihak lawan,
dia sendiri pun tak dapat mengendalikan hal itu.
Selesai membantai orang-orang itu, perasaaan hatinya
terasa kosong, terasa hampa. Dia ingin sekali berlutut dan
menangis sepuasnya.
Sebenarrjya dia tak ingin membunuh orang-orang itu. Dia
bahkan tak tahu siapa gerangan orang-orang itu.
Mendadak si Darah dingin teringat sesuatu. Segera dia
menerjang masuk ke dalam ruangan.
Keadaan ruangan itupun porak-poranda. Meja kursi
berserakan. Jelas di situ telah berlangsung pertempuran yang
amat sengit. 37 Sementara itu, Liu Kiu-ji tampak terkapar di tanah, tertindih
meja kursi yang berserakan.
Lekas si Darah dingin menyingkirkan meja dan kursi itu,
kemudian membangunkan Liu Kiu-ji. Sebilah senjata penggaris
baja masih berada dalam genggamannya. Jelas dia telah
terlibat pertarungan yang amat seru.
Di dadanya tampak sebuah luka yang masih mengucurkan
darah, seakan-akan terhajar sebuah benda yang menancap di
dadanya, tetapi kemudian telah dicabut balik. Luka itu persis
menghancurkan isi perutnya.
Kalau ditinjau dari bentuk lukanya, jelas orang inipun
terluka oleh serangan si Iblis pedang darah terbang.
Biarpun parah sekali luka yang dideritanya, beruntung Liu
Kiu-ji belum putus nyawa. Ia nampak masih bernapas, walau
sangat lirih dan lemah.
Segera si Darah dingin menyalurkan hawa murninya ke
dalam tubuh Liu Kiu-ji. Tak lama kemudian orang itu mulai
membuka mata, tapi darah yang mengucur semakin deras.
Si Darah dingin tahu, orang itu tak dapat hidup lebih lama
lagi. Maka segera ia bertanya, "Kau yang telah membunuh
Kim Seng-hui?"
Dengan sangat lemah dan sama sekali tak bertenaga Liu
Kiu-ji membuka matanya. Suara gemerutuk bergema dari
tenggorokannya, namun tak sepatah kata pun sanggup
diucapkan. Dia hanya menggeleng terus, menggeleng tiada
hentinya. "Tapi kau tahu siapa yang telah membunuhnya?" kembali si
Darah dingin bertanya dengan kening berkerut.
Dengan susah payah Liu Kiu-ji mengangguk. Dia meronta,
seperti ingin mengatakan sesuatu namun darah menyembur
keluar dari tenggorokannya.
Diam-diam si Darah dingin menghela napas panjang. Coba
Liu Kiu-ji tidak memiliki daya tahan tubuh yang hebat,
mungkin dia tewas sejak tadi. Tusukan telak di dadanya telah
menghancurkan seluruh isi perutnya.
38 Tiba-tiba Liu Kiu-ji mendesis, mendesis dengan sepenuh
tenaga, "Yang membunuh aku adalah dua ... dua orang kong
... " Ia tak sanggup melanjutkan perkataannya. Darah
menyembur dengan derasnya keluar dari mulutnya, dan ...
seketika tewaslah orang itu.
Pelan-pelan si Darah dingin membaringkan kembali tubuh
Liu Kiu-ji. Pikirannya amat kalut, amat bingung ....
Atas perintah siapa sebenarnya kawanan jago yang begitu
banyak datang menyerangnya" Siapa pula yang telah
membunuh Liu Kiu-ji"
Seandainya pembunuh yang menghabisi nyawa Kim Senghui
adalah Liu Kiu-ji, maka kasus pembunuhan itu dapat
diselesaikan sampai di sini. Namun kenyataannya tidak
segampang itu, tidak sesederhana itu ....
Kenyataan bukan saja pihak lawan telah membantai Liu
Kiu-ji untuk membungkam mulutnya, mereka bahkan
berusaha pula untuk membunuh dirinya. Dan bukan hanya
begitu saja. Kalau ditinjau dari ilmu golok dan ilmu silat yang digunakan
kawanan jago berkerudung yang menyerang dirinya malam
ini, jelas hubungan orang-orang itu adalah sesama saudara
seperguruan. Ini membuktikan mereka berasal dari perguruan
yang sama, dan guru yang sama pula.
Tapi partai apa" Perguruan mana" Kenapa memiliki
kekuatan begitu dahsyat" Begitu menakutkan!
Ditinjau dari cara orang-orang itu membunuh Liu Kiu-ji,
jelas mirip sekali dengan cara yang digunakan untuk
membunuh Kim Seng-hui. Apakah mereka ahli waris si Iblis
pedang darah terbang Pa Siok-jin"
Kalau dibilang mereka adalah ahli waris Pa Siok-jin, lalu
siapakah guru orang-orang itu" Siapa yang mengajarkan ilmu
silat kepada mereka" Semuanya serba membingungkan,
penuh dengan teka-teki. Teka-teki yang susah ditelaah.
Apa pula yang telah diucapkan Liu Kiu-ji menjelang ajalnya
tadi" Apakah yang dimaksud dengan "dua orang kong ...?"
39 Apakah 'kongjin' (pekerja kasar)" Atau 'kongcu' (tuan muda)"
Atau bahkan Kongsun, nama seseorang" Nama sebuah
marga" Atau nama sebuah organisasi" Sebuah perkumpulan
rahasia" Lama sekali si Darah dingin berdiri termangu, terkesima ...
Mendadak ia robek pakaian yang dikenakan Liu Kiu-ji, seakan
sedang mencari sesuatu. Setelah mencarinya berapa saat, dia
keluar dari situ, membuka kain kerudung yang menutupi
beberapa sosok mayat itu. Tapi mereka semua hanyalah lelaki
asing baginya. Akhirnya si Darah dingin merobek pakaian yang dikenakan
orang-orang itu. Dia seperti meneliti dan memeriksa sesuatu.
Lama dan lama kemudian, akhirnya di bawah cahaya
rembulan terlihat si Darah dingin manggut-manggut, seakan
dia telah memahami sesuatu.
0o2o0 Ceng Ci-tong kelihatan sedikit agak pendek lagi kecil.
Dibandingkan Liu Ce-in, usianya jauh lebih muda. Senjata
rantai melilit di pinggangnya, gerak-geriknya cekatan dan
lincah. Jelas seorang jagoan tangguh.
Potongan badan Ko San-cing hampir sama dengan Ceng Citong.
Cuma dia kelihatan lebih gagah dan bersemangat. Oleh
sebab itu Ceng Ci-tong kelihatan seperti orang yang kecil
pendek, sementara Ko San-cing tampak tinggi besar bagai
sekor kuda. Senjata yang berada dalam genggaman orang ini
adalah sebuah toya yang terbuat dari kayu tho. Toya itu
ramping, dengan ujung runcing seperti pisau. Panjangnya
mencapai tujuh depa enam inci.
Waktu itu adalah tengah hari kedua, yaitu hari kedua
setelah keturunan si Iblis pedang mengancam akan
membantai habis Bu-lim-ngo-tiau-liong, lima naga sakti dunia
persilatan, dalam waktu tiga hari.
40 Di ruang layon berjajar dua buah peti mati. Selain sanak
keluarga Kim, hadir pula Leng Giok-siu, Buyung Sui-in, Sim
Ciok-kut, Liu "Ce-in serta si Darah dingin.
Istri dan putra Leng Giok-siu hadir pula di ruang layon.
Mereka memperoleh kabar duka itu kemarin sore, dan pagi ini
segera menyusul datang ke rumah keluarga Kim. Mereka baru
tahu duduknya perkara setelah bertemu Leng Giok-siu.
Oleh karena sedang dalam suasana berkabung, tentu saja
Leng Giok-siu tak ingin balik ke rumah sendiri.
Di antara Lima naga sakti dunia persilatan, yang benarbenar
punya keluarga lengkap hanya Leng Giok-siu, Buyung
Sui-in serta Kim Seng-hui. Sim Ciok-kut hidup menyendiri
bagai setengah pendeta setengah orang awam. Wataknya
aneh dan tak punya sanak keluarga. Sementara itu Kui Kengciu
berwatak be-rangasan, kasar dan cepat naik pitam. Kecuali
beberapa orang sahabat, dia pun tak punya istri.
Untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan, Leng
Giok-siu menganjurkan anak-istrinya menyingkir dulu
sementara waktu ke rumah orangtuanya.
Sewaktu Ceng Ci-tong dan Ko San-cing tiba di situ, Liu Cein
segera berdiri menyambut. Si Darah dingin pernah bertemu
dengan mereka. Jadi walau tidak kenal secara resmi, paling
tidak mereka pernah saling bersua. Karenanya Liu Ce-in
memperkenalkan kedua orang itu pada Leng Giok-siu, sembari
menuturkan terjadinya peristiwa ini.
Selesai mendengar penuturan itu, dengan sedih Ceng Citong
berkata, "Sungguh bedebah laknat itu, berani amat
mencelakai Kim dan Kui-jiwi Enghiong!"
Dengan suara senyaring genta Ko San-cing berseru pula
dengan nada gusar, "Leng-loenghiong, kau jangan takut. Kami
pasti akan membantu kalian untuk menangkap pembunuh
sadis itu!"
Mendengar ucapan itu, Sim Ciok-kut segera mendengus
dingin. Untung sebelum dia bereaksi, Liu Ce-in yang melihat
gelagat tak baik segera menyela, "Ko-lote, tak perlu takabur.
Kami berterima kasih karena kau bersedia datang membantu.
41 Tapi kalau ingin membekuk.sang pembunuh sendirian ...
jangankan diriku, bahkan si Darah dingin, salah satu dari
Empat opas yang tersohor pun sempat dibuat gelagapan oleh
ulah mereka."
"Betul!" Ceng Ci-tong segera menimpali, "ucapan Ko-lote
kelewat takabur. Lagi pula Leng-loenghiong, Buyung-enghiong
serta Sim-enghiong pun bukan manusia yang gampang
dipermainkan orang
Tiba-tiba Buyung Sui-in tertawa, katanya, "Anda berdua tak
perlu kelewat memuji. Perkataan saudara Ko memang ada
benarnya juga. Untuk membekuk sang pembunuh, kami
memang sangat membutuhkan bantuan dari jago-jago
tangguh macam saudara Ko berdua. Kedatangan kalian tepat
pada waktunya. Terus-terang, kami sempat merasa cemas
sebelum kehadiran kalian berdua tadi."
"Buyung-jihiap, kau hendak kemana?" mendadak si Darah
dingin menegur.
Sekilas perasaan sedih melintas di wajah Buyung Sui-in,
ujarnya kemudian, "Anak-istriku tinggal di luar kota. Untuk
mengirim berita kepada mereka pun kurang leluasa. Terlepas
bagaimana nasibku nanti, aku tetap harus pulang dulu untuk
mengatur segala sesuatunya. Sebisa mungkin aku akan balik
lagi kemari sebelum malam nanti. Biar kami lima bersaudara
tidak dilahirkan pada tahun, bulan, tanggal dan jam yang
sama, tapi kami berharap bisa mati pada tahun, bulan, tanggal
dan jam yang sama!"
"Buyung-jihiap, rasanya kurang aman membiarkan kau
pulang sendirian," ujar Liu Ce-in dengan nada cemas.
"Seorang lelaki sejati, kenapa harus hidup bagai orang
cengeng" Apa yang perlu ditakuti dengan kematian" Mati di
luar atau mati di atas ranjang toh sama saja," sahut Buyung
Sui-in sambil tertawa santai.
Leng Giok-siu tidak berusaha menghalangi niat saudara
angkatnya itu. Dia hanya menatap orang itu lekat-lekat,
kemudian ujarnya sepatah demi sepatah, "Jite, kita harus
42 tetap hidup. Kau tak boleh mati, sebab kita masih harus
membalaskan dendam kematian Samte dan Ngote."
"Jihiap," kembali Liu Ce-in berkata, "bila kau bersikeras
hendak pulang, paling tidak mesti membawa teman."
"Bagaimana jika aku yang menemani Buyung-jihiap?" tibatiba
Ceng Ci-tong menawarkan diri.
"Bagus sekali," seru Leng Giok-siu. Kemudian kepada
saudaranya, kembali ia berkata, "Jite, di sini ada saudara Liu,
Leng, Ko dan Site yang menemani. Memang paling baik bila
kau berangkat bersama saudara Ceng."
Si Darah dingin yang selama ini cuma membungkam tibatiba
menyela, "Rasanya tidak cukup bila Buyung-jihiap hanya
ditemani Opas Ceng. Begini saja, kalau Buyung-jihiap
bersikeras akan pergi, biar aku pun ikut serta. Cuma tolong
Leng-tayhiap dan Sim-sihiap jangan sembarangan berpisah."
"Tak usah kuatir saudara Leng," Liu Ce-in tertawa, "di sini
kan masih ada aku serta saudara Ko. Kamipun bukan manusia
yang gampang dipermainkan."
Pelan-pelansi Darah dingin berbangkit, ujarnya hambar,
"Baiklah, kalau sudah begitu, tempat ini kuserahkan tanggung
jawabnya kepada saudara Liu serta saudara Ko!"
2. Dimulai Dari Kecurigaan.
Semakin mendekati luar kota, Buyung Sui-in berjalan di
tengah dengan si Darah dingin mengawal di kiri dan Ceng Citong
mengawal di kanan.
Pemandangan di luar kota sangat indah. Sawah nan hijau
dengan angin yang berhembus sepoi-sepoi. Terdengar burung
berkicau meramaikan suasana.
Buyung Sui-in dilahirkan dalam sebuah keluarga terpelajar.
Sesungguhnya dia gemar membaca, menulis dan membuat
syair. Bila bukan lantaran kematian tragis yang dialami Kim
Seng-hui serta Kui Keng-ciu, dia tak pernah bermuram durja.
43 Tiba-tiba terdengar ia berkata sambil tertawa, "Sungguh
tak disangka, hari ini aku Buyung Sui-in harus pulang ke
rumah dengan dikawal dua orang opas kenamaan. Hai ...
apakah arti dari sebuah kematian?"
"Aaah, kami hanya pihak berwajib yang sedang
melaksanakan tugas. Bukan jagoan tangguh," sahut Ceng Citong
sambil tertawa. "Kalau saudara Leng memang satu di
antara, empat opas yang tersohor. Sedang aku" Apalah diriku
ini." Selesai berkata, kembali ia tertawa terbahak-bahak.


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari kejauhan sana tampak sebuah kereta kuda berlari
mendekat. Beberapa ekor kuda tua menarik sebuah kereta
yang sudah tua, kuno, berat dan seperti sarat dengan barang.
Kusir kereta adalah dua orang pemuda, sementara di atas
kereta tampak bungkusan besar dari karung goni. Tidak jelas
barang berat apa yang berada di dalam karung goni itu.
Sambil menghardik pelan, pemuda itu melarikan kereta
kudanya ke hadapan mereka bertiga. Karena jalanan amat
sempit, lekas si Darah dingin berkelit ke tepi jalan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pemuda yang berada di
depan kereta itu berseru kepada rekannya sambil tertawa,
"Ayo dimulai!"
Teriakan itu diucapkan dengan nada dingin, tapi si Darah
dingin yang mendengar jadi amat terperanjat. Dia masih ingat
betul dengan logat suara itu, persis sama seperti logat bicara
orang yang semalam bertarung sengit melawan dirinya. Dialah
orang yang waktu itu berteriak "Biar bukan tandingan juga
tetap harus dibunuh!".
Si Darah dingin bisa masuk dalam salah satu empat opas
memang tak lain karena memiliki keahlian yang luar biasa.
Apa yang pernah dilihat tak pernah terlupakan, apa yang
pernah didengar tak pernah dilupakan.
Justru karena dia memiliki keistimewaan semacam ini,
maka sudah banyak kali jiwanya luput dari kematian.
Sewaktu saling berpapasan dengan kereta kuda itu,
kebetulan Buyung Sui-in berjalan di depan. Yang ada di paling
44 depan adalah Ceng Ci-tong. Karena jalan kelewat sempit,
mereka harus lewat satu per satu.
"Hati-hati!" mendadak si Darah dingin berteriak keras. Saat
itulah tiba-tiba kereta kuda itu berbelok dan langsung
menerjang ke arah si Darah dingin. Dalam keadaan begini, si
Darah dingin hanya bisa mundur. Mustahil bisa maju lagi.
Tapi si Darah dingin tak pernah mundur! Dia segera melejit
ke tengah udara. Namun pemuda di atas kereta itu tidak
tinggal diam. Cambuknya langsung membabat ke tubuh opas
itu. Sementara itu rekannya telah mencabut golok sambil
melancarkan bacokan. Bukan si Darah dingin yang dituju,
melainkan membacok putus tali yang mengikat bungkusan
karung goni di belakang kereta.
Begitu tali terputus, semua karung goni pun terbuka lebar.
Dua puluhan lelaki kekar berlompatan keluar dari balik karung
dengan golok terhunus! Mereka langsung menerjang ke arah
si Darah dingin.
Dengan berkobarnya pertempuran itu, mau tak mau Darah
dingin harus melayani serbuan lawan. Kebetulan posisinya
terhalang oleh kereta yang melintang di jalanan, sehingga dia
tak dapat melihat bagaimana keadaan Buyung Sui-in.
Walau begitu, ada satu hal yang dia ketahui dengan pasti.
Rombongan jago itu tak lain adalah kawanan jago yang
berhasil melarikan diri semalam.
Selama mereka tidak main bokong secara licik, Darah
dingin yakin dapat membereskan mereka semua. Tapi yang
menjadi masalah sekarang adalah dia butuh waktu yang
cukup lama untuk membereskan kawanan jago itu.
Di sebelah sana ia mulai mendengar Buyung Sui-in terlibat
pertarungan sengit. Bentakan nyaring dan benturan senjata
bergema tiada hentinya....
Saat itulah, ia mendengar suara jeritan ngeri yang
memilukan hati. Jelas jerit kesakitan itu berasal dari Buyung
Sui-in. 45 Dalam cemas dan gelisahnya, Darah dingin segera
mempergencar serangannya. Dari puluhan orang jago
bergolok itu, kini tinggal empat jago yang masih bertahan.
Gara-gara perhatiannya terpecahkan oleh jeritan itu, tahutahu
Darah dingin merasa punggungnya dingin. Sebuah
bacokan golok telah bersarang di tubuhnya!
Bacokan itu sebenarnya tidak terhitung parah.
Menggunakan kesempatan di saat jagoan itu sedang bangga
karena keberhasilannya, Darah dingin melayangkan sebuah
tusukan, persis menembus tenggorokannya.
Tiga orang jago sisanya jadi pecah nyali. Merasa gelagat
tidak menguntungkan, segera mereka melarikan diri.
Darah dingin tak sempat melakukan pengejaran lagi. Lekas
dia melewati kereta dan menghampiri arena pertarungan itu.
Tampaknya pertempuran sempat berlangsung seru, sembilan
orang jago bergolok sudah tergeletak di tanah dalam keadaan
tak bernyawa. Jelas mereka tewas di tangan Ceng Ci-tong dan
Buyung Sui-in. Saat ini tersisa dua orang jago lagi yang masih terlibat
pertempuran sengit melawan Ceng Ci-tong dengan senjata
rantainya, sementara Buyung Sui-in sudah roboh terkapar di
tanah. Si Darah dingin segera melompat ke sisinya sambil
membangunkan Buyung Sui-in yang terluka parah. Tampak si
naga kedua ini tergeletak dengan wajah pucat-pias dan napas
lemah. Segera Darah dingin menyalurkan tenaga dalamnya untuk
membantu jagoan itu. Tak berselang lama, Buyung Sui-in
sudah membuka matanya dengan susah payah. Ujarnya lirih,
"Saudara Leng, aku ... aku ingin ... ingin memberitahu
kepadamu. Sang ... sang pembunuh berhasil ku ... kubacok!
Dia ... dia adalah...."
Mendadak sepasang matanya melotot lebar sambil
mengawasi belakang tubuh Darah dingin.
Terkesiap perasaan hati si Darah dingin. Tanpa
membalikkan badan lagi ia lepaskan sebuah tusukan ke
46 belakang. Seorang lelaki bergolok panjang segera menjerit
kesakitan dan roboh terkapar.
Ketika ia berpaling, tampak tiga orang lelaki yang semula
sudah kabur itu telah muncul kembali sambil melancarkan
bokongan. Darah dingin menghardik nyaring, beruntun dia
lancarkan delapan belas buah tusukan pedang.
Baru saja lelaki bergolok panjang itu menyerbu maju, tahutahu
bayangan pedang bagai lapisan kabut telah meluruk tiba.
Dalam keadaan begini mana ada kesempatan baginya untuk
menghindar" Tahu-tahu dadanya terasa kaku dan badannya
sudah roboh terkapar bermandikan darah.
Lelaki bergolok yang terakhir jadi ketakutan setengah mati.
Tanpa banyak bicara dia putar badan dan kabur terbirit-birit.
Si Darah dingin mendengus dingin, sambil menghardik dia
sambitkan pedangnya ke depan. Diiringi desingan angin tajam,
senjata itu melesat ke depan dan menerjang punggung orang
itu. Demikian dahsyat tenaga terjangan itu, bukan saja
punggung orang tertembus pedang, bahkan badannya masih
terdorong mundur sejauh tujuh delapan langkah dan akhirnya
ujung pedang yang tembus itu menancap lagi di punggung
seorang lelaki yang sedang bertarung sengit melawan Ceng
Ci-tong! Terdengar lelaki itu menjerit kesakitan, lalu kedua orang itu
sama-sama roboh terguling di tanah.
Lelaki yang tersisa makin panik. Sepasang matanya
memerah karena gugup. Setelah melepaskan berapa jurus
serangan tipuan, ia balik badan dan melarikan diri terbirit-birit.
Si Darah dingin mendengus, dia menerkam bagai sekor
harimau. Lekas orang itu putar badan sambil membacok, tapi
si Darah dingin menendang lebih dulu. Sebuah tendangan kilat
membuat goloknya mencelat ke udara, bahkan langsung
menghajar batok kepalanya.
Terdengar lelaki kekar itu menjerit kesakitan lalu roboh
terjungkal. 47 Sambil menarik kembaii senjata gurdi bajanya, Ceng Citong
menghembus napas lega. Bisiknya, "Terima kasih banyak
atas bantuanmu! Ayo kita tengok keadaan Buyung-jihiap!"
Ketika si Darah dingin dan Ceng Ci-tong balik ke samping
Buyung Sui-in, tampak si Naga kedua dunia persilatan ini telah
putus nyawa. Ia sudah tewas dalam genangan darah.
Darah dingin tidak bicara apa-apa, begitu juga dengan
Ceng Ci-tong. Walau begitu, dalam hati kecil mereka amat
pedih dan sakit. Malu atas kegagalan mereka melindungi jago
itu. Padahal mereka berdua adalah opas kenamaan yang
banyak disegani kaum persilatan. Tapi sekarang, ternyata
mereka gagal melindungi seorang yang berada dalam kawalan
serta perlindungan mereka.
Satu hal lagi yang tetap membuat mereka waswas, biarpun
kawanan jago bergolok itu berhasil mereka atasi, berhasil
mereka habisi nyawanya, namun hingga kini pemimpin
mereka belum pernah menampakkan diri.
Darah dingin mulai melakukan pemeriksaan. Ia jumpai
pada punggung Buyung Sui-in terdapat sebuah luka
menganga. Tampaknya bekas tusukan benda tajam yang
menghujam dalam di punggung itu, kemudian dicabut
kembali. Luka yang sangat mematikan.
Di dada bagian depan pun terdapat sebuah luka, bekas luka
yang terjadi karena hantaman semacam benda. Sebuah
hantaman yang keras dan kuat, meski lukanya kecil namun
daging dan kulit di sekelilingnya hancur bagai bubur
bercampur darah.
Berdasarkan kedua luka yang ada, jelas kalau dia bukan
dilukai oleh bacokan atau tusukan golok panjang. Dengan kata
lain, orang yang mencabut nyawa Buyung Sui-in bukanlah
rombongan jago bergolok itu, tapi oleh dua orang jago yang
lain. Dua orang dengan dua macam senjata yang berbeda,
bahkan memiliki kungfu yang sangat hebat karena dapat
menyerang dari depan dan belakang secara bersamaan.
Serangan yang sangat mematikan.
48 Tampaknya Buyung Sui-in tak menyangka akan datangnya
serangan itu, bahkan tak sempat menghindar. Atau mungkin
memang tak menghindar, karena itu serangan itu langsung
menghajar telak dadanya.
Jelas sudah pembunuhan ini lagi-lagi merupakan hasil karya
keturunan si Iblis pedang.
Sambil menggenggam kepalannya dan menggertak gigi
menahan gejolak emosi, si Darah dingin bertanya, "Apakah
kau sempat melihat jelas siapa yang melakukan pembantaian
ini?" Ceng Ci-tong menghela napas panjang, sahutnya,
"Perubahan ini terjadi sangat mendadak. Bahkan sebelum
sempat kulihat jelas, tahu-tahu ada pembunuh gelap yang
menyerangku. Ketika aku berhasil membantai beberapa orang,
sekilas rasanya aku melihat ada orang muncul dari balik kereta
kuda itu dan menusuk ke belakang punggung Buyung-jihiap
dengan tombak panjang ... Aih, sesaat sebelum
kedatanganmu, lagi-lagi dia menjerit kesakitan. Waktu itu aku
sedang terlibat pertarungan seru melawan dua orang, jadi tak
sempat melihat jelas. Hanya tampak bayangan manusia
berkelebat lewat, tahu-tahu saudara Buyung... aaai!"
Dengan termangu Darah dingin mengawasi mayat-mayat
yang berserakan di tanah, seperti ada yang dipikirkan.
Akhirnya ia berkata, "Tampaknya kita harus mengantar balik
dulu jenazah Buyung-jihiap!"
Suasana hening mencekam di ruang utama gedung
keluarga Kim. Kaum wanita, anak-anak dan para pembantu sudah masuk
ke kamar masing-masing.
Yang tersisa dalam ruangan utama saat ini tinggal enam
orang, si Darah dingin, Ceng Ci-tong, Liu Ce-in, Leng Giok-siu,
Sim Ciok-kut, serta seseorang yang baru saja terkapar mati ...
Buyung Sui-in. Bila ditambahkan lagi dengan dua sosok mayat yang
membujur kaku dalam peti mati, Sah-cap-lak-jiu-bu-kong-pian
(tiga puluh enam jurus ilmu ruyung kelabang) Kim Seng-hui
49 dan Kim-kong-put-huay (si manusia kebal) Kui Keng-ciu,
berarti jumlahnya jadi delapan orang.
Kim Seng-hui, Kui Keng-ciu ditambah Buyung Sui-in, sudah
tiga orang jago yang tewas secara mengenaskan. Kini Bu-limngo-
tiau-liong tinggal dua orang.
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Leng Gibk-siu dan
Sim Ciok-kut saat ini.
Suasana dalam gedung utama terasa hening, sepi dan
dingin, sedingin bongkahan salju yang telah mengeras.
Lama dan lama kemudian, akhirnya Leng Giok-siu buka
suara. Pelan-pelan ujarnya, "Sudahlah. Kalau memang ahli
waris Pedang iblis sudah datang, silakan saja datang!
Bagaimanapun, aku Leng Giok-siu sudah cukup lama hidup di
dunia ini. Kalau toh akhirnya tiba juga giliranku, aku hanya
berharap bisa memberi kematian yang cepat untukku!"
Hanya dalam dua hari, kedua pipinya tampak makin
kempot, semakin kurus dan cekung. Tekanan batin memang
gampang membuat orang menjadi kurus dan loyo.
Paras muka Sim Ciok-kut masih dingin kaku bagaikan
papan besi. Namun di balik nada ucapannya yang tak
berperasaan, kini terselip nada pedih yang tak terkendali.
Katanya pula, "Lotoa, belum tentu kita ikut mati. Jiko setia,
Samko jujur, Ngote gegabah tapi terus terang. Mereka
memang gampang ditipu orang, tapi jangan harap orangorang
itu bisa menipu di hadapan aku Sim Ciok-kut. Belum
tentu mereka dapat merobohkan aku dengan gampang!"
"Site," kata Leng Giok-siu pula sambil menatap wajah Sim
Ciok-kut, "watakmu nyentrik. Cara kerjamu keras dan
berangasan, itu sudah merupakan titik kelemahanmu. Jadi
lebih baik berhati-hati."
"Toako, kau pun terlalu welas asih. Jadi mesti hati-hati
juga." Dalam waktu relatif singkat, dari Lima naga sakti dunia
persilatan kini tinggal sisa dua orang. Tak heran bila hubungan
mereka bertambah akrab dan masing-masing saling
memperhatikan dan menguatirkan keselamatan rekannya.
50 Tiba-tiba Darah dingin berkata, "Leng-tayhiap, bila tak
keberatan, boleh aku tahu gerakan jurus serangan Jit-sian-can
(tujuh babatan berputar) dari Buyung-jihiap?"


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang dimaksud Jit-sian-can dari Jite adalah serangan yang
dilancarkan menggunakan golok tipis yang melingkar di
pinggangnya. Semua ada tujuh jurus dan setiap jurus memiliki
tujuh macam perubahan. Tidak banyak orang yang mampu
menerima tujuh kali tujuh, empat puluh sembilan jurus
serangannya!"
"Bagaimana keadaan orang yang terkena sabetan golok Jitsian-
can miliknya?" kembali Darah dingin bertanya setelah
termenung sejenak.
"Biasanya daging akan merekah bila tergulung golok. Jika
lambung yang tersambar maka usus akan terpotong-potong.
Saudara Leng, kenapa kau menanyakan masalah ini?"
"Aaah, tidak apa-apa, hanya sekedar bertanya saja. Ah
benar, kenapa opas Ko tidak terlihat?" tanya Darah dingin lagi
dengan hambar. "Oh, sepeninggalmu bersama Ceng-heng tadi, saudara Liu
mengusulkan kalau toh yang diincar keturunan Iblis pedang
adalah kami, kenapa wajah kami tidak diubah menjadi raut
muka orang lain" Dengan begitu bukankah pihak lawan
semakin sulit untuk turun tangan" Maka saudara Ko
berpamitan akan pergi membeli peralatan serta obat untuk
menyaru muka. Konon saudara Ko adalah seorang jago
menyaru muka."
"Oh ya?" seru Darah dingin agak tertegun.
"Saudara Leng, bagaimana menurut pendapatmu soal
usulku itu?" ujar Liu Ce-in pula sambil tertawa.
"Tentu saja sangat luar biasa. Tapi bila sang pembunuh
adalah orang-orang di sekitar kita, berganti rupa pun tak ada
gunanya." Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berkumandang dari
luar ruangan. Liu Ce-in segera berseru lagi, "Tampaknya
saudara Ko telah balik."
51 Suara langkah kaki manusia itu makin lama semakin
mendekat, kemudian muncullah seorang pengemis
berperawakan tinggi besar. Raut mukanya istimewa dan
sangat menyeramkan, membuat siapa pun yang melihatnya
pasti enggan melihat untuk kedua kalinya. Pakaian yang
dikenakan compang-camping, tapi dalam genggamannya
tercekal sebuah tongkat kemala putih yang ujungnya runcing.
Sambil terpincang-pincang dan tertawa cengengesan ia
mendekat. Rupanya yang muncul adalah seorang pengemis tua yang
timpang kakinya.
Sim Ciok-kut segera melompat bangun sambil membentak
gusar, "Mau apa dia datang kemari?"
"Jangan terburu napsu, Site" cegah Leng Giok-siu, "dia
adalah Ko San-cing!"
Sementara Sim ciok-kut masih melengak, pengemis itu
sudah tertawa terbahak-bahak seraya berkata, "Tajam amat
penglihatanmu saudara Leng. Bagaimana" Ilmu menyaru
wajahku cukup hebat bukan" Siapa saja yang pernah menatap
sekali tak bakalan ingin melihat untuk kedua kalinya. Dengan
menyamar seperti ini maka aku pun tak usah banyak risau
hati. Aku memang sengaja menyamar sebagai pengemis, agar
bisa menyelinap di luar pintu rumah kalian, agar orang salah
mengira aku sebagai pengemis yang tak kebagian tempat di
kuil bobrok. Siapa tahu dengan begitu aku pun bisa
membekuk sang pembunuh sadis itu."
"Ilmu menyaru muka Ko-heng memang sangat hebat," puji
Leng Giok-siu sambil tertawa. Liu Ce-in ikut tertawa.
"Betul!" katanya pula. "Padahal sudah bertahun-tahun aku
berkenalan dengan saudara Ko, tapi baru kali ini tahu bila ilmu
menyaru mukanya luar biasa!"
"Lantas kau suruh aku menyaru sebagai apa?" tanya Ceng
Ci-tong pula sambil tertawa.
"Kalau kau lebih cocok jadi penjaga malam, karena
tampangmu macam orang tidak tidur selama sepuluh hari
sepuluh malam!"
52 Maka Ceng Ci-tong menyamar menjadi seorang penjaga
malam. Tangan sebelah membawa kentongan dan tangan lain
memegang lampu lentera. Bukan saja orang lain akan
menganggapnya sebagai penjaga malam, bahkan dia sendiri
pun nyaris menganggap dirinya memang seorang penjaga
malam. Buat Liu Ce-in, lantaran dia selalu membawa huncwe, maka
paling cocok baginya untuk menyamar jadi seorang kakek
pengurus rumah tangga. Bajunya berwarna hijau kasar
sementara huncwe diisapnya berulang-kali.
Leng Giok-sui juga menyamar menjadi seorang pembantu
rumah tangga, pedangnya disembunyikan di balik sapu yang
dipegangnya. Kini Ko San-cing sedang membantu Sim Ciok-kut mengubah
wajahnya. Ia tampil menjadi seorang tukang jual obat.
Ketika semua penyamaran telah selesai, sambil tertawa
Leng Giok-siu berkata, "Saudara Ko, sungguh tajam sinar
matamu. Ilmu menyaru mukamu juga sangat hebat. Kami
semua dapat menyamar sesuai perawakan tubuh masingmasing."
Ko San-cing tersenyum.
"Saudara Leng tak perlu memuji. Mataku sih tidak tajam,
malah lebih cocok kalau dibilang punya mata tak berbiji! Cuwi
semua adalah orang kenamaan dengan status sosial tinggi,
tapi sekarang telah kuubah jadi rakyat jelata yang berstatus
sosial rendah. Dosa, sungguh dosa. Baiklah, sekarang giliran
saudara Leng untuk mengubah penampilan."
Si Darah dingin masih muda lagi tampan. Tiba-tiba dari
balik wajahnya yang dingin kaku tak berperasaan terlintas
sekulum senyuman yang amat ringan. Senyuman itu ibarat
musim semi yang melumerkan salju beku, tampak sangat
indah dan menawan.
"Tidak usah," tampiknya, "mumpung hari belum gelap, aku
ingin berkunjung dulu ke kota karesidenan dan menyambangi
Bupati Lu, sebab aku punya janji dengannya. Jadi aku mesti
datang melapor sebelum malam nanti. Selain itu, aku juga
53 telah berjanji dengan tuan Cukat untuk berangkat besok ...
jadi sebelum tengah malam nanti aku pasti sudah balik
kemari. Dan sekarang mohon saudara Liu, opas Ceng dan
opas Ko untuk menjaga tempat ini."
Ada orang bilang, di saat Darah dingin mulai tertawa, maka
itulah saat yang paling cerah bagi anak buahnya untuk
menyelesaikan semua tugasnya.
Dan kini si Darah dingin telah pergi.
Malam semakin mencekam, kegelapan mulai menyelimuti
seluruh angkasa.
Ketika semua pegawai keluarga Kim sudah kembali ke
kamar masing-masing untuk beristirahat, dalam ruang utama
tersisa lima orang yang masih duduk di bawah cahaya lentera.
Kelima orang itu adalah Leng Giok-siu, Sim Ciok-kut, Liu Ce-in,
Ceng Ci-tong serta Ko San-cing.
Di belakang mereka berlima, berjajar tiga buah peti mati.
Di bawah cahaya lentera yang bergoyang terhembus angin,
suasana dalam ruangan amat hening, sepi, tak terdengar
seorang pun yang bersuara.
Ketika wajah mereka terbias oleh cahaya lentera yang
redup, terasa suasana makin menyeramkan, semakin misterius
dan menggidikkan hati.
Di tengah keheningan, tiba-tiba Leng Giok-siu berkata
dengan nada suaranya yang serak, "Aku seolah merasa, orang
yang sedang bermusuhan dengan keturunan Iblis pedang saat
ini bukan cuma kita berlima. Masih ada pula Jite, Samte serta
Ngote!" Liu Ce-in memandang peti mati yang berjejer itu sekejap.
Mendadak sekilas perubahan wajah yang sangat aneh
melintas di mukanya. Dengan sedikit agak emosi ia menjawab,
"Sayang sekali mereka adalah orang-orang yang sudah tak
bernyawa."
"Orang mati pun kadang kala bisa membetot sukma,"
dengus Sim Ciok-kut dingin.
"Hahaha Ceng Ci-tong tertawa tergelak, "masa Sim-sihiap
juga percaya takhayul?"
54 Pada saat itulah Liu Ce-in dengan suara yang lirih berbisik
kepada Leng Giok-siu, "Leng-heng, aku punya satu
kecurigaan. Cuma kurang leluasa untuk berbicara di sini. Aku
curiga pembunuhnya adalah...."
Paras muka Leng Giok-siu berubah serius. Melihat keraguan
rekannya, dia pun menjawab, "Kalau begitu, mari kita
berbicara di ruang dalam saja."
"Baik! Dengan kehadiran kita berdua, jangan harap
keturunan Iblis pedang dapat menyentuh kita semua!"
Di ruang dalam, Leng Giok-siu duduk di sebuah kursi yang
terbuat dari kayu cendana. Setelah hening sesaat, ia pun
bertanya kepada Liu Ce-in, "Saudara Liu, kau curiga siapa
pembunuhnya?"
Liu Ce-in menghela napas panjang, katanya, "Aku kuatir
biar sudah disebut pun belum tentu kau akan percaya."
"Siapa?" Leng Giok-siu semakin tertarik.
"Si Darah dingin!"
Leng Giok-siu melengak, lalu duduk tertegun. Jubah yang
dikenakannya kelihatan jelas bergetar sangat keras. Ini
membuktikan kalau hatinya amat tergoncang. Sesaat
kemudian ia baru berkata, "Tapi... rasanya tidak mungkin!"
"Ya, memang seakan tak mungkin," Liu Ce-in ikut
mengangguk sambil menghela napas panjang.
"Sampai sekarang aku tetap tak percaya kalau hal ini
adalah benar!" tiba-tiba Leng Giok-siu mengangkat kepala.
"Aku percaya penuh dengan Darah dingin. Dia adalah seorang
pemuda yang patut dipercaya!"
"Mula-mula aku memang tidak percaya," ujar Liu Ce-in
dengan nada menyesal, "tapi coba lihat barang ini. Kau akan
ragu dibuatnya."
Dari sakunya dia mengeluarkan selembar sapu tangan,
kemudian lanjutnya, "Ketika Kim-samhiap tertimpa musibah
waktu itu, sebelum aku dan si Darah dingin masuk ke dalam
kamar tidurnya, dari dalam saku orang itu aku telah
menemukan barang ini."
55 Leng Giok-siu menerima sapu tangan itu dan diamatinya
sejenak. Ternyata sebuah saputangan dengan bekas darah
yang telah mengering.
"Darah?" bisiknya emosi.
Dengan berat Liu Ce-in manggut-manggut.
"Benar, darah! Darah Kim-samhiap. Coba kau endus,
segera akan terbukti bahwa ucapanku benar."
Leng Giok-siu mencoba mengendus saputangan itu, tibatiba
paras mukanya berubah hebat! Saputangan itu segera
dilempar keluar. Bagai sebilah pisau tajam, lembaran kain itu
langsung menancap di atas pilar kayu.
"Ada dupa pemabuknya!" ia berpekik.
Segera dia mencoba untuk berdiri, tapi kepalanya serasa
berputar kencang, pening sekali rasanya. Bukan saja
badannya jadi lemas, langkah badannya juga sempoyongan
tak bertenaga. Ia coba melolos pedangnya, sayang kekuatan
untuk mencabut senjata pun ikut lenyap tak berbekas.
Akhirnya dengan lemas ia jatuh terduduk di atas bangku.
Menyusul kemudian, terdengar Liu Ce-in tertawa terbahakbahak.
Leng Giok-siu memaksakan diri untuk membuka matanya,
tapi pandangan matanya telah kabur. Yang terlihat hanya
bayangan manusia yang samar-samar, tak kuasa lagi ia lalu
membentak gusar, "Liu Ce-in, kau..."
Sementara itu di luar ruang gedung utama ....
Setelah Leng Giok-siu dan Liu Ce-in masuk ke ruang
belakang, tiba-tiba Sim Ciok-kut berkata dengan suara dalam,
"Saudara Ceng, saudara Ko, ada satu hal yang ingin
kukatakan. Apakah kalian berdua bersedia untuk
mendengarkan?"
"Kalau Sim-sihiap ingin bicara, masa kami berdua enggan
untuk mendengarkan?" sahut Ceng Ci-tong sambil tertawa.
"Maksudku, setelah mendengar perkataanku nanti,
bersediakah kalian berdua untuk tidak memberitahukan pada
orang lain?"
56 "Sim-sihiap, bila ingin menyampaikan sesuatu, katakan
saja. Aku orang she Ceng pasti akan tutup mulut rapat-rapat"
jawab Ceng Ci-tong dengan wajah serius.
"Apa yang ingin Sim-sihiap katakan?" tanya Ko San-cing
keheranan. "Aku mencurigai seseorang sebagai sang pembunuh!" "Oh
ya" Siapa?" agak berubah paras muka Ceng Ci-tong.
"Seseorang yang sangat kita kenal!"
"Seseorang yang sangat kita kenal?"
"Ya, si Darah dingin!"
Ceng Ci-tong dan Ko San-cing saling bertukar pandangan
sekejap. Mendadak, seakan memahami sesuatu, Ceng Ci-tong
berseru, "Darah dingin ... Darah dingin ... Ehmmm, masuk
akal. Ketika terjadi pertempuran hari ini di luar kota, kami
terpisah oleh sebuah kereta. Aku tak sempat melihat jelas apa
yang terjadi, juga tidak melihat dia turun tangan. Tapi ketika
Buyung-jihiap menemui ajalnya, dia memang persis berada di
sampingnya."
Mendengar perkataan itu, bergelora emosi Sim Ciok-kut.
Jubah padrinya nampak bergelombang karena pergolakan
hawa murninya. Dengan suara gemetar gumamnya, "Toako
dan Sam-ko punya hubungan yang sangat akrab dengannya,
bahkan amat mempercayainya. Tapi sekarang, ketika situasi
sangat gawat dan berbahaya, ia justru pamit untuk pergi dari
sini. Begitukah sikap seorang sahabat terhadap rekanrekannya?"
"Sim-sihiap, kalau memang begitu, kenapa kau malah tidak
bicara langsung dengan Leng-tayhiap atau saudara Liu"
Kenapa kau malah melarang kami untuk berbicara?" tanya Ko
San-cing keheranan.
Sekali lagi Sim Ciok-kut menghela napas panjang.
"Aaai... kau tidak tahu. Sejak Liu Kiu-ji terbanuh gara-gara
dikuntit olehnya, aku sudah menaruh curiga kepadanya. Ketika
Ngote tewas, dia pun secara kebetulan hadir di situ.
Tampaknya Ngote tewas di tangan orang yang sangat
dikenalnya. Dari situ aku pun jadi curiga, pasti hasil
57

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbuatannya. Tapi ... tapi ... toako sangat percaya
kepadanya, sedang saudara Liu jugi sahabat karibnya. Kalau
aku bicara blak-blakan, apakah bukan malah menggebuk
rumput mengejutkan sang ular?"
"Ehmmm, perkataan Sim-heng sangat masuk di akal," Ceng
Ci-tong manggut-manggut.
"Lantas apa rencana saudara Sim untuk menghadapi
manusia macam begini?" tanya Ko San-cing pula.
Sim Ciok-kut tertawa dingin.
"Bila Toako dan Liu-heng tidak setuju, aku usulkan untuk
membekuk si Darah dingin terlebih dulu ketika ia balik nanti,
lalu paksa dia untuk bicara. Aku tidak kuatir dia tak mengaku."
"Bagus, sebuah siasat yang amat jitu!" puji Ko Sam-cing
sambil bertepuk tangan.
Ceng Ci-tong segera menjura dalam-dalam di hadapan
ketiga layon, katanya, "Bila kami berhasil mengungkap siapa
pelaku pembunuhan ini, arwah Tayhiap bertiga di alam baka
tentu bisa beristirahat dengan tenang."
Suasana kembali mencekam dalam keheningan, yang
tersisa hanya hembusan angin malam yang menggoyangkan
cahaya lilin. Cahaya yang redup dan angin yang dingin
membuat suasana seakan berada di alam baka " mengerikan,
menggidikkan hati.
Mendadak Ceng Ci-tong pasang telinga dengan wajah
serius, kemudian bisiknya, "Ada suara langkah manusia!"
"Jangan-jangan si Darah dingin telah kembali?" sambung
Ko San-cing. "Malah kebetulan jika dia yang datang," ujar Sim Ciok-kut
dingin, "mumpung toako dan saudara Liu tak ada. Lebih baik
kita bekuk dulu orang itu disaat ia tidak siap, kemudian kita
paksa dia untuk mengaku!"
"Bagus!"
"Mari kita bersembunyi dulu di balik pintu," usul Ceng Citong.
"Bila aku bertepuk tangan nanti, kita bertiga serentak
turun tangan bersama!"
58 "Baik!" jawab Sim Ciok-kut sambil menyembunyikan diri
terlebih dulu di belakang pintu gerbang.
Ceng Ci-tong dan Ko San-cing juga segera melejit ke
samping dan bersembunyi di balik pintu.
Dalam kegelapan malam, yang terdengar hanya hembusan
angin yang lirih, sama sekali tak ada langkah manusia.
Setelah lama menunggu di balik kegelapan malam namun
tak seorang pun yang muncul, tiba-tiba Sim Ciok-kut berbisik,
"Aneh, kenapa aku tidak mendengar suara langkah manusia?"
"Sssttt ... jangan berisik," bisik Ko San-cing cepat, "Ceng
tua memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa. Meski
orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat,
jangan harap bisa mengelabui dia bila sudah memasuki radius
sepuluh kaki dari sini!"
"Sssttt, dia sudah mendekati pintu," Ceng Ci-tong segera
memperinga tka n.
Sim Ciok-kut tak bersuara lagi. Sambil mempersiapkan
senjata hud-timnya dia mengawasi pintu gerbang tanpa
berkedip. Suasana dalam kegelapan malam terasa makin membeku,
beku bagai sebuah bom yang siap meledak. Dan kini sudah
tiba saatnya untuk meledak....
Mendadak Ceng Ci-tong bertepuk tangan satu kali. Secepat
anak panah yang terlepas dari busurnya, Sim Ciok-kut segera
melejit ke udara dan menerjang ke arah pintu gerbang! Tapi
tak ada sesuatu di situ ....
Mungkinkah Ceng Ci-tong salah mendengar" Tiba-tiba Sim
Ciok-kut merasa Ceng Ci-tong dan Ko San-cing juga ikut
melejit ke tengah udara, tapi ... tahu-tahu kedua orang itu
sudah berganti arah dan menerjang ke arahnya, satu dari
depan dan yang lain dari belakang!
Sementara Sim Ciok-kut terkesima, mendadak ... "Buuuk!"
sebatang tongkat kemala putih yang tajam telah menghujam
di hulu hatinya, menancap dengan telak. Begitu cepat
datangnya tusukan itu hingga tak dapat terlukiskan dengan
kata-kata! 59 Sim Ciok-kut kontan merasakan hatinya seakan tenggelam.
Masih berada di tengah udara, cepat ia menarik napas sembari
melompat mundur ke belakang.
Tapi pada saat yang bersamaan Ceng Ci-tong yang berada
di belakangnya telah membentak nyaring, "Kena!"
Desingan gurdi membelah angkasa, Sim Ciok-kut hanya
sempat mendengar suara itu, lalu punggungnya ... "Buuk!"
kembali tertusuk senjata gurdi itu dengan telak. Tembus dari
punggung hingga ke dadanya, kemudian setelah mengebor
beberapa kali, senjata itu ditarik keluar kembali.
Darah segar menyembur keluar bagai pancuran air, rasa
sakitnya bukan kepalang.
Gara-gara rasa sakit yang luar biasa, gerakan tubuhnya
sedikit melamban. Saat itulah ujung toya kemala putih yang
runcing kembali menghujam dada hingga tembus ke
punggung dan ... "Criiit!" lagi-lagi senjata itu ditarik keluar
diiringi semburan darah segar.
Semburan darah itu amat deras dan kuat, sedemikian
kuatnya hingga menyembur ke udara.
Bersamaan dengan hamburan darah yang berceceran di
seluruh lantai, tubuh Sim Ciok-kut terlempar berapa kaki dari
posisi semula. Sungguh hebat Sim Ciok-kut. Ketika melayang turun dari
udara, ia masih sanggup berdiri tegak! Dengan sempoyongan
badannya mundur beberapa langkah, lalu bersandar di atas
sebatang pohon waru.
Di bawah cahaya rembulan tampak jubah hitam yang
dikenakan Sim Ciok-kut telah basah oleh darah. Rasa tak
percaya bercampur gusar terpancar dari wajahnya. Sangat
mengerikan. "Kalian ?" pekik Sim Ciok-kut lirih. Darah segar kembali
menyembur keluar dari mulutnya, membuat ia tak sanggup
melanjutkan kata-katanya.
Tampak Ceng Ci-tong yang pendek kecil tapi berotot itu
tersenyum licik, sahutnya, "Betul, memang kami!"
60 Sambil berkata, ia mempermainkan gurdi yang berlumuran
darah itu dengan mengayun-ayunkannya di udara.
Sementara itu, dengan memegang tongkat runcingnya
yang berdarah, Ko San-cing ikut tertawa bangga. Ujarnya,
"Kamilah keturunan Iblis pedang! Sekarang kau boleh mati
dengan mata meram!"
Mendadak Sim Ciok-kut memperdengarkan suara geraman
yang keras bagai sekor binatang buas yang terluka. Senjata
hud-tim dalam genggamannya segera digetarkan! Beribu-ribu
Pedang Dan Kitab Suci 16 Amanat Marga Karya Khu Lung Pendekar Setia 8
^