Pencarian

Pertemuan Di Kotaraja 10

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 10


berada dalam ruangan bersama Cukat-sianseng"
Cong Ki-ko nyaris tidak percaya, pemuda itu begitu pucat
wajahnya, begitu kurus badannya bahkan kaki pun tidak
tumbuh sempurna, mungkinkah dia mampu menyusulnya
hanya mengandalkan sepasang tangan"
Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, Cong Ki-ko
mulai berpikir, "Konon Cukat-sianseng punya empat orang
murid, salah satunya adalah Put Cing si Tanpa Perasaan,
jangan-jangan pemuda itu adalah orang yang dimaksud?"
Tiba-tiba Cong Ki-ko menghentikan larinya, sekulum
senyuman licik tersungging di ujung bibirnya, kalau memang
Cukat-sianseng susah dibunuh, kenapa tidak membunuh si
Tanpa Perasaan" Asal salah seorang di antara mereka
terbunuh, bukankah dia sama saja dapat memberikan
pertanggung jawaban terhadap Mo-kouw si Bibi iblis"
Apalagi selama hidup dia paling pantang dikuntit orang
secara diam-diam!
Seluruh badan Tanpa Perasaan mendadak berdiri
membeku, menjadi kaku di tengah kegelapan malam dan
hembusan angin dingin.
Tiba-tiba saja dia kehilangan jejak Cong Ki-ko ... suara
desingan angin topan yang tajam, cepat dan nyaring itu
mendadak hilang lenyap, mendadak hening dan tidak bersuara
lagi. Tanpa Perasaan ragu-ragu sesaat, lalu sepasang tangannya
kembali menepuk tanah, dengan tiga kali loncatan tubuhnya
meluncur sejauh puluhan kaki, namun dengan cepat tubuhnya
membeku untuk kedua kalinya.
Dia segera merasakan munculnya hawa pembunuhan yang
amat tebal menyerang tubuhnya, nyaris menembus tulangnya
.... Sepanjang kariernya, Yu-hun-soh-po-jui Cong Ki-ko sudah
kelewat banyak membunuh orang, akibatnya walaupun
sekarang dia belum turun tangan, namun manusia macam
518 Tanpa Perasaan segera dapat merasakan betapa hebatnya
hawa pembunuhan yang menyelimuti seluruh arena.
Tanpa Perasaan segera menghentikan gerak tubuhnya.
Sekeliling tempat itu berupa sebidang tanah luas dengan
beberapa batang pohon tumbuh di empat penjuru, di bawah
cahaya sinar rembulan terlihat dedaunan bergoyang tiada
hentinya. Dia sadar, Cong Ki-ko pasti bersembunyi di balik salah satu
pohon di sekeliling sana, menanti saat yang tepat untuk
menyergap, siap melancarkan serangan mematikan.
Tinggal satu hal yang belum jelas, Tanpa Perasaan tak bisa
memastikan pohon yang mana, pada dahan pohon mana
musuhnya menyembunyikan diri.
Dia tak ingin bertindak gegabah, ia sadar dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya
sekarang, bukan pekerjaan mudah untuk menghindarkan diri
dari serangan gurdi pencabut nyawa yang dilancarkan lawan.
Cong Ki-ko tak lebih hanya salah seorang di antara empat
orang utusan yang dikirim Mo-kouw si Bibi iblis, jika manusia
macam Cong Ki-ko saja tak mampu dia atasi, bagaimana
mungkin ia bisa mengimbangi kepandaian yang dimiliki si Bibi
iblis bila terjadi pertarungan nanti"
Dalam keadaan begini Tanpa Perasaan hanya bisa
menunggu, menunggu kedatangan serangan mematikan,
menunggu pihak lawan melancarkan serangan mautnya
terlebih dulu. Dipihak lain, Cong Ki-ko sendiri pun merasa kaget
bercampur tercengang ketika melihat si Tanpa Perasaan
selangkah demi selangkah menghampirinya dengan
mengandalkan sepasang tangannya, dia tak menyangka orang
yang lumpuh kakinya ternyata memiliki ilmu meringankan
tubuh sehebat ini.
Setiap orang persilatan tahu bahwa Put-cing si Tanpa
Perasaan adalah seorang pemuda yang banyak akal dan
pandai mengatur siasat, senjata rahasianya tiada tandingan,
bahkan telah melengkapi tandu yang dia gunakan dengan
519 berbagai macam alat rahasia, konon tak ada jagoan yang
mampu mendekatinya sampai jarak satu kaki, malah konon
keempat orang kacungnya pun memiliki ilmu silat yang luar
biasa. Dia sudah banyak mendengar tentang kehebatan
lawannya, hanya satu yang belum pernah ia ketahui, Tanpa
Perasaan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat.
Diam-diam ia mulai menaruh rasa kasihan kepada si Tanpa
Perasaan, sebab bila gurdinya dilontarkan, pemuda cacad itu
seketika akan tercabut nyawanya, dari potongan badan serta
gerak-gerik pemuda itu, ia telah melihat dengan jelas bahwa
pemuda itu meski memiliki ilmu meringankan tubuh yang
hebat, namun tenaga dalamnya tidak sempurna, kekuatan
tubuhnya masih belum sanggup menerima serangan mautnya.
Apalagi sekarang dia berada di tempat gelap, sementara
lawan berada di tempat terang, asal dia melancarkan
serangan lebih dulu, bisa dipastikan si Tanpa Perasaan tak
akan bisa meloloskan diri.
Bagaimanapun juga si Tanpa Perasaan bukanlah Cukatsianseng
yang ditakuti orang persilatan!
Diam-diam Cong Ki-ko mulai menghimpun tenaga
dalamnya sambil mempersiapkan serangan, dia akan
melepaskan serangan gurdinya di saat si Tanpa Perasaan
sekali lagi melambungkan tubuhnya ke udara.
Serangan mautnya harus berhasil mengenai sasaran,
karena dia tinggal memiliki sebuah gurdi saja, gurdi yang lain
telah direbut Cukat-sianseng.
Dalam waktu singkat itulah tiba-tiba si Tanpa Perasaan
menghentikan seluruh gerakannya, setiap jengkal tubuhnya,
setiap inci pori-pori tubuhnya seakan sudah berada dalam
kesiagaan penuh.
Begitu berhenti, dia tidak melakukan gerakan lagi, seluruh
tubuhnya seolah sudah meleburkan diri ke dalam cahaya
rembulan, melebur jadi satu bagian hingga tak mungkin bisa
dipisahkan kembali.
520 Jangan-jangan ... pemuda itu sudah mengetahui tempat
persembunyiannya dan siap melancarkan serangan"
Diam-diam Cong Ki-ko bermandikan peluh dingin, padahal
selama hidup, kecuali sedang berhadapan dengan Cukatsianseng,
dia tak pernah merasa panik seperti saat ini, tak
pernah terpengaruh rasa percaya dirinya seperti apa yang
terjadi ketika berhadapan dengan si Tanpa Perasaan seperti
sekarang ini. Sebenarnya dialah sang Pemburu, atau justru si Tanpa
Perasaan lah yang telah menjadi pemburu"
Lalu siapa yang menjadi hewan buruan" Dia" Atau dirinya"
Tanpa Perasaan tidak mendongakkan kepala, tapi
telinganya mendengarkan dengan seksama, jangan kan suara
manusia, daun yang bergerak di dahan pohon sepuluh kaki
dari tubuhnya pun dapat ia dengar dengan jelas, tapi anehnya
dia justru tidak mendengar suara napas Cong Ki-ko.
Padahal dengusan napas sendiri justru bertambah cepat,
bertambah memburu, perasaan tegang memang selalu
mendatangkan tekanan batin yang amat besar bagi seseorang
dengan tenaga dalam cetek.
Biarpun tegang, biarpun mulai gelisah, penampilan si Tanpa
Perasaan tetap dingin, tenang dan Tanpa Perasaan.
Rembulan sudah mulai condong ke langit barat, kentongan
keempat sudah lama berlalu, Tanpa Perasaan sadar, ia tak
bisa menunggu lebih lama lagi di situ, sebab dia berada di
tempat terang sedang musuh berada di tempat gelap, kecuali
bila dia bisa memaksa pihak lawan berada di tempat terang.
Tentu saja Cong Ki-ko tak bakal menmpakkan diri secara
sukarela, asal pihak lawan mengeluarkan sedikit suara, si
Tanpa Perasaan segera dapat menetapkan tempat
persembunyiannya.
Mendadak ejeknya dengan suara dingin, "Hm, orang bilang
Yu-hun-soh-po-jui Pak-hay sangat hebat, ilmu gurdi pencabut
nyawanya luar biasa dan tanpa tandingan, tapi malam ini ...
aku sungguh kecewa, ternyata kau hanya manusia tak
521 bernyali, beraninya hanya bersembunyi macam sukma
gentayangan, kau sungguh amat mengecewakan!"
Suasana tetap hening, sepi, tak terdengar suara apapun,
bahkan suara daun yang jatuh pun tak terdengar.
Kembali si Tanpa Perasaan menjengek dingin, "Ternyata
anak buah Mo-kouw yang disebut orang empat peronda besar
tak lebih hanya manusia begitu, bisa jadi yang disebut Bibi
iblis pun cuma manusia tak berguna."
Suasana tetap hening, tak ada suara manusia, tak ada
suara dedaunan, yang ada hanya cahaya rembulan yang
semakin redup. Tanpa Perasaan berkata lebih lanjut, "Tapi aku rasa
peronda selatan, peronda barat dan peronda utara jauh lebih
mendingan ketimbang kau si utusan peronda timur yang tak
lebih cuma manusia kurcaci, manusia penakut macam kurakura,
sungguh bikin malu saja."
0oo0 Suasana tetap hening, sepi, tak ada suara barang
sedikitpun. Peluh sebesar kacang kedelai mulai membasahi
jidat si Tanpa Perasaan.
"Cong Ki-ko!" seru Tanpa Perasaan kemudian sambil
tertawa, "kalau kau tak punya keberanian untuk
menampakkan diri, baiklah, Siauya akan segera pergi."
Mendadak deru angin tajam bergema memecah
keheningan, membelah kegelapan malam yang masih
mencekam. Deru angin tajam itu muncul dari atas sebuah pohon besar,
pohon ketiga yang berada di posisi tengah, selain
menimbulkan desingan tajam yang memekakkan telinga,
kecepatan dan kedahsyatannya luar biasa, sebuah serangan
gurdi terbang pencabut nyawa!
Waktu itu sebenarnya si Tanpa Perasaan berdiri
menghadap ke selatan, begitu desing angin tajam menderu,
tangannya telah diayunkan ke arah timur.
522 Begitu tangannya diayunkan, wajahnya ikut berpaling ke
timur, tampak sebuah gurdi terbang meluncur dengan
kecepatan luar biasa, nampaknya sulit untuk dihindari.
Bersamaan dengan ayunan tangannya, tampak cahaya
putih berkelebat, menyusul kemudian terdengar jeritan ngeri
yang memilukan hati bergema memecah keheningan,
serangan gurdi terbang itupun rontok di tengah jalan, terjatuh
ke tanah persis beberapa depa di hadapan si Tanpa Perasaan.
"Bruk!", sesosok tubuh manusia rontok dari atas pohon,
seorang lelaki berbaju merah, tapi pakaian di bagian dadanya
kelihatan jauh lebih merah, merah karena darah!
Sebilah pisau tipis lagi lembut telah menghujam di dada
Cong Ki-ko, menghujam ke dalam tubuhnya hingga tersisa
gagangnya. Memang hanya pisau sepanjang ini yang bisa
menghancurkan tenaga dalam Cong Ki-ko, merontokkan
tubuhnya dari atas pohon.
Cong Ki-ko roboh terkapar di tanah, rasa tidak percaya,
putus asa dan penasaran masih memancar dari balik
wajahnya, sekuat tenaga dia mengangkat wajahnya, berusaha
memandang ke arah lawan.
Tampak pemuda berbaju putih itu, si Tanpa Perasaan
berjalan menghampirinya, meletakkan gurdi terbang itu ke
samping tubuhnya, kemudian baru bertanya, "Apa lagi yang
ingin kau katakan?"
Dengan rasa sakit yang luar biasa Cong Ki-ko memandang
sekejap pisau yang menghujam di dadanya.
Tanpa Perasaan segera mengerti apa yang dimaksud, dia
cabut keluar pisau terbangnya, darah segar pun menyembur
keluar dari lukanya, berhamburan kemana-mana.
Dengan suara parau karena menahan rasa sakit, Cong Kiko
berbisik, "Bibi iblis pasti akan membalaskan dendam atas
kematianku"
Dengan pandangan hambar si Tanpa Perasaan
mengangguk. 523 Suara Cong Ki-ko yang parau dan mengenaskan pun
seketika terputus di tengah jalan, terputus di tengah
hembusan angin malam yang dingin, tewas dalam keadaan
mengenaskan! Tanpa Perasaan mendongakkan kepalanya memandang
angkasa, dia tahu, masih ada jalan yang lebih panjang, lebih
jauh dan lebih sulit yang harus ditempuh, harus dilaluinya.
oooOOooo 16. Bertarung Melawan Malaikat iblis.
Matahari bersinar amat terik di jalan raya menuju wilayah
Soat-say, terlihat satu rombongan manusia sedang menelusuri
jalan raya dengan susah payah, mereka terdiri dari enam
belas ekor kuda
Penunggang kuda paling depan adalah seorang lelaki
bercambang, dia membawa sebuah panji besar, panji
bersulam seekor naga emas, cakar naga mencengkeram
sebilah golok besar dan di atas golok besar tertera sebuah
huruf besar "Ui", panji kebesaran Ui Thian-seng ketua Benteng
Timur. Di belakang panji besar mengikut dua orang, masingmasing
menunggang seekor kuda tinggi besar yang nampak
kekar. Orang di sebelah kiri sudah berusia lanjut, namun sikap dan
gerak-geriknya masih gagah, tangan kanannya membawa
sebuah lembing sepanjang satu kaki delapan depa, beratnya
paling tidak mencapai lima puluh kati.
Di belakang kakek gagah itu mengikut seekor kuda yang
ditunggangi seorang kacung berbaju hijau, kacung itu tidak
membawa apa-apa kecuali di tangan kanannya memegang
sebilah golok besar dengan sangat hati-hati, berat golok itu
paling tidak mencapai tujuh puluh kati.
Orang yang berada di sebelah kiri adalah Toa-mong-hau,
Kim-to-bu-tek (sang harimau perkasa, golok emas tanpa
tanding) Ui Thian-seng, sementara di samping kanannya


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

524 adalah wakil Pocu dari benteng timur yang disebut orang
Hong-ta-pit-pay (tiap bertarung pasti kalah) Khong Bu-ki.
Di belakang kacung berbaju hijau mengikut pula dua orang
perempuan, seorang memakai baju berwarna merah dan yang
lain mengenakan baju warna kuning.
Perempuan di sebelah kanan memakai pakaian ketat
berwarna kuning lembut, sorot matanya liar tapi tajam, genit
namun tidak jalang, gerak-geriknya membawa tiga bagian
keindahan, empat bagian kemalas-malasan dan tiga bagian
lagi kegenitan yang menawan.
Sementara perempuan di sebelah kiri memiliki usia yang
sedikit lebih muda ketimbang perempuan tadi, umurnya
seputar dua puluh enam tahun, dia mengenakan pakaian
ringkas berwarna merah, sepasang alis matanya selalu
berkerut, bibirnya terkatup rapat, sekuntum bunga putih
pertanda berkabung terselip di antara sanggulnya, perempuan
ini membawa hawa pembunuhan yang tipis tapi dingin
bagaikan salju.
Di belakang mereka mengikut empat orang perempuan
berbaju merah, semuanya menyoreng pedang di punggung.
Perempuan di sebelah kanan tak lain adalah Hui-sian (si
Dewi terbang) Ci Yau-hoa, perempuan yang tersohor bukan
saja karena kecantikan wajahnya, juga karena jejaknya yangsukar
dilacak, orang bilang bagaikan naga yang nampak
kepalanya tak kelihatan ekornya.
Sedangkan perempuan di sebelah kiri adalah Siau-thiansan-
yan (si walet kecil dari Thian-san) Chin Ang-kiok, seorang
jagoan wanita yang dicintai dan juga disegani umat persilatan.
Selain kawanan centeng dan kacung yang berjalan duluan
mengiringi Ui Thian-seng, Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa, Chin Angkiok
serta keempat dayang wanitanya, di belakang mengikuti
pula enam orang lelaki kekar berbaju kuning, kawanan lelaki
itu membawa senjata tajam berbeda, namun semuanya kekar,
cekatan dan gagah, apalagi sewaktu menunggang kuda,
kegagahan mereka cukup menciutkan hati siapa pun yang
melihatnya. 525 Mereka tak lain adalah enam orang jago lihai pelindung
benteng Tang-po, masing-masing adalah Ko-kwan-to (golok
menembus kota) Yu Ci, Che-tong-ciau-liong (naga sakti dari
kolam Che) Yu Keng-tong, Am-gi-boan-thian (senjata rahasia
memenuhi angkasa) Yau It-kang, Ko-san-poh (langkah
menembusi bukit) Be Lak-ka, Lui-tiam-jui-pak-hay (martil
sambaran petir) Li Kay-san serta Sui-pit-jiu (tangan sakti
penghancur cadas) Lu Ban-seng.
Keenam belas orang jagoan ini sedang menempuh
perjalanan menuju Pak-shia, benteng utara yang sedang
dilanda kesulitan.
Ketika kota Po-ki-tin sudah di depan mata, Hong-ta-pit-pay
Khong Bu-ki mulai mengumpat, "Maknya, sialan, panas dan
menyiksa amat cuaca hari ini, kalau siang panas kalau malam
dingin, beberapa hari lagi bisa gosong semua badanku"
Ui Thian-seng meski sudah tua namun semangat dan
tenaganya masih sangat hebat, mendengar perkataan itu dia
segera tertawa lantang, sahutnya, "Hahaha ... cuaca begini
kan masih belum cukup untuk menyusahkan kita semua,
masih ingat pengalaman kita di He-liong-kang" Juga kejadian
di Tibet" Bukankah kita masih tetap bertahan hidup bahkan
berhasil membawa pulang batok kepala musuh kita!"
Baru selesai dia berkata, mendadak kacung baju berhijau
yang berada di belakangnya telah berteriak memanggil, "Loya,
Loya" Waktu itu Ui Thian-seng sedang merasa gembira, sedikit
tak sabar sahutnya, "Ada apa?"
"Tentu saja kau orang tua tidak merasa lelah, tapi keenam
nona di belakang sana ... mereka tidak memiliki kemampuan
sehebat Loya!"
Ui Thian-seng sedikit tertegun, kemudian baru menghela
napas panjang, keluhnya, "Ai ... sungguh merepotkan,
sungguh merepotkan, jalan bersama kaum hawa memang
selalu mendatangkan kerepotan."
"Bagaimana kalau setibanya di kota Po-ke nanti, kita suruh
mereka pulang saja?"
526 "Suruh mereka pulang?" Ui Thian-seng menggeleng kepala
berulang kali, "Jite, tidak gampang menyuruh mereka pulang,
apalagi melawan mulut dua orang perempuan itu, tajam dan
menakutkan, nanti bakalan ada orang bilang aku tidak setiakawan,
menganggap aku memandang enteng kaum wanita,
menghina kemampuan mereka, wah ... wah ... aku tidak
tahan jika harus menanggung tuduhan dan dosa macam
begitu" Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berjalan mendekat,
tampak Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok melarikan kudanya
menghampiri, begitu tiba di samping jago tua itu, sambil
tertawa Ci Yau-hoa segera menegur, "Ada apa Ui-enghiong"
Udara begini panas, mengapa kau menggerutu?"
"Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa" sahut Ui Thian-seng
sambil tertawa paksa.
"Kita tak butuh istirahat," sela Chin Ang-kiok dengan suara
dingin, "selama Ui-pocu masih ingin melanjutkan perjalanan,
jalan saja terus, kami tak akan menyusahkan orang apalagi
merepotkan orang lain"
"Hahaha ... paling baik memang begitu, paling baik
memang begitu," sambung Khong Bu-ki sambil tertawa lebar.
Chin Ang-kiok melotot sekejap ke arahnya dengan
pandangan dingin, kemudian bersama Ci Yau-hoa mundur lagi
ke belakang. Melihat sikap perempuan itu, Khong Bu-ki merasa hatinya
sangat tak enak, kepada Ui Thian-seng keluhnya, "Toako,
ternyata ucapanmu benar, perempuan ini memang ketus dan
sama sekali tak punya perasaan."
"Loji, kau harap memaklumi perasaannya, saudaranya Jianli-
it-tiam-heng (seribu li setitik noda) Chin Sam-kong telah
tewas di tangan Bibi iblis pada tiga bulan berselang, konon
saudaranya itu ditangkap untuk dijadikan manusia obat,
kemudian pada tujuh hari berselang, suaminya Leng-siau-huito-
jiu (tangan sakti pisau terbang) Wu Si-hiong tewas pula di
tangan Bibi iblis, padahal hubungan batinnya dengan Wu Sihiong
sangat buruk, tapi bagaimana pun juga mereka toh
527 suami istri, bagaimana jeleknya hubungan di masa lalu,
kematian tetap akan mendatangkan kesedihan baginya ... jadi
ada baiknya kita tak usah mengusiknya."
Baru saja Khong Bu-ki akan berbicara lagi, mendadak
terdengar desingan angin tajam membelah bumi, sebuah
benda terlihat melesat ke arah tubuh Ui Thian-seng.
Dengan cekatan Ui Thian-seng menekan pelananya, sang
kuda segera meringkik panjang sambil bergerak mundur,
sementara jagoan tua itu masih tetap duduk di atas kudanya
tanpa bergerak.
Sementara itu Khong Bu-ki telah mempersiapkan
lembingnya sambil memburu ke atas sebuah gundukan tanah,
sambil membentak gusar, "Cepat menggelinding keluar!"
Ci Yau-hoa serta Chin Ang-kiok juga telah memburu ke
samping Ui Thian-seng, mereka jumpai jagoan tua itu sedang
menggapai ke arah mereka dengan wajah serius.
Ketika Khong Bu-ki ikut memburu datang, Ui Thian-seng
segera memperlihatkan sebatang panah dalam
genggamannya, pada ujung anak panah itu terikat selembar
kertas, di atas kertas tertera beberapa huruf berwarna merah
darah: "Siapa yang tunduk, hidup.
Siapa yang menentang, mati.
Begitu memasuki Po-ke, reinkarnasi!
Tertanda, Cu Yu"
Di samping nama "Cun Yu", tertera pula lambang empat
buah lingkaran bersinar.
Berubah hebat paras muka Ci Yau-hoa, serunya tertahan,
"Ah! Surat dari Malaikat iblis Cun Yu-siang!"
"Ditambah keempat orang pengawalnya pula, Heng-lui-santian,
Su-toa-ok-sin (suara guntur sambaran petir, empat
malaikat bengis)!" sambung Chin Ang-kiok dingin.
"Bila kalian berdua merasa takut, silakan pulang mumpung
masih sempat," sela Khong Bu-ki tak tahan, "akan kusuruh
pengawal Yan serta pengawal Lu untuk mengantar."
528 Chin Ang-kiok mendengus dingin, ditatapnya sekejap wajah
orang itu dengan pandangan dingin, lalu katanya, "Khonghupocu,
aku harap selanjutnya kau jangan mengucapkan
perkataan semacam ini lagi, kalau tidak, hm! Jangan salahkan
kalau aku Chin Ang-kiok menantangmu lebih dulu untuk
berduel!" Khong Bu-ki jengkel dalam hati, namun di luar dia tetap
tertawa lantang, katanya, "Hahaha ... aku sengaja berbuat
begini kan demir kebaikanmu, baik! Kalau memang ingin
berkelahi, aku Khong Bu-ki tak pernah takut terhadap
siapapun!"
Tiba-tiba Ui Thian-seng menegur, "Saat ini musuh tangguh
di depan mata, kalau kalian berdua masih saja ribut hingga
membikin pusing orang lain, artinya ingin mencari masalah
dengan aku Ui Thian-seng!"
Melihat keributan yang terjadi, dengan suara lembut Ci
Yau-hoa ikut berkata, "Walaupun Malaikat iblis merupakan iblis
dengan kungfu paling lemah di antara empat iblis langit,
namun kekuatan pukulannya sanggup menghancurkan batu
cadas secara mudah, kehebatan tenaga dalamnya
mengerikan, apalagi keempat anak buahnya yang disebut
orang empat malaikat bengis, kehebatannya pun menakutkan.
Ui-loenghiong, apa rencanamu sekarang?"
"Rencana?" seru Ui Thian-seng, "aku pikir ada baiknya
malam ini kita menginap di kota Po-ke sambil menunggu
kedatangan mereka, cepat atau lambat toh pertarungan sengit
tak dapat dihindari, aku rasa lebih baik kita membuat kejutan
lebih dulu di sini!"
Benteng Tang-po sejajar dengan empat keluarga kenamaan
dalam dunia persilatan, tentu saja bukan karena nama
kosong, mereka punya pengalaman dalam pergaulan di dunia
Kangouw selama ini.
Dalam sebuah rumah penginapan terbesar di kota itulah
mereka menginap, sebelum memasuki rumah penginapan,
suasana dan keadaan di sekeliling tempat itu telah
diperiksanya dengan seksama, bahkan sebelum masuk ke
529 dalam kamar, urusan hubungan dengan Ciangkwe sampai
urusan pelayan losmen telah diatur petugas khusus secara
teliti dan seksama. Baik soal tidur maupun makan, hampir
semua persoalan ditangani sendiri oleh petugas dari Tang-po.
Kesemuanya ini dilakukan hanya dengan satu tujuan, bila
ada orang berniat mencampur racun ke dalam air teh atau
hidangan mereka, maka orang itu segera akan mati dalam
keadaan mengenaskan.
Untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang
terjadi, Ui Thian-seng juga telah menyiapkan uang untuk
memindahkan semua tamu lain yang menginap di losmen itu
ke tempat lain, malah seluruh keluarga pemilik losmen pun
diminta untuk pindah sementara waktu, dengan demikian, bila
terjadi pertarungan nanti, mereka tak sampai sembarangan
menampakkan diri hingga berakibat salah sasaran.
Malam semakin larut, suasana hening pun mulai mencekam
seluruh bumi, penduduk kota Po-ke memang sudah terbiasa
tidur lebih awal.
Suasana terang benderang menyelimuti seluruh rumah
penginapan Peng-an, hampir setiap sudut bermandikan
cahaya terang. Para opas kota yang mendapat kabar pun
sudah berdatangan, tapi begitu tahu yang hadir adalah Ui
Thian-seng ketua benteng timur, mereka pun tak ada yang
berani mencampuri urusan itu.
Petugas opas yang ada di kota itu berjumlah dua-tiga
puluhan orang, namun kemampuan silat mereka masih jauh di
bawah kepandaian seorang pengawal dari benteng timur
sekalipun. Waktu itu Ui Thian-seng, Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa dan Chin
Ang-kiok sedang duduk satu meja menikmati santap malam,
walaupun aneka hidangan tersedia di meja, namun mereka
makan sedikit sekali.
Untuk membuang waktu, Ui Thian-seng dan Khong Bu-ki
berbincang mengenai urusan dunia persilatan, sementara Ci
Yau-hoa dan Chin Ang-kiok berbicara sendiri sambil tertawa.
530 Langit makin lama semakin gelap, angin kencang mulai
berhembus pertanda sebentar lagi hujan akan turun.
Khong Bu-ki membuka daun jendela sambil melongok ke
luar, angin dingin yang menerpa wajahnya membuat dia
segera mendusin dari pengaruh mabuknya, dia segera
memberi tanda, dari balik wuwungan rumah muncul seorang
jago dengan golok panjang tersoren di pinggang, dia tak lain
adalah Ko-kwan-to (golok menembus kota) Yu Ci.
"Ada gerak-gerik yang mencurigakan?" tanya Khong Bu-ki
kemudian. "Sama sekali tak ada."
Khong Bu-ki manggut-manggut, maka Yu Ci pun segera
menyelinap kembali ke balik kegelapan.
Ketika Khong Bu-ki membalik badan sambil menutup
kembali daun jendelanya, dia merasa hembusan angin malam
di luar sana terasa semakin kencang.
"Aku kira bangsat itu tak berani datang," kata Chin Angkiok
tiba-tiba. "Tidak mungkin," dengan penuh keyakinan Ci Yau-hoa
menggeleng kepala, "empat iblis langit adalah kawanan iblis
bernyali besar, biarpun mereka sedikit jeri terhadap kita,
bukan berarti mereka tak berani datang menjumpai kita."
Tiba-tiba suara menggelegar yang memekakkan telinga
bergema di udara, suara guntur disertai kilatan halilintar
membelah udara yang gelap, cahaya api dalam ruangan
terlihat ikut bergoyang kencang.
Dengan perasaan berat Khong Bu-ki tertawa paksa,
bisiknya kemudian, "Malam ini halilintar menyambar-nyambar,
suara guntur menggelegar serasa membelah bumi, malam


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang amat cocok untuk melakukan pembantaian!"
Ui Thian-seng tidak dapat tertawa, dengan nada berat
sahutnya, "Jite, coba kau tengok keluar sana, aku seperti
merasa kurang beres dengan suara guntur barusan itu."
Khong Bu-ki menyahut, membuka jendela sambil memberi
kode tangan. 531 Hujan rintik mulai membasahi bumi, suasana di luar jendela
sana amat gelap, bahkan di atas wuwungan rumah pun tidak
nampak sesuatu gerakan.
Berubah hebat paras muka Khong Bu-ki, segera serunya,
"Pengawal Yu!"
Tak ada jawaban, suasana tetap hening.
Dengan sebuah gerakan cepat Khong Bu-ki melompat
keluar, lalu melayang naik ke atas wuwungan rumah, dengan
cepat ia saksikan sesosok mayat membujur kaku di situ, golok
panjang telah dilolos dari pinggang, namun dari dada hingga
punggung mayat itu terlihat sebuah luka yang besar sekali,
seakan pada saat bersamaan tubuhnya mendapat serangan
guntur secara serentak dari empat penjuru.
Mayat itu tak lain adalah mayat Ko-kwan-to (golok
menembus kota) Yu Ci.
Sementara itu Ui Thian-seng, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok
telah menyusul keluar dari ruangan dan tiba di atas
wuwungan rumah.
Angin berhembus makin kencang, hujan mulai turun
dengan amat derasnya.
Dengan suara nyaring Ui Thian-seng segera berseru,
"Musuh mulai menyerang, semuanya segera berkumpul!"
Biarpun di tengah hujan angin yang kencang dan menderuderu,
namun suara teriakan itu masih tetap berkumandang
sangat jelas. Pada saat itulah hampir bersamaan waktunya telah terjadi
dua peristiwa besar.
"Blaaam!", tiba-tiba dari dalam ruangan menyembur keluar
jilatan api yang amat besar, cahaya api itu berwarna hijau
kebiru-biruan, langsung membumbung tinggi ke angkasa.
Kemudian terdengar suara bentrokan senjata yang amat
ramai bergema dari tengah halaman rumah penginapan,
tampaknya di tempat itu sudah berlangsung suatu
pertempuran yang amat seru.
Mengikuti terjadinya dua peristiwa besar itu, dari sisi
dinding losmen bermunculan tujuh sosok manusia bersenjata
532 lengkap, mereka tak lain adalah kelima pengawal benteng,
lelaki pembawa panji kebesaran serta kacung pembawa golok.
Menyusul berkobarnya cahaya api, terlihat seseorang
berjalan keluar dari balik asap tebal dengan langkah santai,
orang itu mempunyai perawakan tubuh tinggi, seluruh
badannya bersisik naga, matanya memancarkan hawa
membunuh yang tebal, sambil tertawa seram ia berdiri di atas
wuwungan rumah, tampangnya menunjukkan rasa bangga
luar biasa. Mendadak terdengar Chin Ang-kiok berseru, "Bwe, Lan,
Kiok dan Tiok sedang bertarung sengit melawan empat
malaikat bengis!"
Sambil berseru, ia segera melesat ke depan, menembus
hujan angin dan langsung menyusul ke halaman belakang.
Dalam pada itu Ui Thian-seng telah mengawasi manusia
aneh di ujung wuwungan itu sambil berseru nyaring, "Jadi kau
adalah malaikat iblis Cun Yu-siang" Seorang di antara empat
iblis langit?"
"Tepat sekali," sahut orang aneh itu sambil tertawa seram,
"kini aku sudah muncul di sini, berarti sudah terlambat bagi
kalian bila ingin kabur."
"Kenapa kami harus mundur?" sahut Che-tong-ciau-liong
(naga sakti dari kolam Che) Yu Keng-tong gusar, "kedatangan
kami justru ingin mencabut nyawa anjingmu!"
Lui-tiam-jui-pak-hay (martil sambaran petir) Li Kay-san ikut
membentak pula dengan suara nyaring, "Kembalikan nyawa
Yu-lakte kami!"
Menyusul bentakan nyaring, sepasang martilnya diiringi
deru angin tajam langsung dihantamkan ke tubuh Malaikat
iblis Cun Yu-siang.
Serangan Martil sambaran petir memang luar biasa
hebatnya, deru angin tajam langsung menghimpit iblis itu,
sayang, Cun Yu-siang bukan jago sembarangan.
Biarpun kecepatan serangan Li Kay-san melebihi kecepatan
petir, gerak tubuh Cun Yu-siang justru jauh lebih cepat dari
sambaran kilat.
533 Tiba-tiba Malaikat iblis melambung ke udara bagaikan
seekor burung aneh, kemudian entah sejak kapan tahu-tahu
dalam genggamannya telah bertambah dengan sebatang
lembing yang langsung ditusukkan ke depan menyongsong
datangnya ancaman itu.
"Blam!" martil dan lembing baja segera berbenturan. Di
antara percikan bunga api yang memancar ke empat penjuru,
tampak martil sambaran petir sudah gumpil sebagian,
menggunakan kesempatan itu lembing langsung disodokkan
ke hulu hati Li Kay-san.
Serangan lembing panjang itu cepat lagi ganas, sulit bagi Li
Kay-san untuk menangkis maupun menghindarkan diri,
nampaknya dia segera akan tewas di tangan orang.
Di saat yang kritis itulah mendadak muncul sesosok
bayangan langsung menangkap lembing panjang itu, tangan
orang itu licin bagai seekor ikan dalam air, begitu berhasil,
lembing panjang itu segera dipegangnya kuat-kuat.
Cun Yu-siang tertawa dingin, lembing panjangnya kembali
disodokkan ke depan lalu dicungkil ke atas, senjata itu
langsung terangkat setinggi satu kaki delapan depa.
Che-tong-ciau-liong Yu Keng-tong meski licin dan cekatan,
namun dia tak sanggup menahan sodokan yang sangat kuat
itu, seketika badannya tercungkil hingga terangkat ke udara.
Dengan satu gerakan cepat bagaikan burung rajawali
mementang sayap, kembali Cun Yu-siang mencungkil
lembingnya lalu disodokkan ke perut Yu Keng-tong.
Waktu itu seluruh tubuh Che-tong-ciau-liong Yu Keng-tong
berada di tengah udara, dalam posisi demikian, sulit baginya
untuk mengerahkan tenaga, nampaknya dia pun segera akan
menemui ajalnya.
Kembali terlihat sesosok bayangan berkelebat, sebuah
tendangan dilontarkan menghajar ujung lembing baja itu,
seketika saja sodokan maut itupun miring ke samping.
Orang yang melepaskan tendangan tak lain adalah Ko-sanpoh
(langkah menembus bukit) Be Lak-ka.
534 Cun Yu-siang mendengus dingin, tiba-tiba tangan kirinya
menyambar ke muka, sambaran itu cepat melebihi sambaran
kilat, dia langsung mencekik leher Be Lak-ka.
Baru saja Malaikat iblis hendak mengerahkan tenaga untuk
memperkuat cekikannya, mendadak sebuah tangan lain telah
mencengkeram pergelangan tangannya, cengkeraman orang
itu sangat kuat dan luar biasa hebatnya, entah sejak kapan
lengannya itu sudah dicengkeram Sui-pit-jiu (tangan sakti
penghancur cadas) Lu Ban-seng.
Cun Yu-siang kembali mendengus, setelah mundur
selangkah, dia melancarkan sapuan dengan tendangan
berantai. Waktu itu Lu Ban-seng sedang mengerahkan segenap
tenaga dalamnya untuk mencengkeram tangan kiri lawan, dia
tidak mengira datangnya sapuan itu, badannya seketika
tertendang hingga roboh terjengkang ke tanah.
Begitu lawannya roboh terjengkang, Cun Yu-siang
memburu sambil melepaskan pukulan dahsyat dengan tangan
kirinya, serangan itu langsung diarahkan ke batok kepala
lawan. Tampaknya sebentar lagi ubun-ubun Lu Ban-seng akan
terhajar hancur, di saat kritis itu tiba-tiba tampak senjata
rahasia berhamburan datang dari empat penjuru, lima batang
paku penembus tulang meluncur datang dengan kecepatan
luar biasa, langsung mengancam lima jalan darah penting di
tubuh Malaikat iblis.
Orang yang melancarkan serangan senjata rahasia itu tak
lain adalah Am-gi-boan-thian (senjata rahasia memenuhi
angkasa) Yau It-kang.
Dalam keadaan begini terpaksa Cun Yu-siang mengubah
pukulannya menjadi sapuan, dia hajar kelima batang paku
penembus tulang itu hingga rontok semua ke tanah.
Setelah itu tangan kanannya kembali digetarkan, sekali lagi
lembing itu disodokkan ke depan.
Baru saja sodokan itu mencapai setengah jalan, tiba-tiba
seseorang melintangkan tombaknya melakukan tangkisan,
535 percikan bunga api tampak memancar di kegelapan, Cun Yusiang
merasakan tangannya bergetar keras, ternyata
lembingnya kena ditangkis hingga mencelat balik ke belakang.
Selama ini Cun Yu-siang mengira tenaga sakti miliknya
tiada tandingan, dia tak menyangka ada orang sanggup
menahan serangan lembingnya bahkan berhasil memukul
balik, sambil membentak nyaring sekali lagi lembingnya
disodokkan ke muka.
Ternyata pihak lawan pun tak mau unjuk kelemahan, dia
melancarkan pula sebuah serangan balasan.
Dalam waktu singkat lembing dan tombak saling
menyerang sebanyak tiga gebrakan lebih, benturan demi
benturan bergema memekakkan telinga, meski kedua orang
itu tak sampai tergetar mundur barang setengah langkah pun,
namun atap yang mereka pijak tak mampu menahan suara
getaran yang terjadi, diiringi suara gemuruh yang nyaring,
seluruh bangunan atap ruangan itu roboh berguguran ke
bawah. Sekarang Cun Yu-siang baru dapat melihat jelas wajah
lawannya, ternyata orang yang sanggup menghadapi
serangan mautnya itu tak lain adalah Hong-ta-pit-pay Khong
Bu-ki. Bersamaan dengan robohnya atap bangunan itu, tubuh
Khong Bu-ki dan Cun Yu-siang ikut meluncur ke bawah, lima
orang jagoan pengawal benteng lainnya serentak ikut
melompat turun pula ke bawah.
Li Kay-san, Yu Keng-tong, Be Lak-ka, Lu Ban-seng maupun
Yau It-kang termasuk jago-jago yang mempunyai nama besar
dalam dunia persilatan, ilmu silat mereka sangat tinggi dan
pengalamannya amat luas, mereka tak menyangka kerubutan
mereka berlima bukan saja tak berhasil menghadapi gembong
iblis itu, bahkan nyaris kehilangan nyawa sendiri, kenyataan
itu mau tak mau membuat perasaan hati mereka bergidik.
Namun jagoan dari benteng timur selamanya tak pernah
mundur atau kabur karena takut menghadapi orang lain,
536 bukannya mengundurkan diri, kelima orang itu malah segera
menyusul turun sambil bersiap siaga.
Sementara itu hasil pertarungan antara Cun Yu-siang
melawan Khong Bu-ki sudah mulai nampak jelas, belasan
jurus kemudian serangan Malaikat iblis makin lama semakin
dahsyat, bukan saja membuat debu dan pasir beterbangan ke
udara, angin dan hujan pun serasa tak sanggup menembusi
tubuhnya. Kalau Cun Yu-siang makin bertarung semakin gagah dan
garang, maka sebaliknya Khong Bu-ki mulai merasakan
pergelangan tangannya kaku, sakit dan kesemutan.
Bila pertarungan berlanjut terus seperti ini, bisa dipastikan
sebelas jurus kemudian Khong Bu-ki akan mencatat rekor baru
kekalahannya yaitu kekalahan yang keseratus dua puluh lima
kali. Mendadak Ui Thian-seng melompat bangun dari balik
kepulan debu, dengan suara dalam serunya, "Bawa kemari
golokku, akan kulihat sampai dimana kehebatan Malaikat
iblis!" Kacung kecil itu menyahut sambil menyerahkan goloknya,
Ui Thian-seng segera melolos senjata andalannya, cahaya
emas yang amat menusuk pandangan mata segera menyebar
ke empat penjuru, sembari melepaskan sebuah bacokan
bentak jago tua itu nyaring, "Rasakan bacokanku!"
Malaikat iblis Cun Yu-siang terkesiap, lekas dia
membalikkan badan dan menangkis bacokan itu dengan
lembingnya. "Traaang!" sekali lagi percikan bunga api memancar ke
empat penjuru, tubuh Ui Thian-seng tergetar hingga mundur
sejauh delapan langkah, dia mesti memperkuat kuda-kudanya
sebelum dapat berdiri tegak, sebaliknya Cun Yu-siang sama
sekali tidak tergetar mundur, namun lembingnya gumpil.
Kejadian ini seketika membuat paras muka kedua orang itu
berubah hebat. Perkiraan Cun Yu-siang semula dengan kemampuannya dia
sanggup menghadapi kerubutan orang banyak, bahkan tanpa
537 membuang banyak tenaga dan pikiran pun sudah mampu
membantai kawanan jago itu hingga ludes.
Siapa tahu bukan saja dia gagal menghabisi nyawa kelima
orang jago pelindung benteng, bahkan harus bertarung pula
melawan Khong Bu-ki dan sekarang Ui Thian-seng, kini dia
baru tahu bahwa pihak lawan selain ternama, kungfunya juga
sangat tangguh, bukan pekerjaan mudah baginya untuk
meraih kemenangan.
Sudah cukup lama Cun Yu-siang malang melintang dalam
dunia persilatan, dia tak pernah memandang sebelah mata
pun terhadap siapa pun, maka tanpa membuang waktu
kembali senjata lembingnya digetarkan lalu menyapu tubuh Ui
Thian-seng. Menghadapi sapuan ini, Ui Thian-seng memutar goloknya
membentuk selapis cahaya emas yang menyilaukan mata, lalu
dia melancarkan pula serangan balasan.
Ci Yau-hoa segera berbisik kepada kelima orang jagoan
pelindung benteng, "Musuh yang bakal kita hadapi masih
sangat banyak, kita tak boleh kehilangan banyak tenaga,
apalagi untuk menghadapi gembong iblis latah macam ini, kita
tak perlu mentaati peraturan dunia persilatan, sebentar bila
Ui-lopocu menunjukkan gejala tak tahan, serentak kita maju
bersama dan mengerubut Cun Yu-siang!"
Selama ini, Kelima orang jago itu menaruh kesan sangat


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik terhadap Ci Yau-hoa, selain itu mereka pun sudah
merasakan kerugian di tangan Malaikat-iblis, mendengar
ajakan itu serentak mereka mengangguk mengiakan.
"Kenapa Chin-lihiap tidak kelihatan" Dia pergi kemana?"
tiba-tiba Khong Bu-ki bertanya..
"Aku rasa dia pergi membantu keempat orang dayangnya
bertarung melawan empat malaikat bengis, semoga saja dia
selamat." Siapapun yang bertarung melawan Su-toa-ok-sin (empat
malaikat bengis), anak buah andalan malaikat iblis, tak
seorang pun pernah lolos dalam keadaan selamat.
538 Chin Ang-kiok dengan tubuh selincah burung walet dan
cepat bagaikan petir meluncur ke halaman belakang, ketika
tiba di tempat itu, keadaan sudah sangat gawat dan kritis.
Empat malaikat bengis dengan pakaian ringkas berwarna
hitam dan mengandalkan serangan secepat halilintar sedang
bertarung sengit melawan Bwe-kiam (pedang bunga bwe) dan
Tiok-kiam (pedang bambu), sementara Lan-kiam (pedang
anggrek) dan Kok-kiam (pedang seruni) sudah menderita luka.
Sambil membentak nyaring Chin Ang-kiok mengayunkan
tangan berulang kali, tujuh batang senjata rahasia walet
terbang Hui-yan-piau segera meluncur ke depan dengan
kecepatan luar biasa, sementara pedangnya digetarkan
menusuk tubuh seorang malaikat bengis.
Empat malaikat bengis saling bertukar pandangan sekejap,
kemudian seorang di antaranya menggunakan ilmu sambaran
petirnya mementalkan senjata rahasia yang mengancam tiba,
kemudian maju menyongsong, sementara seorang yang lain
membalikkan badan menangkis datangnya tusukan pedang
Chin Ang-kiok. Di saat dia melakukan tangkisan itulah mendadak pedang
di tangan Chin Ang-kiok berubah menjadi dua bilah pedang,
mata pedang pecah jadi dua bagian seperti bercabang, lalu
secepat kilat menusuk ke depan.
Malaikat bengis itu terperanjat, baru saja akan berkelit,
ujung pedang telah menghujam ke dalam perutnya.
Malaikat bengis itu menjerit ngeri, teriaknya gusar,
"Perempuan siluman, kau..."
Begitu musuh membuka mulutnya untuk mengumpat,
kembali Chin Ang-kiok mengayunkan tangan kirinya, tiga
batang Hui-yan-piau langsung dihantamkan ke dalam
mulutnya, terhajar tiga batang Am-gi tentu saja suara
malaikat bengis itu-pun terputus di tengah jalan.
Baru saja Chin Ang-kiok hendak mencabut keluar
pedangnya, malaikat bengis kedua telah menerjang tiba,
sebuah pukulan dahsyat menggelegar di udara langsung
menghantam tubuh perempuan itu.
539 Sadar akan datangnya bahaya, Chin Ang-kiok melepaskan
pedangnya sambil melejit ke samping menghindarkan diri
dengan jurus burung walet tiga kali menutul air.
Dalam pada itu Pedang anggrek dan Pedang seruni yang
sudah terluka kembali terjun ke arena pertarungan, bersama
Pedang bunga bwe dan Pedang bambu mengembut dua orang
malaikat bengis lainnya.
Chin Ang-kiok sendiri meski berhasil membantai salah
seorang musuh tangguhnya, namun dia sendiri pun
kehilangan pedang, dalam keadaan seperti ini terpaksa dia
harus mengandalkan ilmu meringankan tubuh dan Hui-yanpiau
untuk bertarung melawan malaikat bengis lainnya.
Di arena lain, Cun Yu-siang dan Ui Thian-seng sudah
bertarung hingga tiga puluh empat gebrakan, semakin
bertarung kedua orang itu saling menyerang makin gencar,
putaran golok menyambar kian kemari ibarat naga sakti yang
bermain di angkasa, namun Cun Yu-siang memang hebat,
bagaikan malaikat iblis dia mencecar musuhnya dengan
serangan yang luar biasa.
Cun Yu-siang tidak menyangka di antara gerombolan jago
itu terdapat seorang jago berilmu silat sangat tinggi macam Ui
Thian-seng, setelah sekian lama serangan dilancarkan dan
tidak membuahkan hasil, ditambah lagi dia sama sekali tidak
mendengar kabar empat manusia bengis, lambat-laun hatinya
mulai gundah, kalut dan bimbang.
Sambil membentak keras lembingnya digetarkan berulang
kali, angin serangan bagaikan ombak yang bergulung-gulung
mengepung tubuh Ui Thian-seng dari delapan penjuru.
Biarpun musuh mencecar dirinya dengan serangan bertubitubi,
Ui Thian-seng sama sekali tak gentar, ibarat harimau
garang keluar dari gua, tanpa mempedulikan keselamatan
sendiri, ia menerjang serangan musuh yang berpusing
kencang, sekuat tenaga dia mengayunkan goloknya
melancarkan bacokan
540 "Blaaam!" kembali sepasang senjata berat itu saling bentur,
terlihat dua sosok bayangan saling terpisah, masing-masing
mundur sejauh delapan langkah dengan badan bergetar keras.
Pada saat itulah Ci Yau-hoa membentak dengan suara
lantang, "Serang!"
Tujuh-delapan macam senjata rahasia menghajar tubuh
Cun Yu-siang berbareng, angin tajam segera mendesing
membelah angkasa.
Cun Yu-siang membentak keras, ketika senjata rahasia itu
menghantam tubuhnya, dia segera mengerahkan hawa murni
untuk mementalkan semua senjata itu hingga mencelat ke
belakang. Tapi pada saat yang bersamaan Lu Ban-seng dengan ilmu
tangan sakti penghancur cadasnya telah mencengkeram
sepasang tangan si malaikat iblis Cun Yu-siang kuat-kuat,
cengkeraman itu sangat kuat seperti dijepit dengan tanggem
besar. Ko-san-poh (langkah menembus bukit) Be Lak-ka juga
segera menubruk ke muka sambil memeluk sepasang kaki
musuh, ketika Cun Yu-siang meronta sekuat tenaga, Yu Kengtong
bagaikan seekor ikan belut segera menyelinap sambil
menotok jalan darahnya, sedangkan Li Kay-san mengayunkan
martilnya ke tubuh lawan.
Cun Yu-siang sangat gusar, dia meronta makin keras tapi
gagal melepaskan diri, martil sambaran petir Li Kay-san
seketika menghajar keningnya secara telak.
Begitu membentur jidat lawan, martil itu mencelat ke
belakang, tapi kening Cun Yu-siang retak dan bocor hingga
darah bercucuran, dengan penuh amarah dia meraung keras.
Raungannya sangat keras ibarat guntur membelah bumi,
bukan saja membuat pandangan mata semua orang
berkunang-kunang, gendang telinga pun terasa sakit bagaikan
ditusuk jarum. Kembali Cun Yu-siang memutar lembingnya sambil berputar
kencang, dia lempar tubuh Yu Keng-tong, Be Lak-ka dan Lu
541 Ban-seng hingga mencelat ke belakang, lalu kepalan tangan
kirinya dihantamkan ke kepala Li Kay-san.
Tapi pada detik itu Khong Bu-ki sudah menyerbu masuk,
tombaknya langsung ditusukkan ke perut malaikat iblis hingga
tembus melalui pinggangnya.
Cun Yu-siang menjerit ngeri, tapi tangan kanannya masih
memegangi tombak musuh.
Khong Bu-ki mencoba mencabut lepas senjata itu namun
tak berhasil, secepat kilat Cun Yu-siang menyodokkan
lembingnya ke depan.
Tampaknya Khong Bu-ki segera akan tertusuk oleh senjata
lawan, pada detik yang amat kritis itulah mendadak meluncur
seutas selendang sutera dan langsung menggulung lembing
itu serta membetotnya ke samping, tusukan lembing pun
mengenai tempat kosong.
Memanfaatkan kesempatan itu Khong Bu-ki melepaskan
tombaknya dan berguling di atas tanah sejauh beberapa kaki.
Orang yang melepaskan selendang sutera itu tak lain
adalah Ci Yau-hoa.
Saat itulah halilintar yang amat terang membelah bumi,
menyinari tubuh Cun Yu-siang yang basah bermandikan
darah, dengan sepasang mata terbelalak lebar malaikat iblis
melotot ke arah Ci Yau-hoa, lalu teriaknya parau, "Kau..."
Dalam pada itu si kacung baju hijau dan lelaki kekar
pembawa panji telah menyerbu maju, pedang pendek di
tangan si kacung dan kapak raksasa di tangan lelaki kekar itu
serentak dihantamkan ke punggung Cun Yu-siang.
Kembali Malaikat iblis Cun Yu-siang memekik keras,
suaranya seram bagaikan jeritan kuntilanak, setelah bergontai
berulang kali akhirnya dia roboh terjerembab di atas tanah.
Sekali lagi halilintar berkelebat membelah bumi, dengan
napas tersengal Di Thian-seng mendekat, melihat Cun Yusiang
telah mati, dia pun menghela napas panjang.
"Ai ... ternyata Malaikat iblis memang sangat lihai ... ayo
kita lihat bagaimana keadaan Chin-lihiap!"
542 Sementara itu si malaikat bengis yang mengejar ketat di
belakang Chin Ang-kiok sudah mulai mengerahkan tenaga
raksasanya untuk memburu dan menyerang, tapi sayang ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya tak mampu menandingi
lawan, lambat-laun dia mulai kelelahan dan kehabisan tenaga,
padahal setiap saat dia mesti waspada terhadap serangan Huiyan-
piau dari Chin Ang-kiok, hal ini membuat dia makin lama
semakin kepayahan dan mulai kehabisan napas.
Sebaliknya empat orang dayang yang bertarung melawan
dua malaikat bengis pun terdesak hebat dan berada dalam
posisi menguatirkan, namun dibandingkan harus bertarung
satu lawan satu, tentu saja keadaan saat ini jauh lebih longgar
dan lega. Saat itulah jeritan ngeri Cun Yu-siang terdengar untuk
pertama kalinya, paras muka ketiga malaikat bengis seketika
berubah hebat. Chin Ang-kiok tahu musuh berusaha kabur dari situ untuk
membantu majikannya, dia enggan lepaskan kesempatan itu
begitu saja, pedangnya secara beruntun melepaskan delapan
belas serangan berantai, membuat malaikat bengis jadi kalang
kabut dan kerepotan setengah mati.
Di tengah serangannya tiba-tiba dia membalikkan badan,
pedangnya langsung ditusukkan ke punggung salah seorang di
antara dua malaikat bengis yang sedang bertarung seru
melawan empat orang dayang itu.
Tertusuk punggungnya membuat malaikat bengis itu
menjerit kesakitan, dengan geram dia membalikkan badannya,
tapi pedang panjang si Pedang bambu segera menggulung ke
muka dan memenggal batok kepalanya.
Dua orang malaikat bengis sisanya jadi ketakutan setengah
mati, dengan wajah pucat-pias mereka saling bertukar
pandang, saat itulah jeritan ngeri Cun Yu-siang berkumandang
untuk kedua kalinya, jeritan itu membuat kedua orang itu
semakin gugup dan gelagapan.
Chin Ang-kiok merangsek maju, dengan pedang bercabang
duanya secepat kilat dia tusuk tubuh lawan, malaikat bengis
543 itu semakin keder, tiba-tiba ia membalikkan badan lalu
melarikan diri terbirit-birit.
Baru saja dia melompat naik ke atap rumah untuk
melarikan diri, tiga batang Hui-yan-piau yang dilontarkan Chin
Ang-kiok sudah menghajar telak punggungnya.
Terlihat malaikat bengis itu gontai beberapa kali, akhirnya
terjatuh dan berguling ke tanah.
Malaikat bengis sisanya yang tinggal satu semakin
ketakutan, serasa sukma sudah melayang meninggalkan
raganya, dia melancarkan serangkaian serangan untuk
mendesak mundur keempat orang dayang itu, memanfaatkan
kesempatan di saat Chin Ang-kiok sedang membalikkan
badan, dia melesat naik ke atas wuwungan rumah dan siap
kabur meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba dari atas atap rumah kembali muncul seseorang,
seorang kakek bermata tajam, beralis putih dan membawa
sebilah golok emas.
"Lihat golok!"
Di tengah kegelapan terlihat cahaya golok berkelebat,
padahal waktu itu malaikat bengis sedang gugup dan kalut
pikirannya, baru lolos dari kepungan keempat orang dayang,
terancam pula oleh senjata rahasia yang dilepas Chin Angkiok,
sekarang dibacok pula oleh golok Ui Thian-seng, dalam
gugup dan kagetnya lekas ia tangkis datangnya ancaman itu.
"Trang!", di antara dentingan nyaring, senjata penyambar
petirnya patah jadi dua, sementara tubuhnya ikut terbabat
pula hingga terbelah dua.
Hujan turun dengan derasnya, air bagaikan dituang dari
angkasa, mengguyur keenam sosok jenazah itu, membuat
darah yang membasahi permukaan tanah segera tersapu dan
mengalir lewat bagai sungai darah.
Mengawasi mayat-mayat yang membujur kaku itu, Khong
Bu-ki berkata dengan suara dalam, "Dalam pertarungan kali ini
kita telah kehilangan pengawal Yu dan pengawal Li, tapi
berhasil membantai Malaikat iblis Cun Yu-siang dan empat
544 malaikat bengis, hitung-hitung pertempuran berdarah ini telah
kita menangkan!"
"Benar!" sahut Ui Thian-seng dengan suara berat, "ternyata
nama besar empat manusia bengis Su-toa-thian-mo memang
bukan nama kosong, seandainya keempat iblis itu menyerang
bersama, aku rasa biar kekuatan kita tiga kali lipat lebih
banyak pun belum tentu sanggup membendung ancaman
mereka." "Baru bertarung mereka sudah menderita kekalahan, jelas
hal ini merupakan kesalahan perhitungan mereka," ujar Chin
Ang-kiok dingin, "sebab untuk menyerang Pak-shia, mereka
memang tak bisa menggerakkan semua kekuatan untuk
menghadapi kita, asal ketiga orang gembong iblis itu bekerja
secara terpisah, berarti kita punya kesempatan untuk
menghajar serta menumpas mereka satu per satu."
"Menurut apa yang kudengar," ujar Ci Yau-hoa pula dengan
suara lembut, "di antara keempat iblis langit Su-toa-thian-mo,
kepandaian silat Malaikat iblis terhitung paling lemah, padahal
rekan-rekan lainnya mempunyai kungfu yang jauh lebih
tangguh, lebih baik kita bertindak lebih hati-hati."
Maka tanpa banyak bicara lagi rombongan itupun


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melanjutkan kembali perjalanannya.
ooOOoo Hari ini udara sangat cerah, matahari bersinar terik di
angkasa. Setelah meninggalkan kota Po-ke, Ui Thian-seng dan
rombongan mengambil jalur kanan menelusuri jalan raya
melalui kota Toa-san-kwan menuju ke wilayah Suchuan.
Daerah Toa-san-kwan merupakan sebuah daerah yang
dipenuhi bukit terjal dengan jalan setapak yang sempit, bukan
saja daerah sempit bahkan curam dan dipenuhi tebing tinggi.
Ui Thian-seng termasuk jago tua yang sudah puluhan tahun
mengembara dalam dunia persilatan, setibanya di wilayah itu,
dia pun memerintahkan semua orang untuk meningkatkan
545 kewaspadaan, berjaga-jaga terhadap setiap kemungkinan
yang terjadi. Ketika menelusuri jalan setapak yang dihimpit dua tebing
curam, jago tua ini merasa hatinya amat gundah bercampur
kuatir, dia kuatir musuh akan memanfaatkan situasi medan
yang tidak menguntungkan itu untuk melancarkan sergapan.
Setelah berjalan hampir setengah harian lamanya, tiba-tiba
Khong Bu-ki berjalan menghampiri sambil berbisik, "Toako,
sewaktu melewati wilayah ini, lebih baik kita jangan kelewat
letih, bagaimana kalau kita mencari dulu tempat yang aman
untuk beristirahat sejenak?"
Ui Thian-seng mengangguk tanda setuju, maka semua
orang pun mencari tempat yang teduh untuk beristirahat.
Lelaki kekar pembawa panji mulai membagi-bagikan ransum
yang dibawa kepada semua orang, para pengawal mencari
tempat teduh untuk menghindari hawa panas yang
menyengat, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok bicara berbisik-bisik
sementara si kacung menjauh untuk buang air di belakang
batu cadas. Selesai membagikan ransum, lelaki kekar itu melihat si
kacung belum juga balik, maka dipanggilnya beberapa kali, tak
ada jawaban, maka sambil mengumpat dia berjalan menuju ke
belakang cadas itu,
"Hai bocah sialan, orang lain menangsal perut, kau malah
buang hajat, benar-benar kurang ajar... haah?"
Mendadak perkataannya terputus di tengah jalan dan
berganti dengan jeritan kaget yang amat keras.
Bersamaan dengan bergemanya jeritan kaget itu, Ui Thianseng,
Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok berempat
serentak telah tiba di belakang batu cadas itu dan serentak
pula mereka telah melihat si kacung tergeletak di tanah
dengan celana masih terbuka, mulut pun dalam keadaan
terbuka, tampaknya dia ingin menjerit namun tenggorokannya
keburu dicekik orang hingga hancur.
Tak disangka pihak musuh begitu kejam, bahkan seorang
bocah pun tidak dilepaskan begitu saja.
546 Yang lebih menakutkan lagi adalah ternyata musuh telah
menyusup sedekat itu dengan rombongan mereka, bahkan
setelah membantai, dia pergi begitu saja, namun kawanan
jago itu tak seorang pun yang merasakan.
Biarpun kepandaian silat yang dimiliki kacung itu tidak
sehebat para pengawal benteng, namun dia pun tidak
terhitung manusia sembarangan, kungfunya sempat
memperoleh petunjuk dan bimbingan langsung dari Ui Thianseng,
tapi kenyataannya sekarang bukan saja sama sekali tak
bersuara, kesempatan untuk memberikan perlawanan pun tak
ada dan dia sudah tewas dalam keadaan mengenaskan.
Dengan seksama Ci Yau-hoa memeriksa tulang
tenggorokan si kacung yang remuk, beberapa saat kemudian
ia baru berkata, "Kelihatannya Mo-sian (dewa iblis) Lui Siaujut
yang melakukan pembunuhan ini, dia telah membunuh
bocah ini dengan ilmu silat andalannya, Toa-hua-sin-sian-jiu
(tangan dewa pencabut nyawa), padahal orang persilatan
menjuluki ilmu silatnya itu sebagai Giam-ong-kui-jiau (cakar
setan Raja akhirat)."
"Kalau dia sudah datang, kenapa tidak segera menampilkan
diri, memangnya takut beradu kepandaian denganku?" seru Ui
Thian-seng amat gusar.
"Kepandaian silat yang dimiliki Lui Siau-jut sangat lihai,
otaknya cerdas dan banyak akal, anak buahnya Soh-mia-siantong
(bocah dewa pembetot sukma) yang terdiri dari empat
orang memiliki kemampuan jauh di atas empat malaikat
bengis, ada baiknya Ui-loenghiong bersikap lebih hati-hati,"
ujar Ci Yau-hoa memperingatkan.
Baru selesai ia bicara, tiba-tiba dari jalan raya di depan
sana muncul suara keleningan yang dibunyikan bertalu-talu,
menyusul kemudian terlihat seseorang dengan mengenakan
topi berwarna putih, berwajah panjang dengan jenggot
cabang tiga di bawah dagunya, mata tajam bagaikan bintang,
mengenakan baju putih celana hitam berjalan mendekat.
547 Tangan orang itu membawa sebuah tongkat bambu, di
ujung tongkat tergantung selembar kain warna putih, pada
kain itu tertera beberapa huruf yang berbunyi:
"Dengan senyuman membahas kehidupan manusia.
Bukan berarti aku adalah dewa."
Tampaknya seorang tukang ramal keliling yang biasa
mengembara dalam dunia persilatan!
Khong Bu-ki menghembuskan napas panjang, dengan
perasaan tak sabar dia segera berlalu dari situ.
Tampaknya tukang ramal itu ingin tahu dengan kehadiran
orang-orang itu di tepi jalan, sambil berjalan lewat ia
memperhatikan rombongan itu beberapa kali, mendadak ia
menghentikan langkahnya persis di hadapan Khong Bu-ki,
setelah menghela napas, gumamnya, "Ccttt ... ccttt ... cct ...
wajah Sianseng lebar dan terang, rupanya seorang terhormat,
punggung tebal perut bulat, banyak hoki, panjang umur,
banyak anak banyak cucu ... cctt... ctt... ctt... cuma sayang..."
Dengan perasaan mendongkol Khong Bu-ki segera berkerut
kening, serunya tak sabar, "Pergi, pergi, pergi... aku tak mau
meramal nasib"
Baru saja dia akan berlalu dari situ, tiba-tiba tedengar
tukang ramal itu berkata lagi, "Cuma sayang jidatmu berwarna
hitam, alis mata muncul cahaya merah, sebelum menjelang
malam nanti pasti akan menjumpai cahaya darah"
Dengan sigap Khong Bu-ki membalikkan badan menghadap
ke arah peramal itu.
Sambil memicingkan mata dan tertawa lebar, kembali
tukang ramal itu berkata, "Toaya, cayhe bukan dewa, tapi
sudah lama mengembara dalam dunia persilatan, ramalanku
lebih manjur daripada ramalan dewa, apakah Toaya mau
meramalkan nasibmu" Murah, cuma satu tangce"
Khong Bu-ki berpaling menengok Ui Thian-seng sekejap, Ui
Thian-seng pelan-pelan mengangguk, maka keempat
pengawal benteng dan lelaki kekar pembawa panji pun ikut
merubung ke depan.
548 "Sabar, sabar ujar tukang ramal itu sambil tertawa, "jangan
terburu napsu, siapa pun akan kuramal nasibnya"
Dia pun mengulurkan tangannya mengukur panjang lebar
wajah Khong Bu-ki, setelah itu katanya sambil tertawa, "Jidat
Toaya tinggi lagi terang, jelas bukan tergolong manusia sesat
atau golongan iblis" Kemudian setelah menuding beberapa
tempat di jidat Khong Bu-ki, kembali dia menghela napas
sambil melanjutkan dengan suara berat, "Cuma sayang rejeki
di kemudian hari tak bisa dinikmati, hawa membunuhmu
kelewat berat, aku rasa..."
Sambil bicara jari tangannya berulang kali menuding ke
arah sepasang pelipis Khong Bu-ki.
Mendadak Khong Bu-ki menemukan sesuatu yang aneh, di
balik wajah senyum tukang ramal itu dia seperti menangkap
sinar kelicikan yang menyeramkan, bahkan ia tidak melihat
senyuman di wajah orang itu.
Dengan perasaan terkesiap, segera Khong Bu-ki melompat
mundur sambil bersiap siaga.
Benar juga, pada saat itulah jari tangan si tukang ramal
telah menyambar ke depan dengan kecepatan luar biasa.
Walaupun Khong Bu-ki menghindar sangat cepat, namun
serangan yang dilancarkan si tukang ramal itu jauh lebih cepat
lagi, tahu-tahu dia sudah mencekik lehernya.
Khong Bu-ki merasa lehernya yang dicekik bagaikan dijepit
tanggam yang sangat kuat, membuat seluruh badannya lemas
tak bertenaga, namun dengan sekuat tenaga dia meronta dan
berusaha melepaskan diri.
Pada saat bersamaan itulah si tukang ramal telah
mengayun tongkat bambu di tangan kanannya, tongkat
berikut panji putih itu langsung disodokkan ke depan menusuk
lambung Be Lak-ka.
Lu Ban-seng, Yu Keng-tong maupun Yau It-kang jadi
terperanjat, baru saja mereka akan melolos senjata masingmasing,
si tukang ramal itu dengan gerakan tubuh yang lebih
cepat dari macan kumbang telah melancarkan serangkaian
549 tendangan berantai, tendangan itu menghajar tubuh Lu Banseng
dan Yu Keng-tong hingga mencelat ke belakang.
Yau It-kang yang mahir menggunakan senjata rahasia
sebenarnya akan menyambitkan Am-ginya, tapi dia urung
melakukannya karena kuatir melukai wakil pocunya yang
masih dicengkeram lawan.
Nyaris pada waktu yang bersamaan, keleningan emas di
pinggang tukang ramal itu telah meluncur ke depan dengan
kecepatan tinggi, benda itu langsung menghajar ubun-ubun
lelaki kekar yang baru saja mengayunkan kapak untuk
membacok. Lelaki kekar itu menjerit ngeri, setelah terhuyung mundur
sejauh tujuh-delapan langkah, badannya terperosok dan jatuh
ke dasar jurang yang dalam.
"Wes!", golok emas di tangan Ui Thian-seng menyambar ke
depan, di bawah cahaya keemasan karena terpantul sinar
matahari, senjata itu langsung membabat pergelangan tangan
tukang ramal itu.
"Bagus!" seru tukang ramal itu sambil tertawa nyaring.
Tangannya ditarik ke belakang, kemudian segesit burung
camar dia mengegos menghindari tusukan pedang bercabang
ke arah punggungnya yang dilancarkan Chin Ang-kiok, setelah
itu badannya kembali menerobos ke kiri dan menyusup ke
kanan, beruntun dia pun menghindarkan serangan yang
dilancarkan Pedang bunga bwe, Pedang anggrek, Pedang
seruni dan Pedang bambu.
Terakhir ia membungkukkan badan rendah-rendah,
menghindarkan diri dari sambitan senjata rahasia yang
dilontarkan Ci Yau-hoa.
Begitu lolos dari semua ancaman, kembali dia
mengebaskan ujung bajunya menggulung sambitan sebuah
piau baja yang dilepas Yau It-kang, dalam dua tiga lompatan
kemudian tubuhnya sudah berada tiga kaki lebih dari posisi
semula. 550 Sungguh hebat ilmu meringankan tubuh yang ditunjukkan
si tukang ramal itu, bukan saja amat lincah, juga gesit dan
cepat. Menyaksikan kehebatan orang, tanpa sadar Lu Ban-seng
dan Yu Keng-tong berseru tertahan, "Dewa iblis!"
"Benar," sahut tukang ramal itu dari kejauhan sambil
tertawa nyaring, "cayhe memang Lui Siau-jut!"
Berubah hebat paras muka Ui Thian-seng, sambil memayang
tubuh Khong Bu-ki bentaknya, "Kejar!"
Hingga sekarang Khong Bu-ki masih merasa napasnya
sesak, lima bekas jari tangan berwarna hitam masih
membekas di lehernya, andaikata bacokan golok Ui Thianseng
tidak tiba tepat pada saatnya, darah beku yang muncul
di lehernya itu mungkin sudah berubah jadi semburan darah.
Semua orang merasa amat masgul, kalau bukan baru saja
lolos dari cengkeraman maut Lui Siau-jut, siapapun tidak akan
merasa jika malaikat pencabut nyawa ternyata telah hadir
sedekat itu di samping mereka, sedemikian dekatnya seakan
sudah menempel di tengkuk sendiri dan mewakili mereka
bernapas. Langkah kaki Khong Bu-ki masih sempoyongan, namun dia
tetap nekad melakukan pengejaran bahkan kecepatan
geraknya sama sekali tidak di bawah Yu Keng-tong, kekalahan
yang dideritanya kali ini tercatat sebagai kekalahannya yang
keseratus dua puluh enam, satu rekor kekalahan yang belum
pernah ada sebelumnya.
Ui Thian-seng, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok berada pada
rombongan paling depan, Chin Ang-kiok dengan gerakan
tubuh seenteng burung walet meluncur dengan kecepatan luar
biasa, sementara Ci Yau-hoa bagaikan hembusan angin
gunung mengikut ketat di samping Chin Ang-kiok bahkan
kemampuannya sama sekali tidak di bawah rekannya itu.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ui Thian-seng tidak
sehebat Ci Yau-hoa maupun Chin Ang-kiok, namun masih jauh
di atas kawanan jago lainnya, apalagi tenaga dalam yang dia
miliki amat sempurna, karenanya setelah berlarian sekian
551 lama, makin lama mereka berlari, kecepatan larinya juga
makin cepat. Walaupun mereka sudah mengerahkan segenap tenaga
yang dimiliki, namun si Dewa iblis Lui Siau-jut masih tetap
memimpin di depan sana, bukan saja gerakan tubuhnya
bagaikan dewa yang sedang melayang di angkasa, bahkan
berulang kali dia memperdengarkan suara tertawanya yang
nyaring. Kejar mengejar pun berlangsung amat seru, dari Toa-sankwan
kini mereka telah mengejar sampai di wilayah Kiam-bunkwan.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Ci Yau-hoa,
segera bisiknya kepada Ui Thian-seng, "Ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki orang ini sangat lihai, aneh, kenapa ia
tidak melayani pertarungan tapi justru melarikan diri" Janganjangan
di balik semua ini tersimpan maksud tertentu?"
Ui Thian-seng terperanjat, lekas dia menghentikan larinya
sambil membentak keras, "Hentikan pengejaran!"
Sementara itu bayangan putih Lui Siau-jut telah menyelinap
masuk ke wilayah Kiam-bun-kwan.
Baru saja semua orang menghentikan pengejaran, Dewa


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iblis Lui Siau-jut juga ikut menghentikan larinya, sambil
membalikkan badan menghadang di mulut tebing, ia
mendongakkan kepala dan tertawa nyaring.
ooOOOoo 17. Membunuh Dewa Iblis.
Suara tertawa si Dewa iblis amat nyaring, sedemikian
nyaringnya membuat seluruh dinding tebing curam yang ada
di sekitar tempat itu ikut bergetar keras, tanah dan bebatuan
seakan dilanda gempa dahsyat, bumi serasa ikut bergetar.
Berubah hebat paras muka Ui Thian-seng, melihat kawanan
jago baru akan berbelok menuju ke selat sempit, kembali ia
membentak keras, "Cepat mundur dari tempat ini!"
552 Terlihat batu dan pasir berguguran ke bawah dengan
hebatnya, batu raksasa yang menggelinding jatuh seketika
menyumbat semua jalan mundur kawanan jago itu, baru
beberapa langkah Khong Bu-ki dan lainnya mengundurkan
diri, ada tujuh delapan buah batu raksasa telah menyumbat
jalan setapak yang sempit itu hingga semua jalan terhadang.
Ketika Ui Thian-seng mendongakkan kepala, lamat-lamat ia
saksikan di atas tebing curam terdapat empat sosok bayangan
manusia yang sedang mendorong batuan besar ke bawah
tebing. Bebatuan cadas yang besar dan berat memang berserakan
di sepanjang tebing curam itu, karenanya asal didorong sedikit
saja, bebatuan itu akan segera terguling dan meluncur ke
bawah. Padahal bebatuan cadas itu rata-rata sangat besar, paling
tidak beratnya mencapai tiga ratusan kati, betapapun
hebatnya tenaga dalam seseorang, bila tertumbuk oleh
bebatuan cadas itu niscaya akan hancur.
Hal ini masih ditambah dengan situasi medan yang sangat
tidak menguntungkan, selain jalan setapak sangat sempit,
tidak gampang untuk berkelit, setiap kali ada batu cadas yang
berguling ke bawah, jelas ruas jalan setapak pun bertambah
sempit beberapa depa, jika kurang hati-hati menghindarkan
diri, salah-salah badan bisa tergelincir masuk ke dalam jurang
yang tak terhingga dalamnya.
Setelah meninjau sejenak keadaan situasi Ui Thian-seng
segera sadar, satu-satunya jalan keluar baginya saat ini hanya
menerjang ke arah pintu selat Kiam-bun-kwan.
"Terjang!" bentaknya tiba-tiba.
Cahaya golok berwarna keemasan segera berkilauan
membelah angkasa, dia menerjang lebih dahulu ke arah Kiambun-
kwan. Melihat tingkah polah lawannya, Dewa iblis Lui Siau-jut
hanya tersenyum, tiba-tiba ia melancarkan serangan.
Mulut selat untuk menuju ke Kiam-bun-kwan amat sempit,
permukaan tanah jalan setapak pun amat gembur, bila orang
553 kurang berhati-hati, besar kemungkinan akan terpeleset dan
jatuh ke dalam jurang, bila ingin masuk selat itu dengan
aman, satu-satunya jalan hanya melalui atas kepala Lui Siaujut.
Dalam posisi dan kondisi semacam inilah Dewa iblis
melancarkan serangan!
Ketika golok emas Ui Thian-seng membacok ke bawah, Lui
Siau-jut segera membungkukkan badan sambil menerobos
bawah perut lawan.
Dengan posisi melambung di tengah udara, Ui Thian-seng
akan menderita kerugian besar, bahkan pertahanan tubuhnya
akan terbuka. Lui Siau-jut segera mementang kelima jari tangannya yang
keras bagai baja untuk menusuk hulu hati jago tua itu.
Lekas Ui Thian-seng menarik napas panjang, dia paksa
tubuhnya melambung setengah depa lagi ke udara.
Lui Siau-jut segera membalik telapak tangan sambil
melanjutkan cengkeraman, kali ini yang diarah adalah ikat
pinggang Ui Thian-seng, begitu terpegang segera dia
mengerahkan tenaganya sambil mengayun kuat-kuat, dia
lemparkan tubuh jago tua itu ke arah jurang di sisi sebelah
kanan. Ui Thian-seng meraung gusar, tergopoh-gopoh dia
kerahkan ilmu bobot seribu untuk meluncur ke permukaan
tanah, apa mau dikata, badannya sudah terlanjur melewati
batas jalan setapak itu, tanpa ampun badannya segera
meluncur ke dalam jurang.
Mengetahui rekannya dalam bahaya, Khong Bu-ki segera
menghentakkan tombaknya ke arah Ui Thian-seng yang
sedang meluncur bebas.
Melihat ada tombak mengarah dekat tubuhnya, cepat Ui
Thian-seng mencengkeramnya lalu bergelantungan di atas
senjata itu. Khong Bu-ki menghentakkan senjatanya, meminjam tenaga
hentakan itu, Ui Thian-seng melayang balik ke posisi semula,
554 walaupun akhirnya selamat, tak urung semua orang
bermandikan peluh dingin saking tegangnya.
Lui Siau-jut tidak berniat melancarkan sergapan berikut, dia
hanya berjaga di mulut selat dengan senyuman di kulum.
Hanya dalam satu gebrakan saja dia nyaris merenggut
nyawa Ui Thian-seng, tentu saja orang lain semakin tak berani
bertindak gegabah dengan melancarkan serangan ke arah iblis
itu, apalagi mulut selat itu hanya bisa dilewati satu orang,
kalau ingin menyerang pun hanya satu orang yang bisa
melakukannya, tak seorang pun yakin bisa mengalahkan
kesepuluh jari tangan Lui Siau-jut dalam situasi dan kondisi
yang begitu tak menguntungkan ini.
"Blam, blam, blam", lagi-lagi ada batu cadas raksasa yang
terguling dari atas tebing menghantam jalan setapak.
Sambil tertawa Lui Siau-jut berkata, "Inilah hadiah dari
Soh-mia-su-sian-tong empat bocah dewa pembetot sukma,
silakan kalian terima!"
"Lui Siau-jut," umpat Chin Ang-kiok gusar, "kalau punya
nyali ayo kemari, kita berduel untuk menentukan menang
kalah, membokong orang dengan cara busuk dan memalukan
macam begitu, terhitung enghiong macam apa kau!"
Lui Siau-jut mendongakkan kepala tertawa terbahak-bahak,
"Hahaha ... asal dapat menang, peduli amat enghiong atau
bukan, bagi kami, semua cara itu halal!"
Begitulah, hujan batu cadas masih berhamburan dari atas
tebing, sementara Lui Siau-jut berdiri menghadang di mulut
selat yang sempit, Ui Thian-seng mesti pontang-panting
menghindarkan diri dari timpaan batu gunung, keadaannya
selain berbahaya juga amat mengenaskan.
Setelah serangkai hujan batu lewat, jalan setapak yang
sempit itu sudah dipenuhi bebatuan yang berserakan di manamana,
nyaris jalanan itu terputus dan susah dilalui lagi.
Ci Yau-hoa, Khong Bu-ki, pedang bambu dan pedang
anggrek berempat terpisah sejauh beberapa kaki dari
rombongan, mereka terhadang bebatuan cadas yang
menggunung, sementara Ui Thian-seng, Chin Ang-kiok serta
555 Pedang seruni, Pedang bunga bwe serta tiga orang pelindung
benteng masih berdiri di mulut selat, saling berhadapan
dengan Lui Siau-jut.
Lui Siau-jut tertawa terbahak-bahak, serunya lagi, "Anakanak,
ayo sekali lagi!"
Diiringi suara gemuruh keras, kembali bebatuan gunung
bergulingan dari atas tebing, sekali lagi para jago dibuat
kalang-kabut tak keruan, semua orang berusaha
menghindarkan diri, masih untung bagi keempat dayang
bertubuh ramping, mereka punya kesempatan lebih besar
untuk menghindarkan diri.
Berbeda dengan Sui-pit-jiu (tangan sakti penghancur
cadas) Lu Ban-seng yang bertubuh tinggi besar, dia jadi
kurang leluasa untuk menghindarkan diri, akhirnya sebuah
batu besar menimpa di atas tubuhnya.
Baru saja dia muntah darah sambil roboh terjungkal, lagilagi
sebuah batu raksasa menindih di atas badannya, tanpa
ampun dia tewas seketika.
Menggunakan kesempatan di kala hujan batu sedang
berlangsung, ketika debu dan pasir sedang beterbangan di
angkasa, Chin Ang-kiok melepaskan tiga batang Hui-yan-piau,
langsung diarahkan ke mulut selat Kiam-bun-kwan.
Pada saat yang sama Yu Keng-tong berusaha menerobos
ke depan, baginya ia lebih suka bertarung habis-habisan
melawan Lui Siau-jut ketimbang mati konyol di dasar jurang
macam Lu Ban-seng.
Tiga batang Hui-yan-piau yang dilepas Chin Ang-kiok
berhasil dihindari Lui Siau-jut secara mudah, baru saja
perempuan itu berusaha menerobos mulut selat, tahu-tahu
dewa iblis sudah muncul di hadapannya.
Segera Chin Ang-kiok melontarkan sebuah tusukan, tapi Lui
Siau-jut membalikkan tangan mencengkeram pedang yang
sedang menyambar tiba.
Perempuan itu terperanjat, sadar tak mungkin bisa
menembus halangan di mulut selat itu, lekas dia mengambil
556 keputusan, sambil membuang pedangnya dia melayang keluar
dari selat yang sempit itu.
"Bagus, tindakan yang cerdas!" puji Lui Siau-jut sambil
tertawa nyaring.
Menyusul kemudian terdengar jeritan ngeri yang
memilukan hati berkumandang memecah keheningan, tubuh si
naga sakti dari kolam Che, Yu Keng-tong terpental keluar dari
jalan setapak dan meluncur ke dasar jurang dengan kecepatan
tinggi, di atas dadanya tertancap pedang bercabang milik Chin
Ang-kiok yang baru saja ditinggalkan.
Suasana hening yang mencekam menyelimuti seluruh
tempat, hujan batu pun ikut berhenti sementara waktu.
Lui Siau-jut dengan garang dan gagahnya berjaga di mulut
selat, biar dia hanya seorang diri, namun tak gampang untuk
menembus pertahanannya itu.
Sepasang mata Ui Thian-seng sudah memerah lantaran
gusar bercampur dendam, kepada Chin Ang-kiok serunya,
"Sebentar kalau aku sudah menyerang maju dan menahan
serangannya, kalian gunakan kesempatan itu untuk
menerobos masuk ke dalam selat, tak usah pedulikan
keselamatanku, kalian semua bukan tandingannya."
"Hm!" Chin Ang-kiok mendengus dingin, "bila kau mengadu
jiwa dan kami berhasil lolos, itu masih ada harganya,
celakanya kalau kau sudah mengorbankan jiwa dengan sia-sia,
semua orang di sini tak bisa lolos, konyol namanya!"
Baru selesai mereka berbincang, diiringi suara tertawa
nyaring, Lui Siau-jut berseru kembali, "Anak-anak, mari kita
lakukan serangan yang ketiga kalinya!"
Kembali batu gunung bergulingan ke bawah tebing diiringi
suara gemuruh yang memekakkan telinga, semua orang sekali
lagi pontang-panting berusaha meloloskan diri.
Pedang seruni sudah menderita luka yang cukup serius
semenjak pertarungannya melawan empat manusia bengis
tempo hari, tak heran gerak-geriknya kurang lincah dan sedikit
parah, tanpa disadari tubuhnya bergeser semakin dekat
dengan mulut selat, ketika sadar akan posisinya, keadaan
557 sudah terlambat, secepat sambaran kilat Lui Siau-jut telah
mencengkeram tenggorokannya dan menggenjet hingga
hancur. Sekali lagi keheningan mencekam, yang tersisa saat ini
hanya bebatuan gunung dan pasir yang berserakan di
sepanjang jalan setapak itu.
Kini seluruh jalan setapak nyaris tersumbat oleh bebatuan
besar, bila hujan batu sekali lagi dilancarkan, dapat dipastikan
rombongan Ui Thian-seng bakal mati konyol di depan selat
Kiam-bun-kwan itu.
Sadar akan situasi yang semakin tidak menguntungkan, Ui
Thian-seng berbisik kepada Yau It-kang, "Bagaimanapun juga
kita harus mengadu jiwa, daripada duduk menunggu
kematian, lebih baik berusaha hingga titik darah penghabisan,
gunakanlah senjata rahasia untuk menyerang, Chin-lihiap akan
membantumu dengan sepenuh tenaga, sementara aku akan
berusaha menjebol halangan itu."
"Baik!" sahut Yau It-kang.
"Baiklah," sahut Chin Ang-kiok pula sambil menghela
napas. Pada saat itulah tiba-tiba di atas tebing curam itu muncul
suatu gerakan aneh.
Ketika Ui Thian-seng mendongakkan kepala, tampak
keempat orang yang berada di puncak tebing telah
menghentikan serangannya, sementara di hadapan mereka
telah muncul empat orang manusia berbaju hijau, dilihat dari
kejauhan, keempat orang itu mirip empat bocah lelaki yang
mengusung sebuah tandu, siapa yang berada dalam tandu,
tak seorang pun tahu.
Tampak kawanan bocah dewa pencabut nyawa yang
mengenakan baju ungu itu segera maju mengepung, bahkan
terlihat seperti mengucapkan beberapa patah kata, menyusul
kemudian salah seorang di antara keempat manusia berbaju
ungu itu tiba-tiba roboh terkapar.
Menyusul terlihat seorang manusia berbaju ungu lain
melambung ke udara, di bawah cahaya matahari yang terik,
558 tampak tubuhnya berjumpalitan beberapa kali di angkasa dan
kelihatannya segera akan menerjang masuk ke balik tandu itu.
Tiba-tiba badannya yang melambung itu terhenti secara
mendadak lalu terlempar ke dalam jurang, melewati jalan
setapak di bawah dan meluncur langsung ke dasar jurang,
jeritan ngeri yang memilukan hati kembali bergema memecah
keheningan. Ketika tubuh orang itu meluncur ke dasar jurang dan
melalui sisi jalan setapak, semua orang dapat melihat dengan
jelas bahwa di dada Sian-tong atau bocah dewa itu telah
tertancap tiga batang anak panah yang berwarna kebirubiruan.
Tak ada yang tahu apa yang sudah terjadi di puncak tebing
itu, tak ada yang tahu siapa manusia yang berada di dalam
tandu itu, tapi bila dalam tandu benar-benar ada penghuninya,
bahkan dalam sekali gebrak saja telah merobohkan dua orang
bocah dewa pencabut nyawa, kehebatan kungfunya benarbenar
menakutkan. Berubah hebat paras muka Lui Siau-jut, teriaknya, "Anakanak,


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat turun kemari!"
Kalau dengan dua tangan pun tak bisa mengalahkan lawan,
apalagi dari dua tangan tinggal tangan sebelah, jelas mustahil
bisa menangkan musuhnya dalam kondisi seperti ini. Lui Siaujut
sadar, daripada membiarkan dua orang bocah itu mengadu
jiwa melawan orang dalam tandu, lebih baik selamatkan dulu
yang tersisa baru kemudian mencari kesempatan untuk
melakukan pembalasan.
Dalam pada itu Ui Thian-seng dan lainnya tidak terburuburu
menerjang masuk ke selat Kiam-bun-kwan, asal dari atas
tebing tak ada bebatuan gunung yang dijatuhkan lagi, paling
yang bisa dilakukan Lui Siau-jut sekarang hanya mengurung
mereka di tempat itu.
Menggunakan kesempatan ini Ci Yau-hoa, Khong Bu-ki
melewati tumpukan batu gunung yang berserakan dan
bergabung kembali dengan Chin Ang-kiok.
559 Dua orang bocah dewa tersisa yang ada di puncak tebing
pun kabur ke bawah setelah mendengar teriakan si Dewa iblis,
meski tebing itu curam, dengan kepandaian silat yang
dimilikinya tidaklah terlalu sulit bagi mereka untuk
menuruninya. Keempat bocah berbaju hijau yang menggotong tandu pun
perlahan-lahan ikut bergerak turun dari puncak tebing.
Padahal jalan tebing itu sempit, licin dan curam, berjalan
seorang diri saja sudah amat sulit apalagi menuruni tebing
sambil menggotong tandu, namun keempat orang bocah itu
dapat berjalan tenang dan santai seakan sedang berjalan di
jalanan datar saja, hal ini membuktikan kepandaian yang
mereka miliki luar biasa.
Terkejut, kagum bercampur terkesima menyelimuti
perasaan Ui Thian-seng, siapa gerangan jago yang berada
dalam tandu itu"
Pertempuran sengit yang berlangsung di puncak tebing itu,
bila dipandang dari punggung bukit yang jauh seakan
pertarungan yang singkat, bahkan lebih mirip orang sedang
menari, padahal sesungguhnya merupakan pertempuran
berdarah yang benar-benar luar biasa tegangnya.
Soh-mia-sia-tong, bocah dewa pencabut nyawa,
sesungguhnya sudah bukan bocah lagi, mereka adalah empat
bersaudara, karena pertumbuhan badan mereka sudah
terhenti sejak berusia sepuluh tahun, maka bentuk badan
mereka menjadi cebol dan kecil selamanya, namun hati
mereka sangat keji, buas dan telengas.
Tangan mereka sudah penuh berlepotan darah, jumlah
korban yang tewas di tangan mereka berempat sudah tak
terhitung jumlahnya, kali ini mereka mendapat perintah dari
Lui Siau-jut untuk mendorong bebatuan dari puncak tebing,
bagi keempat orang itu, tugas ini sangat menggembirakan dan
merangsang hati, bagi mereka, berbuat begini seperti sedang
menginjak mati semut kecil yang sedang merangkak, selain
merangsang juga amat menghibur.
560 Tatkala mereka sedang bersiap mendorong bebatuan
gunung untuk keempat kalinya, tiba-tiba terdengar suara aneh
bergerak mendekat, ketika mereka serentak membalikkan
tubuh, terdengar seorang dengan suara dingin tapi penuh
bertenaga menegur, "Kalian empat bocah dewa pencabut
nyawa?" Keempat orang itu serentak maju mengepung, justru
lantaran wajah mereka mirip bocah cilik, mereka paling benci
melihat bocah cilik, khususnya bocah-bocah cilik berwajah
tampan, rasa benci mereka seolah ingin menelannya bulatbulat.
Padahal bicara sejujurnya, justru korban terbanyak yang
tewas di tangan mereka adalah kawanan bocah cilik yang
berwajah manis.
Menghadapi kepungan keempat bocah berbaju ungu itu,
empat bocah berbaju hijau yang mengusung tandu sama
sekali tidak panik atau gugup, terlihat sebilah pedang yang
berbeda bentuknya tersoren di pinggang mereka.
Salah seorang bocah berbaju ungu segera menegur,
"Manusia busuk darimana yang berada dalam tandu" Suruh
dia cepat merangkak keluar untuk menerima kematian!"
Salah seorang bocah pengangkat tandu segera menjawab
lembut, "Kongcu kami tidak leluasa bergerak sendiri, kalau
hanya mengandalkan kemampuanmu, masih belum berhak
untuk menghadirkan beliau."
Bocah berbaju ungu itu tertawa seram, umpatnya penuh
amarah, "Tajam amat mulut busukmu, kenapa Kongcumu itu
tidak leluasa bergerak sendiri" Memangnya kakinya buntung
atau lumpuh separoh badan?"
Baru ia menyelesaikan perkataan itu, tiba-tiba berkelebat
sinar tajam dari balik tandu, tahu-tahu ia merasa alis matanya
kaku, pandangan mata jadi gelap dan tubuhnya roboh
terjengkang ke tanah.
Ketiga bocah lainnya hanya melihat berkelebatnya sebuah
benda dari balik tandu, tahu-tahu bocah berbaju ungu itu
sudah roboh terkapar dengan sebatang jarum perak
561 menancap sedalam setengah inci di tengah antara alis
matanya. Begitu rekannya roboh terkapar, paras muka ketiga bocah
itu berubah hebat, salah seorang di antaranya segera melejit
ke udara sambil menyerang.
Orang ini adalah bocah paling tangguh, paling hebat dan
paling gesit di antara keempat bocah lainnya, begitu tubuhnya
melambung dengan ilmu meringankan tubuh Cau-sang-pengpo
(berombak tenang di atas rumput), ia segera berjumpalitan
sambil membuat satu putaran di udara dengan jurus Hi-yaliong-
bun (ikan meletik ke pintu naga).
Setelah berjumpalitan beberapa kali, dengan jurus Hui-niotok-
lim (burung terbang menembus hutan) dia langsung
menyerang ke arah tandu kayu itu.
Sepintas orang melihat dia hanya berjumpalitan beberapa
kali di udara secara gampang dan sederhana, padahal untuk
melakukan tiga perubahan dalam waktu singkat diperlukan
ilmu gerak tubuh yang sangat hebat.
Begitu merangsek ke depan sambil menempel lekat di
seputar tandu, maka mustahil bagi orang yang berada di balik
tandu melancarkan sergapan dengan senjata rahasianya meski
kungfu orang itu selihai apapun.
Padahal dia sendiri bersenjata tombak panjang yang dapat
menembus papan setebal apapun, asal tusukan maut itu
dilancarkan, maka orang dalam tandu akan tewas seketika,
sekalipun tidak mengalami celaka pun paling tidak musuh
akan dibikin kelabakan, apalagi dia masih mempersiapkan tiga
buah perubahan gerak tubuh yang lain.
Begitu melihat jelas posisi orang di balik tandu, tombaknya
langsung ditusukkan ke depan.
Orang di balik tandu sama sekali tak bergerak.
Tapi tiba-tiba bocah berbaju ungu itu merasakan dadanya
kaku, sekujur badannya bergetar keras kemudian terjatuh ke
bawah jurang. 562 Hingga detik terakhir menjelang ajalnya, dia masih belum
tahu apa gerangan yang terjadi hingga menyebabkan
kematiannya. Tapi dua orang bocah berbaju ungu lainnya yang bersiaga
di sisi arena dapat melihat semua kejadian dengan jelas, dari
sudut tandu dekat bocah berbaju ungu itu berdiri, tiba-tiba
terbuka sebuah celah kecil, tiga batang anak panah berwarna
biru secepat kilat melesat keluar dan menghajar dada rekan
mereka. Seketika itu juga bocah berbaju ungu itu roboh.
Sisa dua orang bocah berbaju ungu terkesima bercampur
ngeri, untuk sesaat mereka hanya bisa termangu tanpa
mampu berbuat sesuatu. Semenjak terjun ke dalam dunia
persilatan, belum pernah mereka mengalami kejadian seperti
ini, bahkan mimpi pun mereka tak pernah mengira kalau
dalam sekali gebrakan saja kedua orang rekannya sudah
tewas secara mengenaskan.
Dalam keadaan begitu, biarpun mereka berani turun tangan
juga untuk sesaat tidak tahu bagaimana cara turun tangan
Saat itulah suara teriakan Lui Siau-jut berkumandang,
datang dari punggung bukit, sejak tadi mereka berdua
memang berharap datangnya perintah itu, tanpa banyak
bicara lagi mereka kabur secepatnya meninggalkan tempat itu.
Dengan menderita kekalahan, dua orang bocah berbaju
ungu itu berlarian turun ke bawah tebing, kemudian
mendekati Lui Siau-jut dan membisikkan sesuatu.
Paras muka Lui Siau-jut seketika berubah hebat, mendadak
dia melejit ke udara dan mendaki ke atas puncak tebing.
Melancarkan serangan dari puncak bukit merupakan posisi
yang paling bagus.
Ui Thian-seng segera memahami maksud dan niat Lui Siaujut,
lekas ia ikut berlari menaiki tebing curam itu.
Tampak Lui Siau-jut meluncur naik ke atas tebing dengan
kecepatan luar biasa, tampaknya dia segera akan
menghadang di depan tandu itu, mendadak seutas kain
563 selendang sutera meluncur ke depan dan membelenggu kaki
si Dewa iblis. Begitu selendangnya berhasil melilit kaki lawan, Ci Yau-hoa
membetotnya sekuat tenaga.
Lui Siau-jut segera merendahkan tubuh sambil
memperkokoh posisi kuda-kudanya, walaupun pasir dan debu
beterbangan, namun tubuhnya sama sekali tidak bergerak.
Karena hadangan ini, Ui Thian-seng segera menyusul tiba,
golok emasnya dengan jurus Pa-ong-ko-kang (raja bengis
menyeberangi sungai) membabat pinggang lawan.
Rasa benci dan dendam Ui Thian-seng terhadap Dewa iblis
Lui Siau-jut boleh dibilang sudah merasuk hingga tulang
sumsum, bukan saja hal ini disebabkan dia telah menderita
kerugian besar di tangan orang hingga nyaris kehilangan
nyawa, anak buahnya Lu Ban-seng, Yu Keng-tong, Be Lak-ka,
lelaki kekar pembawa panji maupun si kacung pembawa golok
sudah tewas di tangan orang ini, tak heran kalau rasa benci
dan gusarnya mendekati kalap.
Dia sudah memperhitungkan dengan matang, dalam
keadaan kaki terbelit kain selendang sutera, Lui Siau-jut pasti
tak mampu menghindari babatan goloknya, dia harus
menerima serangan itu dengan keras lawan keras.
Dia memang berharap Lui Siau-jut beradu keras lawan
keras dengan dirinya.
Sebetulnya ilmu silat yang dimiliki Ui Thian-seng masih
berimbang dengan kemampuan si Dewa iblis, namun bila ilmu
silat Lui Siau-jut dibandingkan dengan Cun Yu-siang, tentu
saja kemampuan si Dewa iblis jauh lebih hebat.
Kendatipun demikian, sehebat-hebatnya kepandaian silat
yang dimiliki Lui Siau-jut, dia masih belum berani mengadu
kekerasan melawan golok emas si harimau ganas Ui Thianseng.
Karena tak bisa menerobos ke atas, tak berani pula beradu
kekerasan, terpaksa dia meluncur turun ke bawah.
Begitu dia meluncur ke bawah, bacokan golok menyambar
lewat di atas kepalanya, Lui Siau-jut segera mementang
564 kesepuluh jari tangannya, bagaikan kaitan tajam dia
mencengkeram ke arah Ci Yau-hoa.
Dengan sigap Ci Yau-hoa mengegos ke samping, dari
pinggangnya dia lolos sebilah pedang pendek yang
memancarkan sinar keemasan, lalu balas menusuk ke tubuh
lawan. Baru saja pedangnya menyambar ke depan, mendadak Lui
Siau-jut melejit ke udara, akibatnya serangan itu bukan saja
gagal mengenai tubuh si Dewa iblis, sebaliknya malah
membabat kutung selendang sutera yang melilit kakinya.
Lolos dari belitan selendang sutera, kembali Lui Siau-jut
melejit ke udara, mendadak bayangan merah berkelebat, Chin
Ang-kiok sudah merangsek maju sambil melepaskan sebuah
tusukan. Lui Siau-jut berkelit ke samping dengan sigap, dalam waktu
singkat kembali ia melancarkan cengkeraman maut.
Pertarungan jarak dekat pun segera berkobar, tak lama
kemudian baju bagian dada Lui Siau-jut telah bertambah
dengan satu sobekan memanjang karena babatan pedang,
sementara rambut Chin Ang-kiok awut-awutan tak keruan,
coba serangan Lui Siau-jut lebih rendah sedikit, niscaya batok
kepalanya akan terluka parah dan bermandikan darah.
Begitu bayangan tubuh kedua orang itu saling berpisah,
dua batang Hui-yan-piau yang dilepas Chin Ang-kiok sudah
meluncur ke muka bagaikan setan pencabut nyawa.
Dayang kesayangan Chin Ang-kiok, si Pedang seruni telah
tewas secara mengenaskan di tangan Dewa iblis, serangan
yang dilakukan perempuan itu sekarang tak lain adalah untuk
membalaskan dendam kematian anak buahnya.
Lui Siau-jut mendengus dingin, tubuhnya berjumpalitan di
udara dan menangkap kedua batang Am-gi itu dengan
cekatan. Mendadak deru angin tajam menyambar tiba dari belakang
punggungnya, padahal waktu itu Lui Siau-jut sedang
menyurut mundur, menghadapi ancaman yang datang, tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
565 tiba ia melakukan perubahan mendadak, dari mundur
tubuhnya malah menerjang maju dengan kecepatan tinggi.
Deru angin tajam yang muncul di belakang tubuhnya
berasal dari bacokan golok yang dilancarkan Ui Thian-seng,
bacokan itu sangat dahsyat dan mengerikan, golok tampak
berlapis-lapis, secara beruntun bacokan berantai telah
dilontarkan. Dalam waktu singkat Ui Thian-seng telah melepaskan
delapan belas bacokan, baru saja ia berhenti sejenak, Lui
Siau-jut telah membalikkan badan sambil mencengkeram bahu
kanan Ui Thian-seng dengan tangan kirinya.
Karena bahu kanannya dicengkeram lawan, golok di tangan
Ui Thian-seng tak sanggup melakukan bacokan lagi, namun
dia tak mau menyerah, tangan kirinya segera mencengkeram
pula bahu kanan Lui Siau-jut.
Kelima jari tangan Lui Siau-jut menancap dalam bahu Ui
Thian-seng, sebaliknya tangan Ui Thian-seng yang


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencengkeram bahu kanan lawan justru menimbulkan suara
gemerutuk tulang yang keras, tubuh si Dewa iblis tiba-tiba
merangsek ke tanah sedalam setengah depa lebih.
Kini paras muka Ui Thian-seng telah berubah menjadi
merah padam, sementara paras muka Lui Siau-jut justru
berubah menjadi pucat-pasi bagai mayat.
Melihat keadaan itu, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok segera
menyerbu ke depan, mereka tak ingin kehilangan peluang
untuk menghabisi musuhnya.
Meski menghadapi mara bahaya, Lui Siau-jut sama sekali
tak panik atau kalut pikirannya, dia kebaskan ujung bajunya,
dua batang Hui-yan-piau berbalik meluncur ke muka
memapaki datangnya kedua jago wanita itu.
Chin Ang-kiok segera mengayun tangannya ke kiri kanan
untuk mementahkan datangnya serangan Am-gi, tiba-tiba Lui
Siau-jut melepas tangan kirinya kemudian berbalik
mencengkeram leher Ui Thian-seng.
Bila cengkeraman itu sampai mengenai sasaran, niscaya Ui
Thian-seng akan tewas seketika, biar dia pemberani dan tak
566 takut bumi, dalam keadaan begini dia pun tak berani
mempertaruhkan nyawanya, lekas dia ikut mengendorkan
cengkeramannya dan melompat mundur.
Begitu Ui Thian-seng mengundurkan diri, Lui Siau-jut
segera berjumpalitan di udara bagai burung belibis membalik
badan, teriaknya sambil mundur dari arena, "Bubar!"
Maksud "bubar" jelas berarti "kabur dari situ", biarpun
seorang diri Lui Siau-jut masih sanggup bertarung imbang
melawan Ui Thian-seng, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok tiga
orang jago tangguh, namun dia masih belum lupa diri, dia
tahu di situ masih ada jagoan lain yang lebih tangguh, seperti
Hong-ta-pit-pay Khong Bu-ki, empat orang bocah baju hijau
pengusung tandu serta manusia misterius di balik tandu.
Baru saja Lui Siau-jut melambung ke udara, Am-gi-boanthian
(senjata rahasia memenuhi angkasa) Yau It-kang segera
mengayun tangan berulang kali, paling tidak ada tujuhdelapan
belas macam senjata rahasia berhamburan di
angkasa. Berada di udara, Lui Siau-jut mengebas ujung bajunya
ulang kali, seluruh senjata rahasia yang berhamburan ke lubuli
nya hampir semuanya dapat ia terima secara gampang
kemudian setelah berjumpalitan lagi beberapa kali, tampaknya
dia segera akan melewati mulut selat Kiam-bun-kwan dan
meloloskan diri.
Mendadak ia saksikan ada sebuah tandu sedang
menunggunya persis di mulut masuk selat Kiam-bun-kiam.
Tampaknya tandu itu memang khusus menunggu
kedatangannya. Lui Siau-jut segera menerobos turun ke bawah, hatinya ikut
tenggelam, dia tak ingin apa yang telah dia lakukan terhadap
rombongan Ui Thian-seng, kini terwujud pada dirinya.
Ketika badannya menerobos turun, tangannya tidak tinggal
diam, sekali ayun dia telah menyambitkan semua senjata
rahasia yang barusan ditangkapnya dari serangan Yau It-kang
itu ke arah tandu.
567 Dalam anggapannya, dengan bertindak demikian, paling
tidak ia bisa memaksa penghuni tandu itu untuk
menampakkan diri.
Senjata rahasia yang dilancarkan Lui Siau-jut seolah
dilancarkan bersamaan waktunya, padahal ada yang duluan
dan ada pula yang belakangan, mungkin musuh bisa
menghindari serangan pertama namun belum tentu bisa
menghindari serangan kedua, dia memang bertindak demikian
untuk berjaga-jaga segala kemungkinan.
Senjata rahasia yang mula-mula dilancarkan adalah sebiji
teratai hijau Cing-lian-cu, menyusul dua batang gurdi segitiga,
disusul lagi empat batang kaitan gigi serigala dan ditutup
dengan delapan batang-jarum penembus tulang.
Ketika semua senjata rahasia itu tampaknya segera
menghajar tandu itu, mendadak terlihat penghuni tandu
menggerakkan badannya, sebutir peluru besi dilontarkan ke
depan dengan kecepatan luar biasa.
Peluru besi itu tidak menyerang tempat lain tapi persis
menumbuk senjata rahasia Cing-lian-cu, "Bluk!", karena daya
luncur peluru besi yang kuat, senjata rahasia Cing-lian-cu
terpental balik persis menumbuk dua batang gurdi segitiga.
Ternyata kekuatan peluru besi dan Cing-lian-cu belum
habis, setelah menerjang tiga batang gurdi segitiga, keempat
macam Am-gi itu menumbuk pula kaitan gigi serigala di
belakangnya kemudian menumbuk pula kedelapan batang
jarum penembus tulang.
Dalam sekejap keenam belas macam senjata rahasia itu
satu per satu rontok ke tanah, menimbulkan suara dentingan
nyaring. Am-gi-boan-thian Yau It-kang yang termashur dalam dunia
persilatan karena kemampuannya melepaskan senjata rahasia,
sebenarnya sudah dibuat terkesima oleh cara Lui Siau-jut
melepas senjata rahasia, namun sekarang dia semakin
terkesima hingga terbelalak matanya menyaksikan
kemampuan jago dalam tandu itu merontokkan lima belas
568 macam senjata rahasia hanya dengan mengandalkan sebiji
peluru besi. Dalam pada itu Lui Siau-jut juga terbungkam, ketika angin
gunung berhembus menggoyang ujung bajunya, terlihat paras
mukanya telah berubah hijau membesi, sinar matanya tertuju
ke arah tandu itu tanpa berkedip.
Orang di dalam tandu masih tidak bicara maupun
melakukan sesuatu tindakan, seakan tandu itu tanpa
penghuni. Sampai lama sekali Lui Siau-jut termangu, akhirnya dia
menegur dengan suara berat, "Tanpa Perasaan?"
Tirai penutup tandu pelan-pelan dibuka orang.
Di kolong langit, orang yang sanggup merontokkan lima
belas macam senjata rahasia dengan menggunakan semacam
senjata rahasia tak akan lebih dari sepuluh orang.
Dan orang yang sanggup merontokkan lima belas macam
senjata rahasia yang dilancarkan Lui Siau-jut hanya dengan
menggunakan semacam senjata rahasia, tak akan lebih dari
lima orang. Kebetulan si Tanpa Perasaan adalah satu di antaranya. Tirai
di depan tandu pelan-pelan disingkap, tapi tidak menunggu
tirai itu tersingkap, Lui Siau-jut dengan menggunakan
sepasang tangannya yang kuat bagai baja dan tajam bagai
anak panah telah melancarkan serangan, dalam serangannya
kali ini dia menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya.
Orang itu pasti menyingkap tirai tandu dengan
menggunakan tangannya, ketika ia tampil di depan orang
banyak untuk pertama kalinya, ketika ia memandang semua
orang untuk pertama kalinya, seluruh pikiran dan perhatian
orang itu pasti tertuju ke tengah arena, dalam keadaan seperti
ini siapa pun tentu tak akan waspada.
Menyingkap tirai dengan menggunakan tangan jelas tak
mungkin melancarkan serangan menggunakan senjata
rahasia, apalagi Lui Siau-jut tahu si Tanpa Perasaan tak punya
kaki. 569 Secepat sambaran petir Lui Siau-jut menerjang maju, sebab
inilah kesempatan terbaik baginya untuk bertindak.
Baru saja tirai tandu digulung ke atas, cakar maut Lui Siaujut
sudah muncul di hadapannya.
"Wes!", bayangan putih tampak berkelebat lewat dari balik
tandu, di saat yang paling kritis orang itu sudah melayang
keluar melalui atas kepala Lui Siau-jut.
Aneh, orang tanpa kaki mengapa bisa memiliki ilmu
meringankan tubuh secanggih itu"
Lui Siau-jut tidak sempat berpikir lebih jauh, "Brak!", tirai
tandu meluncur jatuh kembali ke bawah, sementara musuh
sudah berada di belakang tubuhnya.
Dalam posisi seperti ini, Lui Siau-jut tahu, dia harus
melancarkan serangan sebelum musuh sempat berdiri tegak.
Tiba-tiba ia membalikkan badan, sekali lagi sepasang cakar
mautnya menyambar ke muka dengan jurus perubahan yang
lebih dahsyat. Orang itu melayang turun satu kaki di belakangnya, waktu
itu sedang mengawasi gerak-geriknya dengan pandangan
dingin. Lui Siau-jut merasa tercekat, belum habis ingatan kedua
melintas, tiba-tiba ia merasakan datangnya dua desingan
tajam dari belakang tubuhnya.
Lui Siau-jut sadar keadaan tak menguntungkan, tergopohgopoh
dia membalikkan badan sambil bersiaga, sayang
keadaan terlambat, tahu-tahu kakinya terasa kaku, tujuh
batang jarum pencabut nyawa telah berjajar menancap di
pahanya. Sekuat tenaga si Dewa iblis melambung ke udara untuk
melarikan diri, namun pada saat yang bersamaan orang
berbaju putih itu kembali menggetarkan tangannya, tiga titik
cahaya putih secepat petir meluncur tiba.
Buru-buru Lui Siau-jut menarik napas dalam-dalam sambil
melambung lebih tinggi, dua titik cahaya putih itu segera
menyambar lewat melalui kiri kanan ketiaknya, sementara titik
cahaya ketiga langsung menghujam di perutnya.
570 Lui Siau-jut tidak menjerit kesakitan, dia melayang turun
dengan tenang lalu mengawasi pemuda berbaju putih yang
sedang duduk bersila di atas tanah itu dengan pandangan
putus asa. Kini Ui Thian-seng dan kawan-kawan baru dapat melihat
secara jelas, paras muka Lui Siau-jut telah berubah pucat
bagai mayat, sepasang matanya merah membara, sebatang
pisau terbang Liu-yap-to telah menancap di perutnya, begitu
dalam pisau itu menghujam dalam perut hingga tinggal
gagangnya saja yang tersisa, sementara dua batang Hui-to
yang lain menancap dalam-dalam di tebing batu cadas yang
keras. Pedang anggrek yang bernyali kecil tak tahan menyaksikan
adegan itu, dia menjerit keras karena kaget.
Tampak pemuda berbaju putih yang duduk bersila di atas
tanah itu tidak memiliki kaki, sepasang kakinya sebatas lutut
lenyap entah kemana, dia mempunyai alis yang runcing
dengan sorot mata tajam.
Terdengar ia berkata dengan suara hambar, "Aku tahu, kau
pasti sedang heran bukan, apakah di dalam tandu masih ada
orang lain."
Lui Siau-jut melirik sekejap ke arah tandu kayu dengan tirai
yang tertutup rapat itu, kemudian sambil menahan
penderitaan yang luar biasa dia mengangguk.
Seandainya di saat membalikkan badan untuk menghadapi
si Tanpa Perasaan tadi dia tidak melepaskan senjata rahasia
hingga memecahkan perhatiannya dan terluka kakinya, ketiga
batang pisau terbang yang dilepas si Tanpa Perasaan belum
tentu bisa melukainya.
Terdengar si Tanpa Perasaan berkata lebih jauh, suaranya
tetap tenang, dingin dan hambar, "Dalam tandu itu tak ada
orang lain, hanya saja sudah kuduga sejak awal, kau pasti
akan melancarkan serangan mematikan, maka di saat
bersamaan ketika aku sedang menggulung tirai tadi, aku juga
memencet tombol rahasia penyebar paku pencabut nyawa,
ketika seranganmu gagal dan aku melayang keluar dari dalam
571 tandu, kau malah membalikkan badan melakukan pengejaran,
itulah sebabnya senjata rahasia yang telah kusiapkan dalam
tandu segera menyergap punggungmu. Seandainya kau tidak
duluan membokongku, aku pun tak akan menggunakan cara
yang sama untuk membokongmu. Ketika seluruh perhatianmu
sedang tertuju kepada diriku pun kau masih mampu
menghindari dua baris paku pencabut nyawa yang
menyerang, kemampuan semacam ini terhitung luar biasa dan
patut dibanggakan"
Dengan penuh penderitaan Lui Siau-jut menggeleng
kepalanya berulang kali, pakaian berwarna putih yang dia
kenakan sudah basah oleh cucuran darah, tiba-tiba ia jatuh
berlutut, sepasang tangannya direntangkan dengan telapak
tangan menghadap ke atas, setelah mendongakkan kepalanya
memandang angkasa dan menghela napas panjang, akhirnya
pelan-pelan ia roboh terjengkang ke belakang,
menghembuskan napasnya yang terakhir.
Sementara Lui Siau-jut menerjang naik ke atas puncak
tebing kemudian bertarung melawan Ui Thian-seng dan
terakhir bertarung melawan orang dalam tandu, Hong-ta-pitpay
Khong Bu-ki dengan mengandalkan tombak panjangnya
juga terlibat dalam pertarungan yang seru melawan seorang
bocah berbaju ungu, sedangkan Pedang bambu, pedang
anggrek serta pedang bunga bwe bersatu padu mengurung
seorang bocah berbaju ungu yang lain.
Kedua orang bocah berbaju ungu itu menggunakan tombak
panjang sebagai senjata andalannya, ilmu silat mereka jauh di
atas kehebatan empat manusia bengis, Su-toa-ok-sin.
Yang berbeda adalah waktu itu Su-toa-ok-sin berempat
melawan empat pedang, sedang sekarang tiga jago pedang
melawan sebatang tombak, tak heran sepanjang pertarungan
berlangsung, bocah berbaju ungu itu lebih banyak bertahan
ketimbang melancarkan serangan.
Setelah melancarkan beberapa jurus serangan dengan
gencar, bocah berbaju ungu itu bersiap menerjang keluar dari
selat Kiam-bun-kwan untuk melarikan diri, tiba-tiba terlihat
572 bayangan hijau berkelebat, seorang bocah cilik telah
menerjang tiba dan menghadang jalan perginya.
"Hmm, lengan seekor belalang juga berani menahan
terjangan sebuah gerobak!" umpat bocah berbaju ungu itu
sambil tertawa seram.
Begitu selesai bicara, bocah berbaju hijau itu telah melolos
pedangnya yang berwarna keperak-perakan, kemudian
dengan jurus Cing-hong-cap-sah-si (tiga belas jurus angin
puyuh) dia melancarkan serangan berulang kali, arah
serangannya tidak menentu, persis seperti arah hembusan
angin puyuh.

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bocah berbaju ungu itu terkesiap, tombaknya ditarik ke
belakang melakukan pertahanan, ketika tiga belas jurus
serangan berlalu, dia sudah terdesak mundur sejauh tujuh
langkah. Bocah berbaju hijau menarik kembali pedangnya, teriaknya
sambil mundur, "Siau-ji, sekarang giliranmu!"
"Wes!", kembali seorang bocah berbaju hijau melompat
maju ke depan, dia menggenggam sebilah pedang kecil
berwarna keemasan, sebuah serangan dilancarkan, ternyata
jurus serangan yang digunakan adalah Toan-cong-kiam-hoat
(ilmu pedang pemutus usus) dari aliran Cing-sia-pay.
Bocah berbaju ungu tahu akan kelihaian musuh, sambil
memusatkan seluruh perhatian dia membendung seluruh
serangan, tak selang lama sekujur tubuhnya sudah basah
kuyup oleh keringat.
Baru saja dia bersiap melancarkan serangan balasan, tibatiba
bocah berbaju hijau mundur dari arena pertarungan
sambil berseru, "Siau-sam-ji, sekarang giliranmu!"
Kembali seorang bocah berbaju hijau melompat ke tengah
arena, "sret, sret, sret, sret", dalam waktu singkat dia sudah
melepaskan empat buah serangan berantai, selain cepat, jurus
serangannya juga ganas dan mengerikan, kali ini yang
digunakan adalah Lok-eng-kiam-hoat (ilmu pedang elang
sakti) dari Thian-san-pay.
573 Sambil bertarung, bocah berbaju ungu mundur terus ke
belakang, beberapa kali nyaris jiwanya melayang tersambar
pedang musuh, malah jidatnya sudah bertambah dengan
sebuah luka memanjang yang mengucurkan darah.
Sepanjang hidupnya sudah kelewat banyak bocah tak
berdosa yang tewas secara mengenaskan di tangannya, baru
kali ini dia terdesak hebat di tangan seorang bocah yang
usianya jauh di bawah umurnya, bukan hanya terdesak,
bahkan keadaannya benar-benar mengenaskan.
Ketika bocah berbaju hijau berhasil mendesaknya mundur
ke tepi tebing cadas, tiba-tiba dia menarik kembali
serangannya seraya berseru, "Siau-su-ji, sekarang tinggal
giliranmu untuk memberi pelajaran kepadanya!"
Kembali muncul seorang bocah berbaju hijau maju
menyerang dengan pedangnya, ilmu pedang yang ia gunakan
hampir semuanya terbuka lebar, rupanya dia menggunakan
Kay-pit-hui-thian-kiam (ilmu pedang pembelah batu pembuka
langit) dari Thay-san-pay.
Waktu itu posisi bocah berbaju ungu sudah mepet dinding
tebing, mustahil baginya untuk berkelit dari ancaman, maka
dia lontarkan tombaknya ke depan.
Ketika bocah berbaju hijau menangkis datangnya lemparan
tombak, bocah berbaju ungu segera memanfaatkan peluang
itu untuk melarikan diri.
Sebenarnya perhitungan orang ini sangat tepat, dia punya
peluang cukup besar untuk kabur dari kepungan musuh,
sayang dia melupakan sesuatu, dia lupa kalau di situ masih
ada Pedang bunga bwe, Pedang anggrek dan Pedang bambu
yang menanti kedatangannya.
Satu babatan pedang dari Pedang bunga bwe segera
memotong jalan pergi bocah berbaju ungu, belum sempat ia
berbuat sesuatu, pedang dari Pedang bambu sudah menusuk
kakinya. "Blam!", tak ampun tubuhnya roboh terjerembab ke atas
tanah, sebuah tusukan kilat dari Pedang anggrek segera
menyudahi nyawanya yang penuh dosa.
574 Di saat bocah berbaju ungu itu menemui ajalnya, bocah
berbaju ungu yang lain juga telah terjerumus dalam posisi
yang sangat berbahaya.
Hong-ta-pit-pay Khong Bu-ki sudah bertekad akan
menangkan pertarungan ini, tombak panjangnya diputar
sedemikian rupa hingga menimbulkan deru angin tajam yang
sangat memekakkan telinga, makin bertarung dia makin
perkasa, sebaliknya bocah berbaju ungu itu makin bertahan
makin terdesak, sampai akhirnya kekuatan untuk melawan
pun tak punya. Bicara sesungguhnya, kepandaian silat yang dimiliki bocah
berbaju ungu itu sebenarnya berimbang dengan kepandaian
Khong Bu-ki. Namun lantaran Lui Siau-jut telah meneriakkan
kata "cabut!", sementara ketiga orang rekannya juga telah
tewas, hal ini membuat kepandaian silat yang dimiliki bocah
berbaju ungu ini mengalami pukulan amat telak.
Barang siapa ketakutan, dia pasti tak akan mampu
mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya.
Berbeda dengan Khong Bu-ki, dia tidak menguatirkan
apapun, juga tidak takut terhadap siapa pun, tak heran makin
bertarung dia makin perkasa, tampaknya dua puluh gebrakan
kemudian dia akan mencabut nyawa bocah berbaju ungu itu.
Pada saat itulah mendadak muncul suatu perasaan aneh
dalam hati kecilnya, walaupun dia sangat membenci
perbuatan kawanan manusia yang senang membokong lawan,
namun dia pun merasa tak tega setelah melihat sorot mata si
Pedang Kiri Pedang Kanan 16 Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Kisah Pedang Bersatu Padu 6
^