Pencarian

Rahasia Kunci Wasiat 3

Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Bagian 3


Pada saat itulah mendadak terdengar suara bentrokan senjata tajam yang sangat ramai
sekali, kiranya Thio-kan serta Hoo-kun sudah bertempur dengan dua orang lelaki yang
berhasil menaiki tebing tersebut.
Agaknya Gak Siauw-cha sudah mengambil keputusan untuk mencari kehidupan dari
keadaan yang sangat berbahaya ini karena itu sikapnyapun jadi rada lapang kembali
mendadak tangannya merogoh ke dalam saku meraup segenggam jarum emas.
"Adik Ling!" ujarnya tertawa. "Coba kau lihat ilmu menyambit senjata rahasia dari
cicimu." Pergelangan tangannya segera diayunkan ke depan, tampaklah berpuluh-puluh batang
jarum emas dengan memancarkan sinar yang berkilauan tertimpa sinar matahari bagaikan
kilat cepatnya meluncur ke depan.
Suara jeritan ngeri segera bergema saling susul menyusul, kedua orang lelaki yang
sedang bergebrak dengan Thio-kan serta Hoo-kun masing-masing sudah terhajar dua
batang jarum emas. Gerakan kakinya jadi agak terlambat, pada saat itulah dengan mengambil kesempatan
yang sangat bagus itu Thio-kan melancarkan satu tendangan kilat menghajar mati
musuhnya. Sebaliknya Hoo-kun menggerakkan senjata Pan Koan Pitnya menotok jalan
darah kematian dari musuhnya sehingga diapun rubuh binasa ke atas tanah.
Siauw Ling yang melihat demontrasi itu merasa sangat kagum sekali.
"Cici!" serunya memuji. "Ilmu menyambit senjata rahasia dari cici sungguh dahsyat
sekali." Baru saja suara pujian itu diucapkan keluar mendadak terdengar suara tertawa panjang
yang amat nyaring berkumandang datang.
"Ilmu menyambit senjata rahasia semacam itu buat apa kau merasa keheranan,"
ujarnya dingin. "Bagaimana kalau kau coba juga senjata Ci Bo Sin Tan dari loohu?"
Gak Siauw-cha dengan cepat meloncat menghalangi di depan tubuh Siauw Ling, ketika
angkat kepalanya memandang dia dapat melihat seorang kakek tua dengan perawakan
tinggi besar dan memelihara jenggot putih sepanjang dada sudah berdiri dengan amat
gagahnya dipinggir tebing tersebut pada punggungnya tersorenlah sepasang roda baja.
Cing Kang Jiet Gwat Loen, sedang pada sepasang tangannya masing-masing mencekal
sebuah peluruh besi yang berbentuk bulat sebesar telur ayam. Kelihatan sekali sikapnya
yang amat gagah. Kedatangan dari orang ini sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun. Ternyata
Gak Siauw-cha sekalipun sama sekali tidak mengetahui kapan dia tiba di atas puncak
tebing itu. "Bagus sekali!" terdengar Thio-kan membentak dengan suara yang amat keras. "Tidak
kusangka Sin So Thiat Tan atau sitangan sakti peluruh besi Coe Koen San Coe Thai hiap
tuo merupakan manusia rendah yang beraninya mengambil kesempatan orang lagi
kesusahan!" Sin So Thiat Tan Coe Koen San cuma merasakan air mukanya terasa jadi panas
sehingga pipinya jadi merah lama sekali dia termenung berpikir keras kemudian baru
ujarnya dengan perlahan, "Sekalipun Loohu tidak turun tangan tetapi saudara sekalianpun
tidak bakal bisa lolos dari bencana ini hari dari pada terjatuh ketangan orang lain lebih
baik aku sendiri saja yang turun tangan."
Dia tertawa tergelak dengan amat kerasnya kemudian sambungnya lagi, "Apalagi
barang ini mempunyai sangkut paut yang sangat besar sekali dengan keselamatan Bulim
bilamana sampai terjatuh ketangan orang lain bukankah urusan jadi semakin berabe
lagi?"?" Siauw Ling yang selama satu malam memiliki perubahan situasi yang saling susul
menyusul di dalam hati kecilnya secara samar-samar sudah merasa kalau orang-orang ini
agaknya sedang memaksa Gak Siauw-cha untuk menyerahkan semacam barang. Bahkan
barang tersebut mempunyai sangkut paut yang sangat erat sekali dengan kematian bibi
Im nya. Terdengar Gak Siauw-cha tertawa dingin tak henti-hentinya.
"Lama sekali aku mendengar ilmu roda "Sah Cap Lak Cau Liong Hauw Loe Hoat" serta
lima butir peluru "Ci Bo Thiat Tan" dari Coe Thayhiap menjago seluruh Bulim. Ini hari aku
bisa bertemu muka sendiri sungguh hatiku merasa sangat beruntung sekali."
Sin So Thiat Tan Co Koen San mendeham beberapa kali kemudian perlahan-lahan
menyimpan kembali pelurunya ke dalam saku setelah itu matanya dengan tajam
memperhatikan diri Gak Siauw-cha.
Gak Siauw-cha segera mengerutkan alisnya rapat-rapat dengan melintangkan
pedangnya di depan dada dia berdiri dengan angkernya.
Sekalipun pada saat ini hawa amarah meliputi seluruh wajahnya tetapi pikirannya tidak
kacau, jelas sekali dia orang sudah memiliki sebaliknya ilmu silat yang maha tinggi.
Ketika Coe Koen San teringat kalau dirinya merupakan seorang jagoan yang sama
besarnya sudah berkumandang diseluruh Bulim bilamana diharuskan bergebrak dengan
seorang nona cilik bukankah hal ini malah menurunkan derajat?" karena itu segera
tanyanya, "Nona, kau punya hubungan apa dengan Gak Im Kauw?"
"Dia adalah ibuku!" sahut Gak Siauw-cha singkat.
"Oooy, maaf kiranya nona Gak! Loohu punya kesempatan bertemu muka dengan ibumu
beberapa kali," ujar Coe Koen San dengan cepat.
Gak Siauw-cha yang melihat beberapa perkataannya itu diucapkan dengan amat ramah
bahkan kelihatannya dia sudah menyesali sikapnya ini dalam hati diam-diam berpikir,
"Hmm! walaupun kedatangan orang ini tidak mengandung maksud baik, tetapi dia tidak
kehilangan sikapnya sebagai seorang Thayhiap."
Dengan sendirinya hawa marah yang membakar di dalam hatinyapun jauh berkurang.
"Kalau memangnya Locianpwee kenal dengan ibuku maka harap memandang di atas
wajah ibuku yang sudah meninggalkan orang suka melepaskan boanpwee kali ini tanpa
diganggu," ujarnya kemudian.
Coe Koen San segera mengelus-elus jenggotnya dan tertawa.
"Ilmu pedang dari ibumu Loohu tidak pernah menjajalnya sehingga hal ini merupakan
satu peristiwa yang patut disesalkan," ujarnya dengan perlahan-lahan.
"Heeeei" cuma sayang harapan dari Locianpwee ini untuk selamanya tidak bakal
terlaksana karena ibuku sudah meninggal dunia," sambung Gak Siauw-cha sambil
menghela napas panjang. Coe Koen San tertawa terbahak-bahak.
"Haaa, haaa, haaa, nona Gak! mungkin orang lain bisa kau kibuli dengan kata-katamu
itu tetapi kau jangan harap bisa berhasil menyelimuti diri Loohu. Loohu cuma mau
bertemu saja dengan ibumu dan minta pelajaran beberapa jurus ilmu pedangnya,"
katanya. Saat itulah Gak Siauw-cha jadi sadar kembali.
"Oooh, kiranya hatinya masih belum berubah ternyata dia orang karena memandang
kedudukannya jauh lebih tinggi dari diriku maka tidak ingin bergebrak melawan aku
orang." Hawa amarahnya jadi berkobar kembali.
"Peristiwa meninggalnya ibuku bilamana Locianpwee tidak percaya hal inipun tidak
penting," ujarnya dengan dingin. "Tetapi bilamana kau benar-benar kepingin belajar kenal
dengan ilmu pedang keluarga Gak kami, Hmm boanpwee rasa dengan ketakutan
boanpwee masih bisa melayani."
Coe Koen San termenung berpikir sebentar setelah itu dia baru berkata, "Dengan usia
dari Loohu yang sudah demikian tua, sebetulnya loohu malu untuk bergebrak melawan
nona." Gak Siauw-cha dalam hati tahu keadaan di sekelilingnya sudah sangat berbahaya sekali,
di sekeliling tebing itu entah sudah kedatangan berapa banyak jagoan berkepandaian
tinggi. Bilamana dia tidak melukai beberapa orang diantara hal ini benar-benar membuat
dia tidak dapat melampiaskan rasa mangkel di dalam hatinya.
Jilid 5 Karena itu pergelangan tangannya segera berkelebat mencabut keluar sebilah pedang
sepanjang empat depa delapan coen yang memancarkan sinar keperak-perakan.
"Locianpwee apakah benar-benar tidak sudi bergebrak melawan diriku?"" ejeknya
"Dengan usia dari loohu yang sudah demikian lanjut bilamana sampai bergebrak
melawan dirimu jikalau berita ini sampai tersiar di dalam Bulim bukankah orang-orang lain
akan tertawa kegelian waah" wah putusan ini tidak dapat dipenuhi," sahut Coe Koen San
sambil menyengir. "Kau orang kalau memangnya tidak ingin bergebrak melawan diriku lalu buat apa kau
menempuh perjalanan sejauh ribuan li datang mencari diriku" bukankah waktumu sudah
kau buang dengan sia-sia?" teriak Gak Siauw-cha dengan gusar.
Coe Koen San segera gelengkan kepalanya.
"Menurut apa yang loohu ketahui! tenaga dalam dari ibumu sudah berhasil dilatih
hingga mencapai pada taraf kesempurnaan," ujarnya dengan tenang.
"Apalagi ilmu pedang keluarga GAk pun merupakan satu ilmu meninggal di dalam dunia
persilatan. Jagoan dari long langit pada saat ini jarang sekali ada yang bisa melukai ibumu
karena itu loohu percaya penuh kalau ibumu masih tetap hidup di dalam dunia ini."
"Orang ini sungguh dogol dan kukuh dengan pendiriannya sendiri," pikir Gak Siauw-cha
kembali di dalam hatinya. Kelihatannya untuk berbicara sampai jelas dengan dirinya
bukanlah satu pekerjaan gampang..
Ketika dia sedang termenung itulah mendadak terdengar suara bentakan keras dari
Hoo-kun berkumandang datang kemudian menyusul sepasang Pan Koan Pitnya berkelebat
menubrak keluar. Gak Siauw-cha dengan cepat menoleh ke arahnya, tampaklah dua orang lelaki kasar
berpakaian singsat berwarna hijau dengan masing-masing mencekal sebelah golok sudah
meloncat naik ke atas tebing tersebut.
Sementara itu Thio-kan serta Hoo-kun pun telah bertempur pula dengan musuh-musuh
yang baru datang. Masing-masing pihak begitu bertemu segera melancarkan serangan dengan
menggunakan jurus-jurus yang mematikan sinar golok berkelebat memeningkan kepala.
Setiap serangan pun mengarah jalan darah mematikan dibadan musuhnya.
Gak Siauw-cha yang melihat pihak musuh amat lihay dan ada kemungkinan kedua
orang bantunya tidak kuat untuk menahan serangannya dalam hati mulai merasa gelisah.
Dia punya maksud untuk turun tangan membantu anak buahnya tetapi takut pula
mengambil kesempatan itu Coe Koen San melukai Siauw Ling hal ini membuat dia jadi
serba susah. Agaknya Coe Koen San mengetahui isi hati dari Gak Siauw-cha itu, sembari mengelus
jenggotnya dia tertawa tergelak.
"Musuh-musuh nona yang baru datang kesemuanya adalah anggota-anggota
perkumpulan Sin Hong Pang dari kelas tiga, empat yang bisanya hanya melakukan
kejahatan. Bila mana nona bermaksud untuk turun tangan janganlah kuatir loohu tidak
akan mempersulit dirimu," katanya.
"Ehmm" orang ini amat periang dan jarang ditemui dikolong langit apalagi sifatnya
yang aneh dan sukar ditebak keadaannya ini banyak kemiripannya dengan Tiong Cho Sian
Ku?" "Ehmm! Aku akan menggunakan sifatnya yang periang ini untuk membasmi musuhmusuh
yang baru datang!" demikianlah pikirnya dihati.
Setelah hatinya mantap tanpa berpikir lebih jauh lagi pedangnya segera dikebaskan ke
depan menyambut datangnya serangan dari dua orang berbaju hijau itu.
Siauw Ling yang melihat encinya Gak Siauw-cha sudah pergi bertempur dengan musuh
dia lantas berjalan mendekati diri Coe Koen San dan merangkap tangannya menjura.
"Empek tua!" panggilnya"
"Saudara cilik, kau ada urusan apa?" tanya Coe Koen San sembari mengerutkan alisnya
rapat-rapat. "Empek tua kenapa kau tidak percaya akan kata-kata enciku?" tanya Siauw Ling sambil
membusungkan dada berjalan mendekat dia sama sekali kelihatan takut.
"Siapa toh encimu?"
"Dia adalah enciku," jawab Siauw Ling sambil menuding ke arah Gak Siauw-cha. "Dia
bilang bibi Im ku sudah mati. Hal ini memang benar-benar sudah terjadi."
"Akal licik encimu itu ada kemungkinan bisa menipu diri loohu," jawab Coe Koen San
sambil gelengkan kepalanya berulang kali. "Aku sudah melakukan perjalanan selama
puluhan tahun lamanya di dalam dunia kangouw dan menemui banyak orang jagoan
berkepandaian tinggi. Sepasang roda Jien Gwi Cing Kang Loan Ku ini saja sudah banyak
mencabut nyawa orang-orang jahat. Hee.. hee" asalkah para jagoan dari kalangan Lioe
Lio mendengar nama loohu mereka tentu akan melarikan diri terbirit-birit?"
Mendadak dia menjadi sadar kembali kalau orang yang sedang diajak berbicara ini tidak
lebih adalah seorang bocah yang baru berusia dua tiga belas tahun saja, mana bocah
sekecil itu bisa mengetahui urusan dunia kangouw?" tidak kuasa lagi dia sudah menghela
napas panjang. "Hee!" sambungnya. "Urusan yang terjadi di dalam Bulim walaupun sudah aku
beritahukan kepadamu, kau orang tidak mungkin bisa memahaminya."
Sejak kecil Siauw Ling sudah mendapat pelajaran campur dari ayahnya, ditambah pula
selama beberapa hari ini mengikuti Gak Siauw-cha merasakan bahayanya Bulim. Saat ini
kecerdasannya sudah berlipat ganda dia lantas tertawa.
"Kalau loopak sudah banyak membunuh orang jahat, tentu loopak adalah seorang yang
baik bukan?" tanya Siauw Ling pula.
"Hal itu sudah tentu!" jawab Coe Koen San setelah tercengang sebentar. "Diseluruh
Bulim asalkan orang-orang menyebut diri loohu mereka pasti akan menaruh hormat dan
memanggil Coe Thay hiap kepadaku!"
"Tapi jikalau loopak adalah seorang baik kenapa kau bermaksud untuk merebut
barangnya enciku?" Mendengar perkataan tersebut Coe KOen San jadi melengak.
"Soal ini" soal ini?"
Dia yang jadi orang amat periang hatinya amat jujur sekali dan tidak pernah berbohong
kini ditanya secara demikian oleh Siauw Ling seketika itu juga dibuat gelagapan, selama
setengah harian lamanya dia tidak memberikan jawaban.
Siauw Ling yang melihat wajahnya berubah sangat kikuk dalam hati merasa amat
girang. "Heeeeeeee"hiii"hiii" orang tua ini sungguh lucu, dari sikapnya yang jujur
menunjukkan kalau dia bukanlah seorang penjahat, aku akan bersahabat dengan dirinya,"
pikirnya dihati. Berpikir sampai disitu dia lantas tersenyum ramah sekali.
"Loopak!" ujarnya halus. "Kelihatannya kau bukan seorang penjahat."
"Hmm! Nama pendekar dari loohu sudah tersiar diseluruh dunia kangouw dan aku
sering menolong orang yang lemah sudah tentu loohu bukan seorang penjahat."
"Lalu mengapa kau bermaksud untuk merebut barang milik enciku?"
Sekali lagi Coe Koen San dibuat melengak lama sekali dia termenung sambil mengeluselus
jenggotnya. "Ehmm" karena barang itu sangat penting dan menyangkut mati hidupnya Bulim"
jawabnya kemudian. "Bilamana sampai terjatuh ketangan para penjahat atau jago-jago
dari kalangan Liok Lim maka dunia kangouw akan jadi kacau balau karena itu loohu akan
merebutnya sampai berhasil."
"Jadi maksudmu enci Gak adalah seorang penjahat?""
Coe Kaoen San yang melihat dia orang masih kecil tapi pandai berbicara, nyalipun amat
besar tidak terasa dalam hati sudah timbul rasa sukanya.
"Hal ini tidak dapat dipastikan, karena enci Gakmu itu belum lama berkecimpung di
dalam Bulim untuk menentukan dia adalah seorang jahat atau baik masih sukar untuk
dibicarakan tetapi yang jelas ibunya Im Kauw adalah seorang yang patut dihormati,"
katanya. "Kalau memangnya bibi Im adalah seorang yang baik sudah tentu enci Gak pun bukan
seorang penjahat" teriak Siauw Ling dengan cepat.
Walaupun Coe Koen San sudah mendekati setengah abad, kepandaian silatnya yang
dimilikinyapun amat tinggi dia merupakan seorang manusia yang tidak pernah
menggunakan otak. Mendengar perkataannya sangat masuk akal ini tidak terasa lagi dia
sudah mengangguk. "Perkataanmu sedikitpun tidak salah" jawabnya. "Selama pohon yang baik tentu
menghasilkan buah yang baik pula, nama besar Gak Im Kauw di dalam Bulim amat bersih
dan cemerlang. Sudah tentu putrinya tidak akan jahat pula."
"Haaa" haaaa" itulah bagus sekali!" seru Siauw Ling sambil tertawa kegirangan.
"Kalau memangnya enci Gak bukan seorang yang jahat, bilamana barang itu disimpan
olehnya bukankah sama saja?"
Mendengar jawaban itu Coe Koen San jadi melongo.
"Tidak bisa jadi" jadi" bisa jadi?" Teriaknya cepat-cepat. "Usianya nona Gak masih
kecil mana mungkin dia bisa melindungi barang pusaka yang sedemikian berbahayanya?"
"Loopak, sebetulnya barang macam apakah benda pustaka itu?" Tanya Siauw Ling
kemudian setelah berpikir sebentar. "Kenapa barang itu memancing datangnya orang yang
begitu banyak untuk saling rebut merebut" Heeei! Ayahku pernah beritahu kepadaku
bahwa mengimpikan istana adalah berdosa. Menyimpan barang pustaka mendatangkan
bencana kelihatannya perkataan ini sedikitpun tidak salah."
Tidak tertahan lagi Coe Koen San tertawa terbahak-bahak.
"Haaa" haa" kita orang dari kalangan persilatan selamanya memandang harta
kekayaan seperti kotoran saja. Bilamana barang yang disimpan nona Gak adalah emas
atau permata jangan dikata loohu tidak akan datang untuk merebut sekalipun para jago
kalangan hitam dari perkumpulan Sin Hong Pang pun tidak akan mengikuti terus jejak
kalian datang begitu kencang dan bernafsunya."
Mendadak serentetan suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati memotong
pembicaraannya yang belum selesai seorang lelaki berbaju hijau sudah tertembus dadanya
oleh tusukan pedang Gak Siauw-cha dan jatuh terjungkal ke dalam jurang.
"Bilamana bukan emas intan. Lalu bencanakah itu?" Tanya Siauw Ling kemudian.
"Benda pusaka ini sangat tinggi bahkan merupakan satu benda yang harganya melebihi
sebuah kota." "Sebenarnya barang apa toh?" desak Siauw Ling tidak sabaran lagi.
"Cing Kong Ci Yau!" jawab Coe Koen San tegas (Cing Kong Ci Yau adalah anak kunci


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istana terlarang). "Cing Kong Yau" Cing Kong Yau?" seru Siauw Ling berulang kali dengan
gamblangnya. "Tidak salah!" sahut Coe Koen San membenarkan. "Cing Kong Ci Yau adalah sebuah
benda pusaka yang diingini oleh setiap jagoan Bulim."
"Sebetulnya apa guna anak kunci istana terlarang itu toh?"
Tua dan muda dua orang ini semakin bercakap-cakap semakin intim. Ternyata setiap
pertanyaan yang diajukan oleh Siauw Ling tentu dijawab oleh Coe Koen San dengan
sejujurnya. Tampak sembari mengelus-elus jenggotnya dia menjawab, "Cing Kong Ci Yau itu
sebetulnya adalah sebuah anak kunci."
oooo0oooo "Hmm! Aku masih mengira Cing Kong Ci Yau itu adalah barang pusaka macam apa,
tidak kusangka cuma sebuah kunci saja, apanya yang aneh?"" potong Siauw Ling dengan
cepat. "Bilamana kau menginginkan sebuah kunci aku masih ada beberapa buah!
bagaimana kalau aku berikan sebuah kepadamu?""
"Haaa"haaa"haaa"haaaaa?" Mendengar perkataan yang amat lucu dari Siauw Ling
itu, Coe Koen San segera tertawa terbahak-bahak tiada hentinya.
"Walaupun Cing Kong Ci Yau itu cuma sebuah anak kunci tetapi dengan kunci itu kita
bisa membongkar suatu rahasia Bulim yang maha besar dan sudah terpendam selama
puluhan tahun lamanya. Sudah tentu anak kunci ini jauh berbeda dengan anak kunci
biasa?" "Adik Ling!" tiba-tiba terdengar suara yang merdu dari Gak Siauw-cha berkumandang
datang. "Cepatlah kemari kita akan segera berangkat."
Siauw Ling segera menengok ke arahnya, tampaklah olehnya pertempuran yang terjadi
di atas puncak itu sudah selesai. Saat ini sambil melintangkan pedangnya Gak Siauw-cha
berdiri kurang lebih satu kaki jauhnya dari tempat dia berada. Sepasang matanya melotot
lebar-lebar dan sedang memandangi dirinya tanpa berkedip, dari air mukanya jelas dia
merasa sangat kuatir sekali.
Dengan perlahan Siauw Ling segera tersenyum, tangannya dengan halus menyentil
sebentar jenggot putih dari Coe Koen San.
"Wah, enciku sudah panggil aku, kita ngomong-ngomong lagi dilain waktu saja."
sahutnya kemudian. Dia segera bangkit berdiri dan dengan langkah yang lebar berjalan menuju berhadapan
Gak Siauw-cha. Belum jauh dia berjalan mendadak Siauw Ling memutar badannya kembali dan
memandang ke arah diri Coe Joen San.
"Loopak!" sambungnya lagi. "Aku mau memberitahu akan satu hal kepada dirimu
enciku sama sekali tidak menipu kau, bibi Im benar-benar sudah mati!"
Mendadak tampaklah Gak Siauw-cha membayangkan dirinya menuju kesisi badan
Siauw Ling, lalu dengan nada kuatir tanyanya, "Adik Ling, apakah dia menganiaya dirimu?"
"tidak!" sahut Siauw Ling dengan cepat. "Kita bicara dengan sangat baik sekali."
Mendengar adik Lingnya dalam keadaan baik-baik saja Gak Siauw-cha lantas menghela
napas panjang. "Kedudukan Coe Thay hiap di dalam dunia kangouw amat tinggi bahkan selamanya
melakukan pekerjaan dengan jujur dan terus terang, dia tidak mungkin bisa malukan
seorang bocah yang tidak mengerti ilmu silat seperti kau," ujarnya. "Tetapi keadaan di
dalam Bulim amat bahaya sekali lain kali kau harus sedikit waspada dan jangan
sembarangan bicara dan berdekatan dengan orang asing yang belum kau kenal benar."
Coe Koen San yang mendengar Gak Siauw-cha mengajukan pertanyaan kepada Siauw
Ling apakah dia dapat menganiaya dari dirinya dalam hati segera merasa amat gusar.
Baru saja dia mau mengumbar hawa amarahnya, mendadak mendengar pula Gak Siauwcha
memuji dan menyanjung dirinya, hawa amarah yang semula membakar hatinya
seketika itu juga tersapu bersih.
Sambil mengelus-elus jenggotnya dia tertawa.
"Perkataan dari nona Gak sedikitpun tidak salah!" Teriaknya keras.
"Dengan nama baik dan kedudukan yang begitu tinggi dari loohu mana mungkin aku
orang mau berani menganiaya seorang bocah cilik yang begitu lucu dan lincahnya."
"Sifat orang ini periang dan kebocah-bocahan, apalagi sangat memandang tinggi gelar
kependekarannya dia tidak mungkin mau menurunkan derajatnya untuk bermusuhan
dengan aku. Ehmmm! Baiklah aku mau gunakan sifatnya yang konyol ini untuk
mengurangi seorang musuh tangguh" Pikir Gak Siauw-cha diam-diam.
Dengan hormatnya dia lantas berkata, "Locianpwee! ibuku sudah lama meninggal dan
sekarang Locianpwee tidak ingin berkelahi dengan boanpwee. Kalau begitu baiklah! Atas
kemurahan hati Locianpwee yang suka melepaskan boanpwee sekalian, disini boanpwee
mengucapkan banyak terima kasih terlebih dahulu."
Selesai berkata dia segera bungkukan badannya memberi hormat.
Coe Koen San yang berburu diomongi oleh Gak Siauw-cha dengan kata-kata ini
beberapa saat tidak berbuat apa-apa sekalipun dia sangat tidak ingin lepas tangan begitu
saja dan menggilapkan maksud hatinya untuk memperoleh anak kunci "Cing Kong Ci Yau"
itu tetapi justru saat ini dia tidak bisa banyak berbicara.
Terpaksa sambil meringis-ringis dia menyahut, "Aaaa mana-mana" nona terlalu
merendah." "Kalau begitu boanpwee sekali disini mohon pamit dahulu," sambung Gak Siauw-cha
dengan cepat kemudian sambil menggandeng tangan Siauw Ling dia mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya melayang turun dari atas puncak tebing itu.
Lama sekali Coe Koen San berdiri termangu-mangu memandang keempat sosok
bayangan yang mulai menjauh mendadak dia sadar kembali! Anak kunci Cing Kong Ci Yau
adalah sebuah benda yang amat berharga. Bagaimana boleh dia melepaskan dengan
begitu saja karena beberapa patah perkataannya" dengan cepat dia kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk mengejar.
Gak Siauw-cha yang berlari sambil menggandeng tangan Siauw Ling, berturut-turut dia
melanjutkan perjalanannya sejauh enam tujuh li setelah itu baru mulai memperlambat
langkahnya. Sewaktu menoleh ke belakang tampaklah Thio-kan serta Hoo-kun yang ada di
belakang sekalipun berusaha terus mengejar tetapi keringat dingin sudah membasahi
seluruh badannya. "Nona! kita mau kemana?" Tanya Thio-kan tiba-tiba sembari menyeka keringat yang
membasahi keningnya. "Keadaan kita pada saat ini amat berbahaya sekali kelihatannya untuk mendapat
kembali jenazah dari ibuku sukar untuk dilaksanakan demikian saja. Mulai sekarang kita
harus berjuang utnuk menerjang keluar dari tempat-tempat berbahaya ini kemudian
menuju kelembah Jen Yen Kuk."
Mendadak dia merasa dirinya sudah keterlanjur berbicara dengan cepat dia menutup
mulutnya kembali dan matanya mulai berkeliaran memandang kesekeliling tempat itu.
"Tidak bisa jadi" tidak bisa jadi?" Bantah Hoo-kun yang berdiri di samping.
"Bagaimana mungkin jenazah dari ibu majikan kita tidak kita urus" Sekalipun harus
mengorbankan jiwa kita harus melindungi juga jenazah dari ibu majikan sampai di tempat
tujuan." "Hal itu tidak mungkin kita jalankan," sahut Gak Siauw-cha gelengkan kepalanya.
"Pertama, seluruh perhatian pihak musuh sudah ditujukan kepada kita. Kedua, tempat
itu sangat aman, sekarang yang penting bagaimana kita harus berbuat untuk meloloskan
diri dari tempat berbahaya ini."
"Kecerdasan dari nona sangat hebat dan melebihi kita semua, apa yang nona ucapkan
sudah tentu tidak bisa salah lagi," sambung Thio-kan menurut.
Gak Siauw-cha segera mengenali dulu arah yang dituju ke arah Barat daya. Perjalannya
kali ini sengaja dia mencari jalan-jalan kecil yang sukar untuk dilalui dan sunyi guna
melindungi jejak mereka. Demikianlah walaupun mereka berempat sudah melakukan
perjalanan selama setengah harian lamanya tetapi tak tampak juga munculnya musuh
yang menghadang jalan. Sang surya mulai condong ke arah Barat sinar yang kemas-emasan dengan hangatnya
yang penuh dengan salju nan putih, di tengah pegunungan yang amat sunyi mendadak
berkumandang datang suara suitan panjang yang amat nyaring.
Mendengar datangnya suara suitan itu Gak Siauw-cha segera menghentikan
perjalanannya dan bersembunyi di bawah sebuah dinding tebing yang amat besar.
"Cepat kita bersembunyi!" serunya dengan nada yang amat lirih. "Kelihatannya
pengaruh musuh amat luas dan seluruh pegunungan ini sudah disebari anak buahnya
ditambah lagi dari pihak perkumpulan Sin Hong Pang ada burung merpati yang menjadi
mata-mata kelihatannya untuk melakukan perjalanan disiang hari sambil menghindari
pengamatan musuh bukanlah satu pekerjaan yang gampang terpaksa kita harus
menunggu sampai hari menjadi gelap baru melanjutkan kembali perjalanan kita."
"Perkataan nona sedikitpun tidak salah" sahut Thio-kan membenarkan.
Dia segera mengambil keluar rangsum yang dibawa kemudian dibagi-bagikan kepada
semua orang. Diantara beberapa orang yang melakukan perjalanan siang malam terus menerus ini
kecuali Gak Siauw-cha yang tenaga dalamnya sudah mencapai pada taraf kesempurnaan
sehingga tidak terasa begitu lelah. Thio-kan serta Hoo-kun kini merasa betul-betul amat
capai dan membutuhkan istirahat yang cukup.
Sekalipun walaupun selama ini Siauw Ling setengah digendong oleh Gak Siauw-cha
tetapi hawa dingin laksana tusukan pedang membuat badannya jadi hampir kaku
dibuatnya. Terhadap diri Siauw Ling jelas kelihatan Gak Siauw-cha menaruh rasa yang luar biasa
setelah berhenti berjalan dengan cepat dia memerintahkan diri Siauw Ling untuk
menjalankan semedinya bahkan tidak sayang-sayangnya menyalurkan hawa murninya
sendiri untuk membantu dia melancarkan jalannya aliran darah badannya.
Suara suitan panjang yang berkumandang diseluruh pegunungan semakin lama
semakin menjauh jelas pihak musuh sudah memutar kejalan yang lain.
Siauw Ling yang memperoleh bantuan tenaga murni dari Gak Siauw-cha , aliran darah
dibadannya kini sudah lancar kembali.
Tidak selang seberapa lama badannya yang semula kaki kini terasa menjadi hangat
kembali dia segera menarik napas panjang-panjang.
"Cici! Apakah Cing Kong Ci Yau itu benar-benar ada dibadanmu?" tanyanya mendadak.
Gak Siauw-cha jadi melengak, tapi sebentar dia sudah gelengkan kepalanya.
"Tidak!" sahutnya sambutnya tertawa. "Kau masih merasa kedinginan?"
"Sekarang sudah tidak merasa dingin lagi!" seru Siauw Ling sembari mengerakgerakkan
tangannya. "Heeei, selama puluhan tahun ini banyak sekali jagoan Bulim yang
datang mencari anak kunci Cing Kong Ci Yau itu, karena di atas kunci Cing Kong Ci Yau ini
sudah tersimpan satu rahasia yang maha besar."
"Cici, dapatkah kau menceritakan kisah ini?"" tanya Siauw Ling tertarik.
Dengan perlahan Gak Siauw-cha menghela napas panjang kemudian mengangguk.
"Ini bukan cerita, tetapi merupakan satu kejadian yang betul-betul telah terjadi,"
ujarnya dengan perlahan. "Banyak sekali kaum jago yang sudah terseret di dalam kancah
pergaulan yang maha dahsyat ini, bahkan sampai Siauw Lim, Butong, Go bie serta Hoa
san empat partai besarpun ikut terseret di dalam peristiwa ini."
Dengan perlahan dia angkat kepalanya memandang ke atas puncak gunung di tempat
kejauhan, lalu dengan perlahan sambungnya, "Tahun berapa kejadian ini berlangsung aku
sudah agak lupa, tapi kira-kira pada empat puluh tahun yang lalu! waktu itu adalah saatsaat
santarnya jago-jago berbakat alam pada bermunculan dan sering sekali terjadi
perebutan nama di dalam dunia kangouw sampai akhirnya muncullah sepuluh orang aneh
yang memiliki kepandaian silat dahsyat ini ada seorang bukan saja memiliki kepandaian
silat yang sempurna bahkan mengerti pula ilmu bangunan."
"Dikarenakan bakat kesepuluh orang aneh ini amat bagus memiliki kepandaian silat
yang berbeda pula bahkan semuanya sudah mencapai pada taraf kesempurnaan, dengan
sendirinya tidak luput pula dari perebutan nama diantara mereka sendiri."
"Karena persoalan itulah maka mereka lantas menetapkan setiap tiga tahun sekali
mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa menang siapa kalah berturut-turut
delapan belas tahun berlalu dengan seluruhnya mengadakan enam kali pertempuran tetapi
tidak berhasil juga untuk menemukan siapa yang lebih jagoan."
Siauw Ling yang sedang mendengar kisahnya sampai ramai-ramai mendadak melihat
Gak Siauw-cha menutup mulutnya kembali dalam hati jadi cemas, Gak Siauw-cha tertawa
sedih, sambungnya kemudian, "Mereka yang sudah mengalami pertandingan selama
delapan belas tahun tanpa memperoleh hasil dalam hati masing-masing segera
mengetahui kalau kepandaian silat mereka adalah imbang."
Mendadak dia menutup mulutnya dan pasang telinga memperhatikan sesuatu, sebentar
kemudian dia sudah meloncat bangun.
"Ada orang datang" serunya cepat-cepat.
Baru saja dia selesai berbicara mendadak terdengarlah suara gonggongan anjing yang
amat santar berkumandang datang disusul munculnya dua ekor anjing hitam yang tinggi
badannya melebihi manusia.
Dengan gesitnya Gak Siauw-cha melepaskan pedang lemas yang dililitkan di
pinggangnya siap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Kedua ekor anjing hitam itu sewaktu berada beberapa kali kaki dari antara beberapa
orang itu mendadak menghentikan langkahnya disusul munculnya suara tertawa terbahakbahak
dari belakang sang anjing hitam tersebut.
Seorang lelaki berwajah bulat, pendek dan gemuk dengan pakaian berwarna hijau
munculkan dirinya disana, orang itu bukan lain adalah Loo toa dari Tiong Cho Jie Ku, si
Siepoa emas Sang Pat adanya.
Melihat munculnya orang itu alis yang lentik dari Gak Siauw-cha segera dikerutkan
rapat-rapat, belum sempat dia mengucapkan sesuatu Sang Pat itu manusia cebol sudah
keburu merangkap tangannya memberi hormat.
"Haa, haa, aku sedang mencari-cari diri nona tidak kusangka nona sudah ada disini!"
serunya melucu. Thio-kan serta Hoo-kun yang melihat munculnya Sang Pat diam-diam merasa gusar
pula mencabut keluar goloknya mereka pencarkan diri siap-siap turun tangan.
"Buat apa kau datang kemari mencari diriku?"" tanya Gak Siauw-cha dengan dingin.
Sekali lagi si sie emas Sang Pat tertawa terbahak-bahak.
"Kami sebagai pedagang sudah tentu hendak membicarakan soal dagangan dengan
nona," sahutnya sambil tertawa haha hihi.
"Maksud baikmu aku terima saja dihati. Aku lihat lebih baik perdagangan ini tidak usah
dibicarakan lagi." "Cayhe selamanya tidak pernah melepaskan barang dagangan yang sudah aku penuhi,"
ujar Sang Pat lagi sambil tertawa. "Jadi?"
"Bagaimana?" seru Gak Siauw-cha dengan wajah yang berubah hebat, "Kau ingin turun
tangan menggunakan kekerasan?"
"Oo, tidak, tidak!" sahut Sang Pat dengan gugup sembari berulang kali goyangkan
tangannya, "Orang yang berdagang selamanya mengutamakan kepercayaan, nama baik
yang sudah kami pupuk selama puluhan tahun lamanya bagaimana berani cayhe
hancurkan di dalam sekejap" Bilamana kami menggunakan cara-cara kekerasan bukankah
sama saja dengan merusak nama baik dari Tiong Cho Siang-ku?""
"Jikalau demikian adanya silahkan kau orang berlalu saja. Aku tidak akan
membicarakan soal dagangan itu lagi."
Si Siepoa emas Sang Pat lantas mendehem beberapa kali.
"Cayhe cuma mau sampaikan dua tiga patah kata saja," ujarnya lagi. "Menurut apa
yang cayhe ketahui, kecuali perkumpulan Sin Hong Pang para jago-jago dari daerah
sekitar Kang Lam Siauw Ling pay, Bu-tong-pay sudah kirim jago-jagonya datang kemari.
Jika ditinjau dari keadaan ini orang-orang yang datang bukannya semakin berkurang
malah sebaliknya bertambah. Uang pokok daganganku inipun semakin lama semakin besar
bilamana nona tidak mau menerima dagangan ini mungkin lain kali akan merasa
menyesal." "Sayang aku tidak mau menerima dagangan itu," potong Gak Siauw-cha sambil tertawa
dingin. Sang Pat segera tertawa terbahak-bahak.
"Kami orang-orang dari kaum pedagang lamanya tidak memaksa orang untuk
melakukan jual belinya, kalau begitu cayhe mohon diri dulu."
Segera dia bertepuk tangan memberi tanda buat kedua ekor anjing hitamnya diantara
suara gonggongan yang keras dia segera melayang pergi mengikuti dari belakang kedua
ekor anjing hitamnya. Hanya di dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
berbekas. Gak Siauw-cha memandang hingga bayangan tubuh dari si Siepoa emas dari
pandangan, setelah itu baru gumamnya seorang diri, "Tiong Cho Siauw Jie memiliki
sepasang anjing yang pandai mencari jejak kelihatannya untuk melepaskan diri dari
pengejaran mereka bukanlah satu pekerjaan yang mudah."
"Nona tidak usah kuatir walaupun sifat Tiong Cho Siang-ku amat ku koay asalkan nona
tidak menerima dagangannya mereka berdua tidak akan menggunakan kekerasan"."
hibur Thio-kan dengan perlahan.
"Jika ditinjau dari keadaannya jelas mereka mudah mengandung maksud pasti
memperoleh benda itu sekalipun mereka tidak akan menggunakan cara kekerasan tetapi
dengan menggunakan sepasang anjingnya yang dapat mencari jejak kita mereka bisa
menunjukkan tempat kita kepada pihak musuh agar orang lain turun tangan mendesak
kita di dalam keadaan terdesak dia menginginkan agar kita mau terima jual beli yang dia
tawarkan." "Perkataan ini sedikitpun tidak salah?" Sahut Thio-kan tidak terasa, karena tidak
memperoleh kata-kata untuk menghibur terpaksa dia menutup mulutnya kembali.
Dengan perlahan Siauw Ling berjalan keluar dari balik batu cadas itu.
"Cici!" serunya. "Apakah orang-orang yang terus menerus mengejar kita inipun punya
maksud untuk merebut anak kunci Cing Kong Ci Yau itu?"
"Bocah cilik kau tahu apa. Jangan banyak ikut campur di dalam urusan ini," jawab Gak
Siauw-cha dengan gusar. Siauw Ling yang melihat dia menjawab dengan nada gusar tidak terasa lagi sudah
dibuat tertegun.

Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cici, kau jangan marah lain kali aku tidak akan tanya lagi," ujarnya dengan cepat.
Dengan perlahan Gak Siauw-cha menoleh memandang ke arahnya, terlihatlah
wajahnya yang halus menarik itu sudah membengkak tertiup angin dingin. Walaupun air
muka mulai mengucur keluar dari matanya tapi senyuman tetap menghiasi bibirnya tak
kuasa lagi rasa sayangnya muncul kembali dihatinya.
Dengan perlahan dia menarik tangan Siauw Ling untuk didekatkan dengan badannya
sendiri, lalu ujarnya dengan halus, "Adik Ling hati cicimu saat ini lagi kusut.
Perkataankupun rada kasar, harap kau jangan memikirkan dihati."
"Aku tahu, lain kali aku tidak akan banyak bicara lagi."
Sekali lagi Gak Siauw-cha menghela napas panjang.
"Dimanakah kunci Cing Kong Ci Yau itu pada saat ini, encimu pun tidak tahu," katanya.
Agaknya Siauw Ling mau menanyakan sesuatu, tetapi baru saja bibirnya sedikit
bergerak dia sudah membatalkan kembali maksudnya.
Gak Siauw-cha bisa merasa apa yang hendak dia tanyakan, ia lantas tersenyum.
"Ada kemungkinan memang berada dibadan ibuku, tetapi encimu masih tidak begitu
jelas" tambahnya kemudian.
"Eeeehmmm" orang-orang itu sungguh jahat sekali, tanpa bertanya lebih jelas lagi
mereka sudah menuduh anak kunci Cing Kong Ci Yau itu cuma ada di tangan cici."
Gak Siauw-cha cuma tersenyum tidak memberi komentar apa-apa.
"Mari kita berangkat?" ujarnya kemudian.
Dengan langkah yang lebar dia segera melanjutkan perjalanan sembari menggandeng
tangan Siauw Ling. Saat ini dia tahu untuk menghindarkan diri dari pengamatan pihak musuh bukanlah
suatu pekerjaan yang gampang dari pada harus bersembunyi terus menerus lebih baik
melanjutkan perjalanan dengan busungkan dada.
Beberapa ekor burung merpati kembali menyangkar di atas kepala mereka kemudian
terbang menjauh. Thio-kan serta Hoo-kun dengan gugup dongakkan kepalanya sambil menuding-nuding
tetapi Gak Siauw-cha pura-pura tidak melihat, dengan tangannya dia melanjutkan
perjalanannya ke depan. Setelah melewati dua buah puncak gunung, terlihatlah di tengah jalan gunung tiba-tiba
muncul kembali tiga orang lelaki berpakaian singsat dengan mencekal senjata tajam
berdiri sejajar menghalangi perjalanan mereka.
Gak Siauw-cha pura-pura tidak melihat, setelah melepas tangan Siauw Ling dia berjalan
menyambut mereka. "Menyingkir!" Bentaknya dengan dingin.
Ketiga orang lelaki berpakaian singsat yang melihat dia orang berjalan dengan begitu
tenang tanpa memandang sekejappun ke arah mereka, bahkan mendekati mereka tanpa
mencabut keluar senjata tajamnya dalam hati diam-diam merasa amat kagum sekali.
"Sungguh besar nyali bocah perempuan ini," pikirnya dalam hati mereka.
Begitu mendengar suara bentakan yang amat nyaring itu tanpa terasa lagi mereka
sudah pada menyingkir kesamping.
Tetapi sebentar saja mereka sudah sadar kembali, tiga bilah golok bersama-sama
dipalangkan ke depan menghalangi perjalanan dari Gak Siauw-cha.
Gak Siauw-cha yang lagi jengkel nafsu membunuh sudah meliputi dihatinya, sepasang
tangannya segera diayunkan ke depan menyambitkan dua genggam jarum emas ke arah
mereka. Ketiga lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Gak Siauw-cha turun tangan secara
begitu cepat diantara berkelebatnya sinar keemas-emasan masing-masing orang sudah
kena terhajar beberapa batang jarum emas itu.
Gak Siauw-cha tidak berhenti sampai disitu saja, bagaikan angin cepatnya kembali dia
melancarkan terdengar kilat menotok jalan darah ketiga orang itu sehingga senjata tajam
yang ada ditangannya terpental lepas jatuh kesamping jalan.
"Adik Ling," ujarnya kemudian sambil menoleh ke belakang. "Cepat kemari kita harus
cepat-cepat melakukan perjalanan!"
Siauw Ling yang melihat encinya di dalam sekejap mata berhasil merubuhkan tiga
orang musuh dalam hati benar-benar merasa teramat kagum.
"Heeei" entah sampai kapan aku baru berhasil memiliki kepandaian silat seperti apa
yang dimiliki enci Gak sekarang ini?" pikirnya.
Sang surya sudah lenyap dibalik gunung malampun mulai menjelang datang.
Siauw Ling di dalam gandengan Gak Siauw-cha melakukan perjalanan dengan amat
cepatnya melalui jalan raya yang telah ditutupi oleh salju.
Entah beberapa lama mereka berjalan, sang rembulanpun sudah menerangi seluruh
jagat dari tengah awang-awang.
Di tengah tiupan angin malam yang dingin baik Thio-kan maupun Hoo-kun sembari
berlari tiada hentinya menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Setelah mengitari sebuah kaki gunung, pemandangan yang ditemuipun sudah berubah.
Di tengah suara mengalirnya air selokan dihadapan mereka terbentanglah sebuah
lembah yang amat luas dengan pohon Siong tumbuh sejajar di samping jalan, hawa dingin
mulai mengurang bahkan membawa rasa hangat yang samar-samar itu dengan
panjangnya. Mendadak" dari balik sebuah pohon Siong yang tinggi besar berkumandang keluar
suara pujian kepada Buddha yang amat nyaring disusul munculnya seorang hweesio
berjubah berwarna keabu-abuan. Pada tangan kanannya mencekal sebuah toya sedang
pada tangan kirinya disilangkan ke depan dada.
"Li sicu yang baru datang apakah benar Gak Im Kauw?" tanyanya sembari
membungkukkan badannya menjura.
"Loo suhu ada urusan apa" Gak Im Kauw adalah sebutan ibuku!" jawab Gak Siauw-cha.
Si hweesio gede itu lantas tersenyum.
" Pinceng jarang sekali berkecimpung di dalam dunia kangouw sehingga tidak kenal
dengan nona, cara nona suka memaafkan kesalahan dari pinceng itu," katanya.
"Tiong Cho Siang-ku merupakan jagoan yang punya nama besar di dalam Bulim" Pikir
Gak Siauw-cha diam-diam. "Mereka tidak akan menipu diriku munculnya hweesio ini
secara tiba-tiba tentunya disebabkan oleh karena kunci Cing Kong Ci Yau itu pula."
Segera ujarnya, "cuma urusan kecil tidak perlu diingat-ingat di tengah malam buta
begini toa suhu menghalangi perjalanan kami entah punya maksud apa"
"Omitohud!" Seru hweesio itu memuji keagungan Buddha. "Pinceng adalah Ci Kuang
dari kuil Siauw Lim si di atas gunung Siong tan kali ini sengaja datang untuk bertemu
muka dengan ibumu." "Ibuku sudah menuju kealam baka bilamana Toa suhu ada urusan sampaikan saja
padaku." "Omitohud! kedatangan pinceng sungguh tidak mujur!" seru Ci Kuang Thaysu perlahan.
Mendadak dia dongakkan kepalanya memandang sekejap ke arah diri Gak Siauw-cha,
lantas tambahnya, "Soal anak kunci Cing Kong Ci Yau yang disimpan ibumu semasa
hidupnya tentu li sicu mengetahunya bukan?""
"Tidak tahu!" Ci Kuang Thaysu jadi melengak.
"Anak kunci Cing Kong Ci Yau itu ada sangkut pautnya yang amat besar sekali dengan
kuil kami bilamana li sicu sengaja menyimpannya pinceng rasa hal itu tidak ada
kegunaannya," katanya.
"Nama kuil Siauw Lim si sudah amat terkenal dan dihormati oleh semua jago Bulim,
apakah Toa suhu mau mengandalkan akan hal itu untuk memaksa diriku?" Tanya Gak
Siauw-cha jengkel. Ci Kuang Thaysu yang disemprot tajam seketika itu juga dibuat bungkam diam-diam
pikirnya dihati, "Perkataan dari bocah perempuan ini sedikitpun tidak salah, di dalam kuil
Siauw Lim si aku termasuk di dalam salah satu dari delapan jago pelindung ruangan "Tat
Mo" bagaimana aku boleh bisa berkelahi dengan seorang bocah cilik seperti dia" Apalagi
anak kunci Cing Kong Ci Yau itupun belum tentu ada ditangannya bilamana aku memaksa
juga bukankah itu amat berdosa?"
Karena berpikir akan hal ini, lama sekali dia termenung tidak bisa mengucapkan katakata.
Semasa ibunya msih hidup Gak Siauw-cha sering sekali mendengar persoalan yang
menyangkut dunia kangouw kalau bicara tentang Siauw Lim pay ini diapun mengetahui
sedikit-sedikit. Dia tahu sekalipun selama dua ratus tahun ini dari pihak Siauw Lim pay berkali-kali
mengalami kemunduran sehingga namanya hampir-hampir merosot tetapi pada masa
mendekati ini jago-jagonya mulai bermunculan kembali. Pengaruh serta kedudukan yang
semula mulai lenyap itupun sekarang mulai berdiri kembali. Golongan ini bukankah satu
partai yang mudah diganggu.
Karena hal itulah selama ini Gak Siauw-cha selalu saja berusaha untuk menghindarkan
diri dari bentrokan dengan hweesio Siauw Lim pay.
Lewat beberapa saat kemudian Cing Thaysu baru berkata lagi.
"Dengan usia pula loolap yang sudah lanjut bilamana harus menggunakan ilmu silat
untuk paksa kau menyerahkan anak kunci Cing Kong Ci Yau itu, ini memang rada
keterlaluan, tetapi anak kunci Cing Kong Ci Yau itu merupakan barang yang dicari oleh
partai kami apalagi kali ini pinceng datang dengan membawa perintah khusus bilamana
hanya dikarenakan seberapa patah kata dari li sicu ini saja pinceng harus mundur,
bagaimana nantinya pinceng harus bertanggung jawab dihadapan Ciangbunjien."
"Lalu sekarang kau mau apa?"" tantang Gak Siauw-cha dengan hati mendongkol.
"Peristiwa matinya ibumu belum pernah tersiar di dalam Bulim, pinceng cuma ingin
melihat sebentar jenazah dari ibumu?"
"Apa kau kira aku sengaja mengharapkan ibuku cepat mati?" sambung Gak Siauw-cha
semakin mendongkol. "Sekalipun ibumu benar-benar sudah mati, pinceng harap nona suka menghantar diriku
untuk melihatnya sebentar."
"Jenazah ibuku sudah dikubur apalagi antara lelaki dan perempuan ada batasnya maaf
aku orang tidak dapat menerima permintaanmu itu."
Dengan perlahan Ci Kuang Thaysu menghela napas panjang.
"Peraturan dari kuil Siauw Lim si kami amat ketat, sekalipun perkataan yang li sicu
ucapkan merupakan kata-kata yang beralasan tetapi pinceng tidak berani mengambil
keputusan sendiri?" katanya.
"Lalu kau mau apa?" sambung Gak Siauw-cha dengan cepat.
"Harap li sicu suka mengikuti pinceng pergi sebentar ke gunung Siong san."
"Bilamana aku tidak mau?""
Dengan perlahan Ci Kuang Thaysu mundur dua langkah ke belakang kemudian
melintangkan toyanya di depan dada.
"Terpaksa pinceng harus menjajal kepandaian silat yang dimiliki li sicu, bilamana li sicu
berhasil menangkan permainan toya dari pinceng, maka aku segera akan kembali kekuil
untuk menerima hukuman."
Gak Siauw-cha yang melihat keadaan tidak bisa diajak damai diapun tidak ingin
berdiam lama-lama lagi, pedang lemasnya segera digetarkan ke depan.
"Toa suhu merupakan seorang pendeta beribadat tinggi perkataan yang sudah
diucapkan jangan dimungkiri lagi loo!" ujarnya.
"Orang beribadat selamanya tidak pernah membohong. Bilamana li sicu benar-benar
bisa menangkan permainan toya dari pinceng ini, pinceng pasti tidak akan mengganggu
dirimu lagi." "Kalau begitu aku terima perintah saja, toa suhu silahkan terima serangan."
Pedangnya dengan menggunakan jurus "To Ping Han Ye" atau mencekal gagang
membabat rembulan menusuk dengan dahsyatnya ke depan.
Dia orang yang kepingin cepat0cepat melanjutkan perjalanan begitu turun tangan
segera menyerang dengan menggunakan jurus-jurus serangan yang paling dahsyat.
Dengan gesitnya Ci Kuang Thaysu menyilangkan toyanya menangkis datangnya
serangan pedang itu, tetapi dia tidak melancarkan serangan balasan.
Gak Siauw-cha tahu dia bermaksud untuk mengalah beberapa jurus kepadanya dalam
hati lantas pikirnya, "Ehmmm" partai Siauw Lim jauh lebih jujur kelihatannya dari pada
jago-jago lainnya di Bulim."
Pedang ditangannya dengan cepat dibabat ke depan dengan menggunakan jurus-jurus
serangan yang lebih aneh, berturut-turut dia melancarkan tiga serangan sekaligus.
Kembali Ci Kuang Thaysu menggerakkan toyanya menangkis datangnya tiga serangan
berantai itu, diam-diam dalam hati dia merasa terperanjat juga melihat kelihayan dari
musuhnya. "Kelihatan ilmu pedang dari keluarga Gak bukanlah nama kosong belaka, usia bocah
perempuan ini masih kecil tetapi sudah memperoleh seluruh kepandaian keturunannya,
aku tidak boleh memandang rendah dirinya," pikirnya.
Toyanya dengan disertai angin serangan yang amat tajam segera balas melancarkan
serangannya ke depan. Kekuatan tangannya sungguh mengejutkan sekali, toya yang sebesar telur ayam di
dalam permainannya segera membawa serta angin serangan yang menderu-deru.
Sejak dilahirkan Siauw Ling belum pernah melihat permainan toya yang demikian
hebatnya. Dalam hati dia merasa amat terperanjat, dia merasa amat kuatir atas
keselamatan diri Gak Siauw-cha.
Tampak mereka berdua semakin bertempur semakin seru semakin lama semakin
mendebarkan, pedang lemas di tangan Gak Siauw-cha diputar bagaikan angin tetapi
selama ini tidak berhasil juga meloloskan diri dari kurungan bayangan toya dari hweesio
itu. Siauw Ling yang melihat jalannya pertempuran itu lama kelamaan merasakan matanya
mulai kabur. Dia cuma bisa melihat berputarnya bayangan toya diselingi menyambarnya
sinar keperak-perakan yang menyilaukan mata, untuk membedakan kedua sosok
bayangan itu mana si hweesio mana enci Gak nya dia sudah tidak sanggup lagi.
Sekonyong-konyong" suara bentakan yang amat nyaring bergema memenuhi angkasa.
Siauw Ling yang ada di samping segera merasakan hatinya tergetar amat keras.
"Aduh, celaka!" teriaknya sembari memejamkan mata rapat-rapat.
Di dalam anggapannya Gak Siauw-cha tentu sudah menderita luka di bawah serangan
toya hweesio tua itu. Terdengar suara yang nyaring dan merdu kembali berkumandang datang.
"Toa suhu terima kasih atas petunjukmu."
Dengan perlahan Siauw Ling membuka matanya kembali, terlihatlah mereka berdua
masih baik-baik saja berdiri di bawah sorotan sinar rembulan dan kini pertempuran pun
sudah berhenti. Dalam hati dia mulai merasa ragu-ragu dan bingung, dia tidak tahu siapa yang sudah
kalah. Ci Kuang Thaysu segera menarik kembali toyanya dan menyingkir kesamping.
"Ilmu pedang dari keluarga Gak sungguh dahsyat sekali. Li sicu silahkan berangkat!"
katanya. Gak Siauw-cha lantas menjura kemudian sambil menggandeng tangannya Siauw
Ling dia melanjutkan kembali perjalanannya dengan langkah lebar.
Thio-kan serta Hoo-kun pun dengan cepat mengikuti dari belakang Gak Siauw-cha
meninggalkan itu tempat dengan terburu-buru.
Perkataan dari Ci Kuang Thaysu ternyata bisa dipercaya, dengan angkernya dia berlari
disana memandang beberapa orang itu berlalu.
Lewat beberapa saat kemudian Siauw Ling tidak bisa menahan sabar lagi, tanyanya
dengan suara yang lirih, "Cici, kau menang?"
"Ehmm" kepandaian silat dari hweesio tua itu sungguh lihay sekali encimu mujur
berhasil menangkan satu jurus darinya."
"Aku lagi merasa kuatir cici tidak berhasil menangkan dirinya. Siapa tahu cici bisa
menang dengan begitu cepat" kata Siauw Ling sambil tertawa terbahak-bahak.
"walaupun dia sudah menderita kekalahan satu jurus dariku tetapi sama sekali tidak
terluka, bilamana dia tidak mengaku kalah dan meneruskan pertempuran itu, dengan
tenaga dalam yang begitu sempurna darinya lama kelamaan aku bisa menemui kekalahan
juga." Soal ilmu silat Siauw Ling tidak beberapa mengerti, karenanya dia cuma mendengarkan
saja tanpa banyak komentar.
Beberapa orang itu kembali melanjutkan perjalanannya keluar dari lembah sempit itu.
Sinar rembulan mulai bergeser ke arah Barat waktupun menunjukkan lewat tengah
malam. Sembari memandang ke arah sinar rembulan tidak terasa lagi Gak Siauw-cha menghela
napas panjang, diam-diam pikirnya, "Heeei" musuh tangguh yang mengejar datang amat
banyak sekali bilamana aku harus menerjang dan membunuh terus menerus entah harus
sampai kapan baru bisa berhenti."
Tiba-tiba, suara tertawa tergelak yang amat keras bergema datang memtuskan
lamunannya di bawah tebing mulut lembah itu mendadak muncul tujuh, delapan orang.
Kiranya beberapa orang itu mengeluarkan sedikit suarapun sudah duduk menanti di
bawah remang-remangnya cuaca walaupun Gak Siauw-cha memiliki ketajaman mata yang
melebihi orang tetapi karena kurang berhati-hati maka dia tidak sampai menemukan diri
mereka. Siauw Ling yang melihat secara tiba-tiba muncul kembali musuh dalam jumlah yang
begitu banyak dalam hati segera berpikir, "Sebenarnya enci Gak bisa melakukan
perjalanan melalui puncak yang berbahaya, tetapi karena membawa aku dia terpaksa
harus melakukan perjalanan melalui tempat ini. Aku tidak boleh menyusahkan dirinya lagi,
biarlah cici Gak meloloskan dirinya terlebih dahulu."
"Cici, kalian pergilah dulu, jangan urusi aku lagi."
"Apakah kau merasa sakit?"?" tanya Gak Siauw-cha dengan sedih.
"Aku sama sekali tidak takut, aku cuma tidak ingin menyusahkan cici lagi."
"Adik Ling, kau tidak usah banyak pikir yang benar encilah yang sudah menyusahkan
dirimu," ujar Gak Siauw-cha tertawa.
Tangan kirinya segera menyambar menggandeng diri Siauw Ling sedang tangan
kanannya menggerakkan pedangnya menerjang ke arah musuh-musuhnya.
Thio-kan serta Hoo-kun pun bersama mencabut keluar senjata tajamnya kemudian dari
samping kanan dan samping kiri Gak Siauw-cha bersama-sama menerjang ke depan.
Angin serangan dari Gak Siauw-cha berkelebat bagaikan angin taupan, jurus serangan
yang dilancarkanpun amat panas di dalam sekejap saja dia sudah berhasil melukai dua
orang.

Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Ling yang berada di dalam pelikan Gak Siauw-cha. Hidungnya lantas menangkap
bau harum yang amat aneh sekali membuat hati kecilnya berdebar-debar keras, tetapi dia
tidak mau perduli akan hal itu matanya dengan amat tajam memperlihatkan hawa pedang
yang berkelebat di sekeliling tubuhnya diselingi bayangan golok laksana salju.
Di tengah pertempuran yang amat sengit itulah mendadak Gak Siauw-cha membentak
keras. Pedang panjangnya tiba-tiba dibacok ke depan.
Suara jeritan yang mengerikan segera bergema memenuhi angkasa, kembali seorang
musuh terkena tusukannya sehingga rubuh binasa di atas tanah.
Beberapa orang lelaki penghalang jalan yang lain sewaktu melihat Gak Siauw-cha amat
gagah dan ganas dalam hati merasa amat terperanjat, walaupun mereka bermaksud untuk
mengundurkan diri tetapi ketika teringat akan siksaan yang bakal diterima oleh bilamana
membangkang perintah membuat orang-orang tidak berani melaksanakan niatnya
tersebut. Begitu seorang kawannya rubuh ke atas tanah kembali ada orang lainnya yang maju
menerjang. Gak Siauw-cha melancarkan serangannya semakin ganas lagi. Pedang lemas
ditangannya seketika itu juga berubah jadi bunga-bunga pedang yang amat banyak.
Dari antara delapan orang pengahalang jalan itu kini sudah ada lima orang yang rubuh
terkena tusukan pedang. Tetapi sisanya tiga orang bukannya jadi jera sebaliknya malah
menyerang semakin ngotot lagi.
Walaupun tiga orang itu melancarkan serangan dengan tanpa memikirkan keselamatan
sendiri tetapi mereka sudah tidak ada tenaga untuk menghalangi Gak Siauw-cha lebih
lama mereka benar-benar terdesak kesamping oleh sampokan bunga-bunga pedang yang
bercampur salju itu. Gak Siauw-cha yang melihat darah sudah berceceran di atas tanah dan mayat mulai
bergelimpangan agaknya tidak bermaksud membunuh lebih banyak lagi. Pinggangnya
mendadak ditekuk pergelangan tangannya dikebaskan bersamaan waktunya dia
menggunakan jurus "Liong Hat It Su" menerjang dari dalam kalangan.
Thio-kan serta Hoo-kun pun tidak mau membuang waktu dengan percuma, golok serta
senjata Pan Koan Pitnya segera dibabat ke depan dengan dahsyatnya kemudian dengan
mengikuti dari belakang tubuh Gak Siauw-cha menerjang keluar dari kepungan.
Siauw Ling yang berda dalam gendongan Gak Siauw-cha cuma merasakan angin
kencang menderu-deru di samping telinganya, hanya di dalam sekejap saja mereka sudah
mengitari dua buah puncak gunung.
Akhirnya Gak Siauw-cha berhenti juga berlari. Sambil menurunkan Siauw Ling yang ada
di dalam pelukannya dia menghela napas panjang.
"Pertempuran sengit yang bakal terjadi mempengaruhi keselamatan kita selanjutnya,"
ujarnya perlahan. "Adik Ling! kau lahir di tengah keluarga kaya, aku rasa menghadapi
urusan ini tentunya kau merasa terkejut sekali bukan?""
Siauw Ling dengan perlahan mengusap keringat yang membasahi kepalanya, dia
menjawab, "Jikalau dibicarakan pada saat ini hal itu memang rada menakutkan tetapi
sewaktu aku melihat kegagahan dan kelihayan dari ilmu pedang cici, rasa takut yang
mencekam hatiku seketika itu juga lenyap tak berbekas."
"Bilamana kita berhasil melewati tempat ini dengan selamat aku lihat lebih baik untuk
sementara waktu kita mencari sebuah tempat yang tenang untuk berdiam selama setahun
terlebih dulu," ujar Gak Siauw-cha sambil tertawa pedih. "Menanti tenaga Khie kang dari
adik Ling sudah mempunyai dasar yang baik, aku mau hantar kau pulang dan berkumpul
kembali dengan orang tuamu."
"Tidak, aku tidak mau pulang" potong Siauw Ling sembari gelengkan kepalanya
berulang kali. "Kau tak suka pulang kerumah?""
"Aku mau ikut cici berkelana keseluruh penjuru dunia, aku mau iktu cici menaiki gunung
serta tebing yang paling tinggi, melihat awan yang melayang diangkasa, melihat
munculnya sang surya dari tengah samudra melihat ganasnya angin taupan di tengah
gurun pasir." "Mana mungkin hal ini bisa terjadi kau?"
"Tidak mengapa!" potong Siauw Ling dengan cepat. "Menanti sesudah aku berhasil
meraih ilmu silatku, aku bisa ikut cici pergi kesana kemari waktu itu aku tidak usah minta
cici untuk menggendong aku lagi?"
Serentetan suara suitan yang tinggi melengking kembali berkumandang datang
memusatkan pembicaraan Siauw Ling yang belum habis dibicarakan.
Air muka Gak Siauw-cha segera berubah sangat hebat.
"Adik Ling!" serunya dengan cemas. "Ada orang yang mengejar datang lagi mari aku
gendong kau saja." "Tidak bisa" tidak bisa, bilamana enci harus menggendong aku lagi bukankah hal ini
sangat merepotkan diri cici saja!"
Mendadak Gak Siauw-cha melancarkan serangannya menotok jalan darah tidur dari
Siauw Ling kemudian melepaskan handuk untuk mengikat badannya di atas punggung.
Di dalam sekejap saja musuh-musuh tangguh sudah berdatangan. Gak Siauw-cha
lantas mengobat abitkan pedang panjangnya.
"Siapa yang berani menghalangi aku mati!" bentaknya dengan nyaring.
Tanpa banyak cakap lagi dia lantas memimpin terlebih dulu di depan untuk menerjang
ke arah musuh-musuhnya. Siauw Ling yang perkataannya belum selesai diucapkan mendadak ditotok jalan
darahnya oleh Gak Siauw-cha segera merasakan badannya jadi kaku kemudian jatuh tidak
sadarkan diri. Menanti dia jadi sadar kembali, dia menemukan dirinya berada di tengah sebuah
lembah gunung yang amat sunyi. Sang surya kembali sudah condong ke arah sebelah
barat malam haripun mulai menjelang di depan mata.
"Adik Ling, apa kau sudah bangun?"" tiba-tiba terdengar suara yang amat halus dari
Gak Siauw-cha berkumandang datang.
Dengan hati yang tergetar amat keras Siauw Ling segera menoleh ke arahnya.
Tampak Gak Siauw-cha bersandar di atas sebuah batu gunung yang besar. Wajahnya
kelihatan amat lelah sekali tubuhnya penuh dengan noda-noda darah sedang rambutnya
awut-awutan tidak karuan. Air mukanya pucat sekali bagaikan mayat, setelah tersenyum
ke arah Siauw Ling dia lantas menutup kembali matanya.
Sewaktu melihat pula ke arah diri Thio-kan tampaklah tubuhnya rebah di atas tanah
dengan berlumuran darah, tangannya sudah terpotong sebelah dan saat ini sudah
memejamkan matanya rapat-rapat sambil mencekal goloknya dengan tangan yang lain
agaknya dia sudah tertidur pulas.
Hoo-kun pun duduk di samping kawannya, dia kelihatan amat lelah dan kini bersandar
di atas batu. Sekalipun belum tertidur benar-benar tetapi sudah lelap sukar membuka
matanya kembali. Pemandangan yang terbentang dihadapan mata Siauw Ling pada saat ini benar-benar
mengenaskan sekali" Siauw Ling segera terasa hatinya seperti disayat-sayat. Dia sama sekali tidak mengerti
apa yang terjadi, dia cuma teringat kemarin malam dia masih berbicara dengan Gak
Siauw-cha kemudian kedatangan musuh dia masih ingat dirinya ditotok rubuh, setelah itu
dia sama sekali tidak tahu lagi dia jatuh tidak sadarkan diri.
Ketika menoleh kembali kesamping terlihatlah Gak Siauw-cha sudah tertidur dengan
nyeyaknya. Kiranya sejak semula Gak Siauw-cha sudah merasa kelelahan sehingga sukar ditahan
tetapi dikarenakan dia masih kuatir akan diri Siauw Ling yang belum sadar juga dari
pulasnya, walaupun jalan darah yang tertotok sudah dibebaskan maka dengan paksakan
diri dia menanti terus, menanti aliran darah Siauw Ling sudah lancar sekali dia membuka
matanya dia lalu tersenyum dan memejamkan matanya untuk tidur.
Lama sekali Siauw Ling duduk termenung di atas tanah setelah itu dengan perlahan dia
baru bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah Thio-kan.
Walaupun saat ini Hoo-kun amat lelah sekali tetapi dikarenakan selalu memikirkan
keselamatan dari Thio-kan membuat dia orang tidak bisa beristirahat dengan nyenyak.
Baru saja Siauw Ling tiba di samping dada Thio-kan mendadak Hoo-kun sudah merasa.
"Siapa?"?" Bentaknya dengan keras.
Tangan kanannya dengan kecepatan luar biasa melancarkan satu cengkraman ke
depan bersamaan pula dia membuka matanya lebar-lebar.
Walaupun dia bisa melihat orang yang datang adalah Siauw Ling tetapi dikarenakan
serangan yang dilancarkan terlalu cepat untuk ditarik kembali sudah tidak sempat lagi.
Siauw Ling segera kena dicekal tangannya sehingga badannya tidak kuasa lagi jatuh
terjungkal di atas tanah.
Walaupun Hoo-kun tidak sempat menarik kembali serangannya tetapi dia berusaha pula
untuk menolong diri Siauw Ling tangan kirinya dengan cepat disambar ke depan menahan
badan Siauw Ling yang hendak menubruk ke arah batu cadas.
"Oooooh kiranya kongcu, apa kau merasa kaget?"" tanyanya dengan menyesal.
Jilid 6 "Aku sangat baik," jawab Siauw Ling sembari menyeka keringat yang mengucur di atas
kepalanya. "Heeei"! bilamana kongcu menjadi kaget hamba tentu akan menerima makian dari
nona." Siauw Ling lantas menoleh memandang sekejap ke arah diri Thio-kan.
"Paman Thio ini kenapa" Apakah lukanya amat berat?" tanyanya.
"Lengannya kena dibacok hingga putus. Bilamana bukannya nona cepat-cepat memberi
pil mujarab yang dibawa untuk menghentikan darah mungkin dia sudah menemui
ajalnya." Sekali lagi Siauw Ling menghela napas panjang.
"Orang yang menderita luka begitu berat harus menderita pula di tengah pegunungan
itu sunyi tanpa memperoleh perawatan yang benar, hal ini sungguh merupakan satu
peristiwa yang mengerikan sekali."
"Kongcu yang lahir dan dibesarkan di dalam keluarga kaya mana mengerti akan
kehidupan di dalam dunia kangouw?" ujar Hoo-kun sambil menghela napas panjang pula.
"Jangan dikata kehilangan sebuah lengan, sekalipun kehilangan sepasang kaki bilamana
ada waktu tentu melanjutkan perjalanan dengan menggunakan sepasang tangan."
"Aaah, peristiwa semacam itu sungguh menyedihkan sekali."
"Kongcu yang tertidur dipunggung nona sudah tentu tidak mengetahui bagaimana
hebatnya pertempuran yang sudah terjadi tadi. Sampai cayhe sendiripun yang sudah
separuh umurku berkelana di Bulim juga baru menemui satu kali pertempuran yang begitu
dahsyatnya," seru Hoo-kun, mendadak dia pukul kakinya sendiri dan sambungnya,
"Walaupun pertempuran ini amat seru dan bahaya sekali tetapi boleh dikata merupakan
satu pengalaman yang benar-benar berharga. Nona dengan mengandalkan sebilah
pedangnya yang amat tajam berturut-turut menerjang hancur dua puluh delapan buah
penghalang dan melukai empat puluh orang musuh dia orang yang menggendong kongcu
dan bertempur pula terus menerus tanpa berhenti sungguh merupakan seorang jagoan
yang memiliki daya tahan yang benar-benar luar biasa."
"Heeei" semuanya adalah disebabkan aku yang sudah melelahkan diri cici," ujar Siauw
Ling dengan nada kesal. Hoo-kun yang sudah bercerita sampai titik kegembiraan segera melanjutkan kembali
kisahnya. "Untung sekali jalan darah kongcu sudah ditotok oleh nona, bilamana kau harus melihat
sendiri pertempuran berdarah yang berlangsung selama satu malaman itu mungkin saking
ketakutannya kau akan terkencing-kencing."
"Kalian berdua yang membantu enci Gak menghadapi musuh dan berhasil membantu
dia meloloskan diri dari bahaya boleh dikata jasamu amat besar sekali," sambung Siauw
Ling segera. "Sungguh menyesal sekali, bukan saja kami tidak berhasil membantu nona bahkan
malah merepotkan dirinya saja yang harus pecahkan perhatian untuk membantu kami
sewaktu ibu majikan kami masih hidup dengan kemashuran dari ilmu pedang keluarga Gak
kami jarang sekali ada orang dari kalangan Hek to maupun dari kalangan Pek to yang
mengganggu kami di bawah lindungan nama besar dari ibu majikan belum pernah kami
menemui pertempuran tang begitu mengejutkannya."
"Kongcu, terus terang saja pertempuran darah yang berlangsung tadi itu merupakan
pengalaman pertama bagiku sejak terjunkan diri ke dalam Bulim. Nona Gak dengan
mencekal pedang dan menerjang musuh selama semalaman bahkan berhasil menghajar
tubuh pula berpuluh-puluh orang jago bilamana berita ini lain hari tersiar di dalam Bulim
nama nona tentu akan segera membumbung tinggi."
Dia menoleh ke arah Gak Siauw-cha yang tertidur nyenyak di samping batu, kemudian
dengan sedihnya menghela napas panjang.
"Heeei, karena pertempuran yang amat sengit inilah nona Gak jadi kecapaian, sekalipun
seorang yang terbuat dari bajapun tidak mungkin bisa menahan penderitaan semacam
ini." Mendadak Siauw Ling mengerutkan alisnya rapat-rapat, lalu serunya, "Enci Gak sudah
kehilangan ibunya yang tercinta. Kenapa orang-orang itu masih terus-terusan mengejar
dia. Hmmm! Aku harus cepat-cepat berlatih ilmu silat sehingga bisa membantu enci Gak
untuk mengusir musuh-musuhnya."
Selesai berkata dia segera duduk bersila dan pejamkan matanya untuk mulai mengatur
pernapasan. Melihat sikap serta tindak tanduk yang aneh dari Siauw Ling itu tidak terasa Hoo-kun
tersenyum geli. "Kongcu!" ujarnya. "Ilmu silat bukannya bisa berhasil dilatih hanya di dalam satu hari
atau satu bulan saja, buta apa kau begitu cemas?""
"Hoa Toa siok! Apakah kita sudah lolos dari bahaya maut?"" tanya Siauw Ling secara
tiba-tiba sambil membuka matanya lebar-lebar.
"Kongcu!" seru Hoo-kun dengan cemas. "Kau tidak boleh panggil aku dengan sebutan
itu. Lain kali bilamana ada urusan panggil saja aku dengan sebutan Hoo-kun?"
Dia berhenti sebentar untuk tukar napas lalu baru sambungnya, "Orang-orang yang
menghalangi perjalanan kita kali ini boleh dikata termasuk juga para jago dari kalangan
Hak to serta kalangan Pek to, baik dari kalangan lurus maupun dari kalangan jahat pada
berkumpul jadi satu untuk bekerja sama. Aku lihay walaupun kita menghindarkan diri ke
ujung langitpun tidak bakal bisa lolos dari kejaran mereka."
"Saat ini kekuatan dari cici Gak belum pulih, Thio-kan pun baru saja menderita luka.
Bilamana ada orang lagi yang datang mencari gara-gara entah siapa yang bisa menahan
serangan mereka?"" kata Siauw Ling tiba-tiba.
"Jika dilihat dari sikap nona agaknya dia sudah punya perhitungan dalam hatinya. Saat
ini terpaksa kita harus menunggu setelah kesehatan nona pulih kembali dan luka Thio-kan
sembuh baru mengambil perhitungan."
Baru saja dia selesai bicara mendadak terdengar suara tertawa yang amat dingin sekali
berkumandang datang dari ujung tebing muncullah dua orang lelaki berbaju hitam yang
berjalan mendatang dengan langkah yang perlahan, wajah mereka dingin kaku dan
menyeramkan sekali, perawakan badan tinggi kurus seperti gala.
Hoo-kun jadi amat terperanjat, dengan cepat dia menyambar senjata Koan Pitnya dan
melintangkan badannya di tengah jalan.
"Berhenti!" bentaknya keras.
Suara bentakan ini amat nyaring sekali, sehingga menggetarkan seluruh lembah
tersebut. Walaupun kepandaian silat yang dimiliki Hoo-kun tidak tinggi tetapi dia orang yang
sudah lama berkelana di dalam Bulim membuat pengalamannya amat luas, sewaktu
dilihatnya orang yang datang itu sikapnya amat tenang dan langkahnya mantap, dia
segera mengerti kalau kepandaian silat yang dimiliki dua orang itu amat tinggi, karena itu
mengerti dirinya bukan tandingannya.
Maka dia ingin menggunakan suara bentakan suara yang keras itu untuk mengejutkan
Gak Siauw-cha. Kedua orang berbaju hitam itu saling berpandangan sekejap kemudian
bersama-sama menghentikan langkahnya dan memandang ke arah Hoo-kun dengan
dingin. Ketika Hoo-kun menoleh ke belakang dan melihat ke arah Gak Siauw-cha masih tertidur
dengan amat nyenyaknya sedangkan Siauw Ling saat ini sudah bangkit berdiri dan
berjalan mendatangi, tidak terasa dalam hati merasa amat cemas sekali.
Tetapi pada saat dan keadaan seperti ini dia tidak dapat memperlihatkan rasa cemas
dan kuatirnya dengan cepat dia membentangkan sepasang Pitnya siap-siap menghadapi
serangan musuh. "Saudara berdua berasal dari golongan mana!" teriaknya kembali.
"Sin Hong Pang!" sahut orang berbaju hitam yang ada disebelah kiri dengan suara yang
amat dingin. Dari nada suaranya jelas kedengaran amat kaku dan tawar, sama sekali tidak mirip
suara manusia. Hoo-kun merasakan hatinya sedikit bergidik cepat-cepat tanya lagi, "Saudara-saudara
dari Sin Hong Pang, aku sih sering mendengar orang membicarakannya tetapi entah
siapakah nama besar dari kalian berdua?"
Dia yang merasa urusan terlalu tegang bukanlah bisa dihadapi dengan menggunakan
tenaga sendiri terpaksa berusaha keras untuk mengulur waktu lebih lama lagi dia
mengharapkan Gak Siauw-cha bisa sadar kembali dari pulasnya karena itu setiap
perkataan yang diucapkan amat nyaring sekali.
Walaupun air muka kedua orang berbaju hitam itu amat kaku dingin dan menyeramkan
tetapi agaknya tidak sering berkelana di dalam Bulim terhadap maksud hati dari Hoo-kun
ini ternyata mereka sama sekali tidak merasa.
Terdengar si lelaki berbaju hitam yang ada di samping kiri menyahut dengan suara
yang amat dingin. "Dua panglima pembuka jalan dari Sin Hong Pang, Tat Pan atau sipanglima Cuo Hwee."
"Cayhe adalah Yen Hun atau sisukma sial Hong Heng."
"Ooooh kalian berdua sungguh mirip sekali dengan sebutan!" seru Hoo-kun.
"Kami datang kemari untuk melaksanakan tugas tidak ada waktu yang luang bagi untuk
banyak cakap. ayo minggir!" Bentak Cuo Hwee dingin.
Tangan kirinya segera diayun mendatar menghajar badannya.
Hoo-kun yang melihat wajah kedua orang ini amat dingin dan menyeramkan tetapi


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali tidak mengerti akan siasat yang digunakan sebenarnya ingin berbicara lagi
beberapa patah kata dengan dirinya untuk mengulur waktu lebih lama siapa sangka secara
tiba-tiba pihak musuh sudah turun tangan menghajar badannya.
"Di dalam keadaan yang tergesa-gesa senjata Pan Kuan Pitnya segera diputar menotok
jalan darah dipergelangan tangan Cuo Hwee.
Siapa sangka gerakan tangan dari sipanglima baja Cuo Hwee amat aneh dan cepat
sekali gesitnya dia menarik kembali telapak kaki kirinya disusul telapak kanannya didorong
ke depan menghajar pergelangan tangan kanan dari Hoo-kun, seketika itu juga senjata
Pan Koan Pit yang ada ditangannya terpental jatuh menubruk batu cadas.
Hoo-kun yang lagi lelah sejak semula sudah mengerti kalau dirinya bukanlah tandingan
dari pihak musuh, tetapi dia sama sekali tidak menyangka hanya di dalam sekejap saja
senjata Pan Koan Pit yang ada di tangan kanannya sudah terpental dalam hati dia terasa
amat terperanjat sekali. Senjata Pan Koan Pit yang ada di tangan kiranya dengan menggunakan jurus "Hua Hun
Im Yang atau menggores atau memisahkan Im dan Yang" dengan nekadnya segera
ditusuk ke depan, sedangkan mulutnya berteriak keras.
"Nona cepat bangun?"
Sisukma sial Hong Heng yang berdiri disebelah mendadak miringkan badannya dan
berkelebat dari samping badan Hoo-kun menerjang ke arah diri Gak Siauw-cha.
Siauw Ling yang melihat kejadian itu dalam hati merasa amat cemas sekali.
"Jangan lukai enci Gak-ku!" bentaknya dengan keras, sedang tangannya segera
mencakar tangannya Hong Heng.
Hong Heng tertawa dingin, tangannya bagaikan sambaran kilat cepatnya dibalik ke
atas. Siauw Ling segera merasakan pergelangan tangannya amat sakit sekali seperti dipukul
dengan tongkat besi saking sakitnya membuat seluruh tubuh tergetar kemudian terpental
jatuh kesamping. Gak Siauw-cha dengan tenangnya masih tetap duduk di atas tanah, agaknya dia sama
sekali tidak mendengar adanya suara bentakan serta teriakan keras itu.
Dengan menahan rasa sakit ditangannya Siauw Ling segera bangkit berdiri lagi disertai
suara jeritan yang amat tinggi untuk kedua kalinya dia menubruk ke arah diri Hoo Heng.
Gerakan dari Hoo Heng yang menubruk ke depan dilakukan amat cepat sekali. Siauw
Ling hanya melihat tangan kanan dari Hoo Heng yang menyambar ke depan sudah hampir
mendekati batok kepala dari Gak Siauw-cha tetapi saat itu sang nona masih belum sadar
juga. Saking cemasnya tidak kuasa lagi dia menjerit dan menangis.
"Oooh" cici"!" teriaknya.
Tetapi belum sempat jari tangan Hong Heng mencapai batok kepalanya mendadak dia
mendengus berat, sedang tubuhnya berturut-turut mundur beberapa depa ke belakang.
Sambil menggerakkan pedangnya mendadak Gak Siauw-cha bangun berdiri diantara
berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata dia sudah melancarkan serangan gencar
menggencet musuhnya. Kiranya sejak tadi dia sudah disadarkan oleh suara bentakan yang keras dari Hoo-kun,
sewaktu dia membuka matanya dan dapat melihat musuh yang sudah ada di depannya
memiliki kepandaian silat yang amat tinggi.
Dengan keadaan badan seperti ini dia merasa dirinya sukar untuk memperoleh
kemenangan karenanya dia pura-pura tidur terus, dia ingin menggunakan kesempatan
sewaktu musuh tidak siap sedia melancarkan serangan bokongan dengan menggunakan
jarum-jarum emas yang secara diam-diam sudah dipersiapkan itu.
Hoo Heng yang diganggu oleh suara bentakan dari Hoo-kun serta Siauw Ling sudah
tentu tidak melihat akan gerak-gerik Gak Siauw-cha yang mengambil keluar senjata
rahasia. Tenaga dalam Gak Siauw-cha sudah dilatih hingga mencapai taraf kesempurnaan, dia
orang yang sudah beristirahat sebentar semangatnya pada saat iktu sudah pulih sebagian
kini begitu dia melancarkan serangannya maka jurus serangan yang dilancarkanpun
merupakan serangan yang mematikan.
Hoo Heng sama sekali tidak menduga akan hal ini. Apalagi jaraknya cuma beberapa
depa saja dengan dirinya. Diantara berkelebatnya sinar keemas-emasan sepasang lutut,
denagn serta beberapa buah jalan darahnya sudah kena hajar oleh datangnya serangan
jarum emas tersebut. Kepandaian silat orang ini sungguh luar biasa sekali, walaupun beberapa buah jalan
darahnya sudah terhajar oleh jarum emas tetapi tubuhnya tidak sampai rubuh ke atas
tanah. Setelah menarik hawa murninya panjang-panjang tubuhnya segera meloncat
mundur beberapa depa jauhnya.
Hong Heng yang jalan darahnya terhajar oleh jarum emas dengan sendirinya untuk
menyalurkan tenaga dalamnyapun rasa terganggu, begitu ujung kakinya mencapai
permukaan tanah tubuhnya dengan terhuyung kembali mundur beberapa langkah,
hampir-hampir dia jatuh terjungkang.
Kini melihat sinar pedang Gak Siauw-cha dengan ganasnya menyerang ke arahnya
sehingga sukar untuk dihindari dalam hati merasa amat cemas bercampur gusar.
Ketika dia melihat Siauw Ling yang ada di sampingnya sedang menubruk ke arahnya
dengan cepat lengannya bergerak kesamping dan mencengkram tubuhnya lalu digunakan
sebagai senjata untuk menangkis datangnya serangan pedang dari Gak Siauw-cha.
Melihat kejadian itu Gak Siauw-cha lantas menjerit kaget pergelangan tangannya
dengan cepat ditarik ke belakang membatalkan serangannya.
Sifat kejam dari sisukma sial Hong Heng kembali muncul memenuhi seluruh benaknya
dia segera mengangkat badan Siauw Ling dan siap dibanting ke atas batu cadas yang
amat besar. "Jangan dibanting!" tiba-tiba berkumandang datang suara seseorang yang membentak
dengan keras. Di tengah suara bentakan itu tampaklah sesosok bayangan berkelebat datang
mencengkeram sepasang pergelangan tangan dari Hong Heng.
Orang yang baru saja datang ini mempunyai wajah yang bulat, berbadan pendek dan
gemuk perutnya yang besar menonjol keluar dari antara pakaiannya yang berwarna hijau,
orang itu bukan lain adalah Loo toa dari Tiong Cho Siang-ku, si Siepoa emas Sang Pat
adanya. Lima jari tangan Sang Pat sekalipun dengan amat kencangnya mencengkeram
sepasang pergelangan tangan dari Hong Heng tetapi dia tidak bermaksud merebut Siauw
Ling yang masih ada ditangannya, sebaliknya sambil tertawa terbahak-bahak menoleh ke
arah diri Gak Siauw-cha. "Haaa" haa" orang hidup kok dimana-mana terus ketemu. Nona Gak bagaimana"
baik-baik bukan! haa" haa" sekali lagi kita bertemu muka?"
Saat ini dengan mengandalakan senjata Pan Koan Pitnya yang tinggal sebuah dengan
sekuat tenaga Hoo-kun melancarkan serangannya menahan diri sipanglima baja Cuo
Hwee. Tetapi baru saja lewat tiga empat jurus jalan darah "Ci Ti Hiat" dilengan kirinya kembali
kena ditabok oleh jurus Hwee Kuang Huan Cau dari Cuo Hwee sehingga senjata Pit yang
ada di tangan kirinya itupun terpukul lepas. Disusul tubuh Cuo Hwee mendesak satu
langkah ke depan siap menabok jalan darah "Cian Leng" di atas ubun-ubun Hoo-kun.
Hoo-kun yang kekuatannya belum pulih benar kini harus menghadapi musuh tangguh
pula sejak semula tenaganya sudah habis digunakan ditambah lagi pergelangan tangan
serta sikut kirinya berhasil dilukai oleh pihak lawan membuat pukulan dari Cuo Hwee yang
amat cepat ini sukar baginya untuk menghindari lagi.
Mendadak sebuah tendangan berkelebat datang mengejar tiga dari Cuo Hwee.
Datangnya tendangan itu amat cepat dan tidak menimbulkan sedikit suarapun
membuat semua orang merasa amat terkejut.
Cuo Hwee terburu-buru melancarkan satu pukulan dengan menggunakan telapak
kanannya sedang badannya menyingkir kesamping satu langkah, sewaktu dia menoleh ke
belakang tampaklah seorang lelaki dengan perawakan tinggi kurus memakai baju biru dan
topi bulunya menutupi hampir separuh wajahnya sudah berdiri dengan dinginnya kurang
lebih tiga depa dari tempat dimana dia berdiri.
"Siapa kau?"?" bentaknya sambil tertawa dingin.
Hoo-kun yang belum selang lama pernah bertemu dengan orang itu sudah tentu masih
ingat kalau dia orang bukan lain adalah "Leng Thiat Pit Tu Kiu" salah satu anggota dari
Tiong Cho Siang-ku. Tetapi dia orang bukankah berdiri sebagai musuh dengan pihaknya.
Bagaimana secara tiba-tiba bisa turun tangan memberi pertolongan.
Terdengar dengan suara yang amat dingin Tu Kiu sudah memberikan jawabannya,
"Cayhe adalah seorang pedagang yang suka berterus terang dan tidak pernah merugikan
orang lain bilamana dagangan kami kali ini tidak berhasil juga cayhe berdua segera akan
berlalu dari sini. Urusan selanjutnya boleh kalian lakukan semuanya."
Suaranya amat dingin dan tawar tetapi nadanya ramah.
Cuo Hwee yang pengalamannya tidak luas tentu sudah tidak kenal dengan Tiong Cho
Siang-ku ini mendengar perkataan tersebut dengan gusarnya dia membentak keras,
telapak tangannya dengan disertai desiran angin pukulan yang amat tajam segera
menyambar ke arah depan. Terlihatnya hanya sedikit Tu Kiu menggoyangkan pundaknya dia sudah bergeser tiga
empat depa jauhnya. "Kaum pedagang cuma gemar mencari keuntungan saja, soal berkelahi heee, hee,
cayhe tidak punya minat" sahutnya cepat.
Untuk sesaat lamanya Cuo Hwee tidak mengerti tentang apa yang dimaksud oleh
perkataannya itu dengan gusarnya dia segera membentak, "Buat apa kau banyak omong?"
Telapak tangannya kembali dibabat ke depan dengan amat dahsyatnya.
Sekali lagi Tu Kiu meloncat kesamping untuk menghindarkan diri dari serangan itu.
"Cayhe sudah bilang selamanya aku paling tidak suka berkelahi!" serunya dengan
keras. "Bilamana kami turun tangan maka harus ada keuntungan buat imbalannya.
Bilamana kau mau berkelahi tunggu saja sebentar."
Walaupun Cuo Hwee jarang sekali berkelana seorang diri di dalam dunia kangouw
sehingga pengalaman yang didapat amat cetek, tetapi dari cara menghindar yang baru
diperhatikan orang itu dia bisa tahu kalau kepandaian silat orang itu tidak lemah
karenanya dia tidak berani berlaku terlalu gegabah lagi diam-diam tenaga murninya mulai
disalurkan untuk siap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika dia menoleh ke belakang tampaklah Hong Heng sedang mengangkat seorang
bocah cilik tetapi sepasang urat nadi pada tangannya sudah dicengkeram oleh seorang
yang gemuk pendek sehingga tidak bisa bergerak dalam hati diam merasa terkejut
bercampur gusar. Di tengah suara bentakannya yang amat keras tubuhnya segera menubruk ke arahnya.
Tetapi kembali pandangannya jadi kabur Tu Kiu yang semula berdiri kurang lebih satu kaki
dari dirinya mendadak kembali sudah menghalangi perjalanannya Cuo Hwee yang sedang
menerjang ke depan sama sekali tidak menyangka akan kedatangan Tu Kiu yang
mendadak itu, tidak bisa terhindar lagi tubuh mereka berdua sehingga terbentur satu
sama lainnya. Tu Kiu masih tetap berdiri tidak bergerak sebaliknya tubuh Cuo Hwee terpental mundur
satu langkah ke belakang oleh tubrukan tersebut tidak terasa lagi dalam hati merasa
bergidik. Dia tahu saat ini sudah menemui musuh tangguh untuk memperoleh kemenangan
agaknya bukanlah satu pekerjaan yang gampang.
Terdengar Tu Kiu tertawa terbahak-bahak dengan amat kerasnya.
"Haaa" haaa" nona Gak" serunya.
"Selamat berjumpa kembali" selamat bertemu bagaimana?" dagangan kita ini mau
dibicarakan kembali atau tidak" Bilamana jadi maka tanggung kedua belah pihak tidak
bakal memperoleh kerugian tetapi bila nona menolak" haaahaaa" kami kaum pedagang
terpaksa cuma bisa menonton keramaian saja dari samping."
Gak Siauw-cha sembari melintangkan pedangnya diam-diam mengerahkan hawa
murninya siap-siap menghadapi sesuatu lama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
Melihat Gak Siauw-cha tidak mengucapkan sepatah katapun Tu Kiu lantas mengerutkan
alisnya rapat-rapat. "Selama puluhan tahun cayhe melakukan perdagangan walaupun belum bisa dikatakan
selama mencapai sukses tapi selamanya belum pernah menemui orang yang sukar diajak
berdagang seperti nona ini!" serunya kesal.
Sewaktu dilihatnya Gak Siauw-cha bermaksud untuk berbicara dia cepat-cepat
menyambung kembali, "Asalkan cayhe melepaskan sepasang tangannku ini maka nyawa
kecil dari saudara ini akan terbanting mati?"
Sehabis berkata dia mundur satu langkah ke belakang. Agaknya dia bermaksud untuk
melepaskan tangannya. Gak Siauw-cha tidak bisa menahan sabar lagi dia segera membentak keras, "Kau tolong
dulu nyawa adikku itu setelah itu kita baru membicarakan soal dagangan antara kita!"
teriaknya. "Haa" haa tidak bisa, tidak bisa," ujar Sang Pat sembari tertawa terbahak-bahak.
"Bilamana cayhe tidak mencekal baik-baik kesempatan ini jika nanti nona Gak mungkir
bukankah dagangan dari cayhe ini akan menderita kerugian yang amat besar!"
"Heeeei" cepat katakan kau mau membicarakan soal dagangan apa?" seru Gak Siauwcha
kemudian sambil menghela napas panjang dengan sedihnya.
"Haaa" haaa" bagus, bagus sekali! Asalkan nona Gak bersungguh-sungguh untuk
melakukan jual beli ini cayhe tanggung nona pasti tidak akan menemui kerugian."
"Adikku ini tidak mengerti ilmu silat dia sudah lama sekali dicengkeram orang mungkin
sebentar lagi dia bakal tidak tahan, baiklah aku kabulkan permintaanmu itu, sekarang
cepat tolong dulu nyawa adikku itu!"
"oooouw" jangan keburu! jangan keburu!" ujar Sang Pat lagi sembari tertawa tergelak.
"Sebelum perdagangan ini kita bicarakan baik-baik kalian berdua semuanya adalah
langgananku." Mendengar perkataan tersebut Gak Siauw-cha lantas merasakan hatinya bergidik.
"Hmmm! tidak kusangka Tiong Cho Siang-ku yang namanya sudah terkenal diseluruh
Bulim tidak lebih merupakan manusia-manusia rendah?" serunya dengan dingin.
Sang Pat sama sekali tidak menjadi marah akan makian itu dia malah tertawa semakin
keras. "Orang-orang Bulim ada siapa yang tidak kenal dengan kami Tiong Cho Siang-ku?"?"
ujarnya. "Selamanya kami cuma kenal akan keuntungan tanpa mengenal orangnya,
asalkan perdagangan kita berhasil maka menggunakan cara yang bagaimanapun pasti
akan kami lakukan." Gak Siauw-cha benar-benar terdesak dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi terpaksa
dengan sedihnya menghela napas panjang.
"Kau bicaralah, kalian menginginkan apa?" tanyanya kesal.
"Sebetulnya tidak perlu cayhe katakan di dalam hati tentunya nona sudah mengerti,"
sela Tu Kiu dari samping. "Bukankah sebegitu banyaknya jago-jago Bulim pada mencari
nona hanya dikarenakan kunci Cing Kong Ci Yau itu" jika ditinjau dari situasi ini cayhe rasa
kalian tidak mungkin berhasil melindungi anak kunci Cing Kong Ci Yau itu lebih lama lagi.
Heeee" heee" dari pada terjatuh ketangan orang lain lebih baik kita saling tukar menukar
saja." "Tetapi aku sama sekali tidak mengetahui dimana anak kunci Cing Kong Ci Yau itu
berada?"" Teriak Gak Siauw-cha dengan lemas.
Sepasang biji mata dari Sang Pat berputar-putar sebentar, lalu tertawa tergelak dengan
kerasnya. "Cayhe sebagai pedagang selamanya tidak pernah mungkir, asalkan nona suka
menerima dagangan ini maka kita akan anggap dagangan ini berhasil."
"Aku sungguh-sungguh tidak tahu dimana anak kunci Cing Kong Ci Yau itu?" seru Gak
Siauw-cha lagi. "Tidak mengapa!" timbrung Sang Pat kemudian. "Bilamana anak kunci Cing Kong Ci
Yau itu betul-betul tiada di tangan nona maka kami akan menanggung kerugian ini, cuma
saja" hee" harap nona suka menuliskan secara bukti buat cayhe dengan demikian kami
bisa berbicara dengan ibumu dikemudian hari."
"Baiklah! Aku terima permintaanmu!" jawab Gak Siauw-cha akhirnya dengan sedih.
"Tu Lao jie!" teriak si Siepoa emas Sang Pat kemudian dengan keras.
"Perdagangan kita dengan nona Gak sudah berhasil."
Di tengah suara bentakan yang keras mendadak dia menyalurkan tenaga dalamnya ke
arah tangan sedang kaki kanannya bagaikan kilat cepatnya melancarkan satu tendangan
ke arah depan. Suara dengusan berat segera bergema memenuhi angkasa. Tubuh Hong Heng yang
tinggi kurus itu mendadak melayang keangkasa dan terjatuh kurang lebih tujuh delapan
depa jauhnya. Siauw Ling yang semula ada di tangan kini sudah berhasil direbut kembali oleh Sang
Pat. Cuo Hwee yang secara diam sedang mengerahkan tenaga dalamnya untuk menunggu
saat yang baik menerjang ke arah Tu Kiu kini secara mendadak mendengar suara
dengusan berat berkumandang datang dari samping badannya dia cepat-cepat menoleh
kesamping. Terlihatnlah olehnya Hong Heng sudah menggeletak di atas tanah dengan sepasang
mata yang dipejamkan rapat-rapat agaknya luka yang diderita amat parah sekali.
Tanpa perduli diri Tu Kiu lagi dengan cepat dia meloncat ke depan dan menyambar
badan Hong Heng lalu melarikan diri terbirit-birit dari tempat tersebut.
"Toako," seru si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu kemudian sembari melirik sekejap ke arah
Cuo Hwee yang lagi melarikan diri terbirit-birit dari situ. " Perlukah kita tawan kembali
kedua orang bocah?" "Haaa" haaa" tidak perlu, tidak perlu!" cegah Sang Pat sambil tertawa. "Kita harus
cepat-cepat membicarakan urusan penting dengan nona Gak."
Tu Kiu lantas berjalan mendatang sedang tangannya dengan amat gesit menyambar
Hoo-kun yang ada di samping, satu pukulan yang ringan dengan amat tepatnya
menghajar jalan darah "Ming Bun Hiat" dipunggungnya.
"Kawan baik-baiklah kau beristirahat" serunya.
Setelah melepaskan kembali dari Hoo-kun dia segera berjalan kesamping badan Sang
Pat.

Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoo-kun yang jalan darah "Ming Bun Hiat" nya kena terhajar satu kali segera
merasakan peredaran darah di dalam badannya menjadi lancar kembali. Semangat yang
mulai loyo kini serentak bangun kembali.
?"?"?"?"http://ecersildejavu.wordpress.com/?"?"?"?"?"
Gak Siauw-cha yang melihat Siauw Ling berhasil lolos dari ancaman bahaya maut
dengan cepat berlari kehadapannya.
"Adik Ling, bagaimana rasamu?" tanyanya cemas.
Sewaktu Sang Pat merebut diri Siauw Ling dari tangan musuh tadi secara diam-diam
dia sudah menyalurkan hawa murninya ke dalam sang bocah sehingga boleh dikata
peredaran darah di dalam Siauw Ling saat ini sudah lancar benar-benar.
Dengan perlahan Siauw Ling membuka matanya dan memandang wajah Gak Siauw-cha
yang penuh diliputi oleh rasa kuatir itu dia tersenyum.
"Cici, kau tidak usah kuatir, aku sangat baik sekali," katanya.
Sehabis berkata dengan gagahnya dia bangkit dari dalam pelukan Gak Siauw-cha.
"Haa" haaa" untung" untung sekali adikmu itu tidak sampai terluka!" Tukas Sang Pat
tiba-tiba sambil tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh sayang benar aku tidak tahu dimana anak kunci Cing Kong Ci Yau itu
berada," ujar Gak Siauw-cha dingin. "Dan aku sendiripun belum pernah melihat bagaimana
bentuk dari benda itu, aku rasa di dalam perdagangan kita kali ini kalian berdua harus
menanggung rugi." "Cayhe sudah mengalami angin taupan berulang kali tetapi selamanya belum pernah
menderita perahu terbalik. Soal ini harap nona suka berlega hati," jawab Sang Pat
tersenyum. "Kami dua bersaudara selamanya berdagang dengan uang tunai dan selamanya belum
pernah menemui tunggakkan," sambung Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu pula dengan dingin.
"Cuma saja karena barang dagangan dari nona Gak ini terlalu besar maka untuk kali ini
kami melanggar kebiasaan tersebut, tapi kalau cuma ucapan kosong saja tidak kuat
buktinya lebih baik nona tulis secarik bukti hutang saja."
Sehabis berkata dari dalam pinggangnya dia melepaskan sebuah buntalan kecil
berwarna kuning isinya bukan lain adalah sebuah kitab tebal berwarna putih dengan alatalat
tulis menulisnya. Selama ini Leng Biat Thiat Pit Tu Kiu berdiam terus tanpa banyak buang waktu dia
segera membuka buntalan kitab hutangnya dan meletakkan pit serta tinta baknya ke
depan siap-siap menunggu Gak Siauw-cha untuk mengisinya.
Dengan pandangan tajam Sang Pat memandang diri Gak Siauw-cha beberapa saat
lamanya kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Harap nona suka memaafkan tindakan kami ini kami percaya nona Gak sebagai
seorang jagoan yang berasal dari satu perguruan terkenal tidak bakal membohongi kami,
setiap perkara serta tulisan yang nona ucapkan kami tidak akan menaruh curiga lagi."
"Tetapi aku sama sekali tidak pernah menemui anak kunci Cing Kong Ci Yau itu.
Bilamana kalian tetap tidak percaya yah apa boleh buat," ujar Gak Siauw-cha sambil
kerutkan alisnya rapat-rapat.
"Sejak tadi cayhe sudah bilang, setiap perkataan yang nona ucapkan kami
mempercayainya penuh."
"Kalau memang sudah percaya akan perkataanku. Lalu buat apa kau banyak bertanya
lagi?"?" "Para jago-jago Bulim yang pada berdatangan mengejar diri nona itu sungguh
menggelikan sekali haaaa, haaa mereka masih mengira anak kunci Cing Kong Ci Yau itu
disimpan nona?" kata Sang Pat tertawa.
"Apanya yang menggelikan. Bukankah kalianpun sama saja?"" sambung Gak Siauw-cha
mendongkol. "Sudah tentu sama sekali berbeda!" teriak Sang Pat lagi mendadak dia menarik
senyuman yang biasanya menghiasi bibirnya itu lalu tanbahnya, "Anak kunci Cing Kong Ci
Yau itu tidak berada di tangan nona tetapi disimpan oleh ibumu."
"Tetapi ibuku sudah meninggal" sambung Gak Siauw-cha dengan cepat.
"Soal inipun cayhe percaya," jawab Sang Pat sambil mengangguk dia berhenti sebentar
untuk kemudian secara tiba-tiba tertawa keras.
"Haaa, haaa, nona Gak! Asalkan kau orang suka mencatatkan nama di dalam buku
hutang kami maka perdagangan kita ini boleh dikata sudah resmi."
Si Pit besi berwajah dingin Tu Kiu yang dengan tangan kiri memegang tinta bak dau Pat
tangan kanan membawa buku hutang segera menyambung lagi dengan suara yang dingin,
"Setelah kedua orang setan pembuka jalan dari Sin Hong Pangcu itu menderita sedikit
kekalahan mereka pasti tidak akan berhenti sampai disitu saja. Sebentar lagi para jagojago
kelas satu dari Sin Hong Pang tentu akan pada berdatangan semua, saat ini waktu
berharga bagaikan emos lebih baik nona tidak usah banyak mengulur waktu lagi."
"Lalu kalian suruh aku menulis apa di dalam buku hutang yang ada ditangannya."
Senyuman ramah mulai menghiasi kembali wajah si Siepoa emas Sang Pat.
"Soal itu mudah sekali," jawabnya menyengir. "Nona tulis saja seperti apa yang cayhe
katakan." Gak Siauw-cha segera tersenyum dingin. Dengan perlahan dia mulai mengangkat
pitnya. Si Kiam Siepoa Sang Pat termenung berpikir sebentar, setelah itu baru ujarnya dengan
nyaring, "Aku Gak Siauw-cha berjanji sendiri hendak menyerahkan anak kunci Cing Kong
Ci Yau yang disimpan ibuku kepada?"
Baru saja Gak Siauw-cha mau menulis kata-kata itu ke dalam buku hutang tersebut
mendadak dia membatalkan niatnya.
"Tunggu dulu!" teriaknya.
"Ada urusan apa?"
"Bilamana aku mengikuti perkataanmu itu dan menulis kata-kata tersebut di atas buku
hutang, kalian mau membayar berapa kepada kami?"
"Soal ini pasti tidak akan merugikan diri nona selain emas murni seribu kati, kain sutera
seratus kodi, mutiara sepuluh butir ditambah lagi dengan sebilah golok pusaka yang amat
tajam bahkan bertanggung jawab pula melindungi nona serta adikmu ini meninggalkan
tempat berbahaya hingga selamat."
"Berpuluh-puluh jagoan Bulim termasuk pula para dari Siauw Lim pay serta Bu-tong-pay
tanpa sebab membuntuti terus jejakku, walaupun dunia ini lebar ada tempat mana lagi
merupakan tempat aman bagi aku Gak Siauw-cha?""
"Tenang hal ini nona tidak usah kuatir, para jago Bulim pada mengejar nona
kesemuanya dikarenakan anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut. Menanti setelah barang
itu cayhe terima dan melakukan persiapan-persiapan tentu cayhe akan mengumumkan
kepada seluruh Bulim kalau anak kunci Cing Kong Ci Yau sudah kami simpan, setelah
berita ini tersiar maka nona tidak bakal menemui kesulitan lagi."
"Bilamana kalian berdua tidak berhasil mendapatkan anak kunci Cing Kong Ci Yau itu?""
tanya Gak Siauw-cha kemudian.
"Kami bermaksud sudah mengadakan penyelidikan dengan amat jelas sekali," tukas si
Leng Bian Thiat Pu Tu Kiu dengan perlahan-lahan. "Anak kunci Cing Kong Ci Yau itu
benar-benar sudah didapatkan ibumu, kecuali nona punya maksud untuk merusak
perjanjian ini tidak mungkin benda itu bisa lolos kembali dari tangan kami."
"Barang ini menyangkut keselamatan dari partai-partai benar serta berpuluh-puluh
orang jagoan dari Bulim. Nona menyimpannya terus juga tiada ada gunanya," sambung
Sang Pat pula. Siauw Ling yang selama ini berdiam terus saat ini tidak bisa menahan sabar lagi
tukasnya, "Kalau memangnya anak kunci Cing Kong Ci Yau itu tiada gunanya, lalu buat
apa kalian terus menerus mendesak enci Gak ku untuk menyerahkannya barang itu
kepada kalian?"?"
"Saudara cilik, kami bukannya meminta tapi membayar dan memberi dengan satu
jumlah yang amat besar sekali?" jawab Sang Pat sembari melirik sekejap ke arah Siauw
Ling. "Nona Gak, waktu sudah mengijinkan lagi silahkan nona mulai menulis kata-kata itu ke
dalam buku hutang ini!" timbrung Tu Kiu secara tiba-tiba.
Mendengar perkataan tersebut Gak Siauw-cha segera melototi sekejap wajah Tu Kiu
kemudian tegurnya, "Walaupun aku adalah seorang perempuan tetapi kata-kata yang
telah aku ucapkan selamanya tidak bakal dipungkiri kembali tetapi sebelum kata-kata itu
aku tulis di dalam buku hutangmu seharusnya urusan dibikin jadi tenang dulu."
"Ooooh, sudah tentu, sudah tentu." sahut Sang Pat dengan cepat. "Nona masih ada
petunjuk apa silahkan berbicara sepuasnya cayhe tentu akan mendengarkan semua
perkataan nona dengan senang hati."
"untuk menyuruh aku tulis kata-kata itu ke dalam buku hutang sih boleh-boleh saja,
tetapi ada dua syarat yang harus kalian penuhi!"
"Syarat apa itu?"?"
"Pertama: Jika nanti setelah kalian berdua periksa pada ibuku ternyata anak kunci Cing
Kong Ci Yau tidak berada padanya hutang ini harus dianggap lunas!"
Sang Pat termenung sebentar, tetapi sesaat kemudian dia sudah mengangguk.
"Asalkan dari tengah-tengah nona tidak menyingkirkannya terlebih dulu kami akan
penuhi permintaanmu itu. Sekarang silahkan untuk mengucapkan syarat yang kedua!"
"Kedua: Anak kunci Cing Kong Ci Yau itu sebenarnya adalah barang milik ibuku yang
sudah kalian rampas?"
"Eeeeeh, eeeeeh, nanti dulu, nanti! perkataanmu salah besar" teriak Sang Pat sambil
goyangkan tangannya berulang kali. "Selama Tiong Cho Siang-ku tidak pernah merampas
maupun memaksa orang untuk melakukan jual beli ini perdagangan kita kali ini adalah
nona sendiri yang menyetujuinya."
"Tidak perduli kalian berdua mau berapa banyaknya aku sama sekali tidak bermaksud
untuk menjual anak kunci Cing Kong Ci Yau itu kepada kalian, emas murni serta mutiara
maaf aku orang tidak berani menerimanya?"
"Apakah pedang pusaka yang berusia ratusan tahun nona juga tidak menerima?"?"
"Tidak mau! Aku cuma ingin diberi hak untuk menuntut kembali benda tersebut dari
kalian!" "Soal ini mudah sekali," jawab Sang Pat sambil tertawa. "Asalkan kami berdua
bersaudara belum mati dan istana terlarang belum terbuka maka harga diri anak kunci
Cing Kong Ci Yau itu tidak bakal merosot, setiap waktu nona boleh mencari kami dua
bersaudara untuk dituntut kembali, tetapi perkataan harus kita jelaskan terlebih dulu!
Bilamana nona ingin menuntut kembali anak kunci Cing Kong Ci Yau itu maka nona harus
dapat mengalahkan terlebih dulu ilmu silat kami dua bersaudara. Waktu itu bukan saja
nona boleh meminta kembali anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut bahkan boleh
membuka harga juga untuk minta bunga selama ini kepada kami."
"Baiklah! kalau begitu kita putuskan demikian saja kepandaian silat kalian berdua
sangat tinggi sudah tentu tidak bakal kalian berdua memandang tinggi aku si perempuan
lemah." Dia segera menggerakkan pitnya mulai menulis di atas buku hutang tersebut.
"Aku Gak Siauw-cha rela menjual sebuah kunci Cing Kong Ci Yau milik ibuku?"
"Eeei, bagaimana kelanjutannya?"" tanyanya kemudian sambil berhenti menulis.
Sang Pat garu kepalanya sebentar, kemudian baru sahutnya, "Tulis saja dibawahnya:
Dijual kepada Tiong Cho Siang-ku dengan terima uang muka berupa sepuluh butir
sedangkan sisanya uang emas seribu kati, kain sutera seratus kodi dan sebilah pedang
pusaka berusia seratus tahun akan disusul setelah menerima anak kunci Cing Kong Ci Yau
tersebut." "Tidak bisa jadi!" bantah Gak Siauw-cha setelah mendengar perkataan itu. "Aku tidak
mau menerima barang-barang itu sudah tentu hal-hal yang tetek bengek itu tidak perlu
ditulis." "Ooo tidak boleh, tidak!" seru Sang Pat dengan cemas sekali. "Nona boleh tidak
menerima barang-barang itu tetapi kami berdua tidak boleh tidak harus mengeluarkannya
juga." Terpaksa Gak Siauw-cha menuliskan juga sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Sang
Pat itu. "Begitu?"?" tanyanya kemudian.
"Masih harus ditambah lagi dengan dua patah kata," sambung Sang Pat kemudian.
"Perkataantidak dipenuhi buku hutang sebagai bukti."
Terpaksa Gak Siauw-cha menulis juga kedua patah itu.
"Sudah selesai," ujarnya kemudian dengan dingin.
"Baiklah! terima kasih atas bantuan nona."
Si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu pun segera menyimpan kembali buku hutang, pit serta
tinta bak itu ke dalam bungkusannya semula.
"Setelah ada tulisan ini maka dikemudian hari cayhe bisa menuntut barang itu dari
tangan nona," katanya.
Dalam hati Gak Siauw-cha merasa amat kesal dia tidak perduli kedua orang itu lagi
sembari menggandeng tangan Siauw Ling dengan cepatnya segera berjalan menuju
kesamping sebuah batu besar dan duduk disana untuk istirahat.
Gak Siauw-cha yang masih badannya amat lemah harus melakukan pertempuran pula
saat ini badannya benar-benar terasa lemas. Begitu memejamkan matanya dia segera
tertidur ke dalam impian yang indah.
"Loo toa! Apakah kitapun harus berjaga-jaga disini?" tanya si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu
kepada toakonya Sang Pat.
"Nona Gak adalah seorang pendekar wanita sejati, apa yang sudah diucapkan tidak
bakal disesali lagi. Coba kau ambil keluar pil mujarab di dalam botol porselen itu untuk
dibagikan kepada saudara cilik dan kedua orang kawannya itu setiap orang sebutir.
Merekapun harus menggunakan kesempatan ini untuk beristirahat" kata Sang Pat sambil
tertawa. Tu Kiu segera menyahut dan mengambil keluar sebuah botol porselen kemudian
mengeluarkan tiga pil berwarna merah dan dibagikan kepada Hoo-kun serta Thio-kan.
"Kedua butir pil mujarab ini mempunyai khasiat yang luar biasa. Kau telanlah sebutir
dan yang sebutir lagi berikanlah kepada kawan yang baru saja kehilangan sebuah lengan
itu," katanya. Tanpa menanti jawaban dari Hoo-kun lagi dia sudah menyerahkan kedua butir pil
mujarab tersebut kepadanya. Setelah itu baru berjalan mendekati diri Siauw Ling.
"Saudara cilik, kaupun telanlah pil mujarab ini," ujarnya dengan dingin.
"Aku tidak mau!" jawab Siauw Ling sambil angkat kepalanya memandang sekejap ke
arah pil yang ada di tangan Tu Kiu itu.
Tiga patah kata yang diucapkan baru-baru ini amat tegas dan atos sekali.
Tu Kiu jadi melengak. "Cepat telanlah pil ini. Karena ia akan membantu menyegarkan kembali badanmu,"
ujarnya. "Tidak , aku tidak mau! Aku tidak akan menerima pemberian pilmu itu. Sekalipun diberi
burung hong atau daging naga yang bisa memperpanjang usia manusiapun aku tidak mau
akan menerimanya!" teriak Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya.
Tu Kiu segera menggoyang-goyangkan pil merah yang ada ditangannya, lalu dengan
tawar katanya lagi, "Bilamana saat ini kau tidak suka menerima pil ini maka dikemudian
hari kau bakal merasa menyesal."
"Hmm! Sekalipun setelah ditelan usiaku bisa mencapai seratus tahunpun sama saja aku
tidak mau terima cepat kau menyingkirlah dari sini."
Tu Kiu yang berulang kali ketanggor batu dalam hati merasa keki bercampur geli juga
pikirnya, "Bocah cilik ini sungguh gagah sekali nyalipun amat besar! Ehhmm" sungguh
mengagumkan." Dia tidak mau memaksa lagi pil merah itu lalu dimasukkan kembali ke dalam sakunya
dan mengundurkan diri dari sana.
Cuaca mulai menjadi gelap kembali, sang rembulan dengan memancarkan sinar
keperak-perakan jauh tergantung diawang-awang, puncak yang tinggi menjulang
memantulkan sinar putih yang menyilaukan mata, angin dingin bertiup sepoi-sepoi
menambah kesunyian yang mencekam di sekeliling tempat itu.
Setelah beristirahat cukup lama semangat dari Gak Siauw-cha pun telah pulih kembali.
Sewaktu dia membuka matanya terlihatlah Tiong Cho Siang-ku masih ada disana.
Yang satu lagi duduk bersila mengatur pernapasan sedang yang lain berdiri bersandar
di atas batu. Tidak terasa lagi dalam hati pikirannya, "Mereka adalah pendekar yang
disegani di dalam dunia kangouw, cuma sayang yang dipikirkan cuma keuntungan melulu
sehingga banyak sudah mengikat permusuhan dengan orang-orang Bulim. Heeee harta
kekayaan yang dimiliki mereka mungkin bisa menandingi kekayaan satu negara cuma
sayang yaa sayang" mereka tidak mendasarkan akan sifat kependekaran!"
Sang Pat yang sedari tadi memejamkan matanya untuk beristirahat mendadak
membuka matanya lebar-lebar lalu tertawa terbahak-bahak.
"Haaa" haa" nona Gak! Apa kau sudah bangun?"
"Hmm, kalian berdua tentu sudah lama menunggu bukan?" seru Gak Siauw-cha sambil
tertawa dingin. Dia segera jalan mendekati diri Siauw Ling terlihatlah pada saat itu dia sedang
pejamkan matanya untuk mengatur pernapasan.
Hawa dingin di tengah malam benar-benar menggigilkan badan walaupun Siauw Ling
sudah salurkan hawa murninya untuk melawan hawa dingin tersebut tetapi agaknya tidak
berhasil juga. Tampaklah dengan badan menggigil keras dia berusaha juga untuk
mnegatur pernapasan. Hal ini membuat Gak Siauw-cha yang melihatnya segera menaruh
rasa kasihan. "Adik Ling, apakah kau kedingingan?" tanyanya sambil menghela napas panjang.
Dengan perlahan Siauw Ling membuka sepasang matanya kembali dan memandang
sekejap ke arah Gak Siauw-cha.
"Aku tidak takut dingin!" sahutnya.
"Haaa" haaa" soal itu tidak perlu kuatir," ujar si Kiem Siepoa Sang Pat sambil berjalan
mendekat dengan langkah lebar. "Cayhe memiliki sebuah mantel berbulu binatang yang
dapat menghangatkan badan bilamana adik nona membutuhkan cayhe hadiahkan
kepadanya." "Aku tidak mau" aku tidak mau! Sekalipun mati kedinginan aku juga tidak akan
memakai pakaianmu!" teriak Siauw Ling dengan ketus.
"Haaa"haa" saudara cilik ini sungguh bersemangat" sungguh bersemangat! cayhe
betul-betul kagum" puji Sang Pat tersenyum.


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan pandangan yang amat dingin Gak Siauw-cha memandang sekejap ke arah
Sang Pat lalu ujarnya, "Tiong Cho Siang-ku sudah ada puluhan tahun lamanya
mengangkat nama di dalam Bulim setiap hari berdagang dan mengumpulkan harta
kekayaan saja tentu hasil yang kalian peroleh amat banyak bukan!"
Sebenarnya kata-kata yang diucapkan olehnya ini bernadakan sindiran tetapi didengar
di dalam telinga Kiem Siepoa Sang Pat rada berbeda. Terdengar dia segera tertawa
terbahak-bahak. "Haaa" haaa" harta kekayaan yang berhasil cayhe kumpulkan sekalipun tidak bisa
dibandingkan dengan satu negara tetapi kawan-kawan Bulim pada waktu ini tiada yang
bisa menandingi diri kami."
Mendengar kata-kata itu Gak Siauw-cha mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Hmmm! orang ini sungguh tidak tahu malu," pikirnya dihati. "Aku sengaja mengolokolok
dia sebaliknya dia malah menerima kata-kataku dengan begitu girang."
Dia tidak mau berbicara lagi, sambil menarik tangan Siauw Ling dia menoleh sekejap ke
arah Thio-kan. "Apakah lukamu sudah sembuh?"" tanyanya.
"Mengalirnya darah sudah berhenti, rasa sakitpun jauh berkurang, sekarang kita boleh
melanjutkan perjalanan lagi," jawab Thio-kan sambil meloncat bangun dan memungut
kembali goloknya. "Baiklah! kalau begitu kita segera berangkat" perintah Gak Siauw-cha kemudian.
Sambil menggandeng tangan Siauw Ling dia memimpin jalan terlebih dulu.
Hoo-kun yang menerima pemberian pil mujarab dari Tu Kiu setelah ditelan dan
mengatur pernapasan semangatnyapun sudah berkobar kembali. Dalam hati pikirannya,
"Kelihatan bukan saja Tiong Cho Siang-ku berhasil mengumpulkan harta kekayaan saja
bahkan pil mujarabpun disimpan pula. Ehm sungguh hebat sekali pekerjaan mereka."
Dia lantas pungut kembali senjata Pan Koan Pitnya dan mengikuti dari belakang Thiokan.
Mendadak Si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu menggeserkan badannya kesamping
menghalangi perjalanan pergi dari Gak Siauw-cha.
"Nona Gak! Apakah kau sudah lupa akan perjanjian kita?" tanyanya.
"Bukankah kalian ingin menemui jenazah dari ibuku?"
"Tidak salah! pergi mencari ibumu untuk menerima anak kunci Cing Kong Ci Yau yang
sudah nona jual kepada kami."
"Hmmm! Sedikitpun aku belum lupa," jawab Gak Siauw-cha tawar. Tubuhnya miring
kesamping dan melanjutkan kembali langkahnya menuju ke depan.
"Bilamana nona Gak masih mengingat-ingat urusan itu hal tersebut jauh lebih bagus
lagi," ujar Tu Kiu dengan cemas. "Lebih baik nona suka menjelaskan kepada kami dimana
jenazah ibumu berada, agar kamipun bisa membereskan perdagangan kita kali ini."
"Kaum pengejar dari perkumpulan Sin Hong Pang sebentar lagi bakal tiba menanti
sesudah aku berhasil meloloskan diri dari bahaya baru aku ceritakan lagi kepada kalian."
"Haaa" haaa perkataan ini sedikitpun tidak salah" sakut Kiem Siepoa Sang Pat
membenarkan. "Nona Gak adalah pemilik barang, Hey Loo jie lebih baik kita sedikit
berlaku sungkan." Diantara suara bentakannya yang amat keras tubuhnya sudah berebut melayang keluar
Kelelawar Hijau 13 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 5
^