Pencarian

Si Rajawali Sakti 4

Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


sinar putih menyambar kearah KianK i. Pemuda itu sudah siap siaga. Dengan. amat
waspada dia melihat datangnya serangan pertama itu dan cepat dia mengelak
dengan loncatan ke kiri sambil menggerakkan tangan kanan menangkis sinar putih
itu. "Wuuuttttt......... desssss.........!!" Kilatan putih itu menyambar lambat saja, akan tetapi ketika ditangkis lengan Kian Ki, pemuda itu merasa seolah dia menangkis
benda keras yang kuat sekali sehingga tubuhnya terpental dan terbanting roboh
sampai dua tombak! Akan tetapi dia merasa penasaran dan cepat dia sudah
melompat berdiri dan kini dialah yang balas menyerang karena serangan dahsyat
merupakan pertahanan yang baik pula. Kalau dia yang menyerang terus, maka tentu
kakek itu tidak sempat menyerang dan dengan demikian dia dapat lolos dari lima
jurus serangan! "Hai i ittttt........!" Hebat sekali serangan Kian Ki. Dia menggunakan jurus terampuh dan mengerahkan seluruh tenaganya. Tubuhnya menerjang dengan lompatan ke
atas dan meluncur ke arah kakek itu dengan kedua lengannya bergerak menyerang.
Tangan kanan menghantam dari atas ke arah kepala lawan sedangkan tangan kiri
menotok ke arah dada Dua serangan beruntun kedua tangannya ini meluncur cepat
sekali dan dilakuka dengan tenaga dahsyat sehingga mendatangkan angin pukulan
dahsyat. Hongsan Siansu terkejut. Dia tah bahwa serangan yang dilalukan Kian Ki itu
merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Bagaimanapun juga, dia tidak
menghendaki cucu muridnya membunuh kakek aneh ini. Akan tetapi, untuk
mencegahnya sudah tidak ada kesempatan lagi maka dia bersama dua orang
rekannya memandang dengan hati tegang.
"Plakkkk ............ tukkkkk............... desss............... !" Pukulan tangan kanan Kian Ki tepat mngenai kepala kakek itu, juga totokan jari tangan kirinya mengenai dada,
akan tapi kakek itu seolah tidak merasakannya dan sebaliknya, tangan kirinya
mengebut dan ujung kain itu membuat tubuh Kian Ki kembali terpental lebih jauh
lagi. Tiga orang datuk itu terkejut bukan main. Kini mereka yakin bahwa kakek tua itu
memang memiliki kesaktian tinggi.
"Kian Ki, engkau telah kalah!" seru Hogsan Siansu kepada cucu muridnya.
Akan tetapi bagaimana mungkin Kian Ki yang memiliki watak tinggi hati itu mau
menyerah" Dia merasa penasaran sekali dan cepat dia meloncat bangun,
menggoyang kepala beberapa kali untuk mengusir kepeningannya. Dia tahu bahwa
menyerang bahkan lebih berbahaya, maka dia cepat berseru.
"Locianpwe, saya belum mengaku kalahl Baru dua jurus berjalan dan saya masih mampu bertahan. Silakan Locianpwe menyerang tiga jurus lagi, akan saya
pertahankan!" tantangnya.
"Ho-ho, semangatmu memang boleh akan tetapi kebodohannya bertambah! Nah,
ini seranganku ke tiga, sambutlah!" Setelah berkata demikian, Thian Beng Siansu
bergerak maju. Sungguh hebat kedua kakinya sama sekali tidak tampak bergerak
akan tetapi tubuhnya meluncur ke depan seolah-olah dia berdiri di atas roda yang
didorong ke depan! Kini kedua tangan kakek itu yang bergerak ke depan, sama sekali tidak menggunakan ujung kain. Ada angin menyambar dahsyat dari kedua tangan
itu. Kian Ki cepat mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa sulit untuk
menghindarkan serangan itu dengan mengelak. Dia menggunakan kedua tangannya
menangkis sambil siap mencengkeram dan menangkap lengan kakek itu. Dipikirnya
kalau dia dapat menangkap lengan kakek itu, tentu dia akan dapat membuat kakek
itu tidak berdaya karena berapa sih kekuatan otot seorang tua renta seperti itu"
Akan tetapi betapa kagetnya ketika kedua tangannya bertemu lengan yang lembek
seperti ular dan licin pula sehingga tangkisan dan cengkeramannya meleset, lalu
tiba-tiba saja dia tidak mampu bergerak karena sudah tertotok. Dia jatuh terduduk dan tidak mampu bergerak karena tubuhnya terasa lemas dan lumpuh!
Thian Beng Siansu tertawa, kemudian menghampiri Kian Ki dan tangan kanannya
lalu memukul ke arah dada pemuda itu. Dia setengah berjongkok dan tangan
kanannya itu dengan jari-jari terbuka menempel pada dada Kian Ki. Wajah pemuda
itu berubah merah sekali dan dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap!
Melihat ini, tiga orang datuk itu terkejut. "Jangan bunuh murid kami!" teriak Kanglam Sin-kiam Kwan In Su sambil menjulurkan tangan hendak menangkap pundak kiri
Thian Beng Siansu. Akan tetapi kakek tua renta itu cepat menggerakkan tangan
kirinya dan menangkis tangan Kwan In Su. Pedang Sakti Kanglam ini terkejut karena merasa betapa tangannya menempel pada tangan kakek itu dan betapapun dia
berusaha menarik tetap saja tidak dapat terlepas dan lebih kaget lagi dia ketika
merasa betapa tenaga saktinya yang dia kerahkan meluncur keluar dari tangannya
seperti sedot." Im Yang Tosu yang melihat betapa Kwan In Su tampak kaget, dapat menduga bahwa
rekannya itu kalah tenaga maka dia pun cepat menempelkan tangannya pada
punggung Kwan In Su untuk membantunya dengan tenaga saktinya. Akan tetapi dia
pun terkejut sekal karena tenaga sakti yang dia salurkan lewat tangannya itu
bagaikan besi menempei pada semberani, melekat dan dia merasa betapa tenaga
saktinya tersedot keluar! Dia. mencoba untuk menarik tangannya atau menahan
tenaganya, namun sia-sia sehingga dia terkejut sekali, mukanya berubah pucat.
"Hongsan Siansu, bantu kami........ !" tanya sambil mencoba untuk menarik membanjirnya tenaga saktinya keluar seperti tersedot oleh kekuatan yang amat
hebat. Hongsan Siansu menempelkan tangannya di punggung Kanglam Sin-kiam Kwun In
Su, di sebelah tangan Im Yang Tosu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan
tetapi, lagi-lagi tangan ketua Hong-tan-pai ini melekat dan tenaga saktinya
membanjir keluar tanpa dapat ditahannya lagi!
Tubuh Chou Kian K i yang menerima tenaga sakti dari empat orang itu kini
berkelojotan dan mukanya semakin merah, uap yang mengepul dari ubun-ubun
kepalanya semakin tebal. Dia seperti sedang sekarat akan tetapi tetap dalam
keadaan duduk karena seolah-olah dadanya melekat pada tangan Thian Beng Siansu
sehingga tertahan dan tidak dapat terguling. Tubuhnya berkelojotan dan tersentak-
sentak seperti dimasuki aliran listrik!
Tiga orang datuk itu merasa tubuhnya lemas. Dengan gelisah mereka merasakan
betapa tenaga sinkang mereka yang dihimpun selama bertahun-tahun itu
membanjir keluar tanpa dapat mereka cegah. Kalau hal ini berlangsung lama,
mereka akan kehabisan tenaga dan menjadi orang-orang tua yang loyo tanpa
tenaga! Tak lama kemudian setelah tenaga sakti mereka sudah lebih dari setengahnya
tersedot, tiba-tiba Kian Ki yang masih berkeiojotan itu mengeluarkan bentakan
nyaring seperti suara seekor binatang buas dan kedua tangannya didorong ke arah
tubuh empat orang kakek tua.
"Aaarrggghhhhh ............ blarrr.............. !" Tubuh empat orang kakek itu terpental dan terlempar sampai tiga empat tombak jauhnya. Sebagai ahli-ahli silat tingkat
tinggi, biarpun tubuh mereka terasa lemah kehabisan tenaga, mereka dapat
mengatur keseimbangan tubuh mereka sehingga mereka jatuh terduduk, tidak
sampai terbanting. Biarpun tubuh mereka lemas karena sebagian besar tenaga sakti mereka hilang, tiga orang kakek itu bangkit di mengeluarkan senjata mereka masing-masing. Kwan In Su
mencabut pedangnya, Im Yang Tosu melolos sabuk kulit ularnya, dan Kwee Cin Lok
atau Hongsan siansu juga mencabut pedangnya. Mereka bertiga menghampiri dan
mengepung kakek tua renta yang kini setelah tadi terlempar, juga duduk bersila itu.
"Orang jahat, apa yang telah kau lakukan?"?" bentak Hongsan Siansu sambil mengancam dengan pedangnya. Dua orang rekannya juga sudah mengancam
dengan senjata mereka. Thian Beng Siansu membuka mata, senyum mengejek lalu
berkata, "Orang-orang tolol, aku telah menyempurnakan dan membantu kalian
membentuk seorang murid yang kelak akan dapat kalian banggakan, dan kalian
bertiga hendak membunuh aku" Hmrnmm, apa kalian kira dengan sisa tenaga kalian
itu kalian akan mampu membunuhku" Bodoh, tanpa ada yang membunuh pun,
setelah selesai apa yang hendak kulakukan, aku akan mengakhiri hidupku sendiri.
Aku masih harus menyempurnakan gerakan ilmu silatnya agar tenaga yang sudah
terhimpun dalam dirinya dapat dipergunakan sebaiknya."
Mendengar ini, baru tiga orang Itu menyadari apa yang telah terjadi. Mereka bertiga segera menoleh dan memandang ke arah murid mereka. Kini Kian Ki tidak
berkelojotan lagi, melainkan duduk bersila dengan tegak seperti sebuah arca dan
wajahnya tampak tenang dan berseri, sama. sekali tidak memperl lihatkan tanda
kesakitan. Kini mereka maklum bahwa kakek tua renta Ini tadi bukan berniat
membunuh KianKi melainkan menyalurkan tenaga saktinya untuk dipindahkan ke
tubuh murid itu. Ketika mereka bertiga hendak mencegah otomatis tenaga sakti
mereka yang di kerahkan untuk menarik lengan kakek itu ikut tersedot. Hal ini
berarti bahwa Kiai Ki telah menerima tenaga sakti dar imereka berempat! Kalau
mereka masmg-masing merasa kehilangan sebagian besar tenaga sakti mereka,
dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga sakti yang di pindahkan ke dalam diri
Kian Ki! Pantai saja tadi, dalam keadaan tidak sadar karena seperti "mabuk" atau sekarat dibanjiri tenaga sakti demikian banyaknya, sekali dorong dia dapat membuat mereka berempat terpental!
Kalau begitu, engkau hendak menurunkan ilmumu kepada murid kamu Chou Kian
Ki" Akan tetapi mengapa, Thian Beng Siansu" Mengapa engkau lang sama sekali
tidak kami kenal, juga jidak dikenal Chou Kian Ki, tiba-tiba tidak mengajarkan
ilmumu kepadanya, bahkan telah memindahkan tenaga saktimu dan tenaga sakti
kami kepadanya?" Kakek tua itu menghela napas panjang, kambil memejamkan matanya, dia bicara
berlahan seperti kepada dirinya sendiri.
"Aku telah berdosa melanggar larangan dan sumpah. Aku adalah pewaris ilmu
Keluarga Kok karena itu aku harus mati. Akan tetapi sebelum itu, aku harus
melengkapi dulu dosaku, yaitu mengajarkan ilmu Keluarga Kok kepada muridku,
yaitu pemuda yang menjadi murid kalian itu. Biar aku mati untuk dia karena hanya
dia yang akan mampu kelak memenuhi hukum Keluarga Kok."
Thian Beng Siansu berhenti sebentar untuk menghela napas panjang dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Siansu yang tadi bersama rekan-rekan
merasa terkejut bukan main, untuk kata dengan hormat.
"Ah, kiranya Locianpwe adalah waris ilmu Keluarga Kok yang terkenal sebagai ilmu dewa itu!" kata Hong Siansu yang kini menyebut locianpwe kepada Thian Beng
Siansu, sebutan untuk menghormat orang yang memiliki tingkat dan kedudukan
lebih tua dan tinggi dalam dunia persilatan. "Akan tetapi artinya melanggar sumpah dan dosa kami menerima murid, dan mengapa pula cianpwe seolah sengaja
melakukan langgaran itu?"
"Ada seorang murid pewaris ilmu keluarga Kok yang melanggar larangan itu dan aku tidak berhasil membunuhn Karena itu aku sengaja mengambilmu dan
mengorbankan nyawa karena melanggar sumpah, agar murid itu kelak
menyempurnakan tugasku, yaitu membunuh murid yang melanggar sumpah itu."
Pada saat itu, Kian Ki telah berhasil mengendalikan tenaga sin-kang yang amat kuat yang tadi memenuhi tubuhnya. Dia berhasil menghimpun tenaga itu ke dalam
tiantan (pusat di perut bawah) sehingga kesadarannya kembali dan dia sempat
mendengar ucapan Thian Beng Siansu. Hatinya merasa girang bukan main. Kakek
sakti itu mampu mengalahkannya dalam waktu beberapa gebrakan saja dan hal ini
saja sudah cukup baginya untuk merasa tunduk dan kagum, juga mendorong
keinginannya untuk berguru kepada kakek sakti itu. Apalagi setelah dia menyadari
bahwa kakek itu telah menyalurkan dan memindahkan sinkangnya kepadanya,
bahkan telah menyedot dan memindahkan pula sebagian besar tenaga sakti ketiga
orang gurunya. Maka kini cepat dia menghampiri dan berlutut di depan Thian Beng
Siansu. "Teecu Chou Kian Ki mohon petunjuk agar kelak teecu pantas menjadi murid Suhu Thian Beng Siansu dan dapat meraih cita-cita teecu'."
Thian Beng Siansu tersenyum lemah Sebagian besar tenaganya sudah hilang
dipindahkan ke dalam tubuh Kian Ki dan karena usianya sudah hampir seratus
tahun, maka kehilangan sebagian besar sin-kangnya itu membuat tubuhnya menjadi
lemah dan lemas. "Chou Kian Ki, tenaga sakti yang besar dalam tubuhmu itu tidak akan banyak
gunanya apabila tidak disertai penguasaan ilmu silat yang tinggi dan yang sesuai
dengan penggunaan tenaga sin-kang yang besar. Aku dapat mengajarkan ilmu silat
itu kepadamu, ilmu. silat pusaka Keluarga Kok, akan tetapi dengan dua syarat yang harus kau pegang teguhdengan janji sumpah."
"Teecu sanggup dan bersedia, Suhu Harap Suhu menjelaskan apakah dua syarat
yang Suhu perintahkan itu!" katai Kian Ki dengan tegas.
"Pertama, engkau tidak boleh mengajarkan ilmu pusaka Keluarga Kok kepada
siapapun dan kalau engkau melanggar larangan ini, engkau harus membunuh diri
seperti yang kulakukan. Ke dua, telah menguasai ilmu pusaka Keluarga Kok, engkau
harus mencari dan menghukum mati pewaris ilmu Keluarga Kok yang telah
melakukan pelanggaran, yaitu Thai Kek Siansu dan murid-muridnya! Nah, berjanjilah dengan sumpah!"
Dengan suara lantang dan tegas Kian Ki bersumpah. "Aku Chou Kian Ki, bertumpah di depan Suhu Thian Beng Siansu bahwa setelah mempelajari ilmu pusaka Keluarga
Kok, kelak aku tidak akan mengajarkan ilmu itu kepada seorang murid. Dan kedua,
aku bersumpah akan mencari dan menghukum mati Thai Kek Siansu dan murid-
muridnya karena dia telah bersalah melanggar sumpah Keluarga Kok."
Thian Beng Siamu mengangguk-angguk senang. Akan tetapi Hongsan Siansu yang
merasa khawatir bukan main mendengar Kian Ki bersumpah untuk membunuh Thai
Kek Siansu, kakek yang amat sakti itu, lalu bertanya.
"Locianpwe, apakah Thai Kek Siansu itu juga pewaris ilmu Keluarga Kok?"
"Dia adalah keponakan muridku. "Dia melanggar hukum telah mempunyai murid, maka harus dibunuh. Karena aku sudah tua dan tidak dapat melaksanakan hukuman
itu, maka aku tugaskan Kian untuk membunuhnya dan untuk itu, aku rela berkorban
nyawa." Sejak saat itu, Thian Beng Sian tidak mau membuka mulut untuk bicara lagi. Semua
pertanyaan tidak dijawabnya dan dia hanya tekun menurunkan ilmu silat warisan
leluhur Keluarga Kok kepada Chou Kian Ki. Selama enam bulan dia melatih dengan
tekun sampai Kian benar-benar dapat menguasai ilmu silat yang dapat dimainkan
dengan tanga kosong maupun dengan senjata.
Pada suatu pagi mereka mendapatkan Thian Beng Siansu telah mati dalam
kamarnya, mati dalam keadaan tubuh bersila. Cepat Hongsan Siansu memeriksa
tubuhnya dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka dia
mati karena kehabisan napas dan melihat betapa dadanya mengembung besar maka
dia dapat menduga bahwa kakek itu mati karena bunuh diri dengan menahan napas
sampai putus! Kini mengertilah mereka semua mengapa Thian Beng Siansu
mengatakan bahwa dia rela berkorban nyawa. Dia sengaja melanggar sumpah
Kelurga Kok, sengaja mengambil Kian Ki sebagai murid, kemudian dia melakukan
bunuh diri. Hal ini dia lakukan agar ada yang lain yang mewakilinya untuk
menghukum Thai Kek Siansu dan murid-muridnya yang dianggap melanggar sumpah
keluarga Kok! Setelah menerima pemindahan tenaga sakti dari empat orang kakek
sakti, kemudian menguasai ilmu silat pusaka leluhur Keluarga Kok, tentu saja tingkat kepandaian Kian Ki naik tinggi sekali! jauh lebih tinggi daripada tingkat semua
gurunya. Sayang sekali bahwa ketinggian hati dan kesombongannya juga naik
tingkatnya menjadi tinggi sekali!
Pada waktu itu, Pangeran Chou Ban 'eng sudah kembali ke kota raja. Me ului bekas
kerabat Kerajaan Chou yang lasih tinggal di kota raja dan bukan saja tidak diganggu Kaisar Sung Thai Cu bahkan mereka diperlakukan dengan diberi kebebasan bekerja,
berdagang ataupun menerima jabatan, akhirnya Pangeran Chou Ban Heng dapat
diterima oleh kaisar Sung Thai Cu dan diampuni setelah berjanji bahwa dia.tidak
akan mengadakan pemberontakan dan tidak lagi ingin mendirikan kembali Kerajaan
Chou. Karena Pangeran Chou Ban Heng dahulunya adalah seorang panglima daerah
Selatan, maka oleh Kaisar Sung Thai Cu dia diberi pangkat sebagai penasihat
Angkatan Perang Kerajaan Sung. Sunguhpun pangkat ini membuat dia tidak aktip
dalam ketentaraan, hanya duduk kantor, namun setidaknya membuat terpandang
sebagai orang yang berpengalaman di bidang ketentaraan dan ia dipercaya oleh
Kaisar Sung Thai Cu. Tentu saja Pangeran Chou Ban Heng tidak pernah menghilangkan cita-cita untuk
membangun kembali Kerajaan Chou agar dia dapat menjadi kaisar baru kerajaan
Chou. Akan tetapi karena rasanya akan sukar untuk melakukan pemberontakan
melalui perang, berhubung sulitnya menghimpun pasukan yang besar dan kuat,
maka dia mengambil jalan atau menggunakan cara lain. Dia mencari kedudukan dan
pengaruh dengan memegang kedudukan yang lumayan tingginya, Dia akan
menghimpun kekuatan dari dalam, kalau mungkin menyalakan api pemberontakan
dari dalam, yaitu dari kotaraja dengan dukungan para pejabat tinggi, Dan terutama sekali mencari kesempatan untuk dapat membunuh Kaisar atau menggantikan
Kaisar Sung Thai Cu dengan cara lain yang dapat dia pengaruhi, Demikianlah, dengan tekun Pangeran Chou Ban Heng membuat persiapan rahasia,bagaikan seekor laba-laba merajut jaring untuk menangkap dan menjebak korbannya.
ooOOoo Hutan itu lebat sekali. Hutan-hutan di daerah Pegunungan Ceng-lim-san memang
terkenal lebat dan di situ terdapat banyak binatang hutan. Karena itu, banyak
pemburu yang berdatangan untuk berburu binatang. Saking luasnya hutan-hutan di
situ, maka selalu tampak bunyi dan seorang pemburu jarang bertemu dengan orang,
apalagi dengan pemburu lain. Yang paling disukai para pemburu adalah banyaknya
binatang kijang di hutan-hutan itu.
Pada suatu pagi, dua orang laki-laki muda berjalan di dalam hutan. Masing-masing
memanggul seekor kijang yang merupakan hasil buruan mereka. Mereka membawa
busur dan anak panah, juga dipinggang mereka bergantung golok, pakaian mereka
dari kulit menunjuki bahwa mereka adalah pemburu. Seorang dari mereka bertubuh
tinggi besar seperti raksasa, tubuhnya berotot melinglingkar dibawah kulit,
kepalanya juga besar dengan mata melotot dan tampak gagah walaupun wajah itu
tidak dapat dibilang tampan.Usianya tentu sekitar empat puluh tahun. Orang kedua
masih muda, usianya sekitar dua puluh tahun wajahnya tampan dan kulitnya putih.
"Paman, aku sudah lelah sekali. Sekali.Semalam hampir tidak tidur dan kita sudah berrjalan jauh." keluh yang muda.
Pamannya, yang bertubuh tinggi besar Menjawab. "Ah, Dusun Kui-cu tak jauh lagi, paling banyak tinggal lima mil lagi. lebih baik cepat-cepat sampai ke sana, kita dapat makan, mandi, dan mengaso, kita boleh tidur sepuasnya, A Cin!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita, merdu namun mengandung penuh teguran.
Alhhh, kalau sudah lelah dan mengantuk, jangan dipaksa. Kasihan Si Tampan ini!"
Dua orang itu terkejut dan cepat membalikkan tubuh ke kanan. Mereka terbelalak
dan merasa bulu tengkuk mereka berdiri meremang. Yang berdiri di lepan mereka
adalah seorang wanita muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya dan
mengenakan pakaian mewah.Wanita itu cantik sekali,kecantikan yang amat
menonjol karena ditambah dengan polesan bedak dan gincu, sesungguhnya wajah
itu memang sudah cantik manis. Namun ia pesolek sekali, bukan saja rambutnya
yang diminyaki dandigelung rapi dihias bunga-bunga berwarna merah,wajahnya
yang berbentuk bulat telur itu, yang pada dasarnya sudah putih bersih ditambah lagi dengan bedak dan pipinya diberi yanci tipis sehingg kemerahan, bibirnya yang
bentuknya indah dan seolah menantang itu semakin merah oleh gincu, juga
pakaiannya dari sutera berkembang yang mewah, tubuhnya yang langsing itu masih
mengenaka perhiasan dari emas permata! Pantasnya wanita ini adalah seorang
puteri istana Karena itu, paman dan keponakan itu merasa ngeri. Mana mungkin ada
puteri istana tiba-tiba saja muncul di dalam hutan lebat seperti ini" Gadis cantik itu pasti bukan manusia, melainkan siluman Pada masa itu, hampir semua orang
percaya akan adanya siluman-siluman, yaitu setan berujud hewan seperti serigal
rase, anjing, babi, dan sebagainya yang dapat berganti wujud menjadi wanita cantik yang suka menggoda pria untuk kemudian dijadikan korbannya!
Akan tetapi hanya sebentar saja dua orang pemburu itu merasa seram. Mereka


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah pemburu-pemburu yang sudah biasa berkeliaran dalam hutan-hutan lebat,
sudah sering menghadapi ancaman bahaya dari binatang-binatang buas. Mereka
bukan orarg-orang lemah, maka setelah dapat mengatasi kekagetan mereka, laki-
laki bertubuh tinggi besar yang menjadi paman itu membentak sambil mencabut
goloknya. "Siluman jahat! Jangan ganggu kami!" Karena merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan siluman, dia mengancam dengan goloknya agar siluman itu menjadi takut
dan meninggalkan mereka. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak kelihatan takut bahkan tersenyum manis sekali. Karena menganggap bahwa wanita itu tentu
siluman, senyum yang amat manis ini bagi laki-laki tinggi besar itu bahkan tampak menyeramkan sekali, Akan tetapi si keponakan yang muda, yang namanya disebut A
cin tadi, memandang dengan kagum dan terpesona. Belum pernah dia melihat
seorang gadis secantik itu!
"Hi-hik," Gadis itu terkekeh sehingga mulutnya agak terbuka, memperlihatkan rongga mulut dan ujung lidah yang kemerahan dan deretan gigi putih berkilauan.
"Kalau aku siluman dan mengganggumu, engkau mau apa?"
Merasa ditantang, laki-laki tinggi besar itu menjadi marah. "Aku akan mengirim kau ke neraka!" bentaknya da dia sudah menyerang dengan goloknya Serangannya
cukup dahsyat karena dia adalah seorang pemburu yang terbiasa hidup keras
menghadapi banyak tantangan. Tenaganya besar dan gerakannya tangkas ditambah
nyali yang besar. Ketika dia menyerang, gerakan goloknya yang menyambar kuat
menimbulkan suara bersiutan.
Akan tetapi gadis cantik itu dengan tenang menghadapi serangan pemburu itu.
Hanya dengan sedikit gerakan ringan saja ia sudah dapat mengelak dari serangkaian serangan terdiri dari tiga kali bacokan dan dua kali tendangan.
"Cukup! Berhentilah menyerang atau engkau akan mati!" wanita itu berseru sambil menyentuh satu di antara tiga tangkai bunga penghias rambutnya.
Akan tetapi pemburu yang merasa sasaran dan mengira bahwa dengan jurus
mengelak berarti "siluman" itu takut kepadanya, menyerang lagi dengan lebih ganas.
"Mampuslah!" bentak wanita itu dan Ungan kirinya yang mencabut setangkai bunga merah dari rambutnya bergerak. Nampak sinar merah menyambar dan pemburu itu
menjerit, goloknya terlepas ban tubuhnya roboh terjengkang dan tewas seketika.
Keponakannya memandang dan melihat betapa di dahi pamannya, tepat di antara
sepasang alisnya, menancap bunga merah yang agaknya disambikan wanita itu.
Acin, pemburu muda itu, memandang kepada Si Wanita dengan mata terbelalak dan
muka pucat. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya sama sekali untuk melawan. Dia
sendiri belajar silat dari pamannya. Pamannya yang jauh lebih tangguh darinya dia saja begitu muda roboh dan tewas di tangan siluman ini, apa lagi dia!
"Jangan............. jangan bunuh aku..............!" katanya sambil melangkah mundur.
Wanita itu melangkah maju mengha pirinya. "Jangan takut, pemuda tampan Siapa yang akan membunuhmu" Saya kalau engkau dibunuh.Kalau engkau memenuhi
keinginanku dan mencintaku, engkau akan kubebaskan dan kuberi hadiah emas.
Akan tetapi kalau engkau menolak berarti engkau menghinaku dan engkau akan
mati seperti Pamanmu itu Sudah ada dua orang pemuda yang terpaksa kubunuh
karena menolak dan menghinaku, jangan engkau menjadi yang tiga. Mari kita pergi
bersenang-senang.. Wanita itu lalu menggandeng tangan Acin yang tidak berani
menolak. Dia merasakan telapak tangan yang hangat halus, mencium bau harum
yang keluar dari tubuh wanita itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan diajak pergi meninggalkan tempat itu.
"Tapi......... tapi ........ jenazah Pamanku.......... " Acin menoleh, memandang mayat pamannya dengan gelisah.
"Mayat itu" Biar saja, nanti tentu ada binatang yang memakannya. Atau engkau lebih senang mati disini?"
"Tidak, tidak! Aku.............. "
"Hayolah dan jangan banyak menolak membuat aku marah." Wanita itu merangkul pinggang pemuda itu dengan mesra dan menariknya pergi dari situ. Sambil
merangkul ketat dengan mesra wanita itu menggandeng Acin keluar dari hutan.
Setelah keluar dari hutan dan tiba jalan umum yang sepi, di sana terdapat sebuah
kereta kecil dengan dua berkuda. Dua ekor kuda itu dilepas ditambatkan pada
batang pohon dimana mereka sedang makan rumput.
"Mari, Sayang. Bantu aku memasang kuda-kuda itu." kata wanita cantik sambil melepaskan rangkulannya setelah untuk kesekian kalinya ia mencium pemuda itu.
Acin adalah seorang pria yang normal dan sehat, akan tetapi dirangkul, dicium
dengan sikap mesra oleh seorang wanita muda yang demikian cantik, dia sama
sekali tidak merasa terangsang. Bagaimana mungkin kalau ia mengingat betapa
wanita itu telah membunuh pamannya" Sampai sekarang ia masih menganggap
bahwa wanita itu adalah siluman dan menurut dongeng yang sering Dia dengar,
siluman yang berujud wanitu cantik suka mempermainkan pria muda dan
menghisap darah mereka sampai kering. Dia akan mati kehabisan darah! Tentu saja
dia sama sekali tidak terangsang, betapapun hangat, lembut dan harum tubuh
wanita itu. Dengan jantung berdebar dan tangan gemetar, terpaksa Acin membantu wanita Itu
memasang kuda di depan kereta. Kemudian wanita itu naik ke atas kereta, duduk di
depan memegang kendali. "Hayo, naiklah dan duduk di sebelahku sini" Wanita itu berkata.
"Saya......... saya......... tinggal di sini saja............" Acin berkata ketakutan.
"Apa" Engkau membantah?" Tiba-tiba wanita itu menggerakkan cambuk kudanya.
"Tarrrrr...........!" Ujung cambuk itu melecut ke arah Acin.
"Aduhhhhh........!" Acin berteriak dan meraba lehernya. Lecutan itu mengiris kulit lehernya sehingga mengeluarkan sedikit darah! Terasa perih dan membuat Acin
semakin ketakutan. "Maaf, saya .............. saya tidak membantah.............."
"Hayo naik, cepat!" bentak wanita itu.
Acin tidak berani membantah lagi. Dengan tubuh gemetar dia naik ke atas kereta
dan duduk di sebelah wanita itu seperti yang di saratkannya. Wanita itu
menjalankan dua ekor kuda itu dan menoleh kepada Acin sambil tersenyum.
"Kasihan engkau............ ! Sakitkah..........?" Acin tidak berani bersuara, hanya mengangguk.
Wanita itu lalu mendekatkan mukanya dan mencium leher Acin yang lecet sehingga
ada sedikit darah membas bibirnya, la menjilat darah di bibirnya itu dan tampak
senang. "Selanjutnya turutilah semua perintahku dan cintailah aku maka engkau akan
senang. Maukah engkau?"
Acin hanya dapat mengangguk-angguk merasa ngeri melihat wanita itu menjilati
darah yang berada di bibirnya, ia mencium lehernya tadi. la Siluman, pasti siluman yang suka minum darah, demikian pikirnya dan dia menggigil.
Karena wanita itu duduk rapat sehingga tubuh mereka berdempetan maka ia dapa
merasakan ketika tubuh pemuda Itu menggigil.
"Engkau kedinginan?"
Acin menggelengkan kepalanya.
"Kekasihku yang tampan, kenapa engkau diam saja" Hayo jawab, siapa namamu?"
"Saya............ saya Liong Cin ..............."
"Nama yang gagah, segagah dan sekaligus orangnya. Namaku Lai Cu Yin, orang-
orang menyebutku Ang-hwa Niocu (Nona Bunga Merah), tapi engkau boleh
memanggil aku Yin-moi (Dinda Yin)........... he-heh!" Gadis itu tersenyum lebar, memperlihatkan lidahnya yang ujungnya meruncing dan merah.
"Aku senang engkau menurut dan mau mencintaku. Dua orang pemuda dusun yang
berani menolakku telah kubunuh, kalau engkau, yang bersikap baik dan mencinta,
seperti para pemuda lain sudah-sudah tentu akan kubebaskan kuberi hadiah."
Karena sikap wanita itu mesra ramah, rasa takut Liong Cin atau yang biasa disebut Aon, berkurang walau dia masih merasa ngeri kalau harus jadi kekasih siluman!
"Maafkan saya, Niocu.........., saya akan dibawa kemanakah?" Dia memberanikan diri bertanya.
"Liong Cin, sudah kukatakan agar engkau memanggil aku Yin-moi, bukan Niocu
(Nona). Aku mempunyai sebuah pondok diluar dusun, kita pulang sana dan
bersenang-senang." Pada saat itu, terdengar seruan lantang. "Iblis betina, kembali engkau telah membunuh orang yang tidak bersalah dalam hutan itu! Akhirnya kutemukan juga
engkau dan sudah saatnya engkau menerima hukuman!" Kemudian muncul seorang
laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, berpakaian sederhana dan kain kasar.
Sikapnya gagah, wajahnya ganteng dan jantan. Dia memegang sebatang toya yang
dipegang melintang di depan dada. Sepasang matanya yang tajam memandang Ang-
hwa Niocu dengan marah. Ang-hwa .Niocu menahan kudanya dan telah kereta berhenti, ia segera meloncat
dan melayang dengan gerakan ringan, hinggap di depan pemuda yang memegang
toya itu. Sejenak mereka berdua saling pandang. Ang-hwa Niocu, terenyum
mengejek, sama sekali tidak genntar bahkan memandang tubuh yang kokoh dari
pemuda itu dengan kagum, pemuda yang usianya sekitar dua puluh ya tahun dan
begitu melihatnya, gairah berahi telah bangkit dalam hati wanita sesat itu.
"Aih-aih, datang-datang engkau memaki orang! Siapa sih engkau, orang muda yang gagah, dan mengapa pula engkau memaki aku padahal kita belum pernah saling
berjumpa dan tidak mempunnyai urusan apa pun?" Suara Ang-hwa locu merdu dan
ketika bicara, sepasangnya yang jeli indah itu mengerling tajam dan bibirnya
bergerak-gerak dengan manis penuh daya tarik dan tanpa tangan.
"Siluman betina Ang-hwa Niocu! memang kita berdua belum pernah saling bertemu, akan tetapi jangan dikira bahwa di antara kita tidak.ada urusan apa pun Iblis betina, sejak engkau membunuh pemuda di kota Gak-ciu, aku telah mencari dan mengikuti
jejakmu. Dengan keji engkau membunuh pula dua orang pemuda yang tidak mau
menuruti nafsu iblismu, kemudian di dalam hutan itu aku melihat jenazah seorang
laki-laki pula. Aku yakin bahwa pemuda yang diatas kereta itu juga menjadi
korbanmu!" Mendengar ini, Ang-hwa Niocu tertawa manis, mulutnya terbuka dan karena
tawanya bebas maka seluruh wajahnya tampak ikut tertawa.
"Hemmm, orang muda, engkau salah paham. Siapakah namamu dan mengepa
engkau mengejar-ngejar aku?"
"Namaku Bu Eng Hoat dan memang aku secara pribadi tidak mempunyai
permusuhan denganmu. Akan tetapi di Gak-ciu aku mendengar akan kejahatanmu.
Engkau mengambil harta milik orang dan tidak segan membunuh kalau mendapat
perlawanan. Engkau menggoda pria-pria muda dan kalau mereka menolak, engkau
Membunuhnya. Aku mendengar engkau pembunuh seorang pemuda di Gak-ciu dan
sejak itu aku mengambil keputusan untuk mencari dan membunuhmu! Ternyata di
sepanjang jalan engkau menyebar kejahatan, membunuhi laki-laki muda, Maka aku
sekarang setelah menemukanmu, harus membunuhmu!"
"Hi-hi-hik, Bu Eng Hoat, engkau muda dan gagah. Semua yang kulakukan itu sama sekali bukan urusanmu, mengapa engkau mencampuri" Sayang kalau engkau nanti
mati pula di tanganku, lebih baik mari ikut kami bersenang-senang. Aku membunuh
orang bukan tanpa alasan. Mereka berani menolak dan menghinaku, maka sudah
sewajarnya kalau aku membunuh mereka!"
"Ang-hwa Niocu, sejak kecil aku mempelajari ilmu dan semua itu kupelajari dengan maksud agar dapat kupergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,
menentang kejahatan, membasmi iblis iblis jahat macam engkau!"
"Wah, kiranya engkau ini seorang pendekar, ya" Bu Eng Hoat, sekali lagi
kuperingatkan engkau. Mari kau ikut denganku bersenang-senang daripada eragkau
mati di tanganku!" Berkata demikian wanita itu menghunus pedangnya yang
mengeluarkan sinar kemerahan.
"Huh, perempuan tidak tahu malu Lebih baik aku mati daripada harus menuruti
kemauanmu yang rendah!" Bu Eng Hoat memasang kuda-kuda dengan toyanya.
Bu Eng Hoat adalah seorang pendekar berusia dua puluh dua tahun yang baru
sekitar setahun terjun ke dunia kang-ouw dan bertindak sebagai seorang pendekar
gagah perkasa pembela kebenaran dan keadilan, selalu menentang para penjahat
dengan penuh keberanian. Ke tika dia mendengar tentang Ang-hwa Niocu yang
melakukan banyak kekejaman, apalagi membunuhi para pemuda yang tidak sudi
menuruti kehendaknya yang kotor, dia marah sekali dan segera melakukan
penyelidikan dan pengejaran. Pendekar muda yang bertubuh tinggi besar dan
berwajah ganteng dan jantan itu adalah murid tunggal dari Thong Leng losu yang
sudah kita kenal. Thong Leng losu adalah seorang di antara tiga orang kakek yang
melakukan pertemuan di Bukit Naga Kecil, berbantahan tentang agama dan lain-lain
kemudian dilerai oleh Thai Kek Siansu. Melihat betapa Thai Kek Siansu mempunyai
seorang murid, Thong Leng Losu, seperti dua yang rekannya yang lain, segera
mencari seorang murid pula. Pilihannya jatuh kepada Bu Eng Hoat, seorang anak
yatim piatu berusia dua belas tahun yang hidup bagai seorang pengemis karena
korban perang saudara. Selama sembilan tahun dia menggembleng muridnya itu
dan setahun yang lalu, dia mengutus muridnya untuk memanfaatkan semua
pelajaran itu dengan bertindak sebagai seorang pendekar.
Kini Ang-hwa Niocu menjadi marah bukan main. Tadinya, kalau bisa, ia membujuk
pemuda yang bertubuh kokoh kuat ini agar ia dapat bersenang-senang dengan dua
orang pemuda itu. Akan tetapi Bu Eng Hoat bukan saja menolaknnya bahkan
memaki-makinya. Keramahannya kini berubah menjadi kemarahan.
"Kalau begitu, engkau lebih suka mampus daripada bersenang-senang. Setelah
berkata demikian, cepat sekali bergerak dan pedangnya berkelebat, bagai sinar
kemerahan menyerang Bu Eng Hoat dengan dahsyat!
"Tranggggg........!" Tongkat itu atau toya itu merupakan senjata andalan Eng Hoat.
Gurunya adalah seorang pendeta Buddha aliran Tibet yang terkenal dengan ilmu
toyanya. Biasanya, para pendeta tidak suka menggunakan senjata apalagi senjata
tajam karena hal itu tidak sesuai dengan pelajaran agama mereka yang menghindari
semua kekerasan. Toya itu tadinya adalah semacam tongkat yang dipergunakan
para hwesio untuk membantu mereka dalam perjalanan, terutama kalau melalui
jalan yang sukar, seperti pendakian gunung, jalan yang berbatu-batu dan lain-lain.
Juga dapat mereka pergunakan untuk melidungi dirinya dari serangan binatang
buas. Dan toya itu akhirnya menjadi senjata andalan setelah selama berabad-abadan mengalami perubahan dan kemajuan berupa silat toya.
Ang-hwa Niocu kagum juga ketika merasa betapa tenaga dalam toya yang
menangkis pedangnya cukup kuat. Akan letapi, setelah wanita itu kini menyerang
bertubi-tubi, Bu Eng Hoat terdesak. Ilmu silat pemuda itu sebetulnya sudah cukup
tinggi dan kokoh kuat. Sebagai murid tunggal Thong Leng Losu dia telah mewarisi
ilmu-ilmu dari pendeta itu. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan lawan yang
tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Terutama sekali dalam ilmu gin-kang
(meringankan tubuh), dia masih kalah sehingga wanita itu dapat bergerak lebih
cepat. Pedang itu berkelebatan menyambar-nyambar menjadi sinar yang bergulung-
gulung. Terpaksa Bu Eng Hoat mencurahkan semua tenaga dan ilmu kilatnya untuk
bertahan dan melindungi dirinya. Toyanya berputar cepat menyelimuti seluruh
tubuhnya menjadi semacam perisai yang kokoh kuat sehingga dimanapun juga
pedang itu menyerang selalu dapat tertangkis oleh toya. Akan tetapi, setelah lewat tiga puluh jurus lebih, Bu Eng Hoat terdesak karena dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Ang-hwa Niocu tadinya setelah melihat betapa ia lebih unggul, seperti main-main
karena ia masih mempunyai harapan kalau-kalau Bu Eng Hoat mau menuruti
kehendaknya. Akan tetapi ketika ia menoleh ke arah kereta dan melihat bahwa
Liong Cin tidak berada lagi di atas kereta, ia menjadi marah sekali. Tahulah ia bahwa Liong Cin diam-diam menggunakan kesempatan selagi ia bertanding melawan Bu
Eng Hoat, melarikan diri. Tentu saja sukar, bahkan agaknya tidak mungkin ia dapat menemukan la pemburu yang tidak ia ketahui di mana tempat tinggalnya itu. Kini
kemarahnya ia tumpahkan kepada Bu Eng Hoa yang dianggap telah menyebabkan
kehilangan Liong Cin. "Jahanam Bu Eng Hoat, sekali lagi engkau kuberi kesempatan! Engkau mau
menyerah atau tidak?"
"Tidak sudi!" jawab Bu Eng Hoat.
"Trang-cringgg...........!" Bunga api kembali berpijar ketika toya itu menangkis sambaran pedang.
"Kalau begitu mampuslah kau!!" Dengan kemarahan meluap Ang-hwa Niocu lalu mengerahkan semua kepandaiannya untuk menyerang lebih gencar lagi sehingga Bu
Eng Hoat menjadi terkejut dan kini dia bukan saja tidak mampu balas Menyerang,
bahkan dia terpaksa harus diundur karena desakan sinar pedang itu amat hebat dan
mengancam keselamatan nyawanya.
Ketika keadaan Bu Eng Hoat amat gawat dan pangkal lengan kirinya bahkan lelah
terkena sambaran sinar pedang hingga kulitnya robek berdarah, tiba-tiba muncul
seorang pemuda lain yang bertubuh tinggi tegap. Pemuda ini memegang sepasang
tongkat pendek yang dia mainkan seperti siangkiam (sepasang pedang).
"Tak-tak-tranggg..........!" Sepasang tongkat pendeknya itu menyambar di antara dua orang yang sedang bertanding sekaligus menangkis pedang dan toya Otomatis dua
orang yang sedang bertanding itu terkejut dan masing-masing melompat ke
belakang. Akan tetapi Ang-hwa Niocu yang tadinya marah melihat ada orang
mencampuri urusannya menggagalkan ia menumpahkan kemarahannya kepada Bu
Eng Hoat yang hampir kalah, ketika memandang kepada orang yang datang melerai,
wajahnya menjadi berseri. Yang datang adalah seorang pemuda berusia sekitar dua
puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tidak kalah ganteng dan
gagah dibandingkan Bu Eng Hoat!
"Hemmm, orang muda, siapakah engkau yang datang mencampuri urusan kami yang
sedang bertanding?" tegur Ang-hwa Niocu dengan senyum manis.
Pemuda yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu adalah Liu Cin. Seperti
telah kita ketahui, sekitar puluh tahun yang lalu, ketika Ceng In Hosiang hwesio
tokoh Siauw-limpai itu dilukai lalu dikejar oleh Kanglam Sin-Kiam Kwan In Su, Im
Yang Tosu, dan Hongsan Siansu, melarikan diri dan akkhirnya jatuh pingsan, dia
ditolong oleh seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun yang kemudian menjadi
murid tunggalnya. Anak itu adalah Liu Cin, seorang anak yatim-piatu lain yang juga menjadi korban perang saudara. Setelah digembleng selama sepuluh tahun oleh
Ceng In Hosiang, Liu Cin lalu dilepas oleh Ceng In Hosiang, diperbolehkan turun
gunung dan merantau untuk menambah pengalaman dan memanfaatkan semua
pelajaran yang telah diterimanya dari gurunya. Oleh Ceng In Hosiang, Liu Cin sudah diberi banyak pelajaran tentang cara hidup seorang pendekar dan dia diharuskan
menjaga sepak terjangnya sebagai murid yang mewarisi ilmu silat Sia Lim-pai agar
jangan sampai mencemarkan nama besar dan nama baik perguruan silat terbesar
itu. Kalau sampai dia menyeleweng dari jalan benar, maka bukan hanya Ceng In
Hosiang yang akan mencari dan menghukumnya, bahkan semua tokoh Siau lim-pai
yang terdapat di mana-mana pasti akan menghukumnya. Selain diajar watak-watak
seorang pendekar budiman juga Liu Cin diberitahu tentang tokoh-tokoh dunia
persilatan yang terkenal baik mereka yang termasuk golongan putih (pendekar)
ataukah golongan hitam (pe jahat).
Akan tetapi, setelah merantau berapa bulan saja, tentu Liu Cin belum banyak
mendapatkan pengalaman sehingga ketika dia melerai perkelahian antar Ang-hwa
Niocu dan Bu Eng Hoat, dia berhati-hati agar jangan melukai seorang di antara
mereka. Dia tidak berani berpihak karena dia tidak tahu apa urusannya yang
membuat pemuda dan gadis itu bertanding, siapa berada di pihak benar atau salah.
Maka setelah tadi menangkis kedua senjata mereka dengan sepasang tongkat
pendeknya, Liu Cin melompat kebelakang dan ketika gadis cantik itu bertanya
kepadanya dengan sikap ramah dan senyum manis otomatis perasaan hatinya
berpihak kepada wanita itu! Hal ini tidak mengherankan karena agak sukar menduga
seorang gadis secantik dan selembut itu berada di pihak yang bersalah! Kalau sang gadis cantik bersikap ramah dan manis seperti itu, di tempat yang sepi, bertanding melawan seorang laki-laki, siapapun akan condong berpihak kepada wanita!
Dia merangkap kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan kepada
wanita itu lalu menjawab. "Saya bernama Liu Cin dan maafkan kalau saya tadi
lancang melerai Ji-wi (Anda berdua) yang sedang rkelahi. Saya yang kebetulan lewat disin dan melihat Ji-wi berkelahi, tidak Ingin melihat seorang wanita terluka, apalagi menjadi korban dan tewass di tangan seorang laki-laki." Lalu dia memandang
kepada Bu Eng Hoat dan bertanya dengan nada menegur. "saya kira seorang laki-laki tidak pantas untuk berusaha membunuh seorang wanita muda!"
Bu Eng Hoat tentu saja menjadi marah sekali. Tadi dia terdesak hebat dan nyaris
celaka di tangan iblis betina itu. Masih untung dia hanya mengalami lecet di pangkal lengan kirinya. Kini seorang pemuda yang tampaknya lihai yang dapat dia ketahui
dari cara pemuda itu melerai dan menangkis senjata mereka berdua. Akan tetapi
pemuda yang baru tiba ini tampaknya berpihak kepada Ang-hwa Niocu. Hai ini dapat
diduga dari nada bicaranya!


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sobat!" katanya gemas. "Engkau agaknya tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan! Ketahuilah bahwa wanita adalah Iblis Betina Ang-hwa Niocu yang suka
mempermainkan pria dan sudah banyak membunuh laki-laki muda. Iblis betina ini
sudah sepatutnya dibasmi agar jangan mengganggu para pria dan mengotorkan
dunia!" "Liu-enghiong (Pendekar Liu), jangan percaya obrolan manusia palsu ini! Dia yang hendak kurang ajar dan merayu aku, ketika aku tidak sudi dan menolaknya, dia
malah hendak merampas kereta dan kudaku. Nah, siapakah di antara kami yang
jahat?" kata Ang-hwa Niocu dengan suara merdu sambil menudingkan pedangnya
ke arah muka Bu Eng Hoat.
Pemuda murid Thong Leng Losu ini miliki watak yang keras. Mendengar ucapan Ang-
hwa Niocu yang memutarkan kenyataan itu, menuduh balik padanya, membuat dia
tidak dapat menahan diri lagi.
"Iblis betina jahanam!" bentaknya dan dia sudah menerjang lagi dengan nekat, menggunakan toyanya untuk menusuk kearah dada Ang-hwa Niocu. Gadis ini
dengan gerakan ringan sengaja melompat belakang Liu Cin seolah, minta
perlindungan. Liu Cin cepat menggerakkan sepasang tongkatnya sambil maju
menangkis serangan Bu Eng Hoat.
"Jangan menghina seorang wanita!" bentak Liu Cin sambil mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukkkkk!!" Dua orang pemuda itu terdorong ke belakang. Mereka terkejut dan maklum bahwa tenaga mereka seimbang. Bu Eng Hoat semakin mendongkol.
Pemuda yang baru datang ini jelas berpihak kepada Ang-hwa Niocu. Dia bukan
seorang yang bodoh dan nekat tanpa perhitungan. Dia tahu bahwa melawan
pemuda ini saja sudah merupakan lawan yang tidak mudah dikalahkan, padahal tadi
melawan Ang-hwa Niocu dia terdesak dan mungkin sekarang sudah terluka atau
tewas kalau pemuda itu tidak muncul. Maka kalau sekarang dia nekat melawan
keduanya, sama saja dengan bunuh diri. Dia lalu melompat jauh dan melarikan diri
secepatnya. Melihat Bu Eng Hoat melarikan diri, Ang-hwa Niocu tertawa terkekeh-kekeh. ' He-
he-hi-hi-hik, bocah sombong, baru Memiliki ilmu kepandiaan sebegitu saja sudah
berani menggangguku!"
Melihat wanita cantik itu tertawa terkekeh-kekeh seperti itu, Liu Cin yang masih
belum banyak pengalamannya itu memandang heran, sampai bengong. Belum
pernah dia melihat seorang gadis secantik dan sepesolek itu, juga belum pernah
melihat ada wanita, apalagi yang masih begitu muda, tertawa sebebas itu.
Ang-hwa Niocu kini memandang Liu Cin dan sambil tersenyum manis dan mata
dimainkan sehingga tampak memikat, dan mengangkat kedua tangan didepan dada
lalu membuat gerakan membungkuk dengan gemulai, ia berkata suaranya merdu
merayu. "Liu-enghiong, terima kasih, engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku tidak tahu dengan cara apa aku harus membalas budimu yang sebesar gunung ini"
Wajah Liu Cin berubah agak merah mendengar ucapan yang merayu ini. "Aih Nona, aku sama sekali tidak menyelamatkan nyawamu. Kulihat tadi bahwa eng'kau sama
sekali tidak terancam bahaya, bahkan engkau yang mendesak orang itu. Aku hanya
datang melerai." "Ah, agaknya engkau tidak tahu, enghiong. Orang jahat seperti itu biasanya memiliki banyak kawan. Kalau engkau tidak segera datang membuat dia melarikan diri, tentu
kawan-kawannya akan datang mengeroyokku. Engkau telah menyelamatkan aku
dan aku berterima kasih sekali!"
"Sudahlah, Nona, tidak perlu terlalu dilebih-lebihkan perbuatanku yang tiada artinya itu. Nona telah mengetahui namaku, sebaliknya, kalau boleh aku mengetahui,
siapakah namamu?" "Namaku adalah Lai Cu Yin dan duta kangouw menyebutku Ang-hwa Niocu. Aku
merasa berbahagia sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Liu-enghiong."
"Aku pun senang berkenalan denganmu, Nona Lai."
"Pertemuan antara kita yang terjadi secara kebetulan ini membuat kita menjadi sahabat, bukan" Bolehkah aku meng-ggapmu sebagai seorang sahabat baik?" "Tentu saja, Nona Lai! Aku merasa terhormat menjadi sahabatmu."
Ang-hwa Niocu tersenyum lebar, wajahnya yang cantik itu berseri gembira, selama
dua tahun lebih ia menjadi liar dan suka memburu dan mempermainkan pria untuk
memuaskan nafsu berahinya, belum pernah ia mendapatkan seorang pendekar.
Biasanya, ia hanya dapat mempermainkan pemuda-pemuda lemah dengan
menggunakan paksaan. Kini, bertemu dengan seorang pendekar seperti Liu Cin, ia
ingin memperoleh pemuda gagah ini sebagai kekasihnya tanpa mengunakan
paksaan, melainkan dengan sukarela. Ia merindukan belaian seorang laki laki yang
jantan yang mencintanya, bukan yang melakukan karena takut atau terpaksa. Maka
ia mencoba untuk menaklukkan Liu Cin dengan cumbu rayu.
"Aih, sungguh lucu dan tidak enak didengar kalau di antara sahabat baik mesti memanggil dengan sebutan sungkan seperti engkau menyebut Nona pada seolah-olah aku ini seorang yang asing bagimu."
Liu Cin tersenyum. "Lalu aku har menyebut bagaimana?"
"Tidak perlu pakai nona-nonaan! berapakah usiamu sekarang?"
"Dua puluh satu, hampir dua puluh dua tahun."
"Ah, kalau begitu mungkin aku lebih muda setahun atau kurang," kata Ang-hwa Niocu yang sesungguhnya sudah beri usia dua puluh lima tahun, akan tetapi tentu
saja ia juga pantas berusia dua puluh satu tahun karena memang pandai menjaga
dan merias diri sehingga tampak jauh lebih muda. "Maka, lebih baik dan lebih akrab kalau kusebut engkau Cin-Ko (Kakak Cin) dan engkau menyebut aku Yin-moi (Adik
Yin). Bagaimana, setujukah engkau, Cin-ko?"
Liu Cin merasa girang sekali. Dia adalah seorang yatim piatu yang sejak kecil hidup sengsara. Ketika berusia sebelas tahun, baru dia terbebas dari belenggu
kesengsaraan seorang anak miskin yang tertindas, yaitu ketika diambil murid oleh
Ceng In Hosiang. Akan tetapi dari kehidupan seorang anak yang miskin dan papa,
penuh penderitaan, dia memasuki kehidupan terpencil dan sepi, setiap hari selain
melayani suhunya, juga dia harus berlatih silat dengan tekun dan keras. Boleh
dibilang dia tidak pernah merasakan kehangatan hubungan persahabatan. Juga
setelah dia turun gunung, dia menemukan banyak kejahatan dan belum sempat
bertemu seorang yang baik kepadanya. Kini dia bertemu dengan seorang gadis yang
selain cantik jelita dan lihai ilmu silatnya, juga yang demikian ramah, baik dan akrab sekali sikapnya.
'Tentu saja aku setuju, Yin-moi!" sebutan itu demikian ringan diIndahnya juga demikian mesra rasanya, membuatnya terharu karena ia tidak pernah memiliki
saudara, apalagi saudara wanita dan belum pernah mempunyai seorang sahabat
wanita. "Ah, aku senang sekali, Cin-ko. lum pernah aku memiliki seorang sahabat pria yang begini gagah perkasa dan baik hati sepertimu!"
"Wah, jangan terlalu memuji, Yi-moi. Aku pun terus terang saja selama hidupku belum pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau dan aku masih merasa
heran bagaimana seorang gadis seperti engkau mau bersahabat dengan seorang
miskin dan tidak punya apa-apa seperti aku."
"Wih, sudahlah tidak perlu lagi bersungkan-sungkan, Cin-ko. Sebetulnya engkau datang dari mana dan hendak kemana?"
"Setelah beberapa bulan yang lalu aku disuruh turun gunung oleh guruku..........."
"Siapakah nama gurumu yang mulia" Beliau tentu seorang datuk yang sakti."
"Suhu adalah Ceng In Hosiang, seorang pendeta Siauwlimpai. Aku disuruh turun gunung dan aku merantau, tadinya aku berniat pergi ke kota raja untuk melihat
keadaan kota raja, akan tetapi mendengar akan keramaian kota Pao-ting, aku ingin
mengunjungi kota itu lebih dulu. Ketika lewat di sini aku melihat perkelahian tadi."
"Aih, sungguh kebetulan sekalil Ini g dinamakan jodoh! Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke Pao-ling dan tujuanku terakhir memang kota raja Peking!
Maka, kalau saja engkau sudi melakukan perjalanan bersamaku, kita dapat pergi ke
sana bersama, Cin-ko!" kata gadis itu dengan girang.
"Ah, tentu saja aku senang sekali, Yin-moi, dan terima kasih!"
"Nah, naiklah ke keretaku, Cin-koi. Sekarang ada engkau yang tentu suka
menggantikan aku menjadi kusir!"
Liu Cin tertawa senang. Mereka berdua menaiki kereta dan Liu Cin memegang
kendali kereta setelah membantu gadis itu memasang dua ekor kuda, sedangkan
gadis itu duduk di sampingnya Kereta bergerak cepat menuju ke timur, ke arah kota Pao-ting.
Liu Cin merasa betapa jantungnya berdebar aneh ketika karena kereta bergoyang,
tubuhnya bersentuhan dan terkadang merapat dengan tubuh Ang-hwa Niocu yang
duduk disampingnya. Dia merasakan tekanan tubuh yang lembut dan hangat,
mencium bau harum dan rambut dan tubuh wanita itu. Pengalaman yang baru
pertama kali dalam hidupnya dia rasakan ini membuat jantungnya berdegup dan dia
merasa bingung dan tegang.
Akan tetapi sekali ini Ang-hwa Nioc sengaja tidak menuruti gejolak berahinya.
Biasanya, berdekatan dengan orang laki-laki muda yang menggairahkan hatinya, ia
langsung merangkul dan merayu. Akan tetapi ia maklum bahwa Liu Cin adalah
seorang pendekar muda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman bergaul
dengan wanita. Masih seoorang perjaka, maka ia tidak mau membikin pemuda itu
terkejut dan takut, la tidak mau kehilangan Liu Cin, juga tidak ingin menggunakan paksaan atau kekerasan kepada pemuda ini. la menginginkan Liu Cin mencintanya
dengan sukarela. Lama ia merindukan cinta kasih tulus seorang pria, tanpa paksaan, dan bukan hanya tertarik oleh kecantikannya belaka. Karena itu ia membatasi diri, walaupun sentuhan-sentuhan yang terjadi kepada badan mereka karena duduk
bersanding dan kereta berguncang di jalan yang kasar itu cukup membuat nafsu
berahinya berkobar. Baru sekarang Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin benar-benar haus kasih sayang sejati
seorang pria. Karena itu, ketika dalam perjalanan itu Liu Cin bertanya tentang
riwayatnya, ia mau menceritakan. Lai Cu Yin dibawa lari oleh ibu kandungnya keluar dari Ko-le-kok (Korea), mengungsi ke daerah pedalaman Cina bagian utara. Ibu
kandungnya adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang menjadi isteri
seorang jenderal di kerajaan Ko-le kok. Karena sakit hati melihat jenderal yang
menjadi suaminya itu mulai menyia-nyiakannya setelah ia berusia empat puluh
tahun, dengan mengambil semakin banyak selir muda dan tidak mempedulikannya.
Leng Kin, wanita itu tergoda oleh seorang perwira muda dan menjalin hubungan
cinta gelap dengan perwira itu. Akan tetapi setelah hubung an itu berjalan setahun, sang perwira juga meninggalkannya. Bukan itu saja, perwira itu membuat laporan
palsu kepada suaminya bahwa ia telah melakukan penyelewengan. Suaminya marah
dan hendak menghukumnya, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, Leng Kin dapat
menyelamatkan diri dan pergi membawa lari puterinya, Cu Yin yang baru berusi
sepuluh tahun. Mula-mula ia hanya lari keluar dari lingkungan keluarga bangsawan
dan berhasil membunuh perwira yang telah mengkhianatinya. Kemudian karena
menjadi buronan, ia membawa puterinya lari keluar dari daerah Ko-le-kok memasuki
daerah Cina bagian Timur Laut.
Di sana dia bertemu dengan seorang pendekar yang usianya lima puluh tahun,
bernama Lai Koan, kemudian menjadi Isteri pendekar itu. Cu Yin yang berusia lima
puluh tahun itu lalu memakai nama marga Lai dari ayah tirinya. Akan tetapi
pernikahan itu pun hanya bertahan selama satu tahun karena setelah terjadi
keributan di perbatasan yang menimbulkan permusuhan antara bangsa Ko-le-kok
dan bangsa Cina, Lai Koan mulai membenci isterinya yang berbangsa Ko-le-kok.
Apalagi dia mendengar akan riwayat isterinya yang sebagai isteri telah melakukan
penyelewengan. Mereka bertengkar dan berpisah.
Sejak saat itu, Leng Kin membenci kaum pria. Ia memperdalam ilmu silatnya dan
mempelajari ilmu silat banyak aliran sehingga ia menjadi seorang datuk wanita yang lihai dan di daerah Timur Laut dikenal dengan julukan Hwa Hwa Mo-li. Ia
mempunyai seorang murid wanita yang usianya lima tahun lebih tua dan Lai Cu Yin.
Muridnya ini juga seorang anak yatim piatu, akan tetapi ketika menjadi murid Hwa
Hwa Mo-li, ia telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang memiliki
ilmu silat cukup tinggi. Gadis ini bernama Pek Bian Ci seorang gadis peranakan
Mancu/Han. Maka, ketika menjadi murid Hwa Hwa Mo-li Leng Kin, ia menjadi lihai
sekali Ia mewarisi semua ilmu Hwa Hwa Mo-li karena ia memang berbakat baik
sekali dan ia juga amat disayang gurunya karena ia merupakan murid yang taat
tekun dan setia. Hwa Hwa Mo-li yang membenci pria itu bahkan berhasil membuat
Pek Bian Ci bersumpah bahwa ia tidak akan membiarkan seorang laki-lak
menyentuhnya. Kalau ada yang menyentuhnya maka laki-laki itu harus dibunuhnya.
Kalau terdapat pertikaian antara pria dan wanita, ia harus membantu wanita itu,
tidak peduli wanita itu bersalah! Pendeknya, Hwa Hwa Mo-li berhasil mewujudkan
kebenciannya terhadap pria yang telah banyak menyakiti hatinya dalam diri Pek Bian Ci!
Sejak kecil Lai Cu Yin juga dijejali perasaan benci terhadap pria. Pendeknya pria adalah musuh mereka dan harus dibenci, kalau perlu dihukum mati!
Ketika Lai Cu Yin berusia dua puluh liga tahun dan Pek Bian Ci dua puluh delpan
tahun, pada suatu hari Hwa Hwa moli Leng Kin meninggal dunia karena menderita
sakit yang ditimbulkan oleh sakit hatinya terhadap pria. Setelah ia meninggal dunia, yang melanjutkan tinggal di Puncak Ang-hwa-san (Bukit Bunga Merah) adalah Pek
Bian Ci yang setia kepada gurunya itu.Lai Cu Yin yang wataknya lebih lincah, tidak betah tinggal lebih lama di puncak bukit sunyi itu dan turun bukit untuk merantau.
Sucinya (Kakak seperguruannya) memesan dengan keras agar sumoi (adik
seperguruan) itu ingat akan sumpah dan pesan Ibunya, yaitu tidak boleh menikah
dengan Laki-laki manapun!
Akan tetapi, berbeda dengan watak Pek Bian Ci yang keras seperti batu, Lai Cu Yin memiliki watak lincah gembira, bahkan romantis. Ia tidak dapat menghilangkan rasa sukanya kepada pria, bahkan ia dicengkeram nafsu berahi yang berkobar. Karena itu, setelah ia turun gunung dalam usia dua puluh tiga tahun ia bagaikan seekor kuda
binal lepas kendali! Ia suka bermain cinta dengan pemuda yang menarik hatinya.
Akan tetapi ia pun memegang sumpah ibu kandungnya untuk tidak menikah dengan
seorang laki-laki. Bahkan perasaan sakit hati dan bencinya terhadap pria masih tetap ada Maka mulailah Lai Cu Yin menjadi budak nafsu berahi dan sekaligus budak
dendam kebencian! Mulailah ia dengan petualangannya yang mengerikan. Kalau ada
seorang pemuda tampan yang menggairahkan hatinya, ia akan mengejar dan
berusaha menjadikan pemuda itu kekasihnya. Kalau pemuda itu menolak, ia merasa
terhina dan langsung membunuhnya. Akan tetapi kalau pemuda itu mau
melayaninya dengan senang ia akan membebaskannya setelah bergaul beberapa
hari dan merasa bosan. Bahkan ia memberi hadiah emas kepada pemuda itu! Selain
itu, Lai Cu Yin juga tidak segan-segan untuk mengambil harta siapa saja kalau
membutuhkannya! Setelah ia mulai dengan petualanganya, mulai terkenal pulalah julukannya, yaitu
Ang-hwa Niocu. Ia disebut Ang hwa karena ia selalu memakai tiga tangkai bunga
merah di rambutnya, bunga-bunga yang dapat dipergunakannya sebagai senjata
rahasia. Sejak dulu ia senang memakai bunga merah sebagai hiasan rambut dan di
bukit tempat tinggalnya memang terdapat banyak bunga merah, karena itu bukit itu
dinamakan Ang-hwa-san. Suci-nya, Pek Bian Ci, adalah seorang ahli tentang racun
dan jahat, dan gadis itu berhasil meramu obat
yang dapat membuat setangkai bunga berrtahan sampai berbulan-bulan tanpa layu
karena telah mengering namun masih tetap baik bentuk dan warnanya.
Demikianlah riwayat singkat Ang-Hwa Niocu Lai Cu Yin. Akan tetapi ketika ia
menceritakan riwayatnya kepada Liu Cin, ia tidak menceritakan hal-hal yang buruk
dari ibunya maupun dirinya sendiri! Liu Cin hanya mendengar bahwa ibu gadis ini
adalah gurunya sendiri, berbangsa Ko-le-kok dan sekarang sudah meninggal dunia.
Setelah Cu Yin selesai bercerita, Liu Cin menghela napas panjang. "Ah, kasihan engkau, Yin-moi. Jadi Ayahmu yang di Ko-le-kok seorang jenderal dan sek rang sudah meninggal dunia, demikian pula Ibumu" Engkau masih begini muda sudah yatim
piatu! Melihat ilmu silat yang demikian lihai, tentu mendiang Ibumu seorang wanita yang sakti!"
"Ah, biasa saja, Cin-ko. Engkau seorang murid Siauwlimpai, tentu ilmu silatmu hebat karena aku mrndengar bahwa aliran Siauwlimpai merupakan aliran persilatan paling
tua dan paling hebat. Sekarang giliranmu menceritakan riwayatmu, Cin-ko." Liu Cin merasa betapa pinggul dan dada gadis itu merapat pada tubuhnya sehingga terasa
kelembutan kehangatannya. Dia menganggap hal itu terjadi karena guncangan
kereta dan merasa senang sekali!
"Aih, apa sih yang menarik tentu diriku, Yin-moi" Aku ini seorang anak yatim piatu yang miskin sejak kecili Kalau aku tidak bertemu Suhu Ceng Hosiang dan diambil
murid, mungkin Aku sudah mati kelaparan atau tersiksa orang jahat. Orang tuaku
yang juga miskin telah meninggal dunia sebagai korban perang, dan sejak kecil aku sudah hidup sebatang kara. Suhu menganjurkan aku merantau untuk
menegakkankebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar dan disuruh mencari
pekerjaan yang baik di kota raja. Itulah riwayatku, sama sekali tidak ada yang
menarik." "Bagiku amat menarik, Cin-ko. Engkau seorang pendekar muda yang gagah perkasa, jujur dan sederhana. Sungguh aku senang sekali dapat melakukan perjalanan
bersamamu." Dengan cerdik Ang-hwa Niocu dapat merasakan betapa pemuda itu mulai tertarik
kepadanya, mulai merasa senang bersentuhan dan berdekatan dengannya. Akan
tetapi ia tidak terlalu mendesak, khawatir kalau hal itu akan mengejutkan hati
pemuda yang masih hijau ini. Akhirnya mereka memasuki kota Pao-ting yang ramai.
Orang-orang di kota itu merasa heran melihat sepasang muda-mudi dengan kereta
mereka, yang mengherankan adalah bahwa gadis itu amat cantik dan berpakaian
mewah sebagai seorang gadis bangsawan kaya akan tetapi yang duduk di
sampingnya walaupun juga seorang pemuda tampan gagah, namun pakaiannya
sederhana dan dari kain kasar, menunjukkan bahwa dia bukan seorang pemuda
hartawan. Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin menyuruh Liu Cin menuju ke sebuah rumah penginapan
besar bernama Ai-koan. Setelah menyerahkan kereta dan kuda agar diurus oleh
pelayan, ia mengajak Liu Cin memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan
itu untuk menyewa kamar"
"Cin-ko, kita sewa satu atau dua buah kamar?" tanya Cu Yin sambil lalui seolah pertanyaan itu biasa saja dan tidak mempunyai maksud tertentu. Ia memandang
wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Liu Cin menjadi kebingungan. Dia memang masih mempunyai sedikit uang, akan
tetapi tentu tidak akan cukup kalau untuk menyewa dua buah kamar berikut makan
malamnya. Dan sebagai seorang prla, tentu amat memalukan kalau mengharapkan
uang sewa kamar dan makan malam ditanggung oleh wanita! Akan tetapi dia
berwatak jujur, maka biarpun mukanya merah dia menjawab.
"Yin-moi, uangku tinggal sedikit. Tentu tidak cukup kalau untuk menyewa dua buah kamar, belum lagi nanti membayar makan malam."
Cu Yin tersenyum. "Aih, Cin-ko, mengapa mengkhawatirkan hal itu" Aku yang akan membayarnya, jangan khawatir tentang uang. Aku membawa banyak. Nah, sebuah
atau dua buah kamar?" Wanita itu mulai menguji hati pemuda itu.
"Tentu saja dua buah kamar, Cin-moi. Akan tetapi........., kalau itu terlalu mahal........
biar sebuah kamar saja untukmu. Aku dapat tidur di dalam kereta."
Melihat keraguan pemuda itu, Lai Cu Yin yang ingin memikat hati Liu Cin cepat
berkata dengan sikap sopan dan tahu susila. "Wah, mana mungkin aku membiarkan engkau tidur di kereta, Cin-ko. Juga, kalau kita tinggal sekamar, hal itu tentu akan menimbulkan dugaan yang tidak-tidak dan melanggar kepantasan dan tata susila.
Kita sewa dua buah kamar saja, seorang satu. Aku yang akan membayar semua
pengeluaran selagi kita melakukan perjalanan berdua."
Hati Liu Cin menjadi lega. Tadi mendengar mereka menyewa sebuah kamar sehingga
mereka akan tinggal beli sama saja sudah membuat jantungnya berdebar tidak
karuan. Tak dapat dia membayangkan apa akan jadinya kalau mereka tidur sekamar.
Kepada seorang pelayan setengah tua yang menyambut mereka, Cu Yin minta diberi
dua buah kamar yang berdampingan. Pelayan itu agaknya mengenal C uYin. Dia
memberi hormat dan berkata dengan gembira.
"Selamat datang, Nona. Ketika Nona bermalam di sini dahulu, Nona masih
meninggalkan sisa kembalian uang pembayarang Nona dan belum sempat kami
berikan karena Nona terburu-buru pergi."
"Ah, tidak mengapa, Paman. Sisa uang itu boleh untuk Paman saja, untuk tambah kebutuhan di rumah."
Pelayan itu berulang-ulang memberi hormat. "Ah, banyak terima kasih, Nona. Nona telah memberi banyak hadiah kepada para pelayan di sini. Nona sungguh murah hati
dan suka menolong kami yang miskin."
"Sudahlah, Paman. Jangan ganggu kami, kami lelah dan ingin segera mandi lalu makan sore ini."
Pelayan itu mengundurkan diri setelah Menunjukkan dua buah kamar yang
berdampingan. Diam-diam Liu Cin semakin Kagum. Dia mendapatkan bukti sebuah
sifat baik lagi dari gadis itu, yaitu bahwa Lai Cu Yin ini suka menolong orang dan murah hati!
Ketika mereka makan dalam rumah tuakan di bagian depan rumah penginapan Itu,
setelah mereka mandi dan bertukar pakaian, dalam ruangan makan itu terlihat
beberapa meja lain yang ditempati para tamu. Liu Cin maklum betapa pandang mata
semua tamu pria di ruangan Itu, secara berterang atau pun diam-diam melirik,
ditujukan kepada Cu Yin dengan sinar mata kagum. Diam-diam dia merasa bangga
sekali karena dialah duduk dekat gadis itu, dialah yang jadi sahabat Cu Yin!
Selagi mereka makan minum dengan hidangan yang bagi Liu Cin terlalu mewah


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena belum pernahdia makan dengan hidangan lauk pauk sebanyak itu, tiba-tiba
pandang mata Liu Cin yang tajam dapat menangkap sikap dua orang laki-laki yang
mencurigakan. Mereka adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan yang lain seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Dari sikap mereka, juga dari pedang yang mereka bawa dan kini mereka letakkan di atas meja, Liu Cin dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah orang kangouw yang melakukan perjalanan
berhenti melewatkan malam di Pao-ting. Akan tetapi ketika mereka memandang ke
arah Lai Cu Yin dengan sinar mata tajam kemudian saling berbisik-bisik sikap mereka jelas sedang membicarakan Cu Yin, Liu Cin menjadi curiga.
"Yin-moi," dia berbisik. "Dua oral laki-laki di sana itu agaknya sedang membicarakanmu. Apakah engkau mengenal mereka7"
Cu Yin sambil makan mengerling kearah dua orang itu, lalu ia melanjutkan makan
dan berbisik pula. "Cin-ko, jangan pedulikan mereka. Kebanyakan laki-laki itu memang tidak baik dan jahat, setidaknya kurang ajar. Aku kecualikan engkau Cin-ko, akan tetapi jarang ada laki-laki sebaik engkau."
Karena Cu Yin tidak mempedulikan lagi dua orang itu, maka Liu Cin juga melanjutkan makan dengan enak dan lahapnya. Setelah selesai makan, Cu Yin mengajak pemuda
itu keluar berjalan-jalan. Ketika mereka keluar dari rumah makan, ternyata dua
orang laki-laki tadi telah pergi.
Biarpun Liu Cin merasa malu dan menolak, namun dengan sangat Cu Yin membujuk
dan memaksanya agar suka menerima beberapa potong pakaian baru yang oleh
gadis itu dibeli dari sebuah loko pakaian di kota itu.
"Cin-ko, sudah kukatakan bahwa aku mempunyai banyak uang dan kulihat engkau
perlu memiliki beberapa potong pakaian baru untuk bekal dalam perjalanan,
Pakaian yang baik itu amat penting, Cin-ko karena orang-orang akan menilai tinggi dan menghargainya. Kalau kita mengenakan pakaian murah dan buruk, belum apa-apa orang sudah memandang rendah."
Sebetulnya Liu Cin tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi dia merasa tidak enak untuk membantah atau menolak. Pula, agaknya gadis itu tahu akan warna
kesukaannya. Semua pakaian yang dibelinya berwarna serba kuning!
Bagaikan seekor laba-laba mulai memasang jerat, Cu Yin mulai memikat hati Liu Cin dengan sikapnya yang baik sehingga pemuda itu menganggapnya seorang gadis yang
cantik, ramah, baik budi, dan sopan!
Malam itu, mereka tidur di kamar masing-masing dan tidak terjadi sesuatu yang
mencurigakan hati Liu Cin. Pemuda ini sama sekali tidak tahu betapa Lai Cu Yin
gelisah tidak mudah pulas di kamarnya, membayangkan betapa di kamar sebelah
pemuda yang menarik hatinya berada seorang diri dan ia membiarkannya tanpa
diganggu.Belum pernah melakukan kesabaran seperti ini pada laki-laki lain.
ooOOoo Pada keesokan harinya, setelah matahari naik cukup tinggi dan mereka sudah
mandi, tukar pakaian dan sarapan, Lai Cu Yin dan Liu Cin melanjutkan perjalanan
mereka menuju ke utara, ke ko raja. Liu Cin mengenakan pakaian baru yang
semalam dibelikan Cu Yin dan dan tampak semakin ganteng.
Ketika kereta sudah keluar dari ko Pao-ting dan tiba di jalan yang sepi tiba-tiba dari balik pohon-pohon berlompatan lima orang laki-laki dan mereka berdiri
menghadang di tengah jalan dengan sikap bengis dan di tangan mereka terdapat
senjata. Ada yang memegang toya sebanyak dua orang, dan tiga yang lain
memegang pedang. "Berhenti!!" bentak seorang di antar mereka yang paling tua.
Liu Cin yang menjadi sais menghentikan kudanya. Dia memandang kepada Cu Yin
dan gadis ini tersenyum mengejek. "Huh, gerombolan perampok menjemukan sudah bosan hidup!"
Liu Cin kini mengamati lima orang itu. Dari pakaian mereka dapat diketahui bahwa
mereka adalah orang-orang kang-ouw, akan tetapi dia tidak setuju dengan pendapat
Cu Yin bahwa mereka perampok. Mereka tidak tampak kasar dan kotor seperti para
perampok. Ketika melihat dua orang di antara mereka, dia terkejut karena dia
mengenal wajah mereka. Mereka itulah dua orang yang dia lihat di rumah makan
dan mereka memandang dengan sinar mata marah kepada Cu Yin!
Dengan sikap tenang Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin sudah melompat turun dari atas
kereta dengan gerakan ringan dan tanpa mencabut pedangnya.
"Hei, siapa kalian dan apa maksud kalian menghadang kereta kami?"
"Iblis betina! Tidak perlu banyak cakap lagi. Engkau telah membunuh adikku dua pekan yang lalu dan sekarang engkau harus menebusnya dengan nyawamu!' bentak
seorang di antara mereka, yaitu laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahunyang dilihat oleh Liu Cin di rumah makan bersama laki-laki tertua yang kini agaknya memimpin
rombongan lima orang itu.
"Aih, betulkah" Yang mana adikm itu" Sudah terlalu banyak penjahat kubunuh maka aku tidak ingat satu persatu. Kalau adikmu itu terbunuh olehku berarti dia jahat dan kalau engkau hendak membelanya dan menyusulnya untuk menemaninya di neraka,
majulah!" tantang Ang-hwa Niocu sambil mencabut pedangnya. Ia tidak menjawab bohong karena memang ia tidak tahu siapa yang dimaksudkan mereka.
"iblis betina keji, mampuslah engkau. Laki-laki tua yang bersenjata toya iti menyerang Cu Yin dengan gerakan cepat dan kuat. Namun Cu Yin yang sudah siap
siaga dengan ringan melompat kesamping untuk menghindar. Akan tetapi pada saat
itu, empat orang laki-laki lainnya sudah mengepung. Laki-laki berusia tiga puluh
tahun yang tadi menuduh Cu Yin membunuh adiknya juga bersenjata toya dan
dialah yang paling bernafsu, menyerang dengan sengit. Tiga orang lain yang
bersenjata pedang kini juga mengeroyok. Cu Yin yang berada di tengah segera
memutar pedangnya. Tampak sinar merah bergulung-gulung ketika ia memutar
pedang melindungi dirinya yang dihujani serangan lima orang pengeroyok itu.
Liu Cin yang tidak mengerti apa urusannya, tadinya diam saja. Akan tetapi melihat Cu Yin dikeroyok lima orang dan biarpun gadis itu dapat melindungi dirinya dengan gerakan pedangnya yang hebat, dia merasa tidak semestinya dia membiarkan
sahabatnya dikeroyok seperti itu. Yang membuat dia tadi agak sangsi adalah karena dia melihat betapa dua orang yang semalam dia lihat di rumah makan dan yang
keduanya menggunakan senjata toya, ternyata menyerang dengan permainan silat
toya dari Siauwl mpai! "Tahan senjata!!" Akhirnya Liu berseru dan dia melompat dari atas kereta dan menyerbu ke dalam perkelahiai menggunakan dua batang tongkatn untuk
membantu Cu Yin menangkisi senjata para pengeroyok.
Merasa betapa tangkisan sepasang tongkat itu kuat sekali, para pengeroyok terkejut dan menahan senjata karena tidak mengenal pemuda ini tidak tahu dia akan berdiri
di pihak si apa "Cuwi (Anda sekalian) adalah lima orang laki-laki gagah. Apakah tidak malu
mengeroyok seorang gadis muda" Kalau ada urusan, sebaiknya dibicarakan baik-
baik." kata Liu Cin.
"Bicara baik-baik dengan gadis muda Huh, ia ini iblis betina yang amat jahat pembunuh keji! Mau bicara apa lagi?" bentak laki-laki yang menuduh Cu Yin
membunuh adiknya lalu dia menyerang lagi, tidak peduli lagi kepada Liu Cin. Paman gurunya, yaitu laki-laki setengah tua yang juga bersenjata toya, cepat membantunya mengeroyok Cu Yin. Liu Cin terpaksa maju dan menyambut tiga orang lain yang
bersenjata pedang. Terjadilah perkelahian yang hebat. Cu Yin dikeroyok dua orang
bersenjata toya dan Liu Cin menghadapi pengeroyokan tiga orang yang bersenjata
pedang. Liu Cin mendapat kenyataan bahwa tiga orang pengeroyoknya bukan merupakan
lawan berat. Kalau dia menghendaki, dia akan dapat merobohkan mereka dengan
cepat. Akan tetapi dia masih ragu dan merasa tidak enak untuk merobohkan tiga
orang yang belum dia ketahui kesahannya itu. Dia tidak khawatir akan keselamatan
Cu Yin karena tadi pun dia sudah melihat betapa Cu Yin dengan mudah menahan
pengeroyokan lima orang. Gadis itu memiliki tingkat ilmu silat yang lebih tinggi
daripada dua orang pengeroyoknya. Yang dia khawatirkan adalah kaiau-kalau Cu Yin
melakukan pembunuhan. Dia harus tahu lebih dulu apa kesalahan dua orang murid
Siauwlimpai Itu! Bagaimanapun juga, walaupun dia bukan murid dari Kuil Siauwlimsi, namun gurunya adalah tokoh Siauwlim maka dia pun dapat dibilang seorang murid
Siauwlimpai itu pula. Ini sebabnya dia tidak mau melawan dua orang murid
Siauwlimpai itu dan memilih melawan tiga orang yang lain, yang bersenjata pedang
dan tidak memiliki ilmu silat aliran Siauwlimpai.
"Yin-moi, jangan bunuh orang......!" Liu Cin berseru untuk ke dua kalinya kepada Cu Yin.
Sebetulnya, kalau menuruti kehendaknya sendiri, Cu Yin ingin membunuh lima
orang laki-laki yang berani menentangnya. Kalau ia tidak bersama Liu Cin semua
pengeroyok itu tentu sudah di bunuhnya. Akan tetapi ia khawatir hal itu akan
mendatangkan rasa tidak senang dalam hati Liu Cin, maka sampai sekian lamanya ia
masih belum mau merobohkan dua orang lawannya.
Kini mendengar seruan Liu Cin untuk ke dua kalian, ia lalu mencabut dua tangkai
bunga merah dari rambut kepalanya dengan tangan kiri dan dua kali ia
menggerakkan tangan kiri, sinar merh meluncur dan dua orang pengeroyoknya
mengaduh lalu berlompatan ke belakang. Pundak mereka terkena bunga merah
yang meluncur cepat tadi dan setangkai bunga itu menancap di pundak mereka,
menembus baju dan kulit, terasa pedih dan panas. Sementara itu, melihat tiga orang temannya yang berpedang juga kewalahan dan terdesak oleh Liu Cin, dua orang
murid Siauwlimpai itu berseru kepada tiga orang temannya yang segera
berlompatan ke belakang. Laki-laki berusia lima puluh tahun itu kini memandang kepada Liu Cin dan bertanya,
"Orang muda, bukankah engkau seorang murid Siauwlimpai" Siapa namamu?"
"Namaku Liu Cin dan siapa guruku tidak perlu kukatakan." jawab Liu Cin.
"Sahabatku ini berjuluk Siauwlim Enghiong (Pendekar Siauwlim)!" kata Cu Yin sambil tersenyum.
Laki-laki setengah tua itu lalu berkata, "Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi lain kali kami akan membuat perhitungan!" Setelah berkata demikian, dia
membalikkan tubuhnya dan pergi di kuti empat orang yang lain.
Setelah mereka pergi. Cu Yin dan Ll Cin kembali duduk di atas kereta yang segera
dijalankan melanjutkan perjalanan mereka.
"Yin-moi, mengapa engkau mengatakan kepada mereka bahwa aku seorang
pendekar Siauwlimpai?"
"Kenapa, Cin-ko" Tidak keliru, bukan Engkau memang seorang enghiong (pendekar) dari Siauwlimpai." kata Cu Yi sambil tersenyum. Hatinya senang karena lagi-lagi pemuda ini membelanya ketika ia dikeroyok lima orang itu. Ini baginya merupakan
pertanda bahwa Liu Cin mulai "ada hati" kepadanya.
"Dua orang itu juga murid Siauwilm pai, Yin-moi. Aku dapat mengenal l mu toya mereka ketika mereka mengeroyokmu."
"Akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih rendah, Cin-ko."
"Biarpun begitu, jelas mereka itu murid Siauwlimpai, maka aku merasa heran sekali bagaimana engkau dapat dimusuhi murid-murid Siauwlimpai. Hal Ini tentu saja
membuat hatiku merasa tidak enak, karena bagaimanapun juga mereka adalah
saudara-suadara seperguruan denganku, walaupun aku tidak mengenal mereka."
"Hemmm, Cin-ko, agaknya engkau memang belum banyak pengalaman di dunia
kangouw. Ketahuilah bahwa nama aliran tidak menjamin seorang murid itu mesti
baik. Banyak saja murid perguruan besar yang menjadi penjahat dan biarpun
saudara seperguruanmu kalau mereka jahat, apakah engkau juga akan
membelanya?" Liu Cin memang tidak pandai bicara dan dia sudah mulai percaya sepenuhnya
kepada Cu Yin, maka dia menerima semua keterangan gadis itu.
Di sepanjang perjalanan menuju ke kota raja itu, Cu Yin selalu bersikap ramah, akrab dan terkadang mesra namun masih dalam batas kesopanan sehingga Liu Cin mulai
merasa bahwa gadis itu mencintanya dan dia pun amat tertarik karena gadis itu
bersikap demikian lembut, ramah, dan baik hati. Bahkan di sepanjang perjalanan,
sering Cu Yin dengan sengaja membagi-bagi uang kepada penduduk dusun yang
miskin sehingga pemuda itu menjadi semakin kagum!
Pada suatu hari mereka berhenti sebuah dusun yang cukup ramai dan seperti biasa,
kembali mereka bermalam di dalam sebuah rumah penginapan, menyewa dua buah
kamar. Baru saja Liu Cin memasuki kamarnya dan melepas sepatu lalu merebahkan
diri di atas pembaringan sambil membayangkan wajah Lai Cu Yin yang kini benar-
benar telah memikatnya,daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar.
Dengan kaki telanjang Liu Cin turun dari pembaringan dan membuka dauri pintu. Cu
Yin berlari masuk sambil menangis! Tentu saja Liu Cin menjadi terkejut, heran dan khawatir. Dia menutupkan daun pintu agar tangis gadis itu tidak terdengar atau
terlihat orang lain dari luar. Kemudian dia menghampiri Cu Yin yang sudah duduk di tepi pembaringan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak dan
pundaknya bergoyang-goyang.
Karena khawatir dan bingung, Liu Cin lupa akan kepantasan dan tanpa dia sadari dia pun duduk di sebelah Cu Yin, memegang pundaknya dan bertanya dengan halus dan
khawatir. "Yin-moi, ada apakah" Kenapa engkau menangis, Yin-moi" Apa yang
terjadi.............?"
Mendengar suara pemuda itu dan merasa betapa pundaknya dipegang, dengan
sentuhan mesra, tiba-tiba Cu Yin merangkul dan menangis di pundak pemuda itu.
Tangisnya mengguguk dan sedih sekali. Liu Cin tentu saja terkejut dan juga rikuh dan bingung, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menolak"
"Yin-moi, katakanlah, kenapa engkau menangis sesedih ini" Apa yang
terjadi...........?" Dia merasa betapa air mata gadis itu merembes dan menembus bajunya, membasahi kulit pundaknya. Dia merasa terharu sekali.
Cu Yin masih terisak-isak. Akan tetapi isaknya makin berkurang dan ia akhirnya
melepaskan rangkulannya dan kedua tangan menggosok-gosok kedua mata dengan
kedua tangannya. Ketik tangannya diturunkan Liu Cin melihat mata yang indah itu
kini agak kemerahan dan pipinya masih basah.
Kemudian Cu Yin menundukkan pandang matanya dan dengan suara masih diselingi
isak tertahan ia berkata, suaranya gemetar dan lirih.
"Cin-ko........ besok siang.......... besok siang kita sudah akan tiba di kota raja..........."
Liu Cin menjadi semakin heran. "Kalau begitu, kenapa" Bukankah memang tujuan kita ke kota raja, Yin-moi" Mengapa engkau bersedih?"
".............. setelah tiba di sana.......... kita ............ kita akan berpisah.......... engkau akan ........... tinggalkan aku.............. hu-hu-hu-huuuh............" Kembali Cu Yin merangkul dan kini ia menangis tersedu-sedu di dada Liu Cin!
Kembali Liu Cin gelagapan, akal tetapi dia merasa tidak tega untuk melepaskan
rangkulan gadis itu yang membuat dia menjadi serba salah dan tida karuan rasanya.
Jantungnya berdebar-debar, tubuhnya panas dingin ketika merasa betapa tubuh
gadis itu melekat pada tubuhnya, pakaian penutup tubuh itu terasa seolah tidak ada.
"Tapi....... tapi, Yin-moi, sudah semestinya kita berpisah. Akan tetapi persahabatan kita tidak akan pernah hilang........." Dia mencoba untuk menghibur, diam-diam merasa heran sekali mengapa perpisahan yang sudah semestinya terjadij itu
demikian menyedihkan hati Cu Yin.
?"". uhu-huuuh....... aku........ aku akan mati kalau kau tinggalkan, Cin-ko.......... aku aku cinta padamu, Cin-ko.......... jangan kau tinggalkan aku........" Cu Yin menangis lagi.
Jantung dalam dada Liu Cin semakin berdegup kencang "Yin-moi, aku juga sayang padamu........"
"Cln-ko.......!!" Dan dengan tarikan kuat, Cu Yin merebahkan diri telentang di atas pembaringan sambil tetap merangkul leher Liu Cin sehingga pemuda itu pun ikut
pula jatuh rebah di atas tubuh wanita itu. Sejenak mereka berdekapan, lalu tiba-tiba Liu Cin sadar bahwa perbuatan itu tidak layak dan tidak baik, melanggar tata susila yang diajarkan gurunya kepadanya. Maka cepat dia melepaskan rangkulan wanita
itu dan bangkit duduk, menarik napas panjang untuk meredakan gelora dalam
hatinya. "Cin-ko........." Cu Yin memanggil dengan suara yang merdu dan ruyu dan terengah-engah.
Liu Cin menoleh dan memandang Wanita itu rebah telentang dengan gaya yang
amat memikat sehingga dia cepat mengalihkan lagi pandang matanya dan
memandang ke lain jurusan.
"Cln-ko, kenapa engkau menjauhkan diri."
"Yin-moi, apa yang kita lakukan ini tidaklah benar. Salah dan buruk sekali!"
"Tapi, Cin-ko, bukankah engkau juga sayang padaku" Bukankah engkau mencintaku seperti aku mencintamu?" suara wanita itu kini lebih keras dan mengandung
tuntutan dan penasaran. "Yin-moi, cinta bukan berarti harus melakukan perbuatan yang melanggar
kesusilaan." "Cin-ko!" Suara Cu Yin kini terdengar kaku dan ia pun bangkit duduk di sebelah Liu Cin. "Apa maksudmu dengan melanggar kesusilaan" Kita saling mencinta apa
salahnya bermesraan dan melampiaskan perasaan cinta kita?"
"Yin-moi, kita adalah sahabat, sama sekali tidak boleh melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan suami isteri."
"Kita bisa menjadi suami isteri! Aku mau menjadi isterimu, Cin-ko!"
Liu Cin menghela napas dan bangkit berdiri, lalu pindah duduk di atas kursi tetap tidak berani menentang pandangan mata Cu Yin.
"Yin-moi, pernikahan bukanlah urusan semudah itu. Harusdilakukan dengan
persetujuan orang tua........."
"Akan tetapi kita sudah yatim piatu Tidak perlu mendapat restu orang tua lagi. Kita dapat begitu saja menjadi suami isteri atas persetujuan kita sendiri!"
Liu Cin bangkit berdiri. "Tidak, Yin moi. Aku masih mempunyai guruku yang menjadi wakil orang tuaku. Hal ini harus dibicarakan dulu dengan guruku, aku tidak berani melanggar. Nah, tidurlah, Yin-moi dan tenangkan hatimu. Jangan bicarakan hal itu
lagi sekarang, tidurlah karena besok pagi pagi kita harus melanjutkan perjalanan ke kota raja. Selamat tidur, Yin-moi." Setelah berkata demikian, Liu Cin membuka daun pintu dan memberi isarat dengan sikap hormat agar gadis itu suka kembali ke
kamarnya sendiri. Cu Yin hampir tidak percaya. Ia merasa sudah berhasil memikat Liu Cin dan yakin
bahwa pemuda itu cinta padanya dan memiliki gairah terhadap dirinya. Akan tetapi
setelah ia hampir yakin usahanya berhasil, tiba-tiba saja pemuda itu menolaknya!
Bangkit kemarahan dalam hatinya. Kalau bukan Liu Cin yang bersikap menolak
seperti itu, pasti ia sudah turun tangan membunuhnya. Akan tetapi, ia tidak mau
membuat ribut di rumah penginapan yang tentu akan menarik perhatian karena
pemuda itu tentu akan melawan dan tidak begitu mudah dibunuh. Selain itu, juga ia merasa sayang kalau pemuda itu dibunuh begitu saja. Sudah sekian lamanya ia
bersabar dan berusaha menalukkannya. la berhasil membuat pemuda itu jatuh cinta
kepadanya, akan tetapi sama sekali tidak berhasil merayunya untuk melayani nafsu
berahinya. Tanpa bicara lagi la lalu berlari keluar dari kamar itu dan kembali ke dalam
kamarnya. Liu Cin menghela napas panjang, setengah lega setengah menyesal harus
smenolak ajakan Cu Yin yang telah menjatuhkan hatinya. Pelajaran tentang
kesusilaan yang ditanamkan dalam batinnya telah tumbuh kuat sehingga
menyelamatkannya dari perbuatan yang melanggar sendi-sendi kesusilaan yang
dijunjung tinggi oleh gurunya. Akan tetapi, dia benar-benar terguncang karena hawa nafsu juga berkobar dalam dirinya, maka dia cepat bersila di atas pembaringannya
untuk bersamadhi dan memadamkan api berahi itu.
Pada keesokan harinya, ketika Liu Cin keluar dari kamarnya setelah mandil dan tukar pakaian, dengan heran dia melihat Liu Cin sudah duduk di ruangan depan, sudah
mandi dan mengenakan pakaian baru, dan diam-diam dia merasa heran karena
sejak tadi dia sendiri merasa gelisahdan salah tingkah merenuangkan pertemuannya
pagi itu dengan Cu Yin, akan tetapi dia melihat Cu Yin berwajah cerah, bahkan
berseri-seri, biasanya tersenyum manis dan matanya pun sama sekali tidak
memperlihatkan tanda habis menangis. Ia tidak tampak sedih, marah, atau malu,
seolah semalam tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Di samping rasa
heran, juga Liu Cin diam-diam merasa lega dan bersukur karena sikap gadis itu
benar-benar mengusir semua kegelisahannya.
"Selamat pagi, Cin-ko." katanya sambil tersenyum. Wajahnya tampak berseri seperti orang yang merasa puas dan serang.
"Selamat pagi, Yin-moi. Sepagi ini engkau sudah selesai berkemas rupanya." Liu Cin melihat betapa buntalan pakaian dan pedang gadis itu sudah diletakkan di atas meja di dekatnya. "Kalau begitu, aku juga harus berkemas!"
"Cepatlah, Cin-ko. Kita sarapan dulu di rumah makan sebelah timur penginapan ini, lalu kembali mengambil kereta dan melanjutkan perjalanan."
Liu Cin mengemasi pakaiannya. Mereka berdua lalu pergi ke rumah makan yang
pagi-pagi sudah buka karena biasa melayani orang-orang sarapan pagi di situ. Meja-mejanya penuh dan masih untung mereka mendapatkan sebuah meja kosong yang
baru saja ditinggalkan tamu.
Mereka makan bubur ayam dan minum teh hangat. Setelah selesai sarapai dan
hendak membayar, tiba-tiba percakapan orang-orang dari meja sebelah menarik
perhatian mereka. "Apa" Engkau belum mendengarnya Sungguh, semalam ada siluman rase (musang)
mengambil korban dua orang pemuda!" kata seorang laki-laki gemuk kepada
temannya yang kurus. "Benar, kami juga mendengar berita menyeramkan itu " kata seorang tamu lain yang duduk di meja sebelah kiri bersama dua orang temannya.
"Aku yang menjadi saksi hidup bahwa berita itu memang benar, bukan kosong
belaka!" tiba-tiba seorang laki-laki tua kurus yang penuh keriput berkata sambil mengangguk-angguk. Semua orang, termasuk Liu Cin dan Lai Cu Yin, memandang
kepada orang tua itu. Laki-laki tua itu tampak gembira. Dia adalah model orang tua yang suka berceloteh dan bangga kalau dapat menceritakan berita yang belum
diketahui orang lain sehingga semua perhatian ditujukan kepadanya, seolah dia yang menjadi pahlawan dalam apa yang dia ceritakan.
"Bagaimana ceritanya, Lo-pek (Paman tua)?" tanya beberapa orang.
Kakek itu memasang gaya ketika semua orang memandang kepadanya dengan
penuh perhatian, seolah pandang mata mereka semua bergantung pada bibirnya
yang kering. . "Malam tadi seperti kalian semua tahu, malam tidak hujan akan tetapi bulan
sepotong memberi cahaya yang menyeramkan dan udaranya amat dingin sehingga
aku sendiri tidak mempunyai niat untuk keluar dari rumah......"
Aih, ceritakan tentang siluman rase itu, Lo-pek!" cela seseorang.
"Tidak sabaran benar sih, engkau!" Kakek itu cemberut.
"Biarkan dia bercerita." Orang lain mencela orang yang memotong cerita
tadi."Lanjutkan, Lo-pek!"
"Akan tetapi pada tengah malam aku mendengar burung hantu terbang lewat
rumahku dan mengeluarkan bunyi yang menyeramkan itu. Nah, pada keesokan
paginya, pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing, aku teringat bahwa saluran air ke sawahku belum dibuka bendungannya. Aku lalu pergi di bawah sinar bulan
reman-remang menuju ke sawah di luar dusun. Nah, di sana, di dekat gubuk besar
yang kita bangun bersama di tepi sawah itu, dalam keremangannya sinar bulan, aku


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat seorang wanita cantik sekali terbang......."
"Ihhh!" Beberapa orang berseru ngeri. Pada jaman itu, semua orang percaya bahwa apa yang disebut siluman rase adalah siluman yang suka beralih rupa menjadi
wanita yang sangat cantik dan biasanya suka menggoda laki-laki.
"Lo-pek, bagaimana engkau tahu bahwa ia itu wanita cantik kalau cuacanya tidak begitu terang?" tanya seseorang.
Kakek itu tampak marah. "Hemmm, tua-tua begini mataku masih awas dan aku
sudah biasa melihat dalam gelap. Tampak jelas ia seorang wanita, tubuhnya ramping menggairahkan dan wajahnya cantik jelita seperti dewi! Jelas ia seorang wanita
muda yang cantik sekali, aku berani bersumpah! Wanita itu pergi seperti terbang
saja. Tubuhnya seperti melayang di atas tanah dan tak lama kemudian ia sudah
menghilang. Karena merasa ngeri, aku lalu berlari pulang, tidak jadi membuka
bendungan air. Lalu tadi aku mendengar ramai-ramai orang meributkan bahwa di
gubuk itu ditemukan mayat dua orang pemuda, yaitu Ang Kongcu (Tuan Muda Ang)
putera kepala dusun kita dan seorang temannya, Si A-lok! Tentu dua orang pemuda
itu menjadi korban Siluman Rase yang kulihat sebagai puteri cantik itu!"
Tampak jelas betapa hampir semua orang bergidik dan ketakutan.
Liu Cin saling pandang dengan Cu Yin dan melihat wajah gadis itu juga tampak
ketakutan. Dia merasa penasaran. "Lo-pek, apa buktinya bahwa dua orang itu
terbunuh oleh wanita yang kau anggap siluman rase itu?"
Kakek Itu memandang kepada Liu Cin dan berkata, "Ah, agaknya engkau bukan
penduduk sini, ya" Sudah jelas mereka menjadi korban siluman rase. Mendengar
ribut-ribut itu aku segera berlari ke sana dan aku melihat sendiri dua mayat pemuda itu. Jelas mereka berdua dibunuh oleh siluman rase."
"Bisa saja dia terbunuh oleh orang jahat seperti perampok misalnya." bantah Liu Cin,
"Tidak mungkin! Pakaian mereka masih lengkap berada di gubuk ita dan uang di saku baju Ang Kongcu masih utuh. Bukti lain yang tidak dapat diragukan lagi, dua
orang pemuda itu mati dalam keadaan telanjang bulat"
"Ihhh........!!" Banyak mulut berseru dan bergidiklah mereka yang berada di situ.
Bahkan yang sedang makan membatalkan makannya karena merasa muak.
"Tepat seperti dalam cerita tentang siluman rase. Mereka itu tentu diculik siluman yang menjadi wanita cantik, dipaksa untuk bercinta kemudian darah mereka dihisap
sampai habis. Buktinya, dua orang pemuda itu mati tanpa ada luka sama sekalil"
Kembali semua orang bergidik dan satu demi satu segera meninggalkan rumah
makan karena merasa ngeri dan ada yang hendak membuktikan sendiri. Banyak
orang berbondong menuju ke luar dusun di mana dua mayat itu ditemukan.
Liu Cin dan Cu Yin juga keluar dari rumah makan itu. Mereka mengambil kereta dari rumah penginapan. Setelah kereta mereka keluar dari dusun itu, Cu Yin berkata,
"lhhh, ngeri benar cerita mereka tadi..........!"
"Mungkin dilebih-lebihkan," kata Liu Cin. "Bisa saja dibunuh orang yang balas dendam dengan pukulan mematikan, kemudian mereka ditelanjangi agar tersiar
bahwa pembunuhnya adalah iblis."
Cu Yin diam saja. Ia tidak merasa menyesal membunuh dua orang pemudi itu. Sejak
bergaul dengan Liu Cin, ia telah menahan-nahan gelora nafsunya dan malam itu
merupakan puncaknya ketika ia ditolak oleh Liu Cin. Maka kumatlah penyakitnya
dan diam-diam ia mencari mangsanya. Sebetulnya dengan senang hati dua orang
pemuda itu menuruti kemauannya. Ia terpaksa membunuh mereka pada keesokan
paginya karena ia tidak ingin mereka itu membuka rahasianya sehingga terdengar
oleh Liu Cin. Ia sudah terlanjur bersikap sebagai seorang gadis terhormat dan sopan di depan Liu Cin dan mengharapkan cintanya.
Mereka melanjutkan perjalanan dani Liu Cin sama sekali tidak mencurigai Cu Yin
walaupun hatinya merasa heran melihat Cu Yin yang malam tadi ia buat kecewa itu
kini bersikap manis seperti biasa.
ooOOoo Ong Hui Lan melangkah dengan tenang dan la melamun. Perjalanannya sudah tiba
dekat tujuan, yaitu kota raja. Ia melakukan perjalanan dari Nan-king menuju ke kota raja untuk memenuhi perintah ayahnya.
Ong Su, ayah Ong Hui Lan, adalah seorang bangsawan Kerajaan Chou yang dulu
menjadi Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou. Setelah Kerajaan Chou jatuh, dia tidak
mau membantu pemerintah baru Kerajaan Sung dan pindah ke Nan-king di mana dia
menjadi pengajar sastra bagi anak-anak para hartawan dan bangsawan.
Ketika puteri tunggalnya, Ong Hui Lan, sudah selesai belajar ilmu silat dari Tiong Gi Cln-jin dan kini menjadi seorang gadis yang bukan saja ahli sastra akan tetapi juga ahli silat tingkat tinggi, Ong Su mengutus puterinya untuk pergi ke kota raja dan membantu perjuangan Pangeran Chou Bun Heng yang bercita-cita membangun
kembali Kerajaan Chou! Sebetulnya Hui Lan tidak ingin membantu Pangeran Chou Ban Heng yang hendak
memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, karena gurunya sudah
menasihatnya agar ia jangan melibatkan diri dalam perang saudara yang dicetus kan orang-orang yang saling memperebut kan kekuasaan. Akan tetapi Ong Su marah
melihat puterinya merasa ragu dan tidak ingin pergi.
"Hui Lan, ingatlah! Agama kita meng ajarkan bahwa manusia hidup haruslah
mengutamakan Hauw (Berbakti)! Bakti pertama kepada Thian (Tuhan) telah kau
lakukan dengan selalu berusaha menjadi manusia yang baik budi. Bakti ke dua
kepada orang tua dan ini dapat kau lakukan dengan menuruti semua pengarahan
orang tua, mengangkat tinggi nama darah kehormatan orang tua dan
menyenangkan hati orang tuamu. Kini bakti ke tiga yang belum kau lakukan, yaitu
bakti kepada negara! Kita adalah warga dari Kerajaan Chou, karena itu bagi kita,
negara adalah Kerajaan Chou yang telah dirampas oleh pemberontak yang sekarang
mendirikan Kerajaan Sung. Sekarang! Pangeran Chou Ban Heng sedang berusaha
untuk berjuang membangun kembali Kerajaan Chou dan menumbangkan kerajaan
pemberontak Sung. Pangeran Chou Ban Heng adalah keponakan mendiang Kaisar
Chou Ong, dan dengan kita masih ada hubungan saudara misan, biarpun agak jauh.
Nah, sekarang, setelah engkau memiliki kepandaian bun (sastra) dan bu (silat),
sudah menjadi tugasmu untuk berbakti kepada negara dengan membantu
perjuangan Pangeran Chou Ban Heng dan sekaligus berbakti kepada orang tua
karena menjunjung tinggi nama dan kehormatan ayahmu."
"Akan saya taati perintah Ayah, akan tetapi dengan satu ketentuan bahwa kalau di kota raja saya disuruh melakukan perbuatan yang jahat dan menyimpang dari
kebenaran, saya akan menolaknya, Ayah.,"
"Tentu saja, anakku. Jangan khawatir, Pangeran Chou Ban Heng bukanlah seorang jahat. Dia seorang patriot yang setia terhadap Kerajaan Chou kita. Ini kuberi
sesampul surat, berikanlah kepada Pangeran Chou Ban Heng dan engkau tentu akan
diterima dengan senang."
Demikianlah, Ong Hui Lan berangka ke kota raja. Setelah tiba di kota raja mudah saja dia menemukan tempat tinggal pangeran yang dicarinya, yang ketika itu telah
menjadi seorang pejabat tinggi, yaitu Penasehat Angkatan Perang! Sebutannya kini
bukan lagi pangeran, melainkan jenderal, yaitu Chou Coanswe (Jenderal Chou). Siang hari itu ia tiba di depan pintu gerbang pekarangan gedung Chou Goanswe. Dua
orang perajurit pengawal yang berjaga di gardu dekat pintu gerbang segera
menghadangnya. Karena belum tahu dengan siapa mereka berhadapan, dan melihat
sikap gadis cantik itu yang demikian gagah, dua orang perajurit itu bersikap hati-hati dan sopan, tidak berani mengganggu walaupun mata mereka memandang kagum
dan bagaikan pandang mata anjing kelaparan.
"Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang ke sini?" tanya seorang dari mereka.
"Aku datang dari Nan-king, hendak menyampaikan surat dari Ayah Ong Su kepada Paman Pangeran Chou Ban Heng."
"Pangeran Chou........" Ah, maksudmu Jenderal Chou Ban Heng, Nona?"
"Benar, aku ingin menghadap Paman Jenderal Chou, membawa surat dari Ayah Ong Su di Nan-king, harap laporkan kepada beliau." Hui Lan sengaja tidak
memperkenalkan namanya karena ia anggap tidak perlu memperkenalkan namanya
kepada para perajurit. Mendengar gadis cantik itu menyebut kepada atasan mereka, dua orang perajurit
jaga itu tentu saja tidak berani bertanya lebih lanjut. Mereka mempersilakan Hui Lan duduk menunggu di bangku depan gardu, dan seorang dari mereka lalu melaporkan
tentang kedatangan gadis itu ke dalam gedung.
Ketika itu, Pangeran Chou Ban Heng yang kini lebih umum disebut Jenderal Chou
sedang berbincang-bincang dengan puteranya. Chou Kian Ki telah menyusul ayahnya
di kota raja dan sudah sekitar dua pekan berada di gedung ayahnya. Juga tiga ofang gurunya, Kanglam Sin-kiam Kwan ln Su, Im Yang' Tosu, dan Hongsan Siansu Kwee Cin
Lok kini telah berada dikota raja. tinggal di dalam gedung Jenderal Chou. Tiga orang tokoh kangouw ini pun duduk dalam ruangan itu, ikut membicarakan tentang cita-cita Jenderal. Chou untuk membangun kembali Kerajaan Chou, kini dengan
mengambili siasat dan cara lain. Dulu dia terang-terangan memberontak dan
menyusun pasukan, akan tetapi karena kalah dan gagal, kini dia sengaja mendekati
Kaisar dan menerima pekerjaan menjadi Penasehat Angkatan Perang sambil
menanti kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya.
Mendengar laporan perajurit jaga bahwa ada puteri Ong Su dari Nan-king hendak
menghadapnya, Jenderal Chou menjadi girang. Tentu saja dia ingat akan Ong Su,
bekas Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou, seorang yang amat setia kepada: Kerajaan
Chou sehingga kini lebih suka mengungsi ke Nan-king daripada harus bekerja pada
pemerintahan baru Ong Su itu masih terhitung saudara misannya. Maka dia lalu
menyuruh puteranya, Chou Kian Ki untuk keluar dan menyambut kedatangan puteri
Ong Su itu. Kian Ki segera keluar dan setelah tiba di pintu gerbang, dia tercengang melihat
seorang gadis yang cantik, pakaiannya rapi akan tetapi tidak mewah dan sikapnya
agung, duduk di atas bangku.
Kian Ki menghampiri dan segera bertanya. "Apakah Nona lni puteri Paman Ong Su dari Nan-king?"
"Benar, saya puterinya. Siapakah Kong-cu (Tuan Muda)?" tanya Hui Lan sambil bangkit berdiri dan memandang pemuda tinggi tegap berpakaian mewah dan
berwajah jantan dan tampan itu.
Kian Ki segera mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat. "Ah, kiranya Ong Siocia (Nona Ong). Selamat datang di rumah kami! Aku adalah Chou
Kian Ki, putera Jenderal Chou. Mari, silakan masuk untuk bertemu dengan ayah,
Nona." "Terima kasih," kata Hui Lan dan mereka berdua segera berjalan menuju gedung.
Setelah memasuki ruangan yang luas itu dan berhadapan dengan Jenderal Chou Hui
Lan segera memberi hormat dengan sikap lembut dan sopan.
"Paman, saya Ong Hui Lan memenuh perintah ayah untuk menyampaikan surat ini
kepada Paman." katanya sambil menyerahkan surat itu.
"Hui Lan, aku ingat pernah melihatmu di rumah ayahmu dahulu belasan tahun yang lalu. Engkau masih kecil ketika itu. Duduklah, Hui Lan." kata Jenderal Chou, senang dan kagum melihat keponakannya yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa
yang cantik dan gagah. "Terima kasih, Paman."
Kian Ki cepat mengambilkan sebuah kursi untuk gadis itu dan ditaruhnya kursi itu
berhadapan dengan dia. Selagi ayahnya membaca surat, Kian Ki memperkenalkan
tiga orang gurunya. "Nona............ eh, karena kita masih saudara misan, sebaiknya aku menyebutmu piauw-moi (adik misan perempuan), bagaimana pendapatmu, Lan-moi (Adik Lan)?"
Hui Lan tersenyum. Kakak misannya ini selain gagah sekali juga ternyata bersikap
sopan dan ramah. 'Tentu saja aku setuju, Ki-ko (Kakak Ki)."
"Nah, Lan-moi, perkenalkan, mereka ini adalah tiga orang guruku. Ini Suhu Kanglam Sinkiam Kwan In Su, yang ini Suhu Im Yang Tosu, dan yang itu adalah Suhu Hongsan
Siansu Kwee Cin Lok."
Hui Lan segera memberi hormat kepada mereka bertiga yang mereka balas sambil
tersenyum kagum. Gadis itu bukan hanya cantik, akan tetapi juga gagah. Dari gerakgeriknya yang lembut namun mengandung tenaga dan sinar matanya yang tajam itu
saja dapat diketahui bahwa ia bukan seorang gadis sembarangan.
Jenderal Chou tertawa senang setelah membaca surat dari Ong Su. Surat itu
menyatakan bahwa Ong Su menawarkan puterinya yang telah selesai belajar ilmu
silat untuk membantu Jenderal Chou mencapai cita-cita luhur mereka sebagai
penerus bangsa Chou! "Bagus, bagus!" Dia tertawa dan berseru gembira sehingga yang selain
menghentikan percakapan dan memandang jenderal itu. "Ong Hui Lan, menurut
ayahmu engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi! Siapa yang melatihmu dan
berapa lama engkau mempelajari ilmu silat"'
"Guru saya adalah Tiong Gi Cinjin, Paman dan saya belajar selama sepuluh tahun."
jawab Hui Lan. Tiong Gi Cinjin yang berjuluk Tung-kiam-Ong (Raja Pedang Timur)?" Hongsan Siansu Kwee Cin L ok berseru. "Ah, kalau begitu Nona Ong tentu memiliki ilmu pedang yang hebat sekali!!"
Juga Kanglam Sinkiam Kwan In Su dan Im Yang Tosu sudah mendengar akan nama
besar Raja Pedang Timur itu, maka mereka juga memuji. Mendengar ini, tentu saja
Jenderal Chou menjadi semakin gembira.
"Ah, ingin sekali aku melihatnya!! Kian Ki, engkau uji ilmu pedang misanmu ini!"
Kian Ki tersenyum senang. Pemuda ini setelah menerima gemblengan mendiang
Thian Beng Siansu, bahkan menerima pengoperan tenaga sakti dari Thian Beng
Siansu dan tiga orang gurunya, menjadi lihai bukan main. Bukan hanya lihai ilmu
silatnya, akan tetapi juga memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Wataknya yang
pada dasarnya memang tinggi hati itu menjadi bertambah sombong. Akan tetapi di
depan gadis ini dia tidak bermaksud menyombongkan kepandaiannya melainkan
ingin memamerkannya. Sambil tersenyum dia menghampiri gadis itu.
"Lan-moi, mari kita memenuhi keinginan ayahku, kau perlihatkan ilmu pedangmu yang tentu hebat sekali mengingat bahwa gurumu adalah Raja Pedang."
Sebetulnya Hui Lan tidak ingin memamerkan Ilmu pedangnya. Kalau saja ayahnya
tidak menyuruh ia membantu pangeran itu, dan kalau pangeran yang menjadi
pamannya itu tidak menyatakan ingin melihat ilmu pedangnya, tentu ia tidak mau
diajak menguji kepandaian oleh Kian Ki.
Terpaksa la bangkit berdiri, lalu menjura kepada Jenderal Chou dan berkata,
"Kemampuan saya masih terbatas dan dangkal, harap Paman tidak mentertawakan
saya." Kemudian kepada Kian Ki ia berkata, "Ki-ko, harap jangan terlalu mendesakku."
Kian Ki tersenyum dan mundur ke tengah ruangan yang lebih lebar. "Lan moi, jangan terlalu merendahkan diri. Siapa tahu, aku malah yang akan terdesak olehmu.
Bagaimanapun juga, kita hanya main-main, bukan?" Pemuda itu lalu mencabut
pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat. Kiranya pedangnya berwarna hitam
legam. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang bernama Hek-kang-kiam (Pedang
Baja Hitam),! sebatang pedang pemberian kepala suku Khitan kepada Pangeran
Chou yang kemudian diberikan kepada Kian Ki.
Ong Hui Lan juga mencabut pedangnya dan tampak sinar hijau berkelebat. Ceng-
hwa-kiam (Pedang Bunga Hijau) itu adalah pemberian Si Raja Pedang Tiong Ci Cinjin kepada muridnya ini.
"Wah, itu pasti Ceng-hwa-kiam!" seru Hongsan Siansu kagum. "Po-kiam (pedang pusaka) yang hebat. Kian Ki, hati-hati, jangan adukan pedang terlampau kuat,
khawatir akan merusak kedua pedang pusaka itu!"
"Lan-moi, silakan!" kata Kian Ki sambil memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki ditekuk, tubuh miring menghadapi gadis itu, tangan kiri digenggam dengan jari
telunjuk dan tengah menuding ke depan, diletakkan tangan itu di depan dada,
sedangkan tangan kanan mengangkat pedang ke atas, pedang hitamnya menunjuk
ke bawah melalui atas kepala, dan matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum
sehingga dia tampak gagah sekali.
"Silakan, Ki-ko. Engkau yang manguji, bukan?" kata Hui Lan yang juga sudah memasang kuda-kuda dengan tijbuh tegak, kaki kanan diangkat sebatas betis,
tangan kiri menunjuk ke atas dan pedangnya menunjuk ke depan, menghadapi
pemuda itu. "Akan tetapi aku laki-laki, Lan-moi, tidak pantas kalau aku menyerang dulu. Mulai dan seranglah!" tantang Kian Ki.
"Baik. maafkan aku. Ki-ko!" kata Hul Lan dan ia pun bergerak dengan cepat sekali, mulai memainkan pedangnya untuk menyerang. Pedangnya berkelebatan
membentuk gulungan sinar hijau ketika ia menyerang secara susul menyusul dan
bersambung-sambung, membuktikan bahwa ilmu pedangnya memang Istimewa dan
berbahaya sekali. "Bagus!" seru Kian Ki memuji. Bukan pujian kosong karena dia memang kagum sekali. Ilmu pedang gadis itu memang hebat. Terpaksa dia menggerakkan tubuhnya
mengelak akan tetapi karena pedang hijau itu menyerang secara sambung
menyambung, tak mungkin dia mengelaki terus karena elakannya akan membuat
serangan itu tidak pernah putus. Dia lalu menangkis, akan tetapi karena maklum
akan kekuatan sendiri, dia membatasi tenaganya.
"Cringgg ...........!" Bunga api berpijar dan Hui Lan terkejut ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat sehingga serangannya terhenti.
"Lihat seranganku, Lan-moi" Kian Ki Balas menyerang dan mereka lalu serang menyerang dengan hebat. Mula-mula pertandingan pedang itu masih dapat di kuti
pandang mata dan tampak betapa keduanya memainkan pedang masing-masing
dengan mahir sekali sehingga Jenderal Chou berkali-kali bertepuk tangan dan
berseru memuji. Juga tiga orang tokoh kangouw itu memuji ilmu pedang Hui Lan. Si
Pedang Sakti dari Kanglam sendiri, Kwan In Su, diam-diam harus mengakui bahwa
dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi ilmu pedang gadis itu!
Gerakan keduanya makin lama semakin cepat sehingga lewat lima puluh jurus,
bayangan mereka tidak tampak! tertutup oleh dua gulungan sinar pedang hijau dan
hitam. Tampak indah sekali dan pasti akan menegangkan bagi mereka yang ilmu
silatnya masih belum cukupi tinggi yang tidak dapat mengikuti gerakan mereka
secara jelas dan mengira bahwa dua orang itu bertanding mati-matian. Akan tetapi
tiga orang tokoh kangouw dan juga Jenderal Chou yang menyaksikan pertandingan
itu melihat betapa walaupun ilmu pedang gadis itu memang hebat, namun kalau
Kian Ki menghendaki dan menggunakan tenaga sakti sepenuhnya, tentu dia dapat
mengalahkan Hui Lan. Mereka yang tahu akan kehebatan sinkang pemuda itu
maklum bahwa dia memang mengalah terhadap Hui Lan. Hal ini membuat Jenderal
Chou merasa girang dan timbul niat dalam hatinya untuk menjodohkan puteranya
dengan gadis itu! Selain gadis itu cantik, juga putera bangsawan Chou yang setia, memiliki mantu seperti itu amat menguntungkan. Hui Lan dapat menjadi seorang
pembantu yang boleh diandalkan!
"Sudah cukup, berhentilah!" Jenderal Chou berseru dan dua gulungan sinar pedang itu pun menghilang, dua orang muda itu sudah melompat ke belakang.
Kian Ki menyimpan pedangnya dan berkata kepada Hui Lan sambil tersenyum.
"Hebat, Lan-moi! Kiam-hoatmu sungguh hebat, aku kagum sekali!"
Hui Lan juga sudah menyimpan pedangnya dan ia menjawab sejujurnya. "Ki-ko,
terima kasih, engkau hanya mengalah. Dibandingkan kepandaianmu apa yang
kupelajari beium seberapa."
Jenderal Chou memuji gadis itu lalu menyuruh Kian Ki mengajak Hui Lan kedalam
untuk diperkenalkan dengan Nyonya Chou dan beberapa orang selir jenderal itu.
Mulai saat itu, Hui Lan diterima sebagai anggauta keluarga dan juga pembantu yang memperkuat kedudukan Jenderal Chou, pangeran yang bercita-cita untuk merebut
tahta kerajaan dan membangun kembali Kerajaan Chou itu.
Keluarga Chou merasa senang melihat Hui Lan yang pandai membawa diri, tahu
sopan santun dan terpelajar itu. Ketika] Chou Klan Ki menyatakan persetujuannya
sepenuhnya akan niat ayahnya menjodohkan dia dengan Hui Lan karena ia memang
telah tertarik dan jatuh cinta kepada gadis itu, seluruh keluarga menjadi semakin senang. Segera Jenderal Chou menyuruh isterinya untuk menyampaikan niat
keluarga itu kepada Hui Lan.
Baru dua pekan berada di gedung Jenderal Chou, pada suatu sore, Nyonya Chou
memasuki kamar Hui Lan. Dengan hati-hati ia lalu menyampaikan keinginan hati
keluarganya untuk menjodohkan Kian Ki dengan Hui Lan dan minta tanggapan gadis
itu tentang niat keluarganya.
Hui Lan yang duduk berhadapan dengan Nyonya Chou terkejut mendengar ini. Ia
menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Ia sendiri merasa kagum
terhadap kakak misannya itu, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang tinggi, juga seorang pemuda yang telah menguasai ilmu bun (sastra). Akan tetapi tentu saja ia sama sekali tidak mengira bahwa keluarga Chou berniat untuk menjodohkan Chou
Kian Ki dengan dirinya. Sebagai seorang gadis yang berbakti kepada orang tuanya,
ditanya tentang tanggapannya terhadap niat itu, ia menjawab kepada Nyonya Chou
sambil menundukkan muka. "Bibi, tentang perjodohan, tentu saja saya serahkan sepenuhnya kepada orang tua saya. Harap Bibi dan Paman membicarakan urusan itu kepada orang tua saya. Saya
hanya menaati keputusan mereka."
Jenderal Chou segera mengirim utusan ke Nan-king membawa suratnya kepada Ong
Su untuk mengajukan pinangan secara kekeluargaan. Keluarga Ong tentu saja
merasa senang dan bangga sekali langsung menyatakan persetujuan mereka
Demikianlah, biarpun belum diresmikan dan belum diadakan pertemuan antara
kedua pihak, setelah menerima persetujuan Ong Su, Hui Lan telah menjadi calon
jodoh Chou Kian Ki! Akan tetapi karena belum dilakukan pinangan secara resmi, Kian Ki dan Hui Lan bersikap biasa seperti saudara misan, walaupun mereka tahu bahwa
mereka adalah calon jodoh masing-masing.
ooOOoo

Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaisar Sung Thai Cu, pendiri Kerajaan Sung dan sebagai kaisar pertama ternyata
merupakan seorang pemimpin sejati. Bekas panglima yang dulu bernama Panglima
Chou Kuang Yin ini benar-benar memiliki sikap bijaksana dan melaksanakan politik
yang lunak dan mengusahakan perdamaian. Dia sungguh berbeda dari para
pimpinan sebelumnya. Sepanjang Jaman Lima Dinasti (907 -960) selama setengah abad negara menjadi
ajang perebutan kekuasaan. Sampai lima kali terjadi penggantian kerajaan yang
masing-masing hanya bertahan beberapa tahun saja. Hal ini adalah karena para
Pendekar Pemetik Harpa 31 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Cinta Bernoda Darah 18
^