Pencarian

Geger Dunia Persilatan 2

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 2


berarti membantu gerakan pemberontakan bersama
pasukan sekawan. Paman sudah mengadakan perjanjian
dengan pahlawan-pahlawan lain di berbagai tempat
untuk bergerak bersama. Siau-toako adalah orang
Sucwan dan anak murid Jing-sia-pay yang terkenal, tentunya luas juga
hubungannya dengan orang-orang Bu-lim, maka paman
sengaja mengutus aku untuk mengundang Siau-toako
agar sudi pulang kampung untuk membantu pergerakan
kita ini." "Aku mengucapkan banyak terima kasih ajas perhatian
pamanmu yang sedemikian menghargai diriku," sahut Ciwan
dengan bersemangat. "Cuma saja aku masih ada
sedikit urusan harus berkunjung dulu ke Nyo-keh-ceng di
Tong-peng-koan." "Nyo-keh-ceng di Tong-peng-koan" Bukankah
kediaman Kang Hay-thian, Kang-tayhiap?" Tiat-jiau
menegas. "Ya, kabarnya keluarga Siau kalian mempunyai
hubungan baik dengan keluarga Kang-tayhiap."
"Kunjunganku ke sana ini tidak melulu menyambangi
keluarga Kang saja, tapi lebih penting lagi adalah karena
pesan seorang pahlawan," sahut Ci-wan. Lalu ia pun
menuturkan hal ikhwal Li Bun-sing dan putranya.
Tiat-jiau ikut terharu atas jiwa kepahlawanan Li Bunsing
itu, katanya, "Membela keturunan Li-enghiong
adalah suatu tugas suci. Baiknya Tong-peng-koan
terletak tidak jauh dari sini, hanya perjalanan dua hari
saja akan dapat sampai. Aku pun ingin sekali
mengunjungi Kang-tayhiap, biarlah aku mengiringi kalian
pergi ke sana." "Bagus sekali jika Leng-toako suka ikut pergi ke sana,"
sambut Ci-wan dengan girang.
Begitulah mereka bertiga lantas bebenah seperlunya
dan mohon diri kepada Ham-hi untuk berangkat dengan
membawa Li Kong-he. Hari pertama tiada terjadi apa-apa, hari kedua mereka
sudah memasuki wilayah Tong-peng-koan, kira-kira
beberapa puluh li lagi sudah dapat sampai di Nyo-kehceng.
Diam-diam Ci-wan merasa lega, pikirnya, "Sampai di
sini rasanya aku telah memenuhi tugasku
menyelamatkan keturunan Li Bun-sing ini. Biar
betapapun ganasnya antek-antek kerajaan Boan, rasanya
juga tidak berani main gila di wilayah pengaruh Kangtayhiap
ini." Siapa duga belum lenyap pikirannya, tiba-tiba
terdengar suara mendering nyaring suara dua batang
anak panah yang melayang di udara.
Panah bersuara adalah tanda peringatan yang
biasanya digunakan oleh kaum bandit pada saat akan
melakukan pembegalan. Yang berani menggunakan
panah bersuara biasanya adalah bandit besar yang
ternama. Ci-wan agak terkejut ia heran kaum bandit
darimanakah yang berani melakukan kejahatan di
wilayah pengaruh Kang-tayhiap" Apakah mereka tidak
takut mati" Sebaliknya Leng Tiat-jiau lantas tertawa, katanya,
"Sejak dilahirkan aku lantas hidup di sarang bandit, tak
terduga hari ini bandit telah ketemukan pembegal,
sungguh lucu dan menarik."
"Mungkin bukan bandit sembarang bandit," ujar Ciwan.
"Biarlah kita mencari tahu maksud kedatangannya
dahulu." Dalam pada itu tampak lima penunggang kuda sedang
mendatangi secepat terbang, lalu berhenti di depan
mereka. Pemimpin pendatang-pendatang itu adalah
seorang wanita cantik berusia 30-an, keempat lainnya
adalah wanita-wanita muda berbaju hijau semua,
tampaknya adalah dayang-dayang wanita cantik itu.
Mau tak mau Ci-wan dan Tiat-jiau terperanjat. Ci-wan
menjadi sangsi apakah mungkin kaum wanita ini adalah
kaki tangan kerajaan Boan. Sebaliknya Tiat-jiau mestinya
hendak bicara menurut peraturan sesama kaum bandit.
Selama hidupnya tidak pernah bergaul dengan wanita,
maka ia menjadi kaku, terpaksa ia tampil ke depan dan
menegur, "Kalian, kalian ini kawan dari garis manakah?"
"Hihi," tiba-tiba salah seorang dayang muda itu
mengikik tawa, katanya, "Siapa mengaku kawanmu"
Huh, mestinya kau harus berkaca dahulu, siapa yang sudi
berkawan dengan lelaki hitam kasar macammu ini?"
"Hus, Siau Kiok, jangan sembarangan omong!" bentak
si wanita cantik. Namun demikian ia lantas berkata
kepada Leng Tiat-jiau dengan sikap dingin, "Hm, kau
bicara tentang garis apa segala, aku tidak paham.
Pendek kata, apakah kau ingin minta ampun padaku
saja?" Dasar watak Leng Tiat-jiau memang kaku dan keras,
belum pernah ia dihina orang sedemikian rupa, dengan
gusar ia lantas menjawab, "Kau adalah bandit dan aku
pun bandit, kau paham tidak?"
"O, kiranya demikian. Ya, aku paham," sahut wanita
cantik itu sambil manggut-manggut.
"Jika kau sudah mengerti, apakah pantas kau
merintangi jalan kami?" tanya Tiat-jiau.
Mendadak air muka wanita cantik itu berubah kereng
katanya, "Kau mengaku sebagai bandit, mengapa
peraturan bandit sendiri kau tidak paham?"
"Peraturan yang mana?" tanya Tiat-jiau.
"Jika kaum bandit mengadakan operasi, apakah boleh
pulang dengan tangan kosong?"
"O, jadi kau ingin minta uang jalan padaku?" Tiat-jiau
menegas. Segera ia mengeluarkan sebuah mata uang
tembaga, sekali menjentik, "jreng", mata uang itu lantas
menyambar ke arah si wanita cantik, katanya, "Ini, tiada
uang receh, hanya ada segobang saja!"
Dalam hati Leng Tiat-jiau lantas mencaci-maki, coba
kalau bukan kaum wanita, tentu sudah dilabraknya.
Maklumlah bahwa adalah hal terlarang bagi kaum begal
makan sesama kaum begal, apalagi wanita cantik itu
sekarang terang-terangan menyatakan hendak
membegal sesama kaumnya, terang ini suatu penghinaan
besar, pantaslah kalau Leng Tiat-jiau merasa gusar.
Maka dia telah menimpukkan mata uang tadi dengan
cara menggunakan senjata rahasia dengan maksud
menakut-nakuti wanita itu.
Tujuan mata uang Leng Tiat-jiau itu ialah ingin
menimpuk anting-anting yang dipakai si wanita cantik.
Tak terduga wanita itu dengan mudah sekali telah dapat
menangkap uang itu, waktu tangannya menggenggam,
lalu dibuka, ternyata mata uang itu sudah hancur
berkeping-keping kecil. Maka dapatlah dibayangkan
betapa lihai kekuatan tangannya itu, apalagi dia hanya
seorang wanita. "Hm, bicara padaku tentang peraturan Lok-lim segala,
tapi kau sendiri ternyata tidak kenal peraturan," jengek si
wanita cantik. "Kaum bandit mengadakan operasi, apa
yang diincar itulah yang diambil, masakah kau boleh
memberi sesukamu?" Tiat-jiau menjadi murka, baru saja dia hendak
mendamprat, tiba-tiba Ci-wan mencegahnya, katanya
kepada bandit wanita itu, "Habis, apa yang kau
inginkan?" Hendaklah maklum bahwa Ci-wan ingin bisa lekas
mengantar Li Kong-he ke rumah Kang Hay-thian dengan
selamat, maka sedapat mungkin ingin menghindarkan
kesulitan-kesulitan di tengah jalan. Apalagi pihak lawan
adalah kaum wanita, biarpun menang juga kurang
mentereng. "Sekali sudah kukatakan, maka tidak dapat ditarik
kembali lagi. Sebaliknya kalian pikirkan dahulu, apakah
kalian berani menyanggupi?" sahut si wanita cantik.
Nyata dia ingin kepastian dahulu dari pihak Ci-wan
barulah mau menjelaskan apa yang dia inginkan, dan
sekali dia sudah mengatakan, maka harus terlaksana
tujuannya. Ci-wan terkesiap, ia membatin, "Aneh sekali ucapan
wanita ini. Seaakan-akan sengaja hendak mencari
perkara padaku. Jangan-jangan nanti dia menyatakan
anak ini yang diminta, lalu cara bagaimana aku harus
menjawabnya?" Di sebelah lain Leng Tiat-jiau menjadi gusar juga,
katanya, "Sungguh aku tidak pernah melihat orang yang
main menang-menangan seperti dia ini. Siau-toako, tak
perlu kau banyak omong dengan dia, lihat saja
kepandaian apa yang dimilikinya sehingga ia berani
omong besar?" "Kita adalah sama-sama sekaum, buat apa mesti
bercekcok?" ujar Ci-wan dengan tertawa. "Nyonya,
saudara Leng ini adalah keponakan Leng-cecu dari Siaukim-
jwan. Nama Leng-cecu tentu sudah pernah kau
dengar juga?" Maksud Ci-wan ialah ingin wanita itu segan kepada
nama kebesaran Leng Thian-lok, paman Tiat-jiau,
dengan demikian selisih paham ini dapat diselesaikan.
Tak tersangka wanita itu lantas mendengus, "Huh,
peduli apakah dingin (Leng artinya dingin) atau panas,
ataukah goreng atau panggang, pendek kata sasaran ini
sudah pasti akan kumakan. Ya, kecuali kalau kalian
menerima dua syaratku barulah kalian boleh lewat."
Karena ingin mencari tahu maksud si wanita, maka Ciwan
mengedipi Tiat-jiau agar bersabar dulu.
Dengan menahan perasaannya Tiat-jiau lantas
bertanya, "Syarat apa" Coba, aku ingin tahu."
"Kalian datang dari jurusan sana, tentunya kalian
melalui Thay-san, bukan?" tanya si wanita cantik.
Hati Ci-wan tergetar, ia kuatir jangan-jangan wanita
ini sudah tahu apa yang terjadi di atas gunung itu"
Segera ia bertanya, "Apa maksud pertanyaanmu ini?"
Wanita itu menjawab, "Kalian melalui Thay-san,
tentunya kalian tahu ada pameo yang mengatakan
bahwa punya mata tapi tidak kenal Thay-san
"Huh, hanya seorang wanita macam kau juga berani
menganggap dirimu sebagai Thay-san?" ejek Tiat-jiau.
Thay-san di sini hanya dipakai sebagai perumpamaan
saja bagi seorang besar atau tokoh ternama.
Namun wanita cantik ini tidak menggubris olok-olok
Tiat-jiau itu, katanya dengan dingin, "Nah, karena kalian
punya mata tapi tidak kenal Thay-san, maka bolehlah
kalian mencungkil sendiri biji mata kalian!"
Saking gusarnya Leng Tiat-jiau lantas bergelak tertawa
malah. Tapi sebelum dia membuka suara, si wanita
cantik sudah lantas berkata pula dengan seenaknya,
"Jika kalian berlutut dan menyembah padaku. Boleh
kalian pilih satu di antara kedua syarat ini, habis itu
barulah kalian boleh berangkat."
Sampai di sini, betapapun sabarnya Siau Ci-wan juga
tidak tahan lagi atas hinaan itu. Lebih-lebih Leng Tiatjiau,
saking gusarnya segera ia melolos senjata.
"Bagus!" ejek wanita itu. "Jika kalian mau berkelahi,
maka bolehlah kalian maju sekaligus!"
Namun Ci-wan tak meladeni ejekan itu, melihat Leng
Tiat-jiau sudah maju, segera ia mengundurkan diri.
Leng Tiat-jiau juga lantas membentak dengan gusar,
"Betapa tinggi kepandaianmu sehingga berani
menantang Jing-sia-kiam-hoat Siau-toako" Ini, boleh kau
berkenalan dulu dengan aku punya sepasang 'Hou-jiau'
(senjata bentuk cakar harimau) ini. Nah, lekas kau
keluarkan senjatamu?"
"Apa yang kau ributkan?" sahut si wanita cantik.
"Boleh kau mainkan dua jurus dulu, ingin kulihat apakah
aku perlu menggunakan senjata atau tidak?"
Tiat-jiau bertambah murka, bentaknya pula, "Bagus,
kau ingin lihat, nah, lihatlah yang jelas!" Bersamaan
senjatanya terus mencakar ke Gi-hay-hiat di dada
lawannya. Senjata berbentuk cakar harimau yang jarang terdapat
itu memakai gagang sepanjang satu meteran, dapat
digunakan merebut senjata lawan dan dapat pula dipakai
menotok Hiat-to lawan. Walaupun Leng Tiat-jiau tidak
ingin membikin celaka seorang wanita, tapi serangannya
itu juga sangat lihai, maksudnya hanya akan membikin
kelabakan wanita itu sehingga menjadi malu.
Tak terduga, ketika senjatanya secepat kilat
menyambar ke depan dan tampaknya pasti akan
mengenai sasarannya, sekonyong-konyong tubuh si
wanita menggeliat, seperi main sulap saja, hanya dalam
sekejap saja tubuh sebesar itu tahu-tahu sudah lenyap
dari pandangan Leng Tiat-jiau.
Karena menubruk tempat kosong, tiba-tiba Tiat-jiau
merasa ada angin menyambar dari belakang kiranya
wanita cantik itu sudah berada di sisinya dan telah
menyerangnya dengan cambuk.
Keruan Tiat-jiau terkejut, untung dia sudah banyak
berpengalaman sehingga tidak gugup menghadapi
serangan mendadak itu, cepat Hou-jiau sebelah kiri
menahan di atas tanah dan tubuhnya lantas melompat
pergi. Bahkan pada saat tubuhnya melayang naik itu
Hou-jiau sebelah kanan sempat balas mencakar ke
belakang untuk merampas cambuk panjang lawan.
Wanita itu bergelak terawa, dengan mudah ia menarik
kembali cambuknya sehingga cakar Tiat-jiau menangkap
angin. Tapi ia pun sempat menghindarkan cambuk si
wanita dan melompat pergi sejauh dua-tiga meter.
Waktu Tiat-jiau turun ke bawah dan putar balik, ia
lihat wanita itu sudah berdiri di depannya pula, dengan
tersenyum wanita itu berkata, "Tampaknya kau juga
mahir sejurus dua. Baiklah, biar kulayani kau dengan
cambuk kuda ini saja!"
Cambuk kuda gunanya untuk memecut kuda,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

walaupun juga dapat dipakai menyabet manusia, tapi tak
dapat dianggap sebagai senjata secara resmi. Maka
perbuatan si wanita cantik ini boleh dikata terlalu
memandang hina kepada Leng Tiat-jiau.
Namun Tiat-jiau sudah tidak berani main garang lagi,
baru sekali gebrak saja dia sudah hampir termakan,
diam-diam ia sudah mulai keder.
Melihat Tiat-jiau tertegun, dengan tertawa si wanita
berkata pula. "Bagaimana, apa kau sudah kapok" Jika demikian,
belumlah kasip jika sekarang kau mau menyembah dan
minta ampun padaku!"
"Huh!" Tiat-jiau mendengus. "Walaupun hebat
kepandaianmu, tapi apa kau kira orang she Leng lantas
takut padamu" Baiklah, silakan kau memberi petunjuk
beberapa jurus lagi." Walaupun tidak mau mengaku
kalah, tapi nada ucapannya sudah mulai merendah diri
dan tidak berani memandang enteng lagi kepada
lawannya sebagai wanita. "Boleh juga. Nah, awas, terimalah seranganku ini!"
sahut si wanita. Bersamaan pecutnya diayunkan ke udara
terus menyabet ke depan. Cepat Tiat-jiau putar sepasang cakar harimau, yang
sebelah digunakan melindungi tubuh sendiri, senjata
sebelah lain dipakai balas menyerang.
"Hah, kau benar-benar tidak tahu diri dan berani juga
membalas seranganku!" ejek si wanita cantik dengan
tertawa. Bersamaan pecutnya lantas berputar-putar
dengan cepat laksana beratus-ratus ular hidup, seketika
Leng Tiat-jiau seakan-akan terkurung rapat di bawah
bayangan pecutnya. Keruan Tiat-jiau kelabakan menghadapi seranganserangan
itu sehingga cuma mampu menjaga diri dan tak
sanggup balas menyerang laei. Terpaksa kedua batang
Hou-jiau harus diputar sekencangnya untuk membela
diri. Ci-wan ikut kebat-kebit menyaksikan perarungan seru
itu. Jika maju membantu, rasanya tidak pantas dua lelaki
mengembut seorang wanita. Kalau tidak membantu,
terang Tiat-jiau akan keok dalam waktu singkat.
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba si wanita telah berkata,
"Kepandaian Hoau-jiau dari keluarga Leng sudah kulihat
sekarang, kiranya hanya sekian saja. Sekarang silakan
kau melihat aku punya!" Mendadak ia membentuk,
"Kena!" Menyusul terdengarlah pecut berbunyi, Leng
Tiat-jiau telah terlempar pergi beberapa meter jauhnya,
sepasang cakarnya kena dirampas oleh pecut si wanita.
Ci-wan menjadi kuatir, cepat ia melompat maju untuk
merintangi jika wanita itu menyerang pula. Tapi wanita
cantik itu telah bergelak tertawa, pecutnya menyendal,
sepasang Hou-jiau yang terlilit oleh cambuk itu terlempar
ke depan dan tepat menancap di kanan-kiri Leng Tiatjiau,
lalu katanya, "Jika aku mau mencabut nyawanya
tentu sudah sejak tadi kulakukan. Nah, bagaimana,
apakah kau anggap aku pantas untuk belajar kenal
dengan Jing-sia-kiam-hoat kalian atau tidak?"
Di sebelah sana Yap Leng-hong sudah lantas
membangunkan Leng Tiat-jiau yang kedua matanya
tampak melotot, urat-urat hijau sampai menonjol di
jidatnya, tapi tak dapat bersuara dan bergerak. Maka
tahulah Leng-hong bahwa Hiat-to Tiat-jiau telah tertotok,
ia menjadi terkejut akan kelihaian si wanita cantik yang
mampu menotok dengan ujung cambuk itu.
Sebisa mungkin Leng-hong coba berusaha membuka
Hiat-to kawannya itu, tapi sedikitpun tidak mempan.
Malahan terdengar si wanita telah mengolok-oloknya,
"Lebih baik kau jangan membuang tenaga percuma,
sesudah belajar kenal dengan Jing-sia-kiam-hoat boleh
jadi kau akan mendapat giliran untuk mencicipi pecutku
ini." Dalam pada itu Ci-wan sudah siap siaga, katanya,
"Kepandaianku terlalu rendah, mohon Lienghiong (ksatria
wanita) sudi memberi petunjuk!" Pedangnya berputar,
terus siap di depan dada dengan ujung pedang sedikit
menjurus ke bawah. Gaya ini adalah jurus pembukaan
dan sebagai penghormatan kepada pihak lawan.
Hanya melihat jurus pembukaan Siau Ci-wan saja
segera wanita cantik itu mengetahui bahwa kepandaian
Ci-wan terang di atas Leng Tiat-jiau. Ia tidak berani
terlalu memandang enteng lagi, ia simpan kembali
pecutnya dan lantas melolos pedang juga, katanya,
"Jing-sia-kiam-hoat adalah satu di antaranya empat ilmu
pedang terkemuka, sungguh sangat beruntung hari ini
aku dapat belajar kenal dengan jago Jing-sia-pay. Nah,
silakan mulai, Siau-enghiong!"
"Silakan dulu!" sahut Ci-wan dengan rendah hati. Si
wanita cantik juga tidak sungkan-sungkan lagi, "sret",
dengan tipu 'Giok-li-tau-soh' (gadis ayu melempar tali),
secepat kilat ia menusuk ke dada Siau Ci-wan.
Ci-wan tidak berani ayal, dengan hati-hati sekali ia
menghadapi lawannya. Cepat ia menangkis dengan jurus
'Ting-ho-lah-jit" (sinar mentari menghiasi sepanjang
sungai), pedangnya melingkar ke depan, ini adalah jurus
ilmu pedang Jing-sia-pay yang lihai, menangkis sambil
menyerang, biasanya dengan mudah sekali senjata lawan
dapat terpuntir dan terlepas.
Tak terduga ilmu pedang wanita cantik itu ternyata
lain daripada yang lain, perubahannya susah diraba, jelas
kelihatan dia menusuk dari depan, tapi pada saat Ci-wan
membalas serangannya itu, entah bagaimana sedikit
ujung pedangnya menggetar, sinar hijau berkelebat,
tahu-tahu senjatanya telah berganti tempat, seperti
hendak menusuk dari kiri dan agaknya juga hendak
membacok dari kanan. Karena perubahan jurus serangan wanita itu, seketika
Ci-wan berubah menjadi di pihak terserang. Keruan Ciwan
terkejut, cepat ia mengeluarkan 'Thiat-lo-poh-hoaf
dan berputar ke samping sehingga terhindar dari
ancaman pedang musuh. Akan tetapi secepat kilat si wanita masih
membayanginya, tahu-tahu pedangnya menyambar tiba
pula. Ketika mendengar sambaran senjata dari belakang,
tanpa pikir Ci-wan menyampuk ke belakang dengan
pedangnya dalam tipu 'Kim-tiau-tian-ih' (garuda emas
pentang sayap), tujuannya untuk memotong pergelangan
tangan lawan. Serangan Ci-wan ini mestinya sangat bagus, tak
tersangka toh tetap didahului musuh, tiba-tiba terdengar
suara "trang" yang nyaring, pedang Ci-wan mengenai
tempat kosong, sebaliknya pedang si wanita telah
menepuk dari atas sehingga tepat menindih di atas
batang pedangnya, tenaganya ternyata sangat kuat.
Sebagai murid golongan ternama, biarpun terdesak
juga Ci-wan tidak menjadi bingung, dengan tenang ia
kerahkan tenaganya untuk menarik, pedang bersama
orangnya dengan cepat berputar setengah lingkaran,
dengan demikian barulah dapat terlepas dari tekanan
wanita cantik itu. "Bagus, kau tidak malu sebagai murid Jing-sia-pay,
ternyata pedangmu tidak sampai terlepas!" puji si wanita
dengan tertawa. Berbareng ia melancarkan seranganserangan
lagi sehingga Ci-wan terdesak dan main
mundur terus. Di sebelah sana Yap Leng-hong tetap tidak mampu
membuka Hiat-to Tiat-jiau yang tertotok tadi, sekarang
dilihatnya Ci-wan juga hampir kalah, keruan Leng-hong
menjadi gelisah dan serba susah.
Tiba-tiba terdengar Li Kong-he membisikinya, "Yapsioksiok,
boleh kau pergi membantu Siau-sioksiok saja.
Biar aku mencoba membuka Hiat-to Leng-sioksiok yang
tertotok ini." Habis berkata ia lantas menggunakan
jarinya yang kecil-kecil itu untuk menotok beberapa kali
di tubuh Leng Tiat-jiau. Terdengar tenggorokan Leng Tiat-jiau mengeluarkan
suara "krok-krok", tampaknya sangat menderita, tapi
tubuhnya tetap belum dapat bergerak.
Diam-diam Leng-hong mengerut kening, pikirnya,
"Bocah ini benar-benar tidak kenal gelagat, masakah
Hiat-to yang aku tidak sanggup buka dia berani mencoba
apa segala." Melihat Yap Leng-hong belum maju, tiba-tiba Kong-he
membisiki lagi, "Tenagaku kurang kuat, biarlah kuajarkan
caranya padamu dan boleh kau menolong Leng-sioksiok.
Ai, celaka, hendaklah kau membantu Siau-sioksiok lebih
dulu saja!" Belum selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar suara
tertawa si wanita cantik dan berseru, "Sekali ini kau
haruslah melepas pedangmu!" Berbareng sinar pedang
telah menyambar ke depan waktu Ci-wan menangkis,
sekonyong-konyong pedang si wanita cantik menyampuk
ke atas terus dipuntir sekalian.
"Trang", benar juga Ci-wan tak dapat menguasai
senjatanya lagi, pedangnya mencelat ke udara.
Sambil tertawa panjang, mendadak wanita cantik itu
melayang ke atas, secepat terbang dia telah melompat
ke arah Yap Leng-hong. Dengan kaget, cepat Leng-hong melolos pedang untuk
menyambut musuh. Tapi sebelum mendekat si wanita
cantik sudah mengeluarkan pecutnya lagi, "ser-ser" dua
kali, cambukan pertama membikin ikat kepala Yap LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong terlepas, pecutan kedua secepat kilat telah
menyabet ke mukanya. Segera Leng-hong mengayun pedangnya untuk
menangkis, tapi mengenai tempat kosong, sedangkan
pecut lawan masih terus menyambar tiba, untuk berkelit
terang tidak keburu lagi, tampaknya mukanya pasti akan
babak-belur. Pada saat berbahaya itulah sekonyong-konyong Lenghong
merasa angin dingin menyambar lewat di ujung
hidungnya, berbareng terdengar wanita cantik itu sedang
tertawa dan berkata, "Melihat wajahmu yang tampan ini
aku menjadi sayang untuk merusaknya. Baiklah, asal kau
sudah tahu rasa, biarlah aku mengampuni kau." Habis itu
cambuk lantas ditariknya kembali.
Dalam keadaan masih melenggong tanpa terasa Lenghong
menggunakan lengan baju untuk mengusap
hidungnya, maka tertampaklah di atas lengan baju ada
setitik warna merah dan sedikit kotoran tanah. Kiranya
ujung cambuk wanita cantik itu tadi telah menyerempet
lewat di ujung hidungnya, dari ujung cambuk tergesut
setitik kotoran tanah sehingga melekat di hidungnya,
berbareng ujung hidungnya juga lecet sedikit.
Betapa hebat kepandaian memainkan cambuk si
wanita itu sungguh susah untuk dibayangkan. Keruan
Leng-hong lebih-lebih terkejut sehingga kakinya terasa
lemas. Dalam pada itu si wanita cantik telah memutar tubuh,
"serr", kembali cambuknya menyabet ke depan pula.
Tapi sekali ini yang dituju adalah Li Kong-he.
Mendadak anak itu memelompat ke atas dan
berjumpalitan sehingga cambuk itu mengenai tempat
kosong. Si wanita cantik bersuara heran, katanya,
"Kiranya kau setan cilik ini cukup gesit juga!"
"Ser-ser-ser", kembali cambuknya menyabet tiga kali
pula. Meskipun Li Kong-he sangat gesit dan cepat, tapi
apa mau dikata, betapapun dia adalah seorang anak
kecil, ketika dia berjumpalitan untuk ketiga kalinya, tanpa
ampun lagi tubuhnya sudah terlilit oleh cambuk si wanita,
terus ditarik ke sana. Saat itu Ci-wan baru menjemput kembali pedangnya
yang terlepas tadi, ia menjadi kaget melihat Kong-he
tertawan musuh, dengan mati-matian ia menerjang maju
untuk menolong. Tiba-tiba si wanita berkata dengan tertawa, "Apa yang
aku inginkan sekarang sudah kudapatkan. Kau adalah
jago yang sudah keok, aku pun tidak ingin membikin
susah padamu. Tapi kau sendiri apa masih ngotot dan
ingin cari penyakit?"
Habis berkata cambuknya lantas mengayun ke
belakang, Kong-he terlempar pergi dan disambut oleh
seorang dayangnya, lalu melarikan kudanya dengan
menggondol bocah itu. Si wanita cantik juga lantas menyemplak ke atas
kudanya, sekali bersuit, keempat orang dayangnya lantas
kabur dengan terpencar ke empat jurusan. Si wanita
cantik tetap merintangi kejaran Siau Ci-wan dengan
memutar cambuknya. Melihat anak yang harus dilindunginya telah diculik
orang Ci-wan menjadi gugup, maka hanya beberapa
jurus saja kembali pedangnya sudah terlilit pula oleh
cambuk si wanita dan terlempar jatuh ke tanah.
"Hahaha, apakah kau masih ingin bertanding untuk
ketiga kalinya" Tapi aku tiada tempo untuk melayani kau
lagi," seru si wanita dengan tertawa. Ia putar kudanya
terus kabur pergi dengan cepat. Hanya dalam sekejap
kelima wanita itu sudah tak tertampak lagi bayangannya.
Untuk kedua kalinya Ci-wan menjemput kembali
pedangnya, ia menjadi terlongong-longong bingung,
sungguh tak terduga bahwa sudah hampir sampai di
rumah Kang Hay-thian toh masih ketemukan peristiwa
aneh dan mengalami kekalahan habis-habisan.
Yap Leng-hong juga merasa serba susah, tapi diamdiam
ia pun bersyukur bahwa musuh tidak mengganggu
keselamatan mereka. Segera ia menghibur Ci-wan, "Siautoako,
kepandaian begal wanita itu terlalu tinggi, apa
mau dikata lagi jika kita dikalahkan?"
Ci-wan berdiam saja. Baru saja ia hendak memeriksa
keadaan Leng Tiat-jiau, sekonyong-konyong Tiat-jiau
telah melompat bangun sambil berteriak-teriak


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penasaran. "He, Leng-toako, kiranya kau sendiri dapat membuka
Hiat-to yang tertotok," seru Yap Leng-hong.
Tapi muka Tiat-jiau menjadi merah padam, ia
menghela napas dan berkata, "Ah, sungguh memalukan.
Kepandaian Tiam-hiat wanita jahanam itu teramat lihai,
darimana aku mampu membuka Hiat-to sendiri" Adalah
si Kong-he itulah yang telah melancarkan urat nadiku.
Sayang, dia telah menolong aku sebaliknya aku tidak
mampu menolongnya sehingga dia telah diculik oleh
musuh." Diam-diam Leng-hong terkejut dan terasa malu pula,
tadinya ia menyangka kelakuan Kong-he hanya
permainan anak-anak saja, siapa kira bahwa dari
ayahnya serta sahabat sang ayah yang sering
berkunjung ke rumahnya, bocah itu telah banyak
mempelajari kepandaian-kepandaian yang tinggi, soalnya
usianya masih terlalu muda, tenaga dalamnya masih
belum cukup, maka dia tak dapat membuka Hiat-to Leng
Tiat-jiau yang tertotok itu dalam waktu singkat Tapi
sesudah Tiat-jiau merasa darahnya berjalan lancar,
segera ia mengerahkan tenaganya sendiri, dengan
demikian Hiat-to yang tertotok itu akhirnya terbuka
dengan sendirinya. "Leng-toako, sekali ini kita benar-benar telah
terjungkal habis-habisan," ujar Ci-wan dengan muram.
"Lebih celaka lagi asal-usul dan nama pihak lawan juga
tidak kita ketahui, lalu kemana kita akan mencari anak
itu?" "Ya, jahanam wanita itu benar-benar keterlaluan, tapi
akhirnya kita pasti akan dapat menemukan jejaknya
serta membikin perhitungan dengan dia," sahut Tiat-jiau
dengan marah-marah. "Sungguh perbuatan jahanam
itupun agak aneh, apakah Siau-toako memperhatikan
bahwa sesudah Kong-he digondol mereka, segera
keempat dayangnya lantas melarikan diri dengan
berpencar ke berbagai jurusan?"
"Benar, " seru Ci-wan sambil menepuk paha. "Tempat
ini sudah dekat dengan rumah Kang-tayhiap, sebabnya
mereka melarikan diri dengan berpencar tentu karena
kuatir kepergok oleh orang-orang dari keluarga Kang.
Sungguh nyali mereka pun terlalu besar dan berani main
gila di wilayah pengaruh Kang-tayhiap ini."
"Sudahlah, kita jangan urus dia lagi, jalan paling baik
sekarang marilah kita lekas pergi ke rumah Kang-tayhiap
dan melapor kepada beliau," ujar Tiat-jiau.
Begitulah berramai-ramai mereka lantas meneruskan
perjalanan. Tiada setengah jam kemudian, tibalah
mereka di tempat tujuan. Tempat kediaman Kang Hay-thian itu adalah bekas
rumah Nyo Tiong-eng, kemegahan Nyo-keh-ceng masih
tetap seperti dahulu kala. Pemandangan indah permai
dengan gunung dan telaga mengapit di belakang dan di
muka perkampungan itu. Karena ada urusan penting, Ci-wan bertiga tiada
pikiran buat menikmati pemandangan indah itu. Sesudah
mendaki beberapa tanjakan, akhirnya dari semak-semak
pohon sana kelihatan beberapa buah rumah. Sesudah
dekat, tertampak di depan deretan rumah-rumah itu
adalah sebuah tanah lapang, seorang anak dara sedang
berlatih silat di situ. Usia anak dara itu kurang lebih 16 atau 17 tahun.
Mata Yap Leng-hong terbeliak seketika, pikirnya, "Di
dunia ini ternyata ada nona secantik ini. Bangsat wanita
tadi juga sangat cantik, kalau dibandingkan nona cilik ini
terang bukan apa-apanya. Konon istri Kang-tayhiap
adalah seorang wanita cantik pula, besar kemungkinan
anak dara ini adalah putri mereka?"
Kalau Yap Leng-hong hanya memperhatikan
kecantikan si anak dara, adalah yang diperhatikan Siau
Ci-wan justru ilmu silat yang dilatihnya itu.
Sementara itu mereka sudah lebih dekat lagi, jelas
terlihat oleh Ci-wan bahwa yang dilatih anak dara itu
adalah semacam ilmu pukulan 'Yu-sin-pat-kwa-ciang',
ilmu pukulan yang sangat umum, apa yang diperlihatkan
anak dara itupun tiada sesuatu yang luar biasa. Tapi
yang membikin Siau Ci-wan tidak habis mengerti adalah
kebagusan cara si anak dara menguasai tenaga
pukulannya. Di sisi tanah lapang sana tumbuh sebatang pohon
yang berbunga merah. Waktu si anak dara memukul
sekali, selalu setangkai bunga merah rontok jatuh ke
tanah. Semula Ci-wan mengira hal itu hanya kebetulan
saja. Tapi sesudah beberapa jurus, setiap kali pukul tentu
rontok setangkai bunga, dengan sendirinya hal ini
bukanlah secara kebetulan lagi. Yang lebih hebat ialah
bunga-bunga lainnya sama sekali tidak terguncang dan
bergerak, bahkan tangkai pohon itupun tiada bergoyang
sedikitpun. Mau tak mau Ci-wan melongo kagum, pikirnya,
"Betapa bagus caranva menguasai tenaga pukulannya,
benar-benar sudah sempurna sekali."
Selagi Ci-wan merasa kagum dan terkejut, sebaliknya
Yap Leng-hong sama sekali tidak ambil pusing, bahkan ia
mendekati anak dara itu. Mendadak anak dara itu menghentikan latihannya dan
menegur dengan nada dingin, "Siapakah kalian ini?"
"Apakah di sini tempat kediaman Kang-tayhiap?" sahut
Leng-hong sambil bersoja. "Kedatangan kami ini adalah
untuk menemui beliau."
"Kepandaian apa yang kau miliki" Silakan coba
beberapa jurus dahulu, jika mampu melawan aku barulah
kalian boleh bertemu dengan Kang-tayhiap," kata si anak
dara tiba-tiba. Leng-hong melengak. "Apakah ini peraturan yang
ditentukan oleh Kang-tayhiap" Jika demikian sekali-kali
kami tidak berani berlaku kasar kepada nona."
Belum habis ucapannya, tanpa peduli lagi secepat kilat
anak dara itu sudah memukul, keruan Leng-hong
terkejut, sama sekali tak terduga olehnya bahwa sekali
bilang mencoba, kontan anak dara itu lantas menyerang.
Cepat ia hendak berkelit, namun sudah terlambat.
Untung pukulan anak dara itu tidak sungguh-sungguh
diteruskan, tapi hanya melayang lewat di sebelah
pipinya. "Kenapa tidak lekas menangkis" Hm, hanya, sedikit
kepandaianmu saja apa kau sangka dapat menangkan
aku" Hayo, lekas tangkis, sekali ini aku tidak sungkansungkan
lagi!" seru si anak dara. Menyusul ia lantas
memukul pula, sekali ini datangnya agak perlahan dan
tertampak jelas hendak menampar Yap Leng-hong.
Walaupun Leng-hong suka kepada anak dara yang
cantik itu, tapi tidaklah rela dirinya dihina, katanya di
dalam hati, "Biar kuparahkan kesombonganmu agar kau
pun tahu bahwa aku bukanlah kaum keroco." Segera
telapak tangannya menangkis miring ke atas, berbareng
terus mengait dengan maksud hendak menyeret
lawannya ke depan. "Tangkisanmu ini sih betul caranya, hanya saja masih
terlalu kaku," ujar si anak dara. sekonyong-konyong ia
tarik kembali tangannya, berbareng tubuhnya menggeser
ke samping, menyusul lengan bajunya lantas menyabet.
Waktu Leng-hong berkelit sambil balas menyerang
pundak si nona dengan tipu 'Heng-in-toan-hong' (awan
terapung memotong puncak), telapak tangannya terus
memotong ke bawah. Namun perubahan serangan si anak dara ternyata
sangat cepat, sedikit tubuhnya menggeliat, kontan
tangannya membalik untuk memotong pergelangan
tangan Yap Leng-hong. Ketika Leng-hong buru-buru
menarik kembali tangannya, secepat kilat si anak dara
sudah mengganti serangan lagi, dengan tipu 'Kim-liongtam-
jiau' (naga emas menjulur cakar), ia melangkah
maju terus mencakar muka Yap Leng-hong.
"Tahan dulu, nona!" seru Ci-wan dengan kuatir.
Belum lagi dia memburu maju, terdengarlah suara
"plak" sekali, Leng-hong dapat menghindarkan mukanya
dari cakaran si nona, tapi dadanya tidak urung kena
ditonjok sekali. Inipun untung baginya karena .anak dara
itu tidak ingin melukainya dan hanya menggunakan satudua
bagian tenaga saja, kalau tidak, tentu Leng-hong
bisa menggeletak seketika. Walaupun demikian toh tidak
urung Leng-hong terhuyung-huyung mundur dan hampirhampir
jatuh kalau Leng Tiat-jiau tidak lantas
memeganginya. Dengan kuatir Ci-wan juga buru-buru hendak
memeriksa keadaan Yap Leng-hong, namun si anak dara
sudah datang ke hadapannya dan berkata dengan
tertawa, "Kawanmu ini sudah terang tiada memenuhi
syarat untuk menemui Kang-tayhiap. Sekarang coba kau
ini?" Habis berkata, kontan ia terus meninju dada Siau Ciwan.
Cepat Ci-wan menangkis sambil membuka telapak
tangan untuk menangkap kepalan si nona, "Plak", Ci-wan
merasa telapak tangannya pedas kesakitan.
"Baik, kepandaianmu memang lebih tinggi sedikit.
Silakan menerima lagi serangan ini," seru si nona dengan
tertawa. Berbareng kepalan lantas menjotos pula dari
depan, sekali ini tenaganya telah bertambah kuat pula.
Cepat Ci-wan menggeser ke samping dengan Thian-lopoh-
hoat. Si nona bersuara, katanya, "Eh, pintar juga caramu
menghindarkan diri!" Menyusul ia lantas mendesak maju
dan hendak menyerang lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan
seorang, "Anak Hu, jangan sembrono!"
Si nona terkejut, cepat ia berhenti menyerang,
katanya sambil berpaling, "Ayah, aku tiada maksud
membikin susah mereka, aku hanya ingin mengenyahkan
mereka saja!" Kiranya anak dara ini bernama Kang Hiau-hu, putri
tunggal kesayangan Kang Hay-thian.
Karena nama Kang Hay-thian teramat besar dan
sering orang ingin minta petunjuk ilmu silat padanya
sehingga sedikit membikin repot. Maka Kang Hiau-hu
lantas menggunakan caranya sendiri di luar tahu
ayahnya untuk menghalau tetamu yang berkunjung,
kecuali kalau sang tamu dapat menangkan dia barulah
diperbolehkan menemui sang ayah.
Perbuatan Kang Hiau-hu yang jahil ini mengakibatkan
sekian lamanya Kang Hay-thian tidak mendapat
kunjungan tamu, hal ini sangat mengherankan, diamdiam
ia pun menduga pasti putrinya yang nakal itulah
yang main gila. Betul juga hari ini telah dipergokinya.
Begitulah selagi Ci-wan hendak mulai bicara, tiba-tiba
Kang Hay-thian sudah menegur lebih dulu, "Apakah
saudara ini dari Jing-sia-pay" Numpang tanya, Siau Jinghong
Siau-loyacu itu pernah apa dengan kau?"
Kiranya sekali lihat saja segera Kang Hay-thian
mengenali Thian-lo-poh-hoat yang dimainkan Siau Ciwan
tadi, yang merupakan kepandaian turun-temurun
dari keluarga Siau. Cepat Ci-wan memberi hormat dan menjawab, "Beliau
adalah kakekku, beliau yang telah menyuruh aku
mengunjungi Kang-tayhiap."
Hay-thian terkejut, cepat ia membalas hormat. Lalu
dengan kereng ia membentak putrinya, "Hiau-hu, benarbenar
keterlaluan kau ini, hayo lekas menjura kepada
Siau-sioksiok serta meminta maaf."
Dengan sendirinya Kang Hiau-hu juga tahu riwayat
engkongnya, yaitu Kang Lam, dan tahu hubungan apa
antara keluarganya dengan keluarga Siau, keruan ia
terkejut dan merasa perbuatannya sekali ini benar-benar
telah menerbitkan onar. Ia menjadi takut dan malu,
terpaksa ia melangkah maju dan menjura kepada Siau
Ci-wan. "Ah, apa yang terjadi tadi juga tak bisa menyalahkan
adik cilik ini, aku sendiri tidak memberitahukan namaku,
darimana dia kenal aku" Sudahlah, adik cilik jangan
banyak adat," demikian kata Ci-wan dan hanya
menerima penghormatan sekadarnya dari Kang Hiau-hu.
Diam-diam Hiau-hu merasa berterima kasih atas
ucapan Ci-wan itu. Sebab sesungguhnya dia yang salah,
begitu berhadapan tanpa bertanya nama sang tamu
segera ia mengajaknya bertanding.
Air muka Kang Hay-thian tampak tenang kembali dan
berkata pula, "Untung Siau-sioksiok suka bermurah hati
padamu, kalau tidak, tentu kau harus terima rangketan
yang setimpal. Sekarang lekas minta maaf juga kepada
tuan tamu itu." Sebenarnya Yap Leng-hong juga sangat
mendongkol dan penasaran, tapi demi melihat anak dara
itu dimarahi sang ayah, ia menjadi merasa kasihan, cepat
dia berkata, "Ah, atas petunjuk beberapa jurus dari nona
tadi aku justru merasa berterima kasih, masakah aku ...
aku berani menyalahkan dia."
Watak Kang Hiau-hu memang suka dipuji sanjung,
diam-diam ia merasa senang atas perkataan Yap Lenghong
itu, segera ia berkata, "Engkau terlalu rendah hati.
Akulah yang salah, harap engkau suka memberi maaf."
Habis berkata ia lantas memberi hormat. Dengan
gembira cepat Leng-hong membalas hormat. "Anak Hu,
lekas memberitahukan kakek, katakan Siau-sioksiok telah
datang" kata Hay-thian.
Ci-wan sendiri karena ada urusan penting, tanpa
menunggu lagi ia lantas menutur, "Kang-tayhiap,
kunjunganku ini selain kunjungan kekeluargaan biasa,
juga secara kebetulan ingin memohon bantuan kepada
Kang-tayhiap berhubung dengan sesuatu peristiwa yang
kami alami di tengah perjalanan."
"Kita adalah orang sendiri, seharusnya kita jangan


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungkan-sungkan dan menyebut Tayhiap apa segala.
Numpang tanya, berapa usia Siau-heng tahun ini?" tanya
Hay-thian. "Siaute tahun ini berumur 33 tahun," terpaksa Ci-wan
menjawab. "Jika demikian aku ada lebih tua beberapa
tahun, maka aku tak sungkan-sungkan lagi akan
memanggil Laute (adik) padamu," kata Hay-thian dengan
tertawa. "Ada urusan apakah yang Laute inginkan
bantuanku, sedapat mungkin tentu akan kubantu.
Marilah kita bicara di dalam rumah saja. Kedua sobat
inipun silakan masuk ke dalam sana." Diam-diam Ci-wan
memuji atas baik budi Kang Hay-thian itu. Sesudah
masuk ke ruangan tamu dan mengambil tempat duduk,
baru saja Ci-wan hendak membuka suara, tiba-tiba
terdengar suara seruan seorang, "Wah, benar-benar
tamu yang jarang terdapat. Saudara cilik keluarga Siau
yang manakah yang datang ini?"
Kiranya orang ini adalah Kang Lam, ayah Kang Haythian.
Kang Hiau-hu tampak mengiring di samping sang
kakek. Cepat Ci-wan berbangkit dan memperkenalkan
namanya sendiri. "Ai, sang tempo benar-benar berlalu
dengan cepat," demikian Kang Lam menerocos pula,
"waktu melihat kau tempo dulu, kau masih anak yang
ingusan, tapi sekarang kau sudah berubah menjadi
seorang jago gemilang di dunia Kangouw. Apa kakekmu
sehat-sehat saja" Bagaimana dengan Toakomu! Apa kau
sendiri sudah berkeluarga?"
Meski usia Kang Lam sudah hampir 60 tahun, tapi
tabiatnya masih tetap belum berubah, masih suka ceriwis
dan suka membual. Padahal dulu waktu dia datang ke
Jing-sia dan bertemu dengan Ci-wan, tatkala mana umur
Ci-wan juga sudah belasan tahun dan bukan anak kecil
yang masih ingusan. Demi sopan santun terpaksa Ci-wan menjawab dulu
pertanyaan-pertanyaan Kang Lam, "Kakek sehat-sehat
saja, tahun yang lalu beliau baru mengadakan ulang
tahun ke-80 dan hanya dirayakan secara sederhana
bersama anggota keluarga saja. Toako sendiri sudah
meninggalkan rumah dan menjadi Hwesio di Siau-Iim-si
pada tiga tahun yang lalu. Siautit sendiri belum
berkeluarga." Kiranya ayah Siau Ci-wan sudah lama meninggal
dunia, dia punya seorang kakak laki-laki dan kakak
perempuan. Kakak perempuannya diperistri oleh Kam
Cong-hoa, murid pertama Lui Cin-cu, ketua Bu-tong-pay
yang sekarang. Kakak laki-laki Ci-wan bernama Siau Cihong
dan telah mencintai adik perempuan Kam Cong-hoa
yang bernama Kam Tiau-hoa. Tapi Kam Tiau-hoa sudah
mempunyai kekasih sendiri, karena patah hati, akhirnya
Siau Ci-hong masuk ke Siau-lim-si dengan mengangkat
Tay-pi Siansu sebagai guru.
"Tanpa sebab mengapa engkohmu mendadak menjadi
Hwesio" Jika demikian kau harus lekas berumah tangga,"
ujar Kang Lam. "Apakah kau sudah mempunyai pilihan
sendiri" Baiklah biar aku ingat-ingat apakah ada seorang
nona yang cocok untukmu Keruan Ci-wan menjadi serba runyam, cepat ia
menjawab, "Ah, soal ini tidak perlu buru-buru, aku
"Hahaha! Usiamu sudah 30 lebih, buat apa kau masih
malu-malu segala?" kata Kam Lam dengan tertawa. "Ya,
mungkin kau terlalu tekun belajar silat sehingga
melupakan soal maha penting bagi orang hidup ini. Ilmu
silat memang perlu dipelajari juga, misalnya aku, waktu
umurku sebaya dengan Hiau-hu sekarang, sama sekali
aku belum kenal ilmu silat segala. Tatkala itu kakekmu
menjadi guru sekolah Tan-kongcu dari saudara angkatku.
Setiap kali mereka berlatih silat di taman belakang, diamdiam
aku lantas mengintip dan ikut belajar
"Cerita ayah ini masakah Siau-hiante tidak
mengetahui?" ujar Hay-thian dengan tersenyum.
"Ya, cerita ini entah sudah berapa kali kudengar dari
Yaya (kakek)," Hiau-hu menambahkan juga dengan
tertawa. "Baiklah, asal kalian tahu saja," kata Kang Lam
dengan sungguh-sungguh. "Aku justru ingin kalian
mengetahui betapa susah payahku dahulu itu. Kalian
sekarang sih gampang saja, belajar silat sudah ada
gurunya. Namun demikian, belajar silat dan berumah
tangga adalah dua hal yang sama pentingnya. Sesudah
berumah tangga toh tidak menghalangi belajar silat.
Pada waktu berumur 20 lebih aku sudah berumah
tangga, tapi ilmu silatku makin berlatih makin baik.
Ayahmu (kata-kata ini ditujukan kepada Hiau-hu) belum
berusia 20 juga sudah menikah dengan ibumu dan ilmu
silatnya bahkan jauh lebih hebat daripadaku. Sebab
itulah, Siau-hiantit Diam-diam Ci-wan mengeluh, ia tahu watak Kang
Lam, kalau sudah menerocos, maka susahlah untuk
dihentikan. Tapi demi sopan santun terpaksa ia harus
berlagak seperti kaum muda yang sedang menerima
petuah dengan hormat dari orang tua.
Sebaliknya Kang Hay-thian lantas merasa sikap Ci-wan
itu agak kaku-kaku, mendadak, ia teringat dan cepat
berkata, "Siau-hiante, bukankah kau mengatakan ada
sesuatu urusan penting" Jika demikian bolehlah kau
menjelaskan dulu urusan pokoknya."
Dengan demikian barulah 'pidato' Kang Lam yang
panjang lebar itu dapat dihentikan. Rupanya Kang Lam
menjadi rikuh juga, segera ia berkata dengan tertawa,
"Benar, bila kau ada urusan penting bolehlah kau
terangkan kepada Hay-thian. Habis itu barulah kita bicara
pula tentang urusanmu yang tidak kurang pentingnya."
Sesudah Ci-wan meminta maaf kepada Kang Lam, lalu
ia berpaling kepada Kang Hay-thian dan mulai menutur,
"Di dalam Thian-li-hwe ada seorang Hiangcu yang
bernama Li Bun-sing, apakah Kang-toako kenal
namanya?" "O, apa kau maksudkan Pat-kwa-to Li Bun-sing" Aku
tahu dia adalah seorang laki-laki sejari. Ada apakah
mengenai dia?" "Beberapa hari lalu aku telah bertemu dia di atas
Thay-san, dia sudah terbunuh oleh kawanan anjing
pemburu kerajaan," tutur Ci-wan.
Hay-thian terkejut, "Ha, dia terbunuh" Sayang,
sungguh sayang! Ilmu silatnya toh tidak lemah, kenapa
kawanan alap-alap dan anjing pemburu kerajaan mampu
membunuhnya?" "Selain itu, dia meninggalkan pula seorang putra ..."
lalu secara singkat Ci-wan menceritakan apa yang terjadi
di puncak Thay-san tempo hari.
"Usiaku belum terlalu tua, tokoh Bu-lim yang jauh
lebih terkemuka daripadaku masih sangat banyak, sebab
itulah sampai saat ini aku belum punya pikiran untuk
menerima murid, aku telah banyak menolak permohonan
orang," demikian kata Hay-thian. "Tapi putra Li Bun-sing
ini pastilah akan kuterima sebagai murid agar tidak
mengecewakan harapan ayahnya. Dan dimanakah anak
itu" Kenapa tidak kau bawa ke sini?"
"Tadi di tempat beberapa puluh li dari sini, bocah itu
telah diculik oleh seorang penjahat wanita!" tutur Ci-wan.
"Ha, bisa terjadi demikian?" seru Hay-thian dengan
kaget dan gusar. "Ada orang berani melakukan kejahatan
di depan mataku sini" Penjahat wanita macam apakah
dia?" Lalu Ci-wan menceritakan peristiwa tadi.
"O, kiranya dia pandai menotok Hiat-to dengan ujung
cambuk?" Hay-thian menegas. Sekilas terbayanglah jagojago
silat yang terkemuka dari berbagai cabang dan
golongan, tapi seketika itu susah juga menyelidiki asalusul
penjahat wanita itu. Setelah berpikir sejenak, kemudian Hay-thian berkata
pula, "Sekarang sudah lewat dua jam, kawanan penjahat
itu tentu sudah meninggalkan wilayah Tong-peng-koan.
Hai, Hiau-hu, semuanya gara-garamu, coba kalau kau
tidak membikin onar, tentu kita ..."
"Ayah, biarlah kukejar bangsat wanita itu dengan Jikliong-
ki (si naga kuning, nama kuda) untuk menebus
kesalahan anak tadi," kata Hiau-hu cepat sambil
berbangkit. "Boleh juga, tapi belum tentu dapat menyusulnya,"
kata Hay-thian. "Kau boleh membawa serta beberapa
kartu namaku untuk disampaikan kepada pemimpin
cabang Kay-pang (organisasi kaum pengemis) di Tekciu
serta para Cianpwe di dunia persilatan, mintalah bantuan
mereka agar menyebarkan Eng-hiong-tiap (undangan
para pahlawan) dan Lok-lim-cian (panah pengenal para
begal) untuk menyelidiki jejak bangsat wanita itu. Setiba
di Tekciu lantas boleh kau tinggal pulang saja."
Hati Ci-wan merasa lega demi mendengar ucapan
Hay-thian itu. Ia tahu nama Kang Hay-thian sangat
tersohor dan disegani di dunia persilatan, pula
hubungannya sangat luas. Bilamana Eng-hiong-tiap dan
Lok-lim-cian itu sudah tersebar, tentu akan sangat
mudah mendapatkan berita tentang orang yang akan
dicarinya. Sebabnya Kang Hay-thian memberi kesempatan
kepada putrinya untuk keluar rumah adalah sekalian
ingin menggembleng anak dara itu agar mendapat
pengalaman di dunia Kangouw.
Jik-liong-ki yang dikatakan itu adalah satu di antara
dua ekor kuda bagus pemberian Danu Cu-mu dahulu.
Kuda itu sehari dapat berlari ribuan li jauhnya, maka
untuk pulang pergi ke Tekciu paling-paling hanya
diperlukan waktu tiga hari saja. Menurut perkiraan HayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
thian, biarpun kepandaian penjahat wanita itu sangat
tinggi, tapi ia yakin putrinya itu tentu sanggup
melawannya, apalagi dia membawa kartu namanya,
sepanjang jalan tentu gampang meminta bantuan tokohtokoh
persilatan. Tapi inipun merupakan pertama kalinya Kang Hiau-hu
berkelana di Kangouw, dengan sendirinya Hay-thian
memberi pesan-pesan seperlunya. Ia menyuruh putrinya
membawa pedang pusakanya serta baju kutang wasiat
milik ibunya. Dipesankan pula bila ketemukan musuh
lihai, kalau tak mampu melawan hendaklah lekas lari
pulang saja. Kalau tidak kepergok musuh, setiba di
Tekciu dan menyampaikan kartu namanya kepada Nyothocu
dari Kay-pang, selekasnya juga putrinya
diharuskan pulang. Dengan aleman Hiau-hu mengiakan, katanya, "Aku
sudah bukan anak kecil lagi, mengapa ayah menganggap
aku seperti anak yang tidak tahu apa-apa saja. Harap
ayah janganlah kuatir."
"Aku pun sudah lama tidak pernah keluar, maka aku
juga ingin ikut-ikut melemaskan otot," demikian tiba-tiba
Kang Lam berkata. Hay-thian melengak. "Apakah engkau juga ingin pergi,
ayah?" tanyanya. "Aku toh belum terlalu tua, apa kau ingin aku hidup
menganggur di rumah saja?" sahut Kang Lam. "Sekarang
aku ingin pesiar keluar, hendaklah kau tidak merintangi
aku." "Anak tidak berani," kata Hay-thian, "cuma
"Cuma apa" Kau kuatirkan ilmu silatku tidak cukup?"
Kang Lam menegas. "Kau toh tahu juga pengalamanku di
masa lampau. Sekarang aku telah berlatih pula selama
20 tahun, andaikan tidak dapat mengungguli kau juga
tidak sampai dikalahkan orang lain. Apa kau kuatir aku
membikin malu dirimu?"
"Ah, mana anak berani berpikir demikian?" sahut Haythian
cepat. Kang Lam tidak peduli lagi, ia bicara terus, "Betapapun
aku toh lebih kuat daripada Hiau-hu, pengalamanku juga
lebih luas. Kalau Hu-ji dapat pergi, tentu aku pun boleh
pergi. Pula aku tidak ingin didampingi olehmu, jika
bersama kau, tentu musuh akan menyingkir jauh-jauh,
kawan-kawanmu pun cuma kenal aku sebagai ayah
Kang-tayhiap, Kang Hay-thian, dengan demikian
perjalananku menjadi tiada artinya lagi. Maka sebaiknya
kau tinggal di rumah saja menemani tamu, kau tidak
boleh menguntit perjalananku. Hanya sedikit urusan kecil
saja masakah kau kuatir aku tidak sanggup
membereskannya?" Hay-thian cukup kenal watak ayahnya. Meski suka
berkelakar, tapi kalau sudah sungguh-sungguh, maka
tidak dapat dibantah lagi. Apalagi yang diucapkan Kang
Lam juga ada benarnya, sesudah berlatih puluhan tahun,
tokoh Bu-lim yang dapat menandingi dia sesungguhnya
juga tidak banyak lagi. Terpaksa Hay-thian tunduk dan berkata, "Jika ayah
ingin pergi, bolehlah silakan menunggang Pek-liong-ki (si
naga putih, nama kuda) saja."
Kang Lam menjadi girang, katanya kepada Hiau-hu
dengan tertawa, "Hu-ji, biarlah kita masing-masing
mengambil satu jurusan, bukankah kawanan penjahat
wanita itu melarikan diri dengan berpencar" Maka kau
mencari ke jurusan timur dan selatan, aku menguber ke
barat dan utara, coba siapa lebih beruntung menemukan
jejak musuh. Siapa yang ketemukan musuh lebih dulu
harus segera melepaskan Coa-yam-cian (panah berapi)
sebagai tanda, dengan demikian kita akan selalu
berhubungan dengan baik."
"Ya, cara demikian sangat baik, aku justru kuatir
kakek menganggap aku sebagai anak kecil dan tidak
memberi kesempatan padaku untuk memperlihatkan
ketangkasanku," ujar Hiau-hu dengan tertawa.
Kang Hay-thian tahu ayahnya paling sayang kepada
Hiau-hu, dengan cara membagi tugas itu diam-diam


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang tua itu dapat melindungi si anak dara, tapi
tampaknya saja anak dara itu telah dibiarkan keluar
sendirian. Begitulah, kalau Kang Lam dan Kang Hiau-hu
bergembira ria, adalah sebaliknya Siau Ci-wan merasa
sangat rikuh, ia berkata, "Karena urusanku ini terpaksa
mesti membikin repot kepada adik cilik, bahkan
membikin susah kepada paman pula, sungguh aku
merasa tidak enak sekali "Janganlah Hiantit bicara demikian," segera Kang Lam
memotong. "Kau telah membela kawan yang tak pernah
kau kenal, masakah kami tak dapat menolong kau"
Kenapa bicara tentang urusanmu dan urusanku apa
segala. Apalagi Hay-thian sudah berjanji akan menerima
anak itu sebagai murid, dengan sendirinya bocah itu
adalah cucu-muridku pula, dan bukankah inipun
terhitung urusanku juga. Sudahlah, kau baru pertama
kali berkunjung ke sini, bolehlah kau bicara baik-baik
dengan Hay-thian, tidak sampai tiga hari kami pasti akan
pulang. Andaikan tidak dapat menangkap penjahat
wanita itu, paling sedikit persoalan ini akan dapat
diselidiki juga seluk-beluknya
Hiau-hu kuatir kalau sang kakek sudah menerocos
tentu takkan ada habis-habisnya lagi, cepat ia
menariknya dan diajak berangkat, katanya, "Yaya,
lihatlah hari sudah hampir petang!"
"Ya, benar, kita harus berangkat sekarang juga," sahut
Kang Lam dengan tertawa. Sambil mengantarkan bayangan perawakan Hiau-hu
yang ramping menggiurkan keluar pintu, diam-diam Yap
Leng-hong menjadi linglung.
Dalam pada itu Ci-wan telah berbangkit dan
memperkenalkan kawannya kepada Kang Hay-thian,
katanya, "Kang-toako, akan kukenalkan kedua sahabatku
ini. Yang ini adalah teman sekampungku bernama Leng
Tiat-jiau, keponakan Leng-cecu dari Siau-kim-jwan."
Dan sesudah Kang Hay-thian beramah-tamah sejenak
dengan Leng Tiat-jiau, lalu Ci-wan memperkenalkan
Leng-hong, "Dan yang ini adalah saudara angkatku, Yap
Leng-hong." Leng-hong tersentak dari lamunannya, cepat ia
melangkah maju . dan mendahului berlutut di hadapan
Kang Hay-thian. Keruan Hay-thian terkejut, serunya, "He, mana boleh
saudara Yap menjalankan penghormatan setinggi ini?"
Dan baru saja ia hendak membangunkan orang,
namun Leng-hong sudah menjura sambil berkata, "Harap
Kohu (paman, suami saudara perempuan ayah)
menerima penghormatan keponakanmu ini."
Untuk sejenak Kang Hay-thian tertegun bingung,
katanya, "Kau ...kau siapa" "
"Ini adalah surat ayah," sahut Leng-hong.
Dengan heran dan ragu-ragu Hay-thian menerima
surat yang diangsurkan Yap Leng-hong itu, ia coba
membacanya, baru beberapa baris membaca tangannya
tampak sedikit gemetar, tiba-tiba ia berseru, "Lian-moay
(adik Lian), lekas keluar, putra Toakomu telah datang!"
Buru-buru ia membaca habis surat itu, lalu dengan
rasa terharu ia memeluk Yap Leng-hong, katanya, "O,
kiranya kau adalah keponakanku. Kami sudah 20 tahun
lebih tak bertemu dengan ayah-bundamu. Selama ini
bibimu sangat merindukan kalian!"
Kiranya istri Kang Hay-thian, yaitu Kok Tiong-lian,
mempunyai dua saudara laki-laki, kakak kedua, Danu Cumu
adalah raja negeri Masar. Kakak tertua Yap Tiongsiau,
karena di waktu mudanya ditipu musuh sehingga
salah mengaku musuh sebagai ayah dan banyak berbuat
kejahatan, kemudian setelah mengetahui rahasia asalusulnya
sendiri, Yap Tiong-siau kembali ke jalan yang
benar dan berkumpul dengan saudara-saudaranya.
Namun di dalam hati kecilnya ia tetap merasa malu, ia
sengaja menghilang ketika Danu Cu-mu hendak
menyerahkan tahta kerajaan kepadanya (cerita ini dapat
dibaca dalam KISAH PEDANG DI SUNGAI ES, sudah
terbit). Sesudah menghilang selama 20 tahun, siapa duga
sekarang mendadak muncul seorang Yap Leng-hong
yang membawa surat ayahnya, yaitu Yap Tiong-siau.
Surat itu ditanda tangani oleh Tiong-siau, tapi jelas
adalah tulisan tangan Auyang Wan, istri Tiong-siau
sendiri. Hay-thian masih kenal tulisan Auyang Wan. Saking
girangnya ia terus memanggil sang istri.
Yap Leng-hong mendadak mengaku keluarga Kang
sebagai famili, sudah tentu hal ini membuat Siau Ci-wan
terkejut dan heran, tapi juga rada mendongkol, pikirnya,
"Kiranya dia adakan keponakan Kang-tayhiap, terang
hubungan mereka jauh lebih dekat daripadaku. Tapi
mengapa dia membohongi aku, bahkan minta aku
memperkenalkan dia?"
Tapi Ci-wan adalah seorang jujur, segera ia anggap
perbuatan Yap Leng-hong itu tentu ada alasannya,
mungkin karena dia sengaja rendah hati dan tidak mau
mengaku sebagai sanak famili Kang-tayhiap, maka tidak
mau sembarangan dikatakan kepada orang lain. Jika
demikian halnya juga tak dapat menyalahkan dia.
Dalam pada itu Kok Tiong-lian telah berlari keluar
ketika mendengar seruan sang suami. Tapi dia lebih teliti
daripada Kang Hay-thian, begitu keluar ia lantas berkata,
"Dimanakah surat Toako, coba kuperiksa dulu!"
Mestinya Yap Leng-hong hendak memberi salam
hormat kepada sang bibi, tapi demi melihat Kok Tionglian
asyik membaca surat, terpaksa ia menunggu di
samping. Terdengar Kang Hay-thian telah memberi penjelasan
kepada istrinya, "Surat ini adalah tulisan tangan Toa-soh
(ipar, istri saudara) sendiri."
"O, aku tidak pernah kenal tulisan tangan Toa-soh,
syukurlah kau masih mengenalnya," ujar Tiong-lian
dengan tertawa. Wajah Hay-thian menjadi merah, diam-diam ia
mengomeli sang istri yang masih ingat pada urusan di
masa lampau, padahal mereka sekarang sudah samasama
tua. Kiranya di masa mudanya dahulu Kang Hay-thian
pernah dicintai oleh Auyang Wan. Tapi sejak Auyang
Wan menikah dengan Yap Tiong-siau, selama itu mereka
tidak pernah datang menjenguk keadaan Kang hay-thian
dan Kok Tiong-lian, mungkin salah satu sebabnya adalah
karena hubungan asmara yang gagal di masa dahulu itu.
Sebenarnya maksud Kok Tiong-lian hanya ingin
mengetahui dengan pasti surat itu tulen atau palsu. Surat
itu ditulis oleh Auyang Wan, tapi nadanya adalah nada Yap Tiong-siau. Surat
itu memberitahukan bahwa Tiong-siau dan istrinya sudah
bertekad akan menyingkir keluar lautan untuk mencari
tempat tinggal yang baru agar maksud menyerahkan
tahta dari Danu Cu-mu dapat diredakan. Untuk
selanjutnya mereka terang takkan pulang ke tanah air
lagi, maka putranya sengaja disuruh datang pada
bibinya, untuk itu diminta Kang Hay-thian berdua suka
menjaga keponakannya itu. Di dalam surat Tiong-siau
juga menyatakan penjelasannya berhubung di masa
dahulu pernah sesat jalan, maka diharapkan putranya
kelak akan menjadi seorang yang berguna di bawah
pendidikan Kang Hay-thian.
Tiong-lian menjadi terharu dengan air mata berlinanglinang,
katanya dalam hati, "Tak nyana watak Toako
ternyata sedemikian keras, semua orang sudah
memaafkan dia, tapi dia sendiri yang tetap tak mau
mengampuni dirinya sendiri. Mungkin Jiko (kakak kedua,
Danu Cu-mu) berulang-ulang menyebarkan orang untuk
mencarinya, hal ini malah memaksa Toako menyingkir
pergi sejauh mungkin."
Bagaimanapun pikiran sang Toako dengan sendirinya
dapat dipahami Kok Tiong-lian, maka ia tidak ragu-ragu
lagi sesudah membaca surat itu. Ia simpan baik-baik
surat itu, lalu bertanya kepada Leng-hong, "Hiantit,
apakah kau pernah pulang ke negeri leluhur (maksudnya
negeri Masar)?" Baru sekarang Leng-hong sempat memberi hormat
kepada sang bibi, lalu menjawab, "Ayah menyuruh Titji
(keponakan) langsung datang kepada paman dan bibi,
bahkan beliau memberi sesuatu larangan pula padaku."
"Larangan apa?" tanya Tiong-lian dengan heran.
"Katanya harus menunggu sesudah putra mahkota
kerajaan Masar naik tahta barulah Titji boleh pulang
untuk menjenguk sanak famili di sana," tutur Leng-hong.
"Malahan ayah juga meminta bibi suka merahasiakan
urusan ini agar Jicek (paman kedua) tidak mengetahui
keberadaan diriku di sini."
"Ya, aku paham," kata Tiong-lian sambil manggutmanggut.
"Ai, sesungguhnya Toako juga terlalu. Dia
kuatir kalau-kalau Jicekmu akan memaksa kau
menggantikan tahtanya. Tapi, baiklah, aku pasti akan
menuruti keinginannya."
"Menjadi seorang pendekar pengelana sesungguhnya
juga jauh lebih bebas dan merdeka daripada menjadi
seorang raja," ujar Kang Hay-thian dengan tertawa.
"Tapi kepandaian Titji terlalu rendah, mungkin tak
dapat melakukan kewajiban untuk menolong sesama dan
membela kaum lemah sebagaimana diharapkan oleh
ayah," kata Leng-hong. "Sebab itulah, maka maksud
ayah ... maksud ayah ..."
"Apakah maksud ayahmu menyuruh kau mengangkat
pamanmu ini sebagai guru?" Tiong-lian menegas.
Leng-hong terdiam, ia merasa kikuk untuk
menjawabnya. Tapi Kang Hay-thian yang berwatak tulus itu sudah
lantas berkata dengan ikhlas, "Titji, sekarang kau sudah
berada di sini, sudah tentu aku akan memenuhi harapan
ayah-bundamu itu. Selanjutnya bolehlah kau belajar
padaku bersama Hiau-hu. Haha, sungguh tidak nyana
bahwa selama 20 tahun aku tiada punya murid, tapi
sekali terima dalam sehari lantas dapat dua. Cuma
sayang putra Li Bun-sing itu adalah muridku yang belum
pernah bertemu, entah dia ada jodoh atau tidak untuk
menjadi muridku." Orang persilatan paling menghormati perguruan, guru
dipandang lebih penting daripada ayah. Sebab itulah Yap
Leng-hong menjadi girang sekali demi mendengar Kang
Hay-thian telah suka menerimanya sebagai murid, cepat
ia memberi hormat pula dan menyatakan terima kasih.
"Hay-thian-ko, untuk pertama kalinya kau menerima
murid, sejak kini kau terhitung telah mendirikan suatu
cabang persilatan tersendiri, maka upacara penerimaan
murid ini harus dilakukan dengan selayaknya, sekalian
memberi petuah-petuah seperlunya."
Kang Hay-thian menjadi serba susah. Maklum dia
sendiri tidak berpengalaman tentang upacara segala.
Gurunya, yaitu Kim Si-ih, adalah seorang yang tidak suka
pada ikatan adat kebiasaan, hakikatnya dia belum pernah
menerima petuah atau sesuatu larangan perguruan. Ia
lihat ucapan sang istri itu sangat sungguh-sungguh,
terpaksa ia menjawab dengan tertawa, "Baiklah, harap
kau bantu mengatur selaku ibu guru."
Tiong-lian juga tidak membantah, segera ia
menyiapkan sebuah meja sembahyangan darurat sebagai
tanda abu para Cosu (leluhur perguruan). Sebenarnya
Kang Hay-thian hanya mempunyai dua orang Cosu,
pertama adalah Tok-liong Cun-cia yang sudah lama wafat
dan angkatan kedua adalah gurunya, Kim Si-ih, yang
pada belasan tahun yang lalu telah mengasingkan diri
bersama Kok Ci-hoa. Kalau dihitung usianya sekarang
juga sudah 60 lebih dan entah masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Sesudah itu lalu Tiong-lian menyuruh Yap Leng-hong
berlutut, segera ia membuka upacara dan berseru,
"Murid baru hendaklah mendengarkan dengan baik.
Perguruan kita melarang, pertama, tidak boleh
berkhianat dan durhaka kepada perguruan, kedua, tidak
boleh membunuh orang yang tak berdosa, ketiga,
dilarang mengganggu dan memperkosa kaum wanita,
keempat, tidak boleh ..." Begitulah berturut-turut ia
mengucapkan sepuluh pasal larangan yang paling
penting yang dipetiknya dari peraturan Bin-san-pay,
kemudian menyambung pula, "Jika melanggar kesepuluh
larangan ini, hukuman yang akan dijatuhkan adalah
hukuman mati atau kalau ringan sedikitnya ilmu silatnya
akan dipunahkan. Apa kau sanggup tunduk kepada
undang-undang perguruan ini?"
Leng-hong menjura berulang-ulang, akhirnya
menjawab, "Tecu menerima peraturan perguruan dengan
sepenuh hati, jika melanggarnya rela menerima
hukuman." "Selain itu masih ada pula larangan-larangan yang
tidak terlalu penting, hendaklah kau pun mendengarkan
dengan baik," kata Tiong-lian pula. "Dilarang
mengumpulkan harta secara tidak jujur, tidak boleh
berhubungan dengan kaum pembesar, dilarang menjadi
pengawal kaum hartawan tanpa izin perguruan, dilarang
Begitulah ia uraikan beberapa pasal lagi, akhirnya
ditambahkannya, "dan dilarang menipu dan berdusta.
Kalau melanggar larangan-larangan ini, hukumannya
ialah ilmu silat dipunahkan atau kaki-tangan dipatahkan
serta diusir keluar dari perguruan. Apa kau sanggup taat
kepada semua peraturan ini?"
Leng-hong sampai berkeringat dingin terutama
mendengar larangan terakhir ini. Cepat ia menjura dan
menjawab, "Tecu akan tunduk dan taat sepenuhnya,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti tak berani melanggar undang-undang perguruan
ini." "Bagus," kata Tiong-lian. "Sekarang ada lagi suatu
peraturan khusus, untuk ini aku hanya minta kau
mentaati setengahnya saja."
Dengan perasaan tak tenteram dan ragu-ragu Lenghong
menjawab dengan hormat, "Silakan Subo (ibu
guru) menjelaskan." Maka berkatalah Tiong-lian, "Suhumu adalah bangsa
Han, ibu angkat merangkap guruku juga orang Han,
sekarang aku pun sudah ikut suami dan sudah lama aku
pun menganggap diriku sebagai orang Han. Para ksatria
dan pahlawan Han walaupun belum pernah berserikat
dan mengangkat sumpah, tapi di dalam hati setiap orang
telah mempunyai suatu janji setia, yaitu harus mengusir
bangsa Boan dan menegakkan kembali kerajaan Beng.
Namun kau bukanlah bangsa Han, maka aku tidak
memaksa kau harus bertindak seperti pahlawanpahlawan
bangsa Han untuk melawan kerajaan Boan.
Tapi paling sedikit kau pun dilarang menjadi antek
pemerintah Boan dan membikin celaka ksatria-ksatria.
Sebab itulah aku hanya minta kau mentaati setengahnya
peraturan ini. Undang-undang perguruan kita ini tidak
diadakan untuk kau seorang saja, kau masih punya Sute
dan Sumoay, mereka pun harus tunduk sepenuhnya
kepada undang-undang perguruan kita ini."
Mendadak Leng-hong mendongak dan berkata,
"Ucapanmu salah Subo!"
Tiong-lian melengak, "Salah" Apakah kau tidak mau
..." "Ibuku sendiri juga bangsa Han, jadi paling sedikit
separoh dari darahku ini adalah orang Han," kata Lenghong.
"Sebab itulah Tecu bersedia mentaati sepenuhnya
peraturan perguruan ini. Tecu akan berbuat sepenuh
tenaga seperti para ksatria bangsa Han untuk melawan
pemerintah Boan. Bila melanggar sumpah ini, Tecu rela
menerima hukuman." "Hahaha! Rupanya Lian-moay belum mengetahui
bahwa Leng-hong adalah orang sekaum kita," kata Haythian
dengan tertawa. "Dia bersama Siau-hiante telah
menyelamatkan putra Li Bun-sing di puncak Thay-san
dan sudah bertempur dengan anjing-anjing pemburu
kerajaan Boan di sana." Habis ini ia lantas menceritakan
yang didengarnya dari Siau Ci-wan tadi.
Tiong-lian sangat girang mendengar keterangan itu, ia
membangunkan Leng-hong dan berkata, "Keponakan
yang baik, murid yang bagus, sejak kini kau adalah
Ciangbun-tecu (murid ahli-waris) perguruan kita."
Menurut peraturan Bu-lim, yang diangkat menjadi
pewaris biasanya adalah murid pertama. Tapi peraturan
inipun tidak mutlak, misalnya Lu Si-nio, begitu pula Kok
Tiong-lian sendiri, dia adalah murid terbuncit dari Binsan-
pay, tapi toh diangkat menjadi pewaris ketua.
Sudah tentu Yap Leng-hong sangat girang, tapi
lahirnya ia memperlihatkan rasa gugup dan berkata, "Ah,
tentang ini ... tentang ini sebaiknya tunggu dulu kepada
Kong-he Sute saja, dia adalah keturunan pahlawan dan
bangsa Han. Pula masih ada Hiau-hu Sumoay."
Hay-thian bergelak tertawa, katanya, "Sudahlah, apa
yang dikatakan ibu gurumu memang cocok dengan
pikiranku. Tentang Kong-he belum lagi diketahui apakah
dia ada jodoh sebagai muridku atau tidak, pula usianya
juga masih terlalu kecil. Lebih-lebih Sumoaymu itu, dia
adalah nona yang nakal, tidak mungkin dapat diangkat
menjadi Ciangbunjin."
Dengan girang Leng-hong lantas menghaturkan terima
kasih pula. Dan baru sekaranglah Siau Ci-wan dan Leng Tiat-jiau
sempat memberi selamat kepada Leng-hong. Lalu Ci-wan
memberitahukan maksudnya akan segera pulang untuk
membantu pergerakan Leng Thian-lok yang telah
disiapkan itu. Tapi Kang Hay-thian telah menahan mereka agar
tinggal lagi beberapa hari, terutama mengenai Li Konghe
yang belum diketahui kabar beritanya itu, maka
terpaksa Ci-wan menurut, ia pikir akan menunggu
pulangnya Kang Lam dan Kang Hiau-hu yang tentu akan
membawa kabar tentang diri Li Kong-he.
Tak terduga, tiga hari telah berlalu dengan cepat, tapi
Kang Lam dan cucu perempuannya itu belum tampak
pulang. Padahal jarak Tekciu tidak terlalu jauh, kuda
tunggangan mereka pun kuda-kuda pilihan, sepantasnya
dalam waktu tiga hari mereka dapat pergi dan pulang.
Walaupun yakin ayah dan putrinya itu pasti tidak
mengalami sesuatu bahaya, tapi Kang Hay-thian rada
berkuatir juga. Ia tahu sang ayah biasanya suka bergaul
dan suka kepada keramaian, setiba di Tekciu boleh jadi
orang tua itu telah ditahan untuk tinggal lebih lama oleh
kawan-kawan dari Kay-pang. Sedangkan Hiau-hu yang
juga baru pertama kali mengembara, di bawah lindungan
kakeknya boleh jadi juga ingin pesiar beberapa hari lebih
lama. Maka Hay-thian lantas berunding dengan sang istri,
mereka mengambil keputusan untuk menunggu tiga hari
lagi, bila yang dinantikan tetap tidak pulang barulah Haythian
sendiri akan berangkat mencarinya.
Karena kejadian luar biasa itu, terpaksa Ci-wan dan
Tiat-jiau mesti tinggal tiga hari lagi di rumah Kang Haythian.
Begitulah dengan cepat tiga hari yang kedua telah
berlalu pula. Pada malam terakhir, tatkala itu sudah
lewat tengah malam, dengan rasa kuatir Hay-thian asyik
bicara bersama Ci-wan dan Tiat-jiau di ruang tamu. Tibatiba
terdengar suara meringkiknya kuda di luar. Dengan
girang Hay-thian berseru, "Ha, tentu mereka sudah
pulang!" Dengan cepat mereka lantas memburu keluar untuk
menyambut. Malam itu kebetulan malam terang bulan.
Tapi mereka menjadi terkejut ketika melihat yang pulang
hanya Kang Lam seorang saja.
"Ayah, hanya ... hanya engkau sendiri saja"
Dimanakah Hu-ji?" tanya Hay-thian dengan kuatir.
Ternyata Kang Lam juga tidak kurang kagetnya
mendengar pertanyaan itu. "He, apa Hu-ji belum pulang"
Kukira dia sudah pulang lebih dulu," demikian Kang Lam
balas bertanya. "Eh, mengapa kuda ayah telah berganti?" tiba-tiba Kok
Tiong-lian berseru. Dan baru sekarang Kang Hay-thian dapat melihat jelas
bahwa kuda tunggangan itu memang bukan Pek-liong-ki
yang dibawa sang ayah ketika berangkat tempo hari,
yang dibawa pulang sekarang ternyata adalah seekor
kuda hitam. Perbedaan kuda itu sebenarnya sangat
mencolok, soalnya Kang Hay-thian hanya menguatirkan
keselamatan putrinya sehingga tidak memperhatikan
kuda tunggangan Kang Lam itu.
Karena pertanyaan Tiong-lian itu. Kang Lam tampak
kikuk dan serba susah, akhirnya ia bicara juga, "Sekali ini
aku benar-benar kena diingusi anak kecil. Aku telah
ditipu oleh seorang penjahat wanita."
"O, apakah ayah telah ketemukan penjahat wanita
itu?" tanya Hay-thian. Diam-diam ia bersyukur bahwa
paling sedikit persoalannya telah ada petunjuk-petunjuk
yang menguntungkan. Sambil berjalan masuk ke dalam ruangan tamu dan
ambil tempat duduk, Kang Lam menghela napas dan
berkata pula, "Aku memang memergoki seorang
penjahat wanita, tapi bukan orang yang kita cari."
"Apa bukan komplotan penjahat-penjahat wanita itu?"
Ci-wan menegas. "Ya, memang komplotannya, tapi bukanlah
pentolannya, hanya seorang dayangnya saja," sahut
Kang Lam. Kiranya pada hari kedua sesudah Kang Lam
berangkat, di tengah jalan ia lantas berjumpa dengan
seorang wanita muda berkuda yang mencurigakan. Usia
dan dandanannya cocok dengan keterangan Siau Ci-wan,
hanya saja tidak membawa anak kecil.
Sudah tentu kuda yang ditunggangi wanita muda itu
tidak dapat menandingi Pek-liong-ki yang ditunggangi
Kang Lam, maka dengan cepat Kang Lam dapat
menyusul wanita itu dan menegurnya.
Semula wanita muda itu hendak melawan, tapi Kang
Lam tidak ingin membikin susah padanya, hanya dengan
tenaga pukulan dari jauh ia membinasakan kuda
tunggangan wanita itu. Melihat kelihaian Kang Lam itu
rupanya si wanita muda lantas dapat menerka dengan
siapa dia sedang berhadapan.
Segera dengan lagak penasaran dan marah-marah ia
mengomel, "Bukankah engkau adalah Kang-loyacu yang
tersohor itu" Kau adalah jago tua, ksatria besar,
mengapa menganiaya seorang wanita lemah seperti
diriku ini?" Tapi Kang Lam menjawab, "Kau tidak perlu
menyangkal. Aku tahu kau adalah komplotan penjahatpenjahat
wanita yang kemarin telah menculik seorang
anak laki-laki di wilayah Tong-peng-koan ini. Terang kau
pun paham ilmu silat, mengapa bilang seorang wanita
lemah?" "Ai, Kang-loyacu, engkau adalah jago tua yang
dikagumi setiap orang Kangouw, semula aku percaya
engkau adalah seorang jujur dan baik hati, tapi ternyata
engkau sedemikian tidak bijaksana."
"Aku tidak bijaksana" Dimana letak kesalahanku" Coba
katakan!" sahut Kang Lam.
"Tentang kesalahanmu sih terlalu banyak," ujar si
wanita muda. Rupanya ia sengaja mengulur tempo,
maka bicaranya sengaja mengadaada
dan bertele-tele. "Kau ingin tahu kesalahanmu"
Baiklah, coba dengarkan. Pertama, kau tidak tahu
siapakah kami ini dan ada hubungan apa dengan bocah
itu, mengapa kau berani menuduh kami adalah kawanan
penjahat" Kedua, seumpama benar kami adalah
kawanan penjahat, orang menangkap penjahat harus
ada bukti, tanpa bukti masakah kau boleh sembarang
menuduh aku sebagai penjahat" Padahal aku hanya
seorang diri, dimana anak laki-laki yang kau maksudkan
itu" Ketiga, walaupun aku juga paham sedikit ilmu silat,
tapi kalau dibandingkan Kang-loyacu yang tergolong jago
kelas satu, maka perbedaannya adalah mirip kambing
melawan harimau, di hadapanmu bukankah aku boleh
disebut sebagai wanita lemah?"
Hati Kang Lam merasa syur karena dipuji dan diumpak
oleh wanita muda itu, diam-diam ia merasa apa yang
dikatakannya itu juga ada benarnya. Segera ia berkata,
"Aku tidak ingin mempersulit dirimu, tapi lantaran anak
laki-laki she Li itu adalah cucu muridku, maka aku harus
meminta kembali dari tangan kalian. Bukankah
komplotanmu yang telah menculik bocah itu" Tentang ini
kau masih coba menyangkal?"
"Bilakah aku menyangkal?" sahut wanita itu dengan
tertawa. "Akan tetapi orang yang telah merampas bocah
itu dari tangan kawanmu itu adalah Siocia (nona
junjungan) kami. Aku cuma salah seorang dayangnya
saja." "Bagus, sedikitnya aku telah mendapatkan beritanya,"
kata Kang Lam dengan girang. "Nah, coba terangkan,
siapakah Siocia kalian itu" Mengapa dia menculik putra Li
Bun-sing" Hayo lekas mengaku!"
"Tentang Siocia kami, beliau bernama Ki Seng-in,
berjuluk Jian-jiu-koan-im (si dewi Koan Im bertangan
seribu). Loyacu sudah banyak berpengalaman, tentu
pernah mendengar nama Siocia kami, bukan?"
"Jian-jiu-koan-im apa segala" Tidak, tidak pernah
kudengar nama demikian," sahut Kang Lam sambil
menggeleng. "Bagaimana asal-usulnya" Tidak, coba kau
katakan dulu untuk apa dia menculik anak itu" Tentang
asal-usulnya boleh disambung nanti."
"Ai, rupanya Kang-loyacu ini sudah pikun?" tiba-tiba
wanita itu menghela napas.
"Hus, mengapa kau mengatakan aku pikun?" semprot
Kang Lam. "Habis, engkau tentunya sudah tahu bahwa aku cuma
seorang pelayan saja, apa yang hendak diperbuat oleh
sang majikan, darimana seorang pelayan dapat tahu?"
"Tapi menurut nadamu tadi bukankah kau hendak
mengatakan di antara Siocia kalian ada hubungan apaapa
dengan anak itu" Sebaliknya kau mengatakan aku
tidak boleh sembarangan menuduh Siociamu sebagai
penjahat." "Ai, Kang-loyacu rupanya benar-benar sudah pikun!"
sahut si wanita dengan tertawa. "Memang tadi aku
mengatakan kau jangan sembarangan menuduh Siocia
kami sebagai penjahat, sebabnya aku berkata demikian
adalah lantaran aku tahu benar beliau bukan penjahat,
sebab itu pula aku berani memastikan bahwa beliau
tentu ada hubungan sesuatu dengan anak she Li itu.
Kalau tidak, buat apa lagi beliau mesti bersusah-susah
merampasnya dari kawalan temanmu" Adapun tentang
hubungan apa di antara Siocia dan bocah itu, karena
Sioacia tidak memberitahu padaku, darimana aku dapat
mengetahui?" Begitulah wanita muda itu sengaja bicara putar-kayun
ke sana-kemari, kesimpulan terakhir tetap sama, yaitu
"tidak tahu". "Sudahlah, kau tidak perlu melantur lagi. Aku hanya
ingin tanya, sebenarnya siapakah Siocia kalian itu?"
"Siocia ialah Siocia, jika kau ingin tahu asal-usulnya,
wah, untuk ini aku harus mengingat-ingat dulu. Ya,
sebaiknya harus diceritakan mulai kakek-moyangnya saja
supaya jelas. Tapi, ai, bicara sekian lamanya mulutku


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi kering, marilah kita mencari suatu tempat
minum, biarlah aku mengobrol lebih asyik dengan
Loyacu." "Busyet!" demikian Kang Lam menggerutu dalam hati.
"Sejak kecil aku dinamakan orang sebagai 'Si Kang Lam
yang ceriwis', tapi tampaknya budak setan ini jauh lebih
ceriwis daripadaku. Kan bisa runyam kalau aku mengikuti
obrolannya yang bertele-tele dan akan membuang tempo
belaka." Dalam pada itu senja sudah tiba, suara burung gaok
ramai di angkasa sedang pulang ke sarang.
Betapapun polosnya Kang Lam juga sudah punya
pengalaman berpuluh tahun, sudah tentu ia tidak mudah
terjebak oleh tipu mengulur waktu si wanita muda. Cepat
ia menyela dan berkata, "Sudahlah, aku
tidak ingin tahu asal-usul Siociamu itu. Menuju ke
jurusan mana Siociamu, coba katakan. Sesudah kususul
dia, dengan sendirinya aku akan tanya asal-usulnya."
"Untuk memberitahukan ke jurusan mana Siocia kami
telah pergi adalah soal gampang," sahut si wanita muda
dengan licin. "Tapi apakah Kang-loyacu tidak kuatir akan
dibohongi olehku?" "Benar, maka biarlah kau yang menunjukkan jalannya
padaku," kata Kang Lam. "Jika kau suka bicara, maka
bolehlah di tengah jalan kau menceritakan asal-usul
Siociamu, boleh kau mulai dari sejarah kakek-moyangnya
tiga turunan atau tujuh turunan, asal saja perjalanan
tidak terhambat." "Baik, Kang-loyacu, masakah aku berani menolak
untuk menjadi penunjuk jalan bagi seorang jago tua
yang termasyhur" Bahkan aku merasa sangat
terhormat!" "Sudahlah, jangan banyak mulut lagi. Lekas
berangkat!" seru Kang Lam dengan tak sabar.
"Tam ... tapi ada suatu kesulitan pula!" tiba-tiba
dayang itu berkata. "Kesulitan apa lagi?" Kang Lam menegas dengan
kurang senang. "Habis, Kang-loyacu telah memukul mati kudaku, apa
sekarang aku disuruh berlari mengikuti kau" Padahal
kudamu sedemikian cepat larinya, sebaliknya tenagaku
terlalu lemah!" "Ya, ini, ini Kang Lam menjadi bingung sendiri sambil
menggaruk-garuk kepala. Sesudah berpikir sejenak,
akhirnya ia berkata, "Baiklah, kau boleh naik ke atas
kudaku sekalian." "Ah, mana boleh jadi begini!" seru si dayang dengan
tertawa genit. "Meski engkau cocok untuk menjadi
kakekku, tapi apapun juga engkau adalah seorang lelaki.
Untuk mengatakan terus terang, meski usiaku baru 18
tahun, tapi aku sudah bertunangan. Calon suamiku itu
justru sangat cemburu, bila dia melihat aku menunggang
kuda bersama seorang lelaki, wah, tentu bisa runyam."
Sesudah berpikir, akhirnya terpaksa Kang Lam
berkata, "Ya, sudahlah, boleh kau menunggang kudaku
ini. Tapi awas, kau harus menurut pada perintahku. Ini,
lihat!" Mendadak ia memukul ke depan, kontan sebatang
pohon yang tanggung besarnya dalam jarak tiga-empat
meter lantas tumbang oleh tenaga pukulannya.
Dayang itu terkejut, tapi pura-pura tertawa dan
berkata, "Kang-loyacu, apa sih maksudmu ini" Bukankah
sudah kukatakan bahwa aku merasa terhormat dapat
mengabdi kepada seorang Locianpwe dan seorang jago
tua, masakah aku berani membangkang lagi kepada
perintahmu?" Walaupun merasa syur karena disanjung-puji, tapi
Kang Lam pura-pura kereng, katanya, "Aku tidak suka
dipuji, kau tidak perlu bicara muluk-muluk. Awas, kau
boleh menunggang kudaku ini dan aku akan ikut dari
belakang. Tapi awas, jangan kau main gila, jarakmu
dariku tidak boleh jauh-jauh, bila kukatakan berhenti dan
kau harus lantas berhenti. Kalau tidak, sekali pukul dari
jauh tentu akan mampus, pohon tadi adalah sebagai
contoh!" "Ai, Kang-loyacu benar-benar terlalu banyak curiga,
masakah aku akan menipu seekor kudamu?" demikian
sahut si wanita. "Apalagi cara bagaimana aku
mengetahui jarakmu tertinggal jauh atau tidak. Apa kau
suruh aku berulang-ulang menoleh untuk melihat kau?"
"Kudaku ini sudah terlatih baik, kau tidak perlu
mencambuknya, asal dia berlari dalam kecepatan biasa
saja tentu aku dapat menyusulnya," kata Kang Lam.
Kiranya Ginkang Kang Lam sekarang sudah sangat
tinggi, kalau kuda biasa saja takkan lebih cepat daripada
dia. Hanya saja kalau berlari jarak jauh, terutama
dibandingkan Pek-liong-ki ini, tentu payah juga bagi Kang
Lam untuk menyusulnya. "Kudamu ini tampaknya sangat tangkas, cuma janganjangan
tidak mau menurut perintah orang yang tak
dikenalnya?" ujar si dayang.
"Tidak, dia sangat menurut padaku," kata Kang Lam.
Lalu ia tepuk-tepuk punggung Pek-liong-ki. Kuda itu
ternyata sangat cerdik segera ia berjongkok hingga si
dayang dapat naik ke atas punggungnya dengan mudah
sekali. Begitulah, karena buru-buru ingin menyusul pentolan
penjahat wanita itu, maka Kang Lam suka mengalah dan
membiarkan dayang itu menunggang kudanya, ia pikir
dirinya toh akan mengintil dari belakang, pula kuda itu
sangat menurut pada perintahnya, tentu takkan terjadi
sesuatu yang di luar dugaan.
Siapa tahu, begitu si dayang sudah berada di atas
kuda, mendadak cambuknya bekerja, "tarr", seketika
Pek-liong-ki pentang keempat kakinya dan berlari ke
depan secepat terbang. Keruan Kang lam terkejut, cepat ia mengejar sambil
membentak, "Berhenti! Lekas berhenti! Awas, segera aku
akan memukul!" Tapi si dayang menjawab dengan suara nyaring,
"Kang-loyacu, engkau adalah seorang ksatria
termasyhur, jika kau tidak takut ditertawai orang,
bolehlah kau memukul mati seorang wanita lemah
seperti diriku ini!"
Kang Lam sudah angkat tangannya dan siap memukul
dari jauh. Tapi ia menjadi ragu-ragu, kalau dia
membinasakan kuda saja, rasanya sayang karena kuda
itu adalah kuda mestika kesayangannya.
Lantaran ragu-ragu itulah dalam sekejap saja jaraknya
dengan kuda putih itu sudah belasan meter jauhnya.
Cepat Kang Lam berteriak, "Naga putih, bantinglah dia,
perosotkan dia!" "Tarrr!", dayang itu mengayun cambuknya ke udara,
ia pun berteriak, "Naga putih, jangan mau! Larilah lebih
cepat, larilah lebih cepat!"
Dan benar juga Pek-liong-ki itu larinya bertambah
cepat malah, maka dengan tertawa si dayang telah
mengejek, "Hihi, Kang-loyacu, kudamu ini tak mau
tunduk pada perintahmu, sebaliknya menurut padaku,
memang pantasnya aku yang menjadi majikannya!"
Karena tak mampu menyusulnya, keruan Kang Lam
mendongkol setengah mati, tapi tak bisa berbuat apaapa.
Begitulah terpaksa Kang Lam melanjutkan perjalanan
ke Tekciu dengan berjalan kaki. Sehari semalam
kemudian akhirnya dia sampai di tempat tujuan, namun
capainya sudah tak terkatakan, apalagi usianya sudah
tua dan tenaga sudah berkurang. Semula ia menyangka
Kang Hiau-hu sudah tiba lebih dulu di Tekciu, siapa duga
anak dara itu sama sekali belum kelihatan bayangannya.
Sesudah menunggu sehari di Tekciu dan Hiau-hu tetap
tidak muncul, diam-diam Kang Lam menjadi gelisah dan
kuatir, segera ia minta seekor kuda kepada sahabat Kaypang
dan berangkat pulang melalui jurusan yang
ditempuh Kang Hiau-hu. Sepanjang jalan ia pun mencari
kabar, tapi tiada diperoleh sesuatu keterangan tentang
diri anak dara itu. Demikian Kang Lam menceritakan pengalamannya itu
dengan mengurangi sedikit kejadian, yaitu tentang
dirinya dipermainkan oleh dayang muda itu.
Untuk sejenak Kang lam merenung, katanya
kemudian, "Nama Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in rasanya
belum pernah kudengar selama ini."
"Tapi kita menjadi tidak sulit untuk menyelidiki
sesudah mengetahui namanya," ujar Tiong-lian. "Hanya
saja aku kuatir kalau nama yang disebut dayang itu cuma
omong kosong belaka, jika demikian urusan menjadi sulit
pula." "Ai, kalian ini benar-benar terlalu, Hiau-hu sampai saat
ini belum lagi pulang, kenapa kalian tidak lekas pergi
mencarinya, tapi masih bicara tak habis-habisnya?" desak
Kang Lam. Biasanya dia paling sayang kepada Hiau-hu,
dengan sendirinya ia pun paling gelisah.
"Harap ayah jangan kuatir," kata Hay-thian. "Hiau-hu
sampai saat ini belum pulang, sudah tentu kita akan
mencarinya. Bahwasanya dia baru mulai berkecimpung di
dunia Kangouw, dengan sendirinya mesti mengalami
gemblengan-gemblengan yang mungkin juga ada
manfaat baginya. Biarlah besok pagi-pagi segera anak
berangkat mencarinya."
Di sebelah sana Siau Ci-wan menjadi serba susah
juga. Dia telah dipasrahi putra Li Bun-sing, sepantasnya
dia mesti ikut mencari. Tapi di samping itu dia sedang
ditunggu pula oleh Leng Tiat-jiau yang mengajaknya
pulang ke kampung. Rupanya Kang Hay-thian dapat merasakan kesukaran
Siau Ci-wan itu, dengan tulus ia berkata, "Siau-hiante,
tentang putra Li Bun-sing ini, biarpun dia belum menjura
dan mengaku guru padaku, tapi sudah terang aku telah
menganggap dia sebagai muridku, mana boleh aku
membiarkan muridku jatuh di tangan orang jahat. Maka
Siau-hiante tidak perlu kuatir, dengan sepenuh tenaga
aku pasti akan mencarinya kembali. Bila engkau sudah
berjanji pulang kampung untuk membantu Leng-cecu,
urusan yang maha penting ini harus kau utamakan lebih
dulu, tentang mencari Kong-he boleh kau serahkan
padaku saja, begitu ada berita tentang ini tentu aku akan
mengirim surat padamu."
Sudah tentu Siau Ci-wan percaya penuh kepada Kang
Hay-thian, katanya, "Kang-toako, asal engkau sendiri
sudah ikut campur urusan ini, biarpun lebih sukar
berpuluh kali lipat juga pasti akan dapat diselesaikan
dengan baik. Hanya ada sesuatu yang kusangsikan, yaitu
muka si Kong-he toh belum pernah kau kenal
"Hahahaha! Masakah kau melupakan si Leng-hong?"
seru Hay-thian dengan tertawa. "Aku justru ingin
menggunakan kesempatan ini untuk membawa Lenghong
keluar agar dia bertambah pengalaman dan lebih
banyak mengenal jago-jago angkatan tua dunia
persilatan." "Bagus sekali jika demikian halnya," sahut Ci-wan
dengan tertawa. "Yap-hiante, semoga kau lebih giat
belajar kepandaian, bila ketemukan bangsat wanita itu
harap kau mewakilkan aku membalas sakit hati tempo
hari?" Diam-diam Yap Leng-hong merasa sangat girang.
Betapa bahagianya jika nanti di luaran dia diperkenalkan
sebagai murid pewaris dari tokoh utama dunia persilatan
sekarang ini. Segera ia menjawab dengan kata-kata yang
merendah hati serta mengucapkan terima kasih atas
perhatian sang guru. Begitulah, besok paginya masing-masing lantas
berpisah. Ci-wan dan Leng Tiat-jiau berangkat pulang ke
Sucwan. Sedangkan Kang Hay-thian dan Kok Tiong-lian
membawa serta Yap Leng-hong menuju ke Tekciu lebih
dulu untuk mencari kabar tentang Kang Hiau-hu dan Li
Kong-he. Hanya Kang Lam yang ditinggal untuk menjaga
rumah. Marilah kita mengikuti pengalaman Kang Hiau-hu.
Apakah yang telah terjadi atas dirinya" Untuk ini harus
diceritakan mulai dari Li Kong-he.
Pada hari itu Kong-he telah dibawa lari oleh seorang
dayang Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in. Pada waktu
melemparkan Kong-he kepada dayangnya, sekalian Ki
Seng-in telah menotok Hiat-to anak itu.
Kong-he hanya bocah berusia 11 atau 12 tahun saja,
kini sudah ditotok dengan ilmu Tiam-hiat tunggal yang
dimiliki Ki Seng-in, sedangkan dayangnya itu juga bukan
orang bodoh, dengan sendirinya Ki Seng-in tidak kuatir
kemungkinan Kong-he akan meloloskan diri.
Ia tidak tahu bahwa meski Kong-he masih kecil, tapi
kepandaian-kepandaian dari berbagai golongan dan
aliran telah banyak yang dipelajari. Kebetulan ilmu TiamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hiat yang digunakan Ki Seng-an itupun diketahui cara
membukanya. Maka dengan sedikit demi sedikit Kong-he
telah menghimpun tenaga dan perlahan-lahan Hiat-to
yang tertotok itu dapatlah terbuka sendiri.
Sementara itu hari sudah gelap, Ki Seng-in sudah
dapat menyusul dayangnya sesudah menghalau Siau Ciwan
bertiga. Tatkala itu mereka berada di jalan pegunungan yang
curam dengan di sebelahnya adalah jurang yang
berbahaya. Kuatir kalau terjadi kecelakaan, segera Ki Seng-in
berseru kepada dayangnya yang berada di depan, "Hari
sudah gelap, jalanan ini sangat berbahaya, boleh kau
serahkan anak itu padaku saja!"
Si dayang mengiakan dan segera menghentikan
kudanya. Tapi baru saja ia hendak memondong Kong-he
ke bawah, sekonyong-konyong Kong-he menjerit keraskeras


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di tepi telinganya. Keruan dayang itu kaget, pada
saat itulah sekuatnya Kong-he mendorong dan sekalian
menotok pula Hiat-to si dayang.
"He, kenapa" Lekas bangunkan bocah itu!" seru Sengin
dari belakang. Dalam keadaan gelap ia menyangka si
dayang terperosot jatuh dari kudanya sehingga Kong-he
ikut terbanting ke bawah.
Tapi pada saat sebelum Seng-in mendekat, dengan
cepat Kong-he menutupi kepala sendiri dengan kedua
tangan, lalu menjatuhkan diri dan menggelinding ke
bawah lereng. Sesudah dekat dan menyalakan geretan api barulah Ki
Seng-in mengetahui yang menggeletak di situ adalah
dayangnya sendiri, sedangkan Kong-he sudah tergelincir
ke bawah gunung. Sebagai seorang ahli ilmu silat, sekali
lihat saja Ki Seng-in lantas tahu Hiat-to si dayang telah
tertotok, ia terkejut, tapi segera paham pula duduknya
perkara. Ia menggeleng-geleng kepala, katanya, "Bocah
ini benar-benar terlalu berani, aku pun terlalu gegabah
dan melupakan dia adalah putra Li Bun-sing. Wah,
celaka, lereng gunung setinggi ini, dengan menggelinding
ke bawah, kalau tidak mampus sedikitnya juga akan luka
parah." Segera ia membuka Hiat-to si dayang yang
tertotok, lalu dengan cepat ia mencari Kong-he ke bawah
lereng gunung. Lereng gunung itu sangat terjal, hari sudah gelap
pula, terpaksa Ki Seng-in berjalan dengan hati-hati, ia
mencari secara teliti kalau-kalau Kong-he tersangkut di
batu cadas atau batang pohon. Tapi sebelum sampai di
dasar lembah, api yang dinyalakan Ki Seng-in sudah
padam. Untunglah Kong-he tidak sampai terluka parah, hanya
bajunya saja yang robek dan babak-belur karena duri
belukar. Ketika menggelinding sampai di dasar lembah,
terus saja ia berlari sekuatnya. Tapi di tengah malam
gelap itu, ia pun tidak tahu harus lari ke jurusan mana.
Dalam pada itu Ki Seng-in telah melepaskan sebatang
Coa-yam-ci (panah berapi) ke udara sambil berseru,
"Jangan lari lagi, anak baik, aku tidak akan membikin
susah padamu!" Mendengar suara tindakan orang di
dasar lembah, maka legalah hatinya, ia yakin andaikan
Kong-he terluka tentu juga tidak parah.
Di dasar lembah gunung itu penuh tumbuh rumput
alang-alang yang tingginya melampaui manusia. Kong-he
cukup cerdik, ia tahu Ginkang Ki Seng-in tentu sangat
tinggi, jika dia sudah menyusul tiba, biarpun dirinya
berlari betapa cepatnya akhirnya pasti akan tersusul
juga. Karena itu ia tidak main lari lagi, tapi begitu melihat
sinar api panah, segera ia menyusup ke tengah rumput
alang-alang. Cahaya api Coa-yam-ci itu hanya sekilas saja sudah
lenyap di udara, meski Seng-in tidak melihat dimana
beradanya Kong-he, tapi telah dapat mengikuti jurusan
lari bocah itu. Terpaksa ia menggunakan cambuk untuk
menyingkap alang-alang dan mencari dengan hati-hati.
Dengan meringkuk di balik segundukan batu-batu
yang dikelilingi alang-alang yang tinggi, hati Kong-he
menjadi kebat-kebit, sampai bernapas pun tidak berani
keras-keras. "Anak yang baik," demikian Ki Seng-in berseru pula
dengan suara ramah. "Aku adalah sanak familimu yang
lebih tua, ayah-bundamu telah wafat semua, hidupmu
menjadi sebatang kara, maka aku sengaja mencari dan
ingin membesarkan kau, hendaklah kau jangan takut."
Walaupun masih anak-anak, tapi sejak kecil Kong-he
sudah sering mendengar cerita ayahnya tentang tipu
muslihat orang-orang Kangouw, pengetahuannya
cukuplah luas. Diam-diam ia membatin, "Darimana sih
munculnya sanak familiku ini" Huh, apa kau mengira aku
gampang ditipu?" Maka ia tetap diam saja.
Dalam pada itu terdengar Ki Seng-in berseru pula,
"Nenekmu berasal dari keluarga Ki bukan" Ayahku adalah
saudara sekandung nenekmu dan aku adalah adik misan
ayahmu, jadi terhitung kau punya Piaukoh (bibi).
Namaku Ki Seng-in, apa ayahmu tidak pernah
mengatakan padamu?" Kong-he terkesiap dan agak heran. Sebab neneknya
memang benar she Ki, hanya saja ayahnya tidak pernah
menceritakan sejarah dan keluarga leluhur itu. Sekarang
mendadak muncul seorang bibi, sudah tentu ia ragu-ragu
apa bibi tulen atau palsu"
Karena Kong-he tetap diam saja, maka Ki Seng-in
telah menghela napas dan berkata pula, "Rupanya
ayahmu sama sekali tak pernah menyebut namaku
padamu" Aku mempunyai nama julukan 'Jian-jiu-koanim',
apa kau juga tidak pernah mendengar julukan ini?"
Mendengar nama julukan itu, tiba-tiba Kong-he
teringat sesuatu kejadian pada waktu hari ulang tahun
ayahnya dua-tiga tahun yang lalu. Seorang sahabat
ayahnya telah membawakan kado sebuah patung dewi
Koam-im porselen yang sangat indah. Entah mengapa
ketika melihat patung Koam-im itu, tiba-tiba ibunya
menjadi marah dan membanting patung itu hingga
hancur berantakan. Tapi dengan tertawa ayahnya telah memberi
penjelasan-penjelasan yang tak dipahaminya, maklum
Kong-he sendiri masih sangat kecil dan tidak tahu selukbeluk
orang hidup. Hanya saja kemudian ibunya lantas
ikut tertawa dan peristiwa itupun berakhir. Kalau dipikir
sekarang, jika julukan penjahat itu adalah Jian-jiu-koanim,
dan tanpa sebab ibunya telah membanting hancur
patung Koam-im yang indah itu, jangan-jangan yang
dibenci ibunya adalah bangsat wanita ini" Peduli apa dia
bibiku atau bukan, jika ibu sudah tidak suka kepada
"Koan-im", maka Jian-jiu-koan-im inipun adalah orang
jahat. Demikian Kong-he berkata dalam hati.
Di sebelah sana agaknya Ki Seng-in menjadi
mendongkol karena Kong-he tetap tidak memberi
jawaban dan memperlihatkan diri, tiba-tiba ia berkata
dengan mendengus, "Hm, jadi ayah-ibumu benar-benar
tidak pernah menyebut namaku" Mereka benar-benar
tidak mau mengaku famili lagi padaku" Biarpun begitu
aku tetap akan melindungi hidupmu. Sudahlah, anak
yang baik, harap kau keluar saja!"
Namun Kong-he tetap diam saja, ia hanya
mendengarkan dan tidak bersuara.
Lama-lama Ki Seng-in menjadi gusar, katanya, "Anak
kurangajar! Hm, apa kau kira aku tidak mampu membikin
kau keluar. Ini rasakan nanti! Hayo, lekas tutupi
mukamu!" Maka terdengarlah suara mendesis-desis ramai, Ki
Seng-in telah menaburkan segenggam Bwe-hoa-ciam
(senjata rahasia bentuk jarum kecil).
Pikir Ki Seng-in, betapapun bandelnya Kong-he, kalau
terkena jarum lembut itu tentu juga akan menjerit
kesakitan walaupun jiwanya takkan terancam. Dan lebih
dulu ia telah memperlihatkan rasa kasih sayangnya
kepada si Kong-he. Begitulah bagaikan hujan saja Ki Seng-in menebarkan
Bwe Hoa-ciam segenggam demi segenggam sambil
melangkah maju ke arah tempat persembunyian Konghe.
Dalam lingkaran seluas beberapa meter sudah
terancam di bawah hujan jarumnya. Terdengar pula
suara "cring-cring" yang ramai, batu-batu yang
mengaling-aling di depan Kong-he itu sudah terkena
jarum-jarum halus itu. "Nah, kau bersembunyi di belakang batu itu, bukan"
Hayo, lekas keluar! Aku sudah melihat kau, tak perlu
bersembunyi lagi!" tiba-tiba Seng-in berseru.
Kong-he terkejut, tanpa terasa ia meringkukkan
tubuhnya dengan lebih ringkas. Lapat-lapat Seng-in
dapat mendengar suara keresekan rumput alang-alang
itu, ia menduga si Kong-he mungkin bersembunyi di situ.
Segera ia mencobanya lagi dengan menghamburkan
Bwe-hoa-ciam, sekali ini ia menggunakan cara yang
istimewa, jarum-jarum itu melayang dulu ke samping,
lalu membalik. Dengan sendirinya Kong-he tidak mampu
menghindarkan diri, kontan bahu, lengan dan betisnya
terkena jarum-jarum lembut itu, rasanya sakit pedas dan
mengilukan. Diam-diam Kong-he menjadi murka, pikirnya,
"Sedemikian kejamnya kau ini. Tapi kau masih mengaku
sebagai bibiku apa segala. Hm, andaikan kau betul
adalah bibiku juga tidak sudi aku ikut padamu." Maka
dengan menahan rasa sakit ia tetap diam saja. Meski
masih kecil, tapi ia cukup cerdik. Ia yakin Ki Seng-in pasti
belum tahu pasti tempat persembunyiannya, ucapannya
tadi yang mengatakan telah melihat tempat
persembunyiannya tentu hanya tipu muslihat saja. Sebab
kalau benar-benar sudah melihatnya mustahil wanita itu
tidak memburu ke situ dan menangkap dirinya.
Sama sekali Ki Seng-in juga tidak menduga bahwa
kecil-kecil cabe rawit, watak Kong-he ternyata
sedemikian bandelnya. Padahal kalau ada orang
bersembunyi di belakang batu itu, tentulah terkena
jarum-jarumnya dan tentu pula akan bersuara. Tapi
keadaan toh sunyi-sunyi saja, tampaknya bocah itu tidak
bersembunyi di situ. Sedangkan sisa jarumnya hanya
tinggal sedikit saja, dengan mendongkol ia lantas
membentak pula, "Apa benar-benar kau tidak mau
keluar" Biarlah aku menyalakan api untuk membakar
kau, ingin kulihat kau mampu bersembunyi lebih lama
lagi atau tidak?" Tapi Kong-he juga sudah nekat. Biar terbakar mati
juga aku takkan keluar, demikian pikirnya.
Akhirnya Ki Seng-in menjadi murka juga, bentaknya,
"Setan cilik, biar kuhitung sampai tiga kali, bila kusebut
tiga masih juga kau belum keluar, segera aku akan
menyalakan api" Nah, satu... dua
Baru saja "tiga" hendak diucapkan, sekonyongkonyong
ada suara seorang telah mengejeknya, "Jian-jiukoan-
im, apa kau tidak malu menganiaya seorang anak
kecil?" Seng-in terkejut, tertampak sesosok bayangan orang
sedang memburu tiba secepat terbang.
"Huh, kukira siapa, tak tahunya adalah Lok-lotoa,"
jengek Ki Seng-in. "Lok-lotoa, apa kau tidak salah ikut
campur urusan ini" Tahukah kau pernah apa bocah ini
dengan diriku?" Orang yang dipanggil "Lok-lotoa" atau si tua she Lok
itu mengekeh tawa, sahutnya, "Mengapa aku tidak tahu"
Tentu saja aku tahu bocah itu adalah anak Li Bun-sing
dan Lo Ki-wan. Dahulu kau urung menjadi istri Li Bunsing
sehingga kau sedemikian bencinya kepada Lo Kiwan,
apa kau merasa tidak cukup membacok sekali di
mukanya dan sekarang kau ingin membikin celaka pula
anak kandungnya" Hm, hm, apa kau kira aku tidak tahu
pikiranmu" Kau pura-pura baik hati dan sengaja menipu
anak ini agar suka ikut padamu, habis itu dengan bebas
kau akan menyiksanya. Tapi untunglah keponakanku ini
cukup cerdik dan tidak kena ditipu olehmu!"
Sesungguhnya Kong-he juga tidak tahu apakah
ayahnya mempunyai seorang sahabat she Lok atau tidak,
yang terang pergaulan Li Bun-sing memang sangat luas, sekarang orang she
Lok mengaku dia sebagai keponakan, apa yang dikatakan
juga beralasan, maka diam-diam Kong-he berdoa,
"Semoga arwah ayah di alam baka suka membantu
paman Lok mengalahkan bangsat wanita ini."
Kiranya ibu Kong-he memang benar bernama Lo Kiwan
dan di bagian pipi kiri di bawah telinga memang
juga terdapat sebuah bekas luka. Di waktu kecilnya,
Kong-he pernah bertanya pada sang ibu mengapa
terdapat bekas luka itu. Ibunya menjawab bahwa dia
jatuh terkena pisau di masa kecilnya. Tapi sekarang baru
diketahui luka itu adalah gara-gara perbuatan Ki Seng-in.
Keruan hal ini makin menambah rasa benci Kong-he,
pikirnya, "Kau telah melukai ibuku dan beliau berusaha
menutupi perbuatanmu ini, tapi sekarang kau malah
hendak menangkap aku pula. Hm, Hm, hatimu benarbenar
teramat kejam." Dalam pada itu terdengar Ki Seng-in telah
mendamprat orang she Lok tadi dengan gusar, "Kau ...
kau benar-benar mengaco-belo belaka! Darimana Li Bunsing
bisa mempunyai seorang sahabat seperti kau" Tapi
tanpa malu-malu kau telah berani mengaku anaknya
sebagai keponakan?" "Hahaha!" Lok-lotoa itu bergelak tertawa. "Karena Li
Bun-sing kenal kekejamanmu, sesudah dia menikah
dengan Lo Ki-wan lantas tak mau menggubris lagi
padamu. Tentang sahabat-sahabatnya masakah dia perlu
memberitahukan padamu" Hm, seumpama aku tiada
punya hubungan persaudaraan dengan Li Bun-sing, tapi
dia adalah ksatria yang terkenal di dunia ini, betapapun
aku tidak dapat tinggal diam membiarkan anaknya jatuh
di bawah cengkeramanmu! Apalagi aku memang pernah
mengangkat saudara dengan dia."
Ucapan Lok-lotoa ini kedengarannya ditujukan untuk
mendamprat Ki Seng-in, tapi sesungguhnya sengaja
diperdengarkan kepada Li Kong-he yang bersembunyi di
sekitar situ. Lalu terdengar Ki Seng-in telah membantahnya,
"Persetan dengan ocehanmu itu! Huh, kau binatang Tokkak-
lok (menjangan bertanduk satu) yang bernama
busuk ini juga berani mengaku sebagai ksatria di
hadapanku" Huh, benar-benar tidak tahu malu!
Ocehanmu ini terang hanya ingin menipu dan merebut
anak Li Bun-sing saja."
"Huh, kau sendirilah yang mengukur dirimu sendiri
dengan diri orang lain," Lok-lotoa balas mendengus.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pendek kata, hendaklah kau lekas pergi dari sini, urusan
keponakanku ini selanjutnya kau tidak boleh ikut campur
lagi!" "Lok-lotoa, jadi kau berani main gila padaku!" bentak
Ki Seng-in dengan gusar. "Peduli kau adalah Jian-jiu-koan-im segala, habis mau
apa?" jawab Lok-lotoa dengan tertawa dingin.
"Ini, rasakan!" bentak Ki Seng-in. Seketika senjata
rahasia berhamburan laksana hujan ke arah Lok-lotoa.
Dia berjuluk Jian-jiu-koan-im atau si Dewi Koan-im
bertangan seribu, dengan sendirinya dalam hal
menggunakan senjata rahasia adalah lain daripada yang
lain. Maka terdengarlah suara "tring-tring" yang ramai, Loklotoa
menggunakan sebatang senjata berbentuk aneh,
yaitu mirip tanduk menjangan yang bercabang-cabang,
ditambah kegesitan dan kelincahannya, seluruh senjata
rahasia Ki Seng-in seperti panah kecil, pisau, batu dan
lain sebagainya telah kena disampuk jatuh atau
dihindarkannya. Bahkan dengan terbahak-bahak Loklotoa
lantas mengolok-olok, "Hahaha! Kau adalah Dewi
Koan-im bertangan seribu, aku adalah Dewa sakti
bertubuh baja. Biarpun senjata rahasiamu sangat
banyak, tapi apa yang kau mampu perbuat atas diriku"!"
Habis berkata, sebelum Ki Seng-in menghamburkan
seluruh senjata rahasia, dengan cepat ia lantas
mendesak maju dan menyerang dari dekat agar lawan
tidak sempat menebarkan lagi senjata rahasianya.
Seng-in terkesiap dan diam-diam mengaku kecerdikan
"menjangan bertanduk satu" itu. Terpaksa ia
menimpukkan sisa senjata rahasianya, lalu melepaskan
cambuk dan pedangnya sambil membentak, "Baik. Boleh
kita coba-coba lagi dengan bersenjata!"
Kepandaian memainkan cambuk dan pedang secara
kombinasi adalah ilmu silat keluarga Ki yang tiada
bandingannya. Dengan cambuknya dia pernah
mengalahkan Leng Tiat-jiau, dengan pedang juga telah
mengalahkan Siau Ci-wan, sekarang cambuk dan pedang
dimainkan bersama, maka betapa lihainya dapatlah
dibayangkan. Tapi senjata yang dipakai Lok-lotoa juga senjata yang
aneh, namanya "Lok-kak-jat" (garpu tanduk menjangan),
bentuknya memang mirip tanduk menjangan, tapi
sesungguhnyaa dibuat dari tanduk sejenis binatang
badak yang hanya terdapat di daerah Tibet, kerasnya
melebihi baja, pada ujungnya ditambahkan dua cabang
tajam sehingga kelihatannya lantas mirip tanduk
menjangan. Senjata aneh ini memang serba guna, dapat dibuat
Tiam-hiat (menotok), dapat dipakai menusuk dan bahkan
dapat digunakan membacok bagai golok. Senjata aneh
ini digunakan untuk melawan cambuk dan pedang Ki
Seng-in menjadi sangat cocok dan sama kuatnya.
Karena tahu lawannya cukup lihai, maka Ki Seng-in
tidak berani ayal, begitu mulai lantas melancarkan
serangan-serangan kilat, cambuknya selalu mengincar
bagian kaki, sedangkan pedang selalu mengarah bagian
atas tubuh lawan. "Permainan kombinasi yang jahat, hari ini aku benarbenar
bertambah pengalaman!" seru Lok-lotoa.
Berbareng senjata tanduk menjangannya terus memapak
ke atas. "Brek", kebetulan cambuk Ki Seng-in menyabet di atas
tanduk yang bercabang itu, karena terlilit dan diseret
pula oleh Lok-lotoa, tanpa kuasa Ki Seng-in tertarik maju
dua tindak. Cepat pedangnya membacok sekalian,
"trang", dengan tepat kedua senjata beradu dan
meletikkan lelatu api. Ternyata sedikitpun tanduk menjangan lawan tidak
berkurang apa-apa, sebaliknya pedang Ki Seng-in sendiri
yang gumpil sebagian, bahkan tangannya terasa pegal
kesemutan, keruan Seng-in terkejut. Cepat ia ganti
haluan, ia gunakan kelincahannya untuk menempur
lawan dan tidak mau beradu senjata lagi.
Sebenarnya bukanlah kepandaian Ki Seng-in kalah
tinggi, soalnya dia belum kenal senjata Lok-lotoa yang
aneh itu, maka begitu bergebrak ia lantas mengalami
kerugian senjata. Sebaliknya meski Lok-lotoa lebih ulet
dan senjatanya yang aneh itu lebih menguntungkan,
namun sepasang senjata cambuk dan pedang Ki Seng-in
juga tidak kalah lihainya, yang satu panjang dan yang
lain pendek, kombinasi permainan dua senjata yang
berbeda ini juga sangat bagus. Sebab itulah keadaan
menjadi sama kuat dan susah menentukan menang atau
kalah dalam waktu singkat.
Di tengah pertarungan sengit itu, mendadak Ki Sengin
bersuit panjang sekeras-kerasnya.
Lok-lotoa tertawa, katanya, "Jian-jiu-koan-im apa kau
berani memanggil lakimu ke sini" Apa kau tidak kuatir dia
akan minum cuka (cemburu) bila melihat putra Li Bunsing
ini" Menurut pendapatku, ada lebih baik kau lepas
tangan saja atas diri bocah ini. Kau toh masih muda,
masakah kuatir takkan melahirkan anak sendiri?"
"Dasar mulut kotor!" semprot Ki Seng-in. "Hm,
menurut pendapatku ada lebih baik kau lekas ngacir
dengan mencawat ekor saja! Kalau tidak, bila suamiku
sudah datang, mustahil menjangan tanduk satu
macammu ini takkan dipotong olehnya!"
Maksud Lok-lotoa mestinya ingin membikin Ki Seng-in
marah, dengan demikian dia dapat menundukkan
lawannya itu. Tak terduga Ki Seng-in tetap bisa
menguasai perasaannya dan tetap tenang, sebaliknya
Lok-lotoa sendiri malah menjadi gugup dan kena ditakuttakuti
tentang kedatangan suami Ki Seng-in nanti.
Kiranya di masa mudanya Ki Seng-in pernah
mengalami patah hati dalam soal asmara sehingga
enggan untuk kawin. Sesudah usianya melampaui 30
barulah dia mulai merasa kesepian dan ingin mencari
seorang teman hidup, dengan demikian barulah dia
menerima lamaran seorang bandit terkenal.
Perkawinan mereka sampai kini belum ada dua tahun
lamanya, tapi di dunia Kangouw sudah tersiar bahwa
kehidupan suami-istri mereka kurang rukun, soalnya
adalah suaminya terlalu cemburu dan merasa sirik karena
sang istri tetap terkenang kepada kekasihnya yang lama,
yaitu Li Bun-sing. Lok-lotoa menjadi sangsi, apabila Ki Seng-in tidak
mendapat persetujuan suaminya, rasanya tidak mungkin
berani mencari putra Li Bun-sing ini" Wah, celaka, boleh
jadi suami istri ini'sudah rukun kembali. Suami Ki Seng-in
terkenal sangat keji dan gapah di kalangan Hek-to, maka
Lok-lotoa agak jeri padanya.
Karena gelisah tak bisa mengalahkan Ki Seng-in
dengan cepat, pula jeri kepada kedatangan suami Sengin,
coba kalau bukan urusannya terlalu penting tentu dia
sudah melarikan diri. Tapi putra Li Bun-sing ini sudah
menjadi tekadnya harus direbut, kesempatan sekarang
adalah sangat bagus karena bocah itu bersembunyi di
sekitarnya, dengan sendirinya ia tidak rela tinggal lari.
Setelah berpikir sekejap, segera ia berteriak,
"Keponakan He yang baik, lekas kau lari saja! Tidak nanti
kubiarkan kau ditangkap dan disiksa orang jahat ini, biar
jiwaku melayang juga aku akan menyelamatkan kau!"
Perasaan Li Kong-he menjadi terharu, tanpa pikir lagi
ia lantas melompat keluar dari tempat persembunyiannya
sambil berteriak, "Paman Lok, jika mau lari biarlah kita
lari bersama saja!" "He-ji, orang ini adalah penipu, jangan mau kau
masuk perangkapnya!" seru Ki Seng-in.
Tapi sekarang Kong-he sudah tidak mau percaya
kepada Seng-in lagi, pikirnya, "Kau telah menyerang aku
dengan Bwe-hoa-ciam, hendak membakar aku pula
dengan api, sekalipun kau benar-benar adalah familiku
yang lebih tua juga aku tidak sudi mengakui kau lagi."
Dan baru saja Ki Seng-in hendak berseru pula, dalam
pada itu Kong-he sudah lantas menerjang ke arahnya,
bocah ini melolos golok, dengan gerakan 'Tiat-niu-kengte'
(kerbau baja meluku sawah), kontan ia menabas
kedua kaki Ki Seng-in. Perawakan Kong-he masih kecil,
memang paling cocok kalau menyerang bagian bawah
musuh. Jika dalam keadaan biasa sudah tentu Ki Seng-in tidak
pandang sebelah mata kepada seorang anak kecil. Tapi
sekarang dia sedang melabrak Lok-lotoa dengan sengit,
bahkan ia sendiri yang terdesak, ditambah lagi bocah
yang cerdik dan tangkas ini, keruan ia meniadi
kelabakan. Dengan mendongkol Seng-in terpaksa membentak
pula, "He-ji, lekas mundur! Jangan kau paksa aku
melukai kau!" Kong-he tambah gemas, jawabnya kontan,
"Memangnya sedari tadi kau juga ingin membikin celaka
padaku!" Sebagai putra seorang ksatria yang berjiwa luhur,
Kong-he menyangka si Lok-lotoa itu benar-benar ingin
menyelamatkan dia dengan mati-matian, maka ia pun
tidak dapat tinggal diam. Walaupun diketahui setiap
serangan Ki Seng-in dapat membinasakan dia, tapi hal ini
sudah tak terpikir lagi olehnya.
Begitulah Ki Seng-in telah menggeser dengan cepat ke
samping, sebelah kakinya terus menendang. Tujuannya
hendak menendang tangan Kong-he yang memegang
golok itu supaya senjatanya terlepas.
Tak terduga Kong-he masih terus menyeruduk saja
bagai banteng kecil tanpa menghiraukan tendangan
Seng-in, dengan cepat tabasan Kong-he tetap diarahkan
ke betis lawannya. Dengan demikian ujung kaki Ki Sengin
menjadi tepat menjurus ke batok kepala anak itu,
kalau tendangan ini diteruskan tentu kepala kecil itu akan
pecah berantakan. Hubungan Ki Seng-in terhadap Kong-he adalah sangat
ruwet. Bocah itu adalah anak lawan asmaranya, yaitu Lo
Ki-wan, tapi juga putra kekasihnya (Li Bun-sing).
Lantaran patah hati, maka Seng-in baru menikah tatkala
usianya sudah lebih 30 tahun, tapi pernikahannya
ternyata tidak bahagia sehingga membuat eksentrik
pikirannya, dia benci kepada lawan asmaranya dan juga
benci kepada kekasihnya, tapi betapapun dalam lubuk
hatinya masih tersisa rasa cintanya kepada kekasih yang
pertama itu. Karena perasaan cinta dan bencinya kepada ayah-ibu
Kong-he itulah, maka perasaannya kepada Kong-he juga
sangat ruwet. Tapi betapapun tidak nanti dia membikin
celaka jiwa seorang anak kecil sebagaimana dikatakan
Lok-lotoa tadi. Demikianlah tendangan Ki Seng-in tadi menjadi urung
diteruskan, terpaksa ia menghindari saja, dengan cepat
ia miringkan tubuh terus berputar ke belakang sehingga
sebelah kaki yang mestinya sudah melayang ke depan itu
Pendekar Guntur 3 Istana Kumala Putih Karya O P A Pusaka Negeri Tayli 10
^