Pencarian

Harimau Kemala Putih 3

Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung Bagian 3


Tapi tusukan toya itu bukan tertuju ke tubuh Bu ki.
Yaa, sasaran dari sodokan toya emasnya ternyata adalah Siau Tang lo.
Tentu saja lebih lebih tak mungkin bagi Siau Tang lo untuk menghindarkan diri dari serangan
tersebut. Tampak cahaya emas berkilauan memenuhi angkasa, menyelusuri jalan darah Sau yang hiat
di atas telapak tangan, dalam waktu singkat ia telah menotok enam puluh empat jalan darah
besar dan kecil di tubuh tuan rumah . . .
Tiba-tiba toya emasnya kembali dijungkit ke atas membuat tuan rumah terjungkit dengan
enteng kemudian sambil memutar telapak tangannya secara beruntun dia lancarkan kembali
enampuluh empat buah totokan diatas punggung tuan rumah.
Semua gerak serangannya bukan saja dilakukan dengan kecepatan luar biasa, gayanyapun
aneh sekali bukan cuma seram rasanya bahkan hakekatnya belum pernah kedengaran dalam
dunia persilatan. Diantara tiga puluh enam buah jalan darah besar dan tujuh puluh dua jalan darah kecil di
tubuh manusia, sesungguhnya paling sedikit ada separuh di antaranya merupakan jalan darah
110 ke-matian. tapi totokan yang dilancarkan mayat hidup pada saat ini justru semuanya ditujukan
pada bagian-bagian yang mematikan.
Anehnya, ternyata Siau Tang lo tidak tewas akibat serangan tersebut. Dengan tubuh yang
enteng dan lembut tubuhnya melayang kembali ke atas pembaringannya yang empuk, bukan
pen-deritaan yang terlihat sebaliknya justru ia kelihatan lebih segar dan enteng, seakan-akan
seseorang yang baru sembuh dari penyakit parah. seperti juga seseorang yang baru saja
menurunkan beban yang berat sekali.
Setelah menghembuskan napas panjang, ia bergumam:
'Aaaai.. tampaknya aku bisa bertahan selama satu tahun lagi!?
'Bagaimana pula dengan aku?" tanya si mayat hidup.
'Asal aku tidak mampus, kau tentu saja tak akan sampai mampus.!"
"Yaa, tentu saja! Sebab kau tahu cuma aku seorang yang dapat mampertahankan
kehidupanmu' "Oooh . . tentang soal ini, aku tak akan melupakan untuk selamanya . . .
'Di mana obat pemunah bagiku"'
Pelan-pelan Siau Tang lo merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah botol hijau
kecil yang berbentuk panjang.
Setelah minum obat itu paras muka mayat hidup itu menunjukkan pula perubahan mimik
wajah seperti apa yang dialami Siau Tang lo barusan.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia masuk ke dalam peti matinya dan berbaring
membujur dalam peti mati, matanya terpejam rapat-rapat seakan-akan sudah tertidur pulas.
Selama kejadian itu berlangsung, bocah berbaju merah itu menggenggam terus tangan Bu ki
erat-erat, dia seperti kuatir kalau pemuda itu tak bisa mengendalikan emosinya dan
mencampuri urusan tersebut.
Menanti si mayat hidup itu telah berbaring kembali di dalam peti matinya, bocah itu baru
merasa amat lega, bisiknya kemudian:
'Barusan aku benar-benar merasa agak takut!?
"Apa yang kau takuti?"
111 'Aku takut kau menyerbu ke muka dan coba menolong guruku, bila kau sampai berbuat
demikian maka tindakanmu itu sama halnya dengan mencelakai selembar jiwanya."
" Kenapa"' 'Aku sendiripun kurang begitu jelas," kata bocah berbaju merah itu, 'aku cuma tahu bahwa
hawa murni dalam tubuhnya telah membeku, hawa yang beku itu hanya dapat ditembusi oleh
mayat hidup itu dengan ilmu totokan menunggalnya, sebab dengan tubuhnya yang lemas dan
setengah lumpuh, hakekatnya tak mungkin baginya untuk mengalirkan sendiri hawa murni
dalam tubuhnya, kecuali mayat hidup ini seorang, tak mungkin ada orang kedua di dunia ini
yang mampu menembusi ke seratus duapuluh delapan buah jalan darahnya dalam sekejap
mata. Setelah berpikir sebentar, kembali katanya. "Yang paling penting adalah hawa murninya tak
boleh putus, sebab satu kali terputus berarti jiwanya tak tertolong lagi`
"Sebetulnya soal itu merupakan rahasia pribadi dari gurumu, tidak seharusnya kau
menceritakan rahasia tersebut kepadaku.*
"Kita sudah berteman, kenapa aku tak boleh memberitahukan rahasia ini kepadamu"* bantah
bocah berbaju merah itu. Bu-ki tidak berbicara apa-apa lagi.
Dia adalah seorang pemuda yang gampang dibikin terharu oleh keadaan yang dijumpainya,
bila hatinya sedang terharu, seringkali ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Bocah berbaju merah itu memutar sepasang biji matanya, tiba tiba ia bertanya:
"Seandainya mayat hidup itu bertanya lagi kepadamu, siapa yang kau tertawakan tadi,
bagaimana jawabanmu?"
"Aku sedang mentertawakan dia!" jawab Bu-ki tanpa berpikir panjang lagi.
Bocah berbaju merah itu kembali bertanya:
"Dapatkah kau saksikan gerakan apa yang digunakan olehnya ketika melancarkan totokan
tadi?" 'Bukankah ilmu pedang?"
'Betul, memang gerakan ilmu pedang!? bocah berbaju merah itu membenarkan. "bila
meng-gunakan gerakan pedang untuk menotok jalan darah orang, hal ini bukan merupakan
suatu pekerjaan yang gampang"
112 Bu-ki mengakui keheranan dari perkataan tersebut.
Yang diutamakan dalam gerakan ilmu pedang adalah gaya yang enteng dan lincah, dengan
gerakan semacam ini tidak gampang baginya untuk mengincar dengan tepat jalan darah orang
lain. Kembali si bocah berbaju merah itu berkata:
"Pernahkah kau saksikan ilmu pedang dengan gerakan secepat ini"'
?Belum pernah!' jawab Bu ki.
'Akupun belum pernah menyaksikan gerakan ilmu pedang setepat ini', ia menambahkan,
'bukan saja sekaligus dapat menusukkan seratus dua puluh delapan buah tusukan, lagi pula
setiap tusukan tersebut dapat mengarah jalan darah secara tepat, setengah milipun tidak
meleset? "Jangan jangan kau sudah kagum kepadanya"' bisik bocah berbaju merah itu lagi.
"Aku hanya mengagumi ilmu pedangnya!"
Bocah berbaju merah itu segera tertawa.
'Tahukah kau kenapa aku sangat menyukai dirimu"' katanya.
Ia percaya sekalipun Bu-ki tahu, belum tentu dia akan mengucapkannya ke luar.
Maka ia menerangkan lebih lanjut: "Sebab tulang-belulangmu sungguh keras sekali, kerasnya
bukan kepalang . . . ! ? Bu-ki sama sekali tidak bermaksud membantah atau menyangkal, sebab dalam hal inilah
seringkali ia merasa bangga.
Tiba-tiba si bocah berbaju merah itu bertanya lagi: 'Coba lihatlah, bukankah bocah itu terus
menerus mendelik kepadaku . . . ?"
Sejak pertama kali tadi, Bu-ki telah memperhatikan tentang hal itu.
Si bocah berbaju putih yang selama hidup tak pernah menginjak tanah itu sejak tadi sampai
sekarang selalu melotot ke arah mereka dengan sepasang matanya yang bulat, jeli dan terang.
'Dia pasti mendongkolnya setengah mati!' demikian bocah berbaju merah itu berkata lagi.
113 'Kenapa ia marah kepadamu"'
"Sebab ia sedang menunggu diriku, sebaliknya aku tidak menggubrisnya malahan mengajak
kau bercakap cakap" 'Apa yang sedang ia nantikan"*
'Ia menunggu untuk berkelahi dengan diriku!'
"Berkelahi?" *Kedatangan suhunya kemari disamping untuk mendapatkan obat pemunah baginya, bocah
itu memang sengaja datang untuk berkelahi dengan diriku . . . . !"
Bocah itu tertawa sejenak, lalu terusnya: ?Semenjak kami berusia delapan tahun, setiap tahun
tentu akan berkelahi satu kali, kami sudah melangsungkan pertarungan semacam ini selama
lima tahun? 'Kenapa kalian musti berkelahi?" tanya Tio Bu-ki dengan perasaan tak habis mengerti.
"Sebab suhunya dan suhuku sudah tak mungkin untuk berkelahi lebih jauh, maka dari itu
masing-masing pula menerima seorang murid, kalau suhunya tak mampu melanjutkan
pertarungan. tentu saja muridnya yang harus melanjutkan, murid siapa yang berhasil
menangkan pertarungan, kepandaiannya pula yang terhitung nomor satu di dunia'
Bu-ki memandang sekejap ke arahnya, lalu memandang pula bocah yang kakinya tak pernah
menempel tanah itu, kemudian tak tahan lagi ia bertanya: "Apakah kaliau adalah saudara
kembar ?" Bocah berbaju merah itu segera menarik wajahnya.
"Kami bukan saudara kembar, kami adalah musuh bebuyutan yang sudah ditakdirkan sejak
dilahirkan' 'Kalau memang dia sedang menunggu dirimu, kenapa tidak suruh kau menghampirinya!"
?Sebab dia musti bergaya seolah-olah seorang yang terpelajar, seseorang yang berwibawa dan
mempunyai iman yang tebal, karena itu dia musti sabar dan mengendalikan emosinya"
"Maka dari itu, kau sengaja memanasi hatinya agar cepat menjadi mendongkol dan mangkel
"? tanya Bu-ki. "Yaa, yang dia pelajari adalah ilmu pedang, sedang aku belajar ilmu tenaga dalam, apa bila ia
tidak kubikin mendongkol lebih dahulu, mungkin sudah lima kali aku dikalahkan olehnya "
114 Bu-ki dapat memahami maksud hatinya.
Bagi siapa yang belajar ilmu pedang maka dia lebih menitik beratkan pada kecerdasan,
sebaiknya bagi yang mempelajari tenaga dalam lebih menitik beratkan soal pondasi,
walaupun kedua-duanya mempunyai perjalanan yang sama, namun kemajuan yang dicapai
bagi orang yang mempelajari ilmu pedang biasanya jauh lebih cepat.
Cuma, walau apapun yang dipelajari, sebelum pertarungan dilangsungkan orang tak boleh
marah. Marah akan menciptakan keteledoran, bagai manapun kecilnya keteledoran itu bisa
mengakibatkah kematian yang fatal.
Bocah berbaju putih itu sudah mulai tak sanggup mengendalikan diri, tiba-tiba teriaknya:
"Hei !" Tapi bocah berbaju merah itu masih juga tidak memperdulikan dirinya. Suara teriakan dari
bocah berbaju putih itu semakin lantang, kembali dia berseru:
?Hei, semenjak kapan kau menjadi tuli"?
Bocah berbaja merah itu berpaling dan memandang sekejap kearahnya, kemudian ia bertanya:
"Eeeh . . . kau lagi berbicara dengan siapa"'
"Dengan kau" jawab bocah baju putih itu gemas.
"Keliru mungkin kau, sebab aku tidak merasa bernama hei !"
Tiba-tiba bocah berbaju putih itu mengenjotkan badannya, dari atas bahu Liu Sam-keng tahutahu
ia sudah berada di atas atap kereta.
"Apapun namamu aku tak ambil perduli, pokoknya ke mari dulu kau!' bentaknya.
Akhirnya dengan ogah-ogahan bocah berbaju merah itu melangkah maju kedepan.
"Sekarang aku sudah datang!' katanya lirih.
'Naik ke mari !" 'Ogah, aku ogah naik ke atas!" tampik bocah berbaju merah itu sambil gelengkan kepalanya
berulang kali. 115 'Kenapa'" "Bagaimanapun juga tidak mungkin bagiku untuk berkelahi dengan dirimu di atas kepala
guruku" Lalu setelah tertawa sebentar katanya lagi: "Kau boleh saja tak tahu aturan, tapi aku tak bisa
menuruti cara berandalmu yang tak tak tahu aturan itu!"
Paras muka bocah berbaju putih itu sudah berubah menjadi merah padam, tiba-tiba ia
meloncat turun. Sebagaimana diketahui, waktu itu hujan baru saja berhenti, bagai manapun sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. tak urung berlepotan lumpur juga kakinya.
"Adduuh mak!" bocah berbaju merah itu pura-pura berteriak.
"Hei, kenapa kau aduh-aduh?" tegur bocah berbaju putih itu semakin mendongkol.
'Aku lagi aduhkan kakimu itu, manusia terhormat macam kau mana boleh berlepotan lumpur
kakinya?" Bocah berbaju putih itu kontan saja tertawa dingin.
"Kau tak perlu menguatirkan bagiku, setiap saat aku membawa sepatu cadangan untuk di
tukar! ? katanya. "Waaah . . . berapa banyak sepatu yang kau miliki"' tanya bocah berbaju merah pura-pura
ingin tahu. Kembali bocah berbaju putih tertawa dingin.
'Paling sedikit juga mencapai tujuh-delapan puluh pasang!'
'Haaahhh . . . haaahhh . . . baaahhh . . . bagus, bagus sekali!" bocah berbaju merah itu
terbahak-bahak, "hakekatnya sepatumu jauh lebih banyak dari pada sepatu yang dimiliki
permaisuli Nyo Kui-hui!"'
Lalu pura-pura menunjukkan sikap ber sungguh-sungguh, kembali katanya:
'Cuma bagaimanapun juga, aku masih rada kuatir bagimu!"
'Apa lagi yang kau kuatirkan?" tanya bocah berbaju putih itu tak tahan lagi, pucat pias sudah
wajahnya karena gemas bercampur mendongkol.
116 "Aku kuatir kau tak bisa tumbuh lebih tinggi!? kata si bocah berbaju merah.
Sepintas lalu dua orang bocah itu bagaikan pinang dibelah dua, baik wajahnya maupun tinggi
badan dan perawakannya, tapi setelah mereka berdiri bersama, oracg lain baru bisa melihat
dengan jelas bahwa tinggi badan bocah berbaju merah itu dua inci lebih tinggi daripada bocah
berbaju putih itu. Lagi-lagi bocah berbaju merah berkata:
'Bocah manapun yang kakinya enggan menempel tanah, badannya tak bakal bisa tumbuh
menjadi tinggi, apalagi kau terlalu gampang naik darah . . . wah, wah, sulit . . . sulit . . ."
Bocah yang satu sengaja menggoda bocah yang lain, meski bocah yang digoda telah berusaha
untak menunjukkan gaya dari seorang dewasa, walaupun ia berusaha untuk tidak ribut dengan
bocah yang menggodanya, akan tetapi justru ia tak sanggup mengendalikan emosinya, justru
kata-kata yang ditujukan kepadanya adalah olok-oloknya yang sangat mengena, hampir saja
ia tak bisa mengendalikan diri lagi.
Yaa, sewaktu saling olok mengolok, dua orang bocah kembar itu kelihatan menarik sekali,
tapi begitu mereka mulai turun tangan, tak ada yang merasa menarik lagi.
DUA ORANG BOCAH DUA orang bocah sedang bermain.
Wajah mereka mirip satu sama yang lain.
Yang satu tertawa terkikik.
Yang lain marah mendelik.
Yang satu naik kuda. Yang lain naik kaki dua. 0h sayang ! Kalau tahu bersaudara kembar.
Kenapa harus bertengkar "
117 ***** Senjata yang mereka pergunakan adalah pedang, dua bilah pedang yang sama bentuknya,
sama panjangnya, sama beratnya dan sama bahannya.
Bocah berbaju merah itu memilih sebilah lebih dulu, kemudian berkata: "Kau adalah seorang
ahli dalam ilmu pedang, sudah sepantasnya kalau mengalah tiga jurus untukku."
Tapi kenyataannya, satu juruspun bocah berbaju putih itu tidak mengalah . . . . .
Gerakannya dikala meloloskan pedang jauh lebih cepat daripada gerakan bocah berbaju
merah itu, sewaktu melancarkan serangan, gerakannya juga cepat, dalam sekejap mata ia
sudah melepaskan sebelas buah tusukan berantai.
Bocah berbaju merah itu segera tertawa.
Lagi-lagi . bocah berbaju putih itu terperangkap dalam siasatnya, dia memang sengaja
memancing bocah itu agar melancarkan serangan terlebih dahulu.
Sebab ilmu pedangnya bukan termasuk ilmu pedang yang sanggup merebut kemenangan
dengan kecepatan. "Dengan tenang mengendalikan gerak, dengan lambat membendung cepat, meski menyerang
belakangan tapi merobohkan lebih duluan", itulah menjadi inti pokok dari ilmu pedang yang
dipelajarinya. Akan tetapi, ilmu pedang dari bocah barbaju putih itu tidak berhasil dikendalikan olehnya.
Kecepatan, ketepatan serta keganasannya sewaktu melancarkan serangan benar-benar
me-rupakan serangan mematikan yang luar biasa, sedikitpun tidak memberi kesempatan
kepada lawan untuk banyak berkutik.
Walaupun kedua orang bocah itu kelihatan menarik sekali, tapi ilmu pedang yang mereka
miliki jauh lebih menakutkan dari pada apa yang dibayangkan orang sebelumnya.
Siau Tang lo sempat menangkap rasa kaget dan tercengang di atas wajah Sugong Siau-hong,
sambil tersenyum tanyanya:
"Coba lihatlah, bagaimana pendapatmu dengan ilmu pedang yang mereka miliki?"
"Seandainya Pek Siau-seng masih hidup di dunia, ilmu pedang yang dimiliki kedua orang
bocah ini tentu akan tercantum pula dalam deretan nama orang-orang terkenal dalam kitab
catatan senjatanya!"
118 Atau dengan perkataan lain, ilmu pedang yang dimiliki kedua orang bocah itu sudah berhak
untuk tercantum pula dalam deretan nama dari kelima puluh orang jago kenamaan.
Padahal usia mereka sakarang belum lagi mencapai sebelas dua belas tahun.
Tiba tiba Sian Tang lo menghela napas panjang, lalu katanya: "Cuma sayang selamanya
mereka tak mungkin

Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa menjadi jago nomor satu di kolong langit."
"Kenapa?" tanya Sugong Siau-hong keheranan.
"Sebab mereka berdua terlampau cerdik."
"Apa jeleknya menjadi orang cerdik?"
"Untuk menjadi seorang jagoan nomor wahid di kolong langit, kecuali ilmu pedangnya harus
mengungguli orang lain, merekapun harus mempunyai jiwa yang besar serta keberanian dan
niat yang tak pernah lumer atau rontok, agar bisa berhasil mendapatkan kesemuanya itu maka
mereka harus meraihnya dari pelbagai pengalaman dan penderitaan yang luar biasa."
Ia tertawa getir lalu melanjutkan: "Biasanya orang yang terlalu cerdik tak tahan untuk
menerima siksaan dan penderitaan semacam ini, mereka pasti akan menggunakan kecerdikan
otaknya untuk menghindarkan diri dari penderitaan tersebut, lagi pula biasanya mereka selalu
berhasil menghindarinya."
"Barang siapa tidak pernah merasakan penderitaan dan siksaan yang sungguh-sungguh,
selamanya jangan harap ia bisa berhasil dengan sukses" kata Sugong Siau-hong kemudian.
"Yaa, tak mungkin bisa!" Siau Tang lo membenarkan.
"Akan tetapi mereka yang pernah merasakan penderitaan dan siksaan, belum tentu pada
akhirnya bisa menjadi sukses pula."
"Oleh sebab itulah selama puluhan tahun belakangan ini pada hakekatnya dalam dunia
persilatan tak pernah ada orang yang bisa meraih gelar Thian-he tit it ko jiu (jago tangguh
nomor wahid di kolong langit)!"
"Bagaimana pendapatmu dengan See bun kongcu yang pernah bertarung sengit melawan Liok
Siau-hong, Liok tayhiap di puncak bukit Kun lun itu ?"
"Tahukah kau bagaimana akhir dari pertarungan itu?" Siau Tang lo balik bertanya.
119 "Konon mereka berdua sudah terjatuh ke dalam jurang yaug tak terhingga dalamnya keduaduanya
tewas!" "Seandainya See bun kongcu memang jago tangguh nomor wahid di kolong langit, siapakah
yang sanggup untuk mendesaknya hingga terjatuh ke dalam jurang dan mati bersama?"
Berkilauan sepasang mata Sugong Siau-hong setelah mendengar perkataan itu, katanya lagi:
"Bagaimana pula dengan sahabat yang kini sedang berbaring di dalam peti matinya?"
Siau Tang lo tertawa hambar.
"Apabila dia adalah seorang jago tangguh nomor satu di dunia, bagaimana mungkin keadaan
sekarang bisa berubah menjadi begini?"
Sugong Siau-hong tidak bertanya lebih lanjut.
Dalam beberapa waktu yang amat singkat, kedua orang bocah itu sudah terlibat dalam suatu
pertarungan yang kian lama kian bertambah sengit.
Serangan demi serangan yang mereka lancarkan makin lama semakin berbahaya, bila dilihat
dari cara pertarungan itu berlangsung, akhirnya mungkin akan mengulangi kembali tragedi
yang telah dialami See-bun kongcu serta Liok Siau-hong, yakni kedua belah pihak sama-sama
terluka parah dan tewas. Akan tetapi keadaan mereka pada saat ini sudah tidak terkendalikan lagi, sebab kedua belah
pihak sama-sama tak mungkin menarik kembali serangannya.
Dalam keadaan yang kritis itulah, tiba tiba . . . "Triiing!" sekilas cahaya putih menyambar
lewat dan mematahkan ujung pedang dari dua orang bocah itu.
Jilid 5________ MENGIKUTI rontoknya kutungan pedang tersebut, rontok pula sebatang tongkat pendek
berwarna putih, tubuh kedua bocah itu segera tergetar keras dan terpisah satu sama lainnya.
Ternyata orang yang berdiri diantara mereka berdua tak lain adalah Liu Sam-keng, si buta
yang tidak melihat apa-apa itu.
Paras muka bocah berbaju putih itu kontan saja berubah menjadi hijau membesi, dengan suara
nyaring bentaknya: ?Hei, apa-apaan kau ini"'
120 Dengan ogah-ogahan Liu Sam-keng memungut tongkat pendeknya dari tanah, lalu dengan
kepala tertunduk dan mulut membungkam ia mengundurkan diri dari situ.
Sambil tersenyum Sian Tang lo segera menegur: 'Liu sianseng. kenapa kau membungkam
saja"? *Aku tak lebih cuma seorang budak belaka, mana aku berani ikut ambil bicara"? jawab Liu
Sam keng. Toh mia keng hu, si tukang kentongan perenggut nyawa yang sudah termashur namanya di
kolong langit, mana mungkin bisa menjadi budaknya orang lain"' kata Sian Tang lo lagi
sambil tertawa. ?Dia memang seorang budak,? tiba-tiba mayat hidup itu menyela.
***** Hingga detik ini, Bu-ki masih belum percaya kalau Liu Sam keng telah mengakui dirinya
sebagai budak orang lain.
Akan tetapi Liu Sam keng serdiri telah mengakuinya, bahkan paras mukanya sama sekali
tidak menampilkan rasa marah atau penasaran.
'Jiwanya, tubuhnya dan darahnya sudah menjidi milikku!? demikian mayat hidup berkata,
setiap saat aku bisa memintanya untuk mati bagiku, putraku pun setiap saat bisa menyuruhnya
untuk pergi mati!' Paras muka Liu Sam keng tawar dan sedikitpun tiada emosi, katanya pula dengan suara datar:
?Setiap waktu, setiap saat, aku selalu bersiap sedia untuk mati bagi Ho ya!'
'Kalau begitu matilah sekarang juga!' ejek bocah berbaju putih itu sambil tertawa dingin.
Tanpa mempertimbangkan lebih jauh, Liu Sam keng segera mencabut keluar pedang pendek
dalam tongkatnya, lalu menggorok leher sendiri.
Bu ki ingin menerjang maju ke muka dan menolong jiwanya, sayang waktu sudah tidak
mengijinkan lagi. Mata pedang yang tajam telah merobek lehernya, darah segar segera menyembur ke luar
bagaikan sumber mata air.
Paras muka bocah berbaju putih itu berubah hebat, ia cuma berdiam diri dengan mata
terbelalak 121 `Tahan!' tiba tiba mayat hidup membentak.
Gerakan nekad dari Liu Sam kengpun segera ikut berhenti.
"Sekarang, apakah kau masih menghendaki kematiannya"? tegur mayat hidup dengan suara
dingin . Tentu saja pertanyaan itu diajukan kepada bocah berbaju putih itu.
Sambil menggigit bibirnya menahan emosi, bocah berbaju putih itu gelengkan kepalanya
berulangkali. *Bagus sekali!? seru mayat hidup.
Pedang pendek di tangan Liu Sam keng telah terkulai ke bawah, meskipun sebuah mulut luka
yang panjang dan dalam telah muncul di atas tenggorokannya, tapi paras mukanya masih
tetap tenang dan tanpa emosi.
Mayat hidup kembali bertanya kepada bocah berbaju putih itu:
?Sekarang, fahamkah kau bahwa setiap patah kata yang kau ucapkan karena dorongan emosi,
bisa mengakibatkan orang lain mati di tanganmu!"
"'Aku mengerti!' 'Kalau sudah mengerti, itu lebih bagus lagi!?
"Akan tetapi jika lain kali dia masih berani memutuskan ujung pedangku, aku masih akan
menghendaki dia mati!"
?Bagus sekali!' Rupanya rasa marah dan mendongkol yang menggelora dalam dada bocah berbaju putih itu
belum mereda, dengan suara penasaran kembali ia bertanya:
?Barusan, siapa yang suruh dia turun tangan"?
"Aku!" jawab si mayat hidup.
Jawaban yang sama sekali tak terduga ini kontan saja membuat bocah berbaju putih itu
tertegun. 122 'Lain kali, sekalipun sudah jelas kau tahu bahwa akulah yang suruh dia turun tangan, asal ia
mematahkan kembali pedangmu, kau masih boleh membinasakan dirinya,' kata mayat hidup
lagi. Kemudian setelah tertawa dingin, ia menambahkan.
'Baik siapapun itu orangnya, asal dia telah mematahkan pedangmu, walau apapun sebabnya,
sekalipun kau tahu bila tidak melepaskan dirinya kau bakal mati, kau harus membinasakan
dulu orang itu . . ."
Sambil membusungkan dadanya, bocah berbaju putih itu segera lantang berkata dengan suara:
"Aku mengerti aku pasti akan melakukannya!?
. . . . Pedang, adalah kehormatan dari seorang pendekar pedang .
. . . . Kehormatan dari seorang pendekar pedang jauh lebih berharga dari pada selembar
nyawa, entah nyawa siapakah itu.
Itulah nasehat serta pelajaran yang telah diwariskan mayat hidup itu kepada si bocah berbaju
putih, Dia mengharapkan bocah itu bisa menjadi seorang jago pedang yang tiada taranya di dunia
ini, dia ingin menggunakan keberhasilan bocah itu untuk menjadikan kebanggaan baginya.
***** Tiba tiba Siau Tang lo berkata:
'Kau ke marilah!? `Tentu saja yang dia panggil adalah bocah berbaju merah itu.
'Apakah pedangmu juga dipatahkan orang"' ia bertanya.
"'Benar!' bocah berbaju merah membenarkan.
?Sekarang apa yang siap kau lakukan"'
'Bagaimanapun juga pedang itu toh mereka yang bawa, mereka mematahkan pedangnya
sendiri" "Siapakah mereka berdua", apa pula sangkut pautnya dengan diriku"'
123 '?Seandainya pedangmu sendiri yang dipatahkan orang"' tanya Siau Tang lo lagi.
'Maka aku akan membeli sebilah pedang lagi untuk latihan, aku akan berlatih terus sehingga
orang lain tak mampu mematahkan pedangku lagi' Mendengar jawaban tersebut, Siau Tang lo
segera menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
?Haaahhh....haaahhh...haaahhh....bagus, bagus sekali!? pujinya dengan bangga.
Ia menginginkan bocah itu menjadi seorang manusia yang berjiwa besar, jangan dikarenakan
suatu menang kalah yang dideritanya, lantas mempersoalkan masalah sepele itu secara serius.
Apabila tak dapat menjadi seorang laki laki yang jujur dan bijaksana, mana mungkin bisa
menjadi seorang pendekar pedang yang tiada taranya di dunia ini"'
Tanpa sadar Bu ki mulai bertanya pada diri sendiri.
Walaupun hari ini, kedua orang bocah tersebut tak dapat menentukan menang kalahnya,
bagaimana pula dengan dikemudian hari"
Fajar telah menyingsing di ufuk timur, bunyi kokok ayam kedengaran dari tempat kejauhan
sana. 'Fajar sudah hampir menyingsing, kau sudah sepantasnya segera pergi!" kata Siau Tang lo
tiba-tiba. Hanya mayat hidup yang takut bertemu dengan sinar matahari, mungkinkah mayat tersebut
benar-benar adalah sesosok mayat hidup"
Dengan mata melotot bocah berbaju putih itu mendelik ke arah bocah berbaju merah itu,
katanya kemudian : 'Tahun depan aku pasti berhasil mengalahkan dirimu, tunggu saja tanggal mainnya!'
Bocah berbaju merah itu tertawa: 'Aku tidak mengharapkan apa-apa, aku hanya berharap
tahun depan kau bisa tumbuh lebih tinggian sedikit."
Kali ini Bu-kl tidak tertawa.
Dia tahu, mayat hidup itu pasti tak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja, selama ini dia
sedang menanti terus. Ternyata apa yang diduganya meleset sama sekali.
124 Mayat hidup itu sudah berbaring kembali ke dalam peti matinya, lalu pejamkan matanya dan
seakan-akan sudah lupa kepadanya.
Tiba-tiba Bu ki menyerbu ke depan, kemudian teriaknya keras-keras:
'Hei, tadi aku sedang mentertawakan dirimu!'
'Aku tahu' jawab si mayat hidup itu, 'aku mengetahuinya cukup jelas, karena kau telah
menyebutnya dua kali' 'Apakah kau akan pergi dengan begitu saja"l
'Apakah kau memaksa aku untuk membunuh dirimu"' si mayat hidup balik bertanya.
" Benar!' Akhirnya si mayat hidup itu membuka kembali matanya, bagaimanapun juga belum pernah
ditemui di dunia ini bahwa ada orang ingin mencari mati, maka barang siapapun jua yang
men-dengar perkataan itu dia pasti akan membuka matanya serta menengoknya sebentar.
?Aku tahu, kau tidak bersedia turun tangan karena pada hakekatnya kau tidak memandang
sebelah matapun kepadaku' teriak Bu ki keras-keras, 'hidup sebagai seorang manusia di dunia,
apa artinya kehidupan itu jika ia dipandang rendah dan hina oleh orang lain"?
'Jadi kau tidak takut mati?"
?Sebagai seorang lelaki sejati kenapa aku musti takut menghadapi kematian, padahal waktu
dilahirkanpun aku tikak takut dan mengharapkan itu . . . .?"
Si mayat hidup menatapnya lekat lekat, dari balik sepasang matanya tiba-tiba memancarkan
sinar tajam yang menggidikkan hati.
Bu ki melirik pula kearahnya, ia tidak tampak takut atau jeri, bahkan niat untuk mundurpun
tak ada. Dengan dingin mayat hidup itu berkata lagi:
'Jika kau benar benar ingin mati, selewatnya bulan purnama nanti datang saja ke bukit Kiuhoa-
san, aku pasti akan memenuhi harapanmu"
'Aku pasti akan ke sana! jawab Bu ki dengan segera tanpa berpikir panjang lagi.
***** 125 Sepasang mata si mayat hidup itu kembali dipejamkan, penutup peti matipun sudah
ditutupkan kembali di tempatnya semula . . . . . mayat yang bangkit dan hidup kembali, pada
umumnya akan balik kembali ke neraka sebelum fajar menyingsing.
Si bocah berbaju putih itu masih saja mendelik ke arah si bocah berbaju merah dengan penuh
kemarahan, tiba-tiba ia berseru:
?Dapatkah kau lakukan sebuah pekerjaan bagiku"'
'Pekerjaan apa"' 'Hari ini pada tahun depan, dapatkah kau bersihkan dulu seluruh badanmu . . . ?"
Selesai mengucapkan kata kata itu dia lantas melompat naik ke atas peti mati dan duduk
bersila di situ. Para lelaki berbaju hitampun segera menggotong peti mati tersebut, diiringi
bunyi kentongan dari si tukang kentongan pemutus nyawa mereka berjalan ke luar dari hutan
itu dan tiba-tiba saja lenyap di antara remang-remangnya cuaca dan tebalnya kabut menjelang
pagi. Bocah berbaju merah itu masih memandang ke depan dengan termangu-mangu, seolah-olah
dia masih ingin mencari si bocah berbaju putih itu untuk diajak berkelahi.
Bu-ki sedang memperhatikan pula tingkah lakunya itu, lalu sengaja ia menghela napas seraya
berkata: 'Aaaaai . . . . tampaknya kalian benar-benar memang sepasang bocah kembar yang menarik
hati!" Suatu perubahan mimik wajah yang sangat aneh melintas di atas wajah si bocah berbaju
merah itu, tiba tiba ia menggelengkan kepalanya.
'Kami bukan musuh bebuyutan, sesungguhnya kami adalah saudara kembar, seandainya aku
tidak dilahirkan setengah jam lebih duluan darinya dia adalah kakakku!'
Ternyata mereka berdua adalah saudara kembar.
Ternyata Sian Tang lo dan si mayat hidup telah menggunakan murid-muridnya untuk
mengadu kepandaian silat mereka, agar terjamin kehebatannya tentu saja mereka harus
mencari dua orang bocah yang sama bakatnya, sama usianya dan sama pula kecerdasan
otaknya. Saudara kembar pada hakekatnya memang merupakan suatu pilihan yang paling tepat.
126 Walaupun demikian, meski dua biji yang sama bila ditanam dan dibesarkan dalam suasana
lingkungan yang berbeda, belum tentu akan meng hasilkan pula bunga yang sama.
Bu ki diam-diam menghela napas di hati, ia merasa nasib dari kedua orang saudara kembar itu
kurang baik, takdir yang kejam mengharuskan mereka berpisah bahkan saling bermusuhan.
Tiba-tiba bocah berbaju merah itu tertawa.
'Apa lagi yang kau tertawakan" Lagi-lagi sedang mentertawakan diriku . . . "' tegur Bu-ki
Bocah berbaju merah itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kali ini aku sedang mentertawakan diriku sendiri, aku selalu salah menilai dirimu', katanya.
"O, ya"? "Aku selalu menganggap kau rada bodoh dan ketolol-tololan, tapi sekarang aku baru tahu
ternyata kau jauh lebih pintar dari siapapun juga..!'
Sepasang matanya dibelalakkan lebar lebar, kemudian sambungnya lebih lanjut.
"Sewaktu kau akan pergi mencari si mayat hidup itu, bukankah kau telah menduga bahwa dia
tak akan turun tangan kepadamu dan orang lain pun, tak akan membiarkan ia membunuhmu?"
Bu ki tidak menjawab, dia hanya membungkam dalam seribu basa.
Kelihatanlah sekarang kalau kaupun tidak mempunyai keyakinan yang sungguh-sungguh
aman.? kata bocah berbaju merah itu lebih jauh. 'Kau pernah bertaruh uang"? tiba tiba Bu ki
bertanya. Si bocah berbaju merah itu melirik sekejap ke arah gurunya. kemudian berbisik:
`Secara diam-diam aku pernah bertaruh!?
'Kalau begitu kau harus tahu, jika kau ingin memenangkan uang milik orang lain maka diri
sendiripun harus berani berspekulasi.?
Ia tertawa lebar, lalu terusnya : "'Dalam kehidupan manusia di dunia ini, banyak persoalan
adalah sama dengan bertaruh di meja judi, bila kau tak berani berspekulasi maka jangan harap
kau bisa memperoleh apa yang kau inginkan . . .'
Fajar telah menyingsing. 127 Pohon-pohon besar yang tercabut semalam kini sudah berdiri kembali seperti sedia kala,


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda-benda yang kotor dan memenuhi permukaan tanah kinipun telah dibersihkan.
Bila kemarin pagi ada orang berkunjung ke situ dan pagi ini datang kembali ke sana, dia tidak
akan mengetahui bahwa di tempat tersebut semalam telah berlangsung banyak sekali
peristiwa yang seram, aneh dan mendebarkan hati .. . . .
Apa yang telah terjadi bukan dongeng, melainkan suatu peristiwa yang benar benar telah
terjadi. Siau Tang lo menitahkan orang untuk buatkan sepoci teh Thi koan im dari bukit Bu gi, lalu
sambil tersenyum katanya:
'Kejadian ini bukan suatu keajaiban, di dunia hakekatnya tidak terdapat keajaiban, seandainya
ada, jelas itupun hasil bikinan manusia sendiri ....?
Di balik setiap ucapannya selalu membawa nada falsafah hidup yang membuat orang mau tak
mau harus meresapinya sedikit demi sedikit.
"Hanya makhluk yang disebut manusia yang dapat menciptakan keajaiban,? kembali katanya,
"menggunakan daya ciptanya, kecerdasannya serta kemampuannya untuk berkarya apapun
bisa dibuat olehnya, apalagi kalau ini ditambah dengan latihan yang ketat serta . . . ."
"Serta uang emas yang melimpah !? sambung Bu-ki.
Siau Tang lo segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh . . . haaahhh. . . . luaaahhh . . . benar, benar sekali, tentu saja uang emas selamanya
merupakan benda yang tak boleh ketinggalan dalam usaha untuk melakukan apapun jua.'
"Untungnya uang emas masih bukan merupakan benda kebutuhan utama yang paling
dibutuhkan oleh umat manusia," kata Sugong Siau-hong pula, "dan belum tentu semua orang
yang punya uang dapat melakukan apa yang hendak kau lakukan itu.'
Setelah berhenti sejenak, ia menambah-kan: ?Uang seperti juga sebilah pedang, harus
diperhatikan dulu berada di tangan siapakah benda tersebut !?
Ternyata di balik ucapan tersebut terkandung arti falsafah hidup yang amat mendalam.
Akan tetapi Bu ki tak ingin memutar otaknya untuk mendalami makna dari kala-kata tersebut.
Sebab kedatangannya ke situ bukan untuk mendengarkan kuliah mengenai falsafah hidup dari
orang lain.' 128 Siau Tang lo seolah-olah dapat menebak suara hati tamunya, tiba-tiba ia berkata:
'Aku mengerti, bukankah kau ingin pergi"'
Bu ki segera bangkit berdiri, ia menggunakan gerakan badan sebagai jawaban dari pertanyaan
itu. "Aku pikir kau pasti akan mendatangi bukit Kiu hoa san !" kembali Siau Tang lo berkata.
'Aku pasti akan berkunjung ke sana !?
"Bukit Kini hoa san berada di selatan kota Lang yang, sebelah barat kota Ciu boh,
berhubungan dengan Ngo si toa thong di utara dan berdempetan dengan bukit Siang liong
hong di timur, ada empat puluh delapan puncak bukitnya yang ternama, selain itu terdapat dua
sumber mata air, empat belas tebing, lima gua, sebelas puncak dan delapan belas sumber air
bawah tanah, tempat tersebut adalah suatu tempat yang besar, besar sekali . . . ."
"Aku tahu !? "Kalau sudah tahu, kenapa tidak kau tanyakan ke manakah dia akan pergi . . . . ?"
"Aku tidak perlu bertanya."
'Kau saaggup menemukan dirinya?"
"Aku pasti berhasil menemukannya
Tiba-tiba pemuda itu bertanya lagi:
'Seandainya kau ingin mendaki sebuah bukit, dan kau suruh gunung itu mendekat, dapatkah
gunung itu menghampiri dirimu,"
"Tidak dapat !? Lantas apa yang harus kau lakukan?"
?Tentu saja aku yang mendatangi bukit!" Kata Siau Tang lo.
?Seringkali kugunakan cara ini untuk melakukan pekerjaanku, bila aku tidak dapat
me-nemukannya, aku bisa mencari akal agar dia yang datang mencariku.?
Bu ki telah pergi. 129 Apabila dia berniat untuk pergi, jarang sekali ada orang yang bisa menghalangi kepergiannya
itu . . . bahkan hampir boleh dibilang tak seorang manusiapun dapat menghalangi niatnya.
Memandang hingga bayangan tubuhnya pergi menjauh, Siau Tang lo baru bertanya:
'Kau mengatakan pemuda itu bernama Tio Bu ki?"
'Benar!' Sugong Siau-hong manggut-manggut.
?Tampaknya dia pun seorang manusia yang amat pintar!"
?Yaa, dia memang seorang yang pintar!"
?Tapi aku lihat dia seperti juga mempunyai banyak persoalan hati yang tak mampu
dipecahkan, orang cerdik tidak seharusnya memiliki begitu banyak persoalan yang mencekam
di hatinya.' 'Aku mengharapkan kedatangannya ke mari karena aku ingin agar dia berubah menjadi jauh
lebih cerdik.' Kemudian katanya lebih jauh: ?Satu-satunya persoalan hati yang tak terpecahkan olehnya
adalah karena hingga sekarang ia masih belum berhasil menemukan jejak musuh besar-nya . .
. ." "Siapakah musuh besarnya"'
"Sangkoan Jin!"
?Apakah manusia emas yang terbuat dari emas murni itu"'
" Benar!' Siau Tang lo segera menghela napas panjang.
"Aaaaai . . tampaknya dia memang masih kurang pintar, dengan ilmu silat yang dimilikinya,
asal ia mampu menahan sepuluh jurus serangan dari Sangkoan Jin hal ini sudah tidak mudah!'
"Sebab itulah aku suruh dia ke mari, agar dia tahu bahwa dunia persilatan penuh dengan
manusia-manusia pintar yang tak terhitung jumlahnya, agar dia tahu bahwa ilmu silat yang
dimilikinya masih belum cukup untuk berkelana dalam dunia persilatan, apalagi pergi
membalas dendam"' Tiba-tiba ia menghela napas pxojing, lalu katanya lagi:
130 'Aaaai...! Tapi sekarang aku baru tahu bahwa aku keliru besar!"
"Di manakah letak kesalahanmu itu! tanya Siau Tang-lo.
"Aku tidak seharusnya menyuruh dia datang ke mari!"
"Kenapa"? ?Sangkoan Jin licik dan banyak tipu muslihatnya, setelah dia mengambil langkah seribu dan
kabur ke ujung langit, untuk menemukan kembali jejaknya hal ini akan jauh lebih sukar dari
pada mendaki ke langit."
?Bukankah itu berarti Bu-ki tetap akan mengalami kesulitan untuk menemukan jejaknya"?
?Yaa, tapi sekarang Bu-ki telah berkenalan pula dengan Samwan Kong ....!" keluh Sugong
Siau-hong. Apabila Samwan Kong hendak mencari jejak seseorang, kendatipun orang itu bersembunyi di
ujung langit, ia tetap akan menemukannya kembali...
Hal ini bukan hanya berita sensasi belaka, tapi memang demikianlah kenyataannya.
Kembali Sugong Siau-hong berkata:
"Sangkoan Jin sudah berpengalaman dalam menghadapi beratus ratus kali pertempuran, baik
tenaga dalamnya maupun tenaga luarnya telah mencapai puncak kesempurnaan, pada
hakekatnya Bu-ki sama sekali tidak mempunyai keyakinan untuk bisa menghadapinya,
sekalipun ia tahu di manakah musuhnya berada, belum tentu ia berani bertindak secara
sembarangan dan gegabah ....''
'Bagaimana sekarang"? tanya Siau Tang lo.
Sekarang ia telah memiliki keleningan emasmu, diapun mempunyai sepatah kata janji dari
sahabat yang berdiam dalam peti mati tadi."
?Ehmm. ..! Apabila ia benar-benar berkunjung ke bukit Kiu-hoa-san, jikalau tidak sampai
mampus di ujung pedang sahabat yang menyebut dirinya Kin Yu ho tersebut, sedikit banyak
pasti ada kebaikan yang berhasil dinikmatinya.?
Sugong Siau-hong tertawa getir.
"Sebab itulah nyalinya pasti akan bertambah besar!' keluhnya.
?Tapi kejadian ini bisa pula dikatakan sebagai nasibnya yang memang bagus!?
131 "Aaaai.. tapi kami tidak berharap ia bisa mempunyai nasib mujur seperti itu,' kata Sugong
Siau-hong lagi sambil menghela napas.
'Aku jadi teringat kembali dengan ucapan seorang manusia pintar dijaman dulu kala."
"Apa yang dia katakan?"
`Ia bilang bagaimanapun cerdiknya seseorang, atau bagaimanapun beraninya orang itu, ia
masih kalah jauh bila dibandingkan dengan seseorang yang pada dasarnya mempunyai nasib
yang baik.' Kemudian setelah tersenyum katanya lagi
`Setelah Bu-ki memiliki nasib sebaik dan semujur ini, apa lagi yang perlu kau kuatirkan"*
Sugong Siau-hong tidak berkata apa-apa lagi, namun wajahnya kelihatan tambah murung dan
masgul, seakan-akan dalam hatinya tersimpan suatu rahasia besar yang tidak ia uarkan kepada
siapapun. JUDI MAKAN dan berahi adalah watak manusia.
Ucapan itu berarti bahwa setiap orang harus makan, setiap orang harus pula melakukan
"pekerjaan" yang telah diwariskan oleh leluhurnya turun temurun . . . . entah dia merasakan
kesenangan dan kenikmatan ataupun tidak . . .?
Oleh karena itulah disetiap tempat pasti ada rumah makan, disetiap tempat pasti pula ada
perempuan yang hanya menjadi milik seorang lelaki saja, tapi ada pula perempuan yang bisa
dibeli oleh setiap pria. Selain dari pada itu ada pula sebagian perempuan yang hanya bisa dibeli oleh sebagian pria
saja . . . sebagian pria yang mempunyai uang agak banyak dan sebagian pria yarg rela
mengeluarkan uang lebih banyak.
Kecuali 'Makan dan perempuan', konon makhluk yang disebut manusia itu masih memiliki
pula watak judi Atau paling sedikit manusia yang mempunyai watak 'berjudi" jauh lebih banyak dari pada
manusia yang tidak memiliki watak tersebut.
Ada banyak manusia yang seringkali berjudi di dalam rumah, entah di rumah sendiri, entah
pula di rumah teman. 132 Sayangnya berjudi di rumah biasanya kurang begitu leluasa, kadangkala si bini kurang senang
hati, kadangkala konsentrasi dibuyarkan jeritan anak-anak yang berkelahi, kadangkala susah
juga mencari partner yang mau diajak berjudi.
Untungnya di dunia ini selalu tersedia suatu tempat yang tak akan membuat kau merasakan
ketidak leluasaan tersebut . . . .
Dan tempat itu tak lain adalah rumah perjudian.
Oleh karena itu di setiap tempat tentu akan kau jumpai rumah perjudian . . . .
Adakah rumah perjudian yang terletak di atas tanah, ada yang terletak di bawah tanah, ada
pula rumah perjudian yang terbuka untuk umum, ada yang tidak terbuka untuk umum, ada
yang besar jumlah taruhannya tapi ada pula rumah perjudian dengan taruhan yang kecil.
Tapi bila kau sampai berjudi di tempat semacam itu, maka setiap saat kemungkinan besar
binimupun akan kalah bertaruh dan ikut tergadaikan.
Di dalam beberapa kota yang agak besar, di balik rumah-rumah perjudian yang agak besar
jumlah taruhannya, belakangan ini telah muncul seorang penjudi yang amat mujur.
Dalam istilah rumah perjudian si penjudi yang mujur biasanya diartikan sebagai penjudipenjudi
yang berhasil menarik keuntungan duri meja perjudian, atau istilah lain disebut
'?pemenang ?. Terlepas dari apapun yang dikatakan orang lalu tentang "'Judi", sedikit banyak selalu ada
orang yang berhasil mendapatkan keuntungan dari meja perjudian, meski jumlahnya itu cuma
beberapa tahil atau bahkan sanpai ratusan atau ribuan tahil perak.
Sekalipun jumlah orang yang kalah di meja judi jauh lebih banyak kau temui di rumah rumah
perjudian tersebut, tapi seringkali kau akan temukan juga para pemegang itu.
Cuma saja, pemenang yang akan diceritakan di sini mempunyai beberapa keistimewaan . . .
Dia hanya berjudi dadu. Setiap kali dadu-dadu itu berada di tangannya lalu ditebarkan ke meja, maka angkanya selalu
'enam, enam, enam.' Itu berarti "Lak-pa!'
Lak-pa, merupakan angka tertinggi dalam judi dadu, menurut penilaian dari sementara
penjudi ulung dan penjudi berpengalaman, kira-kira orang harus melemparkan sembilan puluh
laksa kali gundu sebelum bisa mendapatkan angka keramat tersebut.
133 Bahkan ada pula yang berjudi selama hidupnya, setiap hari berjudi, setiap hari melemparkan
dadu akan tetapi belum pernah ia berhasil mendapatkan angka 'keramat? tersebut.
Tapi si mujur itu, bukan saja dapat meraih angka keramat tersebut, bahkan setiap kali
melemparkan dadunya, ia selalu berhasil mendapatkan angka "enam, enam, enam* tersebut.
Tio Bu-ki menghela napas panjang.
'Jangan-jangan dia adalah seorang Long tiong"? banyak orang yang mulai curiga.
Istilah 'Long - tiong? di arena meja judi bukan berarti si Tabib yang memeriksa orang sakit,
melainkan istilah orang yang selalu menipu di meja judi dengan menggunakan permainan
kotor. Tentu saja Long-tiong yang sesungguhnya tidak akan berbuat sedemikian brutal sehingga
menimbulkan sensasi, apa lagi menarik perhatian begitu banyak orang.
Sebab perbuatan semacam itu merupakan pantangan terbesar bagi setiap long-tiong.
Long-tiong yang sebenarnya tak akan melanggar pantangan tersebut, andaikata angka tiga
yang berhasil kau capai dalam pelemparan dadumu, maka paling banyak dia hanya
mengeluarkan angka lima saja dalam giliran pelemparan dadunya.
bukankah angka lima sudah dapat menangkan angka tiga"
Bagi seorang Liong- tiong yang sesungguhnya, asal ia dapat menangkan uang mu, hal ini
sudah lebih dari cukup baginya.
Kadangkala bahkan ia sengaja akan pura-pura kalah satu-dua kali, sebab ia takut kau tak
berani bertaruh lagi. Berbeda dengan si mujur ini, dia belum pernah kalah walau satu kalipun . . . .
Asal ia menebarkan dadu-dadunya maka angka yang berhasil di raih tentu tiga angka enam,
belum pernah ia dapatkan angka kurang dari itu.
***** 'Benarkah terdapat seorang manusia macam begini?"
"Benar!" "Benarkah setiap kali melemparkan dadunya ia selalu berhasil meraih tiga angka enam?"
134 'Benar!" "Apakah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri?"
'Bukan cuma aku yang menyaksikan sendiri, banyak orang juga melihat hal itu."
"Dengan cara apakah ia malemparkan dadu-dadu itu"'
"Ya, begini! Dia pegang ketiga biji dadu tersebut kemudian ditebarkan dengan seenaknya."
"Tidakkah kau lihat gerakan tangan yang dipergunakan orang itu ...."
"Bukan aku saja yang tidak mengetahuinya, bahkan Toa-you pun tidak tahu .... !"
Toa-you she Thio, dia adalah seorang penjudi ulung yang amat tersohor, ia pernah menangkan
sisa setahil perak yang dimiliki sahabat yang besar bersamanya itu dengan hanya mengundang
sababatnya itu untuk minum semangkuk wedang tahu.
Orang-orang yang pada mulanya masih menaruh curiga kepada si mujur tersebut, sekarang
sudah tidak curiga lagi. "'Bila Toa-you pun tidak mengetahuinya, siapa lagi yang dapat mengetahuinya . . . . . "?
demikian orang-orang berpendapat.
?Yaa, siapa lagi" Tentu saja tak ada yang lain!'
"Masa sejak dilahirkan orang itu memang ditakdirkan menjadi orang yang mujur" Orang yang
memang sudah takdir menjadi pemenang?"
?Aaaaai . . . sukar untuk dikatakan!?
"Bila ia benar-benar mempunyai nasib sebaik ini, aku bersedia untuk memotong sepuluh
tahun usiaku untuk mendapatkan nasib yang sama dengannya.'
`Jangankan baru sepuluh tahun, aku bersedia umurku duapuluh tahun lebih pendek.'
"Aaaaai . . . !' dan orangpun hanya bisa menghela napas.
"Aaaai!" adalah tanda orang sedang menghela napas.
Bukan menghela napas lantaran dirinya tidak memiliki rejeki sebaik itu, sedikit banyak timbul
juga perasaan kagum dan iri di hati masing-masing orang.
135 'Kau pernah bertemu dengannya?"
"Tentu saja pernah bertemu!?
'Manusia macam apakah dia"'
?Seorang pemuda yang masih muda belia dan berwajah tampan, konon dia dari keluarga
orang kaya, dan sekarang tentu uangnya sedemikian banyak sehingga ia sendiripun tidak tahu
bagaimana caranya untuk menghambur-hamburkan uang tersebut."
"Tahukah kau siapa nama orang itu?"
*Aku dengar ia bernama Tio Bu-ki!"
***** Gedung ini merupakan sebuah gedung model kuno yang sudah di makan usia, dipandang dari
luar, bentuknya mirip sekali dengan sebuah kelenteng desa.
Tapi bagi orang yang berpengalaman, mereka tahu bahwa bangunan kuno itu bukan kuil desa
melainkan sebuah rumah perjudian.
Sebuah rumah perjudian paling besar yang tiada tandingannya di sekitar limaratus li seputar
daerah tersebut. Seperti juga rumah-rumah perjudian lainnya, tauke pemilik rumah perjudian inipun
merupakan seorang komandan dari suatu perkumpulan rahasia. Ia she Cia, kebanyakan orang
menyebutnya sebagai Cia toaya, sedang sahabat-sahabat yang agak akrab hubungannya
menyebut dia sebagai Lo-cia, oleh karena itu nama sebenarnya dari orang ini kian lama kian
tidak diketahui oleh orang.
Bagi seorang tauke yang menyelenggarakan sebuah arena perjudian besar, nama dan she
bukan suatu hal yang terlalu penting baginya.
Meskipun ia she Cia, namun tak ada orang yang berani berbuat curang di rumah perjudiannya,


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau tidak maka tukang-tukang pukul yang dipeliharanya itu dengan amat sungkan akan
mem-persilahkan orang itu untuk ke luar dari ruangan.
Menanti orang itu tersadar kembali dari rasa sakit di sekujur badannya, seringkali ia akan
menjumpai tubuhnya sedang terkapar dalam sebuah selokan dengan air pecomberannya yang
sangat bau. Kemudian dia akan menemukan juga bahwa tiga biji tulang iganya sudah patah.
136 ***** Ruang dalam dari bangunan tersebut sudah barang tentu jauh lebih megah dan mentereng dari
pada bentuk luarnya, tempat itupun jauh lebih menawan hati.
Ditengah ruangan besar yang terang benderang bermandikan cahaya kelihatan begitu banyak
manusia dari pelbagai lapisan masyarakat yang saling bardesak-desakan, tumpukan uang
kertas, tumpukan uang perak dan uang emas berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain
mengikuti menggelindingnya dadu-dadu tersebut.
Diantaranya tentu saja sebagian besar masuk ke tangan sang bandar pada akhirnya, maka
tangan si bandar selamanya tetap kering, tenang dan mantap.
Tio Bu-ki dengan mengenakan satu stel baju baru yang indah, pelan-pelan menembusi
hembusan angin malam yang sejuk dan nyaman melangkah masuk ke dalam ruang besar yang
benderang dan mentereng itu.
Pada mulanya ia merasa sedikit kegerahan, tapi suasana panas dalam ruangan tersebut dengan
cepat membuat ia melupakan segala sesuatu yang kurang menyenangkan itu.
Untuk memasuki ruang besar ini, prosedurnya tidak termasuk terlalu gampang.
Tentu saja diapun harus diajak datang oleh seorang "sahabat" yang cukup berpengalaman, dia
harus menghamburkan uang sebesar limapuluh tahil perak dan suatu perjamuan makan malam
yang mewah dan megah untuk berkenalan dengan sahabat ini.
Pakaian yang baru dan pas membuat ia tampak lebih mentereng, lebih tampan dan perlente,
persis saperti seorang kongcu romantis yang kelebihan uang saku.
Pada umumnya manusia-manusia semacam inilah yang paling menarik perhatian orang lain
walau ke manapun kau pergi.
Apalagi belakangan ini ia berhasil pula mendapatkan suatu julukan istimewa yang belum
pernah ada dari rumah-rumah perjudian...Heng-in-pacu (si macan tutul yang mujur)!
Itulah julukan yang diam-diam dihadiahkan oleh para penjudi kepadanya, karena ia khusus
pandai melemparkan tiga angka enam dalam permainan judi dadu.
Biasanya para penjudi tidak menetap di suatu tempat tertentu, mereka biasa berpindah-pindah
tempat dari satu rumah perjudian ke rumah perjudian yang lain. Tidak heran kalau diantara
penjudi-penjudi yang berada dalam rumah perjudian tersebut ia jumpai pula para penjudi yang
pernah dijumpainya di rumah perjudian lain.
137 Belum lama ia melangkah masuk ke dalam rumah perjudian tersebut, suasana gaduh sudah
menyelimuti seluruh ruaugan, suara bisikan dan kasak kusukpun kedengaran di mana-mana.
"Si macan tutul yang mujur telah datang!" demikian orang-orang mewartakan kehadirannya.
"Coba terka, hari ini dapatkah ia melemparkan tiga angka enam lagi dalam pelemparan
dadunya?" "Apakah kau ingin bertaruh denganku?"
"Bagaimana bertaruhnya?"
"Kugunakan seratus tahil perak untuk mempertaruhkan limapuluh tahil perakmu, aku
memegang ia masih bisa mendapatkan angka tiga kali pada hari ini."
"Hey, mengapa kau seyakin itu?"
"Karena aku sudah menyaksikan ia melemparkan dadunya sebanyak sembilan kali!"
"Apakah sembilan kali ia selalu berhasil meraih angka enam tiga kali?"
"Yaa, sembilan kali selalu tiga angka enam!"
***** Orang-orang yang sedang mengerubung di sekitar meja perjudian terbesar dalam ruangan itu
tiba-tiba menyingkir ke samping dan mempersilahkan Bu-ki berjalan lewat.
Setiap orang mengalihkan perhatian mereka ke tangannya.
Sesungguhnya kekuatan hitam apakah yang dimiliki sepasang tangannya itu" Kenapa setiap
kali ia dapat melemparkan tiga angka enam"
Jari-jari tangannya kelihatan begitu ramping, panjang dan bertenaga, kukunya terawat rapi
dan bersih, tampaknya tidak jauh berbeda dengan jari-jari tangan orang lain.
Pemilik sapasang tangan itupun kelihatannya masih begitu muda, begitu tampan dan
terpelajar lagi. Terserah bagaimanakah pandanganmu terhadap pemuda tersebut, ia sama sekali tidak mirip
seperti seorang Long-tiong, seorang penjudi yang bermain curang dalam perjudiannya.
Semua orang benar-benar tidak berharap bahwa ia dipersilahkan ke luar oleh tukang-tukang
pukul yang mulut tersenyum, kulit tidak ikut tersenyum itu.
138 Dalam hati kecil setiap penjudi selalu berharap, agar mereka dapat menyaksikan seorang
pahlawan yang dapat menguras habis harta kekayaan dari sang bandar.
Begitulah, dibawah tatapan beratus-ratus pasang mata, Bu-ki melangkah masuk ke dalam
ruangan dengan senyuman dikulum, seperti seorang bintang tenar yang sedang naik ke
panggung kehormatan, Ia memperlihatkan sikap yang begitu tenang dan wajar, begitu tebal rasa percayanya pada diri
sendiri, seakan-akan ia merasa yakin bahwa penampilannya kali inipun tak bakal gagal.
Sang bandar mulai merasa tegang, lamat-lamat peluh sebesar kacang kedelai telah membasahi
jidatnya. Bu-ki tersenyum tenang, katanya dengan lembut. "Apakah meja ini adalah meja perjudian
dadu?" Tentu saja ucapannya benar.
Sebab di tengah meja terdapat sebuah mangkuk besar, tiga biji dadu tergeletak dalam
mangkuk tersebut dan memantulkan sinar tajam ketika tertimpa cahaya lampu.
Kembali Bu-ki bertanya lagi.
"Apakah disinipun tidak membatasi besar kecilnya jumlah taruhan?" Sang bandar belum
men-jawab, orang-orang disekitarlah telah menimbrung, "Di tempat ini tak pernah membatasi
jumlah besar kecilnya taruhan!"
"Akan tetapi di tempat ini hanya bertaruh dengan uang kontan serta uang-uang kertas dari San
see-piau-hau, bila hendak bertaruh dengan perhiasan atau mutiara maka benda-benda itu
musti ditukarkan dulu dengan uang uang kontan."
"Bagus sekali!"
Sambil tersenyum Bu-ki merogoh sakunya dan mengeluarkan setumpuk uang kertas,
semuanya uang kertas keluaran bank terkenal pada jaman itu. Katanya kemudian:
"Pertama kali ini aku akan bertaruh sepuluh laksa tahil lebih dahulu!"
***** Pepatah kuno berkata: "Uang berada di meja judi, manusia berada di meja pengadilan."
139 Artinya, bila seseorang sudah berada di meja pengadilan maka ia tak bisa dianggap sebagai
se-orang manusia lagi, sebaliknya bila uang sudah berada di meja perjudian, maka uang
tersebut tak bisa dianggap sebagai uang yang bisa dihambur-hamburkan lagi.
Akan tetapi, bagaimanapun juga sepuluh laksa tetap merupakan sepuluh laksa, bukan sepuluh
laksa tahil besi tembaga, melainkan sepuluh laksa tahil perak.
Apabila uang yang sepuluh laksa tahil perak itu dipergunakan untuk menindih orang, paling
sedikit bisa menindih mati beberapa orang".
Suasana dalam ruang perjudian kembali terjadi kegaduhan, para penjudi yang sebelumnya
sedang berjudi di meja lain, kini berdatangan semua ke situ dan mengerubung meja judi
tersebut untuk menonton keramaian.
Sang bandar mulai mendehem, kemudian bertanya:
"Apakah kau pertaruhkan uangmu sekaligus dalam sekali lemparan?" .
Bu ki mengangguk sambil tersenyum.
?Masih ada orang lain yang ikut bertaruh?" teriak sang bandar.
Tiada yang menyahut. ?Bagus!' kata bandar itu lagi, "bila dua orang bertaruh, maka siapa yang berhasil meraih
enam, tiga kali lebih dulu, dialah yang menang."
"Siapa yang akan melempar dulu?" tanya Buki lembut.
Butiran keringat sebesar kacang sudah membasahi ujung hidung sang Bandar, setelah
men-dehem beberapa kali, akhirnya meluncur juga sepatah kata yang sesungguhnya enggan ia
ucapkan: 'Kau!' Jika terjadi pertaruhan yang melibatkan dua orang, maka bandar akan selalu mengalah buat
tamunya. Hal ini sudah merupakan peraturan di dalam setiap rumah perjudian, tidak
terkecuali pula rumah perjudian di tempat ini.
Dengan senyuman dikulum Bu ki mengambil ketiga biji dadu itu kemudian dilemparkan
sekena-nya ke dalam mangkuk.
Ketika dadu-dadu itu mulai berputar, orang-orang yang berada disekitar meja perjudian itu
mulai berteriak memberi angin kepadanya:
140 'Enam tiga kali !? Macan tutul besar !"
Teriakan-teriakan itu belum sirap, biji-biji dadu itu sudah berhenti berputar, betul juga, angka
dadu menunjukkan enam tiga kali . . . .
macan tutul besar ! Suara teriakan-teriakan itu seketika berubah menjadi tempik sorak yang gegap gempita,
se-demikian kerasnya sorak sorai tersebut membuat atap rumah nyaris ikut ambruk.
Sang bandar mulai menyeka keringat, makin diseka makin banyak keringat yang bercucuran.
Bu-ki sama sekali tidak memperhatikan dadu-dadu dalam mangkuk tersebut, seakan-akan
hasil yang dicapainya itu sudah berada dalam dugaannya semula.
Seakan-akan ia sudah mengetahui sejak awal bahwa dadu-dadu yang dilemparkan itu sudah
pasti akan menunjukkan tiga angka enam.
***** Sang bandar sudah mulai menghitung uang untuk membayar pertaruhan tersebut, tapi
sepasang matanya justru masih juga celingukan ke sana ke mari dengan liarnya.
Pada saat itulah sebuah tangan mampir di atas bahu Bu-ki, sebuah tangan yang besar dan
kasar, punggung tangan penuh dengan otot-otot hijau yang menonjol ke luar, keempat buah
jarinya hampir mempunyai ukuran yang sama panjangnya, jari itu kelimis tanpa kuku barang
secuwil-pun. Sekalipun seseorang yang tak pernah berlatih ilmu silat, juga akan mengetahui bahwa tangan
tersebut pasti sudah pernah digunakan untuk melatih ilmu Thiat sah ciang (pukulan pasir besi)
-atau sebangsanya. Sekalipun seseorang yang belum pernah merasakan kerasnya pukulan tangan itu, mereka pasti
dapat pula membayangkan bahwa akibat dari pukulan itu pasti sangat tak sedap.
Sorak sorai dan suara tertawa yang gegap gempita seketika sirap dan lenyap dengan begitu
saja, suasana menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun.
Hanya satu orang yang masih tertawa, sambil senyum senyum katanya kepada Bu ki: "Toaya,
kau she apa?" "Aku she Tio!" 'Oooh . . . .! Rupanya adalah Tio kongcu, selamat bertemu,
selamat bertemu . , , haaahhhh . . . haaahhh . . . haaahhh . . .? Meskipun ia mengucapkan
141 "Selamat ber-jumpa", akan tetapi mimik wajahnya sama sekali ticiak menunjukkan maksud
"selamat berjumpa' itu sendiri, bahkan menggunakan ibu jarinya yang amat besar itu ia
menuding ke ujung hidung sendiri sambil berkata:
"Aku she Sun, orang lain menyebut diriku sebagai Thiat pa ciang (pukulan pasir besi)!"
"Selamat berjumpa, selamat berjumpa!' kata Bu ki pula.
'Aku ingin sekali mengundang Tio kongcu untuk bercakap-cakap sebentar di luar!'
"Membicarakan soal apa"'
"Aaah, membicarakan apa saja yang dapat dibicarakan!"
'Baik, kalau begitu tunggulah aku setelah bertaruh beberapa kali lagi . . .!"
Mendengar perkataan itu, Thiat pa ciang segera menarik muka, kemudian bentaknya: "Aku
minta sekarang juga kau ke luar sebentar!"
Mengikuti perubahan wajahnya itu, tangan yang semula hanya menempel di atas bahu Bu ki
pun ikut mencengkeram kencang.
Setiap orang merasakan peluh dingin membasahi tubuh mereka, setiap orang menguatirkan
keselamatan Bu ki. Apabila bahu seseorang dicengkeram oleh sepasang tangannya yang kuat secara demikian
rupa, sekalipun tulang bahu itu tak sampai hancur remuk, rasanya tentu sangat tak sedap.
Akan tetapi Tio Bu ki sama sekali tidak merasa kesakitan, keningnya juga tidak berkerut,
sebaliknya sambil tersenyum ia berkata: "Apabila kau ingin sekarang juga berbicara
denganku, nah, bicarakanlah di tempat ini saja!?
Paras muka Thiat pa ciang berubah hebat, dengan geramnya ia membentak: "Aku memberi
muka untukmu, tapi kau tak mau muka, baik, jangan salahkan kalau kubongkar semua
kecurangamu dihadapan umum. Huuuh! Jika kau bukan seorang Long tiong, dengan
mengandalkan apakah kau "berani bertaruh sepuluh laksa tahil perak dalam sekali
pertaruhan?" "Pertama karena aku punya uang, kedua karena aku senang dan ketiga karena kau tak berhak
mencampuri urusanku!"
"Kalau aku sengaja mau mencampuri urusanmu, lantas mau apa kau?" teriak Thiat-pa ciang
semakin geram. 142 Telapak tangan bajanya segera diangkat ke udara, kemudian sekali sapu ia hantam batok
kepala Bu-Ki. Sayang pukulan dahsyatnya itu tidak mengenai sasaran.
Yaa, pukulannya tentu saja tidak mengenai sasaran, sebab sebelum pukulan tersebut bersarang
telak di tubuh si anak muda, tubuhnya sudah keburu melayang dulu ke tengah ke udara.
Bu Ki hanya mencenkeram pergelangan tangannya dengan enteng, kemudian mengangkat dan
melemparkannya ke depan, seperti layang layang putus benang, tubuhnya segera melayang ke
udara, melewati puluhan batok kepala manusia dan..."Blaaang!" menumbuk di atas sebuah
tiang besar, kepalanya segera terluka dan darah bercucuran ke luar dengan derasnya.
Peristiwa ini segera mengundang kehebohan, suasana menjadi amat kacau dan ramai, tujuh
delapan belas orang laki laki kekar yang bertubuh tinggi besar berorot bagaikan harimau
kelaparan segera bermunculan dari empat penjuru.
Akan tetapi, rombongan harimau harimau kelaparan tersebut pada hakekatnya tak lebih hanya
serombongan anjing berpenyakitan dalam pandangan Bu Ki.
Baru saja ia bersia sedia memberikan sedikit pelajaran untuk segerombolan anjing anjing
berpenyakitan itu ketika kain tirai di belakang ruangan sana disingkap orang, menyusul
seseorang membentak keras:
"Tahan!" Tirai di depan pintu itu terbuat dari kain sutera halus yang mahal harganya, di atas kain
tersebut terdapat pula sebuah sulaman bunga Botan yang besar dan sangat indah.
Seorang laki laki botak berbaju perlente, sambil membawa sebuah huncwee yang terbuat dari
batu batu pualam berdiri angker di depan pintu.
Semua suara teriakan dan bentakan yang semula memenuhi ruangan itu seketika menjadi
reda, diam-diam orang mulai menguatirkan keselamatan jiwa Bu-ki.
Kini bahkan Cia tauke sendiripun sudah campur tangan, itu berarti sulit sekali bagi Bu-ki
untuk ke luar dari ruangan perjudian itu dalam keadaan utuh.
"Mundur semua!? bentakan nyaring kembali bargeletar memecahkan kesunyian.
Cia tauke memang memiliki wibawa sebagai seorang tauke besar, cukup dia mengulapkan
tangannya dengan pelan, gerombolan anjing anjing berpenyakitan itu segera mengundurkan
diri dengan munduk-munduk.
143 'Tak ada urusan lagi, tak ada kejadian apa-apa... hayo semua orang silahkan melanjutkan
permainan, kalau ada yang ingin minum arak, hari ini kuundang kalian untuk minum sampai
puas.? teriak Cia tauke dengan suara lantang.
Di mulut dia berkata demikian, sementara ia sendiri pelan-pelan menghampiri Tio Bu-ki,
setelah mengamatinya dari atas hingga ke bawah, tiba-tiba sekulum senyuman tersungging
menghiasi wajahnya yang lebar.
?Saudarakah yang disebut sebagai Tio kongcu," ia menegur.
"Benar, aku she Tio!?
"Aku she Cia, sahabat-sahabat menyebutku Lo-cia, rumah perjudian kecil ini adalah milikku!"
"Apakah Cia tauke juga ingin mengundangku untuk bercakap-cakap di luar . . . . ?"
"Tidak usah di luar, di dalam saja!" jawab Cia tauke.
Kemudian sambil menuding ke ruangan di balik tirai tersebut dengan huncwe kemalanya, ia
berkata lebih jauh: "Di dalam sana ada seorang teman yang ingin sekali bertaruh dengan Tio
kongcu!"' "Berapa besar jumlah taruhannya?"
Cia tauke segera tertawa.
"Jumlah taruhannya tidak dibatasi makin besar tentu saja semakin baik"
Bu-ki ikut tertawa. "Seandainya aku diajak bercakap-cakap, mungkin tiada waktu luang bagiku, tapi kalau ingin
bertaruh denganku, setiap saat aku pasti akan melayaninya."
"Kalau begitu bagus sekali !" kata Cia tauke sambil manggut-manggut.
Bu-ki dan Cia tauke sudah masuk ke balik pintu, kain tirai di depan pintu telah menutup
kembali. Semua orang mulai kasak kusuk, semua orang mulai berbisik bisik.
"Siapakah orang yang berani bertaruh dengan si macan tutul yang mujur itu" Bukankah hal
ini bagaikan seekor babi gemuk yang mengantarkan diri?"
Disisinya segera ada seseorang yang menanggapi sambil tertawa dingin, bisknya pula,
144 "Dari mana kau bisa tahu kalau di dalam sana benar benar ada orang yang hendak bertaruh
dengannya" Siapa tahu yang sedang menunggu di dalam sana adalah sebilah golok" Begitu si
macan tutul yang mujur masuk ke dalam, maka ia akan segera berubah menjadi si macan tutul
yang mampus...?" Di dalam ruangan tak ada golok, yang ada hanya manusia.
Termasuk Cia tauke, di situ ada sembilan orang manusia, delapan orang berdiri dan seorang
duduk. Delapan orang yang berdiri tidak mengenakan baju mentereng atau dandanan yang mewah


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan perlente, mereka adalah delapan orang laki laki kekar yang berperawakan tinggi besar
dengan sepasang mata yang memancarkan sinar amat tajam.
Kalau dilihat dari gerak gerik mereka yang cekatan dan gesit, jelas orang orang itu
mempunyai kepandaian yang hebat pula.
Sedangkan orang yang duduk di atas sebuah kursi terbuat dari kayu cendana yang beralaskan
permadani berwarna merah itu adalah seorang kakek kurus kecil macam orang penyakitan.
Raut wajahnya berwarna kuning dan kering, dia mempunyai sepasang mata yang kecil dan
sipit, pada dagunya memelihara beberapa lembar jenggot kambing gunung yang telah
memutih, sedang rambutnya telah beruban bahkan banyak yang telah mulai berguguran.
Kalau dibilang kakek kecil itu mirip seekor kambing hutan, maka jauh lebih pantas bila
dikatakan ia lebih mirip dengan seekor monyet.
Sekalipun demikian, justru ia mempunyai kedudukan serta daya pengaruh yang luar biasa,
bahkan jauh di atas dari siapapun dalam ruangan tersebut.
Jangan dilihat ke delapan orang yang berdiri di hadapannya itu berperawakan tinggi besar,
bermata tajam bahkan mungkin berilmu silat sangat tinggi, akan tetapi sikapnya terhadap
kakek kurus kecil macam moneyt kekeringan amat hormat dan munduk-munduk, sedikitpun
tidak berani menunjukkan sikap gegabah atau kurang hormat.
Ditinjau dari semuanya ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kakek kurus kecil yang sama
sekali tidak bertampang orang kenamaan itu sesungguhnya adalah seorang ternama yang
mempunyai kedudukan, nama serta pengaruh yang besar sekali.
Diam-diam Tio Bu ki mulai menarik napas dingin, jantungnya terasa berdebar keras dan
peluh serasa mulai membasahi tubuhnya.
Bagaimanapun bodohnya Bu-ki, lamat-lamat ia mulai merasakan juga bahwa manusia yang
dihadapinya bukan manusia sembarangan, tapi siapakah orang ini "
145 Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, iapun berpikir: 'Jangan-jangan kakek kurus
kecil macam monyet ini adalah si Raja Judi yang nama besarnya telah menggetarkan tujuh
propinsi di selatan dan enam propinsi di utara?"
RAJA JUDI DALAM setiap bidang pekerjaan selalu ada raja nya, demikian pula dalam bidang judi.
Si Raja judi she Ciau, entah orang yang kenal dengannya atau tidak, mereka semua selalu
menyebutnva Ciao jit-tayya.
Dalam judi menjudi Ciau Jit-tayya bukan saja sangat ternama, tapi juga ia mempunyai
kedudukan yang sangat terhormat.
Selama hidupnya, sudah beribu-ribu laksa kali Ciau Jit tayya melangsungkan perjudian baik
yang kecil maupun yang besar, konon ia belum pernah kalah walau satu kalipun . . . . atau
paling sedikit semenjak berusia tigapuluh tahun ia sudah tak pernah kalah.
Tahunini Ciau Jittayya berusia tujuh puluh dua tahun.
Bukan dalam soal judi saja Ciau Jittayya sangat lihay, sepasang matanya juga luar biasa, baik
Long tiong kelas kakap, Long tiong kelas teri, long tiong main kartu atau Long tiong
profesional, belum pernah ada orang yang berani bermain gila dihadapannya, sebab dengan
permainan busuk macam apapun, Ciau Jittayya segera akan mengetahuinya dalam sekejap
pandangan mata. Semenjak ulang tahunnya yang ke enam puluh enam, Ciau Jittayya sudah cuci tangan di
baskom emas dan mengundurkan diri dari bidang perjudian.
Konon kemunculan kembali Ciau Jit tayya kali ini adalah atas permohonan dari pat toa kim
kong (delapan orang kim kong), delapan orang murid utamanya .
Dengan usianya yang setua itu, dengan kedudukannya yang begitu tinggi pula, mau apa ia
munculkan diri kembali "
. . . Konon ia muncul kembali karena ingin menghadapi si macan tutul yang mujur, dia orang
tua ingin sekali mengetahui kemujuran apakah yang sedang dilakukan oleh si macan tutul itu"
Kenapa setiap kali melemparkan dadunya selalu berhasil meraih tiga angka enam"
Semenjak semula Bu-ki sudah mendengar berita tersebut, tentu saja ia mendengar soal
tersebut dari sahabatnya.
Sekalipun demikian, ia tetap tidak menduga kalau si Raja judi yang namanya sudah termashur
di tiga belas propinsi itu sesungguhnya hanya seorang kakek kecil yang kurus macam monyet.
146 Menggunakan jari-jari tangannya yang memelihara kuku sepanjang tiga inci itu Ciau Jit tayya
mengangkat huncwe peraknya dan menghisap asap tembakau beberapa kali, setelah itu sambil
tertawa baru katanya: "Duduk, silahkan duduk!"
Tentu saja Bu-ki segera duduk, ia tak pernah mempunyai kebiasaan untuk berdiri dihadapan
orang lain. Dengan sepasang matanya yang kecil Ciau Jittayya memperhatikan Bu-ki, lalu katanya sambil
tertawa: "Engkaukah yang disebut Tio kongcu?"
"Siapa namamu?" Bu-ki balik bertanya.
"Aku she Ciau, lantaran di rumah aku menempati urutan ke tujuh maka orang lain
memanggilku sebagai Ciau Jit! '
Bu-ki sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa-apa, seakan-akan sepanjang hidupnya belum
pernah ia mendengar nama tersebut.
Ciau Jittayya tertawa ringan, kembali katanya:
"Konon belakangan ini Tio kungcu selalu mujur?"
"Yaa, biasa-biasa saja!"
"Entah apakah Tio kongcu bersedia memberi muka kepada aku si kakek kecil dan menemani
aku bertaruh beberapa kali?"
"Mau berjudi apa?"
"Tentu saja berjudi dadu!"
Bu-ki segera tertawa lebar.
"Seandainya berjudi dalam soal lain mungkin aku tak berani melayaninya, akan tetapi kalau
berjudi dadu, aku tak pernah menampik keinginan orang lain."
"Kenapa?" "Sebab setiap kali aku berjudi dadu, aku merasa nasibku selalu mujur . . ."
147 Tiba-tiba Ciau Jittayya mementangkan sepasang matanya yang kecil dan sipit itu untuk
menatap wajah Bu-ki tajam-tajam.
Setelah sepasang matanya dipentangkan lebar-lebar maka terasalah seperti ada dua jalur sinar
tajam yang menyorong keluar, bila orang menjumpai sinar mata semacam itu untuk pertama
kalinya, dia pasti akan merasa sangat terperanjat.
Akan tetapi Bu-ki sama sekali tidak terperanjat, jangankan baru sinar mata Ciau Jittayya,
sekalipun ketika si mayat hidup mementangkan matanya untuk menatap ke arahnya, dia juga
tidak terperanjat. Semenjak dilahirkan dia memang bukan seorang manusia yang gampang merasa terperanjat.
Setelah mengawasinya beberapa kejap dengan mata melotot besar, Ciau Jittayya kembali
me-nyipitkan kembali matanya, kemudian berkata:
"Akan tetapi nasib yang mujur kadangkala bisa berubah juga, orang yang bernasib mujur
kadangkala bisa menjadi sial, sebaliknya orang yang sial kadangkala bisa pula berubah
menjadi mujur," Ia tertawa ringan, kemudian katanya lagi:
"Hanya ada seorang manusia yang selamanya tak akan terpengaruh oleh perubahan tersebut."
"Manusia macam apakah itu?"
"Manusia yang tak menggantungkan pada kemujuran tangan!" jawab Ciau Jittayya.
"Kalau tidak menggantungkan pada kemujuran tangan lantas menggantungkan dalam hal
apa?" "Mmggantungkan pada soal kepandaian!"
Dengan menggunakan sebuah tangan yang terawat sangat baik, ia melakukan suatu gerakan
yang sangat indah, setelah itu plan-pelan baru berkata lagi:
"Asal menggunakan sedikit kepandaian saja maka bereslah sudah!"
Bu-ki seperti orang yang sama sekali tidak memahami perkataannya, dengan agak ketololtololan
ia bertanya: "Kepandaian apakah itu?"
148 Sepcrti orang yang sedang memberi penjelasan kcpada seseorang yang benar-benar tidak
faham Ciau jittayya berkata kembali:
"Kepandaian untuk mengendalikan perputaran dadu!"
Setelah tersenyum kembali katanya:
"Dadu alalah suatu benda yang amat sederhana, benda tersebut tidak bernyawa juga tak
berotak, asal kau mempunyai sedikit kepandaian saja maka apa yang kau kehendaki dia akan
berbuat seperti yang kau kehendaki itu ...."
Bu-ki tertawa, ia seperti kurang percaya dengan penjelasan tersebut, kembali tanyanya:
"Benarkah di dunia ini terdapat kepandaian semacam itu?"
"Yaa, pasti ada!"
"Dapatkah kau untuk melakukannya"
Ciau Jittayya tertawa lirih.
"Jadi kau ingin membuktikannya?" ia bertanya.
"Yaa, aku ingin sekali."
"Baik!" Ciau Jittayya segera bertepuk tangan, dengan sikap hormat Cia tauke segera mengangsurkan
sebuah mangkuk besar dengan tiga biji dadu indah di dalamnya.
"Mangkuk ini adalah hasil pecah belah kenamaan dari kota Keng-tek-tin di wilayah Kang-see,
sedang dadunya adalah dadu hasil karya Po-sik-cay yang berdiam di pcrempatan jalan Ong
Kua-hu di ibukota." Tampaknya Ciau Jittayya sangat puas dengan benda tersebut, katanya dengan segera:
"Bagus sekali, berjudi bukan saja merupakan suatu kepandaian yang tiada taranya, termasuk
juga suatu kenikmatan yang menyenangkan, tentu saja alat-alat yang dia gunakan tak boleh
terlampau biasa." "Aku sangat setuju dengan pandapatmu itu!" sambung Bu-ki dengan cepat.
Ciau Jittayya manggut- manggut, kembali katanya:
149 "Yang lebih penting lagi adalah merek dagang Po Sik-cay marupakan merak dagang
terpercaya, semua dadu hasil bikinannya selalu mempunyai bobot yang tepat dan seimbang,
dan lagi tak mungkin merupakan dadu-dadu palsu yang di dalamnya diisi dengan air raksa
hingga timpang beratnya."
"Aku percaya!" Kembali Ciau Jittayya mengeluarkan tangannya yang halus dengan jari-jari tangan yang
terawat itu untuk mengambil ketiga biji dadu tersebut.
Dadu yang berada di tangannya, seakan-akan berubah menjadi sebilah pedang di tangan
seorang ahli pedang kenamaan di kolong langit, sebab tampaklah gerakannya yang begitu
matang, berpengalaman dan indah.
Dalam soal berjudi, Ciau Jittayya memang tak malu disebut sebagai seorang Raja Judi.
Dengan gerakan yang begitu sederhana, begitu matang dan indah, ketiga biji dadu itu sudah
di-lemparkan ke dalam mangkuk.
Tanpa dilihat lagi Bu-ki juga tahu bahwa hasil lemparan dadu itu sudah pasti adalah tiga
angka enam. ***** Dadu telah berhenti berputar, benak juga angka menunjukkan tiga angka enam.
Bu-ki segera menghcla napas panjang, katanya:
"Aku lihat kemujuran tanganmu belakangan ini juga sangat bagus!"
"Ini bukan termasuk kemujuran tangan tapi kemujuran kepandaian, setiap orang dapat
melemparkan dadu-dadu itu dengan tiga angka enam!"
"Oya?" "Kau tidak percaya"'
Bu-ki masih tertawa. "Baik kalau begitu kalian cobalah satu kali agar dilihat oleh Tio kongcu!" kata Ciau Jittayya.
Cia tauke mencoba paling dulu.
150 Dia mengambil dadu-dadu itu dan menebarkannya, betul juga ia berhasil meraih tiga angka
enam. Menyusul kemudian tujuh orang lainnya juga melemparkan dadu-dadu itu, ternyata
merekapun berhasil meraih tiga angka enam semua.
Bu-ki seakan-akan tertegun menyaksikan adegan tersebut.
"Sudahkah kau ketahui apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Ciau Jittayya kemudian.
Bu-ki menggeleng. Ciau Jittayyapun menganggap dia benar-benar tak tahu, katanya kemudian dengan lembut:
"Di dalam dadu ini telah diberi air raksa, asal seseorang yang mengerti sedikit kepandaian
maka dengan sangat mudah ia akan berhasil mendapatkan tiga angka enam."
Lalu sambil picingkan matanya dan tertawa ia berkata lebih jauh:
"Sekalipun dadu-dadu merek Po Sik-cay tidak ada yang palsu, tetapi asal kita beri sedikit
hadiah untuk lo-suhu yang membuat dadu itu, maka keadaannya tentu berbeda."
Bu-ki seakan-akan tertegun mendengarkan kesemuanya itu.
Ciau Jittayya berpaling dan tanyanya kepada seorang laki-laki setengah umur berdahi tinggi
dan bermuka kuning yang berdiri di belakangnya:
"Tempo hari, hadiah apakah yang telah kau berikan kepada lo-suhu itu untuk dadu
buatannya?" "Sebuah gedung megah di barat kota yang komplit dengan segala perabot dan peralatan yang
dibutuhkan, ditambah lagi seribu tahil perak setiap tahunnya sebagai ongkos hidup."
"Selama ia bekerja di Po sik-cay, berapa banyak uang bisa dia dapatkan dalam setahunnya?"
tanya Ciau Jittayya lagi.
"Tigaratus enampuluh tahil perak uang gaji ditambah uang pembagian laba, semuanya kalau
ditotal tak sampai mencapai tujuhratus tahil."
Ciau Jittayya lantas berpaling kembali ke arah Bu-ki, lalu sambil tertawa katanya:
"Sekarang kau pasti sudah mengerti bukan?"
Bu-ki menghela napas panjang.
151 "Aaai,seandainya tiada petunjukmu, dulu aku benar-benar tidak menyangka kalau di balik
sebiji dadu sesungguhnya masih terkandung suatu pengetahuan serta kepandaian yang begini
besar." "Setiap penjudi di dunia ini, asal ia mengetahui bahwa dadu tersebut buatan Po Sik-cay, maka
dengan hati lega dan berani mereka akan bertaruh sebab itulah meski binipun ikut digadai
untuk membayar hutang, mereka masih bersikeras mengatakan bahwa mereka kalah dengan
puas, meski kalah tidak penasaran."
Setelah menghela napas panjang, katanya lagi:
Jilid 6________ "PADAHAL diantara sepuluh penjudi sembilan adalah penipu, orang yang tidak berjudilah
yang benar-benar merupakan pemenang!"
"Tapi kau . . ."
Ciau Jit tayya menghela napas panjang.
"Aaaai . . . aku sudah terjerumus ke bidang itu, sekalipunhendak merangkak bangun, tubuhku
sudah keburu berlepotan lumpur!"
Kemudian ia melanjutkan kembali: "Meski pun begitu, putra-putriku dan cucu-cucuku tak
seorangpun yang akan berani berjudi lagi"
"Apakah mereka tidak suka berjudi?" tanya Bu-ki keheranan.
"Setiap manusia suka berjudi, cuma mereka lebih suka tangan sendiri!"
Setelah mendehem pelan, lanjutnya dengan hambar: "Diantara tigabelas orang putraku, ada
enam orang diantaranya yang memiliki sebuah lengan!"
"Kenapa?" "Karena secara diam-diam mereka telah berjudi!"
"Dan kaupun memenggal kutung sebuah lengan mereka?" sambung Bu-ki dengan cepat.
"Yaa, untuk anak cucu keluarga Ciau, barang siapa berani berjudi maka pertama kali berjudi
kupenggal kutung sebuah lengannya, jika ketahuan berjudi untuk kedua kalinya maka akupun
akan memotong sebuah kakinya."
152 "Jika mereka berjudi untuk ketiga kalinya?" tanya Bu ki.
Ciau Jit tayya tertawa ewa.
"Tak seorang manusiapun berani berjudi untuk ketiga kalinya, yaa, seorangpun tak ada!"
Bu-ki tertawa getir. "Andaikata aku adalah anak cucu keluarga Ciau, aku pasti berani berjudi untuk ketiga
kalinya," demikian ia berkata.
Ciau Jit tayya tersenyum.
"Akan tetapi aku tidak keberatan bila orang lain berjudi, sebab semakin banyak orang berjudi
di dunia ini, maka semakin baik pula penghidupan dari kami !"
Tiba-tiba ia berpaling ke arah Cia tauke sambil bertanya: "Kau punya berapa orang anak ?"
"Tidak banyak !" jawab Cia tauke sambil tertawa paksa.
"Yang dimaksudkan tidak banyak itu berapa?"
"Tujuhbelas orang !"
"Setiap tahun berapakah pengeluaran yang dibutuhkan mereka setiap orangnya?"
"Kecuali Lo toa, setiap orang rata-rata mendapatkan limaratus tahil perak setiap tahunnya."
Kemudian tambahnya lagi: "Sedang sang Lo toa mendapat seribu tahil perak !"
"Jadi kalau begitu berapa besar ongkos pengeluaran rumah tanggamu setiap tahunnya?"
"Wah, hal ini sulit untuk dikatakan, tapi kalau dihitung secara kasarnya paling sedikit juga
diantara tujuh sampai delapan ribu tahil perak ....!"
"Apakah sudah termasuk juga pengeluaran-pengeluaran pribadimu setiap harinya"`
Kembali Cia tauke tertawa paksa.
"Hampir setiap hari aku harus mengeluar-kan uang untuk ini itu, teman-teman dari petugas
keamanan negara dan pegawai pengadilan harus kulayani, engkoh-engkoh dari gedung
153 pembesar harus juga kulayani, jadi paling sedikit tiap tahunnya kami butuh uang sebesar
sepuluh laksa tahil perak lebih untuk menutup semua perongkosan.`
Mendengar itu Ciau Jit tayya menghela napas panjang.


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

`Aaaai . . . akan tetapi bagi keluarga keluarga biasa, beberapa ratus tahil perakpun sudah
cukup bagi mereka untuk hidup dengan tenang dan berbahagia! `
Ia berpaling ke arah Bu-ki dan tanyanya lagi:
`Tentunya kau bisa berpikir bukan, dari manakah biaya-biaya tersebut didapatkan untuk
menutup semua kebutuhan tersebut"`
Bu-ki manggut-manggut, mendadak ia tertawa dan berkata: "Akan tetapi ongkos
pengeluaranku justru harus didapatkan dari tempatnya itu."
"Oleh karena itulah aku menganggap kau sebagai seorang manusia yang berbakat, asal tidak
terlalu kelewat batas, dikemudian hari penghidupanmu pasti akan jauh lebih baik dari pada
mereka semua.!" "Aku bukan seorang manusia yang berbakat, akupun tidak mempunyai kepadaian apa-apa,
cuma kemujuran tanganku mungkin rada baik.."
Kembali Ciau Jit-tayya picingkan matanya dan tertawa, tiba-tiba diambilnya dadu-dadu itu
dan dilemparkan kembali ke dalam mangkuk.
Ternyata hasil yang diraih dalam pelemparannya kali ini bukan tiga angka enam, melainkan
angka yang terkecil . . .
Satu, dua dan tiga. `Hey, tampaknya kemujuran tanganmu telah berubah menjadi jelek!` kata Bu ki sambil
tertawa. `Tidak, sama sekali tidak berubah!`
Tangan yang sesungguhnya kosong itu tiba-tiba melemparkan kembali tiga biji dadu.
Ketika ketiga biji dadu itu berputar dalam mangkuk, dadu-dadu yang menunjukkan angka
"satu, dua, tiga" itu segera tertumbuk hingga berguling, dengan demikian maka keenam biji
dadu itu segera berubah semua menjadi enam buah angka enam.
154 Ciau Jit tayya mengayunkan kembali tangannya, tangan yang kosong tiba-tiba berisi kembali
dengan enam biji dadu, ketika ditebarkan ke mangkuk, dua belas biji dadu itu segera berputar
bersama, ketika berhenti kemudian ternyata semuanya menunjukkan angka enam.
Tampaknya Bu ki tertegun menyaksikan semua adegan itu.
Ciau Jit tayya tersenyum, katanya kemudian: "Inipun termasuk kepandaian tangan, bagi
seseorang yang betul betul ahli dalam berjudi, maka dalam tangannya sekaligus bisa
tersimpan beberapa biji dadu-dadu cadangan, dan lagi orang lain tak akan melihat permainan
kotornya itu." "Bahkan akupun tidak melihatnya", keluh Bu ki sambil tertawa getir.
"Oleh sebab itulah sekalipun dadu-dadu yang berada dalam mangkuk adalah dadu-dadu asli,
asal dirubah olehnya dengan sedikit kepandaian maka dadu yang asli segera akan berubah
menjadi dadu palsu, dan berapa yang ingin didapatkan, dia akan dapat meraih angka tersebut".
"Apakah kedua belas biji dadu itu semuanya telah diberi air raksa?" tanya Bu ki.
"Silahkan dicoba!"
Bu ki menengok sekejap ke arah Cia Tauke, dan Cia Taukepun menjepit dadu tersebut dengan
kedua jari tangannya, ketika ditekan dadu tadi, dadu yang lebih keras dari batu itu segera
hancur dan air raksapun menetes keluar membasahi meja.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Ciau Jit Tayya kemudian.
"Bagus, bagusnya bukan kepalang!" sahut Bu ki sambil menghela napas panjang.
"Bagi orang yang melatih ilmu khikang, kepandaiannya jauh lebih hebat lagi, sekalipun kau
jelas mengetahui bahwa angka yang diraih adalah angka enam, asal ia menggetarkan meja
dengan ilmu khikangnya maka angka tersebut mungkin segera berubah menjadi angka satu."
Setelab tersenyum, tambahnya: "Tetapi berbicara dari sudut berjudi, cara semacam ini adalah
cara curang yang tak boleh ditiru, sebab bagi seseorang yang benar-benar ahli, tak nanti dia
menggunakan cara-cara semacam itu."
"Kenapa?" tanya Bu ki.
"Sebab berjudi adalah suatu perbuatan yang harus disertai dengan pengetahuan yang cukup,
juga merupakan suatu kenikmatan yang tersendiri, sekalipun hendak mempergunakan sedikit
kepandaian tangan di balik perjudian itu, hal ini perlu dilakukan secara halus dan lembut, tak
boleh memakai sistim keras lawan keras, sehingga meskipun orang kalah, orang akan kalah
dengan puas" 155 Sambil tersenyum lanjutnya: "Jika orang lain kalah dengan hati yang puas dan lega, lain kali
mereka baru mau datang untuk berjudi lagi."
Bu ki menghela napas panjang.
"Aaaai . . . rupanya memang harus disertai dengan pengetahuan".
Dari balik sepasang mata Ciau Jit Tayya yang sipit kembali mencorong ke luar sinar tajam
yang menatap wajah Bu-ki lekat-lekat, kemudian katanya:
"Akan tetapi dalam pertaruhan kita nanti, tentu saja tak boleh menggunakan kepandaian
tangan untuk memperoleh kemenangan".
Bu-ki tertawa. "Sekalipun aku pingin mempergunakannya, sayang aku tak mampu untuk melaksanakannya.
Ciau Jit Tayya menarik wajahnya, lalu berkata lagi:
"Bila kita ingin bertaruh, maka kita harus bertaruh secara adil, sama sekali tak boleh bermain
curang atau memakai segala macam akal bulus . . . . !"
"Tepat!" "Baik!" sekali lagi Ciau Jii Tayya memicingkan sepasang matanya, kalau begitu aku akan
menemani Tio kongcu untuk bermain beberapa kali"
"Buat apa musti bermain beberapa kali?"
Lebih baik sekali bertaruh ditentukan siapa bakal menang dan siapa bakal kalah, itu baru
sedap namanya Sekali lagi Ciau jit tayya mementangkan sepasang matanya lebar-lebar, lewat lama sekali dia
baru bertanya: "Kau benar benar hanya ingin bertaruh sekali saja?"
"Asal bisa diketahui siapa menang dan siapa kalah, aku rasa satu kalipun sudah lebih dari
cukup," Berapa besar yang hendak kau pertaruhkan?" "Harus kuperiksa dulu, tampaknya tidak terlalu
banyak uang yang kubawa kali ini."
156 Dari sakunya ia mengeluarkan setumpuk uang kertas, selain itu terdapat pula setumpuk daun
emas yang dibuat tipis-tipis.
Sambil menghitung jumlahnya, dia menghela napas panjang dan bergumam seorang diri.
"Sasungguhnya tidak terlalu banyak yang kubawa kali ini, termasuk daun-daun emas yang tak
ada artinya ini, paling banter juga cuma tigapuluh delapan laksa limaribu tahil perak!"
Kecuali Ciau Jit tayya, hampir dibilang paras muka setiap orang berubah hebat.
Sekalipun setiap orang di antara delapan orang yang hadir dalam ruangan itu merupakan jagojago
paling top dalam soal berjudi, akan tetapi sekaligus mempertaruhkan harta sebesar
tigapuluh laksa tahil perak lebih dalam sekali taruhan adalah sesuatu yang luar biasa, belum
pernah mereka temui kejadian semacam ini sebelumnya:
Tiba tiba Bu ki tertawa lebar, lalu katanya dengan cepat:
"Oh . . teringat aku sekarang, di meja. luarsanamasih ada dua laksa tahil perak, jadi jumlahnya
persis mencapai empatpuluh laksa tahil perak . . . !"
Di luarsanamasih ada dua laksa tahil perak?" ulang Cia tauke dengan wajah berubah.
"Yaa, satu laksa tahil perak sebagai modalku dan si bandar wajib membayar selaksa tahil
perak lagi sebagai taruhannya."
Paras muka Ciau Jit tayya sama sekali tidak berubah, segera ia menitahkan: "Kalau begitu
keluarlah kesanadan ambit dua laksa tahil perak untuk Tio kongcu ini."
"Baik!" sahut Cia tauke.
"Sekalian pergilah ke kas uang dan coba lihat di situ ada uang berapa banyak, ambil
semuanya ke mari!" "Baik!" Seorang laki-laki bermuka merah yang tinggi kekar tiba-tiba menyela dari samping:
"Bagaimana kalau kutemani Lak ko untuk pergi ke luar?"
"Memang ada baiknya kalau Lau Lo pat bersedia menemaninya," kata Ciau Jit tayya, "apalagi
kau memang punya usaha pula di tempas ini, bila kas hanya ada uang sedikit, kau boleh
menambahkan sedikit lagi!"
"Baik" 157 "Menanti mereka sudah pergi, Ciau Jit Tayya baru berpaling k6 arah Bu-ki seraya berkata
dengan senyuman dikulum: "Tio kongcu, inginkah kau menghisap huncwe lebih dulu?"
Begitu ke luar dari ruangan, dengan kening berkerut Lau Lo pat lantas berkata:
?"Aku benar benar tidak habis mengerti apa yang hendak dilakukan oleh tua bangka itu?"
"Dalam bagian yang mana kau tidak mengerti?" tanya Cia tauke.
"Kenapa tua bangka itu menceritakan semua perkembangan dan taktik permainan kita kepada
penyakit itu" Kenapa tidak gunakan saja cara tersebut untuk menghadapinya?"
"Karena tua bangka tahu bahwa penyakit itu sesungguhnya bukan penyakit" kata Cia tauke.
"Tapi cara permainan si tua bangka sebenarnya tidak diketahui sama sekali olehnya?".
"Yaa, karena ia sedang menyamar sebagai babi untuk memakan harimau"
Setelah tertawa, kembali katanya:
"Akan tetapi si tua bangka juga bukan orang sederhana, sekalipun dia tahu bahwa cara itu tak
akan mengelabuinya, maka didemonstrasikan kepandaian-kepandaian simpanannya di
hadapan orang itu, dia berharap agar ia tahu lihay dan mengucapkan sepatah dua patah kata
yang enak didengar, siapa tahu si tua bangka akan melepaskannya dengan begitu saja."
"Akan tetapi bajingan cilik itu justru tak tahu diri," sambung Lau Lopat cepat.
"Oleh sebab itu menurut pendapatku, kali ini lo yacu telah bersiap sedia untuk turun tangan
menghadapinya." "Tapi sudah tujuh delapan tahun si tua bangka tak pernah turun tangan, sedangkan bajingan
cilik itu . . ." Cia tauke segera tertawa.
"Jangan kuatir, jahe selamanya lebih tua lebih pedas, sekalipun siluman monyet Sun Go
khong mempunyai ilmu tujuhpuluh dua merubah, ia tak mampu kabur dari telapak tangan Ji
lay Hud!" Kemudian tanyanya pula: "Sudah hampir duapuluh tahun kau mengikuti si tua bangka itu,
pernahkah kau saksikan dia kalah bertaruh" "
158 Belum pernah!" jawab Lau lo-pat.
Akhirnya sekulum senyuman tenang dan hati lega tersungging di ujung bibirnya, dan diapun
menambahkan: "Yaa, selamanya memang belum pernah!"
Kecuali suara "Bluup! Bluupl" bunyi asap huncwee yang berbunyi bagaikan peluit, dalam
ruangan tidak terdengar suara apapun.
Dalam hati masing-masing sedang terlibat dalam suatu pemikiran yang serius. .
Semua orang sedang berpikir, harus mengunakan cara apakah untuk menangkan, "si macan
tutul yang mujur" itu"
Tapi mereka gagal untuk menemukan sesuatu cara.
Setiap macam cara yang berhasil mereka bayangkan, tidak menjamin kemenangan seratus
persen buat pihak mereka.
Si anak muda itu terlalu tenang, membuat orang susah menduga jalan pemikirannya, bahkan
membuat orang merasa sedikit rada takut. Mungkinkah tangannya benar-benar lagi sangat
mujur" Atau mungkin karena dia percaya bahwa Ciau Jit tayya tak akan dapat mengetahui dengan
cara permainan apakah dia berjudi"
Bagaikan motor uap, Ciau Jit tayya menghembuskan asap huncweenya secara beruntun,
begitu nikmat ia merasakan harumnya tembakau, hampir saja matanya yang sipit terpicing
rapat-rapat. Mungkinkah ia telah mempunyai keyakinan menang dalam dadanya" Ataukah ia masih
me-mikirkan dengan cara apakah dia akan menghadapi si anak muda itu"
Bu-ki cuma tersenyum sambil memandang ke arahnya, seperti seorang pengumpul barang
kuno sedang mengamati sebuah benda antik dan memastikan keasliannya, seperti juga seekor
rase kecil sedang mengamati gerak gerik dari seekor rase tua dan berharap dari gerak geriknya
dapat mempelajari sedikit ilmu rahasia yang berguna bagi bekal hidupnya.
Apakah Ciau Jit tayya juga sedang memperhatikannya secara diam-diam"
Akhirnya Cia tauke dan Lau lo-pat muncul kembali sambil membawa setumpuk uang kertas,
mereka sisihkan dulu dua tumpuk untuk diserahkan kepada Bu-ki.
159 "Ini dua laksa tahil perak!" katanya.
"Kalian berhasil mengumpulkan empat puluh laksa tahil perak?"
"Yaa, dan ini semua jumlahnya persis empatpuluhlaksa tahil perak!"
Cia tauke meletakkan uang kertas di meja dan menampilkan sekulum senyuman bangga di
wajahnya. Bisa mengumpulkan uang kontan sebanyak empat puluh laksa tahil perak dalam waktu
singkat, hal ini merupakan suatu pekerjaan yang tidak gampang . . . .
Bu-ki segera berkata sambil tertawa:
"Rupanya usaha Cia tauke memang maju amat pesat dan mendatangkan keberuntungan yang
melimpah.! Cia tauke segera tertawa tergelak: "Haahhh.. . . haahhh . . . haahhh . . . usaha semacam ini
memang merupakan suatu usaha yang mendatangkan keberuntungan paling melimpah!"
"Bagus, sekarang bagaimana cara kita bertaruh?"
Lelaki setengah umur yang berwajah kuning kepucat-pucatan itu mendehem lebih dahulu, lalu
katanya; "Setiap permainan ada peraturan permainan, setiap pertaruhan ada pula peraturan pertaruhan!"
"Untuk melakukan suatu pekerjaan, kita memang harus melakukannya menurut aturan,
apalagi dalam bertaruh uang, petaturannya tentu akan lebih besar lagi."
"Akan tetapi, terlepas dari peraturan macam apakah itu, kedua belah pihak harus
menyetujuinya lebih dahulu," sambung laki-laki setengah umur berwajah kuning itu.
"Benar!" "Bila hanya ada dua orang yang akan bertaruh, maka pertaruhan akan berlangsung tanpa
bandar." "Tepat!" "Oleh karena itu barang siapa yang berhasil meraih angka tertinggi dalam pelemparannya
yang pertama, pihak kedua harus angkat kaki."
160 "Andaikata jumlah angka yang diraih kedua belah pihak sama?" tanya Bu ki.
"Kalau sampai begitu, maka dalam pelemparan itu tak ada yang menang atau kalah, kita
anggap seri dan harus diulang kembali.?"
"Aku pikir cara ini kurang baik" tiba-tiba Bu ki menampik sambil menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana kurang baiknya?"
"Kalau kedua belah pihak memperoleh jumlah lemparan yang sama terus menerus, bukankah
pertaruhan itu akan berlangsung tiada habisnya" Wah, kalau begini caranya, Sekalipun
bertaruh selama tiga hari tiga malampun belum tentu bisa menentukan siapa pemenangnya-"
"Lantas sistim judi yang bagaimanakah yang kau inginkan?"
"Barang siapa berhasil melemparkan dadunya dengan memperoleh angka paling tinggi, maka
pihak yang lain harus mengaku kalah."
Angka yang paling besar adalah tiga angka enam, asal ia melemparkan dadunya maka angka
yang bakal diraih adalah tiga angka enam.
Serentak delapan orang itu membelalakkan matanya lebar lebar, hampir dalam waktu yang
bersamaan mereka bertanya:
"Siapa yang akan melempar lebih dulu?"
"Aku lihat Loya cu ini sudah tua dan lebih tinggi tingkatannya dariku, tentu saja sudah
se-pantasnya kalau kupersilahkan kepadanya untuk melempar lebih dulu."
Perkataan itu bukan saja membuat setiap orang merasa terperanjat, bahkan Ciau Jit Tayya
sendiripun merasa sedikit di luar dugaan.
Jangan-jangan bocah muda itu sudah edan" Atau mungkin ia merasa mempunyai keyakinan
yang amat besar" Dengan paras muka sedikitpun tidak berubah, Bu-ki tersenyum dan berkata lagi:
"Silahkan kau melempar lebih dulu !"
Kembali Ciau Jit tayya menatap lawan judinya lekat-lekat, setengah harian kemudian tiba-tiba
ia berseru: "Lo toa, ambil seperangkat dadu !"
161 Dari sakunya lelaki setengah umur berwajah kuning itu mengambil ke luar sebuah kotak kecil
yang terbuat dari batu kemala putih.
Dalam kotak berlapiskan kain sutera berwarna kuning dan isinya hanya tiga biji dadu yang
terbuat dari batu kemala putih.
"Dadu batu kemala putih ini adalah dadu yang dipakai oleh para utusan dari negeri asing, asli
buatan pribadi dari pemilik tokoPosik cay, benda ini ditanggung tak akan palsu."
"Berikan kepada Tio kongcu agar diperiksa!" perintah Ciau Jit Tayya.
Dengan menggunakan sepasang tangannya, laki laki serengah umur itu mengangsurkan
dadunya kepada anak muda itu.
Bu-ki segera menolaknya dengan tangan sebelah, katanya sambil tersenyum lirih:
"Tak usah diperiksa lagi, aku percaya dengan Loya cu ini !"
Sekali lagi Ciau Jit tayya menatapnya setengah harian, kemudian baru pelan-pelan
mengangguk. ?"Bagus, punya semangat !" pujinya.
Dengan mempergunakan sepasang jari tangannya yang berkuku panjang tiga inci itu
diambilnya dadu tersebut satu demi satu, lalu sambil diletakkan dalam telapak tangannya
kembali ia bertanya: "Sekali lemparan menentukan menang kalah?"
"Benar !" Pelan pelan Ciau Jit tayya bangkit berdiri, tangannya diluruskan ke depan tepat mengarah di
atas mangkuk, lalu dadu-dadu itu diletakkannya dengan seksama.
Cara pelemparan ini merupakan cara yang paling memakai aturan, barang siapa menyaksikan
cara tersebut maka siapapun tak akan menaruh curiga walau sedikitpun.
*Triing . . . . . !" Diiringi bunyi dentingan, ketiga biji dadu itu sudah terjatuh ke dalam


Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mangkuk. Putaran dadu yang kencang membuat jantung tiap orang serasa ikut berputar pula.
Akhirnya dadu dadu itu berhenti.
162 Tiga angka enam, benar benar tiga angka enam. angka yang paling top yang berarti tiada
bandingannya. Bu-ki pun tertawa, sambil menepuk sakunya pelan-pelan ia bangkit berdiri.
"Aku kalah!" Setelah mengucapkan kata tersebut, tanpa berpaling ia segera angkat kaki dari situ.
AKAL BULUS RUANGAN itu sudah lama berada dalam keadaan hening. Padahal ada sembilan orang berada
dalam ruangan itu, biasanya ruangan dengan sembilan orang di dalamnya tak akan setenang
itu. Ke sembilan orang tersebut bukan saja tidak bisu bahkan mereka pandai sekali berbicara,
orang-orang yang pandai bersilat lidah dengan segala kelicikan serta kecerdasannya.
Mereka semua tidak berbicara karena dalam hati kecil masing-masing sedang memikirkan
satu hal . . . . Mengapa si macan tutul yang mujur berbuat demikian "
Siapapun tidak menyangka kalau dia hanya mengucapkan dua patah kata saja: "Aku kalah!"
dan kemudian ambil langkah seribu.
Penyelesaian dari suatu pertaruhan ini datangnya terlalu mendadak, terlalu di luar dugaan.
Lama sekali setelah ia pergi, Ciau Jit tayya baru mulai mengisi huncwenya dengan tembakau,
lalu . . . . "Bluup! Bluuup! Bluuup!" menghisapnya dengan penuh kenikmatan.
Kembali lewat lama sekali, akhirnya baru kedengaran ada orang yang menyatakan
pendapatnya, tentu saja orang pertama yang baka suara adalah Lau Lo pat.
"Kuberitahukan kepada kalian atas apa yang sesungguhnya telah terjadi, kalah yaa kalah,
menang yaa menang, ia kalah maka dia harus angkat kaki."
"Sekalipun kekalahannya cukup manis, waktu pergipun manis juga, setelah terbukti kalah,
kalau tidak pergi lantas mau apa lagi ia tetap mengendon disitu?"
Tak seorangpun yang menjawab, kecuali dia seorang hakekatnya tak ada orang lain, yang
buka suara. Ciau Jit Tayya menghisap huncwenya dengan penuh kenikmatan, selang sejenak kemudian
setelah tertawa dingin katanya tiba-tiba:
"Lo-toa, menurut pendapatmu apa yang telah terjadi?"
163 Lo-toa adalah laki-laki setengah umur yang berwajah kuning itu, dia she Pui, diantara delapan
orang Kim kong di bawah pimpinan Cian Jit tayya, ia merupakan Lo-toa.
Pui lo-toa ragu-ragu sejenak, kemudian jawabnya : "Aku tidak mengerti . . "
"Kenapa tidak mengerti?"
"Apa yang dikatakan Lo pat memang ada benarnya juga, setelah kalah kalau tidak pergi lantas
mau apa lagi?" Tapi setelah berpikir sebentar kembali ujarnya: "Tapi aku selalu beranggapan bahwa kejadian
tersebut tampaknya tak akan sederhana itu."
"Kenapa?" "Sebab kekalahannya terlalu memuaskan!"
Itu memang kata-kata yang jujur. Sesungguhnya Bu-ki memang tak perlu kalah secepat itu,
apa lagi sedemikian mengenaskan, sebab sebetulnya ia tak perlu mempersilahkan Ciau Jit
tayya turun tangan lebih dulu.
Lau lo-pat tak dapat mengendalikan perasaannya, ia segera berseru: "Menurut pendapatmu,
apakah dia mempunyai tujuan lain?"
Pui lotoa mengakuinya. Kembali Lau lo-pat berkata: "Kalau memang demikian, tadi kenapa kita tidak menahannya
saja di sini?" Pui lotoa segera tertawa dingin.
"Orang lain sudah menderita kalah, lagi pula kalah dengan semanis dan seindah itu, dengan
dasar apa kita hendak menahannya tetap berada di sini?"
Lau lopat tak sanggup berbicara lagi.
Ciau Jit tayya segera berkata :
"Apakah kaupun dapat menebak kenapa ia berbuat demikian?"
"Aku tak sanggup menebaknya" jawab Pui lotoa.
Orang lain telah kalah dalam berjdi, ludas seluruh uang taruhannya dan telah angkat kaki, apa
lagi yang dapat kau lakukan terhadapnya"
164 Ciau Jit tayya kembali mengisi huncwenya dengan tembakau, tapi dalam beberapa hisapan
asap tembakau kembali padam, ia sendiripun tidak mengerti.
Sesungguhnya ia bukan lagi menghisap huncwe, ia sedang berpikir. Lewat lama, lama sekali
akhirnya diatas wajahnya yang kurus dan kuning mendadak melintas suatu perubahan mimik
wajah yang sangat aneh. Delapan orang yang berdiri dihadapannya sudah dua puluh tahun lebih mengikutinya, mereka
tahu hanay diakala teringat akan sesuautu urusan yang menakutkan dia baru menujukkan
perubahan wajah semacam itu. Tapi siapapun tidak tahu apa yang sednag dipikirkan olehnya"
Bagi seorang kakek yang telah berusia tujuh puluh dua tahun dan sudah kenyang mengalamai
pelbagai badai serta percobaan, sesungguhnya tiada masalah yang menakutkan lagi baginya.
Oleh sebab itu perasaan setiap orang serasa ditarik ke atas dan tergantung di tengah awang
awang, mereka semua merasa dag dig dug dan tidak tenteram.
Akhirnya Ciau Jit tayya berkata juga. Ditatapnya Lau Lo Pat sekejap, kemudian katanya:
"Aku tahu, hubunganmu dengan Lolak paling akrab, kau punya modal dalam rumah
perjudiannya, tentu saja diapun punya modal di rumah perjudianmu, bukan?"
Lau lopat tidak berani menyangkal, dengan kepala tertunduk sahutnya:
"Benar!" "Aku dengar modalmu ditempa ini tidak terhitung sedikit?"
"Benar!" "Berapa besar modal yang kau ikut sertakan dalam usaha di sini?"
"Enam laksa tahil perak!"
Berada di hadapan Ciau Jit tayya, persoalan macam apapun tak berani ia rahasiakan, maka
kembali ujarnya lebih jauh:
"Kami sudah bekerja hampir empat tahun lebih dan selama ini berhasil meraih keuntungan
sebesar dua puluh laksa tahil perak lebih, kecuali untuk pengeluaran sehari-hari, semuanya
masih tersimpan di sini tanpa berkutik."
Ia sedang tertawa, namun suara tertawanya kelihatan kurang begitu leluasa, sambungnya lebih
jauh: "Karena perempuanku ingin mempergunakan uang tersebut untuk membuka beberapa buah
rumah pelacuran!" "Konon perempuan yang paling kau sayangi diantara perempuan-perempuan yang berada di
sekelilingmu bernama Bi-go?" kembali Ciau Jit tayya bertanya.
165 "Benar!" "Konon diapun suka sekali berjudi?"
Lau lopat tertawa paksa: "Judinya jauh lebih garang dari pada diriku, cuma lebih banyak
menangnya dari pada kalah."
Tiba-tiba Ciau Jit tayya menghela napas panjang.
"Aaai...! Kalau memangnya lebih banyak urusan akan bertambah runyam...!" demikian
keluhnya. "... Bila seseorang mulai berjudi, makin sering dia menang makin runyamlah keadaannya,
sebab dia selalu akan beranggapan bahwa tangannya amat mujur, mempunyai rejeki besar
untuk berjudi, dalam keadaan demikian ia akan semakin ingin berjudi, bahkan makin berjudi
taruhannya semakin besar, kendatipun suatu ketika menderita kalah sedikit, dia tak akan
ambil perduli, sebab ia merasa kekalahan tersebut pada akhirnya toh akan tertebus kembali."
Manusia macam beginilah yang dinamakan seorang penjudi, karena manusia dari jenis ini
seringkali bisa kalah habis habisan, bahkan sampai modalpun ikut ludas.
Itu termasuk nasehat dari Ciau Jit tayya juga merupakan pembicaraan atas dasar pengalaman,
entah sudah berapa ratus kali mereka berdelapan mendengar nasehat itu, siapapun tak akan
melupakan untuk selamanya.
Tapi siapapun tidak habis mengerti kenapa dalam keadaan seperti ini Ciau Jit tayya
menyinggung kembali persoalan tersebut.
Kembali Ciau Jit tayya bertanya:
"Berikut modal ditambah bunga berapa banyak yang bisa dibayar setiap saat dari meja
perjudianmu itu?" "Kalau seluruhnya dijumlahkan menjadi satu, mungkin ada duapuluh laksa tahil perak lebih"
"Bila kau tak ada di rumah, siapa yang mengurusi gedung perjudianmu itu...?"
"Perempuanku itu!" jawab Lau lopat.
Kemudian sambil tertawa paksa kembali ujarnya:
"Tapi kau orang tua jangan kuatir, sekalipun ia dapat makan cuka (ccemburu), selamanya
belum pernah makan aku"
"Bagaimanapun jua, sedikit banyak dalam genggamannya tentu ada sedikit uang kontan
bukan" tukas Ciau Jit tayya dengan suara dingin.
Lau lopat tak berani membantah lagi.
Ciau Jit-tayyapun mendesak lebih jauh: "Menurut perkiraanmu, berapa banyak uang yang dia
miliki" 166 Lau lopat agak ragu-ragu sejenak, akhirnya ia menjawab juga:
"Paling sedikit mungkin juga ada tujuh-delapan laksa tahil perak lebih ........."
"Paling banyak?" desak Ciau Jittayya lebih lanjut.
"Sukar untuk ditetapkan, mungkin saja ia memiliki uang sebesar tujuh belas sampai delapan
belas laksa tahil perak, tapi mungkin juga lebih dari itu."
Ciau-Jittayya termenung beberapa saat lamanya sambil memandangi tumpukan uang kertas di
meja lewat lama sekali pelan-pelan ia baru berkata lagi:
"Lotoa, loji, losam, losu, longo dan lojit masing-masing mendapat dua laksa tahil perak."
Serentak keenam orang itu maju ke muka sambil menyatakan rasa terima kasihnya atas
pemberian dari Ciau Jittayya, selamanya mereka tak berani menampik perintah orang tua itu.
"Lolak yang mengeluarkan modal, dia pula yang menanggung rasikonya, maka Lolak pantas
mendapat bagianlimalaksa tahil perak."
Cia taukepun maju mengucapkan terima kasih, sedang dalam hatinya diam-diam merasa
keheranan kalau memang setiap orang mendapat bagian, kenapa lopat sendiri yang tidak
memperoleh bagian" Akan tetapi berhubung Ciau Jittayya tidak menyinggung soal itu, siapapun tak berani
menyinggungnya pula. "Tiga laksa tahil perak kubagikan untuk orang-orang yang kubawa kali ini," kata Ciau
Jittayya lebih jauh, sedangkan sisanya yang duapuluh laksa tahil perak untuk Lopat semua!
Ciau Jittayya selalu bertindak secara adil, bijaksana dan tidak berat sabelah, terhadap ke
delapan orang muridnya boleh dibilang ia tak pernah pilih kasih, tapi kali ini Lau lopat
hakekatnya tidak mengeluarkan tenaga apa-apa, tapi justru dia yang memperoleh bagian
terbesar, sedikit banyak semua orang merasa tercengang juga.
Lau lopat sendiripun merasa amat terperanjat, buru-buru serunya: "Kenapa bagianku yang
paling banyak!" Ciau Jittayya segera menghela napas panjang: "Aaai, karana dengan cepat kau akan
membutuhkan uang tersebut!" jawabnya lirih.
167 Sebelum Lau Lopat sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba lelaki setengah umur yang
berwajah kuning itu sudah berseru tertahan: "Oooh, sungguh amat lihay, sungguh amat lihay..
...!" "Siapa yang kau katakan amat lihay?" Cia tauke segera bertanya.
Sambil menghela napas panjang lelaki setengah umur itu gelengkan kepalanya berulang kali.
"Pemuda she Tio itu benar-benar amat lihay!" katanya.
"Sesungguhnya akupun sudah berpikir sampai ke situ barusan, jalas ia berbuat demikian
karena kuatir loya-cu berhasil mengetahui rahasia permainannya, diapun tak ingin merusak
nama baik "si macan tutul yang mujur" tersebut, maka ia lebih suka mengalah pada permainan
kali ini agar orang lain selamanya tak akan mengetahui dengan permainan apakah ia berhasil
sukses dalam perjudiannya selama ini" kata Cia tauke.
Pelan-plan lelaki setengah umur itu mengangguk.
"Berbicara dari perbuatannya ini sudah cukup membuktikan bahwa dia memang cukup lihay!"
"Akan tetapi bagaimanapun jua ia toh tetap kalah empat puluh laksa tahil perak, jumlah
tersebut bukan suatu jumlah yang sedikit!" kata Cia tauke kemudian.
"Asal orang lain tidak berhasil mengetahui rahasia permainannya, kesempatan baginya untuk
meraih kembali kekalahan tersebut masih selalu tersedia."
"Bagaimana cara meraihnya?"
"Ia kalah dalam perjudian tentu saja kekalahan tersebut akan diraihnya pula dari meja
perjudian." Losam yang selama ini cuma membungkam dan tidak ikut berbicara apa-apa mendadak
menghela napas, lalu katanya.
"Di sini dia kalah empat puluh laksa tahil perak, apakah jumlah tersebut tak bisa ia
menangkan kembali dari tempat lain?"
"Dia akan meraihnya kembali di mana?" tanya Lau lopat.
Lelaki sctengah umur itu, hanya memandang kearahnya sambil tertawa getir dan gelengkan
kepalanya berulang kali. Tiba-tiba Cia tauke melompat bangun sambil berteriak:
168 "Jangan-jangan ia telah menyantroni gedung perjudian milik lopat?"
"Aaaah ...tentunya sekarang kau mengerti bukan, apa sebabnya loya-cu menyisihkan bagian
yang paling besar untuk lopat," sela Losam.
"Tapi aku masih tidak percaya secepat itu gerakan tubuhnya, masa dalam sekejap mata
Kitab Pusaka 2 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Suling Emas Dan Naga Siluman 12
^