Pencarian

Hina Kelana 4

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 4


"Aku mengiakan dan mengatakan Toasuko masuk perguruan 12 tahun lebih dulu. Maka Ih-koancu tertawa lagi, katanya, 'O, jadi lebih dulu 12 tahun!'"
"Apa maksudnya dia menanyakan hal itu?" tanya si nona burik.
"Aku pun tidak tahu, cuma wajahnya sangat aneh ketika menanyakan hal itu padaku," sahut Lo Tek-nau. "Kukira dia hendak mengatakan kepandaianku toh tidak tinggi, biarpun Toasuko belajar lebih lama 12 tahun rasanya juga tidak berbeda banyak."
"Hm!" si nona mendengus, lalu tidak tanya pula.
Lo Tek-nau lantas melanjutkan, "Sepulangnya di rumah aku lalu mengaturkan surat balasan Ih-koancu kepada Suhu. Isi suratnya ternyata sangat ramah dan merendah hati. Suhu sangat senang sesudah membaca. Beliau lantas tanya padaku tentang pengalamanku di Siong-hong-koan. Kuceritakan tentang ilmu pedang yang dilatih anak murid Jing-sia-pay itu, segera Suhu suruh aku untuk mempertunjukkan jurus-jurus yang kulihat itu. Karena aku cuma ingat lima-enam jurus saja, aku lantas memainkan apa yang kuketahui itu. Sesudah melihat, Suhu lantas berkata, 'Ilmu pedang ini adalah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok!'"
Hati Peng-ci tergetar mendengar ucapan terakhir itu. Untunglah orang-orang Hoa-san-pay itu lagi asyik mendengar cerita Jisuko mereka sehingga tidak memerhatikan orang-orang di sekitarnya.
Dalam pada itu terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, "Waktu itu aku lantas tanya Suhu, 'Apakah Pi-sia-kiam-hoat ini sangat hebat" Mengapa Jing-sia-pay mempelajarinya sedemikian tekun"'
"Namun Suhu tidak menjawab, sesudah merenung sejenak barulah beliau berkata, 'Tek-nau, sebelum berguru padaku kau sudah pernah berkelana beberapa tahun di Kangouw, apakah kau pernah mendengar orang Bu-lim memberi komentar tentang ilmu silatnya Lim Cin-lam, itu pemimpin Hok-wi-piaukiok di Hokkian itu"'
"Aku menjawab, 'Ya, menurut cerita kawan-kawan Bu-lim, katanya tangan Lim Cin-lam sangat terbuka dan suka menolong, maka setiap orang suka memberi muka padanya tanpa mengganggu barang kawalannya. Adapun mengenai kepandaiannya yang sejati sebaliknya tidak terlalu jelas.'
"Lalu Suhu berkata pula, 'Memang perkembangan Hok-wi-piaukiok beberapa tahun terakhir ini sebagian besar adalah berkat bantuan kawan-kawan Kangouw. Tapi kau tidak tahu bahwa Ih-koancu punya Suhu, yaitu Tiang-jing-cu, pada waktu mudanya pernah terjungkal di bawah Pi-sia-kiam-hoatnya Lim Wan-tho.'
"Aku tanya siapakah Lim Wan-tho itu, apakah ayahnya Lim Cin-lam. Tapi Suhu menjawab, 'Bukan, Lim Wan-tho adalah kakeknya Lim-Cin-lam. Dialah yang mendirikan Hok-wi-piaukiok. Dia punya 72 jurus Pi-sia-kiam-hoat, 108 gerakan Hoan-thian-ciang, dan 18 batang panah yang boleh dikata tiada tandingannya di kalangan Hek-to pada masa itu. Lantaran melihat Lim Wan-tho terlalu menonjol di kalangan Kangouw, ada juga kawan kalangan Pek-to yang sengaja pergi mencari dia untuk minta bertanding, lantaran itulah Tiang-jing-cu telah dikalahkan oleh Pi-sia-kiam-hoat.'
"'Jika begitu, jadi Pi-sia-kiam-hoat memang sangat lihai"' demikian tanyaku.
"Suhu menjawab, 'Tentang kalahnya Tiang-jing-cu itu kedua pihak telah tutup mulut rapat-rapat, maka orang Bu-lim tiada yang tahu. Kakek gurumu adalah sobat kentalnya Tiang-jing-cu, pada waktu bertemu Tiang-jing-cu telah menceritakan kekalahannya itu kepada beliau, katanya hal itu merupakan hinaan terbesar selama hidupnya, tapi dia pun merasa tidak dapat melawan Lim Wan-tho, dendam itu tentu sukar dibalas. Kakek gurumu pernah coba-coba mengikuti permainan Pi-sia-kiam-hoat yang diperlihatkan Tiang-jing-cu dengan maksud akan membantu dia menemukan kelemahan ilmu pedang itu.'
"Akan tetapi ke-72 jurus ilmu pedang itu memang luar biasa, tampaknya saja tiada sesuatu yang aneh, tapi di dalamnya ternyata mengandung kemukjizatan yang sukar diraba orang. Kedua orang tua itu menyelaminya sampai beberapa bulan dan tetap tidak dapat memecahkan cara mengalahkan Pi-sia-kiam-hoat. Tatkala mana aku pun menunggui mereka di samping, aku ingat betul gerakan Pi-sia-kiam-hoat itu, maka begitu kau memainkannya tadi aku lantas tahu ilmu pedang apa. Ai, sang tempo lalu dengan cepat sekali, peristiwa itu sudah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau!"
Sebenarnya sejak Lim Peng-ci dihajar habis-habisan oleh anak murid Jing-sia-pay, dia sudah kehilangan kepercayaan atas ilmu silat warisan leluhurnya sendiri, maka diam-diam ia berharap akan dapat mencari guru pandai untuk menuntut balas.
Tapi sekarang demi mendengar cerita Lo Tek-nau tentang betapa gagah perwira kakek besarnya, Lim Wan-tho itu, tanpa merasa semangatnya lantas terbangkit. Katanya di dalam hati, "Kiranya Pi-sia-kiam-hoat leluhurku sedemikian hebat, sampai-sampai gembong-gembong Hoa-san-pay di masa dulu juga tidak mampu menandingi. Tapi mengapa ayah sekarang malah tidak mampu melawan anak murid Jing-sia-pay yang masih hijau pelonco itu" Ai, besar kemungkinan ayah belum lagi berhasil menyelami saripati dan kelihaian ilmu pedang kakek-besar itu."
Ia dengar Lo Tek-nau sedang berkata pula, "Waktu itu aku telah tanya Suhu, 'Lalu Tiang-jing-cu dapat menuntut balas atau tidak"'
"Kata Suhu, 'Sebenarnya kalah menang dalam pertandingan ilmu silat juga tak dapat dianggap sebagai permusuhan sehingga mesti merasa dendam segala, apalagi Lim Wan-tho pada masa itu sudah lama termasyhur, dia adalah Locianpwe yang dikagumi kawan-kawan Bu-lim, sebaliknya Tiang-jing-cu adalah Tosu muda yang baru saja mulai menonjol. Seorang muda dikalahkan kaum tua sebenarnya tidaklah menjadi soal. Sebab itulah kakek-gurumu telah menghibur dengan menasihati dia supaya persoalan itu jangan dipikirkan lagi. Kemudian Tiang-jing-cu telah meninggal dalam usia cuma 36 tahun, boleh jadi soal kekalahannya itu masih tetap menjadi ganjalan hatinya sehingga dia mati dengan kurang tenteram. Kejadian yang sudah berselang beberapa puluh tahun, kini mendadak Ih Jong-hay giat melatih Pi-sia-kiam-hoat bersama murid-muridnya, sebenarnya apakah sebabnya" Ya, apa sebabnya!'
"Aku coba mengemukakan pendapatku, apakah tak mungkin Ih-koancu hendak mencari perkara kepada Hok-wi-piaukiok secara besar-besaran untuk menuntut balas sakit hati gurunya" Suhu tampak mengangguk, katanya, 'Aku pun berpikir demikian. Agaknya jiwa Tiang-jing-cu itu sangat sempit, orangnya tinggi hati pula, soal kekalahannya tentu membuatnya dendam sampai saat ajalnya, besar kemungkinan dia telah meninggalkan pesan apa-apa kepada Ih Jong-hay. Namun Lim Wan-tho sudah wafat lebih dulu daripada Tiang-jing-cu, jika Ih Jong-hay mau menuntut balas terpaksa mesti mencari keturunan Lim Wan-tho. Tapi entah mengapa tertunda hingga sekarang baru mau bertindak. Ih Jong-hay itu sangat licin, tentu dia sudah mengatur rencana dulu baru mulai bergerak. Sekali ini Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok tentu akan berhadapan dengan sengit.'
"Waktu aku tanya Suhu bagaimana pendapatnya atas perselisihan itu, pihak mana yang akan menang" Dengan tertawa Suhu menjawab, 'Ilmu silat Ih Jong-hay sudah jauh melebihi gurunya, yaitu Tiang-jing-cu, sebaliknya kepandaian Lim Cin-lam walaupun orang luar tidak tahu persis, tapi jelas tidak dapat memadai kakeknya. Yang satu maju dan yang lain mundur, ditambah lagi Jing-sia-pay di pihak yang gelap sedangkan Hok-wi-piaukiok berada di pihak yang terang, sebelum mulai bertarung Hok-wi-piaukiok sudah kalah separuh. Apabila sebelumnya Lim Cin-lam mendapat kabar dan dapat meminta bantuan Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa dari Lokyang, yaitu ayah-mertuanya, mungkin dia masih dapat melawan Jing-sia-pay. Tek-nau, apakah kau tidak ingin pergi melihat keramaian itu"'
"Sudah tentu aku mau saja. Tapi Suhu suruh aku diam-diam saja, jangan sampai diketahui oleh para Sute. Dasar Siausumoay memang setan cerdik, akhirnya diketahui olehnya, dia merengek dan minta Suhu mengizinkan dia ikut padaku. Begitulah kami berdua lantas berangkat ke Hokkian, kami menyamar sebagai kakek dan cucu, dan membuka warung arak di luar kota Hokciu. Setiap hari kami tentu pergi menyelidiki keadaan Hok-wi-piaukiok. Kami tidak melihat apa-apa yang menarik, hanya sering melihat Lim Cin-lam sedang mengajar ilmu pedang kepada putranya yang bernama Lim Peng-ci. Melihat ilmu pedang mereka itu Siausumoay geleng-geleng kepala terus, katanya padaku, 'Apakah begitu itu namanya Pi-sia-kiam-hoat (ilmu pedang penghalau iblis), haha, jika iblis benar-benar datang, mungkin Lim-kongcu itu sudah lebih dulu terhalau! ....'"
Di tengah gelak tertawa orang-orang Hoa-san-pay itu, muka Peng-ci juga merah jengah, malunya tak terlukiskan. Pikirnya, "Kiranya mereka berdua lebih dahulu mengintai ke rumahku, tapi kami sekeluarga tidak tahu sama sekali, sungguh tidak becus."
Terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, "Tidak seberapa hari kami tinggal di luar kota Hokciu lantas datanglah anak murid Jing-sia-pay berturut-turut. Yang datang paling dulu adalah Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, setiap hari mereka pasti mondar-mandir di sekitar Hok-wi-piaukiok. Khawatir kepergok, aku dan Siausumoay lantas tidak pergi ke sana lagi.
"Pada hari itu benar-benar sangat kebetulan, tiba-tiba Lim-kongcu itu berkunjung ke warung yang kubuka bersama Siausumoay itu. Terpaksa Siausumoay mengantar arak yang mereka minta. Tadinya aku menyangsikan jangan-jangan penyamaran kami telah diketahui, maka dia sengaja datang untuk membongkar rahasia kami. Tapi sesudah ajak bicara barulah diketahui Lim-kongcu itu sama sekali tidak sadar, pemuda perlente yang hidupnya aman tenteram itu ternyata tidak paham apa-apa, tiada ubahnya seperti anak tolol. Pada saat itulah tiba-tiba kedua orang Jing-sia-pay yang paling berengsek, yaitu Ih Jin-gan dan Keh Jin-tat, juga berkunjung ke tempat kami ...."
"Haha, Jisuko, perusahaan yang kau buka bersama Siausumoay itu benar-benar subur dan makmur, laris sebagai menjual pisang goreng. Wah, tentu kalian telah kaya mendadak di Hokkian!" demikian Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji bersorak.
"Tentu saja, masakah masih perlu tanya?" sela si nona dengan tertawa. "Sudah lama Jisuko menjadi hartawan, berkat rezekinya aku pun ikut-ikut memperoleh bagian."
Maka tertawalah semua orang.
Dengan tertawa Lo Tek-nau lantas melanjutkan, "Ilmu silat Lim-siaupiauthau itu teramat rendah, menjadi muridnya Siausumoay saja tidak memenuhi syarat, tapi jiwanya ternyata kesatria. Dasar putra mestika Ih Jong-hay itu sudah buta, dia berani main gila dan mengganggu Siausumoay, eh, Lim-kongcu itu ternyata tidak tinggal diam, ia terus tampil ke muka untuk membela Siausumoay ...."
Diam-diam perasaan Peng-ci bergolak, pikirnya dengan gusar, "Kurang ajar, rupanya secara berencana Jing-sia-pay sengaja mencari perkara dengan Hok-wi-piaukiok kami untuk menuntut balas angkatan tua mereka yang dikalahkan kakek-besarku. Jika demikian yang datang ke Hokciu tentu tidak cuma Pui Jin-ti berempat saja. Andaikan aku tidak membunuh Ih Jin-gan juga mereka akan merecoki aku."
Karena pikirannya melayang, maka apa yang diceritakan Lo Tek-nau tentang caranya dia membunuh Ih Jin-gan menjadi tidak jelas baginya, hanya saja cerita Lo Tek-nau itu diselingi dengan suara tertawa semua orang, terang mereka menertawakan kepandaiannya yang rendah itu.
Kemudian terdengar Lo Tek-nau lagi berkata, "Sesudah kusaksikan cara Lim-siaupiauthau itu membunuh Ih Jin-gan, diam-diam aku tukar pikiran dengan Siausumoay tentang Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim, andaikan ilmu pedang itu benar-benar lihai, paling sedikit Lim-siaupiauthau itu terang belum mempelajarinya. Malamnya aku beserta Siausumoay lantas pergi lagi ke Hok-wi-piaukiok, tertampak Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho, Pui Jin-ti dan belasan kawannya sudah datang semua.
"Khawatir dipergoki mereka, kami menonton saja dari jauh. Kami menyaksikan mereka menghabisi para Piauthau dan petugas-petugas Piaukiok yang lain seorang demi seorang, setiap Piauthau yang keluar Piaukiok selalu dibinasakan oleh mereka dan mayat mereka dikirim kembali, cara mereka benar-benar sangat keji. Kupikir permusuhan antara Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok hanya disebabkan Tiang-jing-cu dikalahkan oleh Lim Wan-tho, jika mau membalas sakit hati leluhur itu cukuplah Ih-koancu merobohkan keturunan keluarga Lim saja, mengapa mesti menggunakan cara sekejam itu" Aku menduga, mungkin karena tewasnya Ih Jin-gan, anak murid Jing-sia-pay itu terpaksa mesti main bunuh secara besar-besaran supaya bisa bertanggung jawab kepada guru mereka. Akan tetapi mereka justru membiarkan hidup Lim Cin-lam dan istrinya beserta Lim Peng-ci bertiga, mereka dipaksa kabur dari Hok-wi-piaukiok mereka."
"Tentang kepandaian, Lim-congpiauthau itu memang jauh lebih tinggi daripada Lim-siaupiauthau, tapi juga belum terhitung jago pilihan," ujar si nona. "Menurut Jisuko, Jing-sia-pay persiapkan diri dengan giat berlatih di waktu malam segala, sesungguhnya jerih payah mereka juga terlalu berlebihan."
"Tapi kalau mengingat mendiang Tiang-jing-cu dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya Ih Jong-hay tidak berani memandang enteng ilmu pedang itu, maka tidaklah heran jika mereka giat berlatih dan mempersiapkan diri dengan baik," kata Lo Tek-nau. "Hanya saja sesudah Lim Cin-lam dan anak istrinya dipaksa kabur, akhirnya toh Ih-koancu masih datang pula ke Piaukiok itu, bahkan tinggal selama tiga hari di sana, hal inilah yang kurasakan agak luar biasa."
Peng-ci terkejut juga, tanyanya di dalam hati, "Aneh, mengapa bangsat tua Ih Jong-hay itu mendatangi Piaukiok kami" Untuk apa maksudnya?"
Ternyata pertanyaannya itu pun segera telah diucapkan oleh beberapa murid Hoa-san-pay itu.
Maka terdengar Lo Tek-nau telah menjawab, "Cerita ini cukup panjang. Sesudah Lim Cin-lam dan anak istrinya melarikan diri, Pui Jin-ti dan lain-lain lantas membayangi mereka. Karena Siausumoay ingin mengetahui apa yang akan terjadi, segera kami membayangi di belakang murid Jing-sia-pay pula. Sampai di sebuah warung nasi di daerah pegunungan selatan Hokciu, di situlah Pui Jin-ti, Uh Jin-ho dan Keh Jin-tat bertiga lantas muncul dan dapat menawan ketiga anggota keluarga Lim itu. Karena Siausumoay merasa terbunuhnya Ih Jin-gan oleh Lim-kongcu adalah disebabkan gara-gara Siausumoay sendiri, maka mau tak mau ia hendak menolong Lim-kongcu untuk sekadar membalas budi. Aku mencegahnya sedapat mungkin, kukatakan jika kita ikut campur tentu akan mengganggu hubungan baik antara Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay kita, apalagi orang-orang Jing-sia-pay boleh dikata berkumpul semua di Hokciu, kami berdua tentu sukar melawan mereka, kalau ikut makan getahnya kan bisa runyam malah."
"Dasar usia Jisuko lebih lanjut, segala apa selalu berpikir secara panjang, tentu saja sangat mengecewakan keinginan Siausumoay," ujar Liok Tay-yu.
"Tapi sekali Siausumoay sudah mau begitu, betapa pun aku hendak mencegahnya juga tidak dapat lagi," kata Lo Tek-nau. "Segera Siausumoay tampil ke muka dengan tetap berdandan sebagai gadis penjual arak. Sudah tentu Keh Jin-tat lantas mengenalnya, maka belum banyak bicara kontan dia sudah dijungkalbalikkan oleh Siausumoay, malahan yang terakhir Siausumoay telah melemparkan dia ke dalam kolam lumpur sehingga manusia she Keh itu kenyang menyedot air kencing dan ampas perut."
"Haha, bagus, bagus!" sorak Liok Tay-yu dengan tertawa. "Kutahu maksud Siausumoay itu bukanlah hendak menolong bocah she Lim itu, tapi dalam hati kecilnya mempunyai tujuan lain. Hm, bagus, bagus!"
"Aku mempunyai tujuan lain apa" Kembali kau ngaco-belo lagi!" semprot si nona.
"Bukankah lantaran aku dihukum rangket oleh Suhu, maka Siausumoay ikut penasaran dan melampiaskannya bagiku dengan menghajar orang Jing-sia-pay itu" Nah, terima kasih, ya ...." sambil berkata Liok Tay-yu terus berbangkit dan memberi hormat.
Si nona melotot dengan tersenyum, omelnya, "Huh, kan kau tidak percuma merasakan rangketan itu. Sesudah dirangket, bukankah kau telah terima ganti rugi dari Toasuko?"
"Aneh, sudah dirangket, cara bagaimana memberikan ganti rugi?" ujar Liok Tay-yu dengan heran.
"Ala, pura-pura dungu, tapi jangan kau kira dapat mengelabui aku," kata si nona. "Hari itu secara sembunyi-sembunyi kau berlatih gaya tendangan itu di belakang gunung sampai beberapa pohon Tho roboh malang melintang, bukankah tendangan itu adalah ajaran Toasuko?"
Muka Lak-kau-ji menjadi merah, sahutnya, "Ya, saking kagumnya atas tendangan Toasuheng yang sekaligus dapat membikin Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong terguling, maka aku telah tanya dia cara bagaimana menggunakan tendangan itu. Hal ini juga tak dapat dikatakan Toasuko mengajarkan padaku."
"Dan sekarang kau sudah pandai tendangan itu atau belum?" tanya si nona dengan tertawa.
Muka Liok Tay-yu kembali merah jengah, sahutnya, "Wah, masakah begitu cepat" Jika Sumoay juga ingin belajar, tentu Toasuko akan memberi petunjuk padamu."
"Kau sudah belajar lebih dulu, buat apa aku mengekor kau?" kata si nona.
"Lalu bagaimana Jisuko, sesudah Siausumoay menghajar orang she Keh itu?" tanya Samsuhengnya.
Maka Lo Tek-nau menyambung lagi ceritanya, "Mata Pui Jin-ti itu ternyata sangat lihai, segera ia mengenali gerakan Siausumoay adalah orang kita, tutur katanya menjadi agak jeri. Tetapi waktu Siausumoay membuka Hiat-to pemuda she Lim dan hendak melepaskan dia, namun Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho menyatakan keberatan. Maka Siausumoay lantas berguyon dengan mereka, ia campur arak dengan bedak dan gincu dan menyatakan arak itu berbisa, lalu paksa mereka minum. Ternyata orang she Pui dan Uh itu tidak berani, di luar dugaan, Lim-siaupiauthau itu ternyata sangat gagah perwira, sekaligus ia lantas habiskan arak Siausumoay itu."
Kembali Peng-ci merasa malu, pikirnya, "Nona burik itu benar-benar telah mempermainkan aku. Kiranya arak itu dicampur bedak, pantas berbau pupur. Sungguh sial aku kena dibohongi dan kenyang minum arak begitu!"
"Pui Jin-ti tidak berani minum arak itu anggaplah tidak menjadi soal, tapi dia justru membual, katanya dia memiliki obat penawar yang tidak takut segala macam racun," demikian Lo Tek-nau melanjutkan. "Dasar Siausumoay juga jahil, segera ia keluarkan 'Hang-liong-hok-hou-wan' (pil penakluk naga dan harimau) dan dicampurkan ke dalam arak, lalu suruh orang she Pui dan Uh itu minum. Coba kalian pikir betapa lihainya Hang-liong-hok-hou-wan itu, biasanya kalau kita campur dengan air dan mencekoki babi atau kambing, lalu dibuang di tanah pegunungan, makan betapa pun buasnya harimau maupun ular raksasa jika makan babi atau kambing itu juga akan roboh oleh obat itu selama sehari semalam tak bisa berkutik. Maka kalau orang-orang Jing-sia-pay itu berani meminumnya, pasti celakalah mereka dan akan dibikin malu."
Bab 11. Murid Pertama Hoa-san-pay Namanya Lenghou Tiong
"Lalu mereka minum atau tidak?" tanya Lak-kau-ji.
"Sudah tentu mereka tidak berani minum," sahut Lo Tek-nau. "Dengan mengendus bau arak yang sengak menusuk hidung itu, siapa lagi yang berani minum. Tapi, e-e-eh, Lim-siaupiauthau itu benar-benar tidak takut langit dan tidak gentar bumi, sekaligus dia telah menghabiskan tiga cawan arak itu. Para Sute, biarpun ilmu silat Lim-kongcu itu tidak seberapa tingginya, tapi dengan diminumnya tiga cawan arak itu aku lantas menghormati dia sebagai seorang laki-laki sejati. Sikap kesatria begitu benar-benar jarang terdapat di dunia persilatan. Waktu itu jika aku yang dihadapkan kepada ketiga cawan arak itu tentu aku tidak mau juga tidak berani minum."
Seketika semua orang terdiam, air muka mereka menampilkan rasa kagum kepada keberanian Lim Peng-ci.
"Dan sesudah habiskan tiga cawan arak itu tentu dia lantas menggeletak mabuk?" ujar Lak-kau-ji.
"Tentu saja," sahut Lo Tek-nau. "Kontan dia roboh terkulai seperti orang mampus. Tapi Pui Jin-ti itu benar-benar sangat licin dan cerdik, dia masih curiga dan coba-coba memeriksa napas dan nadi Lim-kongcu itu barulah mau percaya dia sudah mati. Habis itu barulah mereka berangkat dengan menggiring Lim Cin-lam dan istrinya. Kemudian aku dan Siausumoay lantas menggali sebuah lubang untuk mengubur Lim-kongcu, namun yang kami uruk di atas badannya hanya daun-daun kering, tangkai kayu dan batu saja, agar supaya dia dapat bernapas dengan longgar, bila dia siuman tentu dapat merangkak keluar. Dengan cara kami mengubur dia itu, andaikan orang-orang Jing-sia-pay kembali lagi ke situ juga terpaksa percaya akan kematian Lim-kongcu. Pula kalau dia tak dikubur, tentu akan berbahaya jika dibiarkan menggeletak di situ, bila dia dimakan binatang buas kan percumalah maksud Siausumoay hendak menolongnya."
Mendengar sampai di sini barulah Peng-ci paham duduknya perkara. Rupanya si nona burik justru bermaksud menyelamatkannya dengan menguburnya di bawah tanah. Diam-diam ia berterima kasih, rasa dongkolnya dulu lantas lenyap seketika.
Dalam pada itu hujan bukannya mereda, sebaliknya malah semakin lebat. Tiba-tiba terlihat ada seorang penjual pangsit berteduh di bawah emper di depan rumah minum itu. Penjual pangsit itu seorang tua, tiada hentinya memukul kedua keping bambu sehingga mengeluarkan suara "tek-tok-tek-tok".
Memangnya sejak tadi anak murid Hoa-san-pay itu sudah kelaparan, cuma warung minum itu tidak menjual barang daharan, terpaksa mereka menahan lapar. Kebetulan sekarang datang penjual pangsit, tanpa disuruh lagi Liok Tay-yu lantas berseru, "He, pangsit, buatkan beberapa mangkuk, tambahkan telur pada tiap-tiap mangkuk."
Penjual pangsit itu mengiakan dan segera membuka tutup kuali yang berisi air mendidih itu. Ia masukkan pangsit mentah ke dalam kuali untuk direbus, kemudian diciduklah pangsit itu serta diberi bumbu, selang tak lama lima mangkuk pangsit kuah yang masih panas sudah disuguhkan.
Kali ini Liok Tay-yu ternyata sangat taat pada peraturan, mangkuk pertama ia aturkan kepada Jisuko Lo Tek-nau, mangkuk kedua kepada Samsuko Nio Hoat, lalu berturut-turut kepada Sisuko Si Cay-cu dan Gosuko Ko Kin-beng. Mangkuk kelima mestinya adalah bagiannya sendiri, tapi dia memberikannya kepada si nona burik dan berkata, "Silakan kau makan dulu, Siausumoay."
Di waktu bergurau si nona suka memanggil "Lak-kau-ji" padanya, tapi sekarang ia lantas berbangkit dan menjawab dengan hormat, "Terima kasih, Laksuko."
Mungkin tata tertib perguruan mereka sangat keras, di waktu biasa mereka boleh bergurau sesukanya, tapi tidak boleh mengurangi peraturan dan tata krama.
Begitulah Lo Tek-nau lantas mulai makan pangsitnya, sebaliknya si nona sengaja menunggu sampai pangsit bagian Liok Tay-yu diantarkan oleh si penjual pangsit barulah mereka makan berbareng.
"Jisuko," demikian sambil makan Nio Hoat mulai bertanya pula, "tadi kau bilang Ih-koancu mengunjungi Hok-wi-piaukiok sendiri, sebenarnya apa maksud tujuannya?"
Maka Lo Tek-nau menjawab, "Sesudah Siausumoay berhasil menyelamatkan Lim-kongcu, mestinya ia masih hendak mengintil di belakang rombongan Pui Jin-ti untuk mencari kesempatan buat menolong Lim Cin-lam dan istrinya. Tapi aku telah mencegahnya, kubilang kebaikan Lim-kongcu itu sudah cukup terbalas dengan menyelamatkan jiwanya. Tentang permusuhan Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok yang sudah berjalan sejak angkatan tua sebaiknya kita jangan ikut tersangkut. Nasihatku ini telah diturut oleh Siausumoay dan kami lantas kembali ke Hokciu.
"Kami menjadi heran ketika mengetahui belasan murid Jing-sia-pay masih berada di sekitar Hok-wi-piaukiok di kota itu, tampaknya sedang berjaga dengan ketat. Padahal Piaukiok itu sudah kosong, sampai-sampai Lim Cin-lam dan istrinya juga sudah kabur, lalu apa lagi yang dikehendaki oleh pihak Jing-sia-pay" Karena merasa tertarik, malamnya aku dan Siausumoay lantas pergi menyelidiki.
"Kami merasa tidak mudah untuk menyusup ke dalam Piaukiok itu mengingat penjagaan ketat yang diadakan oleh murid-murid Jing-sia-pay. Tapi pada waktu mereka berganti penjaga ketika makan malam, kami berhasil menyelundup ke dalam kebun sayur di belakang, kami sembunyi di situ. Kemudian waktu kami merunduk ke dalam Piaukiok, kami terkejut sekali. Ternyata banyak sekali murid Jing-sia-pay yang sedang mengubrak-abrik seluruh isi Piaukiok itu sampai-sampai dinding juga dikorek dan jubin dibongkar. Hok-wi-piaukiok sebesar itu hampir seluruhnya dijungkirbalikkan. Sudah tentu di dalam Piaukiok itu masih banyak harta benda yang berharga yang tidak sempat dibawa pergi. Tapi orang-orang Jing-sia-pay itu ternyata tidak tamak harta, barang-barang berharga yang diketemukan hanya ditaruh begitu saja. Saat itu juga, aku lantas berpikir bahwa yang dicari oleh mereka tentu adalah suatu barang yang sangat penting dan barang apakah itu?"
"Tentu adalah Kiam-boh (rumus) dari Pi-sia-kiam-hoat!" seru beberapa orang Sutenya serentak.
"Benar, aku dan Siausumoay pun berpendapat begitu," sahut Lo Tek-nau. "Melihat gelagatnya terang mereka sengaja memaksa orang-orang Hok-wi-piaukiok supaya kabur dari tempat itu, lalu mereka dapat mengubrak-abrik dengan sesuka hati. Tapi meski mereka kelihatan sibuk sekali sehingga mandi keringat toh tetap tiada sesuatu yang diketemukan."
"Akhirnya mereka berhasil atau tidak?" tanya Liok Tay-yu.
"Aku dan Siausumoay juga ingin tahu akan hal itu, akan tetapi orang-orang Jing-sia-pay itu bongkar sini dan gali sana, sampai-sampai kakus juga hampir-hampir mereka bongkar, khawatir kalau-kalau akhirnya kami kepergok, terpaksa aku dan Siausumoay lekas-lekas meninggalkan tempat itu," jawab Lo Tek-nau.
"Jisuko, kali ini sampai-sampai Ih Jong-hay juga maju sendiri, menurut pandanganmu apakah tidak berlebihan?" tanya Gosutenya, Ko Kin-beng.
"Soalnya leluhur Jing-sia-pay pernah dikalahkan Pi-sia-kiam-hoatnya Lim Wan-tho, sekarang kepandaian Lim Cin-lam entah lebih tinggi atau lebih tidak becus dari leluhurnya tidaklah diketahui dengan pasti oleh orang luar. Maka rasanya tidak berlebihan jika Ih-koancu merasa perlu tampil ke muka sendiri. Cuma dari gerak-geriknya itu kukira maksud tujuan kedatangannya ke Hokciu itu bukanlah untuk menuntut balas melulu, yang lebih penting adalah dia ingin mendapatkan buku Kiam-boh itu."
"Jisuko," kata Sisutenya yang bernama Si Cay-cu, "kau telah menyaksikan mereka berlatih Pi-sia-kiam-hoat di Siong-hong-koan. Jika mereka sudah dapat memainkan ilmu pedang itu buat apa mesti mencari Kiam-boh dari Kiam-hoat itu" Boleh jadi yang hendak mereka cari adalah barang lain."
"Tidak," sahut Lo Tek-nau sambil menggeleng. "Tokoh besar sebagai Ih-koancu itu, di dunia ini hanya rumus ilmu silat saja yang dapat menarik perhatiannya. Kemudian waktu di daerah Kangsay aku dan Siausumoay telah memergoki rombongannya lagi. Terdengar Ih-koancu menanyakan kepada anak muridnya yang datang melapor dari Oulam dan Kwitang, tapi dari sikapnya yang lemas dan gelisah itu agaknya barang yang mereka cari itu belum diketemukan."
"Tapi kau bilang mereka telah mahir memainkan ilmu pedang itu, buat apa lagi mereka mencari Kiam-bohnya" Sungguh aneh bin ajaib!" kata Si Cay-cu dengan tetap tidak mengerti.
Lo Tek-nau tahu otak sang Sisute itu memang agak puntul, suatu urusan yang sederhana terkadang sukar dipahami sampai sekian lamanya. Cuma dia paling giat berlatih, kegiatannya ternyata dapat menambal kekurangan kecerdasannya sehingga dalam ilmu silat dia malah lebih bagus daripada para Suheng dan Sutenya yang lain. Maka jawabnya, "Coba Sisute pikir saja, dahulu Li Wan-tho dapat mengalahkan Tiang-jing-cu, sudah tentu ilmu pedangnya sangat hebat, sebaliknya sekarang Ih-koancu menyaksikan ilmu Lim Cin-lam dan putranya ternyata tidak becus. Bukankah di balik ini pasti ada sesuatu yang tidak beres?"
"Mengapa tidak beres?" tanya Si Cay-cu dengan tetap bingung.
"Sudah tentu karena di dalam Pi-sia-kiam-hoat itu pasti ada rahasianya yang belum diketahui, walaupun gerakan pedangnya begitu-begitu saja, tapi daya tempurnya seharusnya sangat kuat, dan rahasia inilah yang belum sampai dipelajari oleh Lim Cin-lam," ujar Tek-nau.
Untuk sejenak Si Cay-cu termenung-menung. Katanya kemudian, "O, kiranya begitu. Tapi tentang rumus Kiam-hoat biasanya diajarkan oleh sang guru secara lisan. Padahal Lim Wan-tho sudah mati beberapa puluh tahun yang lalu, andaikan peti matinya dibongkar juga tiada gunanya."
"Menurut peraturan golongan kita memang rumus ilmu silat diajarkan secara lisan antara guru dan murid tanpa tertulis, tapi ilmu silat golongan lain belum tentu sama," kata Tek-nau.
"Tapi aku masih tetap tidak jelas, Jisuko," ujar Si Cay-cu. "Mungkin akan beralasan jika dahulu mereka mencari rumus Pi-sia-kiam-hoat, yaitu supaya mereka dapat mengetahui rahasia ilmu pedang itu dan dapat mengalahkannya. Akan tetapi sekarang Lim Cin-lam dan istrinya juga sudah mereka tawan, Hok-wi-piaukiok dan segenap kantor cabangnya juga sudah diubrak-abrik mereka, lalu mereka mau menuntut balas apa lagi" Andaikan di dalam Pi-sia-kiam-hoat itu betul ada rahasianya, lalu guna apa mereka mencarinya?"
"Coba jawab, Sisute," tanya Tek-nau dengan tertawa. "Ilmu silat Jing-sia-pay kalau dibanding dengan Ngo-gak-kiam-pay kita, kira-kira bagaimana?"
"Aku tidak tahu," sahut Si Cay-cu. Tapi lewat sejenak ia menambahkan lagi, "Mungkin belum memadai?"
"Benar, mungkin belum memadai," tukas Tek-nau. "Tapi Ih-koancu itu adalah orang yang berambisi besar dan tinggi hati, masakah dia mau berdiri di bawah orang untuk selamanya" Bilamana di dalam Pi-sia-kiam-hoat itu memang betul ada sesuatu rumus rahasia yang dapat membikin jurus ilmu pedang yang tampaknya sepele itu menjadi mahalihai, lalu ilmu pedang yang mukjizat itu dikombinasikan di dalam Jing-sia-kiam-hoat, lantas bagaimana akibatnya?"
Si Cay-cu termangu-mangu sejenak, mendadak ia menggebrak meja lalu berbangkit sambil berseru, "Aha, baru sekarang aku paham! Kiranya Ih Jong-hay ingin menjadi 'Ban-kiam-bengcu' (raja dari segala ilmu pedang)!"
Karena meja digebrak olehnya, sebuah mangkuk wadah pangsit tadi lantas mencelat dan jatuh ke bawah. Namun cepat Ko Kin-beng mengayun sebelah kakinya, ujung kakinya mencukit perlahan sehingga mangkuk itu mencelat kembali ke atas, maka dengan gampang mangkuk itu kena ditangkapnya kembali.
Pada saat itulah sekonyong-konyong si kakek penjual pangsit berkata kepada mereka dengan suara tertahan, "Awas, lawan kalian telah datang, lekas lari!"
Mendengar kakek penjual pangsit itu mendadak bicara demikian, keruan semua orang terkejut. Cepat Ko Kin-beng menegas, "Apakah Ih Jong-hay telah datang?"
Tapi penjual pangsit itu tidak menjawab, hanya ujung mulutnya mengerot memberi tanda, lalu ia memukul-mukul kepingan bambunya lagi.
Waktu semua orang memandang keluar, tertampaklah di tengah hujan lebat itu ada belasan orang sedang mendatangi dengan langkah cepat. Orang-orang itu semuanya pakai mantel. Sesudah dekat barulah terlihat jelas, kiranya adalah serombongan Nikoh (biksuni).
Yang berjalan paling depan adalah seorang Nikoh tua yang berbadan sangat tinggi. Begitu sampai di depan rumah minum itu ia lantas berhenti dan berseru dengan suara kasar, "Lenghou Tiong, hayo keluar!"
Melihat Nikoh tua itu, serentak Lo Tek-nau dan para Sutenya berbangkit serta memberi hormat. Dengan suara lantang Tek-nau menyapa, "Terimalah sembah bakti kami, Ting-yat Susiok."
Kiranya Nikoh tua itu bergelar Ting-yat Suthay, dia adalah Sumoaynya Ting-sian Suthay, itu ketua Hing-san-pay yang bersemayam di Pek-hun-am (biara awan putih) di gunung Hing. Nama Ting-yat bukan saja sangat berwibawa di dalam Hing-san-pay, bahkan orang Bu-lim umumnya juga sangat segan padanya.
Terdengar dia berteriak-teriak pula dengan suara kasar, "Di mana Lenghou Tiong bersembunyi, suruh dia keluar!"
"Lapor Susiok, Lenghou-suheng tidak berada di sini," demikian kata Lo Tek-nau dengan hormat. "Sejak tadi Tecu sekalian telah menunggunya dan tetap belum datang."
Mendengar percakapan itu, diam-diam Peng-ci membatin, "Kiranya Toasuko yang mereka bicarakan tadi bernama Lenghou Tiong. Orang ini benar-benar suka cari gara-gara, entah mengapa dia telah membuat marah Nikoh tua ini?"
Dalam pada itu Ting-yat telah melangkah ke dalam rumah minum itu. Tapi di antara tamu-tamu itu tiada diketemukan Lenghou Tiong, tiba-tiba ia menatap si nona burik dan bertanya, "Apakah kau ini Ling-ji" Mengapa menyamar begini aneh?"
"Ada orang jahat yang hendak membuat susah Ling-ji, terpaksa menyamar untuk menghindarinya," sahut si nona.
"Orang jahat macam apa itu" Katakan padanya bahwa segala apa yang kau lakukan adalah suruhanku, jika perlu suruh dia mencari padaku saja," kata Ting-yat.
"Terima kasih, Susiok," sahut si nona alias Ling-ji. "Susiok, entah sebab apa Toasuko membikin marah padamu" Biarlah aku menjura dan minta maaf baginya, harap engkau jangan gusar lagi."
Habis berkata ia lantas berlutut dan menyembah.
"Hm, pengawasan Hoa-san-pay kalian makin lama makin tak keruan dan membiarkan muridnya main gila sesukanya," jengek Ting-yat. "Sudahlah, jika urusan di sini sudah beres segera aku akan pergi ke Hoa-san untuk mencari bapakmu."
"Eh, janganlah Susiok ke sana," cepat Ling-ji mencegah. "Baru saja Toasuko dirangket 30 kali oleh Ayah sehingga berjalan pun tidak dapat. Jika Susiok mengadu lagi pada ayah, tentu Toasuko akan dihajar lebih berat, jangan-jangan akan dirangket sampai mati."
"Binatang begitu lebih baik dihajar mampus saja daripada hidup lebih lama lagi," kata Ting-yat. "Hm, kau pun berani berdusta padaku, Ling-ji! Kau bilang Lenghou Tiong tidak dapat berjalan, tapi mengapa dia dapat membawa lari muridku yang terkecil?"
Ucapan ini membuat anak murid Hoa-san-pay itu terperanjat, lebih-lebih Ling-ji, hampir-hampir ia menangis, cepat ia bertanya, "Susiok, rasanya hal itu ti ... tidaklah mungkin. Betapa pun binalnya Toasuko juga takkan berani menyalahi para Suci dari golongan kalian. Besar kemungkinan ada orang yang sengaja memfitnah dan mengadu domba."
"Kau masih coba menyangkal dan membelanya?" semprot Ting-yat. "Coba, Gi-kong, ceritakan apa yang kau saksikan di Hengyang?"
Seorang Nikoh setengah tua lantas tampil ke muka, katanya, "Tecu telah menyaksikan sendiri di kota Hengyang, di mana Lenghou-suheng dan Gi-lim Sumoay berduduk bersama sedang minum arak di Cui-sian-lau. Terang kelihatan Gi-lim Sumoay berada di bawah ancaman Lenghou-suheng sehingga terpaksa menurut saja, sikapnya tampak sangat cemas dan takut-takut."
Meski sudah mengetahui hal itu, sekarang untuk kedua kalinya Ting-yat mendengar, kembali rasa gusarnya memuncak, mendadak ia menggebrak meja sehingga beberapa mangkuk pangsit sampai mencelat. Sekali ini tiada seorang pun yang berani menangkap kembali mangkuk-mangkuk itu sehingga terjatuh semua ke lantai dan pecah berantakan.
Diam-diam para murid Hoa-san-pay itu menjadi serbasalah, mereka anggap perbuatan sang Suheng sekali ini agak kelewatan, kalau minum arak bersama seorang pengemis sih tidak menjadi soal, tapi mana boleh memaksa seorang Nikoh cilik minum bersama di rumah arak secara terang-terangan di depan umum. Apalagi Nikoh itu adalah murid Hing-san-pay. Sekarang menghadapi Ting-yat Suthay yang wataknya sangat keras, jika dilaporkan, sekalipun Toasuheng tidak dibunuh Suhu juga pasti akan diusir dari perguruan.
Air mata Ling-ji sampai berlinang-linang mendengar hal itu, tanyanya kemudian dengan suara gemetar, "Susiok, apakah ... apakah Gi-kong Suci tidak salah lihat?"
"Masakan aku bisa salah lihat?" sahut Gi-kong dengan dingin. "Gi-lim Sumoay adalah saudara seperguruanku, masakah aku keliru mengenalnya" Apalagi macamnya Lenghou-suheng itu juga tidak mungkin aku pangling."
"Jika ... jika begitu, mengapa engkau tidak panggil Gi-lim Sumoay supaya ikut pergi bersama engkau?" tanya Ling-ji.
"Aku tidak berani," sahut Gi-kong.
"Tidak berani" Apakah engkau takut Toasuko memaksa kau ikut minum sekalian bersama dia?" tanya Ling-ji pula.
Pertanyaan ini membuat para Suhengnya merasa geli, tapi tiada yang berani tertawa. Ting-yat juga lantas membentak, "Ling-ji, jangan sembarangan omong!"
Lalu Gi-kong menjawab, "Sebab di antara mereka terdapat pula seorang lagi dan aku tidak berani menemuinya."
"Siapakah dia?" tanya Ling-ji.
"Dian Pek-kong!" jawab Gi-kong.
Serentak semua orang bersuara kaget sambil berbangkit.
Rupanya Dian Pek-kong itu dijuluki "Ban-li-tok-heng", si kelana tunggal berlaksa li, seorang bandit yang sangat memusingkan tokoh-tokoh, baik dari kalangan Pek-to maupun Hek-to. Ilmu silat Dian Pek-kong sangat tinggi, tipu akalnya banyak dan macam-macam, datang pergi selalu seorang diri tanpa bekas. Caranya kejam pula, segala kejahatan dapat diperbuatnya, membunuh, merampok, menculik, memerkosa wanita, semuanya adalah dikerjakannya yang biasa.
Beberapa kali juga jago-jago persilatan secara besar-besaran menggerebeknya, tapi dia selalu menghilang. Bila para pengepungnya sudah bubar, lalu satu per satu dia menyergap mereka, selama ini sudah banyak sekali orang-orang gagah yang menjadi korban keganasannya.
Yang paling celaka adalah Dian Pek-kong ini berjiwa cabul, setiap wanita yang agak lumayan parasnya tentu diincar olehnya. Sebab itulah orang Bu-lim merasa sangat benci padanya dan setiap orang ingin membinasakan dia. Lebih-lebih kaum wanita, bila mendengar namanya sangat ketakutan.
"Gi-kong Sumoay, apakah kau kenal keparat Dian Pek-kong itu?" demikian tiba-tiba Lo Tek-nau bertanya.
"Pada jidat sebelah kiri orang itu ada tembong (toh) hijau serta tumbuh bulu yang panjang," sahut Gi-kong.
Kiranya tembong hijau berbulu di atas jidat adalah ciri khas Dian Pek-kong sehingga diketahui oleh setiap orang Kangouw.
Maka dengan gusar Ting-yat lantas memaki, "Coba, binatang Lenghou Tiong itu telah bergaul bersama penjahat tak terampunkan sebagai Dian Pek-kong itu, bukankah dia sudah terjeblos ke dalam lumpur sedemikian dalamnya" Biarpun Suhu kalian masih membela muridnya sendiri, jika aku ketemukan dia, pasti tak ampun lagi, aku harus memenggal kepalanya. Hm, orang lain gentar kepada Ban-li-tok-heng Dian Pek-kong, tapi aku justru hendak melabraknya mati-matian. Sayang waktu aku mendapat laporan dan memburu ke sana, sementara itu Dian Pek-kong dan Lenghou Tiong sudah kabur dengan membawa lari Gi-lim. Ai, kasihan Gi-lim anak ini!"
Segera di antara murid-murid Pek-hun-am itu ada yang menangis khawatir. Mereka yakin Gi-lim yang masih muda belia dan lemah lembut itu sekali sudah jatuh di bawah cengkeraman Dian Pek-kong pastilah sukar terhindar dari kecemaran.
Lo Tek-nau dan yang lain juga berdebar-debar khawatir. Pikir mereka, "Sekalipun Toasuko melulu minum arak berduaan bersama Gi-lim di rumah minum, hal ini saja sudah sangat mencemarkan nama baik dan kesucian orang beribadat dan telah melanggar undang-undang perguruan, sekarang dia bergaul pula dengan manusia kotor sebagai Dian Pek-kong ini, benar-benar dosa ditambah dosa lagi."
Selang sejenak barulah Tek-nau berkata, "Susiok, boleh jadi Lenghou-suheng cuma bertemu secara kebetulan saja dengan Dian Pek-kong dan tiada persahabatan apa-apa. Selama beberapa hari ini Toasuheng selalu minum sampai mabuk, pikirannya menjadi linglung sehingga tindak tanduknya sukar diduga ...."
"Hm, mabuk apa" Mabuk juga ada batasnya!" bentak Ting-yat dengan gusar. "Dia toh bukan anak kecil, masakah tidak bisa membedakan hal-hal yang baik dan yang busuk?"
"Ya, ya," sahut Tek-nau. "Cuma tidak diketahui Toasuheng sekarang berada di mana. Sutit sekalian juga ingin mencarinya dan menegur perbuatannya yang tidak pantas itu. Sekarang biarlah Sutit menjura dan minta maaf dulu kepada Susiok, nanti akan kami laporkan kepada Suhu agar menghukum Toasuheng secara setimpal."
"Hm, aku peduli apa dengan Suhengmu?" damprat Ting-yat dengan marah. Sekonyong-konyong tangannya menjulur, kontan pergelangan tangan Ling-ji kena dipegang olehnya.
Seketika Ling-ji merasa tangannya seperti dibelenggu, ia menjerit kaget, "Su ... Susiok!"
"Toasuhengmu telah menculik muridku Gi-lim, maka sekarang aku pun hendak menculik kau sebagai sandera," kata Ting-yat. "Asal kalian mengembalikan Gi-lim, segera aku pun akan melepaskan Ling-ji!"
Habis berkata ia memutar tubuh, Ling-ji diseretnya keluar rumah minum itu.
Tanpa ampun lagi setengah badan bagian atas Ling-ji terasa kesemutan dan tak bertenaga, tanpa kuasa ia ikut berjalan dengan sempoyongan.
Cepat Lo Tek-nau dan Nio Hoat melompat maju dan mengadang di depan Ting-yat Suthay. Kata Tek-nau dengan menghormat, "Ting-yat Susiok, andaikan Toasuko berbuat apa-apa yang tidak pantas juga tidak ada sangkut pautnya dengan Siausumoay, harap Susiok suka mengampuni dia."
"Baik, akan kuampuni dia!" sahut Ting-yat. Mendadak ia angkat lengan kanan lalu menyampuk ke samping.
Kontan Lo Tek-nau dan Nio Hoat merasa didorong oleh suatu tenaga mahakuat, sampai napas pun terasa sesak, tanpa kuasa lagi tubuh mereka mencelat ke belakang. "Blang" punggung Lo Tek-nau menumbuk daun pintu rumah minum itu, papan pintu itu sampai-sampai pecah. Sedangkan Nio Hoat mencelat ke arah si penjual pangsit, tampaknya pikulan pangsit itu pasti hancur tertumbuk dan bukan mustahil Nio Hoat akan terluka parah terkena air mendidih. Syukurlah mendadak si kakek penjual pangsit telah menjulurkan sebelah tangannya untuk menahan di punggung Nio Hoat sehingga dia dapat berdiri kembali dengan tegak.
"Kiranya kau!" kata Ting-yat Suthay sambil melotot sesudah mengenali siapa kakek penjual pangsit itu.
"Ya, akulah adanya," sahut si penjual pangsit dengan tertawa. "Perangai Suthay rasanya terlalulah diumbar!"
"Peduli apa dengan kau?" semprot Ting-yat.
Pada saat itu juga tertampak dua orang berpayung dan membawa lentera sedang mendatangi dengan cepat sambil berseru, "Apakah di sini ini adalah Sin-ni dari Hing-san-pay?"
Mendengar dirinya disebut sebagai "Sin-ni" (Nikoh sakti), Ting-yat menjadi senang hatinya. Segera ia menjawab, "Ah, tidak berani terima pujian demikian. Ting-yat dari Hing-san memang berada di sini."
Sesudah dekat, tertampak kerudung lentera yang dibawa kedua orang itu tertulis huruf "Lau" merah. Seorang di antaranya lantas berkata, "Wanpwe diperintahkan Suhu untuk mengundang Ting-yat Supek dan para Suci supaya mampir dulu, harap dimaafkan keterlambatan penyambutan kami atas kedatangan Supek ke kota Heng-san ini."
"Ah, tak perlu banyak adat," sahut Ting-yat. "Apakah kalian adalah murid Lau-samya?"
"Betul," sahut orang itu. "Wanpwe bernama Hiang Tay-lian, dan ini adalah Bi Wi-gi Sute. Terimalah sembah bakti kami."
Dasar Ting-yat memang suka dipuji sanjung, maka ia menjadi sangat senang atas sikap Hiang Tay-lian dan Bi Wi-gi yang ramah dan merendah itu. Sahutnya, "Baiklah, kami memang hendak mengunjungi Lau-samya."
"Dan siapakah saudara-saudara ini?" Hiang Tay-lian lantas tanya Nio Hoat dan lain-lain.
"Cayhe Nio Hoat dari Hoa-san," sahut Nio Hoat.
"Aha, kiranya adalah 'Kiu-ting-jiu' Nio-samko dari Hoa-san," seru Hiang Tay-lian dengan gembira. "Sudah lama kami mengagumi nama Nio-samko, silakan mampir sekalian. Kami telah dipesan oleh Suhu untuk menyambut kedatangan para tamu, cuma kami kekurangan tenaga sehingga banyak kekurangan dalam penyambutan, untuk mana harap dimaafkan. Marilah silakan mampir semua!"
Dalam pada itu Lo Tek-nau juga sudah mendekati mereka dan berkata, "Sebenarnya kami sedang menunggu datangnya Toasuko baru akan berkunjung dan menyampaikan salam hormat kepada Lau-samya."
"Yang ini tentulah Lo-jiko adanya?" sahut Hiang Tay-lian. "Suhu sering memuji para murid Gak-supek betapa gagah perwiranya, Lenghou-suheng dan Lo-jiko lebih-lebih adalah kesatria angkatan muda yang jarang ada bandingannya. Jika Lenghou-suheng masih belum tiba, bolehlah saudara-saudara silakan mampir dulu."
Diam-diam Lo Tek-nau membatin, "Siausumoay sudah dicengkeram oleh Ting-yat, tampaknya dia tak mau melepaskannya. Kami terpaksa mengikut mereka pergi ke sana."
Maka ia lantas berkata, "Jika begitu terpaksa mesti mengganggu."
"Ah, kedatangan kalian ke Heng-san sini berarti suatu kehormatan bagi kami, masakah kalian masih mengucapkan kata-kata sungkan demikian?" sahut Hiang Tay-lian.
"Dan dia ini juga kau undang atau tidak?" tiba-tiba Ting-yat bertanya sambil menunjuk si kakek penjual pangsit.
Hiang Tay-lian memandang sejenak kepada penjual pangsit itu, mendadak dia sadar, katanya dengan menghormat, "Ah, kiranya Ho-supek dari Gan-thang-san juga berada di sini, maafkan keteledoran kami. Silakan, silakan Ho-supek juga ikut mampir ke tempat kami."
Kiranya kakek penjual pangsit ini bernama Ho Sam-jit, seorang tokoh terkemuka dari Gan-thang-san di Ciatkang Selatan. Sejak kecil hidupnya dari menjual pangsit, sesudah berhasil menjadi jago silat dia masih tetap berkelana dengan pikulan pangsitnya, maka pikulan pangsitnya itu boleh dikata adalah "tanda pengenalnya". Cuma saja di setiap kota banyak sekali terdapat penjual pangsit, dengan sendirinya sukar dikenali. Tapi jika mahir ilmu silat, maka terang penjual pangsit itu pasti Ho Sam-jit adanya.
"Ya, baiklah, aku memang hendak mengganggu ke tempat kalian," demikian sahut Ho Sam-jit dengan tersenyum sambil mengemasi mangkuk pangsitnya.
Mendengar disebutnya Ho Sam-jit, cepat Lo Tek-nau memberi hormat juga dan berkata, "Wanpwe punya mata tapi tidak bisa melihat, harap Ho-supek jangan marah."
"Tidak marah, tidak marah!" sahut Ho Sam-jit dengan tertawa. "Kalian telah membeli pangsitku, kalian adalah pemberi sandang pangan padaku, masakah aku berani marah kepada kalian?"
Dalam pada itu hujan ternyata sudah mereda. Segera Hiang Tay-lian berkata pula, "Silakan sekalian berangkat!"
Lalu ia mendahului berjalan di depan sebagai penunjuk jalan dan diikuti orang banyak dari belakang. Peng-ci juga lantas berbangkit dan mengikut di belakang orang-orang Hoa-san-pay.
Tidak lama sampailah mereka di depan sebuah gedung yang megah, di depan pintu gerbang terpajang lampion dan kertas berwarna-warni sehingga menambah semarak sekali. Banyak orang Kangouw tampak masuk keluar dengan ramai.
Hiang Tay-lian membawa para tamunya ke ruangan tengah, tertampak di ruangan yang sangat luas itu sudah penuh tamu. Mereka lantas mencari tempat duduk yang luang. Kemudian Hiang Tay-lian mengundang Ting-yat dan Ho Sam-jit masuk ke ruangan dalam.
Selagi suasana di ruang tamu itu riuh ramai orang berbicara, tiba-tiba Hiang Tay-lian keluar lagi dan mendekati Lo Tek-nau serta mengundangnya ke ruangan dalam. Tek-nau mengiakan dan segera ikut masuk ke belakang. Sesudah menyusur sebuah serambi yang panjang, akhirnya sampailah di sebuah ruangan berjubin kembang.
Di tengah ruangan itu kelihatan berjajar lima buah kursi besar, empat di antaranya kosong, hanya kursi ujung kanan berduduk seorang Tojin bermuka merah dan berbadan kekar. Tek-nau tahu kelima kursi besar itu disediakan bagi kelima Ciangbunjin dari Ngo-gak-kiam-pay, lima aliran ilmu pedang dari lima gunung, yaitu Ko-san, Hing-san, Hoa-san, Heng-san dan Thay-san. Ternyata empat di antara lima aliran itu belum ada yang datang, hanya Ciangbunjin Thay-san-pay saja yang sudah hadir, yaitu Tojin muka merah tadi yang bergelar Thian-bun Tojin.
Di samping kanan-kiri juga sudah banyak tetamu angkatan tua, di antaranya terlihat Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay, Ih Jong-hay dari Jing-sia-pay dan Ho Sam-jit, si kakek penjual pangsit. Pada kursi tempat tuan rumah terlihat berduduk seorang setengah umur yang pendek gemuk berjubah sutera warna cokelat. Itulah dia, Lau Cing-hong, tuan rumah yang berpotongan sebagai hartawan.
Lebih dulu Lo Tek-nau mendekati tuan rumah dan memberi hormat, lalu menyembah kepada Thian-bun Tojin sambil menyapa, "Anak murid Hoa-san-pay Lo Tek-nau memberi sembah kepada Thian-bun Supek."
Air muka Thian-bun Tojin tampak guram, seperti penuh menahan rasa gusar yang setiap saat dapat meledak. Mendadak ia gebrak di atas pegangan kursi dan membentak, "Di manakah Lenghou Tiong?"
Suaranya yang keras mengguntur ini sampai-sampai terdengar juga oleh orang-orang yang berada di ruangan depan. Keruan para murid Hoa-san-pay sama terkejut. Walaupun Peng-ci duduk di tempat paling terpencil, tapi suara Thian-bun Tojin yang mengamuk itu pun dapat didengarnya. Pikirnya, "Kembali mereka mencari si Lenghou Tiong itu. Wah, si tua Lenghou Tiong itu benar-benar suka bikin gara-gara."
Dalam pada itu Lo Tek-nau juga tergetar oleh suara Thian-bun Tojin tadi, selang sejenak barulah dia dapat menjawab, "Lapor Supek, Lenghou-suheng sementara telah berpisah dengan rombongan Wanpwe di Hengyang dan berjanji untuk berkumpul kembali di Heng-san ini, jika hari ini belum datang tentu besok juga akan tiba."
"Dia masih berani datang" Berani datang?" demikian Thian-bun mengulangi dengan gusar. "Lenghou Tiong adalah Ciangbun-tay-tecu (murid pewaris) Hoa-san-pay kalian, betapa pun terhitung dari golongan yang baik. Tapi mengapa dia bergaul dengan bangsat keparat Dian Pek-kong yang terkutuk itu?"
"Setahu Tecu selama ini Toasuko tidak mengenal Dian Pek-kong," sahut Lo Tek-nau. "Hanya Toasuko paling gemar minum arak, boleh jadi Toasuko tidak tahu siapakah Dian Pek-kong itu dan secara kebetulan bertemu dengan dia di rumah minum."
"Kau masih berani mengoceh untuk membela keparat Lenghou Tiong itu?" bentak Thian-bun dengan gusar sambil berbangkit. "Sute, coba kau ceritakan padanya, cara bagaimana kau sampai terluka dan Lenghou Tiong apakah kenal Dian Pek-kong atau tidak?"
Ternyata di samping kiri terdapat dua papan daun pintu, yang sebuah berbaring sesosok mayat, sebuah lagi merebah seorang Tojin berjenggot panjang. Ialah Te-coat Tojin dari Thay-san-pay, Sutenya Thian-bun.
Keadaan Te-coat tampaknya cukup payah, mukanya pucat, jenggotnya juga penuh berlepotan darah. Cuma tadi dia sudah diberi obat luka oleh Ting-yat Suthay, maka jiwanya tidak menjadi soal lagi. Ketika mendengar pertanyaan sang Suheng, dengan suara lemah ia lantas berkata, "Pagi ... pagi tadi waktu aku menemui Tang-sutit di ... di rumah makan Cui-sian-lau, kulihat Leng ... Lenghou Tiong berada di sana ber ... sama Dian Pek-kong dan se ... seorang Nikoh kecil ...." sampai di sini napasnya sudah tersengal-sengal dan terpaksa berhenti.
"Sudahlah, Te-coat Toheng, biarlah aku mewakilkan kau menceritakan apa yang kau uraikan tadi," kata Lau Cing-hong. Lalu ia berpaling kepada Tek-nau dan berkata pula, "Lo-hiantit, kalian jauh-jauh datang untuk mengucapkan selamat padaku, sungguh aku sangat berterima kasih. Cuma entah mengapa Lenghou-hiantit dapat berkenalan dengan keparat Dian Pek-kong, hal ini harus kita selidiki dengan jelas. Jika memang Lenghou-hiantit yang salah, mengingat Ngo-gak-kiam-pay kita adalah orang sekeluarga, maka kita harus menasihati dia dengan baik-baik ...."
"Menasihati apa" Harus membikin pembersihan dan penggal kepalanya!" seru Thian-bun dengan gusar.
Melihat betapa murkanya Thian-bun, diam-diam Lo Tek-nau sangat takut. Dilihatnya Ih Jong-hay dan Ting-yat Suthay sedang mengikuti tanya jawab itu. Ih Jong-hay tampak tersenyum-senyum senang seakan-akan menyukurkan apa yang terjadi, sedangkan Ting-yat tampak ikut-ikut memberi angin dan membakar Thian-bun Tojin.
Diam-diam Tek-nau mendongkol pula. Pikirnya, "Lenghou-suheng tidak ada di sini, sementara aku adalah kepala murid-murid Hoa-san-pay yang hadir di sini, sekali-kali aku tak boleh menurunkan derajat Suhu."
Maka ia lantas berkata, "Para Supek dan Susiok adalah sahabat karib Suhu kami, terhadap murid yang bersalah biasanya Suhu kami tidak pernah melindungi dan mengampuni begitu saja."
Sampai di sini ia lantas berpaling ke arah Ih Jong-hay dan bertanya, "Untuk ini Ih-susiok dapat memberi saksi bahwa ucapan Tecu tidaklah dusta."
Pertanyaan Lo Tek-nau ini benar-benar lihai. Seketika Ih Jong-hay mendengus dan tidak berani menjawab. Ia tahu ucapan Lo Tek-nau ini mengandung ancaman dan pemerasan, maksudnya jika persoalannya ditanyakan terus, tentu akhirnya akan menyinggung tentang kejadian dua orang murid utama Jing-sia-pay yang ditendang terguling ke bawah loteng oleh Lenghou Tiong, hal ini tentu akan membikin malu pihak Jing-sia-pay.
Maka terdengar Lau Cing-hong berkata pula, "Tata tertib Gak-suheng yang keras itu sudah tentu kami cukup tahu. Cuma perbuatan Lenghou-hiantit kali ini harus dianggap keterlaluan."
Bab 12. Si Gi-lim Cantik Berkisah
"Buat apa kau masih sebut dia sebagai 'Hiantit' (keponakan yang baik) segala, Hian ... Hian kentut!" teriak Thian-bun dengan gusar. Tapi segera ia merasa ucapannya itu kurang sopan di hadapan seorang Nikoh sebagai Ting-yat Suthay. Namun kata-kata itu sudah telanjur dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali, terpaksa ia hanya marah-marah dan duduk kembali ke tempatnya.
"Lau-susiok, sebenarnya bagaimana duduk perkara ini, harap engkau sudi menjelaskan," tanya Tek-nau kemudian.
"Ya, seperti yang dikatakan Te-coat Toheng tadi," demikian Cing-hong menutur. "Pagi ini dia dan murid Thian-bun Toheng, yaitu Tang Pek-sing, pergi ke rumah makan Cui-sian-lau. Begitu mereka naik ke atas loteng lantas melihat ada tiga orang sedang makan-minum besar. Mereka adalah si maling cabul Dian Pek-kong, Lenghou-sutit dan murid kesayangan Ting-yat Suthay, yaitu Gi-lim. Melihat mereka, Te-coat Toheng lantas merasa ada sesuatu yang ganjil. Sebenarnya dia tidak mengenal mereka bertiga, cuma dari dandanan mereka diketahui yang seorang adalah murid Hoa-san-pay, yang wanita adalah murid Hing-san-pay. Untuk ini harap Ting-yat Suthay jangan marah. Gi-lim adalah karena dipaksa orang, mau tak mau dia mesti menurut saja karena dalam keadaan tak berkuasa. Menurut Te-coat Toheng, katanya Dian Pek-kong itu adalah seorang laki-laki berpakaian perlente dan berumur 30-an tahun. Semula dia tidak tahu siapakah maling cabul itu, kemudian sesudah mendengar Lenghou-hiantit berbicara dan menyebutnya, 'Dian-heng, marilah kita habiskan satu cawan lagi! Ginkangmu terkenal tiada bandingannya di dunia ini, tapi kekuatan minum kau pasti kalah jauh daripadaku.'
"Jika orang itu she Dian, dikatakan Ginkangnya tiada bandingannya pula, apalagi dari mukanya yang ada ciri-ciri tertentu itu, maka Te-coat Toheng lantas tahu keparat itu pastilah Ban-li-tok-heng Dian Pek-kong adanya. Dasar Te-coat Toheng biasanya pandang kejahatan sebagai musuhnya, demi melihat mereka bertiga minum bersama, dengan sendirinya ia naik darah ...."
Diam-diam Lo Tek-nau membatin, "Tiga orang minum bersama, seorang adalah bangsat cabul yang terkenal dan seorang Nikoh cilik yang sudah menyucikan diri, sedangkan seorang lagi adalah murid utama Hoa-san-pay, pemandangan demikian memang tidak sedap."
"Kemudian Te-coat Toheng mendengar Dian Pek-kong itu menjawab, 'Aku Dian Pek-kong selamanya datang pergi seorang diri dan malang melintang di dunia ini, selama hidupku aku paling memandang hina kepada manusia-manusia yang suka mengaku sebagai seorang Beng-bun-cing-pay (keluarga ternama dan golongan baik). Lenghou-heng, meski kau adalah murid Hoa-san-pay, tapi jiwamu sangat cocok dengan diriku, tidaklah mengecewakan jika aku berkawan dan minum bersama kau. Marilah, boleh kita berlomba minum, kurasa kekuatan minumku pasti lebih banyak daripadamu. Eh, Nikoh cilik, kau mau mengiringi kami minum atau tidak" Jika tidak mau biar aku mencekoki kau ....'" sampai di sini Lau Cing-hong bicara, Tek-nau mencoba memandang sekejap kepadanya, lalu memandang Te-coat Tojin pula, wajahnya menampilkan rasa sangsi dan tidak percaya.
Cing-hong lantas paham, segera ia menerangkan, "Dalam keadaan terluka sudah tentu Te-coat Toheng tidak dapat bercerita sedemikian jelasnya padaku, tapi apa yang kututurkan ini pada garis besarnya adalah begitu. Betul tidak, Te-coat Toheng?"
"Ya, be ... betul, betul!" sahut Te-coat Tojin.
"Waktu itu juga Te-coat Toheng tidak sabar lagi, segera ia menggebrak meja dan memaki, 'Kau adalah maling cabul Dian Pek-kong, bukan" Setiap orang Bu-lim tentu ingin membinasakan kau, tapi kau malah berani berlagak di sini, apa barangkali kau sudah bosan hidup"'
"Keparat Dian Pek-kong itu ternyata sangat sombong, dia telah bicara secara kasar sehingga Te-coat Toheng menjadi marah dan segera lolos senjata untuk melabraknya. Mungkin karena ingin lekas-lekas membinasakan bangsat itu sehingga agak lena, suatu ketika Te-coat Toheng telah dibacok sekali di bagian dada oleh musuh. Dengan mati-matian Tang-sutit bermaksud menolong sang Susiok, akhirnya dia malah menjadi korban. Seorang kesatria muda akhirnya tewas di tangan maling cabul itu, sungguh sayang. Tatkala mana Lenghou Tiong tetap berduduk saja di tempatnya, sama sekali tidak memberi bantuan apa-apa, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa setia kawan di antara Ngo-gak-kiam-pay kita. Lantaran itulah Thian-bun Toheng merasa marah."
"Huh, setia kawan apa?" ejek Thian-bun dengan gusar. "Orang yang belajar silat sebagai kita ini harus dapat membedakan secara tegas antara yang baik dan yang jahat. Tapi bergaul dengan seorang maling cabul begitu ...."
Begitulah karena marahnya sampai napasnya menjadi sesak dan jenggotnya seakan-akan berdiri.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang berkata di luar pintu, "Suhu, Tecu ingin memberi laporan!"
Dari suaranya, Thian-bun mengenalnya adalah muridnya sendiri yang bernama Ong Gun. Segera ia menjawab, "Masuk! Ada urusan apa?"
Maka muncullah seorang pemuda gagah berusia 30-an. Lebih dulu ia memberi hormat kepada Lau Cing-hong sebagai tuan rumah, lalu memberi hormat kepada para hadirin yang lebih tua, akhirnya barulah memberi hormat kepada Thian-bun Tojin dan berkata, "Suhu, ada berita dari Jin-jing Susiok, katanya beliau bersama para Suheng dan Sute telah mencari ke segenap pelosok kota Heng-san ini, tapi tetap tidak menemukan jejak kedua maling cabul Dian Pek-kong dan Lenghou Tiong."
Diam-diam Lo Tek-nau dongkol karena Toasuhengnya juga dianggap sebagai "maling cabul". Tapi apa mau dikata lagi kalau memang Toasuhengnya terbukti berada bersama Dian Pek-kong"
Terdengar Ong Gun sedang menyambung laporannya, "Akan tetapi di luar kota Hong-san Susiok telah menemukan serangka mayat yang bagian dadanya tertusuk pedang. Pedang itu ... pedang itu ternyata adalah milik ... milik si maling cabul Lenghou Tiong ...."
"Dan yang mati itu siapa?" cepat Thian-bun menyela.
Ong Gun menatap Ih Jong-hay sambil menjawab, "Dia adalah seorang Suheng dari murid Ih-susiok. Tatkala itu kami tidak mengenalnya, sesudah kami mengusung jenazah itu ke dalam kota barulah ada orang yang kenal, kiranya adalah Lo Jin-kiat, Lo-suheng ...."
"Hah, Jin-kiat katamu" Di mana jenazahnya?" teriak Ih Jong-hay sambil berbangkit.
Segera terdengar suara jawaban orang di luar, "Berada di sini!"
Ih Jong-hay itu benar-benar seseorang yang dapat menahan perasaannya, walaupun mendadak mendengar kematian muridnya, bahkan adalah salah satu di antara murid terkemuka dari "Eng Hiong Ho Kiat", yaitu Lo Jin-kiat, namun dia masih tetap berlaku tenang. Katanya, "Harap tolong dibawa masuk ke sini."
Orang di luar itu mengiakan. Lalu dua orang menggotong sebuah daun pintu di mana menggeletak sesosok jenazah yang di atas dadanya masih menancap sebatang pedang.
Ujung pedang itu tertusuk masuk melalui perut terus miring ke atas. Pedang yang panjangnya hampir satu meter itu tinggal sepertiga saja yang kelihatan di luar sehingga ujung pedangnya terang menembus sampai di bagian tenggorokan sang korban. Gaya serangan keji yang menusuk secara miring dari bawah ke atas demikian benar-benar jarang terlihat digunakan oleh orang Bu-lim.
Dalam pada itu Ong Gun bicara lagi, "Menurut berita Jin-jing Susiok, katanya beliau masih meneruskan pencarian atas diri kedua maling cabul itu. Paling baik kalau dari sini dapat dikirimkan bala bantuan satu-dua orang Supek atau Susiok lagi."
"Aku yang pergi ke sana!" Ting-yat dan Ih Jong-hay berseru serentak.
Tapi tepat pada saat itu juga tiba-tiba dari luar ada orang berseru dengan suara yang lemah lembut, "Suhu, aku sudah kembali!"
"Apakah Gi-lim" Masuk!" bentak Ting-yat dengan muka merah padam.
Seketika semua orang memandang ke arah pintu untuk melihat bagaimana rupanya Nikoh cilik yang minum arak bersama kedua maling cabul di atas rumah makan itu.
Waktu kerai pintu terbuka, pandangan semua orang serasa terbelalak. Ternyata Nikoh cilik ini berparas putih molek, memang benar-benar seorang wanita cantik yang jarang ada tandingannya. Cuma usianya baru 16-17 tahun, perawakannya yang menggiurkan itu terselubung di dalam pakaian Nikoh yang longgar, namun toh tetap tidak mengurangi potongannya yang cantik.
Dengan langkah lemah gemulai Nikoh muda itu mendekati Ting-yat dan menyembah, katanya, "Suhu ...." tapi baru sekian saja ucapannya, mendadak ia sudah menangis.
"Hm, bagus benar per ... perbuatanmu, ya" Cara bagaimana kau bisa pulang?" kata Ting-yat dengan muka merengut.
"Suhu, kali ini ... kali ini Tecu hampir-hampir tak dapat bertemu pula dengan engkau," kata Gi-lim hampir menangis.
Dari suaranya yang lembut dan merdu itu, diam-diam semua orang berpikir, "Dara secantik ini mengapa terima menjadi Nikoh?"
Saat itu kedua tangan Gi-lim sedang memegangi ujung baju sang guru sehingga kelihatan tangannya yang putih halus laksana salju itu. Tanpa terasa hati Ong Gun dan kedua kawannya yang menggotong masuk mayatnya Lo Jin-kiat itu terguncang.
Ih Jong-hay hanya memandang sekejap saja pada Nikoh muda cantik itu, lalu sorot matanya berpindah kepada pedang yang menancap di dada Lo Jin-kiat. Dilihatnya gagang pedang itu terikat seuntai benang hijau, di atas batang pedang dekat dengan gagang pedang berukir lima huruf yang berbunyi: "Hoa-san Lenghou Tiong".
Ketika pandangannya beralih, dilihatnya pada pinggang Lo Tek-nau juga bergantungkan pedang yang serupa. Mendadak ia melangkah maju, kontan tangan kirinya mencolok mata Lo Tek-nau.
Keruan Lo Tek-nau terkejut, cepat ia gunakan jurus "Ki-hwe-liau-thian" (angkat obor menerangi langit), tangannya menyampuk ke atas untuk menangkis.
Ih Jong-hay mendengus sambil tangannya memutar sedikit, kontan kedua tangan Lo Tek-nau telah kena dicengkeramnya. Menyusul tangan yang lain lantas menjulur, "sret", pedang yang tergantung di pinggang Tek-nau itu telah dilolos olehnya.
Sekuatnya Tek-nau meronta, akan tetapi kedua tangannya seperti terjepit oleh tanggam, sedikit pun tak bisa berkutik. Dalam pada itu ujung pedang sudah mengancam di dadanya sendiri. Diam-diam ia mengeluh bisa celaka.
Di atas batang pedang rampasannya itu Ih Jong-hay melihat ada lima huruf juga yang berbunyi: "Hoa-san Lo Tek-nau", besarnya huruf mirip benar dengan huruf di atas pedang yang menancap di tubuh muridnya yang sudah tak bernyawa itu. Mendadak ia tekan ujung pedang ke bawah dan mengancam di perut Lo Tek-nau, katanya dengan menyeringai, "Hm, tusukan dari bawah ke atas begini termasuk jurus apa dalam ilmu pedang Hoa-san-pay kalian?"
Dahi Lo Tek-nau sudah mulai berkeringat dingin, tapi sedapat mungkin ia tabahkan diri, jawabnya, "Hoa ... Hoa-san-kiam-hoat kami tiada ... tiada jurus serangan demikian ini."
Memangnya Ih Jong-hay juga merasa heran. Yang menyebabkan kematian Lo Jin-kiat itu adalah serangan pedang yang ditusukkan melalui perutnya terus miring ke atas hingga mencapai tenggorokan, apakah mungkin Lenghou Tiong berjongkok lebih dulu untuk kemudian melakukan serangan" Dan sesudah membunuh orang mengapa pedang dibiarkan menancap di tubuh sang korban sehingga mudah dijadikan bukti" Hm, terang sekali dia sengaja hendak main gila kepada Jing-sia-pay.
Selagi Ih Jong-hay merasa ragu-ragu, tiba-tiba Gi-lim berseru, "Ih-susiok, harap engkau mengampuni dia. Tipu serangan yang dilakukan Lenghou-toako itu besar kemungkinan bukanlah Hoa-san-kiam-hoat."
Jong-hay tidak menjawab, sebaliknya ia berpaling ke arah Ting-yat Suthay, katanya dengan muka guram, "Suthay, coba dengarkan apa yang diucapkan muridmu yang baik ini, dia panggil apa kepada bangsat keparat Lenghou Tiong itu?"
"Memangnya aku tidak punya telinga sehingga kau perlu mengingatkan aku?" sahut Ting-yat dengan gusar.
Kiranya Ting-yat Suthay ini wataknya sangat aneh, dia paling suka membela orangnya sendiri walaupun tahu pihaknya sendiri yang salah. Sebenarnya dia juga sudah marah ketika mendengar Gi-lim menyebut Lenghou Tiong sebagai "Lenghou-toako", kalau Ih Jong-hay tidak mendahului menegur tentu dia sudah mendamprat muridnya itu. Celakanya Ih Jong-hay yang lebih dulu bicara sehingga dia berbalik mengeloni muridnya sendiri.
Segera ia menyambung pula, "Dia mengucapkan begitu secara wajar saja, apa halangannya" Kami Ngo-gak-kiam-pay telah berserikat dan mengangkat saudara, setiap murid dari kelima golongan kami adalah saudara perguruan, apanya yang perlu diherankan?"
Di balik kata-katanya ini dia seperti hendak mengolok-olok Ih Jong-hay bahwa Jing-sia-pay kalian tidak termasuk di dalam Ngo-gak-kiam-pay, hakikatnya aku memandang rendah padamu.
Sudah tentu Ih Jong-hay paham maksud ucapan Ting-yat itu, segera ia balas menjengek dan berkata, "Ya, bagus! Dan Lenghou Tiong itu entah termasuk murid Ngo-gak-kiam-pay atau bukan?"
Habis berkata, sekali dorong, kontan Lo Tek-nau mencelat ke belakang dan menumbuk dinding, bentaknya pula, "Hm, kau ini pun bukan manusia baik-baik. Sepanjang jalan kau terus main sembunyi-sembunyi dan menguntit diriku, apa maksud tujuanmu?"
Karena tertumbuk dinding, isi perut Lo Tek-nau serasa terjungkir balik, sekuatnya ia hendak berbangkit dengan menahan dinding, tapi kedua kakinya terasa lemas linu, akhirnya ia jatuh terduduk lagi. Ia tambah mengeluh pula saat mendengar dampratan Ih Jong-hay itu, pikirnya, "Wah, celaka! Rupanya gerak-gerikku bersama Siausumoay yang mengintai perbuatan mereka itu akhirnya ketahuan Tojin kerdil yang licin ini."
Dalam pada itu Ting-yat telah berkata, "Gi-lim, coba kemari, cara bagaimana kau sampai ditawan oleh mereka, ceritakanlah sejelas-jelasnya kepada Suhu."
Habis berkata, muridnya itu terus digandeng menuju ke luar ruangan.
Semua orang maklum, seorang Nikoh muda jelita demikian sekali sudah jatuh di dalam cengkeraman Dian Pek-kong yang cabul itu maka pastilah sukar mempertahankan kesuciannya. Tentang pengalamannya itu sudah tentu tidak leluasa diceritakan di hadapan orang banyak.
Tapi mendadak bayangan orang berkelebat, Ih Jong-hay telah melompat ke depan pintu merintangi jalan keluar mereka, katanya, "Urusan ini menyangkut dua nyawa, hendaklah Gi-lim Siausuhu bicara di sini saja."
Setelah merandek sejenak, lalu sambungnya, "Tang-hiantit adalah orang Ngo-gak-kiam-pay, di antara orang-orang Ngo-gak adalah saudara seperguruan semua, jika mereka ada yang dibunuh Lenghou Tiong mungkin Thay-san-pay takkan terlalu memikirkannya. Akan tetapi muridku Lo Jin-kiat ini tiada harganya untuk saling mengaku sebagai Suheng dan Sute dengan Lenghou Tiong."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyata ucapannya ini langsung mengolok-olok kata-kata Ting-yat yang membela muridnya tadi. Dasar watak Ting-yat memang sangat keras dan berangasan, mana dia mau dirintangi oleh Ih Jong-hay, apalagi dengan kata-kata yang menyinggung itu, seketika ia naik pitam, kedua alisnya sampai menegak.
Orang-orang yang kenal perangai Ting-yat begitu melihat alisnya menegak segera mengetahui akan terjadi pertarungan. Ih Jong-hay juga terhitung tokoh kelas satu, bila kedua orang sampai bergebrak, tentu sukar dilerai dan urusan bisa meluas.
Cepat Lau Cing-hong melompat maju, ia memberi hormat dan berkata, "Kalian berdua adalah tamuku yang terhormat, betapa pun hendaklah mengingat diriku, janganlah sampai bercekcok. Memang layananku yang kurang baik, harap kalian memaafkan."
"Ha, aneh juga ucapan Lau-samya ini," sahut Ting-yat. "Aku marah kepada 'hidung kerbau' (istilah olok-olok kepada kaum Tojin) itu, apa sangkut pautnya dengan kau" Dia melarang aku pergi, aku justru mau pergi. Jika kau tidak merintangi jalanku dan ingin aku tetap tinggal saja di sini juga boleh."
Sebenarnya Ih Jong-hay juga rada jeri terhadap Ting-yat. Apalagi ilmu silat Ting-sian, Ciangbunjin dari Hing-san-pay, terkenal juga sangat lihai. Andaikan sekarang dirinya dapat mengalahkan Ting-yat, apakah orang-orang Hing-san-pay yang lain bisa tinggal diam"
Berpikir begitu terpaksa ia mundur teratur, sambil tertawa ia pun berkata, "Yang kuharapkan ialah Gi-lim Siausuhu mau bercerita dengan jelas kepada kita bersama. Ih Jong-hay orang macam apa masakah berani merintangi jalan tokoh Pek-hun-am dari Hing-san-pay?"
Habis berkata, sekali lompat, segera ia kembali ke tempat duduknya pula.
"Asal kau tahu saja!" ujar Ting-yat. Lalu ia pun kembali ke tempat duduknya dengan menarik Gi-lim. Katanya kemudian, "Bagaimana pengalamanmu sesudah kau tersesat kemarin" Coba ceritakan yang penting-penting saja, yang tidak perlu jangan diuraikan."
Gi-lim mengiakan, lalu bercerita, "Tecu tidak berbuat sesuatu yang melanggar ajaran Suhu, hanya Tecu mohon Suhu supaya membunuh keparat Dian Pek-kong itu, sebab dia ... dia ...."
"Ya, aku sudah tahu, tak perlu kau katakan lagi," sela Ting-yat. "Aku pasti akan membunuh Dian Pek-kong dan Lenghou Tiong berdua bangsat keparat itu ...."
"He, Lenghou Tiong, Lenghou-toako maksud Suhu?" Gi-lim menegaskan dengan heran. "Mengapa Suhu hendak membunuh Lenghou-toako" Dia ...." mendadak air matanya berlinang-linang dan sambungnya dengan suara terguguk-guguk, "Dia ... dia sudah meninggal dunia!"
Keruan semua orang melengak mendengar keterangan demikian. Dengan suara keras Thian-bun Tojin lantas tanya, "Cara bagaimana dia mati" Siapa yang membunuhnya?"
"Pembunuhnya adalah ... adalah orang jahat Jing ... Jing-sia-pay ini," sahut Gi-lim sambil menunjuk jenazah Lo Jin-kiat.
Mendengar bahwa Lenghou Tiong sudah mati, seketika rasa murka Thian-bun Tojin lenyap. Sebaliknya Ih Jong-hay merasa senang pula, pikirnya, "Kiranya keparat Lenghou Tiong itu terbunuh oleh Jin-kiat. Jika demikian, mereka berdua telah bertarung mati-matian dan gugur bersama. Baik, memang aku sudah tahu Jin-kiat adalah anak yang jantan, ternyata dia memang tidak membikin malu nama Jing-sia-pay."
Tapi lantas ia melototi Gi-lim, katanya dengan menjengek, "Hm, jika orang-orang Ngo-gak-kiam-pay kalian adalah orang baik, hanya orang Jing-sia-pay kami adalah orang jahat semua!"
"Aku ... aku tidak tahu," sahut Gi-lim dengan menangis. "Aku tidak maksudkan Ih-supek, tapi kumaksudkan dia."
Kembali ia tuding mayat Lo Jin-kiat.
"Kau mau apa menakut-nakuti anak kecil?" semprot Ting-yat pada Ih Jong-hay. "Jangan takut, Gi-lim! Bagaimana jahatnya, coba ceritakan semua. Suhu berada di sini, coba siapa yang berani membikin susah padamu?"
Habis berkata ia melirik sekali kepada Ih Jong-hay.
Tiba-tiba Jong-hay berkata, "Cut-keh-lang (orang yang sudah meninggalkan rumah, maksudnya orang yang sudah masuk biara) tidak boleh berdusta. Siausuhu, apakah kau berani mengangkat sumpah terhadap Buddha?"
"Di hadapan Suhu, sekali-kali aku tak berani berdusta," kata Gi-lim. Lalu ia berlutut menghadap keluar, kedua tangannya terkatup di depan dada, sambil menunduk ia bersumpah, "Tecu Gi-lim akan melaporkan segala sesuatu kepada Suhu dan para Supek, sedikit pun takkan berdusta, Buddha mahasakti tentu akan maklum."
Melihat gerak-gerik Gi-lim yang halus dan pantas dikasihani itu, mau tak mau timbul juga rasa simpatik orang banyak. Seorang Susing (pelajar) berjenggot hitam yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, sekarang tiba-tiba menyela, "Jika Siausuhu sudah bersumpah begitu, tentu semua orang akan percaya."
Orang ini she Bun, namanya tidak diketahui, hanya orang biasa menyebutnya sebagai Bun-siansing. Dia bersenjata sepasang Boan-koan-pit, terkenal sebagai ahli Tiam-hiat yang sangat disegani.
"Nah, dengar tidak, hidung kerbau?" kata Ting-yat. "Bun-siansing saja berkata demikian, apakah kau masih sangsi?"
Tadi Ih Jong-hay khawatir kalau-kalau Gi-lim sengaja disuruh oleh Ting-yat untuk menceritakan perbuatan-perbuatan Jin-kiat yang tidak baik. Sebaliknya Jin-kiat sudah mati, tentu tidak dapat membantah lagi. Tapi sekarang demi melihat wajah Gi-lim yang jelita laksana batu kemala yang tak bercacat itu, mau tak mau ia pun mau percaya Nikoh cilik ini tentu bukanlah pendusta.
Maka terdengar Gi-lim mulai menutur lagi, "Kemarin ketika berangkat ke Hengyang bersama rombongan Suhu, di tengah jalan kami kehujanan sehingga kakiku berlepotan kotoran lumpur. Aku telah meninggalkan rombongan untuk mencuci kaki di sungai kecil di tepi jalan yang agak jauh. Tengah asyik mencuci, sekonyong-konyong aku melihat di samping bayanganku sendiri yang tercermin di dalam air sungai itu telah bertambah suatu bayangan orang laki-laki. Aku terkejut dan cepat berdiri, tapi mendadak punggung terasa sakit, aku punya Hiat-to sudah tertutuk. Aku sangat takut dan bermaksud menjerit untuk minta tolong kepada Suhu, namun aku sudah tak dapat bersuara lagi. Tubuhku diangkat oleh orang itu dan di bawa ke dalam sebuah gua. Aku menjadi rada lega sesudah melihat wajahnya ternyata tidak begitu bengis.
"Selang tak lama kudengar tiga orang Suci sedang mencari aku sambil memanggil-manggil namaku. Orang itu hanya tertawa-tawa saja, katanya dengan suara tertahan, 'Jika mereka mencari ke sini, biar kutangkap mereka sekalian!'
"Namun ketiga Suci tidak mencari ke tempat gua itu, mereka telah memutar ke tempat lain.
"Kemudian orang itu telah membuka Hiat-to sehingga aku dapat bergerak, segera aku hendak lari ke luar gua. Tak terduga gerakan orang itu teramat cepat, tahu-tahu kepalaku menyeruduk di dadanya, dia bergelak tertawa, cepat aku melompat mundur dan lolos pedang. Mestinya aku hendak menusuk dia, tapi lantas teringat Cut-keh-lang harus mengutamakan welas asih, buat apa membikin celaka orang lain" Maka aku tidak jadi menyerangnya, aku bertanya, 'Mengapa kau mengganggu aku" Lekas menyingkir, jika tidak segera pedangku ini akan melukai kau!'
"Orang itu tertawa, katanya, 'Baik juga hati nuranimu, Siausuhu. Kau merasa sayang untuk membunuh aku, bukan"'
"Aku menjawab, 'Kita tiada permusuhan apa-apa, buat apa aku membunuh kau"'
"Dengan menyengir orang itu berkata pula, 'Jika begitu, marilah duduk dulu untuk bicara.'
"Aku menolak, tapi orang itu masih terus merecoki aku. Akhirnya aku mengancamnya, 'Lekas kau lepaskan diriku. Apakah kau tidak tahu Suhuku sangat lihai" Jika beliau mengetahui kekurangajaranmu ini, mustahil kedua kakimu tak dihantam patah olehnya.'
"Tapi dia malah berkata, 'Jika kau suka menghantam kakiku, bolehlah silakan, tapi kalau Suhumu, ha, dia sudah tua, aku tidak suka ....'"
"Hus, ocehan gila begitu buat apa kau ceritakan?" bentak Ting-yat mendadak. Ia tahu muridnya itu masih kekanak-kanakan dan tidak kenal soal-soal kehidupan manusia, tentang hubungan laki-laki dan wanita lebih-lebih masih hijau. Kata-kata kotor yang diucapkan maling cabul itu hakikatnya tak dipahami olehnya, maka dia hanya menirukan dan menguraikannya di depan orang banyak.
Sudah tentu semua orang merasa geli sekali, cuma segan pada Ting-yat Suthay, maka siapa pun tidak berani tertawa.
"Tetapi ... tapi memang begitulah katanya," demikian Gi-lim masih memperkuat penuturannya itu.
"Ya sudahlah, omongan gila yang tak penting itu tak perlu kau ulangi, ceritakan saja cara bagaimana kemudian bertemu dengan Lenghou Tiong," kata Ting-yat.
"Baiklah," sahut Gi-lim. "Dan sesudah orang itu mematahkan pedangku ...."
"Dia mematahkan pedangmu?" tegas Ting-yat.
"Ya," sahut Gi-lim. "Waktu itu dia omong macam-macam pula dan tetap tidak mau melepaskan diriku. Katanya ... katanya aku sangat cantik dan suruh aku tidur bersama dia ...."
"Tutup mulut!" bentak Ting-yat. "Anak kecil sembarangan omong."
"Tapi dialah yang omong dan bukan aku, aku pun tidak menerima ajakannya ...."
"Diam!" bentak Ting-yat dengan lebih keras.
Rupanya karena tidak tahan, pada saat itu juga salah seorang murid Jing-sia-pay yang ikut mengusung mayat Lo Jin-kiat tadi mendadak tertawa geli.
Ting-yat menjadi murka, ia sambar mangkuk teh yang terletak di atas meja lalu disiramkan ke arah murid Jing-sia-pay.
Siraman yang disertai tenaga dalam itu menjadi sangat cepat lagi tepat, murid Jing-sia-pay itu tidak sempat menghindar, keruan ia tersiram teh panas itu sehingga berkaok-kaok kesakitan.
"Kau ini apa-apaan" Masa boleh omong tapi tidak boleh tertawa" Benar-benar mau menang sendiri saja!" demikian kata Ih Jong-hay dengan gusar.
"Sudah puluhan tahun Ting-yat dari Hing-san-pay memang suka menang sendiri, masa baru sekarang kau tahu?" jengek Ting-yat dengan melirik hina, berbareng mangkuk teh itu sudah diangkat dan siap untuk disambitkan ke arah Ih Jong-hay.
Tapi Ih Jong-hay malah sengaja melengos, pandang saja dia sungkan, ia anggap sepi saja ancaman Ting-yat itu.
Melihat Ih Jong-hay sedikit pun tidak gentar, pula memang diketahui ilmu silat ketua Jing-sia-pay itu sangat hebat, maka Ting-yat juga tidak berani sembrono. Perlahan-lahan ia taruh kembali mangkuk teh itu di atas meja. Katanya kepada Gi-lim, "Coba teruskan ceritamu. Kata-kata yang tidak penting tak perlu diuraikan!"
"Baik, Suhu," sahut Gi-lim. Lalu ia menutur pula, "Beberapa kali aku hendak melarikan diri, tapi selalu kena dicegat oleh orang jahat itu. Sementara itu hari sudah mulai gelap, aku semakin gelisah. Suatu ketika aku telah menusuknya dengan pedangku, tapi entah cara bagaimana tahu-tahu pedangku telah kena dirampas olehnya. Penjahat itu sungguh sangat lihai, dengan tangan kanan pegang gagang pedang, tangan kiri lantas pencet ujung pedang dengan jari jempol dan jari telunjuk, sekali tekuk dengan perlahan, 'krek', ujung pedang itu lantas patah dua-tiga senti panjangnya."
"Kau bilang cuma patah sepanjang dua-tiga senti saja?" Ting-yat menegaskan.
Mereka tahu jika Dian Pek-kong itu mematahkan pedang bagian tengahnya, hal itu tidak perlu diherankan. Tapi dengan dua jari dapat menekuk patah ujung pedang sepanjang dua-tiga senti saja, maka betapa hebat tenaga jarinya sungguh bukan main-main.
"Sret", mendadak Thian-bun Tojin melolos pedang yang tergantung di pinggang seorang muridnya, ia gunakan jari jempol dan telunjuk untuk pencet ujung pedang. Ketika ditekuk perlahan, "krek", kontan pedang itu patah sebagian sepanjang dua-tiga senti. "Apakah begini caranya?" ia tanya.
"Kiranya Supek juga bisa!" sahut Gi-lim. "Cuma caranya mematahkan ada lebih rata sedikit daripada bagian pedang yang dipatahkan Supek ini."
Thian-bun mendengus sambil mengembalikan pedang kepada muridnya. Ketika tangan kirinya yang masih memegang potongan kecil ujung pedang itu digabrukkan ke atas meja, kontan potongan ujung pedang itu ambles menghilang ke dalam meja.
"Wah, kepandaian Supek yang hebat ini aku yakin pasti tak dapat ditandingi oleh penjahat Dian Pek-kong itu," sorak Gi-lim. Tapi wajahnya mendadak murung lagi, ia menunduk sambil menghela napas perlahan, lalu berkata pula, "Ai, cuma sayang waktu itu Supek tidak berada di sana, kalau tidak, tentu Lenghou-toako tak sampai terluka parah."
"Terluka parah apa" Bukankah kau bilang dia sudah mati?" tanya Thian-bun.
"Benar, justru karena terluka parah maka Lenghou-toako kena dibunuh oleh penjahat Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay itu," sahut Gi-lim.
Kembali Ih Jong-hay mendengus gusar demi mendengar muridnya juga disebut sebagai "penjahat" seperti Dian Pek-kong yang terkutuk itu.
Melihat paras Gi-lim yang cemas-cemas sedih itu, tanpa merasa semua orang menaruh belas kasihan padanya. Coba kalau dia bukan Nikoh, tentu tokoh-tokoh angkatan tua sebagai Thian-bun, Lau Cing-hong, Ho Sam-jit, Bun-siansing dan lain-lain sudah menjulurkan tangan untuk mengelus-elus punggungnya atau membelai-belai rambutnya untuk menghiburnya.
Dalam pada itu Gi-lim berkata pula sambil menggunakan lengan baju untuk mengusap air matanya yang berlinang-linang, "Keparat Dian-Pek-kong itu akhirnya hendak memaksa diriku, dia telah tarik-tarik dan hendak merangkul, tanpa pikir aku hendak menamparnya. Tapi mendadak kedua tanganku kena dipegang olehnya. Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar gua ada suara orang tertawa. Setiap kali tertawa 'hahaha' lalu berhenti, kemudian tertawa 'hahaha' lagi.
"Segera keparat Dian Pek-kong itu membentak, 'Siapa itu"'
"Namun orang di luar itu kembali tertawa. Dian Pek-kong lantas memaki, 'Kurang ajar! Lekas enyah kau! Jika tuanmu sampai marah, tentu jiwamu bisa melayang!' Tapi orang itu masih terus terbahak-bahak. Dian Pek-kong tak menggubrisnya lagi, segera ia hendak membelejeti pakaianku, tapi orang di luar itu lagi-lagi bergelak tertawa sehingga Dian Pek-kong menjadi murka. Waktu itu aku benar-benar sangat mengharap orang itu dapat menolong diriku, tapi rupanya orang itu pun jeri terhadap Dian Pek-kong dan tidak berani masuk ke dalam gua, dia hanya tertawa terus di luar gua."
"Akhirnya Dian Pek-kong tidak tahan rasa gusarnya, ia menutuk aku punya Hiat-to, lalu melompat keluar secara mendadak. Tapi lebih dulu orang di luar itu sudah menyembunyikan dirinya. Karena tidak menemukan orang itu, Dian Pek-kong masuk kembali ke dalam gua. Tapi baru saja dia mendekati diriku, kembali orang itu terbahak-bahak lagi di luar gua. Karena tingkahnya yang lucu itu hampir-hampir saja aku ikut tertawa.
"Saking geregetan, akhirnya Dian Pek-kong menuju ke luar gua, asal orang itu bersuara lagi tentu akan disergapnya. Tapi orang itu ternyata sangat cerdik dan tidak tertawa. Kulihat Dian Pek-kong terus merunduk ke mulut gua, kupikir kalau orang itu sampai kena disergap olehnya tentu aku akan ikut celaka. Maka, ketika melihat Dian Pek-kong hampir menerjang keluar, cepat aku berteriak, 'Awas, dia hendak keluar!'
"Tiba-tiba terdengar orang itu tertawa di tempat agak jauh, katanya, 'Terima kasih, tapi jangan khawatir, dia tak mampu mengejar. Ginkangnya terlalu rendah!'"
Diam-diam semua orang berpikir, Dian Pek-kong itu justru sangat terkenal karena Ginkangnya yang jarang ada bandingannya, tapi orang itu mengolok-olok Ginkangnya, terang sengaja hendak membikin marah saja padanya.
Dalam pada itu Gi-lim lalu meneruskan, "Mendadak keparat Dian Pek-kong itu mendekati aku dan mencubit pipiku, aku menjerit kesakitan, pada saat itu juga ia lantas melompat keluar gua sambil membentak, 'Bangsat, kita coba-coba berlomba Ginkang masing-masing!'
"Tak tersangka sekali ini dia telah kena ditipu, orang itu ternyata sudah sembunyi di samping gua, begitu Dian Pek-kong menguber keluar, segera orang itu menyelinap masuk, katanya kepadaku dengan suara tertahan, 'Jangan takut, aku akan menolong kau. Hiat-to mana yang ditutuk olehnya"'
"Aku memberitahukan tempat Hiat-to yang tertutuk dan tanya siapa dia. Tapi dia mengatakan nanti saja bicara lagi dan segera memijat Koh-cin-hiat dan Goan-tiau-hiat, bagian-bagian Hiat-to di tubuhku yang tertutuk itu."
Ting-yat mengerut kening mendengar sampai di sini. Ia tahu Goan-tiau-hiat itu letaknya di bagian paha, padahal antara laki-laki dan wanita dilarang bersentuhan, apalagi seorang Nikoh, hal itu benar-benar kurang pantas. Cuma saat itu dalam keadaan berbahaya dan kepepet, daripada tercemar oleh keparat Dian Pek-kong itu, tentu orang Bu-lim akan dapat memakluminya.
Maka terdengar Gi-lim menutur pula, "Tak terduga tenaga jari bangsat Dian Pek-kong itu ternyata sangat lihai, meski orang itu telah memijat sebisanya tetap sukar membuka Hiat-to yang tertutuk itu. Sementara itu terdengar suaranya Dian Pek-kong sudah berlari kembali lagi. Aku berkata kepada orang itu, 'Lekas lari, jika kau kepergok tentu kau akan dibunuh olehnya.'
"Tapi orang itu menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay laksana daun dan tangkai, Sumoay ada kesulitan, masakah aku boleh tinggal pergi"'"
"Dia juga orang dari Ngo-gak-kiam-pay?" Ting-yat menegaskan.
"Ya, Suhu, dia bukan lain adalah Lenghou-toako, Lenghou Tiong!" sahut Gi-lim.
"Oo," serentak Ting-yat, Thian-bun, Ih Jong-hay, Ho Sam-jit, Bun-siansing, Lau Cing-hong dan lain-lain bersuara lega. Begitu pula Lo Tek-nau.
"Rupanya Dian Pek-kong masih terus mencari di luar gua, lambat laun suaranya kedengaran menjauh," demikian Gi-lim melanjutkan. "Tiba-tiba Lenghou-toako mengatakan maaf, lalu aku dipondong olehnya dan dibawa lari ke luar gua serta sembunyi di tengah alang-alang yang lebat. Baru saja kami bersembunyi, cepat sekali Dian Pek-kong sudah kembali dan masuk ke dalam gua. Tentu saja dia marah-marah demi tidak menemukan diriku lagi, dia lantas mencaci maki dengan macam-macam ucapan yang kotor, aku pun tidak paham apa artinya. Dengan menggunakan pedang dia terus membacok dan menebas serabutan di antara semak-semak rumput.
Bab 13. Asal Judi Tentu Kalah
"Untung juga udara mendung, keadaan gelap gulita, dia tak dapat melihat kami. Tapi mungkin dia pun menduga kami pasti masih sembunyi di sekitar situ, maka dia masih terus membacok dan menebas tak berhenti-henti. Suatu kali pedangnya menyambar lewat di atas kepalaku, wah, hampir-hampir saja aku terluka, sungguh sangat berbahaya. Sesudah menebas kian kemari tanpa hasil, bangsat itu masih terus mencaci maki dan mencari ke sebelah sana.
"Sekonyong-konyong ada benda cair hangat menetes di atas mukaku, berbareng aku lantas mengendus bau anyirnya darah. Aku terkejut dan bertanya dengan suara perlahan, 'Apakah engkau terluka"'
"Tapi cepat ia mendekap mulutku sambil berbisik, 'Ssst, aku tak apa-apa, jangan bersuara.'
"Selang sejenak suara Dian Pek-kong semakin menjauh, lalu dia membuka tangannya. Aku merasa darah yang menetes di mukaku itu semakin banyak, tanyaku khawatir, 'Apakah lukamu parah" Darah harus dibikin pampat dulu. Aku membawa obat luka.'
"Tapi kembali dia mendekap mulutku sambil mendesis supaya aku jangan bersuara. Pada saat itulah mendadak Dian Pek-kong berlari kembali sambil menghardik, 'Hahaha! Kiranya sembunyi di sini. Hayo lekas keluar, aku sudah melihat tempat sembunyi kalian!'
"Mendengar tempat sembunyi kami telah dilihat Dian Pek-kong, diam-diam aku mengeluh," demikian Gi-lim melanjutkan, "segera aku bermaksud berdiri, cuma kakiku tak bisa bergerak sama sekali .?"
"Kau tertipu, Dian Pek-kong hanya menggertak kalian, sebenarnya dia tidak melihat apa-apa," kata Ting-yat Suthay.
"Memang betul," kata Gi-lim. "Waktu itu Suhu tidak berada di sana, mengapa bisa tahu persis?"
"Itu terlalu gampang untuk ditebak," kata Ting-yat. "Jika dia betul-betul melihat kalian, buat apa dia bergembar-gembor, dia dapat mendekati kalian dan sekali tebas binasakan Lenghou Tiong saja kan beres. Rupanya bocah Lenghou Tiong itu pun masih hijau."
"Tidak, Lenghou-toako juga dapat menerka maksud Dian Pek-kong itu, cepat dia tekap mulutku agar tidak bersuara," tutur Gi-lim. "Sesudah berkaok-kaok sekian lamanya dan tidak mendengar suara apa-apa, Dian Pek-kong memotong dan membabati rumput lagi untuk mencari ke lain tempat. Setelah pergi jauh, kemudian Lenghou-toako berbisik padaku, 'Sumoay, asal kita dapat tahan lagi setengah jam, sesudah Hiat-tomu yang tertutuk lancar kembali jalan darahnya tentu dapat aku dapat menolong dirimu. Cuma sebentar lagi keparat Dian Pek-kong itu pasti akan putar kembali dan tentu kita akan diketemukan. Terpaksa kita harus mengambil risiko, biarlah kita sembunyi ke dalam gua saja."
Mendengar sampai di sini, serentak Bun-siansing, Ho Sam-jit dan Lau Cing-hong berseru berbareng, "Bagus! Tabah dan cerdik!"
"Tapi aku menjadi takut demi mendengar akan masuk ke dalam gua lagi," tutur Gi-lim pula. "Namun tatkala itu aku sudah sangat kagum kepada Lenghou-toako, jika begitu keinginannya, kuyakin pasti benar. Maka aku lantas menyatakan setuju. Segera aku dipondongnya dan menyusup ke dalam gua. Sesudah aku diletakkan di atas tanah, aku berkata, 'Di bajuku ada Thian-hiang-toan-siok-ko, obat luka yang sangat mujarab, silakan ... silakan ambil untuk dibubuhkan pada lukamu.'
"Tapi Lenghou-toako mengatakan kurang leluasa, tapi akan menunggu setelah aku dapat bergerak barulah mau terima obatku. Lalu dia memotong ujung baju sendiri untuk membalut lukanya.
"Baru sekarang aku tahu bahwa demi untuk melindungi diriku, pada waktu sembunyi di semak-semak alang-alang tadi golok Dian Pek-kong telah kena menebas di bahunya, tapi dia tetap tidak bergerak dan tidak bersuara walaupun rasa sakitnya pasti bukan buatan. Syukurlah dalam keadaan gelap Dian Pek-kong tidak memergoki kami. Sungguh aku merasa sedih dan tidak paham mengapa dia bilang tidak leluasa mengambil obatku .?"
"Hm, jika begitu, jadi Lenghou Tiong adalah kesatria dan laki-laki sejati," jengek Ting-yat Suthay.
Sepasang mata Gi-lim yang besar dan bening itu memancarkan perasaan heran, katanya, "Ya, Lenghou-toako sudah tentu seorang baik pilihan. Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa menghiraukan keselamatan sendiri sudi tampil ke muka untuk menolong diriku."
"Meski kau tidak pernah kenal dia, tapi bukan mustahil sudah lama dia telah kenal wajahmu, kalau tidak masakan dia mau berbuat begitu?" ujar Ih Jong-hay dengan dingin. Di balik kata-katanya itu seakan-akan menuduh sebabnya Lenghou Tiong mau menolong Gi-lim adalah lantaran kesengsem pada muka Gi-lim yang sangat cantik itu.
"Tidak, Lenghou-toako mengatakan selamanya tak pernah melihat diriku," kata Gi-lim. "Lenghou-toako pasti tidak berdusta padaku, pasti tidak!"
Mendengar jawaban Gi-lim yang tegas dan pasti itu, mau tak mau semua orang percaya juga terhadap keyakinan Nikoh jelita yang suci bersih itu.
Ih Jong-hay juga membatin, "Perbuatan Lenghou Tiong yang gila-gilaan itu besar kemungkinan sengaja hendak menempur Dian Pek-kong agar namanya bisa berkumandang di dunia persilatan."
Dalam pada itu Gi-lim telah melanjutkan, "Sesudah Lenghou-toako membalut luka, dia lantas menolong aku pula dengan mengurut Koh-cing-hiat dan Goan-tiau-hiat di tubuhku. Tidak lama kemudian terdengarlah suara gemeresak rumput dibabat di luar gua itu berjangkit pula, makin lama makin dekat. Nyata Dian Pek-kong masih terus mencari kami dan sekarang telah kembali lagi di depan gua. Kudengar dia melangkah masuk ke dalam gua dan duduk mengaso di mulut gua tanpa bersuara.
"Hatiku berdebar-debar, sedapat mungkin aku menahan napas. Sekonyong-konyong Koh-cing-hiat di bahuku terasa sakit mendadak, karena secara mendadak sehingga aku meringis dan menghela napas. Tapi sedikit suara ini saja sudah membikin keadaan menjadi runyam. Dian Pek-kong lantas bergelak tertawa dan melompat bangun, segera dia mendekati aku. Lenghou-toako tetap meringkuk di samping tanpa bergerak sedikit pun.
"Dengan tertawa Dian Pek-kong berkata, 'Haha, kiranya kau masih sembunyi di sini, domba cilik!'
"Berbareng tangannya lantas hendak meraih tubuhku. Tapi mendadak terdengar suara 'cret' satu kali, dia telah kena ditusuk oleh pedang Lenghou-toako. Cuma sayang tusukan itu tidak mengenai tempatnya yang berbahaya sehingga Dian Pek-kong sempat melompat mundur terus melolos golok yang terselip di pinggangnya. Dalam kegelapan segera dia balas membacok Lenghou-toako. Maka terdengarlah suara 'trang' yang nyaring, kedua orang lantas bertempur."
"Berapa babak Lenghou Tiong menempur Dian Pek-kong itu?" mendadak Thian-bun Tojin menyela.
"Entahlah, dalam keadaan bingung Tecu juga tidak tahu mereka telah bertempur berapa lamanya," sahut Gi-lim. "Kudengar Dian Pek-kong tertawa dan berseru, 'Aha, kau adalah orang Hoa-san-pay! Hoa-san-kiam-hoat bukanlah tandinganku. Siapa namamu"'
"Lenghou-toako menjawab, 'Ngo-gak-kiam-pay adalah pancatunggal, baik Hoa-san-pay atau keempat golongan lain, semuanya adalah musuhmu maling cabul ini ...'
"Belum habis ucapannya, Dian Pek-kong sudah lantas menerjang maju pula. Kiranya dia sengaja memancing Lenghou-toako bersuara agar tahu persis tempatnya, lalu menyerangnya.
"Setelah saling gebrak beberapa jurus lagi, mendadak Lenghou-toako menjerit kesakitan, rupanya dia terluka lagi. Terdengar Dian Pek-kong mengejeknya dengan tertawa, 'Sedari tadi sudah kukatakan Hoa-san-kiam-hoat bukanlah tandinganku, sekalipun gurumu Gak-loji datang sendiri juga tak mampu melawan aku.'
"Namun Lenghou-toako tidak gubris padanya.
"Waktu aku merasa kesakitan tadi kiranya disebabkan Koh-cing-hiat yang tertutuk telah lancar kembali. Sekarang Goan-tiau-hiat juga terasa sakit, tapi perlahan-lahan aku lantas dapat bergerak, aku merangkak bangun dan bermaksud mencari pedangku yang patah itu. Rupanya mendengar suaraku, dengan girang Lenghou-toako berseru, 'He, kau sudah dapat bergerak. Lekas lari, lekas!'
"Tapi aku menjawab, 'Tidak, Suheng dari Hoa-san-pay, biarlah aku membantu kau melabrak penjahat itu!'
"Dia berkata, 'Tidak, kau lekas lari saja, kekuatan kita berdua juga bukan tandingannya.'
"Dengan tertawa Dian Pek-kong ikut menimbrung, 'Asal kau tahu saja! Makanya buat apa kau mengorbankan jiwa percuma" Eh, aku kagum juga pada jiwamu yang gagah perwira ini. Siapakah namamu"'
"Lenghou-toako menjawab, 'Jika kau secara hormat tanya namaku tentu akan kuberi tahukan. Tapi kau tanya secara kasar begini, tidak sudi aku menggubris.'
"Habis itu Lenghou-toako lantas berseru pula kepadaku, 'Sumoay, lekas lari ke Heng-san, kawan-kawan kita telah berkumpul semua di sana, rasanya bangsat ini tidak berani mencarimu ke sana.'
"Tapi aku menjawab, 'Jika aku sudah pergi, lalu dia membunuh kau, lantas bagaimana"'
"Lenghou-toako berkata, 'Tidak, dia tak mampu membunuh aku! Aku akan merintangi dia, mengapa tidak lekas pergi" Hayo, lekas! Aduh!'
"Kiranya sedikit lengah saja kembali Lenghou-toako terluka pula. Dia menjadi khawatir dan gelisah, segera ia berteriak lagi, 'Hayolah, lekas lari! Kalau tidak lekas pergi akan kumaki kau!'
"Dalam pada itu aku sudah menemukan pedang patah, aku berseru, 'Biarlah kita berdua mengeroyoknya.'
"Sebaliknya Dian Pek-kong malah tertawa mengejek, 'Bagus! Biarlah hari ini Dian Pek-kong seorang diri menempur Hoa-san-pay dan Hing-san-pay!'
"Rupanya Lenghou-toako menjadi marah benar-benar, dia memaki diriku, 'He, Nikoh cilik yang tidak tahu urusan, kau sudah linglung barangkali" Kalau tidak lekas pergi, lain kali bila bertemu lagi tentu aku tempeleng kau!'
"Keparat Dian Pek-kong itu lantas menertawakan diriku lagi, 'Rupanya Nikoh cilik ini merasa berat berpisah dengan aku!'
"Lenghou-toako tambah gelisah, dia berteriak padaku, 'Apakah kau benar-benar tidak pergi"'
"Aku menjawab, 'Tidak!'
"Mendadak Lenghou-toako mengomel, 'Dasar Ting-sian si Nikoh tua itu sudah pikun, makanya mempunyai murid linglung sebagai kau ini.'
"Aku lantas berkata, 'Ting-sian Supek bukanlah guruku.'
"'Hah, jadi kau masih tetap tidak mau pergi" Biarlah kumaki Ting-yat yang tua pikun itu ."'"
Mendadak muka Ting-yat bersungut menahan marah.
Cepat Gi-lim berkata, "Suhu, harap engkau jangan gusar. Maksud Lenghou-toako itu adalah demi kebaikanku dan tidak sungguh-sungguh memaki padamu. Aku telah menjawabnya, 'Aku sendirilah yang linglung dan bukan lantaran Suhuku.'
"Pada saat itulah mendadak Dian Pek-kong menubruk ke tempatku dan menutuk. Dalam keadaan gelap aku putar pedang patah menebas dan membacok serabutan, dengan demikian barulah dia terpaksa mundur.
"Kemudian Lenghou-toako berkata pula padaku, 'Lekas lari! Kalau tidak aku akan memaki gurumu, apakah kau tidak takut"'
"Aku menjawab, 'Engkau jangan memaki, marilah kita lari bersama saja!'
"Tapi Lenghou-toako berkata, 'Kau berada di sini hanya mengganggu aku saja sehingga aku tidak leluasa memainkan Hoa-san-kiam-hoatku yang paling lihai. Tapi bila kau sudah pergi, pasti akan dapat membinasakan bangsat keparat ini.'
"Tiba-tiba Dian Pek-kong bergelak tertawa, katanya, 'Kasih sayangmu kepada Nikoh cilik ini boleh juga, cuma sayang namamu siapa saja dia tidak mengetahui.'
"Kupikir apa yang dikatakan jahanam itu ada benarnya juga, segera aku bertanya, 'Suheng dari Hoa-san-pay itu, siapakah namamu" Akan kupergi lapor kepada Suhu di kota Heng-san bahwa engkau yang telah menyelamatkan jiwaku.'
"'Ya, lekas pergi, lekas! Mengapa ceriwis tidak habis-habis. Aku she Lo bernama Tek-nau!'"
Mendengar sampai di sini, Lo Tek-nau melengak. Ia tidak habis paham sebab apa Toasuko memalsukan namanya.
Sedangkan Bun-siansing telah berkata sambil manggut-manggut, "Lenghou Tiong itu berbuat bajik tapi tidak menonjolkan namanya yang asli, ini benar-benar perbuatan seorang kesatria tulen dari kaum kita."
Sebaliknya Lo Tek-nau berpikir, "Watak Toasuko biasanya memang sangat aneh dan banyak tipu akalnya, dia tentu mempunyai maksud tujuan tertentu dengan menggunakan namaku. Cuma sayang, tokoh muda yang berkepandaian tinggi sebagai dia mesti tewas di tangan Lo Jin-kiat dari Jing-sia-pay yang jahat ini."
Ting-yat Suthay lantas melotot kepada Lo Tek-nau dan bertanya, "He, apakah orang yang memaki aku sudah tua dan pikun dalam gua itu adalah kau ini?"
Melihat sikap Ting-yat yang galak itu, cepat Tek-nau memberi hormat dan menjawab, "Tidak, mana Tecu berani!"
Dengan tersenyum Lau Cing-hong ikut berkata, "Ting-yat Suthay, memang beralasan juga Lenghou Tiong sengaja memalsukan nama Sutenya. Kita tahu Lo-hiantit ini berguru dalam keadaan sudah mahir ilmu silat, tingkatannya meski rendah, tapi usianya sudah lanjut, jenggotnya saja sudah sepanjang itu, dia pantas menjadi kakeknya Gi-lim Sutit."
Mendengar penjelasan itu barulah Ting-yat sadar. Kiranya Lenghou Tiong sengaja hendak membela kehormatan Gi-lim. Dalam keadaan gelap gulita bercampur di dalam gua itu dan tidak saling mengenal muka, bila kemudian Gi-lim dapat meloloskan diri dan mengatakan kepada orang lain bahwa penolongnya itu adalah Lo Tek-nau dari Hoa-san-pay yang sudah kakek-kakek, maka orang lain tentu takkan mencemoohkannya, dengan demikian nama baik Gi-lim dapat dibersihkan, begitu pula kehormatan Hing-san-pay.
"Ehm, boleh juga pikiran bocah itu," kata Ting-yat kemudian dengan tersenyum puas. "Lalu bagaimana, Gi-lim?"
"Waktu itu aku masih tetap tidak mau pergi," tutur Gi-lim. Aku berkata, 'Lo-toako, Ngo-gak-kiam-pay kita adalah senapas dan sehaluan, kau mengalami bahaya lantaran hendak menolong aku, mana boleh aku melarikan diri malah" Jika Suhu mengetahui perbuatanku yang pengecut ini tentu aku akan dibunuhnya.'"
"Bagus! Tepat sekali ucapanmu!" seru Ting-yat memuji. "Kaum persilatan kita memang harus mengutamakan setia kawan sesama orang Kangouw, tak peduli laki-laki atau perempuan, sama saja halnya."
"Akan tetapi Lenghou-toako terus mencaci maki diriku," sambung Gi-lim. "Dia bilang, 'Nikoh cilik keparat, persetan kau! Kau di sini hanya membikin repot padaku saja sehingga aku tidak dapat mengeluarkan Hoa-san-kiam-hoat yang tiada tandingannya di dunia ini. Rupanya jiwaku yang tua ini sudah ditakdirkan harus mati di tangan Dian Pek-kong ini. Dasar sial, aku Lo Tek-nau hari ini ketemu Nikoh, bahkan seorang Nikoh cilik celaka sehingga ilmu pedangku yang mahasakti tak dapat kumainkan. Sudahlah, aku terima nasib saja. Dian Pek-kong, boleh kau binasakan aku!'"
Diam-diam semua orang geli melihat Gi-lim yang cantik jelita itu menirukan kata-kata kasar yang diucapkan Lenghou Tiong itu.
Terdengar Gi-lim melanjutkan pula, "Sudah tentu aku tahu dia tidak sungguh-sungguh memaki diriku, tapi mengingat kepandaianku yang rendah memang tidak sanggup membantu dia, beradanya diriku di dalam gua situ hanya merintangi dia sehingga Hua-san-kiam-hoat yang hebat itu sukar dikembangkan ...."
"Hm, bocah itu ngaco-belo belaka, Hoa-san-kiam-hoat paling-paling juga cuma begitu saja, masakah bilang tiada tandingannya di dunia ini?" jengek Ting-yat.
"Suhu, dia hanya untuk menakut-nakuti Dian Pek-kong saja supaya mundur teratur," kata Gi-lim. "Karena dia memaki semakin hebat, terpaksa aku berkata, 'Baiklah, Lo-toako, aku akan pergi, sampai bertemu pula!'
"Tapi dia masih memaki padaku, 'Ya, lekas enyah kau Nikoh busuk, lekas enyah! Setiap kali melihat Nikoh, bila judi pasti kalah. Selamanya aku tidak pernah melihat kau, selanjutnya juga takkan melihat kau. Selama hidupku paling gemar berjudi, buat apa melihat kau lagi"'"
Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja dan berteriak, "Anak keparat itu seharusnya kau tusuk dia sehingga tembus! Lalu kau pergi atau tidak?"
"Khawatir membikin dia marah, terpaksa aku pergi dari situ," sahut Gi-lim. "Begitu keluar gua aku lantas mendengar suara benturan senjata bertambah gencar di dalam gua. Kupikir kalau Dian Pek-kong yang menang, tentu dia akan mengejar dan menangkap aku lagi. Jika Lo-toako itu yang menang, bila dia keluar dan melihat aku, jangan-jangan akan membikin sial dia, asal berjudi pasti kalah. Sebab itulah aku lantas lari secepatnya dengan maksud menyusul Suhu dan minta engkau pergi membinasakan keparat Dian Pek-kong itu."
Sampai di sini mendadak Gi-lim tanya kepada Ting-yat, "Suhu, kemudian Lenghou-toako telah tewas, apakah disebabkan ... disebabkan dia melihat aku sehingga sial baginya?"
"Apa yang dikatakan bila melihat Nikoh tentu kalah judi hanya ngaco-belo belaka," kata Ting-yat dengan gusar. "Bukankah di sini banyak sekali orang melihat kita, masakah mereka semua juga sial dan akan celaka?"
Semua orang merasa geli atas tanya jawab Ting-yat dan Gi-lim itu, tapi tiada seorang pun yang berani tertawa.
"Begitulah, aku lantas berlari-lari," demikian Gi-lim menyambung ceritanya, "ketika fajar menyingsing, tertampaklah kota Heng-san, hatiku menjadi tenteram, kupikir besar kemungkinan akan dapat menemukan Suhu di dalam kota. Siapa duga pada saat itu juga tahu-tahu Dian Pek-kong telah menyusul tiba.
"Melihat dia, kakiku jadi lemas, tiada seberapa langkah saja aku berlari sudah kena dibekuk olehnya. Kupikir dia dapat kejar diriku, maka Lo-toako dari Hoa-san-pay itu tentu sudah terbunuh olehnya di dalam gua. Sungguh aku merasa sangat sedih.
"Karena melihat banyak orang berlalu-lalang di jalan raya, rupanya Dian Pek-kong tidak berani berlaku kasar padaku, dia hanya mengancam padaku, 'Kau harus ikut padaku bila tidak ingin aku main tangan menggerayangi tubuhmu. Jika kau berkepala batu dan membangkang, tentu aku akan membelejeti pakaianmu agar ditonton oleh orang banyak.'
Jodoh Si Mata Keranjang 10 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Sejengkal Tanah Sepercik Darah 8
^