Pencarian

Hina Kelana 6

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 6


Para hadirin belum ada yang kenal Bok Ko-hong, sekarang mendengar dia mengaku sendiri siapa dirinya, pula melihat wajahnya yang aneh itu, semuanya menjadi terperanjat.
Yang luar biasa adalah badan yang bungkuk dan buntak itu gerak-geriknya ternyata sangat cepat dan gesit, tanpa kelihatan menggeser langkah tahu-tahu bola daging itu sudah "menggelinding" sampai di samping Peng-ci, pundak pemuda itu ditepuknya satu kali sambil berkata, "Cucu yang baik, cucu yang bagus! Kau telah memuji dan menyanjung kakek sebagai pendekar budiman yang suka bantu kaum lemah dan melawan penindasan segala, sungguh kakek sangat senang."
Habis berkata kembali ia tepuk sekali lagi pundak Peng-ci.
Waktu pundaknya ditepuk pertama kali tadi, Peng-ci merasa badannya tergetar, tangan Ih Jong-hay yang mencengkeram pergelangan tangan Peng-ci juga terasa panas dan hampir-hampir terlepas. Tapi segera ia kerahkan tenaga dan memegang lebih kencang lagi.
Bok Ko-hong agak terkejut juga melihat tepukannya itu tidak mampu melepaskan cengkeraman Ih Jong-hay itu. Maka sambil bicara tadi ia lantas mengerahkan segenap tenaganya untuk menepuk lagi.
Peng-ci tak tahan lagi atas tepukan kedua itu, matanya terasa gelap, tenggorokannya terasa anyir, sekumur darah sudah naik sampai di mulutnya, tapi sekuatnya ia bertahan dan telan kembali mentah-mentah darahnya sendiri.
Genggaman Ih Jong-hay juga terasa panas pedas dan tak tertahankan pula, terpaksa ia lepas tangan sambil mundur selangkah. Pikirnya, "Si bungkuk ini benar-benar licin dan keji, demi untuk menggetar lepas tanganku dia tidak segan-segan membuat cucunya terluka dalam."
Dalam pada itu Peng-ci masih berlagak tertawa, katanya kepada Ih Jong-hay, "Ih-koancu, ilmu silat Jing-sia-pay kalian ternyata juga cuma begini saja. Kukira kau lebih baik ganti perguruan dan mohon Bok-tayhiap untuk menerima kau sebagai murid saja, dengan demikian mungkin kau akan ... akan tambah maju."
Dalam keadaan terluka Peng-ci mengucapkan kata-kata itu dengan perasaan bergolak, namun badannya terasa lemas, hampir-hampir tak sanggup berdiri lagi.
"Baik, sudah tentu aku sangat girang dapat menjadi murid Bok-siansing," kata Ih Jong-hay. "Kau sendiri adalah murid Bok-siansing, kepandaianmu tentu sangat hebat, biarlah aku belajar kenal dulu dengan kau."
Demikianlah secara licin Ih Jong-hay telah menantang Peng-ci, tapi Bok Ko-hong terpaksa tak dapat ikut campur kecuali menonton saja.
Sudah tentu Bok Ko-hong tahu maksudnya, dengan tertawa katanya terhadap Peng-ci, "Cucu yang baik, dengan kepandaianmu yang rendah ini bukan mustahil sekali hantam saja kau akan dibinasakan oleh Ih-koancu. Sayanglah cucu yang tampan dan bungkuk seperti kau ini bila sampai dibunuh orang. Ada lebih baik jika kau menyembah kepada kakek dan minta kakek mewakilkan kau saja?"
Peng-ci melotot sekali ke arah Ih Jong-hay, ia pikir kepandaian sendiri terlalu rendah, kalau terima tantangan itu bukan mustahil sekali hantam saja dirinya sudah mati konyol, bahkan sakit hati ayah-bunda sukar terbalas pula. Tapi sebagai seorang laki-laki mana boleh terima terhina dan sembarangan menyembah dan mengaku seorang bungkuk sebagai kakek" Perbuatan yang memalukan bagi dirinya dan leluhur ini mana boleh dilakukan"
Karena pikirannya bimbang, tubuhnya menjadi rada gemetar dan kaki terasa lemas, dengan sebelah tangan ia menahan di atas meja.
Segera Ih Jong-hay mengejeknya, "Kulihat kau memang pengecut! Supaya orang lain mau membela kau, apa halangannya kau menyembah dan memanggil kakek?"
Rupanya dia sudah dapat menduga hubungan antara Peng-ci dan Bok Ko-hong itu rada janggal, terang Bok Ko-hong bukan kakek pemuda itu, kalau tidak mengapa Peng-ci masih diharuskan menyembah dan memanggil kakek pula" Sebab itulah ia sengaja memancing dengan kata-kata menghina agar Peng-ci naik darah dan terima tantangannya, dengan demikian akan mudahlah baginya untuk menyelesaikan perkara ini.
Dalam pada itu terlintas di dalam benak Peng-ci adegan-adegan kejadian akhir-akhir ini, Hok-wi-piaukiok bangkrut, rumah tangganya hancur, semuanya gara-gara perbuatan Jing-sia-pay. Kepandaian dirinya terlalu rendah, untuk membalas dendam sekarang terang sukar. Teringat olehnya di zaman dinasti Han dahulu pernah ada terjadi Han Sin terima dihina dengan merangkak melalui selangkangan musuh, tapi akhirnya Han Sin menjadi panglima dan berkuasa sehingga sangat terkenal di dalam sejarah. Seorang laki-laki sejati harus tahan hinaan kecil supaya tidak menggagalkan usaha besar. Asal kelak aku benar-benar dapat membalas dendam, apa artinya kalau sekarang aku terima hinaan sedikit"
Berpikir demikian, segera ia berpaling dan berlutut ke hadapan Bok Ko-hong, katanya sambil menyembah, "Kakek, dosa jahanam Ih Jong-hay sudah kelewat takaran dan setiap orang Bu-lim wajib membunuhnya. Hendaklah kakek menegakkan keadilan dan tumpaskan penyakit besar ini bagi dunia Kangouw."
Tindakan Peng-ci ini benar-benar sama sekali di luar dugaan Bok Ko-hong dan Ih Jong-hay. Pada umumnya orang Bu-lim paling menjaga martabat dan ingin menang, lebih suka menerima siksaan daripada tunduk merendahkan diri, apalagi di depan umum.
Para hadirin kebanyakan memang mengira si bungkuk muda adalah cucu kandung atau cucu murid Bok Ko-hong. Hanya Bok Ko-hong sendiri yang tahu sama sekali Peng-ci tiada hubungan apa-apa dengan dirinya, Ih Jong-hay sendiri walaupun curiga tapi juga tidak tahu persis ada hubungan apa antara bungkuk tua dan bungkuk muda itu. Hanya didengarnya panggilan "kakek" yang diucapkan oleh Peng-ci itu terdengar sangat kaku dan kikuk, mungkin pemuda itu memang seorang pengecut.
Bok Ko-hong lantas bergelak tertawa, katanya, "Wah cucu baik, cucu bagus! Bagaimana" Apakah kita benar-benar akan main-main?"
Dia bicara seperti memuji Peng-ci, tapi mukanya menghadap Ih Jong-hay sehingga kata-kata "cucu baik dan cucu bagus" itu seakan-akan ditujukan kepada ketua Jing-sia-pay itu. Keruan Ih Jong-hay tambah gusar.
Tapi ia pun sadar bila sampai terjadi pertarungan, maka soalnya tidak cuma menyangkut mati-hidupnya sendiri saja, tapi juga berhubungan dengan turun atau naiknya gengsi Jing-sia-pay pada umumnya. Maka diam-diam ia pun siap siaga, katanya dengan tersenyum tawar, "Jika Bok-siansing ada maksud memamerkan ilmu sakti yang hebat di depan para kawan supaya kita bertambah pengalaman, maka terpaksa Cayhe mesti menerima ajakanmu."
Dari dua kali tepukan Bok Ko-hong tadi dapatlah Ih Jong-hay menilai bahwa tenaga dalam si bungkuk tua itu memang lebih lihai daripada dirinya. Bahkan sangat keras, sekali menyerang sukar dibendung pula. Paling baik kalau bertahan saja tanpa menyerang, jika musuh mulai gelisah dan tak sabar mungkin akan ada lubang kelemahannya, asal dapat menandingi bungkuk tua ini dengan sama kuat, tentu Jing-sia-pay sudah mendapat nama baik di depan orang banyak.
Sebaliknya Bok Ko-hong juga ragu-ragu, dilihatnya perawakan Tojin yang berdiri di depannya ini pendek kecil seperti bocah cilik, bobotnya paling-paling cuma dua-tiga puluh kati saja, tapi sikapnya tampak kereng berwibawa, terang bukanlah kaum keroco yang bernama kosong. Jika dirinya sampai kalah tentu hanyutlah nama baiknya yang dipupuknya selama ini. Dasar orangnya memang licin, maka seketika Bok Ko-hong tidak berani sembarangan menyerang lebih dulu.
Sedangkan para hadirin yang menyaksikan dua orang kerdil berdiri berhadapan dan saling melotot, mereka tahu setiap saat akan terjadilah pertarungan sengit yang tidak kenal ampun. Banyak di antara mereka seperti Ting-yat, Thian-bun dan lain-lain tidak suka kepada Ih Jong-hay, sebab Jing-sia-pay tidak termasuk di dalam Ngo-gak-kiam-pay. Biasanya anak murid Jing-sia-pay sengaja atau tidak sengaja juga suka mencemoohkan Ngo-gak-kiam-pay, walaupun tidak berani terang-terangan. Mereka tidak suka kepada Bok Ko-hong yang punya nama buruk di dunia persilatan, mereka merasa malu untuk berkawan dengan manusia rendah itu.
Sebab itulah, tak peduli siapa yang akan menang atau kalah di antara kedua orang adalah tidak diambil pusing oleh Thian-bun dan lain-lain, bahkan kalau mereka sama-sama mampus malah akan dianggap kebetulan.
Hanya Lau Cing-hong saja sebagai tuan rumah masih coba mencegah pertarungan itu. Akan tetapi Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong adalah tokoh-tokoh terkemuka semua, siapa yang mundur lebih dulu berarti akan kehilangan muka. Maka walaupun dalam hati mereka juga ingin batalkan pertandingan itu, namun keadaan sudah sama-sama ngotot dan sukar dilerai.
Pada saat kedua orang sudah siap akan bergebrak itulah, sekonyong-konyong terdengar suara "bluk-bluk" dua kali, dua sosok tubuh manusia mendadak melayang dari belakang dan jatuh tersungkur tanpa bergerak lagi. Tampak kedua orang itu berjubah hijau, pantat mereka yang menghadap ke atas itu terdapat bekas tapak kaki. Pada saat yang hampir sama terdengarlah suara seorang anak perempuan telah berseru, "Ini adalah kepandaian andalan Jing-sia-pay yang disebut 'gaya belibis jatuh dengan pantat menghadap ke belakang'!"
Ih Jong-hay menjadi murka, begitu putar tubuh, tanpa melihat jelas siapakah pembicara itu, dengan menurutkan arah suara segera ia melompat ke sana. Dilihatnya seorang gadis cilik berbaju hijau pupus berdiri di samping meja, tanpa pikir segera ia pegang tangan dara cilik itu.
"Aduh, mak!" mendadak dara cilik itu menjerit terus menangis.
Ih Jong-hay menjadi terkejut. Ia dengar dara cilik itu mengeluarkan ucapan olok-olok, saking gusarnya tanpa pikir lagi ia anggap kedua muridnya yang kecundang itu tentu ada hubungannya dengan dia, maka pegangannya agak keras. Demi dara cilik menjerit dan menangis barulah teringat olehnya adalah tidak pantas memperlakukan seorang anak kecil sekasar itu. Maka cepat-cepat ia lepaskan tangannya.
Tak disangka dara cilik itu makin menangis makin keras, ia menjerit pula, "Kau telah patahkan tulang tanganku! O, ibu, tanganku patah! Aduh, sakitnya! Uh-uh-uh, sakit sekali!"
Biarpun Ih Jong-hay sudah berpengalaman, tapi menghadapi seorang anak kecil mau tak mau ia menjadi serbarunyam juga. Apalagi berpuluh pasang mata seketika telah terarah kepadanya, banyak di antaranya memandangnya dengan hina dan menganggapnya seorang tua beraninya cuma sama anak kecil tapi tidak berani melawan Bok Ko-hong. Keruan muka Ih Jong-hay menjadi merah, dengan bingung ia coba membujuk gadis cilik itu dengan suara perlahan, "Jangan menangis, jangan menangis! Tanganmu tidak apa-apa, tidak patah, tidak sakit lagi!"
"Aku tak mau!" teriak dara cilik itu malah sambil menangis. "Tanganku sudah patah! Aduh mak! Sakitnya! U-u-uuuh! Kau orang tua hanya berani pada anak kecil! U-uuh! Tanganku sakit, Ibu! Ibu!"
Bab 16. Senjata Makan Tuan, Cui-sim-ciang Makan Jing-sia-pay
Para hadirin melihat umur dara cilik itu paling-paling baru 12-13 tahun saja, berbaju hijau pupus, kulit badannya putih bersih, raut mukanya bulat telur, cantik menyenangkan. Maka timbul seketika rasa simpatik semua orang. Beberapa orang di antaranya yang berangasan sudah lantas berteriak-teriak, "Hajar hidung kerbau itu!"
"Ya, mampuskan Tosu kerdil itu!"
Keadaan Ih Jong-hay jadi serbasulit. Ia tahu dirinya telah menimbulkan kemarahan umum, ia menjadi kuncup dan tak berani membantah. Terpaksa ia membujuk si dara cilik lagi, "Adik kecil, maaf ya! Coba kulihat tanganmu apakah terluka?" Lalu ia bermaksud memeriksa tangan dara cilik itu.
"Tidak, tidak mau! Kau nakal, jangan sentuh diriku!" demikian dara cilik itu berkaok-kaok lagi. "O, ibu, ibuuu! Tanganku telah dipatahkan oleh Tosu katai ini."
Selagi Ih Jong-hay kewalahan, tiba-tiba dari pihaknya muncul seseorang, ialah Pui Jin-ti yang terkenal paling cerdik di antara murid-murid Jing-sia-pay. Ia berkata terhadap anak dara itu, "Nona cilik sengaja pura-pura ya" Tangan Suhuku kan tidak menyentuh bajumu, dari mana bisa mematahkan tanganmu?"
"O, Ibu! Ada seseorang lagi hendak memukul aku!" mendadak gadis cilik itu berteriak pula.
Memang Ting-yat Suthay sudah mendongkol menyaksikan kejadian tadi, segera ia melangkah maju, kontan dia tempeleng muka Pui Jin-ti sambil membentak, "Orang tua beraninya cuma menggertak anak kecil, tidak tahu malu!"
Mestinya Pui Jin-ti hendak menangkis, tak terduga Ting-yat justru sengaja hendak memancing dia untuk angkat tangannya, sekali sambar ia pegang telapak tangan Pui Jin-ti, menyusul tangan lain memotong ke siku. Asal kena, tentu ruas tulang Jin-ti itu akan patah.
Untunglah Ih Jong-hay cepat bertindak, segera ia menutuk ke punggung Ting-yat sehingga mau tak mau Nikoh tua itu harus menarik kembali tangannya untuk menangkis. Karena Ih Jong-hay tidak bermaksud ingin bertempur dengan dia, maka ia lantas melompat mundur tanpa menyerang lagi.
Biasanya Ting-yat Suthay paling suka kepada anak dara yang cantik dan lincah. Segera ia pegang lengan dara cilik tadi dan bertanya dengan suara ramah, "Anak yang baik, mana yang sakit" Coba kulihat, akan kusembuhkan!"
Setelah meraba lengan anak dara itu dan terasa tidak patah, hatinya menjadi lega. Ia menyingsingkan lengan baju, maka tertampaklah lengannya yang kecil dan putih halus terdapat empat garis merah bekas cengkeraman jari.
Dengan gusar ia lantas membentak terhadap Pui Jin-ti, "Ini lihat, bangsat! Katamu gurumu tidak menyentuh tangannya, lalu bekas jari tangan siapa ini?"
"Bekas jari tangan kura-kura itu, kura-kura itu!" demikian mendadak dara cilik itu berseru sambil menuding punggung Ih Jong-hay.
Kura-kura atau Oh-kui adalah sebutan bagi germo. Maka meledaklah gelak tawa orang banyak, sampai-sampai ada yang menyemburkan air teh yang baru saja diminumnya, ada yang terpingkal-pingkal sampai menungging.
Ih Jong-hay sendiri tidak tahu apa yang ditertawakan orang banyak itu. Dia sangka anak dara itu merasa penasaran maka memakinya sebagai kura-kura, mestinya tidak perlu merasa geli. Anehnya semua orang masih terus tertawa sambil memandang padanya, mau tak mau ia merasa kikuk juga.
Mendadak Pui Jin-ti melompat ke belakang sang guru dan menanggalkan sehelai kertas dari bajunya. Lalu kertas itu diremasnya.
Ketika Ih Jong-hay minta kertas itu dan dibentang, tertampaklah di atas kertas itu terlukis seekor kura-kura besar. Terang kertas itu ditempelkan di punggungnya oleh dara cilik itu pada waktu dirinya lena tadi.
Di tengah gusar dan malu Ih Jong-hay terkesiap juga. Ia pikir gambar kura-kura itu tentu sudah disediakan lebih dulu dan sengaja hendak mempermainkan dirinya. Jika demikian di belakang anak dara itu pasti ada orang lain lagi yang menjagoi. Ia berpaling dan memandang sekejap kepada Lau Cing-hong, ia menduga gadis cilik itu tentu anggota keluarga Lau, boleh jadi diam-diam Lau Cing-hong yang sengaja main gila padanya.
Karena dipandang oleh Ih Jong-hay, segera Lau Cing-hong merasa dirinya telah dicurigai, ia coba mendekati dara cilik tadi dan bertanya, "Adik kecil, anak siapakah kau" Di manakah ayah-bundamu?"
Pertanyaannya itu sengaja diajukan supaya didengar Ih Jong-hay, pula ia sendiri pun curiga dan ingin tahu anak dara itu datang bersama siapa.
Maka dara cilik itu menjawab, "Ayah-bundaku sudah pergi, aku disuruh tinggal di sini, katanya sebentar lagi akan ada permainan sulapan, ada dua orang akan melayang dan jatuh tak bergerak, katanya itu adalah kepandaian andalan Jing-sia-pay yang disebut 'gaya belibis jatuh pantat menghadap ke belakang'! Dan memang sangat menarik sulapan ini!"
Habis berkata ia terus bertepuk tangan dan tertawa riang walaupun air mata masih meleleh di pipinya.
Melihat itu, sebagian hadirin menjadi geli. Teranglah anak dara itu sengaja disuruh oleh seseorang untuk main gila terhadap Jing-sia-pay.
Dalam pada itu kedua murid Jing-sia-pay tadi masih tergeletak tak bergerak di tempatnya. Segera Ih Jong-hay mendekatinya dan menepuk dua kali di tubuh seorang murid itu. Tapi di mana tangannya menyentuh terasa badan murid itu sudah dingin. Keruan Ih Jong-hay terkejut.
Jika kedua muridnya yang ditendang jatuh di ruangan dalam tadi walaupun tak bisa bergerak, tapi tidaklah terluka. Tapi sekarang kedua murid ini badannya sudah kaku dan dingin. Diam-diam Ih Jong-hay mengeluh dan tahu kedua muridnya itu sudah binasa.
Ia coba membalik tubuh murid itu, tertampak air mukanya bersenyum simpul secara aneh. Melihat senyuman aneh itu, seketika Ih Jong-hay terperanjat seperti melihat setan iblis. Betapa pun kuat perasaannya tidak urung jarinya rada gemetar juga.
Maklumlah bahwa senyuman aneh itu telah sangat dikenal olehnya, yaitu senyuman kematian yang menjadi korban "Cui-sim-ciang", pukulan penghancur hati, ilmu yang menjadi kebanggaan Jing-sia-pay itu.
Senyuman itu bukan senyuman yang wajar, tapi adalah kerutan di waktu kejang kesakitan bila terkena pukulan yang membikin remuk bagian isi perut itu. Di dunia ini hanya Cui-sim-ciang saja yang dapat menimbulkan senyuman aneh itu bagi korbannya. Jadi kalau dipandang dari segi ini ternyata kedua muridnya itu telah binasa di tangan sesama orangnya sendiri.
Untuk sejenak muka Ih Jong-hay sebentar merah sebentar pucat tanpa bisa bersuara.
Sekonyong-konyong Lim Peng-ci berteriak, "Cui-sim-ciang! Cui-sim-ciang! Itu adalah ilmu silat Jing-sia-pay sendiri!"
Karena banyak di antara pegawai Hok-wi-piaukiok telah dibinasakan oleh ilmu pukulan ajaib itu, maka senyuman aneh pada tiap-tiap korbannya telah berkesan mendalam baginya. Sebab itulah dia lantas mendahului berteriak.
Beberapa orang di antara hadirin juga kenal ciri khas "Cui-sim-ciang" itu, serentak mereka pun berseru, "Ya, benar! Korban Cui-sim-ciang!"
"Kiranya anak murid Jing-sia-pay telah saling bunuh-membunuh sendiri!"
Ih Jong-hay menjadi gelisah, katanya pada Pui Jin-ti dengan suara perlahan, "Gotong pergi dulu!"
Segera Pui Jin-ti memberi isyarat, beberapa murid Jing-sia-pay lantas berlari maju dan mengusung keluar jenazah-jenazah saudara seperguruan mereka.
Tiba-tiba si dara cilik berseru, "Wah, orang Jing-sia-pay benar-benar sangat banyak! Mati satu digotong dua, mati dua digotong empat!"
Dengan muka merah padam Ih Jong-hay tanya si dara cilik, "Siapa orang tuamu" Apakah ucapanmu barusan ini adalah ajaran ayah-ibumu?"
Tapi nona cilik itu dengan tertawa masih terus menghitung, "Satu kali dua mendapat dua, dua kali dua mendapat empat, dua kali tiga mendapat enam ...." dan begitu seterusnya dia lantas menghafalkan angka perkalian seperti anak sekolah. Padahal ucapannya sangat menyinggung perasaan Ih Jong-hay.
Dengan mendongkol Ih Jong-hay menegur pula dengan suara bengis, "Aku tanya kau, mengapa kau tidak menjawab?"
Di luar dugaan dara cilik itu lantas mewek-mewek dan kembali menangis lagi sambil menyisipkan kepalanya ke dalam pelukan Ting-yat Suthay.
"Jangan takut, anak baik, jangan takut!" demikian Ting-yat menimangnya sambil tepuk-tepuk bahu si dara. Lalu ia berpaling kepada Ih Jong-hay dan berkata, "Kau tidak becus mengajar murid sendiri sehingga mereka saling bunuh, mengapa kau menjadi marah dan menggertak seorang anak kecil?"
Akan tetapi Ih Jong-hay hanya mendengus dan tidak menggubrisnya.
Mendadak kepala anak dara itu menongol keluar dari pelukan Ting-yat Suthay, lalu berkata dengan tertawa, "Losuthay, betul tidak hitunganku: dua kali dua mendapat empat, dua kali empat mendapat delapan ...." sampai di sini dia lantas tertawa terkikik-kikik.
Semua orang merasa kelakuan dara cilik itu memang aneh, sebentar menangis sebentar tertawa. Kelakuan demikian mestinya adalah kejadian biasa bagi anak kecil umur 7-8 tahun, tapi anak dara ini tampaknya sudah ada 12-13 tahun, perawakannya juga cukup tinggi, apalagi setiap ucapannya selalu menyinggung kehormatan Ih Jong-hay, hal ini terang bukan secara kebetulan, tapi di balik layar pasti ada yang suruh.
Lama-lama Ih Jong-hay juga tidak sabar lagi, ia berseru, "Seorang laki-laki sejati harus berani berbuat secara blak-blakan, kalau ada sahabat yang merasa sirik padaku boleh silakan tampil ke muka saja, kalau main sembunyi-sembunyi dan memperalat seorang anak kecil, cara demikian terhitung orang gagah macam apa?"
Meskipun orangnya kecil, tapi suara Ih Jong-hay sangat keras dan nyaring sehingga anak telinga para hadirin sampai mendenging-denging. Namun keadaan ternyata sunyi senyap saja, tiada seorang pun yang menjawab.
Selang sebentar tiba-tiba nona cilik itu berkata pula, "Losuthay, dia tanya orang gagah macam apa" Apakah Jing-sia-pay mereka adalah orang-orang gagah?"
Walaupun tidak senang terhadap Jing-sia-pay, namun sebagai tokoh angkatan tua tidaklah pantas mengolok-olok golongan lain secara terang-terangan, terpaksa Ting-yat menjawab secara samar-samar, "Ya, leluhur Jing-sia-pay memang ... memang banyak kesatria yang gagah."
"Dan sekarang bagaimana" Apakah masih ada sisa-sisa kesatria gagah itu?" tanya si anak dara pula.
"Entahlah, boleh coba kau tanya kepada Totiang ketua Jing-sia-pay ini," sahut Ting-yat sambil menuding Ih Jong-hay.
Benar-benar si nona cilik lantas tanya Ih Jong-hay, "Eh, Totiang ketua, jika orang dalam keadaan terluka parah dan tak bisa berkutik, lalu seorang lain menganiayanya pula, kau bilang orang itu terhitung kesatria gagah atau bukan?"
Pertanyaan ini bukan saja membuat hati Ih Jong-hay tergetar, bahkan setiap orang yang mengikuti cerita Gi-lim tadi tentang Lo Jin-kiat membunuh Lenghou Tiong, hati mereka juga terkesiap, pikir mereka, "Jangan-jangan nona cilik ini ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pay?"
Sebaliknya Lo Tek-nau membatin, "Ucapan nona cilik ini terang membela keadilan bagi Toasuko. Siapakah gerangan dia ini?"
Tadi sesudah mendengar berita tentang kematian sang Toasuko di ruangan dalam, karena khawatir membikin duka Siausumoay, sekeluarnya di ruangan tamu depan dia belum sempat memberitahukan berita jelek itu kepada para saudara seperguruannya.
Di antara orang banyak itu mungkin Gi-lim yang paling terguncang perasaannya, ia merasa terima kasih tak terhingga atas pertanyaan anak dara itu, pertanyaan demikian sudah sejak tadi hendak diajukan olehnya, cuma dasar perangainya halus, biasanya suka menghormati orang tua pula, betapa pun ia anggap Ih Jong-hay sebagai angkatan tua, maka sukar untuk mengucapkan pertanyaan itu. Sekarang nona cilik itu telah mewakilkan dia berbicara, tentu saja ia sangat terima kasih, saking terharunya sampai air matanya bercucuran.
"Pertanyaanmu ini siapakah yang suruh kau ajukan padaku?" demikian tanya Ih Jong-hay.
Dara cilik itu ternyata tidak menjawab, sebaliknya berkata, "Jing-sia-pay kalian terdapat seorang yang bernama Lo Jin-kiat, dia adalah murid Totiang, bukan" Dia melihat seorang terluka parah, orang itu adalah seorang baik, tapi Lo Jin-kiat itu tidak menolongnya, sebaliknya malah telah menusuknya dengan pedang. Menurut Totiang, perbuatan Lo Jin-kiat itu terhitung kesatria gagah atau bukan" Apakah kepandaian demikian itu adalah ajaran Totiang?"
Sudah tentu pertanyaan itu membuat Ih Jong-hay serbarunyam dan sukar menjawab. Terpaksa ia tanya pula dengan suara bengis, "Aku tanya kau, sebenarnya siapa yang mendalangi kau untuk mencari perkara padaku" Ayahmu adalah orang Hoa-san-pay, bukan?"
Kembali si anak dara tidak menjawab, ia malah berpaling kepada Ting-yat dan bertanya, "Losuthay, caranya menggertak anak kecil ini apakah terhitung perbuatan seorang laki-laki" Apakah terhitung seorang kesatria?"
"Wah, sukar bagiku untuk menjawabnya," sahut Ting-yat.
Keruan semua orang tambah heran. Kalau pertanyaan-pertanyaan si anak dara, semula mereka menduga adalah suruhan orang tua, tapi pertanyaannya yang belakangan ini terang sangat tajam dan jitu terhadap sikap Ih Jong-hay yang garang itu. Jadi pertanyaan belakangan ini diucapkan menurut keadaan dan bukanlah karangan sebelumnya, sungguh tidak disangka nona semuda itu ternyata sudah begitu lihai mulutnya.
Dengan pandangan yang samar-samar karena tergenang air mata, tiba-tiba hati Gi-lim tergerak melihat bayangan si nona cilik yang ramping itu. Ia merasa adik cilik itu seperti pernah dilihatnya, tapi entah di mana"
"Ah, benar. Kemarin dia pun berada di Cui-sian-lau," demikian tiba-tiba teringat oleh Gi-lim. Lalu terbayanglah keadaan kemarin pagi ketika dia dipaksa naik ke atas loteng restoran itu oleh Dian Pek-kong. Semula restoran itu penuh tamu, tapi sesudah terjadi pertempuran, para tamu lantas lari bubar ketakutan, pelayan juga tidak berani mendekat. Namun pada meja yang terletak di pojok dekat jendela justru masih duduk dua orang, sampai akhirnya Lenghou Tiong terbunuh dan dirinya memondong jenazah Lenghou Tiong keluar dari restoran itu, agaknya kedua orang itu masih belum meninggalkan mejanya.
Waktu itu karena pikirannya lagi bingung, banyak kejadian-kejadian yang membuatnya cemas, sudah tentu ia tidak perhatikan siapakah kedua orang yang duduk di pojok itu. Tapi sekarang perawakan anak dara itu rasanya cocok benar dengan bayangan yang masih membekas dalam benaknya. Ia merasa satu di antara dua orang kemarin itu bukan lain adalah si dara cilik ini. Tapi masih ada lagi seorang, siapakah dia" Yang masih teringat olehnya orang itu adalah laki-laki, hal ini tidak perlu disangsikan. Cuma saja bagaimana dandanannya, tua atau muda, inilah yang kurang jelas baginya.
Kalau saat itu perhatian semua orang terpusat kepada Ih Jong-hay dan si dara cilik, adalah pikiran Gi-lim seorang saja yang tenggelam dalam lamunannya. Terbayang pula pemandangan kemarinnya, wajah Lenghou Tiong yang selalu tertawa seakan-akan muncul lagi di depan matanya, terbayang olehnya cara bagaimana sebelum mati Lenghou Tiong memancing Lo Jin-kiat mendekat, lalu pedangnya menubles ke dalam perut musuh itu. Kemudian dirinya memondong jenazah Lenghou Tiong meninggalkan loteng restoran. Dalam keadaan limbung ia sendiri tidak tahu menuju ke mana, samar-samar ia merasa telah keluar kota dan berjalan terus tanpa arah tujuan. Ia merasa tubuh yang dipondongnya itu lambat laun mulai dingin, tanpa merasa berat dan tidak tahu sedih atau duka, lebih-lebih tidak tahu jenazah itu hendak dibawanya ke mana. Tahu-tahu ia sampai di tepi sebuah empang, bunga teratai tampak mekar dengan indahnya. Mendadak dadanya terasa ditumbuk oleh sesuatu, ia tidak tahan lagi, bersama jenazah yang masih dipondongnya itu dia roboh terkapar, lalu tidak ingat apa-apa lagi.
Kemudian waktu siuman kembali, ia merasa cahaya matahari menyilaukan mata. Cepat ia hendak memondong kembali jenazah yang terjatuh. Tapi ia meraba tempat kosong. Ia melompat bangun terkejut. Dilihatnya dirinya masih berada di tepi empang, bunga teratai masih tetap indah, namun jenazah Lenghou-toako sudah menghilang. Ia coba mengelilingi empang itu dan tidak menemukan sesuatu. Dari air empang yang jernih itu terlihat jelas dasar empang yang hijau berlumut. Lantas ke manakah jenazah Lenghou-toako" Mengapa bisa terbang tanpa sayap"
Ia melihat pakaiannya sendiri berlepotan darah, terang bukan dalam mimpi. Tapi jenazah Lenghou-toako benar-benar telah menghilang tanpa bekas. Ia menjadi takut dan berduka, hampir-hampir ia jatuh terkapar lagi. Sesudah tenangkan diri akhirnya ia sampai ke Heng-san dan mendatangi rumah Lau Cing-hong serta bertemu kembali dengan gurunya. Namun di dalam hati senantiasa ia bertanya-tanya, "Ke manakah perginya jenazah Lenghou-toako?"
Teringat olehnya kesatria muda itu telah mengorbankan jiwanya lantaran hendak menolongnya, tapi sekarang jenazah penolong itu saja dirinya tak sanggup menjaganya, sungguh ia tidak ingin hidup lebih lama lagi. Padahal seumpama jenazah Lenghou Tiong tidak kurang suatu apa pun, dia juga tak ingin hidup lagi.
Tiba-tiba timbul sesuatu pikiran dari lubuk hatinya yang dalam, sebuah pikiran yang tak berani dipikirkan olehnya, pikiran yang tidak patut baginya sebagai seorang padri. Tapi pikiran demikian itu toh sukar dihapus dari benaknya. Dengan jelas terbayang olehnya, "Pada waktu aku memondong jenazah Lenghou-toako, yang kuharapkan adalah selama hidupku akan selalu dapat memondong tubuhnya dan berjalan, berjalan terus di tempat yang tiada seorang pun. Betapa pun aku harus menemukan kembali jenazahnya. Tapi apakah sebabnya" Apakah karena khawatir jenazahnya dimakan binatang liar" Tidak, bukan itu maksudnya. Sungguh celaka, mengapa waktu di tepi empang itu aku bisa jatuh pingsan" Padahal ingin sekali jenazah itu akan berada di dalam pangkuannya selama hidup. Ai, mengapa timbul pikiran demikian" Seharusnya aku tidak boleh berpikir demikian, Suhu tidak boleh, Buddha juga melarang. Pikiran demikian adalah pikiran setan iblis, aku tidak boleh kerasukan setan. Akan tetapi bagaimana dengan jenazah Lenghou-toako?"
Begitulah pikirannya terasa buntu, sebentar-sebentar seakan-akan terbayang senyuman Lenghou Tiong yang menawan hati. Lain saat terbayang juga air muka Lenghou Tiong yang mencemoohkan sambil memaki, "Nikoh cilik yang membikin sial" itu ....
Dalam pada itu suara Ih Jong-hay bergema pula, "Lo Tek-nau, nona cilik ini adalah orang Hoa-san-pay kalian atau bukan?"
"Bukan," sahut Tek-nau. "Bahkan Tecu juga baru kenalnya sekarang ini."
"Baik, kau tak mau mengaku juga tak mengapa," kata Ih Jong-hay. Mendadak tangannya bergerak, sinar hijau berkelebat, sebuah Hui-cui (bor terbang) melayang ke arah Gi-lim disertai bentakannya, "Awas, Siausuhu!"
Saat itu Gi-lim masih termenung-menung, sama sekali tak berpikir akan diserang oleh Ih Jong-hay. Menyambarnya bor kecil itu sangat lambat, tapi membawa suara mendenging keras. Tiba-tiba Gi-lim merasa senang malah, pikirnya, "Bagus, memangnya aku tidak ingin hidup lagi, paling baik kalau aku terbunuh saja!"
Karena itu sama sekali ia tidak bermaksud menghindar atau menangkap senjata rahasia itu walaupun orang ramai memperingatkannya. Entah mengapa ia malah merasa senang, ia merasa daripada hidup merana dan kesepian di dunia fana ini, ada lebih baik senjata rahasia itu mengirimkan sukmanya ke surga nirwana.
Sekonyong-konyong Ting-yat bertindak, ia dorong minggir si anak dara tadi lalu melompat maju untuk mengadang di depan Gi-lim. Biarpun usianya sudah lanjut, tapi gerakan Ting-yat itu ternyata amat gesit dan cepat sekali, ia sempat mengulurkan tangannya untuk menangkap senjata rahasia itu.
Di luar dugaan, sebelum Hui-cui itu tertangkap Ting-yat, mendadak senjata rahasia itu anjlok ke bawah dan jatuh di lantai.
Sebenarnya kalau Ting-yat mau mengangsurkan tangannya, maka dengan mudah sekali Hui-cui itu akan tertangkap olehnya. Cuma dia sengaja menunggu bila senjata itu sudah menyambar di depan dadanya barulah akan ditangkapnya secepat kilat. Dengan demikian ia hendak perlihatkan gayanya sebagai jago silat kelas wahid.
Tidak tersangka serangan Ih Jong-hay itu juga sangat aneh, sudah diperhitungkan bila kira-kira Hui-cui itu kira-kira satu meter di depan sasarannya, lalu anjlok dan jatuh ke bawah. Cara demikian bukan saja dalam hal tenaga sambitan telah diatur secara tepat, bahkan maksudnya juga sangat licik.
Benar saja Ting-yat telah kena dikerjai, dia telah menangkap tempat kosong. Senjata rahasia itu telah jatuh lebih dulu. Terang dia telah kalah satu jurus, tanpa merasa mukanya menjadi merah, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Pada saat itulah tertampak Ih Jong-hay kembali mengayun tangannya lagi, sepulung kertas telah ditimpukkan ke muka si dara cilik tadi. Pulungan kertas itu adalah kertas yang berlukiskan kura-kura yang ditempelkan di punggung Ih Jong-hay oleh anak dara itu.
Melihat itu barulah Ting-yat sadar sebabnya imam kerdil itu menyerang Gi-lim sebenarnya hanya untuk memancing saja agar dirinya terpaksa menolong muridnya sendiri.
Tampaknya pulung kertas kecil itu menyambar ke depan dengan lebih cepat, bahkan lebih dahsyat kekuatannya daripada sambaran Hui-cui tadi. Terang pulungan kertas itu disambitkan dengan iringan tenaga dalam yang kuat, jika muka anak dara itu terkena, tentulah akan terluka.
Waktu itu Ting-yat berdiri di depan Gi-lim, hendak menolong juga tidak terburu lagi. Baru saja ia hendak mendamprat kelicikan Ih Jong-hay itu, tiba-tiba tertampak anak dara itu telah mengangkat tangan kanan, jari telunjuknya menyelentik sekali ke arah datangnya pulungan kertas. "Crit", tahu-tahu gulungan kertas itu hancur menjadi beratus-ratus keping kecil dan bertebaran sebagai kupu-kupu terbang. Serentak bersorak-sorailah beberapa puluh orang.
Sebaliknya tokoh-tokoh sebagai Ting-yat, Ih Jong-hay, Thian-bun Tojin, Lau Cing-hong, Bun-siansing, Ho Sam-jit dan lain-lain sama terperanjat. Segera Ih Jong-hay bertanya, "He, he, nona cilik, hebat benar selentikan 'Pek-niau-tiau-hong' yang kau mainkan ini!"
Seketika sorot mata Ting-yat dan lain-lain memaku ke muka si anak dara dan ingin mendengar bagaimana jawabnya. Mereka tahu "Pek-niau-tiau-hong" (beratus burung menghadap burung Hong) adalah semacam ilmu silat Mo-kau (agama iblis, berasal dari agama Mani) yang lihai, bila sudah sempurna melatihnya, sekali bergerak dapat membinasakan beberapa orang sekaligus.
Melihat usia dara cilik itu, sudah tentu kepandaiannya belum sempurna, tapi selang beberapa tahun lagi dan yang dia selentikkan juga bukan lagi pulungan kertas, tapi adalah sebangsa pasir berbisa dan senjata rahasia kecil lain yang jahat, maka betapa pun lihai lawannya juga akan kewalahan menghadapi taburan beratus-ratus dan mungkin beribu-ribu butir pasir dan lain-lain. Terhadap ilmu silat pihak Mo-kau biasanya orang-orang Bu-lim dari kalangan Cing-pay memang merasa pusing kepala dan sukar menghadapinya. Siapa duga hanya seorang anak dara cilik pun mahir menggunakan ilmu silat yang lihai lagi keji itu.
Namun lantas terdengar dara cilik itu mengikik tawa dan menjawab, "Siapa bilang ini adalah 'Pek-niau-tiau-hong'" Kata ibu, ilmu ini bernama 'It-ci-tan'. Cuma latihanku belum sempurna, jika dilatih 20 tahun lagi barulah lumayan. Tapi kalau 20 tahun lagi, tatkala mana rambutku sudah ubanan dan gigiku juga sudah ompong, lalu buat apalagi menggunakan 'It-ci-tan' apa segala?"
Thian-bun dan Ting-yat saling pandang sekejap, air muka mereka sama-sama mengunjuk rasa heran dan kejut.
Ting-yat lantas menegas, "Kau bilang ini adalah ilmu sakti 'It-ci-tan'" Jika demikian, apakah ibumu tinggal di Ci-tiok-to di lautan timur?"
"Betul atau tidak boleh kau terka sendiri," sahut si dara cilik sambil tertawa. "Menurut pesan ibu, asal usul kami sekali-kali tidak boleh diceritakan kepada orang lain."
Tentang ilmu silat "Pek-niau-tiau-hong" dari Mo-kau memang sudah terkenal, cuma bagaimana caranya tidaklah diketahui oleh Thian-bun Tojin dan lain-lain. Sedangkan "It-ci-tan" (jari tunggal sakti) adalah kepandaian Keng-goat Sin-ni, seorang Nikoh sakti di pulau Ci-tiok-to di lautan timur. Konon ilmu sakti itu tidak diajarkan kepada orang luar, jika anak dara ini mahir menggunakannya, sudah tentu dia mempunyai hubungan keluarga dengan Keng-goat Sin-ni.
Keng-goat Sin-ni adalah tokoh kosen yang sangat terkenal di dunia persilatan, tiada tokoh lain yang dapat membandingi dia. Walaupun pengakuan anak dara ini entah benar atau tidak, tapi lebih baik percaya saja daripada kemungkinan memusuhi seorang tokoh sakti yang teramat lihai itu. Lantaran pikiran demikianlah maka Thian-bun dan lain-lain lantas menaruh hormat kepada si anak dara. Sebaliknya wajah Ih Jong-hay menjadi pucat.
Ting-yat Suthay memang paling suka kepada nona cilik yang berwajah molek, apalagi dara cilik itu ada hubungannya dengan Ci-tiok-to di lautan timur, sebagai sesama murid Buddha, sudah tentu ia tidak membiarkan anak kecil itu dianiaya oleh Ih Jong-hay. Sebaliknya ia pun tahu Ih Jong-hay adalah seorang pemimpin persilatan terkenal yang sukar dilawan, jika terjadi bentrokan tentu tidak menguntungkan juga. Maka ia lantas berkata kepada Gi-lim, "Ayah-ibu adik cilik ini entah pergi ke mana, coba kau bantu dia pergi mencari supaya dia tidak dianiaya orang jahat lagi."
Gi-lim mengiakan dan segera mendekati dara cilik itu untuk menggandeng tangannya. Anak dara itu tertawa riang dan ikut Gi-lim keluar.
Tahu tiada gunanya lagi jika merintangi, maka Ih Jong-hay hanya menjengek saja tanpa menggubris pula.
Setiba di ruangan depan, Gi-lim lantas tanya anak dara itu, "Adik cilik, kau she apa dan bernama siapa?"
"Aku she Lenghou, bernama Tiong," demikian dara cilik itu menjawab dengan tertawa.
Seketika perasaan Gi-lim terguncang, ia lantas menarik muka dan mengomel, "Aku tanya sungguh-sungguh padamu, mengapa kau bergurau padaku?"
"Mengapa kau bilang bergurau?" sahut si anak dara. "Memangnya hanya sobatmu boleh bernama Lenghou Tiong dan aku tidak boleh?"
Gi-lim menarik napas, hatinya berduka, air matanya lantas menetes, katanya, "Aku telah utang budi kepada Lenghou-toako yang telah menolong jiwaku, tapi dia telah mati bagiku, aku ... aku tidak sesuai untuk menjadi sobatnya."
Berkata sampai di sini, tertampaklah dua orang bungkuk, seorang lebih tinggi dan seorang katai, bergegas-gegas lalu di serambi sana. Itulah Say-pak-beng-tho Bok Ko-hong dan Lim Peng-ci.
Si anak dara mengikik tawa dan berkata, "Di dunia ini ternyata bisa terjadi secara kebetulan demikian dan benar-benar ada seorang bungkuk tua sejelek itu."
Mendengar dara cilik itu suka mengolok-olok orang, Gi-lim merasa sebal, katanya, "Adik cilik, maukah kau pergi sendiri mencari ayah-bundamu" Kepalaku sakit, badanku kurang enak."
"Ala, kau pura-pura saja," kembali si anak dara mengolok-olok. "Aku tahu, kau merasa tidak senang karena aku menggunakan nama Lenghou Tiong. Cici yang baik, gurumu suruh kau untuk mengawani aku, mana boleh kau tinggalkan diriku" Bila aku dianiaya orang tentu kau akan diomeli gurumu."
"Kepandaianmu lebih tinggi daripadaku, kau juga sangat cerdik, sampai-sampai tokoh seperti Ih-koancu juga kewalahan padamu. Jika kau tidak mengakali orang saja sudah baik, masakah ada orang lain yang berani main gila padamu?"
"Aduh, Cici yang baik, janganlah kau mengolok-olok diriku," sahut si dara cilik dengan tertawa. "Tadi kalau Suhumu tidak melindungi aku, tentu aku sudah dihajar babak belur oleh Tojin katai itu. Cici yang baik, aku she Kik, bernama Fi-yan, kakek dan ayah-ibu memanggil aku Fifi, maka kau boleh panggil Fifi padaku."
Mendengar dara cilik itu sudah mau mengaku namanya yang asli, rasa kurang senang Gi-lim tadi lantas lenyap. Cuma ia heran dari mana anak dara itu tahu dirinya mengenangkan Lenghou Tiong sehingga hal itu digunakan untuk menggodanya.
Segera ia berkata, "Baiklah, Fifi, marilah kita pergi mencari ayah-ibumu. Kau sangka mereka pergi ke mana?"
"Sudah tentu aku tahu mereka ke mana. Jika kau hendak mencari mereka bolehlah silakan. Aku sendiri tidak mau ikut ke sana."
Gi-lim menjadi heran. "Mengapa kau sendiri malah tidak mau pergi mencari mereka?" tanyanya.
"Habis, usiaku masih begini muda, kan sayang jika aku ikut ke sana. Tapi lain halnya dengan kau, kau teramat berduka, tentu kau ingin lekas-lekas pergi ke sana."
Gi-lim terkesiap, ia menegas, "Jadi ayah-ibumu ...."
"Ya, ayah-ibuku sudah lama wafat," sela Fifi. "Jika kau ingin mencari mereka, boleh silakan menyusul ke akhirat."
Diam-diam Gi-lim kurang senang. Katanya, "Ayah-ibumu sudah wafat, mengapa kau gunakan sebagai bahan kelakar" Sudahlah, aku akan kembali saja, sampai berjumpa pula!"
Tapi sekali pegang segera pergelangan tangan Gi-lim kena dicengkeram Fifi. Dara cilik itu memohon, "O, Cici yang baik, aku sebatang kara tiada teman, harap kau suka mengawani aku."
Seketika Gi-lim merasa setengah badannya kaku kesemutan terkena cengkeraman tangan anak dara itu. Diam-diam ia terkejut dan tahu ilmu silat anak kecil itu memang benar-benar di atas dirinya. Terpaksa ia menjawab, "Baiklah, aku akan mengawani kau sebentar, tapi kau tidak boleh sembarangan omong lagi."
"Ada omongan yang kau anggap kurang baik, tapi bagiku adalah omongan baik, soalnya tergantung pendapat masing-masing," ujar dara cilik itu. "Eh, Enci Gi-lim, sebaiknya kau jangan menjadi Nikoh saja."
Gi-lim melengak atas perkataan itu, tanpa merasa ia mundur setindak. Fifi juga lantas melepaskan cengkeraman tangannya. Katanya pula dengan tertawa, "Apa enaknya menjadi Nikoh" Tidak boleh makan ikan, dilarang makan daging, apa-apa serbatidak boleh. Padahal Cici sedemikian cantik, kepala dicukur gundul, tentu saja kurang bagus. Bila engkau piara rambut yang indah tentulah akan tambah molek."
Mendengar ucapan yang kekanak-kanakan itu, dengan tertawa Gi-lim berkata, "Kami adalah orang yang telah meninggalkan rumah, segala apa sudah dianggap hampa, hidup ini laksana orang mimpi saja, peduli apa tentang muka cantik atau tidak segala?"
Tiba-tiba Fifi mendongak dan mengamat-amati wajah Gi-lim. Tatkala itu hujan baru saja berhenti, cahaya sang dewi malam remang-remang menembus gumpalan awan yang mulai merekah, wajah Gi-lim tampaknya jadi makin cantik. Dara cilik itu menarik napas, tiba-tiba menggumam, "Pantas orang sedemikian merindukan kau."
Muka Gi-lim menjadi merah, omelnya, "Kau bilang apa" Fifi, kau sembarangan omong lagi, aku akan pulang saja."
"Baiklah, aku tak akan omong apa-apa lagi," cepat Fifi mengalah. "Eh, Cici yang baik, harap engkau suka memberi sedikit obat Thian-hiang-toan-siok-ko padaku untuk menolong satu orang."
"Menolong siapa?" tanya Gi-lim dengan heran.
"Orang ini sangat penting, sementara ini tak boleh kukatakan padamu," sahut Fifi dengan tertawa.
"Sebenarnya boleh saja kuberi obat yang kau minta ini," kata Gi-lim. "Cuma Suhuku telah memberi peringatan agar obat ini tidak boleh sembarangan dibuat menolong orang jahat."
"Cici, jika ada orang memaki Suhumu dengan kata-kata yang kasar, orang itu baik atau jahat?" tanya Fifi.
"Dia memaki guruku, sudah tentu jahat," sahut Gi-lim tanpa pikir.
"Sungguh aneh," kata Fifi dengan tertawa. "Padahal ada seseorang berteriak-teriak katanya akan sial bilamana melihat Nikoh, asal judi pasti kalah. Bukan saja memaki gurumu, bahkan juga memaki kau, tapi kau justru melumuri badannya dengan obatmu ...."
Tidak menunggu ucapan Fifi habis, segera Gi-lim putar tubuh terus melangkah pergi. Cepat Fifi melompat mengadang di depannya sambil pentang tangan dengan tertawa.
Sekonyong-konyong pikiran Gi-lim tergerak, "Ah, kalau tidak salah kemarin dia dan seorang lagi tetap berduduk di dalam restoran itu sampai aku membawa pergi jenazah Lenghou-toako. Jadi semua itu sudah dilihat olehnya, jangan-jangan kemudian dia ... dia terus ikut ... ikut pula di belakangku?"
Sebenarnya ia ingin mengajukan suatu pertanyaan tapi mukanya menjadi merah dan tak sanggup bicara.
Fifi lantas berkata, "Cici, aku tahu, kau ingin tanya padaku ke mana perginya jenazah Lenghou-toako, bukan?"
"Ya, be ... benar," sahut Gi-lim tergagap-gagap. "Jika adik memberi tahu, tentu aku akan ... akan sangat berterima kasih."
Bab 17. Laki-laki Boleh Mengapa Wanita Tak Boleh"
"Aku sendiri sih tidak tahu, tapi ada seorang lain yang mengetahui," kata Fifi. "Orang itu terluka parah, jiwanya dalam bahaya. Jika Cici mau menolongnya dengan Thian-hiang-toan-siok-ko, tentu Cici juga akan diberi tahu di mana beradanya jenazah Lenghou-toako."
"Kau sendiri tidak tahu?" Gi-lim menegas.
"Tidak, jika aku Kik Fi-yan mengetahui di mana beradanya jenazah Lenghou-toako, biarlah besok juga aku akan ditubles belasan kali oleh pedang Ih Jong-hay."
"Sudahlah, aku percaya padamu," cepat Gi-lim mendekap mulut si anak dara. "Siapakah orang itu?"
"Orang itu adalah orang baik, tergantung kau akan menolongnya atau tidak," kata Fifi. "Tempat yang akan kita datangi juga bukanlah tempat yang baik."
Karena tujuannya ingin mencari jenazah Lenghou Tiong, biarpun menerobos rimba pedang juga akan dilakukannya, jangan cuma masalah tempat baik atau tidak. Segera ia berkata, "Marilah, sekarang juga kita pergi ke sana."
Segera mereka keluar dari gedung keluarga Lau itu. Ternyata hujan gerimis turun lagi. Namun di samping pintu terletak belasan buah payung, mereka lantas ambil payung masing-masing sebuah terus berjalan menuju ke arah tenggara. Waktu itu sudah jauh malam, orang berlalu-lalang hampir tak ada lagi, di sana-sini hanya terdengar suara anjing menggonggong.
Gi-lim melihat Fifi membawanya menyusur gang-gang yang kecil, karena yang terpikir adalah jenazah Lenghou Tiong, maka ia pun tidak ambil pusing dirinya hendak dibawa ke mana oleh dara cilik itu. Akhirnya mereka masuk ke sebuah lorong yang sempit dan panjang. Sampai di depan sebuah rumah yang di atas pintu tergantung sebuah lentera merah kecil, Fifi lantas berhenti di situ dan mengetok pintu.
Tidak lama kemudian terdengar ada orang mendatangi dari pekarangan dalam, pintu terbuka sedikit, kepala orang itu menongol ke luar.
Fifi bisik-bisik di tepi telinga orang itu, lalu menyodorkan sesuatu pula ke tangan orang itu. Akhirnya orang itu manggut-manggut dan berkata, "Ya, ya, silakan Siocia masuk!"
Fifi menoleh dan menggapai, Gi-lim lantas ikut masuk ke rumah itu. Waktu berlalu di sisi laki-laki itu, terlihat orang itu memakai baju sutera, rambutnya tersisir licin dan tampak keheran-heranan demi melihat Gi-lim.
Segera orang itu mendahului berjalan di depan dan membawa mereka ke serambi kanan, sampai di depan sebuah kamar, ia menyingkap tirai kamar itu dan berkata, "Siocia, Suhu, silakan duduk di dalam."
Begitu masuk ke dalam kamar, Gi-lim lantas mengendus bau harum pupur sebagaimana lazimnya kamar kaum wanita. Di tengah kamar ada sebuah ranjang besar dengan seprai dan sarung bantal bersulam indah. Begitu pula selimutnya.
Sejak kecil Gi-lim hidup sederhana sebagai seorang padri, sudah tentu tak pernah melihat selimut dan sarung kasur-bantal sebagus itu. Ia lihat di atas meja menyala sebatang lilin merah, di samping sana ada sebuah kaca dan sebuah kotak rias. Di depan ranjang ada dua pasang sepatu, sepasang sepatu pria dan sepasang lain adalah sepatu wanita.
Jantung Gi-lim berdebur-debur, waktu ia berpaling, tertampak sebuah wajah yang bulat telur dan kemerah-merahan, itulah roman muka sendiri yang tercermin pada kaca itu.
Pada saat itulah tirai kamar tersingkap, seorang pelayan wanita melangkah masuk dengan tersenyum-senyum dan menyuguhkan teh. Pakaian pelayan wanita ini sangat ketat, jalannya juga bergoyang pantat seperti sengaja dibuat-buat.
Melihat keadaan demikian Gi-lim menjadi semakin takut. Dengan suara perlahan ia tanya Fifi, "Sebenarnya ini tempat apa?"
Fifi hanya tertawa dan tidak menjawab. Tiba-tiba ia membisiki apa-apa kepada pelayan itu. Terdengar pelayan itu mengiakan, lalu sambil mengikik genit lantas berjalan pergi dengan tingkah laku yang dibikin-bikin.
Diam-diam Gi-lim pikir wanita itu pasti bukan orang baik-baik, selagi dia hendak tanya lebih jauh kepada Fifi, tiba-tiba terdengar ada suara orang lelaki bergelak tertawa di luar kamar. Suaranya seperti sudah dikenalnya.
Dalam kejutnya Gi-lim terus berbangkit dan hendak lolos pedang, tapi tangannya telah meraba tempat kosong. Kiranya pedangnya sudah hilang, entah sejak kapan senjatanya telah dicuri orang.
Di tengah gelak tertawa, orang itu pun telah menyingkap tirai pintu kamar dan melangkah masuk. Tapi begitu melihat Gi-lim berada di dalam kamar, seketika suara tertawa orang itu lenyap, air mukanya tampak serbarunyam.
Gi-lim sendiri juga serbasusah, jantungnya memukul semakin keras. Kiranya orang itu tak lain tak bukan adalah "Ban-li-tok-heng" Dian Pek-kong.
Keruan Gi-lim mengeluh dan menganggap telah ditipu Fifi. Pantas dara cilik itu mengatakan ada seorang sangat merindukan dia.
Setelah tertegun sejenak, segera Dian Pek-kong berputar tubuh hendak pergi.
Tapi Fifi cepat menahannya, "Nanti dulu! Mengapa melihat aku lantas hendak lari?"
Namun Dian Pek-kong sudah lantas menyelinap keluar, sahutnya, "Aku tidak ... tidak ingin bertemu dengan Siausuhu ini."
Fifi bergelak tertawa, katanya, "Dian Pek-kong, kau ini orang yang tidak dapat dipercaya. Kau sudah bertaruh dengan Lenghou Tiong dan akhirnya kau kalah, seharusnya kau menyembah kepada Siausuhu ini dan panggil Suhu padanya. Sekarang bertemu dengan Suhu mengapa tidak memberi hormat dan menyapa, sebaliknya malah mengeluyur pergi?"
"Soal itu jangan diungkat-ungkat lagi, aku memang telah ditipu Lenghou Tiong," kata Dian Pek-kong. "Fifi, mengapa kau datang ke tempat demikian ini" Hayo, lekas pergi, lekas! Anak perempuan masakah sembarangan datang ke rumah pelacuran begini?"
Jantung Gi-lim kembali memukul keras demi mendengar kata-kata "rumah pelacuran", hampir-hampir saja ia jatuh pingsan.
Memang, sejak melihat keadaan kamar yang luar biasa itu dia sudah merasa curiga, tapi sekali-kali tak tersangka olehnya bahwa tempat ini adalah rumah pelacur. Pernah dia mendengar cerita orang bahwa pelacur adalah wanita yang paling hina di dunia ini. Setiap lelaki, asal punya duit, tentu dapat memanggil wanita pelacur. Sekarang Fifi membawa dirinya ke tempat demikian, bukankah seakan-akan dirinya hendak disuruh jadi pelacur" Saking cemasnya hampir-hampir saja Gi-lim menangis. Untunglah begitu melihat dirinya Dian Pek-kong lantas angkat kaki dan tidak berani main gila lagi padanya, jika demikian rasanya masih ada harapan untuk meninggalkan tempat kotor ini.
Dalam pada itu terdengar Fifi lagi berkata dengan tertawa, "Laki-laki adalah manusia, wanita juga manusia. Kau boleh datang ke rumah pelacur ini, mengapa aku tidak boleh?"
Keruan Dian Pek-kong serbarunyam, ia tidak tahu cara bagaimana mendekat dan beri penjelasan kepada anak dara itu. Terpaksa dengan membanting-banting kaki ia berkata di luar kamar, "Ai, jika kakekmu mengetahui kau berada di sini, tentu aku akan dibunuhnya. Fifi yang baik, Fifi yang manis, kumohon engkau jangan bergurau lagi dan lekas pergi bersama Siausuhu itu. Asal kau segera pergi dari sini, apa pun yang kau minta tentu akan kulakukan bagimu."
"Aku justru tidak mau pergi, malam ini juga aku ingin tidur bersama Enci Gi-lim di kamar yang paling indah di seluruh kota Heng-san ini," sahut Fifi dengan tertawa.
"Hayo, kau mau pergi atau tidak?" desak Dian Pek-kong dengan tak sabar.
"Tidak, sekali tidak tetap tidak!" sahut Fifi dengan tertawa.
"Fifi, O, Fifi yang manis, lekas kau pergi saja dari sini!" pinta Dian Pek-kong dengan nada halus. "Biarlah besok juga akan kucarikan tiga macam barang mainan yang bagus untukmu."
"Cis, memangnya aku kepingin barang mainanmu?" semprot Fifi. "Akan kukatakan kepada kakek bahwa Dian Pek-kong yang mengajak aku ke tempat ini."
"Heh, mana boleh kau berkata demikian?" seru Dian Pek-kong dengan gugup. "Aku kan tidak berbuat sesuatu yang salah padamu, mana boleh kau berbohong demikian" Apakah kau sengaja membikin celaka padaku" Apakah kau tidak punya perasaan?"
"Kau sendiri punya perasaan atau tidak, Dian Pek-kong?" tanya Fifi. "Mengapa berhadapan dengan Suhumu kau tidak memberi hormat malah terus hendak mengeluyur pergi?"
"Ya sudah, anggap aku yang salah," ujar Dian Pek-kong. "O, Fifi, sebenarnya apa yang kau kehendaki dariku?"
"Aku kan ingin menjadikan kau seorang laki-laki sejati yang harus pegang janji," kata Fifi. "Nah, lekas menggelinding masuk kemari dan menjura kepada Suhumu."
"Wah, ini ... ini ...." sahut Dian Pek-kong dengan tergagap-gagap.
"Tidak, tidak! Aku tak mau bertemu dengan dia, juga tidak ingin dia menjura padaku, dia ... dia bukan muridku," cepat Gi-lim menyela.
"Nah, Fifi, kau dengar sendiri. Siausuhu itu pun tidak mau bertemu dengan aku," kata Dian Pek-kong.
"Baiklah, anggap kau yang beruntung," kata Fifi. "Tapi dengarkan dulu! Waktu aku datang kemari tadi, dari belakang kulihat ada dua bangsat keroco telah mengikuti kami, hendaklah membereskan mereka dulu. Nanti kau harus menjaga pula di luar rumah dan siapa pun dilarang mengganggu kami. Jika segalanya kau kerjakan dengan baik, besok aku pun takkan bilang apa-apa kepada kakek."
Rupanya Dian Pek-kong sangat jeri kepada kakek si Fifi, terpaksa ia menjawab, "Baiklah. Tapi kau harus pegang janji!"
"Aku toh bukan laki-laki sejati, pegang janji atau tidak, peduli apa?" ujar Fifi dengan tertawa.
Habis itu, mendadak Dian Pek-kong membentak, "Bangsat, mau apa kalian main sembunyi-sembunyi di situ?"
Menyusul terdengarlah suara gemerantang jatuhnya senjata di atas genting. Lalu ada suara jeritan seseorang, berbareng terdengar juga suara orang berlari.
"Wah, hanya terbunuh satu, adalah bangsat dari Jing-sia-pay. Yang seorang lagi telah lari," demikian kata Dian Pek-kong di luar rumah.
"Sungguh tidak becus, masakah sampai dia sempat lolos?" omel Fifi.
"Aku tak dapat membunuh orang itu, dia ... dia adalah Nikoh dari Hing-san-pay," kata Pek-kong.
"O, kiranya paman-gurumu, sudah tentu tak boleh dibunuh," Fifi mengolok-olok dengan tertawa.
Sebaliknya Gi-lim menjadi terkejut, "Ha, kiranya adalah Suciku! Wah, bagaimana baiknya ini?"
Namun Fifi lantas berkata, "Marilah sekarang juga kita pergi menjenguk orang yang terluka itu. Jika kau khawatir didamprat gurumu, sekarang boleh silakan pulang saja."
Gi-lim menjadi ragu-ragu malah. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia berkata, "Sudahlah. Toh sudah telanjur datang ke sini, marilah kita pergi menjenguk orang itu."
Fifi mengikik tawa. Ia lantas mendekati ujung tempat tidur dan mendorong perlahan dinding sebelahnya, maka terbukalah sebuah pintu rahasia. Anak dara itu melambaikan tangannya kepada Gi-lim, lalu mendahului masuk ke sana.
Diam-diam Gi-lim merasa rumah pelacuran itu benar-benar sangat aneh dan penuh rahasia, dengan tabahkan hati ia lantas ikut masuk ke dalam. Kiranya di sebelah sana adalah sebuah kamar pula. Tapi tiada lampu, hanya cahaya lilin yang tembus dari kamar sebelah tadi dapatlah diketahui bahwa kamar ini sangat kecil, terdapat juga sebuah ranjang dengan kelambu tertutup, samar-samar seperti ada orang tidur di situ.
Baru melangkah masuk ke dalam pintu Gi-lim lantas berhenti dan tidak berani maju lagi.
"Inilah orang yang terluka, silakan Cici memberikan Thian-hiang-toan-siok-ko pada lukanya," kata Fifi.
"Apakah ... apakah dia benar-benar mengetahui di mana jenazah Lenghou-toako berada?" tanya Gi-lim dengan sangsi.
"Mungkin tahu, mungkin tidak, aku tidak berani tanggung." sahut Fifi.
"Tadi ... tadi kau bilang dia tahu," kata Gi-lim dengan gugup.
"Aku toh bukan laki-laki sejati, ucapanku kan boleh sesukaku?" sahut Fifi dengan tertawa. "Jika kau suka mencoba, bolehlah kau mengobati lukanya. Kalau tidak, boleh silakan angkat kaki saja dari sini dan tentu tiada seorang pun yang akan merintangi kau."
Mengingat jenazah Lenghou Tiong harus diketemukan, terpaksa Gi-lim menjawab, "Baiklah, akan kuobati lukanya."
Ia balik ke kamar pertama untuk mengambil lilin, lalu mendekati tempat tidur orang yang luka itu. Sesudah kelambu disingkap, tertampaklah orang itu tidur telentang. Mukanya tertutup sepotong saputangan sutera warna hijau dan bergerak naik-turun bila orang itu bernapas.
Gi-lim agak tenang karena tidak tahu muka orang. Ia berpaling dan tanya Fifi, "Di bagian mana lukanya?"
"Di dada," sahut Fifi. "Lukanya sangat dalam, hampir saja mengenai jantung."
Perlahan-lahan Gi-lim membuka selimut tipis yang menutupi tubuh orang itu. Terlihatlah dada orang yang terbuka itu ada sebuah luka yang cukup lebar, darah sudah berhenti, tapi jelas sangat parah dan berbahaya.
Diam-diam Gi-lim membatin, "Lukanya memang berat, betapa pun aku harus menolong jiwanya."
Ia lantas menyerahkan tatakan lilin kepada Fifi, lalu memeriksa luka orang itu dan menutuk tiga Hiat-to di sekitar lukanya, tapi lantas diketahuinya tempat-tempat Hiat-to itu ternyata sudah tertutuk lebih dulu. Makanya tidak mengeluarkan darah.
Tapi ketika perlahan-lahan ia membuka kapas yang menempel di tempat luka itu, segera darah mengalir keluar pula. Cepat sebelah tangannya menahan tempat luka itu dan tangan lain lantas membubuhkan salep Thian-hiang-toan-siok-ko, lalu kapas ditempelkan pula ke mulut luka.
Thian-hiang-toan-siok-ko itu memang obat yang sangat manjur, hanya sekejap saja darah sudah terhenti. Dari pernapasan orang itu Gi-lim mengetahui keadaannya sudah agak mendingan. Dengan tak sabar ia lantas tanya, "Numpang tanya kesatria ini, apakah engkau sudi memberitahukan sesuatu padaku?"
Terdengar orang itu bersuara perlahan, tapi mendadak " entah disengaja atau tidak " tatakan lilin yang dipegangi oleh Fifi itu menjadi miring, api lilin lantas padam, keadaan menjadi gelap gulita.
"Wah, lilinnya padam!" seru Fifi.
Dalam keadaan gelap Gi-lim menjadi gugup. Pikirnya, "Tempat yang tak senonoh ini tidaklah layak bagiku. Aku harus lekas tanya keterangan tentang jenazah Lenghou-toako, lalu tinggal pergi dengan segera."
Maka ia lantas tanya pula, "Apakah engkau masih sakit, kesatria?"
Orang itu hanya mengerang perlahan dan tidak menjawab.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rupanya ia lagi demam, coba kau pegang dahinya, panasnya tak kepalang," kata Fifi.
Dan belum lagi Gi-lim menjawab, tahu-tahu Fifi sudah pegang tangannya untuk meraba dahi orang itu. Rupanya, saputangan yang menutupi muka orang itu sekarang sudah disingkirkan oleh Fifi. Gi-lim merasa dahi orang itu sangat panas sebagai dibakar. Mau tak mau timbul juga rasa kasihannya. Katanya, "Aku masih ada obat lain, boleh minumkan padanya. Fifi, silakan menyalakan lilin dahulu."
"Baiklah, harap kau tunggu di sini, akan kupergi mencari api," kata Fifi.
Gi-lim menjadi gugup karena hendak ditinggal pergi. Cepat ia tarik lengan baju anak dara itu dan berkata, "Jangan, kau jangan pergi! Aku tak mau ditinggalkan sendirian di sini."
Fifi tertawa, katanya, "Jika demikian, boleh kau keluarkan obatmu saja."
Gi-lim lantas mengeluarkan sebuah botol porselen kecil, ia menuangkan keluar tiga biji obat pil dan berkata, "Ini obatnya, boleh kau minumkan padanya."
"Dalam keadaan gelap, jangan-jangan obatmu akan jatuh, wah, kan sayang," ujar Fifi. "Enci yang baik, kau tidak berani tinggal sendirian di sini, silakan kau yang pergi mencari api, biar aku yang menunggu di sini saja."
Disuruh keluyuran di rumah pelacuran, sudah tentu Gi-lim tambah tidak berani. Cepat ia menjawab, "Tidak, tidak, aku tidak mau!"
"Ai, lalu bagaimana baiknya?" kata Fifi. "Ya sudahlah, boleh kau jejalkan obatmu ke dalam mulutnya dan beri minum padanya, kan jadi sudah" Dalam keadaan gelap dia toh takkan tahu siapa kau, kenapa mesti takut" Nah inilah cangkirnya, hati-hati, jangan sampai tumpah."
Dengan hati-hati Gi-lim menerima cangkir teh itu. Untuk sejenak ia menjadi ragu-ragu. Pikirnya, "Suhu sering mengajar padaku untuk mengutamakan welas asih kepada sesamanya, menolong jiwa seorang laksana membuat candi tujuh tingkat. Seumpama orang ini tidak tahu di mana beradanya jenazah Lenghou-toako, namun karena lukanya yang sangat parah ini, betapa pun aku harus menolongnya."
Perlahan-lahan ia lantas menjulurkan tangan, lebih dulu menyentuh dahi orang itu, lalu menurun dan menjejalkan ketiga biji pil "Pek-in-him-tah-wan", obat penyembuh luka dalam, ke dalam mulut orang itu.
Rupanya orang itu masih punya daya rasa, ia membuka mulut dan telan obat itu. Ketika Gi-lim mencekoki dia dengan beberapa cegukan teh, samar-samar ia seperti bersuara mengucapkan "terima kasih".
"Kesatria ini, mestinya aku tidak boleh mengganggu seorang yang terluka parah," demikian Gi-lim berkata pula. "Cuma terpaksa aku harus buru-buru tanya suatu urusan padamu. Ada seorang pendekar bernama Lenghou Tiong, dia telah dibunuh orang dan jenazahnya ...."
"O, kau ... kau tanya Lenghou Tiong ...." terdengar orang itu menyela dengan suara lemah.
"Benar!" kata Gi-lim. "Apakah tuan mengetahui di mana beradanya jenazah kesatria Lenghou Tiong itu?"
"Jena ... jenazah apa?" terdengar orang itu seperti menggumam dengan samar-samar.
"Ya, apakah engkau mengetahui jenazahnya Lenghou Tiong?" Gi-lim mengulangi.
Orang itu samar-samar mengucapkan apa-apa, tapi suaranya sangat perlahan sehingga tak jelas. Gi-lim mengulangi pertanyaannya lagi dan mendekatkan telinganya ke mulut orang itu. Tapi didengarnya napas orang itu agak memburu, agaknya ingin mengatakan sesuatu, tapi sukar diucapkan.
Tiba-tiba Gi-lim teringat tentang obat yang baru saja diminumkan itu, khasiatnya memang sangat cepat dan keras bekerjanya. Setelah minum obat sering kali si sakit akan tak sadarkan diri sampai setengah harian. Dalam keadaan demikian sudah tentu sukar untuk dimintai keterangan.
Dasar hati Gi-lim memang welas asih, perlahan-lahan ia menghela napas dan menyingkir dari tempat tidur itu dan berduduk di atas kursi yang berada di depan ranjang. Katanya, "Biarlah dia mengaso dulu, nanti kutanya dia lagi."
"Apakah jiwa orang ini tidak berbahaya, Cici?" tanya Fifi.
"Semoga demikian adanya," ujar Gi-lim. "Hanya luka di dadanya itu yang sangat parah. Fifi, sebenarnya siapakah dia ini?"
Fifi tidak menjawab. Sejenak kemudian dia malah berkata, "Kata kakekku, kau masih belum dapat kesampingkan segala urusan kehidupan manusia, sukar untuk menjadi Nikoh yang baik."
Gi-lim terheran-heran. Tanyanya, "Kakekmu kenal padaku" Dari mana ... dari mana beliau mengetahui tentang diriku?"
"Di atas Cui-sian-lau kemarin, kakek bersama aku telah menyaksikan kalian berkelahi dengan Dian Pek-kong," jawab Fifi.
"O, jadi yang bersama kau kemarin itu adalah kakekmu?" Gi-lim menegas.
"Benar," sahut Fifi. "Kemarin kami telah menyamar, sebab itulah keparat Dian Pek-kong tidak kenal kami. Dia paling takut kepada kakek, jika tahu kakekku berada di situ tentu siang-siang dia sudah lari sipat kuping."
Mendengar itu, diam-diam Gi-lim membatin, jika waktu itu kakeknya tampil ke muka tentu Dian Pek-kong akan kabur ketakutan dan Lenghou-toako tentu tidak akan terbunuh. Tapi dasar perangainya memang halus, rasa penyesalannya kepada orang lain itu betapa pun sukar diucapkan olehnya.
Tapi Fifi lantas berkata, "Dalam hatimu tentu kau menyalahkan kakek mengapa kemarin tak mau menggebah lari Dian Pek-kong sehingga mengakibatkan Lenghou-toakomu dibunuh oleh musuh, bukan?"
Gi-lim tidak dapat berdusta, perasaannya menjadi pilu, katanya dengan terguguk-guguk, "Akulah yang bersalah. Jika kemarin aku tidak cuci kaki segala di kali, tentu takkan dipergoki Dian Pek-kong dan tentu pula takkan menimbulkan urusan sejauh ini, mana aku berani menyesali kakekmu?"
"Itulah paling baik jika kau tidak menyesali kakek, biasanya dia paling tidak suka disalahkan orang," kata Fifi. "Menurut kakek, beliau ingin tahu sampai seberapa jahatnya Dian Pek-kong itu, ingin diketahuinya apakah Dian Pek-kong akan main akal bulus jika tak dapat menang dari lawannya."
Sampai di sini mendadak ia tertawa dan menyambung lagi, "Hihi, Lenghou-toakomu itu pun sangat pintar putar lidah, dia bilang kalau berkelahi sambil berduduk adalah jago nomor dua di dunia ini. Kakekku merasa tertarik dan rada-rada percaya, bahkan menyangka dia benar-benar telah menciptakan sejenis ilmu pedang yang dilatihnya di waktu berak dan yakin Dian Pek-kong pasti bukan tandingannya. Tak tahunya, hihihi!"
Dalam kegelapan Gi-lim tak bisa melihat wajah anak dara itu, tapi dapat dibayangkan dara cilik itu tentu sangat geli dan gembira. Sebaliknya perasaan Gi-lim sendiri bertambah pedih.
"Kemudian Dian Pek-kong telah melarikan diri dan kakek menganggapnya sebagai orang yang tak dapat dipercaya, sudah berjanji bila kalah dia harus menyembah dan mengangkat kau sebagai guru, mana boleh main belit dan kabur begitu saja?" demikian Fifi menyambung.
"Ah, Lenghou-toako juga cuma menang dengan akal saja, kan bukan kemenangan yang sungguh-sungguh," ujar Gi-lim.
"Engkau benar-benar seorang baik, Cici," kata Fifi. "Begitu jahatnya Dian Pek-kong, tapi kau malah membelanya. Sesudah Lenghou-toakomu ditusuk mati oleh orang, kau telah membawa jenazahnya dan berjalan tanpa arah tujuan. Kakek bilang, 'Nikoh cilik ini mudah jatuh cinta, kematian Lenghou Tiong bisa membuatnya menjadi gila. Marilah kita mencoba mengikuti dia.'
"Maka kami lantas mengikuti dari belakang. Tertampak kau merasa berat untuk melepaskan jenazah yang kau pondong. Kakek berkata pula, 'Lihatlah Fifi, jika Lenghou Tiong itu tidak mati, rasanya tidak boleh tidak Nikoh cilik itu harus piara rambut kembali dan menjadi bininya.'"
Muka Gi-lim menjadi merah jengah, untunglah dalam kegelapan keadaannya itu tak kelihatan.
Sebaliknya Fifi mendadak tanya pula, "Cici, apa yang dikatakan kakek itu betul atau tidak?"
"Ai, aku hanya merasa tidak enak karena telah mengakibatkan kematian orang, sungguh aku berharap aku sendirilah yang mati dan bukanlah dia," demikian jawab Gi-lim. "Jika Buddha mahakasih dapat membuat aku mati untuk menggantikan Lenghou-toako, biarpun masuk neraka juga aku ... aku rela."
Ucapan itu dengan nada yang sungguh-sungguh dan mengharukan. Pada saat itulah orang di atas ranjang itu mendadak merintih perlahan.
"Dia ... dia sudah siuman," seru Gi-lim dengan girang. "Fifi, coba kau tanya dia, apakah keadaannya sudah baikan atau tidak?"
"Kenapa aku yang disuruh tanya, apakah kau sendiri tidak bisa?" ujar Fifi.
Gi-lim ragu-ragu sejenak, akhirnya ia mendekati ranjang pula dan menanya dari balik kelambu, "Kesatria ini, apakah engkau ...." belum selesai ucapannya, terdengar orang itu telah merintih pula. Hal ini membuat Gi-lim merasa tidak enak untuk mengganggu orang yang sedang menderita. Ia tertegun sejenak dan mendengar napas orang itu telah tenang kembali, agaknya merintihnya tadi karena pengaruh bekerjanya obat dan sekarang sudah terpulas pula.
Tiba-tiba Fifi bertanya dengan suara perlahan, "Cici, sebab apa kau rela mati bagi Lenghou Tiong" Apakah kau benar-benar suka padanya?"
"Tidak, tidak!" sahut Gi-lim. "Aku adalah orang beragama yang telah meninggalkan hidup kekeluargaan, janganlah kau mengucapkan kata-kata yang menodai Buddha itu. Selamanya aku tak kenal kepada Lenghou-toako, tapi dia telah mati lantaran menolong diriku, sungguh ... sungguh aku merasa sangat menyesalkan kemalangannya."
"Dan asal dia dapat hidup kembali, maka segala apa pun kau bersedia untuk melakukan baginya?" tanya Fifi.
"Betul, biarpun aku mati seribu kali juga takkan menyesal," sahut Gi-lim.
Mendadak Fifi berseru dengan suara keras sambil tertawa, "Nah, dengarkanlah Lenghou-toako, Enci Gi-lim sendiri telah menyatakan ...."
"Kau berkelakar apa ini?" sela Gi-lim dengan gusar.
Namun Fifi tak peduli, ia meneruskan seruannya, "Dia telah menyatakan asal kau tidak mati, maka segala apa pun dia akan melakukannya bagimu."
Karena kedengarannya seruan Fifi itu seperti sungguh-sungguh dan bukan bergurau, seketika Gi-lim merasa gugup dan berdebar-debar jantungnya.
Pada saat itulah mendadak pandangan Gi-lim terasa silau, kiranya Fifi telah menyalakan api lilin. Kelambu lalu disingkap dan Gi-lim digapai agar mendekati.
Dengan ragu-ragu Gi-lim melangkah maju. Tapi mendadak telinganya terasa mendengung, pandangan menjadi gelap, ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir saja jatuh kelengar.
"Aku memang sudah menduga kau akan terperanjat," kata Fifi dengan tertawa. "Coba lihat Cici, siapakah dia ini?"
"Dia ... jadi dia tidak ... tidak mati?" seru Gi-lim dengan suara lemah dan agak gemetar sambil memegangi lengan Fifi.
Kiranya orang yang berbaring di atas ranjang dengan mata tertutup dan bermuka lonjong, alis lentik dan bibir tipis itu tak lain tak bukan adalah Lenghou Tiong yang telah menolongnya di Cui-sian-lau itu.
"Ya, dia sekarang belum mati, tapi kalau obatmu tidak manjur tentu ia akan lantas mati," kata Fifi dengan tersenyum.
"Tidak, dia takkan mati, pasti takkan mati," seru Gi-lim cepat. Saking kejut dan girangnya mendadak ia menjadi menangis.
"He, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?" ujar Fifi dengan heran.
Kedua kaki Gi-lim terasa lemas, ia tidak tahan lagi dan terkulai di depan tempat tidur sambil menangis terguguk-guguk. Katanya, "O, sungguh aku sangat girang. Fifi, aku harus berterima kasih padamu. Kiranya ... kiranya kau yang telah menyelamatkan Lenghou-toako."
"Engkau sendirilah yang menolong dia, dari mana aku mampu menyelamatkan dia, aku toh tidak punya obat apa-apa," sahut Fifi.
Tiba-tiba Gi-lim sadar, perlahan-lahan ia berbangkit dan menarik tangan Fifi, katanya, "Ya, aku tahu kakekmu yang telah menolong dia, kakekmu yang menolong dia!"
Pada saat itu juga sekonyong-konyong terdengar di tempat yang tinggi di luar kamar ada orang berseru, "Gi-lim! Gi-lim!"
Itulah suaranya Ting-yat Suthay. Keruan Gi-lim terkejut, segera ia bermaksud menjawab. Tapi Fifi sudah lantas bertindak, api lilin ditiup padam, mulut Gi-lim juga lantas didekap olehnya sambil berbisik, "Ssst, jangan bersuara. Ingat, tempat apakah ini?"
Sesaat Gi-lim jadi bingung. Ia tahu dirinya berada di rumah pelacuran, keadaannya serbasalah. Namun jelas didengarnya suara panggilan sang guru dan dirinya tidak menjawab, hal ini sungguh tidak pernah terjadi selama hidupnya ini.
Dalam pada itu terdengar Ting-yat berteriak lagi, "Dian Pek-kong, lekas keluar! Kau harus lepaskan Gi-lim!"
Maka terdengar suara bergelak tertawa Dian Pek-kong di kamar depan sana. Sesudah tertawa, lalu berkata, "Apakah yang datang adalah Ting-yat Suthay dari Pek-hun-am, Hing-san-pay" Seharusnya Wanpwe keluar memberi salam hormat, cuma di sampingku sekarang ada beberapa teman yang cantik-cantik dan ayu-ayu sehingga aku tidak sempat keluar. Maka bolehlah kita tak perlu saling membikin repot. Hahahaha!"
Menyusul terdengar pula suara terkikik-kikik dan terkekek-kekek beberapa wanita yang genit, terang mereka adalah perempuan-perempuan pelacur di rumah "P" itu. Bahkan ada di antaranya lantas mengeluarkan kata-kata yang kotor dan cabul.
Apa yang dilakukan Dian Pek-kong dan pelacur-pelacur itu makin menjadi-jadi, rupanya mereka sengaja hendak membikin marah Ting-yat.
Keruan Ting-yat menjadi murka. Ia membentak, "Dian Pek-kong, jika kau tidak lantas menggelinding keluar, aku akan cincang tubuhmu hingga hancur luluh."
"Hahaha! Kalau aku menggelinding keluar akan kau bunuh, jika tidak keluar juga akan kau cincang hingga hancur luluh. Jika begitu, hahaha, lebih baik aku mengeram di dalam kamar dengan temanku yang manis-manis ini saja," demikian Dian Pek-kong berolok-olok dengan tertawa. "Ting-yat Suthay, tempat seperti ini tidaklah pantas didatangi oleh orang beragama seperti kau, ada lebih baik kau lekas pulang saja. Muridmu itu tidak berada di sini, dia adalah seorang Nikoh cilik yang alim dan taat kepada agamanya, mana mungkin dia datang ke sini" Hahaha, sungguh heran bin ajaib!"
Ting-yat tambah murka. Teriaknya kepada anak buahnya, "Bakar, bakar saja sarang anjingnya ini! Coba lihat apakah dia akan menggelinding keluar atau tidak?"
"Ting-yat Suthay," kata Dian Pek-kong dengan tertawa. "Tempat ini bernama 'Kun-giok-ih' (rumah bunga rampai kemala) dan sangat terkenal di kota Heng-san ini. Jika kau membakarnya, sebentar saja di dunia Kangouw pasti akan tersiar cerita tentang Ting-yat Suthay dari Hing-san-pay telah membakar rumah pelesir yang terkenal di daerah provinsi Oulam ini dan tentu setiap orang akan bertanya-tanya, orang beragama tinggi sebagai Ting-yat Suthay mengapa bisa mendatangi tempat demikian" Apakah berita begini akan baik bagi kehormatan Hing-san-pay kalian" Biarlah kukatakan terus terang padamu, aku Dian Pek-kong selamanya tidak takut kepada langit tidak gentar terhadap bumi, tapi sekarang justru jeri kepada muridmu itu saja. Bila melihat dia, untuk menyingkir saja aku khawatir tidak sempat, masa aku berani lagi membikin susah padanya?"
Ting-yat pikir apa yang dikatakan Dian Pek-kong ada benarnya juga. Tapi menurut laporan muridnya yang kembali tadi, dengan jelas Gi-lim terlihat masuk ke rumah ini, bahkan muridnya itu pun kena dilukai oleh Dian Pek-kong, masa laporannya itu palsu" Meskipun demikian dia toh tak bisa berbuat apa-apa. Saking mendongkolnya ia telah menginjak-injak hancur genting rumah.
Bab 18. Pertarungan Sengit di Rumah Pelacuran
Sekonyong-konyong di atas rumah di depan sana ada suara seorang bertanya dengan nada dingin, "Dian Pek-kong, muridku Peng Jin-ki apakah kau yang membunuhnya?"
Itulah suaranya Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay.
"E-eh, kiranya ketua Jing-sia-pay Ih-koancu juga berkunjung kemari! Wah, hari ini Kun-giok-ih ini benar-benar sangat laris, tentu sebentar saja namanya akan termasyhur di seluruh dunia dan tambah ramai dikunjungi tetamu," demikian seru Dian Pek-kong. "Ya, tadi aku memang telah membunuh seorang bocah yang ilmu pedangnya sangat rendah, tampaknya memang mirip dengan ilmu silat Jing-sia-pay. Cuma namanya apakah betul Peng Jin-ki atau bukan, aku tidak sempat bertanya padanya."
"Bagus!" seru Ih Jong-hay. Hampir bersamaan, terdengarlah suara mendesus, dia sudah melayang masuk ke dalam kamar. Menyusul terdengar suara gemerantang beradunya senjata. Nyata ketua Jing-sia-pay itu sudah mulai bergebrak dengan Dian Pek-kong di dalam kamar.
Sambil berdiri di atas atap rumah Ting-yat dapat mengikuti suasana pertempuran kedua orang itu. Diam-diam ia merasa kagum, "Keparat Dian Pek-kong itu memang benar-benar memiliki kepandaian sejati. Cara bertempurnya dengan cepat ini ternyata tidak kalah kuat daripada ketua Jing-sia-pay."
"Blang", mendadak terdengar suara keras satu kali, suara benturan senjata lantas berhenti seketika.
Tangan Gi-lim yang memegangi tangan Fifi itu sampai berkeringat dingin, ia tidak tahu pertarungan antara Ih Jong-hay dan Dian Pek-kong itu dimenangkan oleh siapa. Pantasnya, karena Dian Pek-kong pernah main gila padanya, tentulah dia mengharapkan Ih Jong-hay yang menang. Tapi dalam lubuk hatinya dia berbalik mengharapkan Ih Jong-hay yang dikalahkan oleh Dian Pek-kong, paling baik Ih Jong-hay lekas digebah pergi, begitu pula gurunya juga lekas-lekas pergi, dengan demikian barulah Lenghou Tiong dapat merawat lukanya dengan tenang.
Dalam pada itu terdengar suara Dian Pek-kong bergema di tempat yang jauh, serunya, "Ih-koancu, kamar itu terlalu sempit dan kurang leluasa, marilah kita coba-coba lagi di tempat yang lapang untuk beberapa ratus jurus pula, marilah kita ukur siapa yang lebih lihai. Jika kau menang, biarlah si 'Kemala Ayu' ini akan kuserahkan padamu, bila kau kalah, maka Kemala Ayu ini adalah milikku dan kau tidak boleh mengincarnya lagi."
Dengan ucapannya itu, Dian Pek-kong seakan-akan menuduh Ih Jong-hay telah bertempur dengan dia lantaran berebut perempuan pelacur yang bernama Kemala Ayu itu. Bagi Dian Pek-kong yang namanya memang sudah busuk, masuk-keluar rumah "P" baginya boleh dikata seperti masuk-keluar rumahnya sendiri. Sebaliknya Ih Jong-hay adalah seorang sarjana ilmu silat yang termasyhur, mana dia sudi dipersamakan dengan bajingan tengik yang tidak terhormat itu" Tapi dalam pertarungan beberapa puluh jurus di dalam kamar tadi telah diketahui bahwa ilmu golok Dian Pek-kong memang sangat bagus, diam-diam Ih Jong-hay menaksir ilmu silat lawan sesungguhnya tidaklah di bawahnya, jika bertempur lagi beberapa ratus jurus juga tiada punya keyakinan akan dapat menang.
Begitulah untuk sejenak suasana menjadi hening lelap. Gi-lim seakan-akan dapat mendengar berdebarnya jantungnya sendiri. Ia mencoba bisik-bisik di tepi telinga Fifi, "Apakah ... apakah mereka akan masuk kemari?"
Walaupun Fifi adalah anak dara yang jauh lebih kecil daripada Gi-lim, tapi dalam keadaan demikian Gi-lim sudah bingung dan kehabisan akal, dan seolah-olah anak kecil yang lebih hijau daripada Fifi.
Tetapi Fifi tidak menjawabnya, bahkan mulut Gi-lim lantas ditekapnya agar jangan bersuara.
Tiba-tiba terdengar suaranya Lau Cing-hong sedang berkata, "Ih-koancu, kejahatan jahanam Dian Pek-kong itu sudah kelewat takaran, bila kita akan membereskan dia juga tidak perlu repot pada waktu sekarang. Rumah pelacur yang kotor begini sudah lama ada maksudku akan membersihkannya. Sekarang biarlah kucari keterangan dahulu. Coba, Tay-lian, kalian masuk ke sana untuk menggeledahnya, seorang pun tidak boleh lolos keluar."
Hiang Tay-lian dan beberapa murid lainnya sama mengiakan. Menyusul lantas terdengar pula suara Ting-yat Suthay yang memberi perintah kepada murid-muridnya agar mengepung rapat seluruh rumah "P" yang luas itu. Sebagai Nikoh, memangnya mereka tidak leluasa keluar-masuk di rumah pelacuran itu untuk mencari Gi-lim, sekarang ada anak murid Lau Cing-hong yang akan menggeledah, sudah tentu hal ini sangat kebetulan bagi Ting-yat.
Keruan Gi-lim semakin khawatir dan bingung. Dalam pada itu terdengar suara bentakan anak murid Lau Cing-hong yang sedang menggeledah dan memeriksa setiap ruangan dan kamar, makin lama makin dekat. Sedang Lau Cing-hong sendiri dan Ih Jong-hay hanya mengawasi di luar rumah. Menyusul terdengarlah suara jerit tangis germo rumah pelacuran itu, rupanya mereka telah diberi hajaran setimpal oleh Hiang Tay-lian dan kawan-kawannya.
Murid-murid Jing-sia-pay juga tidak tinggal diam. Seorang kawan mereka telah menjadi korban keganasan Dian Pek-kong pula, walaupun sang guru telah tampil ke muka sendiri toh belum berhasil juga membunuh musuh itu, paling-paling juga cuma dapat mengusirnya pergi. Untuk melampiaskan dendam, anak murid Jing-sia-pay itu lantas ikut-ikut mengubrak-abrik rumah pelacuran itu, semua alat perabotan dihancurkan hingga berantakan.
Lambat laun suara muridnya Lau Cing-hong terdengar semakin mendekat, agaknya tidak lama lagi sudah akan menggeledah ke kamar belakang itu. Saking gelisahnya hampir-hampir saja Gi-lim jatuh pingsan. Ia membatin, "Tadi Suhu telah memanggil aku, tapi aku tidak menjawabnya, bahkan aku berada satu kamar dengan seorang laki-laki di rumah hina demikian. Jika sebentar orang-orang Jing-sia-pay, Hing-san-pay dan lain-lain itu menerjang ke sini, biarpun aku punya seribu mulut juga sukar membela diri dan memberi keterangan. Dan aku tentu akan membikin noda nama baik Hing-san-pay. Sungguh aku berdosa kepada ... kepada Suhu dan para Suci."
Berpikir demikian, mendadak ia lolos pedangnya sendiri terus hendak ditebaskan ke lehernya sendiri.
Syukur Fifi keburu memegang tangannya dan membentak dengan suara tertahan, "Jangan! Biarlah kita menerjang keluar saja!"
Tapi mendadak terdengar suara keresekan, tahu-tahu Lenghou Tiong sudah berbangkit dan berduduk di tepi ranjang, katanya perlahan, "Nyalakan api lilin!"
"Untuk apa?" tanya Fifi.
"Aku bilang nyalakan api lilin!" Lenghou Tiong mengulangi. Nadanya kereng. Terpaksa Fifi tidak berani tanya pula dan segera mengetik api dan menyalakan lilin tadi.
Di bawah cahaya lilin, Gi-lim dapat melihat air muka Lenghou Tiong pucat pasi sebagai mayat, tanpa terasa ia sampai menjerit kaget tertahan.
"Coba, tutupkan di atas ... di atas tubuhku," kata Lenghou Tiong sambil menunjuk selimut yang terletak di ujung ranjang itu.
Dengan gemetar Gi-lim melakukan permintaan itu.
Dengan tangan kanan Lenghou Tiong memegangi ujung selimut yang menutupi luka di bagian dada itu. Katanya pula, "Kalian berdua lekas tiduran di atas ranjang."
Fifi mengikik tawa dan menganggap hal itu sebagai permainan yang menarik. Segera ia menarik Gi-lim menyusup ke tempat tidur.
Dalam pada itu orang-orang di luar sudah melihat cahaya lilin di dalam kamar dan beramai-ramai sedang berseru, "Coba geledah kamar itu."
Lalu berbondong-bondong mereka mendatangi kamarnya.
Dengan menahan sakit Lenghou Tiong cepat merapatkan pintu kamar dan dipalang sekalian. Waktu ia berpaling dan kembali ke tempat tidur, segera ia berkata pula, "Sembunyi semua ke dalam kolong selimut!"
"Kau ... kau hati-hati lukamu itu," ujar Gi-lim.
Lenghou Tiong cepat mendorong Gi-lim ke dalam selimut sehingga tertutup seluruh badannya, begitu pula Fifi. Hanya rambut Fifi yang panjang itu ditarik keluar sehingga terurai di atas bantal. Karena banyak bergerak, Lenghou Tiong merasa lukanya pecah dan darah mengucur keluar lagi. Dengan lemas ia duduk di tepi ranjang.
Sementara itu pintu kamar sudah mulai digedor orang. Ada lagi yang mencaci maki, "Buka pintu! Bedebah, lekas buka pintu!"
Menyusul terdengarlah suara gedubrakan, pintu kamar telah didobrak orang hingga terpentang, beberapa orang lantas menerjang masuk sekaligus. Seorang paling depan adalah Ang Jin-hiong, murid Jing-sia-pay. Demi tampak Lenghou Tiong, kejut Ang Jin-hiong bukan main. "Kau, Lenghou ... Lenghou Tiong!" teriaknya sambil melangkah mundur.
Hiang Tay-lian dan yang lain-lain tidak kenal Lenghou Tiong. Tapi mereka pun mendengar katanya Lenghou Tiong sudah dibunuh oleh Lo Jin-kiat, mengapa sekarang berada di sini" Dengan waswas mereka pun ikut melangkah mundur.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berdiri, katanya, "Kalian ... kalian mau ...."
"Lenghou Tiong, kiranya kau ... kau belum mati?" sela Ang Jin-hiong dengan terputus-putus.
"Masakah begitu gampang orang disuruh mati?" sahut Lenghou Tiong dengan dingin.
Tiba-tiba Ih Jong-hay tampil ke muka, katanya, "Kiranya kau inilah Lenghou Tiong" Bagus, bagus!"
Lenghou Tiong memandang sekejap kepada ketua Jing-sia-pay itu dan tidak menjawab.
"Untuk apa kau berada di rumah pelacuran ini?" tanya Ih Jong-hay.
"Hahahaha! Ini namanya sudah tahu sengaja tanya!" sahut Lenghou Tiong dengan terbahak-bahak. "Masakah kau tidak tahu orang mau apa berada di rumah pelacuran?"
"Hm, biasanya tata tertib Hoa-san-pay terkenal sangat keras, sebagai murid pertama Hoa-san-pay, bahkan sebagai ahli waris Gak-siansing, si 'pedang jantan', mengapa diam-diam juga main perempuan" Haha, sungguh menertawakan!"
"Tata tertib Hoa-san-pay kami adalah urusan kami sendiri, rasanya orang luar tidak perlu ikut ribut," sahut Lenghou Tiong.
Sebagai seorang yang berpengalaman, Ih Jong-hay dapat melihat air muka Lenghou Tiong pucat lesi dan badan rada gemetar, terang pemuda itu dalam keadaan terluka parah, jangan-jangan sikapnya itu hanya tipu belaka. Cepat terpikir olehnya, "Nikoh cilik dari Hing-san-pay itu mengatakan dia telah dibunuh oleh Jin-kiat, padahal anak jadah ini tidak mampus, teranglah Nikoh cilik itu sengaja berdusta untuk menipu aku. Malahan dari nadanya yang memanggil-manggil 'Lenghou-toako' terus-menerus dengan mesra, boleh jadi di antara mereka berdua telah ada hubungan gelap tertentu. Tadi Nikoh cilik itu terlihat masuk ke rumah pelacuran ini, sekarang mendadak menghilang tanpa bekas, bukan mustahil Lenghou Tiong telah sengaja menyembunyikan dia. Hm, mereka Ngo-gak-kiam-pay selalu memandang rendah kepada Jing-sia-pay kami, jika sekarang aku dapat menyeret keluar Nikoh cilik itu dari tempat sembunyinya, bukan saja hal ini akan membikin malu Hoa-san-pay dan Hing-san-pay, bahkan segenap Ngo-gak-kiam-pay itu juga akan kehilangan muka dan selanjutnya takkan berani sombong lagi di dunia Kangouw."
Sinar matanya lantas berkeliaran, tapi di dalam kamar itu tak tertampak orang lain. Ia pikir jangan-jangan Nikoh cilik itu sembunyi di atas ranjang. Segera ia berkata, "Jin-hiong, coba singkap kelambu itu, periksalah apakah di atas ranjang ada tontonan bagus atau tidak?"
Ang Jin-hiong mengiakan. Segera ia melangkah maju. Tapi ia sudah pernah telan pil pahit dari Lenghou Tiong, maka ia menjadi waswas dan memandang dulu kepada jago muda Hoa-san-pay itu.
"Apakah kau sudah bosan hidup, ya?" kata Lenghou Tiong.
Nyali Ang Jin-hiong mengkeret seketika. Tapi mengingat di belakangnya ada sang guru, segera timbul pula keberaniannya. "Sret", pedang lantas dilolosnya.
"Kau mau apa?" tiba-tiba Lenghou Tiong menegur Ih Jong-hay.
"Hing-san-pay kehilangan seorang murid perempuan, ada orang melihatnya masuk ke rumah pelacuran ini, maka kami hendak mencarinya," sahut Ih Jong-hay.
"Urusan Ngo-gak-kiam-pay sendiri buat apa Jing-sia-pay kalian ikut-ikut campur?" semprot Lenghou Tiong.
"Hari ini tidak ada persoalan Ngo-gak-kiam-pay apa segala, pendek kata harus diselidiki sampai terang urusan ini," ujar Ih Jong-hay. "Nah, Jin-hiong, periksa terus!"
Ang Jin-hiong mengiakan, segera ia gunakan pedangnya untuk menyingkap kelambu.
Saat itu Gi-lim dan Fifi saling rangkul dan sembunyi di dalam selimut, mereka dapat mendengar tanya jawab antara Lenghou Tiong dan Ih Jong-hay itu, keruan mereka mengeluh, bahkan Gi-lim sampai gemetar. Apalagi demi mendengar Ang Jin-hiong sudah mulai membuka kelambu, semangat Gi-lim seakan-akan melayang ke awang-awang saking takutnya.
Ketika kelambu tersingkap, pandangan semua orang segera terpusatkan ke atas tempat tidur itu. Tertampak di bawah selimut yang bersulaman indah itu terbungkus tubuh manusia yang sedang gemetar dengan rambut panjang terurai di atas bantal, terang orang yang sembunyi di dalam selimut itu sangat ketakutan.
Melihat rambut yang panjang di atas bantal itu, alangkah kecewanya Ih Jong-hay. Jelas sekali orang yang sembunyi di dalam selimut itu bukanlah Nikoh cilik yang gundul yang hendak dicarinya itu. Tampaknya Lenghou Tiong memang benar-benar lagi main-main dengan perempuan pelacur di rumah "P" ini.
Dalam pada itu terdengar Lenghou Tiong telah berkata dengan nada dingin, "Ih-koancu, kabarnya engkau mulai mengasingkan diri sejak masih jejaka, selama hidupmu tentu belum pernah melihat wanita telanjang, kau sendiri tidak berani keluyuran ke rumah pelacuran, apakah sekarang kau tidak ingin menambah pengalaman dengan menyuruh muridmu menyingkap selimut ini?"
Apa yang diucapkan oleh Lenghou Tiong ini sebenarnya sangat berbahaya. Ia menduga Ih Jong-hay adalah seorang guru besar suatu cabang persilatan terkemuka, dengan kedudukannya yang terhormat itu rasanya tak mungkin sudi melihat seorang perempuan pelacur yang telanjang bulat di depan orang banyak.
Benar juga, Ih Jong-hay menjadi gusar. "Ngaco-belo, bedebah!" dampratnya. Berbareng sebelah tangannya terus menghantam ke depan.
Cepat Lenghou Tiong mengegos untuk menghindarkan angin pukulan itu. Tapi sayang, karena dia terluka parah, gerak-geriknya menjadi kurang gesit, apalagi pukulan Ih Jong-hay itu mahadahsyat, hanya sedikit keserempet angin pukulannya saja Lenghou Tiong tidak sanggup berdiri tegak lagi. Ia terhuyung dan jatuh terduduk di atas ranjang.
Setelah tenangkan diri, sekuatnya Lenghou Tiong berdiri lagi, tapi darah segar lantas menyembur keluar dari mulutnya, tubuhnya terhuyung-huyung dan lagi-lagi memuntahkan darah.
Baru saja Ih Jong-hay hendak menambahi serangan lain lagi, tiba-tiba di luar jendela sana ada orang berseru, "Huh, orang tua menganiaya anak muda, tidak tahu malu!"
Gerakan Ih Jong-hay benar-benar sangat cepat. Belum lenyap suara kalimat terakhir itu, mendadak pukulan Ih Jong-hay telah berganti arah dan menghantam ke jurusan jendela, menyusul orangnya juga lantas melompat keluar.
Dari cahaya api lilin yang remang-remang menembus keluar dari dalam kamar, terlihat seorang bungkuk yang bermuka jelek sedang berlari ke pojok rumah sana.
"Berhenti!" bentak Ih Jong-hay.
Bungkuk itu bukan lain adalah samaran Lim Peng-ci.
Ketika di rumah Lau Cing-hong, sesudah munculnya Kik Fi-yan alias Fifi, selagi perhatian Ih Jong-hay lagi dicurahkan untuk menghadapi anak dara itu, diam-diam Peng-ci lantas mengeluyur pergi. Di luar ia dipergoki oleh Bok Ko-hong yang telah menepuk perlahan bahunya sambil menegur, "Bungkuk palsu, apa sih enaknya menjadi orang bungkuk, mengapa kau sengaja mengaku sebagai anak muridku?"
Peng-ci tahu watak orang ini sangat aneh, ilmu silatnya sangat tinggi pula, bila mana jawabannya tidak memuaskan mungkin akan mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri. Di tengah ruangan tamu tadi dirinya telah menyebutnya sebagai "Bok-tayhiap" dan memberi puji sanjung padanya, sekarang dirinya meneruskan pujian demikian itu rasanya dia akan tambah senang pula.
Maka Peng-ci lantas menjawab, "Wanpwe pernah mendengar orang berkata tentang kemasyhuran Bok-tayhiap yang suka membantu kesukaran orang dan membela keadilan. Selama ini Wanpwe sangat mengagumi, sebab itulah tanpa sadar Wanpwe lantas menyaru sebagai Bok-tayhiap, atas kelancangan Wanpwe ini harap sudi dimaafkan."
"Hahaha! Tentang membantu kesukaran orang dan membela keadilan apa segala, sungguh ngaco-belo belaka!" seru Bok Ko-hong dengan tertawa.
Dia tahu Peng-ci sengaja berdusta dan sengaja mengumpak untuk menyenangkan hatinya. Pada umumnya manusia memang suka dipuji, apalagi Bok Ko-hong yang biasanya tidak disukai oleh sesama kaum Bu-lim, belum pernah ia mendengar orang memujinya seperti Peng-ci itu. Maka tidak heran ia pun merasa senang, ia coba mengamat-amati Peng-ci sejenak. Kemudian bertanya, "Kau bernama siapa?"
"Sebenarnya Wanpwe she Lim, hanya tanpa sengaja telah memalsukan she yang sama dengan Cianpwe," sahut Peng-ci.
"Huh, tanpa sengaja apa?" jengek Bok Ko-hong. "Kau kan ingin menggunakan nama kakekmu ini sebagai jimat untuk menggertak orang. Ih Jong-hay itu adalah seorang guru besar persilatan, satu jarinya saja sudah cukup untuk membinasakan kau, tapi kau ternyata berani main gila padanya, nyalimu benar-benar tidak kecil."
Mendengar nama Ih Jong-hay disebut, kontan darah Peng-ci bergolak pula, teriaknya dengan gemas, "Asal Wanpwe masih dapat bernapas, aku bersumpah pasti akan membunuh bangsat itu dengan tanganku sendiri."
"Memangnya ada apa kau bermusuhan dengan Ih Jong-hay?" tanya Bok Ko-hong dengan heran.
Peng-ci ragu-ragu sejenak, ia pikir kalau melulu mengandalkan kekuatannya sendiri terang sukar untuk menolong ayah-bundanya. Mumpung ada kesempatan mengapa tidak minta bantuannya lagi" Berpikir demikian, segera ia berlutut dan menyembah, katanya, "Ayah-ibu Wanpwe berada di dalam cengkeraman bangsat she Ih itu, mohon Cianpwe suka membela keadilan dan memberi pertolongan."
Bok Ko-hong mengeryitkan kening dan geleng-geleng kepala, sahutnya, "Urusan yang tidak enak begini selamanya aku enggan mengerjakannya. Siapakah ayahmu, sesudah menolong dia apa untungnya bagiku?"
Tengah bicara, tiba-tiba di samping pintu sana ada suara orang bicara dengan suara tertahan, nadanya sangat tegang. Seorang di antaranya terdengar berkata, "Lekas lapor kepada Suhu bahwa ada seorang Jing-sia-pay terbunuh lagi. Orang Hing-san-pay juga ada yang lari pulang dengan terluka."
Hati Bok Ko-hong tergerak, katanya kepada Peng-ci, "Urusanmu biarlah kita bicarakan nanti. Sekarang ada tontonan menarik, bila kau ingin menambah pengalaman hendaklah ikut padaku."
Karena ingin mohon bantuannya, segera Peng-ci menjawab, "Baiklah. Ke mana pun Cianpwe pergi tentu akan kuikuti."
"Tapi kita harus bicara di muka," demikian Bok Ko-hong berkata pula, "dalam segala hal si Bungkuk hanya memandangnya dari untung dan rugi. Hanya pekerjaan yang menguntungkan saja yang akan kulaksanakan. Jika kau melulu menyanjung aku dengan beberapa panggilan kakek, lalu mengharapkan bantuanku, cara demikian janganlah kau harapkan akan hasilnya."
Peng-ci terpaksa mengiakan secara samar-samar saja.
"Itu dia, mereka sudah berangkat, marilah ikut padaku," tiba-tiba Bok Ko-hong menjawil Peng-ci. Menyusul terasalah lengan kanan telah dipegang olehnya, tanpa merasa tubuhnya lantas ikut melayang naik terus berlari secepat terbang.
Setiba di rumah pelacuran "Kun-giok-ih" itu, dengan suara perlahan Bok Ko-hong membisiki Peng-ci, "Awas, jangan bersuara!"
Lalu mereka bersembunyi di belakang pohon untuk mengawasi apa yang terjadi di dalam rumah "P" itu. Maka segala kejadian waktu Ih Jong-hay bergebrak dengan Dian Pek-kong, lalu anak murid Lau Cing-hong dan Jing-sia-pay melakukan penggeledahan, kemudian Lenghou Tiong menampakkan diri, semuanya itu dapat diikuti oleh mereka dengan jelas.
Akhirnya ketika untuk kedua kalinya Ih Jong-hay hendak menyerang Lenghou Tiong pula, Peng-ci tidak tahan lagi, segera ia bersuara dan meneriakkan, "Orang tua menganiaya anak muda, sungguh tidak tahu malu!"
Tapi begitu bersuara segera Peng-ci sadar akan kesembronoannya. Segera ia putar tubuh hendak lari. Namun datangnya Ih Jong-hay teramat cepat, baru saja membentak "Berhenti!" menyusul orangnya sudah memburu maju dan tenaga pukulannya sudah mengancam jalan lari pemuda itu. Asal serangan itu diteruskan, seketika Peng-ci akan binasa.
Cuma saja sekilas Ih Jong-hay melihat perawakan Peng-ci yang buruk itu, karena jerinya kepada Bok Ko-hong, maka tenaga pukulannya itu tidak lantas dilancarkan, ia menjengek pula, "Hm, kiranya kau!"
Habis itu pandangannya lantas melirik ke arah Bok Ko-hong dan berkata, "Bok-thocu, berulang-ulang kau suruh kaum muda mencari perkara padaku, sebenarnya apa maksud tujuanmu?"
Bok Ko-hong terbahak-bahak, jawabnya, "Bocah ini mengaku sebagai anak-cucuku tapi Bungkuk sendiri tidaklah kenal dia. Dia mengaku she Lim dan aku she Bok, apa sangkut pautnya bocah ini dengan aku" Ih-koancu, si Bungkuk takut padamu, soalnya aku merasa tiada gunanya dijadikan tameng oleh seorang pemuda keroco begini. Jika ada untungnya bagiku memang tidak menjadi soal biarpun dijadikan tameng. Tapi sekarang urusan ini hanya akan membikin rugi melulu padaku, buat apa aku mengambil risiko ini?"
Ih Jong-hay bergirang atas jawaban itu. Katanya, "Jika bocah ini tiada sangkut paut apa-apa dengan Bok-heng, maka aku pun tidak perlu sungkan-sungkan lagi."
Dan baru saja tenaga pukulan yang tertahan tadi hendak dilancarkan, tiba-tiba terdengar jengekan orang di arah jendela, "Huh, orang tua menganiaya anak muda, sungguh tidak tahu malu!"
Waktu Ih Jong-hay menoleh, tertampak seorang berdiri di ambang jendela. Kiranya dia adalah Lenghou Tiong.
Keruan ketua Jing-sia-pay itu tambah murka. "Tua menganiaya muda, sungguh tidak tahu malu", ucapan ini benar-benar kena sasarannya. Memang tidak salah, ilmu silat kedua pemuda yang dihadapinya sekarang ini jauh di bawahnya, jika mau membunuh mereka adalah terlalu gampang, tapi sindiran "tua menganiaya muda" menjadi sukar dihindarkan dan dengan sendirinya menjadi "tidak tahu malu" pula.
Sebaliknya kalau kedua pemuda itu diampuni begitu saja, rasa Ih Jong-hay masih penasaran. Segera ia berkata kepada Lenghou Tiong dengan tertawa dingin, "Urusanmu biarlah nanti kuperhitungkan dengan gurumu!"
Lalu ia berpaling dan membentak Peng-ci, "Anak jadah, anak murid siapakah kau ini?"
"Bangsat tua bangka," damprat Peng-ci. "Kau telah membikin keluargaku berantakan dan hidupku merana, sekarang kau masih tanya padaku lagi?"
Ih Jong-hay menjadi heran bilakah dirinya membikin berantakan keluarga orang, sedangkan kenal saja belum kepada bungkuk muda itu. Karena di hadapan orang banyak rasanya tidak enak untuk tanya lebih jelas, segera ia menoleh dan berkata kepada muridnya, "Jin-hiong, boleh kau bunuh dulu bocah kurang ajar itu, habis itu baru tangkap pula Lenghou Tiong."
Dengan menyuruh muridnya yang turun tangan, cara demikian dapat menghindarkan tuduhan "tua menganiaya muda".
Maka Jin-hiong telah mengiakan, segera siap melangkah maju dengan pedang terhunus.
Cepat Peng-ci juga akan melolos pedang, tapi baru saja tangannya bergerak, tahu-tahu sinar pedang Ang Jin-hiong yang berkilauan itu sudah menyambar tiba, dadanya sudah terancam ujung pedang.
Peng-ci berteriak murka, "Ih Jong-hay, betapa pun aku Lim Peng-ci ...."
Mendengar anak bungkuk yang bermuka buruk itu mengaku bernama "Lim Peng-ci", dengan terkejut cepat Ih Jong-hay melontarkan pukulan dari jauh sehingga pedang Ang Jin-hiong tersampuk menceng oleh angin pukulannya dan menyambar lewat di samping lengan Peng-ci.
"Kau bilang apa?" seru Ih Jong-hay.
"Aku Lim Peng-ci biarpun menjadi setan juga akan menagih nyawa padamu!" teriak Peng-ci dengan murka.
"Kau ... kau adalah Lim Peng-ci dari Hok-wi-piaukiok?" Ih Jong-hay menegas.
Peng-ci sudah nekat dan tidak menghiraukan jiwanya sendiri lagi. Tanpa pikir ia terus membuang koyok yang melengket di mukanya serta melepaskan bantalan yang mengganjal di punggung itu. Lalu berseru lantang, "Benar, aku adalah Lim Peng-ci dari Hok-wi-piaukiok di Hokciu. Akulah yang membunuh putramu sewaktu dia menggoda wanita baik-baik. Kau telah mengubrak-abrik keluarga kami sehingga hancur, sekarang ayah-ibuku telah kau bawa ke mana?"
Mendadak Lenghou Tiong yang berdiri sambil berpegangan jendela itu menyela, "Ih-koancu, kiranya kau juga punya istri dan punya anak, tadinya kukira kau tirakat sejak jejaka sehingga terlalu tinggi aku menilai dirimu. Bok-cianpwe, keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok yang disebut itu memiliki sejilid Kiam-boh untuk ilmu pedang Pi-sia-kiam-hoat, siapa yang memperolehnya tentu akan menjagoi dunia persilatan, sebab itulah maka Ih-koancu telah mengincarnya ...." sampai di sini ia tidak tahan lagi, darah terasa hendak menyembur keluar lagi dari kerongkongannya. Sekuatnya ia tahan, ia terhuyung-huyung mundur dan jatuh terduduk kembali di tepi ranjang.
Mendengar keterangan tentang Pi-sia-kiam-hoat milik Hok-wi-piaukiok di Hokciu, yang mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang itu dapat merajai dunia persilatan, keruan hati Bok Ko-hong tergetar juga. Ia tidak tahu apakah Hok-wi-piaukiok betul-betul mempunyai kitab pusaka itu, tapi nama Hok-wi-piaukiok itu memang sangat terkenal, mendiang Lim Wan-tho juga sangat disegani orang Kangouw karena Pi-sia-kiam-hoat, Hoan-thian-ciang dan 18 batang panahnya, hal ini pun pernah didengarnya.
Cuma pemuda yang menyaru sebagai bungkuk di depannya sekarang ini jelas sangat rendah ilmu silatnya, namun ketika Ih Jong-hay mendengar pemuda itu mengaku bernama Lim Peng-ci, cepat ketua Jing-sia-pay itu lantas menyampuk pedang muridnya yang sedang menusuk ke depan tadi, sikapnya lantas berubah tegang. Kesemuanya itu menandakan pada diri pemuda she Lim itu ada sesuatu yang penting, andaikan Kiam-boh yang dimaksudkan itu tidak mengandung pelajaran ilmu pedang yang benar-benar tiada tandingannya di dunia ini, tapi seorang ketua Jing-sia-pay telah begitu menaruh perhatian, tak boleh tidak benda itu pasti bukan sembarangan Kiam-boh. Seumpama bukanlah Kiam-boh tentu juga sesuatu barang yang amat berharga.
Pribadi Bok Ko-hong sebenarnya bukanlah orang yang terlalu jahat, cuma sifatnya paling tamak dan dengki, asal ada keuntungan, segala apa pun dapat dilakukan olehnya. Tadi dia anggap tiada berguna membela Lim Peng-ci, tapi sekarang demi mengetahui pada diri pemuda itu ada sesuatu yang menguntungkan, segera berubah pikirannya dan tidak mau kehilangan kesempatan itu.
Saat itu Ih Jong-hay sudah menjulurkan tangannya dan sudah mengancam di atas bahu Peng-ci, sekali cengkeram tentu akan diseretnya pemuda itu.
Cepat Bok Ko-hong membentak, "Nanti dulu!"
Berbareng ia terus melompat maju, secepat kilat sebelah bahu Peng-ci yang lain keburu ditariknya lebih dulu dan diseret mundur.
Jangan dikira potongan tubuh Bok Ko-hong itu pendek buntak lagi bungkuk, tapi gerakannya ternyata sangat gesit dan cepat laksana kucing. Namun Ih Jong-hay juga tidak kalah cepatnya, hampir pada saat yang sama pundak Peng-ci juga sudah dipegang dan ditarik maju. Keruan yang payah adalah Peng-ci, badannya seakan-akan terbeset, sakitnya tidak kepalang, hampir-hampir saja kelengar.
Melihat Bok Ko-hong sudah turun tangan, Ih Jong-hay tahu urusan tidak mudah diselesaikan lagi. Jika dirinya menarik lebih keras tentu Peng-ci akan binasa. Segera ia ayun pedang dan menusuk ke arah Bok Ko-hong sambil membentak, "Lepaskan tangan, Bok-heng!"
Tapi ketika tangan kiri Bok Ko-hong bergerak, "trang", pedang Ih Jong-hay tertangkis, tangan si Bungkuk tahu-tahu sudah bertambah sebuah senjata yang memancarkan sinar kuning kemilauan, kiranya adalah sebuah roda besar. Roda itu terus berputar, di sekeliling roda itu terpasang delapan buah pisau kecil.
Lengan Ih Jong-hay sampai kesemutan karena tangkisan tadi. Ia tahu tenaga dalam lawan amat kuat. Segera ia keluarkan ilmu pedangnya, beruntun-runtun ia melancarkan belasan kali serangan lagi. Katanya pula, "Bok-heng, kita selamanya tiada permusuhan apa-apa, buat apa kau membela seorang anak keroco sehingga kita bercekcok?"
Sambil memutar rodanya dan menangkis setiap serangan Ih Jong-hay, Bok Ko-hong menjawab, "Ih-koancu, di hadapan orang banyak tadi bocah ini telah menyembah dan memanggil kakek padaku. Meskipun Cayhe dan Ih-koancu selamanya tiada permusuhan apa-apa, tapi kalau seorang yang telah sudi memanggil aku sebagai kakek dibiarkan kau tangkap dan dibunuh begitu saja, bukankah kau terlalu menghina aku" Jika sang kakek tidak mampu membela cucunya, kelak siapa lagi yang sudi memanggil aku sebagai kakek?"
Sambil bicara serang-menyerang kedua orang semakin cepat dan suara gemerantangnya senjata juga tak berhenti-henti.
Ih Jong-hay menjadi gusar. "Bok-heng," serunya. "Orang ini telah membunuh putraku, sakit hati putraku masakah aku tidak boleh membalas?"
"Hahahaha!" Bok Ko-hong bergelak tertawa. "Baik, mengingat kehormatan Ih-koancu, jika kau ingin membalas dendam boleh silakan balas. Nah, Ih-koancu, marilah kita sama-sama tarik. Satu, dua, tiga. Kau tarik, aku pun tarik, kita tarik mampus saja bocah ini! Nah, mulailah! Satu ... dua ... tiga!"
Habis berkata, mendadak tenaganya tambah kuat terus menarik. Keruan tulang Peng-ci berkeriutan seakan-akan copot.
Ih Jong-hay menjadi khawatir jika tidak lepas tangan tentulah pemuda itu akan terbeset mati. Baginya soal balas dendam adalah urusan kecil, tapi mendapatkan Kiam-boh adalah urusan besar. Sebelum Kiam-boh ditemukan tidaklah mungkin dia membunuh Lim Peng-ci. Karena itu ia lantas mengendurkan pegangannya sehingga Peng-ci kena ditarik Bok Ko-hong ke sebelah sana.
Kembali Bok Ko-hong terbahak-bahak, katanya, "Terima kasih, banyak terima kasih! Ih-koancu benar-benar seorang sobat sejati, mengingat si Bungkuk, Ih-koancu ternyata sudi mengalah, sampai-sampai sakit hati terbunuhnya putramu juga tak jadi dibalas. Orang yang mengutamakan setia kawan demikian sungguh Ih-koancu terhitung nomor satu."
"Hm, asal kau tahu saja," jengek Ih Jong-hay. "Hanya satu kali saja Cayhe dapat mengalah, tapi tidak mungkin ada kedua kalinya."
"Juga belum tentu," ujar Bok Ko-hong dengan menyengir. "Boleh jadi Ih-koancu memang seorang yang berbudi dan bermurah hati, maka untuk kedua kalinya kelak kau akan sudi mengalah pula padaku."
Pendekar Super Sakti 13 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Memanah Burung Rajawali 21
^