Pencarian

Wanita Iblis 8

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 8


mereka berani mencuri!"
Siu-lam mengatakan bahwa paderi kecil itu bukan mencuri melainkan telah mengambil
pakaiannya yang kotor. "Tentulah akan dicuci. Nanti tentu akan dikembalikan pada sicu lagi," kata paderi itu.
"Dalam pakaianku itu terdapat sebuah benda. Kalau sampai ikut tercuci tentu rusak."
Paderi itu gelengkan kepala: "Ah, mungkin sudah terlambat." Kemudian ia
menunjukkan tempat mencuci pakaian di bagian belakang dapur.
Tempat pencucian pakaian itu di sebuah saluran air bening. Ketika Siu-lam tiba,
dilihatnya 30-an stel pakaian sedang dijemur. Di antaranya terdapat pakaiannya sendiri.
Buru-buru ia lari menghampiri.
Dua orang paderi kecil muncul dan menanyakan apakah Siu-lam hendak mengambil
pakaiannya. "Ya, dalam pakaianku ini ada barangnya!"
"Jangan kuatir, setiap barang dalam pakaian tentu kami simpan. Nanti akan kami
kembalikan lagi beserta pakaian yang sudah bersih," kata paderi kecil itu.
Siu-lam mengatakan bahwa ia kepingin memeriksa apakah benda itu masih di dalam
pakaiannya. Ia terus menghampiri pakaiannya. Alangkah kejutnya ketika peta itu sudah
tak berada di saku bajunya!
Tetapi ia cepat-cepat tenangkan diri agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Siu-lam tertawa tenang: "Karena takut barang itu tercuci rusak, maka aku bergegasgegas
kemari. Ah, terima kasih karena siau-suhu sudah menyimpannya. Bolehkah
kuambil sekarang?" Sikap tenang Siu-lam itu menghilangkan kecurigaan kedua paderi kecil. Menunjuk pada
sebuah pondok batu di balik rumpun pohon-pohon bunga, mereka berkata: "Barangbarang
yang ketinggalan dalam pakaian kotor, telah kami ambil dan taruh dalam pondok
itu. Disitupun dijaga orang. Jika sicu hendak mengambilnya sekarang, silahkan
memeriksa ke sana!" Siu-lam menghaturkan terima kasih dan buru-buru menuju ke pondok itu.
Pondok itu terdiri dari tiga buah ruangan besar kecil. Ketika Siu-lam masuk, ternyata di
situ sudah terdapat seseorang. Tetapi ketika mengetahui siapa orang itu, kejut Siu-lam
bukan alang kepalang".
Yang berada dalam pondok itu ternyata dua orang yakni Tio It-ping dan Su Bo-tun. Di
sebelah mereka tegak seorang paderi kecil. Dari sikapnya yang seperti patung, jelas
paderi kecil itu tentu tertutuk jalan darahnya".
Siu-lam tenangkan kegoncangan hatinya. Ia memberi hormat kepada kedua orang itu.
Tetapi belum sempat berkata, Tio It-ping sudah mendahului menegur: "Mau apa kau
datang kemari?" Ketemu dan Hilang Siu-lam tertegun, sahutnya: "Tecu hendak mencari sebuah barang. Tio supeh"."
"Caria pa?" Tio It-ping tertawa dingin.
Siu-lam terkesiap. Nada pertanyaan dan tertawa pamannya itu mengunjuk rasa
permusuhan. Ia heran benar-benar.
Tiba-tiba Su Bo-tun menepuk punggung paderi kecil itu lalu mundur menghadang di
ambang pintu. Paderi kecil itu menghela napas panjang dan membuka mata. Ia celingukan
memandang orang di sekelilingnya dan ke arah tumpukan benda yang terletak di atas
meja. "Siapa yang menutuk kau" Apakah ada barang yang hilang?" seru Su Bo-tun.
Bermula Siu-lam mengira kalau paderi kecil itu tentu ditutuk oleh salah seorang dari
kedua orang itu. Tetapi ucapan Su Bo-tun itu memberi penjelasan bahwa baik Tio It-ping
maupun Su Bo-tun bukan yang menutuk si paderi kecil.
Setelah mengawasi ketiga orang, paderi kecil itu gelengkan kepala: "Aku tak jelas
wajah orang itu. Benda-benda di meja itu?" " ia memeriksa barang-barang di atas meja
dengan teliti, serunya: "Ah, rupanya ada sebuah gambar peta yang hilang"."
Siu-lam berubah tegang seketika. Serunya serentak: "Masakan kau tak ingat potongan
tubuh orang itu?" Paderi kecil menggeleng: "Dia cepat sekali datangnya. Ketika kupergoki, secepat kilat
dia menutuk jalan darahku!"
"Lekas panggil suhumu kemari!" seru Su Bo-tun.
Tio It-ping memandang kepada Siu-lam, tanyanya: "Apakah benda yang diserahkan
sumoay-mu itu kau simpan?"
Diam-diam Siu-lam heran mengapa hanya berpisah beberapa bulan saja, kini perangai
pamannya berubah tak seperti dulu.
Su Bo-tun berada di situ. Jika menjawab pertanyaan pamannya itu, tentu Su Bo-tun
akan mengetahuinya. Tiba-tiba terdengar derap kaki mendatangi dan pada lain kejab muncullah Tay Hong
siansu bersama Siau Yau-cu, jago tua dari Bu-tong-pay. Di belakangnya mengiring 4
paderi berpangkat hou-hwat.
Sebenarnya ketika Siu-lam pergi ke dapur, diam-diam ada paderi yang melapor pada
Tay Hong. Maka sebelum ada panggilan dari Su Bo-tun sebenarnya ketua Siau-lim-si
bersama Siau Yau-cu itupun sudah menuju ke dapur.
"Mengapa sicu sekalian berada di sini?" tanya Tay Hong.
Siu-lam menerangkan bahwa ia hendak mencari barang yang masih ketinggalan dalam
baju yang dicuci. "Sudah ketemu?" tanya Tay Hong.
"Belum." "Benda apakah itu?" Tay Hong kerutkan alis.
Siu-lam merenung sejenak, ujarnya: "Biarlah kuingat-ingatnya dulu!"
Tay Hong berpaling kepada Tio It-ping: "Sekalipun tak menerima undangan, tetapi
karena sicu dapat melintasi ke-13 pos penjagaan di gunung ini, pun loni anggap sebagai
tetamu terhormat." Tio It-ping hanya tertawa, tak menyahut.
"Apakah sicu juga mencari barang yang kelupaan dalam pakaian?" tanya Tay Hong
pula. "Tidak, aku hendak mencari benda peninggalan seorang sahabatku!"
"Benda dari sahabat sicu" Bagaimanakah benda itu bisa berada di sini?" Tay Hong
kerutkan dahi. Tio It-ping memandang sejenak pada Siu-lam, sahutnya: "Benda dari sahabatku itu
telah dikangkangi oleh seorang muridnya yang tak kenal budi. Dari gunung Kiu-kiong-san
aku telah mengejarnya sampai di sini."
Walaupun tak menyebut namanya, tetapi sekalian orang tahu bahwa yang dimaksudkan
itu ialah Siu-lam. Mereka tumpahkan pandangannya ke arah pemuda itu.
Seketika meluaplah kemarahan Siu-lam atas tuduhan Tio It-ping. Dia hendak
membantahnya tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa paman It-
Tay Hong berpaling kepada Su Bo-tun, ujarnya: "Dan kedatangan Su-heng kemari ini?"
Su Bo-tun menunjuk pada Tio It-ping: "Kuikuti jejaknya sampai di sini tetapi tetap
terlambat. Siau-suhu itu telah ditutuk orang!"
Sedari menerima nasihat Tay Hong siansu, sudah banyak berubahlah perangai orang
she Su itu. Mendengar keterangan Su Bo-tun, Tay Hong segera memberi perintah kepada keempat
paderi hou-hwat untuk menyelidiki semua pos-pos penjagaan. Apakah semalam mereka
memergoki seseorang yang menyelundup ke atas gunung.
Setelah keempat paderi itu pergi, Tay Hong berkata pula kepada Siu-lam: "Jika
semalam tak ada orang yang menyelundup, terang benda itu masih berada di sini. Tetapi
entah benda apakah yang hilang itu" Pertanyaan ini demi untuk leluasanya penyelidikan
kita nanti." Walaupun tetap tenang dan sabar sikap ketua Siau-lim-si itu, tetapi nada dan sinar
matanya berkilat-kilat tajam. Jelas bahwa paderi sakti itu marah dalam hati.
Siu-lam tertegun. Jelas bahwa soal itu tentu akan menimbulkan kesulitan besar.
Sampai beberapa saat ia terdiam tak dapat menjawab apa-apa.
Tay Hong menatap Siu-lam tajam-tajam, katanya: "Sicu paling muda usianya, tetapi
paling banyak ragamnya. Jika benda yang sicu hilangkan itu benar milik orang lain,
apabila ketemu tentu akan loni kembalikan kepada pemiliknya. Dan bila benda itu
menyangkut kepentingan kaum persilatan seluruhnya, terpaksa loni akan menyimpannya
agar tak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan!"
Siu-lam mendengus, sahutnya: "Kupercayakan pada kebijaksanaan lo-siansu.
Walaupun aku mempunyai sesuatu keengganan dalam hati, tetapi dalam soal ini aku tak
mau menentang kehendak lo-siansu."
Tio It-ping mendengus dingin, serunya: "Di dalam biara yang memuja kesucian, segala
apa berdasarkan kebersihan. Tiada hal yang tak boleh dikatakan di sini, semua serba
terang dan halal!" Tay Hong kerutkan wajah. Dahinya memancarkan kemarahan tetapi ia tetap tenang.
Katanya dengan nada serius: "Biara Siau-lim-si mempunyai peraturan yang keras. Hal ini
telah diketahui semua orang. Tetapi pun gereja ini takkan membiarkan orang berbuat
sesukanya sendiri?" ia berhenti sejenak, lalu berkata pula: "Jika loni memutuskan
peradilan kepadamu, kau tentu tak puas. Maka hendak loni serahkan saja persoalanmu itu
kepada rapat besar. Biarlah mereka yang memutuskan!"
Siau Yau-cu menyelutuk: "Yang penting sekarang ini ialah menemukan benda yang
hilang itu. Maka harap taysu suka menanyakan benda apakah itu?"
Siu-lam menghela napas: "Apakah lo-cianpwe tetap berkeras hendak menanyakan?"
"Jika tak mengetahui benda itu, bagaimana kita dapat menyelidiki?" sahut Siau Yau-cu.
Siu-lam menengadah dan berkata pelahan-lahan: "Jika lo-cianpwe sekalian tetap
hendak menanyakan benda itu, terpaksa akupun menerangkan. Benda itu?" " tiba-tiba ia
berhenti lagi. Su Bo-tun membentaknya: "Huh, benda apakah itu, sehingga kau sampai begitu jual
mahal" Bukan laku seorang ksatria sikapmu itu!"
Siu-lam mengerling tajam kepada orang she Su itu dan mendengus dingin: "Peta
Telaga Darah!" Mendengar keterangan itu seketika berubahlah wajah sekalian orang. Mereka
tercengang-cengang. "Benarkah omonganmu itu?" Siau Yau-cu menegas.
"Benar!" "Kalau kau menyimpan peta itu mengapa kau tak mau bilang dulu-dulu?" tanya Tay
Hong. "Karena benda itu bukan milikku!"
Tio It-ping menyanggapi: "Ucapanmu itu memang tepat. Peta itu milik suhumu.
Karena suhumu sudah meninggal, maka menjadi milik puterinya!"
"Ah, sayang sumoay-ku itu sudah tak berada di dunia lagi?" kata Siu-lam dengan
berlinang-linang air mata.
Tio It-ping melongo. "Andaikata sumoay masih hidup, peta itupun tak bisa dikatakan menjadi miliknya," kata
Siu-lam. "Kalau bukan miliknya, apakah milikmu?" seru Tio It-ping murka.
"Secara jujur, peta itu seharusnya menjadi milik Ti-ki-cu Gan Leng-po!" sahut Siu-lam.
"Kalau benar milik Gan Leng-po mengapa berada dalam tanganmu?" tegur Tay Hong.
Tetapi segera paderi itu teringat akan surat si nona baju putih yang diberikan kepada Siulam.
Nona itu mengemukakan tentang peta tersebut. Bahwa peta itu ternyata berada
pada Siu-lam terang pemuda itu tentu merampas atau diam-diam telah mencurinya.
"Pertanyaan taysu itu tepat," sahut Siu-lam, "peta itu memang bukan milikku, tetapi
aku yang menyimpannya!" " ia menghela napas.
"Dari manakah asalnya peta itu, aku tak tahu. Tetapi yang jelas suhuku telah menjadi
korban pembunuhan karena peta itu. Suhuku seorang cerdas. Sebelumnya ia telah
membuat persiapan. Peta diberikan kepada sumoayku dan disuruhnya sumoay
bersembunyi di tempat Su lo-cianpwe. Suhu memperhitungkan, pengaruh Su lo-cianpwe
cukup besar. Tetapi siapa tahu ternyata orang Beng-gak diam-diam telah mengetahui dan
mengikuti jejak sumoay?" kata Siu-lam pula. Kemudian ia mengerling ke arah Su Bo-tun
dan melanjutkan berkata pula:
"Su lo-cianpwe tak mau lekas turun tangan sehingga bala bantuan Beng-gak keburu
datang. Lalu terjadi pertempuran. Su lo-cianpwe dapat mengalahkan 3 jago Beng-gak,
tetapi karena terlambat sekali turun tangan, Beng-gak keburu kirim jago-jagonya yang
lebih ganas. Kala itu kepandaianku masih terbatas, tak mampu membantu. Aku bersama
sumoay melarikan diri melalui sebuah jalan rahasia di belakang gunung. Tetapi siapa
tahu, di dalam goa rahasia itu aku berjumpa dengan seorang lo-cianpwe yang aneh!"
"Su-heng, benarkah cerita sicu ini?" tanya Tay Hong kepada Su Bo-tun.
Su Bo-tun mengiakan. Siu-lam melanjutkan pula: "Lo-cianpwe aneh itu berlumuran obat penghilang kulit
sehingga tak berani terkena sinar matahari. Separoh tubuh bagian bawah sudah lumpuh
tak berdaging. Hanya tinggal dua kerat tulang. Tetapi dia tetap masih hidup dan masih
sakti. Aku dan sumoay kena ditutuk jalan darahku, kemudian dia mendapat peta Telaga
Darah itu dari badan sumoay. Dia menyuruh aku membawa peta itu untuk menukarkan
obat dari Ti-ki-cu Gan Leng-po. Sumoay tetap ditahan sebagai jaminan. Begitu aku
membawa obat, sumoay akan dilepaskan. Oleh karena itu, peta seharusnya sudah
menjadi milik Gan lo-cianpwe!"
"Hm, kalau peta sudah kau tukarkan dengan obat, mengapa masih kau simpan?" tanya
Tay Hong. Siu-lam menerangkan bahwa ketika Gan Leng-po mengantar dia ke telaga Han-cuithan,
nona baju putih telah menyelundup ke dalam pondok terapung dan berhasil mencuri
peta itu. "Siapakah nona Bwe itu?" tanya Tay Hong.
"Ialah nona baju putih yang melukai dirinya sendiri tadi!"
"Omitohud! Nona itu benar-benar pantas dihormati dan dikagumi!" seru Tay Hong.
Siu-lam melanjutkan ceritanya: "Ketika pulang ke pondok dan dapatkan petanya hilang,
Gan lo-cianpwe mengejar aku lagi dan memaksa aku kembali ke pondoknya. Kamipun
kembali dan suatu peristiwa yang mengejutkan telah terjadi. Kuali pemasak obat dalam
pondok terapung itu tumpah ruah hancur berantakan. Dilanda oleh kegoncangan yang
hebat, seketika pikiran Gan lo-cianpwe berubah gila"."
Siu-lam menuturkan apa yang telah dialaminya selama ini. Hanya satu bagian yang
dilewati ialah tentang sumpah di bawah rembulan menjadi suami isteri dengan Bwe Hongswat
itu tak diceritakan. "Eh, siapakah orang aneh yang berada dalam goa rahasia itu?" tiba-tiba Siau Yau-cu
menyelutuk. "Bermula aku tak tahu siapa namanya. Barulah setelah aku menemui Su lo-cianpwe
dan bersama-sama menuju ke goa rahasia itu, dari barang-barang yang ditinggalkan
dalam goa itu ternyata lo-cianpwe itu ialah iblis wanita Ih Ing-hoa yang menggemparkan
dunia persilatan pada 20 tahun berselang."
Mendengar itu menggigillah tubuh Siau Yau-cu: "Jadi dia benar sudah mati?"
"Ketika aku kembali ke goanya, dia memang sudah meninggal. Sumoaykupun
dibunuhnya. Semasa muda, wanita itu tentu jahat dan cabul, maka pantaslah kalau dia
diganjar penyakit yang begitu mengerikan!"
"Su-heng tantu tahu hal itu?" kata Siau Yau-cu kepada Su Bo-tun.
Orang she Su menggeleng: "Memang memalukan sekali. Aku yang tinggal berpuluhpuluh
tahun di Coh-yang tak mengetahui sama sekali bahwa di bawah karang
bersembunyi perempuan iblis itu!"
Tay Hong menghela napas. Paderi itu tetap menyesalkan Siu-lam mengapa dulu-dulu
tak mau mengaku terus terang. Siu-lam menunduk.
"Taysu, harap memberi jalan!" tiba-tiba Tio It-ping melangkah hendak keluar.
Tetapi Tay Hong tetap tak mau beringsut dari ambang pintu: "Harap tunggu sebentar
lagi!" "Mengapa?" tiba-tiba Tio It-ping mendorong paderi itu ke samping.
"Omitohud! Sicu hendak menyerang loni?" Tay Hong beringsut untuk menyingkirkan
bagian jalan darah, kemudian membiarkan bahunya dijamah orang.
"Orang yang berhati bersih tentu mau bersabar sebentar. Kalau main kasar, jangan
menyesal kalau aku turun tangan!" Siau Yau-cu mendengus.
Ketika membentur bahu Tay Hong siansu, tangan Tio It-ping seperti membentur karang
dan memantulkan daya membal yang keras. Ia tercengang.
Tiba-tiba Tay Hong bertanya kepada Su Bo-tun: "Su-heng, apakah setelah lukanya
sembuh, Tio-sicu ini lalu tinggalkan Coh-yang-ping?"
Pertanyaan justru seperti yang hendak ditanyakan Siu-lam. Iapun mendengar dengan
penuh perhatian. "Waktu itu aku sedang bertempur seru dengan jago-jago yang dikirim Beng-gak. Dia
duduk di samping sambil mengobati lukanya. Setelah musuh pergi, dia tinggal di Cohyang-
ping hampir 10 hari lamanya. Setelah lukanya sembuh, baru ia pergi. Tetapi saat
itu aku tak menanyakan kemana tujuannya," kata Su Bo-tun.
Tay Hong merenung. Beberapa saat kemudian, keempat paderi jubah kuning yang
disuruh menyelidiki tadi, bergegas-gegas datang. Mereka memberi laporan bahwa
semalam tak ada seorangpun yang naik ke atas gunung.
Wajah Tay Hong mengerut gelap. Dengan tertawa dingin ia menatap Tio It-ping: "Di
antara kita yang berada di sini, hanya sicu yang paling mencurigakan. Tetapi loni tak mau
terlalu menekan orang. Harap sicu suka mempertimbangkan semasak-masaknya lalu
memberi keterangan pada loni!"
Tio It-ping menyahut dingin: "Ucapan taysu yang tak jelas juntrungnya itu, bermaksud
bagaimana?" Ketua Siau-lim-si itu pejamkan mata dan mengucap doa. Beberapa saat kemudian
tampak wajahnya tenang. Membuka mata dengan tersenyum ia berkata ramah: "Mati
hidupnya kaum persilatan, merupakan soal yang maha penting. Mengapa sicu tak mau
berbuat kebaikan dengan menyerahkan saja!"
Tio It-ping menyurut selangkah, serunya: "Menyerahkan apa?"
"Hiat-ti-tho!" sahut Tay Hong siansu.
Tio It-ping tertawa dingin: "Apakah taysu hendak memfitnah aku?"


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tay Hong kerutkan sepasang alisnya yang putih kemudian berkata dengan serius: "Jika
sicu tak mau menyerahkan baik-baik, jangan menyesal kalau loni berlaku kurang hormat!"
"Taysu mau apa?"
Wajah ketua Siau-lim-si itu berubah, serunya: "Apakah sicu anggap loni tak dapat
menggeledah sicu?" Tio It-ping mengangkat kedua tangannya dan tertawa nyaring: "Jika taysu mencurigai
aku, silahkan menggeledah badanku!"
Sikap Tio It-ping itu membuat Tay Hong agak meragu. Ia berpaling kepada si paderi
berjubah kuning, ujarnya: "Cobalah kalian memeriksa badan sicu itu. Harap yang teliti
tetapi jangan berlaku kasar!"
Keempat paderi jubah kuning itupun segera melakukan perintah. Tio It-ping acuh tak
acuh dan mempersilahkan keempat paderi mulai menggeledahnya.
Dengan hati-hati dan teliti keempat paderi itu memeriksa seluruh tubuh Tio It-ping
namun tak mendapatkan suatu apa.
Setelah keempat paderi itu selesai menggeledah, tertawalah Tio It-ping dengan sinis:
"Apakah suhu berempat perlu memeriksa sepatuku juga?"
Sebagai seorang ketua gereja yang disegani orang, sudah tentu Tay Hong malu
mendengar sindiran itu. Namun mengingat betapa pentingnya peta itu dan betapa besar
akibatnya jika sampai jatuh ke tangan orang yang tak bertanggung jawab, Tay Hongpun
segera menerima tawaran Tio It-ping.
Jawaban Tay Hong itu mengejutkan sekalian orang. Bahkan keempat paderi jubah
kuningpun tertegun. Karena belum pernah mereka melihat ketua mereka begitu serius
seperti saat itu. Siu-lampun gelisah sekali. Menggeledah sepatu orang berarti suatu hinaan. Apabila
Tio It-ping benar-benar tidak mengambil peta itu, tentulah pamannya itu akan
mendendam kepada kaum Siau-lim-si.
Baru ia hendak mencegah, tiba-tiba Tay Hong sudah membentak keempat paderi jubah
kuning: "Hai, mengapa kalian tak lekas-lekas mengerjakan perintahku" Apakah kalian
tidak mau mendengarkan kata-kataku?"
Sebenarnya Tio It-ping hendak mengejek ketua Siau-lim-si itu. Tetapi di luar dugaan,
ternyata Tay Hong benar-benar menerima tawarannya. Apa boleh buat, akhirnya ia
melolos sepatu dan kaus kakinya juga.
"Cobalah kalian periksa sepatuku ini. Apakah ada sesuatu yang kusembunyikan?"
sambil mengangkat sepatunya, Tio It-ping berseru dingin.
Jilid 15 TAY HONG berpaling kepada si paderi kecil penjaga pondok, serunya dengan bengis,
"Barang milik tetamu, telah hilang. Jelas, kau tak mampu menjaganya. Untuk
hukumannya, sementara kau harus menghadap tembok sampai tiga tahun lamanya. Lekas
pulang ke Ko-san dan serahkan diri pada paderi yang berwajib!"
Dengan serta merta paderi kecil itu member hormat dan tinggalkan pondok.
"Dengan maksud apa Su-heng juga dating kemari?" kemudian Tay Hong beralih tanya
kepada Su Bo-tun. Ternyata itu membuat Su Bo-tun hamper kambuh penyakitnya. Ia kerutkan dahi tetapi
pada lain saat cepat ia dapat menekan kemarahannya lagi.
Sahutnya, "Rasanya aku tadi sudah menjawab pertanyaan itu. Aku memburu jejak
orang ini!" ia menunjuk pada Tio It-ping.
"Kemana saja kau selama ini?" tiba-tiba Tay Hong menegur paderi kecil lainnya.
"Teecu tetap berada di sini, tak sedetikpun pergi kemana-mana," sahut paderi kecil itu.
"Jika tetap berada di sini mengapa tidak tahu benda itu hilang?"
"Tecu telah ditutuk orang!"
"Siapa yang menutukmu" Apakah kau tak ingat sama sekali?"
Paderi itu mengatakan bahwa orang itu yang menutup jalan darahnya itu cepat sekali
gerakannya sehingga ia tak sempat mengetahui mukanya. Sebelum berpaling, jalan
darahnya sudah tertutuk. Tay Hong mengerut kening. Tokoh-tokoh yang datang dalam pertemuan itu adalah
para tokoh ternama. Karena paderi kecil itu tak dapat menerangkan ciri-ciri si penutuk,
maka sukarlah untuk menuduh seseorang. Dan untuk menuduh seseorang, tentu akan
menimbulkan kehebohan dan pertengkaran!
Rupanya Siau Yau-cu dan Su Bo-tun dapat mengetahui keresahan Tay Hong, kata
mereka, "Kiranya tak perlulah taysu resah. Yang penting sekarang ini ialah harus
menghadapi Beng-gak. Soal mencari peta itu, bisa dipertangguhkan setelah urusan Benggak
selesai!" Tay Hong tertawa dan menghaturkan terima kasih atas anjuran kedua tokoh itu. Tibatiba
Tio It-ping menyeletuk, "Apakah aku boleh tinggalkan tempat ini?" katanya seraya
menerobos keluar. Tay Hong hendak mencegah tetapi entah bagaimana tangan yang sudah diulurkan,
tiba-tiba ditarik kembali.
Su Bo-tun tertawa dingin dan mengangkat tangannya menuding ke arah punggung Tio
It-ping. Tio It-ping rasakan punggungnya gemetar. Tiba-tiba ia berhenti dan berpaling
sebentar lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Mengingat hubungan lama, Siu-lam hendak menyusul tetapi Su Bo-tun cepat
menghadang, serunya, "Dia telah kututuk dengan Keng-gong-ci (menutuk dari jauh).
Dalam dua belas jam lukanya tentu akan sembuh lagi. Paling tidak dalam waktu tiga bulan
baru ia dapat sembuh. Saat itu kita sudah menyelesaikan urusan Beng-gak dan sudah tahu
menang kalahnya. Kelak kita bias mencarinya lagi. Untuk sementara ini biarkan saja dia
pergi!" Saat itu Tio It-ping sudah lenyap. Siu-lam hanya menghela napas.
"Loni hendak bicara pada sicu. Apakah sicu bersedia?" tiba-tiba Tay Hong berkata
kepada Siu-lam. Sudah tentu Siu-lam mengiakan.
"Tentang hilangnya peta itu, untuk sementara baiklah dirahasiakan. Loni secara diamdiam
akan menyelidikinya. Jika dapat menemukan, tentu segera loni memberitahukan. Jika
kehilangan itu sampai teruwar, dikuatirkan akan menimbulkan kehebohan. Dalam hal ini
loni juga pengertian sicu!"
Siu-lam menganggap pendapat ketua Siau-lim-si itu benar. Ia meluluskan. Tay Hong
menyatakan andaikata peta itu belum dapat diketemukan, nanti bila urusan Beng-gak
sudah selesai, tetap ia hendak berusaha mencarinya dan akan mengembalikan kepada
anak muda. Kemudian Tay Hong menanyakan kepada Su Bo-tun kapan akan dimulainya latihan
barisan Chit-sing-tun itu.
Dengan nada bersungguh Su Bo-tun mengatakan, barisan itu tentu sudah selesai dalam
lima hari lagi. Su Bo-tu berapi-api menatap Siu-lam, serunya dengan nada dingin, "Buyung, peta
Telaga Darah menyangkut nasib dunia persilatan. Aku telah menganut jalan hidupku
dengan caraku sendiri. Aku tak perduli orang mengatakan aku bagaimana. Tetapi sungguh
tak kunyana, dalam hari tuaku aku bakal menghadapi peristiwa begini. Sekalipun
pendirianku telah kurubah, tetapi bukan berarti aku tak seganas dulu. Jika kau berani
main-main tentang peta itu, jangan salahkan aku berlaku kejam padamu!"
"Bagaimana maksud lo-cianpwe" Aku tak mengerti," kata Siu-lam.
Su Bo-tun tertawa dingin, "Apakah petamu itu benar-benar hilang?"
"Kalau tidak hilang, masakan aku begini sibuk. Dan perlu apa aku membohongi!" Siulam
berteriak marah dan terus melangkah pergi. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam
untuk menjaga diri. Karena menurut perangai orang she Su dahulu, tak mungkin dia dapat
menerima sikap kasar yang diunjuk Siu-lam seperti saat itu.
Di luar dugaan Su Bo-tun tertawa gelak-gelak dan tinggalkan pondok itu juga.
Ketika Siu-lam kembali ke kamar, ternyata Hian-song sudah menunggu. Dara itu
memandang ke wuwungan kamar dan tertawa-tawa riang gembira.
"Eh, adik Song, mengapa kau begitu riang gembira?" tegur Siu-lam.
Dara itu tertawa dan berbangkit, "Ketika sumoaymu masih hidup, kalian tentu rukun
sekali, bukan?" Siu-lam terkejut dan terlongong-longong. Beberapa saat kemudian baru ia menyahut,
"Benar, mengapa kau tiba-tiba menanyakan soal itu?"
"Tetapi saying dia sudah meninggal," kata si dara tanpa menghiraukan pertanyaan
orang. Siu-lam terbeliak lagi, ujarnya, "Kita telah menguburnya di kaki bukit Po-tok-nia.
Masakan kau lupa?" Sekonyong-konyong wajah dara itu berubah gelap dan dingin. Bertanyalah dia dengan
bengis, "Jika pada waktu di gunung Kiu-kiong-san aku tak menolongmu, apakah kau masih
dapat hidup sampai sekarang?"
Siu-lam makin tak mengerti sikap dara itu, diam-diam ia menduga jangan-jangan dara
itu tak enak badan sehingga bicaranya tak karuan.
"Benar, jika tak kau tolong, aku tentu sudah mati," sahutnya seraya maju mendekati.
"Kakekku telah menurunkan ilmu sakti sehingga dalam waktu singkat kau telah menjadi
tokoh persilatan yang hebat, kau anggap budinya besar atau tidak?" kembali Hian-song
bertanya. "Budi Tan lo-cianpwe adalah sebesar gunung Tay-san. Seumur hidup nanti tak
kulupakan!" Hian-song menatap wajah pemuda itu dengan tajam, sesaat kemudian ia menitikkan
dua butir air mata. Katanya dengan rawan, "Segala itu sudah lampau, percuma diangkat
kembali"." "Adik Song, apakah salahku?" kata Siu-lam seraya menarik lengan si dara. Ia kasihan
pada dara itu. Hian-song terbeliak tetapi sampai beberapa saat tak dapat berkata apa-apa. Katanya
kemudian, "Semalam telah kupikirkan masak-masak, akhirnya aku dapat memikirkan
sesuatu"." "Apa yang kau temukan?"
"Kemarin kulihat nona baju putih itu memang cantik sekali"."
Kini tahulah Siu-lam kemana jatuhnya kata-kata dara itu. Ia hendak membuka mulut
tetapi Hian-song sudah mendahului lagi, "Bukankah dia bersikap baik sekali padamu?"
Diam-diam Siu-lam menimang. Dalam keadaan sedang tegang, tak pantaslah ia melukai
hati dara itu. Maka tertawalah ia, "Walaupun aku pernah berjumpa padanya"."
"Maka kau lantas tak mau padaku?" tukas si dara, "jika dulu tahu begini, tentu aku tak
mau menolong jiwamu di Kiu-kiong-san. Biarkan aku dibunuh orang baru nanti kubunuh
orang itu untuk membalaskan sakit hatimu."
Diam-diam Siu-lam mengeluh. Perangai Hian-song mudah marah. Jika hidup
bersamanya, tentu sukar menghadapi.
Hian-song menghela napas panjang, "Jika kelak aku bertemu dengan nona baju putih
itu, tentu akan kuhiasi wajahnya dengan ujung pedang. Lihat saja apakah dia masih cantik
lagi!" Siu-lam teringat memang semalam ia bersikap agak dingin pada dara itu. Kemungkinan
dara itu tersinggung perasaannya. Ia hendak menghibur, tapi tak harus mengatakan
bagaimana. Akhirnya ia alihkan pembicaraan, "Kini seluruh tokoh persilatan sedang mencurahkan
perhatiannya untuk menghadapi Beng-gak. Soal-soal pribadi, dendam dan kasih, untuk
sementara dikesampingkan. Dalam hal ini harap sumoay jangan salah paham."
Dara yang masih sering bersifat kekanak-kanakan itu rupanya mau mempertimbangkan
ucapan Siu-lam. Setelah merenung sejenak, tampak wajahnya riang kembali.
"Kakek telah member banyak sekali ilmu kepandaian padaku. Diantaranya adalah ilmu
pedang yang dahsyat sekali perbawanya. Tetapi ilmu pedang itu harus dilakukan oleh dua
orang baru dapat berkembang baik. Sebaiknya kita pelajari ilmu pedang itu agar nanti
dalam saat yang diperlukan dapat kita pergunakan untuk menghadapi musuh!" katanya.
"Eh, mengapa kau tahu" Kapankah sumoay memiliki ilmu pedang itu?"
Melihat nada Siu-lam berubah ramah, hati si darapun menjadi lunak. Ia rebahkan tubuh
ke dada Siu-lam dan dengan nada manja berkata, "Engkoh Lam, apakah kau sungguhsungguh
suka padaku?" "Mengapa tidak?"
"Semalam ketika melihat sikapmu dingin kepadaku, hatiku mendongkol sekali.
Kuanggap nona baju putih itulah yang menjadi gara-garanya. Dia sangat cantik, siapa saja
tentu suka padanya. Semalam itu aku tak dapat tidur dan pikirku hendak mencarimu untuk
membuat perhitungan"!"
"Eh, apakah sekarang kau masih marah?" tanya Siu-lam dengan tertawa.
Hian-song gelengkan kepala, "Aku telah membuat keputusan. Hendak kuminta kau
berkata terus terang, apakah kau suka padaku atau tidak. Jika tidak, aku segera akan
tinggalkan tempat ini"."
"Kau seorang anak wanita yang belum berpengalaman. Kemanakah kau ingin pergi
dalam dunia yang begini luasnya?"
"Sudah tentu ada yang hendak kutuju. Aku hendak mencari tahu tempat yang terpencil.
Hendak kuyakinkan ajaran kakek sampai sempurna. Kemudian aku akan keluar ke dunia
persilatan lagi. Lebih dulu hendak kubunuh nona baju putih itu setelah itu lalu
mencarimu"." "Apakah kau juga hendak membunuhku?"
"Entahlah," sahut Hian-song, "sudah tentu aku bencai sekali padamu. Tapi tak tahulah
aku, apakah hendak membunuhmu atau tidak"."
Tiba-tiba dara itu mengikik, "Andaikata tak membunuh, pun tentu akan kubawa kau ke
sebuah lembah yang terpencil. Akan kurantai kaki tanganmu agar kau jangan muncul ke
masyarakat ramai lagi!"
Diam-diam Siu-lam tergetar nyalinya. Ia makin menyadari sifat dan perangai dara itu.
"Engkoh Lam, kau takut atau tidak?" kembali Hian-song membuka mulut.
"Apa kau hendak membuat aku supaya mati kelaparan?" tanya Siu-lam.
"Akupun akan menemani kau di situ. Tiap hari akan kumasakkan kau hidangan yang
lezat. Seumur hidup kita takkan keluar dari tempat itu!"
"Seumur hidup?" tanya Siu-lam.
"Ya, sampai kakek nenek, hidup berdua mati bersama. Andaikata kau mati lebih dulu,
aku pun akan segera membunuh diri di sampingmu!"
"Kalau kau yang mati lebih dulu?"
"Kau kubunuh lebih dulu, kemudian baru aku mau mati," sahut Hian-song.
Tergerak hati Siu-lam mendengar pernyataan si dara yang penuh emosi tetapi
bersungguh-sungguh. Begitu besar dan mati-matian dara itu menyintai dirinya. Diam-diam
Siu-lam berjanji akan berusaha untuk mempengaruhi agar dara itu jangan terlalu keras
wataknya. Kembali Siu-lam mengungkapkan tentang suasana keprihatianan dunia persilatan
menghadapi ancaman gerombolan Beng-gak. Ia menganjurkan supaya dara itu suka
mengamalkan ajaran-ajaran ilmu kesaktian dari kakeknya untuk membantu kaum
persilatan. "Baik, mari kuajarkan ilmu pedang itu," kata Hian-song seraya menarik Siu-lam diajak
keluar. Sambil mengucapkan gerakan-gerakan ilmu pedang itu secara lisan, iapun
memainkannya dengan pelahan-lahan.
Tempo berjalan dengan cepat sekali. Tak terasa sudah sepuluh hari mereka tinggal di
gunung itu. Selama itu Siu-lam dan Hian-song giat berlatih ilmu pedang.
Begitu pula para tokoh yang telah berada di gunung itu. Masing-masing giat berlatih
diri. Saling berunding tentang ilmu kesaktian.
Hari itu ketika baru saja hari mulai gelap Siu-lam dan Hian-song masih berlatih ilmu
pedang. Tiba-tiba muncullah seorang paderi kecil yang mengundang kedua pemuda itu
supaya menghadap pada Tay Hong siansu.
Siu-lam dan Hian-song terpaksa hentikan latihannya dan segera mengikuti paderi kecil
itu. Ketika tiba di ruangan samping, di situ telah disiapkan meja perjamuan. Di luar ruangan
dijaga keras oleh seluruh paderi Siau-lim-si dengan senjata terhunus.
Tay Hong mempersiapkan keduanya duduk.
Setelah mengajak para tokoh persilatan mengangkat cawan, berkatalah Tay Hong
siansu, "Dalam beberapa hari ini, loni telah mengirim murid-murid Siau-lim-si untuk
menyelidiki ke segenap penjuru di manakah letak gunung Beng-gak itu. Hasilnya, telah
diketemukan dua buah tempat yang mencurigakan. Sekalipun untuk penyelidikan itu Siaulim-
si telah kehilangan empat orang jiwa muridnya, tetapi usaha itu tak sia-sia."
Sekalipun tokoh-tokoh tertarik perhatiannya. Karena sekalipun mereka itu terdiri dari
tokoh-tokoh yang ternama dari segenap penjuru, akan tetapi mereka benar-benar tidak
tahu di manakah letak tempat yang disebut Beng-gak itu."
"Hari Peh-cun sudah kurang empat belas hari lagi. Tetapi barisan Chit-sing-tun-heng
dari Su-heng telah selesai terbentuk. Begitu pula saudara-saudara sekalianpun telah siap
sedia. Maka maksud loni hendak menuju Beng-gak lebih pagi dari hari pembukaannya.
Lebih lekas selesai, lebih lekas saudara-saudara dapat pulang ke rumah. Dan kedua
kalinya, kedatangan kita yang beberapa hari di muka itu, tentu tak memberi kesempatan
kepada musuh untuk membuat persiapan-persiapan yang sempurna!" kata Tay Hong.
Tiba-tiba Su Bo-tun berbangkit, "Di manakah murid-murid taysu menemukan tempat
itu" Berapakah jauhnya dari sini?"
Tay Hong menghela napas perlahan, "Jika nona baju putih itu tidak meninggalkan peta,
mungkin bertahun-tahun kita tak akan menemukan tempat itu. Mungkin saudara-saudara
akan terkejut bila mendengar bahwa ternyata yang disebut Beng-gak itu terletak di tengah
lembah yang tak jauh dari sini. Maka setelah perjamuan malam ini selesai, loni bermaksud
hendak berangkat malam ini juga!"
Seorang tua bertubuh gemuk pendek berbangkit, serunya, "Sudah sepuluh hari aku
tahankan diri tinggal di sini. Jika kalian tak lekas-lekas ke sana, aku terpaksa akan pulang
saja. Dua tahun lagi, akan kubawa jago-jago dari Se-gak kemari. Pertama-tama aku akan
ke gereja Siau-lim-si di Kosan. Jika dapat menundukkan Siau-lim-si, barulah kuundang
kalian dalam sebuah pertemuan besar. Jika dalam pertemuan itu kami jago-jago Se-gak
kalah, kujamin dalam seratus tahun lamanya, jago-jago Se-gak tidak boleh datang ke
Tiong-goan!" Ternyata yang bicara itu adalah kakek pendek dari Se-gak (Tibet) ahli pukulan Bu-ingsin-
kun. Karena sudah tahu bagaimana watak si kakek yang gemar berkelahi itu, tiada
seorangpun yang mau meladeninya.
Tay Hong menjawab, "Jika malam ini loni tak dapat menemukan Beng-gak, silahkan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sicu pulang. Dua tahun lagi tentu loni akan menunggu kedatangan sicu ke Siau-lim-si!"
Siu-lam melihat bahwa di antara tokoh-tokoh yang hadir dalam perjamuan malam itu
hanya Ti-ki-cu Gan Leng-po si tabib gila yang tak kelihatan. Maka ia menanyakan kepada
Tay Hong. Jawab ketua Siau-lim-si, "Penyakit Gan Leng-po itu tak mungkin sembuh dalam waktu
yang singkat, maka loni suruh murid-murid membawanya ke gereja Siau-lim-si"."
Demikian para tokoh persilatan itu segera makan malam bersama. Ternyata Tay Hong
sudah mempersiapkan ransum kering. Tiap orang diberi bekal untuk tiga hari.
Tay Hong menerangkan bahwa adanya disediakan ransum itu adalah karena
kemungkinan besar makanan yang dihidangkan orang Beng-gak itu dicampuri dengan
racun. Setelah persiapan-persiapan selesai maka berangkatlah rombongan orang gagah itu di
bawah pimpinan Tay Hong siansu.
Siu-lam, Hian-song dan Kat Hui berjalan bersama-sama. Delapan belas paderi jubah
kuning dan delapan belas paderi jubah merah mengiring di belakang rombongan.
Setelah melintasi dua buah gundukan gunung tiba-tiba Tay Hong percepat langkahnya.
Sekalipun berjumlah besar tetapi karena mereka terdiri dari tokoh-tokoh kelas satu,
sekalipun berlari cepat namun tak mengeluarkan suara apa-apa.
Perjalanan di atas gunung itu makin lama makin berbahaya. Jalanan sempit dan
berlingkar-lingkar mendaki tebing yang curam.
Kira-kira sepenanak nasi lamanya, tibalah mereka di sebuah lembah dan Tay Hongpun
segera berhenti. Saat itu malam makin larut. Di langit tiada rembulan. Angin malam
menderu-deru. Tay Hong mengeluarkan peta dari Bwe Hong-swat. Setelah memeriksa lagi
dengan teliti lalu merobeknya.
"Benar, memang lembah ini?" katanya seraya mendahului melangkah masuk.
Sekonyong-konyong empat orang paderi jubah kuning yang berada di bagian belakang
rombongan, lari melindungi di depan Tay Hong.
Lembah itu benar-benar masih liar. Setelah memasuki sampai duapuluhan tombak
lebih, terasalah angin menghembuskan suasanan keseraman.
Setelah menikung beberapa tikungan tampak puncak gunung yang menjulang tinggi
menutupi rembulan sabit. Keadaan lembah makin gelap. Hati setiap anggota rombongan
makin berdebar. Tiba-tiba Siau Yau-cu mendengus perlahan dan menunjuk ke arah sebuah puncak yang
hitam, "Apakah itu?"
Ketika sekalian orang memandang ke muka, samar-samar tampak di atas puncak yang
kehitam-hitaman itu huruf-huruf yang berbunyi "Lembah Kematian" atau Lembah Maut.
"Omitohud! Kiranya tak salah lagi," kata Tay Hong seraya percepat langkahnya.
Tiba di kaki bukit, jalanan tertutup oleh sebuah karang kecil. Karang itu merupakan
jalan buntu. Memandang ke atas puncak tampak tulisan Lembah Maut itu dipasang
setinggi ratusan tombak. Entah terbuat dari bahan apa.
Tay Hong menghela napas dan merenung.
"Kira-kira jam berapakah saat ini?" tiba-tiba Siau Yau-cu bertanya.
Su Bo-tun yang berada di sampingnya mengatakan bahwa saat itu kira-kira menjelang
pukul satu tengah malam. "Tulisan Lembah Maut itu jelas dibuat oleh orang. Kalau tak salah, inilah Beng-gak yang
akan kita cari itu!" kata Siau Yau-cu.
"Tetapi mengapa jalanan putus begini?" kata Tay Hong.
Siau Yau-cu menyatakan, "Saat ini tengah malam. Andaikata kita menemukan jalan,
tetapi karena musuh dalam kedudukan gelap dan kita berada dalam kedudukan terang,
berbahaya sekali kalau kita mendaki ke atas. Sebaiknya kita beristirahat dulu di sini sampai
nanti terang tanah!"
Tay Hong setuju. Maka sekalian rombonganpun berhenti mengaso dengan duduk
bersemedi memulangkan semangat.
Setelah berselang beberapa jenak, tiba-tiba Hian-song membisiki Siu-lam, "Engkoh
Lam, ada sesuatu yang terpendam dalam hatiku. Jika tak kuberitahukan padamu, rasanya
masih mengganjal saja!"
"Apa?" Hian-song tertawa perlahan, "Hi hi, petamu yang hilang itu sebenarnya aku yang
mengambil!" "Apa?" Siu-lam tersentak kaget.
Dara itu tertawa mengikik dan membisiki ke dekat telinga Siu-lam, "Jangan gugup!
Bukan aku yang mencurinya tetapi kucuri dari tangan orang lain!"
"Siapa?" "Pamanmu Tio It-ping itu!"
Sekalipun mereka bicara dengan perlahan sekali namun tetap mengganggu
persemedian sekalian orang. Mereka berpaling memandang kedua anak muda itu.
"Sudahlah, mereka mengawasi kita," kata Hian-song.
Siu-lam merasa bahwa persoalan itu penting sekali. Sekali bocor tentu akan
menimbulkan kehebohan besar. Ia mengangguk dan tak mau bertanya lebih lanjut.
Suasana menjadi hening kembali. Walaupun di tempat itu terdapat tak kurang dari
lima-enam puluh tokoh-tokoh persilatan, tetapi sama sekali tak kedengaran napas mereka.
Rombongan paderi Siau-lim-si jubah kuningpun memencar diri untuk melindungi
keselamatan rombongan. Di antara sekian banyak tokoh yang tengah bersemedi itu hanya Tay Hong seorang
yang pikirannya tak lepas mengingat lukisan pada peta pemberian Bwee Hong-swat.
Sekalipun sudah dihancurkan namun ia masih ingat jelas tempat-tempat pada peta itu.
Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Berpaling ke arah rombongannya, tampak sekalian tokohtokoh
itu masih duduk bersemedi. Boleh dikata mereka adalah tokoh-tokoh termasyhur
dari delapan penjuru. Sekalipun ketua Beng-gak itu manusia yang mempunyai tiga kepala enam lengan,
rasanya sukar untuk menghadapi sekian banyak tokoh sakti. Seketika semangat Tay Hong
timbul. Saat itu hari sudah mulai terang. Sekian orangpun sudah bangun. Semangat mereka
tampak segar kembali. Memandang ke sebelah muka, Tay Hong samar-samar melihat sebuah jalanan yang
ditanami dengan jajaran pohon siong. Pohon itu tampaknya diatur menurut bentuk yang
tertentu. Siau Yau-cu menghampiri Tay Hong, "Apakah taysu sudah memahami jalan-jalannya?"
"Hutan pohon siong itu mungkin merupakan jalan yang harus kita tempuh," sahut Tay
Hong. Siau Yau-cu memandang menurut arah yang dimaksud ketua Siau-lim-si itu. Memang ia
juga melihat gerumbul hutan pohon siong itu.
Tay Hong lalu mengajak rombongannya berangkat. Jalanan penuh ditumbuhi dengan
rotan yang menyemak liar. Tiada jalanan sama sekali. Akhirnya setelah menempuh dengan
hati-hati, dapatlah Tay Hong memimpin rombongan orang gagah melintasi hutan pohon
siong itu. Kini mereka berhadapan dengan sebuah jalanan yang kedua sampingnya terdiri dari
karang tinggi. Jalanan sempit itu menuju ke sebuah mulut lembah. Karang ditumbuhi pakis
yang licin dan curam. Walaupun memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, juga sukar
untuk melintasinya. Satu-satunya jalan hanyalah melalui jalanan kecil itu.
Diam-diam Tay Hong cemas. Jika pada kedua lamping karang itu musuh
menyembunyikan barisan pendam, tentu celakalah rombongannya.
"Harap sicu sekalian tunggu di sini dulu. Loni akan menyeberangi dulu dan setelah balik
baru akan mengajak sicu?" kata Tay Hong seraya terus melangkah ke muka.
Di luar dugaan ternyata Tay Hong selamat tak mengalami gangguan suatu apa.
Kemudian ia mengajak rombongan orang gagah melintasi lembah itu. Lembah sempit itu
panjangnya tak kurang dari ratusan tombak. Apabila musuh menggelindingkan batu dari
atas karang, sekalian orang gagah tentu hancur binasa semua.
Begitu keluar lembah, mereka melihat sebuah patung batu yang besar. Wajahnya
seperti setan yang ngeri. Tangannya mencekal sebuah perisai batu yang bertuliskan,
"Tanda undangan Ciau-hun, harap tuan-tuan datang lebih pagi!"
Di belakang patung itu terdapat sebuah altar batu setinggi satu tombak. Di atas altar
duduk seorang manusia aneh berpakaian hitam, mencekal sehelai panji bertuliskan, "Bisa
datang tak bisa pulang!"
Walaupun saat lalu sudah terang tanah, tetapi pemandangan itu cukup menyeramkan
juga. "Apakah itu juga sebuah patung?" bisik Tay Hong kepada Siau Yau-cu. Jago Bu-tongpay
itu menggeleng, "Rupanya bukan!"
Tiba-tiba Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong menimpukkan sebentuk kim-hoan (gelang
emas) ke arah manusia aneh itu. Sekonyong-konyong orang berbaju hitam itu bersuit
panjang dan kibaskan panji. Ces" kim-hoan menyusup ke dalam panji tanpa bersuara
apa-apa. Cin-hong terkejut. Ketika hendak menimpuk lagi, Tay Hong siansu mendahului berseru,
"Loni adalah Tay Hong dari Siau-lim-si. Rombongan kami yang terdiri dari para orang
gagah segenap penjuru telah datang untuk memenuhi undangan ketua Beng-gak. Harap
memberitahukan kedatangan kami!"
Orang baju hitam itu menyahut dingin, "Sekarang toh belum hari Peh-cun, mengapa
kalian sudah datang" Apa kepingin lekas mati?"
"Hari Peh-cun adalah ketua Beng-gak yang menetapkan. Dalam hal itu loni dan
rombongan loni belum memberi persetujuan," sahut Tay Hong.
Orang berbaju hitam itu bolang-balingkan panji sehingga menimbulkan deru angin
keras. "Sebelum mendapat perintah dari ketua, siapapun tak boleh masuk ke sini. Lebih
baik kalian kembali dulu agar bisa menikmati sinar matahari untuk beberapa hari lagi. Bila
sudah tiba saatnya, jangan harap kalian bisa hidup!"
Pada saat Tay Hong hendak menjawab, tiba-tiba It-ciang-tin-sam-siang Ngo Cong-han
sudah melengking, "Tidak perlu taysu melayaninya" Kita toh sudah datang memenuhi
undangan, masakan masih kurang?"
Ia terus melangkah maju dan lepaskan sebuah pukulan Biat-gong-ciang ke arah orang
berbaju hitam itu. Orang berada di atas altar batu itu tertawa seram dan kebutkan panjinya. Panji yang
panjang itu cukup untuk mencapai tempat Ngo Cong-han. Seketika pukulan biat-gongciang
dari Ngo Cong-han terhapus dan panji itu menyambarnya.
Ngo Cong-han terkejut dan cepat-cepat lompat tiga langkah ke belakang. Gerakan
orang berbaju hitam yang dahsyat itu mengejutkan sekalian orang gagah.
Tay Hong cepat mengambil tongkat dari salah seorang murid Siau-lim-si lalu melangkah
maju, "Ngo-heng, biarkan loni mencobanya!"
Karena merasa tak dapat menandingi kesaktian si orang baju hitam, terpaksa Ngo
Cong-han mundur. Orang itu tetap duduk di atas altar batu. Hanya kedua tangannya bergerak-gerak,
sedang tubuhnya bagian bawah tetap tidak bergerak. Lambaian panjinya dahsyat dan
leluasa sekali. Setelah maju empat lima langkah, berserulah Tay Hong, "Loni ingin menerima pelajaran
dari sicu"." Orang berbaju hitam itu tidak menunggu Tay Hong menyelesaikan kata-katanya terus
saja mengayunkan panjinya. Deru anginnya dahsyat sekali.
Tay Hong segera menangkisnya. Terdengar letupan keras bagai guruh. Tubuh orang
berbaju hitam itu gemetar keras. Tay Hongpun tergetar.
Adu kekuatan itu mengejutkan sekalian orang. Tiba-tiba Tay Hong berseru,
"Omitohud!" Dengan gunakan jurus Lat-soh-ngo-gak (menggempur lima gunung), ia
menyapu tangan orang itu.
Tring" tring" triiingg" terdengar dering gemerincing yang memekakkan telinga ketika
terjadi lima kali adu kekuatan antara panji dengan tongkat.
Panji yang terbuat dari pada sutera putih telah hancur lebur dan kini hanya tinggal
batang tonggaknya yang menyerupai tombak.
Ketua gereja Siau-lim-si yang biasanya sabar itu, saat itu benar-benar tak dapat
mengendalikan kemarahannya.
Setelah sejenak memulangkan tenaga, segera ia acungkan tongkatnya lagi. Tring,
tring" terdengar lagi letupan yang dahsyat. Tiba-tiba orang berbaju hitam itu muntah
darah dan rubuh ke belakang. Rupanya dia telah kehabisan tenaga!
Melihat itu Tay Hong hentikan serangannya dan maju menghampiri. Sekonyongkonyong
orang berbaju hitam itu deliki mata. Wajahnya mengerutkan derita kesakitan
yang hebat. Ia melengking seram dan sebelum Tay Hong dapat menduga-duga, tiba-tiba
orang itu menghantam batok kepalanya sendiri".
Tay Hong terkejut. Ia tak menyangka bahwa orang itu ternyata masih mempunyai
kekuatan menyerang. Kemarahannya yang hampir padam seketika berkobar lagi. Tring"
dengan kerahkan seluruh tenaga, Tay Hong menangkis. Orang itu muntah darah lagi,
tangkai pancingnyapun terpental jatuh".
Masih ia hendak berusaha bangun. Tetapi sekonyong-konyong tubuhnya terhuyung ke
muka dan jatuh terkulai. Tay Hong terkejut. Jelas ia telah menghancurkan lawan dengan lwekang sakti, tetapi
mengapa orang itu tetap tak jatuh menggelinding ke bawah altar"
Tay Hong hendak loncat memeriksa ke atas altar tetapi Siau Yau-cu sudah mendahului
melambung ke atas altar. Bukan kepalang kejut jago Bu-tong-pay itu ketika mengetahui
bahwa kaki orang berbaju hitam itu ternyata diikat dengan rantai dan ditalikan pada
sebuah tonjolan altar. Ah, makanya orang itu tak dapat jatuh menggelinding ke bawah.
Setelah mengungkit tubuh orang itu agar sekalian orang yang berada di bawah
melihatnya, Siau Yau-cu lalu loncat turun lagi.
Tay Hong menghela napas, ujarnya, "Menilik jejaknya ketua Beng-gak sekarang ini
tentulah seorang wanita iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh dahulu. Asal dia sudah lenyap
dunia tentu takkan mengalami bencana lagi!"
Di sebelah muka banyak sekali patung-patung yang diukir pada karang tinggi. Ngeri
juga Hian-song dibuatnya. Tanyanya, "Engkoh Lam, jika kau dirantai di sini, kau takut
tidak?" "Kalau memang begitu, apa dayaku?" sahut Siu-lam.
Ketika Hian-song hendak bicara, Siu-lam sudah mengajaknya berjalan lagi menyusul
rombongan mereka. Setiap dua tiga tombak, tentu terdapat sebuah patung. Setiap patung
wajahnya diberi warna menyeramkan dan tangannya mencekal senjata aneh.
Kira-kira tiga empat lie jauhnya, mereka membau angin yang harum. Siau Yau-cu
berhenti, serunya, "Bunga apakah ini, mengapa aku belum pernah membauinya?"
Ternyata di sebelah muka, terdapat pula sebuah hutan pohon siong yang lebat. Bau
harum itu berasal dari dalam hutan tersebut.
Setelah tertegun sejenak, Tay Hong minta pada Siau Yau-cu supaya suka menyelidiki
keadaan hutan itu. "Menilik keadaannya, hutan itu memang sudah lama sekali dan memang sebuah hutan
alam. Perempuan siluman itu menambah lagi dengan bermacam susunan!"
Tay Hong segera mengajak rombongannya memasuki hutan itu. Karena tak berapa
luas, beberapa saat kemudian mereka sudah keluar dari hutan itu. Kini mereka
berhadapan dengan sebidang kebun bunga. Bunga-bunga itulah yang menyiarkan bau
harum. Warnanya merah semua. Di tengah taman bunga, terdapat sebuah jalan kecil yang
hanya cukup dilalui seorang saja.
Tay Hong loncat ke atas jalan kecil itu lalu menyusur ke depan. Setelah membelok
beberapa tikungan gunung, taman bunga itupun berakhir dan kini mereka menghadapi
sebuah tanah lapang yang luas. Di sekeliling penjuru tampak rumput menghijau dan
pohon-pohon siong bergoyang gontai dihembus angin.
Jauh di sebelah muka tampak sebuah puncak gunung yang dikelilingi kabut. Sedemikian
tebal kabut itu hingga sekalipun Tay Hong memiliki pandangan mata yang tajam, tetapi
tidak dapat melihat keadaan puncak itu dengan jelas.
"Mungkin puncak itulah yang disebut Beng-gak!" seru Siau Yau-cu.
Tay Hong mengiakan. Siau Yau-cu mengajak ketua gereja Siau-lim-si itu segera
menyelidiki. Berbondong-bondong rombongan orang gagah itu lari menghampiri puncak
misterius itu. Setelah menempuh jarak tiga empat li, tibalah mereka di kaki puncak gunung
itu. Anehnya sekalipun sudah berada di kaki gunung, tetap mereka tak dapat melihat
keadaan puncaknya. Tay Hong kerutkan dahi, "Eh, dari manakah timbulnya kabut yang begitu tebal itu"."
Tiba-tiba Su Bo-tun nyeletuk, "Apakah taysu tidak merasakan sesuatu yang aneh pada
iklim tempat ini?" Seketika sekalian orang seperti disadarkan. Memang saat itu, mereka rasakan hawa
tiba-tiba berubah panas. "Aku paling tak percaya terhadap segala setan. Maka akupun tak percaya bahwa di
daerah Tiong-goan terdapat orang yang mahir ilmu siluman!" tiba-tiba terdengar suara
tertawa mengejek. Dan orang itu bukan lain ialah jago pukulan Bu-ing-sin-kun dari Tibet
yang bertubuh pendek gemuk.
Su Bo-tun cepat menyahut, "Padang sahara Tibet, memang tertutup salju dan jarang
terdapat gunung berapi?""
"Apa?" teriak si pendek gemuk.
Kuatir kedua orang itu akan bertengkar, Tay Hong siansu segera nyeletuk, "Di daerah
tenggara sini memang sering terdapat letusan gunung berapi. Pernah saudara dengar hal
itu?" Siau Yau-cu menambahi, "Apa yang dikemukakan Su-heng memang benar. Mengapa
tanah di pegunungan sini subur sekali" Tentulah karena ratusan tahun yang lalu daerah ini
merupakan sebuah gunung berapi yang meletus. Laharnya menjadi tanah subur dan
tertinggallah di sini sebuah puncak gunung yang tunggal. Kemungkinan besar puncak ini
merupakan sisa gunung berapi"."
"Hai, apakah itu?" tiba-tiba Tay Hong berteriak seraya memandang ke muka.
Di antara asap kabut yang tebal, tiba-tiba muncul sebuah papan besar yang bertuliskan
huruf-huruf warna merah darah, "Kabut yang membungkus sekeliling gunung ini
mengandung racun. Jika tak menerima undangan, jangan coba mendaki ke puncak!"
Melihat itu si gemuk pendek segera mundur dua langkah. Pada saat ia hendak bertanya
pada Tay Hong, dari belakang papan itu muncul tiga orang wanita berjalan jajar tiga.
Rombongan orang gagah silau menyaksikan munculnya ketiga orang yang ternyata


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nona-nona berwajah cantik gilang-gemilang. Nona yang di tengah, usianya paling tua.
Rambutnya disanggul seperti puteri istana. Di pinggang menyelip sebatang po-kiam
(pedang mustika). Pinggangnya dililit oleh sebuah benda merah berbentuk seperti tanduk
rusa. Dalam pakaian warna biru, ia tampak luar biasa cantiknya!
Gadis yang mengawal di sebelah kiri, mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya
terurai sampai ke belakang pundak. Memegang sebatang hud-tim (kebut pertapaan).
Punggungnya pun menyanggu sebatang po-kiam.
Sedang gadis yang mengawal di sebelah kanan, berpakaian serba putih, berambut
panjang dan membawa sebatang giok-cie (tongkat pendek dari batu kumala).
Mata Tay Hong yang tajam segera mengenal bahwa gadis baju putih itu bukan lain
ialah nona baju putih Bwe Hong-swat yang telah melukai dirinya tempo hari. Saat itu
wajah Bwe Hong-swat membeku dingin.
Ketiga orang nona berhenti ketika terpisah beberapa belas langkah dari rombongan
orang gagah. Wajah mereka sayu sepi seolah tak menganggap kedatangan rombongan
tamu itu. Nona yang berdiri di tengah agak menjurah selaku memberi hormat pada rombongan
tetamu kemudian berkata dengan nada gemerincing seperti bunyi kelinting, "Apakah kalian
hendak menghadiri pesta Ciau-hun-yan?"
"Omitohud!" Tay Hong mengucap doa, "Benar, memang loni dan rombongan hendak
menghadiri pesta itu!"
"Suhu kami mengundang tuan-tuan supaya menghadiri pesta itu nanti pada hari Pehcun.
Kini masih kurang sebulan, mengapa tuan sudah datang?" seru si nona baju biru.
Tay Hong tertawa dingin, "Entah dengan siapakah guru sicu menetapkan hari pesta itu
pada hari Peh-cun nanti?"
"Apakah lo-siansu lupa bahwa dalam tanda undangan yang diedarkan guru kami itu
telah ditentukan harinya?"
Tay Hong tertawa pula, "Guru nona telah menetapkan hari itu secara sepihak. Apakah
kami tak mempunyai kebebasan untuk mengajukan usul?"
Tiba-tiba nona baju biru itu tertawa, "Oh, lo-siansu bermaksud hendak majukan hari
pesta itu?" "Karena sudah terlanjur datang, apakah harus kembali pulang?" sahut Tay Hong.
Sejenak nona baju biru itu merenung lalu berkata, "Baiklah begitu. Karena tuan-tuan
sudah datang, silahkan ikut kami!" Nona itu berbalik tubuh dan melangkah perlahan-lahan.
Dikawal oleh keempat paderi jubah merah, Tay Hong segera mengikuti. Rombongan
orang gagahpun segera menyusul.
Tak berapa lama tibalah mereka di kaki puncak gunung yang tertutup kabut itu. Tibatiba
nona baju biru berhenti dan membelok ke sebelah kiri.
Tay Hong diam-diam telah membuat persiapan. Ia selalu menjaga jarak yang tertentu
dengan nona itu agar dapat menjaga setiap kemungkinan yang tak diingini.
Tiba-tiba terdengar kesiur angin dari belakang. Su Bo-tun dan Siau Yau-cu cepatlah
langkah mendahului Tay Hong dan mengikuti ketiga nona itu dari jarak yang dekat.
Nona baju biru itu berpaling dan tertawa, "Jika tuan tak percaya, mari kita jalan
bersama-sama!" Kedua tokoh itu saling berpandangan. Mereka tersenyum dan terus melangkah maju
menghampiri ketiga nona. Kiranya kedua jago itu telah menyadari bahwa saat itu tiada
guna untuk bertengkar cari nama. Ucapan si nona yang penuh ejek itu didesak tentu
mengandung siasat. Maka keduanyapun menggunakan siasat jugu dan menerima tawaran
si nona. Nona baju biru itu benar-benar besar sekali nyalinya. Berjalan bersama dua tokoh sakti
tanpa ia kikuk dan rendah diri. Bahkan sebaliknya malah tersenyum-senyum seolah-olah
kedua tokoh itu dianggapnya sebagai orang biasa.
Ia melirik ke arah Su Bo-tun kemudian kepada Siau Yau-cu. Dengan tertawa genit,
bertanyalah ia kepada jago tua Bu-tong-pay, "Eh, apakah sebuah biji matamu yang buta
itu memang sudah semenjak dilahirkan?"
Mata Siau Yau-cu berkilat-kilat memancarkan api, sahutnya, "Aku sudah tua, tak apalah
kehilangan sebuah mata!"
Si nona tertawa lepas, "Langit mengenal mendung, rembulan tempo bundar setempo
berkurang. Meskipun hilang sebelah mata, tetapi kepandaianmu tentu sakti!"
Siau Yau-cu menjawab dingin-dingin, "Apakah maksud nona?"
"Eh, aku selalu bicara dengan terus terang. Tak pernah menghambur pujian kosong!"
"Jelaskan!" seru Siau Yau-cu.
"Tetapi jikalau kujelaskan, mungkin kau nanti tak senang hati," seru si nona. Sengaja ia
berseru lantang agar didengar oleh rombongan tetamu.
Diam-diam Siau Yau-cu memaki nona yang kurang ajar itu. Tetapi ia sengaja tertawa,
"Aku seorang tua yang sudah kenyang makan asam garam. Baik atau jelek, aku sedia
mendengarkan. Silahkan nona mengatakan saja!"
"Biasanya seorang yang mempunyai cacad tentu dihinggapi rasa rendah diri. Justeru
rasa rendah diri itu merupakan cambuk pendorong untuk mengejar kekurangankekurangan
akibat cacadnya itu. Seperti halnya kau. Setelah menginsyafi buta sebelah
mata, tentu kau akan menyempurnakan dirimu dengan kepandaian yang sakti. Kau tentu
lebih dapat memusatkan perhatian untuk meyakinkan ilmu kepandaian yang hebat dan
jarang dapat dipelajari orang. Kau tentu bertekad untuk menjadikan dirimu lebih unggul
dari setiap orang yang tak cacad. Dan jika tak salah dugaanku, sampai saat ini kau tentu
masih bujangan, bukan?"
Siau Yau-cu tertawa tergelak, "Penilaian nona sungguh mengagumkan. Sayang aku si
orang tua ini seorang manusia yang buta rasa kasih sehingga mengecewakan setiap
harapan orang!" Nona baju biru tersenyum, "Memang jika kau kenal rasa kasih tentu tak mungkin kau
tetap luntang-lantung hidup membujang!"
Karena pembicaraan itu dilakukan dengan suara keras, maka rombongan orang
gagahpun sama mendengarnya. Diam-diam mereka geli.
Tiba-tiba si nona baju biru beralih Tanya pada Su Bo-tun, "Siapakah namamu?"
"Hm, seumur hidup aku tak suka bersenda gurau dengan orang," sahut Su Bo-tun
dingin. Nona baju biru tertawa, "O, makanya wajahmu begitu dingin. Lebih banyak menyerupai
sebuah patung bernyawa!"
"Hai, kau anggap aku ini orang apa" Mana aku sudi bergurau dengan seorang budak
wanita seperti kau!" Su Bo-tun keluar tanduknya.
"Hi, hi," si nona tertawa, "Kau tak suka justeru aku akan bergurau dengan kau."
"Tanganku tak kasihan pada wajah cantik dan tak kenal ampun pada siapapun. Jangan
bicara tak karuan!" "Ih, kau berhati dingin dan bertangan ganas" Kalau begitu tentu kau tak punya anak
keturunan!" Kembali si nona baju biru melengking.
Su Bo-tun tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Cepat ia menampar pipi nona,
"Budak hina, kau berani mengejek aku!"
Si nona menggeser tubuh sedikit ke samping dan balas menamparkan lengan bajunya
pada lengan Su Bo-tun, "Ah, kau memang manusia limbung!"
Su Bo-tun terkejut. Tamparan lengan baju nona itu penuh dengan hamburan tenaga
dalam yang dahsyat. Cepat ia tarik pulang tangannya berbareng dua buah jari tangan
kirinya ditutukkan ke lengan si nona.
Nona baju biru itu agak miringkan tubuh seraya kibaskan lengan baju ke siku lengan Su
Bo-tun. "Ai, kau benar-benar berhati dingin!" serunya. Walaupun diiringi tertawa, tetapi tenaga
yang terpancar dari lengan bajunya itu cukup dahsyat.
Mau tak mau Su Bo-tun gentar juga. Dia heran mengapa seorang gadis yang baru
berumur dua puluhan tahun sudah memiliki ilmu lwekang yang sedemikian hebat. Dapat
menguasai lwekang untuk disalurkan sekehendak hatinya. Nyata orang-orang Beng-gak
tak boleh dipandang ringan. Demikian kesimpulannya.
Orang she Su itu cepat menarik pulang tangan kanan, berbareng dua buah jari kirinya
balas menutuk siku si nona.
"Ai, sungguh manusia berhati besi, masakan tak mau member ampun benar-benar!"
kembali si nona baju biru melengking sambil menyurut mundur selangkah. Setelah berhasil
menghindari serangan, ia kibaskan lengan baju ke arah kepala lawan.
Su Bo-tun rasakan suatu sambaran angin yang lembut tetapi dingin. Ia tahu bahwa si
nona telah pancarkan lwekang Im-ji-kang (lunak). Buru-buru ia menangkis dengan tangan
kiri. Sekarang giliran si nona baju biru yang terkejut. Gerakan tangan Su Bo-tun itu ternyata
memancarkan tenaga membal yang kuat. Buru-buru ia tambahkan lwekang ke lengan
bajunya. Ketika terjadi benturan, seketika Su Bo-tun rasakan lengan kirinya kesemutan. Hampir
ia tak kuat bertahan. Adu lwekang itu sepintas pandang memang seperti orang yang sedang bercanda.
Lengan baju si nona cantik melekat pada tangan Su Bo-tun. Dan nona itu berjalan
lenggak-lenggok dengan gaya yang beraksi sekali.
Tetapi hal itu tak luput dari pengawasan rombongan orang gagah yang berjalan di
belakang mereka. Mereka melihat bagaimana lengan baju si nona melekat erat-erat pada
lengan Su Bo-tun dan keduanya berjalan seperti sepasang kekasih.
Sekira tujuh delapan tombak jauhnya tiba-tiba nona baju biru itu menarik lengan ujung
bajunya dari lengan Su Bo-tun seraya tertawa melengking, "Ai, sudah begini tua mengapa
kau belum mati?" Rasa kesemutan pada lengannya itu terasa membuat tulang Su Bo-tun linu. Dia kuatir
dalam seratus langkah lagi, tentu tak dapat bertahan.
Buru-buru ia kerahkan lwekang untuk bertahan. Ketika si nona lepaskan kaitan lengan
bajunya dan berseru mengejek, iapun menyahut dingin, "Aku tak punya anak isteri,
matipun tak ada yang menyambangi kuburanku. Perlu apa aku kesusu mati?"
Pada saat itu mereka tiba di ujung tikungan gunung. Tiba-tiba si nona baju biru
berhenti. Ia berpaling kepada Tay Hong siansu, "Paderi tua, kita sudah tiba di lembah
Coat-beng-koh!" Dengan wajah keren, ketua Siau-lim-si itu maju menghampiri, "Harap nona suka
membawa kami masuk!"
Karena sikap ketua Siau-lim-si penuh wibawa, si nona baju birupun tak berani berolokolok.
Ia membelok ke tikungan dan melangkah lebih dulu. Jalanan di situ hanya cukup
untuk dua orang berjalan bersama.
Tiba-tiba Siau Yau-cu menyelinap di muka. Si nona baju merah pun menyelinap di
muka Su Bo-tun. Dan nona baju putih mengikuti di belakang orang she Su itu. Maka iringiringan
itu terdiri dari: Si nona baju biru paling depan, lalu Siau Yau-cu, si nona baju putih
baru kemudian Tay Hong siansu dan rombongan orang gagah".
Setelah melintasi jalanan yang sempit itu, tibalah mereka di tengah lembah yang
lebarnya tak kurang dari sepuluh tombak dan panjangnya tidak dapat diketahui. Di situ
penuh ditumbuhi pohon-pohon bunga yang tengah mekar dengan warna-warni. Bentuk
bunga aneh sekali seperti yang digambar oleh si nona baju putih.
Di tengah padang bunga itu, terdapat sebuah jalur jalan kecil terbuat dari pasir kuning.
Si nona baju biru berpaling dan tertawa, "Harap kalian jalan perlahan-lahan saja!"
Sahut Siau Yau-cu tertawa nyaring, "Mati di padang bunga, merupakan kematian yang
puas!" Nona itu tersenyum, "Setan mata satu, tahukah kau nama bunga-bunga ini?"
"Bunga liar di lembah mati, apakah mempunyai nama yang bagus?" ejek Siau Yau-cu.
"Kuduga kaupun tak tahu namanya. Nama bunga itu ialah Siau-hun-lan (delima
pelenyap nyawa). Barang siapa melihat bunga itu tentu harus mati! Dan lagi kematiannya
secara mengenaskan!" kata si nona baju biru.
Siau Yau-cu tertawa gelak, "Ha ha ha, nona mengingatkan aku akan sebuah ucapan
bahwa: Orang merasa bahagia kalau mati di bawah bunga, jadi setanpun tetap puas. Bagi
seorang tua seperti aku, mati di tengah samudra bunga benar-benar amat bahagia sekali.
Tetapi bagi kau seorang gadis cantik yang masih muda belia, bukankah sayang sekali
kalau mati di tengah-tengah padang bunga." Si nona tertawa, "Seorang yang sudah
melongok di liang kubur seperti kau, ternyata masih romantis sekali. Untunglah bungabunga
itu tak mengerti bahasamu tak tahu umurmu sehingga mereka tak dapat menolak
rayuanmu itu!" Jitu sekali si nona baju biru menangkis dan melontarkan makian tajam kepada orang.
Hampir saja Siau Yau-cu hendak balas mendamprat tetapi pada lain kilas ia teringat
kedudukan dirinya. Kiranya tak pantaslah kalau orang sebagai dia melayani seorang gadis
yang tak terlena. Apabila nona itu melontarkan kata-kata yang lebih tajam lagi, bukankah
ia akan lebih malu lagi" Maka iapun segera mendongak memandang ke langit dan seolaholah
tak menghiraukan si nona lagi.
Pada akhir jalanan, mereka tiba di sebuah padang rumput yang datar. Luasnya tak
kurang dari empat atau lima bahu. Juga di sekeliling padang rumput itu penuh bertebaran
pohon-pohon bunga warna-warni yang indah.
Kembali si nona baju biru itu berhenti. Serunya dengan lantang, "Silahkan tuan-tuan
beristirahat di padang rumput ini. Bila pesta Ciau-hun-yan sudah tiba, nanti kami tentu
akan melayani lagi."
Habis berkata nona itu segera memberi isyarat tangan kepada kedua sumoaynya, "Mari
kita pergi!" "Harap nona jangan pergi dulu. Loni hendak mohon bertanya," tiba-tiba Tay Hong
berseru. Nona baju biru mengicup-ngicupkan mata, sahutnya dengan diiringi tertawa, "Apakah"
Silahkan!" Dengan wajah serius, berkatalah ketua Siau-lim-si, "Sekalipun rombongan kami telah
menerima undangan guru nona, tetapi belumlah setuju akan ketentuan harinya. Dalam
rombongan loni yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan terkenal ini, masing-masing
mempunyai kesibukan. Sudah tentu tak dapat menunggu lama. Maka harap nona agar
segera menemui rombongan kami. Jika memang sungguh-sungguh mengundang, tentulah
tak keberatan jika mengatur acara pertempuran itu selekas mungkin!"
Si nona memandang ke langit, ujarnya, "Saat ini sudah hampir petang hari. Jika suhuku
hendak menyelenggarakan pesta penyambutan yang meriah, tentulah tak sampai jauh
malam. Tuan-tuan habis menempuh perjalanan jauh, lebih baik beristirahat dulu agar
nanti dapat mati dengan mata meram!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara parau melengking dingin, "Apa itu pesta meriah atau
tidak meriah! Kedatanganku kemari bukan untuk ngiler makan hidanganmu. Lekas
beritahu pada gurumu. Suruh dia lekas keluar menyambut. Jangan sampai menimbulkan
kemarahanku! Kalau aku sampai marah, tentu akan kubumi hanguskan lembah ini!"
Ketika si nona baju biru berpaling, ternyata yang berseru itu seorang tua gemuk
pendek. Bahkan orang tua itu sudah tampil keluar dari rombongannya.
"Ih, siapakah kau" Mengapa kau bicara seenaknya saja?" tegur si nona baju biru.
Orang tua gemuk pendek itu tertawa lepas. Serunya, "Aku memang jarang datang ke
wilayah timur. Percuma saja kukatakan padamu, toh seorang budak wanita seperti kau
tentu tak tahu juga!"
Tiba-tiba berseri wajah si nona baju biru yang selalu menyungging senyum simpul tadi
,berubah dingin, serunya, "Kalau jarang ke daerah timur, kau tentu berasal dari Se-gak!"
Orang gemuk pendek itu terkesiap. Dia heran mengapa nona itu tahu hal dirinya.
"Benar, aku memang dari Tibet. Thian-san-sin-kun Pek Co-gi adalah aku sendiri!"
sahutnya. Si nona baju biru tertawa dingin, "Dari daerah Se-gak yang begitu jauh kau perlukan
datang, benar-benar kau memang bersungguh-sungguh hati hendak mencari jalan
kematian!" "Budak mulut lancing! Jika berani mengoceh tak karuan, jangan salahkan aku bertindak
kasar kepadamu!" Pek Co-gi marah.
"Di daerah yang kosong melompong, masa iya ada tokoh yang berkepandaian tinggi?"
ejek si nona. "Budak hina, kau berani menghinaku" Jika tak kuhajar, tentu kau belum tahu rasa!"
Pek-co-gi berteriak seraya menampar dengan tangan kanan.
Tahu bahwa orang tentu melancarkan pukulan Biat-gong-ciang, buru-buru si nona baju
biru bersiap menjaga diri. Di luar dugaan, tiba-tiba orang gemuk menarik lagi tangannya.
Nona baju biru itu heran dan mengira kalau orang itu tak jadi memukulnya. Tetapi
sekonyong-konyong serangkum gelombang angin yang tak bersuara telah menyambarnya.
Si nona baju biru terkejut, tetapi sudah terlambat. Ia dipaksa mundur tiga langkah.
Masih sebelumnya ia sudah bersiap-siap lebih dulu, kalau tidak ia tentu sudah roboh.
"Eh, ilmu pukulan apa itu?" diam-diam ia heran juga dibuatnya.
Memang Bu-ing-sin-kun atau pukulan sakti tanpa bayangan, merupakan ilmu
kepandaian istimewa dari partai Thian-san-pay yang berpusat di gunung Thian-san. Tak
seorang tokoh persilatan di wilayah Tionggoan yang dapat memiliki ilmu itu. Sekalipun si
nona baju biru tinggi kepandaiannya, iapun tak mengetahui dan kedahsyatan pukulan
tanpa suara itu. "Itu tadi hanya sedikit hajaran, jika mulutmu masih lancang, jangan salahkan aku si
orang tua berlaku kejam!" Pek Co-gi tertawa keras.
Wajah si nona berubah pucat. Setelah merenung sampai beberapa saat, tiba-tiba ia
melesat dan dengan senjatanya yang berbentuk aneh, ia menusuk si kakek pendek.
Pukulan Bu-ing-sin-kun si kakek itu telah melukai bagian dalam dari tubuh si nona.
Untung berkat lwekangna yang tinggi, setelah menyalurkan darahnya beberapa saat,
lwekangnyapun pulih kembali. Dan secepat itu ia balas menyerang.
Si kakek pendek kibaskan lengan baju untuk menampar senjata berbentuk seperti
tanduk rusa dari si nona.
Jago tua dari Tibet itu terkejut. Cepat ia menyurut mundur tetapi tak kalah cepatnya
tahu-tahu si nona sudah menyusuli dengan sebuah tutukan jari".
Hebat dan cepatnya bukan kepalang. Karena tak menduga, terpaksa Pek Co-gi
menangkisnya. Seketika ia rasakan tangannya linu. Buru-buru ia menariknya pulang.
Setelah berhasil menutuk, nona baju biru itu loncat setombak jauhnya seraya tertawa,
"Itulah yang dinamakan ilmu tutukan Cian-hun-it-ci. Untuk membayar pukulanmu tadilah.
Jika masih penasaran, nanti kita selesaikan lagi!"
Melihat kesaktian nona itu, diam-diam tergetarlah hati rombongan orang gagah.
Pek Co-gi memeriksa tangannya. Ternyata bekas tutukan nona itu telah meninggalkan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanda biru sebesar mata uang logam. Jika tutukan itu mengenai jalan darah yang
berbahaya, tentu akan membawa maut. Diam-diam jago tua itu menghela napas. "Ah,
ternyata daerah Tiong-goan penuh dengan jago-jago yang sakti. Benar-benar tak boleh
dipandang enteng?" kecongkakkan jago Tibet itupun menurun beberapa derajat.
"Omitohud!" seru Tay Hong, "Harap nona suka berhenti dulu. Loni hendak bicara. Yang
di hadapan nona saat ini adalah puluhan orang gagah. Apakah nona bertiga yakin dapat
mengatasi mereka?" Sejenak nona baju biru keliarkan matanya memandang ke sekeliling. Diam-diam ia
mengakui ucapan ketua Siau-lim-si. Ia memperhitungkan, tenaganya bertiga sukar
menghadapi rombongan tetamu. Suhu mereka tentu tak mungkin tahu peristiwa dan buruburu
datang menolong. Dan lagi, serangan Bu-ing-sin-kun dari Pek Co-gi tadi cukup member kesan padanya
bahwa rombongan orang gagah itu tentu sakti-sakti semua. Dengan pemikiran itu, tidak
beranilah ia bersikap sombong kepada tetamunya.
"Bagaimana?" serunya dengan tertawa untuk menutupi kecemasan hatinya, "Apakah losiansu
hendak memaksa kami bertiga saudara tinggal di sini menemani rombonganmu?"
Sebagai seorang ketua partai persilatan gereja yang termasyhur, sudah tentu Tay Hong
tidak biasa mengucapkan kata-kata yang tidak genah. Maka untuk beberapa saat ia tak
dapat menjawab. "Loni adalah umat beragama, tak pernah berkelakar hal-hal yang tak pantas," akhirnya
dapat juga ia paksakan mencari jawaban.
"Menilik sikap dan gaya bicara, rupanya lo-siansu ini pemimpin dari rombongan tetamu
yang mengunjungi pesta di Beng-gak?" seru si nona.
Tay Hong mengucapkan kata-kata merendah diri.
"Jika belum saatnya perjamuan, kemungkinan guruku tak akan keluar," kata si nona
pula. "Ah, kiranya tak layaklah kalau guru nona itu terlalu memegang harga diri. Bukankah
para tamu undangannya sudah datang" Mengapa dia tak mau keluar menyambut?" kata
Tay Hong. "Uuh, karena kalian tidak memenuhi tanggal yang termaksud dalam undangan itu!"
Kata Tay Hong pula, "Rombongan ini telah sama membekal ransum kering. Tak usah
guru nona sibuk menyiapkan perjamuan itu!"
Diam-diam si nona baju biru menimang, "Uh, menilik gelagatnya, paderi tua ini hendak
menahan aku bertiga sebagai barang jaminan. Saat ini suhu belum selesai mengadakan
persiapan. Jika kugempur mereka, kemungkinan suhu tak akan datang menolong. Jelas
hal itu tak menguntungkan. Lebih baik kujelaskan siasat mengulur waktu saja."
Maka tertawalah ia dengan genit, "Ah, saat ini suhu belum turun dari persemedhiannya.
Kemungkinan tentu tak dapat lekas datang ke sini"."
"Kalau begitu terpaksa loni minta nona bertiga tinggal di sini untuk sementara. Begitu
suhu nona muncul, silahkan nona berlalu!" kata Tay Hong.
Nona baju biru berpaling kepada kedua sumoaynya dan tertawa, "Lihat, mereka hendak
menjadikan kita bertiga sebagai sandera?"
Su Bo-tun tertawa dingin, "Bukan melainkan menjadi sandera saja. Jika guru kalian
main mengulur waktu dan tak mau lekas-lekas keluar, lebih dulu kalian kami bunuh baru
kemudian karang ini kami jadikan karang abang!"
Si nona baju biru melengking, "Besar nian mulutmu! Apakah kau yakin dapat
membakarnya" Hm"."
"Saat ini sukar dikata," Tay Hong menyeletuk. "Meskipun dunia persilatan mempunyai
peraturan-peraturan tetapi karena tindakan guru nona itu kelewat batas hingga
menimbulkan kemarahan umum, maka sukarlah untuk menghindarkan tindakan itu.
Apabila tiba waktunya kemungkinan lonipun tentu kewalahan untuk mencegah kemarahan
mereka!" Diam-diam si nona baju biru gelisah, pikirnya, "Keadaan musuh belum diketahui jelas.
Seharusnya kulaporkan pada suhu. Tetapi jika paderi tua ini hendak menahan aku di sini,
sungguh menyulitkan!"
Sebenarnya tujuan Tay Hong siansu untuk menahan ketiga nona itu bukan lain untuk
menjaga kemungkinan di padang bunga itu telah dipasangi alat rahasia.
Setelah merenung sejenak, nona baju biru tertawa, "Baiklah, jika kalian hendak
bertemu dengan guruku, biarlah kuundangnya keluar!"
Berkata Tay Hong, "Kalian berjumlah tiga, masakan harus nona yang pergi?"
Nona baju biru tertawa dan mempersilahkan ketua Siau-lim-si untuk menunjuk siapa.
Mulailah Tay Hong siansu melakukan pengamatan menjatuhkan pilihannya. Bermula ia
memandang si nona baju biru, kemudian perlahan-lahan beralih kepada si nona baju putih
atau Bwe Hong-swat. Baru ia hendak membuka mulut untuk meminta nona itu saja yang
pergi, tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Ah, jika kupilih nona Bwe, kalau sampai
menimbulkan kecurigaan gurunya, bukankah akan membuat segala rencana berantakan
dan mencelakakan nona itu?"
Dengan cepat Tay Hong berganti pilihan. Ia menunjuk pada nona baju merah, "Biarlah
nona itu saja yang melapor!"
Nona baju biru memberi kecupan mata kepada sumoaynya itu, "Ji-sumoay, rupanya
paderi tua terpikat kepadamu!"
Nona baju merah berbangkit perlahan-lahan, serunya tertawa, "Apakah suruh aku
memberitahukan suhu?"
"Sampai tengah malam jika suhu nona belum juga muncul, janganlah menuduh loni
manusia yang kejam?" dan melirik si nona baju biru serta si putih Bwe Hong-swat, ia
berkata pula, "Dan kedua nona saudara seperguruanmu ini jangan harap dapat tinggalkan
tempat ini dengan masih bernyawa!"
"Dan padang bunga inipun akan menjadi padang api!" Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong
menambahi. Jilid 16 SI NONA baju merah tak mengacuhkan. Dengan tenang ia mengemasi rambutnya yang
kusut, lalu tertawa lepas, "Jangan jual suara besar dulu. Jika tiada persiapan, masakah
pihakku berani mengundang kalian!" Habis berkata ia terus melangkah maju.
Tay Hong memberi isyarat agar keempat paderi jubah merah yang menghadang di
tengah itu menyingkir memberi jalan.
Dengan lengangnya nona baju merah itu melintasi lingkar kepungan rombongan orang
gagah. Tiba-tiba ia berhenti lagi dan berpaling. "Di luar barisan padang bunga ini terdapat
sejenis kabut beracun yang selalu bertebaran siang malam. Kabut itu tiada berwarna dan
berbau. Sebaiknya tuan-tuan jangan pergi kemana-mana. Jika berani melanggar
peringatanku, kalau sampai terkena kabut beracun, jangan sesalkan siapa-siapa!"
Tanpa menunggu Tay Hong menjawab, sekali melesat nona baju merah itu sudah
berada pada jarak dua tombak jauhnya. Dan setelah berlenggang-lenggok di antara
gerumbul pohon bunga, pada lain kejab iapun lenyap.
Tay Hong melingkar-lingkarkan tangannya ke atas. Tiga puluh enam murid Siau-lim-si
cepat bergerak-gerak membentuk diri dalam sebuah susunan barisan.
Siau Yau-cu tertawa, "Bukankah barisan ini disebut barisan Lo-han-tin yang termasyhur
dari partai Siau-lim-si?"
"Benar," Tay Hong pun tertawa, "barisan ini jarang sekali dikeluarkan. Terdiri dari dua
barisan yakni Barisan Besar dan Barisan Kecil. Barisan Besar merupakan barisan lengkap
yang terdiri dari seratus delapan orang. Barisan kecil hanya terdiri dari tiga puluh enam
orang. Sayang anak murid Bu-tong-pay belum datang. Jika mereka datang, tidak dapat
loni menyangsikan barisan Ngo-heng-tian Bu-tong-pay yang ternama itu!?"
Siau Yau-cu menjawab, "Harap taysu jangan kuatir. Dalam perjalanan telah
kutinggalkan tanda-tanda sandi kepada anak murid Bu-tong-pay. Dari Beng-gwat-ciang
sampai di tempat ini"."
"Tetapi karena kita memajukan temponya, mungkin anak buah partai saudara tak
mengetahui hal itu?" Su Bo-tun menyeletuk.
Tiba-tiba si nona baju biru tertawa melengking, "Sebaiknya mereka cepat datang saja
dan sebelum tengah malam ini sudah masuk ke dalam lembah Coat-beng-koh sini. Dengan
demikian menghemat tenaga dan waktu kami!"
Siau Yau-cu tak mengacuhkan sindiran nona itu. Ia tertawa, "Setelah diambil putusan
untuk memajukan kedatangan kita, telah kusuruh murid Bu-tong-pay di lereng Beng-gwatciang
segera melapor ke Bu-tong-san. Minta supaya Bu-tong-pay segera
memberangkatkan bantuan. Mungkin dalam dua hari ini mereka tentu datang. Jika tidak
hari ini tentu besok pagi!"
Tay Hong siansu menyatakan supaya Sin Cong totiang, ketua Bu-tong-pay yang
sekarang supaya memimpin sendiri, "Tentang salah paham antara Bu-tong dan Siau-lim
dahulu, mudah-mudahan dalam kesempatan ini dapat kita hapuskan," kata ketua Siau-limsi.
"Jangan kuatir," kata Siau Yau-cu, "sutit yang menjadi ketua Bu-tong-pay sekarang ini
tak begitu memandang sungguh-sungguh akan perselisihan dengan Siau-lim-si yang
lampau. Siau-lim dan Bu-tong merupakan sumber ilmu silat yang tertua. Sedikit salah
paham yang terjadi pada masa lamapu, telah kujelaskan pada Sin Cong sutit!"
Paderi Sin Cong ketua Bu-tong-pay yang sekarang, termasuk murid keponakan dari
Siau Yau-cu, maka ia memanggil sutit.
Tay Hong tersenyum. Karena saat itu masih beberapa jam lamanya dari tengah malam,
maka ia mengajak sekalian rombongannya beristirahat memulangkan semangat.
Sekalian orang gagahpun duduk bersemedhi dan kedua nona Beng-gak itu masih
terkepung di tengah-tengah mereka.
Bwe Hong-swat si nona baju putih sejenak memandang ke sekeliling rombongan
tetamu, kemudian iapun duduk. Senjatanya giok-ci diletakkan di samping. Sejak muncul
tadi, ia tetap tidak mau bicara, wajahnya tampak hambar.
Diantara ketiga saudara seperguruan yang digelari sebagai Beng-gak-sam-li, dialah
yang paling cantik. Hanya bedanya, si nona baju biru dan baju merah selalu riang gembira
dan murah tertawa, tetapi Bwe Hong-swat selalu berwajah dingin laksana kutub utara.
Si merah memetik setangkai bunga, serunya, "Sam-sumoay, bangunlah!"
Bwe Hong-swat hanya mengangkat kepalanya pelahan-lahan, "Ada apa?"
"Lihatlah kedua orang yang duduk berdampingan itu. Mereka kasak-kusuk dengan asyik
sekali!" Dengan selalu berwajah dingin dan tak menampil reaksi apa-apa, berkatalah Bwe
Hong-swat dengan tawar, "Apanya yang perlu dilihat. Sudahlah jangan melihatnya! Lebih
baik toa-suci duduk memulangkan tenaga. Jika terjadi pertempuran nanti, tentu akan
berlangsung seru sekali!"
Si Biru tersenyum, "Jangan kuatir sumoay, suhu sudah mengadakan persiapan.
Masakan kita perlu berjerih payah membuang tenaga dengan mereka."
Sekalipun kedua nona itu bicara dengan pelahan sekali tapi bagi rombongan jago-jago
yang sedang memusatkan panca indera itu, sudah tentu dapat mendengarkannya.
Tay Hong membuka mata dan memandang kedua nona itu sejenak lalu pejamkan mata
lagi. Karena Bwe Hong-swat tak mau berdiri, Si Biru terpaksa duduk juga di sebelahnya.
Serunya dengan berbisik, "Dalam pesta Ciau-hun-yan nanti, orang-orang itu pasti akan
mati semua. Apakah kau tidak menghiraukan pemuda kekasihmu itu?"
Bwe Hong-swat serentak berpaling kepada toa-sucinya, "Dunia kan banyak orang lelaki,
mengapa toa-suci mencemaskan kematian pemuda itu?"
Si nona biru tertawa, "Ih, kiranya tak salah suhu sering memujimu sebagai seorang
gadis yang berhati dingin. Rupanya kaulah yang akan dijadikan pewaris suhu untuk
menggantikan beliau!"
Sahut Bwe Hong-swat, "Yang muda harus menghormat yang tua. Kepandaian toa-suci,
baik dalam ilmu silat maupun dalam kecerdasan dan keganasan, jauh melebihi diriku.
Masakan aku berani melancangi toa-suci?"
Tiba-tiba wajah nona baju biru berubah gelap. Serunya dengan bersungguh, "Tetapi
jika suhu memilihmu?"
Sahut Bwe Hong-swat, "Tak mungkin suhu akan memilihku. Pun andaikata memilih aku,
aku pun tentu akan menyerahkan pada toa-suci."
Nona baju biru itu merenung diam seraya memandang awan di langit. Beberapa saat
kemudian baru ia berkata, "Jika hatimu benar-benar sama dengan ucapanmu, aku tentu
akan membalas budimu!"
Kali ini mereka bicara sepelahan mungkin hingga hanya orang-orang yang berada di
dekatnya saja yang mendengarnya.
Angin malam berhembus di lembah sunyi, menerbitkan suasana yang makin
menyeramkan. Berpuluh-puluh jago silat ternama mengepung dua orang nona cantik.
Benar-benar suatu pemandangan yang jarang terdapat.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara melengking macam naga meringkik. Suara
melengking itu memecah kesunyian malam, mengejutkan sekalian orang gagah yang
tengah bersemedi. Siau Yau-cu serentak berbangkit, "Nah, dia sudah datang!" serunya.
"Apakah Sin Cong totiang?" tanya Tay Hong.
Siau Yau-cu mengiakan, "Benar, sekalipun suitan itu bukan dari dia, tetapi dia tentu
yang memimpin rombongannya!"
Ketua Siau-lim-si berdiri, ujarnya, "Kalau begitu biarlah loni bersama murid-murid yang
menyambutinya!" Tetapi Siau Yau-cu mencegahnya.
Tak berapa lama, dari gerumbul pohon-pohon di padang bunga, bermunculan beberapa
sosok bayangan. Sekalian rombongan sama berdiri. Cepat sekali pendatang-pendatang itu
tiba. Yang paling depan seorang tua berjenggot putih menjurai sampai ke dada.
Mengenakan jubah warna biru. Kepala besar, mata bundar dan telinga panjang. Dia
adalah Sin Ciong totiang, ketua partai Bu-tong-pay!
Tay Hong siansu bergegas-gegas menghampiri dan memberi hormat, "Maaf kelambatan
loni untuk menyambuti kedatangan to-heng!"
Ketua Bu-tong-pay segera membalas hormat, sahutnya dengan tertawa, "Ah, jangan
taysu merendahkan diri. Karena melatih murid-murid dalam barisan Ngo-heng-tin, hingga
sampai membuat taysu menunggu lama!"
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, "Tetapi walaupun datang terlambat, pinto (aku)
telah mengajak beberapa kochiu dari Ceng-seng-pay dan Kun-lun-pay untuk datang
kemari. Mudah-mudahan kelambatan pinto itu dapat ditebus dengan itu!"
Memang di belakang ketua Bu-tong-pay itu tampak empat orang paderi yang usianya
rata-rata sudah lebih dari lima puluhan tahun. Tetapi mereka masih tampak segar dan
gagah. Terutama sinar matanya memancar tajam sekali. Pertanda bahwa mereka adalah
ahli-ahli lwekang yang berilmu tinggi. Sin Cong totiang memperkenalkan kedua orang yang
berdiri di sebelah kiri, "Kedua saudara ini adalah kedua persaudaraan Song Hong dan Song
Gwat dari partai Ceng-seng-pay!"
"Omitohud!" cepat Tay Hong memberi hormat, "Sudah lama loni mengagumi nama
saudara berdua. Sungguh beruntung sekali hari ini!"
Kedua saudara Song itupun membalas hormat, "Ah, karena suheng kami ketua Cengseng-
pay belum menyudahi pertapaannya, maka tak dapat datang dan sengaja mengutus
kami berdua saudara untuk memenuhi undangan taysu."
Tay Hong menghaturkan terima kasih.
Kemudian Sin Cong mengenalkan lagi kepada kedua orang yang berdiri di sebelah
kanan, "Dan inilah Thian Heng dan Thian Jio kedua to-heng dari Kun-lun-pay!"
Sebelum Tay Hong membuka mulut, kedua imam dari Kun-lun-pay itupun sudah
mendahului, "Ketua kami sedang memenuhi undangan seorang sahabat di Thian-san dan
belum pulang maka kami berdualah yang datang memenuhi undangan taysu!"
Kembali Tay Hong menghaturkan terima kasih.
Kata Sin Cong tojin, "Hendaknya janganlah taysu merendah diri. Saat itu sekalian orang
gagah sudah sama berkumpul di sini. Kita memerlukan seorang pemimpin untuk mengatur
dan menyatukan langkah. Dalam hal ini kukira hanya taysu yang tepat menduduki jabatan
itu. Mengenai diri pinto dan kedua saudara Song Hong dan Song Gwat, Thian Heng dan
Thian Jio, mereka adalah sahabat lama pinto. Maka beranilah pinto mewakili mereka
dalam pendapat ini!"
Dalam keadaan seperti saat itu akhirnya Tay Hong mau juga menerima pengangkatan
itu. Sin Cong tojin melambai ke belakang dan tujuh imam yang berdiri pada jarak beberapa
tombak di belakangnya segera bergegas-gegas lari menghampiri serta memberi hormat.
Ketujuh imam itu rata-rata sudah berumur lebih dari tiga puluh tahun. Masing-masing
menyanggul pedang di punggungnya.
Sin Cong tojin menunjukkan kepada mereka katanya, "Mereka adalah ketujuh murid
pinto yang pinto pilih paling baik sendiri kepandaiannya. Telah pinto latih mereka dalam
barisan Ngo-heng-tin. Lima orang yang maju dan dua orang yang menjadi cadangan. Jika
taysu memerlukan, setiap waktu boleh memanggilnya!"
Lagi-lagi Tay Hong menghaturkan terima kasih.
Kata ketua Bu-tong-pay pula, "Tentang sedikit salah paham antara Bu-tong-pay dan
Siau-lim-pay dahulu, tak usahlah taysu mempersoalkan lagi!"
Habis berkata ketua Bu-tong-pay itu segera berputar tubuh dan memberi hormat
kepada Siau Yau-cu, "Tecu tak berguna, tak mampu memikul beban yang amat berat ini.
Harap paman guru suka memberi bantuan dan petunjuk seperlunya!"
Jawab Siau Yau-cu, "Pergolakan dunia persilatan kali ini yakni, boleh dikata yang
terhebat selama beberapa ratus tahun ini. Dalam pergolakan sekarang ini apabila dapat
melewatkan dengan selamat aku akan mengasingkan diri ke tempat suci. Aku akan
melewatkan sisa hari tuaku dengan tenteram!"
"Di belakang gunung Bu-tong-san, terdapat beberapa tempat yang indah
pemandangan. Silahkan paman memilih tempat yang mana, nanti akan kami bangun
sebuah tempat pertapaan. Pertama-tama, agar paman selalu dapat memberi petunjuk
pada tecu. Kedua, agar murid-murid sekalian dapat membaktikan diri untuk merawat
paman!" Siau Yau-cu tertawa, "Hal ini kelak kita bicarakan lagi. Sekarang yang penting kita harus
merundingkan rencana untuk menghadapi musuh!"
Melirik kepada kedua nona yang masih duduk bersemedi, Sin Cong berbisik
menanyakan kepada Tay Hong.
"Apakah taysu belum bertemu dengan ketua gerombolan Beng-gak itu?" tanya Sin
Cong tojin pula. "Belum, orang itu nanti malam baru mau keluar," jawab Tay Hong.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kedua nona itu saat ini memang tak mampu lolos dari kepungan kita. Tetapi begitu
guru mereka muncul, kita tentu berabe karena dari muka dan belakang harus menghadapi
musuh. Jika taysu setuju, lebih baik kita tawan dulu nona itu!"
Tay Hong diam sampai beberapa saat. Tiba-tiba Su Bo-tun menyeletuk, "Losiu setuju
pendapat Sin Thong toheng. Kedua nona itu berkepandaian sakti. Jika lebih dulu kita
ringkus, tentu dapat mengurangkan kekuatan mereka!"
Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong juga setuju. Ia menyatakan tak usah berlaku sungkan
terhadap gerombolan semacam Beng-gak.
Beberapa orang pun menunjang pendapat itu. Karena terpisah dekat, maka kedua nona
itupun dapat mendengar pembicaraan mereka.
Si baju biru membuka mata dan berbisik kepada si putih Bwe Hong-swat, "Keadaan
makin gawat. Rupanya mereka hendak menawan kita. Dan suhu entah apa sudah turun
dari persemediannya"."
Belum selesai ia berkata tiba-tiba terdengar bunyi genta bertalu-talu. Seketika si nona
baju biru memberingas semangatnya, "Nah, apakah itu bukan pertanda dari suhu?"
Bwe Hong-swat menengadah memandang ke langit, katanya, "Benar, tetapi kita harus
menunggu sampai beberapa jam lagi baru sang malam tiba!"
Si baju biru tertawa, "Apabila bertemu suhu, ji-sumoay tentu akan menceritakan
tentang keadaan kita di sini. Beliau tentu segera bertindak. Jika tak dapat datang sendiri
tentu akan mengirim orang untuk menolong kita."
"Musuh yang kita hadapi saat ini, terdiri dari jago-jago kelas satu. Jika bukan suhu
sendiri yang datang, sukarlah untuk menolong kita," kata Bwe Hong-swat.
Si nona baju biru sejenak keliarkan pandangannya ke sekeliling penjuru, kemudian ia
berseru, "Sumoay, bersiap-siap untuk menghadapi musuh. Rupanya kita terpaksa harus
turun tangan!" Kiranya saat itu karena didesak orang banyak, Tay Hong siansu terpaksa meluluskan
untuk menawan kedua nona itu. Tetapi justeru Tay Hong menyetujui, keadaan malah
menjadi sunyi. Sekalian orang gagah berdiam diri. Rupanya mereka masih teringat akan
pertempuran antara Bwe Hong-swat lawan jago Tibet Pek Co-gi dan si nona baju biru adu
lwekang dengan Su Bo-tun. Kesan-kesan itu membuat masing-masing harus berpikir
panjang karena merasa tak ungkulan melawan kesaktian kedua nona itu.
Hal itu membuat kedua wakil Kun-lun-pay imam Thian Heng dan Thian Jie, menjadi
heran. Mereka melangkah ke depan.
"Kami berdua saudara bersedia untuk melakukan rencana kita menawan kedua nona
itu," kata Thian Heng.
Melihat bagaimana kening kedua saudara itu menonjol tinggi dan langkah kaki mereka
ringan sekali, diam-diam Tay Hong menduga bahwa kedua imam Kun-lun-pay itu tentu
memiliki ilmu pedang yang sakti. Dan memang partai Kun-lun-pay termasyhur ilmu
pedangnya. "Ah, jiwi toheng baru saja tiba dari perjalanan jauh. Lebih baik beristirahat dulu. Biarlah
loni suruh murid-murid saja yang turun tangan," kata Tay Hong.
Thian Heng tertawa, "Dari jauh pinto datang sampai saat ini belum mendirikan suatu
jasa. Semoga tindakan pinto berdua ini dapat diterima sebagai sumbangsih partai Kun-lunpay!"
"Omitohud!" seru Tay Hong siansu, "ilmu kepandaian Beng-gak luar biasa aneh dan
saktinya. Partai-partai persilatan di Tiong-goan sukar menghadapi mereka. Harap jiwi
toheng jangan memandang rendah mereka."
Tetapi rupanya ketua wakil Kun-lun-pay itu tak mau dicegah. Thian Heng mencabut
pedang dan setelah menghaturkan terima kasih atas petunjuk TayHong siansu, ia segera
menghampiri ke tempat dua nona.
Melihat suhengnya maju, Thian Jio pun mencabut pedang dan loncat menyusul.
Melihat kdatangan kedua imam itu, si nona baju biru malah pejamkan mata bersikap
tak mengacuhkan. Ketika tiba di tempat kedua nona, pertama-tama kesan yang membuat Thian Heng
terkesiap adalah ketika melihat bentuk senjata si nona baju biru yang aneh.
"Huh, senjata apakah yang begitu aneh bentuknya" Dan entah dari bahan apa
dibuatnya. Rupanya bukan dari bahan besi, pun bukan dari baja," Thian Heng menimangnimang.
Kemudian ia beralih memandang ke arah Bwe Hong-swat. Kembali ia terkesiap dan
heran mengapa senjata si nona baju putih terbuat dari batu giok putih.
Tetapi karena sudah tiba di hadapan mereka, maka Thian Heng pun segera berseru,
"Thian Heng adan Thian Jio dari Kun-lun-pay hendak mohon pelajaran dari nona berdua!"
Si nona baju biru segan-segan memicingkan mata dan tersenyum. Perlahan-lahan ia
bangkit seraya mengajak Bwe Hong-swat, "Sumoay, bantulah!"
"Suci hendak menyuruh apa?" Bwe Hong-swat bangun.
"Ilmu pedang Kun-lun-pay telah termasyhur di dunia persilatan," sahut si nona baju
biru. "Kun-lun-pay termasyhur dengan ilmu pedangnya. Cobalah kau bermain-main barang
beberapa jurus dengan mereka," kata si nona baju biru pada sumoaynya.
Bwe Hong-swat melangkah perlahan-lahan di hadapan kedua imam Kun-lun-pay itu.
Setelah siapkan senjata giok-cu, berkatalah ia, "Maju kalian berdua!"
Seketika berubahlah wajah Thian Heng, serunya geram, "Nona bermulut besar sekali.
Biarlah pinto seorang yang melayani dulu!"
Ketika dia mengangkat pedang, tiba-tiba Thian Jio lari menghampiri, "Suheng, ijinkan
aku yang maju dulu!"
"Siapa yang maju sama saja. Tetapi yang paling baik kalau maju berdua!" seru Bwe
Hong-swat dengan nada dingin. Serentak ia maju menyerang kedua orang itu.
Thian Jio mendengus. Dengan jurus Thian-li-san-hoa atau bidadari menyebar bunga, ia
taburkan pedang untuk menangkis serangan Bwe Hong-swat yang menimpa Thian Heng.
"Janganlah nona bermulut terlalu omong besar. Jika mampu mengalahkan pinto,
barulah nona boleh menghadapi suhengku!" serunya. Dalam pada berkata-kata itu, ia
sudah lancarkan enam buah tusukan.
Melihat ilmu pedang Thian Jio, Siu-lam memuji dengan suara perlahan, "Ilmu pedang
Kun-lun-pay benar-benar tak bernama kosong. Jika aku tak mendapat pelajaran dari Tan
locianpwe, tentu tak dapat kutandingi ilmu pedang itu!"
Mendengar itu si dara Hian-song tertawa, "Sebaiknya, imam tua itu dapat membunuh!"
Siu-lam terbeliak. Tetapi cepat ia dapat menyadari apa yang di balik ucapan si dara itu,
Ia berbatuk-batuk kecil lalu berdiam diri.
Sementara itu terdengarlah dering gemerincing senjata beradu. Tanpa menyurut
mundur sama sekali, Bwe Hong-swat telah tebarkan giok-cu untuk menangkis.
Tiba-tiba Thian Jio membentak keras. Sebelum si nona sempat balas menyerang, ia
telah mendahului membolang-balingkan pedangnya. Hanya dalam sekejap mata saja ia
sudah lancarkan empat buah serangan pedang".
Serangan itu cepat dan deras bagaikan hujan menyurah tetapi Bwe Hong-swat tak
gugup. Dengan tenang ia mainkan giok-ci untuk menghalau serangan itu.
Menyaksikan pertempuran itu, Thian Heng yang lebih tua dan lebih banyak
pengalamannya segra mengatahui bahwa si nona baju putih itu bukanlah seorang nona
biasa, tetapi seorang nona yang sakti. Buru-buru ia berbatuk-batuk dan berseru dengan
palahan, "Sute, jangan terburu nafsu!"
Memang Thian Jio sendiri menginsyafi bahwa nona yang dihadapinya bukan sembarang
jago. Walaupun tampaknya serba luwes dan ringan gerakannya, tetapi setiap gerakan
mengandung tenanga lwekang lunak. Setiap kali saling berbentur, pedangnya tentu
terpental. Maka peringatan suhengnya itu makin menyadarkan pikirannya. Cepat ia
mengendorkan desakannya. Tak berani lagi ia memandang rendah pada si nona. Dengan
wajah bersungguh-sungguh, ia mainkan pedangnya agak lambat. Dari menyerang menjadi
bertahan, ia mainkan ilmu pedang Thian-soan-si-cap-pwe-kiam, salah sebuah ilmu pedang
istimewa dari Kun-lun-pay.
Walaupun gerakannya tampak lambat, tapi perbawanya masih dahsyat. Pedang
melanda tak henti-hentinya seperti gelombang bengawan Tiang-kang.
Tetapi Bwe Hong-swat tetap bersikap mempertahankan diri. Dia tak mau menyerang.
Sepasang giok-ci dipakai untuk melindungi tubuh, bergerak-gerak menurut cepat
lambatnya pedang lawan. Sampai tiga puluh jurus lamanya, satu kalipun ia tak mau balas
menyerang. Menyaksikan itu Tay Hongpun kerukan kening. Diam-diam ia menimang, "Ah, nona ini
sudah mengandung cita-cita untuk kembali ke jalan benar. Musuh yang sebenarnya ialah
nona baju biru itu. Jika Thian Jio tojin bertempur secara begitu, biarpun sampai dua tiga
ratus jurus, tetap takkan menang. Kalau toh sudah terlanjur turun tangan, sebaiknya
harus menggunakan cara kilat"."
Saat itu Tay Hong hendak suruh salah seorang paderi Siau-lim yang berkepandaian
tinggi untuk turun ke gelanggang. Tiba-tiba Thian Jio tojin bersuit nyaring dan berubahlah
permainan pedangnya! Kiranya imam dari Kun-lun-pay itu juga sudah mempunyai perhitungan. Kun-lun-pay
termasuk salah satu dari tiga partai yang termasyhur ilmu pedangnya. Jika dengan
seorang gadis tak terkenal saja tak mampu memenangkan, tentulah Kun-lun-pay akan
merosot namanya. Dengan pemikiran itu, timbullah seketika semangatnya. Cepat ia mengganti permainan
pedangnya. Pedang berhamburan dan sekejap lalu tubuh Bwe Hong-swat sudah terkurung
oleh lingkaran sinar pedang".
Memang para orang gagah yang hadir dalam untuk undangan pihak Beng-gak itu, tahu
bahwa ilmu pedang Kun-lun-pay tak di bawah ilmu pedang partai Bu-tong-pay dan Cengsia-
pay. Tetapi pengetahuan itu hanya didasarkan atas cerita orang. Mereka jarang
melihat permainan pedang dari jago Kun-lun-pay. Maka ketika menyaksikan betapa
dahsyat permainan pedang yang dilakukan oleh Thian Jio tojin saat itu diam-diam mereka
memuji terus". Tetapi kebalikannya Thian Heng malah terkejut ketika menyaksikan sutenya telah
mainkan jurus Hok-mo-sam-kiam dari ilmu pedang Thian-soan-si-cap-pwe-kiam. Ia hendak
mencegah tapi sudah tak keburu lagi. Thian Jio sudah lancarkan jurus pertama Thian-onglo-
mo. Orangnya membayangi kiblatan sinar pedang. Dan sinar pedang telah berubah
menjadi melingkar jaring sinar yang menghambur ke kepala si nona".
Tetapi Bwe Hong-swat hanya mendengus dingin. Senjata giok-ci tiba-tiba diacungkan
ke atas untuk melindungi kepala. Tring, trang" terdengar dering yang tajam ketika kedua
senjata saling beradu! "Ilmu pedang Kun-lun-pay, ternyata hanya begini saja," Bwe Hong-swat melengking,
"kalau masih ada jurus simpanan yang lain, lekas keluarkanlah. Waktu sangat terbatas
sekali, aku segera akan balas menyerangmu."
Imam Thian Jio marah bukan kepalang. Dengan menggerung keras, ia lancarkan jurus
kedua kim-ngo-ki-mo. Sekali tangan menggeliat maka gumpalan sinar yang memenuhi
keliling penjuru tadi segera berkumpaul jadi satu dan meluncur ke tubuh si nona.
Serangan saat itu telah dibarengi dengan tenaga lwekang oleh Thian Jio. Di hatinya
bukan alang kepalang. Sambaran pedang menimbulkan deru angin yang keras!
Kiranya imam Kun-lun-pay itu memperhitungkan bahwa seperti telah terjadi beberapa
kali ini Bwe Hong-swat tentu akan menangkis. Maka ia lancarkan serangannya dengan
penuh tenaga. Tetapi ternyata dugaannya meleset. Bwe Hong-swat kali ini tidak mau mengadu
kekerasan tetapi miringkan tubuh ke samping lalu mundur tiga langkah.
Serangannya menemui tempat kosong, tiba-tiba imam Thian Jio melambung ke udara
dan meluncur turun membayangi si nona. Inilah keistimewaan dari ilmu pedang Thiansoan-
si-cap-pwe-kiam. Jika lawan tak mampu memecah serangan itu, gerak serangan itu
akan berubah menjadi serangan yang sungguh-sungguh. Tetapi jika lawan mampu
menangkisnya, serangan itupun akan berubah menjadi sebuah serangan kosong. Apabila
lawan kecele, disitulah pedang akan mengisinya dengan gerakan serangan yang akan
membuat lawan tak berdaya".
Melihat gerakan lawan yang sedemikian dahsyatnya, diam-diam Bwe Hong-swat
berpikir, "Jika aku tak melukai orang ini, tentu akan menimbulkan kecurigaan suci. Tetapi
jika melukainya, dikuatirkan akan menimbulkan salah paham rombongan orang gagah"."
Sampai beberapa saat nona itu tak dapat menentukan keputusan.
Tetapi ia tak sempat berpikir lebih lama lagi karena saat itu Thian Jio sudah menyerang.
Dalam gugupnya, terpaksa Bwe Hong-swat putar giok-ci dengan jurus Ji-hong-su-pit.
Thian Jio tertawa mengejek dan membentaknya, "Lepaskan!" ujung pedang menjungkit
ke atas kemudian melesat menusuk siku lengan kanan lawan.
Bwe Hong-swat terkejut. Untuk menghalaunya, sudah tak keburu. Apa boleh buat, ia
terpaksa lepaskan giok-ci di tangan kanannya".
Mendapat kemenangan, Thian Jio makin besar hatinya. Sekaligus ia lancarkan lima
buah serangan lagi".
Bwe Hong-swat kelabakan dibuatnya. Melihat itu, si nona baju biru merasa heran.
Sambil memutar senjatanya yang berbentuk seperti tanduk rusa, ia berseru, "Jika sumoay
tak dapat melayani harap lekas menyingkir"."
Tetapi tepat pada kata-kata itu dilantangkan, Bwe Hong-swat sudah lancarkan
serangan balasan. Senjata di tangan kiri berputar-putar ke kanan kiri. Serangan dahsyat
dari Thian Jio telah dapat ditahannya. Dan setelah berhasil, tiba-tiba si nona malah
susupkan senjatanya ke tengah sinar pedang musuh untuk maju menusuknya. Cepat dan
hebatnya gerakan si nona itu bukan alang kepalang.
Demikianlah kedua tokoh yang bertempur merapat itu tiba-tiba pecah dan saling loncat
mundur. Bwe Hong-swat memungut giok-ci yang jatuh di tanah tadi lalu mundur dua langkah
dan tegak berdiri dengan tenang.
Thian Jio pun berdiri diam. Melihat itu Siau Yau-cu curiga dan berkata perlahan-lahan
kepada Tay Hong, "Jangan-jangan Thian Jio toheng itu menderita luka dalam."
Belum selesai Siau Yau-cu berkata, tiba-tiba tubuh Thian Jio rubuh ke belakang dan
jatuh terlentang ke belakang.
Thian Heng cepat-cepat loncat menghampiri dan dengan sebat telah menyanggapi
tubuh sutenya, lalu dibawa loncat mundur.
Wajah Thian Jio pucat lesi. Kedua matanya melotot tetapi mulut tak dapat berkata apaapa.
"Apakah sute terluka" Lekas gunakan ilmu kita untuk mengatur jalan darah!" kata Thian
Heng. Tetapi sampai diulang beberapa kali, sutenya seperti tidak mendengar. Kedua mata
Thian Jio tetap mendelik.
Melihat keadaan sutenya tampak menguatirkan, buru-buru Thian Heng letakkan
tangannya ke dada sang sute, "Sute, lekas gunakan sim-hwat perguruan kita untuk
menyalurkan peredaran darah. Apakah kau tak mendengar?"
Karena disaluri tenaga murni oleh suhengnya, mata Thian Jio tiba-tiba dapat bergerakgerak.
"Apakah sutemu terluka berat?" seru Siau Yau-cu seraya menghampiri.
Thian Heng menghela napas, "Dikuatirkan tak dapat tertolong lagi."
Siau Yau-cu terkejut. Ia heran dan tak mengetahui ilmu apa yang digunakan si nona
baju putih tadi. Namun tak mau ia menyatakan kegentaran hatinya dan dengan tenang ia
berkata lagi, "Sutemu cukup sakti, tentu takkan terjadi apa-apa padanya. Losiu sedikitsedikit
mengerti ilmu pengobatan. Bolehkan losiu memeriksanya?"
Jago dari Kun-lun-pay itu berpikir. Kekalahan sutenya oleh seorang nona tak dikenal,
telah diketahui oleh orang banyak. Peristiwa itu tak mungkin ditutupi lagi. Maka lebih baik
ia berdaya untuk menolongnya.
"Baiklah, jika locianpwe suka memberi pertolongan, kami tentu takkan melupakan budi
locianpwe," katanya kepada Siau Yau-cu. Habis berkata jago Kun-lun-pay itu segera
letakkan tubuh sutenya di tanah kemudian ia mencabut pedang dan berjalan menghampiri
Bwe Hong-swat. Melihat itu Tay Hong segera mencegah, "Harap toheng suka merawat sute toheng yang
terluka itu dan biarlah loni yang menerima pelajaran dari nona itu!"
Dua jago Kun-lun-pay yang satu sudah terluka maka sebagai pemimpin rombongan, tak
enaklah kata Tay Hong kalau membiarkan Thian Heng maju.
"Taysu adalah pemimpin rombongan, mana boleh bertindak sendiri. Biarlah pinto saja
yang menghadapinya!" sahut Thian Heng.
Tay Hong tetap mencegahnya dan ia akan maju. Tetapi Thian Heng tetap berkeras
hendak maju, "Pinto hendak membalas sakit hati suteku!"
Kiranya Thian Heng telah mengetahui bahwa keadaan sutenya memang parah sekali.
Andaikata dapat tertolong jiwanya, pun kemungkinan akan menjadi cacad. Sejak kecil ia
sudah hidup bersama dan belajar bersama dengan sutenya. Hubungan keduanya sudah
seperti saudara sekandung. Maka ia sedih dan marah sekali ketika sutenya menderita
penganiayaan sedemikian rupa. Ia bertekad hendak menuntut balas.
Tiba-tiba didengar sebuah suara melengking dari rombongan orang gagah, "Sudahlah,
tak perlu kalian ribut mulut!"
Serentak dengan itu sesosok tubuh langsing melompat keluar. Itulah si dara Hian-song!
Kiranya ketika melihat Bwe Hong-swat dapat melukai Thian Jio tojin, tiba-tiba timbullah
sesuatu dalam hati Hian-song. Pikirnya, "Budak itu cantik sekali dan amat baik dengan
Engkoh Lam. Lebih baik menggunakan kesempatan saat ini untuk membunuhnya agar dia
jangan selalu mengganggu pikiran engkoh Lam!"
Hian-song seorang dara yang masih hijau. Dan ia paling tak dapat mengendalikan
emosinya. Apa yang dipikir tentu segera dilaksanakan seketika.
Thian Heng tak kenal siapa dara itu. Ia kuatir jangan-jangan dara itu akan kalah. Tetapi
baru ia hendak mencegahnya, Hian-song sudah mencabut pedang dan loncat ke muka.
Tanpa berkata apa-apa, ia terus menusuk Bwe Hong-swat dengan jurus Ki-hong-ceng-kau.
Karena didahului, terpaksa Thian Heng mengalah. Ia mendengus dingin dan mundur.
Lalu bertanya kepada Tay Hong, "Siapakah nona itu" Mengapa dia tak tahu aturan?"
Tetapi Tay Hong hanya menjawab, "Ah, mengapa toheng masih memandang tinggi
peradatan-peradatan yang tak berarti" Biarkan dia yang maju!"
Bwe Hong-swat putar giok-ci untuk menangkis serangan Hian-song. Begitu pedang
terpental, tiba-tiba Hian-song berputar tubuh dan menabas tubuh lawan. Gerakan itu aneh
sekali. Hanya seorang ahli pedang semacam Siau Yau-cu yang dapat mengetahui bahwa
gerakan dara itu sesungguhnya sebuah ilmu pedang yang tergolong tingkat tinggi.
Tring" kembali terdengar dering senjata beradu dan sekonyong-konyong Hian-song
berputar ke sebelah kiri. Kali ini gerakan pedang makin dahsyat, begitu pula berputaran
diri itupun lebih cepat dari yang tadi.
Sepintas pandang gerakan si dara itu memang biasa saja. Sekalian orang gagahpun tak
mengerti ilmu apa yang digunakan dara itu. Mereka hanya melihat dara itu menangkis dan
menghindar.

Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe Hong-swat pun tak mengerti apa serangan yang dimainkan dara itu. Maka iapun
lagi-lagi hanya gerakkan giok-cinya untuk menangkis.
Hian-song mengulangi gerak berputar tubuh dan menusuk pedang itu sampai empat
kali. Setiap kali lebih dari yang terdahulu.
Anehnya setelah empat kali berturut-turut menangkis serangan Hian-song, Bwe Hongswat
tampak tak kuat. Nona itu terpental mundur selangkah. Ia rasakan serangan pedang
si dara semakin lama semakin dahsyat sekali.
Tiba-tiba terdengar sebuah suitan nyaring. Hian-song terkejut dan menarik pulang
pedang. Berpaling ke belakang, dilihatnya sekalian orang gagahpun celingukan kian kemari
untuk mencari siapa yang bersuit senyaring itu!
Sirapnya suitan nyaring itu disusul dengan kumandangnya suara music yang luar biasa
sedihnya. Tak tahu alat music apa yang digunakan, tetapi yang jelas suara lagunya benarbenar
menyayat-nyayat hati. Mirip dengan puluhan orang yang sedang merintih-rintih di
dera cambuk". Tiba-tiba Siau Yau-cu bersuit panjang. Nadanya mirip dengan nada meringkik, suaranya
menembus awan. Tay Hong berpaling dan berseru, "Rupanya suatu music itu pertanda dari akan
munculnya ketua Beng-gak!"
"Telah kulantangkan suitan untuk menyambut, apabila benar ketua Beng-gak, tentu
akan terdengar dalan!" sahut Siau Yau-cu.
Tiba-tiba suara musik itu berhenti tetapi serempak dengan itu terdengarlah suara genta
bertalu keras tiga kali. Mendengar itu si nona baju biru tersenyum simpul.
"Harap tuan-tuan suka bersabar sebentar lagi. Lonceng King-hun (pengejut jiwa) sudah
berbunyi, suhuku tentu akan datang?" kemudian ia berseru kepada Bwe Hong-swat,
"Sam-sumoay, lekas balik kemari!"
Bwe Hong-swat menurut perintah sucinya.
"Hai, kita toh belum selesai, mengapa kau menyingkir?" teriak Hian-song seraya maju
menyerang lagi. Tetapi Bwe Hong-swat tak mengacuhkan. Ketika Hian-song hendak mengejar, Tay
Hong mencegahnya, "Li-sicu, harap berhenti dulu. Nanti masih ada waktu untuk
bertempur lagi." Hian-song menurut. Ia kembali ke tempat Siu-lam. Katanya dengan tertawa-tawa,
"Engkoh Lam, apa kau dapat menggunakan jurus yang kumainkan tadi?"
"Tidak bisa," sahut Siu-lam.
"Tetapi andaikata dapat, belum tentu kau mampu mengembangkan kedahsyatannya.
Oleh karena itu akupun tak mengajarkan kepadamu," Hian-song tertawa.
Baru Siu-lam hendak menyahut, tiba-tiba musik aneh tadi terdengar lagi. Berpaling ke
arah suara itu, dilihatnya dari gerumbul pohon bunga sebelah timur muncul sekelompok
manusia-manusia aneh yang berpakaian aneh.
Dua orang berjalan di muka, bertubuh tinggi besar dan mengenakan baju putih, berikat
pinggang tali rami. Masing-masing memegang sebatang tongkat Gok-song-pang (tongkat
menangis sedih). Jalannya bergoyang gontai seperti orang yang keberatan tubuh.
Di belakang kedua orang tinggi besar itu, mengiring sekelompok orang yang rupanya
Pahlawan Dan Kaisar 25 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Sepasang Pedang Iblis 25
^