Pencarian

Kembalinya Pendekar Rajawali 12

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 12


BeruIang kali pembesar Mongol itu mencengkeram lagi, tetapi selalu dapat dielakkan Nyo Ko.
Biasanya pembesar Mongol itu sangat bangga atas ilmu silatnya yang hebat karena sejak kecil mendapat pelajaran guru pandai dari golongan Eng-jiau-bun.
Siapa duga, begitu bergebrak dengan Nyo Ko, sama sekali ia tak bisa berbuat apa2.
Sementara itu Nyo Ko melihat lawan mencakarnya lagi secara tak kenal ampun, cepat ia melompat ke atas, dengan kedua tangannya ia tahan atas pundak orang sambil menggertak "Duduk saja!" Tiba2 pembesar itu merasakan kekuatan yang maha besar menekan dari atas, ia tak bisa tahan lagi, kedua lututnya terasa lemas hingga akhirnya, ia duduk terkulai di lantai, dadanya terasakan sumpek, darah serasa akan menyembur keluar.
Tetapi kemudian Nyo Ko remas2 dua kali di bawah bahunya, tiba2 pembesar itu merasa dadanya lapang kembali dan bisa bernapas lancar, tanpa ayal lagi segera ia melompat bangun, dengan tercengang ia memandangi Nyo Ko.
"Siapakah kau" Ada keperluan apa kedatanganmu ini?" tanyanya kemudian ternyata bahasa Han yang diucapkannya bagus dan lancar sekali, tiada ubahnya seperti bangsa Han asli.
"Kau bernama siapa" jabatan apa yang kau pangku?" berbalik Nyo Ko menanya dengan tertawa.
Pembesar itu melotot dengan gusar, segera hendak dilabrak pula si Nyo Ko.
Tetapi Nyo Ko tak gubris padanya, ia malahan mendahului ambil tempat duduk pada kursi yang tadinya dipakai pembesar itu.
Ketika pembesar itu menyerang beberapa kali, namun selalu dipatahkan oleh Nyo Ko tanpa banyak buang te-naga.
"Hai, pundakmu sudah terluka, baiknya kau jangan banyak keluarkan tenaga," kata Nyo Ko tiba2.
"Ha, apa" Terluka?" tanya pembesar itu kaget.
Ketika pundak kiri diraba, ia merasa ada satu tempat yang rada jarem sakit, lekas2 ia raba sebelah yang lain, sama saja terasa sakit pegal, kalau tak disentuh sedikitpun tidak terasa, tetapi bila ditekan dengan jari, segera terasa ada sesuatu yang sangat lembut yang menusuk sampai ke tulang sungsum.
Kaget sekali pembesar itu, dengan cepat ia robek bajunya, waktu ia melirik, ia lihat di atas pundak kirinya terdapat titik merah yang kecil sekali, begitu pula sebelah pundak yang lain.
Segera iapun sadar bahwa ketika Nyo Ko menahan pundaknya tadi, diam2 pada tangannya tergenggam senjata rahasia hingga dirinya telah dikibuli.
"Am-gi apa yang kau pakai" Berbisa atau tidak ?" cepat ia membentak dengan gusar tercampur kuatir.
Tetapi Nyo Ko tersenyum saja.
"Kau belajar silat, kenapa sedikit pengetahuan umum itu saja tak mengerti," sahutnya kemudian "Kalau Am-gi besar tak beracun, maka Am-gi kecil dengan sendirinya berbisa.
" Dalam hati pembesar itu sembilan bagian percaya atas kata2 ini, namun demikian, ia mengharap juga kata2 itu bohong belaka, maka air mukanya lantas tertampak mengunjuk setengah percaya setengah sangsi.
"Pundakmu sudah terkena jarum saktiku, racun itu akan meluas setiap hari, kira2 enam hari sesudah racunnya menyerang jantung, maka jiwamu tak tertolong Iagi," demikian kata Nyo Ko sembari memainkan sebuah pensil di atas meja.
Watak pembesar itu ternyata sangat keras kepala, sungguhpun dalam hati ia mengharapkan pertolongan orang, namun tak sudi diucapkannya.
"Jika begitu, biarlah tuan besarmu mati bersama dengan kau," mendadak ia membentak Iagi.
Habis ini, sekali bergerak, segera Nyo Ko hendak ditubruknya pula.
Namun sebelum ia bertindak, tiba2 di luar ada suara bentakan orang yang keras: "Hai Yalu Cin, pembesar anjing dari Mongol, berpalinglah ke sini!" Mendengar namanya disebut pembesar itu menoleh, segera pula sinar putih yang gemerlapan be-runtun2 menyamber masuk melalui jendela.
Hujan Am-gi atau senjata gelap itu dihamburkan dengan kuat lagi terlalu banyak jumlahnya, dalam keadaan demikian, meski pembesar itupun tidak lemah, namun seketika itu mana sanggup menyambut hujan Am-gi yang begitu banyak" Sebenarnya tiada maksud Nyo Ko buat menolong pembesar Mongol yang bernama Yalu Cin ini, karena dilihatnya senjata rahasia begitu banyak menghambur masuk, tiba2 ia keluarkan ilmu "Boan-thian-hoa-uh" (hujan gerimis memenuhi langit), sesuatu ilmu dari Giok-li-sim-keng yang dilatihnya, ia menangkap ke kanan dan membentuk ke kiri, sekejap saja senjata2 rahasia yang tertangkap olehnya telah ditimpuk kembali maka terdengarlah suara gemerincing nyaring dan ramai belasan macam senjata rahasia telah memenuhi meja dan lantai "Kepandaian bagus, semoga kelak kita bertemu lagi, dapatlah mengetahui nama saudara?" terdengar suara pertanyaan seorang lelaki di luar jendela.
"Aku adalah kaum yang tak terpandang, maka tak punya nama dan tiada she," sahut Nyo Ko.
Karena jawaban ini, terdengar lagi suara jengekan seorang lain di luar.
"Marilah pergi!" kata orang ketiga, sekali ini suara orang perempuan.
Habis itu, lantas terdengar suara tindakan kaki yang pelahan sekali di atas rumah, ketiga orang itu sudah pergi melintasi pagar rumah.
Tadi waktu Nyo Ko bergebrak dengan Yalu Cin hingga sama2 mencurahkan seluruh perhatian, maka tiada yang mendengar bahwa ada orang laki lagi mengintip di samping, hal ini menandakan pula ilmu entengkan tubuh ketiga orang itupun sangat hebat.
Meski pembesar Mongol bernama Yali Cin itu sudah ditolong jiwanya oleh Nyo Ko, tetapi ketika pundaknya terasa sakit, ia menjadi gusar pula karena telah dikibuli Nyo Ko tadi, mendadak senjata2 rahasia yang berserakan itu, ia samber terus ditumpukkan ke arah Nyo Ko.
Menghamburnya senjata2 rahasia "dari luar jendela tadi dilakukan oleh tiga orang bersama, kepandaian menimpuk pun jauh lebih tinggi dari pada Yali Cin, untuk itu saja Nyo Ko sanggup menangkap dan membenturnya kembali, apalagi kini Yali Cin menimpuk dengan satu per satu, mana bisa serangannya mengenai Nyo Ko, malahan satu per satu telah ditangkap olehnya tanpa luput satupun.
"Awas!" seru Nyo Ko kemudian.
Ketika tangannya mengayun, tahu2 beberapa puluh senjata rahasia yang ditangkapnya itu dihamburkan kembali Melihat datangnya senjata rahasia itu mengarah dari kanan-kiri maupun atas atau bawah, walaupun berkelit atau mengegos pasti akan terkena juga beberapa diantaranya, tentu saja Yali Cin terkejut, dalam keadaan kepepet, mendadak ia melompat mundur, maka terdengarlah suara "blang" yang keras, punggungnya menumbuk dinding dengan keras, Lalu terdengar suara bertok-tok riuh, beberapa puluh senjata rahasia itu telah mengenai dinding semua.
Suara gemerutuk di atas dinding itu ternyata sangat aneh dan berlainan satu sama lain, karena-senjata2 rahasia itu memang beraneka macamnya, Dalam kagetnya itu, lekas2 Yali Cin melompat ke samping Iagi, ketika ia berpaling memandang ke dinding, mau-tak-mau ia ternganga saking herannya.
Ternyata beberapa puluh senjata rahasia itu ambles semua ke dalam dinding, jarak dengan tubuhnya tadi hanya selisih beberapa senti saja, hingga potongan badannya se-akan2 terlukis di atas dinding itu, sedang tubuhnya seujung rambutpun tak terluka, bahkan baju pun tak terobek barang sedikitpun Dalam kaget dan herannya, tak tertahan lagi Yali Cin kagum luar biasa, tiba2 ia jatuhkan diri dan berlutut memberi hormat pada Nyo Ko.
"Terimalah hormatku, Enghiong, hari ini aku betul2 menyerah padamu," demikian katanya.
Sungguhpun ilmu silat Nyo Ko sangat tinggi tetapi selama hidupnya itu biasanya selalu dimaki dan didamperat orang, sampai Liok Bu-siang yang berulang kali ditolong olehnya juga selalu berlaku sangat bengis padanya tanpa mau mengalah sedikitpun kini mendadak ada orang menjura padanya dan menyatakan takluk betul2.
tentu saja hati mudanya menjadi girang luar biasa, saking senangnya ia tertawa ter-bahak2.
"Dapatkah mengetahui nama Enghiong yang mulia?" tanya Yali Cin.
"Aku bernama Nyo Ko, dan kau apakah bernama Yali Cin" jabatan apa yang kau pangku di MongoI?" sahut Nyo Ko.
Kiranya pembesar muda ini adalah putera Yali Cu-cay, perdana menteri kerajaan Mongol! Yali Cu-cay telah banyak membantu Jengis Khan dan puteranya membangun kerajaan Mongol yang namanya disegani sampai di daerah barat itu, jadinya sungguh sangat besar, sebab itulah meski umur Yali Cin masih muda, namun berkat jasa sang banyak, ia telah diangkat menjadi Keng-Iiat-su di HoIam, keberangkatannya sekarang ini menuju ke HoIam untuk memangku jabatan.
BegituIah ia telah ceritakan apa yang sebenarnya.
Meski ilmu silat Nyo Ko tinggi, tapi terhadap segala nama jabatan itu sama sekali tak dimengertinya, maka ia hanya angguk2 saja dan bilang bagus.
"Hekoan (aku pembesar rendah) entah sebab apa telah membikin marah Nyo-enghiong" Kalau ada sesuatu, harap Nyo-enghiong suka katakan terus terang," kata Yali Cin.
"Tak ada apa2 yang bikin marah," sahut Nyo to sambil ketawa.
Habis ini, mendadak ia meloncat keluar melalui jendela terus menghilang.
Keruan saja Yali Cin kaget.
"Nyo-enghiong. . . " ia berteriak sambil memburu ke pinggir jendela, namun bayangan Nyo Ko sudah tak kelihatan "Aneh, orang ini pergi-dataag secara tiba2 saja, padahal tubuhku sudah terkena jarum beracunnya, lalu bagaimana baiknya ?" Yali Cin menjadi ragu2.
Tetapi baru sejenak ia ter-menung2, mendadak daun jendela bergerak, tahu2 Nyo Ko sudah kembali lagi, malahan di dalam kamar kini sudah bertambah dengan satu orang.
"Ah, kau telah kembali!" seru Yali Cin girang.
"Dia adalah biniku, lekas kau menjura padanya!" kata Nyo Ko tiba2 sambil menunjuk Liok Bu-siang.
"Apa kau bilang?" bentak Bu-siang gusar berbareng itu, kontan ia tampar muka Nyo Ko.
Sebenarnya kalau Nyo Ko menghindar dengan gampang saja hal itu bisa dilakukannya, Tetapi entah mengapa, ia merasa lebih senang menerima tamparan atau dicaci maki si gadis.
Oleh sebah itulah, sama sekali ia tidak berkelit maka "plok" pipinya telah merasakan tamparan itu hingga pana pedas.
Yali Cin tak tahu kalau kelakuan kedua orang itu sudah biasa begitu, ia mengira ilmu silat Bu siang tentu lebih tinggi dari pada Nyo Ko, maka dengan terpesona ia pandang orang dan tak berani bersuara.
"Kau sudah terkena racun jarumku, tapi sementara masih belum sampai mampus," kata Nyo Ko kemudian sembari elus2 pipinya, "Asal kau dengar kataku dan menurut, pasti aku akan menyembuhkan kau.
" "Hekoan biasanya paling kagum terhadap kaum Enghiong, hari ini bisa berkenalan dengan Nyo enghiong, sekalipun Hekoan tak bakal hidup lagi, rasanya pun rela," sahut Yali Cin.
"Haha," Nyo Ko tertawa senang karena orang pintar menjilat, "tidak nyana, kau terhitung juga seorang gagah berani.
Baiklah, sekarang juga ku sembuhkan kau.
" , Habis itu, ia keluarkan sebuah batu sembrani dan menyedot keluar dua jarum tawon putih orang menancap di pundak orang itu dan dibubuhi obat pula.
Selamanya belum pernah Bu-siang melihat Giok-hong-ciam atau jarum tawon putih itu, kini nampak bentuk jarum itu selembut rambut, ia menjadi heran dan tidak habis mengarti benda seringan itu kenapa bisa dipakai sebagai senjata rahasia" Karena itu, rasa kagumnya pada Nyo Ko pun tanpa terasa bertambah setingkat pula, walaupun begitu, di mulutnya ia sengaja ber-olok2, katanya: "Hm, pakai senjata rahasia begitu, tiada sedikitpun semangat jantan, apa tak kuatir ditertawakan orang?" Tetapi Nyo Ko hanya tersenyum, ia tidak bantah kata2 orang, sebaliknya ia berpaling dan berkata pada Yali Cin: "Kami berdua ingin mengabdi padamu.
" Yali Cin terkejut "Ah, Nyo-enghiong suka berkelakar saja, ada apakah.
silakan berkata terus siang saja," sahutnya kemudian "Aku tak berkelakar, tapi sungguh2, kami ingin menjadi pengawalmu," kata Nyo Ko pula.
"Eh, kiranya kedua orang ini ingin cari pangkat dan kedudukan," demikian pikir Yali Cin.
Karena itu segera sikapnya berubah lain, sebab disangkanya orang tentu membutuhkan bantuannya maka dengan sungguh2 dia lantas berkata: "Enghiong sesudah belajar silat memang harus diabdikan kerajaan, hal ini memang jalan yang tepat.
" "Kau telah salah tangkap maksudku," ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Kami bukan hendak mencari pangkat kami sedang dikejar oleh musuh yang sangat lihay sepanjang jalan, karena kami tak ungkulan melawannya, maka ingin menyamar sebagai pengawalmu untuk menghindarinya sementara.
" Yali Cin sangat kecewa sebab dugaannya salah, mukanya segera berubah lagi dan tak berani berlagak.
. . " "Ah, kalian suka merendah diri saja, masakah seorang musuh perlu ditakuti?" katanya dengan tertawa, "Tetapi kalau mereka berjumlah banyak, Hekoan dapat kirim pasukan dan menangkap mereka untuk diserahkan padamu.
" "Aku saja tak bisa menandingi dia, sebaiknya tak perlu kau ikut repot," sahut Nyo Ko.
"Lekas kau perintah pelayanmu mengambilkan pakaian agar kami bisa menyamar.
" Yali Cin tak berani membantah, ia perintah pengawalnya mengambilkan pakaian yang diminta dan silakan Nyo Ko dan Bu-siang salin ke kamar lain.
Sesudah tukar pakaian, waktu Bu-siang bercermin, nyata ia telah berubah menjadi perwira muda bangsa Mongol yang cakap.
Besok paginya berangkatlah mereka ikut rombongan pasukan tentara itu, Nyo Ko dan Bu-siang masing2 digotong dengan sebuah Joli mentereng, sebaliknya Yali Cin malah menunggang kuda.
Sebelum lohor, terdengarlah suara kelenengan nyaring dari jauh, tapi sekejap saja suara itu sudah lewat melampaui rombongan mereka, Tentu saja Bu-siang sangat girang, pikirnya: "Sungguh nikmat sekali merawat luka di dalam joli ini, biarlah aku digotong mereka sampai daerah Kanglam saja" Dua hari kemudian, suara kelenengan keledai yang sangat ditakuti itu sudah tak terdengar lagi, agaknya Li Bok-chiu sudah mengejar terus ke desa dan tidak kembali pula.
Begitu juga para Tojin dan anggota Kay-pang yang ingin menuntut balas pada Liok Bu-siang pun tidak menemukan jejaknya.
Pada hari ketiga, sampailah mereka di Liong-Se, satu kota persimpangan jalan yang penting dan ramai.
Sehabis bersantap malam, iseng2 Yali Cin mendatangi kamarnya Nyo Ko untuk meminta petunjuk tentang ilmu silat.
Dasar Yali Cin ini pandai bicara, ia sengaja menyanjung dan mengumpak Nyo Ko setinggi langit, maka untuk jasa itu Nyo Ko telah memberikan sekali dua petunjuk padanya, walaupun hanya dasar2 yang tidak berarti, tapi bagi Yali Cin sudah tterupakan pelajaran yang tak pernah didengarnya, tentu saja tidak sedikit faedah baginya.
Selagi Yali Cin mencurahkan seluruh perhatiannya mendengarkan "kuliah" Nyo Ko, tiba2 datanglah seorang pengawalnya melapor bahwa dari orang-tuanya di kotataja ada mengirim utusan baginya.
"Baiklah, segera aku datang," sahut Yali Cin girang, Sedang ia hendak mohon diri pada Nyq Ko, mendadak ia timbul pikirannya: "Ah, kenapa aku tidak menerima kurir pengantar surat itu M hadapannya, dengan begitu bisa menandakan akuj tidak pandang dia sebagai orang asing, dan cara dia" mengajarkan ilmu silatnya padaku tentu akan ber-sungguh2 juga.
" Segera pengawalnya diberi perintah: "Panggil dia menghadap padaku di sini.
" Pengawal itu merasa aneh oleh karena perintah itu, "Ma.
. . mana. . . " demikian dengan samar2 ia hendak menjelaskan Namun Yali Cin lantas lambaikan tangannya dan bilang lagi: "Tak apa, bawalah dia ke sini!" "Tetapi Lotayjin sendiri yang.
. . " kata si pengawal pula.
"Ah, kau hanya banyak omong saja," sela Yali Cin tak sabar, "Lekas pergi.
. . . " Belum habis ia bicara, tahu2 tirai kamar tersingkap dan masuklah seorang dengan tertawa.
"Anak Cin, tentu kau tak menduga akan diri ku, bukan ?" demikian kata orang itu segera.
Girang dan kejut Yali Cin demi mengenali siapa adanya orang itu, Iekas2 ia berlari memapak dan menyembah.
"Ah, kiranya Ayah. . . " "Ya, memang aku sendiri yang datang," potong orang itu.
Kiranya orang ini memang bukan lain adalah ayah Yali Cin, itu perdana menteri negeri Mongol Yali Cu-cay.
Mendengar Yali Cin panggil orang itu sebagai ayah, Nyo Ko tak tahu bahwa orang adalah Perdana Menteri yang sangat berkuasa di negeri Mongol, ia lihat alis jenggot orang sudah putih, wajahnya alim menandakan seorang yang beribadat, mau-tak-mau dalam hati Nyo Ko timbul juga semacam perasaan menghormat.
Dan baru saja orang itu berduduk, dari luar kembali masuk lagi dua orang terus memberi hormat pada Yali Cin dan menyebutnya sebagai "Toa-ko.
" Kedua orang ini yang satu laki2 dan yang lain wanita.
Yang lelaki berumur antara 25-26 tahun, sedang usia yang perempuan kira2 sebaya dengan Nyo Ko.
"Ah, Ji-te dan Sam-moay, kalian pun ikut datang!" sapa Yali Cin kepada muda-mudi itu dengan girang.
Pemuda itu adalah putera Yali Cu-cay kedua, namanya Yali Ce, dan puterinya bernama Yali Yen.
perawakan Yali Ce kurus jangkung, tetapi sikapnya gagah dan wajahnya cakap, Yali Yen pun berpotongan ramping tinggi, tampaknya mereka sekeluarga memang berketurunan perawakan tinggi.
Meskipun perawakan Yali Yen tinggi, namun wajahnya masih membawa sifat kanak2, dibilang cantik, sebenarnya tak begitu cantik, tetapi di antara senyumannya terdapat juga semacam gayfa yang menggiurkan.
"Ayah, keberangkatanmu dari kotaraja, sedikitpun anak tidak mengetahui.
" sementara itu Yali Cin berkata pula.
"Ya," Yali Cu-cay mengangguk "karena ada suatu urusan besar, kalau bukan aku sendiri yang memimpinnya, betapapun rasa hatiku tak lega.
" "Sambil berkata, pandangannya telah merata Nyo Ko beserta para pengawal yang berada di situ, maksudnya agar mereka diperintahkan menyingkir.
Tentu saja Yali Cin menjadi serba salah, seharusnya ia mengibaskan tangan menyuruh para pengawalnya pergi, tapi Nyo Ko adalah orang yang tak boleh dipersamakan dengan bawahannya, karena itu, sikapnya menjadi kikuk dan ragu-ragu.
Namun Nyo Ko cukup tahu diri, dengan tersenyum ia mengundurkan diri atas kemauan sendiri.
"Siapakah dia tadi?" tanya Yali Cu-cay pada Yali Cin segera sesudah Nyo Ko menyingkir.
"Kenalan baru yang bertemu di tengah jalan tadi," sahut Yali Cin samar2 untuk menghindari kehilangan pamor di hadapan adik2nya, "Ada urusan penting apakah sebenarnya, sampai ayah berangkat sendiri ke selatan?" Yali Cu-cay menghela napas atas pertanyaan sang putera.
"Ya, pertama-tama untuk menghindari bahaya, kedua demi keutuhan negeri kita yang sudah tertanam kukuh oleh cakal-bakal kita itu," sahutnya kemudian.
Yali Cin terdiam karena jawaban itu, ia saling pandang sekejap dengan adik2nya, wajah mereka pun mengunjuk rasa duka.
Kiranya sesudah cakal-bakal negeri Mongol, Jengis Khan wafat, putera kedua, Gotai menggantikan tahta, setelah Gotai meninggal, kedudukan-nya diganti oleh puteranya yang pendek umur, tatkala pemerintahan dikuasai permaisuri dan karena permaisuri main konco2an dan percaya pada sekelompok kecil orang, banyak pembesar lama dan panglima yang berjasa malah tergencet hingga suasana pemerintahan sangat kacau.
Yali Cu-cay adalah pembesar tiga angkatan sejak Jengis Khan dan berjasa besar sebagai orang yang ikut membangun kerajaan Mongol, karena itu setiap permaisuri membuat kesalahan, ia suka memberi kritik secara jujur.
Tetapi permaisuri menjadi kurang senang karena tindak tanduknya selalu dirintangi.
Sudah tentu Yali Cu-cay juga insaf bahwa keselamatannya dengan sendirinya selalu terancam, tetapi demi kepentingan negara yang dahulu ikut didirikannya dengan susah payah, ia telah berpikir siang dan malam untuk mencari jalan keluar yang paling baik Suatu malam sesudah dia baca kitak "Cu-ti-thong-kam" karangan Suma Kong dari ahala Song, mendadak tergerak pikirannya, ia mendapatkan satu akal bagus.
Besok paginya dalam sidang ia mengajukan usul agar dirinya diutus ke daerah Ho-lam untuk menenteramkan keadaan di sana yang sedang bergolak.
Dengan sendirinya usul itu sangat cocok dengan keinginan permaisuri yang sudah lama bermaksud menyingkirkan dia, maka diutuslah Yali Cu-cay ke Holam dengan kuasa penuh.
Yali Cu-cay mengadakan perundingan dengan para sahabat lama dan akalnya ternyata disetujui dan didukung dengan suara bulat oleh kawan2 lama itu.
Kiranya akal yang Yali Cu-cay rencanakan itu yalah pada suatu saat permaisuri hendak dirobohkan dan mengangkat raja baru, yakni meniru cara apa yang terjadi pada jamannya Bu-cek-thian dari ahala Tong.
Mula2 ia mengusulkan dirinya di utus ke Holam dan disetujui permaisuri tetapi di sana ia menghimpun pasukan dan panglima2 yang perkasa, setelah kekuasaan militer berada di tangannya, segera ia mengangkat raja baru dan mendesak permaisuri mengundurkan diri.
Tatkala itu calon raja yang mereka dukungi adalah cucu Jengis Khan, putera Dule yang bernama Monka.
Begitulah, dengan suara pelahan Yali Cu-cay ceritakan rencananya pada sang putera.
Yali Cin merasa girang dan kuatir, sebab kalau rencana itu terlaksana, dengan sendirinya mereka berjasa besar, sebaliknya kalau gagal, itu berarti bahaya bagi kehancuran keluarga mereka.
Selagi mereka berempat sedang berunding secara rahasia, waktu itu juga Nyo Ko sedang duduk semadi di kamar Liok Bu-siang dengan memusatkan pendengarannya mengikuti pembicaraan Yali Cu-cay berempat.
Bagi orang yang sudah tinggi Lwekang yang dilatihnya, penglihatan dan pendengaran atas sesuatu selalu lebih tajam dari pada orang biasa.
Oleh sebab itulah, meski kamar di mana Nyo Ko dan Bu-siang berada masih diseling dengan sebuah ruangan lain, suara bicara Yali Cu-cay pun sangat perlahan, bagi Liok Bu-siang sedikitpun tak kedengaran, tapi untuk Nyo Ko sebaliknya dapat didengar dengan jeIas.
Walaupun apa yang dibicarakan keempat orang itu adalah rahasia pemerintahan Mongol dan tiada sangkut pautnya dengan Nyo Ko, namun uraian Yali Cu-cay itu sangat menarik, Nyo-Ko jadi ingin mendengarkan terus.
"Hai, ToloI, kenapa kau bersemadi di sini.
". tegur Bu-siang. sesudah menunggu dan melihat orang hingga sekian lama tak bergerak.
Tetapi saat itu justru Nyo Ko lagi pusatkan-perhatiannya untuk mendengarkan pembicaraan orang, terhadap kata2 Bu-siang itu sebaliknya malah tak didengarnya.
Sesudah ulangi lagi tegurannya dan masih tiada jawaban, akhirnya Bu-siang menjadi marah.
"Hai, Tolol, kau mau bicara dengan aku tidak?" omelnya.
Karena Nyo Ko tetap tidak menyahut, ia bermaksud mengitik2nya, tapi se-konyong2 Nyo Ko-melompat bangun.
"Ssssttt, diluar ada orang mengintip," katanya, tiba2 dengan suara mendesis.
Akan tetapi sedikitpun Bu-siang tidak mendengar sesuatu suara yang mencurigakan.
"Kau mau dustai aku?" sahut si gadis dengan suara rendah.
"Bukan di sini, tetapi di rumah yang sana" kata Nyo Ko.
Namun Bu-siang lebih2 tak percaya, ia tersenyum sambil mengomel: "Tolol!" "Ssst, jangan2 gurumu yang mencari kemari lekas jkita sembunyi dahuIu," dengan suara bisik Nyo Ko peringatkan pula sembari tarik2 baju nona.
Mendengar gurunya di-sebut2, mau tak mau Bu-siang menurut, ia ikut Nyo Ko mendekam di luar jendela untuk mengintai Tiba2 Nyo Ko menuding ke arah barat waktu Bu-siang mendongak, betul saja dilihatnya dari atas rumah yang agak jauh sana mendekam sesosok bayangan orang, Tatkala itu tiada sinar bulan hingga malam gelap gulita, kalau tidak memandang dengan seluruh perhatian, memang sukar untuk membedakan apakah itu bayangan orang atau bukan.
Baru sekaranglah Bu-siang mau menyerah, alangkah kagumnya pada "si Tolol" yang tak di-mengerti cara bagaimana bisa mengetahui datangnya orang itu" "Bukan Suhu," katanya kemudian pada Nyo Ko.
Sebab ia tahu gurunya sangat tinggi hati, baju peranti jalan malam yang dipakainya kalau bukan berwarna kuning langsat tentu berwarna putih mulus, sama sekali tak mau mengenakan pakaian hitam.
Belum selesai ia berkata, mendadak orang berbaju hitam itu melompat ke sana dan sekejap saja sudah melintasi tiga deret rumah, sampai di luar jendela kamar di mana terdapat ayah dan anak keluarga Yali, segera sebelah kakinya melayang, ia depak terpentang daun jendelanya, lalu dengan senjata "Liu-yap-to" (golok bentuk sempit panjang dan sedikit melengkung) terhunus, dengan cepat sekali ia melompat masuk.
"Yali Cu-cay, hari ini biarlah aku mati bersama kau," terdengar orang itu berteriak.
Waktu menyaksikan gerak tubuh orang itu yang cepat, tetapi bergaya lemas, Nyo Ko menduga tentu seorang perempuan.
Ketika mendengat suara teriakannya, ia menjadi terang memang suara kaum wanita.
"Ha, ilmu silat orang itu jauh di atas Yali Cin, jiwa orang tua berjenggot putih itu sukar dipertahankan lagi," demikian terpikir olehnya.
"Lekas kita pergi melihatnya," ajaknya pada Bu-siang.
Dengan cepat mereka lantas menyusup ke sana, dari luar jendela mereka melihat Yali Cin sementara itu sudah angkat sebuah bangku sebagai senjata untuk menempui wanita berbaju hitam itu.
Ilmu permainan golok wanita baju hitam itu bagus sekali, golok Liu-yap-to yang dia pakai pun tajam luar biasa, hanya beberapa kali bacokan, empat kaki bangku itu sudah tertabas kutung.
"Lekas Iari, ayah !" teriak Yali Cin insaf tak bisa menandingi orang.
Habis ini ia berteriak pula.
"Mana orangnya, maju lekas!" Karena teriakan ini wanita itu kuatir kalau bala bantuan membanjir datang dan tentu tak leluasa lagi bagi tujuannya, maka sebelah kakinya mendadak menendang gerak kakinya cepat, sekali tanpa kelihatan, karena tak ber-jaga2 dengan tepat Yali Cin tertendang pinggangnya dan roboh menggelongsor.
Kesempatan itu tak di-sia2kan oleh wanita muda itu, begitu menyerobot maju, ia angkat goloknya terus membacok kepala Yali Cu-cay.
"Celaka!" teriak Nyo Ko di dalam hati.
Segera ia siapkan segenggam Giok-hong-ciam atau jarum tawon putih dan selagi hendak disambitkan tangan si nona yang memegang senjata, tiba2 puteri Yali Cu-cay, Yali Yen yang berdiri di samping itu mendahului membentak: "Jangan sembrono!" Berbareng itu sebelah tangannya menghantam ke muka nona baju hitam itu dan tangan yang lain diulur buat merebut senjata orang.
Gerak serangan ini sungguh tepat sekali, terpaksa nona itu harus mengegos menghindari hantaman, namun tidak urung pergelangan tangan yang memegang senjata kena dipegang Yali Yen, walaupun demikian, secara sebat sekali kakinya lantas melayang, Karena tendangan yang mengarah tempat berbahaya ini, Yali Yen dipaksa lepaskan tangan dan melompat mundur, karena inilah Liu-yap-to gadis itu tidak sampai kena direbut.
Melihat gebrakan kedua nona itu sama sebat dan sama lihay, dalam hati Nyo Ko menjadi heran sekali.
sementara itu, sekejap saja kedua gadis itu sudah saling gebrak belasan jurus bergantian.
Waktu itu juga, dari luar telah membanjir masuk belasan orang pengawal karena teriakan Yali Cin tadi, demi melihat kedua nona itu sedang bertarung dengan sengitnya, mereka hendak maju membantu.
"Nanti dulu," tiba2 Yali Ce mencegah mereka.
"Samsiocia (puteri ketiga) tidak perlu bantuan kalian" Di lain pihak, sesudah menyaksikan ilmu silat kedua nona itu, Nyo Ko menoleh dan berkata pada Liok Bu-siang: "Bini cilik, kepandaian kedua orang itu lebih tinggi dari pada kau.
" Bu-siang menjadi gusar karena orang menyebut lagi "bini" padanya, begitu tangan diangkat kontan ia hendak tempeleng orang.
"Ssstt, jangan ribut, lebih baik menonton perkelahian saja," kata Nyo Ko pelahan dengan tertawa sambil mengelakkan diri.
Sebenarnya ilmu silat kedua nona itu kalau dibilang lebih tinggi dari pada Liok Bu-siang juga belum tentu tepat Cuma kedua nona itu memang mendapatkan didikan guru pandai kalau dibandingkan Yali Cin, terang jauh lebih tinggi.
Begitulah maka Yali Cu-cay dan Yali Cin tidak kepalang heran dan terperanjat, sebab sama sekali mereka belum pernah tahu Yali Yen berlatih silat, siapa tahu si gadis memiliki ilmu silat yang begitu bagus, saking herannya hingga mereka ternganga.
Tak Iama lagi, karena Yali Yen tak bersenjata, beberapa kali ia hendak rebut golok orang, namun tak berhasil sebaliknya ia malah terdesak melompat sini dan berkelit ke sana tanpa bisa membalas.
"Sam-moay, biarkan aku yang mencobanya, kata Yali Ce tiba2, Berbareng ini mendadak ia menyela maju, dengan tangan kanan melulu, beruntun2 tiga kali memukul "Baik, coba kau bagaimana," sahut Yali Yen setelah mundur ke pinggir.
Tadi waktu Yali Yen bergebrak dengan gadis baju hitam itu, Nyo Ko hanya bersenyum dan menonton pertarungan itu dengan sikap dingin, tetapi kini begitu Yali Ce turun tangan, hanya tiga kali serangan saja sudah bikin hatinya terkesiap.
Ia lihat tangan kiri Yali Ce bertolak pinggang, sama sekali tak ikut bergerak, melulu tangan kanan saja yang digunakan buat melawan nona baju hitam itu, kakinya pun tidak pernah menggeser barang selangkahpun secara tenang dan seenaknya mencari kesempatan buat rebut golok lawan, tipu gerakannya sangat aneh, bahkan tempat dan waktu yang digunakannya pun jitu sekali, sungguh suatu ilmu kepandaian yang lain daripada yang lain.
Tentu saja Nyo Ko ter-heran2.
"Mengapa orang ini begini lihay?" demikian pikirnya.
"Tolol, kepandaian orang ini jauh melebihi kau!" Bu-siang balas mengejek si Nyo Ko.
Namun Nyo Ko sedang tercengang, maka tak didengarnya apa yang dikatakan si nona.
"Sam-moay, lihatlah yang jelas," terdengar Yali Ce berkata pada adiknya sambil melayani si gadis baju hitam.
"Kalau aku tepuk dia punya "pi-su-hiat", tentu dia akan menghindar mundur ke samping, menyusul aku lantas pegang dia punya "ki-kut-hiat", mau-tak-mau dia harus angkat golok-nya buat membacok.
Pada saat itulah kita harus turun tangan secara cepat dan dapatlah merebut senjatanya.
" "Cis, belum tentu bisa begitu gampang," damperat gadis baju hitam dengan gusar.
"Tetapi memang begitulah, lihatlah ini," kata Yali Ce.
sambil berkata, betul juga ia hantam "pi-sui-hiat" si gadis.
Pukulan ini tampaknya seperti menceng dan miring, tetapi justru mengurung rapat segala jalan mundur lawannya, hanya pada ujung belakang kiri sedikit ke samping itulah ada peluang, karena si gadis hendak hindarkan pukulan itu, terpaksa ia mundur miring ke samping sana.
Yali Ce angguk2 suatu tanda pukulannya membawa hasil, menyusul betul juga ia ulur tangan hendak pegang "Ki-kut-hiat" lawan.
Sebenarnya dalam hati si gadis itu sudah memperingatkan dirinya sendiri agar "se-kali2 jangan angkat golok balas membacok" seperti apa yang direncanakan Yali Ce.
Akan tetapi keadaan pada waktu itu sangat berbahaya, jalan lain memang tidak ada kecuali angkat goloknya buat balas membacok yang merupakan satu2-nya gerak tipu yang jitu.
Karena itulah, tanpa bisa pikir banyak, segera goloknya mengayun, ia balas menyerang.
"Nah, begitu bukan?" dengan sungguh2 Yali Ce berkata.
Mendengar perkataannya ini, semua orang menduga pasti Yali Ce akan ulur tangan buat merebut senjata si gadis, siapa tahu tangan kanannya malah dia tarik kembali dan dimasukkan ke dalam lengan baju.
Maka luputlah bacokan gadis baju hitam itu, sebaliknya ia lihat kedua tangan orang malah bersedakap seenaknya, keruan saja ia rada tertegun.
Pada saat itu juga, se-konyong2 Yali Ce ulur tangan kanan lagi dengan dua jari ia menjepit punggung golok si gadis dan sedikit diangkat ke atas, karena itu, gadis itu tak mampu pegang kencang senjatanya hingga kena direbut orang secara mentah2.
---------- Gambar -----------"Wanyen Ping, "Beberapa kali kami ampuni jiwamu, kau selalu cari perkara, apa sih maksudmu sebenarnya?" demikian kata Yali Yen sambil menahan pukulan orang.
--------------------------------Menyaksikan pertunjukan ilmu sakti itu, seketika semua orang terkesima, menyusul suara sorak sorai memecah kesunyian memuji kepandaian Yali Ce tadi.
"Nah, sekarang iapun tak bersenjata," kata Yali Ce pada adik perempuannya sambil melangkah mundur, "kau maju lagi menjajal dia, tabah sedikit dan hati2 terhadap tendangan kilatnya.
" Karena goloknya direbut orang, wajah gadis baju hitam itu kelihatan muram, untuk sejenak terpaku di tempat.
Semua orang menjadi heran oleh kelakuannya, mereka pikir: "Kalau Jikongcu (tuan muda kedua) tidak menangkap dia sekaligus, terang maksudnya sengaja membebaskan dia lari, tapi dia justru tak mau kabur, lalu apa kehendaknya?" Dalam pada itu, karena kata2 abangnya tadi, Yali Yen telah tampil ke depan lagi.
"Wanyen Peng, berulang kali kami telah ampuni kau, tapi kau selalu merecoki kami, apa sampai hari ini kau masih belum mau mengakhiri maksudmu itu?" begitulah kata Yali Yen pada gadis baju hitam itu.
Mendengar nama yang disebut Yali Yen, diam2 Nyo Ko sangat heran oleh nama beberapa orang yang aneh itu.
Nyata, karena masih muda dan cetek pengalamannya, Nyo Ko tak tahu bahwa "Yali" adalah nama keluarga kerajaan negeri Liau, sedang "Wan-yen", adalah nama keluarga kerajaan negeri Kim, beberapa orang yang berada di dalam kamar itu memang keturunan bangsawan kedua negeri itu.
Cuma tatkala itu negeri Liau sudah ditelan kerajaan Kim, dan negeri Kim telah dicaplok pula oleh Mongol.
Oleh sebab itu, baik Yali maupun Wan-yen, semuanya adalah keluarga raja2 yang sudah musnah negerinya.
Begitulah Wanyen Peng ternyata tak menjawab kata2 Yali Yen tadi, ia masih menunduk dan termenung-menung.
"Baiklah, jika kau memang ingin tentukan unggul dan asor dengan aku, marilah kita mulai lagi," kata Yali Yen kemudian.
Berbareng itu, melompat maju terus menjotos susul-menyusul dua kaIi.
"Kembalikan golokku itu," serunya tiba2 dengan nada suara memelas.
Yali Yen tertegun karena permintaan itu, katanya dalam hati: "Kakakku sengaja rebut senjata mu agar kau bergebrak rangan kosong dengan aku, kenapa sekarang kau malah minta kembali senjatamu ?" Walaupun begitu, karena wataknya memang berbudi, maka iapun tidak menolak "Baiklah", demikian sahutnya, Habis itu, dari tangan abangnya ia ambil golok Liu-yap-to itu dan dilemparkan pada Wanyen Peng.
"Sam-siocia, kaupun gunakan senjata," kata seorang pengawal sambil menyerahkan goloknya.
"Tak perlu," sahut Yali Yen.
Tetapi setelah dipikir lagi, segera ia menambahkan: "Baiklah, dengan tangan kosong aku memang bukan tandinganmu biarlah kita bertanding golok.
" Lalu golok pengawal tadi diterimanya, walau pun beratnya sedikit terasa antap, namun boleh juga sekedar dipakai.
Di lain pihak setelah terima kembali senjatanya sendiri, muka Wanyen Peng tampak putih pucat, dengan tangan kiri memegang golok, tangan kanan menuding Yali Cu-cay dan berkata: "YaIi Cu-cay, kau telah bantu orang Mongol dan tewaskan ayah-bundaku, selama hidupku ini terang aku tak sanggup menuntut batas lagi padamu, Biarlah kita bikin perhitungan nanti diakhirat saja !" Begitu selesai bicara, mendadak golok di tangan itu terus menggorok ke lehernya sendiri.
Waktu mendengar kata2 si gadis tadi dengan sorot matanya yang guram, seketika hati Nyo Ko memukul keras, dadapun terasa sesak dan tanpa tertahan berseru : "Kokoh !" Pada saat ia berseru itulah Wanyen Peng telah angkat goloknya hendak membunuh diri.
Namun gerak tangan Yali Ce cepat tiada bandingan-nya, ketika tubuhnya sedikit mendoyong dan tangannya menjulur, dengan dua jari saja ia berhasil merebut golok si gadis, bahkan orangnya ditutuk pula hingga tak bisa berkutik.
"Baik2 saja begini, kenapa lantas berpikiran pendek?" demikian katanya.
Terjadinya beberapa peristiwa tadi, yakni Wanyen Peng hendak menggorok leher sendiri dan Yali Ce merebut senjatanya dengan jepitan jarinya, semuanya terjadi dalam sekejap saja, ketika dapat melihat jelas oleh semua orang, sementara itu golok si gadis sudah berpindah ke tangan Yali Ce Iagi.
Karena itulah, seketika ramai suara jeritan kaget dari orang banyak hingga seruan "Kokoh" yang diucapkan Nyo Ko itu tidak diperhatikan orang sebaliknya Liok Bu-siang yang berada di samping nya dapat mendengar dengan terang.
"Apa kau sebut dia" ia adalah kokohmu?" "tanyanya dengan suara tertahan.
"Bukan. . . . . . bukan!" sahut Nyo Ko cepat.
Kitanya tadi waktu Nyo Ko nampak sorot mata Wanyen Peng yang menunjuk perasaan penuh sunyi dan hampa, seperti sudah putus asa, hal ini mirip sekali dengan sorot mata Siao-liong-li dahulu sewaktu hendak berpisah dengan dia itu.
Dan karena melihat sorot mata orang itu tadi, tanpa terasa Nyo Ko terkesima seperti orang ling-lung hingga lupa dirinya berada di mana pada waktu itu.
Melihat keadaan Nyo Ko yang aneh itu, Bu siang tak menanya lebih lanjut, sebaliknya ia dengar di dalam sana Yali Cu-cay sedang buka suara dengan pelahan.
"Nona Wanyen, sudah tiga kali kau hendak membunuh aku, tetapi setiap kali selalu gagal," demikian kata orang tua itu.
"Dalam persoalan ini, sebagai perdana menteri negara Mongol, akulah yang musnahkan tanah airmu dan membunuh ayah-bundamu.
Tetapi sebaliknya apa kau tahu siapa lagi yang telah "bunuh leluhurku dan menghancurkan negeriku?" "Aku tak tahu," sahut Wanyen Peng.
"Baiklah kuterangkan," tutur Yali Cu-cay, "Leluhurku adalah keluarga raja Liau dan negeri Liau kami itu telah dimusnahkan oleh negeri Kim bangsamu, Keturunan Yali dari keluarga kami itu habis dibunuh oleh keluarga Wan-yen kalian hingga tidak seberapa gelintir orang yang ketinggalan.
Karena itu, pada waktu muda akupun bersumpah buat tuntut balas sakit hati ini, karenanya aku telah bantu raja Mongol menghancurkan negaramu Kim.
Ai, cara balas-membalas ini entah akan berakhir kapan ?" Pada waktu mengucapkan kata2 terakhir itu, Yali Cu-cay mendongak memandang keluar jendela, terbayang olehnya beratus bahkan beribu jiwa yang telah melayang akibat saling bunuh-membunuh tanpa ada habisnya itu.
Sewaktu mendengarkan tadi, tiba2 Wanyen Peng gigit bibirnya hingga beberapa giginya yang putih bersih bagai mutiara tertampak jelas.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm", tiba2 ia menjengek terhadap Yali Ce.
"Tiga kali menuntut balas dan tidak berhasil, kusesalkan kepandaianku sendiri yang tak becus, Tetapi aku hendak bunuh diri, kenapa kau ikut campur tangan pula?" "Asal selanjutnya nona berjanji tidak akan merecoki kami lagi, segera aku bebaskan kau," sahut Yali Ce.
Wanyen Peng mendengar ia tidak menjawab melainkan matanya yang mendelik gusar.
Kemudian Yali Ce baliki Liu-yap-to rampasannya itu, dengan garan senjata itu ia ketok pelahan beberapa kali pinggang si gadis untuk melepaskan jalan darahnya.
Kiranya Yali Ce ini memang laki2 sejati, tadi dalam keadaan terpaksa, maka dia menutuk dengan jari tangan, tetapi kini ia tak berani menyentuh tubuh si gadis lagi melainkan menggunakan garan golok untuk melepaskan Hiat-to yang tertutup itu.
Sesudah itu segera Yali Ce angsurkan golok itu kepada pemiliknya.
Semula Wanyen Peng rada ragu2, tetapi akhirnya diterimanya kembali juga.
"Yali-kongcu, sudah beberapa kali kau berlaku murah hati dan melayani aku dengan sopan, hal ini aku cukup mengetahuinya", demikian katanya kemudian "Tetapi sakit hati antara keluarga Wanyen kami dengan keluargamu Yali sedalam lautan, betapapun juga, sakit hati orang tua tak bisa tak dibalas".
Yali Ce pikir: "Nyata gadis ini masih akan bikin ribut tiada hentinya, ilmu silatnya juga tinggi, padahal aku tak bisa selalu disamping ayah untuk melindungi selama hidupnya, Ah, kenapa aku tidak pancing dia agar dia tuntut sajalah saja padaku.
" "Nona Wanyen, begitulah ia berkata "kau hendak membalas dendam orang tua, cita2mu itu sungguh harus dipuji Cuma persengketaan angkatan tua, hendaklah orang tua itu selesaikan sendiri dan kita yang menjadi orang angkatan muda, masing2 pun ada budi dan dendamnya sendiri2.
Maka bila kau akan menuntut balas, utang darah antara keluarga kita itu bolehlah kau cari saja padaku sendiri tetapi kalau ayahku yang kau recoki, kelak kalau kita bertemu pula, soalnya tentu akan menjadi sulit.
" "Hm, enak saja kau bicara, ilmu silatku jelas tak bisa mengungkuli kau, mana bisa aku balas dendam padamu, sudahlah sudahlah!" sahut Wan-yen Peng sambil tutup mukanya terus bertindak Yali Ce mengarti dengan perginya si gadis, tentu orang akan cari jalan buat bunuh diri lagi, karena bermaksud menolong jiwa orang, maka ia sengaja berkata pula dengan tertawa dingin: "Huh, wanita keluarga Wanyen kenapa tak punya pambekan!" "Kenapa tak punya kambekan?" tanya Wanyen Peng tiba2 sembari berpaling.
"Soal ilmu silatku lebih tinggi dari kau, ya, itu memang betul, tetapi apanya yang perlu dibuat heran" Hal ini oleh karena aku pernah mendapat ajaran dari guru pandai, dan bukan karena aku memepunyai bakat yang melebihi orang lain," kata Yali Ce.
"Kau masih semuda ini, asal kau mau mencari guru dengan penuh keyakinan, apa tak Msa kau mendapatkannya?" Sebenarnya hati Wanyen Peng penuh mendongkol dan gusar tidak kepalang, tapi mendengar beberapa kata itu, diam2 ia memanggut juga.
"Setiap kali aku bergebrak dengan kau, selalu aku hanya gunakan tangan kanan saja, hal ini bukannya aku sengaja berlaku sombong," kata Yali, Ce lagi.
"Tetapi sebabnya karena tipu serangan tangan kiriku terlalu aneh, bila sampai bergebrak, tentu akan melukai orang, oleh karenanya aku bersumpah kalau tidak dalam detik yang berbahaya, se-kali2 aku tidak sembarangan menggunakan tangan kiri, Maka begini saja sebaiknya, biarlah kalau kau sudah belajar lagi dari guru pandai, setiap saat kau boleh datang mencari aku lagi, asal kau mampu memaksa aku menggunakan tangan kiri seketika juga aku potong leherku sendiri tanpa menyesal" Dengan uraian ini sungguh2 Yali Ce ingin menolong jiwa orang, ia tahu ilmu silat Wanyen Peng masih berselisih jauh dengan dirinya, sekalipun dapatkan guru pandai juga susah hendak menangkan dirinya.
Maka tujuannya hanya untuk mengulur tempo belaka agar sesudah lewat agak lama, rasa dendam Wanyen Peng bisa mereda hingga tak perlu membunuh diri lagi.
Oleh karena itu, Wanyen Peng berpikir: "Kau toh bukan dewa, kalau aku berlatih secara sungguh2 masakan dengan dua tanganku tak bisa menangkan sebelah tanganmu itu?" Maka goloknya segera ia angkat ke atas dan berseru : "Baik! Laki2 sejati sekali kata.
. . " "Kuda cepat sekali pecut!" sambung Yali Ge tanpa ragu-ragu.
Dengan istilah "Laki2 sejati sekali kata, kuda cepat sekali pecut", artinya apa yang telah diucapkan itu tak akan dipungkiri lagi.
Habis itu, dengan bersitegang lalu Wanyen Peng bertindak pergi walaupun begitu, pada air mukanya tidak terhindar dari rasa pedih dan lesu.
Melihat tuan muda mereka membebaskan si gadis, sudah tentu para pengawal tak berani merintangi, sehabis memberi hormat pada Yali Cu-cay, kemudian merekapun keluar kamar.
Peristiwa tadi terjadi dengan ramainya, namun sama sekali Nyo Ko tak nampakkan diri, diam2 Yali Cin menjadi heran sekali.
"Ji-ko, kenapa kau bebaskan dia lagi?" terdengar Yali Yen tanya abangnya, Yali Ce, dengan tertawa.
"Tidak bebaskan dia, apa harus bunuh dia?" sahut Yali Ce.
"Tetapi salah besar kalau kau bebaskan dia," kata Yali Yen lagi.
"Sebab apa?" tanya Yali Ce heran.
"Ji-ko, kau kehendaki dia menjadi isteri seharusnya jangan kau lepaskan dia," ujar Yali Yen tertawa.
"Ngaco-belo!" omel Yali Ce dengan sungguh2.
Meiihat abangnya ber-sungguh2, kuatir orang marah, maka tak berani lagi Yali Yen bergurau Percakapan kedua orang itu semuanya didengar jelas oleh Nyo Ko yang masih mengintip di luar jendela itu demi mendengar apa yang dikatakan Yali Yen bahwa "kehendaki dia menjadi isteri", aneh, dalam hatinya tanpa sebab timbul semacam rasa iri, rasa cemburu, ia menjadi begitu benci terhadap si Yali Ce itu.
Padahal ilmu silat Yali Ce sangat tinggi, tingkah lakunya pun berbudi dan sesungguhnya adalah satu laki2 sejati, sebenarnya Nyo Ko diam2 kagum padanya.
Tetapi kini demi terpikir Wanyen Peng akan diperisterikan dia, ia merasa semakin tinggi ilmu silat Yali Ce dan semakin baik prilakunya, hal ini semakin menandakan kemalangan nasib dirinya sendiri Oleh sebab itulah, begitu dilihatnya sorot mata Wanyen Peng sangat mirip Siao-Iiong-li, tanpa terasa bibit asmaranya bersemi dan terlibat pada diri gadis itu.
Tengah ia tertegun, tiba2 dilihatnya berkelebat bayangan Wanyen Peng di atas rumah sana yang menuju ke jurusan tenggara.
"Coba aku pergi melihatnya," katanya tiba2 pada Liok Bu-siang.
"Melihat apa?" tanya si nona.
Namun Nyo Ko tak menjawab, dengan cepat Wanyen Peng disusulnya.
Meski ilmu silat Wanyen Peng tak terlalu tinggi, tetapi Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya ternyata amat bagus, sesudah Nyo Ko mengejar dengan "poIgas" hingga di luar kota barulah dapat disusulnya.
Ia melihat Wanyen Peng masuk ke sebuah rumah penduduk Dengan cepat Nyo Ko ikut melompat masuk ke pelataran rumah itu dan sembunyi di pinggir tembok, Lewat tak lama, kamar di sebelah barat sana kelihatan sinar lampu yang dinyatakan, menyusul mana lantas terdengar suara orang menghela napas panjang.
Dari helaan napas panjang itu jelas orangnya lagi berhati duka dan menderita batin.
Mendengar suara helaan napas panjang itu, seketika Nyo Ko tertegun seperti orang linglung di luar jendela kamar itu, tanpa terasa iapun ikut menghela napas panjang.
Mendadak mendengar ada orang menghela napas juga di kamar, Wanyen Peng terperanjat, lekas2 ia sirapkan lampu dan mundur ke pojok kamar.
"Siapa?" bentaknya kemudian dengan suara tertahan.
"Kalau tidak berduka, mana bisa menghela napas?" sahut Nyo Ko.
Wanyen Peng semakin heran, dan lagu suara orang agaknya tidak bermaksud jahat, maka ia tanya lagi: "Siapakah kau sebenarnya?" "Untuk membalas sakit hati, orang kuno pernah rebah sambil merasakan pahitnya empedu, tetapi kau, gagal sekali sudah hendak bunuh diri, bukankan harus malu dibandingkan orang kuno itu?" kata Nyo Ko dari luar.
Dahulu di Tho-hoa-to pernah Nyo Ko bersekolah pada Ui Yong dan banyak diceritakan oleh bibinya itu tentang hikayat orang2 jaman dahulu, diantaranya ialah Wat-ong dari jaman Ciankok yang tertawan musuh, tetapi tanpa putus asa dan dengan penuh sabar menantikan saat baik untuk membalas dendam, sebagai gemblengan atas cita2-nya itu", Wat-ong setiap hari mengicip2 rasa pahitnya empedu sambil merebah, Cerita itulah kini di-sitir oleh Nyo Ko.
Karena itu, lalu terdengar suara pintu kamar dibuka, Wanyen Peng menyalakan lagi lampunya, "Silakan masuk," begitulah ia sambut Nyo Ko.
Lebih dulu Nyo Ko memberi hormat, habis itu baru dia masuk ke kamar orang.
Wanyen Peng rada heran melihat Nyo Ko memakai seragam perwira bangsa Mongol, lagi pula usianya masih muda.
"Petunjuk tuan memang tepat, dapatkah mengetahui nama dan she tuan yang mulia?" tanyanya kemudian.
Akan tetapi Nyo Ko tidak menjawab, sebaliknya kedua tangannya ia masukkan ke dalam lengan baju, habis itu baru ia buka suara, tetapi menyimpang dari pertanyaan orang.
"ltulah Yali Ce telah membual secara tak tahu malu, ia kira dengan tangan kanan saja sudah hebat sekali kepandaiannya, padahal kalau mau rebut golok orang dan menutuk Hiat-to orang, apa susahnya meski sebelah tangan tak diperguna-kan?" demikian katanya.
Namun Wanyen Peng tidak sependapat dengan uraian Nyo Ko yang lebih sombong dari Yali Ce itu, tetapi karena belum kenal asal usul orang, maka ia merasa tidak enak mendebatnya.
"Aku ajarkan kau tiga jurus sakti, dengan ini kau lantas bisa paksa Yali Ce memakai kedua tangannya," kata Nyo Ko lagi "Tetapi kau tentu tak percaya, bukan " Nah, sekarang juga aku boleh coba2 dengan kau.
Aku sama sekali tak menggunakan kaki-tanganku untuk bergebrak dengan kau, bagaimana ?" Luar biasa heran Wanyen Peng oleh ucapan Nyo Ko, katanya dalam hati: "Masakan kau bisa rami gaib hingga dengan sekali tiup kau bisa robohkan aku?" Melihat sikap si gadis, Nyo Ko tahu apa yang dipikir olehnya.
"Kau boleh bacok dengan golok sesukamu, atau aku tak bisa hindarkan diri biar matipun ku tidak menyesal" katanya untuk menghiIangkan rasa sangsi si nona.
"Baiklah, cuma akupun tak pakai golok, balas dengan tangan kosong saja kulukai kau," sahut Wanyen Peng.
"Tidak, tidak," kata Nyo Ko lagi sambil menggeleng kepala, "aku harus rebut golokmu tanpa geraki tangan dan kakiku, dengan begitu barulah kau mau percaya.
" Melihat sikap Nyo Ko yang anggap perkara itu seperti hal sepele saja, mau tak-mau Wanyeng Peng mendongkol juga.
"Tuan begini lihay, sungguh, dengar saja aku tak pernah" katanya Habis ini, tanpa sungkan2 lagi ia lolos golok terus membacok ke pundak Nyo Ko.
Ketika melihat kedua tangan Nyo Ko masih terselubung di dalam lengan baju dan anggap seperti tidak terjadi apa2, ia menjadi kuatir betulI melukai orang, maka arah goloknya sedikit dimiringkan ke samping.
Gerak senjatanya ini ternyata dapat dilihat jelas oleh Nyo Ko, iapun tidak bergerak sedikitpun.
"Jangan kau sungkan2, kau harus membacok sungguhan.
" demikian katanya. Wanyen Peng menjadi kagum melihat orang sama sekali tak hkaukan serangannya itu, "Apakah ia seorang dogol?" pikirnya.
Menyusul itu, goloknya bergerak pula, sekali ini ia membabat dari samping dengan sungguh2 Tak terduga, secepat kilat mendadak Nyo sedikit berjongkok hingga golok menyamber lewat di atas kepalanya, jaraknya cuma selisih satu-dua senti saja.
Sekarang Wanyen Peng tidak sungkan2 lagi, ia kumpulkan semangat, goloknya diangkat terus membacok pula.
"Dalam bacokanmu boleh diselingi pula dengan Thi-cio (pukulan telapak besi)," kata Nyo Ko sembari hindarkan golok.
Luar biasa kaget Wanyen Peng oleh kata2 Nyo Ko itu, dengan golok terhunus ia melompat ke pinggir "Da.
. . dari mana kau bisa tahu"," tanyanya cepat dengan suara tak lancar.
"Kau punya Ginkang adalah dari golongan Thi-cio-cui-siang-biau, maka aku hanya coba menerkanya saja," sahut Nyo Ko.
"Baik," kata Wanven Peng kemudian.
Berbareng itu goloknya membacok pula diikuti dengan tangan kiri lantas memotong betul2 diantara goloknya ia selingi dengan Thi-cio.
Namun dengan gampang saja Nyo Ko mengegos lagi "Boleh lebih cepat sedikit.
" katanya malah. Wanyen Peng menjadi makin heran, ilmu goloknya lantas dikeluarkan seluruhnya, makin menyerang makin cepat nyata dia memang anak murid kaum ahli yang tersohor, gerak serangannya tidak boleh dipandang enteng.
Sungguhpun begitu, namun kedua tangan Nyo Ko masih terselubung di dalam lengan baju, hanya tubuhnya saja vang berkelit kian kemari di antara samberan golok dan hantaman orang, jangan kata hendak melukainya, ujung baju saja Wanyen Peng tak mampu menyenggolnya.
Sesudah sebagian besar ilmu golok si nona dilontarkan, tiba2 Nyo Ko berkata: "Awas, dalam tiga jurus ini, golokmu akan kurebut!" Kini Wanyen Peng sudah kagum luar biasa terhadap Nyo Ko, tetapi kalau bilang dalam tiga jurus saja goloknya hendak direbut, inilah dia masih belum mau percaya, maka senjatanya ia genggam terlebih kencang.
"Coba saja rebut!" sahutnya, berbareng ia memotong dari samping dengan kuat, tipu serangan ini adalah "Ling-hing-cin-nia" (dengan gesit melintasi bukit Cin).
Siapa tahu, dengan sedikit menunduk Nyo Ko malah menerobos di bawah goloknya, menyusul ini kepalanya sedikit melengos ke atas, dengan batok kepalanya ia bentur siku Wanyen Peng yang memegang golok itu.
Tempat yang dibentur itu adalah "kiok-ti-hiat", keruan lengan Wanyen Peng menjadi lemas tak bertenaga, ketika Nyo Ko mendongak dan mangap mulutnya, dengan jitu sekali punggung golok kena digigitnya, maka secara gampang saja senjata itupun kena direbutnya, bahkan menyusul kepalanya melengos lagi, dengan garan golok ia tumbuk iga Wanyen Peng, maka tertutuklah Hiat-to si gadis.
Dengan tersenyum Nyo Ko segerapun melompat pergi, waktu kepalanya bergerak, tiba2 ia mengayun ke atas hingga golok yang dia gigit tadi terbang ke udara, dengan melemparkan golok ini, perlunya agar bisa bicara dengan mulutnya.
"Bagaimana, menyerah tidak?" begitu ia tanya.
Habis berkata, golok itupun sudah menurun ke bawah, Nyo Ko buka mulut dan dapat menggigitnya kembali Terkejut dan bergirang Wanyen Peng, ia angguk2 oleh pertanyaan Nyo Ko tadi.
Melihat kerlingan mata si gadis sungguh mirip sekali dengan Siao-liong-li, tak tertahan Nyo Ko ingin sekali bisa peluk orang dan menciumnya, cuma perbuatan ini terlalu kurangajar, maka sambil gigit golok, mukanya menjadi merah jengah.
Sudah tentu Wanyen Peng tak tahu apa yang sedang dipikir Nyo Ko, hanya dilihatnya sikap orang yang aneh itu, dalam hati ia ter-heran2, namun seluruh badan sendiri terasa kaku, kedua kaki lemas se-akan2 hendak jatuh.
Nyo Ko melangkah maju dan melamun, tiba2 teringat olehnya: "Ah, jangan, dia pernah berterima kasih pada Yali Ce karena sopan santunnya, memang aku lebih rendah daripada Yali Ce itu" Hm, aku justru hendak melebihi dia dalam hal apapun juga.
" Begitulah tabiat Nyo Ko yang gampang ter-singgung, sejak kecil tak pernah memperoleh didikan orang tua, tentang sopan santun dan tata krama sama sekali tak diketahui, setiap tindak tanduknya bergantung pada pendapatnya apakah itu baik atau buruk.
Waktu itu kalau bukan pikirannya ingin melebihi Yali Ce, boleh jadi ia sudah peluk Wanyen Peng dan menciumnya.
Kemudian dengan garan golok ia tumbuk lagi sekali pinggang Wanyen Peng untuk melepaskan Hiat-to yang ditutuk tadi, lalu golok itu ia angsurkan kembali padanya.
"Siapa tahu, bukannya Wanyen Peng terima kembali goloknya, sebaliknya ia terus berlutut di hadapan Nyo Ko.
"Mohon Suhu terima aku sebagai murid, kalau aku dapat membalas sakit hati orang tua, budi ini pasti takkan kulupakan," katanya tiba2.
Nyo Ko menjadi kelabakan oleh kelakuan orang, lekas2 ia bangunkan Wanyen Peng.
"Mana bisa aku menjadi gurumu?" sahutnya, "Tetapi, dapatlah kuajarkan satu akal padamu untuk membunuh Yali-kongcu.
" Girang sekali Wanyen Peng oleh keterangan itu.
"Bagus sekali, asal bisa bunuh Yali-kongcu, abang dan adiknya bukan tandinganku semua, dengan sendirinya aku dapat membunuh lagi ayahnya.
. . berkata sampai disini, tiba2 terpikir lagi olehnya: "Ah, kalau sampai aku memiliki kepandaian untuk membunuh dia, apa mungkin Yali tua masih hidup di dunia ini" Bagaimanapun juga, sakit hati ayah-bundaku tak dapat dibalas," Tetapi sehari ini saja Yali tua itu rasanya masih tetap hidup," kata Nyo Ko dengan tertawa.
"Apa maksudmu?" tanya Wanyen Peng.
"Untuk membunuh Yali Ce, apa susahnya?" Sahut Nyo Ko.
"Sekarang juga aku ajarkan tiga tipu padamu dan malam ini juga kau dapat membunuhnya.
" Sudah tiga kali Wanyen Peng berusaha membunuh Yali Cu-cay, tetapi ketiga kalinya selalu dikalahkan Yali Ce secara mudah saja, maka ia cukup kenal ilmu kepandaian orang yang berpuluh kali lebih tinggi dari dirinya.
Ia pikir, sungguhpun ilmu silat Nyo Ko tinggi, tapi belum tentu melebihi Yali Ce.
Sekalipun bisa menangkan dia, tidak nanti juga hanya tiga tipu saja lantas bisa digunakan buat membunuh orang, apalagi malam ini pula katanya bisa membunuhnya, ini lebih2 tak mungkin.
Begitulah ia menjadi sangsi, karena kuatir Nyo Ko marah, maka tak berani Wanyen Peng mendebatnya, hanya kepalanya menggeleng sedikit, sedang kerlingan matanya yang menggilakan Nyo-Ko tadi semakin menggiurkan.
Betapa pintarnya Nyo Ko, segera iapun tahu apa yang dipikirkan si gadis.
"Ya, memang ilmu silatku belum pasti bisa diatasnya," demikian katanya, "kalau saling gebrak, boleh jadi aku malah banyak kalahnya daripada menangnya, Tetapi untuk mengajarkan tiga tipu padamu dan buat membunuhnya malam ini juga, hal ini sebaliknya tidak perlu buang tenaga, Soalnya hanya bergantung padamu yang pernah mendapat pengampunan tiga kali dari dia, aku kuatir kau tak tega membunuhnya.
" Hati Wanyen Peng tergerak, segera ia keraskan hatinya dan menyahut: "Meski dia ada budi padaku, namun sakit hati orang tua tidak bisa tidak dibalas.
" "Baik, kalau begitu tiga jurus tipu ini segera kuajarkan padamu," kata Nyo Ko.
"Tetapi kalau kau mestinya bisa membunuh dia dan tidak kau lakukan, lalu bagaimana nanti?" "Bila terjadi begitu, terserahlah kau untuk berbuat sesukamu, toh kepandaianmu begini tinggi kau mau pukul atau mau bunuh aku, apa aku sanggup melarikan diri?" sahut Wanyen Peng tegas.
"Mana aku tega pukul, apalagi membunuh kau?" demikian pikir Nyo Ko dalam hati.
Maka dengan tersenyum ia menjawab: "Sebenamya tiga jurus tipu inipun tiada yang mengherankan Nih, kau lihat yang jelas!" Habis itu, golok orang lantas diambilnya kembali, dengan pelahan ia membabat dari kiri ke kanan.
"Tipu pertama yalah "hun-hing-cin-nia"," kata Nyo Ko.
Melihat tipu serangan ini, diam2 Wanyen Peng berpikir: "Tipu serangan ini aku sudah bisa, perlu apa kau mengajarkan?" - Maka dengan mengegos ia hindarkan serangan itu.
"Dan kini tipu kedua," kata Nyo Ko sambil mendadak ulur tangan kiri buat pegang tangan kanan si gadis, "ini adalah tipu "ko-tin-jiau-jiu" (akar rotan melingkar pohon) dari ilmu pukulanmu Thi-cio-kang.
" "Aneh, tipu inipun satu diantara 18 gerakan Kim-na-jiu dari Thi-cio-kang kami, buat apa kau mengajarkan lagi?" kembali Wanyen Peng berpikir "Tetapi aneh juga, darimana dia mempelajari ilmu pukulan golongan Thi-cio-bun kami?" "Ilmu kepandaian golongan Thi-cio-bun, pertama adalah Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh, Kedua yalah Cio-hoat atau ilmu pukulan tangan kosong, lebih2 18 jurus Kim-na-jiu (cara mencekal dan memegang) juga sangat lihay, Karena Kiu-im-cin-keng adalah himpunan dari inti2 itmu silat seluruh jagat, asal satu dipelajari maka semuanya paham dengan sendirinya.
Nyo Ko sudah berhasil melatih Kiu-im-cin-keng, maka iapun kenal Kim-na-jiu-hoat dari Thi-cio-bun itu, hanya cara yang lebih mendalam belum diketahuinya.
Begitulah, maka Wanyen Peng menjadi heran karena tangannya dipegang tadi ia merasa Kim-na-jiu-hoat yang diunjuk Nyo Ko ini sebenarnya tidak lebih lihay dari apa yang dia pernah belajar, karena itu, dengan mata terbuka lebar ia menantikan tipu serangan ketiga yang akan diajarkan padanya itu.
Belum lagi Nyo Ko perlihatkan tipu ketiganya, Wanyen Peng telah membatin pula: "Jurus seranganmu yang pertama dan kedua semuanya adalah ilmu kepandaian Thi-cio-bun kami sendiri hakekatnya tiada sesuatu yang luar biasa, apakah mungkin melulu andalkan tipu serangan ketiga ini lantas bisa membunuh Yali-kongcu?" "Nah, sekarang lihatlah yang jelas !" begitulah terdengar Nyo Ko berseru padanya, Habis itu goloknya diangkat terus menggorok tenggorokan sendiri.
Keruan saja tidak kepalang kaget Wanyen Peng, "Hai, apa yang kau lakukan ?" jeritnya cepat Dan karena tangan kanannya masih dipegang ken-cang2 oleh Nyo Ko, maka dengan tangan kiri ia merebut senjata yang hendak dibuat bunuh diri oleh Nyo Ko itu.
Meski dalam keadaan gugup, namun gerak tangan Wanyen Peng tetap sangat cepat, sekali cekal, pergelangan tangan si Nyo Ko sudah dipegangnya terus ditekuk, dengan demikian mata golok itu tak dapat dipakai membunuh diri lagi.
Nyo Ko lantas kendurkan kedua tangannya dan melompat mundur.
"Nah, sekarang kau sudah tahu bukan ?" dengan tertawa ia tanya.
Wanyen Peng sendiri masih ber-debar2 hati-nya oleh karena kagetnya tadi, maka ia belum paham apa maksud kata2nya.
"Pertama kau gunakan tipu "hun-hing-cin-nia" untuk membabat, lalu dengan tipu oh-tu-jiau-jiu" kau cekal tangan kanannya dengan kencang, dan tipu ketiga yalah angkat golok buat bunuh diri.
"Dalam keadaan begitu, pasti dia akan gunakan tangan kiri buat menolong kau, ia pernah bersummpah padamu bahwa asal kau bisa memaksa dia menggunakan tangan kiri, ia akan serahkan jiwanya padamu, itu namanya mati tanpa menyesal dan bukankah urusan menjadi selesai ?" demikian Nyo Ko menjelaskan.
Betul juga pikir Wanyen Peng, tetapi dengan ter-mangu2 ia memandang Nyo Ko, dalam hati ia pikir: "Usiamu masih semuda ini, mengapa dapat kau pikirkan cara2 yang begini aneh dan nakal ?" Dalam pada itu Nyo Ko telah berkata lagi: "Ketiga tipu tadi tanggung berhasil dengan baik, kalau gagal, aku nanti menyembah padamu!" "Tidak," tiba2 Wanyen Peng menyahut dengan goyang kepala, "sekali dia bilang tak akan pakai tangan kiri, tentu tak digunakannya, lalu bagaimana?" "Lalu bagaimana" Kalau kau tak bisa membalas dendam, bukankah lebih baik mati saja, beres.
" kata Nyo Ko. "Kau betul," sahut Wanyen Peng dengan suara pilu, "Terima kasih atas petunjukmu sebenarnya kau ini siapakah ?" "Dia bernama si Tolol, jangan kau turut ocehannya," belum sampai Nyo Ko menjawab, tiba2 suara seorang perempuan menyela di luar jendela.
Nyo Ko dapat mengenali itu adalah suara Liok Bu-siang, maka ia hanya tersenyum dan tidak gubris.
Sementara itu Wanyen Peng telah melompat ke pinggir jendela, sekilas masih dapat dilihat berkelebatnya bayangan orang yang melompat keluar pagar.
Hendak dikejar oleh Wanyen Peng sebenarnya, namun Nyo Ko telah mencegahnya.
"Tak perlu kau uber dia," kata Nyo Ko dengan tertawa, "Dia adalah kawan-ku.
Dia memang selalu ingin mengacau padaku.
" "Tak apalah kalau kau tak mau menerang-kan," ujar Wanyen Peng sesudah termenung sejenak sambil memandangi Nyo Ko.
"Tetapi aku yakin kau tiada maksud jahat padaku.
" Watak Nyo Ko suka menyerah pada kelunakan dan se-kali2 tidak sudi tunduk pada kekerasan kalau ada orang menghina dia, memaksa dia, sekalipun mati tak nanti dia menyerah, tetapi kini oleh karena kerlingan mata Wanyen Peng dengan wajahnya yang sayu mengharukan, tanpa terasa timbul rasa kasih sayang dalam hati Nyo Ko.
Maka dengan tarik tangan si gadis, dengan berendeng mereka duduk di dipan, lalu dengan suara halus ia menerangkan : "Aku she Nyo dan bernama Ko, ayah-bundaku sudah meninggal semua, serupa saja dengan hidupmu.
. . " Mendengar sampai disini, hati Wanyen Peng tak tertahan lagi air matanya mengucur.
Dasar perasaannya Nyo Ko juga gampang terguncang, mendadak iapun menangis hingga menggerung.
Karena itu, Wanyen Peng keluarkan saputangan dan disodorkan pada Nyo Ko.
Waktu mengusap air mata dengan saputangan orang, Nyo Ko mencium bau harum yang sedap, tetapi ketika ingat pada kisah hidupnya sendiri, air matanya semakin lama semakin mengucur.
"Nyo-ya (tuan Nyo), kaupun ikut2 menangis --gara2 urusanku," kata Wanyen Peng.
"Jangan panggil aku Nyo-ya," sahut Nyo Ko.
"Betapa umurmu tahun ini?" "Delapan belas," kata si gadis.
"Dan kau?" "Akupun delapan belas," sahut Nyo Ko, Dalam hati ia berpikir: "Kalau bulan lahirku lebih muda dari dia hingga aku dipanggil adik olehnya, rasanya kurang nikmat.
" - Karena inilah, lantas di sambungnya lagi: "Aku terlahir dalam bulan pertama, maka selanjutnya kau panggil aku Toako saja, Akupun tak akan sungkan 2 lagi dan panggil kau sebagai adik perempuan.
" Muka Wanyen Peng menjadi merah, ia merasa si Nyo Ko ini segala apa selalu terang2an, sungguh sangat aneh, tetapi memang nyata tiada maksud jahat terhadap dirinya, maka kemudian iapun: mengangguk tanda setuju.
Mendapatkan seorang adik baru, rasa senang hati Nyo Ko sungguh tak terkatakan.
Begitulah watak Nyo Ko, kalau Liok Bu-siang suka mendamperat dan marah2 padanya, maka ia pun tiada hentinya menggoda, Tetapi kini wajah Wanyen Peng cantik molek, perawakannya kurus lencir, nasibnya pun malang, seperti dilahirkan supaya dikasihani orang, yang paling penting lagi, jalan kerlingan sepasang mata-bolanya yang begitu mirip seperti Siao-liong-li.
Dengan ter-mangu2 Nyo Ko memandangi mata Wanyen Peng, dalam khayalannya ia anggap gadis berbaju hitam di hadapannya itu seperti berbaju putih, wajah orang yang cantik kurus itu se-akan2 kelihatan seperti muka Siao-liong-li tanpa terasa terunjuklah perasaannya yang mengharap, perasaan rindu rasa kasih sayang yang halus.
Karena guncangan perasaan itulah, maka air mukanya pun menjadi aneh luar biasa, akhirnya Wanyen Peng menjadi takut, pelahan ia lepaskan tangan dari cekalan orang dan menegur: "Kenapakah kau?" "Tak apa2," sahut Nyo Ko seperti tersadar dari mimpi, sambil menghela napas.
"Sekarang kau pergi membunuh dia tidak?" "Segera juga aku pergi," sahut Wanyen Peng cepat, "Nyo-toako, kau ikut serta tidak?" Sebenarnya Nyo Ko hendak berkata : "sudah tentu ikut serta", tetapi bila terpikir lagi kalau dirinya ikut, tentu hal ini akan membesarkan hati Wanyen Peng, dan lagaknya membunuh diri tentu menjadi tak sungguhan Yali Ce juga tak bisa terjebak akalnya lagi Sebab itu, maka dijawabnya : "Rasanya tak enak aku ikut pergi.
" Karena jawaban ini, tiba2 sorot mata Wanyen Peog menjadi guram Hati Nyo Ko menjadi lemas, hampir2 ia menyanggupi untuk ikut serta kalau tidak keburu si gadis berkata lagi: "Baiklah, Nyo-toako, cuma aku tak akan bersua lagi dengan kau.
" "Mana, ma. . . mana bisa begitu" ak,.
. aku. . . . " sahut Nyo Ko cepat dan tak lancar.
Namun Wanyen Peng sudah keluarkan serenceng uang perak, ia lemparkan ke atas meja sebagai biaya menginap di rumah penduduk itu, habis mana iapun melompat keluar.
Dengan ilmu entengkan tubuhnya yang hebat, sekejap saja ia sudah berada lagi ditempat tinggalnya Yali Ce.
Tatkala itu Yali Cu-cay dll sudah kembali ke kamarnya sendiri2, Yali Ce baru saja hendak me-ngaso, tiba2 pintu kamarnya diketok orang.
"Wanyen Peng mohon bertemu Yali-kongcu," demikian terdengar suara si gadis yang nyaring.
Segera ada empat pengawal datang merintangi Wanyen Peng, namun Yali Ce sudah keburu membuka pintu kamarnya.
"Ada keperluan apa lagi, nona Wanyen?" tanyanya segera.
"Aku ingin belajar beberapa gebrak lagi dengan kau," sahut Wanyen Peng.
Heran sekali Yali Ce, ia pikir mengapa orang tak tahu diri" Namun tidak urung ia menyingkir ke samping sambil memberi tanda dengan tangan: "Silakan masuk!" Begitu masuk, tanpa bicara lagi Wanyen Peng lantas lolos senjata terus mencecar tiga kali, diantara goloknya, ia selingi pula dengan pukulan telapak tangan besinya.
Tetapi Yali Ce memang jauh lebih tinggi ilmu silatnya, dengan tangan kiri lurus ke bawah, ia layani si gadis dengan tangan kanan melulu, ia balas memukul dan hendak menangkap senjata orang, dengan gampang saja semua serangan Wanyen Peng dapat dipatahkannya.
Dalam hati iapun sedang pikirkan sesuatu daya-upaya agar bisa membikin Wanyen Peng kapok dan mundur teratur untuk selanjutnya tak datang merecokinya lagi .
Lewat tak lama, selagi Wanyen Peng hendak keluarkan tiga tipu akal ajaran Nyo Ko, mendadak di luar pintu suara seorang wanita berseru: "Hmm Yali-kongcu, dia hendak menipu kau menggunakan tangan kiri.
" Tidak salah lagi itulah suaranya Liok Bu-siang.
Untuk sesaat Yali Ce tercengang, akan tetapi Wanyen Peng tak memberikan kesempatan padannya untuk berpikir, segera dengan tipu "hun-hmg-cin-nia" ia membabat, selagi Yali Ce mengegos, se-konyong2 ia ulur tangan kiri terus cekal tangan kanan Yali Ce dengan tipu "koh-tin-jiau-jiu", menyusul golok diangkat terus menggorok ke lehernya sendiri! Maka insaflah Yali Ce oleh seruan di luar pintu tadi, untuk sesaat pikirannya sudah bergantian beberapa kali: "Harus kutolong dia! - Tetapi inilah tipunya untuk pancing aku menggunakan tangan kiri, kalau aku geraki tangan kiri, itu berarti aku menyerahkan jiwaku untuk diperbuat sesuka hatinya.
Biarlah, laki2 sejati mati biarlah mati, mana boleh melihat orang mau bunuh diri tanpa menolongnya ?" Sebenarnya Nyo Ko sudah mentafsirkan jalan pikiran Yali Ce, asal mendadak tiga tipu serangan ajarannya itu dilontarkan, maka tak bisa tidak pasti ia akan gunakan tangan kirinya buat menolong, Siapa tahu Liok Bu-siang sengaja mengacau dan sebelumnya memperingatkan Yali Ce.
Sungguhpun begitu, namun Yali Ce memang manusia yang berbudi dan berhati mulia, sudah terang diketahuinya begitu ia keluarkan tangan kiri buat tolong Wanyen Peng, maka jiwanya tak terjamin lagi.
Tetapi pada saat yang berbahaya itu, toh masih tetap tangan kirinya diulur untuk menangkis pergelangan tangan Wanyen Peng, menyusul tangannya membalik dan Liu-yap-to itu dapat direbutnya.
Sesudah saling gebrak tiga jurus itu, kemudian masing2 pun melompat mundur berbareng, Dan sejenak menunggu si gadis buka suara, Yali Ce segera mendahului melemparkan golok rampasannya padanya.
"Nyata kau dapat paksa aku menggunakan tangan kiri maka jiwaku kuserahkan padamu sekarang, cuma ada sesuatu permohonanku padamu," demikian katanya.
"Urusan apa?" tanya Wanyen Peng dengan muka pucat.
"Aku mohon kau jangan celakai ayahku lagi," pinta Yali Ce.
Wanyen Peng menjengek sekali, lalu dengan ia melangkah maju, golok ia angkat, di sinar lampu ia lihat sikap Yali Ce biasa saja tanpa jeri sedikitpun, bahkan penuh berwibawa.
Wanyen Peng adalah gadis yang cantik dan halus budinya, melihat seorang Iaki2 sejati sedemikian ini, teringat olehnya sebabnya orang menggunakan tangan kiri tak lain tak bukan adalah karena hendak menolong jiwanya, keruan goloknya itu tak tega dibacokkan.
Tiba2 napsu membunuhnya yang membakar tadi menjadi ludes, Liu-yap-to yang sudah dia angkat itu mendadak dilempar ke lantai, dengan menutup mukanya iapun berlari pergi.
Dalam keadaan begitu, Wanyen Peng menjadi seperti orang linglung, ia melangkah setibanya hingga akhirnya sampai di tepi sebuah sungai, sambil memandangi sinar bintang yang ber-kelip2 guram tercermin di air sungai itu, pikirannya kusut tidak keruan.
Lewat lama dan lama sekali, Wanyen Peng menghela napas panjang, Tiba2 ia dengar di belakangnya ada orang menghela napas juga, di malam yang sunyi itu, kedengarannya menjadi sangat seram.
Dalam kagetnya segerapun Wanyen Peng berpaling, maka terlihatlah satu orang berdiri di belakangnya, siapa lagi dia kalau bukan Nyo Ko ! "Nyo-toako," ia menyapa sekali, lalu kepala menunduk dan tidak buka suara pula.
"Moaycu (adik), urusan membalas dendam orang tua memang bukan perkara gampang, maka tak perlu ter-gesa2 ingin lekas terlaksana," kata Nyo Ko sambil maju dan menggenggam tangan si gadis.
"Kau sudah menyaksikan semuanya?" tanya Wanyen Peng.
Nyo Ko mengangguk. "Manusia seperti aku ini, soal balas dendam sudah tentu bukan urusan gampang.
" kata pula si gadis, "Tetapi kalau aku bisa mempunyai setengah kepandaianmu rasanya tak nanti aku bernasib begini," "Sekalipun bisa memiliki ilmu silat seperti aku, apa guna?" ujar Nyo Ko sambil gandeng tangan orang dan duduk berendeng di bawah satu pohon rindang, "Meski kau belum bisa membalas dendam, namun sedikitnya kau sudah tahu siapa musuhmu.
sebaliknya aku" Sampai cara bagaimana ayahku tewas, hingga kini akupun tidak tahu, begitu pula siapa pembunuhnya juga tak tahu, jangankan hendak menuntut balas, lebih2 tak perlu disebut lagi" "Ayah-bundamu juga dibunuh orang?" tanya Wanyen Peng dengan tercengang.
"Bukan, ibuku tewas digigit ular berbisa, sedangkan ayahku mati secara tak jelas, malahan selamanya belum pernah aku melihat mukanya," sahut Nyo Ko sambil menghela napas.
"Kenapa bisa begitu ?" tanya si gadis.
"Ya sebab waktu aku dilahirkan ayahku sudah keburu mati," tutur Nyo Ko.
"Sering aku tanya ibu sebab apakah sebenarnya ayah mati dan siapa musuhnya, Tetapi setiap kali aku tanya, selalu ibu mengucurkan air mata dan tak menjawab, belakangan akupun tak berani bertanya lagi.
Aku pikir biarlah kelak kalau aku sudah dewasa barulah aku tanya pula, siapa tahu ibu mendadak di-gigit ular, pada sebelum ajalnya kembali aku bertanya tentang kematian ayah.
Kata ibu: "Sepak terjang ayahmu memang tidak baik, maka kematiannya itu merupakan ganjarannya, Orang yang membunuhnya berkepandaian tinggi sekali, pula adalah orang baik.
Sudahlah, nak, seumur hidupmu ini jangan se-kali2 kau berpikir tentang balas dendam segala", Ai, coba, cara bagaimana sebaiknya aku ini?" Dengan penuturannya ini, maksud Nyo Ko hendak menghibur Wanyen Peng, tetapi akhirnya ia sendiri menjadi berduka juga.
"Lalu siapakah yang membesarkan kau?" tanya Wanyen Peng.
"Siapa lagi" Sudah tentu kubesarkan diriku sendiri," sahut Nyo Ko.
"Sejak wafatnya ibu, aku lantas ter-lunta2 di kalangan Kangouw, disini aku mengemis sesuap nasi, di sana kulewatkan semalam, kadang2 saking tak tahan lapar aku lantas curi sebuah semangka atau sepotong ubi sekedar tangsal perut, namun sering kali kena ditangkap pemiliknya dan dihajar babak belur, lihat ini, di sini masih ada bekasnya, dan yang ini tulangnya.
. . sampai menonjol, semua ini akibat dihajar orang semasih kecil" Sambil berkata sembari lengan celananya di gulung untuk menunjukkan tempatnya pada si gadis, tetapi keadaan remang2, Wanyen Peng tak jelas melihatnya, Nyo Ko memegang tangannya dan diletakkan pada belang bekas luka di betisnya itu.
Wanyen Peng berhati Iemah, ia memang dilahirkan sebagai gadis perasa dan suka bersedih, sambil meraba bekas luka betis orang, tak tertahan hatinya terasa pilu, diam2 ia pikir nasib dirinya yang meski negara hancur dan rumah runtuh, namun masih tidak sedikit terdapat sanak kadang serta tidak sedikit kekayaan yang ditinggalkan sang ayah, kalau dibandingkan dengan nasib pemuda di depannya ini dirinya masih boleh dikatakan jauh lebih beruntung.
Begitulah mereka saling diam sejenak, kemudian pelahan2 Wanyen Peng tarik tangannya dari betis orang, hanya masih membiarkan digenggam Nyo Ko.
"Dan cara bagaimana lagi kau berhasil melatih ilmu silat seperti sekarang ini" Dan kenapa menjadi perwira Mongol pula?" tanyanya dengan lirih.
"Aku bukan perwira MongoI," sahut Nyo Ko.
"Aku sengaja pakai baju bangsa Mongol, sebabnya hendak menghindari pencarian seorang musuh.
" "Bagus kalau begitu ?" kata Wanyen Peng tiba2 dengan girang.
"Kenapa bagus?" Nyo Ko bingung.
Sedikit merah muka Wanyen Peng.
"Bangsa Mongol adalah musuh besar negara kami, dengan sendirinya aku mengharap kau bukan perwira mereka," sahutnya kemudian.
Hati Nyo Ko terguncang sambil genggam tangan si gadis yang halus dan lunak itu.
"Moaycu, jika aku adalah perwira Mongol, lalu bagaimana perasaanmu terhadapku?" tanya Nyo Ko tiba-tiba.
Sejak mula Wanyen Peng melihat tampan Nyo Ko yang gagah dan ilmu silatnya tinggi, memangnya ia sudah suka, belakangan mendengar lagi kisah hidupnya yang mengharukan itu, hal ini lebih menambah rasa kasihannya, maka iapun tidak menjadi marah meski mendengar kata2 Nyo Ko tadi rada blak-blakan.
"Jika ayahku masih hidup, apa yang kau inginkan tentu akan menjadi mudah, tetapi kini ayah-bundaku sudah tiada semua, apalagi yang dapat kukatakan?" sahutnya kemudian dengan menghela napas.
Mendengar lagu suara orang lemah Iembut, si Nyo Ko menjadi dapat hati, ia berani ulur tangannya buat memegang pundak orang.
"Moaycu, bolehkah kumohon sesuatu," rayu-nya dengan bisik2.
Ber-debar2 hati si gadis, sudah beberapa bagian dapat diduganya apa yang dikehendaki Nyo Ko.
"Hal apa?" sahutnya rendah.
"Aku mohon diperkenankan mencium matamu ! Ya, mata saja, yang lain2 tak nanti aku melanggarnya," kata Nyo Ko.
Semula Wanyen Peng menyangka tentu si Nyo Ko hendak meminang dirinya, malahan ia kuatir juga jangan2 pemuda ini menjadi lupa daratan dan main kasar terus melakukan perbuatan2 yang tak senonoh di tempat terbuka ini, kalau sampai hal ini terjadi terang sekali dirinya tak bisa melawannya.
Siapa tahu orang hanya mohon mencium matanya, maka terasa lega sedikit baginya, namun entah mengapa, rasa dalam hatipun rada2 kecewa dan sedikit heran pula, sungguh perasaan yang sangat ruwet dan aneh.
Karena itu, dengan tercengang ia pandang Nyo Ko dengan kerlingan matanya yang basah2 sayu dan sedikit rasa malu.
Melihat kerlingan mata Wanyen Peng, tiba2 Nyo Ko teringat pada saat sebelum perpisahannya yang terakhir dengan Siao-Iiong-li, di mana Siao-liong-li pun pernah memandang padanya dengan kerlingan mata yang maIu2 dan mengandung arti yang dalam, Tak tertahan lagi ia menjerit orangnya pun melompat bangun.
Tentu saja Wanyen Pcng kaget oleh kelakuan si Nyo Ko itu, ingin dia tanya oleh sebab apa, namun sukar membuka mulut rasanya.
Dalam pikiran yang kacau itu, Nyo Ko merasa kerlingan mata di depannya itu adalah kerlingan mata Siao-liong-li melulu.
Dahulu waktu pertama kali ia melihat kerlingan mata seperti demikian ini, saat itu ia masih hijau pelonco dan sama sekali tak mengarti arti kerlingan mata demikian itu, tetapi sejak ia turun gunung, sesudah berkumpul beberapa hari dengan Liok Bu-siang, pula hari ini bergaul dengan Wanyen Peng, maka mendadak jadi teringat olehnya maksud baik dan cinta halus dari Siao-liong-li dahulu, semua itu baru dia pahami sekarang.
Keruan ia menyesal tidak kepalang, bisa2 kepalanya hendak ditumbukkan saja ke batang pohon di sampingnya biar mati sekalian "Begitu tulus cinta Kokoh padaku, pula ia sudah bilang hendak menjadi isteriku, tetapi aku telah kecewakan maksud baiknya itu, sekarang ke mana harus kucari dia?" demikian terpikir olehnya.
Karena itu, mendadak ia menjerit sekali lagi, tiba2 Wanyen Peng ditubruknya dan dipeluk ken-cang2, dengan bernapsu kelopak mata si gadis di-ciumnya.
Melihat orang seperti kalap dan seperti gila Wanyen Peng terkejut tercampur girang, hendak meronta pun sukar karena didekap Nyo Ko dengan kencang, akhirnya iapun pejamkan matanya dan membiarkan orang mencium sepuasnya, terasa olehnya selalu kelopak matanya itu saja yang ke kanan dan ke kiri diciumi Nyo Ko, ia pikir orang ini meski kasar dan seperti gila, namun apa yang sudah dikatakannya tadi ternyata dapat dipercaya juga, sungguh aneh, sebab apakah melulu mata saja yang terus diciuminya?" "Kokoh, Kokoh!" se-konyong2 didengarnya Nyo Ko ber-teriak2, suaranya penuh rasa hangat dan menggelora, tetapi terasa juga seperti sangat menderita.
Selagi Wanyen Peng hendak tanya siapa yang dipanggilnya itu, mendadak terdengar suara seorang perempuan berkata di belakang mereka: "Ma'af, kalian berdua!" Nyo Ko dan Wanyen Peng sama2 kaget, segera tangan mereka yang saling genggam tadi terlepas kian melompat pergi, waktu mereka berpaling, maka tertampaklah di bawah pohon itu berdiri seorang gadis berbaju hijau yang dapat dikenali Nyo Ko sebagai orang yang beberapa kali mengirim berita serta menolong Liok Bu-siang itu.
"Berulang kali mendapat bantuanmu, budi ini tak nanti kulupakan," cepat Nyo Ko menyapa sambil memberi hormat.
Dengan laku sangat sopan gadis itu membalas hormat orang.
"Rupanya Nyo-ya sedang senang2 karena ada kenalan baru, tetapi apa masih ingat pada kawan lama yang pernah mengalami mati-hidup bersama itu?" begitu katanya.
"Kau maksudkan. . .

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" "Li Bok-chiu guru bermurid tadi telah menawannya pergi!" potong gadis itu sebelum Nyo Ko selesai berkata.
Keruan Nyo Ko terkejut. "Apa betul?" ia menegas dengan suara gemetar "Dia.
. . dia ditawan ke mana?" "Waktu kau sedang asyik-masyuk dengan nona ini, saat itulah nona Liok ditawan Li Bok-chiu," sahut gadis itu.
"Apa. . . apa tidak berhalangan atas dirinya?" tanya Nyo Ko pula.
"Untuk sementara rasanya tidak mengapa bagi keselamatannya," kata si gadis, "Nona Liok tetap mengatakan kitab pusakanya itu telah direbut oleh Kay-pang, maka Jik-lian-mo-tau itu telah giring dia pergi pada kaum pengemis itu, jiwanya sementara tak menjadi soal tetapi siksaan badan rasanya sukar dihindarkan.
" Nyo Ko adalah seorang yang gampang terguncang, maka segera ia mengajak : "Marilah, lekas kita pergi menolongnya.
" Siapa duga gadis itu hanya menggoyang kepala.
"Meski ilmu silat Nyo-ya tinggi, tapi rasanya masih bukan tandingan iblis itu," demikian sahutnya, "Mungkin jiwa kita hanya akan melayang percuma, sedang urusannya masih belum bisa ditolong," Walau dalam kegelapan, namun mata "Nyo- Ko sangat tajam seperti memandang benda di siang hari saja, maka wajah si gadis baju hijau ini dapat dilihatnya sangat jelek dan aneh luar biasa, otot daging di mukanya kaku tanpa bergerak sedikitpun seperti mayat hingga membikin seram orang yang memandangnya, Karena itu, Nyo Ko tak berani memandang lebih lama.
"Orang ini sangat baik terhadapku, tetapi aneh, mukanya kenapa terlahir begini rupa?" demikian pikirnya, Maka kemudian iapun bertanya: "Dapatkah mengetahui she dan nama nona" selamanya kita belum kenal, kenapa begitu mendapat perhatian nona?" "Namaku tiada harganya buat di-sebut2, kelak Nyo-ya tentu akan tahu juga, kini yang paling penting yalah lekas berdaya-upaya buat menolong orang saja," sahut gadis itu.
Diwaktu berkata air mukanya sedikitpun tidak tampak perubahannya, kalau bukan mendengar suara keluar dari mulutnya, sungguh orang bisa menyangka dia adalah mayat hidup.
Namun aneh juga, suaranya ternyata nyaring merdu menarik.
"Jika begitu, cara bagaimana menoIongnya, terserahlah pada keputusan nona, dengan hormat aku menurut petunjukmu saja," kata Nyo Ko kemudian.
"Nyo-ya hendaklah jangan sungkan2," sahut gadis itu.
"Ilmu silatmu berpuluh kali lipat di atasku berpuluh kali lebih pintar juga dari padaku, pula usiamu lebih tua, dan seorang laki2 lagi, apa yang kau bilang baik tentunya baik, kedatanganku justru untuk terima perintahmu saja," Mendengar kata2 orang yang merendah dan menyenangkan ini, sungguh Nyo Ko menjadi senang sekali "Kalau begitu, kita mengintilnya secara diam2 saja, kita mencari kesempatan baik untuk turun tangan," sahutnya kemudian sesudah berpikir.
"ltulah paling baik," kata si gadis, "Tetapi entah bagaimana pendapat nona Wanyen?" Habis berkata, ia sendiri lantas menyingkir pergi dan membiarkan Nyo Ko berunding dengan Wanyen Peng.
"Moaycu. aku hendak pergi menolong seorang kawan, kelak saja kita bertemu puIa," demikian kata Nyo Ko pada gadis itu.
"Tidak, Nyo-toako, meski kepandaianku rendah, mungkin dapat juga aku memberi bantuan sekadarnya, biarlah aku ikut serta dengan kalian.
" sahut Wanyen Peng.
Memangnya Nyo Ko merasa berat kalau harus berpisah dengan dia, mendengar orang mau ikut, tentu saja ia amat girang.
"Bagus kalau begitu !" serunya senang.
Habis ini, dengan suara keras ia teriaki si gadis baju hijau tadi: "Nona, adik Wanyen Peng suka bantu kita dan ikut pergi menolong orang!" "Wanyen-kohnio, kau adalah puteri bangsawan sebelum bertindak hendaklah kau suka pikir dahulu," dengan laku sangat hormat gadis baju hijau itu berkata pada Wanyen Peng, "Harus kau ketahui bahwa musuh yang akan kami hadapi ini kejam luar biasa, orang Kangouw memanggil dia Jik-lian Sian-cu, yalah mengumpamakan dia sekeji ular belang rantai, sungguh tidak mudah untuk menghadapinya," "Jangan cici berkata begitu, jangankan Nyo-toako ada budi padaku, apa yang menjadi urusannya adalah urusanku juga, walaupun seorang kawan seperti cici saja, aku Wanyen Peng pun ingin kenal Maka biarlah aku ikut pergi bersama cici, asal segalanya kita berlaku hati2" demikian sahut Wanyen Peng.
"Baik sekali kalau begitu," kata gadis itu dengan suara halus sambil tarik tangan Wanyen Peng, "Cici, umurmu lebih banyak dari padaku, boleh kau panggil aku Moaycu saja," Dalam keadaan gelap Wanyen Peng tak bisa melihat wajah orang yang sangat jelek itu, tetapi mendengar suaranya yang begitu merdu, tangannya yang menggenggam padanya terasa juga sangat halus dan lemas, maka disangkanya orang tentu gadis yang cantik moIek, dalam hati iapun sangat senang.
"Berapakah umurmu tahun ini?" ia tanya.
"Ah, tak perlu kita merecoki umur, paling perlu segera pergi menolong orang saja, bukankah begitu, Nyo-ya?" sahut gadis itu bersenyum.
"Ya, silakan nona menunjuk jalannya," kata Nyo Ko.
"Aku melihat mereka menuju ke arah tenggara, tentu pergi ke Hengcikoan," ujar gadis itu.
Segera mereka keluarkan Ginkang dan dengan cepat memburu ke arah tenggara.
Bahwa Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay yang dipelajari Nyo Ko itu terkenal karena Ginkang yang hebat dan boleh disebut nomor satu di seluruh kolong langit, hal ini tak perlu dijelaskan lagi.
Sedang Wanyen Peng adalah anak murid Thi-cio-pang, dahulu pangcu atau pemimpin Thi-cio-pang yang bernama Kiu Jian-yim berjuluk "Thi-cio-cui-siang-biau" atau Telapak tangan besi me-layang2 di atas air, kalau bisa disebut "melayang di atas air", dengan sendirinya Ginkangnya pasti terhitung kelas satu juga.
Siapa tahu si gadis baju hijau itu, senantiasa cepat tidak, lambat pun tidak, tapi selalu mengintil di belakang Wanyen Peng.
Kalau Wanyen Peng cepat, maka iapun cepat, jika lambat, iapun ikut lambat, jarak antara mereka selalu dipertahankan dua-tiga tindak.
Keruan Nyo Ko terperanjat "Anak murid dari aliran manakah nona ini" Kalau melihat Ginkangnya ini, tampaknya sudah di atasnya Wanyen Peng," demikian ia heran, Dan karena tak mau main menang2an dengan kedua nona itu, maka ia sengaja tertinggal saja di belakang.
Sampai hari sudah terang, gadis baju hijau itu keluarkan rangsum kering dan dibagikan kedua kawannya, Melihat baju orang meski terbikin dari kain biasa saja, tapi potongannya sangat serasi dengan perawakan pemakainya, pula perbekalannya seperti rangsum kering, botol air dan sebagainya diatur secara begitu baik, semua ini menunjukkan ketelitian seorang gadis yang rajin.
Di lain pihak, ketika Wanyen Peng melihat wajah orang begitu aneh, ia menjadi tak berani-memandang lebih jauh.
"Di dunia ini kenapa ada wanita bermuka sejelek ini?" "Nyo-ya Li Bok-chiu itu kenal padamu, bukan?" kata gadis baju hijau itu sesudah menunggu kedua orang habis makan.
"Ya, beberapa kali ia pernah bertemu dengan aku," sahut Nyo Ko.
Gadis itu mengeluarkan sehelai benda tipis seperti kain sutera, lalu berkata pula pada Nyo Ko: "lni adalah topeng kulit manusia, sesudah kau pakai, tentu dia tak kenal kau lagi.
" Waktu Nyo Ko periksa topeng itu, ia lihat di atasnya ada lubang2 tempat mata, mulut dan hidung, bila dipakai maka topeng ini bagaikan karet saja mencetak muka si pemakainya dengan persis seperti wajah asli, tentu saja Nyo Ko sangat girang dan menghaturkan terima kasih.
Melihat wajah Nyo Ko seketika berubah menjadi jelek luar biasa setelah memakai topeng itu, barulah kini Wanyen Peng sadar.
"Ah, Moaycu, kiranya kaupun memakai topeng seperti ini, sungguh aku sangat goblok, aku mengira wajahmu memang terlahir begitu aneh," demikian katanya pada gadis baju hijau.
"Muka Nyo-ya yang ganteng dan bagus ini, sesungguhnya sayang dan merendah dirinya saja bila pakai topeng ini," sahut gadis baju hijau, "Mengenai diriku, memangnya mukaku adalah begini, pakai topeng atau tidak serupa saja.
" "Ah, aku tak percaya," ujar Wanyen Peng.
"Moaycu, maukah kau copot topengmu dan unjukkan muka aslimu ?" Dalam herannya Nyo Ko pun ingin tahu wajah asli si gadis itu, namun permintaan itu ternyata ditolak.
"Jangan, mukaku yang jelek ini mungkin akan bikin kalian kaget," sahut gadis itu.
" Melihat orang berkeras tak mau perlihatkan mukanya, terpaksa Wanyen Peng sudahi permintaannya.
Pada waktu lohor, mereka bertiga sudah sampai di kota Bukoan, mereka masuk ke atas loteng sebuah restoran untuk mengisi perut.
Melihat Nyo Ko berdandan sebagai perwira Mongol, pengurus restoran itu tak berani ayal dan cepat memberi pelayanan.
Tetapi baru setengah jalan mereka bersantap, ketika kerai pintu tersingkap, tiba2 masuk pula tiga wanita yang bukan lain daripada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po yang menggiring Liok Bu-siang.
Nyo Ko sangat cerdik, ia tahu meski saat itu Li Bok-chiu tak kenali dirinya, namun mukanya yang aneh karena memakai topeng tentu akan menimbulkan rasa curiga orang, karena itu segera ia berpaling ke jurusan lain sambil menjumpit nasi terus, ia hanya pasang kuping tajam2 untuk mendengarkan percakapan mereka.
Siapa tahu sama sekali Bu-siang tidak buka suara, bahkan Li Bok-chiu berdua pun tidak bicara sehabis pesan daharan seperlunya, Nampak orang yang mereka cari sudah berada di depan mata, Wanyen Peng gunakan sumpitnya dan mencelup ujung sumpit pada air kuwah, lalu ia corat-coret beberapa huruf di atas meja dengan maksud: "turun tangan tidak?" Nyo Ko diam2 sedang memikir: "Dengan kekuatan kami bertiga, ditambah lagi dengan "bini cilik", rasanya masih susah melawan mereka guru dan murid berdua, urusan ini hanya bisa dimenangkan dengan akal dan tak mungkin dengan kekerasan.
" Oleh sebab itu, ia goyangi sumpitnya pelahan-lahan sebagai tanda "jangan".
Li Bok-chiu juga orang cerdik, sesudah berada, di loteng restoran itu, ia lihat sorot mata Bu-siang seperti bersinar harapan, tentu saja ia merasa heran hingga tiada hentinya Wanyen Peng bertiga di-diincar olehnya.
Tapi Nyo Ko duduk mungkur dan tidak bergerak sedikitpun maka tiada sesuatu tanda yang menimbulkan curiganya.
Begitulah sedang kedua belah pihak sama2 menantikan kesempatan baik, tiba2 suara tangga loteng berbunyi, kembali orang masuk pula ke situ.
Waktu Wanyen Peng melirik, ia lihat yang datang adalah Yali Ce dan Yali Yen kakak beradik.
Ketika nampak Wanyen Peng juga berada di situ, kedua orang itu rada terperanjat, tetapi sesudah memanggut, lalu mereka mengambil tempat duduknya sendiri.
Diam2 Li Bok-chiu sangat kagum terhadap sepasang muda-mudi yang ganteng dan cantik itu, ia menyangka orang adalah suami isteri, tak tahunya hanya saudara saja.
Kiranya setelah peristiwa Wanyen Peng mencari balas pada ayahnya, Yali Ce menduga si gadis tak berani datang lagi, maka bersama adik perempuannya, Yali Yen, mereka pesiar keluar untuk menikmati keindahan alam daerah Kanglam ini, disini pula bertemu dengan Wanyen Peng, tentu saja mereka bertambah lega meninggalkan ayah mereka.
Sementara itu karena "Ngo-tok-pit-toan" atau "Kitab Panca-bisa" yang tercuri itu disangkanya terjatuh di tangan orang Kay-pang, Li Bok-chiu sedang masgul, dalam beberapa hari ini boleh dikatakan tak doyan makan dan tak nyenyak tidur, oleh karenanya, baru setengah mangkok bakmi yang dia pesan itu dimakan, kemudian ia taruh sumpitnya dan memandang iseng keluar restoran itu.
Tiba2 tertampak olehnya di simpang jalan sana berdiri sejajar dua pengemis, pada punggung mereka masing2 menggendong tujuh buah kantong kain, nyata mereka adalah "Chit-te-tecu" atau anak murid berkantong tujuh dari Kay-pang.
Dalam pada itu muncul lagi satu pengemis yang lain, dengan ter-gesa2 pengemis belakangan ini mendekati kedua kawannya dan bisik2 sejenak, habis itu dengan langkah cepat lantas pergi lagi.
Ter gerak pikiran Li Bok-chiu, tiba2 ia memanggil kedua pengemis itu melalui jendela loteng: "Kedua Enghiong dari Kay-pang, silakan naik ke atas sini, ada sesuatu yang ingin kuminta tolong kalian sampaikan pada pangcu perkumpulanmu.
" Li Bok-chiu tahu kalau memanggil orang begitu saja pasti kedua pengemis itu tak mau gubris padanya, tapi kalau bilang ada pesan untuk pangcu mereka, sekalipun harus menghadapi bahaya betapapun besarnya pasti anak murid Kay-pang itu akan datang padanya.
Karena mendengar gurunya memanggil orang dari Kay-pang yang diduga tentu hendak ditanyai kemana dibawanya kitab "panca-bisa", tanpa tertahan lagi muka Liok Bu-siang menjadi pucat, ia insaf sekali ini kebohongannya pasti akan terbongkar.
Di sebelah sana Yali Ce juga sedang merasa heran oleh kelakuan Li Bok-chiu.
ia kenal nama Kay-pang yang pengaruhnya sangat besar di daerah utara, tetapi satu Tokoh setengah umur yang biasa seperti ini ternyata bilang ada sesuatu pesan hendak disampaikan pada Pangcu mereka itu, ia menjadi tertarik untuk mengetahui macam apakah diri si To-koh ini maka ia berhenti minum araknya, ia melirik dan memperhatikan gerak-gerik orang.
Selang tak lama, naiklah kedua pengemis yang dipanggil tadi, mereka memberi hormat pada Li Bok-chiu dan menanya: "Ada pesan apakah Sian-koh, tentu akan kami sampaikan," Sesudah berdiri tegak, salah satu pengemis itu melihat Liok Bu-siang berada bersama juga dengan imam wanita itu, keruan saja air mukanya seketika berubah.
Kiranya pengemis ini pernah ikut mencegat Bu-siang di tengah jalan dengan beberapa kawannya berkantong tujuh itu.
Karena itu, cepat ia tarik pengemis satunya, keduanya lantas melompat ke dekat tangga, dengan sebelah telapak tangan berlindung di depan dada, mereka siap buat melayani musuh.
Li Bok-chiu tersenyum melihat kelakuan kedua pengemis itu.
"Coba kalian berdua melihat punggung tanganmu," dengan suara halus ia berkata.
Berbareng kedua pengemis itu memandang balik tangan mereka, maka terlihatlah setiap telapak tangan mereka masing2 telah tercetak sebuah cap tangan yang merah darah, nyata, entah dengan cara bagaimana, tahu 2 Li Bok-chiu telah unjuk pukulan saktinya: Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca bisa.
Cara turun tangan Li Bok-chiu bukan saja di luar tahu kedua pengemis itu, bahkan Nyo Ko dan Yali Ce juga tidak melihatnya dengan jelas.
"Kau. . . kau adalah Jik-Iian-sian-cu?" teriak kedua pengemis itu berbareng sesudah terkejut sejenak.
Li Bok-chiu tidak menjawab melainkan dengan pelahan ia tuang setengah cawan araknya, ia angkat cawannya, ketika jarinya menyentil, mendadak cawan arak itu terbang ke atas, isi cawan terus mancur turun lurus ke bawah.
Ketika Bok-chiu menengadah, setengah cawan arak itu masuk semua ke mulutnya tanpa menciprat keluar setetespun, Yang lebih aneh, cawan arak yang terbang disentil itu, tahu2 menyamber balik lagi ke tangannya sesudah berputar di udara.
Ternyata tenaga menyentil yang dipakai Li Bok-chiu begitu tepat, inilah ilmu kepandaian tertinggi dari cara menimpuk senjata rahasia, meski termasuk juga ilmu dari Ko-bong-pay, tapi Nyo Ko harus malu diri karena belum bisa memadai sang Supek dan masih jauh daripada sanggup "menyentil cawan dan menenggak arak" itu.
"Nah, bilanglah pada pangcu kalian," kata Li Bok-chiu kemudian sesudah unjuk ilmu saktinya tadi "bahwa Kay-pang kalian dengan aku orang she Li selamanya "air sungai tak menggenangi air sumur", selamanya akupun mengagumi kawan2 Kay-pang yang gagah perkasa, cuma sayang tiada kesempatan untuk bertemu dan minta petunjuk sungguh hal ini harus dibuat menyesal.
. . " "Enak saja kata2nya itu, tetapi kenapa tanpa sebab tiada alasan kau turun tangan keji kepada kami?" demikian pikir kedua pengemis itu sambil saling pandang.
"Kalian berdua sudah kena pukulanku Ngo-tok-sin-ciang, tapi hal ini tak perlu dibuat kuatir asal kitab yang direbut itu dikembalikan, tentu akan kusembuhkan kalian berdua," kata Li Bok chiu lagi setelah berhenti sejenak.
"Kitab apa?" tanya salah satu pengemis itu.
"Kalau diceritakan kitab itupun tak laku beberapa duit, jika perkumpulan kalian berkeras tak mau kembalikan, sebenarnya pun tidak menjadi soal," demikian sahut Bok-chiu dengan tertawa, "Cuma sebagai gantinya, terpaksa kuminta bayar dengan seribu jiwa pengemis goIonganmu.
" Walaupun kedua pengemis itu masih belum merasakan tangan mereka ada tanda2 aneh, tapi tiap2 Li Bok-chiu berkata, tanpa tertahan mereka pun memandang ke tangan yang terpukul itu, saking jerinya terhadap Jik-lian-sin-ciang yang maha kesohor karena kejinya itu, dalam bayangan kedua pengemis itu se-akan2 merasakan tanda merah di telapak tangan mereka peIahan2 sedang meluas.
Kini mendengar lagi Li Bok-chiu bilang hendak minta ganti seribu jiwa kawan mereka, mereka pikir tiada jalan lain kecuali lekas2 kembali melapor pada Pangcu.
Maka setelah saling memberi tanda, segera mereka berlari turun ke bawah.
Nampak orang melarikan diri, Li Bok-chiu pikir: "Kalian sudah terkena aku punya pukulan maut, di jagat ini kecuali It-ting Taysu tiada lagi yang mampu mengobati, jika Pangcu kalian inginkan jiwa kalian tentu dia akan menurut dan serahkan Ngo-tok-pit-toan padaku.
Tapi, nah, celaka, kalau mereka menyalin kitab itu dan kitab aslinya baru dikembalikan padaku, bukankah aku kena ditipu mentah2?" Segera ia berpikir pula: "Memang celaka, padahal segala macam cara memunahkan racun pukulan dan senjata rahasia, semuanya sudah kutulis di dalam kitab itu dengan jelas, kalau mereka sudah dapat memiliki kitab itu, buat apa mereka datang memohon pertolonganku?" Teringat akan itu, tanpa terasa mukanya menjadi pucat, begitu tubuhnya melesat, tahu2 ia mencelat dan menghadang di tengah tangga di depan kedua pengemis yang sedang melarikan diri itu.
Begitu kedua tangannya bekerja, susul menyusul dua kali pukulan telah paksa kedua pengemis itu balik lagi ke atas loteng.
Tindakan Li Bok-chiu ternyata cepat luat biasa, hanya terlihat bayangannya berkelebat tahu2 sebelah lengan salah satu pengemis sudah dia pegang terus ditekuk sekuatnya, maka terdengarlah suara gemelutuk, tulang lengan orang sudah patah hingga tangannya melambai ke bawah dengan lemas.
Tentu saja pengemis yang lain sangat kaget, tetapi disinilah terbukti betapa setia kawan antara kaum pengemis itu, bukannya dia melarikan diri, sebaliknya ia menubruk maju untuk melindungi kawannya yang terluka, ketika melihat Li Bok-chiu merangsak maju lagi, kontan iapun mendahului memukul.
Tak terduga, kembali tangan Li Bok-chiu bergerak pelahan, kepalan si pengemis yang memukul ini kena ditangkapnya dan sekalian pula ditekuk, maka tulang lengannya segera senasib dengan kawannya, kena dipatahkan lagi.
Hanya sekali gebrak saja kedua pengemis itu sudah dihajar Li Bok-chiu hingga luka parah, maka insaflah mereka bahwa hari ini mereka tentu celaka, namun demikian, mereka tidak menyerah mentah2, dengan punggung menempel punggung mereka berdempetan satu sama lain dan dengan sebelah tangan masing2 yang masih sehat itu siap menempur musuh.
"Kalian berdua baiknya tinggal di sini dulu, tunggu saja Pangcu kalian datang sendiri dengan membawa kitabku itu untuk tukar menukar," terdengar Li Bok-chiu berkata dengan lembut.
Melihat orang habis berkata terus kembali ke mejanya buat minum arak, malahan duduknya mungkur ke arah mereka, maka kedua pengemis itu menggeser pelahan ke tepi tangga dengan maksud kalau ada kesempatan terus hendak kabur.
Tak terduga mendadak Li Bok-chu berpaling.
"Tampaknya tulang kaki kalian berdua harus dipatahkan juga, dengan begitu baru kalian kerasan tinggal di sini.
" katanya dengan tersenyum, sembari berkata iapun berdirilah.
"Suhu, biarlah aku, menjaga mereka, tak nanti mereka bisa kabur," tukas Ang Ling-po trba2.
Rupanya ia tak tega juga melihat kekejian sang guru.
"Hm, bajik juga hatimu," jengek Li Bok-chiu, pelahan2 ia masih terus mendekati kedua pengemis itu.
Saking murkanya mata kedua pengemis itu merah berapi, mereka sudah ambil keputusan tiada jalan lain daripada adu jiwa dengan musuh.
Sejak tadi Yali Ce kakak beradik hanya menonton dengan tenang, watak mereka berdua sebenarnya sangat keras, kini tak tahan lagi, serentak mereka berdiri.
"Sam-moay, lekas kau pergi, perempuan ini terlalu lihay," dengan suara pelahan Yali Ce pesan adiknya.
"Dan kao?" tanya Yali Yen.
"Sesudah tolong kedua pengemis ini, segera aku melarikan diri," sahut Yali Ce.
Biasanya Yali Yen menjunjung sang kakak ini bagai malaikat dewata, tetapi kini mendengar orangpun nanti akan selamatkan diri dalam hati si gadis menjadi ragu-ragu.
Pada saat itulah, dengan keras mendadak Nyo Ko gebrak meja, lalu didekatnya Yali Ce.
"Yali-heng (saudara Yali), marilah kita turun tangan bersama untuk menolong orang, bagaimana?" ajak Nyo Ko.
Melihat Nyo Ko mengenakan pakaian Mongol dan mukanya sangat jelek, Yali Ce merasa belum pernah kenal orang demikian ini, ia pikir kalau orang berada bersama Wanyen Peng, tentu saja kenal siapakah dirinya.
Tetapi ilmu silat Li Bok-chiu sudah dia saksikan tadi, ia yakin tak bisa menandinginya, kalau sembarangan turun tangan, itu berarti antar jiwa belaka, oleh karena itu, seketika ia ragu2 tak menjawab ajakan Nyo Ko tadi.
Di lain pihak demi mendengar Nyo Ko membuka suara, segera Li Bok-chiu mengamat-amati si pemuda dari kepala sampai ke kaki dan sebaliknya, ia merasa lagu suara orang sudah dikenalnya entah dimana.
Akan tetapi muka orang begitu rupa, kalau pernah dikenalnya, tidak mungkin bisa melupakannya, maka dapat dipastikan memang belum pernah kenal.
"Aku tak bersenjata, terpaksa harus pinjam dulu," sementara Nyo Ko berkata lagi.
Habis itu, mendadak tubuhnya melesat cepat, ia menyerempet lewat samping Ang Ling-po, wak-tu tangannya menguIur, tahu2 kerangka pedang yang tergantung di pinggang orang sudah dia ambil malahan pipi Ang Ling-po dia kecup pula sekali.
"Ehm, wanginya!" demikian seru Nyo Ko sengaja.
Keruan Ang Ling-po sangat murka, tangannya membalik terus menggablok, namun sedikit menunduk Nyo Ko sudah hindarkan serangan itu dan menerobos pergi untuk kemudian berdiri diantara kedua pengemis itu dan Li Bok-chiu.
Tindakan dan perbuatan Nyo Ko itu dilakukan secara cepat luar bisa, keruan dalam hati Li Bok-chiu diam2 terperanjat sebaliknya Yali Ce menjadi girang.
"Siapakah she dan nama saudara yang mulia ini?" segera ia berseru menanya.
"Siaute she Nyo," sahut Nyo Ko sembari geraki tangannya, ia angkat kerangka pedang samberan dari pinggang Ang Ling-po itu dan menyambung pula: "Aku tahu isi di dalamnya adalah pedang buntung!" Dan waktu pedang ia IoIos, betul saja pedangnya memang kutungan.
Mendadak Ang Ling-po mendusin "Anak keparat," serunya cepat.
"Suhu, dia inilah yang kita cari.
" Karena orang sudah kenali dirinya, Nyo Ko tak perlu maut sandiwara pula, topeng kulit yang dia pakai segera ditanggalkan.
"Supek, Suci, Tecu Nyo Ko memberi hormat," katanya segera pada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po.
Mendengar Nyo Ko panggil Supek dan Suci, bukan saja Yali Ce menjadi bingung, begitu pula Liok Bu-siang pun luar biasa kagetnya.
"He, kenapa si Tolol ini panggil mereka Supek dan Suci?" demikian Bu-siang tidak habis mengerti.
Sementara itu dengan tersenyum dingin Li Bok-chiu telah menjawab: "Em, gurumu baik2-kah?" Mendengar Siao-liong-li ditanyakan, seketika hati Nyo Ko berduka hingga matanya pun basah.
"Gurumu sungguh pintar mengajar murid," demikian kata Li Bok-chiu pula dengan tertawa.
Kiranya kemarin setelah saling gebrak tiga jurus di tengah jalan itu, dengan tipu gerakan yang aneh Nyo Ko telah patahkan tiga kali serangan "Sam-bu-sam-put-jiu", ia telah berpikir dan tetap tak bisa meraba "dari aliran manakah tipu2 Nyo Ko itu, Oleh sebab itu ia menjadi ragu2 apakah imam kecil yang bertarung dengan dirinya itu Nyo Ko adanya" ia pikir bila betul murid sang Sumoay itu, lalu darimana bisa memiliki ilmu silat yang begitu tinggi dan aneh" Kini setelah mendengar si Nyo Ko memanggil "Supek" dan "Suci", maka percayalah dia memang betul ialah si pemuda yang beberapa tahun yang lalu dilihatnya di kuburan kuno itu.
Keruan saja diam2 ia terperanjat, pikirnya: "Sekarang saja bocah ini sudah begini lihay, apa Iagi Sumoay sendiri, lebih2 jangan ditanya betapa hebat kepandaiannya," Walaupun berpikir begitu, namun mukanya sedikitpun tidak mengunjukkan perasaan hatinya itu.
Namun Nye Ko sangat cerdik, ia dapat menerka apa yang orang sedang pikir, maka kembali ia memberi hormat dan berkata lagi: "Suhu suruh aku menjampaikan salam pada Supek!" "O, dimanakah dia?" tanya Li Bok-chio, "Kami berdua sudah lama tak berjumpa.
" "Suhu berada di sekitar sini saja, tak lama tentu beliau akan datang menemui Supek," sahut -Nyo Ko.
Nyata pemuda ini tahu dirinya jauh bukan tandingan Li Bok-chiu, sekalipun ditambah dengan Yali Ce masih sukar memperoleh kemenangan maka ia sengaja pakai akal "gertak sumber, ia coba tonjolkan gurunya - Siao-liong-li - untuk menakuti orang.
"Aku lagi berurusan dengan murid sendiri, sangkut paut apa dengan gurumu?" demikian kata Li Bok-chiu, Dari lagu suaranya ini nyata ia rada miring terhadap Siao-Iiong-li.
"Tetapi Suhu ingin minta kemurahan hati Supek agar suka ampuni Sumoay (maksudnya Liok Bu-siang) saja," kata Nyo Ko.
"Huh, kau telah main gila dan melakukan perbuatan terkutuk seperti binatang dengan gurumu sendiri, kini kau masih panggil dia Suhu terus menerus di hadapan orang banyak, sungguh tidak tahu malu?" ejek Li Bok-chiu tiba2 dengan tertawa.
Tiba2 Li Bok-chiu merobah gerakan, badannya mencelat naik kaki kirinya menginjak mulut cangkir, berbareng kebutnya menyapu ke belakang, katanya menggoda : "Apakah gendakmu tidak ajarkan jurus ini kepadamu?" Nyo Ko tertegun, lekas dia merendahkan badan sarung pedang menyapu seraya membentak : "Gendak apa ?" Alangkah murkanya Nyo Ko mendengar nista itu, mukanya seketika pucat lesi, Dalam hati ia junjung Siao-Iiong-li bagai malaikat dewata, kini orang berani menista gurunya itu, seketika darah se-akan2 mendidih, tanpa pikir lagi kerangka pedang rampasannya tadi segera dipakai sebagai pedang terus ditusukannya pada Li Bok-chiu, "Haha, perbuatanmu yang kotor itu memangnya takut dibongkar orang, ya?" Li Bok-chiu tertawa meng-olok2 lagi Namun dengan Kiam-hoat dari Coan-cin-pay, Nyo Ko melontarkan serangan yang gencar dan lihay luar biasa, itu adalah ilmu silat warisan mendiang Ong Tiong-yang khusus untuk mengalahkan ilmu pedang "Giok-li-kiam-hoat" ciptaan Ong Tiao-eng, setiap serangannya selalu diarahkan tempat yang berbahaya di tubuh Li Bok-chiu.
Pendekar Tongkat Dari Liongsan 4 Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Pendekar Pengejar Nyawa 24
^