Pencarian

Kembalinya Pendekar Rajawali 29

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 29


Tapi perwira itu mendesak akhirnya Ci-peng menambahkan: "Karena persoalan ini cukup penting dan datangnya mendadak, silakan Tayjin duduk minum sebentar di ruangan dalam, biarlah Siauto mengadakan perundingan dahulu dengan para saudara seperguruan.
" Perwira itu tampak kurang senang, apa boleh buat, terpaksa ia menurut bersama Siau-siang-cu mereka lantas dibawa ke ruangan belakang.
Ci-peng sendiri lantas mengundang ke-16 murid tertua Coan-cin-kau untuk berunding di ruangan samping, ia berkata setelah semua orang berduduk: "Urusan ini sangat penting dan Siauto tidak berani memutuskannya sendiri, untuk itu kuingin mendengar bagaimana pendapat saudara2.
" Segera Ci-keng mendahului bicara: "Maksud baik raja MongoI ini harus diterima, hal inipun menandakan Coan-cin-kau semakin jaya, sampai raja Mongol juga tidak berani memandang enteng kepada kita.
" Habis berkata, dengan sikap yang gembira ia lantas bergelak tertawa.
"Kukira tidak demikian," Ci-siang ikut bicara.
"Bangsa Mongol menyerbu negeri kita, rakyat jelata kita banyak menjadi korban, mana boleh kita menerima anugrahnya?" "DahuIu Khu - supek sendiri juga menerima undangan cakal-bakal kerajaan Mongol yang bernama Jengis Khan itu dan jauh2 menuju ke daerah barat sana, tatkala itu In-ciangkau dan Li-suheng juga ikut serta, berdasarkan kejadian itu, apa salahnya kalau sekarang kita menerima anugerah raja Mongol?" ujar Ci-keng.
"Waktu itu dan keadaan sekarang sangat berbeda.
" jawab Ci-siang. "Ketika itu pihak Mongol hanya memusuhi kerajaan Kim dan belum menyerbu negara kita, kedua hal ini mana boleh di sama-ratakan?" "Cong-Iam-san kita ini termasuk wilayah kekuasaan Mongol, kuil kita juga banyak yang tersebar dalam daerah kekuasaan pemerintah Mongol, kalau kita menolak anugerah ini, jelas Coan-cin-kau kita akan segera menghadapi bahaya," kata Ci-ikeng pula.
"Salah ucapan Tio-suheng ini," kata Ci-siang.
"Di mana letak salahnya, coba jelaskan.
" seru Ci keng aseran.
"Harap Tio-suheng menjawab dulu, siapakah Tiong-yang Cin-jin, cakal bakal agama kita ini?" Dan siapa pula guru kita yang termasuk dalam Coan cin jit-cu ini?" tanya Li Ci-siang dengan tenang.
"Kakek guru dan Suhu kita adalah para pendeta agama yang setia, mereka adalah tokoh termashur di dunia Kangouw, siapa yang tidak menghormat dan mengagumi mereka.
" jawab Ci-keng. "Bagus! Malahan dapat kutambahkan mereka adalah lelaki sejati, pahlawan besar yang cinta negeri dan pembela bangsa, semuanya pernah berjuang mati2an dan bertempur melawan penyerbu dari negeri Kim" seru Ci-siang.
"Nah, kalau angkatan tua Coan-cin-kau kita tiada seorangpun gentar menghadapi musuh, sekarang biarpun Coan-cin-kau akan tertimpa bahaya, kenapa kita harus takut.
Harus diketahui bahwa kepala kita boleh dipenggal, tapi cita2 kita tidak boleh luntur" Ucapan Ci-siang ini tegas dan gagah berani sehingga In Ci-peng dan belasan orang lainnya sama terbangkit semangatnya.
"Hm, memangnya cuma Li-suheng saja yang tidak takut mati dan kami ini adalah manusia pengecut semua.
" jengek Ci-keng. "Yang perlu kukemukakan adalah jerih payah Cousuya (cakal-bakal) kita, bahwa Coan-cin-kau bisa berkembang seperti sekarang ini, betapa banyak Co-suya dan ketujuh guru dan paman guru kita telah menegcurkan darah dan keringatnya" Kalau tindakan kita kurang benar sehingga menghancurkan Coau-cin-kau yang ini dalam sekejap mata saja, lalu cara bagaimana kita akan bertanggung-jawab terhadap Cosuya kita di alam baka".
Dan, cara bagaimana pula kita akan memberi alasan bila kelima guru kita nanti habis menyepi?" Karena ucapannya cukup beralasan, segera ada dua-tiga tosu lain mendukungnya, Segera Cikeng berkata puIa: "Bangsa Kim adalah musuh bebuyutan Coan-cin-kau kita.
bahwa orang Mongol telah menghancurkan kerajaan Kim, hal ini sangat cocok dengan tujuan kita.
Kalau saja Cosuya mengetahui hal ini, entah betapa beliau akan bergembira.
" Tiba2 salah seorang murid Khu Ju-ki yang lain yakni Ong Ci-heng, ikut bicara: "Jika sehabis menghancurkan kerajaan Kim, lalu orang Mongol bersahabat dengan negeri Song kita, dengan sendirinya kita akan menerima mereka sebagai negeri tetangga yang terhormat.
Tapi sekarang pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan sedang menggempur Siangyang, tanah air kita terancam bahaya, adalah rakyat jelata Song Raya, mana boleh menerima anugerah raja pihak musuh?" Sampai di sini ia terus berpaling kepada In Ci-peng dan menegaskan: "Ciangkau-suheng (kakak guru pejabat ketua), kalau saja engkau menerima anugrah raja MongoI, itu berarti engkau adalah penghianat bangsa, orang berdosa dalam agama kita.
Untuk itu sekalipun aku orang she Ong harus mengalirkan darah juga takkan mengampuni kau.
" Mendadak Tio Ci-keng berdiri sambil menggebrak meja, bentaknya: "Ong-sute, apakah kau ingin main kasar" Kau berani bersikap kurangajar, begini terhadap pejabat ketua?" "Yang kita utamakan adalah kebenaran, kalau perlu main kasar, memangnya kutakut padamu?" jawab Ong Ci-heng dengan suara keras.
Karena sama2 ngotot, tampaknya kedua pihak segera akan main kepalan dan adu senjata.
Tiba2 seorang Tosu bertubuh pendek kecil membuka suara: "Sungguh sayang bahwa di antara kita sendiri.
harus berbeda pendapat. Padahal keadaan sekarang berbeda dengan masa dahuIu, Waktu itu Siaute juga ikut ke barat bersama Suhu untuk menemui Jengis Khan, dan menyaksikan sendiri keganasan perajurit Mongol.
Kalau sekarang kita menerima anugerah dan menyerah pada Mongol, ini berarti kita membantu pihak yang lalim dan ikut berbuat jahat.
" Tosu pendek kecil ini bernada Song Tek-hai, dia termasuk salah seorang dari ke-18 anak murid yang ikut Khu Ju-ki melawat ke Mongol dahuIu.
Ci-keng lantas menjengek: "Hm, kau pernah bertemu dengan Jengis Khan, lantas kau anggap hebat begitu" Sekali ini akupun bertemu sendiri dengan jklik raja Mongol, yaitu Kubilai, Pangeran ini sangat baik hati dan bijaksana, tiada sedikitpun tanda2 ganas dan kejam.
" "Aha, bagus! jadi kau mengemban tugas bagi Kubilai untuk menjadi mata2 di sini?" teriak Ong Ci-heng.
Ci-keng menjadi gusar "Apa katamu?" bentaknya.
"Siapa yang bicara bagi orang Mongol, dia adalah pengkhianat!" teriak Ong Ci-heng pula.
Dengan murka Ci-keng terus melompat maju, sebelah tangannya terus menghantam kepala Ong Ci-heng.
Namun dari samping dua orang murid Khu Ju-ki yang lain telah menangkis pukulannya ini.
"Bagus!" Ci-keng ber-kaok2 terlebih murka.
"Anak murid Khu-supek memang banyak, jadi kalau hendak menang2an?" Dalam keadaan tegang itu, Ci-peng menepuk tangan dan berseru: "Harap para Suheng dan Sute berduduk dengan tenang, dengarkanlah ucapanku.
" Pejabat ketua Coan-cin-kau biasanya memegang kekuasaan tertinggi dan berwibawa, maka para Tosu itu lantas berduduk kembali dan tidak berani bersuara pula.
"Ya, memang seharusnya kita mendengarkan petua pejabat ketua, kalau dia menerima anugerahnya ya terimalah, kalau tidak ya tolak saja, Yang dianugerahi raja Mongol adalah dia dan bukan kau! atau aku, untuk apa kita ribut?" demikian Ci-keng berkata, ia yakin bahwa In Ci-peng pasti akan mengikuti kehendaknya karena rahasia orang sudah terpegang olehnya.
. . Maka dengan pelahan Ci-peng mulai bicara: "Siaute memang tidak mampu, baru saja diberi tugas pejabat ketua, hari pertama saja ternyata sudah menghadapi persoalan maha penting dan sulit ini.
ia merandek sejenak dan ter-mangu2.
Sorot mata semua orang sama tertuju padanya, suasana di ruangan itu menjadi hening.
Kemudian Ci-peng melanjutkan "Coan-cin-kau kita didirikan oleh Tiong-yang Cinjin dan dikembangkan oleh Ma-cinjin dan Khu-cinjin, sekarang Siaute menjabat ketua, mana kuberani menentangkan ajaran ketiga Cinjin itu" Coba para Suheng jawab sendiri, selagi negeri kita berada di bawah penindasan pihak Mongol, andaikan ketiga cianpwe kita itu berada disini, mereka akan menerima anugerah raja MongoI ini atau tidak?" Semua orang terdiam dan sama memikirkan tindak tanduk kaum tua yang disebut itu.
Ong Tiong-Sudah lama wafat dan banyak di antara murid angkatan ketiga ini tidak pernah melihatnya, sedangkan Ma Giok juga sudah meninggal dan pribadinya terkenal ramah-tamah, setiap keputusan yang diambil mengutamakan ketenangan.
Tapi Khu Ju-ki berwatak keras, namun berbudi luhur dan berjiwa setia, Teringat kepada Khu Ju-ki, serentak semua orang berteriak: "Khu-cinjin pasti takkan menerima anugerah raja Mongol ini.
" Dengan suara keras Ci-keng lantas berteriak pula: "Tapi pejabat ketua sekarang adalah kau dan bukan Khu-supek.
" "Namun Siauto harus taat kepada ajaran guru, apalagi dosaku teramat besar, matipun belum cukup penebus dosaku," jawab Ci peng, lalu ia menunduk.
Sudah tentu Tosu Iain tidak tahu arti yang terkandung dalam ucapan Ci-peng itu, hanya Ci-keng yang dapat menangkap maksudnya, ia lantas berbangkit dan menjengek: "Jika begitu, jadi sudah pasti kau tak mau terima?" "Jiwaku sesungguhnya tidak berarti, yang utama adalah nama baik Coan cin-kau kita," jawab Ci peng dengan suara pedih, tapi kemudian suaranya berubah bersemangat ia menyambung pula.
"Apalagi saat ini setiap ksatria perlu bersatu untuk melawan musuh dari Iuar.
Coan-cin-pay kita terkenal sebagai tulang punggungnya dunia persilatan, kalau kita takluk kepada Mongol, ke mana lagi muka kita ini harus ditaruh?" Serentak para Tosu itu bersorak gemuruh memuji ketegasan Ci - peng.
Yang marah adalah Ci keng, segera ia melangkah pergi.
Setiba di ambang pintu ia menoleh dan mendengus: "Goankau-suheng cara bicaramu terdengar bagus sekali, tapi hehe, bagai mana akibatnya persoalan ini tentu kau sendiri sudah memikirkannya.
" Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa berpaling lagi.
Beberapa Tosu yang mendukung Tio Ci-keng tadi juga cepat mengeluyur pergi di tengah sanjung puji Tosu yang larut kepada sikap In Ci-peng itu.
Ci-peng tidak bicara lagi, dengan muram ia kembali ke kamarnya sendiri, ia tahu setelah mengalami kegagalan tadi, Ci-keng pasti takkan menyerah begitu saja, tentu akan membongkar rahasia perbuatannya yang kotor terhadap Siao-liong-li itu.
Sebenarnya Ci-peng sudah bertekad mati ketika dia menolak anugerah Mongol tadi, selama beberapa bulan ini dia sudah kenyang menahan rasa takut ia tersiksa batinnya, teringat olehnya jika sudah mati maka segala apapun tidak perlu dikuatirkan lagi, maka hatinya menjadi lega malah.
Segera ia menutup pintu kamar dan dipalang, dengan iklas ia melolos pedang terus di gorokkan ke lehernya sendiri.
Mendadak dari belakang rak buku muncul seorang dan cepat merampas pedang In Ci-peng, karena tidak ber-jaga2, tahu2 pedang Ci-peng ini terampas begitu saja.
Keruan Ci-peng terkejut dan cepat menoleh, kiranya yang merampas pedangnya bukan lain daripada Tio Ci-keng.
"Setelah kau merusak nama baik Coan-cin-kau kita, sekarang kau ingin bunuh diri dan habis perkara, begitu?" jengek Ci-keng, "Nona Liong masih menunggu di luar sana, sebentar kalau dia datang akan meminta keadilan, lalu cara bagaimana kita akan menjawabnya?" "Baik, akan kutemui dia dan bunuh diri dihadapannya untuk menebus dosaku," kata Ci-peng.
"Biarpun kau sudah bunuh diri juga urusan tak dapat diselesaikan," ujar Ci-keng.
"Nanti sesudah keluar dari menyepi tentu kelima guru kita akan mengusut persoalanmu.
Sekali nama baik Coan-cin kau kita runtuh, maka selamanya kau akan menjadi orang berdosa.
" Ci-peng merasa terdesak dan bingung, ia metutupi mukanya dan mendadak duduk di lantai, menggumam sendiri: "Habis apa yang harus kulakukan sekarang" Apa yang harus kulakukan?" Kalau tadi di depan orang banyak ia dapat bicara dengan lancar, sekarang setelah berhadapan sendirian dengan Tio Ci-keng ternyata sedikitpun tidak dapat menguasai diri.
"Baik, asalkan kau tunduk kepada syaratkan persoalan mengenai nona Liong akan kututup rapat, nama baikmu dan Coan-Cin-kau kita juga dapat di pertahankan," kata Cikeng.
"Kau ingin kuterima anugerah raja Mongol itu?" tanya Ci-peng.
"Tidak, tidak! Aku tidak ingin kau menerima anugerahnya," jawab Ci-keng.
Hati Ci-peng terasa lega, tanyanya pula: "Habis apa keinginanmu" Lekas katakan pasti akan kuturuti.
" * * * * Tidak lama kemudian, terdengar riuh ramai suara genta dan tambur di pendopo Tiong-yang kiong sebagai tanda segenap anggauta harus berkumpul.
Li Ci siang memerintahkan anak buahnya membawa senjata di dalam jubah untuk menjaga segala kemungkinan.
Ruangan besar itu penuh ber-jubel Tosu tua dan muda, semuanya tegang ingin tahu apa yang bakal terjadi.
Kemudian tampak Ci-peng melangkah keluar dari belakang, wajahnya pucat dan tak bersemangat, begitu berdiri di tengah ruangan segera ia berseru: "Para Toheng, atas perintah Khuciangkau tadi Siauto telah ditunjuk sebagai pejabat ketua, siapa tahu Siauto mendadak menderita penyakit maut dan takdapat disembuhkan.
. . " karena keterangan yang tak ter-duga2 ini, seketika gemparlah para Tosu.
Kemudian Ci-peng menyambung: "Oleh karena itu, tugas sebagai pejabat ketua yang maha penting ini sukar dipikul, sekarang juga aku menunjuk murid tertua dari Ong-susiok, yakni Tio Ci-keng, sebagai pejabat ketua.
" Seketika suasana menjadi hening, namun keadaan sunyi ini cuma berlangsung sekejap saja, segera terdengarlah suara protes beberapa orang, seperti Li Ci-siang, Ong Ci-heng, Song Tek-hong dan lain2.
Be-ramai2 mereka berteriak "Tidak! tidak! bisa! Khu-cinjin menunjuk In-suheng sebagai pejabat ketua, tugas penting ini mana boleh diserahkan lagi kepada orang lain" - Ya, tanpa sebab, mana bisa In-suheng terserang penyakit maut seoara mendadak" Betul, di balik urusan ini tentu ada sesuatu intrik keji, kita harap Ciangkau- suheng jangan terjebak oleh tipu muslihat kaum pengkhianat.
" Begitulah seketika seluruh ruangan menjadi panik, Li Ci-siang dan kawan2nya sama melotot pada Tio Ci-keng, tapi Ci-keng tampaknya tenang2 saja dari anggap sepi sikap pihak lawan.
In Ci-peng lantas memberi tanda agar semua diam, lalu berkata: "Datangnya urusan ini terlalu mendadak, pantas kalau saudara2 tidak paham persoalannya.
Coan cin-kau kita sedang menghadapi malapetaka, Siauto telah berbuat pula sesuatu kesalahan besar, sekalipun mati juga sukar bagiku, untuk menebus dosaku dan sukar menghindari bahaya yang mengancam.
" Sampai di sini, air mukanya tampak sedih sekali, sejenak kemudian ia menyambung pula: "Sudah kupikirkan dengan masak2, kurasa hanya Tio-suheng yang berpengetahuan luas yang dapat membawa Coan-cin-kau terhindar dari bahaya ini.
Untuk itu di antara para Suheng dan Sute harus kesampingkan pendirian pribadi dan ber-sama2 membantu Tio-suheng melaksanakan tugas bagi keselamatan dan kejayaan Coancinkau kita ini.
" Li Ci-siang menjadi sangat curiga, dari sikap In Ci-peng itu jelas sang Suheng menahan sesuatu rahasia yang sukar diuraikan, kalau sang Suheng yang menjabat ketua sudah memohon kerelaan para Sute, iapun tidak enak untuk ngotot, terpaksa ia menunduk dan tak bersuara lagi selain diam2 memikirkan langkah selanjutnya yang perlu diambil.
Watak Ong Ci-heng sangat jujur, tanpa pikir ia berteriak: "Kalau Ciangkau-suheng betul2 mau mengundurkan diri juga perlu menunggu selesainya guru2 kita habis menyepi, setelah dilaporkan barulah diambil keputusan yang lebih bijaksana.
" "Tapi urusannya sudah terlalu mendesak, tidak dapat menunggu lagi," ujar Ci-peng dengan muram.
"Baiklah, seumpama memang begitu, di antara sesama saudara seperguruan kita, baik mengenai budi pekerti maupun mengenai Kanghu, rasanya yang melebihi Tio-suheng masih cukup banyak," kata Ci-seng pula.
"Misalnya Li-suheng atau Song-sute, mereka terlebih pintar dan tangkas, kenapa mesti serahkan tugas maha penting kepada Tio-suheng yang tidak dapat diterima oleh semua orang.
" Tio Ci-keng adalah pemberang, sudah sejak tadi ia menahan perasaannya, sekarang ia tidak tahan lagi, segera ia menanggapi "Dan ada lagi Ong Ci-heng, Ong-sute yang berani bicara dan berani,berbuat! Kenapa tidak kau calonkan sekalian?" Ci-heng menjadi gusar, jawabnya: "Aku memang bodoh dan selisih jauh kalau dibandingkan Suheng2 yang lain, tapi kalau dibandingkan Tio-suheng, betapapun kuyakin masih unggul setingkat Ya, ilmu silatku mungkin bukan tandingan Tio-suheng, tapi paling tidak aku pasti takkan menjadi pengkhianat.
" "Apa katamu" Kalau berani katakanlah lebih jelas, siapa yang menjadi pengkhianat?" teriak Ci-keng dengan merah padam, Begitulah kedua orang bertengkar semakin sengit dan siap berperang tanding.
"Kedua Suheng tidak perlu berdebat, dengankanlah perkataanku," sela Ci-peng.
Meski kedua orang lantas diam, namun masih saling melotot.
Lalu Ci-peng berkata pula: "Menurut peraturan kita, pejabat ketua baru ditunjuk oleh ketua lama dan bukan diangkat secara be-ramai2 betul tidak?" Setelah semua orang mengiakan, lalu Ci peng melanjutkan "Karena itu, sekarang juga aku menunjuk Tio Ci-keng sebagai pejabat ketua penggantiku.
Nah, para hadirin tidak perlu bertengkar lagi.
Tio-suheng, silakan maju menerima pesan.
" Dengan ber-seri2 Ci-keng lantas maju ke tengah dan memberi hormat.
Segera Ci heng dan Song Tek hong hendak bicara lagi, tapi Li Ci-siang keburu menarik baju mereka dan mengedipi.
Ci-heng berdua tahu Ci-siang pasti mempunyai pandangan yang lebih baik, merekapun lantas diam.
"ln suheng pasti ditekan oleh Tio Ci-keng sehingga tidak berani melawannya," kata Ci-siang dengan suara tertahan "Maka kita harus membongkar muslihat Tio Ci-keng itu secara diam2, sekarang In-suheng sudah memutuskan demikian, kalau kita bicara lagi akan kelihatan pihak kita yang salah.
" Ong dan Song mengiakan, mereka lantas ikut dalam upacara penyerahan kedudukan pejabat ketua itu.
Bahwa dalam sehari terjadi penyerahan pejabat ketua dua kali, sungguh kejadian yang luar biasa.
Selesai upacara, dengan pongahnya Ci-keng lantas berdiri di tengah didampingi oleh anak muidnya, lalu berseru: "Silakan utusan Sri Baginda Raja MongoI hadir!" Segera Ong Ci-heng hendak mendamperat lagi, tapi keburu dicegah Li Ci-siang.
Selang tak lama beberapa Tosu menyambut tamu telah datang dengan membawa perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu.
Cepat Ci-keng memburu maju untuk menyambut dengan munduk2.
Perwira Mongol itu sudah mendongkol karena telah menunggu sekian lama, kini In Ci-peng ternyata tidak menyambut kedatangannya, keruan mukanya tambah bersungut.
Tapi segera seorang Tosu bagian protokol lantas memberitahu bahwa mulai sekarang kedudukan pejabat ketua telah dilimpahkan kepada Tio Ci-keng.
Perwira itu melengak kaget, tapi segera ia bergirang dan mengucapkan selamat kepada Ci-keng.
Siau-siang-cu berdiri di belakang perwira Mongol itu dengan diam saja, mukanya kaku dingin, entah suka atau duka.
Dengan munduk2 pula Ci-keng membawa perwira Mongol itu ke tengah pendopo, lalu berkata: "Silakan Tayjin membacakan titah raja.
" Diam2 perwira itu bersyukur bahwa Coan cin kau sekarang diketuai orang macam Tio Ci-keng.
ia lantas mengeluarkan Sengci (titah raja), Ci-keng.
juga lantas bertekuk lutut, lalu perwira itu mulai membaca titah raja: "Dengan ini ketua Coar-cin-kau di.
. . " Melihat secara terangan Ci-keng menerima anugerah raja Mongol, Ci-siang, Ci-heng dan lain2 tidak tahan lagi, serentak mereka melolos pedang, Ci-heng dan Tek-hong terus melangkah maju dan mengancam punggung Ci-keng dengan ujung pedang mereka, Ci-siang lantas berseru dengan lantang: "Coan-cin-kau ini berdiri berdasarkan cita2 setia kepada negara dan bakti kepada rakyat, se-kali2 kita tidak sudi menyerah kepada Mongol, Tio Ci-keng telah mengkhianat dan setiap orang wajib mengutuknya, dia tidak boleh menjabat ketua Coan-cin kau dan kitapun tidak mengakuinya lagi.
" Sementara itu beberapa Tosu lain juga sudah mengelilingi perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu dengan pedang terhunus.
Peristiwa ini terjadi dengan sangat mendadak, Meski sebelumnya Ci-keng juga menduga Ci-siang dan kawannya pasti tidak mau menyerah, tapi sama sekali tidak diduganya pihak lawan berani menggunakan kekerasan terhadap pejabat ketua yang biasanya sangat dihormati dan dijunjung tinggi.
Sekarang senjata lawan telah mengancam, ia menjadi kaget dan gusar, tapi ia tidak gentar, segera ia membentak: "Kurangajar, kalian, berani membangkang terhadap pimpinan?" Tapi Ci-heng lantas balas membentak "Bangsat! Pengkhianat! Berani kau bergerak, segera punggungmu akan tembus!" Sebenarnya kepandaian Ci-keng terlebih tinggi daripada kedua lawannya, tapi secara mendadak dia dikuasai selagi tengkurap, dengan sendirinya dia mati kutu, sebelumnya dia juga menyiapkan belasan anak muridnya yang bersenjata lengkap, namun pihak lawan bertindak lebih dulu, betapapun anak buah Ci-keng itu tak sempat berkutik lagi.
Segera Li Ci-siang berkata kepada perwira MongoI itu: "Mongol sudah menjadi musuh Song Raya kami, rakyat Song mana boleh menerima anugerah dari pihak Mongol.
" Maka sekarang kalian silakan pulang saja, kelak kalau bertemu di medan perang bolehlah kita selesaikan di sana.
" Walaupun terancam bahaya, perwira Mongol itu ternyata tidak gentar sedikitpun, ia malah menjengek: "Hm kalian berani bertindak secara semberono, tampaknya Coan-cin-kau yang sudah terpupuk kuat ini akan musnah dalam sekejap saja, Sungguh harus disayangkan.
" "Negara kami seluas ini saja sudah terancam musnah, Coan-cin-kau yang cuma secuil ini apa pula artinya?" ujar Ci-siang.
"Jika kalian tidak lekas pergi, kalau sebentar kalian diperlakukan secara kasar mungkin Siauto tidak dapat berbuat apa2 lagi.
" Tiba2 Siau-sing-cu menimbrung: "Bagaimana perlakuan kasarnya" Coba, aku ingin tahu!" - Mendadak kedua tangannya meraih, tahu2 pedang Ong Ci-heng dan Song Tek-hong yang mengancam punggung Ci-keng itu telah dirampasnya.
Cepat Cikeng melompat bangun terus berdiri di samping perwira Mongol itu, Siau-siang-cu lantas mengangsurkan sebuah pedang rampasan di tangan kirinya itu kepada Ci-keng, sedang pedang lain terus menusuk ke arah Li Ci-siang.
Trang", Ci-siang menangkis serangan itu, mendadak tangan terasa kesemutan, tenaga lawan ternyata kuat luar biasa.
Diam2 ia mengeluh cepat iapun mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan, tapi cepat terdengar suara gemerantang nyaring, kedua pedang patah semua dan jatuh ke lantai.
Tindakan Siau-siang-cu itu dilakukan dengan cepat luar biasa, merampas pedang dan menyerang serta menggetar pedang hingga patah, semua itu terjadi dalam sekejap saja, Menyusul lengan bajunya lantas mengebut dan kedua tangan menyodok sekaligus ke depan sehingga empat murid tertua Coan-cin-kau yang mengitarinya itu didesak mundur.
Keruan semua orang kaget, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang yang mirip "mayat hidup" ini ternyata memiliki kepandaian setinggi ini.
Biasanya Ci-keng suka meremehkan ilmu silat Ong Ci-heng, Song Tek- hong dan lain2, sekarang di hadapan orang banyak dia telah diancam hingga tak bisa berkutik selagi mendekam diatas tanah, tentu saja dia sangat murka.
Maka begitu dia menerima pedang dari Siau-siang-cu, segera pula dia menusuk ke perut Ong Ci-heng.
Cepat Ci-heng mendoyong ke belakang, namun Ci-keng tidak kenal ampun lagi, ia mendorongkan ujung pedang sehingga nasib Ci-heng tampaknya sukar dihindarkan, semua orang ikut kuatir sehingga suasana menjadi hening.
Pada detik gawat itulah mendadak dari samping seorang mengebaskan lengan bajunya, pedang Ci-keng tergulung dan tertarik ke samping, "bret".
lengan baju robek terpotong dan kesempatan itupun digunakan Ci-heng untuk melompat mundur menyusul dua pedang terjulur pula dari samping untuk menahan pedang Ci-keng.
Ketika diawasi orang yang mengebutkan lengan baju itu kiranya adalah In Ci-peng.
Ci-keng menjadi gusar, bentaknya sambil menuding Ci-peng: "Kau.
. . . kau berani. . . . " "Tio-suheng," kata Ci-peng, "kau sendiri menyatakan takkan menerima anugerah raja Mongol, karena itulah aku menyerahkan pejabat ketua padamu, mengapa dalam waktu sekejap saja kau sudah ingkar janji?" "Bilakah pernah ku berjanji begitu?" jawab Ci keng, "Tadi kau bertanya soal anugerah raja MongoI rni, aku menjawab: "Aku tidak ingin kau menerima, anugerah raja Mongol! Nah, masakah aku ingkar janji" Yang menerima anugerah sekarang kan aku dan bukan kau?" "Oh, kiranya begitu, kiranya begitu?" Ci-peng menggumam penuh rasa pedih, "Licik benar kau, Tio-suheng!" Dalam pada itu Li Ci-siang sudah menerima pedang dari seorang muridnya segera ia berseru: "Saudara2 di dalam agama, kita tetap mengakui In-suheng sebagai pejabat ketua, marilah kita tangkap pengkhianat she Tio ini.
" - Menyusul ia lantas menubruk maju dan menempur Ci-keng.
Ci-heng dan enam orang lainnya lantas memasang Pak-tau Kiam-hoat mengepung Siau-siang-cu di tengah, Meski tinggi ilmu silat Siau-siang-cu, tapi barisan pedang Coan-cin-kau yang terkenal itupun sangat hebat, sekali bergebrak, daya tempurnya juga Iihay.
Cepat Siau-siang-cu mengeluarkan pentungnya untuk menangkis kerubutan lawan.
Perwira Mongol tadi sudah mundur ke pojok ruangan, melihat gelagat jelek, segeia ia mengeluarkan tanduk kerbau dan ditiup keras2.
Ci-peng terkejut, ia tahu orang sedang mengundang bala bantuan, menghadapi ancaman bahaya, semangatnya terbangkit, kemampuannya memimpin biasanya Iantas timbul Iagi.
Segera ia memberi perintah: "Ki Ci-seng, kau tangkap perwira itu, Ih To-hoan Suheng, Ong Ci-kin Suheng, kalian membawa tiga kawan dan lekas ke Giok-bi-tong di belakang gunung untuk membantu Sun-suheng berjaga di sana agar kelima guru kita tidak terganggu serbuan musuh.
Tan Ci-ek Sute lekas kau membawa enam orang pergi berjaga di depan gunung.
Pang Ci ki Sute dengan enam orang berjaga di kiri gunung dan Lau To-leng Sute bersama enam orang berjaga di kanan gunung.
" Orang2 yang ditugaskan berjaga di kanan kiri dan muka belakang itu adalah murid Ong Ju-ki semua, sedangkan Ih To-hian dan Ong Ci-kin adalah murid paman gurunya yang dapat dipercaya dengan cara pengaturan pertahanan ln Ci-peng ini, sekalipun musuh menyerbu secara besarkan juga sukar menembusnya.
Akan tetapi sebelum semua orang yang diberi perintah itu pergi, tiba2 terdengar suara teriakan ramai, belasan orang telah melompat masuk, dari kanan nampak dipimpin ln Kik-si dan sebelah kiri dipimpin Nimo Singh, dari depan dikepalai Be Kong-co, belasan orang yang dipimpin adalah jago2 pilihan dari berbagai suku bangsa.
Kiranya Kubilai tidak berhasil memboboI pertahanan Siangyang selama ber-bulan2, mendadak terjangkit wabah di tengah pasukannya, maka setelah serangan terakhir pada Siangyang juga gagal, segera ia mengundurkan pasukannya, Pasukan Mongol yang dilihat Siao-liongli tempo hari ketika bergerak ke selatan itu adalah serangan terakhir yang dilakukan Kubilai.
Berhubung sukarnya Siangyang direbut, dengan sendirinya kerajaan Song juga sukar diruntuhkan, maka sebelum mengundurkan pasukannya Kubilai sudah mengirim antek2nya untuk mendekati dan membeli orang2 gagah di Tionggoan.
Raja Mongol sengaja merangkul pihak Coan-cin-kau juga termasuk tipu muslihat Kubilai.
Tapi dia tahu Coan-cin-kau belum tentu mau menerima anugerah, maka Kim-lun Hoat-ong diperintahkan memimpin jago2 lainnya bersembunyi di sekitar Cong-lam-san, bila Coan-cin-kau menolak titah raja, segera digunakan kekerasan untuk menindasnya.
Biasanya penjagaan di Cong-Iam-san cukup ketat, tapi lantaran sehari terjadi dua kali penggantian pejabat ketua, suasana di Tiong-yang-kiong sedang kacau, anak murid yang bertugas berjaga di luar sama di tarik ke dalam untuk ikut hadir dalam upacara, sebab itulah kedatangan rombongan Nimo Singh, In Kik-si dan lain2 tidak diketahui Kini musuh mendadak muncul, seketika orang2 Coancin-kau menjadi panik, Perwira Mongol yang tadinya sudah ditawan Ki Ci-seng itu sekarang lantas berteriak: "Para Totiang dari Coan-cin kau, kalau ingin selamat, lekas kalian membuang senjata dan tunduk kepada perintah pejabat ketua Tio-totiang.
" Tapi Ci-peng lantas membentak: "Tio-Ci-keng telah berkhianat dosanya tak terampunkan, dia bukan lagi pejabat ketua kita.
" Meski menyadari keadaan sangat gawat, tapi Ci-peng bertekad melawan musuh dengan mati2an, maka dia lantas memberi aba2 untuk bertempur, Namun para Tosu sebagian tak membawa senjata dan terkepung pula, maka hanya sebentar saja sudah belasan orang terkapar tak bernyawa lagi.
Menyusul Ci-peng sendiri, Li Ci-siang, 0ng-Ci-heng, Song Tek-hong dan lain2 juga kecundang ada yang senjatanya terampas musuh dan ada yang terluka dan menggeletak atau tak bisa bergerak karena Hiat-to tertutuk.
Sisa Tosu yang lain menjadi kelabakan seperti ular tanpa kepala, mereka terdesak ke pojok ruangan dan tak dapat melawan lagi.
Perwira Mongol tadi tidak tinggi ilmu silatnya, tapi pangkatnya sangat tinggi, maka In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain2 harus tunduk kepada perintahnya, Melihat pihaknya sudah menang total, perwira itu lantas berseru kepada Ci-keng: "Tio cinjin, mengingat kesetiaanmu, tentang pemberontakan Coan-cin-kau ini takkan kulaporkan kepada "Sri Baginda.
" Ci-keng memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, Tiba2 teringat sesuatu olehnya, cepat ia membisiki Siau-siang-cu: "Masih sesuatu urusan penting perlu bantuan cianpwe.
Guruku dan para paman guruku sedang menyepi di belakang gunung, kalau mereka menerima berita dan memburu kesini.
. . " "Kebetulan kalau mereka ke sini, akan kubereskan mereka bagimu," ujar Siau-siang-cu dengan tak acuh.
Ci-keng tak berani bicara pula, dalam hati ia mendongkol karena orang berani meremehkan gurunya, namun iapun serba susah, kalau guru dan para paman gurunya dapat mengusir orang2 Mongol berarti pula jiwanya sendiri terancam.
Dalam pada itu perwira Mongol tadi telah berkata pula: "Tio-cinjin, silakan kau terima dulu anugerah Sri Baginda, habis itu baru kau selesaikan kawanmu yang membrontak itu.
" Ci-keng mengiakan dan segera berlutut mendengarkan titah raja Mongol.
Ci-peng, Ci-siang dan lain2 dapat mengikuti kejadian itu dengan dada se-akan2 meledak saking gusarnya.
Song Tek-hong berduduk di sebelah Li Ci-siang, ia coba membisiki sang Suheng: "Li-suheng, harap lepaskan pengikat tanganku, biar kuterjang keluar untuk melapor pada guru kita.
" Ci-siang mengangguk punggungnya lantas dirapatkan di punggung Tek-hong, ia mengerahkan tenaga dalam pada jarinya untuk membuka tali pengikat tangan Song Tek-hong yang ditelikung itu.
Setelah berhasil dengan suara tertahan ia memberi pesan: "Kau harus hati2, jangan sampai kelima guru kita terkejut.
" Tek-hong mengangguk dan siap2 untuk meloloskan diri.
sementara itu pembacaan titah raja sudah selesai, Ci-keng telah berdiri, perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu sedang mengucapkan selamat padanya.
Melihat semua orang sedang mengitari Tio Ci-keng, cepat Song Tek-hong melompat ke sana, segera ia berlari ke balik altar pemujaan.
"Berhenti!" Nimo Singh membentak Akan tetapi Tek-hong tidak ambil pusing, ia berlari terlebih cepat.
Karena kedua kakinya sudah buntung, sukar bagi Nimo Singh untuk mengejar, sebelah tangannya lantas mengambil sebuah Piau kecil berbentuk ular terus disambitkan "PIok", dengan tepat kaki kiri Tek-hong tertimpuk Piau itu.
Akan tetapi Tek-hong hanya sempoyongan sedikit saja dan tetap kabur ke depan dengan menahan sakit.
Beberapa jago Mongol segera mengejar, namun bangunan rumah di kompIek Tiong-yang-kiong sangat banyak, hanya memutar beberapa rumah saja Tek-hong sudah menghilang dari kejaran musuh.
Sampai di tempat sepi, dengan menahan sakit Tek hong mencabut Piau yang masih menancap di kakinya itu, lalu membalut lukanya, ia kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil pedang, lalu berlari ke Giok-bi-tong di belakang gunung, di mana guru dan para paman gurunya sedang menyepi.
Sesudah dekat, dari balik pepohonan ia memandang ke sana, ia jadi mengeluh ketika dilihatnya lebih 20 orang Mongol sedang sibuk memindahkan batu2 besar untuk menyumbat mulut gua Giok-hi-tong.
Seorang , paderi Tibet tinggi kurus mengawasi dan memberi petunjuk cara menyumbat gua itu.
Di samping itu terdapat pula dua orang lagi sedang sibuk mengatur ini dan itu.
Tek-hong kenal kedua orang di samping itu itu adalah Darba dan Hotu yang dahulu pernah cari setori ke Tiong-yang-kiong, dengan sendirinya iapun kenal ilmu silat kedua orang itu.
Sedang paderi yang tinggi itu jelas kepandaiannya lebih tinggi dari pada Darba dan Hotu, mulut gua Giok-hitong sudah tinggal sedikit saja yang belum tersumbat batu, entah bagaimana keadaan kelima guru dan paman gurunya" Song Tek-hong menyadari tenaga sendiri tak berguna andaikan menerjang maju untuk mengalangi perbuatan musuh itu, paling2 jiwa sendiri juga akan ikut melayang, tapi mengingat keselamatan guru dan nasib Coan cin-kau yang menghadapi kehancuran, mana boleh ia cuma memikirkan keselamatannya sendiri.
Segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya, secepat kilat ia menusuk paderi Tibet yang berdiri membelakanginya itu, ia pikir kalau menyerang harus serang pimpinannya, kalau berhasil tentu pihak musuh kacau lebih dulu.
Paderi Tibet itu adalah Kim lun Hoat-ong, tempo hari ia sudah menanyai Tio Ci-keng mengenai seluk-beluk Coan cin-kau, maka begitu sampai di Tiong-yang-kiong segera ia menuju belakang gunung untuk menyumbat Giok-hi-tong serta mengurung kelima tokoh utama Coan-cin-kau itu di dalam gua, dengan begitu sisa anak murid Coan-cin-kau yang lain tentu mudah diatasi.
Ketika ujung pedang Song Tek-hong hampir mengenai punggungnya ternyata Hoat-ong tidak merasakan apa2, Tek-hong bergirang, Tak terduga mendadak cahaya kuning berkelebat menyusul terdengar suara "trang" sekali, sejenis senjata aneh paderi itu telah menyamber ke belakang dan membentur pedangnya.
Tek-hong merasakan tangannya kesakitan, pedang terlepas dari cekalan, hanya benturan itu saja telah membuat dia muntah darah dan pandangan menjadi gelap.
Dalam keadaan sadar-tak-sadar sayup2 ia dengar suara teriakan orang ramai di ruangan pendopo, entah peristiwa apa lagi yang terjadi, tapi segera ia tak ingat apa2, ia jatuh pingsan.
Kim-lun Hoat-ong juga mendengar suara teriakan ramai itu, tapi ia pikir Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 berada di sana, tentu anak murid Coan-cin-kau takkan mampu melawan mereka, maka ia tidak menjadi kuatir, ia perintahkan para busu Mongol itu mempercepat penyumbatan gua itu dengan batu agar Khu Ju-ki berlima tidak sempat menerjang keluar secara mendadak.
Di ruangan pendopo memang terjadi lagi sesuatu sesudah Song Tek-hong pergi, Perwira Mo-ngol itu telah berkata kepada Ci-keng: "Tio-cinjin, anggota kalian yang memberontak tampaknya tidak sedikit, agaknya kedudukanmu tidak begitu enak bagimu.
" Sudah tentu Ci-keng juga menyadari hal ini, namun keadaan sudah telanjur, ibaratnya sudah berada di punggung macan, kalau melompat turun tentu akan dicaplok sang harimau malah, Segera Ci-keng berteriak: "Menurut undang2 kita, apa hukumannya bagi kaum pemberontak?" Para Tosu diam2 saja, malahan dalam hati mereka pikir: Kau sendiri pemberontak dan pengkhianat.
" Ci-keng bertanya lagi satu kali dan tetap tiada yang menggubrisnya, diam2 Ci-keng sangat mendongkol, ia bertanya lagi sekali sambil memandangi muridnya sendiri, yaitu Ceng-kong, agar dia menjawab nya.
Ceng-kong ini adalah Tosu gemuk yang dahulu menganiaya Nyo Ko itulah, ia lantas menjawab " pemberontak harus membunuh diri di depan pemujaan Cousuya.
" "Betul" seru Ci-keng.
"Nah, In Ci-peng, sudah tahu dosamu belum" Kau terima tidak?" "Tidak!" jawab Ci-peng tegas, "Baik, bawa dia ke sini!" kata Ci-keng.
Segera Ceng-kong mendorong Ci-peng ke depan dan berdiri dihadapan arca pemujaan.
Lalu Ci-keng menanyai Cisiang, Ci-heng dan lain2, semuanya juga menyatakan tidak terima.
Di antaranya hanya tiga orang saja yang ketakutan dan minta ampun, segera Ci-keng memerintahkan dibebaskan, sedang 20 - an orang tetap berdiri tegak tidak mau menyerap malahan Ci-heng dan beberapa Tosu yang berwatak keras segera mencaci-maki.
"Kalian teramat kepala batu dan sukar diampuni" kata Ci-keng kemudian "Baiklah, Ceng-kong, boleh kau melaksanakan hukuman bagi Coan-cin-kau kita.
" Ceng-kong mengiakan, ia melangkah maju dan mengangkat pedangnya, sekali tusuk ia binasakan In To-hian yang berdiri di ujung kiri.
Serentak para Tosu lantas berteriak murka dan mencaci-maki lebih keras, suara riuh ramai inilah yang tadi di dengar oleh Song Tek-hong dan Kim lun Hoat-ong di belakang gunung.
Ceng-kong adalah manusia yang berani pada yang lemah dan takut pada yang keras, ia menjadi jeri mendengar suara ramai orang banyak.
"Lekas kerjakan, kenapa ragu2," bentak Ci-keng.
Terpaksa Ceng-kong mengiakan dan membunuh lagi dua orang, Yang berdiri nomor empat ialah In Ci-peng, baru saja Ceng-kong angkat pedangnya hendak menusuk dada Ci-peng, tiba2 suara seorang perempuan membentaknya: "Nanti dulu?" Waktu ia menoleh, dilihatnya seorang perempuan muda berbaju putih sudah berdiri diambang pintu, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li.
"Kau minggir ke sana, orang ini akan kubunuh sendiri" demikian kata Siao-liong-li.
Ci-keng menjadi girang melihat Siao-liong-li mendadak muncul, ia pikir di tengah tokoh2 sakti sebanyak ini, kedatanganmu ini berarti mengantarkan kematianmu, maka ia lantas membentak: "perempuan siluman ini bukan manusia baik2 tangkap saja!" Akan tetapi para Busu Mongol itu tidak tunduk pada perintahnya, semuanya tidak menggubris-nya.
Hanya dua murid Ci-keng sendiri lantas melompat maju, tanpa dipikir mereka terus hendak memegang lengan Siao liong-Ii.
Siao-liong-li sama sekali tidak ambil pusing terhadap serbuan para Busu MongoI serta kekacauan yang terjadi di antara orang Coan-cin-pay sendiri.
Hanya ketika melihat Ceng-kong hendak membunuh ln Ci-peng, betapapun ia tidak mau membiarkan orang lain membinasakan Tosu itu, maka ia lantas bersuara mencegah.
Belum lagi tangan kedua murid Ci-keng menyentuh bajunya, tahu2 tangan mereda sendiri kesakitan, sinar perakpun berkelebat, cepat mereka melompat mundur Waktu mereka mengawasi kiranya pedang mereka yang tergantung di pinggang tahu2 sudah dilolos oleh Siao-liong-li dan dalam sekejap itu pergelangan tangan merekapun telah dilukai.
Gerakan Siao liong-li ini sungguh cepat luar biasa, sebelum orang lain melihat jelas cara bagaimana dia merebut pedang dan menyerang, tahu2 kedua Tosu itu sudah terluka dan melompat mundur.
Keruan anak murid Ci-keng yang lain sama melengak kaget Ceng-kong lantas berseru : "Hayo maju be-ramai2, kita berjumlah lebih banyak, kenapa kita gentar padanya?" Segera dia mendahului menerjang dan menusuk.
Tapi sebelum orang mendekat ujung pedang Siao liong-Ii sudah bergetar, tahu2 pergelangan tangan kanan kiri Ceng-kong kedua kakinya terkena tusukan pedang.
Sambil mengaung keras, Ceng kong terus menggeletak tak bisa bangun.
Keempat kali tusukan Siao-liong-ii sungguh cepat luar biasa, sampai tokoh kelas wahid seperti Siau-siaug-cu dan lain2 juga tercengang.
Mereka heran mengapa ilmu pedang si nona maju sepesat ini, padahal tempo hari waktu dia bertempur melawan Kongsun Ci belum tampak sesuatu yang luar biasa, apakah mungkin dia, sengaja menyimpan kepandaian" Rupanya setelah mendapatkan ajaran Ciu Pek-thong, sekaligus Siao liong-li dapat memainkan sepasang pedang dengan cara yang berbeda, kini kepandaiannya memang sudah berlipat ganda.
Sudah sekian lama dia menguntit In Ci-peng dan Tio Ci-keng dan merasa bingung cara bagaimana harus menyelesaikan kedua orang itu.
sekarang orang Coan cin-kau menyerangnya lebih dulu, kesempatan ini segera digunakannya untuk balas menyerang dan sekali pedangnya berbau darah, serentak dendam kesumatnya meledak.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang, dan bayangan baju putih, dalam sekejap saja pedang para Tosu sama jatuh dilantai, pergelangan tangan setiap orang sama tertusuk pedang tanpa diberi kesempatan untuk menangkis atau mengelak.
Sungguh kejut para Tosu itu tak terkatakan.
Bayangkan saja, jika serangan Siao liong-li itu tidak mengarah tangan, tapi menusuk perut mereka, maka jiwa para Tosu itu pasti sudah melayang sejak tadi.
Karuan Tosu2 itu ketakutan dan berlari menyingkir sehingga di tengah2 ruangan pendopp itu tertinggal In Ci-peng dan kawan2nya yang teringkus itu.
Melihat mereka tak bisa berkutik dan tidak memusuhi dirinya, untuk sementara Siao-liong-li juga tidak mencelakai mereka.
Diam2 iapun terkejut sendiri atas kepandaian yang dipelajarinya dari Ciu Pek-thong itu, sungguh tak diduganya ilmu berkelahi yang aneh itu mempunyai daya tempur selihay itu.
Melihat gelagat jelek, sambil menghunus pedang untuk menjaga diri, diam2 Ci-keng menggeser mundur dan bila ada kesempatan segera akan kabur.
Namun Siao-liong-li sudah teramat benci padanya, sekali melompat ia telah mencegat jalan mundur dan maju Tio Ci-keng dengan kedua pedangnya.
Dalam keadaan kepepet, Ci-keng putar pedangnya terus hendak cari jalan lagi, Tiba2 terdengar suara "trang" nyaring, In Kik-si berkata padanya : "Kau takkan berhasil, mundur saja sana!" Kiranya In Kik-si telah menangkiskan pedang Siao-liong-li dengan ruyung emasnya yaug lemas itu.
Baru sekarang ada orang yang mampu menangkis pedang Siao hong-li sejak berpuluh Tosu itu dilukainya.
"Tujuanku sekarang hanya ingin menuntut batas pada Tosu Coan-cin-kau dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar, lekas kau menyingkir," seru Siao liong-Ii.
Meski rada jeri juga menyaksikan kelihayan ilmu pedang Siao-liong-li tadi, namun In Kik-si adalah tokoh kelas wahid, betapapun dia tak dapat mundur begitu saja hanya karena ucapan Siao-liong-li itu.
Maka dengan tertawa ia menjawab: "Orang Coan-cin-kau sangat banyak dan dengan sendirinya ada yang baik dan ada yang busuk, ada sebagian memang pantas dibinasakan Entah Tosu bangsat yang manakah yang telah bersalah kepada nona?" Akan tetapi Siao-liong-li hanya mendengus saja dan tidak menjawabnya, sorot matanya tidak pernah meninggalkan diri In Ci-peng dan Tio Ci-keng se-akan2 kuatir kaburnya kedua Tosu itu.
"Untuk apa nona marah kepada kawanan Tosu keparat ini, asalkan nona memberi tanda Tosu mana yang harus dibereskan, segera Cayhe wakili nona untuk membereskannya," kata In Kik-si.
"Baik, lebih dulu kau binasakan dia ini!" kata Siao-liong-li sambil menuding Tio Ci-keng.
"Tapi Tio-cinjin ini cukup baik orangnya, mungkin ada salah paham nona padanya, biarlah kusuruh dia minta maaf saja kepadamu," kata In Kik-si.
Siao-liong-li mengernyitkan dahinya, mendadak pedangnya menyamber ke depan secepat kilat, tampaknya menusuk In Kik-si.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sendirian In Kik-si angkat ruyungnya untuk menangkis.
Tapi mendadak terdengar jeritan, ternyata Tio Ci-keng yang berdiri tegak di belakang In Kik-si sudah terkena tusukan di pundaknya.
Keruan In Kik-si terkejut, meski tusukan itu tidak mengenai dirinya, tapi dirinya tidak mampu melindungi Ci-keng, rasanya sama memalukan bagi-nya.
Cuma serangan lawan teramat cepat datangnya dan tak jelas cara bagaimana Siao-Iiong-li memutar pedangnya untuk mengarah sasarannya, kalau saja pertarungan demikian dilanjutkan, jelas dirinya pasti kalah, diam2 ia menjadi jeri ia coba berseru pula.
"Nona Liong, harap kau bermurah hati!" Namun Siao-liong-li tidak menjawabnya, sikapnya seperti tidak mau bermusuhan tapi juga tidak ingin berkawan, ia menggeser pelahan ke kiri, ln Kik-si juga ikut memutar dan tetap ingin membela Tio Ci-keng.
Tapi mendadak terdengar pula Ci-keng menjerit tertahan, waktu ia melirik, ternyata bahu kiri Ci-keng sudah terluka pula.
Cara bagaimana Siao-liong-li menusuk Ci-keng lagi, orang lain tetap tidak tahu dan sama melongo heran.
Sungguh cepat luar biasa ilmu pedangnya itu, bukan saja gerakannya tidak kentara, bahkan pedangnya seperti bisa membelok sendiri.
Ber-turut2 tertusuk dua kali, Ci-keng menjadi ketakutan setengah mati, ia mengira kepandaian ln Kik-si terlalu rendah dan tidak sanggup dimintai perlindungan, segera ia melompat ke sana untuk berlindung di belakang Siau-siang-cu.
Tapi Siao-ltong-Ii anggap seperti tidak tahu saja, ia memutar tubuh, pedang di tangan kiri menusuk ke arah In Kik-si dan pedang icanan menusuk Nimo Singh.
Cepat Nimo Singh menggunakan tongkat kiri untuk menahan tubuh, tangan kanan menangkis dengan senjata ular besi.
Namun kembali terdengar jeritan Ci-keng disusul dengan suara nyaring jatuhnya pedang, rupanya pergelangan tangan Ci-keng kembali terkena pedang lagi.
Serangan ini terlebih aneh daripada yang duluan tadi, sudah jelas jarak Siao-liong-li dengan Ci-keng sangat jauh, ketika dia menyerang In Kik-si dan Nimo Singh, tahu2 dia sempat pula melukai Ci-keng.
"Hm, hebat benar ilmu pedang nona, biarlah akupun belajar kenal padamu," jengek Siau-siang-cu sambil mendorong dengan tangan kirinya ke samping, kontan Ci-keng merasa ditolak oleh suatu tenaga raksasa dan jatuh terguling hingga beberapa meter jauhnya, untung Lwekangnya cukup kuat.
Meski sudah terluka tiga tempat, tapi masih sanggup bertahan dan merangkak bangun, Dalam pada itu pentung Siau-siang-cu juga lantas menghantam ke arah Siao-liong-li.
Si dogol Be Kong-co selalu bersimpatik kepada Nyo Ko dan Siao-liong-li, kiai iapun merasa tidak adil melihat Siao-liong-li diserang In Kik-si dan Siau-siang-cu pula.
Segera ia berteriak: "Huh, tidak tahu malu, beberapa tokoh Bu-lim mengerubut seorang nona cilik!" Sudah tentu Siau-siang-cu dan In Kik-si merasa jengah, biarpun mereka tidak ambil pusing urusan harga diri segala, tapi biasanya merekapun cukup angkuh, jangankan main keroyok, sekalipun satu lawan satu juga mereka kurang terhormat berkelahi dengan seorang nona muda.
Tapi sekarang menyadari pasti bukan tandingan ilmu pedang Siao-liong-li yang ajaib itu jika cuma mengandalkan kepandaian seorang saja, maka mereka pura2 tidak tahu saja atas olok2 Be Kong-co itu, diam2 mereka mengomel dalam hati terhadap si dogol yang malah - membela orang luar daripada kawan sendiri Mereka tidak berani lagi meremehkan Siao-liong-li, mereka pikir kalau berlangsung lama, mungkin ilmu pedang Siao-liong-li itu akan dapat ditemukan titik kelemahannya.
Karena itu mereka lantas memainkan segenap kepandaian untuk menjaga diri, senjata mereka berputar sedemikian kencang sehingga yang terlihat hanya selapis kabut belaka, yang mengelilingi tubuh mereka.
Siao-liong-li memandang tenang ketiga orang itu, pikirnya: "Aku tiada permusuhan apa2 dengan kalian, siapa ingin bergebrak dengan kalian?" Dilihatnya Ci-keng sedang mengkeret ke sana dan hendak mengeluyur pergi, segera ia melangkah maju.
Tapi Nimo Singh dan Siau-siang-cu lantas mengalanginya dengan rapat.
"Kalian mau menyingkir tidak?" bentak Siao-liong-li dengan mendongkol.
"Tidak mau! Apa kemampuanmu keluarkan saja semua!" tantang Nimo Singh yang berangasan itu.
Karena kedua kakinya buntung atas jarum berbisa Li Bok-chiu dan Nyo Ko, ia tahu Nyo Ko adalah kekasih Siao-liong-li, maka rasa dendamnya itu sebisanya akan dilampiaskan atas diri Siao-Iiong-li, maka pikirannya sekarang berbeda dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si, ia sudah nekad, kalau perlu hendak mengadu jiwa dengan Siao-liong-li.
Sama sekali Siao-liong-li tidak menjadi marah, dilihatnya Ci-keng sudah kabur ke ruangan belakang, ia mencoba memburu, tapi dirintangi lagi oleh Nimo Singh dan Siau-siang-cu.
Watak Siao-liong-li adalah pendiam dan sabar, urusan apapun tidak pernah membuatnya gelisah atau ter-buru2, seperti halnya pengejarannya kepada ln Ci-peng dan Tio Ci-keng yang berlangsung bulanan dan tetap hanya dikuntit belaka, sekarang iapun tetap sabar saja, ia biarkan ketiga lawannya memutar senjata sekencangnya, ia sendiri malah menonton belaka seperti tiada terjadi apa2.
Orang pertama yang tidak tahan lagi adalah Nimo Singh, sambil meraung ia terus menerjang maju dengan senjata ular besinya.
Tapi sekali dia mulai menyerang, segera tempatnya menjadi luang, ketika Siao-liong-li putar pedangnya, cepat Nimo Sing menangkis dengan tongkatnya sambil melompat mundur.
Namun begitu bahunya sudah terasa sakit, waktu ia mengamati kiranya baju di bagian bahu kiri ada lima lubang kecil, darah segar tampak me-rembes dari situ.
Sekali menyerang tidak berhasil dan berbalik ia sendiri malah terluka, tentu saja Nimo Singh sangat penasaran, tapi juga tambah jeri, ia tidak berani lagi sembarangan bertindak.
Mereka hanya berdiri di tempatnya sambil memutar senjatanya.
Siao-liong-li tetap berdiri di tengah dan tenang2 saja menghadapi ketiga lawan yang memutar senjatanya seperti kitiran itu, Lama2 Siau-siang-cu bertiga menjadi gemas karena si nona diam saja tidak melayani mereka.
Tidak lama kemudian, tiba2- In Kik-si mendapat akal, ia berseru: "Siau-heng dan saudara Singh, marilah kita mendesak maju dengan pelahan.
" Nimo Singh dan Siau-siang-cu tidak paham maksud sang kawan, tapi mereka kenal In Kik-si sebagai saudagar besar negeri Persi, pengalamannya luas dan pengetahuannya tinggi, cerdik dan pintar pula, maka mereka percaya tujuannya pasti bagus, segera mereka menurut dan melangkah maju satu tindak.
Berbareng In Kik-si juga melangkah maju-sambil memutar senjatanya tanpa peluang sedikitpun.
Habis itu, setelah merasa pertahanan mereka tetap rapat dan kuat, lalu In Kik-si menyerukan kawan2nya melangkah maju lagi setindak.
Baru sekarang Nimo Singh dan Siau-siangcu melihat jelas bahwa lingkaran kepungan mereka terhadap Siao liong-li sudah semakin ciut.
walaupun begitu mereka tikak berani menyerang melainkan cuma bertahan saja, mereka putar senjata dengan kencang hingga mirip tembok baja yang tak tertembuskan dan sebentar2 lantas mendesak maju lagi selangkah.
Melihat musuh semakin mendesak maju, lama2 dirinya tentu akan tergencet mati di tengah, mau tak-mau Siao-liong-li harus bertindak, mendadak kedua pedangnya menusuk ber-ulang2, terdengar suara "trang-tring" yang ramai, setiap tusukannya selalu terbentur senjata lawan.
Beberapa puluh kali ia menyerang dan selalu tertangkis oleh lawan, sementara itu ketiga orang itu telah melangkah maju pula.
Siao-liong-li menjadi rada tak sabar waktu ia melangkah mundur, terasa kakinya tersandung sesuatu dan tergeliat, untung Siau-siang-cu bertiga cuma bertahan saja dan tidak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, kalau tidak tentu Siao liong-li bisa celaka.
Di lantai banyak berserakan senjata2 para Tosu yang terjatuh tadi, karena kesandungnya itu, tiba2 timbul pikiran Siao1iong-Ii untuk memanfaatkan senjata itu untuk membobolkan pertahanan ketiga musuh.
Karena pikiran itu, sedikit ia menggeser ke kanan, segera kaki kiri mencukil sebatang pedang yang jatuh di lantai itu, secepat kilat pedang itu menyamber ke arah Nimo Singh, menyusul kaki Siao-liong-li yang lain mencukit pula dan sebatang pedang menyamber.
lagi ke muka Siau-siang-cu dan begitu seterusnya hingga belasan pedang dia hamburkan ke arah lawan.
Beberapa pedang yang menyamber tiba itu da-pit ditangkis Nimo Singh dan kawannya hingga terbang balik ke arah Siao-liong-li, tapi sekali sampuk dengan pedangnya, pedang tak bertuan itu kembali menyamber ke arah In Kik-si.
Begitulah terjadi hujan pedang, keruan Siau-siang-cu bertiga menjadi kelabakan, semula mereka masih dapat menyampuk dan menangkis pedang yang menyamber tiba, tapi makin lama, makin cepat datangnya pedang2 itu hingga mereka dibikin kerepotan Suatu ketika In Kik-si sedang menangkis sebatang pedang yang menyelonong ke mukanya, tahu2 pedang yang lain menyamber tiba pula ke perutnya, supaya perutnya tidak tertembus, terpaksa In Kik-si melompat mundur ke samping, Dan karena inilah pertahanan mereka lantas bobol, peluang itu segera digunakan oleh Siao-Iiong-li untuk menyelinap ke ruangan belakang.
Ginkang Siao-liong-li jauh lebih tinggi daripada Siau-siang-cu bertiga, begitu dia sudah lepas dari rintangan, secepat terbang ia terus mengejar ke arah larinya Tio Ci-keng tadi.
Seketika Siau siang-cu bertiga masih sibuk melayani berpuluh senjata yg dihamburkan Siao-Iiong-Ii tadi, sesudah senjata2 itu dipukul jatuh barulah mereka dapat berhenti.
Sejenak kemudian dan belakang sana terdengar kumandangnya suara benturan senjata, dari suara menderingnya senjata itu jelas Siao liong li telah ke-pergok Kim lun Hoat-ong dan sudah mulai bertempur.
Sebenarnya ketiga orang itu sudah jeri menghadapi Siao-Iiong-li, kini mereka lantas mendapat angin lagi karena Kim-lun Hoat-ong juga sudah tiba, Segera ln Kik-si berseru: "Marilah kita susul kesana.
" Segera ia mendahului berlari ke belakang di susul oleh Siau-siang-cu dan Nimo Singh serta para Busu Mongol.
Semua orang hanya pandang Siao-liong-li sebagai musuh satu2nya sehingga tidak menaruh perhatian lagi kepada para Tosu Coan cin-kau, Maka setelah semua musuh sudah pergi, Ci-peng, Ci-siang dan lain2 lantas saling tolong melepaskan tali ikatan serta menjemput pedang masing2, berbondong-bondong merekapun cepat menyusul kebelakang.
Begitu rombongan Siau-siang-cu sampai di depan Giok-hi-tong, tertampaklah bayangan roda berkelebatan dan cahaya pedang berseliweran, suara geraman Kim-lun Hoat-ong terdengar menggelegar sedangkan Siao-liong-li dengan baju putihnya tampak lemah gemulai, kedua orang sedang bertempur dalam jarak jauh.
Sementara itu rombongan In Ci-peng juga sudah menyusul tiba, melihat mulut gua Giokhi tong sudah tersumbat batu, nasib kelima guru mereka tak diketahui, tentu saja mereka kuatir.
Be-ramai2 mereka mendekati mulut gua, tapi mereka lantas dicegat oleh Darba dan Hotu, hanya beberapa gebrakan saja para Tosu Coan-cin-kau itu sudah didesak mundur.
"Suhu, Suhu! Baikkah engkau!" seru Ci-heng kuatir se-akan2 orang hendak menangis.
Ci-peng pikir kepandaian kelima guru dan paman guru cukup lihay dan tidak mudah dikurung begitu saja oleh musuh, mungkin sekali semadi mereka sedang memuncak sehingga tidak sempat mengurus apa yang terjadi di luar gua ini, sekarang Ci-heng berteriak2, jangan2 malah akan mengacaukan pikiran orang2 tua itu.
Maka cepat ia memberikan tanda kepada Ong Ci-heng agar jangan bersuara lagi.
Ci-heng lantas menyadari hal itu, cepat ia membangunkan Song Tek-hong yang menggeletak di samping gua sana, melihat lukanya cukup parah, lekas ia memberi pertolongan seperlunya.
pertarungan Kim-lun Hoat-ong dan Siao-liong-li sedang berlangsung dengan sengitnya, namun Hoat-ong tampak lebih banyak berjaga daripada menyerang, cuma setiap diserang beberapa kali iapun balas menyerang satu kali, kelima rodanya yang ber-beda2 daya tekanannya itu memaksa Siaoliongli tak berani terlalu mendekat.
Melihat pertempuran dahsyat itu, diam2 Siau-sian-g-cu bertiga merasa kagum dan juga iri, mau-tak-mau merekapun mengakui kalau Kim-lun Hoat-ong memang pantas diangkat menjadi jago nomor satu di negeri Mongol.
Semula mereka bermaksud membantu Hoat-ong, tapi demi teringat gelar "jago nomor satu", karena rasa iri hati, seketika mereka tidak jadi membantu Hoat ong.
Padahal meski tampaknya Hoat-ong dapat balas menyerang dengan hebat, tapi sebenarnya dalam hati dia mengeluh.
Cara Siao-liong-li seorang memainkan dua pedang ternyata lebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Nyo Ko.
Kim-lun Hoat-ong adalah seorang tokoh berbakat ilmu silat yang sukar dicari bandingannya, sejak dia dikalahkan gabungan Nyo Ko dan Siao-liong-li, senantiasa ia berusaha memecahkan cara mengatasi ilmu pedang kedua muda-mudi itu.
Kebetulan di sini ia pergoki Siao-liong-li dalang sendirian tanpa didampingi Nyo Ko, tentu saja ia bergirang, ia pikir jika Siao-liong-li dibinasakan maka selanjutnya dia takkan ada tandingan lagi, siapa tahu setelah bergebrak barulah ia merasakan ilmu pedang Siao-liong-li sendirian justeru terlebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Nyo Ko.
Sebab itulah baru beberapa puluh jurus saja keadaan Hoat-ong sudah terdesak dan ber-ulang2 hampir termakan oleh pedang lawan, terpaksa ia tak berani main timpuk dengan roda lagi, ia tarik kembali rodanya satu persatu sehingga akhirnya dia cuma berjaga diri saja dan tidak menyerang, serupa dengan Siau-siang-cu bertiga tadi.
Pertarungan mereka semakin sengit dan cepat luar biasa, sekalipun tokoh2 macam Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 juga sukar mengikutinya.
Di tengah bayangan putih dan kelebat cahaya beraneka warna kelima roda Kim-lun Hoat-ong itu, se-konyong2 Nimo Singh merasa mukanya sakit sedikit seperti digigit nyamuk, ia terkejut dan coba meraba muka sendiri, terasa tidak apa2, tapi pada jari tangan yang meraba itu ada setitik darah segar.
ia melengak, segera dilihatnya pula badan ln Kik-si juga terciprat dua-tiga titik darah, baru sekarang ia tahu di antara kedua orang yang sedang bertempur itu ada yang terluka.
Selang tak lama pakaian Siao-liong-li yang putih itu tampak penuh oleh bintik2 merah darah sehingga seperti lukisan di atas kain sutera putih.
"Hah, perempuan siluman itu sudah terluka," ojar Nimo Singh dengan gembira.
Di antara berkelebatnya sinar pedang segera terdengar pula suara geraman Hoat-ong yang tertahan.
Siau-siang-cu lantas menanggapi ucapan Nimo Singh tadi: "Tidak, Hwesio gede itu yang terluka!" Setelah berpikir, Nimo Singh percaya ucapan Siau-siang-cu itu memang tidak salah, darah segar itu memang terciprat dari tubuh Hoat-ong ke baju Siao-liong-li.
ia menjadi kuatir kalau Hoat-ong sampai terbunuh, tentu sukar lagi untuk mengatasi Siao-liong-li, cepat ia berseru: "ln-heng dan Siau-heng, dari kita maju sekalian.
" - Sambil memutar senjata ular besi pelahan2 ia lantas raerunduk ke belakang Siao-liong-li.
Melihat gelagat jelek, mau tak-mau Siau-siang-cu dan In Kik-si harus bertindak juga, segera merekapun menerjang maju dari kanan dan kiri.
Keadaan lantas berubah seketika, betapapun tinggi kepandaian Siao-liong-li juga tidak dapat menahan serentak keempat tokoh kelas wahid itu, sekalipun yang menghadapi mereka adalah Ciu Pek-thong, Ui Yok-su atau Kwe Cing juga sukar seorang melawan empat tokoh sehebat itu.
Hoat-ong sudah terluka dua kali, tapi tidak mengenai tempat yang mematikan apalagi sekarang kedatangan bala bantuan, hatinya menjadi lega dan serangannya segera bertambah gencar, kalau tadi dia cuma bertahan saja, sekarang ia berebut menyerang bersama ketiga kawannya.
Pertarungan dahsyat ini membuat para Tosu Coan-cin-kau dan kawanan Busu Mongol ikut berdebar, be-ratus pasang mata sama tertuju ke tengah kalangan tempur, pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh yang dahsyat disertai berhamburnya batu pasir dan debu, berpuluh potong batu besar yang tadinya menyumbat mulut gua Giok-hi tong itu telah runtuh, lima Tosu berjubah kuning tampak melangkah keluar dari gua, mereka adalah Khu Ju-ki berlima.
Dengan girang In Ci-peng, Li Ci-siang dan lain lantas memapak maju dan berseru: "Suhu!" Darba dan Hotu terkejut, mulut gua itu tersumbat batu besar sebanyak itu, mengapa bisa dibobolkan seketika.
Cepat mereka menerjang maju dengan senjata masing2.
Mendadak Khu Ju-ki berlima mengelak ke samping, serentak sepuluh tangan mereka bergerak dan menahan di punggung Darba dan Hotu, begitu terpegang terus di dorong, kontan kedua orang itu dilemparkan ke dalam Giok-hi-tong.
Padahal kepandaian Darba dan Hotu seimbang dengan Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian, walaupun lebih rendah daripada Khu Ju-ki dan Ong Ju - it, tapi juga tidak kecundang hanya dalam satu kali gebrak saja.
Rupanya selama kelima tokoh Coan cin-kau itu bertapa di dalam Giok-hi-tong untuk mencari ilmu cara mengalahkan Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, selama itu mereka harus memeras otak dan merenungkan titik2 kelemahan ilmu silat Ko-bong-pay itu, namun apa yang pernah mereka lihat dari permainan Nyo Ko dan Siao - liong - li itu ternyata teramat hebat, setiap jurusnya se-akan2 merupakan maut bagi ilmu silat Coan-cin-pay, jadi tidak mungkin di temukan lubang kelemahannya.
Tapi akhirnya Khu Ju-ki menemukan satu jalan, kalau kalah dalam hal kebagusan jurus serangan, kelemahan ini harus ditambal dengan tenaga gabungan lima orang.
Maka langkah pertama yang mereka latih adalah cara menyerang musuh secara serentak dengan tenaga gabungan mereka.
Karena menyadari di antara anak murid Coan-cin-kau sekarang tiada tokoh yang menonjol, hanya dengan tenaga orang banyaklah mungkin bisa bertahan, maka selama lebih sebulan ini mereka berhasil menciptakan satu jurus yang disebut "Pek-joan-hui-hay" (beratus sungai mengalir ke laut) Waktu Kim-lun Hoat-ong bersama kawanan Busu Mongol menyumbat gua, jurus Pek-joan-hui-hay itu sedang terlatih sampai titik yang menentukan dalam keadaan begitu sedikitpun pikiran mereka tidak boleh terpencar, karena itulah meski tahu jelas musuh sedang menyerang, terpaksa mereka tidak menggubris.
Baru sesudah latihan mereka telah sampai pada puncaknya, segala sesuatu sudah lancar, mendadak barulah mereka membobol mulut gua dan keluar, Cuma sayang, karena ter-buru2 menghadapi musuh, kekuatan ilmu mereka itu baru mencapai delapan bagian saja, walaupun begitu juga Darba dan Hotu tidak dapat menahannya, mereka kena dilemparkan ke dalam gua dan terbanting semaput Waktu Khu Ju-ki memandang ke sana, ter-tampak Kim-lun Hoat-ong berempat sedang mengerubuti Siao-liong-li.
Hanya sebentar saja mereka mengikuti pertarungan itu, segera mereka saling pandang dengan wajah pucat dan semangat lesu, pikir mereka: "Sungguh celaka, kiranya ilmu silat Ko-bong-pay sedemikian bagusnya, untuk mengalahkannya jelas tiada harapan selama hidup ini.
" Kepandaian Kim-lun Hoat-ong berempat jauh lebih tinggi daripada kelima tokoh utama Coan-cin kau ini, menurut penilaian Khu Ju-ki, kalau mendiang gurunya masih hidup tentu dapat mengungguli mereka, Ciu-susiok (maksudnya Ciu Pek-thong) mungkin juga lebih tinggi setingkat daripada mereka tapi kalau sekaligus dikeroyok empat orang ini, besal kemungkinan juga sukar menandingi mereka.
Dalam pada itu pertarungan di tengah kalangan telah berubah lagi keadaan nya, Siao-liong-li terus menyerang, tapi Kim-Iun Hoat-ong berempat bertahan dengan rapat dan jarang balas menyerang, namun setindak demi setindak mereka terus mendesak maju sehingga semakin tidak menguntungkan Siao-liong-Ii.
Beberapakali Siao-liong-Ii bermaksud menjebol kepungan musuh, namun penjagaan Hoat-ong berempat sangat rapat, setiap kali selalu dipaksa mundur lagi, ia menyadari gelagat jelek, apalagi tenaga sendiri juga semakin berkurang setelah bertempur sekian lama, sedangkan Khu-Ju-ki berlima dilihatnya juga sudah berada di samping, kini di sekelilingnya adalah musuh semua, sedangkan ia cuma sendirian, jiwanya mungkin akan melayang di tempat orang Coan-cin-kau ini.
Dalam keadaan demikian tiba2 terpikir olehnya: "Begini sudah nasibku, biarpun mati juga tidak perlu disayangkan lagi, Cuma.
. . cuma dekat ajalku ini betapapun aku ingin dapat melihat muka Ko-ji untuk penghabisan kalinya.
Dimanakah dia saat ini" Ah, besar kemungkinan dia sedang ber-mesra2an dengan nona Kwe, mereka tentu sedang dimabuk cinta, bisa jadi mereka sudah menikah, sebagai pengantin baru mana dia ingat kepada perempuan bernasib malang yang sedang dikerubut orang ini" Akan tetapi.
. . " "Ah, tidak, tidak! Ko-ji pasti takkan begitu, sekalipun dia sudah menikah dengan nona Kwe juga pasti takkan melupakan daku, Asalkan aku dapat bertemu sekali lagi dengan dia, ya, asal dapat bertemu sekali lagi dengan dia.
. . " Ketika dia meninggalkan Siang-yang dahuIu, dia sudah bertekad takkan menemui Nyo Ko lagi, tapi pada detik yang menentukan mati-hidupnya sekarang ini hatinya semakin rindu kepada Nyo Ko, dan begitu hatinya memikirkan Nyo Ko, seketika daya tempurnya menjadi lemah malah, Mestinya dia dapat memainkan dua pedang dengan cara yang berlainan dengan kedua tangan, sekarang pikirannya terganggu, permainan ilmu pedangnya menjadi rada kacau.
Melihat perubahan serangan Siao-liong-li itu, semula Kim lun Hoat ong mengira si nona sengaja hendak menjebaknya.
Tapi setelah beberapa jurus lagi dan tampaknya Siao-liong-li tidak menyadari kelemahannya sendiri itu, segera Hoat-ong melangkah maju, roda perak digunakan menjaga diri dan roda emas di tangan kanan terus menghantam ke batang pedang Siao-liong-li, Terdengarlah suara "trang" yang keras, tahu2 pedang kiri si nona mencelat ke udara dan patah menjadi dua.
Sungguh di luar dugaan Hoat-ong bahwa serangan percobaannya ini membawa hasil, menyusul roda perak di tangan lain terus mengepruk lagi ke depan, Dalam kagetnya lekas2 Siao-liong-li menenangkan diri "sret-sret-sret", kontan ia balas menusuk tiga kali, Tapi sekarang ia hanya menggunakan pedang tunggal, ilmu pedangnya sudah bukan lagi tandingan Kimlun Hoatong.
Tentu saja keadaan ini dapat dilihat oleh Siau-siang cu bertiga, serentak tiga macam senjata merekapun menyerang sekaligus.
Siao-liong-Ii hanya tersenyum hambar saja, kini dia tidak berusaha melawan lagi, sekilas dilihatnya di sebelah sana ada tetumbuhan bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya, Tiba2 terkekang olehnya dia bersama Nyo Ko berlatih Giok-Iisim-keng di semak2 bunga dahulu, Katanya di dalam hati: "Kalau aku tidak dapat bertemu lagi dengan Ko-ji, biarlah sebelum mati kukenangkan dia di dalam hati saja.
" Karena itu air mukanya berubah menjadi lembut, seketika ia tenggelam dalam lamunannya dengan tersenyum simpul.
Dengan kepungan mereka yang semakin ciut, sekali serang mestinya Hoat-ong berempat dapat membinasakan Siao-liong-li, tapi mendadak mereka melihat sikap si nona sangat aneh, seperti lupa menghadapi musuh, Keruan Hoat-ong berempat terkesiap heran dan mengira lawan memasang sesuatu perangkap, ketika itu senjata mereka sudah terangkat dan seketika terhenti di tengah jalan, Tapi sesudah merandek sejenak, segera ular besi Nimo Singh menghantam pula ke depan.
Se-konyong2 Nimo Singh merasa angin menyambar dari samping, ada orang menusukkan pedangnya, Cepat ia membaliki ular besinya untuk menangkis, tapi mengenai tempat kosong, tahu2 sesosok bayangan menyelinap lewat, kiranya In Ci-peng telah melompat ke depan Siao-liong-li serta menyodorkan pedangnya yang dipegang terbalik, jadi garan pedang dia sodorkan ke tangan si nona.
Saat itu Siao-liong-li seperti orang linglung yang memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak kerungu, pertarungan sengit tadi sudah tak dipedulikan lagi, ketika mendadak terasa tangannya berpegang pedang lagi, sekenanya ia lantas menggenggam-nya, Melihat In Ci-peng mendadak menerobos ke tengah pertempuran antara kelima tokoh kelas wanid itu, tindakan ini sama saja seperti mencari kematian.
Keruan para Tosu Coan-cin-kau sama menjerit kuatir.
Dari gerakan tubuh Ci-peng segera Hoat-ong tahu ilmu silatnya tidak tinggi dia tidak ingin mencelakainya, segera ia menyodok bahu orang dengan sikunya hingga Ci-peng terdorong ke pinggir.
Menyusul rodanya terus meagepruk pula ke muka Siao liong-li.
Ci-peng tergetar ke samping, tapi ia menjadi kuatir melihat Siao-liong-li yang Iinglung itu terancam oleh hantaman roda Kim-lun Hoat-ong, kalau saja kena pasti nona itu hancur binasa.
Tanpa pikir lagi ia lantas menubruk maju dan berseru: "Awas, nona Liong!" - ia mengadang di depannya dan menggunakan punggung sendiri untuk menyambut hantaman roda Hoatong itu.
Betapa dahsyatnya hantaman roda Hoat-ong itu tidak perlu dijelaskan lagi, mana Ci-peng sanggup menahannya" "Blang", seketika tubuhnya terhuyung ke depan.
sementara itu Siao-liong-li masih ter-mangu2 sambit memegangi pedang yang disodorkan Ci-peng tadi, maka Ci peng yang menyelonong, ke depan itu tepat menubruk ke ujung pedang itu sehingga menancap di dadanya.
Siao - liong - li kaget, baru sekarang dia sadar bahwa jiwanya telah diselamatkan oleh Ci-peng, dilikatnya punggung Ci-peng terkena hantaman roda, dada tertusuk pedang pula, semuanya tempat yang mematikan, sesaat itu rasa dendam kesumatnya yang memenuhi dada serentak berubah menjadi rasa kasihan, katanya dengan suara tersebut: "Perlu apa kau bertindak begini?" Jiwa In Ci-peng sudah hampir tamat, ia menjadi kegirangan luar biasa ketika mendengar kata.
"Perlu apa kau bertindak demikian" yang diucapkan Siao-liong-li itu, dengan suara lemah ia menjawab: "Nona Liong, aku bersalah kepadamu, dosaku tak terampunkan, apakah kau dapat memaafkan diriku?" Siao-liong-li melenggong sejenak, teringat apa yang dibicarakan antara Ci-peng dan Ci-keng di tempat Kwe Cing itu, sekilas timbul pikirannya : "Sebabnya Ko-ji hendak meninggalkan aku dan bertekad menikah dengan nona Kwe, tentu disebabkan dia mengetahui aku pernah dinodai oleh Tosu ini.
" Teringat akan hal ini, dari rasa kasihannya tadi seketika berubah menjadi dendam dan benci, rasa gusarnya lantas memuncak lagi, tanpa bicara pedangnya terus menikam ke dada Ci-peng.
Khu Ju-ki menyaksikan Ci-peng tertusuk pedang Siao-liong-li, tapi ia tak sempat menolongnya, Sekarang dilihatnya Siao-liong-li menusuk muridnya itu untuk kedua kalinya, tanpa pikir ia terus melompat maju tangan kiri menyampuk pergelangan tangan si nona yang sedang menusuk itu, tangan lain terus mencengkeram ke mukanya pula.
Karena tidak terduga tangan Siao-liong-Ii ter-sampuk sehingga pedangnya mencelat ke samping, tapi betapa cepatnya, belum pedang jatuh ke tanah sudah dapat disambernya kembali, berbareng itu iapun dapat mengelakkan serangan Khu Ju-ki, pada saat lain pedangnya juga lantas mengancam dada Khu Juki.
Pada saat itu juga terdengar In Ci-peng menjerit keras, lalu roboh dengan dada berlumuran darah.
sementara itu pedang Siao-liong-li yang lain juga lantas menusuk ke perut Khu Ju-ki.
Sekaligus diserang dengan dua pedang, betapapun hebat kepandaian Khu Ju-ki juga kerepotan dan sukar menangkisnya.
Syukur Ong Juit dan lain2 lantai menubruk maju untuk membantu, dengan demikian Kim-lun Hoat-ong berempat berbalik terdesak keluar kalangan.
Semula Hoat-ong rada heran melihat tokoh2 Coan-cin-kau itu melabrak Siao-liong-li, tapi mengingat-hal ini sangat menguntungkan pihaknya, segera ia memberi tanda kepada kawan2nya, mereka sama mundur untuk menyaksikan pertarungan sengit itu.
Betapapun hebat kepandaian kelima tokon Coan-cin- pay itu ternyata tidak lebih lihay daripada ilmu pedang Siao liong li, jurus "Pek joan-hui-hay" hasil pemikiran mereka selama sebulan ini ternyata tidak sempat dikeluarkan mereka.
sebaliknya dalam sekejap saja Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian malah kena dilukai, namun mereka masih terus bertempur mati2an.
Scjenak kemudian, "cret" bahu Sun Put-ji juga terluka oleh pedang Siao-liong-Ii, habis itu malahan mata kiri Ong Ju-it juga kena dilukai.
Lima tokoh Coan-cin-pay kini sudah terluka empat, kalah-menang sudah jelas kelihatan.
Dengan tertawa Kim lun Hoat-ong lantas berseru: "Para To-heng silakan mundur saja, biar kubereskan Suu-yati-li (perempuan siluman cilik) ini," Segera Hoat-ong memberi tanda kepada kawannya, serentak mereka mengerubut maju dengan senjata masing2.
Maka jadilah kini sembilan tokoh terkemuka mengeroyok seorang nona jelita.
Begitu Hoat-ong berempat maju, segera Khu Ju-ki berlima terlepas dan tekanan pedang Siao liong-li, sambil berteriak mereka lantas berdiri sejajar sambil tangan berpegangan tangan, tenaga lima orang lantas dipersatukan untuk menggunakan jurus "Pek-joan-hui-hay" itu.
Jurus serangan ini memang lain daripada lain kekuatannya, cepat Siao-liong-li mengegos ke samping, "Blang", debu pasir bertebaran kiranya serangan Coan-cin-ngo-cu (lima tokoh Coan-cin) itu telah mengenai Nimo Singh sehingga terjungkal Sebagaimana diketahui, kedua kaki Nimo Singh buntung dan berdiri dengan tongkat menyerupai kaki palsu, dengan sendirinya bagian kaki itu tidak kuat dan tidak tahan oleh hantaman keras itu, Untung dia sempat mengelakkan tenaga pukulan dahsyat itu, meski terbanting jatuh, tapi tidak sampai terluka, segera ia dapat melompat bangun dian berkaok-kaok murka, segera ular besinya mengepruk ke kepala Lau Ju-hian, seketika terjadi pula pertempuran sengit Melihat Nimo Singh bertempur dengan Coan-cin-ngo-cu, segera kesempatan itu hendak digunakan Siao-liong-li untuk angkat kaki.
Tapi sebelum ia melangkah pergi, tiba2 Kim-Iun Hoat-ong telah mengadangnya sambil berseru: "Saudara Singh, hadapi Siau-yau-li ini lebih penting!" Namun Nimo Singh sudah murka, teriakan Hoat ong itu tak digubrisnya, ular besinya berputar lebih kencang serangannya seiafu ditujukan kepada Coan cin-ogo-cu.
Karena perubahan keadaan ini, kedua pedang Siao-liong-li sempat melancarkan serangan, beberapa kali terhadap Kim-lun Hoat-ong, sendirian Hoat-ong bukan tandingan nona, terpaksa ia mundur dua-tiga tindak.
Pada saat itulah mendadak Siao-liong-li menjerit tajam dengan wajah pucat, kedua pedangnya lantas terlepas jatuh pula ke tanah sambil memandang terkesima ke arah semak2 bunga mawar di sebelah sana, mulutnya berkomat-kamit: "Ko-ji! Apakah betul kau, Ko-ji?" Hampir bersamaan saatnya roda emas Kim-un Hoat-ong juga menghantam dari depan, sedangkan jurus "Pek-joan-hui-hay" yang dikerahkan Coan-cin ngo-cu juga menghantam dari belakang.
serangan tokoh2 Coan-cin-pay ini sebenarnya ditujukan kepada Nimo Singh, tapi si Hindu cebol ini rupanya sudah kapok dan tak berani menangkisnya, cepat ia mengelak sehingga tenaga pukulan dahsyat itu hampir seluruhnya mengenai punggung Siao-liong-li.
Ternyata Siao-liong-li seperti orang linglung saja sama sekali ia tidak berusaha menghindar jadinya punggung terkena pukulan dahsyat, dada juga terhantam roda, tubuh lemah lunglai seorang nona jelita sekaligus menerima gencetan dua tenaga dahsyat namun begitu pandangannya masih saja tetap terarah ke semak2 bunga mawar sana, dalam sekejap itu pikirannya melayang dan jiwanya ter-guncang, gencetan dua tenaga raksasa itu se-akan2 tak dirasakan olehnya.
Karena terpengaruh oleh sorot mata si nona tanpa terasa semua orang juga berpaling ke arah semak2 bunga mawar dan ingin tahu keanehan apa yang menarik perhatian Siao-liong-li sehingga tidak menghiraukan jiwanya sendiri.
Dan baru saja semua orang berpaling, se-konyong2 sesosok bayangan orang berkelebat dari semak2 sana menerobos ke tengah2 Kim-lun Hoat-ong dan Coan-cin-ngo-cu.
"trang" pedang dibuang ke tanah, tangan orang itu melayang ke semak2 sana dan duduk dibawah pohon, di tepi semak2 bunga mawar sambil memeluk Siao-liong-li.
Orang ini ternyata betul Kyo Ko adanya! Siao-liong-Ii tertawa manis tapi air mata lantas berlinang, katanya: "Oh, Ko-ji, betulkah kau ini" Bukan sedang mimpi?" Nyo Ko menunduk kepalanya dan mencium pipi si nona, lalu menjawab dengan suara halus : "Bukan, bukan mimpi! Bukankah kau berada dalam pelukanku?" Ketika melihat baju si nona berlepotan darah, ia menjadi terkejut dan berseru kuatir: "He, lukamu parah tidak?" Setelah terkena hantaman dahsyat dari muka belakang, ketika mendadak melihat Nyo Ko muncul di situ, Siao-liong-li lupa rasa sakitnya, tapi sekarang lantas terasa isi perutnya se-akan2 berjungkir balik, ia merangkul kencang leher Nyo Ko dan berkata: "Aku.
. . aku. . . . " saking sakitnya ia tidak sanggup melanjutkan lagi.
Melihat keadaan begitu, Nyo Ko merasa ikut menderita, dengan suara pelahan ia berkata: "Kokoh, kedatanganku ini ternyata terlambat sedikit!" "Tidak, tidak, kau datang tepat pada waktu-nya!" ujar Siao-liong-li lemah.
"Tadinya kukira selama hidup ini takdapat bertemu lagi dengan engkau.
" Se-konyong2 ia merasa menggigil, lapat2 terasa sukma se-akan2 meninggalkan raganya, tangannya yang merangkul Nyo Ko pelahan2 juga melemah, Kata-nya pula dengan lirih "Ko-ji, peluklah aku!" Nyo Ko mengencangkan tangan kirinya dan mendekap Siao-liong-li di depan dadanya, macam2 pikiran berkecamuk air matapun bercucuran dan menetes di atas pipi si nona.
"Kuingin kau mendekap aku, memeluk dengan kedua tanganmu!" pinta Siao-liong-Ii.
Tapi segera dilihatnya lengan baju kanan anak muda itu kempis tak berisi, keadaannya luar biasa, seketika ia menjerit kaget: "He, Koji kenapa lengan kananmu?" Nyo Ko menggeleng dengan tersenyum getir, jawabnya dengan lirih: "Jangan pikirkan diriku, lekas pejamkan matamu dan jangan menggunakan tenaga, biar kubantu menyembuhkan lukamu.
" "Tidak!" jawab Siao liong-li.
"Kenapa lengan kananmu itu" Mengapa tidak ada lagi" Mengapa?" Meski jiwanya sendiri sedang bergulat dengan maut, tapi sedikitpun ia tidak memikirkannya dan justeru ingin tahu sebab apa Nyo Ko kehilangan sebelah lengannya, soalnya dalam hatinya anak muda yang cakap ini betapapun jauh lebih penting daripada dirinya sendiri, segenap pikiran dan perhatiannya dicurahkan untuk menjaga kepentingannya.
Hal ini sudah terjadi sejak mereka tinggal bersama di kuburan kuno itu, cuma waktu itu Siao-Iiong-li tidak menyadari bahwa inilah cinta kasih, Nyo Ko sendiri juga tidak tahu.
Mereka merasa kasih sayang antara mereka itu adalah kewajiban yang layak antara guru dan murid.
Jadi sebenarnya keduanya sudah lama cinta mencintai di luar tahu mereka sendiri.
Maka sekarang setelah mereka menyadari betapa cinta kasih antara mereka, betapapun mereka tidak ingin hidup sendirian tanpa didampingi kekasihnya, jiwa kekasih menjadi beribu kali lebih penting daripada jiwa sendiri.
Bagi Siao-liong-li, sebelah lengan Nyo Ko itu jauh lebih penting daripada soal jiwanya masih dapat hidup atau tidak, sebab itulah ia berkeras ingin tahu.
Dengan pelahan ia meraba lengan baju anak muda itu, dengan pelahan, dan benar saja di dalam lengan baju memang kosong tak berisi.
Seketika ia melupakan keadaan sendiri yang parah itu, hatinya penuh rasa kasih sayang dan haru, dengan suara lembut ia berkata: "O, Ko-ji yang malang! Apakah sudah lama kehilangan lenganmu ini" Apakah sekarang masih sakit?" Nyo Ko menggeleng dan menjawab: "Sudah tidak sakit lagi.
Asalkan kudapat bertemu lagi dengan engkau dan takkan berpisah selamanya dengan kau, apa artinya kehilangan sebelah lengan bagiku" Bukankah dengan lengan kiri saja akupun dapat memeluk kau?" Siao-liong-li tersenyum kecil, ia merasa ucapan Nyo Ko sangat tepat, berbaring dalam pangkuan anak muda itu, meski hanya lengan kiri saja yang merangkulnya juga terasa puas dan bahagia, Tadinya dia cuma berharap sebelum ajalnya dapat bertemu sekali lagi dengan Nyo Ko, sekarang keinginannya itu sudah terkabul, bahkan saling mendekap, sungguh bahagia melebihi harapannya.
Di sebelah lain Kim-lun Hpat-ong, Siau-siang cu, In Kik-si, Nimo Singh, Coan-cin-ngo-cu, para Tosu dan kawanan Busu Mongol, semuanya terdiam dan melongo memandangi sepasang kekasih ini.
sesaat itu tiada seorangpun yang ingin menyerang mereka atau boleh dikatakan juga tiada seorangpun yang berani menyerang mereka.
Meski dirubung oleh orang sebanyak itu, tapi bagi Nyo Ko dan Siao-Iiong-Hi se-akan2 dunia ini mereka punya dan tiada orang lain di sekitar mereka.
Cinta sejati, cinta yang murni, cinta yang mencapai puncaknya, bukan saja kaya miskin, pangkat atau hidup mewah sama sekali tak terpikir oleh mereka, bahkan mati atau hidup juga bukan soal bagi bagi mereka.
Kalau Nyo Ko dan Siao-liong-li tidak memikirkan soal mati atau hidup lagi, maka biarpun semua tokoh disekelilingnya itu menyerang serentak, bagi mereka juga tidak lebih hanya mati belaka dan seorang hanya mati sekali.
Sudah tentu Kim-Iun Hoat-ong dan lain2 tidak takut kepada Nyo Ko berdua, mereka cuma merasa heran dan luar biasa, jelas Siao-liong-Ii terluka parah sebelah lengan Nyo Ko sudah buntung, mereka pasti takkan sanggup melawan lagi, tapi kedua muda-mudi itu sedang asyik-masyuk dibuai cinta dengan sendirinya timbul semacam hawa keangkeran yang membuat orang lain, tak berani menindaknya secara sembarangan.
Akhirnya Siao-liong-li bertanya pula: "Sebab apakah lenganmu buntung" Lekas katakan padaku.
" Dengan tersenyum getir Nyo Ko menjawab: "Lengan buntung, dengan sendirinya lantaran di-tabas orang.
" Siao-Iiong li memandanginya dengan perasaan pedih, tiada hasratnya buat bertanya lagi siapa yang mengutungi tangan sang kekasih, kalau bernasib jelek, siapapun yang melakukannya kan sama saja.
Dalam pada itu luka di dada dan punggungnya terasa sakit luar biasa, ia tahu jiwanya tak bisa tahan lama lagi, dengan suara pelahan ia berkata: "Ko-ji, aku ingin memohon sesuatu padamu.
" "Kokoh, masakah kau sudah lupa, ketika kita berdiam di kuburan kuno kan sudah pernah kusanggupi kau bahwa apa yang kau ingin kulakukan bagimu pasti akan kulaksanakan," jawab Nyo Ko.
"Ya, itu sudah lama berselang!" ujar Siao-liong-li sambil menghela napas panjang.
"Tapi bagiku selamanya tetap begitu," jawab Nyo Ko tegas.
Siao liong-li tersenyum pedih, katanya pula dengan lirih: "Hidupku takkan lama lagi, kuingin kau mendampingi aku, menunggui aku dan memandangi aku hingga kumati, jangan kau tinggal pergi mendampingi nonamu si Kwe Hu itu.
" Hati Nyo Ko menjadi berduka dan mendadak merasa gemas pula, jawabnya: "Kokoh, sudah tentu aku akan mendampingi kau, Nona Kwe itu ada sangkut-paut apa denganku" Justeru dia yang menabas kutung lenganku ini!" "Hah, dia.
dia yang melakukan?" Siao liong li menegas dengan kaget "Mengapa dia begitu keji" Apakah.
. . . apakah disebabkan kau tidak suka padanya?" "Kita berdua begini baik, mengapa engkau meragukan diriku?" kata Nyo Ko.
"Selain kau, selamanya belum pernah kucintai gadis lain, Tentang nona Kwe ini, hm.
. . . " tapi sebelum Siao-Iiong li mendengar ucapannya ini, dia sudah pingsan dalam pangkuan Nyo Ko.
Lengan kanan Nyo Ko itu memang betul ditabas kutung oleh Kwe Hu.
sebagaimana sudah diceritakan waktu kedua orang bertengkar selagi Nyo Ko masih berbaring di tempat tidurnya karena belum sembuh dari lukanya, saking gusarnya Kwe Hu telah samber Ci-wi-kiam, pedang lemas yang terletak di meja terus ditabaskan tanpa pikir.
Dalam keadaan kepepet, sekenanya Nyo Ko rampas Siok-li-kiam yang dibawa ke situ oleh Kwe Hu itu untuk menangkis.
Tapi pedang yang dipegang Kwe Hu itu adalah senjata maha tajam dan sangat berat, yaitu pedang yang pernah digunakan mendiang Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia Kangouw tanpa ketemu tandingan walaupun Siok ii-kiam juga tergolong pedang mestika, tapi tetap tertabas kutung oleh pedang Kwe Hu itu.
Malahan saking gemasnya si nona menabas sehingga sukar baginya untuk menahan lajunya pedang, tahu2 sebelah lengan Nyo Ko juga ikut tertabas kutung.
Sama sekali tak terduga bahwa serangan itu akan mendatangkan akibat sehebat itu, kalau Nyo Ko kaget dan gusar, tak terkatakan, Kwe Hu juga melongo kesima, ia menyadari telah berbuat sesuatu kesalahan yang sukar diperbaiki lagi.
Dilihatnya darah segar terus merembes-dari lengan Nyo Ko yang sudah buntung itu, ia menjadi bingung dan tidak tahu apalagi yang harus dilakukannya.
Selang sejenak mendadak ia menjerit dan menangis terus berlari keluar sambil menutupi mukanya, Setelah bingung sejenak, segera pula Nyo Ko dapat menenangkan diri, cepat ia menggunakan tangan kiri untuk menutuk Ko-cing-hiat di bahu kanan sendiri dan merobek kain seperei untuk membalut lengan buntung itu agar darah tidak keluar lebih banyak, kemudian ia bubuhi obat luka pula, ia pikir dirinya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di situ dan harus lekas pergi.
pelahan ia berjalan beberapa langkah sambil berpegangan dinding, tapi lantaran terlalu banyak kehilangan darah, mendadak pandangannya menjadi gelap dan hampir saja jatuh pingsan.
Pada saat itulah didengarnya suara Kwe Cing sedang berteriak: "Lekas, lekas! Bagaimana keadaannya" Darahnya sudah mampet belum?" Nada suaranya penuh rasa kuatir dan cemas, Nyo Ko tahu sang paman yang belum sehat itu sengaja datang buat menjenguknya, tiba2 timbul pikirannya untuk tidak menemui Kwe Cing lagi.
Maka sekuatnya ia mengumpulkan tenaga terus menerjang keluar kamar.
Kwe Cing sendiri waktu itu belum sehat, ketika tiba2 Kwe Hu datang memberi tahu dengan menangis bahwa nona itu telah menguntungkan lengan Nyo Ko, Kwe Cing menjadi kaget, cepat ia samber palang pintu untuk digunakan sebagai tongkat sambil menahan rasa sakit ia memburu ke kamar Nyo Ko.
Tapi sebelum masuk kamar, mendadak dilihatnya Nyo Ko berlari keluar dengan berlumuran darah.
Tanpa menoleh Nyo Ko terus berlari keluar rumah, ia cemplak ke atas kuda yang tertambat di depan rumah terus dilarikan ke pintu gerbang benteng, penjaga pintu benteng pernah menyaksikan Nyo Ko dengan tangkasnya menyelamatkan Kwe Cing dari serangan pasukan mongol, maka ia tidak berani merintanginya walaupun melihat sikap anak muda itu rada aneh segera ia membukakan pintu gerbang dan membiarkan Nyo Ko pergi.
Sementara itu pasukan Mongol sudah mundur beberapa puluh li jauhnya dari benteng Siangyang, Nyo Ko tidak mengambil jalan raya melainkan melarikan kudanya ke jalan kecil yang sepi.
ia membatin. "Racun bunga cinta yang mengeram di dalam diriku ternyata tidak mematikan aku meski -sudah lewat batas waktunya, bisa jadi seperti apa yang dikatakan paderi sakti Than-tiok itu bahwa racun bunga cinta mungkin dikalahkan oleh racun jarum berbisa milik Li Bok-chiu yang kuisap itu sehingga jiwaku malah tertolong.
Dalam keadaan terluka parah seperti sekarang ini, kalau kucari Kokoh ke Cong-lam-san yang jauh itu pasti tidak tahan, apakah memang sudah ditakdirkan jiwaku harus melayang di tengah perjalanan begini?" Teringat kepada nasib sendiri yang kenyang duka derita, kecuali hidup tenteram bersama Siao liong-li di kuburan kuno itu boleh dikatakan jarang hidup dalam keadaan gembira, sekarang jiwanya sudah dekat ajalnya, satu2nya orang yang dikasihinya di dunia ini sekarang juga sudah pergi, malahan anggota badannya dibikin cacat orang pula, terpikir semua ini, tanpa terasa air matanya lantai bercucuran.
Dia mendekap di atas kuda dalam keadaan sadar-tak-sadar ia terus melarikan kudanya kedepan, yang dia harap asalkan tidak ditemukan Kwe Cing dan tidak kepergok pasukan Mongol, maka ke manapun tak menjadi soal baginya.
Karena itu tanpa-sengaja dia telah menuju ke lembah sunyi, di sana kemarin malam baru saja terjadi perkelahiannya dengan kedua saudara Bu.
Sementara itu hari sudah gelap, sekeliling sunyi senyap dan semak2 rumput belaka, ia pikir di sekitar situ pasti tiada orang lain, segera ia turun dari kudanya terus merebahkan diri, ia sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi, kemungkinan di serang binatang buas atau digigit ular berbisa juga tak dihiraukannya, terus saja ia tertidur.
Akan tetapi sampai tengah malam ia sudah terjaga karena kesakitan pada lukanya dan tak dapat pulas lagi.
Paginya waktu ia berbangkit terlihat di sisi tempat berbaringnya itu ada dua ekor kelabang besar menggeletak kaku di situ, badan kelabang2 itu loreng merah hitam dan sangat menyeramkan dengan kepala berlepotan darah.
Nyo Ko terkejut, dilihatnya pula di samping kedua bangkai kelabang itu ada bekas lumuran darah.
setelah dipikir sejenak, tahulah dia akan persoalannya.
Rupanya darah itu merembes keluar dari lukanya waktu dia tidur tadi, sedangkan dalam darahnya itu mengandung kadar racun bunga cinta, kedua ekor kelabang itu mati oleh darah beracun itu.
Nyo Ko menyeringai sendiri, tak terpikir olehnya bahwa darahnya ternyata jauh lebih berbisa daripada binatang sehingga kelabangpun tidak tahan.
Hatinya terasa pedih, duka dan penasaran tak terlampiaskan, ia menengadah dan tertawa keras2.
. . Tiba terdengar suara burung berkotek di atas bukit sana, waktu ia memandang ke sana, terlihat si rajawali raksasa tempo hari itu berdiri di puncak bukit dengan bersitegang leher dan membusungkan dada, meski tampang burung itu jelek dan menakutkan, tapi juga membawa kegagahannya yang berwibawa.
Nyo-Ko sangat girang, seperti bertemu dengan kenalan lama saja ia lantas berteriak: "He, kakak rajawali kita bertemu pula di sini" "Rajawali itu berbunyi panjang satu kali terus menerjang turun dari bukit itu.
Karena badannya besar dan kuat sayapnya pendek, bulunya jarang2, maka rajawali itu tidak dapat terbang, tapi larinya sangat cepat melebihi kuda, dalam sekejap saja ia sudah berada di samping Nyo Ko.
Ketika melihat sebelah lengan anak muda itu buntung, dengan mata tak berkedip burung itu memandanginya sa-akan2 heran.
"Tiau-heng (kakak rajawali), aku sedang tertimpa malang maka sengaja datang ke sini mencari kau," kata Nyo Ko dengan menyeringai.
Entah rajawali itu paham ucapannya tidak, yang jelas burung itu tampak manggut2, lalu memutar tubuh dan melangkah ke sana, Segera Nyo Ko menuntun kudanya dan mengintil dari belakang.
Tapi baru beberapa langkah saja, mendadak raja wali sakti itu membalik, se-konyong2 sebelah sayapnya menjulur dan "bluk", dengan keras sayapnya menyabet punggung kuda.
Betapa hebat tenaga hantaman sayapnya itu, tanpa ampun kuda itu meringkik terus roboh terkulai tak bernyawa lagi.
"Ya, benar, kalau aku sudah berada di tempat Tiau-heng tentu tidak perlu pergi lagi dan apa gunanya kuda ini?" ujar Nyo Ko.
BegituIah Nyo Ko lantas mengikuti lagi rajawali itu, Tidak lama sampailah mereka di gua tempat menyepi Tokko Kiu-pay dahulu, Melihat makam batu itu, menjadi sangat terharu, tokoh maha sakti yang tiada ketemukan tandingan semasa hidupnya itu akhirnya toh meninggal juga di lembah sunyi ini.
Melihat tingkah lakunya ini, tentu ilmu silatnya maha tinggi dan wataknya menjadi nyentrik dan sukar bergaul dengan orang lain, makanya lantas menyepi bersama rajawali sakti ini.
Cuma sayang rajawali ini meski cerdik, tapi tak dapat bicara sehingga sukar diketahui kisah hidup Tokko Kiu-pay yang pasti sangat menarik itu.
Selagi Nyo Ko duduk termenung di dalam gua, sementara itu rajawali itu telah datang dari luar gua dengan membawa dua ekor kelinci.
Cepat Nyo Ko membuat api untuk memanggang dan dimakan nya dengan kenyang.
Cara begitulah beberapa hari telah berlalu, luka lengan Nyo Ko yang buntung itu juga mulai merapat, kesehatannya semakin pulih, Setiap kali terkenang pada Siao-liong-li tentu dadanya terasa sesak dan sakit, tapi sudah jauh lebih ringan daripada dulu.
Dasar watak anak muda itu memang suka bergerak sepanjang hari dia hanya berkawan rajawali itu di pegunungan yang sunyi, betapapun ia menjadi iseng dan merasa kesepian.
Selang beberapa hari pula, kesehatan Nyo Ko sudah pulih seluruhnya.
Dilihatnya di belakang gua banyak pepohonan rindang dan pemandangan indah, dalam isengnya ia lantas melangkah ke sana.
Kira2 satu-dua li jauhnya, sampailah dia di depan sebuah tebing yang sangat curam.
Tebing itu menjulang tinggi sehingga mirip sebuah pintu angin raksasa, kira2 tiga puluh meter dibagian tengah tebing itu mencuat keluar sepotong batu seluas beberapa meter persegi sehingga menyerupai panggung terbuka.
Pada batu besar itu santar2 seperti ada ukiran huruf.
Waktu ia mengamati lebih cermat, agaknya kedua huruf itu berbunyi: "Kiam-bong" (makam pedang) Nyo Ko menjadi heran, masakah pedang juga dimakamkan apakah barangkali pedang kesayangan Tokko Kiu-pay itu patah, lalu ditanam di sini" Ia coba mendekati tebing itu, dilihatnya dinding batunya halus licin, sungguh sukar untuk dibayangkan cara bagaimana orang dahulu itu dapat memanjat ke atas.
Sampai lama sekali ia memandangi panggung batu itu dan semakin tertarik, ia pikir orang itu juga manusia, mengapa dapat memanjat ke atas tebing setinggi itu, tentu ada sesuatu yang aneh dan rahasia.
Setelah diteliti lagi sejenak, tiba2 dilihatnya dinding tebing itu memang ada sesuatu yang menang yaitu tumbuhan lumut hijau yang berjumlah puluhan rumpun secara lurus dari bawah ke atas dalam jarak satu-dua meter, Tergerak hati Nyo Ko.
ia coba melompat ke atas, ia meraba rumput lumut hijau yang paling rendah itu, hasilnya tangannya menggenggam secomot tanah, jelas lumut itu tumbuh pada sebuah dekukan, agaknya dicukil oleh senjata tajam oleh Tokko Kiu-pay dahulu, karena sudah ber-tahun2 kena air hujan, sinar matahari, dekukan itu tertimbun kotoran dan tumbuhan lumut itu.
Karena iseng, Nyo Ko menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang terdapat pada makam pedang itu, Cuma sebelah tangannya buntung, untuk memanjat kurang leluasa.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun dia anak muda yang berkemauan keras, segera ia kencangkan ikat pinggang, ia kumpulkan tenaga dan melompat setinggi-nya ke atas, begitu sebelah kakinya menginjak dekukan dinding itu segera melompat lagi ke atas, sebelah kakinya mendepak tepat pada rumpun lumut tingkat kedua, ternyata tempatnya lunak, kakinya dapat menghinggap di situ.
Dan begitulah seterusnya ia melompat lebih 20 kali ke atas dengan menggunakan tangga dekukan dinding itu, namun akhirnya terasa tenaga mulai lemas, untuk memanjat lebih tinggi terasa tidak kuat, terpaksa ia merosot ke bawah pula.
Ia lihat sudah tiga perempat anak tangga dekukan dinding itu dipanjatinya, kalau diulangi lagi sekali pasti akan mencapai panggung batu itu.
Segera ia duduk mengumpulkan tenaga dalam, sesudah cukup kuat, dengan cara seperti tadi ia memanjat pula ke atas dan sekaligus panggung batu itu dapat dicapainya.
Diam2 Nyo Ko bersyukur bahwa Ginkang sendiri tenyata tidak berkurang dari pada semula, meski kini tangannya buntung sebelah, ia lihat di samping kedua hurup besar "makam pedang" itu ada pula ukiran dua baris tulisan yang lebih kecil yang berbunyi: "Karena tidak menemukan tandingan lagi di dunia ini, maka pedangpun kutanam di sini, Oho, semua pahlawan tak berdaya, pedangpun tiada gunanya lagi, alangkah sedihnya bagiku" Heran dan kagum pula Nyo Ko terhadap tokoh sakti itu, ia merasa Locianpwe itu tentu sangat angkuh dan mengagulkan kemampuannya sendiri.
Cuma untuk mencapai tingkatan tiada tandingan di seluruh dunia, jelas dirinya tidak mampu, apalagi sekarang sebelah lengan sudah buntung, hal ini jelas tiada harapan selama-lamanya.
Nyo Ko duduk termenung di situ, sebenarnya pingin sekali mengetahui bagaimana macamnya senjata yang di makamkan itu, tapi ia tidak berani merusak petilasan tokoh angkatan tua itu.
Tiba2 terdengar di bawah sana ada suara barang berkotek, ia coba melongok ke bawah, tertampak rajawali sakti itu sedang melompat keatas dengan menggunakan cakarnya yang tajam mencengkeram setiap dekukan dinding tebing, Meski berat tubuhnya, tapi kakinya sangat kuat, sekali lompat dapat mencapai beberapa meter tingginya, hanya sekejap saja ia sudah berada di samping Nyo Ko.
Sesudah celingukan kian kemari sejenak, rajawali itu manggut2 pada Nyo Ko sambil berbunyi beberapa kali dengan suara yang aneh, Sudah tentu Nyo Ko melongo bingung karena tidak paham maksud burung itu.
Setelah berbunyi lagi beberapa kali, lalu rajawali itu menggunakan cakarnya yang kuat itu untuk mencakar batu2 di atas makam itu, tiba2 timbul pikiran Nyo Ko, ia menduga di makam pedang itu mungkin tertanam sebangsa kitab ilmu pedang tinggalan Tokko Kiu-pay yang maha sakti itu.
Dilihatnya rajawali itu terus mencakar dengan kedua kakinya, sebentar saja batu itu sudah tersingkir semua dan tertumpuk lah tiga batang pedang berjajar, di antara pedang pertama dan kedua terselip pula sepotong lapisan batu tipis.
Ketiga pedang dan batu tipis itu terletak berjajar di atas batu hijau yang cukup besar.
Nyo Ko coba mengangkat pedang pertama di sebelah kiri itu, dilihatnya di atas batu tempat pedang itu tertaruh ada terukir sebaris tulisan.
Setelah di baca, kiranya cuma catatan belaka yang menerangkan pedang itu sangat tajam dan semasa mudanya pernah digunakan untuk menempur jago2 silat.
Waktu ia mengamat-amati pedang itu panjangnya satu meteran itu, cahaya hijau tampak gemerdep dan memang senjata sangat tajam.
Ia coba berjongkok dan memegang batu tipis itu, di atas batu besar tepat di bawah batu tipis itupun ada ukiran tulisan yang menjelaskan: "Pedang lemas Ciwi-kiam, digunakan semasa usia 30-an, salah membunuh orang baik, senjata yang beralamat jelek, maka kubuang ke jurang sunyi" Tergetar hati Nyo Ko, ia pikir lengan sendiri justeru terkutung oleh pedang Ci-wi-kiam itu, rupanya pedang itu dibuang di jurang sunyi itu oleh Tokko Kiu-pay dan ditelan oleh ular raksasa, tapi secara kebetulan telah diketemukan olehnya.
Kalau saja di dunia ini tiada pedang tajam itu, meski dalam keadaan sakit juga lengannya takkan tertabas kutung oleh Kwe Hu.
Untuk sejenak ia ter-mangu2, ketika ia angkat juga pedang kedua, baru saja terangkat sedikit, se-konyong2 terjatuh pula di atas batu hingga menerbitkan suara keras dan mencipratkan lelatu api, keruan ia terkejut.
Padahal pedang itu berwarna gelap kotor dan tiada sesuatu tanda aneh, namun bobotnya ternyata tidak kepalang beratnya, panjangnya tiada satu meter, tapi beratnya ada 60-70 kati, beberapa kali lebih berat daripada senjata panjang yang biasa digunakan orang di medan perang, ia pikir mungkin tadi dirinya sendiri belum siap sehingga kurang kencang memegangi pedang itu.
Segera ia taruh kembali pedang pertama dan batu tipis tadi, lalu ia angkat lagi pedang yang berat itu.
Karena sudah bersiap, pedang yang beratnya 6070 kati itu bukan soal lagi baginya, ia lihat ke dua mata pedang itu puntul semua, malahan ujung pedang berbentuk setengah bundar dan tidak runcing seperti pedang umumnya, ia menjadi heran, sudah begitu berat, ujung dan mata pedang juga puntul segala apa gunanya" Di atas batu di bawah pedang itupun ada ukiran dua baris huruf yang artinya menjelaskan pedang puntul dan berat itu digunakan Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia persilatan pada waktu berusia sekitar 40-an, ia menjadi heran pula cara bagaimana orang menggunakan pedang seberat itu dan tidak tajam pula.
Selang sejenak, ia mengambil lagi pedang ke tiga, Sekali ini dia kecele lagi, Disangkanya pedang itu pasti lebih berat daripada pedang puntul itu maka sebelumnya ia telah kumpulkan tenaga untuk mengangkatnya.
Siapa tahu benda yang diangkatnya ternyata enteng sekali seperti tidak berbobot.
Waktu ia mengamati, kiranya pedang itu terbuat dari kayu, lantaran sudah terlalu tua, gagang dan batang pedangnya sudah lapuk, batu di bawah, pedang itu juga terukir keterangan "Setelah berusia 40 tahun, tidak mementingkan senjata lagi, segala benda dapat kugunakan sebagai pedang, sejak itu latihanku semakin sempurna, mulai mencapai tingkatan tanpa pedang melebihi memakai pedang" Dengan khidmat Nyo Ko meletakkan kembali pedang kayu itu ke tempat semula, ia sangat gegetun akan ilmu sakti tokoh Tokko Kiu-pay yang sukar dibayangkan, ia pikir di bawah batu hijau yang besar itu bisa jadi terpendam benda2 lain lagi.
Maka se-kuatnya ia eoba menggeser batu itu, namun di bawah batu bijau itupun cuma batu gunung saja tanpa sesuatu benda lain, tanpa terasa ia menjadi sangat kecewa.
Mendadak rajawali raksasa itu berbunyi sekali, pedang puntul yang berat itu tiba2 dipatuknya, lalu diangsurkan kepada Nyo Ko, habis itu ia berkaok dua kali lagi.
"O, kakak rajawali apakah kau ingin menjajal kepandaianku?" kata Nyo Ko dengan tertawa, "Baiklah, daripada iseng, bolehlah kita main2 beberapa jurus.
" Akan tetapi ia merasa sukar memainkan pedang puntul yang berat itu, ia lemparkan pedang itu dan menjemput pedang tajam yang pertama tadi.
Tak terduga, mendadak rajawali sakti menarik sayapnya, lalu membalik tubuh ke sana tanpa menggubris Nyo Ko lagi, sikapnya seperti mencemoohkan.
Sebagai anak muda yang cerdik pandai, segera Nyo Ko tahu maksud rajawali itu, katanya dengan tetawa: "Apakah kau ingin kugunakan pedang berat itu" Tapi kepandaianku sangat terbatas, apalagi bergebrak di tempat yang berbahaya ini, tentu aku bukan tandinganmu, untuk ini perlu kau mengalah sedikit.
" Habis berkata ia terus menukar pedang, ia coba mengerahkan segenap tenaga pada tangan kiri- lalu mulai menyerang, pedang menusuk pelahan ke depan.
Rajawali itu tidak memutar tubuh lagi, mendadak sayapnya membentang ke belakang dan tepat menyampuk pedang, untuk seketika Nyo Ko merasakan arus tenaga yang maha dahsyat mendesaknya melalui batang pedang sehingga napasnya terasa sesak.
Keruan Nyo Ko kaget, cepat ia kumpulkan tenaga untuk melawan "brak", batang pedangnya bergetar seketika pandangannya terasa gelap dan tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama barulah ia siuman kembali, dirasakannya ada bekas cairan dalam mulutnya yang manis2 sedap, agaknya dalam keadaan tak sadar ia telah makan sesuatu.
Waktu ia membuka matanya, kiranya rajawali sakti itu menggigit satu biji buah warna merah sedang dilolohkannya, ia coba mengunyahnya, rasanya persis sisa rasa dalam mulutnya tadi, agaknya sudah beberapa biji buah semacam itu telah dimakannya tanpa sadar.
Ketika ia coba mengumpulkan tenaga, rasanya pernapasan sangat lancar dan badan juga segar, cepat ia berbangkit dan coba mengulur tangan dan gerakkan kaki, rasanya malah lebih kuat daripada sebeIumnya.
Diam2 ia heran, pantasnya setelah berkelahi dan dipukul lawan hingga pingsan, walaupun tidak terluka parah sedikitnya juga akan pegal linu sekian lama, apakah barangkali buah merah yang dimakannya ini berkhasiat sebagai obat penyembuh luka serta pemulih tenaga" Waktu ia jemput lagi pedang puntul itu, rasanya sekarang terlebih ringan daripada tadi, Pada saat itu juga kembali si rajawali sakti berkaok lagi satu kali, sayapnya terus menyabet pula, ia tidak berani menyambutnya, cepat ia mengegos, tapi burung itu terus mendesak maju dan kedua sayapnya menampar sekaligus dengan tenaga dahsyat.
Nyo Ko tahu rajawali itu tidak bermaksud jahat padanya, tapi betapapun baiknya juga tetap binatang, kalau dia takdapat menahan sabetan sayapnya, bukankah jiwanya bisa melayang secara konyol" Karena itu cepat ia mundur lagi dua tindak dan rasanya dia sudah berada di tepi panggung batu itu.
Namun rajawali itu sedikitpun tidak kenal ampun, kepalanya menjulur, paruhnya yang bengkok besar itu malah terus mematuk kepala Nyo Ko.
Karena sudah kepepet, tiada jalan lain terpaksa Nyo Ko angkat pedangnya untuk menangkis.
"Prak" batang pedang itu terpatuk dengan tepat, Nyo Ko merasa tangannya tergetar dan pedang se-akan2 terlepas dari cekalan.
Dilihatnya pula burung raja wali itu pentang sayap kanan lagi terus menyabet dari samping.
Keruaa Nyo Ko terkejut, cepat ia melompat ke atas dan melayang lewat di atas kepala rajawali itu, setiba di bagian dalam panggung batu, kuatir burung itu menyusu ikan serangan lagi, segera ia memutar pedangnya ke belakang, "brek", dengan tepat pedang beradu pula dengan paruh rajawali.
Nyo Ko berkeringat dingin karena sempat lolos dari bahaya, cepat ia berseru: "He, Tiau-heng jangan kau anggap aku seperti Tokko-tayhiap!" Rajawali sakti itu berkaok dua kali dan tidak menyerang pula, sebaliknya Nyo Ko lantas teringat kepada cara menyerang rajawali itu tadi, burung raksasa itu pernah mendampingi Tokko Kiu-pay, besar kemungkinan ketika Tokko Ktu-pay hidup terpencil di pegunungan ini, di waktu latihan rajawali inilah yang dianggap sebagai lawannya.
Kini Tokko Kiu-pay sudah meninggal, ilmu silatnya yang maha sakti itu sudah punah, tapi dari burung ini bisa jadi akan dapat ditemukan bekas2 kesaktian tokoh angkatan lalu itu.
Berpikir demikian, ia menjadi girang dan segera, berseru: "Tiau-heng, awas seranganku ini!" Begitulah ia lantas mendahului menyerang malah ke dada rajawali itu, Sudah tentu burung itu tidak tinggal diam, sayapnya terus balas menyabet.
Sehari penuh Nyo Ko terus berkutak-kutik dengan rajawali sakti itu di atas panggung batu, tenaga rajawali itu sungguh sangat kuat, sekali sayapnya menyabet, seketika berjangkit angin keras laksana tenaga pukulan beberapa tokoh terkemuka sekaligus.
Amanat Marga 3 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Nona Berbunga Hijau 3
^