Pencarian

Kembalinya Pendekar Rajawali 3

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 3


Supaya tahu bahwa atap rumah di daerah utara jauh berlainan dengan daerah selatan, Oleh karena harus menahan salju di musim dingin, maka atap rumah daerah utara dibuat dengan sangat kuat dan kokoh, tetapi di daerah aliran sungai Hoay karena genteng yang disusun secara tindih-menindih, maka atap yang genteng tetapi praktis.
Auwyang Hong saling ukur tenaga, mereka harus salurkan tenaga pada kedua kaki agar bisa berdiri dengan kokoh.
Diluar dugaan, selang beberapa lama terdengarlah suara "kreyat-kreyot" di bawah kaki mereka, menyusul mana terdengar pula suara "kraaak" yang keras secara tiba2, tahu2 beberapa usuk rumah telah patah hingga anjlok ke bawah, atap rumah itu berlubang hingga kedua orang yang saling adu tenaga itu sama2 kejeblos ke bawah.
Ui Yong kaget sekali oleh kejadian ini, lekas2 ia menyusul turun melalui lubang atap rumah itu, namun segera terlihat olehnya kedua orang itu masih tetap tangan beradu tangan, sedang kaki mereka menginjak pada beberapa usuk yang patah tadi, sebalik-!!"v usuk2 itu justru menindih di atas badan seorang tamu hotel penghuni kamar yang ketiban malapetaka itu.
Mungkin saking kaget dan saking sakitnya oleh "rejeki tiban" itu, tamu hotel yang sial itu telah jatuh pingsan.
Buat Kwe Ceng sebenarnya tidak sampai hati bikin celaka orang lain yang tak berdosa, tetapi Auwyang Hong tidak pusingkan mati hidup orang lain, Kekuatan mereka sebenarnya seimbang, tetapi kini Kwe Ceng harus pikirkan orang yang ketindih itu dan tak tega tambahi tenaga injakannya sehingga tenaga yang saling adu itu tidak mendapatkan tempat sandaran yang kuat, maka lambat laun ia mulai terdesak di bawah angin.
Melihat tubuh sang suami rada mendoyong ke belakang, meski hanya mundur sedikit saja, Ui Yong sudah tahu Kwe Ceng bakal kecundang.
"He, Thio-sam-Li-si, Tio-ngo-Ong-liok, awas pukulan!" demikian ia lantas berteriak Menyusul tampaknya ia ayun sebelah tangannya menabok ke pundak Auwyang Hong.
Meski tampaknya sangat enteng pukulannya ini, tetapi justru adalah pukulan lihay dari ilmu pukulan "Lok-eng-cio-hoat".
Bila sampai kena digebuk, maka tenaga pukulannya akan terus meresap sampai kebagian dalam tubuh, sekalipun jago silat kelas berat seperti Auwyang liong pasti juga akan terluka parah.
Akan tetapi Auwyang Hong bukan Se-tok kalau dia gampang dipukul.
Semula ia memang terkejut sejenak ketika mendengar orang menyebut namanya yang aneh dan tak keruan itu, tetapi demi mendadak nampak pukulan orang tiba, secepat kilat ia dorong tangannya sekuat tenaganva, ia desak tenaga tangan Kwe Ceng dahulu, habis ini ia putar tangannya dan berhasil mencengkeram pundak Ui Yong, ia kumpul tenaga dalam pada ujung jarinya untuk merobek kulit daging lawan.
Cengkeraman maut ini sekaligus telah bikin tiga orang terkejut berbareng, Yakni Auwyang Hong, Kwe Ceng dan Ui Yong.
Auwyang Hong segera merasakan ujung jarinya tidak kepalang sakitnya, kiranya ia telah kena menjambret pada duri lancip "kutang berduri landak" yang dipakai Ui Yong dibagian dalam.
Tetapi karena luar biasa kuat tenaga jarinya, dengan sekali jambret tak kurang duri landak yang terbuat dari anyaman benang emas dan tak mempan senjata itu kena terobek sepotong.
Pada waktu itu juga tenaga pukulan Kwe Ceng sudah mendatang lagi setelah didorong oleh Auwyang Hong tadi, dengan sendirinya Auwyang Hong kembali menyambut dengan telapak tangannya, maka terdengarlah suara "plak" yang keras, kedua orang sama2 mundur dengan cepat, menyusul tertampaklah debu pasir berhamburan, dinding roboh dan rumah ambruk.
Kiranya beradunya tangan kedua orang tadi benar2 keras lawan keras dengan sepenuh tenaga sehingga kedua pihak sania2 tersentak mundur, tetapi mundurnya mereka telah membobol dinding tembok sampai keluar, sebab itulah setengah dari atap rumah itu telah ambruk dan menerbitkan suara gemuruh.
Ui Yong sendiri yang pundaknya kena dijambret meski belum sampai terluka, namun tidak urung iapun terkejut sekali, dalam seribu kerepotannya syukur ia masih sempat melayang keluar dari rumah yang roboh separoh itu.
Setibanya di luar, terlihat olehnya jarak antara Auwyang Hong dan Kwe Ceng tidak lebih hanya setengah tombak saja, mereka sama2 berdiri tegak tanpa bergerak, terang mereka sudah terluka dalam semua.
Ui Yong tak pikirkan untuk menyerang musuh lagi lebih dulu ia mendekati sang suami untuk melindunginya.
Dalam pada itu ia lihat kedua orang ini sama2 pejamkan mata sedang menjalankan pernapasan: lalu terdengar suara batuk dua kali, tanpa berjanji kedua orang itu sama muntahkan darah segar berbareng.
"Haha, sungguh hebat, sungguh hebat!" teriak Auwyang Hong tiba2.
Habis ini, disertai gelak-ketawa yang keras memanjang, ia lantas bertindak pergi dan sekejap saja sudah menghilang tanpa bekas.
Sementara itu berhubung terjadinya onar ini dan karena tetamu yang ketimpa malang tadi, di dalam hotel menjadi geger dan ribut.
Ui Yong tahu tempat ini tak bisa ditinggali terus, maka ia lantas gendong Kwe Hu, lalu kepada Tin-ok ia berkata: "Suhu, harap kau payang engkoh Ceng, marilah kita berangkat saja!" Sesudah tak lama mereka berialan, tiba2 Ui Yong teringat pada Nyo Ko, ia tidak tahu anak ini telah kabur kemana, karena kuatirkan luka yang diderita suaminya, urusan2 lain terpaka dikesampingkannya dahulu.
Pikiran Kwe Ceng pun cukup terang, lantaran pernapasannya kena tekanan tenaga pukulan Auwyang Hong, maka ia merasa sesak dan susah buat buka mulut, Setelah atur napas dengan menggemblok di atas pundak Kwa Tin-ok, sesudah jalan tujuh atau delapan li akhirnya semua urat nadinya berjalan lancar kembali.
"Sudah baik, Suhu," katanya kemudian.
"Sudah tiada apa2?" tanya Kwa Tin-ok sambil melepaskannya.
"Ya, tidak apa2," sahut Kwe Ceng, "Sungguh lihay sekali!" Dalam pada itu terlihat puterinya yang semalam suntuk tak tidur, mungkin saking letihnya kini sedang tertidur nyenyak di atas pundak sang ibu, hatinya menjadi terkesiap dan ingat sesuatu.
"He, di manakah Ko-ji?" ia tanya cepat.
Meski Kwa Tin-ok mengerti adanya anak muda itu, tapi dia belum tahu siapa namanya, maka pertanyaan Kwe Ceng ini membuatnya bingung tak bisa menjawab.
"Jangan kuatir. kita cari suatu tempat dulu untuk mengaso, habis itu baru kita pergi mencarinya lagi," sahut Ui Yong.
Sementara itu fajar sudah menyingsing pemandangan sekitar jalan remang2 sudah kelihatan.
"Lukaku tak berhalangan, marilah kita pergi mencarinya," ujar Kwe Ceng.
"Anak ini luar biasa cerdiknya, tak perlu kau kuatir baginya," jawab Ui Yong mengkerut kening.
Baru berkata sampai di sini, se-konyong2 tertampak olehnya belakang tembok bobrok di tepi jalan sana bayangan orang berkelebat dengan cepat, hanya melongok terus mengkeret lagi.
Mana bisa Ui Yong dikelabui, gerak tubuhnya pun cepat luar biasa, dengan gesit ia melompat ke sana terus menjambret siapa lagi dia kalau bukan si Nyo Ko yang mereka bicarakan itu.
Meski sudah konangan, bocah ini hanya tertawa haha-hihi saja.
"Kalian baru sampai, bibi" Sudah lama aku me.
. . menunggu di sini. " Nampak kelakuan anak muda ini, hati Ui Yong, merasa curiga, maka sekenanya ia menjawab: "Ya,, marilah kau ikut berangkat!" Nyo Ko ketawa terus ikut di belakang mereka.
"Kemana kau telah pergi ?" tiba2 Kwe Hu bertanya.
"Aku pergi mencari jangkerik, wah, senang sekali," sahut Nyo Ko.
"Apanya yang menyenangkan ?" ujar Kwe Hu.
"Hm, siapa bilang tidak menyenangkan ?" Nyo Ko menjengek "Ada seekor jangkerik besar telah tarung melawan tiga jengkerik kecil, kemudian datang pula dua jangkerik kecil lain membantu kawannya, pertandingan menjadi lima jangkerik kecil melawan satu jangkerik besar, Yang besar ini melompat kian kemari, yang ini diselentik dengan kakinya, yang sana digigit mulutnya.
" Menutur sampai disini, tiba2 Nyo Ko berhenti, ia tidak melanjutkan lagi.
Dilain pihak Kwe Hu rupanya menjadi ketarik oleh cerita itu hingga ia ternganga, "Lalu, bagaimana ?" tanpa tertahan ia tanya ketika orang tidak melanjutkan ceritanya.
"Tadi kau bilang tidak menyenangkan, kenapa sekarang kau tanya?" sahut Nyo Ko.
Jawaban ini membuat Kwe Hu menjadi marah, segera ia berpaling ke jurusan lain dan tidak gubris Nyo Ko lagi.
Siapa tahu hati mudanya Ui Yong ternyata belum hilang sama sekali, ketika mendengar cerita Nyo Ko itu, cukup tegang dan menarik, pula Nyo Ko memang pandai bicara, maka iapun tak tahan dan lantas tanya: "Coba terangkan pada bibi, akhirnya mana yang menang?" Nyo Ko ketawa oleh pertanyaan orang.
Dengan gampang dan secara diplomatis ia menjawab: "Pada saat yang sangat menarik itu, kalian keburu datang hingga semua jangkerik itu lari.
" Melihat lagak anak ini, Ui Yong tahu ia sengaja jual mahal, ia pikir anak ini memang pandai dan banyak akal, dari kejadian kecil ini saja kelihatan hal ini.
Tengah bicara, sementara mereka sudah sampai di suatu desa.
Meski Kwe Ceng terluka dalam, tapi ia masih gagah dan bisa bergerak leluasa, maka ia telah mohon bertemu dengan tuan rumah pada satu gedung besar.
Tuan rumah itu ternyata sangat simpatik dan suka terima tamu, ketika mendengar ada orang luka dan sakit, lekas ia perintahkan centingnya menyediakan kamar tamu.
Setelah makan, kemudian Kwe Ceng duduk bersila di pembaringannya buat merawat lukanya.
Melihat pernapasan sang suami teratur dan semangatnya segar, Ui Yong tahu sudah tiada bahaya lagi.
Waktu ia lepaskan baju luar dan diperiksa, ia lihat kutang lemas berduri landak yang dia pakai di lapis dalam itu terobek sebagian persis di atas pundaknya, sungguh sayang sekali dan terasa kaget pula, Kutang wasiat ini adalah pusaka Tho-hoa-to yang menjadi pusaka ayahnya pula, benda ini sudah beberapa kali telah menolong jiwanya dari ancaman maut, tak terduga hari ini bisa terusak ditangan Auwyang Hong.
Sambil duduk menjaga disamping suaminya, Ui Yong meng-ingat2 kelakuan Nyo Ko sejak bertemu, Entah mengapa, ia selalu merasa meski anak ini masih kecil usianya, tetapi banyak sekali terdapat hal2 aneh pada diri anak itu yang sukar dimengerti.
Teringat olehnya pada waktu Bu Sam-thong terjungkal ke bawah oleh hantaman Auwyang Hong, kalau tidak salah ia melihat Nyo Ko berdiri menonton di sebelah samping, kemudian ketika dirinya suami isteri bergebrak melawan Auwyang Hong, tertampak juga Nyo Ko masih berdiri di atas atap rumah, begitu juga pada waktu Kwe Ceng dan Auwyang liong terjeblos ke bawah, bocah itupun masih berdiri di ttmpatnya.
Kenapa anak ini punya nyali begitu be-s,ir" Mengapa ia tidak takut " Dan kenapa Auwyang Hong pun tidak mencelakai dia" Paling akhir sesudah Kwe Ceng dan Auwyang Hong menderita luka, dalam keadaan ribut2 anak itu mendadak menghilang untuk kemudian muncul l"gi ditengah jalan.
Ui Yong biasa berpikir secara teliti, ia pikir tidak perlu tanya dia sekarang, asal seterusnya ge-rafc-geriknya diawasi saja.
Begitulah, siang hari telah lalu, petangnya sesudah bersantap mereka lantas pergi mengaso sendiri2.
Nyo Ko tidur sekamar dengan Kwa Tin-ok, sampai tengah malam, diam2 ia bangun, ia membuka pintu kamar dan ngeluyur keluar.
Waktu ia menoleh, ia lihat Kwa Tin-ok sedang menggeros nyenyak.
Maka dengan berindap-indap ia mendekati pagar tembok, ia panjat ke atas satu pohon, dari sini ia melompat ke atas pagar tembok dan kemudian merosot turun keluar dengan pelahan.
Mencium bau manusia, dua ekor anjing di luar pagar itu menyalak, Tetapi Nyo Ko sudah siap sedia, dari bajunya dikeluarkan dua tulang daging yang dia sengaja simpan pada siang harinya, dia lemparkan pada anjing-2 itu.
Dapat tulang daging, anjing2 itu lupa, akan manusianya dan segera berhenti menyalahi untuk gerogoti tulang2 itu.
Setelah pilih jurusannya, kemudian Nyo Ko menuju ke arah barat-daya, setelah beberapa li ia tem-puh, akhirnya sampailah dia pada sebuah kelenteng bobrok, ia dorong pintu kelenteng itu dan masuk ke dalam.
"Ayah !" demikian ia lantas memanggil.
Maka terdengarlah suara sahutan yang berat dari dalam, yang ia kenali adalah suara Auwyang Hong.
Girang sekali Nyo Ko, ia mendekatinya, ia lihat Auwyang Hong rebah di atas beberapa kasuran bundar di depan patung pemujaan, keadaannya loyo dan napasnya lemah.
Kiranya keadaan luka yang diderita Auwyang Hong serupa dengan Kwe Ceng, cuma Kwe Ceng masih muda kuat, sebaliknya ia sudah lanjut usianya, dengan sendirinya daya tahannya jauh kalah daripada Kwe Ceng.
"Makanlah ini, ayah", sementara Nyo Ko berkata lagi sambil mengeluarkan beberapa bakpau dan diserahkan pada Auwyang Hong.
Memangnya Auwyang Hong sudah kelaparan sehari suntuk, ia hendak keluar, tapi kuatir kepergok musuh, maka sepanjang hari ia terus sembunyi di dalam kelenteng bobrok ini dengan kelaparan, kini sesudah beberapa bakpau ia jejalkan ke dalam perutnya, segera semangatnya terbangkit kembali.
"Dimanakah mereka berada kini ?" ia tanya.
Maka berceritalah Nyo Ko apa yang diketahuinya.
Ketika Nyo Ko bermalam di hotel bersama Kwe Ceng, tengah malam kembali Auwyang Hong datang menjenguk padanya.
Tak terduga malam itu Bu Sam-thong yang terluka oleh pukulan Li Bok chiu juga kebetulan menginap di hotel yang sama.
Oleh karena bekerjanya racun di tubuhnya akibat pukulan Li Bok-chiu itu, semalam suntuk ia kelabakan tak bisa tidur, ketika mendadak mendengar di atas rumah ada suara keresekan, Bu Sam-thong menyangka Li Bok-chiu telah menyusul datang lagi, maka tanpa menghiraukan luka yang sudah dideritanya segera ia lompat ke atas rumah untuk menghadapi musuh.
Di luar dugaan, musuh baru itu tidak datang, sebaliknya yang dihadapi adalah musuh kawakan.
Dahulu Auwyang Hong hendak menghancurkan ilmu silat Toan Hong-ya untuk itu pernah sengaja ia melukai Bu Sam-thong dengan pukulan yang berbisa.
Kini demi berhadapan lagi, musuh yang sudah lama ditunggu ini membikin mata Bu Sam-thong merah berapi, tanpa pikir lagi segera ia labrak maju.
Dengan sendirinya se-kali2 Bu Sam-thong bukan tandingan Auwyang Hong, baru bergebrak belasan jurus ia sudah kena dihantam sekali hingga terjungkal ke bawah rumah.
Waktu datangnya Auwyang Hong ke hoicl itu Nyo Ko memang sudah mendusin, tatkala ayah angkatnya ini ber-turut2 bergebrak dengan Bu Sam-thong dan suami isteri Kwe Ceng dan Ui Yong, selama itu Nyo Ko terus berdiri menonton di samping.
Kemudian setelah Auwyang Hong dan Kwe Ceng sama2 terluka dan ada orang yang memperhatikan dirinya, maka diam2 ia telah menyusul Auwyang Hong.
jalannya Auwyang Hong mula2 sangat cepat, sudah tentu Nyo Ko tak mampu menyandaknya, tetapi sesudah lukanya bekerja hingga melangkah saja terasa susah, maka dapatlah Nyo Ko menyusul dan memayangnya ke kelenteng bobrok.
Walaupun umur Nyo Ko masih kecil, tetapi segala hal ternyata ia paham, ia tahu kalau dirinya tidak kembali tentu Ui Yong dan Kwa Tin-ok cs.
akan mencarinya, jika terjadi begini tentu akan membahayakan jiwa Auwyang Hong yang terluka parah itu, maka lebih dulu ia telah tunggu orang di tepi jalan hingga akhirnya bertemu lagi dengan Kwe Ceng dan tengah malam ia datang pula menjenguk ajah angkatnya lagi, Begitulah sesudah dengar penuturan Njo Ko baru Auwyang Hong merasa lega, Tetapi bila teringat olehnya Kwa Tin-ok tidak berhasil dia binasakan pada siangnya, kembali ia menjadi kuatir.
"Orang she Kwe itu telah merasakan pukulanku, dalam tujuh hari terang dia tak akan bisa sembuh," demikian katanya kemudian, "lsterinya harus melayani suaminya.
tentu tak berani sembarang tinggal pergi, maka kini kita hanya kuatirkan si buta she Kwa seorang saja.
Kalau malam ini dia tidak datang, pasti besok dia akan mencari kesini, sungguh sayang sedikitpun aku tak bertenaga, Ai, aku sudah membunuh lima saudara angkatnya, kalau kini aku mati di tangannya rasanya juga.
. . juga. . . " Berkata sampai disini, ia lantas ter-batuk2.
Sementara itu Nyo Ko duduk di lantai dengan tangan menunjang janggut, sekejap itu saja timbul macam2 pikirannya.
ia lihat Auwyang Hong rebah dengan kedua tangan digunakan sebagai bantah meski rebah dengan melintang, tetapi kedua kaki orang tua ini masih tetap pasang kuda2 seperti biasanya kalau berlatih ilmu Ha-mo-kang, jadi kuda2nya mirip kodok saja.
"Ah, aku ada akal," tiba2 Nyo Ko berpikir, "biar aku taruh beberapa macam benda tajam di atas lantai, kalau si buta itu masuk begitu saja, biar dia merasakan sedikit luka dahulu.
" Karena pikiran ini, segera ia turunkan empat buah Cektay, yakni tempat menancapkan lilin yang biasa dipakai di meja sembahyang, ia buang sisa lilinnya, ia pasang cektay di mulut pintu secara berjajar dengan bagian yang lancip tajam menghadap ke atas, Habis ini ia tutup pintu kelenteng itu dengan setengah rapat, lalu ia angkat sebuah Hio-lo (tempat abu) yang terbuat dari besi, ia manjat ke atas dan pasang Hio-lo itu di atas daun pintu yang setengah rapat itu, Kemudian ia memeriksa sekitarnya lagi, ia ingin mendapatkan jebakan lain yang bisa dipasang untuk pedayai orang, tetapi tiada yang terdapat lagi kecuali di atas ruangan kelenteng bagian timur dan barat m:ising2 tergantung sebuah genta raksasa.
Begitu besar genta itu hingga sedikitnya lebih dua ribu kati beratnya dan tidak cukup dirangkul tiga orang sejajar.
Di atas genta masing2 terdapat satu gantolan besi yang sangat besar pula dan terikat kencang di atas kerangka kayu yang terbuat dari balok2 besar.
Kelenteng ini rupanya sudah sangat tua dan bobrok, tetapi kedua genta raksasa ini karena pembikinannya sangat kokoh dan kuat maka masih dalam keadaan baik.
"Jika betul-betul si buta she Kwa itu masuk ke sini, aku nanti manjat ke atas kerangka genta itu, tanggung dia tak akan bisa ketemukan aku," demikian Nyo Ko berkata dalam hati.
Waktu Nyo Ko hendak pergi ke bagian belakang untuk mencari sesuatu alat senjata yang cocok baginya, tiba2 terdengar dari jalan besar di luar berkumandang suara "tak-tek-tak-tek" yang diterbitkan oleh ketokan tongkat "besi".
Air muka Nyo Ko seketika berubah, ia tahu betul2 Kwa Tin-ok telah datang, maka cepat ia sirapkan api lilin.
Tapi segera ia ingat perbuatannya ini hanya berlebihan saja, ia pikir: "Mata si buta itu tak bisa melihat sebenarnya tidak perlu aku padamkan lilin.
" Dalam pada itu suara "tak-tek" tadi sudah makin dekat, mendadak Auwyang Hong bangkit berduduk, ia hendak kumpulkan seluruh tenaga yang masih ada padanya itu di tangan kanannya, ia hendak mendahului musuh dengan sekali pukul membinasakannya.
Nyo Ko sendiri juga ber-debar2, ia pegang Cek-tay itu dengan bagian lancip menghadap keluar, ia jaga disamping Auwyang Hong siap melawan musuh.
Memang tidak salah suara "tak-tek" tadi adalah suara tongkat Kwa Tia-ok yang meng-ketok2 tanah bila berjalan.
Meski mata Tin-ok buta, tetapi orangnya luar biasa cerdiknya, ia menduga sesudah Auwyang Hong terluka, pasti akan sembunyi di sekitar tempat ini, maka sebelum bersantap malam, di tempat pondok nya ia sudah mencari tahu dengan jelas bahwa di sekitar sini hanya terdapat sebuah kelenteng kuno yang bobrok, kecuali ini hanya rumah penduduk melulu, maka ia sudah menaksir sembilan bagian pasti Auwyang Hong sembunyi di dalam kelenteng ini.
Bila teringat olehnya kelima saudara angkatnya semua dibinasakan Auwyang Hong secara keji di pulau Tho-hoa, kini ada kesempatan bagus untuk menuntut balas, sudah tentu tidak dia lewatkan begitu saja.
Maka setelah tengah malam, dengan pelahan kemudian ia me-manggil2: "Ko-ji, Ko-ji !" Tetapi ia tidak mendapatkan jawaban, ia sangka tentu anak ini sedang nyenyak tidur, maka ia tidak mendekatinya lagi buat periksa melainkan terus keluar rumah pondok dengan melompati pagar tembok.
Kedua anjing tadi masih menggerogoti tulang yang dilempar Nyo Ko itu, maka munculnya Kwa, Tin-ok tidak di-gonggong mereka, hanya terdengar suara geraman saja beberapa kali untuk kemudian menggeragoti tulang lagi.
Pe-lahan2, akhirnya sampai juga di depan kelenteng itu, ketika Kwa Tin-ok pasang kuping, betul saja di ruangan dalam terdengar ada suara bernapasnva orang.
"Hayo, Auwyang Hong, Si buta she Kwa sudah berada di sini, kalau kau jantan, lekas keluar!" segera ia berteriak menantang.
Sambil berkata, ia ketok tongkatnya ke tanah dengan keras.
Akan tetapi Auwyang Hong tidak menyahut, ia kuatir tenaga yang sudah dikumpulkan sejak tadi itu gembos, maka tak berani ia buka suara.
Setelah ber-teriak2 beberapa kali lagi dan tetap tiada jawaban, akhirnya Kwa Tin-ok menjadi tak sabar, begitu ia angkat tongkatnya, segera ia dorong pintu kelenteng terus melangkah masuk.
Tak tersangka, mendadak terasa olehnya ada samberan angin yang berat, semacam benda antap tahu2, menghantam dari atas kepalanya, berbareng itu pula kaki kirinya yang melangkah masuk itu tepat menginjak pada tancapan lilin yang tajam itu hingga sol sepatunya tembus, telapak kakinya seketika kesakitan, Karena matanya buta, sesaat itu Kwa Tin-ok tidak mengerti apa yang terjadi, hanya lekas2 ia ayun tongkatnya ke atas, maka terdengarlah suara "trang" yang keras dan nyaring memekak telinga, Hio-lo yang jatuh dari atas itu kena dia hantam hingga terpental, menyusul ini ia jatuhkan diri pula agar kakinya tidak sampai tertancap tembus oleh benda tajam tadi.
Tak ia duga bahwa disamping lain masih terdapat beberapa Cektay pula yang sama tajamnya, keruan segera pundaknya terasa sakit sebuah tancapan lilin itu telah menusuk tubuhnya, Ketika ia pegang Cektay itu dan dicabut keluar, maka mengucurlah darah membasahi pakaiannya.
Ia tak berani lagi cerohoh, ia pasang kuping pula dan dapat mendengar suara bernapasnya Auwyang Kong, maka setindak demi setindak ia maju pelahan, sekira tiga kaki dihadapan orang, segera ia angkat tongkatnya ke atas.
"Ayo, Lo-ok but (Si binatang tua berbisa), sekarang apa yang hendak kau katakan lagi?" bentak Tin-ok.
Sementara itu Auwyang Hong sudah kumpulkan seluruh tenaga yang ada padanya dan dipusatkan pada telapak tangan kanannya, ia tunggu bila tongkat Hui-thian-pian-hok benar2 mengemplang, maka sekaligus iapun akan menghantamnya, dengan demikian supaya binasa ber-sama2.
Begitu!ah karena sama2 tidak mau serang lebih dulu, mereka berdua menjadi berdiri berhadapan saja dan sama2 tidak bergerak.
Kemudian dengan telinga Tin-ok yang tajam, akhirnya ia dengar suara napas orang yang berat dan sesak, tiba2 terkilas pula suara dan wajah kelima saudara angkatnya: Cu Jong, Han Po-ki, Lam Hi-jin dan Han Siaueng, yang menjadi korban Auwyang Hong, yang se-olah2 muncul dan be-ramai2 sedang menganjurkan padanya agar lekas turun tangan, Oleh karena itu, tidak bisa tahan lagi, dengan sekali geraman yang keras, dengan gerak tipu "Cin-ong-pian-sek" (raja Cin merangket batu), Tin-ok ayun tongkatnya menggepruk ke atas kepala orang.
Namun Auwyang Hong masih keburu berkelit, dan selagi ia hendak lontarkan hantaman balasan, tetapi apa daya" Keinginan ada, tenaga kurang.
Baru tangannya terangkat atau napasnya sudah tak bisa menyambung lagi, keruan ia menjadi lemas hingga ngusruk jatuh.
Maka terdengarlah suara "bang" yang keras dibarengi dengan muncratnya lelatu api, ujung tongkat Kwa Tin-ok telah menghancurkan beberapa ubin hingga hancur.
Kwa Tin-ok tidak memberi kelonggaran pada lawannya, sekali serang tidak kena, serangan kedua segera menyusul pula, kini tongkatnya menyerampang dari samping, jika dalam keadaan biasa, serangan Kwa Tin-ok ini cukup Auwyang Hong sambut dengan sedikit senggol saja pasti akan bikin tongkat terpental dari cekalan atau paling tidak dapat pula menghindar dengan melompat ke atas.
Tetapi kini seluruh badan Auwyang Hong lemas linu, tenaga sedikitpun tak bisa dikeluarkan, terpaksa untuk kedua kalinya ia harus robohkan diri dengan menggelinding kesamping.
Dalam pada itu dengan cepat Kwa Tin-ok sudah mainkan ilmu tongkat "Hang-mo-tiang-hoat" (ilmu tongkat penakluk iblis), ia menyerang dengan hebat, satu serangan lebih cepat dari serangan yang lain, sebaliknya gerak-gerik Auwyang liong makin lama semakin lamban dan kaku, hingga akhirnya mau-tak-mau ia kena digebuk sekali dipundak kirinya.
Menyaksikan pertarungan ini, hati Nyo Ko menjadi ber-debar2, maksud hatinya hendak maju membantu sang ayah angkat, tetapi apa daya, ia mengerti ilmu silat sendiri terlalu cetek dan tidak tahan sekali digebuk musuh, kalau berani ikut2 maju, maka tiada bagian lain kecuali antar nyawa belaka, Tetapi ia saksikan tongkat Kwa Tin-ok susul menyusul kena menghantam di atas badan Auswyang Hong, ia menjadi ngeri pula.
Agaknya memang sudah nasib Auwyang Hong yang harus alami ajaran ini, untung dia bukan jago silat sembarangan ia punya tenaga dalam yang terlatih tinggi sekali, meski dalam keadaan tak mampu membalas, tetapi ia masih mampu mematahkan serangan orang, tiap2 tenaga gebukan yang Kwa Tin-ok lontarkan selalu dia singkirkan kesamping, meski tubuhnya kena dihajar hingga babak-belur, tetapi jerohannya tiada yang terluka.
Diam2 Kwa Tin-ok menjadi heran, dalani hati ia pikir "Lo-tok-but" atau Si-binatang tua berbisa (julukan Auwyang Hoag) ini sungguh bukan main lihaynya, tiap2 hantaman tongkatnya ternyata seperti mengenai kasur saja, hanya mengeluarkan suara ?"bluk" yang keras, tetapi Auwyang Hong seperti tidak berasa saja, ia pikir kalau tidak hantam bagian kepalanya, meski seribu kali gebuk lagi belum tentu bisa mampuskan dia.
Tidak ayal lagi Kwa Tin-ok lantas ayun tongkatnya semakin cepat, kini yang dia incar hanya kepala orang.
Bermula Auwyang Hong masih bisa mengkeret kepalanya untuk menghindar beberapa kali serangan itu, tetapi sekejap kemudian ia sudah terkurung rapat dibawah samberan angin tongkat musuh yang selalu berkisar di tepi telinganya saja, keruan ia me-ngeluh, ia mengerti kalau sampai kepalanya kena di-kemplang, dapat dipastikan akan mati seketika.
Sementara itu ia lihat tongkat Kwa Tin-ok telah mengemplang lagi, dalam keadaan kepepet terpaksa Auwyang Hong harus ambil risiko dan adu untung bukannya hindarkan diri lagi, sebaliknya mendadak ia menubruk maju, dengan kencang ia berhasil jam-bret dada orang.
Tentu saja tidak kepalang kaget Kwa Tin-ok, dalam gugupnya ia sempat gunakan gagang tongkatnya menyodok ke punggung orang, Tentu saja hantaman ini tak bisa dihindarkan Auwyang Hong.
Terdengar suara tertahan, Auwyang Hong terkena hantaman itu mentah2, luar biasa sakit punggungnya hingga hampir2 ia kelengar.
Sebaliknya Kwa Tin-ok mengira hantamannya itu tak berguna sama sekali dan tidak mampu melukai lawan lagi, seketika ia menjadi habis akal, terpaksa dengan tangan kiri ia jambret orang.
Harus diketahui bahwa sebelah kaki Kwa Tin-ok memang pincang, ia bisa menubruk dan menyerang karena bantuan imbangan tongkatnya, kini karena tubuhnya kena dirangkul orang, maka setelah sekali dua kali gebrak, akhirnya tak sanggup lagi ia berdiri tegak dan jatuh terguling.
Namun belum mau Auwyang Hong lepaskan jambretan di dadanya, bahkan sebelah tangan yang lain ia hendak merangkul pinggang Kwa Tin-ok, tetapi tiba2 ia merasa tangannya menyentuh sesuatu benda keras, tidak ayal lagi ia cabut dengan cepat, waktu dia tegasi, kiranya adalah sebilah belati tajam.
Belati ini adalah senjata tinggalan Thio A Seng, salah satu saudara angkat Kwa Tin-ok, namanya 'To-gu-to" atau belati jagal sapi, meski namanya belati jagal, tetapi sebenarnya tidak pernah dibuat sembelih sapi, Belati ini luar biasa tajamnya, Karena Thio A Seng tewas di tangan Tan Lip-hong di daerah monggol dahulu, belati ini lantas jatuh di tangan Kwa Tin-ok dan selalu dibawanya seperti selalu berdampingan dengan saudara angkatnya yang sudah tewas itu.
Mengetahui belati ini kena direbut Auwyang Hong dan justru mereka dalam pergulatan secara mati-matian, keruan ia terkejut, lekas2 ia ayun kepalan kiri menjotos sebelum tikaman Auwyang sampai, karena jototan ini Auwyang Hong terpelanting jatuh, menjusul mana tongkatnya Kwa Tjn-ok segera menghantam pula.
Jotosan yang tepat kena pelipisnya itu membikin Auwyang Hong merasa matanya ber-kunang2, lekas2 ia ayun tangannya, ia timpukan belati itu kepada musuh.
Kwa Tin-ok masih keburu berkelit, maka terdengarlah suara "Trang" yang nyaring, kiranya belati itu dengan tepat mengenai genta raksasa yang berada di tengah ruangan kelenteng itu.
Meski sambitan Auwyang Hong itu tidak membawa tenaga keras, tetapi saking tajamnya belati itu tingga menancap masuk setengah senti di atas genta itu, gagang belatinya sampai ter-goyang2 tiada hentinya.
Waktu itu kebetulan Nyo Ko berdiri di samping genta, belati itu menyamber lewat hingga hampir2 pipinya keserempet, dalam kagetnya lekas2 anak muda ini memanjat ke atas kerangka genta dengan cepat.
Dipihak lain, tiba2 Auwyang Hong mendapat akal juga, ia mertgitar ke belakang genta yang tergantung itu.
Pada waktu itu suara genta yang menggema masih belum lenyap, Kwa Tin-ok hendak mendengarkan di mana Auwyang Hong bernapas, maka dengan miring kepala dan pasang kuping ia sedang mendengarkan secara teliti.
Di bawah sorotan sinar bulan, tertampaklah rambut orang tua yang kusut ini sedang mendengarkan sambil menunjang tongkat, sikapnya sangat menakutkan.
Nyo Ko memiliki otak sangat tajam, sesaat itu ia sudah dapat mengetahui sebab musababnya, maka sekuatnya cabut belati jagal sapi yang menancap tadi, lalu ia tabuh sekali lagi genta itu dengan keras, maka terdengarlah suara "trang" yang nyaring hingga suara pernapasan mereka berdua - Nyo Ko dan Auwyang Hong - tertutup hilang.
Ketika mendadak mendengar suara genta lagi, dengan cepat Kwa Tin-ok menubruk maju, namun Auwyang Hong sudah memutar pergi lagi ke belakang genta, ketika Kwa Tin-ok memukul dengan tongkatnya, tongkat itu mengenai genta hingga kembali suara "trang" yang lebih keras menggema sampai memekak telinga.
Suara keras yang susul-menyusul itu membikin anak telinga Nyo Ko se-akan2 hendak pecah, maka sesaat itu iapun tidak dengar suara lain, dalam pada itu Kwa Tin-ok telah mengamuk, dengan ayun tongkatnya ia hantam genta terus-menerus hingga suara genta semakin keras.
Melihat perbuatan orang, Auwyang Hong pikir tidak menguntungkan dirinya, bila Kwa Tin-ok mengetok genta terus, meski Kwe Ceng menderita luka, tetapi dikuatirkan Ui Yong akan menyusul datang buat membantunya.
Oleh karenanya, pada saat suara genta berbunyi hebat itu, secara berindap-indap pelahan ia bermaksud menggeluyur pergi melalui pintu belakang.
Siapa duga telinga Kwa Tin-ok memang tajam sekali, walaupun dalam menggemanya suara genta, masih bisa juga ia membedakan suara yang lain, begitu ia dengar suara menggeser tindakan Auwyang Hong, ia pura2 tidak tahu, ia masih ayun tongkatnya menabuh genta, ia menanti orang sudah bertindak pergi beberapa tindak dan sudah agak jauh meninggalkan genta, mendadak ia lantas melompat maju, ia ajun tongkatnya terus mengemplang kepala orang", Meski Auwyang Hong sudah kehilangan daya tahannya, tetapi selama hidupnya entah sudah mengalami berapa banyak badai dan tipumenipu diwaktu bertempur dengan sendirinya ia sudah ber-jaga2.
Ma-ka begitu melihat tubuh orang bergerak, segera ia tahu maksud Kwa Tin-ok, belum sampai tongkat orang mengemplang atau lebih dulu ia sudah sembunyi kembali ke belakang genta.
Keruan Kwa Tin-ok menjadi gusar, "Biarpun aku tak bisa pukul mampus kau, pasti juga aku akan bikin kau mati letih !" demikian teriaknya murka, Habis ini dengan mengitar genta segera ia mengudak.
Nampak kedua orang itu berkejaran mengitari genta, Nyo Ko insaf apabila waktu ber-Iarut2, pasti Auwyang Hong akan kehabisan tenaga, sedang keadaan sudah sangat berbahaya.
Tiba2 ia mendapat satu akal, dari atas kerangka genta ia geraki kedua tangannya memberi isyarat.
Waktu itu Auwyang Hong sedang curahkan seluruh perhatiannya untuk menghindari udakan musuh, maka ia belum lihat kode orang, setelah mengitar dua kalangan lagi baru kemudian ia lihat bayangan Nyo Ko di lantai yang lagi memberikan tanda supaya dia menyingkir semula ia tidak mengerti apa maksud anak muda ini, tetapi ia pikir kalau Nyo Ko berani suruh aku menyingkir tentu ada maksud tujuannya, maka dengan menghadapi bahaya ia lantas bertindak keluar.
Sementara itu Kwa Tin-ok telah berhenti dan tidak bergerak untuk mem-beda2kan ke jurusan mana perginya musuh.
Saat itu juga diam2 Nyo Ko copot sepatunya, lalu ia lemparkan ke bagian belakang ruangan, maka terdengarlah suara "blak-bluk" dua kali, suara jatuhnya benda di lantai.
Tentu saja Kwa Tin-ok ter-heran2 dan menjadi bingung pula, sudah terang ia dengar Auwyang Hong jalan menuju ke pintu depan, tapi mengapa di bagian belakang ada suara orang lagi.
Dan justru pada saat yang meragukan itu, Nyo Ko cepat angkat belatinya terus memotong tali gantolan yang menggantung genta raksasa itu.
Gantolan genta itu sebenarnya cukup kuat, meski belatinya sangat tajam toh sekali potong tidak nanti bisa terputus, tetapi karena beratnya genta yang tergantung, hanya setengah saja tali gantolan itu terpotong sudah tidak tahan lagi bobot genta.
Tanpa ampun lagi, dengan membawa samberan angin santer genta itu menutup ke atas kepala Kwa Tin-ok yang tepat berdiri di bawahnya.
Hebat sekali daya menurunnya genta ini hingga sewaktu Kwa Tin-ok mendengar suara angin sudah tak keburu buat melompat pergi, dalam seribu kerepotannya tiba2 ia tegakkan tongkatnya, maka terdengarlah suara "trang" pula, dengan persis genta itu menindih di atas tongkat, karena tangkisan ini, pada kesempatan mana Tin-ok berhasil meloncat keluar dari bawah genta.
Apabila lompatannya ini sedikit kasip saja dapat dipastikan tubuhnya akan ter-tindih genta hingga hancur.
Dalam pada itu lantas terdengar suara "dung.
. . gerubyak. . . klontang" secara susul - menyusul.
Tongkat tadi telah patah menjadi dua, genta pun menggelinding ke samping hingga menyeruduk bokong Kwa Tin-ok hingga orang cacat ini terlempar keluar dari pintu kelenteng, bahkan masih terguling beberapa kali, darah mengucur pula dari hidungnya dan batok kepalanya benjut.
Kasihan Kwa Tin-ok yang matanya tak bisa melihat, ia tidak tahu mengapa dan sebab apa kejadian yang mendadak itu, ia kuatir jangan2 dalam kelenteng itu terdapat pula makhluk2 aneh lain yang mengacau maka sesudah merangkak bangun, dengan ter-pincang2 lekas ia bertindak pergi.
Menyaksikan kejadian ini, mau-tak-mau hati Auwyang Hong terkesiap juga, ber-ulang2 ia mengatakan: "Sayang !" "Baiklah, sekarang si buta ini tak berani datang lagi ayah," demikian kata Nyo Ko dengan senang sesudah merangkak turun dai atas kerangka genta.
Di luar dugaan, Auwyang Hong masih geleng2 kepala saja.
"Orang ini setinggi gunung dendamnya padaku, asal dia masih bisa bernapas, pasti dia akan datang mencari aku lagi," katanya kemudian.
"Kalau begitu lekas kita berangkat pergi," ujar Nyo Ko.
"Percuma," sahut Auwyang Hong sambil geleng kepala pula, "Lukaku terlalu parah, tidak bisa jauh kita lari.
" "Lantas bagaimana baiknya ?" kata Nyo Ko menjadi kuatir.
"Ada satu akal," sahut Auwyang Hong sesudah berpikir "Kau potong putus lagi gantolan genta yang lain itu, biar aku tertutup di dalamnya.
" "Dan cara bagaimana ayah akan keluar ?" tanya Nyo Ko.
"Aku akan sekap diriku selama tujuh hari di bawah genta, sesudah pulih tenaga asliku, aku sendiri sanggup keluar dengan membuka genta itu," kata Auwyang Hong, "Dalam tujuh hari ini, sekali pun si buta itu datang mencari aku lagi, kalau hanya dengan sedikit kepandaiannya saja tidak mungkin mampu membuka genta sebesar ini.
" Nyo Ko pikir baik juga akal itu, tetapi ia masih ragu2, ia tanya lagi apa betul Auwyang Hong sanggup membuka genta buat keluar sendiri, sesudah yakin benar2 barulah ia panjat ke atas lagi buat melakukan apa yang diminta Auwyang Hong.
"Kau holeh ikut pergi saja dengan manusia she Kwe itu, kelak aku akan mencari kau ke sana," demikian Auwyang Hong berpesan.
Nyo Ko mengiakan pesan itu.
Dan sesudah Auwyang Hong duduk tepat di bawah genta, lalu ia potong gantolan genta pula hingga Auwyang Hong tertutup rapat di dalamnya.
Dari luar Nyo Ko memanggil beberapa kali, tetapi ia tidak mendapat sahutan, ia tahu di dalam genta tidak dengar suara dari luar, maka ia lantas ber-kemas2 buat pergi, Tetapi sebelum itu, tiba2 lahir pula satu akalnya, ia pergi ke ruang belakang dan mendapatkan sebuah mangkok rusak dan sebuah sikat bobrok, ia isi penuh mangkok itu dengan air jernih.
Setelah mangkok ditaruk di lantai, kemudian ia sendiri berjungkir sambil tangan kiri dimasukkan ke dalam mangkok yang berisi air itu.
Kiranya ia telah lakukan ilmu menolak hawa berbisa dalam tubuhnya menurut ajaran Auwyang Hong, ia desak keluar beberapa tetes darah beracun dari tangannya.
Ilmu ini sangat makan tenaga, sedang Nyo Ko baru mempelajari dasar2nya saja, meski dapat juga ia desak keluar beberapa tetes darah hitam, tidak urung ia sudah mandi keringat.
Kemudian dengan sikat yang tersedia itu ia celup air itu untuk semir sekitar genta, ia pikir kalau padri2 kelenteng ini kembali atau si buta she Kwa itu berani datang lagi dan bermaksud menyongkel genta ini, begitu tubuh mereka menyentuh genta-pasti mereka akan merasakan jahatnya racun ini.
Selesai ia atur tipu jebakannya, dengan langkah lebar Nyo Ko lantas pulang kepondoknya, Pada waktu melintasi pagar tembok untuk masuk kamar, dalam hati ia rada kuatir kalau2 kepergok Kwa Tin-ok.
siapa tahu sesudah dia masuk kamar, Kwa Tin-ok sendiri, malah belum kembali, ini sama sekali di luar dugaannya.
Setelah rebah dipembaringannya, Nyo Ko hanya gulang-guling saja tak bisa tidur, keadaan ini berlangsung terus sampai hari sudah terang, baru kemudian ia dengar ada suara ketokan pintu kamar dengan pentung.
Dengan cepat Nyo Ko melompat bangun buat buka pintu, maka tertampaklah olehnya dengan mencekal sebatang pentung kayu muka Kwa Tin-ok pucat lesi, begitu orang buta ini melangkah masuk segera terbanting jatuh di lantai.
Demi nampak kedua tangan Tin-ok berwarna hitam, Nyo Ko tahu jebakan beracun yang dia pasang di genta itu telah kena sasarannya, maka diam2 ia merasa girang, tetapi ia pura2 kaget dan ber-teriak2: "He, Kwa-kongkong, kenapakah kau?" Ketika mendengar suara teriakan Nyo Ko, Kwe Ceng dan Ui Yong lantas datang memeriksanya dan setelah tahu Kwa Tin-ok menggeletak di lantai, keruan mereka terkejut.
Waktu itu Kwe Ceng sudah bisa bebas bergerak, hanya tenaganya yang masih kurang, maka Ui Yong yang dukung Tin-ok ke tempat tidurnya.
"Toa-suhu, Toa-suhu, kenapakah kau?" demikian ber-ulang2 ia tanya.
Tetapi Tin-ok hanya menggeleng kepala saja, ia tidak menjawab juga tidak menerangkan.
Sesudah Ui Yong melihat bengkak hitam pada telapak orang tua itu, tahulah dia apa yang telah terjadi "Kurangajar, kembali perbuatan itu perempuan hina-dina she Li lagi Ceng-koko, biar aku pergi melabraknya," katanya dengan gemas, ia menyangka itu adalah perbuatan Li Bok-chiu.
Habis berkata, setelah bikin ringkas pakaiannya, segera Ui Yong melangkah keluar.
"Bukan perempuan itu!" tiba2 Tin-ok berseru.
Tentu saja Ui Yong heran, ia berhenti dan menoleh.
"Bukan dia" Lalu siapa lagi?" tanyanya tak mengerti.
Akan tetapi Kwa Tin-ok tidak menjelaskan lebih lanjut, ia merasa malu karena tak mampu melayani seorang yang boleh dikata sudah tak punya tenaga, bahkan dirinya sendiri kena dikibuli sehingga pulang menderita luka, sungguh boleh dikatakan terlalu tak becus.
Karena itu, turuti wataknya yang keras kepala, maka ia bungkam saja.
Di lain pihak Kwe Ceng dan Ui Yong cukup kenal tabiat orang tua ini, kalau mau bilang, sejak tadi ia sendiri sudah menutur, kalau dia sudah tak mau cerita, makin ditanya hanya akan makin menambah kegusarannya.
Baiknya luka yang keracunan hanya kulit tangan saja dan tidak lihay, meski orangnya kelengar sesaat, tetapi kelak tidak menjadi halangan.
Sementara itu Ui Yong telah ambil keputusan di dalam hati, Kwe Ceng dan Kwa Tin-ok sudah terluka, sedang kekejian Li Bok-chiu susah diukur, terpaksa angkut kedua orang luka dan antar pulang dahulu kedua bocah ini ke Tho-hoa-to, kemudian ia sendiri akan mencari Li Bok-chiu lagi dan melabraknya.
Sesudah mengaso setengah hari, sorenya mereka lantas sewa sebuah perahu kecil buat berlayar ke muara laut, Dekat magrib, perahu membuang sauh dan tukang perahunya hendak menanak nasi, Didalam perahu itu, karena Nyo Ko masih tetap tak gubris padanya, Kwe Hu menjadi dongkol dan melengos pula, ia bersandar di jendela perahu untuk memandang ke daratan, tiba2 ia lihat di bawah pohon Lui yang rindang sana ada dua anak kecil sedang menangis dengan sedih sekali, tampaknya kedua anak ini justru Bu Tun-si dan Bu Siu-bun berdua saudara.
Terhadap kedua bocah ini rupanya Kwe Hu lebih cocok, maka segera ia berseru menegur: "Hai, apa yang kalian lakukan di situ?" "Kami sedang menangis, tidakkah kau melihat ?" sahut Bu Siu-bun setelah berpaling dan mengenali Kwe Hu.
"Sebab apakah" Kalian telah di hajar ibumu bukan ?" tanya Kwe Ha lagi.
"Tidak, ibu telah mati!" sahut Siu-bun dengan menangis guguk.
Jawaban ini membikin Ui Yong ikut terkejut dengan cepat ia melompat ke-gili2.
Betul saja ia lihat kedua bocah itu menangis dengan sedih sambil meratapi mayat ibu mereka.
Waktu Ui Yong memeriksanya, ia lihat muka Bu-sam-nio hitam hangus, tampaknya sudah lama putus napasnya terang mukanya yang kena ditowel Li Bok-chiu tempo hari dengan Jik-lian-sin-ciang, meski bisa tahan beberapa hari, tetapi akhirnya mati karena bekerjanya racun.
Kemudian Ui Yong bertanya di mana beradanya Bu Sam-thong.
"Entahlah, tak tahu kemana ayah pergi.
" sahut Bu Tun-si dengan masih menangis.
"Melihat ibu rneninggal, pikiran ayah tiba2 ling-lung lagi," demikian Bu Siu-bun menambahkan, "Meski kami memanggil dia, namun sama sekali dia tidak menggubris kami.
" Hahis menutur, kembali bocah ini menangis terguguk pula.
"Kalian tentu sudah lapar bukan ?" tanya Ui Yong.
Kedua saudara Bu ini mengangguk.
Maka Ui Yong lantas perintahkan tukang perahu bawa kedua bocah ini ke dalam perahu dan diberi makan, ia sendiri lantas pergi ke kota yang terdekat buat membeli sebuah peti mati buat Bu-samnio.
Karena hari sudah petang, besok paginya baru dicarikan sebidang tanah untuk menguburnya.
Meski masih bocah, tetapi kedua saudara she Bu itu menangis sesambatan sambil meng-gabruk2 peti mati ibunya, sungguh rasanya mereka ingin ikut mangkat sekalian.
Saking harunya Kwe Ceng, Ui Yong dan Kwa Tin-ok ikut mengucurkan air mata, Nyo Ko yang berperasaan halus dan gampang tergoncang, meski sedikitpun dia tiada hubungan dengan Bu-samnio, tetapi melihat orang2 lain pada mengalirkan air mata, tanpa tahan iapun ikut menangis meng-gerung2.
Hanya Kwe Hu seorang saja yang tidak ikut menangis, Kesatu karena anak ini memang masih belum kenal adat kehidupan, kedua dia memang mempunyai hati yang keras, maka ia hanya duduk disamping memain sendiri dengan sapu tangannya.
"Yong-ji," kata Kwe Ceng kemudian pada sang isteri sesudah puas menangis, "marilah kita bawa serta kedua anak ini ke Tho-hoa-to, cuma selanjutnya kau harus lebih banyak perhatian buat merawatnya.
" Ui Yong angguk2 tanda setuju, lalu mereka menghibur kedua saudara Bu itu dan Nyo Ko agar berhenti menangis, mereka lantas lanjutkan perahunya sampai di laut, dari sini mereka ganti perahu yang besaran untuk berlayar ke arah Timur, menuju ke Tho-hoa-to atau pulau bunga Tho.
Kalau sekarang Kwe Ceng dan Ui Yong mau pelihara anak2 piatu ini adalah karena kemauan baik mereka, siapa tahu berkumpulnya keempat bocah ini di suatu tempat, kelak menimbulkan mala-petaka yang sukar diakhiri.
Begitulah rombongan mereka akhirnya sampai di Tho-hoa-to dengan selamat.
Waktu masih di atas perahu Kwe Ceng telah menyembuhkan sendiri dengan Lwekangnya yang tinggi, maka lukanya sebagian besar sudah sembuh, kini dirawat pula beberapa hari di atas pulau, maka keadaannya sudah pulih kembali seperti sediakala.
Ketika mereka suami isteri percakapkan diri Auwyang Hong yang sudah belasan tahun tak berjumpa, bukan saja tidak nampak loyo dan mundur ilmu silatnya, bahkan melebihi masa yang lalu, maka mereka menjadi heran dan ber-ulang2 menghela napas.
Berbicara tentang asal-usul diri Nyo Ko, segera Kwe Ceng keluar melihat bocah itu, ia lihat anak muda ini sedang bermain dengan puteri kesayangannya dan lagi mencari jangkerik di semak2 rumput, dia panggil anak muda itu dan diajak ke dalam kamar, ia tanya semua kejadian yang lalu padanya.
Kiranya selama itu Nyo Ko hidup berdampingan dengan ibunya, Cin Lam-khim dan tinggal di kaki bukit Tiang-nia di propinsi Kangsay, mereka hidup dari menangkap ular hingga lewat belasan tahun.
Selama itu pelahan2 Nyo Ko tumbuh besar juga, ibunya Cin Lam-khim, telah turunkan dasar2 Lwekang yang dahulu diperolehnya dari Kwe Ceng kepada puteranya ini.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dasar Nyo Ko memang sangat pintar dan otaknya encer, serta banyak pula tipu akalnya, ketika berumur tujuh atau delapan tahun, kepandaiannya menangkap ular sudah melampaui sang ibu.
Pernah ia dengar cerita ibunya bahwa di jagat ini ada orang yang bisa mengerahkan ular hingga berwujut barisan, dalam hatinya diam2 ia sangat kagum dan ketarik, maka diwaktu senggang ia suka tangkap beberapa ekor ular hijau untuk memain dan dipelihara, lama kelamaan, dia paham betul watak ular, bila ia bersuit sekali, kawanan ular lantas menurut perintah dan berbaris sendiri.
Perlu diterangkan bahwa Auwyang Hong yang berjuluk Se-tok diperoleh dari keahliannya memelihara segala macam binatang berbisa terutama ular2 yang berbisa jahat, ia tinggal di gunung Pek-to-san (gunung Ohta putih) di daerah barat, banyak dia pelihara lelaki tukang angon ular, tetapi cara angon ular kaum Pek-to-san ini adalah turun temurun, sedangkan Nyo Ko mendapatkan kepandaian ini dari bakatnya sendiri, meski cara-nya berlainan, tetapi dasarnya sebenarnya sama.
Belakangan karena kurang hati2 ibu Nyo Ko telah dipagut oleh semacam ular aneh, obat pemunah racun yang selalu dibawanya ternyata tak mempan mengobati pagutan itu hingga mengakibatkan kematiannya.
Habis itu Nyo Ko menjadi sebatang-kara, seorang diri ia ter-lunta di Kangouw, kawan satu2nya yang selalu berdampingan dengan dia boleh dikatakan melulu burung merah yang bercucuk panjang itu, siapa duga hari itu kebentur Li Bok-chiu hingga burung merah itu terbinasa ditangannya.
Hendaklah diketahui bahwa burung merah bercucuk panjang itu dahulunya adalah piaraan Ui lcong, kini demi mendengar burung itu terbinasa, berulang-ulang Kwe Ceng menyatakan sayang, rasa gemasnya pada Li Bok-chiu menjadi bertambah juga.
Kemudian ia tanya Nyo Ko pula di mana anak ini berada ketika Bu Sam-thong bergebrak dengan Auwyang Hong, ia tanya pula apa Nyo Ko kenal dengan Auwyang Hong, Namun Nyo Ko sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu tanda, bahkan ia berbalik tanya siapakah Auwyang Hong" ini adalah akalnya Nyo Ko yang sengaja mendahului tanya supaya urusan ini bisa dia cuci bersih.
Tak terduga, Ui Yong adalah wanita terpandai dan cerdik dijagat ini dengan usia Nyo Ko yang masih muda dan meski air mukanya tidak unjuk sesuatu tanda, tetapi hendak mengelabui Ui Yong, itulah tidak gampang baginya.
"Baiklah, boleh kau pergi bermain dengan kedua saudara Bu," kata Ui Yong kemudian, ia tidak ingin tanya lebih lanjut.
Jika di antara Ui Yong dan Nyo Ko diam2 telah adu kecerdasan maka Kwe Ceng yang berpembawaan sederhana otaknya sama sekali tidak mengetahuinya, ia tunggu sesudah Nyo Ko keluar, barulah ia berkata pada sang isteri.
"Yong-ji", demikian katanya, "Sudah lama aku punya satu janji dalam hati, tentunya kau mengetahui, kini berkat kemurahan Thian bisa bertemu dengan anak Ko, maka janji hatiku dapatlah terlaksana.
" Hendaklah diketahui bahwa mendiang ayah Kwe Ceng, Kwe Siau-thian, adalah saudara angkat Engkongnya Nyo Ko yang bernama Nyo Thi-sim.
Di waktu isteri kedua keluarga ini sama2 duduk perut, mereka berdua telah saling janji bahwa bila kelak yang dilahirkan itu adalah laki2 semua, maka mereka harus menjadi saudara angkat lagi, begitu pula kalau sama2 perempuan.
Tetapi kalau satu laki2 dan yang lain perempuan maka mereka harus menjadi suami-isteri.
Belakangan yang dilahirkan ternyata adalah laki2 semua, yakni Kwe Ceng dan Nyo Khong, ayah Nyo Ko, maka mereka mentaati sumpah itu dan bersaudara angkat.
Tetapi karena Nyo Khong telah khianat dan mengaku musuh sebagai bapak hingga nasibnya berakhir dengan mengenaskan ia tewas secara menyedihkan di suatu kelenteng di kota Ka-hin.
Mengingat akan hubungan orang tua itulah, maka Kwe Ceng tidak pernah melupakannya.
Kini ia berkata, segera pula Ui Yong tahu akan maksud suaminya.
"Tidak, aku tidak setuju," demikian ia menjawab dengan menggeleng kepala.
Keruan Kwe Ceng menjadi heran.
"Kenapa ?" tanyanya.
"Mana boleh anak Hu dapatkan jodoh bocah seperti dia ini," sahut Ui Yong.
"Meski kelakuan ayahnya tidak baik, tetapi mengingat keluarga Kwe kita dengan keluarga Nyo yang turun temurun berhubungan dengan baik, asal kita mengajar dia dengan baik, menurut pendapatku, jika melihat tampangnya yang cakap dan tindak-tanduknya yang cerdik, kelak bukan tidak mungkin akan di atas orang lain," ujar Kwe Ceng.
"Ya, justru aku kuatir dia terlalu pintar," kata Ui Yong lagi.
"He, aneh, bukankah kau sendiri sangat pintar, kenapa kau malah cela orang pintar ?" sahut Kwe Ceng.
"Tetapi aku justru lebih menyukai Engkoh tolol seperti kau ini," kata Ui Yong dengan tertawa.
"Tetapi kalau anak Hu sudah besar, belum tentu serupa dengan kau," ujar Kwe Ceng ikut tertawa, "kukira dia tidak menyukai seorang anak tolol.
Lagi pula, orang tolol seperti aku ini, di jagat ini agaknya sukar dicari keduanya lagi.
" "Waduh, tidak malu!" demikian Ui Yong meng-olok2.
Begitulah sesudah bersenda-gurau, lalu Kwe Ceng mengulangi lagi pada maksudnya tadi.
"Ayahku pernah meninggalkan pesan, begitu pula sebelum mangkat paman Nyo Thi-sun juga pernah pesan wanti2 padaku, maka sekarang kalau aku tidak pandang anak Ko seperti anak sendiri, mana bisa aku menghadapi ayah dan paman Nyo dialam baka.
" Habis berkata Kwe Ceng menghela napas panjang yang penuh mengandung rasa haru dan menyesal "Baiknya kedua bocah masih kecil, urusan inipun tidak perlu buru2 diselesaikan," ujar Ui Yong kemudian dengan suara lunak, "Kelak apabila betul Ko-ji tidak jelek kelakuannya, bagaimana kau suka boleh diputuskan sendiri.
" Mendengar jawaban ini, tiba2 Kwe Ceng berdiri dan membungkuk memberi hormat pada sang isteri, "Terima kasih Niocu (isteriku) telah setuju, sungguh tak terhingga rasa syukurku," demikian ia berkata.
"Aku tidak bilang setuju," tiba2 Ui Yong menjawab dengan sungguh2.
"Tetapi aku bilang harus melihat dahulu bagaimana kelakuan anak itu kelak.
" Saat itu Kwe Ceng membungkuk dan belum tegak kembali, ketika dengar jawaban isterinya ini, ia melongo.
Tetapi menyusul segera ia bilang lagi: "Ayahnya berubah menjadi busuk karena sejak kecil ia dibesarkan dalam keraton negeri Kim, tetapi sekarang Ko-ji tinggal dipulau kita, tak mungkin ia berubah menjadi jelek, janganlah kau kuatir.
" Maka tertawalah Ui Yong, segera ia alihkan pembicaraan ke urusan lain.
Kembali pada diri Nyo Ko yang tadi sedang mencari jangkerik bersama Kwe Hu.
Tatkala kedua bocah ini mulai berkenalan memang terjadi perselisihan paham, tetapi dasar watak kanak2, lewat beberapa hari saja perselisihan paham itu sudah terlupa semua maka sesudah Nyo Ko dipanggil Kwe Ceng, sekembalinya dia lantas mencari Kwe Hu lagi.
Tetapi pada waktu hampir sampai di-semak2 tadi, ia dengar suara tertawa ngikik yang ramai, kiranya kedua saudara Bu sedang berjongkok dan lagi bongkar batu dan singkap rumput untuk mencari jengkerik juga.
Setelah Nyo Ko mendekati, ia lihat tangan Bu Tun-si memegangi sebuah bumbung bambu, sedang Kwe Hu membawa sebuah belanga, Bu Siu-bun sendiri lagi membongkar dan membalik batu.
Dalam pada itu, tiba2 seekor jangkerik besar meloncat keluar dari tempat sembunyinya, lekas2 Siu-bun menubruk dan menangkapnya, maka bersoraklah dia kegirangan.
"Berikan padaku! Berikan padaku!" demikian Kwe Hu ber-teriak2.
"Baiklah, buat kau," kata Siu-bun sambil membuka tutup belanga yang dipegang Kwe Hu dan memasukkannya ke dalam.
Ia lihat jangkerik yang baru ditangkap itu kepalanya bundar besar, kakinya panjang kuat, tubuhnya bulat dan gagah sekali.
"Ha, jangkerik ini pasti jagoan yang tiada tandingannya.
" demikian Bu Siu-bun berkata, "Nyo-koko, semua jangkerikmu pasti tidak bisa menangkan dia.
" Tentu saja Nyo Ko tidak mau menyerah, segera ia pilih satu di antara jangkerik tangkapannya yang paling besar dan paling berangasan untuk diadu.
Akan tetapi baru sekali gebrag saja, jangkerik Nyo Ko telah kena digigit jangkrik besar tadi dibagian tengah pinggang terus dilempar keluar dari belanga, atas kemenangan ini jangkerik itu lantas berbunyi "krik-krik" dengan senang sekali.
"Hura, aku punya yang menang", demikian Kwe Hu kegirangan sambil bertepuk tangan.
"Jangan senang2 dulu, ini masih ada yang lain," kata Nyo Ko.
Lalu ia ajukan jagonya yang lain lagi.
Diluar dugaan, meski be-runtun2 tiga kali ia tukar jangkeriknya, tiap2 kali selalu dikalahkan jangkerik orang, bahkan jagonya yang ketiga malahan kena digigit jangkerik musuh yang besar itu hingga terkutung menjadi dua.
Dengan sendirinya Nyo Ko merasa kehilangan muka.
"Sudahlah, tidak mau lagi!" katanya terus bertindak pergi.
Pada saat itu juga, tiba2 diantara semak2 rumput di belakang sana terdengar ada suara "krok-krok" yang aneh.
"Ha, ada satu lagi," seru Bu Tun-si.
Habis ini ia lantas singkap rumput yang lebat itu, di luar dugaan mendadak ia mencelat mundur sambil berteriak kaget: "He ular, ada ular!" Mendengar kata "ular", Nyo Ko yang sudah melangkah pergi seketika berhenti, bahkan ia putar kembali buat melihatnya, Betul saja ia lihat disitu ada seekor ular belang-bonteng yang jelas kelihatan jenis ular berbisa, sedang melelet lidah dan tegak kepala sambil menyembur, hanya badannya yang masih meringkuk diantara semak2 rumput itu.
Sejak kecil Nyo Ko sudah tergolong ahli tangkap ular, sudah tentu ia tidak pandang sebelah mata pada binatang ini, segera ia maju dan begitu ulur tangannya, seketika leher ular dia tangkap terus dibanting ke atas batu dengan kuat, tanpa ampun lagi ular itu terbanting mati.
Diluar dugaan, tempat dimana ular tadi meringkuk ternyata ada lagi seekor jangkrik hitam kecil, rupanya aneh dan jelek, tapi sedang geraki sayapnya dan mengeluarkan suara "krik-krik" yang nyaring.
"Nah, tangkaplah setan hitam kecil itu saja, Nyo-koko", dengan tertawa Kwe Hu mengejek Nyo Ko yang kalah beberapa kali tadi.
Watak Nyo Ko justru paling tidak senang kalau dihina orang.
"Baik, tangkap ya tangkap," sahutnya ketus.
Segera jangkerik hitam kecil itu ditangkapnya terus di lepaskan ke dalam belanga yang dipegang Kwe Hu.
Sungguh aneh bin ajaib, jangkrik yang besar tadi begitu melihat jangkrik hitam kecil ini seketika mengunjuk rasa jeri, bahkan terus mundur2 dan hendak lari.
Namun Kwe Hu dan kedua saudara Bu masih ber-teriak2 untuk membangkitkan semangat jagonya.
Sementara itu jangkrik hitam kecil itu telah melompat maju dengan tegang leher, sebaliknya jangkrik yang besar ternyata tak berani menyambut tantangan itu dan bermaksud melompat keluar dari tempurung, tak terduga gerak-gerik jangkrik hitam ternyata sebat dan aneh luar biasa, ia melompat maju dan gigit ekor jangkrik besar tadi, dengan kuat dia kunyah sekali, tahu2 jangkrik besar itu berkelejetan beberapa kali terus terbalik dan mati.
Kiranya diantara jangkrik itu terdapat semacam jangkrik yang suka tinggal bersama dengan binatang berbisa lain, kalau tinggal bersama kelabang disebut "jangkrik kelabang", kalau tinggal bersama ular disebut "jangkrik ular".
Oleh karenanya tubuh mereka terjalar hawa berbisa dari binatang yang tinggal bersama dia itu, maka jenis biasa tidak sanggup melawannya.
Jangkrik yang ditangkap Nyo ko tadi justru adalah seekor jangkrik ular.
Dilain pihak, sesudah Kwe Hu melihat jangkrik besarnya mati, ia menjadi kurang senang.
"Nyo-koko, kau punya setan hitam kecil ini berikan padaku saja," katanya kemudian sesudah berpikir.
"Berikan padamu sebenarnya tidak menjadi soal, tapi kenapa kau memaki dia sebagai setan hitam kecil ?" sahut Nyo Ko.
Kwe Hu menjadi jengkel oleh jawaban ini.
"Tak mau beri ya sudah, siapa kepingin ?" katanya dengan mulut menjengkit, Berbareng itu ia tuang belanganya dan banting jangkrik hitam kecil itu ke tanah, bahkan ia injak pula dengan kakinya hingga binatang kecil itu mecotot perutnya.
Nampak jangkriknya diinjak mati, Nyo Ko terkejut tercampur gusar, perasaan halus pemuda ini paling gampang tertusuk, seketika itu ia naik darah hingga mukanya merah padam, tanpa pikir lagi ia baliki telapak tangannya terus menampar pipi Kwe Hu.
Pukulan ini cukup keras hingga Kwe Hu merasa pipinya panas pedas, ia terlongong sesaat dan belum mengambil putusan apa harus menangis atau tidak, tiba2 ia dengar Bu Siu-bun sudah mendamperat.
"Kau berani pukul orang !" bentak anak itu, Berbareng ia lantas menjotos ke dada Nyo Ko.
Karena terlahir dalam keluarga jago silat, pula sejak kecil ia sudah peroleh ajaran dari ibunya sendiri, maka ilmu silat Siu-bun sudah mempunyai dasar yang kuat, jotosannya tadi dengan tepat kena sasarannya.
Dengan sendirinya Nyo Ko menjadi gusar, kontan ia balas meninju, Tetapi Siu-bun sempat berkelit hingga pukulannya luput Nyo Ko masih penasaran, ia mengudak maju terus menubruk dan menghantam pula.
Diluar dugaannya, se-konyong2 Bu Tun-si ulur kakinya men-jegal hingga Nyo Ko mencium tanah, ia jatuh ngusruk ke depan.
Kesempatan ini segera digunakan kedua saudara Bu itu dengan baik, dengan cepat Bu Siuhun menunggangi tubuh Nyo Ko, Bu Tun-si pun ikut maju dan menahan bokongnya dengan kencang, menyusul empat kepalan mereka terus menghujani tubuh Nyo Ko dengan gebukan2.
Sungguhpun usia Nyo Ko lebih tua dari kedua saudara Bu itu, tetapi karena satu lawan dua, pula Siu-hun dan Tun-si sudah pernah berlatih silat sebaliknya Nyo Ko hanya belajar sedikit dasar lwe-kang saja dari ibunya dan belum terlatih sempurna, dengan sendirinya ia bukan tandingan kedua lawan ciliknya.
Namun demikian, ia tidak menyerah mentah2, ia kertak gigi menahan sakit pukulan orang, sedikitpun ia tidak merintih.
"Lekas minta ampun, kami lantas lepaskan kau," kata Bu Tun-si.
"Kentut !" sahut Nyo Ko dengan gusar.
Karena itu, susul-menyusul Bu Siu-hun menggebuk lagi dua kali di punggungnya.
Melihat kedua saudara Bu itu membela dirinya dan hajar Nyo Ko, Kwe Hu merasa senang sekali.
Siu-bun dan Tun-si juga cukup cerdik, mereka tahu kalau hantam orang di bagian kepala atau muka tentu akan meninggalkan bekas babak-belur, nanti kalau dilihat Kwe Ceng dan Ui Yong pasti akan didamperat, oleh karena itu kepalan dan kaki mereka selalu mengarah di atas badan Nyo Ko.
Dalam pada itu melihat makin hebat gebukan yang menghujani Nyo Ko itu, akhirnya Kwe Hu sendiri rada takut dan meresa ngeri, tetapi bila ia meraba pipi sendiri yang masih terasa sakit pedas, segera pula ia merasa belum puas hajaran itu.
"Hantam dia, hantam yang keras !" demikian dia ber-teriak2 pula.
Mendengar seruan Kwe Hu, benar juga Tun-si dan Siu-bun kerjakan kepalan mereka semakin cepat dan menjotos lebih ganas lagi.
Sudah tentu seruan Kwe Hu tadi didengar juga oleh Nyo Ko yang kena ditindih di atas tanah, "Kau si budak ini sungguh kejam, kelak aku Nyo Ko pasti membalas "sakit hati ini," demikian katanya dalam hati.
Tetapi segera ia merasakan pinggang, punggung dan bagian bokong tidak kepalang sakitnya, pelahan2 ia mulai tidak tahan.
Harus diketahui meski kecil, tapi kedua saudara Bu sudah berlatih silat sejak kecil, kalau mereka menjotos, meski orang tua sekalipun tak akan tahan, kalau bukan Nyo Ko yang sudah mempunyai dasar2 wekang tentu sejak tadi ia sudah semaput.
Dalam keadaan terpaksa Nyo Ko mengertak gigi menahan sakit sekuatnya, tiba2 pandangannya menjadi gelap, kedua tangannya meraba dan me-raup2 serakutan di atas tanah, mendadak pula sebelah tangannya menyentuh sesuatu benda yang licin dingin, seketika pikirannya tergerak, ia tahu itu adalah bangkai ular "berbisa tadi yang dia banting mati itu, tanpa ayal lagi segera ia cekal terus disabetkan ke belakang.
Nampak ular yang sudah mati dengan kulitnya yang belang-bonteng, kedua saudara Bu menjadi kaget dan menjerit ngeri.
Kesempatan mana segera digunakan Nyo Ko dengan baik, sekali membalik ia telah berdiri kembali, menyusul ia putar tinjunya terus manghantam, tepat sekali hidung Bu Tun-si kena dia genjot hingga keluar kecapnya, Habis ini, segera Nyo Ko angkat kaki dan lari ke belakang pulau sana.
Sudah tentu kedua saudara Bu menjadi gusar, segera mereka mengudak.
Kwe Hu memang suka dengan keonaran, iapun ingin tahu lanjutannya, maka ia menyusul dari belakang, bahkan tiada hentinya ia ber-teriak2 : "Tangkap, tangkap dia !" Sesudah ber-lari2, ketika ketika Nyo Ko menoleh, ia lihat muka Tun-si penuh darah, baju bagian dada lebih2 nyata lagi dengan bekas2 darah yang mengucur itu hingga rupanya sangat beringas sekali kelihatannya.
Nyo Ko insaf bila sampai dirinya kena ditangkap kedua saudara Bu lagi, maka pukulan2 yang bakal ia terima pasti akan jauh lebih lihay daripada tadi, oleh karenanya ia berlari semakin cepat, ia lari menuju tebing gunung dan memanjat ke atas.
Sesungguhnya meski hidung Bu Tun-si kena di-jotos, tetapi tidak begitu sakit, cuma demi melihat darah mengucur, ia menjadi panik dan gusar pula, maka ia menguber semakin kencang.
Makin lama makin tinggi Nyo Ko panjat ke atas, tapi sedikitpun kedua saudara Bu belum mau berhenti mengejar.
Sedang Kwe Hu sesudah sampai di tengah tebing gunung itu lantas berhenti, dari sini ia mengikuti orang udak2an dengan mendongak saja.
Dalanm pada itu Nyo Ko telah sampai di tempat buntu, di depannya adalah tebing curam dan tiada jalan lalu lagi buat lari terus, Pemuda ini mempunyai kecenderungan pikiran yang nekat, dalam keadaan kepepet ia pikir : "Hm, sekalipun aku harus mati terjun ke dalam jurang, tidak nanti aku rela ditangkap kedua bocah itu untuk dihina mentah2.
" Karena pikiran itulah, maka ia lantas putar balik dan membentak: "Hayo berhenti, jika berani mengejar setapak lagi, segera aku terjun ke bawah !" Gertakan ini bikin Bu Tun-si rada terkejut juga anak ini tertegun sejenak, berlainan dengan adiknya, Bu Siu-bun, bocah ini malah menantang akan!" "Hm, kalau mau terjun lekas terjun saja, siapa kena kau gertak ?" demikian ia mengejek, berkata ia mendesak maju lagi beberapa tindak.
Melihat ini, seketika Nyo Ko naik darah dan timbul pikiran pemdek, mendadak ia berjongkok hendak terjun ke dalam jurang, syukur sebelum itu sekilas terlihat olehnya di samping terdapat sebuah batu besar dan letaknya miring.
Dalam keadaan gusar, Nyo Ko sudah tidak memikirkan akibat2nya lagi segera ia dorong batu besar itu yang memang kelihatan miring, betul juga ia merasakan batu besar ini ber-goyang2, segera ia melompat mundar ke belakang batu, sekuatnya ia dorong, maka terdengarlah suara gemuruh hebat memecah angkasa, batu besar itu menggelinding ke bawah bukit dengan cepat luar biasa, batu, kedua saudara Bu menyadari juga gelagat jelek.
Di lain pihak demi melihat Nyo Ko mendorong muka mereka menjadi pucat, segera akan menyingkir namun sudah kasip, dengan mata terbelalak mereka lihat pasir berhamburan dari atas kepala, seketika mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Dalam detik yang sangat berbahaya itu, mendadak mereka merasa punggung mereka se-akan2 ditarik, tahu2 tubuh mereka mumbul ke udara, menyusul mana terdengarlah suara kaokan burung rajawali tubuh mereka sudah dibawa terbang melintasi bukit.
Kiranya sepasang burung rajawali itu lagi terbang memain di atas udara, menggelindingnya batu besar tadi telah dilihat mereka, syukurlah dengan cepat kedua burung ini masih sempat menolong jiwa Tun-si dan Siu-bun.
Sementara batu besar tadi dengan menerbitkan suara gemuruh keras, tidak sedikit pepohonan telah diterjangnya hingga akhirnya menggelinding masuk kelaut.
Ui Yong mendengar juga suara kaokan rajawali yang menandakan rasa kuatir tadi disusul pula suara gemuruh yang aneh, maka lekas2 ia berlari keluar dari rumah, tertampak olehnya debu pasir berhamburan puterinya kelihatan bersembunyi di semak2 pinggir gunung, dalam takutnya sampai anak perempuan ini tak sanggup mengeluarkan suara tangisan.
Dalam pada itu kedua burung rajawali yang mencengkeram kedua saudara Bu dengan pelahan kemudian turun kehadapan Ui Yong sambil tegang leher dan pentang sayap, kedua burung ini seperti lagi unjuk jasa mereka dihadapan sang majikan.
Dengan aleman Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pangkuan sang ibu, lalu menangis ter-sedu2, sesudah menangis sejenak, kemudian baru ia ceritakan cara bagaimana ia telah dipukul Nyo Ko.
ia ceritakan juga bagaimana kedua saudara Bu telah membela dirinya dan Nyo Ko telah mendorong batu besar itu hendak menggilas mati kedua bocah itu.
Demikianlah ia tumplekkan semua kesalahan pada Nyo Ko, tetapi ia sendiri menginjak mati jangkerik orang dan cara bagaimana kedua saudara Bu memukul Nyo Ko, semua ini dia tutup dan tidak dituturkan Sehabis mendengar, Ui Yong kelihatan termangu2, ia tidak bersuara.
Dalam pada itu Kwe Ceng sudah menyusul datang juga, waktu ia lihat muka dan baju Tun-si berlepotan darah, ia kaget ia tanya sebab-musababnya, dalam hati iapun merasa marah.
Tetapi ia kuatir pula terjadi sesuatu atas diri Nyo Ko, maka lekas2 ia lari ke atas bukit buat mencarinya.
Akan tetapi meski ia sudah mencari kian kemari, dari depan sampai belakang bukit ternyata sama sekali tidak nampak bayangan bocah itu.
"Ko-ji, Ko-ji!" ia berteriak, Namun tetap tidak ada suara sahutan.
Teriakannya ini dia lakukan dengan keras dan di atas bukit, dalam lingkaran seluas belasan li pasti dengar akan suaranya, tetapi aneh, tetap Nyo Ko tidak kelihatan.
Sesudah menunggu lagi dan tetap masih belum berhasil, Kwe Ceng menjadi makin kuatir, segera ia dayung sebuah perahu kecil mengelilingi pulau buat mencari, tetapi sampai petang masih belum juga diketemukan jejak Nyo Ko.
Kiranya sehabis dorong batu pegunungan yang besar itu dan menyaksikan pula kedua rajawali berhasil menolong kedua saudara Bu, dari jauh Nyo Ko melihat pula Ui Yong keluar dari rumah, ia tahu sekali ini dirinya pasti akan didamperat habis2an, oleh karena itu ia lantas sembunyi di sela2 batu cadas yang besar dan tak berani keluar, ia dengar juga suara panggilan Kwe Ceng, namun ia tak berani menyahut.
Begitulah dengan menahan lapar Nyo Ko sembunyi di antara sela2 batu cadas, ia tak berani sembarang bergerak, ia lihat cuaca mulai remang2 hingga akhirnya menjadi gelap.
Selang tak lama, kerlipan bintang2 di langit diiringi pula hembusan angin laut yang silir semilir, Nyo Ko merasakan badannya rada menggigil.
Ia keluar dari tempat sembunyinya dan memandang ke bawah, ia lihat rumah yang terbangun bagus dibawah sana sudah ada sinar lampu, ia membayangkan saat itu tentunya Kwe Ceng dan Ui Yong suami isteri, Kwe Hu dan kedua saudara Bu sedang mengitari meja dan bersantap, terbayang pula olehnya diatas nnya yang penuh dengan lauk-pauk, daging ayam, itik dan lain2 yang enak2, tanpa terasa ia menelan liur beberapa kali.
Akan tetapi segera terpikir pula olehnya pasti mereka sedang mencaci maki habis2an padanya, teringat akan ini, tanpa tertahan Nyo Ko meluap juga amarahnya.
Bocah berusia sekecil dia ini, dalam malam gelap yang diselingi tiupan angin laut berdiri di atas bukit karang, dalam hatinya yang dipikir adalah nasibnya jing selalu dihina orang saja, maka terasalah olehnya se-akan2 setiap manusia di bumi ini semuanya memandang rendah padanya, perasaannya seketika bergolak, ia merasakan getirnya seorang anak piatu dan sesalkan akan nasib sendiri.
Padahal apa yang Nyo Ko bayangkan ini sebenarnya salah sama sekali justru karena tidak ketemukan Nyo Ko, Kwe Ceng tak bisa bersantap dengan hati tenteram " Nampak suaminya merasa kesal, Ui Yong tahu percuma saja meski dia menghiburnya, maka iapun tidak jadi makan sendirian melainkan terus kawani sang suami duduk terdiam saja menghadap meja.
Begitulah suami-isteri itu tidak bisa tidur semalaman, Besok paginya, belum terang tanah kedua orang sudah lantas keluar buat mencari Nyo Ko lagi.
Dilain pihak sesudah Nyo Ko menderita lapar sehari semalam, besoknya pagi2 sekali bocah ini sudah tak tahan lagi, ia mengeluyur turun, ditepi sungai ia berhasil menangkap beberapa ekor Swike atau kodok hijau, ia beset kulitnya dan kumpulkan kayu kering, ia bermaksud akan makan kodok panggang, ia sudah biasa bergelandangan maka cara makan sedemikian ini sudah biasa dilakukannya.
Tetapi karena kuatir asap apinya dilihat Kwe Ceng, maka ia membakar kayu kering itu di dalam sebuah gua, selesai paha kodok yang dia panggang segera ia sirapkan api terus menggerogoti kodok itu dengan lahap, mungkin saking laparnya, ia merasakan lezat dan nikmat sekali Swike panggang itu.
Selagi ia mengunyah daging kodoknya dengan penuh cita rasa, tiba2 ia dengar ada suara kresekan di luar gua dan disusul dengan suara yang mendesis, ia kenali itu adalah suara merayap dan menyemburnya sebangsa ular.
Sambil masih menggerogoti paha kodoknya, segera Nyo Ko jalan ke mulut gua, betul saja di sana ia lihat ada seekor katak sedang menghadapi seekor ular kembang yang panjangnya hampir tiga kaki, kedua binatang ini sedang saling pandang tanpa bergerak, Selang tak lama, mendadak ular kembang itu melonjak terus terjang katak itu.
Namun katak itu sudah siap sedia, tiba2 terdengar suara "kok-kok" dua kali, katak ini mengap mulutnya dan menyemburkan uap yang tipis, berbareng ini tubuhnya berkelit sedikit untuk hindarkan tubrukan ular tadi.
Karena kena uap berbisa yang disemburkan katak tadi, ular kembang itu lantas berjumpalitan terus jatuh terjungkal ke tanah, habis ini segera ular itu melingkar dan tegak kepala menghadapi lawannya pula.
Nyo Ko jadi ketarik oleh pertarungan katak lawan ular ini, ia pikir tubuh katak kasar dan berat, pula tidak punya gigi, akan tetapi ternyata berani bertarung melawan seekor ular yang tidak terbilang kecil itu, sungguh harus dibuat heran.
Ia lihat kedua binatang itu masih saling gebrak dengan ramainya, tiap2 kali ular kembang itu menyerang dan menubruk, pasti si katak ada jalan buat batas menyerang, Kalau yang menyerang aneka macam gaya perubahannya, maka yang bertahan pun banyak sekali tipu akalnya untuk menjaga diri.
Meski gigi ular kembang itu sangat tajam, namun tetap tak dapat mengalahkan si katak.
Tak lama lagi, karena ber-ulang2 kena disembur uap berbisa si katak, gerak-gerik ular kembang itu mulai lamban dan kaku, makin lama malah makin terdesak di bawah angin, sampai akhirnya rupanya insaf bukan tandingan lawannya lagi, mendadak ular itu putar tubuh terus menyelinap masuk ke dalam semak.
Katak itu ternyata tidak membiarkan musuhnya lari begitu saja, sambil mengeluarkan suara "kok-kok-kok", segera ia menguber.
Melihat gerak-gerik katak itu dan mendengar suaranya, hati Nyo Ko tergerak, ia merasa gerak-gerik katak ini meski sangat aneh, tetapi tanpa terasa dirinya seperti lebih suka padanya, apa sebabnya, inilah ia sendiri tidak mengerti.
Waktu duduk di dalam gua, iapun mendengar suara panggilan Kwe Ceng, "Hm, kau panggil aku keluar untuk kemudian menghajarku, kalau aku mau keluar kan tolol!" demikian ia membatin.
Begitulah malamnya ia tidur dalam gua itu sambil terduduk, dalam keadaan layap2 tiba2 ia lihat Auwyang Hong masuk ke dalam gua dan berkata padanya: "Marilah anakku, biar aku ajar kau berlatih ilmu!" Nyo Ko menjadi girang, ia ikut keluar gua, di sana ia lihat Auwyang Hong lantas berjongkok sambil bersuara "kok-kok" beberapa kali, lalu kedua telapak tangannya mendorong ke depan.
Entah mengapa, Nyo Ko merasakan seluruh tubuhnya luar biasa gesitnya, ia tiru cara2 orang dan berlatih, terasa olehnya tiap pukulan dan tendangannya tiada satupun yang keIiru.
Hingga suatu saat tiba2 Auwyang Hong memukulnya, karena tak keburu berkelit "plak", ubun2 kepalang kena diketok hingga terasa sakit tidak kepalang, saking tak tahannya sampai ia menjerit dan melonjak.
Akan tetapi kembali terdengar suara "plok", lagi kepalanya kena diketok, dalam kagetnya Nyo Ko menjadi sadar dan.
. . busyet, hanya mimpi belaka.
Waktu ia raba2 kepalanya, ternyata sudah benjol benjut karena benturan pada dinding gua tadi.
ia menghela napas panjang dan keluar gua, ia lihat keadaan sunyi senyap, cakrawala yang membentang lebat di atas itu se-akan2 berlapiskan layar hitam, hanya beberapa bintik bintang yang berkelap-kelip sekedar penghias alam.
Nyo Ko coba merenungkan apa yang diajarkan Auwyang Hong dalam mimpi tadi, namun sedikitpun dia tidak ingat lagi, tatkala ia coba berjongkok sambil mulutnya menirukan suara "kok-kok" beberapa kali, ia bermaksud menggunakan Ha-mo-kang yang diperolehnya dari Auwyang Hong didekat kota Ling-oh-tin tempo hari untuk dipraktekkan sekarang, tapi bagaimanapun ia meng-ingat2nya tetap tidak dapat disalurkan melalui tangan atau kakinya.
Seorang diri ia berdiri dipuncak bukit sambil memandangi lautan yang begitu luas, terasa kekosongan hatinya semakin menjadi hampa.
Tiba2 dari arah lautan sana sayup2 terdengar suara teriakan orang yang keras panjang sedang memanggil-manggilnya: "Ko-ji, Ko-ji!" Mendengar suara panggilan yang penuh daya tarik ini, tanpa kuasa lagi Nyo Ko ber-lari2 turun ke bawah gunung, "Aku berada disini, aku berada disini.
" demikian ia berseru menjawab.
Walaupun suara anak ini tidak begitu keras, tetapi Kwe Ceng sudah dapat mendengarnya, maka lekas2 perahunya didayung menuju ke tempat Nyo Ko berada, sesudah berjarak beberapa tombak dari pesisir, dengan sekali lompat segera Kwe Ceng meninggalkan perahunya, maka tertampaklah di bawah cahaya bintang yang remang2 dua sosok bayangan orang pe-lahan2 makin mendekat, dengan kencang kemudian Kwe Ceng telah berangkul Nyo Ko ke dalam pangkuannya.
"Marilah lekas pulang bersantap," demikianlah kata2 yang tercetus dari mulut Kwe Ceng, Saking terharunya sampai suaranya rada serak dan gemetar.
Begitulah, setelah kedua orang berada kembali dalam rumah, segera Ui Yong siapkan nasi hangat dan lauk-pauk untuk Nyo Ko, terhadap kejadian yang telah lalu, sepatah-katapun tidak di-ungkat2nya.
Besok paginya, keempat anak: Nyo Ko, Kwe Hu dan kedua saudara Bu, Tun-si dan Siu-bun, oleh Kwe Ceng telah dikumpulkan diruangan besar, lalu Kwa Tin-ok diundang hadir pula, kemudian keempat anak itu disuruh menjura di hadapan abu pemujaan Kanglam-lak-koay (enam orang kosen dari Kanglam) yang sudah dialam baka itu.
"Toa-suhu," demikian Kwe Ceng berkata kepada Kwa Tin-ok, "hari ini Tecu (anak murid) mohon idzin Suhu agar diperbolehkan menerima empat cucu muridmu ini.
" "Bagus, bagus sekali," sahut Kwa Tin-ok bergirang.
"Nah, terimalah ucapan selamatku ini!" Nyo Ko bersama Tun-si dan Siu-bun lantas menjura pada Kwa Tin-ok.
habis ini baru memberi hormat pada Kwe Ceng dan Ui Yong sebagai upacara pengangkatan guru.
"Apa akupun harus menjura, ibu?" dengan tertawa Kwe Hu bertanya.
"Sudah tentu," sahut Ui Yong.
Karena itu, dengan tertawa haha-hihi anak nakal inipun menyembah pada ketiga orang tua itu.
Mulai hari ini kalian berempat adalah saudara seperguruan demikian Kwe Ceng memberi petuah dengan sungguh2 dan keren, oIeh karena itu juga seterusnya kalian harus hormat-menghormati daa cinta-mencintai, ada kesulitan sama2 dipikul.
Kalau kalian berempat berani berkelahi lagi, pasti tidak akan kuampuni.
" Habis berkata ia pandang pula sekejap pada Nyo Ko.
"Tentu saja kau mengeloni anakmu sendiri," demikian Nyo Ko membatin dalam hati, "Biarlah selanjutnya aku tidak akan sentuh dia lagi.
" MenyusuI sebagai kakek gurunya, Kwa Tin-ok ikut menjelaskan juga peraturan perguruan yang sudah umum, yakni tak boleh menganiaya orang yang lebih lemah, tak boleh membantu yang jahat sehingga semakin jahat, tak boleh mencelakai orang yang tak berdosa dan lain sebagainya.
"llmu silat yang kupelajari terlalu banyak macamnya," demikian Kwe Ceng berkata lagi, "kecuali dasar yang kudapat dari Kanglam-chit-koay (tujuh orang aneh dari Kanglam, Lak-koay tersebut di atas sudah wafat, ditambah Kwa Tin-ok), ilmu Lwekang dari Coan-cin-pay dan ilmu silat ketiga aliran persilatan terbesar dari Tang-Lam-Pak (Timur-Selatan-Utara, maksudnya, dari Tang-sia, Lam-te dan Pak-kay), tentang ini akan diceritakan tersendiri, kesemua meski hanya sedikit, tetapi kacang jangan lupa akan kulitnya, sebagai orang jangan lupa akan asalnya, biarlah hari ini aku ajarkan kalian kepandaian asal dari Kwa-suco (kakek guru she Kwa, maksudnya Kwa Tin-ok).
" Dan selagi ia hendak uraikan titik2 pokok ajarannya, tiba2 Ui Yong melihat Nyo Ko sedang menunduk dengan terkesima, pada wajah anak ini ada semacam tanda aneh yang sukar diucapkan, tanpa terasa ia jadi ingat pada berbagai kejadian yang mencurigakan tempo hari itu.
"Meski ayahnya bukan aku sendiri yang membunuhnya, tapi boleh dikatakan juga mati di tangan-ku, jangan2 piara macan mendatangkan bencana hingga menjadi bibit malabetaka yang besar," demikian pikir Ui Yong.
Setelah putar otak sejenak, segera ia mendapatkan suatu jalan.
"Seorang diri kau terlalu berat mengajar empat anak, biarlah aku yang mengajar Ko-ji," katanya kemudian.
"Bagus, bagus sekali usulmu !" seru Kwa Tin-ok dengan ketawa sebelum Kwe Ceng menjawab, "Dan kalian suami isteri boleh berlomba, lihat saja murid siapa kelak yang terpandai.
" Mendengar usul isterinya ini, dalam hati Kwe Ceng bergirang juga, ia tahu kepintaran Ui Yong beratus kali di atas dirinya, cara mengajarnya pasti jauh lebih baik daripadanya, maka ber-ulang-2 ia pun menyatakan bagus dan akur.
"Tetapi kita harus menetapkan satu syarat," demikian Ui Yong kemukakan pendapatnya lagi, "Sekali-kali tak boleh kau mengajarkan Ko-ji, sebaliknya akupun tidak boleh mengajar mereka bertiga.
Pula diantara keempat anak inipun tak boleh saling belajar, sebab kalau ilmu yang dilatihnya bercampur aduk, hanya ada jeleknya dan tiada paedahnya.
" "Ya, sudah tentu.
" sahut Kwe Ceng setuju lagi.
"Nah, Ko-ji, ikutlah padaku," kata Ui Yong.
Memang-nya Nyo Ko sedang benci pada Kwe Hu serta kedua saudara Bu itu, kini mendengar keinginan Ui Yong bahwa dirinya tidak akan berlatih setempat dengan mereka, ini justru cocok dengan pikirannya, maka ia lantas ikut Ui Yong masuk ke ruangan dalam.
Di luar dugaannya, bukannya Ui Yong membawanya ke lapangan berlatih silat melainkan ia dibawa ke kamar baea, disini Ui Yong- mengambil sebuah kitab dari rak buku dan berkata padanya: "Gurumu mempunyai tujuh orang Suhu yang dijuluki Kanglam-chit-koay, Toasuhu ialah Kwa-kong-kong itu, Jisuhu (guru kedua) bernama Cu Jong dan berjuluk Biau-jiu-su-seng si sastrawan bertangan sakti), maka kini lebih dulu aku ingin ajarkan kepandaian Cu-suco saja.
" Sembari berkata ia lantas buka kitab yang dia ambil dari rak tadi, dengan suara lantang segera ia membacanya.
Dalam hati Nya Ko menjadi heran, namun ia tak berani banyak bertanya, terpaksa ia ikut membaca dan belajar menulis, Begitulah be-runtun2 beberapa hari ia hanya di-ajar membaca oleh Ui Yong dan selamanya tidak pernah menyinggung tentang ilmu silat.
Suatu hari, sehabis berseko!ah, seorang diri Nyo Ko ber-jalan2 iseng ke atas gunung, tiba2 ia teringat pada nyali angkatnya yaitu Auyang Hong yang tidak diketahuinya berada dimana kini, Teringat pada sang ayah angkat tak tahan lagi ia lantas berjumpalitan dan menjungkir tubuh, ia menirukan cara yang pernah dipelajarinya itu, tubuhnya yang menjungkir itu segera berputar cepat Setelah ber-putar2 dengan menjungkir, kemudian ia ikuti petunjuk yang pernah diterimanya dari Auw-yang Hong untuk menjalankan jalan darah secara terbalik, terasa olehnya semakin berputar semakin lancar.
Kemudian waktu ia melompat bangun, mendadak ia berseru "kok" sekali berbareng kedua telapak tangannya dipukulkan ke depan, habis ini ia merasa seluruh badan menjadi segar dan enak sekali, segera pula mengeluarkan keringat hingga membasahi sekujur badan.
Nyata ia tidak tahu bahwa dengan latihannya ini tenaga dalamnya sudah maju jauh sekali.
Hendaklah diketahui bahwa ilmu yang diciptakan Auwyan Hong yang khas itu meski bukan tergolong ilmu yang baik, tetapi justru merupakan semacam ilmu kepandaian yang luar biasa lihaynya, pula pembawaan Nyo Ko memang berotak encer dan mudah menerima, apa yang dia pelajari dalam tempo yang singkat meski cuma sedikit, namun tanpa terasa dan diluar tahu ia sudah menuju ke aliran ilmu silat Pak to-san (gunung Onta putih).
Sejak itulah, maka tiap2 hari Nyo Ko lantas belajar sekolah dengan Ui Yong, kalau pagi atau petang-nya ada kesempatan segera ia pergi ke tempat sunyi di kaki bukit untuk melatih diri, sebenarnya bukan maksudnya ingin melatih diri agar bisa menjadikan seorang kosen yang disegani, tetapi entah mengapa, tiap2 kali sehabis ia berlatih, selalu dirasakannya luar biasa enak dan segar badannya.
Demikianlah secara diam2 Nyo Ko melatih ilmu sendiri, Kwe Ceng dan Ui Yong sedikitpun ternyata tidak tahu.
Maka tiada sebulan, kitab 'Lun-gi' (salah satu kitab ajaran Nabi Khongcu) yang Ui Yong jadikan mata pelajaran untuk Nyo Ko sudah selesai semua, Begitu apal isi kitab tsb, sampai Nyo Ko sanggup membaca-di luar kepala, cuma isi dan arti kitab yang diajarkan itu, sama sekali ia anti, tidak setuju, maka seringkali ia sengaja kemukakan bantahan2.
Padahal Ui Yong sendiripun seribu kali tidak sepaham dengan segala isi kitab yang diajarkan Khong-hucu itu, ia sendiri sesungguhnya juga jemu, hanya lapat2 perasaannya se-akan2 punya firasat: "Kalau anak ini diberi pelajaran ilmu silat, kelak pasti akan menjadi bibit bencana saja, lebih baik kalau ajarkan dia ilmu sastra, biar dia kenyang dengan teori2 isi kitab saja, buat dia dan buat orang lain mungkin malah ada baiknya.
" Dengan ketetapan itulah, dengan maksud baik ia mengajar Nyo Ko bersekolah, Maka sehabis kitab "Lun-gi" lantas disusul dengan kitab "Beng-cu".
Karenanya, beberapa bulan sudah lewat, selama itu tidak pernah Ui Yong berbicara sepatah-katapun tentang ilmu silat.
Nyo Ko cukup tahu diri juga, melihat orang tidak omong, iapun tidak mau tanya, hanya hidup di pulau ini dirasakan semakin hampa, ia tahu pula meski Kwe Ceng menerima dirinya sebagai murid, tetapi ilmu silat pasti tidak akan diajarkan padanya, Sedang kini saja ia bukan tandingan Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, apalagi setahun atau dua tahun lagi jika mereka mendapat pelajaran silat dari Kwe Ceng, bila mereka berkelahi lagi pasti ia akan mampus ditangan mereka.
Karena pikiran inilah, ia ambil keputusan, apabila ada kesempatan segera ia akan berdaya-upaya buat meninggalkan pulau, Pada satu sore hari, sehabis Nyo Ko belajar membaca pada Ui Yong, seorang diri ia ber-jalan2 iseng di tepi laut, dengan memandangi ombak laut yang men-dampar2 berdeburan, dalam hati ia pikir entah kapan baru bisa melepaskan diri dari kurungan ini, bila terlihat olehnya burung laut yang terbang kian kemari, ia menjadi terharu dan kagum akan kebebasan burung2 yang tak terbatas itu.
Tengah ia ter-menung2, tiba2 ia dengar di balik hutan pohon Tho sana ada suara berkesiurnya angin, ia jadi tertarik, diam2 ia memutar ke sebelah sana dan mengintip, maka tertampaklah olehnya, Kwe Ceng sedang memberi pelajaran silat pada kedua saudara Bu disuatu tanah lapang.
Ia lihat Kwe Ceng sedang memberi petunjuk3 sambil kaki-tangannya memberi contoh dan menyuruh ketiga saudara Bu itu menirukannya.
Bagi Nyo Ko yang cerdas, hanya sekali lihat saja ia sudah tahu di mana letak intisari jurus tipu ini, tapi bagi Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, walau sudah belajar pergi datang, masih belum juga mereka pahami.
Kwe Ceng sendiri memangnya juga berotak puntuI, pada waktu kecilnya ia sendiri sudah merasakan pahit-getirnya belajar, maka kini sedikitpun ia tidak merasa jemu dan masih terus memberi dengan petunjuk dengan penuh sabar.
"Hm, jika Kwe-pepek mau ajarkan padaku, tidak nanti aku begitu goblok seperti mereka," kata Nyo Ko di dalam hati sambil menghela napas diam2.
Oleh karena kesal hati, dia lantas kembali ke kamarnya untuk tidur.
Petangnya sehabis bersantap dan setelah mengulangi pelajaran kitabnya terasa olehnya luar biasa isengnya, maka ia pergi ke tepi laut lagi, di sana ia menirukan gerak-gerik ilmu silat yang dimainkan Kwe Ceng siang tadi.
Namun tipu silat yang cuma dua tiga gerakan ini, sesudah dimainkan pergi datang, akhirnya ia merasa bosen juga.
Tiba2 hatinya tergerak, "Mulai besok, diam2 akan mengintip dan mencuri belajar ilmu silatnya, siapa yang melarang aku?" demikian ia pikir.
Oleh karenanya rasa mendongkolnya yang tertahan sekian lamanya segera menjadi lapang, dengan berpeluk dengkul ia duduk bersandar batu karang tepi laut, akhirnya iapun tertidur.
Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam alam impiannya ketika tiba2 ia dikagetkan bunyi suara rantai besi yang gemerincing hingga ia terjaga dari tidurnya, waktu ia mengintai dari belakang batu karang itu, kiranya di tepi laut sana telah bertambah dengan sebuah perahu layar, suara gemerincing rantai tadi kiranya disebabkan perahu layar itu membuang sauh buat berlabuh.
Tak antara lama, dari perahu itu muncul dua orang terus melompat ke daratan, gerak tubuh mereka ternyata cepat dan sebat luar biasa.
Setelah berada di daratan, mula2 kedua orang itu mendekam dan melongak-longok dahulu ke sekeliling habis ini pe-lahan2 mereka merayap maju ke tengah pulau.
Melihat kelakuan kedua orang ini terang tidak mengandung maksud baik, Nyo Ko berpikir: "Jalanan di pulau ini belak-belok dan lika-liku, kalian ini hanya antar kematian belaka.
" Oleh karena itu, ia mengkeret tubuhnya supaya tidak dilihat kedua orang itu, ia tidak berani bergerak, dalam pada itu kedua orang tadi sudah merayap semakin jauh.
Ketika pandangannya mengikuti bayangan kedua orang itu, mendadak ia lihat sesuatu di tempat jauh, tanpa tertahan ia terkejut.
Kiranya dibawah satu pohon Liu ada sesosok bayangan orang yang kecil berbaju putih dengan berjungkir sedang memutar dengan cepat dengan cara sebagaimana biasanya kalau dirinya berlatih ilmu ajaran Auwyang Hong itu, melihat bentuk tubuh orang berjungkiran itu jelas bukan lain lagi dari pada Kwe Hu adanya.
Tentu saja Nyo Ko ter-heran2 melihat kelakuan dara cilik itu, "Apa Kwe-pepek juga ajarkan ilmu kepandaian semacam ini ?" demikian ia ber-tanya2 dalam hati.
Tetapi segera pula ia mengerti : "Aha, tentu pada waktu aku sedang berlatih telah dapat dilihat dia dan sekarang dia menirukan caraku itu untuk main-main.
" Dalam pada itu, kedua sosok bayangan tadi sudah makin dekat dengan Kwe Hu, Mungkin saking asyiknya berputar kayun dengan tubuhnya itu, sama sekali Kwe Hu tidak berasa kalau ada orang lain mendekatinya, sesaat kemudian, mendadak kedua orang itu melompat maju, tubuh anak perempuan ini terus dirangkul, seorang lagi dekap mulut yang mungil itu dengan tangannya, sedang yang satu lagi, keluarkan seutas tali terus meringkus seluruh badan Kwe Hu, bahkan mulutnya disumbat dengan sepotong saputangan.
Perbuatan kedua orang itu ternyata cepat dan berhasil dengan baik, hanya sekejap saja mereka sudah meletakkan Kwe Hu yang tak bisa berkutiik itu ke dalam semak2, habis ini mereka melanjutkan merayap ke depan.
Menyakksikan kejadian aneh ini, mulut Nyo Ko sampai ternganga, hatinya pun berdebar-debar dan kuatir pula, ia tidak tahu apa maunya kedua pendatang itu.
Mata Nyo Ko cukup tajam, meski dalam keadaan gelap ia masih bisa melihat jelas gerak-gerik kedua orang tadi, ia lihat sesudah merangikak-rangkak maju lagi, setelah hampir sampai di jalan masuk ke perkampungan, rupanya mereka mengerti juga lihaynya Tho-hoa-to yang sudah diatur oleh Ui Yok-sau, maka mereka tak berani maju lagi, mereka lantas keluarkan sehelai kertas putih, seorang lantas meng-gambar2 di atas kertas itu dengan menggunakan alat tulis, melihat kelakuan mereka, rupanya mereka sedang mencuri melukis peta keadaan pulau ini untuk digunakan kemudian kalau melakukan penyerbuan ke sini.
"Jika sekarang juga aku bertariak, sebelum Kwe- pepek sempat keluar tentu aku sudah dibunuh mereka lebih dulu," demikian diam2 Nyo Ko membikin perhitungan dalam hati.
. Mendadak pikirannya tergerak, tiba2 ia ambil suatu keputusan yang luar biasa beraninya, "Ya, biar diam2 aku masuk ke dalam perahu mereka, jika beruntung tidak konangan mereka, tentu aku akan berhasil melarikan diri dari pulau ini," demikian ia berpikir.
Sesudah ambil keputusan ini, iapun tidak pusing apa perbuatannya ini berbahaya tidak, segera ia me-rayap2 mendekati perahu yang berlabuh itu.
Setelah dekat, selagi ia hendak merayap ke atas perahu, tiba2 terdengar suara "krak" dari dalam perahu, menyusul ini papan geladak perahu itu terbuka, dari dalamnya menongol satu orang untuk kemudian melompat ke pesisir.
Tidak kepalang kaget Nyo Ko oleh munculnya orang yang se-konyong2 ini, lekas2 ia mendekam ke bawah lagi.
Sementara kedua orang yang duluan tadi rupanya telah mendengar juga, yang seorang memondong Kwe Hu, satunya lagi lantas kembali ke perahu hendak memeriksa apa yang terjadi.
Akan tetapi orang yang muncul belakangan ini telah sembunyi di belakang gundukan pasir tepi laut, ia tidak memapaki kedua orang yang duluan, nyata mereka bukan kawan sendiri.
Waktu itu Nyo Ko berada di belakang orang yang muncul belakangan itu, maka ia bisa menyakitkan semua dengan terang, makin lihat ia semakin heran, ia lihat yang pondong Kwe Hu itu telah kembali ke dalam perahu, sedang kawannya menengok sekelilingnya dan mendekati gundukan pasir tadi, namun orang yang sembunyi itu masih belum ber-gerak, ia menunggu ketika orang sudah dekat, se-konyong2 ia melompat keluar, diantara berkelebatnya sinar putih, sekali serang saja ia telah tancapkan belatinya di atas dada orang.
Tidak ampun lagi tanpa bersuara sedikitpun, orang yang diserang itu roboh terguling.
Mendengar suara gedebukan karena jatuhnya tubuh itu, orang yang berada di atas perahu tadi rupanya menjadi curiga.
"Lo-toa, ada apa ?" ia coba tanya sang kawan.
Lekas2 penyerang tadi mencabut belatinya, ia sembunyi pula ke belakang gundukan pasir dan menjawab dengan suara yang ditahan dan di-bikin2: ?"Aneh, aneh !" Mendengar suara yang samar2, tetapi lama juga tidak melihat kawannya kembali orang di dalam perahu menjadi khawatir, dengan langkah lebar segera ia menuju gundukan pasir tadi.
Melihat orang tinggalkan perahunya, Nyo Ko pikir jangan sia2kan kesempatan baik ini, maka dengan cepat ia merayap ke tepi perahu, ia niat mengangkat sauh untuk kemudian menjalankan perahunya.
Pada saat itu juga terdengar olehnya suara jeritan ngeri, nyata belati si pembunuh tadi telah ambil korban lagi.
Sementara itu Nyo Ko lagi angkat rantai jangkar tapi sebelum jangkar kena ditarik, rantai besi itu sudah mengeluarkan suara gemerincing lebih dulu.
Karenanya ia tahu gelagat jelek, segera ia hendak melarikan diri, namun sudah terlambat, ia lihat si pembunuh tadi dengan mulut menggigit belati yang masih-teteskan darah telah melompat ke atas perahu.
Di bawah sinar bulan Nyo Ko dapat melihat pakaian orang yang compang-camping, mukanya penuh noda darah, rupanya beringas menakutkan.
Keruan Nyo Ko menjadi kelabakan bingung, Dalam keadaan demikian otomatis ia berjongkok, mulutnya bersuara "kak-kok" dua kali, kedua telapak tangannya mendadak didorong kedepan pula.
Tatkala itu kaki orang tadi belum sempat menancap di atas perahu, karena serangan Ha-mo-kang ini dalam keadaan masih terapung di udara orang itu mendadak jatuh terjengkang kebelakamg dan terbanting masuk laut habis ini sedikitpun tidak berkutik lagi.
Karena serangan ini, Nyo Ko berbalik terkesima malah, ia terpaku di tempatnya dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya lebih lanjut.
"He, Ha-mo-kang ini kau dapat belajar dari mana " Dan Auwyang Hong mana dia ?" tiba2 terdengar suara teriakan Ui Yong dari jauh.
Ketika Nyo Ko angkat kepalanya, terlihat bagaikan terbang cepatnya Kwe Ceng dan Ui Yong sedang mendatangi.
Agaknya karena mendengar suara2 yang mencurigakan dan kehilangan Kwe Hu, maka mereka lekas2 datang mencarinya.
Dalam pada itu saking ketakutan tadi, semangat Nyo Ko masih belum pulih, lebih2 ia tidak mengerti Ha-mo-kang yang biasa dilatihnya untuk main2 belaka ternyata bisa begini lihay, oleh karena itulah ia masih ter-mangu2 dan tidak menjawab seruan Ui Yong tadi.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu kemudian Kwe Ceng menarik dan memeriksa orang yang kecemplung ke laut itu, tiba2 ia berseru kaget: "Yong-ji, ini kawan dari Kay-pang" (kaum pengemis).
" Pada dada orang itu terdapat noda darah, napasnya sudah lama putus.
Ui Yong menjadi gusar bercampur kaget, nampak keadaan luka orang itu, dengan sekali cengkeram ia pegang lengan Nyo Ko dan menanya dengan suara bengis : "Hayo, katakan !" Cengkeraman Ui Yong ini dirasakan sakit sekali pada lengan Nyo Ko, tetapi ia mengertak gigi dengan kencang, ia menahan sakit dan tetap tutup mulut tanpa menjawab.
Ketika Kwe Ceng menoleh, tertampak olehnya di belakang gundukan pasir sana menggeletak dua orang puIa, lekas ia melompat ke sana buat memeriksanya, ia dapatkan pula peta yang digambar kedua orang itu, "He, Yong-ji, lekas sini!" serunya pada sang isteri.
Segera Ui Yong melepaskan Nyo Ko dan mendekati Kwe Ceng, di belakang gundukan pasir itu mereka berembuk dengan suara pelahan sampai lama.
Dalam pada itu kejadian ini telah diketahui Kwa Tin-ok juga, orang inipun menyusul tiba, maka mereka lantas berunding bertiga orang.
Sesudah bicara agak lama, kemudian Kwe Ceng melepaskan puterinya dahulu dari ringkusan musuh tadi, habis ini ia berkata pada Nyo Ko: "Ko-ji, kau kurang cocok tinggal di pulau ini, biar aku antar kau ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-sam, di sana kau bisa belajar silat di bawah petunjuk Tiang-jim-cu Khu-cinjin dari Coan-cin-kau.
" Keputusan yang diambil Kwe Ceng secara tiba2 ini, seketika Nyo Ko menjadi bingung se-akan2 kehilangan sesuatu, maka ia hanya mengangguk pelahan saja.
Maka besok paginya, setelah membekal perlengkapan seperlunya berangkatlah Kwe Ceng bersama Nyo Ko sesudah mohon diri pada Ui Yong serta Kwe Hu dan kedua saudara Bu, mereka berlayar menuju pantai timur daerah Tjiatkang.
Sesudah mendarat, Kwe Ceng beli dua ekor kuda dan melanjutkan perjalanan ke utara bersama Nyo Ko.
Selamanya belum pernah Nyo Ko menunggang kuda, tetapi karena Lwekang yang dia latih sudah ada dasarnya, maka setelah berlari beberapa hari sudah cukup pandai dan bisa menguasai binatang tunggangannya, Bahkan karena hati-mudanya, setiap hari ia malah melarikan kudanya didepan Kwe Ceng.
Tidak seberapa hari, sesudah menyeberangi Hong-ho (Huangho, sungai Kuning), mereka telah memasuki daerah Siamsay.
Tatkala itu negeri Kim (Chin) sudah dibasmi oleh bangsa Mongol (Jengis Khan beserta putera2nya), maka di utara Hong-ho boleh dikatakan merupakan dunianya bangsa Mongol.
Dimasa mudanya Kwe Ceng sendiri pernah menjabat sebagai panglima dalam pasukan Mongol (ia pernah diangkat menjadi menantu Tumujin yang kemudian terkenal sebagai Jengis Khan), ia kuatir kalau kesamplok dengan bekas bawahannya dan mungkin akan mendatangkan kesulitan, maka dia lantas tukarkan kuda mereka dengan keledai yang kurus dan jelek, ia ganti pakaian pula dengan baju yang terbuat dari kain kasar, ia menyamar seperti orang desa atau kaum petani saja.
Berlainan dengan Nyo Ko yang berhati muda, sesungguhnya dalam hati ia seribu kali tidak sudi memakai baju yang berbau kampungan seperti Kwe Ceng itu, tetapi selamanya ia tak berani bantah kata2 sang paman, maka terpaksa dia mengenakan baju kasar, kepalanya dibelebat pula dengan ikat kain biru.
dan menunggang keledai yang kurus jelek.
Justru keledai yang dia tunggangi ini buruk pula wataknya, jalannya sudah lambat, berulang kali masih ngambek lagi, maka sepanjang jalan selalu Nyo Ko cekcok saja dengan binatang tunggangannya ini.
Hari itu mereka telah sampai di daerah Hoanjoan, tempat ini indah permai pemandangan alamnya.
Melihat keindahan alam semesta yang menarik ini, meski sejak meninggalkan Tho-hoa-to dan karena mendongkol hatinya hingga selama ini tidak pernah Nyo Ko menyebut lagi tentang pulau bunga Tho itu, namun kini tanpa tertahan ia membuka suara.
"Kwe-pepek, tempat ini hampir mirip dengan Tho-hoa-to kita," demikian ia bilang pada Kwe Ceng.
Hati Kwe Ceng memang luhur dan berbudi, mendengar anak ini bilang "Tho-hoa-to kita", tanpa terasa ia jadi terharu.
"Ko-ji," sahutnya kemudian, "Cong-lam-san sudah tidak jauh lagi dari sini, ilmu silat Coan-cin-kau adalah ilmu kepandaian terkemuka di bumi ini, selanjutnya kau harus belajar secara baik2.
Beberapa tahun lagi tentu aku akan datang lagi buat menjemput kau pulang ke Tho-hoa-to.
" Mendengar kata2 terachir ini, cepat Nyo Ko melengos.
"Tidak, selama hidupku ini tidak akan kembali lagi ke Tho-hoa-to," katanya kemudian.
Sama sekali diluar dugaan Kwe Ceng bahwa anak semuda Nyo Ko ini bisa mengucapkan kata2 yang begitu ketus dan tegas, maka dia tertegun seketika tiada kata2 lain yang bisa dia ucapkan.
"Apa kau marah pada Kwe-pekbo (bibi)?" tanyanya kemudian.
"Mana Titji (keponakan) berani ?" sahut Nyo Ko.
"Malahan Titji selalu membikin Kwe-pekbo marah.
" jawaban yang tajam ini bikin Kwe Ceng bungkam, memangnya dia tidak pandai bicara, maka ia tidak menyambung lagi.
Perjalanan selanjutnya mulai menanjak, diwaktu lohor mereka sudah sampai di suatu kelenteng di atas bukit.
Waktu Kwe Ceng mendongak, ia lihat papan nama yang tergantung di atas pintu kelenteng itu tertulis tiga huruf besar 'Gu-tap-si" atau kelenteng kepala kerbau.
Mereka tambat keledai pada satu pohon di luar kelenteng, mereka masuk ke dalam untuk minta sedekah sekedar isi perut.
Didalam kelenteng itu ternyata ada tujuh-delapan paderi, nampak dandanan Kwe Ceng yang sederhana dan kotor, mereka mengunjuk sikap dingin, maka sedekah yang diberikan dua mangkok bubur dingin serta beberapa potong kue.
Namun Kwe Ceng menerima saja sedekah makanan seperti itu, bersama Nyo Ko mereka lantas duduk di atas bangku batu di bawah pohon cemara untuk makan.
Pada saat lain, ketika Kwe Ceng berpaling tiba2 ia lihat ada pilar batu di belakang pohon yang sebagian besar tertutup oleh rumput alang2 yang lebat, lapat2 hanya nampak dua huruf "Tiang-jun" pada pilar batu itu.
Kwe Ceng tergerak hatinya oleh tulisan itu, ia mendekati dan memeriksanya lebih jelas dengan menyingkap rumput alang2 yang menutupi batu itu, kemudian baru ia ketahui di atas batu itu terukir sebuah syair gubahan Tiang-jun-cu Khu Ju-ki, salah satu tokoh terkemuka angkatan kedua dari Coan-cin-kau yang hendak didatanginya sekarang ini.
Syair itu menyesalkan kehancuran negara yang terjatuh di tangan bangsa lain, Karenanya Kwe Ceng terbayang kembali pada kejadian di gurun Mongol belasan tahun yang lalu, ia terharu, sambil meraba pilar batu itu ia ter-mangu2 saja.
Ketika teringat tidak lama lagi bisa bertemu dengan Khu Ju-ki maka hatinya rada terhibur dan bergirang.
"Kwe-pepek, apakah maksud syair diatas batu ini ?" demikian Nyo Ko tanya.
"lni adalah syair buah karya kau punya Khu-cosu (kakek guru), Murid kesayangan Khu-cosu dahulu bukan lain adalah mendiang ayahmu," sahut Kwe Ceng sambil menjelaskan sekadarnya arti yang terkandung pada syair itu.
"Mengingat ayahmu, tentu Khu-cosu akan layani kau baik2, maka kau harus belajar dengan giat pula agar kelak besar gunanya untuk nusa dan bangsa.
" "Kwe-pepek, maukah kau beritahukan satu hal padaku," tiba2 Nyo Ko berkata pula.
"Hal apa ?" tanya Kwe Ceng.
"Cara bagaimana meningggalnya ayahku ?" kata Nyo Ko.
Muka Kwe Ceng berubah seketika oleh pertanyaan ini, teringat olehnya peristiwa di dalam kelenteng Thi-cio-bio di Kahin di mana Nyo Khong - ayah Nyo Ko - telah tewas, maka tubuhnya gemetar sedikit ia tidak menjawabnya.
"Siapakah sebenarnya yang menewaskan ayah ?" tanya Nyo Ko pula.
Tetapi Kwe Ceng tetap tidak menjawab.
"Kau dan Kwe-pekbo yang menewaskan dia, ya bukan ?" seru Nyo Ko tiba2 dengan bernapsu.
Kwe Ceng menjadi gusar, ia angkat tangannya dan menggablok sekerasnya sambil membentak: "Tutup mulut, siapa yang suruh kau sembarang omong ?" Tenaga dalam Kwe Ceng sekarang entah sudah betapa lihaynya, maka gablokan dalam keadaan gusar itu seketika membikin pilar batu tadi yang kena digebuk itu berantakan, batu krikil pun berhamburan.
Kelihatan sang paman naik darah, Nyo Ko jadi mengkeret.
"Ya, Titji mengaku salah, selanjutnya tidak berani sembarangan omong lagi, harap paman jangan marah," lekas2 ia minta maaf dengan kepala menunduk.
Sesungguhnya Kwe Ceng sangat sayang pada anak ini, kini demi mendengar ia mau mengaku salah, segera amarahnya lenyap.
Dan selagi ia hendak menghibur Nyo Ko agar jangan takut, tiba2 terdengar di belakang ada suara tindakan kaki yang pelahan, waktu ia menoleh, dilihatnya ada dua To-su (imam penganut Tao-isme) setengah umur berdiri di ambang pintu sedang memperhatikan gablokannya dipilar batu tadi, tentu perbuatannya tadi telah dilihat oleh kedua imam ini.
Sesudah saling pandang sekejap, cepat kedua To-su itu keluar meninggalkan kelenteng itu.
"Tindakan kedua imam yang cepat dan gesit itu dapat dilihat Kwe Ceng dengan jelas, terang tidak lemah ilmu silat kedua orang itu.
Kwe Ceng pikir letak Tiong-yang-kiong dari gunung Cong-lam-san itu tidak jauh dari kelenteng di mana dia berada ini, maka ia menduga kedua imam ini pasti orang dari Tiong-yang-kiong.
Kalau melihat umur keduanya sudah kira2 empat puluhan, maka besar kemungkinan mereka adalah anak murid Coan-cin-chit-cu (tujuh tokoh dari Coan-cin-kau), itu aliran persilatan yang paling terkemuka dan disegani di kalangan Bu-lim.
Memang sudah lama Kwe Ceng tinggal di Tho-hoa-to dan tidak saling memberi kabar dengan Ma Giok bertujuh, (Ma Giok adalah orang pertama dari Coan-cin-chit-cu), oleh karenanya anak murid Coan-cin-kau itu hampir tidak dikenal seluruhnya, ia hanya tahu bahwa paling belakang ini penganut Coan-cin-kau semakin banyak dan maju dengan pesat, Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ju-it cu, banyak menerima anak murid yang berbakat maka nama Coan-cin-kau di kalangan Bu-lim makin lama semakin cemerlang, tiada satupun orang kalangan Kangouw yang tidak menaruh hormat bila menyebut nama Coan-cin-kau.
Begitulah, karena Kwe Ceng pikir dirinya toh akan naik ke atas gunung untuk menemui Khu Ju-ki, Khu-cin-jin (cinjin adalah sebutan pada imam Taoisme yang berilmu), maka ia merasa kebetulan bisa jalan bersama dengan kedua imam tadi.
Karena itu, segera ia percepat langkahnya berlari keluar kelenteng ia lihat kedua imam tadi dengan langkah secepat terbang sudah berlari sejauh beberapa puluh tombak, sama sekali mereka tidak menoleh lagi.
Harpa Iblis Jari Sakti 19 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pendekar Jembel 5
^