Kuda Besi 2
Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Bagian 2
Thian Go lojin tertawa hambar, "Peribahasa mengatakan 'anak kambing tak takut pada harimau '. Kiranya memang benar."
Tian Hui Yan tiba2 gentakkan tangan dan sret .... secercah sinar perak yang halus, melayang kearah Thian Go lojin.
Luar biasa cepatnya dara itu bergerak sehingga seorang tokoh seperti Thian Go lojin, sesaat tak tahu benda apa yang melayang kepadanya itu.
Hanya dia mendengar dara itu berseru melengking, "Kalau begitu, aku hendak mengunjuk kegarangan!"
Thian Go lojin merebahkan tubuhnya sedikit ke belakang, sembari kebutkan lengan jubahnya kearah sinar pelangi itu. Plak, lengan jubah lojin itu menampar meja dan sinar pelangi itupun lenyap.
Saat itu si dara masih memegang seutas rantai perak sebesar jari tangan. Yang menjulur hanya sepanjang empat atau lima dim, sisanya telah ditelungkupi lengan baju Thian Go di meja.
Wajah Hui Yan terkejut sekali tetapi pada lain saat berobah tenang kembali Dia menggerakkan tangannya kebawah. Seketika rantai perak yang tertindih lengan baju Thian Go di meja itu, mulai bergerak-gerak minp dengan seekor tikus yang hendak menyelundup kedalam liangnya.
Hui Yan berusaha untuk melepaskan rantai peraknya dari tindihan lengan jubah Thian Go. Tetapi ternyata lengan jubah lojin itu sudah disaluri dengan tenaga-dalam yang cukup besar. Walaupun lengan jubah itu terbuat danpada kain le-mas tetapi saat itu berobah menjadi benda yang tak kurang dan seribu kati beratnya.
Memang karena ditarik Hui Yan, rantai perak itn bergerak keras sekali Tetapi tetap tak dapat lolos dari tindihan lengan jubah.
Sepasang pipi Hui Yan mulai bertebar warna merah dan hidungnyapun mulai menitikkan air. Pertanda bahwa dia sudah mengarahkan tenaga-dalam sampai tujuh delapan bagian. Sedangkan Thian Go lojin tampak masih tenang2 saja dan berkata dengan nada dingin, "Nona Tian, bagaimana kalau engkau segera tinggalkan desa Li ini?" serunya.
Tian Hui Yan tertawa melengking, "Thian Go cianpwe, apa yang menjadi tujuanku datang kemari, belum terlaksana. Bagaimana aku dapat pergi?"
"Jika engkau tak mau melihat gelagat," kata Thian Go dengan dingin, '"dikuatirkan apabila engkau hendak pergi, sudah tak. dapat pergi lagi."
Hui Yan tertawa mengikik sembari menyurut mundur. Rantai perak yang tertindih lengan jubah Thian Go di meja, karena ditarik-tarik si dara, mengeluarkan bunyi berderak-derak dan tahu-tahu keempat kaki meja yang terbuat danpada kayu mahoni itupun putus.
Pada waktu kaki meja putus, Hui Yanpun membarengi menarik kesamping, tring ....
Temyata tali rantai perak itu panjangnya hampir satu setengah meter. Ujung rantai merupakan sebuah roda kecil yang sekeliling tepinya amat tajam. Benar2 sebuah senjata aneh yang tak pernah terdapat dalam dunia persilatan.
Sesaat rantai dapat ditank keluar, dara itupun bersuit nyaring. Wajah Thian Go agak berubah. Tubuhnya sedikit menunduk dan lengan jubahnya segera meluncur maju. Sebelum si dara sempat mengambil kembali rantainya, ujung lengan jubah Thian Go sudah melibat rantai itu lagi.
Hui Yan tertegun. Dia menarik sekuat-kuatnya tetapi mana mampu" Malah setelah dapat melilit ujung rantai, Thian Go lalu menariknya. Bahkan tangan kanannyapun sudah diangkat untuk menarik si dara.
Betapa besar nyali Hui Yan tetapi dia juga masih punya pikiran. Tak mungkin dara itu berani melanjutkan menarik rantainya lagi. Dan lagi dengan hanya melilit ujung rantai itu, tentulah Hui Yan tak sampai terluka sehingga gurunya takkan marah dan mendendam. Demikian perhitungan Tluan Go..
Memang perhitungan itu tepat. Tetapi ketika Tluan Go menarik, ternyata Hui Yan tegak seperti sebatang pohon yang berakar. Kokohnya bukan kepalang.
Thian Go terkejut. Dia memang tahu kalau dara itu berilmu tinggi tetapi dia tetap yakin tentu dapat mengatasi. Tetapi setelah ia tak mampu menarik, barulah dia kelabakan kaget Buru2 dia mengerahkan tenaga-dalam untuk memperkuat tarikannya.
Tetapi ah, kurang ajar benar dara itu. Kalau Thian Go tambah ngotot, sebaliknya dara itu malah menarik tenaga perlawanannya. Dia tak mau melawan.
Thian Go kecele. Dia ngotot, Hui Yan kendor. Tambahan tenaga-dalam yang dipancarkan Thian Go itu, sia-sia saja. Bukan itu saja. Pada saat itu juga si dara sudah loncat untuk menyerbunya. Karena terdesak, Thian Go terpaksa rebahkan tubuh ke belakang, brak .... kursi yang didudukinya hancur berantakan.
Thian Go tahu bahwa kalau dia sampai jatuh ke lantai, tentulah akan kehilangan muka. Tetapi dia memang seorang ketua partai persilatan yang sakti. Dalam saat yang mengancam kebesaran namanya itu, dia segera kibaskan lengan jubah sebelah kiri kearah Hui Yan, sedang tangan ka-nannya menampar kearah lantai. Dengan meminjam tenaga tamparan itu, ia layangkan tubuhnya keudara.
Tetapi Hui Yan memang lihay sekali. Pada saat Thian Go melayang ke udara, dara itu sudah apungkan diri loncat melampaui atas kepala Thian Go. Waktu berada diatas kepala Thian Go, Hui Yan menarik rantainya, kres .... sekelumit rambut putih Thian Go terpapas.
Waktu Thian Go lojin berdiri tegak, Hui Yanpun sudah melayang sampai setombak jauhnya, berputar tubuh dan memberi hormat kepada orang tua itu seraya beneru, ' Maaf, maaf.
Melihat tangan si dara mengepal seuntai rambut putih, serentak Thian Go terlongong kesima. Dia menyadari, latihannya akan ilmu tenaga-dalam selama berpuluh tahun, kalau bertanding dengan si dara yang masih muda belia itu, dia tentu menang. Tetapi ternyata dengan akal kecerdikan, Hui Yan dapat menang angin
Thian Go lojin menghela napas. Sembari kebutkan lengan jubah dia melesat keluar dari ruangan. Pada lain saat bayangannya sudah lenyap. Rupanya ketua partai Ceng-shia-pay itu malu dengan ' kekalahan ' yang didenta dan Hui Yan.
Sepeningga! jago tua itu, orang2 yang masih berada dalam ruang saling berpandangan. Hui Yan tertawa lancang, "Thian Go lojin sudah pergi. Naga-ungu-sakti dan Li cungcu, tampaknya tak mau adu kekerasan dengan aku. Wi sin-kiam, lukamu belum sembuh betul, barang antaran yang engkau kawal itu, jelas tentu akan kurebut."
Wi Kun Hiap tiba2 menggembor marah, "Engkau lupa kalau akumasih ada!"
Tian Hui Yan mendesis, "Ih, ya, ya, aku melupakan Wi siauhiap, maaf! Bukankah Wi siau-hiap tentu akan menjaga barang antaran itu dengan mati-matian?"
Tetapi pemuda itu tak mau banyak bicara lagi. Serentak mencabut pedang dia terus menerjang dan menusuk dada si dara.
Thian Hui Yan agak mundur sedikit, rantai perak digentakkan keatas, Belum pedang Wi Kun Hiap sempat bergerak, tahu2 siku lengannya terasa mengencang karena sudah terlilit rantai si dara. Dan suatu arus tenaga besar segera memancar sehingga tubuhnya terangkat dan melayang keluar dari ruang besar itu.
Sudah tentu Wi Kiam Liong terkejut bukan main. Sembilan batang pedang-kecil segera ditaburkan. Tetapi dara itu tak mau menyambuti. Dia tawa mengikik dan terus melesat keluar.
Melihat itu Wi Kiam Liong memburu tetapi tiba2 Hui Yan berpaling dan berseru sembari tertawa. "Ah, tak perlu mengantar ..." - sambil berkata dia memberi hormat dengan kedua tangannya tahu2 Wi Kiam Liong rasakan dadanya telah dilanda segulung tenaga yang keras sekali sehingga dia terpental mundur beberapa langkah.
Ternyata Hui Yan lari keluar itu karena hendak menolong Kun Hiap. Begitu tubuh Kun Hiap meluncur turun dari udara, dara itu ulurkan tangan menyambutmya.
Tetapi Kun Hiap tak berterima basih. Ia menabas kepala dara itu dengan pedang Kim-liong-kiam. Si dara surutkan kepala mundur sehingga pedang itu hanya lewat disisinya. Kalau Kun Hiap tak cepat2 merighentikan pedangnya, tentulah bahunya sendiri akan terpapas.
Setelah menyambuti tubuh Kun Hiap, berserulah Hui Yan, 'Wi piauthau," katanya kepada Wi Kiam Liong, "jangan kaget, aku hanya perlu bicara dengan dia,"
Wt Kiam Liong hanya tertegun. Ia melihat sendiri bagaimana seorang tokoh seperti Thian Go lojin toh dapat dijinakkan oleh dara itu, apalagi dia. Terpaksa dia hanya berdin diam melihat sidara membawa pergi Kun Hiap
Kun Hiap berusaha untuk meronta tetapi tak mampu melepaskan diri dan tangan si dara yang mencekal pinggangnya dan diangkat keatas.
"Mau apa engkau ini'" teriaknya dengan marah sekali.
"Jangan kuatir," sabut Hui Yan, "aku hanya perlu akan bertanya sedikit kepadamu."
"Kalau begitu lepaskan aku."
"Baik," seru Hui Yan seraya terus meletakkan tubuh Kun Hiap supaya berdiri di tanah.
Kun Hiap tak habis herannya melihat tingkah laku dara aneh itu. Setelah tertegun beberapa jenak, baru dia bertanya, "Engkau mau tanya apa?"
Hui Yan tertawa cerah. "Ah, sebenarnya juga tidak ada apa2," katanya.
Sudah tentu Kim Hiap marah. Dia tahu dara itu memang dengan sejujurnya berkata begitu kareua memang tidak mempunyai urusan apa2 dengan dia. Dara itu mengaduk rumah keluarga Li, bukan mempunyai tujuan apa2 kecuali hendak membawanya ( Kun Hiap ) keluar dari rumah itu. Dan apa perlunya" Tak lain supaya dia (Kun Hiap) disuruh menelan kata2 si dara yang membikin kesal hati agar dara itu gembira.
Dara itu tak menyadari bahwa perbuatannya itu bukan melainkan menyebabkan tuanru-mah Li Siu Goan sakit dihati, pun Nyo Hwat juga menderita luka dan Thian Go lojin juga mendapat malu sehingga dikuatirkan jago tua itu tak mau lagi muncul di duma persilatan. Kesemuanya itu adalah perbuatan dari seorang dara yang suka ugal-ugalan seperti Hui Yan.
Sambil berpaling tubuh, Kun Hiap menggeram, "Kalau memang tak ada perlunya, mengapa engkau membawa aku kemari?"
"Ih, dikata tidak punya urusan tetapi sebenarnya juga ada sedikit," sahut si dara.
Kun Hiap meringis. Tertawa tetapi seperti orang meringis.
"Uh, waktu paman Lo hendak menutup mata, dia minta tolong kepadamu suruh mencari seseorang.. Apakah engkau tak ingin mencari orang itu?"
"Dia tak mengatakan siapa orang itu, bagaimana mungkin aku dapat mencarinya?" sahut Kun Hiap.
"Beberapa jago sakti itu berkumpul di Istana Tua. Ada dua diantara mereka yang tertimpah bahaya maut dan masih ada seorang lagi yang wajahnya minp paman Lo sedang mempermainkan mereka. Apakah engkau tak merasa aneh?" seru Hui Yan.
"Kalau merasa aneh lalu bagaimana?" geram Kun Hiap.
Hui Yan tertawa, "Kutahu siapa orang yang paman Lo suruh engkau mencarinya itu "
"Siapa?" "Waktu dia meningga!, tangannya menuding pada sebuah lukisan orang yang tergantung di ujung tembok. Nah, siapa lagi kalau bukan orang itu yang dimaksud paman Lo."
"Itu gambarku!" teriak Kun Hiap.
Hui Yan tertawa dingin, "Engkau" Pernahkah engkau dilukis oleh Poa Ceng Cay tayhiap?"
Kun Hiap terlongong-longong. Dia seperti orang yang tersadar dan mimpi. Memang benar. Dia tak pemah dilukis oleh Poa ceng Cay. Bah-kan siapa Poa Ceng Cay yang disebut si dara sebagai seorang tayhiap (pendekar besar ) itu, diapun belum pernah bertemu. Tetapi mengapa dalam ruang Istana Tua itu terdapat gambar dirinya ( Kun Hiap)" Bukankah hal itu menandakan kalau dia pernah dilukis oleh Poa Ceng Cay itu" Aneh, benar2 aneh sekali! Makin memikir, pikiran Kun Hiap makin bingung.
"Lukisan orang itu sudah tentu bukan engkau," kata Hui Yan pula, "tetapi seorang yang tentunya mempunyai hubungan dekat sekah dengan engkau. Mungkin engkohmu."
"Ngaco!" bentak Kun Hiap.
"Atau mungkin ayahmu," Hui Yan tak menghiraukan.
Sudah tentu Kun Hiap makin marah, "Jangan ngaco belo tak keruan engkau! Bagaimana wajah ayahku masa aku tak tahu!"
Tiba2 Hui Yan tertawa mengikik, "Siapa tahu mamamu pernah kawin dengan orang lain sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang mi, Engkau ikut pada ayah tiri tanpa tahu siapa ..."
Sebelum Hui Yan melanjutkan kata-katanya Kun Hiap sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia segera menabas dengan pedang Kim-liong-kiamnya.
Hui Yan tetap tertawa mengikik. Tanpa berkisar langkah, tubuanya bergeliat dan dengan indah sekali dia sudah dapat terhindar dari ancaman pedang. Karena merasa tak mampu melawan, Kun Hiap hentikan pedangnya, berputar tubuh terus ngeloyor pergi.
Tetapi baru dua langkah berjalan, Hui Yan sudah meneriakinya, "Hai, berhentilah!"
Tetapi Kun Hiap tak mau menghiraukan lagi.
"Anggaplah aku tadi bicara ngaco dan sekarang aku hendak minta maaf," seru si dara.
Tetapi Kun Hiap tak mau menjawab daa tetap ayunkan langkah bahkan terus lari. Tetapi dia tetap mendengar suara dara itu seperti hanya dua meter jaraknya dibelakangnya.
"Hai, engkau ini bagaimana sih" Apakah engkau benar2 tak mau mencari Poa Ceng Cay untuk minta keterangan kepadanya?"
Kun Hiap tahu kalau dia tak mampu menandingi dara itu, baik dalam kepandaian silat maupun adu lidah. Pun dia merasa tak mungkin dapat melepaskan diri dari libatan dara itu. Maka diapun diam saja tak mau menyahut.
Beberapa kejab kemudian tibalah dia di sebuah simpang jalan. Waktu dia mengambil jalan kearah kiri, tiba2 Hui Yan sudah meneriakinya, "Salah! Kalau mau ke rumah Poa Ceng Cay, harus mengambil jalan kearah kanan . . . . "
"Siapa yang hendak datang ke rumah orang she Poa itu?" teriak Kun Hiap penuh geram.
"Sudah-tentu engkau ..." si dara-tertawa.
Sebelum Kun Hiap sempat menjawab, setiup angin telah mendampar bahunya. Cepat dia miringkan tubuh tetapi tetap tak mampu menghindar. Saat itu bahunya terasa kencang dan tahu2 tubuhnya sudah diangkat Hui Yan yang terus melemparkannya, Ternyata dara itu melemparkan Kun Hiap kearah jalan yang kanan dan serempak pada saat itu terdengar Hui Yau berseru seolah memberi perintah, "Hayo, jalan . . . ! "
Marah Kun Hiap bukan alang kepalang. Dia tetap mematung tak mau berjalan. Melihat itu Hui Yan berseru, "Kalau engkau mogok, aku terpaksa akan memaksamu berjalan."
"Aku tetap akan mogok saja, coba lihat bagaimana caramu hendak memaksa aku," diam2 Kun Hiap berkata dalam hati.
Plok . . baru berpikir begitu tiba2 pantatnya ditendang Hui Yan. Tendangan itu tepat mengenai jalandarah wi-tiong hiat di belakang lutut dan diluar kehendaknya sendiri, Kun Hiap seperti dipaksa lari. Karena kuatnya tendangan si dara, Kun hiap lari sampai 30-an langkah baru berhenti.
Tetapi baru saja dia berhenti, tendangan kedua sudah melayang dan Kun Hiappun seperti terseret lari. Dia berusaha untuk menghentikan larinya tetapi tak mampu.
"Hayo, coba engkau bayangkan. Kalau engkau di jalan besar berjalan seperti itu, apakah tidak ditertawakan orang" Maka lebih baik engkau berjalan sediri saja dan akupun tak mempunyai maksud jelek kepadamu."
Mendengar itu diam2 tercekatlah hati Kun Hiap. Memang benar kata dara itu. Saat itu mereka berada dijalan yang sepi tetapi bagaimana nanti kalau tiba di jalan besar . . . . "
Berpikir sampai disitu, kepalanya berkeringat.
Setelah memaksa Kun Hiap berjalan degan tiap kali harus menendang kaki pemuda itu, akhirnya mereka teiah mencapai jarak tiga limapuluh li. Napas Kun Hiap mulai terengah-engah, hatinya bingung sekali. Dia sudah mencari berbagai akal agar dapat terhindar dari dara itu, namun tetap sia-sia saja.
Selama dipaksa lari itu entah sudah berapa kali dia coba untuk menabas si dara dengan pedangnya tetapi kesemuanya itupun tak berguna.
Saat itu dia melihat bahwa tak berapa jauh disebelah depan mereka segera akan tiba disebuah jalan besar. Sudah tentu dia kelabakan setengah mati.
Sebaliknya Hui Yan masih tetap tertawa-tawa menendangnya supaya berjalan. Kemarahan Kun Hiap benar2 sudah memuncak. Dia menabas dan menghantam ke belakang. Tiba2 tangan kirinya yang menghantam itu telah membentur sebuah benda..
Walaupun sedang meluap amarahnya, namun Kun Hiap masih tak lupa akan ilmusilat dari keluarganya, dimana dia telah mendapat latihan yang kokoh.. Selekas mencengkeram benda ltu, dia segera menyadari kalau yang dicengkeram itu adalah siku lengan orang maka diapun segera memperkencang cengkeramannya. Dan begitu berpaling, dia baru tahu kalau yang dicengkeram itu benar2 pergelangan tangan si dara.
Sudah tentu saat itu girang Kun Hiap bukan alang kepalang. Tanpa menghiraukan segala adat dan segala jurus ilmu apa saja, dengan menggembor keras dia terus menabas muka Hui Yan.
Tabasan itu menggunakan seluruh tenaganya. Dia ingin sekali dapat menabas tubuh si dara sampai kutung. Begitu sinar pedang Kim-liong-kiam berkelebat melayang turun, dilihatnya wajah Hui Yan agak merebah ke belakang dan mata agak dipejamkan. Tepat wajahnya itu tertimpa cahaya matahari silam, kedua pipinya tampak berwarna merah jambu, cantiknya bukan alang kepalang.
Telah dikatakan marah Kun Hiap terhadap dara yang telah mempermainkan dirinya itu bukan alang kepaiang. Dia benci kemati-matian kepada dara itu sehingga ingin sekali tabas dia dapat mengutungi tubuhnya. Akan tetapi dikala matanya tertumbuk pada wajah si dara yang cantik berseri-seri laksana seorang dewi, entah bagaimana tangan Kun Hiap serentak ditariknya kembali.
Tetapi dia menggunakan tenaga besar untuk menabas, waktu ditarik kembali, diapun menggunakan tenaga yang kuat sekali. Begitu kuatnya dia menarik sehingga pedang itu sampai membentur keningnya.
Untung waktu menarik itu tangannya melingkar. Coba tidak tentulah keningnya akan terpapas mata pedang. Sekalipun begitu karena terbentur dengan punggung pedang, tak urung kening nya juga berdarah dan sakit.
Saat itu Hui Yan baru membuka mata. Ketika memandang lekat2 pada pemuda itu. Justeru saat itu Kun Hiap juga tengah terlongong-longong memandangnya. Keduanya saling berpandang-pandangan sampai beberapa saat.
"Terima kasih atas kebaikanmu tak jadi membunuh aku," akhirnya Tian Hui Yan tertawa renyah".
Kun Hiap menghela napas dan lepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan Hui Yan.
"Perlu apa engkau mempermainkan aku ?" tanyanya, "sudah tahu kalau kepandaianku rendah dan tak dapat membunuhmu."
"Tidak, tidak!" cepat Hui Yan berteriak, "tadi kalau engkau jadi menabas, aku tentu mati!"
Teringat akan adegan tadi, diam2 Kun Hiap kucurkan keringat dingin karena merasa ngeri membayangkan apabila pedangnya jadi membelah tubuh si dara.
"Tetapi perlu apa engkau membiarkan dirimu kubunuh ?" tanya Kun Hiap.
Jawab si dara, "Kutahu tak nanti engkau tega membunuh aku. Cobalah engkau pikir. Apa sebab dan gunanya engkau hendak membunub aku itu ?"
Kun Hiap terbeliak- Dia sendiri juga tak mengerti mengapa dia tadi begitu marah dan terus mencabut pedang hendak membunuh dara itu.
"Nona Tian," katanya, "rasanya sudah cukup puas engkau mempermainkan aku. Aku mau kembali ke rumah keluarga Li, harap jangan merintangi lagi."
"Tetapi aku justeru hendak meminta engkau mengunjungi Poa Ceng Cay.
Mendengar itu marahlah Kun Hiap. "Aku harus pergi kemana, masa aku tak tahu ?"
Hui Yan tundukkan kepala dan memainkan ujung lengan bajunya, katanya, "Sebenarnya, aku bertindak demi kebaikanmu."
"Kalau memang betul begitu," teriak Kun Hiap, "silakan engkau tinggalkan aku jauh- jauh".
Baru Kun Hiap berkata begitu, tiba2 terdengar lelaki yang nyentrik sekali. Dia menunggang seekor keledai tetapi caranya menunggang tidak seperti orang biasa, melainkan berbalik tubuh menghadap ke belakang. Tetapi yang mengherankan pula, walaupun keledai, larinya bukan alang kepalang cepatnya.
Dan begitu datang, orang aneh itu terus julurkan kepalanya ke muka sehingga hampir membentur muka Kun Hiap.
"Hah, engkau lagi budak kecil. Rupanya engkau sama dengan bapamu, suka menggoda wanita, ya?" kata orang aneh itu.
Orang itu tak lain adalah si orang aneh yang pernah bertemu dengan Kun Hiap. Kun Hiap tahu kalau yang mengirim surat undangan tanpa nama itu bukan lain adalah orang nyentrik itu.
Habis berkata orang itu menarik mundur kepalanya lagi.
"Mengapa anda ngomong sembarangan saja menghina ayahku?" balas Kun Hiap.
Tiba2 orang aneh itu menjulurkan mukanya lagi. Kali ini malah ujung hidungnya hampir menyentuh ujung hidung Kun Hiap.
"Ha," dia tertawa, "Apa sih bapamu itu" Sekalipun kumaki dengan kata2 kotor, pun sudah selayaknya. Engkau mau apa?"
Berhadapan dengan seorang yang liar seperti Tian Hui Yan, Kun Hiap sudah pusing. Sekarang dia harus bertemu lagi dengan seorang manusia aneh yang urakan yang terang-terangan menghina ayahnya. Walaupun tahu kalau bukan lawannya tetapi Kun Hiap tak dapat menahan sabar lagi.
Dengan menuding ujung hidung orang itu, dia menegur, "Kalau mau bicara, harap dipikir dulu !"
"Ha, ha," kembali manusia aneh itu tertawa mengejek, "budak hina seperti engkau mau pura-pura seperti seorang kuncu (gentleman) di hadapanku. Coba katakanlah, apa gunanya seorang manusia seperti ayahmu itu ?"
"Siapakah yang tak tahu akan kebesaran nama ksatrya dari ayahku?" seru Kun Hiap.
"Salah omong engkau!" tukas manusia aneh itu, "bukan nama ksatrya tetapi nama busuk!"
"Ngaco !" bentak Kun Hiap, "berani benar engkau menghina pendekar pedang Naga-emas Wi Ki Hu ?"
"Ah,'" tiba2 orang aneh itu mendesuh kaget, "kiranya mamamu menikah lagi " Kalau begitu engkau punya ayah sambungan.
Mendengar itu marah Kun Hiap bukan kepalang. Pikirnya, ternyata manusia aneh itu sealiran dengan Tian Hui Yan yang hendak mempermainkan dirinya.
Bingung. Mendengar kata2 si orang aneh, Kun Hiap tertegun dan merenung lalu berputar kearah Tian Hui Yan. Tetapi dara itu tengah berdiri membelakanginya dan menghadap kearah sebatang pohon. Dia diam tak bergerak.
Kun Hiap heran, pikirnya, "Biasanya dara itu liar, mengapa sekarang seperti patung ?"
Melihat Kun Hiap tak bicara, orang aneh itu berseru pula, "Ha, sepanjang hidupnya ayahmu itu hanya pandai merebut isteri orang. Itulah sebabnya maka isterinya juga pernah diserobot orang. Coba engkau bilang apa ?"
Tadi sebenarnya K.un Hiap sudah tak dapat menahan kesabarannya. Sekarang mendengar orang aneh itu kembali menghina mamanya, dia sudah tak mampu mengendalikan diri, dengan membentak keras dia menghantam orang aneh itu.
Tetapi baru dia mengangkat tangan, tiba2 lengannya sudah lunglai sehingga tak kuasa diangkat lagi. Rupanya jalandarahnya pada lengan bawahnya telah ditutuk orang. Dan pada saat itu dia seperti mendengar sebuah ngiang suara yang lembut, berasal dari arah Hui Yan berdiri.
Jelas tentulah dara itu yang menggunakan senjata rahasia untuk melumpuhkan jalandarahnya. Rupanya dara itu melarangnya jangan cari perkara dengan siorang aneh.
Orang aneh itu hanya ganda tertawa. Untung dia tak mau melibat Kun Hiap lebih lanjut. Sehabis berkata tadi, dia terus tertawa gelak2 dan keledainyapun segera melanjutkan perjalanan lagi. Dalam sekejab saja sudah jauh.
"Budak kecil, jangan memperlakukan kasar pada dara itu. Terus terang, engkau masih belum nempil dengan ujung kakinya," tiba2 pula dari jauh orang aneh itu berseru.
Kun Hiap hendak balas memaki tetapi manusia aneh itu sudah jauh sekali. Terpaksa Kun Hiap hanya mendengus geram, "Orang gila !"
"Dia sudah pergi?" saat itu baru Hui Yan buka suara. Nadanya menunjukkan rasa jeri.
Kun Hiap tertegun dan tiba2 tertawa, "Ho, ternyata engkau juga punya takut toh ?"
Dia sudah kenyang menerima ejekan sidara. Sekarang ternyata dara itu juga takut berhadapan dengan si manusia aneh tadi. Sudah tentu diam2 Kun Hiap gembira juga.
Hui Yan berbalik diri dan leletkan lidah, "Kalau tidak takut berarti pura2. Tadi aku telah menolong jiwamu, tahu kau ?" serunya.
"Ngaco," sahut Kun Hiap dengan dingin.
Hui Yan berteriak aneh, "Memang untuk menjadi orang baik itu tak gampang. Anjing hendak menggigit dewa Lu Tong Pin alias orang yang tak tahu kebaikan lain orang. Binatang memang dapat dinilai hatinya tetapi siapa yang tahu akan hati inanusia ?"
Mendengar mulut si dara nyerocos tak keruan, Kun Hiap b"rseru juga. "Sudah, sudahlah! Engkau bilang menolong jiwaku. Tetapi apa yang kautolong itu ?"
"Engkau tadi hendak menghantam orang itu, bukan?" kata Hui Yan, "kalau tak kuhalangi mungkin engkau sudah berhasil memukulnya."
"Aku memang hendak memberinya sebuah bogem mentah," kata Kun Hiap.
Hui Yan tertawa, "justeru nama gelarnya yang termasyhur yalah 'selalu menerima pukulan orang tak pernah membalas', Maka kalau tadi pukulanmu sampai kena, tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi dalam tubuhnya tentu kontan akan membuat reaksi sehingga jiwanya pasti melayang."
Mendengar tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi, seketika wajah Kun Hiap berobah dan kesima, "Sam-yang .... cin-gi . . . ?" ulangnya.
"Ya." Dengan nada gemetar berkatalah Kun Hiap pula, "Kalau begitu, orang aneh yang naik keledai dengan menghadap ke belakang itu, adalah tokoh nomor satu dari aliran Hitam dan Putih, ketua pulau Mo-hun-to yang bernama Koan Sam Yang itu?"
Hui Yang mengangguk-angguk.
"Siapa lagi kalau bukan dia. Dia bergelar 'Pantang-balas-menyerang! Karena dia tak perlu harus turun tangan membalas, musuh sudah kelabakan sendiri."
Kun Hiap terlongong-longong sampai beberapa saat. Pikirnya, "Kalau orang itu benar Koan Sam Yang, maka dara itu memang benar tadi telah menyelamatkan jiwanya."
Dipandangnya dara itu. Dia hendak mengucapkan terima kasih tetapi teringat bagaimana tadi dara itu telah mengocoknya, ucapan terima kasih itupun macet dalam tenggorokannya. Dia hanya termangu-mangu memandang dara cantik itu.
"Ih, mengapa terlongong-longong saja?" tegur Hui Yan, "ketakutan, ya?"
"Tidak," sahut Kun Hiap, "kutahu bahwa yang menulis surat undangan kepada beberapa ko-jiu, juga orang itu."
"Sungguh ?" Hui Yan melonjak kaget.
"Siapa yang membohongimu?"
"Wah, kalau begitu sungguh bagus sekali- Hayo kita pergi." seru si dara terus menarik lengan Kun Hiap.
"Eh, mau kemana nih ?" Kun Hiap heran.
"Tak perlu bertanya, nanti engkau tentu tahu sendiri. Tanggung bermanfaat untukmu !"
"Siapa yang mengharap manfaat dari engkau " Lepaskan !" teriak Kun Hiap.
Tetapi Hui Yan tak menggubris. Dia terus menyeret lengan Kun Hiap. Karena kepandaiannya kalah, Kun Hiap tak dapat berbuat apa2 kecuali menurut saja. Dalam beberapa kejab saja sudah lari sampai tujuh delapan li.
Tiba2 dari arah lembah, terdengar suara burung berbunyi. Mendengar itu Hui Yan gembira sekali. Diapun terus bersuit seperti bunyi burung.
"Lepaskan aku ! Eigkau mau melepaskan aku atau tidak ?" teriak Kun Hiap.
Tetapi Hui Yan tetap tak menghiraukan dan masih menyeretnya kedalam lembah. Begitu masuk kedalam lembah, terdengarlah suara seorang wanita berseru sarat. "Sam-ah-thau, orang suruh melepaskan, mengapa engkau tak mau melepaskannya?"
"Kalau kulepas, dia tentu lari," sahut Hui Yan.
Wanita itu tertawa, serunya, "Ah-thau, Kusuruh engkau mengundang orang, mengapa engkau menyeretnya dengan paksa ?"
Hui Yan tertawa mengikik, "Karena diundang baik2 tak mau, terpaksa harus kuseret saja."
Pembicaman sidara dengan wanita itu, membuat Kun Hiap tertawa meringis. Terang kalau tindakan Hui Yan itu atas perintab si wanita itu, bukan kemauan dara itu sendiri.
Saat itu Kun Hiap sudah dibawa masuk kedalam lembah dan Hui Yanpun terus mendorongnya sehingga Kun Hiap terhuyung ke muka beberapa langkah, sehingga hampir membentur sebatang pohon.
Tiba2 dari arah muka menghambur setiup tenaga angin lunak yang melandanya sehingga dia tak sampai jatuh ke muka. Kun Hiap menghela napas. Memandang ke muka, ternyata dia sedang berhadapan dengan seorang wanita pertengahan umur. Wajah wanita itu biasa saja, menampilkan pancaran rasa kasih sayang dan keramahan sehingga Kun Hiap-pun merasa senang. Entah bagaimana, Kun Hiap yang mendongkol karena dibuat bulan bulan si dara, pun tak dapat marah kepada wanita itu.
"Apa engkau yang hendak mencari aku ?" tanyanya dengan ramah.
Wanita itu mengangguk, "Benar, memang yang hendak kucari itu, mungkin engkau ..."
Kun Hiap heran dalam hati.
"Ma, coba bilang, bagaimana kalau aku disuruh melakukan tugas, baik kan ?" tiba2 Hui Yan lari menghampiri kepada wanita itu.
Wanita itu mengelus-elus rambut si dara dan berkata dengan penuh sayang, "Ya, memang baik sekali. Kusuruh engkau mengundang orang, tetapi engkau menyeretnya saja, begitulah . . ."
Tian Hui Yan tertawa, "Ma, engkau tak tahu, ada ceritanya, aku memang . . . ."
Mendengar itu merahlah muka Kun Hiap, serunya, "Nona Tian ..."- dia tahu kalau Hui Yan tentu hendak menceritakan tentang kisah selama dalam perjalanan tadi maka diapun buru-buru mencegahnya.
Hui Yan tak melanjutkan omongannya dan cibirkan bibir, tertawa. "Jangan kuatir, kalau ada sesuatu yang menyal
ahi aku, baru akan kusiarkan peristiwa itu agar engkau malu bertemu orang."
Mendengar itu Kun Hiap hanya tertawa pahit.
Wanita tadi deliki mata kepada Hui Yan, serunya, "Kembali barang itu kepadaku."
Hui Yan merogoh kedalam baju dan menyerahkan sebuah bungkusan sutera putih.
Wanita itu menyambuti dan membukanya. Kun Hiap mengawasi apa yang berada dalam bungkusan sutera itu. Dan waktu melihat benda itu, seketika matanya terbeliak.
Ternyata yang terbungkus dengan sutera putih sebuab lukisan orang. Seorang lelaki yang mengenakan jubah panjang dan tangannya mencekal sebatang kipas. Sikapnya santai sekali. Wajahnya tenang sekali.
Siapa lagi gambar orang itu kalau bukan wajah Kun Hiap sendiri...
Wanita itu memperhatikan lukisan lalu memandang kepada Kun Hiap. Setelah itu dibungkusnya lagi lalu ia menghela napas panjang.
Kun Hiap hendak bertanya tetapi wanita itu telah mendahului, "Apakah ayahmu baik2 saja ?"
Kun Hiap gopoh menyahut, menyatakan kalau ayahnya sehat tak kurang suatu apa. "Ayahku, orangtua itu baik2 saja."
Tiba2 mulut wanita itu berkemak-kemik, "Orangtua ... orang tua .... kurasa dia belum berapa tuanya, bukan?"
"Apakah anda sudah kenal dengan ayahku?" tanya Kun Hiap.
Wanita itu tidak menjawab melainkan balas bertanya lagi, "Dapatkah engkau memberi tahu, siapa mamamu ?"
"Mama adalah puteri keluarga Tong dari Oulam " sahut Kun Hiap.
Wanita itu mengangguk. "O- kiranya Dewi Tangan-suci Tong Wan Giok, Ya, memang hanya dialah yang layak menjadi pasangan ayahmu !" serunya. Namun nadanya penuh dengan getar2 haru dan rawan.
Sudah tentu Kun Hiap makin heran. Dia menduga kalau wanita itu tentu mempunyai hubungan baik dengan papa dan mamanya, Tetapi mengapa selama ini baik papa maupun mamanya tak pernah menceritakan tentang diri wanita itu"
Dia kinipun tahu bahwa Tian Hui Yan itu adalah puteri dari wanita itu.. Kalau anaknya saja sudah begitu sakti, mamanya tentu lebih sakti lagi. Dengan begitu, tak mungkin papa mamanya tak menceritakan seorang tokoh wanita yang begitu sakti. Tetapi kenyataannya, mengapa tidak"
Tampak sepasang alis wanita itu menjungkat seperti tengah merenungkan sesuatu yang berat.
Tiba2 Hui Yan menepuk bahu Kun Hiap, "Lihatlah, engkau membuat mamaku marah."
"Aku .....," Kun Hiap terbata-bata kaget.
"Sam-ahthau!" seru wanita itu, "jangan usil mulut. Urusan itu tiada sangkut pautnya dengan dia, Hanya Aku hanya tengah merenung suatu peristiwa yang lampau."
"Lho, ma, siapakah yang berani menghina engkau " Biarlah kuwakili mama menghajarnya!" seru Hui Yan.
Kun Hiat cepat menyambuti, "Nona Tian. Kuyakin dalam dunia ini tiada seorang manusia yang berani cari permusuhan dengan mamamu."
Tetapi Hui Yan salah terima, Dia terus bercekak pinggang dan berseru, "Apakah aku begitu galak sampai orang jadi takut ?"
"Tidak. tidak, engkau .... tidak galak," buru2 Kun Hiap menyusuli kata2.
"Hm, engkau memang pintar," dengus Hui Yan.
Wanita itu menghela napas, "Sam ah-thau, coba engkau menyingkir agak jauh saja. Aku hendak bicara sebentar dengan Can kongcu."
Sambil cibirkan bibir dengan sikap enggan dara itupun keluar. Mendengar wanita itu hendak bicara dengan seseorang yang disebut Can kongcu, Kun Hiap juga tak enak sendiri. Diapun terus melangkah mundur.
"Can kongku, aku hendak bicara sedikit dengan engkau, jangan pergi," tiba2 wanita itu berseru.
Kun hiap tercengang. Ternyata yang dimaksudkan sebagai Can kongcu oleh wanita itu, bukan lain adalah dirinya.
"Cianpwe tentu salah, "katanya," aku orang she Wi, bukan she Can."
Diam2 dia menghela napas longgar. Wanita itu ternyata salah sangka, Dia dikira orang she Can. Tetapi biar bagaimana, dia merasa lebih longgar saat itu karena terlepas dari libatan Hui Yan.
"Baik she Can maupun she Wi, tetapi jelas aku tak salah. Waktu aku kenal dengan ayahmu, mungkin engkau belum lahir. Ah, tempo berjalan begitu cepat sekali."
Diam2 Kun Hiap geli juga. Ia merasa dunia memang penuh dengan manusia2 yang pikirannya terbalik. Jelas kalau salah menyangka orang, sekarang dengan mudah wanita itu enak saja mengatakan biar she apa saja, dia tetap merasa tak salah menduga.
"Kalau cianpwe tiada pesan apa2 lagi, aku hendak pamit," katanya sesaat kemudian.
"Sudah tentu aku ada urusan," kata wanita itu, "kusuruh si sam-ahthau membawamu kemari, justeru memang karena hendak menyampaikan suatu urusan penting kepadamu."
Kun Hiap cepat dapat menduga dara centil itu tentu telah menceritakan kepada mamanya (wanita itu) tentang peristiwa yang dialami Kun Hiap selama ini. Tentu wanita itu merasa bahwa orang yang hendak dicarinya, mirip dengan dirinya (Kun Hiap) oleh karena itu dia terus suruh anak perempuannya untuk membawanya kesitu.
Tetapi cara Hui Yan mengundang orang, begitu kasar dan ceroboh sehingga membuat Li Siu Goan, kepala perkampungan marga Li, menjadi kalang kabut.
Sambil tertawa kecut, Kun Hiap berkata, "Tetapi cara nona Tian mengundang orang tadi, memang keliwatan sekali."
"Apa" Apakah dia membuat onar lagi" Hm, budak itu memang!" seru wanita itu.
"Bukan saja membuat onar, pun bahkan telah menyebabkan beberapa kojiu persilatan tiada muka lagi untuk muncul di dunia persilatan."
Wanita itu geleng-geleng kepala, "O, ini bukan menyalahi tetapi malah menanam kebaikan, coba engkau pikirkan. Kalau para kojiu itu tetap masih menonjol dan berebut nama dalam dunia persilatan, tentulah pada suatu hari mereka akan binasa. Tetapi kalau lekas-lekas mau mengundur-kan diri, tentulah akan selamat sampai hari tua." Mendengar jawaban begitu, Kun Hiap tak dapat bicara lagi. Dia menganggap wanita itu membela putrinya. Tetapi memang alasan yang diuraikan itu, tepat sekali.
Tiba2 wanita itu bergoyang tubuh dan tahu2 telah meluncur ke luar, "Ikutlah aku, ada suatu barang yang hendak kuberikan kepadamu."
"Aku baru saja kenal dengan cianpwe, bagaimaca aku dapat menerima pemberian cian-pwe ?"
"Bukan antukmu tetapi aku minta tolong kepadamu untuk menyerahkan beberapa barang kepada papamu," kata wanita itu.
Kun Hiap makin tak enak. Wanita itu jelas masih tetap menduga kalau dia orang she Can. Menilik betapa tinggi kepandaian wanita itu, tentulah barang yang akan diberikan kepada orang she Can itu, terdiri dari benda2 yang amat berharga sekali.
Pikir Kun Hiap, baiklah dia menerima saja permintaan wanita itu. Kelak apabila wanita itu telah menyadari kekeliruannya, bukankah wanita itu akan marah dan menuduh kalau dia menipunya "
"Cianpwe," serunya sambil menggoyang-goyangkan tangan menolak," telah kukatakan kalau engkau keliru menyangka aku. Aku bukan orang she Can tetapi she Wi."
Tetapi wanita setengah baya itu hanya tersenyum simpul, "Akupun sudah bilang. Tak peduli engkau orang she Can atau she Wi, bagiku tidak penting."
"Mengapa tidak penting " Kalau shenya tidak sama, tentulah orangnya juga lain. Masak dalam soal begitu saja cianpwe tak mengerti?"
Agak keras nada Kun Hiap tetapi anehnya wanita itu tidak merasa tersinggung dan masih tetap tersenyum.
"Mengapa aku tak mengerti " Yang penting perasaanku sudah mengetahui jelas engkau ini putera siapa. Itu sudah cukup.. Pergaulan ayahmu luas sekali. Kemungkinan karena berbuat suatu kesalahan terhadap seseorang, dia lalu mengganti she."
Sudah tentu marahlah hati Kun Hiap, serunya. "Ayah seorang lelaki jantan. Berjalan tidak berganti nama, duduk tidak merobah she . . . ."
Belum selesai Kun Hiap bicara, wanita itu sudah mencegahnya, "Sudahlah, jangan banyak bicara. Papamu memang telah menyalahi banyak orang ..."-- tiba2 dia berhenti dan wajahnya tampak rawan kemudian mengbela napas, "Tetapi, walaupun dia telah menyalahi orang banyak dan melakukan hal2 yang tak terpuji, tetapi ada sesuatu hal yang dia sendiri tentu belum mengerti jelas . . . ."
Mendengar itu Kun Hiap merasa geli sehingga hampir tertawa. Ayahnya pendekar Pedang Naga-emas Wi Ki Hu termasyhur harum namanya. Siapakah tokoh dalam dunia persilatan yang tak tahu bahwa ayahnya itu seorang pendekar yang paling gigih membenci kejahatan "
Sudah tentu sebagai seorang pendekar, dia tentu banyak sekali melakukan hal-hal yang merugikan dan menyalahi orang. Tetapi hanya mereka kawanan jahat dari aliran Hitam saja. Sudah tentu mereka mendendam dan membenci ayah. Tetapi adakah karena ancaman itu ayah lalu ketakutan dan berganti she dan nama"
Kun Hiap menahan tawanya dan bertanya, "Cianpwe mengatakan ayah belum mengerti. Tetapi apa saja yang ayah belum mengerti itu"
Kembali wanita itu menghela napas, "Dia tak mengerti, bahwa walaupun banyak sekali orang yang telah ditipunya tetapi tak ada orang yang membencinya. Orang hanya akan mengenangkan saat2 yang penuh kebahagiaan dikala bersamanya dan orang itupun tetap mengharap bahwa pada suatu hari akan dapat berkumpul lagi. Walau itu hanya . . . suatu harapan yang sia2, meskipun tahu dirinya telah dituang seperti sampah yang tak berharga, tetapi dia tak mendendam atau membencinya. Karena meski hari2 ketika berkumpul dengan dia dahulu hanya singkat sekali, tetapi saat2 itu merupakan suatu kebahagiaan yang paling indah dalam kehidupannya . . . . "
Kun Hiap mendengari dengan terlongong-longong. Dia tak tahu siapakah orang yang disebut sebagai orang she Can itu" Kalau menurut kata2 wanita itu, rupanya dia sendiri (wanita itu) juga termasuk salah seorang yang telah menjadi korban kebohongannya. Tetapi mengapa wanita itu mengatakan kalau dia tetap takkan membenci dan tetap akan mengenangkan hari2 bahagia ketika bersama dengan orang she Can itu" Apakah yang telah dilakukan orang she Can itu, kepada wanita di hadapannya ini"
Sejenak berpikir, Kun Hiap menghentikannya. Pertama, dia belum dapat menentukan bagaimana kwalitas dari orang she Can itu. Apakah dia seorang pria yang berbudi luhur ataukah seorang momok yang mengerikan. Kedua, perlu apa dia harus membuang waktu dan pikiran, toh sudah jelas bahwa orang she Can itu bukan ayahnya"
Ayahnya seorang yang serius, baik terhadap kawan dan dirinya sendiri, Apabila seorang kawan dikabarkan telah berbuat suatu kesalahan yang mencemarkan nama, walaupun hanya kecil saja, dia tentu lantai memutuskan hubungan dengan kawan itu Oleh karena itu maka kawan yang karib dari Wi Ki Hu itu hanya sedikit sekali. Perihal dirinya jelas tidak sama dengan orang she Can yang disebut-sebut oleh wanita tadi.
"Cianpwe, maaf, kurasa cianpwe memang benar salah sangka," katanya,
"Tidak, tidak mungkin aku salah," kata wanita itu dengan kukuh, "ikutlah aku, nanti kita bicara lagi."
Kun Hiap benar2 tak dapat berkutik.
"Baiklah, karena cianpwe berkeras menganggap ayahku itu orang she Can yang hendak cianpwe cari, nanti barang itu akan kusimpan dalam rumah ayah. Kapan saja cianpwe merasa telah keliru memberikan, setiap saat cianpwe boleh mengambilnya kembali."
Wanita itu tertawa hambar, "Apakah aku bisa keliru?" " dia bertanya kepada dirinya sendiri sembari geleng2 kepala. Jelas dia merasa benar dan tak mungkin salah.
Kun Hiappun terpaksa mengikuti di belakang-nya, memasuki sebuah guha. Bermula guha itu gelap tetapi setelah membiluk sebuah kelok, ternyata disitu terdapat penerangan yang cukup terang. Penerangan itu berasal dari suatu celah retakan dinding guha dimana sinar matahari dapat menembus kedalam.
Guha itu amat bersih sekali. Dan saat itu Kun Hiap merasa dirinya berada dalam sebuah kamar yang bersih, terbuat dari batu alam Dalam ruang batu itu terdapat seorang wanita yang tengah duduk Begitu melihat wanita setengah baya dan Kun Hiap masuk, wanita itu segera berbangkit dengan sikap yang menghormat.
Kun Hiap memperhatikan wanita dalam guha itu. Ternyata seorang gadis berumur lebih ku-rang 20-an tahun. Wajahnya mirip dengan wanita setengah baya tadi.
Wajah gadis itu secantik bunga mekar di musim semi- Menyedapkan setiap mata yang memandangnya. Tampak gadis itu tundukkan kepala, mukanya tersipu merah. Rupanya dia jengah berhadapan dengan seorang pemuda yang belum di-kenalnya.
"Ji-ah-thau," seru wanita setengah baya, "ambilkan kotak kumala itu."
Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan suara lirih gadis itu mengiakan terus masuk kedalam tanpa memandang sedikitpun kepada Kun Hiap.
Kun Hiap terkesiap. Ia ingat nada suara gadis itu seperti yang pernah didengarnya ketika memanggil Hui Yan di luar Istana Tua.
Wanita setengah baya memanggilnya dengan sebutan Ji-ah thau ( budak kedua ). Dengan begitu jelas dia ji-suci atau taci kedua dari Hui Yan.
"Ah, sungguh seperti langit dengan bumi bedanya antara Hui Yan dengan gadis itu," pikir Kun Hiap, "mereka taci beradik tetapi kalau Hui Yan itu dara yang berandalan, lincah dan centil, membuat orang mendongkol tetapi juga menyenangkan Tetapi tacinya ini begitu lemah lembut dan alim. Sampai bicara saja begitu pelahan.
Entah bagaimana dalam berpikir itu tanpa disadari, Kun Hiap memandang beberapa kali ke-pada gadis itu.
Walaupun tidak balas memandang tetapi rupanya gadis itu tahu kalau Kun Hiap tengah memperhatikannya. Maka merahlah telinga gadis itu dan diapun segera bergegas melangkah masuk.
Wanita set"ngah baya berputar diri dan menepuk bahu Kun Hiap, "Can kongcu, mengapa engkau memandang bayangannya ?"
Kun Hiap tersentah kaget dan merahlah mukanya.
"Aku .. . aku .... aku ...," dia mau omong tetapi tak keluar.
Wanita setengah baya itu tertawa. "Engkau ini bagaimana sih " Mengapa tak dapat omong dengan lancar.'"
Sudah tentu Kun Hiap makin kerupukan, katanya, "Aku tengah berpikir, mengapa sifat nona Hui Yan dengan tacinya itu berbeda sekali."
Tiba2 wanita setengah baya itu tertawa pula, penuh dengan arti.
"Lalu engkau suka yang mana ?" tanyanya secara tak terduga-duga.
"Cianpwe, ini . . . , ini dinilai dari mana ?" sahut Kun Hiap.
Wanita setengah baya tertegun, "Kalau begitu, engkaupun tidak sama dengan ayahmu."
Kembali perasaan hati Kun Hiap mendelu dan tertawa tawar. Kalau menurut kata-kata wanita itu, sepertinya mengatakan bahwa ayahnya (ayah Kun Hiap) itu seorang pria yang romantis sekali. Ah, benarkah ayahnya yang sekarang seorang pria serius, dulu semasa mudanya seorang pemuda Don Juan atau hidung belang "
Wanita setengah baya itu duduk dan berkata, "Kalau nanti pulang, ayahmu tentu menanyakan tentang aku. Nah, kasih tahulah kepadanya bahwa sejak berpisah, aku menikah tetapi suamiku sudah lama meninggal dunia Aku mempunyai tiga anak perempuan. Yang benar sudah menikah dengan kepala dari Tiga benggolan gunung Cin-nia yaitu Khong Gong Tin . . . ."
Mendengar itu tiba2 wajah Kun Hiap berobah seketika dan berseru. "Khong Gong Tin?"
"Ya," sahut wanita setengah baya itu, namanya jelek dan orangnyapun kejam, bukan " Tetapi dia sangat setia kepada anakku yang besar."
Tergetarlah hati Kun Hiap. Mengapa Khong Gong Tin mengumbar kejahatan dan keganasan itu, tentulah karena mengandalkan pengaruh mama mertuanya atau wanita setengah baya yang berada dihadapannya itu.
Kejahatan Sam-shia atau Tiga-benggolan dari gunung Cin-nia, memang tiada banding-annya lagi. Dalam kalangan tokoh2 jahat di dunia persilatan, tiada satupun yang melebihi hebatnya kejahatan dari ketiga benggolan gunung Cin-nia itu. kepala atau pimpinan mereka ber-nama Khong Gong Tin gelar Thian-oeng-te-liat atau langit-ambruk-bumi-bengkah. Dia seorang jahat kelas kakap.
Kun Hiap diam2 terkejut sekali. Gunung Cin-nia tak berapa jauh dari tempat kediamannya dan sudah beberapa kali ayahnya pernah bentrok dengan Tiga-benggolan itu. Bahkan setengah tahun yang lalu, ketiga benggolan itu datang lagi untuk mengobrak-abrik dan waktu pergi sumbar-sumbar bahwa mereka akan mengusir naga emas Wi Ki Hu, ayah Kun Hiap, dari wilayah Kamsiok.
Sekarang Kun Hiap berhadapan dengan keluarga dari pemimpin Tiga-benggolan. Dalam ke-jutnya diam2 Kun Hiap bersyukur bahwa tadi dia tak mengatakan bahwa ayahnya itu adalah si Naga-emas Wi Ki Hu.
"Ih, mengapa waktu mendengar nama Khong Gong Tin, mukamu tampak berobah pucat?" tegur wanita setengah baya itu.
"Ti . . . dak. tidak apa2," Kun Hiap terbata-bata.
Waktu wanita itu hendak bicara lagi, tiba2 gadis cantik, tadi muncul dengan membawa kotak kumala. Kumala itu bening sekali tentu dari kumala yang berkwalitas tinggi.
Setelah menyambuti kotak kumala itu, wanita setengah baya menghela napas lalu menerimakan kepada Kun Hiap.
"Jangan sekali-kali engkau buka kotak itu," pesannya kepada Kun Hiap. Setelah itu dia berbangkit dan berseru kepada gadis cantik tadi, "Ji-ah-thau, antarkanlah Can kongcu ini."
"Ah, tak perlu, aku dapat pulang sendiri," buru2 Kun Hiap berkata.
Semula dia mempunyai kesan baik terhadap gadis itu tetapi kini setelah tahu latar belakang keluarganya, diapun merasa jeri. Maka dia lalu menolak diantar gadis itu.
Gadis itu menghela napas pelahan, katanya dengan lembut, "Ma, Can kongcu bilang, dia dapat pulang sendiri dan tak perlu kuantar."
Mendengar nada kata yang merawankan dari gadis itu, Kun Hiap tak enak hati. Buru2 dia menyusuli kata2, "Maaf, nona Tian, aku tak berani merepotkan nona.."
Gadis itu mengangkat kepala. Sepasang biji matanya yang bundar dan bening memandang Kun Hiap. Tetapi hanya sepintas lalu tundukkan kepala. Walaupun hanya sejenak beradu pandang, Kun Hiap menjadi kesima.
Pancaran sinar mata gadis itu mengunjukkan sifat penurut dan lemah lembut, menimbulkan rasa simpathi orang sehingga orang tak sampai hati untuk menyinggung perasaannya, menolak permintaannya.
Tanpa disadari, seketika Kun Hiappun berseru, "Tetapi kalau nona memang hendak mengantar, aku . ....terima kasih."
Tanpa banyak bicara lagi, gadis itu serentak berkata, "Mari . . . ."
Dengan membawa kotak kumala, Kun Hiap melangkah keluar. Si gadis mengikuti tetapi mama nya tetap tinggal dalam ruang guha.
Setelah keluar dan guha, baru beberapa langkah mereka mendengar suara burung gagak berkaok. Kun Hiap tertegun dan sesosok bayangan berkelebat melayang turun dari sebatang pohon, Tahu2 di hadapan Kun Hiap, muncul si dara centil Tian Hui Yan. Diam2 Kun Hiap mengeluh dalam hati.
"Ji ci, mengapa engkau ini ?" tegur Hui Yan.
"Mama suruh aku mengantar," jawab si gadis cantik.
"Pulang saja, biar aku yang mengantarnya," kata Hui Yan.
"Baik," kata gadis itu dengan pelahan.
Kun Hiap terkejut dan berpaling tetapi gadis itu sudah jauh. Dia hendak memanggil tetapi sungkan. Dia hanya tegak terlongong-longong. Dia terkejut ketika Hui Yan melesat di hadapannya, mengaling pandang matanya yang saat itu sedang tertuju pada bayangan gadis cantik tadi.
"Ada urusan apakah mamaku mencari engkau ?" seru Hui Yan.
"Dia meminta aku supaya menyerahkan sebuah kotak kumala kepada ayahku," sahut Kun Hiap. Tiba2 dia merasa, gadis cantik, tadi berpaling dan memberi senyum kepadanya. Buru2 dia miringkan kepala untuk membalas senyuman.
Pada saat itu Hui Yan sudah ulurkan tangan dan merampas kotak kumala dari tangan Kun Hiap.
"Kotak kumala " Apakah ini " Isinya apa saja, biar kubukanya, " seru dara itu.
"Jangan !" Kun Hiap kelabakan," mamamu pesan, jangan sekali-kali kubuka kotak."
"Begitu ?" lengking Hui Yan, " dia hanya melarang engkau tetapi tidak melarang aku, toh " Waktu kubuka, engkau harus menyingkir agak jauh supaya engkau jangau mencuri lihat !"
Kun Hiao sudah kenal watak gadis liar itu. Percuma saja dia hendak membantah. Toh batang itu milik mamanya. Biarlah dia melihat, pikirnya. Dan dia terus berputar tubuh membelakangi Hui Yan.
Dara itu tertawa mengikik dan terus membuka kotak kumala. Kun Hiap hanya mendengar mulut dara itu mendesis heran. Kun Hiap terkejut dan terus berpaling. Dilihatnya mata Hui Yan, membelalak memandang isi kotak. Karena teralang oleh tutup maka Kun Hiap tak dapat mengetahui apa isinya.
Plak, sambil menutup lagi kocak itu, Hui Yan mengangkat muka dan melemparkan kotak kumala itu kepada Kun Hiap. Kun Hiap gopoh menyambuti. Dia hendak bertanya apa isi kotak itu tapi tak jadi. Dia kuatir, dara itu akan menertawakan. Diapun terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.
"Hai, apakah engkau tak jadi pergi ke rumah Poa Ceng Cay?" teriak dara itu dari belakang.
"Tidak! Tidak!" seru Kim Hiap seraya mempercepat langkahnya. Tetapi suara tawa dara itu tetap terdengar di belakang. Karena tak tahan, Kun Hiap sengaja berhenti, "Kalau engkau tetap mengikuti aku, terpaksa akan kulaporkan kepada mamamu dan kukatakan kalau aku keberatan memenuhi permintaannya."
"Aih, apa engkau melihat setan di siang hari" Di tengah jalan besar begini, apakah hanya engkau seorang yang boleh jalan disini, aku tak boleh"' seru Hui Yan.
"Kalau engkau hendak berjalan silakan. Aku yang berhenti. Mengapa engkau tetap mengikuti aku dari belakang saja?"
Hui Yan tertawa, "Engkau ini memang aneh. Masa yang boleh berhenti di tengah jalan hanya engkau saja dia aku tak boleh?"
Diam2 Kun Hiap menghela napas untuk menelan kemengkalannya. Terpaksa dia lanjutkan langkah dan tak berapa lama tiba disebuah kota kecil.
Sebenarnya dia hendak ke desa marga Li menemui paman dan kepala perkampungan marga Li untuk berunding. Tetapi sekarang dia harus berusaha untuk meloloskan diri dari jabatan dara liar itu dulu.
Ketika melalui sebuah rumah penginapan, tiba2 timbullah pikirannya. Dia terus menghampiri rumah penginapan itu dan bertanya kepada jongos, apakah ada kamar kosong.
"Hai, bung, apakah ada kamar kosong?" tiba-tiba terdengar suara si dara juga bertanya kepada jongos.
Jongos dengan tertawa berseri-seri segera menyambut Kun Hiap dan mengantarkannya ke sebuah kamar yang sederhana. Saat itu baru Kun Hiap dapat bernapas longgar, pikirnya, tentulah Hui Yan sungkan kalau mau menyusul kesitu.
Tetapi uh . . . dia terhenyak. Dia tahu siapa dara liar seperti Hui Yan itu. Kalau dara itu nekad masuk, dia dapat berbuat apa"
Membayangkan hal itu, Kun Hiap berobah gelisah lagi. Tetapi sampai setengah jam kemudian, ternyata keadaan masih tenang. Kun Hiap merebehkan diri di ranjang, memandang ke luar jendela menikmati langit, dia mengharap agar malam segera tiba agar dia dapat terbebas dari gangguan si dara.
Tetapi dia merasa, jalannya tempo lambat sekali. Matahari tak mau cepat silam di balik gunung dan cuacapun masih terang.. Terpaksa dia bangun dan berjalan mondar mandir dalam kamarnya. Beberapa saat kemudian, dia mendengar dari kamar disebelah, suatu suara bergemerincing.
Kun Hiap tersentak kaget. Apakah itu bukan Tian Hui Yan " Kalau dia tinggal dikamar sebelahnya, nanti tengah malam masa dia mampu meloloskan diri.
Tring, tring, kembali terdengar dua buah bunyi berdering. Serentak timbullah keinginan tahu Kun Hiap, sedang berbuat apakah dara liar itu "
Dia sempat menemukan sebuah celah retak pada dinding tembok. Segera dia menghampiri dan mengintai kedalam kamar.
Sebuah lilin menyala diatas sehuah meja dan didepun meja itu terdapat seorang lelaki tinggi kurus tengah membungkuk seperti sedang memeriksa apa yang berada diatas meja itu. Jelas orang itu bukan Hui Yan.
Kun Hiap menghela napas longgar. Waktu dia hendak pergi, dilihatnya orang itu bergerak dan duduk dikursi. Dan seketika itu Kun Hiap dapat mengetahui siapa orang itu. Dia bukan lain adalah manusia aneh yang mempunyai ilmu untuk menjulurkan batang lehernya sampai beberapa meter, yani Kwan Sam Yang, kepala dari pulau Moh-hun-to dari laut selatan.
Dan begitu tokoh itu duduk, dapatlah Kun Hiap melihat benda apa yang terletak diatas meja. Jumlahnya dua buah dan kecil bentuknya. Kedua benda itu tak lain adalah kuda kudaan yang terbuat dan bahan besi. Kuda besi itu besarnya hanya segenggam tangan orang.
Kun Hiap segera teringat akan mainan kuda besi yang diketemukan dari mayat Li Toa Gui dan yang diperoleh Hui Yan dari tubuh mayat Lo Pit Hi dalam istana Tua tempo hari. Kedua kuda besi itu serupa benar dengan dua kuda besi yang berada di atas meja dihadapan Kwan Sam Yang saat itu.
Beberapa saat kemudian Kwan Sam Yang mengambil salah sebuah kuda besi dan didering; dengan jarinya sehingga mengeluarkan bunyi berdering-dering. Setelah itu dibolak-balikkan, diperiksanya.
Diam2 Kun Hiap heran. Kedua kuda besi itu memang dibuat seperti kuda yang hidup. Dan selain itu tiada lagi lain2 keistimewaannya, perlu apa Kwan Sam Yang memeriksa begitu teliti sekali "
Menganggap bahwa hal itu tiada sangkut pautnya dengan dirinya, Kun Hiap kembali masuk kedalam kamarnya dan rebahkan diri. Tetapi beberapa saat kemudian tiba2 dia melonjak bangun Ternyata ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya. Dikamar sebelah kiri kamarnya terdapat Kwan Sam Yang.. Tetapi bagaimana dengan kamar yang terletak disebelah kanan kamarnya " Mungkinkah dlsitu terdapat Hui Yan "
Kembali dia berusaha mencari retak dinding dan berhasil. Dari celah retakan dinding itu, dia mengintai kedalam. Ternyata kamar didalam, gelap sekali. Dia menghela napas longgar.
Rasanya malam berjalan lambat sekali. Setelah tengah malam tiba, barulah dia membuka jendela dan loncat keluar. Kemudian dengan hati2 sekali dia terus lari. Setelah tiga atau lima langkah jauhnya barulah dia berhenti. Berpaling ke belakang, dia tak melihat barang seorangpun juga. Diam2 dia merasa gembira.
Tetapi baru dia hendak menghela napas untuk melonggarkan ketegangannya, tiba2 bahu kirinya dijamah sebuah tangan manusia !
Kun Hiap terkejut tetapi pada lain saat dia marah sekali, bentaknya, "Nona Tian, sampai kapan engkau baru mau melepaskan aku !"
"Nona Tian ?" tiba2 dari belakang terdengar suara seorang setengah tua.
Kun Hiap cepat menyadari kalau salah sangka. Cepat dia berpaling dan dilihat seorang lelaki berdiri dibelakangnya. Seorang bermuka brewok menyeramkan. Pantasnya tampang begitu itu tentulah orangnya tinggi besar gagah perkasa. Tetapi ternyata tidak. Orang itu seorang lelaki pendek sehingga menimbulkan pandangan yang ganjil.
Menghadapi seorang yang tak dikenalnya, Kun Hiap tak mau terlibat banyak kesulitan, Dia menyurut mundur dan berkata, "Maaf, aku salah sangka."
Orang aneh itu tertawa aneh, serunya, "Salah sangka memang sudah biasa. Tetapi kalau menyangka aku ini seorang gadis, wah, itu sungguh lucu sekali!"
Kun Hiap sendiri juga geli. Dia menerangkan tentang seorang dara she Tian yang selalu menggodanya, maka tadi dia telah cepat2 menduga kalau dara itu lagi yang mempermainkannya.
Kembali orang aneh itu tertawa seperti seekor itik, serunya, "Bagus, ada dara yang merayumu. Sahabat, rajekimu sungguh besar !"
Kun Hiap menyengir, "Ala, jangan mengolok, bung !"
"Apa " apakah dara itu berwajah seperti burung. hantu buruknya ?"
Kun Hiap gelengkan kepala, "Bukan, dia sih cantiknya bukan main."
"O, betulkah " Kalau begitu engkau memang besar rejeki, mengapa mengatakan aku berolok-olok"
Kembali Kun Hiap gelengkan kepala tetapi dia tak dapat tahu bagaimana harus menjelaskan.
"Ya, benar," kata orang aneh itu pula, "tentu seorang gadis cantik dan karena engkau tak mampu menggaet maka engkau jadi kelabakan..."
(bersambung ke jilid 4) Mendengar olok-olok si orang aneh, Kun Hiap gerakkan tangannya menyangkal, "Tidak, tidak. Ah, aku sudah cukup gelisah, Sahabat, jangan engkau bertanya lagi."
Orang itu ternyata berwatak terus terang dan lincah, "Baik. Lalu engkau ingin hendak mencari siapa?"
Mendengar kata2 itu, Kun Hiap menganggap bahwa orang itu memang mengerti tata kesopanan maka diapun menjawab, "Ya aku memang hendak mencari susiok (paman guruku) si Pedang-terbang Wi Kiam Liong."
Tiba2 orang itu tertawa gelak2. "Ho, kiranya hendak mencari Wi-heng, Dia sudah kenal lama dengan aku," serunya.
Mendengar pengakuan itu, serentak Kun Hiap bertanya, "Siapakah nama cianpwe?"
"Namaku mungkin engkau belum pernah mendengar," sahut orang itu, "tetapi engkohku mempunyai nama besar di dunia persilatan."
"Siapa?" "Naga-emas-sakti Nyo Hwat!"
Nyo Hwat adalah ketua dari partai persilatan Hoa-san-pay. Kun Hiap sudah tahu. Waktu berada di rumah keluarga Li, ketika mendengar suara kicau burung, Nyo Hwat telah menderita luka-dalam. Saat itu Kun Hiap juga disitu maka dia tahu peristiwa itu. Tetapi dia belum tahu kalau Nyo Hwat masih mempunyai seorang adik.
Dipandangnya orang itu dengan lekat. Kecuali perawakannya yang jauh lebih pendek dari Nyo Hwat, roman mukanya memang agak minp.
Diam-diam Kun Hiap mengeluh dalam hati karena pengalamannya yang begitu sempit sehingga banyak sekali tokoh persilatan yang belum dikenalnya.
"O, kiranya Nyo cianpwe," serunya sesaat kemudian, "apakah cianpwe tahu bahwa Nyo Hwat tayhiap telah menderita luka di rumah keluarga Li?"
"Ya, kutahu," sahut orang itu, "aku sudah bertemu Wi Kiam Liong dan toako yang menuju ke rumah Wi Ki Hu. Kedatanganku kemari tak lain hendak melihat siapakah tokoh yang begitu lihay sehingga dapat mengalahkan beberapa ko-jiu yang sakti."
Mendengar nada ucapan orang itu, Kun Hiap menganggap kalau orang itu tentu berada di fihaknya.
"O, ternyata mereka. sudah sama menuju ke tempat ayah?" serunya.
Sejenak memandang Kun Hiap, orang itu mendesis lalu berkata: "O, kalau begitu engkau ini Wi hiantit!"
Kun Hiap terkesiap, "Apakah cianpwe kenal dengan ayahku?"
Orang itu tertawa mengekeh, lalu menepuk bahu Kun Hiap dengan keras, "Sudah tentu kenal hiantit. Seharusnya engkau memanggil aku Nyo jisiok (paman kedua)."
Sejenak bersangsi, akhirnya Kun Hiap menyebut, "Nyo . . . jisiok."
"Hiantit yang baik, tahukah engkau siapa musuh kita itu?"
Kun Hiap menghela napas, ''Sudahlah, tak perlu dikatakan lagi. Dia adalah nona Tian yang selalu mengejar-ngejar aku itu1"
Orang itu kepalkan tinju dan berseru, "O, hanya seorang anak perempuan saja. Sungguh besar sekali nyalinya. Naga-sakti Nyo Hwat dan Rajawali-emas Li Goan Siu itu kan bukan tokoh sembarangan, mengapa dia berani mempermainkan mereka. Hm, kalau tak kuberi hajaran, budak perempuan itu tentu belum kapok!"
"Nyo . . . jisiok," seru Kun Hiap, "kurasa lebih baik kita pulang saja. Setelah bertemu ayah baru nanti kita berunding lagi."
"Apa?" teriak orang itu, "engkau mengang-gap aku tak mampu menghadapi budak perempuan itu?"
"Nyo jisiok," kata Kun Hiap, "ilmusilatnya memang sakti sekali."
Orang itu menepuk dada dan berseru, "Jangan kuatir, jika aku ada, Tian Hui Yan tentu tak berani bertingkah."
"Hai, kiranya engkau sudah kenal namanya," seru Kun Hiap.
"Tentu saja," sahut orang itu, "nama Tian Hui Yan itu kini sudah membuat nyali orang persilatan gemetar."
Kun Hiap kerutkan dahi. Diam-diam dia heran mengapa sekarang orang itu memuji Hui Yan. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, orang itu sudah berkata pula, "Tetapi asal ada aku, tak mungkin Tian Hui Yan berani muncul. Engkau percaya tidak?"
Sudah tentu Kun Hiap sungkan untuk mengatakan tidak percaya. Terpaksa dia tertawa.
"Baiklah, mari kita pulang dulu dan coba saja apakah ayahmu punya rencana apa," kata orang itu.
Diam-diam Kun Hiap menimang. Apabila pulang, tentu akan makan waktu beberapa hari, kalau selama beberapa hari itu dia bersama dengan seorang yang bermulut besar suka membanggakan diri, rasanya tentu muak. Tetapi dia tak mempunyai daya untuk menghindari orang itu.
Tengah Kun Hiap merenung tiba2 orang aneh itu bersuit nyaring. Waktu bicara, lebih2 kalau tertawa tadi, nada suara orang itu parau seperti seekor itik. Tetapi saat itu dia dapat bersuit dengan nyaring sekali.
"Nyo jisiok, apa-apaan engkau itu?" Kun Hiap melonjak kaget.
Belum orang itu menyahut tiba2 terdengar derap lari kuda mendatangi. Memang daerah Kam-siok itu merupakan dataran sehingga sesuai sekali untuk menggunakan kuda.
Sebenarnya keluarga Kun Hiap juga punya banyak sekali kuda. Tetapi belum pernah dia mendengar derap lari kuda yang sedemikian kencang-nya. Pada lain kejab, dua ekor kuda berbulu pu-tih mulus muncul. Kedua binatang itu bertubuh tegar dan lannya seperti angin.
"Kuda hebat!" teriak Kun Hiap.
"Itu masih belum apa2," kata si orang aneh, "di rumahku, kuda semacam itu masih belum tergolong kuda yang nomor satu."
"Cepat sekali kedua ekor kuda itu sudah tiba dan berhenti di tempat kedua orang itu.
"Hoa-san-pay itu punya kumpulan kuda yang hebat. Orang persilatan belum tahu hal itu."
"Ah, tak kira kalau markas Hoa-san-pay mempunyai koleksi kuda yang hebat," seru Kun Hiap, "orang persilatan tak tahu hal itu."
Orang itu agak tersipu-sipu, tetapi untung Kun Hiap tak memperhatikannya. Anakmuda itu tengah memandang kedua ekor kuda putih itu dengan penuh perhatian. Pada lain kilas, wajah orang itupun tenang kembali dan berkata, "Lekas naik kuda!"
Kun Hiap terkejut, "Naik?" Mempunyai kesempatan untuk melihat dua ekor kuda yang seindah itu saja sudah merupakan kegembiraan besar, apalagi kalau disuruh menaiki-nya. Pemilik kuda itu tentu akan menyayangi kudanya seperti permata yang tak ternilai harganya. Jangankan dinaiki orang lain, disentuh saja kiranya pemiliknya tentu tak senang.
"Aku suruh naik?" Kun Hiap mengulang. Ia takut kalau salah dengar. Tetapi pada lain kilas, dia kuatir kalau orang itu akan menarik kembali perintahnya. Maka tanpa menunggu jawaban lagi, Kun Hiap terus loncat mencemplak.
Tak berapa lama barulah dia melihat orang tadi mengendarai kuda yang seekor dan tengah mengejarnya. Keduanya segera mencongklang bersama. Selama itu sebenarnya Kun Hiap hendak bicara tetapi karena angin menderu kencang sekali, dia sampai tak dapat membuka mulut. Sebaliknya orang itu santai2 saja. Dia tertawa dan bicara seperti biasa. Mau tak mau Kun Hiap terpaksa harus menaruh kekaguman.
Menjelang petang, Kun Hiap tak tahu lagi sudah beberapa puluh li dia telah menempuh perjalanan. Selama itu banyak sekali penunggang kuda lain yang telah dilaluinya.
Cuaca makin lama makin remang tetapi kedua kuda putih itu terus berlari saja, Kun Hiap melihat disebelah muka terdapat sebuah kota. Dia mengira orang itu tentu akan berhenti bermalam di kota itu. Tetapi ternyata kedua kuda putih itu terus saja, masuk lalu melintas keluar dari kota ini.
"Kuda yang hebat!" pada waktu keluar kota, terdengar seseorang berseru.
Kun Hiap berpaling hendak melihat siapa orang yang meneriaki itu tetapi tahu2 dia sudah terbawa kudanya sampai sepuluhan tombak lebih Sehingga dia tak dapat melihat jelas, siapa orang tadi.
Diam2 Kun Hiap merasa pernah mendengar nada suara orang tadi. Ya, benar, itulah suara, Nyo Hwat, ketua Hoa-san-pay.
Kalau orang lain yang meneriaki, mungkin Kun Hiap tak curiga, Karena siapapun orangnya yang melihat kuda putih itu, tentu akan memujinya. Tetapi yang memuji itu adalah Nyo Hwat, ketua Hoa-san-pay sendiri. Bukankah tadi orang yang bersamanya menempuh perjalanan itu mengatakan kalau adik seperguruan dari Nyo Hwat. Mengapa sekarang Nyo Hwat sendiri tak kenal kepada orang itu "
Sejenak menimang, Kun Hiap bersangsi, kemungkinan tadi dia salah dengar. Atau kemung-kinan orang yang meneriaki tadi memang memili-ki nada suara yang mirip dengan suara Nyo Hwat. Ah, lebih baik dia tak usah memikiri hal itu lagi.
Kuda putih masih tetap berlari kencang. Pada saat rembulan muncul, tiba2 orang itu bersuit nyaring. Kedua ekor kuda putih itupun meringkik panjang dan serempak berbenti. Waktu memandang ke depan, kejut Kun Hiap bukan kepalang. Ternyata saat itu dia berada dalam sebuah hutan pohon ang-co.
Kun Hiap masih ingat akan tempat itu ketika dua hari setelah berangkat dari rumah, dia melintasi hutan itu. Waktu itu dia belum berjumpa dengan Kera-sakti-gunung-Thian-san Lo Pit Hi dan masih empat ratusan li jauhnya dari desa keluarga Li. Tetapi mengapa dengan naik kuda putih dalam setengah hari saja dia sudah dapat tiba di hutan itu "
Orang itu mengambil ransum kering dan di lemparkan kearah Kun Hiap, "Lekas makanlah. Setelah makan kita melanjutkan perjalanan lagi !"
Waktu makan tiba2 Kun Hiap teringat sesuatu, serunya, "Nyo jisiok, kedua kuda putih ini luar biasa larinya. Kita tentu akan dapat menyusul Nyo tayhiap dan Wi susiok."
"Ya, sudah tentu. Tetapi perlu apa menghiraukan mereka ?" sahut orang itu.
Kun Hiap terkejut dalam hati. Aneh, mengapa tak perlu memikirkan Nyo tayhiap dan paman Wi Kiam Liong" Saat itu mulailah dia merasa bahwa ada sesuatu yang tak wajar pada diri orang itu. Dia tak mau banyak bertanya lagi. Nanti saja setelah bertemu dengan ayahnya, baru dia akan minta keterangan.
Orang itu makan dengan lahap sekali, kemudian berkata, "Kali ini kita akan mencapai tempat tujuan dengan cepat. Kalau engkau tak mau memegang tali kendali, pasti engkau akan dilempar kuda itu. Besok petang hari, kita tentu sudah tiba di tempat tujuan."
"Besok sore ?" Kun Hiap mengulang kaget, "kalau menurut perhitunganku, besok pagi2 saja, kita tentu sudah tiba disana."
"Huh, engkau tahu apa" Lekas naik kuda lagi," sahut orang.
Kun Hiap mengira, karena setengah harian sudah berlari kencang sekali, tentulah kedua kuda putih itu lelah sekali sehingga kecepatannya berkurang, Tanpa banyak bicara, dia terus mencemplak kudanya dan kedua kuda putih itupun lalu mencongklang lagi.
Entah berapa lama dan berapa ratus li sudah mereka tempuh. Pada waktu menjelang fajar, barulah Kun Hiap timbul perasaan, bahwa ada sesuatu yang mencurigakan.
Karena malam hari, Kun Hiap tak tahu arah mana yang ditempuhnya. Apalagi kuda putih itu larinya cepat sekali. Tetapi kini setelah fajar dan mentari terbit, dia tahu kalau matahari itu berada disebelah kiri. Dengan begitu jelas bahwa perjalanannya itu menuju ke selatan. Ini jelas berlawanan. Kalau menuju ke rumah ayahnya, tentu harus kearah utara.
"Hai, salah jalan, kita keliru ini," serunya serentak.
Dia berusaha untuk berteriak sekerasnya teta-pi suaranya itu lenyap ditelan angin kencang. Dia berusaha untuk berpaling kemuka agar tidak dilanda angin lalu berteriak sampai dua kali.
"Jangan ngacau! Apanya yang salah ?" seru orang itu.
"Kalau pulang seharusnya ke sebelah utara!" teriak Kun Hiap.
"Bagi seorang tay-tianghu (ksatrya) dia dimana saja itu rumahnya. Mengapa harus memilih selatan atau utara?"
Mendengar jawaban itu Kun Hiap makin curiga. Jelas orang itu tak bermaksud membawanya pulang. Dia kerahkan tenaga untuk menghentikan kuda putih tetapi begitu ditarik, kuda putih itu meringkik keras dan julurkan lehernya kemuka, krekkk .... tali kendali serentak putus. Dan karena tali kendali putus, kuda itu makin seperti anakpanah cepatnya.
Kun Hiap marah dan terkejut. Dia lebih dulu lepaskan kedua kakinya dari besi pijakan dan sekali tangan menekan ke pela, dia terus apungkan tubuh ke udara. Dia hendak melepaskan diri dari kuda itu.
Tetapi orang itu tiba2 juga enjot tubuhnya loncat keatas kuda Kun Hiap dan menangkap kaki Kun Hiap. Kun Hiap seperti tak bertenaga dan tak berdaya sama sekali ketika ditarik oleh orang itu.
Kini orang itu boncengan dengan Kun Hiap. Kudanya dibiarkan lari tanpa dinaiki.
Kun Hiap mengeluh daiam hati tetapi dia tak mampu meronta, Apa boleh buatlah !
Setengah jam kemudian sekonyong-konyong orang itu membawa Kun Hiap melambung ke udara. Ternyata dia hendak pindah ke kuda yang kosong tadi.
Kedua ekor kuda putih itu berlari dengan cepat sekali. Tetapi orang itu dengan membopong tubuh Kun Hiap dapat loncat pindah ke kuda yang lain. Walaupun selamat tetapi tak urung Kun Hiap merasa ngeri dan kucurkan keringat dingin.
Demikian dengan berselang seling pindah bergantian naik kedua kuda putih itu, perjalanan mereka berjalan lancar. Waktu menjelang sore, entah sudah berapa ratus li jauhnya.
Saat itu kuda meluncur disebuah jalan besar, Kanan kiri jalan penuh ditumbuhi dengan pohon yang tinggi besar. Tak berapa lama lagi, tibalah mereka di muka pintu sebuah gedung besar dan kedua kuda itupun berhenti.
Kun Hiap menghela napas longgar. Tiba2 pintu besar terbuka dan dan sebelah dalam tampak empat orang lelaki berlari-lari menghampiri. Mereka berempat rata2 berumur 30an tahun dan sama mengenakan pakaian ringkas seperti orang persilatan.
"Hm, gedung ini tentulah milik seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, "pikir Kun Hiap. Dia heran perlu apa orang tadi membawanya kesitu.
Saat itu keempat lelaki tadi sudah tiba.
Mereka memberi hormat dan lelaki yang berdiri diujung kiri berkata, "Ah, nona Tian datang, maaf kami tidak jauh2 menyambut."
Mendengar itu Kun Hiap melongo. Nona Tian" Siapa itu nona Tian" Apakah Tian Hui Yan si dara centil itu" Cepat dia berpaling ke belakang tetapi tak ada orang lain.
"Keempat orang itu buta barangkali atau mungkin gila. Bukankah dia seorang pemuda dan orang yang membawanya tadi juga seorang lelaki setengah tua" Mengapa mereka menyebut-nyebut nona Tian"'' pikirnya.
Dia hendak bertanya tetapi tiba2 dari samping terdengar suara orang tertawa mengikik, "Apakah Poa lo-ya-cu ada di rumah?"
Kun Hiap tak asing lagi pada nada suara tertawa itu. Ya, itulah tawa Hui Yan. Seketika Kun Hiap terlongong-longong.
Selama dalam perjalanan tadi dia menganggap orang yang membawanya itu seorang lelaki, tetapi mengapa sekarang tiba-tiba saja berobah menjadi Tian Hui Yan"
Cepat dia berpaling dan menatap orang itu. Kebetulan orang itu atau Hui Yan juga sedang memandangnya dan menjebikan kerut muka kepadanya. Ia masih mengenakan pakaian warna kelabu, tangannya memegang sebuah topeng kulit, yang baru saja dikenakannya.
Entah bagaimana Kun Hap tertawa keras.
Dengan tertawa itu dia hendak menghambur rasa dongkol dan kejut dalam hatinya. Dia menertawakan dirinya sendiri. Dia mengira kalau sudah terlepas dari libatan Hui Yan! Siapa tahu yang 'mengerjainya' itu tak lain dan tak bukan tetap si dara centil.
Mendengar Kun Hiap tertawa, berkatalah Hui Yan dengan nada haru, "Ah, kiranya engkau . . . engkau suka bersama-sama aku ..."
Sudah tentu Kun Hiap seperti dikili hatinya. Dia tertawa meringis seperti monyet makan terasi, mulut hanya menganga tak mengeluarkan sepa-tah kata.
Tetapi pada lain kilas kini dia mendapat kesan bahwa Tian Hui Yan itu senang sekali berada dengan dia. Hati Kun Hiap tergetar. Tak tahu dia harus bagaimana, merasa senang atau muak.
Sebagai seorang anakmuda yang berdarah panas, sudah tentu tergetar juga perasaan hati Kun Hiap berhadapan dengan seorang dara secantik Hui Yan. Tetapi karena Hui Yan selalu mempermainkannya maka dia mendongkol dan ingin menghindar..
Melihat Kun Hiap tertegun, Hui Yan ulurkan tangan mengangkat tubuh Kun Hiap ke atas kuda, didudukkan di belakangnya. Kun Hiap hendak loncat turun tetapi bau harum dari tubuh si dara dan. sentuhan dengan tubuh daraa itu membuat semangat Kun Hiap serasa melayang-layang. dia tak ingin turuh lagi bahkan ingin rasanya dia berada bersama si dara untuk selama-lamanya.
Lelaki dari rombongan penyambut tadi berkata pula, "Nona Tian, Poa lo-ya-cu sudah menutup diri, sudah lama tak menerima tetamu lagi, seharusnya nona tahu akan hal itu."
Ah, pikir Kun Hiap, kiranya gedung itu tempat kediaman keluarga Poa di wilayah Oulam, Dengan memaksa membawanya datang kesitu, tentulah Tian Hui Yan tak bermaksud buruk. Dara itu hendak membantunya untuk membikin terang soal persamaan gambar lukisan orang di ruang Istana Tua dengan dirinya (Kun Hiap).
Merenungkan hal itu diam2 lunaklah hati Kun Hiap. Tetapi kalau dia teringat bagaimana selama dalam perjalanan tadi dia dipermainkan seperti anak kecil, mau tak mau dia mendongkol juga. Sekarang setelah dilepas Hui Yan sebenarnya, dia ingin melarikan diri saja tetapi dia masih ragu-ragu.
"Paman sekalian," kata Hui Yan kepada keempat penyambutnya, "kedatanganku kemari ada urusan penting sekali dengan Poa lo-ya-cu, Walaupun Poa lo-ya-cu sudah lama tak menerima tamu tetapi kali ini kuminta supaya mau menerima aku."
Walaupun masih bernada sungkan tetapi ucapan Hui Yan itu jelas merupakan keputusan yang tak dapat ditawar lagi. Dia harus bertemu dengan Poa Cing Cay.
Rupanya keempat lelaki itu sudah kenal akan watak Hui Yan. Mendengar kata2 Hui Yan seketika berobahlah wajah mereka. Mereka saling bertukar pandang dan lelaki yang bicara tadi, segera berkata, "Harap nona suka masuk dan minum teh dulu di dalam, nanti akan kulaporkan kepada. Poa lo-ya-cu."
"Baik," sahut Hui Yan. Dia terus loncat turun dan kuda dan berseru kepada Kun Hiap, "Wi kongcu, mari kita beristirahat kedalam dulu."
Kun Hiap sendiri memang ingin sekali menjelaskan tentang soal lukisan orang di Istana Tua yang mirip dengan dirinya itu. Karena sekarang sudah terlanjur berada di rumah keluarga Poa, biarlah dia menyelidiki soal itu sekali.
"Baik," katanya seraya loncat dari kudanya.
Keempat penyambut itu mengamati Kun Hiap sampai beberapa saat dan berkata, "Tuan ini ..."
"Aku yang rendah bernama Wi Kun Hiap. Ayahku adalah pendekar-naga-emas Wi Ki Hu dari Liong-cung-cu," cepat Kun Hiap memperkenalkan diri.
Mendengar itu mereka tertawa cerah, "O, kiranya Wi kongcu. Ayah kongcu itu bersahabat baik Tiga hari yang lalu ayah kongcu berkunjung kemari dan bermalam sampai dua hari. Kemarin lusa baru pergi."
Mendengar itu Kun Hiap makin heran sehingga tak dapat berkata apa-apa.
"Ho, kalau aku yang datang tidak ditemui tetapi kalau orang lain disambut begitu hangat. Mengapa pilih kasih?" seru Hui Yan.
"Nona Tian, tak boleh menyesali lo-ya-cu," cepat orang itu berkata, "Wi tayhiap adalah sahabat karib dari lo ya-cu sebelum lo-ya-cu mengasingkan diri. Yang sering berjumpa dengan lo-ya-cu juga hanya dua tiga sahabat saja."
Sambil menunjuk pada Kun Hiap, Hui Yan berseru, "Putera dari sahabat karib, seharusnya, lo-ya-cu mau menemui juga."
"Mudah-mudahan saja." seru orang itu lalu mempersilahkan tetamunya masuk.
Tiba2 Kun Hiap maju menghampiri dan berseru, "Tunggu dulu. Tadi kalian mengatakan kalau ayahku bahwa kemarin lusa meninggalkan tempat ini, bukan?"
Keempat orang itu mengiakan. "Ya benar. Mengapa Wi kongcu heran" Memang Wi tayhiap sering berkunjung kemari."
Memang seharusnva Kun Hiap tak terkejut tetapi dalam soal itu dia memang bingung dan curiga. Poa Ceng Cay adalah seorang jago kelas satu. Peribadinya bersih dan baik. Dalam persahabatan selalu bersungguh-sungguh. Demi kepentingan sahabat, ibarat disuruh menerjang kedalam lautan api pun akan dilakukannya juga. Dia benar2 seorang tokoh yang jarang terdapat bandingannya dalam dunia persilatan.
Memang bukan sekali dua kali Kun Hiap mendengar nama Poa Ceng Cay. Tetapi belum pernah ia mendengar ayahnya menyebut-nyebut nama orang itu. Kini baru dia mengetahui bahwa ayahnya ternyata bersahabat lama dengan Poa Ceng Cay.
Yang menjadi keheranan Kun Hiap yalah, mengapa ayahnya tak pernah mengatakan soal itu" Pada hal soal itu adalah soal yang baik dan gemilang. Bukankah setiap orang akan bangga kalau menjadi sahabat baik dari seorang tokoh terkenal seperti Poa Ceng Cay"
''Ah, tidak apa2" kata Kun Hiap sambil tersenyum hambar hanya karena terlambat dua hari maka aku tak dapat bertemu dengan ayah."
Keempat orang itupun tak menanyakan lebih lanjut. Mereka lalu masuk ke dalam.
Sepanjang jalan masuk ke gedung kediaman Poa Ceng Cay, terdapat sebuah jalan yang terbuat dari beton. Kanan kiri jalur, ditanami pohon2 tinggi. Ujung jalan, sebuah tanah lapang, ditengahnya didirikan sebuah pagoda batu.
"Silakan duduk dulu, kami akan masuk memberitahukan kapada lo-ya-cu " kata keempat orang itu.
Kun Hiap dan Hui Yan dalam pagoda itu. Kun Hiap sengaja mengawasi keempat orang yang menerobos kedalam gerumbul pohon.
"Wi kongcu. Apanya sih yang engkau lihat itu," tegur Hui Yan.
Tetapi Kun Hiap diam saja dan tak berbalik tubuh.
"Ah," Hui Yan menghela napas, "tak lain maksudku membawamu kemari kecuali demi untuk kebaikanmu. Tetapi engkau menerimanya dengan sikap begini . . . ai . . . bagaimana ya begitu itu?"
Nada suara si dara terdengar rawan dan haru sekali. Diam2 Kun Hiap menimang, "Ya, benar. Dia memang tak bermaksud buruk membawaku kemari. Walaupan caranya dengan memaksa, tetapi dia tak terlalu dapat disalahkan."
Berpikir begitu, mau tak mau hati Kun Hiap terasa lemah juga. Dia berpaling dan hendak menghibur dara itu. Tetapi begitu memandang: Hui Yan, diapun melongo.
Mendengar suaranya yang begitu rawan, Kun Hiap mengira tentulah Hui Yan bersedih dan masygul hatinya. Tetapi ternyata apa yang dilihatnya, malah sebaliknya. Ia sedang leletkan lidah, kedua tangannya menarik kedua pipinya hingga mukanya seperti muka setan. Sudah tentu kata2 yang sudah siap di mulut Kun Hiap tadi, ditelannya kembali. Sejenak tertegun, dia berputar tubuh membelakangi dara itu lagi. Didengarnya Hui Yan tertawa mengikik. Kun Hiap menghela napas dan menutupi telinganya dengan kedua tangannya.
Tetapi Hui Yan sengaja gunakan lwekang untuk tertawa maka betapapun Kun Hiap menutup telinganya rapat2, tetap suara tawa dara itu menyerang masuk kedalam telinganya.
Selagi Kun Hiap sedang menderita tertawaan Hui Yan, sekonyong-konyong dia melihat sesosok tubuh berloncatan menuju ke pagoda situ. Ternyata yang datang itu adalah salah seorang dari keempat lelaki yang menyambut kedatangannya tadi. Cepat sekali orang itu sudah tiba.
"Bagaimana?" tegur Hui Yan, "mau tidak lo-ya-cu menemui aku?"
Lelaki itu gelengkan kepala, "Lo-ya-cu. mengatakan. beliau tak mau menemui orangluar. Harap tuan berdua pulang saja."
Kun Hiap serentak berbangkit dan terus hendak pergi. Tetapi Hui Yan kerutkan kedua alis, mencegahnya. "Wi kongcu, duduklah dulu."
Kemudian dara itu berseru lantang, "Poa lo-ya-cu, kedatanganku kemari bukanlah untuk iseng akan tetapi benar-benar ada urusan penting.
Kalau engkau orangtua tak mau menemui aku, itu sih tak mengapa, aku juga tak dapat berbuat apa2, tetapi aku punya cara untuk mengadu biru disini sehingga sampai anjing dan ayam dari keluarga Poa takkan dapat tidur tenang!"
Dengan tenang Hui Yan terus melangkah maju dan berseru nyaring. Entah sampai berapa jauh barulah dia berhenti.
"Berani mati!" tiba2 terdengar suara seorang tua membentak. Suara itu seperti meledak diatas wuwungan pagoda. Tetapi ternyata baik diatas atap pagoda maupun disekeliling beberapa belas meter, tak ada seorangpun juga. Jelas suara itu berasal dan jarak tiga li jauhnya.
Kun Hiap berjingkrak kaget tetapi Hui Yan malah tertawa, serunya, "Lo-ya-cu, engkau sudah membuka mulut, apakah engkau masih tak mau menemui aku?"
Kembali suara orangtua yang parau itu berseru pula, "Bawa kedua orang itu kepadaku!'
Lelaki juru penyambut tadi gopoh mempersilakan agar Hui Yan dan Kun Hiap ikut kepadanya.
Diam-diam Hui Yan girang sekali. Hanya dengan mengoceh seenaknya saja ternyata dia dapat memaksa Poa Ceng Cay merobah keputusannya..
"Wi kongcu, mari kita pergi kesana," serunya kepada Kun Hiap. Tetapi pemuda itu tetap tegak membelakangi dan tak mengacuhkannya.
Hui Yan menghampiri kesamping pemuda dan berkata dengan berbisik, "Wi kongcu, engkau ini kan seorang anak laki yang gagah, mengapa hatimu begitu sempit seperti anak perempuan saja. Kalau engkau marah, masakan engkau akan marah seumur hidup?"
Mendengar itu merahlah muka Kun Hiap. Dia tahu kalau diolok dara itu tetapi ucapan dara itu memang tepat sekali. Terpaksa Kun Hiap tertawa kecut dan berkata, "Sudahlah, jangan ngoceh saja. Mari kita menemul Poa tayhiap."
"Kalau begitu, apakah engkau masih marah kepadaku?" tanya Hui Yan.
"Nona Tian, jelas engkau tahu kalau aku tak berdaya cari alasan memarahimu, mengapa engkau masih bertanya saja?" balas Kun Hiap.
Hui Yan tertawa mengikik dan turun dari pagoda terus ayunkan kaki. Tak berapa lama keduanya melalui beberapa gerumbul semak yang tinggi. Disebuah rumah gubug yang dikelilingi dengan pohon siong, mereka melihat seorang lelaki tua bertubuh pendek sedang duduk bersila diatas sebuah batu besar. Dia bertubuh pendek, mengenakan pakaian warna biru, sepasang matanya meram2 ayam, atau setengah meram setengah terbuka. Dari celah2 kelopak matanya memancar sinar yang amat tajam. Dia tengah memungut kipas dengan perlahan-lahan...
Hui Yan maju menghampiri dan memberi hormat, 'Toa lo-ya-cu, waktu kecil aku sudah pernah melihatmu. Waktu itu kira2 sepuluh tahunan yang lalu. Semangatmu saat itu masih segar sekali!"
Ternyata orang tua pendek itu adalah Poa Ceng Cay, tokoh pedang dan pelukis yang termasyhur di seluruh dunia. Dia tampak santai-santai saja berkipas-kipas.
"Soal begitu tak perlu engkau ucapkan dengan mulut manis. Apa yang engkau teriakkan tadi?"
Hui Yan tertawa, "Poa lo-ya-cu, engkau seorang pendekar besar yang termasyhur diseluruh dunia, mengapa engkau harus melayani ocehan seorang budak kecil seperti diriku ini" Kedatanganku jauh- jauh kemari, perlu hendak mohon petunjuk.''
"Soal apa?" seru Poa Ceng Cay.
Hui Yan menunjuk pada Kun Hiap, serunya "Dia adalah Wi kongcu dari wilayah Liong-se. Poa lo-ya-cu, apakah engkau pernah melukis dirinya?"
Acuh tak acuh saja Poa Ceng Cay mengangkat kepala dan memandang Kun Hiap. Kun Hiap gopoh memberi hormat, "Wanpwe Wi Kun Hiap, menghaturkan hormat kepada cianpwe . . . . "
Baru Kun Hiap berkata sampai disitu, sekonyong2 Poa Ceng Cay meraung keras dan serentak berdiri dan mengebutkan kipasnya, brettt, kulit pohon siong disampingnya segera terkelupas separoh lebih. Wajahnya yang merah segar, pun serentak berobah pucat
Pertama kali melihat Poa Ceng Cay, Hui Yan dan Kun Hiap mendapat kesan bahwa tokoh itu memang layak menjadi seorang tokoh silat kelas satu. Tetapi kini sekonyong-konyong dia berobah sedemikian memberingas, sudah tentu kedua anakmuda itu terkejut sekali dan tak mengerti apa sebabnya.
Bermula keduanya mengira mungkin dibelakang mereka telah muncul benda atau mahiuk yang menyeramkan maka serempak merekapun berpaling kebelakang. Tetapi mereka tak melihat apa2.
Kun Hiap cepat berpaling ke muka lagi. Dilihatnya saat itu Poa Ceng Cay duduk lagi di tanah. Wajahnya tetap pucat pasi. Sepasang matanya dipejamkan tetapi dahinya bercucuran keringat deras.
Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hui Yan dan Kun Hiap bertukar pandang penuh keheranan. Keadaan Poa Ceng Cay saat itu seperti orang yang menderita luka parah tetapi disekeliling tempat itu kecuali Hui Yan dan Kun Hiap berdua, tak ada orang lain, Adakah orang yang diam2 telah menyerang secara gelap kepada Poa Ceng Cay dan kini sudah melarikan diri dan menumpahkan kesalahan kepada Hui Yan berdua"
Walaupun tak takut segala apa tetapi mau tak mau Hui Yan juga cemas. Poa Ceng Cay termasyhur sekali dalam dunia persilitan. Hampir semua ko-jiu (jago kelas satu) dalam dunia persilatan adalah kawannya. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri Poa Ceng Cay, tentulah mereka berdua akan dituduh sebagai pelaku dan sukar untuk menyangkal lagi.
Segera Hui Yan berjongkok dan berteriak, "Poa lo-ya-cu, Poa lo-ya-cu!"
Tampak Poa Ceng Cay membuka mata dengan pelahan-lahan Walaupun Hui Yan berada dihadapannya, tokoh itu tak meagacuhkan melainkan memandang kepada Kun Hiap.
Sudah tentu Kun Hiap kelabakan dah tak mengerti mengapa Poa Ceng Cay memandangnya begitu rupa. Terpaksa dia tersenyum dan bangkit berdiri.
Setelah beberapa saat memandang si anak-muda, Poa Ceng Cay baru mengusap keringat dan menghela napas longgar.
"Poa lo-ya-cu, engkau ini bagaimana?" seru Hui Yan.
Seperti orang yang terjaga dari mimpi, Poa ceng Cay menyahut, "Ah, tidak apa2, aku orang tua itu sudah kabur penglihatanku."
Sambil menunjuk pada Kun Hiap, kembali si dara berseru lagi, "Lo-ya-cu, apakah dulu engkau pernah bertemu dengan dia?"
Poa Ceng Cay tertawa hambar, "Belum pernah."
Hui Yan tertawa mengikik, "Poa lo-ya-cu, waktu dulu pernahkah engkau melukis gambar orang dan orang itu . . . . "
Sebenarnya Hui Yan hendak berkata dan orang itu mirip sekali dengan dia (Kun Hiap). Tetapi sebelum sempit menyelesaikan kata-katanya, Poa Ceng Cay sudah berdiri dan menukas, "Kalian datang dari jauh. Sebenarnya aku ingin bicara beberapa saat dengan kalian. Tetapi aku masih mempunyai lain urusan, kalian silakan saja!"
"Poa lo-ya-cu. aku belum habis bicara!" seru Hui Yan.
Tetapi Poa Ceng Cay tetap tak menggubris dan berseru memberi perintah, "Lekas pergi!" Habis berkata dia terus berputar tubuh sambil kebutkan lengan bajunya, wut .... setiup angin kuat menghambur sehingga Hui Yan terdorong sampai enam tujuh langkah ke belakang.
Kun Hiap yang lebih lemah tenaga-dalamnya, terlempar lebih jauh lagi, dan sebelum dia dapat berdiri tegak, telinganya sudah mendengar suara Poa Ceng Cay yang parau, "Berusahalah untuk melepaskan diri dari Tian Hui Yan dan kembali kemari lagi. Aku hanya mau memberitahu kepadamu saja."
Kun Hiap tertegun. Sebelum dia dapat menemukan apakah yang didengarnya itu suara Poa Ceng Cay atau bukan tiba2 si dara Hui Yan sudah berteriak, "Tidak adil. Poa lo-ya-cu, aku belum selesai omong, betapa penting urusanmu itu tetapi seharusnya engkau menunggu omongku dulu!"
Dara itu melesat maju sampai setombak, tiba-tiba dia berpaling dan berseru kepada Kun Hiap, "Hai, apa-apaan engkau diam seperti patung begitu" Hayo lekas ikut aku mencarinya."
"Ya, ya," sahut Kun Hiap.
Sekali bergerak, gerakan tubuh seperti segulung asap yang menyembur ke muka. Melihat itu Kun Hiap sengaja lambatkan larinya sehingga dalam sekejab mata saja dia sudah ketinggalan sampai lima enam tombak. Pada saat melalui sebatang pohon besar dia terus enjot tubuh ke udara menyambar dahan pohon. Dan sekali berayun dia melayang keatas bersembunyi dalam jerumbul daun yang lebat.
Dari cela2 daun dia memandang ke sebelah muka. Dilihatnya saat itu Hui Yan sedang melompati sebuah sungai kecil dan dari terumbul pohon di seberang tepi sungai, muncullah keempat lelaki tadi. Mereka lalu menyerang Hui-Yan
Bermula Kun Hiap mencemaskan keselamatan si dara. Tetapi setelah mengikuti pertempuran itu beberapa saat, hatinyapun longgar. Jelas keempat lelaki itu bukan sungguh2 hendak mencelakai Hui Yan melainkan hanya mengepungnya saja supaya jangan melanjutkan larinya.
Hui Yan mengamuk, menyerang kian kemari untuk menerobos keluar dari kepungan, tetapi tetap tak mampu. Karena mendongkol dan gugup dara itu sampai menjerit-jerit histeris.
Tiba2 dari samping Kun Hiap terdengar setiup angin menyambar dan tahu2 muncullah Poa Ceng Cay, Wajahnya nampak serius sekali.
"Petunjuk apakah yang hendak cianpwe berikan kepadaku?" kata Kun Hiap.
Poa Ceng Cay memandang beberapa kejab kepada Kun Hiap lalu berkata," Bagaimana ayah ibumu memperlakukan engkau?" I
Sudah tentu Kun Hiap bingung mendengar pertanyaan semacam itu.. Poa Ceng Cay itu seorang tokoh yang terhormat tetapi mengapa mengajukan pertanyaan yang tak karuan semacam itu"
Namun dia menjawab juga," Ah, mana di dunia ini terdapat ayah bunda yang tak sayang kepada anaknya. Sudah tentu ayahbundaku baik sekali kepadaku."
Poa Ceng Cay tertegun beberapa saat.
"Ayahmu selama itu tak pernah mengatakan kepadaku kalau mempunyai seorang putera," katanya," dan bahkan sudah begini besar."
"Ya," sahut Kun Hiap, "Ayah memang tak pernah memberitahukan kepada wanpwe tentang diri Poa lo-Cianpwe."
Alis Poa Ceng Cay mengkerut," Begitu" Kalau begitu tentulah dia memang bermaksud hendak menyembunyikan."
"Ayah sayang sekali kepada wanpwe," Kun Hiap gopoh memberi penjelasan," beliau tak mengijinkan wanpwe keluar kedunia persilatan. Itulah sebabnya maka beliau tak memberitahukan wanpwe tentang nama Poa lo-cianpwe.
Itu sudah sewajarnya, mengapa lo-cianpwe mengatakan ayah mempunyai maksud begitu?"
Poa Ceng Cay mengangguk, "Dia tak mengizinkan engkau terjun ke dunia persilatan?"
"Ya!" sahut Kun Hiap," karena aku meminta dengan sangat untuk ikut paman Wi maka kali ini untuk yang pertama kalinya beliau baru mengizinkan."
Dalam berkata-kata itu hati Kun Hiap terasa sesal.. Baru yang pertama kali dia ke luar ke dunia persilatan, dia sudah mengalami beberapa kesulitan, Kalau begitu, lebih enak jika tinggal dirumah saja.
Poa Ceng Cay mendengus, "Hm, kalau begitu, bukan saja dia hendak mengelabuhi aku, tetapi juga hendak mengelabuhi mata dan telinga semua orang di dunia ini."
Sudah tentu Kun Hiap tak mengerti apa maksud omongan tokoh itu.
"Cianpwe," katanya, "apa maksud cianpwe mengucap begitu?"
"Apakah sama sekali engkau tak tahu?" Poa Ceng Cay menegas dengau nada sarat.
Kun Hiap makin bingung, serunya, "Bagaimanakah sebenarnya soal ini?"
Poa Ceng Cay menengadah memandang la-ngit lalu menghela napas panjang, Sinar matanya yang berkilat tampak meredup dan wajahnyapun seperti kelihatan letih. Ditepuknya bahu anak muda itu, "Kalau engkau tak tahu, tak usah engkau banyak bertanya lagi," katanya.
Kecurigaan Kun Hiap makin meluap. Dia menduga tentu ada sesuatu rahasia yang menyangkut dirinya. Dan rahasia itu dia tak tahu sama sekali. Sekarang dia harus tahu tentang rahasia itu. Dia harus minta keterangan kepada Poa Ceng Cay. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut. Poa Ceng Cay sudah menggenggam tangan Kun Hiap, "Aku hendak memberi kepadamu sebuah barang."
Seketika Kun Hiap rasakan dirinya diseret oleh sebuah tenaga besar yang membawanya mela-yang naik turun dan tahu2 dia meluncur turun la-gi bersama Poa Ceng Cay.
Tetapi baru saja keduanya turun ke bumi, dari ja-uh terdengar suara Hui Yan berseru, "Poa lo-ya-cu, kalau engkau memperlakukan begini macam, aku tentu akan membalasmu. Ada ubi ada tales, ada budi tentu kubalas."
Poa Ceng Cay tertawa gelak", "Sam-ah-thau, jangan menggertak aku. Bukankah engkau tak mampu menerobos kepungan keempat orangku tadi?"
"Poa lo-ya-cu, dengarkanlah aku bicara..."-
Tetapi Poa Ceng Cay tak menghiraukan. Dia terus membawa Kun Hiap lari ke muka. Kun Hiap pernah menyaksikan kelihayan ilmusilat Hui Yan yang dapat mempecundangi beberapa tokoh kelas satu. Tetapi sekarang ternyata dia tak mampu lo-los dari kepungan keempat orang bawahan Poa Ceng Cay. Itu baru orang bawahannya kalau Poa ceng Cay sendiri, wah entah bagaimana saktinya.
Kun Hiap seperti dibawa terbang. Telinganya dideru suara angin yang kencang. Cepat sekali dia sudah melintasi sebuah pagar tembok yang tinggi.
Tiba2 dari jauh terdengar suara ayam berkokok bersahut-sahutan dengan gencar.
Suara kokok ayam itu makin lama makin nyaring, tak enak di telinga. Mendengar itu Poa Ceng Cay berhenti dan suara kokok ayam itupun, berhenti juga. Sebagai gantinya kini terdengar kicau burung prenjak yang sedap didengar.
Wajah Poa Ceng Cay agak berobah kata-nya, "Ah, tak kira kalau mamamu begitu limbung-Sampai ilmu siluman Peh-kin-lian-beng, cu-sim-toh-hun ( Seratus burung serempak berbunyi, menghancurkan-hati menyambar-nyawa), pun diajarkan kepada anaknya."
Kemudian dia mengulurkan sebatang seru-ling pandak yang berwarna hitam mengkitap lalu ditiupnya. Dari ujung tembok segera muncul orang yang menghampiri, memberi hormat dan menyatakan siap menerima perintah. Poa Ceng Cay menyerahkan seruling itu kepadanya, "Lekas engkau kejar, kerahkan tenaga-murnimu dan tiup sebanyak tujuh kali."
Setelah menerima seruling orang itu terus melesat pergi.
Kun Hiap yung pengalamannya dangkal, tak tahu apa yang disebut ilmu-jahat Peh-kin lian-beng, cu-sim-loh-hun itu, tetapi dia ingat akan peristiwa ketika ketua Hoa-san-pay Nyo Hwat terkena serangan suara burung sehingga menderita luka-dalam. Jelas ilmu semacam itu sama dengan Hu-sim-sip-hun, ilmu untuk merontokkan semangat dan menggulung nyawa. Khusus untuk mengacau ketenangan pikiran dan hati lawan.
Memang ganas sekali ilmu semacam itu tetapi kalau berjumpa dengan lawan yang lebih sakti kepandaiannya, dia sendirilah yang akan menderita luka yang parah sekali.
Menyadan bahwa yang mengeluarkan bunyi burung itu tentulah Hui Yan dan kini Poa Ceng Cay suruh anakbuahnya untuk menghadapi dengan seruling mau tak mau dia cemas juga. 1
"Poa lo-cianpwe . . . . "
Baru Kun Hiap berkata begitu, Poa Ceng Cay sudah lambaikan tangan dan berkata, "Tak perlu engkau banyak blcara, aku sudah mengerti. Ilmu itu memang terlalu ganas sekali. Karena dia berani sembarangan menggunakannya maka aku hendak memberinya pelajaran. Tetapi tak sampai membuatnya terluka berat."
Kun Hiap tertegun, "Dia akan terluka?"
"Bagaimana" Apakah engkau memang senang bersama dara itu?" balas Poa Ceng Cay.
Sudah tentu Kun Hiap gopoh menolak, "Harap cianpwe jangan salah faham. Kalau bertemu dia aku seperti ular menyurut kedalam lubang, lebih baik tak bertemu saja. Tetapi kedatanganku kemari adalah atas bantuannya. Mana aku sampai hati melihatnya menderita luka?"
Poa Ceng Cay leletkan lidah, "Apakah di Istana Tua itu kalian melihat gambar lukisan orang itu?"
Kun Hiap mengiakan, "Ya, gambar orang itu mirip aku maka Hui Yan lalu berkeras membawa aku kemari, perlu hendak mohon keterangan kepada cianpwe tentang hal yang misterius itu."
Belum Poa Ceng Cay menjawab, tiba2 dari kejauhan terdengar suara burung berbunyi, nadanya tak enak didengar dan diramaikan pula oleh bunyi yang hiruk pikuk.
Saat bunyi hiruk itu mendengung maka bunyi suara burungpun terputus-putus sehingga ketika dengung bunyi hiruk itu meraung sampai yang ketujuh kali, suara bunyi serempak berhenti.
"Karena engkau tak suka bertemu dengan dia, lebih baik kutahannya sampai beberapa hari. Setelah engkau pergi, baru kulepaskan lagi, bagaimana?"
"Ah, itu bagus sekali. Tetapi bagaimana dengan soal yang kukatakan tadi . . . . "
Secara diplomatis Poa Ceng Cay menjawab, "Wajah orang itu memang sering mirip, demikian juga dengan benda2 di dunia mi. Mengapa engkau heran?"
Tetapi keterangan tokoh itu sudah tentu tidak memuaskan Kun Hiap tetapi dia tahu kalau Poa Ceng Cay tentu juga tak mau memberi keterangan lebih lanjut lagi maka diapun tak mau mendesak dan membiarkan dirinya dibawa berjalan oleh tokoh itu.
Ternyata tempat kediaman PoaCeng Cay itu merupakan sebuah bangunan yang penuh dengan rumah2 dan kebanyakan jaraknya saling jauh serta harus berjalan berbiluk-biluk. Kun Hiap hampir tak dapat mengingat lagi dan tak tahu arah yang ditujunya.
Lebih kurang setengah jam kemudian barulah mereka tiba di sebuah gedung. Pintu gedung itu rupanya selama bertahun-tahun tak pernah dibuka. Hal itu dibuktikan dari banyaknya rumput dan rotan hutan yang tumbuh memenuhi depan pintu.
Berdiri di depan pintu, Poa Ceng Cay menghela napas. Wajahnya kelihatan rawan. Kemudian dia mendorong pintu dengan pelahan-lahan. Krek, krek, krek ..... rotan hutan yang menjalar diatas pintu, berderak-derak putus semua.
Selekas pintu terbuka tampak di halaman dalam penuh dengan rumput yang tinggi. Beberapa binatang rase dan tikus terkujut berlarian.
Diam2 Kun Hiap heran mengapa dia dibawa ketempat yang hampir tak pernah didiami orang itu.
'"Poa lo-cianpwe, sebenainya engkau hendak memberi aku barang apa saja?" tanyanya.
"Hanya sebatang senjata berikut ilmu permainannya yang terdiri d
ari duabelas jurus," kata Poa Ceng Cay.
"Bagaimana wanpwe harus menerima pemberian sedemikian besar itu?" gopoh Kun Hiap berseru.
Kembali Poa Ceng Cay meletakkan tangannya ke bahu Kun Hiap, katanya, "Ayahmu adalah sahabat baikku. Dalam perkenalan pertama dengan engkau kalau hanya kuberikan sedikit barang yang tak berharga, kiranya sudah jauh dari pantas. Mengapa engkauharus bersikap sungkan?"
Mendengar kata-kata yang diucapkan Poa Ceng Cay dengan nada yang rawan, makin besarlah kecurigaan Kun Hiap.
Poa Ceng Cay mengajak Kun Hiap masuk ke dalam ruang. Diatas paseban atau ruang muka tergantung sebuah papan nama. Diatasnya tertulis tiga huruf Poa-coat-tong atau Paseban-setengah-matang.
Kiranya Poa CengCay digelari dan dikagumi orang persilatan sebagai Kiam-hoa-song-coat atau Ahli-pedang-dan-lukisan- Tetapi dia sendiri dengan rendah hati mengatakan bahwa kepandaiannya ilmupedang masih jauh dari semparan sedang ilmu melukisnyapun hanya setengah matang. Dan sejak itu dia menamakan diri dengan gelar Poan-coat lojin atau si Tua-setengah-matang.
Karena ruang paseban itu disebut Poan-coat-tong maka tentulah menjadi tempat kediaman Poan-coat lojin.
Tetapi Kun Hiap memperhatikan bahwa sebelah ujung papan nama itu sudah lepas dari pakunya dan menggelantung ke bawah. Pun perkakas perabot dalam ruang paseban itu juga sudah tak keruan, banyak yang remuk. Sampaipun lantai yang terdiri dari marmer hijau juga hancur. Disana sini terdapat bekas telapak kaki yang membekas sampai setengah dim dalamnya. Hal itu menimbulkan kesan bahwa dulu tempat itu tentu pernah dijadikan ajang pertempuran dahsyat dari beberapa jago sakti.
Sejenak berhenti di tengah ruang, Poa Ceng Cay lalu mengajak Kun Hiap keluar dari pintu samping, berjalan di sebuah lorong lalu mendorong sebuah pintu.
Kun Hiap tak melihat barang sebuah alat perkakas dalam ruang itu, kecuali sebuah meja dari kayu jati. Diatas meja jati itu terdapat sebuah gelang besar berwarna hitam mengkilap. Garis tengah gelang itu hampir satu meter, lingkaran gelang tidak tajam melainkan tumpul. Pada batang gelang terdapat beberapa ukiran huruf tetapi tak dapat dibaca jelas.
Tiba di meja itu, Poa Ceng Cay berkata, "Yang akan kuberikan kepadamu tak lain adalah Oh-hun-cwan ini."
Karena melihat Oh-hun-cwan atau Gelang-awan-hitam itu bukan merupakan suatu benda yang- luar biasa, setengahnya dalam hati Kun Hiap gelo juga.
"Poa cianpwe, aku tak dapat menggunakan senjata itu, " katanya.
"Engkau kira apakah itu Kim-kong-cwan biasa saja"' tukas Poa Ceng Cay.
Mendengar nama Kim-kong-cwan atau Gelang-malaekat, tiba2 hati Kun Hiap tergerak karena teringat suatu hal.
Dia teringat ketika berada di Istana Biru, pertama kaii berjumpa dengan Koan Sam Yang yang bergelar Ing-put-hoan-jiu atau Selamanya-tak-pernah-balas-memukul. Saat itu Koan Sam Yang pernah bertanya sampai dimana ayah Kun Hiap telah mencapai latihannya memainkan Kim-Kong-cwan.
Memang ketika mendengar pertanyaan semacam itu dari Koan Sam Yang. Kun Hiap heran. Kini Poa Ceng Cay hendak memberinya sebuah gelang Kim-kong-cwan. Adakah ini hanya secara kebetulan saja"
Ah, kepala Kun Hiap berdenyut-denyut pusing apabila memikirkan peristiwa aneh yang diha-dapinya saat itu. Dia benar2 tak tahu apa sebenarnya rahasia yang tengah menyelubungi dirinya itu.
Poa Ceng Cay memungut gelang Kim-kong-cwan dan dipencet-pencet dengan jari lalu berkata, "Lihatlah, gelang ini terdapat banyak tulisan huruf kecil-kecil, apa engkau dapat melihatnya?"
Kun Hiap maju menghampiri. Memang benar batang gelang itu penuh dengan tulisan huruf2 kecil tetapi jelas dan mudah dibedakan.
Poa Ceng Cay menjentik dengan jarinya dan terdengarlah bunyi tring, tring dari batang gelang.
"Periksalah hati2 huruf2 itu. Jurus2 permainan gelang2 itu semua tertulis disitu. Ini milik engkau punya . . . !" tiba2 Poa Ceng Cay tak melanjutkan kata2nya.
"Aku punya apa?" tanya Kun Hiap setelah terkesiap sejenak.
"Kukatakan, benda ini adalah .... milikmu. Engkau harus merawatnya baik.2," kata Poa Ceng Cay.
Kun Hiap menerima gelang itu lalu diikatkan pada pinggangnya. Sedangkan Poa Ceng Cay mundur selangkah dan memandang Kun Hiap dengan tajam. Wajah tokoh itu menampilkun kerut yang sedih.
Walaupun masih belum jelas tetapi sedikit banyak Kun Hiap sudah merasa bahwa dalam soal itu tentu terselip suatu rahasia. Setelah tertegun sejenak, dia memberi hormat, 'Poa cianpwe, jika cianpwe sudah tak ada pesan apa-apa lagi, wanpwepun hendak pamit."
"Biar kuantarkan engkau keluar," kata Poa Ceng Cay.
Kun Hiap merasa dirinya sudah.terlepas dari libatan Hui Yan maka dengan gembira diapun berkata, "Poa cianpwe tak perlu mengantar. Asal menjaga jangan sampai nona Tian menyusul aku, aku sudah berterima kasih."
"'Jangan kuatir," Poa Ceng Cay tertawa, memang nanti akan kutahannya sampai tiga empat hari. Siapa sih suruh dia berani masuk ke sini dan tidak mau menghormat aku"'
Kun Hiap kerutkan dahi berpikir, kemudian berkata, "Nona Tian masih muda belia, bukankah Poa cianpwe takkan membikin susah kepadanya?"
Poa ceng Cay menghela napas, "Hiantit, terus terang saja, aku memang belum berani membikin susah kepadanya."
Diam2 Kun Hiap terkejut Kiranya si dara Hui Yan itu memang mempunyai latar belakang yang hebat. Dia harus berhati-hati terhadap dara itu.
Kun Hiap mendengar tadi bahwa ayahnya baru saja meninggalkan perumahan desa Poa. Lebih baik dia lekas2 menyusul saja. Setelah pamit dia terus keluar dari perumahan desa keluarga Poa. Dilihatnya kedua ekor kuda putih masih makan rumput di tempat peristirahatannya tadi. Melihat Kun Hiap, kuda itu mengangkat kepala dan meringkik keras sebagai pertanda kalau mengenal Kun Hiap.
Tiba2 timbul pikiran Kun Hiap. Kalau dia tak menaiki kuda hebat itu tak mungkin dia da-pat menyusul ayahnya. Tetapi pada lain kilas dia-pun kuatir. Kuda itu mempunyai hubungan erat dengan Tian Hui Yan. Kalau dia menggunakannya, bukankah kelak kemudian hari akan terlibat dengan Hui Yan lagi"
Sampai beberapa saat belum juga dia dapat mengambil keputusan. Akhirnya dia teringat bahwa Hui Yan akan ditahan Poa Ceng Cay sampai empat lima hari. Pada waktu itu dia tentu sudah ber sama-sama ayahnya. Saat itu barulah dia akan lepaskan kuda putih. Biar kalau mau kembali kepada nona majikannya.
Setelah menetapkan keputusan, Kun Hiap terus menceplak salah seekor dan mencongklangkan pesat. Diam2 dia merenung kalau Hui Yan itu seorang dara yang manis dan lemah lembut, mau juga dia meminta seekor kuda itu kepada si dara. Dengan memiliki kuda putih sahabat itu, tentulah kelak banyak sekali gunanya dalam dunia persilatan.
Setelah tiba di jalan raya, dia melanjutkan perjalanan. Di sepanjang perjalanan dia hendak bertanya orang tentang ayahnya. Ayahnya, Pendekar Naga-emas Wi Ki Hu, seorang tokoh persilatan yang terkenal. Tentu beliau akan menempuh jalan yang besar. Mudahlah bertanya kepada orang mengenai perjalanan ayahnya.
Kun Hiap gembira sekali. Dia mencongklongkan kudanya lebih pesat. Setelah tiba ditempat yang ramai, dia akan bertanya kepada orang, demikian pikirnya.
Menjelang magrib, tibalah dia disebuah hutan pohon angco. Dimuka hutan itu tampak seekor kuda yang tengah menyepak-nyepak. Kun Hiap terkejut gembira. Jelas itu adalah kuda ayahnya.
Sambil mengeprak kuda, dia berseru gembira.
"Yah, engkau dimana?"
Srattt .... sesosok bayangan melayang turun dari gerumbul pohon. Dia seorang lelaki setengah tua, lebih kurang berumur limapuluhan tahun. Wajahnya serius, menimbulkan rasa gentar kepada orang. Dia bukan lain adalah ayah dari Kun Hiap yaitu Wi Ki Hu, jago pedang ternama yang bergelar Pedang-naga-emas.
"Ayah!" kembali Kun Hiap mengulangi teriakannya.
"Hm. kiranya orang yang menyelidiki perjalananku itu adalah engkau sendiri,'" seru Wi Ki Hu, "kukira kalau tiga serangkai Chin-nia-sam-shia itu yang hendak cari perkara kepadaku. "Mengapa engkau disini . . .. ," baru berkata begitu Wi Ki Hu melihat gelang Oh-hun cwan yang menggelantung di pinggang Kun Hiap. Tiba2 dia mundur selangkah tangannya memegang sebatang pohon dan wajah berobah tegang, memandang lekat2 pada Kun Hiap.
Sudah tentu pemuda itu terkejut, serunya, "Ayah, kenapa engkau?"
Tetapi Wi Ki Hu tak menjawab. Wajahnya makin tak sedap dipandang. Tangannya yang memegang batang pohon tak terasa makin mengencang, krak, krak . . . . kulit pohon hancur bertebaran, kelima jarinya masuk sampai beberapa dim -kedalam batang pohon.
Kun Hiap makin terkejut dan buru2 lari menghampiri. Tetapi sebelum dia sempat membu-ka mulut, Wi Ki Hu sudah memberitik, "Berhenti!"
Tenaga-dalam Wi Ki Hu memang hebat sekali. Bentakan itu membuat telinga Kun Hiap seperti mau pecah rasanya sehingga dia terhuyung-huyung mundur beberapa langkah ke belakang baru dapat berdiri tegak.
Setelah itu dia baru mengangkat muka memandang ke arah ayahnya. Dia terkejut. Saat itu Wi Ki Hu sedang menunduk, tangannyapun tidak mencengkeram batang pohon lagi. Pada batang pohon itu tampak membekas telapak jari sedalam lima dim.
Beberapa saat kemudian baru dia mengangkat muka lagi Wajahnya memang masih pucat tetapi sikapnya tidak setegang tadi lagi.
Melihat itu longgarlah perasaan Kun Hiap, serunya, "Yah, apakah engkau marah karena aku berkeliaran kemana-mana sendiri tanpa mengajak paman Wi" Sebenarnya aku juga tak bermaksud ... "
"Engkau kemana saja?" cepat Wi Ki Hu menukas. Tadi suaranya seperti geledek tetapi sekarang sudah banyak berobah seperti orang yang lelah.
"Aku baru saja datang dari desa keluarga Poa," sahut Kun Hiap.
"Dari mana kuda putih itu" Engkau masih kemana lagi?" tegur Wi Ki Hu.
"Panjang sekali centanya,"' jawab Kun Hiap, "pertama kali, aku bertemu dengan Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi. Dia mengajak aku berjalan sama-sama. Ketika tiba di sebuah istana tua berwarna biru . . . " tiba2 Kun Hiap tak melanjutkan keterangannya karena saat itu dia memperhatikan bahwa ayahnya tidak mendengarkan keterangannya itu melainkan seperti orang yang sedang melamun.
Pedang Tanpa Perasaan 12 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Menjenguk Cakrawala 1
Thian Go lojin tertawa hambar, "Peribahasa mengatakan 'anak kambing tak takut pada harimau '. Kiranya memang benar."
Tian Hui Yan tiba2 gentakkan tangan dan sret .... secercah sinar perak yang halus, melayang kearah Thian Go lojin.
Luar biasa cepatnya dara itu bergerak sehingga seorang tokoh seperti Thian Go lojin, sesaat tak tahu benda apa yang melayang kepadanya itu.
Hanya dia mendengar dara itu berseru melengking, "Kalau begitu, aku hendak mengunjuk kegarangan!"
Thian Go lojin merebahkan tubuhnya sedikit ke belakang, sembari kebutkan lengan jubahnya kearah sinar pelangi itu. Plak, lengan jubah lojin itu menampar meja dan sinar pelangi itupun lenyap.
Saat itu si dara masih memegang seutas rantai perak sebesar jari tangan. Yang menjulur hanya sepanjang empat atau lima dim, sisanya telah ditelungkupi lengan baju Thian Go di meja.
Wajah Hui Yan terkejut sekali tetapi pada lain saat berobah tenang kembali Dia menggerakkan tangannya kebawah. Seketika rantai perak yang tertindih lengan baju Thian Go di meja itu, mulai bergerak-gerak minp dengan seekor tikus yang hendak menyelundup kedalam liangnya.
Hui Yan berusaha untuk melepaskan rantai peraknya dari tindihan lengan jubah Thian Go. Tetapi ternyata lengan jubah lojin itu sudah disaluri dengan tenaga-dalam yang cukup besar. Walaupun lengan jubah itu terbuat danpada kain le-mas tetapi saat itu berobah menjadi benda yang tak kurang dan seribu kati beratnya.
Memang karena ditarik Hui Yan, rantai perak itn bergerak keras sekali Tetapi tetap tak dapat lolos dari tindihan lengan jubah.
Sepasang pipi Hui Yan mulai bertebar warna merah dan hidungnyapun mulai menitikkan air. Pertanda bahwa dia sudah mengarahkan tenaga-dalam sampai tujuh delapan bagian. Sedangkan Thian Go lojin tampak masih tenang2 saja dan berkata dengan nada dingin, "Nona Tian, bagaimana kalau engkau segera tinggalkan desa Li ini?" serunya.
Tian Hui Yan tertawa melengking, "Thian Go cianpwe, apa yang menjadi tujuanku datang kemari, belum terlaksana. Bagaimana aku dapat pergi?"
"Jika engkau tak mau melihat gelagat," kata Thian Go dengan dingin, '"dikuatirkan apabila engkau hendak pergi, sudah tak. dapat pergi lagi."
Hui Yan tertawa mengikik sembari menyurut mundur. Rantai perak yang tertindih lengan jubah Thian Go di meja, karena ditarik-tarik si dara, mengeluarkan bunyi berderak-derak dan tahu-tahu keempat kaki meja yang terbuat danpada kayu mahoni itupun putus.
Pada waktu kaki meja putus, Hui Yanpun membarengi menarik kesamping, tring ....
Temyata tali rantai perak itu panjangnya hampir satu setengah meter. Ujung rantai merupakan sebuah roda kecil yang sekeliling tepinya amat tajam. Benar2 sebuah senjata aneh yang tak pernah terdapat dalam dunia persilatan.
Sesaat rantai dapat ditank keluar, dara itupun bersuit nyaring. Wajah Thian Go agak berubah. Tubuhnya sedikit menunduk dan lengan jubahnya segera meluncur maju. Sebelum si dara sempat mengambil kembali rantainya, ujung lengan jubah Thian Go sudah melibat rantai itu lagi.
Hui Yan tertegun. Dia menarik sekuat-kuatnya tetapi mana mampu" Malah setelah dapat melilit ujung rantai, Thian Go lalu menariknya. Bahkan tangan kanannyapun sudah diangkat untuk menarik si dara.
Betapa besar nyali Hui Yan tetapi dia juga masih punya pikiran. Tak mungkin dara itu berani melanjutkan menarik rantainya lagi. Dan lagi dengan hanya melilit ujung rantai itu, tentulah Hui Yan tak sampai terluka sehingga gurunya takkan marah dan mendendam. Demikian perhitungan Tluan Go..
Memang perhitungan itu tepat. Tetapi ketika Tluan Go menarik, ternyata Hui Yan tegak seperti sebatang pohon yang berakar. Kokohnya bukan kepalang.
Thian Go terkejut. Dia memang tahu kalau dara itu berilmu tinggi tetapi dia tetap yakin tentu dapat mengatasi. Tetapi setelah ia tak mampu menarik, barulah dia kelabakan kaget Buru2 dia mengerahkan tenaga-dalam untuk memperkuat tarikannya.
Tetapi ah, kurang ajar benar dara itu. Kalau Thian Go tambah ngotot, sebaliknya dara itu malah menarik tenaga perlawanannya. Dia tak mau melawan.
Thian Go kecele. Dia ngotot, Hui Yan kendor. Tambahan tenaga-dalam yang dipancarkan Thian Go itu, sia-sia saja. Bukan itu saja. Pada saat itu juga si dara sudah loncat untuk menyerbunya. Karena terdesak, Thian Go terpaksa rebahkan tubuh ke belakang, brak .... kursi yang didudukinya hancur berantakan.
Thian Go tahu bahwa kalau dia sampai jatuh ke lantai, tentulah akan kehilangan muka. Tetapi dia memang seorang ketua partai persilatan yang sakti. Dalam saat yang mengancam kebesaran namanya itu, dia segera kibaskan lengan jubah sebelah kiri kearah Hui Yan, sedang tangan ka-nannya menampar kearah lantai. Dengan meminjam tenaga tamparan itu, ia layangkan tubuhnya keudara.
Tetapi Hui Yan memang lihay sekali. Pada saat Thian Go melayang ke udara, dara itu sudah apungkan diri loncat melampaui atas kepala Thian Go. Waktu berada diatas kepala Thian Go, Hui Yan menarik rantainya, kres .... sekelumit rambut putih Thian Go terpapas.
Waktu Thian Go lojin berdiri tegak, Hui Yanpun sudah melayang sampai setombak jauhnya, berputar tubuh dan memberi hormat kepada orang tua itu seraya beneru, ' Maaf, maaf.
Melihat tangan si dara mengepal seuntai rambut putih, serentak Thian Go terlongong kesima. Dia menyadari, latihannya akan ilmu tenaga-dalam selama berpuluh tahun, kalau bertanding dengan si dara yang masih muda belia itu, dia tentu menang. Tetapi ternyata dengan akal kecerdikan, Hui Yan dapat menang angin
Thian Go lojin menghela napas. Sembari kebutkan lengan jubah dia melesat keluar dari ruangan. Pada lain saat bayangannya sudah lenyap. Rupanya ketua partai Ceng-shia-pay itu malu dengan ' kekalahan ' yang didenta dan Hui Yan.
Sepeningga! jago tua itu, orang2 yang masih berada dalam ruang saling berpandangan. Hui Yan tertawa lancang, "Thian Go lojin sudah pergi. Naga-ungu-sakti dan Li cungcu, tampaknya tak mau adu kekerasan dengan aku. Wi sin-kiam, lukamu belum sembuh betul, barang antaran yang engkau kawal itu, jelas tentu akan kurebut."
Wi Kun Hiap tiba2 menggembor marah, "Engkau lupa kalau akumasih ada!"
Tian Hui Yan mendesis, "Ih, ya, ya, aku melupakan Wi siauhiap, maaf! Bukankah Wi siau-hiap tentu akan menjaga barang antaran itu dengan mati-matian?"
Tetapi pemuda itu tak mau banyak bicara lagi. Serentak mencabut pedang dia terus menerjang dan menusuk dada si dara.
Thian Hui Yan agak mundur sedikit, rantai perak digentakkan keatas, Belum pedang Wi Kun Hiap sempat bergerak, tahu2 siku lengannya terasa mengencang karena sudah terlilit rantai si dara. Dan suatu arus tenaga besar segera memancar sehingga tubuhnya terangkat dan melayang keluar dari ruang besar itu.
Sudah tentu Wi Kiam Liong terkejut bukan main. Sembilan batang pedang-kecil segera ditaburkan. Tetapi dara itu tak mau menyambuti. Dia tawa mengikik dan terus melesat keluar.
Melihat itu Wi Kiam Liong memburu tetapi tiba2 Hui Yan berpaling dan berseru sembari tertawa. "Ah, tak perlu mengantar ..." - sambil berkata dia memberi hormat dengan kedua tangannya tahu2 Wi Kiam Liong rasakan dadanya telah dilanda segulung tenaga yang keras sekali sehingga dia terpental mundur beberapa langkah.
Ternyata Hui Yan lari keluar itu karena hendak menolong Kun Hiap. Begitu tubuh Kun Hiap meluncur turun dari udara, dara itu ulurkan tangan menyambutmya.
Tetapi Kun Hiap tak berterima basih. Ia menabas kepala dara itu dengan pedang Kim-liong-kiam. Si dara surutkan kepala mundur sehingga pedang itu hanya lewat disisinya. Kalau Kun Hiap tak cepat2 merighentikan pedangnya, tentulah bahunya sendiri akan terpapas.
Setelah menyambuti tubuh Kun Hiap, berserulah Hui Yan, 'Wi piauthau," katanya kepada Wi Kiam Liong, "jangan kaget, aku hanya perlu bicara dengan dia,"
Wt Kiam Liong hanya tertegun. Ia melihat sendiri bagaimana seorang tokoh seperti Thian Go lojin toh dapat dijinakkan oleh dara itu, apalagi dia. Terpaksa dia hanya berdin diam melihat sidara membawa pergi Kun Hiap
Kun Hiap berusaha untuk meronta tetapi tak mampu melepaskan diri dan tangan si dara yang mencekal pinggangnya dan diangkat keatas.
"Mau apa engkau ini'" teriaknya dengan marah sekali.
"Jangan kuatir," sabut Hui Yan, "aku hanya perlu akan bertanya sedikit kepadamu."
"Kalau begitu lepaskan aku."
"Baik," seru Hui Yan seraya terus meletakkan tubuh Kun Hiap supaya berdiri di tanah.
Kun Hiap tak habis herannya melihat tingkah laku dara aneh itu. Setelah tertegun beberapa jenak, baru dia bertanya, "Engkau mau tanya apa?"
Hui Yan tertawa cerah. "Ah, sebenarnya juga tidak ada apa2," katanya.
Sudah tentu Kim Hiap marah. Dia tahu dara itu memang dengan sejujurnya berkata begitu kareua memang tidak mempunyai urusan apa2 dengan dia. Dara itu mengaduk rumah keluarga Li, bukan mempunyai tujuan apa2 kecuali hendak membawanya ( Kun Hiap ) keluar dari rumah itu. Dan apa perlunya" Tak lain supaya dia (Kun Hiap) disuruh menelan kata2 si dara yang membikin kesal hati agar dara itu gembira.
Dara itu tak menyadari bahwa perbuatannya itu bukan melainkan menyebabkan tuanru-mah Li Siu Goan sakit dihati, pun Nyo Hwat juga menderita luka dan Thian Go lojin juga mendapat malu sehingga dikuatirkan jago tua itu tak mau lagi muncul di duma persilatan. Kesemuanya itu adalah perbuatan dari seorang dara yang suka ugal-ugalan seperti Hui Yan.
Sambil berpaling tubuh, Kun Hiap menggeram, "Kalau memang tak ada perlunya, mengapa engkau membawa aku kemari?"
"Ih, dikata tidak punya urusan tetapi sebenarnya juga ada sedikit," sahut si dara.
Kun Hiap meringis. Tertawa tetapi seperti orang meringis.
"Uh, waktu paman Lo hendak menutup mata, dia minta tolong kepadamu suruh mencari seseorang.. Apakah engkau tak ingin mencari orang itu?"
"Dia tak mengatakan siapa orang itu, bagaimana mungkin aku dapat mencarinya?" sahut Kun Hiap.
"Beberapa jago sakti itu berkumpul di Istana Tua. Ada dua diantara mereka yang tertimpah bahaya maut dan masih ada seorang lagi yang wajahnya minp paman Lo sedang mempermainkan mereka. Apakah engkau tak merasa aneh?" seru Hui Yan.
"Kalau merasa aneh lalu bagaimana?" geram Kun Hiap.
Hui Yan tertawa, "Kutahu siapa orang yang paman Lo suruh engkau mencarinya itu "
"Siapa?" "Waktu dia meningga!, tangannya menuding pada sebuah lukisan orang yang tergantung di ujung tembok. Nah, siapa lagi kalau bukan orang itu yang dimaksud paman Lo."
"Itu gambarku!" teriak Kun Hiap.
Hui Yan tertawa dingin, "Engkau" Pernahkah engkau dilukis oleh Poa Ceng Cay tayhiap?"
Kun Hiap terlongong-longong. Dia seperti orang yang tersadar dan mimpi. Memang benar. Dia tak pemah dilukis oleh Poa ceng Cay. Bah-kan siapa Poa Ceng Cay yang disebut si dara sebagai seorang tayhiap (pendekar besar ) itu, diapun belum pernah bertemu. Tetapi mengapa dalam ruang Istana Tua itu terdapat gambar dirinya ( Kun Hiap)" Bukankah hal itu menandakan kalau dia pernah dilukis oleh Poa Ceng Cay itu" Aneh, benar2 aneh sekali! Makin memikir, pikiran Kun Hiap makin bingung.
"Lukisan orang itu sudah tentu bukan engkau," kata Hui Yan pula, "tetapi seorang yang tentunya mempunyai hubungan dekat sekah dengan engkau. Mungkin engkohmu."
"Ngaco!" bentak Kun Hiap.
"Atau mungkin ayahmu," Hui Yan tak menghiraukan.
Sudah tentu Kun Hiap makin marah, "Jangan ngaco belo tak keruan engkau! Bagaimana wajah ayahku masa aku tak tahu!"
Tiba2 Hui Yan tertawa mengikik, "Siapa tahu mamamu pernah kawin dengan orang lain sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang mi, Engkau ikut pada ayah tiri tanpa tahu siapa ..."
Sebelum Hui Yan melanjutkan kata-katanya Kun Hiap sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia segera menabas dengan pedang Kim-liong-kiamnya.
Hui Yan tetap tertawa mengikik. Tanpa berkisar langkah, tubuanya bergeliat dan dengan indah sekali dia sudah dapat terhindar dari ancaman pedang. Karena merasa tak mampu melawan, Kun Hiap hentikan pedangnya, berputar tubuh terus ngeloyor pergi.
Tetapi baru dua langkah berjalan, Hui Yan sudah meneriakinya, "Hai, berhentilah!"
Tetapi Kun Hiap tak mau menghiraukan lagi.
"Anggaplah aku tadi bicara ngaco dan sekarang aku hendak minta maaf," seru si dara.
Tetapi Kun Hiap tak mau menjawab daa tetap ayunkan langkah bahkan terus lari. Tetapi dia tetap mendengar suara dara itu seperti hanya dua meter jaraknya dibelakangnya.
"Hai, engkau ini bagaimana sih" Apakah engkau benar2 tak mau mencari Poa Ceng Cay untuk minta keterangan kepadanya?"
Kun Hiap tahu kalau dia tak mampu menandingi dara itu, baik dalam kepandaian silat maupun adu lidah. Pun dia merasa tak mungkin dapat melepaskan diri dari libatan dara itu. Maka diapun diam saja tak mau menyahut.
Beberapa kejab kemudian tibalah dia di sebuah simpang jalan. Waktu dia mengambil jalan kearah kiri, tiba2 Hui Yan sudah meneriakinya, "Salah! Kalau mau ke rumah Poa Ceng Cay, harus mengambil jalan kearah kanan . . . . "
"Siapa yang hendak datang ke rumah orang she Poa itu?" teriak Kun Hiap penuh geram.
"Sudah-tentu engkau ..." si dara-tertawa.
Sebelum Kun Hiap sempat menjawab, setiup angin telah mendampar bahunya. Cepat dia miringkan tubuh tetapi tetap tak mampu menghindar. Saat itu bahunya terasa kencang dan tahu2 tubuhnya sudah diangkat Hui Yan yang terus melemparkannya, Ternyata dara itu melemparkan Kun Hiap kearah jalan yang kanan dan serempak pada saat itu terdengar Hui Yau berseru seolah memberi perintah, "Hayo, jalan . . . ! "
Marah Kun Hiap bukan alang kepalang. Dia tetap mematung tak mau berjalan. Melihat itu Hui Yan berseru, "Kalau engkau mogok, aku terpaksa akan memaksamu berjalan."
"Aku tetap akan mogok saja, coba lihat bagaimana caramu hendak memaksa aku," diam2 Kun Hiap berkata dalam hati.
Plok . . baru berpikir begitu tiba2 pantatnya ditendang Hui Yan. Tendangan itu tepat mengenai jalandarah wi-tiong hiat di belakang lutut dan diluar kehendaknya sendiri, Kun Hiap seperti dipaksa lari. Karena kuatnya tendangan si dara, Kun hiap lari sampai 30-an langkah baru berhenti.
Tetapi baru saja dia berhenti, tendangan kedua sudah melayang dan Kun Hiappun seperti terseret lari. Dia berusaha untuk menghentikan larinya tetapi tak mampu.
"Hayo, coba engkau bayangkan. Kalau engkau di jalan besar berjalan seperti itu, apakah tidak ditertawakan orang" Maka lebih baik engkau berjalan sediri saja dan akupun tak mempunyai maksud jelek kepadamu."
Mendengar itu diam2 tercekatlah hati Kun Hiap. Memang benar kata dara itu. Saat itu mereka berada dijalan yang sepi tetapi bagaimana nanti kalau tiba di jalan besar . . . . "
Berpikir sampai disitu, kepalanya berkeringat.
Setelah memaksa Kun Hiap berjalan degan tiap kali harus menendang kaki pemuda itu, akhirnya mereka teiah mencapai jarak tiga limapuluh li. Napas Kun Hiap mulai terengah-engah, hatinya bingung sekali. Dia sudah mencari berbagai akal agar dapat terhindar dari dara itu, namun tetap sia-sia saja.
Selama dipaksa lari itu entah sudah berapa kali dia coba untuk menabas si dara dengan pedangnya tetapi kesemuanya itupun tak berguna.
Saat itu dia melihat bahwa tak berapa jauh disebelah depan mereka segera akan tiba disebuah jalan besar. Sudah tentu dia kelabakan setengah mati.
Sebaliknya Hui Yan masih tetap tertawa-tawa menendangnya supaya berjalan. Kemarahan Kun Hiap benar2 sudah memuncak. Dia menabas dan menghantam ke belakang. Tiba2 tangan kirinya yang menghantam itu telah membentur sebuah benda..
Walaupun sedang meluap amarahnya, namun Kun Hiap masih tak lupa akan ilmusilat dari keluarganya, dimana dia telah mendapat latihan yang kokoh.. Selekas mencengkeram benda ltu, dia segera menyadari kalau yang dicengkeram itu adalah siku lengan orang maka diapun segera memperkencang cengkeramannya. Dan begitu berpaling, dia baru tahu kalau yang dicengkeram itu benar2 pergelangan tangan si dara.
Sudah tentu saat itu girang Kun Hiap bukan alang kepalang. Tanpa menghiraukan segala adat dan segala jurus ilmu apa saja, dengan menggembor keras dia terus menabas muka Hui Yan.
Tabasan itu menggunakan seluruh tenaganya. Dia ingin sekali dapat menabas tubuh si dara sampai kutung. Begitu sinar pedang Kim-liong-kiam berkelebat melayang turun, dilihatnya wajah Hui Yan agak merebah ke belakang dan mata agak dipejamkan. Tepat wajahnya itu tertimpa cahaya matahari silam, kedua pipinya tampak berwarna merah jambu, cantiknya bukan alang kepalang.
Telah dikatakan marah Kun Hiap terhadap dara yang telah mempermainkan dirinya itu bukan alang kepaiang. Dia benci kemati-matian kepada dara itu sehingga ingin sekali tabas dia dapat mengutungi tubuhnya. Akan tetapi dikala matanya tertumbuk pada wajah si dara yang cantik berseri-seri laksana seorang dewi, entah bagaimana tangan Kun Hiap serentak ditariknya kembali.
Tetapi dia menggunakan tenaga besar untuk menabas, waktu ditarik kembali, diapun menggunakan tenaga yang kuat sekali. Begitu kuatnya dia menarik sehingga pedang itu sampai membentur keningnya.
Untung waktu menarik itu tangannya melingkar. Coba tidak tentulah keningnya akan terpapas mata pedang. Sekalipun begitu karena terbentur dengan punggung pedang, tak urung kening nya juga berdarah dan sakit.
Saat itu Hui Yan baru membuka mata. Ketika memandang lekat2 pada pemuda itu. Justeru saat itu Kun Hiap juga tengah terlongong-longong memandangnya. Keduanya saling berpandang-pandangan sampai beberapa saat.
"Terima kasih atas kebaikanmu tak jadi membunuh aku," akhirnya Tian Hui Yan tertawa renyah".
Kun Hiap menghela napas dan lepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan Hui Yan.
"Perlu apa engkau mempermainkan aku ?" tanyanya, "sudah tahu kalau kepandaianku rendah dan tak dapat membunuhmu."
"Tidak, tidak!" cepat Hui Yan berteriak, "tadi kalau engkau jadi menabas, aku tentu mati!"
Teringat akan adegan tadi, diam2 Kun Hiap kucurkan keringat dingin karena merasa ngeri membayangkan apabila pedangnya jadi membelah tubuh si dara.
"Tetapi perlu apa engkau membiarkan dirimu kubunuh ?" tanya Kun Hiap.
Jawab si dara, "Kutahu tak nanti engkau tega membunuh aku. Cobalah engkau pikir. Apa sebab dan gunanya engkau hendak membunub aku itu ?"
Kun Hiap terbeliak- Dia sendiri juga tak mengerti mengapa dia tadi begitu marah dan terus mencabut pedang hendak membunuh dara itu.
"Nona Tian," katanya, "rasanya sudah cukup puas engkau mempermainkan aku. Aku mau kembali ke rumah keluarga Li, harap jangan merintangi lagi."
"Tetapi aku justeru hendak meminta engkau mengunjungi Poa Ceng Cay.
Mendengar itu marahlah Kun Hiap. "Aku harus pergi kemana, masa aku tak tahu ?"
Hui Yan tundukkan kepala dan memainkan ujung lengan bajunya, katanya, "Sebenarnya, aku bertindak demi kebaikanmu."
"Kalau memang betul begitu," teriak Kun Hiap, "silakan engkau tinggalkan aku jauh- jauh".
Baru Kun Hiap berkata begitu, tiba2 terdengar lelaki yang nyentrik sekali. Dia menunggang seekor keledai tetapi caranya menunggang tidak seperti orang biasa, melainkan berbalik tubuh menghadap ke belakang. Tetapi yang mengherankan pula, walaupun keledai, larinya bukan alang kepalang cepatnya.
Dan begitu datang, orang aneh itu terus julurkan kepalanya ke muka sehingga hampir membentur muka Kun Hiap.
"Hah, engkau lagi budak kecil. Rupanya engkau sama dengan bapamu, suka menggoda wanita, ya?" kata orang aneh itu.
Orang itu tak lain adalah si orang aneh yang pernah bertemu dengan Kun Hiap. Kun Hiap tahu kalau yang mengirim surat undangan tanpa nama itu bukan lain adalah orang nyentrik itu.
Habis berkata orang itu menarik mundur kepalanya lagi.
"Mengapa anda ngomong sembarangan saja menghina ayahku?" balas Kun Hiap.
Tiba2 orang aneh itu menjulurkan mukanya lagi. Kali ini malah ujung hidungnya hampir menyentuh ujung hidung Kun Hiap.
"Ha," dia tertawa, "Apa sih bapamu itu" Sekalipun kumaki dengan kata2 kotor, pun sudah selayaknya. Engkau mau apa?"
Berhadapan dengan seorang yang liar seperti Tian Hui Yan, Kun Hiap sudah pusing. Sekarang dia harus bertemu lagi dengan seorang manusia aneh yang urakan yang terang-terangan menghina ayahnya. Walaupun tahu kalau bukan lawannya tetapi Kun Hiap tak dapat menahan sabar lagi.
Dengan menuding ujung hidung orang itu, dia menegur, "Kalau mau bicara, harap dipikir dulu !"
"Ha, ha," kembali manusia aneh itu tertawa mengejek, "budak hina seperti engkau mau pura-pura seperti seorang kuncu (gentleman) di hadapanku. Coba katakanlah, apa gunanya seorang manusia seperti ayahmu itu ?"
"Siapakah yang tak tahu akan kebesaran nama ksatrya dari ayahku?" seru Kun Hiap.
"Salah omong engkau!" tukas manusia aneh itu, "bukan nama ksatrya tetapi nama busuk!"
"Ngaco !" bentak Kun Hiap, "berani benar engkau menghina pendekar pedang Naga-emas Wi Ki Hu ?"
"Ah,'" tiba2 orang aneh itu mendesuh kaget, "kiranya mamamu menikah lagi " Kalau begitu engkau punya ayah sambungan.
Mendengar itu marah Kun Hiap bukan kepalang. Pikirnya, ternyata manusia aneh itu sealiran dengan Tian Hui Yan yang hendak mempermainkan dirinya.
Bingung. Mendengar kata2 si orang aneh, Kun Hiap tertegun dan merenung lalu berputar kearah Tian Hui Yan. Tetapi dara itu tengah berdiri membelakanginya dan menghadap kearah sebatang pohon. Dia diam tak bergerak.
Kun Hiap heran, pikirnya, "Biasanya dara itu liar, mengapa sekarang seperti patung ?"
Melihat Kun Hiap tak bicara, orang aneh itu berseru pula, "Ha, sepanjang hidupnya ayahmu itu hanya pandai merebut isteri orang. Itulah sebabnya maka isterinya juga pernah diserobot orang. Coba engkau bilang apa ?"
Tadi sebenarnya K.un Hiap sudah tak dapat menahan kesabarannya. Sekarang mendengar orang aneh itu kembali menghina mamanya, dia sudah tak mampu mengendalikan diri, dengan membentak keras dia menghantam orang aneh itu.
Tetapi baru dia mengangkat tangan, tiba2 lengannya sudah lunglai sehingga tak kuasa diangkat lagi. Rupanya jalandarahnya pada lengan bawahnya telah ditutuk orang. Dan pada saat itu dia seperti mendengar sebuah ngiang suara yang lembut, berasal dari arah Hui Yan berdiri.
Jelas tentulah dara itu yang menggunakan senjata rahasia untuk melumpuhkan jalandarahnya. Rupanya dara itu melarangnya jangan cari perkara dengan siorang aneh.
Orang aneh itu hanya ganda tertawa. Untung dia tak mau melibat Kun Hiap lebih lanjut. Sehabis berkata tadi, dia terus tertawa gelak2 dan keledainyapun segera melanjutkan perjalanan lagi. Dalam sekejab saja sudah jauh.
"Budak kecil, jangan memperlakukan kasar pada dara itu. Terus terang, engkau masih belum nempil dengan ujung kakinya," tiba2 pula dari jauh orang aneh itu berseru.
Kun Hiap hendak balas memaki tetapi manusia aneh itu sudah jauh sekali. Terpaksa Kun Hiap hanya mendengus geram, "Orang gila !"
"Dia sudah pergi?" saat itu baru Hui Yan buka suara. Nadanya menunjukkan rasa jeri.
Kun Hiap tertegun dan tiba2 tertawa, "Ho, ternyata engkau juga punya takut toh ?"
Dia sudah kenyang menerima ejekan sidara. Sekarang ternyata dara itu juga takut berhadapan dengan si manusia aneh tadi. Sudah tentu diam2 Kun Hiap gembira juga.
Hui Yan berbalik diri dan leletkan lidah, "Kalau tidak takut berarti pura2. Tadi aku telah menolong jiwamu, tahu kau ?" serunya.
"Ngaco," sahut Kun Hiap dengan dingin.
Hui Yan berteriak aneh, "Memang untuk menjadi orang baik itu tak gampang. Anjing hendak menggigit dewa Lu Tong Pin alias orang yang tak tahu kebaikan lain orang. Binatang memang dapat dinilai hatinya tetapi siapa yang tahu akan hati inanusia ?"
Mendengar mulut si dara nyerocos tak keruan, Kun Hiap b"rseru juga. "Sudah, sudahlah! Engkau bilang menolong jiwaku. Tetapi apa yang kautolong itu ?"
"Engkau tadi hendak menghantam orang itu, bukan?" kata Hui Yan, "kalau tak kuhalangi mungkin engkau sudah berhasil memukulnya."
"Aku memang hendak memberinya sebuah bogem mentah," kata Kun Hiap.
Hui Yan tertawa, "justeru nama gelarnya yang termasyhur yalah 'selalu menerima pukulan orang tak pernah membalas', Maka kalau tadi pukulanmu sampai kena, tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi dalam tubuhnya tentu kontan akan membuat reaksi sehingga jiwanya pasti melayang."
Mendengar tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi, seketika wajah Kun Hiap berobah dan kesima, "Sam-yang .... cin-gi . . . ?" ulangnya.
"Ya." Dengan nada gemetar berkatalah Kun Hiap pula, "Kalau begitu, orang aneh yang naik keledai dengan menghadap ke belakang itu, adalah tokoh nomor satu dari aliran Hitam dan Putih, ketua pulau Mo-hun-to yang bernama Koan Sam Yang itu?"
Hui Yang mengangguk-angguk.
"Siapa lagi kalau bukan dia. Dia bergelar 'Pantang-balas-menyerang! Karena dia tak perlu harus turun tangan membalas, musuh sudah kelabakan sendiri."
Kun Hiap terlongong-longong sampai beberapa saat. Pikirnya, "Kalau orang itu benar Koan Sam Yang, maka dara itu memang benar tadi telah menyelamatkan jiwanya."
Dipandangnya dara itu. Dia hendak mengucapkan terima kasih tetapi teringat bagaimana tadi dara itu telah mengocoknya, ucapan terima kasih itupun macet dalam tenggorokannya. Dia hanya termangu-mangu memandang dara cantik itu.
"Ih, mengapa terlongong-longong saja?" tegur Hui Yan, "ketakutan, ya?"
"Tidak," sahut Kun Hiap, "kutahu bahwa yang menulis surat undangan kepada beberapa ko-jiu, juga orang itu."
"Sungguh ?" Hui Yan melonjak kaget.
"Siapa yang membohongimu?"
"Wah, kalau begitu sungguh bagus sekali- Hayo kita pergi." seru si dara terus menarik lengan Kun Hiap.
"Eh, mau kemana nih ?" Kun Hiap heran.
"Tak perlu bertanya, nanti engkau tentu tahu sendiri. Tanggung bermanfaat untukmu !"
"Siapa yang mengharap manfaat dari engkau " Lepaskan !" teriak Kun Hiap.
Tetapi Hui Yan tak menggubris. Dia terus menyeret lengan Kun Hiap. Karena kepandaiannya kalah, Kun Hiap tak dapat berbuat apa2 kecuali menurut saja. Dalam beberapa kejab saja sudah lari sampai tujuh delapan li.
Tiba2 dari arah lembah, terdengar suara burung berbunyi. Mendengar itu Hui Yan gembira sekali. Diapun terus bersuit seperti bunyi burung.
"Lepaskan aku ! Eigkau mau melepaskan aku atau tidak ?" teriak Kun Hiap.
Tetapi Hui Yan tetap tak menghiraukan dan masih menyeretnya kedalam lembah. Begitu masuk kedalam lembah, terdengarlah suara seorang wanita berseru sarat. "Sam-ah-thau, orang suruh melepaskan, mengapa engkau tak mau melepaskannya?"
"Kalau kulepas, dia tentu lari," sahut Hui Yan.
Wanita itu tertawa, serunya, "Ah-thau, Kusuruh engkau mengundang orang, mengapa engkau menyeretnya dengan paksa ?"
Hui Yan tertawa mengikik, "Karena diundang baik2 tak mau, terpaksa harus kuseret saja."
Pembicaman sidara dengan wanita itu, membuat Kun Hiap tertawa meringis. Terang kalau tindakan Hui Yan itu atas perintab si wanita itu, bukan kemauan dara itu sendiri.
Saat itu Kun Hiap sudah dibawa masuk kedalam lembah dan Hui Yanpun terus mendorongnya sehingga Kun Hiap terhuyung ke muka beberapa langkah, sehingga hampir membentur sebatang pohon.
Tiba2 dari arah muka menghambur setiup tenaga angin lunak yang melandanya sehingga dia tak sampai jatuh ke muka. Kun Hiap menghela napas. Memandang ke muka, ternyata dia sedang berhadapan dengan seorang wanita pertengahan umur. Wajah wanita itu biasa saja, menampilkan pancaran rasa kasih sayang dan keramahan sehingga Kun Hiap-pun merasa senang. Entah bagaimana, Kun Hiap yang mendongkol karena dibuat bulan bulan si dara, pun tak dapat marah kepada wanita itu.
"Apa engkau yang hendak mencari aku ?" tanyanya dengan ramah.
Wanita itu mengangguk, "Benar, memang yang hendak kucari itu, mungkin engkau ..."
Kun Hiap heran dalam hati.
"Ma, coba bilang, bagaimana kalau aku disuruh melakukan tugas, baik kan ?" tiba2 Hui Yan lari menghampiri kepada wanita itu.
Wanita itu mengelus-elus rambut si dara dan berkata dengan penuh sayang, "Ya, memang baik sekali. Kusuruh engkau mengundang orang, tetapi engkau menyeretnya saja, begitulah . . ."
Tian Hui Yan tertawa, "Ma, engkau tak tahu, ada ceritanya, aku memang . . . ."
Mendengar itu merahlah muka Kun Hiap, serunya, "Nona Tian ..."- dia tahu kalau Hui Yan tentu hendak menceritakan tentang kisah selama dalam perjalanan tadi maka diapun buru-buru mencegahnya.
Hui Yan tak melanjutkan omongannya dan cibirkan bibir, tertawa. "Jangan kuatir, kalau ada sesuatu yang menyal
ahi aku, baru akan kusiarkan peristiwa itu agar engkau malu bertemu orang."
Mendengar itu Kun Hiap hanya tertawa pahit.
Wanita tadi deliki mata kepada Hui Yan, serunya, "Kembali barang itu kepadaku."
Hui Yan merogoh kedalam baju dan menyerahkan sebuah bungkusan sutera putih.
Wanita itu menyambuti dan membukanya. Kun Hiap mengawasi apa yang berada dalam bungkusan sutera itu. Dan waktu melihat benda itu, seketika matanya terbeliak.
Ternyata yang terbungkus dengan sutera putih sebuab lukisan orang. Seorang lelaki yang mengenakan jubah panjang dan tangannya mencekal sebatang kipas. Sikapnya santai sekali. Wajahnya tenang sekali.
Siapa lagi gambar orang itu kalau bukan wajah Kun Hiap sendiri...
Wanita itu memperhatikan lukisan lalu memandang kepada Kun Hiap. Setelah itu dibungkusnya lagi lalu ia menghela napas panjang.
Kun Hiap hendak bertanya tetapi wanita itu telah mendahului, "Apakah ayahmu baik2 saja ?"
Kun Hiap gopoh menyahut, menyatakan kalau ayahnya sehat tak kurang suatu apa. "Ayahku, orangtua itu baik2 saja."
Tiba2 mulut wanita itu berkemak-kemik, "Orangtua ... orang tua .... kurasa dia belum berapa tuanya, bukan?"
"Apakah anda sudah kenal dengan ayahku?" tanya Kun Hiap.
Wanita itu tidak menjawab melainkan balas bertanya lagi, "Dapatkah engkau memberi tahu, siapa mamamu ?"
"Mama adalah puteri keluarga Tong dari Oulam " sahut Kun Hiap.
Wanita itu mengangguk. "O- kiranya Dewi Tangan-suci Tong Wan Giok, Ya, memang hanya dialah yang layak menjadi pasangan ayahmu !" serunya. Namun nadanya penuh dengan getar2 haru dan rawan.
Sudah tentu Kun Hiap makin heran. Dia menduga kalau wanita itu tentu mempunyai hubungan baik dengan papa dan mamanya, Tetapi mengapa selama ini baik papa maupun mamanya tak pernah menceritakan tentang diri wanita itu"
Dia kinipun tahu bahwa Tian Hui Yan itu adalah puteri dari wanita itu.. Kalau anaknya saja sudah begitu sakti, mamanya tentu lebih sakti lagi. Dengan begitu, tak mungkin papa mamanya tak menceritakan seorang tokoh wanita yang begitu sakti. Tetapi kenyataannya, mengapa tidak"
Tampak sepasang alis wanita itu menjungkat seperti tengah merenungkan sesuatu yang berat.
Tiba2 Hui Yan menepuk bahu Kun Hiap, "Lihatlah, engkau membuat mamaku marah."
"Aku .....," Kun Hiap terbata-bata kaget.
"Sam-ahthau!" seru wanita itu, "jangan usil mulut. Urusan itu tiada sangkut pautnya dengan dia, Hanya Aku hanya tengah merenung suatu peristiwa yang lampau."
"Lho, ma, siapakah yang berani menghina engkau " Biarlah kuwakili mama menghajarnya!" seru Hui Yan.
Kun Hiat cepat menyambuti, "Nona Tian. Kuyakin dalam dunia ini tiada seorang manusia yang berani cari permusuhan dengan mamamu."
Tetapi Hui Yan salah terima, Dia terus bercekak pinggang dan berseru, "Apakah aku begitu galak sampai orang jadi takut ?"
"Tidak. tidak, engkau .... tidak galak," buru2 Kun Hiap menyusuli kata2.
"Hm, engkau memang pintar," dengus Hui Yan.
Wanita itu menghela napas, "Sam ah-thau, coba engkau menyingkir agak jauh saja. Aku hendak bicara sebentar dengan Can kongcu."
Sambil cibirkan bibir dengan sikap enggan dara itupun keluar. Mendengar wanita itu hendak bicara dengan seseorang yang disebut Can kongcu, Kun Hiap juga tak enak sendiri. Diapun terus melangkah mundur.
"Can kongku, aku hendak bicara sedikit dengan engkau, jangan pergi," tiba2 wanita itu berseru.
Kun hiap tercengang. Ternyata yang dimaksudkan sebagai Can kongcu oleh wanita itu, bukan lain adalah dirinya.
"Cianpwe tentu salah, "katanya," aku orang she Wi, bukan she Can."
Diam2 dia menghela napas longgar. Wanita itu ternyata salah sangka, Dia dikira orang she Can. Tetapi biar bagaimana, dia merasa lebih longgar saat itu karena terlepas dari libatan Hui Yan.
"Baik she Can maupun she Wi, tetapi jelas aku tak salah. Waktu aku kenal dengan ayahmu, mungkin engkau belum lahir. Ah, tempo berjalan begitu cepat sekali."
Diam2 Kun Hiap geli juga. Ia merasa dunia memang penuh dengan manusia2 yang pikirannya terbalik. Jelas kalau salah menyangka orang, sekarang dengan mudah wanita itu enak saja mengatakan biar she apa saja, dia tetap merasa tak salah menduga.
"Kalau cianpwe tiada pesan apa2 lagi, aku hendak pamit," katanya sesaat kemudian.
"Sudah tentu aku ada urusan," kata wanita itu, "kusuruh si sam-ahthau membawamu kemari, justeru memang karena hendak menyampaikan suatu urusan penting kepadamu."
Kun Hiap cepat dapat menduga dara centil itu tentu telah menceritakan kepada mamanya (wanita itu) tentang peristiwa yang dialami Kun Hiap selama ini. Tentu wanita itu merasa bahwa orang yang hendak dicarinya, mirip dengan dirinya (Kun Hiap) oleh karena itu dia terus suruh anak perempuannya untuk membawanya kesitu.
Tetapi cara Hui Yan mengundang orang, begitu kasar dan ceroboh sehingga membuat Li Siu Goan, kepala perkampungan marga Li, menjadi kalang kabut.
Sambil tertawa kecut, Kun Hiap berkata, "Tetapi cara nona Tian mengundang orang tadi, memang keliwatan sekali."
"Apa" Apakah dia membuat onar lagi" Hm, budak itu memang!" seru wanita itu.
"Bukan saja membuat onar, pun bahkan telah menyebabkan beberapa kojiu persilatan tiada muka lagi untuk muncul di dunia persilatan."
Wanita itu geleng-geleng kepala, "O, ini bukan menyalahi tetapi malah menanam kebaikan, coba engkau pikirkan. Kalau para kojiu itu tetap masih menonjol dan berebut nama dalam dunia persilatan, tentulah pada suatu hari mereka akan binasa. Tetapi kalau lekas-lekas mau mengundur-kan diri, tentulah akan selamat sampai hari tua." Mendengar jawaban begitu, Kun Hiap tak dapat bicara lagi. Dia menganggap wanita itu membela putrinya. Tetapi memang alasan yang diuraikan itu, tepat sekali.
Tiba2 wanita itu bergoyang tubuh dan tahu2 telah meluncur ke luar, "Ikutlah aku, ada suatu barang yang hendak kuberikan kepadamu."
"Aku baru saja kenal dengan cianpwe, bagaimaca aku dapat menerima pemberian cian-pwe ?"
"Bukan antukmu tetapi aku minta tolong kepadamu untuk menyerahkan beberapa barang kepada papamu," kata wanita itu.
Kun Hiap makin tak enak. Wanita itu jelas masih tetap menduga kalau dia orang she Can. Menilik betapa tinggi kepandaian wanita itu, tentulah barang yang akan diberikan kepada orang she Can itu, terdiri dari benda2 yang amat berharga sekali.
Pikir Kun Hiap, baiklah dia menerima saja permintaan wanita itu. Kelak apabila wanita itu telah menyadari kekeliruannya, bukankah wanita itu akan marah dan menuduh kalau dia menipunya "
"Cianpwe," serunya sambil menggoyang-goyangkan tangan menolak," telah kukatakan kalau engkau keliru menyangka aku. Aku bukan orang she Can tetapi she Wi."
Tetapi wanita setengah baya itu hanya tersenyum simpul, "Akupun sudah bilang. Tak peduli engkau orang she Can atau she Wi, bagiku tidak penting."
"Mengapa tidak penting " Kalau shenya tidak sama, tentulah orangnya juga lain. Masak dalam soal begitu saja cianpwe tak mengerti?"
Agak keras nada Kun Hiap tetapi anehnya wanita itu tidak merasa tersinggung dan masih tetap tersenyum.
"Mengapa aku tak mengerti " Yang penting perasaanku sudah mengetahui jelas engkau ini putera siapa. Itu sudah cukup.. Pergaulan ayahmu luas sekali. Kemungkinan karena berbuat suatu kesalahan terhadap seseorang, dia lalu mengganti she."
Sudah tentu marahlah hati Kun Hiap, serunya. "Ayah seorang lelaki jantan. Berjalan tidak berganti nama, duduk tidak merobah she . . . ."
Belum selesai Kun Hiap bicara, wanita itu sudah mencegahnya, "Sudahlah, jangan banyak bicara. Papamu memang telah menyalahi banyak orang ..."-- tiba2 dia berhenti dan wajahnya tampak rawan kemudian mengbela napas, "Tetapi, walaupun dia telah menyalahi orang banyak dan melakukan hal2 yang tak terpuji, tetapi ada sesuatu hal yang dia sendiri tentu belum mengerti jelas . . . ."
Mendengar itu Kun Hiap merasa geli sehingga hampir tertawa. Ayahnya pendekar Pedang Naga-emas Wi Ki Hu termasyhur harum namanya. Siapakah tokoh dalam dunia persilatan yang tak tahu bahwa ayahnya itu seorang pendekar yang paling gigih membenci kejahatan "
Sudah tentu sebagai seorang pendekar, dia tentu banyak sekali melakukan hal-hal yang merugikan dan menyalahi orang. Tetapi hanya mereka kawanan jahat dari aliran Hitam saja. Sudah tentu mereka mendendam dan membenci ayah. Tetapi adakah karena ancaman itu ayah lalu ketakutan dan berganti she dan nama"
Kun Hiap menahan tawanya dan bertanya, "Cianpwe mengatakan ayah belum mengerti. Tetapi apa saja yang ayah belum mengerti itu"
Kembali wanita itu menghela napas, "Dia tak mengerti, bahwa walaupun banyak sekali orang yang telah ditipunya tetapi tak ada orang yang membencinya. Orang hanya akan mengenangkan saat2 yang penuh kebahagiaan dikala bersamanya dan orang itupun tetap mengharap bahwa pada suatu hari akan dapat berkumpul lagi. Walau itu hanya . . . suatu harapan yang sia2, meskipun tahu dirinya telah dituang seperti sampah yang tak berharga, tetapi dia tak mendendam atau membencinya. Karena meski hari2 ketika berkumpul dengan dia dahulu hanya singkat sekali, tetapi saat2 itu merupakan suatu kebahagiaan yang paling indah dalam kehidupannya . . . . "
Kun Hiap mendengari dengan terlongong-longong. Dia tak tahu siapakah orang yang disebut sebagai orang she Can itu" Kalau menurut kata2 wanita itu, rupanya dia sendiri (wanita itu) juga termasuk salah seorang yang telah menjadi korban kebohongannya. Tetapi mengapa wanita itu mengatakan kalau dia tetap takkan membenci dan tetap akan mengenangkan hari2 bahagia ketika bersama dengan orang she Can itu" Apakah yang telah dilakukan orang she Can itu, kepada wanita di hadapannya ini"
Sejenak berpikir, Kun Hiap menghentikannya. Pertama, dia belum dapat menentukan bagaimana kwalitas dari orang she Can itu. Apakah dia seorang pria yang berbudi luhur ataukah seorang momok yang mengerikan. Kedua, perlu apa dia harus membuang waktu dan pikiran, toh sudah jelas bahwa orang she Can itu bukan ayahnya"
Ayahnya seorang yang serius, baik terhadap kawan dan dirinya sendiri, Apabila seorang kawan dikabarkan telah berbuat suatu kesalahan yang mencemarkan nama, walaupun hanya kecil saja, dia tentu lantai memutuskan hubungan dengan kawan itu Oleh karena itu maka kawan yang karib dari Wi Ki Hu itu hanya sedikit sekali. Perihal dirinya jelas tidak sama dengan orang she Can yang disebut-sebut oleh wanita tadi.
"Cianpwe, maaf, kurasa cianpwe memang benar salah sangka," katanya,
"Tidak, tidak mungkin aku salah," kata wanita itu dengan kukuh, "ikutlah aku, nanti kita bicara lagi."
Kun Hiap benar2 tak dapat berkutik.
"Baiklah, karena cianpwe berkeras menganggap ayahku itu orang she Can yang hendak cianpwe cari, nanti barang itu akan kusimpan dalam rumah ayah. Kapan saja cianpwe merasa telah keliru memberikan, setiap saat cianpwe boleh mengambilnya kembali."
Wanita itu tertawa hambar, "Apakah aku bisa keliru?" " dia bertanya kepada dirinya sendiri sembari geleng2 kepala. Jelas dia merasa benar dan tak mungkin salah.
Kun Hiappun terpaksa mengikuti di belakang-nya, memasuki sebuah guha. Bermula guha itu gelap tetapi setelah membiluk sebuah kelok, ternyata disitu terdapat penerangan yang cukup terang. Penerangan itu berasal dari suatu celah retakan dinding guha dimana sinar matahari dapat menembus kedalam.
Guha itu amat bersih sekali. Dan saat itu Kun Hiap merasa dirinya berada dalam sebuah kamar yang bersih, terbuat dari batu alam Dalam ruang batu itu terdapat seorang wanita yang tengah duduk Begitu melihat wanita setengah baya dan Kun Hiap masuk, wanita itu segera berbangkit dengan sikap yang menghormat.
Kun Hiap memperhatikan wanita dalam guha itu. Ternyata seorang gadis berumur lebih ku-rang 20-an tahun. Wajahnya mirip dengan wanita setengah baya tadi.
Wajah gadis itu secantik bunga mekar di musim semi- Menyedapkan setiap mata yang memandangnya. Tampak gadis itu tundukkan kepala, mukanya tersipu merah. Rupanya dia jengah berhadapan dengan seorang pemuda yang belum di-kenalnya.
"Ji-ah-thau," seru wanita setengah baya, "ambilkan kotak kumala itu."
Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan suara lirih gadis itu mengiakan terus masuk kedalam tanpa memandang sedikitpun kepada Kun Hiap.
Kun Hiap terkesiap. Ia ingat nada suara gadis itu seperti yang pernah didengarnya ketika memanggil Hui Yan di luar Istana Tua.
Wanita setengah baya memanggilnya dengan sebutan Ji-ah thau ( budak kedua ). Dengan begitu jelas dia ji-suci atau taci kedua dari Hui Yan.
"Ah, sungguh seperti langit dengan bumi bedanya antara Hui Yan dengan gadis itu," pikir Kun Hiap, "mereka taci beradik tetapi kalau Hui Yan itu dara yang berandalan, lincah dan centil, membuat orang mendongkol tetapi juga menyenangkan Tetapi tacinya ini begitu lemah lembut dan alim. Sampai bicara saja begitu pelahan.
Entah bagaimana dalam berpikir itu tanpa disadari, Kun Hiap memandang beberapa kali ke-pada gadis itu.
Walaupun tidak balas memandang tetapi rupanya gadis itu tahu kalau Kun Hiap tengah memperhatikannya. Maka merahlah telinga gadis itu dan diapun segera bergegas melangkah masuk.
Wanita set"ngah baya berputar diri dan menepuk bahu Kun Hiap, "Can kongcu, mengapa engkau memandang bayangannya ?"
Kun Hiap tersentah kaget dan merahlah mukanya.
"Aku .. . aku .... aku ...," dia mau omong tetapi tak keluar.
Wanita setengah baya itu tertawa. "Engkau ini bagaimana sih " Mengapa tak dapat omong dengan lancar.'"
Sudah tentu Kun Hiap makin kerupukan, katanya, "Aku tengah berpikir, mengapa sifat nona Hui Yan dengan tacinya itu berbeda sekali."
Tiba2 wanita setengah baya itu tertawa pula, penuh dengan arti.
"Lalu engkau suka yang mana ?" tanyanya secara tak terduga-duga.
"Cianpwe, ini . . . , ini dinilai dari mana ?" sahut Kun Hiap.
Wanita setengah baya tertegun, "Kalau begitu, engkaupun tidak sama dengan ayahmu."
Kembali perasaan hati Kun Hiap mendelu dan tertawa tawar. Kalau menurut kata-kata wanita itu, sepertinya mengatakan bahwa ayahnya (ayah Kun Hiap) itu seorang pria yang romantis sekali. Ah, benarkah ayahnya yang sekarang seorang pria serius, dulu semasa mudanya seorang pemuda Don Juan atau hidung belang "
Wanita setengah baya itu duduk dan berkata, "Kalau nanti pulang, ayahmu tentu menanyakan tentang aku. Nah, kasih tahulah kepadanya bahwa sejak berpisah, aku menikah tetapi suamiku sudah lama meninggal dunia Aku mempunyai tiga anak perempuan. Yang benar sudah menikah dengan kepala dari Tiga benggolan gunung Cin-nia yaitu Khong Gong Tin . . . ."
Mendengar itu tiba2 wajah Kun Hiap berobah seketika dan berseru. "Khong Gong Tin?"
"Ya," sahut wanita setengah baya itu, namanya jelek dan orangnyapun kejam, bukan " Tetapi dia sangat setia kepada anakku yang besar."
Tergetarlah hati Kun Hiap. Mengapa Khong Gong Tin mengumbar kejahatan dan keganasan itu, tentulah karena mengandalkan pengaruh mama mertuanya atau wanita setengah baya yang berada dihadapannya itu.
Kejahatan Sam-shia atau Tiga-benggolan dari gunung Cin-nia, memang tiada banding-annya lagi. Dalam kalangan tokoh2 jahat di dunia persilatan, tiada satupun yang melebihi hebatnya kejahatan dari ketiga benggolan gunung Cin-nia itu. kepala atau pimpinan mereka ber-nama Khong Gong Tin gelar Thian-oeng-te-liat atau langit-ambruk-bumi-bengkah. Dia seorang jahat kelas kakap.
Kun Hiap diam2 terkejut sekali. Gunung Cin-nia tak berapa jauh dari tempat kediamannya dan sudah beberapa kali ayahnya pernah bentrok dengan Tiga-benggolan itu. Bahkan setengah tahun yang lalu, ketiga benggolan itu datang lagi untuk mengobrak-abrik dan waktu pergi sumbar-sumbar bahwa mereka akan mengusir naga emas Wi Ki Hu, ayah Kun Hiap, dari wilayah Kamsiok.
Sekarang Kun Hiap berhadapan dengan keluarga dari pemimpin Tiga-benggolan. Dalam ke-jutnya diam2 Kun Hiap bersyukur bahwa tadi dia tak mengatakan bahwa ayahnya itu adalah si Naga-emas Wi Ki Hu.
"Ih, mengapa waktu mendengar nama Khong Gong Tin, mukamu tampak berobah pucat?" tegur wanita setengah baya itu.
"Ti . . . dak. tidak apa2," Kun Hiap terbata-bata.
Waktu wanita itu hendak bicara lagi, tiba2 gadis cantik, tadi muncul dengan membawa kotak kumala. Kumala itu bening sekali tentu dari kumala yang berkwalitas tinggi.
Setelah menyambuti kotak kumala itu, wanita setengah baya menghela napas lalu menerimakan kepada Kun Hiap.
"Jangan sekali-kali engkau buka kotak itu," pesannya kepada Kun Hiap. Setelah itu dia berbangkit dan berseru kepada gadis cantik tadi, "Ji-ah-thau, antarkanlah Can kongcu ini."
"Ah, tak perlu, aku dapat pulang sendiri," buru2 Kun Hiap berkata.
Semula dia mempunyai kesan baik terhadap gadis itu tetapi kini setelah tahu latar belakang keluarganya, diapun merasa jeri. Maka dia lalu menolak diantar gadis itu.
Gadis itu menghela napas pelahan, katanya dengan lembut, "Ma, Can kongcu bilang, dia dapat pulang sendiri dan tak perlu kuantar."
Mendengar nada kata yang merawankan dari gadis itu, Kun Hiap tak enak hati. Buru2 dia menyusuli kata2, "Maaf, nona Tian, aku tak berani merepotkan nona.."
Gadis itu mengangkat kepala. Sepasang biji matanya yang bundar dan bening memandang Kun Hiap. Tetapi hanya sepintas lalu tundukkan kepala. Walaupun hanya sejenak beradu pandang, Kun Hiap menjadi kesima.
Pancaran sinar mata gadis itu mengunjukkan sifat penurut dan lemah lembut, menimbulkan rasa simpathi orang sehingga orang tak sampai hati untuk menyinggung perasaannya, menolak permintaannya.
Tanpa disadari, seketika Kun Hiappun berseru, "Tetapi kalau nona memang hendak mengantar, aku . ....terima kasih."
Tanpa banyak bicara lagi, gadis itu serentak berkata, "Mari . . . ."
Dengan membawa kotak kumala, Kun Hiap melangkah keluar. Si gadis mengikuti tetapi mama nya tetap tinggal dalam ruang guha.
Setelah keluar dan guha, baru beberapa langkah mereka mendengar suara burung gagak berkaok. Kun Hiap tertegun dan sesosok bayangan berkelebat melayang turun dari sebatang pohon, Tahu2 di hadapan Kun Hiap, muncul si dara centil Tian Hui Yan. Diam2 Kun Hiap mengeluh dalam hati.
"Ji ci, mengapa engkau ini ?" tegur Hui Yan.
"Mama suruh aku mengantar," jawab si gadis cantik.
"Pulang saja, biar aku yang mengantarnya," kata Hui Yan.
"Baik," kata gadis itu dengan pelahan.
Kun Hiap terkejut dan berpaling tetapi gadis itu sudah jauh. Dia hendak memanggil tetapi sungkan. Dia hanya tegak terlongong-longong. Dia terkejut ketika Hui Yan melesat di hadapannya, mengaling pandang matanya yang saat itu sedang tertuju pada bayangan gadis cantik tadi.
"Ada urusan apakah mamaku mencari engkau ?" seru Hui Yan.
"Dia meminta aku supaya menyerahkan sebuah kotak kumala kepada ayahku," sahut Kun Hiap. Tiba2 dia merasa, gadis cantik, tadi berpaling dan memberi senyum kepadanya. Buru2 dia miringkan kepala untuk membalas senyuman.
Pada saat itu Hui Yan sudah ulurkan tangan dan merampas kotak kumala dari tangan Kun Hiap.
"Kotak kumala " Apakah ini " Isinya apa saja, biar kubukanya, " seru dara itu.
"Jangan !" Kun Hiap kelabakan," mamamu pesan, jangan sekali-kali kubuka kotak."
"Begitu ?" lengking Hui Yan, " dia hanya melarang engkau tetapi tidak melarang aku, toh " Waktu kubuka, engkau harus menyingkir agak jauh supaya engkau jangau mencuri lihat !"
Kun Hiao sudah kenal watak gadis liar itu. Percuma saja dia hendak membantah. Toh batang itu milik mamanya. Biarlah dia melihat, pikirnya. Dan dia terus berputar tubuh membelakangi Hui Yan.
Dara itu tertawa mengikik dan terus membuka kotak kumala. Kun Hiap hanya mendengar mulut dara itu mendesis heran. Kun Hiap terkejut dan terus berpaling. Dilihatnya mata Hui Yan, membelalak memandang isi kotak. Karena teralang oleh tutup maka Kun Hiap tak dapat mengetahui apa isinya.
Plak, sambil menutup lagi kocak itu, Hui Yan mengangkat muka dan melemparkan kotak kumala itu kepada Kun Hiap. Kun Hiap gopoh menyambuti. Dia hendak bertanya apa isi kotak itu tapi tak jadi. Dia kuatir, dara itu akan menertawakan. Diapun terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.
"Hai, apakah engkau tak jadi pergi ke rumah Poa Ceng Cay?" teriak dara itu dari belakang.
"Tidak! Tidak!" seru Kim Hiap seraya mempercepat langkahnya. Tetapi suara tawa dara itu tetap terdengar di belakang. Karena tak tahan, Kun Hiap sengaja berhenti, "Kalau engkau tetap mengikuti aku, terpaksa akan kulaporkan kepada mamamu dan kukatakan kalau aku keberatan memenuhi permintaannya."
"Aih, apa engkau melihat setan di siang hari" Di tengah jalan besar begini, apakah hanya engkau seorang yang boleh jalan disini, aku tak boleh"' seru Hui Yan.
"Kalau engkau hendak berjalan silakan. Aku yang berhenti. Mengapa engkau tetap mengikuti aku dari belakang saja?"
Hui Yan tertawa, "Engkau ini memang aneh. Masa yang boleh berhenti di tengah jalan hanya engkau saja dia aku tak boleh?"
Diam2 Kun Hiap menghela napas untuk menelan kemengkalannya. Terpaksa dia lanjutkan langkah dan tak berapa lama tiba disebuah kota kecil.
Sebenarnya dia hendak ke desa marga Li menemui paman dan kepala perkampungan marga Li untuk berunding. Tetapi sekarang dia harus berusaha untuk meloloskan diri dari jabatan dara liar itu dulu.
Ketika melalui sebuah rumah penginapan, tiba2 timbullah pikirannya. Dia terus menghampiri rumah penginapan itu dan bertanya kepada jongos, apakah ada kamar kosong.
"Hai, bung, apakah ada kamar kosong?" tiba-tiba terdengar suara si dara juga bertanya kepada jongos.
Jongos dengan tertawa berseri-seri segera menyambut Kun Hiap dan mengantarkannya ke sebuah kamar yang sederhana. Saat itu baru Kun Hiap dapat bernapas longgar, pikirnya, tentulah Hui Yan sungkan kalau mau menyusul kesitu.
Tetapi uh . . . dia terhenyak. Dia tahu siapa dara liar seperti Hui Yan itu. Kalau dara itu nekad masuk, dia dapat berbuat apa"
Membayangkan hal itu, Kun Hiap berobah gelisah lagi. Tetapi sampai setengah jam kemudian, ternyata keadaan masih tenang. Kun Hiap merebehkan diri di ranjang, memandang ke luar jendela menikmati langit, dia mengharap agar malam segera tiba agar dia dapat terbebas dari gangguan si dara.
Tetapi dia merasa, jalannya tempo lambat sekali. Matahari tak mau cepat silam di balik gunung dan cuacapun masih terang.. Terpaksa dia bangun dan berjalan mondar mandir dalam kamarnya. Beberapa saat kemudian, dia mendengar dari kamar disebelah, suatu suara bergemerincing.
Kun Hiap tersentak kaget. Apakah itu bukan Tian Hui Yan " Kalau dia tinggal dikamar sebelahnya, nanti tengah malam masa dia mampu meloloskan diri.
Tring, tring, kembali terdengar dua buah bunyi berdering. Serentak timbullah keinginan tahu Kun Hiap, sedang berbuat apakah dara liar itu "
Dia sempat menemukan sebuah celah retak pada dinding tembok. Segera dia menghampiri dan mengintai kedalam kamar.
Sebuah lilin menyala diatas sehuah meja dan didepun meja itu terdapat seorang lelaki tinggi kurus tengah membungkuk seperti sedang memeriksa apa yang berada diatas meja itu. Jelas orang itu bukan Hui Yan.
Kun Hiap menghela napas longgar. Waktu dia hendak pergi, dilihatnya orang itu bergerak dan duduk dikursi. Dan seketika itu Kun Hiap dapat mengetahui siapa orang itu. Dia bukan lain adalah manusia aneh yang mempunyai ilmu untuk menjulurkan batang lehernya sampai beberapa meter, yani Kwan Sam Yang, kepala dari pulau Moh-hun-to dari laut selatan.
Dan begitu tokoh itu duduk, dapatlah Kun Hiap melihat benda apa yang terletak diatas meja. Jumlahnya dua buah dan kecil bentuknya. Kedua benda itu tak lain adalah kuda kudaan yang terbuat dan bahan besi. Kuda besi itu besarnya hanya segenggam tangan orang.
Kun Hiap segera teringat akan mainan kuda besi yang diketemukan dari mayat Li Toa Gui dan yang diperoleh Hui Yan dari tubuh mayat Lo Pit Hi dalam istana Tua tempo hari. Kedua kuda besi itu serupa benar dengan dua kuda besi yang berada di atas meja dihadapan Kwan Sam Yang saat itu.
Beberapa saat kemudian Kwan Sam Yang mengambil salah sebuah kuda besi dan didering; dengan jarinya sehingga mengeluarkan bunyi berdering-dering. Setelah itu dibolak-balikkan, diperiksanya.
Diam2 Kun Hiap heran. Kedua kuda besi itu memang dibuat seperti kuda yang hidup. Dan selain itu tiada lagi lain2 keistimewaannya, perlu apa Kwan Sam Yang memeriksa begitu teliti sekali "
Menganggap bahwa hal itu tiada sangkut pautnya dengan dirinya, Kun Hiap kembali masuk kedalam kamarnya dan rebahkan diri. Tetapi beberapa saat kemudian tiba2 dia melonjak bangun Ternyata ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya. Dikamar sebelah kiri kamarnya terdapat Kwan Sam Yang.. Tetapi bagaimana dengan kamar yang terletak disebelah kanan kamarnya " Mungkinkah dlsitu terdapat Hui Yan "
Kembali dia berusaha mencari retak dinding dan berhasil. Dari celah retakan dinding itu, dia mengintai kedalam. Ternyata kamar didalam, gelap sekali. Dia menghela napas longgar.
Rasanya malam berjalan lambat sekali. Setelah tengah malam tiba, barulah dia membuka jendela dan loncat keluar. Kemudian dengan hati2 sekali dia terus lari. Setelah tiga atau lima langkah jauhnya barulah dia berhenti. Berpaling ke belakang, dia tak melihat barang seorangpun juga. Diam2 dia merasa gembira.
Tetapi baru dia hendak menghela napas untuk melonggarkan ketegangannya, tiba2 bahu kirinya dijamah sebuah tangan manusia !
Kun Hiap terkejut tetapi pada lain saat dia marah sekali, bentaknya, "Nona Tian, sampai kapan engkau baru mau melepaskan aku !"
"Nona Tian ?" tiba2 dari belakang terdengar suara seorang setengah tua.
Kun Hiap cepat menyadari kalau salah sangka. Cepat dia berpaling dan dilihat seorang lelaki berdiri dibelakangnya. Seorang bermuka brewok menyeramkan. Pantasnya tampang begitu itu tentulah orangnya tinggi besar gagah perkasa. Tetapi ternyata tidak. Orang itu seorang lelaki pendek sehingga menimbulkan pandangan yang ganjil.
Menghadapi seorang yang tak dikenalnya, Kun Hiap tak mau terlibat banyak kesulitan, Dia menyurut mundur dan berkata, "Maaf, aku salah sangka."
Orang aneh itu tertawa aneh, serunya, "Salah sangka memang sudah biasa. Tetapi kalau menyangka aku ini seorang gadis, wah, itu sungguh lucu sekali!"
Kun Hiap sendiri juga geli. Dia menerangkan tentang seorang dara she Tian yang selalu menggodanya, maka tadi dia telah cepat2 menduga kalau dara itu lagi yang mempermainkannya.
Kembali orang aneh itu tertawa seperti seekor itik, serunya, "Bagus, ada dara yang merayumu. Sahabat, rajekimu sungguh besar !"
Kun Hiap menyengir, "Ala, jangan mengolok, bung !"
"Apa " apakah dara itu berwajah seperti burung. hantu buruknya ?"
Kun Hiap gelengkan kepala, "Bukan, dia sih cantiknya bukan main."
"O, betulkah " Kalau begitu engkau memang besar rejeki, mengapa mengatakan aku berolok-olok"
Kembali Kun Hiap gelengkan kepala tetapi dia tak dapat tahu bagaimana harus menjelaskan.
"Ya, benar," kata orang aneh itu pula, "tentu seorang gadis cantik dan karena engkau tak mampu menggaet maka engkau jadi kelabakan..."
(bersambung ke jilid 4) Mendengar olok-olok si orang aneh, Kun Hiap gerakkan tangannya menyangkal, "Tidak, tidak. Ah, aku sudah cukup gelisah, Sahabat, jangan engkau bertanya lagi."
Orang itu ternyata berwatak terus terang dan lincah, "Baik. Lalu engkau ingin hendak mencari siapa?"
Mendengar kata2 itu, Kun Hiap menganggap bahwa orang itu memang mengerti tata kesopanan maka diapun menjawab, "Ya aku memang hendak mencari susiok (paman guruku) si Pedang-terbang Wi Kiam Liong."
Tiba2 orang itu tertawa gelak2. "Ho, kiranya hendak mencari Wi-heng, Dia sudah kenal lama dengan aku," serunya.
Mendengar pengakuan itu, serentak Kun Hiap bertanya, "Siapakah nama cianpwe?"
"Namaku mungkin engkau belum pernah mendengar," sahut orang itu, "tetapi engkohku mempunyai nama besar di dunia persilatan."
"Siapa?" "Naga-emas-sakti Nyo Hwat!"
Nyo Hwat adalah ketua dari partai persilatan Hoa-san-pay. Kun Hiap sudah tahu. Waktu berada di rumah keluarga Li, ketika mendengar suara kicau burung, Nyo Hwat telah menderita luka-dalam. Saat itu Kun Hiap juga disitu maka dia tahu peristiwa itu. Tetapi dia belum tahu kalau Nyo Hwat masih mempunyai seorang adik.
Dipandangnya orang itu dengan lekat. Kecuali perawakannya yang jauh lebih pendek dari Nyo Hwat, roman mukanya memang agak minp.
Diam-diam Kun Hiap mengeluh dalam hati karena pengalamannya yang begitu sempit sehingga banyak sekali tokoh persilatan yang belum dikenalnya.
"O, kiranya Nyo cianpwe," serunya sesaat kemudian, "apakah cianpwe tahu bahwa Nyo Hwat tayhiap telah menderita luka di rumah keluarga Li?"
"Ya, kutahu," sahut orang itu, "aku sudah bertemu Wi Kiam Liong dan toako yang menuju ke rumah Wi Ki Hu. Kedatanganku kemari tak lain hendak melihat siapakah tokoh yang begitu lihay sehingga dapat mengalahkan beberapa ko-jiu yang sakti."
Mendengar nada ucapan orang itu, Kun Hiap menganggap kalau orang itu tentu berada di fihaknya.
"O, ternyata mereka. sudah sama menuju ke tempat ayah?" serunya.
Sejenak memandang Kun Hiap, orang itu mendesis lalu berkata: "O, kalau begitu engkau ini Wi hiantit!"
Kun Hiap terkesiap, "Apakah cianpwe kenal dengan ayahku?"
Orang itu tertawa mengekeh, lalu menepuk bahu Kun Hiap dengan keras, "Sudah tentu kenal hiantit. Seharusnya engkau memanggil aku Nyo jisiok (paman kedua)."
Sejenak bersangsi, akhirnya Kun Hiap menyebut, "Nyo . . . jisiok."
"Hiantit yang baik, tahukah engkau siapa musuh kita itu?"
Kun Hiap menghela napas, ''Sudahlah, tak perlu dikatakan lagi. Dia adalah nona Tian yang selalu mengejar-ngejar aku itu1"
Orang itu kepalkan tinju dan berseru, "O, hanya seorang anak perempuan saja. Sungguh besar sekali nyalinya. Naga-sakti Nyo Hwat dan Rajawali-emas Li Goan Siu itu kan bukan tokoh sembarangan, mengapa dia berani mempermainkan mereka. Hm, kalau tak kuberi hajaran, budak perempuan itu tentu belum kapok!"
"Nyo . . . jisiok," seru Kun Hiap, "kurasa lebih baik kita pulang saja. Setelah bertemu ayah baru nanti kita berunding lagi."
"Apa?" teriak orang itu, "engkau mengang-gap aku tak mampu menghadapi budak perempuan itu?"
"Nyo jisiok," kata Kun Hiap, "ilmusilatnya memang sakti sekali."
Orang itu menepuk dada dan berseru, "Jangan kuatir, jika aku ada, Tian Hui Yan tentu tak berani bertingkah."
"Hai, kiranya engkau sudah kenal namanya," seru Kun Hiap.
"Tentu saja," sahut orang itu, "nama Tian Hui Yan itu kini sudah membuat nyali orang persilatan gemetar."
Kun Hiap kerutkan dahi. Diam-diam dia heran mengapa sekarang orang itu memuji Hui Yan. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, orang itu sudah berkata pula, "Tetapi asal ada aku, tak mungkin Tian Hui Yan berani muncul. Engkau percaya tidak?"
Sudah tentu Kun Hiap sungkan untuk mengatakan tidak percaya. Terpaksa dia tertawa.
"Baiklah, mari kita pulang dulu dan coba saja apakah ayahmu punya rencana apa," kata orang itu.
Diam-diam Kun Hiap menimang. Apabila pulang, tentu akan makan waktu beberapa hari, kalau selama beberapa hari itu dia bersama dengan seorang yang bermulut besar suka membanggakan diri, rasanya tentu muak. Tetapi dia tak mempunyai daya untuk menghindari orang itu.
Tengah Kun Hiap merenung tiba2 orang aneh itu bersuit nyaring. Waktu bicara, lebih2 kalau tertawa tadi, nada suara orang itu parau seperti seekor itik. Tetapi saat itu dia dapat bersuit dengan nyaring sekali.
"Nyo jisiok, apa-apaan engkau itu?" Kun Hiap melonjak kaget.
Belum orang itu menyahut tiba2 terdengar derap lari kuda mendatangi. Memang daerah Kam-siok itu merupakan dataran sehingga sesuai sekali untuk menggunakan kuda.
Sebenarnya keluarga Kun Hiap juga punya banyak sekali kuda. Tetapi belum pernah dia mendengar derap lari kuda yang sedemikian kencang-nya. Pada lain kejab, dua ekor kuda berbulu pu-tih mulus muncul. Kedua binatang itu bertubuh tegar dan lannya seperti angin.
"Kuda hebat!" teriak Kun Hiap.
"Itu masih belum apa2," kata si orang aneh, "di rumahku, kuda semacam itu masih belum tergolong kuda yang nomor satu."
"Cepat sekali kedua ekor kuda itu sudah tiba dan berhenti di tempat kedua orang itu.
"Hoa-san-pay itu punya kumpulan kuda yang hebat. Orang persilatan belum tahu hal itu."
"Ah, tak kira kalau markas Hoa-san-pay mempunyai koleksi kuda yang hebat," seru Kun Hiap, "orang persilatan tak tahu hal itu."
Orang itu agak tersipu-sipu, tetapi untung Kun Hiap tak memperhatikannya. Anakmuda itu tengah memandang kedua ekor kuda putih itu dengan penuh perhatian. Pada lain kilas, wajah orang itupun tenang kembali dan berkata, "Lekas naik kuda!"
Kun Hiap terkejut, "Naik?" Mempunyai kesempatan untuk melihat dua ekor kuda yang seindah itu saja sudah merupakan kegembiraan besar, apalagi kalau disuruh menaiki-nya. Pemilik kuda itu tentu akan menyayangi kudanya seperti permata yang tak ternilai harganya. Jangankan dinaiki orang lain, disentuh saja kiranya pemiliknya tentu tak senang.
"Aku suruh naik?" Kun Hiap mengulang. Ia takut kalau salah dengar. Tetapi pada lain kilas, dia kuatir kalau orang itu akan menarik kembali perintahnya. Maka tanpa menunggu jawaban lagi, Kun Hiap terus loncat mencemplak.
Tak berapa lama barulah dia melihat orang tadi mengendarai kuda yang seekor dan tengah mengejarnya. Keduanya segera mencongklang bersama. Selama itu sebenarnya Kun Hiap hendak bicara tetapi karena angin menderu kencang sekali, dia sampai tak dapat membuka mulut. Sebaliknya orang itu santai2 saja. Dia tertawa dan bicara seperti biasa. Mau tak mau Kun Hiap terpaksa harus menaruh kekaguman.
Menjelang petang, Kun Hiap tak tahu lagi sudah beberapa puluh li dia telah menempuh perjalanan. Selama itu banyak sekali penunggang kuda lain yang telah dilaluinya.
Cuaca makin lama makin remang tetapi kedua kuda putih itu terus berlari saja, Kun Hiap melihat disebelah muka terdapat sebuah kota. Dia mengira orang itu tentu akan berhenti bermalam di kota itu. Tetapi ternyata kedua kuda putih itu terus saja, masuk lalu melintas keluar dari kota ini.
"Kuda yang hebat!" pada waktu keluar kota, terdengar seseorang berseru.
Kun Hiap berpaling hendak melihat siapa orang yang meneriaki itu tetapi tahu2 dia sudah terbawa kudanya sampai sepuluhan tombak lebih Sehingga dia tak dapat melihat jelas, siapa orang tadi.
Diam2 Kun Hiap merasa pernah mendengar nada suara orang tadi. Ya, benar, itulah suara, Nyo Hwat, ketua Hoa-san-pay.
Kalau orang lain yang meneriaki, mungkin Kun Hiap tak curiga, Karena siapapun orangnya yang melihat kuda putih itu, tentu akan memujinya. Tetapi yang memuji itu adalah Nyo Hwat, ketua Hoa-san-pay sendiri. Bukankah tadi orang yang bersamanya menempuh perjalanan itu mengatakan kalau adik seperguruan dari Nyo Hwat. Mengapa sekarang Nyo Hwat sendiri tak kenal kepada orang itu "
Sejenak menimang, Kun Hiap bersangsi, kemungkinan tadi dia salah dengar. Atau kemung-kinan orang yang meneriaki tadi memang memili-ki nada suara yang mirip dengan suara Nyo Hwat. Ah, lebih baik dia tak usah memikiri hal itu lagi.
Kuda putih masih tetap berlari kencang. Pada saat rembulan muncul, tiba2 orang itu bersuit nyaring. Kedua ekor kuda putih itupun meringkik panjang dan serempak berbenti. Waktu memandang ke depan, kejut Kun Hiap bukan kepalang. Ternyata saat itu dia berada dalam sebuah hutan pohon ang-co.
Kun Hiap masih ingat akan tempat itu ketika dua hari setelah berangkat dari rumah, dia melintasi hutan itu. Waktu itu dia belum berjumpa dengan Kera-sakti-gunung-Thian-san Lo Pit Hi dan masih empat ratusan li jauhnya dari desa keluarga Li. Tetapi mengapa dengan naik kuda putih dalam setengah hari saja dia sudah dapat tiba di hutan itu "
Orang itu mengambil ransum kering dan di lemparkan kearah Kun Hiap, "Lekas makanlah. Setelah makan kita melanjutkan perjalanan lagi !"
Waktu makan tiba2 Kun Hiap teringat sesuatu, serunya, "Nyo jisiok, kedua kuda putih ini luar biasa larinya. Kita tentu akan dapat menyusul Nyo tayhiap dan Wi susiok."
"Ya, sudah tentu. Tetapi perlu apa menghiraukan mereka ?" sahut orang itu.
Kun Hiap terkejut dalam hati. Aneh, mengapa tak perlu memikirkan Nyo tayhiap dan paman Wi Kiam Liong" Saat itu mulailah dia merasa bahwa ada sesuatu yang tak wajar pada diri orang itu. Dia tak mau banyak bertanya lagi. Nanti saja setelah bertemu dengan ayahnya, baru dia akan minta keterangan.
Orang itu makan dengan lahap sekali, kemudian berkata, "Kali ini kita akan mencapai tempat tujuan dengan cepat. Kalau engkau tak mau memegang tali kendali, pasti engkau akan dilempar kuda itu. Besok petang hari, kita tentu sudah tiba di tempat tujuan."
"Besok sore ?" Kun Hiap mengulang kaget, "kalau menurut perhitunganku, besok pagi2 saja, kita tentu sudah tiba disana."
"Huh, engkau tahu apa" Lekas naik kuda lagi," sahut orang.
Kun Hiap mengira, karena setengah harian sudah berlari kencang sekali, tentulah kedua kuda putih itu lelah sekali sehingga kecepatannya berkurang, Tanpa banyak bicara, dia terus mencemplak kudanya dan kedua kuda putih itupun lalu mencongklang lagi.
Entah berapa lama dan berapa ratus li sudah mereka tempuh. Pada waktu menjelang fajar, barulah Kun Hiap timbul perasaan, bahwa ada sesuatu yang mencurigakan.
Karena malam hari, Kun Hiap tak tahu arah mana yang ditempuhnya. Apalagi kuda putih itu larinya cepat sekali. Tetapi kini setelah fajar dan mentari terbit, dia tahu kalau matahari itu berada disebelah kiri. Dengan begitu jelas bahwa perjalanannya itu menuju ke selatan. Ini jelas berlawanan. Kalau menuju ke rumah ayahnya, tentu harus kearah utara.
"Hai, salah jalan, kita keliru ini," serunya serentak.
Dia berusaha untuk berteriak sekerasnya teta-pi suaranya itu lenyap ditelan angin kencang. Dia berusaha untuk berpaling kemuka agar tidak dilanda angin lalu berteriak sampai dua kali.
"Jangan ngacau! Apanya yang salah ?" seru orang itu.
"Kalau pulang seharusnya ke sebelah utara!" teriak Kun Hiap.
"Bagi seorang tay-tianghu (ksatrya) dia dimana saja itu rumahnya. Mengapa harus memilih selatan atau utara?"
Mendengar jawaban itu Kun Hiap makin curiga. Jelas orang itu tak bermaksud membawanya pulang. Dia kerahkan tenaga untuk menghentikan kuda putih tetapi begitu ditarik, kuda putih itu meringkik keras dan julurkan lehernya kemuka, krekkk .... tali kendali serentak putus. Dan karena tali kendali putus, kuda itu makin seperti anakpanah cepatnya.
Kun Hiap marah dan terkejut. Dia lebih dulu lepaskan kedua kakinya dari besi pijakan dan sekali tangan menekan ke pela, dia terus apungkan tubuh ke udara. Dia hendak melepaskan diri dari kuda itu.
Tetapi orang itu tiba2 juga enjot tubuhnya loncat keatas kuda Kun Hiap dan menangkap kaki Kun Hiap. Kun Hiap seperti tak bertenaga dan tak berdaya sama sekali ketika ditarik oleh orang itu.
Kini orang itu boncengan dengan Kun Hiap. Kudanya dibiarkan lari tanpa dinaiki.
Kun Hiap mengeluh daiam hati tetapi dia tak mampu meronta, Apa boleh buatlah !
Setengah jam kemudian sekonyong-konyong orang itu membawa Kun Hiap melambung ke udara. Ternyata dia hendak pindah ke kuda yang kosong tadi.
Kedua ekor kuda putih itu berlari dengan cepat sekali. Tetapi orang itu dengan membopong tubuh Kun Hiap dapat loncat pindah ke kuda yang lain. Walaupun selamat tetapi tak urung Kun Hiap merasa ngeri dan kucurkan keringat dingin.
Demikian dengan berselang seling pindah bergantian naik kedua kuda putih itu, perjalanan mereka berjalan lancar. Waktu menjelang sore, entah sudah berapa ratus li jauhnya.
Saat itu kuda meluncur disebuah jalan besar, Kanan kiri jalan penuh ditumbuhi dengan pohon yang tinggi besar. Tak berapa lama lagi, tibalah mereka di muka pintu sebuah gedung besar dan kedua kuda itupun berhenti.
Kun Hiap menghela napas longgar. Tiba2 pintu besar terbuka dan dan sebelah dalam tampak empat orang lelaki berlari-lari menghampiri. Mereka berempat rata2 berumur 30an tahun dan sama mengenakan pakaian ringkas seperti orang persilatan.
"Hm, gedung ini tentulah milik seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, "pikir Kun Hiap. Dia heran perlu apa orang tadi membawanya kesitu.
Saat itu keempat lelaki tadi sudah tiba.
Mereka memberi hormat dan lelaki yang berdiri diujung kiri berkata, "Ah, nona Tian datang, maaf kami tidak jauh2 menyambut."
Mendengar itu Kun Hiap melongo. Nona Tian" Siapa itu nona Tian" Apakah Tian Hui Yan si dara centil itu" Cepat dia berpaling ke belakang tetapi tak ada orang lain.
"Keempat orang itu buta barangkali atau mungkin gila. Bukankah dia seorang pemuda dan orang yang membawanya tadi juga seorang lelaki setengah tua" Mengapa mereka menyebut-nyebut nona Tian"'' pikirnya.
Dia hendak bertanya tetapi tiba2 dari samping terdengar suara orang tertawa mengikik, "Apakah Poa lo-ya-cu ada di rumah?"
Kun Hiap tak asing lagi pada nada suara tertawa itu. Ya, itulah tawa Hui Yan. Seketika Kun Hiap terlongong-longong.
Selama dalam perjalanan tadi dia menganggap orang yang membawanya itu seorang lelaki, tetapi mengapa sekarang tiba-tiba saja berobah menjadi Tian Hui Yan"
Cepat dia berpaling dan menatap orang itu. Kebetulan orang itu atau Hui Yan juga sedang memandangnya dan menjebikan kerut muka kepadanya. Ia masih mengenakan pakaian warna kelabu, tangannya memegang sebuah topeng kulit, yang baru saja dikenakannya.
Entah bagaimana Kun Hap tertawa keras.
Dengan tertawa itu dia hendak menghambur rasa dongkol dan kejut dalam hatinya. Dia menertawakan dirinya sendiri. Dia mengira kalau sudah terlepas dari libatan Hui Yan! Siapa tahu yang 'mengerjainya' itu tak lain dan tak bukan tetap si dara centil.
Mendengar Kun Hiap tertawa, berkatalah Hui Yan dengan nada haru, "Ah, kiranya engkau . . . engkau suka bersama-sama aku ..."
Sudah tentu Kun Hiap seperti dikili hatinya. Dia tertawa meringis seperti monyet makan terasi, mulut hanya menganga tak mengeluarkan sepa-tah kata.
Tetapi pada lain kilas kini dia mendapat kesan bahwa Tian Hui Yan itu senang sekali berada dengan dia. Hati Kun Hiap tergetar. Tak tahu dia harus bagaimana, merasa senang atau muak.
Sebagai seorang anakmuda yang berdarah panas, sudah tentu tergetar juga perasaan hati Kun Hiap berhadapan dengan seorang dara secantik Hui Yan. Tetapi karena Hui Yan selalu mempermainkannya maka dia mendongkol dan ingin menghindar..
Melihat Kun Hiap tertegun, Hui Yan ulurkan tangan mengangkat tubuh Kun Hiap ke atas kuda, didudukkan di belakangnya. Kun Hiap hendak loncat turun tetapi bau harum dari tubuh si dara dan. sentuhan dengan tubuh daraa itu membuat semangat Kun Hiap serasa melayang-layang. dia tak ingin turuh lagi bahkan ingin rasanya dia berada bersama si dara untuk selama-lamanya.
Lelaki dari rombongan penyambut tadi berkata pula, "Nona Tian, Poa lo-ya-cu sudah menutup diri, sudah lama tak menerima tetamu lagi, seharusnya nona tahu akan hal itu."
Ah, pikir Kun Hiap, kiranya gedung itu tempat kediaman keluarga Poa di wilayah Oulam, Dengan memaksa membawanya datang kesitu, tentulah Tian Hui Yan tak bermaksud buruk. Dara itu hendak membantunya untuk membikin terang soal persamaan gambar lukisan orang di ruang Istana Tua dengan dirinya (Kun Hiap).
Merenungkan hal itu diam2 lunaklah hati Kun Hiap. Tetapi kalau dia teringat bagaimana selama dalam perjalanan tadi dia dipermainkan seperti anak kecil, mau tak mau dia mendongkol juga. Sekarang setelah dilepas Hui Yan sebenarnya, dia ingin melarikan diri saja tetapi dia masih ragu-ragu.
"Paman sekalian," kata Hui Yan kepada keempat penyambutnya, "kedatanganku kemari ada urusan penting sekali dengan Poa lo-ya-cu, Walaupun Poa lo-ya-cu sudah lama tak menerima tamu tetapi kali ini kuminta supaya mau menerima aku."
Walaupun masih bernada sungkan tetapi ucapan Hui Yan itu jelas merupakan keputusan yang tak dapat ditawar lagi. Dia harus bertemu dengan Poa Cing Cay.
Rupanya keempat lelaki itu sudah kenal akan watak Hui Yan. Mendengar kata2 Hui Yan seketika berobahlah wajah mereka. Mereka saling bertukar pandang dan lelaki yang bicara tadi, segera berkata, "Harap nona suka masuk dan minum teh dulu di dalam, nanti akan kulaporkan kepada. Poa lo-ya-cu."
"Baik," sahut Hui Yan. Dia terus loncat turun dan kuda dan berseru kepada Kun Hiap, "Wi kongcu, mari kita beristirahat kedalam dulu."
Kun Hiap sendiri memang ingin sekali menjelaskan tentang soal lukisan orang di Istana Tua yang mirip dengan dirinya itu. Karena sekarang sudah terlanjur berada di rumah keluarga Poa, biarlah dia menyelidiki soal itu sekali.
"Baik," katanya seraya loncat dari kudanya.
Keempat penyambut itu mengamati Kun Hiap sampai beberapa saat dan berkata, "Tuan ini ..."
"Aku yang rendah bernama Wi Kun Hiap. Ayahku adalah pendekar-naga-emas Wi Ki Hu dari Liong-cung-cu," cepat Kun Hiap memperkenalkan diri.
Mendengar itu mereka tertawa cerah, "O, kiranya Wi kongcu. Ayah kongcu itu bersahabat baik Tiga hari yang lalu ayah kongcu berkunjung kemari dan bermalam sampai dua hari. Kemarin lusa baru pergi."
Mendengar itu Kun Hiap makin heran sehingga tak dapat berkata apa-apa.
"Ho, kalau aku yang datang tidak ditemui tetapi kalau orang lain disambut begitu hangat. Mengapa pilih kasih?" seru Hui Yan.
"Nona Tian, tak boleh menyesali lo-ya-cu," cepat orang itu berkata, "Wi tayhiap adalah sahabat karib dari lo ya-cu sebelum lo-ya-cu mengasingkan diri. Yang sering berjumpa dengan lo-ya-cu juga hanya dua tiga sahabat saja."
Sambil menunjuk pada Kun Hiap, Hui Yan berseru, "Putera dari sahabat karib, seharusnya, lo-ya-cu mau menemui juga."
"Mudah-mudahan saja." seru orang itu lalu mempersilahkan tetamunya masuk.
Tiba2 Kun Hiap maju menghampiri dan berseru, "Tunggu dulu. Tadi kalian mengatakan kalau ayahku bahwa kemarin lusa meninggalkan tempat ini, bukan?"
Keempat orang itu mengiakan. "Ya benar. Mengapa Wi kongcu heran" Memang Wi tayhiap sering berkunjung kemari."
Memang seharusnva Kun Hiap tak terkejut tetapi dalam soal itu dia memang bingung dan curiga. Poa Ceng Cay adalah seorang jago kelas satu. Peribadinya bersih dan baik. Dalam persahabatan selalu bersungguh-sungguh. Demi kepentingan sahabat, ibarat disuruh menerjang kedalam lautan api pun akan dilakukannya juga. Dia benar2 seorang tokoh yang jarang terdapat bandingannya dalam dunia persilatan.
Memang bukan sekali dua kali Kun Hiap mendengar nama Poa Ceng Cay. Tetapi belum pernah ia mendengar ayahnya menyebut-nyebut nama orang itu. Kini baru dia mengetahui bahwa ayahnya ternyata bersahabat lama dengan Poa Ceng Cay.
Yang menjadi keheranan Kun Hiap yalah, mengapa ayahnya tak pernah mengatakan soal itu" Pada hal soal itu adalah soal yang baik dan gemilang. Bukankah setiap orang akan bangga kalau menjadi sahabat baik dari seorang tokoh terkenal seperti Poa Ceng Cay"
''Ah, tidak apa2" kata Kun Hiap sambil tersenyum hambar hanya karena terlambat dua hari maka aku tak dapat bertemu dengan ayah."
Keempat orang itupun tak menanyakan lebih lanjut. Mereka lalu masuk ke dalam.
Sepanjang jalan masuk ke gedung kediaman Poa Ceng Cay, terdapat sebuah jalan yang terbuat dari beton. Kanan kiri jalur, ditanami pohon2 tinggi. Ujung jalan, sebuah tanah lapang, ditengahnya didirikan sebuah pagoda batu.
"Silakan duduk dulu, kami akan masuk memberitahukan kapada lo-ya-cu " kata keempat orang itu.
Kun Hiap dan Hui Yan dalam pagoda itu. Kun Hiap sengaja mengawasi keempat orang yang menerobos kedalam gerumbul pohon.
"Wi kongcu. Apanya sih yang engkau lihat itu," tegur Hui Yan.
Tetapi Kun Hiap diam saja dan tak berbalik tubuh.
"Ah," Hui Yan menghela napas, "tak lain maksudku membawamu kemari kecuali demi untuk kebaikanmu. Tetapi engkau menerimanya dengan sikap begini . . . ai . . . bagaimana ya begitu itu?"
Nada suara si dara terdengar rawan dan haru sekali. Diam2 Kun Hiap menimang, "Ya, benar. Dia memang tak bermaksud buruk membawaku kemari. Walaupan caranya dengan memaksa, tetapi dia tak terlalu dapat disalahkan."
Berpikir begitu, mau tak mau hati Kun Hiap terasa lemah juga. Dia berpaling dan hendak menghibur dara itu. Tetapi begitu memandang: Hui Yan, diapun melongo.
Mendengar suaranya yang begitu rawan, Kun Hiap mengira tentulah Hui Yan bersedih dan masygul hatinya. Tetapi ternyata apa yang dilihatnya, malah sebaliknya. Ia sedang leletkan lidah, kedua tangannya menarik kedua pipinya hingga mukanya seperti muka setan. Sudah tentu kata2 yang sudah siap di mulut Kun Hiap tadi, ditelannya kembali. Sejenak tertegun, dia berputar tubuh membelakangi dara itu lagi. Didengarnya Hui Yan tertawa mengikik. Kun Hiap menghela napas dan menutupi telinganya dengan kedua tangannya.
Tetapi Hui Yan sengaja gunakan lwekang untuk tertawa maka betapapun Kun Hiap menutup telinganya rapat2, tetap suara tawa dara itu menyerang masuk kedalam telinganya.
Selagi Kun Hiap sedang menderita tertawaan Hui Yan, sekonyong-konyong dia melihat sesosok tubuh berloncatan menuju ke pagoda situ. Ternyata yang datang itu adalah salah seorang dari keempat lelaki yang menyambut kedatangannya tadi. Cepat sekali orang itu sudah tiba.
"Bagaimana?" tegur Hui Yan, "mau tidak lo-ya-cu menemui aku?"
Lelaki itu gelengkan kepala, "Lo-ya-cu. mengatakan. beliau tak mau menemui orangluar. Harap tuan berdua pulang saja."
Kun Hiap serentak berbangkit dan terus hendak pergi. Tetapi Hui Yan kerutkan kedua alis, mencegahnya. "Wi kongcu, duduklah dulu."
Kemudian dara itu berseru lantang, "Poa lo-ya-cu, kedatanganku kemari bukanlah untuk iseng akan tetapi benar-benar ada urusan penting.
Kalau engkau orangtua tak mau menemui aku, itu sih tak mengapa, aku juga tak dapat berbuat apa2, tetapi aku punya cara untuk mengadu biru disini sehingga sampai anjing dan ayam dari keluarga Poa takkan dapat tidur tenang!"
Dengan tenang Hui Yan terus melangkah maju dan berseru nyaring. Entah sampai berapa jauh barulah dia berhenti.
"Berani mati!" tiba2 terdengar suara seorang tua membentak. Suara itu seperti meledak diatas wuwungan pagoda. Tetapi ternyata baik diatas atap pagoda maupun disekeliling beberapa belas meter, tak ada seorangpun juga. Jelas suara itu berasal dan jarak tiga li jauhnya.
Kun Hiap berjingkrak kaget tetapi Hui Yan malah tertawa, serunya, "Lo-ya-cu, engkau sudah membuka mulut, apakah engkau masih tak mau menemui aku?"
Kembali suara orangtua yang parau itu berseru pula, "Bawa kedua orang itu kepadaku!'
Lelaki juru penyambut tadi gopoh mempersilakan agar Hui Yan dan Kun Hiap ikut kepadanya.
Diam-diam Hui Yan girang sekali. Hanya dengan mengoceh seenaknya saja ternyata dia dapat memaksa Poa Ceng Cay merobah keputusannya..
"Wi kongcu, mari kita pergi kesana," serunya kepada Kun Hiap. Tetapi pemuda itu tetap tegak membelakangi dan tak mengacuhkannya.
Hui Yan menghampiri kesamping pemuda dan berkata dengan berbisik, "Wi kongcu, engkau ini kan seorang anak laki yang gagah, mengapa hatimu begitu sempit seperti anak perempuan saja. Kalau engkau marah, masakan engkau akan marah seumur hidup?"
Mendengar itu merahlah muka Kun Hiap. Dia tahu kalau diolok dara itu tetapi ucapan dara itu memang tepat sekali. Terpaksa Kun Hiap tertawa kecut dan berkata, "Sudahlah, jangan ngoceh saja. Mari kita menemul Poa tayhiap."
"Kalau begitu, apakah engkau masih marah kepadaku?" tanya Hui Yan.
"Nona Tian, jelas engkau tahu kalau aku tak berdaya cari alasan memarahimu, mengapa engkau masih bertanya saja?" balas Kun Hiap.
Hui Yan tertawa mengikik dan turun dari pagoda terus ayunkan kaki. Tak berapa lama keduanya melalui beberapa gerumbul semak yang tinggi. Disebuah rumah gubug yang dikelilingi dengan pohon siong, mereka melihat seorang lelaki tua bertubuh pendek sedang duduk bersila diatas sebuah batu besar. Dia bertubuh pendek, mengenakan pakaian warna biru, sepasang matanya meram2 ayam, atau setengah meram setengah terbuka. Dari celah2 kelopak matanya memancar sinar yang amat tajam. Dia tengah memungut kipas dengan perlahan-lahan...
Hui Yan maju menghampiri dan memberi hormat, 'Toa lo-ya-cu, waktu kecil aku sudah pernah melihatmu. Waktu itu kira2 sepuluh tahunan yang lalu. Semangatmu saat itu masih segar sekali!"
Ternyata orang tua pendek itu adalah Poa Ceng Cay, tokoh pedang dan pelukis yang termasyhur di seluruh dunia. Dia tampak santai-santai saja berkipas-kipas.
"Soal begitu tak perlu engkau ucapkan dengan mulut manis. Apa yang engkau teriakkan tadi?"
Hui Yan tertawa, "Poa lo-ya-cu, engkau seorang pendekar besar yang termasyhur diseluruh dunia, mengapa engkau harus melayani ocehan seorang budak kecil seperti diriku ini" Kedatanganku jauh- jauh kemari, perlu hendak mohon petunjuk.''
"Soal apa?" seru Poa Ceng Cay.
Hui Yan menunjuk pada Kun Hiap, serunya "Dia adalah Wi kongcu dari wilayah Liong-se. Poa lo-ya-cu, apakah engkau pernah melukis dirinya?"
Acuh tak acuh saja Poa Ceng Cay mengangkat kepala dan memandang Kun Hiap. Kun Hiap gopoh memberi hormat, "Wanpwe Wi Kun Hiap, menghaturkan hormat kepada cianpwe . . . . "
Baru Kun Hiap berkata sampai disitu, sekonyong2 Poa Ceng Cay meraung keras dan serentak berdiri dan mengebutkan kipasnya, brettt, kulit pohon siong disampingnya segera terkelupas separoh lebih. Wajahnya yang merah segar, pun serentak berobah pucat
Pertama kali melihat Poa Ceng Cay, Hui Yan dan Kun Hiap mendapat kesan bahwa tokoh itu memang layak menjadi seorang tokoh silat kelas satu. Tetapi kini sekonyong-konyong dia berobah sedemikian memberingas, sudah tentu kedua anakmuda itu terkejut sekali dan tak mengerti apa sebabnya.
Bermula keduanya mengira mungkin dibelakang mereka telah muncul benda atau mahiuk yang menyeramkan maka serempak merekapun berpaling kebelakang. Tetapi mereka tak melihat apa2.
Kun Hiap cepat berpaling ke muka lagi. Dilihatnya saat itu Poa Ceng Cay duduk lagi di tanah. Wajahnya tetap pucat pasi. Sepasang matanya dipejamkan tetapi dahinya bercucuran keringat deras.
Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hui Yan dan Kun Hiap bertukar pandang penuh keheranan. Keadaan Poa Ceng Cay saat itu seperti orang yang menderita luka parah tetapi disekeliling tempat itu kecuali Hui Yan dan Kun Hiap berdua, tak ada orang lain, Adakah orang yang diam2 telah menyerang secara gelap kepada Poa Ceng Cay dan kini sudah melarikan diri dan menumpahkan kesalahan kepada Hui Yan berdua"
Walaupun tak takut segala apa tetapi mau tak mau Hui Yan juga cemas. Poa Ceng Cay termasyhur sekali dalam dunia persilitan. Hampir semua ko-jiu (jago kelas satu) dalam dunia persilatan adalah kawannya. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri Poa Ceng Cay, tentulah mereka berdua akan dituduh sebagai pelaku dan sukar untuk menyangkal lagi.
Segera Hui Yan berjongkok dan berteriak, "Poa lo-ya-cu, Poa lo-ya-cu!"
Tampak Poa Ceng Cay membuka mata dengan pelahan-lahan Walaupun Hui Yan berada dihadapannya, tokoh itu tak meagacuhkan melainkan memandang kepada Kun Hiap.
Sudah tentu Kun Hiap kelabakan dah tak mengerti mengapa Poa Ceng Cay memandangnya begitu rupa. Terpaksa dia tersenyum dan bangkit berdiri.
Setelah beberapa saat memandang si anak-muda, Poa Ceng Cay baru mengusap keringat dan menghela napas longgar.
"Poa lo-ya-cu, engkau ini bagaimana?" seru Hui Yan.
Seperti orang yang terjaga dari mimpi, Poa ceng Cay menyahut, "Ah, tidak apa2, aku orang tua itu sudah kabur penglihatanku."
Sambil menunjuk pada Kun Hiap, kembali si dara berseru lagi, "Lo-ya-cu, apakah dulu engkau pernah bertemu dengan dia?"
Poa Ceng Cay tertawa hambar, "Belum pernah."
Hui Yan tertawa mengikik, "Poa lo-ya-cu, waktu dulu pernahkah engkau melukis gambar orang dan orang itu . . . . "
Sebenarnya Hui Yan hendak berkata dan orang itu mirip sekali dengan dia (Kun Hiap). Tetapi sebelum sempit menyelesaikan kata-katanya, Poa Ceng Cay sudah berdiri dan menukas, "Kalian datang dari jauh. Sebenarnya aku ingin bicara beberapa saat dengan kalian. Tetapi aku masih mempunyai lain urusan, kalian silakan saja!"
"Poa lo-ya-cu. aku belum habis bicara!" seru Hui Yan.
Tetapi Poa Ceng Cay tetap tak menggubris dan berseru memberi perintah, "Lekas pergi!" Habis berkata dia terus berputar tubuh sambil kebutkan lengan bajunya, wut .... setiup angin kuat menghambur sehingga Hui Yan terdorong sampai enam tujuh langkah ke belakang.
Kun Hiap yang lebih lemah tenaga-dalamnya, terlempar lebih jauh lagi, dan sebelum dia dapat berdiri tegak, telinganya sudah mendengar suara Poa Ceng Cay yang parau, "Berusahalah untuk melepaskan diri dari Tian Hui Yan dan kembali kemari lagi. Aku hanya mau memberitahu kepadamu saja."
Kun Hiap tertegun. Sebelum dia dapat menemukan apakah yang didengarnya itu suara Poa Ceng Cay atau bukan tiba2 si dara Hui Yan sudah berteriak, "Tidak adil. Poa lo-ya-cu, aku belum selesai omong, betapa penting urusanmu itu tetapi seharusnya engkau menunggu omongku dulu!"
Dara itu melesat maju sampai setombak, tiba-tiba dia berpaling dan berseru kepada Kun Hiap, "Hai, apa-apaan engkau diam seperti patung begitu" Hayo lekas ikut aku mencarinya."
"Ya, ya," sahut Kun Hiap.
Sekali bergerak, gerakan tubuh seperti segulung asap yang menyembur ke muka. Melihat itu Kun Hiap sengaja lambatkan larinya sehingga dalam sekejab mata saja dia sudah ketinggalan sampai lima enam tombak. Pada saat melalui sebatang pohon besar dia terus enjot tubuh ke udara menyambar dahan pohon. Dan sekali berayun dia melayang keatas bersembunyi dalam jerumbul daun yang lebat.
Dari cela2 daun dia memandang ke sebelah muka. Dilihatnya saat itu Hui Yan sedang melompati sebuah sungai kecil dan dari terumbul pohon di seberang tepi sungai, muncullah keempat lelaki tadi. Mereka lalu menyerang Hui-Yan
Bermula Kun Hiap mencemaskan keselamatan si dara. Tetapi setelah mengikuti pertempuran itu beberapa saat, hatinyapun longgar. Jelas keempat lelaki itu bukan sungguh2 hendak mencelakai Hui Yan melainkan hanya mengepungnya saja supaya jangan melanjutkan larinya.
Hui Yan mengamuk, menyerang kian kemari untuk menerobos keluar dari kepungan, tetapi tetap tak mampu. Karena mendongkol dan gugup dara itu sampai menjerit-jerit histeris.
Tiba2 dari samping Kun Hiap terdengar setiup angin menyambar dan tahu2 muncullah Poa Ceng Cay, Wajahnya nampak serius sekali.
"Petunjuk apakah yang hendak cianpwe berikan kepadaku?" kata Kun Hiap.
Poa Ceng Cay memandang beberapa kejab kepada Kun Hiap lalu berkata," Bagaimana ayah ibumu memperlakukan engkau?" I
Sudah tentu Kun Hiap bingung mendengar pertanyaan semacam itu.. Poa Ceng Cay itu seorang tokoh yang terhormat tetapi mengapa mengajukan pertanyaan yang tak karuan semacam itu"
Namun dia menjawab juga," Ah, mana di dunia ini terdapat ayah bunda yang tak sayang kepada anaknya. Sudah tentu ayahbundaku baik sekali kepadaku."
Poa Ceng Cay tertegun beberapa saat.
"Ayahmu selama itu tak pernah mengatakan kepadaku kalau mempunyai seorang putera," katanya," dan bahkan sudah begini besar."
"Ya," sahut Kun Hiap, "Ayah memang tak pernah memberitahukan kepada wanpwe tentang diri Poa lo-Cianpwe."
Alis Poa Ceng Cay mengkerut," Begitu" Kalau begitu tentulah dia memang bermaksud hendak menyembunyikan."
"Ayah sayang sekali kepada wanpwe," Kun Hiap gopoh memberi penjelasan," beliau tak mengijinkan wanpwe keluar kedunia persilatan. Itulah sebabnya maka beliau tak memberitahukan wanpwe tentang nama Poa lo-cianpwe.
Itu sudah sewajarnya, mengapa lo-cianpwe mengatakan ayah mempunyai maksud begitu?"
Poa Ceng Cay mengangguk, "Dia tak mengizinkan engkau terjun ke dunia persilatan?"
"Ya!" sahut Kun Hiap," karena aku meminta dengan sangat untuk ikut paman Wi maka kali ini untuk yang pertama kalinya beliau baru mengizinkan."
Dalam berkata-kata itu hati Kun Hiap terasa sesal.. Baru yang pertama kali dia ke luar ke dunia persilatan, dia sudah mengalami beberapa kesulitan, Kalau begitu, lebih enak jika tinggal dirumah saja.
Poa Ceng Cay mendengus, "Hm, kalau begitu, bukan saja dia hendak mengelabuhi aku, tetapi juga hendak mengelabuhi mata dan telinga semua orang di dunia ini."
Sudah tentu Kun Hiap tak mengerti apa maksud omongan tokoh itu.
"Cianpwe," katanya, "apa maksud cianpwe mengucap begitu?"
"Apakah sama sekali engkau tak tahu?" Poa Ceng Cay menegas dengau nada sarat.
Kun Hiap makin bingung, serunya, "Bagaimanakah sebenarnya soal ini?"
Poa Ceng Cay menengadah memandang la-ngit lalu menghela napas panjang, Sinar matanya yang berkilat tampak meredup dan wajahnyapun seperti kelihatan letih. Ditepuknya bahu anak muda itu, "Kalau engkau tak tahu, tak usah engkau banyak bertanya lagi," katanya.
Kecurigaan Kun Hiap makin meluap. Dia menduga tentu ada sesuatu rahasia yang menyangkut dirinya. Dan rahasia itu dia tak tahu sama sekali. Sekarang dia harus tahu tentang rahasia itu. Dia harus minta keterangan kepada Poa Ceng Cay. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut. Poa Ceng Cay sudah menggenggam tangan Kun Hiap, "Aku hendak memberi kepadamu sebuah barang."
Seketika Kun Hiap rasakan dirinya diseret oleh sebuah tenaga besar yang membawanya mela-yang naik turun dan tahu2 dia meluncur turun la-gi bersama Poa Ceng Cay.
Tetapi baru saja keduanya turun ke bumi, dari ja-uh terdengar suara Hui Yan berseru, "Poa lo-ya-cu, kalau engkau memperlakukan begini macam, aku tentu akan membalasmu. Ada ubi ada tales, ada budi tentu kubalas."
Poa Ceng Cay tertawa gelak", "Sam-ah-thau, jangan menggertak aku. Bukankah engkau tak mampu menerobos kepungan keempat orangku tadi?"
"Poa lo-ya-cu, dengarkanlah aku bicara..."-
Tetapi Poa Ceng Cay tak menghiraukan. Dia terus membawa Kun Hiap lari ke muka. Kun Hiap pernah menyaksikan kelihayan ilmusilat Hui Yan yang dapat mempecundangi beberapa tokoh kelas satu. Tetapi sekarang ternyata dia tak mampu lo-los dari kepungan keempat orang bawahan Poa Ceng Cay. Itu baru orang bawahannya kalau Poa ceng Cay sendiri, wah entah bagaimana saktinya.
Kun Hiap seperti dibawa terbang. Telinganya dideru suara angin yang kencang. Cepat sekali dia sudah melintasi sebuah pagar tembok yang tinggi.
Tiba2 dari jauh terdengar suara ayam berkokok bersahut-sahutan dengan gencar.
Suara kokok ayam itu makin lama makin nyaring, tak enak di telinga. Mendengar itu Poa Ceng Cay berhenti dan suara kokok ayam itupun, berhenti juga. Sebagai gantinya kini terdengar kicau burung prenjak yang sedap didengar.
Wajah Poa Ceng Cay agak berobah kata-nya, "Ah, tak kira kalau mamamu begitu limbung-Sampai ilmu siluman Peh-kin-lian-beng, cu-sim-toh-hun ( Seratus burung serempak berbunyi, menghancurkan-hati menyambar-nyawa), pun diajarkan kepada anaknya."
Kemudian dia mengulurkan sebatang seru-ling pandak yang berwarna hitam mengkitap lalu ditiupnya. Dari ujung tembok segera muncul orang yang menghampiri, memberi hormat dan menyatakan siap menerima perintah. Poa Ceng Cay menyerahkan seruling itu kepadanya, "Lekas engkau kejar, kerahkan tenaga-murnimu dan tiup sebanyak tujuh kali."
Setelah menerima seruling orang itu terus melesat pergi.
Kun Hiap yung pengalamannya dangkal, tak tahu apa yang disebut ilmu-jahat Peh-kin lian-beng, cu-sim-loh-hun itu, tetapi dia ingat akan peristiwa ketika ketua Hoa-san-pay Nyo Hwat terkena serangan suara burung sehingga menderita luka-dalam. Jelas ilmu semacam itu sama dengan Hu-sim-sip-hun, ilmu untuk merontokkan semangat dan menggulung nyawa. Khusus untuk mengacau ketenangan pikiran dan hati lawan.
Memang ganas sekali ilmu semacam itu tetapi kalau berjumpa dengan lawan yang lebih sakti kepandaiannya, dia sendirilah yang akan menderita luka yang parah sekali.
Menyadan bahwa yang mengeluarkan bunyi burung itu tentulah Hui Yan dan kini Poa Ceng Cay suruh anakbuahnya untuk menghadapi dengan seruling mau tak mau dia cemas juga. 1
"Poa lo-cianpwe . . . . "
Baru Kun Hiap berkata begitu, Poa Ceng Cay sudah lambaikan tangan dan berkata, "Tak perlu engkau banyak blcara, aku sudah mengerti. Ilmu itu memang terlalu ganas sekali. Karena dia berani sembarangan menggunakannya maka aku hendak memberinya pelajaran. Tetapi tak sampai membuatnya terluka berat."
Kun Hiap tertegun, "Dia akan terluka?"
"Bagaimana" Apakah engkau memang senang bersama dara itu?" balas Poa Ceng Cay.
Sudah tentu Kun Hiap gopoh menolak, "Harap cianpwe jangan salah faham. Kalau bertemu dia aku seperti ular menyurut kedalam lubang, lebih baik tak bertemu saja. Tetapi kedatanganku kemari adalah atas bantuannya. Mana aku sampai hati melihatnya menderita luka?"
Poa Ceng Cay leletkan lidah, "Apakah di Istana Tua itu kalian melihat gambar lukisan orang itu?"
Kun Hiap mengiakan, "Ya, gambar orang itu mirip aku maka Hui Yan lalu berkeras membawa aku kemari, perlu hendak mohon keterangan kepada cianpwe tentang hal yang misterius itu."
Belum Poa Ceng Cay menjawab, tiba2 dari kejauhan terdengar suara burung berbunyi, nadanya tak enak didengar dan diramaikan pula oleh bunyi yang hiruk pikuk.
Saat bunyi hiruk itu mendengung maka bunyi suara burungpun terputus-putus sehingga ketika dengung bunyi hiruk itu meraung sampai yang ketujuh kali, suara bunyi serempak berhenti.
"Karena engkau tak suka bertemu dengan dia, lebih baik kutahannya sampai beberapa hari. Setelah engkau pergi, baru kulepaskan lagi, bagaimana?"
"Ah, itu bagus sekali. Tetapi bagaimana dengan soal yang kukatakan tadi . . . . "
Secara diplomatis Poa Ceng Cay menjawab, "Wajah orang itu memang sering mirip, demikian juga dengan benda2 di dunia mi. Mengapa engkau heran?"
Tetapi keterangan tokoh itu sudah tentu tidak memuaskan Kun Hiap tetapi dia tahu kalau Poa Ceng Cay tentu juga tak mau memberi keterangan lebih lanjut lagi maka diapun tak mau mendesak dan membiarkan dirinya dibawa berjalan oleh tokoh itu.
Ternyata tempat kediaman PoaCeng Cay itu merupakan sebuah bangunan yang penuh dengan rumah2 dan kebanyakan jaraknya saling jauh serta harus berjalan berbiluk-biluk. Kun Hiap hampir tak dapat mengingat lagi dan tak tahu arah yang ditujunya.
Lebih kurang setengah jam kemudian barulah mereka tiba di sebuah gedung. Pintu gedung itu rupanya selama bertahun-tahun tak pernah dibuka. Hal itu dibuktikan dari banyaknya rumput dan rotan hutan yang tumbuh memenuhi depan pintu.
Berdiri di depan pintu, Poa Ceng Cay menghela napas. Wajahnya kelihatan rawan. Kemudian dia mendorong pintu dengan pelahan-lahan. Krek, krek, krek ..... rotan hutan yang menjalar diatas pintu, berderak-derak putus semua.
Selekas pintu terbuka tampak di halaman dalam penuh dengan rumput yang tinggi. Beberapa binatang rase dan tikus terkujut berlarian.
Diam2 Kun Hiap heran mengapa dia dibawa ketempat yang hampir tak pernah didiami orang itu.
'"Poa lo-cianpwe, sebenainya engkau hendak memberi aku barang apa saja?" tanyanya.
"Hanya sebatang senjata berikut ilmu permainannya yang terdiri d
ari duabelas jurus," kata Poa Ceng Cay.
"Bagaimana wanpwe harus menerima pemberian sedemikian besar itu?" gopoh Kun Hiap berseru.
Kembali Poa Ceng Cay meletakkan tangannya ke bahu Kun Hiap, katanya, "Ayahmu adalah sahabat baikku. Dalam perkenalan pertama dengan engkau kalau hanya kuberikan sedikit barang yang tak berharga, kiranya sudah jauh dari pantas. Mengapa engkauharus bersikap sungkan?"
Mendengar kata-kata yang diucapkan Poa Ceng Cay dengan nada yang rawan, makin besarlah kecurigaan Kun Hiap.
Poa Ceng Cay mengajak Kun Hiap masuk ke dalam ruang. Diatas paseban atau ruang muka tergantung sebuah papan nama. Diatasnya tertulis tiga huruf Poa-coat-tong atau Paseban-setengah-matang.
Kiranya Poa CengCay digelari dan dikagumi orang persilatan sebagai Kiam-hoa-song-coat atau Ahli-pedang-dan-lukisan- Tetapi dia sendiri dengan rendah hati mengatakan bahwa kepandaiannya ilmupedang masih jauh dari semparan sedang ilmu melukisnyapun hanya setengah matang. Dan sejak itu dia menamakan diri dengan gelar Poan-coat lojin atau si Tua-setengah-matang.
Karena ruang paseban itu disebut Poan-coat-tong maka tentulah menjadi tempat kediaman Poan-coat lojin.
Tetapi Kun Hiap memperhatikan bahwa sebelah ujung papan nama itu sudah lepas dari pakunya dan menggelantung ke bawah. Pun perkakas perabot dalam ruang paseban itu juga sudah tak keruan, banyak yang remuk. Sampaipun lantai yang terdiri dari marmer hijau juga hancur. Disana sini terdapat bekas telapak kaki yang membekas sampai setengah dim dalamnya. Hal itu menimbulkan kesan bahwa dulu tempat itu tentu pernah dijadikan ajang pertempuran dahsyat dari beberapa jago sakti.
Sejenak berhenti di tengah ruang, Poa Ceng Cay lalu mengajak Kun Hiap keluar dari pintu samping, berjalan di sebuah lorong lalu mendorong sebuah pintu.
Kun Hiap tak melihat barang sebuah alat perkakas dalam ruang itu, kecuali sebuah meja dari kayu jati. Diatas meja jati itu terdapat sebuah gelang besar berwarna hitam mengkilap. Garis tengah gelang itu hampir satu meter, lingkaran gelang tidak tajam melainkan tumpul. Pada batang gelang terdapat beberapa ukiran huruf tetapi tak dapat dibaca jelas.
Tiba di meja itu, Poa Ceng Cay berkata, "Yang akan kuberikan kepadamu tak lain adalah Oh-hun-cwan ini."
Karena melihat Oh-hun-cwan atau Gelang-awan-hitam itu bukan merupakan suatu benda yang- luar biasa, setengahnya dalam hati Kun Hiap gelo juga.
"Poa cianpwe, aku tak dapat menggunakan senjata itu, " katanya.
"Engkau kira apakah itu Kim-kong-cwan biasa saja"' tukas Poa Ceng Cay.
Mendengar nama Kim-kong-cwan atau Gelang-malaekat, tiba2 hati Kun Hiap tergerak karena teringat suatu hal.
Dia teringat ketika berada di Istana Biru, pertama kaii berjumpa dengan Koan Sam Yang yang bergelar Ing-put-hoan-jiu atau Selamanya-tak-pernah-balas-memukul. Saat itu Koan Sam Yang pernah bertanya sampai dimana ayah Kun Hiap telah mencapai latihannya memainkan Kim-Kong-cwan.
Memang ketika mendengar pertanyaan semacam itu dari Koan Sam Yang. Kun Hiap heran. Kini Poa Ceng Cay hendak memberinya sebuah gelang Kim-kong-cwan. Adakah ini hanya secara kebetulan saja"
Ah, kepala Kun Hiap berdenyut-denyut pusing apabila memikirkan peristiwa aneh yang diha-dapinya saat itu. Dia benar2 tak tahu apa sebenarnya rahasia yang tengah menyelubungi dirinya itu.
Poa Ceng Cay memungut gelang Kim-kong-cwan dan dipencet-pencet dengan jari lalu berkata, "Lihatlah, gelang ini terdapat banyak tulisan huruf kecil-kecil, apa engkau dapat melihatnya?"
Kun Hiap maju menghampiri. Memang benar batang gelang itu penuh dengan tulisan huruf2 kecil tetapi jelas dan mudah dibedakan.
Poa Ceng Cay menjentik dengan jarinya dan terdengarlah bunyi tring, tring dari batang gelang.
"Periksalah hati2 huruf2 itu. Jurus2 permainan gelang2 itu semua tertulis disitu. Ini milik engkau punya . . . !" tiba2 Poa Ceng Cay tak melanjutkan kata2nya.
"Aku punya apa?" tanya Kun Hiap setelah terkesiap sejenak.
"Kukatakan, benda ini adalah .... milikmu. Engkau harus merawatnya baik.2," kata Poa Ceng Cay.
Kun Hiap menerima gelang itu lalu diikatkan pada pinggangnya. Sedangkan Poa Ceng Cay mundur selangkah dan memandang Kun Hiap dengan tajam. Wajah tokoh itu menampilkun kerut yang sedih.
Walaupun masih belum jelas tetapi sedikit banyak Kun Hiap sudah merasa bahwa dalam soal itu tentu terselip suatu rahasia. Setelah tertegun sejenak, dia memberi hormat, 'Poa cianpwe, jika cianpwe sudah tak ada pesan apa-apa lagi, wanpwepun hendak pamit."
"Biar kuantarkan engkau keluar," kata Poa Ceng Cay.
Kun Hiap merasa dirinya sudah.terlepas dari libatan Hui Yan maka dengan gembira diapun berkata, "Poa cianpwe tak perlu mengantar. Asal menjaga jangan sampai nona Tian menyusul aku, aku sudah berterima kasih."
"'Jangan kuatir," Poa Ceng Cay tertawa, memang nanti akan kutahannya sampai tiga empat hari. Siapa sih suruh dia berani masuk ke sini dan tidak mau menghormat aku"'
Kun Hiap kerutkan dahi berpikir, kemudian berkata, "Nona Tian masih muda belia, bukankah Poa cianpwe takkan membikin susah kepadanya?"
Poa ceng Cay menghela napas, "Hiantit, terus terang saja, aku memang belum berani membikin susah kepadanya."
Diam2 Kun Hiap terkejut Kiranya si dara Hui Yan itu memang mempunyai latar belakang yang hebat. Dia harus berhati-hati terhadap dara itu.
Kun Hiap mendengar tadi bahwa ayahnya baru saja meninggalkan perumahan desa Poa. Lebih baik dia lekas2 menyusul saja. Setelah pamit dia terus keluar dari perumahan desa keluarga Poa. Dilihatnya kedua ekor kuda putih masih makan rumput di tempat peristirahatannya tadi. Melihat Kun Hiap, kuda itu mengangkat kepala dan meringkik keras sebagai pertanda kalau mengenal Kun Hiap.
Tiba2 timbul pikiran Kun Hiap. Kalau dia tak menaiki kuda hebat itu tak mungkin dia da-pat menyusul ayahnya. Tetapi pada lain kilas dia-pun kuatir. Kuda itu mempunyai hubungan erat dengan Tian Hui Yan. Kalau dia menggunakannya, bukankah kelak kemudian hari akan terlibat dengan Hui Yan lagi"
Sampai beberapa saat belum juga dia dapat mengambil keputusan. Akhirnya dia teringat bahwa Hui Yan akan ditahan Poa Ceng Cay sampai empat lima hari. Pada waktu itu dia tentu sudah ber sama-sama ayahnya. Saat itu barulah dia akan lepaskan kuda putih. Biar kalau mau kembali kepada nona majikannya.
Setelah menetapkan keputusan, Kun Hiap terus menceplak salah seekor dan mencongklangkan pesat. Diam2 dia merenung kalau Hui Yan itu seorang dara yang manis dan lemah lembut, mau juga dia meminta seekor kuda itu kepada si dara. Dengan memiliki kuda putih sahabat itu, tentulah kelak banyak sekali gunanya dalam dunia persilatan.
Setelah tiba di jalan raya, dia melanjutkan perjalanan. Di sepanjang perjalanan dia hendak bertanya orang tentang ayahnya. Ayahnya, Pendekar Naga-emas Wi Ki Hu, seorang tokoh persilatan yang terkenal. Tentu beliau akan menempuh jalan yang besar. Mudahlah bertanya kepada orang mengenai perjalanan ayahnya.
Kun Hiap gembira sekali. Dia mencongklongkan kudanya lebih pesat. Setelah tiba ditempat yang ramai, dia akan bertanya kepada orang, demikian pikirnya.
Menjelang magrib, tibalah dia disebuah hutan pohon angco. Dimuka hutan itu tampak seekor kuda yang tengah menyepak-nyepak. Kun Hiap terkejut gembira. Jelas itu adalah kuda ayahnya.
Sambil mengeprak kuda, dia berseru gembira.
"Yah, engkau dimana?"
Srattt .... sesosok bayangan melayang turun dari gerumbul pohon. Dia seorang lelaki setengah tua, lebih kurang berumur limapuluhan tahun. Wajahnya serius, menimbulkan rasa gentar kepada orang. Dia bukan lain adalah ayah dari Kun Hiap yaitu Wi Ki Hu, jago pedang ternama yang bergelar Pedang-naga-emas.
"Ayah!" kembali Kun Hiap mengulangi teriakannya.
"Hm. kiranya orang yang menyelidiki perjalananku itu adalah engkau sendiri,'" seru Wi Ki Hu, "kukira kalau tiga serangkai Chin-nia-sam-shia itu yang hendak cari perkara kepadaku. "Mengapa engkau disini . . .. ," baru berkata begitu Wi Ki Hu melihat gelang Oh-hun cwan yang menggelantung di pinggang Kun Hiap. Tiba2 dia mundur selangkah tangannya memegang sebatang pohon dan wajah berobah tegang, memandang lekat2 pada Kun Hiap.
Sudah tentu pemuda itu terkejut, serunya, "Ayah, kenapa engkau?"
Tetapi Wi Ki Hu tak menjawab. Wajahnya makin tak sedap dipandang. Tangannya yang memegang batang pohon tak terasa makin mengencang, krak, krak . . . . kulit pohon hancur bertebaran, kelima jarinya masuk sampai beberapa dim -kedalam batang pohon.
Kun Hiap makin terkejut dan buru2 lari menghampiri. Tetapi sebelum dia sempat membu-ka mulut, Wi Ki Hu sudah memberitik, "Berhenti!"
Tenaga-dalam Wi Ki Hu memang hebat sekali. Bentakan itu membuat telinga Kun Hiap seperti mau pecah rasanya sehingga dia terhuyung-huyung mundur beberapa langkah ke belakang baru dapat berdiri tegak.
Setelah itu dia baru mengangkat muka memandang ke arah ayahnya. Dia terkejut. Saat itu Wi Ki Hu sedang menunduk, tangannyapun tidak mencengkeram batang pohon lagi. Pada batang pohon itu tampak membekas telapak jari sedalam lima dim.
Beberapa saat kemudian baru dia mengangkat muka lagi Wajahnya memang masih pucat tetapi sikapnya tidak setegang tadi lagi.
Melihat itu longgarlah perasaan Kun Hiap, serunya, "Yah, apakah engkau marah karena aku berkeliaran kemana-mana sendiri tanpa mengajak paman Wi" Sebenarnya aku juga tak bermaksud ... "
"Engkau kemana saja?" cepat Wi Ki Hu menukas. Tadi suaranya seperti geledek tetapi sekarang sudah banyak berobah seperti orang yang lelah.
"Aku baru saja datang dari desa keluarga Poa," sahut Kun Hiap.
"Dari mana kuda putih itu" Engkau masih kemana lagi?" tegur Wi Ki Hu.
"Panjang sekali centanya,"' jawab Kun Hiap, "pertama kali, aku bertemu dengan Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi. Dia mengajak aku berjalan sama-sama. Ketika tiba di sebuah istana tua berwarna biru . . . " tiba2 Kun Hiap tak melanjutkan keterangannya karena saat itu dia memperhatikan bahwa ayahnya tidak mendengarkan keterangannya itu melainkan seperti orang yang sedang melamun.
Pedang Tanpa Perasaan 12 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Menjenguk Cakrawala 1