Pencarian

Kuda Kudaan Kumala 1

Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Bagian 1


? Seri Oey Eng Burung Kenari
Kuda-kudaan Kumala Karya : Siau Ping Saduran : T
Cetakan Pertama : Majalah Mingguan Star Weekly 1951 Cetakan Kedua : ADD Publishing - Juli 2009
Cerita Detektip berjudul Kuda-Kuda'an Kumala, Lelakon Oey Eng si Burung Kenari, merupakan cerita bersambung yang dimuat di Majalah Mingguan Star Weekly dalam 1 nomor penerbitan.
Star weekly no. 305, 3 Nopember 1951. hal 17, 18
Oudara Tjie Wie, untuk tipu-dayaku, aku butuhkan bantuan kau. Aku ingin dapat pinjam pake kaupunya hui-cui-ma, itu kuda-kuda'an kumala ijo, yang harganya tinggi ta'dapat ditaksir...," demikian katanya Detective To Tjie An dari kota Shanghai, pada hartawan Liok Tjie Wie, dalam ia ini punya kamar tetamu yang indah.
"Kenapa mesti capekan hati, sudaraku?" Tjie Wie tanya. "Buat kau toch ada gampang sekali akan bekuk sesuatu orang jahat?"
Hartawan ini nampaknya ada tida mengarti.
"Sebab dia ada beda daripada penjahat yang kebanyakan! Ande-kata sekarang ia berada di kantor polisi, dengan tak ada bukti, aku tidak mampu cekuk padanya, tida sekalipun salembar rambutnya! Aku perlu kumala kau, supaya bukti dan orang aku bisa ringkus berbareng!"
"Siapa sih dia itu?" Tjie Wie tegaskan.
"Miss In Hong!"
"Miss In Hong? Miss In Hong yang mana?"
"Oey Eng, si Burung Kenari!"
"Ach...! Kau sebenarnya mau tangkap In Hong atau Oey Eng?"
"Aku hendak bekuk Oey Eng tetapi ia selalu muncul di depanku selaku In Hong, inilah sukarnya! In Hong ialah Oey Eng, Oey Eng ada In Hong, tetapi...."
"Oey Eng? Apa bukannya lie-hui-cat, si bandiet perempuan yang bijaksana, yang gemar mengamal dan mendermah?"
"Benar dia!" "Kalu begitu, dengan pinjamin kumalaku pada kau, sama saja aku mendermah pada Oey Eng...," kata Tjie Wie achirnya. Ia memang tau siapa dianya si Burung Kenari, si Nona Baju Kuning.
"Kau jangan takut, sudaraku," Tjie An membujuk. "Aku nanti pasang puluhan orangku yang pande dan gaga buat lindungin kumalamu itu, aku hanya ingin Oey Eng masuk dalam jebakan!"
"Ande-kata kumalaku itu terbang juga...?" Tjie Wie bersangsi.
"Aku akan kerahkan polisi, buat dapati pulang! Aku perlu itu kumala cuma buat tuju hari, di hari ka-delapan, pagi-pagi, aku akan anterkan pulang dengan tidak kurang suatu apa. Aku akan pertarokan jiwaku, sobat...!"
Achir-achirnya, Detective To bisa dapati hui-cui-ma itu....
To Tjie An telah pinjam ruangan dansa dari Wen Yi Club di antara dua straat Rue Lafayette dan Avenue Petain untuk mengadakan tentoonstelling dari kuda-kuda'an kumala yang mahal. Ia telah pasang banyak orang polisi akan jaga gedong itu di luar dan dalam.
Ruangan itu bisa muat bebrapa ratus orang. Kumala ditaro di tengah-tengah, di atas meja yang terkurung dengan lankan kuningan, di ampat penjurunya ada divan dan korsi-korsi, untuk tetamu atau penonton duduk beristirahat.
Ia sendiri, bersama A Poan, pembantunya yang gemuk, yang ia percaya betul, berdiam di satu kamar dari mana marika bisa mengintip ka dancing hall dengan laen orang tidak bisa liat mereka.
Gedong itu sendiri berada di pusatnya suatu taman, terpisah dari tetangga paling dekat masi ada 4-5 tumbak jauhnya. Dalam surat-surat kabar ada dimuat tentang ini tentoonstelling, yang maksudnya yag benar adalah undangan buat si Burung Kenari.
Di hari pertama, mulai jam 9.00 pagi, tetamu telah masuk beruntun dan bergantian. Mereka ada dandan rapi dan indah, harga karcis yang tinggi membuktikan mereka ada dari kaum atas, yang paling miskin adalah bangsa achli. Tjie An dan orang-orangnya yang tidak pake seragam, senantiasa ada pasang mata.
Pada jam 2.00 lohor muncul dua pemuda potongan buaya darat, tetapi pakeannya indah dan dari bahan mahal, mereka cendorongkan diri di lankan, menyaksikan sampe lama, seperti yang tidak bosen. Kemudian orang tua dengan pakean dekil dan banyak tutusannya, yang juga agaknya ada sangat ketarik hati sama kumala itu. Tentu saja, mereka tida bisa lolos dari pengawasan polisi.
Kemudian lagi tertampak tiga nona yang cantik dengan pakeannya yang indah, satu antaranya ada elok luar biasa, hingga semua penonton jadi menoleh dan mengawasin. Buat si mata keranjang, dengan meliat tiga si manis ini, harga karcis yang mahal telah tida jadi mahal lagi.... Mereka ini dekatin lankan, atas mana dua pemuda dan si orang tua berpakean dekil lekas-lekas membagi tempat, hingga mereka bisa datang dekat dan bisa meliat kumala dengan leluasa.
Dari kamarnya, Detective To kenalin Miss In Hong alias Oey Eng serta ia ini punya sumoay Kat Po dan keponakan perempuan Hiang Kat.
"Kau liat, A Poan! Dugahanku tida meleset, di hari pertama In Hong telah datang menonton, dengan ajak dua kawan...."
Tjie An bicara dengan girang dan bangga, hatinya puas. Justeru itu di luar lankan terdengar suara brisik, kapan A Poan mengintip, ia liat si orang tua dan dua buaya sedang berklai, dengan seruh.
"Pasti mereka ada konconya In Hong dan mereka hendak buyarkan perhatiannya polisi," kata Tjie An.
"Bisa jadi. Tapi, mana ia bisa turun tangan...?"
"Tapi liat itu anem babi tolol!" kata Tjie An.
Benar, anem agen telah pisahkan tiga orang itu, hingga perklaian jadi sirep. Tapi tiga orang itu tetap belon mau berlalu.
"Sebenarnya kumala ini mau dibawa pulang atau tiada?" Kat Po bersuit. Itulah ada omongan resia mereka. "Ketika barusan mereka berklai, aku sudah mau turun tangan...."
"Jangan sembrono," In Hong bersuit, dengan cegahannya.
"Aku ingin nyerbuh berbareng sama Hiang Kat aku nanti gempur itu anem agen dan sigra lompat ka jendela. Apa mereka bisa bikin?"
"Ingat pada penjagaan yang kuat sekali," In Hong peringati. Mereka tetap berbicara dengan bersuit. "Aku mau tunggu sampe malam."
"Nah, sabentar malam saja kita kombali!" Kat Po bersuit pula.
"Kauorang pulang duluan, aku mau menilikin sabentaran lagi," In Hong pun bersuit.
Kat Po ajak kawannya pergi, di blakang mereka kemudian menyusul si dua anak muda dan si orang tua dengan pakean dekil. In Hong sebaliknya duduk di divan dan ia keluarkan pena dan notes, akan mencurat-coret.
Tjie An terus pasang mata. Ia ingin ketahui orang tulis apa tetapi ia tida bisa dekatin nona itu. Maka achirnya, "A Poan, pergi suru satu agen yang menyamar dekatin Hong," ia prentah.
A Poan berlalu, akan lakukan itu prentah. Maka sabentar kemudian, satu agen menghampirkan In Hong, akan duduk di samping ini nona, dengan matanya saban-saban melirik orang punya buku notes.
Seperti orang tida engah atau tak perdulian, In Hong terus kasi kerja penanya. Ia melukis hui-cui-ma, ia gusek, ia menulis lagi, gusek pula, demikian bebrapa kali, maski ia bisa melukis dengan bagus. Ia bikin agen di sampingnya jadi tida sabaran. Achirnya ia melukis satu divan, di atas itu ada lukisan ia sendiri sedang menulis, di samping ia, sambil ulur leher, ada seekor anjing polisi sedang melongok lukisannya!
Kapan ia tampak itu sindiran, si agen gusar bukan maen, tapi ia cuma bisa berlalu dengan mendongkol. Ia pergi buat kasi lapor per telepon pada Tjie An.
"Ia benar pintar dan brani," A Poan puji nona itu. "Apa ia bakal kena dijebak?"
"Aku merasa pasti!" saut Tjie An, yang toch kertek gigi, saking mendelu;
Kira jam 6, penonton mulai surut, dan pada jam 8, semua pintu lantas ditutup. Semua penonton pulang. Polisi sendiri, kecuali yang jaga di luar, semua naek ka loteng, buat dahar dan beristirahat. Tapi malamnya, Tjie An siap.
"Sabentar ia bakal datang," ia kasi tau. "Kasi ia masuk, jangan kasi ia keluar! Kita musti bekuk ia orang dan barang!"
A Poan dapat kewajiban menjaga api, saluran ruangan digelapi, kebetulan sekali, malam itu tidak ada rembulan dan bintang pun jarang.
Sunyi belon lama, di tembok keliatan orang berlari-lari, pakeannya item. Ia linyap sabentaran, lantas ia muncul pula. Ia loncat turun ka taman, terus menuju ka jendela ka mana ia naek dengan gunai bandringan. Ia bisa masuk ka dancing hall dengan merdika, sebab kendati polisi liat ia, ia
diantep saja. Ia bertindak ka lankan, ia lompatin itu, ulur tangannya da kumala berada di tangannya.
Di saat ia putar tubuh, buat berlalu, mendadakan api semua jadi terang dan di sekitar ia, agen-agen polisi todong ia dengan revolver. Ia dandan serbah item, mukanya ditutupi topeng, sampe tangannya ada pake sarung tangan item. Ia manda kedua tangannya dipegang keras oleh dua agen.
Tjie An menghampirkan, buat pasang borgolan.
"Miss In, aku tidak nyana ini malam kitaorang bisa bertemu secara begini!" kata itu detective sambil tertawa. "Kau sedang malam atau kepandeanmu kurang sampurna?"
Orang serbah item itu diam saja.
Kerna orang membungkem, Tjie An menyamber sama tangannya, topeng terlepas dan... ia berhadepan sama satu muka lelaki yang kisutan!
"Hei, siapa kau?" detective ini berseru dengan pertanyaannya.
Masi saja si serbah item itu diam saja.
"Tuan, dialah si orang tua dengan pakean rombeng yang tadi siang berklai di sini sama itu dua pemuda luntang-lantung!" berseruh satu agen.
"Apakah kau ada orangnya In Hong?" tanya Detective To dengan lesuh.
"In Hong siapa? Aku tida kenal In Hong!" achirnya kata orang tangkapan itu.
"Lie-hui-cat Oey Eng, si Nona Bpju Kuning!" Tjie An jelaskan.
"Aku baru datang dari Szechuan, aku dengar nama Oey Eng, aku tida kenal orangnya. Aku tida punya hubungan sama Oey Eng itu!"
Tjie An rampas pulang kumala dari tangannya bandiet itu, dengan ati-ati ia letakin pula di tempatnya, kemudian ia prentah bandiet itu dibawa ka kantor polisi.
"Jaga supaya orang tida ketahui kita telah bekuk dia ini. Lekasan sedikit! Oey Eng musti datang ini malam! Lekas pademin api!"
Prentah itu diturut dengan sigra.
Tapi malam itu orang melek dengan perasaan kuciwa, Oey Eng tida muncul, juga tida di malam ka-dua. Malam ka-tiga, malam ka-ampat, semua liwat dengan sepi saja. Malam ka-lima diliwatkan dengan lesuh dan masgul. Di malam ka-anem, pada jam 12, Tjie An dengar suara membeletuk di meja.
"Api, lekas!" ia prentah, bahna heran, sebab selanjutnya, ruangan tetap sunyi.
Di bawah terangnya listrik, kumala tetap di tempatnya, hanya di atas meja ada nancep sebatang pana kecil, yang menusuk sepotong kertas dengan tulisan begini,
"Tuan Detective, Bertrima kasi yang kau hendak persembahkan kumala berharga padaku, adalah tida hormat akan tampik itu, maka besok malam, jam 12 tepat, aku akan datang buat trima itu."
Tanda tangannya ada satu lukisan seekor burung kecil.
Meliat jurusannya, pana itu masuk dari jendela barat, tapi aneh, di situ polisi tida dapati orang datang atau pergi.
Besoknya, hari pengabisan, tetamu sudah kurang banyak, ada jam 6, ruangan sudah kosong, kendati
demikian, Tjie An malah perkeras penjagaan dan A Poan dipesan wanti-wanti menjaga api.
"Malam ini ada malaman pertarungan yang memutuskan!" ia kasi tau.
Lekas sekali, lonceng telah unjuk jam 7.55. Lagi 5 menit, lantas sampe jam 8.00. itu waktu, tentooonstelling akan sudah ditutup, semua pintu dan jendela akan dirapeti dan dikunci. Hingga orang akan tinggal tunggui datangnya si Burung Kenari....
Mundar-mandir di muka lankan, Tjie An senantiasa awasi lonceng di tembok.
Adalah di sa'at itu, di pintu muncul satu nona, yang eilok luar biasa, bajunya kemeja kuning, celananya celana jas panjang warna kuning juga. Tubuhnya langsing, siapa pandang ia, tentu musti terus mengawasin!
"Tuan Detective, kau juga menyaksikan kumala?" In Hong menegor sambil mesem manis, dengan tindakan tenang, ia mendeketin lankan.
"Eh, Miss In, kau datang sekarang?" detective itu balik menegor. Ia tidak menyangkah. j
"Jam penutupan 'kan jam 8.00? Sekarang masi ada tempo bebrapa menit, apa aku boleh turut menyaksikan?" tanya si nona.
"Ya, masi ada bebrapa menit...," Tjie An jawab dengan mata dipasang awas.
"Aku percaya Oey Eng bakal menang, Tuan Detective! Apakah kau ijinkan aku berdiam di sini, akan menonton kepandeannya si Baju Kuning itu?"
"Dengan kau berdiam di sini, Oey Eng tentu lebih bergumbirah. Baek, aku mengasi perkenan," Tjie An meluluskan.
"Kau baek sekali, tuan, trima kasi. Aku girang sekali. Tapi aku hendak terangkan pada kau, upama kata Oey Eng berhasil mencuri kumala, ia tida ada sangkutannya sama aku!"
"Kita nanti liat saja, Miss In, bukti barang ada di tangan siapa!" detective itu jawab. "Aku tau, kau pun pande, tidak kalah daripada Oey Eng, siapa tau kalu-kalu kau pun gatel tangan?"
"Trima kasi buat pujian kau! Di antara Oey Eng dan aku, bedahnya ada seperti langit dengan bumi. ..I"
Marika saling awasin, si nona bersenyum manis.
"Duduk saja kurang gumbirah, Tuan Detective, apa kau suka titahkan orang seduh kopi?" kata In Hong kemudian.
"Tentu, Miss In!"
Lantas berdua marika duduk berhadepan di depan meja di luar lankan, sambil irup kopi, marika pasang omong pintu telah dikunci, jendela telah dijaga keras, laen marika, yang jagai kuda-kuda'an kumala ijo.
Suara lonceng, sabelas kali, memecahkan kasunyian.
Tida ada hamba wet yang menyangkah bahwa In Hong brani turun tangan di depan begitu banyak orang polisi, selagi api terang benderang seperti siang, melaenkan Tjie An sendiri, yang terbenam dalam kesangsian, kerna ia tau orang punya kebranian dan kegagahan. Diam-diam A Poan dipesan akan sigra tembak siapa saja yang brani ganggu pesawat penyalah api!
Tjie An bersenyum waktu ia dapat pulang kapercayaan atas dirinya.
"Tuan Detective, apa kau bersenyum kerna percaya Oey Eng tida bakalan mampu lolos dari sini?" In Hong tanya.
"Ia bisa keluar dengan borgolan pada kedua tangannya!" Tjie An jawab.
"Aku percaya, begitu merdika ia di waktu masuknya, begitu merdika juga ia di waktu berlalunya...," si nona kata sambil tertawa, sikepnya suajarnya sekali.
Lonceng sekarang mengunjuk pada angka 11.58! Lagi dua menit saja!
"Tuan To, Oey Eng akan sigra datang, kau ati-atilah!" In Hong peringeti. Ia geraki kaki dan tubuhnya, ia nyender di korsinya.
Tjie An tertawa. "Aku telah menjaga keras, api jni malam tida nanti bisa dipademkan!" kata ia. "Sekali ini, Oey Eng musti menyerah...." Jarum lonceng pindah menjadi 11.59! "Oey Eng, Oey Eng, apa kau brani turun tangan?"
Sambil kata begitu, Tjie An awaskan In Hong secara menantang. Tapi si nona tetap bersenyum, romannya anteng luar biasa.
Lonceng lantas saja berbunyi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 ... 12! Dan berbareng sama berkleneng dua-belas itu, api padem semua dengan tiba-tiba, ruangan jadi gelap luar biasa, sebab justru barusan cahya ada terang istimewa!
Tjie An semua jadi kaget, sakejab itu, marika terguguh, tetapi lekas juga, lampu-lampu battery dikasi menyalah, menuju ka meja di dalam lankan....
Kumala telah linyap! Kutika In Hong disuluhkan, ia duduk tetap di korsinya, seyumannya menyungging mukanya yang putih, alus dan eilok-manis!
Di sa'at itu, dari luar, di wuwungan rumah tetangga sebelah barat, datang suara, "To Tjie An, kumala sudah jato ka dalam tanganku! Siapa berkepandean, mari, aku tunggu!"
Belasan senter menuju ka wuwungan rumah itu, di sana berklebat satu bayangan kuning, sebelah tangannya menyekel satu buntelan!
Baru saja Tjie An mau prentah menembak, atau kupingnya dengar, "Ati-ati, tuan, kau nanti tembak kumala berharga itu!"
Itulah ada suaranya In Hong, tawar dan mengejek.
"Jangan menembak! Hayo ikut aku!" Tjie An lalu bertreak. "Kurung itu rumah!"
Tjie An lantes lari ka pintu, yang dipentang dengan sigra, bersama orang-orangnya, ia memburuh keluar.
In Hong ditinggal sendirian, melirik ka sekitarnya, ia liat tidak ada laen orang. Dengan satu lompatan, ia melesat ka depan jendela, yang madepi jalanan kecil yang sunyi. Di situ ada tiang listrik, nangkel di tiang itu, ada nona Hiang Kat, yang nyamar jadi tukang listrik. Ialah yang putuskan kabel, membikin gedong jadi gelap seluruhnya.
In Hong sambitin satu buntelan pada kawannya itu, yang terus mengilang setelah sanggapi buntelan itu. Ia sendiri lekas kombali ke korsinya, akan duduk menyender seperti tadi. Ia puas meliat Hiang Kat, terutama Kat Po, sudah kerja dengan sampurna.
Tjie An berameh balik dengan lekas, sebab Oey Eng tida ketan gkap.
Kapan marika sampe di dancing hall, In Hong lagi duduk nyerande sambil bersenyum.
TAMAT Pedang Keramat Thian Hong Kiam 2 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Istana Pulau Es 4
^