Makam Asmara 1
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 1
" Makam Asmara Karya : - Wo Lung-shen Diceritakan oleh - S.D Liong
(Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala)
Jilid 1 Luka hati luka tubuh. Pada jalan dilereng gunung yang menurun landai, penuh ditumbuhi gerombolan pohon Siong
yang pendek. Seorang pemuda dengan napas terengah-engah tengah merangkak naik. Rupanya dia sedang
menderita luka parah. Tangan kirinya mencekal batang pohon siong pendek untuk mengayunkan tubuhnya.
Akhirnya dengan cara menarik batang demi batang, walaupun tampaknya susah payah, namun
akhirnya kerhasil juga pemuda itu mencapai puncak bukit. Dia menghela napas panjang Lalu
duduk melepaskan lelah. Tangan kanannya memegang sebatang pedang pusaka. Diletakkannya pedang pusaka itu
ketanah. Rupanya ia sudah kehabisan tenaga. Setelah meletakkan pedang,iapun rubuh dibawah
sebatang pohon siong kecil.
Tiba-tiba dari kaki puncak bukit muncul seorang dara. Ia berteriak memanggil nama pemuda itu
seraya mendaki keatas. Ketika melihat keadaan pemuda yang rebah menggeletak dibawah pohon siong, air mata dara
itu berderai derai laksana hujan mencurah.
Sekonyong-konyong pula dikaki bukit terdengar suara orang tua tengah memanggil-manggil
nama dara itu. Dara itu mendengarnya tetapi ia keraskan hati tak mau menyahut.Dara itu ayunkan langkah
menghampiri tempat sipemuda menggeletak, serunya penuh kecemasan, "Tenagamu sudah habis,
jangan keras kepala, ijinkanlah aku memapahmu!"
Tetapi pemuda itu diam saja. Matanya tetap memejam. Dara itu makin cemas. Ia ulurkan
tangan meraba hidung sipemuda.
Ah napas pemuda itu berhembus lemah dan terputus-putus. Tangannyapun membeku kaku.
Ternyata pemuda itu pingsan.
Dara itu mengeluarkan sehelai saputangan sutera untuk mengusap airmatanya. Serangkum bau
harum bertebaran menusuk hidung.
Rupanya bau harum itu telah menyadarkan pikirannya "Ah, mengapa aku lupa?" serunya
seorang diri, "Bukankah saputangan pemberian dari dara puteri ketua partai Lam-hay-bun itu
terdapat tulisan resep obat yang manjur?"
Buru-buru ia merentang saputangan itu. Ah". Ia mengeluh. Ternyata tulisan pada saputangan
itu sudah terhapus terkena airmatanya.
Sejenak meneliti bekas-bekas tulisan itu, si dara pun lalu menyimpan saputangannya pula.
Kemudian ia memeluk pemuda itu, memandang wajahnya lalu berkata seorang diri, "Matilah! Ya,
kematian akan mengurangi penderitaan"."
Tiba-tiba ia rasakan pemuda itu tubuhnya bergeraK, matanya terbuka sebentar lalu menutup
pula. Dara itu lekatkan telinganya kedada sipemuda. Didengarnya jantung pemuda itu masih
berdetak-detak. Segera ia mengangkat tubuh pemuda itu, menjemput pedangnya lari meinbawanya lari. Dalam
beberapa saat ia sudah melintasi dua buah puncak bukit dan tiba disebuah tempat yang tenang
tiada berangin. Tempat itu merupakan sebuah cekung gunung, luasnya tiga empat tombak, penuh
ditumbuhi rumput. Ia meletakkan tubuh pemuda itu ditanah, mengusap peluh didahinya lalu
duduk disamping pemuda itu, memandang surya yang tengah menyingsing disebelah timur
dengan terlongong-longong.
Menilik gerak geriknya, jelas dia seorang dara yang manja sehingga canggung menghadapi
keadaan seperti saat itu.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia bangkit, mengambil pedang yang terselip dipunggungnya
lalu dilemparkan keatas rumput dan menggeram, "Hm, jika sejak kecil aku tak selalu main-main
engkau dan menggunakan waktuku untuk membaca buku obat-obatan sekarang tentu aku sudah
dapat menolongnya." Tiba-tiba pula ia teringat bahwa seorang dara baju ungu telah memberinya pil putih penawar
racun Mengapa ia mau mencobakan pil itu kepada pemuda yang ditolongnya ini. Mendapat pikiran
itu ia segera mengambil pil. Pil itu hanya tinggal dua butir. Sesungguhnya untuk mengobati dirinya
yang sedang sakit, Namun ia memberikan juga kepada pemuda itu. Dengan minum pil itu dapatlah
pemuda itu hidup lagi sampai sebulan lamanya. Ia menjemput sebutir lalu disusupkan kemulut
sipemuda. Ternyata pil itu benar-benar berkhasiat sakti.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba pemuda itu sadar dan berbangkit duduk.Ternyata pemuda
itu terluka pada lambungnya. Kemungkinan dia tentu habis melakukan pertempuran dengan
musuh. Setelah duduk ia memandang pada lukanya lalu pelahan lahan beralih pandang kewajah
dara yang menolongnya, kemudian bertanya hambar, "Dimanakah kita sekarang ini?"
Sikap pemuda yang keras kepala dan pantang menyerah itu telah membangkitkan rasa kagum
pada si dara. Kegelisahan dara itupun mulai menurun. Setelah menata rambutnya yang" kusut, dara itu
tertawa: Entahlah, aku juga tak tahu.
Tempat ini sebuah cekung gunung yang sunyi tetapi entah apa namanya."Pemuda itu
memandang ke sekeliling lalu berkata, "Aku ingin mati dipuncak gunung, siapa yang membawa
aku kemari?" "Engkau pingsan dipuncak itu lalu kubawa kemari.
Disana banyak angin"." sahut si dara lalu menghela napas, "aku mengikuti dibelakangmu dan
tahu engkau menderita luka parah sedang mendaki kepuncak gunung. Hendak kubantu". tetapi
aku kuatir engkau marah."
Tiba-tiba pemuda itu mencurahkan pandang mata kearah pedangnya yang berada disitu si
dara, serunya, "Berikan pedangku itu."
Dara itupun memberikannya.Setelah menyambuti pemuda itu memandang pedang itu dengan
mata berkilat kilat. "Ah, benar-benar sebuah pedang pusaka yang hebat," seru si dara.Pemuda itupun meletakkan
pedang lalu berkata, "Kaum persilatan mengatakan bahwa pedang ini sebuah pedang yang
membawa malapetaka. Rupanya memang benar."
Tiba-tiba dara itu tersenyum, "Dara baju ungu itu telah memberikan sehelai saputangan
kepadaku. Pada saputangan itu ia menulis resep obat. la mengatakan racun dalam tubuhmu masih
belum bersih dan suruh engkau makan obat menurut resepnya ini agar racun bisa keluar"."
Pemuda itu menghela napas. Ia memandang pedang pusaka itu lagi, serunya, "Atas bantuanmu
tiada benda berharga yang dapat kupersembahkan kepadamu. Pedang ini pusaka dari kaum Siau-
Hm si. Karena kuatir mungkin aku tak dapat membawanya daripada hilang di gunung tak berketentuan
rimbanya, baiklah ku berikan kepada nona."
Dara itu menghela napas kecil, "Dara baju ungu itu mengatakan jika engkau tak makan obat
menurut resep pada saputangan itu. Engkau tak dapat hidup lebih panjang dari sehari
semalam."Pemuda itu tertawa, "Apakah luka pada lambungku ini, dara itu yang menikamnya?"
Demikian keduanya saling bertukar jawab, tetapi pertanyaan dengan jawaban selalu berlain
arahnya. "Dipegunungan yang sepi ini tentu sukar membeli resep. Baik kita lekas lanjutkan perjalanan
menuju ke kota"." kata si dara.Tetapi pemuda itu gelengkan kepala, "Terima kasih atas perhatian
nona. Maaf aku hendak pergi!"
Pelahan-lahan ia bangkit dan dengan langkah terhuyung-huyang ia berjalan kemuka. Sudah
tentu dara itu terkejut sekali.
Ia longcat menghadang, "Hai, hendak kemana engkau?"
"Jangan mengurusi aku!" sahut pemuda lalu berlari sekuat sisa tenaganya, Dalam beberapa
kejab saja, ia sudah melintasi dua buah tikungan dan lenyap dari pandang mata.
Dara itu memandang tingkah laku sipemuda dengan terlongoug-longong Setelah sipemuda tak
kelihatan, timbullah rasa hambar dalam hati dara itu. Ia merasa terhina. "Dengan marah ia
gentakkan kakinya ketanah, "Huh. manusia yang tak tahu budi, matilah engkau!"
Ia menjemput pedang pusaka lalu mengejar pemuda itu Siapakah gerangan sepasang muda
mudi yang aneh gerak geriknya itu" Ah, ternyata pemuda keras kepala itu bukan lain yalah ji Han
Ping, pahlawan kita dalam kisah Persekutuan Tusuk Kundai Kumala.
Note: cersil Persekutuan Tusuk Kundai Kumala tamat pada jilid ke 29. Silahkan baca.
Setelah melakukan pertempuran dengan orang Lam-hay-bun, dengan menderita luka Han Ping
tinggalkan gelanggang pertempuran.
Dara Siang-kwan Wan-ceng, puteri dari Siangkwan Ko, ketua marga Siangkwan mengikuti jejak
pemuda itu. Dan terjadilah adegan seperti yang tertera diatas. Han Ping memang keras kepala. Ia tak mau
menerima pertolongan orang.
Maka walaupun masih menderita luka parah, ia tak mau menurut anjuran Siangkwan Wan-ceng
yang mengajaknya ke kota membelikan resep dari dara baju ungu, puteri ketua perguruan Lamhay-
bun. Ia memilih mati daripada menerima pertolongan orang Lam-hay-bun. Maka larilah ia
meninggalkan Siangkwan Wan-ceng yang terlongong longong Namun setelah lari tiga li jauhnya, ia
kehabisan tenaga. Sepasang kakinya melentuk lunglai dan rubuh. Tetapi pikirannya masih sadar.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya ia berusaha untuk merangkak. Beberapa langkah lagi ia
kembali rubuh. Han Ping menangis dalam hati karena harus mati dalam keadaan begitu. Namun kekerasan
hatinya tetap berontak. Ia tak ingin menerima pertolongan Siangkwan Wan-ceng. Ia ingin mati dalani keadaan sunyi.
Tiba-tiba ia mendengar derap langkah kaki orang berjalan dari kejauhan. Ah, ia mengeluh. Ia
ingin mati tak diketahui orang. Mengapa lagi-lagi ada orang yang datang ke tempatnya situ.
Langkah kaki orang itu makin lama makin dekat.
Seorang kakek tua tengah dipanggul oleh seorang anak lelaki. Karena jalanan gunung
menanjak, anak itu terengah-engah napasnya seperti kehabisan tenaga. Namun anak itu juga
seorang anak yang keras hati. Ia tetap ayunkan langkah memanggul orangtua yang tampaknya
menderita sakit parah.Tetapi betapapun dikuat-kuatkan, akhirnya anak itu terpaksa harus berhenti
karena kehabisan tenaga. Setelah meletakkan orangtua yang dipanggulnya, ia berteriak,
"Engkong, aku tak kuat berjalan lagi!"
Kakek itu menghela napas berat, ujarnya: Ah, nak, aku banyak membuat engkau letih. Aku
sudah begini tua, seharusnya mati saja.
Tetapi sebelum kusaksikan engkau menikah dan tinggal ditempat kediaman yang telah
kubangun untuk kalian, aku tak dapat mati dengan meram. Aku masih harus hidup berapa tahun
lagi sampai nanti sudah melihat engkau mengambil seorang isteri"."
Percakapan antara engkong atau kakek dengan cucunya itu terdengar juga oleh Han Ping.
Diam-diam ia tergerak hati, pikirnya, "Ah, betapa sederhana keinginan hati orangtua itu. Dia
hanya ingin melihat cucunya menikah baru rela mati. Tetapi aku, ah". aku masih mempunyai
dendam darah dan hutang budi pada Hui Gong taysu. Akupun sudah berjanji kepada Hui Gong
taysu untuk melaksanakan pesannya. Tetapi kesemuanya itu belum berhasil.
Adakah begitu saja aku harus mati saat ini?"
Benak Han Ping mulai berkabut, pertanyaan dia menimang-nimang, adakah layak kalau saat itu
ia mati". Manusia hidup siapakah yang terhindar dari kematian. Namun setelah mati harus
meninggalkan nama dan amal yang baik"." diam-diam Han Ping menghafalkan sebuah sajak
kuno. Lalu bertanya kepada dirinya sendiri, "Kalau aku mati, apakah yang kutinggalkan?"
Diam-diam ia bimbang. Keputusannya untuk mati itu termasuk sikap seorang ksatrya yang tak takut mati atau seorang
ksatria yang takut menghadapi kenyataan hidup" Soal mati dan hidup mulai lalu lalang di benak
Han Ping. Setiap angin pegunungan berhembus.
Ketika mengangkat muka memandang kedepan, ah, ternyata si dara Siangkwan Wan Ceng
sudah berada disisi orangtua itu.
Entah ia tak tahu, bilakah nona itu muncul kesitu.Tangan kanan nona itu mencekal pedang
pusaka Pemutus Asmara dan punggungnya menyandang kerangka pedang itu. Rambutnya terurai
kusut, semangatnya kuyu. Sejenak memandang kearah orangtua yang menderita sakit, Siangkwan Wan-ceng berpaling
kepada anak ielaki kecil, "Adik kecil, siapakah kakek ini?"
"Dia adalah engkongku," sahut anak itu. "Apakah ia menderita luka berat?"
Tiba-tiba anak itu mengucurkan airmata, sahutnya, "Engkongku itu telah menderita sakit
selama tiga bulan. Digunung sana terdapat seorang tabib yang dapat mengobati orang sakit.
Tetapi ketika kubawa engkong kesana, ternyata tabib itu sedang sedang keluar, baru beberapa
hari pulang." "Apakah engkau pernah bertemu dengan seorang pemuda yang menderita luka berada
disana?" tanya Siangkwan Wan-ceng girang.
Bocah itu gelengkan kepala, "Tidak, aku pergi ketempat tabib itu dengan mengambil jalan
pendek. Jalan itu sedikit sekali orangnya."
Tiba-tiba Siang kwan Wan-ceng merogoh keluar sekeping mas, ujarnya, "Keping emas ini
kuberikan kepadamu untuk ongkos pengobatan engkongmu. Lekas beritahukan kepadaku,
dimanakah tempat tinggal tabib itu?"
Seumur hidup bocah itu belum pernah melihat emas sekian banyak.
Dengan gemetar ia ulurkan tangan menyambuti, "Tabib itu tinggal disebelah utara dari puncak
gunung." "Apakah nama tempat itu?"
"Memang ada namanya tetapi ah, aku sudah lupa," sahut sibocah lelaki, "tetapi tempat itu
mudah dicari. Dibawah puncak gunung itu terdapat sebuah rumah batu yang tunggal, tak ada
tetangganya." Tiba-tiba anak lelaki itu angsurkan tangannya, "Keping emas ini tentu berharga sekali, lebih
baik engkau ambil kembali saja."
"Simpanlah!" seru Siangkwan Wan-ceng, "aku hendak mencari orang yang menderita luka itu,"
ia terus melesat lari. Anak Ielaki itu makin heran, serunya, "Hai,apakah nona hendak mencari orang sakit?"
Gerakan Siangkwan Wan-ceng memang gesit sekali. Sekali loncat tadi ia sudah berada tiga
tombak jauhnya. Mendengar bocah itu berteriak, ia berputar tubuh dan pandang matanya tepat tertumbuk pada
sesosok tubuh orang yang terlentang digerumbul rumput.Astaga! Itulah Han Ping yang duduk
bersandar pada gerumbul rumput dan sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Siangkwan Wanceng
tertegun. Ia hendak menegur tetapi tak jadi. Sebenarnya ia hendak bertanya kepada Han
Ping adakah pemuda itu tak keberatan kalau ia tolong. Tetapi saat itu juga ia teringat betapa
keras kepala pemuda itu. Apabila mendapat jawaban yang ketus, tentulah akan menyinggung perasaannya. Itulah
sebabnya maka ia tak jadi membuka mulut.
Diluar dugaan ternyata sikap Han Pin; sejak mendengar pembicaraan antara kedua kakek dan
cucunya tadi, sudah berobah.
Tidak sedingin tadi. Ia memikirkan bahwa masih banyak pekerjaan dan janji yang belum
terpenuhi. In harus memelihara jiwanya.
Jika ia mati, siapakah yang mampu melaksanakan tugas membalas sakit hati orang-tuanya dan
melaksanakan pesan Hui Cong taysu"
Pendirian Han Ping saat itu, ia harus memelihara jiwanya, ia harus hidup. "Bukankah engkau
hendak mencari aku". " serunya menegur Siangkwan Wan-ceng.Siangkwan Wan-ceng
menganguk lalu berjongkok, tertawa, "Hm, aku mencarimu perlu mengobati lukamu."
Nona itu berusaha membuat nada ucapan dan sikapnya seramah mungkin. Entah tenaga gaib
apa yang menyebabkan seorang gadis manja dan angkuh seperti dia, mulai mau bersikap lemah
lembut.Han Ping menghela napas: Terima kasih, nona.
Mungkin aku tak dapat sembuh. Lukaku amat parah." Sambil ulurkan tangan, Siangkwan Wanceng
tertawa riang, "Ada seorang tabib yang tinggal disebelah gunung itu. Maukah engkau
kuantar kesana?" Han Ping menundukkan kepala, tak menjawab. Wajahnya yang pucat lesi tiba-tiba
memancarkan warna merah. "Engkau mau?" tanya si dara pula.
Han Ping hanya tertawa menyeringai. Melihat pemuda itu tersipu-sipu malu, tiba-tiba
Siangkwan Wan-ceng merasa kalau dirinya lebih besar. Berkatalah ia dengan sungguh-sungguh,
"Lekas engkau rebah dipunggungku, akan kubawamu kepada tabib itu "
Han Ping menghela napas, "Engkau amat baik sekali kepadaku, entah dengan cara bagaimana
kelak aku dapat membalas budimu."
Siangkwan Wan-ceng bersikap seperti seorang yang lebih besar umurnya, "AKU sendiri suka
melakukan hal itu, siapa suruh engkau membalas budi?"
Ia terus memanggul Han Ping lalu lari. Setelah melintasi puncak gunung, ia melihat sebuah
rumah batu berdiri diatas sebuah lapangan rumput. Rumah itu hanya tunggal, tak ada
tetangganya. Rumah itu dikelilingi dengan pagar bambu bercat hitam.Cepat sekali Siangkwan
Wan-ceng sudah tiba dimuka pintu pagar yang tertutup rapat. Keadaannya sunyi senyap.
Setelah menunggu beberapa saat tak tampak barang seorang yang muncul. Siangkwan Wanceng
berteriak, "Apakah sinshe ada dirumah?"
Dari dalam rumah batu itu terdengar suara seorang tua yang parau menyahut, "Siapa itu?"
"Aku, hendak memeriksakan sakit!"
"Silahkan masuk sendiri!"
Siangkwan Wan-ceng mendorong pintu pagar, lalu menuju kerumah batu.
Sebuah papan hitam tergantung diatas pintu rumah. Papan itu ditulisi dua buah huruf yang
bercat putih "Tempat kematian".
"Uh. mengapa diberi nama yang tak enak didengar begini," diam-diam Siangkwan Wan-ceng
memaki dalam hati. Ia meragu sejenak akhirnya tetap menghampiri juga. Kedua daun pintu yang terbuat dari kayu
pohon siong, tertutup rapat. Rumah itu hanya mempunyai sebuah jendela yang dibungkus dengan
sehelai kain hitam. Diam-diam nona itu menimang dalam hati, "Eh, mengapa tempat ini sama
sekali tak menyerupai tempat orang mengobati" Tampaknya menyerupai sebuah makam yang
menyeramkan. Rumah tungal disebuah lapangan rumput, pintu bercat putih, berpagar bambu dan
jendelanya terbungkus kain hitam ". "
Kembali suara parau dari orangtua dalam rumah itu terdenpar berseru pula, "Kedua daun pintu
rumah tak dikancing, silahkan masuk sendiri Siangkwan Wan-ceng mengangkat kaki kiri,
mendupak pintu. Dan pintu itupun terbuka lebar.
Memandang kemuka. Siangkwan Wan ceng melihat seorang tua berambut;dan berjenggot
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih tengah duduk bersila diatas tanah.
Sepasang alisnya yang putih, menjulai panjang sekali hingga menutupi mata. Oleh karena itu
Siangkwan Wan-ceng tak mengetahui apakah orangtua itu tengah membuka mata atau tengah
meram. Sejak menerima pelajaran dari Hui Gong taysu, Han Ping selalu mengindahkan kepada orang
tua. Ia mencegah Siangkwan Wan-ceng jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang menyinggung
perasaan orangtua itu, bisiknya, "Orangtua itu aneh sekali, tentu bukan orang sembarangan. Kita
harus menahan kesabaran."Siangkwan Wan-ceng hanya tersenyum. Setelah ia menyahut katakata
orangtua itu, "Paman, apakah engkau tinggal seorang diri saja?"
"Setan tua seperti aku ini sudah tentu tak ada anak perempuan yang mau merawati," sahut
orangtua itu. Siangkwan Wan-ceng tak senang mendengar ucapan itu. Ia kerutkan alis dan hendak
mendamprat tetapi tiba-tiba punggungnya digamit orang. Nona itu cukup cerdas Segera ia tahu
yang menggamit itu tentulah Han Ping karena pemuda itu hendak memberi isyarat supaya dia
bersabar. Terpaksa Siangkwan Wan ceng menahan kemarahan dan mendengus, "Paman, apakah
engkau agak tuli?" Tiba-tiba orangtua itu tertawa gelak-gelak, serunya, "Siapa bilang aku tuli?"
Siangkwan Wan-ceng pelahan-lahan menurunkan tubuh Han Ping lalu berkata, "Kami dengar
katanya paman pandai mengobati segala macara penyakit yang aneh-aneh maka kami perlukan
datang kemari." Orangtua itu tertawa tawar, "Pernah apa engkau dengan pemuda itu" Engkohmu atau
suamimu?" "Paman tua, dugaanmu salah semua. Dia adalah adikku," sahut Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping memandang Singkwan Wan ceng tetapi tak bicara apa-apa."Adikku ini terkena racun,
"kata nona itu pula," dan menderita luka dalam yang berat. Harap paman segera mengobatinya."
Pelahan-lahan orangtua itu mengangkat tangan dan berseru, "Coba angkat tubuhnya kemari
dan berikan siku lengannya kepadaku."
Siangkwan Wan-ceng melakukan perintah.
Tangan orangtua itu segera memegang siku lengan Han Ping. Setelah berdiam diri beberapa
saat, ia mengangkat muKa dan berkata, "Dia menderita luka yang parah tetapi luka itu sudah
terhapus oleh daya obat yang mustajab."
Siangkwan Wan-ceng terkejut. Dengan memeriksa denyut siku lengan Han Ping, orangtua itu
segera tahu kalau pemuda itu sudah minum obat."Benar, paman" serunya, "dia memang telah
pinum obat yang mujarab."
"Orangtua itu menghela napas: ,!Sekarang berikan siku lengannya yang kanan
kepadaku."Siankwan Wanceng menurut.
Begitu tangan orangtua memegang siku lengan Han Ping [yang sebelah kanan, tiba-tiba ia
kerutkan dahinya dan menghela napas.
"Bagaimana paman?" seru Siangkwan Wanceng dengan gelisah.
Orangtua itu membuka mata seraya menggeleng kepala, "Rasanya aku tak dapat menolong."
Ketika melihat orangtua itu membuka mata, Siangkwan Wan ceng terkejut. Bola mata orangtua
itu luar biasa besarnya. Pada lain saat ia segera teringat akan kata-kata orangtua itu."bagaimana lukanya" ada harapan
tertolong?" seru nona semakin cemas. "Kalau aku tak sanggup menggobati, rasanya didunia ini
tiada orang lain lagi yang mampu.
"SUDAHLAH, SEGERA SAJA ENGKAU BERSIAP-SIAP mengatur yg perlu. Mungkin dia tak dapat
hidup lebih dari 7 hari!"
Mendengar itu berderai-derailah airmata Siangkwan Wan Ceng. dengan terisak ia berkata, "
Tolonglah paman mempertimbangkan lagi adakah ia masih dapat ditolong."
Orang tua itu gelengkan kepala, "Tidak dapat!"HatiSiangkwan Wan Cengseperi ditusuk dengan
pisau.Tiba-tiba meluaplah amarahnya.
Ia bangkit terus hendak memangul Han Ping lagi.Tiba-tiba ia teringat akan saputangan sutera
yang ada tulisannya. Diangsurkannya, saputangan itu kemuka orang tua, "Kalau engkau memang
ahli dalam ilmu pengobatan, cobalah engakau lihat apakah resep obat ini berkasiat atau tidak?"
dengan sikap dingin orang tua itu menyambuti saputangan itu seraya mengomel, " Aku tak
percaya dalam dunia ini terdapat manusia yang lebih pandai soal pengobatan dariku!" Siangkwan
Wan Ceng etrtawa dingin, "Lihatlah dulu baru nanti engkau bicara lagi"
Orang tua itu menebarkan saputangan, memandangnya dengan penuh perhatian. Selesai
membava ia letakan saputangan dan menghela napas " Sungguh tak nyana bahwa dewasa ini
dalam dunia masih terdapat manusia yang begitu pandai dalam ilmu pengobatan."
Mendengar itu Siangkwan Wan Ceng tertawa gembira, "Apakah resep itu berguna?"
Orang tua itu menatap wajah Han Pinh lalu berkata, "Nak kemarilah biar kuperiksamu lagi."
Han Ping hanya tersenyum. Ia mengisar tubuh menghampiri orang tua itu.
"Bukalah Mulutmu," kata siorang tua. Setelah Han Ping membuka mulut, orang tua itu
mengulurkan jarinya memijat garis Jin tiong di bawah hidung Han pIng, setelah memeriksa
beberapa saat ia berkata, "Engkau telah terkena racun yg amat berat,"
"Benar, Siangkwan Wan Ceng menyahuti, luka pada lambungnya itu gunanya untuk
menyalurkan racun keluar dari tubuhnya."
"Dia makan racun itu atau terkena racun dari luka?" Han pIng memandang Siangkwan Wan
Ceng. Ia hendak bicara tapi tak jadi. Siangkwan Wan Ceng menghela napas perlahan, "Adakah
engkau masih mencurigai aku" Ah"."
Han Ping tertawa hambar, " Kecuali obat yg engkau minumkan kepadaku, aku tak ingat lagi
mengapa dapat terkena racun?" Orang-orang lembah Raja setan, paling pandai menggunakan
racun. Apakah ketika engkau bertempur dengan mereka, apakah kaki dan tanganmu pernah
berbenturan?"Han Ping segera mengangkat lengan kiri dan mengawasinya. Tiba-tiba orangtua itu
berseru, "Benar, memang disitu."
Siangkwan Wanceng ikut memeriksa. Ternyata pada lengan kiri Han Ping terdapat segurat
bekas luka memanjang. Warnanya ungu muda.Orangtua itu mengangkat kepala memandang Wan-ceng, "Seumur hidup
aku gemar mempelajari ilmu pengobatan.
Tak terduga setelah begini tua, baru aku melihat resep semacam itu, Dimanakah tempat tinggal
orang itu, lekas bawa aku kepadanya!"
"Ai, pamnan," seru Siangkwan Wan-ceng cemas, "menolong orang sakit adalah ibarat menolong
kebakaran. Engkau tolong dulu dia baru nanti kubawamu kepada orang yang menulis resep
itu."Orangtua itu tertawa, "Resep ini memang hebat tetapi sayang sekali nama obat yang ditulis
disebelah atas, terhapus air. Tak dapat dibaca lagi."
Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ketika melOngok ternyata ujung saputangan sutera itu
memang basah dan tulisannya telah terhapus air tak dapat dibaca jelas.
"Resep yang ditulisnya itu setiap huruf memang aneh. Kecuali seorang yang faham akan ilmu
pengobatan seperti aku tentu takkan mengetahui tentang kehebatannya. Sekalipun resep ini
tersiar didunia tetapi tak ada orang yang berani menggunakannya."Wajah Siangkwan Wan-ceng
pucat, serunya, "Menilik paman begitu ahli dalam ilmu pengobatan tentulah paman dapat menerka
apakah tulisan yang telah terhapus air itu."Tiba-tiba orangtua itu mengatup mata dan menghela
napas, "Saputangan basah sekali sehingga bekas-bekas tulisan itu sukar diselami. Satu-satunya
jalan hanya menggunakaa kecerdasan untuk menerkanya."
"Sampai berapa lama paman dapat menerkanya?"
"Paling cepat memerlukan duabelas jam"." tiba-tiba orang tua itu menghela napas panjang,
katanya pula, "mungkin aku dapat menemukan ramuan obat itu tetapi belum tentu tepat seperti
yang ditutis resep itu. Daripada menerka, bukankah lebih baik mencari orang itu dan minta
kepadanya supaya menulis lagi?"
Siangkwan Wan ceng diam-diam mengeluh. Si dara baju ungu tentu sudah pergi dan tak tahu
ia harus mencari kemana. Tiba-tiba Han Ping tersenyum, "Mati hidup itu sudah suratan takdir. Nona Siangkwan, harap
jangan mencemaskan diriku."
Dengan nada terbata-bata Siangkwan Wanceng mengatakan bahwa tulisan yang hilang itu ia
yang melakukan karena menggunakan saputangan untuk mengusap airmatanya.
"Apakah resep itu yang menulis si dara baju ungu?" tanya Han Ping.
"Benar," sahut Siangkwan Wan-ceng, "kemanakah kita mencarinya?"
Han Ping lertawa, "Tak perlu mencari. Orang itu berhati ganas, resep yang ditulisnya tentu lain
kegunaannya.Dia tak mau menolong tetapi hanya menghendaki supaya tenaga-murni dalam tubuh
tak sampai hilang dengan begitu supaya aku menderita."
"Memang dia mengatakan bahwa obat itu mengandung racun tetapi akan dapat membuat
engkau hidup beberapa tahun lagi."Tiba-tiba Han Ping berkata kepada orangtua pemilik rumah,
"Lo cianpwe. bolehkah aku melihat saputangan itu?"
Sejenak bersangsi, orangtua itu segera memberikan saputangan seraya berkata, "Ilmu
pengobatan terdiri dari dua macam cara, wajar dan cara yang tidak wajar. Resep obat itu memang
menggunakan bahan beracun tetapi setelah beberapa macam racun itu tercampur jadi satu, akan
menimbulkan daya pengobatan yang bagus".
Han Ping menyambuti saputangan. Ia tertawa dingin lalu tiba-tiba gunakan tenaga meremas
saputangan itu sehingga hancur berkeping-keping.
Siangkwan Wan-ceng menjerit kaget dan lari menghampiri Han Ping berbangkit, menyurut
selangkah kebelakang lalu tebarkan tangan dan saputangan yang sudah hancur berkeping-keping
itupun berhamburan melayang keluar pintu.
"Mengapa engkau melakukan begitu?" tegur Si"angkwan Wan-ceng.
Han Ping tertawa, "Terima kasih atas perhatian nona"."
Tiba-tiba orangtua itu menggembor keras dan ayunkan tangan menghantam Han Ping, Tetapi
secepat itu Siangkwan Wan-ceng menangkis dengan tangan kanan, "Hai, paman, apakah engkau
gila?" Ternyata orangtua itu marah sekali dan memukul dengan sekuat tenaga. Tangan Siangkwan
(Wan-ceng tergetar dan tubuhnya tersurut mundur sampai dua langkah."Apakah lo-cianpwe
marah karena saputangan itu kuhancurkan?" seru Han Ping dengan hormat.
Teguran Han Ping itu membuat kemarahan orangtua agak reda. Rupanya ia merasa sungkan,
katanya, "Resep itu amat berharga sekali. Seharusnya disiarkan biar untuk menolong manusia.
bukankah amat sayang sekali karena engkau hancurkan?"
Setelah menangkis pukulan orangtua itu, brulah Siangkwan Wanceng tahu bahwa orangtua lu
memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Cepat ia loncat kehadapan Han Ping dan menegur tajam;
Orangtua beralis panjang itu tertegun, sahut-nya, "Walaupun bukan aku yang menulis tetapl
tak kuidzinkan orang menghancurkan resep itu."
"Ih, resep itu miliku. Biar hancur toh tak merugikan engkau. Mengapa engkau marah-marah
dan memukul orang?" lengking Siangkwan Wan-ceng.
"Sudahlah, jangan berdebat, mari kita pergi," kata Han Ping.
Siangkwan Wan ceng berpaling dan memberi senyuman kepada pemuda itu, "Baiklah aku toh
juga hanya hidup tak berapa lama. Aku akan selalu menurut katamu."
"Apa?" Han Ping terkejut. "Akupun juga minum obat beracun dari budak perempuan baju ungu
itu." Seketika berobahlah wajah Han Ping. Matanya berapi-api, "Budak hina itu memang benar
berhati ganas seperti ular"."
"Jangan menyalahkan dia. Akcu sendiri yang rela minum. Sebelumnya dia sudah menerangkan
dengan jelas"." Siangkwan Wan ceng tertawa;," lebih baik engkau kupanggul lagi." Dengan
mengertak gigi Han Ping menggeram "Sayang aku tak dapat hidup lama"."
"Ih, kalau bisa hidup lama, engkau mau apa?" Siangkwan Wan-ceng tertawa.
"Akan kuhantam dara itu supaya binasa agar jangan menimbulkan bencana pada dunia "Mari
kita jalan," cepat Siangkwan Wan ceng mengajak," kita cari tempat yang sunyi untuk menunggu
kematian!" Han Ping menurut saja ketika dipanggul Siangkwan Wan-ceng. Ia menghela napas panjang.
penuh kepaserahan. "Hai Tunggu dulu!" tiba-tiba orangtua beralis panjang itu berseru ketika melihat semua
melangkah pergi. Tetapi Siangkwan Wan-ceng tak menghiraukan. Bahkan berpaling memandang orangtua itupun
ia tak mau. "Hm, masih muda belia mengapa hendak menunggu kematian Apakah racun pada tubuhmu itu
benar-benar tiada obatnya lagi?"
Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping. Ia membuka mata dan dengan berbisik menyuruh
Siangkwan Wan ceng berhenti.
Rupanya nona itu menurut, Han Ping menyuruhnya kembali ketempat orangtua itu. Sudah
tentu Siangkwan Wan ceng terkejut, menundukkan kepaladan menghela napas. Namun mau juga
ia menurut perintah Han Ping.
Sambil menghela napas, Han Ping menepuk bahu "si nona, "Cobalah engkau tanya kepada
orangtua itu adakah dia dapat mengobatilukamu?"
Siangkwan Wan-ceng tergetar hatinya. Ia berpaling memandang Han Ping, "Apakah engkau
sungguh-sungguh tak menghendaki aku mati?"
Terdengar jawaban tetapi bukan dari Han Ping melainkan dari orangtua itu. Dia tertawa gelak,
"Kalau tak punya obat penawar, entah sudah berapa kali aku mati." Siangkwan Wan-ceng hanya
diam saja. Memang saat itu pikirannya hanya ingin mati tidak mengharap hidup. Sesudah tertegun
beberapa saat barulah ia berteriak keras, "Apa pedulimu dengan mati hidupnya seseorang" Perlu
apa engkau hendak mengurusi?"
Dalam pada bicara itu diam-diam ia siapkan Tui-hun-to-beng-ciam jarum beracun perenggut
nyawa. Pada saat ia hendak menaburkan kearah orangtua beralis panjang itu tiba-tiba terlintas
suatu pikiran dan berpalinglah ia kearah Han Ping. Tangannya yaris sudah terangkat keatas itupun
perlan-lahan terkulai kebawah lagi, tring". beberapa batang jarum maut itu berhamburan jatuh
ketanah.Orangtua alis panjang tertawa hambar, serunya, "Kalau dia takmau apakah engkau juga
begitu kalap hendak mati?"
"Dia siapa?" Siangkwan Wan-ceng menegas. Orangtua itu tertawa lebar, "Dia, yalah yang rebah
diatas punggungmu itu!"
Sebenarnya Siangkwan Wan-ceng harus marah kepada orangtua itu tetapi entah bagaimana,
diluar kesadarannya ia tersentuh hatinya dan berseru menegas lagi, "Benarkah?"Sambil
memandang sejenak kepada Han Ping, orangtua itu bertanya pula, "Engkau ingin mati atau
tidak?" Han Ping lepaskan cekalannya sehingga tubuhnya meluncur jatuh ketanah. Siangkwan Wanceng
berpaling gopoh. Dilihatnya Han Ping memandang puncak wuwungan rumah dan berkata dengan tegas, "Aku
ingin mati!" Orangtua alis panjang itu menengadahkan kepala tertawa nyaring Beberapa saat Kemudian
baru ia berhenti tertawa dan berrkata, ?"Sungguh Asmara itu mempunyai daya kekuatan yang
begitu hebat. Asmara dapat membuat orang tak menghirukan soal jiwanya."
Ucapan itu amat menusuk hati kedua anak-muda itu. Han Ping memandang sejenak kearah si
nona dan Siangkwan Wan ceng tampak merah pipinya. Memang seorang anak gadis yang dibuka
rahasia hatinya oleh orang tentu akan tersipu-"sipu malu.
"Anak perempuan, kemarilah, aku hendak bertanya kepadamu," tiba-tiba orangtua alis panjang
itu memanggil Siangkwan Wan ceng.
Siangkwan Wan-ceng berpaling kearah Han Ping. Dilihatnya pemuda itu tersenyum hambar.
Setelah itu ia menghampiri ketempat orangtua alis panjang.Nona itu tertawa aneh, nadanya
berbeda dengan mimik wajahnya. Entah dia tertawa girang, entah berduka. Rambutnya terurai
kusut menuJai cebawah. Sambil mengercasi rant but, ia berhenti iklepan orangtua alis panjang
"Mendekatlah sedikit lagi, aku berunding dengan engkau."
"Soal apa?" "Apakah engkau sungguh-sungguh hendak menolong jiwanya?"
"Sudah tentu sungguh!" Siangkwan Wan-ceng mengangguk.
Berkata orangtua beralis panjang itu dengan nada serius, "Anak perempuan, aku hanya dapat
menolong salah satu dari kalian berdua!"
Orangtua itu sejenak memandang kearah Han Ping lalu berkata pula, "Kalian memang tak
adahubungan apa-apa dengan aku.
Dan akupun tak mempunyai rasa sayang atau benci kepada kalian maka sukar bagiku untuk
memutuskan hendak menolong siapa!"
Tolonglah dia!" tanpa ragu-ragu Siangkwan Wan ceng berkata dengan tegas."Walaupun engkau
memilih mati tetapi sebelum mati engkau tetap harus memberi pengorbanan besar." kata orangtua
itu. "Bagaimana?" Kembali orangtua itu sejenak memandang kearah wajah Han Ping lalu menyuruh
Siangkwan Wan ceng merapat kedekat, "Rapatkan telingamu kemari."
Siangkwan Wan-ceng meragu sejenak tetapi akhirnya ia menurut juga.
Dalam pada itu rupanya Han Ping tak kuat berdiri maka ia segera duduk. "Paman herdak bicara
apa, lekaslah!" bisik Siangkwan Wan-ceng.
"O"." orangtua itu mendengus kaget, tiba-tiba ia gunakan dua buah jari untuk menutuk.
Siangkwan Wan-ceng menjerit dan rubuh ketanah.
Melihat itu Han Ping deliki mata dan melonjak bangun, teriaknya, "Engkau mau apa?"orangtua
beralis panjang itu tertawa seram, "Ho, engkau terluka parah, tak mungkin dapat lolos dari Panti
Kematian ini"."
Dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya Han Ping menggembor dan lontarkan sebuah
pukulan."Hm. budak yang tak tahu mati!" dengar orangtua itu seraya menampar dengan tangan
kanan. Ketika dua buah tenaga pukulan saling beradu, tiba-tiba Han Ping tersurut mundur sampai tiga
langkah dan jatuh terduduk ditanah.
Walaupun tertutuk jalandarahnya dan tak dapat berkutik tetapi pikiran Siangkwan Wan-ceng
masih sadar. Cepat ia berseru, "Jangan melukainya!"Sambil menekan tanah dengan tangan, dalam
keadaan masih duduk bersila, tubuh orangtua beralis panjang itu melayang kesamping Han Ping,
menutuk tiga buah jalandarahnya. Setelah itu ia menampar pelahan lahan ubun-ubun kepala Han
Ping. Han Ping menghela napas panjang, "Kuhormati engkau sebagai orangtua tetapi tak
kukira:kalau engkau sejahat"."
Orangtua beralis panjang itu menukas tertawa"Sudah berpuluh tahun aku tak pernah ber-kelahi
dengan orang. Sungguh tak kira kalau hari ini aku harus menggunakan dua buah jurus terhadap kalian
berdua!" "Hm, dengan gunakan siasat merebut kemenangan, bukanlah seorang ksatrya utama," ejek
Han Ping. Orangtua alis panjang itu hanya tertawa mengekeh, "Ho, sekarang seharusnya engkau
mengakui bahwa jahe yang tua itu lebih pedas dari yang muda." Han Ping mendengus, "Kalau aku
tak terluka, tentulah hari ini kuberimu hajaran yang setimpal."
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba wajah orangtua alis panjang itu berobah gelap, serunya, "Seumur hidup aku belum
pernah berjumpa dengan penyakit yang tiada obatnya. Kecuali orang itu memang sudah
meregang jiwanya dan pasti mati. Semua orang yang memeriksakan penyakit kepadaku hanya
mempunyai dua jalan.Sembuh atau mati"."
Ia berhenti sejenak menghela napas, "Walaupun tubuh kalian terkena racun tetapi hawa-murni
dalam tubuh kalian masih penuh, tak kuatir akan mati".."
"Kalau engkau sudah tak mampu mengobati, mengapa engkau mengatakan hal itu?"
"Hidupku adalah pengalamanku mengobati orang, Apa yang kukatakan tentu dapat dipercaya.
Tetapi kuanggap percuma mengatakan kepadamu kerena engkau toh tak mengerti"." orangtua
itu tersenyum. "kupercaya kalau mempunyai waktu yang cukup tentu mempunyai harapan untuk
menyembuhkan racun dalam tubuhmu". ."
"Ya, pada saat engkau memperoleh cara pengobatannya, kamipun sudah mati!" lengking
Siangkwan Wan-ceng. Orangtua alis panjang itu tertawa, "Ho, pada waktu menunggu. aku tentu kuusahakan agar
racun dalam tubuh kalian itu tak bekerja."
"Kapan kami harus menunggu?"
Orangtua alis panjang itu merenung diam beberapa saat baru menjawab, "Tujuh hari, ya tujuh
hari kalau aku masih tetap tak dapatmenemukan cara pengobatannya, akan kubuka jalan darah
kalian dan silahkan kalian pergi."
"Hm, Panti Kematianmu ini memang sesuai dengan namanya. Siapa yang masuk kemari, tentu
jarang yang dapat keluar masih hidup," seru si-nona.
"Aku dapat menjamin agar racun dalam tubuh kalian itu takkan bekerja" kata seorang tua.
"Walaupun racun tak bekerja tetapi aku tentu mati kelaparan," lengking Siangkwan Wan-ceng.
Orangtua alis panjang tertawa, "Semua mahluk hidup tentu akan mendapat kehidupan dari
alam. Masakan akan mati kelaparan. Segera akan kubawa kalian kedalam ruang pengobatan. Dalam
tujuh hari tujuh malam akan kuusahakan untuk menghilangkan racun dalam tubuh kalian."
"Berapa jauhnya tempat itu dari sini?"
Orangtua alis panjang itu berseri riang, "Di-belakang Panti Kematian ini. Akan kuperlihatkan
kepada kalian suatu kumpulan obat-obatan yang jarang terdapat didunia"."
"Cis, ocehan setan," dengus Siangkwan Wanceng.
Tetapi orangtua alis panjang itu tak marah kebalikannya malah tertawa, "Yang banyak didunia
ini hanyalah tempat-tempat yang indah alam pemandangannya. Tetapi kupilih tempat yang sunyi
ini karena mempunyai sebab lain."
Siangkwan Wan-ceng pejamkan mata dan mendengus, "Ah, siapa sudi mendengarkan
ocehanmu itu?" "Kalau tak kubawa kalian kesana. kalian tentu tak percaya"." baru orangtua itu berkata sam-ai
disitu tiba-tiba terdengar suara seorang anak bertanya, "Adakah sinshe dirumah?"Mendengar
suara itu tiba-tiba Siangkwan Wanceng teringat akan anak lelaki bersama kakeknya yang
dijumpainya ditengah jalan itu.
Serentak ia membuka mata dan berseru kepada orangtua alis panjang, "Tuh, ada tetamu
mencari engkau!" Dengan suara pelahan, orangtua itu menyuruh Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping menutup
mata, setelah itu ia berseru nyaring, "Hai, siapakah yang datang itu" Silahkan, masuk!"
Namun Siangkwan Wan-ceng tak menurut. Ia membuka matanya sedikit dan memandang
keluar. Tampak seorang anak lelaki tengah berjalan masuk dengan memanggul seorang
kakek.Ketika melihat Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping berada disitu, bocah itu terkejut tetapi
tetap melangkah masuk.Setelah memeriksa uratnadi kakek sakit itu, orangtua alis panjang
berkata, "Penyakitnya berat sekali, hawa murni dalam tubuhnya terluka. Aku hanya dapat
memperpanjang umurnya sampai tiga tahun."
Habis berkata tiba-tiba orangtua alits panjang itu bertepuk tangan tiga kali. Terdengar suara
berderak keras. Ujung ruang tiba-tiba mereka dan terbukalah sebuah pintu. Seekor kera berbulu
kuning emas muncul membawa sebuah penampan dari kayu siong putih.
Dengan langkah bergoyang gontai ia menghampiri kemuka orangtua alis panjang.
Diatas penampan kayu itu terdapat seperangkat alat tulis dan kertas. Orangtua alis panjang
mengambil pit dan kertas lalu menulis. Selesai menulis, ia menepuk kera bulu emas itu dan
menunjuk kearah pintu batu.
Kera bulu emas itu segera masuk kedalam pintu dan tak berapa lama keluar lagi dengan
membawa dua bungkus obat.
Setelah mengambil bungkusan obat, orangtua alis panjang itu berkata kepada bocah lelaki,
"Obat ini dimasak dengan air dan diminum, selama tiga hari itu. Setelah itu barulah makan pil
dalam bungkusan kecil. Isinya seribu butir pil. Kalau tiap hari minum sebutir, berarti dapat hidup sampai tiga tahun.
Setelah itu engkau boleh mengurus penyelesaiannya. Apakah engkau ingat?"
"Ya ingat," sahut sibocah Ielaki.
Orangtua alis panjang itu segera menyuruh bocah Ielaki membawa kakeknya pulang. Bocah
itupun segera memanggul engkongnya dan pergi. Tiba diambang pintu tiba-tiba ia berhenti,
berpaling dan berseru kepada orangtua alis panjang dan berseru Kepada orang tua beralis
panjang, "Sinshe, berapakah ongkos obatnya?"
"Bawalah saja dulu, setelah engkongmu sembuh, baru engkau bayar kemari," seru orangtua
alis panjang. Sambil memandang Siangkwan Wan-ceng, bocah Ielaki itu bertanya pula, "Sinshe, nona itu
seorang baik"." Rupanya ia hendak menasehati siorangtua alis panjang. Tetapi baru berkata
separoh bagian, ia sudah terus melangkah pergi.
Setelah bocah itu lenyap dari pandang mata, Siangkwan Wan-ceng mendengus, "Hm,
bagaimana engkau dapat memastikan kalau kakek itu hanya dapat hiduP selama tiga tahun?"
Tetapi orangtua alis padjang itu tak mau menghiraukan omongan si nona lagi.
Ia berbangkit pelahan lahan lalu menuju keujung ruangan.Siangkwan Wan ceng memandang
Han Ping dan menghela napas, "Ah, orangtua itu memang aneh.gerak geriknya serba misterius,
kukuatir bukan orang baik. Sekarang jalan darah kita telah ditutuknya, mati tidak hiduppun tidak.
Kita tak dapat berbuat suatu apa kecuali harus menerima apa saja yang dia hendak lakukan
kepada diri kita." "Kalau aku tak keracunan, aku dapat menyalurkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahku
yang tertutuk itu. Tetapi sekarang, ah, percuma saja," Han Ping mendesah.
Siangkwan Wan ceng meronta untuk mengisar tubuh kesamping Han Ping. Tetapi karena jalan
darahnya tertutuk maka separoh tubuhnya seperti mati tak dapat bergeak. Walaupun ia mencoba
untuk mengerahkan seluruh tenaganya tetap tak dapat.
Dengan putus asa ia menghela napas dan menitikkan dua butir air mata, "Ya, tamatlah riwayat
kita"." Tiba-tiba terdengar suara berderak keras dan pintu batu kembali terbuka. Dua ekor kera bulu
emas, masuk kedalam ruangan.
Mereka memandang Siangkwan Wan-ceng lalu menghampiri nona itu.
Tampaknya binatang itu kaku gerakannya tetapi ternyata dapat berlari gesit. Selekas tiba
didekat Siangkwan Wan-ceng mereka terus menerkam tubuh si nona.Salah seekor kera itu tampak
mengisar untuk mendesak kawannya lalu cepat-cepat mendahului menyambar tubuh nona itu
terus dibawa lari.Kera yang seekor itu tak berdaya. Terpaksa ia menghampiri ketempat Han Ping
dan memanggul tubuh pemuda itu diangkut keluar.
Walaupun kedua muda mudi itu berkepandaian tinggi tetapi karena jalandarahnya tertutuk,
mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Sekonyong-konyong telinga Han Ping dapat menangkap suara orang memanggil namannya
Suara itu berasal dari jauh dan nadanya parau, mungkin karena sudah kehabisan suara Han Ping
cepat mengenali nada suara itu sebagai suara pamanya Kim loji.
Tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa dan saat itu iapun segera dibawa masuk kedalam pintu
batu diujung ruangan. Diam-diam Han Ping menghela napas dan berusaha untuk menenangkan diri, menyalurkan
napas. ia harap maiih dapat menyalurkan tenaga untuk membuka jalan darah yang tertutuk itu.
Han Ping masih bingung memikirkan tingkah laku orangtua alis panjang itu.
Apakah maksudnya orang itu menutuk jalandarahnya" Dia sendiri tak takut soal jiwanya, mati
atau hidup ia tak memkirkan.
Yang dicemaskan yalah keselamatan Siangkwan Wan ceng ia kuatir nona itu akan menderita
kecemaran. Ia menyesali Siangkwan Wan-ceng yang telah membawanya berobat ketempat orangtua alis
panjang. Tetapi ia juga menyalahkan dirinya sendiri mengapa menyuruh nona itu bersikap menghormat
siorangtua sehingga akibatnya begitu. Kalau Siangkwan Wan-ceng bersikap keras, tak mungkin
orangtua alis panjang itu dapat menutuk jalandarah mereka.
Rasa penyesalan itu mendorong keras hatinya untuk berjuang. Ia berusaha untuk
menghilangkan semua gangguan pikiran dan memupuk hawa murni untuk menjebolkan
jalandarahnya yang tertutuk.Rupanya kera bulu emas itu seekor binatang yang terlatih baik
sehingga dapat mengerjakan perintah tuannya dengan baik. Tetapi betapapun, itu tak dapat
mengetahui usaha Han Ping membuka jalandarahnya yang tertutuk.
Tiba-tiba terdengar suara orangtua beralis panjang, "Entah aku tak tahu apakah hubungan
kalian berdua ini. Apakah kalian tak keberatan kalau kutempatkan didalam sebuah ruangan "
Ketika Han Ping membuka mata, ia tertegun. Keadaan yang berada dihadapannya jauh
berlainan dengan diluar tadi. Hidungnyapun terbaur dengan bau obat yang keras.
Ternyata saat itu dirinya berada dalam sebuah tempat yang mempunyai tiga buah kamar besar
kecil. Dan buah ranjang kayu terbentang diruang itu. Kecuali itupun penuh dengan bermacammacam
baskom, mangkok, supit dan seikat daun obat.
Ada empat baskom berisi tanaman obat yang belum pernah diketahuinya, terletak diatas
dingklik dekat jendela. Yang dua baskom berisi tanaman berbunga kecil-kecil warna putih. Sedang yang dua baskom
berisi buah-buah kecil-kecil warna merah.
Han Ping hendak membuka mulut tetapi didahului Siangkwan Wan-ceng, "Kami adik dan taci!"
Orangtua alis panjang itu merenung sejenak lalu berkata, "Kalau adik dan taci tinggal satu
kamar, memang tidak pantas Biarlah kupisahkan kalian dalam dua kamar!"
"Sejak kecil kami berdua selalu tinggal sekamar, mengapa tidak pantas?" Siangkwan Wanceng
berteriak gopoh. Orangtua itu memandang kedua kera bulu emas lalu menunjuk kearah ranjang kayu. Kera itu
meletakkan Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping keatas ranjang lalu beringsut keluar.
Dengan riang gembira orangtua alis panjang itu tertawa, "Sejak tinggal dismi, belum pernah
ada orang yang masuk kedalam kamar obat-obatanku. Ketahuilah bahwa kumpulan daun obat
yang berada dalam kamar sekecil ini hampir menghabiskan seluruh umur ku. Aku menjelajah
seluruh wilayah Kanglam-Kangpak, melintasi gunung dan sungai"." ia menunjuk kedua baskom
berisi buah merah dan daun bunga putih, berkata pula, "Buah yang berwarna merah itu kecuali
warnanya yang sedap dipandang pun merupakan salah satu dari tiga jenis tanaman yang paling
beracun. Rasanya manis enak dimakan. Tetapi apabila makan buah itu, amblaslah nyawa kita"."
Berhenti sejenak ia pergunakan untuk memandang kearah kedua anak muda itu lalu dengan
riang gembira ia melanjutkan kata katanya, "Hai anak perempuan yang pintar bicara, coba engkau
tebak apakah rumput berbunga putih itu mengandung racun atau tidak?"
"Kalau buah merah mengandung racun, jelas bunga putih itu tentu tak beracun!" seru
Siangkwan Wan-cang. Orangtua alis panjang gelengkan kepala, "Salah, rumput merah memang beracun tetapi bungaputih
itupun beracun juga "."
Siangkwan Wan-ceng mendengus, "Huh, m-nilik simpananmu begini banyak tanaman beracun,
mungkin engkau juga seorang manusia beracun!" Orangtua itu tertegun, "Ih, kali ini engkau dapat
menebak jitu!" Siangkwan Wan-ceng terkejut dalam hati. Dia tadi hanya bicara sembarangan tetapi ternyata
benar. Uh, ia pernah mendengar tentang tanaman, dan binatang beracun tetapi seumur htdup
belum pernah mendengar tentang manusia beracun.
"Huh, itu tak mengherankan," sahut nona itu dengan garang walaupun dalam hati am at
cemas, "dalam dunia persilatin banyak sekali tokoh-tokoh yang mahir menggunakan racun.
Misalnya orang Lembah Seribu-racun, sampai anak Kecilnya saja juga pandai menggunakan racun.
Juga lembah Raja setan itu termasyhur dengan obat racun Bihun-yok dan merekapun mahir
tentang ilmu obat-obatan beracun. Tokoh lembah Raja-setan si Ting Ko itu sekujur badannya juga
beracun"." Orangtua alis panjang itu gelengkan kepala, "Mereka hanya pandai menggunakan racun, antara
lain bubuk beracun, air beracun dan disembunyikan pada pakaiannya. Pun sebelum itu mereka
sudah minum obat penawaranya. Paling-paling kuku jari atau lengan mereka yang beracun. Tidak
seperti diriku ini. Jantung, darah sampai pada seluruh uratnadi dalam tubuhku semua beracun.
Kuweh yang kumakan beracun, minumankupun racun"."
"Jangan bicara lagi, aku tak sudi mendengar ocehanmu itu!" teriak Siangkwan Wan-ceng.
Tiba-tiba wajah orangtua itu berobah gelap, "Aku seorang tua masakan sudi berbohong dengan
seorang budak perempuan macam engkau.
Apakah engkau menghendaki aku bersumpah baru engkau mau percaya?"
Setelah berdiam diri sesaat, Siangkwan Wanceng berkata, "Kalau jantung dan darahmu
mengandung racun, mengapa engkau tak mati?"Orangtua alis panjang itu tertawa, "Pertanyaan
yang bagus! Kalau aku tak makan racun, mungkin sudah menjadi bangkai dalam kubur!" Melihat
orangtua itu bicara dengan riang gembira, timbullah pikiran Siangkwan Wan ceng, serunya,
"Paman, karena engkau tutuk jalandarahku, kita tak dapat bicara dengan leluasa. Apakah engkau
dapat membuka jalandarahku agar kita dapat bicara dengan enak?"
Orangtua itu merenung sesaat kemudian ia berkata, "Kalau engkau hendak melarikan diri,
berarti engkau cari penyakit sendiri."
Jawab si nona, "Setelah mendengar pembicaraanmu tadi, aku makin tertarik. Sekalipun engkau
suruh aku pergi, akupun tak mau."
Orangtua alis panjang itu tertawa riang, "Sebenarnya kalau menurut keadaan, tak mungkin aku
dapat hidup sampai enam lusin tahun"." Melihat orangtua itu sudah mulai tergerak hati dan
tampaknya mau membuka jalandarahnya, buru-buru Siangkwan Wan-ceng bertanya, "Paman,
berapakah usiamu sekarang?"
"Entah, tak ingat dengan tepat, Mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahun!" sambil berkata
orangtua alis panjang itu menghampiri ketempat Siangkwan Wan-ceng lalu menampar jalandarah
si nona yang tertutuk. Setelah melakukan pernapasan dan mengetahui bahwa hawamurni tubuhnya tak menderita
suatu apa, barulah Siangkwan Wan ceng duduk."Budak perempuan, kulihat biji matamu
berkeliaran kesekelilmg penjuru, apakah engkau merencanakan hendak lolos?"
tegur orangtua itu dengan tertawa," seumur hidup aku tinggal ditempat sesunyi ini hanya
seorang diri ..,.. Siangkwan Wan-ceng memandang Han Ping.
Melihat pemuda itu telentang dengan mata tertutup rupanya dia sudah tidur. Diam-diam
Siangkwan Wan-ceng merasa lega.
Tiba-tiba ia loncat turun."Jangan mengganggunya, biarkan dia beristirahat," seru orangtua alis
panjang. Nona itu memandang siorangtua alis panjang, berseru melengking, "Engkau menggunakan akal
licik untuk menutuk jalandarahku dan akupun menggunakan tipu muslihat juga untuk menyuruh
engkau membuka jalandarahku yang tertutuk.
Sekarang kita tak saling menderita kerugian."
"Bukan aku hendak menakuti-nakuti engkau. Tetapi kuharap kalian tinggal disini untuk berobat
Kemungkinan masih ada harapan tertolong. Tetapi kalau kalian pergi, tentu kalian mati," seru
siorangtua alis panjang. "Huh, engkau sendiri berlumuran racun bagaimana dapat menolong orang lain yang menderita
keracunan?" "Ilmu pengobatan itu memang luar biasa. Dengan racun aku dapat menjaga jiwaku sampai
dapat hidup begini tua. Adakah itu bukan suatu bukti yang jelas orangtua itu berhenti sejenak, "apa yang kubaca dalam
resep obat yang engkau bawa itu, semuanya merupakan racun"."
"Lebih baik mati daripada sekujur tubuh mengandung racun," seru Siangkwan Wan ceng.
Tiba-tiba Han Ping membuka mata dan berkata, "Setelah memeriksa penyakitku sudikah
locianpwe dapat sembuh?"
"Sembuh dan rusak, mempunyai kesempatan yang sama," sahut siorangtua alis panjang.
Han Ping menghela napas, "Tak peduli locianpwe hendak menggunakan racun apa saja dan
hendak menjadikan aku manusia macam apa saja, aku rela menerima asal yang penting, ilmu
silatku jangan sampai lenyap," kata Han Ping.
"Pada umumnya orang menganggap racun itu mencelakai orang tetapi jarang yang tahu bahwa
sesungguhnya racun itu mempunyai daya guna yang baik. Air dapat memadamkan api tetapi
apipun dapat mendidihkan air. Itulah rahasia alam yang jarang diketahui orang. Misalnya seperti
diriku, mengapa aku dapat hidup sampai begini tua, pun karena jasa racun. Hanya saja
keadaannya berbeda dengan diri kalian yang terkena racun itu".."
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng menukas, "Tok lojin, ternyata engkau memang manusia
beracun segala-galanya. Bukan melainkan tubuh dan kaki tanganmu, pun juga lidahmu beracun.
Tukar bicara dan menutuk jalandarah kami tadi, bukankah engkau telah menyalurkan racunmu
ketubuh kami?" Han Ping mencegah supaya nona itu jangan memutus pembicaraan orang.Siangkwan Wan-ceng
deliki mata, "Ih, baiklah, rupanya engkau memang sudah terbius kata-kata manis dia orangtua
itu".. "Tubuh setiap orang mempunyai sumber daya yang hebat. Tergantung dari orang itu dapat
memanfaatkannya atau tidak.
Misalnya karena tubuh kita terkena racun yang membahayakan jiwa tetapi kalau kita dapat
menyalurkan racun itu pada tempat yang sesuai, bukan melainkan umur kita akan bertambah
panjang pun kepandaian tenaga-dalam kita dapat kita kembangkan makin meningkat. "Huh,
ocehan setan " diam-diam Siangkwan Wanceng mendengus dalam hati.
Setelah merenung beberapa jenak. Han Ping pun berseru, "Benar, memang beralasan juga!"
"Ih, mengapa begitu mudah engkau dapat dikelabuhinya" Sejak kecil aku dilahirkan dikeluarga
persilatan, mau tak mau pengetahuan dan pendengarankupun cukup luas. Tetapi seumur hidup
belum pernah kudengar orang mengatakan bahwa racun itu berguna untuk menielihara umur
panjang. Sudahiah, jangan mendengarkan ocehannya!" seru Siangkwan Wan-ceng.
Dara itu menunjuk pada orangtua alis panjang, serunya! "Lihatlah keadaannya. Tubuhnya kurus
kering, tangannya seperti cakar burung, alisnya panjang seperti setan. Apakah dia mirip dengan
seorang sinshe yang pandai?"
Han Ping tahu bahwa dara itu keras kepala. Kalau dilayani tentu akan melawan dengan reaksi
yang lebih keras. Maka ia segera memanggil dara itu supaya datang kepadanya.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tersipu merah dan mengulum senyum nona itupun menghampiri dan berdiri disamping
Han Ping. Han Ping menerangkan dengan tersenyum, "Locianpwe ini telah menggunakan seluruh hidupnya
untuk menyelidiki rahasia hidup
manusia dan menggunakan tubuhnya sebagai percobaan. Sama sekali bukan ocehan kosong.
Taruh kata kita tak dapat mempercayai seluruhnya tetapi tiada jeleknya kita mendengarkan."
Rupanya Siangkwan Wan ceng mau juga menurut nasehat Han Ping, Ia mengangguk dan
memandang kepada orangtua alis panjang, serunya tertawa, "Paman, bicaraiah pelahan-lahan,
aku takkan mengganggumu lagi."
Rupanya orangtua alis panjang itu kesima melihat sikap kedua tetamunya. Sejenak ia
terlongong heran lalu berkata memuji, "Ah, sungguh sepasang anak yang
menyenangkan,"Siangkwan Wan-ceng diam-diam melirik kearah Han Ping lalu pelahan-lahan
sandarkan kepalanya kebahu kiri anakmuda itu.
Orangtua alis panjang itu memandang keluar jendela kearah bunga pUtih dan bunga merah lalu
melanjutkan pembicaraannya, "Semula aku hendak memaksa kalian harus menerima cara
pengobatanku. Tetapi sekarang kurobah keputusanku.
Aku hendak menjelaskan cara pengobatan itu agar kalian rela menerimanya sendiri."
Racun beracun. "Aku tak pernah belajar silat tetapi aku minum racun yang dapat merangsang tenaga. Oleh
karena itu aku memiliki tenaga yang luar biasa dan akupun faham akan jalandarah orang. Orang
yang tak kenal kepadaku tentu mengira aku seorang ahli silat."
"Karena lo cianpwe menggunakan tubuh lo-cianpwe sendiri untuk percobaan maka aku ingin
sekali mendengarkan penjelasan lo cianpwe," kata Han Ping.Setelah ?"merenung beberapa saat,
orangtua alis panjang itu berkata, "Makanan dan minuman beracun yang kumakan itu, dari sedikit
demi sedikit sehingga banyak jumlahnya.
Tetapi kalian belum pernah menggunakan racun itu. Kalau mau makan, tentu takerannya
sedikit. Tetapi menilik racun dalam tubuhmu itu, jika tak makan obat beracun dalam jumlah besar,
tentu takkan berkhasiat. Dan kalau takerannya ditambah
banyak, akupun tak dapat mengatasi. Inilah hal yang perlu kujelaskan kepadamu."
Han Ping berpaling kepada Siangkwan Wanceng. katanya, "Karena keadaan sudah begini rupa,
biarlah aku mencobanya saja.
Daripada duduk menunggu kematian lebih baik kita berusaha mencari hidup."
Nona itu kerutkan alis dan berkata kepada orangtua alis panjang, "Paman. cobalah engkau
pikir, apakah tiada lain cara lagi kecuali itu?"
Orangtua alis panjang memanggul kedua tangannya dan berjalan mondar mandir lalu berkata,
"Caranya memang hanya satu tetapi harapan sembuh memang makin besar. Tetapi perlu
kutegaskan, bahwa aku tak dapat menjamin tentu berhasil "
"Apakah itu?" tanya Han Ping Dengan nada sarat orangtua alis panjang menjawab, "Ganti
darah"." "Ganti darah".?" Siangkwan Wan-ceng menjerit kaget. "Benar, ganti darah." kata orangtua alis
panjang, "lebih dulu darahku yang mengandung racun ini disalurkan kedalam tubuhnya agar darah
dalam tubuhnya mengandung banyak racun, setelah itu baru minum racun dalam jumlah banyak.
Dengan cara itu kemungkinan hidup, memang lebih besar." Siangkwan Wan-eeng gelengkan
kepala, " Cara seaneh itu belum pernah kudengar."
"Selain itu memang tiada cara lain lagi," orangtua alis panjang mengangkat bahu.
"Asal kepandaian silatku tak hilang, aku bersedia mencoba," kembali Han Ping berseru memberi
penegasan. Kini orangtua alis panjang itu yang menghela napas, "Bagiku hal itu memang berbahaya.
Apabila salah urus, aku bisa mati karena kehabisan darah."
"Ah, kalau memang membahayakan, tak perlulah lo-cianpwe mencoba cara itu," Han Ping
menyusuli kata-kata. Tetapi orangtua alis panjang itu tetap berkeras, "Daripada menghidupkan seorang tua renta
macam diriku ini, lebih baik kutolong engkau ..
Tiba-tiba ucapannya terputus oleh suara getaran keras dan bunyi bercuit cuit yang aneh.
Seketika berobahlah wajah orangtua alis panjang itu, serunya, "Hai, siapakah yang berani
menyelundup kedalam Panti Kematian dan melukai binatang kera pdiharaanku."
Siangkwan Wan-ceng cepat berbangkit dan membisiki Han Ping, "Tinggallah disini, jangan
bergerak kemana-mana. Aku akan menyertainya keluar." Diantara bunyi bercuit-cuit yang riuh itu tiba-tiba memancar
suara orang meneriakan nama Han Ping.
Suaranya parau nadanya.Mendengar itu Han Ping serentak bangun serunya "Yang datang itu
pamanku sendiri, harap kalian menemuinya keluar.Sedangkan aku akan mempertimbangkan dulu
perlukah aku menemuinya atau tidak."
Siangkwan Wan-ceng berhenti dan mencegah orangtua alis panjang itu.
Tiba-tiba terdengar pula getaran keras dan teriakan orang memanggil nama Han Ping. Rupanya
karena kalap, Kim loji ngamuk dan menghantam dinding pondok."Anak perempuan, menyingkirlah,
kemungkinan binatang kera piaranku itu telah diantam mati oleh pendatang itu." seru orangtua
alis panjang melangkah maju.
Tahu bahwa sekujur badan orangtua itu beracun karena tak berani bersentuhan, Siangkwan
Wan ceng terpaksa menyingkir kepinggir tetapi ia gerakkan kakinya untuk menendang lutut
orang."Sudahlah, jangan berkelahi sendiri. mari kita sama-sama keluar menemuinya!" akhirnya
Han Ping berseru melerai.
Dan Siangkwan Wan-cwengpun minta maaf kepada orangtua alis panjang itu. Orangtua itu
hanya mendengus seraya melangkah keluar diikuti Han Ping dan Siangkwan Wan-ceng,Tiba
dipintu, orangtua alis panjang menekan alat penutup dan terbukalah dinding pondok itu "Hai,
dimanakah engkau menyembunyikan Ping-ji?" seru seseorang dari luar pondok. Nadanya penuh
dengan kemesraan seorang ayah kepada anaknya Han Ping terharu. Cepat ia melangkah maju
didepan orangtua alis panjang.
Tetapi baru berjalan dua langkah saja napasnya sudah terengah-engah."Ping-ji, engkau
kenapa" Siapakah yang melukai engkau!" teriak Kim loji seraya lari menghampiri.
Sikap Kim loji yang begitu menyayang itu, benar-benar menusuk perasaan Han Ping. Saking
terharu ia sampai menitikkan dua butir airmata dan menyahut rawan, "Paman: Kim, tak kira".
saat ini aku masih dapat berjumpa dengan paman?"
Juga Kim loji berlinang-linang airmata. Ia menepuk bahu anakmuda itu, "Anak tolol, mengapa
engkau berkata begitu"
Asal engkau minum obat ini tentu segera sembuh!"Han Ping melihat pakaian paman Kim loji itu
koyak dan mukanyapun terdapat gurat-gurat luka. Tentulah pamannya tadi berkelahi dengan kera
peliharaan orangtua alis panjang. Tetapi tangan pamannya itu masih menggenggam obat penawar
racun. Kim loji rela kehilangan jiwa untuk mempertahankan obat itu jangan sampai direbut orang.
Han Ping makin terharu. Ketika menundukkan kepala, dilihatnya disamping kaki Kim loji
terdapat kera bulu merah yang sudah menggeletak ditanah. Orangtua alis panjangpun tengah
memeriksa keadaan luka binatang peliharaannya dengan teliti.
"Ping-ji, betapa bingung aku tadi mencarimu. Setelah melihat engkau tak kurang suatu apa,
barulah hatiku lega.?"
?"Tetapi bagaimana paman dapat mencari aku kemari tanya Han Ping.
"Dunia ini memang penuh dengan kejadian-kejadian yang tak terduga. Setelah selesai
membuatkan obat untukmu aku cepat kembali kegunung tempat engkau berada. Tetapi ternyata
engkau sudah tak kelihatan. Betapa gelisah dan cemas hatiku, sukar kulukiskan.
Aku mencarimu kemana-mana dan meneriaki namamu tetapi tetap tak bersahut". "Maafkan
aku, paman"." kata Han Ping.
"Ah bukan salahmu tetapi aku sendiri yang tak cepat-cepat datang ketempatmu, ah"."
Setelah berdiam beberapa saat, tiba-tiba Han Ping berseru, "Paman, bukankah engkao bertemu
dengan seorang kakek sakit bersama cucunya?" Kim loji tertawa.
"Paman, mengapa engkau tertawa?"
"Ping ji, kukira engkau seorang pemuda yang polos hati kosong pikiran. Tetapi ternyata engkau
amat cerdas. Sesungguhnya berani tetapi sikapnya seperti takut, cerdik tetapi tampak seperti
bodoh, ha ha". ternyata didunia terdapat seorang pemuda seperti engkau"."
"Huh, apa yang engkau tertawakan!" tiba-tiba dari samping terdengar suara seseorang
membentak, Kim loji cepat berpaling.
Dilihatnya orang tua alis panjang yang bertubuh kurus kering itu Entah bagaimana Kim loji yang
penuh pengalaman dalam dunia persilatan, saat itu merasa seram melihat perwujudan orangtua
alis panjang yang tak ubah seperti sesosok mayat hidup.
"Aku menertawakan diriku sendiri, mengapa saudara hendak mengurus aku?" serunya.
Orangtua alis panjang tertawa dingin, "Tahukah engkau sekarang berada dimana?"
Sambil memandang kesekeliling, Kim Loji menyahut tersekat, "Aku". aku di"."
" Tak peduli siapa saja, asal masuk ke Panti Kematian sini, hasus menurut kepadaku. Bahkan
jiwanyapun berada ditanganku," seru orangtua alis panjang itu.Kim loji kerutkan alis, menengadah
tertawa, "Hebat. sungguh hebat sekali Seram, sungguh menyeramkan sekali!
Tetapi bagiku seorang she Kim, hal itu sungguh mengelikan."
"Benarkah engkau berani menertawakan?" menegas orangtua alis panjang itu."Benar, sudah
berpuluh tahun aku malangkeutara melintang ke selatan, tetapi"."
Tiba-tiba orangtua alis panjang itu bertepuk tangan dan kera besar yang menggeletak ditanah
itupun loncat bangun lagi.
Han Ping, Siangkwan Wan ceng dan Kim loji terkejut sekali. jelas kera itu terluka parah dan tak
mungkin bisa hidup tetapi dalam sekejab saja setelah diperiksa siorangtua alis panjang ternyata
dapat loncat bangun. Han Ping memandang kemuka. Dilihatnya orang tua alis panjang itu tengah menuding kearah
Kim loji- Kim loji tergetar hatinya dan menyurut mundur dua langkah. Dilihatnya kera yang
berlumuran darah itu menebarkan kedua tangan, sepasang matanya yang berwarna kuning emas
seperti menonjol keluar dari kelopaknya dan memandang Kepadanya dengan penuh kemarahan.
Kera bulu emas itu pelahan-lahan berjalan menghampiri ketempatnya.Tadi Kim loji sudah
berkelahi dengan binatang itu tetapi entah bagaimana ia merasa ngeri ketika melihat wajah dan
keadaan kera pada saat itu.
Memang sudah berpuluh-puluh tahun Kim loji mengembara dalam dunia persilatan dan selama
itu entah berapa banyak lawan yang pernah dihadapi. Tetapi entah bagaimana pada saat itu ketika
menghadapi kera bulu emas, nyalinya seperti rontok.
Ia mundur lagi selangkah dan kera itu malah makin mempercepat langkahnya.Melihat itu Han
Ping cepat membentak, "Berhenti!" lalu cepat loncat kemuka kera.Teriakan Han Ping itu laksana
halilintar memecah angkasa. Rupanya ia telah mengerahkan seluruh sisa tenaga-dalamnya.
Dan sesaat ia loncat kemuka kera, tahu-tahu kera itupun terlempar beberapa langkah
kebelakang dan rubuh ketanah.
Tiada seoranppun yang menyangka bahwa saat itu Han Ping masih mempunyai tenaga yang
sedemikian hebatnya. Tampak dia berdiri tegak seperti patung lalu pelahan-lahan terkulai jatuh ketanah.
Kim loji menjerit, loncat dan menubruknya, "Ping ji".Ping ji "."
Tiba-tiba kera bulu emas tadi meraung pelahan lalu lompat bangun. Melihat itu Siangkwan
Wan-cengpun cepat melesat ketempat binatang itu. Tetapi secepat itu pula si nona buang
tubuhnya berjumpalitan loncat kembali ketempatnya semula.
Ternyata nona itu hanya perlu menjemput pedang pusaka Pemutus-asmara yang terletak
ditanah setelah itu ia kembali lagi dan berkata kepada orangtua alis panjang, "Walaupun kera
bulu-emas itu mempunyai tulang baju kulit besi tetapi jangan harap
dapat bertahan menerima tabasan pedang pusaka ini!"
Orangtua alis panjang itu mengedipkan mata, wajahnya yang dingin tadipun tampak tenang
dan tiba-tiba ia bertepuk tangan tiga kali.
Kera bulu emas itupun berputar tubuh, mmandang tuannya lalu menghampiri pelahan-lahan.
Siangkwan Wan-ceng mendapat kesan bahwa pondok yang bernama Panti Kematian dan oran"
tua alis panjang memang penuh dengan rahasia.tetapi iapun mendapat kesan bahwa orangtua itu
memang berusaha hendak menolong jiwa Han Ping "Paman, lekaslah menyingkir! "Siangkwan
Wanceng berseru seraya loncat kebelakang kera dan mengacungkan ujung pedang kepunggung
kera. "Jangan melukainya " orangtua alis panjang itu melengking dan tiba-tiba mengangkat tangan
menampar kepala kera bulu emas.
Siangkwan Wan-ceng hentikan rencananya hendak menusuk tetapi pedang itu tetap diarahkan
kepunggung kera. Orangtua itu tak mengacuhkan. Matanya tetap memandang kemuka kera. Dari kerut wajahnya
yang tegang itu jelas kalau orangtua alis panjang sedang menggunakan tenaga besar untuk
mengatasi binatang piaraannya.
wajah kera yang menyeramkan itupun pelahan-lahan lenyap, matanya mengatup dan
terkulailah binatang itu rubuh ketanah.
Orangtua alis panjangpun berjongkok lalu menangis keras. Rupanya ia amat berduka sekali
karena kehilangan binatang yang disayanginya itu.Betapapun halnya, Siangkwan Wanceng itu
seorang gadis yang memiliki perasaan halus.
Melihat orangtua alis panjang menangis tersedu sedan, ia segera menghampirt dan berjongkok,
"Sudahlah, paman, jangan menangis". " Tetapi orangtua alis panjang itu tak mengacuhkan. Ia
tetap menangis sedih. Siangkwan Wan-ceng hendak menghiburnya tetapi tak tahu bagaimana harus merangkai katakata.
Ketika sejenak ia berpaling, dilihatnya Kim loji mengangkat tubuh Han Ping dan hendak
dibawanya pergi. "Berhenti!" seru Siangkwan Wan-ceng.Sejenak Kim loji berpaling memandang si nona lalu tibatiba
ia loncat keambang pintu.
Siangkwan Wanceng melonjak bangun dan berteriak, "Kalau engkau hendak mernbawanya
pergi, berarti engkau hendak menghilangkan jiwanya." Saat itu Kim loji sudah menendang pintu
dan hendak lari keluar. Serta mendengar teriakan si nona, tiba-tiba ia berhenti, "Apakah
omonganmu itu sungguh?"
"Dalam soal yang sepenting ini masakan aku masih ingin bergurau?"
sahut Siangkwan Wan-ceng, Memandang kepala Han Ping, dilihatnya wajah pemuda itu pucat
lesi. napasnya lemah. Setelah tertegun beberapa jenak, Kim lojipun melangkah masuk kembali. Baginya jiwa Han Ping
itu amat penting sekali Siangkwan Wan ceng segera menyongsong dan bertanya kepada Kim loji,
"Lo-cianpwe apakah dia masih keluargamu"
Mengapa engkau begitu memperhatikan sekali kepadanya?" Jawab Kim loji, "Dia adalah putera
dari saudara-angkatku "."
Kenangan yang lampau kembali terbayang di benak Kim loji. Ia menghela napas, ujarnya,
"Kami tiga pendekar gunung Lam-gak, hanya tinggal aku seorang saja tetapi keadaankupun begini
cacad Untunglah Thian masih kasihan kepadaku.
Aku dapat merawat putera toako. Membalas dendam, mengangkat nama didunia persilatan,
seluruhnya terletak diatas bahu anak ini.
Apabila dia tak dapat tertolong dari Keracunan, akupun tak mau hidup sebatang kara didunia.. .
." Siangkwan Wan ceng tertawa rawan, "Aku tak tahu asal usul dirinya tetapi aku amat
mengagumi kepandaiannya. Thian telah menciptakan seorang tunas dunia persilatan yang begitu cemerlang tentu takkan
begitu saja akan melenyapkannya"."
Tiba-tiba nona itu hentikan kata-katanya karena mendengar orangtua alis panjang itu menangis
makin beriba iba. Seolah-olah hendak mencurahkan kesedihannya hatinya hidup seorang diri dalam kesepian.
Mau tak mau Siangkwan Wan-ceng ikut tersentuh nuraninya. Dua butir airmata me-nitik keluar.
Setelah menghapus airmata, ia menghampiri ketempat orangtua alis panjang itu lagi, "Paman,
sudahlah, jangan menangis."
Orangtua alis panjang itu berpaling memandang si nona. Berhenti menangis, beberapa saat
kemudian tiba-tiba ia tertawa keras.
Sudah tentu Siangkwan Wan ceng heran dan bertanya, "Mengapa engkau tertawa?"
Orangtua alis panjang itu tiba-tiba berdiri lalu menari dan menyanyi-nyanyi.
Suaranya tak sedap didengar, bercuit-cuit talk jelas lagunya. Tubuhnya berlenggang lenggok
menurut sekehendak hatinya".
Siangkwan Wan ceng hendak menasehatinya, tetapi karena melihat orangtua itu makin lama
makin menari dan menyanyi dengan gembira, ia tak jadi membuka mulut.Seberapa saat
kemudian, tiba-tiba orangtua alis panjang itu rubuh dan menjerit-jerit bergelimpangan ditanah.
Melihat orangtua itu berguling-guling makin keras sehingga pakaiannya koyak-koyak,
Siangkwan I Wan-ceng tertegun, "Nona, lekas engkau cegah orang itu. Kalau Ia terus menerus
berguling-guling begitu rupa, selain pakaiannya akan hancur, jiwanya tentu melayang juga," seru
Kim loji.Siangkwan Wan-ceng mengiakan lalu menyambar tubuh orangtua alis panjang itu.
Tetapi karena orangtua itu berguling-guling seperti binatang buas, beberapa saat kemudian
barulah Siangkwan Wan-ceng berhasil mencengkeram bahunya. Orangtua alis panjang itu berhenti
lalu bangun. "Paman seorang tua, mengapa sebentar sedih sebentar tertawa seperti anak kecil saja?" tegur
Siangkwan Wan-ceng. Sejenak berdiam diri, orangtua alis panjang itu menyahut, "Seumur hidup aku belum pernah
merasa gembira seperti hari ini"."
Rupanya ketegangan hati orangtua itupun sudah reda. Tapi memandang Kim loji lalu
Siangkwan Wan-ceng, katanya, "Anak-anak, mari ikut aku!"
"Engkau memanggil siapa?" Kim loji terkesiap.
"Engkau!" seru orangtua itu, "kalau dulu aku menikah tentu sudah mempunyai anak sebesar
engkau, mungkin lebih tua lagi!"
Karena melihat rambut oragtua itu memang sudah beruban, Kim loji merasa kalau orang itu
memang jauh lebih tua dari dirinya.
Terpaksa ia mengangkat tubuh Han Ping lalu menghampiri.
Orangtua alis panjang itu mengangkat tubuh kera bulu emas, membuka pintu disudut ruang
lalu melangkah masuk. Siangkwan Wan-ceng membisiki Kim loji bahwa gerak gerik orangtua alis panjang itu memang
serba aneh. Oleh karena hendak minta pertolongannya lebih baik nanti menuruti saja kehendaknya.
Kim loji mengiakan, " Ya, asal dapat menolong Ping-ji, sekalipun suruh aku menjura sampai
beberapa kali dihadapannya, akupun mau."
Kini mereka menasuki ruang obat-obatan. Setelah meletakkan kera bulu emas, orangtua alis
panjang itu memetik setangkai bunga putih dan sebutir buah merah lalu mengambil beberapa
macam! obat obatan lahu diramunya. Ia membuka mulut kera lalu memasukkan obat. Setelah itu ia
menepuk kepala kera itu dua kali, serunya, "Makanlah"!" Aneh, mulut kera itupun bergerak-gerak
menelan obat.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bawa dia kemari," seru orangtua alis panjang itu kepada Kim loji. Dengan menghela napas,
Kim loji terpaksa melakukan perintah.
"Letakkan!" kembali orangtua alis panjang itu memberi perintah. Kim loji bersangsi sejenak lalu
meletakkan tubuh Han Ping.
Setelah sejenak memeriksa dada Han Ping, orang tua alis panjang itu menghela napas, "Lukanya
berat sekali. Hanya dengan cara "racun mengobati racun", mungkin dapat menolong jiwanya."
"Adakah yang disebut racun mengobati racun itu?" tanya Kim loji.
"Racun itu telah menyusup kedalam darah dagingnya dan sudah tersebar keseluruh tubuh.
Aku tak dapat menghilangkan racunnya tetapi hanya dapat mengobati dengan cara memberi
lain jenis racun yang dapat menindas racun dalam tubuhnya "
"Apakah "tak berbahaya?" Kim loji berkata seorang diri dengan cemas.
"Aku tak mau memaksa, terserah kepadamu," kata orangtua alis panjang.
"Lekas kerjakan!" tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng berseru," daripada kalau racun itu bekerja dan
dia mati, lebih baik mencobabahaya itu."
Melihat kemantapan si nona. Kim loji hanya dapat menghela napas; serunya, "Baiklah, bila Ping
ji sampai mati, kita bertiga pun jangan harap ada yang hidup!"
"Benar," sa mbut Siangkwan Wan-ceng, "dia mati, kitapun tak perlu harus hidup."
"Bagus, bagus!" seru orangtua alis panjang, "aku memang sudah lama ingin mati tetapi kalau
mati seorang diri merasa kesepian.
Dengan mendapat kawan kalian bertiga, itu bagus sekali."
Orangtua alis panjang itu segera memetik sekuntum bunga putih dan buah merah dan memilih
beberapa macam tanaman obat lalu diremas-remas jadi satu."Hai, apakah obat itu tak perlu
dimasak?" Siangkwan Wan-ceng berseru heran.
"Daun-daun Obat ini sudah matang, tak perlu dimasak lagi.
Setelah setelah meramu obat-obatan itu, ia segera menggelindingi menjadi lima butir pil besar
kecil, katanya, "Pil beracun ini cukup untuk membunuh berpuluh-puluh orang. Racun ganas sekali
Kim loji dan Siangkwan Wan ceng diam saja tak mau memberi rekasi. Sepeminum teh lamanya,
kembali orangtua alis panjang itu berkata seorang diri, "Apa boleh buat, kalau tak menggunakan
racun ini, mungkin dia tak dapat hidup."
Kim loji dau Siangkwan Wan-ceng tetap diam Orangtua alis panjang itu menjemput sebutir pil
lalu disusupkan kemulut Han Ping.
Kemudian sejenak berpaling memandang Siangkwan Wanceng, kembali orangtua itu
memasukkan pil yang kedua, katanya, "Kalau setelah makan lima butir pil ini dia hidup, berarti dia
takkan mati"." Setelah itu ia memasukkan pil yang ketiga.
"Hai, jangan cepat begitu, biarkan dia mengunyah pelahan-lahan," seru Siangkwan Wan-ceng.
"Ah, tak ada waktunya. Aku ingin lekas-lekas mengatahui dia hidup atau mati." sahut orangtua
alis panjang. Demikian tak berapa lama habislah kelima butir pil itu dimasukkan kemulut Han Ping.
Kini mereka menunggu dengan penuh ketegangan. Detik-detik dirasakan lama sekali oleh
ketiga orang itu. "Jantungnya masih mendebar," kata Siangkwan Wan-ceng seraya meraba dada Han Ping.
"Alangkah cepatnya," seru orangtua alis panjang, "dalam sejam lagi tentu dapat diketahui mati
hidupnya" "Satu jam" Ah, betapa lamanya!" keluh si dara.
"Jangan kuatir, nanti aku yang mengganti jiwanya," sahut orangtua itu.
Tiba-tiba Kim loji melonjak dan lekatkan tangannya kepunggung orangtua alis panjang itu,
"Kalau dia mati, engkaulah yang menyusul mati lebih dulu "
"Jangan kuatir," sahut orangtua itu, "aku memang sudah mempersiapkan tempat untuk kita
berempat." "Seumur hidup aku tak suka percaya omongan orang," kata Kim loji.
"Percaya atau tidak terserah," kata orangtua als panjang," tetapi engkau harus bersabar
menunggu sampai satu jam."
"Baik, tetapi tanganku tetap akan melekat dipungungmu. Sampai nanti setelah dia benar-benar
dapat hdup, baru kutarik kembali."
"Kalau engkau tak repot, silahkan aja" sahut orangtua itu.
Siangkwan Wan cengpun tunjukan ujung pedang Pemutus asmara kedada kera bulu emas,
"Kalau engkau bermaksud hendak menggunakan binatang ini. dia tentu kubunuh dulu."
Orang tua alis panjang itu tertawa gelak-gelak, "Bagus, bagus, seumur hidup baru pertama kali
ini aku merasa ada orang yang memperhatikan diriku. Entah kalian bermaksud baik atau buruk,
tetapi aku berterima kasihsekali," habis berkata ia terus pejamkan mata bersamedhi. Mulutnya
mengulum senyum. Demikian suasana ruang pondok itu sunyi senvap dan tak berapa lama sejampun sudah lewat.
Tetapi Han Ping tetap berbaring tak bergerak.
Siangkwan Wan ceng meraba dada Han Ping lagi, serunya, "Paman, jantungnya masih
berdetak." Orangtua itu membuka mata, serunya, "Ada orang datang!"
Siangkwan Wanceng tertegun dan mempertajam telinganya. Segera ia mendengar suara
seseorang yang bernada kasar, "Adakah orang-orang didalam pondok ini sudah mati semua?"
Menyusul terasa getaran keras. Rupanya karena tak ada yang menjawab, orang itu marah dan
entah dengan benda apa, ia menghantamt dinding pondok.
"Iblis laknat, setan keparat!" orang itu memaki-maki, "kalau aku sampai marah, pondok int
tentu kubakar!" "Hm, bakarlah! Pondok ini terbuat dari batu hijau yang tahan api," orangtua alis panjang itu
berkata seorang diri dengan pelahan. Karena tak jauh dari tempatnya, Siangkwan Wan-ceng dapat
mendengar kata-kata orangtua itu.
"Hai, orang didalam rumah, lekas saja seorang keluar. Kalau tak mau, jika kuketemukan tempat
persenbunyian kalian, tentu akan kubunuh," seru orang itu makin keras.
"Rupanya pendatang itu bangsa kaum persilatat sehingga tahu kalau kitu bersembunyi dibilik
rahasia ini," kata Kim loji.
"Biarlah," sahut orangtua alis panjang. "kamar rahasia ini terbuat dan batu tebal yang tahan api
dan amat kokoh sekali. Tak mungkin dia dapat masuk kemari."
"Orang itu terlalu liar, biarlah aku keluar untuk memberinya hajaran," kata Siangkwan
Wanceng. "Tak perlu." cegah orangtua alis panjang." biarkan dia bingung sendiri. Bum, bum, bum".
Terdengar suara letupan dan getaranu makin keras. Rupanya karena tak sabar menunggu
penghuni pondok yang tak mau keluar, pendatang itu marah sekali. Ia mengamuk dan
menghantam kamar rahasia itu sekeras-kerasnya.
Getaran itu makin hebat dan letupanpun makin dahsyat. Jelas pendatang itu tentu
menggunakan senjata untuk menghantam dinding.
Entah berselang berapa lama, suara letup dan getaran itupun tiba-tiba berhenti.
"Ayo, mereka tentu sudah sakit tangannya," orangtua alis panjang tertawa.
Tiba-tiba Han Ping menghela napas pelahan. Kedua tangannyapun bergerak-gerak?"".
JILID 2 "Oh, terima kasih Tuhan, dia sudah siuman," seru Siangkwan Wan-ceng gembira.
Kim lojipun segera menarik telapak tangannya yang melekat dipunggung orangtua alis panjang
lalu memperhatikan Han Ping.
Tetapi setelah dapat bergerak beberapa saat, tiba-tiba Han Ping kembali tak berkutik lagi.
"Aneh, mengapa dia tak dapat bergerak lagi?" orangtua alis panjang itupun berseru heran.
"Apakah gerakannya tadi bukan karena bekerjanya racun?" seru Kim loji.
Siangkwan Wan-ceng segera lekatkan tangan kedada Han Ping, "Ah, jantungnya masih
berdetak." "Biar, mereka taK mungkin dapat membakar kamar rahasia yang kokoh ini?", kata orangtua alis
panjang. Melihat Siangkwan Wan-ceng berdiri lalu duduk lagi. Orangtua alis panjang itu menegur, "Ai,
apakah engkau hendak keluar?";
"Aku ingin menghajar mereka tetapi tak tega meninggalkan dia," sahut si dara.
Orangtua alis panjang".berdiam beberapa saat. Setelah itu ia mengambil sebuah guci dan
cawan arak. Dituangnya arak dalam guci ke cawan lalu minta pinjam pedang kepada Siangkwan Wan-ceng.
Cret, ia menggurat ujung pedang pusaka Pemutus-asmara kelengan kirinya. Darah bercucuran
kedalam cawan arak. "Paman, engkau mau apa itu?" tegur si nona "Hendak kuminumkan arak yang bercampur
darahku ini kepadanya. Tadi dia telah minum daun obat yang paling beracun didunia. Sekarang hendak kuberinya
darah binatang yang beracun yang telah menghidupkan jiwaku selama berpuluh-puluh tahun.
"Sebenarnya aku merasa sayang kalau memberikan darahku itu kepadanya."
"Kalau setelah minum dia tetap tak sadar, bagaimana?" tanya Siangkwan Wan-ceng pula.
Orangtua alis panjang mengangkat bahu, "Tidak ada daya lain lagi kecuali kita bertiga harus
menemaninya mati." Siang kwan Wan ceng tertawa, "Baik atau buruk akibatnya, harus cepat-cepat selesai. Jangan
berlarut-larut menyiksa hati."
Kim loji memandang kearah Han Ping dan berkata seorang diri, " Tidak, dia takkan mati". "
Setelah membalut lengannya, orangtua alis panjang itu mencampur ramuan obat kedalam
darah lalu diminumkan kemulut Han Ping.
Kembali suasana sunyi senyap penuh ketegang-an. Hastl dan obat darah itu, selain menyangkut
jiwa Han Ping, juga ketiga orang itu. Mereka tak mempedulikan asap dari luar yang makin lama
makin memenuhi bilik rahasia itu.
Setengah jam kemudian kembali orangtua alis panjang meminumkan darah bercampur arak itu
kemulut Han Ping hingga habis.
Karena napas sesak dengan gumpalan asap, Siangkwan Wan-ceng batuk-batuk. Kim loji dan
orangtua alis panjang mengangKat muka memandang si nona. Alangkah kejut mereka ketika
dipintu tampak berdiri dua orang lelaki.
Yang disebelah kiri mencekal sebatang tongkat besi dan yang sebelah kanan, seorang
bertumbuh kurus, memegang sebatang golok kui thauto atau golok yang tangkainya berbentuk
seperti kepala setan. Entah kapan mereka muncul disitu. "Bagaimana kalian masuk kesini?" tegur orang tua alis
panjang seraya meletakan cawan arak.
Orang yang disebelah kiri tertawa dingin.
lalu mendamprat "Jangan kata hanya bersembunyi disini, sekalianpun kalian bersembunyi
diliang tikus, pun kami tentu dapat mencarinya."Siangkwan Wan ceng kerutkan alis dan memben
tak, "Hati-hati kalau bicara".
Lelaki bersenjata golok kui-thau-to tertawa dingin, "Selama berpuluh tahun mengembara
diduniapersilatan belum pernah ada orang yang berani bicara begitu kasar kepadaku.
Wut". sebelum orang itu selesai bicara. si nona sudah taburkan jarum emas, "Bangsat, jangan
bermulut besar!" Kedua pendatang itu orang-orang persilatan yang banyak pengalaman. Melihat Siangkwan
Wan-ceng ayunkan tangan, merekapun cepat menghindar. Tetapi karena jaraknya amat dekat, tak
urung pakaian mereka tertembus jarum.
Untung tak sampai mengenai daging.
"Budak setan. engkau berani menggunakan jarum beracun!" lelaki bersenjata tongkat
mendamprat. Tetapi ia tak berani keluar dari tempat persembunyiannya. Rupanya gentar juga terhadap
jarum emas Siangkwan Wan-ceng.
Karena pintu dapat dibuka kedua orang itu, asappun makin memenuhi kamar.
Bum, tiba-tiba orang itu menghantamkan tongkatnya dan pintu kamar rahasia itupun
berlubang. Siangkwan Wan ceng menjemput pedang Pemutus-Asmara, serunya, "Harap menjaganya, aku
hendak menyelesaikan kedua orang itu agar mereka jangan sempat menutup jalan keluar dengan
api." "Mereka menjaga di kanan kiri pintu, berbahaya kalau nona menerjang keluar, "Kim loji
memberi peringatan. "Tak apa, aku mempunyai akal untuk mengatasi mereka," kata Siangkwan Wan ceng terus
melesat kebelakang pintu.
Tiba-tiba ia julurkan pedang Pemutus-asmara keluar.
Wut, wut, dari kanan kiri golok dan tongkat segera menghantam tangan Siangkwan Wan-ceng.
Tetapi nona itu sudah siap. Ia turunkan tangannya kebawah agar senjata lawan ikut mengejar
turun. Kemudian ia enjot kakinya loncat keluar.
Tetapi belum melayang turun ketanah, sebuah tertawa dingin membentaknya, "Kembali!"
Siangkwan Wan-ceng yang masih melayang diudara itu segera berputar diri sambil
mengayunkan pedang pusaka untuk melindungi tubuh, Ia meluncur turun kesamping kiri.
Karena sejak kecil mendapat didikan dari seorang guru yang sakti, kepandaian nona itu pun
bukan alang kepalang. Bentakan orang yang disertai dengan dorongan tenaga tadi, hebat sekali. Ia merasa sukar
melawan maka cepat-cepat ia melayang".
Tring, orang yang menjaga disebelah kin menyambut dengan tongkat. Tetapi begitu terbentur
pedang Pemutus-asmara, kutunglah tongkat itu.
Siangkwan Wan ceng malang melintang didunia persilatan Sepak (wilayah barat laut) dan
terkenal ganas. Ia banyak sekali pengalaman menghadapi musuh pukulan yang menerjangnya, hebat sekali.
Tahulah ia kalau berhadapan dengan musuh yang kuat, Saat itu Han Ping masih pingsan, Kim
loji masih lelah dan orangtua alis panjang tak mengerti ilmu silat.
Ancaman saat itu, hanya tergantung pada dirinya".
Setelah menetapKan keputusan, Siangkwan Wan-ceng menarik pedang kebelakang dan
menjeritlah orang yang bersenjata tongkat tadi, rubuh terkapar ditanah.
Tenaga hantaman orang yang menyerang Siang kwan Wan-ceng tadi ternyata membobolkan
dinding atas pintu, masih menyusup kedalam kamar rahasia sehingga pakaian Kim loji dan
orangtua alis panjang terdampar keras.
Orangtua alis panjang dan Kim loji terkejut menyaksikan kedahsyatan tenaga orang itu.
Orang tua alis panjang cepat menampar kepala kera bulu emas lalu mengangkat tubuh Han
Ping dibawa pindah ketempat yang lebih dalam.
Sementara Kim loji menjemput kutungan palang pintu lalu menghadang diambang pintu.
Melihat kawannya rubuh, orang yang bersenjata tongkat besi marah.
Dengan jurus Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih puncak. ia loncat menghantam
Siangkwan Wan-ceng. Serangan dengan senjata berat itu tak dihiraukan Siangkwan Wan-ceng. Yang diperhatikan
hanya orang yang melepaskan pukulan tadi. Cepat ia menghindar kesamping setelah terlepas dari
hantaman tongkat ia cepat songsongkan pedang Pemutus Asmara untuk menahan tongkat besi
dan mebuangkan kesempatan untuk memandang kearah orang yang memukul tadi.
Usahanya itu berhasil. Ditengah asap tebal pada jarak satu tombak lebih jauhnya, tegak
seorang bertubuh pendek kurus dalam pakaian yang kemilau. Samar-samar ia melihat tubuh orang
itu bergerak gerak".
Orang yang bersenjata tongkat besi karena hantamannya luput, segera menggembor keras dan
menarik tongkatnya sekuat tenaga keatas. Ia mengandalkan tongkatnya yang berat dan tak
gentar akan pedang si nona.
Pedang Pemutus Asmara itu sebuah pusaka yg tajamnya bukan kepalang. Justeru karena orang
itu menarik tongkatnya kuat-kuat maka benturan dengan pedang Pemutus Asmarapun makin
keras. Tring. tongkat besi kutung dua jari.
Tongkat besi itu panjangnya tak kurang dari dua meter Maka kutung dua jari saja, tiada
halangan Cepat ia menarik tongkat lalu cepat disapukan ketubuh si nona.
Siangkwan Wan-ceng memperhatikan bahwa tempat itu amat sempit dan ia tak tahu pula siapa
sebenarnya musuh yang melepaskan pukulan itu.Ia harus menyingkir kelain tempat yang lebih
leluasa. Maka dengan gunakan gerak Kiau-yan-hoan-sim atau burung seriti berjungkir tubuh, ia
melayang kedalam ruangan.
Kim loji gunakan kutungan palang pintu untuk menahan serangan tongkat besi yang hendak
mengejar Siangkwan Wan-ceng.
Tring, ketika berbenturan, palang kayu yang dipegang Kim loji itupun hancur menjadi tiga
keping. Tetapi karena tak menduga duga, tongkat besi orang itupun terlepas jatuh dari tangannya.
Melihat itu cepat Kim loji maju selangkah dengan kerahkan sisa tanganya ia segera
menaburkan kutungan palang pintu kepada orang itu.
"Harap Kim lo cianpwe jangan menempuh bahaya dan lekas mundurlah. Diluar ada seorang
musuh yang sakti!" seru Siangkwan Wan-ceng.
Saat itu terdengar jeritan ngeri dan rubuhlah orang yang bersenjata tongsat besi cadi. Ternyata
pada saat ia berjongkok hendak memungut tongkatnya ditanah, taburan palang kayu Kim loji tadi
tepat mengenai jidatnya sehingga ia menjerit dan rubuh tak ingat orang.
Kim loji segtra menyambar tongkat besi. Belum sempat tangannya menjamah, tiba-tiba
menjulur sebuah kaki, menginjak batang tongkat itu dan serempak disusul dengan bentakan
bengis, "Lepaskan! Kata-kata itu disertai hamburan bau yang amat anyir menusuk hidung.
Kim loji kaya pengalaman didunia persilatan ia tahu kalau pendatang itu memang hendak
mencelakai dirinya tentu tidak menginjak tongkat tetapi sudah menendang dirinya. Terpaksa ia
batalkan rencananya mengambil tongkat lalu pelahan-lahan berdiri.
Tiba-tiba ia rasakan keningnya dingin seperti ditampar patahan dan serentak terdengarlah
Siang-Lwan Wan-ceng berseru, "Kutu panjang!"
Kim loji menyurut mundur dua langkah lalu mengangkat muka memandang kedepan. Seorang
kakek kurus pendek, berdiri diambang pintu.
Rambut kepala dan jenggotnya yang putih dan jarang-jarang itu, bertebaran. Mengenakan
pakaian warna hitam. Seekor ular kecil warna merah melilit ditangan kanannya. Sedang lengan kanannyapun dilibat
sekor ular besar yang kulitnya berwarna loreng-loreng.
Karena tubuh dan ekor ular itu menggubat tubuh maka dalam keremangan asap lebat, tampak
tubuh kakek itu seperti berpakaian yang gemilang.
Kim loji terlongong teriaknya, "Ketua lembah Seribu racun".
Kakek pendek itu hanya cebirkan bibir, menyahut ringkas, "Benar". " terus melangkah.
Kedua ekor ular yang melilit pada kedua tangan ketua lembah Seribu-racun itu bergeliatan
menjulurkan tubuh dan kepalanya.
Siangkwan Wan-ceng dan Kim loji mundur dua langkah.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diluar dugaan tiba-tiba kera bulu emas yang menggeletak ditanah itu melonjak bangun.
Sepasang matanya terbuka lebar-lebar memandang kakek pendek berbaju hitam dengan sikap
hendak menyerang. "Lo cianpwe." bergegas. Kim loji berkata kepada orangtua alis panjans, "lekas suruh kera itu
berhenti. Yang datang ini adalah pemilik Lembah seribu-racun.
Rupanya Kim loji menyadari bahwa ketua Lembah seribu racun itu berkepandaian tinggi Jika
kera iiu menyerang tentu akan membangkitkan kemarahannya.
Tiba-tiba orangtua alis panjang tertawa gelak-gelak, "Karena menjadi ketua Lembah seriburacun,
dia tentu faham akan racun". "
Kakek pendek baju hitam itu sejenak memandang kera bulu emas yang beringas lalu tanpa
mengacuhkan ancaman si kera, ia menyahut, "Hanya tahu satu dua macam . , . "
Kemudian ketua Lembah-seribu-racun itu memandang Kim loji tegurnya, "Siapakah orang itu"
Karena engkau menyebutnya lo cianpwe, tentu dia bukan orang yang tak bernama. Apakah
sahabat dari Sin ciu-it-kun Ih Thian-heng?"
Sambil melekatkan tangan kedada, Kim Loji memberi hormat, "Lo-cianpwe ini ialah pemilik
Panti Kematian sini. Sama sekali tak kenal dengan Ih Thian-heng "
Orangtua alis panjang letakkan tubuh Han Ping lalu memandang tawar kearah kakek pendek
kurus itu, "Siapakah engkau ini" Mengapa berani masuk kedalam Panti Kematian milikku ini dan
masih begitu kurang sopan terhadap diriku?"
Mendengar itu buru-buru Kim loji menyeletuk "Yang datang ini adalah pemilik Lembah-seriburacun,
salah seorang tokoh paling terkemuka dalam dunia persilatan Lembah-seribu-racun
termasyhur dengan kepandaiannya tentang racun dan locianpwe seumur hiduppun mempelajari
racun. Boleh dikata dalam jaman ini kalian berdua ini tokoh utama soal racun. Dua orang tokoh
yang sama kepandaiannya tentu saling bersimpati tiba-tiba ia batuk-batuk dan tak melanjutkan
kata katanya. Sebenarnya ia bermaksud hendak memperkenalkan kedua orang itu satu sama lain tetapi tibatiba
ia teringat kalau belum tahu nama orangtua alis panjang. Maka baru-baru ia batuk-batuk
untuk menghentikan ucapannya.
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa kering, "Ah, apakah kepandaianku" Masakan aku layak
disebut tokoh paling terkemuka dalam dunia persilatan?"
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, "Karena engkau berada disini, tuanmu Ih Thian-heng itu
tentulah berada disekitar tempat ini"
Kim loji berdiam sejenak lalu menyahut, "Aku diutus oleh tuanku tetapi tersesat sampai disini
Sama sekali aku tak sengaja masuk Panti Kematian ini."
Orangtua alis panjang memandang kepada sikakek pendek dan ular yang melihat tubuhnya lalu
berkala, "Kedua ekor ular itu sungguh ular beracun yang jarang terdapat,"
Habis berkata ia terus bertepuk tangan. Kera bulu emas itupun segera kembali kesisi orang tua
alis panjang lagi. Pemilik lembah seribu-racun tertawa hambar, "Kedua ekor ular beracun hebat ini sudah
kutundukkan. Tanpa perintahku tak mungkin akan melukai orang."
"Menjinakkan dua ekor uLar berbisa, bukan termasuk kepandaian yang hebat" seru orangtua
alis panjang. Wajah ketua Lembah-seribu-racun berobah seketika, serunya pula, "Kedua ekor ular berbisa ini
hampir menghabiskan seluruh
tenaga dan waktuku untuk mencari keseluruh pelosok dunia. Racunnya luar biasa ganasnya.
Segala mahluk apa saja kalau terkena gigitannya tentu segera mati.
Termasuk orang yang memiliki kepandaian tinggi pun tak kuat bertahan."
"Tetapi aku tak takut pada ularmu itu," seru orang tua alis panjang tertawa.
"Apakah engkau berani mencobanya?" ketua Lembah seribu racun murka.
"Coba, coba, cobalah".orangtua alis panjang mendesis seraya melangkah maju.
Melihat itu Kim loji cepat mencegahnya, "Lo-cianpwe seorang tabib, yang penting yalah
menolong orang. Mengapa harus ngotot untuk urusan yang tak penting?"
Orangtua alis panjang itu berpaling memandang Han Ping. Ia menurut nasehat Kim loji dan
menyurut mundur lagi. Sementara itu Siangkwan Wan-cengpun menghampiri kesamping Han Ping lalu berjongkok
untuk memeriksa keadaan pemuda itu.
Ketua Lembuh-seribu-racun terbentur pandang pada pedang Pemutus asmara yang dicekal
Siangkwan Wan-ceng. Ia bertanya kepada Kim loji, "Siapakah budak perempuan itu" Bukankah pedang yang
dicekalnya pedang pusaka Pemutus-asmara yang menggetarkan dunia persilatan?"
"Dara itu adalah puteri tersayang dari ketua marga Siangkwan di Kang lam. Yang dicekalnya
memang pedang pusaka Pemutus-asmara."
Ketua Lembah-seribu-racun menatap si dara dengan penuh perhatian lalu tertawa, "Wajahnya
tak kalah dengan kedua puteri Lembah Raja-setan, hanya keberaniannya melewati batas"."
Mendengar itu Siangkwan Wan ceng berpaling deliki mata kepada ketua Lembah-seribu-racun
itu, namun ia tahan kemarahanya dan diam.
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa gelak-gelak, serunya. "Dengah ayahmu aku kenal baik,
menurut urutannya, seharusnya engkau menyebut aku paman tua."
Melihat Siangkwan Wan-ceng acuh tak acuh, Kim loji buru-buru menyela, "Nona Siangkwan,
cianpwe ini adalah Leng lo cianpwe ketua Lembah-seribu-racun. Seorang sahabat baik dari
ayahmu, lekaslah engkau kemari menjumpainya."
Sejenak meragu, akhirnya mau juga nona itu menghampiri, memberi hormat, "Hormatku
kepada Leng lo-cianpwe."
Ketua Lembah-seribu-racun batuk-batuk, tertawa, "Sudah lama kudengar, diwilayah Sepak tak
ada yang menandingi. Apa yang kulihat hari ini, barulah tahu kalau pendekar wanita yang gagah berani itu ternyata
seorang dara yang cantik juga.
Mempunyai seorang puteri begitu, sungguh dapat menambah umur panjang. Benar-benar aku
mengiri atas kebahagiaan ayahmu."
Siangkwan Wan-ceng paksakan tertawa, "Silahkan duduk, locianpwe. Aku masih hendak
merawat orang sakit."
Pelahan-lahan mata ketua Lembah-seribu-racun itu beralih kepada Han Ping, tanyanya, "Orang
yang mendapat perhatianmu tentulah bukan sembarangan. Siapakah dia?"
"Ah, anak keponakanku," kata Kim loji. Ketua Lembah-seribu-racun pejamkan mata lalu tertawa
dmgin, "Karena menempuh perjanan jauh aku lelah hendak pinjam tempat ini untuk beristirahat.
Kalau kalian ada pekerjaan. silahkan saja!"
Habis berkata ia terus duduk bersandar dinding dan pejamkan mata. Kedua ekor ular itu tetap
bergeliatan melilit lengannya.
Kim loji menghampiri kesisi Han Ping lalu bertanya bisik-bisik kepada orangtua alis panjang,
"Lo-cianpwe, kapankah kiranya dia akan tersadar?"
Orang tua alis panjang meraba dada Han Ping, menjawab, "Menilik keadaannya, tak mungkin
akan terjadi perobahan lagi pada tubuhnya.
Kapan dia akan tersadar, sukar kukatakan."
Siangkwan Wan ceng; mendekati Kim loji dan bertanya, "Ketua Lembah-seribu-racun itu
termasyhur sekali. Ilmu Iwekangnya tinggi. Tak mungkin dia letih menempuh perjalanan. Kukira tentu ada
sebabnya dia berada disini."
Kim loii mengiakan, "Aku juga merasa heran". ."
"Apakah mungkin ada orang yang menyaru sebagai, dirinya?" tanya Siangkwan Wanceng.
"Sudah dua kali aku berjumpa dengan dia krtika di Lembah-seribu-racun, Sudah berpuluh tahun
dia tak pernah keluar dari lembahnya. Kalau kali ini dia keluar tentulah ada suatu urusan yang
penting sekali". "
Kim loji berhenti sejenak lalu berkata pula, "Selekas Ping ji siuman, kita segera tinggalkan
tempat ini agar jangan medapat kesulitan."
Memang SiangKwanceng sudah mendengar dari ayahnya sudah pernah mendengar tentang
nama ketua Lembah-seribu-racun itu.
Seorang tokoh yang ganas dan kejam sekali.
Mendengar pernyataan Kim loji, Siangkwancengpun mengangguk, "Ya, tetapi entah kapan dia
akan sadar diri." Tiba-tiba terdengar suara mendengkur. Rupanya ketua Lembah-seribu-racun itu sudah tidur
pulas. "Dia sudah tidur," kata orangtua alis panjang, Kim loji gelengkan kepala, "Tampaknya dia
seperti lelah sekali"."
Siangkwan Wan-ceng melengking, "Aku tak percaya dia benar-benar?"."
Kim loji cepat memberi isyarat mencegahnya berkata lebih lanjut. Kemudian ia memandang
kearah Han Ping yang masih tidur tenang seperti orang yang tak menderita luka. Diam-diam Kim
loji menghela napas dan menitikkan airmata.
Airmatanya tepat jatuh dimulut Han Ping.
Tiba-tiba orangtua alis panjang bertepuk tangan, "Ai, aku lupa menggunakan obat
perangsang"." "Lekas bilang, obat apa itu?"
"Airmata"." baru orangtua alis panjang berkata begitu tiba-tiba terdengar Han Ping menghela
napas panjang dan menggeliat duduk.
Melihat itu orangtua alis panjang serentak melonjak bangun dan bertepuk tangan tertawa
girang, "Manusia racun, manusia racun, ilmu pengobatanku ternyata tepat!"
Dia berteriak makin lama makin keras dan akhirnya menari-nari seperti anak kecil.
"Lo-cianpwe, berhentilah, aku hendak bicara penting," cepat Siangkwan Wan-ceng
meneriakinya. Suara dengkuran dari hidung ketua Lembah-seribu-racun seperti sebuah musik yang mengiringi
tarian orangtua alis panjang.
Bermula amat serasi sekali tetapi lama kelamaan dengkur itu seperti menguasai gerak tarian
orangtua alis panjang. Segera Siangkwan Wan- ceng dan Kim loji merasa bahwa suara dengkuran itu tak wajar.
Keduanyapun merasa seperti Kena pesona dan ingin sekali turut menari. Tetapi setiap kali
hendak bergerak menari, mereka berusaha untuk menekan keinginanya.
Siangkwan Wan-ceng mengangkat pedang Pemutus-Asmara dan seketika itu ia rasakan hatinya
seperti terbaur oleh hawa pedang sehingga kesadarannya pulih kembali.
Serentak ia berbangkit dan berbisik kepada Kim loji, "Harap lo-cianpwe menjaganya aku hendak
membangun kan ketua Lembah-seribu-racun itu"."
Kim loji memperhatikan bahwa cara menari orangtua alis panjang itu seperti tak henti-hentinya
orang bertepuk tangan. Ketika Siangkwan Wan-ceng berkata kepadanya, iapun hanya mengiakan saja.
Si nona segera menghampiri ketempat ketua Lembah seribu-bunga. Kurang tiga empat langkah
dari tempat kakek pendek itu tiba-tiba ia berhenti.Ular yang melingkar ditubuh ketua Lembahseribu-
racun itu, bergeliatan menjulur sampai setengah meter, mengangakan mulut dengan buas.
Siangkwan Wan-ceng segera putar pedang pusaka. Hawa dingin dari pedang Pemutus-asmara
Pahlawan Dan Kaisar 24 Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Keris Maut 1
" Makam Asmara Karya : - Wo Lung-shen Diceritakan oleh - S.D Liong
(Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala)
Jilid 1 Luka hati luka tubuh. Pada jalan dilereng gunung yang menurun landai, penuh ditumbuhi gerombolan pohon Siong
yang pendek. Seorang pemuda dengan napas terengah-engah tengah merangkak naik. Rupanya dia sedang
menderita luka parah. Tangan kirinya mencekal batang pohon siong pendek untuk mengayunkan tubuhnya.
Akhirnya dengan cara menarik batang demi batang, walaupun tampaknya susah payah, namun
akhirnya kerhasil juga pemuda itu mencapai puncak bukit. Dia menghela napas panjang Lalu
duduk melepaskan lelah. Tangan kanannya memegang sebatang pedang pusaka. Diletakkannya pedang pusaka itu
ketanah. Rupanya ia sudah kehabisan tenaga. Setelah meletakkan pedang,iapun rubuh dibawah
sebatang pohon siong kecil.
Tiba-tiba dari kaki puncak bukit muncul seorang dara. Ia berteriak memanggil nama pemuda itu
seraya mendaki keatas. Ketika melihat keadaan pemuda yang rebah menggeletak dibawah pohon siong, air mata dara
itu berderai derai laksana hujan mencurah.
Sekonyong-konyong pula dikaki bukit terdengar suara orang tua tengah memanggil-manggil
nama dara itu. Dara itu mendengarnya tetapi ia keraskan hati tak mau menyahut.Dara itu ayunkan langkah
menghampiri tempat sipemuda menggeletak, serunya penuh kecemasan, "Tenagamu sudah habis,
jangan keras kepala, ijinkanlah aku memapahmu!"
Tetapi pemuda itu diam saja. Matanya tetap memejam. Dara itu makin cemas. Ia ulurkan
tangan meraba hidung sipemuda.
Ah napas pemuda itu berhembus lemah dan terputus-putus. Tangannyapun membeku kaku.
Ternyata pemuda itu pingsan.
Dara itu mengeluarkan sehelai saputangan sutera untuk mengusap airmatanya. Serangkum bau
harum bertebaran menusuk hidung.
Rupanya bau harum itu telah menyadarkan pikirannya "Ah, mengapa aku lupa?" serunya
seorang diri, "Bukankah saputangan pemberian dari dara puteri ketua partai Lam-hay-bun itu
terdapat tulisan resep obat yang manjur?"
Buru-buru ia merentang saputangan itu. Ah". Ia mengeluh. Ternyata tulisan pada saputangan
itu sudah terhapus terkena airmatanya.
Sejenak meneliti bekas-bekas tulisan itu, si dara pun lalu menyimpan saputangannya pula.
Kemudian ia memeluk pemuda itu, memandang wajahnya lalu berkata seorang diri, "Matilah! Ya,
kematian akan mengurangi penderitaan"."
Tiba-tiba ia rasakan pemuda itu tubuhnya bergeraK, matanya terbuka sebentar lalu menutup
pula. Dara itu lekatkan telinganya kedada sipemuda. Didengarnya jantung pemuda itu masih
berdetak-detak. Segera ia mengangkat tubuh pemuda itu, menjemput pedangnya lari meinbawanya lari. Dalam
beberapa saat ia sudah melintasi dua buah puncak bukit dan tiba disebuah tempat yang tenang
tiada berangin. Tempat itu merupakan sebuah cekung gunung, luasnya tiga empat tombak, penuh
ditumbuhi rumput. Ia meletakkan tubuh pemuda itu ditanah, mengusap peluh didahinya lalu
duduk disamping pemuda itu, memandang surya yang tengah menyingsing disebelah timur
dengan terlongong-longong.
Menilik gerak geriknya, jelas dia seorang dara yang manja sehingga canggung menghadapi
keadaan seperti saat itu.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia bangkit, mengambil pedang yang terselip dipunggungnya
lalu dilemparkan keatas rumput dan menggeram, "Hm, jika sejak kecil aku tak selalu main-main
engkau dan menggunakan waktuku untuk membaca buku obat-obatan sekarang tentu aku sudah
dapat menolongnya." Tiba-tiba pula ia teringat bahwa seorang dara baju ungu telah memberinya pil putih penawar
racun Mengapa ia mau mencobakan pil itu kepada pemuda yang ditolongnya ini. Mendapat pikiran
itu ia segera mengambil pil. Pil itu hanya tinggal dua butir. Sesungguhnya untuk mengobati dirinya
yang sedang sakit, Namun ia memberikan juga kepada pemuda itu. Dengan minum pil itu dapatlah
pemuda itu hidup lagi sampai sebulan lamanya. Ia menjemput sebutir lalu disusupkan kemulut
sipemuda. Ternyata pil itu benar-benar berkhasiat sakti.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba pemuda itu sadar dan berbangkit duduk.Ternyata pemuda
itu terluka pada lambungnya. Kemungkinan dia tentu habis melakukan pertempuran dengan
musuh. Setelah duduk ia memandang pada lukanya lalu pelahan lahan beralih pandang kewajah
dara yang menolongnya, kemudian bertanya hambar, "Dimanakah kita sekarang ini?"
Sikap pemuda yang keras kepala dan pantang menyerah itu telah membangkitkan rasa kagum
pada si dara. Kegelisahan dara itupun mulai menurun. Setelah menata rambutnya yang" kusut, dara itu
tertawa: Entahlah, aku juga tak tahu.
Tempat ini sebuah cekung gunung yang sunyi tetapi entah apa namanya."Pemuda itu
memandang ke sekeliling lalu berkata, "Aku ingin mati dipuncak gunung, siapa yang membawa
aku kemari?" "Engkau pingsan dipuncak itu lalu kubawa kemari.
Disana banyak angin"." sahut si dara lalu menghela napas, "aku mengikuti dibelakangmu dan
tahu engkau menderita luka parah sedang mendaki kepuncak gunung. Hendak kubantu". tetapi
aku kuatir engkau marah."
Tiba-tiba pemuda itu mencurahkan pandang mata kearah pedangnya yang berada disitu si
dara, serunya, "Berikan pedangku itu."
Dara itupun memberikannya.Setelah menyambuti pemuda itu memandang pedang itu dengan
mata berkilat kilat. "Ah, benar-benar sebuah pedang pusaka yang hebat," seru si dara.Pemuda itupun meletakkan
pedang lalu berkata, "Kaum persilatan mengatakan bahwa pedang ini sebuah pedang yang
membawa malapetaka. Rupanya memang benar."
Tiba-tiba dara itu tersenyum, "Dara baju ungu itu telah memberikan sehelai saputangan
kepadaku. Pada saputangan itu ia menulis resep obat. la mengatakan racun dalam tubuhmu masih
belum bersih dan suruh engkau makan obat menurut resepnya ini agar racun bisa keluar"."
Pemuda itu menghela napas. Ia memandang pedang pusaka itu lagi, serunya, "Atas bantuanmu
tiada benda berharga yang dapat kupersembahkan kepadamu. Pedang ini pusaka dari kaum Siau-
Hm si. Karena kuatir mungkin aku tak dapat membawanya daripada hilang di gunung tak berketentuan
rimbanya, baiklah ku berikan kepada nona."
Dara itu menghela napas kecil, "Dara baju ungu itu mengatakan jika engkau tak makan obat
menurut resep pada saputangan itu. Engkau tak dapat hidup lebih panjang dari sehari
semalam."Pemuda itu tertawa, "Apakah luka pada lambungku ini, dara itu yang menikamnya?"
Demikian keduanya saling bertukar jawab, tetapi pertanyaan dengan jawaban selalu berlain
arahnya. "Dipegunungan yang sepi ini tentu sukar membeli resep. Baik kita lekas lanjutkan perjalanan
menuju ke kota"." kata si dara.Tetapi pemuda itu gelengkan kepala, "Terima kasih atas perhatian
nona. Maaf aku hendak pergi!"
Pelahan-lahan ia bangkit dan dengan langkah terhuyung-huyang ia berjalan kemuka. Sudah
tentu dara itu terkejut sekali.
Ia longcat menghadang, "Hai, hendak kemana engkau?"
"Jangan mengurusi aku!" sahut pemuda lalu berlari sekuat sisa tenaganya, Dalam beberapa
kejab saja, ia sudah melintasi dua buah tikungan dan lenyap dari pandang mata.
Dara itu memandang tingkah laku sipemuda dengan terlongoug-longong Setelah sipemuda tak
kelihatan, timbullah rasa hambar dalam hati dara itu. Ia merasa terhina. "Dengan marah ia
gentakkan kakinya ketanah, "Huh. manusia yang tak tahu budi, matilah engkau!"
Ia menjemput pedang pusaka lalu mengejar pemuda itu Siapakah gerangan sepasang muda
mudi yang aneh gerak geriknya itu" Ah, ternyata pemuda keras kepala itu bukan lain yalah ji Han
Ping, pahlawan kita dalam kisah Persekutuan Tusuk Kundai Kumala.
Note: cersil Persekutuan Tusuk Kundai Kumala tamat pada jilid ke 29. Silahkan baca.
Setelah melakukan pertempuran dengan orang Lam-hay-bun, dengan menderita luka Han Ping
tinggalkan gelanggang pertempuran.
Dara Siang-kwan Wan-ceng, puteri dari Siangkwan Ko, ketua marga Siangkwan mengikuti jejak
pemuda itu. Dan terjadilah adegan seperti yang tertera diatas. Han Ping memang keras kepala. Ia tak mau
menerima pertolongan orang.
Maka walaupun masih menderita luka parah, ia tak mau menurut anjuran Siangkwan Wan-ceng
yang mengajaknya ke kota membelikan resep dari dara baju ungu, puteri ketua perguruan Lamhay-
bun. Ia memilih mati daripada menerima pertolongan orang Lam-hay-bun. Maka larilah ia
meninggalkan Siangkwan Wan-ceng yang terlongong longong Namun setelah lari tiga li jauhnya, ia
kehabisan tenaga. Sepasang kakinya melentuk lunglai dan rubuh. Tetapi pikirannya masih sadar.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya ia berusaha untuk merangkak. Beberapa langkah lagi ia
kembali rubuh. Han Ping menangis dalam hati karena harus mati dalam keadaan begitu. Namun kekerasan
hatinya tetap berontak. Ia tak ingin menerima pertolongan Siangkwan Wan-ceng. Ia ingin mati dalani keadaan sunyi.
Tiba-tiba ia mendengar derap langkah kaki orang berjalan dari kejauhan. Ah, ia mengeluh. Ia
ingin mati tak diketahui orang. Mengapa lagi-lagi ada orang yang datang ke tempatnya situ.
Langkah kaki orang itu makin lama makin dekat.
Seorang kakek tua tengah dipanggul oleh seorang anak lelaki. Karena jalanan gunung
menanjak, anak itu terengah-engah napasnya seperti kehabisan tenaga. Namun anak itu juga
seorang anak yang keras hati. Ia tetap ayunkan langkah memanggul orangtua yang tampaknya
menderita sakit parah.Tetapi betapapun dikuat-kuatkan, akhirnya anak itu terpaksa harus berhenti
karena kehabisan tenaga. Setelah meletakkan orangtua yang dipanggulnya, ia berteriak,
"Engkong, aku tak kuat berjalan lagi!"
Kakek itu menghela napas berat, ujarnya: Ah, nak, aku banyak membuat engkau letih. Aku
sudah begini tua, seharusnya mati saja.
Tetapi sebelum kusaksikan engkau menikah dan tinggal ditempat kediaman yang telah
kubangun untuk kalian, aku tak dapat mati dengan meram. Aku masih harus hidup berapa tahun
lagi sampai nanti sudah melihat engkau mengambil seorang isteri"."
Percakapan antara engkong atau kakek dengan cucunya itu terdengar juga oleh Han Ping.
Diam-diam ia tergerak hati, pikirnya, "Ah, betapa sederhana keinginan hati orangtua itu. Dia
hanya ingin melihat cucunya menikah baru rela mati. Tetapi aku, ah". aku masih mempunyai
dendam darah dan hutang budi pada Hui Gong taysu. Akupun sudah berjanji kepada Hui Gong
taysu untuk melaksanakan pesannya. Tetapi kesemuanya itu belum berhasil.
Adakah begitu saja aku harus mati saat ini?"
Benak Han Ping mulai berkabut, pertanyaan dia menimang-nimang, adakah layak kalau saat itu
ia mati". Manusia hidup siapakah yang terhindar dari kematian. Namun setelah mati harus
meninggalkan nama dan amal yang baik"." diam-diam Han Ping menghafalkan sebuah sajak
kuno. Lalu bertanya kepada dirinya sendiri, "Kalau aku mati, apakah yang kutinggalkan?"
Diam-diam ia bimbang. Keputusannya untuk mati itu termasuk sikap seorang ksatrya yang tak takut mati atau seorang
ksatria yang takut menghadapi kenyataan hidup" Soal mati dan hidup mulai lalu lalang di benak
Han Ping. Setiap angin pegunungan berhembus.
Ketika mengangkat muka memandang kedepan, ah, ternyata si dara Siangkwan Wan Ceng
sudah berada disisi orangtua itu.
Entah ia tak tahu, bilakah nona itu muncul kesitu.Tangan kanan nona itu mencekal pedang
pusaka Pemutus Asmara dan punggungnya menyandang kerangka pedang itu. Rambutnya terurai
kusut, semangatnya kuyu. Sejenak memandang kearah orangtua yang menderita sakit, Siangkwan Wan-ceng berpaling
kepada anak ielaki kecil, "Adik kecil, siapakah kakek ini?"
"Dia adalah engkongku," sahut anak itu. "Apakah ia menderita luka berat?"
Tiba-tiba anak itu mengucurkan airmata, sahutnya, "Engkongku itu telah menderita sakit
selama tiga bulan. Digunung sana terdapat seorang tabib yang dapat mengobati orang sakit.
Tetapi ketika kubawa engkong kesana, ternyata tabib itu sedang sedang keluar, baru beberapa
hari pulang." "Apakah engkau pernah bertemu dengan seorang pemuda yang menderita luka berada
disana?" tanya Siangkwan Wan-ceng girang.
Bocah itu gelengkan kepala, "Tidak, aku pergi ketempat tabib itu dengan mengambil jalan
pendek. Jalan itu sedikit sekali orangnya."
Tiba-tiba Siang kwan Wan-ceng merogoh keluar sekeping mas, ujarnya, "Keping emas ini
kuberikan kepadamu untuk ongkos pengobatan engkongmu. Lekas beritahukan kepadaku,
dimanakah tempat tinggal tabib itu?"
Seumur hidup bocah itu belum pernah melihat emas sekian banyak.
Dengan gemetar ia ulurkan tangan menyambuti, "Tabib itu tinggal disebelah utara dari puncak
gunung." "Apakah nama tempat itu?"
"Memang ada namanya tetapi ah, aku sudah lupa," sahut sibocah lelaki, "tetapi tempat itu
mudah dicari. Dibawah puncak gunung itu terdapat sebuah rumah batu yang tunggal, tak ada
tetangganya." Tiba-tiba anak lelaki itu angsurkan tangannya, "Keping emas ini tentu berharga sekali, lebih
baik engkau ambil kembali saja."
"Simpanlah!" seru Siangkwan Wan-ceng, "aku hendak mencari orang yang menderita luka itu,"
ia terus melesat lari. Anak Ielaki itu makin heran, serunya, "Hai,apakah nona hendak mencari orang sakit?"
Gerakan Siangkwan Wan-ceng memang gesit sekali. Sekali loncat tadi ia sudah berada tiga
tombak jauhnya. Mendengar bocah itu berteriak, ia berputar tubuh dan pandang matanya tepat tertumbuk pada
sesosok tubuh orang yang terlentang digerumbul rumput.Astaga! Itulah Han Ping yang duduk
bersandar pada gerumbul rumput dan sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Siangkwan Wanceng
tertegun. Ia hendak menegur tetapi tak jadi. Sebenarnya ia hendak bertanya kepada Han
Ping adakah pemuda itu tak keberatan kalau ia tolong. Tetapi saat itu juga ia teringat betapa
keras kepala pemuda itu. Apabila mendapat jawaban yang ketus, tentulah akan menyinggung perasaannya. Itulah
sebabnya maka ia tak jadi membuka mulut.
Diluar dugaan ternyata sikap Han Pin; sejak mendengar pembicaraan antara kedua kakek dan
cucunya tadi, sudah berobah.
Tidak sedingin tadi. Ia memikirkan bahwa masih banyak pekerjaan dan janji yang belum
terpenuhi. In harus memelihara jiwanya.
Jika ia mati, siapakah yang mampu melaksanakan tugas membalas sakit hati orang-tuanya dan
melaksanakan pesan Hui Cong taysu"
Pendirian Han Ping saat itu, ia harus memelihara jiwanya, ia harus hidup. "Bukankah engkau
hendak mencari aku". " serunya menegur Siangkwan Wan-ceng.Siangkwan Wan-ceng
menganguk lalu berjongkok, tertawa, "Hm, aku mencarimu perlu mengobati lukamu."
Nona itu berusaha membuat nada ucapan dan sikapnya seramah mungkin. Entah tenaga gaib
apa yang menyebabkan seorang gadis manja dan angkuh seperti dia, mulai mau bersikap lemah
lembut.Han Ping menghela napas: Terima kasih, nona.
Mungkin aku tak dapat sembuh. Lukaku amat parah." Sambil ulurkan tangan, Siangkwan Wanceng
tertawa riang, "Ada seorang tabib yang tinggal disebelah gunung itu. Maukah engkau
kuantar kesana?" Han Ping menundukkan kepala, tak menjawab. Wajahnya yang pucat lesi tiba-tiba
memancarkan warna merah. "Engkau mau?" tanya si dara pula.
Han Ping hanya tertawa menyeringai. Melihat pemuda itu tersipu-sipu malu, tiba-tiba
Siangkwan Wan-ceng merasa kalau dirinya lebih besar. Berkatalah ia dengan sungguh-sungguh,
"Lekas engkau rebah dipunggungku, akan kubawamu kepada tabib itu "
Han Ping menghela napas, "Engkau amat baik sekali kepadaku, entah dengan cara bagaimana
kelak aku dapat membalas budimu."
Siangkwan Wan-ceng bersikap seperti seorang yang lebih besar umurnya, "AKU sendiri suka
melakukan hal itu, siapa suruh engkau membalas budi?"
Ia terus memanggul Han Ping lalu lari. Setelah melintasi puncak gunung, ia melihat sebuah
rumah batu berdiri diatas sebuah lapangan rumput. Rumah itu hanya tunggal, tak ada
tetangganya. Rumah itu dikelilingi dengan pagar bambu bercat hitam.Cepat sekali Siangkwan
Wan-ceng sudah tiba dimuka pintu pagar yang tertutup rapat. Keadaannya sunyi senyap.
Setelah menunggu beberapa saat tak tampak barang seorang yang muncul. Siangkwan Wanceng
berteriak, "Apakah sinshe ada dirumah?"
Dari dalam rumah batu itu terdengar suara seorang tua yang parau menyahut, "Siapa itu?"
"Aku, hendak memeriksakan sakit!"
"Silahkan masuk sendiri!"
Siangkwan Wan-ceng mendorong pintu pagar, lalu menuju kerumah batu.
Sebuah papan hitam tergantung diatas pintu rumah. Papan itu ditulisi dua buah huruf yang
bercat putih "Tempat kematian".
"Uh. mengapa diberi nama yang tak enak didengar begini," diam-diam Siangkwan Wan-ceng
memaki dalam hati. Ia meragu sejenak akhirnya tetap menghampiri juga. Kedua daun pintu yang terbuat dari kayu
pohon siong, tertutup rapat. Rumah itu hanya mempunyai sebuah jendela yang dibungkus dengan
sehelai kain hitam. Diam-diam nona itu menimang dalam hati, "Eh, mengapa tempat ini sama
sekali tak menyerupai tempat orang mengobati" Tampaknya menyerupai sebuah makam yang
menyeramkan. Rumah tungal disebuah lapangan rumput, pintu bercat putih, berpagar bambu dan
jendelanya terbungkus kain hitam ". "
Kembali suara parau dari orangtua dalam rumah itu terdenpar berseru pula, "Kedua daun pintu
rumah tak dikancing, silahkan masuk sendiri Siangkwan Wan-ceng mengangkat kaki kiri,
mendupak pintu. Dan pintu itupun terbuka lebar.
Memandang kemuka. Siangkwan Wan ceng melihat seorang tua berambut;dan berjenggot
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih tengah duduk bersila diatas tanah.
Sepasang alisnya yang putih, menjulai panjang sekali hingga menutupi mata. Oleh karena itu
Siangkwan Wan-ceng tak mengetahui apakah orangtua itu tengah membuka mata atau tengah
meram. Sejak menerima pelajaran dari Hui Gong taysu, Han Ping selalu mengindahkan kepada orang
tua. Ia mencegah Siangkwan Wan-ceng jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang menyinggung
perasaan orangtua itu, bisiknya, "Orangtua itu aneh sekali, tentu bukan orang sembarangan. Kita
harus menahan kesabaran."Siangkwan Wan-ceng hanya tersenyum. Setelah ia menyahut katakata
orangtua itu, "Paman, apakah engkau tinggal seorang diri saja?"
"Setan tua seperti aku ini sudah tentu tak ada anak perempuan yang mau merawati," sahut
orangtua itu. Siangkwan Wan-ceng tak senang mendengar ucapan itu. Ia kerutkan alis dan hendak
mendamprat tetapi tiba-tiba punggungnya digamit orang. Nona itu cukup cerdas Segera ia tahu
yang menggamit itu tentulah Han Ping karena pemuda itu hendak memberi isyarat supaya dia
bersabar. Terpaksa Siangkwan Wan ceng menahan kemarahan dan mendengus, "Paman, apakah
engkau agak tuli?" Tiba-tiba orangtua itu tertawa gelak-gelak, serunya, "Siapa bilang aku tuli?"
Siangkwan Wan-ceng pelahan-lahan menurunkan tubuh Han Ping lalu berkata, "Kami dengar
katanya paman pandai mengobati segala macara penyakit yang aneh-aneh maka kami perlukan
datang kemari." Orangtua itu tertawa tawar, "Pernah apa engkau dengan pemuda itu" Engkohmu atau
suamimu?" "Paman tua, dugaanmu salah semua. Dia adalah adikku," sahut Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping memandang Singkwan Wan ceng tetapi tak bicara apa-apa."Adikku ini terkena racun,
"kata nona itu pula," dan menderita luka dalam yang berat. Harap paman segera mengobatinya."
Pelahan-lahan orangtua itu mengangkat tangan dan berseru, "Coba angkat tubuhnya kemari
dan berikan siku lengannya kepadaku."
Siangkwan Wan-ceng melakukan perintah.
Tangan orangtua itu segera memegang siku lengan Han Ping. Setelah berdiam diri beberapa
saat, ia mengangkat muKa dan berkata, "Dia menderita luka yang parah tetapi luka itu sudah
terhapus oleh daya obat yang mustajab."
Siangkwan Wan-ceng terkejut. Dengan memeriksa denyut siku lengan Han Ping, orangtua itu
segera tahu kalau pemuda itu sudah minum obat."Benar, paman" serunya, "dia memang telah
pinum obat yang mujarab."
"Orangtua itu menghela napas: ,!Sekarang berikan siku lengannya yang kanan
kepadaku."Siankwan Wanceng menurut.
Begitu tangan orangtua memegang siku lengan Han Ping [yang sebelah kanan, tiba-tiba ia
kerutkan dahinya dan menghela napas.
"Bagaimana paman?" seru Siangkwan Wanceng dengan gelisah.
Orangtua itu membuka mata seraya menggeleng kepala, "Rasanya aku tak dapat menolong."
Ketika melihat orangtua itu membuka mata, Siangkwan Wan ceng terkejut. Bola mata orangtua
itu luar biasa besarnya. Pada lain saat ia segera teringat akan kata-kata orangtua itu."bagaimana lukanya" ada harapan
tertolong?" seru nona semakin cemas. "Kalau aku tak sanggup menggobati, rasanya didunia ini
tiada orang lain lagi yang mampu.
"SUDAHLAH, SEGERA SAJA ENGKAU BERSIAP-SIAP mengatur yg perlu. Mungkin dia tak dapat
hidup lebih dari 7 hari!"
Mendengar itu berderai-derailah airmata Siangkwan Wan Ceng. dengan terisak ia berkata, "
Tolonglah paman mempertimbangkan lagi adakah ia masih dapat ditolong."
Orang tua itu gelengkan kepala, "Tidak dapat!"HatiSiangkwan Wan Cengseperi ditusuk dengan
pisau.Tiba-tiba meluaplah amarahnya.
Ia bangkit terus hendak memangul Han Ping lagi.Tiba-tiba ia teringat akan saputangan sutera
yang ada tulisannya. Diangsurkannya, saputangan itu kemuka orang tua, "Kalau engkau memang
ahli dalam ilmu pengobatan, cobalah engakau lihat apakah resep obat ini berkasiat atau tidak?"
dengan sikap dingin orang tua itu menyambuti saputangan itu seraya mengomel, " Aku tak
percaya dalam dunia ini terdapat manusia yang lebih pandai soal pengobatan dariku!" Siangkwan
Wan Ceng etrtawa dingin, "Lihatlah dulu baru nanti engkau bicara lagi"
Orang tua itu menebarkan saputangan, memandangnya dengan penuh perhatian. Selesai
membava ia letakan saputangan dan menghela napas " Sungguh tak nyana bahwa dewasa ini
dalam dunia masih terdapat manusia yang begitu pandai dalam ilmu pengobatan."
Mendengar itu Siangkwan Wan Ceng tertawa gembira, "Apakah resep itu berguna?"
Orang tua itu menatap wajah Han Pinh lalu berkata, "Nak kemarilah biar kuperiksamu lagi."
Han Ping hanya tersenyum. Ia mengisar tubuh menghampiri orang tua itu.
"Bukalah Mulutmu," kata siorang tua. Setelah Han Ping membuka mulut, orang tua itu
mengulurkan jarinya memijat garis Jin tiong di bawah hidung Han pIng, setelah memeriksa
beberapa saat ia berkata, "Engkau telah terkena racun yg amat berat,"
"Benar, Siangkwan Wan Ceng menyahuti, luka pada lambungnya itu gunanya untuk
menyalurkan racun keluar dari tubuhnya."
"Dia makan racun itu atau terkena racun dari luka?" Han pIng memandang Siangkwan Wan
Ceng. Ia hendak bicara tapi tak jadi. Siangkwan Wan Ceng menghela napas perlahan, "Adakah
engkau masih mencurigai aku" Ah"."
Han Ping tertawa hambar, " Kecuali obat yg engkau minumkan kepadaku, aku tak ingat lagi
mengapa dapat terkena racun?" Orang-orang lembah Raja setan, paling pandai menggunakan
racun. Apakah ketika engkau bertempur dengan mereka, apakah kaki dan tanganmu pernah
berbenturan?"Han Ping segera mengangkat lengan kiri dan mengawasinya. Tiba-tiba orangtua itu
berseru, "Benar, memang disitu."
Siangkwan Wanceng ikut memeriksa. Ternyata pada lengan kiri Han Ping terdapat segurat
bekas luka memanjang. Warnanya ungu muda.Orangtua itu mengangkat kepala memandang Wan-ceng, "Seumur hidup
aku gemar mempelajari ilmu pengobatan.
Tak terduga setelah begini tua, baru aku melihat resep semacam itu, Dimanakah tempat tinggal
orang itu, lekas bawa aku kepadanya!"
"Ai, pamnan," seru Siangkwan Wan-ceng cemas, "menolong orang sakit adalah ibarat menolong
kebakaran. Engkau tolong dulu dia baru nanti kubawamu kepada orang yang menulis resep
itu."Orangtua itu tertawa, "Resep ini memang hebat tetapi sayang sekali nama obat yang ditulis
disebelah atas, terhapus air. Tak dapat dibaca lagi."
Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ketika melOngok ternyata ujung saputangan sutera itu
memang basah dan tulisannya telah terhapus air tak dapat dibaca jelas.
"Resep yang ditulisnya itu setiap huruf memang aneh. Kecuali seorang yang faham akan ilmu
pengobatan seperti aku tentu takkan mengetahui tentang kehebatannya. Sekalipun resep ini
tersiar didunia tetapi tak ada orang yang berani menggunakannya."Wajah Siangkwan Wan-ceng
pucat, serunya, "Menilik paman begitu ahli dalam ilmu pengobatan tentulah paman dapat menerka
apakah tulisan yang telah terhapus air itu."Tiba-tiba orangtua itu mengatup mata dan menghela
napas, "Saputangan basah sekali sehingga bekas-bekas tulisan itu sukar diselami. Satu-satunya
jalan hanya menggunakaa kecerdasan untuk menerkanya."
"Sampai berapa lama paman dapat menerkanya?"
"Paling cepat memerlukan duabelas jam"." tiba-tiba orang tua itu menghela napas panjang,
katanya pula, "mungkin aku dapat menemukan ramuan obat itu tetapi belum tentu tepat seperti
yang ditutis resep itu. Daripada menerka, bukankah lebih baik mencari orang itu dan minta
kepadanya supaya menulis lagi?"
Siangkwan Wan ceng diam-diam mengeluh. Si dara baju ungu tentu sudah pergi dan tak tahu
ia harus mencari kemana. Tiba-tiba Han Ping tersenyum, "Mati hidup itu sudah suratan takdir. Nona Siangkwan, harap
jangan mencemaskan diriku."
Dengan nada terbata-bata Siangkwan Wanceng mengatakan bahwa tulisan yang hilang itu ia
yang melakukan karena menggunakan saputangan untuk mengusap airmatanya.
"Apakah resep itu yang menulis si dara baju ungu?" tanya Han Ping.
"Benar," sahut Siangkwan Wan-ceng, "kemanakah kita mencarinya?"
Han Ping lertawa, "Tak perlu mencari. Orang itu berhati ganas, resep yang ditulisnya tentu lain
kegunaannya.Dia tak mau menolong tetapi hanya menghendaki supaya tenaga-murni dalam tubuh
tak sampai hilang dengan begitu supaya aku menderita."
"Memang dia mengatakan bahwa obat itu mengandung racun tetapi akan dapat membuat
engkau hidup beberapa tahun lagi."Tiba-tiba Han Ping berkata kepada orangtua pemilik rumah,
"Lo cianpwe. bolehkah aku melihat saputangan itu?"
Sejenak bersangsi, orangtua itu segera memberikan saputangan seraya berkata, "Ilmu
pengobatan terdiri dari dua macam cara, wajar dan cara yang tidak wajar. Resep obat itu memang
menggunakan bahan beracun tetapi setelah beberapa macam racun itu tercampur jadi satu, akan
menimbulkan daya pengobatan yang bagus".
Han Ping menyambuti saputangan. Ia tertawa dingin lalu tiba-tiba gunakan tenaga meremas
saputangan itu sehingga hancur berkeping-keping.
Siangkwan Wan-ceng menjerit kaget dan lari menghampiri Han Ping berbangkit, menyurut
selangkah kebelakang lalu tebarkan tangan dan saputangan yang sudah hancur berkeping-keping
itupun berhamburan melayang keluar pintu.
"Mengapa engkau melakukan begitu?" tegur Si"angkwan Wan-ceng.
Han Ping tertawa, "Terima kasih atas perhatian nona"."
Tiba-tiba orangtua itu menggembor keras dan ayunkan tangan menghantam Han Ping, Tetapi
secepat itu Siangkwan Wan-ceng menangkis dengan tangan kanan, "Hai, paman, apakah engkau
gila?" Ternyata orangtua itu marah sekali dan memukul dengan sekuat tenaga. Tangan Siangkwan
(Wan-ceng tergetar dan tubuhnya tersurut mundur sampai dua langkah."Apakah lo-cianpwe
marah karena saputangan itu kuhancurkan?" seru Han Ping dengan hormat.
Teguran Han Ping itu membuat kemarahan orangtua agak reda. Rupanya ia merasa sungkan,
katanya, "Resep itu amat berharga sekali. Seharusnya disiarkan biar untuk menolong manusia.
bukankah amat sayang sekali karena engkau hancurkan?"
Setelah menangkis pukulan orangtua itu, brulah Siangkwan Wanceng tahu bahwa orangtua lu
memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Cepat ia loncat kehadapan Han Ping dan menegur tajam;
Orangtua beralis panjang itu tertegun, sahut-nya, "Walaupun bukan aku yang menulis tetapl
tak kuidzinkan orang menghancurkan resep itu."
"Ih, resep itu miliku. Biar hancur toh tak merugikan engkau. Mengapa engkau marah-marah
dan memukul orang?" lengking Siangkwan Wan-ceng.
"Sudahlah, jangan berdebat, mari kita pergi," kata Han Ping.
Siangkwan Wan ceng berpaling dan memberi senyuman kepada pemuda itu, "Baiklah aku toh
juga hanya hidup tak berapa lama. Aku akan selalu menurut katamu."
"Apa?" Han Ping terkejut. "Akupun juga minum obat beracun dari budak perempuan baju ungu
itu." Seketika berobahlah wajah Han Ping. Matanya berapi-api, "Budak hina itu memang benar
berhati ganas seperti ular"."
"Jangan menyalahkan dia. Akcu sendiri yang rela minum. Sebelumnya dia sudah menerangkan
dengan jelas"." Siangkwan Wan ceng tertawa;," lebih baik engkau kupanggul lagi." Dengan
mengertak gigi Han Ping menggeram "Sayang aku tak dapat hidup lama"."
"Ih, kalau bisa hidup lama, engkau mau apa?" Siangkwan Wan-ceng tertawa.
"Akan kuhantam dara itu supaya binasa agar jangan menimbulkan bencana pada dunia "Mari
kita jalan," cepat Siangkwan Wan ceng mengajak," kita cari tempat yang sunyi untuk menunggu
kematian!" Han Ping menurut saja ketika dipanggul Siangkwan Wan-ceng. Ia menghela napas panjang.
penuh kepaserahan. "Hai Tunggu dulu!" tiba-tiba orangtua beralis panjang itu berseru ketika melihat semua
melangkah pergi. Tetapi Siangkwan Wan-ceng tak menghiraukan. Bahkan berpaling memandang orangtua itupun
ia tak mau. "Hm, masih muda belia mengapa hendak menunggu kematian Apakah racun pada tubuhmu itu
benar-benar tiada obatnya lagi?"
Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping. Ia membuka mata dan dengan berbisik menyuruh
Siangkwan Wan ceng berhenti.
Rupanya nona itu menurut, Han Ping menyuruhnya kembali ketempat orangtua itu. Sudah
tentu Siangkwan Wan ceng terkejut, menundukkan kepaladan menghela napas. Namun mau juga
ia menurut perintah Han Ping.
Sambil menghela napas, Han Ping menepuk bahu "si nona, "Cobalah engkau tanya kepada
orangtua itu adakah dia dapat mengobatilukamu?"
Siangkwan Wan-ceng tergetar hatinya. Ia berpaling memandang Han Ping, "Apakah engkau
sungguh-sungguh tak menghendaki aku mati?"
Terdengar jawaban tetapi bukan dari Han Ping melainkan dari orangtua itu. Dia tertawa gelak,
"Kalau tak punya obat penawar, entah sudah berapa kali aku mati." Siangkwan Wan-ceng hanya
diam saja. Memang saat itu pikirannya hanya ingin mati tidak mengharap hidup. Sesudah tertegun
beberapa saat barulah ia berteriak keras, "Apa pedulimu dengan mati hidupnya seseorang" Perlu
apa engkau hendak mengurusi?"
Dalam pada bicara itu diam-diam ia siapkan Tui-hun-to-beng-ciam jarum beracun perenggut
nyawa. Pada saat ia hendak menaburkan kearah orangtua beralis panjang itu tiba-tiba terlintas
suatu pikiran dan berpalinglah ia kearah Han Ping. Tangannya yaris sudah terangkat keatas itupun
perlan-lahan terkulai kebawah lagi, tring". beberapa batang jarum maut itu berhamburan jatuh
ketanah.Orangtua alis panjang tertawa hambar, serunya, "Kalau dia takmau apakah engkau juga
begitu kalap hendak mati?"
"Dia siapa?" Siangkwan Wan-ceng menegas. Orangtua itu tertawa lebar, "Dia, yalah yang rebah
diatas punggungmu itu!"
Sebenarnya Siangkwan Wan-ceng harus marah kepada orangtua itu tetapi entah bagaimana,
diluar kesadarannya ia tersentuh hatinya dan berseru menegas lagi, "Benarkah?"Sambil
memandang sejenak kepada Han Ping, orangtua itu bertanya pula, "Engkau ingin mati atau
tidak?" Han Ping lepaskan cekalannya sehingga tubuhnya meluncur jatuh ketanah. Siangkwan Wanceng
berpaling gopoh. Dilihatnya Han Ping memandang puncak wuwungan rumah dan berkata dengan tegas, "Aku
ingin mati!" Orangtua alis panjang itu menengadahkan kepala tertawa nyaring Beberapa saat Kemudian
baru ia berhenti tertawa dan berrkata, ?"Sungguh Asmara itu mempunyai daya kekuatan yang
begitu hebat. Asmara dapat membuat orang tak menghirukan soal jiwanya."
Ucapan itu amat menusuk hati kedua anak-muda itu. Han Ping memandang sejenak kearah si
nona dan Siangkwan Wan ceng tampak merah pipinya. Memang seorang anak gadis yang dibuka
rahasia hatinya oleh orang tentu akan tersipu-"sipu malu.
"Anak perempuan, kemarilah, aku hendak bertanya kepadamu," tiba-tiba orangtua alis panjang
itu memanggil Siangkwan Wan ceng.
Siangkwan Wan-ceng berpaling kearah Han Ping. Dilihatnya pemuda itu tersenyum hambar.
Setelah itu ia menghampiri ketempat orangtua alis panjang.Nona itu tertawa aneh, nadanya
berbeda dengan mimik wajahnya. Entah dia tertawa girang, entah berduka. Rambutnya terurai
kusut menuJai cebawah. Sambil mengercasi rant but, ia berhenti iklepan orangtua alis panjang
"Mendekatlah sedikit lagi, aku berunding dengan engkau."
"Soal apa?" "Apakah engkau sungguh-sungguh hendak menolong jiwanya?"
"Sudah tentu sungguh!" Siangkwan Wan-ceng mengangguk.
Berkata orangtua beralis panjang itu dengan nada serius, "Anak perempuan, aku hanya dapat
menolong salah satu dari kalian berdua!"
Orangtua itu sejenak memandang kearah Han Ping lalu berkata pula, "Kalian memang tak
adahubungan apa-apa dengan aku.
Dan akupun tak mempunyai rasa sayang atau benci kepada kalian maka sukar bagiku untuk
memutuskan hendak menolong siapa!"
Tolonglah dia!" tanpa ragu-ragu Siangkwan Wan ceng berkata dengan tegas."Walaupun engkau
memilih mati tetapi sebelum mati engkau tetap harus memberi pengorbanan besar." kata orangtua
itu. "Bagaimana?" Kembali orangtua itu sejenak memandang kearah wajah Han Ping lalu menyuruh
Siangkwan Wan ceng merapat kedekat, "Rapatkan telingamu kemari."
Siangkwan Wan-ceng meragu sejenak tetapi akhirnya ia menurut juga.
Dalam pada itu rupanya Han Ping tak kuat berdiri maka ia segera duduk. "Paman herdak bicara
apa, lekaslah!" bisik Siangkwan Wan-ceng.
"O"." orangtua itu mendengus kaget, tiba-tiba ia gunakan dua buah jari untuk menutuk.
Siangkwan Wan-ceng menjerit dan rubuh ketanah.
Melihat itu Han Ping deliki mata dan melonjak bangun, teriaknya, "Engkau mau apa?"orangtua
beralis panjang itu tertawa seram, "Ho, engkau terluka parah, tak mungkin dapat lolos dari Panti
Kematian ini"."
Dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya Han Ping menggembor dan lontarkan sebuah
pukulan."Hm. budak yang tak tahu mati!" dengar orangtua itu seraya menampar dengan tangan
kanan. Ketika dua buah tenaga pukulan saling beradu, tiba-tiba Han Ping tersurut mundur sampai tiga
langkah dan jatuh terduduk ditanah.
Walaupun tertutuk jalandarahnya dan tak dapat berkutik tetapi pikiran Siangkwan Wan-ceng
masih sadar. Cepat ia berseru, "Jangan melukainya!"Sambil menekan tanah dengan tangan, dalam
keadaan masih duduk bersila, tubuh orangtua beralis panjang itu melayang kesamping Han Ping,
menutuk tiga buah jalandarahnya. Setelah itu ia menampar pelahan lahan ubun-ubun kepala Han
Ping. Han Ping menghela napas panjang, "Kuhormati engkau sebagai orangtua tetapi tak
kukira:kalau engkau sejahat"."
Orangtua beralis panjang itu menukas tertawa"Sudah berpuluh tahun aku tak pernah ber-kelahi
dengan orang. Sungguh tak kira kalau hari ini aku harus menggunakan dua buah jurus terhadap kalian
berdua!" "Hm, dengan gunakan siasat merebut kemenangan, bukanlah seorang ksatrya utama," ejek
Han Ping. Orangtua alis panjang itu hanya tertawa mengekeh, "Ho, sekarang seharusnya engkau
mengakui bahwa jahe yang tua itu lebih pedas dari yang muda." Han Ping mendengus, "Kalau aku
tak terluka, tentulah hari ini kuberimu hajaran yang setimpal."
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba wajah orangtua alis panjang itu berobah gelap, serunya, "Seumur hidup aku belum
pernah berjumpa dengan penyakit yang tiada obatnya. Kecuali orang itu memang sudah
meregang jiwanya dan pasti mati. Semua orang yang memeriksakan penyakit kepadaku hanya
mempunyai dua jalan.Sembuh atau mati"."
Ia berhenti sejenak menghela napas, "Walaupun tubuh kalian terkena racun tetapi hawa-murni
dalam tubuh kalian masih penuh, tak kuatir akan mati".."
"Kalau engkau sudah tak mampu mengobati, mengapa engkau mengatakan hal itu?"
"Hidupku adalah pengalamanku mengobati orang, Apa yang kukatakan tentu dapat dipercaya.
Tetapi kuanggap percuma mengatakan kepadamu kerena engkau toh tak mengerti"." orangtua
itu tersenyum. "kupercaya kalau mempunyai waktu yang cukup tentu mempunyai harapan untuk
menyembuhkan racun dalam tubuhmu". ."
"Ya, pada saat engkau memperoleh cara pengobatannya, kamipun sudah mati!" lengking
Siangkwan Wan-ceng. Orangtua alis panjang itu tertawa, "Ho, pada waktu menunggu. aku tentu kuusahakan agar
racun dalam tubuh kalian itu tak bekerja."
"Kapan kami harus menunggu?"
Orangtua alis panjang itu merenung diam beberapa saat baru menjawab, "Tujuh hari, ya tujuh
hari kalau aku masih tetap tak dapatmenemukan cara pengobatannya, akan kubuka jalan darah
kalian dan silahkan kalian pergi."
"Hm, Panti Kematianmu ini memang sesuai dengan namanya. Siapa yang masuk kemari, tentu
jarang yang dapat keluar masih hidup," seru si-nona.
"Aku dapat menjamin agar racun dalam tubuh kalian itu takkan bekerja" kata seorang tua.
"Walaupun racun tak bekerja tetapi aku tentu mati kelaparan," lengking Siangkwan Wan-ceng.
Orangtua alis panjang tertawa, "Semua mahluk hidup tentu akan mendapat kehidupan dari
alam. Masakan akan mati kelaparan. Segera akan kubawa kalian kedalam ruang pengobatan. Dalam
tujuh hari tujuh malam akan kuusahakan untuk menghilangkan racun dalam tubuh kalian."
"Berapa jauhnya tempat itu dari sini?"
Orangtua alis panjang itu berseri riang, "Di-belakang Panti Kematian ini. Akan kuperlihatkan
kepada kalian suatu kumpulan obat-obatan yang jarang terdapat didunia"."
"Cis, ocehan setan," dengus Siangkwan Wanceng.
Tetapi orangtua alis panjang itu tak marah kebalikannya malah tertawa, "Yang banyak didunia
ini hanyalah tempat-tempat yang indah alam pemandangannya. Tetapi kupilih tempat yang sunyi
ini karena mempunyai sebab lain."
Siangkwan Wan-ceng pejamkan mata dan mendengus, "Ah, siapa sudi mendengarkan
ocehanmu itu?" "Kalau tak kubawa kalian kesana. kalian tentu tak percaya"." baru orangtua itu berkata sam-ai
disitu tiba-tiba terdengar suara seorang anak bertanya, "Adakah sinshe dirumah?"Mendengar
suara itu tiba-tiba Siangkwan Wanceng teringat akan anak lelaki bersama kakeknya yang
dijumpainya ditengah jalan itu.
Serentak ia membuka mata dan berseru kepada orangtua alis panjang, "Tuh, ada tetamu
mencari engkau!" Dengan suara pelahan, orangtua itu menyuruh Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping menutup
mata, setelah itu ia berseru nyaring, "Hai, siapakah yang datang itu" Silahkan, masuk!"
Namun Siangkwan Wan-ceng tak menurut. Ia membuka matanya sedikit dan memandang
keluar. Tampak seorang anak lelaki tengah berjalan masuk dengan memanggul seorang
kakek.Ketika melihat Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping berada disitu, bocah itu terkejut tetapi
tetap melangkah masuk.Setelah memeriksa uratnadi kakek sakit itu, orangtua alis panjang
berkata, "Penyakitnya berat sekali, hawa murni dalam tubuhnya terluka. Aku hanya dapat
memperpanjang umurnya sampai tiga tahun."
Habis berkata tiba-tiba orangtua alits panjang itu bertepuk tangan tiga kali. Terdengar suara
berderak keras. Ujung ruang tiba-tiba mereka dan terbukalah sebuah pintu. Seekor kera berbulu
kuning emas muncul membawa sebuah penampan dari kayu siong putih.
Dengan langkah bergoyang gontai ia menghampiri kemuka orangtua alis panjang.
Diatas penampan kayu itu terdapat seperangkat alat tulis dan kertas. Orangtua alis panjang
mengambil pit dan kertas lalu menulis. Selesai menulis, ia menepuk kera bulu emas itu dan
menunjuk kearah pintu batu.
Kera bulu emas itu segera masuk kedalam pintu dan tak berapa lama keluar lagi dengan
membawa dua bungkus obat.
Setelah mengambil bungkusan obat, orangtua alis panjang itu berkata kepada bocah lelaki,
"Obat ini dimasak dengan air dan diminum, selama tiga hari itu. Setelah itu barulah makan pil
dalam bungkusan kecil. Isinya seribu butir pil. Kalau tiap hari minum sebutir, berarti dapat hidup sampai tiga tahun.
Setelah itu engkau boleh mengurus penyelesaiannya. Apakah engkau ingat?"
"Ya ingat," sahut sibocah Ielaki.
Orangtua alis panjang itu segera menyuruh bocah Ielaki membawa kakeknya pulang. Bocah
itupun segera memanggul engkongnya dan pergi. Tiba diambang pintu tiba-tiba ia berhenti,
berpaling dan berseru kepada orangtua alis panjang dan berseru Kepada orang tua beralis
panjang, "Sinshe, berapakah ongkos obatnya?"
"Bawalah saja dulu, setelah engkongmu sembuh, baru engkau bayar kemari," seru orangtua
alis panjang. Sambil memandang Siangkwan Wan-ceng, bocah Ielaki itu bertanya pula, "Sinshe, nona itu
seorang baik"." Rupanya ia hendak menasehati siorangtua alis panjang. Tetapi baru berkata
separoh bagian, ia sudah terus melangkah pergi.
Setelah bocah itu lenyap dari pandang mata, Siangkwan Wan-ceng mendengus, "Hm,
bagaimana engkau dapat memastikan kalau kakek itu hanya dapat hiduP selama tiga tahun?"
Tetapi orangtua alis padjang itu tak mau menghiraukan omongan si nona lagi.
Ia berbangkit pelahan lahan lalu menuju keujung ruangan.Siangkwan Wan ceng memandang
Han Ping dan menghela napas, "Ah, orangtua itu memang aneh.gerak geriknya serba misterius,
kukuatir bukan orang baik. Sekarang jalan darah kita telah ditutuknya, mati tidak hiduppun tidak.
Kita tak dapat berbuat suatu apa kecuali harus menerima apa saja yang dia hendak lakukan
kepada diri kita." "Kalau aku tak keracunan, aku dapat menyalurkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahku
yang tertutuk itu. Tetapi sekarang, ah, percuma saja," Han Ping mendesah.
Siangkwan Wan ceng meronta untuk mengisar tubuh kesamping Han Ping. Tetapi karena jalan
darahnya tertutuk maka separoh tubuhnya seperti mati tak dapat bergeak. Walaupun ia mencoba
untuk mengerahkan seluruh tenaganya tetap tak dapat.
Dengan putus asa ia menghela napas dan menitikkan dua butir air mata, "Ya, tamatlah riwayat
kita"." Tiba-tiba terdengar suara berderak keras dan pintu batu kembali terbuka. Dua ekor kera bulu
emas, masuk kedalam ruangan.
Mereka memandang Siangkwan Wan-ceng lalu menghampiri nona itu.
Tampaknya binatang itu kaku gerakannya tetapi ternyata dapat berlari gesit. Selekas tiba
didekat Siangkwan Wan-ceng mereka terus menerkam tubuh si nona.Salah seekor kera itu tampak
mengisar untuk mendesak kawannya lalu cepat-cepat mendahului menyambar tubuh nona itu
terus dibawa lari.Kera yang seekor itu tak berdaya. Terpaksa ia menghampiri ketempat Han Ping
dan memanggul tubuh pemuda itu diangkut keluar.
Walaupun kedua muda mudi itu berkepandaian tinggi tetapi karena jalandarahnya tertutuk,
mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Sekonyong-konyong telinga Han Ping dapat menangkap suara orang memanggil namannya
Suara itu berasal dari jauh dan nadanya parau, mungkin karena sudah kehabisan suara Han Ping
cepat mengenali nada suara itu sebagai suara pamanya Kim loji.
Tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa dan saat itu iapun segera dibawa masuk kedalam pintu
batu diujung ruangan. Diam-diam Han Ping menghela napas dan berusaha untuk menenangkan diri, menyalurkan
napas. ia harap maiih dapat menyalurkan tenaga untuk membuka jalan darah yang tertutuk itu.
Han Ping masih bingung memikirkan tingkah laku orangtua alis panjang itu.
Apakah maksudnya orang itu menutuk jalandarahnya" Dia sendiri tak takut soal jiwanya, mati
atau hidup ia tak memkirkan.
Yang dicemaskan yalah keselamatan Siangkwan Wan ceng ia kuatir nona itu akan menderita
kecemaran. Ia menyesali Siangkwan Wan-ceng yang telah membawanya berobat ketempat orangtua alis
panjang. Tetapi ia juga menyalahkan dirinya sendiri mengapa menyuruh nona itu bersikap menghormat
siorangtua sehingga akibatnya begitu. Kalau Siangkwan Wan-ceng bersikap keras, tak mungkin
orangtua alis panjang itu dapat menutuk jalandarah mereka.
Rasa penyesalan itu mendorong keras hatinya untuk berjuang. Ia berusaha untuk
menghilangkan semua gangguan pikiran dan memupuk hawa murni untuk menjebolkan
jalandarahnya yang tertutuk.Rupanya kera bulu emas itu seekor binatang yang terlatih baik
sehingga dapat mengerjakan perintah tuannya dengan baik. Tetapi betapapun, itu tak dapat
mengetahui usaha Han Ping membuka jalandarahnya yang tertutuk.
Tiba-tiba terdengar suara orangtua beralis panjang, "Entah aku tak tahu apakah hubungan
kalian berdua ini. Apakah kalian tak keberatan kalau kutempatkan didalam sebuah ruangan "
Ketika Han Ping membuka mata, ia tertegun. Keadaan yang berada dihadapannya jauh
berlainan dengan diluar tadi. Hidungnyapun terbaur dengan bau obat yang keras.
Ternyata saat itu dirinya berada dalam sebuah tempat yang mempunyai tiga buah kamar besar
kecil. Dan buah ranjang kayu terbentang diruang itu. Kecuali itupun penuh dengan bermacammacam
baskom, mangkok, supit dan seikat daun obat.
Ada empat baskom berisi tanaman obat yang belum pernah diketahuinya, terletak diatas
dingklik dekat jendela. Yang dua baskom berisi tanaman berbunga kecil-kecil warna putih. Sedang yang dua baskom
berisi buah-buah kecil-kecil warna merah.
Han Ping hendak membuka mulut tetapi didahului Siangkwan Wan-ceng, "Kami adik dan taci!"
Orangtua alis panjang itu merenung sejenak lalu berkata, "Kalau adik dan taci tinggal satu
kamar, memang tidak pantas Biarlah kupisahkan kalian dalam dua kamar!"
"Sejak kecil kami berdua selalu tinggal sekamar, mengapa tidak pantas?" Siangkwan Wanceng
berteriak gopoh. Orangtua itu memandang kedua kera bulu emas lalu menunjuk kearah ranjang kayu. Kera itu
meletakkan Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping keatas ranjang lalu beringsut keluar.
Dengan riang gembira orangtua alis panjang itu tertawa, "Sejak tinggal dismi, belum pernah
ada orang yang masuk kedalam kamar obat-obatanku. Ketahuilah bahwa kumpulan daun obat
yang berada dalam kamar sekecil ini hampir menghabiskan seluruh umur ku. Aku menjelajah
seluruh wilayah Kanglam-Kangpak, melintasi gunung dan sungai"." ia menunjuk kedua baskom
berisi buah merah dan daun bunga putih, berkata pula, "Buah yang berwarna merah itu kecuali
warnanya yang sedap dipandang pun merupakan salah satu dari tiga jenis tanaman yang paling
beracun. Rasanya manis enak dimakan. Tetapi apabila makan buah itu, amblaslah nyawa kita"."
Berhenti sejenak ia pergunakan untuk memandang kearah kedua anak muda itu lalu dengan
riang gembira ia melanjutkan kata katanya, "Hai anak perempuan yang pintar bicara, coba engkau
tebak apakah rumput berbunga putih itu mengandung racun atau tidak?"
"Kalau buah merah mengandung racun, jelas bunga putih itu tentu tak beracun!" seru
Siangkwan Wan-cang. Orangtua alis panjang gelengkan kepala, "Salah, rumput merah memang beracun tetapi bungaputih
itupun beracun juga "."
Siangkwan Wan-ceng mendengus, "Huh, m-nilik simpananmu begini banyak tanaman beracun,
mungkin engkau juga seorang manusia beracun!" Orangtua itu tertegun, "Ih, kali ini engkau dapat
menebak jitu!" Siangkwan Wan-ceng terkejut dalam hati. Dia tadi hanya bicara sembarangan tetapi ternyata
benar. Uh, ia pernah mendengar tentang tanaman, dan binatang beracun tetapi seumur htdup
belum pernah mendengar tentang manusia beracun.
"Huh, itu tak mengherankan," sahut nona itu dengan garang walaupun dalam hati am at
cemas, "dalam dunia persilatin banyak sekali tokoh-tokoh yang mahir menggunakan racun.
Misalnya orang Lembah Seribu-racun, sampai anak Kecilnya saja juga pandai menggunakan racun.
Juga lembah Raja setan itu termasyhur dengan obat racun Bihun-yok dan merekapun mahir
tentang ilmu obat-obatan beracun. Tokoh lembah Raja-setan si Ting Ko itu sekujur badannya juga
beracun"." Orangtua alis panjang itu gelengkan kepala, "Mereka hanya pandai menggunakan racun, antara
lain bubuk beracun, air beracun dan disembunyikan pada pakaiannya. Pun sebelum itu mereka
sudah minum obat penawaranya. Paling-paling kuku jari atau lengan mereka yang beracun. Tidak
seperti diriku ini. Jantung, darah sampai pada seluruh uratnadi dalam tubuhku semua beracun.
Kuweh yang kumakan beracun, minumankupun racun"."
"Jangan bicara lagi, aku tak sudi mendengar ocehanmu itu!" teriak Siangkwan Wan-ceng.
Tiba-tiba wajah orangtua itu berobah gelap, "Aku seorang tua masakan sudi berbohong dengan
seorang budak perempuan macam engkau.
Apakah engkau menghendaki aku bersumpah baru engkau mau percaya?"
Setelah berdiam diri sesaat, Siangkwan Wanceng berkata, "Kalau jantung dan darahmu
mengandung racun, mengapa engkau tak mati?"Orangtua alis panjang itu tertawa, "Pertanyaan
yang bagus! Kalau aku tak makan racun, mungkin sudah menjadi bangkai dalam kubur!" Melihat
orangtua itu bicara dengan riang gembira, timbullah pikiran Siangkwan Wan ceng, serunya,
"Paman, karena engkau tutuk jalandarahku, kita tak dapat bicara dengan leluasa. Apakah engkau
dapat membuka jalandarahku agar kita dapat bicara dengan enak?"
Orangtua itu merenung sesaat kemudian ia berkata, "Kalau engkau hendak melarikan diri,
berarti engkau cari penyakit sendiri."
Jawab si nona, "Setelah mendengar pembicaraanmu tadi, aku makin tertarik. Sekalipun engkau
suruh aku pergi, akupun tak mau."
Orangtua alis panjang itu tertawa riang, "Sebenarnya kalau menurut keadaan, tak mungkin aku
dapat hidup sampai enam lusin tahun"." Melihat orangtua itu sudah mulai tergerak hati dan
tampaknya mau membuka jalandarahnya, buru-buru Siangkwan Wan-ceng bertanya, "Paman,
berapakah usiamu sekarang?"
"Entah, tak ingat dengan tepat, Mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahun!" sambil berkata
orangtua alis panjang itu menghampiri ketempat Siangkwan Wan-ceng lalu menampar jalandarah
si nona yang tertutuk. Setelah melakukan pernapasan dan mengetahui bahwa hawamurni tubuhnya tak menderita
suatu apa, barulah Siangkwan Wan ceng duduk."Budak perempuan, kulihat biji matamu
berkeliaran kesekelilmg penjuru, apakah engkau merencanakan hendak lolos?"
tegur orangtua itu dengan tertawa," seumur hidup aku tinggal ditempat sesunyi ini hanya
seorang diri ..,.. Siangkwan Wan-ceng memandang Han Ping.
Melihat pemuda itu telentang dengan mata tertutup rupanya dia sudah tidur. Diam-diam
Siangkwan Wan-ceng merasa lega.
Tiba-tiba ia loncat turun."Jangan mengganggunya, biarkan dia beristirahat," seru orangtua alis
panjang. Nona itu memandang siorangtua alis panjang, berseru melengking, "Engkau menggunakan akal
licik untuk menutuk jalandarahku dan akupun menggunakan tipu muslihat juga untuk menyuruh
engkau membuka jalandarahku yang tertutuk.
Sekarang kita tak saling menderita kerugian."
"Bukan aku hendak menakuti-nakuti engkau. Tetapi kuharap kalian tinggal disini untuk berobat
Kemungkinan masih ada harapan tertolong. Tetapi kalau kalian pergi, tentu kalian mati," seru
siorangtua alis panjang. "Huh, engkau sendiri berlumuran racun bagaimana dapat menolong orang lain yang menderita
keracunan?" "Ilmu pengobatan itu memang luar biasa. Dengan racun aku dapat menjaga jiwaku sampai
dapat hidup begini tua. Adakah itu bukan suatu bukti yang jelas orangtua itu berhenti sejenak, "apa yang kubaca dalam
resep obat yang engkau bawa itu, semuanya merupakan racun"."
"Lebih baik mati daripada sekujur tubuh mengandung racun," seru Siangkwan Wan ceng.
Tiba-tiba Han Ping membuka mata dan berkata, "Setelah memeriksa penyakitku sudikah
locianpwe dapat sembuh?"
"Sembuh dan rusak, mempunyai kesempatan yang sama," sahut siorangtua alis panjang.
Han Ping menghela napas, "Tak peduli locianpwe hendak menggunakan racun apa saja dan
hendak menjadikan aku manusia macam apa saja, aku rela menerima asal yang penting, ilmu
silatku jangan sampai lenyap," kata Han Ping.
"Pada umumnya orang menganggap racun itu mencelakai orang tetapi jarang yang tahu bahwa
sesungguhnya racun itu mempunyai daya guna yang baik. Air dapat memadamkan api tetapi
apipun dapat mendidihkan air. Itulah rahasia alam yang jarang diketahui orang. Misalnya seperti
diriku, mengapa aku dapat hidup sampai begini tua, pun karena jasa racun. Hanya saja
keadaannya berbeda dengan diri kalian yang terkena racun itu".."
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng menukas, "Tok lojin, ternyata engkau memang manusia
beracun segala-galanya. Bukan melainkan tubuh dan kaki tanganmu, pun juga lidahmu beracun.
Tukar bicara dan menutuk jalandarah kami tadi, bukankah engkau telah menyalurkan racunmu
ketubuh kami?" Han Ping mencegah supaya nona itu jangan memutus pembicaraan orang.Siangkwan Wan-ceng
deliki mata, "Ih, baiklah, rupanya engkau memang sudah terbius kata-kata manis dia orangtua
itu".. "Tubuh setiap orang mempunyai sumber daya yang hebat. Tergantung dari orang itu dapat
memanfaatkannya atau tidak.
Misalnya karena tubuh kita terkena racun yang membahayakan jiwa tetapi kalau kita dapat
menyalurkan racun itu pada tempat yang sesuai, bukan melainkan umur kita akan bertambah
panjang pun kepandaian tenaga-dalam kita dapat kita kembangkan makin meningkat. "Huh,
ocehan setan " diam-diam Siangkwan Wanceng mendengus dalam hati.
Setelah merenung beberapa jenak. Han Ping pun berseru, "Benar, memang beralasan juga!"
"Ih, mengapa begitu mudah engkau dapat dikelabuhinya" Sejak kecil aku dilahirkan dikeluarga
persilatan, mau tak mau pengetahuan dan pendengarankupun cukup luas. Tetapi seumur hidup
belum pernah kudengar orang mengatakan bahwa racun itu berguna untuk menielihara umur
panjang. Sudahiah, jangan mendengarkan ocehannya!" seru Siangkwan Wan-ceng.
Dara itu menunjuk pada orangtua alis panjang, serunya! "Lihatlah keadaannya. Tubuhnya kurus
kering, tangannya seperti cakar burung, alisnya panjang seperti setan. Apakah dia mirip dengan
seorang sinshe yang pandai?"
Han Ping tahu bahwa dara itu keras kepala. Kalau dilayani tentu akan melawan dengan reaksi
yang lebih keras. Maka ia segera memanggil dara itu supaya datang kepadanya.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tersipu merah dan mengulum senyum nona itupun menghampiri dan berdiri disamping
Han Ping. Han Ping menerangkan dengan tersenyum, "Locianpwe ini telah menggunakan seluruh hidupnya
untuk menyelidiki rahasia hidup
manusia dan menggunakan tubuhnya sebagai percobaan. Sama sekali bukan ocehan kosong.
Taruh kata kita tak dapat mempercayai seluruhnya tetapi tiada jeleknya kita mendengarkan."
Rupanya Siangkwan Wan ceng mau juga menurut nasehat Han Ping, Ia mengangguk dan
memandang kepada orangtua alis panjang, serunya tertawa, "Paman, bicaraiah pelahan-lahan,
aku takkan mengganggumu lagi."
Rupanya orangtua alis panjang itu kesima melihat sikap kedua tetamunya. Sejenak ia
terlongong heran lalu berkata memuji, "Ah, sungguh sepasang anak yang
menyenangkan,"Siangkwan Wan-ceng diam-diam melirik kearah Han Ping lalu pelahan-lahan
sandarkan kepalanya kebahu kiri anakmuda itu.
Orangtua alis panjang itu memandang keluar jendela kearah bunga pUtih dan bunga merah lalu
melanjutkan pembicaraannya, "Semula aku hendak memaksa kalian harus menerima cara
pengobatanku. Tetapi sekarang kurobah keputusanku.
Aku hendak menjelaskan cara pengobatan itu agar kalian rela menerimanya sendiri."
Racun beracun. "Aku tak pernah belajar silat tetapi aku minum racun yang dapat merangsang tenaga. Oleh
karena itu aku memiliki tenaga yang luar biasa dan akupun faham akan jalandarah orang. Orang
yang tak kenal kepadaku tentu mengira aku seorang ahli silat."
"Karena lo cianpwe menggunakan tubuh lo-cianpwe sendiri untuk percobaan maka aku ingin
sekali mendengarkan penjelasan lo cianpwe," kata Han Ping.Setelah ?"merenung beberapa saat,
orangtua alis panjang itu berkata, "Makanan dan minuman beracun yang kumakan itu, dari sedikit
demi sedikit sehingga banyak jumlahnya.
Tetapi kalian belum pernah menggunakan racun itu. Kalau mau makan, tentu takerannya
sedikit. Tetapi menilik racun dalam tubuhmu itu, jika tak makan obat beracun dalam jumlah besar,
tentu takkan berkhasiat. Dan kalau takerannya ditambah
banyak, akupun tak dapat mengatasi. Inilah hal yang perlu kujelaskan kepadamu."
Han Ping berpaling kepada Siangkwan Wanceng. katanya, "Karena keadaan sudah begini rupa,
biarlah aku mencobanya saja.
Daripada duduk menunggu kematian lebih baik kita berusaha mencari hidup."
Nona itu kerutkan alis dan berkata kepada orangtua alis panjang, "Paman. cobalah engkau
pikir, apakah tiada lain cara lagi kecuali itu?"
Orangtua alis panjang memanggul kedua tangannya dan berjalan mondar mandir lalu berkata,
"Caranya memang hanya satu tetapi harapan sembuh memang makin besar. Tetapi perlu
kutegaskan, bahwa aku tak dapat menjamin tentu berhasil "
"Apakah itu?" tanya Han Ping Dengan nada sarat orangtua alis panjang menjawab, "Ganti
darah"." "Ganti darah".?" Siangkwan Wan-ceng menjerit kaget. "Benar, ganti darah." kata orangtua alis
panjang, "lebih dulu darahku yang mengandung racun ini disalurkan kedalam tubuhnya agar darah
dalam tubuhnya mengandung banyak racun, setelah itu baru minum racun dalam jumlah banyak.
Dengan cara itu kemungkinan hidup, memang lebih besar." Siangkwan Wan-eeng gelengkan
kepala, " Cara seaneh itu belum pernah kudengar."
"Selain itu memang tiada cara lain lagi," orangtua alis panjang mengangkat bahu.
"Asal kepandaian silatku tak hilang, aku bersedia mencoba," kembali Han Ping berseru memberi
penegasan. Kini orangtua alis panjang itu yang menghela napas, "Bagiku hal itu memang berbahaya.
Apabila salah urus, aku bisa mati karena kehabisan darah."
"Ah, kalau memang membahayakan, tak perlulah lo-cianpwe mencoba cara itu," Han Ping
menyusuli kata-kata. Tetapi orangtua alis panjang itu tetap berkeras, "Daripada menghidupkan seorang tua renta
macam diriku ini, lebih baik kutolong engkau ..
Tiba-tiba ucapannya terputus oleh suara getaran keras dan bunyi bercuit cuit yang aneh.
Seketika berobahlah wajah orangtua alis panjang itu, serunya, "Hai, siapakah yang berani
menyelundup kedalam Panti Kematian dan melukai binatang kera pdiharaanku."
Siangkwan Wan-ceng cepat berbangkit dan membisiki Han Ping, "Tinggallah disini, jangan
bergerak kemana-mana. Aku akan menyertainya keluar." Diantara bunyi bercuit-cuit yang riuh itu tiba-tiba memancar
suara orang meneriakan nama Han Ping.
Suaranya parau nadanya.Mendengar itu Han Ping serentak bangun serunya "Yang datang itu
pamanku sendiri, harap kalian menemuinya keluar.Sedangkan aku akan mempertimbangkan dulu
perlukah aku menemuinya atau tidak."
Siangkwan Wan-ceng berhenti dan mencegah orangtua alis panjang itu.
Tiba-tiba terdengar pula getaran keras dan teriakan orang memanggil nama Han Ping. Rupanya
karena kalap, Kim loji ngamuk dan menghantam dinding pondok."Anak perempuan, menyingkirlah,
kemungkinan binatang kera piaranku itu telah diantam mati oleh pendatang itu." seru orangtua
alis panjang melangkah maju.
Tahu bahwa sekujur badan orangtua itu beracun karena tak berani bersentuhan, Siangkwan
Wan ceng terpaksa menyingkir kepinggir tetapi ia gerakkan kakinya untuk menendang lutut
orang."Sudahlah, jangan berkelahi sendiri. mari kita sama-sama keluar menemuinya!" akhirnya
Han Ping berseru melerai.
Dan Siangkwan Wan-cwengpun minta maaf kepada orangtua alis panjang itu. Orangtua itu
hanya mendengus seraya melangkah keluar diikuti Han Ping dan Siangkwan Wan-ceng,Tiba
dipintu, orangtua alis panjang menekan alat penutup dan terbukalah dinding pondok itu "Hai,
dimanakah engkau menyembunyikan Ping-ji?" seru seseorang dari luar pondok. Nadanya penuh
dengan kemesraan seorang ayah kepada anaknya Han Ping terharu. Cepat ia melangkah maju
didepan orangtua alis panjang.
Tetapi baru berjalan dua langkah saja napasnya sudah terengah-engah."Ping-ji, engkau
kenapa" Siapakah yang melukai engkau!" teriak Kim loji seraya lari menghampiri.
Sikap Kim loji yang begitu menyayang itu, benar-benar menusuk perasaan Han Ping. Saking
terharu ia sampai menitikkan dua butir airmata dan menyahut rawan, "Paman: Kim, tak kira".
saat ini aku masih dapat berjumpa dengan paman?"
Juga Kim loji berlinang-linang airmata. Ia menepuk bahu anakmuda itu, "Anak tolol, mengapa
engkau berkata begitu"
Asal engkau minum obat ini tentu segera sembuh!"Han Ping melihat pakaian paman Kim loji itu
koyak dan mukanyapun terdapat gurat-gurat luka. Tentulah pamannya tadi berkelahi dengan kera
peliharaan orangtua alis panjang. Tetapi tangan pamannya itu masih menggenggam obat penawar
racun. Kim loji rela kehilangan jiwa untuk mempertahankan obat itu jangan sampai direbut orang.
Han Ping makin terharu. Ketika menundukkan kepala, dilihatnya disamping kaki Kim loji
terdapat kera bulu merah yang sudah menggeletak ditanah. Orangtua alis panjangpun tengah
memeriksa keadaan luka binatang peliharaannya dengan teliti.
"Ping-ji, betapa bingung aku tadi mencarimu. Setelah melihat engkau tak kurang suatu apa,
barulah hatiku lega.?"
?"Tetapi bagaimana paman dapat mencari aku kemari tanya Han Ping.
"Dunia ini memang penuh dengan kejadian-kejadian yang tak terduga. Setelah selesai
membuatkan obat untukmu aku cepat kembali kegunung tempat engkau berada. Tetapi ternyata
engkau sudah tak kelihatan. Betapa gelisah dan cemas hatiku, sukar kulukiskan.
Aku mencarimu kemana-mana dan meneriaki namamu tetapi tetap tak bersahut". "Maafkan
aku, paman"." kata Han Ping.
"Ah bukan salahmu tetapi aku sendiri yang tak cepat-cepat datang ketempatmu, ah"."
Setelah berdiam beberapa saat, tiba-tiba Han Ping berseru, "Paman, bukankah engkao bertemu
dengan seorang kakek sakit bersama cucunya?" Kim loji tertawa.
"Paman, mengapa engkau tertawa?"
"Ping ji, kukira engkau seorang pemuda yang polos hati kosong pikiran. Tetapi ternyata engkau
amat cerdas. Sesungguhnya berani tetapi sikapnya seperti takut, cerdik tetapi tampak seperti
bodoh, ha ha". ternyata didunia terdapat seorang pemuda seperti engkau"."
"Huh, apa yang engkau tertawakan!" tiba-tiba dari samping terdengar suara seseorang
membentak, Kim loji cepat berpaling.
Dilihatnya orang tua alis panjang yang bertubuh kurus kering itu Entah bagaimana Kim loji yang
penuh pengalaman dalam dunia persilatan, saat itu merasa seram melihat perwujudan orangtua
alis panjang yang tak ubah seperti sesosok mayat hidup.
"Aku menertawakan diriku sendiri, mengapa saudara hendak mengurus aku?" serunya.
Orangtua alis panjang tertawa dingin, "Tahukah engkau sekarang berada dimana?"
Sambil memandang kesekeliling, Kim Loji menyahut tersekat, "Aku". aku di"."
" Tak peduli siapa saja, asal masuk ke Panti Kematian sini, hasus menurut kepadaku. Bahkan
jiwanyapun berada ditanganku," seru orangtua alis panjang itu.Kim loji kerutkan alis, menengadah
tertawa, "Hebat. sungguh hebat sekali Seram, sungguh menyeramkan sekali!
Tetapi bagiku seorang she Kim, hal itu sungguh mengelikan."
"Benarkah engkau berani menertawakan?" menegas orangtua alis panjang itu."Benar, sudah
berpuluh tahun aku malangkeutara melintang ke selatan, tetapi"."
Tiba-tiba orangtua alis panjang itu bertepuk tangan dan kera besar yang menggeletak ditanah
itupun loncat bangun lagi.
Han Ping, Siangkwan Wan ceng dan Kim loji terkejut sekali. jelas kera itu terluka parah dan tak
mungkin bisa hidup tetapi dalam sekejab saja setelah diperiksa siorangtua alis panjang ternyata
dapat loncat bangun. Han Ping memandang kemuka. Dilihatnya orang tua alis panjang itu tengah menuding kearah
Kim loji- Kim loji tergetar hatinya dan menyurut mundur dua langkah. Dilihatnya kera yang
berlumuran darah itu menebarkan kedua tangan, sepasang matanya yang berwarna kuning emas
seperti menonjol keluar dari kelopaknya dan memandang Kepadanya dengan penuh kemarahan.
Kera bulu emas itu pelahan-lahan berjalan menghampiri ketempatnya.Tadi Kim loji sudah
berkelahi dengan binatang itu tetapi entah bagaimana ia merasa ngeri ketika melihat wajah dan
keadaan kera pada saat itu.
Memang sudah berpuluh-puluh tahun Kim loji mengembara dalam dunia persilatan dan selama
itu entah berapa banyak lawan yang pernah dihadapi. Tetapi entah bagaimana pada saat itu ketika
menghadapi kera bulu emas, nyalinya seperti rontok.
Ia mundur lagi selangkah dan kera itu malah makin mempercepat langkahnya.Melihat itu Han
Ping cepat membentak, "Berhenti!" lalu cepat loncat kemuka kera.Teriakan Han Ping itu laksana
halilintar memecah angkasa. Rupanya ia telah mengerahkan seluruh sisa tenaga-dalamnya.
Dan sesaat ia loncat kemuka kera, tahu-tahu kera itupun terlempar beberapa langkah
kebelakang dan rubuh ketanah.
Tiada seoranppun yang menyangka bahwa saat itu Han Ping masih mempunyai tenaga yang
sedemikian hebatnya. Tampak dia berdiri tegak seperti patung lalu pelahan-lahan terkulai jatuh ketanah.
Kim loji menjerit, loncat dan menubruknya, "Ping ji".Ping ji "."
Tiba-tiba kera bulu emas tadi meraung pelahan lalu lompat bangun. Melihat itu Siangkwan
Wan-cengpun cepat melesat ketempat binatang itu. Tetapi secepat itu pula si nona buang
tubuhnya berjumpalitan loncat kembali ketempatnya semula.
Ternyata nona itu hanya perlu menjemput pedang pusaka Pemutus-asmara yang terletak
ditanah setelah itu ia kembali lagi dan berkata kepada orangtua alis panjang, "Walaupun kera
bulu-emas itu mempunyai tulang baju kulit besi tetapi jangan harap
dapat bertahan menerima tabasan pedang pusaka ini!"
Orangtua alis panjang itu mengedipkan mata, wajahnya yang dingin tadipun tampak tenang
dan tiba-tiba ia bertepuk tangan tiga kali.
Kera bulu emas itupun berputar tubuh, mmandang tuannya lalu menghampiri pelahan-lahan.
Siangkwan Wan-ceng mendapat kesan bahwa pondok yang bernama Panti Kematian dan oran"
tua alis panjang memang penuh dengan rahasia.tetapi iapun mendapat kesan bahwa orangtua itu
memang berusaha hendak menolong jiwa Han Ping "Paman, lekaslah menyingkir! "Siangkwan
Wanceng berseru seraya loncat kebelakang kera dan mengacungkan ujung pedang kepunggung
kera. "Jangan melukainya " orangtua alis panjang itu melengking dan tiba-tiba mengangkat tangan
menampar kepala kera bulu emas.
Siangkwan Wan-ceng hentikan rencananya hendak menusuk tetapi pedang itu tetap diarahkan
kepunggung kera. Orangtua itu tak mengacuhkan. Matanya tetap memandang kemuka kera. Dari kerut wajahnya
yang tegang itu jelas kalau orangtua alis panjang sedang menggunakan tenaga besar untuk
mengatasi binatang piaraannya.
wajah kera yang menyeramkan itupun pelahan-lahan lenyap, matanya mengatup dan
terkulailah binatang itu rubuh ketanah.
Orangtua alis panjangpun berjongkok lalu menangis keras. Rupanya ia amat berduka sekali
karena kehilangan binatang yang disayanginya itu.Betapapun halnya, Siangkwan Wanceng itu
seorang gadis yang memiliki perasaan halus.
Melihat orangtua alis panjang menangis tersedu sedan, ia segera menghampirt dan berjongkok,
"Sudahlah, paman, jangan menangis". " Tetapi orangtua alis panjang itu tak mengacuhkan. Ia
tetap menangis sedih. Siangkwan Wan-ceng hendak menghiburnya tetapi tak tahu bagaimana harus merangkai katakata.
Ketika sejenak ia berpaling, dilihatnya Kim loji mengangkat tubuh Han Ping dan hendak
dibawanya pergi. "Berhenti!" seru Siangkwan Wan-ceng.Sejenak Kim loji berpaling memandang si nona lalu tibatiba
ia loncat keambang pintu.
Siangkwan Wanceng melonjak bangun dan berteriak, "Kalau engkau hendak mernbawanya
pergi, berarti engkau hendak menghilangkan jiwanya." Saat itu Kim loji sudah menendang pintu
dan hendak lari keluar. Serta mendengar teriakan si nona, tiba-tiba ia berhenti, "Apakah
omonganmu itu sungguh?"
"Dalam soal yang sepenting ini masakan aku masih ingin bergurau?"
sahut Siangkwan Wan-ceng, Memandang kepala Han Ping, dilihatnya wajah pemuda itu pucat
lesi. napasnya lemah. Setelah tertegun beberapa jenak, Kim lojipun melangkah masuk kembali. Baginya jiwa Han Ping
itu amat penting sekali Siangkwan Wan ceng segera menyongsong dan bertanya kepada Kim loji,
"Lo-cianpwe apakah dia masih keluargamu"
Mengapa engkau begitu memperhatikan sekali kepadanya?" Jawab Kim loji, "Dia adalah putera
dari saudara-angkatku "."
Kenangan yang lampau kembali terbayang di benak Kim loji. Ia menghela napas, ujarnya,
"Kami tiga pendekar gunung Lam-gak, hanya tinggal aku seorang saja tetapi keadaankupun begini
cacad Untunglah Thian masih kasihan kepadaku.
Aku dapat merawat putera toako. Membalas dendam, mengangkat nama didunia persilatan,
seluruhnya terletak diatas bahu anak ini.
Apabila dia tak dapat tertolong dari Keracunan, akupun tak mau hidup sebatang kara didunia.. .
." Siangkwan Wan ceng tertawa rawan, "Aku tak tahu asal usul dirinya tetapi aku amat
mengagumi kepandaiannya. Thian telah menciptakan seorang tunas dunia persilatan yang begitu cemerlang tentu takkan
begitu saja akan melenyapkannya"."
Tiba-tiba nona itu hentikan kata-katanya karena mendengar orangtua alis panjang itu menangis
makin beriba iba. Seolah-olah hendak mencurahkan kesedihannya hatinya hidup seorang diri dalam kesepian.
Mau tak mau Siangkwan Wan-ceng ikut tersentuh nuraninya. Dua butir airmata me-nitik keluar.
Setelah menghapus airmata, ia menghampiri ketempat orangtua alis panjang itu lagi, "Paman,
sudahlah, jangan menangis."
Orangtua alis panjang itu berpaling memandang si nona. Berhenti menangis, beberapa saat
kemudian tiba-tiba ia tertawa keras.
Sudah tentu Siangkwan Wan ceng heran dan bertanya, "Mengapa engkau tertawa?"
Orangtua alis panjang itu tiba-tiba berdiri lalu menari dan menyanyi-nyanyi.
Suaranya tak sedap didengar, bercuit-cuit talk jelas lagunya. Tubuhnya berlenggang lenggok
menurut sekehendak hatinya".
Siangkwan Wan ceng hendak menasehatinya, tetapi karena melihat orangtua itu makin lama
makin menari dan menyanyi dengan gembira, ia tak jadi membuka mulut.Seberapa saat
kemudian, tiba-tiba orangtua alis panjang itu rubuh dan menjerit-jerit bergelimpangan ditanah.
Melihat orangtua itu berguling-guling makin keras sehingga pakaiannya koyak-koyak,
Siangkwan I Wan-ceng tertegun, "Nona, lekas engkau cegah orang itu. Kalau Ia terus menerus
berguling-guling begitu rupa, selain pakaiannya akan hancur, jiwanya tentu melayang juga," seru
Kim loji.Siangkwan Wan-ceng mengiakan lalu menyambar tubuh orangtua alis panjang itu.
Tetapi karena orangtua itu berguling-guling seperti binatang buas, beberapa saat kemudian
barulah Siangkwan Wan-ceng berhasil mencengkeram bahunya. Orangtua alis panjang itu berhenti
lalu bangun. "Paman seorang tua, mengapa sebentar sedih sebentar tertawa seperti anak kecil saja?" tegur
Siangkwan Wan-ceng. Sejenak berdiam diri, orangtua alis panjang itu menyahut, "Seumur hidup aku belum pernah
merasa gembira seperti hari ini"."
Rupanya ketegangan hati orangtua itupun sudah reda. Tapi memandang Kim loji lalu
Siangkwan Wan-ceng, katanya, "Anak-anak, mari ikut aku!"
"Engkau memanggil siapa?" Kim loji terkesiap.
"Engkau!" seru orangtua itu, "kalau dulu aku menikah tentu sudah mempunyai anak sebesar
engkau, mungkin lebih tua lagi!"
Karena melihat rambut oragtua itu memang sudah beruban, Kim loji merasa kalau orang itu
memang jauh lebih tua dari dirinya.
Terpaksa ia mengangkat tubuh Han Ping lalu menghampiri.
Orangtua alis panjang itu mengangkat tubuh kera bulu emas, membuka pintu disudut ruang
lalu melangkah masuk. Siangkwan Wan-ceng membisiki Kim loji bahwa gerak gerik orangtua alis panjang itu memang
serba aneh. Oleh karena hendak minta pertolongannya lebih baik nanti menuruti saja kehendaknya.
Kim loji mengiakan, " Ya, asal dapat menolong Ping-ji, sekalipun suruh aku menjura sampai
beberapa kali dihadapannya, akupun mau."
Kini mereka menasuki ruang obat-obatan. Setelah meletakkan kera bulu emas, orangtua alis
panjang itu memetik setangkai bunga putih dan sebutir buah merah lalu mengambil beberapa
macam! obat obatan lahu diramunya. Ia membuka mulut kera lalu memasukkan obat. Setelah itu ia
menepuk kepala kera itu dua kali, serunya, "Makanlah"!" Aneh, mulut kera itupun bergerak-gerak
menelan obat.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bawa dia kemari," seru orangtua alis panjang itu kepada Kim loji. Dengan menghela napas,
Kim loji terpaksa melakukan perintah.
"Letakkan!" kembali orangtua alis panjang itu memberi perintah. Kim loji bersangsi sejenak lalu
meletakkan tubuh Han Ping.
Setelah sejenak memeriksa dada Han Ping, orang tua alis panjang itu menghela napas, "Lukanya
berat sekali. Hanya dengan cara "racun mengobati racun", mungkin dapat menolong jiwanya."
"Adakah yang disebut racun mengobati racun itu?" tanya Kim loji.
"Racun itu telah menyusup kedalam darah dagingnya dan sudah tersebar keseluruh tubuh.
Aku tak dapat menghilangkan racunnya tetapi hanya dapat mengobati dengan cara memberi
lain jenis racun yang dapat menindas racun dalam tubuhnya "
"Apakah "tak berbahaya?" Kim loji berkata seorang diri dengan cemas.
"Aku tak mau memaksa, terserah kepadamu," kata orangtua alis panjang.
"Lekas kerjakan!" tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng berseru," daripada kalau racun itu bekerja dan
dia mati, lebih baik mencobabahaya itu."
Melihat kemantapan si nona. Kim loji hanya dapat menghela napas; serunya, "Baiklah, bila Ping
ji sampai mati, kita bertiga pun jangan harap ada yang hidup!"
"Benar," sa mbut Siangkwan Wan-ceng, "dia mati, kitapun tak perlu harus hidup."
"Bagus, bagus!" seru orangtua alis panjang, "aku memang sudah lama ingin mati tetapi kalau
mati seorang diri merasa kesepian.
Dengan mendapat kawan kalian bertiga, itu bagus sekali."
Orangtua alis panjang itu segera memetik sekuntum bunga putih dan buah merah dan memilih
beberapa macam tanaman obat lalu diremas-remas jadi satu."Hai, apakah obat itu tak perlu
dimasak?" Siangkwan Wan-ceng berseru heran.
"Daun-daun Obat ini sudah matang, tak perlu dimasak lagi.
Setelah setelah meramu obat-obatan itu, ia segera menggelindingi menjadi lima butir pil besar
kecil, katanya, "Pil beracun ini cukup untuk membunuh berpuluh-puluh orang. Racun ganas sekali
Kim loji dan Siangkwan Wan ceng diam saja tak mau memberi rekasi. Sepeminum teh lamanya,
kembali orangtua alis panjang itu berkata seorang diri, "Apa boleh buat, kalau tak menggunakan
racun ini, mungkin dia tak dapat hidup."
Kim loji dau Siangkwan Wan-ceng tetap diam Orangtua alis panjang itu menjemput sebutir pil
lalu disusupkan kemulut Han Ping.
Kemudian sejenak berpaling memandang Siangkwan Wanceng, kembali orangtua itu
memasukkan pil yang kedua, katanya, "Kalau setelah makan lima butir pil ini dia hidup, berarti dia
takkan mati"." Setelah itu ia memasukkan pil yang ketiga.
"Hai, jangan cepat begitu, biarkan dia mengunyah pelahan-lahan," seru Siangkwan Wan-ceng.
"Ah, tak ada waktunya. Aku ingin lekas-lekas mengatahui dia hidup atau mati." sahut orangtua
alis panjang. Demikian tak berapa lama habislah kelima butir pil itu dimasukkan kemulut Han Ping.
Kini mereka menunggu dengan penuh ketegangan. Detik-detik dirasakan lama sekali oleh
ketiga orang itu. "Jantungnya masih mendebar," kata Siangkwan Wan-ceng seraya meraba dada Han Ping.
"Alangkah cepatnya," seru orangtua alis panjang, "dalam sejam lagi tentu dapat diketahui mati
hidupnya" "Satu jam" Ah, betapa lamanya!" keluh si dara.
"Jangan kuatir, nanti aku yang mengganti jiwanya," sahut orangtua itu.
Tiba-tiba Kim loji melonjak dan lekatkan tangannya kepunggung orangtua alis panjang itu,
"Kalau dia mati, engkaulah yang menyusul mati lebih dulu "
"Jangan kuatir," sahut orangtua itu, "aku memang sudah mempersiapkan tempat untuk kita
berempat." "Seumur hidup aku tak suka percaya omongan orang," kata Kim loji.
"Percaya atau tidak terserah," kata orangtua als panjang," tetapi engkau harus bersabar
menunggu sampai satu jam."
"Baik, tetapi tanganku tetap akan melekat dipungungmu. Sampai nanti setelah dia benar-benar
dapat hdup, baru kutarik kembali."
"Kalau engkau tak repot, silahkan aja" sahut orangtua itu.
Siangkwan Wan cengpun tunjukan ujung pedang Pemutus asmara kedada kera bulu emas,
"Kalau engkau bermaksud hendak menggunakan binatang ini. dia tentu kubunuh dulu."
Orang tua alis panjang itu tertawa gelak-gelak, "Bagus, bagus, seumur hidup baru pertama kali
ini aku merasa ada orang yang memperhatikan diriku. Entah kalian bermaksud baik atau buruk,
tetapi aku berterima kasihsekali," habis berkata ia terus pejamkan mata bersamedhi. Mulutnya
mengulum senyum. Demikian suasana ruang pondok itu sunyi senvap dan tak berapa lama sejampun sudah lewat.
Tetapi Han Ping tetap berbaring tak bergerak.
Siangkwan Wan ceng meraba dada Han Ping lagi, serunya, "Paman, jantungnya masih
berdetak." Orangtua itu membuka mata, serunya, "Ada orang datang!"
Siangkwan Wanceng tertegun dan mempertajam telinganya. Segera ia mendengar suara
seseorang yang bernada kasar, "Adakah orang-orang didalam pondok ini sudah mati semua?"
Menyusul terasa getaran keras. Rupanya karena tak ada yang menjawab, orang itu marah dan
entah dengan benda apa, ia menghantamt dinding pondok.
"Iblis laknat, setan keparat!" orang itu memaki-maki, "kalau aku sampai marah, pondok int
tentu kubakar!" "Hm, bakarlah! Pondok ini terbuat dari batu hijau yang tahan api," orangtua alis panjang itu
berkata seorang diri dengan pelahan. Karena tak jauh dari tempatnya, Siangkwan Wan-ceng dapat
mendengar kata-kata orangtua itu.
"Hai, orang didalam rumah, lekas saja seorang keluar. Kalau tak mau, jika kuketemukan tempat
persenbunyian kalian, tentu akan kubunuh," seru orang itu makin keras.
"Rupanya pendatang itu bangsa kaum persilatat sehingga tahu kalau kitu bersembunyi dibilik
rahasia ini," kata Kim loji.
"Biarlah," sahut orangtua alis panjang. "kamar rahasia ini terbuat dan batu tebal yang tahan api
dan amat kokoh sekali. Tak mungkin dia dapat masuk kemari."
"Orang itu terlalu liar, biarlah aku keluar untuk memberinya hajaran," kata Siangkwan
Wanceng. "Tak perlu." cegah orangtua alis panjang." biarkan dia bingung sendiri. Bum, bum, bum".
Terdengar suara letupan dan getaranu makin keras. Rupanya karena tak sabar menunggu
penghuni pondok yang tak mau keluar, pendatang itu marah sekali. Ia mengamuk dan
menghantam kamar rahasia itu sekeras-kerasnya.
Getaran itu makin hebat dan letupanpun makin dahsyat. Jelas pendatang itu tentu
menggunakan senjata untuk menghantam dinding.
Entah berselang berapa lama, suara letup dan getaran itupun tiba-tiba berhenti.
"Ayo, mereka tentu sudah sakit tangannya," orangtua alis panjang tertawa.
Tiba-tiba Han Ping menghela napas pelahan. Kedua tangannyapun bergerak-gerak?"".
JILID 2 "Oh, terima kasih Tuhan, dia sudah siuman," seru Siangkwan Wan-ceng gembira.
Kim lojipun segera menarik telapak tangannya yang melekat dipunggung orangtua alis panjang
lalu memperhatikan Han Ping.
Tetapi setelah dapat bergerak beberapa saat, tiba-tiba Han Ping kembali tak berkutik lagi.
"Aneh, mengapa dia tak dapat bergerak lagi?" orangtua alis panjang itupun berseru heran.
"Apakah gerakannya tadi bukan karena bekerjanya racun?" seru Kim loji.
Siangkwan Wan-ceng segera lekatkan tangan kedada Han Ping, "Ah, jantungnya masih
berdetak." "Biar, mereka taK mungkin dapat membakar kamar rahasia yang kokoh ini?", kata orangtua alis
panjang. Melihat Siangkwan Wan-ceng berdiri lalu duduk lagi. Orangtua alis panjang itu menegur, "Ai,
apakah engkau hendak keluar?";
"Aku ingin menghajar mereka tetapi tak tega meninggalkan dia," sahut si dara.
Orangtua alis panjang".berdiam beberapa saat. Setelah itu ia mengambil sebuah guci dan
cawan arak. Dituangnya arak dalam guci ke cawan lalu minta pinjam pedang kepada Siangkwan Wan-ceng.
Cret, ia menggurat ujung pedang pusaka Pemutus-asmara kelengan kirinya. Darah bercucuran
kedalam cawan arak. "Paman, engkau mau apa itu?" tegur si nona "Hendak kuminumkan arak yang bercampur
darahku ini kepadanya. Tadi dia telah minum daun obat yang paling beracun didunia. Sekarang hendak kuberinya
darah binatang yang beracun yang telah menghidupkan jiwaku selama berpuluh-puluh tahun.
"Sebenarnya aku merasa sayang kalau memberikan darahku itu kepadanya."
"Kalau setelah minum dia tetap tak sadar, bagaimana?" tanya Siangkwan Wan-ceng pula.
Orangtua alis panjang mengangkat bahu, "Tidak ada daya lain lagi kecuali kita bertiga harus
menemaninya mati." Siang kwan Wan ceng tertawa, "Baik atau buruk akibatnya, harus cepat-cepat selesai. Jangan
berlarut-larut menyiksa hati."
Kim loji memandang kearah Han Ping dan berkata seorang diri, " Tidak, dia takkan mati". "
Setelah membalut lengannya, orangtua alis panjang itu mencampur ramuan obat kedalam
darah lalu diminumkan kemulut Han Ping.
Kembali suasana sunyi senyap penuh ketegang-an. Hastl dan obat darah itu, selain menyangkut
jiwa Han Ping, juga ketiga orang itu. Mereka tak mempedulikan asap dari luar yang makin lama
makin memenuhi bilik rahasia itu.
Setengah jam kemudian kembali orangtua alis panjang meminumkan darah bercampur arak itu
kemulut Han Ping hingga habis.
Karena napas sesak dengan gumpalan asap, Siangkwan Wan-ceng batuk-batuk. Kim loji dan
orangtua alis panjang mengangKat muka memandang si nona. Alangkah kejut mereka ketika
dipintu tampak berdiri dua orang lelaki.
Yang disebelah kiri mencekal sebatang tongkat besi dan yang sebelah kanan, seorang
bertumbuh kurus, memegang sebatang golok kui thauto atau golok yang tangkainya berbentuk
seperti kepala setan. Entah kapan mereka muncul disitu. "Bagaimana kalian masuk kesini?" tegur orang tua alis
panjang seraya meletakan cawan arak.
Orang yang disebelah kiri tertawa dingin.
lalu mendamprat "Jangan kata hanya bersembunyi disini, sekalianpun kalian bersembunyi
diliang tikus, pun kami tentu dapat mencarinya."Siangkwan Wan ceng kerutkan alis dan memben
tak, "Hati-hati kalau bicara".
Lelaki bersenjata golok kui-thau-to tertawa dingin, "Selama berpuluh tahun mengembara
diduniapersilatan belum pernah ada orang yang berani bicara begitu kasar kepadaku.
Wut". sebelum orang itu selesai bicara. si nona sudah taburkan jarum emas, "Bangsat, jangan
bermulut besar!" Kedua pendatang itu orang-orang persilatan yang banyak pengalaman. Melihat Siangkwan
Wan-ceng ayunkan tangan, merekapun cepat menghindar. Tetapi karena jaraknya amat dekat, tak
urung pakaian mereka tertembus jarum.
Untung tak sampai mengenai daging.
"Budak setan. engkau berani menggunakan jarum beracun!" lelaki bersenjata tongkat
mendamprat. Tetapi ia tak berani keluar dari tempat persembunyiannya. Rupanya gentar juga terhadap
jarum emas Siangkwan Wan-ceng.
Karena pintu dapat dibuka kedua orang itu, asappun makin memenuhi kamar.
Bum, tiba-tiba orang itu menghantamkan tongkatnya dan pintu kamar rahasia itupun
berlubang. Siangkwan Wan ceng menjemput pedang Pemutus-Asmara, serunya, "Harap menjaganya, aku
hendak menyelesaikan kedua orang itu agar mereka jangan sempat menutup jalan keluar dengan
api." "Mereka menjaga di kanan kiri pintu, berbahaya kalau nona menerjang keluar, "Kim loji
memberi peringatan. "Tak apa, aku mempunyai akal untuk mengatasi mereka," kata Siangkwan Wan ceng terus
melesat kebelakang pintu.
Tiba-tiba ia julurkan pedang Pemutus-asmara keluar.
Wut, wut, dari kanan kiri golok dan tongkat segera menghantam tangan Siangkwan Wan-ceng.
Tetapi nona itu sudah siap. Ia turunkan tangannya kebawah agar senjata lawan ikut mengejar
turun. Kemudian ia enjot kakinya loncat keluar.
Tetapi belum melayang turun ketanah, sebuah tertawa dingin membentaknya, "Kembali!"
Siangkwan Wan-ceng yang masih melayang diudara itu segera berputar diri sambil
mengayunkan pedang pusaka untuk melindungi tubuh, Ia meluncur turun kesamping kiri.
Karena sejak kecil mendapat didikan dari seorang guru yang sakti, kepandaian nona itu pun
bukan alang kepalang. Bentakan orang yang disertai dengan dorongan tenaga tadi, hebat sekali. Ia merasa sukar
melawan maka cepat-cepat ia melayang".
Tring, orang yang menjaga disebelah kin menyambut dengan tongkat. Tetapi begitu terbentur
pedang Pemutus-asmara, kutunglah tongkat itu.
Siangkwan Wan ceng malang melintang didunia persilatan Sepak (wilayah barat laut) dan
terkenal ganas. Ia banyak sekali pengalaman menghadapi musuh pukulan yang menerjangnya, hebat sekali.
Tahulah ia kalau berhadapan dengan musuh yang kuat, Saat itu Han Ping masih pingsan, Kim
loji masih lelah dan orangtua alis panjang tak mengerti ilmu silat.
Ancaman saat itu, hanya tergantung pada dirinya".
Setelah menetapKan keputusan, Siangkwan Wan-ceng menarik pedang kebelakang dan
menjeritlah orang yang bersenjata tongkat tadi, rubuh terkapar ditanah.
Tenaga hantaman orang yang menyerang Siang kwan Wan-ceng tadi ternyata membobolkan
dinding atas pintu, masih menyusup kedalam kamar rahasia sehingga pakaian Kim loji dan
orangtua alis panjang terdampar keras.
Orangtua alis panjang dan Kim loji terkejut menyaksikan kedahsyatan tenaga orang itu.
Orang tua alis panjang cepat menampar kepala kera bulu emas lalu mengangkat tubuh Han
Ping dibawa pindah ketempat yang lebih dalam.
Sementara Kim loji menjemput kutungan palang pintu lalu menghadang diambang pintu.
Melihat kawannya rubuh, orang yang bersenjata tongkat besi marah.
Dengan jurus Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih puncak. ia loncat menghantam
Siangkwan Wan-ceng. Serangan dengan senjata berat itu tak dihiraukan Siangkwan Wan-ceng. Yang diperhatikan
hanya orang yang melepaskan pukulan tadi. Cepat ia menghindar kesamping setelah terlepas dari
hantaman tongkat ia cepat songsongkan pedang Pemutus Asmara untuk menahan tongkat besi
dan mebuangkan kesempatan untuk memandang kearah orang yang memukul tadi.
Usahanya itu berhasil. Ditengah asap tebal pada jarak satu tombak lebih jauhnya, tegak
seorang bertubuh pendek kurus dalam pakaian yang kemilau. Samar-samar ia melihat tubuh orang
itu bergerak gerak".
Orang yang bersenjata tongkat besi karena hantamannya luput, segera menggembor keras dan
menarik tongkatnya sekuat tenaga keatas. Ia mengandalkan tongkatnya yang berat dan tak
gentar akan pedang si nona.
Pedang Pemutus Asmara itu sebuah pusaka yg tajamnya bukan kepalang. Justeru karena orang
itu menarik tongkatnya kuat-kuat maka benturan dengan pedang Pemutus Asmarapun makin
keras. Tring. tongkat besi kutung dua jari.
Tongkat besi itu panjangnya tak kurang dari dua meter Maka kutung dua jari saja, tiada
halangan Cepat ia menarik tongkat lalu cepat disapukan ketubuh si nona.
Siangkwan Wan-ceng memperhatikan bahwa tempat itu amat sempit dan ia tak tahu pula siapa
sebenarnya musuh yang melepaskan pukulan itu.Ia harus menyingkir kelain tempat yang lebih
leluasa. Maka dengan gunakan gerak Kiau-yan-hoan-sim atau burung seriti berjungkir tubuh, ia
melayang kedalam ruangan.
Kim loji gunakan kutungan palang pintu untuk menahan serangan tongkat besi yang hendak
mengejar Siangkwan Wan-ceng.
Tring, ketika berbenturan, palang kayu yang dipegang Kim loji itupun hancur menjadi tiga
keping. Tetapi karena tak menduga duga, tongkat besi orang itupun terlepas jatuh dari tangannya.
Melihat itu cepat Kim loji maju selangkah dengan kerahkan sisa tanganya ia segera
menaburkan kutungan palang pintu kepada orang itu.
"Harap Kim lo cianpwe jangan menempuh bahaya dan lekas mundurlah. Diluar ada seorang
musuh yang sakti!" seru Siangkwan Wan-ceng.
Saat itu terdengar jeritan ngeri dan rubuhlah orang yang bersenjata tongsat besi cadi. Ternyata
pada saat ia berjongkok hendak memungut tongkatnya ditanah, taburan palang kayu Kim loji tadi
tepat mengenai jidatnya sehingga ia menjerit dan rubuh tak ingat orang.
Kim loji segtra menyambar tongkat besi. Belum sempat tangannya menjamah, tiba-tiba
menjulur sebuah kaki, menginjak batang tongkat itu dan serempak disusul dengan bentakan
bengis, "Lepaskan! Kata-kata itu disertai hamburan bau yang amat anyir menusuk hidung.
Kim loji kaya pengalaman didunia persilatan ia tahu kalau pendatang itu memang hendak
mencelakai dirinya tentu tidak menginjak tongkat tetapi sudah menendang dirinya. Terpaksa ia
batalkan rencananya mengambil tongkat lalu pelahan-lahan berdiri.
Tiba-tiba ia rasakan keningnya dingin seperti ditampar patahan dan serentak terdengarlah
Siang-Lwan Wan-ceng berseru, "Kutu panjang!"
Kim loji menyurut mundur dua langkah lalu mengangkat muka memandang kedepan. Seorang
kakek kurus pendek, berdiri diambang pintu.
Rambut kepala dan jenggotnya yang putih dan jarang-jarang itu, bertebaran. Mengenakan
pakaian warna hitam. Seekor ular kecil warna merah melilit ditangan kanannya. Sedang lengan kanannyapun dilibat
sekor ular besar yang kulitnya berwarna loreng-loreng.
Karena tubuh dan ekor ular itu menggubat tubuh maka dalam keremangan asap lebat, tampak
tubuh kakek itu seperti berpakaian yang gemilang.
Kim loji terlongong teriaknya, "Ketua lembah Seribu racun".
Kakek pendek itu hanya cebirkan bibir, menyahut ringkas, "Benar". " terus melangkah.
Kedua ekor ular yang melilit pada kedua tangan ketua lembah Seribu-racun itu bergeliatan
menjulurkan tubuh dan kepalanya.
Siangkwan Wan-ceng dan Kim loji mundur dua langkah.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diluar dugaan tiba-tiba kera bulu emas yang menggeletak ditanah itu melonjak bangun.
Sepasang matanya terbuka lebar-lebar memandang kakek pendek berbaju hitam dengan sikap
hendak menyerang. "Lo cianpwe." bergegas. Kim loji berkata kepada orangtua alis panjans, "lekas suruh kera itu
berhenti. Yang datang ini adalah pemilik Lembah seribu-racun.
Rupanya Kim loji menyadari bahwa ketua Lembah seribu racun itu berkepandaian tinggi Jika
kera iiu menyerang tentu akan membangkitkan kemarahannya.
Tiba-tiba orangtua alis panjang tertawa gelak-gelak, "Karena menjadi ketua Lembah seriburacun,
dia tentu faham akan racun". "
Kakek pendek baju hitam itu sejenak memandang kera bulu emas yang beringas lalu tanpa
mengacuhkan ancaman si kera, ia menyahut, "Hanya tahu satu dua macam . , . "
Kemudian ketua Lembah-seribu-racun itu memandang Kim loji tegurnya, "Siapakah orang itu"
Karena engkau menyebutnya lo cianpwe, tentu dia bukan orang yang tak bernama. Apakah
sahabat dari Sin ciu-it-kun Ih Thian-heng?"
Sambil melekatkan tangan kedada, Kim Loji memberi hormat, "Lo-cianpwe ini ialah pemilik
Panti Kematian sini. Sama sekali tak kenal dengan Ih Thian-heng "
Orangtua alis panjang letakkan tubuh Han Ping lalu memandang tawar kearah kakek pendek
kurus itu, "Siapakah engkau ini" Mengapa berani masuk kedalam Panti Kematian milikku ini dan
masih begitu kurang sopan terhadap diriku?"
Mendengar itu buru-buru Kim loji menyeletuk "Yang datang ini adalah pemilik Lembah-seriburacun,
salah seorang tokoh paling terkemuka dalam dunia persilatan Lembah-seribu-racun
termasyhur dengan kepandaiannya tentang racun dan locianpwe seumur hiduppun mempelajari
racun. Boleh dikata dalam jaman ini kalian berdua ini tokoh utama soal racun. Dua orang tokoh
yang sama kepandaiannya tentu saling bersimpati tiba-tiba ia batuk-batuk dan tak melanjutkan
kata katanya. Sebenarnya ia bermaksud hendak memperkenalkan kedua orang itu satu sama lain tetapi tibatiba
ia teringat kalau belum tahu nama orangtua alis panjang. Maka baru-baru ia batuk-batuk
untuk menghentikan ucapannya.
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa kering, "Ah, apakah kepandaianku" Masakan aku layak
disebut tokoh paling terkemuka dalam dunia persilatan?"
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, "Karena engkau berada disini, tuanmu Ih Thian-heng itu
tentulah berada disekitar tempat ini"
Kim loji berdiam sejenak lalu menyahut, "Aku diutus oleh tuanku tetapi tersesat sampai disini
Sama sekali aku tak sengaja masuk Panti Kematian ini."
Orangtua alis panjang memandang kepada sikakek pendek dan ular yang melihat tubuhnya lalu
berkala, "Kedua ekor ular itu sungguh ular beracun yang jarang terdapat,"
Habis berkata ia terus bertepuk tangan. Kera bulu emas itupun segera kembali kesisi orang tua
alis panjang lagi. Pemilik lembah seribu-racun tertawa hambar, "Kedua ekor ular beracun hebat ini sudah
kutundukkan. Tanpa perintahku tak mungkin akan melukai orang."
"Menjinakkan dua ekor uLar berbisa, bukan termasuk kepandaian yang hebat" seru orangtua
alis panjang. Wajah ketua Lembah-seribu-racun berobah seketika, serunya pula, "Kedua ekor ular berbisa ini
hampir menghabiskan seluruh
tenaga dan waktuku untuk mencari keseluruh pelosok dunia. Racunnya luar biasa ganasnya.
Segala mahluk apa saja kalau terkena gigitannya tentu segera mati.
Termasuk orang yang memiliki kepandaian tinggi pun tak kuat bertahan."
"Tetapi aku tak takut pada ularmu itu," seru orang tua alis panjang tertawa.
"Apakah engkau berani mencobanya?" ketua Lembah seribu racun murka.
"Coba, coba, cobalah".orangtua alis panjang mendesis seraya melangkah maju.
Melihat itu Kim loji cepat mencegahnya, "Lo-cianpwe seorang tabib, yang penting yalah
menolong orang. Mengapa harus ngotot untuk urusan yang tak penting?"
Orangtua alis panjang itu berpaling memandang Han Ping. Ia menurut nasehat Kim loji dan
menyurut mundur lagi. Sementara itu Siangkwan Wan-cengpun menghampiri kesamping Han Ping lalu berjongkok
untuk memeriksa keadaan pemuda itu.
Ketua Lembuh-seribu-racun terbentur pandang pada pedang Pemutus asmara yang dicekal
Siangkwan Wan-ceng. Ia bertanya kepada Kim loji, "Siapakah budak perempuan itu" Bukankah pedang yang
dicekalnya pedang pusaka Pemutus-asmara yang menggetarkan dunia persilatan?"
"Dara itu adalah puteri tersayang dari ketua marga Siangkwan di Kang lam. Yang dicekalnya
memang pedang pusaka Pemutus-asmara."
Ketua Lembah-seribu-racun menatap si dara dengan penuh perhatian lalu tertawa, "Wajahnya
tak kalah dengan kedua puteri Lembah Raja-setan, hanya keberaniannya melewati batas"."
Mendengar itu Siangkwan Wan ceng berpaling deliki mata kepada ketua Lembah-seribu-racun
itu, namun ia tahan kemarahanya dan diam.
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa gelak-gelak, serunya. "Dengah ayahmu aku kenal baik,
menurut urutannya, seharusnya engkau menyebut aku paman tua."
Melihat Siangkwan Wan-ceng acuh tak acuh, Kim loji buru-buru menyela, "Nona Siangkwan,
cianpwe ini adalah Leng lo cianpwe ketua Lembah-seribu-racun. Seorang sahabat baik dari
ayahmu, lekaslah engkau kemari menjumpainya."
Sejenak meragu, akhirnya mau juga nona itu menghampiri, memberi hormat, "Hormatku
kepada Leng lo-cianpwe."
Ketua Lembah-seribu-racun batuk-batuk, tertawa, "Sudah lama kudengar, diwilayah Sepak tak
ada yang menandingi. Apa yang kulihat hari ini, barulah tahu kalau pendekar wanita yang gagah berani itu ternyata
seorang dara yang cantik juga.
Mempunyai seorang puteri begitu, sungguh dapat menambah umur panjang. Benar-benar aku
mengiri atas kebahagiaan ayahmu."
Siangkwan Wan-ceng paksakan tertawa, "Silahkan duduk, locianpwe. Aku masih hendak
merawat orang sakit."
Pelahan-lahan mata ketua Lembah-seribu-racun itu beralih kepada Han Ping, tanyanya, "Orang
yang mendapat perhatianmu tentulah bukan sembarangan. Siapakah dia?"
"Ah, anak keponakanku," kata Kim loji. Ketua Lembah-seribu-racun pejamkan mata lalu tertawa
dmgin, "Karena menempuh perjanan jauh aku lelah hendak pinjam tempat ini untuk beristirahat.
Kalau kalian ada pekerjaan. silahkan saja!"
Habis berkata ia terus duduk bersandar dinding dan pejamkan mata. Kedua ekor ular itu tetap
bergeliatan melilit lengannya.
Kim loji menghampiri kesisi Han Ping lalu bertanya bisik-bisik kepada orangtua alis panjang,
"Lo-cianpwe, kapankah kiranya dia akan tersadar?"
Orang tua alis panjang meraba dada Han Ping, menjawab, "Menilik keadaannya, tak mungkin
akan terjadi perobahan lagi pada tubuhnya.
Kapan dia akan tersadar, sukar kukatakan."
Siangkwan Wan ceng; mendekati Kim loji dan bertanya, "Ketua Lembah-seribu-racun itu
termasyhur sekali. Ilmu Iwekangnya tinggi. Tak mungkin dia letih menempuh perjalanan. Kukira tentu ada
sebabnya dia berada disini."
Kim loii mengiakan, "Aku juga merasa heran". ."
"Apakah mungkin ada orang yang menyaru sebagai, dirinya?" tanya Siangkwan Wanceng.
"Sudah dua kali aku berjumpa dengan dia krtika di Lembah-seribu-racun, Sudah berpuluh tahun
dia tak pernah keluar dari lembahnya. Kalau kali ini dia keluar tentulah ada suatu urusan yang
penting sekali". "
Kim loji berhenti sejenak lalu berkata pula, "Selekas Ping ji siuman, kita segera tinggalkan
tempat ini agar jangan medapat kesulitan."
Memang SiangKwanceng sudah mendengar dari ayahnya sudah pernah mendengar tentang
nama ketua Lembah-seribu-racun itu.
Seorang tokoh yang ganas dan kejam sekali.
Mendengar pernyataan Kim loji, Siangkwancengpun mengangguk, "Ya, tetapi entah kapan dia
akan sadar diri." Tiba-tiba terdengar suara mendengkur. Rupanya ketua Lembah-seribu-racun itu sudah tidur
pulas. "Dia sudah tidur," kata orangtua alis panjang, Kim loji gelengkan kepala, "Tampaknya dia
seperti lelah sekali"."
Siangkwan Wan-ceng melengking, "Aku tak percaya dia benar-benar?"."
Kim loji cepat memberi isyarat mencegahnya berkata lebih lanjut. Kemudian ia memandang
kearah Han Ping yang masih tidur tenang seperti orang yang tak menderita luka. Diam-diam Kim
loji menghela napas dan menitikkan airmata.
Airmatanya tepat jatuh dimulut Han Ping.
Tiba-tiba orangtua alis panjang bertepuk tangan, "Ai, aku lupa menggunakan obat
perangsang"." "Lekas bilang, obat apa itu?"
"Airmata"." baru orangtua alis panjang berkata begitu tiba-tiba terdengar Han Ping menghela
napas panjang dan menggeliat duduk.
Melihat itu orangtua alis panjang serentak melonjak bangun dan bertepuk tangan tertawa
girang, "Manusia racun, manusia racun, ilmu pengobatanku ternyata tepat!"
Dia berteriak makin lama makin keras dan akhirnya menari-nari seperti anak kecil.
"Lo-cianpwe, berhentilah, aku hendak bicara penting," cepat Siangkwan Wan-ceng
meneriakinya. Suara dengkuran dari hidung ketua Lembah-seribu-racun seperti sebuah musik yang mengiringi
tarian orangtua alis panjang.
Bermula amat serasi sekali tetapi lama kelamaan dengkur itu seperti menguasai gerak tarian
orangtua alis panjang. Segera Siangkwan Wan- ceng dan Kim loji merasa bahwa suara dengkuran itu tak wajar.
Keduanyapun merasa seperti Kena pesona dan ingin sekali turut menari. Tetapi setiap kali
hendak bergerak menari, mereka berusaha untuk menekan keinginanya.
Siangkwan Wan-ceng mengangkat pedang Pemutus-Asmara dan seketika itu ia rasakan hatinya
seperti terbaur oleh hawa pedang sehingga kesadarannya pulih kembali.
Serentak ia berbangkit dan berbisik kepada Kim loji, "Harap lo-cianpwe menjaganya aku hendak
membangun kan ketua Lembah-seribu-racun itu"."
Kim loji memperhatikan bahwa cara menari orangtua alis panjang itu seperti tak henti-hentinya
orang bertepuk tangan. Ketika Siangkwan Wan-ceng berkata kepadanya, iapun hanya mengiakan saja.
Si nona segera menghampiri ketempat ketua Lembah seribu-bunga. Kurang tiga empat langkah
dari tempat kakek pendek itu tiba-tiba ia berhenti.Ular yang melingkar ditubuh ketua Lembahseribu-
racun itu, bergeliatan menjulur sampai setengah meter, mengangakan mulut dengan buas.
Siangkwan Wan-ceng segera putar pedang pusaka. Hawa dingin dari pedang Pemutus-asmara
Pahlawan Dan Kaisar 24 Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Keris Maut 1