Pencarian

Medali Wasiat 1

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 1


"MEDALI WASIAT (Ode to Gallantry) Cerita Asli: Xia Ke Xing / Hiap Khek Heng
oleh: Yin Yong ~ Diceritakan oleh: Gan K.L.
Bab 1. Si Jembel Yatim Piatu
Kira-kira duabelas li ditimur kota Khay-hong, ibukota propinsi
Ho-lam terdapat sebuah kota kecil bernama Hau-kam-cip,
suatu kota kecil yang ramai dan makmur dalam lalu-lintas
perdagangan. Tatkala itu sudah menjelang maghrib, para pedagang dan
bakul-bakul, tukang sayur, tukang daging dan lain-lain sedang
sibuk bebenah pikulan dan keranjang mereka untuk pulang.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari arah tenggara sayupsayup
terdengar suara derapan kaki kuda yang ramai.
Hau-kam-cip memang suatu kota yang menempati jalan raya
yang penting, kaum pedagang yang berlalu-lalang setiap hari
sangat banyak, maka siapapun tiada yang ambil pusing jika
ada orang berlalu dengan menunggang kuda.
Tapi dari arah suara derap kaki kuda yang makin mendekat itu
dapat terdengar bahwa jumlah penunggang kuda itu ternyata
adalah suatu rombongan besar, sedikitnya ada ratusan.
Baru sekarang penduduk Hau-kam-cip mulai terkejut dan
heran. Dari suara derap kuda yang gemuruh itu nyata sekali
penunggang-penunggangnya sedang membalapkan binatang
tunggangan mereka dengan cepat.
"Besar kemungkinan adalah pasukan tentara pemerintah!"
demikian orang ramai mempercakapkan.
"Ya, lekas kita menyingkir," ada yang menanggapi.
"Mendingan kalau cuma barang dagangan kita yang keterjang
dan rusak, lebih celaka kalau kita yang terinjak-injak kuda, kan
bisa runyam!" Mendadak diantara suara gemuruh derap kuda itu terseling
pula suara-suara suitan, bahkan suara-suara suitan itu sahutmenyahut
dari berbagai jurusan. Ternyata segenap penjuru
Hau-kam-cip itu sudah terkepung dengan rapat.
Kembali semua orang terperanjat. Bagi orang-orang yang
berpengalaman lebih luas lantas timbul kesangsian: "Wah,
jangan-jangan adalah kaum bandit?"
Seorang pegawai toko kelontong bermerek "Ho An" ditepi jalan
itu telah berkata: "Wah, celaka! Mungkin saudara-saudara tua
kita itu yang datang!"
Ong-ciangkui, si juragan toko memangnya sedang gemetar
ketakutan, sekarang mendengar pegawainya bermulut cerewet,
kontak ia mengangkat sebelah tangannya dengan gaya hendak
menabok, sambil membentak: "Kurang ajar! Bicara saja tidak
tahu aturan. Kalau benar tuan-tuan besar dari golongan itu
yang datang, hm, tentu" tentu kau bisa mampus. Padahal
jarang terdengar ada orang melakukan pekerjaan begitu
disiang hari bolong" Wah, ini" ini memang agak aneh"."
Belum selesai ucapannya ia menjadi melongo dan tidak
sanggup meneruskan lagi, sebab saat itu dari jurusan timur
ada empat-lima penunggang kuda sedang menerjang tiba.
Penunggang-penunggang kuda itu seluruhnya berbaju hitam
mulus, kepala memakai caping dan semuanya bersenjata golok
mengkilap. "Wahai, dengarkan segenap penduduk! Hendaklah setiap
orang tetap tinggal ditempatnya masing-masing, kalau berani
sembarangan bergerak, jangan menyesalkan senjata kami
yang tak bermata ini!" demikian penunggang-penunggang kuda
itu berteriak-teriak. Sambil mem-bentak2 terus melarikan kuda
mereka kejurusan barat. Tapal kuda mereka yang beradu dengan jalan yang
berlapiskan balok-balok batu menimbulkan suara "ketuprakketuprak"
telah menggetarkan perasaan setiap orang.
Belum lenyap suara derap kuda-kuda itu, kembali dari jurusan
barat menerjang datang tujuh-delapan penunggang kuda yang
lain, semuanya juga berbaju hitam dan memakai caping yang
setengah menutupi muka mereka sehingga tidak jelas terlihat.
Orang-orang inipun mem-bentak2 agar setiap orang tetap
tinggal ditempatnya masing-masing kalau tidak ingin
berkenalan dengan senjata mereka yang tajam.
Dasar cerewet dan usilan, kembali sipegawai toko kelontong
tadi mengoceh, "Ha, entah bagaimana rasanya golok mereka,
kan lebih enak makan"."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong salah seorang
penunggang kuda itu mengayun cambuknya, "tarrr", ujung
cambuk menyambar masuk kedalam toko dan dengan cepat
melilit dileher sipegawai, ketika orang itu menarik cambuknya
yang panjang itu, "bluk", kontan sipegawai toko kelontong
yang sialan itu terbanting ke-tengah2 jalan raya.
Waktu penunggang kuda itu mencongklangkan kudanya,
seketika sipegawai ikut terseret kedepan. Lebih celaka lagi dari
belakang telah menyusul tiba penunggang-penunggang kuda
yang lain. Maka terdengarlah suara jerit ngeri sipegawai toko
tadi, seketika melayanglah jiwanya terinjak-injak oleh kaki
kuda. Melihat betapa jahat dan kejamnya kawanan berandal itu,
tentu saja penduduk-penduduk yang lain tidak berani berkutik.
Yang tadinya bermaksud cepat-cepat menutup pintu juga
urung dan serasa terpaku ditempatnya masing-masing dengan
badan gemetar. Terpisah kira-kira belasan rumah dari toko kelontong
bermerek "Ho An" itu adalah sebuah kedai penjual penganan
sebangsa Yuciakue, untir2, siopia-siopia dan lain-lain. Sebuah
wajan besar dengan minyak yang mendidih mengeluarkan
suara gemercik. Diatas saringan minyak dari ayaman kawat
diatas wajan itu terdapat beberapa lonjor Yuciakue yang masih
panas. Penjual penganan itu adalah seorang kakek yang bungkuk.
Kalau orang lain merasa berdebar-debar dan ketakutan oleh
apa yang terjadi saat itu, adalah sikakek ternyata tidak ambil
pusing, dianggapnya seperti tidak melihat saja.
Sikakek sedang sibuk mengolah barang dagangannya, sedang
membuat siopia-siopia. Mula2 ia menaruh sedikit rajangan
berambang diatas adonan tepungnya, lalu adonan itu
dikepalnya dan dipencet dengan kedua telapak tangan
sehingga berbentuk bundar gepeng, kemudian ia mencomot
sedikit wijen dari sebuah mangkuk yang terletak diujung papan
adonam tepung dan ditaburkan diatas kepingan siopia-siopia
yang belum masak itu. Akhirnya ditaruh diatas alat panggang
terus dimasukkan kedalam anglo garangan.
Saat itu suara-suara suitan tadi sudah mereda, suara derap
kuda juga tak terdengar lagi. Suasana kota Hau-kam-cip yang
berpenduduk hampir ribuan jiwa itu berubah menjadi sunyi
senyap laksana kuburan. Ditengah suasana prihatin itu yang
masih terdengar hanya suara "prak-prak-prak", suara derap
sepatu kulit yang memukul lantai sedang mendekat dari
jurusan barat menyusul sepanjang jalan raya.
Dari suara tindakan itu, agaknya orang itu berjalan dengan
sangat perlahan, suara derap sepatu kulitnya yang berat itu
dirasakan seakan-akan menggetarkan perasaan setiap
penduduk kota. Suara langkan orang itu makin lama makin mendekat. Tatkala
itu sang surya baru saja akan terbenam diufuk barat, suatu
bayangan orang yang jangkung tampak tersorot ditengah jalan
besar dan makin mendekat mengikuti suara tindakan kaki.
Setiap orang dijalanan Hau-kam-cip itu seolah-olah sudah
terkesima ketakutan. Hanya sikakek penjual penganan tadi
masih tetap sibuk membuat siopia-siopia.
Anehnya, suara derap sepatu kulit setiba didepan tempat
penjual siopia-siopia itu mendadak lantas berhenti. Orang itu
mengamat-amati sikakek penjual siopia-siopia dari atas
kebawah dan dari ujung kaki sampai keujung rambut. Habis itu
sekonyong-konyong ia tertawa dingin terkekeh-kekeh.
Perlahan-lahan si kakek penjual siopia-siopia mengangkat
kepalanya, dilihatnya orang itu berbadan sangat tinggi, usianya
antara 45-46 tahun, mukanya buruk, kulit mukanya seperti
kulit jeruk yang kasar dan penuh kukul, kedua matanya kecil,
tapi bersinar. "Apa mau beli siopia-siopia, tuan" Satu picis satu biji," kata si
kakek. Lalu ia menggunakan capit besi dan mengeluarkan
sebuah siopia-siopia dari dalam anglo yang masih panas dan
ditaruh diatas meja. Kembali sijangkung bermuka jelek itu tertawa dingin, tiba-tiba
ia menjulurkan tangannya dan berseru: "Mana" Berikan!"
Sikakek mengiakan, lalu siopia-siopia yang masih panas itu
diambilnya dna ditaruh kedalam tangan sijangkung.
"Kurang ajar! Sampai saat ini kau masih coba
mempermainkan tuan-besarmu!" bentak sijangkung dengan
alis menegak gusar dan mendadak siopia-siopia itu terus
disambitkan kemuka sikakek.
Dari sambaran angin yang terbawa oleh siopia-siopia itu jelas
sekali tenaga sambitan sijangkung ternyata sangat kuat, kalau
muka sampai terkena sambaran itu pasti akan terluka parah.
Tapi sikakek dengan sedikit miringkan kepalanya, dengan
tepat siopia-siopia itu telah menyambar lewat disisi mukanya.
Plok, siopia-siopia itu jatuh ditepi selokan dipinggir jalan.
Dalam pada itu setelah menyambitkan siopia-siopia, menyusul
sijangkung lantas melolos keluar sepasang senjata Siang-kau
(gaetan), ujung senjata yang melengkung tajam itu
mengeluarkan sinar gemerlapan.
"Dalam keadaan demikian masih tidak kau serahkan,
memangnya apa kau kira jiwamu dapat diselamatkan" Orang
she Go, sebenarnya kau bisa melihat gelagat atau tidak?"
demikian bentak sijangkung pula.
Tapi dengan setengan memicingkan matanya, sikakek penjual
siopia-siopia menjawab: "Sudah lama kudengar An-cecu dari
Kim-to-ce suka merampas yang kaya untuk menolong yang
miskin, setiap orang Kangouw yang menyebut nama An-cecu
tentu akan mengacungkan jempol mereka dan berkata: "Ya,
seorang begal budiman!" " Tapi entah mengapa hari ini
Siauliaulo (anak buah kaum begal, keroco) yang dia kirim ke
Hau-kam-cip ini telah sudi mengincar kepada seorang kakek
miskin penjual siopia-siopia?" " Cara bicaranya seperti
perlahan dan lemah, tapi apa yang dikatakannya itu terdengan
cukup jelas. Sebaliknya sijangkung tambah gusar ketika mendengar dirinya
dianggap sebagai "kaum keroco" saja. Segera ia membentak
pula: "Go To-it, kau tidak perlu berlagak-pilon. Katakanlah
terus terang saja, apa kau benar-benar tidak mau
menyerahkan?" Sikakek terkesiap juga, karena orang dapat mengatakan
dengan jitu nama aselinya. Diam-diam ia harus mengakui
tajamnya telinga Kim-to-ce. Namun dia masih tetap berlagak
seperti tiada terjadi apa-apa, dengan sikap ke-malas2an ia
menjawab: "Saudara membawa Siang-kau, tentu adalah Tiatkau-
cu Thio" Thio Tay-goan dari Kim-to-ce!"
Padahal sijangkung bernama Li Tay-goan, orang memberi
julukan "Sin-kau" (Si Kait Sakti) padanya. Tapi sekarang Go
To-it, yaitu sikakek penjual siopia-siopia, sengaja mengganti
dia punya she, bahkan Si Kait Sakti sengaja disebut sebagai
Tiat-kau-cu atau Si Kait Besi yang penuh mengandung maksud
ejekan. Keruan ia tidak tahan lagi. Mendadak kaitan kiri
bergerak, terus saja menggancu kepundak Go To-it.
Cepat Go To-it mengegos kekanan sehingga kaitan Li Taygoan
mengenai tempat kosong. Namun serangan Li Tay-goan
itu ternyata masih membawa serangan susulan yang sangat
lihay. Ketika kaitan diseret kesamping terus ditarik, kembali
punggung Go To-it hendak digait.
Sekonyong-konyong Go To-it mendakkan tubuh sehingga
kaitan itu menyambar lewat diatas kepalanya, menyusul
kakinya lantas menendang, tapi bukan Li Tay-goan yang
diarah, sebaliknya menendang anglo sehingga bara arang yang
masih menyala itu berhamburan ketubuh Li Tay-goan,
berbareng sewajan penuh minyak mendidih yang sedang
dibuat menggoreng yuciakue tadi juga menyiram keatas
kepalanya. Keruan Li Tay-goan terkejut, buru-buru ia melompat mundur
hingga taburan bara arang dapat terhindar, tapi susah
menghindarkan muncratnya minyak mendidih. Ia mengaduh
kesakitan karena kedua kakinya telah tersiram minyak
mendidih itu. Kesempatan itu telah digunakan oleh Go To-it untuk meloncat
keatas, sebagai burung ia mengapung keatas wuwungan rumah
didepan sana dengan tangan tetap memegang jepit besi alat
panggang siopia-siopia tadi.
Dan baru saja Go To-it sempat berdiri diatas wuwungan,
mendadak sinar tajam berkilau, kepalanya sudah terancam
oleh bacokan golok. Cepat Go To-it menangkis dengan japit
besi. "Trang!" lelatu api meletik. Ternyata jepit besi yang
hangus tak menarik itu sebenarnya buatan dari baja murni
sehingga golok musuh tertangkis kembali.
Pada saat yang hampir sama dari sebelah kiri sebatang
tombak pendek dan dari sisi kanan sepasang golok berbareng
juga menyerang tiba. "Hm, tidak tahu malu, main kerubut!" jengek Go To-it. Waktu
tubuhnya sudah menegak, tahu-tahu kedua tangannya masingmasing
sudah memegang sebelah tangkai japit besi, yang kiri
dibuat menangkis tombak dan yang kanan dipakai menahan
sepasang golok musuh. Nyata dia telah pisahkan japit besi itu
sehingga sekarang berbentuk sepasang Boan-koan-pit.
Ketiga orang pengerubut itupun berpakaian hitam mulus,
mereka menjadi kaget ketika mendadak melihat tubuh Go To-it
menegak, seorang kakek yang bungkuk tahu-tahu sekarang
telah berubah menjadi seorang yang berperawakan tegap kuat.
Dengan memutar sepasang Boan-koan-pit itu selalu Go To-it
mengincar Hiat-to lawannya, walaupun satu dikeroyok tiga,
tapi ia masih tetap diatas angin.
"Kena!" mendadak Go To-it menggertak. Menyusul terdengar
lawannya yang memakai tombak telah menjerit, kaki kiri
terkena tusukan Boan-koan-pit dan segera terperosot kebawah
rumah. Dalam pada itu diatas wuwungan rumah sebelah sana tampak
berdiri seorang tua kurus kecil, dengan kedua tangan bertolak
pinggang, orang tua itu sedang mengawasi pertarungan ketiga
orang. Ditengah berkelebatnya sinar berkilau, "trang!", senjata
sipemakai golok telah tersampuk jatuh oleh Boan-koan-pit
yang dihantamkan Go To-it, menyusul dada orang itupun


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdepak sehingga terjungkal kebawah rumah.
Sekarang lawan Go To-it tertinggal sipemakai sepasang golok
saja yang menjadi jeri karena kedua kawannya berturut-turut
telah dirobohkan Go To-it. Tapi ia masih tidak mau mengaku
kalah dan mengundurkan diri, ia putar kedua batang goloknya
sebagai kitiran cepatnya, ia melindungi tempat-tempat
berbahaya diseluruh badannya, ia hanya menjaga diri dan tidak
menyerang. Maka sikakek kurus kecil yang sejak tadi hanya menonton saja
sekarang lantas mendekati mereka, makin lama makin
mendekat. Saat itu senjata Go To-it dan lawannya sedang
diputar sekencang-kencangnya, asal salah seorang tersambar
senjata itu tentu akan binasa atau sedikitnya terluka parah.
Tapi sikakek kurus kecil itu justeru anggap sepi saja akan hal
itu, ia masih terus melangkah kedepan dan makin mendekati
kedua orang yang sedang mengadu jiwa itu.
"Awas, Susiok!" teriak si pemakai sepasang golok. Saat itu dia
sedang membabat dengan senjatanya dan karena tidak sempat
ditahan lagi, maka goloknya telah menabas kepundak sikakek.
Namun sikakek kurus kecil sama sekali tidak berkelit, tangan
kanannya mendadak terangkat, dengan kedua jari tangan ia
tahan keatas batang golok. Begitu kuat daya tekanan itu
sehingga orang itu tidak sanggup memegang senjatanya lagi,
tahu-tahu goloknya terlepas dan terbang ketengah jalan raya
dibawah sana. Tentu saja orang itu menjadi gugup karena sebelah goloknya
terlepas. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Go To-it,
sebelah Boan-koan-pitnya kontan menjuju kedepan untuk
menutuk perut lawannya. Tak disangka sikakek kurus kecil mendadak menjulurkan
sebelah tangannya lagi keatas pundak sipemakai golok, sekali
tarik secepat kilat orang itu telah ditarik mundur
kebelakangnya. Berbareng jari kanannya lantas mencolek mata
kiri Go To-it. Serangan balasan ini cepatnya tak terkatakan. Padahal Go Toit
jelas melihat perut sipemakai golok tadi pasti akan tertutuk
oleh Boan-koan-pitnya. Siapa duga mendadak lawan telah
membarengi dengan serangan yang keji itu, untuk
menyelamatkan biji matanya sendiri terpaksa ia menarik
kembali senjatanya untuk memukul tangan sikakek.
Tapi hanya sedikit serongkan jarinya sikakek sudah
mengelakkan hantaman senjata lawan, malahan jarinya lantas
berganti sasaran dan mengarah tenggorokan Go To-it.
Cepat To-it melompat mundur. Tak terduga sikakek juga
lantas mendesak maju dan kembali jarinya menutuk kembali
keperutnya. Sebagai pemain Boan-koan-pit, dengan sendirinya Go To-it
adalah ahli Tiam-hiat, ahli menutuk jalan darah. Ia lihat cara
menutuk lawan itu tidak diarahkan kepada bagian Hiat-to
tertentu, tapi asal kena saja. Walaupun demikian Go To-it juga
tidak berani membiarkan tubuhnya tertutuk. Mendadak Boankoan-
pit sebelah kanan memutar balik terus mengepruk keatas
kepala sikakek. Tak terduga sikakek malah menerjang maju sehingga hampirhampir
menubruk kedalam pelukan Go To-it. Dan karena
terjangan itu dengan sendirinya serangan Go To-it itu sudah
terhindar, bahkan kedua tangannya menjulur sekaligus untuk
mencakar dada Go To-it. Perawakan Go To-it tinggi besar, sebaliknya tinggi sikakek
hanya sebatas lehernya. Namun ilmu silat sikakek ternyata
sangat ganas, biarpun dengan bertangan kosong ia terus
menubruk dan mendesak maju. Ketika mendadak Go To-it
merasa musuh sudah berada didepan dadanya, dalam
kagetnya cepat ia melompat mundur, namun tidak urung
bajunya sudah tercakar, "bret!", bajunya robek sepotong.
Seketika Go To-it merasa perutnya silir-silir dingin, dalam
seribu gugupnya ia tidak sempat memeriksa apakah tubuhnya
sudah terluka atau tidak, tapi segera ia putar balik sepasang
Boan-koan-pit terus mengetok ke "Thay-yang-hiat", yaitu
kedua pelipis si kakek. Sungguh aneh, kembali sikakek tidak berkelit, juga tidak
menangkis, tapi lagi-lagi orangnya menerjang kedepan dan
dengan telak kedua tangannya menghantam didada Go To-it.
Maka terdengarlah suara "krakkk!", entah berapa lajur tulang
iga telah dipatahkan, kontak Go To-it terguling kebawah
rumah. Dibawah sana masih menggeletak Li Tay-goan yang kedua
kakinya melepuh tersiram minyak mendidih tadi, memangnya
dia sudah murka, soalnya kedua kakinya terluka parah dan
tidak leluasa untuk melompat keatas wuwungan rumah buat
melabrak musuh. Pula ia kenal watak Ciu Bok, yaitu nama
sikakek kurus kecil, yang tinggi hati dan angkuh, sekali dia
sudah turun tangan, maka dia tidak suka kalau orang lain ikut
membantunya. Sebab itulah Li Tay-goan hanya mendongak
keatas untuk mengikuti pertarungan kedua orang.
Waktu Go To-it terjungkal kebawah, tanpa ayal lagi Li Taygoan
lantas melompat maju, dengan kalap kedua senjata
kaitnya lantas menikam ke perut Go To-it. Saking senangnya
karena rasa dongkolnya terlampias, kembali ia mendongak dan
tertawa panjang. "Jangan dibunuh!" demikian mestinya Ciu Bok telah
mencegahnya, tapi toh agak terlambat, kedua kaitan besi Li
Tay-goan sudah bersarang didalam perut Go To-it dan sudah
tentu jiwanya melayang. Tapi sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat,
menyusul terdengar Li Tay-goan menjerit ngeri, ia terhuyunghuyung
mundur beberapa tindak, tahu-tahu bagian kedua tetek
didadanya sudah tertancap sepasang Boan-koan-pit yang
menembus sampai punggungnya, darah mengucur keluar
sebagai mata air dari lubang keempat luka itu. Dan sesudah
sempoyongan beberapa kali, akhirnya Li Tay-goan roboh
terkulai. Kiranya Go To-it tidak rela mati konyol begitu saja, tapi
sebelum ajalnya ia masih balas menyerang sekuatnya. Dan
karena tidak terduga-duga, tanpa ampun lagi dada Li Tay-goan
telah tertusuk tembus oleh sepasang Boan-koan-pit.
Ciu Bok, sikakek kurus kecil itu, sama sekali tak ambil pusing
akan mati-hidupnya Li Tay-goan. Sebaliknya dengan air muka
menghina ia mendekati Go To-it, ia jambret tubuh orang she
Go itu, tapi diketahuinya napasnya juga sudah berhenti.
Dengan mengerut kening Ciu Bok membanting tubuh Go To-it
ketanah sambil membentak: "Copot pakaiannya dan geledah!"
Beberapa anak buahnya mengiakan dan segera mulai
melepaskan baju Go To-it. Maka tertampaklah dibagian
punggung yang tertutup baju itu terdapat sebuah bantalan.
Kiranya bungkuk Go To-it itu adalah buatan belaka yang
diganjal dengan bantalan itu.
Segera dua lelaki berbaju hitam dengan cepat membongkar
bantalan itu. Ternyata didalam bantalan terdapat bungkusan
pula dan tiap-tiap lapis dibungkus dengan kain minyak. Setiap
kali bungkusan itu dilepaskan, setiap kali pula air muka Ciu Bok
bertambah girang, diam-diam ia bersorak didalam hati: "Ini
dia! Disini! Ini dia!"
Sesudah belasan lapisan kain minyak itu dibuka, bungkusan
itu makin lama makin kecil dan akhirnya hanya tinggal satu
potong yang cuma belasan senti persegi.
Ciu Bok lantas sambar bungkusan kecil itu dari tangan anak
buahnya sambil berkata: "Sudahlah, hanya tipu belaka, tidak
perlu dibuka lagi! Lekas geledah saja kedalam rumah,
periksalah yang teliti!"
Serentak belasan laki-laki berbaju hitam mengiakan dan
beramai-ramai masuk kedalam rumah.
Kedai siopia-siopia itu tidak lebih hanya terdiri dari dua kamar
saja. Sekaligus dimasuki belasan orang, keadaan menjadi
penuh sesak. Maka terdengarlah suara gemerencang dan
gemertak yang ramai, suara terlempar dan diobrak-abriknya
mangkok, piring, meja, kursi, dan alat-alat perabot lainnya.
Sedang Ciu Bok masih terus berseru: "Periksalah yang teliti,
setiap tempat harus digeledah, jangan sampai terlalui!"
Begitulah sampai lama sekali belasan lelaki itu menggeledah,
akhirnya haripun sudah gelap, segera mereka menyalakan obor
dan masih terus menggeledah, sampai-sampai dinding kedai
siopia-siopia itu, bahkan dapurnya juga dibongkar. "Brang!",
mendadak sebuah gentong terlempar ketengah jalan raya dan
pecah berantakan, isinya adalah tepung terigu yang bertebaran
memenuhi jalan". Ditengah cuaca senja yang remang-remang itulah tiba-tiba
dari pojik jalan sana menjulur sebuah tangan kecil dan secara
hati-hati siopia-siopia yang jatuh ditepi selokan tadi
diambilnya, lalu tangan itu perlahan-lahan ditarik kembali.
Itulah tangan seorang pengemis kecil berusia antara 12-13
tahun. Sudah seharian dia kelaparan dan tidak memperoleh
sedekah apa-apa, dengan badan lemas sejak tadi dia duduk
mendoprok dipojok rumah sana.
Tadi waktu Li Tay-goan menimpukkan siopia-siopia yang
diterimanya dari Go To-it sehingga siopia-siopia itu jatuh ditepi
selokan, sejak itulah pandangan mata sipengemis kecil itu tidak
pernah meninggalkan sepotong penganan itu. Sudah sedari
tadi dia sangat ingin mengambil siopia-siopia itu untuk
dimakan, tapi dia tidak berani berkutik karena takut kepada
kawanan laki-laki berbaju hitam yang tampaknya galak dan
jahat-jahat itu. Malahan jenazah sipegawai toko kelontong Ho
An yang ceriwis itu menggeletak dekat dengan siopia-siopia
yang diincarnya itu. Bahkan kemudian mayat-mayat Go To-it
dan Li Tay-goan juga terkulai tidak jauh dari tempat siopiasiopia
itu berada. Baru kemudian sesudah cuaca menjadi gelap dan cahaya obor
tidak mencapai tepi selokan itu, akhirnya sipengemis kecil
berani mengulur tangannya untuk menggerayangi siopia-siopia
itu. Saking laparnya, sipengemis kecil tidak ambil peduli apakah
siopia-siopia itu kotor atau tidak, dengan segera ia menggigiti
perlahan segigitan dan dikulum didalam mulut, ternyata dia
tidak berani mengunyah, kuatir kalau mulutnya mengunyah,
tentu akan mengeluarkan suara perlahan, hal ini mungkin akan
didengar oleh laki-laki berbaju hitam yang galak dan bersenjata
itu dan bukan mustahil akan mendatangkan malapetaka
baginya. Dari sebab itu siopia-siopia yang telah digigitnya itu tetap
dikulum didalam mulut saja, walaupun tidak sampai ditelan
kedalam perut, tapi rasa laparnya seolah-olah sudah agak
berkurang. Dalam pada itu kawanan laki-laki berbaju hitam itu sudah
sekian lamanya mengobrak-abrik segenap isi kedai siopiasiopia
tadi, sampai-sampai ubin kedai itupun tidak ketinggalan
dicungkil dan diperiksa, tapi hasilnya tetap nihil.
Melihat tiada sesuatu yang dapat diketemukan lagi, akhirnya
sikakek kurus kecil : telah berseru: "Sudahlah, berhenti saja,
tarik pulang semua!"
Maka terdengar pula suara suitan sahut-menyahut disana-sini
disusul dengan derap lari kuda yang riuh ramai, kawanan
perusuhitu sudah meninggalkan Hau-kam-cip. Akhirnya
beberapa laki-laki yang mengerubut Go To-it tadi menaikkan
jenazah Li Tay-goan an ditaruh melintang diatas kuda, lalu
merekapun menghilang dalam waktu singkat.
Sampai suara derap lari kuda akhirnya sudah tak terdengar
lagi, kemudian penduduk Hau-kam-cip baru berani keluar dari
tempat sembunyi masing-masing, tapi kuatir kalau-kalau
kawanan bandit itu akan datang kembali, maka cara bicara
merekapun tidak berani keras-keras. Cepat-cepat tauke toko
kelontong dan seorang pegawai yang lain menyeret jenazah
kawan mereka kedalam rumah, lalu menutup papan pintu toko
untuk selanjutnya tidak berani keluar lagi.
Maka terdengarlah suara gedebrakan disana-sini, suara pintu
ditutup cepat-cepat. Hanya sebentar saja suasana kembali
sunyi pula, dijalan kota itu tidak nampak bayangan
seorangpun. Hanya tertinggal sipengemis kecil tadi masih meringkuk
dipojok rumah sana. Ketika dilihatnya mayat Go To-it masih
menggeletak disitu dan tiada seorang pun yang mengurusnya,
hati sijembel cilik itu menjadi takut. Perlahan-lahan ia
mengunyah beberapa kali siopia-siopia yang masih terkulum
didalam mulut itu dan cepat ditelannya. Dan baru saja dia
hendak menggigit sisa siopia-siopia yang masih dipegangnya
itu, tiba-tiba dilihatnya mayat Go To-it bergerak perlahan.
Keruan kaget sipengemis cilik itu bukan buatan. Ia coba
kucek-kucek matanya sendiri, ketika ia memandang lagi,
ternyata mayat itu sudah terduduk.
Sipengemis kecil menjadi terkesima saking takutnya. Dia
pernah mendengar cerita tentang mayat hidup, maka hatinya
menjadi berguncang hebat. Tiba-tiba dilihatnya mayat Go To-it
itu mulai berbangkit dan akhirnya berdiri tegak. Saking tegang
dan takutnya gigi sijembel cilik sampai mengeluarkan suara
berkeretukan. Rupanya suara kertukan itu dapat didengar mayat hidup itu,
maka mayat itu telah berpaling. Untung sijembel cilik
meringkuk dibalik pojok rumah sehingga tak terlihat oleh
mayat hidup. Saat itu rembulan muda mulai memancarkan sinarnya yang
remang-remang sehingga sipengemis kecil dapat melihat
dengan jelas muka mayat hidup itu, dari ujung mulutnya
tampak mengucurkan darah, dua batang kaitan masih
menancap didalam perutnya. Dengan sekuat-kuatnya
sipengemis menggigit kuat-kuat giginya supaya tidak
mengeluarkan suara berkertukan.
Dilihatnya mayat hidup itu tiba-tiba berjongkok, tangannya
meraba-raba diatas tanah, ketika sebuah siopia-siopia
terpegang, ia penyet-penyet siopia-siopia itu dan dipecah, tapi
lantas dibuangnya, lalu tangannya mencari-cari pula, ketika
sebuah siopia-siopia ditemukan lagi, namun setelah dirobek
segera dibuangnya juga. Sungguh takut sipengemis cilik tidak kepalang, hatinya
berdebar keras seakan-akan meloncat keluar dari rongga
dadanya. Dilihatnya mayat hidup itu masih terus meraba-raba
diatas tanah, barang-barang lain yang terpegang olehnya tidak
diperhatikan, hanya kalau siopia-siopia segera dipecah menjadi
dua, lalu dibuang. Sambil meraba-raba, lambat-laun mayat
hidup itu telah mendekati tepi selokan.
Sudah tentu sijembel cilik tambah takut. Ada maksudnya
hendak melarikan diri, tapi sekujur badan serasa lemas semua,


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepasang kakinya seperti terpaku diatas tanah, sedikitpun tidak
sanggup bergerak. Gerak-gerik mayat hidup itu sangat lamban, maka telah
makan waktu sekian lamanya setelah belasan buah siopiasiopia
dirusak olehnya. Dan karena tiada menemukan siopiasiopia
lain pula diatas tanah, perlahan-lahan mayat hidup itu
menoleh seperti hendak mencari siopia-siopia lagi.
Sekonyong-konyong sipengemis kecil menjadi kaget ketika
melihat bayangannya sendiri tersorot oleh sinar bulan dan
terletak disamping kaki mayat hidup itu. Waktu dilihatnya kaki
mayat hidup kembali bergerak kedepan, entah darimana
datangnya tenaga, mendadak ia berteriak keras sekali, lalu
melarikan diri. Mungkin mayat hidup itu juga kaget oleh jerita sipengemis
cilik, ia tertegun sejenak, tapi segera iapun berseru: "Siopiasiopia!
Siopia-siopia!" " lalu ia menguber kearah sijembel cilik.
Saking gugupnya sipengemis keserimpet larinya sehingga
jatuh tersungkur. Kesempatan itu segera digunakan mayat
hidup untuk menangkapnya. Tapi secepat kilat sipengemis
menggelinding kesamping sehingga mayat hidup menubruk
tempat kosong. Lalu sijembel berlari lagi lebih cepat.
Karena gerak-geriknya agak lamban, maka sesudah sekian
lamanya barulah mayat hidup itu dapat berdiri tegak lagi.
Namun dia berkaki panjang dan berlangkah lebar, biarpun
dengan agak sempoyongan, hanya belasan tindak saja kembali
ia sudah menyusul sampai dibelakang sijembel cilik.
Waktu itu ditepi jalan terdapat sebatang pohon besar. Tibatiba
sijembel cilik teringat kepada cerita orang, katanya mayat
hidup tidak dapat membelok, asal orang yang dikejar mayat
hidup berputar disekitar pohon, maka susahlah mayat hidup
hendak menangkapnya. Karena pikiran itu segera sijembel cilik hendak membelok
kebelakang pohon, namun sudah terlambat sedikit tahu-tahu
tengkuknya teras dicengkeram orang, lalu tubuhnya terangkat
keatas. "Kau?"" kau telah mencuri aku punya siopia-siopia?" tanya
mayat hidup itu. Dalam keadaan demikian sudah tentu sijembel cilik tak berani
menyangkal, terpaksa ia mengangguk.
"Dan sio?".. siopia-siopia itu sudah ?"". Sudah kau makan?"
mayat hidup itu bertanya pula dengan suara lemah.
Kembali sijembel cilik mengangguk.
"Bret!" mendadak mayat hidup itu menarik baju sijembel
sehingga robek dan kelihatan perutnya.
Jelek-jelek baju kapas yang rombeng itu merupakan milik
satu-satunya sijembel dan telah dipakai seluruhnya, sekarang
ternyata dirobek begitu saja, keruan ia merasa sangat sayang
dan hampir-hampir saja ia menangis kalau tidak dalam
keadaan ketakutan. "Akan kubelah perutmu dan mengoreknya keluar!" demikian
terdengar mayat hidup itu berkata.
Hampir-hampir saja sukma sijembel cilik meninggalkan
raganya saking takutnya. Dengan suara gemetar ia berkata:
"Aku?"". Aku hanya menggigitnya sedikit."
Tapi saking takutnya, suaranya hampir-hampir tak terdengar.
Dalam keadaan ketakutan benaknya juga tidak pernah terkilas
pikiran mengapa mayat hidup dapat bicara"
Sudah tentu tak diketahuinya bahwa sesudah dada Go To-it
kena hantaman sikakek kurus kecil sehingga tulang iga patah
beberapa buah ditambah lagi perutnya tertusuk oleh sepasang
kaitan Li Tay-goan, seketika napasnya berhenti dan roboh tak
sadarkan diri. Tapi lambat-laun ia telah siuman kembali.
Walaupun perut merupakan tempat yang mematikan, tapi luka
parah itu seketika tidak membuat Go To-it lantas binasa.
Bahkan dalam benak Go To-it selalu teringat kepada sesuatu
benda, maka begitu dia siuman dan mengetahui orang-orang
Kim-to-ce sudah pergi semua, dengan mengesampingkan luka
didada dan diperutnya yang parah, lebih dulu ia lantas
berusaha mencari benda yang telah disembunyikannya didalam
siopia-siopia itu. Kiranya ia menyamar sebagai penjual siopia-siopia dan
menetap di Hau-kam-cip, maksud tujuannya ialah ingin
menyelamatkan benda itu dari pencarian musuh dan selama
tiga tahun dia telah hidup aman tenteram ditempatnya ini.
Tiada seorangpun dari penduduk Hau-kam-cip menaruh
perhatian kepada seorang kakek bungkuk penjual siopia-siopia,
maka tiada yang tahu bahwa sebenarnya dia tidak bungkuk
juga belum tua, bahkan bukan seorang penjual siopia-siopia.
Ketika terdengar suara suitan yang ramai dan ratusan
penunggang kuda telah mengepung rapat Hau-kam-cip, maka
tahulah Go To-it bahwa jejaknya akhirnya telah ketahuan.
Dalam keadan terburu-buru ia tidak sempat mencari tempat
lain yang baik dan terpaksa menyembunyikan benda mestika
itu didalam siopia-siopia. Waktu Li Tay-goan menyodorkan
tangannya ingin minta benda itu padanya, terpaksa Go To-it
bersepekulasi dan menaruh siopia-siopia itu ditangan Li Taygoan,
dan benar juga seperti apa yang diduganya, dalam
gusarnya Li Tay-goan lantas melemparkan siopia-siopia itu.
Sesudah siuman dari lukanya yang parah Go To-it tidak dapat
membedakan lagi siopia-siopia mana yang terdapat benda
mestika itu. Terpaksa ia mencarinya satu-persatu dan
memecahkan siopia-siopia itu untuk mencarinya. Akhirnya
dilihatnya pula sipengemis itu. Tiba-tiba terpikir olehnya bukan
mustahil siopia-siopia bersama benda mestika itu telah ditelan
semua kedalam perut sijembel cilik yang kelaparan itu, maka
cepat ia menangkapnya dan hendak membelih perutnya untuk
mencari benda mestikanya.
Namun tiada senjata tajam yang dapat dipakai membelah
perut, tiba-tiba ia menggertak gigi terus mencabut sebuah
kaitan besi yang menancap diperutnya sendiri itu, dengan
kaitan yang tajam itu segera hendak dipakainya untuk
menyembelih sipengemis cilik. Tapi begitu kaitan besi itu
tercabut keluar, seketika perutnya terasa kesakitan dan darah
menyembur keluar dari lukanya, belum lagi kaitan itu sempat
ditusukkan atau tangannya sudah terasa lemas dan pengemis
cilik itu terlepas dari cekalannya. Sedetik kemudian Go To-it
merasa badannya menjadi lemas, ia jatuh terkapar dan
sesudah berkelojotan beberapa kali, akhirnya mati sungguhsungguh.
Sipengemis cilik sesudah terlepas dari cengkeraman Go To-it,
sekuatnya ia merangkak bangun dan segera berlari seperti
kesetanan. Akan tetapi ia benar-benar terlalu takut, maka
cuma beberapa langkah saja dia tidak sanggup berlari lagi,
kakinya terasa lemas dan akhirnya jatuh terguling dan tak
ingat diri pula. Namun tangannya masih tetap menggenggam
siopia-siopia yang tadi baru digigitnya satu kali itu.
Sinar rembulan yang remang-remang itu menerangi jenazah
Go To-it dan lambat laun menggeser sampai diatas badan
sipengemis cilik. Dalam pada itu dari arah tenggara sana
sayup-sayup terdengar suara derapan kuda pula.
Datangnya suara derap kuda itu sekali ini sangatlah cepat,
baru saja terdengar dan tahu-tahu sudah mendekat.
Memangnya penduduk Hau-kam-cip sudah ketakutan maka
suara derap kuda ini pun membikin gemetar mereka. Hanya
saja yang datang sekali ini tidak lebih dari dua penunggang
kuda pula tiada mengeluarkan suara suitan segala.
Bentuk kedua ekor kuda itupun sangat aneh. Yang seekor
berwarna hitam mulus, hanya keempat telapak kakinya berbulu
putih. Sebaliknya yang seekor berwarna putih mulus dan
keempat telapak kakinya berbulu hitam.
Penunggang kuda putih itu adalah seorang wanita berbaju
putih pula, kalau ikat pinggangnya tidak berwarna merah tentu
orang akan menyangka wanita itu sedang berkabung. Pada ikat
pinggangnya yang berwarna merah itu tergantung sebatang
pedang. Sedangkan penunggang kuda hitam adalah seorang laki-laki
setengah umur berbaju hitam, pinggangnya juga terikat
sebatang pedang. Kedua penunggang kuda itu secepat terbang
datangnya. Ketika tiba-tiba melihat tiga sosok mayat yang
menggeletak ditengah jalan dan barang-barang dan alat-alat
perabot berserakan, tanpa merasa kedua orang itu bersuara
heran. Mendadak silelaki baju hitam mengayun cambuknya sehingga
membelit leher mayat Go To-it dan terus ditariknya keatas,
dibawah cahaya rembulan dapatlah muka Go To-it terlihat
jelas. "Dia Go To-it, tampaknya Kim-to-ce sudah berhasil," kata
siwanita baju putih. Ketika silelaki baju hitam ayun cambuknya pula, ia lemparkan
mayat Go To-it ketepi selokan. Lalu sahutnya: "Belum lama
matinya Go To-it, darah yang mengucur keluar dari lukanya
belum lagi kering, kita masih dapat menyusul mereka!"
Siwanita mengangguk setuju. Segera mereka melarikan kuda
hitam-putih itu kearah barat dengan cepat. Sungguh aneh
juga, suara derapan kedua ekor kuda itu begitu rajin dan tetap
sehingga suaranya mirip derap kaki seekor kuda saja, terang
sekali kedua ekor kuda itu sudah terlatih dengan baik.
Makin lari makin cepat, kedua ekor kuda itu. Sesudah
mengitar lewat kota Khoy-hong, jalanan mulai sempit dan tidak
cukup untuk kedua ekor kuda berlari sejajar. Siwanita lantas
menahan kudanya sedikit dan membiarkan silelaki jalan lebih
dahulu. Silelaki tampak tersenyum dan mencongklangkan
kudanya kedepan dengan disusul siwanita dari belakang.
Bab 2. Golok Emas Lawan Pedang Hitam
Menurut taksiran kedua penunggang kuda itu, dilihat dari saat
kematian Go To-it mereka menduga akan dapat menyusul
orang-orang Kim-to-ce dalam waktu singkat. Akan tetapi sudah
sekian lamanya kawanan berandal itu tetap tidak kelihatan.
Nyatalah perhitungan mereka memang meleset, sebab matinya
Go To-it walaupun benar belum lama berselang, tapi sebelum
Go To-it mati benar-benar berandal Kim-to-ce itu sudah
berangkat cukup jauh. Begitulah dua jam lamanya kedua penunggang kuda itu telah
melarikan kuda mereka dengan cepat, akhirnya mereka
mengaso sekadarnya agar binatang tunggangan mereka tidak
lelah, lalu mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Menjelang fajar tertampaklah jauh didataran didepan sana ada
cahaya api unggun. Kedua orang saling pandang dengan
tersenyum dan bersama langas melompat turun dari kuda
mereka. Sesudah menambat kuda-kuda mereka dibatang
pohon ditepi jalan, mereka lantas berlari ketempat api unggun
itu dengan Ginkang yang tinggi.
Api unggun itu tampaknya tidak jauh, tapi sebenarnya ada
belasan li jauhnya. Namun dengan Ginkang mereka yang hebat
itu, bagaikan terbang saja mereka dapat mencapai tempat api
unggun itu dalam waktu singkat.
Sesudah dekat, tertampaklah segerombolan orang terbagi
dalam beberapa kelompok dan mengelilingi belasan gunduk api
unggun. Terdengar pula suara "serupat-seruput" disana-sini, orangorang
itu masing-masing tampak memegang sebuah mangkuk,
rupanya mereka sedang makan mi yang masih panas dan
seperti biasanya orang makan mi, merekapun main sedot saja
mi yang panjang-panjang dan panas itu.
Mestinya kedua orang itu ingin mengintai lebih dulu, tapi
didataran yang luas itu tiada tempat sembunyi yang baik,
terpaksa mereka lantas mendekati rombongan orang-orang itu.
Maka terdengarlah suara bentakan diantara rombongan orangorang
itu: "Siapa itu" Mau apa?"
Sesudah melangkah maju lagi, lalu silelaki memberi salam,
katanya dengan tertawa: "Apakah An-cecu tidak berada disini"
Siapakah kawan yang berada disini ini?"
Sementara itu sikakek kurus kecil yaitu Ciu Bok, sudah selesai
makan mi dan baru saja hendak memberi komando agar
rombongan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ia mendengar
suara tindakan orang yang mendekat, menyusul dari
rombongan kawan sendiri ada yang berseru menegur, waktu ia
memperhatikan di bawah cahaya obor, kelihatan pendatang itu
adalah seorang lelaki dan seorang wanita berbaju hitam-putih
dan sudah berdiri sejajar didepan situ. Usia kedua orang
setengah umur semua, yang lelaki tampan dan gagah, yang
wanita cantik dan lemah lembut, pinggang mereka masingmasing
tergantung sebatang pedang.
Ciu Bok terkesiap, segera teringat dua orang olehnya. Cepat ia
berbangkit dan balas memberi salam, lalu jawabnya: "Wahai,
kiranya Ciok-cengcu suami-isteri dari Hian-soh-ceng di
Kanglam telah berkunjung kemari!" " Lalu ia lantas berteriak:
"Hayo, saudara-saudara, lekas bangun dan memberi hormat,
inilah Ciok-cengcu suami-isteri yang namanya
mengguncangkan lembah utara dan selatan sungai (Yangce)."
Serentak anak buah Kim-to-ce lantas berdiri dan sedikit
membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat.
Diam-diam Ciu Bok membatin: "Ciok Jing dan Bin Ju suamiisteri
selamanya tiada percekcokan apa-apa dengan Kim-to-ce
kami, tapi sekarang mendadak mereka datang kesini, entah
apa maksud tujuannya, jangan-jangan merekapun ingin
mendapatkan benda mestika itu?"
Ia coba memandang sekeliling dataran itu dan tiada terlihat
orang lain pula. Pikirnya lagi: "Walaupun kabarnya ilmu pedang
suami-isteri ini sangat lihay, tapi mereka hanya berdua,
masakah kami sebanyak ini mesti jeri pada mereka?"
Dalam pada itu nyonya Ciok yang bernama Bin Ju itu telah
berkata dengan suara yang lemah-lembut: "Koanjin (suamiku),
tampaknya tuan ini adalah Ciu Bok Ciu-loyacu dari Eng-jiaubun."
Meski ucapan Bin Ju sangat perlahan, tapi terdengar juga oleh
Ciu Bok, mau-tak-mau iapun merasa senang: "Kiranya Pengswat-
sin-kiam (Sipedang Salju Sakti, julukan siwanita) juga
kenal akan namaku." " Maka cepat ia menanggapi: "Ya, harap
Ciok-cengcu dan Ciok-hujin terimalah hormatnya Ciu Bok."
Sebaliknya kawanan berandal Kim-to-ce yang lain tidak tahu
tokoh-tokoh dari "Hian-soh-teng" itu orang macam apa, tapi
mereka melihat pemimpin keempat mereka yaitu Ciu Bok,
sedemikian hormat kepada suami-isteri she Ciok itu, maka
mereka menduga tentu kedua orang itu bukanlah sembarangan
tokoh. Sementara itu Ciok Jing telah berkata pula dengan
tersenyum,"Rupanya para kawan sedang sarapan pagi dan
terganggu oleh kedatangan kami. Boleh silakan duduk saja dan
selesaikan sarapan kalian." " Lalu ia berpaling kepada Ciu Bok
dan melanjutkan: "Kawan Ciu, kami suami-isteri juga pernah
bertemu beberapa kali dengan Ceng Cin-cong, Ceng-heng


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(saudara Ceng), kalau dibicarakan sesungguhnya kita adalah
kenalan lama." "O, beliau adalah paman-guruku," sahut Ciu Bok. Tapi diamdiam
ia merasa terhina, katanya dalam hati: "Usiamu jauh
lebih muda daripada diriku, tapi kau sebut paman-guruku
sebagai saudara, bukankah kau sengaja menganggap dirimu
sebagai angkatan lebih tua?"
Hendaklah maklum bahwa soal tingkatan atau angkatan
didalam dunia persilatan dipandang sangat penting. Angkatan
muda harus menghormat angkatan tua, setiap pesan angkatan
tua tidak boleh sembarangan dibantah oleh kaum muda.
Ciok Jing juga lantas tahu pikiran Ciu Bok demi melihat
perubahan air mukanya, maka katanya dengan tertawa: "Maaf!
Dalam pertemuan di Hoa-san dahulu Ceng-heng pernah bicara
tentang ilmu silat kalian, sungguh kami suami-isteri merasa
sangat kagum. Mengingat hubungan baik kita, sekarang Cayhe
ingin bicara sesuatu yang kurang pantas kepada Ciu-siheng,
untuk mana kami minta maaf lebih dulu."
"Jika urusan pribadi, asal tenagaku dapat mencapainya, pesan
apapun tentu akan kulaksanakan dengan baik," sahut Ciu Bok.
"Akan tetapi bila urusannya menyangkut Kim-to-ce kami, oleh
karena kedudukanku terlalu rendah dan mungkin akan susah
memenuhi keinginan kalian!"
Diam-diam Ciok Jing mengakui akan kelicikan orang, belumbelum
sudah berusaha mengelakkan tanggung-jawab. Segera
katanya: "Soalnya tiada sangkut-paut apa-apa dengan Kim-toce
kalian. Cayhe hanya ingin mencari tahu sesuatu kepada Ciuheng.
Soalnya begini: Kami suami-isteri telah mencari dan
menguber seorang sejak dari Kwitang sehingga kota Khayhong
sini. Orang itu she Go bernama To-it dan biasanya
memakai senjata Boan-koan-pit, perawakannya sangat tinggi,
usianya antara 38-39 tahun, kabarnya paling akhir ini
menyamar sebagai seorang bungkuk dan hidup mengasingkan
diri disekitar sini. Entah Ciu-siheng pernah mendengar berita
tentang orang she Go itu atau tidak?"
Orang-orang Kim-to-ce menjadi gempar mendengar nama Go
To-it disebut. Piker Ciu Bok: "Kau datang dari arah timur, tentu
mayat Go To-it sudah kau ketemukan, jika kami tidak bicara
terang-terangan malah akan disangka pengecut." " Karena itu
ia lantas tertawa dan berkata: "Ciok-cengcu dan Ciok-hujin,
urusan ini sangat kebetulan juga. Meski kepandaianku rendah
dan tiada artinya, tapi kebetulan telah berjasa bagi Ciokcengcu.
Go To-it itu rupanya telah berdosa pada kalian, maka
orang-orang Kim-to-ce kami telah membereskan dia."
Sambil bicara matanya terus menatap air muka Ciok Jing
untuk melihat bagaimana reaksinya, apa girang atau marah.
Sebaliknya Ciok Jing semakin merasa Ciu Bok itu benar-benar
seorang yang licik dan licin oleh kerna jawabannya itu, maka ia
hanya tersenyum dan berkata: "Go To-it itu sebenarnya tidak
saling kenal dengan kami, maka tidak dapat dikatakan telah
berdosa apa-apa kepada kami. Adapun maksud kami mencari
dia, kalau kami katakana terus terang hendaklah Ciu-siheng
jangan mentertawakan kami, soalnya adalah karena kami ingin
mencari sesuatu benda yang berada pada orang she Go itu."
Air muka Ciu Bok agak berubah, tapi cepat tenang kembali,
sahutnya dengan tertawa: "Berita Ciok-cengcu ternyata tajam
juga, kabar tentang hal itu memang juga kami dengar. Untuk
bicara terus terang kepada Ciok-cengcu sebabnya Cayhe
memimpin para saudara-saudara kami keluar ini sesungguhnya
juga lantaran benda yang dimaksudkan itu. Tapi, ai, entah
setan alas atau anak jadah siapa yang telah sengaja
menyebarkan desas-desus demikian, jiwa Go To-it telah
melayang, perjalanan kami inipun sia-sia, bahkan bukan
mustahil kami akan diomeli An-cecu karena usaha kami yang
nihil ini. Apalagi kalau kabar bohong ini sampai tersiar sehingga
kawan-kawan kalangan Kangouw sama menyangka benda itu
telah didapatkan orang-orang Kim-to-ce dan semuanya lantas
memusatkan incaran mereka kepada Kim-to-ce, wah,
bukankah urusan ini bisa runyam" Thio-hiantit, coba untuk
jelasnya boleh kau ceritakan kepada Ciok-cengcu dan Ciokhujin
tentang cara bagaimana Go To-it terbinasa dan apa yang
terdapat di kedai siopia-siopia itu."
Segera seorang lelaki pendek kecil tapi gesit tangkas lantas
tampil kemuka dan menutur: "Orang she Go itu telah dihantam
terjungkal dari atas rumah oleh pukulan Ciu-thauleng kami,
seketika itu juga tulang iga orang she Go itu patah dan isi
perutnya hancur?"?".." " begitulah dengan mulutnya yang
tajam itu dia telah membumbu-bumbui, menambah kecap dan
menuangi minyak sehingga ceritanya tambah menarik, ia
ceritakan semua kejadian sampai matinya Go To-it, hanya
bagian yang menyangkut buntalan dipunggung Go To-it yang
telah diambil Ciu Bok itulah yang tidak diuraikannya.
Selesai mendengarkan cerita itu, Ciok Jing tampak manggutmanggut.
Tapi pikirnya didalam hati: "Ketika melihat
kedatangan kami tadi, Ciu Bok ini lantas selalu siap siaga dan
kelihatan tidak tenteram. Padahal Hian-soh-ceng dan Kim-to-ce
tiada punya permusuhan apa-apa, kalau bukan karena dia
sudah mengantongi benda mestika itu buat apa dia mesti waswas
kepada kami suami-isteri?" " Ia pun menduga bila benda
mestika itu benar-benar telah diketemukan orang-orang Kimto-
ce, maka pasti benda itu dipegang sendiri oleh Ciu Bok.
Sekilas pandang ia melihat dua ratusan orang-orang Kim-to-ce
itu semuanya gagah dan tangkas, meski tiada terdapat jagojago
kelas satu, tapi jumlahnya cukup banyak dan susah
dilawan. Watak Ciok Jing ini adalah halus diluar tapi keras didalam. Tadi
dia sudah merasa tersinggung oleh ucapan Ciu Bok, namun
lahirnya dia masih tersenyum-senyum saja. Ia menuding
kearah hutan yang jauh disebelah kiri sana dan berkata: "Aku
ingin bicara sesuatu secara empat mata dengan Ciu-siheng,
silahkan engkau ikut kehutan sana."
"Ah, kawan-kawan kami ini semuanya dapat dipercaya, kalau
ada sesuatu boleh bicara secara?"?"." Baru Ciu Bok berkata
sampai disini, mendadak ia merasa pergelangan tangan kirinya
sudah tergenggam oleh tangan Ciok Jing, menyusul separo
tubuhnya terasa linu pegal sehingga tangan kanan juga tak
bisa berkutik. Sungguh terkejut dan gusar Ciu Bok tidak kepalang. Sejak
munculnya Ciok Jing dan Bin Ju suami-isteri, dia sudah lantas
menghadapinya dengan penuh perhatian, sedikitpun tidak
berani lengah, eh, toh masih kecundang juga, tahu-tahu Ciok
Jing sudah turun tangan dan entah dengan gerakan apa
secepat kilat tangannya sudah terpegang olehnya.
Padahal Kim-na-jiu-hoat atau ilmu menangkap dan
mencengkeram seperti itu adalah kepandaian Eng-jiauw-bun
sendiri yang sangat diandalkan, tak terduga, belum lagi
bergebrak Ciu Bok sudah kena ditangkap lawan.
Dalam pada itu Ciok Jing telah berkata pula dengan suara
keras: "Jika Ciu-siheng sudah mau bicara kesana, memang
inilah yang kuharapkan." " Lalu ia menoleh kepada sang isteri
dan berkata: "Aku akan bicara sebentar dengan Ciu-siheng,
harap kau tunggu saja disini."
Bin Ju mengangguk ramah. Lalu Ciok Jing menggandeng Ciu
Bok dan berjalan perlahan kedepan.
Orang-orang Kim-to-ce menyaksikan Ciok Jing berjalan pergi
bersama Ciu Bok dengan tertawa-tawa dan seperti tiada
maksud jahat, pula isterinya ditinggalkan di situ, maka tiada
seorangpun yang menduga bahwa dengan ilmu silat Ciu Bok
yang tinggi itu, tahu-tahu sudah berada dibawah ancaman
lawan dan terpaksa mengikuti segala keinginan orang.
Sambil memegang tangan Ciu Bok, makin lama makin cepat
jalannya Ciok Jing, asal langkah Ciu Bok sedikit lambat saja,
bukan mustahil akan lantas terseret jatuh, maka terpaksa dia
bukan mustahil akan lantas terseret jatuh, maka terpaksa ia
ikut berlari sekuat tenaga. Jarak dengan hutan itu mestinya
ada dua-tiga li jauhnya, tapi hanya sekejab saja kedua orang
sudah sampai ditengah hutan.
Disitulah Ciok Jing melepaskan tangan Ciu Bok dan berkata
dengan tertawa: "Ciu-siheng?"?"?".."
"Apa maksudmu ini?" bentak Ciu Bok dengan gusar dan
kontak tangan kanan terus mencakar kedada Ciok Jing dalam
gerak tipu "Beng-bok-say-jiu" atau cakar singa menerkam
kalap. Namun secepat kilat tangan kiri Ciok Jing telah menyambar
dari kiri kekanan, tangan Ciu Bok itu kena dicengkeramnya,
berbareng terus ditelikung kebelakang bahkan tangan Ciu Bok
yang lain kena dipegang pula sehingga kedua tangannya
tertelikung semua. Dalam kaget dan kuatirnya, tanpa piker lagi Ciu Bok angkat
sebelah kakinya dan mendepak kebelakang, yang diarah adalah
selangkangan Ciok Jing. "Ai, mengapa mesti marah?" ujar Ciok Jing dengan tertawa.
Berbareng Ciu Bok merasa Hiat-to dibagian kakinya menjadi
kesemutan sehingga kaki yang sedang mendepak kebelakang
itu tahu-tahu terasa lemas dan menjulai kembali kebawah.
Dengan demikian terpaksa Ciu Bok tak berani berkutik lagi.
Dengan muka merah padam ia membentak: "Kau". Kau mau
apa?" "Benda itu sudah kau ambil dari Go To-it, maka aku ingin
pinjam lihat barang itu, silahkan mengeluarkannya," kata Ciok
Jing. "Barang itu sih memang ada, tapi tiada berada padaku," sahut
Ciu Bok. "Jika kau ingin lihat, boleh kembali ketempat kawankawanku
itu." Tujuan Ciu Bok ialah memancing Ciok Jing kembali ketempat
api unggun, disana dia mempunyai ratusan kawannya, sekali
dia memberi perintah, segera mereka dapat mengerubutnya,
jika demikian, betapapun tinggi kepandaian Ciok Jing suami
isteri, tentu juga susah melawan orang banyak.
Namun Ciok Jing tak mudah ditipu, sahutnya dengan tertawa:
"Maaf, aku tak dapat mempercayai kau, terpaksa mesti
menggeledah dulu badanmu!"
"Kau berani menggeledah aku" Kau anggap aku ini orang
macam apa?" teriak Ciu Bok dengan gusar.
Ciok Jing tidak peduli dan tidak menjawab. Sekali tarik segera
ia tanggalkan sepatu kulit Ciu Bok.
Ciu Bok tersentak kaget. Namun Ciok Jing sudah lantas
mengeluarkan sebuah bungkus kecil dari kepitan sepatunya.
Terang itulah bungkusan berasal dari pengganjal punggung Go
To-it. Diam-diam Ciu Bok sangat heran, ia tidak habis tahu mengapa
Ciok Jing dapat mengetahui tempat dimana ia menyimpan
bungkusan kecil itu. Ia tidak tahu bahwa Ciok Jing itu sangat
cerdik. Ketika Ciu Bok ditanya tentang benda mestika itu,
tanpa merasa sorot matanya telah melirik kebagian sepatunya,
hal inilah yang menimbulkan dugaan keras pada Ciok Jing
bahwa benda itu pasti disembunyikan didalam sepatu kulitnya.
Sebab itulah maka sekali geledah lantas ketemu.
Keruan Ciu Bok menjadi gugup, segera ia bermaksud
menggembor untuk minta tolong kepada begundalnya. Namun
Ciok Jing telah berkata pula dengan menjengek: "Hm, kau
telah berdusta dan mengkhianati An-cecu kalian, apakah kau
lebih suka membongkar sendiri rahasiamu ini dan nanti akan
menerima hukuman potong sepuluh jarimu?"
Keruan Ciu Bok terkejut, tanpa merasa ia bertanya: "Da?"".
darimana kau mengetahui?"
"Sudah tentu aku mengetahui," sahud Ciok Jing. "Padahal Ancecu
adalah orang cerdik, sedangkan aku saja tak dapat kau
kelabui, apalagi An-cecu kalian?"
Rupanya tadi ketika orang she Thio dari Kim-to-ce
menguraikan kejadian mengobrak-abrik kedai siopia-siopia dan
tidak menemukan sesuatu yang dicari, dari nadanya Ciok Jing
merasa apa yang diceritakan itu memang bukan omong-kosong
atau bualan belaka, tapi sekarang benda mestika yang dicari
itu justeru diketemukan ditubuh Ciu Bok, maka teranglah Ciu
Bok mempunyai maksud untuk mencaplok sendiri benda
mestika itu. Dan pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang
yang perlahan, ternyata diluar hutan sudah kedatangan
beberapa orang. Lalu terdengarlah suara orang tertawa dan
berkata: "Banyak terima kasih atas pujian Ciok-cengcu kepada
orang she An ini, terimalah hormatku ini."
Dan baru selesai ucapannya tertampaklah tiga orang telah
menyelusup kedalam hutan.
Melihat para pendatang itu, air muka Ciu Bok seketika pucat
pasi. Kiranya ketiga orang yang datang ini adalah gembonggembong
Kim-to-the, yaitu Toa-cecu (pemimpin berandal yang
pertama) An Hong-jit, Ji-cecu (pemimpin kedua) Pang Cin-bu
dan Sam-cecu Pun-khong Tojin. Yang terakhir ini adalah
seorang imam agama To. Waktu An Hong-jit menugaskan Ciu Bok kekota Khay-hong
untuk mengusut urusannya Go To-it, dia tidak mengatakan
akan memapak ditengah jalan, tapi entah mengapa sekarang
pemimpin utama itu telah datang sendiri malah. Jadi, pastilah
rahasianya ingin mengangkangi benda itu sudah gagal, bahkan
jiwanya boleh jadi akan melayang.
Dalam gugupnya, cepat Ciu Bok berseru: "An-toako, ben"..
benda itu telah direbut dia!" " Sambil berkata iapun menuding
kearah Ciok Jing. Lebih dulu An Hong-jit memberi hormat kepada Ciok Jing, lalu
berkata: "Nama Ciok-cengcu tersohor diseluruh penjuru,
sungguh orang she An merasa sangat kagum dan sayang
selama ini tidak pernah bertemu. Ce (markas berandal) kami
terletak tidak jauh dari sini, jika sudi silakan Ciok-cengcu dan
nyonya suka mampir dan tinggal beberapa hari ditempat kami
itu agar kami dapat meminta petunjuk-petunjuk yang
berharga." Ciok Jing coba memperhatikan potongan para gembong Kimto-
ce itu. An Hong-jit berewok pendek kaku, tubuhnya juga
pendek tapi kekar dan agak kasar tampaknya, namun
bicaranya ternyata sangat sopan dan pakai aturan, sama sekali
ia tidak menyinggung tentang benda mestika yang telah
direbutnya itu, sebaliknya malah mengundangnya ke Kim-toce,
maka Ciok Jing lantas membalas hormat dan hendak
memasukkan bungkusan kecil yang direbutnya dari Ciu Bok
tadi kedalam saku sambil berkata dengan tertawa: "Ah, terima
kasih atas maksud baik An-cecu?"".."
Baru sekian ucapannya, sekonyong-konyong matanya merasa
silau, sinar senjata telah berkelebat, tahu-tahu Pun-khong Tojin
sudah mencabut pedangnya dan ujung senjata itu telah


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengancam kepergelangan tangan Ciok Jing sambil
membentak: "Lepaskan dulu benda itu!"
Namun betapa cepatnya Pun-khong Tojin toh masih kalah
cepat daripada Ciok Jing. Hanya sedikit miring kesamping,
sekalian Ciok Jing lantas angsurkan bungkusan kecil itu
ketangan kiri Pun-khong Tojin dan berkata: "Nah, terimalah"."
Pun-khong menjadi girang, tanpa pikir ia terus pegang
bungkusan kecil itu. Tak terduga pergelangan tangan kanan
yang memegang pedang mendadak terasa linu, senjatanya
tahu-tahu sudah kena direbut lawan. Bahkan Ciok Jing terus
memutar balik pedang rampasan itu dan balas memotong
pergelangan kiri Pun-khong sambil membentak: "Lepaskan
dulu benda itu!" Keruan Pun-khong terperanjat, sinar pedang sudah
menyambar dekat tangannya, sedetik lagi senjata itu pasti
akan makan tuannya, untuk menarik tangannya juga sudah
terlambat, terpaksa Pun-khong lemparkan bungkusan kecil itu.
Cepat pedang Ciok Jing lantas mencukit kebawah.
"Kepandaian hebat!" seru Pang Cin-bu yang tidak mau tinggal
diam. Sebelum Ciok Jing sempat menangkap kembali
bungkusan kecil itu, terus saja ia putar goloknya dan
menjatuhkan tubuhnya ketanah, sambil menggelinding kearah
Ciok Jing, segera ia menabas kaki lawan itu.
Tapi gerakan Ciok Jing benar-benar teramat sebat, "Sret!",
mendadak pedangnya mendahului menusuk kepala Pang Cinbu.
Sebelum serangan Cin-bu itu mengenai sasarannya tentu
kepalanyaa akan terpantek diatas tanah oleh pedang Ciok Jing.
Melihat keadaan membahayakan jiwa kawannya itu, cepat An
Hong-jit berteriak: "Tahan dulu!"
Namun tusukan Ciok Jing itu masih menuju kebawah. Pang
Cin-bu sudah pejamkan mata dan menerima ajalnya.
Mendadak pipi kiri terasa "nyes" dingin, tusukan Ciok Jing itu
tidak diteruskan lagi. Rupanya ia benar-benar menahan
serangannya itu, maka ujung pedang hanya menempel dipipi
Pang Cin-bu saja. Betapa tepat sasarannya dan betapa cepat daya tahannya
serta tenaga yang dipakai ternyata tidak selisih sedikit pun
sehingga kepala Pang Cin-bu tidak jadi terpantek diatas tanah.
Habis itu barulah terdengar suara "bluk!" yang perlahan,
bungkusan kecil yang dicukit kembali itu telah tertangkap pula
oleh Ciok Jing. Beberapa gerakan itu ternyata sudah
berlangsung dengan secepat kilat.
Dan sesudah menangkap kembali bungkusan kecil itu, barulah
Ciok Jing menarik pulang pedangnya dan berkata: "Maaf!" "
Lalu ia melangkah mundur dua-tiga tindak.
Ketika Pang Cin-bu berdiri kembali, mukanya menjadi merah
jengah dan serba salah, tinggal pergi merasa malu, tetap disitu
juga merasa susah. Dalam pada itu An Hong-jit sudah melangkah maju, ia
membuka bajunya sendiri sehingga kelihatan simbar-dadanya
yang berbulu lebat. Dari punggung ia lantas mencabut keluar
sebatang golok. Tatkala itu sang surya sudah mulai menyingsing, cahaya
matahari menembus masuk melalui celah-celah daun pohon
yang rindang itu, sinar golok warna emas itu gemerlap
menyilaukan, mata golok itu tebal bagian punggung dan tipis
serta tajam bagian depan, sungguh sebuah senjata yang
bagus. An Hong-jit mengacungkan golok-emasnya itu dan berkata:
"Ciok-cengcu mempunyai kepandaian yang hebat, sungguh aku
sangat kagum. Sekarang biarlah aku mohon petunjuk beberapa
jurus padamu!" "Hari ini bertemu dengan tokoh ternama, sungguh aku merasa
sangat beruntung!" sahut Ciok Jing dengan tertawa. Dan sekali
tangannya bergerak, mendadak bungkusan kecil yang
dipegangnya itu tertimpuk kedepan.
An Hong-ji dan kawan-kawannya menjadi heran, masakah
benda mestika yang dibuat rebutan itu sekarang malahan
dibuang begitu saja oleh Ciok Jing"
Tapi menyusul lantas terdengar suara angin menderu, pedang
rampasan yang dipegang Ciok Jing itupun disambitkan dan
baru saja bungkusan kecil itu menumbuk batang pohon
didepan sana, tahu-tahu dari belakang pedang panjang itu
sudah menyusul tiba, "cret", dengan tepat bungkusan kecil itu
terpaku dibatang pohon. Ujung pedang itu hanya menembus
satu bagian kecil bungkusan itu sehingga tidak mengenai
benda yang terbungkus didalamnya.
Betapa jitu dan bagus caranya Ciok Jing mempertunjukkan
kepandaiannya itu, mau-tak-mau Pun-khong Tojin dan Pang
Cin-bu harus mengakui keunggulan lawan.
Ketika pandangan An Hong-jit, Pun-khong Tojin dan lain-lain
berpindah kembali kearah Ciok Jing, tahu-tahu tertampak
tangan orang she Ciok itu sudah bertambah pula dengan
sebatang pedang lain yang berwarna hitam mulus. Terdengar
Ciok Jing telah berkata: "Bak-kiam (pedang hitam) ketemu
Kim-to (golok emas), sungguh sangat beruntung. Marilah kita
coba-coba, asal salah sepihak tertutuk, biarpun cuma menang
satu jurus atau setengah gerakan saja, dia yang akan
mendapatkan benda yang terpaku dipohon itu. Setuju?"
Padahal Ciok Jing sudah berhasil merebut benda itu, tapi
sekarang sengaja dipantek diatas pohon dan akan diperebutkan
dengan bertanding ilmu silat, sungguh An Hong-jit merasa
sangat kagum akan kejujuran orang. Segera ia menjawab:
"Marilah mulai, Ciok-cengcu!"
Sudah lama An Hong-jit mendengar ilmu pedang suami-isteri
Ciok Jing dan Bin Ju adalah sangat lihay, tadi iapun sudah
menyaksikan caranya Ciok Jing menundukkan Pun-khong Tojin
dan Pang Cin-bu, dan memang benar-benar bukan omongkosong
kepandaiannya, maka sekarang Hong-jit tidak berani
gegabah, "srat-sret-sret", sekaligus ia lantas mulai
melancarkan tiga kali serangan pancingan.
Namun Ciok Jing tenang-tenang saja, ujung pedangnya
menuding kebawah, badannya sama sekali tidak bergerak,
katanya: "Silahkan menyerang saja!"
Karena itu barulah golok An Hong-jit menabas miring
kebawah, tapi sebelum mengenai sasarannya mendadak ia
putar balik keatas. Nyata, sekali mulai menyerang segera ia
mengeluarkan 72 jurus "Bik-kwa-to", ilmu golok andalannya
yang beraneka ragam perubahannya didalam tiap-tiap
jurusnya. Ciok Jing juga lantas putar pedangnya yang berwarna hitam
mulus itu, semula dia masih bertahan, tiap-tiap serangan An
Hong-jit selalu ditangkisnya. Tapi sesudah lewat 30 jurus,
mendadak ia bersuit nyaring, ia mulai melancarkan serangan
balasan, serangan-serangan semakin gencar dan semakin
cepat. Sesudah bertahan sampai lebih 30 jurus, An Hong-jit sekarang
berbalik tidak dapat membedakan arah datangnya serangan
lawan lagi. Diam-diam ia menjadi gugup, terpaksa ia putar
goloknya sekencang-kencangnya untuk menjaga diri.
Walaupun sudah bergebrak sampai 70 jurus, tapi senjata
kedua orang tetap belum pernah saling bentur. Sampai
akhirnya mendadak terdengar suara "cring" yang perlahan
sekali, mata pedang warna hitam itu telah menumpang diatas
punggung golok terus menggesek kebawah.
Gerak tipu ini disebut "Sun-liu-gi-he" atau menurun mengikuti
arus, terhitung suatu jurus ilmu pedang yang lazim untuk
mengalahkan ilmu golok. Bila kepandaian penyerang itu lebih
rendah, maka cukuplah kalau An Hong-jit sampukkan goloknya
kesamping dan segera pedang lawan akan terpental.
Namun Ciok Jing bukanlah jago silat pasaran, baru saja An
Hong-jit hendak menyampukkan goloknya, tahu-tahu mata
pedang sudah menyentuh jarinya. Keruan terkejut An Hong-jin
tidak kepalang, diam-diam ia mengeluh jarinya pasti akan
terpapas, sekalipun dia hendak melepaskan golok dan menarik
tangan juga sudah terlambat.
Baru saja terkilas pikiran demikian dibenak An Hong-jit, tahutahu
pedang Ciok Jing telah tertahan mentah-mentah ditengah
jalan, tidak memotong terus, sebaliknya tertarik kembali
beberapa senti jauhnya. An Hong-jit insaf lawannya sengaja bermurah hati padanya,
kalau kesempatan itu tidak digunakan untuk melepaskan golok
mungkin akan membawa akibat lebih jelek lagi, maka terpaksa
ia menjatuhkan senjatanya.
Tak terduga, mendadak pedang hitam lawan lantas memutar
kebawah golok sehingga golok emas itu tersanggah dan tidak
sampai jatuh ketanah. Bahkan terdengar Ciok Jing sedang
berkata: "Kekuatan kita adalah setanding dan susah
menentukan menang atau kalah." " Ketika pedang sedikit
mencukit, segera golok emas itu mencelat keatas.
Sungguh terima kasih An Hong-jit tak terkatakan, cepat ia
pegang kembali goloknya itu. Ia tahu lawan yang berbudi itu
sengaja menyelamatkan mukanya, maka cepat ia menegakkan
golok dan memberi hormat, itulah jurus terakhir dari Bik-kwato
yang bernama "Lam-hay-pay-hud" atau menyembah Budha
dilautan kidul. Sampai disini An Hong-jit lebih terkejut sehingga air mukanya
berubah. Kiranya sampai saat terakhir ini justeru dia telah
selesai memainkan "Bik-kwa-to" yang meliputi 72 jurus itu.
Jika demikian, terang Ciok Jing sangat paham ilmu golok
andalannya ini dan dirinya baru dikalahkannya pada jurus yang
ke-71 tadi, yaitu jurus terakhir, ditambah dengan jurus
penutup "Lam-hay-pay-hud". Coba kalau Ciok Jing mau
menjatuhkan dia dengan lebih cepat, rasanya bukan soal sulit
baginya. Dan baru saja An Hong-jit hendak mengucapkan beberapa
patah rasa terima kasihnya, disebelah sana Ciok Jing sudah
memasukkan kembali pedangnya dan berkata sambil
merangkap kedua kepalan tangan: "Orang she Ciok merasa
beruntung mengikat persahabatan dengan An-cecu, maka
pertandingan kita ini tidak perlu diteruskan lagi. Kapan-kapan
kalau An-cecu lalu ditempat kami, diharap sudilah mampir buat
tinggal beberapa hari disana."
"Terima kasih atas undangan Ciok-cengcu," sahut Hong-jit
dengan wajah kikuk. Mendadak ia melompat keatas, ia cabut
pedang Pun-khong Tojin yang ditimpukkan oleh Ciok Jing tadi
dan mengambil bungkusan kecil yang terpaku dibatang pohon
itu. Kemudian dengan penuh hormat, ia persembahkan
bungkusan itu kehadapan Ciok Jing dan berkata: "Silakan Ciokcengcu
ambil saja!" Rupanya dia merasa pamornya telah diselamatkan oleh Ciok
Jing, pula jari tangannya tidak sampai terkutung, maka ia
merasa sangat berterima kasih dan rela menyerahkan benda
itu. Tak terduga Ciok Jing itu tidak mau menerimanya, ia memberi
hormat dan berkata: "Sampai bertemu pula!" " Lalu putar
tubuh dan tinggal pergi. "Tunggu dulu, Ciok-cengcu," seru An Hong-jit. "Cengcu telah
menjaga nama baik orang she An ini, masakah aku sendiri
tidak tahu" Sudah terang diriku telah kalah habis-habisan dan
benda ini sudah seharusnya menjadi bagian Ciok-cengcu, kalau
tidak bukankah diriku akan dikatakan sebagai manusia rendah
yang tidak kenal budi kebaikan?"
"An-cecu," sahut Ciok Jing dengan tersenyum, "Pertandingan
tadi belum lagi terang siapa yang menang atau kalah,
kepandaian An-cecu yang lain seperti Ceng-liong-to dan Toanbun-
to yang hebat itu belum lagi dikeluarkan, mana boleh
engkau dianggap sudah kalah" Pula, isi bungkusan itu toh tidak
terdapat benda yang dicari itu, mungkin Ciu-siheng telah ditipu
orang!" An Hong-jit tercengang oleh jawaban itu. "Isi bungkusan ini
tiada terdapat benda itu!" ia menegas. Cepat ia membuka
bungkusan itu selapis demi selapis. Sesudah lima lapis,
akhirnya barulah kelihatan isinya, yaitu terdiri dari tiga titik
hitam belaka. Waktu diperiksa, kiranya adalah tiga biji kutu
busuk yang sudah mati. Melihat isi bungkusan yang sangat mengecewakan itu,
sungguh kejut dan gusar An Hong-jit tak terkirakan. Tapi ia
masih dapat menahan perasaannya, ia berpaling dan tanya
kepada Ciu Bok: "Ciu-hengte, se?" sebenarnya apa-apaan
ini?" "Aku?"" aku sendiripun tidak tahu," sahut Ciu Bok dengan
gelagapan. "Dari tubuh Go To-it hanya dapat diketemukan
bungkusan kecil ini, lain tidak."
Segera An Hong-jit tahu bahwa benda mestika itu tentu telah
disembunyikan oleh Go To-it atau sudah diberikan kepada
orang lain. Jadi usahanya ini bukan saja sia-sia belaka, bahkan
telah menjatuhkan nama baik Kim-to-ce.
Ia membuang bungkusan kosong itu, lalu katanya kepada Ciok
Jing: "Sungguh membikin malu saja pekerjaan kawan-kawan
kami ini. Tapi entah darimana Ciok-cengcu mengetahui tentang
isi bungkusan ini?" "Ah, Cayhe juga cuma sembarangan menerka saja," sahut
Ciok Jing dengan tersenyum. "Nyata kita sama-sama telah
dikelabui orang, diharap An-cengcu saling memaklumi."
Habis berkata, kembali ia memberi salam kepada Pang Cin-bu,
Pun-khong Tojin dan Ciu Bok, lalu melangkah pergi dengan
cepat. Setiba ditempat api unggun, ia berkata kepada Bin Ju:
"Niocu (istriku), marilah berangkat!" " Kedua orang lantas
mencemplak keatas kuda masing-masing dan menuju kearah
darimana mereka datang tadi.
Melihat air muka sang suami, tak ditanya juga Bin Ju
mengetahui usaha mereka ini telah sia-sia. Entah mengapa
hatinya menjadi pilu dan air matanya berlinang-linang.
"Engkau tidak perlu kesal, isteriku," kata Ciok Jing. "Kim-to-ce
sendiri juga tertipu. Biarlah kita menggeledah pula jenazah Go
To-it itu, boleh jadi orang-orang Kim-to-ce itu yang telah salah
mata dan benda mestika itu masih tertinggal disana."
Walaupun tahu usaha mereka tentu akan sia-sia pula, tapi Bin
Ju tidak ingin membantah maksud sang suami itu, dengan
suara terguguk, ia menyatakan baik. Segera kuda-kuda hitamputih
itu berlari pula kearah Hau-kam-cip. Sungguh cepat
sekali kekuatan lari kuda-kuda itu, kira-kira lohor mereka
kembali sudah berada dikota kecil itu.
Dalam pada itu, rasa panik penduduk kota itu belum lagi
lenyap, maka tiada suatu tokopun yang membuka pintu.
Laporan tentang datangnya kawanan bandit yang telah
membunuh orang dan merampok harta benda kemarin itu oleh
petugas setempat sudah disampaikan kepada pembesar kota
Khay-hong. Tapi pemeriksaan belum dilakukan, mungkin para


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembesar dikota itupun takut kepada kawanan bandit, kalau
lebih lama tentu akan lebih selamat, demikian perhitungan
mereka. Ketika Ciok Jing berdua sampai pula didekat jenazah Go To-it
tertampak dipojok dinding sana berduduk seorang pengemis
kecil berusia antara 12-13 tahun, selain itu tiada orang lain
lagi. Segera Ciok Jing memeriksa dan menggeledah dengan teliti
sekujur badan Go To-it, sampai-sampai gelung rambutnya juga
dilepas, sepatu dan kaos kaki juga dicopot untuk diperiksa.
Sedangkan Bin Ju mencari kedalam kedai siopia-siopia.
Tapi akhirnya suami-isteri itu hanya menghela napas belaka.
Kata Bin Ju: "Siangkong (suamiku), tampaknya sakit hati kita
ini ditakdirkan takkan terbalas. Selama beberapa hari ini sudah
terlalu membikin capek engkau, marilah kita pesiar saja kekota
Khay-hong, disana kita dapat melihat sandiwara dan menonton
wayang." Ciok Jing cukup kenal baik watak sang isteri yang suka kepada
ketenangan dan tidak suka menonton sandiwara apa segala.
Bahwasannya sekarang isterinya mengajak pesiar kekota Khayhong
adalah ingin membikin senang padanya, maka iapun
menjawab: "Baiklah, kita sudah datang ke Holam sini, sudah
selayaknya kita pesiar ke Khay-hong. Konon pandai emas
dikota itu sangat terkenal, marilah kita mencari beberapa
bentuk perhiasan yang indah."
Didunia persilatan Bin Ju terkenal akan kecantikannya.
Memangnya dia suka bersolek, apalagi wanita yang sudah
menanjak setengah umur, tentu akan lebih memperhatikan
soal dandan. Sekarang usaha suami-isteri itu tiada membawa
hasil apa-apa, dalam keadaan kesal, terpaksa mereka mencari
kesenangan lain sekadar pelipur hati.
Begitulah maka Bin Ju telah menjawab sang suami dengan
tersenyum pedih: "Sejak anak Kian meninggal, selama 13
tahun ini perhiasan yang kau belikan untukku rasanya sudah
cukup untuk membuka sebuah toko perhiasan."
Berkata tentang "meninggalnya anak Kian", kembali air mata
Bin Ju bercucuran. Sekilas terlihat olehnya sipengemis kecil
yang duduk sembunyi-sembunyi dipojok dinding sana dengan
rasa takut-takut dan keadaan kotor tak terurus, tiba-tiba
timbul rasa kasihannya, segera ia bertanya: "Dimanakah
ibumu" Mengapa menjadi pengemis?"
"Ib?".. ibuku tidak tahu kemana," sahut pengemis cilik itu.
Bin Ju menghela napas dan mengeluarkan serenceng uang
perak dan dilemparkan kepada pengemis kecil itu, katanya:
"Ini buat beli siopia-siopia!" " Lalu ia menarik les kuda dan
melarikannya sambil menoleh dan bertanya pula: "Nak, kau
she apa dan siapa namamu?"
"Aku?"?"".. aku bernama Kau-cap-ceng (anak anjing),"
sahut sipengemis cilik. Ciok Jing menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban
itu. "Rupanya seorang anak gendeng!" ujarnya.
"Ya, sungguh kasihan," kata Bin Ju.
Sambil bicara kedua orang lantas melarikan kuda mereka
kejurusan kota Khay-hong. Tertinggal sijembel cilik yang masih
meringkuk sendirian berkawankan jenazah Go To-it.
Bab 3. Hian-Tiat-Leng (Medali Wasiat)
Seperti diketahui pengemis cilik itu telah pingsan saking
ketakutan karena diuber oleh "mayat hidup" Go To-it dan
sampai hari sudah terang baru dia siuman. Tapi rasa takutnya
itu rupanya terlalu hebat, begitu membuka mata dan melihat
jenazah Go To-it yang berlumuran darah itu menggeletak
disampingnya, maka kembali ia jatuh kelenger lagi. Agak lama
kemudian barulah dia sadar pula.
Waktu Ciok Jing berdua datang, saat itu sijembel cilik itu baru
sadar dan mestinya ingin melarikan diri. Tapi dilihatnya Ciok
Jing telah mengangkat dan membalik jenazah yang mengerikan
itu, dalam ketakutan dia menjadi tak berani bergerak. Tak
terduga akhirnya dia mendapat persen serenceng uang perak
dari wanita cantik itu yang menyuruhnya membeli siopiasiopia.
"Beli siopia-siopia" Bukankah aku sudah punya?" demikian
pikirnya. Segera ia angkat tangan kanan, benar juga siopiasiopia
yang baru digigitnya sekali itu masih tergenggam
didalam tangan. Karena rasa takutnya mulai hilang, seketika ia
merasakan perutnya kelaparan. Segera ia menggigit siopiasiopia
itu dengan lahapnya. Tapi baru sekali menggigit, "krek" giginya terasa kesakitan
karena menggigit benda sekeras besi. Waktu dia menarik
siopia-siopia itu, terasa mulutnya sudah tertambah sepotong
benda keras, cepat ia menumpahkan benda itu ditangan kiri,
kiranya adalah sepotong besi kecil yang gepeng tipis dan
berwarna hitam. Ia pandang besi kecil itu dengan heran, ia tidak mengarti
mengapa didalam siopia-siopia bisa tercampur benda demikian.
Tapi benda besi itu tidak dibuang olehnya, sesudah memeriksa
siopia-siopia itu tiada terdapat benda lain lagi, segera ia makan
kembali siopia-siopia itu.
Hanya dalam sekejap itu siopia-siopia itu sudah dilalap habis.
Pandangannya segera beralih kepada belasan buah siopiasiopia
yang telah pecah dan terserak disekitar mayat Go To-it,
pikirnya: "Siopia-siopia yang telah dirusak setan entah boleh
dimakan atau tidak?"
Sedang ragu-ragu, tiba-tiba terdengar diatas kepalanya ada
suara orang berkata: "Kepung sekeliling sini!"
Keruan dia terkejut: "Mengapa diatas kepalaku ada suara
orang?" " Waktu dia mendongak, tertampaklah diatas
wuwungan rumah telah berdiri tiga orang laki-laki berjubah
putih. Menyusul dari belakang terdengar pula suara mendesir,
ada orang telah melompat tiba.
Waktu pengemis cilik itu berpaling, terlihat empat orang
berjubah putih dengan pedang terhunus tahu-tahu sudah
mengepung dari kanan-kirinya. Melihat sinar pedang yang
gemilapan itu, si pengemis cilik menjadi menggigil ketakutan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pula suara derapan kuda,
seorang penunggang kuda sedang mendatangi secepat terbang
dan terdengar seruannya: "Apakah kawan-kawan Swat-sanpay
disitu" Maafkan orang she An tidak memberi sambutan
atas kunjungan kalian ke Holam sini."
Hanya sekejap saja seekor kuda berbulu kuning sudah
menerjang tiba, penunggangnya seorang laki-laki pendek
gemuk berewok. Sesudah dekat, sama sekali dia tidak
menahan kudanya tapi terus melompat turun begitu saja.
Sedangkan kuda kuning itu masih terus berlari kedepan dan
berputar satu kali, lalu berhenti dikejauhan sana. Nyata seekor
kuda yang sudah terlatih dengan baik.
Berbareng tiga orang berjubah putih yang berada diatas
rumah tadi melayang turun, semuanya siap-siaga memegang
gagang pedang mereka. Seorang diantaranya yang kekar dan
berusia 40-an tahun segera berkata: "Kiranya An-cecu dari
Kim-to-ce. Selamat bertemu!" " Sambil berkata sembari
mengedipi kawan-kawannya yang berdiri dibelakang An Hongjit.
Pendatang baru ini memang betul adalah An Hong-jit. Dia
telah dikalahkan oleh Ciok Jing, sudah tentu dia patah
semangat. Tapi dia adalah seorang yang berjiwa besar, kalah
atau menang baginya adalah soal lumrah. Tapi lantas terpikir
pula olehnya: "Untuk apalagi Ciok-cengcu suami-isteri pergi
pula ke Hau-kam-cip" Ah, tentu disebabkan tertipunya Ciu-site,
maka mereka suami-isteri hendak kembali kesana untuk
mencari benda itu. Aku adalah jago yang sudah keok
ditangannya, kalau benda itu dapat diketemukan mereka itu,
terpaksa aku membiarkannya. Tetapi kalau mereka tidak dapat
mencarinya, kenapa aku tidak mencarinya pula untuk cobacoba
peruntungan" Benda itu tentu disembunyikan disuatu
tempat yang dirahasiakan oleh Go To-it, kalau dicari dan
digeledah sepuluh kali tidak ketemu, kenapa aku tidak boleh
mencarinya untuk kesebelas kalinya?"
Begitulah, sesudah ambil keputusan itu, segera ia mencemplak
kuda dan menyusul ke Hau-kam-cip. Karena kudanya kalah
cepat daripada kuda-kudanya Ciok Jing berdua, pula tidak
berani mengintil terlalu dekat, maka sesudah cukup lama Ciok
Jing memeriksa dan menggeledah jenazah Go To-it serta
kedainya, lalu tinggal pergi, kemudian barulah An Hong-jit
sampai di kota itu. Dengan matanya yang tajam dari jauh An Hong-jit lantas
melihat bayangan orang yang muncul di atas rumah. Dari
dandanan dan senjata yang mereka bawa, Hong-jit menduga
pasti anak murid dari Swat-san-pay yang terletak diperbatasan
Sucwan dan Secong (Tibet).
Sesudah dekat, tertampak pula beberapa orang berjubah putih
itu sedang mencurahkan perhatiannya seperti sedang
menghadapi musuh tangguh. Semula Hong-jit mengira orangorang
itu hendak mengadakan sergapan terhadap Ciok Jing
suami-isteri, karena mengingat kebaikan Ciok Jing, maka
Hong-jit lantas berseru dari jauh dengan maksud
menggagalkan sergapan orang-orang Swat-san-pay. Tak
terduga sampai ditempatnya, bayangan Ciok Jing berdua tidak
kelihatan, sebaliknya yang dikepung oleh tujuh orang Swatsan-
pay itu adalah seorang pengemis kecil.
Sudah tentu An Hong-jit sangat heran, ia coba memperhatikan
keadaan pengemis kecil yang kotor dan kurus itu, tampaknya
toh bukan seorang yang mahir ilmu silat. Tapi sekilas terlihat
olehnya seorang Swat-san-pay itu sedang mengedipi
kawannya, hal ini lantas menimbulkan curiga An Hong-jit. Maka
kembali ia mengamat-amati keadaan sijembel cilik itu.
Sekali pandang seketika hatinya tergetar hebat. Ternyata
tangan kiri sipengemis kecil tertampak memegang sepotong
benda kecil warna hitam, bentuknya mirip benar dengan "Hiantiat-
leng" (medali besi) yang selalu menjadi bahan bicara
didunia persilatan itu. Waktu dilihatnya senjata keempat lelaki jubah putih
dibelakangnya bergerak gemerlapan seperti akan mengerubut
maju untuk merebut, tanpa pikir lagi An Hong-jit lantas
mengeluarkan goloknya dan tubuhnya bergerak cepat
mengitari sipengemis kecil satu keliling, goloknya membacok
kekanan dan kekiri, kedepan dan kebelakang, hanya dalam
sekejap saja ia sudah menyerang kedelapan penjuru dan setiap
jurusan tiga kali bacokan, jadi seluruhnya 24 kali bacokan,
sinar golok itu hanya belasan senti saja diluar tempat duduk
sipengemis kecil sehingga jembel cilik itu seolah-olah
terbungkus rapat didalam sinar golok yang berwarna emas itu.
Karena merasa silau dan tersambar oleh angin tajamnya
golok, sipengemis kecil menjadi ketakutan dan mendadak
menangis. Hampir pada saat sipengemis kecil itu mulai menangis,
serentak ketujuh orang berjubah putih itupun memainkan
pedang mereka sehingga berwujut sebuah jejaring sinar putih
yang mengitari An Hong-jit dan sijembel cilik. Namun demikian
mereka tidak lantas menyerang.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar suara derapan kuda pula,
seekor kuda putih dan seekor kuda hitam tampak mendatangi
dengan cepat. Kiranya adalah Ciok Jing dan Bin Ju yang telah
kembali lagi. Kiranya tidak jauh sesudah Ciok Jing berdua berangkat,
mereka lantas melihat gerak-gerik anak murid Swat-san-pay
yang mencurigakan. Tiba-tiba timbul pikiran lain pada benak
mereka maka cepat mereka memutar balik. Dari jauh Ciok Jing
lantas berseru: "Kawan-kawan Swat-san-pay dan An-cecu, kita
semuanya sahabat, kalau ada urusan apa-apa boleh bicara
secara baik-baik saja supaya tidak selisih paham."
Seorang lelaki tinggi besar di pihak Swat-san-pay adalah
pemimpinnya, sekali pedangnya menegak, serentak kawankawannya
berhenti memainkan senjata mereka. Tapi mereka
masih berdiri disekeliling An Hong-jit.
Mendadak Ciok Jing dan Bin Ju bersuara heran bersama ketika
melihat tangan kiri sipengemis cilik memegang sepotong pelat
besi kecil, cuma mereka tidak tahu apakah benda ini adalah
benda mestika yang sedang dicari itu.
Segera Ciok Jing tanya sijembel cilik. "Adik kecil, benda
apakah yang kau pegang itu, maukah perlihatkan padaku?"
Diam-diam iapun sudah ambil keputusan bahwa An Hong-jit
tentu takkan merintangi dia, maka begitu sijembel cilik
menyodorkan tangannya, seketika ia akan menerobos
ketengah kepungan orang-orang Swat-san-pay untuk merebut
benda itu, ia menaksir anak murid Swat-san-pay itu tidak
mampu merintangi dirinya.
Tapi silelaki tegap berjubah putih tadi sudah membuka suara:
"Ciok-cengcu, kami inilah yang melihatnya lebih dahulu."
"Kheng-suheng," Bin Ju ikut bicara, "boleh juga kau tanya adik
cilik itu, serenceng uang perak disampingnya itu apakah bukan
pemberianku?" Maksud ucapan ini sangat jelas yaitu ingin menunjukkan
bahwa sedari tadi dia sudah memberi uang, dengan sendirinya
sudah lebih dulu ia melihat pengemis itu.
Lelaki tegap berjubah putih itu she Keng bernama Ban-ciong,
terhitung tokoh utama dari murid angkatan kedua Swat-sanpay.
Maka dia telah menjawab: "Ciok-hujin, boleh jadi suamiistri
kalian telah melihat adik cilik ini lebih dulu namun "Hiantiat-
leng" ini adalah kami yang melihatnya lebih dulu."
Begitu nama "Hian-tiat-leng" disebut, seketika hati Ciok Jing,
Bin Ju dan Ang Hong-jit terkesiap dan sama memikir: "Kiranya
benar Hian-tiat-leng adanya!" " Begitu pula keenam orang
Swat-san-pay yang lain juga mengunjuk rasa agak heran.
Padahal mereka bertujuh tiada pernah memperhatikan benda
besi yang dipegang sipengemis kecil itu, hanya karena melihat
Ciok Jing suami isteri dan An Hong-jit sedemikian sungguhsungguh
membela sijembel cilik itu, maka mereka yakin besi
kecil itu pasti medali wasiat yang sedang dicari itu.
Sebaliknya Ciok Jing bertiga juga mempunyai pikiran serupa:
"Kheng Ban-ciong dari Swat-san-pay ini sangat luas
pengetahuannya dan cerdik pula, kalau dia sampai mengincar
kepada besi kecil itu, tentu tidak salah lagi benda itu pasti
medali wasiat." Karena pikiran yang sama itu, tanpa merasa kesepuluh orang
itu serentak menjulurkan tangan kearah sipengemis kecil dan
berkata: "Adik cilik, berikan padaku saja benda itu!"
Tapi tiada seorangpun diantara kesepuluh orang itu berani
main merebut, sebab mereka tahu sekali mendahului main
serobot, tentu yang lain-lain akan serentak menyerangnya.
Dari itu mereka hanya berharap sipengemis kecil mau
menyerahkan kepada mereka dengan sukarela.
Sudah tentu sijembel cilik tidak tahu bahwa yang diminta oleh


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesepuluh orang itu adalah besi kecil yang hampir-hampir
membikin rompang giginya tadi. Sebaliknya ia menjadi bingung
dan takut serta menangis pula.
"Lebih baik berikan padaku saja!" tiba-tiba terdengar suara
parau seseorang, berbareng sesosok bayangan telah menyusup
ketengah kalangan, sekali sambar seketika besi kecil yang
dipegang sipengemis kecil itu sudah direbut olehnya.
Serentak terdengar pula suara bentakan orang banyak: "Hai,
mau apa" " Lepaskan! " Bangsat kurang ajar! " Persetan!" dan
sebatang golok emas berbareng lantas menyambar kearah
bayangan orang itu. An Hong-jit berada paling dekat dengan sijembel cilik tadi,
maka sekali goloknya bergerak, dengan jurus "Pek-hong-koanjit"
(pelangi putih menembus cahaya matahari), kontan ia
membacok kepala penyerobot itu.
Sedangkan anak murid Swat-san-pay yang sudah terlatih baik
itu, sekaligus tujuh pedang mereka lantas menusuk tempattempat
yang berbahaya dan berlainan ditubuh lawan sehingga
lawan susah untuk mengelakkan diri.
Sebaliknya Ciok Jing dan Bin Ju sekilas itu belum jelas
siapakah penyerobot yang sebat itu, maka mereka tidak mau
menggunakan tipu serangan keji, sinar pedang mereka hanya
berputar dan mengurung lawan dibawah ancaman sepasang
pedang hitam-putih mereka.
Akan tetapi mendadak terdengar suara "trang-tring" yang
berulang-ulang, kedua tangan penyerobot itu bergerak naikKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
turun dengan cepat, entah dengan cara apa, hanya dalam
sekejap saja tahu-tahu golok emas An Hong-jit dan tujuh
pedang anak murid Swat-san-pay itu sudah terampas semua
olehnya. Ciok Jing dan Bin Ju juga lantas merasa lengan mereka linu
pegal dan pedang mereka hampir-hampir terlepas dari cekalan,
untung mereka sempat melompat mundur dengan cepat. Air
muka Ciok Jing menjadi pucat, sebaliknya muka Bin Ju merah
jengah. Padahal gabungan pedang hitam-putih Ciok-cengcu suamiisteri
dari Hian-so-ceng boleh dikata hampir tiada tandingannya
didunia ini, tapi tadi pedang mereka hanya kena selentikan jari
orang itu dan hampir-hampir terlepas dari cekalan, hal ini
benar-benar belum pernah terjadi sejak mereka menjagoi
dunia persilatan selama hidup ini. Keruan Ciok Jing dan Bin Ju
sangat terkejut. Waktu mereka memperhatikan penyerobot itu, tertampaklah
golok emas dan tujuh batang pedang rampasan itu telah
menancap diatas tanah disekeliling orang itu. Orang itu
berjubah hijau dan berjenggot pendek, usianya kira-kira
setengah abad, air mukanya bersemu kehijau-hijauan dan
memperlihatkan perasaan yang tak terkatakan girangnya.
Tiba-tiba Ciok Jing teringat kepada seorang, tanpa merasa ia
bertanya: "Apakah tuan ini adalah pemilik daripada Hian-tiatleng
ini?" "Hehehe!" orang itu tertawa. "Pedang hitam-putih Hian-soceng
sangat tersohor didunia Kang-ouw dan nyatanya memang
bukan omong-kosong. Lohu (aku yang tua) tadi telah
menggunakan satu bagian tenagaku untuk melayani kedelapan
sobat ini dan memakai sembilan bagian tenaga untuk
menghadapi suami-isteri kalian, tapi toh masih tidak dapat
merampas pedang kalian. Ai, kepandaianku "Tan-ci-sin-thong"
(ilmu sakti menyelentik dengan jari) ini tampaknya perlu dilatih
sepuluh tahun lagi."
Mendengar itu Ciok Jing menjadi lebih yakin lagi dengan siapa
dia sedang bicara. Segera ia memberi hormat dan berkata
pula: "Kami suami isteri kebetulan lewat disini dan sebenarnya
ingin naik ke Mo-thian-kay (tebing pencakar langit) untuk
menyampaikan salam kepada tuan, syukurlah disini sudah
dapat bertemu, maka tidaklah sia-sia perjalanan kami ini.
Tentang kepandaian kami yang kasar ini sudah tentu tiada
harganya dalam pandangan tuan, harap tidak menjadi buah
tertawaanmu. Adapun hari ini tuan sendiri sudah menarik
kembali medali wasiat itu dari peredaran, sungguh harus dibuat
girang dan diberi selamat."
Karena ucapan Ciok Jing itu, diam-diam ketujuh orang Swatsan-
pay membatin: "Apakah mungkin orang berjubah hijau ini
benar-benar adalah pemilik medali wasiat yang bernama Cia
Yan-khek itu" Kalau melihat rupanya toh tiada sesuatu yang
luar biasa dan susah untuk dipercaya bahwa dia adalah tokoh
yang namanya membikin rontok nyali setiap orang Bu-lim itu.
Tapi bila melihat caranya sekali gebrak saja sudah mampu
merampas pedang-pedang kami, mau-tak-mau orang harus
mengakui betapa lihaynya dan selain Cia Yan-khek rasanya
tiada tokoh lain lagi."
Orang itu memang benar adalah Cia Yan-khek yang
bersemayam diatas Mo-thian-kay. Kembali ia bergelak tertawa,
katanya kemudian: "Tadi Cayhe telah berlaku kasar, diharap
Cia-cianpwee suka memaafkan dan terimalah salamku ini."
Berkata sampai disini, medali wasiat yang berada ditangan
kirinya itu dilemparkannya ditelapak tangannya sendiri, lalu
dengan tersenyum ia berkata pula: "Cuma saja hari ini hatiku
kebetulan sedang senang, maka bacokan ini boleh kutitip
dahulu. Dan kau juga telah menusuk dadaku, kau menusuk
pahaku, kau menusuk pinggangku, kau menabas
betisku.........." Sembari bicara, ia sambil menuding-nuding
ketujuh orang Swat-san-pay itu.
Keruan ketujuh orang Swat-san-pay itu tambah kaget demi
mendengar orang dapat menguraikan dengan jitu tipu
serangan dan tempat yang diarah yang dilakukan serentak
dalam sekejap tadi, bahkan siapa menyerang dan tempat yang
diarah, semuanya dapat dikatakan dengan jelas, melulu
ketajaman mata dan daya ingatan ini saja orang lain pasti tidak
dapat memadai. Dalam pada itu terdengar Cia Yan-khek sedang melanjutkan:
"Semua utang kalian ini biarlah sementara ini kucatat saja
didalam buku, kapan-kapan kalau aku merasa sebal barulah
aku akan mendatangi kalian untuk menagih utang."
Salah seorang Swat-san-pay yang agak pendek rupanya
merasa penasaran, tiba-tiba ia berteriak: "Kepandaian kami
memang lebih rendah, kalau sudah kalah biarlah kalah, kenapa
kau mesti mengucapkan kata-kata yang menghina" Kau bilang
mencatat utang apa" Kalau mau boleh lantas balas menusuk
aku saja, siapa yang sudi main utang-utangan dengan kau?"
Orang ini bernama Ong Ban-jim, wataknya berangasan dan
enggan mengalah, biarpun tahu musuh terlalu lihay juga tidak
sudi nama baik Swat-san-pay mereka dihina.
Tak terduga Cia Yan-khek lantas mengangguk dan berkata:
"Baik!" " Mendadak ia cabut pedang rampasan dari Ong Banjim
tadi terus menusuk kedepan.
Cepat Ong Ban-jim melompat mundur kebelakang untuk
menghindarkan tusukan itu. Tak tersangka serangan Cia Yankhek
itu terlalu cepat datangnya, baru tubuh Ong Ban-jim
terapung, tahu-tahu ujung pedang sudah menyentuh dadanya.
Sekali tangan Cia Yan-khek menyendal, segera ia tarik kembali
pedangnya. Waktu Ong Ban-jim berdiri kembali diatas tanah, mendadak ia
merasa dadanya silir-silir dingin. Waktu ia menunduk, tanpa
merasa ia berseru kaget. Ternyata baju dadanya telah
berlubang sebuah lingkaran bundar sebesar cangkir sehingga
kelihatan kulit dagingnya.
Rupanya, tahu-tahu Cia Yan-khek sudah mengorek sebuah
lingkaran kecil sehingga tiga lapis bajunya seperti digunting
sebuah lubang bundar. Coba kalau tusukan itu diteruskan
kedepan, tentu ulu hatinya sudah dikorek keluar oleh pedang
Cia Yan-khek tadi. Keruan Ong Ban-jim ternganga dengan
muka pucat. Sebaliknya tidak kepalang kagumnya An Hong-jit, tanpa
merasa ia bersorak: "Ilmu pedang bagus!"
Bicara tentang jurus ilmu pedang yang dimainkan Cia Yankhek
barusan sebenarnya Ciok Jing suami-isteri juga sanggup
melakukannya, cuma dalam hal kecepatan, bahkan lawan
sudah mengetahui tempat yang akan diserang, namun
demikian toh tetap takdapat mengelakkan diri, untuk inilah Cok
Jing dan Bin Ju tahu diri mereka tidak mampu menandinginya.
Begitulah maka suami-isteri itu telah saling pandang sekejap
dengan rasa cemas dan sayang, pikir mereka: "Betapa aneh
ilmu silat tokoh ini ternyata memang susah diukur. Dasar nasib
kami yang jelek, coba kalau Hian-tiat-leng itu dapat direbut
oleh kami, tentu sakit hati kami akan terbalas dengan mudah!"
Dalam pada itu Cia Yan-khek hanya mendengus saja atas
sorakan An Hong-jit tadi, lalu ia hendak melangkah pergi.
"Nanti dulu, Cia-siansing!" tiba-tiba seorang wanita muda
diantara anak murid Swat-san-pay telah berseru.
"Ada apa?" tanya Cia Yan-khek sambil menoleh.
Wanita muda itu bernama Hoa Ban-ci. Setiap anak murid
Swat-san-pay memakai huruf "Ban" dalam nama mereka. Dia
lantas berkata: "Barusan Cia-siansing telah bermurah hati dan
tidak melukai Suko kami, sungguh kami merasa berterima
kasih. Akan tetapi aku ingin tanya dulu, potongan besi yang
kau ambil itu sebenarnya adalah Hian-tiat-leng atau bukan?"
"Kalau betul mau apa, kalau bukan lantas bagaimana?" sahut
Yan-khek dengan sikap angkuh.
"Kalau bukan medali besi wasiat, maka kami beramai-ramai
akan mencarinya lagi," kata Hoa Ban-ci. "Dan kalau benda itu
adalah medali wasiat, maka engkaulah yang telah berbuat
salah." "Jangan banyak bicara, Hoa-sumoay!" bentak Kheng Banciong.
Dilain pihak air muka Cia Yan-khek sekilas telah bersemu
hijau, lalu tenang kembali.
Semua orang mengetahui bahwa sifat Cia Yan-khek itu sangat
kejam dan suka membunuh, kelakuannya aneh, setempo baik,
tapi lain saat sudah jahat pula. Tindak-tanduknya hanya
tergantung kepada kesukaannya pada seketika itu saja, selama
ini entah sudah berapa banyak orang-orang Kang-ouw yang
telah menjadi korban keganasannya, entah dia dari golongan
Hek-to (kalangan penjahat) atau dari golongan Pek-to (kaum
kesatria). Tapi lantaran ilmu silatnya memang benar-benar sangat lihay,
jejaknya juga tak menentu, meski tidak sedikit musuhnya telah
mencari dia dan ingin menuntut balas, namun selalu mereka
diketemukan sudah mati ditengah jalan secara aneh. Selama
tahun2 terakhir ini, musuh2nya boleh dikata sudah hampir
terbunuh olehnya, sisanya merasa tidak sanggup melawannya
dan terpaksa membatalkan maksud mereka untuk menuntut
balas. Hari ini dia telah dikerubut sepuluh orang dan seorangpun
ternyata tak diganggu olehnya, hal itu boleh dikata sesuatu
yang tak pernah terjadi sebelumnya. Tak terduga Hoa Ban-ci
dari Swat-san-pay itu masih usilan dan berani mengajukan
pertanyaan segala, hal ini bukan saja membuat kawankawannya
merasa kuatir, bahkan Ciok Jing dan lain-lain juga
ikut cemas. Tapi Cia Yan-khek lantas angkat medali besi itu keatas sambil
membaca dengan suara lantang: "Hian-tiat-ci-leng, yu-kin-piteng
(dengan pembuktian medali ini, setiap permintaan tentu
terpenuhi)!" " Lalu ia membalik medali itu dan membaca pula
huruf disebelahnya: "Tertanda Cia Yan-khek di Mo-thian-kay."
Dan sesudah berhenti sejenak, kemudian katanya pula:
"Medali ini adalah buatan dari besi murni yang jarang terdapat
didunia ini dan tidak mempan segala macam senjata tajam." "
Segera ia mencabut sebatang pedang yang menancap di atas
tanah terus membacok medali besi yang dipegangnya itu.
"Cring", mendadak pedang patah menjadi dua, sebaliknya
medali itu tidak rusak barang sedikitpun.
Mendadak Cia Yan-khek menarik muka dan bertanya dengan
suara bengis: "Nah, mengapa kau bilang aku berbuat salah?"
Dengan tenang Hoa Ban-ci menjawab: "Menurut cerita kawan
kalangan Kang-ouw, katanya Cia-siansing mempunyai tiga
bentuk medali wasiat serupa itu dan masing-masing telah
dihadiahkan kepada tiga orang sahabat yang pernah menolong
Cia-siansing, dengan pesan asal membawa medali itu dan
diperlihatkan kepada Cia-siansing, maka pembawa medali itu
boleh meminta kau melakukan suatu urusan, biarpun urusan
yang betapa sulitnya pasti juga akan dilakukan oleh Ciansiansing.
Tentang ini tentunya tidak salah, bukan?"
"Ya, betul," sahut Cia Yan-khek. "Hal ini diketahui oleh setiap
orang Bu-lim." " Dari sikapnya terlihat rasa bangganya yang
tak terhingga. Maka Hoa Ban-ci berkata pula: "Konon dua diantara ketiga
medali itu sudah diterima kembali oleh Cia-siansing, dan oleh
karena itu didunia persilatan pernah juga terjadi peristiwa yang
mengguncangkan. Dan medali sekarang ini apakah benar
adalah medali yang terakhir itu, bukan?"
Air muka Cia Yan-khek tampak tenang kembali demi
mendengar kata-kata tentang "dua peristiwa yang pernah
mengguncangkan dunia persilatan" itu, sahutnya: "Ya,
memang betul. Adapun kawanku yang memegang medali
ketiga ini sudah lama wafat. Dia sendiri memiliki ilmu silat
mahatinggi dan tiada sesuatu urusan yang susah dilakukan
olehnya, maka medali ini sesungguhnya tiada gunanya buat
dia. Karena dia tidak mempunyai anak, sesudah wafat medali
ini lantas jatuh ditangan orang lain. Selama beberapa tahun ini
semua orang secara mati-matian telah berusaha mendapatkan
medali ini dengan harapan akan dapat memerintahkan aku
melakukan sesuatu urusan sulit baginya. Tapi, hehehe, tidak
nyana hari ini medali ini telah kuterima kembali dengan mudah.
Boleh juga kukatakan padamu bahwa diterimanya kembali
medali ini olehku, mungkin juga hal ini akan mengecewakan
sobat-obat kalangan Kang-ouw, tetapi boleh jadi hal ini malah
akan banyak mengurangi malapetaka bagi kalian sendiri."
Berkata sampai disini, tiba-tiba ia depak mayat Go To-it
sehingga terpental beberapa meter jauhnya, lalu menyambung
pula: "Seperti setan ini, biarpun dia sudah memegang medaliku
ini, tapi tidaklah gampang untuk menemui aku. Sebelum dia
perlihatkan medali ini kepadaku, ternyata dia sendiri sudah
menjadi sasaran orang banyak sehingga binasa lebih dulu.
Memangnya orang Bu-lim mana yang tidak ingin
membunuhnya untuk merebut medali ini" Coba, sampaisampai
Ciok-cengcu suami-isteri yang tersohor juga tidak
terhindar dari keinginan demikian, apalagi orang lain" Haha,
hehe, hehehe!" Ucapan terakhir yang bernada menyindir itu telah membuat


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciok Jing merah jengah. Dikalangan Bu-lim biasanya dia sangat
disegani, walaupun lahirnya dia ramah-tamah, tapi
sesungguhnya apa yang dia ucapkan tiada pernah dibantah
oleh siapapun. Tak terduga sekarang ia harus menerima olokolok
Cia Yan-khek didepan orang banyak. Sebagai seorang
tokoh yang tinggi hati sudah tentu ia merasa malu atas
perlakuan demikian. Lebih-lebih Bin Ju, isterinya itu menjadi
pucat pasi saking gusarnya, berulang-ulang ia telah melirik
sang suami, asal suaminya memberi tanda, serentak mereka
akan mengadu jiwa dengan Cia Yan-khek, walaupun insaf
bukan tandingan lawan, tapi mereka tidak sudi menelan
mentah-mentah hinaan itu.
Namun lantas terdengar Cia Yan-khek telah berkata lagi:
"Ciok-cengcu suami-isteri adalah pahlawan dan kesatria sejati,
bila medaliku ini didapatkan kalian, paling2 kalian hanya suruh
Lohu melakukan sesuatu pekerjaan sulit dan habis perkara.
Tetapi bila medali ini diperoleh kaum keroco yang tak bermoral
dan Lohu diperintahkan membikin cacat badannya sendiri
sehingga mati tidak dan hidup juga kepalang, wah, bukankah
bisa berabe" Bahkan akan lebih celaka lagi kalau aku
diperintahkan membunuh diri, kalau aku belum bosan hidup
dan membangkang perintah, bukankah itu berarti aku telah
mengingkari sumpah setia "permintaan tentu terpenuhi" yang
tertera diatas medali ini" Haha, rupanya peruntunganku masih
lumayan juga, sehingga dengan mudah medali ini dapat
kuterima kembali. Haha, hahaha!"
Suara tertawanya keras menggetar sukma. Ada beberapa
penduduk Hau-kam-cip yang sedang mengintip sampai
mengkeret ketakutan demi mendengar suara tertawa yang
menyeramkan itu. Usia Hoa Ban-ci meski masih muda, tapi agak pemberani,
dengan suara lantang ia masih berkata pula: "Cia-siansing
jangan buru-buru senang dahulu. Pernah kudengar cerita
bahwa Cia-siansing sendiri pernah bersumpah barang siapa
yang menyerahkan medali itu padamu, maka engkau akan
memenuhi sesuatu permintaannya, biarpun orang itu adalah
musuh bebuyutanmu juga kau akan menurut dan takkan
mencelakai dia...................."
Berkata sampai disini, sementara itu orang-orang yang
menonton disekelilingnya telah bertambah pula, mereka adalah
Pang Cin-bu, Pun-khong Tojin, Ciu Bok dan orang-orang Kimto-
ce. Dalam pada itu Hoa Ban-cie telah melanjutkan: "Sekarang
medali kau terima kembali dari adik cilik itu, untuk mana kau
toh belum tahu persoalan sulit apa yang akan dia minta agar
dikerjakan olehmu." "Cis!" semprot Cia Yan-khek. "Pengemis cilik itu barang apa,
masakah aku harus menurut perintahnya" Haha, hahaha!
Benar-benar menggelikan!"
"Nah, dengarlah kawan-kawan yang hadir disini, kiranya Ciasiansing
menganggap pengemis kecil itu bukan manusia, maka
sumpahnya dahulu takdapat dianggap!" seru Hoa Ban-ci.
Kembali air muka Cia Yan-khek sekilas bersemu hijau pula,
pikirnya: "Kurang ajar! Perempuan ini sengaja membikin aku
menjadi serba salah sehingga ada kemungkinan orang Kangouw
akan mengatakan sumpahku sebagai kentut saja." " Tapi
mendadak tergetar pula batinnya: "Wah, celaka! Janganjangan
pengemis cilik adalah sekomplotan dengan mereka
yang sengaja dipasang untuk menjiret diriku, tadi sekaligus
aku telah merebut kembali medali wasiat, sekarang tidak dapat
dikembalikan lagi padanya."
Ia lihat, pandangan semua orang terarahkan padanya, segera
ia mendengus dan berkata dengan angkuh: "Hm, apakah
didunia ini ada sesuatu urusan sulit yang takdapat dikerjakan
oleh orang she Cia dari Mo-thian-kay" Pengemis cilik, hayolah
kau ikut padaku, ada urusan apa yang kau akan minta
kukerjakan juga tiada sangkut-pautnya dengan orang luar." "
lalu ia gandeng tangan sijembel cilik dan hendak diajak pergi.
Hendaklah maklum bahwa watak Cia Yan-khek itu sangat
cerdik dan dapat berpikir jauh. Meski dia tidak pandang sebelah
mata kepada jago-jago silat yang mengelilinginya itu, tapi ia
kuatir dibelakang pengemis kecil itu ada orang pandai dan
sengaja mengemukakan sesuatu persoalan sulit didepan orang
banyak dan minta dia lakukan, umpama benar-benar minta dia
membikin cacat anggota badan sendiri dan sebagainya, hal ini
tentu akan membuatnya serba susah, sebab itulah cepat-cepat
ia hendak membawa pergi sijembel untuk ditanyai lebih jauh
ditempat lain yang sepi. Hoa Ban-ci lantas mendekati sipengemis kecil, katanya dengan
suara halus: "Adik cilik, sungguh kau ini anak yang baik,
Lopepek (paman tua) ini paling suka membunuh orang, maka
lekas kau memohon dia selanjutnya jangan membu............" "
Baru berkata sampai disini, sekonyong-konyong serangkum
angin kuat menyampuk kemukanya sehingga kata-katanya
terputus ditengah jalan. Kiranya Hoa Ban-ci sangat cerdik, ia tahu apa yang telah
dikatakan Cia Yan-khek tentu akan dilaksanakannya. Tadi
dirinya telah menusuk muka orang she Cia itu dan dia
menyatakan utang itu akan ditangguhkan dahulu dan akan
ditagih setiap waktu dikemudian hari. Ini berarti pada setiap
saat mukanya akan ditusuk pedang oleh Cia Yan-khek, apalagi
diantara para Suhengnya itu, kecuali Ong Ban-jim yang
utangnya telah dibayar kontan tadi, selebihnya masih belum
membayar semua, maka utang-utang itu kelak pasti akan
mengakibatkan pertumpahan darah bila Cia Yan-khek datang
menagih. Sebab itulah sekarang ia sengaja menyerempet
bahaya tanpa menghiraukan akan menimbulkan kemurkaan Cia
Yan-khek, ia suruh sipengemis kecil itu lekas memohon Cia
Yan-khek agar untuk selanjutnya jangan membunuh orang lagi.
Asal permintaan demikian itu diajukan sipengemis kecil, maka
terpaksa Yan-khek harus menurut dan itu berarti jiwanya
sendiri dan keselamatan para Suhengnya akan terjamin.
Tak terduga Cia Yan-khek sudah mengetahui maksudnya itu
dan lantas mengebutkan lengah jubahnya, angin kebutan yang
keras itu memaksa Hoa Ban-ci tidak sanggup menghabiskan
ucapannya tadi. Bahkan terdengar Cia Yan-khek membentak pula: "Perlu apa
kau banyak cerewet?" " Dan kembali serangkum angin kuat
menyambar tiba. Hoa Ban-ci tidak sanggup berdiri tegak lagi,
kontan ia roboh terjengkang.
Keruan anak murid Swat-san-pay yang lain menjerit kaget dan
beramai-ramai menubruk maju untuk menolong. Ketika mereka
sudah membangunkan Hoa Ban-ci, sementara itu Cia Yan-khek
sudah pergi jauh dengan membawa sipengemis kecil.
Melihat gembong yang menakutkan itu sudah pergi, untuk
mengejar terang tidak berani. Maka An Hong-jit lantas
mencabut kembali goloknya sendiri yang tertancap diatas
tanah itu, katanya kepada Ciok Jing suami-isteri dan ketujuh
orang Swat-san-pay: "Maafkan akan keberangkatanku lebih
dulu, kalau ada tempo senggang silakan kalian suka mampir
ketempat kami. Sampai bertemu pula!" " Lalu iapun tinggal
pergi dengan anak buahnya.
Sekarang hanya tinggal Ciok Jing suami-isteri dan ketujuh
orang Swat-san-pay saja yang berada disitu. Tiba-tiba Ong
Ban-jim berseru: "Ciok-cengcu, kami justeru ingin
membicarakan sesuatu dengan Ciok-cengcu."
"Baiklah, ada urusan apakah" Silakan bicara," sahut Ciok Jing
dengan ramah. Kheng Ban-ciong berusia lebih tua, maka setiap tindaktanduknya
selalu lebih hati-hati. Ia berkata: "Tempat ini tidak
pantas didiami lebih lama, marilah kita mencari suatu tempat
lain yang lebih tenang untuk bicara."
Ciok Jing mengangguk setuju. Segera mereka beramai-ramai
menuju kearah barat. Kira-kira beberapa li jauhnya, tertampak
ditepi jalan tumbuh tiga batang pohon yang rindang.
"Ciok-cengcu, apakah baik kalau kita berbicara dibawah pohon
sana?" tanya Kheng Ban-ciong.
"Baik sekali," sahut Ciok Jing.
Segera kesembilan orang menuju kebawah pohon itu dan
mengambil tempat duduk sendiri-sendiri. Sementara itu Kheng
Ban-ciong sudah memperkenalkan para sutenya dan saling
mengucapkan kata-kata pujian dengan Ciok Jing suami-isteri.
Diam-diam Ciok Jing sangat gopoh karena tidak tahu apa yang
hendak dibicarakan oleh orang-orang Swat-san-pay itu. Tapi ia
tidak enak untuk mendesak.
Sejenak kemudian, barulah Khong Bin-ciong membuka suara:
"Ciok-cengcu, kita adalah sahabat lama, kalau ada sesuatu
ucapanku nanti agak tidak enak didengar, haraplah engkau
suka memaafkan. Menurut pendapatku, ada lebih baik kalau
Ciok-cengcu menyerahkan puteramu kepada kami saja. Cayhe
tentu akan berusaha sedapat mungkin untuk memintakan
ampun kepada Suhu dan Subo (ibu guru) serta Pek-suheng
suami-isteri, dengan demikian jiwa puteramu mungkin akan
dapat diselamatkan. Andaikan kepandaiannya juga dipunahkan
juga lebih baik daripada kedua fihak menjadi bermusuhan dan
menumpahkan darah." Ciok Jing menjadi heran, sahutnya: "Sejak Siau-ji (puteraku)
berada ditempat kalian, selama tiga tahun belum pernah aku
melihatnya. Maka kalau ada terjadi sesuatu apa, sesungguhnya
kami suami-isteri tidak mengetahui. Dari itu diharap Khengheng
suka memberitahukan secara terus terang saja!"
"Apa Ciok-cengcu betul-betul tidak tahu?" Ban-ciong menegas.
"Ya, tidak tahu!" sahut Ciok Jing.
Ban-ciong cukup kenal wataknya Ciok Jing. Dengan nama
kebesaran Hian-so-ceng yang diagungkan didunia Kang-ouw
tidaklah mungkin Ciok Jing sulit berbohong. Kalau dia sudah
Pedang Kayu Harum 15 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Persekutuan Pedang Sakti 1
^