Pencarian

Mutiara Hitam 17

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


Kwi Lan dengan muka tunduk tak melawan pula ketika gurunya menyuruh ia naik kuda. Di samping kuda yang membawa Hauw Lam, ia digiring kembali ke markas oleh Kam Sian Eng yang mengerutkan kening, Suma Kiat yang tersenyum-senyum, dan Pak-sin-ong yang
cemberut angkuh. *** Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hati Kwi Lan dan terutama se-kali Hauw Lam ketika mereka digiring masuk ke dalam kamar tahanan, mereka melihat semua teman yang tadi melari-kan diri sudah tertawan pula dan berada di situ! Bahkan Kiang Liong dan Yu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 402
Siang Ki terluka, sungguhpun tidak berat namun membutuhkan waktu untuk istira-hat karena mereka terkena pukulan orang-orang sakti.
Ketika Kiang Liong lari bersama Pa-ngeran Talibu lari melalui jurusan be-lakang markas, di tengah jalan mereka dicegat oleh.... Bouw Lek Couwsu sendiri bersama Thai-lek Kauw-ong.
Karena maklum akan kelihaian Kiang Liong, maka Bouw Lek Couwsu bersama Thai-lek
Kauw-ong segera menerjang dar akhirnya merobohkan pemuda ini dengan pukulan jarak jauh. Sia-sia saja Kiang Llong melawan. Menghadapi seorang di antara mereka, mungkin ia masih mam-pu menandingi, akan tetapi dikeroyok dua merupakan pertandingan berat sebelah.
Apalagi Pangeran Talibu sama sekail tidak dapat diharapkan bantuannya kare-na keadaannya masih payah.
Adapun Yu Siang Ki bersama Puteri Mimi yang lewat di jurusan kanan, di-cegat oleh Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo. Tentu saja Yu Siang Ki tidak kuat pula menghadapi dua orang kakek sakti ini. Untung bahwa Bouw Lek Couw-su sudah berpesan kepada sekutu-sekutu-nya agar para tawanan yang lari itu ditangkap kembali dan tidak dibunuh, maka Siang Ki pun hanya terluka yang ringan saja.
Mereka kini dibelenggu lagi seperti tadi, dibelenggu kaki tangan mereka dengan rantai besi yang lebih kuat, de-ngan kaki tangan diikat dengan besi yang berada di dinding. Akan tetapi tidak demikian dengan Tang Hauw Lam. Kare-na malah sekali oleh perbuatan pemuda ini yang hampir saja berhasil membebas-kan tawanan dan sudah membunuh ba-nyak penjaga, Bouw Lek Couwsu menyu-ruh algojo-algojonya untuk menggantung Hauw Lam di dalam
ruangan itu pada kakinya! Pemuda ini digantung dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua lengannya dibelenggu! Dia benar-benar seperti seekor kambing yang digantung setelah disembelih untuk dikuliti dan dikerat dagingnya. Bedanya, ia tidak mengembik dan tidak berteriak-teriak, bahkan selalu tertawa-tawa!
Setelah para penjaga meninggalkan ruangan tahanan dan mengunci pintu dari luar, Hauw Lam kembali terkekeh dan berkata, "Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Kita seperti sekumpulan bocah-bocah nakal yang dihukum gurunya yang galak. Sungguh aku harus malu, usahaku sia-sia belaka malah kalian menjadi lebih sengsara!"
Kiang Liong menghela napas. "Tidak bisa menyalahkan engkau atau siapa saja, Saudara Tang. Siapa kira bahwa Bouw Lek Couwsu begitu cerdik. Inilah kesalahan kita, tidak memperhitungkan ke-cerdikannya yang luar biasa."
"Ha-ha-ha! Ia tidak cerdik tapi bodoh, buktinya ia menggantung aku seperti ini, memberi keenakan kepadaku saja. Di dalam kantung bajuku sebelah dalam ada obat-obat untuk luka-luka kalian, sayang-nya tanganku dibelenggu, tapi kalau ku-gerak-gerakkan karena aku digantung membalik, agaknya dapat keluar." Mulai-lah Hauw Lam membuat gerakan-gerakan dengan tubuhnya, meliuk-liuk, menggeliat-geliat sehingga pemandangan yang menyedihkan itu tampak lucu. Semua orang merasa kelucuan ini, akan tetapi hanya Kwi Lan seorang yang tertawa terang-terangan.
"Hi-hi-hik....!"
"Aihhh, kenapa tertawa, Mutiaraku?"
"Berandal! Kau seperti seekor ular digantung. Untung bakso-bakso itu sudah habis, kalau tidak tentu menggelinding keluar semua! Hi-hik!"
Hauw Lam tertawa. "Ha-ha-ha, me-mang Bouw Lek Couwsu manusia sinting. Ingin aku
mengadu kecerdikan dengan dia kalau ada kesempatan!" Akhirnya Hauw Lam berhasil.
Semua isi sakunya keluar dan di antaranya terdapat bungkusan obat yang dimaksudkan. Obat itu terjatuh ke dekat kaki Siang Ki. Jari-jari kaki Siang Ki yang dapat digerakkan menjepit bungkusan ini dan sekali jari-jari itu ber-gerak, bungkusan mencelat ke atas, diterima dengan jari-jari tangan. Ia mem-buka bungkusan itu, dan kembali meng-gunakan lwee-kang, menjemput bubuk obat dan melontarkan dengan jari-jari ke arah luka di bahunya. Setelah selesal, ia membungkus kembali obat itu mengguna-kan tenaga lwee-kang menyentuh
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 403
bungkusan ke arah Kiang Liong. Pemuda ini pun mulai mengobati lukanya dengan cara yang sama.
"Eh, dia sudah tidur! Dasar manusia malas!" Kwi Lan berkata ketika men-dengar dengkur orang dan melihat bahwa yang mengorok adalah Hauw Lam. Pemu-da ini dalam keadaan bergantung dengan kepala di bawah seperti itu ternyata sudah tidur nyenyak sampai mendengkur!
Akan tetapi Kiang Liong mengeluar-kan suara kagum. "Dia tentu pernah mempelajari ilmu samadhi secara jungkir balik. Entah siapa gurunya yang tentu amat hebat itu."
"Siapa lagi" Gurunya seorang badut tua, bangka, julukannya Bu-tek Lo-jin," kata Kwi Lan, teringat akan cerita pe-muda lucu itu.
"Aahhh...." Betulkah itu" Betulkah bahwa Locianpwe yang luar biasa itu masih hidup" Suhu pernah bercerita ten-tang Bu-tek Lo-jin, akan tetapi bahkan Suhu sendiri mengira beliau sudah me-ninggal dunia...."
Pada saat itu terdengar suara. Suara ini aneh sekali, terdengar lapat-lapat seperti dari jarak amat jauh, akan tetapi jelas mereka semua mendengar suara ketawa terbahak-bahak. "Huah-hah-hah-hah! Suling Emas bocah tolol itu mana tahu....?"
Para tawanan saling pandang, saling bertanya dalam pandang mata. Keadaan menjadi sunyi.
Suara setankah itu" Akan tetapi mereka tak dapat berpikir dan berheran lebih lama lagi karena pada saat itu pintu kamar tahanan terbuka lebar dan masuklah Bouw Lek Couwsu bersama Bu-tek Ngo-sian dan Suma Kiat! Para orang muda tawanan, kecuali Hauw Lam yang tidur mendengkur, menoleh dan memandang penuh perhatian dan ke-tegangan Jelas bahwa
pimpinan orang Hsi-hia datang dengan maksud ter-tentu, dan agaknya saatnya telah tiba untuk menerima keputusan hidup mati mereka. Tampak jelas di mata Bouw Lek Couwsu ketika ia memandang para ta-wanan itu seorang demi seorang.
"Pinceng datang untuk bicara dengan kalian semua, pembicaraan, terakhir! Kali ini pinceng tidak akan bicara ke-pada seorang demi seorang, melainkan pinceng tujukan untuk semua.
Maka pilih-lah seorang saja yang mewakili kalian, karena segala keputusan diambil menurut jawab seorang wakil itu. Satu mati se-mua mati, seorang menolak berarti se-mua harus mati.
Nah, siapa wakilnya?"
Otomatis semua tawanan memandang kepada Kiang Liong. Biarpun tak seorang pun di antara mereka bicara, namun pandang mata yang ditujukan kepada Kiang Liong ini sudah berkata jelas. "Oho, agaknya Kiang-kongcu pula yang harus bicara. Apakah Pangeran Talibu juga setuju mewakilkan dia?"
"Jawaban Kiang-kongcu sama dengan jawabanku!" kata Talibu dengan suara gagah.
"Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar kami semua mendengar. Aku mewakili teman-teman ini demi kepentingan kami bersama, dan sama sekali bukan demi kepentinganku. Bagi aku pribadi, aku tidak peduli lagi mau kaubunuh atau kausiksa atau perbuatan pengecut dan rendah apa lagi yang hendak kaulakukan. Bicaralah!"' kata Kiang Liong, menentang pandang mata pimpinan orang Hsi-hsia itu dengan tenang.
Bouw Lek Couwsu tersenyum. "Kau memang sombong, Kiang-kongcu. Nah, dengarlah.
Pangeran Talibu harus menulis sepucuk surat kepada ibunya, Ratu Khi-tan yang minta supaya Khitan membantu Hsi-hsia dalam penyerbuan terhadap Ke-rajaan Sung. Juga Puteri Mimi harus melampirkan surat untuk ayahnya, Pang-lima Kayabu di Khitan. Yu-pangcu ini harus berjanji untuk membantu kami dengan pasukan pengemis baju kotor membantu untuk gerakan dari dalam kalau saatnya tiba. Mutiara Hitam sudah berkali-kali melakukan kekacauan dan pelanggaran, namun masih diampuni asal mulai sekarang suka membantu kami di samping gurunya yang kami hormati. Adapun kau sendiri, harus berjanji untuk melanjutkan usaha mengadakan gerakan dari dalam kota raja apabila saatnya tiba, mengumpulkan para pembesar dan panglima Sung."
Hening sejenak, semua orang diam tegang, yang terdengar hanya dengkur Hauw Lam yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 404
masih tergantung kaki-nya.
"Kalau kami menolak?"
"Kalian berikut anjing yang tergan-tung itu akan mampus!"
Eh, tiba-tiba saja mendengar dirinya dimaki anjing, Hauw Lam yang tadinya mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti anjing kecil, "Nguiiikk, nguikk, nguikkk!"
Suasana tegang menjadi lenyap sama sekali dan Kwi Lan bahkan tertawa, sedangkan yang lainnya tersenyum. Hauw Lam membuka mata, menggeliat dengan pinggangnya dan berkata,
"Mutiaraku, kau tahu aku mimpi aneh sekali!"
"Mimpi apa?" Kwi Lan bertanya, maklum bahwa temannya itu tentu tidak hanya bicara asal bicara.
"Aku mimpi menjadi anjing kecil yang indah dan bersih bulunya, akan tetapi celaka sekali, aku digigit seekor anjing besar yang selain buruk, juga gundul dan buntung. Sialan!"
Kwi Lan tertawa, juga, Puteri Mimi dan Siang Ki. Mereka tahu siapa yang dimaki anjing besar gundul buntung. Sia-pa lagi kalau bukan Bouw Lek Couwsu"
"Bagaimana jawabanmu, Kiang-kong-cu?" tanya Bouw Lek Couwsu, pura--pura tidak
mengerti dan tidak mempedulikan Hauw Lam.
"Bagaimana kalau seorang di antara kami menolak?"
"Harus , menurut semua. Seorang saja menolak, semua dihukum mati!"
"Kalau begitu kami menolak!" teiak Pangeran Talibu.
"Kami menolak!" seru Puteri Mimi. "Aku pun menolak!" kata Yu Siang Ki.
"Aku suka menurut Subo, akan tetapi membantumu" Aku menolak!" kata Kwi Lan.
"Nah, Bouw Lek Couwsu, kau boleh bunuh kami. Jawaban kami sudah jelas!" kata Kiang Liong.
Kembali hening sesaat. Wajah Bouw Lek Couwsu keruh sekali. Dia sudah menduga akan kekerasan hati orang muda ini, akan tetapi tidak mengharapkan ja-waban ini. Apa untungnya kalau mereka ini mati" Ruginya jelas. Khitan akan memusuhinya, para pendekar akan memusuhinya, para pengemis baju butut akan memusuhinya. Tiba-tiba keheningan
dipecahkan suara Hauw lam.
"Haii!, Bouw Lek Couwsu! Aku kok tidak ditanya" Apa aku bukan orang?" Hauw Lam
berteriak-teriak. Akan tetapi, Bouw Lek Couwsu tidak mempedulikan Hauw Lam, sebaliknya berkata kepada Kiang Liong, suaranya penuh ancaman, "Hemm, kaukira begitu enak hukumannya" Sebelum mati kalian harus menyakslkan dan menderita siksaan batin. Terlalu sayang kalau dua orang gadis jelita itu dibunuh begitu saja." Bouw Lek Couwsu menoleh ke arah Bu-tek Siu-lam dan berkata, "Kau memilih yang mana?"
"Heh-heh, biar hitam, mutiara nama-nya. Tetap cemerlang dan indah, tentu saja aku memilih dia."
"Baik, biar Sang Puteri untuk pinceng. Nah, kau mulailah, seperti kita sudah setujui, kita harus berani melakukan di depan semua orang."
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-ke-keh matanya memandang ke arah Kwi Lan, menjelajahi tubuh gadis itu dengan pandang mata lahap dan haus.
"He, dengar kalian ini pimpinan orang-orang Hsi-Hsia. Kau Bouw Lek Couwsu, dan kalian Bu-tek Ngo-sian! Di mana kegagahan kalian" Huh, menyebut tokoh-tokoh kang-ouw yang jempolan! Bouw Lek Couwsu, orang seperti engkau ini mana patut membimbing bangsa Hsi-hsia yang gagah perkasa?"
Karena disinggung kepemimpinannya, mau tidak mau Bouw Lek Couwsu meng-angkat muka memandang Hauw Lam dengan keningnya yang tebal berkerut. "Hemm, kalian sudah
memilih wakil pembicara, yaitu Kiang-kongcu, mengapa kau ini anjing kecil besar mulut?"
"Siapa memilih" Huh, Bouw Lek Couwsu, tampak sekarang kebodohanmu dan
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 405
kecuranganmu. Memang yang lain di bawah ini sudah memilih Kiang-kongcu, akan tetapi, hayo telinga siapa yang tadi mendengar aku memilih! Aku belum me-milih dan aku berhak untuk bicara!"
Bouw Lek Couwsu tertegun. Betapa-pun gilanya, benar juga ucapan bocah itu dan kalau ia melanggar, maka benar-benar tida tepat dengan kedudukannya sebagai pemimpin besar bangsa Hsi-Hsia. Biarlah ia memberi kesempatan bicara bocah ini, apa bedanya"
"Hemm, kau bicaralah."
Kiang Liong yang memandang muka Hauw Lam, melihat betapa sinar mata pemuda itu
bersinar-sinar dan wajahnya berseil-seri. Ah, bocah ini cerdik, pikir-nya, agaknya hendak mengelabuhi Bouw Lek Couwsu atau setidaknya mengulur waktu.
"Bouw Lek Couwsu, aku tidak akan mendengar usul atau ancamanmu seperti yang
kaukemukakan kepada teman-teman-ku yang lain. Sebaliknya, akulah yang mengajukan usul sebagai tantangan tanpa mengancam sepertimu. Aku akan meng-ajukan teka-teki hitungan dan bukan hanya engkau, bahkan Bu-tek Ngo-sian boleh membantumu! Kalau di antara kalian ada yang sanggup menjawab tepat, aku akan membenturkan kepalaku pada dinding ini sampai kepalaku pecah. Dan kalau di antara kalian tidak ada yang dapat menjawab tepat, terserah mau diapakan tubuhku ini, masa bodoh! Bagaimana, sanggupkah kalian?"
Mendengar ucapan ini, bukan pihak Bouw Lek Couwsu saja yang terheran, bahwa Kiang Liong dan teman-temannya juga menjadi heran. Gilakah pemuda itu" Agaknya karena
digantung seperti itu sejak tadi, terlalu banyak darah mengalir ke kepalanya membuat ke alanya pening dan bicaranya melantur! Pertaruhan ma-cam apa itu" Kalau terjawab, ia akan membunuh diri dan kalau tidak terjawab ia boleh diperlakukan apa juga, berarti tentu saja juga dibunuh. Mengapa tidak minta bebas kalau tidak terjawab"
Bouw Lek Couwsu yang terheran-he-ran tadinya tidak mau melayaninya lagi dan
menganggap pemuda ini gila, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo dan Bu-tek Siu-lam tertarik.
Pemuda itu aneh sekali dan gila, teka-teki macam apa yang akan dikemukakannya" Gila atau tidak, mereka menjadi tertarik untuk mendengarnya.
"Ha-ha-ha, Couwsu, biarkan dia mengajukan teka-tekinya, kata Bu-tek Siu-lam.
"He-he, benar, Couwsu. Dia toh tak-kan dapat melarikan diri terbang ke langit," kata Siauw-bin Lo-mo.
Bouw Lek Couwsu mengerutkan ke-ning. Ia tidak mau dipermainkan bocah ini, dan ia curiga, takut kalau-kalau ditipu. Maka ia bertanya, "Bocah gila, kauulangi syaratmu tadi agar kami de-ngar baik-baik."
"Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, kau takut ditipu" Boleh saja asal jangan takut ka-lah karena hanya pengecut yang takut kalah. Dengar kalian semua. Kalau teka--tekiku nanti terjawab, aku akan membenturkan kepalaku ke dinding sampai pecah, kalau tidak, terserah kepadamu terhadap diriku."
"Hemmm, baik. Akan tetapi untuk membenturkan kepala ke dinding tak mungkin dilakukan dalam keadaan itu. Turunlah!" Tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, serangkum tenaga
dahsyat menyambar ke atas rantai yang menggantung tubuh Hauw Lam dan.... rantai -pada kakinya itu terlepas dari langt-langit dan tubuh pemuda itu jatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu! Akan tetapi, dengan gerakan pinggangnya, tu-buh Hauw Lam berjungkir balik dan ia jatuh ke lantai dengan kaki dulu sehingga berdiri tegak, akan tetapi kaki tangannya masih terbelenggu. Semua orang kagum, karena tanpa ilmu gin-kang yang tinggi, tak mungkin dapat berjungkir balik dalam keadaan kaki tangan terbelenggu seperti itu.
"Berandal, apa kau gila" Kalah me-nang kau tetap mati!" seru Kwi Lan yang tidak dapat menahan ketegangan hatinya.
Hauw Lam tertawa. "Ha-ha-ha, Mu-tiara, apa artinya mati" Yang penting dalam saat terakhir ini, aku menikmati kemenangan kalau teka-tekiku tak ter-tebak. Hendak kulihat, apakah Bouw Lek Couwsu yang sudah dikalahkan masih ada muka untuk mengangkat diri menjadi Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 406
calon raja, dan lima Bu-tek Ngo-sian ini masih ada muka untuk menjagol dunia kang-ouw!"
Bouw Lek Couwsu mendongkol dan diam-diam di dalam hatinya ia mengum-pat. Kautunggu saja bocah, kematianmu akan menjadi kematian yang paling seng-sara!
"Tak perlu banyak cerewet, lekas majukan teka-teki gilamu!" bentaknya.
Di antara mereka semua, hanya Kiang Liong yang benar-benar menjadi tegang hatinya.
Tegang sekali karena kini ia mengenal siasat yang dilakukan Hauw Lam. Bocah jenaka yang ia tahu kegilaan terhadap Mutiara Hitam dan oleh Mutia-ra Hitam disebut Berandal ini jelas menggunakan akal mengulur waktu. Tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya
mengerikan di tangan Bu-tek Siu-lam tanpa mereka dapat menolong. Kini ka-rena tingkah Hauw Lam, hukuman itu otomatis menjadi mundur dan tentu da-lam siasat mengulur waktu ini, Si Beran-dal sudah mendapatkan akal lain lagi yang belum ia ketahui apa dan bagaima-na.
Dalam keadaan terbelenggu, Hauw Lam berdiri tegak, kaku dan mengangkat mukanya,
membusungkan dadanya. "Guru-ku adalah seorang manusia dewa yang sakti tiada bandingan.
Tidak perlu yang budiman Bu Kek Siansu datang ke sini, baru Guruku saja, kalian akan dibikin ko-car-kacir."
"Hemm, siapa gurumu, bocah som-bong?" Thai-lek Kauw-ong, Si Tukang Cari Lawan,
tertarik sekali dan hatinya agak berdebar mendengar nama Bu Kek Siansu disebut-sebut.
"Guruku bukan manusia biasa, orang-orang seperti kalian belum cukup berhar-ga untuk mendengar namanya."
"Bocah gila! Lekas ceritakan teka-tekimu, tentang Gurumu setan atau iblis kami tidak perlu tahu!"
Kiang Liong tidak heran mendengar pemuda ini menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, ini adalah siasat untuk membikin gentar lawan, pikirnya. Tapi apa gunanya siasat seperti itu"
Kemudian ia teringat akan sesuatu dan bulu teng-kuk Kiang Liong meremang. Tadi....! Benar sekali, tadi sebelum muncul mu-suh, ada suara yang menertawakan Suling Emas tolol. Suara siapakah itu" Ia men-dengar dari gurunya bahwa kakek sakti yang bernama Bu-tek Lo-jin adalah se-orang kakek yang edan-edanan, seperti watak Hauw Lam ini. Mungkinkah suara tadi suara Bu-tek Lo-jin" Timbul harapan di hatinya dan ia mulai mengerti menga-pa Hauw Lam menggunakan siasat meng-ulur waktu. Agaknya dia menanti perto-longan gurunya!
"Teka-tekiku adalah teka-teki hi-tungan yang berbentuk syair. Tentu saja buatan Guruku karena siapa lagi manusia di dunia dapat membuat teka-teki seperti ini" Di dalam syair ini ter-dapat angka-angka terpendam dan kalian boleh menebak berenam! Beginilah syair-nya!"
Hauw Lam lalu bernyanyi dengan suaranya yang nyaring dan cukup merdu, sambil
menggoyang-goyang tubuhnya yang terikat seperti gerak tari mengikuti ira-ma lagu nyanyiannya :
"Terang bulan memancing kura,
air jernih laksana cermin.
lima ekor yang satu emas,
berapakah jumlah terbilang?"
"Nah, hayo kalian boleh tebak. Angka berapa yang tersembunyi di dalam syair"
Pergunakan otak, jangan ngawur, ini bukan sembarangan hitungan melainkan hitungan para dewa. Kuberi waktu satu tahun!"
Hampir Kiang Liong tertawa kalau tidak cepat menekan perasaannya. Ia memandang wajah tampan itu dengan kagum. Benar pemuda cerdik, akan tetapi ugal-ugalan, pantas.... disebut berandal. Masa memberi waktu setahun" Betapapun juga, siasat itu berhasil karena mereka semua, kecuali Kam Sian Eng, mulai mengerutkan kening, berpikir dengan aksi masing-masing. Kam Sian Eng hanya berdiri tak bergerak, kadang-kadang me-mandang ke arah Kwi Lan, kadang-ka-dang termenung, tarikan wajahnya ter-sembunyi di belakang kerudung hitam.
Suma Kiat pasang aksi pula, berusaha ikut menebak teka-teki.
Suasana dalam kamar tahanan hening. Bouw Lek Couwsu meraba-raba hidungnya, satu
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 407
kebiasaan tanpa disadari kalau ia sedang berpikir, Thai-lek Kauw-ong sudah duduk bersila, bersamadhi mengumpulkan kekuatannya, sambil kadang-kadang terkekeh-kekeh seperti orang gila. Pak-sin-ong makin angkuh mukanya, telunjuk kanan menempel antara kening.
Lucunya, melihat para kakek ini me-meras otak, Yu Siang Ki, Kwi Lan, Pu-teri Mimi, dan Pangeran Talibu ikut pula berpikir memecahkan teka-teki! Sungguh permainan yang lucu dan aneh, mudah menular! Ketika Kiang Liong bertemu pandang dengan Hauw. Lam, mereka sa-ling berkedip menahan senyum.
Sampai lama keheningan menyelubungi kamar itu. Para penjaga di luar kamar tahanan saling bertanya-tanya dan ter-heran-heran. Namun karena para datuk ini berkumpul di situ, tak seorang pun di antara mereka berani lancang mengintai. Waktu ini dipergunakan oleh Kiang Liong dan Yu Siang KI untuk bersamadhi memulihkan luka-luka mereka.
Akhirnya terdengar suara Bu-tek Siu-lam yang bernyanyi menirukan syair tadi. Suaranya merdu sekali, akan tetapi kecil seperti suara perempuan. Ia bernyanyi sambil berdiri dan tubuhnya bergoyang-goyang pula, akan tetapi ia betul-betul menari seperti seorang perempuan genit. Selesai bernyanyi, ia berkata, "Heh-heh-heh, sudah terdapat olehku jawabannya! He-he-he, amat mudahnya!"
"Jangan tertawa dulu, kakek banci!" kata Hauw Lam berani. "Dan jangan ka-takan dulu tebakanmu, menanti yang lain. Aku memberi bantuan. Jawaban angkanya tidak lebih dari dua puluh! Nah, lebih mudah bukan?"
Wajah Bu-tek Siu-lam tampak girang, agaknya jawabannya memang tidak lebih dari angka dua puluh, maka ia merasa yakin bahwa jawabannya tentu benar! Juga kini tokoh-tokoh yang lain sudah siap dengan jawabannya.
"Sudah siap" Nah, boleh katakan se-orang demi seorang tapi jangan ngawur, berikut alasan jawaban. Nanti baru kuka-takan siapa benar siapa salah," kata pula Hauw Lam yang hatinya sudah berdebar--debar karena gurunya yang tadi suaranya ia dengar belum juga muncul. Ia harus mencari akal lain dan otaknya yang cer-dik sudah memikir-mikir mencari siasat yang lebih berhasil. Ketika melihat be-tapa tadi wanita berkerudung yang kini ia tahu adalah Sian-toanio dan guru Kwi Lan berdiri tak acuh akan tetapi sering-kali mencuri pandang ke arah muridnya, ia sudah merencanakan akalnya sebagai lanjutan daripada akal teka-tekinya.
Keadaan kembali tegang. Bahkan para tawanan juga ikut memperhatikan apa dan berapa gerangan jawaban pihak mu-suh, apakah sama dengan tebakan me-reka" Bu-tek Siu-lam yang sudah tidak sabar mulai dengan jawabannya.
"Hi-hi-hik, orang nnuda yang lucu. Kalau kau tidak menjadi musuh Couwsu, aku akan senang sekali tidur satu kamar bersamamu mendengar syair-syair dan teka-tekimu yang lain! Syairmu tadi mu-dah saja. Jawabannya adalah angka TU-JUH! Betul tidak?"
Hauw Lan tersenyum. "Betul atau tidaknya nanti kuberi tahu. Yang penting apa yang kaujadikan dasar tebakanmu, supaya diberi tahu. "
"Hi-hi-hik, heh-heh, bocah nakal. Kau ingin membikin bingung kami dengan syair itu" Hi-hik, Bu-tek Siu-lam tak mungkin bingung oleh itu. Yang pokok dan penting dalam syairmu hanyalah bulan dan kura-kura. Waktu itu terang bulan, tentu bulan purnama dan air jer-nih, berarti bulan terbayang di air, jadi ada dua buah bulan, bukankah sudah jelas bilangannya"
Bulan, bayangannya, dan kura jumlahnya tujuh. Nah, angka yang tersembunyi tujuh!"
Hauw Lam hanya tersenyum lebar, lalu menoleh kepada yang lain, sikapnya menantang.
"Bagus sekali uraian Bu-tek Siu-lam. Kini siapa lagi yang menebak?"
"Bocah gila, betul atau tidak tebakan kami nasibmu toh sama saja. Menurut perhitunganku, bilangan yang tersembumyi adalah DUA PULUH. Sudah jelas, bulan sedang purnama, airnya jernih, jadi jumlah bulan ada dua. Permukaan bulan bundar berarti angka nol, jadi dua dan nol sama dengan dua puluh!" kata Bouw Lek Couwsu.
Hauw Lam berseri-seri wajahnya, se-nyumnya tetap gembira. "Siapa lagi?"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 408
Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan sua-ranya yang parau besar, "Bulan purnama berarti tanggal lima belas. Nah, angka bilangan yang tersembunyi tentu LIMA BELAS."
Hauw Lam mengangguk-angguk. "Ba-gus juga khayalmu, Locianpwe. Nah, siapa lagi?"
"Tidak ada yang penting dalam syair itu kecuali bulan dan emas. Sinar bulan pun seperti emas, bulan dan bayangannya laksana bola emas. Yang penting hanya tiga, bulan,
bayangannya, dan emas, maka tentu angka TIGA yang dimaksudkan." kata Pak-sin-ong tenang.
Kembali Hauw Lam hanya tersenyum sehingga tidak ada yang dapat menduga, jawaban Siapa yang paling tepat. "Siapa lagi" Kau bagaimana, Siauw-bin Lo-mo?"
"Ha-ha-ha, kau bocah edan! Membikin orang-orang tua memeras otak dan te-man-temanku sampai harus menggunakan arti yang dalam-dalam. Akan tetapi bo-cah seperti engkau ini mana mengerti arti yang dalam" Tentu kaumaksudkan di dalam syair itu jumlah semua benda hidup atau mati dan yang disebut adalah lima ekor- kura-kura, sebuah pancing, seorang manusia yang memancing, dan sebuah bulan. Jumlahnya hanya delapan. Nah, angkanya tentu DELAPAN!"
"Boleh kauterka sesukamu. Nah, siapa lagi" Engkau bagaimana, Toanio?" Hauw Lam menghadapi Kam Sian Eng. Sepa-sang sinar mata menyorot dari balik kerudung hitam dan Hauw Lam bergidik.
"Jangan ganggu aku, tolol!" hardik Kam Sian Eng. Hauw Lam menahan na-pas. Sekali wanita itu bergerak, dia bisa celaka, maka ia lalu cepat-cepat meng-hadapi para penebaknya dan berkata,
"Sudah jelas semua tadi, Bu-tek Siu-lam menebak angka tujuh, Bouw Lek Couwsu angka dua puluh, Thai-lek Kauw-ong angka lima belas, Pak-sin-ong angka tiga, dan Siauw-bin Lo-mo angka delapan. Bukan begitu?"
Lima orang kakek mengangguk-ang-guk tertarik untuk mendengar siapa di antara mereka yang tepat tebakannya.
"Ketahuilah, biarpun kalian mengaku kakek-kakek yang pandai, akan tetapi ternyata tebakan kalian ngawur tidak karuan, tidak ada seorang pun yang be-nar! Mau tahu jawabannya yang betul" Nah, jawabannya, adalah angka EMPAT!"
Hening sejenak, Bouw Lek Couwsu cemberut, semua mengerutkan kening, menghitung-
hitung kembali. "Aihhh, ke-napa empat?" Akhirnya Bu-tek Siu-lam bertanya.
"Kalian yang bodoh, kecual Sian-toa-nio yang tentu saja sudah mengerti maka tidak mau menjawab. Yang dipersoalkan dalam syair hanya baris ke tiga yang berbunyi : LIMA EKOR
YANG SATU EMAS. Nah, kalau ada lima ekor kura-kura tapi yang seekor adalah emas, maka yang empat ekorlah yang benar-benar kura-kura tolol, kura-kura yang buruk dan tua seperti kakek-kakek tua buruk dan jahat. Yang satu adalah emas, cantik dan cemerlang, mana bisa direndahkan dengan empat ekor kura-kura" Maka kalau dibilang lima ekor adalah keliru, yang benar hanya ada empat ekor kura-kura tua sedangkan yang satu hanya ter-bawa-bawa akan tetapi sama sekali tidak patut disebut kura-kura melainkan emas. Maka aku mempunyai sebutan untuk em-pat ekor kura-kura itu, paling tepat ada-lah Bu-tek Su-kwi (Empat Setan Tanpa Tanding)! Ha-ha-ha-ha!"
Hebat bukan main siasat Hauw Lam ini, pikir Kiang Liong sambil memandang dengan hati berdebar. Jelas maksudnya, Hauw Lam dalam jawabannya yang ter-atur telah menyindir Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding). Ia mengum-pamakan empat kakek itu kura-kura dan Sian-toanio diumpamakan emas. Sisanya empat kakek itu ia sebut jebagai Bu-tek Su-kwi!
Inilah siasat memecah be-lah, memperingatkan Sian-toanio bahwa ia sama sekali tidak pantas merendahkan diri bersekutu dengan empat orang ka-kek. Cerdik Hauw Lam, pikirnya. Ingin meminjam tangan Sian-toanio untuk menghadapi empat orang kakek.
Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw--bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong bu-kanlah orang bodoh. Mereka kini maklum bahwa mereka dipermainkan dan diejek, akan tetapi karena yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 409
berkuasa di situ Bouw Lek Couwsu, mereka tidak berani turun tangan. Bouw Lek Couwsu juga mengerti bahwa tamu-tamu dan sekutu-nya dihina, maka ia berkata.
"Bocah gila, kautunggu saja giliranmu. Kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara dan mengerikan. Sebelum mati terakhir, kausaksikan dulu teman-temanmu! Bu-tek Siu-lam, harap lanjut-kan rencana kita tadi."
Bu-tek Siu-lam melangkah maju meng-hampiri Kwi Lan yang memandangnya dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Semua tawanan menjadi te-gang, akan tetapi Hauw Lam tertawa bergelak dan berkata, "Salahkah aku menyebut mereka ini kura-kura tua bangka buruk dan jahat" Lihat saja Bu-tek Siu-lam ini. Katanya mengaku jagoan utama dari dunia barat! Mengaku seorang di antara Bu-tek Ngo-sian. Sebetulnya lebih tepat disebut setan tak bermalu. Masa seorang tua bangka yang mengaku jago, kini menghadapi seorang gadis re-maja seperti Mutiara Hitam saja takut--takut dan begini pengecut" Coba Mutiara Hitam tidak terbelenggu tentu dia sudah terkencing-kencing di celana saking ta-kutnya. Ha-ha-ha!"
Hebat memang penghinaan dan ejekan Hauw Lam ini. Kwi Lan girang men-dengar ini dan berkata, "Ah, mana dia berani. Berandal" , Dia pengecut besar, seekor kura-kura masih terlampau baik baginya. Ia mirip.... eh, kadal buduk!"
Merah sepasang mata Bu-tek Siu-lam. Senyumnya melebar dan tiba-tiba tangan-nya bergerak ke depan dua kali. Ter-dengar suara keras dan.... belenggu pada kaki tangan Kwi Lan sudah patah-patah. Gadis itu bebas!
"Hi-hik, anak manis. Sekarang kau sudah bebas. Mari kita coba-coba lihat sampai berapa jurus kau mampu melawan Bu-tek Siu-lam sebelum kutelanjangi dan kunikmati tubuhmu!"
Kwi Lan merasa lega. Biarpun ia maklum akan kelihaian Bu-tek Siu-lam, namun setelah kini ia bebas, ia akan melawan mati-matian dan tidak menye-rah begitu saja seperti kalau dia dibe-lenggu tadi. Sambil mengeluarkan jerit melengking keras ia menerjang maju,
menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya menye-rang Bu-tek Siu-lam. Sayang bahwa ia tidak berpedang, dan lebih sayang lagi bahwa tenaganya sudah banyak berkurang karena lelah dengan penderitaan yang bertubi-tubi, dengan penahanan dan da-lam belenggu yang membikin kaku urat tubuh.
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh ke-tika mengelak dan balas menyerang. Per-tandingan terjadi dalam ruang tahanan. Pertandingan yang berat sebelah. Keahli-an Kwi Lan adalah bermain pedang. Kini ia bertangan kosong dan biarpun ia me-rupakan seorang gadis remaja yang ja-rang bandingnya dalam bersilat tangan kosong, namun menghadapi seorang tokoh seperti Bu-tek Siu-lam, ia masih kalah setingkat. Bahkan kini karena tenaganya sudah banyak berkurang, ia kalah tenaga sehingga tiap kali dengan mereka beradu, Kwi Lan terhuyung mundur. Bu-tek Siu-lam makin mendesak sambil terkekeh-kekeh. Kini gerakan tokoh banci ini ma-kin kurang ajar, kadang-kadang menowel pipi, meraba dada dan mencubit paha.
Kwi Lan malu dan marah sekali, berlaku nekat dan mati-matian. Lewat seratus jurus, tiba-tiba Bu-tek Siu-lam menubruk, tangan kiri mencengkeram dada dan tangan kanan mencengkeram paha. Kwi Lan kaget dan jengah. Serangan ini ku-rang ajar sekali, melanggar batas kesopanan. Mana ia mau membiarkan dirinya dipegang" Ia menjatuhkan diri dan
ber-gulingan, akan tetapi tiba-tiba gadis ini menjerit ketika terdengar bunyi kain robek.
Kiranya serangan Bu-tek Siu-lam tadi hanya siasat belaka dan ia kini mencengkeram baju Kwi Lan terus direnggut robek. Hebat tenaga Bu-tek Siu--lam sehingga pakaian gadis itu, baik yang luar maupun yang dalam sebagian besar berada dalam tangannya dan hanya sedikit saja yang masih menempel ditubuh Kwi Lan. Gadis ini cepat menelungkup di lantai, tak berani bangkit lagi karena tubuhnya sudah setengah telanjang. Bah-kan ketika menelungkup pun, sebagian pinggul dan pahanya yang putih bersih tampak nyata!
"Hi-hik, begini saja kepandaianmu?"
Bu-tek Siu-lam terkekeh- kekeh dan mem-bawa robekan pakaian ke depan hidung sambil menyedot-nyedot dan berseru, "Aihh, wangi....! Mari kita main-main, Nona manis!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 410
Hauw Lam berseru, "Coba dengar sombongnya Si Tokoh Banci! Biarpun ada guru Mutiara Hitam hadir, dia berani memandang rendah ilmunya. Murid sama dengan anak, kalau murid dipermainkan berarti guru dihina! Kalau murid dihina berarti guru dibunuh! Di depan Sian-toa-nio Si Banci menjemukan ini berani ber-main gila. Sungguh tak tahu diri!"
Ketika itu Bu-tek Siu-lam sudah me-langkah maju hendak memaksa Kwi Lan membalikkan tubuh, hendak melakukan penghinaan seperti direncanakan Bouw Lek Couwsu untuk
menundukkan Pange-ran Talibu, Kiang Liong, dan Yu Siang Ki. Tak seorang pun tahu kecuali Hauw Lam dan Kiang Liong betapa wajah di balik kerudung hitam itu mengeluarkan napas yang membuat kerudung bergerak-gerak, betapa pandang mata dari balik kerudung seperti dua titik api membakar.
Ketika Hauw Lam mengeluarkan kata-kata yang bagaikan minyak menyiram api, terdengar lengking mengerikan dan tubuh Kam Sian Eng sudah berkelebat maju, tangannya yang kanan menceng-keram pundak Bu-tek Siu-lam sedangkan tangan kiri melemparkan jubahnya yang tepat menyelimuti tubuh Kwi Lan.
Bu-tek Siu-lam mengeluh dan tubuh-nya terlempar membentur dinding. Ceng-keraman tadi bukan sembarang cengke-raman, melainkan cengkeraman dengan jari-jari beracun yang sudah menembus baju dan kulit pundak Bu-tek Siu-lam! Wajah Si Banci menjadi pucat ketika ia melompat bangun, jelas ia kesakitan ber-campur marah dan keluarlah senjata guntingnya dan jarum di ujung benang. Ia memekik dan menerjang maju. Namun tangan kiri Kam Sian Eng bergerak dan sinar hitam menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum hitam yang sebetulnya ada-lah warna merah yang amat tua sehingga kalau disambitkan sinarnya menjadi hi-tam.
Tiga belas batang jarum menyambar ke tiga belas jalan darah di tubuh Bu-tek Siu-lam! Sinar ini mendatangkan suara berciutan mengerikan. Namanya Ang-sin-ciam (Jarum Sakti Merah) dan jarang ada lawan dapat menyelamatkan diri terhadap serangan jarum-jarum ini. Dilepas dari jarak dekat, cepatnya seperti kilat menyambar, sasarannya tiga be-las jalan darah di sebelah depan tubuh, suaranya mengerikan dan racunnya sedemikian hebat sehingga
jangankan ter-luka, baru tergores sedikit saja sudah mendatangkan maut! Jarum-jarum hijau milik Kwi Lan kalau dibandingkan dengan jarum-jarum merah milik gurunya ini masih belum apa-apa. Baru Ang-sin-ciam sudah begini hebat, belum lagi Pek-sin-ciam (Jarum Sakti Putih).
Jarum-jarum ini tidak mengeluarkan suara, hampir tak tampak sinarnya akan tetapi racunnya lebih gila lagi, tersentuh kulit orang bisa menimbulkan maut! Racunnya ter-dapat dari kerangka-kerangka manusia di bawah tanah!
Bu-tek Siu-lam memang lihai sekali namun ia tetap saja kaget dan repot menyelamatkan diri dari sambaran sinar hitam jarum-jarum itu. Memang benar dengan jalan memutar gunting melempar diri ia berhasil terbebas dari terjangan jarum, namun Kam Sian Eng yang sudah menduga akan gerakan ini, sudah berke-lebat maju dan sebuah tamparan tepat mengenai punggung Bu-tek Siu-lam yang sedang repot menghindarkan diri dari jarum-jarum.
"Plakk....! Auuuukhhh!" Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang dan dari mu-lutnya menyembur darah segar. Ia sudah terluka hebat! Kini ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, bibir berlepotan darah, mata beringas memandang Kam Sian Eng yang berdiri tenang dan dengan gerakan tenang pula Kam Sian Eng membuka kerudung hitamnya. Semua orang menahan napas. Betapa cantiknya wajah di balik kerudung itu! Kulitnya putih kemerahan seperti kulit muka gadis remaja, hidungnya mancung dengan cu-ping bergerak-gerak kembang-kempis dan angkuh. Matanya tajam namun sinarnya aneh bergerak-gerak ke kanan kiri dan senyumnya membuat bulu tengkuk ber-diri. Senyum wanita biasanya membuat hati makin tenang, mendatangkan ke-hangatan. Akan tetapi senyum ini dingin sekali, seperti kita melihat senyum pada bibir orang-orang mati! Dengan keru-dung hitam di tangan kiri, diputar-putar seperti seorang gadis remaja memutar saputangan sutera, tangan kanannya ber-gerak ke pinggang dan...., sebatang pe-dang tipis telah dipegangnya.
"Bu-tek Siu-lam, apakah kau masih berani memandang rendah ilmuku?" Suara ini merdu dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 411
manis, namun didorong ancaman yang mengerikan.
Bu-tek Siu-lam yang sudah dua kali terkena pukulan yang membuatnya terluka dalam amat hebat, maklum bahwa keselamatannya sukar ditolong lagi. Hatinya gelisah dan kemarahan membuat lehernya serasa tercekik. Ia tidak dapat menjawab, hanya mengeluarkan suara seperti tertawa atau ringkik seekor kuda, kemudian tubuhnya menerjang ke depan, guntingnya bergerak menggunting ke arah, leher Kam Sian Eng, sedangkan jarumnya meluncur ke arah perut lawan. Namun gunting itu terhenti di tengah jalan, bertemu dengan kerudung hitam yang kini menjadi semacam senjata ampuh. Kerudung itu terbuat daripada bahan yang kuat sekali, dari benang baja hitam yang halus, maka biarpun Bu-tek Siu-lam menggerakkan guntingnya menggun-ting tidak ada hasilnya, malah gunting-nya terlibat-libat kerudung tak dapat bergerak lagi. Adapun jarumnya dapat dielakkan oleh Kam Sian Eng yang sam-bil tersenyum membetot kerudungnya membuat tubuh lawan doyong ke depan lalu ia papaki dengan tusukan pedang mematikan!
Bu-tek Siu-lam terkejut. Tidak me-ngira bahwa ia akan mati demikian mu-dah di tangan wanita ini, akan tetapi apa daya, racun mulai bekerja di tubuh-nya, membuat tenaganya menjadi lemas dan ia hanya dapat memejamkan mata menanti datangnya pedang dan
memasuki dadanya. "Tranggg....!" Pedang di tangan Kam Sian Eng terpental ketika tongkat ku-ningan Bouw Lek Couwsu menangkisnya.
"Toanio, tak boleh kau membunuh ta-muku!" bentak Bouw Lek Couwsu sambil menyerang dengan tongkatnya.
Kam Sian Eng mengeluarkan suara melengking marah, tubuhnya berkelebat cepat dan dalam waktu beberapa menit saja ia sudah bertanding sampai belasan jurus, balas-membalas dengan ketua orang Hsi-hsia.
"Ha, kau tangguh, Toanio. Tapi tetap saja aku yang menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngosian!" Inilah suara Thai--lek Kauw-ong yang sudah berjongkok lalu memukul dengan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa lihainya. Kam Sian Eng terkejut, berusaha menahan namun ia tetap saja terhuyung ke belakang, permainan pedangnya menjadi kacau dan pada saat ia memutar pedang mengha-dapi tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu, dari belakang ada tangan menyambar.
"Awas, Bibi....!" terdengar Kwi Lan berseru. Gadis ini sudah membungkus tubuh dengan jubah gurunya dan kini me-jihat serangan ganas Bu-tek Siu-lam dari belakang, ia
memperingatkan gurunya. Namun Sian Eng yang sudah marah itu menggerakkan tangan kiri dan sinar putih menyambar.
Hanya tiga batang jarum yang ia sambitkart namun ketiga-tiganya memasuki tubuh Bu-tek Siu-lam yang roboh berkelojotan dan menjerit-jerit seperti babi disembelih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tak tertahan-kan. Rasa nyeri yang amat hebat mem-buat tokoh banci ini seperti gila, gun-tingnya bergerak menggunting bagian tubuhnya yang terasa nyeri sehingga dalam sekejap mata saja lengan kirinya buntung, lalu kedua kakinya dan terakhir sekali batang lehernya! Ia mati dalam keadaan tubuh terpotong-potong gunting seperti nasib sekian banyak korbannya.
Andaikata ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu atau bahkan Thai-lek Kauw--ong satu lawan satu saja agaknya Kam Sian Eng tidak akan mudah dapat dika-lahkan. Akan tetapi sekarang ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu dan Thai--lek Kauw-ong malah kini Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo sudah maju mengero-yoknya! Dikeroyok empat orang sakti itu, tentu saja, ia menjadi repot sekali.
Kwi Lan dengan nekat membantu gurunya. Ia menyambar gunting Bu-tek Siu-lam yang
berlepotan darah, lalu mengamuk, mainkan gunting itu seperti orang mainkan pedang. Namun karena senjata ini tidak cocok, ia menjadi kaku dan gerakannya canggung.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 412
"Kwi Lan, kaubebaskan saja kami agar kami dapat membantu. Lekas!" te-riak Hauw Lam, Siang Ki, dan Kiang Liong. Akan tetapi gadis itu dalam ke-marahan meluap-luap tidak ingat akan hal ini dan akhirnya, ketika Thai-lek Kauw-ong memutar-mutar tubuh mainkan ilmu Soan-hong-sin-ciang sehingga tubuh-nya berputaran seperti gasing, Kwi Lan roboh tertotok dan tak mampu bergerak lagi!
Hauw Lam menjadi kecewa sekali dan pemuda ini hanya mampu memaki-maki dan berteriak-teriak, "Tak tahu malu! Empat ekor kura-kura busuk tua bangka hanya berani melakukan pengeroyokan! Aku berani mempertaruhkan kepala nenek moyangku kalau bertanding satu lawan satu, semua tentu dapat terbunuh mam-pus oleh Sian-toanio!"
Namun teriakan-teriakannya percuma saja dan akhirnya Kam Sian Eng harus mengakui keunggulan empat orang penge-royoknya. Ia tak dapat bertahan lama. Serangan Thai-lek Kauw-ong membuat ia terhuyung-huyung dan pening. Ia sudah menghabiskan jarum-jarumnya, sudah mainkan pedang dan kerudung, namun sia-sia dan akhirnya ia roboh terkena hantaman gergaji Pak-sin-ong yang mengenai lambungnya. Lambungnya robek. Kam Sian Eng memekik marah dan ten-dangan kakinya yang dilakukan secara tak terduga-duga
membuat Pak-sin-ong terlempar akan tetapi pada saat itu, tongkat Bouw Lek Couwsu, senjata gem-breng Thai-lek Kauw-ong, dan pukulan tangan Siauw-bin Lo-mo membuat ia roboh terkapar tak bernyawa lagi! Pak-sin-ong sudah bangkit dan hanya terluka ringan.
"Wanita hebat....!" Thai-lek Kauw--ong mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji karena biarpun ia sanggup seorang diri mengalahkan Kam Sian Eng namun tentu memakan waktu yang lama.
Kiang Liong, Pangeran Talibu, Mimi, Yu Siang Ki, dan Hauw Lam memandang ke arah
empat orang kakek itu dengan jantung berdebar. Bahkan Hauw Lam sendiri kini diam saja, maklum bahwa kata-kata tidak ada artinya lagi seka-rang. Bahaya hebat mengancam mereka, akan tetapi mengapa gurunya belum juga muncul" Ataukah ia salah dengar dan bukan suara gurunya"
Bouw Lek Couwsu dengan muka ge-ram menghadapi para tawanan muda. Ia marah sekali karena sekaligus kehilangan dua orang pembantu kuat, yaitu Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suma Kiat hanya berdiri memandang mayat ibunya, tidak menangis tidak tertawa hanya me-nunduk.
"Suma-kongcu, bagaimana pendapatmu kini?" Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu berta-nya kepada pemuda itu. Ia hendak men-jenguk isi hati pemuda yang kematian ibunya ini. Suma Kiat berkata, suaranya menggetar.
"Apa yang dapat kukatakan, Couwsu" Kami ibu dan anak telah membantumu dengan kenyataan, akan tetapi Ibu karena membela gadis sialan ini telah menjadi korban. Couwsu, berikan gadis itu kepa-daku, aku ingin membalas dendam ini kepadanya!"
Bouw Lek Couwsu mengangguk. Baik sekali kalau begitu pendapat pemuda ini. "Boleh saja, asal kemudian dibunuh. Dia telah menimbulkan banyak kerewelan." Kemudian setelah Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan yang pingsan dan dibawa keluar kamar tahanan, Bouw Lek Couwsu menghadapi Pangeran Talibu dan berkata,
"Pangeran, untuk penghabisan kali, apakah kau masih keras kepala" Kalau sekarang kalian semua kubunuh, siapa yang akan berani menolongmu?"
Sunyi tiada jawaban dari para tawan-an muda. Tiba-tiba terdengar bunyi le-dakan keras disusul sorak-sorai. Agaknya ini sebagai jawaban pertanyaan Bouw Lek Couwsu karena pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan semua ta-wanan muda itu tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan bagaikan gerakan iblis, entah dari mana datangnya, tahu--tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap tampan dan gagah berusia lima puluh lima tahun kurang lebih. Sebatang suling terselip di ping-gang, topinya lehar dan sepasang mata yang memandang dari bayangan topi itu penuh wibawa.
"Suling Emas....!" Seruan ini keluar dari mulut Thai-lek Kauw-ong, dan se-mua kakek itu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 413
terkejut seperti disambar kilat. Terutama sekali Bouw Lek Couwsu yang mendengar suara ribut-ribut di se-keliling markasnya, tanda bahwa di luar terjadi perang hebat.
Suling Emas tidak mempedulikan empat orang kakek itu yang menatapnya dengan mata terbelalak dan sikap gentar. Ia melirik dan dengan ujung matanya menyapu keadaan para tawanan. Pandang matanya mencari-cari, kemudian bertemu dengan pandang mata Kiang Liong.
"Di mana Mutiara Hitam....?" tanya-nya, suaranya tenang halus, seperti si-kapnya.
"Dia dibawa pergi Suma Kiat, putera Sian-toanio...." Kiang Liong menunjuk dengan pandang matanya ke arah mayat Kam Sian Eng.
Sejenak pandang mata Suling Emas menuju kepada muka Kam Sian Eng yang sudah mati, muka yang cantik dan ter-senyum aneh. Sedetik Suling Emas me-mejamkan mata, seperti terkejap. Yang menggeletak tak bernyawa itu adalah adik tirinya! Kemudian kaki kanannya dibanting perlahan dan.... gunting besar milik Bu-tek Siu-lam terbang dari lantai menuju tangannya. Suling Emas menyam-bar gunting dan terdengar bunyi nyaring dua kali ketika gunting menyambar be-lenggu kaki tangan Kiang Liong. Suling Emas melempar gunting ke atas lantai sambil berkata, "Pergi kaukejar dan am-bil kembali Mutiara Hitam."
"Baik, Suhu!" Kiang Liong menyambar gunting dan menggunting pula belenggu Yu Siang Ki, kemudian berkelebat pergi meninggalkan gunting kepada Siang Ki, yang kini sibuk membebaskan teman-temannya.
Suling Emas menjura kepada Thai-lek Kauw-ong, "Kauw-ong, selamat ber-jumpa kembali.
Agaknya sahabat-sahabat ini adalah Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo. Sayang bahwa Samwi (Tuan Bertiga) terperosok rendah mengabdi orang Hsi-hsia."
"Suling Emas, jangan sombong! Kamu kira dapat menangkan kami berempat?" Bouw Lek Couwsu berseru dan tongkat kuningan di tangannya sudah bergerak menyerang Suling Emas, disusul gergaji di tangan Pak-sin-ong yang bertemu musuh lamanya. Dahulu ia gagal menga-cau di Khitan karena Suling Emas, maka sekarang ia hendak menggunakan
kesem-patan selagi ada teman-teman sakti, membalas dendam.
"Suling Emas, hadapilah kematianmu!" bentaknya.
Thai-lek Kauw-ong yang sudah meng-alami kelihaian Suling Emas, membunyi-kan gembreng dan menerjang maju se-cara dahsyat. Demikian pula Siauw-bin Lo-mo, biarpun bertangan kosong, kini menerjang maju dengan pukulan tangan kanan sedangkan tangan lainnya siap dengan bumbung berisi racun.
Suling Emas menggerakkan sulingnya. Hebat luar biasa gerakannya ini. Sinar kuning menyilaukan mata bergulung-gu-lung seperti naga bermain di angkasa, dan semua senjata lawan terpukul mun-dur. Namun ia dikurung rapat dan empat orang pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Tempat itu ku-rang luas untuk menghadapi
pengeroyok-an, apalagi di situ terdapat mayat Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suling Emas tidak mau menginjak mayat adik tirinya, maka terdengar suara melengking panjang dan sinar sulingnya menyambar dengan lingkaran-lingkaran besar. Ketika empat orang
pengeroyoknya mundur, ia melesat keluar kamar. Tentu saja empat orang pengeroyoknya tidak membiarkan ia pergi dan cepat menyusul. Kiranya Suling Emas sudah menanti mereka di luar, di tempat yang iuas, sambil mema-langkan suling di depan dada dan tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala. Si-kapnya gagah bukan main dan biarpun usianya sudah setengah abad lebih, ia tampak gagah dan tampan, tubuhnya masih padat dengan sikap tegak berdiri, dadanya bidang.
"Hyaaaahhh!!" Bouw Lek Couwsu me-mekik dan tongkatnya menyambar ke-pala Suling Emas yang hanya miringkan tubuh menghindarkan diri, namun suling-nya menyambar
dengan totokan ke arah lambung Ketua Hsi-hsia ini. Dengan menyontekkan tongkat ke sampingf Bouw Lek Couwsu berhasil menangkisnya. Pada setengah detik berikutnya, gergaji Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 414
Pak-sin-ong menyambar pinggang dan Suling Emas sudah menangkis dengan suling,
berusaha menempel gergaji dengan sin-kang, akan tetapi karena pada saat itu Thai-lek Kauw-ong sudah menghimpitnya dengan sepasang gembreng yang amat berbahaya itu, terpaksa Suling Emas melepaskan sulingnya dan meloncat ke belakang membiarkan gembreng lewat, siku kirinya menotok pergelangan tangan Bouw Lek Couwsu yang hendak menye-rang
sehingga kakek ini meloncat ke samping, kemudian Suling Emas sudah meloncat lagi ke depan, selagi Thai-lek Kauw-ong belum menarik kembali gembrengnya pendekar sakti ini sudah memu-kulkan suling ke arah kepala. Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak mau
kepala-nya dipecahkan suling, cepat menghindar. Suling Emas sekali lagi meloncat ke be-lakang karena tangan Siauw-bin Lo-mo sudah memukulnya dengan jari tangan miring yang kalau mengenai iganya dapat mematahkan tulang iga.
Pertandingan terjadi makin seru dan cepat. Gerakan Suling Emas indah sekali, indah dan cepat namun karena empat orang pengeroyoknya juga bukan orang-orang biasa, ia kalah cepat dan terpaksa bertubi-tubi menangkis serangan yang datang bergantian bagaikan hujan lebatnya. Setelah pendekar sakti ini mainkan ilmunya, Hong-in-bun-hoat, sulingnya mencorat-coret huruf-huruf sakti di uda-ra barulah dia dapat mematahkan se-mua serangan dan dapat mengimbangi gencarnya serangan, sungguhpun ia masih belum dapat membalas serangan.
Sementara itu, di luar terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya melawan orang orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah. Pasukan Khitan ini memang mencari Pangeran Mahkota mereka dan akhirnya dapat menyerbu ke markas Hsi-hsia. Akan tetapi agaknya mereka takkan ber-hasil kalau saja tidak bertemu dengan Suling Emas di luar hutan. Suling Emas yang memimpin mereka memasuki mar-kas tanpa diketahui sehingga mereka dapat menyerbu secara mendadak. Kare-na jumlah mereka lebih banyak dan ka-rena pasukan Khitan ini lebih berpenga-laman dalam perang, maka pihak Hsi-hsia segera terdesak hebat dan banyak jatuh korban.
Sementara itu, Siang Ki telah berhasil membebaskan Hauw Lam, Talibu, dan Mimi. Setelah mereka beristirahat seben-tar untuk memulihkan jalan darah yang membeku karena terlalu lama dibelenggu, mereka lalu keluar dari kamar tahanan yang menyeramkan dengan adanya mayat Bu-tek Siu-lam yang terpotong-potong! Mereka siap membantu Suling Emas, bahkan Pangeran Talibu sendiri cemas melihat ayah kandungnya dikeroyok tadi. Akan tetapi hatinya lega mendengar teriakan-teriakan pasukannya, teriakan-teriakan itu adalah tanda bahwa pihak pasukannya berhasil mendesak dan me-nang.
Ketika mereka tiba di luar, hati me-reka makin lega. Kiranya Suling Emas kini bukan hanya seorang diri menghadapi pengeroyokan empat musuh, melainkan dibantu seorang kakek tua renta yang cebol berkepala besar dan tertawa ceki-kikan. Yang paling girang hatinya adalah Hauw Lam karena ia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah kakek aneh luar biasa Bu-tek Lo-jin yang men jadi gurunya hanya untuk beberapa hari lamanya.
Pak-sin-ong dan Thai-lek Kauw-ong mengeroyok Suling Emas, adapun Siauw-bin Lo-mo dan Bouw Lek Couwsu menge-royok Bu-tek Lo-jin. Baik Bu-tek Lo-jin yang hanya memegang sebatang ranting kecil maupun Suling Emas yang bersen-jatakan suling dapat mendesak kedua pengeroyok masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, serombongan hwesio jubah merah yang mendengar tanda bahaya yang dikeluarkan Bouw Lek Couwsu, sudah datang dengan senjata di tangan untuk mengeroyok dua orang pendekar sakti itu. Mereka ini jumlahnya ada dua puluh orang, murid-murid pilihan yang terpaksa meninggalkan peperangan yang terdesak untuk membantu dan mem-bela guru mereka. Melihat munculnya hwesio-hwesio jubah merah ini, Yu Siang Ki dan Hauw Lam segera meloncat maju menerjang
dengan senjata golok yang mereka temukan di luar kamar tahanan. Juga Pangeran Talibu tidak mau keting-galan. Pangeran ini sudah mengambil sebatang pedang seperti juga Puteri Mi-mi, dan kedua orang muda bangsawan yang pandai ilmu silat ini pun lalu me-nyerbu dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 415
membantu Siang Ki dan Hauw Lam.
Sebagian dari hwesio-hwesio itu me-nyambut serbuan empat orang muda, akan tetapi sebagian besar membantu Bouw Lek Couwsu. Melihat datangnya banyak hwesio jubah merah yang otoma-tis mengeroyok kakek cebol, Suling Emas menjadi marah. Ia membuat gerakan panjang, gulungan sinar suling melibat bayangan Thai-lek Kauw-ong yang sung-guh luar biasa. Kauw-ong kaget, merasa betapa sinar itu mengandung hawa dingin yang tajam melebihi pedang. Untuk men-jaga diri, Kauw-ong lalu berputaran se-perti gasing, sepasang gembrengnya men-jadi sinar yang membungkus tubuhnya. Akan tetapi, ia kena diakali Suling Emas yang memang hanya menggertak saja. Setelah kakek raksasa yang amat lihai itu berputaran, tiba-tiba Suling Emas mengerahkan seluruh tenaga dan perha-tian kepada Pak-sin-ong. Tubuhnya ber-kelebat, sulingnya melengking bagaikan sinar kilat menyambar ke arah Pak-sin-ong. Kini Pak-sin-ong tidak ada pemban-tu karena sahabatnya sedang berputaran seperti gasing. Terpaksa ia menangkis dengan gergaji di tangan kanan sedang-kan tali pancingnya menyambar ke arah kaki Suling Emas.
"Cringg.... krekkkk!" Gergaji itu patah-patah menjadi beberapa potong. Pak--sin-ong hendak meloncat mundur akan tetapi alangkah kagetnya ketika gerakan-nya itu terhalang oleh tali pancingnya sendiri yang kini sudah melibat-libat tangan Suling Emas. Kiranya pendekar sakti itu telah menangkap pancingnya dan karena talinya diikatkan pada ping-gang, Pak-sin-ong tak dapat melarikan diri! Ia menjadi nekat, membetot-betot tali pancing dan mengirim pukulan sambil tiba-tiba menubruk maju. Tubuh yang menubruk itu diterima dengan tusukan suling.
Pak-sin-ong mengulur tangan me-nangkap suling. Gerakannya cepat dan tak terduga-duga sehingga suling itu dapat tertangkap. Mereka saling betot, adu tenaga. Namun Pak-sin-ong kalah kuat sehingga terpaksa mempergunakan kedua tangan melawan tangan kanan Suling Emas. Sambil tersenyum Suling Emas mempertahankan suling dengan tangan kanan, adapun tangan kirinya bergerak cepat, jari-jari tangan yang ampuh dan kuat itu satu kali menusuk ke arah pelipis lawan. Tanpa mengeluarkan suara Pak-sin-ong melepaskan suling dan roboh tak bergerak lagi.
Ketika Suling Emas siap menghadapi Thai-lek Kauw-ong, ternyata Si Raja Monyet itu telah melompat jauh melari-kan diri! Ia tidak mengejar, melainkan menyerbu ke depan membantu kakek cebol yang kini dikeroyok banyak sekali lawan. Para murid Bouw Lek Couwsu tentu saja semua mengeroyok Si Cebol ini untuk membantu guru mereka. Si Kakek Cebol benar-benar hebat luar biasa sehingga mengagumkan hati Suling Emas. Ia dapat menduga siapa adanya kakek ini, tentulah Bu-tek Lo-jin karena siapa lagi di dunia ini ada tokoh sakti memiliki tubuh seperti kanak-kanak dan kepala besar seperti raksasa" Memang kini sudah kelihatan tua sekali sehingga kalau melihat mukanya orang yang per-nah bertemu akan menjadi pangling, akan tetapi melihat potongan tubuh dan kepalanya, melihat sikapnya yang ugal-ugalan mudah saja menduga siapa tokoh ini.
"Locianpwe Bu-tek Lo-jin, terima kasih atas bantuan Locianpwe!" kata Suling Emas sambil menerjang maju, me-nyerang Siauw-bin Lo-mo.
"Heh-heh-heh. Suling Emas, siapa membantu siapa" Aku hanya ingin meng-hajar monyet-monyet gundul berpakaian pendeta ini!" Dan.... "brettt.... brettt....!" celana dua orang hwesio jubah merah robek dan putus tali kolornya. Tentu saja dua orang hwesio itu kededoran dan ter-sipu-sipu mundur untuk membenarkan celananya yang robek. Kakek cebol itu tertawa bergelak dan tubuhnya kembali berkelebatan di antara sinar senjata para pengeroyoknya yang amat banyak.
"Hayo Bouw Lek Couwsu, lepaskan celanamu!" kembali kakek cebol itu ter-tawa dan menerjang. Ia tidak pedulikan para hwesio yang menghalanginya. De-ngan lincahnya ia melejit dan menyeli-nap, tahu-tahu ia sudah berhadapan lagi dengan Bouw Lek Couwsu.
Kalau tadi ia belum berhasil adalah karena selain Bouw Lek Couwsu sendiri amat lihai, kakek pemimpin Hsi-hsia ini dibantu pula oleh Siauw-bin Lo-mo. Kini menghadapi kakek cebol Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 416
seorang diri, Bouw Lek Couwsu menjadi pucat dan marah. Tongkat ku-ningnya yang berat digerakkan menghan-tam tubuh Bu-tek Lo-jin.
"Desss....!" Dan Bouw Lek Couwsu melongo. Jelas tadi ia melihat tongkat-nya secara tepat menyambar tubuh cebol itu, akan tetapi mengapa kini hanya tanah saja yang dihantamnya dan ke mana perginya Si Cebol" Tiba-tiba ter-dengar bunyi kain robek dan Bouw Lek Couwsu cepat membalikkan tubuh karena merasa tubuh belakangnya dingin. Kira-nya Bu-tek Lo-jin sudah berdiri di belakangnya dan ketika Bouw Lek Couwsu meraba tubuh belakang,
celananya di bagian belakang sudah robek lebar sekali sehingga nampak buah pantatnya yang besar menghitam!
"Ha-ha-ha-ha, persis pantat monyet, ha-ha-ha," Bu-tek Lo-jin tertawa terba-hak-bahak.


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bouw Lek Couwsu marah bukan main. Murid-muridnya sudah mengurung dan mengeroyok
lagi kakek cebol itu dan se-orang murid datang membawa celana baru yang cepat dipakai oleh Bouw Lek Couwsu. Kemudian sambil menggigit bibir saking marahnya, ia memutar
tongkatnya lagi menerjang Si Kakek Nakal.
Pertandingan antara empat orang muda melawan para pendeta jubah merah juga berjalan seru.
Para pendeta itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu yang merupakan pengawal pri-badi, maka kepandaian mereka cukup tinggi. Kini bermunculan pasukan penga-wal. Hsi-hsia yang membantu sehingga empat orang muda itu harus bekerja keras. Banyak sudah orang Hsi-hsia roboh oleh pedang mereka, akan tetapi jumlah pihak lawan makin banyak.
Betapapun juga, dengan enaknya Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam mempermainkan dan
membabati mereka karena tongkat ilmu kepandaian dua orang muda ini jauh lebih tinggi.
Puteri Mimi di samping Talibu sudah mundur karena Sang Pangeran ter-lalu lelah oleh luka-lukanya. Dia dibim-bing Puteri Mimi yang siap melindungi-nya. Tadinya Talibu tidak mau berhenti dalam bertanding melawan musuh, akan tetapi Yu Siang Ki yang melihat betapa gerakan Pangeran ini lemah dan tidak tetap, bahkan wajahnya pucat sekali, maka ia lalu memutar senjata memberi jalan keluar kepada Pangeran ini, minta supaya Sang Pangeran mengaso dijaga Puteri Mimi.
Siauw-bin Lo-mo repot sekali meng-hadapi Suling Emas. Tiga kali ia dibikin jungkir-balik oleh suling di tangan lawan. Untung ke tiga kali itu ia cukup cepat sehingga hanya mengalami jungkir-balik dan babak belur, kalau ia kurang cepat sedikit saja, tentu nyawanya telah mela-yang. Karena maklum bahwa ia bukan tandingan Suling Emas yang luar biasa saktinya, tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo ter-tawa bergelak, tangan kirinya memban-ting bumbung, juga tangan kanannya me-raih bola yang bergantungan pada ping-gangnya.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan tanpak asap bermacam-macam war-nanya
mengebul memenuhi tempat per-tandingan itu. Bouw Lek Couwsu berseru memberi
peringatan kepada anak buahnya yang lari cerai-berai, namun terlambat sedikit. Lebih dari sepuluh orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah roboh ber-kelojotan, ada yang terkena besi, ada yang menghisap asap beracun.
Pangeran Talibu dan Puteri Mimi yang mengaso di emper bangunan, dari jauh melihat betapa setelah membantingi bahan-bahan peledak dan asap beracun, Siauw-bin Lo-mo roboh
telentang. Akan tetapi mereka tidak melihat di mana ada-nya Suling Emas, Bu-tek Lo-jin, Yu Siang Ki, dan Tang Hauw Lam! Apakah mereka berempat juga sudah menjadi korban"
Kiranya ketika terjadi ledakan-ledakan tadi, keadaan amatlah berbahaya sehing-ga orang-orang lihai seperti Siang Ki dan Hauw Lam sekalipun belum tentu dapat menyelamatkan diri karena mereka se-dang menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdua berseru kaget, tubuh mereka terangkat dan terbang melayang ke atas genteng markas Bouw Lek Couwsu. Setelah memandang, kiranya Suling Emas yang menyambar tubuh Siang Ki dan Bu-tek Lo-jin yang membawa "terbang" Hauw Lam! Setelah dilepaskan di atas genteng, dua orang muda itu segera bertekuk lutut mengha-turkan terima kasih.
Bu-tek Lo-jin duduk di atas genteng, merangkul pundak Hauw Lam. "Heh-heh, kau lumayan, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 417
aku tidak kecewa. Apalagi permainanmu di depan Bouw Lek Couwsu dan sekutunya, hebat!"
"Berkat bimbingan Suhu," kata Hauw Lam merendah.
"Heh, bimbingan apa" Aku tidak per-nah mengajarmu bersyair!"
"Suhu telah datang, kenapa tidak cepat turun tangan tadi?"
"Kenapa" Aku belum ada kegembira-an."
"Bukankah tadi keadaan Mutiara Hi-tam terancam bahaya?"
"Uuuhh, berani bermain api jangan takut terbakar. Berani bermusuhan jangan takut berkelahi dan berani berkelahi jangan takut mati! Perlu apa aku mesti tolong" Eh, Hauw Lam, syairmu tadi yang memuat teka-teki, mengapa kau begitu sembrono" Hatiku sampai berdebar tidak karuan. Bagaimana kalau kebetulan di antara mereka ada yang menebak tepat angka empat"
Kau tentu kalah. Hauw Lam maklum bahwa gurunya ini memang ugal-ugalan, maka jawaban dan alasan tadi tidak ia masukkan hati. "Teecu (murid) takkan kalah, Suhu. Wa-laupun ada yang menjawab empat umpa-manya, teecu akan salahkan dia karena jawabannya bukan empat."
"Heeeii, bagaimana ini?"
"Aah, ini hanya akal anak kecil, Suhu. Di dalam syair itu terdapat angka atau jumlah bermacam-macam. Kura-kuranya empat, emasnya satu, bulannya dengan bayangannya dua, tanggal purnama lima belas. Kalau sekalian angka-angka itu dikali, ditambah, dikurangi atau dibagi, bisa saja kita mencari bilangan dari satu sampai seratus! Tentu saja semua tebak-an bisa teecu salahkan!"
Bu-tek Lo-jin mengerutkan kening berpikir-pikir, kemudian setelah mengerti duduknya persoalan ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalau begitu kautipu mereka mentah-mentah!"
"Bukan menipu, Suhu, melainkan ini akal anak kecil. Hanya orang goblok dan tolol saja yang dapat diakali permainan kanak-kanak macam ini. Dan di dunia ini terlalu banyak orang tolol dan goblok."
"Ha-ha-ha, orang-orang yang punya kedudukan tinggi bisa diakali. Kau lihat nanti, Hauw Lam. Aku tidak mau kalah denganmu. Kaulihat nanti bagaimana aku permainkan mereka dengan akal anak kecil juga. Lihat ini!" Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin menggunakan jari kelingkingnya mengorek-ngorek kedalam lubang hidungnya, mengeluarkan upil (tahi hidung) dan mengumpulkan lalu memelin-tir-lintirnya menjadi semacam pel. "Ah, terlalu sedikit," katanya tertawa. "Hayo kaukeluarkan punyamu. Kau juga, Suling Emas, dan kau.... eh, jembel muda."
Hauw Lam mengedipkan mata kepada Siang Ki agar pemuda itu suka memenuhi permintaan kakek itu. Akan tetapi tanpa diberi tanda juga Siang Ki tentu akan mentaatinya karena pemuda ini sudah cukup berpengalaman untuk mengenal seorang sakti yang aneh seperti Bu-tek Lo-jin. Tanpa ragu-ragu ia pun lalu mengorek lubang hidungnya.
Suling Emas tersenyum kepada kakek nakal itu. Kalau dia mentaati perminta-annya, berarti dia sudah kena dipermain-kan juga, maka ia lalu mengambil kotor-an tanah yang menempel di bawah se-patunya, "Bu-tek Lo-jin, dicampur dengan kotoran ini tentu lebih lezat rasanya,"
Ia menyerahkan segelintir tanah kotor yang diambilnya dari bawah sepatu.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Memang tahi hidung saja kurang banyak," ia lalu me-nuding dan menghitung baju-baju merah di bawah, "Wah, ada dua puluh orang bersama Bouw Lek si tolol. Biar kutam-bah lumpur!" Kakek ini lalu mengumpul-kan tanah dari bawah kakinya, dicampur dengan tahi hidung yang ia terima dari Siang Ki, Hauw Lam, dan dia sendiri, ditambah pula dengan debu-debu yang menempel pada genteng. Karena debu-debu itu kering, ia lalu meludahinya, dan mengepal-ngepal campuran ini menjadi sekepal kecil yang warnanya tidak ka-ruan, agak kehitaman, kemerahan dan abu-abu!
"Asap sudah buyar, lihat, Pangeran dan Puteri kelihatan bingung kehilangan kita. Mari turun!"
kata Suling Emas yang melayang turun, diikuti dua orang pemu-da dan kakek nakal.
Suling Emas lebih dulu mengambil sulingnya yang menancap di dahi Siauw--bin Lo-mo yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 418
sudah tewas. Melihat empat orang ini melayang turun, Pange-ran Talibu dan Puteri Mimi bersorak dan lari menghampiri. Sorak-sorai terdengar keras sekali dan kini bermunculan perajurit-perajurit Khitan yang sudah berhasil menyapu bersih orang-orang Hsi-hsia. Bouw Lek Couwsu bersama sembilan belas orang murid pilihan kini berdiri bingung, dikurung di tengah-tengah. Pa-ngeran Talibu mengeluarkan aba-aba kepada para perajurit yang segera me-ngurung tempat itu dan tak seorang pun di antara mereka berani turun tangan. Para perajurit ini bersorak girang me-lihat bahwa pangeran mereka dan Puteri Mimi dalam keadaan selamat, sungguhpun Pangeran Mahkota itu tubuhnya luka-luka. Seorang komandan pasukan cepat-cepat maju menghampiri membawa se-buah jubah indah yang dikenakan pada tubuh Pangeran Talibu yang telanjang bagian atasnya. Kemudian komandan itu mundur lagi setelah memberi hormat.
Dengan wajah keruh Bouw Lek Couw-su melangkah maju menghadapi Suling Emas dan
teman-temannya. "Suling Emas, kau menggagalkan usahaku. Aku sudah kalah, mau bunuh lekas bunuh!" Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu melempar tongkatnya ke atas tanah. Perbuatan ini diturut oleh anak muridnya yang semua melempar senjata ke atas tanah.
Orang akan keliru kalau mengira bahwa perbuatan Bouw Lek Couwsu ini merupakan tanda sifat penge-cut atau penakut. Tidak, sama sekali bukan begitu. Bouw Lek Couwsu tidak akan dapat menjadi pimpinan orang Hsi-hsia kalau ia penakut atau bodoh. Per-buatan ini malah membuktikan kecerdik-annya. Ia tentu saja mengenal siapa Su-ling Emas. Seorang pendekar sakti yang bernama besar dan yang terkenal memi-liki watak satria dan gagah. Seorang satria yang gagah perkasa tak mungkin sudi membunuh musuh yang tidak mela-wan lagi!
Sedangkan kalau dia dan murid-muridnya melawan, tak dapat diragukan lagi dia dan murid-muridnya tentu akan binasa semua.
"Bouw Lek Couwsu, kami tidak akan membunuhmu. Ketahuilah bahwa Kaisar Sung yang bijaksana tidak menghendaki permusuhan dengan bangsa apapun juga. Juga dengan bangsa Hsi-hsia tidak meng-hendaki permusuhan. Oleh karena itu kau kini melanggar wilayah Sung, maka Pe-merintah Sung yang berhak memutuskan. Akan tetapi karena aku sudah tahu akan kehendak Kaisar, biarlah kekalahanmu ini menjadi pelajaran bagimu agar kelak kau tidak berani main-main dengan Kerajaan Sung maupun dengan Kerajaan Khitan. Kau pergilah pulang ke tempat asalmu!"
"Eh-eh-eh, nanti dulu!" tiba-tiba Bu-tek Lo-jin berkata sambil terkekeh. "Su-ling Emas, kau membebaskan mereka tanpa mengobati mereka, sama artinya dengan melepaskan kepala memegang buntutnya! Mereka kaubebaskan untuk mati, apa bedanya" Lihat, bukankah
mereka semua menderita luka keracunan yang hebat dan tiada obatnya" Ini, lihat leher Bouw Lek Couwsu!" Ia mendekati dan tangannya menunjuk ke arah leher, "Tentu Bouw Lek Couwsu tidak dapat melihat lehernya sendiri, tapi coba tarik napas dalam tidakkah terasa gatal dan sakit?"
Bouw Lek Couwsu benar-benar mena-rik napas dalam dan ia kaget bukan main. Memang terasa gatal-gatal dan sakit. Sebagai seorang ahli ia berusaha menggunakan napas untuk memunahkan racun ini, namun makin dilawan makin sakit. Sementara itu, Bu-tek Lo-jin terus mendekati murid-murid Bouw Lek Couw-su, menuding sana-sini, ada yang leher-nya sakit, ada yang punggungnya, pun-daknya, pahanya pendeknya di mana ka-kek itu menuding, tentu di situ benar-benar terasa gatal dan sakit apabila dipakai menarik napas panjang. Ributlah mereka dan dua puluh orang itu menjadi cemas sekali.
"Ha-ha-ha! Bouw Lek Couwsu, tahu-kah engkau luka apa dan racun apa yang bersarang di tubuh kalian semua" Inilah racun hebat yang tak mungkin dapat disembuhkan kecuali oleh obat yang di-namakan batu hitam dari guha kembar! Atau dengan cara lain, bagian yang kena racun itu dipotong. Kalau paha yang terkena, ya. pahanya dipotong, kalau punggung atau leher... yah, pinggangnya dan lehernya dipotong!"
Sepasang mata Bouw Lek Couwsu melotot marah, akan tetapi murid-murid-nya menggigil Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 419
ketakutan. Mana ada cara pengobatan macam itu" Pinggang atau leher dipotong berarti mati!
"Suling Emas, apakah benar apa yang dikatakan tua bangka gila ini?"
"Bouw Lek Couwsu, aku bukan se-orang ahli tentang racun, akan tetapi harus diakui bahwa Locianpwe Bu-tek Lo-jin adalah seorang ahli tentang pukul-an-pukulan beracun. Harap Couwsu suka bertanya kepada beliau."
Bouw Lek Couwsu dengan sikap ang-kuh kini menghadapi kakek cebol yang tertawa-tawa,
"Apakah omonganmu itu betul dan tidak omong kosong belaka?"
"Heh-heh-heh, memang omong kosong" Apa sih isinya omongan" Tapi yang ko-song berisi, yang isi itu kosong, bukan begitu Bouw Lek Couwsu" Kau menyebut aku gila sebetulnya tidak gila, kau yang menganggap diri tidak gila sebetulnya gila. Anjing bukan manusia dan manusia bukan anjing tapi manusia dan anjing sama! Luka-luka kalian adalah akibat dari getaran ledakan yang disertai asap beracun. Kami yang melompat ke atas tidak terkena, akan tetapi kalian yang berada di bawah, terkena tanpa kalian rasakan. Padahal andaikata kami di ba-wah dan terkena racun juga, tidak me-ngapa karena aku mempunyai obat pemu-nahnya.
Kebetulan sekali di antara perbekalanku terdapat Pel Batu Sepasang Guha."
"Omitohud....!" Bouw Lek Couwsu menyebut nama Buddha, hatinya lega karena ancaman maut yang mencengke-ram dia dan anak-anak muridnya ada obat penawarnya, "Bu-tek Lojin, kalau begitu pinceng mengharapkan kau suka memberikan obat itu kepada kami."
"Tadi maki-maki sekarang minta-min-ta. Inilah watak manusia kalau membu-tuhkan sesuatu!
Obat ini mencarinya juga bertaruhan nyawa. Sepasang guha itu tak seorang pun dapat memasukinya. Aku berani mempertaruhkan kepalaku kalau ada orang yang mampu memasuki sepa-sang guha itu. Hanya dengan kecerdikan luar biasa barulah batu hitam dikumpul-kan sedikit demi sedikit. Dicampur de-ngan sari bumi dan debu angkasa. Ba-yangkan saja betapa sukarnya mendapat-kan obat ini," Bu-tek Lo-jin mengeluar-kan sekepal "obat" yang sudah ia bung-kus kain kuning.
Bouw Lek Couwsu mengilar sekali. Kalau ia tidak ingat betapa lihainya kakek cebol ini, tentu sekali pukul ia membikin mampus padanya dan meram-pas obatnya.
"Lo-jin, sekali lagi pinceng mohon pertolonganmu. Kalau perlu dibeli, kata-kan saja berapa, pinceng akan sanggup menggantinya."
"Heh-heh-heh, kita sudah saling ber-tanding, itu berarti kita sudah menjadi sahabat. Di antara sobat, mana ada jual beli" Akan tetapi karena kau sudah menghina sobat-sobatku yang lain, kalau sekarang kau dan semua muridmu mau berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali kepadaku, obat akan kuberikan de-ngan gratis!"
Tanpa dikomando lagi, sembilan belas orang, hwesio jubah merah itu serentak lalu berlutut ke arah Bu-tek Lo-jin dan mengangguk-anggukkan kepala seperti sekumpulan ayam bulu merah mematuk beras, berulang-ulang, tidak hanya tujuh kali, sampai puluhan kali! Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tetap berdiri, mukanya pucat dan matanya menyinarkan kema-rahan.
Orang telah mempermainkan dan menghinanya di luar batas. Namun ia tidak berdaya
melampiaskan kemarahan-nya.
"Hemm, paling-paling pinceng akan mati kalau tidak dapat mengobati sen-diri, akan tetapi seluruh dunia akan mendengar tentang perlakuan Bu-tek Lo-jin yang tidak patut!"
"Biarlah, mengingat bahwa engkau adalah seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia, sekali ini kubebaskan dari berlutut. Akan tetapi lain kali kalau engkau pilek atau masuk angin lalu datang minta obat kepadaku, engkau harus berlutut!" kata Bu-tek Lo-jin yang agaknya sudah puas mempermainkan mereka. Ia membuka bungkusan kain kuning, mengeluarkan se-kepal
"obat" itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata seperti lagak penjual obat di pasar mendemonstrasikan obatnya. "Obat ini adalah obat paling manjur di dunia dan akhirat!
Jangankan manusia sakit keracunan, bengek, mulas, pening dan lain-lain, bahkan dewa sekali-pun dapat disembuhkan!" Ia lalu memba-gi-bagi menjadi dua puluh butir, dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 420
membagi-bagikan kepada Bouw Lek Cou-su dan murid-muridnya sambil berkata, "Telan sekarang juga sebelum terlambat!"
Bouw Lek Couwsu menelan pel ke mulutnya. Ia merasakan betapa "pel" itu kasar dan agak asin, terus ditelannya. Demikian pula dengan murid-muridnya, tanpa ragu-ragu lagi telah menelan obat mustajab itu. Alangkah lega rasa hati mereka ketika kini mereka menarik na-pas panjang bagian tubuh yang keracunan itu tidak begitu nyeri lagi. Demikian pula dengan Bouw Lek Couwsu. Kini ia menarik napas panjang sambil mengerahkan sin-kang dan.... rasa nyeri lenyap. Mau tak mau ia jadi berterima kasih sekali lalu menjura kepada Bu-tek Lo-jin.
"Omitohud, Lo-jin telah menyelamat-kan nyawa pinceng dan para murid, sungguh merupakan budi besar. Nah, Cu-wi sekalian, sampai jumpa," Ia menjura ke arah Suling Emas dan teman-teman, memungut tongkatnya lalu membalikkan tubuh, menyeret tongkat dengan lenggang angkuh, diikuti para muridnya. Atas isya-rat Pangeran Talibu, para pasukan Khitan membuka jalan, membiarkan rombongan pimpinan Hsi-hsia ini lewat.
Begitu mereka pergi, Bu-tek Lo-jin tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya, bahkan ia sampai bergulingan di atas tanah terbahak-bahak dan di antara suara ketawanya ia berkata,
".... lucu.... ha-ha-ha.... lucu!"
Mereka yang tidak mengerti, terma-suk Pangeran Talibu dan Puteri Mimi, tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek ini memang betul gila. Akan tetapi Hauw Lam yang merasa bangga akan gurunya, segera bercerita dengan suara lantang, bahwa Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya tadi sama, sekali tidak terkena racun, melainkan terkena hawa pukulan tangan Bu-tek Lo-jin ketika menuding dan sama sekali tidak terancam maut, karena akibat hawa pukulan itu hanya menimbulkan rasa nyeri sebentar saja. Bahwa "obat mustajab"
itu adapah upil (tahi hidung) yang dicampur dengan debu genteng dan tanah di telapak kaki.
Orang-orang Khi-tan yang mengerti bahasa Han, lalu men-terjemahkannya dalam bahasa Khitan kepada teman-temannya dan meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan Puteri Mimi sampai terpingkal-pingkal dan Pangeran Talibu tertawa geli. Yang membuat keadaan amat lucu adalah ke-tika mereka teringat betapa tahi hidung disebut batu hitam dari sepasang guha, tentu saja sepasang guha adalah sepasang lubang hidung dan tentu saja tidak ada manusia dapat memasuki lubang hidung! Dan sari bumi adalah kotoran di telapak kaki sedangkan debu angkasa adalah debu di atas genteng!
Setelah suara ketawa mereda, Suling Emas lalu menyarankan kepada Pangeran Talibu agar bersama Puteri Mimi kembali ke Khitan dikawal oleh pasukan Khitan yang sebagian
ditugaskan untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Di depan banyak orang, Suling Emas menye-but pangeran kepada puteranya itu. Pangeran Talibu tidak membantah, lalu mengajak Mimi naik kuda yang disedia-kan oleh pasukan Khitan, minta diri dari Suling, Emas dan Bu-tek Lo-jin, berpamit secara hangat kepada Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam yang dipersilakan sewaktu-waktu datang ke Khitan, kemudian berangkatlah rombongan itu.
Bu-tek Lo-jin lalu menarik lengan Hauw Lam, diajak menjauhi Suling Emas di tempat tersendiri untuk diajak bicara. Dengan singkat tapi jelas Hauw Lam menceritakan
pengalamannya, pertemuan-nya dengan Mutiara Hitam, pengalaman mereka berdua,
kemudian betapa berkat keterangan Mutiara Hitam, ia dapat ber-temu dengan ibunya yang kini masih tinggal di istana bawah tanah karena tidak mau meninggalkan tempat itu.
Bu-tek Lo-jin mendengarkan penu-turan ini dan segera dapat meng-ambil kesimpulan bahwa muridnya "ada hati" kepada Mutiara Hitam. "Eh, kau mencinta Mutiara Hitam?"
Hauw Lam kaget, mukanya menjadi merah sekali. "Bagainiana Suhu tahu?"
"Heh-heh, kaukira aku begitu tolol" Pembelaanmu di kamar tahanan, dan ketika kau bercerita setiap menyebut namanya, sinar matamu bercahaya. Hayo katakan, kau cinta dia?"
Hauw Lam menghela napas, "Tak dapat teecu sangkal, Suhu. Teecu men-cintanya, akan tetapi.... ah, seperti hen-dak menjangkau bintang, seperti kumbang merindukan matahari.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 421
Terlalu tinggi...." "Uaaahh! Siapa bilang" Biarpun hanya untuk beberapa hari, engkau murid Bu-tek Lo-jin!
Gadis mana yang terlalu tinggi untukmu" Biar puteri Kaisar sekalipun, kalau aku yang melamar untukmu, akan diberikan! Kenapa kau tidak menga-wininya" Dia ke mana?"
Hauw Lam maklum akan sifat guru-nya yang ugal-ugalan. Kalau saat itu Mutiara Hitam berada di situ, tentu akan diseret gurunya dan dipaksa menikah dengannya! Ia tidak mau terjadi hal se-perti ini, maka ia menjawab.
"Teecu sendiri tidak tahu, Suhu. Akan tetapi menurut penuturan ibuku, Mutiara Hitam itu sesungguhnya adalah Puteri Khitan, puterinya Ratu Khitan. Ibu tidak dapat menerangkan secara jelas duduknya perkara, tapi...."
"Sudahlah. Kau pergilah ke Khitan, aku akan melamarnya dari tangan Ratu Khi-tan! Nah, sampai jumpa di Khitan!" Ka-kek itu meloncat bangun, melambai ke arah Suling Emas, berseru, "Haii, Suling Emas! Aku pergi sekarang!" Tanpa me-nanti jawaban ia sudah melesat jauh dan lenyap dari pandangan mata.
Suling Emas yang sedang bercakap-cakap dengan Yu Siang Ki, hanya me-lambaikan tangan ke arah kakek itu. Ia sedang bicara dengan sikap sungguh-sung-guh dan serius dengan pemuda itu.
"Kau sendiri sudah kalah olehnya?" Suling Emas melanjutkan percakapan yang tertunda oleh teriakan Bu-tek Lo-jin tadi.
"Betul, Locianpwe. Dia amat lihai," jawab Siang Ki yang tadi bercerita ten-tang Suling Emas palsu yang menantang-nantang Yu Kang Tianglo!
"Dia tinggal di Lembah Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan-san, kaubilang tadi" Dan dia pandai menggunakan hui-to (go-lok terbang)?"
"Benar, Locianpwe."
Suling Emas mengangguk-angguk. "Hemm, urusan ini penting, harus ku-bereskan sendiri.
Akan tetapi aku masih ada persoalan di kota raja. Siang Ki, sekarang kaubuatlah surat, memakai nama Yu Kang Tianglo dan mengajukan tantangan kepada Suling Emas pada bulan depan tanggal lima belas di markas Khong-sim Kai-pang di Kang-hu."
"Tapi, Locianpwe...." Yu Siang Ki tentu saja bingung mendengar perintah yang aneh ini.
"Lakukan sajalah. Kalau dia datang sebagai Suling Emas biarlah aku yang menjadi Yu Kang Tianglo. Kita lihat saja nanti."
Yu Siang Ki akhirnya menyanggupi dan menjura sambil berpamit. Pada saat itu Tang Hauw Lam juga datang berpa-mit hendak. melanjutkan perjalanan. Me-reka berpisah. Suling Emas ke kota raja, Yu Siang Ki hendak mengerjakan perin-tah pendekar sakti itu, adapun Hauw Lam sebelum ke Khitan hendak menyam-paikan kepada ibunya lebih dulu tentang maksud pelamarannya kepada Kwi Lan.
*** Kwi Lan masih pingsan ketika tubuh-nya dipondong oleh Suma Kiat yang membawanya lari keluar. Pemuda ini meloncat ke atas seekor kuda dan terus mengaburkan kuda lari menuju ke sela-tan. Perang tanding telah terjadi dengan hebatnya namun Suma Kiat tidak
mem-pedulikan semua itu. Ia membalapkan kudanya dan karena orang-orang Hsi-hsia sudah mengenal siapa pemuda ini maka mereka tidak mengganggunya. Pe-rajurit-perajurit Khitan juga tidak meng-halanginya karena pemuda yang membawa lari gadis pingsan itu tidak menye-rang mereka. Satu dua orang yang men-coba-coba menghalangi, roboh oleh pu-kulan tangan kiri Suma Kiat. Akhirnya ia keluar dari tempat pertempuran dan terus membalap ke selatan.
Setelah hari menjadi petang, berhenti-lah Suma Kiat di depan sebuah kuil tua. Kuil bobrok ini adalah kuil yang sudah kosong dan hanya dipergunakan mengaso dan bermalam mereka yang kemalaman di jalan. Kebetulan kuil itu kosong. Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan mema-suki kuil.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 422
Baru saja ia menurunkan tubuh gadis itu di atas lantai, Kwi Lan mengeluh dan bergerak.
Suma Kiat cepat menotok jalan darah gadis itu, membuat Kwi Lan yang sudah sadar tidak mampu bergerak ka-rena kaki tangannya menjadi lemas. Ga-dis itu membuka matanya dan teringatlah ia akan semua peristiwa yang dialami. Teringat betapa gurunya dikeroyok dan betapa ia membantu akan tetapi roboh oleh Thai-lek Kauw-ong yang lihai. Ke-mudian ia melihat cahaya api menerangi kegelapan. Ketika ia melirik, ia melihat Suma Kiat sudah menyalakan lilin. Agak-nya para penghuni kuil yang kemalaman di jalan lupa membawa sisa lilin mereka dan kini dinyalakan oleh Suma Kiat. Kemudian pemuda ini mendekati Kwi Lan dan duduk di atas lantai, wajahnya keruh dan tampak lelah. Kwi Lan berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia be-laka karena baru saja ia tertotok di luar tahunya.
Ia tahu bahwa suhengnya ini memiliki watak yang aneh, bahkan tidak normal seperti gurunya.
Dan ia sama sekali ti-dak dapat menerka, apa yang hendak dilakukan pemuda ini terhadap dirinya, mengapa ia dibawa sampai ke tempat ini dan bahkan dibuat tak berdaya dengan totokan. Ia bergidik. Jatuh ke tangan suhengnya ini tidak kurang berbahayanya daripada jatuh ke tangan Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi Kwi Lan membesarkan hatinya dan bertanya, suaranya biasa.
"Suheng...., bagaimana dengan Bibi Sian?"
Tiba-tiba saja Suma Kiat menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka dalam pelukan lengannya. Sampai lama pemuda ini menangis, pundaknya bergo-yang-goyang, sampai
mengguguk. Mau tak mau Kwi Lan agak terharu juga. Betapa-pun juga, pemuda ini bersama-sama de-ngan dia sejak kecil dan kini ditinggal mati ibunya. Tanpa ia sadari, sepasang mata Kwi Lan juga mencucurkan air mata. Gurunya tentu sudah mati.
Akhirnya tangis Suma Kiat terhenti. Kemudian ia mengangkat mukanya, me-mandang Kwi Lan dengan sepasang mata merah, "Ibu sudah meninggal dunia...." katanya, suaranya parau,
"Aku ditinggal seorang diri. Karena itu, engkau harus menolongku, Sumoi."
"Tentu saja, Suheng," jawab Kwi Lan halus. "Sebagai adik seperguruan, tentu saja aku suka menolongmu. Tapi, kau-bebaskan dulu aku dari totokan. Amat tidak enak bicara dalam keadaan begini."
Tiba-tiba, seperti ketika menangis tadi, Suma Kiat tertawa bergelak, "Ha--ha-ha! kaukira aku begitu bodoh" Mem-bebaskanmu kemudian engkau menyerang-ku, ya" Ha-ha, Suma Kiat
tidak begitu bodoh, Sumoi. Ha-ha!" Sambil tertawa ha-ha-he-he, pemuda itu menowel paha Kwi Lan. Gadis ini bergidik. Benar gila suhengnya ini.
"Aku tidak akan menyerangmu, Su-heng. Aku berjanji takkan menyerangmu."
"Ho-ho-ha-ha, kalau tidak menyerang tentu lari meninggalkan aku! Ha-ha, aku tidak bodoh.
Tidak boleh kau meninggal-kan aku. Ibu sudah pergi, engkau tidak boleh pergi. ibu sudah mati.... huu-huuuk huuuk...." Ia menangis lagi, "Ibu mati dan aku tidak bisa menjadi kaisar, menjadi pangeran pun tidak. Aaahhh, aku hanya punya engkau, Hanya engkau yang dapat menjadikan aku pangeran. Ahh, Sumoi, karena itu engkau tidak boleh meninggalkan aku dan terpaksa kutotok."
"Apa maksudmu, Suheng" Menjadikan kau pangeran?" Kwi Lan bertanya, makin heran akan tetapi juga makin gelisah.
"Tentu saja. Ibu pernah bilang bahwa kau adalah puteri Ratu Khitan. Kalau aku menjadi suamimu, berarti aku mantu Ratu Khitan, seorang pangeran. Kalau kelak aku tidak
menggantikan ibumu, menjadi Raja Khitan, setidaknya aku menjadi pangeran. Maka engkau harus menjadi isteriku, Sumoi."
Kwi Lan terkejut sekali. Celaka, pi-kirnya. Jalan pikiran orang gila ini aneh sekali. Bagaimana ia dapat lolos" Ia harus cerdik.
"Ah, mana bisa, Suheng" Kau tidak mencintaku, aku pun tidak cinta kepada-mu. Ingat, sejak kecil kita saling ber-tengkar saja mana mungkin menjadi sua-mi isteri?"
"Ha-ha-ha, siapa bilang aku tidak cin-ta padamu" Kau begini cantik manis, begini molek. Eh, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 423
Sumoi, tahukah kau bahwa setelah kita dewasa, seringkali aku rindu kepadamu" Engkau cantik je-lita," Suma Kiat membelai dagu wanita itu kemudian menunduk dan mencium pipinya!
Kwi Lan bergidik. Celaka sekarang! "Ah, Suheng. Kau jangan bodoh. Kau tahu bahwa aku bukan seorang wanita yang mudah ditundukkan. Sekali aku bi-lang tidak mau, sampai mati pun aku tidak mau. Kalau aku tidak sudi menjadi isterimu, kau mau apa" Lebih baik kita tidak bertengkar dan bebaskan aku, dan kita bicara dengan baik, mungkin aku dapat memberi jalan baik kepadamu."
"Ha-ha, jangan coba untuk menipuku, Sumoi. Engkau boleh tidak sudi menjadi isteriku, akan tetapi aku punya cara untuk memaksamu."
"Suheng, jangan gila!"
"Heh-heh-heh, memang aku gila. Bu-kankah Ibu juga dianggap gila oleh orang lain" Mau tidak mau engkau akan menja-di isteriku, Kwi Lan. Heh-heh, kau bukan sumoi lagi sekarang, melainkan Lan-moi-moi yang cantik manis, kekasih hatiku, isteriku yang molek. Ini sebabnya menga-pa kau kutotok. Aku akan memaksamu malam ini juga menjadi isteriku. Kalau sudah terlanjur kau menjadi isteriku, masa kau bisa menolak lagi besok" Apa kau ingin menjadi bahan hinaan orang, bukan gadis lagi sebelum kawin" Kalau malam ini engkau menjadi isteriku, eng-kau akan terpaksa menerima aku sebagai suami. Ha-ha-ha, aku akan menjadi mantu Ratu Khitan. Hebat bukan rencanaku?"
Kerongkongan Kwi Lan serasa ter-sumbat! Ia tahu bahwa orang gila ini tidak akan segan-segan melakukan rencana gilanya dan dia akan menjadi korban. Dicobanya menggertak,
"Suheng! Biarpun sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi kalau kau melakukan niat keji itu, besok kau akan kubunuh! Percayalah, kalau kau benar-benar memperkosa, besok kau akan kubunuh, kucincang han-cur tubuhmu!"
Sesaat sinar takut menyelubungi wa-jah tampan itu. Memang pemuda itu agak takut terhadap Kwi Lan yang ia tahu memiliki kepandaian lebih lihai daripadanya. Mulutnya berkemak-kemik seperti bicara kepada diri sendiri. Me-lihat ini, Kwi Lan melanjutkan.
"Tidak ada gunanya, Suheng. Kau dapat memaksaku sekarang, akan tetapi kau takkan dapat menjadi mantu Ratu, tidak menjadi pangeran, melainkan besok kau menjadi mayat yang hancur lebur dagingnya. Lebih baik kita bicara baik-baik, kaubebaskan aku."
Akan tetapi tiba-tiba wajah itu ter-senyum-senyum lagi, seakan telah men-dapat sebuah pikiran baru, kemudian Suma Kiat tertawa, "Ha-ha-ha, tidak bisa kau membunuh aku.
Kaukira aku begitu tolol memaksamu menjadi isteri malam ini dan besok kubebaskan" Ha-ha, salahmu sendiri kau membuka rahasia dan renca-namu. Kalau kau tadi tidak bicara, tentu malam ini kau kujadikan isteri dan besok kubebaskan. Tapi pikiranmu busuk sekali. Biar malam ini sudah menjadi isteri, besok hendak membunuh dan mencincang tubuhku. Iihh, isteri macam apa ini" Aku tidak akan membebaskanmu, Kwi Lan. Tiap tujuh jam kau kutotok kembali dan setiap saat kau akan kupaksa menjadi isteriku sampai.... ha-ha-ha, sampai kau mengandung! Nah, kalau kau sudah mengandung, baru kubebaskan. Setelah kau mengandung keturunanku, masa kau masih mau membandel!"
Sesak jalan pernapasan Kwi Lan. Ia merasa ngeri dan bulu tengkuknya mere-mang. Alangkah akan ngeri dan sengsara-nya kalau rencana gila ini dilaksanakan. Dan sesungguhnya, kalau dilaksanakan ia tidak akan dapat berbuat sesuatu! Ia akan hidup seperti mayat, makan dipak-sa, minum dipaksa, lalu diperkosa sesuka hati, dan baru akan dibebaskan kalau sudah mengandung. Celaka! Hampir ia menjerit saking ngeri dan cemasnya. Apa akal sekarang"
Teringatlah Kwi Lan akan keadaannya ketika terancam oleh Bu--tek Siu-lam di kamar tahanan. Teringat ia akan akal Hauw Lam yang cerdik yang berdaya upaya sedapat mungkin untuk menyelamatkannya. Hauw Lam, Si Berandal! Ah, terbayang wajah sahabat baik ini.
Betapa cerdiknya, betapa setia dan betapa besar cinta kasihnya ketika pemuda itu mati-matian membelanya dengan segala macam akal. Pemuda yang cerdik, gagah dan jenaka. Dunia selalu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 424
akan berseri kalau berada di samping pemuda itu. Hauw Lam mencintanya. Akan tetapi.... di sana ada Pangeran Ta-libu. Ah, betapa besar cinta kasihnya terhadap Pangeran itu. Tak mungkin ia mencinta pemuda lain.
Aihh, mengapa ia teringat yang bu-kan-bukan" Bagaimana andaikata Hauw Lam yang
menghadapi persoalan dan ancaman mengerikan seperti dia seka-rang" Ia kembali
mengenangkan sikap Hauw Lam. Mengulur waktu! Ya, mengulur waktu memperpanjang
ancaman dan memperlebar kesempatan.
Tiba-tiba ia menangis. Tadinya ia hanya ingin berpura-pura menangis saja, akan tetapi teringat akan kematian guru-nya, akan sikap Pangeran Talibu yang bermesraan dengan Puteri Mimi, ia jadi menangis sungguh-sungguh! Air matanya bercucuran dan ia terisak-isak. Suma Kiat kaget melihat ini. Selama hidupnya, belum pernah ia melihat sumoinya me-nangis seperti ini. Dahulu, semenjak me-reka kecil, kalau mereka bertengkar , dialah yang menangis, bukan Kwi Lan. Agaknya Kwi Lan tidak mempunyai air mata untuk menangis. Akan tetapi
se-karang menangis terisak-isak begitu me-nyedihkan! Seketika air mata Suma Kiat juga bercucuran dan ia merangkul Kwi Lan, mengangkat tubuh yang lemas itu sehingga terduduk dan menyandarkannya pada dinding kuil yang kering.
"Ada apakah, Sumoi" Ada apakah, kekasihku yang manis, isteriku yang de-nok" Kenapa menangis" Aku tidak akan menyakitimu, manis. Aku akan menjadi suamimu yang penuh kasih sayang. Anak kitak kelak tentu laki-laki dan tampan. Kita didik dia menjadi seperti....
eh, Paman Suling Emas! Ya, anak kita tentu jagoan!"
Hiburan ini bukan mengurangi kese-dihan, bahkan menambah, membuat Kwi Lan menangis makin sesenggukan. Betapa tidak kalau hiburan itu mengingatkan ia akan keadaan yang mengerikan ini" Ia dihadapkan ancaman seorang gila dan ia tidak berdaya menyelamatkan diri. Ah, Hauw Lam di mana engkau" Kalau ada pemuda cerdik itu, tentu ada saja akal-nya!
"Suheng...., apa engkau tidak kasihan kepadaku" Benarkah kau tega hendak menyiksaku lahir batin" Suheng, lebih baik kaubunuh saja aku...."
Suma Kiat merangkul lebih erat, "Aihhh mana mungkin, sayang" Bagaima-na aku dapat membunuh orang yang pa-ling kucinta di dunia ini" Jangan khawa-tir, Kwi Lan, aku tidak akan menyakiti-mu. Percayalah, aku sayang kepadamu...."
Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri hati Kwi Lan ketika pemuda itu mulai
membelainya, bahkan dengan ge-rakan halus dan hati-hati penuh kasih sayang. Suma Kiat meraba-raba jubah gurunya yang ia pakai untuk menutupi tubuhnya. Berdiri seluruh bulu di tubuh Kwi Lan dan ia cepat-cepat berkata.
"Suheng...., dengarlah kata-kataku. Eh.... aduh, tolong kausandarkan aku di dinding, jangan sentuh aku dan dengarkan dulu baik-baik.... aku.... aku menyerah, akan tetapi ada syaratnya...."
Suma Kiat menarik kembali tangannya, menyandarkan Kwi Lan di dinding dan memandang penuh perhatian, penuh kemesraan. "Apa, manisku" Kau mau bilang apa?"
Mengulur waktu, harus mengulur wak-tu, demikian jalan pikiran Kwi Lan, ter-ingat akan kecerdikan dan akal Hauw Lam. "Suheng...." suaranya ia buat manis dan halus, "setelah kupikir-pikir, memang kau benar. Kita sudah kehilangan Bibi Sian, kalau tidak saling tolong, bagai-mana lagi" Dan kupikir-pikir.... eh, eng-kau bukan seorang pemuda yang buruk.
Engkau tampan, cerdik, juga gagah. Ti-dak kecewa menjadi isterimu. Baiklah, aku menyerah.
Akan tetapi...." "Heh-heh-heh, jangan kau menipuku, Kwi Lan. Kalau aku disuruh membebas-kanmu, tak mungkin. Aku tahu kelihai-anmu. Engkau akan menjadi isteriku da-lam keadaan tertotok...."
"Sesukamulah, Suheng. Aku sudah me-nyerah. Akan tetapi.... kuminta dengan sangat, jangan.... jangan malam ini! Lupa-kah engkau, Suheng, bahwa ibumu baru siang tadi meninggal dunia" Bagaimana kita dapat melakukan.... eh.... hal itu malam ini" Ini amat tidak baik dan dur-haka, Suheng. Kau boleh totok aku, aku toh tidak mampu lari. Tapi malam ini Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 425
jangan...., besok saja, terserah kepadamu dan aku menyerah, bahkan kemudian aku tidak akan menolak menjadi isterimu yang sah. Engkau menjadi mantu Keraja-an Khitan, mungkin kelak menjadi Raja Khitan, dan aku permaisurimu. Wah alangkah bahagianya!"
Makin berseri wajah Suma Kiat. Akhirnya ia bersorak dan berjingkrak--jingkrak dalam kuil itu, lalu berjongkok dan.... "ngokk!" ia mencium pipi Kwi Lan dengan hidungnya.
"Bagus! Terima kasih, Kwi Lan. Te-rima kasih, kau baik sekali. Tapi...., kalau sekarang, mengapa sih?"
Tadinya Kwi Lan sudah girang me-nyaksikan akalnya berhasil, akan tetapi kembali ia berdebar mendengar kalimat terakhir. Sungguh sukar menjenguk ke-adaan hati pemuda gila ini.
"Suheng, terus terang saja, wajah Bibi Sian masih terbayang di depan mataku.
Tidak mau aku mendurhakai guru mela-kukan.... hal itu pada hari guru meninggal dunia.
Kalau kau memaksa, aku akan mencari kesempatan membunuhmu atau membunuh diri
sendiri. Awas, alangkah mudahnya membunuh diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan menahan napas, sekarang pun aku dapat membunuh diri!"
Suma Kiat mengangguk-angguk, "Baik-lah, Kwi Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa.
Aku pun lelah sekali, harus tidur malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok!" Pemuda itu lalu berbaring di dekat Kwi Lan dan sebentar saja su-dah mendengkur!
Kwi Lan duduk bersandar dinding, matanya kelap-kelip memandang api li-lin yang hampir padam. Suram-suram keadaan di dalam kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil mengulur waktu. Ber-hasil untuk sementara terhindar daripada malapetaka hebat. Selanjutnya bagaima-na" Ia tetap tidak melihat kesempatan. Dan tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetik. Benar! Pemuda ini tidur dan kurang lebih tiga jam lagi, pengaruh totokan akan lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia akan dapat bergerak dan alangkah mudahnya untuk membebas-kan diri kalau ia sudah dapat bergerak!
Jam-jam berikutnya merupakan waktu yang amat sengsara, tegang dan mengge-lisahkan bagi Kwi Lan. Api lilin sudah padam dan karena ia menanti waktu pulihnya tenaga tubuhnya, maka setiap menit berlalu seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi lekas tua kalau menanti jalannya waktu dengan tak sabar. Satu jam, dua jam...., hampir tiga jam. Dan Suma Kiat masih juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan berdebar. Berkali-kali ia berusaha mengerahkan tenaga dari pusar, namun sia-sia. Totokan belum punah.
Akhirnya, ia dapat menggerakkan pinggangnya! Ia hampir bebas! Kwi Lan memejamkan mata, mengumpulkan seluruh semangat dan tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang lumpuh. Dan.... pada saat itu, jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya, membuat ia roboh miring dan lemas kembali seperti tadi. Suma Kiat tertawa dan Kwi Lan menahan isak tangisnya. Hatinya kecewa bukan main. Sudah mati-matian menanti, pada saat terakhir semua harapannya tersapu habis. Ia sudah ditotok kembali dan kini Suma Kiat sudah rebah miring lagi, malah memeluknya dan sebentar saja pemuda itu sudah mendengkur. Un-tung bahwa ketika rebah tadi, kaki ta-ngannya tertarik sehingga biarpun dipe-luk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda itu. Napas pemuda itu terasa meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hati-nya penuh kemarahan dan kebencian.
Matahari telah menyinarkan cahaya-nya melalui jendela kuil yang tak ber-daun lagi. Kwi Lan memicingkan mata, silau oleh sinar matahari Suma Kiat terbangun, menggeliat dan bangkit duduk lalu tersenyum dan terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.
"Aduh, cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar cahaya matahari pagi engkau tiada ubahnya setangkai bunga mawar. Rambutmu kusut, sebagian menutupi dahi, matamu sayu oleh kantuk, bibirmu basah kemerahan seperti kuncup bunga, mandi embun, ahhh, engkau sekarang tentu akan memegang janjimu, bukan" Kita menjadi suami isteri, disaksikan cahaya matahari pagi...." Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk hendak mencium bibir yang merah itu.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 426
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat mundur karena bentakan di belakangnya.
"Suma Kiat! Engkau benar-benar keji dan jahat!"
Suma Kiat meloncat bangun, memba-likkan tubuh dan berhadapan dengan.... Kiang Liong!
Pemuda berpakaian putih itu berdiri tegak dengan wajah penuh amarah dan wibawa, di punggungnya nampak menonjol ujung alat musik yang-khim. Seperti diketahui, pemuda ini dipe-rintah oleh Suling Emas untuk mengejar Suma Kiat. Ia bertanya-tanya kepada perajurit Khitan dan akhirnya mendapat keterangan bahwa Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda ke selatan. Ia mengejar terus, akan tetapi terhalang malam ge-lap. Pagi-pagi sekali, setelah malam itu ia bermalam di dalam hutan, ia melan-jutkan perjalanan dan melihat kuil tua di pinggir jalan dan seekor kuda di luarnya. hatinya girang dan cepat ia meloncat masuk dan masih sempat menegur dan mencegah Suma Kiat yang hendak melakukan perbuatan keji terhadap Kwi Lan.
Suma Kiat kaget bukan main dan se-jenak ia hanya dapat memandang Kiang Liong dengan melongo dan muka pucat. Kiang Liong sebaliknya menyapu ke da-lam dan memandang ke arah Kwi Lan. Hatinya bersorak lega melihat bahwa kedatangannya belum terlambat. Biarpun gadis itu dalam keadaan tertotok, namun tidak lebih daripada itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran bagaimana Kwi Lan dapat terhindar daripada peng-hinaan yang hebat.
"Piauw-heng (Kakak Misan).... kau.... menyusul ke sini" Ah, Piauw-heng.... Ibuku telah....
telah meninggal dunia...." Dan Suma Kiat menangis!
"Suma Kiat!" Kiang Liong membentak marah. "Simpan air mata buaya itu! Dan katakan, apa maksudmu melarikan Mutia-ra Hitam dan apa yang hendak kaulaku-kan tadi?"
Suma Kiat berhenti menangis, lalu memandang Kiang Liong dengan mata terbelalak dan tidak mengerti agaknya mengapa kakak misannya marah-marah. "Dia ini...." Ah, dia ini sumoiku dan calon isteriku, Piauw-heng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya saja kepada-nya!"
Kwi Lan cepat berkata. "Suma Kiat! Engkau memang gila dan jahat. Kau hendak
memperkosaku dan sejak kemarin menotokku, siapa ingin menjadi isterimu" Tunggu saja, kalau sudah bebas aku akan membunuhmu!"
"Heh...." Tapi.... tapi.... malam tadi kau berjanji.... kau akan menyerah pagi ini.... kau...."
Kiang Liong kini mengerti duduknya perkara. Kiranya Mutiara Hitam telah berhasil meloloskan diri malam tadi dengan jalan memberi janji dan mengulur waktu. Ia menjadi marah sekali, melang-kah maju dan tangannya bergerak.
"Plak-plak-plak-plak!" Empat kali kedua pipi Suma Kiat ditampar. Biarpun Suma Kiat berusaha mengelak dan me-nangkis, namun tetap saja tamparan-tam-paran itu mengenai kedua pipinya sampai matang biru! Ia terhuyung-huyung mun-dur beberapa langkah, meraba kedua pipinya lalu mewek, menangis!
"Piauw-heng.... Piauw-heng.... kau.... kau mau bunuh aku....?" Ia mundur-mun-dur ketakutan.
Kiang Liong menggigit bibir, "Kalau engkau bukan adik misan, atau kalau engkau sudah berhasil berbuat keji, tentu kau sudah kubunuh sekarang juga. Hayo, pergilah sebelum aku bunuh engkau!"
Suma Kiat membalikkan tubuh lalu.... lari secepatnya meninggalkan kuil itu sambil berteriak-teriak menangis dan memegangi kedua pipinya!
Kiang Liong menghampiri Kwi Lan, lalu membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan
bangkit duduk perlahan. Tubuh-nya kaku dan sakit-sakit karena terlalu lama lumpuh. Setelah duduk bersila se-jenak dan tenaga serta jalan darahnya pulih, ia lalu bangun berdiri. Kiang Liong sudah berada di luar kuil, tadi membiar-kan dia beristirahat.
Kiang Liong sudah duduk bersila di luar kuil, memangku yang-khim, Kwi Lan berhenti dan mendengarkan, terpesona. Indah bukan main petikan Yang-khim itu, suaranya mengalun merdu, kemudian mendengar suara pemuda itu bernyanyi, suaranya halus dan mengandung kete-nangan, namun juga menimbulkan haru dan iba. Mutiara Hitam berdiri tertegun, tak bergerak beberapa meter di belakang pemuda itu. Bahkan kuda yang ditinggal-kan Suma Kiat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 427
dan berada di belakang pemuda itu pun diam, seakan ikut men-dengarkan.
"Matahari cerah menerangi bumi dan angkasa
tidak menembus hatiku tetap gelap dan gelisah hanya sepatah kata kuharapkan dirimu pengusir gelap dan resah."
Dengan iringan suara yang-khim, nya-nyian berhenti dan heninglah keadaan sekeliling tempat itu, Kiang Liong masih duduk bersila memangku yang-khim, tak bergerak seperti arca orang melamun. Kwi Lan menarik napas panjang, melang-kah maju dan memanggil.
"Kiang-kongcu...."
Pendekar Cacad 9 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Patung Emas Kaki Tunggal 3
^