Panji Sakti 5
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Bagian 5
"Tuan Muda mau ke pulau"..." Se Kua Hai merendahkan
suaranya. ?"... Cai Hong To (Pulau Pelangi) kan?"
Pek Giok Liong tersentak, kemudian tertawa seraya berkata.
"Aku pun sudah tahu, bahwa Saudara bukan seorang nelayan
biasa." Pek Giok Liong menatapnya. "Saudara Se, bersediakah kau
membantu kami?" "Tuan Muda percaya adanya Pulau Pelangi itu?" tanya Se Kua
Hai mendadak. "Itu memang seperti pulau khayalan, sulit dipercaya. Tapi aku
yakin pulau itu ada."
"Oh" Apa alasan Tuan Muda?"
"Tiada angin pasti tiada ombak, kang ouw yang memberitakan
itu, tentunya tidak hanya merupakan dongeng."
"Oh, ya?" "Lagi pula"..." Pek Giok Liong memandangnya sambil
tersenyum. "Saudara telah membuktikan bahwa itu nyata, bukan
khayalan." "Eh?" Se Kua Hai tertegun. "Kapan aku membuktikan itu?"
Pek Giok Liong tersenyum.
"Kalau Pulau Pelangi merupakan pulau khayalan, tentunya
Saudara tidak akan menduga bahwa aku akan menuju ke pulau itu."
"Oh?" Se Kua Hai tertawa. "Seandainya sekarang aku
mengatakan Pulau Pelangi itu tidak ada. Tuan Muda pasti tidak
percaya kan?" "Kira-kira begitulah."
"Tuan Muda!" Se Kua Hai menatapnya dalam-dalam. "Sebetulnya
ada urusan apa engkau ingin Pulau Pelangi?"
220 "Ingin belajar ilmu silat tingkat tinggi pada tocu (Majikan pulau),"
jawab Pek Giok Liong jujur.
"Sudikah Tuan Muda mendengar nasihatku?"
"Dengan senang hati."
"Percuma Tuan Muda ke Pulau Pelangi itu."
"Itukah nasihat Saudara?"
"Ya." "Kenapa Saudara mencetuskan nasihat itu?"
"Karena dalam seratusan tahun ini, entah berapa banyak orangorang
bu lim ke mari dengan harapan seperti Tuan Muda, bertekad
mencari pulau itu, namun akhirnya"..."
"Bagaimana?" "Banyak diantaranya terdampar ke pulau lain, bahkan ada pula
yang mati digigit binatang berbisa. Tiada seorang pun yang dapat
menemukan Cai Hong To itu."
"Maksud Saudara pulau itu masih merupakan suatu teka-teki?"
"Aku memberitahukan dengan sejujurnya. Tuan Muda percaya
atau tidak, itu terserah Tuan Muda sendiri."
"Terima kasih atas maksud baik Saudara. Tapi".." lanjut Pek
Giok Liong kemudian. "Aku telah membulatkan tekad, kalau pun
harus mati di tengah laut, aku tetap harus mencari pulau itu."
"Tuan Muda begitu tampan dan punya masa depan yang
gemilang, kenapa harus menempuh bahaya itu" Seandainya"..."
"Aku tahu akan maksud baik Saudara, tapi segala itu tidak akan
menggoyahkan tekadku."
"Oh?" Se Kua Hai menatapnya tajam. "Tuan Muda begitu nekad,
bolehkah Tuan Muda memberitahukan alasannya?"
"Aku memikul dendam berdarah kedua orang tua, maka harus
belajar ilmu silat tingkat tinggi, agar dapat menuntut balas."
"Oooh!" Se Kua Hai manggut-manggut "Kalau begitu, musuhmusuh
Tuan Muda pasti penjahat yang berkepandaian tinggi kan?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Kalau tidak, aku pun tidak
akan menempuh bahaya ini."
"Siapa para penjahat itu?"
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menatapnya seraya balik bertanya.
"Pernahkah Saudara mendengar tentang Bu Lim Pat Tay Hiong Jin
(Delapan orang buas bu lim)?"
"Maksud Tuan Muda salah seorang di antara mereka itu?"
"Mungkin semuanya."
221 "Hah?" Se Kua Hai tampak terkejut. "Maksudmu Pat Hiong
bergabung?" "Itu memang mungkin." Pek Giok Liong mengangguk. "Nah,
bagaimana menurut Saudara" Harus atau tidak aku menempuh
bahaya untuk mencari pulau itu?"
"Itu harus, tapi ada atau tidaknya pulau itu......"
"Saudara Se, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan?"
"Tentu boleh." Se Kua Hai tersenyum. "Pertanyaan apa?"
"Saudara Se, tahukah engkau tentang keluarga bu lim di Lam
Hai?" "Kalau keluarga itu terkenal, para nelayan asti tahu."
"Apakah Saudara tahu tentang keluarga Se yang di Lam Hai ini?"
"KeHuarga Se"..?" Se Kua Hai tampak tercengang.
"Saudara Se, apakah engkau tidak tahu?"
"Maaf!" ucap Se Kua Hai. "Tidak pernah dengar tentang keluarga
itu, maka aku tidak tahu."
"Heran!" gumam Pek Giok Liong. "Apakah saudara Se itu......"
"Tuan Muda kenal seseorang bermarga Se?" tanya Se Kua Hai
cepat. "Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Dia yang memberitahukan
padaku bahwa rumahnya berada di Lam Hai dan termasuk keluarga
bu lim." "Tuan Muda tahu namanya?" tanya Se Kua Hai sambil
menatapnya tajam. "Tahu. Dia bernama Se Pit Han."
"Haah"..?" Se Kua Hai tampak terperanjat, dipandangnya Pek
Giok Liong dengan mata terbelalak.
Menyaksikan reaksi Se Kua Hai, hati Pek Giok Liong pun
tergerak. "Saudara Se, pernahkah engkau mendengar nama tersebut?"
tanyanya cepat. Se Kua Hai diam saja, lama sekali barulah ia manggut-manggut
seraya berkata dengan suara dalam.
"Pernah. Keluarga Se itu memang terkenal sekali."
"Kalau begitu......"
"Di mana Tuan Muda berkenalan dengan Tuan Muda Se itu?"
tanya Se Kua Hai memutuskan ucapan Pek Giok Liong.
"Di Kota Ling Ni di Lo Ham."
"Apakah Tuan Muda Se cuma seorang diri?"
222 "Dia tidak seorang diri, melainkan ada Sek Khi, Pat Kiam dan
Siang Wie mendampingi saudara Se itu."
Se Kua Hai tampak berpikir, beberapa saat kemudian ia
bertanya. "Tuan Muda Se tahu bahwa Tuan Muda pergi ke Lam Hai?"
Pek Giok Liong mengangguk.
"Tahu. Bahkan dia pula yang menyuruhku mencoba mengadu
untung untuk mencari Pulau Pelangi."
Sepasang mata Se Kua Hai bersinar sekelebatan, lalu ujarnya
serius. "Kalau begitu, Tuan Muda Se memberitahukan pada Tuan Muda
bahwa memang ada Pulau Pelangi!"
"Dia tidak bilang secara terang-terangan, hanya memberi
petunjuk dengan isyarat."
"Bagaimana isyarat Tuan Muda Se?"
"Asal aku tidak takut bahaya dan tidak takut usah, pasti dapat
menemukan pulau itu. Dia bilang demikian."
"Oooh!" "Kenalkah Saudara dengan saudara Se itu?"
Se Kua Hai tertawa gelak.
"Kenal memang kenal, aku kenal dia, tapi dia tidak mengenalku."
"Eh?" Pek Giok Liong tertegun. "Maksud Saudara?"
"Tuan Muda Se itu sangat tinggi derajatnya, sedangkan aku
cuma seorang nelayan. Nah, Tuan Muda mengerti maksudku?"
"Saudara Se!" sela Cing Ji mendadak. "Berediakah sekarang
Saudara membantu kami?"
Se Kua Hai mengangguk sambil tersenyum.
"Tuan Muda Hek kenal Tuan Muda Se, bagaimana mungkin aku
tidak mau membantu?" Tapi Se Kua Hai tampak ragu.
"Kenapa?" "Aku hanya mengijinkan Tuan Muda seorang diri naik ke kapalku,
maka nona tidak boleh ikut."
"Kenapa?" Pek Giok Liong heran.
"Ini merupakan pantangan."
"Pantangan?" Pek Giok Liong terbelalak. "Kapal Saudara pantang
ada penumpang wanita?"
"Kapal nelayan memang begitu, kecuali kapal dagang."
"Maukah Saudara menolong mencarikan kami kapal dagang?"
223 "Maaf, Tuan Muda!" Se Kua Hai menggelengkan kepala. "Aku
sama sekali tidak bisa membantu."
"Tapi"..." Pek Giok Liong memberitahukan. "Dia anak gadis dan
seorang diri pula, bagaimana mungkin......"
"Tuan Muda tidak perlu mengkhawatirkan nona. Di daerah sini
terdapat sebuah Peng An Khe Can (Rumah penginapan Peng An).
Asal memberitahukan bahwa Tuan Muda teman Tuan Muda Se,
maka makan dan tidur di sana pun tidak usah bayar."
Pek Giok Liong memandang Cing Ji, setelah itu tanyanya dengan
suara rendah. "Adik Cing, bagaimana menurutmu?"
"Saudara Se sudah berkata begitu, jadi lebih baik aku tinggal di
rumah penginapan itu menunggumu."
"Adik Cing, aku akan segera pulang kalau tidak menemukan
Pulau Pelangi. Namun kalau menemukannya, mungkin akan lama
baru pulang." "Kakak Liong!" Cing Ji tersenyum. "Aku tahu itu, pokoknya setiap
sore aku akan ke mari menunggumu."
"Adik Cing!" Pek Giok Liong menatapnya. "Engkau tinggal
seorang diri di sini, maka harus berhati-hati."
"Kak Liong tidak usah mencemaskan diriku." Cing Ji tersenyum
lagi. "Aku bisa menjaga diri."
"Adik Cing"..." Pek Giok Liong ingin mengatakan sesuatu,
namun mendadak dibatalkannya.
Sedangkan Cing Ji mengarah pada Se Kua Hai, kemudian
tanyanya sambil tersenyum.
"Saudara Se, di mana Peng An Khe Can itu?"
"Di Kota Pian An. Aku sekarang akan menyuruh orang ke mari
untuk menjemput Nona," ujar Se Kua Hai, lalu melangkah pergi.
Cing Ji memandang punggung orang itu, kemudian mendadak
berkata pada Pek Giok Liong dengan suara rendah.
"Kakak Liong sudah melihat belum?"
Pertanyaan Cing Ji itu membuat Pek Giok Liong tertegun.
"Melihat apa?" "Saudara Se itu pasti ada hubungan dengan keluarga Se."
"Itu tidak mungkin."
"Kakak Liong!" Cing Ji tersenyum. "Apakah engkau tidak melihat
bagaimana reaksinya ketika engkau menyebut nama Tuan Muda Se"
Air mukanya tampak luar biasa sekali."
224 "Bukankah dia sudah bilang, bahwa keluarga Se sangat terkenal
di Lam Hai ini" Maka dia tahu mengenai keluarga itu."
"Menurutku tidak begitu sederhana, melainkan pasti ada sesuatu
di balik itu." Cing Ji tampak serius.
"Maksudmu?" "Aku sudah bercuriga dalam hati, hanya aku belum berani
memastikannya." Usai Cing Ji berkata, tiba-tiba muncul Se Kua Hai
dengan seorang nelayan yang berusia lima puluhan.
"Chu toasiok! Ini nona Cing!" ujar Se Kua Hai memperkenalkan.
"Harap Chu toasiok (Paman Chu) mengantarnya ke rumah
penginapan Peng An!"
Nelayan tua itu manggut-manggut, ia memandang Cing Ji sambil
tersenyum ramah. "Hek kouw nio (Nona Hek), harap ikut lo ciau (Aku yang tua)
pergi!" "Terima kasih, Saudara tua!" ucap Cing Ji.
Bagian ke 29: Orang Penjaga Jalan
Tampak sebuah kapal nelayan kecil dengan layar yang tidak
begitu besar, melaju melawan ombak di laut.
Di dalam kapal nelayan itu hanya terdapat dua orang, yakni Se
Kua Hai dan Pek Giok Liong.
Se Kua Hai memang ahli mengemudikan kapal nelayan, maka
kapal itu tidak sampai terombang-ambing, sebaliknya malah begitu
tenang melaju. Sudah tiga hari kapal nelayan tersebut berlayar. Dalam tiga hari
ini, sudah ada lima buah pulau kecil yang dilewatinya, namun belum
juga menemukan Pulau Pelangi.
Sementara hari sudah mulai sore, Pek Giok Liong berdiri tegak
sambil memandang jauh ke depan, tampak sebuah pulau di sana.
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menoleh memandang Se Kua Hai.
"Tahukah engkau pulau apa itu?"
"Maaf Tuan Muda!" jawab Se Kua Hai. "Banyak pulau kecil di
tengah laut ini, aku tidak tahu nama-nama pulau itu. Alangkah
baiknya kalau pulau yang di depan itu Pulau Pelangi."
"Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut.
Tak seberapa lama kemudian, mendadak Se Kua Hai bersorak
kegirangan sambil menunjuk ke depan.
225 "Tuan Muda, lihatlah! Apa itu?"
Pek Giok Liong segera memandang ke arah yang ditunjuk Se Kua
Hai, seketika juga ia terbelalak dan tampak tertegun.
Ternyata ia melihat pelangi melingkar di atas pulau yang di
depan itu. Pelangi itu tampak indah dan begitu mempesona.
"Itu ".. itu Cai Hong To! Itu Cai Hong To!" seru Pek Giok Liong
girang. "Tidak salah, itu pasti Cai Hong To, akhirnya kita
menemukan juga!" "Kelihatannya memang tidak salah." sahut Se Kua Hai dengan
wajah berseri. "Hanya pulau itu yang dilingkari pelangi, itu pasti
Pulau Pelangi." Hari sudah mulai gelap, Se Kua Hai menurunkan layar. Ternyata
kapal nelayan itu sudah hampir mencapai pantai pulau itu. Tak lama
kapal nelayan itu sudah membentur pantai tersebut.
Pek Giok Liong segera melompat ke pantai. Ketika sepasang
kakinya menginjak pantai itu, terdengar pula suara gemuruh. Pek
Giok Liong cepat-cepat menoleh, sungguh di luar dugaan, kapal
nelayan itu mulai meninggalkan pantai itu.
"Se toako, jangan pergi dulu!" teriak Pek Giok Liong.
"Tuan Muda Hek!" Se Kua Hai tertawa. "Engkau telah
menemukan Cai Hong To, maka tidak membutuhkan kapal lagi,
untuk apa aku berada di pantai itu?"
"Saudara Se! Tolong beritahukan pada adikku, bahwa aku sudah
sampai di Pulau Pelangi! Suruh dia berlega hati dan harap Se toako
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baik-baik menjaganya!" Teriak Pek Giok Liong lagi.
"Harap Tuan Muda tenang!" sahut Se Kua Hai. "Aku pasti
memberitahukannya, dan sekaligus menjaganya baik-baik."
"Terima kasih, Saudara!" ucap Pek Giok Liong.
"Sama-sama!" Se Kua Hai melambaikan tangannya. Sementara
kapal nelayan itu terus melaju, akhirnya lenyap dari pandangan Pek
Giok Liong. Pek Giok Liong menarik nafas dalam-dalam, lalu membalikkan
badannya dan mulai melangkah memasuki pulau itu.
Berselang beberapa saat kemudian, mendadak terdengar suara
seruan yang parau. "Bocah, cepat berhenti!"
Pek Giok Liong terkejut, ia segera berhenti seraya bertanya
dengan suara nyaring. 226 "Lo jin keh, siapa kau sebenarnya?"
"Aku penjaga jalan di pulau ini," terdengar suara sahutan.
"Bocah, siapa engkau?"
Pek Giok Liong tidak segera menyahut, melainkan mengarah
pada suara itu, ternyata berasal dari sebuah goa.
"Cahye (Aku yang rendah) bernama Hek Siau Liong. Kalau aku
boleh tahu, siapa nama lo jin keh?" Pek Giok Liong menatap goa itu.
Penjaga jalan itu tidak menjawab, sebaliknya malah balik
bertanya. "Bocah! Engkau datang dari mana?"
"San Si!" "Mau apa datang di sini?"
"Ingin bertemu tocu (Majikan pulau)."
"Tahukah engkau nama pulau ini?"
"Cai Hong To." "Hmm!" dengus penjaga jalan itu dingin. "Siapa yang
memberitahukan padamu?"
"Tidak ada yang beritahukan, melainkan aku sendiri yang
menemukan pulau ini."
"Cara bagaimana engkau menemukan pulau ini?"
"Ketika hari mulai senja, aku melihat pelangi melingkar di atas
pulau ini." "Maka engkau menganggap pulau ini Pulau Pelangi?"
"Benar." "Engkau tidak berdusta?"
"Kenapa aku harus berdusta?"
"Kalau begitu, bukan Se Kua Hai yang memberitahu padamu?"
Tergerak hati Pek Giok Liong mendengar pertanyaan itu.
"Apakah Se Kua Hai tahu bahwa ini Pulau Pelangi?" tanyanya.
"Hmm!" dengus penjaga jalan itu. "Hek Siau Liong, ada urusan
apa engkau ingin bertemu tocu?" tanyanya.
"Ingin belajar bu kang yang tiada taranya."
"Apa"!" penjaga jalan itu tertawa gelak. "Bocah! Engkau ingin
menjagoi bu lim dan agar dirimu tiada tanding di kolong langit?"
"Aku sama sekali tiada maksud begitu."
"Kalau begitu untuk apa engkau ingin belajar bu kang yang tiada
tara itu?" 227 "Aku memikul dendam berdarah, kalau tidak berhasil belajar bu
kang tingkat tinggi yang tiada taranya, berarti tiada harapan untuk
menuntut balas dendam berdarah tersebut."
"Apakah musuh-musuhmu itu berkepandaian tinggi?"
"Tidak salah, mereka rata-rata memiliki kepandaian yang amat
tinggi masa kini." "Bocah!" tegur penjaga jalan itu. "Kalau bicara harus berpikir
dulu, jangan bicara sembarangan!"
"Aku tidak bicara sembarangan, apa yang kukatakan itu,
semuanya benar." "Kalau begitu, berapa banyak musuh-musuhmu?"
"Ada beberapa orang."
"Lebih dari dua?"
"Mungkin tiga empat orang, namun mungkin juga tujuh delapan
orang." "Kok mungkin" Itu pertanda engkau tidak tahu jelas?"
"Benar." "Tahukah engkau siapa musuh-musuhmu itu?"
Pek Giok Liong tidak menyahut, malah balik bertanya.
"Pernahkah lo jin keh dengar tentang Pat Tay Hiong Jin?"
"Ha ha ha!" penjaga jalan tertawa gelak. "Hek Siau Liong,
sungguh berani engkau membohongiku."
"Aku tidak membohongi lo jin keh. Lagi pula tiada gunanya aku
berbohong." "Oh?" Penjaga jalan tertawa dingin. "Pat Tay Hiong Jin itu telah
mati di Im San Ok Hun Nia, bagaimana mungkin mereka hidup lagi?"
"Tiga bulan yang lalu, Siang Hiong Thai Nia pernah muncul di
Kota Ling Ni." "Engkau melihat dengan mata kepala sendiri?"
"Aku tidak melihat, namun ada orang lain melihat mereka
berdua." "Siapa yang melihat mereka?"
"Thai Hang Ngo Sat bersaudara."
"Ha ha ha!" Penjaga jalan tertawa. "Omongan Thai Hang Ngo
Sat itu bisa dipercaya?"
"Harus dilihat mereka berbicara dengan siapa?" sahut Pek Giok
Liong hambar. "Mereka berlima bicara dengan siapa?"
"Sin Cang Kui Kian Chou, Si Tongkat Sakti."
228 "Oh...!" Penjaga jalan diam, kelihatannya ia mulai percaya.
Pek Giok Liong juga ikut diam, namun berselang sesaat ia
bertanya. "Apakah lo jin keh sudah percaya?"
"Kalau engkau berkata sesungguhnya, aku tentunya percaya!
Tapi ".." Penjaga jalan berhenti sejenak, setelah itu dilanjutkan.
"Bocah, percuma engkau ke mari."
"Mengapa?" Pek Giok Liong tertegun.
"Bu kang di pulau ini memang tiada duanya di kolong langit."
Penjaga jalan memberitahukan. "Namun setelah berhasil belajar
semua bu kang itu, juga tiada gunanya."
"Aku sama sekali tidak mengerti, mohon dijelaskan!" ujar Pek
Giok Liong. "Karena kau tidak bisa meninggalkan pulau ini."
"Karena tiada kapal?"
"Bukan." "Kalau bukan karena itu, lalu dikarenakan apa?"
"Peraturan yang berlaku di pulau ini."
"Peraturan apa?"
"Harus melewati tiga rintangan. Kalau tidak, sama sekali tidak
boleh meninggalkan pulau ini."
"Apakah sulit sekali melewati tiga rintangan itu?"
"Sudah tiga puluh tahun aku menjaga di sini, selama itu tidak
pernah menyaksikan ada orang yang mampu melewati tiga
rintangan itu. Maka ".." lanjut penjaga jalan kemudian. "Aku
menasehatimu, lebih baik engkau sampai di sini saja. Segeralah
pulang ke Tiong Goan dan mencari guru lain untuk belajar bu kang
tingkat tinggi, lalu menuntut balas dendam berdarah itu."
"Sebetulnya aku harus menuruti nasihat lo jin keh, akan tetapi
".." Pek Giok Liong menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkan.
"Tekadku tidak mengizinkan diriku meninggalkan pulau ini."
"Jadi ".. engkau berkeras ingin bertemu tocu untuk belajar bu
kang tingkat tinggi yang tiada tara itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Oleh karena itu, aku
menempuh bahaya menuju kemari, karena ini satu-satunya
harapanku untuk membalas dendam berdarah itu."
"Hek Siau Liong, kalau pun engkau berhasil dan mampu
melawan Pat Tay Hiong Jin namun engkau sama sekali tidak mampu
melewati tiga rintangan itu. Maka percuma juga."
229 "Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan," sahut Pek Giok
Liong. "Oleh karena itu, aku yakin pasti ada suatu jalan untuk
melewati tiga rintangan tersebut."
Penjaga jalan berada di dalam goa, maka Pek Giok Liong tidak
bisa melihatnya. Namun orang itu bisa melihat Pek Giok Liong
dengan jelas, juga air mukanya. Oleh karena itu, hati penjaga jalan
itu pun tergerak, ketika berbicara suaranya pun berubah lembut.
"Nak, engkau berpendirian dan memiliki tekad yang begitu
teguh, aku sungguh kagum padamu."
"Terima kasih atas pujian to jin keh!"
"Begini, aku punya akal yang baik. Bersediakah engkau
mendengarnya?" "Bagaimana akal yang baik itu?"
"Terus terang, aku ingin menyempurnakanmu. Engkau tetap
tinggal di sini, bagaimana?"
"Lo jin keh ingin menerimaku sebagai murid?"
Mendadak penjaga jalan itu menarik nafas ringan, tentunya
sangat mengherankan Pek Giok Liong.
"Kenapa lo jin keh menarik nafas?" tanya Pek Giok Liong.
"Di pulau ini, aku sama sekali tidak punya hak untuk menerima
murid," jawab penjaga jalan. "Walau aku tidak berhak menerima
murid, namun akan mewariskanmu seluruh kepandaianku."
"Apakah kepandaian lo jin keh dapat memenangkan Pat Tay
Hiong Jin?" tanya Pek Giok Liong.
"Ha ha ha!" penjaga jalan tertawa terbahak-bahak. "Nak, asal
engkau giat belajar, dalam waktu sepuluh tahun, aku berani
menjamin engkau mampu melawan Pat Tay Hiong Jin. Pokoknya
tidak akan kalah." "Haruskah sampai sepuluh tahun?"
"Kau anggap terlampau lama?"
"Kalau bisa, diperpendek saja waktunya!"
"Diperpendek pun harus delapan tahun."
Kening Pek Giok Liong tampak berkerut, berselang sesaat
ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Delapan tahun kemudian, bu lim di Tiong Goan sudah berubah
tidak karuan." "Nak!" Penjaga jalan tercengang. "Kenapa engkau mengatakan
begitu, apakah ada sebabnya?"
230 "Memang ada sebabnya." Pek Giok Liong memberitahukan. "Saat
ini keadaan bu lim di Tiong Goan sudah mulai gawat, mungkin tidak
lama lagi ".." "Nak!" Penjaga jalan terkejut. "Jelaskanlah!"
"Ada orang ingin menguasai bu lim bahkan orang itu telah mulai
bergerak dengan para anak buahnya."
"Siapa orang itu?"
"Cit Ciat Sin Kun Cih Hua Ni."
"Hah" Iblis pencabut nyawa?"
"Ya." "Nak, maksudmu ingin menyelamatkan bu lim?"
"Ya. Maka aku harus berhasil dalam waktu pendek, lalu kembali
ke Tiong Goan untuk membasmi para iblis itu."
"Nak, engkau memang memiliki hati pendekar. Tapi ".."
"Kenapa?" "Nak!" jawab penjaga jalan setelah berpikir cukup lama. "Aku
tidak bisa langsung mempercayaimu, harus mohon tocu mengutus
seseorang ke Tiong Goan untuk menyelidiki masalah itu."
"Harus berapa lama?"
"Sekitar setengah bulan."
"Kalau begitu, aku harus membuang waktu setengah bulan." Pek
Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau tidak akan membuang waktu setengah bulan, Nak," ujar
penjaga jalan lembut. "Dalam setengah bulan ini, aku akan memberi
petunjuk padamu dalam hal bu kang."
"Baiklah. Aku menurut!"
"Nak, sekarang engkau boleh ke mari!"
"Terima kasih, lo jin keh!" Pek Giok Liong mengayunkan kakinya
menuju ke goa tersebut, ia yakin orang penjaga jalan itu sudah
berusia lanjut. Bagian ke 30: lstana Pelangi
Sepuluh hari kemudian ketika tengah malam, tampak sebuah
kapal yang cukup besar, indah dan mewah melaju menuju Pulau
Pelangi. Kapal itu belum mencapai pantai, namun di pantai telah
berbaris puluhan orang, termasuk penjaga jalan.
Sementara kapal itu sudah mulai mendekati pantai, penjaga
jalan segera berdiri dengan sikap hormat.
231 Tak seberapa lama kemudian, kapal itu telah berlabuh, seketika
juga penjaga jalan berseru dengan hormat.
"Hamba, Bu Bun Yang menyambut Kiong Cu!"
"Bu Bun Yang tidak usah banyak peradaban, harap ikut aku ke
istana!" Terdengar suara sahutan, yang menyambut itu ternyata Se
Khi. Maka dapat diketahui siapa mereka yang mendarat di Pulau
Pelangi. Tentunya Se Pit Han, Siang Wie, Pat Kiam dan Se Khi.
Sungguh di luar dugaan, ternyata Se Pit Han adalah Siau kiong
cu di pulau Pelangi. Namun sayang sekali, Pek Giok Liong telah
ditotok jalan darah tidurnya oleh penjaga jalan, maka tidak
menyaksikan semua itu. Kalau ia menyaksikan, mungkin "..
Bu Bun Yang berusia empat puluhan begitu mendengar suara
seruan Se Khi, ia segera menjura.
"Hamba turut perintah!"
Di dalam Cai Hong Kiong (Istana Pelangi), Se Pit Han bersujud
pada kedua orang tuanya, lalu duduk sambil menatap ayahnya.
"Ayah! Pek piaute (adik misan Pek) berada di mana, kok tidak
kelihatan?" tanya Se Pit Han.
Cai Hong kiong cu (Majikan istana Pelangi), Se Ciang Cing
tampak tertegun, kemudian tanyanya dengan nada heran.
"Engkau bilang apa, Nak" Di mana adik misanmu Pek?"
"Eeeh?" Se Pit Han tersentak, ia menatap ayahnya dengan mata
terbelalak. "Hek Siau Liong adalah Pek Giok Liong, apakah ayah
belum tahu?" "Oh?" "Yang Hong tidak memberitahukan pada Ayah?"
"Dia sudah beritahukan."
"Adik misan Pek sudah datang di pulau ini, kok Ayah belum
tahu?" "Ayah sama sekali belum melihatnya."
"Apa"!" Kening Se Pit Han tampak berkerut. "Se Kua Hai
memberitahukan, dia yang mengantar adik misan Pek ke mari."
"Oh?" Se Ciang Cing tercengang. "Itu kapan?"
"Sepuluh hari yang lalu di tengah malam."
"Oh?" Cai Hong kiong cu Se Ciang Cing tampak bingung. "Ini "..
sungguh aneh sekali."
232 Se Pit Han tertegun, kemudian berpikir keras akan kejadian itu.
Berselang sesaat ia mengarah pada sepasang pengawal yang berdiri
di belakangnya.
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Giong Cing, cepat perintahkan pada cong koan (Kepala
pengurus), agar dia mengundang Si Bun lo jin ke mari!"
"Ya, Majikan muda!" Giok Cing menjura memberi hormat, lalu
segera pergi. Se hujin Hua Ju Cing menatap Se Pit Han dengan heran,
kemudian tanyanya perlahan.
"Han, kau pikir Si Bun Kauw mungkin tahu tentang itu?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Han Ji pikir harus bertanya
padanya, mungkin dia tahu jelas tentang itu."
"Itu bagaimana mungkin?" Se Ciang Cing, tuan istana Pelangi itu
mengerutkan kening. "Ada orang luar memasuki pulau, dia kok
berani tidak melapor?"
"Itu mungkin." "Han, coba jelaskan!" ujar Se Ciang Cing pada Se Pit Han.
"Pikir baiknya, Adik misan Pek memiliki bakat yang luar biasa,
cianpwe mana yang melihatnya, pasti berniat menerimanya sebagai
murid." Se Pit Han menjelaskan. "Ketika pertama kali melihat adik
misan Pek di sebuah penginapan di Kota Ling Ni, paman pengemis
pun ingin menerimanya jadi murid, bahkan juga berjanji dalam
sepuluh tahun, adik misan Pek akan diangkat jadi kepala pengemis."
"Oh?" Se Ciang Cing tertegun. "Pengemis tua itu termasuk salah
satu tujuh orang aneh, hingga kini masih belum punya murid. Tapi
begitu melihat Nak Liong, langsung ingin menerimanya sebagai
murid, itu pertanda Nak Liong memiliki tulang dan bakat yang luar
biasa." "Memang begitu, Ayah."
"Han!" Se Ciang Cing menatapnya. "Kau pikir kemungkinan besar
Si Bun Kauw berniat menerimanya sebagai murid?"
"Menurut Han Ji, itu memang mungkin."
"Apakah masih ada kemungkinan lain?" tanya Se Ciang Cing
mendadak. "Adik misan Pek memiliki sifat angkuh, luar dan dalam justru
".." Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya.
"Itu sifat bibimu." sela Hua Ju Cing sambil tersenyum.
233 "Itulah yang Han ji cemaskan," ujar Se Pit Han. "Mungkin piaute
bertemu Si Bun Kauw, mereka bertengkar dan akhirnya terjadi
pertarungan. Karena kepandaian piaute masih dangkal, maka ".."
Se Pit Han berhenti, namun Se Ciang Cing dan Nyonya Hua Ju
Cing sudah mengerti, itu membuat mereka tersentak.
"Mungkin itu tidak akan terjadi." ujar Se Ciang Cing.
Pada waktu bersamaan, Giok Cing telah masuk dan sekaligus
melapor. "Lapor Majikan Muda! Houw cong koan sudah menunggu di luar
bersama Si Bun Kauw!"
"Suruh mereka masuk!" sahut Se Pit Han.
"Ya." Giok Cing mengangguk, lalu membalikkan badannya dan
berseru. "Siau kiong cu menyuruh kalian berdua masuk!"
Tak seberapa lama kemudian, cong koan Houw Kian Guan
bersama Si Bun Kauw melangkah ke dalam ruang Istana Pelangi.
Setelah berada di hadapan mereka, cong koan Houw Kian Guan dan
Si Bun Kauw segera menjura memberi hormat.
"Hamba memberi hormat pada kiong cu, Hujin dan Siau Kiong
Cu!" ucap mereka berdua serentak.
"Silakan duduk!" sahut Se Ciang Cing.
"Terimakasih," ucap cong koan Houw Kian Guan dan Si Bun
Kauw serentak lagi dengan hormat, lalu duduk.
"Siau Kiong cu memanggil hamba, ada sesuatu penting?" tanya
Si Bun Kauw. Siapa Si Bun Kauw itu, ternyata penjaga jalan.
"Si Bun Kauw!" Se Pit Han tersenyum ramah. "Baru-baru ini
apakah Se Kua Hai pernah datang di pulau ini?"
"Pernah datang sekali, tapi tidak mendarat." jawab Si Bun Kauw.
"Oh?" Se Pit Han menatapnya. "Dia mengantar seseorang ke
mari kan?" Tergerak hati Si Bun Kauw, ia memandang Se Pit Han seraya
balik bertanya. "Apakah Se Kua Hai telah melapor pada Siau Kiong cu?"
"Ng!" Se Pit Han mengangguk. "Siapa nama orang itu?"
"Hek Siau Liong ."
Begitu mendengar jawaban Si Bun Kauw, seketika juga sepasang
mata Se Pit Han berbinar-binar.
"Dia berada di mana sekarang?"
"Dia ".." mendadak Si Bun Kauw balik bertanya. "Apakah Siau
kiong cu ingin tahu maksud tujuannya datang di pulau ini?"
234 "Betul. Dia berada di mana sekarang?"
"Berada di tempat hamba."
Wajah Se Pit Han berseri, bahkan diam-diam menarik nafas lega.
Tapi wajah Se Ciang Cing malah berubah dan bertanya dengan
suara dalam. "Sudah berapa lama dia berada di Pulau ini?"
"Sekitar sepuluh hari."
"Kenapa engkau sama sekali tidak melapor?" tegur Cai Hong
kiong cu Se Ciang Cing. Itu membuat hati Si Bun Kauw tersentak.
"Mohon ampun kiong cu." ucap Si Bun Kauw. "Hamba melihat
dia memiliki bakat yang luar biasa, maka ".."
"Ingin menerimanya sebagai murid kan?" Sela Se Pit Han.
"Hamba tidak berani melanggar sumpah, hanya ingin bersahabat
dengannya sekaligus menyempurnakannya saja."
"Kenapa engkau ingin menyempurnakannya?" tanya Se Ciang
Cing. "Dia memikul dendam berdarah kedua orang tuanya, lagi pula
dia bertekad membasmi para iblis yang ingin menguasai bu lim."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Jadi dia telah
memberitahukan mengenai musuh-musuhnya?"
"Ya." Si Bun Kauw mengangguk. "Musuh-musuhnya adalah Pat
Tay Hiong Jin." "Tidak menjelaskan siapa-siapa dalam Pat Tay Hiong Jin itu?"
tanya Se Pit Han. "Dia bilang mungkin Siang Hiong, mungkin juga Sam Kuai atau
Pat Tay Hiong Jin gabung. Dia sendiri tidak begitu jelas."
"Engkau percaya?" tanya Se Pit Han sambil menatapnya.
"Lima belas tahun yang lampau, Siang Hiong Sam Kuai telah
terpukul jatuh di Ok Hun Nia oleh Pek Kouw Ya dengan tenaga sakti
Thai Ceng Sin Kang. Semua orang bu lim mengetahui tentang itu,
maka tidak mungkin ".."
"Mereka tidak mungkin hidup kembali kan?"
"Ya." Si Bun Kauw mengangguk dan melanjutkan, "Tapi
tampaknya dia tidak berdusta, oleh karena itu, hamba pun jadi
percaya dan ragu." Se Pit Han tersenyum lembut, lalu tanyanya serius.
"Engkau tidak berpikir lebih seksama, bu lim masa kini siapa
orang marga Hek mampu melawan Pat Hiong yang bergabung itu?"
"Hamba sudah berpikir tentang itu, justru tidak tahu siapa orang
marga Hek itu?" 235 "Si Bun Kauw!" Se Pit Han tersenyum. "Apa kebalikan dari kata
Hek (Hitam) itu?" Si Bun Kauw tertegun, ia memandang Se Pit Han seraya
menjawab. "Kebalikan dari kata Hek adalah Pek (Putih)." Usai menjawab, Si
Bun Kauw sendiri pun tersentak. "Apakah dia marga Pek yang adalah
".." "Tidak salah. Dia memang marga Pek!" Se Pit Han
memberitahukan. "Dia putera bibi Hui."
"Haah ".."!" Si Bun Kauw segera bangkit berdiri, kemudian
menjura sambil berkata, "Hamba memang harus mati, mohon ".."
"Tidak usah berkata begitu." Se Pit Han tersenyum. "Duduklah!"
"Terimakasih atas kemurahan hati Siau kiong cu yang tidak
menghukum hamba!" ucap Si Bun Kauw lalu duduk kembali.
"Dalam sepuluh hari ini, engkau menurunkan kepandaian apa
padanya?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Hanya dua belas jurus tangan kosong yang biasa saja."
"Bukankah engkau ingin menyempurnakannya, kok malah
menurunkan jurus-jurus biasa padanya?"
"Hamba memang berniat menyempurnakannya, namun sebelum
tahu jelas sifat dan wataknya maka ".." lanjut Si Bun Kauw
kemudian. ?".. Hingga hari ini, hamba masih belum menurunkan bu
kang lain padanya." "Bagaimana pengamatanmu dalam sepuluh har ini?" tanya Se Pit
Han. "Mengenai apa?"
"Sifat dan wataknya."
"Sifatnya memang agak angkuh, tapi berhati bajik dan berbudi
luhur, bahkan sangat cerdas." Si Bun Kauw memberitahukan. "Oleh
karena itu hamba telah mengambil keputusan, akan mulai
menurunkan bu kang tingkat tinggi padanya. Akan tetapi, dia justru
Tuan muda Pek, tentunya urusan pun jadi lain."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut, lalu memandang Se
Ciang Cing. "Bagaimana Ayah akan mengatur adik misan?"
"Han!" Se Ciang Cing tersenyum. "Bukankah dalam hatimu telah
punya suatu rencana?"
"Benar! Tapi harus disetujui Ayah."
"Asal tidak melanggar amanat leluhur, ayah pasti setuju," ujar Se
Ciang Cing sungguh-sungguh.
236 "Terimakasih, Ayah!" ucap Se Pit Han dengar wajah berseri.
"Han!" Se Ciang Cing menatapnya. "Bagaimana rencanamu itu?"
"Rencana Han Ji ".." Se Pit Han tersenyum. "Pokoknya Han ji
tidak akan melanggar amanat leluhur, nanti Ayah akan
mengetahuinya." "Kok dirahasiakan?" Se Ciang Cing menggeleng-geleng kepala.
"Han ji ingin bikin kejutan." sahut Se Pit Han, lalu memandang Si
Bun Kauw seraya berkata. "Aku ingin minta bantuan, boleh kan?"
"Bantuan apa" Hamba pasti melaksanakannya dengan baik," ujar
Si Bun Kauw sambil menjura.
"Kalau begitu, terlebih dahulu aku mengucapkan terimakasih."
Se Pit Han tersenyum ceria. "Engkau sangat menyukai Adik misan
Pek dan berniat menyempurnakan dirinya, maka alangkah baiknya
kalau engkau mewariskannya semacam kepandaian tingkat tinggi
padanya. Bagaimana?"
"Maksud Siau kiong cu?"
"Aku sangat tertarik pada Thian Liong Pat Ciu (Delapan Jari Naga
Langit) milikmu." "Oh" Ha ha!" Si Bun Kauw tertawa gelak. "Siau kiong cu mengira
hamba begitu pelit ya?"
"Kalau begitu, engkau setuju kan?"
"Setuju." "Nah, untuk sementara ini, dia tetap bersamamu untuk belajar
Thian Liong Pat Ciu. Dalam sepuluh hari, dia sudah harus dapat
menguasai kepandaian tersebut. Oh ya! Engkau jangan
memberitahukan padanya tentang hubungannya dengan pulau
Pelangi ini!" "Ya." Si Bun Kauw mengangguk lalu bertanya. "Apakah Adik
misan Tuan belum tahu tentang ini?"
"Kalau dia tahu, dia sudah beritahukan."
"Itu agak tidak masuk akal," sela Hua Ju Cing mendadak.
"Ibu, apa yang agak tidak masuk akal?" tanya Se Pit Han heran.
"Kalau benar dia adik misanmu, tidak mungkin dia tidak tahu
asal usul ibunya," jawab Hua Ju Cing.
"Mengenai ini, Han ji, Se Khi dan paman pengemis telah
menganalisanya," ujar Se Pit Han sambil tersenyum.
"Oh?" "Kami anggap ayah ibunya tidak mau memberitahukan, itu
karena usia adik misan Pek masih kecil. Oleh karena itu mereka
237 khawatir adik misan Pek akan membocorkan rahasia tersebut." ujar
Se Pit Han. "Memang masuk akal!" Hua Ju Cing manggutmanggut.
"Si Bun Kauw!" Se Pit Han menatapnya. "Di hadapannya jangan
singgung tentang diriku, Se Khi, Siang Wie dan Pat Kiam! Kalau dia
bertanya, engkau jawab tidak tahu saja!"
"Ya, Siau kiong cu."
"Baiklah! Kini engkau boleh kembali ke tempat," ujar Se Pit Han.
"Ya." Si Bun Kauw segera bangkit berdiri. Ia memberi hormat
pada Se Ciang Cing, Hua Ju Cing dan Se Pit Han, lalu mengundurkan
diri dari ruangan itu. Houw Kian Guan, kepala pengurus itu pun bangkit berdiri, lalu
memberi hormat pada mereka seraya berkata.
"Kalau kiong cu tiada urusan lain lagi, hamba mau mohon diri."
"Tunggu!" Se Pit Han mencegahnya pergi.
"Siau kiong cu ada perintah apa?" tanya cong koan itu dengan
hormat. "Si Bun Kauw telah berjanji akan menurunkan Thian Liong Pat
Ciu pada adik misan Pek, bagaimana dengan cong koan?"
Houw Kian Guan tertegun, kemudian tersenyum.
"Siau kiong cu menghendaki hamba mewariskannya semacam
kepandaian tingkat tinggi?"
"Engkau cong koan Pulau Pelangi, kalau cuma mewariskannya
satu macam kepandaian, itu berarti pelit."
"Maksud Siau kiong cu?" Cong koan Houw Kian Guan tersenyum
lagi. "Paling sedikit pun harus dua macam kepandaian. Sudikah
engkau mewariskannya?"
"Tentu sudi." Cong koan Houw Kian Guan mengangguk.
"Menurut Siau kiong cu dua macam kepandaian apa yang harus
hamba wariskan padanya?"
"Jelas dua macam kepandaian simpananmu."
"Kalau begitu ".." Pikir cong koan. "Bagaimana hamba
mewariskannya Toh Thian Sam Ciang (Tiga Pukulan Pencuri Langit)
dan ginkang Hui Hun Phian Su (Awan Terbang Capung Melayang)
padanya?" "Terimakasih!" ucap Se Pit Han sambil tersenyum.
"Siau kiong cu jangan mengucapkan terima-kasih, hamba tidak
berani menerimanya," ucap cong koan hormat.
238 "Aku memang harus mengucapkan terima-kasih." Se Pit Han
masih tersenyum. "Oh ya, kapan hamba akan mulai mengajarnya?" tanya cong
koan itu. "Begini, kalau sudah waktunya, aku akan beritahukan padamu,"
jawab Se Pit Han. "Sekarang engkau boleh pergi mengurusi
pekerjaanmu." "Ya." Cong koan Houw Kian Guan memberi hormat pada mereka,
kemudian mengundurkan diri.
Setelah cong koan itu pergi, Se Ciang Cing pun terus menerus
memandang Se Pit Han. "Ha, apakah dengan cara demikian engkau mengatur adik
misanmu?" tanya Se Ciang Cing.
"Ini baru sebagian," jawab Se Pit Han sambil tertawa kecil.
"Oh?" Se Ciang Cing tertegun. "Cuma sebagian saja?"
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Han Ji masih ingin bermohon
pada Bu Sian Seng, Sioh pelindung pulau, Liok pengontrol pulau dan
Ku nai-nai, termasuk Se Khi untuk mewariskan kepandaian simpanan
masing-masing pada adik misan Pek."
"Mereka semua memiliki kepandaian yang amat tinggi, engkau
tahu kan?" Se Ciang Cing menatapnya.
"Han Ji tahu!" "Engkau justru tahu, tapi mengapa menghendaki mereka
masing-masing mewariskan kepandaian simpanan mereka pada
misanmu itu?" tanya Se Ciang Cing dengan wajah serius. "Apakah
engkau menginginkannya jadi pendekar yang tiada tanding di kolong
langit?" "Han Ji memang bermaksud begitu. Bagaimana menurut Ayah,
cara Han Ji mengatur itu?"
"Memang baik sekali." Se Ciang Cing mengerutkan kening. "Tapi
".." "Kenapa?" tanya Se Pit Han heran. "Seandainya dia bukan adik
misanmu, itu bagaimana?" Se Ciang Cing menatapnya tajam.
"Jangan khawatir Ayah!" Se Pit Han tersenyum. "Mengenai
persoalan ini, Han ji pun punya suatu rencana."
"Rencana apa?" "Pokoknya tidak lewat tiga hari, Han ji sudah berani memastikan
bahwa dia adik misan Pek atau bukan."
239 "Han." Hua Ju Cing menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu,
engkau masih punya suatu cara pengaturan yang lain?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk, kemudian bertanya pada Se Ciang
Cing. "Mengenai dendam berdarah kouw peh dan Hui kouw-kouw,
bagaimana Ayah mengurusinya?"
"Mengenai itu, ayah telah memikirkannya. Tapi ".." Se Ciang
Cing mengerutkan kening. "Setelah engkau memastikan asalusulnya,
barulah dibicarakan kembali."
"Baiklah!" Se Pit Han mengangguk.
Bagian ke 31: Majikan Muda
Malam sudah larut, di luar goa Si Bun Kauw itu tampak Pek Giok
Liong sedang berlatih Thian Liong Pat Ciu yang diajarkan Si Bun
Kauw. Walau cuma tiga hari, Pek Giok Liong sudah dapat menguasai
ilmu itu dengan baik, itu sungguh di luar dugaan siapa pun.
Betapa gembiranya Si Bun Kauw yang duduk menyaksikannya,
wajahnya berseri-seri. "Tidak lewat tiga tahun, anak itu pasti menjadi pendekar nomor
satu di rimba persilatan ".." batinnya.
Mendadak sosok bayangan melayang turun di hadapan Si Bun
Kauw. Sosok bayangan itu ternyata seorang nenek berusia delapan
puluh lebih, tangannya menggenggam sebatang tongkat.
Begitu melihat nenek itu, Si Bun Kauw segera bangkit berdiri,
dan sekaligus menjura hormat.
"Oh, Ku nai-nai! Kok sudah larut malam masih ke mari" Ada
sesuatu yang menarik perhatianmu?" tanya Si Bun Kauw sambil
tertawa. "Kenapa?" Ku nai-nai (Nenek Ku) melotot. "Lo sin (perempuan
tua) tidak boleh ke mari?"
"Eh" Jangan marah-marah Nenek Ku!" Si Bun Kauw masih
tertawa. "Aku tidak bermaksud melarang Ku nai-nai ke mari ".."
"Kalau begitu, apa maksudmu?"
"Tiada bermaksud apa-apa." Si Bun Kauw tertawa gelak. "Cuma
merasa heran. Sebab Nenek Ku datang tengah malam ".."
"Hmm!" dengus perempuan tua itu dingin. "Kenapa heran"
Hatiku sangat kesal malam ini, maka keluar untuk jalan-jalan
sebentar. Engkau mengerti?"
"Oh!" Si Bun Kauw mengangguk. "Aku mengerti."
240 Saat ini, Pek Giok Liong sudah berhenti berlatih, ia berdiri tegak
di tempat. Nenek Ku mengarah pada Pek Giok Lion lalu mendengus dingin
seraya bertanya pada Si Bun Kauw.
"Dia muridmu?" "Nenek bercanda!" Si Bun Kauw tertawa "Aku mana berani
melanggar peraturan untuk menerima murid?"
"Yang dia latih tadi bukankah Thian Liong Pat Ciu kepandaian
simpananmu?" "Betul. Aku memang mengajarnya Thian Liong Pat Ciu, namun
kami tiada hubungan guru dan murid."
"Kalau begitu, apa hubungan kalian?"
"Sebagai sahabat."
"Oh?" Nenek Ku melotot. "Siapa dia?"
"Namanya Hek Siau Liong."
Perempuan tua tampak tertegun dan di luar dugaan.
"Dia bernama Hek Siau Liong?"
"Betul." Si Bun Kauw mengangguk. "Nenek kenal dia?"
Nenek Ku tidak menjawab, hanya menatap Pek Giok Liong
dengan tajam. "Nak! Ke mari sebentar!" panggilnya.
Pek Giok Liong segera menghampininya, lalu memberi hormat.
"Boan pwe memberi hormat pada Nenek!" Nenek Ku terusmenerus
menatap Pek Giok Liong, lalu manggut-manggut.
"Persis seperti ayahnya. Nak, bagaimana kabarnya kedua orang
tuamu?" Ditanya demikian, wajah Pek Giok Liong langsung berubah
murung. "Kedua orang tua boan pwe sudah meninggal ".."
"Apa" Kok meninggal?"
"Terbunuh oleh penjahat."
"Oh?" Nenek Ku mengerutkan kening. "Siapa pembunuh itu?"
"Mungkin Pat Tay Hiong Jin."
"Mungkin" Jadi engkau belum begitu jelas?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Masih harus diselidiki."
"Ngmm!" Perempuan tua itu manggut-manggut.
"Nenek kenal kedua orang tua boan pwe?" tanya Pek Giok Liong
sambil menantapnya. Nenek Ku tersenyum lembut.
241 "Nak, ayahmu bernama Hek Cian Li. Ya, kan?"
"Nenek, kau telah salah mengenali orang, almarhum bukan
bernama Hek Cian Li." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Oh?" Nenek Ku tertegun. "Nak, almarhum bernama siapa?"
"Almarhun bernama ".." Tiba-tiba Pek Giok Liong teringat
sesuatu. "Hek Mang Ciok."
Sekelebatan sepasang mata perempuan tua itu tampak bersinar.
"Nak, di mana rumahmu?" tanyanya lagi.
"San Si Ciok Lau."
"Kota Ciok Lau atau Ciok Lau San?"
"Di dalam Kota Ciok Lau."
"Oooh!" Nenek Ku tersenyum. "Nak, aku ingin bertanya,
disebelah timur Kota Ciok Lau terdapat Ciok Lau San Cung, engkau
mengetahuinya?" Pek Giok Liong tersentak, ia manggut-manggut.
"Boan pwe pernah mendengarnya."
"Engkau tahu cung cu itu marga apa?"
"Marga Pek." "Nak!" Nenek Ku menatapnya tajam. "Betulkah engkau marga
Hek?" Pek Giok Liong terkejut ditanya demikian, namun kemudian balik
bertanya. "Nenek tidak percaya?"
"Kalau dugaanku tidak salah, engkau adalah Siau cung cu dari
Ciok Lau San Cung itu! Ya, kan?"
Air muka Pek Giok Liong langsung berubah.
"Nek ".." "Pek Giok Liong, engkau berani tidak mengaku"!" bentak Nenek
Ku dengan suara dalam. "Nek, Kenapa boan pwe tidak berani mengaku?" Sepasang alis
Pek Giok Liong terangkat tinggi.
"Kalau begitu ".." Wajah perempuan tua itu tampak berseri.
"Engkau telah mengaku?"
"Ya. Boan pwe mengaku. Boan pwe memang Pek Giok Liong,
Siau cung cu dari Ciok Lau San Cung di San Si."
"He he he!" Nenek Ku tertawa gembina. "Nak, ini barulah anak
jantan ".." Mendadak Nenek Ku berkelebat pengi. Sungguh aneh
perempuan tua itu, datang dan pergi begitu mendadak.
242 Tentunya membuat Pek Giok Liong tenmangu-mangu di tempat,
lama sekali barulah ia mengarah pada Si Bun Kauw.
"Si Bun lo koko, apa gerangan yang terjadi?" tanyanya heran.
Si Bun Kauw menggeleng-geleng kepala.
"Aku sungguh tidak mengenti, tapi nenek peot itu memang aneh
sifatnya. Sulit didekati dan sering marah-marah tidak karuan."
"Dia pergi begitu saja, tidak akan ada suatu masalah?", tanya
Pek Giok Liong dengan kening berkerut.
"Tidak usah khawatir!" Si Bun Kauw tertawa. "Tentunya tidak
akan ada masalah apa pun."
Di dalam Istana Pelangi, Siau kiong cu Se Pit Han duduk dekat
jendela di lantai atas, tampak Giok Cing dan Giok Ling berdiri di
belakangnya. Mendadak sosok bayangan melayang turun di hadapan mereka,
ternyata adalah Nenek Ku.
"Nek!" tanya Se Pit Han cepat. "Bagaimana?"
"Beres," sahut Nenek Ku sambil tersenyum.
"Beres bagaimana?" tanya Se Pit Han bernada tegang. "Katakan!
Jangan sok mahal!" "Dia sudah mengaku."
"Oh?" Se Pit Han tampak girang sekali. "Cara bagaimana dia
mengaku?" "Sesuai dengan dugaan Siau kiong cu." Nenek Ku tertawa.
"Begitu dipanasi hatinya, dia pun langsung mengaku dirinya adalah
Siau cung cu dari Ciok Lau San Cung bernama Pek Giok Liong."
"Bagus!" Wajah Se Pit Han berseri. "Ketika Nenek sampai di
sana, dia sedang berbuat apa?"
"Sedang berlatih Thian Liong Pat Ciu yang diajarkan Si Bun
Kauw." "Bagaimana latihannya?" tanya Se Pit Han penuh perhatian.
"Sungguh di luar dugaan, dia telah menguasai jurus-jurus Thian
Liong Pat Ciu itu dengan baik, yang kurang hanya tenaga
dalamnya." "Oh" Sungguhkah begitu cepat kemajuannya?" Se Pit Han
kurang percaya. "Sungguh." Nenek Ku mengangguk. "Oleh karena itu, besok Siau
kiong cu sudah boleh memerintah cung koan mengajarnya Toh
Thian Sam Ciang dan Hui Hun Phiau Su ginkang itu!"
243 "Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Lalu bagaimana dengan
ilmu tongkat Nenek itu?"
"He he he!" Nenek Ku tertawa. "Tentunya harus diwariskan juga
padanya!" "Terimakasih, Nek!" ucap Se Pit Han sambil tertawa gembira.
"Eh" Kenapa Siau kiong cu begitu gembira" Wuah! Janganjangan
".." "Nek!" Se Pit Han cemberut dengan wajah kemerah-merahan.
Dua bulan kemudian, dibawah pengaturan Se Pit Han, Pek Giok
Liong telah menguasai ilmu-ilmu andalan Si Bun Kauw, Houw Kian
Guan, Bu sian seng, Liok Sun To, Sioh Hu To, Ku nai-nai dan Se Khi.
Namun yang kurang adalah tenaga dalamnya. Maklum, usia Pek
Giok Liong masih kecil, maka tenaga dalamnya pun masih dangkal.
Ketika hari sudah malam, di saat Pek Giok Liong sedang berlatih
di luar goa, tiba-tiba muncul beberapa orang dengan langkah ringan,
tak lama sudah berada di hadapan Pek Giok Liong.
Salah seorang adalah pemuda yang memakai jubah kuning,
sepasang matanya menyorot tajam menatap Pek Giok Liong.
Sementara Pek Giok Liong sudah berhenti berlatih, ia pun
membalas menatap pemuda itu dengan tajam pula.
"Siapa engkau?" tanya pemuda itu setengah membentak.
Sepasang alis Pek Giok Liong tampak bergerak, kemudian
mendengus dingin tanpa menyahut.
"Engkau bisu ya?" Pemuda itu tampak tidak senang.
"Engkau sendiri yang bisu!" sahut Pek Giok Liong ketus.
"Bocah!" Pemuda itu melotot. "Kalau bicara, sopanlah sedikit!"
Pek Giok Liong tertawa dingin, lalu sahutnya dingin pula.
"Kalau tidak sopan kenapa?"
"Hei! Tahukah engkau tempat apa ini?"
"Tentu tahu!" sahut Pek Giok Liong. "Cai Hang To."
"Kalau sudah tahu, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaan
Siau tocu?" Pemuda itu menatap Pek Giok Liong dengan sikap
angkuh. Hati Pek Giok Liong tergetar, ia tidak menyangka bahwa pemuda
itu majikan muda Pulau Pelangi ini.
"Oh! Ternyata engkau adalah Siau tocu, maaf, aku kurang
hormat padamu!" ucap Pek Giok Liong.
244 "Jangan banyak omong kosong!" Tandas muda itu. "Cepat jawab
pertanyaanku tadi!" "Eh" Aku harus menjawab apa?"
"Engkau siapa?"
"Namaku Hek Siau Liong!"
"Mau apa engkau datang di pulau ini?"
"Menengok teman!"
"Siapa temanmu itu?"
"Si Bun Kauw!" "Benarkah kalian teman?"
"Engkau tidak percaya?"
"Di mana Si Bun Kauw" Aku ingin bertanya padanya!"
"Maaf! Dia tidak berada di tempat!"
Pek Giok Liong memang bersifat angkuh, sudah tahu bahwa
pemuda yang berdiri di hadapannya itu Siau tocu namun ia justru
tidak menghormatinya, karena sikap tocu itu sangat jumawa.
"Dia ke mana?" tanya pemuda itu ketus.
"Engkau bertanya padaku lalu aku harus bertanya pada siapa?"
sahut Pek Giok Liong dingin.
"Apa"!" Wajah pemuda itu berubah dingin. "Engkau tidak mau
beritahukan?" "Aku tidak tahu, bagaimana memberitahukan?"
"Hm!" dengus pemuda itu. "Aku tidak percaya bahwa engkau
tidak tahu!" "Itu terserah! Yang jelas aku tidak mengetahuinya," ujar Pek
Giok Liong dan menambahkan, "Dia tidak meninggalkan pulau ini,
engkau boleh mengutus seseorang pergi mencarinya!"
"Itu sudah tentu!" sahut pemuda itu. "Bahkan harus
menghukumnya!" Pek Giok Liong tersentak mendengar ucapan itu.
"Dia salah apa" Kenapa harus dihukum?" tanyanya dengan nada
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak senang. "Eh?" Pemuda itu menatapnya dingin. "Ini peraturan di sini,
sedangkan secara pribadi dia telah berani menampung orang luar di
pulau ini. Itu kesalahannya, maka ia harus dihukum!"
"Aku ingin bertanya, apakah pulau ini milik pribadi keluargamu?"
tanya Pek Giok Liong dengan kening berkerut.
245 "Pulau ini memang bukan milik pribadi, namun sudah beberapa
turunan tinggal di pulau ini, lagi pula sudah ada peraturan berlaku
dari dulu!" "Itu peraturan yang keterlaluan!"
"Oh" Hek Siau Liong, ini adalah peraturan di sini! Tiada
kaitannya dengan dirimu, tahu?"
"Urusan di kolong langit, justru harus diurusi oleh orang di
kolong langit pula! Engkau mengerti?"
"Oh, ya?" Pemuda itu tertawa hambar. "Engkau percaya dirimu
mampu mengurusi urusan di pulau ini?"
"Aku tidak percaya, kalau urusan di kolong langit tidak bisa
diurusi." tegas Pek Giok Liong.
"Justru engkau tidak mampu mengurusinya!" Pemuda itu
tertawa. Tidak salah dan memang nyata! Pek Giok Liong pun tahu akan
hal itu, maka kemudian ujarnya dingin.
"Kelak aku pasti punya kemampuan itu!"
"Kelak?" Pemuda itu tertawa lagi. "Kapan?"
"Paling juga cuma setengah tahun!"
"Engkau yakin?"
"Yakin!" Pemuda itu tertawa ringan, lalu ujarnya dengan mata bersinarsinar.
"Kalau begitu, lebih baik dibicarakan kelak saja!"
"Baik!" Pek Giok Liong mengangguk.
"Oh ya!" Pemuda itu menatapnya tajam. "Aku ingin bertanya,
engkau datang di pulau ini mempunyai maksud tujuan apa?"
"Bukankah aku tadi telah memberitahukan" Kok masih
bertanya?" sahut Pek Giok Liong dingin.
"Hm!" dengus pemuda itu. "Aku tidak percaya kalau engkau
tidak punya maksud tujuan lain!"
"Percaya atau tidak, terserah engkau!"
"Hek Siau Liong!" Pemuda itu menudingnya. "Engkau berani
bersikap angkuh di hadapanku?"
"Kenapa tidak?"
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak berani berterus terang
mengenai maksud tujuanmu?"
Mendadak Pek Giok Liong tertawa ringan, setelah itu balik
bertanya. 246 "Engkau pikir aku punya maksud tujuan apa?"
"Aku tidak suka menerka, lebih baik engkau yang bilang!"
"Kenapa tidak mau coba menerkanya?" Pek Giok Liong tertawa
hambar. "Aku tidak tertarik akan itu!" sahut pemuda itu singkat. "Ayoh,
cepat katakan!" "Engkau tidak tertarik, aku tidak berniat mengatakan!"
"Apa"!" Pemuda itu melotot. "Engkau menghendaki aku
menerka?" "Telah kukatakan dengan jelas, apakah engkau tidak
mendengarnya?" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Mau menerka atau
tidak, terserah!" "Bagaimana seandainya aku dapat menerka dengan jitu?" tanya
pemuda itu mendadak. "Kalau engkau dapat menerka dengan jitu ya sudahlah!
Tentunya aku tidak akan menggelengkan kepala!"
"Oh?" Pemuda itu tertawa ringan. "Kalau begitu, engkau telah
mengaku?" Tertegun Pek Giok Liong, seketika juga ia mengerti ucapan
pemuda itu dan tahu bahwa dirinya telah terpedaya. Sungguh cerdik
Siau tocu itu! Ujarnya dalam hati.
"Aku telah mengaku apa?"
"Mengaku punya maksud tujuan lain."
"Aku tidak mengaku apa pun!" Pek Giok Liong menggeleng
kepala. "Lagi pula itu tidak perlu, maka engkau jangan sok pintar!"
"Kalau begitu ".." Pemuda itu tersenyum. "Aku yang keliru kan?"
"Keliru atau tidak, engkau tahu dalam hati! Saya tidak perlu
mengatakannya!" sahut Pek Giok Liong.
"Hek Siau Liong!" Pemuda itu menatapnya tajam dan wajahnya
pun berubah serius. "Engkau datang di pulau ini dengan maksud
tujuan belajar bu kang yang tiada taranya di pulau ini, kan?"
Pek Giok Liong tersentak, namun kemudian mengangguk.
"Benar, itu maksud tujuan semula, tapi kini pikiran ku telah
berubah." "Tidak mau belajar lagi?" Pemuda itu tampak tercengang.
"Ya!" Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memang tidak mau
belajar lagi!" "Oh?" Pemuda itu terperangah. "Kenapa?"
247 "Engkau setuju aku belajar, lalu menjadi anak buahmu?" tanya
Pek Giok Liong sambil menatapnya.
Pemuda itu menggelengkan kepala.
"Aku tidak bermaksud begitu!" ujarnya.
"Walau engkau tidak bermaksud begitu, lebih baik aku tidak
belajar, maka engkau pun tidak perlu banyak bertanya!"
"Emmh!" Pemuda itu manggut-manggut. "Aku justru ingin tahu,
kenapa pikiranmu bisa berubah mendadak" Itu karena apa?"
"Alasanku sangat sederhana sekali. Aku merasa Cai Hong To, ini
tidak sesuai dengan apa yang ku bayangkan!"
"Apa maksudmu?"
"Kalau aku belajar bu kang Pulau Pelangi ini, otomatis aku terikat
peraturan yang berlaku di sini. Nah, engkau mengerti?"
"Oh?" Pemuda itu tertawa, lalu mendadak mengalihkan
pembicaraan. "Hek Siau Liong, aku mulai terkesan baik padamu!"
"Terimakasih!" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Tapi ".."
"Kenapa?" "Sebaliknya aku terkesan buruk padamu!"
"Oh, ya?" Pemuda itu tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, itu
sungguh mengherankan. "Kalau begitu, aku pun semakin terkesan
baik padamu!" "Eh?" Pek Giok Liong bingung. "Ada alasan tertentu?"
Pemuda itu manggut-manggut.
"Ada. Walau alasan itu sangat aneh, namun cukup masuk akal."
ujar pemuda itu sambil tersenyum.
"Maukah engkau beritahukan alasan yang aneh itu?"
"Tentu mau!" Pemuda itu menatapnya. "Karena engkau lain dari
yang lain." "Lain dari yang lain?" Pek Giok Liong terbelalak. "Aku tidak
mengerti maksudmu!" "Banyak orang setelah mengetahui diriku adalah Siau tocu,
mereka pun sangat menghormatiku, bahkan berusaha mengangkatangkat
diriku pula. Sebaliknya engkau tidak begitu, oleh karena itu,
aku katakan engkau lain dari yang lain!"
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, sekilas sepasang
matanya tampak bersinar, namun tertawa hambar. "Ternyata begitu,
aku harus berterimakasih atas kesan baikmu pada diriku!"
248 "Karena itu, akupun bersedia bersahabat denganmu," ujar
pemuda itu sungguh-sungguh. "Bahkan ".. aku akan mengabulkan
satu permintaanmu." "Oh?" Pek Giok Liong merasa heran.
"Engkau punya permintan apa?" tanya Siau tocu.
"Aku memang punya satu permintaan, tapi tidak akan
mengajukannya berdasarkan persahabatan!"
"Lalu engkau ingin mengajukan berdasarkan apa?"
"Seharusnya engkau bertanya dulu padaku!"
"Eh?" Siau tocu itu tercengang. "Apa yang harus kutanyakan?"
"Bertanya padaku apakah aku bersedia menjadi temanmu"
Engkau harus bertanya demikian padaku!"
"Hah?" Siau tocu itu tertegun. "Jadi engkau tidak bersedia
menjadi temanku?" "Bukan tidak bersedia, melainkan ".." Lanjut Pek Giok Liong
kemudian. "Kita baru berkenalan, mau menjadi teman mungkin
terlampau cepat." "Oh?" Siau tocu itu mengerutkan kening. "Engkau ingin
mengetes diriku dengan waktu untuk mengetahui apakah aku
berharga menjadi temanmu kan?"
"Apakah tidak harus begitu?" tanya Pek Giok Liong hambar.
"Harus! Itu memang harus!" Siau tocu itu manggut-manggut
sambil melanjutkan ucapannya dan tersenyum. "Saya setulus hati
ingin berteman denganmu, walau engkau ingin mengetes diriku
dengan waktu. Kini kita belum jadi teman, namun aku tetap
mengabulkan permintaanmu."
"Kalau begitu ".." Pek Giok Liong menjura. "Sebelumnya aku
mengucapkan terimakasih padamu!"
"Tidak usah sungkan-sungkan!" Siau tocu balas menjura:
"Katakan apa permintaanmu."
"Permintaanku yakni janganlah engkau menghukum Si Bun
Kauw. Bagaimana" Engkau mengabulkan?"
"Aku mengabulkan permintaanmu itu," Siau tocu mengangguk.
"Terimakasih!" ucap Pek Giok Liong setulus hati.
"Hek Siau Liong!" Siau tocu menatapnya. "Aku merasa sayang
sekali." "Engkau merasa sayang sekali?" Pek Giok Liong tertegun.
"Memangnya kenapa" Bolehkah engkau menjelaskan?"
249 "Engkau telah membuang suatu kesempatan emas!" Siau tocu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kesempatan emas apa?" Heran Pek Giok Liong.
"Tidak seharusnya engkau mengajukan permintaan yang tak
berarti itu," jawab Siau tocu memberitahukan.
"Kalau begitu, aku mohon tanya! Aku harus mengajukan
permintaan apa yang berarti?"
"Engkau harus meminta suatu kepandaian tingkat tinggi yang
luar biasa, itu baru berarti."
Pek Giok Liong tertawa terbahak-bahak, tentunya membuat Siau
tocu itu terheran-heran. "Kenapa engkau tertawa?" tanyanya.
"Engkau harus tahu," jawab Pek Giok Liong serius. "Itu adalah
pemikiranmu, namun bagiku lebih penting bermohon pengampunan
untuk Si Bun Kauw dari pada bermohon suatu kepandaian tinggi
untuk diriku." "Apakah masih ada alasan lain?"
"Ada." "Katakan!" "Solider." "Bagus!" Siau tocu itu menatap Pek Giok Liong dengan mata
berbinar-binar. "Engkau memang lain dari yang lain, bahkan berbudi
luhur. Aku kagum padamu."
"Terimakasih atas pujianmu!"
"Hek Siau Liong, maukah engkau menetap sementara di dalam
Istana Pelangi?" tanya Siau tocu mendadak.
"Tidak." Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Maaf, kalau
tiada urusan lain, aku mau pergi."
"Apa?" Siau tocu melongo. "Kenapa engkau terburu-buru pergi?"
"Masih banyak urusan yang harus kubereskan."
"Oh?" Siau tocu tertawa. "Seandainya aku melarangmu pergi?"
"Melarangku pergi?" Pek Giok Liong mengerutkan alisnya.
"Engkau ingin menahan aku di sini?"
"Menahanmu di dalam Istana Pelangi sebagai tamu.
Pertimbangkan, mau atau tidak bersahabat denganku?"
"Maaf, tiada waktu bagiku!" tolak Pek Giok Liong.
"Kalau begitu "..," Siau tocu menatapnya dalam-dalam. "Engkau
pasti mau pergi?" "Lain kali kalau ada waktu, aku pasti ke mari merepotkanmu."
250 "Hek Siau Liong!" Siau tocu tertawa dingin. "Apakah engkau
tidak punya nyali untuk menetap sementara di dalam Istana
Pelangi?" "Tidak punya nyali?" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Engkau
jangan memandang rendah diriku!"
"Kalau begitu kenapa engkau tidak berani bertamu di Istana
Pelangi" Itu pertanda engkau tidak punya nyali."
"Sudah kukatakan tadi, masih banyak urusan yang harus
kubereskan. Maka aku tiada waktu untuk bertamu di Istana Pelangi."
"Yang jelas ".." Siau tocu tersenyum dingin. "Engkau tidak
punya nyali, penakut, pengecut!"
"Apa"!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Engkau tidak perlu
memanasi hatiku ".."
"Aku tidak memanasi hatimu, nyatanya memang engkau tidak
punya nyali," potong Siau tocu cepat.
"Baiklah. Aku akan bertamu tiga hari di Istana Pelangi!"
"Bagus." Siau tocu tertawa. "Mari ikut aku ke Istana!"
"Maaf!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Saat ini aku
tidak bisa." "Kenapa?" "Silakan Siau tocu kembali ke istana dulu! Setelah Si Bun lo koko
ke mari, aku pasti menyusulmu ke istana."
"Engkau tidak ingkar janji kan?"
"Jangan khawatir! Aku bukan orang yang suka ingkar janji."
"Baiklah." Siau tocu manggut-manggut. "Aku menunggumu di
istana." Bagian ke 32: Terkurung Lewat tengah malam, Pek Giok Liong berjalan perlahan menuju
Istana Pelangi. Tak seberapa lama kemudian, ia sudah sampai di
depan istana tersebut. Cong koan Houw Kian Guan bersama empat orang berdiri di situ.
Begitu melihat cong koan itu, Pek Giok Liong segera menyapanya
sambil tersenyum. "Saudara Houw, sudah larut malam kok belum tidur?" tanya Pek
Giok Liong heran. "Saudara Hek!" Cong koan Houw Kian Guan tersenyum. "Aku
diperintahkan untuk menyambutmu di sini!"
251 "Terimakasih, saudara Houw." ucap Pek Giok Liong sambil
menjura memberi hormat. "Saudara Hek, kau jangan sungkan-sungkan! Mari ikut aku ke
dalam istana!" Cong koan Houw Kian Guan menjura, lalu membalikkan
badannya melangkah ke dalam istana, ke empat orang itu segera
mengikutinya dari belakang.
Namun kemudian cong koan Houw Kian Guan berhenti
membiarkan keempat orang itu jalan duluan, ternyata ia
mendampingi Pek Giok Liong.
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, tiba-tiba cong koan Houw Kian Guan menjulurkan
tangannya menotok Pek Giok Liong dijalan darah lumpuh. Totokan
itu membuat Pek Giok Liong kehilangan tenaga dan lumpuh seketika,
tapi mulutnya masih bisa bicara.
"Houw lo koko!" seru Pek Giok Liong terkejut. "Apa artinya ini?"
"Saudara Hek!" Cong coan Houw Kian Guan tersenyum. "Maaf,
aku cuma menjalankan perintah!"
"Perintah dari Siau tocu?"
"Betul." "Apa tujuannya berbuat begitu?" Pek Giok Liong tampak gusar.
"Dia ".." Mendadak terdengar suara yang amat nyaring.
"Hek Siau Liong, seharusnya engkau bertanya padaku!"
Menyusul melayang turun sosok bayangan, tidak lain adalah Siau
tocu. Ia tampak tersenyum-senyum.
Begitu melihat Siau tocu, Pek Giok Liong langsung naik darah
sehingga matanya melotot.
"Apa artinya semua ini" Ayoh bilang!"
"Karena engkau sangat angkuh, maka harus diberi sedikit
pelajaran," sahut Siau tocu sambil tertawa.
"Oh" Tiada alasan lain?"
Siau tocu menggelengkan kepala.
"Tidak ada." jawabnya.
"Siau tocu! Engkau manusia bukan?"
"Eh?" Siau tocu tertawa. "Lihatlah sendiri, aku ini manusia
bukan?" "Engkau bukan manusia, bahkan juga telah menghina
kedudukanmu sendiri sebagai Siau tocu!"
252 "Oh, ya?" Siau tocu tersenyum. "Harus bagaimana baru terhitung
manusia dan tidak menghina kedudukanku sebagai Siau tocu?"
"Buka totokan ini!" bentak Pek Giok Liong. "Lalu bertarung
denganku. Kalau mau menangkapku, harus berdasarkan
kepandaian!" "Engkau ingin bertarung denganku?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Apakah engkau tidak malu,
menyuruh bawahanmu menotok diriku?"
Sungguh mengherankan, Siau tocu yang jumawa itu justru tidak
tersinggung maupun gusar, sebaliknya malah tertawa-tawa.
"Yakinkah engkau dapat mengalahkan aku?"
"Walau harus kalah, saya pun merasa puas!" sahut Pek Giok
Liong. "Emmh!" Siau tocu manggut-manggut. "Namun ".."
"Kenapa?" "Aku tidak ingin bertarung denganmu."
"Engkau takut tidak bisa mengalahkan aku?"
"Berdasarkan tenaga dalammu sekarang ".." Majikan muda
pulau tertawa. "Dalam sepuluh jurus engkau pasti roboh!"
"Kalau begitu, mari kita bertarung!" tantang Pek Giok Liong.
Akan tetapi, Siau tocu itu malah menggelengkan kepala.
"Hek Siau Liong, engkau jangan bermimpi! Aku tidak akan
bertarung denganmu!"
"Kalau begitu, mau kau apakan diriku?" tanya Pek Giok Liong
gusar. "Engkau akan kukurung di dalam ruang batu, agar tidak angkuh
lagi." "Engkau ".." Pek Giok Liong betul-betul gusar, sehingga
matanya membara. "Engkau sungguh tak tahu malu!"
"Lebih baik engkau diam!" Wajah Siau tocu berubah dingin.
"Kalau tidak, engkau akan tahu rasa!"
"Siau tocu!" Pek Giok Liong berkertak gigi. "Kelak kau pasti
kubunuh!" "Itu urusan kelak." Siau tocu tertawa dingin. "Yang jelas
sekarang engkau harus dikurung."
"Engkau tidak tahu malu!" bentak Pek Giok Liong.
"Totok jalan darah bisunya!" Siau tocu memberi perintah pada
cong koan Houw Kian Guan. "Lalu kurung dia di dalam ruang batu!"
253 "Ya." Cong koan Houw Kian Guan mengangguk. Ia segera
menotok jalan darah bisu Pek Giok Liong, kemudian mengangkatnya
menuju ruang batu. Tak terasa, waktu sudah lewat setengah tahun. Mendadak pintu
ruang batu itu terbuka dan seseorang melangkah masuk.
Dia seorang pemuda baju ungu. Begitu melihat pemuda itu, Pek
Giok Liong sangat terkejut tapi juga gembira.
"Saudara Se, ternyata engkau!"
Siapa pemuda baju ungu itu, tidak lain adalah Se Pit Han. Ketika
melihat Pek Giok Liong, Se Pit Han tampak girang sekali.
"Hah! Saudara Hek, engkau juga berada di sin i?"
"Ya." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Saudara Se, kok
engkau juga dikurung di sini?"
"Aku naik kapal pesiar bersama Giok Cing dan Giok Ling, tanpa
sengaja mendarat di pulau ini. Kami bertengkar dengan penghuni
pulau ini, akhirnya aku tertangkap dan dibawa ke mari."
"Oh! Di mana Giok Cing dan Giok Ling?"
"Mereka mungkin dikurung di tempat lain."
"Tahukah Saudara Se pulau apa ini?"
Se Pit Han manggut-manggut.
"Semula aku tidak tahu, namun sekarang sudah tahu," ujar Se
Pit Han. "Ini Pulau Pelangi!"
"Betul." "Saudara Hek, sudah berapa lama engkau dikurung di sini?"
"Aku tidak begitu jelas, mungkin ".. sudah ada setengah tahun."
"Kenapa engkau dikurung di sini?"
"Siau tocu memerintahkan cong koan Houw Kian Guan menotok
jalan darahku kemudian aku dibawa ke mari."
"Oh" Kenapa dia berbuat begitu?"
"Dia bilang aku sangat angkuh, maka harus dikurung agar hilang
keangkuhanku." "Hanya karena itu, dia mengurungmu di sini" Itu sungguh
keterlaluan!" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia memang keterlaluan."
"Oh ya! Dia tidak bilang kapan akan melepaskanmu?"
"Tidak." "Kalau begitu, dia benar-benar ingin menghabiskan
keangkuhanmu, setelah itu barulah melepaskan dirimu."
254 "Saudara Se, tahukah engkau ada pepatah mengatakan ".."
"Mengatakan apa?"
"Gunung dapat diratakan, tapi sifat manusia sulit diubah. Sifatku
memang angkuh, maka itu tidak mungkin diubah."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Oh ya! Sudah sekian
lama dia mengurungmu di sini, apakah engkau membencinya?"
Pek Giok Liong tertawa. "Semula aku memang sangat membencinya, bahkan bersumpah
ingin membunuhnya. Tapi ".."
"Kenapa?" "Kini pikiranku telah berubah."
"Oh" Jadi engkau tidak membencinya lagi?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku telah memaafkannya."
"Lho?" Se Pit Han heran. "Itu ".. kenapa?"
"Karena ".." Pek Giok Liong tidak melanjutkan, melainkan
mengalihkan pembicaraan. "Saudara Se, engkau lihat diriku
sekarang berbeda tidak dibandingkan dengan dulu?"
Se Pit Han segera memandangnya dengan penuh perhatian,
kemudian manggut-manggut seraya berkata, "Benar, engkau
memang sudah berbeda dibandingkan dengan dulu. Kalau engkau
tidak bilang, aku sama sekali tidak tahu."
Pek Giok Liong tersenyum.
"Bagaimana perbedaanya?"
"Sepasang matamu bersinar terang, wajahmu pun segar dan
cerah. Itu pertanda tenaga dalammu sudah mengalami kemajuan
pesat." "Oleh karena itu, aku pun tidak membencinya lagi." Pek Giok
Liong tersenyum-senyum. "Bahkan juga telah memaafkannya."
"Saudara Hek, ucapanmu membuatku semakin bingung.
Kemajuan tenaga dalammu ada kaitan apa dengan dirinya?"
"Justru punya kaitan yang erat sekali."
"Maukah engkau menjelaskan?"
Pek Giok Liong mengangguk, lalu mendadak menggerakkan jari
telunjuknya ke arah sebuah batu yang menonjol di sisi kiri goa itu.
Kraaak! Sekonyong-konyong di dekat tempat Pek Giok Liong berdiri
muncul sebuah lubang yang cukup besar.
"Hah?" Se Pit Han terkejut. "Lubang apa itu?"
255 "Saudara Se, turunlah melihat-lihat, engkau akan
mengetahuinya!" "Saudara Hek, lebih baik engkau yang beritahukan!"
"Saudara Se ".." Wajah Pek Giok Liong berubah serius.
"Seratusan tahun yang lampau, dalam bu lim muncul Mei Kuei Ling
Cu, engkau pernah mendengarnya?"
"Pernah." Se Pit Han mengangguk. "Mei Kuei Ling Cu itu memiliki
kepandaian yang amat tinggi, boleh dikatakan tiada tanding di
kolong langit." "Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Pernahkah Saudara
Se mendengar tentang marganya?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Tidak." Betulkah Se Pit Han tidak tahu marga Mei Kuei Ling Cu" Padahal
".. "Saudara Se!" Pek Giok Liong tertawa. "Dia satu marga
denganmu." "Oh" Ternyata Mei Kuei Ling Cu marga Se. Itu membuatku
merasa bangga sekali." Wajah Se Pit Han berseri-seri.
"Saudara Se, beliau adalah murid padri sakti masa itu." Pek Giok
Liong memberitahukan. "Kok saudara tahu tentang itu?" Se Pit Han heran. "Apakah di
dalam lubang itu terdapat bu kang pit kip (Kitab silat) peninggalan
Mei Kuei Ling Cu?" "Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Lubang itu merupakan
sebuah jalan ke bawah. Ternyata di bawah sana terdapat sebuah
ruang rahasia. Bukan cuma terdapat kitab ilmu silat peninggalan lo
cianpwe itu, bahkan juga terdapat salinan kitab silat bu lim kiu pay it
pang (Sembilan partai dan satu perkumpulan)."
"Oh! Ternyata begitu ".." Se Pit Han manggut-manggut.
Se Pit Han memang pandai bersandiwara. Padahal ia yang
mengatur semua itu, tapi berpura-pura tidak mengetahuinya.
"Kalau begitu, aku harus mengucapkan selamat padamu." Se Pit
Han tampak gembira sekali, sepasang matanya pun berbinar-binar.
"Terimakasih!" ucap Pek Giok Liong. "Secara tidak sengaja aku
memperoleh keberuntungan itu, memang sungguh di luar dugaan."
"Benar." Se Pit Han tersenyum. "Oh ya! Cara bagaimana Saudara
Hek menemukan lubang itu?"
256 "Ketika dikurung di ruang batu ini, aku berusaha meloloskan
diri." ujar Pek Giok Liong menutur. "Ketika aku melihat ke sana ke
mari, tanpa sengaja melihat batu yang menonjol itu. Karena merasa
heran aku mencoba menggeserkan batu itu. Siapa sangka, justru
mendadak muncul sebuah lubang di lantai. Oleh karena itu aku pun
masuk ke dalam, lalu belajar semua yang ada di dalam ruang
rahasia itu." "Saudara Hek!" Se Pit Han menepuk bahunya. "Itu memang
jodohmu." "Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Namun ".. aku justru tidak habis berpikir tentang satu
persoalan." Se Pit Han menatapnya heran.
"Persoalan apa?"
"Dalam waktu setengah tahun, kok tenaga dalammu bisa
mencapai tingkat yang begitu tinggi?"
Sesungguhnya Se Pit Han tahu jelas tentang itu, namun ia tetap
masih bersandiwara, seakan tidak mengetahui tentang itu semua.
"Saudara Se!" Pek Giok Liong tersenyum. "Kalau aku tidak
menjelaskan, engkau pasti merasa heran. Tapi setelah kujelaskan,
itu tidak mengherankan lagi."
"Kalau begitu, jelaskanlah!" desak Se Pit Han.
"Saudara Se, di dalam ruang rahasia itu terdapat sebotol kim tan
(Pil emas) berjumlah tujuh butir." Pek Giok Liong menjelaskan. "Bagi
orang yang belajar silat, makan sebutir pil itu dapat menambah lima
belas tahun latihan tenaga dalamnya.
"Oh?" Se Pit Han terbelalak. "Saudara Hek, kau telah memakan
tujuh butir Kim tan itu?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala.
"Aku cuma makan lima butir, masih tersisa dua butir." Pek Giok
Liong mengeluarkan sebuah botol porselin kecil, lalu diberikan pada
Se Pit Han. "Saudara Se, ini untukmu."
Se Pit Han tidak segera terima, melainkan bertanya. "Botol itu
berisi kim tan." "Ya. Masih ada dua butir." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Saudara Se, makanlah kim tan ini!"
Se Pit Han tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak
mau." Pek Giok Liong tertegun, penolakan Se Pit Han membuat Pek
Giok Liong tidak habis berpikir.
257 "Kenapa?" "Kim tan itu berjodoh dengan dirimu, maka aku tidak bisa
menerimanya." "Eh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Saudara Se, kau
sudah ke mari, itu berarti berjodoh juga. Nah, terimalah kim tan ini!"
"Maaf, aku tetap tidak mau!"
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Apakah
karena terlalu sedikit maka kau tidak mau menerima?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum. "Kim tan itu merupakan
obat langka, bisa memperoleh sebutir pun sudah beruntung, apa lagi
dua butir." "Kalau begitu, kenapa Saudara Se menolak?"
"Saudara Hek ".."
"Saudara Se, terimalah!" desak Pek Giok Liong.
Karena di desak, Se. Pit Han terpaksa menerimanya.
"Terimakasih!" ucapnya, lalu menyimpan botol itu ke dalam
bajunya. "Eh?" Pek Giok Liong menatapnya dengan heran. "Kenapa
saudara tidak langsung memakannya?"
Se Pit Han tersenyum. "Lebih baik di simpan saja. Kelak kalau perlu, barulah dimakan."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Saudara Se,
maukah engkau ke ruang rahasia itu untuk melihat-lihat?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Saudara Hek, aku tidak tertarik pada kepandaian tersebut,
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka tidak perlu ke ruang rahasia itu."
"Saudara Se, menurut pandanganku, engkau telah memiliki
kepandaian yang amat tinggi."
"Sejak kecil, aku belajar pada kedua orang tuaku."
"Oooh!" "Saudara Hek, kini engkau telah memiliki kepandaian yang
begitu tinggi, seharusnya engkau cari jalan untuk meloloskan diri
dari sini." "Aku telah memikirkan itu, namun tiada jalan untuk meloloskan
diri dari sini." "Saudara Hek!" Se Pit Han tampak serius. "Aku punya akal,
entah engkau setuju tidak?"
"Akal apa?" tanya Pek Giok Liong bernada girang.
258 "Begini, engkau pura-pura sakit. Tentunya ada orang ke mari
membuka pintu ruang batu ini. Kita segera menangkap orang itu,
kemudian menerjang ke luar. Bagaimana akal ini?"
"Akal ini memang baik, tapi ".." Pek Giok Liong menggelengkan
kepala. "Kenapa?" "Aku tidak mau berbuat curang, karena akan menjatuhkan harga
diri kita." "Oh?" Se Pit Han tertegun. "Jadi engkau menjaga harga diri?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk, kemudian wajahnya berubah
serius. "Terus terang, setelah kita berpisah di Kota Ling Ni,
kebetulan aku menemukan sesuatu, maka kini aku sebagai generasi
kelima pemegang Jit Goat Seng Sim Ki."
"Apa"!" Se Pit Han terbelalak. "Engkau telah bertemu Kian Kun
Ie Siu?" Pek Giok Liong mengangguk, ia memandang Se Pit Han seraya
bertanya, "Saudara Se, engkau kenal orang tua itu?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Tidak kenal, namun pernah dengar," ujarnya dan melanjutkan,
"Jadi engkau telah memperoleh Panji Hati Suci Matahari Bulan itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Ketika itu keadaan sedang
gawat, maka aku menerima perintah sekaligus diangkat sebagai
generasi kelima pemegang panji tersebut."
"Ketika itu keadaan sedang gawat?" Se Pit Han mengerutkan
alis. "Apa gerangan yang telah terjadi" Apakah Kian Kun Ie Siu telah
meninggal?" "Tidak, hanya jejaknya diketahui oleh Cit Ciat Sin Kun, maka
dipaksanya untuk menyerahkan panji itu. Guru tahu bahwa dirinya
tidak mampu melawan mereka, maka segera menyuruhku masuk ke
goa. Di saat itulah guru menyerahkan Jit Goat Seng Sim Ki padaku,
bahkan juga menyuruhku kabur bersama cucunya melalui jalan
rahasia yang terdapat di dalam goa itu."
Se Pit Han manggut-manggut. "Kalau begitu, tiga jurus sakti itu
tidak keburu diwariskan padamu?" tanyanya.
"Sebelumnya, guru telah mewariskan tiga jurus sakti itu
padaku." "Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut lagi. "Selanjutnya
bagaimana keadaan orang tua itu, engkau sama sekali tidak
mengetahuinya?" 259 "Setelah keluar dari jalan rahasia itu, aku bermaksud kembali ke
goa untuk menengok guru, tapi ".."
"Kenapa?" "Cing ji mencegahku kembali ke sana."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya. "Kini panji itu
bersamamu?" "Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Bolehkah aku melihat panji itu?"
"Tentu boleh." Pek Giok Liong segera mengeluarkan Jit Goat
Seng Sim Ki dari dalam bajunya, kemudian dikembangkannya panji
tersebut seraya berkata. "Saudara Se, silakan lihat!"
Begitu melihat Jit Goat Sing Sim Ki itu tiba-tiba Se Pit Han
menjatuhkan diri berlutut.
"Melihat panji seperti melihat kakek guru. Teecu Se Pit Han
memberi hormat pada kakek guru!"
Pek Giok Liong tertegun dan melongo. Cepat-cepat digulungnya
panji itu, lalu memandang Se Pit Han dengan penuh keheranan.
"Saudara Se, apa gerangan ini" Apakah panji ini milik kakek
gurumu?" "Adik misan!" ujar Se Pit Han sambil bangkit berdiri. "Apakah
Kian Kun Ie Siu tidak memberitahukan tentang pemilik panji ini?"
"Guru pernah beritahukan, bahwa panji ini milik Seng Sim
Tayhiap (Pendekar Hati Suci)!"
"Betul." Se Pit Han mengangguk. "Seng Sim Tayhiap adalah
leluhur kami!" "Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, mendadak ia teringat
sesuatu. "Eh" Tadi saudara Se memanggilku apa?"
Se Pit Han tertawa ringan.
"Sesungguhnya engkau marga Pek, namamu Giok Liong. Siau
cung cu dari Ciok Lau San Cung. Betulkan?"
"Saudara Se ".." Pek Giok Liong terkejut.
"Ibumu adalah bibiku. Maka engkau adalah adik misanku
mengerti?" Pek Giok Liong termangu-mangu, ia memandang Se Pit Han
dengan mata terbelalak lebar.
"Kalau begitu, sudah lama engkau tahu asal-usulku?"
"Setelah kita berpisah di Kota Ling Ni, barulah aku tahu. Tapi itu
cuma menduga saja, belum berani memastikan. Sesudah setengah
260 bulan engkau berada di pulau ini, barulah aku tahu jelas tentang
asal-usulmu." "Sesudah setengah bulan aku berada di pulau ini?" Pek Giok
Liong bingung, ia menatap Se Pit Han dengan penuh keheranan.
"Ya." Se Pit Han mengangguk dan kemudian tersenyum. "Adik
misan, kini aku punya jalan yang terang-terangan untuk melepaskan
diri dari ruang rahasia ini."
"Jalan yang terang-terangan" Maksudmu?"
"Adik misan, tahukah engkau, Jit Goat Seng Sim Ki berkembang,
bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu. Pernahkah engkau
mendengar ucapan ini?"
"Pernah." Pek Giok Liong mengangguk. "Jadi dengan panji ini
kita bisa melepaskan diri dari ruang rahasia ini?"
"Betul." Se Pit Han manggut-manggut, mendadak ia membentak.
"Siapa di luar?"
"Ada urusan apa?" terdengar suara sahutan.
"Cepat panggil cong koan ke mari!" ujar Se Pit Han.
"Ada urusan apa, beritahukan aku saja!" terdengar suara
sahutan lagi. "Cepat pergi panggil cong koan ke mari! Ini adalah perintah!"
seru Se Pit Han. "Ya. Harap tunggu sebentar!" kali ini suara sahutan itu bernada
gemetar. "Eh?" Pek Giok Liong menatapnya heran. "Kakak misan Se,
kenalkah kau dengan cong koan Houw Kian Guan?"
Se Pit Han tersenyum. "Nanti engkau akan mengerti semua."
Berselang beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah
tergesa-gesa di luar ruang rahasia itu.
"Aku sudah datang, ada urusan apa?" Itu suara congkoan Houw
Kian Guan. "Cong koan, segera kau buka pintu!" sahut Se Pit Han. "Kau
harus segera melapor pada kedua orang tua, agar siap menyambut
panji!" Kraaak! Pintu ruang rahasia itu terbuka, tampak Houw Kian
Guan, kepala pengurus itu berdiri hormat di situ.
"Di mana panji itu?" tanya cong koan Houw Kian Guan.
Se Pit Han menunjuk Pek Giok Liong seraya berkata.
261 "Pek Piau Siaunya telah bertemu Kian Kun Ie Siu, memperoleh Jit
Goat Seng Sim Ki, dan sekaligus diangkat sebagai generasi ke lima
pemegang panji itu."
"Haah "..?" cong koan Houw Kian Guan terbelalak, lalu memberi
hormat pada Pek Giok Liong. "Houw Kian Guan menghadap Ciang Ki
(Pemegang panji)!" Pek Giok Liong segera balas memberi hormat. "Cong koan, kau
tidak perlu banyak peradaban!"
"Terimakasih!" ucap cong koan Houw Kian Guan.
"Cong koan! Cepatlah pergi melapor pada kedua orang tua!" Se
Pit Han memberi perintah pada kepala pengurus itu.
"Ya." Cong koan Houw Kian Guan segera melangkah pergi.
"Kakak misan Se, siapa kedua orang tua itu?" tanya Pek Giok
Liong heran, karena Se Pit Han menyebut dua kali 'Kedua orang tua',
pertama kali Pek Giok Liong tidak mendengar jelas, tapi kedua
kalinya ia mendengar dengan jelas, maka ia bertanya sambil
menatap Se Pit Han. "Kedua orang tua yang kumaksud itu adalah Cai Hong Tocu dan
Tocu Hujin." jawab Se Pit Han memberitahukan. "Juga adalah ku
peh dan ku bo mu. Piaute sudah mengerti?"
Pek Giok Liong tertegun dengan mulut ternganga lebar.
"Kalau begitu, engkau ".."
"Aku adalah Siau tocu, juga adalah ".." Se Pit Han membuka
kain pengikat rambutnya, seketika juga rambut yang hitam panjang
terurai ke bawah. "Adik misan, sudah mengertikah engkau
sekarang?" "Haah "..?" Pek Giok Liong terbelalak. Itu memang sungguh di
luar dugaannya. Ia menatap Se Pit Han dengan mata tak berkedip.
"Adik misan!" Se Pit Han tertawa geli. "Di luar dugaanmu kan?"
Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Ini sungguh di luar dugaan!" ujarnya. "Piauci (Kakak misan),
ternyata Siau tocu yang mengurungku di sini, adalah ".."
"Adik misan, aku tidak punya saudara lain, di sini cuma ada satu
Siau tocu." Se Pit Han memberitahukan.
"Kalau begitu, dia adalah ".."
"Dia adalah aku," sambung Se Pit Han sambil tertawa.
"Oooh!" Pek Giok Liong menepuk keningnya sendiri. "Ternyata
engkau!" "Tidak salah." 262 "Kalau begitu, semua ini engkau yang mengaturnya?"
"Kalau tidak, bagaimana mungkin kepandaianmu bisa mencapai
tingkat yang begitu tinggi?"
"Sungguh baik engkau terhadap aku, entah bagaimana aku ".."
"Adik misan, aku paham bagaimana perasaanmu, tidak usah kau
utarakan." potong Se Pit Han. "Ayolah! Mari ikut saya menemui
kedua orang tua!" Bagian ke 33: Hubungan Famili
Di depan pintu Cai Hong Kiong, tampak puluhan orang berdiri
dengan wajah serius, termasuk Pat Kiam.
Di dalam pintu Cai Hong Kiong berdiri Cai Hong Tocu Se Ciang
Cing, Tocu Hujin Hua Ju Cing, dan cong koan Kian Guan. Mereka
berdiri dengan sikap hormat, tercium pula harum dupa.
Se Ciang Cing dan istrinya telah melihat Pek Giok Liong dari
jauh, Tocu itu manggut-manggut.
"Hujin, kini aku tahu kenapa Han Ji! begitu memperhatikan Giok
Liong." ujarnya sambil tersenyum.
"Sebelumnya ".." Hua Ju Cing tersenyum lembut. ?".. aku
sudah menduga." "Anak itu memang luar biasa, aku gembira sekali." ujar Se Ciang
Cing lagi dengan wajah berseri.
Hua Ju Cing manggut-manggut.
"Tampaknya dia lebih gagah dibandingkan dengan ayahnya."
"Betul." Se Ciang Cing tersenyum.
Sementara Se Pit Han dan Pek Giok Liong sudah berdiri di
hadapan mereka, dan Pek Giok Liong segera memberi hormat.
"Giok Liong memberi hormat pada Paman dan Bibi!"
Se Ciang Cing dan istrinya manggut-manggut, kemudian
mempersilahkan Pek Giok Liong masuk.
"Terimakasih, Paman, Bibi!" ucap Pek Giok Liong lalu melangkah
ke dalam. "Nak Liong, silakan duduk!" ucap Se Ciang Cing.
Pek Giok Liong mengangguk lalu duduk. Se Ciang Cing dan
istrinya juga duduk, menyusul Se Pit Han, ia duduk di sisi ibunya.
"Nak Liong!" Se Ciang Cing memandangnya. "Di mana engkau
bertemu Kian Kun Ia Siu?"
"Di Siu Gu San!"
263 "Bagaimana kabarnya" Apakah baik-baik saja?"
Pek Giok Liong menarik nafas panjang.
"Sepasang matanya telah buta, karena terserang pukulan
beracun dari musuh ".."
"Oh?" Se Ciang Cing mengerutkan kening. "Bagaimana
kepandaiannya, apakah ikut musnah?"
"Tidak, hanya tenaga dalamnya berkurang," jawab Pek Giok
Liong dan menutur mengenai kejadian di Siu Gu San, kemudian
menambahkan, "Liong ji dan Cing ji meloloskan diri melalui jalan
rahasia itu, selanjutnya bagaimana keadaan guru, Liong ji sama
sekali tidak mengetahuinya."
"Sungguh berani Cit Ciat Sin Kun itu ingin merebut Jit Goat Seng
Sim Ki, apakah dia berniat menundukkan seluruh bu lim."
"Betul. Dia memang berniat menundukkan seluruh bu lim
dengan panji ini." "Kalau begitu, entah bagaimana keadaan gurumu itu?" Se Ciang
Cing menarik nafas panjang.
"Pada waktu itu, Liong ji juga mengajak guru meninggalkan goa
itu! Tapi ".." "Kenapa?" "Guru tidak mau, katanya tidak bisa hidup lebih dari tiga hari
".." "Oh?" Wajah Se Ciang Cing berubah murung.
"Tocu!" ujar cong koan Houw Kian Guan dengan hormat. "Lebih
baik suruh piau Siau ya memperlihatkan panji itu!"
Se Ciang Cing manggut-manggut, lalu memandang Pek Giok
Liong. "Nak Liong, perlihatkan Jit Goat Seng Sim Ki itu!"
"Ya!" Pek Giok Liong mengangguk, ia merogoh ke dalam bajunya
mengambil panji tersebut, lalu menaruhnya di atas meja.
Begitu melihat panji itu, mereka semua segera memberi hormat
pada Pek Giok Liong. "Teecu menghadap Cang Ki (Pemegang panji)!" ujar mereka
serentak. "Paman, Bibi dan lainnya silakan duduk!" sahut Pek Giok Liong.
Se Ciang Cing, Hua Ju Cing dan lainnya segera duduk. Berselang
beberapa saat kemudian, Se Ciang Cing berkata.
"Nak Liong, tahukah kau bahwa panji itu punya hubungan erat
dengan Pulau Pelangi?"
264 "Kakak misan sudah memberitahukan."
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oleh karena itu, kami semua harus mentaati peraturan panji
itu." ujar Se Ciang Cing.
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Nak Liong!" Se Ciang Cing menatapnya dalam-dalam. "Kini
kepandaianmu telah mencapai tingkat yang begitu tinggi, lalu apa
rencanamu selanjutnya?"
"Menegakkan keadilan dalam bu lim." jawab Pek Giok Liong.
"Dan membasmi para setan iblis."
"Bagus." Se Ciang Cing tertawa gelak. "Kalau begitu, tentunya
engkau tidak akan mengecewakan gurumu. Oh ya, bagaimana
dengan dendam berdarah kedua orang tuamu?"
"Harus dibalas! Namun Liong ji belum tahu jelas siapa pembunuh
kedua orang tua Liong ji, maka Liong ji harus menyelidiki dulu."
"Menyelidiki dulu?" tanya Se Ciang Cin.
"Liong ji bermaksud menemui Pat Hiong itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Seandainya mereka tidak mau mengaku?"
"Kalau benar itu perbuatan mereka, Liong ji yakin mereka pasti
mengaku." "Kalau mereka bukan pembunuh kedua oran tuamu, apakah
engkau akan melepaskan mereka?" tanya Se Ciang Cing mendadak.
"Itu tergantung pada perbuatan mereka baru-baru ini."
"Ngmm!" Se Ciang Cing manggut-manggut "Mengenai Cit Ciat
Sin Kun, cara bagaiman engkau menghadapinya."
"Liong Ji akan bicara langsung menemuinya setelah itu barulah
memutuskan harus bagaiman menghadapinya."
"Adik misan ingin menasehatinya dulu?" tanya Se Pit Han.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Lebih baik menasehati orang
dari pada membunuh."
"Adik misan, kau, kau kira dia akan dengar nasehatmu?" tanya
Se Pit Han lagi. "Biar bagaimana pun, aku harus mencoba. Itu agar tidak terjadi
pertumpahan darah." "Bagus." Se Ciang Cing tersenyum. "Nak Liong hatimu sungguh
mulia dan bu lim pun akan aman selanjutnya."
"Nak Liong!" Hua Ju Cing menatapnya sambil tersenyum. "Kedua
orang tuamu tidak memberitahukan tentang semua ini, apakah
engkau sudah paham sekarang?"
265 "Menurut Liong ji, kedua orang tua Liong ji tidak mau melanggar
amanat leluhur." "Betul." Se Ciang Cing manggut-manggut. "Ketika itu, demi
membasmi Pat Tay Hiong Jin, kedua orang tuamu meninggalkan
Pulau Pelangi ini. Walau berhasil membasmi Pat Hiong itu, tapi
kedua orang tuamu justru tidak boleh pulang, karena telah
melanggar amanat leluhur!"
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Menurut Liong ji,
amanat leluhur itu ".."
Pek Giok Liong diam, tidak berani melanjutkan ucapannya, Se
Ciang Cing tersenyum sambil menatapnya.
"Nak Liong, lanjutkanlah!"
"Liong ji tidak berani ."
"Tidak apa-apa." Se Ciang Cing tersenyum lagi. "Lanjutkan saja!"
"Menurut Liong ji ".." lanjut Pek Giok Liong dengan suara
rendah. "Amanat leluhur itu agak keterlaluan."
"Oh?" Se Ciang Cing menatapnya tajam. "Nak Liong ji
mengatakan begitu?" "Semua penghuni dilarang memasuki bu lim harus tetap tinggal
di pulau. Bukankah itu merupakan semacam belenggu" Seumur
hidup tidak tahu dunia luar."
"Kelihatan memang begitu, namun sesungguhnya tidak," ujar Se
Ciang Cing sambil tersenyum.
"Maksud Paman?"
"Karena kini sudah ada jalan keluarnya."
"Bagaimana jalan keluarnya?"
"Itu berada padamu, Nak Liong."
"Apa?" Pek Giok Liong tertegun. "Paman, Liong ji sama sekali
tidak mengerti, mohon dijelaskan!"
"Setelah Jit Goat Seng Sim Ki muncul di pulau ini, maka seluruh
penghuni pulau ini harus bergabung dan di bawah perintah panji
itu." "Oooh!" Pek Giok Liong sudah mengerti. "Kalau begitu, apakah
Paman bermaksud ".."
"Nak Liong!" Se Ciang Cing tertawa. "Lebih baik engkau bertanya
pada kakak misanmu!"
"Ayah!" Wajah Se Pit Han kemerah-merahan. "Itu urusan Ayah
dengan adik misan, kok dikaitkan dengan diri Han ji?"
266 "Tapi ".." Se Ciang Cing tertawa lagi. "Bukankah lebih baik
engkau yang mengambil keputusan?"
"Kalau begitu ".." Se Pit Han serius. "Bagaimana kalau Han ji
minta pada adik misan agar mencabut peraturan itu atas nama Jit
Goat Seng Sim Ki" Ayah tidak melarang?"
"Tentu tidak melarang. Justru menurut ayah, engkau yang harus
mengambil keputusan," ujar Se Ciang Cing dan melanjutkan. "Tapi
usia ayah dan ibu sudah hampir enam puluh, maka tidak akan
menginjak kang ouw lagi!"
"Jadi Ayah dan Ibu tidak mau meninggalkan pulau ini?"
"Setelah engkau dan Nak Liong meninggalkan pulau ini, ayah
dan ibu pun akan pergi."
"Oh?" Se Pit Han tercengang. "Ayah dan Ibu mau pergi ke
mana?" "Ingin pergi menikmati keindahan alam."
"Kalau begitu, bagaimana dengan pulau ini?"
"Akan diurusi cong koan Houw Kian Guan!"
"Ayah dan Ibu tidak mau pulang?"
"Tentu harus pulang, hanya saja ".. tidak bisa dipastikan
waktunya, sebab ayah dan ibu ingin pesiar sepuas-puasnya."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut, kemudian mengarah
pada Pek Giok Liong. "Adik misan, sekarang engkau harus
mempergunakan panji itu untuk mencabut semua peraturan di pulau
ini. Sekaligus perintahkan beberapa orang menyertaimu ke Tiong
Goan!" "Kakak misan, ini ".." Pek Giok Liong tertegun.
"Nak Liong! Jangan ragu!" ujar Se Ciang Cing sambil tersenyum.
"Begitu perintahkan pencabutan peraturan itu, engkau pasti akan
mendengar suara sorak sorai yang gemuruh."
Pek Giok Liong berpikir lama sekali, setelah itu barulah ia
mengambil Jit Goat Seng Sim Ki yang di atas meja. Ia lalu
memerintahkan pencabutan peraturan-peraturan di Pulau Pelangi.
Seketika juga terdengar suara sorak sorai yang riuh gemuruh,
bahkan diantaranya ada pula yang berjingkrak-jingkrak saking
girang. "Han!" Se Ciang Cing juga tertawa gembira. "Sudah lama mereka
ingin pergi ke Tiong Goan, namun terikat oleh peraturan. Oleh
karena itu, mereka tidak berani meninggalkan Pulau Pelangi ini!"
"Oooh!" Pek Giok Liong tersenyum.
267 "Nak Liong!" Mendadak wajah Se Ciang Cing tampak serius.
"Sekarang aku akan bercerita sedikit tentang Seng Sim Tayhiap itu."
Pek Giok Liong merasa girang sekali, karena memang ingin tahu
riwayat pendekar itu. "Kalau tidak salah, kira-kira dua ratus tahun yang lampau, bu lim
masa itu telah digemparkan oleh kemunculan seseorang yang amat
jahat. Dia sering melakukan pembunuhan terhadap orang-orang
golongan putih, tiada seorang pun mampu melawannya. Karena itu,
sembilan partai besar langsung bergabung demi membasmi penjahat
itu. Akan tetapi, sembilan partai yang bergabung itu masih tidak
mampu melawannya. Banyak anggota partai terbunuh dan para
ciangbun jin pun terluka parah ".."
"Paman, siapa penjahat itu?" tanya Pek Giok Liong.
"Dia Kiu Thian Mo Cun (Maha Iblis Langit Sembilan)," jawab Se
Ciang Cing memberitahukan.
"Kemudian bagaimana?"
"Justru pada waktu itu, muncul seorang pendekar," lanjut Se
Ciang Cing. "Pendekar itu melawan Kiu Thian Mo Cun sampai tiga
hari tiga malam, akhirnya Kiu Thian Mo Cun itu terpukul jatuh ke
dalam jurang." "Pendekar itu ".."
"Tidak lain adalah Seng Sim Tayhiap." sambung Se Ciang Cing
sambil tersenyum. "Setelah berhasil memukul jatuh Kiu Thian Mo
Cun, maka sembilan partai besar bersepakat untuk membuat panji
Jit Goat Seng Sim Ki bersama Seng Sim Tayhiap."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Jadi Seng Sim
Tayhiap itu adalah kakek guru kita?"
"Betul." Se Ciang Cing mengangguk. "Setelah panji itu usai
dibuat, tidak lama Seng Sim Tayhiap itu pun menghilang entah ke
mana" Jit Goat Seng Sim Ki pun tidak pernah muncul di bu lim.
Namun orang-orang bu lim tahu tentang panji tersebut."
"Paman, Liong ji ingin bertanya, sebetulnya siapa Mei Kuei Ling
Cu itu?" "Beliau ayah Paman." Se Ciang Cing memberitahukan.
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, semua itu sungguh
di luar dugaannya, sehingga ia merasa dirinya seakan berada dalam
mimpi. 268 Hari mulai senja, setiap saat ini, di pantai Lam Hai pasti tampak
seorang gadis berdiri di situ sambil memandang laut nan biru. Dia
adalah Cing Ji. Tidak seberapa lama kemudian, terdengar suara langkah
mendekatinya. Cing Ji menoleh, ia melihat Se Kua Hai sedang
mendekatinya. "Saudara Se! Hari sudah senja, kenapa tidak tampak pelangi?"
tanya Cing Ji heran. "Apa gerangan yang telah terjadi?"
Se Kua Hai menggelengkan kepala. "Entahlah, aku pun merasa
heran." "Saudara Se, apakah telah terjadi sesuatu?"
"Itu tidak mungkin."
"Bagaimana kalau kita berangkat ke Pulau Pelangi?"
"Nona Cing, itu tidak boleh. Engkau bersabarlah! Tidak lama lagi
Tuan Muda Pek pasti kembali."
"Tapi ".."
"Nona Cing!" Mendadak Se Kua Hai menunjuk ke depan.
"Lihatlah! Ada sebuah kapal menuju ke mari."
Cing Ji segera memandang ke arah laut yang ditunjuk Se Kua
Hai, memang tampak sebuah kapal sedang melaju menuju pantai
tempat mereka berdiri. Tampak sosok bayangan berdiri di atas kapal itu, namun Cing ji
tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu.
Sementara kapal itu semakin mendekat. Begitu melihat jelas
orang berdiri di atas kapal itu, seketika Cing ji berseru dengan penuh
kegirangan. "Saudara Se! Itu kak Liong! Kakak Liong sudah kembali!"
Se Kua Hai manggut-manggut seraya tersenyum.
"Tidak salah, dia memang kakakmu Liong."
Kapal itu telah berlabuh, Cing ji pun berteriak sekeras-kerasnya.
"Kakak Liong. Aku berada di sini!"
Pek Giok Liong yang sudah mendarat itu segera menoleh,
seketika wajahnya berseri.
"Adik Cing! Aku sudah melihat dirimu!" serunya.
Usai berseru, Pek Giok Liong pun mengembangkan ginkangnya,
dalam sekejap ia sudah berada di hadapan Cing ji.
"Haah "..?" Cing ji terbelalak. "Kakak Liong ".."
"Adik Cing!" Pek Giok Liong memeluknya.
"Kakak Liong, aku ".. aku terkejut sekali."
269 "Oh?" Pek Giok Liong tertawa.
"Kakak Liong, kau sudah berhasil belajar kepandaian tinggi di
Pulau Pelangi?" tanya Cing ji.
"Bagaimana menurut Adik Cing?" Pek Giok Liong balik bertanya
sambil tersenyum. "Kakak Liong pasti sudah berhasil. Kalau tidak, bagaimana
mungkin tubuhmu bisa melayang ringan sampai di sini" Itu adalah
ginkang tingkat tinggi!"
"Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut sambil
memandangnya dengan penuh perhatian. "Adik Cing, engkau agak
kurus, sakit ya?" Cing ji menggelengkan kepala.
"Kakak Liong, aku tidak sakit, aku baik-baik saja."
"Adik Liong, setiap harikah engkau ke mari?"
"Ya." Cing ji mengangguk. "Se toako juga setiap hari ke mari
menemaniku." "Oh!" Pek Giok Liong segera menghampiri Se Kua Hai, dan
sekaligus menjura. "Terimakasih, saudara Se, aku cukup
merepotkanmu selama ini!"
"Jangan sungkan-sungkan!" Se Kua Hai membalas menjura
dengan hormat. "Itu memang harus."
"Saudara Se, terimakasih untuk semua itu! Kelak aku pasti
membalas budi kebaikanmu, kini aku mau mohon pamit!" Pek Giok
Liong menjura lagi. "Ha ha ha!" Se Kua Hai tertawa gelak. "Aku tidak berani
menerima dua kali ucapan terimakasihmu. Oh ya, kebetulan aku
sempat, bagaimana ku antar saudara ke penginapan?"
"Terimakasih, itu akan merepotkan saudara Se!" tolak Pek Giok
Liong. "Tidak apa-apa." Se Kua Hai tertawa lagi.
"Tapi saudara Se, lihatlah!" Pek Giok Liong menunjuk ke arah
kapal itu. Se Kua Hai segera berpaling ke sana, seketika juga ia tersentak,
karena melihat barisan orang sedang turun dari kapal itu.
"Hah" Apakah Siau kiong cu juga datang?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
Pada waktu bersamaan, melayang turun dua sosok bayangan di
hadapan mereka, ternyata sepasang pengawal Se Pit Han, Giok Cing
dan Giok Ling. 270 Begitu melihat mereka berdua, Se Kua Hai langsung menjura
memberi hormat. "Se Kua Hai memberi hormat pada Nona!" ucapnya.
"Se Kua Hai, engkau tidak usah banyak peradaban!" sahut Giok
Cing, lalu memberi hormat pada Pek Giok Liong. "Hamba
mengundang ketua panji ke penginapan untuk beristirahat."
Sikap Giok Cing dan Giok Ling yang begitu hormat serta
menyebut dirinya sebagai hamba itu membuat Se Kua Hai tertegun
dan tidak habis berpikir. Kenapa bisa jadi begitu" Lagi pula "..
kenapa Pek Giok Liong dipanggil ketua panji" Se Kua Hai bertanyatanya
dalam hati. "Di mana penginapan itu?" tanya Pek Giok Liong pada Giok Cing.
"Apakah berada dalam kota?"
"Ya." Giok Cing mengangguk. "Itu adalah penginapan istimewa,
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
khusus untuk menyambut kedatangan ketua panji."
Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian mengarah pada
Cing ji. "Adik Cing, semua barangmu masih berada di penginapan itu?"
tanyanya. "Ya, Kakak Liong." Cing ji mengangguk. "Oh ya, siapa kedua
kakak itu?" "Mereka berdua adalah sepasang pengawal Siau kiong cu." Pek
Giok Liong memberitahukan.
Giok Cing dan Giok Ling sudah tahu asal usul Cing ji, maka
mereka berdua segera menjura.
"Hamba, Giok Cing dan Giok Ling memberi hormat pada Nona!"
"Eh?" Cing ji terbelalak. "Jangan begitu menghormati diriku,
namaku Cing Ji, panggil saja Cing ji!"
"Ya." Giok Cing dan Giok Ling mengangguk serentak.
"Kakak Liong, kita ke penginapan itu mengambil buntalan bajuku
dulu. Setelah itu, barulah kita ke penginapan istimewa itu," ujar Cing
ji dengan wajah cerah ceria. Tentu, sebab gadis itu telah bersama
Pek Giok Liong lagi. "Nona Cing!" ujar Giok Ling. "Engkau dan ketua panji langsung
ke penginapan istimewa itu saja! Mengenai barang-barangmu yang
di penginapan, nanti ada orang mengantar ke sana."
"Baiklah." Cing ji mengangguk. "Terimakasih, Kak Ling!"
271 Bagian ke 34: Kembali Kedaratan Tengah
Seekor kuda berbulu hitam mengkilap berjalan santai, tampak
seorang pemuda berbaju hitam pula duduk di punggung kuda hitam
itu. Sebelum tiba di tempat ini, kuda hitam itu telah berlari kencang
siang dan malam. Dari Siu Gu San menuju Kota Ling Ni, dari Kota
Ling Ni terus menuju utara, akhirnya tiba di Kota Teng Hong.
Kuda hitam itu pun mulai berjalan santai. Tak seberapa lama
kemudian, pemuda berbaju hitam itu menarik tali kendali,
menghentikan kudanya di depan sebuah rumah megah.
Pintu rumah itu tertutup rapat, di depannya terdapat sepasang
singa batu, itu adalah rumah keluarga Siauw.
Siapa pemuda baju hitam itu" Tidak lain adalah Pek Giok Liong.
Ia duduk di punggung kuda sambil membatin.
"Sudah setahun, segala apa yang di luar sini masih tetap seperti
dulu. Entah bagaimana keadaan di dalam rumah itu?"
Setelah membatin, Pek Giok Liong pun melompat turun dari
punggung kudanya. Selangkah demi selangkah ia mendekati pintu
rumah itu, lalu menggedor pintu dengan gelang besi yang
tergantung di pintu tersebut.
Berselang beberapa saat kemudian, terdengar suara yang kasar
dan parau di dalam. "Siapa yang menggedor pintu?"
"Aku," sahut Pek Giok Liong. "Harap segera buka pintu!"
Pintu itu terbuka, tampak seorang berbaju hijau berdiri di situ.
Sepasang mata orang itu menatap tajam pada Pek Giok Liong.
"Mau apa engkau ke mari?"
"Mau cari orang."
"Cari siapa?" "Cari seorang tua yang pincang kakinya."
"Oh?" Orang berbaju hijau itu tertawa dingin. "Orang tua
pincang itu telah mati."
Tergetar hati Pek Giok Liong, sepasang matanya langsung
menyorot tajam dan wajahnya pun berubah.
"Dia sudah mati?"
Orang berbaju hijau itu tampak tidak sabar, namun
mengangguk. 272 "Tuan besar tidak bohong, sudah tiga bulan dia mati." Usai
berkata demikian, orang berbaju hijau itu sekaligus menutup pintu.
Akan tetapi, Pek Giok Liong pun cepat-cepat mengayunkan
sebelah kakinya ke dalam pintu, sehingga pintu itu tidak bisa
ditutup. Orang berbaju hijau melotot, kemudian membentak kasar.
"Hei! Bocah sialan! Mau apa engkau?"
"Aku tidak mau apa-apa," sahut Pek Giok Liong sambil
tersenyum. "Hanya ingin tahu dengan jelas!"
Orang berbaju hijau mengerutkan kening, ia menatap Pek Giok
Liong dengan tajam. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kawan!" Suara Pek Giok Liong mulai bernada dingin. "Aku ingin
bertanya, bagaimana orang tua pincang itu mati?"
Sepasang bola mata orang berbaju hijau itu berputar-putar,
kemudian balik bertanya, "Bocah! Engkau ke mari untuk menyelidiki
kematiannya?" "Aku ke mari sebetulnya ingin menengoknya tapi dia sudah mati.
Sebagai kenalan, tentunya aku boleh bertanya mengenai
kematiannya!" "Oh, begitu!" Orang berbaju hijau itu manggut. "Jadi engkau
bukan sengaja ke mari untuk menyelidiki kematiannya?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Tentu bukan."
Orang berbaju hijau itu tertawa.
"He he! Kalau begitu, aku akan memberitahukan, dia mati
karena sakit." "Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening "Kawan! Dulu
sepertinya aku tidak pernah melihatmu, sudah berapa lama engkau
berada di keluarga Siauw ini?"
"Hampir setengah tahun. Kenapa?"
"Oh, tidak." Pek Giok Liong tersenyum. "Kawan, betulkah orang
tua pincang itu mati karena sakit?"
"Bocah! Engkau tidak percaya" Dia adalah orang tua pincang,
tentunya tidak mungkin mati dibunuh orang!"
"Oooh! Kawan, aku ingin bertanya ".."
"Mau bertanya apa lagi?" Orang berbaju hijau itu tampak mulai
tidak sabar. "Jenazahnya dimakamkan di mana?"
273 "Di sebelah barat perkampungan ini, kira-kira lima li, di sana
terdapat pekuburan," ujar orang berbaju hijau dan menambahkan.
"Bocah, engkau sudah boleh pergi, pintu mau kututup."
Pek Giok Liong menggelengkan kepala dan kakinya masih
mengganjal di pintu itu. "Kawan, jangan cepat-cepat tutup pintu, aku masih ada sedikit
urusan." katanya. "Eh?" Orang baju hijau itu tampak tidak senang. "Masih ada
urusan apa?" "Kawan!" Pek Giok Liong menatapnya. "Tolong laporkan, bahwa
aku ingin bertemu cung cu!"
Air muka orang berbaju hijau itu berubah, ditatapnya Pek Giok
Liong dengan mata menyorotkan sinar tajam.
"Engkau kenal cung cu?"
Pek Giok Liong manggut-manggut sambil tersenyum.
"Kalau tidak kenal, untuk apa aku menemuinya?"
"Kenal pun percuma." Orang berbaju hijau itu menggelengkan
kepala. "Kenapa?" tanya Pek Giok Liong heran.
"Sebab cung cu tidak mau bertemu dengan siapa pun."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum. "Engkau harus tahu, aku ini
merupakan tamu istimewa! Cung cu kalian pasti mau bertemu
denganku, kawan. Cobalah engkau masuk untuk melapor!"
"Tidak usah dicoba!" sahut orang berbaju hijau itu dingin.
"Meskipun engkau tamu istimewa, namun cung cu tetap tidak akan
menerimamu." "Kalau begitu, aku ingin bertemu nona kalian," ujar Pek Giok
Liong. "Tentunya boleh kan"
Air muka orang berbaju hijau itu berubah, itu tidak terlepas dari
mata Pek Giok Liong. "Engkau juga kenal nona?"
Pek Giok Liong tersenyum dan manggut manggut.
"Kawan aku bukan cuma kenal nona, bahkan aku pun kenal
semua orang di sini, kalau masih tetap orang-orang yang setahun
lalu." "Oh" Bolehkah aku tahu namamu?"
"Hek Siau Liong!"
Orang berbaju hijau itu mengerutkan kening seakan sedang
berpikir, kemudian menggelengkan kepala.
274 "Aku tidak pernah mendengar namamu!"
"Kawan!" Pek Giok Liong tertawa. "Baru setengah tahun engkau
di sini, sedangkan aku sudah setahun meninggalkan rumah Siauw
ini, tentunya engkau tidak pernah dengar namaku."
"Oh?" "Nah, kawan! Cepatlah engkau masuk dan melapor pada nona,
bahwa aku Hek Siau Liong ingin bertemu dengannya."
Orang berbaju hijau itu tampak serba salah.
"Maaf!" ucapnya. "Aku tidak bisa melapor."
"Lho, kenapa?" Pek Giok Liong tercengang.
"Nona dalam keadaan sakit, tidak bisa bertemu siapa pun."
Orang baju hijau memberitahukan.
"Oh?" Pek Giok Liong terkejut. "Parahkah sakitnya?"
"Entahlah." Orang berbaju hijau menggelengkan kepala. "Aku
kurang jelas. Lebih baik lain hari engkau balik ke mari lagi!"
Pek Giok Liong diam sambil berpikir. Mendadak sepasang
matanya menyorotkan sinar tajam, lalu mengajukan pertanyaan
yang mengejutkan. "Di mana Gin Tie (Raja perak)?"
Orang berbaju hijau tertegun, bahkan tampak kaget.
"Gin Tie" Siapa dia?"
"Kawan!" Pek Giok Liong menatapnya tajam seakan menembus
ke dalam hatinya. "Sungguhkah engkau tidak tahu?"
"Aku sungguh tidak tahu," jawab orang berbaju hijau itu tidak
pura-pura. Dia sungguh tidak tahu atau dugaanku keliru" Pek Giok Liong
membatin. Apakah Gin Tie itu bukan Tu Cu Yen"
"Oh ya!" tanya Pek Giok Liong mendadak. "Tu Cu Yen ada?"
"Tuan muda Tu sudah pergi."
"Engkau tahu dia pergi ke mana?"
"Tidak tahu." "Di mana Siauw Peng Yang?"
"Tuan muda Yang dan Tuan muda Kiam ada di dalam."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kalau begitu, aku
ingin bertemu mereka berdua."
Mendadak, terdengar suara bentakan yang amat dingin.
"Hu Piau, siapa di luar?"
Hu Piau, orang berbaju hijau itu segera memberi hormat seraya
menjawab. 275 "Cong koan (Kepala pengurus), yang di luar adalah seorang
tamu istimewa." Yang membentak dengan suara dingin itu, ternyata adalah cong
koan. Justru membuat Pek Giok Liong tidak habis berpikir.
Setahunya dulu tidak ada cong koan di keluarga Siauw ini. Tapi kini
".. Siapa orang itu" Pek Giok Liong bertanya dalam hati. Walau
suaranya begitu dingin, namun amat bertenaga. Itu pertanda orang
itu memiliki tenaga dalam tingkat tinggi "..
Pek Giok Liong memandang ke dalam, tampak seseorang berdiri.
Orang itu berusia empat puluhan, sepasang matanya berkilat-kilat.
Tampang orang itu tidak jahat, namun wajahnya amat dingin
dan kelihatan tidak berperasaan. Siapa yang melihatnya, pasti
bergidik. "Mau apa dia ke mari?" tanya kepala pengurus itu dingin.
"Mau menengok orang tua pincang," jawab Hu Piau
memberitahukan. "Hu Piau!" bentak kepala pengurus itu. "Orang tua pincang
sudah mati, engkau tidak memberitahukan padanya?"
"Hamba sudah beritahukan."
"Kalau engkau sudah beritahukan, kenapa dia masih belum
pergi?" Mendadak Pek Giok Liong menyela.
"Aku ingin bertemu cung cu atau nona. Bolehkah?"
"Sebetulnya boleh, tapi kedatanganmu tidak tepat pada
waktunya," sahut kepala pengurus dingin.
"Maksud cong koan?"
"Cung cu dalam keadaan kesal dan risau, maka tidak akan mau
bertemu dengan siapa pun. Sedangkan nona masih sakit berbaring
di tempat tidur, juga tidak bisa bertemu siapa pun."
"Kalau begitu ".." Pek Giok Liong tertawa ringan.
"Kedatanganku sungguh tidak pada waktunya?"
"Tidak salah." sahut cong koan sambil tertawa hambar.
Memanah Burung Rajawali 25 Legenda Kematian Karya Gu Long Pendekar Panji Sakti 9
"Tuan Muda mau ke pulau"..." Se Kua Hai merendahkan
suaranya. ?"... Cai Hong To (Pulau Pelangi) kan?"
Pek Giok Liong tersentak, kemudian tertawa seraya berkata.
"Aku pun sudah tahu, bahwa Saudara bukan seorang nelayan
biasa." Pek Giok Liong menatapnya. "Saudara Se, bersediakah kau
membantu kami?" "Tuan Muda percaya adanya Pulau Pelangi itu?" tanya Se Kua
Hai mendadak. "Itu memang seperti pulau khayalan, sulit dipercaya. Tapi aku
yakin pulau itu ada."
"Oh" Apa alasan Tuan Muda?"
"Tiada angin pasti tiada ombak, kang ouw yang memberitakan
itu, tentunya tidak hanya merupakan dongeng."
"Oh, ya?" "Lagi pula"..." Pek Giok Liong memandangnya sambil
tersenyum. "Saudara telah membuktikan bahwa itu nyata, bukan
khayalan." "Eh?" Se Kua Hai tertegun. "Kapan aku membuktikan itu?"
Pek Giok Liong tersenyum.
"Kalau Pulau Pelangi merupakan pulau khayalan, tentunya
Saudara tidak akan menduga bahwa aku akan menuju ke pulau itu."
"Oh?" Se Kua Hai tertawa. "Seandainya sekarang aku
mengatakan Pulau Pelangi itu tidak ada. Tuan Muda pasti tidak
percaya kan?" "Kira-kira begitulah."
"Tuan Muda!" Se Kua Hai menatapnya dalam-dalam. "Sebetulnya
ada urusan apa engkau ingin Pulau Pelangi?"
220 "Ingin belajar ilmu silat tingkat tinggi pada tocu (Majikan pulau),"
jawab Pek Giok Liong jujur.
"Sudikah Tuan Muda mendengar nasihatku?"
"Dengan senang hati."
"Percuma Tuan Muda ke Pulau Pelangi itu."
"Itukah nasihat Saudara?"
"Ya." "Kenapa Saudara mencetuskan nasihat itu?"
"Karena dalam seratusan tahun ini, entah berapa banyak orangorang
bu lim ke mari dengan harapan seperti Tuan Muda, bertekad
mencari pulau itu, namun akhirnya"..."
"Bagaimana?" "Banyak diantaranya terdampar ke pulau lain, bahkan ada pula
yang mati digigit binatang berbisa. Tiada seorang pun yang dapat
menemukan Cai Hong To itu."
"Maksud Saudara pulau itu masih merupakan suatu teka-teki?"
"Aku memberitahukan dengan sejujurnya. Tuan Muda percaya
atau tidak, itu terserah Tuan Muda sendiri."
"Terima kasih atas maksud baik Saudara. Tapi".." lanjut Pek
Giok Liong kemudian. "Aku telah membulatkan tekad, kalau pun
harus mati di tengah laut, aku tetap harus mencari pulau itu."
"Tuan Muda begitu tampan dan punya masa depan yang
gemilang, kenapa harus menempuh bahaya itu" Seandainya"..."
"Aku tahu akan maksud baik Saudara, tapi segala itu tidak akan
menggoyahkan tekadku."
"Oh?" Se Kua Hai menatapnya tajam. "Tuan Muda begitu nekad,
bolehkah Tuan Muda memberitahukan alasannya?"
"Aku memikul dendam berdarah kedua orang tua, maka harus
belajar ilmu silat tingkat tinggi, agar dapat menuntut balas."
"Oooh!" Se Kua Hai manggut-manggut "Kalau begitu, musuhmusuh
Tuan Muda pasti penjahat yang berkepandaian tinggi kan?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Kalau tidak, aku pun tidak
akan menempuh bahaya ini."
"Siapa para penjahat itu?"
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menatapnya seraya balik bertanya.
"Pernahkah Saudara mendengar tentang Bu Lim Pat Tay Hiong Jin
(Delapan orang buas bu lim)?"
"Maksud Tuan Muda salah seorang di antara mereka itu?"
"Mungkin semuanya."
221 "Hah?" Se Kua Hai tampak terkejut. "Maksudmu Pat Hiong
bergabung?" "Itu memang mungkin." Pek Giok Liong mengangguk. "Nah,
bagaimana menurut Saudara" Harus atau tidak aku menempuh
bahaya untuk mencari pulau itu?"
"Itu harus, tapi ada atau tidaknya pulau itu......"
"Saudara Se, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan?"
"Tentu boleh." Se Kua Hai tersenyum. "Pertanyaan apa?"
"Saudara Se, tahukah engkau tentang keluarga bu lim di Lam
Hai?" "Kalau keluarga itu terkenal, para nelayan asti tahu."
"Apakah Saudara tahu tentang keluarga Se yang di Lam Hai ini?"
"KeHuarga Se"..?" Se Kua Hai tampak tercengang.
"Saudara Se, apakah engkau tidak tahu?"
"Maaf!" ucap Se Kua Hai. "Tidak pernah dengar tentang keluarga
itu, maka aku tidak tahu."
"Heran!" gumam Pek Giok Liong. "Apakah saudara Se itu......"
"Tuan Muda kenal seseorang bermarga Se?" tanya Se Kua Hai
cepat. "Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Dia yang memberitahukan
padaku bahwa rumahnya berada di Lam Hai dan termasuk keluarga
bu lim." "Tuan Muda tahu namanya?" tanya Se Kua Hai sambil
menatapnya tajam. "Tahu. Dia bernama Se Pit Han."
"Haah"..?" Se Kua Hai tampak terperanjat, dipandangnya Pek
Giok Liong dengan mata terbelalak.
Menyaksikan reaksi Se Kua Hai, hati Pek Giok Liong pun
tergerak. "Saudara Se, pernahkah engkau mendengar nama tersebut?"
tanyanya cepat. Se Kua Hai diam saja, lama sekali barulah ia manggut-manggut
seraya berkata dengan suara dalam.
"Pernah. Keluarga Se itu memang terkenal sekali."
"Kalau begitu......"
"Di mana Tuan Muda berkenalan dengan Tuan Muda Se itu?"
tanya Se Kua Hai memutuskan ucapan Pek Giok Liong.
"Di Kota Ling Ni di Lo Ham."
"Apakah Tuan Muda Se cuma seorang diri?"
222 "Dia tidak seorang diri, melainkan ada Sek Khi, Pat Kiam dan
Siang Wie mendampingi saudara Se itu."
Se Kua Hai tampak berpikir, beberapa saat kemudian ia
bertanya. "Tuan Muda Se tahu bahwa Tuan Muda pergi ke Lam Hai?"
Pek Giok Liong mengangguk.
"Tahu. Bahkan dia pula yang menyuruhku mencoba mengadu
untung untuk mencari Pulau Pelangi."
Sepasang mata Se Kua Hai bersinar sekelebatan, lalu ujarnya
serius. "Kalau begitu, Tuan Muda Se memberitahukan pada Tuan Muda
bahwa memang ada Pulau Pelangi!"
"Dia tidak bilang secara terang-terangan, hanya memberi
petunjuk dengan isyarat."
"Bagaimana isyarat Tuan Muda Se?"
"Asal aku tidak takut bahaya dan tidak takut usah, pasti dapat
menemukan pulau itu. Dia bilang demikian."
"Oooh!" "Kenalkah Saudara dengan saudara Se itu?"
Se Kua Hai tertawa gelak.
"Kenal memang kenal, aku kenal dia, tapi dia tidak mengenalku."
"Eh?" Pek Giok Liong tertegun. "Maksud Saudara?"
"Tuan Muda Se itu sangat tinggi derajatnya, sedangkan aku
cuma seorang nelayan. Nah, Tuan Muda mengerti maksudku?"
"Saudara Se!" sela Cing Ji mendadak. "Berediakah sekarang
Saudara membantu kami?"
Se Kua Hai mengangguk sambil tersenyum.
"Tuan Muda Hek kenal Tuan Muda Se, bagaimana mungkin aku
tidak mau membantu?" Tapi Se Kua Hai tampak ragu.
"Kenapa?" "Aku hanya mengijinkan Tuan Muda seorang diri naik ke kapalku,
maka nona tidak boleh ikut."
"Kenapa?" Pek Giok Liong heran.
"Ini merupakan pantangan."
"Pantangan?" Pek Giok Liong terbelalak. "Kapal Saudara pantang
ada penumpang wanita?"
"Kapal nelayan memang begitu, kecuali kapal dagang."
"Maukah Saudara menolong mencarikan kami kapal dagang?"
223 "Maaf, Tuan Muda!" Se Kua Hai menggelengkan kepala. "Aku
sama sekali tidak bisa membantu."
"Tapi"..." Pek Giok Liong memberitahukan. "Dia anak gadis dan
seorang diri pula, bagaimana mungkin......"
"Tuan Muda tidak perlu mengkhawatirkan nona. Di daerah sini
terdapat sebuah Peng An Khe Can (Rumah penginapan Peng An).
Asal memberitahukan bahwa Tuan Muda teman Tuan Muda Se,
maka makan dan tidur di sana pun tidak usah bayar."
Pek Giok Liong memandang Cing Ji, setelah itu tanyanya dengan
suara rendah. "Adik Cing, bagaimana menurutmu?"
"Saudara Se sudah berkata begitu, jadi lebih baik aku tinggal di
rumah penginapan itu menunggumu."
"Adik Cing, aku akan segera pulang kalau tidak menemukan
Pulau Pelangi. Namun kalau menemukannya, mungkin akan lama
baru pulang." "Kakak Liong!" Cing Ji tersenyum. "Aku tahu itu, pokoknya setiap
sore aku akan ke mari menunggumu."
"Adik Cing!" Pek Giok Liong menatapnya. "Engkau tinggal
seorang diri di sini, maka harus berhati-hati."
"Kak Liong tidak usah mencemaskan diriku." Cing Ji tersenyum
lagi. "Aku bisa menjaga diri."
"Adik Cing"..." Pek Giok Liong ingin mengatakan sesuatu,
namun mendadak dibatalkannya.
Sedangkan Cing Ji mengarah pada Se Kua Hai, kemudian
tanyanya sambil tersenyum.
"Saudara Se, di mana Peng An Khe Can itu?"
"Di Kota Pian An. Aku sekarang akan menyuruh orang ke mari
untuk menjemput Nona," ujar Se Kua Hai, lalu melangkah pergi.
Cing Ji memandang punggung orang itu, kemudian mendadak
berkata pada Pek Giok Liong dengan suara rendah.
"Kakak Liong sudah melihat belum?"
Pertanyaan Cing Ji itu membuat Pek Giok Liong tertegun.
"Melihat apa?" "Saudara Se itu pasti ada hubungan dengan keluarga Se."
"Itu tidak mungkin."
"Kakak Liong!" Cing Ji tersenyum. "Apakah engkau tidak melihat
bagaimana reaksinya ketika engkau menyebut nama Tuan Muda Se"
Air mukanya tampak luar biasa sekali."
224 "Bukankah dia sudah bilang, bahwa keluarga Se sangat terkenal
di Lam Hai ini" Maka dia tahu mengenai keluarga itu."
"Menurutku tidak begitu sederhana, melainkan pasti ada sesuatu
di balik itu." Cing Ji tampak serius.
"Maksudmu?" "Aku sudah bercuriga dalam hati, hanya aku belum berani
memastikannya." Usai Cing Ji berkata, tiba-tiba muncul Se Kua Hai
dengan seorang nelayan yang berusia lima puluhan.
"Chu toasiok! Ini nona Cing!" ujar Se Kua Hai memperkenalkan.
"Harap Chu toasiok (Paman Chu) mengantarnya ke rumah
penginapan Peng An!"
Nelayan tua itu manggut-manggut, ia memandang Cing Ji sambil
tersenyum ramah. "Hek kouw nio (Nona Hek), harap ikut lo ciau (Aku yang tua)
pergi!" "Terima kasih, Saudara tua!" ucap Cing Ji.
Bagian ke 29: Orang Penjaga Jalan
Tampak sebuah kapal nelayan kecil dengan layar yang tidak
begitu besar, melaju melawan ombak di laut.
Di dalam kapal nelayan itu hanya terdapat dua orang, yakni Se
Kua Hai dan Pek Giok Liong.
Se Kua Hai memang ahli mengemudikan kapal nelayan, maka
kapal itu tidak sampai terombang-ambing, sebaliknya malah begitu
tenang melaju. Sudah tiga hari kapal nelayan tersebut berlayar. Dalam tiga hari
ini, sudah ada lima buah pulau kecil yang dilewatinya, namun belum
juga menemukan Pulau Pelangi.
Sementara hari sudah mulai sore, Pek Giok Liong berdiri tegak
sambil memandang jauh ke depan, tampak sebuah pulau di sana.
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menoleh memandang Se Kua Hai.
"Tahukah engkau pulau apa itu?"
"Maaf Tuan Muda!" jawab Se Kua Hai. "Banyak pulau kecil di
tengah laut ini, aku tidak tahu nama-nama pulau itu. Alangkah
baiknya kalau pulau yang di depan itu Pulau Pelangi."
"Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut.
Tak seberapa lama kemudian, mendadak Se Kua Hai bersorak
kegirangan sambil menunjuk ke depan.
225 "Tuan Muda, lihatlah! Apa itu?"
Pek Giok Liong segera memandang ke arah yang ditunjuk Se Kua
Hai, seketika juga ia terbelalak dan tampak tertegun.
Ternyata ia melihat pelangi melingkar di atas pulau yang di
depan itu. Pelangi itu tampak indah dan begitu mempesona.
"Itu ".. itu Cai Hong To! Itu Cai Hong To!" seru Pek Giok Liong
girang. "Tidak salah, itu pasti Cai Hong To, akhirnya kita
menemukan juga!" "Kelihatannya memang tidak salah." sahut Se Kua Hai dengan
wajah berseri. "Hanya pulau itu yang dilingkari pelangi, itu pasti
Pulau Pelangi." Hari sudah mulai gelap, Se Kua Hai menurunkan layar. Ternyata
kapal nelayan itu sudah hampir mencapai pantai pulau itu. Tak lama
kapal nelayan itu sudah membentur pantai tersebut.
Pek Giok Liong segera melompat ke pantai. Ketika sepasang
kakinya menginjak pantai itu, terdengar pula suara gemuruh. Pek
Giok Liong cepat-cepat menoleh, sungguh di luar dugaan, kapal
nelayan itu mulai meninggalkan pantai itu.
"Se toako, jangan pergi dulu!" teriak Pek Giok Liong.
"Tuan Muda Hek!" Se Kua Hai tertawa. "Engkau telah
menemukan Cai Hong To, maka tidak membutuhkan kapal lagi,
untuk apa aku berada di pantai itu?"
"Saudara Se! Tolong beritahukan pada adikku, bahwa aku sudah
sampai di Pulau Pelangi! Suruh dia berlega hati dan harap Se toako
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baik-baik menjaganya!" Teriak Pek Giok Liong lagi.
"Harap Tuan Muda tenang!" sahut Se Kua Hai. "Aku pasti
memberitahukannya, dan sekaligus menjaganya baik-baik."
"Terima kasih, Saudara!" ucap Pek Giok Liong.
"Sama-sama!" Se Kua Hai melambaikan tangannya. Sementara
kapal nelayan itu terus melaju, akhirnya lenyap dari pandangan Pek
Giok Liong. Pek Giok Liong menarik nafas dalam-dalam, lalu membalikkan
badannya dan mulai melangkah memasuki pulau itu.
Berselang beberapa saat kemudian, mendadak terdengar suara
seruan yang parau. "Bocah, cepat berhenti!"
Pek Giok Liong terkejut, ia segera berhenti seraya bertanya
dengan suara nyaring. 226 "Lo jin keh, siapa kau sebenarnya?"
"Aku penjaga jalan di pulau ini," terdengar suara sahutan.
"Bocah, siapa engkau?"
Pek Giok Liong tidak segera menyahut, melainkan mengarah
pada suara itu, ternyata berasal dari sebuah goa.
"Cahye (Aku yang rendah) bernama Hek Siau Liong. Kalau aku
boleh tahu, siapa nama lo jin keh?" Pek Giok Liong menatap goa itu.
Penjaga jalan itu tidak menjawab, sebaliknya malah balik
bertanya. "Bocah! Engkau datang dari mana?"
"San Si!" "Mau apa datang di sini?"
"Ingin bertemu tocu (Majikan pulau)."
"Tahukah engkau nama pulau ini?"
"Cai Hong To." "Hmm!" dengus penjaga jalan itu dingin. "Siapa yang
memberitahukan padamu?"
"Tidak ada yang beritahukan, melainkan aku sendiri yang
menemukan pulau ini."
"Cara bagaimana engkau menemukan pulau ini?"
"Ketika hari mulai senja, aku melihat pelangi melingkar di atas
pulau ini." "Maka engkau menganggap pulau ini Pulau Pelangi?"
"Benar." "Engkau tidak berdusta?"
"Kenapa aku harus berdusta?"
"Kalau begitu, bukan Se Kua Hai yang memberitahu padamu?"
Tergerak hati Pek Giok Liong mendengar pertanyaan itu.
"Apakah Se Kua Hai tahu bahwa ini Pulau Pelangi?" tanyanya.
"Hmm!" dengus penjaga jalan itu. "Hek Siau Liong, ada urusan
apa engkau ingin bertemu tocu?" tanyanya.
"Ingin belajar bu kang yang tiada taranya."
"Apa"!" penjaga jalan itu tertawa gelak. "Bocah! Engkau ingin
menjagoi bu lim dan agar dirimu tiada tanding di kolong langit?"
"Aku sama sekali tiada maksud begitu."
"Kalau begitu untuk apa engkau ingin belajar bu kang yang tiada
tara itu?" 227 "Aku memikul dendam berdarah, kalau tidak berhasil belajar bu
kang tingkat tinggi yang tiada taranya, berarti tiada harapan untuk
menuntut balas dendam berdarah tersebut."
"Apakah musuh-musuhmu itu berkepandaian tinggi?"
"Tidak salah, mereka rata-rata memiliki kepandaian yang amat
tinggi masa kini." "Bocah!" tegur penjaga jalan itu. "Kalau bicara harus berpikir
dulu, jangan bicara sembarangan!"
"Aku tidak bicara sembarangan, apa yang kukatakan itu,
semuanya benar." "Kalau begitu, berapa banyak musuh-musuhmu?"
"Ada beberapa orang."
"Lebih dari dua?"
"Mungkin tiga empat orang, namun mungkin juga tujuh delapan
orang." "Kok mungkin" Itu pertanda engkau tidak tahu jelas?"
"Benar." "Tahukah engkau siapa musuh-musuhmu itu?"
Pek Giok Liong tidak menyahut, malah balik bertanya.
"Pernahkah lo jin keh dengar tentang Pat Tay Hiong Jin?"
"Ha ha ha!" penjaga jalan tertawa gelak. "Hek Siau Liong,
sungguh berani engkau membohongiku."
"Aku tidak membohongi lo jin keh. Lagi pula tiada gunanya aku
berbohong." "Oh?" Penjaga jalan tertawa dingin. "Pat Tay Hiong Jin itu telah
mati di Im San Ok Hun Nia, bagaimana mungkin mereka hidup lagi?"
"Tiga bulan yang lalu, Siang Hiong Thai Nia pernah muncul di
Kota Ling Ni." "Engkau melihat dengan mata kepala sendiri?"
"Aku tidak melihat, namun ada orang lain melihat mereka
berdua." "Siapa yang melihat mereka?"
"Thai Hang Ngo Sat bersaudara."
"Ha ha ha!" Penjaga jalan tertawa. "Omongan Thai Hang Ngo
Sat itu bisa dipercaya?"
"Harus dilihat mereka berbicara dengan siapa?" sahut Pek Giok
Liong hambar. "Mereka berlima bicara dengan siapa?"
"Sin Cang Kui Kian Chou, Si Tongkat Sakti."
228 "Oh...!" Penjaga jalan diam, kelihatannya ia mulai percaya.
Pek Giok Liong juga ikut diam, namun berselang sesaat ia
bertanya. "Apakah lo jin keh sudah percaya?"
"Kalau engkau berkata sesungguhnya, aku tentunya percaya!
Tapi ".." Penjaga jalan berhenti sejenak, setelah itu dilanjutkan.
"Bocah, percuma engkau ke mari."
"Mengapa?" Pek Giok Liong tertegun.
"Bu kang di pulau ini memang tiada duanya di kolong langit."
Penjaga jalan memberitahukan. "Namun setelah berhasil belajar
semua bu kang itu, juga tiada gunanya."
"Aku sama sekali tidak mengerti, mohon dijelaskan!" ujar Pek
Giok Liong. "Karena kau tidak bisa meninggalkan pulau ini."
"Karena tiada kapal?"
"Bukan." "Kalau bukan karena itu, lalu dikarenakan apa?"
"Peraturan yang berlaku di pulau ini."
"Peraturan apa?"
"Harus melewati tiga rintangan. Kalau tidak, sama sekali tidak
boleh meninggalkan pulau ini."
"Apakah sulit sekali melewati tiga rintangan itu?"
"Sudah tiga puluh tahun aku menjaga di sini, selama itu tidak
pernah menyaksikan ada orang yang mampu melewati tiga
rintangan itu. Maka ".." lanjut penjaga jalan kemudian. "Aku
menasehatimu, lebih baik engkau sampai di sini saja. Segeralah
pulang ke Tiong Goan dan mencari guru lain untuk belajar bu kang
tingkat tinggi, lalu menuntut balas dendam berdarah itu."
"Sebetulnya aku harus menuruti nasihat lo jin keh, akan tetapi
".." Pek Giok Liong menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkan.
"Tekadku tidak mengizinkan diriku meninggalkan pulau ini."
"Jadi ".. engkau berkeras ingin bertemu tocu untuk belajar bu
kang tingkat tinggi yang tiada tara itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Oleh karena itu, aku
menempuh bahaya menuju kemari, karena ini satu-satunya
harapanku untuk membalas dendam berdarah itu."
"Hek Siau Liong, kalau pun engkau berhasil dan mampu
melawan Pat Tay Hiong Jin namun engkau sama sekali tidak mampu
melewati tiga rintangan itu. Maka percuma juga."
229 "Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan," sahut Pek Giok
Liong. "Oleh karena itu, aku yakin pasti ada suatu jalan untuk
melewati tiga rintangan tersebut."
Penjaga jalan berada di dalam goa, maka Pek Giok Liong tidak
bisa melihatnya. Namun orang itu bisa melihat Pek Giok Liong
dengan jelas, juga air mukanya. Oleh karena itu, hati penjaga jalan
itu pun tergerak, ketika berbicara suaranya pun berubah lembut.
"Nak, engkau berpendirian dan memiliki tekad yang begitu
teguh, aku sungguh kagum padamu."
"Terima kasih atas pujian to jin keh!"
"Begini, aku punya akal yang baik. Bersediakah engkau
mendengarnya?" "Bagaimana akal yang baik itu?"
"Terus terang, aku ingin menyempurnakanmu. Engkau tetap
tinggal di sini, bagaimana?"
"Lo jin keh ingin menerimaku sebagai murid?"
Mendadak penjaga jalan itu menarik nafas ringan, tentunya
sangat mengherankan Pek Giok Liong.
"Kenapa lo jin keh menarik nafas?" tanya Pek Giok Liong.
"Di pulau ini, aku sama sekali tidak punya hak untuk menerima
murid," jawab penjaga jalan. "Walau aku tidak berhak menerima
murid, namun akan mewariskanmu seluruh kepandaianku."
"Apakah kepandaian lo jin keh dapat memenangkan Pat Tay
Hiong Jin?" tanya Pek Giok Liong.
"Ha ha ha!" penjaga jalan tertawa terbahak-bahak. "Nak, asal
engkau giat belajar, dalam waktu sepuluh tahun, aku berani
menjamin engkau mampu melawan Pat Tay Hiong Jin. Pokoknya
tidak akan kalah." "Haruskah sampai sepuluh tahun?"
"Kau anggap terlampau lama?"
"Kalau bisa, diperpendek saja waktunya!"
"Diperpendek pun harus delapan tahun."
Kening Pek Giok Liong tampak berkerut, berselang sesaat
ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Delapan tahun kemudian, bu lim di Tiong Goan sudah berubah
tidak karuan." "Nak!" Penjaga jalan tercengang. "Kenapa engkau mengatakan
begitu, apakah ada sebabnya?"
230 "Memang ada sebabnya." Pek Giok Liong memberitahukan. "Saat
ini keadaan bu lim di Tiong Goan sudah mulai gawat, mungkin tidak
lama lagi ".." "Nak!" Penjaga jalan terkejut. "Jelaskanlah!"
"Ada orang ingin menguasai bu lim bahkan orang itu telah mulai
bergerak dengan para anak buahnya."
"Siapa orang itu?"
"Cit Ciat Sin Kun Cih Hua Ni."
"Hah" Iblis pencabut nyawa?"
"Ya." "Nak, maksudmu ingin menyelamatkan bu lim?"
"Ya. Maka aku harus berhasil dalam waktu pendek, lalu kembali
ke Tiong Goan untuk membasmi para iblis itu."
"Nak, engkau memang memiliki hati pendekar. Tapi ".."
"Kenapa?" "Nak!" jawab penjaga jalan setelah berpikir cukup lama. "Aku
tidak bisa langsung mempercayaimu, harus mohon tocu mengutus
seseorang ke Tiong Goan untuk menyelidiki masalah itu."
"Harus berapa lama?"
"Sekitar setengah bulan."
"Kalau begitu, aku harus membuang waktu setengah bulan." Pek
Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau tidak akan membuang waktu setengah bulan, Nak," ujar
penjaga jalan lembut. "Dalam setengah bulan ini, aku akan memberi
petunjuk padamu dalam hal bu kang."
"Baiklah. Aku menurut!"
"Nak, sekarang engkau boleh ke mari!"
"Terima kasih, lo jin keh!" Pek Giok Liong mengayunkan kakinya
menuju ke goa tersebut, ia yakin orang penjaga jalan itu sudah
berusia lanjut. Bagian ke 30: lstana Pelangi
Sepuluh hari kemudian ketika tengah malam, tampak sebuah
kapal yang cukup besar, indah dan mewah melaju menuju Pulau
Pelangi. Kapal itu belum mencapai pantai, namun di pantai telah
berbaris puluhan orang, termasuk penjaga jalan.
Sementara kapal itu sudah mulai mendekati pantai, penjaga
jalan segera berdiri dengan sikap hormat.
231 Tak seberapa lama kemudian, kapal itu telah berlabuh, seketika
juga penjaga jalan berseru dengan hormat.
"Hamba, Bu Bun Yang menyambut Kiong Cu!"
"Bu Bun Yang tidak usah banyak peradaban, harap ikut aku ke
istana!" Terdengar suara sahutan, yang menyambut itu ternyata Se
Khi. Maka dapat diketahui siapa mereka yang mendarat di Pulau
Pelangi. Tentunya Se Pit Han, Siang Wie, Pat Kiam dan Se Khi.
Sungguh di luar dugaan, ternyata Se Pit Han adalah Siau kiong
cu di pulau Pelangi. Namun sayang sekali, Pek Giok Liong telah
ditotok jalan darah tidurnya oleh penjaga jalan, maka tidak
menyaksikan semua itu. Kalau ia menyaksikan, mungkin "..
Bu Bun Yang berusia empat puluhan begitu mendengar suara
seruan Se Khi, ia segera menjura.
"Hamba turut perintah!"
Di dalam Cai Hong Kiong (Istana Pelangi), Se Pit Han bersujud
pada kedua orang tuanya, lalu duduk sambil menatap ayahnya.
"Ayah! Pek piaute (adik misan Pek) berada di mana, kok tidak
kelihatan?" tanya Se Pit Han.
Cai Hong kiong cu (Majikan istana Pelangi), Se Ciang Cing
tampak tertegun, kemudian tanyanya dengan nada heran.
"Engkau bilang apa, Nak" Di mana adik misanmu Pek?"
"Eeeh?" Se Pit Han tersentak, ia menatap ayahnya dengan mata
terbelalak. "Hek Siau Liong adalah Pek Giok Liong, apakah ayah
belum tahu?" "Oh?" "Yang Hong tidak memberitahukan pada Ayah?"
"Dia sudah beritahukan."
"Adik misan Pek sudah datang di pulau ini, kok Ayah belum
tahu?" "Ayah sama sekali belum melihatnya."
"Apa"!" Kening Se Pit Han tampak berkerut. "Se Kua Hai
memberitahukan, dia yang mengantar adik misan Pek ke mari."
"Oh?" Se Ciang Cing tercengang. "Itu kapan?"
"Sepuluh hari yang lalu di tengah malam."
"Oh?" Cai Hong kiong cu Se Ciang Cing tampak bingung. "Ini "..
sungguh aneh sekali."
232 Se Pit Han tertegun, kemudian berpikir keras akan kejadian itu.
Berselang sesaat ia mengarah pada sepasang pengawal yang berdiri
di belakangnya.
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Giong Cing, cepat perintahkan pada cong koan (Kepala
pengurus), agar dia mengundang Si Bun lo jin ke mari!"
"Ya, Majikan muda!" Giok Cing menjura memberi hormat, lalu
segera pergi. Se hujin Hua Ju Cing menatap Se Pit Han dengan heran,
kemudian tanyanya perlahan.
"Han, kau pikir Si Bun Kauw mungkin tahu tentang itu?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Han Ji pikir harus bertanya
padanya, mungkin dia tahu jelas tentang itu."
"Itu bagaimana mungkin?" Se Ciang Cing, tuan istana Pelangi itu
mengerutkan kening. "Ada orang luar memasuki pulau, dia kok
berani tidak melapor?"
"Itu mungkin." "Han, coba jelaskan!" ujar Se Ciang Cing pada Se Pit Han.
"Pikir baiknya, Adik misan Pek memiliki bakat yang luar biasa,
cianpwe mana yang melihatnya, pasti berniat menerimanya sebagai
murid." Se Pit Han menjelaskan. "Ketika pertama kali melihat adik
misan Pek di sebuah penginapan di Kota Ling Ni, paman pengemis
pun ingin menerimanya jadi murid, bahkan juga berjanji dalam
sepuluh tahun, adik misan Pek akan diangkat jadi kepala pengemis."
"Oh?" Se Ciang Cing tertegun. "Pengemis tua itu termasuk salah
satu tujuh orang aneh, hingga kini masih belum punya murid. Tapi
begitu melihat Nak Liong, langsung ingin menerimanya sebagai
murid, itu pertanda Nak Liong memiliki tulang dan bakat yang luar
biasa." "Memang begitu, Ayah."
"Han!" Se Ciang Cing menatapnya. "Kau pikir kemungkinan besar
Si Bun Kauw berniat menerimanya sebagai murid?"
"Menurut Han Ji, itu memang mungkin."
"Apakah masih ada kemungkinan lain?" tanya Se Ciang Cing
mendadak. "Adik misan Pek memiliki sifat angkuh, luar dan dalam justru
".." Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya.
"Itu sifat bibimu." sela Hua Ju Cing sambil tersenyum.
233 "Itulah yang Han ji cemaskan," ujar Se Pit Han. "Mungkin piaute
bertemu Si Bun Kauw, mereka bertengkar dan akhirnya terjadi
pertarungan. Karena kepandaian piaute masih dangkal, maka ".."
Se Pit Han berhenti, namun Se Ciang Cing dan Nyonya Hua Ju
Cing sudah mengerti, itu membuat mereka tersentak.
"Mungkin itu tidak akan terjadi." ujar Se Ciang Cing.
Pada waktu bersamaan, Giok Cing telah masuk dan sekaligus
melapor. "Lapor Majikan Muda! Houw cong koan sudah menunggu di luar
bersama Si Bun Kauw!"
"Suruh mereka masuk!" sahut Se Pit Han.
"Ya." Giok Cing mengangguk, lalu membalikkan badannya dan
berseru. "Siau kiong cu menyuruh kalian berdua masuk!"
Tak seberapa lama kemudian, cong koan Houw Kian Guan
bersama Si Bun Kauw melangkah ke dalam ruang Istana Pelangi.
Setelah berada di hadapan mereka, cong koan Houw Kian Guan dan
Si Bun Kauw segera menjura memberi hormat.
"Hamba memberi hormat pada kiong cu, Hujin dan Siau Kiong
Cu!" ucap mereka berdua serentak.
"Silakan duduk!" sahut Se Ciang Cing.
"Terimakasih," ucap cong koan Houw Kian Guan dan Si Bun
Kauw serentak lagi dengan hormat, lalu duduk.
"Siau Kiong cu memanggil hamba, ada sesuatu penting?" tanya
Si Bun Kauw. Siapa Si Bun Kauw itu, ternyata penjaga jalan.
"Si Bun Kauw!" Se Pit Han tersenyum ramah. "Baru-baru ini
apakah Se Kua Hai pernah datang di pulau ini?"
"Pernah datang sekali, tapi tidak mendarat." jawab Si Bun Kauw.
"Oh?" Se Pit Han menatapnya. "Dia mengantar seseorang ke
mari kan?" Tergerak hati Si Bun Kauw, ia memandang Se Pit Han seraya
balik bertanya. "Apakah Se Kua Hai telah melapor pada Siau Kiong cu?"
"Ng!" Se Pit Han mengangguk. "Siapa nama orang itu?"
"Hek Siau Liong ."
Begitu mendengar jawaban Si Bun Kauw, seketika juga sepasang
mata Se Pit Han berbinar-binar.
"Dia berada di mana sekarang?"
"Dia ".." mendadak Si Bun Kauw balik bertanya. "Apakah Siau
kiong cu ingin tahu maksud tujuannya datang di pulau ini?"
234 "Betul. Dia berada di mana sekarang?"
"Berada di tempat hamba."
Wajah Se Pit Han berseri, bahkan diam-diam menarik nafas lega.
Tapi wajah Se Ciang Cing malah berubah dan bertanya dengan
suara dalam. "Sudah berapa lama dia berada di Pulau ini?"
"Sekitar sepuluh hari."
"Kenapa engkau sama sekali tidak melapor?" tegur Cai Hong
kiong cu Se Ciang Cing. Itu membuat hati Si Bun Kauw tersentak.
"Mohon ampun kiong cu." ucap Si Bun Kauw. "Hamba melihat
dia memiliki bakat yang luar biasa, maka ".."
"Ingin menerimanya sebagai murid kan?" Sela Se Pit Han.
"Hamba tidak berani melanggar sumpah, hanya ingin bersahabat
dengannya sekaligus menyempurnakannya saja."
"Kenapa engkau ingin menyempurnakannya?" tanya Se Ciang
Cing. "Dia memikul dendam berdarah kedua orang tuanya, lagi pula
dia bertekad membasmi para iblis yang ingin menguasai bu lim."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Jadi dia telah
memberitahukan mengenai musuh-musuhnya?"
"Ya." Si Bun Kauw mengangguk. "Musuh-musuhnya adalah Pat
Tay Hiong Jin." "Tidak menjelaskan siapa-siapa dalam Pat Tay Hiong Jin itu?"
tanya Se Pit Han. "Dia bilang mungkin Siang Hiong, mungkin juga Sam Kuai atau
Pat Tay Hiong Jin gabung. Dia sendiri tidak begitu jelas."
"Engkau percaya?" tanya Se Pit Han sambil menatapnya.
"Lima belas tahun yang lampau, Siang Hiong Sam Kuai telah
terpukul jatuh di Ok Hun Nia oleh Pek Kouw Ya dengan tenaga sakti
Thai Ceng Sin Kang. Semua orang bu lim mengetahui tentang itu,
maka tidak mungkin ".."
"Mereka tidak mungkin hidup kembali kan?"
"Ya." Si Bun Kauw mengangguk dan melanjutkan, "Tapi
tampaknya dia tidak berdusta, oleh karena itu, hamba pun jadi
percaya dan ragu." Se Pit Han tersenyum lembut, lalu tanyanya serius.
"Engkau tidak berpikir lebih seksama, bu lim masa kini siapa
orang marga Hek mampu melawan Pat Hiong yang bergabung itu?"
"Hamba sudah berpikir tentang itu, justru tidak tahu siapa orang
marga Hek itu?" 235 "Si Bun Kauw!" Se Pit Han tersenyum. "Apa kebalikan dari kata
Hek (Hitam) itu?" Si Bun Kauw tertegun, ia memandang Se Pit Han seraya
menjawab. "Kebalikan dari kata Hek adalah Pek (Putih)." Usai menjawab, Si
Bun Kauw sendiri pun tersentak. "Apakah dia marga Pek yang adalah
".." "Tidak salah. Dia memang marga Pek!" Se Pit Han
memberitahukan. "Dia putera bibi Hui."
"Haah ".."!" Si Bun Kauw segera bangkit berdiri, kemudian
menjura sambil berkata, "Hamba memang harus mati, mohon ".."
"Tidak usah berkata begitu." Se Pit Han tersenyum. "Duduklah!"
"Terimakasih atas kemurahan hati Siau kiong cu yang tidak
menghukum hamba!" ucap Si Bun Kauw lalu duduk kembali.
"Dalam sepuluh hari ini, engkau menurunkan kepandaian apa
padanya?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Hanya dua belas jurus tangan kosong yang biasa saja."
"Bukankah engkau ingin menyempurnakannya, kok malah
menurunkan jurus-jurus biasa padanya?"
"Hamba memang berniat menyempurnakannya, namun sebelum
tahu jelas sifat dan wataknya maka ".." lanjut Si Bun Kauw
kemudian. ?".. Hingga hari ini, hamba masih belum menurunkan bu
kang lain padanya." "Bagaimana pengamatanmu dalam sepuluh har ini?" tanya Se Pit
Han. "Mengenai apa?"
"Sifat dan wataknya."
"Sifatnya memang agak angkuh, tapi berhati bajik dan berbudi
luhur, bahkan sangat cerdas." Si Bun Kauw memberitahukan. "Oleh
karena itu hamba telah mengambil keputusan, akan mulai
menurunkan bu kang tingkat tinggi padanya. Akan tetapi, dia justru
Tuan muda Pek, tentunya urusan pun jadi lain."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut, lalu memandang Se
Ciang Cing. "Bagaimana Ayah akan mengatur adik misan?"
"Han!" Se Ciang Cing tersenyum. "Bukankah dalam hatimu telah
punya suatu rencana?"
"Benar! Tapi harus disetujui Ayah."
"Asal tidak melanggar amanat leluhur, ayah pasti setuju," ujar Se
Ciang Cing sungguh-sungguh.
236 "Terimakasih, Ayah!" ucap Se Pit Han dengar wajah berseri.
"Han!" Se Ciang Cing menatapnya. "Bagaimana rencanamu itu?"
"Rencana Han Ji ".." Se Pit Han tersenyum. "Pokoknya Han ji
tidak akan melanggar amanat leluhur, nanti Ayah akan
mengetahuinya." "Kok dirahasiakan?" Se Ciang Cing menggeleng-geleng kepala.
"Han ji ingin bikin kejutan." sahut Se Pit Han, lalu memandang Si
Bun Kauw seraya berkata. "Aku ingin minta bantuan, boleh kan?"
"Bantuan apa" Hamba pasti melaksanakannya dengan baik," ujar
Si Bun Kauw sambil menjura.
"Kalau begitu, terlebih dahulu aku mengucapkan terimakasih."
Se Pit Han tersenyum ceria. "Engkau sangat menyukai Adik misan
Pek dan berniat menyempurnakan dirinya, maka alangkah baiknya
kalau engkau mewariskannya semacam kepandaian tingkat tinggi
padanya. Bagaimana?"
"Maksud Siau kiong cu?"
"Aku sangat tertarik pada Thian Liong Pat Ciu (Delapan Jari Naga
Langit) milikmu." "Oh" Ha ha!" Si Bun Kauw tertawa gelak. "Siau kiong cu mengira
hamba begitu pelit ya?"
"Kalau begitu, engkau setuju kan?"
"Setuju." "Nah, untuk sementara ini, dia tetap bersamamu untuk belajar
Thian Liong Pat Ciu. Dalam sepuluh hari, dia sudah harus dapat
menguasai kepandaian tersebut. Oh ya! Engkau jangan
memberitahukan padanya tentang hubungannya dengan pulau
Pelangi ini!" "Ya." Si Bun Kauw mengangguk lalu bertanya. "Apakah Adik
misan Tuan belum tahu tentang ini?"
"Kalau dia tahu, dia sudah beritahukan."
"Itu agak tidak masuk akal," sela Hua Ju Cing mendadak.
"Ibu, apa yang agak tidak masuk akal?" tanya Se Pit Han heran.
"Kalau benar dia adik misanmu, tidak mungkin dia tidak tahu
asal usul ibunya," jawab Hua Ju Cing.
"Mengenai ini, Han ji, Se Khi dan paman pengemis telah
menganalisanya," ujar Se Pit Han sambil tersenyum.
"Oh?" "Kami anggap ayah ibunya tidak mau memberitahukan, itu
karena usia adik misan Pek masih kecil. Oleh karena itu mereka
237 khawatir adik misan Pek akan membocorkan rahasia tersebut." ujar
Se Pit Han. "Memang masuk akal!" Hua Ju Cing manggutmanggut.
"Si Bun Kauw!" Se Pit Han menatapnya. "Di hadapannya jangan
singgung tentang diriku, Se Khi, Siang Wie dan Pat Kiam! Kalau dia
bertanya, engkau jawab tidak tahu saja!"
"Ya, Siau kiong cu."
"Baiklah! Kini engkau boleh kembali ke tempat," ujar Se Pit Han.
"Ya." Si Bun Kauw segera bangkit berdiri. Ia memberi hormat
pada Se Ciang Cing, Hua Ju Cing dan Se Pit Han, lalu mengundurkan
diri dari ruangan itu. Houw Kian Guan, kepala pengurus itu pun bangkit berdiri, lalu
memberi hormat pada mereka seraya berkata.
"Kalau kiong cu tiada urusan lain lagi, hamba mau mohon diri."
"Tunggu!" Se Pit Han mencegahnya pergi.
"Siau kiong cu ada perintah apa?" tanya cong koan itu dengan
hormat. "Si Bun Kauw telah berjanji akan menurunkan Thian Liong Pat
Ciu pada adik misan Pek, bagaimana dengan cong koan?"
Houw Kian Guan tertegun, kemudian tersenyum.
"Siau kiong cu menghendaki hamba mewariskannya semacam
kepandaian tingkat tinggi?"
"Engkau cong koan Pulau Pelangi, kalau cuma mewariskannya
satu macam kepandaian, itu berarti pelit."
"Maksud Siau kiong cu?" Cong koan Houw Kian Guan tersenyum
lagi. "Paling sedikit pun harus dua macam kepandaian. Sudikah
engkau mewariskannya?"
"Tentu sudi." Cong koan Houw Kian Guan mengangguk.
"Menurut Siau kiong cu dua macam kepandaian apa yang harus
hamba wariskan padanya?"
"Jelas dua macam kepandaian simpananmu."
"Kalau begitu ".." Pikir cong koan. "Bagaimana hamba
mewariskannya Toh Thian Sam Ciang (Tiga Pukulan Pencuri Langit)
dan ginkang Hui Hun Phian Su (Awan Terbang Capung Melayang)
padanya?" "Terimakasih!" ucap Se Pit Han sambil tersenyum.
"Siau kiong cu jangan mengucapkan terima-kasih, hamba tidak
berani menerimanya," ucap cong koan hormat.
238 "Aku memang harus mengucapkan terima-kasih." Se Pit Han
masih tersenyum. "Oh ya, kapan hamba akan mulai mengajarnya?" tanya cong
koan itu. "Begini, kalau sudah waktunya, aku akan beritahukan padamu,"
jawab Se Pit Han. "Sekarang engkau boleh pergi mengurusi
pekerjaanmu." "Ya." Cong koan Houw Kian Guan memberi hormat pada mereka,
kemudian mengundurkan diri.
Setelah cong koan itu pergi, Se Ciang Cing pun terus menerus
memandang Se Pit Han. "Ha, apakah dengan cara demikian engkau mengatur adik
misanmu?" tanya Se Ciang Cing.
"Ini baru sebagian," jawab Se Pit Han sambil tertawa kecil.
"Oh?" Se Ciang Cing tertegun. "Cuma sebagian saja?"
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Han Ji masih ingin bermohon
pada Bu Sian Seng, Sioh pelindung pulau, Liok pengontrol pulau dan
Ku nai-nai, termasuk Se Khi untuk mewariskan kepandaian simpanan
masing-masing pada adik misan Pek."
"Mereka semua memiliki kepandaian yang amat tinggi, engkau
tahu kan?" Se Ciang Cing menatapnya.
"Han Ji tahu!" "Engkau justru tahu, tapi mengapa menghendaki mereka
masing-masing mewariskan kepandaian simpanan mereka pada
misanmu itu?" tanya Se Ciang Cing dengan wajah serius. "Apakah
engkau menginginkannya jadi pendekar yang tiada tanding di kolong
langit?" "Han Ji memang bermaksud begitu. Bagaimana menurut Ayah,
cara Han Ji mengatur itu?"
"Memang baik sekali." Se Ciang Cing mengerutkan kening. "Tapi
".." "Kenapa?" tanya Se Pit Han heran. "Seandainya dia bukan adik
misanmu, itu bagaimana?" Se Ciang Cing menatapnya tajam.
"Jangan khawatir Ayah!" Se Pit Han tersenyum. "Mengenai
persoalan ini, Han ji pun punya suatu rencana."
"Rencana apa?" "Pokoknya tidak lewat tiga hari, Han ji sudah berani memastikan
bahwa dia adik misan Pek atau bukan."
239 "Han." Hua Ju Cing menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu,
engkau masih punya suatu cara pengaturan yang lain?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk, kemudian bertanya pada Se Ciang
Cing. "Mengenai dendam berdarah kouw peh dan Hui kouw-kouw,
bagaimana Ayah mengurusinya?"
"Mengenai itu, ayah telah memikirkannya. Tapi ".." Se Ciang
Cing mengerutkan kening. "Setelah engkau memastikan asalusulnya,
barulah dibicarakan kembali."
"Baiklah!" Se Pit Han mengangguk.
Bagian ke 31: Majikan Muda
Malam sudah larut, di luar goa Si Bun Kauw itu tampak Pek Giok
Liong sedang berlatih Thian Liong Pat Ciu yang diajarkan Si Bun
Kauw. Walau cuma tiga hari, Pek Giok Liong sudah dapat menguasai
ilmu itu dengan baik, itu sungguh di luar dugaan siapa pun.
Betapa gembiranya Si Bun Kauw yang duduk menyaksikannya,
wajahnya berseri-seri. "Tidak lewat tiga tahun, anak itu pasti menjadi pendekar nomor
satu di rimba persilatan ".." batinnya.
Mendadak sosok bayangan melayang turun di hadapan Si Bun
Kauw. Sosok bayangan itu ternyata seorang nenek berusia delapan
puluh lebih, tangannya menggenggam sebatang tongkat.
Begitu melihat nenek itu, Si Bun Kauw segera bangkit berdiri,
dan sekaligus menjura hormat.
"Oh, Ku nai-nai! Kok sudah larut malam masih ke mari" Ada
sesuatu yang menarik perhatianmu?" tanya Si Bun Kauw sambil
tertawa. "Kenapa?" Ku nai-nai (Nenek Ku) melotot. "Lo sin (perempuan
tua) tidak boleh ke mari?"
"Eh" Jangan marah-marah Nenek Ku!" Si Bun Kauw masih
tertawa. "Aku tidak bermaksud melarang Ku nai-nai ke mari ".."
"Kalau begitu, apa maksudmu?"
"Tiada bermaksud apa-apa." Si Bun Kauw tertawa gelak. "Cuma
merasa heran. Sebab Nenek Ku datang tengah malam ".."
"Hmm!" dengus perempuan tua itu dingin. "Kenapa heran"
Hatiku sangat kesal malam ini, maka keluar untuk jalan-jalan
sebentar. Engkau mengerti?"
"Oh!" Si Bun Kauw mengangguk. "Aku mengerti."
240 Saat ini, Pek Giok Liong sudah berhenti berlatih, ia berdiri tegak
di tempat. Nenek Ku mengarah pada Pek Giok Lion lalu mendengus dingin
seraya bertanya pada Si Bun Kauw.
"Dia muridmu?" "Nenek bercanda!" Si Bun Kauw tertawa "Aku mana berani
melanggar peraturan untuk menerima murid?"
"Yang dia latih tadi bukankah Thian Liong Pat Ciu kepandaian
simpananmu?" "Betul. Aku memang mengajarnya Thian Liong Pat Ciu, namun
kami tiada hubungan guru dan murid."
"Kalau begitu, apa hubungan kalian?"
"Sebagai sahabat."
"Oh?" Nenek Ku melotot. "Siapa dia?"
"Namanya Hek Siau Liong."
Perempuan tua tampak tertegun dan di luar dugaan.
"Dia bernama Hek Siau Liong?"
"Betul." Si Bun Kauw mengangguk. "Nenek kenal dia?"
Nenek Ku tidak menjawab, hanya menatap Pek Giok Liong
dengan tajam. "Nak! Ke mari sebentar!" panggilnya.
Pek Giok Liong segera menghampininya, lalu memberi hormat.
"Boan pwe memberi hormat pada Nenek!" Nenek Ku terusmenerus
menatap Pek Giok Liong, lalu manggut-manggut.
"Persis seperti ayahnya. Nak, bagaimana kabarnya kedua orang
tuamu?" Ditanya demikian, wajah Pek Giok Liong langsung berubah
murung. "Kedua orang tua boan pwe sudah meninggal ".."
"Apa" Kok meninggal?"
"Terbunuh oleh penjahat."
"Oh?" Nenek Ku mengerutkan kening. "Siapa pembunuh itu?"
"Mungkin Pat Tay Hiong Jin."
"Mungkin" Jadi engkau belum begitu jelas?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Masih harus diselidiki."
"Ngmm!" Perempuan tua itu manggut-manggut.
"Nenek kenal kedua orang tua boan pwe?" tanya Pek Giok Liong
sambil menantapnya. Nenek Ku tersenyum lembut.
241 "Nak, ayahmu bernama Hek Cian Li. Ya, kan?"
"Nenek, kau telah salah mengenali orang, almarhum bukan
bernama Hek Cian Li." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Oh?" Nenek Ku tertegun. "Nak, almarhum bernama siapa?"
"Almarhun bernama ".." Tiba-tiba Pek Giok Liong teringat
sesuatu. "Hek Mang Ciok."
Sekelebatan sepasang mata perempuan tua itu tampak bersinar.
"Nak, di mana rumahmu?" tanyanya lagi.
"San Si Ciok Lau."
"Kota Ciok Lau atau Ciok Lau San?"
"Di dalam Kota Ciok Lau."
"Oooh!" Nenek Ku tersenyum. "Nak, aku ingin bertanya,
disebelah timur Kota Ciok Lau terdapat Ciok Lau San Cung, engkau
mengetahuinya?" Pek Giok Liong tersentak, ia manggut-manggut.
"Boan pwe pernah mendengarnya."
"Engkau tahu cung cu itu marga apa?"
"Marga Pek." "Nak!" Nenek Ku menatapnya tajam. "Betulkah engkau marga
Hek?" Pek Giok Liong terkejut ditanya demikian, namun kemudian balik
bertanya. "Nenek tidak percaya?"
"Kalau dugaanku tidak salah, engkau adalah Siau cung cu dari
Ciok Lau San Cung itu! Ya, kan?"
Air muka Pek Giok Liong langsung berubah.
"Nek ".." "Pek Giok Liong, engkau berani tidak mengaku"!" bentak Nenek
Ku dengan suara dalam. "Nek, Kenapa boan pwe tidak berani mengaku?" Sepasang alis
Pek Giok Liong terangkat tinggi.
"Kalau begitu ".." Wajah perempuan tua itu tampak berseri.
"Engkau telah mengaku?"
"Ya. Boan pwe mengaku. Boan pwe memang Pek Giok Liong,
Siau cung cu dari Ciok Lau San Cung di San Si."
"He he he!" Nenek Ku tertawa gembina. "Nak, ini barulah anak
jantan ".." Mendadak Nenek Ku berkelebat pengi. Sungguh aneh
perempuan tua itu, datang dan pergi begitu mendadak.
242 Tentunya membuat Pek Giok Liong tenmangu-mangu di tempat,
lama sekali barulah ia mengarah pada Si Bun Kauw.
"Si Bun lo koko, apa gerangan yang terjadi?" tanyanya heran.
Si Bun Kauw menggeleng-geleng kepala.
"Aku sungguh tidak mengenti, tapi nenek peot itu memang aneh
sifatnya. Sulit didekati dan sering marah-marah tidak karuan."
"Dia pergi begitu saja, tidak akan ada suatu masalah?", tanya
Pek Giok Liong dengan kening berkerut.
"Tidak usah khawatir!" Si Bun Kauw tertawa. "Tentunya tidak
akan ada masalah apa pun."
Di dalam Istana Pelangi, Siau kiong cu Se Pit Han duduk dekat
jendela di lantai atas, tampak Giok Cing dan Giok Ling berdiri di
belakangnya. Mendadak sosok bayangan melayang turun di hadapan mereka,
ternyata adalah Nenek Ku.
"Nek!" tanya Se Pit Han cepat. "Bagaimana?"
"Beres," sahut Nenek Ku sambil tersenyum.
"Beres bagaimana?" tanya Se Pit Han bernada tegang. "Katakan!
Jangan sok mahal!" "Dia sudah mengaku."
"Oh?" Se Pit Han tampak girang sekali. "Cara bagaimana dia
mengaku?" "Sesuai dengan dugaan Siau kiong cu." Nenek Ku tertawa.
"Begitu dipanasi hatinya, dia pun langsung mengaku dirinya adalah
Siau cung cu dari Ciok Lau San Cung bernama Pek Giok Liong."
"Bagus!" Wajah Se Pit Han berseri. "Ketika Nenek sampai di
sana, dia sedang berbuat apa?"
"Sedang berlatih Thian Liong Pat Ciu yang diajarkan Si Bun
Kauw." "Bagaimana latihannya?" tanya Se Pit Han penuh perhatian.
"Sungguh di luar dugaan, dia telah menguasai jurus-jurus Thian
Liong Pat Ciu itu dengan baik, yang kurang hanya tenaga
dalamnya." "Oh" Sungguhkah begitu cepat kemajuannya?" Se Pit Han
kurang percaya. "Sungguh." Nenek Ku mengangguk. "Oleh karena itu, besok Siau
kiong cu sudah boleh memerintah cung koan mengajarnya Toh
Thian Sam Ciang dan Hui Hun Phiau Su ginkang itu!"
243 "Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Lalu bagaimana dengan
ilmu tongkat Nenek itu?"
"He he he!" Nenek Ku tertawa. "Tentunya harus diwariskan juga
padanya!" "Terimakasih, Nek!" ucap Se Pit Han sambil tertawa gembira.
"Eh" Kenapa Siau kiong cu begitu gembira" Wuah! Janganjangan
".." "Nek!" Se Pit Han cemberut dengan wajah kemerah-merahan.
Dua bulan kemudian, dibawah pengaturan Se Pit Han, Pek Giok
Liong telah menguasai ilmu-ilmu andalan Si Bun Kauw, Houw Kian
Guan, Bu sian seng, Liok Sun To, Sioh Hu To, Ku nai-nai dan Se Khi.
Namun yang kurang adalah tenaga dalamnya. Maklum, usia Pek
Giok Liong masih kecil, maka tenaga dalamnya pun masih dangkal.
Ketika hari sudah malam, di saat Pek Giok Liong sedang berlatih
di luar goa, tiba-tiba muncul beberapa orang dengan langkah ringan,
tak lama sudah berada di hadapan Pek Giok Liong.
Salah seorang adalah pemuda yang memakai jubah kuning,
sepasang matanya menyorot tajam menatap Pek Giok Liong.
Sementara Pek Giok Liong sudah berhenti berlatih, ia pun
membalas menatap pemuda itu dengan tajam pula.
"Siapa engkau?" tanya pemuda itu setengah membentak.
Sepasang alis Pek Giok Liong tampak bergerak, kemudian
mendengus dingin tanpa menyahut.
"Engkau bisu ya?" Pemuda itu tampak tidak senang.
"Engkau sendiri yang bisu!" sahut Pek Giok Liong ketus.
"Bocah!" Pemuda itu melotot. "Kalau bicara, sopanlah sedikit!"
Pek Giok Liong tertawa dingin, lalu sahutnya dingin pula.
"Kalau tidak sopan kenapa?"
"Hei! Tahukah engkau tempat apa ini?"
"Tentu tahu!" sahut Pek Giok Liong. "Cai Hang To."
"Kalau sudah tahu, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaan
Siau tocu?" Pemuda itu menatap Pek Giok Liong dengan sikap
angkuh. Hati Pek Giok Liong tergetar, ia tidak menyangka bahwa pemuda
itu majikan muda Pulau Pelangi ini.
"Oh! Ternyata engkau adalah Siau tocu, maaf, aku kurang
hormat padamu!" ucap Pek Giok Liong.
244 "Jangan banyak omong kosong!" Tandas muda itu. "Cepat jawab
pertanyaanku tadi!" "Eh" Aku harus menjawab apa?"
"Engkau siapa?"
"Namaku Hek Siau Liong!"
"Mau apa engkau datang di pulau ini?"
"Menengok teman!"
"Siapa temanmu itu?"
"Si Bun Kauw!" "Benarkah kalian teman?"
"Engkau tidak percaya?"
"Di mana Si Bun Kauw" Aku ingin bertanya padanya!"
"Maaf! Dia tidak berada di tempat!"
Pek Giok Liong memang bersifat angkuh, sudah tahu bahwa
pemuda yang berdiri di hadapannya itu Siau tocu namun ia justru
tidak menghormatinya, karena sikap tocu itu sangat jumawa.
"Dia ke mana?" tanya pemuda itu ketus.
"Engkau bertanya padaku lalu aku harus bertanya pada siapa?"
sahut Pek Giok Liong dingin.
"Apa"!" Wajah pemuda itu berubah dingin. "Engkau tidak mau
beritahukan?" "Aku tidak tahu, bagaimana memberitahukan?"
"Hm!" dengus pemuda itu. "Aku tidak percaya bahwa engkau
tidak tahu!" "Itu terserah! Yang jelas aku tidak mengetahuinya," ujar Pek
Giok Liong dan menambahkan, "Dia tidak meninggalkan pulau ini,
engkau boleh mengutus seseorang pergi mencarinya!"
"Itu sudah tentu!" sahut pemuda itu. "Bahkan harus
menghukumnya!" Pek Giok Liong tersentak mendengar ucapan itu.
"Dia salah apa" Kenapa harus dihukum?" tanyanya dengan nada
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak senang. "Eh?" Pemuda itu menatapnya dingin. "Ini peraturan di sini,
sedangkan secara pribadi dia telah berani menampung orang luar di
pulau ini. Itu kesalahannya, maka ia harus dihukum!"
"Aku ingin bertanya, apakah pulau ini milik pribadi keluargamu?"
tanya Pek Giok Liong dengan kening berkerut.
245 "Pulau ini memang bukan milik pribadi, namun sudah beberapa
turunan tinggal di pulau ini, lagi pula sudah ada peraturan berlaku
dari dulu!" "Itu peraturan yang keterlaluan!"
"Oh" Hek Siau Liong, ini adalah peraturan di sini! Tiada
kaitannya dengan dirimu, tahu?"
"Urusan di kolong langit, justru harus diurusi oleh orang di
kolong langit pula! Engkau mengerti?"
"Oh, ya?" Pemuda itu tertawa hambar. "Engkau percaya dirimu
mampu mengurusi urusan di pulau ini?"
"Aku tidak percaya, kalau urusan di kolong langit tidak bisa
diurusi." tegas Pek Giok Liong.
"Justru engkau tidak mampu mengurusinya!" Pemuda itu
tertawa. Tidak salah dan memang nyata! Pek Giok Liong pun tahu akan
hal itu, maka kemudian ujarnya dingin.
"Kelak aku pasti punya kemampuan itu!"
"Kelak?" Pemuda itu tertawa lagi. "Kapan?"
"Paling juga cuma setengah tahun!"
"Engkau yakin?"
"Yakin!" Pemuda itu tertawa ringan, lalu ujarnya dengan mata bersinarsinar.
"Kalau begitu, lebih baik dibicarakan kelak saja!"
"Baik!" Pek Giok Liong mengangguk.
"Oh ya!" Pemuda itu menatapnya tajam. "Aku ingin bertanya,
engkau datang di pulau ini mempunyai maksud tujuan apa?"
"Bukankah aku tadi telah memberitahukan" Kok masih
bertanya?" sahut Pek Giok Liong dingin.
"Hm!" dengus pemuda itu. "Aku tidak percaya kalau engkau
tidak punya maksud tujuan lain!"
"Percaya atau tidak, terserah engkau!"
"Hek Siau Liong!" Pemuda itu menudingnya. "Engkau berani
bersikap angkuh di hadapanku?"
"Kenapa tidak?"
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak berani berterus terang
mengenai maksud tujuanmu?"
Mendadak Pek Giok Liong tertawa ringan, setelah itu balik
bertanya. 246 "Engkau pikir aku punya maksud tujuan apa?"
"Aku tidak suka menerka, lebih baik engkau yang bilang!"
"Kenapa tidak mau coba menerkanya?" Pek Giok Liong tertawa
hambar. "Aku tidak tertarik akan itu!" sahut pemuda itu singkat. "Ayoh,
cepat katakan!" "Engkau tidak tertarik, aku tidak berniat mengatakan!"
"Apa"!" Pemuda itu melotot. "Engkau menghendaki aku
menerka?" "Telah kukatakan dengan jelas, apakah engkau tidak
mendengarnya?" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Mau menerka atau
tidak, terserah!" "Bagaimana seandainya aku dapat menerka dengan jitu?" tanya
pemuda itu mendadak. "Kalau engkau dapat menerka dengan jitu ya sudahlah!
Tentunya aku tidak akan menggelengkan kepala!"
"Oh?" Pemuda itu tertawa ringan. "Kalau begitu, engkau telah
mengaku?" Tertegun Pek Giok Liong, seketika juga ia mengerti ucapan
pemuda itu dan tahu bahwa dirinya telah terpedaya. Sungguh cerdik
Siau tocu itu! Ujarnya dalam hati.
"Aku telah mengaku apa?"
"Mengaku punya maksud tujuan lain."
"Aku tidak mengaku apa pun!" Pek Giok Liong menggeleng
kepala. "Lagi pula itu tidak perlu, maka engkau jangan sok pintar!"
"Kalau begitu ".." Pemuda itu tersenyum. "Aku yang keliru kan?"
"Keliru atau tidak, engkau tahu dalam hati! Saya tidak perlu
mengatakannya!" sahut Pek Giok Liong.
"Hek Siau Liong!" Pemuda itu menatapnya tajam dan wajahnya
pun berubah serius. "Engkau datang di pulau ini dengan maksud
tujuan belajar bu kang yang tiada taranya di pulau ini, kan?"
Pek Giok Liong tersentak, namun kemudian mengangguk.
"Benar, itu maksud tujuan semula, tapi kini pikiran ku telah
berubah." "Tidak mau belajar lagi?" Pemuda itu tampak tercengang.
"Ya!" Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memang tidak mau
belajar lagi!" "Oh?" Pemuda itu terperangah. "Kenapa?"
247 "Engkau setuju aku belajar, lalu menjadi anak buahmu?" tanya
Pek Giok Liong sambil menatapnya.
Pemuda itu menggelengkan kepala.
"Aku tidak bermaksud begitu!" ujarnya.
"Walau engkau tidak bermaksud begitu, lebih baik aku tidak
belajar, maka engkau pun tidak perlu banyak bertanya!"
"Emmh!" Pemuda itu manggut-manggut. "Aku justru ingin tahu,
kenapa pikiranmu bisa berubah mendadak" Itu karena apa?"
"Alasanku sangat sederhana sekali. Aku merasa Cai Hong To, ini
tidak sesuai dengan apa yang ku bayangkan!"
"Apa maksudmu?"
"Kalau aku belajar bu kang Pulau Pelangi ini, otomatis aku terikat
peraturan yang berlaku di sini. Nah, engkau mengerti?"
"Oh?" Pemuda itu tertawa, lalu mendadak mengalihkan
pembicaraan. "Hek Siau Liong, aku mulai terkesan baik padamu!"
"Terimakasih!" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Tapi ".."
"Kenapa?" "Sebaliknya aku terkesan buruk padamu!"
"Oh, ya?" Pemuda itu tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, itu
sungguh mengherankan. "Kalau begitu, aku pun semakin terkesan
baik padamu!" "Eh?" Pek Giok Liong bingung. "Ada alasan tertentu?"
Pemuda itu manggut-manggut.
"Ada. Walau alasan itu sangat aneh, namun cukup masuk akal."
ujar pemuda itu sambil tersenyum.
"Maukah engkau beritahukan alasan yang aneh itu?"
"Tentu mau!" Pemuda itu menatapnya. "Karena engkau lain dari
yang lain." "Lain dari yang lain?" Pek Giok Liong terbelalak. "Aku tidak
mengerti maksudmu!" "Banyak orang setelah mengetahui diriku adalah Siau tocu,
mereka pun sangat menghormatiku, bahkan berusaha mengangkatangkat
diriku pula. Sebaliknya engkau tidak begitu, oleh karena itu,
aku katakan engkau lain dari yang lain!"
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, sekilas sepasang
matanya tampak bersinar, namun tertawa hambar. "Ternyata begitu,
aku harus berterimakasih atas kesan baikmu pada diriku!"
248 "Karena itu, akupun bersedia bersahabat denganmu," ujar
pemuda itu sungguh-sungguh. "Bahkan ".. aku akan mengabulkan
satu permintaanmu." "Oh?" Pek Giok Liong merasa heran.
"Engkau punya permintan apa?" tanya Siau tocu.
"Aku memang punya satu permintaan, tapi tidak akan
mengajukannya berdasarkan persahabatan!"
"Lalu engkau ingin mengajukan berdasarkan apa?"
"Seharusnya engkau bertanya dulu padaku!"
"Eh?" Siau tocu itu tercengang. "Apa yang harus kutanyakan?"
"Bertanya padaku apakah aku bersedia menjadi temanmu"
Engkau harus bertanya demikian padaku!"
"Hah?" Siau tocu itu tertegun. "Jadi engkau tidak bersedia
menjadi temanku?" "Bukan tidak bersedia, melainkan ".." Lanjut Pek Giok Liong
kemudian. "Kita baru berkenalan, mau menjadi teman mungkin
terlampau cepat." "Oh?" Siau tocu itu mengerutkan kening. "Engkau ingin
mengetes diriku dengan waktu untuk mengetahui apakah aku
berharga menjadi temanmu kan?"
"Apakah tidak harus begitu?" tanya Pek Giok Liong hambar.
"Harus! Itu memang harus!" Siau tocu itu manggut-manggut
sambil melanjutkan ucapannya dan tersenyum. "Saya setulus hati
ingin berteman denganmu, walau engkau ingin mengetes diriku
dengan waktu. Kini kita belum jadi teman, namun aku tetap
mengabulkan permintaanmu."
"Kalau begitu ".." Pek Giok Liong menjura. "Sebelumnya aku
mengucapkan terimakasih padamu!"
"Tidak usah sungkan-sungkan!" Siau tocu balas menjura:
"Katakan apa permintaanmu."
"Permintaanku yakni janganlah engkau menghukum Si Bun
Kauw. Bagaimana" Engkau mengabulkan?"
"Aku mengabulkan permintaanmu itu," Siau tocu mengangguk.
"Terimakasih!" ucap Pek Giok Liong setulus hati.
"Hek Siau Liong!" Siau tocu menatapnya. "Aku merasa sayang
sekali." "Engkau merasa sayang sekali?" Pek Giok Liong tertegun.
"Memangnya kenapa" Bolehkah engkau menjelaskan?"
249 "Engkau telah membuang suatu kesempatan emas!" Siau tocu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kesempatan emas apa?" Heran Pek Giok Liong.
"Tidak seharusnya engkau mengajukan permintaan yang tak
berarti itu," jawab Siau tocu memberitahukan.
"Kalau begitu, aku mohon tanya! Aku harus mengajukan
permintaan apa yang berarti?"
"Engkau harus meminta suatu kepandaian tingkat tinggi yang
luar biasa, itu baru berarti."
Pek Giok Liong tertawa terbahak-bahak, tentunya membuat Siau
tocu itu terheran-heran. "Kenapa engkau tertawa?" tanyanya.
"Engkau harus tahu," jawab Pek Giok Liong serius. "Itu adalah
pemikiranmu, namun bagiku lebih penting bermohon pengampunan
untuk Si Bun Kauw dari pada bermohon suatu kepandaian tinggi
untuk diriku." "Apakah masih ada alasan lain?"
"Ada." "Katakan!" "Solider." "Bagus!" Siau tocu itu menatap Pek Giok Liong dengan mata
berbinar-binar. "Engkau memang lain dari yang lain, bahkan berbudi
luhur. Aku kagum padamu."
"Terimakasih atas pujianmu!"
"Hek Siau Liong, maukah engkau menetap sementara di dalam
Istana Pelangi?" tanya Siau tocu mendadak.
"Tidak." Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Maaf, kalau
tiada urusan lain, aku mau pergi."
"Apa?" Siau tocu melongo. "Kenapa engkau terburu-buru pergi?"
"Masih banyak urusan yang harus kubereskan."
"Oh?" Siau tocu tertawa. "Seandainya aku melarangmu pergi?"
"Melarangku pergi?" Pek Giok Liong mengerutkan alisnya.
"Engkau ingin menahan aku di sini?"
"Menahanmu di dalam Istana Pelangi sebagai tamu.
Pertimbangkan, mau atau tidak bersahabat denganku?"
"Maaf, tiada waktu bagiku!" tolak Pek Giok Liong.
"Kalau begitu "..," Siau tocu menatapnya dalam-dalam. "Engkau
pasti mau pergi?" "Lain kali kalau ada waktu, aku pasti ke mari merepotkanmu."
250 "Hek Siau Liong!" Siau tocu tertawa dingin. "Apakah engkau
tidak punya nyali untuk menetap sementara di dalam Istana
Pelangi?" "Tidak punya nyali?" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Engkau
jangan memandang rendah diriku!"
"Kalau begitu kenapa engkau tidak berani bertamu di Istana
Pelangi" Itu pertanda engkau tidak punya nyali."
"Sudah kukatakan tadi, masih banyak urusan yang harus
kubereskan. Maka aku tiada waktu untuk bertamu di Istana Pelangi."
"Yang jelas ".." Siau tocu tersenyum dingin. "Engkau tidak
punya nyali, penakut, pengecut!"
"Apa"!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Engkau tidak perlu
memanasi hatiku ".."
"Aku tidak memanasi hatimu, nyatanya memang engkau tidak
punya nyali," potong Siau tocu cepat.
"Baiklah. Aku akan bertamu tiga hari di Istana Pelangi!"
"Bagus." Siau tocu tertawa. "Mari ikut aku ke Istana!"
"Maaf!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Saat ini aku
tidak bisa." "Kenapa?" "Silakan Siau tocu kembali ke istana dulu! Setelah Si Bun lo koko
ke mari, aku pasti menyusulmu ke istana."
"Engkau tidak ingkar janji kan?"
"Jangan khawatir! Aku bukan orang yang suka ingkar janji."
"Baiklah." Siau tocu manggut-manggut. "Aku menunggumu di
istana." Bagian ke 32: Terkurung Lewat tengah malam, Pek Giok Liong berjalan perlahan menuju
Istana Pelangi. Tak seberapa lama kemudian, ia sudah sampai di
depan istana tersebut. Cong koan Houw Kian Guan bersama empat orang berdiri di situ.
Begitu melihat cong koan itu, Pek Giok Liong segera menyapanya
sambil tersenyum. "Saudara Houw, sudah larut malam kok belum tidur?" tanya Pek
Giok Liong heran. "Saudara Hek!" Cong koan Houw Kian Guan tersenyum. "Aku
diperintahkan untuk menyambutmu di sini!"
251 "Terimakasih, saudara Houw." ucap Pek Giok Liong sambil
menjura memberi hormat. "Saudara Hek, kau jangan sungkan-sungkan! Mari ikut aku ke
dalam istana!" Cong koan Houw Kian Guan menjura, lalu membalikkan
badannya melangkah ke dalam istana, ke empat orang itu segera
mengikutinya dari belakang.
Namun kemudian cong koan Houw Kian Guan berhenti
membiarkan keempat orang itu jalan duluan, ternyata ia
mendampingi Pek Giok Liong.
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, tiba-tiba cong koan Houw Kian Guan menjulurkan
tangannya menotok Pek Giok Liong dijalan darah lumpuh. Totokan
itu membuat Pek Giok Liong kehilangan tenaga dan lumpuh seketika,
tapi mulutnya masih bisa bicara.
"Houw lo koko!" seru Pek Giok Liong terkejut. "Apa artinya ini?"
"Saudara Hek!" Cong coan Houw Kian Guan tersenyum. "Maaf,
aku cuma menjalankan perintah!"
"Perintah dari Siau tocu?"
"Betul." "Apa tujuannya berbuat begitu?" Pek Giok Liong tampak gusar.
"Dia ".." Mendadak terdengar suara yang amat nyaring.
"Hek Siau Liong, seharusnya engkau bertanya padaku!"
Menyusul melayang turun sosok bayangan, tidak lain adalah Siau
tocu. Ia tampak tersenyum-senyum.
Begitu melihat Siau tocu, Pek Giok Liong langsung naik darah
sehingga matanya melotot.
"Apa artinya semua ini" Ayoh bilang!"
"Karena engkau sangat angkuh, maka harus diberi sedikit
pelajaran," sahut Siau tocu sambil tertawa.
"Oh" Tiada alasan lain?"
Siau tocu menggelengkan kepala.
"Tidak ada." jawabnya.
"Siau tocu! Engkau manusia bukan?"
"Eh?" Siau tocu tertawa. "Lihatlah sendiri, aku ini manusia
bukan?" "Engkau bukan manusia, bahkan juga telah menghina
kedudukanmu sendiri sebagai Siau tocu!"
252 "Oh, ya?" Siau tocu tersenyum. "Harus bagaimana baru terhitung
manusia dan tidak menghina kedudukanku sebagai Siau tocu?"
"Buka totokan ini!" bentak Pek Giok Liong. "Lalu bertarung
denganku. Kalau mau menangkapku, harus berdasarkan
kepandaian!" "Engkau ingin bertarung denganku?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Apakah engkau tidak malu,
menyuruh bawahanmu menotok diriku?"
Sungguh mengherankan, Siau tocu yang jumawa itu justru tidak
tersinggung maupun gusar, sebaliknya malah tertawa-tawa.
"Yakinkah engkau dapat mengalahkan aku?"
"Walau harus kalah, saya pun merasa puas!" sahut Pek Giok
Liong. "Emmh!" Siau tocu manggut-manggut. "Namun ".."
"Kenapa?" "Aku tidak ingin bertarung denganmu."
"Engkau takut tidak bisa mengalahkan aku?"
"Berdasarkan tenaga dalammu sekarang ".." Majikan muda
pulau tertawa. "Dalam sepuluh jurus engkau pasti roboh!"
"Kalau begitu, mari kita bertarung!" tantang Pek Giok Liong.
Akan tetapi, Siau tocu itu malah menggelengkan kepala.
"Hek Siau Liong, engkau jangan bermimpi! Aku tidak akan
bertarung denganmu!"
"Kalau begitu, mau kau apakan diriku?" tanya Pek Giok Liong
gusar. "Engkau akan kukurung di dalam ruang batu, agar tidak angkuh
lagi." "Engkau ".." Pek Giok Liong betul-betul gusar, sehingga
matanya membara. "Engkau sungguh tak tahu malu!"
"Lebih baik engkau diam!" Wajah Siau tocu berubah dingin.
"Kalau tidak, engkau akan tahu rasa!"
"Siau tocu!" Pek Giok Liong berkertak gigi. "Kelak kau pasti
kubunuh!" "Itu urusan kelak." Siau tocu tertawa dingin. "Yang jelas
sekarang engkau harus dikurung."
"Engkau tidak tahu malu!" bentak Pek Giok Liong.
"Totok jalan darah bisunya!" Siau tocu memberi perintah pada
cong koan Houw Kian Guan. "Lalu kurung dia di dalam ruang batu!"
253 "Ya." Cong koan Houw Kian Guan mengangguk. Ia segera
menotok jalan darah bisu Pek Giok Liong, kemudian mengangkatnya
menuju ruang batu. Tak terasa, waktu sudah lewat setengah tahun. Mendadak pintu
ruang batu itu terbuka dan seseorang melangkah masuk.
Dia seorang pemuda baju ungu. Begitu melihat pemuda itu, Pek
Giok Liong sangat terkejut tapi juga gembira.
"Saudara Se, ternyata engkau!"
Siapa pemuda baju ungu itu, tidak lain adalah Se Pit Han. Ketika
melihat Pek Giok Liong, Se Pit Han tampak girang sekali.
"Hah! Saudara Hek, engkau juga berada di sin i?"
"Ya." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Saudara Se, kok
engkau juga dikurung di sini?"
"Aku naik kapal pesiar bersama Giok Cing dan Giok Ling, tanpa
sengaja mendarat di pulau ini. Kami bertengkar dengan penghuni
pulau ini, akhirnya aku tertangkap dan dibawa ke mari."
"Oh! Di mana Giok Cing dan Giok Ling?"
"Mereka mungkin dikurung di tempat lain."
"Tahukah Saudara Se pulau apa ini?"
Se Pit Han manggut-manggut.
"Semula aku tidak tahu, namun sekarang sudah tahu," ujar Se
Pit Han. "Ini Pulau Pelangi!"
"Betul." "Saudara Hek, sudah berapa lama engkau dikurung di sini?"
"Aku tidak begitu jelas, mungkin ".. sudah ada setengah tahun."
"Kenapa engkau dikurung di sini?"
"Siau tocu memerintahkan cong koan Houw Kian Guan menotok
jalan darahku kemudian aku dibawa ke mari."
"Oh" Kenapa dia berbuat begitu?"
"Dia bilang aku sangat angkuh, maka harus dikurung agar hilang
keangkuhanku." "Hanya karena itu, dia mengurungmu di sini" Itu sungguh
keterlaluan!" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia memang keterlaluan."
"Oh ya! Dia tidak bilang kapan akan melepaskanmu?"
"Tidak." "Kalau begitu, dia benar-benar ingin menghabiskan
keangkuhanmu, setelah itu barulah melepaskan dirimu."
254 "Saudara Se, tahukah engkau ada pepatah mengatakan ".."
"Mengatakan apa?"
"Gunung dapat diratakan, tapi sifat manusia sulit diubah. Sifatku
memang angkuh, maka itu tidak mungkin diubah."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut. "Oh ya! Sudah sekian
lama dia mengurungmu di sini, apakah engkau membencinya?"
Pek Giok Liong tertawa. "Semula aku memang sangat membencinya, bahkan bersumpah
ingin membunuhnya. Tapi ".."
"Kenapa?" "Kini pikiranku telah berubah."
"Oh" Jadi engkau tidak membencinya lagi?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku telah memaafkannya."
"Lho?" Se Pit Han heran. "Itu ".. kenapa?"
"Karena ".." Pek Giok Liong tidak melanjutkan, melainkan
mengalihkan pembicaraan. "Saudara Se, engkau lihat diriku
sekarang berbeda tidak dibandingkan dengan dulu?"
Se Pit Han segera memandangnya dengan penuh perhatian,
kemudian manggut-manggut seraya berkata, "Benar, engkau
memang sudah berbeda dibandingkan dengan dulu. Kalau engkau
tidak bilang, aku sama sekali tidak tahu."
Pek Giok Liong tersenyum.
"Bagaimana perbedaanya?"
"Sepasang matamu bersinar terang, wajahmu pun segar dan
cerah. Itu pertanda tenaga dalammu sudah mengalami kemajuan
pesat." "Oleh karena itu, aku pun tidak membencinya lagi." Pek Giok
Liong tersenyum-senyum. "Bahkan juga telah memaafkannya."
"Saudara Hek, ucapanmu membuatku semakin bingung.
Kemajuan tenaga dalammu ada kaitan apa dengan dirinya?"
"Justru punya kaitan yang erat sekali."
"Maukah engkau menjelaskan?"
Pek Giok Liong mengangguk, lalu mendadak menggerakkan jari
telunjuknya ke arah sebuah batu yang menonjol di sisi kiri goa itu.
Kraaak! Sekonyong-konyong di dekat tempat Pek Giok Liong berdiri
muncul sebuah lubang yang cukup besar.
"Hah?" Se Pit Han terkejut. "Lubang apa itu?"
255 "Saudara Se, turunlah melihat-lihat, engkau akan
mengetahuinya!" "Saudara Hek, lebih baik engkau yang beritahukan!"
"Saudara Se ".." Wajah Pek Giok Liong berubah serius.
"Seratusan tahun yang lampau, dalam bu lim muncul Mei Kuei Ling
Cu, engkau pernah mendengarnya?"
"Pernah." Se Pit Han mengangguk. "Mei Kuei Ling Cu itu memiliki
kepandaian yang amat tinggi, boleh dikatakan tiada tanding di
kolong langit." "Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Pernahkah Saudara
Se mendengar tentang marganya?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Tidak." Betulkah Se Pit Han tidak tahu marga Mei Kuei Ling Cu" Padahal
".. "Saudara Se!" Pek Giok Liong tertawa. "Dia satu marga
denganmu." "Oh" Ternyata Mei Kuei Ling Cu marga Se. Itu membuatku
merasa bangga sekali." Wajah Se Pit Han berseri-seri.
"Saudara Se, beliau adalah murid padri sakti masa itu." Pek Giok
Liong memberitahukan. "Kok saudara tahu tentang itu?" Se Pit Han heran. "Apakah di
dalam lubang itu terdapat bu kang pit kip (Kitab silat) peninggalan
Mei Kuei Ling Cu?" "Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Lubang itu merupakan
sebuah jalan ke bawah. Ternyata di bawah sana terdapat sebuah
ruang rahasia. Bukan cuma terdapat kitab ilmu silat peninggalan lo
cianpwe itu, bahkan juga terdapat salinan kitab silat bu lim kiu pay it
pang (Sembilan partai dan satu perkumpulan)."
"Oh! Ternyata begitu ".." Se Pit Han manggut-manggut.
Se Pit Han memang pandai bersandiwara. Padahal ia yang
mengatur semua itu, tapi berpura-pura tidak mengetahuinya.
"Kalau begitu, aku harus mengucapkan selamat padamu." Se Pit
Han tampak gembira sekali, sepasang matanya pun berbinar-binar.
"Terimakasih!" ucap Pek Giok Liong. "Secara tidak sengaja aku
memperoleh keberuntungan itu, memang sungguh di luar dugaan."
"Benar." Se Pit Han tersenyum. "Oh ya! Cara bagaimana Saudara
Hek menemukan lubang itu?"
256 "Ketika dikurung di ruang batu ini, aku berusaha meloloskan
diri." ujar Pek Giok Liong menutur. "Ketika aku melihat ke sana ke
mari, tanpa sengaja melihat batu yang menonjol itu. Karena merasa
heran aku mencoba menggeserkan batu itu. Siapa sangka, justru
mendadak muncul sebuah lubang di lantai. Oleh karena itu aku pun
masuk ke dalam, lalu belajar semua yang ada di dalam ruang
rahasia itu." "Saudara Hek!" Se Pit Han menepuk bahunya. "Itu memang
jodohmu." "Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Namun ".. aku justru tidak habis berpikir tentang satu
persoalan." Se Pit Han menatapnya heran.
"Persoalan apa?"
"Dalam waktu setengah tahun, kok tenaga dalammu bisa
mencapai tingkat yang begitu tinggi?"
Sesungguhnya Se Pit Han tahu jelas tentang itu, namun ia tetap
masih bersandiwara, seakan tidak mengetahui tentang itu semua.
"Saudara Se!" Pek Giok Liong tersenyum. "Kalau aku tidak
menjelaskan, engkau pasti merasa heran. Tapi setelah kujelaskan,
itu tidak mengherankan lagi."
"Kalau begitu, jelaskanlah!" desak Se Pit Han.
"Saudara Se, di dalam ruang rahasia itu terdapat sebotol kim tan
(Pil emas) berjumlah tujuh butir." Pek Giok Liong menjelaskan. "Bagi
orang yang belajar silat, makan sebutir pil itu dapat menambah lima
belas tahun latihan tenaga dalamnya.
"Oh?" Se Pit Han terbelalak. "Saudara Hek, kau telah memakan
tujuh butir Kim tan itu?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala.
"Aku cuma makan lima butir, masih tersisa dua butir." Pek Giok
Liong mengeluarkan sebuah botol porselin kecil, lalu diberikan pada
Se Pit Han. "Saudara Se, ini untukmu."
Se Pit Han tidak segera terima, melainkan bertanya. "Botol itu
berisi kim tan." "Ya. Masih ada dua butir." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Saudara Se, makanlah kim tan ini!"
Se Pit Han tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak
mau." Pek Giok Liong tertegun, penolakan Se Pit Han membuat Pek
Giok Liong tidak habis berpikir.
257 "Kenapa?" "Kim tan itu berjodoh dengan dirimu, maka aku tidak bisa
menerimanya." "Eh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Saudara Se, kau
sudah ke mari, itu berarti berjodoh juga. Nah, terimalah kim tan ini!"
"Maaf, aku tetap tidak mau!"
"Saudara Se!" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Apakah
karena terlalu sedikit maka kau tidak mau menerima?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum. "Kim tan itu merupakan
obat langka, bisa memperoleh sebutir pun sudah beruntung, apa lagi
dua butir." "Kalau begitu, kenapa Saudara Se menolak?"
"Saudara Hek ".."
"Saudara Se, terimalah!" desak Pek Giok Liong.
Karena di desak, Se. Pit Han terpaksa menerimanya.
"Terimakasih!" ucapnya, lalu menyimpan botol itu ke dalam
bajunya. "Eh?" Pek Giok Liong menatapnya dengan heran. "Kenapa
saudara tidak langsung memakannya?"
Se Pit Han tersenyum. "Lebih baik di simpan saja. Kelak kalau perlu, barulah dimakan."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Saudara Se,
maukah engkau ke ruang rahasia itu untuk melihat-lihat?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Saudara Hek, aku tidak tertarik pada kepandaian tersebut,
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka tidak perlu ke ruang rahasia itu."
"Saudara Se, menurut pandanganku, engkau telah memiliki
kepandaian yang amat tinggi."
"Sejak kecil, aku belajar pada kedua orang tuaku."
"Oooh!" "Saudara Hek, kini engkau telah memiliki kepandaian yang
begitu tinggi, seharusnya engkau cari jalan untuk meloloskan diri
dari sini." "Aku telah memikirkan itu, namun tiada jalan untuk meloloskan
diri dari sini." "Saudara Hek!" Se Pit Han tampak serius. "Aku punya akal,
entah engkau setuju tidak?"
"Akal apa?" tanya Pek Giok Liong bernada girang.
258 "Begini, engkau pura-pura sakit. Tentunya ada orang ke mari
membuka pintu ruang batu ini. Kita segera menangkap orang itu,
kemudian menerjang ke luar. Bagaimana akal ini?"
"Akal ini memang baik, tapi ".." Pek Giok Liong menggelengkan
kepala. "Kenapa?" "Aku tidak mau berbuat curang, karena akan menjatuhkan harga
diri kita." "Oh?" Se Pit Han tertegun. "Jadi engkau menjaga harga diri?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk, kemudian wajahnya berubah
serius. "Terus terang, setelah kita berpisah di Kota Ling Ni,
kebetulan aku menemukan sesuatu, maka kini aku sebagai generasi
kelima pemegang Jit Goat Seng Sim Ki."
"Apa"!" Se Pit Han terbelalak. "Engkau telah bertemu Kian Kun
Ie Siu?" Pek Giok Liong mengangguk, ia memandang Se Pit Han seraya
bertanya, "Saudara Se, engkau kenal orang tua itu?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Tidak kenal, namun pernah dengar," ujarnya dan melanjutkan,
"Jadi engkau telah memperoleh Panji Hati Suci Matahari Bulan itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Ketika itu keadaan sedang
gawat, maka aku menerima perintah sekaligus diangkat sebagai
generasi kelima pemegang panji tersebut."
"Ketika itu keadaan sedang gawat?" Se Pit Han mengerutkan
alis. "Apa gerangan yang telah terjadi" Apakah Kian Kun Ie Siu telah
meninggal?" "Tidak, hanya jejaknya diketahui oleh Cit Ciat Sin Kun, maka
dipaksanya untuk menyerahkan panji itu. Guru tahu bahwa dirinya
tidak mampu melawan mereka, maka segera menyuruhku masuk ke
goa. Di saat itulah guru menyerahkan Jit Goat Seng Sim Ki padaku,
bahkan juga menyuruhku kabur bersama cucunya melalui jalan
rahasia yang terdapat di dalam goa itu."
Se Pit Han manggut-manggut. "Kalau begitu, tiga jurus sakti itu
tidak keburu diwariskan padamu?" tanyanya.
"Sebelumnya, guru telah mewariskan tiga jurus sakti itu
padaku." "Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut lagi. "Selanjutnya
bagaimana keadaan orang tua itu, engkau sama sekali tidak
mengetahuinya?" 259 "Setelah keluar dari jalan rahasia itu, aku bermaksud kembali ke
goa untuk menengok guru, tapi ".."
"Kenapa?" "Cing ji mencegahku kembali ke sana."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya. "Kini panji itu
bersamamu?" "Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Bolehkah aku melihat panji itu?"
"Tentu boleh." Pek Giok Liong segera mengeluarkan Jit Goat
Seng Sim Ki dari dalam bajunya, kemudian dikembangkannya panji
tersebut seraya berkata. "Saudara Se, silakan lihat!"
Begitu melihat Jit Goat Sing Sim Ki itu tiba-tiba Se Pit Han
menjatuhkan diri berlutut.
"Melihat panji seperti melihat kakek guru. Teecu Se Pit Han
memberi hormat pada kakek guru!"
Pek Giok Liong tertegun dan melongo. Cepat-cepat digulungnya
panji itu, lalu memandang Se Pit Han dengan penuh keheranan.
"Saudara Se, apa gerangan ini" Apakah panji ini milik kakek
gurumu?" "Adik misan!" ujar Se Pit Han sambil bangkit berdiri. "Apakah
Kian Kun Ie Siu tidak memberitahukan tentang pemilik panji ini?"
"Guru pernah beritahukan, bahwa panji ini milik Seng Sim
Tayhiap (Pendekar Hati Suci)!"
"Betul." Se Pit Han mengangguk. "Seng Sim Tayhiap adalah
leluhur kami!" "Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, mendadak ia teringat
sesuatu. "Eh" Tadi saudara Se memanggilku apa?"
Se Pit Han tertawa ringan.
"Sesungguhnya engkau marga Pek, namamu Giok Liong. Siau
cung cu dari Ciok Lau San Cung. Betulkan?"
"Saudara Se ".." Pek Giok Liong terkejut.
"Ibumu adalah bibiku. Maka engkau adalah adik misanku
mengerti?" Pek Giok Liong termangu-mangu, ia memandang Se Pit Han
dengan mata terbelalak lebar.
"Kalau begitu, sudah lama engkau tahu asal-usulku?"
"Setelah kita berpisah di Kota Ling Ni, barulah aku tahu. Tapi itu
cuma menduga saja, belum berani memastikan. Sesudah setengah
260 bulan engkau berada di pulau ini, barulah aku tahu jelas tentang
asal-usulmu." "Sesudah setengah bulan aku berada di pulau ini?" Pek Giok
Liong bingung, ia menatap Se Pit Han dengan penuh keheranan.
"Ya." Se Pit Han mengangguk dan kemudian tersenyum. "Adik
misan, kini aku punya jalan yang terang-terangan untuk melepaskan
diri dari ruang rahasia ini."
"Jalan yang terang-terangan" Maksudmu?"
"Adik misan, tahukah engkau, Jit Goat Seng Sim Ki berkembang,
bu lim di kolong langit bergabung menjadi satu. Pernahkah engkau
mendengar ucapan ini?"
"Pernah." Pek Giok Liong mengangguk. "Jadi dengan panji ini
kita bisa melepaskan diri dari ruang rahasia ini?"
"Betul." Se Pit Han manggut-manggut, mendadak ia membentak.
"Siapa di luar?"
"Ada urusan apa?" terdengar suara sahutan.
"Cepat panggil cong koan ke mari!" ujar Se Pit Han.
"Ada urusan apa, beritahukan aku saja!" terdengar suara
sahutan lagi. "Cepat pergi panggil cong koan ke mari! Ini adalah perintah!"
seru Se Pit Han. "Ya. Harap tunggu sebentar!" kali ini suara sahutan itu bernada
gemetar. "Eh?" Pek Giok Liong menatapnya heran. "Kakak misan Se,
kenalkah kau dengan cong koan Houw Kian Guan?"
Se Pit Han tersenyum. "Nanti engkau akan mengerti semua."
Berselang beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah
tergesa-gesa di luar ruang rahasia itu.
"Aku sudah datang, ada urusan apa?" Itu suara congkoan Houw
Kian Guan. "Cong koan, segera kau buka pintu!" sahut Se Pit Han. "Kau
harus segera melapor pada kedua orang tua, agar siap menyambut
panji!" Kraaak! Pintu ruang rahasia itu terbuka, tampak Houw Kian
Guan, kepala pengurus itu berdiri hormat di situ.
"Di mana panji itu?" tanya cong koan Houw Kian Guan.
Se Pit Han menunjuk Pek Giok Liong seraya berkata.
261 "Pek Piau Siaunya telah bertemu Kian Kun Ie Siu, memperoleh Jit
Goat Seng Sim Ki, dan sekaligus diangkat sebagai generasi ke lima
pemegang panji itu."
"Haah "..?" cong koan Houw Kian Guan terbelalak, lalu memberi
hormat pada Pek Giok Liong. "Houw Kian Guan menghadap Ciang Ki
(Pemegang panji)!" Pek Giok Liong segera balas memberi hormat. "Cong koan, kau
tidak perlu banyak peradaban!"
"Terimakasih!" ucap cong koan Houw Kian Guan.
"Cong koan! Cepatlah pergi melapor pada kedua orang tua!" Se
Pit Han memberi perintah pada kepala pengurus itu.
"Ya." Cong koan Houw Kian Guan segera melangkah pergi.
"Kakak misan Se, siapa kedua orang tua itu?" tanya Pek Giok
Liong heran, karena Se Pit Han menyebut dua kali 'Kedua orang tua',
pertama kali Pek Giok Liong tidak mendengar jelas, tapi kedua
kalinya ia mendengar dengan jelas, maka ia bertanya sambil
menatap Se Pit Han. "Kedua orang tua yang kumaksud itu adalah Cai Hong Tocu dan
Tocu Hujin." jawab Se Pit Han memberitahukan. "Juga adalah ku
peh dan ku bo mu. Piaute sudah mengerti?"
Pek Giok Liong tertegun dengan mulut ternganga lebar.
"Kalau begitu, engkau ".."
"Aku adalah Siau tocu, juga adalah ".." Se Pit Han membuka
kain pengikat rambutnya, seketika juga rambut yang hitam panjang
terurai ke bawah. "Adik misan, sudah mengertikah engkau
sekarang?" "Haah "..?" Pek Giok Liong terbelalak. Itu memang sungguh di
luar dugaannya. Ia menatap Se Pit Han dengan mata tak berkedip.
"Adik misan!" Se Pit Han tertawa geli. "Di luar dugaanmu kan?"
Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Ini sungguh di luar dugaan!" ujarnya. "Piauci (Kakak misan),
ternyata Siau tocu yang mengurungku di sini, adalah ".."
"Adik misan, aku tidak punya saudara lain, di sini cuma ada satu
Siau tocu." Se Pit Han memberitahukan.
"Kalau begitu, dia adalah ".."
"Dia adalah aku," sambung Se Pit Han sambil tertawa.
"Oooh!" Pek Giok Liong menepuk keningnya sendiri. "Ternyata
engkau!" "Tidak salah." 262 "Kalau begitu, semua ini engkau yang mengaturnya?"
"Kalau tidak, bagaimana mungkin kepandaianmu bisa mencapai
tingkat yang begitu tinggi?"
"Sungguh baik engkau terhadap aku, entah bagaimana aku ".."
"Adik misan, aku paham bagaimana perasaanmu, tidak usah kau
utarakan." potong Se Pit Han. "Ayolah! Mari ikut saya menemui
kedua orang tua!" Bagian ke 33: Hubungan Famili
Di depan pintu Cai Hong Kiong, tampak puluhan orang berdiri
dengan wajah serius, termasuk Pat Kiam.
Di dalam pintu Cai Hong Kiong berdiri Cai Hong Tocu Se Ciang
Cing, Tocu Hujin Hua Ju Cing, dan cong koan Kian Guan. Mereka
berdiri dengan sikap hormat, tercium pula harum dupa.
Se Ciang Cing dan istrinya telah melihat Pek Giok Liong dari
jauh, Tocu itu manggut-manggut.
"Hujin, kini aku tahu kenapa Han Ji! begitu memperhatikan Giok
Liong." ujarnya sambil tersenyum.
"Sebelumnya ".." Hua Ju Cing tersenyum lembut. ?".. aku
sudah menduga." "Anak itu memang luar biasa, aku gembira sekali." ujar Se Ciang
Cing lagi dengan wajah berseri.
Hua Ju Cing manggut-manggut.
"Tampaknya dia lebih gagah dibandingkan dengan ayahnya."
"Betul." Se Ciang Cing tersenyum.
Sementara Se Pit Han dan Pek Giok Liong sudah berdiri di
hadapan mereka, dan Pek Giok Liong segera memberi hormat.
"Giok Liong memberi hormat pada Paman dan Bibi!"
Se Ciang Cing dan istrinya manggut-manggut, kemudian
mempersilahkan Pek Giok Liong masuk.
"Terimakasih, Paman, Bibi!" ucap Pek Giok Liong lalu melangkah
ke dalam. "Nak Liong, silakan duduk!" ucap Se Ciang Cing.
Pek Giok Liong mengangguk lalu duduk. Se Ciang Cing dan
istrinya juga duduk, menyusul Se Pit Han, ia duduk di sisi ibunya.
"Nak Liong!" Se Ciang Cing memandangnya. "Di mana engkau
bertemu Kian Kun Ia Siu?"
"Di Siu Gu San!"
263 "Bagaimana kabarnya" Apakah baik-baik saja?"
Pek Giok Liong menarik nafas panjang.
"Sepasang matanya telah buta, karena terserang pukulan
beracun dari musuh ".."
"Oh?" Se Ciang Cing mengerutkan kening. "Bagaimana
kepandaiannya, apakah ikut musnah?"
"Tidak, hanya tenaga dalamnya berkurang," jawab Pek Giok
Liong dan menutur mengenai kejadian di Siu Gu San, kemudian
menambahkan, "Liong ji dan Cing ji meloloskan diri melalui jalan
rahasia itu, selanjutnya bagaimana keadaan guru, Liong ji sama
sekali tidak mengetahuinya."
"Sungguh berani Cit Ciat Sin Kun itu ingin merebut Jit Goat Seng
Sim Ki, apakah dia berniat menundukkan seluruh bu lim."
"Betul. Dia memang berniat menundukkan seluruh bu lim
dengan panji ini." "Kalau begitu, entah bagaimana keadaan gurumu itu?" Se Ciang
Cing menarik nafas panjang.
"Pada waktu itu, Liong ji juga mengajak guru meninggalkan goa
itu! Tapi ".." "Kenapa?" "Guru tidak mau, katanya tidak bisa hidup lebih dari tiga hari
".." "Oh?" Wajah Se Ciang Cing berubah murung.
"Tocu!" ujar cong koan Houw Kian Guan dengan hormat. "Lebih
baik suruh piau Siau ya memperlihatkan panji itu!"
Se Ciang Cing manggut-manggut, lalu memandang Pek Giok
Liong. "Nak Liong, perlihatkan Jit Goat Seng Sim Ki itu!"
"Ya!" Pek Giok Liong mengangguk, ia merogoh ke dalam bajunya
mengambil panji tersebut, lalu menaruhnya di atas meja.
Begitu melihat panji itu, mereka semua segera memberi hormat
pada Pek Giok Liong. "Teecu menghadap Cang Ki (Pemegang panji)!" ujar mereka
serentak. "Paman, Bibi dan lainnya silakan duduk!" sahut Pek Giok Liong.
Se Ciang Cing, Hua Ju Cing dan lainnya segera duduk. Berselang
beberapa saat kemudian, Se Ciang Cing berkata.
"Nak Liong, tahukah kau bahwa panji itu punya hubungan erat
dengan Pulau Pelangi?"
264 "Kakak misan sudah memberitahukan."
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oleh karena itu, kami semua harus mentaati peraturan panji
itu." ujar Se Ciang Cing.
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Nak Liong!" Se Ciang Cing menatapnya dalam-dalam. "Kini
kepandaianmu telah mencapai tingkat yang begitu tinggi, lalu apa
rencanamu selanjutnya?"
"Menegakkan keadilan dalam bu lim." jawab Pek Giok Liong.
"Dan membasmi para setan iblis."
"Bagus." Se Ciang Cing tertawa gelak. "Kalau begitu, tentunya
engkau tidak akan mengecewakan gurumu. Oh ya, bagaimana
dengan dendam berdarah kedua orang tuamu?"
"Harus dibalas! Namun Liong ji belum tahu jelas siapa pembunuh
kedua orang tua Liong ji, maka Liong ji harus menyelidiki dulu."
"Menyelidiki dulu?" tanya Se Ciang Cin.
"Liong ji bermaksud menemui Pat Hiong itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Seandainya mereka tidak mau mengaku?"
"Kalau benar itu perbuatan mereka, Liong ji yakin mereka pasti
mengaku." "Kalau mereka bukan pembunuh kedua oran tuamu, apakah
engkau akan melepaskan mereka?" tanya Se Ciang Cing mendadak.
"Itu tergantung pada perbuatan mereka baru-baru ini."
"Ngmm!" Se Ciang Cing manggut-manggut "Mengenai Cit Ciat
Sin Kun, cara bagaiman engkau menghadapinya."
"Liong Ji akan bicara langsung menemuinya setelah itu barulah
memutuskan harus bagaiman menghadapinya."
"Adik misan ingin menasehatinya dulu?" tanya Se Pit Han.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Lebih baik menasehati orang
dari pada membunuh."
"Adik misan, kau, kau kira dia akan dengar nasehatmu?" tanya
Se Pit Han lagi. "Biar bagaimana pun, aku harus mencoba. Itu agar tidak terjadi
pertumpahan darah." "Bagus." Se Ciang Cing tersenyum. "Nak Liong hatimu sungguh
mulia dan bu lim pun akan aman selanjutnya."
"Nak Liong!" Hua Ju Cing menatapnya sambil tersenyum. "Kedua
orang tuamu tidak memberitahukan tentang semua ini, apakah
engkau sudah paham sekarang?"
265 "Menurut Liong ji, kedua orang tua Liong ji tidak mau melanggar
amanat leluhur." "Betul." Se Ciang Cing manggut-manggut. "Ketika itu, demi
membasmi Pat Tay Hiong Jin, kedua orang tuamu meninggalkan
Pulau Pelangi ini. Walau berhasil membasmi Pat Hiong itu, tapi
kedua orang tuamu justru tidak boleh pulang, karena telah
melanggar amanat leluhur!"
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Menurut Liong ji,
amanat leluhur itu ".."
Pek Giok Liong diam, tidak berani melanjutkan ucapannya, Se
Ciang Cing tersenyum sambil menatapnya.
"Nak Liong, lanjutkanlah!"
"Liong ji tidak berani ."
"Tidak apa-apa." Se Ciang Cing tersenyum lagi. "Lanjutkan saja!"
"Menurut Liong ji ".." lanjut Pek Giok Liong dengan suara
rendah. "Amanat leluhur itu agak keterlaluan."
"Oh?" Se Ciang Cing menatapnya tajam. "Nak Liong ji
mengatakan begitu?" "Semua penghuni dilarang memasuki bu lim harus tetap tinggal
di pulau. Bukankah itu merupakan semacam belenggu" Seumur
hidup tidak tahu dunia luar."
"Kelihatan memang begitu, namun sesungguhnya tidak," ujar Se
Ciang Cing sambil tersenyum.
"Maksud Paman?"
"Karena kini sudah ada jalan keluarnya."
"Bagaimana jalan keluarnya?"
"Itu berada padamu, Nak Liong."
"Apa?" Pek Giok Liong tertegun. "Paman, Liong ji sama sekali
tidak mengerti, mohon dijelaskan!"
"Setelah Jit Goat Seng Sim Ki muncul di pulau ini, maka seluruh
penghuni pulau ini harus bergabung dan di bawah perintah panji
itu." "Oooh!" Pek Giok Liong sudah mengerti. "Kalau begitu, apakah
Paman bermaksud ".."
"Nak Liong!" Se Ciang Cing tertawa. "Lebih baik engkau bertanya
pada kakak misanmu!"
"Ayah!" Wajah Se Pit Han kemerah-merahan. "Itu urusan Ayah
dengan adik misan, kok dikaitkan dengan diri Han ji?"
266 "Tapi ".." Se Ciang Cing tertawa lagi. "Bukankah lebih baik
engkau yang mengambil keputusan?"
"Kalau begitu ".." Se Pit Han serius. "Bagaimana kalau Han ji
minta pada adik misan agar mencabut peraturan itu atas nama Jit
Goat Seng Sim Ki" Ayah tidak melarang?"
"Tentu tidak melarang. Justru menurut ayah, engkau yang harus
mengambil keputusan," ujar Se Ciang Cing dan melanjutkan. "Tapi
usia ayah dan ibu sudah hampir enam puluh, maka tidak akan
menginjak kang ouw lagi!"
"Jadi Ayah dan Ibu tidak mau meninggalkan pulau ini?"
"Setelah engkau dan Nak Liong meninggalkan pulau ini, ayah
dan ibu pun akan pergi."
"Oh?" Se Pit Han tercengang. "Ayah dan Ibu mau pergi ke
mana?" "Ingin pergi menikmati keindahan alam."
"Kalau begitu, bagaimana dengan pulau ini?"
"Akan diurusi cong koan Houw Kian Guan!"
"Ayah dan Ibu tidak mau pulang?"
"Tentu harus pulang, hanya saja ".. tidak bisa dipastikan
waktunya, sebab ayah dan ibu ingin pesiar sepuas-puasnya."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut, kemudian mengarah
pada Pek Giok Liong. "Adik misan, sekarang engkau harus
mempergunakan panji itu untuk mencabut semua peraturan di pulau
ini. Sekaligus perintahkan beberapa orang menyertaimu ke Tiong
Goan!" "Kakak misan, ini ".." Pek Giok Liong tertegun.
"Nak Liong! Jangan ragu!" ujar Se Ciang Cing sambil tersenyum.
"Begitu perintahkan pencabutan peraturan itu, engkau pasti akan
mendengar suara sorak sorai yang gemuruh."
Pek Giok Liong berpikir lama sekali, setelah itu barulah ia
mengambil Jit Goat Seng Sim Ki yang di atas meja. Ia lalu
memerintahkan pencabutan peraturan-peraturan di Pulau Pelangi.
Seketika juga terdengar suara sorak sorai yang riuh gemuruh,
bahkan diantaranya ada pula yang berjingkrak-jingkrak saking
girang. "Han!" Se Ciang Cing juga tertawa gembira. "Sudah lama mereka
ingin pergi ke Tiong Goan, namun terikat oleh peraturan. Oleh
karena itu, mereka tidak berani meninggalkan Pulau Pelangi ini!"
"Oooh!" Pek Giok Liong tersenyum.
267 "Nak Liong!" Mendadak wajah Se Ciang Cing tampak serius.
"Sekarang aku akan bercerita sedikit tentang Seng Sim Tayhiap itu."
Pek Giok Liong merasa girang sekali, karena memang ingin tahu
riwayat pendekar itu. "Kalau tidak salah, kira-kira dua ratus tahun yang lampau, bu lim
masa itu telah digemparkan oleh kemunculan seseorang yang amat
jahat. Dia sering melakukan pembunuhan terhadap orang-orang
golongan putih, tiada seorang pun mampu melawannya. Karena itu,
sembilan partai besar langsung bergabung demi membasmi penjahat
itu. Akan tetapi, sembilan partai yang bergabung itu masih tidak
mampu melawannya. Banyak anggota partai terbunuh dan para
ciangbun jin pun terluka parah ".."
"Paman, siapa penjahat itu?" tanya Pek Giok Liong.
"Dia Kiu Thian Mo Cun (Maha Iblis Langit Sembilan)," jawab Se
Ciang Cing memberitahukan.
"Kemudian bagaimana?"
"Justru pada waktu itu, muncul seorang pendekar," lanjut Se
Ciang Cing. "Pendekar itu melawan Kiu Thian Mo Cun sampai tiga
hari tiga malam, akhirnya Kiu Thian Mo Cun itu terpukul jatuh ke
dalam jurang." "Pendekar itu ".."
"Tidak lain adalah Seng Sim Tayhiap." sambung Se Ciang Cing
sambil tersenyum. "Setelah berhasil memukul jatuh Kiu Thian Mo
Cun, maka sembilan partai besar bersepakat untuk membuat panji
Jit Goat Seng Sim Ki bersama Seng Sim Tayhiap."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Jadi Seng Sim
Tayhiap itu adalah kakek guru kita?"
"Betul." Se Ciang Cing mengangguk. "Setelah panji itu usai
dibuat, tidak lama Seng Sim Tayhiap itu pun menghilang entah ke
mana" Jit Goat Seng Sim Ki pun tidak pernah muncul di bu lim.
Namun orang-orang bu lim tahu tentang panji tersebut."
"Paman, Liong ji ingin bertanya, sebetulnya siapa Mei Kuei Ling
Cu itu?" "Beliau ayah Paman." Se Ciang Cing memberitahukan.
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, semua itu sungguh
di luar dugaannya, sehingga ia merasa dirinya seakan berada dalam
mimpi. 268 Hari mulai senja, setiap saat ini, di pantai Lam Hai pasti tampak
seorang gadis berdiri di situ sambil memandang laut nan biru. Dia
adalah Cing Ji. Tidak seberapa lama kemudian, terdengar suara langkah
mendekatinya. Cing Ji menoleh, ia melihat Se Kua Hai sedang
mendekatinya. "Saudara Se! Hari sudah senja, kenapa tidak tampak pelangi?"
tanya Cing Ji heran. "Apa gerangan yang telah terjadi?"
Se Kua Hai menggelengkan kepala. "Entahlah, aku pun merasa
heran." "Saudara Se, apakah telah terjadi sesuatu?"
"Itu tidak mungkin."
"Bagaimana kalau kita berangkat ke Pulau Pelangi?"
"Nona Cing, itu tidak boleh. Engkau bersabarlah! Tidak lama lagi
Tuan Muda Pek pasti kembali."
"Tapi ".."
"Nona Cing!" Mendadak Se Kua Hai menunjuk ke depan.
"Lihatlah! Ada sebuah kapal menuju ke mari."
Cing Ji segera memandang ke arah laut yang ditunjuk Se Kua
Hai, memang tampak sebuah kapal sedang melaju menuju pantai
tempat mereka berdiri. Tampak sosok bayangan berdiri di atas kapal itu, namun Cing ji
tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu.
Sementara kapal itu semakin mendekat. Begitu melihat jelas
orang berdiri di atas kapal itu, seketika Cing ji berseru dengan penuh
kegirangan. "Saudara Se! Itu kak Liong! Kakak Liong sudah kembali!"
Se Kua Hai manggut-manggut seraya tersenyum.
"Tidak salah, dia memang kakakmu Liong."
Kapal itu telah berlabuh, Cing ji pun berteriak sekeras-kerasnya.
"Kakak Liong. Aku berada di sini!"
Pek Giok Liong yang sudah mendarat itu segera menoleh,
seketika wajahnya berseri.
"Adik Cing! Aku sudah melihat dirimu!" serunya.
Usai berseru, Pek Giok Liong pun mengembangkan ginkangnya,
dalam sekejap ia sudah berada di hadapan Cing ji.
"Haah "..?" Cing ji terbelalak. "Kakak Liong ".."
"Adik Cing!" Pek Giok Liong memeluknya.
"Kakak Liong, aku ".. aku terkejut sekali."
269 "Oh?" Pek Giok Liong tertawa.
"Kakak Liong, kau sudah berhasil belajar kepandaian tinggi di
Pulau Pelangi?" tanya Cing ji.
"Bagaimana menurut Adik Cing?" Pek Giok Liong balik bertanya
sambil tersenyum. "Kakak Liong pasti sudah berhasil. Kalau tidak, bagaimana
mungkin tubuhmu bisa melayang ringan sampai di sini" Itu adalah
ginkang tingkat tinggi!"
"Betul." Pek Giok Liong manggut-manggut sambil
memandangnya dengan penuh perhatian. "Adik Cing, engkau agak
kurus, sakit ya?" Cing ji menggelengkan kepala.
"Kakak Liong, aku tidak sakit, aku baik-baik saja."
"Adik Liong, setiap harikah engkau ke mari?"
"Ya." Cing ji mengangguk. "Se toako juga setiap hari ke mari
menemaniku." "Oh!" Pek Giok Liong segera menghampiri Se Kua Hai, dan
sekaligus menjura. "Terimakasih, saudara Se, aku cukup
merepotkanmu selama ini!"
"Jangan sungkan-sungkan!" Se Kua Hai membalas menjura
dengan hormat. "Itu memang harus."
"Saudara Se, terimakasih untuk semua itu! Kelak aku pasti
membalas budi kebaikanmu, kini aku mau mohon pamit!" Pek Giok
Liong menjura lagi. "Ha ha ha!" Se Kua Hai tertawa gelak. "Aku tidak berani
menerima dua kali ucapan terimakasihmu. Oh ya, kebetulan aku
sempat, bagaimana ku antar saudara ke penginapan?"
"Terimakasih, itu akan merepotkan saudara Se!" tolak Pek Giok
Liong. "Tidak apa-apa." Se Kua Hai tertawa lagi.
"Tapi saudara Se, lihatlah!" Pek Giok Liong menunjuk ke arah
kapal itu. Se Kua Hai segera berpaling ke sana, seketika juga ia tersentak,
karena melihat barisan orang sedang turun dari kapal itu.
"Hah" Apakah Siau kiong cu juga datang?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
Pada waktu bersamaan, melayang turun dua sosok bayangan di
hadapan mereka, ternyata sepasang pengawal Se Pit Han, Giok Cing
dan Giok Ling. 270 Begitu melihat mereka berdua, Se Kua Hai langsung menjura
memberi hormat. "Se Kua Hai memberi hormat pada Nona!" ucapnya.
"Se Kua Hai, engkau tidak usah banyak peradaban!" sahut Giok
Cing, lalu memberi hormat pada Pek Giok Liong. "Hamba
mengundang ketua panji ke penginapan untuk beristirahat."
Sikap Giok Cing dan Giok Ling yang begitu hormat serta
menyebut dirinya sebagai hamba itu membuat Se Kua Hai tertegun
dan tidak habis berpikir. Kenapa bisa jadi begitu" Lagi pula "..
kenapa Pek Giok Liong dipanggil ketua panji" Se Kua Hai bertanyatanya
dalam hati. "Di mana penginapan itu?" tanya Pek Giok Liong pada Giok Cing.
"Apakah berada dalam kota?"
"Ya." Giok Cing mengangguk. "Itu adalah penginapan istimewa,
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
khusus untuk menyambut kedatangan ketua panji."
Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian mengarah pada
Cing ji. "Adik Cing, semua barangmu masih berada di penginapan itu?"
tanyanya. "Ya, Kakak Liong." Cing ji mengangguk. "Oh ya, siapa kedua
kakak itu?" "Mereka berdua adalah sepasang pengawal Siau kiong cu." Pek
Giok Liong memberitahukan.
Giok Cing dan Giok Ling sudah tahu asal usul Cing ji, maka
mereka berdua segera menjura.
"Hamba, Giok Cing dan Giok Ling memberi hormat pada Nona!"
"Eh?" Cing ji terbelalak. "Jangan begitu menghormati diriku,
namaku Cing Ji, panggil saja Cing ji!"
"Ya." Giok Cing dan Giok Ling mengangguk serentak.
"Kakak Liong, kita ke penginapan itu mengambil buntalan bajuku
dulu. Setelah itu, barulah kita ke penginapan istimewa itu," ujar Cing
ji dengan wajah cerah ceria. Tentu, sebab gadis itu telah bersama
Pek Giok Liong lagi. "Nona Cing!" ujar Giok Ling. "Engkau dan ketua panji langsung
ke penginapan istimewa itu saja! Mengenai barang-barangmu yang
di penginapan, nanti ada orang mengantar ke sana."
"Baiklah." Cing ji mengangguk. "Terimakasih, Kak Ling!"
271 Bagian ke 34: Kembali Kedaratan Tengah
Seekor kuda berbulu hitam mengkilap berjalan santai, tampak
seorang pemuda berbaju hitam pula duduk di punggung kuda hitam
itu. Sebelum tiba di tempat ini, kuda hitam itu telah berlari kencang
siang dan malam. Dari Siu Gu San menuju Kota Ling Ni, dari Kota
Ling Ni terus menuju utara, akhirnya tiba di Kota Teng Hong.
Kuda hitam itu pun mulai berjalan santai. Tak seberapa lama
kemudian, pemuda berbaju hitam itu menarik tali kendali,
menghentikan kudanya di depan sebuah rumah megah.
Pintu rumah itu tertutup rapat, di depannya terdapat sepasang
singa batu, itu adalah rumah keluarga Siauw.
Siapa pemuda baju hitam itu" Tidak lain adalah Pek Giok Liong.
Ia duduk di punggung kuda sambil membatin.
"Sudah setahun, segala apa yang di luar sini masih tetap seperti
dulu. Entah bagaimana keadaan di dalam rumah itu?"
Setelah membatin, Pek Giok Liong pun melompat turun dari
punggung kudanya. Selangkah demi selangkah ia mendekati pintu
rumah itu, lalu menggedor pintu dengan gelang besi yang
tergantung di pintu tersebut.
Berselang beberapa saat kemudian, terdengar suara yang kasar
dan parau di dalam. "Siapa yang menggedor pintu?"
"Aku," sahut Pek Giok Liong. "Harap segera buka pintu!"
Pintu itu terbuka, tampak seorang berbaju hijau berdiri di situ.
Sepasang mata orang itu menatap tajam pada Pek Giok Liong.
"Mau apa engkau ke mari?"
"Mau cari orang."
"Cari siapa?" "Cari seorang tua yang pincang kakinya."
"Oh?" Orang berbaju hijau itu tertawa dingin. "Orang tua
pincang itu telah mati."
Tergetar hati Pek Giok Liong, sepasang matanya langsung
menyorot tajam dan wajahnya pun berubah.
"Dia sudah mati?"
Orang berbaju hijau itu tampak tidak sabar, namun
mengangguk. 272 "Tuan besar tidak bohong, sudah tiga bulan dia mati." Usai
berkata demikian, orang berbaju hijau itu sekaligus menutup pintu.
Akan tetapi, Pek Giok Liong pun cepat-cepat mengayunkan
sebelah kakinya ke dalam pintu, sehingga pintu itu tidak bisa
ditutup. Orang berbaju hijau melotot, kemudian membentak kasar.
"Hei! Bocah sialan! Mau apa engkau?"
"Aku tidak mau apa-apa," sahut Pek Giok Liong sambil
tersenyum. "Hanya ingin tahu dengan jelas!"
Orang berbaju hijau mengerutkan kening, ia menatap Pek Giok
Liong dengan tajam. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kawan!" Suara Pek Giok Liong mulai bernada dingin. "Aku ingin
bertanya, bagaimana orang tua pincang itu mati?"
Sepasang bola mata orang berbaju hijau itu berputar-putar,
kemudian balik bertanya, "Bocah! Engkau ke mari untuk menyelidiki
kematiannya?" "Aku ke mari sebetulnya ingin menengoknya tapi dia sudah mati.
Sebagai kenalan, tentunya aku boleh bertanya mengenai
kematiannya!" "Oh, begitu!" Orang berbaju hijau itu manggut. "Jadi engkau
bukan sengaja ke mari untuk menyelidiki kematiannya?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Tentu bukan."
Orang berbaju hijau itu tertawa.
"He he! Kalau begitu, aku akan memberitahukan, dia mati
karena sakit." "Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening "Kawan! Dulu
sepertinya aku tidak pernah melihatmu, sudah berapa lama engkau
berada di keluarga Siauw ini?"
"Hampir setengah tahun. Kenapa?"
"Oh, tidak." Pek Giok Liong tersenyum. "Kawan, betulkah orang
tua pincang itu mati karena sakit?"
"Bocah! Engkau tidak percaya" Dia adalah orang tua pincang,
tentunya tidak mungkin mati dibunuh orang!"
"Oooh! Kawan, aku ingin bertanya ".."
"Mau bertanya apa lagi?" Orang berbaju hijau itu tampak mulai
tidak sabar. "Jenazahnya dimakamkan di mana?"
273 "Di sebelah barat perkampungan ini, kira-kira lima li, di sana
terdapat pekuburan," ujar orang berbaju hijau dan menambahkan.
"Bocah, engkau sudah boleh pergi, pintu mau kututup."
Pek Giok Liong menggelengkan kepala dan kakinya masih
mengganjal di pintu itu. "Kawan, jangan cepat-cepat tutup pintu, aku masih ada sedikit
urusan." katanya. "Eh?" Orang baju hijau itu tampak tidak senang. "Masih ada
urusan apa?" "Kawan!" Pek Giok Liong menatapnya. "Tolong laporkan, bahwa
aku ingin bertemu cung cu!"
Air muka orang berbaju hijau itu berubah, ditatapnya Pek Giok
Liong dengan mata menyorotkan sinar tajam.
"Engkau kenal cung cu?"
Pek Giok Liong manggut-manggut sambil tersenyum.
"Kalau tidak kenal, untuk apa aku menemuinya?"
"Kenal pun percuma." Orang berbaju hijau itu menggelengkan
kepala. "Kenapa?" tanya Pek Giok Liong heran.
"Sebab cung cu tidak mau bertemu dengan siapa pun."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum. "Engkau harus tahu, aku ini
merupakan tamu istimewa! Cung cu kalian pasti mau bertemu
denganku, kawan. Cobalah engkau masuk untuk melapor!"
"Tidak usah dicoba!" sahut orang berbaju hijau itu dingin.
"Meskipun engkau tamu istimewa, namun cung cu tetap tidak akan
menerimamu." "Kalau begitu, aku ingin bertemu nona kalian," ujar Pek Giok
Liong. "Tentunya boleh kan"
Air muka orang berbaju hijau itu berubah, itu tidak terlepas dari
mata Pek Giok Liong. "Engkau juga kenal nona?"
Pek Giok Liong tersenyum dan manggut manggut.
"Kawan aku bukan cuma kenal nona, bahkan aku pun kenal
semua orang di sini, kalau masih tetap orang-orang yang setahun
lalu." "Oh" Bolehkah aku tahu namamu?"
"Hek Siau Liong!"
Orang berbaju hijau itu mengerutkan kening seakan sedang
berpikir, kemudian menggelengkan kepala.
274 "Aku tidak pernah mendengar namamu!"
"Kawan!" Pek Giok Liong tertawa. "Baru setengah tahun engkau
di sini, sedangkan aku sudah setahun meninggalkan rumah Siauw
ini, tentunya engkau tidak pernah dengar namaku."
"Oh?" "Nah, kawan! Cepatlah engkau masuk dan melapor pada nona,
bahwa aku Hek Siau Liong ingin bertemu dengannya."
Orang berbaju hijau itu tampak serba salah.
"Maaf!" ucapnya. "Aku tidak bisa melapor."
"Lho, kenapa?" Pek Giok Liong tercengang.
"Nona dalam keadaan sakit, tidak bisa bertemu siapa pun."
Orang baju hijau memberitahukan.
"Oh?" Pek Giok Liong terkejut. "Parahkah sakitnya?"
"Entahlah." Orang berbaju hijau menggelengkan kepala. "Aku
kurang jelas. Lebih baik lain hari engkau balik ke mari lagi!"
Pek Giok Liong diam sambil berpikir. Mendadak sepasang
matanya menyorotkan sinar tajam, lalu mengajukan pertanyaan
yang mengejutkan. "Di mana Gin Tie (Raja perak)?"
Orang berbaju hijau tertegun, bahkan tampak kaget.
"Gin Tie" Siapa dia?"
"Kawan!" Pek Giok Liong menatapnya tajam seakan menembus
ke dalam hatinya. "Sungguhkah engkau tidak tahu?"
"Aku sungguh tidak tahu," jawab orang berbaju hijau itu tidak
pura-pura. Dia sungguh tidak tahu atau dugaanku keliru" Pek Giok Liong
membatin. Apakah Gin Tie itu bukan Tu Cu Yen"
"Oh ya!" tanya Pek Giok Liong mendadak. "Tu Cu Yen ada?"
"Tuan muda Tu sudah pergi."
"Engkau tahu dia pergi ke mana?"
"Tidak tahu." "Di mana Siauw Peng Yang?"
"Tuan muda Yang dan Tuan muda Kiam ada di dalam."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kalau begitu, aku
ingin bertemu mereka berdua."
Mendadak, terdengar suara bentakan yang amat dingin.
"Hu Piau, siapa di luar?"
Hu Piau, orang berbaju hijau itu segera memberi hormat seraya
menjawab. 275 "Cong koan (Kepala pengurus), yang di luar adalah seorang
tamu istimewa." Yang membentak dengan suara dingin itu, ternyata adalah cong
koan. Justru membuat Pek Giok Liong tidak habis berpikir.
Setahunya dulu tidak ada cong koan di keluarga Siauw ini. Tapi kini
".. Siapa orang itu" Pek Giok Liong bertanya dalam hati. Walau
suaranya begitu dingin, namun amat bertenaga. Itu pertanda orang
itu memiliki tenaga dalam tingkat tinggi "..
Pek Giok Liong memandang ke dalam, tampak seseorang berdiri.
Orang itu berusia empat puluhan, sepasang matanya berkilat-kilat.
Tampang orang itu tidak jahat, namun wajahnya amat dingin
dan kelihatan tidak berperasaan. Siapa yang melihatnya, pasti
bergidik. "Mau apa dia ke mari?" tanya kepala pengurus itu dingin.
"Mau menengok orang tua pincang," jawab Hu Piau
memberitahukan. "Hu Piau!" bentak kepala pengurus itu. "Orang tua pincang
sudah mati, engkau tidak memberitahukan padanya?"
"Hamba sudah beritahukan."
"Kalau engkau sudah beritahukan, kenapa dia masih belum
pergi?" Mendadak Pek Giok Liong menyela.
"Aku ingin bertemu cung cu atau nona. Bolehkah?"
"Sebetulnya boleh, tapi kedatanganmu tidak tepat pada
waktunya," sahut kepala pengurus dingin.
"Maksud cong koan?"
"Cung cu dalam keadaan kesal dan risau, maka tidak akan mau
bertemu dengan siapa pun. Sedangkan nona masih sakit berbaring
di tempat tidur, juga tidak bisa bertemu siapa pun."
"Kalau begitu ".." Pek Giok Liong tertawa ringan.
"Kedatanganku sungguh tidak pada waktunya?"
"Tidak salah." sahut cong koan sambil tertawa hambar.
Memanah Burung Rajawali 25 Legenda Kematian Karya Gu Long Pendekar Panji Sakti 9