Pencarian

Pedang Angin Berbisik 16

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 16


sesat. Sesat ketika diukur dengan ukuran tata cara baku yang disepakati bersama sejak ratusan tahun lamanya.
Bisa dikatakan sepasang pendekar ini adalah lawan dari Ding Tao dalam hal pandangan hidup. Justru itu hubungan mereka
ini termasuk hubungan yang sangat unik. Mereka saling menghormati dan bersahabat erat, namun pandangan mereka
terhadap suatu masalah seringkali berbeda. Jika sepasang iblis itu jadi jinak sekarang ini, hal itu tidak lepas dari kesediaan mereka untuk tunduk pada perintah Ding Tao yang lurus. Namun cara pandang dan cara berpikir mereka sendiri sebenarnya
tidak banyak berubah. Hanya letak kesetiaan mereka yang berpindah tempat. Jika dulu mereka hidup untuk diri mereka
sendiri, maka sekarang sepasang pendekar itu memutuskan bahwa selain demi diri mereka sendiri, mereka juga hidup
untuk Ding Tao yang mereka pandang sebagai sahabat sejati mereka.
Kemudian perlahan-lahan, dengan berjalannya waktu, merekapun belajar untuk menghargai dan bersahabat pula dengan
orang-orang yang dekat dengan Ding Tao. Rasa hormat dan persahabatan yang timbul karena kesamaan, mereka sama-
sama mengagumi dan mengasihi Ding Tao.
Bagi sepasang pendekar ini, perasaan demikian adalah sesuatu yang sudah lama mereka lupakan. Diawali dengan hilangnya
kepercayaan mereka terhadap sesama, mereka pun hidup sebagai sepasang iblis, semua orang menjadi musuh di mata
mereka. Padahal kodrat manusia untuk hidup sebagai makhluk sosial, tidak heran, hubungan mereka berdua pun menjadi
sangat erat. Hidup berlawanan dengan kodrat, tentu saja sangat menyiksa, mungkin itu pula sebabnya mereka makin hari
makin kejam dalam beraksi. Seperti lingkaran setan, semakin sakit mereka karena dikucilkan, makin kejam perbuatan
mereka, sebagai balasan pada dunia. Semakin kejam mereka, semakin pula mereka dimusuhi dan dikucilkan.
Kehadiran Ding Tao dalam perjalanan hidup mereka akhirnya berhasil memutuskan pusaran kebencian dan permusuhan
dalam hidup sepasang iblis itu. Kejujuran Ding Tao dan kebesaran hatinya, telah membuka celah dalam benteng kecurigaan
yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Lewat Ding Tao mereka belajar mempercayai kembali sesamanya. Dimulai
dari pertemuan mereka dengan Ding Tao, hati mereka mulai dibebaskan dari penderitaan pengucilan, kecurigaan, ketakutan
yang terus menerus dan kesepian.
Jadi tidak heran pula, jika dibandingkan para pengikut Ding Tao yang lain, sepasang iblis yang cara pandangnya jauh berlawanan dengan Ding Tao justru menjadi pengikutnya yang paling setia. Berdasarkan dua hal ini, yaitu ketidak terikatan mereka dengan tata cara dunia persilatan yang sudah diterima secara umum dan kesetiaan mereka pada Ding Tao yang
tidak tergoyahkan, Chou Liang memutuskan bahwa mereka adalah orang yang tepat untuk dimintai bantuan.
Kedatangan sepasang iblis kali ini, ada hubungannya dengan keluhan dari salah satu biro pengawalan yang sudah
bersumpah setia dengan Partai Pedang Keadilan, mengenai gerombolan penjahat di sepanjang jalur dari Kota Gui Yang
sampai ke Ling Ling. Dari kabar yang dikumpulkan Chou Liang, akhirnya diputuskan bahwa Ma Songquan dan Chu Linhe saja yang nampaknya
sanggup mengatasi gerombolan ini. Sebelum pergi ke tempat yang dituju bersama kepala biro pengawalan yang meminta
bantuan. Mereka berdua akan berkunjung ke Jiangling dulu untuk kemudian, bersama-sama beberapa orang anggota yang
lain pergi menyerang markas gerombolan perampok tersebut.
Salah satu penyebab makin populernya Partai Pedang Keadilan adalah usaha sungguh-sungguh dari tiap anggotanya untuk
saling melindungi seperti yang akan dilakukan Ma Songquan kali ini.
Satu hari sebelum kedatangan Ma Songquan di Jiang Ling, Chou Liang sudah tahu keberadaan mereka yang sedang
menginap di sebuah desa kecil yang berada di dekat perbatasan Jiang Ling. Pagi-pagi benar, Chou Liang pun sudah berada
di atas punggung kuda, berderap kencang menuju desa itu. Pasangan itu sedang menikmati sarapan mereka ketika Chou
Liang masuk ke dalam rumah dan menyapa keduanya.
"Haha, Saudara Ma Songquan, Nyonya Chu Linhe, senang bertemu lagi dengan kalian berdua. Bagaimana tidur kalian
kemarin" Kuharap kedatanganku tidak mengganggu selera makan kalian.", ujarnya sambil tersenyum lebar.
"Hoo" Saudara Chou Liang" ada urusan apa pagi-pagi sudah menyambut kedatangan kami di sini" Apakah ada masalah di
Jiang Ling?", sahut Ma Songquan dengan kening berkerut.
Bukannya Ma Songquan tidak suka melihat kedatangan Chou Liang, hanya saja timbul sedikit kekuatiran dalam hatinya.
Meskipun senyum lebar di wajah Chou Liang tentu saja menandakan bahwa tidak ada masalah apa-apa di Jiang Ling.
"Ah.. tidak ada masalah besar. Hanya saja aku pribadi, memiliki satu masalah kecil yang ingin kubicarakan dengan kalian berdua.", jawab Chou Liang dengan senyum di wajahnya.
Tanpa sungkan-sungkan, diapun menarik sebuah kursi dan duduk di sana. Tidak lama kemudian menyusul pemilik rumah
datang sambil membawa cangkir, mangkok dan sepasang sumpit untuk Chou Liang.
"Hee, kuharap kalian tidak keberatan kalau aku ikut makan bersama kalian. Dari Jiang Ling aku berangkat pagi-pagi sekali dan tidak sempat sarapan.", ujar Chou Liang sambil mulai mengisi mangkoknya.
"Hmm" pantas saja semalam aku bermimpi buruk. Rupanya hari ini kita akan kedatangan tamu yang tidak tahu malu.",
ujar Chu Linhe sambil tersenyum ramah.
"Hahaha, Nyonya Chu Linhe ini bisa saja. Tapi buatku lebih baik tidak tahu malu daripada kelaparan.", jawab Chou Liang
sambil tertawa. "Heh" daripada bicara ke sana ke mari, cepat ceritakan masalahmu. Kalau ada masalah menggantung, makanku jadi
kurang lahap.", ujar Ma Songquan sambil tertawa.
"Hmm" baik, tidak masalah. Masalah ini munculnya dari Nyonya Murong Yun Hua.", ujar Chou Liang mengawali
penjelasannya. Kedua suami isteri itu pun memasang telinga mereka baik-baik sambil mengangkat alias. Apa pula urusannya Murong Yun
Hua hingga Chou Liang menyempatkan diri berangkat pagi-pagi dari Jiang Ling untuk menemui mereka"
"Kalian tahu Keluarga Murong itu ternyata memiliki latar belakang yang cukup unik dalam dunia persilatan. Pertama Pedang Angin Berbisik ternyata mereka yang membuatnya, kemudian beberapa hari yang lalu, Nyonya Murong Yun Hua menemuiku
dan memberi tahu bahwa merekapun memiliki koleksi kita-kitab ilmu silat dari berbagai aliran.", lanjut Chou Liang.
"Hmm" soal itu sedikit banyak kami sudah bisa menduga.", ujar Chu Linhe sambil terus mendengarkan.
Sepasang iblis itu memang sudah lebih dahulu mengetahui hubungan Ding Tao dengan keluarga Murong sebelum yang lain
mengetahuinya. Bahkan mereka juga yang pertama kali merasakan dahsyatnya ilmu Ding Tao setelah meminum obat dewa
pengetahuan dan mempelajari ilmu tenaga dalam inti bumi.
"Oh, begitu. Nah baiklah, kalau begitu kulanjutkan ceritaku. Selain memberitahukan masalah itu, Nyonya Murong Yun Hua,
secara tidak langsung juga bercerita bahwa dia sempat meminta Ding Tao untuk mempelajari isi kitab-kitab tersebut,
namun ditolak mentah-mentah oleh Ketua Ding Tao. Mendapati jalan buntu, dia datang kepadaku dengan harapan aku
dapat membujuk Ketua Ding Tao untuk mempelajari isi dari kitab-kitab itu.", lanjut Chou Liang menjelaskan.
"Hohoho dan kau ingin kami berdua untuk membantumu, meyakinkan Ding Tao untuk mempelajari isi dari kitab itu. Begitu
maksudnya?", ujar Ma Songwuan sambil tertawa.
"Ya, begitulah maksudku. Nah bagaimana menurut kalian?", jawab Chou Liang.
"Hmm" ada beberapa hal yang jadi masalah. Yang pertama, mempelajari ilmu silat tidak sama dengan mempelajari satu
hafalan. Tidak cukup hanya dengan mengerti teorinya, tapi perlu dipraktekkan dan dilatih dalam kurun waktu tertentu untuk bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Sehingga meskipun ada banyak kitab, untuk mempelajari satu saja dari kitab
itu, akan memakan waktu yang cukup lama.", jawab Ma Songquan.
"Bagi orang yang sudah matang ilmunya seperti Ketua Ding Tao, kira-kira berapa lama waktu yang diperlukan?", tanya
Chou Liang ingin tahu. "Ketua Ding Tao memiliki bakat di atas rata-rata" tergantung juga jenis ilmu yang dipelajari, tapi kira-kira, setidaknya dia membutuhkan waktu 1 bulan untuk mempelajari 1 ilmu.", jawab Ma Songquan sambil menghitung-hitung.
"Hmm" dari sekarang sampai pertemuan untuk pemilihan Wulin Mengzhu masih ada waktu 7-8 bulan. Bukankah itu artinya
Ketua Ding Tao akan mampu menguasai 8 macam ilmu baru pada saat maju nanti?", tanya Chou Liang.
"Hehh" sekarang kita membicarakan masalah kedua. Banyaknya pengetahuan seseorang, tidak selalu menjadikannya satu
keuntungan dalam sebuah pertarungan. Tidak sedikit orang berbakat yang mempelajari banyak hal, namun karena terlalu
banyak yang dia pelajari ilmunya jadi setengah matang. Dan akhirnya dia kalah melawan orang yang hanya mempelajari
satu ilmu saja, namun sampai pada puncaknya.", jawab Ma Songquan sambil menyengir, melihat kurangnya pengetahuan
Chou Liang dalam hal imu bela diri.
"Ahh" benar juga" tapi apakah tidak ada keuntungannya bagi Ketua Ding Tao dengan mempelajari isi kitab-kitab
tersebut?", tanya Chou Liang.
Wajahnya berubah murung dan matanya memandangii isi mangkoknya yang sudah hampir kosong, sementara benaknya
merenungi kitab-kitab keluarga Murong yang tersia-sia itu.
"Hei, tidak perlu kau susahkan mangkokmu yang kosong itu.", ujar Chu Linhe sambil menyumpitkan sepotong tahu besar ke
dalam mangkok Chou Liang.
"Hahaha, meskipun aku berkata demikian, bukan maksudku kitab-kitab itu tidak ada gunanya sama sekali.", ujar Ma
Songquan yang tertawa geli melihat waah kecewa Chou Liang.
"Ah, mengapa Saudara Ma Songquan tidak mengatakannya dari tadi. Jika dari tadi dikatakan, tentu selera makanku tidak
hilang.", ujar Chou Liang yang wajahnya menjadi cerah kembali.
"Nah, kau dengarkan saja penjelasanku sambil menghabiskan saja isi mangkokmu. Sederhana saja sebenarnya, kekurangan
Ketua Ding Tao yang paling besar jika dibandingkan dengan pesaing-pesaingnya dalam perebutan kursi Wulin Mengzhu
nanti adalah dalam hal pengalaman bertanding. Kitab-kitab yang berisi ilmu dari berbagai macam aliran itu, dapat menutupi kekurangannya ini. Di saat yang sama, jika dia menemukan jurus-jurus tertentu atau tehnik-tehnik tertentu yang dapat dia satukan dalam ilmu yang sudah dia tekuni selama ini, maka ilmunya pun akan menjadi semakin mapan dan tinggi
tingkatnya.", jawab Ma Songquan dengan puas.
"Baguslah kalau begitu, jadi kalian berdua setuju bahwa Ketua Ding Tao harus dibuat setuju untuk mempelajari isi dari
kitab-kitab itu?", tanya Chou Liang dengan gembira.
Ma Songquan dan Chu Linhe saling berpandangan sejenak. Chu Linhe kemudian menganggukkan kepala dan Ma Songquan-
lah yang kemudian menjawab pertanyaan Chou Liang.
"Ya, kami rasa hal itu akan sangat membantu Ketua Ding Tao untuk meningkatkan ilmunya. Aku yakin dia cukup cerdas
untuk tahu, seberapa banyak dia harus membaca, mana yang bisa diambil mana yang harus ditinggalkan. Mana yang cukup
dipakai untuk menambah pengetahuan, mana pula yang bisa dia gunakan dalam pertarungan."
"Penasehat Chou Liang datang menemui kami, tentunya sudah memiliki siasat yang jitu untuk membuat Ketua Ding Tao
bersedia mempelajarinya.", ujar Chu Linhe menyambung jawaban suaminya.
Chou Liang pun tersenyum lebar dan dengan gaya yang kocak menjawab, "Hehee, soal itu baiklah akan kujelaskan dalam
perjalanan." Ma Songquan dan Chu Linhe dibuat tertawa terbahak-bahak oleh cara Chou Liang berkata-kata. Tidak ada hal penting lain
yang mereka bicarakan lagi selama sarapan itu. Baru di perjalanan, Chou Liang pun mulai menjelaskan siasatnya. Mereka
menempuh perjalanan dengan santai, matahari sudah berjalan cukup tinggi ketika mereka sampai di markas besar Partai
Pedang Keadilan. --------------------------------------- o ---------------------------------------
Kedatangan mereka bertiga tentu saja disambut dengan hangat, tidak ada yang bertanya mengapa Chou Liang bisa
bersama-sama dengan Ma Songquan dan Chu Linhe. Karena memang tidak terlalu aneh juga bila Chou Liang datang
menyambut tamu terlebih dahulu. Sebelum mereka bertiga sempat datang ke ruangan Ding Tao, ternyata Ding Tao sudah
terlebih dahulu menemui mereka. Hubungan Ding Tao dengan sepasang pendekar itu memang cukup erat. Hari itu Ding Tao
yang biasanya ikut datang melihat-lihat anggota mereka yang sedang berlatih, dengan tidak sabar menanti-nantikan
kedatangan Ma Songquan dan Chu Linhe.
Namun betapa heran hati Ding Tao saat keduanya tampak sedikit dingin dan menyembunyikan sesuatu darinya. Meskipun
sikap mereka di luaran tetap sopan, namun kehangatan yang biasanya dia rasakan hilang.
Karena itu sewaktu mereka berjalan bertiga seja menuju ke ruangan Ding Tao, Ding Tao pun bertanya pada Ma Songquan,
"Kakak Ma Songquan, hari ini aku merasa ada sedikit ganjalan di antara kita. Apakah aku ada berbuat kesalahan" Jika
memang ada, katakan saja secara terbuka, karena sedikitpun tidak ada maksud dalam hatiku untuk berlaku demikian."
Ma Songquan dan Chu Linhe berpandangan sejenak, kemudian seperti biasa Chu Linhe membiarkan Ma Songquan untuk
menjawab. "Hmm" sebenarnya memang ada sedikit ganjalan dalam hati ini. Kalau Ketua Ding Tao tidak keberatan, bisakah kita
memakai ruang latihan pribadi milik Ketua Ding Tao untuk meluruskan sesuatu?", ujar Ma Songquan.
"Ah, tentu saja. Tapi ada masalah apa sebenarnya?", jawab Ding Tao.
Sambil menjawab Ding Tao pun mengambil jalan menuju ruang latihan miliknya pribadi. Ruangan latihan itu hanya
digunakan oleh Ding Tao dan orang-orang yang diajaknya berlatih. Di saat Ding Tao tidak berlatih, ruangan itu pun
dibiarkan kosong, tidak ada yang menggunakannya.
"Soal itu akan jadi jelas nanti. Kami sendiri tidak merasa yakin, namun kami ingin memastikannya terlebih dahulu.", jawab Ma Songquan.
"Apakah lewat latih tanding?", tanya Ding Tao dengan hati-hati.
"Ya, benar, kami ingin memastikan dugaan kami terlebih dahulu dengan berlatih tanding melawan Ketua Ding Tao.", jawab
Ma Songquan dengan sedikit dingin.
Berdebar juga hati Ding Tao mendengarnya. Bukan karena dia takut kalah, atau takut dicelakai oleh dua orang yang pernah dijuluki Sepasang Iblis Muka Giok itu, melainkan karena dia sungguh-sungguh tidak ingin timbul permusuhan di antara
mereka. Begitu sampai di dalam ruangan latihan, pintu pun ditutup rapat, agar tidak ada orang luar yang bisa melihat.
Mereka bertiga berjalan ke tengah-tengah ruangan lalu berdiri saling berhadapan.
"Apakah" akan kita mulai sekarang?", tanya Ding Tao sedikit ragu-ragu.
"Ya. Sekarang. Awas serangan!", jawab Ma Songquan pendek-pendek dan dengan itu pula dia langsung memulai
pertarungan. Serangan sepasang pendekar itu tetap rapat dan saling mengisi seperti yang lalu-lalu. Tidak ada yang hilang dari
kekompakan mereka, bahkan dengan pengalaman mereka beberapa waktu yang lalu, saat menyaksikan pertarungan Ding
Tao dengan Pan Jun dan kemudian Xun Siaoma. Ilmu mereka pun meningkat pesat. Serangan mereka lebih tajam,
pertahanannya pun jadi lebih rapat.
Tanpa sungkan mereka dengan segera mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mendesak Ding Tao. Tapi Ding
Tao yang sekarang juga berbeda dengan Ding Tao yang dulu. Ketajaman serangan mereka, tetap saja seperti membentur
dinding batu. Bukan hanya bertahan, sekarang Ding Tao juga mampu balas menyerang dan mengimbangi serangan-
serangan sepasang iblis itu. Jika pada pertarungan mereka yang terakhir, Ding Tao masih bersandar pada staminanya yang
lebih kokoh dari lawan. Sekarang jurus serangan Ding Tao sudah cukup tajam untuk mendesak lawan. Bagusnya sepasang
pendekar itu selama ini sudah mencurahkan waktu dan pikiran mereka untuk memperbaiki pertahanan dalam ilmu pasangan
mereka. Pertarungan pun berjalan makin seru, di satu titik, tiba-tiba Ding Tao melihat adanya lowongan yang terbuka di pertahanan Ma Songquan. Sebenarnya sudah beberapa kali dia melihatnya, namun tidak ingin mempermalukan lawan, dengan sengaja
dia tidak mengambil kesempatan itu. Kali ini Ding Tao merasa sudah cukup banyak memberi muka pada lawan dan tanpa
ragu menyerang di celah yang dia dapatkan itu.
Tapi Ding Tao jadi terkejut, ketika tiba-tiba sepasang iblis itu segera melompat berjumpalitan, menjauh ke belakang sambil berseru, "Itu dia!"
"Nah, apa kataku, bocah cilik ini sudah mencuri ilmu kita dengan diam-diam.", geram Chu Linhe sambil menunjuk-nunjuk
Ding Tao. "Ya" kau benar isteriku. Selama ini aku tidak percaya perkataanmu. Siapa sangka, ternyata orang yang aku percayai ini
sampai hati mencuri ilmu kita tanpa ijin.", jawab Ma Songquan pada Chu Linhe, sambil menunjukkan wajah bengis pada
Ding Tao. Ding Tao yang dituduh demikian pun menjadi pucat wajahnya, "Ini" soal ini" sebenarnya apa maksud kalian?"
"Ding Tao, jangan berpura-pura lagi, aku tidak tahu bagaimana caranya kau melakukan hal itu. Namun aku ingin bertanya
kepadamu. Jawablah dengan sejujurnya. Jurus serangan yang baru saja kau lancarkan tadi, bukankah itu jurus serangan
milikku?", geram Ma Songquan sambil mengacungkan pedangnya ke arah Ding Tao.
Ding Tao pun sudah membuka mulut untuk menyangkal, ketika dia teringat dari mana dia mempelajari jurus serangan itu.
Jurus serangan yang dimiliki Ding Tao memang sebelumnya sangat terbatas, yaitu hanya berasal dari ilmu keluarga Huang.
Namun sejak dia berkelana dan mendapatkan pengalaman dari bertarung melawan berbagai macam lawan. Dengan
sendirinya diapun mulai menyisipkan dan menggunakan jurus serangan yang dia lihat dari pengalamannya tersebut, untuk
melengkapi ilmu yang sudah ada pada dirinya. Salah satunya yang menjadi jurus andalannya adalah jurus yang dia serap
ketika dia bertarung melawan Sepasang Iblis Muka Giok. Teringat akan hal ini, mulut Ding Tao yang tadinya sudah terbuka untuk menjawab, terkatup kembali.
"Nah, Ding Tao, kenapa kau diam. Sekali lagi aku bertanya, bukankah jurus yang baru saja kau gunakan berasal dari ilmu
andalanku?", geram Ma Songquan.
Akhirnya dengan lemah, Ding Tao menganggukkan kepalanya, "Ya" soal itu" Kakak Ma Songquan memang benar. Jurus itu
berasal dari ilmu andalan kalian."
"Bagus kalau kau mau mengakuinya. Sekarang aku mau tanya, dari mana dan kapan kau mencuri ilmu itu" Apakah kau
mengirimkan orang untuk memata-matai kami saat berlatih?", desak Ma Songquan sambil berjalan mendekat.
"Kakak Ma Songquan, kuharap kau jangan salah paham. Tidak pernah aku mencurinya, hal itu", hal itu aku dapatkan ketika
kita bertarung di waktu yang lampau. ", jawab Ding Tao serba salah.
"Hoo" benarkah demikian" Jadi maksudmu, karena kau mendapatkannya dalam sebuah pertarungan, maka hal itu tidak
bisa disebut mencuri belajar" Begitu maksudmu?", desak Ma Songquan tidak mau mengalah.
Ding Tao pun tidak tahu harus menjawab apa, "Entahlah, menurutku memang demikian. Tapi jika Kakak Ma Songquan
memaksaku berkata yang sebaliknya, apa lagi yang dapat kukatakan. Aku hanya berharap Kakak Ma Songquan dapat
memakluminya. Bukankah kakak tahu, ilmuku sendiri yang kudapatkan dari guruku sangatlah terbatas. Lewat pengalaman
aku berusaha mengembangkannya, bukan dengan sengaja jika kemudian ada unsur-unsur tertentu yang kuambil dari ilmu
orang lain, yang kudapatkan lewat pengalamanku bertarung."
"Hmm.. mudah buatmu untuk berkata demikian, kau tentu juga akan membela diri dengan mengatakan, bukankah
demikian juga dengan semua orang lain dalam dunia persialatan. Kita mengembangkan ilmu kita melalui pengalaman.
Dengan sendirinya, cara bertarung orang lain pun termasuk di dalamnya. Benar tidak?", desak Ma Songquan pada Ding Tao.
"Ya", apa hendak dikata, bukankah memang demikian yang terjadi?", jawab Ding Tao dengan pasrah.
"Hee" jika begitu bukankah lama kelamaan, ilmu-ilmu yang ada akan semakin bercampur baur. Tergantung dari bakat tiap
orang saja untuk mengolahnya.", ujar Ma Songquan sambil menghela nafas, namun suasana permusuhan yang tadinya
terpancar sudah menghilang.
Melihat itu Ding Tao merasa bersyukur, kiranya Ma Songquan sudah tidak lagi mencurigai dirinya, diapun kemudian
menjawab, "Kukira demikian pun tidak ada buruknya. Bukankah dengan cara itu, apa yang ada semakin lama semakin
berkembang. Jika tidak salah, ada pula yang berpendapat, bahwa sebenarnya semua ilmu bela diri itu berasal dari satu
sumber saja. Maka dari itu, adanya berbagai macam golongan dan aliran, harusnya tidak perlu bersaing."
"Ketua Ding Tao benar juga. Jika setiap orang memiliki wawasan yang luas seperti itu, bukan saja ilmu bela diri bangsa kita akan berkembang maju. Suasana persaingan yang tidak sehat antar aliran pun bisa dihilangkan.", ujar Ma Songquan sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
"Benar, lagipula, ciri-ciri setiap perguruan juga tidak akan hilang. Bagaimanapun juga ilmu itu, kalaupun memang berasal dari satu sumber yang sama, terlalu luas untuk dipahami dan diyakinkan oleh satu orang saja. Itu sebabnya muncul
berbagai macam aliran, karena satu orang lebih menitik beratkan pada satu hal, dan orang yang lain menitik beratkan
latihannya pada hal yang lain.", jawab Ding Tao yang sudah lupa dengan kemarahan Ma Songquan beberapa waktu yang
lalu. "Hmm" jika benar ada satu ilmu yang menjadi sumber bagi sekian banyak aliran" andai saja ada orang yang memiliki cita-
cita yang tinggi dan mulia, yang mau mengumpulkan berbagai macam ilmu yang tercerai berai itu. Dan mengolahnya
menjadi satu ilmu yang lebih lengkap. Tentu saja hanya sebagai usaha, agar kebesaran ilmu yang menjadi sumber dari
setiap aliran itu tidak terlupakan orang.", ujar Ma Songquan sambil matanya melayang memandang ke kejauhan.
Ding Tao yang terbawa suasana ikut mengangguk-anggukkan kepala.
"Apakah Ketua Ding Tao setuju dengan perkataanku barusan?", tanya Ma Sonquan.
"Ya, ya, seandainya saja ada orang demikian. Hanya saja, perbuatannya itu bisa memancing pula salah paham, seperti yang terjadi barusan.", ujar Ding Tao.
"Hmm" kalau dia mengumpulkannya dengan cara menantang setiap aliran yang ada untuk bertarung bagaimana?", ujar Ma
Songquan. "Wah" tidak baik itu, justru cara demikian akan menanamkan benih-benih permusuhan.", ujar Ding Tao sambil
menggelengkan kepala. "Ya, ya" seandainya saja kitab-kitab yang memuat berbagai macam ilmu dari berbagai macam aliran terkumpul di satu
tempat" Hehehe, tapi bukankah aku terlalu mengkhayal, hal demikian mana mungkin terjadi?", ujar Ma Songquan,
mentertawakan sendiri ucapannya.
Tapi justru ucapan Ma Songquan itu membuat Ding Tao tercenung, bukankah apa yang dikatakan Ma Songquan itu justru
sudah ada di tangannya saat ini" Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang karena dia menyadari bahwa pada waktu yang
sesaat lamanya, dia sempat mempertimbangkan untuk mempelajari pula ilmu-ilmu yang tertulis dalam kitab-kitab itu.
Karena memikirkan hal itu, maka cepat Ding Tao menggelengkan kepala dan berkata, "Sekalipun jika ada yang demikian,
tidak baik pula jika orang mempelajarinya. Bukankah sama dengan mencuri ilmu namanya?"
"Tentu saja tidak.", jawab Ma Songquan dengan tegas.
"Jika buku-buku itu sampai di tangannya bukan lewat jalan mencuri, bagaimana bisa dikatakan sebagai pencuri" Jika
mempelajari sesuatu dianggap mencuri, lalu apa bedanya dengan menyerap ilmu lawan saat bertarung?", lanjut Ma
Songquan, membuat jantung Ding Tao makin berdebar.
Melihat Ding Tao masih termangu dan tidak menjawab, Ma Songquan pun meneruskan argumentasinya, "Bukankah
peraturan itu dulu muncul karena ada seseorang menggunakan ilmu silat dengan ciri-ciri ilmu milik seorang guru yang
melakukan kejahatan. Melihat ciri-ciri itu, orang pun menduga bahwa guru silat itu atau muridnya sudah berbuat kejahatan.
Belajar dari pengalaman itu, maka dibuatlah aturan yang ketat, agar pewaris dari satu ilmu bukanlah orang sembarangan."
"Tapi coba lihatlah sekarang, murid keluaran dari perguruan besar yang kemudian mencari makan dengan menjadi guru
silat. Tidak ada yang namanya ilmu rahasia, jika uang sudah di depan mata dan perut kelaparan. Tidak sedikit ilmu rahasia yang tersebar dengan cara demikian."
"Hmm" Kakak Ma Songquan, bukankah justru itu menunjukkan sisi buruk dari mempelajari ilmu orang lain?", ujar Ding Tao
berusaha menyanggah. "Hee" justru itu menunjukkan betapa konyolnya aturan tentang mencuri ilmu itu. Lebih baik jika ilmu itu dipelajari dengan niat yang benar, entah bagaimana caranya. Daripada dipelajari lewat jalur yang benar, namun dengan niat yang tidak
benar. Atau dengan iman yang kurang kokoh, lalu hanya jadi alat untuk mengisi perut yang lapar.", ujar Ma Songquan
membalas bantahan Ding Tao.
"Selain itu, bukankah kita tadi sudah sepakat, bahwa sebenarnya semua ilmu itu bersumber dari satu ilmu yang sama. Jika demikian, bagaimana bisa dikatakan mencuri" Bukankah ketika mempelajari ilmu aliran lain, sebenarnya yang dipelajari
hanyalah percabangan dari ilmu kita sendiri?", sambung Chu Linhe yang dari tadi diam saja mendengarkan.
"Orang besar harus bisa melihat dari sudut pandang yang luas baru menentukan benar tidaknya satu masalah. Tidak boleh
terlalu terikat pada kebiasaan, tanpa mau memahami konteksnya. Mengerti semangatnya, dan tidak terikat pada
bentuknya. Seperti seorang hakim harus mengerti keadilan dan bukan sekedar mengerti peraturan.", ujar Ma Songquan
lebih lanjut. Mendengarkan perkataan kedua orang itu, Ding Tao pun jadi termangu-mangu. Teringat pula dengan perdebatannya
melawan Murong Yun Hua mengenai masalah yang sama. Sekarang dia melihat pula dari sisi yang berbeda dan dari dua
orang yang berbeda. Mau tidak mau Ding Tao pun jadi semakin ragu akan keputusannya yang terdahulu, sewaktu dia
menolak tawaran Murong Yun Hua.
"Hee" mengapa melamun" Ketua Ding Tao, sudahlah, maafkan aku kalau tadinya aku sempat curiga padamu.", ujar Ma
Songquan sambil menepuk pundak Ding Tao, membangunkan dia dari lamunannya.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, ya. Tidak apa-apa, justru aku yang merasa tidak enak hati pada Kakak Ma Songquan.", ujar Ding Tao.
"Baiklah kalau begitu, aku akan menemui mereka yang akan ikut berangkat denganku menuju ke Guiyang hari ini.", ujar Ma
Songquan. "Ya", apakah tidak beristirahat lebih dulu" Kita bisa duduk-duduk dulu sebentar sambil mengobrol.", ujar Ding Tao.
"Hmmm" harusnya begitu, tapi kulihat Ketua Ding Tao sepertinya ada yang sedang dipikirkan. Mungkin itu karena
kesalahanku barusan juga yang terburu-buru menuduh tanpa menyelidik terlebih dahulu.", ujar Ma Songquan.
"Maafkan kami Ketua Ding Tao, padahal kalau dipikirkan lagi, bukankah kita juga sering bercakap-cakap dan bertukar
pikiran mengenai ilmu kita masing-masing. Entah mengapa tiba-tiba kami jadi kesal oleh masalah kecil.", ujar Chu Linhe
sambil tersenyum manis. "Sudahlah" memang saat ini hatiku gundah memikirkan sesuatu dan hal itu timbul setelah percakapan kita barusan. Namun
bukan karena aku tersinggung oleh ucapan kalian. Hanya saja kalian baru saja mengingatkan aku tentang sesuatu.", jawab
Ding Tao dengan sungguh-sungguh.
"Syukurlah kalau begitu, kuharap Ketua Ding Tao bisa cepat menyelesaikan masalah yang mengganggu pikiran Ketua Ding
Tao. Bagaimanapun juga, pemilihan Wuling Mengzhu semakin lama semakin dekat. Ketua Ding Tao sebagai orang yang
mewakili harapan kami semua, harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.", kata Chu Linhe dengan manis.
"Ya" masalah lain tidak usah dipikirkan, Ketua Ding Tao cukup berkonsentrasi saja untuk meningkatkan ilmu Ketua Ding
Tao. Kukira pertarungan antara Ketua Ding Tao dan Tetua Xun Siaoma cukup membuka mata. Ada banyak jagoan di luar
sana yang ilmunya sukar dijajaki.", sambung Ma Songquan.
"Sebenarnya aku yakin kalau Ketua Ding Tao tidak kalah dengan mereka dalam hal bakat, hanya sayang pengalaman Ketua
Ding Tao masih kalah jauh dengan mereka.", ujar Chu Linhe ke arah suaminya.
"Aku sependapat, dengan banyaknya pengalaman, otomatis semakin banyak jenis ilmu silat yang pernah dihadapi dan
dilihat. Ilmu kita sendiri menjadi semakin kaya. Pikiran kita juga jadi semakin berkembang.", jawab Ma Songquan pada Chu Linhe.
"Sudahlah, ayo kita pamit sekarang. Soal itu tidak ada jalan keluarnya, yang bisa kita lakukan hanya membantu Ketua Ding Tao sebisanya, kecuali bila kita memiliki perpustakaan seperti Shaolin, mungkin ada gunanya kita berbicara tentang hal
itu.", ujar Chu Linhe sambil menarik ujung baju suaminya.
"Ya" benar" orang-orang Shaolin memiliki perpustakaan yang sangat lengkap. Entah ada kitab apa saja di dalam
perpustakaan mereka. Kalau saja mereka memperbolehkan orang luar untuk melihatnya, mungkin tidak ada salahnya kita
mengajak Ketua Ding Tao untuk berkunjung ke sana.", ujar Ma Songquan menyesali keadaan.
"Ah sudahlah, Ketua Ding Tao, kami pamit dulu.", ujar Ma Songquan mengakhiri pembicaraan mereka.
"Ya.. hati-hatilah kalian di jalan. Maaf aku tidak bisa membantu banyak. Sebenarnya ingin juga aku ikut pergi berangkat.", ujar Ding Tao dengan tulus.
"Hah! Kecoak kecil macam mereka cukup ketua serahkan pada kami sekalian. Tugas ketua justru lebih berat, lawan-lawan
yang nanti akan muncul pada pertemuan Wulin Mengzhu tentu tidak akan bisa dibandingkan dengan lawan yang akan kami
hadapi beberapa hari lagi. Bukan tidak mungkin, dedengkot-dedengkot macam Tetua Xun Siaoma juga akan bermunculan di
sana.", ujar Ma Songquan sambil tertawa lebar.
Sekali lagi sepasang suami isteri itu pun berpamitan dan akhirnya mereka meninggalkan Ding Tao sendirian dalam ruang
latihannya. Setelah mereka berdua pergi, Ding Tao tidak segera beranjak dari tempatnya. Dia justru menutup pintu ruang
latihan dan pergi ke tengah ruangan. Perlahan-lahan dia mulai bertarung dengan bayangannya sendiri. Entah untuk ke
berapa kalinya Ding Tao berhadapan dengan bayangan Xun Siaoma. Sampai sekarang pun dia belum berhasil meyakinkan
dirinya bahwa dia dapat menang melawan Tetua Xun Siaoma jika harus berhadapan untuk kedua kalinya. Bukan karena
dendam jika Ding Tao sering berlatih dengan mambayangkan dirinya sedang berhadapan dengan Xun Siaoma. Tapi karena
Xun Siaoma adalah lawan terkuat yang pernah dia hadapi dan Ding Tao sadar dalam perebutan kursi Wulin Mengzhu tentu
akan ada lawan-lawan setangguh Xun Siaoma atau bahkan lebih tangguh darinya.
Sebenarnya sulit dikatakan, apakah benar jika Ding Tao bertemu dengan Xun Siaoma untuk kedua kalinya, pemuda itu akan
kalah untuk kedua kalinya. Bayangan Xun Siaoma dalam benak Ding Tao, tidak mewakili Xun Siaoma yang sesungguhnya.
Apalagi pemuda itu memandang Xun Siaoma sebagai orang yang dituakan, seorang pendekar pedang legendaris, dengan
sendirinya, Xun Siaoma yang muncul dalam bayangannya beberapa kali lebih tangguh dari kenyataannya.
Meskipun demikian pemikiran itu tidak pernah terlintas dalam benak Ding Tao. Perasaan rendah dirinya tidak mudah diobati.
Sudah bertahun dia merasa diri lebih rendah ilmunya dibandingkan orang lain. Kemenangan yang pernah dia raih hanya
mampu meningkatkan sedikit keyakinan dalam dirinya dan yang sedikit itu hilang lenyap begitu dia berhadapan dengan Pan
Jun dan Xun Siaoma. Baiknya Ding Tao bukan orang yang mudah berputus asa, rasa tanggung jawab yang kuat menyebabkan dia bekerja berkali
lipat lebih keras untuk menutupi kekurangannya.
Tapi latihan kali ini berbeda dengan latihan biasanya. Jika biasanya Ding Tao berkonsentrasi penuh, berusaha memecahkan serangan-serangan Xun Siaoma yang muncul dalam benaknya. Kali ini dia mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi, tidak
jarang saat dia hendak bergerak, teringatlah dia dari mana dia mengambil gerakan itu.
Terkadang gerakan yang hendak dia pakai adalah gerakan yang dia "curi" dari Liu Chuncao, ada kalanya gerakan itu dia
dapatkan saat berlatih melawan Wang Xiaho, atau gerakan dari Ma Songquan dan Chu Linhe. Bahkan ada pula gerakan-
gerakan yang dia serap dari pertarungannya melawan Pan Jun dan Xun Siaoma sendiri.
Akhirnya pemuda itu menjatuhkan dirinya ke lantai dan merenungi kembali percakapannya dengan Ma Songquan dan Chu
Linhe. Teringat pula dengan kumpulan kitab yang dibawa Murong Yun Hua dari rumahnya yang lama. Rumah warisan turun
temurun, milik keluarga Murong. Sesaat kemudian terlintas lagi dalam benaknya, pertemuan untuk memilih Wulin Mengzhu,
entah sejak kapan, setiap orang mulai menaruh harapan pada dirinya untuk merebut kedudukan itu. Jika dia gagal, berapa
banyak orang yang akan merasa kecewa"
Murong Yun Hua mengatakan wataknya yang terlalu kaku mengikuti adat istiadat akan merugikan dirinya dan juga orang
lain yang bergantung padanya. Sebelumnya Ding Tao berkeras bahwa adat istiadat terbentuk karena alasan tertentu dan dia tidak ingin menganggap dirinya lebih bijak daripada orang lain, hingga dia bisa menentukan mana yang harus diikuti dan
mana yang bisa dilanggar. Berbeda memang dengan pandangan Murong Yun Hua, apalagi dengan pandangan Ma Songquan
dan Chu Linhe. Jika Ding Tao lebih suka berjalan mengikuti adat yang ada dan hidup dalam keselarasan dengan masyarakat di sekitarnya.
Murong Yun Hua berpendapat, jika dia yakin akan kebenaran tindakannya, maka dia akan melakukan hal itu, meskipun hal
itu bertentangan dengan pendapat orang banyak.
Ding Tao tidak menyukai konflik, sebisa mungkin dia menghindarinya. Namun akhir-akhir ini, kedudukannya menempatkan
dia di posisi di mana dia tidak bisa menghindari konflik. Tidak jarang pilihan yang ada hanyalah konflik kecil atau konflik besar. Apa yang dia pandang adil dan sepantasnya, tidak jarang dipandang berat sebelah bagi pihak yang dirugikan oleh
keputusannya. Sungguh menjadi seorang ketua bukan urusan yang mudah. Beruntung ada orang-orang yang bersedia
memberikan nasihat padanya. Meskipun tidak jarang akhirnya Ding Tao memilih mengambil keputusan yang merugikan
partai, tapi tidak melanggar hati nuraninya daripada keputusan yang menguntungkan mereka namun tidak sesuai dengan
hati nuraninya. Jika demikian yang terjadi, maka biasanya Chou Liang-lah yang bekerja keras untuk meminimalkan kehilangan mereka,
sambil menggunakan hal itu untuk membangun reputasi Ding Tao sebagai orang yang adil.
Perselisihan baik kecil maupun besar, dalam dunia persilatan, tidak urung membawa korban. Itu sebabnya keteguhan Ding
Tao untuk menolak belajar dari kitab-kitab pemberian Murong Yun Hua pun mulai goyah. Jika dibandingkan korban jiwa
yang sering terjadi akibat keputusannya. Sekedar melanggar sopan santun dunia persilatan dengan mempelajari ilmu-ilmu
aliran lain terlihat begitu remeh.
Ding Tao masih duduk merenungkan cara untuk mengalahkan Tetua Xun Siaoma, ketika dia mendengar suara pintu diketuk.
"Siapa itu?", tanya Ding Tao sambil bangkit berdiri dan membenahi pakaiannya.
"Aku ketua" Chou Liang", sahut orang yang berada di luar.
Mengenali suara Chou Liang, Ding Tao pun bertanya-tanya dalam hati, tidak biasanya Chou Liang mengganggu jam
latihannya. Dengan segera dia berjalan untuk membukakan pintu.
"Kakak Chou Liang, mari masuk. Ada apakah gerangan hingga kakak mencariku" Apakah ada masalah yang gawat?", tanya
Ding Tao setelah membukakan pintu buat Chou Liang.
Sembari berjalan bersama Ding Tao masuk ke dalam, menuju ke salah satu bangku-bangku panjang yang berada di ke
empat sisi ruangan, Chou Liang menjawab, "Tidak ada masalah gawat yang muncul.Hanya saja aku agak heran, mengapa
Ketua Ding Tao tidak ikut mengantar kepergian Saudara Ma Songquan dan Nyonya Chu Linhe berangkat. Apakah Ketua Ding
Tao merasa kurang sehat?"
"Oh, begitu rupanya" Tidak ada apa-apa, hanya saja percakapan kami mengingatkanku akan kemampuanku yang masih
kurang. Sehingga aku ingin berlatih dan mencoba menguraikan beberapa masalah.", jawab Ding Tao sambil duduk ke salah
satu bangku yang ada. "Oh" jadi bagaimana dengan hasil latihan Ketua Ding Tao selama ini" Apakah akhirnya Ketua Ding Tao berhasil menemukan
cara untuk menang melawan Tetua Xun Siaoma?", ujar Chou Liang sambil menganggukkan kepala tanda mengerti.
Sudah sering mereka bercakap-cakap. Chou Liang pun sudah tahu benar, bagaimana Ding Tao akhir-akhir ini berlatih
melawan bayangan Xun Siaoma yang ada dalam benaknya. Hampir tidak ada hal yang disembunyikan Ding Tao dari Chou
Liang. Chou Liang sendiri orang yang pandai mengajak bicara dan mengorek keterangan dari lawan bicaranya.
Ditanya demikian oleh Chou Liang, Ding Tao hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum getir, "Sayangnya tidak"
meskipun sudah ada kemajuan, namun pada akhirnya aku selalu berhasil dikalahkan olehnya."
Chou Liang tersenyum menenangkan, "Ketua jangan berkecil hati", aku juga sering bermain catur melawan diriku sendiri
untuk membuang-buang waktu dan tahu betapa sulitnya untuk menang, sementara diriku tahu apa maksud dari setiap
langkah yang kujalankan."
Ding Tao tertawa kecil, "Ya" bisa juga demikian" Entahlah, aku hanya tidak memiliki keyakinan yang cukup tentang
pemilihan Wulin Mengzhu yang akan diadakan. Kakak Chou Liang, seandainya aku tidak berhasil menduduki kursi itu,
apakah menimbulkan banyak masalah?"
"Hmm" seandainya tidak ada kejadian pembantaian keluarga Huang di kota Wuling mungkin keadaannya tidak terlalu
mengkhawatirkan. Meskipun menurut pendapatku tidak ada banyak bedanya. Yang jadi masalah adalah adanya gerakan
Ren Zuocan yang diam-diam menjalin hubungan dengan tokoh persilatan dari dalam perbatasan. Siapa orangnya masih
gelap, yang terlihat hanya cecunguk macam Tiong Fa. Tapi dari keterlibatan seorang tokoh semacam Pan Jun, bisa kita
bayangkan, kekuatan mereka tidak bisa diremehkan. Jika mereka juga ikut dalam pemilihan tersebut?", jawab Chou Liang
dengan akhir yang menggantung.
"Bisa jadi, orang yang menjadi Wulin Mengzhu tidak lain adalah kaki tangan Ren Zuocan.", ujar Ding Tao menyelesaikan
jawaban Chou Liang. "Ya" benar", bisa jadi kedudukan tersebut justru dipegang oleh orang yang sudah menjalin hubungan dengan Ren Zuocan.
Satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa hal itu tidak terjadi, Ketua Ding Tao harus bisa memenangkan kedudukan
tersebut.", jawab Chou Liang serius.
"Jika kita berpikir demikian, bukankah juga banyak di luar sana yang berpikiran sama" Kemudian apa yang akan terjadi
dalam pemilihan nanti" Sesama patriot yang cinta negara akan saling berlawanan demi sebuah kedudukan, didorong oleh
ketakutan yang sama. Pada akhirnya Ren Zuocan tetap saja akan mengambil keuntungan.", keluh Ding Tao dengan sedih.
"Ketua Ding Tao benar, dengan adanya lawan yang tersembunyi dalam gelap seperti saat ini. Kita berada di posisi yang
serba salah. Tapi kukira masih ada kemungkinan untuk menghindari bentrokan yang merugikan pihak sendiri.", ucap Chou
Liang dengan sungguh-sungguh.
"Benarkah itu Kakak Chou Liang" Cara apa itu?", tanya Ding Tao penuh perhatian.
"Hanya saja, cara ini " Ketua Ding Tao tidak perlu pikirkan terlalu mendalam. Cara ini memang bisa dikatakan cara yang
terbail. Hanya sayang, dalam pelaksanaannya terlampau bergantung pada satu orang.", jawab Chou Liang sambil
menggelengkan kepalanya, menolak sendiri usulan yang dia ajukan.
"Tunggu dulu, jangan terburu memutuskan sesuatu. Coba kakak ceritakan dulu cara yang kakak maksudkan. Jika memang
cara ini bisa menghindarkan jatuhnya banyak korban. Meskipun harus mengorbankan diriku sendiri, aku tidak keberatan
mencobanya.", desak Ding Tao dengan penuh harap.
Chou Liang terdiam dan berpikir beberapa lama, sementara Ding Tao menunggu jawaban darinya dengan tidak sabar.
Beberapa kali Chou Liang seperti ingin mengatakan sesuatu namun dibatalkan.
Akhirnya Chou Liang berbicara juga, meskipun dengan wajah serba susah, "Cara ini kalau kupikir lagi sebenarnya bisa
dikatakan bukan cara yang baik. Tapi kakau Ketua Ding Tao mau tahu, baiklah akan kukatakan."
"Jika dalam perebutan kursi Wulin Mengzhu itu, Ketua Ding Tao bisa menunjukkan kemampuan yang jauh melampaui
kemampuan dari semua peserta yang ada. Dengan sendirinya mereka yang melihat hal itu akan mundur sebelum mencoba.
Dengan kemampuan yang jauh lebih tinggi dari lawan, Ketua Ding Tao juga tentunya akan mampu mengalahkan lawan
tanpa melukainya.", ujar Chou Liang sambil tersenyum kecut.
Mendengar jawaban Chou Liang, Ding Tao pun menggelengkan kepala dengan sedih, "Bisa jadi benar, tapi hal itu mana
mungkin terjadi. Melawan Tetua Xun Siaoma saja aku masih belum memiliki keyakinan. Apalagi hendak menundukkan
semua lawan dalam perebutan kedudukan Wulin Mengzhu dengan gemilang."
Chou Liang menganggukkan kepala tanda setuju sambil tersenyum kecut, "Ya" bukankah sudah kukatakan. Untuk sejenak
lamanya cara itu seperti cara yang baik. Hanya sayang terlalu tidak masuk akal. Sama saja seperti mengharapkan langit
menurunkan dewa bermata tiga untuk berdiri di pihak kita."
Ding Tao ikut tersenyum kecut mendengar perkataan Chou Liang itu.
Menghela nafas panjang, Chou Liang pun berkata, "Yah" begitulah, mengharapakan keajaiban terjadi memang tidak salah,
hanya saja kita harus berusaha sekuat tenaga kita tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Andai saja ada
cara agar Ketua Ding Tao bisa mempelajari ilmu-ilmu dari setiap aliran. Bukankah dikatakakan dalam seni berperang, tahu diri sendiri dan lawan, 100 kali berperang, 100 kali menang."
Tergerak hati Ding Tao mendengar perkataan Chou Liang, tahu diri sendiri dan tahu lawan, 100 kali berperang, 100 kali
menang. Jika dia mempelajari kitab-kitab yang dibawa Murong Yun Hua, bukankah hal itu akan jadi kenyataan" Jika dia
tahu setiap gerak tipu, serangan dan pertahanan lawan, maka dengan mudah dia bisa bertahan dan menyerang. Dalam
bertarung pun dia tidak perlu menirukan gerakan lawan, yang penting dia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh lawan,
tentu dia dapat memikirkan cara untuk mematahkannya.
Melihat Ding Tao termenung, Chou Liang pun cepat-cepat berkata, "Sudahlah Ketua Ding Tao, jangan dipikirkan perkataan
ngawurku tadi. Asalkan ketua bisa menunjukkan bahwa ilmu ketua tidaklah di bawah peserta yang lain, hal itu sudah cukup.
Percayalah, Chou Liang akan berusaha menggalang kekuatan untuk memastikan keberhasilan ketua. Dalam kenyataannya
dukungan dari sahabat-sahabat Partai Pedang Keadilan cukup besar."
Ding Tao hanya menganggukkan kepala setengah hati, menanggapi usaha Chou Liang untuk menghibur dirinya itu.
"Apakah Ketua Ding Tao ingin melanjutkan kembali latihan?", tanya Chou Liang bersiap untuk berpamitan.
"Ya, waktu yang tersisa ingin kugunakan sebaik-baiknya. Moga-moga pada waktunya nanti aku tidak mengecewakan kalian
semua.", jawab Ding Tao.
"Baiklah kalau begitu aku pamit lebih dahulu. Kuharap Ketua Ding Tao, jangan pula terlalu memaksakan diri. Setiap
manusia memang ada keterbatasan, asalkan ketua sudah berusaha semaksimal mungkin, apapun hasilnya pada pemilihan
Wulin Mengzhu nanti, tidak ada yang perlu disesalkan.", ujar Chou Liang.
Setelah sekali lagi berpamitan, Chou Liang akhirnya meninggalkan Ding Tao sendirian didalam ruang latihan. Setelah
menutup pintu, Ding Tao berjalan ke tengah ruangan, kemudian duduk bersila. Benaknya penuh dengan pertanyaan, tidak
terpikir lagi untuk berlatih, melainkan Ding Tao ingin terlebih dahulu mengambil keputusan, akankah dia mempelajari isi dari kitab-kitab yang dibawa Murong Yun Hua ataukah dia akan terus berlatih seperti yang selama ini dia lakukan"
Sambil menggigit bibir Ding Tao pun bertanya pada diri sendiri, apakah terus berlatih seperti yang dia lakukan selama ini, akan membawa dia melangkah lebih jauh lagi" Ataukah kemampuannya untuk mengembangkan diri sudah sampai pada
batasnya" Teringat dahulu ketika dia hendak mengikuti ujian kenaikan tingkat dalam keluarga Huang, melatih jurus-jurus
yang sama, mencoba menyelaminya, semuanya terasa seperti membenturkan diri melawan tembok yang kokoh. Namun
saat pencerahan itu datang, terobosan itu terjadi dan tiba-tiba dia memahami segala sesuatunya dengan pengertian yang
lebih dalam. Saat ini pun dia mengharapkan hal yang sama. Berbulan-bulan lamanya, dia menghabiskan sekian banyak waktu untuk
memerah tenaga dan pikiran, tapi masih saja mendapati jalan buntu. Dia menantikan saat-saat di mana pikirannya berhasil memecahkan kebuntuan itu, namun saat itu tidak juga kunjung datang.
Di saat yang sama, Murong Yun Hua sudah menyediakan jawaban bagi persoalan yang dia hadapi. Jika dia tidak
memanfaatkan kesempatan yang sudah dihadirkan ini, apakah masih bisa dikatakan bahwa dia sudah berusaha sekuat
tenaga" Jika sampai jatuh banyak korban dalam pertemuan Wulin Mengzhu nanti, apakah dia bisa tidur dengan nyenyak,
mengetahui bahwa dia memiliki kesempatan untuk mencegah hal itu terjadi namun tidak mengambilnya"
Lama Ding Tao menutup mata dalam sikap duduk bersila. Lama dia berpikir, menimbang dan bertanya. Akhirnya dia
membuka mata dengan satu keputusan sudah terbentuk dalam hatinya. Ding Tao pun berjalan keluar dari ruangan latihan
itu, pergi menuju ke tempat dia tinggal bersama kedua isterinya. Ada kalanya seseorang harus mengaku bahwa sikap yang
dia ambil tidaklah tepat. Banyak orang merasa malu untuk mengakui kesalahan, padahal berkeras pada hal yang salah
justru menunjukkan kekerdilan hati seseorang. Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, hanya saja ada yang berani
mengakuinya dan ada yang tidak mau mengakuinya
Selesai masalah pertama, masih ada masalah kedua.
Hari itu juga, segera setelah Chou Liang menjalankan siasatnya dibantu oleh sepasang suami isteri, Ma Songquan dan Chu
Linhe, Ding Tao pergi untuk menemui Murong Yun Hua. Dalam hati terselip juga rasa malu, malu untuk mengakui
kesalahan. Bukankah suami itu kepala keluarga, pemimpin dari keluarganya. Betapa sering kedudukan ini, membuat suami
merasa dirinya harus menjadi manusia yang tidak pernah bersalah, pun jika terbukti dirinya bersalah.
Memang seorang pemimpin, harusnya tidak membuat kesalahan. Namun sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan,
seharusnya pemimpin juga sanggup untuk mengakui kesalahannya. Dengan begitu, jalan menuju pada yang benar akan
terbuka. Jika karena malu, seorang pemimpin tidak bersedia mengakui kesalahannya, maka hilang pula kesempatan untuk
memperbaiki kesalahan tersebut. Bahkan lebih buruklagi, bila langkah tersebut diambil oleh seorang pemimpin, maka biasanya yang terjadi adalah, kesalahan tersebut ditutupi dengan cara yang mengundang kesalahan-kesalahan lain.
Sehingga perlahan-lahan, pimpinan yang tadinya baik, bisa berubah menjadi pembawa mala petaka bagi mereka yang
dipimpinnya. Bagusnya Ding Tao bukan jenis pemimpin yang demikian. Sadar atau bahkan terlalu sadar bahwa dirinya bukan orang
paling bijaksana di dunia ini, Ding Tao tidak segan-segan untuk mengakui kesalahannya. Termasuk mengakui kesalahannya
pada isteri-isterinya. Murong Yun Hua sedang bersenda gurau dengan adiknya Murong Huolin di taman, saat Ding Tao datang untuk mengakui
kesalahannya. "Kakak Ding Tao", wah tidak biasanya belum waktunya makan siang sudah datang", ujar Huolin sambil berlari kecil
menyambut Ding Tao, disusul oleh Murong Yun Hua di belakangnya. Murong Yun Hua tentu saja tidak bisa berlarian seperti
Murong Huolin, perutnya sudah bertambah besar saja. Jika tidak ada aral melintang tentu 2 bulan lagi dia akan melahirkan.
Ding Tao menyambut Murong Huolin yang ceria dengan senyum di wajahnya, tangannya dengan serta merta menggenggam mesra tangan gadis itu. Bergandengan mereka berjalan ke arah Murong Yun Hua yang datang menyusul.
Ding Tao pun berkata, "Sebenarnya aku datang karena ada satu urusan dengan kakakmu, Yun Hua."
"Oh" kusangka kakak rindu padaku, ternyata yang dirindukan adalah Kakak Yun Hua, aduh malunya?", keluh Murong
Huolin dengan manja. "Hush" jangan sembarangan.., ini masalah Partai Pedang Keadilan.", jawab Ding Tao sambil mencubit Murong Huolin
dengan lembut. "Masalah partai" Apakah ada masalah genting dalam partai kita?", tanya Murong Huolin dengan nada yang lebih serius.
Karena sudah sampai pula ke dekat Murong Yun Hua, maka Ding Tao pun dengan segera meraih tangan Murong Yun Hua
untuk digandengnya pula. Dengan menggandeng dua orang isteri yang cantik di kiri dan kanannya, Ding Tao berjalan ke
arah bangku-bangku yang ada.
"Dikatakan masalah yang genting tidak juga. Tetapi bukan berarti tidak penting. Hal ini ada hubungannya dengan pemilihan Wulin Mengzhu yang akan diadakan dalam beberapa waktu ke depan, hitungan bulan.", ujar Ding Tao menjelaskan.
"Ah" apakah hubungannya dengan diriku?", tanya Murong Yun Hua.
"Soal itu, ada hubungannya dengan apa yang pernah kita bicarakan sebelumnya. Mengenai koleksi kitab-kitab, milik
keluarga Murong. Aku sudah banyak berpikir dan harus kuakui, sebelumnya aku sudah terlalu kaku dalam memikirkannya.
Saat ini waktu yang tersisa semakin sedikit, sementara aku tidak memiliki keyakinan yang kuat untuk maju dalam pemilihan tersebut. Jika imbangan kekuatan dalam pemilihan tersebut, tidak berbeda jauh, bukan tidak mungkin akan jatuh korban
dari kalangan sendiri. Aku ingin berusaha sebisa mungkin untuk menghindari jatuhnya korban.", jawab Ding Tao
menjelaskan. Murong Huolin yang mendengarkan, tidak berani banyak berkomentar, hanya pandang matanya saja yang terarah pada
Murong Yun Hua. Sebaliknya Murong Yun Hua dengan senyum menyambut jawaban Ding Tao.
"Syukurlah kalau Adik Ding Tao memutuskan demikian. Sebenarnya apakah kitab-kitab itu akan bermanfaat atau tidak, aku
sendiri tidak bisa mengatakan dengan pasti. Tapi jika aku bisa membantu Adik Ding Tao, sesedikit apapun, hal itu akan
membuatku senang.", ujarnya sambil meremas tangan Ding Tao dengan mesra.
"Bantuan Enci Yun Hua sudah terlampau banyak, tempat ini pun terasa lebih menyenangkan untuk ditinggali setelah
kedatangan kalian berdua. Jika kitab-kitab itu tidak bermanfaat, maka kesalahan terletak pada otakku yang bebal. Aku
berjanji akan berusaha segiat mungkin untuk mempelajarinya dan tidak menyia-nyiakan kebaikan Enci Yun Hua.", jawab
Ding Tao sambil mencium lembut pipi Yun Hua.
"Aduh irinya" Aku pun ingin bisa membantu Kakak Ding Tao. Apa daya aku tidak sepandai Enci Yun Hua.", keluh Huolin
sambil tersenyum menggoda.
"Hahaha" kenapa harus iri. Adik Huolin juga sudah banyak membantuku dengan cerita-cerita yang lucu. Jika tidak kepalaku tentu sudah pecah menghadapi urusan partai setiap hari.", ujar Ding Tao, tidak lupa memberikan kecupan mesra di pipi
Murong Huolin. Sembari mendudukkan badan mereka ke bangku yang terdekat, ketiganya pun bertukar cerita mengenai apa yang mereka
alami hari itu. Setelah bercakap-cakap mengenai hal-hal yang ringan, Murong Yun Hua kembali mengarahkan pembicaraan
mereka pada hal yang penting.
"Adik Ding Tao, kitab-kitab itu cukup banyak, sudahkah memikirkan kitab mana dulu yang akan dibaca dan mana yang akan
ditekuni" Ataukah adik akan membaca dulu semuanya secara sekilas sebelum memutuskan akan mempelajari kitab yang
mana?", tanya Murong Yun Hua.
"Tentang hal itu sudah kupikirkan baik-baik. Aku tidak akan memilih ilmu tertentu untuk dipelajari, melainkan lebih
menekankan pada mengenali setiap kelebihan dan kekurangan ilmu dari berbagai aliran. Dengan begitu aku bisa
menemukan cara untuk mengalahkan lawan tanpa harus terlalu banyak mencuri belajar dari mereka.", jawab Ding Tao.
"Oh begitu, maksud kakak, kakak hanya ingin menemukan cara untuk menghadapi setiap aliran dengan ilmu yang kakak
kembangkan sendiri?", tanya Murong Huolin untuk menegaskan.
"Ya, begitulah. Sebisa mungkin aku akan berusaha untuk tidak mencuri ilmu dari aliran lain. Namun jika memang hal itu
tidak bisa dihindarkan, misalnya ketika ilmu itu bisa menjadi pelengkap yang baik dari apa yang sudah kutekuni, maka
sebisa mungkin aku menekuninya dengan meleburkannya dengan ilmu yang sudah kumiliki dan bukan menirunya mentah-
mentah.", jawab Ding Tao.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah ada cukup waktu untuk melakukan hal itu?", tanya Murong Huolin dengan wajah khawatir.
Alis Ding Tao pun berkerut memikirkan hal itu, dengan ragu dia menggelengkan kepala, "Sebenarnya aku sendiri tidak
yakin, namun yang bisa dilakukan hanyalah berusaha mempelajari sebanyak mungkin dalam waktu yang tersisa. Kalaupun
tidak bisa mempelajari semuanya, setidaknya dari yang sudah dipelajari akan membuat pengetahuanku menjadi lebih
lengkap." "Kalau begitu, biarlah kitab-kitab yang memuat ilmu-ilmu andalan dari perguruan besar dipelajari terlebih dahulu. Dengan kitab yang menerangkan jurus lebih diutamakan daripada kitab yang berkenaan dengan pengolahan tenaga.", ujar Murong
Yun Hua setelah mendengarkan penjelasan Ding Tao.
Ding Tao pun mengangguk membenarkan, "Kurasa itu salah satu jalan yang baik."
Murong Yun Hua termenung beberapa saat kemudian bertanya, "Adik Ding Tao, apakah membutuhkan obat pengetahuan
dewa untuk mempercepat proses pembelajaran ini?"
Ding Tao terdiam dan berpikir, Murong Huolin-lah yang terlebih dahulu berkata, "Kakak, kurasa terlalu banyak
menggantungkan diri pada obat-obatan tidaklah baik. Kakak Ding Tao sudah mendapatkan banyak perkembangan setelah
meminumnya. Meminumnya kembali bukan hanya belum tentu memberikan hasil seperti yang lalu, tapi juga tentu memiliki
resikonya sendiri." Ding Tao memandang Murong Huolin sejenak, kemudian tersenyum dan menjawab, "Adik Huolin benar, sejak meminum
obat itu untuk berapa lama, memang sekarang kerja otakku jadi lebih encer. Meskipun setelah berhenti meminumnya
beberapa bulan, tidak kurasakan daya kerjanya menurun. Kupikir lebih baik, kali ini aku tidak meminumnya kembali. Terlalu banyak pun kurasa tidak akan baik jadinya."
Murong Huolin terlihat bersyukur mendengar jawaban Ding Tao. Murong Yun Hua pun menganggukkan kepala setelah
mendengarkan jawabannya. "Hal itu pun baik, ada kalanya karena mengharapkan keajaiban seseorang jadi terlalu bergantung pada obat-obatan. Jika
setelah berhenti meminumnya Adik Ding Tao tidak merasakan penurunan dalam kerja otak dan syaraf Adik Ding Tao, maka
hal itu menunjukkan satu perubahan yang sudah mapan dalam sistim syaraf Adik Ding Tao dan obat itu sudah tidak
diperlukan lagi.", ujar Murong Yun Hua sambil tersenyum.
"Kapan kakak akan mulai mempelajari kitab-kitab itu?", tanya Murong Huolin.
"Waktunya tinggal sedikit, makin cepat, makin baik.", jawab Ding Tao dengan ringkas.
Mendengar jawaban Ding Tao Murong Yun Hua menganggukkan kepala dan bangkit dari duduknya.
"Jika adik sudah berketetapan demikian, baiklah kita mulai saja sekarang. Kitab-kitab itu kusimpan dalam kamar, sekarang kita bisa pergi ke sana dan mengambil satu kitab untuk dibawa Adik Ding Tao ke ruang latihan. Sambil Adik Ding Tao
mempelajarinya, aku dan Adik Huolin akan memilah-milah kitab-kitab yang lainnya sambil juga menyiapkan segala
keperluan Adik Ding Tao nanti. Kukira setelah ini, Adik Ding Tao akan menghabiskan banyak waktu di ruang latihan.", ujar Murong Yun Hua dengan tegas.
Ding Tao menganggukkan kepala, dia tidak keberatan dengan sikap Murong Yun Hua yang terkadang bertindak sebagai
seorang kakak terhadap adiknya. Lagipula sejak awal, memang itu pula yang dia pikirkan. Mereka berdua menunjukkan
tekad yang kuat, hanya Murong Huolin sedikit muram membayangkan akan berjauhan dengan Ding Tao dalam waktu yang
lama. Dengan cara kerja yang cepat dan tepat, tanpa banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak penting, tidak
lama setelah itu, Ding Tao sudah berada di dalam ruang latihan, membaca dan menekuni sebuah kitab.
Karena sudah pernah membaca kitab yang menjadi salah satu sumber ilmu perguruan Kongtong, Ding Tao memilih kitab-
kitab dari perguruan tersebut untuk dipelajarinya pertama kali. Dalam benaknya dia berpendapat, kalaupun waktu yang ada itu tidak memungkinkan untuk memahami semuanya, setidaknya ada satu atau dua yang sudah dimengertinya dengan
tuntas, walaupun hanya dalam bentuk teori.
Sementara Murong Huolin memilah-milah kitab-kitab yang ada, sesuai dengan petunjuk Murong Yun Hua. Murong Yun Hua
sendiri memilih untuk mengarahkan para pelayan, mengenai persiapan kebutuhan Ding Tao selama dalam ruang latihan.
Setelah selesai memberikan pengarahan dan juga membantu di dapur beberapa lama. Murong Yun Hua pun pergi untuk
menemui Chou Liang dan menyampaikan rasa terima kasihnya.
Chou Liang pun ikut bergembira melihat siasatnya berhasil dengan baik, "Syukurlah kalau begitu. Berarti saat ini Ketua Ding Tao sudah mulai mempelajari isi kitab-kitab itu?"
"Ya, benar, segera setelah menyampaikan keinginannya pada kami, Adik Ding Tao membawa beberapa jilid kitab ke ruang
latihan dan mulai mempelajarinya. Penasehat Chou Liang, melihat keadaannya kukiralebih baik jika Adik Ding Tao tidak
diganggu dengan urusan partai sampai waktu yang cukup lama.", ujar Murong Yun hua menjawab pertanyaan Chou Liang.
"Ya" tentu saja, kuharap tidak akan muncul masalah yang di luar kemampuanku untuk memecahkannya. Sebisa mungkin
akan kujaga agar tidak ada yang mengganggu pikiran Ketua Ding Tao selama dia berlatih nanti.", jawab Chou Liang.
"Ya, kuharap juga demikian. Jika tidak maka dengan waktu yang singkat ini, tentu akan sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.", ujar Murong Yun Hua sambil mendesah.
"Sudahlah, kuharap Nyonya jangan terlalu merisaukan hal itu. Aku percaya Ketua Ding Tao adalah orang yang berbakat.",
jawab Chou Liang berusaha menghibur Murong Yun Hua.
Selesai menemui Chou Liang, Murong Yun Hua pun bergegas kembali menemui Murong Huolin dan ikut membantu adiknya
itu memilah-milah kitab-kitab yang ada. Demikianlah keputusan Ding Tao membuat kesibukan rumah itu menjadi
meningkat. Meskipun para pelayan tidak seluruhnya mengerti ilmu silat, namun sebagai bagian dari satu partai besar dalam dunia persilatan mereka memahami pentingnya apa yang dilakukan Ding Tao saat ini. Dan bersama-sama mereka berusaha
untuk mendukung Ding Tao agar berhasil dalam usahanya, meskipun bila hal itu hanya dalam bentuk doa sekalipun.
Entah karena manjurnya doa mereka, atau mungkin karena suasana hati Ding Tao yang baik. Begitu dia mulai mempelajari
isi dari satu kitab, pikirannya bekerja dengan terang. Semangatpun jadi terbangkit dan pelajaran yang berat jadi terasa menyenangkan. Ding Tao hampir lupa makan dan minum, jika saja bukan Murong Yun Hua dan Murong Huolin yang sesekali
datang menengok mengingatkan dirinya. Memang benar Ding Tao hanya mempelajari teorinya saja tanpa melatih isi dari
kitab-kitab yang dia baca. Namun tenaga yang diperlukan tidak kalah banyaknya, apalagi Ding Tao seperti orang yang
kehausan, berusaha mereguk ilmu-ilmu yang ada sebanyak-banyaknya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Tanpa terasa beberapa minggu pun sudah lewat, dengan Ding Tao selalu berada di dalam ruang latihan. Sedikitpun dia tidak pernah beranjak keluar. Beruntung Partai Pedang Keadilan memiliki orang-orang yang cakap seperti Chou Liang, Sun Liang, Qin Hun, Pendeta Liu Chuncao dan Ma Songquan. Mereka juga tidak kekurangan orang-orang yang setia dan bisa dipercaya
seperti Wang Xiaho, Li Yan Mao dan yang lainnya, mereka ini orang-orang tanpa ragu-ragu akan bersedia mati demi Ding
Tao. Dengan demikian, absennya Ding Tao dari kegiatan Partai Pedang Keadilan tidak mengganggu jalannya partai.
Meskipun tidak mengganggu jalannya roda partai, tidak urung keadaan Ding Tao yang seperti lupa makan dan minum ini
membuat hati Chou Liang menjadi risau. Ma Songquan dan Chu Linhe yang baru saja selesai membasmi kelompok
pembegal di Gui Yang, ikut risau pula melihat keadaan Ding Tao.
"Sudah berapa lama Ketua Ding Tao bersikap seperti ini?", tanya Ma Songquan kepada Chou Liang.
Sore itu mereka bertiga sedang duduk-duduk di ruangan kerja Chou Liang. Setelah selesai dengan tugasnya Ma Songquan
dan Chu Linhe memutuskan untuk menginap beberapa hari di markas besar Partai Pedang keadilan di Kota Jiang Ling, untuk
menilik hasil dari siasat Chou Liang.
"Sudah 16 hari, sebentar lagi genap 3 minggu Ketua Ding Tao mengurung diri dalam ruang latihan.", jawab Chou Liang
dengan wajah murung. Melihat wajah Chou Liang yang murung, Ma Songquan tertawa dan menjawab, "Tidak perlu terlalu kuatir, Ketua Ding Tao
rupanya juga orang yang keranjingan ilmu silat. Bukan hal yang aneh bila orang jadi lupa waktu, saat bertemu dengan
sesuatu yang mengasyikkan."
"Hmmm" Saudara Ma Songquan, belum bertemu dengan Ketua Ding Tao jadi bisa berbicara demikian. Kalau sudah
bertemu, mungkin akan beda lagi pendapatnya.", keluh Chou Liang.
"Memangnya seperti apa Ketua Ding Tao sekarang ini?", tanya Chu Linhe penasaran.
"Hehh" setiap kali bertemu, kulihat dia seperti sudah kehilangan akalnya. Pikirannya hanya penuh terisi dengan ilmu dari kitab-kitab tersebut. Hal-hal lain sama sekali tidak dia hiraukan. Jika bukan kedua Nyonya Murong dan diriku yang
mengingatkan untuk makan dan minum, mungkin dia tidak akan makan dan minum sampai berhari-hari."
"Oh" itu sih biasa?", ujar Ma Songquan menenangkan Chou Liang.
"Kalian belum melihat tumpukan kitab yang sudah selesai dia baca. Bukankah kalian sendiri mengatakan, paling bijaksana
jika Ketua Ding Tao hanya melihat-lihat sekilas, kemudian memilih salah satu kitab untuk ditekuni benar-benar. Tapi jika melihat keadaannya, aku tidak akan heran, jika kenyataannya dia melahap setiap ilmu dalam kitab-kitab tersebut.", gerutu Chou Liang.
Mendengar itu Ma Songquan pun jadi mengerutkan kening, "Hmm" apa benar demikian" Masakan Ketua Ding Tao
seceroboh itu?" "Hmph, coba saja nanti malam kalian ikut dengan diriku, membawakan makanan untuk Ketua Ding Tao, nanti kalian akan
lihat sendiri apa yang membuatku kuatir.", jawab Chou Liang menggerutu.
Meskipun mulai merasa khawatir, Ma Songquan meragukan kekhawatiran Chou Liang. Bagaimanapun juga Chou Liang
bukanlah seorang pesilat.
"Apakah sudah ada yang pernah menengok kondisi Ketua Ding Tao selain dirimu dan kedua isterinya?", tanya Ma Songquan.
Chou Liang menggelengkan kepala, "Belum, pada anggota Partai Pedang Keadilan yang lain aku hanya menyampaikan
bahwa Ketua Ding Tao sedang berusaha mempelajari satu ilmu dan tidak bisa diganggu hingga dia selesai."
Ma Songquan termenung mendengar jawaban Chou Liang, sedikit banyak dia bisa meraba alasan apa yang melatar
belakangi tindakan Chou Liang yang menyembunyikan keadaan Ding Tao saat ini. Tidak semua orang akan menerima
dengan pikiran terbuka, apa yang sedang dilakukan Ding Tao saat ini. Contoh saja Sun Liang dari keluarga Sun di Luo Yang, walaupun ilmu mereka tadinya bersumber dari Shaolin, namun sejak beberapa generasi, mereka sudah mengembangkan
sendiri ilmu keluarga Sun. Ilmu yang diwariskan turun temurun dan dijaga ketat. Atau keluarga Huang sendiri, bukankah
ilmu keluarga Huang tidak diwariskan, kecuali pada garis keturunan penerus keluarga Huang" Orang-orang seperti mereka,
tentu akan mengerenyitkan alis jika mereka mendengar Ding Tao sedang mempelajari ilmu dari berbagai aliran tanpa ijin
dari ketua aliran tersebut. Bahkan mungkin dalam hati mereka akan bertanya-tanya juga, jangan-jangan ilmu warisan
keluarga mereka ada di salah satu kitab-kitab yang dipelajari Ding Tao.
"Hmm" sepertinya kita sudah mengambil resiko terlalu besar?", gumam Ma Songquan.
"Resiko yang tidak pernah kupikirkan adalah, jika sampai terjadi sesuatu pada Ketua Ding Tao akibat mempelajari kitab-
kitab tersebut. Resiko yang lain masih bisa aku tangani.", sahut Chou Liang dengan suara lirih.
"Soal itu, justru kupikir, resikonya adalah yang terkecil. Aku sudah melihat bagaimana dia bisa berkembang pesat dalam
hitungan bulan, hal itu membuktikan bakatnya yang sangat baik. Aku juga sudah melihat wataknya yang tidak lapar dan
haus pada kekuasaan atau kekuatan. Itu sebabnya terasa aneh jika Saudara Chou Liang mengatakan, Ketua Ding Tao
tampaknya berusaha melahap semua ilmu yang ada dalam kitab-kitab itu.", jawab Ma Songquan.
"Kukira", kukira" dalam hal ini aku ada sedikit salah perhitungan", ujar Chou Liang dengan wajah memucat dan hati
berdebar. "Apa maksud Saudara Chou Liang?", tanya Ma Songquan.
Lama Chou Liang terdiam sebelum kemudian menjawab, "Tadinya aku hanya berpikir untuk memancing Ketua Ding Tao,
agar tergerak untuk mempelajari kitab-kitab tersebut. Mengenal wataknya yang keras kepala dalam hal-hal prinsip,
sepertinya skenario yang kuatur terlalu berlebihan."
"Dari yang kudengar lewat Nyonya Yun Hua, tampaknya Ketua Ding Tao ingin mempelajari seluruh kitab-kitab tersebut
meskipun hanya terbatas pada teorinya saja."
"Hoo" mempelajari seluruh kitab tanpa memilih salah satu ilmu untuk dikuasai dengan baik?", gumam Ma Songquan
sementara otaknya berpikir cepat.
"Hmm" kukira aku mengerti?", gumam Ma Songquan perlahan-lahan.
"Apa yang kakak mengerti?", tanya Chu Linhe yang sejak tadi mendengarkan.
"Mudah saja, kelemahan Ketua Ding Tao yang terbesar adalah pengalaman bertarungnya. Hal itu pula yang kita tekankan.
Dengan mengenali seluruh ilmu-ilmu yang tercatat dalam kitab itu, sama saja dengan menambah pengalaman bertarungnya
melawan berbagai aliran tanpa sungguh-sungguh bertarung. Setelah itu, dia bisa memikirkan pemecahan dari setiap
serangan dan kelemahan dari setiap pertahanan. Dengan cara itu, tanpa mencuri belajar ilmu dari aliran lain, dia memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengalahkan mereka.", ujar Ma Songquan menjelaskan.
"Jika Ketua Ding Tao bukan sedang berusaha menguasai ilmu-ilmu tersebut. Bukankah bahayanya bisa dibilang hampir tidak
ada" Salah jalan hanya terjadi jika seseorang berusaha menguasai satu ilmu dan pikirannya bercabang, hingga hawa murni
yang diperkuat, lepas kendali dan menjadi liar. Sedangkan saat ini, Ketua Ding Tao tidak sedang berusaha menguasai satu ilmu pun, resiko tersesatnya hawa murni bisa dibilang tidak ada" Bagaimana menurut kakak, benar tidak pemikiranku ini?", tanya Chu Linhe.
Ma Songquan tidak langsung menjawab, sementara Chu Linhe dan Chou Liang menantikan jawabannya dengan penuh
harap. Jika benar uraian Chu Linhe, itu artinya Chou Liang pun boleh bernafas lega, mereka semua boleh bernafas lega.
"Uraianmu tidaklah salah, namun keadaan Ketua Ding Tao saat ini juga tidak bisa dikatakan aman dari bahaya. Yang
pertama, hawa murni bergerak mengikuti pikiran dan kehendak. Jika dalam mempelajari kitab-kitab tersebut, Ketua Ding
Tao tidak berhati-hati, maka bisa jadi tanpa sadar, pikiran dan kehendaknya tergerak untuk melakukan apa yang sedang dia baca."
"Yang kedua, meskipun hanya menggunakan pikiran saja, sementara kehendak ditidurkan dan hati dijaga ketenangannya.
Bukan berarti tidak ada resiko mengalami kesesatan. Bagaimana pun juga untuk mempelajari ilmu itu, pikiran harus
bekerja, maka ada kemungkinan akan mengalami kesesatan juga. Hanya saja, kesesatan yang terjadi tidak mengakibatkan
kelumpuhan, seperti yang biasa terjadi saat seorang pesilat yang melatih hawa murni mengalami salah jalan. Namun yang
terjadi adalah kegilaan, kepribadiannya yang akan terganggu.", jelas Ma Songquan dengan nada prihatin.
Mendengar jawaban Ma Songquan, wajah Chou Liang berubah semakin pucat. Chu Linhe yang melihatnya merasa kasihan
juga, apalagi dirinya dan suaminya juga tersangkut dalam masalah yang sama. Maka dengan nada prihatin dia bertanya
pada Ma Songquan. "Jika begitu, apakah tidak ada yang bisa kita lakukan?"
"Hmm" pada saatnya mengantarkan makanan nanti, kita akan ikut menjenguk dan melihat keadaannya. Jika memang
pikirannya terlampau jauh terseret dalam pembelajarannya, kukira asalkan kita bisa menghentikan Ketua Ding Tao untuk
berpikir beberapa lama, resiko yang kita kuatirkan bisa dikurangi.", ujar Ma Songquan setelah berpikir beberapa lama.
"Ah" kalau benar demikian, mengapa harus menunggu nanti. Baiklah kita datangi dia sekarang.", ujar Chou Liang sambil
bangun dari duduknya. Tapi Ma Songquan menggelengkan kepala, "Tidak, lebih baik pada waktu kita mengantarkan makanan."
"Mengapa demikian" Bagaimana jika terlambat?", tanya Chou Liang tidak mengerti.
"Bukankah biasanya makanan dan minuman diantarkan pada waktu yang sama?", tanya Ma Songquan.
"Ya, benar, kedua nyonya tidak pernah terlambat untuk menyiapkan makanan dan minuman. Semuanya selalu siap pada
saatnya.", jawab Chou Liang.
"Pada saat makanan dan minuman diantarkan, apakah Ketua Ding Tao bisa makan dan minum sendiri?", tanya Ma
Songquan. "Tentu saja, hanya saja bisa terlihat bahwa pikirannya banyak tertuju pada hal-hal di luar apa yang sedang dia lakukan saat itu.", jawab Chou Liang.
"Lalu apakah pernah kau atau kedua nyonya mengajaknya bicara di waktu dia makan dan minum tersebut?", tanya Ma
Songquan. "Ya, tentu saja pernah, menunggui dia makan tanpa berkata-kata apa pun tentu saja terasa aneh. Lagipula pikiran Ketua
Ding Tao yang tampak melayang-layang membuat suasana jadi terasa sedikit aneh. Jadi meskipun tidak banyak selalu ada
percakapan pada waktu-waktu tersebut. Sekedar untuk mengisi kekosongan dan mencairkan suasana.", jawab Chou Liang.
"Hmm" jadi ada kemungkinan, setelah berhari-hari melakukan rutinitas yang sama, yang dimulai jauh sebelum pikirannya
semakin masuk dalam pembelajaran, secara alami sebuah kebiasaan sudah terbentuk. Setidaknya pada waktu-waktu
tersebut, pikiran Ketua Ding Tao, dengan sendirinya menyediakan sebagian kemampuannya untuk makan, minum dan juga
berinteraksi dengan kalian.", ujar Ma Songquan setelah puas bertanya.
Mendengar perkataan Ma Songquan, Chou Liang pun perlahan-lahan kembali duduk sambil menganggukkan kepala tanda
paham. Chou Liang bukan orang bodoh, tentu saja dia bisa memahami alasan Ma Songquan.
"Ya" dengan memanfaatkan kebiasaan yang sudah terbentuk, kita sengaja datang pada saat pikiran memberikan celah bagi
kita untuk masuk.", gumamnya.
"Benar" jika bukan di saat-saat itu, kukira, dengan daya konsentrasinya yang tinggi. Sulit bagi kita untuk berkomunikasi dengan Ketua Ding Tao, di saat dia sedang memfokuskan pikirannya pada kitab yang sedang dia pelajari.", ujar Ma
Songquan. "Baiklah, kalau begitu kita menunggu terlebih dahulu. Omong-omong, Saudara Ma Songquan dan Nyonya Chu Linhe,
kuharap tetap berada di Jiang Ling sampai masalah ini selesai. Di Wuling sudah kuminta Saudara Sun Liang dan puteranya, dibantu Qin Bai Yu yang sekarang bersahabat dekat dengan Sun Gao, untuk mengambil alih pimpinan di kota Wuling sampai
kalian berdua kembali ke sana.", ujar Chou Liang.
"Baguslah kalau begitu. Di saat seperti ini aku pun tidak ingin berada jauh dari Ketua Ding Tao.", jawab Ma Songquan.
Sambil menunggu waktu, ketiganya pun bercakap-cakap mengenai banyak hal lain. Mendekati waktunya, terdengar pintu
ruangan diketuk dari luar. Rupanya Murong Huolin datang membawakan makanan dan minuman yang sudah disiapkan
untuk Ding Tao. Setelah berbasa-basi sebentar, merekapun pergi bersama-sama menemui Ding Tao dalam ruang
latihannya. Di luar ruangan tersebut, sekarang tampak beberapa orang anggota Partai Pedang Keadilan yang berjaga. Panca indera Ma
Songquan dan Chu Linhe yang tajam, juga merasakan adanya orang-orang yang berjaga di tempat-tempat yang
tersembunyi. Bahkan sudah dimulai dari ratusan meter sebelum mereka sampai di ruangan latihan Ding Tao. Dengan
gerakan yang tidak kentara, Ma Songquan melirik Chou Liang dengan alis terangkat. Chou Liang yang paham maksudnya,
segera mengangguk sambil tersenyum dan bergumam.
"Hanya ini saja yang bisa kulakukan. Setelah kedatangan kalian berdua hatiku tentu akan merasa lebih tenteram."
Rupanya Chou Liang mengkhawatirkan keadaan Ding Tao yang seperti orang ling lung dan menempatkan penjagaan di
sekitar ruang latihan itu. Akan tetapi sebagian besar dari mereka ditempatkan di tempat yang tersembunyi, karena jumlah yang terlampai banyak justru akan memberi sinyal bahwa ada yang kurang beres dengan keadaan Ding Tao. Serba salah
memang, tidak dijaga salah, dijaga pun salah. Itu juga salah satu sebab Chou Liang merasa cemas beberapa hari ini. Setiap hari Ma Songquan belum datang, setiap hari itu pula Chou Liang harus tidur dengan jantung berdebar-debar.
Setelah mengetuk pintu dengan ringan, tanpa menunggu jawaban, Murong Huolin mendorong pintu sampai terbuka. Ding
Tao yang sedang duduk dalam posisi bermeditasi, perlahan membuka matanya. Seperti yang dikatakan Ma Songquan, jam
dalam tubuhnya sudah menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang berjalan selama beberapa minggu tersebut. Setelah
membuka mata, masih perlu waktu beberapa lama sebelum Ding Tao menyadari hadirnya Ma Songquan dan Chu Linhe.
Ding Tao menatap kosong ke arah kedua orang tersebut, samar-samar otaknya mengenali ada yang berbeda dengan hari
biasa. Namun sebagian besar dari otaknya sedang sibuk menganalisa dan mengurai apa yang dia baca. Tinggal sebagian
kecil yang bersentuhan dengan realita di sekelilingnya dan meskipun dia segera sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda, dia pun butuh waktu cukup lama sebelum memahami apa yang berbeda itu.
Ketika dia mulai memahami keberadaan Ma Songquan dan Chu Linhe, wajahnya pun berubah menjadi cerah, sambil
tersenyum dia menyapa mereka berdua, "Saudara Ma Songquan, Enci Chu Linhe, kalian berdua sudah kembali. Bagaimana
kabar kalian?" "Baik, kami semua baik-baik saja. Ada beberapa orang yang luka ringan, namun tidak ada yang serius, masalah pencoleng
itu juga semuanya sudah beres. Ketua Ding Tao sendiri, bagaimana kabarnya?", jawab Ma Songquan balik menanya.
"Baik" baik?", jawab Ding Tao sedikit mengambang, sejenak matanya menerawang entah ke mana, sebelum kemudian
berfokus kembali pada mereka yang hadir seruangan dengan dirinya.
"Ah.. ayolah kita mulai makan, perutku sudah mulai lapar.", ujar Ding Tao kemudian bergerak untuk duduk di kursi-kursi
yang sudah disediakan. Makanan dan minuman sudah diatur oleh Murong Huolin dan Chu Linhe, sambil menunggu Ding Tao dan Ma Songquan
bercakap-cakap tadi. Setelah mereka duduk bersama, Murong Huolin dengan telaten, mengambilkan nasi dan lauknya untuk
Ding Tao. Sementara Ding Tao seperti sebuah robot, mengucapkan terima kasih, sambil mengajak yang lain untuk ikut
makan, kemudian dengan lahap dia makan apa yang sudah dihidangkan oleh Murong Huolin dengan pandangan mata yang
seringkali kosong. Hanya sesekali matanya terlihat hidup dan perhatiannya terarah pada keadaan di sekelilingnya. Jika ada yang bertanya pada Ding Tao, maka butuh waktu beberapa lama sebelum dia menjawab.
Setelah menilik keadaan Ding Tao akhirnya Ma Songquan membuka mulut dan berkata, "Ketua Ding Tao, apakah tidak bisa
berhenti sejenak memikirkan ilmu-ilmu yang sedang ketua pelajari?"
"Huh ?", sahut Ding Tao dengan ekspresi wajah kosong.
Ma Songquan pun mengulangi lagi pertanyaannya dan harus menunggu beberapa saat sebelum Ding Tao akhirnya
menjawab dengan alis berkerut dan nada kurang suka, "Tentu saja bisa, tapi apakah ada sesuatu yang penting?"
"Penting, sangat penting malah dan berhubungan erat dengan perkembangan ilmu dari Ketua Ding Tao. Jika Ketua Ding Tao
mau mendengarkan usulanku, kujamin proses belajar Ketua Ding Tao akan menjadi lebih cepat beberapa kali lipat.", jawab
Ma Songquan dengan sungguh-sungguh.
Mata Ding Tao berkilat saat mendengar bahwa usulan Ma Songquan bisa membantunya dalam mempelajari ilmu dari kitab-
kitab yang sedang dia baca.Sebagian perhatiannya mulai bergeser pada Ma Songquan, tanpa sadar dia meletakkan
mangkok dan sumpitnya ke meja.
Melihat perhatian Ding Tao sudah lebih banyak terarah pada dirinya Ma Songquan melanjutkan usahanya untuk menarik
Ding Tao dari pusaran ilmu yang mengikat benaknya.
"Sebelumnya, marilah kita coba berlatih tanding untuk menilai sampai sejauh mana Ketua Ding Tao mengalami kemajuan
dengan apa yang ketua baca selama ini.", ujarnya sambil melangkah ke tengah ruangan.
Sejenak Ding Tao memandangi Ma Songquan dan kemudian menjawab, "Baik."
Keduanya pun berhadapan di tengah ruangan, Ma Songquan merangkap tangan di depan dada dan berujar, "Mari Ketua
Ding Tao, silahkan dimulai lebih dulu."
Ding Tao mengangguk dan menatap kuda-kuda lawan, segera saja benaknya berputar, segala apa yang sudah pernah dia
pelajari berkelebatan dalam otaknya. Semakin banyak pengetahuannya, semakin banyak kemungkinan-kemungkinan yang
dapat dia bayangkan dari kedudukan awal mereka. Semakin lama, Ding Tao semakin terjebak oleh benaknya sendiri,
berputar-putar dengan ingatan akan apa yang sedang dia baca. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Ma Songquan pun
berucap. "Jika Ketua Ding Tao segan untuk memulai, bagaimana kalau aku yang memulai lebih dulu.", tanyanya dengan sopan.
Dengan ragu-ragu, Ding Tao menganggukkan kepala, "Silahkan"."
Tanpa banyak cakap lagi, Ma Songquan pun mulai menyerang, "Awas serangan Ketua Ding Tao!"
Serangan yang dilancarkan tidaklah rumit, tapibenak Ding Tao yang masih sibuk memikirkan ilmu-ilmu yang baru dia baca,
tidak cukup cepat untuk bereaksi terhadap serangan Ma Songquan yang sederhana. Menatap kosong pada kepalan Ma
Songquan yang bergerak lurus ke depan, tiba-tiba kepalan itu sudah mampir di dadanya. Tanpa dapat dicegah, Ding Tao
terhuyung mundur beberapa langkah sebelum akhirnya jatuh terduduk.
Murong Huolin dan Chou Liang yang menyaksikannya dengan tegang terpekik kaget. Chu Linhe buru-buru menenangkan
mereka yang sudah hendak bergerak menolong Ding Tao.
"Jangan takut, sabar dulu. Kakak Ma Songquan tahu keadaan Ketua Ding Tao dan membatasi tenaganya. Biarkan dulu
mereka, jangan diganggu. Pelan-pelan Ketua Ding Tao akan sadar akan keadaannya.", ujar Chu Linhe sambil menahan
tangan Murong Huolin dengan lembut.
Dengan ragu Murong Huolin memandang ke arah Chu Linhe, kemudian mengangguk setuju. Sekali lagi pandang matanya
diarahkan pada Ma Songquan dan Ding Tao yang sudah saling berhadapan untuk kedua kalinya. Meskipun masih ada jejak-
jejak kecemasan di raut wajahnya, Murong Huolin tidak lagi memburu ke depan, melainkan menanti dengan tegang.
"Ketua Ding Tao" bagaimana keadaan ketua" Apakah bisa kita mulai sekali lagi?", tanya Ma Songquan datar.
Ding Tao yang masih terkejut ketika menyadari betapa Ma Songquan bisa menjatuhkan dirinya dengan mudah terdiam
mendengar pertanyaan itu. Perlahan akal sehatnya mulai bekerja, menganalisa kekalahannya barusan. Serangan yang
sederhana masuk dengan mudah.
Dengan penasaran dia mengangguk perlahan, "Mari kita mulai lagi. Silahkan Kakak Ma Songquan menyerang lebih dahulu."
"Baik, awas serangan!", seru Ma Songquan.
Sekali lagi dia menyerang dengan serangan yang sama, kali ini gerakannya lebih cepat dari gerakan sebelumnya. Ding Tao


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah lebih berkonsentrasi mengamati gerakan lawan, tidak seterkejut tadi saat kepalan Ma Songquan sudah hampir
sampai di dadanya. Namun benaknya masih berkutat dengan apa yang barusan dia pelajari. Bukannya menghindar, dia
justru lebih sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan perkembangan selanjutnya. Dengan semakin banyaknya
pengetahuan yang ada, semakin terbuka pikirannya terhadap jumlah kemungkinan yang muncul dari satu serangan yang
sederhana. Setiap langkah memiliki pecahan kemungkinannya sendiri, jika untuk memikirkan satu langkah ke depan saja
sudah puluhan jumlah kemungkinan yang muncul, betapa lebih banyak lagi ketika Ding Tao berpikir dua sampai tiga
langkah ke depan. Akibatnya sebelum dia sempat memutuskan apa yang harus dia lakukan, pukulan Ma Songquan yang sederhana tanpa
jebakan atau kembangan kembali mampir ke dadanya. Sekali lagi Ding Tao tersurut mundur, beberapa langkah ke belakang
dan jatuh terduduk. Kembali Murong Huolin dan Chou Liang terpekik kecil. Dada mereka ikut berdebar, tidak sabar dan cemas, menyaksikan
pertarungan yang bodoh ini.
Ding Tao sendiri bukannya tidak sadar dengan pekik kaget mereka, wajahnya pun berubah merah oleh malu dan rasa
penasaran. Bagaimana mungkin dia bisa dijatuhkan semudah ini" Seperti seorang anak yang baru belajar ilmu bela diri.
Dengan menggeram dia bangkit berdiri dan sebelum Ma Songquan sempat bertanya, dia sudah berkata, "Mari kita coba
sekali lagi, silahkan Kakak Ma Songquan mulai menyerang lebih dulu."
"Baiklah, awas serangan!", seru Ma Songquan yang segera menyerang tanpa ragu lagi.
Dua kali di amenyerang dengan pukulan yang sederhana, kali ini Ma Songquan bergerak seperti hendak memukul lurus
dengan tangan kiri, namun hanya bahunya yang bergerak maju, di tengah jalan tangan kirinya ditarik ke belakang,
sementara tangan kanannya bergerak menebas dari samping. Ding Tao yang sudah bersiap hendak menerima pukulan dari
depan, ketika melihat perubahan gerakan Ma Songquan, tiba-tiba kembali lagi benaknya diserang dengan berbagai macam
pikiran dari kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tanpa dapat dielakkan, sisi tangan kanan Ma Songquan dengan telak
mampi di leher Ding Tao. Beruntung di saat-saat terakhir Ding Tao masih sempat mengumpulkan hawa dan semangat untuk
melindungi tempat yang akan terpukul oleh Ma Songquan dengan hawa murninya.
Meskipun demikian pukulan itu menyengatnya dengan keras, pusat syarafnya tergetar dan dengan keluhan pendek Ding Tao
melompat jauh ke samping, menjauhi kedudukan Ma Songquqn yang sudah siap dengan serangan berikutnya.
Ma Songquan tidak memberikan kesempatan pada Ding Tao untuk beristirahat, segera setelah Ding Tao bergeser, diapun
memburu dengan sebuah tendangan berputar, menutup gerak menghindar Ding Tao. Kakinya yang panjang bergerak
melingkar, menyerang ke arah badan Ding Tao yang sedang bergerak menghindar. Sekali lagi Ding Tao harus menahan
nyeri, saat tendangan tersebut dengan telak mengenai sisi tubuhnya. Dengan menggunakan tenaga dorongan kaki Ma
Songquan Ding Tao pun melompat, mengikuti arah serangan Ma Songquan, selain mengurangi benturan, juga membantu
dia untuk melompat lebih jauh ke arah yang berlawanan.
Begitu kaki Ma Songquan menyentuh lantai, dengan segera dia melompat memburu ke depan, sebuah pukulan kembali
dilontarkan. Sebuah pukulan lurus ke arah kening Ding Tao yang terbuka lebar, ketika Ding Tao hendak menghindar,
ternyata serangan tersebut hanyalah tipuan, justru kaki Ma Songquan yang diam-diam mengambil posisi untuk menendang
dan sebuah tendangan menyapu ke arah kaki Ding Tao dilancarkan. Kali ini reaksi Ding Tao lebih cepat daripada
sebelumnya. Dengan cepat dia melompat pendek ke atas, menghindari sapuan kaki Ma Songquan, tidak lupa kakinya
berbalik mengincar kaki Ma Songquan yang sedang menyerang.
Ma Songquan pun menarik mundur serangannya dan bersiap dengan serangan berikutnya. Demikianlah, kemudian
keduanya saling bertahan dan menyerang. Semakin Ding Tao menunjukkan kegesitannya, Ma Songquan pun menambah
kecepatan serangannua. Perlahan-lahan, otak Ding Tao ditarik keluar dari kungkungan pikiran yang diciptakannya sendiri.
Setiap kali Ding Tao berhasil menahan serangan Ma Songquan, Ma Songquan akan bergerak lebih cepat dan menggunakan
jurus serangan yang lebih rumit, memaksa benak Ding Tao untuk lebih berkonsentrasi pada pertarungan mereka dan bukan
pada ilmu-ilmu yang sedang dia pelajari.
Melihat keduanya sekarang bertarung dengan imbang, Murong Huolin dan Chou Liang pun menarik nafas lega.
Dengan nada penuh rasa terima kasih, Murong Huolin berkata pada Chu Linhe, "Enci Chu Linhe, syukurlah, rupanya
serangan-serangan Kakak Ma Songquan akhirnya bisa menyadarkan Kakak Ding Tao dari ketidak sadarannya."
Chu Linhe pun tersenyum manis dan membalas, "Ya, memang itu tujuannya. Namun Kakak Ma Songquan belum
sepenuhnya berhasil. Dalam keadaan yang normal, Ketua Ding Tao dapat mengalahkan Kakak Ma Songquan yang bertarung
berpasangan dengan diriku dengan mudah. Namun sekarang ini, baru melawan Kakak Ma Songquan saja, dia sudah dibuat
keteteran." Murong Huolin dan Chou Liang mengarahkan kembali pandangan mereka pada pertarungan yang terjadi antara Ding Tao
dan Ma Songquan. Mereka pun dapat melihat kebenaran dari perkataan Chu Linhe. Memang Ding Tao tidak jatuh dalam satu
kali pukulan seperti yang terjadi sebelumnya. Namun sampai sekarang Ding Tao belum dapat mengimbangi serangan-
serangan Ma Songquan, beberapa kali serangan Ma Songquan kena dengan telak dan Ding Tao harus terhuyung sambil
mengeluh, menahan nyeri. Meskipun demikian, perlahan-lahan, keadaan tampak berubah. Semakin lama gerakan mereka
berdua semakin cepat, semakin jarang serangan Ma Songquan mampu menghantam Ding Tao dengan telak.
Setiap rasa sakit yang menyengatnya, membangkitkan rasa marah dan frustasi dalam diri Ding Tao. Semakin dia marah,
semakin sedikit dia memikirkan teori-teori ilmu silat yang saat itu membelenggu benaknya dan semakin cepat reaksi Ding
Tao terhadap serangan Ma Songquan. Perlahan-lahan Ding Tao mulai dapat mengimbangi permainan Ma Songquan.
Chu Linhe pun berpaling ke arah Murong Huolin dan Chou Liang, sambil tersenyum kecil dia berkata, "Kukira, ini sudah
waktunya bagiku untuk bergabung."
Dengan bergabungnya Chu Linhe kembali Ding Tao terdesak dan dipaksa untuk lebih banyak lagi berkonsentrasi pada
pertarungan yang ada di depannya dan bukan pada ilmu-ilmu yang sedang dia pelajari. Murong Huolin dan Chou Liang
hanya bisa memandangi pertarungan di hadapan mereka dengan penuh harap. Melihat setahap demi setahap, Ding Tao
terbebas dari jeratan yang menjauhkan dia dari dunia nyata. Tidak seorangpun dari mereka sadar, bahwa telah terjadi
sesuatu di luar, di ruang besar tempat Partai Pedang Keadilan menerima tamu-tamu mereka.
Kehebohan itu terjadi beberapa saat setelah Chou Liang, Ma Songquan, Chu Linhe dan Murong Huolin memasuki ruang
latihan untuk bertemu dengan Ding Tao. Mengingat pentingnya saat-saat itu bagi keselamatan Ding Tao, Chou Liang
berpesan agar selama mereka berada di dalam ruang latihan, tidak ada seorangpun yang mengganggu mereka.
Di saat markas besar Partai Pedang Keadilan bisa dikatakan kosong dari tokoh-tokoh pentingnya, tiba-tiba serombongan
belasan orang membawa panji-panji Partai Kunlun datang berkunjung dan meminta bertemu dengan Ding Tao atau
perwakilannya. Belasan orang itu dipimpin oleh Seorang muda berbaju putih-putih dan berjubah luar hijau muda, dengan wajah yang cakap
dan berwibawa. Mengiringi di belakangnya adalah 12 orang, 6 orang laki-laki dan 6 orang perempuan. Setiap orang berdiri berpasangan, umur mereka bervariasi dari yang tampak berumur 30-an sampai remaja berusia 12-an tahun.
Dengan suara yang tegas, pimpinan rombongan mengibaskan kipas di tangannya dan berkata pada para penjaga di luar,
"Katakan pada Ding Tao, Guang Yong Kwan dari Kunlun ingin bertemu!"
Mendengar nama orang yang datang, para penjaga pun dengan segera merangkapkan tangan di depan dada dan
menganggukkan kepala. Dalam dada mereka terselip rasa tegang, berita tentang Ding Tao yang sedang mempelajari ilmu
dan tidak bisa diganggu sudah menyebar dan hampir semua pengikut Partai Pedang Keadilan di Jiang Ling mengetahui akan
hal ini. Kedatangan seekor harimau di kala jagoan mereka sedang tidak bisa diganggu, tidak urung membuat selapis rasa
takut menyusup dalam dada mereka.
Pemimpin para penjaga itu menjawab dengan hormat, "Sungguh besar kehormatan yang Ketua Guang Yong Kwang berikan,
mari silahkan masuk ketua. Siauwtee akan mengantar ketua ke ruang pertemuan, sementara saudara yang lain akan
memberikan kabar ke dalam."
Guang Yong Kwang menganggukkan kepala dengan sikap dingin, "Hmm"
Tanpa banyak cakap, pemimpin dari penjaga di depan, segera berjalan lebih dulu dan mengantarkan Guang Yong Kwang ke
dalam. Melalui penjagaan yang berlapis, dengan segera berita kedatangan Ketua Partai Kunlun Guang Yong Kwang,
menyebar pada para penjaga yang sedang bertugas.
"Guang Yong Kwang dari Kunlun" Benarkah dia datang mengunjungi tempat kita?", tanya salah seorang pimpinan penjaga
lapis kedua. "Benar, baru saja A Siau mengantarkannya melewati pintu utara dan melaporkan kunjungan ini pada Kakak Feng Qin.
Sekarang ini, Kakak Feng Qin dan yang lain ikut mengiringi mereka, sementara aku diperintah untuk memberi kabar pada
regu lain di lingkar kedua.", jawab salah satu anak buah dari Feng Qin tersebut.
"Hmm" baiklah, kami akan meningkatkan pengawasan di daerah kami dan memperlebar jangkauan pengawasan kami
sampai di wilayah Kakak Feng Qin. Kau, segera kabarkan berita ini ke regu-regu penjaga yang ada di lingkaran dalam, pakai jalur rahasia, supaya kau bisa sampai lebih dulu dari rombongan tamu."
"Baik Kakak Bong Yo, aku pergi sekarang."
"Ya pergilah", ujar Bong Yo.
Sambil menyaksikan kepergian pembawa kabar itu, Bong Yo menggosok-gosok lehernya, berusaha menyingkirkan rasa
tegang yang muncul. Berbalik pada anak buahnya dia berkata, "Kalian dengar berita dari A Tiong tadi" Pertinggi kewaspadaan, ada harimau
masuk ke dalam rumah kita."
"Partai Kunlun adalah golongan lurus, apakah mungkin mereka melakukan keonaran di sini?", tanya salah seorang anak
buahnya. "Hmm" lurus atau sesat, bagaimana pun juga ada orang kuat yang datang. Kita tidak bisa memperlihatkan kelemahan.
Dalam dunia persilatan, segala macam hal bisa terjadi dan kita tidak boleh menunjukkan kelemahan jika ingin dihormati
dalam dunia persilatan..", jawab Bong Yo.
Saling memandang, para penjaga di bawah pimpinan Bong Yo pun mengangguk.
Di saat yang sama, salah seorang dari penjaga berlari ke dalam untuk memberikan kabar pada pimpinan di Jiang Ling untuk hari ini. Dengan tidak bisa diganggunya Chou Liang saat itu, orang yang ditugaskan untuk menerima tamu adalah Bo He,
seorang kawakan yang cukup berpengalaman. Ayahnya pernah belajar ilmu bela diri dari Emei sebelum keluar berkelana,
sejak kecil Bo He sudah belajar ilmu tombak dari ayahnya. Meskipun belum bisa disamakan dengan Ma Songquan atau Sun
Liang, ilmunya masih selapis di atas Wang Xiaho atau Li Yan Mao yang sudah mulai dimakan usia. Watak ayahnya yang
suka berkelana, menular pula pada putra tunggalnya, Bo He pun segera setelah tamat belajar dari ayahnya, berkelana
dalam dunia persilatan. Setiap orang muda yang terjun dalam dunia persilatan, jika masih hidup sampai pada umur setua Bo He, bila bukan amat
berbakat, setidaknya tentu orang yang pandai melihat keadaan. Bo He bukan termasuk yang pertama, dia termasuk yang
kedua. Tidak mengikuti darah mudanya yang panas, Bo He cukup tahu diri bahwa bekalnya tidak akan mampu melindungi dia dari
amukan tokoh-tokoh kelas atas dalam dunia persilatan. Karena itu selama dia berkelana, tak pernah dia mencari musuh.
Jika ada singgungan dengan orang lain, maka dia akan memilih untuk mengalah. Selama belasan tahun dia berkelana dalam
dunia persilatan, hanya 2 kali dia bentrok dengan orang lain dan keduanya bukan atas alasan kepentingannya pribadi.
Dalam dua perkelahian itu, Bo He terjun atas dasar rasa setia kawan. Itu sebabnya nama Bo He tidak begitu terkenal dalam dunia persilatan. Namun mereka yang mengenal Bo He akan berkata bahwa dia memiliki pengetahuan yang sangat luas
mengenai orang-orang dalam dunia persilatan.
Salah satu alasan mengapa Chou Liang mengangkat Bo He menjadi salah satu orang kepercayaannya, tidak lain dan tidak
bukan adalah pengetahuannya yang luas tersebut. Alasan kedua adalah sikap bijak Bo He dalam mengukur kekuatan diri
sendiri dan lawan. Dan alasan ketiga adalah rasa setia kawan yang dimiliki Bo He.
Setelah menerima laporan dari penjaga pintu gerbang, Bo He mengelus-elus jenggot kesayangannya. Alisnya berkerut dan
jantungnya berdebaran. "Kenapa justru sekarang?", keluh Bo He dalam hati.
"Dan bagaimana bisa tidak ada kabar sedikitpun dari saudara-saudara yang bertugas di luar?", Bo He merenungkan
kedatangan tamu dari Partai Kunlun yang terjadi tiba-tiba dan di luar persiapan Partai Pedang Keadilan.
Tentu saja jaringan mata-mata yang dibangun Chou Liang juga mengawasi pergerakan orang-orang dalam dunia persilatan
di setiap daerah Partai Pedang Keadilan sendiri. Dengan demikian, setiap orang atau golongan yang berada dalam lingkup
wilayah kekuasaan Partai Pedang Keadilan tidak luput dari pengawasan mereka. Jika Ketua Partai Kunlun hendak
berkunjung, tentu beberapa hari sebelum kedatangannya di depan gerbang mereka, berita akan keberadaannya di dekat
Jiang Ling sudah diketahui. Chou Liang pun tentu sudah bersiap-siap terhadap adanya kemungkinan mereka datang
mengunjungi Partai Pedang Keadilan. Kedatangan mereka yang luput dari jaringan mata-mata Partai Pedang Keadilan,
berarti kedatangan mereka tentu dengan sengaja disembunyikan dengan rapi.
Hal ini juga menunjukkan masih kurang matangnya orang-orang Partai Pedang Keadilan yang bertugas sebagai mata-mata
di luar sana. Menghela nafas, Bo He pun merapikan pakaiannya dan berjalan keluar dengan senyum terpasang di wajahnya. Siapapun
yang datang, dia tidak boleh menunjukkan sikap bermusuhan, sebisa mungkin bentrokan harus dihindarkan.
Para tamu sudah diantarkan ke ruang dalam, sesuai adat kesopanan hidangan makanan kecil dan minuman sudah pula
dihidangkan. Untuk menghapus keringat dan debu dari wajah dan tangan mereka, disediakan juga baskom dan handuk kecil
untuk tiap-tiap orang. Tidak ada kesan permusuhan dari tamu yang datang, mereka tampaknya juga merasa puas dan
dihargai dengan perlakuan yang diberikan tuan rumah. Tuan rumah pun tidak kalah wibawa dengan rombongan tamu yang
datang, di dalam ruang pertemuan bisa terlihat belasan penjaga yang berbaris dengan rapi dan disiplin tinggi. Sepanjang perjalanan masuk, rombongan dari Kunlun bisa melihat penjagaan yang kaut dan berlapis.
Tidak lama rombongan tamu itu menunggu, Bo He pun muncul menghampiri Ketua Kun Lun Pai, Guang Yong Kwang dengan
senyum terkembang dan hati berdebar.
Dengan hormat, Bo He merangkapkan tangan di depan dada dan sedikit membungkukkan kepala, "Selamat datang Ketua
Guang Yong Kwang, maafkan kami yang kurang persiapan. Kunjungan ketua begitu mendadak sehingga kami tidak sempat
menyiapkan sambutan yang lebih baik."
Guang Yong Kwang membalas penghormatan Bo He dengan merangkapkan tangan di depan dada, "Hmm, sambutan kalian
cukup baik, memang salahku sendiri datang tanpa diundang. Aku ingin bertemu dengan Ketua Ding Tao untuk
membicarakan masalah penting."
Bo He menjawab, "Jika itu keperluan Ketua Guang Yong Kwang, maka dengan berat hati, siauwtee harus minta maaf lebih
dulu. Karena saat ini Ketua Ding Tao tidak bisa menemui tamu."
Mata Guang Yong Kwang berkilat, "Apa tidak salah" Kukira yang kau maksudkan adalah Ketua Ding Tao sedang sibuk dan
tidak dapat menemui sembarang tamu tapi saat ini aku yang datang, bukan sebagai diriku pribadi, tapi Guang Yong Kwang
sebagai ketua Partai Kunlun."
Bo He menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering, "Jangan Ketua Guang Yong Kwang salah
mengerti. Ketua Ding Tao dalam keadaan tidak bisa ditemui oleh siapapun."
"Kalau begitu, boleh aku tahu apa alasannya hingga dia tidak mau ditemui siapa pun" Jangan katakan dia sedang tidak ada di Jiang Ling, karena aku tahu pasti bahwa dia ada di Jiang Ling. Apakah dia sedang sakit" Atau sedang berlatih" Apa pun alasannya, dia toh masih bisa menemuiku. Kecuali jika dia sedang terbaring tidak sadarkan diri saat ini.", geram Guang
Yong Kwang yang mulai kehilangan kesabarannya.
Bo He terdiam beberapa lama, otaknya berputar dengan cepat, membuat perhitungan. Chou Liang bersama Ma Songquan
dan Chu Linhe baru saja memasuki ruang latihan untuk menemui Ding Tao. Seharusnya sore hari nanti, setidaknya
sepasang pendekar yang bisa diandalkan tersebut sudah keluar dari ruang latihan. Kapan Ding Tao selesai berlatih sulit
dikatakan, tapi setidaknya sepasang pendekar itu bisa membantu melindungi Ding Tao. Sementara itu, jika dia tidak
berterus terang dengan Guang Yong Kwang sekarang juga, perselisihan antara Partai Kunlun dan Partai Pedang Keadilan
tidak dapat dihindarkan lagi.
Bo He sudah mengambil keputusan, meskipun dia tidak yakin benar dengan ketputusan yang dia ambil, tapi saat ini, dia
tidak melihat ada kemungkinan lain.
"Ketua Guang Yong Kwang, sebenarnya saat ini Ketua Ding Tao memang sedang melatih satu ilmu baru dan sedang dalam
tahapan yang sangat penting. Tentu Ketua Guang Yong Kwang bisa mengerti, kondisi Ketua Ding Tao saat ini. Itu sebabnya
kami tidak berani mengganggunya.", ujar Bo He dengan suara sedikit bergetar.
Tiba-tiba seulas senyum terkembang di wajah Guang Yong Kwang. Entah mengapa, saat melihat senyum itu, perut Bo He
tiba-tiba merasa mulas, hatinya terasa terjun bebas sampai ke lantai, sebelum Guang Yong Kwang membuka mulutnya dan
berkata-kata, Bo He sudah mendapatkan firasat yang tidak baik.
Guang Yong Kwang pun membuka mulut dan mulai berkata-kata, setiap kata membuat jantung Bo He semakin lama
semakin tenggelam. "Kiranya begitu", sebenarnya aku bisa mengerti, sayangnya kedatanganku kali ini untuk membahas satu hal yang penting
dan tidak bisa kutunda-tunda lagi. Jika Ketua Ding Tao tidak ada, maka harus ada yang bisa mewakili dirinya untuk
membahas hal ini. Jika tidak ada yang bisa mewakilinya, maka aku terpaksa harus bertemu dengan Ketua Ding Tao sendiri,
apa pun keadaannya saat ini."
Mata Guang Yong Kwang berkilat-kilat saat memandangi raut muka Bo He dan menunggu jawaban. Senyum di bibirnya
memperlihatkan rasa puas atas keadaan yang dihadapinya saat ini. Berbalik 180 derajat dengan Guang Yong Kwang, Bo He
justru pucat pias wajahnya. Pilihan yang diberikan Guang Yong Kwang jelas-jelas memojokkan Partai Pedang Keadilan.
Siapa orangnya yang bisa mewakili Ding Tao" Seandainya Chou Liang bisa ditemui, beban ini tentu akan dilepaskan ke atas pundaknya. Tapi sekarang bahkan Chou Liang pun tidak bisa ditemui dan beban itu harus jatuh ke atas pundak Bo He. Bo
He memang dipercaya oleh Chou Liang, tapi jelas dia bukan salah satu tokoh tingkat atas dari Partai Pedang Keadilan.
Bahkan seandainya dia adalah tokoh setingkat Chou Liang pun, tentu saja keputusannya tidak bisa disamakan dengan
keputusan Ding Tao. Jika dia mewakili Ding Tao memberikan keputusan, berarti keputusannya mengikat seluruh partai. Bagaimana mungkin hal
itu dia lakukan" Tapi jika dia menolak untuk mewakili Ding Tao, Guang Yong Kwang secara halus sudah menyampaikan
ancaman, bahwa dia akan memaksa untuk menemui Ding Tao. Tidak ada arti lain dalam perkataannya ini kecuali
kecelakaan bagi Ding Tao.
Bukan hanya Bo He yang merasakan ancaman di balik perkataan Guang Yong Kwang tersebut, segenap orang Partai Pedang
Keadilan yang berjaga di sekitar ruangan ikut menegang mendengar perkataan ketua Partai Kunlun itu. Diam-diam salah
seorang pemimpin regu, yang posisinya kebetulan berada di belakang rombongan dari Kunlun, mengirimkan anak buahnya
keluar untuk melapor pada pemimpin regu yang berada di luar. Gerakan keluarnya salah seorang penjaga ini tidak luput
dari mata Bo He. Bo He pun merasa sedikit lega, meskipun jantungnya tidak juga berhenti berdegup keras.
Dengan susah payah Bo He berusaha menenangkan perasaannya dan menjawab, "Jika aku boleh tahu, urusan penting
apakah yang ingin dibicarakan oleh Ketua Guang Yong Kwang dengan Ketua Ding Tao. Mungkin setelah itu aku baru bisa
memutuskan." Guang Yong Kwang tersenyum saja mendengar pertanyaan Bo He dan menjawab, "Kulihat kau ini adalah orang yang
dipercaya untuk mewakili Ketua Ding Tao sementara dia masih sedang berada dalam ruang latihan. Jadi kukira tidak ada
salahnya kalau kusampaikan alasan dari kedatangan kami kali ini."
"Kedatangan kami berhubungan dengan akan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu sebentar lagi. Dalam pertemuan untuk
memilih pemimpin bagi seluruh anggota dunia persilatan, bentrok antar calon tentu saja akan terjadi. Karena itu kami
berpendapat, jika tidak berhati-hati, tujuan pemilihan ini, untuk menyatukan dan memperkuat dunia persilatan kita, bisa berbalik jadi senjata makan tuan dan memperlemah keadaan kita."
"Untuk menghindari hal-hal demikian, alangkah lebih baik, jika sebelum diadakannya pertemuan, jumlah calon Wulin
Mengzhu yang maju sudah bisa dipersempit dengan adanya perundingan-perundingan antar partai yang diadakan sebelum
pemilihan Wulin Mengzhu itu sendiri.", demikian Guang Yong Kwang menguraikan alasan kedatangannya kali ini.
Wajah Bo He dari cemas, perlahan-lahan berubah jadi dingin, saat dia kemudian menyahut, suaranya tidak menunjukkan
kegentaran, melainkan lebih pada rasa geram yang ditahan, "Jadi maksud Ketua Guang Yong Kwang, alangkah baiknya jika
Ketua Ding Tao mendukung Ketua Guang Yong Kwang sebagai calon, daripada mencalonkan diri sendiri?"
"Oh tidak, tidak", ujar Guang Yong Kwang sambil tersenyum lebar.
Dengan nada ringan dia kemudian menyambung, "Kita tentukan siapa mendukung siapa lewat pertandingan persahabatan.
Sengaja kami datang ke pusat Partai Pedang Keadilan untuk melakukan hal ini. Silahkan kalian ajukan wakil dari Partai
Pedang Keadilan dan kami akan mengajukan wakil dari partai kami."
Bo He dengan geram berkata, "Jika demikian mau kalian, mengapa kalian tidak menunggu sampai Ketua Ding Tao selesai
dengan latihannya?" "Hahahaha, dan kapankah dia akan selesai dari latihannya" Bisakah kau memberi kami kepastian" Atau jangan-jangan
latihan ini hanyalah alasan untuk menghindari kami. Pemilihan Wulin Mengzhu makin dekat, kami tidak bisa menunggu
terlalu lama.", ujar Guang Yong Kwang sambil tertawa merendahkan.
Tawanya meledak dengan tiba-tiba, berhenti pula dengan tiba-tiba, dengan dingin dia berkata, "Kalian harus mengambil
keputusan sekarang juga."
Bo He hanya bisa menggeram marah, keputusan apa yang harus dia ambil" Dia bisa mengukur kemampuannya sendiri, juga
mereka yang ada di sana. Jika mereka harus bentrok sekarang juga dengan orang-orang Partai Kunlun, tentu akan banyak
korban yang jatuh di kedua belah pihak, terutama pihak Partai Pedang Keadilan, siapa di antara mereka yang bisa
mengimbangi Guang Yong Kwang" Masalahnya bukan nyawa mereka, tapi siapa yang bisa menjamin mereka bisa menahan
Guang Yong Kwang untuk melabrak masukdan mencederai Ding Tao"
Guang Yong Kwang tidak kalah nama dibanding Pan Jun ketua Partai Hoasan, bahkan Ma Songquan dan Chu Linhe sebagai
orang terkuat setelah Ding Tao, tidak memiiliki keyakinan melawan Pan Jun. Meskipun sekarang kemampuan mereka sudah
maju cukup pesat, Bo He tidak yakin mereka berdua bisa menahan Guang Yong Kwang untuk tidak menerobos masuk dan
merusak konsentrasi Ding Tao yang sedang dalam masa genting. Tapi jika Bo He menyetujui permintaan Guang Yong
Pendekar Kidal 21 Elang Pemburu Karya Gu Long Kisah Sepasang Rajawali 1
^