Pencarian

Pedang Angin Berbisik 19

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 19


"Hmm" bukankah dia itu keledai gundul yang bernama Bhiksu Pu Jit" Hei Pu Jit, apa kabarmu, jangan pura-pura lupa
dengan Liu Chuncao", tiba-tiba Liu Chuncao yang tadinya berada di tengah barisan untuk bercakap-cakap dengan para
pengikut mereka maju ke depan dan berdiri di samping Ding Tao.
Beberapa orang dari jajaran pimpinan yang tadinya membaur di tengah barisan turut maju ke depan dan sekarang berjajar
di belakang Ding Tao. Bhiksu Pu Jit yang disapa Liu Chuncao tidak marah oleh panggilan keledai gundul, senyumnya justru makin lebar.
"Oho" rupanya Tosu bau Liu Chuncao juga ada di sini, memang sudah kudengar kalau kau mengikuti Ketua Ding Tao,
hanya saja tadi tidak kulihat dirimu. Sebenarnya sejak mendengar kabar itu aku ingin bertanya, ada apa dengan tosu bau
macam dirimu ini, sehingga tiba-tiba ikut pula masuk dalam satu partai, bukankah dulu kau lebih suka berkelana
sendirian?", olok-olok Pu Jit membalas Liu Chuncao.
"Hee, jangan samakan aku dengan dirimu, aku mengikut Ketua Ding Tao karena hal itu sesuai dengan nuraniku. Jika hatiku
bilang ke kiri ya aku ke kiri, ke kanan ya ke kanan. Bukan seperti dirimu yang untuk kentut pun harus minta ijin pada
pimpinanmu.", jawab Liu Chuncao sambil menyengir lebar.
"Wah, benar-benar tosu bau, tak kusangka mulutmu tidak kalah baunya dengan kentutku", ujar Pu Jit disambung tawa
berkakakan mereka berdua.
Bhiksu-bhiksu Shaolin yang datang bersama Pu Jit, juga orang-orang Partai Pedang Keadilan saling berpandangan
keheranan. Tidak menduga Pu Jit dan Liu Chun Cao yang setiap harinya terlihat serius dan pendiam, ternyata bisa juga jadi urakan. Kedekatan mereka berdua memang jarang diketahui orang, tapi sebenarnya dua orang ini bersahabat cukup dekat.
Belasan tahun yang lalu keduanya sempat bertarung akibat satu kesalah pahaman. Pu Jit yang jarang turun berkelana di
dunia persilatan, bertemu dengan lawan tangguh untuk pertama kalinya. Ilmu keduanya hampir berimbang dan selama
ratusan jurus bertarung tanpa ada yang mampu meraih kemenangan. Kelelahan dan kehabisan tenaga, barulah mereka
berbicara dan sadar telah terjadi kesalah pahaman di antara mereka berdua. Akhirnya dari bertarung mati-matian,
keduanya justru jadi sahabat dekat.
Saat tawanya mereda Liu Chuncao pun bertanya, "Keledai gundul, jadi apa maumu menghadang kami di sini?"
"Haha" bagaimana ya" Kalian tahu tidak berapa jumlah orang persilatan yang datang ke kaki Gunung Songshan dengan
tujuan untuk ikut sertaberupaya merebut kedudukan Wulin Mengzhu?", ujar Pu Jit dengan senyum serba salah.
"Hmm"kami mendengarnya" sudahlah cepat jelaskan saja apa maksudmu menghadang kami, tidak usah cengar-cengir
begitu.", ujar Liu Chuncao.
"Kuharap kalian tidak salah paham, ketua kami Bhiksu besar Khongzhen berpendapat bahwa kami harus melakukan sesuatu
dan memutuskan bahwa mereka yang ingin maju menjadi calon Wulin Mengzhu harus diuji terlebih dahulu. Mereka ini harus
dapat melewati barisan kami dan mendapatkan medali ini sebagai bukti.", jawabPu Jit sambil menunjukkan sebuah medali
dari giok. "Hmm" jadi maksud Bhiksu Pu Jit, jika siauwtee ingin maju menjadi calon Wulin Mengzhu di pertemuan kaki Gunung
Songshan nanti, maka siauwtee harus membuktikan diri dengan menghadapi barisan kalian?", ujar Ding Tao yang sejak tadi
mengikuti pembicaraan mereka.
"Benar sekali Ketua Ding Tao, kuharap ketua mengerti, dengan cara ini diharapkan pada pertemuan nantinya tidak terlalu
banyak calon dan menghabiskan banyak waktu. Selain itu ujian yang diberikan oleh ketua kami, hanya terbatas sampai
calon yang diuji dapat menerobos keluar dari kepungan kami, sehingga diharapkan tidak ada korban yang jatuh.
Dibandingkan jika terjadi pertarungan untuk mencari menang dan kalah, antara dua calon di atas arena.", jawab Pu Jit
menjelaskan. "Itu ide yang bagus, tentu saja aku akan mengikuti ketentuan ini.", jawab Ding Tao dengan antusias.
"Syukurlah kalau ketua merasa demikian", jawab Pu Jit dengan rasa lega.
Liu Chuncao mengerutkan alis dan berkata, "Hmm" apa bukannya kalian sedang menunjukkan pada dunia persilatan akan
kekuatan kalian?" "Apa maksud Saudara Liu Chuncao?"", tanya Pu Jit sambil tersenyum kecil.
"Hmph, dasar keledai gundul, jumlah mereka yang datang ke kaki Gunung Sonshan ada berapa orang. Ada berapa jumlah
jalan yang bisa ditempuh seseorang untuk bisa sampai ke sana. Ada berapa jumlah Bhiksu petarung yang kalian tugaskan
untuk menjaga jalan?", tanya Liu Chuncao dengan gemas.
"Oh soal itu" hehe, terakhir kali kami mendengar berita, setidaknya ada 20-an orang yang pergi ke kaki Gunung Songshan
dengan keinginan untuk ikut maju dalam pemilihan Wulin Mengzhu. Untuk masuk ke propinsi Henan, setidaknya ada 34
jalan masuk yang bisa dipilih. Ada 18 kali 34 orang Bhiksu yang dikirimkan secara berkelompok untuk menjaga 34 jalan
masuk ke propinsi Henan, dan 6 kali 18 orang yang meronda berkeliling untuk memastikan tidak ada pengunjung yang
terlewat.", jawab Pu Jit dengan senyum yang tak menyembunyikan rasa bangganya terhadap perguruan tempat dia
dibesarkan. Tidak salah memang jika Liu Chuncap mengatakan Shaolin sedang melakukan pameran kekuatan. Dalam segi jumlah Bhiksu
petarung yang diturunkan Shaolin saja, tidak sampai 10 perguruan atau partai yang bisa meyamainya, 18 kali 40, berarti
ada 640 orang Bhiksu yang dikirimkan Shaolin. Lagipula ke 640 orang yang dikirim tersebut, tentu bukan orang
sembarangan. Shaolin tentu saja tidak hendak mempermalukan diri sendiri dengan mengirimkan Bhiksu petarung tingkatan
rendah. Liu Chuncao sendiri cukup maklum seberapa tinggi ilmu Bhiksu Pu Jit yang pernah dia hadapi dalam satu
pertarungan. Selain itu, Gunung Songshan sendiri tentu saja tidak mungkin ditinggalkan kosong tanpa ada yang menjaga.
Umumnya ketika seorang pendekar menyerang dalam satu pertarungan, maka setidaknya selalu ada 4 bagian tenaga yang
disimpan untuk bertahan. Dengan perhitungan kasar yang sama, seharusnya masih ada 400-an bhiksu dengan tingkatan
ilmu setara dengan mereka yang dikirimkan keluar yang berjaga di Gunung Songshan. Bagaimana dengan Bhiksu lain, baik
mereka yang berada dengan tingkat di bawah ke 1000 orang bhiksu tersebut, juga mereka yang lebih tinggi tingkatnya"
Dengan cepat mereka yang mendengar jawaban Bhiksu Pu Jit berhitung dalam hati dan diam-diam meleletkan lidah dengan
dada bergemuruh membayangkan kekuatan Shaolin.
Ding Tao pun mendesah sambil menggelengkan kepala, "Sungguh kekuatan Shaolin bukan nama kosong, jika ketua kalian
mau maju dalam pemilihan Wulin Mengzhu, aku bisa kalah dengan hati lega."
"Ketua Ding Tao terlalu memuji, tentang pemilihan Wulin Mengzhu, ketua kami sudah dengan jelas mengatakan bahwa
beliau tidak akan turut serta dalam pencalonan. Hanya saja, apakah Shaolin akan ikut bersumpah setia di bawah pimpinan
Wulin Mengzhu yang terpilih nanti atau tidak, belumlah ditentukan.", jawab Pu Jit.
Sejenak Ding Tao terdiam memikirkan jawaban-jawaban Pu Jit. Ding Tao yang tidak menyimpan kecurigaan terhadap Biksu
Khongzhen menanggapi keputusan Bhiksu Khongzhen itu dengan baik. Bhiksu Khongzhen yang tidak ingin ikut
memperebutkan kedudukan Wulin Mengzhu, tidak ingin pula mengikatkan dirinya di bawah otoritas tokoh yang tidak bisa
dia percaya. Mungkin itu pula sebabnya Bikshu Khongzhen menunjukkan kekuatan Shaolin di depan seluruh dunia
persilatan. Sebuah pesan yang cukup jelas, Shaolin ingin bersahabat, namun jangan pula berusaha memaksa Shaolin untuk
melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan.
Berpikir demikian, tercetuslah satu pertanyaan, "Bhiksu Pu Jit, apakah sesungguhnya Bhiksu besar Khongzhen tidak setuju dengan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu ini?"
Pu Jit memandang Ding Tao untuk beberapa lama, dia tidak mendapati perasaan tidak menyenangkan dari pemuda ini.
Meskipun umurnya terbilang masih sangat muda namanya sudah terkenal, namun hal itu tidak membuat pemuda ini
menjadi seorang yang besar kepala. Sikapnya pada Pu Jit selalu sopan dan tidak mudah pula tersinggung. Seseorang yang
tidak mudah tersinggung biasanya adalah seorang yang rendah hati. Karena dia tidak menganggap kedudukan dirinya
sendiri tinggi, dengan sendirinya sikap orang lain selalu dianggap sesuatu yang wajar bagi dia. Beda dengan seseorang yang memandang dirinya lebih tinggi dari orang lain, orang yang demikian biasanya menuntut orang lain bersikap sesuai dengan kedudukannya yang tinggi. Jika ada orang yang meragukan mereka, itu adalah satu penghinaan yang besar. Apalagi Ding
Tao memiliki kedudukan sebagai ketua dari satu partai, perkataan Pu Jit bahwa dirinya akan menguji kepandaian Ding Tao
bisa dipandang sebagai satu penghinaan. Namun perasaan yang demikian, tidak tampak pada diri Ding Tao.
Dengan cepat Pu Jit menyukai pemuda itu, apalagi sahabat yang dia percaya benar kepribadiannya memilih untuk menjadi
pengikut dari pemuda itu. Rasa sukanya semakin besar, karena dari nada dia bertanya, alih-alih menjadi marah, Ding Tao
justru memiliki pandangan yang baik terhadap Shaolin, yang kali ini dengan sengaja menghadang dia dan berniat untuk
menguji dirinya. Sebuah senyum terbentuk di wajahnya dan dengan pandangan yang baru pada pemuda itu dia menjawab,"Memang
sebenarnyalah demikian, sebelum mengirimkan kami semua untuk tugas ini, beliau sempat menyampaikan pandangannya
atas diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu ini. Menurut beliau ada beberapa keberatan, yang pertama kedudukan Wulin
Mengzhu dalam sejarah dunia persilatan, adalah kedudukan yang mengikat seluruh anggota dunia persilatan dan
memberikan kekuasaan yang terlampau besar pada satu orang atau kelompok. Padahal kekuasaan yang terlampau besar,
seringkali merusak watak seseorang."
"Keberatan yang kedua adalah kemungkinan munculnya konflik-konflik dan permusuhan baru dalam persaingan untuk
merebut kedudukan Wulin Mengzhu ini. Jika tidak berhati-hati dan jika tidak muncul tokoh yang bisa diterima semua pihak, pemilihan ini justru bisa jadi bumerang yang membuat dunia persilatan semakin terpecah-pecah. Seharusnya tanpa adanya
satu sosok pimpinan pun, tanpa adanya seorang Wulin Mengzhu pun, jika setiap orang mau meletakkan kepentingan negara
di atas kepentingan pribadi, persatuan dan kesatuan yang kuat akan terbentuk."
"Keberatan yang ketiga, lebih merupkan keberatan yang muncul dari pilihan hidup beliau sebagai manusia yang
mementingkan jalan spiritual. Menurut beliau, ancaman yang muncul dari Ketua Partai Bulan dan Matahari, tidaklah perlu
dihadapi melulu dengan kekerasan. Dengan menyatukan seluruh dunia persilatan untuk menghadapi Partai Bulan dan
Matahari, tidak ubahnya menambahkan kayu pada api, menang jadi arang kalah jadi abu. Jalan yang terbaik adalah
merangkul dan berusaha membangun saling pengertian di antara dua pihak yang bersebarangan."
"Namun karena tuntutan dari sebagian besar masyarakat dunia persilatan, termasuk beberapa perguruan besar lainnya,
akhirnya setelah berdiskusi dengan ketua dari lima perguruan besar yang lain, beliaupun memutuskan untuk mendukung
diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu tersebut. Dengan dua permintaan, yang pertama yaitu agar Shaolin dipercaya untuk
mengatur pengadaannya. Yang kedua, bahwa Shaolin minta agar 5 perguruan yang lain tidak memaksa Shaolin untuk
tunduk dan bersumpah setia pada Wulin Mengzhu yang terpilih.", ujar Pu Jit menjelaskan panjang dan lebar tentang
pendangan Bhiksu Khongzhen terhadap pemilihan Wulin Mengzhu ini. Mereka yang mendengarkan penjelasan Bhiksu Pu Jit
pun bisa memahami kedudukan Bhiksu Khongzhen. Jika ada yang tadinya merasa penasaran karena pihak Shaolin
mengirimkan orang untuk menguji Ding Tao, setelah mendengar penjelasan itu jadi teredam kekesalannya.
Apalagi Ding Tao yang sejak awal tidak merasa tersinggung oleh perlakuan Pu Jit, pemuda itu mengangguk-anggukkan
kepala, merasa kagum pada Bhiksu Khongzhen, katanya, "Sungguh aku kagum pada ketua kalian. Sayangnya aku sendiri
berada pada kedudukan, di mana aku mengambil keputusan untuk mengikuti pemilihan Wulin Mengzhu ini. Baiklah
sekarang, kita mulai saja ujian yang harus kulewati untuk mendapatkan medali giok tersebut."
"Jika Ketua Ding Tao sudah siap, marilah kita mulai.", jawab Bhiksu Pu Jit.
"Baik, mari kita mulai. Saudara-saudara yang lain harap mundur dan memberikan tempat.", ucap Ding Tao.
Dalam waktu singkat sebuah ruangan yang cukup besar pun disediakan bagi Ding Tao dan ke-18 orang bhiksu Shaolin untuk
bertarung. 18 orang bhiksu tersebut dengan cepat mengepung Ding Tao dalam sebuah barisan. Pengikut Ding Tao yang
jumlahnya mendekati seratus, berdiri di jarak yang cukup jauh dan mengamati pertarungan yang akan segera terjadi.
Suasana pun jadi sunyi sepi, sehingga suara burung-burung di kejauhan terdengar jelas.
"Apakah kalian sudah siap?", tanya Ding Tao pada Pu Jit.
"Kami sudah siap, silahkan Ketua Ding Tao memulai, asalkan ketua bisa menerobos barisan kami, maka medali giok itu
menjadi hak Ketua Ding Tao, sebagai tanda bahwa ketua lulus ujian kami.", jawab Pu Jit dengan tegas.
"Baik, hati-hatilah kalian, aku akan memulai.", ujar Ding Tao.
"Silahkan?", sekali lagi Pu Jit mempersilahkan, urat syaraf setiap orang pun menegang, menantikan dimulainya gebrakan
pertama antara dua pihak yang berhadapan.
Ding Tao tidak terburu-buru bergerak, seperti juga yang pernah dilakukan Guang Yong Kwang saat dikepung oleh barisan
ciptaan para pimpinan Partai Pedang Keadilan, Ding Tao dengan tenang menguji reaksi dari barisan yang dia hadapi
terhadap gerakan-gerakan kecil yang dia lakukan. Memang pertarungan kali ini pun memiliki syarat yang mirip dengan
pertarungan saat itu. Karena barisan lawan hanya bertujuan untuk mengurung dan bukan melumpuhkan, maka yang
terkurung memiliki ruang dan waktu yang lega untuk mengamat-amati barisan lawan. Alangkah jauh berbeda jika barisan
lawan bukan hanya diam mengurung tapi juga bergerak untuk menyerang. Dari sini bisa dilihat bahwa bhiksu-bhiksu dari
Shaolin ini memang hanya berniat menguji, bukan berniat untuk melukai ataupun menghinakan lawan.
Mereka yang mendukung Ding Tao dan tadinya sempat merasa sebal dengan perlakuan orang-orang dari Shaolin yang
seakan meremehkan keberadaan mereka, sehingga untuk datang ke kaki Gunung Songshan sebagai calon Wulin Mengzhu,
mereka harus terlebih dahulu mereka uji. Bukankah yang menguji pada umumnya bertingkat lebih tinggi daripada yang
diuji" Dengan demikian bukankah Shaolin merasa lebih hebat, lebih tinggi dan berpengetahuan dari mereka"
Beruntung rasa penasaran mereka yang umumnya masih muda-muda dan berjiwa panas bisa diredam oleh mereka yang
lebih tua dan lebih tenang dalam menghadapi masalah. Mungkin hanya Ma Songquan dan Chu Linhe dari para pimpinan
yang ikut sewot seperti mereka yang masih berumur muda terhadap penghadangan Shaolin ini. Jika mengikuti kata hati dan
sifat liar mereka yang dulu, mungkin sebelum Ding Tao menyediakan dirinya untuk diuji, mereka berdua sudah
menghambur ke depan dan menggebrak lawan terlebih dahulu. Bukan hanya untuk menerobos tapi untuk melampiaskan
kekesalan mereka dan melukai sebanyak-banyaknya lawan.
Sedikit dari mereka yang mengetahui latar belakang kedua orang itu, merasa sangat kagum dengan perubahan yang terjadi
pada diri mereka. Rasa kagum dan heran ini akhirnya berujung pada rasa kagum pada Ding Tao, sebagai orang yang
berhasil menjinakkan sepasang iblis muka giok yang ditakuti oleh hampir semua tokoh dalam dunia persilatan. Bahkan
mereka yang berkemampuan tinggi pun merasa gentar jika harus membuat permusuhan dengan mereka berdua. Bukan
karena takut kalah, terluka atau terbunuh dalam pertarungan, tapi takut oleh keberingasan lawan dan sikap yang tidak
peduli dengan aturan. Bermusuhan dengan sepasang iblis itu sama saja artinya, setiap kali makan harus memeriksa apakah
makanan dan minumanmu bersih dari racun. Setiap tidur harus tetap menajamkan panca indera, siapa tahu sepasang iblis
itu berusaha menyusup ke dalam rumah saat engkau tidur. Bermusuhan dengan mereka artinya, jika orang-orang dekat
tidaklah berilmu tinggi, sebaiknya mereka selalu berada dekat dan bisa ditolong setiap saat. Hidup seperti itu bagaikan hidup di neraka dan sedikit kelengahan bisa berarti fatal.
Reputasi sepasang iblis itu sendiri juga terlalu dibesar-besarkan dan juga dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk menyembunyikan jejak kejahatan mereka. Berencana membunuh saingan tanpa diketahui orang lain" Berpura-puralah jadi
sahabatnya, kemudian setelah kau bunuh dia, salahkan saja sepasang iblis itu. Sepasang iblis itu sendiri tidak pernah
keberatan dengan fitnah yang mereka terima, semakin menakutkan nama mereka di dunia persilatan semakin senanglah
mereka berdua. Ketika muncul keinginan untuk meninggalkan jalan yang lama, nama mereka sudah terlampau hitam. Itu
sebabnya mereka memilih untuk menyamar dan mengganti nama saat mereka hendak bergabung dengan Ding Tao, supaya
hitamnya nama mereka tidak menjatuhkan Ding Tao yang baru saja tumbuh.
Kembali lagi pada Ding Tao, dalam waktu yang terhitung singkat, pemuda itu sudah mulai menyusun rencana untuk bebas
dari kepungan barisan lawan. Dia sudah menguji bagaimana barisan itu bereaksi terhadap gerakannya, menilik reaksi
mereka, yakinlah Ding Tao bahwa barisan mereka sudah pernah dia pelajari dari salah satu kitab yang dibawa Murong Yun
Hua. Kalaupun ternyata dia salah, tidak menjadi soal, dia masih bisa mundur dan memikirkan rencana lain. Pemuda itu
yakin, bahwa bhiksu-bhiksu dari Shaolin ini sungguh-sungguh hanya ingin menguji dirinya, bukan untuk mencelakainya.
Setelah memikirkan hal ini, dengan mantap Ding Tao mulai bergerak sesuai dengan rencana yang sudah terpeta di
benaknya. Ding Tao bergerak limbung, dengan langkah terhuyung-huyung, inilah jurus pendekar mabuk. Ada beberapa macam jurus
mabuk yang dia pelajari dalam kitab-kitab milik Murong Yun Hua, saat dia berpikir tadi tampaknya beberapa dari gerakan-
gerakan tersebut sesuai sekali untuk menghadapi barisan dari Shaolin yang mengurungnya. Tanpa pernah melatih ilmu itu
sebelumnya Ding Tao mencoba untuk bergerak sesuai teori yang dia baca.
Gerakannya tidak seluwes mereka yang sudah melatih jurus-jurus tersebut selama bertahun-tahun, tapi tidak menjadi
masalah, barisan Shaolin bereaksi sesuai perhitungannya. Semakin lama, gerakan Ding Tao semakin cepat. Barisan dari
Shaolin pun ikut bergerak semakin cepat. Nyata beda tingkatan dari orang-orang Ding Tao yang melatih ilmu barisan Partai Pedang Keadilan dengan tingkatan bhiksu-bhiksu Shaolin ini. Jika barisan yang dihadapi Guang Yong Kwang menunjukkan
kelamahannya karena perbedaan kemampuan antara seorang dengan seorang yang lain, maka barisan ini tidak
menunjukkan kelemahan yang sama. Kecepatan, kekuatan dan pemahaman tiap-tiap bhiksu dalam barisan itu sama
kuatnya. Per orangan, mereka tidak bisa dibandingkan dengan Ding Tao, bersama-sama mereka merupakan tandingan yang
cukup kuat. Seandainya saja Ding Tao belum pernah mempelajari ilmu barisan itu, tentu dia tidak akan bisa memikirkan
rencana yang saat ini sedang dia jalankan. Ding Tao harus menggunakan kekerasan untuk menerobos barisan itu.
Sangat berbeda apa yang dilakukan Guang Yong Kwang kala itu dengan apa yang dilakukan Ding Tao saat ini. Rencana Ding
Tao tidak bergantung pada perbedaan kemampuan mereka yang menjalankan ilmu barisan itu. Rencana yang ada dalam
benak Ding Tao disusun berdasarkan teoridari ilmu barisan itu sendiri.
Awalnya mereka yang melihat pertarungan itu tidak mengerti apa rencana Ding Tao, setelah beberapa jurus berlalu, mereka mulai melihat bagaimana barisan itu perlahan-lahan tersibak dan Ding Tao bergerak melalui celah yang terbentuk. Barisan itu berusaha menutup gerakan Ding Tao, namun setiap usaha mereka hanya membuat kepungan mereka atas Ding Tao
semakin longgar. Barisan yang bertarung melawan Ding Tao sendiri tidak dapat melihat bagaimana reaksi mereka terhadap
gerakan Ding Tao hanya membuat lubang-lubang dalam barisan mereka semakin lebar.
"Cukup!", tiba-tiba Bhiksu Pu Jit berseru dengan kerass.
Dengan penuh disiplin 17 orang bhiksu yang lain dengan cepat berlompatan dan berbaris rapi di belakang Bhiksu Pu Jit.
Butuh beberapa jurus berlalu sebelum Bhiksu Pu Jit menyadari bahwa ding Tao sudah berhasil memegang kunci kelemahan
barisan yang mereka gunakan. Sadar bahwa jika pertarungan itu diteruskan pada akhirnya Ding Tao akan berhasil lepas
dari kepungan, Bhiksu Pu Jit pun memilih untuk menghentikan pertarungan itu. Pada dasarnya tujuan mereka adalah untuk
menguji Ding Tao dan dari apa yang dia lihat Bhiksu Pu Jit sedikit banyak sudah bisa meraba seberapa tinggi ilmu Ding Tao.
Selain itu dia juga bisa melihat kepribadian pemuda itu. Meskipun tidak ada larangan untuk saling menyerang, Ding Tao
tidak berusaha untuk bebas dari kepungan dengan melumpuhkan lawan. Ding Tao memilih jalan yang lebih sulit, yaitu
dengan cara berusaha memahami teori ilmu barisan lawan dan kemudian memikirkan cara untuk menerobosnya tanpa
kekerasan. Mau tidak mau Bhiksu Pu Jit harus mengakui keenceran otak dan luasnya pengetahuan Ding Tao. Jika tidak bagaimana
mungkin pemuda itu bisa menemukan kelemahan dari barisan yang dia hadapi dan menggunakan ilmu barisan itu untuk
mengalahkan dirinya sendiri"
Ilmu barisan itu sendiri diciptakan salah seorang Tetua Shaolin yang banyak mempelajari pergerakan benda-benda di langit Terinspirasi oleh gerakan planel-planet yang mengelilingi matahari dan berbagai macam bentuk rasi bintang, tetua Shaolin itu akhirnya menciptakan ilmu barisan yang sekarang mereka gunakan untuk mengurung Ding Tao. Dalam sangkaan Bhiksu
Pu Jit, Ding Tao adalah seorang pendekar yang bukan saja mempelajari ilmu-ilmu bela diri tapi juga faham ilmu militer, ilmu alam dan macam-macam pengetahuan lainnya. Sehingga ketika Ding Tao menguji barisan itu, dia mengenali ilmu
perbintangan yang menjadi dasar-dasar pergerakan mereka. Tapi mengenali ilmu barisan itu sendiri barulah setengah dari
pekerjaan yang harus dilakukan Ding Tao. Memikirkan cara untuk memecahkan ilmu barisan itu berdasarkan apa yag dia
ketahui dua kali lebih sulit daripada memahaminya dan Ding Tao berhasil melakukan hal itu.
Di bagian yang pertama, yaitu memahami ilmu barisan itu, tentu saja Ding Tao banyak dibantu oleh kitab-kitab koleksi
keluarga Murong. Namun untuk bagian kedua, bisa dikatakan sebagian besar adalah dari kecerdasannya sendiri.
Bhiksu Pu Jit menunggu semua saudara perguruannya sudah berbaris rapi di belakangnya, sebelum kemudian dia maju dan
mengangsurkan medali giok yang menjadi bukti bahwa Ding Tao sudah lolos ujian dari Shaolin dan dipandang layak untuk
mengajukan diri sebagai calon Wulin Mengzhu.
"Benar-benar, reputasi dan kehebatan Ketua Ding Tao bukanlah nama kosong.", puji Bhiksu Pu Jit.
"Ah" hanya kebetulan saja, kebetulan aku mengenali dasar-dasar ilmu barisan tersebut dari sebuah kitab yang pernah
kubaca.", jawab Ding Tao, merasa malu karena dia merasa sudah berbuat curang untuk menang dari ujian ini.
"Hahaha" sungguh tidak kusangka, Ketua Ding Tao bukan hanya seorang yang ahli bela diri, tapi juga seorang yang ahli
dalam ilmu perbintangan pula.", ujar Bhiksu Pu Jit yang menyangka tebakannya tepat.
Ding Tao yang dipuji jadi semaki malu saja, mengertilah dia sekarang bahwa gerakan-gerakan tersebut rupanya
diinspirasikan oleh pergerakan benda-benda di langit, "Bhiksu, anda terlalu memuji, aku hanya sedikit tahu saja, tidak bisa dikatakan sebagai seorang ahli."
"Ketua Ding Tao terlalu rendah hati, memahami ilmu barisan itu sendiri baru setengah dari apa yang Ketua Ding Tao
tunjukkan pada kami hari ini. Medali giok ini sudah sepantasnya berada di tangan ketua, aku justru merasamalu sekarang
sudah berani-beraninya menguji ketua.", ujar Bhiksu Pu Jit sambil mengangsurkan medali giok yang ada di tangannya.
"Ketua Ding Tao, aku mohon maaf sudah berani menguji dirimu, terimalah medali ini", ujar Bhiksu Pu Jit.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, kami mengerti kebijakan Bhiksu besar Khongzhen dan sama sekali tidak merasa
keberatan dengan diadakannya ujian ini", jawab Ding Tao sambil mengambil medali giok yang diangsurkan Bhiksu Pu Jit.
Alangkah kagetnya Ding Tao ketika dia merasakan sebuah hawa panas yang tajam meruak keluar dari medali itu melalui
jari-jarinya, tepat pada saat jari-jarinya memegang sebagian dari medali tersebut. Hawa panas itu bergerak melalui jalur energi yang ada di sepanjang lengnnnya, hendak menyerang jantungnya. Dengan cepat Ding Tao mengerahkan hawa
murninya untuk melindungi jantungnya dari serangan hawa panas tersebut. Baru setelah berhasil menahan hawa panas
yang menyerang dirinya, dia memandang ke arah Bhiksu Pu Jit dengan pandangan bertanya.
"Maaf Bhiksu" apa maksudnya ini?"", tanya pemuda itu.
"Apakah" ini pun sebuah ujian?", tanyanya sekali lagi.
Bhiksu Pu Jit tidak bisa menjawab, karena saat itu dia sedang berjuang untuk menekan hawa murni Ding Tao yang
melindungi titik-titik energi dalam tubuhnya. Hawa panas yang menyerang Ding Tao adalah hawa murni milik Bhiksu Pu Jit
yang berusaha menyerang jantung Ding Tao, Bhiksu Pu Jit berusah menyusupkannya melalui persentuhan jari-jari mereka.
Tapi sekali lagi Bhiksu Pu Jit harus mengakui kelebihan Ding Tao, bukan saja pemuda itu bisa dengan cepat mengerahkan
hawa murninya dan menahan hawa murni Bhiksu Pu Jit yang menyerang. Himpunan hawa murni yang dimiliki Ding Tao
bahkan lebih kuat dari yang dia miliki. Terbukti, saat Bhiksu Pu Jit harus bersusah payah untuk mengerahkan hawa
murninya menyerang Ding Tao. Ternyata Ding Tao masih bisa mengajak Bhiksu Pu Jit berbicara.
Bhiksu Pu Jit pun harus mengakui kekalahan untuk kedua kalinya dan perlahan-lahan dia menarik serangannya. Dia pun
menjadi kagum, ketika merasakan bahwa hawa murni Ding Tao tidak berbalik menyerang dirinya. Sangkanya Ding Tao
menahan serangan hawa murninya dengan cara mendorong hawa murni itu mundur kembali ke arah dirinya. Umumnya
demikianlah yang dilakukan, dua orang ahli tenaga dalam saling mendorong dengan hawa murni mereka, yang kalah akan
terpukul oleh hawa murni lawan.
Tapi bukan demikian yang dilakukan Ding Tao, yang dilakukan pemuda itu adalah membangun benteng di sekitar jalur-jalur
energi yang hendak digunakan Bhiksu Pu Jit untuk menyerang. Tekanan yang dirasakan Bhiksu Pu Jit muncul karena dia
berusaha mendorong hawa murni yang melindungi tubuh Ding Tao. Tapi saat dia mengendurkan serangan, dengan
sendirinya dia juga merasakan tekanan hawa murni Ding Tao pada dirinya berkurang.
Kalau hendak digambarkan, hal ini serupa seperti saat kita mendorong sebuah tembok yang kokoh. Aksi kita mendorong
temboklah yang melahirkan reaksi dorongan ke arah sebaliknya yang kita rasakan. Dorongan itu muncul sebagai reaksi atas dorongan kita, bukan berarti tembok itu yang mendorong kita. Hal itu hanya bisa dilakukan Ding Tao jika himpunan hawa
munrni yang dia miliki jauh lebih kokoh dari hawa murni milik lawan dan itulah yang dipikirkan oleh Bhiksu Pu Jit. Namun tidaklah persis seperti itu yang terjadi. Hawa murni ada di sekeliling kita, ada di udara, di tanah, ada di air, di mana-mana.
Sejak berlatih ilmu tenaga dalam inti bumi, pemuda itu mulai bisa merasakan tenaga yang terimpan di dalam bumi. Dalam
ilmu hawa murni inti bumi yang dia pelajari, untuk mengumpulkan hawa murni, dia menghisap hawa murni dari bumi dan
perlahan-lahan mengolahnya kemudian menyimpannya dalam Dan Tian. Dalam perkembangannya semakin lama, semakin
mudah bagi Ding Tao untuk menghisap tenaga dari dalam bumi untuk dia olah dan gunakan. Meskipun kapasitas Dan Tian
dalam dirinya sebagai manusia, tidak memungkinkan dia untuk menyimpan seluruh hawa murni yang bisa dia hisap dari


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam bumi, pemuda itu sudah terlatih untuk menghisap dan menggunakan tenaga dari bumi sesuka hatinya. Sehingga saat
Bhiksu Pu Jit menyerangnya, sebenarnya yang dilakukan Ding Tao tidak lebih hanyalah bersandar bumi yang kokoh untuk
menahan serangan Bhiksu Pu Jit.
Ketika sadar Ding Tao seoenuhnya dapat menguasai hawa murninya dan tidak ada resiko untuk menarik hawa murninya
sendiri, Bhiksu Pu Jit pun merasa lega. Dengan segera dia menarik kembali serangannya.
Sedikit malu-malu, Bhiksu Pu Jit melepaskan medali itu, menggaruk-garuk kepalanya yang gundul, dan menjawab, "Hehe..
ah maafkan aku, adalah tugasku untuk menguji diri ketua dan" yah" sudah jelas Ketua Ding Tao sangat pantas untuk
menjadi calon Wulin Mengzhu."
Saat Bhiksu Pu Jit menghentikan barisan Shaolin dan mendekat pada Ding Tao untuk memberikan medali, orang-orang
Partai Pedang Keadilan sudah berjalan mendekat sambil bersorak. Mereka menyangka ujian sudah selesai dan Ding Tao
sudah melewatinya. Hampir semua orang terkejut, saat tiba-tiba mereka melihat gerakan Ding Tao terhenti dengan tiba-
tiba. Ketika mereka sadar bahwa Bhiksu Pu Jit sudah menyerang dengan diam-diam, rasa terkejut itu pun berubah jadi rasa marah dan khawatir. Rasa khawatir mereka hilang saat Ding Tao mulai bertanya-tanya pada Bhiksu Pu Jit. Melihat Ding Tao masih bisa dengan bebas berkata-kata, membuktikan bahwa keadaannya tidaklah begitu berbahaya. Mereka pun
menunggu-nunggu dengan cemas, tidak ingin bergerak sembarangan dan mengakibatkan kecelakaan yang fatal, pada dua
orang yang sedang mengadu tenaga dalam.Baru setelah Bhiksu Pu Jit melepaskan pegangannya pada medali giok dan
meminta maaf pada Ding Tao, barulah mereka datang mendekat dengan cepat.
Liu Chuncao yang merasa sangat kesal pada Bhiksu Pu Jit berada paling depan. Ma Songquan dan Chu Linhe yang sangat
marah justru tidak ikut maju ke depan. Ma Songquan begitu marahnya hingga tangannya gemetaran. Chu Linhe yang sudah
sangat paham akan sifat ma Songquan, buru0buru menahan tubuh suaminya itu dan berbisik.
"Ketua Ding Tao sudah aman, jangan merusak suasana dengan kemarahanmu?" bisik Chu Linhe.
Ma Songquan hanya menggeram saja, tapi dia tidak melawan, dia sadar Chu Linhe benar. Ding Tao sudah berhasil
mendapatkan medali giok sebagai tanda bahwa dia dapat maju sebagai calon Wulin Mengzhu, mengumbar kemarahannya
dan menyerang Bhiksu Pu Jit hanya akan membuat suasana menjadi buruk.
Sementara itu Liu Chuncao dengan cepat mendekat dan sebelum ada yang bisa bertindak dia sudah mendorong bahu
Bhiksu Pu Jit dengan keras.
"Keledai gundul, apa kau hendak mencari perkara denganku! "Apa kau sudah bosan hidup!" Hah?", serunya dengan mata
melotot. Bhiksu Pu Jit yang bisa memahami kekesalan orang-orang Ding Tao tidak melawan balik, dia hanya membungkuk dalam-
dalam dan berkata, "Maafkan aku, aku hanya menjalankan tugas saja. Tidak lebih, tidak kurang."
Sebelum Liu Chuncao sempat memaki dan menyerang Bhiksu Pu Jit untuk kedua kalinya, tangan Ding Tao sudah memegang
bahunya. "Pendeta Liu", tenanglah" Jika Bhiksu Pu Jit benar-benar hendak menyerangku dengan sungguh-sungguh, tentu salah
seorang di antara kami sudah terkapar di tanah saat ini.", ujarnya berusaha menenangkan Pendeta Liu Chuncao.
Bhiksu Pu Jit dengan malu-malu menjawab, "Ketua Ding Tao benar, bukannya aku ingin membela diri, bukan pula
maksudku untuk menjilat, namun himpunan hawa murni Ketua Ding Tao terlampau kuat. Seranganku dengan cepat
membentur satu tembok yang kokoh dan terpental balik. Jika aku menyerang dengan kekuatan penuh, mana bisa aku
menguasainya dan menariknya perlahan-lahan."
Kemarahan Liu Chuncao sudah agak surut karena Ding Tao menahannya, namun rasa penasaran dan kesalnya belum
hilang, "Memang tidak terjadi apa-apa, karena hawa murni Ketua Ding Tao jauh lebih kuat dari hawa murni milikmu. Tapi
seandainya tidak demikian, bukankah saat ini Ketua Ding Tao akan mengalami luka dalam oleh seranganmu?"
"Aku tidak menyangkal, hal itu tentu saja akan terjadi. Tapi dia tidak akan sampai mati oleh seranganku, hanya sedikit luka dalam.", jawab Biksu Pu Jit sambil menghela nafas.
"Sedikit luka dalam katamu" Dan apakah dia harus bertarung dan bersaing dengan calon-calon Wulin Mengzhu yang lain
dalam keadaan terluka di dalam?", geram Liu Chuncao.
Wajah Bhiksu Pu Jit terlihat suram, dengan berat dia menjawab. "Jika demikian, bukankah itu artinya dia tidak pantas untuk ikut dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini?"
Pucat pias oleh rasa marah, Liu Chuncao dengan terbata-bata bertanya, "Bhiksu" Pu Jit" katakanlah muka dengan muka,
apakah nuranimu tidak meneriakkan kata curang saat kau melakukannya?"
Bhiksu Pu Jit tidak mengucapkan apa-apa untuk waktu yang lama. Beberapa orang bhiksu Shaolin yang berdiri di
belakangnya menunjukkan ekspresi wajah bersalah. Ketika akhirnya Bhiksu Pu Ji menjwab, dia hanya bisa berkata, "Aku
hanya menjalankan tugas?"
"Pendeta Liu" sudahlah, aku tidak terluka apa-apa, Bhiksu Pu Jit tidak berniat buruk. Sudahalh, mari kita lanjutkan saja perjalanan.", ujar Ding Tao sambil menepuk-nepuk pundak Liu Chuncao.
Kemudian pemuda itu berbalik ke arah Bhiksu Pu Jit dan merangkapkan tangan di depan dada, "Bhiksu Pu Jit, terima kasih, biarlah kami melanjutkan perjalanan. Aku mohon pamit lebih dulu."
"Tentu saja ketua", tentang hal itu" aku?"
"Sudahlah, sesama saudara, ada sedikit salah paham mengapa harus diingat-ingat" Lain kali kalau bhiksu berkunjung ke
Jiang Ling, jangan lupa mampir menemuiku, kita bisa keluar makan-makan, aku tahu rumah makan barang tak berjiwa
yang lezat di sana.", jawab Ding Tao dengan ramah, pemuda itu merasa kasihan juga melihat Bhiksu Pu Jit yang disiksa
oleh perasaan bersalah. Bhiksu Pu Jit melihat ketulusan di mata Ding Tao dan merasa terharu oleh kebesaran jiwa pemuda itu. Dia hanya bisa
menganggukkan kepala, "Tentu saja" tentu saja?"
"Bagus kalau begitu, aku tunggu kunjungan bhiksu di Jiang Ling. Baiklah, sekarang kami akan melanjutkan perjalanan.",
Ding Tao pun berpamitan sekali lagi sebelum melangkah pergi, diikuti oleh para pengikutnya yang memandang dengan
gemas ke arah Bhiksu Pu Jit dan saudara-saudara seperguruannya.
Ma Songquan dan Chu Linhe sudah lama menghilang, mendahului rombongan mereka jauh di depan. Liu Chuncao yang
terakhir pergi, dia masih mematung beberapa lama, merasa kecewa dengan orang yang dipandangnya sebagai seorang
sahabat. Sebelum dia pergi, tiba-tiba dia berkata, "Bhiksu Pu Jit, jika lain kali kita bertemu, jangan sekali-kali kau panggil aku tosu bau."
Bhiksu Pu Jit hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Entah untuk ke berapa kalinya dia mendesah dan berkata
dalam hati, "Aku hanya menjalankan tugas."
Di lain tempat, jauh dari hamparan tanah yang dijalani Ding Tai dan para pengikutnya, di sebuah jalan menuju ke Kota
Chang Sha, terlihat tiga orang sedang memacau kuda dengan cepat.
"Perlambat kuda-kuda kalian, sebentar lagi kita akan mulai memasuki Luo Yang, jalan-jalan akan mulai lebih ramai dengan orang.", ujar seorang tua yang berkuda paling depan.
"Baik guru" "Aku mengerti ayah"
Jawab dua orang muda yang mengikuti di belakang. Siapa lagi mereka jika bukan Hua Ng Lau, Huang Ren Fu dan Hua Ying
Ying. "Moga-moga kita tidak terlambat", ujar Hua Ng Lau.
"Hari diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu sudah makin dekat, jika Tetua Bai Chungho ingin menghadirinya, tentu beliau
sudah berangkat ke Gunung Songshan jauh-jauh hari.", ujar Huang Ren Fu dari atas kudanya.
Hua Ng Lau mendesah, lama tidak ada yang berkata-kata.
"Apakah mereka sudah terlambat?", pertanyaan itu muncul di benak mereka bertiga.
Hua Ng Lau mendesah sekali lagi, dengan hati berat dia berkata, "Aku terlalu lama menganalisa obat itu" kecil sekali
kemungkinan bahwa Bai Chungho masih ada di Chang Sha."
Sudah hampir seminggu lamanya, ketiga orang ini berada dalam perjalanan untuk menemui Ketua Kaypang, Bai Chungho.
Segera setelah mendapatkan kepastian tentang obat yang disebarkan oleh salah seorang anak murid Kunlun pada para
pengikut Ding Tao di Gui Yang, Hua Ng Lau dengan segera mencari tahu tentang keberadaan Bai Chungho. Hal ini tidaklah
mudah, pengikut Kaypang tersebar hampir di seluruh daratan. Di tiap-tiap kota selalu saja ada cabang dari partai pengemis.
Masih beruntung Hua Ng Lau sebagai pewaris keluarga Hua di masa ini, memiliki hubungan yang baik dengan partai
pengemis, melanjutkan hubungan baik dari generasi-generasi sebelumnya. Tanpa kesulitan dia mendapatkan kabar terakhir
tentang Bai Chunho yang diketahui oleh anggota partai pengemis yang dia temui. Meskipun tidak semua pengikut partai
pengemis pernah bertemu dengan Hua Ng Lau, tapi Hua Ng Lau sudah mendapatkan satu kata sandi khusus untku dirinya.
Asalkan dia membacakan sebaris bait sandi tersebut, maka setiap pengikut Kaypang, akan mengenali dia sebagai pewaris
keluarga Hua yang harus dibantu.
Meskipun demikian, mencari jejak Bai Chungho tetap saja jadi satu pekerjaan yang sukat. Berita dari satu cabang ke cabang yang lain harus melalui jarak yang jauh dan menyebar dengan lambat. Kabar terakhir yang mereka dapatkan mengenai Bai
Chungho selalu saja terlambat beberapa hari.
"Apakah kita tidak sebaiknya, segera ikut pegi ke kaki Gunung Song Shan?", tanya Hua Ying Ying setelah mereka bertiga
terdiam cukup lama. "Kurasa itu jalan yang terbaik" Chang Sha akan jadi kota terakhir yang kita kunjungi. Lagipula tampaknya sudah hampr
pasti, bahwa Bai Chungo akan ikut datang saat pemilihan Wulin Mengzhu nanti.", ujar Hua Ng Lau dengan pahit.
Lama mereka bertiga kembali diam, tiba-tiba Huang Ren Fu berkata, "Semoga kita tidak terlambat menemui Tetua Bai
Chungho. Tapi kalaupun demikian yang terjadi, kukira kita tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Guru sudah berusaha
sekuat tenaga bahkan sampai kurang tidur berhari-hari lamanya. Hanya memang waktu tidak menjadi sahabat kita kali ini."
"Kakak benar ayah" ayah sudah berusaha sebaik mungkin. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.", ujar Hua Ying Ying
berusaha menghibur ayahnya.
Hua Ng Lau merasa terharu, dia tahu kedua orang muda itu berkata demikian untuk menghibur dirinya, orang tua itu
tersenyum dan lambat-lambat menjawab. "Sudahlah" aku tahu, pada kenyataannya inilah yang harus terjadi" Kenyataan
tidak selalu terjadi sesuai yang kita inginkan."
"Tapi ayah tidak perlu khawatir, Kakak Ding Tao bukan orang yang mudah jatuh oleh kelicikan lawan. Memang tampilannya
seringkali seperti orang bodoh dan lugu. Namun sebenarnya otaknya itu sangat cerdas, jika ada kekurangannya, maka itu
adalah hatinya yang lemah dan terlalu mudah percaya.", ujar Hua Ying Ying yang selaluu bersemangat jika membicarakan
kelebihan Ding Tao. "Hahaha, ya aku yakin dia orang yang seperti demikian. Lagipula dia berangkat bersama-sama dengan segenap orang
kepercayaannya, kukira, mereka pun tahu bahwa tidak ada sekutu mereka yang bisa dipercaya sepenuhnya.", kata Hua Ng
Lau sambil memperlambat laju derap kudanya.
Beberapa puluh langkah di depan mereka mulai terlihat orang berlalu lalang. Kedua orang muda yang berada di
belakangnya dengan sendirinya turut pula memperlambat laju kuda mereka. Semakin lama semakin lambat, dan akhirnya
ketika jalan kuda mereka sama lambatnya dengan berjalan kaki, Hua Ying Ying melompat turun ke bawa.
"Aduh" pantatku sudah pegal-pegal, alangkah nikmatnya bisa berjalan kaki", keluh gadis itu sambil melompat turun.
Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau tersenyum lebar mendengar keluhan gadis itu dan ikut pula melompa turun. Bukan hanya
Hua Ying Ying yang merasakan pinggul dan pantatnya pegal setelah melakukan perjalanan panjang di atas punggung kuda.
"Bayangkan saja berendam di air yang hangat setelah kita mendapatkan tempat untuk menginap nanti.", ujar Huang Ren Fu
pada Hua Ying Ying. "Waah" nikmatnya".", jawab Hua Ying Ying sambil memejamkan mata, membayangkan berendam di satu bak penuh air
hangat. Hua Ng Lau hanya tertawa terbahak-bahak saja melihat kelakuan dua orang muda itu, "Ayolah kita mencari penginapan
dulu dan beristirahat sebentar. Mendengar percakapan kalian tiba-tiba seluruh tulang-tulangku terasa ngilu-ngilu dan ingin berendam dalam satu bak penuh air panas."
"Asyikkk" ayah memang ayah yang paling pengertian.", seru Hua Ying Ying sambil melompat-lompat.
"Hmm" lihatlah Adik Ying Ying ayah, sepertinya dia tidak merasa lelah sama sekali. Mungkin sebaiknya kita pergi mencari orang-orang Kaypang dulu sebelum mencari penginapan" aduh aduh aduh", ujar Huang Ren Fu menggoda dan terputus
kata-katanya karena Hua Ying Ying segera saja mencubit pinggang kakaknya itu.
Hua Ng Lau pun jadi tertawa terbahak-bahak lagi oleh ulah kedua orang itu. Sebenarnya jika ada yang merasa khawatir
dengan nasib mereka setelah mendapati temuan di Gui Yang, orang itu adalah Hua Ying Ying. Namun Hua Ying Ying yang
ramai di luar, tapi lembut di dalam, melihat perasaan Hua Ng Lau yang galau oleh apa yang mereka temukan. Tabib tua itu rupanya sempat merasa bersalah karena kurang cepat dalam bekerja, sehingga dia baru berhasil ketika pemilihan Wulin
Mengzhu sudah hampir dilaksanakan. Meskipun sebenarnya, apakah dengan temuan itu mereka bisa mengubah keadaan
atau tidak, juga sebenarnya diragukan. Tapi ada perasaan tanggung jawab untuk bisa menyampaikan temuan mereka ini
secepatnya. Menimbang perasaan Hua Ng Lau itu, Hua Ying Ying pun berusaha untuk menyembunyikan rapat-rapat
perasaan khawatirnya. Ketiga orang itu pun akhirnya mencari rumah penginapan lebih dahulu. Tapi segera setelah mereka mendapatkan tempat
menginap, Hua Ng Lau segera berpamitan pergi untuk mencari anggota partai Kaypang di kota itu.
"Kalian tidak usah pergi, sebaiknya kalian beristirahat saja dahulu. Ini bukan pekerjaan besar, cukup satu orang saja yang melakukannya.", ujar Hua Ng Lau pada puteri angkat dan muridnya.
"Kalau tahu begini, aku tidak akan minta beristirahat lebih dahulu. Bagaimana mungkin bisa beristirahat dengan tenang
sementara ayah masih bekerja?", keluh Hua Ying Ying.
"Guru, biarlah aku menemani guru mencari, aku masih belum terlalu lelah.", ujar Huang Ren Fu.
Hua Ng Lau tertawa saja, "Sudahlah, sebelum bertemu dengan kalian aku sudah malang melintang di dunia persilatan
seorang diri, tidak pernah mengandalkan orang lain. Ren Fu, kau tunggulah di sini bersama adikmu, jika kau ikut denganku, justru aku merasa tidak tenang dalam bekerja karena meninggalkan Hua Ying Ying sendirian."
"Jangan lama-lama Yah?", ujar Hua Ying Ying.
"Ya.., sudahlah kalian tunggu saja dengan sabar. Gunakan waktu untuk beristirahat sebaik mungkin. Aku pergi tidak akan
lama.", ujar Hua Ng Lau sembari membuka pintu kamar.
Hua Ng Lau pun meninggalkan kedua orang kakak beradik itu dan pergi sendirian. Sembari berjalan, tiba-tiba Hua Ng Lau
merasa hatinya disergap kesepian. Entah sejak kapan, keberadaan kakak beradik itu sudah mengisi hati yang tua dan
kosong. Hua Ng Lau, seperti yang dia katakan pada mereka sebelum pergi, adalah orang yang biasa malang melintang
dalam dunia persilatan tanpa seorang kawan pendamping. Hua Ng Lau sering membantu orang, namun dia tidak suka
bersandar pada orang lain, semua yang dia butuhkan dia kerjakan sendiri. Hua Ng Lau, hadir dalam banyak kehidupan
orang lain sebagai penolong, namun hatinya sendiri tertutup rapat dari sentuhan kehangatan manusia lain. Baru setelah
kedua orang kakak beradik itu hadir dalam hidupnya, dia bisa merasakan nikmatnya menerima kasih sayang orang lain.
Ketika berjalan sendirian dalam keramaian seperti yang biasa dia lakukan di masa lalu, Hua Ng Lau tiba-tiba saja merasakan kerinduan pada celoteh dua orang anak muda itu. Pendekar tua itu pun tiba-tiba teringat dengan uluran persahabatan atau bahkan kasih sayang yang ditawarkan padanya, yang semuanya itu dia tolak dengan sopan. Pengalaman pahit di masa dia
remaja membuat hatinya tertutup bagi manusia lain. Hua Ng Lau memang banyak menanamkan budi kebaikan pada orang
lain, namun semuanya dia lakukan sebagai keawjiban, bukan karena hatinya tergerak oleh belas kasihan.
"Hehh" rupanya semakin tua, hatiku justru jadi semakin lemah?", pikir pendekar tua itu dalam hatinya.
Ya" bagi sebagian orang, hati yang diam, tenang, tak tersentuh dipandang sebagai satu kekuatan tersendiri. Bukankah air harus terlebih dahulu diam dan tenang sebelum isinya telrihat dengan jernih" Benarkah demikian" Tiba-tiba pendekar tua
itu tercenung memikirkan hal ini. Sesuatu yang sudah dia pandang sebagai kebenaran selama berpuluh-puluh tahun, tanpa
pernah mempertanyakannya. Tapi jika hal itu benar, mengapa justru dia merasa lebih hidup saat ini"
Hua Ng Lau tidak sempat merenungkan hal itu lebih lama, matanya yang tajam melihat seorang pengemis dengan tanda-
tanda pengikut Partai Kaypang. Segera saja Hua Ng Lau datang mendekat.
Pendekar tua itu membungkukkan badan, berpura-pura meletakkan sekeping uang sebagai sedekah, di saat yang sama dia
membisikkan sebaris bait yang menjadi tanda pengenal bagi dirinya di antara para pengikut Partai Kaypang.
"Hati-hati dengan si tua Hua"
"Tingkahnya persis seperti kura-kura"
"Jika kau panggil, dia sembunyi kepala"
"Jika kau lari ke selatan, dia pergi ke utara"
"Tapi saat tidak kau cari, "
"Justru dia menampakkan batang hidungnya"
Bait itu dibuat oleh Ketua partai pengemis di masa yang dulu, untuk mengolok-olok para keturunan Tabib Hua Tuo yang
sejakmemiliki ilmu bela diri, seringkali sulit ditemukan jejaknya tapi akan muncul dengan tiba-tiba pada saat dibutuhkan.
Pada awalnya tidak ada bentuk perjanjian khusus antara Partai Kaypang dengan keturunan pewaris Tabib Hua Tuo. Pada
perkembangannya, sejak pewaris ilmu pengobatan Hua Tuo mahir ilmu silat dan mulai terjun dalam dunia persilatan, Tabib
dewa Hua jadi tidak gampang dipegang ekornya, maklum saja, mereka sekarang sudah ahli ilmu meringankan tubuh dan
juga ilmu menyamar. Lagipula kebanyakan pewaris keluarga Hua, memiliki dua perasaan yang bertentangan berkenaan
dengan dunia persilatan. Mereka mengagumi keahlian para pendekar yang merupakan hasil dari latihan yang tekun selama
bertahun-tahun. Di lain pihak sebagai orang yang hidupnya dibaktikan bagi pengobatan, mereka juga merasa ngeri pada
kekerasan dunia persilatan.Pertentangan ini seringkalu membuat sikap para keturunan Tabib Hua Tuo dipandang aneh oleh
tokoh-tokoh lain dalam dunia persilatan.
Pengemis yang mendapatkan sedekah dari Hua Ng Lau itu pun membelalakkan matanya, tidak percaya, bahwasannya dia
yang hanya pengikut kelas rendahan justru mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan tokoh yang sulit ditemui ini.
"Te..tet..Tetua Hua..?", ujarnya terbata-bata.
"Ya, benar ini aku, tolong antarkan aku pada pemimpin di cabang kota Chang Sha ini.", ujar Hua Ng Lau dengan sabar.
"Baik " baik Tetua Hua?", dengan tergopoh-gopoh, pengemis itu pun buru-buru membereskan tikarnya dan mengantarkan
Hua Ng Lau ke markas besar Partai Kaypang di kota Chang Sha.
Sejak kekuatan parati Kaypang menurun, Bai Chungho membuat kebijakan baru, di mana markas besar Kaypang di setiap
kota, selalu berpindah-pindah setiap waktu tertentu. Keuntungan mereka sebagai para pengemis, salah satunya adalah
tidak memerlukan bangunan yang megah sebagai markas. Yang disebut markas besar itu bisa saja perkampungan kumuh,
kawasan lampu merah, atau di tengah-tengah pasar sekalipun, bisa menjadi merkas besar mereka. Asalkan ketua cabang di
kota tersebut mangkal di sana, jadilah tempat itu sebagai markas besar.
Kedatangan Hua Ng Lau, ternyata menimbulkan kehebohan kecil, pengemis yang mengantarkan Hua Ng Lau beberapa kali
bertemu dengan anggota lain dari partai Kaypang, ketika mereka bertanya siapa yang sedang dia antarkan, dengan tidak
ragu-ragu pengemis itu pun mengatakannya. Yang mendengar jawabannya, pun ikut-ikutan terbelalak seperti dia dan
kemudian ikut pula mengantarkan Hua Ng Lau menuju ke markas besar mereka. Itu sebabnya saat Hua Ng Lau akhirnya
sampai di "markas besar" mereka, jumlah pengemis yang mengantarkannya sudah ada belasan orang.
Karuan saja pimpinan cabang Partai Kaypang di Kota Chang Sha itu melotot, "He apa-apaan kalian ini?"
"Tunggu sebentar Tetua Li" ini ada tamu penting?", ujar pengemis yang mengantar Hua Ng Lau setengah berbisik.
Yang dipanggil Tetua Li melirik ke arah Hua Ng Lau dan bertanya-tanya dalam hati, siapa orangnya yang dipanggil tamu
penting ini. "Maaf, siapa nama tuan yang terhormat?", ujarnya dengan sopan namun berwibawa.
Tidak malu Partai Kaypang punya nama besar, meskipun bintang mereka sedang meredup, namun orang-orangnya tetap
punya karakter pahlawan. Bukan hanya tinggi rendahnya ilmu yang membuat sebuah partai disegani lawan. Tapi kegagahan
dan keberanian mereka bisa menutupi kekurangan mereka dalam hal jumlah orang-orang berilmu. Agak disayangkan
memang, Partai sebesar Kaypang bisa kekurangan bakat dari generasi yang sekarang. Namun yang kurang itu ditutupi Bai
Chungho dengan menekankan perlunya disiplin, rasa bangga terhadap partai mereka dan keberanian. Itu sebabnya Tetua Li
ini sedikit heran, mengapa ada tamu yang dipandang sedemikian tinggi oleh anak buahnya.
Hua Ng Lau tersenyum, "Sungguh, Saudara Bai Chungho benar-benar mampu mendidik orang, sehingga nama Partai
Kaypang tidak dilupakan orang. Namaku Hua Ng Lau.."
Kemudian dia pun membacakan kembali bait puisi olok-olok yang telah dipakai turun temurun untuk memperkenalkan diri,
dari pewaris keluarga Hua pada penerus Partai Kaypang. Begitu mengenali puisi yang dibacakan itu , muka Tetua Li berubah dengan cepat.
"Ah.. rupanya Tetua Hua, maafkan aku, tapi bisakah tetua bacakan bait yang kedua?", ujar Tetua Li sambil berjalan
mendekat dan mendekatkan telinganya.
Hua Ng Lau pun membisikkan bait yang kedua, para pengemis yang lain hanya berdiri di tempatnya dan menunggu-nunggu dengan penasaran. Apakah terbukti yang datang ini benar-benar pewaris keluarga Hua. Rupanya puisi olok-olok untuk
mengenalkan diri itu terdiri dari beberapa bait. Jika bait yang pertama bisa digunakan untuk meyakinkan mereka dari
tingkatan paling rendah, maka di tingkatan yang lebih tinggi akan dibutuhkan dua bait. Demikian seterusnya sampai 5 bait dan satu tanda pengenal, untuk memperkenalkan diri pada Ketua partai Kaypang di masanya. 5 bait dan satu tanda
pengenal ini nantinya akan diperlukan Hua Ying Ying jika suatu saat nanti dia ingin meminta bantuan dari Ketua Partai
Kaypang di masa itu. Hua Ng Lau sendiri, asalkan sudah bertemu Bai Chungho, tidak perlu lagi membacakan ke 5 bait
tersebut, karena Hua Ng Lau sudah beberapa kali bertemu dengan Bai Chungho.
Setelah mendengar bait yang kedua, Tetua Li cepat mundur selangkah kemudian menjura memberi hormat, "Ah" sungguh
beruntung bisa bertemu dengan Tabib Dewa Hua, tidak kusangka orang rendahan macam diriku ternyata bisa bertemu
dengan Tabib Dewa Hua. Entah apakah ada yang bisa kami lakukan untuk tuan?"
"Tidak perlu terlalu sungkan. Sebenarnya aku datang ingin bertemu dengan ketua kalian. Sebelumnya aku sudah mencari di
beberapa kota, terakhir aku dengar dia akan menyambangi cabang di Chang Sha dulu sebelum pergi ke Gunung Songshan
di Propinsi Henan.", ujar Hua Ng Lau dengan ramah.
"Memang benarkabar itu, tapi sayang Tabib Hua terlambat dua hari. Ketua Bai Chungho sudah berangkat dari Chang Sha
dua hari yang lalu.", jawab Tetua Li dengan sedih, dalam hatinya dia berharpa bisa membantu Hua Ng Lau.
Nama keturunan Hua Tuo memang melekat di hati setiap pengikut Partai Kaypang, hubungan yang sudah terjalin selama
beberapa generasi tidaklah merenggang. Justru kisah-kisah petualangan kedua aliran tersebut, di mana mereka saling
membantu dan menolong, membuat hubungan itu semakin erat. Hua Ng Lau pun mendesah penuh sesal, tapi segera dia
berbalik ke arah Tetua Li dan menepuk bahunya.
"Sudahlah, tak usah dipikirkan, adalah salahku jika aku tidak bisa bertemu dengannya. Apakah Ketua Bai Chungho akan
langsung menuju ke kaki Gunung Songshan" Ataukan dia akan mampir ke tempat lain lagi?", ujar Hua Ng Lau dengan
ramah. "Beliau tidak akan mampir ke cabang lain lagi, waktunya sudah terlalu mepet untuk itu. Beliau berkata akan langsung
menuju ke Gunung Songshan. Sebenarnya ada masalah apa, jika aku boleh tahu?", ujar Tetua Li.
Hua Ng Lau memandangi Tetua Li beberapa lama, kemudian dia berkata, "Bolehkah aku memeriksa nadimu sebentar?"
Meskipun merasa keheranan Tetua Li segera mengajukan pergelangan tangannya dan berkata, "Tentu saja, tidak ada
masalah." Hua Ng Lau pun menyentuh pergelangan tangan Tetua Li, ringan saja, namun jari-jari yang peka bisa melihat banyak lewat
sentuhan yang ringan itu. Hua Ng Lau memejamkan mata beberapa lama, menajamkan perasaannya. Setelah beberapa
lama memeriksa, barulah dia membuka mata dan tersenyum.
"Hmmm.. baguslah, kukira tidak ada seorang pun pengikut partai kalian yang jatuh dalam cengkeraman obat iblis itu.", ujar Hua Ng Lau dengan lega.
"Tabib Dewa Hua, ada apa sebenarnya?", tanya Tetua Li penasaran.
"Hmm" aku tidak bisa mengatakan banyak saat ini, masih ada beberapa hal yang terasa gelap. Namun yang pasti, aku
menemukan ada orang-orang Partai Pedang Keadilan di Gui Yang yang sudah mengkonsumsi semacam obat atau racun.
Obat ini memiliki pengaruh pada susunan syaraf dan kerja otak, siapapun yang meminumnya akan mendapati dirinya
tergantung pada obat ini agar bisa bekerja secara normal dan merasa tersiksa saat berhenti meminum obat ini.", ujar Hua Ng Lau menjelaskan.
Tetua Li dan mereka yang mendengarnya terkejut oleh berita itu.
"Ah" apakah benar demikian" Berarti Partai Pedang Keadilan berada dalam bahaya.", ujar Tetua Li.
"Benar", untuk itu aku ingin mengabarkan berita ini pula pada ketua kalian. Aku dengar Saudara Bai Chungho memiliki
penilaian yang baik terhadap Ketua Ding Tao dan sekarang ini partai kalian berhubungan dekat dengan Partai Pedang


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keadilan.", jawab Hua Ng Lau.
"Berita yang Tabib Dewa Hua dengar itu benar. Bahkan salah satu tujuan Ketua Bai Chungho mengunjungi beberapa cabang
Kaypang yang ada di sekitar wilayah selatan, adalah untuk meminta setiap pengikut Partai Kaypang, untuk mengawasi dan
membantu keamanan cabang-cabang dari Partai Pedang Keadilan yang saat ini kosong dari para pengikut utamanya.",
jawab Tetua Li. "Hmm" benar, itu pula yang kudengar di cabang-cabang lain sebelum sampai ke Chang Sha ini. Kukira orang-orang dari
Partai Pedang Keadilan pun sadar bahwa tidak seluruh anggotanya bisa dipercaya dan mereka berniat untuk melemparkan
kartu terbaik mereka di satu tempat.", ujar Hua Ng Lau.
"Begitulah pendapat Ketua Bai Chungho, beliau pun berpendapat bahwa hal itu lebih baik daripada membagi kekuatan di
banyak tempat dan mendapati seluruhnya habis dibabat lawan karena terlampau lemah untuk menghadapi lawan. Namun
Ketua Bai Chungho tidak ingin pula, kesempatan ini digunakan oleh lawan-lawan Partai Pedang Keadilan untuk mengambil
keuntungan dari mereka. Itu sebabnya dia memerintahkan agar sebisa mungkin kami membantu keamanan Partai Pedang
Keadilan, meskipun tetap harus mengukur kekuatan kami sendiri.", jawab Tetua Li.
"Lalu bagaimana rencana Tabib Dewa sekarang?", tanya Tetua Li dengan simpatik.
Hua Ng Lau berpikir sejenak kemudian menjawab, "Kukira tidak ada jalan lain kecuali pergi ke kaki Gunung Songshan.
Meskipun sedikit terlambat, setidaknya aku berharap kami masih bisa melihat acara utamanya."
"Baiklah kalau begitu keinginan Tabib Dewa, namun jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk memintanya dari
kami.", ujar Tetua Li.
Hua Ng Lau pun berkata, "Terima kasih banyak untuk persahabatan kalian, kukira apa yang kuminta tidak jauh berbeda dari psan ketua kalian sendiri. Hanya saja setelah mengetahui berita yang kubawa ini, kuharap kalian lebih bisa memikirkan
situasi dari Partai Pedang Keadilan."
"Ya, kami mengerti, bukan hanya ancaman dari luar, dari dalam partai pun ada banyak musuh yang bersembunyi.", ujar
Tetua Li yang mengeluh dalam hati, karena tugas yang diberikan oleh Bai Chungho rupanya lebih sukar daripada yang
dikiranya. "Baiklah, kalau begitu aku pamit dahulu.", ujar Hua Ng Lau bersiap-siap pergi.
"Ah.. mengapa tidak mampir sedikit lebih lama, biar kami bisa menjamu tuan.", ujar Tetua Li buru-buru, ketika menyadari Hua Ng Lau hendak pergi.
"Lain kali saja, kali ini aku pergi bersama beberapa orang teman. Mereka sedang menungguku.",jawab Hua Ng Lau.
"Baiklah kalau begitu" tapi lain kali?", sedikit terbata Tetua Li berkata.
"Ya, lain kali tentu aku akan mampir ke Chang Sha untuk menikmati jamuan yang kau siapkan.", ujar Hua Ng Lau sambil
tersenyum. Wajah Tetua Li dan mereka yang hadir di situ jadi cerah. Hua Ng Lau kemudian bergegas kembali ke penginapan, sepanjang
perjalanan otaknya berputar, memikirkan rute terdekat untuk sampai di kaki Gunung Songshan sebelum acara utama
dimulai. Apakah keberadaannya di sana masih memberikan satu arti atau tidak, tabib tua itu sendiri tidak merasa yakin.
Tapi kabar yang mengatakan bahwa Ding Tao pergi ke kaki Gunung Songshan dengan seluruh kekuatan intinya, bersama-
sama seluruh orang-orangnya yang bisa dia percaya, membuat hati Hua Ng Lau sedikit lebih tenang. Keputusan para
pemimpin Partai Pedang Keadilan itu menunjukkan bahwa mereka juga tidak buta sama sekali dengan keadaan di dalam
partai mereka. Saat sampai di penginapan, Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu sudah menunggu. Begitu melihat pandangan mata mereka
yang bertanya-tanya, Hua Ng Lau menggelengkan kepala. Kedua kakak beradik itu pun mendesah lelah.
"Kali ini pun kita terlambat, Ketua Bai Chungho sudah berangkat ke kaki Gunung Songshan dua hari yang lalu.", ujar Hua
Ng Lau. "Sebenarnya, akulah yang salah perhitungan. Kalau dipikir baik-baik ,memang wajar jika Ketua Bai Chungho berhenti hanya sebentar saja di Chang Sha. Waktu diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu sudah semakin dekat, jika tidak buru-buru pergi,
maka tidak akan ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri di kaki Gunung Songshan.", lanjut Hua Ng Lau.
"Apakah sebaiknya kita pergi sekarang juga?", tanya Huang Ren Fu.
Sekilas Hua Ng Lau memeriksa isi kamar dan dilihatnya, meskipun kedua kakak beradik itu sudah berganti pakaian dan
tampak segar, buntalan pakaian dan bekal yang mereka bawa belum dibuka. Nampaknya kedua kakak beradik itu sudah
siap untuk berangkat sewaktu-waktu.
"Tidak usah, sebaiknya malam ini kita beristirahat sebaik-baiknya. Sudah beberapa hari kita harus tidur di alam terbuka, tidak ada salahnya malam ini kita tidur dengan atap di atas kita dan kasur empuk di bawah kita.", ujar Hua Ng Lau.
"Bagaimana dengan waktunya diadakan pemilihan Wulin Mengzhu?", tanya Hua Ying Ying.
"Tidak banyak yang bisa kita lakukan saat ini. Kalaupun kita mengejar mereka tanpa menghitung waktu, paling cepat kita
akan sampai di sana 1 hari sebelum Wulin Mengzhu dilaksanakan. Dalam waktu yang 1 hari itu, sudah tidak ada waktu
untuk memeriksa siapa-siapa yang meminum obat itu dan siapa yang tidak.", ujar Hua Ng Lau.
Hua Ying Ying tertunduk sedih, Huang Ren Fu yang melihat itu dengan perlahan membelai-belai punggung adiknya itu.
Melihat itu Hua Ng Lau berusaha menghibur mereka, "Dari yang kudengar, sepertinya baik Ketua Ding Tao maupun Ketua
Bai Chungho, sudah bersiap-siap terhadap apa yang kita khawatirkan. Kemungkinan besar, mereka sudah dapat merasakan
adanya gerakan yang tidka wajar, hanya bentuk pastinya saja yang belum bisa mereka lihat. Itu sebabnya Ketua Ding Tao
berangkat bersama seluruh kekuatan intinya, sementara Ketua Bai Chungho sudah berpesan pula kepada hampir seluruh
cabang Partai Kaypang yang ada di selatan untuk ikut mengawasi dan mengamankan cabang-cabang Partai Pedang Keadilan
yang bisa dikatakan ditinggalkan dalam keadaan kosong."
"Semoga saja Kakak Ding Tao bisa melewati kesulitan-kesulitan yang harus dia hadapi?", gumam Hua Ying Ying.
Huang Ren Fu menepuk bahu adiknya dan berkata, "Sudahlah tidak perlu dirisaukan lagi. Ding Tao toh seorang lelaki sejati, tak kan patah oleh kesulitan, melainkan tumbuh semakin besar setiap kali melewati kesulitan-kesulitan."
Hua Ng Lau mengangguk setuju, "Sudahlah, sebaiknya kita beristirahat baik-baik, beberapa hari ke depan kita tidak akan
sempat mendapatkan istirahat yang cukup. Aku ingin kita bisa sampai di kaki Gunung Songshan, setidaknya satu hari
sebelum puncak acara dimulai. Dengan begitu, kita masih memiliki waktu untuk memulihkan tenaga."
Jika beberapa tokoh besar masih berada dalam perjalanan menuju kaki Gunung Shongsan, Ding Tao dan kelompoknya saat
itu sudah memasuki Kota Dengfeng, tempat Gunung Songshan berada. Dengan jumlah pengikut yang hampir mencapai 100
orang lebih, bukan perkara mudah untuk mengurus akomodasi mereka. Tindakan Ding Tao ini sempat juga jadi bahan
pembicaraan tokoh-tokoh lain, yang jumlah rombongannya tidaklah sebesar mereka. Namun Ding Tao dan pengikutnya
menutup telinga terhadap pembicaraan orang. Lagipula Chou Liang dan orang-orangnya sudah mengaturkan semuanya,
jauh sebelum perjalanan dimulai. Sehingga setidaknya sudah tersedia satu tempat yang cukup untuk menampung mereka
yang ikut dalam perjalanan tersebut. Mereka tidak sampai harus berebutan dengan tokoh-tokoh lain yang mencari
penginapan. Untuk menghindari terjadinya bentrokan yang tidak diinginkan, akibat salah perkataan atau darah panas yang mudah sekali terpicu dalam suasana yang penuh persaingan antara pendukung calon yang berbeda, Ding Tao memberikan perintah agar
tidak ada anggota Partai Pedang Keadilan yang keluar dari tempat mereka tinggal. Hanya sebagian kecil saja yang bisa
keluar masuk, itu pun sekedar untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka yang dipilih untuk tugas ini adalah
anggota yang sudah matang dan cukup umur, dipimpin oleh Qin Hun.
"Wah" bosan sekali?", ujar Qin Baiyu sambil menatap langit yang cerah.
"Sabarlah" tinggal satu hari lagi, besok kita bakal melihat keramaian.", sahut Sun Gao yang ikut bermalas-malasan di
halaman rumah tempat mereka tinggal di kota Dengfeng.
"Menurutmu, ada berapa banyak orang yang berhasil mendapatkan medali giok yang dikeluarkan Shaolin sebagai tanda
lulus ujian?", tanya Qin Baiyu.
"Hmmm" ada pendekar Lei Jianfeng dari utara itu, yang terkenal dengan Luo Yan Zhang-nya, berasal dari Kunlun tapi
kemudian mengembangkan ilmunya sendiri. Tong Baidun, wakil dari keluarga Tong dengan senjata rahasianya. Deng
Songyan, pendekar dari keluarga Deng dengan ilmu tombak warisan keluarga. Shan Zhengqi, satu jari, satu propinsi,
memiliki ilmu totok yang disegani lawan dan kawan. Bai Shixian, dengan pukulan petir, pernah menghajar habis satu
gerombolan penyamun seorang diri. Lu Jingyun, si empat kaki, terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya, namun juga
disegani karena permainan sepasang pedangnya. Ximen Lisi, permata dari Shanxi, wajah tampan, ahli sastra dan ilmu
pedang, dalam satu bulan berhasil membunuh 16 kepala geng utama di Shanxi dan menyatukan mereka semua di bawah
kendalinya.", jawab Sun Gao sambil menghitung dengan jarinya, "Jadi seluruhnya ada 7 orang, 8 orang dengan Ketua Ding
Tao." "Hmm" bagaimana dengan Li Nan Hun dengan kipas besinya?", tanya Qin Baiyu.
"Kurasa dia tidak akan lolos ujian, ilmunya tergolong kelas atas. Namun dia terlalu gemar arak dan perempuan, sejak
namanya terangkat setelah mengalahkan Meng Xin pendekar pedang dari Hoasan, tidak pernah terdengar lagi prestasi yang
menonjol.", jawan Sun Gao.
"Tapi mengapa kau masukkan juga Lu Jingyun, bukankah dia juga seorang yang suka pelesiran dan bermain perempuan?",
tanya Qin Baiyu. "Lu Jingyun mungkin yang terlemah ilmu silatnya dibandingkan 7 orang yang lain. Tapi dia punya kelebihan dalam ilmu
meringankan tubuh, hal ini menguntungkan dia dalam menghadapi ujian yang ditetapkan Shaolin. Kalau dia orang yang
tahu diri, dia akan mundur sebelum pertandingan dimulai.", ujar Sun Gao menjelaskan perhitungannya.
"Bagaimana dengan Zhu Jiuzhen, mengapa dia tidak masuk dalam perhitunganmu" Bukankah dia terkenal dengan 64
langkah ajaibnya?", tanya Qin Baiyu.
"Zhu Jiuzhen, menurutku bisa lolos melewati ujian yang ditetapkan oleh Shaolin. Tapi bila tidak salah perhitunganku, segera setelah dia mendengar Lei Jianfeng dan Ximen Lisi ikut pula dalam pertandingan ini, dia akan mengundurkan diri.", ujar Sun Gao.
"Mengapa demikian?", tanya Qin Baiyu.
"Lei Jianfeng berasal dari Kunlun, menguasai pula dasar-dasar langkah Bagua, 64 langkah ajaib sebenarnya berdasarkan
pula perhitungan I Ching. Melawan Lei Jianfeng, 64 langkah ajaib-nya tidak akan banyak berguna, di saat yang sama Lei
Jianfeng masih memiliki pukulan mematikan Luo Yan Zhang, kabarnya sejak dikembangkan oleh Lei Jianfeng, Luo Yan
Zhang milik Kunlun di tangannya memiliki 18 perkembangan dan 27 bentuk baru, nama Luo Yan Zhang tetap dipakai
sebagai bentuk penghargaan. Kebanyakan anak murid Lei Jianfeng menyebutnya Luo Yan Zhang keluarga Lei.", Sun Gao
menguraikan alasannya. "Lalu apa hubungannya pula dengan Ximen Lisi?", tanya Qin Baiyu.
"Dengan Ximen Lisi, Zhu Jiezhen memiliki hubungan yang unik, keduanya sempat mengangkat saudara sebelum Ximen Lisi
menjadi orang pertama di propinsi Shanxi. Ada yang mengatakan, kerja Ximen Lisi membunuhi ke 16 kepala geng itu, tidak
lain untuk membalaskan sakit hati sahabatnya Zhu Jiezhen. Namun karena suatu sebab, persahabatan mereka merenggang,
sejak Ximen Lisimenjadi kepala organisasi di Shanxi.", jawab Sun Gao.
"Wah" Sun Gao, pengetahuanmu banyak sekali?", ujar Qin Baiyu.
"Hehehehe" jangan salah. Itu semua ayahku yang mengatakan, semalam aku menanyakan pertanyaan yang sama seperti
yang kau tanyakan.", jawab Sun Gao disambut tawa terbahak-bahak dari Qin Baiyu.
Setelah tawa mereka mereda, Qin Baiyu pun bertanya, "Apakah semalam kau sempat bertemu ayahmu" Bukankah sekalian
paman, sedang membantu Ketua Ding Tao mematangkan latihannya?"
"Benar, mereka bergantian berlatih tanding melawan Ketua Ding Tao, kemarin ayah minta ijin untuk menengok diriku
sebentar. Tidak masalah, toh masih ada Paman Ma Songquan, Paman Pendeta Liu Chuncao dan yang lainnya.", jawab Sun
Gao. "Oh" begitu. Apakah ayahmu bercerita tentang latih tanding mereka" Ayahku sendiri tidak banyak bercerita, dia hanya
mengatakan padaku untuk menyaksikannya sendiri pada saat pemilihan nanti.", jawab Qin Baiyu.
"Sama saja dengan ayahku, katanya ilmu rahasia, lagipula dijelaskan juga belum tentu mengerti. Begitu kata ayah.", sahut Sun Gao.
"Daripada bermalas-malasan di sini, bagaimana kalau kita mengisi waktu dengan berlatih bersama saudara-saudara yang
lain?", tanya Qin Baiyu.
"Boleh juga.", jawab Sun Gao sambil bangkit berdiri.
Diam di dalam rumah selama beberapa hari, tanpa pernah berjalan-jalan di luar memang membosankan, tapi sekian hari
berlalu, tidak ada yang berpikir untuk melanggar. Bukan takut untuk melanggar, tapi memang tidak ingin melanggar.
Mereka memilih untuk mencari-cari kegiatan sendiri yang bisa dilakukan di dalam rumah yang cukup besar itu. Dengan
jumlah yang hampir mencapai 100 orang, tidak sulit untuk mencari-cari kegiatan untuk menghabiskan waktu. Ada yang
memilih berlatih bersama, tapi tidak jarang juga mereka menghabiskan waktu dengan permainan-permainan.
Bukan hanya pihak Ding Tao saja yang bersikap menahan diri, dari pengikut calon lain pun bersikap demikian pula. Jika ada perkelahian, justru biasanya terjadi di antara mereka yang datang untuk menjadi penonton, tanpa memiliki ikatan khusus
dengan calon-calon tertentu.
Dengan banyaknya orang-orang dunia persilatan yang datang, Kota Dengfeng pun jadi ramai dengan pengunjung-
pengunjung yang berwajah keras dan kepalan tangan yang tidak kalah keras. Keberadaan mereka menguntungkan pemilik
penginapan dan rumah makan, tidak sedikit pula penduduk yang secara dadakan menyewakan rumah mereka sebagai
tempat penginapan. Rasa was-was yang sempat muncul menghilang setelah mereka melihat bagaimana cekatannya bhiksu-
bhiksu Shaolin yang tersebar membantu para penjaga keamanan untuk menghentikan pertarungan dan kericuhan yang
terjadi. Apalagi jika ada orang dunia persilatan yang hendak memaksakan kehendak pada penduduk sekitarnya. Bukan
berarti setelah itu tidak ada pertarungan antar orang dunia persilatan sendiri, hanya saja jika mereka hendak bertarung, mereka melakukannya di luar Kota Deng feng sehingga tidak mengganggu penduduk yang tidak tahu menahu.
Tentu saja bukan hanya dari anak murid Shaolin yang menjaga ketertiban selama diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu. Di
kota-kota lain di sekitar Kota Dengfeng, anak-anak murid 5 perguruan besar yang lain ikut pula meronda dan menjaga
keamanan. Kesibukan ini tentu saja menarik banyak perhatian dari penduduk di sekitar Kota Dengfeng dan pada saat hari yang
ditentukan, bukan hanya orang-orang dari dunia persilatan yang datang. Banyak juga mereka dari khalayak umum yang
datang hanya untuk melihat keramaian. Bisa dibayangkan berapa puluh ribu orang berkumpul di sana. Panggung yang luas
sudah disiapkan di kaki Gunung Songshan. Bhiksu-bhiksu Shaolin, bercampur bersama beberapa anak murid dari Wudang,
Kunlun, Hoasan, Enmei dan Kongtong berjaga di sana. Seberapa luas tempat yang disediakan sulit digambarkan. Itu pun
banyak sekali yang tidak mendapatkan tempat. Mereka ini harus puas untuk berada di kejauhan, sekedar mendengar berita
dan menyaksikan tokoh-tokoh dunia persilatan yang lalu lalang di depan mereka. Banyak juga mereka yang pekerjaannya
sebagai pendongeng mencari sekeping dua keping uang dengan menjual cerita.
Di tempat pemilihan itu sendiri, sudah berkumpul 6 orang ketua dari enam perguruan besar yang duduk di kursi
kehormatan di atas panggung. Di sisi kiri dan kanan panggung sudah disediakan pula 9 buah kursi, 4 buah kursi di sisi kiri dan 5 buah kursi di sisi kanan. 9 kursi tersebut disediakan bagi 9 orang yang memegang medali giok sebagai tanda lulus
ujian, menerobos barisan yang dijalankan oleh bhiksu-bhiksu Shaolin. Sudah ada 8 kursi yang diduduki. Di belakang ke 8
kursi yang sudah diduduki, berdiri berjajar beberapa orang terpercaya dari calon Wulin Mengzhu yang duduk di sana. Di
belakang Ding Tao berdiri Ma Songquan, Chu Linhe, Pendeta Liu Chuncao, Wang Xiaho, Tang Xiong dan Li Yan Mao.
Sementara 7 orang yang lain adalah tepat sesuai tebakan Sun Gao. Mereka itu adalah Lei Jianfeng, Tong Baidun, Deng
Songyan, Shan Zhengqi, Bai Shixian, Lu Jingyun dan Ximen Lisi.
Di kursi-kursi yang disediakan bagi ketua 6 perguruan besar, duduk Ketua Shaolin Bhiksu besar Khongzhen, Ketua partai
Wudang Pendeta Chongxan, Ketua Partai Enmei Bhiksuni Huan Feng, Ketua Partai Kongtong Zong Weixia, Ketua Partai
Kunlun Guang Yong Kwang dan di kursi untuk perguruan Hoasan duduk Tetua Xun Siaoma.
Untuk beberapa lama tidak ada yang terjadi, ke-enam ketua perguruan besar saling berbicara di antara mereka sendiri.
Calon-calon yang ada diam dan saling pandang, sesekali terlihat mereka berbisik-bisik dengan orang kepercayaannya yang
berdiri di belakang mereka. Acara belum bisa dibuka, karena kursi ke-9 masih kosong dan tidak diduduki oleh orang yang
seharusnya duduk di sana.
Sementara lapangan yang luas, perlahan-lahan makin penuh oleh orang yang datang. Bahkan di tempat-tempat yang jauh
pun orang berusaha mencari tempat yang strategis untuk melihat. Di bagian terdekat dari panggung itu sendiri, sudah
disediakan ratusan kursi, namun hanya orang-orang tertentu yang bisa duduk di sana. Terutamanya mereka yang
mendapatkan undangan resmi. Ada pula mereka yang tempatnya tidak jelas sehingga tidak bisa dikirimkan undangan
khusus, namun memiliki nama besar yang patut diperhitungkan. Kursi-kursi ini diperuntukkan bagi tokoh-tokoh tersebut,
orang pada umumnya sudah maklum akan hal ini, sehingga meskipun melihat ada kursi-kursi yang masih kosong, mereka
cukup tahu diri untuk tidak maju dan duduk di sana. Ada saja orang yang memandang diri terlalu tinggi dan maju untuk
duduk di kursi tersebut. Namun orang semacam ini harus siap-siap merasa malu, karena mereka yang bertugas akan
menanyakan siapa nama mereka, jika nama mereka tidak terdapat pada daftar yang dibawa oleh petugas, maka dengan
sopan mereka akan dipersilahkan meninggalkan tempat. Jika tidak bisa diusir dengan kata-kata, tanpa ragu petugas yang
ada akan mengusir mereka dengan kekuatan.
Mereka yang bertugas untuk menjaga tidak bisa dibuat main-main, karena seluruhnya adalah murid-murid utama dari ke-
enam perguruan besar. Ada saja mereka yang berusaha mendapatkan nama dengan sengaja mencari perkara. Adu tenaga
dalam atau adu kelincahan, antara petugas dengan mereka yang demikian ini cukup menjadikan suasana tidak
membosankan bagi para penonton di sekitar tempat tersebut. Meskipun demikian, jarang terjadi sampai harus mencabut
senjata atau beradu pukulan.
Kejadian-kejadian seperti ini tentu saja sudah diperhitungkan, jumlah kursi yang disediakan pun memang disediakan lebih banyak daripada jumlah tamu dalam daftar. Sesekali ketika petugas mendapati tokoh tidak ternama, namun memiliki
tingkatan yang cukup tinggi, pada akhirnya mereka dipersilahkan untuk duduk di sana. Ketika peristiwa itu terjadi, tentu saja, nama mereka yang berhasil duduk ini dengan segera menjadi bahan pembicaraan di antara orang-orang persilatan
yang lain. Matahari beranjak semakin ke tengah, namun kursi ke-9 tidak juga diisi, suasana mulai ramai oleh bisik-bisik orang tentang kursi ke-9 tersebut. Di saat yang sama, orang-orang yang diminta atau berusaha, duduk di kursi-kursi, di sekeliling
panggung sudah tidak bertambah lagi jumlahnya. Bisa dikatakan, seluruh orang-orang dunia persilatan yang hendak
mengikuti pemilihan Wulin Mengzhu itu sudah hadir di sana. Seluruhnya kecuali, calon Wulin Mengzhu ke-9 beserta
pendukungnya. Kursi yang kosong itu membuat tanda tanya besar di benak banyak orang. Dengan melihat pengaturan yang
ada dan siapa saja yang duduk di 8 kursi yang lain, mudah diduga bahwa dari sekian banyak tokoh dunia persilatan yang
datang dan ingin menjadi calon Wulin Mengzhu, hanya ada 9 orang yang lolos dari ujian yang diadakan Shaolin.
8 orang yang duduk di sana, sudah banyak dikenal, lalu siapa orang ke-9 yang ditunggu-tunggu ini. Setiap orang mulai
berhitung dan saling berdiskusi. Namun dari sekian banyak nama yang mereka ketahui, tidak seorang pun yang bisa
menjadi orang ke-9 tersebut, sehingga kursi yang kosong menimbulkan misteri tersendiri.
Bhiksu besar Khongzhen menebarkan pandangan matanya ke sekeliling lapangan, akhirnya dia berkata pada ketua
perguruan besar yang lain, "Orang ke-9 tidak perlu ditunggu lagi, jika keadaan dibiarkan berlarut-larut hanya akan
mengundang pertanyaan banyak orang. Apa yang akan terjadi, biarlah terjadi dan kita hadapi nanti."
Pendeta Chongxan mengangguk setuju, "Kurasa Bhiksu Khongzhen benar, jika orang itu memang hendak menimbulkan
kericuhan, biarlah kita hadapi pada saat dia muncul nanti."
Tetua Xun Siaoma bertanya, "Apakah orang yang diutus untuk menyelidiki masalah ini belum juga muncul?"
Bhiksu Khongzhen menggelengkan kepala, "Belum ada kabar, pagi ini sudah kukirimkan pula kelompok yang kedua, namun
belum ada kabar juga dari mereka."
"Aku lihat ada awan gelap sedang menaungi Shaolin hari-hari ini, semoga kebesaran Bhiksu Khongzhen mampu
mengusirnya", ujar Zhong Weixia dengan nada serius dan prihatin.
Bhiksu Khongzhen melirik tidak senang pada ketua Partai Kongtong tersebut dan menjawab dengan sabar, "Kuharap tidak
terjadi apa-apa dengan mereka, tapi kalaupun terjadi sesuatu, Shaolin bukan perguruan yang baru terbentuk tahun
kemarin, besar kecil, segala macam kesulitan sudah pernah kami hadapi."
Pendeta Chongxan yang melihat Zhong Weixia hendak menjawab lagi, buru-buru menyela sebelum Zhong Weixia sempat
berkata-kata, "Jadi kita semua setuju agar acara segera dimulai saja. Bagaimana?"
"Kita mulai saja sekarang", ujar Bhiksuni Huan Feng sambil melirik Zhong Weixia dengan tajam.
"Aku menurut saja pendapat kalian", jawab Guang Yong Kwang yang paling muda di antara mereka.
"Kurasa jalan itu yang terbaik", ujar Tetua Xun Siaoma dari Hoasan.
"Apakah Saudara Zhong Weixia punya pendapat lain?", tanya Bhiksu Khongzhen sambil menatap tajam.
Zhong Weixia hanya tersenyum sinis dan menjawab, "Kalau 4 orang sudah memberikan suara, apa artinya suaraku
seorang" Sudah tentu aku setuju dengan kalian semua."
"Baiklah kalau begitu aku akan buka acara hari ini", ujar Bhiksu Khongzhen sambil bangkit berdiri.
Suasana yang tadinya ramai oleh bisik-bisik ribuan orang, tiba-tiba jadi sunyi senyap ketika mereka melihat Bhiksu
Khongzhen bangkit berdiri. Setiap orang memasang telinga untuk mendengarkan. Saat yang ditunggu-tunggu tampaknya
sudah tiba. Bhiksu Khongzhen sudah berumur lanjut, gerak-geriknya tidak lincah bersemangat layaknya seorang muda. Tapi
juga tidak terlihat dia bergerak tertatih-tatih seperti orang tua yang sakit sendi-sendinya. Melihat Bhiksu Khongzhen
bergerak, seperti melihat gerakan sungai yang dalam, terlihat tenang, tidak beriak, namun menyembunyikan kekuatan yang
besar. Bhiksu tua itu tidak berperawakan tinggi besar seperti Bhiksu Pu Jit, tingginya mungkin hanya setinggi pundak Ding Tao, tapi dari tubuh kecil itu terasa perbawa yang besar.
Berjalan ke tengah panggung, bhiksu tua itu merangkapkan tangan di depan dada dan memberikan hormat ke segenap
penjuru. "Kuucapkan selamat datang di kaki Gunung Songshan pada segenap saudara sekalian. Harap maafkan kami jika ada
kesalahan yang tidak disengaja yang kami lakukan sebagai tuan rumah.", ujar Bhiksu Khongzhen sebagai pembukaan,
suaranya terdengar jelas sampai jauh.
Semua orang mendengarkan dengan khidmat, Bhiksu Khongzhen bisa dikatakan sudah mendekati tataran legenda hidup.
Xun Siaoma yang seumur dengannya pun menghormati bhiksu tua ini sebagai tokoh pilih tanding. Satu-satunya tokoh yang
bisa menyamai bhiksu tua ini bisa dikatakan hanya ada seorang, yaitu sahabatnya juga, Pendeta Chongxan. Ren Zuocan
boleh saja semakin menanjak ilmunya, bahkan diperhitungkan akan menyamai atau melebihi Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan pada pertemuan 5 tahunan berikutnya, namun hal itu tidak lepas dari bertambahnya usia kedua tokoh
legendaris itu. Jika ada cacat atau kekurangan pada kedua tokoh ini, maka hal itu adalah sikap mereka yang sangat pasif dalam menjalani keberadaan mereka sebagai seorang tokoh dalam dunia persilatan. Jika tidak demikian, mana mungkin
Zhong Weixia yang cenderung kejam dan angin-anginan bisa malang melintang" Atau sikap sombong ketua Perguruan
Kunlun Guang Yong Kwang, yang meskipun termasuk golongan lurus, namun tidak segan-segan menindas yang lemah. Atau
tokoh sesat macam Sepasang Iblis Muka Giok, yang sudah beberapa bulan ini lenyap dari dunia persilatan. Selain sepasang iblis itu masih ada, bayangan darah Zhang Yip Ling, tokoh sesat dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tanpa tanding,
Raja perompakYue Changling dan beberapa nama lain yang tampaknya tidak muncul pada pertemuan pemilihan Wulin
Mengzhu kali ini. Sebelum adanya pertemuan lima tahunan yang diadakan Ren Zuocan, tidak banyak orang yang tahu akan tinggi rendahnya
ilmu kedua orang ini. Banyak yang beranggapan, adalah nama besar Shaolin dan Wudang saja yang membuat dua
perguruan besar itu bertahan. Baru setelah Ren Zupcan menantang tokoh-tokoh persilatan daratan untuk mengadu ilmu,
nama kedua tokoh itu berkibar sebagai penyelamat muka mereka.
Itu pun menanti tidak ada seorangpun yang dapat menandingi Ren Zupcan, barulah mereka berdua maju ke depan.
Bergantian mengalahkan Ren Zuocan dalam sebuah pertandingan yang adil.
Bisa dikatakan sikap mereka yang menyembunyikan kekuatan ini adalah salah satu penyebab Ren Zupcan salah perhitungan
dan muncul terlalu cepat untuk menantang tokoh-tokoh dalam dunia persilatan di daratan. Dalam perhitungannya tidak ada
seorangpun yang dapat menandinginya, sementara Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dikenal orang sebagai dua
orang ketua perguruan besar yang kurang mahir dalam ilmu bela diri dan lebih bertekun pada ilmu agama.
"Seperti yang kalian semua ketahui, dengan tujuan untuk mempersingkat waktu, juga mengurangi terjadinya bentrokan
antar saudara sendiri. Kami dari pihak Shaolin, secara sepihak telah mengadakan satu ujian bagi mereka yang ingin datang ke kaki Gunung Songshan ini untuk maju sebagai calon Wulin Mengzhu. Dari sekian banyak orang, telah lulus 9 orang."


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"8 orang dari mereka bisa saudara sekalian lihat di atas panggun ini. Sedangkan orang ke-9 telah ditunggu-tunggu
kedatangannya dan belum juga muncul sampai sekarang. Keberadaannya memang misterius dan sedikit mengkhawatirkan,
karena ke-18 orang bhiksu yang kami utus untuk menguji tidak juga kembali. Demikian juga beberapa orang saudara yang
pergi untuk memeriksa keberadaan mereka."
" Apakah ada orang ke-9 itu, ataukah yang terjadi adalah satu serangan dari pihak luar, tidak dapat kami katakan. Namun pemilihan Wulin Mengzhu ini, tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Apabila memang ada pihak-pihak yang hendak
mengganggu, biarlah mereka datang, kami enam perguruan besar, sebagai penyelenggara pemilihan Wulin Mengzhu ini
akan menjadi penanggung jawab atas berjalannya acara ini.", ujar Bhiksu Khongzhen menjelaskan keadaan terakhir, tidak
ada yang dia tutupi, tidak pula dengan hilangnya 18 orang anak murid dari Shaolin.
Bagi beberapa orang ketua perguruan besar, mengakui hal seperti itu bisa dipandang sebagai suatu kotoran yang
mencoreng kebesaran perguruan mereka. Tapi tidak bagi Bhiksu Khongzhen, kalah atau menang, menurutnya wajar saja.
Bila ada orang yang mengalahkan ilmu perguruan Shaolin, hal itu tidak membuat mereka malu, yang memalukan adalah,
apabila ada anak murid perguruan Shaolin yang melanggar hukum Buddha. Sikap yang hampir sama ada pula pada diri
Pendeta Chongxan, ini juga menjadi salah satu alasan mengapa sebelum Ren Zuocan mengadakan pertemuan 5 tahunan,
Wudang dan Shaolin dianggap sudah meredup bintangnya. Selama kepemimpinan dua orang itu, sudah terjadi beberapa
kali berita orang mengalahkan anak murid perguruan Shaolin dan Wudang. Bahkan ada yang berani menantang ke
perguruan mereka dan kedua orang ketua perguruan ini tidak sedikitpun turun tangan. Bahkan mereka tidak segan-segan
untuk mengakui kelebihan orang. Betapa malu mereka yang dulunya membanggakan diri, saat kedua orang ketua itu
akhirnya terpaksa menunjukkan kelebihannya, demi mempertahankan nama baik dunia persilatan di daratan.
Suasana yang tadinya senyap, mulai ramai kembali setelah mereka mendengar penjelasan dari Bhiksu Khongzhen. Bhiksu
Khongzhen sendiri berdiri dengan tenang, membiarkan mereka semua yang ada di sana, mencerna dahulu berita yang baru
saja dia sampaikan. Perlahan-lahan suasana kembali tenang, setelah hilang rasa terkejut mereka dan puas membicarakan
berita yang baru mereka dengar, satu per satu, perhatian setiap orang kembali diarahkan pada Bhiksu Khongzhen. Menanti
suara riuh ramai itu mulai surut, Bhiksu Khongzhen kembali membuka mulut.
"Dengan demikian untuk sementara ini, orang ke-9 kita lupakan dan kita anggap ada 8 orang calon Wulin Mengzhu. Nama
besar mereka ber-delapan, luasnya pengaruh dan prestasi yang pernah mereka capai, setiap orang di sini tentu sudah
pernah mendengarnya. Di antara mereka ber-delapan, bisa dikatakan tidak ada yang lebih rendah atau yang lebih tinggi."
"Setelah membicarakan dengan saudara-saudara yang lain, kami berkesimpulan, tinggal satu jalan untuk menentukan siapa
yang akan menjadi Wulin Mengzhu?", sampai di sini Bhiksu Khongzhen berhenti sejenak.
?" Yaitu, dengan adu kepandaian.", demikian Bhiksu Khongzhen menyelesaikan ucapannya dan sekali lagi suasana pun
pecah dengan riuh rendah suara orang yang menyaksikan.
Maklum saja, mereka yang datang untuk menyaksikan, memang sudah menunggu-nunggu untuk melihat keramaian.
Termasuk mereka yang datang untuk bersumpah setia pada Wulin Mengzhu yang baru, mereka ini pun mengharapkan
orang dengan ilmu tertinggi untuk menjadi Wulin Mengzhu dan hanya satu cara yang paling tepat untuk menentukannya
adalah adu kepandaian. Adu kepalan, adu jotos, adu pedang, adu kecerdikan atau apapun itu, pada intinya, yang terkuatlah yang menang. Dunia persilatan sudah berjalan ratusan tahun, namun satu hal ini tidaklah berubah, bukan benar dan salah
yang menjadi tolok ukur utama, namun kuat dan lemah. Menyaksikan hal ini diam-diam Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan menghela nafas. Zhong Weixia yang mendengar helaan nafas mereka hanya tersenyum sinis. Bhiksuni Huan Feng
yang sama juga menekuni jalan keagamaan, lebih sepaham dengan dua orang tersebut dan diam-diam merenung. Xun
Siaoma yang bisa mengerti namun tidak sepenuhnya sepaham hanya menundukkan kepala saja. Guang Yong Kwang yang
lebih sepaham dengan Zhong Weixia, namun tidak berani untuk menunjukkannya secara terang-terangan, menjaga raut
mukanya tetap dingin. Sikap semua orang ini tidak luput dari mata-mata yang awas, setidaknya 8 orang calon Wulin Mengzhu bisa melihatnya dan
cukup peka dan tajam panca indera dan rasa hatinya untuk menangkap gejolak hati masing-masing orang. Diam-diam
mereka pun sudah mulai membuat perhitungan bagi dirinya sendiri.
Saat suasana kembali mereda, Bhiksu Khongzhen tiba-tiba memberikan satu pengumuman yang cukup menggemparkan,
"Sebelum pertandingan antara satu calon dengan calon yang lain dimulai. Kami dari pihak Perguruan Shaolin ingin
memberikan satu pengumuman. Bahwasannya, hasil dari pertandingan ini tidak menentukan pendirian Shaolin. Sejak awal
kami tidak menyetujui diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu, terlebih jika pilihan itu didasarkan pada kekuatan. Namun
karena keinginan dari pihak banyak, hal ini tidak mungkin dihindarkan lagi."
"Bagaimana pun juga Perguruan Shaolin tidak ingin melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya, sehingga
kami berkeputusan akan bersumpah setia pada Wulin Mengzhu yang baru, hanya bila orang tersebut sesuai dengan
keyakinan hati nurani kami. Bila hasil dari adu kepandaian ini, tidak sesuai dengan apa yang kami yakini, dengan terpaksa kami menolak untuk bersumpah setia." , ujar Bhiksu Khongzhen dengan tegas.
Suasana yang baru saja mereda pun jadi kembali gempar, bagaimanapun juga kedudukan seorang Wulin Mengzhu menjadi
kedudukan yang istimewa, karena kedudukan tersebut menjamin pemegangnya sebagai pemimpin dari segenap tokoh
dalam dunia persilatan. Jika seseorang memegang gelar tersebut, namun ada tokoh-tokoh dunia persilatan yang menolak
untuk tunduk pada perintahnya, maka apa artinya gelaran tersebut" Biasanya jika ada yang membangkang pada perintah
seorang Wulin Mengzhu, itu sama artinya tokoh tersebut harus menghadapi segenap kekuatan dunia persilatan yang berdiri
di belakang sosok Wulin Mengzhu, adanya resiko ini saja sudah membuat setiap orang berpikir ribuan kali untuk
membangkang pada perintah seorang Wulin Mengzhu dan pada akhirnya seluruh tokoh akan tunduk di bawah perintahnya.
Tapi jika sekarang yang menyatakan diri tidak tunduk pada Wulin Mengzhu tersebut adalah sebuah perguruan sebesar
Shaolin, maka apa yang akan terjadi"
Jika Wulin Mengzhu yang terpilih berkehendak agar Shaolin tunduk pada dirinya, bukankah itu artinya banjir darah antara saudara-saudara sendiri"
Pernyataan Bhiksu Khongzhen itu begitu pentingnya, hingga seseorang di antara mereka yang duduk di tempat kehormatan
tiba-tiba berdiri dan bertanya dengan lantang. Suaranya menggaung mengatasi riuhnya orang berbicara dan berdebat,
menandakan ilmu tenaga dalamnya tidaklah rendah.
Itulah Bai Chungho Ketua Partai Kaypang, "Jika boleh, aku pengemis yang rendah ini ingin bertanya pada sekalian ketua
enam perguruan besar."
Belum melihat siapa yang berbicara, baru mendengar gaung suaranya, setiap orang sudah menahan diri untuk berbicara,
terlebih ketika mereka melihat siapa yang berbicara. Setiap orang memilih untuk menutup mulut dan menyiapkan telinga.
"Ah, kiranya Saudara Bai Chungho, tentu saja silahkan bertanya.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan ramah.
"Jika pendirian Shaolin sudah teguh, untuk memiliki pandangannya sendiri mengenai pimpinan yang diinginkan. Bagaimana
dengan pendirian 5 perguruan yang lain" Bagaimana jika pada akhirnya dia yang memenangkan adu kepandaian ini tidak
sesuai dengan pilihan Shaolin, apakah tidak ada kekhawatiran, bakal terjadi bentrokan antara Shaolin dengan pihak-pihak lain yang memilin untuk mendukung Wulin Mengzhu?", tanya Bai Chungho.
Banyak orang ikut menganggukkan kepala dan menatap Bhiksu Khongzhen serta 5 ketua perguruan besar yang lain.
Pertanyaan Bai Chungho cukup mewakili kegalauan hati mereka. Apa gunanya memilih seorang Wulin Mengzhu jika
kemudian terjadi bentrokan antara mereka yang mendukung Wulin Mengzhu tersebut, dengan mereka yang tidak
mendukung Wulin Mengzhu" Jika Shaolin menolak untuk bersumpah setia, bisa dipastikan akan ada banyak tokoh yang ikut
berdiri, mengikuti apa yang dilakukan oleh perguruan Shaolin.
Bhiksu Khongzhen tidak segera menjawab pertanyaan Bai Chungho, melainkan dia menengok ke belakang, ke arah
sahabatnya Pendeta Chongxan. Pendeta Chongxan pun maklum apa maksud hati Bhiksu Khongzhen, dia bangkit berdiri lalu
berjalan ke sisi Bhiksu Khongzhen, kemudian dengan suara yang lemah lembut namun berwibawa dia menjawab.
"Pendirian Saudara-saudara dari Shaolin sudah disampaikan kepada 5 perguruan yang lain, jauh-jauh hari sebelum kami
mengambil keputusan untuk mengadakan pemilihan Wulin Mengzhu ini.", ujar Pendeta Chongxan membuka penjelasannya.
"Meskipun kami berbeda pandangan namun kami bisa memahami sepenuh hati, alasan di balik keputusan itu. Berkenaan
dengan dukungan atas Wulin Mengzhu, 5 perguruan yang lain memutuskan untuk tetap mendukung Wulin Mengzhu yang
terpilih dalam pemilihan ini."
"Berkenaan dengan sikap dari perguruan Shaolin, 5 perguruan menyatakan tidak akan menghalangi keputusan mereka.
Dalam pembicaraan kami, Shaolin sendiri telah menyatakan bahwa dirinya tidak akan berdiri menentang keputusan-
keputusan dari Wulin Mengzhu, apabila keputusan itu dinilai tidak merugikan negara dan rakyat. Dan hal ini jelas tidak
bertentangan dengan tujuan kita semua untuk memilih seorang Wulin Mengzhu. Kita memilih seorang Wulin Mengzhu
karena kita ingin munculnya satu pemimpin yang menyatukan kita melawan musuh dari luar. Oleh sebab itu, kami dari 5
perguruan besar, menerima sikap Shaolin dan yakin bahwa keputusan ini tidak akan menimbulkan bentrokan antar saudara
sendiri.", ujar PendetaChongxan menjelaskan.
Sebagian orang yang mendengarkan mengangguk lega, tapi ada pula yang menggelengkan kepala dengan hati kurang puas.
Memang jika memandang setiap orang sama baiknya dengan seorang nabi, ucapan Pendeta Chongxan itu bisa diterima.
Tapi kenyataannya bukan hanya sedikit saja orang yang memiliki niat baik, bahkan menurut pandangan mereka, setiap
orang menyembunyikan maksud hatinya sendiri. Dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini, siapa yang mengajukan diri, 9 dari 10
orang tentulah maju karena memiliki ambisi pribadi. Menjadi raja di atas segenap kekuatan dunia persilatan, adalah
kekuasaan yang besar. Secara perorangan ilmu bela diri dari tokoh-tokoh persilatan tingkat menengah ke atas yang ada,
bisa disetarakan dengan ratusan tentara kerajaan. Jika anak murid dan bawahan mereka dihitung, jumlahnya bisa mencapai
puluhan ribu bahkan mendekati seratus ribu orang. Kekuatan itu bukanlah kekuatan yang kecil, bala tentara yang tersimpan di tiap-tiap propinsi pun tidak mencapai jumlah tersebut. Hingga sulit dibayangkan seseorang maju untuk menjadi calon
Wulin Mengzhu tanpa memiliki ambisi untuk menggunakan kekuatan yang besar tersebut.
Di lain pihak, keputusan Shaolin justru bisa menjadi pengimbang keadaan, jika benar-benar terjadi, Wulin Mengzhu yang
terpilih itu menggunakan kekuasaannya untuk ambisi pribadi dan bukan untuk menghadapi kekuatan Ren Zuocan,
pemimpin dari Partai Matahari dan Bulan. Dengan demikian, mendengar penjelasan Pendeta Chongxan, terjadilah diskusi
dan perdebatan yang sengit di antara para pendekar yang datang untuk melihat pemilihan Wulin Mengzhu ini.
Ada yang menyesali keputusan Shaolin yang seakan-akan membuat kekuatan mereka terpecah belah, bahkan mengundang
resiko terjadinya bentrokan di antara tubuh sendiri. Tapi ada pula yang memuji kebijaksanaan Bhiksu Khongzhen yang
mampu melihat jauh ke depan dan mengambil langkah-langkah pencegahan. Ada pula yang menduga-duga, mengapa
Pendeta Chongxan yang bersahabat dekat dengan Bhiksu Khongzhen tidak mengambil langkah yang sama, mengapa justru
berdiri di pihak yang berlawanan" Macam-macam pendapat dan dugaan ini pun jadi ramai diperdebatkan.
Di saat orang ramai berdebat itu, kembali Bai Chungo mengangkat suara, "Bhiksu Khongzhen, maaf jika aku ingin bertanya
sekali lagi. Jika benar demikian keputusan dari 6 perguruan besar, maka aku pun ingin tahu, dari 8 calon Wulin Mengzhu
yang ada saat ini, apakah ada satu atau dua orang yang sesuai dengan pilihan dari pihak Shaolin" Jika ada maka siapakah calon-calon tersebut?"
Sekali lagi banyak orang mengangguk setuju dengan pertanyaan Bai Chungho itu. Jawaban Bhiksu Khongzhen tentu saja
sangat berpengaruh, jika dari ke-delapan calon tidak seorang pun sesuai dengan pilihan hati perguruan Shaolin, bukankah artinya terpecahnya dunia persilatan daratan menjadi dua kelompok besar itu pasti terjadi" Sebaliknya jika ada yang
disetujui oleh Shaolin, berarti masih ada harapan. Bahkan ada yang berpendapat, jika memang Shaolin sudah setuju
dengan satu atau lebih calon, mengapa tidak dicoret saja mereka yang berada di luar pilihan Shaolin" Dengan begitu
bukankah perpecahan sudah pasti tidak akan terjadi"
Karena Bhiksu Khongzhen yang ditanya maka Bhiksu Khongzhen pula yang menjawab, "Saudara Bai Chungho, sebenarnya
di antara ke delapan pahlawan di sini, sudah tentu semuanya adalah orang-orang pilihan dan pantas untuk menduduki
kedudukan Wulin Mengzhu tersebut. Bila ada seorang atau dua yang lebih sesuai dalam hati kami, kami pun tidak bisa
menyebutkannya. Jika sampai terjadi demikian, bukankah akan timbul ketidak adilan?"
Banyak orang mengangguk setuju, terutama para pendukung calon Wulin Mengzhu yang merasa Shaolin tidak bakalan
menyetujui orang yang mereka dukung itu. Ramainya suara di bawah,tidak diimbangi dengan mereka yang di atas
panggung. Bagi mereka yang di atas panggung, menyimpan perhitungan sendiri dan menyerap sebanyak mungkin reaksi
tiap-tiap orang lebih penting.
Bai Chungho pun berkata kembali, "Bhiksu Khongzhen, daripada sesama saudara terpecah menjadi dua golongan. Jika
memang ada satu atau dua orang yang sesuai dengan pilihan dari perguruan Shaolin, apakah tidak lebih baik Bhiksu
Khongzhen utarakan saja siapa-siapa orang itu. Biarlah mereka yang tidak disebutkan namanya mengundurkan diri dengan
suka rela demi kebaikan bersama."
Pada saat Bai Chungho selesai berkata-kata, tiba-tiba Ding Tao bangkit berdiri, memberi hormat pada Bhiksu Khongzhen,
Pendeta Chongxan serta semua yang hadir di atas panggung, dan berkata, "Tetua sekalian, Bhiksu Khongzhen, Pendeta
Chongxan, Tetua Xun Siaoma dan saudara-saudara sekalian ketua, ijinkanlah siauwtee berbiacara."
Bangkitnya Ding Tao yang tiba-tiba itu membuat perhatian setiap orang dengan cepat tertuju pada pemuda itu.
Setelah memberi hormat, Ding Tao pun menghadap ke arah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan serta berkata, "Tetua
berdua dan saudara sekalian, kuharap usulan Tetua Bai Chungho itu sebaiknya dipertimbangkan baik-baik. Jika memang
demi bersatunya dunia persilatan, biarlah aku jadi orang pertama yang mundur dari pencalonan ini. Atau yang lebih baik
lagi, mengapa tidak Bhiksu Khongzhen atau Pendeta Chongxan saja yang menduduki kedudukan ini" Siauwtee yang rendah,
berjanji dengan sepenuh hati akan mendukung kepemimpinan kalian berdua. Sesungguhnya berhadapan dengan sekalian
ketua dan tetua, siauwtee merasa diri sangat kecil dan tidak pantas. Bukankah di sini sudah ada Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan, siapa yang tidak mengenal reputasi mereka" Apa perlunya lagi diadakan pemilihan ini" Bukankah
pemimpin yang tepat sudah ada di sini?"
Betapa terkejutnya banyak orang ketika mendengar perkataan Ding Tao tersebut, termasuk para pengikutnya yang berdiri
di belakang pemuda ini. Bagaimana bisa pemuda itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berkata-kata demikian" Apakah dia sudah lupa dengan perjuangan sekalian rekan-rekannya untuk membawa dia sampai di tempat ini"
Perlu diketahui, sejak mulai duduk di atas panggung tersebut, Ding Tao sudah mulai kambuh penyakit rendah dirinya.
Bagaimana tidak kambuh, jika di atas panggung yang sama duduk pula tokoh-tokoh legendaris seperti Bhiksu besar
Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Apalagi ketika dia membayangkan, bahwa kedudukan yang dia incar, adalah kedudukan
yang membuat kedua tokoh besar itu harus tunduk pula pada dirinya. Apakah itu bukan suatu kekurang ajaran yang
keterlaluan" Sebelumnya hal ini tidak pernah terpikirkan oleh pemuda itu. Dengan kedudukan Wulin Mengzhu dia berharap
bisa menyatukan dunia persilatan dan menghadapi ancaman dari Ren Zuocan. Tapi sekarang ketika di hadapannya hadir
dua tokoh besar itu, tiba-tiba saja pemuda itu merasa dirinya sungguh kecil di hadapan mereka berdua. Segala
percakapannya dengan rekan-rekannya di masa lalu mengenai perebutan kursi Wulin Mengzhu, hilang lenyap tak berbekas.
Pemuda itu duduk di kursinya dengan tidak nyaman, merasa sudah terlampau jauh meninggikan dirinya, di hadapan dua
orang tokoh besar. Pergolakan hati pemuda ini, tentu saja tidak ada seorang pun yang tahu. Pada saat Bhiksu Khongzhen maju dan
menyatakan keputusan perguruan Shaolin, maka dalam hati pemuda itu bersorak kecil dan berharap Pendeta Chongxan
mengambil sikap serupa. Tapi pertanyaan-pertanyaan Bai Chungho, membuka pikirannya terhadap kemungkinan dan resiko
yang muncul akibat keputusan Bhiksu Khongzhen dan Shaolin. Pemuda itu pun kembali menjadi risau perasaannya. Tapi
kerisauannya itu seperti mendapatkan jawaban ketika Bai Chungho mengucapkan pernyataannya yang terakhir. Begitu
girangnya dia, merasa bahwa Bai Chungho sudah membukakan jalan dari persoalan yang dia hadapi, sehingga dengan serta
merta pemuda itu pun bangkit berdiri untuk menyatakan perasaannya.
Ding Tao baru saja duduk, ketika Ximen Lisi ganti bangkit berdiri dan memberikan hormat ke segenap penjuru.
Ximen Lisi dengan suara yang lembut yang sesuai benar dengan wajah tampannya berkata, "Perkataan Saudara Ketua Ding
Tao ini sungguh tepat, siauwtee pun ingin mengikuti teladannya yang baik. Biarlah siauwtee mengundurkan diri dari
pencalonan ini, jika perguruan Shaolin merasa tidak suka apabila siauwtee menjadi Wulin Mengzhu, dengan demikian
persatuan di antara kita bisa tetap terjaga."
Belum sempat Ximen Lisi duduk kembali di tempatnya Bai Shixian sudah bangkit berdiri, orang ini perawakannya tinggi
besar, wajahnya lebar dan suaranya menggelegar, "Ucapan saudara cilik tadi sangat tepat, apa perlunya diadakan pemilihan Wulin Mengzhu lagi" Bukankah sudah ada Bhiksu Khongzhen dari Shaolin dan Pendeta Chongxan dari Wudang yang pantas
untuk menjadi pimpinan kita semua" Jika salah seorang dari mereka mau mengajukan diri, maka aku Bai Shixian akan
mendukung mereka dengan sepenuh hati. Siapa yang tidak setuju, boleh berhadapan dengan dua kepalanku ini!"
Merah wajah beberapa orang calon Wulin Mengzhu yang lain mendengar ucapan Bai Shixian. Watak orang ini rupanya sama
kerasnya dengan tinjunya. Mudah panas dan tidak sabaran, main hantam jika bertemu dengan orang yang tidak sesuai dengan dirinya. Lima orang calon Wulin Mengzhu yang lain jadi serba salah, dalam hati memaki-maki tiga orang calon Wulin Mengzhu yang bangkit dan berbicara. Ucapan ketiga orang calon Wulin Mengzhu itu sendiri mengundang berbagai macam
perasaan dan dugaan dari tiap-tiap orang yang mendengarnya. Ada yang tergerak dengan perkataan mereka yang tidak
mementingkan diri sendiri. Di pihak lain ada yang melihatnya sebagai satu kecerdikan dalam menanggapi situasi. Bagi lima calon lain yang mereka memaki-maki kelicinan lawan.
Kenapa mereka menganggapnya sebagai satu kelicinan" Licin karena mereka dengan sengaja menampilkan satu peranan
untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang maju sebagai calon demi kepentingan bersama dan bukan
demi kepentingan pribadi. Dalam benak mereka yang berpikiran demikian, 8 orang calon itu seluruhnya tentu maju demi
kepentingan pribadi. Jika ada seorang yang menyarankan Bhiksu Khongzhen dan 5 orang ketua perguruan besar yang lain
untuk mengikuti saran Bai Chungho, tentu akan ada 7 orang lain yang menolaknya. Dengan demikian, usulan Bai Chungho
itu dengan sendirinya akan gagal, sementara yang maju dan menyatakan setuju pada usulan Bai Chungho akan
mendapatkan nama baik, tanpa harus melepaskan ambisinya untuk merajai dunia persilatan. Ximen Lisi sendiri termasuk
orang yang berpikiran demikian, tapi pikirannya justru bekerja lebih cepat dibandingkan 6 orang calon Wulin Mengzhu yang lain.
Begitu Ximen Lisi "menyadari kecerdikan" Ding Tao, dia pun cepat berpikir, kalaupun ada 2 orang calon Wulin Mengzhu yang mendukung usulan Bai Chungho, masih akan ada 6 orang calon Wulin Mengzhu yang menolaknya. Sebelum ada yang
sempat sampai pada pemikiran dengan demikian, maka dia pun secepatnya mengambil keuntungan.
Bagaimana dengan Bai Shixian" Banyak orang memandang Bai Shixian sebagai pendekar angin-anginan, mudah tergerak
dan tidak memiliki prinsip yang teguh. Sulit dimengerti mengapa dia berbuat demikian atau demikian. Karena mendengar
segerombolan penyamun menganiaya sepasang pengantin baru, dia pun berangkat untuk menghajar mereka semua,
padahal kenal pun tidak. Di lain hari dia menghajar pula seorang pemilik rumah makan, hanya gara-gara pemilik rumah
makan itu memandanginya. Dibilang lurus tidak, sesat pun tidak, sikap dan perbuatan Bai Shixian sulit dimengerti orang.
Namun secara keseluruhan mereka memandang Bai Shixian sebagai orang yang jujur dan terbuka. Kemungkinan besar dia
ikut berdiri dan mendukung Ding Tao serta Ximen Lisi karena tergerak hatinya oleh ucapan mereka berdua. Ada pun dia menjadi orang ketiga yang menyatakan persetujuannya, adalah satu kebetulan. Setelah Bai Shixian, calon Wulin Mengzhu
Harimau Kemala Putih 1 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 10
^