Pencarian

Pedang Angin Berbisik 2

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 2


dan dipanggilnya murid kesayangannya.
Setelah beberapa lama dia mengetuk tidak juga mendapat jawaban, hati guru tua itupun menjadi semakin gelisah.
Dicobanya untuk mendorong pintu ke dalam dan dengan mudah pintu itu terbuka, karena tidak ada orang di dalam untuk
memasang palang pintunya.
Diamat-amatinya keadaan kamar itu, guru tua itupun berusaha mengambil kesimpulan, "Hmmm" ada apa ini" Sudah lewat
tengah malam, namun Ding Tao tidak ada di sini, bahkan tempat tidurnya pun masih rapi, seakan-akan dari tadi sore tidak pernah sesaatpun dia ada di sini. Apakah Ding Tao pergi untuk menemui pemuda itu" Dengan membawa pedangnya pula.
Apakah tadi siang itu Wang Chen Jin menantangnya untuk bertarung?"
"Jika iya, kira-kira di mana tempatnya?"
"Tidak di dalam kota karena akan menarik perhatian dan jika di luar kota, tentu di sebelah utara, karena dari arah itulah yang terdekat untuk putera Wang Dou itu."
Begitu guru tua itu sampai pada kesimpulan, guru tua itu tidak mau membuang-buang waktu dengan percuma. Segera dia
pergi ke arah gerbang utara kota.
Gu Tong Dang sudah banyak pengalaman, untuk keluar dari gerbang kota dengan diam-diam mungkin cukup menyulitkan,
tapi Gu Tong Dang tidak perlu keluar dengan diam-diam, ditemuinya penjaga pintu gerbang, dengan sedikit uang dan
kedudukannya sebagai pengajar di rumah Tuan besar Huang, tanpa banyak kesulitan penjaga pintu gerbang membukakan
jalan lewat sebuah pintu kecil yang biasa digunakan mereka atau orang lain yang memerlukan untuk keluar masuk kota di
malam hari. Begitu sampai di luar gerbang kota, Gu Tong Dang berusaha mengamati keadaan di sekitarnya.
Sayup-sayup, telinganya yang tajam masih mampu mendengar suara tapak kaki kuda yang dipacu orang.
Dengan bergegas dia pergi ke arah suara itu dan ditemukannya jejak-jejak yang masih baru. Ada yang mengarah dari utara
ke arah kota dan yang lebih baru dari arah kota menuju ke utara.
Gu Tong Dang bisa membayangkan bagaimana Wang Chen Jin memacu kudanya dari tempat dia menginap di perjalanan
menuju ke Wuling, bertanding dengan Ding Tao dan kemudian memacu kudanya untuk kembali diam-diam.
"Hmmm" Wang Dou mempunyai banyak kepentingan dengan kami, sudah tentu dia tidak menginginkan ada perselisihan di
antara kami. Tapi pemuda itu masih pendek pikirannya dan pula dia beradat tinggi. Semoga anak Ding tidak mengalami
celaka." Buru-buru guru tua itu menelusuri jejak kaki kuda yang mengarah ke kota, meskipun dengan susah payah, akhirnya sampai
juga dia di tempat Ding Tao dan Wang Chen Jin bertemu.
Menelusuri jejak itu, sampai pula guru tua itu di tempat mereka bertarung.
Hatinya berdebar-debar melihat ceceran darah di sekitar tempat itu.
Jejak dari pertarungan itupun akhirnya membawa guru tua itu sampai di bibir sumur dan di situlah jejak pertarungan
mereka berakhir. Dengan jantung berdebar dia berusaha melihat ke dalam sumur, tapi sumur itu terlalu gelap, lagipula hari belumlah terang.
Cahaya obor yang dibawanya tidak sampai ke dasar sumur.
Kesedihan memenuhi hati orang tua itu, dengan sedih dia berusaha memanggil, meskipun harapannya sudah demikian tipis.
"Ding Tao" anak Ding" apakah kau ada di sana?"
Saat tendangan Wang Chen Jin mampir di dadanya, seketika itu pula nafas Ding Tao menjadi sesak dan pandang matanya
pun menjadi gelap. Entah untuk berapa lama dia tidak sadarkan diri.
Begitu badannya menyentuh air sumur yang dingin, tersadarlah Ding Tao, meskipun dia belum teringat akan
pertarungannya barusan, tapi tubuhnya dengan sendirinya bergerak, berusaha mengapung ke permukaan.
Tanpa sadar dia berusaha menusukkan pedangnya ke dinding sumur sebagai tempat bagi tangannya untuk bergantung.
Nasib baik masih melindungi Ding Tao, pedangnya menyangkut di sebuah retakan di dinding sumur dan menancap cukup
dalam untuk menahan tubuh Ding Tao. Lagipula tubuhnya masih berada di dalam air, sehingga tidak terlalu banyak beban
yang ditanggung pedangnya.
Dengan pedang menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, perlahan-lahan kesadaran Ding Tao pun kembali, teringatlah dia
akan pertarungannya barusan.
Teringat pada pertarungan itu, teringat pula dia pada pedang Wang Chen Jin yang mampu mengiris-ngiris pedang bajanya
seperti mengiris kayu saja. Ketika dia melihat padang pusaka yang tajam luar biasa itu, masih terjepit oleh pedang bajanya, dengan rasa takjub pemuda itupun meletakkan pedang itu dalam genggamannya.
Lalu dengan satu sentakan dicabutnya pedang itu dari pedang bajanya.
Untuk sesaat diapun lupa pada rasa sakit di badannya, atau rasa lemas yang sebenarnya masih menguasainya.
Dipandanginya pedang itu dengan rasa takjub, masih bergantung pada pedang miliknya sendiri dengan satu tangan, dengan
tangan yang lain dicobanya untuk memainkan pedang pusaka itu.
Semangatnya jadi terbangun saat merasakan betapa pas pedang itu di tangan. Tidak terlampau ringan tidak juga terlampau
berat, keseimbangannya membuat mudah digerakkan sesuai dengan keinginan.
Tapi kegembiraannya itu tidak berlangsung lama, semangatnya mungkin tinggi, tapi tenaganya sudah semakin melemah,
pada satu saat, hampir saja pedang itu lepas dari genggamannya. Beruntung dia masih bisa mengerahkan tenaga untuk
menggenggamnya kuat-kuat, hingga pedang itu tidak sampai terlepas.
Dengan gugup, Ding Tao berusaha menusukkan pedang itu di sebuah retakan yang dilihatnya.
Hatinya merasa sedikit lega saat melihat pedang itu tertancap dengan aman di situ.
Setelah memastikan pedang itu aman di tempatnya, mulailah dia mengamati keadaan di sekelilingnya. Dia dapat merasakan
kakinya sudah mulai lemah tak bertenaga, demikian juga tangannya yang berpegangan pada pedang.
Hawa dingin menjalari tubuhnya.
Akhirnya diapun pasrah pada keadaan, tenaganya begitu terkuras hingga tidak mungkin baginya untuk memanjat ke atas.
Dengan pengetahuannya yang serba terbatas mengenai jalan darah, dia berusaha menotok jalan darahnya, memperlambat
darah yang mengucur dari luka di dadanya. Entah darahnya sudah terlalu banyak terkuras atau tutukannya tepat
menghambat jalan darah di beberapa titik.
Darah yang mengucur tidaklah sederas sebelumnya.
Setelah semua itu selesai dilakukan, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Satu-satunya yang bisa dia lakukan sambil
menunggu, hanyalah mengatur nafas dan berusaha mengalirkan hawa murni untuk menghangatkan tubuh.
Dalam hal ini dia mendapatkan satu kejutan yang menyenangkan hatinya, salah satu jalur hawa murni, yang mengalirkan
hawa murni dari tantien ke telapak tangan ternyata berhasil ditembusnya dengan mudah.
Untuk menghabiskan waktu, jalur yang sudah ditembus itu pun dicobanya perlahan-lahan.
Pertama dicobanya untuk mengambil hawa murni yang tersimpan dan dialirkan ke kedua telapak tangannya. Mengalir
melalui titik di daerah ulu hati naik ke arah pundak dan menuju ke titik di tengah-tengah telapak tangan.
Didorongnya terus mengaliri pedang yang ada di genggamannya.
Setelah dia merasakan hawa murninya mengalir hingga ke ujung pedang, perlahan-lahan ditariknya kembali untuk disimpan
ke bawah pusarnya. Kemudian berganti dia mencoba menarik hawa murni yang ada di sekitarnya lewat telapak tangannya, perlahan-lahan
dialirkan menuju ke pusar. Ditahannya di sana untuk beberapa saat, lalu perlahan-lahan dialirkan ke bawah pusar dan
disimpan. Tidak lupa dia mengatur nafas dan mengalirkan hawa murni menyebar ke seluruh tubuhnya, memberikan rasa hangat yang
menyebar dan menjaga agar dia tidak mati kedinginan.
Membiarkan hawa murni menyebar dengan sendirinya, jauh lebih mudah daripada mengatur hawa murni itu untuk
terkonsentrasi pada tempat tertentu, lebih sulit lagi untuk mengalirkan hawa murni itu sesuai kemauan mengikuti jalur
tertentu. Apalagi jika jalur-jalur tersebut belum masih terkunci dan belum bisa ditembus.
Dan justru penggunaan hawa murni yang terkonsentrasi dan terarah inilah yang memungkinkan seseorang untuk
melakukan suatu kemampuan di luar kemampuan umum.
Sungguh beruntung Ding Tao salah satu jalur tersebut tertembus dengan tidak sengaja saat dia menghadapi bahaya maut
melawan Wang Chen Jin. Dengan keadaannya yang sekarang ini, dia mampu mengalirkan hawa murni dengan bebas melalui kedua tangannya.
Bahkan mengaliri senjata yang ada dalam genggamannya. Dengan demikian Ding Tao sudah dapat mulai menjajaki
kemungkinan untuk menyatu dengan pedangnya.
Jika hawa murni sudah dapat mengaliri senjata, pada satu tahapan tertentu, senjata pun menjadi bagian dari tubuh. Seuntai cambuk bisa bergerak mengikuti keinginan pemegangnya, seperti ekor singa bergerak mengikuti kemauan pemiliknya.
Kain bisa menjadi sekeras besi dan besi bisa menjadi selentur kain.
Bila sudah sampai pada tahap demikian bahkan ranting pohonpun bisa menjadi senjata yang berbahaya, terlebih lagi
sebatang pedang pusaka. Ding Tao bukannya tidak pernah mendengar hal semacam ini, dalam hatinya timbul satu harapan. Sebelumnya tidak pernah
terbayang dalam benaknya, bahwa dia akan mampu menjadi seorang pendekar besar. Tapi hari ini dalam waktu yang
bersamaan, dia berhasil menembus salah satu jalur tenaga yang penting dalam tubuhnya, sekaligus menemukan sebatang
pedang pusaka. Tiba-tiba saja Ding Tao tidak sabar untuk dapat mempelajari seluruh jurus-jurus pedang keluarga Huang. Bahkan bukan
saja jurus pedang keluarga Huang, dia ingin bisa melihat semua jurus pedang yang ada di dunia.
Di hati pemuda yang sederhana itu, tiba-tiba timbul keiginan untuk menjadi pendekar pedang nomor satu di dunia.
Lalu setelah itu diraihnya"
Ya setelah itu diraihnya, dia akan dapat datang pada nona muda yang cantik itu dengan dada tengadah.
Bukan lagi Ding Tao si tukang kebun, tapi Ding Tao pendekar pedang nomor satu di dunia.
Jantungnya berdebaran dan mukanya semburat merah, membayangkan dirinya bersanding dengan nona muda keluarga
Huang. Membayangkan pipi yang putih dan halus bagaikan batu pualam, tapi hangat dan lembut seperti roti yang baru
dipanggang. Bibir mungil merah yang suka mencibir itu, mata jeli dan bulu mata yang lentik.
Pikirannya pun merantau ke mana-mana dan hawa panas yang liar menjalari tubuhnya. Ding Tao yang berangan-angan,
tidak merasa kedinginan meskipun saat itu dia tidak sedang mengatur nafas dan mengumpulkan hawa murni.
Sesungguhnya dalam hati yang terdalam Ding Tao sudah kehilangan asa, sebagian dirinya merasa bergairah terhadap
penemuannya, tapi sebagian dirinya yang lain memandang betapa keberuntungannya dalam ilmu silat ini sama semunya
dengan embun pagi. Dia merasakan tenaganya melemah dan tidak lama lagi dia harus pasrah tenggelam ke dalam air tanpa mampu banyak
berbuat sesuatu. Mungkin masih beberapa lama lagi sebelum ada ramai orang beraktivitas, jikapun demikian, belum tentu ada yang memakai
sumur ini. Kalaupun ada yang memakai sumur itu, apakah pada waktu itu dia masih ada tenaga untuk berteriak minta
tolong" Baru kali itulah, Ding Tao bersikap sinis pada kehidupan. Dia merasa betapa kejamnya hidup, di satu sisi nasib sudah
membukakan sebuah pintu yang menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tapi
di saat yang sama, nasib hanya memberikan waktu yang sangat terbatas sebelum dia sampai pada kematian.
Betapa getir perasaan pemuda ini mungkin sulit dibayangkan. Sedari kecil hidupnya serba terbatas, tidak seperti pemuda
lain, dia terlalu sadar akan kedudukannya dan selamanya memaksa dirinya untuk memendam hasrat dan cita-cita.
Ketika tiba-tiba kesempatan itu baru saja terbuka bagi dirinya, sejak dari kelulusannya, hingga sekarang ketika dia dengan tidak sengaja mendapatkan sebuah pedang pusaka dan terobosan dalam pengenalannya akan ilmu.
Ketika mimpinya baru mulai terkembang, tiba-tiba dia sudah dihadapkan pada kematian.
Tanpa terasa timbul kemarahan dalam hatinya, kemarahan pada kehidupan, pada langit yang dipandangnya tidak memiliki
belas kasihan. Sepanjang hidupnya, diturutnya nasihat-nasihat orang tua, sepanjang hidupnya dia menjaga diri dari segala perbuatan yang melanggar susila. Sepanjang hidupnya dia berusaha untuk mengikuti nilai-nilai dan tatanan yang ada.
Namun langit seperti buta terhadap semuanya itu, langit seakan-akan memandangnya seperti bahan lelucon untuk
ditertawakan, untuk dibuai dengan mimpi lalu dihempaskan dengan tragedi.
Ding Tao yang sedang marah, tidak lagi mempedulikan susila. Angan-angannya tentang nona muda keluarga Huang tidak
berhenti pada kenangan akan wajah dan senyumannya. Gairah yang dipendam selama ini seperti tertumpah tanpa dapat
dibendung. Meskipun dalam hati yang terdalam dia justru merasakan pedih yang tak terkira, karena kematian sudah
membayang dan angan-angannya selamanya hanyalah angan-angan.
Di saat seperti itu, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil.
Mendengar suara itu, Ding Tao seperti merasa diguyur air dingin, kesadarannya tergugah dan ditajamkannya telinga.
Benar, ada suara memanggil namanya. Suara guru tua yang dikasihinya.
Matanya nyalang memandang ke atas, dan dilihatnya bayang wajah gurunya yang menjenguk ke dalam sumur, diterangi
cahaya obor yang menari-nari.
Dengan penuh haru diapun berusaha menjawab, "Guru" ini aku" tolong aku guru.."
Kuatir suaranya tidak cukup keras, dipukul-pukulkannya kedua bilah pedang yang ada di tangan, sehingga sebentar
kemudian, terdengar riuh suara berdenting, menggema di sumur yang gelap itu.
Mata Gu Tong Dang yang tadinya sayu, terbelalak lebar saat dia mendengar riuh denting pedang dari dalam sumur.
Semangatnya yang sudah layu jadi mengembang kembali. Matanya cepat melihat ke sekitarnya.
Ketika dia menemukan tali dan ember untuk mengambil air dari sumur, cepat dia memeriksa kekuatan tali itu.
Merasa puas dengan kekuatan tali itu, tanpa membuang-buang waktu lagi diikatkannya tali itu di sekeliling pinggangnya,
lalu dengan lincah dia melompat masuk ke dalam sumur.
Kaki dan tangannya dengan cepat mengembang ke kiri dan kanan, mendorong dinding sumur, menahan laju turun
tubuhnya. Segera setelah tubuhnya terhenti, dilepaskannya tangan dan kakinya dari dinding, sehingga tubuhnya kembali meluncur
turun, dan ketika dirasa tubuhnya sudah meluncur terlalu cepat, kembali dia mengembangkan tangan dan kaki untuk
menahan laju jatuhnya. Dengan cara itu, tidak lama kemudian Gu Tong Dang sudah sampai ke permukaan air sumur.
Kakinya basah oleh air dan Gu Tong Dang pun tahu jika dia telah sampai di bawah, dengan setengah berbisik dipanggilnya
Ding Tao, "Ding Tao?"
"Guru" aku di sini."
"Kemarilah, apa kau terluka" Bisakah kau menjangkauku?"
"Sedikit terluka guru, tapi sepertinya untuk sedikit bergerak masih tidak ada masalah."
"Bagus, sekarang cepatlah berpegangan padaku, pegang apa saja yang paling mudah untuk kau jadikan pegangan."
Ding Tao sebenarnya sudah merasa sangat lemah, tapi melihat ada kesempatan hidup, semangatnya bangkit berkali-kali
lipat. Sekuat tenaga dia melemparkan tangannya untuk meraih tubuh gurunya, saat terpegang kaki gurunya, maka
dicengkeramnya kuat-kuat, takut bahwa pegangannya akan terlepas dan dia tidak akan ada tenaga lagi untuk
menjangkaunya kembali. Pedang hadiah kelulusannya terpaksa ditinggalkannya tertancap di dinding sumur. Tapi pedang pusaka milik Wang Chen Jin
tidak lupa untuk dibawanya. Dengan sebelah tangan dia merangkul kaki Gu Tong Dang dan dengan tangan yang lain dia
mencengkeram pedang itu kuat-kuat.
Gu Tong Dang yang merasakan rangkulan Ding Tao pada kakinya, segera mulai menarik tali yang diikatkannya di pinggang
hingga tali itu berhenti terulur, sepenuhnya terjulur ke bawah, sementara ujung yang lain terikat kuat di tempatnya.
Ding Tao yang merasakan adanya tali dapat mengerti rencana Gu Tong Dang, dia berusaha sebisa mungkin memudahkan
Gu Tong Dang yang berusaha mengikatkan tali itu ke badannya.
Setelah tubuh Ding Tao terikat kuat dengan tali, berbisiklah Gu Tong Dang, "Sekarang kau bisa lepaskan peganganmu pada
kakiku, aku kan naik ke atas dan menarikmu naik dari sana. Kuatkan hatimu, tinggal sebentar lagi dan kau akan aman."
"Baik guru" terima kasih guru" sungguh" aku?"
"Sudahlah, simpan tenagamu baik-baik, jangan banyak berbicara, kau masih bisa berterima kasih padaku, nanti setelah kita sampai di atas."
Bergantungan pada tali, Ding Tao hanya bisa mengamati gurunya yang perlahan-lahan merayap ke atas.
Gu Tong Dang tidak berani memanjat ke atas dengan menggunakan tali itu, karena dia tidak tahu apakah tali itu akan kuat menahan tubuhnya dan tubuh Ding Tao sekaligus. Bahkan kalau dia mau jujur, dalam hatinya diapun masih ada keraguan
apakah tali itu akan kuat untuk dipakai menarik tubuh Ding Tao ke atas.
Tapi dia tidak ada pilihan lain lagi, terlampau lama jika dia harus pergi mencari tali yang kuat untuk menolong Ding Tao.
Seperti saat turun ke bawah, Gu Tong Dang menggunakan kedua kaki dan tangannya untuk menahan tubuhnya di dinding
sumur. Dengan cara demikian, perlahan-lahan Gu Tong Dang merayap naik ke atas.
Bagi keduanya waktu terasa berjalan begitu lama, tapi Gu Tong Dang sudah cukup umur dan pengalaman, pengalaman
mengajarkannya lebih baik bekerja dengan lambat namun pasti, daripada terburu-buru dan mengalami kegagalan yang
fatal. Apalagi kesempatannya untuk menolong Ding Tao tidak banyak.
Bagi Ding Tao yang menunggu di bawah, waktu serasa berjalan begitu lambat, tapi dengan adanya gurunya di situ,
harapannya untuk hidup kembali timbul. Teringatlah dia akan caci makinya pada raja langit dan para dewa.
Wajahnya bersemu merah, merasa malu akan perbuatannya beberapa saat yang lalu. Dengan sungguh-sungguh dan
dengan penuh rasa penyesalan diapun berdoa, berdoa memohon ampun dan maaf. Teringat akan angan-angannya tentang
nona muda Huang, jantungnya berdebar-debar, cepat-cepat diusirnya segala bayangan yang menggoda itu dari hati dan
pikirannya. Tapi tidak seperti hari-hari sebelumnya, ketika dia selalu memendam perasaannya pada si nona muda. Kali ini Ding Tao
berani untuk bermimpi. Bukan mimpi dan angan-angan liar seperti saat dia putus asa, tapi mimpi dan angan-angan untuk memenangkan hati nona
itu, membangun sebuah keluarga, menghabiskan sepanjang waktu dalam hidupnya, bersama orang yang dikasihinya.
Tidak akan diserahkannya nona muda itu kepada Wang Chen Jin yang licik, bahkan tidak pada siapapun juga. Karena
sekarang dia bukan lagi tukang kebun biasa. Dari segi ilmu dia masih berada di atas Wang Chen Jin, dan mungkin
kemampuannya tidaklah serendah yang selama ini dia bayangkan.
Apalagi dengan pedang pusaka di tangan dan penemuannya yang baru dengan pengolahan hawa murni dalam tubuhnya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ding Tao berani menggantungkan cita-citanya setinggi langit.
Waktu yang serasa berjalan begitu lambat, di sinya dengan bayangan akan masa depan yang lebih baik, terkadang
membantunya mengisi waktu, tapi di saat yang lain membuat Gu Tong Dang seperti merayap semakin lambat, karena Ding
Tao sudah tidak sabar untuk segera sampai di atas. Menginjakkan kakinya di tanah yang padat.
Menantikan Gu Tong Dang sampai di atas, barulah separuh penantian Ding Tao. Karena sesampainya di atas, Gu Tong Dang
tidak terburu-buru menarik Ding Tao ke atas.
Gu Tong Dang terlebih dahulu meregangkan otot-ototnya yang baru saja dipaksa bekerja keras setelah terbiasa hidup enak.
Diaturnya dulu nafasnya yang memburu, kemudian barulah dia perlahan-lahan menarik Ding Tao ke atas.
Saat Ding Tao merasakan tubuhnya ditarik ke atas, hatinya merasa gembira, tapi tidak untuk waktu yang terlalu lama,
karena Gu Tong Dang menarik tali itu dengan sangat hati-hati.
Ding Tao memang masih muda dan dengan cepat merasa Gu Tong Dang terlalu lambat dalam bekerja, tapi pemuda ini
bukan pemuda yang tidak tahu terima kasih, lagipula dia sadar bahwa terlalu cepat menariknya bisa membuat tali itu terlalu bekerja keras dan putus.
Sebisa-bisanya dia menyabarkan diri.
Luka di dadanya semakin perih, demikian juga kulitnya yang diikat erat dengan tali, tangannya sudah tidak kuat lagi untuk berpegangan di tali dan menahan agar sebagian berat tubuhnya tidak sepenuhnya menggantung pada tali yang kasar.
Hanya pedang itu saja yang tetap digenggamnya erat-erat.
Perlahan namun pasti, langit pagi juga sudah mulai berubah warna saat Ding Tao merebahkan diri di atas tanah. Nafasnya
lemah, paru-parunya berontak meminta udara, namun rasa sakit sekarang menguasai sekujur tubuh.
Gu Tong Dang berlutut di sebelahnya, dengan lembut melepaskan ikatan tali dari tubuhnya, "Anak Ding, bagaimana
keadaanmu?" Ding Tao hanya bisa menjawab dengan seulas senyum yang lemah.
Gu Tong Dang mengangguk paham, "Baguslah, tidak usah banyak bicara."
Ketika dia hendak mengangkat tubuh Ding Tao, perhatiannya pun jatuh pada pedang yang digenggam terus menerus oleh
pemuda itu. Alisnya terangkat, hendak bertanya, tapi ketika pandangan matanya jatuh pada wajah Ding Tao yang pucat, diapun batal
untuk bertanya. Dengan hati-hati namun cepat, dipapahnya Ding Tao menjauh dari tempat itu. Sebentar lagi akan banyak orang
berdatangan dan Gu Tong Dang tidak ingin terjebak dengan pertanyaan mereka.
Dibiarkannya saja Ding Tao terus menggenggam erat pedang itu. Tanpa bertanya pun dari sikap Ding Tao dia mengerti
tentu pedang itu sangat berarti untuknya.
Gu Tong Dang tidak segera kembali ke rumah keluarga Huang, sebaliknya dia pergi ke sebuah pondokan di luar
perkampungan keluarga Huang. Pondokan itu sudah lama dia miliki, seringkali dipakainya untuk melepas lelah ketika dia
pergi untuk kepentingannya pribadi.
Di dalam pondokan itu tersedia tempat tidur yang sederhana, makanan kering, alat untuk memasak dan obat-obatan
secukupnya. Setelah membaringkan tubuh Ding Tao di atas pembaringan, Gu Tong Dang dengan cekatan menyalakan api dan memasak
air. Dengan telaten dirawatnya luka di atas dada Ding Tao, dibersihkan, dibaluri dengan obat lalu dibalut dengan kain bersih.
Obat penambah tenaga dimasak di atas sebuah api yang dijaga nyalanya. Dalam waktu singkat, roti kering yang sudah
dibasahi teh manis hangat disuapkan perlahan-lahan kepada Ding Tao, sebelum obat yang sudah matang diminumkan.
Sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam dunia persilatan, Gu Tong Dang tidak asing dengan hal-hal tersebut.
Dalam hal kemampuan memang Gu Tong Dang masih berada di bawah para tokoh-tokoh dalam keluarga Huang, namun
dalam hal pengalaman justru dia lebih banyak.
Tidak berapa lama kemudian, nafas Ding Tao sudah kembali teratur. Beruntung tubuhnya kuat dan hawa murninya terpupuk
dengan baik. Gu Tong Dang dengan sabar membiarkan saja pemuda itu beristirahat, beberapa saat lamanya.
Desah nafasnya teratur dan pemuda itu tertidur lelap, merasa aman dalam penjagaan orang yang dipercayainya.
Menunggui Ding Tao yang sedang tidur, perhatian Gu Tong Dang jatuh pada pedang yang sejak tadi dibawa-bawa oleh
pemuda itu. Dihunusnya pedang itu di tangan dan dimainkannya beberapa jurus menggunakan pedang itu. Hatinya pun jadi terkagum-


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kagum dengan kualitas pedang itu. Dalam hati dia jadi menduga-duga, pedang pusaka dalam dunia persilatan tidak banyak
jumlahnya. Meskipun banyak pedang kenamaan, tidak jarang pedang itu mendapatkan nama mendompleng dari kehebatan pemiliknya.
Seandainya pemakainya bukan pemain pedang kenamaan, pedang itu sendiri tidaklah cukup berarti untuk disebut pedang
pusaka. Tapi ada juga, sejumlah pedang, yang justru kehebatannya mampu mengangkat nama pemakainya.
Gu Tong Dang yakin pedang yang ada di tangannya termasuk dari segelintir yang ada. Dengan memainkan pedang itu saja,
dia bisa merasakan keyakinannya bertambah. Belum pernah dia merasakan sebuah pedang yang terasa begitu pas di
tangannya. "Apakah pedang ini?"
Sebuah dugaan yang muncul dalam hatinya, dengan hati berdebar diambilnya pisau dapur yang ada dalam pondokan itu
lalu ditancapkannya kuat-kuat ke atas sebuah meja kayu. Hatinya berdebar, namun tangannya menggenggam pedang
dengan mantap. Tidak terlalu kencang karena tegang, tidak pula lemah hingga pedang akan terlepas dengan sedikit benturan. Terdengar
desingan mengiris, saat pedang itu berkelebat menabas mata pisau.
Seperti membelah kayu, pedang itu memotong pisau tadi dengan mudahnya.
Terkesiap hati Gu Tong Dang, meskipun dia sudah menduga sebelumnya, tapi ketika melihat sendiri hasil percobaannya itu, tidak urung hatinya tergetar, "Pedang Angin Berbisik?"
Dipandanginya pedang itu, tidak terasa tangan yang memegang ikut gemetar. Dengan hati-hati, ditaruhnya kembali pedang
itu di samping tubuh Ding Tao, dan secara reflek cepat-cepat tangannya menjauh segera setelah pedang itu tergeletak di
tempatnya, seperti meletakkan seekor ular berbisa.
Pikiran guru tua itupun dipenuhi kekalutan. Permasalahan Ding Tao bukan lagi sekedar perkelahian antara dua anak muda
yang tidak bisa mengendalikan diri.
Pondok itupun diliputi suasana sepi, sementara di luar justru kesibukan sudah dimulai. Di dekat sumur sana, Fu Tsun,
paman Wang Chen Jin, salah seorang kepercayaan Wang Dou, memperhatikan keributan yang timbul saat penduduk melihat
ceceran darah dan bekas pertarungan di sekitar sumur.
Dengan lagak bersahabat dia mendekat dan ikut dalam pembicaraan mereka, "Wah, sepertinya habis ada kejadian di sini?"
Seorang tua yang berada di situ menengok padanya dan dengan ramah menjawab, "Iya, coba saja lihat, ada semak dan
kayu yang terpotong, seperti bekas ditabas pedang. Lalu lihat bekas ceceran darah di mana-mana."
"Benar-benar, lalu apa kemarin tidak ada yang mendengar ribut-ribut ini?"
"Ada juga, sekitar lewat tengah malam kemarin, memang terdengar suara-suara orang bertarung. Tapi tidak ada yang
berani menengok." "Memang benar pak, daripada jadi sasaran pedang nyasar."
"Iya, kita semua juga berpikir begitu."
"Apa urusannya tidak disampaikan pada petugas?"
"Justru itu, ada yang bilang sebaiknya dilaporkan, tapi ada jug ayang mengatakan lebih baik diam-diam saja. Serba salah memang, lapor salah, tidak lapor juga salah."
Fu Tsun mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan orang tua itu, dengan berpura-pura ikut prihatin dia menjawab,
"Sebaiknya mungkin memang diam-diam saja pak, melihat dari bekasnya, yang berkelahi bukan orang sembarangan. Kalau
bapak melapor, salah-salah malah membuat musuh dengan orang yang sakti."
Beberapa orang yang berada di situ, ikut tertarik dengan jawaban Fu Tsun, salah seorang yang masih muda ikut bertanya,
"Menurut saudara yang berkelahi di sini, orang-orang dunia persilatan?"
Fu Tsun merasa senang karena ada yang menanyakan pendapatnya, dengan menegakkan dada dia menjawab, "Dari yang
kulihat sepertinya demikian, lagipula kalau yang berkelahi penduduk daerah sini juga, bukankah sekarang sudah ketahuan
siapa orangnya?" Mereka yang mendengar mengangguk-angguk tanda setuju.
"Kemudian lihat bekas goresan di tanah itu, goresan itu cukup dalam dan tipis. Jelas tergores benda tajam sejenis pedang, tapi lihat betapa dalam goresannya. Jika orang biasa saja, mana mampu membuat goresan sedalam itu dengan pedang
yang tipis?" Kembali mereka yang berkumpul menganggukkan kepala.
"Itu sebabnya kalau menurut pendapatku, paling baik didiamkan saja, kalau bisa kita bersihkan bekas-bekas yang ada
supaya tidak timbul pertanyaan dari petugas yang mungkin lewat."
Salah seorang tua di situ ikut menimbrung, "Nah, betul tidak perkataanku, sedari tadi sudah kubilang paling baik kita diam-diam saja, sebisa mungkin kita bersihkan tempat ini dari bekas-bekas yang ada."
Seorang dari mereka yang tampaknya tidak setuju menyanggah, "Kalau sampai ada kejadian yang meninggal bagaimana"
Apa kita nanti tidak disalahkan petugas karena tidak membuat laporan?"
Fu Tsun-lah yg menjawab. "Urusan orang dunia persilatan, sudah pasti tidak akan sampai ke telinga petugas, yang
kehilangan saudara tidak nanti akan melapor. Tapi pembunuhnya, kalau sampai mendengar ada yang lapor, bisa jadi akan
menuntut balas." Mendengar itu mereka semua sama mengangguk-angguk, sejenak mereka berpandangan, salah seorang dari mereka
menegaskan, "Jadi bagaimana" Kita diamkan saja?"
Yang lain saling memandang lalu mengangguk dan gumaman terdengar, "Ya?"
"Baiknya begitu."
"Sudah tentu." Salah seorang tua dari antara mereka berkata, "Ayolah kita kembali bekerja kalau begitu."
Satu per satu mereka berpamitan pada Fu Tsun dan meninggalkannya, kembali pada kesibukan mereka masing-masing.
Termangu Fu Tsun berpikir untuk mengorek lebih banyak lagi keterangan.
Ketika orang terakhir sudah hendak berpamitan pula, Fu Tsun bertanya, "Sobat, perkelahian kemarin malam, apakah
memang sepertinya berakhir dengan kematian?"
Sejenak orang yang ditanya itu menggaruk-garuk kepalanya, "Entahlah, ada yang bilang pada saat terakhir dari
pertarungan itu sempat terdengar suara orang tercebur ke dalam sumur itu."
Uraian itu sesuai dengan cerita dari Wang Chen Jin. Menengok ke arah sumur yang ditunjuk Fu Tsun lanjut bertanya, "Lalu apakah tidak ada yang berusaha melihat ke dalam sumur itu" Maksudku, apakah benar ada yang terjatuh ke dalamnya."
"Memang begitulah yang kami lakukan, karena jika benar ada mayat di dalamnya, tentu sebaiknya dikeluarkan secepatnya.
Atau lebih baik lagi kami timbuni saja sumur itu dengan batu-batu dan menggali sumur yang baru."
Mendengar itu timbul keraguan dalam hati Fu Tsun, "Lalu?"
"Begitu hari sudah mulai terang, beberapa menengok ke dalam sumur itu, tapi tidak terlihat apa-apa dari atas. Jadi kami berpikir, mungkin kami hanya salah dengar."
Tercengang Fu Tsun mendengar hal itu, tapi sebisa mungkin ia menutupi kekagetannya, "Aneh sekali, lalu suara apa yang
kalian dengar malam itu?"
Orang yang ditanya hanya bisa mengangkat bahunya, "Entahlah, mungkin kami salah dengar, mungkin bukan orang yang
jatuh ke dalam sumur sana. Atau mungkin dia masih hidup dan berhasil keluar kembali."
Kacaulah perasaan Fu Tsun mendengar pernyataan orang itu, tapi pada dasarnya dia adalah orang yang teliti dalam
menghadapi setiap persoalan, itu sebabnya Wang Dou menganggap dia sebagai salah satu orang kepercayaannya. Bukan
hanya karena Fu Tsun masih memiliki hubungan keluarga dengan dirinya, tapi juga karena ketelitiannya.
"Apakah ada yang turun ke dalam sumur itu untuk memeriksa" Ataukah kalian hanya melihat dari atas saja?"
"Kami hanya melihat dari atas, tapi air sumur itu cukup bening. Jika memang ada mayat di dalamnya, meskipun hanya
bayang-bayang saja, tapi kami tentu bisa melihatnya. Lagipula bukankah biasanya mayat mengapung di dalam air?"
Fu Tsun menggosok-gosok dagunya, berpikir.
"Tidak juga, di dasar sumur mungkin berlumpur, tentu tidak terlihat dari atas. Tapi bisa jadi tubuh itu tenggelam ke dasar karena di tubuhnya ada yang memberati ke bawah. Lalu di bawah sana dia tertutup oleh lumpur di dasar sumur."
Menengok ke arah orang yang diajak bicara Fu Tsun berkata, "Cerita kalian membuatku tertarik, aneh sekali jika kalian
mendengar suara orang tercebur ke dalam sumur, tapi tidak ada mayat di dalam sana. Kalau kalian mau membantu,
biarkan aku turun ke dalam sana untuk memeriksa."
Terangkat alis orang yang diajak bicara, heran, "Sobat, kau benar-benar mau turun ke dalam sumur itu untuk memeriksa?"
Fu Tsun tertawa menutupi rasa galau di hatinya, "Ya begitulah, sudah sedari aku kecil, selalu tertarik dengan hal-hal yang aneh seperti ini. Kalau tidak turun ke bawah dan memeriksa dengan teliti, aku tidak akan bisa tidur nyenyak berhari-hari memikirkan hal itu."
Yang diajak berbicara menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya diapun mengangguk, "Baiklah, memang kalau ada yang
mau turun dan memeriksa sudah tentu lebih baik lagi. Ayolah, akan kuajak beberapa temanku untuk berjaga dan
membantumu turun ke bawah."
Tidak lama kemudian orang-orang itu kembali berkumpul, sekali ini mereka tertarik untuk melihat Fu Tsun yang akan
menuruni sumur. Sebuah tali yang kuat diikatkan ke tubuh Fu Tsun, beberapa orang membantu menahan tali itu agar Fu Tsun dapat turun ke
dalam sumur itu dengan aman.
Fu Tsun turun ke bawah dengan membawa sebuah obor di tangan, karena di atas ada orang-orang yang menahan tali dan
perlahan-lahan menurunkannya ke bawah, Fu Tsun pun bisa mengamati keadaan sumur itu dengan mudah.
Hatinya berdebar saat samar-samar dia dapat melihat bekas-bekas tapak kaki dan tangan di beberapa tempat. Sebelum dia
sampai ke bawah, dia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi malam itu.
Meskipun jejak yang tertinggal tidaklah jelas dan ada kemungkinan bukanlah bekas kaki dan tangan, tapi jejak itu
memberikan jawaban atas hilangnya mayat Ding Tao dari dalam sumur. Setelah dia sampai ke permukaan air dari sumur itu
makin yakinlah Fu Tsun akan dugaannya.
Pedang Ding Tao yang ditusukkan ke dinding sumur dan dipakainya sebagai pijakan masih tertinggal di sana.
Demikian juga bekas kaki Gu Tong Dang terlihat cukup jelas, karena saat Gu Tong Dang mengikatkan tali di tubuh Ding Tao kakinya menjejak lebih kuat ke dinding sumur, hingga di bagian itu dinding sumur sampai berlekuk ke dalam oleh tekanan
kaki Gu Tong Dang. Pertama karena Ding Tao saat itu berpegangan pada tubuhnya hingga kakinya harus menjejak lebih kuat untuk menahan
tubuh mereka berdua. Dan yang kedua karena saat itu kedua tangannya sibuk mengikatkan tali pada tubuh Ding Tao
sehingga beban itu sepenuhnya ditanggung kedua kaki Gu Tong Dang.
Tidak cukup melihat bekas yang ada dan mereka kembali kejadian malam itu, Fu Tsun mengamati dengan hati-hati ke
bawah dasar sumur dengan air yang memang bening itu. Setelah benar-benar yakin bahwa tidak ada mayat Ding Tao
ataupun pedang Wang Dou di bawah sana, dia menarik tali dua kali sebagai tanda agar mereka yang di atas menarik
tubuhnya kembali ke atas.
Sepanjang perjalanan otak Fu Tsun berputar keras, dari apa yang dia lihat dan dengar, jelaslah Ding Tao belum mati saat dia terjatuh ke dalam sumur. Lebih jauh lagi, ada seseorang yang telah menolongnya keluar dari sumur itu dan pedang
pusaka Wang Dou ada di tangan mereka.
Dengan gigi gemeretak Fu Tsun oleh marah Fu Tsun berusaha menebak-nebak siapakah orang yang telah menolong Ding
Tao dan menguasai pedang pusaka itu. Kecurigaannya yang terbesar tertuju pada keluarga Huang, meskipun dia tidak
menutup kemungkinan ada orang lain yang secara kebetulan melihat pertarungan itu.
Bukan hal yang aneh jika ada tokoh persilatan yang usil dan mengikuti jalannya pertarungan antara kedua pemuda itu.
Untuk kemudian menolong Ding Tao yang jatuh ke dalam sumur. Entah karena tertarik dengan pedang yang jatuh atau
sekedar ingin menolong pemuda itu.
Sesampainya di atas, raut wajah Fu Tsun sudah normal kembali, dengan lagak tawa dia menjelaskan penemuannya di
bawah sana. Setelah beberapa saat berbasa-basi, tanpa membuang lebih banyak waktu lagi dia berusaha meneliti jejak yang mungkin
tertinggal di sekitar sumur itu. Jejak yang bisa membantu dia untuk menemukan Ding Tao, penlongnya dan pedang pusaka
Wang Dou. Tapi kegiatan penduduk di sekitar tempat itu dan kehati-hatian Gu Tong Dang telah menghapuskan jejak-jejak yang
mungkin saja tertinggal. Dengan hati galau, Fu Tsun memacu kudanya untuk menemui Wang Dou dan melaporkan hasil
temuannya. Sementara itu pada saat yang sama Ding Tao telah sadar dari tidurnya. Bau sop kaldu ayam yang menyebar memenuhi
pondok kecil itu. Dikejap-kejapkannya matanya, sambil menyeringai menahan sakit dia berusaha bangkit, luka di dadanya terasa sedikit
nyeri, demikian juga memar-memar yang ada di tubuhnya. Perlahan-lahan ingatannya kembali.
Teringatlah kembali dia akan pertarungan yang terjadi di malam sebelumnya, bagaimana dia terjatuh ke dalam sumur dan
akhirnya ditolong oleh Gu Tong Dang.
Diedarkannya pandangannya ke seluruh ruangan, saat tidak menemukan Gu Tong Dang, dia berusaha bangkit berdiri.
Tanpa sengaja tersentuhlah olehnya pedang pusaka milik Wang Dou.
Melihat pedang itu dan teringat akan keistimewaan pedang itu, Ding Tao tidak ingin meninggalkan pedang itu tergeletak
begitu saja. Sambil menjinjing pedang itu di tangan, diapun berjalan dengan sedikit tertatih-tatih untuk mencari Gu Tong Dang.
Gu Tong Dang yang saat itu berjaga-jaga di luar mendengar suara tempat tidur yang berderik-derik. Dengan tangkas guru
tua itupun, bangkit dan memasuki kamar tempat dia merawat Ding Tao.
Saat Ding Tao melihat Gu Tong Dang, cepat pemuda itu hendak berlutut untuk mengucapkan terima kasihnya. Tapi Gu Tong
Dang dengan cepat menahan tubuh pemuda itu.
"Guru" " "Ah, tubuhmu masih lemah, sebaiknya beristirahat saja di tempat tidur."
"Guru" terima kasih guru" jika bukan karena pertolonganmu, tentu?"
"Hahaha, sudahlah, tak usah kau pikirkan, saat ini yang harus kau lakukan adalah beristirahat untuk memulihkan
kondisimu." Dengan berhati-hati dipapahnya Ding Tao kembali ke tempar tidur yang ada. Kemudian dibawakannya semangkuk sop ayam
yang sudah dia sediakan. "Ini makanlah dulu, setelah itu bermeditasilah untuk mengatur dan mengumpulkan hawa murni di tubuhmu."
"Baik guru, terima kasih guru."
Perlahan-lahan Ding Tao menyeruput sop ayam yang masih mengepul.
Gu Tong Dang menarik sebuah bangku dan duduk di hadapan muridnya itu, "Ding Tao, sambil kau makan, aku hendak
berbicara denganmu."
Ding Tao dengan sedikit berdebar menganggukkan kepala, "Baik guru" "
"Kemarin saat kita mengantarkan keluarga Wang pulang ke rumah mereka, sempat kulihat Wang Chen Jin membisikkan
sesuatu padamu, apakah itu yang menyebabkan engkau pergi diam-diam keluar kota untuk bertemu dengannya?"
"Benar guru", dia, dia mengatakan ada satu urusan penting yang bersangkut paut dengan nona muda Huang."
Gu Tong Dang mengangguk-anggukkan kepalanya, "Hmmm", jadi begitu rupanya. Di dalam hatinya dia masih mendendam
padamu dan dengan alasan itu dia berusaha menjebakmu lalu membunuhmu."
"Sepertinya demikian guru?"
Sejenak lamanya Gu Tong Dang memandangi muridnya itu dan memikirkan sifat muridnya yang lugu, "Ding Tao, hendaknya
pengalaman ini kau ingat baik-baik dalam hati. Hidup dalam dunia persilatan, janganlah mudah percaya perkataan orang.
Ketahuilah bahwa aku sudah merasakan satu kejanggalan sejak aku melihat dia berbisik diam-diam padamu."
"Ketika aku berusaha mencarimu di kamarmu, ternyata engkau tidak ada di sana. Secepatnya aku berusaha mencarimu,
sayang aku datang terlambat."
"Tidak terlambat guru, seandainya guru terlambat tentu murid sudah pergi meninggalkan dunia ini. Budi guru tidak akan
pernah murid lupakan, bukan hanya berhutang pelajaran, murid bahkan berhutang nyawa."
"Hehehe, sudahlah, seandainya aku datang lebih cepat tentu keadaanmu tidak separh sekarang ini. Tapi sekarang semua itu tidaklah penting, ada hal yang lebih penting yang harus kusampaikan padamu."
Wajah Gu Tong Dang menjadi lebih serius dan Ding Tao yang melihat perubahan pada wajah gurunya itupun jadi terdiam
dan menebak-nebak. "Anak Ding, tahukah kamu pedang apa yang dipakai Wang Chen Jin itu?", tanya Gu Tong Dang sambil menunjuk ke arah
pedang yang ada di samping Ding Tao.
Karena tidak tahu dan juga yakin bahwa gurunya tentu mengetahui keberadaan dan latar belakang pedang yang berhasil
direbutnya dari Wang Chen Jin, Ding Tao menggelengkan kepala, sambil seluruh perhatiannya menantikan kata-kata
selanjutnya dari Gu Tong Dang.
"Hmm", kau tentu sudah mengetahui bahwa pedang itu sangatlah berharga, hingga dalam keadaan yang sangat payah pun
pedang itu masih kau genggam erat. Mungkin saat bertarung dengan Wang Chen Jin, kau dapati pedang baja putih milikmu
dengan mudah bisa dipotong-potong oleh pedang itu."
"Nah Ding Tao, sekarang dengarkanlah baik-baik apa yang akan aku katakan mengenai pedang itu. Jika aku tidak salah,
pedang yang sekarang ada padamu itu adalah Pedang Angin Berbisik, milik mendiang pendekar pedang kenamaan Jin Yong
yang sering juga dijuluki Raja Pedang dari Emei."
Mendengar itu mata Ding Tao terbelalak, siapa yang tidak pernah mendengar nama besar Jin Yong, siapa pula yang tidak
pernah mendengar kisah pedang miliknya yang hilang tidak tentu rimba saat pendekar itu meninggal. Kira-kira 12 tahun
yang lalu pendekar besar itu mati diracun dan pedangnya tidak ditemukan pada mayatnya.
Sejak saat itu sudah ada beberapa pendekar pedang yang dikabarkan berhasil memiliki pedang pusaka itu, namun umur
mereka tidaklah panjang. Dalam waktu yang kurang dari 10 tahun, entah sudah ada berapa pendekar yang meninggalkan dunia fana, untuk
memperebutkan pedang pusaka itu, sampai beberapa tahun yang lalu ketika pedang itu benar-benar lenyap tanpa kabar.
Siapa sangka, rupanya pedang itu sudah jatuh ke tangan keluarga Wang.
Gu Tong Dang dengan arif membiarkan Ding Tao mencerna kenyataan yang baru didengarnya. Beberapa saat kemudian
diapun melanjutkan, "Menurut pendapatku, Wang Dou entah dengan cara bagaimana mendapatkan pedang itu. Namun dia
cukup cerdik untuk menyadari kelemahannya dan menyimpan pedang itu tanpa menggunakannya."
"Melihat gagang kayu pedang itu, menurutku dia tentu menyembunyikan pedang itu ke dalam sebuah tongkat kayu. Karena
pada bentuk aselinya, gagang pedang itu terbuat dari besi yang sama dengan mata pedangnya."
Sambil merenungi mangkok di tangannya, Ding Tao melanjutkan kata-kata Gu Tong Dang, setengah berbisik, "Dan Wang
Chen Jin yang sangat mendendam padaku, meminjam pedang ayahnya dengan diam-diam."
"Ya, kurasa itulah yang terjadi. Wang Dou yang sudah bersabar selama bertahun-tahun menyimpan tanpa sekalipun
menggunakan pedang itu, tentu tidak akan meminjamkannya pada anaknya hanya untuk membalas dendam. Orang itu
memiliki ambisi yang besar, jika dia belum berhasil meyakinkan ilmu pedangnya, tidak akan dia memunculkan pedang itu."
Dengan sabar Gu Tong Dang menghentikan penjelasannya, dan diamatinya wajah Ding Tao. Ding Tao yang merenung-
renungkan perkataan Gu Tong Dang tiba-tiba memucat wajahnya. Tangannya bergetar hingga beberapa tetes kaldu ayam
tercecer ke atas pembaringannya.
Gu Tong Dang yang melihat itu, menutup matanya dan mendesah.
"Guru" jika demikian keadaannya" tentu" tentu" Wang Dou akan mencari dan berusaha mendapatkan kembali pedang itu
dengan segala cara. Dan tempat pertama yang dia tuju?"
Mendesah Gu Tong Dang melanjutkan kata-kata muridnya, "Ya" tempat pertama yang diselidikinya sudah tentu adalah
kediaman keluarga Huang."
"Guru... menurut guru, apakah sebaiknya yang harus kulakukan?"
Untuk beberapa saat Gu Tong Dang terdiam, baginya berat untuk mengatakan apa pendapatnya.
"Hehh"., ini tidaklah mudah. Anak Ding, menurut pendapatku, tidak ada jalan lain, kau harus pergi meninggalkan kota
secepatnya. Dan jangan pernah lagi kembali sebelum kau bisa meyakinkan ilmu pedangmu."
"Kau harus memutuskan hubunganmu dengan keluarga Huang, hanya dengan cara itu kau bisa membersihkan nama
keluarga Huang dari urusan ini."
Wajah Ding Tao yang pucat semakin pucat, "Guru" apakah tidak ada jalan lain" Bagaimana kalau pedang ini aku berikan
saja pada Tuan besar Huang atau mungkin aku kembalikan lagi pada Tuan Wang Dou?"
Dengan berat hati Gu Tong Dang menggelengkan kepalanya," Anak Ding, cobalah pikirkan dengan hati yang jernih. Jika kau
kembalikan pedang itu pada Wang Dou, nyawamu pasti hilang. Karena bagi Wang Dou bukan saja kembalinya pedang itu
yang penting, tapi juga keberadaan pedang itu padanya haruslah menjadi satu rahasia."
"Dan untuk menjaga rahasia itu, siapapun yang mengetahui bahwa dia memiliki pedang itu harus dibinasakan. Jika kau
kembali, keluarga Huang pun akan ikut terseret dalam permasalahan ini."
Sambil menggigit bibir Ding Tao menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam hatinya dia masih belum bisa menerima
kenyataan. Sudah sejak dia masih kanak-kanak dia tinggal bersama keluarga Huang. Sejak menginjak remaja hatinya
sudah tertambat pada nona muda Huang. Dan baru saja dia memiliki keberanian untuk berharap untuk bisa mendapatkan
hati nona muda pujaannya.
"Guru, apakah Wang Dou kebih kuat dari keluarga Huang, jika kuberikan pedang ini pada Tuan besar Huang, tidakkah
keluarga Huang menjadi kuat karenanya?"
"Anak Ding, ilmu pedang dan kekuatan keluarga Huang secara keseluruhan, mungkin masih berimbang dengan kekuatan
Wang Dou dan kelompoknya. Tapi jangan lupa, dunia persilatan penuh dengan tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian
bagaikan dewa. Jika bukan karena keberadaan mereka, tentu Wang Dou tidak perlu merahasiakan keberadaan pedang itu."
"Wang Dou mungkin saja tidak berani merebut pedang itu, tapi jika demikian, maka tidak ada pula alasan baginya, untuk
tidak menyiarkan berita bahwa keluarga Huang telah mendapatkan pedang itu dan aku mengenal tabiat Tuan besar Huang,
dia tidak akan melepaskan pedang itu begitu saja."
"Meskipun telah beberapa generasi kita lebih berkonsentrasi pada usaha dagang. Namun aku tahu dengan pasti, bahwa
dalam hatinya, ambisi untuk merajai dunia persilatan itu pun ada. Mungkin sekarang dia memendamnya tapi jika dia sampai memiliki pedang ini, ambisi yang terpendam itu akan berkobar dan api kobarannya bisa membakar kedamaian keluarga
Huang." "Anak Ding, keberadaan pedang itu, akan mengundang bencana bagi keluarga Huang. Jika kau tidak ingin melihat
kedamaian yang ada pada keluarga Huang sekarang ini hilang, kau harus membawa pergi pedang itu jauh-jauh dari
mereka." Ding Tao meletakkan mangkok yang dipegangnya, ditangkupkannya kedua tangannya yang gemetar menahan perasaan.
Perlahan-lahan dia berusaha bernafas dengan lambat dan teratur, dipikirkannya kedudukannya saat itu dengan cermat.
Menutup kedua matanya, dia menghela napaf dan berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan yang akan mengganggunya
dalam berpikir. Pemuda itu bisa membayangkan reaksi Wang Dou apabila tokoh tua itu mendapati pedangnya hilang bersamaan dengan
hilangnya dirinya. Yang pertama-tama dia lakukan tentu memeriksa sumur tempat dia terjatuh, ketika didapatinya Ding Tao sudah menghilang
bersamaan dengan pedang itu, maka kecurigaan akan dialihkan pada orang-orang dalam keluarga Huang.
Apabila dirinya masih sempat datang kembali ke kediaman keluarga Huang setelah kejadian itu, tentu Wang Dou akan
memiliki pemikiran bahwa mungkin saja pedang itu berada dalam kekuasaan keluarga Huang. Meskipun Ding Tao kemudian


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi dari rumah keluarga Huang, kecurigaan itu tidak akan hilang begitu saja.
Baginya tidak ada pilihan lain kecuali dengan segera meninggalkan kota, tanpa berpamitan pada siapapun juga.
Akan tetapi kondisi tubuhnya saat di dalam sumur sangatlah buruk, tidak mungkin dia keluar tanpa bantuan dan bila Wang
Dou cukup teliti, tentu akan diketahui pula bahwa gurunya Gu Tong Dang sempat meninggalkan kediaman keluarga Huang
pada malam itu. Ding Tao membuka matanya dan menatap sosok kakek tua yang ada di hadapannya. Diperhatikannya keriput di wajah tua
itu dan senyum yang tidak lepas juga meskipun menghadapi kejadian yang mengejutkan, "Guru, jika demikian pemikiran
guru, itu berarti, guru pun tidak bisa pulang kembali."
Guru tua itu mengangguk-angguk dengan sabar, "Ya, sepertinya kau sudah mengerti. Mungkin banyak orang akan
memandang kita sebagai orang yang tidak mengenal arti kata setia dan tidak tahu membalas budi."
"Tapi jika kita tidak mau membawa kesulitan masuk ke dalam keluarga Huang, justru inilah yang harus kita lakukan."
Ding Tao mengangguk, meskipun terasa pahit baginya, tapi diapun tidak melihat jalan lain.
Gu Tong Dang mendesah sedih, guru tua itu bukannya tidak tahu bagaimana perasaan Ding Tao terhadap nona muda
Huang. Dengan perlahan dia bangkit berdiri lalu menepuk-nepuk pundak Ding Tao, "Bersabarlah, dalam dua tahun, jika kau
rajin berlatih, tentu kepandaianmu bisa meningkat pesat dan pada saat itu, tidak perlu kau takut pada Wang Dou. Pada saat itu, dengan pedang Angin berbisik di tanganmu, tidak banyak yang dapat menandingimu."
Ding Tao berusaha tersenyum dan mengangguk, meskipun hatinya masih terlalu pedih untuk mengucapkan apa-apa.
Gu Tong Dang bisa menyelami perasaan muridnya, "Sudahlah, aku akan menyiapkan bekal bagi perjalanan kita, percayalah,
aku akan berusaha membantumu sekuat tenaga."
Gu Tong Dang meninggalkan ruangan itu dan tinggallah Ding Tao sendiri. Pemuda itu menatap langit-langit kamar,
terbayang di pelupuk matanya, senyum manis nona muda Huang.
Terbayang pula betapa terkejutnya mereka sekeluarga ketika mendapati dirinya dan gurunya hilang begitu saja. Saat
mereka mendapati keduanya pergi dengan keinginan sendiri, betapa mereka akan mencaci maki dan memandang rendah.
Ding Tao mendesah, matanya dipejamkan dan keluhan pendek keluar dari mulutnya.
Beberapa lamanya dia berdiam, ketika matanya membuka, wajahnya tidak lagi dihiasi kerisauan, melainkan ada kemauan
yang kuat terpancar di sana.
Ding Tao bukan seorang pemuda yang keranjingan ilmu silat, jika dia berlatih dengan tekun, itu adalah karena dia ingin
menyenangkan hati nona muda Huang. Jika dia pernah bermimpi menjadi jagoan pedang, itupun karena dia ingin
memenangkan hati nona muda Huang.
Sekarang nasib sudah memaksa dia untuk mengambil jalan yang akan dipandang rendah oleh nona muda itu. Tapi Ding Tao
bertekad untuk menggembleng dirinya dengan tekun, sehingga satu saat nanti dia bisa kembali, untuk meluruskan kesalah
pahaman ini dan menghapuskan segala kesan buruk yang ada dalam benak nona muda Huang terhadap dirinya.
Panas terik membakar permukaan bumi dan penghuninya. Hari belumlah mencapai tengah hari tapi panasnya sudah mebuat
keringat bercucuran. Mereka yang berduit lebih memilih menggunakan kereta atau tandu.
Yang tidak berduit, terpaksa berjalan kaki saja dengan menggunakan topi lebar untuk menudungi kepala mereka dari
teriknya matahari. Tapi ada saja orang muda, utamanya para laki-laki yang berjalan dengan dada tengadah tanpa tudung kepala. Buat mereka ini panasnya matahari masih tidak sepanas darah yang mengalir di tubuh mereka. Kulit mereka berwarna tembaga, karena
begitu seringnya terbakar matahari.
Atau juga mereka yg masih remaja dan anak-anak, yang bermain tanpa mempedulikan panasnya matahari. Karena
semangat mereka yg meledak-ledak tidak bisa dipadamkan dengan sedikit panas atau hujan.
Beruntung negara yang terisi dengan pemuda-pemuda seperti ini, tapi sungguh celaka jika negara seperti ini dipimpin oleh pemimpin yang malas dan picik. Sehingga bibit-bibit di masa depan, harus mati tertindas atau teracuni oleh keserakahan
pemimpinnya. Salah satu dari mereka yang berjalan tanpa tudung kepala adalah seorang pemuda yang sangat menonjol perawakannya.
Wajahnya lebar dan kesan jujur terpancar di sana. Senyum yang sopan tidak pernah lepas dari bibirnya. Sebenarnya tidak
bisa dikatakan tampan, meskipun juga bukan seorang buruk rupa, yang menarik dari wajah pemuda itu adalah ekspresi
yang ada di sana. Sekilas orang memandang, mereka bisa merasa bahwa pemuda ini dapat dipercaya.
Tinggi badannya melampaui orang-orang di sekitarnya, sehingga ke mana dia berjalan, tanpa terasa orang akan
memandang ke arahnya. Pemuda itu berjalan sambil menengok ke kanan dan ke kiri, diam-diam bergumam seperti sedang mengenangkan masa
lalu, "Ah, toko uwak Hong itu masih ada, semakin ramai saja kelihatannya."
Atau "Lho, toko kain yang di ujung pasar sekarang sudah berubah jadi kedai makan. Di mana ya bibi tua yang baik hati itu
sekarang." Orang lewat yang sempat mendengar itu bisa menarik kesimpulan bahwa pemuda ini dulunya pernah tinggal di kota itu dan
sekarang kembali setelah meninggalkan kota itu untuk waktu yang cukup lama.
Ketika pemuda itu melewati sebuah rumah makan bertingkat dua, maka tanpa disadarinya ada 3 pasang mata yang
mengamati keberadaannya. Ketiga orang itu berduduk di tingkat 2, sehingga dengan mudah mereka mengamati pemuda itu
tanpa terlihat olehnya. Ketiganya duduk dalam satu meja yang sama, buntalan yang diletakkan di atas meja mengesankan bahwa ketiganya,
seperti sedang mengadakan perjalanan jauh. Sebilah pedang tergantung di pinggang, jika itu tidak cukup, maka tatapan
mata yang tajam, urat yang bertonjolan di tangan dan kulit tangan yang mengeras di tempat-tempat tertentu menunjukkan
bahwa ketiganya adalah orang-orang yang sudah cukup lama bergelut dengan pedang.
Tentu saja, tidak berarti bahwa ketiganya adalah jago pedang.
Salah seorang yang termuda di antara mereka berbisik pada yang lain, "Apakah benar dia" Sepertinya benar dia, tapi juga rasanya berbeda. Lebih" lebih?"
Dengan nada yang ragu dia meneruskan, " " lebih gagah, lebih berwibawa."
Yang tertua di antara mereka menyipitkan matanya, berusaha menangkap lebih jelas raut wajah pemuda yang sedang
mereka amati, "Mataku sudah tidak seawas biasanya, tapi dari dulu pun tubuhnya sudah lebih tinggi dari kebanyakan orang biasa. Dalam dua tahun, bukan tidak mungkin dia bertambah tinggi lagi."
Orang ketiga berkata pula, "Mataku masih cukup awas dan menurutku, itu memang dia. Tentu saja ada perubahan-
perubahan, ketika dia menghilang dulu dia masih berumur 18 tahun. Masih dalam masa pertumbuhan. Kalau kuingat
sewaktu dia kecil dulu justru dia yg terpendek di antara yang lain dan baru menginjak usia 15-an tubuhnya bertumbuh
dengan cepat. Rasanya itu memang dia."
Tapi cepat-cepat dia menambahkan, "Meskipun demikian, kalau hendak memastikan, sebaiknya kita lihat saja dari dekat."
Yang paling tua di antara mereka berpikir sejenak, tampaknya dialah yang menjadi pemimpin dalam kelompok ini, itu
sebabnya ketika mengajukan pendapat, kedua orang yang lain selalu memandang ke arahnya.
"Hmm" kurasa sebaiknya begitu."
Yang termuda di antara mereka tampak ragu, "Tapi kita sedang mengemban tugas penting, apakah memang pemuda itu
begitu pentingya" Jika terlambat hanya gara-gara pemuda itu, bukankah kita bisa kena semprot Tuan besar Huang
nantinya?" Dua orang lain yang lebih tua umurnya saling berpandangan. Seperti saling mengerti tanpa kata-kata keduanya perlahan-
lahan mengangguk. Kemudian yang tertualah yang menjawab, "Dibilang penting sekali juga tidak. Tapi memastikan identitas pemuda itu
tidaklah begitu susah dan memakan waktu, nanti setelah memastikan dirinya kita bisa memutuskan langkah selanjutnya."
Yang termuda pun terpaksa mengangguk, dia bisa merasakan ada ketegasan dalam jawaban itu. Meskipun demikian dalam
hati dia bertanya-tanya, ada apa di balik pemuda itu" Seorang tukang kebun yang menghilang bersamaan dengan hilangnya
seorang guru tua dua tahun yang lalu. Apakah ada satu misteri yang penting di balik menghilangnya mereka"
Dengan hati bertanya, diapun mengikuti kedua orang yang lebih tua dari dirinya.
Bergegas mereka keluar, untuk mengikuti pemuda tadi, pemilik rumah makan itu tampaknya sudah mengenal baik mereka
bertiga, sehingga tanpa banyak pertanyaan dibiarkannya saja, ketiganya berlalu.
Dengan setengah berbisik, ia memanggil pelayan yang melayani meja mereka bertiga, "Hei, kau catat saja dulu pesanan
mereka, kalau mereka tidak kembali kita tagihkan saja ke rumah Tuan besar Huang."
Meragu sejenak dia menambahkan, "Sementara ini, biarkan saja meja mereka, siapa tahu nanti mereka kembali."
Ketiga orang itu berlalu tanpa berpamitan, tidak sulit untuk mengikuti pemuda yang mereka cari, tubuhnya yang jauh lebih tinggi dibanding orang di sekitarnya memudahkan mereka.
"Sepertinya dia pergi menuju ke tempat kediaman keluarga Huang. Apa yang sebaiknya kita lakukan?"
Berkerut alis pemimpin dari rombongan kecil itu, "Kalau dia memang pergi untuk menemui Tuan besar Huang, tidak perlu
kita mengikuti dia seperti ini."
"Kakak, rasanya memang benar tentu dia itu Ding Tao, sedari dulu sifatnya jujur dan setia. Menghilangnya dia dua tahun
yang lalu, tentu karena terpaksa dan sekarang dia hendak kembali untuk datang dan meminta maaf pada Tuan besar
Huang, telah pergi tanpa berpamitan."
"Aku rasa kamu benar. Meskipun demikian?"
Kedua orang yang mengikut menunggu dengan tegang, menanti pimpinan mereka memberikan keputusan.
"Huang Lui, sekarang sebaiknya kau kembali ke rumah, mendahului pemuda itu. Entah dia benar Ding Tao atau bukan,
menurutku ada baiknya pamanmu, Tuan besar Huang, sudah bersiap terlebih dahulu sebelum dia sampai."
Pemuda itu memandang dengan alis terangkat, seperti hendak memastikan. Dalam hatinya ada seikit rasa kecewa, ini
adalah pertama kalinya, dia dikirim keluar kota untuk menyelesaikan suatu urusan.
Ketika dilihatnya perintah itu sudah pasti dan tidak akan berubah, diapun mengangguk dengan sedikit enggan, "Baiklah
paman." Pemimpin rombongan itu bisa membaca kekecewaan di wajah Huang Lui, sambil tersenyum dia menambahkan, "Aku dan
adik Lin, akan menyelesaikan makan di rumah makan Hoa sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Kalau kau cepat-cepat
melapor dan kembali, kau bisa menyusul kami sebelum kami meninggalkan kota. Kalaupun kami sudah tidak ada di sana,
kau bisa mencari kami di Penginapan Bunga Seroja."
Wajah pemuda itupun menjadi cerah kembali, "Baiklah paman, aku akan secepatnya melapor pada Paman Huang Jin."
Kedua orang yang lain mengangguk, kemudian sambil menunggu pemuda itu menghilang, mereka terus mengamati
pemuda yang mereka sangka sebagai Ding Tao, tukang kebun keluarga Huang yang menghilang dua tahun yang lalu.
Mata keduanya masih mengikuti pemuda tinggi tegap itu, sampai dia menghilang di sebuah persimpangan.
"Sepertinya dia memang mengambil jalan menuju kediaman keluarga Huang, meskipun dia mengambil jalan yang sedikit
lebih panjang." "Hmm, benar, mungkin dia sedang mengenangkan kota ini. Dua tahun waktu yang cukup panjang dan ada banyak
perubahan di sana sini. Menurutmu apa perlu kita mengikutinya lebih jauh?"
Orang yang ditanya merenung sejenak, "Kurasa tidak perlu. Penilaian kita rasanya tidaklah salah, sudah 18 tahun hidup
mengenalnya, rasanya waktu yang 2 tahun tidak akan banyak mengubah wataknya itu. Lagipula jika benar pemuda itu Ding
Tao dan dia ingin menghindari kita orang-orang keluarga Huang, tentu dia tidak akan kembali ke kota ini."
Orang yang tertua, yang menjadi pimpinan itu termenung sejenak sebelum mengangguk dan berbalik kembali ke arah
rumah makan Hoa. Sambil berjalan kembali dia mendesis, "Tapi jika benar kecurigaan Tuan besar Huang tentang sebab musabab,
menghilangnya dia 2 tahun yang lalu?"
Kata-kata itu tidak dilanjutkannya, teman seperjalanannya pun tidak bertanya lebih jauh, keduanya berjalan sambil
termenun membayangkan peristiwa yang akan terjadi. Tiba-tiba yang lebih muda pun bergumam, "Sialan, kalau dipikir-pikir lebih lama, aku jadi menyesal sudah menerima penugasan ini."
Rekannya yang lebih tua tersenyum dan tidak lama kemudian menyahut, "Kalau aku,
aku justru bersyukur menerima penugasan ini. Urusan ini?" Setelah terhenti sebentar dia mendesah lalu melanjutkan, "Hahh". Sebenarnya
aku akan tidur lebih nyenyak seandainya Tuan besar Huang tidak ikut campur dalam urusan yang terkutuk ini." Rekannya yang lebih muda termangu sejenak, kemudian sambil memukul bahu rekannya yang lebih tua dengan bercanda dia menyahut, "Itu karena tulangmu sudah mulai keropos dimakan usia dan terlalu banyak kawin. Jangan-jangan nyalimu pun
ikut menjadi ciut setelah binimu ada dua."
Demikian sambil bercanda keduanya berlalu, tapi di dalam hati mereka, tidak bisa disangkal ada degup-degup ketegangan.
Jadi apakah benar adanya, bahwa pemuda tadi itu adalah Ding Tao"
Coba mengikuti kembali pemuda tinggi tegap itu, wajahnya memang serupa benar dengan Ding Tao, tentu saja dia itu Ding
Tao, jika tidak untuk apa kedatangannya perlu diceritakan di sini.
Meskipun matanya jauh lebih tajam mencorong dibanding dua tahun yang lalu, tubuhnya tumbuh jauh lebih tinggi dari
sebelumnya, dia tetap Ding Tao.
Seperti yang dikatakan oleh anggota termuda dari rombongan kecil itu, dia tampak lebih gagah dan berwibawa. Jika dua
tahun yang lalu Ding Tao seorang pemuda yang jujur, rendah hati dan tampak canggung di sekitar orang lain.
Ding Tao yang sekarang tampak lebih percaya diri, meskipun sorot matanya yang jujur masih ada di sana, diapun masih
seorang pemuda yang sopan dan rendah hati, terlihat dari cara dia mengangguk dan membungkuk pada orang yang
bersimpangan jalan dengan dirinya, seraya memberikan jalan terlebih dahulu pada mereka.
Cara dia berjalan sungguh jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu.
Kalau dipikirkan memang betapa ajaib, betapa cara seseorang memandang nilai dirinya sendiri bisa mengubah penampilan
seseorang begitu banyak. Meskipun dari fisik dan wajah tidaklah berbeda, tapi dari cara berjalan dan berlaku, dari sorot mata dan ekspresi wajah, seseorang yang memiliki keyakinan pada dirinya seringkali memancarkan kharisma yang berbeda.
Ding Tao yang saat itu terhanyut dalam kenangannya pada kota tempat dia lahir dan dibesarkan, sesungguhnya tidak kalah
tegang dengan kedua orang dari keluarga Huang yang melihatnya tadi.
Setiap langkah dia semakin dekat pada kediaman keluarga Huang, semakin dekat, semakin kencang pula debaran di
jantungnya. Bagaimana tanggapan Tuan besar Huang nantinya" Apa yang harus dia ceritakan tentang kejadian dua tahun yang lalu"
Apakah Tuan besar Huang akan marah kepadanya" Percayakah mereka pada ceritanya"
Dan tidak terucapkan bahkan dalam benaknya, tapi seperti arwah penasaran terus menghantui di belakang layar,
bagaimana tanggapan Nona muda Huang kepada dirinya sekarang ini"
Ketika akhirnya dia sampai di ujung jalan tempat di mana kediaman keluarga Huang berada, tanpa terasa kakinya berhenti
berjalan. Gerbang rumah sudah terlihat dari kejauhan, tinggal beberapa langkah lagi dia akan sampai di sana. Tapi yang
beberapa langkah itu rasanya jauh lebih berat dari ribuan li yang sudah dia tempuh berhari-hari sebelumnya.
Tanpa terasa dia teringat pada pembicaraannya dengan Gu Tong Dang beberapa minggu yang lalu, sebelum dia pergi untuk
menengok kembali keluarga Huang.
-------------- o ---------------
Saat itu Gu Tong Dang tampak jauh lebih tua dan lemah dari Gu Tong Dang dua tahun yang lalu. Berdua mereka hidup
dengan sangat sederhana dalam suasana yang penuh keprihatinan. Mereka sadar mereka harus baik-baik dalam
menyembunyikan diri. Jika sebelumnya mereka sudah terbiasa hidup serba berkecukupan dalam naungan keluarga Huang, sekarang mereka harus
bekerja keras sebagai buruh kasar hanya untuk makanan secukupnya. Tidur di tanah yang keras dengan hanya beralaskan
selembar kain tipis dan kasar.
Bagi Ding Tao yang masih muda hal itu tidak banyak mengganggu kesehatannya, bahkan kerja keras dan latihan-latihan
yang dia jalani, justru membuat tubuhnya makin sehat dan kuat.
Tapi bagi Gu Tong Dang yang sudah berumur, kehidupan itu sedikit banyak menurunkan kesehatannya. Meskipun tidak
sampai jatuh sakit, namun kekuatan fisiknya jauh lebih menurun dibandingkan dua tahun yang lalu. Lagipula guru tua itu
sungguh-sungguh memperhatikan kemajuan dan kesehatan muridnya. Tidak jarang guru tua ini, mengurangi jatah
makannya sendiri agar Ding Tao yang masih bertumbuh dapat makan dengan layak.
Pemuda itupun sesungguhnya berusaha menolak, namun Gu Tong Dang berkeras hati, sehingga akhirnya diapun
menerimanya, meskipun dengan hati yang merasa bersalah dan sangat terharu oleh kebaikan guru tua itu.
Dan saat hendak meninggalkan gurunya ini, pemuda itu mau tidak mau kembali tersentuh perasaannya, melihat kondisi Gu
Tong Dang yang tiba-tiba saja seperti bertambah 10 tahun usianya.
Terenyuh, pemuda itu hanya bisa menyampaikannya dengan kata-kata yang pendek, ketika dia berusaha membicarakan
dengan Gu Tong Dang mengenai keinginannya untuk menengok kembali keluarga Huang dan meluruskan kesalah-pahaman
yang mungkin timbul 2 tahun yang lalu.
Guru tua itu medengarkan penjelasan Ding Tao yang terbata-bata dengan sabar. Lama dia tidak menjawab, Ding Tao pun
hanya bisa menunggu sambil terdiam.
Ketika akhirnya dia menjawab, dia terlebih dahulu menepuk-nepuk pundak pemuda itu dengan rasa sayang, "Ding Tao,
muridku. Sepertinya aku tidak akan bisa mencegah lagi kepergianmu. Bekalmu pun kupandang sudah cukup banyak. Hanya
saja, sebelum engkau pergi, dengarkan dulu penjelasan gurumu ini."
"Ding Tao apakah kamu percaya dengan perkataan gurumu ini" Apakah kamu percaya dengan ketulusan gurumu ini"
Bahwasannya, setiap nasihatku adalah untuk kebaikanmu?"
Ding Tao mengangguk dengan tegas, "Tentu guru, budi guru tidak akan pernah kulupakan. Kebaikan guru akan selalu
kuingat." Gu Tong Dang terkekeh mendengar jawaban Ding Tao, "Anak bodoh, bukan itu yang kutanyakan. Tentang hal itu aku tidak
ragu. Namun yang aku tanyakan, bisakah kau mempercayai dan melakukan setiap nasihat yang akan kuberikan ini?"
Dengan alis terangkat Ding Tao balik bertanya, "Tentu saja guru. Apalah ada bedanya" Budi guru setinggi langit, murid
tidak akan lupa. Bagaimana mungkin murid akan meragukan nasihat guru atau melanggar nasihat guru" Kalau guru
meragukan kesetiaanku sebagai murid, biarlah murid bersumpah."
Cepat-cepat Gu Tong Dang mengulapkan tangannya, menghentikan Ding Tao yang saat itu hendak mengucapkan sumpah, "
Jangan, jangan kau bersumpah apapun anakku."
"Sudahlah, kalau aku belum mengatakannya, mungkin sukar bagimu untuk memahami permintaanku ini. Baiklah biar aku
katakan saja, lagipula aku tidak ingin mengikatmu dengan sumpah apapun, karena aku tahu sifatmu. Aku tidak ingin kau
terikat dengan satu sumpah, hingga kau melakukan sesuatu yang kau benci."
"Tapi dengarkanlah perkataanku baik-baik. Simpanlah dalam hatimu sebagai satu pertimbangan dalam kau mengambil
keputusan. Terutama dalam masalah kedudukanmu saat ini dalam dunia persilatan."
Tercenung Ding Tao mendengar perkataan gurunya, tapi dengan patuh dia menganggukkan kepala dan menanti nasihat dari
gurunya itu. Gu Tong Dang yang mengerti benar sifat dari muridnya itu merasa cukup puas dengan anggukan kepala.
Berhadapan dengan orang yang jujur, satu anggukan kepala atau kesediaan sudah cukup. Namun dengan orang yang
curang hatinya, sumpah atas nama kakek moyang sampai tujuh turunan pun bukanlah satu jaminan.
"Nah dengarkanlah riwayat dari pedang yang sekarang menjadi milikmu itu."
"Seperti yang sudah pernah kukatakan padamu, pedang itu bernama Pedang Angin Berbisik, pertama kali muncul dalam
dunia persilatan, kurang lebih 15 tahun yang lalu. Pemiliknya seorang pendekar pedang kenamaan dari Emei. Kurasa
tentang hal ini kaupun sudah cukup tahu, karena nama pendekar itu dan kisah kematiannya sangatlah dikenal orang."
"Tapi mungkin yang belum benar-benar kau sadari adalah arti dari pedang itu bagi orang-orang dalam dunia persilatan."
"Sebenarnya, sebelum kematiannya yang misterius, banyak orang menaruh harapan pada pendekar pedang Jin dari Emei
itu. Sudah berpuluh-puluh tahun ini, para pendekar aliran lurus dalam dunia persilatan seperti hidup di atas panggangan api."
"Kau tentu pernah mendengar pula nama Pendekar Ren Zuocan, dari sekte sesat Bulan dan Matahari, yang pusat
kekuatannya berada di luar perbatasan. Ilmunya tinggi dan organisasinya pun teratur rapi. Ambisinya melebihi tingginya
Gunung Himalaya. Jika bukan karena keberadaan Biksu Kongzhen dari Shaolin yang menguasai Telapak Buddha dan
Pendeta Tao Chongxan dari Wudang dengan ilmu pedang Taiji-nya, mungkin sudah lama dia meluruk ke dalam perbatasan."
"Tapi bahkan kedua tokoh itupun tidak mampu mengalahkan Ren Zuocan, Ren Zuocan memiliki satu ilmu kebal yang aneh,
mungkin setingkat dengan ilmu baju besi milik ketua Shaolin di generasi sebelumnya, atau bahkan lebih. Selain itu, Shaolin dan Wudang yang berlandaskan agama, tidak mau mengambil tindakan menyerang, karena Ren Zuocan pun masih
menahan diri dan tidak dengan terang-terangan menunjukkan ambisinya."
"Dengan demikian, orang-orang persilatan di daratan pun merasa hidup di atas panggangan api. Semua bisa merasakan ada
bahaya yang mengancam, tapi tidak ada kekuatan untuk melawan."
"Perguruan-perguruan lain selain Shaolin dan Wudang sedang meredup bintangnya, sementara dua perguruan yang bisa
diharapkan itu, justru memilih sikap bertahan. Dengan cemas mereka hanya bisa melihat Sekte Bulan dan Matahari tumbuh
semakin kuat, beberapa rumor mengatakan bahwa di dalam daratan sendiri sudah ada beberapa perguruan yang berjanji
setia kepada sekte Matahari dan Bulan secara diam-diam."
"Kaupun tentu pernah mendengar bahwa 5 tahun sekali, Ren Zuocan mengadakan pertemuan persahabatan antar pendekar
dunia persilatan. Di luaran dia memberikan alasan, pertemuan itu diadakan untuk saling kenal dan melakukan pertandingan persahabatan demi kemajuan ilmu bela diri. Yang sesungguhnya, itu hanyalah suatu cara untuk menjajagi tingkat kekuatan
pendekar-pendekar silat di daratan."
"5 kali sudah pertemuan itu dilakukan, hingga saat terakhir Biksu Kongzhen dan Pendeta Chongxan masih mampu
menunjukkan bahwa kekuatan mereka tidaklah di bawah Ren Zuocan dan dengan demikian secara tidak langsung sudah
membendung ambisi Ren Zuocan yang meluap-luap bak air bah."
"Tapi semua orang pun sadar, umur Biksu Kongzhen dan Pendeta Chongxan sudah hampir memasuki usia lanjut. Ilmu


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sudah sulit lagi untuk ditingkatkan, sementara fisik mereka justru mulai menurun. Ren Zuocan di pihak lain, masih berada dalam usia puncaknya dan dengan sabarnya dia menunggu saatnya tiba. Banyak orang berpendapat, pada
pertemuan lima tahunan yang berikutnya, kedua tetua itu sudah akan berada di bawah tataran Ren Zuocan."
"Penilaian ini bukannya tidak beralasan, pada pertemuan 5 tahunan yang terakhir, yaitu 3 tahun yang lalu. Secara
perseorangan kekuatan kedua tetua itu sudah seusap di bawah kekuatan Ren Zuocan. Hanya saja bila keduanya maju
bersamaan tentu Ren Zuocan masih bukan tandingan mereka berdua."
Ding Tao yang ikut hanyut dalam penjelasan gurunya tanpa terasa berbisik, "Tapi jika tahun depan mereka bertemu
kembali?" Gu Tong Dang mengangguk setuju, "Ya, benar. Pada pertemuan tahun depan, mungkin bahkan secara bersamaan pun
kedua tetua itu bukan lagi tandingan dari Ren Zuocan."
"Guru, apakah seluruh daratan hanya bergantung pada kedua tetua itu" Tidak adakah pengganti mereka dari generasi yang
lebih muda?" "Tentu saja ada, tapi Ding Tao, mengenai ilmu bela diri, seperti juga mengenai keahlian lain, seringkali permasalahannya bukan hanya terletak pada ketekunan seseorang, tapi juga bakat dan nasib baik."
"Itu sebabnya dalam ratusan tahun sejarah sekte Wudang, hanya ada satu Zhang Sanfeng."
"Aku pribadi tidak setuju dengan pendapat banyak orang, bahwa seorang murid tidak akan lebih maju dari gurunya. Ilmu
bela diri, seperti juga ilmu dan keahlian yang lain, berasal dari sumber yang asali, yang hakekatnya jauh lebih besar dari manusia yang manapun. Dan mereka yang berbakat serta mencapai pencerahan sesungguhnya belajar lewat sumber yang
satu ini. Dengan demikian mereka ini akan mampu melampaui guru pengajarnya, karena sesungguhnya guru pengajar
mereka adalah sumber yang tidak terbatas ini."
"Setiap beberapa masa selalu saja muncul tokoh-tokoh yang mampu menggali lebih dalam ilmu yang sudah ada dan
menggapai tingkatan yang jauh lebih tinggi dari tokoh-tokoh yang hidup sebelum dirinya. Mereka ini yang menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya."
"Tapi sebagaimana hal-hal lain dalam dunia ini, ilmu bela diri pun mengalami pasang surutnya. Ada masanya tokoh-tokoh
berbakat bermunculan, tapi ada juga masanya ketika tingkatan murid selalu saja berada di bawah gurunya dan ilmu bela
diripun dari tahun ke tahun semakin merosot nilainya."
"Dan sekarang ilmu bela diri di daratan sedang mengalami masa surutnya."
Ding Tao dengan alis berkerut bertanya pada Gu Tong Dang, "Guru, sebenarnya apa masalahnya kalaupun Ren Zuocan lebih
kuat dari tokoh-tokoh bela diri dari daratan, apa pula masalahnya kalau dunia persilatan dikuasainya" Bukan maksudku
tidak cinta pada negara, tapi asalkan urusan dunia persilatan tidak melebar ke masalah pemerintahan, bukankah rakyat
masih bisa hidup tenang. Paling-paling yang berbeda, kalau dulu bayar pajak keamanan di dunia hitam pada orang sendiri, sekarang bayar pajak keamanan pada orang luar."
Gu Tong Dang menggeleng dengan sabar, "Sedikit banyak sebenarnya pertanyaanmu itu sendiri sudah mengandung
jawaban. Pertama-tama ini masalah harga diri bangsa, jika orang dunia persilatan dari luar perbatasan menginjak-nginjak kita, adalah satu ketidak-setiaan jika kita berdiam diri."
"Tapi yang lebih penting lagi adalah, sebuah negara menjadi kuat adalah dari kekuatan setiap rakyatnya. Sebagai golongan orang yang mementingkan ilmu bela diri dalam hidupnya, bisa dikatakan, golongan kita-kita ini memegang peranan penting
dalam pertahanan bangsa. Jika Ren Zuocan berhasil menguasai kita, bukan tidak mungkin hal itu merupakan batu loncatan
bagi suku di luar perbatasan untuk menyerang pemerintahan kita."
Suasana di dalam ruangan itu menjadi begitu sepi, ketika kedua orang dengan umur yang berbeda sedang merenungi masa
depan yang tampak suram. Adalah Ding Tao yang pertama kali memecahkan suasana, "Guru, tadi guru hendak menjelaskan hubungan pedang ini
dengan nasib dunia persilatan."
Gu Tong Dang terhenyak kembali dari lamunannya, matanya pun bersinar nakal, "Heheheh, ya, ya, bicara ke sana ke mari,
otakku yang pikun jadi lupa dengan masalah yang penting."
"Nah, kau tadi bertanya tentang generasi baru yang mampu menggantikan kedua tetua itu. Sesungguhnya tokoh itu sempat
muncul. Yaitu kira-kira pada 15 tahun berselang."
Berhenti pada pernyataan itu, Gu Tong Dang memandangi Ding Tao, menanti pemuda itu sampai pada kesimpulan yang
diinginkannya. Otak Ding Tao berputar dengan cepat, dari pandangan gurunya dia bisa menangkap bahwa sesungguhnya
setiap informasi sudah diberikan dan dia harus dapat menarik kesimpulannya. Bukan seperti kanak-kanak yang harus selalu disuapi nasi, tapi Ding Tao sudah harus bisa menganalisa sendiri informasi yang ada.
Tidak butuh waktu berapa lama Ding Tao sudah sampai pada kesimpulan, dengan hati-hati di abertanya, "Guru, apakah
yang guru maksudkan adalah Pendekar pedang Jin Yong dari aliran Emei?"
"Hmm" memang dia orangnya. Hampir setiap orang menanti-nantikan pertemuan lima tahun yang akan diadakan waktu
itu. Tidak kurang Biksu Kongzhen dan Pendeta Chongxan sendiri yang memberikan penilaian. Umurnya memang masih
terpaut jauh dengan kedua tetua itu dan juga dengan Ren Zuocan, dengan sendirinya dari segi tenaga dalam dan
kematangan ilmu masih ada selisih yang cukup jauh."
"Tapi Pendekar pedang Jin Yong memiliki bakat yang bagus dan pemahaman yang dalam serta otak yang encer. Lebih
penting lagi, dia bernasib baik sehingga Pedang Angin Berbisik ini jatuh ke dalam tangannya."
"Ding Tao, sekarang coba aku tanya kepadamu, dalam berkelahi menggunakan pedang, manakah yang lebih penting, antara
kekuatan atau keuletan, pemahaman akan limu bela diri dan kecepatan atau kelincahan?"
Ding Tao menggosok dagunya dengan jari, kemudian menjawab, "Hmm" dengan tangan kosong kekuatan dan ketahanan
tubuh akan berpengaruh banyak. Tapi dengan menggunakan senjata tajam, tubuh yang seliat apapun akan bisa dilukai
dengan ujung besi yang tajam. Dari ketiganya, pemahaman akan ilmu bela diri dan kelincahan lebih berpengaruh. Dan dari
kedua hal itu, kelincahan, baik dalam bereaksi maupun dalam beraksi akan lebih menentukan."
Gu Tong Dang mengangguk-angguk, "Ya, benar perkataanmu. Dengan bertambahnya usia, himpunan tenaga dalam
seseorang bisa jadi bertambah mapan, wawasan dan pengalamanpun akan semakin dalam. Tapi ketika pertarungan
dilakukan dengan menggunakan senjata tajam, dua hal itu kalah pengaruhnya dengan kecepatan. Mungkin dengan
pengalaman yang matang seseorang bisa mengambil keuntungan, tapi seperti yang kukatakan tadi Pendekar pedang Jin,
adalah seseorang yang berbakat dan berotak encer."
"Dan yang lebih penting, dia memiliki Pedang Angin Berbisik, sebilah pedang yang teramat tajam dan ulet. Ren Zuocan
boleh membanggakan ilmu kebalnya ketika menghadapi senjata-senjata yang lain, tapi di hadapan Pedang Angin Berbisik,
ilmu kebalnya boleh dikatakan mati kutu."
Sejenak wajah Ding Tao menjadi cerah, tapi secepat itu pula wajahnya kembali kelam, "Ah" sayang, seribu sayang. Guru
siapa orangnya yang begitu culas hingga meracun Pendekar pedang Jin" Apakah orang ini tidak mengerti bagaimana boleh
jadi nasib seluruh bangsa tergantung di atasnya?"
Gu Tong Dang menggeleng dengan sedih, "Entahlah, siapa yang tahu. Sejak dulu ada saja orang dengan hati serakah dan
berjiawa pengkhianat. Yang demi keuntungannya sendiri rela menjual saudara-saudaranya."
Ding Tao tiba-tiba seperti teringat pada sesuatu, "Guru, tapi sekarang pedang ini ada di tangan kita, mengapa tidak kita berikan pedang ini pada Biksu Kongzhen atau Pendeta Chongxan?"
"Muridku, apakah kau lupa yang tadi kukatakan, kedua tetua ini mengabdikan dirinya untuk menjalani hidup beragama.
Meskipun pedang ada di tangan mereka, tidak nanti mereka akan menggunakannya untuk mengambil nyawa atau melukai
Ren Zuocan. Tidak akan, selama Ren Zuocan masih bersikap dengan cerdik seperti saat ini. Lalu setelah kedua tetua itu
semakin menurun kemampuannya, dengan atau tanpa pedang, mereka bukanlah tandingan Ren Zuocan. Rencanamu itu
hanya akan memperpanjang nafas selama beberapa tahun. Pendekar sehebat apapun, akhirnya harus takluk pada usia."
"Celaka, celaka, apa gunanya pedang ini ada, jika tidak ada pemilik yang tepat. Malah yang timbul bencana demi benacana, sesama saudara sebangsa saling membunuh demi sebilah pedang.", tanpa terasa Ding Tao mengeluh menyayat hati.
Dengan geram dia memandangi pedang yang sekarang ada di tangannya, terbayang betapa gara-gara pedang itu Pendekar
besar Jin Yong mati diracun, kemudian tidak terbilang tokoh-tokoh dunia persialtan yang mati memperebutkan pedang itu.
Dan gara-gara pedang itu pula, hidupnya jadi terlunta-lunta dan terpisah dari orang yang dikasihi, dengan hati geram dia berucap, "Guru! Sebaiknya pedang ini aku tenggelamkan saja di lautan luas atau lebih baik lagi aku ceburkan dalam kawah gunung berapi, biar dia hancur lebur tak berujud."
Gu Tong Dang yang kaget membelalakkan matanya, "Anakku, anakku" bagaimana mungkin kau berpikir seperti itu. Tokoh
pencipta pedang itu tentunya menciptakannya dengan seluruh bakat, pengetahuan dan tenaga yang dia miliki. Dosa besar
pada leluhur jika kita menghancurkannya. Terlebih lagi sikap berputus asa, bukanlah sikap lelaki sejati."
Ding Tao dengan lemas memandangi pedang di tangannya, kemudian mengalihkan pandangannya itu pada gurunya, seakan
bertanya, lalu apa yang bisa kita perbuat"
"Anakku, kau tadi mengatakan satu kesia-siaan bahwa pedang ini ada, karena pedang ada tapi pemilik yang tepat tidak
ada. Tapi anakku, sesungguhnya aku sudah menemukan pemilik yang tepat bagi pedang itu."
Mendengar itu wajah Ding Tao menjadi cerah, "Ah, bagus sekali kalau begitu. Guru sebutkan namanya dan di mana dia
tinggal, murid akan menghantarkan pedang ini ke tangannya, murid akan tunjukkan bahwa tidak sia-saia guru mengajar
murid. Walaupun harus memakai taruhan nyawa pedang ini akan murid pastikan sampai di tangan yang tepat."
Meilhat kesungguhan Ding Tao, tanpa terasa Gu Tong Dang tertawa terbahak-bahak, geli campur kagum, terharu juga
bersyukur. Ding Tao yang melihat gurunya tertawa terbahak-bahak, menjadi serba salah, mau ikut tertawa dia tidak tahu
apa yang membuat gurunya tertawa. Akhirnya dia berdiam diri sambil menantikan gurunya berhenti tertawa, mungkin
gurunya tertawa melihat kesombongannya yang begitu yakin bisa menjaga dan mengantar pedang itu sampai pada pemilik
yang tepat. Atau mungkin gurunya tertawa karena bangga pada kemauannya yang kuat.
Tapi apa yang dikatakan gurunya setelah itu, membuat Ding Tao bagai tersambar petir.
"Anak bodoh, jika mataku tidak salah, kaulah pemilik yang paling tepat dari pedang itu."
Melengong Ding Tao memandangi gurunya, pakah dia sedang bercanda" Atau sedang mempermainkan dirinya" Yang
terlihat adalah pandangan penuh kasih dari seorang tua, yang sudah lama tidak dia rasakan sebagai seorang yatim piatu.
"Guru" apa guru bercanda" Apa guru tidak salah menilai" Aku tahu guru mengasihiku seperti mengasihi putera sendiri, apa guru yakin tidak salah menilaiku?"
Gu Tong Dang mengangguk puas, bagi guru tua ini, kerendahan hati bukanlah kekurangan, karena Ding Tao memiliki
karakter yang kuat, baginya kerendahan hati adalah sebuah modal untuk maju.
"Ding Tao, bukan tanpa alasan aku mengatakan hal ini. Bakatmu dalam memahami ilmu bela diri, mungkin bisa
disandingkan dengan Pendekar besar Jin Yong. Sekarang coba aku tanya, saat kau pertama kali bertarung dengan Wang
Chen Jin, apa yang kau rasakan" Dan apa pula yang kau rasakan saat mulai mempelajari jurus-jurus lanjutan?"
Dengan berkerut alis Ding Tao mencoba mengingat kembali pertarungan dua tahun yang lalu, "Murid merasa, jalan pikiran
murid jadi terbuka luas. Apa yang tadinya hanya murid bayangkan dalam pemikiran, hanya murid pahami dalam teori, pada
saat itu rasanya" rasanya murid baru benar-benar memahaminya. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, perasaan itu" itu
seperti seekor ikan yang dilepaskan ke dalam air, seperti burung yang sedang terbang."
"Kemudian saat murid mulai mempelajari jurus-jurus lanjutan, banyak pertanyaan yang semakin jelas terjawab. Dan murid
merasa lebih yakin pada pemahaman murid akan jurus-jurus dasar yang sudah murid pelajari, karena nyata kesimpulan
murid terhadap jurus-jurus dasar itu sebenarnya tidak jauh meleset. Pikiran murid juga semakin terbuka dan terkadang
ketika mempelajari jurus yang baru, hal itu terasa mudah, karena sebelum guru mengajarkannya, hal yang sama sudah
murid pikirkan." Mendengar itu Gu Tong Dang tersenyum senang.
"Hmmm, ketahuilah, banyak orang mempelajari ilmu bela diri tanpa pernah menyelami hakekat dari setiap gerakan yang
mereka lakukan. Bagi orang-orang semacam ini, ilmu bela diri mereka tidak akan pernah maju melampaui kecekatan dan
kekuatan. Pemahaman mereka, hanyalah menyentuh kulitnya saja."
"Sebagian yang lain berotak lebih terang, bukan hanya mereka mampu menggunakan gerakan-gerakan itu dalam sebuah
perkelahian, mereka mampu memahami lebih dalam, hakekat dari tiap-tiap gerakan. Maksud dan tujuan dari setiap jurus.
Mereka-mereka ini yang memiliki kesempatan untuk maju dalam ilmu bela diri."
"Tapi dari sekian banyak orang itu, seberapa jauh pemahaman mereka, dan seberapa jauh mereka bisa menerapkan
pemahaman mereka dalam pertarungan yang sesungguhnya, itulah yang akan membedakan jagoan kelas satu dengan
jagoan kelas dua. Antara seorang Maha guru dengan seorang ahli biasa."
"Ding Tao, anakku, dua tahun yang lalu, pemahamanku dalam ilmu bela diri, mungkin masih berada di atasmu. Tapi dalam
penerapannya di dalam pertarungan yang sesungguhnya aku masih jauh berada di bawahmu. Itu sebabnya Tuan besar
Huang, mempercayaiku untuk menjadi guru, tapi tidak untuk menjadi orang-orang kepercayaannya."
Ding Tao yang mendengarkan penjelasan itu pun terdiam, ada sebagian dari dirinya yang merasa berbangga mendengarkan
hal itu, tapi ada pula bagian dirinya yang masih bertanya-tanya, tidak mampu menerima penjelasan itu, baginya gurunya
sudah tentu masih lebih hebat dari dirinya.
"Ding Tao, tidakkah kau sadari, bahwa pada 1 tahun terakhir ini, ketika semua ilmu keluarga Huang yang kuketahui, aku
ajarkan padamu, aku tidak lagi mengajarimu teori apapun. Yang kulakukan adalah mengajukan pertanyaan padamu."
Memerah muka Ding Tao, karena seakan-akan dia merasa gurunya hendak mengatakan bahwa sejak saat itu dirinya sudah
lebih pandai dari gurunya, "Itu" itu tentu bukan karena guru tidak mengerti, tapi karena guru ingin melihat aku belajar menganalisa setiap persoalan secara mandiri. Seperti dahulu saat guru memaksaku untuk merenungkan jurus-jurus dasar
yang ada." Perlahan-lahan Gu Tong Dang menggeleng, "Muridku, biarlah kukatakan yang sejujurnya. Sesungguhnya pada waktu itu,
pemahamanmu sudah jauh lebih mendalam dari pemahamanku. Bahkan dari uraian jawabanmu, bisa kupahami sekilas,
jurus-jurus rahasia simpanan keluarga Huang. Aku berani bertaruh, bahkan kakek buyut Tuan besar Huang sendiripun
pemahamannya tidak sampai ke taraf itu."
Pucat wajah Ding Tao mendengar perkataan gurunya, mulutnya membuka hendak menyangkal, tapi wajah gurunya begitu
bersungguh-sungguh. Dan di kedalaman hatinya, dia mengakui kebenaran sebagian dari kata-kata gurunya. Sesuai benar
pemikiran itu ttg pemahaman dan penggunaan sebuah jurus dalam pertarungan yang sesungguhnya, dengan hasil
perenungannya. Melihat Ding Tao terdiam, Gu Tong Dang melanjutkan uraiannya, "Muridku, mungkin saja aku salah. Tapi aku orang tua ini, yang menjadi gurumu, dan sesuai perkataanmu sudah menanamkan budi baik yang setinggi langit padamu, percaya
sepenuhnya pada bakat dan sifat yang ada padamu."
"Dan dengan sepenuh hati, aku berpendapat, bahwa engkau adalah pemilik yang paling tepat dari pedang itu. Karena itu
pesanku yang pertama kepadamu, apapun yang terjadi, jangan biarkan pedang itu jatuh ke tangan orang lain."
"Kita sudah sama-sama merenungkan keadaan negara kita saat ini, dan kita sama-sama sampai pada satu kesimpulan
bahwa harus ada orang yang mengalahkan dan kalau perlu mengenyahkan Ren Zuocan sebagai ancaman besar, bukan
hanya bagi orang di dalam dunia persilatan tapi juga bagi negara ini. Kita juga sudah sama-sama sampai pada kesimpulan
bahwa pedang ini, bisa menjadi kunci yang memecahkan persoalan besar yang kita hadapi, asalkan pedang ini ada di
tangan yang tepat." "Dan sebagai gurumu, aku mengatakan, kaulah pemilik yang tepat bagi pedang ini. Kehilangan pedang ini, berarti kau
menjerumuskan negaramu dalam bahaya, kau gagal menunjukkan baktimu, baktimu sebagai seorang murid kepada guru,
baktimu sebagai seorang rakyat pada negaranya dan tentu saja baktimu sebagai seorang anak pada leluhurmu."
Lemaslah lutut Ding Tao, perkataan gurunya bagaikan gunung runtuh membebani pundaknya. Pemuda itu bersujud di
depan gurunya, sambil membentur-benturkan kepala ke lantai dia mengeluh dengan hati pedih, "Murid tidak berani"
sungguh murid tidak berani guru."
Tiba-tiba Gu Tong Dang yang selalu tampil dengan kesabaran yang seperti tidak pernah habis, meloncat berdiri dan
menendang muridnya hingga berguling-guling. Wajahnya membara, dengan mata melotot dia menggeram, "Murid bodoh !!!
Apakah gurumu ini membesarkan seorang pengecut" Apakah hidupku ini sudah kusia-siakan dengan membesarkan anak
ayam !!! Bangkit kau kalau kau memang laki-laki!!!"
Betapa terkejut hati Ding Tao tidak bisa dilukiskan, inilah kakek tua yang selalu tersenyum dan bersabar, membimbing dan mengajarnya. Selalu bersabar menanggapi kebebalannya.
Tapi kejutan itu juga menyadarkan pemuda ini, bahwa dia adalah seorang rakyat yang memiliki kewajiban, seorang murid,
seorang anak yang memiliki kewajiban untuk berbakti pada guru dan orang tuanya.
Bahkan jika dia tidak memiliki ilmu bela diri secuilpun, bahkan jika yang ada di tangannya adalah cangkul dan bukan
pedang, tidak sepantasnya dia lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki.
Menyadari kesalahannya, Ding Tao dengan cepat berlutut kembali, menunjukkan rasa hormat dan memohon ampun atas
kesalahan sebelumnya. Berlutut boleh sama, tapi Ding Tao yang berlutut sekarang berbeda dengan Ding Tao yang berlutut
beberapa saat yang lalu. Dengan bergetar dia berkata, "Guru" sungguhpun aku belum percaya bahwa aku orang yang pantas memiliki pedang ini.
Tapi demi rasa baktiku pada guru, pada leluhur dan pada negara. Tidak akan murid lari dari musuh setangguh apapun ,
tidak akan lepas pedang ini dari tangan murid jika nyawa masih ada di badan. Dan dengan restu guru dan para leluhur,
dengan segenap kekuatan dan pengetahuan yang sudah dikaruniakan pada murid, murid akan berusaha mempertahankan
negara ini dari setiap musuh, pun jika harus mengorbankan nyawa untuk itu."
Perlahan-lahan wajah Gu Tong Dang melembut, ditariknya pemuda itu bangkit berdiri.
"Satu hal lagi, kutahu kau tidak dapat ditahan untuk pergi menemui Tuan besar Huang. Sifatmu yang tahu membalas budi
ini baik adanya. Tapi ingatlah perkataanku, baik buruk seseorang, baru terlihat saat dia dihadapkan pada bahaya besar atau keuntungan besar. Pergilah tapi berhati-hatilah, bukan tanpa alasan banyak orang terbunuh demi pedang ini. Setiap orang yang memiliki bakat cenderung berpikir bahwa dirinyalah penyelamat dan pahlawan yang ditunggu-tunggu dunia. Tidak
semua orang, atau kalau boleh kukatakan, tidak ada orang lain yang seperti dirimu, yang rela menyerahkan pedang pusaka
ini demi kepentingan orang banyak."
"Sampai pada waktunya pertemuan lima tahunan yang berikutnya, jaga dirimu baik-baik. Perdalam pemahamanmu, perluas
pengalamanmu. Aku titipkan segenap usahaku sebagai seorang yang harus berbakti pada negaranya ke atas pundakmu."
"Dan sebagai gurumu, kepada siapa engkau tadi bersumpah, aku perintahkan, cabutlah sumpahmu itu. Sebagai gurumu,
aku nyatakan kepadamu, sumpahmu tadi tidak aku terima. Jangan bodoh dan takabur, pedang itu mungkin pedang pusaka
yang bisa menyelamatkan dunia persilatan, tapi pedang itu adalah benda mati, kegunaannya terletak pada siapa
pemakainya. Sementara orang adalah hidup, tanpa pedangpun, orang bisa melakukan hal-hal besar."
"Jika aku mengatakan padamu bahwa kaulah orang yang layak untuk memiliki pedang itu, itu berarti dirimu sebagai
manusia, jauh lebih berharga dari pedang itu. Jangankan dirimu yang belum berpengalaman. Jin Yong yang gagah perkasa
itupun dapat jatuh dalam jebakan orang dan kehilangan nyawa sekaligus pedangnya. Jika pada satu posisi kau harus
memilih antara nyawamu atau pedang itu. Pilihlah nyawamu, dan dengan kehidupan yang ada padamu, usahakanlah untuk
memenuhi permintaanku, mengabdi pada negara, berbakti pada guru dan leluhurmu, tanpa pedang itu."
Dengan menahan haru Ding Tao mengangguk, itulah kenangan terakhir Ding Tao akan gurunya sebelum pergi
meninggalkannya. Sekarang di depan gerbang rumah keluarga Huang, kenangan itu menghantui dirinya. Akankah Tuan besar Huang
menginginkan pedang itu" Jika pedang itu diminta, apa pula yang harus dia lakukan atau katakan" Jika mereka hendak
menggunakan kekerasan, dapatkah dia melawan dan mempertahankan pedang itu" Atau nantinya dia harus lari dan
merelakan pedang itu di tangan keluarga Huang"
Satu per satu Ding Tao melangkah, setiap langkah diikuti dengan pertanyaan dan setiap pertanyaan tidak juga dia
menemukan jawaban yang memuaskan.
Seandainya tidak ada seorang gadis yang sudah menawan hatinya di rumah itu, seandainya tidak ada Huang Ying Ying di
sana, kaki Ding Tao akan membawanya berlari ribuan li, menjauh dari rumah itu.
Ding Tao seorang pemuda yang mengenal dengan sungguh-sungguh akan tanggung jawab dan kewajiban. Dia tahu, jika
pada saatnya dia harus memilih antara cinta dan kewajibannya pada negara, walaupun pedih dia akan memilih yang kedua.
Tapi Ding Tao juga adalah seorang pemuda yang sedang di mabuk cinta. Otaknya membenarkan kekhawatiran Gu Tong
Dang gurunya, tapi hatinya membisikkan harapan.
Meskipun dalam hati ada ketakutan seperti gunung yang menindih seisi dadanya, bahwa kedatangannya hanya akan
membawa benih permusuhan antara dirinya dengan gadis yang dicintainya.
Tapi harapan bahwa yang dikhawatirkan itu tidak terjadi, bahwa kedatangannya akan diterima dengan tangan terbuka,
memberikan kekuatan baginya untuk melangkah.
Jarak yang ditempuh bukanlah jarak yang tidak terbatas jauhnya, meskipun setiap langkah yang diambil begitu berat,
akhirnya sampai juga Ding Tao di depan pintu gerbang keluarga Huang.
Penjaga pintu bukannya tidak mengenali pemuda itu, namun roman wajah Ding Tao dan juga perubahan yang sekarang ada
padanya, membuat mereka ragu untuk menegur pemuda itu. Meskipun tidak ada kata-kata yang terucapkan, melihat raut
wajah pemuda itu yang tegang, hati kedua penjaga pintu keluarga Huang ikut menjadi muram.
Setelah mereka berhadapan muka, barulah Ding Tao tersadar akan keadaan mereka saat itu. Dengan mengumpulkan
segenap keberaniannya ditepisnya jauh-jauh semua kekhawatiran.
Tersenyum ramah dia membungkuk dengan hormat, "Saudara Ling, saudara Bu, ini aku Ding Tao."
"Ah" oh". ah Ding Tao, jadi benar ini Ding Tao. Ya ya, kami pun tadi merasa mengenalimu, tapi kau sudah jauh berbeda
sampai kami pangling karenanya."
"Ya, ya benar, sekarang kau jadi jauh lebih tinggi lagi dari kami."
Sambutan kedua penjaga pintu yang ramah membantu Ding Tao untuk menyingkirkan keraguannya. Hatinya yang memang
jujur, mudah sekali bersih dari kecurigaan. Jika tadi dia masih canggung, jawaban kedua penjaga pintu itu menghilangkan kecanggungannya. Sambil menggaruk kepala dia tertawa.
"Ya, entah kenapa badanku ini terus saja bertambah tinggi, terkadang aku khawatir dia tidak berhenti bertambah tinggi dan suatu hari nanti aku harus tidur di atas dua tempat tidur yang disusun berjajar."
Kewajaran sikap Ding Tao membantu kedua teman lamanya menghilangkan kecanggungan dalam hati mereka, dengan
tertawa mereka memukul dada Ding Tao, "Wah bukan hanya bertambah tinggi, tampaknya kaupun bertambah liat.
Sebenarnya apa yang terjadi dua tahun yang lalu?"
"Benar, kami semua dibuat bingung oleh ulahmu, apa benar kau melarikan anak gadis orang?", goda salah seorang dia
antara mereka sambil memutar-mutar bola matanya.
Dengan wajah kemerahan Ding Tao membalas pukulan mereka, "Jangan menyebar gosip sembarangan."
Kemudian dengan nada yang lebih serius dia melanjutkan, "Kedatanganku hari ini justru ingin menghadap pada Tuan besar
Huang Jin, untuk memohon maaf sekaligus menjelaskan alasan kepergianku dua tahun yang lalu."
"Hemm, sepertinya misterius sekali, apa kau tidak mau membagikannya pada teman lamamu ini?"
Sambil tersenyum sopan Ding Tao menjawab, "Saudara Ling, bukannya aku tidak percaya mulutmu yang bocor itu. Cuma
memang masalahnya sedikit peka, lebih baik aku membicarakannya dahulu dengan Tuan besar Huang Jin."
Sambil tertawa bergelak kedua penjaga itu akhirnya mengijinkan Ding Tao untuk masuk menemui Tuan besar Huang Jin,
"Cari saja dia di bangunan utama, tadi kulihat dia berjalan ke arah sana bersama dengan beberapa tetua serta anak-
anaknya." Dengan hati yang jauh lebih ringan Ding Tao melangkahkan kaki menuju ke arah bangunan utama. Setiap kali dia bertemu
dengan kenalan lama tentu tidak lupa dia mengangguk dan menyapa.
Saat dia sampai di depan bangunan utama, hatinya sudah lapang dan bersih dari segala kekhawatiran. Yang terbayang
adalah senyum bahagia nona muda Huang, mungkin sedikit marah dan beberapa pukulan, tapi setiap pukulan justru akan
membuatnya lebih bahagia.
Dengan senyum mengembang di bibirnya, Ding Tao mengetuk pintu.
Akhirnya setelah dua tahun berlalu, Ding Tao menginjakkan kaki kembali di rumah kediaman keluarga Huang. Tempat dia
dilahirkan dan dibesarkan, tempat di mana dia belajar arti kata persahabatan dan untuk pertama kalinya mengenal cinta.
Ketika dia dipersilahkan masuk ke dalam bangunan utama, Ding Tao sedikit berdebar karena di hadapannya telah
berduduk para tetua dan orang penting dalam keluarga Huang. Rupa-rupanya kedatangannya bertepatan dengan salah satu pertemuan penting dalam keluarga Huang. Ding Tao pun jadi merasa tidak enak hati dan malu, karena dengan tidak
sengaja sudah merecoki satu pertemuan yang sepertinya cukup penting.
Cepat-cepat dia membungkukkan badan dalam-dalam dan memberi hormat, "Tuan besar Huang Jin, para tetua, maafkan
jika hamba sudah mengganggu pertemuan yang penting."


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuan besar Huang Jin yang sebelumnya sudah mendapatkan kabar tentang kedatangan Ding Tao dari salah seorang
keponakannya, telah bersiap-siap untuk menemui Ding Tao.
Meskipun di luaran, dia berlagak terkejut dan tidak menyangka akan kedatangan Ding Tao, dengan cepat dia berdiri dari
tempat duduknya dan bangkit untuk menyambut Ding Tao yang masih membungkuk hormat.
"Astaga, Ding Tao. Benarkah engkau itu nak" Jangan sungkan-sungkan, pertemuan kami sebenarnya sudah hampir selesai.
Nah sekarang duduklah bersama kami, kedatanganmu ini tentu membawa satu cerita yang luar biasa. Dengan tiba-tiba kau
menghilang dua tahun yang lalu bersamaan dengan Pelatih Gu, kami semua mencemaskan kalian dan terus terang merasa
penasaran." Ding Tao merasa bersyukur, segala kekuatirannya ternyata tidak beralasan, Tuan besar Huang Jin, bukan saja tidak
mencurigainya, Tuan besar Huang Jin bahkan menyambutnya seperti menyambut seorang anak yang hilang.
Membasah mata Ding Tao dengan suara sedikit serak menahan haru dia menjawab, "Tuan besar Huang, sungguh kami
bersalah, tapi ada alasan kuat mengapa aku dan guru terpaksa pergi diam-diam."
Dengan arif Tuan besar Huang Jin menepuk-nepuk pundak pemuda itu, "Tenangkanlah hatimu, terhadap kesetiaanmu dan
kesetiaan pelatih Gu, sedikitpun aku tidak ragu. Sejak dari awal aku sudah tahu, jika kalian berdua sampai menghilang
begitu saja, tentu ada alasan yang kuat."
Sembari membimbing Ding Tao untuk ikut duduk dalam meja pertemuan, Tuan besar Huang Jin memberi tanda pada salah
satu pelayan kepercayaan yang hadir untuk menghidangkan minuman dan makanan.
Ding Tao yang merasa sebagai seorang pelayan dalam keluarga Huang tentu saja makin merasa rikuh dan sungkan,
menerima merasa tidak layak tapi menolak pun berarti sudah bersikap tidak sopan. Tuan besar Huang Jin tentu saja dapat
menangkap kecanggungannya, dengan tawa ramah dia membesarkan hati pemuda itu.
"Ding Tao, janganlah terlalu sungkan, dua tahun ini tentu sudah banyak yang terjadi pada dirimu. Dari caramu berjalan dan sorot matamu, bisa kutebak, ilmumu tentu sudah maju jauh. Hari ini aku anggap kau sebagai tamu, entah apakah nanti kau
akan kembali menjadi anggota keluarga Huang atau tidak, tapi aku harap antara keluarga Huang dengan dirimu bisa terjalin satu hubungan yang baik."
"Tuan besar Huang, hal itu" sungguh terlalu besar kehormatan yang Tuan besar Huang berikan, hamba ini lahir sebagai
pelayan tuan. Setelah berkelana dua tahun pun, dalam hati hamba masih memandang Tuan besar Huang sebagai tuan
saya." "Heh" anak Ding, perkataanmu itu sungguh tidak bisa aku terima. Siapa itu Liu Bei" Bukankah asalnya hanya seorang
penjual sepatu jerami" Atau siapa itu Liu Bang yang menjadi pendiri Kekaisaran Han" Bukankah awalnya dia hanya seorang
petani" Pahlawan lahir dari golongan mana saja, yang terpenting bagi seorang laki-laki adalah kepribadiannya."
"Pujian Tuan besar Huang terlalu berat untuk kuterima. Hamba ini cuma orang biasa, tentu tidak bisa dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan dari masa yang lalu."
Ding Tao seorang yang rendah hati, tapi seorang yang rendah hati pun akan merasa senang jika dipuji, meskipun hatinya
merasa sangat malu dengan sikap Tuan besar Huang Jin yang memperlakukannya dengan sangat baik, di lain pihak ada
juga rasa bangga yang tersisip di dalamnya.
Mendengar jawaban dan sikap Ding Tao yang malu-malu, mereka yang berduduk di sana pun tertawa bergelak, bagaimana
pun juga, sebagian besar dari mereka masih ingat dengan pemuda yang dungu tapi setia dan sopan itu.
"Sudahlah, yang penting hari ini, lupakan kedudukanmu dahulu sebagai pelayan dalam keluarga Huang, sekarang ini kamu
menjadi tamu bagi kami dan jangan lupa kau masih berhutang penjelasan kepada kami. Aku yakin, ceritamu pastilah sangat
menarik.", kata salah seorang di antara mereka setelah tawa mereka mereda.
Yang lain pun menggangguk setuju dan saling mendorong Ding Tao untuk cepat-cepat mengisahkan kejadian dua tahun
yang lalu. Ding Tao yang merasa diterima dengan baik menjadi lenyap tak berbekas segala ketakutannya, dengan suara yang cukup
jelas dan lancar dia mulai menceritakan kejadian dua tahun yang lalu. Dimulai dari pesan Wang Chen Jin yang disampaikan secara diam-diam, hingga pertarungan di antara mereka berdua.
Seruan kaget dan marah terdengar dari beberapa orang, sementara wajah Tuan besar Huang Jin pun menjadi keruh saat
mendengar akan kelicikan Wang Chen Jin, dengan geram dia memukul meja.
"Hmph!! Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anakany licik sama seperti bapaknya, wajahnya boleh jadi mirip Guan Yu,
tapi hatinya persis Tsao Tsao."
Yang mendengar makian Tuan besar Huang Jin ikut mengangguk setuju, hanya Ding Tao yang tidak berani terlalu banyak
berkomentar, sejenak dia berdiam diri, menunggu Tuan besar Huang Jin menyuruh dia melanjutkan cerita.
Tidak lama setelah memaki-maki Wang Dou dan anaknya, kembali mereka memandang Ding Tao, "Lalu, kurasa Pelatih Gu-
lah yang akhirnya menolongmu keluar dari sumur itu, karena malam itu kalian berdua menghilang bersamaan. Apakah
benar demikian?" "Iya, benar sekali pengamatan Tuan besar Huang. Malam itu jika tidak ada guru, tentu umur hamba berhenti sampai di situ saja."
"Hmmm" tapi kami masih belum mengerti dengan jelas, jika demikian, lalu apa alasannya kalian menghilang" Seandainya
malam itu dengan tidak sengaja kamu membunuh Wang Chen Jin, mungkin masih bisa kumengerti. Kalian mungkin
memutuskan untuk menghindari pembalasan dendam Wang Dou tanpa menarik keluarga kami ke dalam pertikaian itu. Tapi
malam itu kaulah yang kalah dan jatuh ke dalam sumur, tidak ada alasan kuat bagi kalian untuk menghilang. Wang Dou dan
anaknya justru berada di pihak yang bersalah."
Perasaan Ding Tao cukup peka, sejak tadi dia bisa merasakan bahwa Tuan besar Huang Jin telah menarik garis pemisah
antara dirinya dengan keluarga Huang. Beberapa kali dia menyebut keluarga Huang sebagai kami dan Ding Tao dengan
sebutan kamu. Tapi menilik cara mereka yang menerima dirinya dengan bersahabat, Ding Tao mengerti bahwa yang dilakukan Tuan besar
Huang Jin itu justru adalah demi kebaikan dirinya. Dengan demikian dalam pembicaraan itu, Ding Tao bukanlah berdiri
sebagai seorang pelayan keluarga Huang, melainkan sebgai seorang tamu dan sahabat yang sederajat.
Tidak terkira rasa syukur dan terima kasih pemuda itu. Bicaranya pun semakin lancar dan segala ganjalan di hatinya hilang tak berbekas. Bahkan harapannya akan hubungan yang lebih baik dengan nona muda Huang menjadi semakin besar.
Karena itu tanpa ada yang ditutup-tutupi, diapun menceritakan bahkan menunjukkan Pedang Angin Berbisik yang ada di
tangannya. Sekilas hatinya terkesiap karena untuk sekejap dia bisa melihat perubahan di wajah Tuan besar Huang Jin dan mereka
semua yang hadir. Tapi ketika kemudian mereka bersikap wajar dan terbuka, hatinya pun kembali menjadi tenang.
Pedang Asmara 13 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Kisah Pedang Bersatu Padu 4
^