Pencarian

Pedang Angin Berbisik 25

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 25


Murong Yun Hua berdiri dan mulai berpakaian, gerak-geriknya lugas, seakan ingin lari dari ingatan masa lalu yang sering menyergap dirinya di saat-saat seperti ini. Tapi ingatan masa lalu tidak ubahnya seperti arwah penasaran yang berkeras tak mau pergi dengan damai ke alam kematian. Malam pertama yang menakutkan bagi Murong Yun Hua hanyalah awal dari
serangkaian mimpi buruk yang lain. Mengingat satu hal, kemudian ingatan lain datang mengikuti. Wajah Murong Yun Hua
mengeras, saat dia teringat guncangan terbesar dalam hidupnya.
Hari itu dia menangis sesenggukan, datang pada ayahnya yang selama ini selalu memanjakan dirinya. Mencari pertolongan
dan rasa aman yang selama ini dia dapatkan, meskipun merasa malu, dengan terbata dan serba samar, dia mengisahkan
kebuasan Jin Yong terhadap dirinya. Tentu saja
Murong Yun Hua sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa yang terjadi adalah hal yang
memang sudah sewajarnya. Sudah menjadi
bagian dari tugasnya sebagai seorang isteri, namun seumur hidupnya dia hidup
dikelilingi orang- orang yang memanjakan dirinya, sulit bagi Murong Yun Hua ketika dia
kemudian ditempatkan pada posisi harus
menerima keinginan orang lain atas
dirinya, meskipun orang itu adalah suaminya.
Pikirannya masih berkutat pada masa lalu, ketika dia perlahan-lahan meninggalkan kamar mereka. Dengan hati-hati ditutupnya pintu, kemudian tanpa suara dia
berjalan, menelusuri lorong yang sepi, menuju ke tempat beristirahatnya pelayan-pelayan pribadi keluarga Murong. Jalan
yang ditempun tidaklah jauh, namun belasan tahun lamanya berkelebatan dalam benak Murong Yun Hua sebelum dia
mencapai tempat yang dia tuju.
Guncangan terbesar dalam hidupnya, adalah ketika dia mendapati ayahnya yang dia puja dan cintai, sosok ayah dan sosok
laki-laki yang ideal dalam hidupnya, ternyata tidak mencintainya dengan tulus sebagai seorang anak. Ayahnya hanya
memandang dia sebagai barang berharga yang bisa digunakan untuk mencapai cita-citanya sendiri. Saat itu seperti juga
malam ini, Murong Yun Hua berjalan perlahan dalam gelap, dengan tubuh sakit dan anggota tubuh yang paling dia jaga
terasa pedih tersayat-sayat, terpincang-pincang menahan nyeri, menyusuri lorong dalam rumah mereka. Sementara Jin
Yong sudah tertidur pulas, dipenuhi kepuasan yang tiada tara. Tujuannya hanya satu, mencari tempat di mana dia merasa
aman, mencari sosok yang bisa menenangkan kegalauan dalam hatinya. Murong Yun Hua mencari ayahnya. Kakinya
membawa dia ke arah ruang belajar pribadi milik ayahnya. Ruang yang dipenuhi buku-buku tua, gulungan kitab dari sutra
dan terkadang tersusun dari bilah-bilah tipis bambu yang diikat menjadi satu.
Kenangan manis saat dia diajar ayahnya untuk membaca, membuat dia tanpa sadar berjalan ke ruangan itu, dalam hatinya
dia tahu betul ayahnya akan berada di sana, seperti biasa membaca kitab-kitab kuno hingga larut malam.
Di sisi lain, Murong Yun Hua pun sadar, apa yang terjadi malam itu adalah satu kewajaran, satu bagian dalam kehidupan
berumah tangga. Didikan dari ayah dan ibunya, akan tugas dia sebagai seorang isteri membuat langkahnya dibayangi
keraguan. Itu sebabnya, saat dia akhirnya sampai di sana, Murong Yun Hua tertegun di dekat pintu dan tidak memiliki
keberanian untuk mengetuknya, justru perlahan-lahan dia bersimpuh dengan tubuh yang terasa lemas, bersandar di dinding
dekat pintu masuk. Nyala api lilin yang terlihat menerangi ruangan itu dari kertas-kertas tipis yang menutup jendela dan dari berkas-berkas cahaya yang menerobos keluar dari celah-celahnya, memberi tahukan pada Murong Yun Hua bahwa ayahnya ada di sana.
Namun sedekat itu dia dari apa yang dia cari, justru keberaniannya hilang di saat terakhir. Bisa dikatakan, nasib Murong Yun Hua sudah mulai ditentukan sejak saat itu.
Sisa keberanian dan keinginan yang ada dalam hati Murong Yun Hua untuk menemui ayahnya, menguap seketika, ketika dia
mendengar suara pamannya dari dalam ruangan.
"Hmm" kakak, menurut kakak, apakah sudah cukup tali-tali yang kita pasang untuk menggerakkan Jin Yong sebagai
boneka kita, dengan menikahkan dia dengan Yun Hua?", ujar paman Murong Yun Hua, ayah Murong Huolin terdengar
bertanya pada ayah Murong Yun Hua.
"Tentu saja tidak", kita butuh jaminan yang lebih pasti sebelum kita memberikan Pedang Angin Berbisik padanya.", jawab
ayah Murong Yun Hua dengan segera.
"Apakah kakak sudah memiliki sebuah ide?", tanya paman Murong Yun Hua.
"Hmm" aku sedang membaca mengenai satu macam obat yang tertulis dalam salah satu catatan murid Tabib Hua yang
tidak pernah ditemukan orang."
"Apakah semacam obat perebut jiwa" Tapi kita tidak ingin memiliki sebuah mayat hidup, yang kita butuhkan adalah orang
dengan pikiran yang sehat, namun berada di bawah kendali kita, mengikuti secara aktif apa yang kita rencanakan. Jin Yong seharusnya akan menjadi ujung tombak dalam rencana kita, sementara kita hanya bergerak di balik layar.", ujar Paman
Murong Yun Hua mengajukan keberatan.
"Hoho, tunggu dulu, aku belum selesai menjelaskan. Jika benar apa yang tertulis dalam buku ini, obat ini sesungguhnya
akan membuat orang yang meminumnya menjadi lebih cerdas dan sistem syarafnya bekerja dengan lebih sempurna. Sejak
awal tujuan orang tersebut berusaha meramu obat, bukanlah untuk membuat obat perebut jiwa.", jawab Ayah Murong Yun
Hua dengan penuh semangat.
"Hmmm" cobalah kakak jelaskan sampai selesai.", ujar Paman Murong Yun Hua dengan tertarik.
"Ya, yang dicari oleh tabib ini adalah obat yang bisa membuat dia lebih cerdas, lebih mudah mengingat segala macam
pengetahuan, ambisinya adalah menjadi tabib yang paling ternama, melampaui gurunya. Menurut catatan hariannya, pada
awalnya obat ini memang memberikan efek yang dia inginkan, namun ada efek samping yang tidak berhasil dia pecahkan."
"Apa itu?" "Obat itu menciptakan ketergantungan, benar memang saat dia mengkonsumsi obat itu, pikirannya berjalan lebih terang,
namun saat dia berhenti meminumnya, tubuhnya bereaksi dengan keras, menuntut dirinya agar meminum obat itu lagi, Jika
tidak, selain membuat tubuhnya sulit bergerak, pikirannya pun menjadi kabur.", ujar Ayah Murong Yun Hua memberi
penjelasan. Sesaat lamanya tidak terdengar suara, sebelum kemudian paman Murong Yun Hua dengan antusias berkata, "Wah", tidak
sia-sia kakak berusaha membaca setiap buku yang ada di tempat ini. jika obat itu benar ada, maka akan mudah sekali
membuat Jin Yong takluk di bawah kehendak kita, selama dia tidak mengetahui cara pembuatan dari obat itu, selamanya
dia akan menjadi budak kita."
"Hahahaha" kau benar, dan dalam kasus ini dia akan menjadi budak yang sangat pandai dan menguntungkan bagi
pemiliknya.", sahut Ayah Murong Yun Hua sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, mengapa pula kita perlu memberikan Murong Yun Hua padanya" Apakah tidak sebaiknya, kakak menikahkan
Murong Yun Hua dengan tokoh lain lagi, supaya semakin banyak tokoh dunia persilatan yang berada dalam kekuasaan
kita?", setelah tawa mereka mereda Paman Murong Yun Hua kembali bertanya.
"Hehh" sewaktu aku melihat bakat dalam diri Jin Yong, aku belum menemukan tulisan tentang obat ini. Jadi pada saat itu, yang terlintas dalam benakku, hanyalah sebisa mungkin mengikat dirinya dengan keluarga kita, sebelum ada partai lain
dalam dunia persilatan yang mengikat dirinya. Tapi tentu saja tidak cukup hanya sampai di situ, itu sebabnya setelah
menjalin hubungan baik dengannya dan mempersiapkan jalan bagi kita untuk menikahkan dia dengan Murong Yun Hua, aku
pun menghabiskan waktu untuk mencari kemungkinan-kemungkinan lain, sampai akhirnya aku menemukan kitab ini.",
jawab Ayah Murong Yun Hua.
"Tapi kau benar, jika pada saatnya obat ini sudah terbukti cukup ampuh untuk menjadikan Jin Yong sebagai boneka kita,
maka Murong Yun Hua bisa digunakan untuk kepentingan lain.", sambung Ayah Murong Yun Hua setelah berhenti beberapa
saat. Dan perkataan ayah Murong Yun Hua yang berikutnya membuat bulu kuduk Murong Yun Hua berdiri dan seluruh dunianya
jungkir balik. "Kita bisa menggunakan Murong Yun Hua, untuk memikat tokoh lain, kemudian memberikan obat yang sama pada mereka.
Satu, dua, tiga", hahahaha,dan seluruh tokoh penting dalam dunia persilatan akan jatuh dalam tangan kita."
"Apakah benar itu suara ayahnya" Apakah benar yang ada dalam ruangan itu adalah ayahnya" Jika benar itu ayahnya,
apakah tidak salah yang sedang dia dengar" Ayahnya hendak menggunakan dirinya sebagai umpan, mengumpankan dirinya
pada sekian banyak laki-laki yang tidak pernah dia kenal?", ribuan pikiran berdentang-dentang memenuhi kepalanya,
matanya terbuka lebar menatap jauh ke depan, pada kekosongan yang tak berujung.
Malam itu seluruh kehidupan Murong Yun Hua direnggut dari dirinya. Tidak ada lagi yang bisa dia percayai. Jika ayahnya
yang dia pandang sebagai contoh dari lelaki ideal ternyata orang yang semacam itu, maka macam apakah lelaki lain di
dunia ini" Lalu bagaimana dengan ibunya" Tidakkah dia tahu apa yang ada dalam benak ayahnya" Apakah dia seorang ibu
yang bodoh dan buta, tak melihat apa yang sedang direncanakan atas diri anaknya" Ataukah ibunya sama dingin dan sama
penuh perhitungannya seperti ayahnya. Lututnya terasa lemas, tapi dia tidak ingin berada di tempat itu lebih lama lagi.
Rasa nyeri yang dirasakan tubuhnya, tidak sebanding dengan kengerian yang terasa dalam hatinya. Perlahan-lahan,
merangkak, beringsut, Murong Yun Hua pergi menjauh dari ruangan itu, menutup telinganya dari suara yang keluar dari
dalam sana. Ruangan itu bukan lagi tempat yang hangat, tempat penuh kenangan akan cinta seorang ayah pada dirinya.
Ruangan itu sudah menjadi dasar neraka, tempat iblis-iblis yang paling keji tinggal dengan rencana-rencana kejam mereka.
Bukan karena rasa sakit di tubuhnya dia bergerak dengan begitu perlahan, tanpa suara. Murong Yun Hua tidak peduli
dengan perih dan pedih yang dirasakan tubuhnya, dia ingin lari secepatnya, pergi dari tempat itu dan suara-suara yang
seperti pedang berkarat, mengiris dan menusuk hatinya, meninggalkan luka bernanah. Tapi suara yang sama yang
membuat dia ingin berlari pergi secepatnya, suara yang sama juga membangkitkan rasa takut yang tiada tara. Kekejaman
yang tidak pernah dia bayangkan ada dalam diri orang yang dia kagumi dan cintai. Rasa takut yang menguasai dirinya itu, seakan menyerap habis sedikit kekuatan yang masih tersisa.
Entah berapa lama Murong Yun Hua beringsut, menggeleser menjauh dari ruangan itu, perlahan-lahan rasa takut dan
guncangan yang dia rasakan makin berkurang, seiring dengan menjauhnya dia dari ruangan itu. Sampai pada satu saat, dia
menemukan kembali kekuatannya untuk bangkit berdiri, dan berjalan pergi, meskipun masih tertatih-tatih.
Murong Yun Hua ingin lari, tapi ia tak tahu hendak lari ke mana. Tempat ini mengerikan, tapi dunia di luar pun tidak kalah mengerikan dalam benaknya yang sudah kehilangan kepercayaan akan adanya kebaikan dalam diri manusia. Murong Yun
Hua belumlah dewasa, usianya tidak lebih dari 15 tahun. Dengan rasa pahit, dia menelan kenyataan. Tertatih dia kembali ke kamar tidurnya. Dengan tubuh lemah dan kesakitan, dia perlahan-lahan membaringkan diri di sisi Jin Yong yang masih
tertidur pulas. Dengan hati hancur dan hampa, dia menutup mata dan membiarkan tidur mengubur segala kekisruhan
dalam hatinya. Sejak malam itu kehidupan Murong Yun Hua tidak pernah lagi sama.
Ketika dia bangun keesokan harinya, sebuah pikiran tiba-tiba menembusi pikirannya. Dia bukan buah catur yang tak
berotak dan tak memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri.
Selama ini dia tidak lebih dari sebiji buah catur karena dia bodoh dan tidak menyadari kenyataan di sekelilingnya. Tapi sekarang dia sadar. Dia sadar dan itu artinya, dia bukan lagi sebuah biji catur yang digerakkan tanpa pernah mengerti
mengapa dia bergerak ke kotak yang ini dan bukan yang itu. Sebuah pemikiran mulai terbentuk dalam benak gadis muda
ini. Semua laki-laki pastilah busuk, bahkan lebih busuk dari ayahnya. Jika tidak, maka betapa busuknya dia yang menjadi anak dari lelaki terbusuk di dunia. Tidak, setiap laki-laki haruslah sebusuk ayahnya, kalaupun mereka tidak melakukan apa yang dilakukan oleh ayahnya, itu adalah karena kebodohan mereka. Ya seperti A Sau yang menjadi tukang kebun mereka, yang
ada di otaknya hanyalah kotoran kerbau, tanah dan cangkul. Dia tidak berbuat busuk, bukan karena dia tidak busuk. Dia
tidak berbuat busuk karena dia tidak memiliki otak. Seandainya saja dia berotak, tentu dia akan berlaku sebusuk ayahnya.
Bukankah A Sau pernah memandanginya dengan penuh nafsu" Bukankah itu bukti bahwa si A Sau pun adalah lelaki yang
busuk" Dia tidak berani berbuat apa-apa yang busuk karena dia bodoh dan penakut. Seandainya dia pandai dan memiliki
nyali, tentu dia sudah akan menggagahi dirinya, memuaskan keinginannya pada dirinya.
Demikianlah pikiran-pikiran mulai terbentuk dalam benak Murong Yun Hua.
Bagaimana dengan Jin Yong" Apakah yang dia lakukan semalam tidak menunjukkan kebusukannya" Dan yang pasti Jin
Yong lebih bodoh dari ayahnya, jika tidak tentu dia yang akan memperalat ayahnya dan bukan sebaliknya.
Tidak, ayahnya mungkin busuk, tapi memang begitulah semua laki-laki. Ayahnya masih lebih baik dari segala macam lelaki, karena ayahnya cerdik dan berambisi. Murong Yun Hua bukanlah anak lelaki terbusuk di dunia. Dia adalah anak lelaki paling cerdik dan bernyali di dunia.
Tapi dia tidak akan mendah menerima perlakuan ayahnya. Jika ayahnya cerdik, maka dia bisa berlaku lebih cerdik. Jika
ayahnya busuk, dia bisa jadi lebih busuk.
Pagi itu ketika Jin Yong terbangun, dia tidak mendapati Murong Yun Hua yang bermuram durja dengan tubuh lemas tak
bersemangat. Meskipun tubuhnya masih nyeri, bahkan ada lebam di beberapa tempat, di mana Jin Yong mencengkeram
dirinya agar tidak bisa meronta lepas, Murong Yun Hua justru bangun lebih pagi dari Jin Yong. Membersihkan diri dan
berias. Memakai bajunya yang terbaik, kemudian mengaturkan sarapan untuk diantarkan pada mereka di dalam kamar.
Pagi itu saat Jin Yong terbangun, dia mendapati isterinya yang cantik jelita, menyambut dia dengan senyuman di wajah, bau yang segar dan harum menguar dari tubuhnya. Makanan dan minuman sudah tersaji rapi di meja yang ada dalam ruangan
mereka. Betapa haru hati Jin Yong, apalagi jika dia teringat pada kejadian semalam. Penyesalan datang terlambat,
pengaruh arak dan nafsu yang tak tertahan membuat dia melampiaskan keinginannya dengan buas. Perlahan Jin Yong
bangkit berdiri dan menyambut Murong Yun Hua dengan kecupan yang lembut, begitu lembut hingga tak terbayang orang
yang sama bisa menjadi demikian buas di malam sebelumnya.
Di luaran Murong Yun Hua menerima kecupan itu dengan mesra dan penuh cinta. Dalam hati yang terbayang adalah
kekejian ayahnya yang tersembunyi di balik perilaku yang kebapakan.
Tak ada seorangpun yang tahu, apa yang ada dalam hati Murong Yun Hua. Selama kurang lebih satu tahun, yang nampak
dari luar adalah pasangan yang berbahagia dan saling mencinta. Seandainya waktu terus berjalan seperti demikian,
mungkin pada akhirnya cinta Jin Yong yang sungguh-sungguh, lepas dari kebodohannya dalam memperlakukan seorang
gadis, akan bisa mengikis kegelapan dalam hati Murong Yun Hua. Mungkin satu saat, entah setelah berapa tahun lewat dan
berapa kali Jin Yong membuktikan ketulusan cintanya, Murong Yun Hua akan kembali bisa percaya pada kebaikan dalam diri
manusia. Tapi hanya satu tahun waktu yang diberikan bagi mereka berdua. Dalam satu tahun itu Ayah Murong Yun Hua
akhirnya bisa membuat dan meyakinkan obat yang hendak dia berikan pada Jin Yong.
Seberapa banyak perasaan yang mulai terpupuk dalam hati Murong Yun Hua untuk Jin Yong, tersapu habis di hari itu, saat
ayah dan pamannya akhirnya dihadapkan pada kenyataan, bahwa tengkuk Jin Yong terlalu keras untuk ditundukkan dengan
segala persiapan mereka. Murong Yun Hua melewati belokan terakhir, di bagian kediaman Ding Tao ini, tidak ada seorang pun pengikut Ding Tao dari Partai Pedang Keadilan yang tinggal. Ding Tao tidak pernah memiliki pelayan pribadi, sementara bagian ini hanya berfungsi sebagai tempat beristirahat Ding Tao dan keluarganya. Memang di luar area ini ada penjagaan dari orang-orang Partai
Pedang Keadilan, namun di dalam hanya ada Ding Tao, Murong Yun Hua, Murong Huolin dan pelayan-pelayan setia keluarga
Murong. Maka sepanjang perjalanan Murong Yun Hua hanya bertemu dengan beberapa orang pelayan pribadinya yang juga
bertugas sebagai penjaga.
Akhirnya sampai juga Murong Yun Hua di tempat tujuannya, sebuah kamar kecil, salah satu di antara beberapa kamar lain
tempat pelayan pribadinya beristirahat. Murong Yun Hua berdiri diam di depan pintu kamar, seperti merenungi sesuatu.
Kemudian sambil menghela nafas, dia mendorong pintu kamar hingga terbuka, masuk ke dalam kemudian menutup pintu
rapat-rapat. Di dalam kamar yang kecil itu hanya ada satu pembaringan. Sementara ada dua orang yang tidur di dalamnya. Yang
seorang berbaring di atas pembaringan dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya, sampai di bawah dagu. Yang seorang
lagi, tidur di kaki pembaringan. Ketika Murong Yun Hua masuk ke dalam, yang di atas pembaringan tetap saja tertidur
pulas, namun yang berbaring di kaki pembaringan, melompat berdiri dengan cekatan. Seorang wanita berusia 50-an,
rambutnya sudah mulai beruban, namun matanya terlihat tajam dan gerak-geriknya lincah, jelas dia mengerti ilmu silat.
Ketika melihat bahwa Murong Yun Hua yang datang, dengan segera dia memberi hormat.
Murong Yun Hua menggerakkan kepalanya, menunjuk ke arah pintu. Wanita tua itu pun dengan patuh meninggalkan kamar
dan berjaga di depan pintu. Meninggalkan Murong Yun Hua sendirian dengan orang yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
Murong Yun Hua pun mengambil sebuah bangku, duduk di samping pembaringan, lalu dengan lembut membangunkan
orang yang masih juga tidur dengan nyenyaknya itu, "Suamiku" bangunlah" bagaimana kabarmu?"
Ya, orang itu adalah Jin Yong yang dikabarkan telah tewas. Kenyataannya mayatnya tidak pernah ditemukan, kabar
kematian dia hanyalah kabar burung yang disebarkan oleh sumber yang tidak jelas. Bagaimana dia mati dan siapa yang
membunuh selalu dijawab dengan kata tidak tahu, namun setelah waktu lewat beberapa lama, semua orang pun percaya
bahwa Jin Yong telah tewas, karena orangnya sendiri tidak pernah muncul untuk menyangkal berita itu.
Pendekar pedang yang namanya pernah menggetarkan dunia persilatan itu pun akhirnya membuka matanya, lamat-lamat
dia mengenali Murong Yun Hua. Otaknya bekerja tidak beraturan, meskipun seluruh panca inderanya berjalan dengan baik,
meskipun apa yang dikatakan Murong Yun Hua dengan jelas dia dengar dan ingat, namun butuh waktu lama bagi dia untuk
memahami apa yang sedang dibicarakan oleh Murong Yun Hua. Inilah Jin Yong yang pernah terkenal dan sekarang tidak
lebih dari mayat hidup. Melihat Jin Yong terbangung, ingatan Murong Yun Hua pun melayang pada kejadian belasan tahun yang lalu. Ayah Murong
Yun Hua yang merasa Jin Yong sudah berada di bawah kekuasaannya, tanpa ragu mulai menjelaskan rencana-rencana
keluarga Murong untuk menguasai dunia persilatan dan pada akhirnya, cita-citanya untuk menghidupkan kembali dinasti
Yan, yang pernah jaya di bawah kepemimpinan keluarga Murong. Impian gila bagi beberapa orang, tapi impian yang nyata
bagi Ayah Murong Yun Hua dan adiknya. Dan demi cita-cita itu, segala cara akan dia gunakan dan segala hal akan dia
korbankan. Sayangnya dia salah menilai watak Jin Yong. Penuh kebanggaan dengan apa yang dia capai, Jin Yong pun dengan tegas
menolak segala rencana Ayah Murong Yun Hua. Tentu saja hal itu membangkitkan murka dari Ayah Murong Yun Hua.
Sebagai persiapan, sebelum dia mulai menjelaskan rencananya pada Jin Yong, sudah beberapa hari lamanya, pasokan obat
yang diberikan secara diam-diam pada Jin Yong, lewat makanan dan minuman yang disajikan, sudah dihentikan. Efek obat
itu sendiri belum muncul dengan seluruh kekuatannya, Jin Yong hanya merasakan tubuhnya melemah dan pikirannya, tiba-
tiba sulit berkonsentrasi.
Betapa kejut dan murka Jin Yong ketika mendengar penjelasan Ayah Murong Yun Hua, penolakan itu pun ditanggapi Ayah
Murong Yun Hua dengan tenang. Diberikannya waktu beberapa hari bagi Jin Yong untuk berpikir, sementara dia menjadi
tahanan rumah sambil menunggu hatinya melunak.
Yang berada di luar dugaan Ayah Murong Yun Hua pertama-tama adalah sikap Murong Yun Hua sendiri. Tak pernah tahu
bahwa Murong Yun Hua sempat mencuri dengar pembicaraan mereka, Ayah Murong Yun Hua menggunakan kepandaiannya
bicara untuk memenangkan hati Murong Yun Hua, supaya anak gadisnya itu tidak berusaha membantu Jin Yong dan
membantu ayahnya untuk meyakinkan suaminya itu. Di luar Murong Yun Hua sepertinya terpengaruh dengan nasehat
ayahnya, namun dibalik sandiwaranya itu, ingatan akan kejadian di malam jahanam itu teringat dengan jelas. Murong Yun
Hua pun menjadi panik, karena jika sekali saja Jin Yong mengikuti kemauan ayahnya akibat kecanduan dengan obat yang
diberikan, maka itu artinya akan tiba saatnya bagi Murong Yun Hua untuk menjadi pelacur. Dipaksa untuk menyerahkan
tubuhnya pada laki-laki, bukan demi uang tapi demi memupuk kekuasaan ayahnya.
Di saat yang sama, meskipun Murong Yun Hua belum bisa mencintai Jin Yong dengan setulusnya, meskipun kebahagiaannya
tidak lebih dari sandiwara, tapi setidaknya dia masih mendapatkan rasa aman di sisi Jin Yong.
Malam itu pun Murong Yun Hua memutuskan untuk membantu Jin Yong kabur dari kediaman keluarga Murong. Dengan
membawa Pedang Angin Berbisik dan sekantung obat dewa pengetahuan, mereka melarikan diri dalam gelapnya malam.
Tapi apalah artinya Murong Yun Hua jika dibandingkan dengan ayahnya. Ayahnya sudah tentu memiliki jaringan yang luas
dan kecerdikan di atas rata-rata, jika tidak segala usahanya tentu sudah jauh-jauh hari tercium oleh tokoh-tokoh dalam
dunia persilatan. Nyatanya, jangankan rencananya, bahkan keberadaan keluarga Murong pun mampu dia sembunyikan
dengan baik. Kantung obat yang dicuri Murong Yun Hua ternyata hanya berisi obat palsu. Dalam keadaan yang tidak sempurna, dengan
mudah Jin Yong dibekuk untuk kedua kalinya. Di antara mereka yang ikut menangkap mereka berdua, adalah tokoh sesat
yang menjadi sasaran berikutnya dari Ayah Murong Yun Hua. Dengan kata lain, orang itu adalah laki-laki berikutnya yang
akan menikmati kemolekan tubuh Murong Yun Hua. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Thai Wang Gui. Thai Wang
Gui beradat tinggi hati, dari mana dia yang beradat tinggi bisa bekerja sama dengan Shao Wang Gui" Tidak lain dan tidak bukan, hal ini adalah hasil dari kerja Ayah Murong Yun Hua. Shao Wang Gui yang berhati pengecut, kemaruk harta dan
kesenangan, dengan mudah dijerat masuk menjadi pembantu yang diandalkan. Tapi tidak mudah mencari hal yang bisa
menjerat hati Thai Wang Gui. Maka dibantu dengan Shao Wang Gui, ayah Murong Yun Hua mulai mencari cara untuk
menjerat hati Thai Wang Gui.
Demi mendapatkan kerja sama dari Thai Wang Gui, ayah Murong Yun Hua tidak segan-segan untuk merendah dan menjilat
Thai Wang Gui, termasuk di dalamnya menawarkan puterinya sendiri untuk menjadi permainan Thai Wang Gui.
Thai Wang Gui yang memang pendek pikir dan gemar disanjung puji, dengan mudah jatuh dalam kelicinan kata-kata ayah
Murong Yun Hua. Sungguh kebetulan di hari Jin Yong dan Murong Yun Hua melarikan diri, Thai Wang Gui sedang diundang
untuk menikmati kemolekan Murong Yun Hua untuk pertama kalinya. Benar-benar buruk nasib kedua orang itu, tanpa
keberadaan Thai Wang Gui di situ pun sudah sulit untuk melarikan diri. Apalagi ada Thai Wang Gui di sana, belum genap
sehari mereka meninggalkah rumah kediaman keluarga Murong, keduanya sudah tertangkap kembali.
Tapi pelarian mereka bukannya tanpa hasil, karena di waktu yang singkat itu, Jin Yong berhasil menjauhkan Pedang Angin
Berbisik dari genggaman keluarga Murong. Entah di mana dan kapan, diam-diam Jin Yong telah menyembunyikan pedang
pusaka itu. Tentu saja hal itu membuat ayah Murong Yun Hua murka. Jin Yong pun dihajar habis-habisan, namun pendekar
itu tetap keras kepala dan tak mau membuka rahasia, di mana dia menyembunyikan pedang pusaka itu. Dalam murkanya
ayah Murong Yun Hua pun menghadapkan sepasang suami isteri itu dengan satu pilihan.
Jika Jin Yong tidak bersedia untuk tunduk pada ayah Murong Yun Hua, maka ayah Murong Yun Hua akan membiarkan
puterinya itu, isteri Jin Yong, untuk diperkosa Thai Wang Gui dan sekalian orang yang menghendakinya, di depan mata Jin Yong.
Ancaman ini tentu saja membuat keduanya pucat pasi, namun Jin Yong yang tidak ingin melihat dunia persilatan jatuh ke
tangan rencana keji ayah Murong Yun Hua, memilih untuk mengeraskan hati dan menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak ada
yang dapat dilakukan oleh Murong Yun Hua, karena dia sendiri tidak tahu di mana Jin Yong menyembunyikan Pedang Angin
Berbisik, segala jeritan dan permohonan Murong Yun Hua pun bertemu dengan telinga tertutup.
Tidak banyak yang diingat Murong Yun Hua setelah kejadian itu, karena tak lama kemudian gadis itu kehilangan
kesadarannya. Dia terlalu lelah, baik secara fisik dan mental, saat Thai Wang Gui mendekatinya, setitik kekuatan yang ada pada dirinya segera lenyap.
Ketika sadar kembali, dia sudah berada di atas pembaringan dalam kamarnya sendiri. Seseorang sudah membersihkan
tubuhnya , juga memberikan perawatan pada luka-luka yang ada, kemudian memakaikan baju putih bersih dan menyelimuti


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya. Murong Yun Hua perlahan bangkit dan duduk di sisi pembaringan, memandangi keadaan di sekelilingnya, sebelum
pandangannya berhenti pada pakaiannya yang putih bersih. Satu seringai yang tak jelas terbentuk di wajahnya, entah
perasaan apa yang sekarang ini mengambil bentuk dalam hatinya.
Belum lama dia termangu, seseorang sudah membuka pintu, orang itu adalah ayahnya.
"Yun Hua?", tegur ayahnya dengan lembut.
Ketika Murong Yun Hua tidak menjawab apa-apa, ayahnya berjalan mendekat dengan wajah penuh kasih dan penyesalan.
Perlahan dia duduk di samping Murong Yun Hua, dengan lembut dia menepuk-nepuk tangan Murong Yun Hua.
"Yun Hua" aku sungguh sedih dan menyesal, bahwa kau harus mengalami semua ini. Tapi kau harus mengerti,
pengorbanan kita sekarang ini, bukanlah pengorbanan tanpa arti dan tujuan. Ketika nenek moyang kita membangun Dinasti
Yan, berapa banyak prajurit yang harus berkorban nyawa di medan laga" Setiap orang mengorbankan apa yang ada pada
diri mereka, demi satu perjuangan suci, demi satu cita-cita yang mulia, yang melampaui kehidupan mereka sendiri."
"Kita manusia hanya hidup beberapa puluh tahun, lalu mati. Tapi kita bisa menghabiskan tahun-tahun yang terbatas itu,
untuk membangun sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Sesuatu yang akan bertahan lama, lama bahkan sesudah
kita mati.", demikian ayah Murong Yun Hua memberikan nasehat.
"Kami terpaksa menggunakan cara yang keras terhadap suamimu, karena ternyata dia justru menjadi penghalang bagi cita-
cita kita. Tapi percayalah, asalkan dia mau mengubah sikapnya, tentu kami pun akan segera membebaskan dia.", ucap
Ayah Murong Yun Hua sebelum diam beberapa saat, menunggu reaksi dari Murong Yun Hua.
Demikianlah berbagai macam bujukan, janji dan penjelasan diberikan oleh ayah Murong Yun Hua, namun sudah sekian lama
tidak juga gadis itu memberikan reaksi apa-apa.
"Aku mengerti, saat ini mungkin kau belum mengerti, kau belum bisa menerima penjelasanku. Tapi kuharap, kau mau
memikirkannya, cobalah ingat bagaimana ayahmu ini memperlakukan dirimu selama ini. Mungkinkah ayah dengan sengaja
menyakiti dirimu?", ujar ayahnya membujuk Murong Yun Hua yang masih saja diam.
Perlahan ayah Murong Yun Hua bangkit berdiri, memeluk anaknya dengan lembut, sungguh sosok seorang ayah yang
sangat mencintai anaknya, "Baiklah untuk sementara, ayah akan tinggalkan kamu sendiri di sini. Pikirkan baik-baik apa
yang ayahmu ini katakan. Bayangkan keadaan kita pada saat cita-cita kita itu tercapai. Tidak akan ada seorangpun yang
hidup yang akan mengetahui apa yang terjadi pada dirimu sekarang ini. Kau bahkan akan ayah jadikan seorang ratu yang
menguasai seluruh negeri."
Melihat Murong Yun Hua masih diam, ayahnya pun tidak menjadi marah atau kesal, hanya menepuk-nepuk pundaknya
dengan kebapakan kemudian pergi.
Tapi sebelum dia menutup pintu kamar dia berbalik dan berkata, "Yun Hua" berat bagi kami untuk mengambil keputusan
ini. Namun demi cita-cita yang mulia, tidak ada jalan lain, jika kau tidak bersedia, aku bisa mengerti. Hanya saja itu artinya, kami harus mengandalkan Huolin, padahal dia masih terlampau kecil."
Sejak tadi Murong Yun Hua hanya berdiam diri, tapi ketika mendengar perkataan ayahnya yang terakhir, tanpa kentara,
terlihat ada perubahan, tangannya menggenggam kencang selimut yang ada di dekatnya. Saat pintu sudah ditutup rapat,
gadis itu pun menegakkan badannya. Sebuah kilatan tajam seperti memancar dari sepasang matanya. Keesokan harinya,
saat ayahnya berkunjung untuk kedua kalinya, Murong Yun Hua sudah kembali pulih seperti sedia kala. Kekuatan batin yang dimiliki gadis muda ini memang sulit dicari tandingannya, kemauan untuk hidup, kemauan untuk terus melawan, meski
berulang kali dia harus terhempas tak berdaya.
Dengan tenang gadis itu bisa memberikan jawaban yang memuaskan hati ayahnya dan tanpa ragu menerima tugas yang
diberikan olehnya. Tugas Murong Yun Hua adalah merebut kepercayaan Thai Wang Gui, karena sudah sekian lama ayah
Murong Yun Hua berusaha membuat Thai Wang Gui meminum obat dewa pengetahuan, namun setan itu terlampau teliti
dalam memeriksan makanan dan minuman yang dia santap. Setan itu pun terlampau tidak percaya pada orang-orang di
sekelilingnya. Tugas Murong Yun Hua adalah menyelidiki kelemahan setan sesat itu, berusaha merebut kepercayaannya dan
pada akhirnya membuat Thai Wang Gui kecanduan obat dewa pengetahuan. Kalau itu sudah tercapai, maka Murong Yun
Hua pun akan terbebas dari kewajibannya melayani Thai Wang Gui. Ayahnya pun menambahkan berbagai pujian dan janji-
janji, untuk menguatkan Murong Yun Hua dalam menjalani tugasnya itu.
Ayahnya boleh saja punya rencana, tapi Murong Yun Hua punya rencana sendiri.
Dalam hati dia berkata, "Ayah" jangan khawatir, cita-citamu itu tentu akan tercapai. Keluarga Murong akan kembali
menguasai tanah ini. Namun bukan oleh tanganmu, melainkan oleh tanganku."
Murong Yun Hua pun dengan sungguh-sungguh mendekati dan berusaha merebut hati Thai Wang Gui, tentu saja hal ini
bukanlah perkara mudah. Tokoh sesat ini bukan sekedar terpikat oleh kecantikan, meskipun dalam hal itu kecantikan
Murong Yun Hua, memang sungguh sulit dicari tandingannya. Tidak ada yang tahu kecuali ayah Murong Yun Hua sendiri,
bahwa Murong Yun Hua bukanlah anak kandungnya. Ketika mencari isteri dia mencari wanita tercantik, sekian tahun dia
bergaul dengan isterinya, tidak juga dia mendapatkan keturunan. Di luar sepengetahuan isterinya, ayah Murong Yun Hua
menjalin hubungan dengan banyak wanita lain, namun tidak juga membuahkan hasil. Entah setan mana yang berbisik
padanya, tapi sebuah rencana yang sesat dan mesum, tiba-tiba terbentuk di benaknya. Dicarinya lelaki yang paling tampan yang bisa dia temukan dan diperintahkannya laki-laki itu untuk menggauli isterinya yang sudah terlebih dahulu dibuat
tertidur pulas dengan obat buatannya.
Itu sebabnya kecantikan Murong Yun Hua memang seperti menyimpan misteri, karena lelaki yang didapatkan oleh ayahnya
itu adalah seorang yang bukan berasal dari dalam perbatasan. Masih beruntung bayi kecil Murong Yun Hua, bahwa dia
memiliki setiap apa yang diinginkan oleh ayahnya dalam diri seorang anak perempuan. Karena jika tidak, tanpa sangsi tentu dia akan dibunuh sebelum dia sempat tumbuh dewasa. Pada saat itu, di mata ayah Murong Yun Hua yang kecewa setelah
mendapati dirinya mandul, isteri dan anaknya, hanyalah barang percobaan bagi dirinya. Bagi dirinya dan cita-citanya yang
"mulia". Pada saat itu, ayahnya berpikir hendak menciptakan sosok gadis suci dalam diri Murong Yun Hua. Murong Yun Hua
kecil pun dididik dalam berbagai kepandaian dan juga cara membawa diri, hingga terbentuk Murong Yun Hua yang mampu
memikat hati pendekar besar seperti Jin Yong. Tapi apakah itu cukup untuk menaklukkan hati Thai Wang Gui yang
bengkok" Tentu saja ayah Murong Yun Hua tidak hanya mengandalkan Murong Yun Hua sendiri untuk memerangkap Thai Wang Gui.
Dia sendiri pun bekerja keras untuk menemukan celah dalam diri Thai Wang Gui. Namun ternyata, memang Murong Yun
Hua lebih berhasil dalam memenangkan hati setan sesat itu.
Usaha Murong Yun Hua yang tidak kenal lelah, otaknya yang tidak pernah berhenti berputar, akhirnya mulai memahami
kegemaran Thai Wang Gui yang di luar kewajaran. Thai Wang Gui yang masa kecilnya dipenuhi penghinaan, lebih dari
apapun mendambakan pujian dan penghormatan dari orang lain. Itu sebabnya tokoh sesat ini, tidak seperti Shao Wang Gui
yang mudah ingkar janji, justru sangat memegang kata-katanya dan bersikap melindungi pada orang-orang bawahannya.
Meskipun di saat yang sama, jika mereka sedikit saja membuat hatinya tak senang, maka nyawa mereka pun akan
melayang. Itu pula sebabnya sampai sekarang Thai Wang Gui mau membantu beberapa pekerjaan ayah Murong Yun Hua,
entah itu untuk mencuri kitab atau untuk menekan perguruan tertentu. Semuanya itu dia lakukan karena cara Ayah Murong
Yun Hua menjilat dirinya, merunduk-runduk, bahkan sampai memberikan puteri "kandung"nya pada Thai Wang Gui,
membuat setan sesat itu merasa puas, merasa dirinya berharga.
Dan inilah yang dilakukan Murong Yun Hua, diperlakukannya Thai Wang Gui bagai seorang dewa berwajah tampan.
Jangankan menciumi kakinya, bagian yang lebih menjijikkan dari diri Thai Wang Gui pun tidak akan membuat gadis itu
bergeming. Semuanya demi merebut hati Thai Wang Gui.
Usahanya pun tidak sia-sia, setelah beberapa bulan lamanya dia menjadi "kekasih" Thai Wang Gui, Thai Wang Gui pun tidak bisa hidup tanpa Murong Yun Hua. Meski dalam bentuknya Murong Yun Hua masih menjadi "budak" yang harus mendewa-dewakan Thai Wang Gui, namun setiap kata permohonan dan permintaan Murong Yun Hua tentu diperhatikan Thai Wang
Gui dengan sungguh-sungguh. Setelah mendapatkan pegangan atas Thai Wang Gui, mulailah Murong Yun Hua membangun
kekuatan dalam keluarganya sendiri. Kekuatan yang akan dia gunakan untuk menumbangkan kekuasaan ayahnya. Cukup
panjang dan berkelok, jalan Murong Yun Hua untuk merebut kekuasaan ayahnya sendiri, tapi tekad yang luar biasa akhirnya mengantarnya pada kemenangan. Murong Yun Hua bahkan mengambil resiko agar dia dapat melampaui ayahnya, saat dia
memutuskan untuk meminum sendiri obat dewa pengetahuan yang seharusnya disediakan untuk Thai Wang Gui. Bisa
dikatakan hal itu adalah salah satu keputusan yang memungkinkan Murong Yun Hua memenangkan pertarungan kekuasaan
yang terjadi diam-diam dalam keluarga Murong ini. Berbekal kecerdasan yang berlipat, Murong Yun Hua berusaha
memecahkan sendiri ramuan obat dewa pengetahuan.
Ayahnya memang menyembunyikan catatan pembuatan obat tersebut, namun buku-buku lain yang berkenaan dengan
pengobatan tidaklah terlampau ketat untuk dijaga. Ditambah lagi Thai Wang Gui yang dengan setia bersedia untuk mencari
informasi-informasi yang dibutuhkan Murong Yun Hua. Pada akhirnya Murong Yun Hua berhasil meramu sendiri obat dewa
pengetahuan, bahkan membuatnya lebih baik dari obat yang dibuat oleh ayahnya berdasarkan catatan yang dia miliki.
Sudah sekian lama ayahnya menggunakan obat itu untuk menaklukkan tokoh-tokoh dalam dunia persilatan. Mereka tunduk
karena tanpa ayah Murong Yun Hua yang memberikan pasokan obat itu pada mereka dalam hitungan minggu mereka akan
menjadi mayat hidup seperti Jin Yong. Dengan keberhasilan Murong Yun Hua memecahkan formula dari ramuan obat itu,
dia sekarang memiliki kekuasaan yang sama dengan ayahnya. Bahkan dia memiliki sedikit kelebihan karena dendam yang
tersimpan dalam hati banyak orang yang sudah diperas oleh ayahnya.
Apalagi diam-diam, cerita tentang bagaimana ayah Murong Yun Hua memaksa anaknya sendiri untuk melacurkan diri sudah
menjadi rahasia umum. Banyak pengikut keluarga Murong turun temurun yang bersimpati pada Murong Yun Hua, yang
mengorbankan diri demi melindungi Murong Huolin yang lebih muda. Meskipun kisik-kisik akan berita itu menyebar, dengan
sendirinya ayah Murong Yun Hua tidak pernah mendengarnya, karena dialah yang menjadi tokoh antagonis dalam kisah itu.
Sedangkan Murong Yun Hua sendiri tentu saja berpura-pura tidak pernah mendengarnya, meskipun dirinyalah yang menjadi
sumber awal cerita itu bergulir. Demikianlah baik dari luar maupun dari dalam keluarga Murong sendiri, Murong Yun Hua
telah unggul dibandingkan ayahnya. Tinggal menunggu waktu sebelum gadis itu membalaskan dendamnya pada ayahnya
sendiri. Ketika akhirnya Murong Yun Hua memegang tampuk kekuasaan dalam keluarga Murong, dia sudah menjadi seorang wanita
yang ahli dalam bidang pengobatan, juga dalam hal bela diri.
Dengan kecantikan, kecerdikan dan kesabarannya, Murong Yun Hua pun diam-diam menjadi satu kekuatan besar yang
jaringannya tersebar hampir ke seluruh perguruan yang ada dalam dunia persilatan. Namun semuanya itu didapatkan
dengan mengorbankan dirinya sendiri. Entah berapa banyak perbutan dan rencana-rencana keji yang harus dia ciptakan
dalam pikirannya, tanpa ada tempat untuk berbagi. Di saat malam-malam terasa sepi, Murong Yun Hua pun akan pergi
menemui Jin Yong yang hidup tak ubahnya sesosok mayat hidup. Sebenarnya dengan pengetahuannya yang sekarang
dalam hal pengobatan Murong Yun Hua bisa saja membebaskan Jin Yong dari keadaannya yang sekarang. Namun perbuatan
Jin Yong yang memilih untuk berpegang pada prinsipnya daripada berusaha menyelamatkan dirinya, tidak pernah bisa
dimaafkan oleh Murong Yun Hua. Selain itu Murong Yun Hua pun membutuhkan tempat untuk mencurahkan segala uneg-
uneg, terkadang dia datang pada Jin Yong dan bercerita, sekedar untuk menyombongkan keberhasilannya.
Seperti juga malam ini, saat Murong Yun Hua sedang mempersiapkan salah satu rencana besarnya. Dengan suara setengah
berbisik dia pun menceritakan segala sesuatunya pada Jin Yong, yang hanya bisa memandang tak berkedip, menyimpan
semua perkataan Murong Yun Hua tanpa bisa memahaminya. Mungkin berhari-hari lamanya Jin Yong merenungkan setiap
detail ingatannya, sebelum akhirnya dia memahami rencana yang dia dengar. Dan pendekar besar itu hanya bisa
meneteskan air mata, ketika memikirkan wanita yang pernah menjadi pasangan hidupnya itu.
"Pemuda itu begitu mirip dirimu", dia bahkan lebih tampan dibandingkan dirimu belasan tahun yang lalu. Jika saja tidak ada nona muda keluarga Huang?", Murong Yun Hua bercerita pada Jin Yong.
"Hmp!! Semuanya ini gara-gara kelicikan Tiong Fa, tidak kusangka dia berani-beraninya memiliki rencana sendiri di
belakangku?", dengan tangan mengepal Murong Yun Hua mengutuki Tiong Fa.
Terdiam beberapa lama, Murong Yun Hua menghela nafas dan berkata, "Tidak" tidak bisa aku sepenuhnya menyalahkan
Tiong Fa. Hari-hari itu, pikiranku berjalan kurang jernih, pertimbangan yang kuambil terlampau banyak dipengaruhi oleh
emosi." Kembali diam beberapa lama.
"Ya" penolakan Ding Tao, membuat harga diriku tersinggung. Kemarahan yang menutupi pertimbangan yang lebih matang.
Pada saat itu aku terlampau bangga akan keberhasilanku, kecantikanku, kecerdikanku dan segala kelebihanku. Sungguh
tidak nyana, hari itu aku bertemu dengan seorang pemuda yang akan menolakku, demi seorang gadis biasa."
Sebuah senyum terbentuk di bibirnya, "Tapi sekarang aku akan meluruskan segala kesalahan itu. Kekuasaanku sudah
menyebar luas, bahkan 6 perguruan besar tidak lepas dari pengaruhku. Seandainya tidak ada Hua Ying Ying dan ayah
angkatnya, alangkah baiknya jika Ding Tao memegang jabatan itu. Dia akan menguasai sebagian dunia persilatan dan aku
menguasai sisanya. Sementara dia sendiri berada dalam pengaruhku, dengan kata lain, sesungguhnya seluruh dunia
persilatan sudah ada dalam genggamanku."
"Sayang gadis itu ternyata belum mati. Selama dia ada, kekuasaanku atas Ding Tao belumlah sempurna. Kali ini aku tidak
ingin bermain-main terlalu cantik, satu gerakan yang keras dan brutal jauh lebih baik. Terlalu banyak bermain strategi bisa menjadi bumerang, sungguhpun aku cukup yakin dengan cara tiap orang berpikir. Terhadap Ding Tao juga terhadap Tiong
Fa, terbukti aku pun melakukan kesalahan-kesalahan."
"Yang satu karena keluguan yang sulit dibayangkan, atau lebih tepatnya jenis kebodohan yang tidak bisa disembuhkan.
Yang seorang lagi karena kelicikannya yang sulit dicari bandingannya?", ujar Murong Yun Hua sambil merenung.
Kemudian dia menggeleng perlahan, "Tidak juga, kelicikan Tiong Fa tidak akan ada artinya jika pada saat itu aku tidak
terlalu sombong, sehingga banyak hal tidak aku perhatikan. Ya", terlampau banyak hal-hal kecil yang lepas dari
pengamatanku saat itu. Tapi tak apa, aku belajar untuk jadi lebih rendah hati, oleh karenanya."
Sekali lagi dia mendekatkan wajahnya ke wajah Jin Yong dan berkata, "Itu sebabnya, Ding Tao dan setiap mereka yang
menghalangi jalanku akan kulenyapkan. Terlampau riskan untuk terus bermain-main dalam bayangan, berusaha mengatur
keputusan mereka, hanya lewat permainan pikiran. Kali ini aku akan menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya dari
Murong Yun Hua. Waktu untuk bersembunyi sudah habis" Kuharap kau mengerti", bukan aku kejam, tapi aku terpaksa
melakukan semua ini."
Lama Murong Yun Hua terdiam dan memandangi tatapan kosong dari Jin Yong, sampai ketika dia melihat setitik
pemahaman mulai datang di benak pendekar besar itu. Ya, sedari tadi Murong Yun Hua berbicara, baru sekarang Jin Yong
menyadari kehadirannya dan mungkin memahami kata-kata pertama yang dia ucapkan. Sebuah senyum yang cantik pun
terbentuk di wajah Murong Yun Hua.
Dengan lembut dia membelai wajah Jin Yong yang pucat karena sekian lamanya tak melihat cahaya matahari, dengan
lembut pula dia berbisik, "Tidurlah kembali dengan nyenyak, beberapa hari lagi, aku akan membawa teman untukmu. Ding
Tao orang yang sangat mirip sifatnya denganmu, kalian berdua tentu akan saling menyukai."
"Dia juga sudah cukup lama mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan di luar sepengetahuannya. Aku sudah mengukur waktu
yang tepat untuk datang mengunjunginya, sejak itu di luar tahunya, aku mencampurkan obat itu dalam makanan dan
minuman yang kuantarkan bagi dirinya. Dan lebih mudah lagi sejak dia menikahi kami berdua. Jadi kau lihat, dia akan
menjadi teman yang sangat pas untukmu. Bisa kubayangkan bagaimana kalian berdua bercakap-cakap, berbulan-bulan
lamanya.", ujar Murong Yun Hua sambil tertawa.
Tertawa geli, geli membayangkan dua orang dengan otak yang berjalan begitu lambat akibat efek samping Obat Dewa
Pengetahuan yang dihentikan pemberiannya, bercakap-cakap berdua. Betapa lucunya, jika untuk memahami satu kalimat
mereka butuh satu minggu.
Setelah tawanya mereda, pembicaraan Murong Yun hua dengan Jin Yong untuk malam itu pun berakhir, diakhiri dengan
sebuah kecupan lembut di dahi Jin Yong, Murong Yun Hua bangkit berdiri dan meninggalkannya. Berbaring diam di atas
pembaringan, hanya ditemani seorang perempuan bisu dan sebatang lilin yang berkelip-kelip. Tapi jika rencana Murong Yun Hua berjalan dengan lancar, maka sebentar lagi dia tidak akan sendirian, karena akan ada Ding Tao yang berbaring di
sisinya. Hari itu Wang Shu Lin akhirnya sampai juga di kota yang sama dengan pemuda pujaan hatinya. Menakjubkan memang,
bagaimana cinta bisa memberikan kekuatan pada seseorang untuk melakukan hal-hal yang berat, mengorbankan apa yang
seringkali dipandang penting, hanya demi bisa berdekatan dengan orang yang dicintai.
Gadis itu baru saja menempuh perjalanan yang panjang dengan sedikit istirahat, segera setelah mendapatkan kamar di
penginapan pertama yang dia temui, Wang Shu Lin pun menghempaskan tubuhnya di atas pembaringan. Sambil
memejamkan mata, dia pun menarik nafas dalam-dalam, menikmati empuknya kasur di bawah tubuhnya, ganti tanah atau
dahan pohon yang keras, tempat dia menghabiskan malam-malam panjang dalam perjalanan yang melelahkan.
Hanya dua bulan lebih sedikit, jarak waktu antara perginya Wang Shu Lin secara diam-diam dari Shanxi, sampai dengan
sekarang ketika dia merebahkan diri di sebuah penginapan di kota Jiang Ling, namun perubahan penampilan dari gadis ini
cukup besar. Apalagi bagi mereka yang biasa melihat Wang Shu Lin berpakaian laki-laki dan berlagak seperti laki-laki, tentu akan pangling jika melihat Wang Shu Lin yang sekarang. Dulu Wang Shu Lin mengejar kekuatan, makan dalam takaran
yang dua kali lipat melebihi takaran kebanyakan laki-laki dan melatih kekuatan ototnya siang dan malam. Tak pernah pula dia takut pada sinar matahari. Tubuhnya pun menjadi kekar dengan kulit sedikit kehitaman, penampilannya tidak kalah
garang dengan para bawahannya. Mulutnya pun terkadang tidak kalah kasar dan galak dibandingkan dengan bawahannya.
Sejak mulai mengenal cinta dan lebih memperhatikan kecantikan diri, Wang Shu Lin pun membatasi makanan yang dia
makan, berusaha berlaku lebih lemah lembut layaknya seorang wanita terpelajar. Jika sedang berjalan di bawah teriknya
matahari, maka tidak lupa pula mengenakan topin anyaman yang lebar dan secarik tipis cadar di bagian depan. Selain lebih banyak menjaga diri, Wang Shu Lin sekarang ini mulai pula berdandan. Dalam hal ilmu bela diri, meskipun tidak
meninggalkan latihannya, gadis ini sekarang lebih berfokus pada kecepatan dan ketepatan dalam melakukan jurus. Tidak
lagi dia melatih permainan toya besi atau permainan goloknya. Sebagai senjata, dipilihnya pedang yang lebih ringan dan
lebih sering dipakai oleh pendekar wanita, dibandingkan jenis senjata lainnya. Tubuhnya yang dulu kekar, sekarang menjadi ramping. Kulit yang dulu kehitaman, sekarang menjadi putih mulus. Wajah yang dulu tak pernah mengenal bedak, sekarang
sudah didandani dengan bedak dan gincu. Bahkan rambut pun disanggul sesuai dengan gaya sanggul yang paling mutakhir.
Sepasang anting mungil dari emas, menghiasi daun telinganya. Garis rahangnya yang tegas memang sukar diubah, namun
secara keseluruhan Wang Shu Lin seperti beralih rupa meskipun tanpa memakai samaran sedikitpun.
Tubuhnya yang penat, perlahan-lahan mendapatkan kembali kesegarannya. Namun hatinya belum lepas dari rasa galau,
yang dia derita sejak dia mendengar berita pernikahan antara Ding Tao dan Hua Ying Ying.
Berulang kali dia meyakinkan diri sendiri, betapa baik dan cantiknya Hua Ying Ying, sungguh merupakan pasangan yang
memang pantas bagi Ding Tao. Pula Hua Ying Ying adalah murid seorang kenamaan, keberaniannya pun tidak perlu
diragukan, ketika banyak orang mengkerut ketakutan mendengar nama besar Thai Wang Gui, gadis itu tanpa rasa takut
berani mencoba bergebrak dan menuntut balas kematian keluarganya. Apa lagi yang kurang" Pula, sejak awal dia mengenal
Ding Tao, bukankah pemuda itu sudah memiliki dua orang isteri, apa bedanya jika sekarang dia memiliki tiga orang isteri"
Setelah rasa penat di tubuhnya hilang, Wang Shu Lin pun bangkit berdiri untuk meminta satu bak penuh air panas untuk
mandi. Air yag hangat membuat tubuhnya terasa nyaman, sedikit banyak, perasaan galau dalam hati terusir pergi. Selesai
berdandan Wang Shu Lin pun memutuskan untuk pergi berjalan-jalan, melihat-lihat isi kota Jiang Ling. Tidak seperti dulu, Wang Shu Lin yang sekarang justru gemar melihat-lihat berbagai macam jualan di pasar yang berhubungan dengan
kecantikan wanita, meskipun tentunya justru sangat sesuai dengan penampilannya yang sekarang ini. Ada gadis cantik
berjalan-jalan sendirian, sudah tentu ada banyak lelaki yang menaruh perhatian. Jika bukan karena pedang yang tergantung di pinggang, mungkin sudah ada yang menggoda sejak tadi. Tapi sudah ada pedang pun, ternyata masih ada juga yang
berani menggoda. "Nona", sepertinya nona bukan berasal dari Jiang Ling", tiba-tiba seorang laki-laki datang menyapa.
Wang Shu Lin menengok sekejap, sebelum memalingkan wajahnya kembali ke arah barang-barang yang sedang dijajakan
dan menjawab, "Aku memang bukan berasal dari Jiang Ling, maaf saudara, tapi aku sedang ingin berjalan sendirian saja."
"Ah", apa enaknya berjalan sendirian" Kebetulan aku dan kawan-kawanku hendak berpesiar di luar kota, bagaimana kalau
nona ikut pula dengan kami?", ujar lelaki tersebut sambil menunjuk ke arah beberapa orang lelaki lainnya.
Sekilas Wang Shu Lin menengok, gadis ini menghela nafas melihat kegigihan orang, namun perbuatan orang juga belum
melanggar batas, jadi diapun masih memandang muka orang. Apalagi sejak jatuh cinta, sifat Wang Shu Lin yang keras jadi
banyak melunak. "Sekali lagi aku minta maaf, namun tidak ada keinginan untuk berpergian keluar kota. ", jawab Wang Shu Lin dengan tegas.
Sayang, sikap Wang Shu Lin yang berusaha mengalah, justru membuat lelaki tersebut semakin bersemangat, "Ayolah nona,
kulihat nona membawa pedang, tentunya nona orang dunia persilatan sama seperti kami. Kukira nona tentu pernah
mendengar nama besar Kongtong, biarpun Lau Wan Kiet bukanlah tokoh tingkatan atas dalam Partai Kongtong, namun
masih terhitung seangkatan dengan Ketua Kongtong yang sekarang."
Wang Shu Lin yang sudah mulai jengkel, tidak memberikan jawaban apa-apa, sambil menundukkan wajah,
menyembunyikan kegeramannya, dia berjalan menjauh. Melihat Lau Wan Kiet pendekar dari Kongtong itu gagal mengajak
Wang Shu Lin, pecahlah tawa teman-teman yang menunggu tidak berapa jauh dari sana. Wajah Lau Wan Kiet pun berubah
kemerahan menahan malu, sigap dia melompat menghadang Wang Shu Lin.
"Nona, harap kau beri muka padaku", gertaknya sambil melintangkan tangan di depan Wang Shu Lin.
Berkilat mata Wang Shu Lin, pedang yang digantung di pinggang dengan cepat sudah berpindah ke tangan, "Saudara, aku
tidak ingin mencari ribut, tapi tolong kau beri aku jalan. Jika tidak, jangan salahkan pedangku tak bermata."
Lau Wan Kiet sudah biasa berkelana, malang melintang belum pernah bertemu lawan, masa hari ini harus mengalah pada
seorang gadis yang masih muda, "Hmm" hmm", nona sepertinya nona ini lebih mengagumi kemampuan dari pada wajah
tampan, bagus-bagus, memang seorang gadis harusnya begitu. Mari aku tunjukkan kemampuan dari tuanmu ini."
Salah seorang rekan Lau Wan Kiet rupanya tidak ingin membuat keributan di tengah pasar, masih dengan senyum
mengulum dia buru-buru mendekat dan berusaha mencegah Lau Wan Kiet, "Saudara Lau, sudahlah, orang tidak mau
mengapa dipaksa, nanti akan aku carikan teman melancong yang seratus kali lebih cantik dari nona ini."
Wang Shu Lin dengan bibir mencibir menyeletuk, "Huh" mau modal kemampuan kukira kau tak mampu, paling-paling
kemampuanmu menggunakan pedang sama buruknya dengan wajahmu."
Lau Wan Kiet sudah biasa dipuji-puji orang, matanya pun mendelik mendengar ucapan Wang Shu Lin, mana dengar dia
dengan nasihat rekannya, "Ho ho ho", tadinya aku mau memandang muka tuan rumah dan memberimu kelonggaran. Tapi
rupanya kau justru sengaja memancing agar aku tidak melepaskanmu. Baik, siang ini kau saksikan pedang tuanmu, malam
nanti tuanmu akan tunjukkan kemampuannya yang lain."
Rekan Lau Wan Kiet yang berusaha mencegah Lau Wan Kiet pun menengok ke arah Wang Shu Lin dengan kesal, "Nona"
kau ini memang mencari perkara saja, jangan salahkan orang she Chen kalau kau mendapat nasib buruk."
Sambil menghentakkan kaki dia pun pergi meninggalkan tempat itu, beberapa rekan yang lain berusaha mencegah
kepergiannya. Namun sambil berbisik orang she Chen itu menjelaskan tindakannya kemudian pergi tanpa ada yang
mencegah lagi. Tinggal Lau Wan Kiet dengan wajah merah dan mata melotot dengan pedang sudah dicabut dari sarungnya,
menghadapi Wang Shu Lin yang juga sudah berdiri dengan pedang terhunus. Suasana di pasar pun jadi ramai, orang-orang
yang lewat pun berdiri menjauh. Ada yang memang senang menonton keramaian ada pula yang menggerutu karena
pekerjaannya terganggu. Namun hiburan biasanya hanya jadi milik mereka yang punya uang, tontonan biasanya bisa
dinikmati saat ada yang mengadakan syukuran. Kalau ada pertunjukan gratis, apalagi salah satu pemainnya seorang gadis
cantik, mengapa harus menggerutu" Begitulah orang-orang berkerumun, beberapa ada yang berteriak menyemangati Lau
Wan Kiet, ada pula yang berteriak menyemangati Wang Shu Lin.
"Tuan pendekar, beri dia hajaran sedikit, kalau sudah jinak, baru kasih jurus menghantar ke surga dunia", seru seseorang entah siapa disambut tawa kurang ajar beberapa orang.
Lau Wan Kiet yang mendapat teriakan memandang Wang Shu Lin dengan dada membusung, "Kau dengar itu nona"
Terserah kau pilih jalan yang mana, aku pun tak ingin terlalu menekan perempuan. Asal kau mau memanggilku koko dan
memberiku ciuman tentu akan kulepaskan."
Mendengar ucapan Lau Wan Kiet itu, segera saja terdengar suitan dan seruan serta kata-kata cabul dari beberapa penonton, membuat alis Wang Shu Lin yang lentik berkerut dan tanpa banyak cakap pedangnya bergerak menusuk secepat kilat.
Serangan Wang Shu Lin datang dengan cepat, Lau Wan Kiet pun tergagap dan mundur beberapa langkah sembari memutar
pedang membentuk benteng pertahanan. Pedang pun bertemu pedang dan suara nyaring dentang pedang, bertubi-tubi


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar, mengiringi siutan angin yang ditimbulkan oleh kedua bilah pedang yang bergerak dengan cepat. Baru dalam
beberapa gebrakan sudah telrihat Lau Wan Kiet berada di bawah angin. Mereka yang sebal dengan kelakuan Lau Wan Kiet
dengan segera bersorak mendukung Wang Shu Lin.
"Bagus nona pendekar! Hajar saja orang tak tahu adat itu."
"Potong saja hidungnya!"
"Jangan, lebih baik potong saja itunya!"
Tapi Lau Wan Kiet termasuk generasi seangkatan dengan Zhong Wei Xia meskipun selisih beberapa tahun lebih muda,
sudah tentu ilmunya juga bukan ilmu sembarangan. Meskipun sempat terdesak, tapi tidak mudah untuk menjatuhkan
dirinya. Sebaliknya keampuhan permainan pedang Wang Shu Lin menurun beberapa tingkat, pedangnya kali ini adalah
pedang biasa, tidak tersembunyi berbagai macam alat dan kejutan yang biasa dia pakai untuk menggertak lawan. Pula
tenaganya menyusut cukup banyak, akibat dia mengubah pola latihan dan pola makannya. Meskipun berada di atas angin
tidak begitu mudah baginya untuk segera menyelesaikan pertarungan.
Pertarungan sudah berjalan memasuki jurus ke-12 ketika Wang Shu Lin semakin memastikan kemenangannya. Dalam
kecepatan, ketepatan dan kematangan jurus serta gerak perubahan, gadis itu berada beberapa tingkat di atas lawannya.
Pedangnya bergerak lincah seperti burung elang yang menyambar-nyambar. Memakai baju berwarna cerah dengan jubah
luar yang warnanya sepadan, diiringi bau harum samar-samar, Wang Shu Lin bergerak cepat membuat penonton merasa
kabur melihatnya. "Ah" nona pendekar ini benar-benar cantik dan hebat, melihat dia bertarung seperti melihat bunga bertaburan di musim
semi.", ujar salah seorang pendukung Wang Shu Lin yang menonton sambil terkagum-kagum.
Segera saja ucapannya itu mendapat anggukan kepala setuju dari banyak orang yang menonton pertarungan mereka
berdua. Telinga Wang Shu Lin yang tajam tentu saja mendengar pujian orang, hati gadis itu pun berbunga-bunga. Di luar
sadarnya dia memilih jurus-jurus yang lebih indah untuk dilihat, meskipun sebenarnya dia bisa menggunakan jurus-jurus
yang keras untuk menyelesaikan perlawanan Lau Wan kiet dengan lebih cepat. Kebetulan jurus-jurus pedang yang dipilih
Wang Shu Lin adalah jurus pedang dari Wudang yang memang dikenal dengan keindahan dan kelembutannya.
Lau Wan Kiet pun jadi berpikir, "Apakah aku kebetulan bentrok dengan seorang murid muda dari Wudang" Ah, celaka benar,
belum pernah kudengar ada pendekar pedang wanita dari Wudang, mengapa hari ini aku bisa bertemu dengan seorang
yang berkepandaian begitu tinggi?"
"Tunggu nona, apakah nona berasal dari Wudang" Jika benar, baiklah kita hentikan saja pertarungan ini, sesama enam
perguruan besar, tak baik jika saling bentrok seperti ini.", ujar Lau Wan Kiet di sela-sela kesibukannya menangkis hujan serangan dari Wang Shu Lin.
"Hmm" dalam keadaan seperti ini baru berkata demikian, mengapa bukan dari tadi?", dengus Wang Shu Lin tanpa
mengendorkan serangannya.
Jawaban Wang Shu Lin membuat Lau Wan Kiet semakin yakin bahwa dia berasal dari Wudang. Gerakannya pun menjadi
semakin kacau, dengan senyum sinis Wang Shu Lin memperketat serangannya, membuat Lau Wan Kiet tak bisa membuka
mulut untuk berbicara. Jangankan untuk berbicara, bernafas pun dia sudah tersengal-sengal.
Ketika Lau Wan Kiet melihat ujung pedang Wang Shu Lin berkelebat cepat ke arah wajahnya, Lau Wan Kiet sudah tidak bisa
melakukan apa-apa kecuali menutup mata dan menanti datangnya ujung pedang yang tajam. Di saat yang berbahaya bagi
Lau Wan Kiet itu, tiba-tiba Lau Wan Kiet merasakan tubuhnya seperti dihisap oleh satu kekuatan besar. Tubuhnya bergeser beberapa jengkal dari tempat dia berdiri. Ujung pedang Wang Shu Lin pun gagal mengenai sasaran, sebelum dia bisa
menarik kembali pedangnya, sebuah senjata aneh sudah membelit pedang Wang Shu Lin. Sepasang roda bergerigi yang
disatukan oleh seuntai rantai besi, siapa lagi yang datang jika bukan Zong Weixia. Cepat sekali senjata Zong Weixia
menyambar, dengan ujung yang satu membelit pedang, ujung yang lain sudah pergi menyambar lengan Wang Shu Lin yang
menggunakan pedang. Daripada mengorbankan tangannya, Wang Shu Lin pun memilih untuk melepaskan pedang.
Dalam sekejap mata, Lau Wan Kiet terbebas dari ancaman, masih dengan wajah pucat dia memandang wajah penolongnya.
Melihat penolongnya adalah Zong Weixia, wajah Lau Wan Kiet malah semakin pucat, dengan kepala tertunduk dan suara
hampir tak terdengar dia berkata, "Ketua" maafkan aku."
Zong Weixia tidak segera menjawab Lau Wan Kiet, dengan satu gerakan dia melemparkan pedang milik Wang Shu Lin
kembali ke gadis itu, "Hmm" nona ini aku kembalikan pedangmu."
Rantai seperti sudah menjadi tangannya sendiri, pedang meluncur terarah dan dengan mudah Wang Shu Lin menangkap
gagang pedang. Ketika pedang sudah di tangan baru terasa, lemparan Zong Weixia menyimpan tenaga yang tidak kecil.
Wang Shu Lin yang sudah menurun kekuatannya pun terhuyung beberapa langkah ke belakang dengan tangan tergetar.
Dengan pandang mata berkilat Wang Shu Lin memegang pedangnya bersiap terhadap serangan Zong Weixia, tapi Zong
Weixia sendiri sudah mengalihkan perhatian ke arah Lau Wan Kiet yang berdiri gemetaran.
Dengan sebuah gerakan menyendal, rantai besi Zong Weixia bergerak mengayun ringan dan dalam sekejap, roda bergerigi
yang ada di salah satu ujung rantai sudah tergantung dengan ringannya, menyangkut pada daun telinga Lau Wan Kiet.
"Lau Wan Kiet", tentu kau tahu, kita di sini cuma bertamu, yang menjadi tuan rumah kita adalah Partai Pedang Keadilan.", ujar Zhong Weixia dengan suara dingin membesi.
Lau Wan Kiet yang gemetar ketakutan tidak bisa mengeluarkan kata-kata hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai
jawaban. "Hmm" dari yang kudengar, nona ini sudah menolak ajakanmu tapi kau terus saja mendesaknya. Aku tidak
menyalahkanmu berusaha memikat hati nona ini. Nona ini memang cantik, sudah wajar jika seorang laki-laki jatuh hati dan ingin mengenalnya lebih dekat, tapi seharusnya kau mundur ketika dia menolakmu. Apa gunanya telinga jika kau tidak mau
mendengar jawaban orang?", ucap Zong Weixia dengan dingin.
Keringat pun bercucuran membasahi dahi Lau Wan Kiet, dari ujung matanya dia bisa melihat saudara seperguruannya yang
datang bersama Zong Weixia. Rupanya ketika rekannya yang bermarga Chen melihat Lau Wan Kiet tidak mau mendengar
nasihatnya, dia segera pergi untuk memanggil saudara seperguruannya untuk menghentikan dirinya. Entah memang
sengaja, atau nasibnya yang sedang sial, Zong Weixia mendengar pula polah tingkahnya dan memutuskan untuk datang.
Tidak berani menjawab ucapan Zong Weixia, Lau Wan Kiet hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan gugup, roda
bergerigi milik Zong Weixia tampak seperti sebuah anting yang kebesaran.
"Bagus kalau kau tahu, kuharap ini akan jadi pengingat bagimu, sebuah telinga yang bisa mendengar lebih baik daripada
sepasang telinga yang hanya menempel tanpa guna", ucap Zong Weixia sambil menyendal, menarik kembali roda bergerigi
yang bertenggar di telinga Lau Wan Kiet.
Daun telinga Lau Wan Kiet pun jatuh ke tanah tanpa suara, sementara pemiliknya hanya bisa meringis menahan sakit tanpa
berani berucap apa-apa. Zhong Weixia tidak ambil peduli lagi dengan Lau Wan Kiet, dia berbalik menghadapi Wang Shu Lin dan bertanya dengan
keren, sesuai dengan jabatannya sebagai seorang ketua partai besar, "Nona", muridku memang bersalah dan sudah
kuhukum. Apa masih ada keberatan?"
"T.tt..tidak, tidak, baiklah aku permisi.", ucap Wang Shu Lin dengan gugup dan wajah pucat, buru-buru gadis itu berbalik badan dan meninggalkan tempat.
Zhong Weixia tersenyum sinis, tidak salah jika dikatakan berkat dirinya Partai Kongtong masih ditakuti orang sampai hari ini. Juga mereka masih digolongkan dalam aliran yang lurus, meskipun sedikit banyak tingkah laku mereka agak berandalan jika dibandingkan dengan perguruan lurus yang lain. Lau Wan Kiet masih berdiri menunduk dengan darah bercucuran dari
telinganya, tidak ada yang berani bergerak sampai Zhong Weixia memberikan perintah.
"Rawat lukanya, lalu secepatnya kalian kembali. Mulai hari ini jangan ada yang main di luaran.", tegas Zong Weixia sebelum berlalu pergi.
Buru-buru saudara seperguruan Lau Wan Kiet menghampiri rekannya yang sedang sial itu dan mulai membubuhi luka yang
masih terbuka dengan obat tabur milik mereka, ada pula yang merobek lengan baju Lau Wan Kiet dan memotongnya
panjang-panjang untuk digunakan sebagai perban. Lau Wan Kiet sendiri, menanti Zong weixia sudah tidak terlihat barulah
berani mengeluh dan merintih.
"Ah" benar-benar sial, mana orang marga Chen itu, berani sekali dia mendatangi ketua dan mengadukan aku padanya.
Dasar kurang ajar.", keluh Lau Wan Kiet sambil meringis-ringis kesakitan.
"Sudahlah Adik Lau, kau jangan mencari perkara, salahmu sendiri tanggal mainnya sudah makin dekat tapi kau masih
berkeliaran di luar.", tegur rekannya yang sedang membebat luka Lau Wan Kiet.
Lau Wan Kiet masih menggerutu beberapa kali, tapi tidak berani pula melawan. Sementara itu, tidak berapa jauh dari
mereka ada Wang Shu Lin yang bersembunyi di balik kerumunan orang yang sudah mulai menipis, memasang telinga baik-
baik dan mendengarkan percakapan di antara anak murid Kong Tong itu. Melihat semakin lama, kerumunan orang-orang
yang ada di situ semakin menipis, Wang Shu Lin pun pergi menjauh dengan alis berkerut.
Rupanya Wang Shu Lin tadi hanya berpura-pura ketakutan, supaya Zhong Weixia tidak membuat urusan makin panjang,
tapi begitu dia sudah menghilang dari pandangan orang-orang Kong Tong, dia memutar dan memasang telinga. Dalam hati
dia merasa heran, mengapa orang dari Partai Pedang Keadilan bisa membaur dengan orang dari Kongtong" Memang sejak
Ding Tao menjadi Wuling Mengzhu bisa dikatakan setiap orang dalam dunia persilatan disatukan di bawah namanya, namun
penasaran juga melihat mereka bergaul begitu akrab. Lebih heran ketika Zhong Weixia yang terkenal tinggi hati, bisa
berpihak pada pihak tuan rumah, padahal biasanya Zhong Weixia cuma tahu nama Kongtong dan yang lain dipandang
sebelah mata. Jika orang lain yang melihat tentu saja tidak akan ambil pusing tapi Wang Shu Lin termasuk orang yang
usilan dan rasa ingin tahunya besar, segala macam urusan dalam dunia persilatan dia mau tahu. Setelah mendengar sekilas percakapan antara Lau Wan Kiet dan saudara seperguruannya, keingin tahuan Wang Shu Lin pun jadi makin menjadi.
Saat Lau Wan Kiet dan saudara seperguruannya pergi, diam-diam Wang Shu Lin mengikuti mereka, sampai di tempat
orang-orang dari Partai Kongtong menginap. Sadar penampilannya terlalu menyolok untuk menjadi mata-mata, Wang Shu
Lin pun tidak berlama-lama mengawasi. Gadis itu segera kembali ke penginapannya sendiri dengan pikiran berputar,
mengutak-atik kejadian yang baru saja dia alami. Begitu sampai di kamar, pintu pun ditutup rapat-rapat dan Wang Shu Lin duduk termangu sambil mencubit-cubit bibirnya.
Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak benar, menilik sifat Zhong Weixia, hari ini dia lepas terlalu mudah.
Bagaimanapun juga dia sudah mempermalukan seorang murid dari Partai Kongtong, biasanya tentu Zhong Weixia akan
memberikan hajaran yang cukup, bukan hanya pada muridnya, tapi juga pada orang luar yang mengalahkan muridnya itu,
sekedar untuk menunjukkan bahwa Partai Kongtong bukan partai yang lemah. Tapi hari ini dia hanya membuat Wang Shu
Lin terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, jelas dia ingin masalah itu cepat selesai dan tidak mau menarik
perhatian orang. Pernikahan Ding Tao dengan Hua Ying Ying akan diadakan beberapa minggu lagi, seluruh Kota Jiang Ling menjadi sibuk
dengan peristiwa ini. Pengantin prianya adalah Wulin Mengzhu yang baru saja terpilih, jangankan orang dunia persilatan, pelayan di restoran pun mendengar kisah di kaki Gunung Songshan. Lalu pengantin wanitanya adalah anak perempuan dari
keluarga Huang yang terbantai habis hampir setahun yang lalu, tentu saja ini menjadi sebuah cerita yang menarik. Apalagi ketika mereka menambahkan bumbu-bumbu sendiri ke dalamnya. Anak murid Partai Kongtong mengatakan bahwa
waktunya sudah semakin dekat dan peristiwa besar yang paling dekat adalah pernikahan Ding Tao.
Rasanya tidak mungkin jika Zhong Weixia memandang Ding Tao begitu tinggi, hingga anak muridnya dilarang berbuat ulah
mendekati pernikahan Ding Tao. Lalu apa" Masakan Zhong Weixia berencana melakukan sesuatu di hari itu" Apakah dia
tidak puas dengan hasil di kaki Gunung Songshan" Zhong Weixia dikenal sebagai orang yang berambisi besar, di hari
pernikahan Ding Tao bisa dikatakan, seluruh tokoh puncak dalam dunia persilatan akan datang berkumpul. Bisa dikatakan
tidak akan kalah ramai jika dibandingkan dengan pertemuan di kaki Gunung Songshan. Dalam perjalanan ke Jiang Ling,
Wang Shu Lin berkali-kali melihat orang-orang dunia persilatan, entah sendirian atau dalam satu kelompok, berjalan ke arah yang sama. Tapi jika benar Zhong Weixia merencanakan sesuatu yang besar, hal ini juga bukan sesuatu yang masuk akal,
sebesar apapun ambisi Zhong Weixia, kekuatan Partai Kongtong tidak akan bisa mengimbangi kekuatan 5 partai yang lain
secara bersama-sama. Meskipun nalarnya menolak kemungkinan itu, namun hatinya tetap saja berdebar-debar. Lagipula ada banyak cara untuk
membunuh orang, tidak selamanya seorang jagoan silat mati oleh pedang. Racun, bahan peledak, hanyalah dua cara di
antara sekian banyak cara lainnya untuk menghilangkan nyawa orang.
Tapi apa iya, Zhong Weixia segila itu"
Berpikir demikian, Wang Shu Lin pun teringat dengan kilatan mata Zhong Weixia yang seperti harimau liar. Di luar
sadarnya, bulu kuduknya pun berdiri mengingat mata Zhong Weixia.
Hati Wang Shu Lin pun berdebar-debar makin kencang. Zhong Weixia memang gila, tapi dia bukan orang bodoh. Jika benar
dia memiliki satu rencana, kemungkinan besar ada banyak tokoh lain yang terlibat pula dalam rencana ini. Pertanyaan
berikutnya, adakah tokoh-tokoh dalam dunia persilatan yang akan mau diajak bekerja sama dalam proyek gila Zhong
Weixia" Wang Shu Lin pun mulai menghitung-hitung nama-nama mereka yang cukup berambisi dan mau mengambil resiko
besar. Tersenyum kecut dan berkeringat dingin, Wang Shu Lin harus mengakui cukup banyak orang yang akan tergiur
dengan ajakan Zhong Weixia, tergantung umpan apa yang diberikan tokoh besar itu. Kongtong punya nama cukup besar,
jika Zhong Weixia bisa menggandeng beberapa nama besar lain, niscaya akan mudah untuk mengumpulkan kekuatan yang
cukup besar. Ding Tao sendiri mencari masalah ketika dia mengeluarkan kebijakannya yang pertama sebagai seorang Wulin
Mengzhu, kekuatannya belum terpupuk benar, namun dia berani mengeluarkan kebijakan yang akan menyinggung banyak
orang. Jika benar Zhong Weixia merencanakan satu rencana busuk menjelang hari pernikahan Ding Tao, apa yang bisa dia
lakukan" Meskipun dia adalah ketua perkumpulan terbesar di Shanxi, jarak antara Shanxi dan Jiang Ling tidaklah dekat. Kalaupun dia mengirim kabar sekarang, pada saat kabar itu sampai di Shanxi kemungkinan besar apa yang ditakutkan sudah terjadi. Jika dia hendak mendekati Ding Tao ataupun orang kepercayaannya, tanpa bukti yang kuat, apakah dia akan dipercaya" Bukan
hanya bukti, bahkan apakah rencana itu benar-benar ada, dan kalau ada apa rencananya, sedikitpun dia tidak tahu apa-
apa. Seumur hidupnya baru kali ini Wang Shu Lin merasa kehabisan akal dan ingin menyerah. Dahulu saja waktu baru turun
gunung dan melaksanakan kewajibannya sebagai anak untuk membalaskan dendam bagi ayahnya, tidak sampai dia merasa
ingin menyerah. Padahal dia hanya seorang diri dan lawannya begitu banyak. Tentu saja faktor waktu yang mendesak juga
berpengaruh, tapi mungkin yang terbesar adalah faktor perasaan. Kali ini yang terancam adalah Ding Tao, lebih mudah bagi dia untuk menghadapi satu bahaya daripada membayangkan Ding Tao menghadapi bahaya. Seandainya Wang Shu Lin tahu
bahwa Murong Yun Hua akan melakukan acara bersih rumah, membasmi pengkhianat dari dalam Partai Pedang Keadilan,
mungkin dia akan menghibur diri dengan berpikir bahwa rencana yang dibicarakan Zhong Weixia ada hubungannya dengan
hal itu. Mungkin Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu meminta bantuan dari enam partai besar yang ada. Tapi tentu saja dia
tidak tahu tentang rencana itu dan hanya bisa menduga-duga sendiri, sementara penilaiannya dipengaruhi pula dengan
perasaannya kepada Ding Tao.
Gadis yang baru pertama kali jatuh cinta ini pun akhirnya menghempaskan badannya dengan mata mengembeng.
Tiba-tiba dia teringat pesan guru-gurunya, "Jangan berbuat semena-mena, meskipun kau tidak bisa melihat keberadaan
kami, tapi sesungguhnya kami akan selalu mengamat-amati pergerakanmu. Jika kami dapati, kau melanggar nilai-nilai
kehormatan, dengan menggunakan ilmu yang sudah kami wariskan, tentu kami akan datang untuk menghukummu."
Pada awalnya dia berpikir bahwa memang ke-enam gurunya selalu mengikuti dirinya. Namun beberapa tahun berlalu dan
tidak sedikitpun dia mencium tanda-tanda atau jejak mereka berenam, Wang Shu Lin menganggap ancaman itu sekedar
ancaman. Sekedar pengingat supaya dia tidak melanggar nasehat dan larangan yang sudah diberikan ke-enam gurunya itu.
Sekarang di saat dia terdesak, teringatlah lagi dia akan peringatan yang diberikan gurunya. Tiba-tiba dari ingatan itu, timbul sedikit harapan, jika benar guru-gurunya selalu memantau setiap gerak-geriknya, mungkinkah salah satu dari mereka ada
juga di Jiang Ling saat ini" Kalau iya, bagaimana dia bisa menarik perhatian gurunya agar datang membantu dia"
Perlahan-lahan sebuah senyuman terbentuk di wajah Wang Shu Lin, malam itu dia mengatur agar diletakkan sebuah meja
di tengah halaman, lengkap dengan hidangan dan arak. Sendirian dia duduk di sana, pengurus penginapan sudah diminta
agar mengatur supaya tak ada orang yang mengganggu. Malam sudah larut ketika Wang Shu Lin duduk di sana, sendirian
ditemani nyala lilin yang bergoyang-goyang ditiup dinginnya angin malam. Sementara sebuah pemanas dinyalakan untuk
menghangatkan arak, menanti langit jernih tak dinaungi awan, Wang Shu Lin pun perlahan-lahan mengangkat seruling dan
meniupkan sebuah lagu. Sebuah lagu sendu, sendunya seseorang yang harus pergi jauh dari kekasihnya. Kalau ada kelebihan Wang Shu Lin, maka
itu adalah keluasan pengetahuan dan ketrampilannya. Meskipun bukan nomor satu dalam suatu bidang, dalam segala
bidang dia adalah yang nomor dua atau setidaknya nomor tiga. Mungkin juga karena memiliki banyak guru, masing-masing
dengan keunikan dan kelebihannya.
Yang mengajar dia bermain seruling dan sastra adalah Zhu Yanyan, pendekar pedang dari Wudang ini bukan saja paling
perasa, tapi juga gemar akan segala yang indah. Salah satu yang membuat dia sedih, adalah kenyataan bahwa dia harus
menjauhi saudara-saudara seperguruannya, yang dia rasa lebih dekat dari keluarga sendiri, yang dia kasihi lebih dari
seorang laki-laki mengasihi seorang wanita.
Kau bertanya kapan aku akan pulang, namun aku tak tahu jawabnya
Hujan malam hari di bukit Ba, membanjiri kolam-kolam
Kapankah kita bisa duduk bersama, memangkas pucuk sumbu lilin yang menyala, di jendela barat,
Berbincang-bincang hingga jauh malam, tentang hujan malam hari di bukit Ba.
Suara merdu Wang Shu Lin melagukan puisi karangan Li Shangyin yang mengisahkan kerinduan seseorang yang dikirim
jauh dari tempat tinggalnya, meninggalkan kekasihnya di sana. Mengalun mendayu-dayu, membuat sekalian hati mereka
yang mendengarkan ikut merasa pilu dan ridu akan kampung halaman, serta kekasih yang menunggu di rumah.
Di atas meja dituangkan dua mangkuk arak hangat, Wang Shu Lin baru saja meneguk sedikit arak dari mangkuk yang ada
di hadapannya ketika sebuah sosok dengan ringan mendarat di depan gadis itu. Tanpa banyak cakap orang itu pun
mengambil mangkuk yang kedua dan menenggaknya dengan satu hirupan.
Sebuah senyuman terkulum di wajah Wang Shu Lin, dengan hormat dia pun bangkit dari tempat duduknya untuk kemudian
menjatuhkan diri berlutut di depan orang yang baru datang, "Guru Zhu Yanyan, murid menghaturkan hormat."
"Ah" dasar anak nakal.", tegur Zhu Yanyan dengan rasa sayang sembari menghapus setitik air mata yang mengembeng di
ujung matanya. "Guru saja yang terlalu perasa", jawab Wang Shu Lin sambil tertawa lebar.
Senyum di wajah Wang Shu Lin pun semakin lebar saat berturut-turut, 5 sosok lain berlompatan datang mendekat. Dengan
penuh semangat gadis itu pun berturut-turut, menjura memberi hormat pada ke-lima gurunya yang baru datang.
"Heh bocah nakal, masa hanya Guru Zhu Yanyan seorang yang kau suguhi arak.", tegur salah seorang gurunya yang
berkepala gundul, melihat kepalanya yang gundul tentunya orang mengira dia guru Wang Shu Lin yang berasal dari Shaolin, padahal justru dia berasal dari Kunlun.
Yang berasal dari Shaolin justru sekarang berambut panjang digerai ke belakang. Penampilan mereka memang sudah
berubah banyak dibandingkan penampilan mereka belasan tahun yang lalu. Belasan tahun lamanya hidup menyamar,
menjadi orang asing bagi saudara seperguruan mereka sendiri, demi satu persahabatan. Sifat ke-enam orang ini dengan
sendirinya sudah bisa dibayangkan. Sesungguhnya bukan hanya Zhu Yanyan yang mengembeng air mata mendengar syair
yang dilagukan oleh Wang Shu Lin. Bahkan Pang Boxi yang sejak dulu sering berselisih paham dengan Zhong Weixia pun
sempat menitikkan air mata. Sifat orang Khongtong memang kebanyakan sedikit telengas dibandingkan 5 perguruan yang
lain, namun dalam hal rasa persaudaraan sebenarnya tidak kalah kental. Hidup selama belasan tahun satu atap, meskipun
ada yang berlawanan sifat seperti Pang Boxi dengan Zhong Weixia, tentu juga ada yang sepaham dan dekat di hati. Wang
Shu Lin yang sudah hidup dibesarkan ke-enam orang itu, mengenal baik sifat mereka, dengan cekatan dia mengeluarkan 5
cawan arak dan menyajikannya pada guru-gurunya.
Pada yang seorang dia bersikap manja, pada yang lain bersikap riang, bertemu dengan Shu Sun Er, satu-satunya guru
wanitanya, dia bersikap seperti seorang adik. Demikian Wang Shu Lin membawa diri dengan pandainya sehingga kesenduan
yang mewarnai awal pertemuan mereka dengan cepat tersapu pergi.
Siapa saja enam orang guru Wang Shu Lin ini" Yang pertama dan menjadi saudara tertua adalah Zhu Yanyan yang berasal
dari Wudang, sikapnya santun dan lemah lembut, menyukai sastra dan musik. Kemudian ada Khong Ti bekas bhiksu dari
Shaolin, sekarang sudah memelihara rambut, minum arak dan makan daging, hanya kawin saja yang belum dia lakukan.
Wajahnya tampan, sifatnya jenaka, dengan perawakan tidak terlalu tinggi, dia ahli dalam silat monyet. Senjata andalannya tentu saja sebuah toya, di antara enam saudara bisa dikatakan ilmunya yang paling tinggi. Yang ketiga adalah Pang Boxi, senjatanya sepasang kapak, wajahnya lebar menggambarkan sifatnya yang jujur dan terbuka, tubuhnya tidak terlampau
tinggi namun dadanya lebar dengan bahu menggunung menyimpan tenaga yang besar. Meskipun Khongti yang berilmu
paling tinggi di antara mereka berenam, tenaga Pang Boxi ini justru yang paling besar.
Yang ke-empat adalah Chen Taijiang, wajahnya terlihat seperti orang hendak menangis sedih. Sering menjadi bahan
gurauan oleh saudaranya yang lain, terutama oleh Khongti yang suka melawak. Namun sifatnya yang penyabar membuat
Chen Taijiang tak pernah marah. Bahkan pada keponakan muridnya yang dengan terbuka pernah menyatakan bahwa dia
sudah dikeluarkan dari perguruan pun, Chen Taijiang tidak menyimpan dendam. Apalagi ketika perintah itu kemudian
dibatalkan oleh karena permohonan saudara-saudara seperguruannya. Selalu mencari kebaikan pada diri orang dan
berusaha menutupi kekurangan mereka, itulah sifat Chen Taijiang yang paling menonjol. Dalam hal ilmu silat, yang
menonjol dari Chen Taijiang adalah ilmu meringankan tubuhnya.
Yang ke-lima adalah Hu Ban, pendekar pedang dari Hoashan, meskipun ilmu silatnya bukan yang terbaik di antara mereka
berenam, tapi justru pengetahuannya tentang ilmu silat lebih luas dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Bakatnya
besar, sayang sedikit pemalas, dia lebih suka menghabiskan waktu untuk memancing dan membakar ikan, daripada berlatih
silat. Lebih suka menggunakan otaknya daripada menggunakan ototnya. Terhadap kehidupan dia memandang ringan segala
sesuatu, hanya satu saja yang dia pandang penting dan itu adalah persahabatan mereka berenam. Dari mereka berenam Hu
Ban yang paling sering memanjakan Wang Shu Lin, dia yang pemalas, menutup diri di dalam kamar selama beberapa bulan
sebelum kepergian Wang Shu Lin. Demi untuk memberi bekal berupa gambar-gambar tentang berbagai macam senjata
dengan jebakan dan mekanik tersembunyi untuk gadis itu.
Yang ke-enam dan satu-satunya wanita dari antara mereka ber-enam Shu Sun Er, hingga sekarang masih tampil kelaki-
lakian dengan rambut dipotong pendek dan dengan menyamar sebagai laki-laki. Berasal dari enmei, seorang bhiksuni
wanita, meskipun sekarang seperti Khongti sudah pula melanggar berbagai pantangan kecuali mengenai hubungan antara
pria dan wanita. Sifat Wang Shu Lin yang keras dan tidak mau tahu apa kata orang, rupanya menurun dari Shu Sun Er,
satu-satunya sosok wanita yang dia kenal semenjak kecil hingga besar. Satu-satunya pedoman Shu Sun Er adalah, bila hati nuraninya mengatakan benar, maka peduli setan apa kata orang di seluruh dunia. Senjatanya adalah sebuah pedang yang
panjangnya hampir mendekati panjang tombak, salah satu senjata khas dari aliran Enmei. Sebagai wanita suka juga
bersolek dan pandai merias diri, termasuk merias diri dalam berbagai macam samaran. Jika Zhu Yanyan pandai bermai
seruling, maka Shu Sun Er cakap sekali dalam melukis.
Itulah ke-enam orang guru Wang Shu Lin, hidup belasan tahun dalam perantauan, ilmu mereka berkembang justru lebih
pesat dibandingkan ketika mereka masih berada dalam perguruan mereka masing-masing. Dihadapkan pada tugas untuk
mengajar dan mendidik Wang Shu Lin kecil, akhirnya mereka melanggar salah satu garis yang mencegah tiap-tiap pendekar
membocorkan rahasia aliran mereka pada murid dari aliran lain. Hu Ban yang malas berlatih tapi encer dalam berpikir
adalah yang paling berjasa dalam menggabungkan ilmu dari ke-enam aliran menjadi satu ilmu yang unik. Merangkaikan
kelebihan-kelebihan dari tiap-tiap orang dan menciptakan ilmu yang baru.
Meskipun ilmu gado-gado mereka belum bisa disandingkan dengan tingkatan para ketua dari enam perguruan besar, tapi
setidaknya mereka akan bisa berhadapan dengan imbang dalam seratusan jurus. Apalagi enam orang ini memiliki
kelebihannya masing-masing. Jika Zhong Weixia atau Guang Yong Kwang menganggap enam orang itu seperti belasan
tahun yang lalu, maka mereka akan mendapatkan kejutan besar.
"Anak Shu Lin, dari mana kau tahu bahwa kami selalu mengawasimu" Jangan-jangan selama ini kau selalu menjaga
kelakuanmu karena tahu kami mengawasimu.", tanya Hu Ban setelah mereka puas bersenda gurau.
"Tidak guru, selama ini kupikir guru berenam sudah hidup tenang, di suatu desa, bertani dan beternak seperti dulu ketika membesarkan aku. Jika bukan karena terdesak oleh keadaan, tentu tidak akan muncul dalam ingatan, peringatan guru
sekalian sebelum murid turun gunung.", jawab Wang Shu Lin dengan tersenyum manis.
"Ohho, begitu rupanya, lalu bagaimana kau bisa yakin dengan menyanyikan lagu ini kami berenam akan muncul ke
hadapanmu?", kejar Hu Ban belum puas, sementara lima orang yang lain ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Hehe, sebenarnya murid tidak yakin, tapi murid berharap setidaknya ada salah seorang dari guru sekalian yang bertugas


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengawasi gerakan murid. Karena setelah murid teringat peringatan guru itu, murid pun mulai memikirkan sepak terjang
murid selama ini. Beberapa kejanggalan dan kebetulan, yang membantu murid berhasil membalaskan dendam ayah, juga
menjadi kepala di daerah Shanxi pun jadi muncul dalam ingatan.", jawab Wang Shu Lin.
"Hahaha, dasar murid nakal, jadi sebelumnya kau menganggap semua itu hasil pekerjaanmu sendiri ya. Wah, besar juga
kepalamu.", ujar Pang Boxi sambil tertawa terbahak-bahak.
Wang Shu Lin pun meleletkan lidah dan menjawab, "Hee" mengingat hal itu murid benar-benar menjadi malu, tapi itulah
kehebatan guru sekalian, bisa berbuat di belakang layar tanpa ada yang menyadari peran serta guru ber-enam."
"Baguslah kalau kau merasa malu, mulai sekarang ingatlah baik-baik, untuk tidak terlalu yakin pada kemampuanmu
sendiri.", ujar Khongti menyahut.
"Baik guru, tentu akan murid ingat-ingat. Setiap kali murid dalam kesulitan, murid akan menghadap ke barat dan murid
sebut nama Guru Khongti keras-keras sambil menghentakkan kaki tiga kali ke atas tanah.", jawab Wang Shu Lin sambil
tersenyum jenaka. "Haa haa haa, kau kira gurumu ini dewa tanah atau dewa gunung" Dasar murid nakal, gurunya pun dibuat bahan
bercanda.", ujar Khongti sambil tertawa terbahak-bahak.
"Eh Shu Lin, kau memang sudah menjawab banyak pertanyaan, tapi kau belum jawab, dari mana kau bisa yakin, kami akan
keluar setelah mendengar lagumu itu?", setelah tawanya mereda, Hu Ban bertanya kembali sambil menyusut air mata yang
keluar karena tertawa. "Hmm.. tentu saja karena Shu Lin tahu, bahwa hatiku selalu rindu dengan saudara-saudara di Gunung Wudang. Dia tentu
sering melihat atau pernah melihat, aku pergi diam-diam untuk meminum arak sendirian dan melagukan syair itu di tengah
padang.", ujar Zhu Yanyan menjawab, sebelum Wang Shu Lin sempat menjawab.
Wang Shu Lin pun terdiam dan dengan suara perlahan dia berkata pada Zhu Yanyan, "Maafkan aku guru, bukan maksudku
membuat guru sekalian bersedih. Dalam keadaan terjepit, murid terpaksa melakukan hal ini."
Zhu Yanyan tersenyum sabar, sambil mengelus kepala Wang Shu Lin dia menjawab, "Hahaha, tidak apa-apa, bukan sesuatu
yang sangat menyedihkan juga. Justru aku menikmati sedikit bernostalgia mengenang masa lalu."
Untuk sesaat tidak ada seorangpun yang berbicara, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri sebelum akhirnya Hu
Ban kembali memecahkan kediaman mereka, "Shu Lin, kau bilang kau sedang berada dalam keadaan terjepit, masalah apa
yang sebenarnya sedang kau hadapi" Kami diam-diam selalu mengamati gerak-gerikmu dari jauh, masakan kau ada dalam
masalah dan kami bisa tidak tahu?"
"Hmm" aku sendiri belum yakin, apakah akan terjadi sesuatu atau tidak. Tapi guru tentu tahu, kemarin aku sempat bentrok dengan Ketua Partai Kongtong, Zhong Weixia.", jawab Wang Shu Lin.
Ke-enam orang guru Wang Shu Lin pun menganggukkan kepala dan Hu Ban bertanya, "Lalu?""
"Sebelum Zhong Weixia pergi meninggalkan tempat, dia sempat menegur dan berkata, bahwa waktunya sudah semakin
dekat, anak murid Kongtong tidak diperbolehkan lagi meninggalkan tempat dan membuat masalah. Tidakkah guru merasa
ucapan itu aneh?", tanya Wang Shu Lin.
Pang Boxi yang paling kenal sifat Zhong Weixia, otomatis mata setiap orang pun sekarang tertuju padanya. Pang Boxi pun
mengerutkan dahi dan berpikir keras, ini bukan kebiasaannya, namun beban yang dibawa setiap sorot mata itu membuat
dia, mau tidak mau, harus berpikir keras sebelum menjawab.
"Hmm", ya?", ucap Pang Boxi kemudian diam.
"Hmm.. hmm" kupikir?", sekali lagi Pang Boxi terdiam, padahal setiap orang sudah ingin mendengar apa jawabnya.
"Ya" jadi kukira?", lagi-lagi Pang Boxi tampak ragu-ragu untuk mengutarakan pendapatnya.
Segera saja Shu Sun Er yang sudah tidak sabar menyergah, "Hah! Katakan saja apa pendapatmu, jangan kau gantung lagi
kami dengan ah" oh" hmm", seperti wanita sedang dilamar saja."
Karuan saja mereka semua yang mendengar sergahan Shu Sun Er tertawa geli sementara Pang Boxi wajahnya bersemu
merah. Khong Ti yang nakal dengan cekatan menyahut, "Eh adik Sun Er, kok kau bisa tahu seperti apa wanita yang dilamar orang,
siapa di antara kami yang sudah melamarmu" Apa jawabmu?"
Sekali lagi mereka semua tertawa geli dan gantian Shu Sun Er yang wajahnya bersemu merah, "Eh keledai gundul, hati-hati kalau bicara. Coba saja kalau ada orang yang berami melamarku, boleh coba rasakan berapa tajam pedang Shu Sun Er."
Khong Ti tidak kehabisan akal, dia pun menepuk-nepuk pundak Chen Taijiang dan berkata, "Ah tahulah aku sekarang
kenapa Adik Chen Taijiang selalu bersedih " Adik Tai Jiang, tak perlulah bersedih seperti itu, asalkan kau mau bersabar tentu Adik Sun Er lama kelamaan akan berubah pikiran."
Dengan wajah sedihnya Chen Taijiang menjawab, "Keledai gundul, janganlah kau buat bahan bercanda, wajah pemberian
ayah ibuku ini." Pecahlah tawa mereka semua, termasuk juga Chen Taijiang sendiri, meskipun pada saat tertawa wajahnya tetap saja
terlihat sedih. Menunggu tawa mereka mereda, Shu Sun Er pun bertanya untuk kedua kalinya pada Pang Bo Xi.
"Jadi bagaimana" Sudahkah Kak Boxi mengambil kesimpulan?", tanya Shu Sun Er.
Pang Boxi pun menjawab, "Ya, menilik sifatnya, kukira anak Shu Lin punya alasan kuat untuk menduga bahwa Zhong
Weixia tentu sedang memiliki rencana besar yang rahasia sifatnya. Jika tidak mana mungkin dia melepaskan Shu Lin dengan begitu mudahnya. Tadinya aku berpikir dan berharap bahwa sifatnya memang sudah banyak berubah, tapi jika kupikirkan
secara lebih obyektif, kukira dugaan Shu Lin jauh lebih mungkin terjadi daripada kemungkinan Zhong Weixia berubah sifat.
Hukumannya pada Adik Lau Wan Kiet menunjukkan hal itu."
"Tapi siapa yang menjadi sasarannya?", Zhu Yanyan mengajukan pertanyaan itu dengan dahi berkerut.
Wang Shu Lin tanpa ragu menjawab, "Jika dia mengatakan waktunya sudah dekat, kemungkinan besar yang menjadi
sasaran adalah Wulin Mengzhu yang terpilih, Ding Tao. Bukankah acara pernikahannya tinggal beberapa minggu lagi?"
"Hmm?", Hu Ban bergumam, berpikir sambil diam-diam mengawasi murid terkasih mereka itu.
"Shu Lin, yang kau katakan itu ada kemungkinannya juga, tapi sungguh berani Zhong Weixia jika dia berpikir hendak
mengusik Ding Tao di hari pernikahannya. Meskipun suasananya memang cenderung membuat orang lengah, tapi jika
melihat para undangan yang datang" Memangnya seberapa besar kekuatan Zhong Weixia?", ujar Hu Ban dengan hati-hati,
tak ingin menyinggung Pang Boxi yang masih satu seperguruan dengan Zhong Weixia.
"Jutru itu aku berpikir untuk meminta bantuan guru sekalian, jika Ketua Zhong Weixia benar-benar hendak melakukan
sesuatu terhadap Ketua Ding Tao, tentu dia tidak sendirian, tentu ada banyak kekuatan lain yang berdiri di belakangnya.", ucap Wang Shu Lin dengan sungguh-sungguh.
Tapi guru-gurunya tidak serta merta memberikan jawaban yang memuaskan, mereka terdiam dan saling pandang. Melihat
guru-gurunya diam saja, Wang Shu Lin mulai berputus asa, perlahan-lahan air mata mulai mengembeng.
"Guru" apakah guru sekalian akan diam saja?", keluhnya sambil menggebrakkan kakinya ke tanah.
Zhu Yanyan yang menjadi saudara tertua dari enam orang sahabat itu pun mendekati gadis itu dan dengan lembut
menepuk-nepuk pundaknya, "Anak Shu Lin", sudah tentu kami tidak akan berdiam diri" tapi jika benar apa yang kau
katakan, lalu apa arti kita berenam ini?" Sementara terhadap urusan dunia persilatan, sebenarnya kami sudah merasa
tawar?" "Lagipula, kekhawatiranmu itu belum tentu terjadi, di pernikahan Ding Tao nanti tentu hadir juga Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan, serta tokoh-tokoh besar lainnya. Mereka ini tidak bisa diremehkan.", sambung Hu Ban berusaha
menghibur Wang Shu Lin. "Apakah guru tidak merasa ikut bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada Ding Tao, sementara kita mengetahuinya
namun berdiam diri saja?", tanya Wang Shu Lin.
Justru Pang Boxi yang masih memiliki kaitan dengan Kongtong yang mendukung Wang Shu Lin, "Kukira perkataan Anak Shu
Lin perlu kita pertimbangkan. Justru karena pada pesta pernikahan itu ada begitu banyak tokoh besar yang diundang. Bisa jadi yang menjadi sasaran bukan Ding Tao tapi salah satu dari tamu yang diundang. Bagaimana jika sasaran mereka adalah
orang-orang dari Shaolin atau Wudang" Aku pribadi sebagai bekas murid Kongtong, tidak rela jika Kongtong yang sekarang
mencederai perguruan atau partai lain. Apalagi jika mereka yang dicederai itu memiliki hubungan dekat dengan sahabat-
sahabat yang bahkan lebih dekat dari saudara kandungku sendiri."
Tidak biasanya Pang Boxi berbicara panjang lebar, namun kali ini dia berbicara sedemikian panjang. Mendengar perkataan
Pang Boxi itu Wang Shu Lin merasa sangat berterima kasih, meskipun dia tahu, bahwa Pang Boxi tidak seperti dirinya yang mengkhawatirkan Ding Tao. Yang dikhawatirkan Pang Boxi justru para tokoh dari lima perguruan besar yang lain.
"Ucapan Saudara Bo Xi itu benar, jika Kongtong hendak melakukan pekerjaan besar, kukira yang akan diajak ikut serta
kemungkinan besar adalah Guang Yong Kwang dari Kunlun. Keponakan muridku itu memang punya ambisi yang besar dan
seperti yang kita lihat pada waktu pemilihan Wulin Mengzhu di kaki Gunung Songshan, mereka berdua terlihat sepikiran.
Aku mengerti benar perasaan Saudara Bo Xi, kuharap kalian berempat mengerti pula perasaan kami berdua.", ujar Chen
Taijiang dengan mimik wajahnya yang sedih, semakin sedih memikirkan polah laku dari keponakan muridnya yang sekarang
sudah menjadi ketua dari perguruan Kunlun.
Dua dari mereka berenam sudah berbicara, bagaimana pun juga perasaan empat orang yang lain ikut tergerak. Apalagi jika
berpikir, ada kemungkinan orang-orang yang dekat dengan masa lalu mereka, akan menjadi korban dalam permainan
Kongtong dan sekutunya. Meskipun dugaan Wang Shu Lin bukanlah satu kepastian, jika mereka berpangku tangan, untuk
kemudian mengetahui bahwa dugaan Wang Shu Lin itu benar adanya, betapa akan menyesal mereka semua. Apalagi
mereka yang di masa lalunya memiliki kaitan dengan pelaku kejahatan itu.
Zhu Yanyan pun menganggukkan kepala, "Baiklah, kukira masalah ini memang tidak bisa dihindarkan. Meskipun kita
berenam sudah memutuskan untuk cuci tangan dari urusan dunia persilatan, namun memikirkan kepentingan yang lebih
besar, juga perasaan kita masing-masing, memang yang terbaik, kita harus ikut campur dalam masalah ini."
Mendengar keputusan Zhu Yanyan sebagai orang tertua dari mereka berenam, Wang Shu Lin pun meneteskan air mata haru
dan berkata, "Ah" guru sekalian, terima kasih" sungguh kalian sangat baik terhadapku. Ampuni murid yang selalu saja
menyusahkan guru sekalian."
Shu Sun Er tersenyum sambil memelu gadis itu dia menjawab, "Jangan bodoh, toh kami melakukan ini, juga karena
kepentingan kami sendiri. Justru kau harus merasa bangga, bahwasannya kau memiliki rasa keadilan yang besar, sehingga
tergerak untuk bekerja meskipun persoalan ini tiada hubungannya dengan dirimu pribadi."
Dengan wajah tersipu Wang Shu Lin hanya bisa mengangguk dalam pelukan gurunya itu. Tentu saja dalam hati dia harus
mengaku bahwa tidak demikian yang sebenarnya. Seandainya dia tidak jatuh cinta pada Ding Tao, akankah dia ikut campur
dalam urusan itu" Dia sendiri tidak berani menjawab dengan pasti. Khongti mengerling ke arah Shu Sun Er yang sedang
memeluk Wang Shu Lin, mulutnya sudah terbuka hendak menggoda gadis itu, namun Shu Sun Er diam-diam
menggelengkan kepala dan Khongti pun batal membuka mulutnya. Runyam memang kisah cinta gadis ini, guru-gurunya
pun hanya bisa mengawasi agar dia tidak memilih jalan yang sesat demi emosi sesaat.
Hu Ban pun berucap, "Kalau memang sudah diputuskan demikian, langkah selanjutnya yang perlu kita lakukan adalah
mengawasi tiap pergerakan orang-orang Kongtong yang ada di Jiang Ling ini. Satu-satunya jejak dan petunjuk yang kita
dapati adalah mereka, kecuali jika muncul petunjuk lainnya."
Zhu Yanyan menganggukkan kepala tanda setuju, "Benar", untuk sementara tidak ada petunjuk lain, yang ada pada kita
hanyalah mereka, namun Zhong Weixia dan orang-orang kepercayaannya tidak boleh dibuat main-main. Demikian pula jika
mereka memiliki sekutu, tentu bukan orang sembarangan. Karena itu, kuminta supaya siapa pun yang sedang bertugas
mengawasi gerak-gerik mereka, jangan terlalu gegabah. Jangan mengambil resiko terlalu besar, jumlah kita hanya sedikit, jangan sampai yang sudah sedikit ini semakin berkurang kekuatannya, disebabkan oleh kepercayaan diri yang terlalu
tinggi." Hu Ban mengangguk dan menambahkan, "Terutama kau Shu Lin, aku tahu kau memiliki perasaan yang kuat mengenai
masalah ini, namun janganlah hal itu membuatmu jadi gegabah. Kita bukan sedang bermain-main dengan tokoh kelas dua
atau tiga." Secara tersirat Hu Ban menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak sepenuhnya buta akan perasaan Wang Shu Lin
terhadap Ding Tao. Jika sekarang mereka sudah setuju untuk memenuhi kehendak Wang Shu Lin, maka harapannya Wang
Shu Lin pun harus bertindak hati-hati. Dengan wajah tersipu Wang Shu Lin menganggukkan kepala.
"Hmm.. baguslah kalau kita semua sudah sepaham. Malam ini biarlah aku dan Chen Taijiang yang mendapatkan giliran
pertama untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Untuk selanjutnya kalian atur siapa yang akan menggantikanku. Tentang
kode dan sandi, biarlah kita pakai seperti biasa, kalian ajarkan pula kode dan sandi yang biasa kita pakai pada Anak Shu Lin.", ujar Zhu Yanyan sambil mengebaskan jubahnya, bersiap untuk pergi mengintai lawan.
"Guru" hati-hatilah", ujar Wang Shu Lin dengan penuh haru.
"Hahaha, gurumu ini sudah banyak makan asam garam, kau tidak perlu kuatir, sekarang pergilah beristirahat dahulu. Besok tentu kau pun akan mendapat giliran berjaga. Petunjuk kita hanya satu, sesaatpun tidak boleh luput dalam mengawasi
mereka.", ucap Zhu Yanyan sambil tertawa.
Tanpa banyak cakap lagi, Zhu Yanyan dan Chen Taijiang pun segera berkelebat pergi, menggunakan kegelapan malam,
menyembunyikan gerakan mereka yang selincah kucing dan seringan burung. Wang Shu Lin dan guru-gurunya yang lain
pun segera membereskan sisa-sisa makan dan minum mereka, untuk kemudian pergi beristirahat. Kamar yang disewa
Wang Shu Lin tidak terlampau besar, namun sudah terbiasa hidup di alam yang keras, hal itu tidak menjadi halangan
sedikitpun. Mendekati dini hari barulah mereka menyebar pergi, ke tempat persembunyian masing-masing. Wang Shu Lin
sendiri tidur hingga jauh siang, setelah semalaman memeras otak untuk menghafal kode dan sandi yang biasa digunakan
oleh guru-gurunya, tahu bahwa tenaganya perlu disimpan baik-baik.
Mengintai orang bukanlah pekerjaan yang menyenangkan, seperti juga memancing ikan, mengintai orang butuh kesabaran,
lebih-lebih Wang Shu Lin dan guru-gurunya tidak menyediakan umpan untuk menjebak lawan, semata-mata hanya
mengawasi mereka dari kejauhan, menunggu lawan membuat gerakan. Keberadaan mereka, diharapkan belum menjadi
terang buat lawan, segala upaya pun dilakukan, termasuk menyulap penampilan Wang Shu Lin, yang sekarang sudah
menjadi seorang wanita setengah baya yang bekerja di sebuah toko kain tidak jauh dari penginapan tempat orang-orang
Khongtong menginap. Pemilik toko kain itu sendiri adalah Zhu Yanyan, toko itu sendiri sudah dibelinya sebulan yang lalu, ketika mereka melihat arah perjalanan Wang Shu Lin yang menuju ke Kota Jiangling, maka Zhu Yanyan mendahului Wang
Shu Lin dan menetapkan sebuah tempat bagi mereka berenam.
"Dari mana guru sekalian bisa tahu aku akan pergi ke Jiang Ling?", tanya Wang Shu Lin saat dia mengetahui keberadaan
toko kain itu. "Semut mendatangi gula, kejadian besar apalagi yang ada di dunia persilatan sekarang, jika bukan kabar pernikahan Wulin Mengzhu yang ketiga kalinya.", ujar Hu Ban dengan ringan.
"Jika ternyata murid bukan pula pergi ke Jiang Ling?", tanya Wang Shu Lin penasaran.
"Tidak masalah, toh masih ada lima orang yang mengikutimu, biar saja seorang dari kita menjalankan toko kain ini selama beberapa bulan. Menunggu pasti dirimu tidak pergi ke Jiang Ling, toko ini dijual juga kita bisa dapat untung.", jawab Hu Ban ringan.
"Heheh, sejak bekerja membuntutimu, kami berenam punya kesenangan baru, membeli usaha orang, membesarkannya lalu
menjualnya. Lumayan, semakin hari uang di kantong semakin tebal saja.", ujar Khongti sambil menepuk-nepuk kantung
uangnya. Sambil terkekeh geli Wang Shu Lin berujar, "Tidak sangka, guru sekalian ternyata punya bakat jadi pedagang."
Demikianlah dengan segenap upaya, Wang Shu Lin dan ke-enam orang gurunya bekerja dengan rahasia, ditambah pula
dengan jumlah mereka yang tidak terlalu besar dan keberadaan mereka yang memang bisa dikatakan tidak terlalu penting
dalam dunia persilatan, sehingga mereka bisa bekerja tana diketahui lawan. Ke-enam orang itu, sudah belasan tahun
dianggap hilang dari dunia persilatan, sementara di mata dunia persilatan Wang Shu Lin atay Ximen Lisi, dianggap masih
berada di Shanxi. Di lain pihak orang-orang Khongtong sendiri tidak ada yang berani melanggar perintah Zhong Weixia,
seperti yang sudah diperintahkan, selama berhari-hari mereka tidak keluar dari penginapan. Sesekali ada yang keluar untuk sekedar membeli berbagai keperluan, mengintai mereka pun lama-kelamaan jadi membosankan. Di sini keuletan ke-tujuh orang itu terlihat benar, meskipun berulang kali pergerakan lawan ternyata tidak memiliki arti penting, tidak juga mereka menjadi lengah. Meskipun berhari-hari tidak terjadi sesuatu yang menarik, semangat mereka tidak juga menurun.
Kata orang, nasib baik terjadi, bagi mereka yang bertekun dalam usahanya. Ke-tujuh orang ini pun mengalaminya hari itu.
Hari sudah mulai gelap, ketika dua orang murid Khongtong keluar dari penginapan, tidak ada tanda-tanda dia akan
melakukan satu pekerjaan khusus. Berulang kali di hari-hari sebelumnya, mengikuti mereka ini terbukti tidak menuntun
pada petunjuk yang lebih jauh, namun tetap saja Khongti yang hari itu bertugas bersama dengan Shu Sun Er bergegas
mengikuti orang itu dengan diam-diam. Sementara Shu Sun Er mengirim kabar secara berahasia, Chen Taijiang yang
menjadi perantara antara mereka yang bertugas dengan mereka yang sedang tidak berjaga, tanpa bermalas-malasan
segera pergi memberi kabar. Tidak lama kemudian, Hu Ban sudah menggantikan posisi Khongti yang sedang bergerak
menguntit dua orang anak murid Partai Khongtong.
Menguntit orang ada juga seninya, jika menguntit sendirian akan terlampau mudah ketahuan oleh lawan yang dikuntit.
Segera setelah Chen Taijiang memberi kabar, Zhu Yanyan sudah bergerak mencari-cari tanda yang ditinggalkan Khongti.
Setelah menemukan tanda tersebut, Zhu Yanyan pun segera tahu ke arah mana dua orang murid Khongtong itu bergerak,
tanpa banyak kesulitan, mengikuti beberapa tanda yang ditinggalkan Khongti, Zhu Yanyan pun akhirnya melihat dua orang
anak murid Khongtong itu. Khongti yang melihat Zhu Yanyan dari kerumunan orang tempat dia membaurkan diri, segera
menghentikan kuntitannya atas dua orang anak murid Khongtong itu. Mencari tempat untuk mengganti penyamaran, ganti
dia yang kemudian mengikuti jejak Zhu Yanyan.
Zhu Yanyan sedang melihat-lihat barang dagangan orang, sembari matanya yang tajam mengikuti gerak-gerik orang yang
dia ikuti, ketika Khongti berdiri sejajar dengan dirinya, ikut melihat pula barang dagangan yang sedang dijajakan orang.
"Hmm" jadi orang tua memang susah, anak kecil ada saja kemauannya", gumam Khongti menarik perhatian Zhu Yanyan.
Zhu Yanyan pun menengok dan dengan ringan menjawab, "Heheh, sudah wajar, nanti toh bergantian, kalau kita sudah tua,
mereka yang repot mengurus kita."
Khongti tertawa sebelum mengangguk dan meninggalkan tempat itu, menggantikan Zhu Yanyan menguntit dua orang anak
murid Partai Khongtong. Demikian dua orang itu bekerja sama, bergantian mengikuti gerak-gerik buruan mereka. Anak
murid Khongtong bukannya tidak waspada terhadap kuntitan orang, sesekali mereka berhenti untuk melihat ke sekeliling
mereka, adakah orang yang sedang mengikuti gerak-gerik mereka" Namun karena Zhu Yanyan dan Khongti bekerja sama
dengan apiknya, maka dua orang itu pun tidak sadar bahwa gerak-gerik mereka sedang diikuti orang. Penguntitan menjadi
lebih sulit, ketika akhirnya dua orang itu keluar dari Kota Jiang Ling. Zhu Yanyan dan Khongti pun tidak berani mengikuti dari jarak dekat, terpaksa mereka membiarkan dua orang buruan mereka berada jauh di depan. Ketika di satu kelokan
keduanya tiba-tiba menghilang dari jalan utama, dua orang bersahabat itu pun berunding sejenak.
"Menurutmu ke mana dua orang itu pergi?", tanya Zhu Yanyan.
"Heh" kiri dan kanan kita diapit hutan yang tidak terlalu lebat, jalan utama hanya ada bercabang dua. Jika mereka tidak mengambil tikungan ini, tentu mengambil tikungan yang satunya, atau bisa juga mereka masuk ke dalam hutan.", jawab
Khongti. Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 1 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 7
^