Pencarian

Pendekar Binal 5

Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 5


"Aku ... aku ...." Thi Sim-lam gelagapan.
"Jangankan kau ketakutan, bahkan aku pun rada takut," ujar Siau-hi-ji. "Nona cilik itu sungguh lihai, nona secantik itu ternyata begitu keji caranya, sungguh mimpi pun sukar dibayangkan."
"Mungkin cuma beberapa orang saja yang tidak takut padanya di dunia Kangouw ini," ujar Thi Sim-lam.
"Aku percaya," kata Siau-hi-ji. "Orang yang tidak gentar pada langit dan tidak takut pada bumi seperti diriku ini juga jeri padanya, siapa pula yang tidak takut padanya .... Eh, apakah kau tahu siapa namanya?"
"Dia she Thio, orang menjuluki dia Siau-sian-li Thio Cing," tutur Thi Sim-lam.
"Siau-sian-li Thio Cing?" Siau-hi-ji mengulang nama itu. "He, pernah kudengar nama ini ...." Segera teringat olehnya sebelum meninggalkan Ok-jin-kok tempo hari, di lembah sarang penjahat itu telah datang seorang pelarian yang mengaku bernama "Sat-hou-thayswe" Pah Siok-tong. Orang ini lah pernah menyebut nona cantik yang ditakutinya itu bernama Siau-sian-li Thio Cing.
Waktu itu tak pernah terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa nona yang berjuluk
"bidadari cilik" dan ditakuti orang Kangouw itu ternyata benar-benar seorang nona cilik yang cantik bagai bidadari.
Terbayang oleh Siau-hi-ji pakaian Thio Cing dengan kudanya yang sama merahnya, nona belia itu telah berkelana di dunia Kangouw dan disegani setiap orang, sungguh luar biasa .... Tanpa terasa Siau-hi-ji terkesima membayangkan wajah Siau-sian-li Thio Cing.
Selang sejenak perlahan Thi Sim-lam berkata, "Kau mampu menyelamatkan diriku dari tangannya, sungguh kejadian yang tidak mudah, tapi dia pasti juga
... sangat benci padamu, selanjutnya engkau harus hati-hati."
"Aku tidak takut," jawab Siau-hi-ji tertawa. "Sebab, pada hakikatnya dia tidak melihat diriku, apalagi ... apalagi seumpama berkelahi sungguhan aku pun belum tentu kalah."
"Kukira engkau bukan tandingannya," ujar Thi Sim-lam. "Entah ajaran siapa, ilmu silatnya sungguh luar biasa lihainya. Baru lebih setahun dia muncul di dunia Kangouw, tapi sedikitnya berpuluh tokoh Bu-lim (dunia persilatan) telah terjungkal di tangannya."
"Ah, tokoh kodian begitu terhitung apa?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Tapi ada juga satu-dua di antaranya benar-benar memiliki kepandaian sejati, misalnya ...."
Tiba-tiba Siau-hi-ji memotong, "Sudahlah, peduli urusan itu, sekarang coba perlihatkan barangmu itu kepadaku."
Tergetar tubuh Thi Sim-lam, jawabnya, "Ba ... barang apa maksudmu?"
"Yaitu barang yang diperebutkan mereka secara mati-matian itu, begitu pula kau lebih suka terbunuh daripada menyerahkan barang yang diminta, tentunya kau sendiri tahu barang apa itu?"
"Aku ... aku tidak tahu," jawab Thi Sim-lam.
Siau-hi-ji tarik baju orang dan berteriak, "Sudah kuselamatkan jiwamu, tapi memperlihatkan barangmu padaku saja tidak sudi. Hm, di mana letak hati nuranimu" Apalagi aku hanya ingin melihat saja, takkan kurampas barangmu."
"Lepas ... lepaskan, akan kukatakan padamu," pinta Thi Sim-lam.
"Baik, memangnya kau berani mungkir janji lagi," kata Siau-hi-ji.
"Cuma rahasia ini tidak boleh kau katakan lagi kepada orang lain."
"Katakan kepada siapa?" sahut Siau-hi-ji. "Tolol, kau inilah orang yang paling kusukai. Orang lain mengganggumu, dengan mati-matian kutolong dirimu, masakan akan kukatakan kepada orang lain segala?"
Muka Thi Sim-lam merah lagi, tapi ia lantas angkat kepalanya dan berkata dengan perlahan, "Barang yang dimaksud itu tidak kubawa."
Sampai lama Siau-hi-ji memandang Thi Sim-lam dengan terbelalak, habis itu mendadak ia tertawa.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Sim-lam. "Haha, kau anggap diriku ini anak kecil" Kau ingin membohongi aku?"
"Sumpah, aku tidak bohong padamu."
"Apabila barang itu tidak ada padamu, untuk apa mereka menguber dirimu dan mengapa kau berusaha kabur ketakutan?"
"Sebab barang itu sudah diambil oleh seorang yang paling akrab denganku, kukhawatir dia dicelakai orang lain, maka aku sengaja berlagak masih menyimpan barang itu agar orang lain menjadikan diriku sebagai sasaran dan dapatlah mengamankan dia."
"O, jadi kau memakai tipu 'Kim-sian-toat-kak' (tonggeret emas ngelungsung kulit) dan 'Tiau-hou-li-san' (memancing harimau meninggalkan gunung)," kata Siau-hi-ji dengan rada melenggong.
"Ya, begitulah," sahut Thi Sim-lam.
"Sungguh tidak nyana engkau adalah orang yang suka berkorban bagi orang lain," ujar Siau-hi-ji dengan gegetun.
"Meski aku bukan orang baik yang suka berkorban bagi orang lain, namun orang itu adalah kakakku sendiri," tutur Sim-lam.
"O, kiranya begitu, sesungguhnya barang apakah itu, tentunya dapat kau beritahukan padaku."
Thi Sim-lam menunduk, katanya kemudian, "Yaitu sebuah peta yang menyangkut suatu partai harta karun."
"Hahaha, kiranya barang begituan," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa "Tahu barang begitu, melihat saja aku tidak sudi. Jika aku suka pada benda mestika, pada hakikatnya dapat kuperoleh, buat apa mesti mencarinya dengan susah payah?" Dia berbangkit dan memeriksa keadaan gubuk itu, dilihatnya di belakang rumah ada bekas tungku, ia mengernyitkan dahi dan berkata pula,
"Rumah apakah ini, terletak di tempat terpencil begini?"
"Kita sudah lari cukup jauh, mungkin sudah dekat kota, bisa jadi tempat ini dahulu digunakan pos pengintai prajurit," ujar Thi Sim-lam.
Siau-hi-ji melongok ke pintu belakang, katanya kemudian dengan tertawa, "Di sini malah ada sumur."
"Ya, di lemari bobrok ini juga ada beberapa buah mangkuk rusak," kata Thi Sim-lam. "Biar kutimbakan air untuk minum."
Siau-hi-ji berkedip-kedip katanya, "Kau takkan lari ya?"
"Untuk apa aku lari?" jawab Sim-lam.
"Ya, kutahu engkau takkan lari," kata Siau-hi-ji.
Thi Sim-lam memang tidak perlu lari. Sejenak kemudian dia masuk kembali dengan membawa sebuah ember kayu.
Sikapnya yang angkuh kini sudah lenyap, mendadak ia berubah sangat ramah dan serba lembut, ya menimba air, ya cuci mangkuk, pekerjaan yang biasa ditangani anak perempuan itu telah dikerjakannya dengan baik.
Siau-hi-ji terus memandangi tingkah laku orang dan merasa tertarik. Tiba-tiba terdengar suara derapan kuda lari, kedua orang sama terkejut dan pucat.
Syukur dengan segera Siau-hi-ji dapat melihat yang datang itu kiranya adalah seekor kuda putih tanpa penunggang. Rupanya kuda putih yang dibeli Siauhi-ji itu juga mengikuti perjalanan mereka ke sini.
Kejut dan girang Siau-hi-ji, segera ia melompat keluar untuk memapak kuda putih itu, katanya sambil membelai bulu suri kuda itu, "O, kudaku sayang, rupanya kau pun tidak mau ketinggalan, besok akan kuberi makan sawi putih.
Eya, kau juga diberi nama, biarlah kunamai kau Sawi Putih.
Ia melirik sekejap ke dalam rumah, di dalam cukup gelap. Selang sejenak tampak Thi Sim-lam keluar dengan membawa dua mangkuk air.
"Sudah kucicipi, air ini terasa manis," kata Sim-lam dengan berseri.
"Kita minum, bagaimana kudanya, dia sudah lelah berlari, biar dia minum semangkuk dulu," kata Siau-hi-ji.
"Jangan, jangan!" kata Sim-lam cepat. "Hanya ... hanya dua mangkuk ini kucuci bersih. Biarkan kuda minum dengan ember saja." Ia menaruh sebuah mangkuk di tepi sumur dan mangkuk lain diserahkan pada Siau-hi-ji, lalu ia lari masuk lagi ke rumah.
Sungguh cepat lari Thi Sim-lam, ketika dia keluar lagi Siau-hi-ji masih tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeser, Thi Sim-lam berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, "Ayolah minum, sungguh air itu manis!"
"Jangan, air sumur ini beracun," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Ti ... tidak mungkin, kalau beracun tentu aku sudah mati keracunan," kata Thi Sim-lam dengan mengikik. "Tadi aku sudah minum satu mangkuk, sekarang biar kuminum lagi semangkuk." Segera ia angkat mangkuk yang terletak di tepian sumur tadi terus ditenggaknya hingga habis.
"Kau sudah minum lebih dulu, legalah hatiku," kata Siau-hi-ji tertawa. Lalu ia pun minum semangkuk air.
Sementara itu malam sudah tiba, bintang bertebaran di langit. Mendadak air muka Siau-hi-ji berubah hebat, serunya dengan terputus-putus, "Wah, cel ...
celaka! Mengapa ... mengapa kepalaku menjadi pusing."
Thi Sim-lam menatapnya dengan tajam, katanya, "Jangan khawatir, tidak apa-apa, duduklah sebentar tentu baik."
"Ah, tidak benar ini, tidak beres, mengapa badanku terasa lemas," kata Siauhi-ji pula. Baru habis ucapannya, "bluk", ia benar-benar roboh terguling sambil berteriak, "Racun, di ... di dalam air ada racun!"
Mendadak Thi Sim-lam mundur dua tindak, lalu menjengek, "Hm, jangan khawatir, air itu tidak beracun, hanya diberi obat bius saja, silakan tidur semalam di sini, besok pagi kau dapat berjalan lagi."
Siau-hi-ji mengeluh, katanya dengan tak lancar, "Meng ... mengapa kau menaruh ... menaruh obat bius di dalam air?"
"Soalnya aku harus pergi ke suatu tempat dan tidak boleh terhalang olehmu,"
jawab Thi Sim-lam. "Kau ... kau ...." makin lama makin tak jelas ucapan Siau-hi-ji.
Thi Sim-lam tertawa, katanya, "Kau ini terhitung bocah pintar juga, cuma ...."
sembari berkata dia terus melangkah pergi, tapi baru saja berucap sampai di sini, tiba-tiba kakinya terasa lemas dan hampir jatuh tersungkur. Seketika air mukanya berubah pucat, ia melangkah lagi sekuatnya, tapi baru dua tindak ia lantas jatuh benar dan menggeletak di samping ember kayu, bahkan tenaga untuk merangkak saja tidak ada, dengan suara gemetar ia bertanya, "Ba ...
bagaimana bisa terjadi begini?"
"He, jangan jangan kau pun menaruh obat bius pada mangkukmu sendiri,"
ujar Siau-hi-ji. "Ti ... tidak mungkin, jelas ... jelas aku ...." Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa terus melompat bangun.
Keruan Thi Sim-lam terperanjat, serunya, "Kau ... kau ...."
"Hehe, kamu ini terhitung juga bocah pintar, tapi kalau dibandingkan diriku selisihnya masih terlalu jauh," ucap Siau-hi-ji dengan keplok tertawa.
"Diam-diam kau menaruh obat di dalam mangkuk, kau kira aku tidak tahu.
Terus terang, mataku ini sejak kecil dicuci dengan air obat, sekalipun di tengah malam gelap juga sanggup kutemukan jarum yang jatuh di tanah."
"Kiranya kau telah ... telah menukar mangkukku," kata Thi Sim-lam dengan muka pucat.
"Betul, mangkukmu telah kutukar dan kau tidak tahu sama sekali," ucap Siauhi-ji dengan tertawa. "Terus terang kukatakan, permainan begini sudah kupelajari sejak masih bayi. Orang yang membesarkan diriku itu adalah kakek moyangnya para ahli obat bius di dunia ini."
Mata Thi Sim-lam serasa melengket dan sukar terpentang lagi, tapi sebisanya ia berteriak, "Engkau ... engkau ingin meng ... mengapakan diriku?"
"Aku pun tidak bermaksud apa-apa padamu, cuma ucapanmu tak dapat kupercayai, maka akan kugeledah tubuhmu dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala, ingin kulihat apakah benar kau tidak membawa sesuatu barang."
Belum habis ucapan Siau-hi-ji, muka Thi Sim-lam yang tadinya pucat seketika berubah merah, katanya dengan gemetar, "O, jang ... jangan, kumohon dengan ... dengan sangat, jangan ... jangan ...." tidak hanya suaranya yang gemetar, kedua tangannya memegang kencang baju sendiri, tampaknya khawatir kalau dibelejeti. Tapi suara rintihan, "Kumohon ... jangan ... jangan
...." menjadi lemah dan semakin lirih dan akhirnya tak terdengar lagi, tangan pun kendur melepaskan baju yang dipegangnya.
Siau-hi-ji hanya berdiri saja dan memandang orang dengan tertawa. Ia tunggu orang sudah tidak bisa bergerak lagi barulah berjongkok di sampingnya, ia pegang tangan Thi Sim-lam, semakin pemuda itu memohon jangan, Siau-hi-ji semakin berlagak hendak menggeledahnya.
Pada saat itulah tiba-tiba angin meniup santer, sesosok bayangan orang tahu-tahu sudah berdiri di belakang Siau-hi-ji, datangnya bayangan sedikit pun tidak menimbulkan suara seakan-akan datang terbawa oleh desiran angin tadi. Di bawah cahaya bintang yang remang, samar-samar terlihat pakaian orang itu berwarna merah. Tapi Siau-hi-ji seperti tidak tahu sama sekali.
Dalam keadaan remang-remang potongan tubuh bayangan orang itu tampaknya ramping menggiurkan. Perlahan tangan bayangan orang itu terangkat, gerakannya sedemikian lembut dan indah seperti gaya bidadari yang sedang memberkati kegembiraan dan kebahagiaan bagi manusia di dunia ini.
Akan tetapi sesungguhnya tangan itu tidak membawakan kebahagiaan, tapi mendatangkan kematian. Dalam sekejap saja tangan itu akan merenggut nyawa Siau-hi-ji.
Namun anak muda itu masih tetap tidak tahu apa pun, tiba-tiba ia bergumam malah, "Sungguh aneh orang ini, mengapa tertidur di sini, dipanggil juga tidak mau mendusin. He, hei! Toako (kakak) yang tidur di sini, bangunlah, mengapa tidur di sini, kau bisa masuk angin!"
Tangan yang sudah terangkat dan hampir digablokkan tadi mendadak berhenti tanpa bergerak lagi. Dan Siau-hi-ji bergumam pula, "Wah, bagaimana ini" .... Jika sudah kulihat, betapa pun tidak boleh kutinggalkan pergi. Ah, sialan, maksudku ingin mencari air, siapa tahu kepergok orang tidur seperti babi mampus begini."
"Kau tidak kenal orang ini?" tiba-tiba bayangan baju merah tadi bertanya.
Seperti pantat dicocok jarum, serentak Siau-hi-ji berjingkat kaget, cepat ia membalik tubuh dan memandang orang dengan melotot, badan pun menggigil ketakutan seperti melihat setan.
Padahal, di bawah cahaya bintang yang remang itu, sisa air setengah ember itu laksana sebuah cermin sejak tadi sudah memberitahukan kepada Siau-hi-ji bahwa pendatang itu ialah Siau-sian-li. Tapi lagak kaget Siau-hi-ji itu sungguh persis sekali, ia melenggong sekian lama barulah berucap dengan tergagap,
"Non ... nona cilik dari ... dari manakah?"
Belum habis ucapannya, kontan Siau-sian-li menamparnya. Siau-hi-ji berlagak hendak mengelak, tapi kelabakan dan tidak mampu menghindar sehingga terkena pukul dan jatuh terguling.
"Hm, setan cilik macam kau juga berani memanggil aku nona cilik?" damprat Siau-sian-li Thio Cing.
Siau-hi-ji memegang pipinya yang bengap dan merangkak bangun dengan setengah mewek, katanya dengan lagak memelas, "Iya ... nona ... nona besar, aku ...."
Belum habis ucapannya, kembali pipi sebelah lain kena gampar pula, dengan suara bengis Siau-sian-li menghardik, "Nona besar juga bukan panggilanku."
"Ya, ya, bib ... bibi ... aku kapok," ucap Siau-hi-ji dengan gelagapan.
"Hm, mendingan begini," ujar Siau-sian-li. Walaupun sikapnya tetap kaku, tapi nada bicaranya sudah jauh lebih lunak.
Sungguh ia tidak tahu mengapa dirinya bisa berubah menjadi lunak, entah sebab apa pula hatinya menjadi lemas demi nampak tampang anak muda macam Siau-hi-ji ini.
Sambil berkedip-kedip mendadak Siau-hi-ji berkata pula, "Eh, bibi, engkau jangan marah. Ada seorang pamanku, katanya manusia kalau marah, dagingnya akan berubah kecut, eh keliru, katanya kalau marah, orang akan cepat tua dan buruk rupa. Bibi sedemikian cantik, kalau benar berubah tua dan buruk kan sayang."
Cara bicara Siau-hi-ji yang mengedipkan matanya yang besar itu ternyata menarik perhatian Siau-sian-li, rasanya suka mendengarkan terus. Sambil memandangi wajahnya, ia merasa anak muda ini sungguh aneh. Tanpa terasa tercetus pertanyaannya, "Apakah benar aku sangat cantik?"
Baru berkata demikian, tiba-tiba ia merasa sikapnya itu terlalu lunak, segera ia menggampar pula sambil mendelik dan membentak, "Seumpama aku memang cantik juga tidak perlu pujianmu."
Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli, ia merasa tamparan ini sudah jauh lebih enteng daripada tadi, namun ia pura-pura kesakitan dan berkata dengan bersungut, "Ya, ya, walaupun bibi cantik, terpaksa aku tidak omong lagi."
"Kau setan cilik ini mengapa datang ke sini?" tanya Siau-sian-li.
"Kuikut beberapa paman berdagang ke sini, tadi paman membeli seekor kuda dan suruh aku menunggangnya berpesiar, tak terduga kuda itu sangat binal, mendadak ia lari kesetanan dan sukar dikendalikan, di luar kehendakku tahu-tahu aku dibawa ke sini, aku pun tidak tahu tempat apakah ini."
Cara bicara Siau-hi-ji dilontarkan tanpa pikir dan lancar sehingga membuat orang mau tak mau harus percaya pada bualannya itu.
"Ya, betapa pun jinaknya kuda, kalau sudah kesetanan, siapa pun sukar mengendalikannya, apalagi anak kecil macam kau," kata Siau-sian-li.
Sudah tentu ucapannya itu berdasarkan pengalamannya, makanya dia bersimpatik pada pengalaman si "setan cilik" ini. Ia tidak tahu bahwa yang mengerjai kudanya tadi justru bukan lain daripada "setan cilik" ini.
Keruan Siau-hi-ji geli setengah mati, tapi di mulut ia tetap menjawab, "Betul, aku telah disiksa seharian oleh kuda gila ini, kulihat ada sumur dan baru saja hendak menimba air untuk minum, tiba-tiba kulihat pemalas ini lagi molor di sini."
Siau-sian-li memandang sekejap ke arah Thi Sim-lam, lalu menjengek, "Hm, apakah kau kira dia sedang tidur?"
"Tidak tidur " Memangnya sudah mati"!" seru Siau-hi-ji.
"Bukan tidur juga tidak mati," ucap Siau-sian-li, "dia cuma terkena obat bius orang. Eh, aneh, mengapa dia sampai kena dikerjai orang" Aha, kebetulan juga dapat kugeledah barangnya itu."
Ia tidak menaruh curiga lagi pada Siau-hi-ji, maka ucapannya itu setengah bergumam sendiri. Diam-diam Siau-hi-ji juga gelisah menyaksikan orang menggerayangi tubuh Thi Sim-lam, tapi tak dapat berbuat apa-apa.
Di luar dugaan, meski Siau-sian-li sudah merabai seluruh badan Thi Sim-lam, ternyata tidak ditemui sesuatu. Siau-hi-ji sangat heran, tak tersangka olehnya bahwa "barang" yang dimaksud itu memang tidak berada pada Thi Sim-lam.
Jika begitu, tadi waktu ia mengancam akan menggeledahnya mengapa Thi Sim-lam menjadi khawatir dan kelabakan"
Tiba-tiba terdengar Siau-sian-li berkata, "Wah, celaka, jangan-jangan barang itu telah diambil lebih dahulu oleh orang yang membiusnya itu" Lantas siapakah gerangannya" .... Eh, setan cilik, ambilkan seember air, siram dia supaya mendusin, aku ingin menanyai dia."
"Baik, baik," jawab Siau-hi-ji cepat sambil nyengir. "Jangankan satu ember, sepuluh ember juga kusanggup."
Akan tetapi, ketika menimba air ia berlagak seperti tidak kuat mengangkatnya, akhirnya satu ember penuh dapat ditariknya ke atas dengan napas tersengal. Sambil menjinjing ember air itu dengan langkah terhuyung ia mengomel lagi, "Keparat, mengapa ember ini begini berat, aku ...." Mendadak ia keserimpet dan jatuh terjerembab, ember pun mencelat dan airnya muncrat membasahi badan Siau-sian-li.
Keruan Siau-sian-li marah dan mendamprat, "He, kau babi goblok, kau ... kau cari mampus"!"
Muka Siau-hi-ji pucat ketakutan, dengan setengah merangkak ia berdiri dan melepaskan baju, dengan gerakan ketolol-tololan ia berusaha mengusap air yang membasahi tubuh Siau-sian-li itu sambil berkata, "O, maaf, bib ... bibi, aku tidak ... tidak sengaja, sungguh!"
"Huh, tampangmu saja manusia, tapi ulahmu melebihi babi goblok," omel Siau-sian-li. "Jika kau tidak membersihkan air di tubuhku ini, mustahil tidak kusembelih kau."
Sambil mengomel Siau-sian-li terus mengentak kaki dan mengebas baju, sedangkan Siau-hi-ji dengan lagak kelabakan berusaha mengelap air yang membasahi si nona sambil berlutut. Semakin mengomel semakin naik darah Siau-sian-li, sungguh sekali tendang ia ingin enyahkan si "babi goblok" ini.
Tapi belum lagi kakinya terangkat, tiba-tiba "Im-leng-hiat" di bagian dengkulnya terasa kesemutan, seketika setengah badan terasa kaku tak bisa bergerak. Keruan ia terkejut dan membentak, "Setan cilik, kau ...."
"O, maaf, aku tidak sengaja, maaf ... maaf ...." mulut Siau-hi-ji tidak hentinya minta maaf, tapi tangan tidak pernah menganggur, sekaligus ia tutuk Hiat-to di kaki orang, tentu saja Siau-sian-li mati kutu dan jatuh terkulai.
Biarpun masih muda belia, namun pengalaman Siau-sian-li cukup luas, tidak sedikit tokoh lihai yang pernah dihadapinya, di antaranya juga ada telur busuk yang terkenal. Tapi mimpi pun tidak menyangka si "setan cilik" atau "babi goblok" ini ternyata jauh lebih busuk daripada yang pernah dihadapinya, karena itulah dia menjadi lengah dan terjebak. Saking gemasnya sekujur tubuhnya sampai gemetar, tapi apa daya"
Begitulah Siau-hi-ji lantas berbangkit dengan tertawa, malahan ia sengaja melotot dan bertanya, "Ai, apakah kau jatuh sakit, masuk angin" Atau kumat penyakit ayanmu" Mengapa kau jatuh mendadak" Ai, sungguh tidak nyana kau begini lemah, baru keciprat sedikit air saja lantas jatuh sakit."
Saking gemasnya mata Siau-sian-li merah membara, teriaknya dengan tersendat-sendat, "Bagus ... bagus, ternyata aku kena dikibuli kau."
"O, maaf," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sungguh aku tidak sengaja, sebenarnya seember air ini hendak kuberikan minum pada kudamu, soalnya aku telah membakar pantatnya, hatiku merasa tidak enak. Cuma sayang mungkin kau telah mengirim kudamu itu untuk berobat, terpaksa kutitipkan air seember ini melalui kau."
"Kurang ajar! ... jadi kau ... kau setan cilik inilah yang membakar ekor si Delima"!" teriak Siau-sian-li dengan suara serak.
"Hehehe, api membakar Delima, air membenam bidadari, babi goblok seperti aku ini tidak terlalu goblok bukan?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Ingin kunasihatimu, janganlah kau selalu memandang orang lain teramat goblok dan juga jangan selalu ingin menarik keuntungan atas kerugian orang lain, misalnya suruh orang memanggil bibi padamu. Anak kecil jika sok berlagak orang tua dan suka menang-menangan akibatnya pasti akan ketiban sial sendiri."
Tanpa peduli Siau-sian-li yang murka itu, dengan tertawa Siau-hi-ji lantas mengangkat tubuh Thi Sim-lam dan ditaruh di atas punggung si kuda putih, agaknya terus hendak berangkat.
Sedapatnya Siau-sian-li menahan perasaannya walaupun dengan geregetan, ia cukup cerdik, ia tahu jika tidak mudah menerima penghinaan sekarang, nasibnya pasti akan lebih runyam lagi.
Tapi sebelum dia mengucap sesuatu, mendadak Siau-hi-ji mendekatinya pula dan berkata dengan tertawa, "Ada lagi tadi kau menampar aku tiga kali, utang harus bayar. Tapi mengingat kau adalah orang perempuan, aku tidak menambahi rentenya."
"Kau ... berani"!" teriak Siau-sian-li khawatir.
"O, tidak, tidak berani!" ucap Siau-hi-ji sambil tertawa, berbareng tangannya terus menampar sehingga pipi Siau-sian-li menjadi merah.
Selama hidup Siau-sian-li mana pernah dipukul orang cara demikian, ia berteriak dengan suara parau, "Kau ... awas kau, ingat perbuatanmu ini!"
"Jangan khawatir, apa pun selalu kuingat dengan baik," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Tamparanmu yang pertama tadi cukup keras, maka aku pun tidak boleh bayar kurang, cuma pukulan kedua kalinya akan kuringankan sedikit."
Ketika Siau-hi-ji menampar lagi untuk kedua kalinya, meski Siau-sian-li bertahan sebisanya, tidak urung air matanya lantas menetes. Sejak ia dilahirkan hingga sekarang belum pernah orang mencubitnya, apalagi memukulnya seperti sekarang.
Sambil mencucurkan air mata, ia melototi Siau-hi-ji, katanya, "Baik, selamanya aku takkan melupakan kau. Selamanya, ya, selamanya!"
"Kutahu kau selamanya takkan melupakan diriku, terhadap lelaki pertama yang memukulnya, perempuan itu memang tidak pernah melupakan. nya.
Tapi dapat menjadi orang yang selalu kau pikirkan, betapa pun aku merasa bahagia," lalu Siau-hi-ji menyambung pula dengan tertawa, "Sekarang pukulan ketiga. Tadi tamparanmu yang ketiga kalinya sangat ringan, maka aku pun tidak tega membalas dengan terlalu keras. Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Kau ... kau mampus saja!" teriak Sian-sian-li dengan murka.
Mata Siau-hi-ji tampak berkedip-kedip, katanya kemudian, "Baiklah, begini saja dan anggap lunas, siapa pun tidak utang siapa-siapalagi."
Sambil menatap wajah si nona, perlahan ia menundukkan kepalanya.
Jantung Siau-sian-li berdetak keras dan tubuhnya gemetar, serunya dengan terputus-putus, "Kau ... kau mau apa?"
"Kau memukul aku dengan tangan, kubalas pukul kau dengan mulut, jadinya kan jauh lebih ringan daripada memukul dengan tangan?" ucap Siau-hi-ji.
"Kau ... berani" Kau ... bangsat kau ...." Siau-sian-li berteriak khawatir.
Akan tetapi muka Siau-hi-ji sudah dekat, malahan anak muda itu terus mengangkat dagu Siau-sian-li hingga mulut berhadapan dengan mulut, lalu dengan perlahan diciumnya mulut yang mungil itu.
Mendadak Siau-sian-li tidak berteriak, tapi terkesima seperti patung.
Sebaliknya Siau-hi-ji lantas berkata dengan gegetun, "Ai, paling usiamu juga cuma 15-16 tahun, mana bisa kau menjadi bibiku, jadi biniku saja kukira mendingan. Mulutmu yang manis ini biarpun kucium 10 kali sehari juga takkan membosankan."
Mata Siau-sian-li mendelik, katanya dengan sekata demi sekata, "Jika kau berani mengusik diriku lagi sekali, kupasti akan membunuhmu, pasti!"
"Jangan khawatir, aku takkan mengusik kau lagi," jawab Siau-hi-ji dengan begelak tertawa. "Perempuan galak macam dirimu ini, diberikan gratis padaku juga aku tidak mau. Kukira lelaki mana kelak yang mengambil macan betina seperti dirimu ini sebagai istri, pasti dia bakal sial dangkalan selama hidup."
Mendadak Siau-sian-li berteriak dengan suara serak, "Kau bunuh saja aku!
Paling baik kau bunuh aku sekarang, kalau tidak, kelak kau yang akan mati di tanganku. Aku akan membuat kau mati dengan perlahan, mati dengan sedikit demi sedikit."
Siau-hi-ji tidak menanggapi lagi, ia terbahak-bahak, lalu melangkah ke sana dan menuntun kudanya.
"Mengapa kau tidak membunuh aku" Mengapa?" teriak Siau-sian-li pula.
"Sekarang kau tidak membunuh aku, pada suatu hari kelak kau pasti akan menyesal. Aku bersumpah, kau pasti akan menyesal kelak."
Akan tetapi Siau-hi-ji tidak mempedulikannya lagi, ia terus melangkah pergi tanpa memandangnya pula.
Menyaksikan kepergian Siau-hi-ji itu, akhirnya Siau-sian-li tidak dapat menahan perasaannya lagi, ia menangis tergerung.
Dari kejauhan terdengar suara Siau-hi-ji sedang bersenandung, "Siau-sian-li, sedang sedih, air mata menetes, ingus meleleh, melihat itu, Siau-hi-ji berkeplok gembira ...."
Begitulah sembari berjalan Siau-hi-ji terus bernyanyi secara bebas. Tiba-tiba ia merasa suara sendiri lumayan juga, sedikitnya jauh lebih merdu daripada suara tangisan Siau-sian-li.
Sampai suara tangisan Siau-sian-li sudah tak terdengar lagi, nyanyian tak bersemangat pula, ia meraba-raba pipi sendiri dan menghela napas, lalu meraba mulut, tak tahan lagi ia tertawa.
Macan betina tadi sungguh galak, tamparannya sungguh tidak ringan, sampai sekarang pipinya masih terasa sakit pedas, Tapi mulutnya juga manis, rasa manis ciumannya itu seakan masih terasa pada bibirnya.
Sekonyong-konyong ia bergelak tertawa terus berlari ke depan, lari punya lari, si kuda putih mulai megap-megap lagi. Mendadak Siau-hi-ji berhenti, lalu menjatuhkan diri di bawah udara terbuka, di tengah padang rumput terbuka, di tengah padang rumput yang luas, ia memang sudah teramat lelah, tanpa terasa akhirnya ia terpulas.
Ia bermimpi Siau-sian-li berbaring dalam pelukannya dan berkata padanya,
"Setiap hari kau hanya boleh mencium aku 100 kali, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang."
Selagi ia hendak mulai mencium, mendadak Saiu-sian-li melompat bangun dan menamparnya .... Ah, tidak, memang benar ada orang sedang menampar pipinya. Jangan-jangan Siau-sian-li telah menyusul tiba pula"!
Serentak ia terjaga bangun, tapi yang tertampak adalah Thi Sim-lam, yang memukulnya juga Thi Sim-lam. Rupanya air ember yang tumpah tadi ada sebagian muncrat ke muka si nona sehingga dia dapat siuman lebih dulu.
Di bawah cahaya bintang yang remang wajah Thi Sim-lam kelihatan pucat dan penuh rasa gusar, matanya yang jeli itu sedang melototi Siau-hi-ji.
"Setan cilik, ada kalanya kau tertidur juga dan suatu saat kau pun jatuh dalam cengkeramanku," demikian ucap Thi Sim-lam dengan menggereget.
Siau-hi-ji ingin melompat bangun, tapi celaka, ternyata tak bisa bergerak sama sekali, rupanya Hiat-to penting telah kena ditutuk orang. Tapi ia pun tidak kaget dan tidak gusar, juga tidak cemas, ia malah tertawa dan berkata,
"He, aku sedang mimpi, kau telah mengganggu dan membuat kuterjaga bangun, kau harus memberi ganti rugi. Tadi aku diharuskan mencium orang seratus kali, maka kau harus pula kucium seratus kali."
Mendadak tubuh Thi Sim-lam tergetar, jeritnya, "Tadi kau telah berbuat apa atas diriku?"
"Haha, tidak berbuat apa-apa," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Aku cuma menggeledahi tubuhmu dari kaki sampai kepala, secara teliti kugeledah dengan merata, satu tempat pun tidak kelewatan."
Tubuh Sim-lam tambah gemetar, mukanya juga merah padam, tapi dia berdiri mematung tanpa bersuara lagi.
Siau-hi-ji mengedip, katanya dengan gegetun, "Ai, mengapa tidak sejak mula kau beritahu padaku bahwa kau ini perempuan" Jika tahu kan tidak sampai kugeledahi tubuhmu. Tapi, ai, kini urusan sudah kadung demikian. Kau harus maklum, biarpun usiaku masih kecil, betapa pun aku ini kan lelaki, mana aku tahan me ... melihat...."
"Tutup mulutmu! Segera kubunuh kau jika berani bicara lagi!" teriak Thi Sim-lam.
"Apa pun juga kan sudah kulakukan, bicara dan tidak apa bedanya?" sahut Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sampai berkeriut gigi Thi Sim-lam saking geregetan, air mata pun berlinang-linang.
"Hah, tampaknya tiada jalan lain kecuali kau jadi biniku saja," ujar Siau-hi-ji pula dengan muka membadut. "Terpaksa aku, pun mengambil istri yang lebih tua daripadaku. Ai, kalau aku berumur 30-an, rasanya kau pun sudah hampir menjadi nenek-nenek."
Mendadak Thi Sim-lam mencabut belatinya, ancamnya dengan suara terputus-putus, "Kau ... kau hendak meninggalkan pesan apalagi, lekas katakan!"
Mata Siau-hi-ji terbelalak lebar, serunya, "He, kau hendak membunuh aku"
Seum ... seumpama kau ingin kawin dengan orang lain kan bukan soal bagiku, kujamin pasti kusetujui dan mengapa kau mesti membunuhku?"
"Jika tiada pesan apa-apalagi, segera kubunuh kau!" ucap Thi Sim-lam dengan menggereget, tiba-tiba ia berpaling ke arah lain dan menambahkan, dengan suara haru, "Tapi kau pun jangan ... jangan khawatir, aku pasti tidak akan kawin lagi dengan orang lain."
Hampir ngakak geli Siau-hi-ji mendengar ucapan si nona, tapi terasa sukar juga untuk tertawa, bahkan tak dapat tertawa, sebaliknya malah hampir menangis. Ya, Allah, si nona ternyata percaya penuh bualannya tadi.
Seri 1: Jilid 3-C. Pendekar Binal
Ai, dasar perempuan! O, perempuan .... Sebenarnya kau pintar atau bodoh"
Kemudian Siau-hi-ji berkata dengan menyengir, "Kuharap engkau suka kawin lagi dengan orang lain, siapa yang kau sukai boleh kau kawini dan tidak soal bagiku, asalkan tidak mengawini aku saja."
"Ini .. inikah perkataanmu yang terakhir" Baik ...." ucap Thi Sim-lam dengan suara serak, segera ia angkat belatinya terus menikam ke hulu hati Siau-hi-ji.
"He, nanti dulu, nanti dulu!" teriak Siau-hi-ji. "Masih ada sesuatu ingin kukatakan."
"Lekas, lekas bicara!" desak Thi Sim-lam.
"Inilah pesanku agar kau sampaikan kepada segenap kaum lelaki di dunia ini agar mereka jangan suka menolong jiwa orang lain, lebih-lebih jangan menolong jiwa orang perempuan," kata Siau-hi-ji dengan rasa menyesal.
"Apabila dia melihat orang hendak membunuh orang perempuan, janganlah sekali-kali membakar pantat kuda orang itu, tapi lebih baik bakar saja pantat kuda sendiri dan menyingkir pergi, makin jauh makin baik, makin cepat makin baik."
Thi Sim-lam melenggong sejenak, katanya kemudian, "Benar, memang kau yang menyelamatkan jiwaku, tapi ... tapi kau ...." mendadak ia duduk mendeprok di atas tanah dan menangis sedih, katanya pula sambil terguguk,
"Tapi bagaimana ... bagaimana dengan diriku yang malang ini?"
"Supaya kau tidak suara, lebih baik kau bunuh saja diriku," kata Siau-hi-ji dengan suara halus. "Daripada kau menderita, biarkan aku mati saja. Betapa pun aku akan merasa senang dapat mati di tanganmu."
Sembari bicara, diam-diam ia melirik si nona. Benar juga, tangis Thi Sim-lam semakin sedih, sebaliknya hati Siau-hi-ji semakin gembira. Pikirnya, "Akhirnya kau tahu juga resep cara menghadapi perempuan. Asalkan kau mampu mengetuk lubuk hatinya, maka dia akan tunduk padamu dan jinak ditunggangi seperti kuda."
Di luar dugaan, selagi Siau-hi-ji merasa gembira sekonyong-konyong Thi Sim-lam yang sedang menangis sedih itu melompat bangun terus berlari pergi seperti kesetanan, entah ke mana dia pergi.
Baru sekarang Siau-hi-ji terkejut, cepat ia berteriak, "He jangan kau tinggalkan aku! jika nanti ada serigala atau harimau, lalu bagaimana" Bila Siau-sian-li datang, lantas bagaimana" Hei, hei, apakah kau tahu tadi telah kuselamatkan pula"...."
Meski dia berteriak sekeras-kerasnya, namun Thi Sim-lam sudah menghilang di kejauhan dan tidak mendengarnya lagi.
Angin tetap mendesir dengan lembut, bintang juga masih berkelip-kelip di langit nan luas, namun Siau-hi-ji yang menggeletak di bawah udara terbuka itu sedikit pun tidak merasa enak.
Saking mendongkol ia menyesali diri sendiri, gumamnya, "Wahai, Kang Hi, memangnya salah siapa" Kan lebih baik menyalahkan dirimu sendiri, siapa yang suruh kau berkumpul dengan perempuan" Kalau kau dimakan serigala atau datang Siau-sian-li membunuhmu juga setimpal bagimu."
Tiba-tiba si kuda putih mendekat dan meringkik perlahan di sampingnya.
"O, Sawi Putih, apa yang kukatakan tidak salah bukan?" kata Siau-hi-ji. "Lain kali bila kau melihat orang hendak menjirat leher seekor kuda betina, maka sebaiknya kau bantu dia menarik ganjel kakinya. Jika melihat orang hendak membacok perempuan dengan golok, maka cepat kau bantu dia mengasah golok yang akan dipakainya."
Kuda putih itu meringkik perlahan pula, habis itu terus berlari menyingkir lagi.
"Ai, Sawi Putih, kiranya kau pun tidak dapat dipercaya dan hendak meninggalkan diriku," ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum getir. "Ai, agaknya kau pun seekor kuda betina ...." mendadak ia melihat di mana arah lari kuda putih itu, di situ telah berdiri seorang. Di bawah remang cahaya bintang jelas kelihatan pakaian orang yang putih mulus, bahkan lebih putih daripada bulu kuda itu.
Ternyata Thi Sim-lam sudah datang kembali.
Kejut dan girang pula Siau-hi-ji, tapi dia sengaja tidak membuka suara, dilihatnya si kuda putih mendekati si nona dan meringkik perlahan, akhirnya si nona tampak bergeser, selangkah demi selangkah menuju ke tempat Siau-hi-ji.
Pakaian si nona melambai tertiup angin, perawakannya yang ramping dan gaya jalannya yang berlenggak itu sungguh menggiurkan.
Diam-diam Siau-hi-ji gegetun, batinnya, "Aku benar-benar sudah buta, masakah baru sekarang kutahu dia ini perempuan, padahal ... padahal ketika pandangan pertama saja seharusnya kutahu bahwa dia ini perempuan, gaya jalan lelaki mana ada yang demikian?"
Sementara itu Thi Sim-lam sudah berada di sampingnya. Tapi Siau-hi-ji sengaja memejamkan mata dan tidak menggubrisnya.
Terdengar Thi Sim-lam berkata dengan suara lembut, "Ternyata kau tidak benar berbuat nakal terhadapku."
Siau-hi-ji tidak tahan lagi, jawabnya dengan tertawa, "Jadi baru sekarang kau tahu?"
"Tapi ... tapi kau tetap nakal padaku, maka ... maka kau ...."
"Demi Tuhan, sudilah lekas kau ucapkan apa yang hendak kau katakan," kata Siau-hi-ji.
Thi Sim-lam menunduk, katanya kemudian, "Apakah kau suka mengiringi diriku ke suatu tempat"
"Tentu saja mau, tapi kau harus membuka Hiat-to yang kau tutuk agar aku bisa berjalan," ucap Siau-hi-ji. "Memangnya kau akan menggendong aku saja?"
Muka Thi Sim-lam menjadi merah dan tidak dapat menahan gelinya, ia lantas berjongkok dan menepuk perlahan bagian Hiat-to yang tertutuk. Ia seperti tidak tega menepuk dengan keras.
"Tadi kau memukul aku dengan keras, kini caramu membuka Hiat-to justru seringan ini. O, Tuhan, O, perempuan ...." habis berucap demikian Siau-hi-ji lantas melompat bangun.
Thi Sim-lam berpaling ke sana, katanya dengan lirih. "Tadinya aku tidak ingin kau mengikuti aku, tapi sekarang kuminta kau mengiringi aku, soalnya setelah kutimbang, kutahu ... kutahu engkau sangat baik terhadapku."
"Sebelumnya kau tidak tahu?"
"Semula aku tidak ingin mengajakmu sebab ... sebab tempat itu sangat dirahasiakan ...."
"O, sebenarnya di mana letak tempat yang akan kau tuju itu?" tanya Siau-hi-ji.
"Tempat itu terletak di pegunungan Kun-lun, yaitu ...."
"He, Ok-jin-kok?" seru Siau-hi-ji. "Apakah Ok-jin-kok yang kau maksudkan?"
Serentak Thi Sim-lam menoleh ke sini dengan mata terbelalak, tanyanya heran, "Dari ... dari mana kau tahu?"
Siau-hi-ji ketok-ketok kepalanya sendiri dan bergumam, "O, Tuhan ... nona ini sedang menanyai aku dari mana mendapat tahu nama Ok-jin-kok, jika aku tidak tahu Ok-jin-kok, maka di dunia ini mungkin tiada orang lain lagi yang tahu."
"Sebab apa?" tanya Sim-lam dengan mata terbelalak lebih lebar.
"Jangan kau tanya dulu sebab apa, demi Allah beritahukan lebih dulu untuk apakah kau hendak ke Ok-jin-kok" Melihat bentukmu, tampaknya kau tidak mirip manusia yang sudah kepepet dan terpaksa harus menyingkir ke Ok-jin-kok."
"Aku ... aku cuma ingin mencari ... mencari seorang!"
"Siapa yang kau cari?"
"Kukatakan juga engkau tidak tahu."
"Aku pasti tahu .... Hahaha, segenap penghuni Ok-jin-kok, dari yang tua sampai yang muda, dari yang kecil sampai yang besar, semuanya kukenal."
Thi Sim-lam tekejut, serunya, "Kau ...."
"Aku ini justru dibesarkan di Ok-jin-kok sana," teriak Siau-hi-ji.
Berubah air muka Thi Sim-lam, katanya, "Tidak ... tidak percaya, sungguh tidak percaya."
"Kau tidak percaya" Coba jawab, kecuali tempat Ok-jin-kok itu, di mana lagi yang dapat membesarkan manusia macam diriku ini?"
Sampai sekian lama Thi Sim-lam tertegun, akhirnya tersenyum manis dan berkata, "Ya, memang tiada tempat lain lagi yang cocok bagimu, seharusnya sudah kupikirkan sejak tadi."
"Dan sekarang bolehlah kau beritahukan padaku siapa gerangan yang kau cari?"
Kembali Thi Sim-lam menunduk, setelah terdiam sejenak barulah menjawab dengan suara lirih, "Orang yang kucari itu pun she Thi, seorang yang sangat terkenal."
"Aha, jangan-jangan yang kau cari adalah salah satu tokoh dari ke-10 top penjahat, yaitu 'Ong-say' (si singa gila) Thi Cian?" tanya Siau-hi-ji.
"He, kau kenal dia?" mendadak Thi Sim-lam mengangkat kepalanya. "Jadi betul dia berada di sana?"
"Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, maka sia-sia belaka perjalananmu ini," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Siapakah yang memberitahukan padamu bahwa Ong-say Thi Cian berada di Ok-jin-kok" Kau perlu merangket pantat si pembual itu."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba tubuh Thi Sim-lam menjadi lemas dan roboh.
***** Thi Sim-lam menunggang kuda, Siau-hi-ji yang menuntun kuda sambil berjalan. Thi Sim-lam tidak bicara, anak muda itu pun diam saja, si kuda putih tentu saja tak dapat bicara segala.
Malam sudah larut, suasana sunyi senyap, hawa cukup dingin, menoleh ke belakang masih tampak padang rumput raksasa yang luasnya tak kelihatan ujungnya itu lambat laun ditelan kegelapan.
Akhirnya mereka meninggalkan padang rumput, namun padang rumput yang banyak memberi pengalaman bagi Siau-hi-ji itu cukup berkesan dalam benaknya dan takkan terlupakan untuk selamanya.


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Siau-hi-ji tidak menoleh lagi, tidak memandang pula ke sana. Yang sudah lalu biarkan berlalu. Terkenang" Tidak, pasti tidak!
Wajah Thi Sim-lam tertampak lebih pucat di bawah cahaya bintang yang remang-remang, dia sesungguhnya sangat cantik daripada perempuan yang lain, malahan juga diketahui bahwa Thi Sim-lam sesungguhnya jauh lebih lemah daripada apa yang pernah terbayang olehnya. Semenjak mendengar berita tentang tiadanya Thi Cian di Ok-jin-kok, sejak itu dia tidak lagi suka bicara, bahkan bergerak pun sungkan, apabila tiada kuda putih ini, pada hakikatnya selangkah pun dia tidak dapat berjalan lagi.
Diam-diam Siau-hi-ji menggeleng dan gegetun, "O, perempuan! Betapa pun perempuan memang tidak tahan pukulan, batin, baik perempuan cantik maupun perempuan buruk rupa tiada berbeda dalam hal demikian."
Dia menggeleng secara diam-diam dan tidak membuka suara lagi, sungguh ia pun malas untuk bicara lagi. Tapi mendadak Thi Sim-lam mulai membuka mulut. Bulu matanya yang panjang itu mengerling, kerlingan mata yang sayu, tapi tidak tahan memandang Siau-hi-ji melainkan berucap perlahan seperti orang mengigau, "Sudah cukup lama kau tidak berbicara."
"Kau tidak bicara, untuk apa aku bicara?" jawab Siau-hi-ji.
"Tapi ... apakah tiada sesuatu yang hendak kau tanya padaku?"
"Untuk apa kutanya padamu" Tiada sesuatu yang aku tidak tahu."
"Kau tahu apa?" tanya Sim-lam.
Siau-hi-ji tertawa kemalas-malasan, jawabnya kemudian, "Misalnya karena kepepet, lalu timbul keinginan bernaung pada ayahmu, walaupun sebenarnya kau tidak suka padanya, bahkan sejak kecil kau sudah meninggalkan dia.
Malahan sudah sejak kecil kau dibuang olehnya. Tapi dia, betapa pun dia tetap ayahmu."
"Ayahku" Siapa ayahku?" mendadak Thi Sim-lam melotot.
"Ong-say Thi Cian!" jawab Siau-hi-ji.
"Sia ... siapa bilang?" seru Thi Sim-lam.
"Aku!" jawab Siau-hi-ji sambil menguap ngantuk, "O, perempuan! Kutahu watak perempuan, biarpun isi hatinya dengan tepat kena kau katai, namun dia tetap tidak mau mengaku. Sebab itu, tidaklah menjadi soal bagiku apakah kau mau mengaku atau tidak."
Terbelalak Thi Sim-lam memandangi Siau-hi-ji seolah-olah orang yang baru dikenalnya. Ia merasa anak muda ini pada hakikatnya bukan manusia tapi siluman, atau silumannya manusia.
Setelah termangu-mangu kemudian ia berkata pula, "Apa ... apalagi yang kau ketahui?"
"Kutahu pula bahwa namamu bukan Lam lelaki melainkan Lan anggrek, Thi Sim-lan ... inilah nama yang sesuai bagimu, betul tidak?"
"Ti ... tidak. Ai, memang begitulah, Lan anggrek," akhirnya mengaku juga si nona yang nama aslinya ialah Thi Sim-lan.
"Kutahu pikiranmu sekarang sedang bingung, entah harus ke mana dan entah harus berbuat apa" Sebab itulah aku sengaja tidak berbicara agar kau dapat berpikir secara tenang."
"Sebenarnya berapa umurmu?" tanya Thi Sim-lan dengan tertawa getir.
"Sungguh terkadang aku merasa takut, entah engkau ini sebenarnya seorang anak atau ... atau ...."
"Siluman?" sambung Siau-hi-ji.
Thi Sim-lan menghela napas perlahan, katanya, "Terkadang aku memang benar mengira engkau ini makhluk jadi jadian. Kalau tidak, mengapa engkau selalu dapat menerka isi hati orang lain?"
"Soalnya aku jauh terlebih pintar daripada setiap manusia di dunia ini," kata Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh.
"Bisa jadi memang begitu ...." ucap Thi Sim-lan dengan lembut.
"Baiklah, sekarang kau dapat ambil keputusan bukan?"
"Ambil keputusan apa?" tanya si nona.
"Ambil keputusan tentang apa yang harus kau lakukan dan harus pergi ke mana?"
"Aku ... aku ...." kembali Thi Sim-lan menunduk.
"Kau harus cepat ambil keputusan, aku kan tidak dapat selalu mengiringimu!"
Seketika Thi Sim-lan mengangkat kepalanya, mukanya tampak pucat bagai kertas, serunya tergagap, "Kau ... kau tidak dapat ...."
"Ya, dengan sendirinya tidak dapat ...."
"Tapi ... tapi engkau ...."
"Betul, tadinya kuingin berkawan denganmu dan mengembara ke mana saja, tapi sekarang diketahui kau adalah anak perempuan, maka rencana terpaksa harus berubah, aku tidak lagi menerima kau sebagai murid."
"Tapi ... tapi engkau ... engkau ...."
"Kita bukan sanak kadang, bagaimana jadinya kalau kita lari ke sana kemari"
Apalagi masih banyak urusan yang harus kukerjakan, mana boleh kuteralang oleh seorang perempuan."
Thi Sim-lan merasa seperti kena dicambuk, seketika ia melengak dan gemetar. Entah selang berapa lama, akhirnya ia tersenyum pedih, "Ya, benar, kita bukan sanak bukan saudara, si ... silakan kau pergi saja."
"Dan kau ...." "Sudah tentu aku mempunyai tempat sendiri, kau tidak perlu tanya," jengek Thi Sim-lan ketus.
"Baiklah, mungkin saat ini kau belum dapat berjalan, kuda ini kuberikan padamu saja."
"Terima kasih," kata Sim-lan sambil menggigit bibir. "Tapi aku pun tidak ...
tidak memerlukan kuda, aku tidak perlu bantuan apa pun, engkau ...."
Segera ia melompat turun dari kuda dan berpaling ke sana. Maklumlah, betapa pun ia tidak ingin Siau-hi-ji melihat air matanya yang sudah bercucuran.
Siau-hi-ji berlagak tidak tahu, ia menuntun kuda putih itu dan berkata pula dengan tertawa, "Baik juga kalau kuda ini tidak kau perlukan, aku sendiri juga merasa berat berpisah dengan kuda ini, sungguh aku rada sedih jika harus meninggalkan kuda ini."
"Jadi ... jadi aku ...." dengan suara gemetar sebenarnya Sim-lan hendak berkata apakah dirinya tidak lebih berharga daripada kuda itu sehingga anak muda itu tidak merasa berat sedikit pun untuk berpisah dengan dia" Tapi dia tidak jadi mengeluarkan isi hatinya itu walaupun hatinya remuk redam.
"Baiklah, kuberangkat sekarang, semoga engkau menjaga diri baik-baik,"
pesan Siau-hi-ji. Thi Sim-lan berpaling lagi, ia dengar anak muda itu telah mencemplak ke atas kuda serta mulai melarikan kudanya ke sana. Anak muda itu benar-benar pergi begitu saja, akhirnya Thi Sim-lan tidak tahan lagi dan menjerit, "Sudah tentu aku akan menjaga diriku dengan baik, aku tidak memerlukan perhatianmu yang palsu itu, aku lebih suka mati daripada melihat kau lagi."
Akhirnya ia menjatuhkan diri ke tanah dan menangis tergerung-gerung.
Siau-hi-ji tidak mendengar suara tangisan Thi Sim-lan, sedikitnya ia pura-pura tidak mendengar, dia tepuk-tepuk leher si kuda putih dan bergumam, "Sawi Putih, coba lihat aku ini pintar bukan" Semudah inilah kuenyahkan seorang perempuan. Kau harus tahu bahwa umumnya perempuan tidaklah mudah dienyahkan."
Ia terus melarikan kudanya ke depan. Selang sekian lama, tiba-tiba ia bergumam pula, "Ah, Sawi Putih, coba terka dia akan pergi ke mana" Kau pasti tidak dapat menerkanya. Ketahuilah, aku pun tidak sanggup menerka.
Eh, biarlah kita tunggu saja di sini, kita mengawasinya secara diam-diam."
Dengan sendirinya si Sawi Putih tak dapat menjawab, dia juga belum tentu setuju. Namun Siau-hi-ji sudah lantas melompat turun dan bergumam, "Kalau dapat mengintip rahasia anak perempuan, kukira perbuatan ini pun tidak terhitung busuk. Apalagi ... kita juga tiada urusan penting yang harus segera dikerjakan, tak jadi soal bukan jika kita menunggu sebentar di sini?"
Sudah tentu si kuda putih tak dapat mendebatnya bahwa ucapannya itu pada hakikatnya cuma alasan untuk menutupi isi hatinya yang sesungguhnya.
Terkadang kuda bisa lebih menyenangkan daripada manusia, paling sedikit kuda takkan membongkar rahasia orang lain dan tak dapat mengkhianatinya.
Bintang sudah mulai guram dan jarang-jarang, subuh hampir tiba, tapi Thi Sim-lan masih belum juga muncul. Jangan-jangan tidak mengambil arah jalan ini" Namun jalan ini adalah satu-satunya jalan, apakah mungkin nona itu kesasar" Jangan-jangan dia ....
Mendadak Siau-hi-ji mencemplak ke atas kuda putih dan berseru, "Ayo berangkat, Sawi Putih, kita coba melongok lagi ke sana, ingin kulihat apa yang dia lakukan di sana" Ketahuilah bukan karena aku memperhatikan dia, sebab terhadap siapa pun aku tidak pernah menaruh perhatian."
Belum habis gumamnya si Sawi Putih sudah lantas membedal ke depan, larinya jauh lebih cepat daripada datangnya tadi. Maka hanya sejenak saja mereka sudah sampai di tempat semula. Dari jauh Siau-hi-ji melihat Thi Sim-lan berbaring di atas tanah.
Sesudah dekat, nona itu ternyata tidak menangis lagi dan juga tidak bergerak.
Segera Siau-hi-ji melayang ke sana dari atas kuda sambil berseru, "He, di sini bukan tempatnya untuk tidur!"
Tergetar tubuh Thi Sim-lan, sekuatnya ia meronta bangun dan berteriak,
"Pergilah kau, enyah sana! Siapa minta kau kembali, untuk apa kau kembali ke sini?"
Di bawah cuaca subuh yang remang-remang terlihat wajah si nona yang pucat itu bersemu hijau, bibir yang tipis itu tampak gemetar, setiap kata diucapkannya dengan susah payah.
"He, kau sakit"!" seru Siau-hi-ji.
"Sakit juga bukan urusanmu," jengek Thi Sim-lan. "Kau ... kau dan aku bukan sanak bukan kadang, untuk apa kau mengurus diriku?"
Walau ia sudah merangkak bangun, namun berdiri pun sempoyongan.
"Tapi kini aku justru ingin mengurus dirimu!" kata Siau-hi-ji, dengan cepat ia raba dahi si nona dan rasa tangannya seperti dipanggang.
Sekuatnya Thi Sim-lan menyampuk tangan anak muda itu sambil berteriak dengan gemetar, "Kau tidak perlu menyentuh diriku."
"Aku justru ingin menyentuhmu," ucap Siau-hi-ji pula dan cepat sekali tubuh si nona dipondongnya.
"Jangan ... jangan menyentuh diriku! Lep ... lepaskan, lepas! Enyahlah kau!"
Sim-lan berteriak-teriak.
Berbareng ia terus meronta-ronta tapi tetap tak dapat melepaskan diri, tenaga untuk berteriak pun tiada lagi. Ia pukul tubuh Siau-hi-ji, namun kepalan pun terasa lemas.
"Sakitmu sudah parah, jika kau tidak menurut, nanti ... nanti kucopot celanamu dan kupukul pantatmu, kau percaya tidak?" ancam Siau-hi-ji.
"Kau ... kau ...." suara Thi Sim-lan menjadi parau dan tak sanggup melanjutkan pula. Mendadak ia membenamkan kepalanya dalam pelukan Siau-hi-ji dan menangis dengan sedih.
Thi Sim-lan benar-benar jatuh sakit, bahkan sangat berat sakitnya.
Sampai di kota Hay-an, Siau-hi-ji mendapatkan hotel yang paling baik di kota itu. Sebenarnya kamar hotel sudah penuh, namun ia pilih suatu kamar kelas satu, ia keluarkan sepotong emas dan dilemparkan kepada tamu yang menyewa kamar itu dan katanya, "Kau pindah, dan emas ini untukmu?"
Hanya dua kalimat saja ia berucap dan orang itu pun pindah kamar secepat kuda lari. Meski emas tak dapat bicara, tapi jauh lebih berguna daripada orang berputar lidah dua hari.
Cemas, kecewa, derita lahir dan batin yang dialami Thi Sim-lan telah mengakibatkan dia jatuh sakit, padahal biasanya jarang dia sakit, sehari suntuk dia tak sadarkan diri karena suhu panas badannya.
Waktu dia siuman, dilihatnya Siau-hi-ji sedang memasak obat. Ia meronta ingin bangun, tapi segera Siau-hi-ji menahannya berbaring pula, ia hanya dapat merintih, "Kau ... kenapa kau ...."
"Dilarang bicara!" seru Siau-hi-ji.
Dilihatnya anak muda itu agak celong, tampaknya sudah sekian malam kurang tidur karena harus merawat dirinya. Thi Sim-lan menjadi terharu dan meneteskan air mata pula.
Sementara itu Siau-hi-ji telah membawakan semangkuk cairan obat yang dimasaknya itu dan berkata, "Dilarang menangis, tapi minum obat saja. Ini adalah obat paling bagus dari resep yang paling jitu. Sesudah minum tentu akan sembuh. Kalau kamu menangis lagi seperti anak kecil, sebentar kupukul lagi pantatmu."
"Re ... resep buatan siapakah itu?" tanya Thi Sim-lan.
"Aku!" jawab Siau-hi-ji singkat.
"Kiranya kau pun mahir mengobati orang sakit, memangnya kau serba bisa"!"
"Dilarang buka mulut dan minumlah obat!"
Thi Sim-lan tersenyum, walaupun dalam keadaan sakit, namun senyumnya tetap menggiurkan. Katanya kemudian, "Kau melarang aku buka mulut, lalu cara bagaimana aku harus minum obat?"
Siau-hi-ji ikut tertawa juga. Tiba-tiba ia merasa anak perempuan terkadang sangat menyenangkan, lebih-lebih pada waktu dia tertawa lembut padamu.
Menjelang magrib, Thi Sim-lan tertidur pula. Siau-hi-ji berdiri iseng di emper kamar, gumamnya sendiri, "Wahai Kang Hi, Kang Siau-hi! Janganlah kau lupa bahwa senyuman perempuan demikian ini juga mungkin bermaksud mencelakaimu, bisa jadi senyuman berbisa, makin ramah sikapnya, semakin berbahaya pula bagimu. Jika kurang waspada, akan tamatlah riwayatmu ini."
Kuda putih itu tampak sedang makan rumput di kandang sana. Siau-hi-ji mendekatinya, sambil membelai bulu surinya Siau-hi-ji berkata, "Hai, Sawi Putih, kau jangan khawatir, biarpun orang lain mudah terperangkap, namun aku pasti tidak. Setelah dia sembuh dari sakitnya segera aku akan pergi ...."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda berhenti di luar hotel.
Walaupun kecil hotel ini, namun perlengkapannya cukup komplet, di bagian depan di buka pula sebuah restoran.
Karena suara ramai itu, Siau-hi-ji jadi ingin tahu siapakah pendatang itu.
Waktu ia melongok keluar, dilihatnya empat-lima orang lelaki kekar beramai-ramai sudah masuk ke restoran, tanpa bicara mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Tanpa banyak cincong pelayan lantas membawakan arak.
Namun orang-orang itu hanya duduk termangu saja tanpa bergerak.
Pakaian mereka cukup mentereng, membawa pedang pula, perbawa mereka tampaknya tidak kecil, namun wajah mereka sama merah bengkak seperti habis ditempeleng orang belasan kali paling sedikit.
Selang tak lama, kembali masuk lagi dua orang. Keadaan kedua orang ini lebih konyol, bukan saja muka mereka bengkak bahkan salah satu daun kuping hilang, kelihatan kain pembalutnya yang berlepotan darah.
Waktu melihat kedua orang ini, kelima orang yang datang lebih dulu sama melotot. Sedang kedua pendatang belakang itu bermaksud mengkeret keluar lagi demi melihat rombongan yang duluan, namun terlambat karena sudah telanjur dilihat orang.
Siau-hi-ji merasa tertarik, ia sengaja mengintip dari luar untuk mengetahui apa yang bakal. terjadi. Ia pikir kedua rombongan ini mungkin adalah musuh dan bukan mustahil segera terjadi pertarungan.
Tak terduga kedua rombongan orang itu ternyata tiada niat saling labrak, mereka hanya saling melotot saja seperti jago aduan.
Di antara kelima orang yang datang duluan itu adalah seorang yang bopeng mukanya, mukanya bengkak hingga lubang-lubang burik di mukanya hampir tak jelas lagi. Mendadak orang ini tertawa dan mengejek "Hehehe, para Piausu besar dari An-se Piaukiok biasanya tidak pernah kehilangan barang, mengapa sekarang daun telinga sendiri juga hilang, sungguh kejadian mahaaneh."
Karena tertawa, mukanya yang bengkak itu menjadi kesakitan sehingga lucu tampaknya, entah sedang tertawa atau lagi menangis, mungkin lebih tepat dikatakan sedang meringis.
Kedua orang yang datang belakangan itu jadi gusar karena diolok-olok, seorang yang mukanya ada bekas luka lantas balas menyindir, "Huh, kalau muka sudah bengkak ditempeleng orang, sebaiknya jangan tertawa, kalau tertawa kan bisa kesakitan."
"Kau bilang apa?" bentak si burik tadi sambil gebrak meja.
"Hahaha, kutu busuk tidak perlu mengejek walang sangit, kan sama-sama bau?" jawab si muka codet.
Si burik lantas melompat bangun dan bermaksud ke sana, si muka codet juga siap tempur dengan menyeringai. Diam-diam Siau-hi-ji merasa senang karena kedua orang itu bakal saling labrak.
Tak tahunya sebelum kedua orang itu berbaku hantam, mereka cepat dicegah lebih dulu oleh kawannya masing-masing.
Yang menarik tangan si burik adalah seorang tua berjenggot, usianya mungkin paling tua, namun mukanya paling ringan bengkaknya dibandingkan keempat kawannya. Dengan tertawa ia berusaha melerai, katanya dengan tertawa meringis, "An-se Piaukiok dan Ting-wan Piaukiok sama-sama usaha pengawalan, adalah wajar jika biasanya suka bersaing dan berebut langganan, soalnya kan dagang, layak. Tapi apa pun juga kita sesama orang dari daerah Tionggoan, sebisanya jangan sampai kita bergebrak di sini sehingga mengurangi persaudaraan kita sebagai sesama bangsa."
Lelaki jangkung yang mencegah kawannya si codet itu juga meringis dan menjawab, "Ucapan Auyang-toako memang tidak salah, kita dikirim oleh kantor pusat ke tempat miskin begini, betapa pun kita sudah sial dan sama-sama kecewa, mengapa kita harus saling ejek dan bertengkar?"
"Apalagi sekarang kita sama-sama terjungkal di tangan orang yang sama pula, seharusnya kita bersatu menghadapi musuh, mana boleh saling sindir, kan dijadikan buah tertawaan orang lain saja?" kata orang she Auyang itu.
"O, jadi kalian juga kena dikerjai dia ...." seru si jangkung melengak.
"Siapalagi kalau bukan dia (perempuan)?" ucap si tua sambil menyengir.
"Selain dia, siapalagi yang mampu mengerjai kita secara membingungkan ini"
Ai, hari ini kita benar-benar terjungkal habis-habisan."
Setelah berkata demikian, ketujuh orang itu sama menghela napas, lalu duduk semua.
Karena mukanya bengkak sehingga tidak jelas lagi terlihat bagaimanakah perasaan orang-orang itu, namun mata mereka yang melotot itu penuh mengandung rasa benci dan dendam.
Tiba-tiba si muka burik menggebrak meja pula dan berseru dengan gemas,
"Jika ada sebabnya kita rela dianiaya oleh budak itu, konyolnya tanpa sebab musabab budak itu terus melabrak kita."
"Ai, sudahlah," ujar si tua she Auyang, "di dunia Kangouw ini memang biasa terjadi kakap makan teri, yang lemah menjadi mangsa yang kuat. Bukanlah kusengaja memuji orang lain dan merendahkan kita sendiri, sesungguhnya kepandaian kita memang tiada sepersepuluh bagian orang, biarpun teraniaya, terpaksa kita terima nasib."
"Hehe, melihat bentuk budak itu, tampaknya dia sendiri juga mengalami gangguan orang di tempat lain," kata si jangkung tiba-tiba dengan tertawa.
"Kelihatan matanya merah seperti habis menangis, bahkan kuda kesayangannya pun tidak kelihatan. Ya, kita sendirilah yang sial sehingga kebetulan kepergok dia selagi dia sendiri sedang gusar, maka kita yang dijadikan pelampiasan dongkolnya."
"Betul juga ucapan Ji-lotoa," ucap si burik sambil tertawa. "Mungkin budak itu pun kepergok seorang yang lebih lihai daripada dia, boleh jadi ketemukan seorang pemuda cakap, selain kudanya tertipu, mungkin budak itu sendiri termakan."
Beberapa orang itu lantas terbahak-bahak walaupun tertawanya meringis, karena muka sakit, namun mereka benar-benar tertawa gembira seakan dengan begitu sudah terlampias rasa dendam mereka.
Sampai di sini Siau-hi-ji sudah dapat menebak bahwa "budak" yang dimaksud mereka itu pastilah Siau-sian-li Thio Cing. Keahlian Siau-sian-li dalam hal menempeleng sudah dirasakan sendiri oleh Siau-hi-ji. Akan tetapi caranya Siau-sian-li menghajar orang-orang ini jelas terlebih keras daripada waktu menampar Siau-hi-ji tempo hari. Dapat diduganya si nona pasti menderita semalam suntuk di pinggir sumur itu, maka rasa dongkolnya lantas dilampiaskan seluruhnya terhadap beberapa orang yang sial ini.
Makin dipikir makin geli Siau-hi-ji. Akan tetapi mendadak suara tertawa ketujuh orang itu sama berhenti, yang meringis tetap meringis, yang pentang mulut tetap terpentang, bentuk wajah mereka yang aneh itu seketika membeku seperti terkena ilmu sihir. Sorot mata mereka sama menatap keluar pintu, bahkan butiran keringat lantas timbul di dahi mereka.
Ternyata "Siau-sian-li" Thio Cing sudah berdiri di luar dengan bertolak pinggang, katanya dengan sekata demi sekata, "Kusuruh kalian mencari orang, siapa yang suruh kalian minum arak di sini?"
Jantung Siau-hi-ji serasa mau meloncat keluar dari rongga dadanya, namun sedapatnya ia menenangkan diri sambil mundur selangkah demi selangkah.
Sudah tentu ia tahu orang yang hendak dicari Siau-sian-li seperti apa yang dikatakannya itu adalah dia sendiri.
Syukur waktu itu sudah malam, di dalam rumah ada sinar lampu, tapi di luar sangat gelap. Ia terus mundur menyusuri pojok tembok sana sehingga tiba di kandang kuda. Bukan cuma orangnya saja, tidak boleh terlihat oleh Siau-sianli, bahkan kudanya juga tidak boleh dilihatnya. Celakanya kudanya ini kuda putih, putih mulus mencolok.
Tanah di pinggir kandang itu basah becek, cepat Siau-hi-ji meraup dua genggam lumpur terus dilumurkan pada kuda putih. Kuda itu bermaksud meringkik, cepat ia menjejalkan secomot rumput ke mulutnya sambil menepuk kepalanya dan berkata perlahan, "Sawi Putih, janganlah bersuara.
Habis siapakah yang suruh kau dilahirkan seputih ini, hakikatnya jauh lebih putih daripada Thi Sim-lan."
Sembari berucap tangannya terus, bekerja, hanya sekejap saja kuda putih sudah berubah menjadi kuda belang. Siau-hi-ji merasa geli melihat hasil karyanya itu. Sisa lumpur pada tangannya itu segera digosokkan pada ekor kuda, lalu ia menyelinap kembali ke kamarnya.
Kamarnya belum ada penerangan, namun Thi Sim-lan sudah mendusin, kedua biji matanya terbelalak laksana lentera, begitu nampak Siau-hi-ji masuk, mendadak ia cengkeram pundak anak muda itu dan bertanya dengan suara serak, "Mana sepatuku?"
"Sepatu?" Siau-hi-ji menegas. "Maksudmu sepatu kulit itu?"
"Ya," jawab Thi Sim-lan dengan tidak sabar.
"Sepatu itu sudah bolong, sudah kubuang ke selokan," ucap Siau-hi-ji.
Thi Sim-lan tergetar, serunya dengan suara terputus-putus, "Kau ... kau membuangnya?"
"Ya, sepatu butut begitu, diberikan kepada pengemis juga belum tentu dia mau, kenapa harus kau sayangi" Jangan khawatir, sudah kubelikan sepasang sepatu baru, sedikitnya sepuluh kali lebih bagus daripada sepatu bututmu itu."
Thi Sim-lan meronta turun dari tempat tidur dan berseru, "Kau buang ke mana" Ayo lekas kita mencarinya kembali!"
"Sudahlah, buat apa dicarinya lagi?" kata Siau-hi-ji sambil menarik tangan si nona.
"Ai, kau ini sungguh pantas mampus!" teriak Sim-lan dengan membanting kaki. "Tahukah kau di dalam sepatuku itu ter ... tersimpan ...."
"Tersimpan apa?" tanya Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip.
"Ialah barang ... barang yang diperebutkan itu .... Jiwaku hampir melayang lantaran mempertahankan barang itu, tapi kau malah membuangnya begitu saja, lebih baik .... O, lebih baik aku mati saja."
"Barang itu" Bukankah kau bilang barang itu tidak berada padamu?"
"Aku berdusta padamu," jawab Sim-lan, air matanya tampak berlinang-linang.
"Nah, kenapa kau berdusta" Akibatnya jadi membikin susah dirinya sendiri,"
ujar Siau-hi-ji sambil menghela napas gegetun. "Kubuang sepatu itu sembarang tempat, aku pun lupa entah di mana tempatnya."
Serentak Thi Sim-lan menjatuhkan diri ke atas tempat tidur dan tak dapat bergerak, hanya mulutnya saja bergumam, "Bagus, bagus sekali ... kini segalanya telah tamat!"
"Barang itu kan cuma sehelai kertas bekas saja, juga tiada artinya, kenapa kau mesti kelabakan dan cemas begitu, kalau kau jatuh sakit lagi bisa runyam lagi."
Belum habis ucapannya, mendadak Thi Sim-lan melompat bangun dan menegas dengan melotot, "Dari ... dari mana kau tahu barang itu cuma sehelai kertas saja?"
"Jika yang kau maksud adalah kertas itu, maka sudah kukeluarkan dari sepatu itu, kertasnya sudah kurobek, bahkan berbau, bau ikan asin."
Serentak Thi Sim-lan menubruk tubuh Siau-hi-ji dan memukuli dada anak muda itu sembari tertawa dan berteriak, "Kau ini memang brengsek, kau sengaja ... sengaja membuat kelabakan diriku."
"Habis kau yang berdusta lebih dulu padaku ...." jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sebenarnya sudah kuduga barang itu pasti kau simpan di dalam sepatumu. Kau sungguh cerdik."
"Kau lebih cerdik, segala urusan tidak mungkin mengelabuimu," ujar Sim-lan.
"Tadi ... tadi kau benar-benar membuatku kaget."
"Tapi barang itu akhirnya terjatuh di tanganku, kau tidak khawatir?" tanya Siau-hi-ji.
"Sudah berada di tanganmu, apa yang harus kukhawatirkan?" ucap Thi Sim-lan sambil menunduk.
"Kau percaya padaku, tidak takut kubawa lari?"
"Tidak, tidak takut."
"Baik, aku pun takkan mengembalikannya padamu."
"Ya, biar kuberikan saja padamu," kata Sim-lan dengan suara lembut.
"Tapi ... tapi kau pernah bilang mati pun barang itu takkan kau berikan kepada orang lain?" tanya Siau-hi-ji dengan mata terbelalak.
"Kau ... kau berbeda dengan orang lain."
Entah mengapa, tiba-tiba Siau-hi-ji merasa bahagia, sekujur badan terasa bagai terbang dan seperti jatuh ke tengah gundukan kampas bergula atau arumanis.
Tapi segera ia memperingatkan dirinya sendiri, "Awas, Kang Hi, arumanis itu berbisa!"
Segera timbul pula keinginannya untuk mengenyahkan Thi Sim-lan, cuma bagaimana caranya belum diketahuinya.
"Tadi kau ke mana?" tanya Thi Sim-lan kemudian dengan halus.
"Ke luar .... Malahan aku memergoki seseorang. "Kaukenal orang ini ...
celakanya aku pun kenal dia."
"Hah, Siau ... Siau-sian-li maksudmu?" Thi Sim- lan berjingkat.
"Ya, memang benar dia."
"Dia berada di mana sekarang?"
"Bila kau membuka jendela, mungkin dapat kau melihatnya."
Kaki dan tangan Thi Sim-lan menjadi dingin semua, katanya, "Jadi ... jadi dia berada di luar, tapi engkau malah enak-enakan bersenda gurau dengan aku?"
"Sekali pun dia berada di sini juga aku tetap bersendau gurau."
"Ai, kau ini .... Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sim-lan dengan khawatir.
"Sekarang jalan satu-satunya yang paling selamat ialah angkat kaki, kita ...."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara orang membentak bengis di bagian depan sana, "Suruh buka pintu harus cepat kau buka, apa yang hendak kulakukan bukanlah urusanmu!"
Menyusul lantas terdengar suara "blang" yang keras, agaknya daun pintu telah didobrak.
"Sialan, hendak kabur pun tidak keburu lagi!" kata Siau-hi-ji dengan gegetun.
Wajah Thi Sim-lan menjadi pucat, katanya dengan suara gemetar,
"Tampaknya Siau-sian-li membawa pembantu dan mulai memeriksa setiap kamar. Mungkin dia sudah mendengar bahwa kita berada di sekitar sini. Tapi sebelum jejak kita ditemukan, mungkin masih keburu jika kita lari melalui jendela." Segera ia tarik tangan Siau-hi-ji dan mengajaknya melompat keluar jendela.
Tapi Siau-hi-ji menggeleng, katanya, "Tidak bisa jadi, kalau sekarang kita lari melalui jendela, maka mereka pasti dapat menebak bahwa kita inilah orang yang mereka cari, dan kalau Siau-sian-li mengejar, betapa pun kita tak mampu kabur lagi."
"Habis bagaimana baiknya?" tanya Thi Sim-lan khawatir.
"Jangan takut, aku ada akal," ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum.
Dalam pada itu dari jauh berkumandang pula suara jeritan perempuan,
"Keluar, lekas keluar ... kalian kawanan bangsat, kenapa tanpa ketuk pintu terus menerobos masuk ...."
"Haha, mungkin perempuan itu sedang mandi," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, tampaknya sedikit pun dia tidak gelisah, seraya tertawa ia terus mengeluarkan sebuah kantong kain bersulam, warna sulaman itu sudah luntur, suatu tanda kantong itu sudah cukup tua.
"Apa itu?" tanya Sim-lan.
"Ini benda wasiat ... kucuri dari seorang she To," tutur Siau-hi-ji.
Sambil bicara ia sudah mengeluarkan isi kantong yang terdiri dari satu tumpuk barang tipis dan lunak, agak likat, mirip kulit lumpia.
Mata Thi Sim-lan terbelalak, tiba-tiba ia tanya, "Apakah ini yang disebut kedok kulit manusia?"
"Haha, tampaknya kau juga ahli barang?" Siau-hi-ji berseloroh. Lalu ia ambil dua helai dari tumpukan barang tipis tadi, katanya pula, "Lekas tanggalkan baju-luarmu, sembunyilah di bawah kolong ranjang, lalu pakailah mantelku ini setelah dibalik .... sekarang julurkan mukamu ke sini."
Ketika Thi Sim-lan merasa mukanya nyes dingin dan merinding, waktu membuka mata, tahu-tahu wajah Siau-hi-ji sudah berubah tua kaceknya cuma tidak berjenggot.
"He, kau telah berubah menjadi kakek-kakek," mau tak mau Thi Sim-lan tertawa geli.
"Dan kau pun berubah menjadi nenek, kakek memang harus berjodohkan nenek," ujar Siau-hi-ji.
Sementara itu suara orang-orang di luar sudah semakin mendekat. Namun Siau-hi-ji tetap tenang-tenang saja. Lebih dulu ia mengeluarkan secomot kumis dan ditempel di atas bibir sendiri, lalu mengeluarkan pula sebotol kecil bubuk perak dan ditaburkan pada rambutnya sendiri dan rambut Thi Sim-lan, segera rambut kedua orang menjadi ubanan tampaknya. Habis itu Siau-hi-ji mengeluarkan pula beberapa pensil yang berukuran tidak sama, entah tinta apa yang dipakai, segera ia menggores-gores wajah si nona.
Dalam pada itu suara orang-orang di luar sudah makin dekat, tampaknya sudah hampir berada di depan pintu kamar mereka.
Kaki dan tangan Thi Sim-lan sudah dingin seperti es, badan juga gemetar.
Namun tangan Siau-hi-ji tetap bekerja dengan tenang, bahkan ia sempat mendesis, "Jangan takut, kepandaianku menyamar ini biarpun belum sempurna, tapi untuk mengelabui mereka rasanya jauh daripada cukup."
Kini tindakan orang-orang di luar sudah sampai di depan kamar mereka.
Secepat kilat Siau-hi-ji meringkasi barangnya, sambil memayang Thi Sim-lan ia berkata pula dengan suara tertahan, "Mari berangkat, melalui pintu depan."
"Pin ... pintu depan?" Sim-lan menegas dengan kaget, saking takutnya suara pun parau.
Namun Siau-hi-ji tetap tenang saja, segera ia membuka pintu. Maka tertampaklah beberapa lelaki yang mukanya bengkak akibat ditempeleng itu tepat sampai di depan kamar, bayangan Siau-sian-li yang berpakaian merah dan berpotongan tubuh ramping tampak ikut di belakang orang-orang itu.
Tanpa mengangkat kepala lagi Siau-hi-ji lantas berteriak, "Wah, celaka!
Tanpa sebab kenapa kau kelengar" Hai, tuan-tuan sekalian, tolong memberi jalan, aku harus cepat membawa bini tua ke tabib. Entah salah makan apa, mendadak biniku sakit keras, kalau tidak lekas dibawa ke tabib, mungkin aku harus siap membeli peti mati."
Suara anak muda itu mendadak berubah serak sehingga mirip benar seorang kakek yang kelabakan. Sedangkan tubuh Thi Sim-lan menggigil ketakutan sehingga mirip pula nenek yang sedang sakit keras.
Karena itulah beberapa lelaki kekar itu cepat memberi jalan dan menyingkir ke sana, agaknya khawatir ketularan penyakit menular, si burik terus menutupi hidungnya dan menggerundel, "Sakit mendadak di musim panas begini, besar kemungkinan kena pes, kalau tidak masakah menggigil begitu?"
Sembari berlagak kesal, Siau-hi-ji berjalan lamban menerobos melewati beberapa orang itu. Thi Sim-lan hampir saja pingsan, kalau bisa sungguh ia ingin terbang saja melarikan diri. Ia pun tidak habis mengerti mengapa Siauhi-ji dapat berbuat setenang itu.
Dengan susah payah akhirnya mereka lewat di samping Siau-sian-li dan menuju ke halaman depan. Siau-sian-li memandang mereka dengan melotot, tampaknya tidak menaruh curiga apa pun.
Di luar dugaan, baru beberapa tindak mereka lewat di sampingnya, "creng", mendadak Siau-sian-li melolos sebatang golok yang tergantung di pinggang salah seorang lelaki itu terus membacok belakang kepala Siau-hi-ji sambil membentak, "Memangnya kau dapat menipu aku?"
Sungguh sukma Thi Sim-lan serasa terbang meninggalkan raganya saking kagetnya. Tapi aneh, Siau-hi-ji seperti tidak merasakan apa pun, bahkan ketika golok itu sudah menyambar tiba dan segera akan membuat kepalanya terbelah menjadi dua, tetap dia tidak memberi reaksi apa-apa dan masih terus melangkah ke depan setindak demi setindak. Dan ternyata golok itu lantas terhenti ketika hampir mengenai sasarannya, kira-kira cuma dua-tiga senti saja di atas kepala Siau-hi-ji.
Diam-diam para lelaki kekar tadi menghela napas lega, mereka sama membatin, "Rasa curiga budak ini sungguh amat besar, sampai kakek reyot begitu juga tak terlepaskan dari curiganya."
Namun Siau-hi-ji tetap berlagak tidak tahu apa-apa, ia langsung menuju ke kandang kuda dan mengeluarkan kudanya yang kini sudah "ganti bulu" itu, gumamnya, "Ai, kudaku sayang, nenekmu sakit, tapi aku pun tidak boleh meninggalkan kau."
Gelisah hati Thi Sim-lan sungguh sukar dilukiskan, keringat pun membasahi bajunya, tapi Siau-hi-ji ternyata masih memikirkan kudanya, saking dongkolnya sungguh ia ingin menjotos beberapa kali anak muda itu.
Kini mereka sudah berada di jalan raya, selama itu Thi Sim-lan tidak tahu cara bagaimana dirinya bisa melangkah ke luar, ia merasa sedang bermimpi, mimpi buruk dan menakutkan.
Dalam keadaan setengah linglung Sim-lan dinaikkan ke atas kuda oleh Siauhi-ji, anak muda itu menuntun kuda dan berjalan dengan perlahan. Tentu saja isi nona bertambah kelabakan, katanya, "Demi Tuhan maukah berjalan lebih cepat?"
"Tidak boleh cepat," kata Siau-hi-ji. "Bisa jadi mereka sedang mengawasi kita, kalau cepat tentu akan ketahuan .... Lihatlah, malam seindah ini, pesiar kota dengan menunggang kuda, sungguh puitis dan romantis."
Ternyata anak muda itu masih ada pikiran buat menikmati keindahan malam, Thi Sim-lan menghela napas panjang. Sungguh ia bingung apa mesti menangis atau tertawa. Namun akhirnya jalan raya itu pun habis ditelusuri.
Kini di hadapan mereka adalah jalan belukar, sinar lampu sudah jauh tertinggal di belakang mereka.
Sekarang Thi Sim-lan baru merasa lega, katanya dengan tersenyum getir, "Ai, kau ini ... sungguh aku tidak dapat menebak hatimu terbuat dari apa?"
"Hatiku?" Siau-hi-ji tertawa. "Aku memiliki segalanya, hanya tidak punya hati"
Sim-lan menggigit bibir, katanya dengan tersenyum dan melirik anak muda itu, "Tadi kalau golok itu benar dibacokkan, tentu kepalamu sudah hilang."
"Sejak mula sudah kuduga bacokan itu hanya untuk menguji diriku saja," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Kalau benar dia mengenali diriku dan hendak membunuh, tentunya dia tidak perlu menggunakan senjata orang lain."
"Ya, memang betul," Sim-lan gegetun. "Dalam keadaan begitu engkau ternyata masih dapat berpikir sampai hal-hal sekecil itu, sungguh engkau seorang ajaib, apakah selama ini engkau memang tidak kenal apa artinya takut?"
"Hahahaha! Apakah kau kira aku tidak takut?" Siau-hi-ji bergelak tertawa.
"Berbicara terus terang, waktu itu aku pun ketakutan setengah mati, di dunia ini hanya sebangsa orang gila yang tidak kenal takut."
"Dan sekarang kita akan ke mana?"
"Ke mana saja boleh, toh tidak bakal dikenali orang lagi ... hanya, penyakitmu
...." "Karena dibikin kaget tadi, aku keluar keringat dingin dan sekarang terasa sudah sembuh, kaki dan tanganku juga sudah bertenaga. Sungguh aneh bukan?"
"Kau sudah dapat berjalan?" tanya Siau-hi-ji.
"Dapat, kalau tidak percaya boleh kuturun dari kuda dan berjalan saja."
"Baiklah, coba berjalan ... aku ... aku pun mau berangkat."
Tergetar tubuh Thi sim-lan, serunya, "Ap ... apa katamu?"
"Bukankah kita sudah pernah berpisah" Cuma lantaran kau jatuh sakit, makanya kurawat kau, sekarang kau sudah sehat, dengan sendirinya kita pun berpisah lagi."
Tidak kepalang pedih hati Thi Sim-lan, mukanya tambah pucat, tubuhnya mulai gemetar pula dan air mata pun bercucuran, katanya dengan parau,
"Engkau ... engkau benar ... benar ...."
"Sudah tentu benar. Kau telah memberikan barang itu padaku, aku pun telah menolong jiwamu, hitungan kita menjadi lunas, siapa pun tidak utang siapa-siapa."
Air mata Thi Sim-lan bertambah deras, katanya dengan menggereget,
"Apakah benar engkau tidak punya hati" Memangnya hati ... hatimu telah dimakan anjing?"
"Sekali ini tepat tebakanmu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Kau ... engkau ...." Sim-lan tak mampu melanjutkan, mendadak tangannya bergerak, dengan geregetan ia tampar anak muda itu.
Sama sekali Siau-hi-ji tidak bergerak, ia pandang nona itu, katanya dengan hambar, "Untung hatiku sudah dimakan anjing, sungguh aku harus berterima kasih pada anjing itu, kalau tidak, bila hati lelaki tergenggam di tangan perempuan, wah, kukira akan lebih baik dimakan anjing saja."
Thi Sim-lan menangis tergerung-gerung sambil mendeprok di tanah, katanya dengan terputus-putus, "Engkau ... engkau bukan manusia ... pada hakikatnya engkau bukan manusia."
"Sudahlah, sampai berjumpa pula ...." kata Siau-hi-ji sambil menarik bangun si nona. "Apakah diriku ini manusia atau bukan, yang penting aku bukanlah si tolol yang dapat dipengaruhi oleh air mata perempuan, aku ...."
"Benar, engkau bukan orang tolol, engkau teramat pintar! Cuma sayang, pintarnya agak kelewatan!" demikian tiba-tiba seorang menanggapi dengan ketus.
Dingin nada suara itu, tapi nyaring merdu, jelas sekali itulah suara Siau-sianli.
Seketika Thi Sim-lan berhenti menangis, tubuh Siau-hi-ji juga tergetar, tapi sama sekali ia tidak berpaling, mulutnya tetap berkata dengan nada menyesal, "Aih, ibunya anak, apa yang kau tangisi, toh takkan mati. Ayolah lekas kita mencari tabib, kalau terlambat mungkin orang sudah tutup pintu dan tidur."


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah habis belum ocehanmu?" demikian terdengar Siau-sian-li menjengek.
"Memang, penyamaranmu sungguh pandai. Saat ini kau memang harus mencari tabib, cuma sayang segenap tabib di dunia ini sudah tidak mampu menyelamatkan kau lagi."
Siau-hi-ji berdiri terpaku di tempatnya, Thi Sim-lan juga mendekam di tanah tanpa berani bergerak.
"Apalagi yang hendak kau katakan?" tanya Siau-sian-li pula.
Sekonyong-konyong Siau-hi-ji berpaling, katanya sambil terbahak-bahak,
"Hahaha, bagus, bagus! Akhirnya ketahuan juga. Tapi cara bagaimana kau mengetahui penyamaran kami ini" Bolehkah kau jelaskan?"
"Waktu kubacok dengan golok, begitu keras sehingga samberan anginnya dapat didengar oleh orang tuli sekali pun," tutur Siau-sian-li sambil mengejek.
"Jika kau memang kakek sialan, tentu kau akan ketakutan hingga bergulingan di lantai. dan minta ampun, mana sanggup melangkah seperti tidak pernah terjadi sesuatu."
Siau-hi-ji berpikir sejenak, akhirnya ia berkata dengan gegetun, "Ya, benar juga. Kiranya kau pun seorang pintar, jauh di luar dugaanku."
"Baru sekarang kau tahu, apa tidak terlambat?" ujar Siau-sian-li.
"Ah, tidak perlu kau bangga, betapa pun kau juga pernah kutipu, ketika kau menyadari apa yang terjadi kan juga sudah terlambat," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Coba kalau aku tidak membawa beban seorang, entah sudah sejak tadi menghilang ke mana, masakah akan kutunggu kedatanganmu?"
Siau-sian-li ternyata tidak marah, ia menjengek pula, "Jika betul kau mahapintar, kini seharusnya kau mencari akal lagi untuk kabur ... jika kau tidak punya akal, ini menandakan kepalamu memang tidak berguna, lebih baik dipotong saja."
"Untuk apa aku mencari akal?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Apakah kau kira aku benar-benar bukan tandinganmu jika berkelahi sungguhan" Hm, kan cuma sungkan bergebrak dengan kau seperti kata pemeo, 'lelaki sejati tidak berkelahi dengan perempuan', maka aku ...."
Belum habis ucapannya, tahu-tahu telapak tangan Siau-sian-li sudah menyambar tiba. Gerak serangan ini biasa-biasa saja, tapi cepat dan aneh, kalau tidak menyaksikan sendiri sungguh sukar untuk dibayangkan bahwa di dunia ini ternyata ada orang menyerang secepat ini.
Padahal waktu bicara, pandangan Siau-hi-ji tidak pernah meninggalkan diri si nona dan selalu waspada kalau mendadak diserang. Namun serangan yang jelas kelihatan ini betapa pun toh sukar dihindarkan, dia hanya sempat mendongak sedikit, tapi tidak urung mukanya terasa panas pedas, pipi tetap terserempet oleh jari si nona sehingga mukanya seketika bertambah tiga jalur merah.
Sementara itu serangan kedua Siau-sian-li sudah menyusul tiba pula, cepat Siau-hi-ji berteriak-teriak, "Berhenti, berhenti dulu! Lelaki tidak berkelahi dengan perempuan, berhenti!"
Siau-hi-ji sudah berusaha mengikuti gaya serangan lawan secara seksama, tapi tidak terlihat sesuatu bagian yang aneh, setiap serangan dengan jelas dapat diikuti dan yakin dapat mematahkannya tapi setiap kali selalu gagal, meski sudah berbagai gerakan ia gunakan untuk mengelak, namun selalu terasa konyol dan tetap tidak mampu balas menyerang satu kali pun. Jadinya dia hanya kebagian ditonjok si nona belaka.
Thi Sim-lan sampai melenggong menyaksikan Siau-hi-ji dihajar Siau-sian-li, pada hakikatnya ia tidak dapat melihat jelas gerakan serangan si nona, yang tertampak hanya bayangan merah beserta kedua tangannya yang putih, benang putih yang menyelinap ke sana-sini itu laksana cambuk, dan Siausian-li telah dihajarnya hingga melompat ke sana dan lari ke sini, ke mana pun dia lari selalu diuber oleh cambuk itu.
Thi Sim-lan juga tidak tahu di mana letak kehebatan ilmu pukulan Siau-sian-li itu, cuma cepatnya memang belum pernah dilihatnya. Tangan Siau-sian-li itu seolah-olah tangan siluman, kalau tidak mana bisa secepat itu.
Siau-hi-ji benar-benar kewalahan, ia merasa si nona seperti mempunyai belasan tangan, yang satu terhindar, yang lain tiba pula, sampai bernapas pun tidak sempat. Akhirnya pandangan Siau-hi-ji menjadi kabur, kepala menjadi pusing, mendadak ia berteriak-teriak, "Hei, berhenti, berhenti dulu!
Kau sudah terkena racunku, kau ...." Dia bermaksud menggunakan akal lama, tapi Siau-sian-li tidak mau terjebak lagi dan masih terus menyerang.
Thi Sim-lan menjadi cemas, namun apa daya, tubuh sendiri terasa lemah lunglai dan tidak sanggup membantu.
Siau-hi-ji sudah mandi berkeringat, kembali ia berteriak, "He, kau tidak percaya akan racunku" Tahukah kau betapa lihainya racunku ini?"
"Hm, di bawah tanganku boleh dikatakan di dunia ini tiada seorang pun yang sempat menggunakan racun pula, apalagi kau setan cilik ini, memangnya kau ingin menipu aku lagi"! Huh, jangan mimpi!" demikian jengek Siau-sian-li.
"Aku tidak bohong," teriak Siau-hi-ji pula. "Aku ...."
"Plok," mendadak ia kena digampar dengan keras sehingga tubuhnya mencelat jatuh ke sana hingga terguling-guling.
"Hi-ji, kau ... kau ...." seru Sim-lan khawatir.
Tak terduga, cepat sekali Siau-hi-ji sudah melompat bangun pula, setelah mengusap darah yang merembes dari mulut, dengan tertawa ia berkata,
"Jangan khawatir, ia takkan memukul mati diriku. Asalkan dia tak dapat memukul mati aku, maka aku pasti dapat merobohkan dia."
"Hm, bagus, aku justru ingin tahu betapa kerasnya tulangmu"!" jengek Siausian-li. Sembari bicara ia terus menerjang maju pula dan sekaligus melancarkan beberapa kali pukulan.
Sungguh, gaya pukulan Siau-sian-li itu tiada sesuatu yang istimewa dan juga tidak tergolong keji, soalnya cuma teramat cepat, begitu cepat sehingga lawan tidak diberi kesempatan sama sekali. Dan kalau lawan tidak sempat balas a menyerang, lalu cara bagaimana dapat mengalahkan dia"
Siau-hi-ji menggereget, ia menjadi nekat, ia pikir apa pun juga harus balas menghantam dua-tiga kali. Ia incar suatu kesempatan baik dan segera memukul dengan mati-matian.
Tak tahunya baru saja dia melancarkan pukulan, sementara itu tangan Siausian-li sudah menutup peluang yang diincar Siau-hi-ji, jadi anak muda itu baru sempat memukul setengah jalan, tahu-tahu perut sendiri sudah kena digenjot lawan malah.
Tidak ringan pukulan ini sehingga Siau-hi-ji terhuyung-huyung mundur dan akhirnya jatuh terjengkang, dan tampaknya tidak sanggup bangkit lagi.
"Jangan berkelahi lagi, berikan saja barang itu!" seru Thi Sim-lan dengan nada memohon.
Tak terduga, setelah berjumpalitan di tanah mendadak Siau-hi-ji melompat bangun pula.
Mukanya tampak matang biru, tapi dia tetap melakukan perlawanan.
"Kecuali dapat mematikan aku, kalau tidak, tetap kulawan," demikian ucapannya sambil menyeringai.
"Kau kira aku tidak dapat membinasakan kau"!" bentak Siau-sian-li dengan gusar. Habis berkata, kembali beberapa kali pukulan dilontarkan pula.
Sekali ini Siau-hi-ji tidak berpikir lagi akan balas memukul, dia hanya berharap dapat bertahan saja, ia mainkan kedua kepalan dengan cepat sehingga pertahanannya sangat ketat.
Siapa duga, serangan Siau-sian-li justru dapat menembus garis pertahanan Siau-hi-ji itu, pukulan demi pukulan masih terus susul menyusul dan akhirnya pertahanan Siau-hi-ji menjadi bobol.
"Celaka!" jerit Thi Sim-lan khawatir.
Benar saja, di tengah pekik nyaring nona itu, tahu-tahu Siau-hi-ji sudah terpukul mencelat pula dan terguling-guling di sana.
4 Jilid 4. Pendekar Binal "Sudahlah kumohon, kau ... kau bukan tandingannya, dia teramat cepat!"
ucap Sim-lan dengan gemetar.
Tapi Siau-hi-ji sudah berdiri kembali, biarpun meringis kesakitan, dia masih siap tempur, katanya, "Justru dia terlalu cepat, makanya tidak mampu memukul mati aku ... pukulannya teramat cepat, kekuatannya menjadi tidak keras, masakah kau tidak paham teori ini"!"
Air muka Siau-sian-li berubah juga, sungguh tak terkira olehnya bahwa si setan cilik ini sedemikian bandel dan masih mampu berdiri pula, padahal ia tahu pukulan sendiri sebenarnya cukup keras. Kalau orang lain, setelah mengalami tiga kali pukulan tadi, andaikan tidak mampus sedikitnya juga sekarat, tapi setan cilik ini bukan saja mampu berdiri kembali, bahkan melakukan serangan balasan lebih dulu.
Siau-sian-li menjadi geregetan akhirnya, katanya, "Baik, tulangmu memang keras, aku justru ingin tahu sampai di mana kerasnya!"
Begitulah serangan Siau-sian-li bertambah gencar dan cepat, sebaliknya perlawanan Siau-hi-ji semakin lamban. Berulang-ulang anak muda itu "knock out", tapi begitu roboh segera ia merangkak bangun, begitu menggeletak cepat ia bangkit pula.
Air mata Thi Sim-lan sudah meleleh, dengan suara memelas ia memohon,
"Siau-sian-li, lepaskan dia! Dia sudah payah!"
"Kentut, siapa bilang aku payah?" teriak Siau-hi-ji mendadak. "Dia memukul aku tujuh kali, aku pun harus balas menghantam dia tujuh kali."
"Hm, kau mimpi belaka!" jengek Siau-sian-li, dan ketika untuk ketujuh kalinya Siau-hi-ji merangkak bangun, namun robohnya jauh lebih cepat lagi.
Sekuatnya Siau-hi-ji meronta bangun pula, tapi baru bergerak sedikit segera jatuh lagi, namun dia masih terus berusaha untuk bangkit.
Siau-sian-li pandang anak muda itu dengan mimik yang aneh, entah murka, entah benci, atau kasihan, atau tidak tega. Tapi di mulut ia tetap mendengus,
"Asalkan kau mengaku kalah, segera kuampuni kau!"
"Kentut! Siapa minta diampuni?" teriak Siau-hi-ji. "Kau yang harus minta ampun padaku .... Pakaianmu akan kubelejeti, akan kugantung kau di atas pohon dan akan kucambukimu ...." sambil berkata ia pun sudah berbangkit walaupun dengan sempoyongan.
Tapi segera Siau-sian-li memburu maju, sekali tendang, kontan Siau-hi-ji terguling-guling pula.
Thi Sim-lan memejamkan mata dan tidak tega menyaksikannya, hatinya remuk, ususnya rantas, ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya sedemikian memperhatikan si setan cilik yang menggemaskan ini.
Dalam pada itu Siau-sian-li sendiri tampaknya juga rada terengah-engah, ini kelihatan dari dadanya yang jumbul-jumbul, tapi ia memaki pula, "Setan cilik, bangsat cilik, dapatkah kau berdiri pula" Dapatkah kau berhantam pula?"
Sambil mencengkeram rumput di tanah, Siau-hi-ji berusaha merangkak bangun perlahan, "Kau sendiri bangsat, kau ... malahan bandit!"
"Kau berani memaki aku?" teriak Siau-sian-li gusar, segera ia memburu maju, sekali depak kembali Siau-hi-ji terguling-guling.
"Kau ... kau tega benar," jerit Thi Sim-lan dengan suara parau. "Orang sudah terkapar parah, kau masih tega menyiksanya!"
"Habis dia memaki aku!" kata Siau-sian-li dengan gemas.
"Kumaki dirimu, justru ingin kumaki ... kau tamak, kau pembunuh, membunuh manusia seperti membabat rumput, kau ... kau setan dan bukan bidadari. Kau gendruwo ...." demikian suara Siau-hi-ji semakin lemah, tapi masih terus mengumpat habis-habisan.
Tidak kepalang gusar Siau-sian-li sehingga tubuhnya gemetar, sebelah kakinya menginjak dada Siau-hi-ji, dampratnya, "Baik, makilah, maki lagi ....
Akan kubuat kau tak mampu memaki untuk selamanya. Sebenarnya aku tak berniat membunuhmu, tapi kau sendiri memaksa aku bertindak demikian, aku
...." dengan menggereget segera sebelah tangannya hendak mengepruk batok kepala anak muda itu.
Thi Sim-lan menjerit khawatir, ia pun berusaha merangkak ke sana untuk mencegahnya. Di luar dugaan, pada saat itulah tiba-tiba Siau-hi-ji memeluk kaki Siau-sian-li yang menginjak di atas dadanya itu.
Entah dari mana datangnya tenaga, tahu-tahu Siau-hi-ji dapat mengangkat tubuh Siau-sian-li yang kecil mungil itu sehingga terpelanting, menyusul kakinya terus menendang dan tepat mengenai mata pinggang si nona.
Sungguh mimpi pun Siau-sian-li tidak pernah membayangkan bahwa orang yang sudah sekarat itu masih mampu melancarkan serangan balasan, seketika ia merasa kaki kesemutan, menyusul tubuhnya terangkat dan roboh, kepala terasa pusing dan pinggang kena tertendang pula, habis itu robohlah dia terbanting.
Bahkan Siau-hi-ji terus menubruk dan menindihi tubuh Siau-sian-li, kedua tangannya bekerja tanpa berhenti, setiap Hiat-to yang dapat dicapainya segera ditutuknya tanpa ambil pusing Hiat-to penting atau tidak.
Kejut dan girang pula Thi Sim-lan, dengan suara gemetar ia bertanya, "Hi ....
hi-ji, bagai ... bagaimana sampai terjadi begini?"
"Kan sudah kukatakan sejak tadi bahwa dia takkan mampu memukul mati aku," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, napasnya terengah-engah, "Tubuhku ini dibesarkan dalam rendaman air obat, waktu orang lain masih menetek, aku sendiri sudah mulai minum obat, jangankan dia, biarpun sepuluh kali lebih keras daripada dia juga tak dapat membuat aku menggeletak tak bisa bangun lagi."
"Tapi ... tapi tadi ...."
"Tadi aku sengaja berlagak begitu untuk menipunya," tutur Siau-hi-ji dengan tertawa. "Dengan begitu ia akan lengah, lalu kutambahi caci maki pula supaya dia marah, jika marah kepalanya menjadi pusing dan akulah yang tertawa senang."
Akhirnya Thi Sim-lan mengikik tawa dengan air mata dan ingus masih meleleh di mukanya. Tapi dia masih kurang yakin, ia tanya pula, "Kau benar tidak apa-apa?"
Siau-hi-ji terus berdiri tegak, jawabnya dengan tertawa, "Badanku yang laksana otot kawat tulang besi ini masakan dapat dicelakai oleh dua tangannya yang putih halus itu" Pukulannya tadi pada hakikatnya terasa seperti pijat saja bagiku."
Namun pijat itu sesungguhnya bukan sembarang pijat, walaupun mulutnya berkata demikian, sekujur badannya terasa sakit jarem, ruas tulang pun terasa lemas semua. Dengan gemas ia pandang Siau-sian-li dengan tertawa.
"Sudah kukatakan akan kubalas berapa kali pukulanmu, utang harus bayar, satu kali pun tidak boleh kurang ...." sembari berkata pukulan pertamanya benar-benar dilontarkan. Berturut-turut ia pukul empat kali, pukulannya sungguh tidak ringan.
Siau-sian-li hanya memejamkan mata, sambil menggereget ia bertahan, menjengek pun tidak.
"Asalkan kau minta ampun, akan kuberi rabat beberapa kali pukulan," kata Siau-hi-ji.
Mendadak Siau-sian-li malah berteriak, "Kau bangsat keparat, kau pukul mati aku saja."
Kontan Siau-hi-ji menggampar mukanya hingga si nona terpaksa tutup mulut.
Thi Sim-lan tidak sampai hati, katanya, "Sudahlah, boleh kau ampuni dia ...."
"Ampuni dia?" kata Siau-hi-ji. "Mengapa harus mengampuni dia" Tadi kenapa dia tidak mengampuni aku" Sudah kukatakan akan kubelejeti dia dan kugantung dia di atas pohon ...."
"Kau berani!" teriak Siau-sian-li dengan suara parau. "Jika berani kau lakukan begitu, ma ... mati pun aku takkan mengampunimu!"
"Hahaha, selagi hidup saja aku tidak takut padamu, apalagi kalau sudah mati," ujar Siau-hi-ji dengan bergelak-tawa. Segera ia jambak rambut Siausian-li dan diangkat berdiri, menyusul ia tampar muka si nona ke kanan dan ke kiri empat kali, katanya pula dengan tertawa, "Nah, kubayar dulu pokoknya, sebentar kutambahi bunga-uangnya."
"Kau ... kau kejam benar ...." muka Siau-sian-li sudah dipenuhi air mata.
"Aku kejam" Memangnya kau sendiri tidak kejam?" jawab Siau-hi-ji. "Kau hanya tahu orang lain kejam, tapi kau lupa caramu menganiaya orang lain bukankah jauh lebih kejam daripada ini?"
Makin omong makin gusar, mendadak ia terus tarik baju Siau-sian-li sehingga robek, maka tertampaklah bahu si nona yang putih mulus itu.
Keruan Siau-sian-li menjerit dan mencaci maki, "Kau anjing gila, iblis jahat ...."
begitulah hampir segala kata-kata busuk yang terpikir olehnya terus dikirim ke alamatnya Siau-hi-ji.
Namun anak muda itu mendengarkan dengan tertawa, katanya sambil menggeleng, "Jika caramu memaki ini bernilai seni, menarik bagiku untuk mendengarnya, tapi sesungguhnya kau tidak pandai memaki orang, teknik memaki orang sama sekali kau tidak paham, maka terpaksa silakan kau tutup mulut saja."
Habis berkata, ia terus mencomot segenggam lumpur dan hendak dijejalkan ke mulut si nona.
Kini Siau-sian-li benar-benar ketakutan, cepat ia memohon dan menangis,
"Mohon ... mohon kebaikanmu, am .... ampunilah aku, ampunilah aku ...."
"Hahaaaah!" Siau-hi-ji terbahak-bahak senang. "Akhirnya kau mohon ampun padaku, jangan melupakan hal ini."
Usus Siau-sian-li serasa rantas saking pedihnya, ia menangis terus, betapa pun dia adalah anak perempuan, usianya belia, untuk pertama kali inilah dia mencicipi rasa dianiaya orang. Akhirnya ia menjadi takut.
"Baiklah, kuampuni kau," kata Siau-hi-ji sambil membanting nona itu ke tanah.
Ia tidak pandang lagi padanya, ia membalik tubuh dan membangunkan Thi Sim-lan, ia bersuit dan memanggil, "Sawi Putih... Sawi Putih ...."
Si kuda putih benar-benar ada jodoh dengan Siau-hi-ji, segera kuda itu berlari mendekatinya.
"He, Sawi Putih, sekali ini mesti bikin susah padamu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Ayo bawalah kami, setiba di sana nanti akan kuberi makan enak untukmu."
Dia memondong Thi Sim-lan ke atas kuda, ia sendiri pun mencemplak ke atasnya, meski kuda itu tidak besar, namun tenaganya tidak kecil, sambil meringkik perlahan terus saja membedal ke depan.
Siau-hi-ji bergelak tertawa, serunya, "Sampai bertemu lagi, Siau-sian-li .... Ah, kukira lebih baik jangan bertemu lagi."
Begitulah ia tinggal pergi tanpa menghiraukan Siau-sian-li yang menggeletak tak bisa berkutik itu.
Suara tangisan Siau-sian-li seperti tak didengarnya sama sekali.
Kedua orang berhimpitan di atas kuda. Thi Sim-lan merasa tubuhnya lemas dan enteng laksana bersandar di gumpalan awan, ia tidak bergerak dan juga tidak berusaha.
Suara tangisan Siau-sian-li akhirnya tak terdengar lagi. Thi Sim-lan menghela napas perlahan, katanya, "Kau benar-benar malaikat maut bagi Thio Cing."
"Kebentur aku, anggap dia yang sial," ujar Siau-hi-ji tertawa.
Thi Sim-lan termenung sejenak, katanya kemudian dengan rawan, "Sungguh tak terpikir olehku bahwa waktu berkelahi kau jadi begitu tega, begitu nekat, tidak takut mati ...."
"Aku mungkin telur busuk, tapi sekali-kali bukan pengecut!" ujar Siau-hi-ji.
"Mungkin tidak sulit menyuruh aku berbuat apa saja, tapi jangan harap suruh aku minta ampun."
Si nona tersenyum manis, katanya dengan suara lembut, "Benar, seumpama busuk, tapi busuknya lelaki sejati."
Cahaya bintang dan bulan cukup terang, sehingga bayangan mereka jelas kelihatan di tanah, bayangan mereka berdua yang berhimpitan itu seakan-akan lengket menjadi satu.
Selang sejenak, tiba-tiba Thi Sim-lan berkata, "Apakah kau tahu sebab apa Siau-sian-li Thio Cing merebut peta pusakaku itu?"
"Apalagi, dengan sendirinya karena kemaruk pada harta karunnya," ucap Siau-hi-ji.
"Kelirulah dugaanmu," kata Thi Sim-lan "Biarpun tindakannya keji, tapi dia sama sekali bukan orang busuk."
"Memangnya dia orang baik?" ujar Siau-hi-ji tertawa. "Orang baik hendak membunuhmu, orang busuk berbalik menyelamatkan kau. Sungguh kejadian maha aneh!"
"Kubicara sungguh-sungguh denganmu," kata Sim-lan. "Dia ingin merebut peta harta karunku adalah karena ibunya mempunyai hubungan erat dengan pemilik harta karun itu."
"O! .... Sedemikian galaknya dia, bukankah ibunya terlebih-lebih galak"
Kukira ibunya pasti lebih menakutkan seperti hantu."
"Kau salah lagi, ibunya tidak buruk rupa seperti hantu, bahkan di dunia Kangouw dahulu terkenal sebagai wanita mahacantik. Setiap lelaki yang pernah melihatnya pasti akan terpikat olehnya."
"Hah, orang demikian sungguh aku ingin melihatnya," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Tapi sayang engkau terlambat lahir belasan tahun, kini dia sudah tua, namun setiap orang Kangouw dari angkatan tua bila mendengar 'Giok-niocu' (si wanita kemala) Thio Sam-nio, pasti jantungnya akan berdebar-debar."
"Mengapa tidak kau katakan dia yang terlalu dini dilahirkan belasan tahun, dia tak dapat bertemu dengan aku?" ujar Siau-hi-ji dengan mengedipkan mata.
"Dan, tokoh macam apa pula ayah Siau-sian-li itu?"
"Tentang ini, aku ... aku tidak jelas," kata Sim-lan.
"Hahaha! Memang betul. Putra-putri wanita cantik terkenal memang banyak yang tak dapat menemukan ayahnya, soalnya mungkin ayah mereka sukar dihitung."
Thi Sim-lan ikut tertawa geli, katanya, "Ah, mulutmu memang kotor. Tentang Thio Sam-nio itu walaupun tiada bandingannya, tapi dinginnya juga seperti es, walaupun tidak diketahui betapa banyak lelaki yang menaksir dia, namun yang benar-benar terpandang olehnya cuma ada satu."
"Wah, siapa yang punya rezeki bagus itu?" tanya Siau-hi-ji sambil berkedip.
"Yaitu si pemilik harta karun tersebut, namanya Yan Lam-thian!"
"Yan Lam-thian"!" Siau-hi-ji menegas dengan hati tergetar.
"Kau pun kenal namanya?" tanya Sim-lan.
"Seperti pernah dengar ... tapi sudah tidak jelas lagi."
"Jika kau pernah dengar nama ini, tidak seharusnya kau lupa. Dia adalah pendekar pedang yang paling terkenal di dunia Kangouw dahulu, ilmu pedangnya sampai sekarang belum pernah ada yang sanggup menandinginya."
"O!" Siau-hi-ji mendengarkannya dengan terpesona.
"Meski dia tidak cakap, tapi dia adalah lelaki yang paling berjiwa ksatria sejati di dunia Kangouw, sungguh sayang aku pun terlambat lahir belasan tahun dan tidak sempat melihatnya."
"Eh, apakah kau perlu bantuanku untuk mencarinya?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Kau tak dapat menemukannya lagi, siapa pun tak dapat menemukannya"
ujar Thi Sim-lan. "Menurut kabar yang tersiar di dunia Kangouw, konon belasan tahun yang lalu, entah sebab apa dia menerobos ke Ok-jin-kok dan sejak itu tak pernah muncul pula. Walaupun ilmu pedangnya tiada tandingannya, tapi dikerubut oleh kawanan durjana sebanyak itu mungkin ...
mungkin sukar meloloskan diri baginya."
"Ooo!" Siau-hi-ji jadi termangu-mangu mengenang masa lalu.
"Peta harta karunku ini konon adalah tinggalan Yan-tayhiap sebelum pergi ke Ok-jin-kok," tutur Sim-lan pula. "Agaknya beliau menyadari pasti akan sukar keluar lagi dengan selamat, maka sebelumnya dia telah mengumpulkan segenap benda mestikanya serta kitab ajaran ilmu pedangnya yang tiada tandingannya di seluruh jagat, semuanya itu disembunyikan pada suatu tempat yang dirahasiakan. Untuk bisa menemukannya diperlukan petunjuk menurut peta pusaka ini."
Siau-hi-ji manggut-manggut, katanya, "Ya, benda mestika tidak cukup menarik, tapi kitab wasiatnya itu sungguh membuat orang mengiler. Siapa yang menemukan kitab pusaka itu, siapa akan menjagoi dunia persilatan, pantas jika petamu diperebutkan orang sebanyak ini."
"Tapi Siau-sian-li bukan ingin memiliki kitab pusaka ilmu pedang itu, ia hanya ingin menghibur ibunya ...." sampai di sini, sekilas Thi Sim-lan melihat sesuatu di atas tanah, seketika hatinya bergetar dan berseru, "He, li ... lihat ini
...." "Sudah sejak tadi kulihat bahwa bayangan di atas tanah sudah bertambah satu," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
Benar juga, bayangan mereka yang berhimpitan itu kini telah bertambah pula sesosok dan tepat berdiri di bokong si kuda putih. Namun kuda putih itu terus berlari ke depan seperti tidak merasakan apa-apa.
Siau-hi-ji masih dapat menenangkan diri, tapi Thi Sim-lan menjadi gugup, ia pegang tangan Siau-hi-ji dan menarik tali kendali sekuatnya, serentak si kuda putih meringkik keras dan menegak sehingga Thi Sim-lan terperosot jatuh.
"Kau takut apa?" jengek seorang tiba-tiba. "Jika hendak mencabut nyawa kalian, sudah sejak tadi kulakukan!"
"Jika kutakut, sejak tadi aku sudah melompat turun," tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Hehe, benar juga," orang itu terkekek-kekek. "Kau ini rada-rada aneh, aku jadi ingin berkawan denganmu, makanya aku terus menguntit kemari."
Suaranya terdengar tajam dan nyaring, tapi seperti kekanak-kanakan.
Dengan kaget Thi Sim-lan merangkak bangun, waktu ia menengadah, terlihat seorang berbaju hitam berperawakan kurus kecil berdiri di atas bokong kuda sehingga mirip orang-orangan atau ondel-ondel yang ditempelkan di situ.
Selain pakaiannya hitam ketat gemerlapan, mukanya ternyata juga memakai topeng hitam, hanya sepasang biji matanya yang jelas kelihatan, matanya tampak berkedip-kedip dalam kegelapan menambah misteriusnya.
Serentak Thi Sim-lan ingat seseorang, serunya, "He, engkau inikah Oh-ti-tu (si labah-labah hitam)"!"
Golok Halilintar 6 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Kemelut Kerajaan Mancu 2
^