Pencarian

Pisau Terbang Li 2

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Bagian 2


Kata Li Sun-Hoan, "Jadi kalian berdualah yang
merencanakan semua ini."
Lanjut Hoa Hong, "Jika saat itu aku benar-benar
meninggalkannya, semua akan jadi baik-baik saja.
Namun aku ingin juga harta bendanya, jadi kukatakan
setelah semuanya kembali tenang, kami akan
membunuhnya dan kembali bersama. Siapa sangka, ia
jatuh cinta pada Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe. Mereka bahkan
mematahkan kakiku dan memenjarakan aku seperti ini
selama hampir dua puluh tahun."
Li Sun-Hoan bertanya, "Mengapa ia tidak
membunuhmu?" Sahut Hoa Hong, "Jika aku mengerti jalan pikiran wanita,
aku takkan mungkin jadi seperti ini. Aku pikir aku tahu
hati wanita. Itulah sebabnya aku jadi seperti ini. Jikalau
100 seorang laki-laki berpikir ia mengerti tentang wanita,
maka ia harus menerima konsekuensinya."
Kata Li Sun-Hoan, "Benar-benar suatu kisah yang luar
biasa." "Namun kau belum mendengar bagian yang paling
menarik." "Apa?" Kata Hoa Hong, "Setelah kau kena racun, kau takkan
bisa menggunakan pisaumu, dan kau pun tak akan bisa
hidup lebih dari 6 jam. Maka dari itu, aku takkan
membunuhmu sekarang, karena aku ingin kau
mengetahui rasanya menunggu datangnya kematianmu."
Li Sun-Hoan menyahut tenang, "Sebetulnya tidak perlu
juga. Sudah beberapa kali aku menunggu datangnya
kematianku." Hoa Hong tertawa, "Aku berjanji, inilah yang terakhir
kali." Li Sun-Hoan pun tertawa kecil. "Jika demikian, tak ada
lagi yang perlu diperbincangkan. Hanya saja, di luar
sedang turun salju, dan angin pun kencang, bagaimana
kau akan pergi?" Sahut Hoa Hong, "Jangan kuatir. Kakiku memang
buntung, tapi aku masih bisa naik kuda."
101 "Kalau begitu, hati-hatilah di jalan. Maaf, aku tidak bisa
mengantar." Suara derap langkah kuda pun segera lenyap ditelan
hujan salju. Li Sun-Hoan duduk diam dan mencium arak itu.
"Sungguh-sungguh tak berbau dan tak berasa. Ilmu
racun yang hebat sekali."
Diminumnya secawan lagi, lalu dipejamkan matanya.
"Namun arak ini sungguh lezat. Aku mati karena minum
secawan. Aku pun akan mati kalau minum sebotol
penuh. Mengapa tidak kuhabiskan saja?"
Diminumnya arak beracun itu sampai habis.
Lalu ia mulai berbicara pada dirinya sendiri, "Oh, Li Sun-
Hoan. Kau seharusnya sudah mati bertahun-tahun yang
lalu. Apa salahnya mati" Tapi kau tak seharusnya mati di
dapur bersama dengan mayat-mayat ini."
Maka ia bangkit, dan terhuyung-huyung menuju ke pintu.
Tampak jejak-jejak kaki di salju, menuju ke arah
tenggara. Li Sun-Hoan mencari tempat yang agak bersih dan duduk
di situ. Dikeluarkan dari sakunya, ukirannya yang belum
selesai. Figur kayu ukiran itu menatap Li Sun-Hoan.
102 Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa keras, katanya, "Mengapa
kau masih menatapku" Aku hanya seorang pemalas dan
pemabuk. Kau mengambil keputusan yang tepat menikah
dengan Siau-hun. Akulah yang salah."
Dicobanya menyelesaikan ukirannya dengan pisau.
Namun ia telah kehabisan tenaga.
Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Tiap kali batuk
seakan-akan ia sedang berteriak, "Si-im, Si-im."
Dapatkah Si-im mendengarnya"
Tak mungkin Si-im dapat mendengarnya. Namun, ada
yang mendengar. Sang kusir segera membopong Li Sun-Hoan, dan berlari
kalap melalui hutan. "Jika kita dapat menemukan orang buntung kaki yang
kelihatan seperti bakso dalam waktu dua jam, mungkin
aku bisa selamat. Orang yang menaruh racun, pasti
punya penawarnya." Inilah kalimat terakhir yang sanggup diucapkan Li Sun-
Hoan. Sang kusir mengerahkan seluruh kekuatannya, air
matanya membeku, menyambut angin dingin yang
menyayat kulit. Tiba-tiba terdengar suara dari jauh.
103 Sang kusir ragu-ragu sebentar, lalu berlari ke arah suara
itu. Mula-mula ditemukannya kuda di tengah jalan. Ia
tidak bertemu dengan Hoa Hong. Ia hanya menemukan
mayatnya. Tampak ratusan senjata rahasia tertancap di sekujur
tubuhnya. Sang kusir tidak bisa tidak merasa iba. Namun
ia teringat masalah yang lebih penting.
Tanyanya cepat, "Inikah orangnya?" Ia sungguh
berharap mayat ini bukanlah orang yang mereka cari.
Jawab Li Sun-Hoan, "Betul."
Sang Kusir menggigit bibirnya. Ia menanggalkannya
mantelnya, menghamparkannya di sebatang pohon dan
menurunkan Li Sun-Hoan dari punggungnya. "Mungkin
obat penawarnya masih ada. Akan kucari."
Kata Li Sun-Hoan, "Hati-hati. Jangan sampai tergores
senjata rahasia." Bahkan saat hidupnya sendiri ada di ujung tanduk, ia
tetap memikirkan keselamatan orang lain.
Sang Kusir merasa hawa panas naik dari perutnya.
Sekuat tenaga, ditahannya air matanya, sambil mencari
obat penawar pada mayat itu.
Setelah sekian lama, ia berdiri.
Kata Li Sun-Hoan, "Obat penawarnya tidak ada."
104 Sang Kusir tak mampu berkata-kata, lidahnya kelu.
Li Sun-Hoan tersenyum, katanya, "Aku seharusnya sudah
tahu. Setelah dipenjara bertahun-tahun, tak mungkin ia
punya obat penawarnya."
Sang Kusir mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Dipukulnya kepalanya sendiri dan berkata, "Kalau saja
aku bisa tahu siapa yang membunuhnya". Mungkin
orang itu mengambil obat penawarnya."
Li Sun-Hoan memejamkan matanya, wajahnya sungguh
kelam. "Mungkin". Mungkin juga tidak."
Kata Sang Kusir, "Sayangnya senjata rahasia jenis ini
sangat umum. Banyak orang menggunakannya."
"Ya." Lanjut Sang Kusir lagi, "Tapi ada begitu banyak senjata
rahasia yang tertancap di badannya. Kemungkinan
pembunuhnya lebih dari satu orang."
"Ya." Nafasnya jadi lambat, seperti akan terlelap. Ia begitu
kuatir akan keselamatan orang lain, namun tidak
dipedulikannya hidupnya sendiri.
Sang Kusir meninju-ninju tangannya sendiri, dan tiba-tiba
melompat girang, "Aku tahu! Aku tahu siapa
pembunuhnya!" 105 "Ha?" Sang Kusir segera berlari ke samping Li Sun-Hoan.
"Pembunuhnya hanya satu orang. Tapi orang itu
sanggup menyambitkan 13 senjata rahasia secara
bersamaan." "Ha?" Lanjut Sang Kusir, "Ada 13 macam senjata rahasia yang
menancap di tubuhnya. Sebenarnya satu saja pun telah
sanggup membunuhnya. Hanya ada satu orang di dunia
sang sekejam dan segila ini."
Li Sun-Hoan mengeluh. "Kau memang benar. Hanya ada
satu. Jian-jiu-lo-sat (si hantu perempuan bertangan
seribu). Akhirnya Hoa Hong mati di tangan seorang
wanita." Lanjut Sang Kusir, "Selain dia, tidak ada orang lain yang
dapat menyambitkan 13 macam senjata rahasia secara
bersamaan." Tiba-tiba ia berhenti, dan berkata. "Seharusnya kau
sudah bisa menebaknya."
Bibir Li Sun-Hoan menyunggingkan senyum getir,
katanya, "Apa bedanya aku tahu atau tidak" Jian-jiu-losat
(si hantu perempuan bertangan seribu) datang dan
pergi secara misterius. Ia pasti sudah pergi jauh. Tak ada
gunanya mengejar." Kata Sang Kusir, "Kita harus dapat menemukan dia."
106 Li Sun-Hoan menggelengkan kepala, katanya, "Tak
usahlah. Kalau kau bisa memberiku arak, aku bisa mati
dalam keadaan mabuk, aku akan berterima kasih
padamu untuk selama-lamanya. Aku sangat, sangat
lelah. Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang."
Sang Kusir berlutut, dan tak bisa lagi membendung air
matanya. "Siauya, aku tahu betapa lelahnya engkau.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kau tidak merasa
bahagia. Kesedihan dan penderitaan, sungguh membuat
seseorang merasa letih."
Tiba-tiba dirangkumnya wajah Li Sun-Hoan, dan katanya
keras-keras, "Namun Siauya, kau tidak boleh mati. Kau
harus mengumpulkan tenagamu. Jika kau mati sekarang,
semua orang akan berpikir bahwa kau hanyalah seorang
pemalas dan pemabuk. Loya (tuan besar) tidak akan
dapat beristirahat dengan tenang di alam baka."
Li Sun-Hoan memejamkan matanya rapat-rapat, air
matanya membeku. Namun ia tetap tersenyum, sahutnya, "Pemalas,
pemabuk, tidak jelek juga kan. Paling tidak lebih baik
daripada tuan-tuan palsu itu."
Wajah Sang Kusir masih bersimbah air mata, katanya,
"Tapi" tapi, Siauya, kau sepantasnya mendapatkan
reputasi tertinggi di dumia. Kebaikan hatimu tak terkira.
Mengapa kau siksa dirimu sendiri" Apakah wanita itu,
Lim Si-im, sebegitu berharga?"
107 Seketika, kilat menyambar dari mata Li Sun-Hoan,
dengan berang ia menyembur, "Diam. Berani-beraninya
kau sebut namanya!" Sang Kusir menundukkan kepalanya, katanya, "Maaf,
Tuan." Li Sun-Hoan menatapnya beberapa saat, lalu kembali
memejamkan matanya. "Baiklah. Kalau kau ingin pergi
mencarinya, mari kita pergi. Dunia ini sungguh luas dan
waktu kita terbatas. Ke mana kita pergi?"
Sang kusir segera bangkit. "Langit akan membantu
mereka yang pedih hatinya. Kita pasti akan
menemukannya." Baru saja ia akan membopong Li Sun-Hoan di
punggungnya, setetes salju jatuh dari atas pohon ke
dahinya. Waktu ia menyekanya, tangannya bernoda
darah. Ada seseorang di atas pohon. Seseorang yang sudah
mati. Seorang wanita yang sudah mati.
Ia tergantung di batang pohon itu, tubuhnya telah
membeku. Pedang pendek menembus dadanya,
memakukan tubuhnya pada batang pohon.
Kedua orang ini sibuk dengan mayat yang tergeletak di
tanah, mereka tidak melihat mayat di atas pohon. Sang
Kusir, bagaikan seekor elang, melompat membawa turun
mayat wanita itu. 108 Wajahnya tertutup es, sehingga sulit ditebak usianya.
Namun bisa dipastikan, ia adalah seorang wanita yang
cantik sebelum kematiannya.
Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa. "Kurasa memang Langit
yang membantu kita menemukannya."
Sang Kusir kembali mengepalkan tangannya, sergahnya,
"Kudengar Jian-jiu-lo-sat (si hantu perempuan bertangan
seribu) memang sangat kejam. Tapi mengapa setelah
dibunuh, pakaiannya pun dilucuti?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Mungkin pakaiannya indah sekali."
Mata Sang Kusir berbinar. "Kau benar sekali. Kabarnya,
ia memang seorang pesolek. Pakaiannya terbuat dari
emas, dan penuh taburan batu permata."
Li Sun-Hoan tertawa getir. "Jikalau tanduk rusa tidak
mahal harganya, dan jika rusa tidak bertanduk, mereka
tidak akan dibunuh oleh pemburu."
"Si pembunuh datang untuk mengambil Kim-si-kah , tapi
ia tetap tidak bisa melewatkan pakaian yang nilainya
tidak seberapa dibandingkan dengan rompi itu. Cuma
ada satu orang yang rakus seperti ini."
Kata Li Sun-Hoan, "Kau benar. Aku pikir juga cuma ada
satu orang." Sahut Sang Kusir cepat, "Ia yang mencuri bahkan dari
peti mati, "Si Yau-sian (Matipun Minta Duit)"."
109 Li Sun-Hoan berkata, "Coba cabut pedang itu."
Pedang itu halus buatannya, bahkan dihiasi batu
kumala." Li Sun-Hoan menambahkan, "Si Yau-sian (Matipun Minta
Duit) menghargai uang bagaikan nyawa. Mana mungkin
ia meninggalkan senjata macam ini?"
Sang Kusir berpikir sejenak, lalu berkata, "Tidak banyak
senjata yang berharga seperti ini di dunia. Mungkinkan
ini perbuatan Pao Siau-an?"


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jawab Li Sun-Hoan, "Ya. Kurasa mereka bekerja sama."
Kata Sang Kusir, "Yang satu menghargai uang bagai
nyawa, yang satu lagi menganggap uang tak ada artinya.
Dua orang ini memiliki pandangan yang sangat
bertentangan. Bagaimana mereka bisa bekerja sama?"
Li Sun-Hoan tertawa. "Tuan Pao terkenal royal akan
segala sesuatu, pakaian, makanan, dalam
kehidupan,dalam bepergian. Bagi Si Yau-sian (Matipun
Minta Duit), mengikutinya berarti mendapatkan fasilitas
yang tak terbatas. Mengapa tidak?"
Wajah Sang Kusir menjadi cerah, dengan bangga ia
berkata, "Ini sangat baik. Dalam cuaca buruk seperti ini,
Pao Siau-an tidak dapat naik kuda, dan tidak mungkin ia
mau berjalan kaki. Ia pasti naik kereta. Kalau ia naik
kereta, kita pasti dapat mengejarnya."
110 Memang benar, terlihat jejak roda kereta di atas salju di
jalan. Mereka pasti naik kereta.
Kereta macam ini sangat nyaman, tapi tak bisa lari
kencang. Sang Kusir lari dengan segenap kekuatannya. Bahkan
dengan seseorang di punggungnya, ia dapat bergerak
dengan cepat dan gesit. Tak bisa dipercaya, seseorang
dengan ilmu meringankan tubuh sebaik itu, hanya
menjadi seorang kusir. Dan lagi, orang dengan ilmu
meringankan tubuh setaraf ini seharusnya cukup terkenal
dalam dunia persilatan. Setelah beberapa saat, jejak roda kereta tidak tampak
lagi. Tak adanya jejak di salju menandakan bahwa tidak
ada yang lewat di sini paling tidak empat sampai enam
jam terakhir. Lalu dilihatnya ada jalan kecil di samping. Ia tidak terlalu
memperhatikan jalan kecil ini sebelumnya. Jalan ini
menuju ke kuburan seseorang yang kaya raya.
Ditelusurinya jalan kecil itu. Betul saja, jalan itu buntu.
Tapi tampak ada kereta kuda di depan kuburan. Kudanya
tidak ada lagi. Tiga orang, dengan mantel bulu domba
tergeletak di tanah. Di dalam kereta tampak seseorang
dengan pakaian rapi dan wajah yang gagah. Usianya 40-
an, cambangnya tercukur rapi.
Di jarinya terlihat cincin yang luar biasa indah. Pastilah ini
Pao Siau-an. 111 Ada dua wanita di samping kanan kirinya. Keduanya mati
dengan cara yang sama. Hiat-to (jalan darah) mereka
yang utama tertotok seluruhnya.
Perbuatan siapakah ini"
Sang Kusir bertanya, "Mungkinkah ini perbuatan Si Yausian
(Matipun Minta Duit)?"
Sebelum kalimatnya selesai, satu lagi mayat terlihat.
Kepalanya botak, wajahnya menelungkup ke tanah.
Hanya kedua tangannya memegang". sepertinya ia
berusaha mempertahankan sesuatu sebelum
kematiannya, namun tidak berhasil."
Ini adalah Si Yau-sian (Matipun Minta Duit). Ia tidak akan
bisa lagi mencuri dari peti mati.
Kata Li Sun-Hoan, "Tidak jadi soal jika seseorang suka
berjudi atau pergi ke rumah bordil. Tapi jangan sampai
seseorang berkawan dengan orang yang salah. Mereka
akan berakhir seperti Pao Siau-an, bahkan tidak tahu
siapa pembunuhnya." "Tapi?" Lanjut Li Sun-Hoan, "Selain Pao Siau-an, semua orang
terkesima. Mereka tak bisa percaya Si Yau-sian (Matipun
Minta Duit) tega berbuat demikian. Terutama kedua
wanita itu, yang bahkan mungkin telah menjaLim
hubungan dengan Si Yau-sian (Matipun Minta Duit)
sebelum mereka mati. Jadi mereka sungguh-sungguh
tidak percaya." 112 Sang Kusir tiba-tiba berkata, "Kudengar ilmu totok Si
Yau-sian (Matipun Minta Duit) adalah yang terhebat di
Provinsi Soasay (Shan Xi). Ia terkenal dengan julukan "Si
Jari Satu Pengejar Nyawa". Kelihatannya ini adalah hasil
kerjanya, namun"."
Sambung Li Sun-Hoan, "Kemungkinan besar Si Yau-sian
(Matipun Minta Duit) telah bersama-sama dengan Pao
Siau-an untuk sekian lama. Kali ini Pao Siau-an
menginginkan Kim-si-kah , dan Si Yau-sian (Matipun
Minta Duit) ingin terus menjadi benalu Pao Siau-an,
sehingga ia pun ikut serta. Siapa sangka, rompi itu begitu
menawan. Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) tidak lagi
mempedulikan persahabatan dan membunuh mereka
semua." "Tapi jangan lupa, dia juga mati."
Li Sun-Hoan tertawa. "Mungkin waktu dia beraksi,
seorang iseng mengintip di sekitar kuburan. Si Yau-sian
(Matipun Minta Duit) memergokinya dan berusaha
membunuhnya juga untuk membungkamnya. Tapi
sebaliknya, ia tidak dapat membungkan mulut orang itu,
malah dia yang terbunuh."
"Tapi ilmu silat Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) tidak
rendah. Siapa yang sanggup membunuhnya."
Ia mendekat ke arah kuburan. Terlihatlah bahwa tidak
ada sedikitpun luka di tubuhnya. Hanya ada satu lubang
tambahan di tenggorokannya."
113 Li Sun-Hoan masih ada dalam gendongan Sang Kusir.
Kedua orang ini menatap sejenak, dan keduanya
menghela nafas. Namun di sudut bibir keduanya,
terbayang sebentuk senyuman. Hampir bersamaan
mereka berkata, "Ternyata dia."
Sang Kusir tertawa, "Pedang Fei-siauya (tuan Fei) lebih
cepat dari kilat. Tak heran Si Yau-sian (Matipun Minta
Duit) tak sempat melawan."
Li Sun-Hoan menutup matanya sambil tersenyum.
"Bagus. Bagus sekali. Rompi itu telah menemukan
pemilik yang pantas. Kini Bwe-hoa-cat pasti akan
tertangkap." Sang Kusir kemudian berkata, "Mari kita cari Fei-siauya
(tuan Fei). Ia pasti belum pergi lama."
Li Sun-Hoan bertanya, "Buat apa?"
"Untuk mendapatkan obat penawarnya."
Sahut Li Sun-Hoan, "Jika Hoa Hong punya obat
penawarnya, dan obat itu telah diambil, maka obat itu
pasti ada pada Si Yau-sian (Matipun Minta Duit). A Fei
tidak akan pernah mengambil barang orang lain. Ia
mengambil Kim-si-kah itu hanya karena menurut
pendapatnya, rompi itu adalah milikku."
Sang Kusir memandangi perhiasan pada tubuh Pao Siauan
dan kedua wanita itu, lalu mengeluh. "Kau benar.
Bahkan jika emas tersebar di seluruh permukaan tanah,
Fei-siauya (tuan Fei) tidak akan mengambil satu pun."
114 "Jadi jika obat penawar itu tidak ada pada Si Yau-sian
(Matipun Minta Duit), percuma juga mencari A Fei."
Sang Kusir mengangkat mayat itu. Ini adalah
kesempatan yang terakhir.
Lalu dilihatnya tulisan di dinding kuburan.
"Aku telah membalaskan dendammu, aku mengambil
kudamu." Li Sun-Hoan terbahak-bahak. "Tadinya aku hanya
menebak, sekarang aku yakin ini benar-benar
perbuatannya. Hanya A Fei yang tidak membiarkan
orang, sekalipun sudah mati, berhutang padanya."
Dilanjutkannya dengan senyum lebar, "Anak ini sungguh
baik. Sayangnya aku"."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, namun Sang Kusir
tahu apa yang hendak dikatakannya. Obat penawar itu
memang tidak ada. Sungguh sayang, ia tidak bisa lagi bertemu dengan anak
yang baik ini. Sang Kusir pun kehabisan tenaga. Ia hampir pingsan.
Namun Li Sun-Hoan tetap tersenyum. "Jangan kuatir
akan diriku. Kematian tidaklah seburuk yang kau
bayangkan. Sekarang aku sangat lemah, tapi aku jadi
merasa tenang. Aku hanya ingin minum arak."
115 Bab 6. Penyelamat di Kampung Halaman Si
Pemabuk Sang Kusir tiba-tiba melompat, menanggalkan
kemejanya, dan menyambut salju dan angin dingin
dengan dada telanjang. Bagai seekor kuda, ditariknya kereta itu.
Li Sun-Hoan tidak mencegahnya, karena ia tahu bahwa
Sang Kusir memerlukan tempat untuk melampiaskan
keputusasaannya. Namun sewaktu pintu kereta tertutup,
Li Sun-Hoan tidak dapat menahan setetes air matanya
jatuh ke pipinya. Setelah berjalan satu jam, sampailah mereka ke Gu-kehceng.
Kampung ini adalah desa yang sangat kecil. Hari belum
lagi gelap, dan hujan salju telah reda. Orang-orang
sedang membersihkan salju dari halaman rumah mereka.
Waktu mereka melihat sang kusir menarik kereta masuk
ke dalam kampung, mereka sangat terkejut. Beberapa
orang sangat ketakutan dan berlari masuk ke dalam
rumah. Sudah pasti, ada warung arak di kampung itu.
Orang-orang kampung ini belum pernah melihat orang
sekuat ini. Jadi ketika Sang Kusir berjalan ke arah
116 warung arak, sebagian besar pengunjungnya menjadi
ketakutan dan segera berlalu.
Sang kusir menjejerkan tiga buah kursi, lalu
mengalasinya dengan serbet yang bersih. Didukungnya Li
Sun-Hoan masuk ke dalam warung, sehingga ia bisa
duduk dengan nyaman. Li Sun-Hoan tampak pucat lesi. Seakan-akan tidak ada
darah yang mengalir ke wajahnya. Semua orang tahu, ia
sakit parah. Warung ini sudah buka selama dua puluh
tahun, dan belum pernah kedatangan orang hampir mati
yang masih ingin minum. Semua orang di situ
memandanginya. Sang Kusir menggebrak meja, dan berteriak, "Ambilkan
arak. Yang terbaik! Jika kau encerkan sedikit saja,
kupenggal kepalamu."
Li Sun-Hoan memandangnya dan tersenyum. "Kau tahu,
selama dua puluh tahun terakhir, baru hari ini kau
tunjukkan karakter sesungguhnya dari "Thi-kah-kim-kiong
(si Dada Besi Baja Emas)"."
Tubuh Sang Kusir bergidik. Ia terkejut mendengar
julukannya disebut. Namun ia masih bisa tertawa keras.
"Aku tak menyangka Siauya masih ingat nama itu. Aku
malah sudah lupa." Kata Li Sun-Hoan, "Kau". Kau harus melanggar
sumpahmu hari ini dan minum bersamaku."
117 Sahut Sang Kusir, "Baik! Hari ini, berapa banyak Siauya
minum, aku akan mengikutimu."
Li Sun-Hoan pun ikut tertawa keras. "Kalau aku bisa
membuatmu minum arak lagi, hidupku tidak sia-sia."
Yang lain, melihat mereka tertawa bahagia, jadi
tercenung. Tak seorang pun bisa mengerti bagaimana
seseorang yang hampir mati bisa begini bahagia.
Araknya memang bukan yang terlezat, tapi paling tidak
arak itu murni. Kata Sang Kusir, "Siauya, maafkan kelancanganku. Aku
ingin bersulang untukmu."
Li Sun-Hoan ingin menyambutnya, namun ia tak kuasa
memegangi cawannya, dan arak pun berceceran. Ia
batuk-batuk sambil berusaha menyeka bajunya yang
basah kena arak, dan sambil tertawa berkata, "Aku tak
pernah menyia-nyiakan arak sebelumnya, tapi hari ini"."
Ia tertawa lagi. "Baju ini telah kumiliki bertahun-tahun,
memang pantas aku menghadiahinya secawan arak.
Mari, Saudara Baju, aku berterima kasih padamu engkau
telah menghangatkan aku bertahun-tahun ini. Aku
bersulang untukmu." Lalu dituangnya sisa arak dalam cawan ke bajunya.
Pemilik warung dan para pegawainya memandang dia,
dan berbisik-bisik di antara mereka, "Orang ini bukan
hanya sakit, dia sudah gila."
118 Kedua orang itu minum dan terus minum. Li Sun-Hoan
harus menggunakan kedua belah tangannya untuk
memegang cawan araknya. Sang Kusir menggebrak meja lagi. "Hidup ini tidak adil.
Kalau saja aku bisa tidak bangun lagi dari kemabukan ini.
Sayang, sayang sekali"."
Kata Li Sun-Hoan, "Kau harusnya berbahagia hari ini. Apa
maksudmu tentang "tidak adil", "tidak bangun lagi?"
Seseorang harus menikmati hari-hari kehidupannya."
Sang Kusir tertawa lagi. "Kau betul. Betul!" Lalu
wajahnya jatuh menghantam meja.
Wajah Li Sun-Hoan penuh rasa terima kasih. Katanya
pada dirinya sendiri, "Dua puluh tahun ini, jika bukan
karena kau, aku". aku mungkin sudah lama mati.
Walaupun aku tahu alasanmu, perbuatanmu ini sungguh
terlalu merendahkan dirimu. Kuharap suatu hari nanti,
kau rebut kembali status dan kejayaanmu di masa lalu.
Dengan begitu, walaupun aku telah"."
Sang Kusir tiba-tiba bangun lagi dan memotong cepat,
"Siauya, jangan katakan hal-hal yang tidak
menyenangkan. Merusak suasana."
Mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba
menangis, menangis sambil tertawa.
Pemilik warung dan para pegawainya kembali saling
pandang. "Sepertinya, dua-duanya gila."
119 Saat itulah mereka dikagetkan oleh seseorang yang


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyuruk masuk, "Arak. Arak. Bawakan arak sekarang
juga." Dari wajahnya, kelihatannya ia akan mati jika ia tidak
minum arak secepatnya. Pemilik warung bergumam, "Satu lagi orang gila."
Orang ini mengenakan baju biru yang sudah terlalu
sering dicuci sampai warnanya sudah mendekati putih.
Kukunya hitam-hitam. Walaupun mengenakan topi
pelajar, rambutnya sungguh acak-acakan. Wajahnya
kuning dan tirus. Seperti seorang Siucai rudin (Pelajar
Miskin). Pelayan membawakan sebotol arak untuknya.
Siapa sangka, pelajar ini bahkan tidak menggunakan
cawan. Ditenggaknya arak itu langsung dari botolnya.
Sekali minum, setengah lebih sudah habis, tapi segera
disemburkannya ke luar sambil berteriak, "Kau sebut ini
arak" Ini adalah cuka, cuka yang diencerkan lagi?"
Pelayan itu tergagap, "Bukannya kami tidak punya arak
yang baik, tapi".."
Siucai rudin (Pelajar Miskin) itu berkata, "Kau pikir aku
tidak punya uang. Nih, ambil semua."
Dilambaikannya 50 tail perak.
120 Semua orang dan para pelayan terperangah. Kali ini
mereka menyuguhkan arak yang terbaik.
Sekali ini pun, si Siucai rudin (Pelajar Miskin) tak peduli
dengan cawan dan menenggak sebotol penuh sekaligus.
Lalu duduk diam tak bergerak. Semua orang menyangka
ia minum terlalu cepat dan sesuatu telah terjadi. Namun
Li Sun-Hoan tahu, ia sedang menikmati kelezatannya.
Setelah beberapa saat, dihembuskan nafasnya. Mata dan
wajahnya berbinar-binar. "Walaupun araknya tidak enak,
di tempat seperti ini kurasa inilah yang terbaik."
Pemilik warung ikut tertawa. Katanya, "Sudah kusimpan
botol itu selama sepuluh tahun."
Siucai itu tiba-tiba menggebrak meja, katanya, "Pantas
saja rasanya tidak kental. Beri aku arak yang lebih baru,
yang difermentasi tiga tahap saja. Lalu bawakan
makanan juga." "Masakan apa yang kau inginkan."
"Aku tahu di tempat kumuh seperti ini kau pasti tak
punya makanan enak. Bawakan saja Ayam Angin dan
Usus Gagak Goreng Pedas. Pastikan ususnya pedas sekali
dan ayamnya tidak berbulu sama sekali."
Orang ini kelihatan miskin, namun ia benar-benar tahu
tentang makanan dan arak. Li Sun-Hoan sangat tertarik.
Dalam keadaan biasa, ia pasti telah mengundang orang
itu paling tidak untuk minum bersamanya. Namun saat
121 itu, ia bisa rebah kapan saja. Ia tidak ingin berkenalan
dengan siapa pun lagi. Orang itu terus minum sendirian. Ia minum sangat cepat.
Sepertinya, selain arak, tak ada hal yang cukup berarti
baginya. Saat itu, terdengar derap langkah kuda mendekat, dan
berhenti di depan warung. Wajah orang ini berubah
sedikit. Ia bangkit, hendak pergi. Tapi matanya kembali
memandang arak di atas meja dan ia pun duduk kembali.
Diminumnya tiga cawan lagi, sambil dinikmatinya usus
goreng itu. Dan terdengarlah suara yang menggelegar, "Dasar
pemabuk. Kau hendak lari ke mana?"
Seorang yang lain pun berkata, "Sudah kubilang, kita
pasti dapat menemukan orang ini di warung arak."
Kemudian lima enam orang pun masuk, mengelilingi si
Siucai rudin (Pelajar Miskin). Kelihatannya ilmu silat
mereka cukup tinggi. Seorang yang tinggi kurus mengacungkan cambuk kuda
ke depan hidung si Siucai rudin (Pelajar Miskin) dan
berkata, "Kau ambil uang kami, tapi kau menolak
memeriksa pasien, malah kabur ke sini untuk minum.
Apa yang terjadi?" 122 Si Siucai rudin (Pelajar Miskin) tersenyum, "Kau tak
mengerti apa yang terjadi" Aku perlu minum arak. Itu
saja. Kau seharusnya tahu, jika Bwe-jisiansing perlu
minum arak, dia tidak peduli langit runtuh, apalagi hanya
seorang pasien." Seorang yang bopengan berkata berang, "Tio-lotoa, kau
dengarkah itu" Kita sudah tahu pemabuk ini adalah
seorang yang sangat jahat. Waktu ia sudah mendapatkan
uangnya, ia tidak peduli lagi akan orang lain."
Orang yang pertama menyahut, "Siapa yang tidak tahu
kepribadian pemabuk ini" Namun dia harus
menyembuhkan penyakit Losi (saudara ke 4). Kita perlu
tabib, apa yang dapat kita perbuat?"
Awalnya Li Sun-Hoan menyangka orang-orang ini datang
untuk balas dendam. Setelah mendengar percakapan
mereka, tahulah dia bahwa Bwe-jisiansing adalah
seorang tabib yang hanya mau uang, tapi tak mau
mengobati pasien. Waktu orang-orang ini berteriak-teriak, ia tetap duduk
diam. Sambil terus minum.
Tio-lotoa akhirnya melempar cambuknya, menghantam
botol arak dan cawan, sambil berteriak, "Berhenti
menunda-nunda. Karena kami telah menemukanmu, kau
harus ikut kami pulang dan mengobati pasien. Jika Losi
(saudara ke 4) kami sembuh, aku jamin kau akan bisa
minum berbotol-botol arak."
123 Bwe-jisiansing itu hanya menatap cawan arak yang
sudah pecah, menarik nafas panjang, lalu berkata, "Kau
sudah tahu perangaiku. Kau pun pasti tahu, aku takkan
pernah menyembuhkan tiga macam orang."
"Tiga macam orang seperti apa?"
"Yang pertama, aku tidak akan menyembuhkan orang
yang tidak bayar di muka. Jika kurang sepeser saja, tak
akan kusembuhkan dia."
Salah seorang dari mereka menjawab, "Kami telah
memberimu banyak uang!"
Bwe-jisiansing meneruskan, "Yang kedua, aku takkan
merawat orang yang bersikap kasar padaku. Yang ketiga,
aku tak akan pernah merawat penjahat, pencuri, dan
pembunuh." Ia menghela nafas, lalu menggelengkan kepalanya, "Kau
telah melanggar dua aturan terakhir. Kalian masih
berharap aku mau menyembuhkannya" Silakan mimpi
saja." Orang-orang itu menyahut, "Jika kau tidak
menyembuhkannya, kami akan membunuhmu."
"Sekalipun kalian membunuhku, aku tak akan
menyembuhkannya!" Orang yang bopengan itu maju dan menamparnya,
sehingga tubuh si tabib terpelanting. Darah keluar dari
mulutnya. 124 Tadinya Li Sun-Hoan berpikir, tabib ini pura-pura saja tak
tahu ilmu silat. Sekarang ia baru sadar, bahwa tabib ini
hanya mulutnya keras, tapi tubuhnya tidak.
Tio-lotoa menghunus pisaunya, dan berkata, "Kalau kau
berkata "tidak" setengah kali saja, akan kupotong sebelah
tanganmu sebelum kau sempat menyelesaikan
perkataanmu." Bwe-jisiansing menyahut, "Kalau aku bilang tidak ya
tidak. Kenapa aku harus takut dengan penjahat kelas teri
macam kalian?" Tio-lotoa sudah akan maju, tapi Sang Kusir tiba-tiba
menggebrak meja, dan berkata lantang, "Ini adalah
tempat minum arak. Jika kalian tidak mau minum, cepat
menyingkir!" Suaranya seperti geledek, Tio-lotoa pun merasa jeri.
"Siapa kau" Berani-beraninya ikut campur?"
Li Sun-Hoan tersenyum, katanya, "Hanya menyuruh
mereka pergi, kurang menarik. Suruhlah mereka
merangkak ke luar." "Siauya menyuruh kalian merangkak ke luar. Dengar
tidak?" Tio-lotoa melihat orang ini sakit dan sangat lemah, juga
sangat mabuk. Ia jadi tidak takut lagi, katanya, "Karena
kalian berdua sangat berani, mari kurobek perutmu."
Goloknya berkilauan, menyabet ke arah Li Sun-Hoan.
125 Sang Kusir menyorongkan tangannya ke depan,
berusaha menghalangi sabetan golok. Namun karena ia
sangat mabuk, kelihatannya ia malah berusaha
menangkap golok itu dengan tangannya.
Si pemilik warung sungguh kuatir karena pastilah lengan
orang itu akan putus kena golok. Siapa sangka, lengan
itu masih tetap utuh, malahan golok itulah yang mencelat
ke atas. Tio-lotoa terkejut luar biasa, pikirnya, "Ilmu silat
orang itu membuatnya kebal senjata. Apakah dia ini
hantu?" Orang bopengan itu juga menjadi takut sekali, tapi
dipaksakannya untuk tertawa sambil berkata, "Bolehkah
kutahu namamu, sobat" Kalau tidak bertempur, mana
bisa jadi kawan. Marilah kita berkawan saja."
Sang Kusir menjawab dingin, "Kau tak pantas jadi
temanku. Sana keluar!"
Tio-lotoa melompat ke depan, sambil berkata, "Kau tak
perlu bersikap kasar. Tidak baik bermusuhan dengan
kami, kalau"." Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, si bopengan
membisikkan sesuatu kepadanya. Matanya melirik ke
arah pisau di tangan Li Sun-Hoan.
Wajah Tio-lotoa memucat seperti kertas, katanya pelan,
"Tidak, tidak mungkin dia."
"Siapa lagi" Aku dengar setengah bulan yang lalu dari Si
Kura-kura Tua bahwa ia telah kembali dari perbatasan. Si
126 Kura-kura Tua mengenalnya sejak dulu. Tidak mungkin ia
salah." Kata Tio-lotoa, "Tapi, pemabuk ini"."
"Orang ini sangat menyukai makanan, arak, wanita, juga
judi. Kesehatannya juga tidak pernah baik. Namun
pisaunya"." Waktu berbicara tentang pisau, suaranya bergetar.
"Tidak usahlah kita bermusuhan dengan orang macam
dia." Tio-lotoa tertawa, "Jika aku tahu dia ada di sini,
walaupun orang mengancamku dengan pisau, aku takkan
mau datang ke sini."
Ia terbatuk dua kali dan membungkukkan tubuhnya
sambil tertawa. "Aku yang kecil ini punya mata, tapi tidak
bisa melihat, sehingga tidak mengenali engkau, Tuan.
Bahkan aku sudah mengganggu ketenanganmu minum
arak. Aku yang kecil ini pantas mati. Kini aku hendak
pamit saja." Tidak jelas apakah Li Sun-Hoan mendengar kata-kata ini
atau tidak. Ia terus minum dan terus terbatuk-batuk,
seperti tidak ada sesuatu pun yang terjadi.
Orang-orang ini datang bagai harimau, kini mereka pergi
bagai anjing. Baru sekarang Bwe-jisiansing bangkit,
namun ia tidak berusaha berterima kasih pada Li Sun-
Hoan. Ia malah berdiri di atas kursinya sambil berteriakteriak,
"Arak! Beri aku arak!"
127 Para pelayan jadi bingung. Tak bisa dipercaya orang ini
baru saja dipukuli. Pelanggan yang lain sudah pergi semuanya. Yang tinggal
hanya ketiga orang ini. Ketiganya terus minum, tak
berbicara sepatah katapun.
Li Sun-Hoan melongok ke luar jendela, dan tiba-tiba
tersenyum. "Arak memang sangat aneh. Kalau kau ingin
terus sadar, kau akan mabuk lebih cepat. Kalau kau ingin
cepat mabuk, kau malah tidak mabuk-mabuk."
Bwe-jisiansing juga terkekeh, "Mabuk dapat
menyelesaikan banyak persoalan. Yang paling baik
adalah mabuk sampai mati. Tapi sayangnya, Langit tak
akan membiarkan seseorang mati semudah itu."
Alis Sang Kusir terangkat, melihat Bwe-jisiansing berjalan
terhuyung-huyung ke arah mereka. Ia menatap Li Sun-
Hoan dan bertanya, "Tahukah kau berapa lama lagi kau
akan hidup?" "Tidak lama." "Jika kau tahu hidupmu tidak lama lagi, mengapa tak kau
bereskan urusanmu sebelum mati, malahan datang ke
sini untuk minum?" Sahut Li Sun-Hoan, "Mengapa urusan-urusan sepele,
macam hidup dan mati, harus mengganggu acara
minumku?" 128 Bwe-jisiansing bertepuk tangan, tertawa. "Betul. Betul.
Hidup dan mati adalah urusan sepele. Sebaliknya, minum
arak adalah peristiwa penting. Kata-katamu sungguh
sesuai dengan seleraku."
Tiba-tiba matanya terbuka lebar, katanya, "Kurasa
sekarang kau tahu siapa aku, bukan?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Belum."
"Kau sungguh tidak tahu siapa aku?"
Sang Kusir memotong kasar. "Kalau dia bilang tidak tahu,
ya tidak tahu. Kenapa harus diulang-ulang?"
Bwe-jisiansing menatap Li Sun-Hoan, lalu berkata,
"Ternyata kau tidak menyelamatkanku untuk
menyembuhkanmu." Li Sun-Hoan tertawa. "Jika kau ingin minum arak, kita
bisa minum bersama. Jika kau datang untuk
menyembuhkanku, kusarankan kau pergi saja. Jangan
membuang-buang waktu minumku."
Bwe-jisiansing terus memandang Li Sun-Hoan sampai


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup lama. Katanya kemudian, "Beruntung sekali.
Sangat beruntung. Kau tahu, kau sangat beruntung
bertemu dengan aku."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku tidak punya uang. Aku juga tidak
jauh berbeda dari perampok dan pencuri. Kau boleh
pergi." 129 Siapa sangka, Bwe-jisiansing malah menggelengkan
kepalanya berkali-kali. "Tidak tidak tidak. Tidak
meyembuhkan orang lain, tidak jadi soal. Tapi jikalau kau
menolak aku menyembuhkanmu, kau harus
membunuhku." Mata Sang Kusir berbinar-binar. "Kau sungguh dapat
menyembuhkannya?" Jawab Bwe-jisiansing, "Selain Bwe-jisiansing, tidak ada
seorang pun di dunia yang dapat menyembuhkannya."
Sang Kusir berdiri, dirapikannya kemejanya, sambil
bertanya, "Tahukah kau apa penyakitnya?"
Sahut Bwe-jisiansing, "Kalau aku tidak tahu, siapa yang
bisa tahu" Kau pikir Saudara Keenamku, Hoa Hong,
sanggup meramu "Han-keh-san (Bubuk Ayam Dingin)?""
"Han-keh-san (Bubuk Ayam Dingin)" Racun itu Han-kehsan
(Bubuk Ayam Dingin)?"
Bwe-jisiansing terkekeh. "Selain Han-keh-san (Bubuk
Ayam Dingin) milik keluarga Bwe, racun apa yang dapat
membunuh Li Sun-Hoan?"
Sang Kusir terkejut sekaligus gembira, "Jadi maksudmu
kaulah yang meramu racun Hoa Hong?"
Bwe-jisiansing tertawa terbahak-bahak. "Selain "Biau-
Liong-tiong (Tabib Sakti)" Bwe-jisiansing, siapa yang
dapat meracik racun sehebat ini" Sepertinya kau bukan
orang berpengetahuan. Hal seperti ini saja tidak tahu."
130 Kini Sang Kusir girang bukan kepalang. "Jadi dialah yang
meramu racun itu. Siauya, kau pasti akan selamat."
Li Sun-Hoan tertawa pahit. "Aku tahu hidup itu sulit, tapi
aku baru tahu untuk mati dengan tenang pun sangat
sulit." Kini mereka sudah ada dalam kereta. Sang Kusir
merawat Li Sun-Hoan, tapi ia juga mengawasi Bwejisiansing.
Ia masih belum puas. Tanyanya, "Jika kau bisa
menyembuhkan keracunannya, mengapa kita harus pergi
menemui orang lain?"
Sahut Bwe-jisiansing, "Aku tidak mencari orang "lain".
Bwe-toasiansing. Ia kakakku. Rumahnya dekat."
"Jangan kuatir. Jika aku sudah berkata aku akan
menyembuhkan dia, ia tidak akan mati."
"Mengapa kau perlu bertemu dengan kakakmu?"
"Karena dia punya obat penawarnya. Sudah puas?"
Kini ia benar-benar diam.
Sebaliknya Bwe-jisiansing lantas bertanya padanya,
"Yang kau latih Kim-cong-toh atau Thi-poh-san?"
"Thi-poh-san," jawab si berewok dengan mendelik.
131 Bwe-jisiansing menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
"Aku sungguh tak mengira ada orang yang melatih ilmu
silat sebodoh ini. Hanya berguna untuk melawan preman
jalanan." Sang Kusir menjawab dingin, "Ilmu silat yang bodoh
lebih baik dari pada tidak tahu silat."
Bwe-jisiansing sama sekali tidak marah. Ia terus
tersenyum. "Yang kudengar, untuk melatih ilmu silat
macam ini, kau harus tetap perjaka. Tidakkah
pengorbanan semacam itu sedikit terlalu besar?"
"Hmmh." Lanjut Bwe-jisiansing lagi, "Yang kudengar, dalam lima
puluh tahun terakhir, hanya ada satu orang yang
sungguh bodoh yang mau memperlajari ilmu silat ini.
Namanya "Thi-kah-kim-kiong (si Dada Besi Baja Emas)",
Thi Toan-kah. Namun dua puluh tahun lalu, terjadi
sesuatu padanya. Kini tidak ada yang tahu apakah dia
sudah mati, atau masih hidup. Mungkin dia belum mati.
Mungkin dia masih bisa minum arak."
Mulut Sang Kusir tertutup rapat. Apa pun yang dikatakan
Bwe-jisiansing, ia diam saja.
Bwe-jisiansing memejamkan mata, berusaha memulihkan
tenaganya. Setelah beberapa saat, Sang Kusir balas berkata, "Yang
kudengar, "Jit-biau-jin (tujuh manusia ajaib)" tidak peduli
akan reputasi mereka. Sepertinya kau tidak demikian."
132 Jawan Bwe-jisiansing, "Aku mengambil uang orang, lalu
menolak untuk menyembuhkannya. Kau pikir itu kurang
bejad?" "Jika kau akhirnya setuju untuk merawat dia, maka
kaulah yang akan kehilangan muka. Mengambil uang dan
menyembuhkan orang adalah dua hal yang berbeda. Tak
ada alasan untuk tidak mengambil uang dari orang-orang
macam mereka." Bwe-jisiansing menyahut, "Tampaknya kau tak sebodoh
yang kukira." Sang Kusir berkata lagi, "Orang yang dianggap licik oleh
banyak orang, mungkin sebenarnya tidak terlalu licik.
Akan tetapi dari sekian banyak orang yang disangka
gagah, berapa banyakkah yang benar-benar gagah?"
Li Sun-Hoan duduk diam sambil tersenyum. Sepertinya ia
mengikuti pembicaraan, tapi sepertinya juga pikirannya
ada di tempat lain. Di luar, salju telah memberi warna putih pada segala
sesuatu. Jika seseorang masih dapat bertahan hidup, bukankah itu
suatu hal yang baik"
Bayangan seseorang tergambar dalam benak Li Sun-
Hoan. Wanita itu mengenakan pakaian ungu, dan mantel
berwarna ungu muda tersampir pada pundaknya. Ia
133 berdiri dengan latar belakang salju putih, dan tampak
sangat cantik. Ia ingat Si Dia sangat menyukai salju. Setiap kali turun
salju Si Dia akan menarik tangannya ke luar ke halaman,
melemparinya dengan bola salju dan menantangnya
untuk mengejar Dia. Ia ingat, hari dia membawa Liong Siau-hun pulang, juga
turun salju. Si Dia sedang duduk di paviliun dalam taman
Bwe. Sedang menikmati indahnya salju dan pohon Bwe.
Ia ingat bahwa tiang-tiang paviliun itu merah cerah. Tapi
sewaktu Si Dia duduk di antara tiang-tiang itu, warna
kedua tiang dan warna seluruh pohon Bwe menjadi
pudar. Ia tidak memperhatikan reaksi Liong Siau-hun saat itu.
Namun di kemudian hari, ia bisa membayangkannya.
Saat itu, hati Liong Siau-hun pasti sudah hancur
berantakan. Kini, apakah paviliun itu masih sama" Masih seringkah Si
Dia duduk di sana, menghitung bunga-bunga Bwe"
Li Sun-Hoan berusaha bangun dan tersenyum pada Bwejisiansing.
"Ada arak dalam kereta. Mari kita minum."
Salju, kadang lebat kadang berhenti.
Dengan petunjuk Bwe-jisiansing, kereta berbelok ke jalan
kecil, dan sampai pada sebuah jembatan kecil. Kereta itu
tak dapat menyeberang. 134 Sang Kusir mendukung Li Sun-Hoan menyeberangi
jembatan. Terlihat sebuah gubug kecil di antara pohonpohon
Bwe. Sewaktu mereka mendekat, terdengar suara
dari dalam hutan. Seorang laki-laki berpakaian rapi
menyuruh dua orang pembantunya menyiramkan air
pada pohon yang tertutup salju.
Sang Kusir berbisik, "Inikah Bwe-toasiansing?"
Jawab Bwe-jisiansing, "Selain orang tolol ini, siapakah
yang menyiramkan air untuk membersihkan es dan salju
dari batang pohon?" Sang Kusir tak dapat menahan tawa. "Maksudmu dia
tidak tahu bahwa dengan menyiramkan air, salju akan
tetap menempel dan airnya malah akan jadi es?"
Bwe-jisiansing tertawa getir, dan mengeluh, "Ia bisa tahu
keaslian suatu benda seni sekali tengok. Ia juga bisa
meramu dalam sekejap racun yang paling mematikan
dan penawar yang paling hebat. Namun ia tidak dapat
mengerti hal-hal yang sederhana."
Selagi mereka bercakap-cakap, Bwe-toasiansing
memaLingkan wajahnya dan melihat kedatangan
mereka. Wajahnya terkesiap seperti sedang memandang
anak-anak nakal. Katanya, "Cepat! Cepat sembunyikan
seluruh lukisanku yang berharga. Kalau sampai
dilihatnya, akan digadaikannya untuk membeli sebotol
arak." 135 Bwe-jisiansing tersenyum. "Lotoa. Jangan kuatir. Aku
sudah minum arak hari ini. Aku datang dengan dua
teman"." Sebelum kalimatnya selesai, Bwe-toasiansing menutup
mata dengan kedua tangannya, katanya, "Aku tak ingin
melihat teman-temanmu. Semua temanmu adalah orang
jahat. Kalau aku melihat seorang saja, aku akan sial tiga
tahun." Bwe-jisiansing jadi kesal, maka katanya, "Baik. Kau
menghina aku. Kau pikir aku tak mungkin punya teman
yang baik. Mari Li Tamhoa, kita pergi saja."
Sang Kusir menjadi gusar, "Mana obat penawarnya" Kita
tidak bisa pergi begitu saja!"
Tak disangka, ekspresi wajah Bwe-toasiansing berubah
cepat. "Maksudmu dia dari keluarga yang turun-temurun
lulus ujian kenegaraan, ayah dan kedua anaknya
mendapat gelar Tamhoa, Li Tamhoa yang ITU?"
Bwe-jisiansing menjawab dingin, "Kau tahu Li Tamhoa
yang lain?" Kata Li Sun-Hoan, "Ya. Itulah aku."
Pandangan Bwe-toasiansing menyelidik dari kepala
sampai ke kakinya. Tiba-tiba ia menjabat tangan Li Sun-
Hoan dan tertawa senang, "Terkenal selama dua puluh
tahun, tak kusangka akhirnya aku dapat bertemu
denganmu. Li-heng ."
136 Ia menjadi sangat ramah setelah tahu siapa tamunya.
Kemudian kata Bwe-toasiansing, "Li-tayhiap, maafkanlah
kekasaranku tadi. Teman-teman adikku selalu saja
menyebalkan. Dua tahun yang lalu ia mengajak dua
temannya berkunjung, katanya mereka ini penggemar
benda seni. Tapi siapa sangka, setelah kutunjukkan pada
mereka dua lukisan yang sangat berharga, mereka
menukarnya dengan kertas kosong! Aku sangat marah,
sampai-sampai tiga bulan aku tak bisa tidur."
Li Sun-Hoan pun tertawa. "Bwe-toasiansing, jangan
terlalu menyalahkan adikmu. Ketika seorang pemabuk
ingin minum arak tapi tidak punya uang, perasaannya
pun sangat kacau." Bwe-toasiansing tersenyum sambil berkata, "Sepertinya
Li-heng juga mempunyai kebiasaan yang sama."
Li Sun-Hoan ikut tersenyum. "Minum arak dapat
membuat seseorang terbang ke awan."
Kata Bwe-toasiansing, "Bagus. Ki-ho, sudah cukup kau
bersihkan pohon itu. Pergi dan ambilkan arak Tiok-yapjing
berusia 20 tahun itu. Aku ingin Li-heng
mencicipinya. Aku telah menyimpan arak ini bertahuntahun
untuk disuguhkan pada tamu yang hebat, seperti
Li-heng ini." Kata Bwe-jisiansing, "Memang betul. Kalau tamu biasa
yang datang, cuka saja tidak disuguhkannya. Akan
tetapi, Li-heng datang bukan untuk minum arak."
137 Bwe-toasiansing memandang sekilas pada Li Sun-Hoan,
katanya, "Racun itu masalah kecil. Li-heng jangan kuatir,
dan mari minum. Aku tahu bagaimana caranya mengurus
hal-hal kecil itu." Setelah minum tiga cawan, Bwe-toasiansing tiba-tiba
bertanya, "Katanya, lukisan yang sangat langka
Pemandangan Waktu Berziarah (Cing Ming Da He Tu)
ada dalam kediamanmu. Apakah itu benar?"
Kini Li Sun-Hoan tahu mengapa ia sangat ramah
menyambut mereka. "Betul."
Bwe-toasiansing girang luar biasa. "Dapatkah kau bawa
ke sini kapan-kapan supaya aku dapat melihatnya?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Jika Bwe-toasiansing sungguhsungguh
ingin melihatnya, aku tak dapat menolak. Tapi
sungguh sayang, aku telah memberikan lukisan itu, dan
seluruh milikku, pada orang lain."
Bwe-toasiansing melongo memandangnya, seperti
kepalanya dipentung orang. Ia terus bergumam,
"Sayang" sungguh sayang"."
Lalu katanya, "Ki-ho, bereskan arak ini. Li Tamhoa sudah
selesai minum." Kata Bwe-jisiansing, "Jadi tanpa Pemandangan Waktu
Berziarah (Cing Ming Da He Tu), tidak ada arak?"
Jawab Bwe-toasiansing dingin, "Arakku bukan untuk
diminum sembarang orang."
138 Li Sun-Hoan tidak merasa marah, bahkan ia tersenyum.
Ia merasa orang ini labil, sangat lugu, tapi paling tidak ia
lebih baik daripada para orang gagah yang palsu.
Namun Sang Kusir tak bisa menahan kekuatirannya, dan
ia berkata keras, "Tanpa Pemandangan Waktu Berziarah
(Cing Ming Da He Tu), tidak ada obat penawar juga?"
Sahut Bwe-toasiansing, "Jika tidak ada arak, dari mana
datangnya obat penawar?"
Sang kusir menjadi berang dan siap menyerang.
Namun Li Sun-Hoan menahannya, katanya, "Bwetoasiansing
tidak mengenal kita. Ia tidak berkewajiban
memberikan obat penawar itu. Kita telah berhutang


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya beberapa cawan arak yang lezat. Mengapa kau
ingin bertindak kasar?"
"Tapi Siauya, kau" kau?"
Li Sun-Hoan mengibaskan tangannya dan tersenyum.
"Kurasa kita harus pamit."
Tiba-tiba Bwe-toasiansing bertanya, "Kau sungguh tidak
mau obat penawarnya?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Kita mempunyai kepentingan
masing-masing. Aku tidak suka memaksa orang."
Kata Bwe-toasiansing, "Tahukah kau, bahwa tanpa obat
penawar itu kau akan segera mati?"
139 "Hidup dan mati ditentukan oleh Langit. Aku sendiri tidak
peduli." Bwe-toasiansing menatapnya lekat-lekat, katanya
perlahan, "Betul. Betul. Jika seseorang bisa
menghadiahkan Pemandangan Waktu Berziarah (Cing
Ming Da He Tu) pada orang lain, mengapa dia harus
mempedulikan nyawanya" Orang seperti ini sangat
langka, sangat sangat langka"."
Lalu ia berteriak, "Ki-ho, keluarkan lagi araknya."
Sang Kusir seketika timbul harapannya. "Bagaimana
dengan obat penawarnya?"
Bwe-toasiansing memandangnya sekejap, lalu katanya
dingin, "Sekarang sudah ada arak, kau kuatir tidak ada
obat penawar?" Bab 7. Tidak Sengaja Melukai Anak Sahabat
Setelah Li Sun-Hoan minum arak, obat penawarnya
bekerja lebih cepat. Setelah dua belas jam, tenaganya
berangsur-angsur pulih. Hari sudah mulai fajar. Sang Kusir sama sekali tidak
terlelap, namun ia tetap bersemangat. Hanya saja karena
minum terlalu banyak, kepalanya terasa berdenyutdenyut.
140 Bwe-jisiansing memukul-mukul kepalanya, "Sialan.
Sialan. Sudah pagi lagi."
"Kenapa kalau sudah pagi?"
Kata Bwe-jisiansing, "Kalau sedang minum, hal yang
paling kubenci adalah fajar. Selama di luar masih gelap,
aku bisa minum selama-lamanya. Tapi kalau sudah
tampak cahaya matahari, aku tidak bernafsu lagi untuk
minum." Li Sun-Hoan masih berbaring. Di bibirnya terbayang
seulas senyum. "Bukan hanya kau. Itu problem semua
pemabuk." Sahut Bwe-jisiansing, "Kalau begitu, sebelum betul-betul
terang, mari cepat-cepat kita minum arak ini."
Li Sun-Hoan tertawa. "Kurasa kakakmu akan kesal
melihat bagaimana kita minum."
Sahut Bwe-jisiansing, "Makanya dia sudah tidur dari tadi.
Kalau dia tidak melihat kejadiannya, ia takkan merasa
gelisah." Li Sun-Hoan hendak minum lagi, namun ia mulai batukbatuk.
Bwe-jisiansing memandangnya dan tiba-tiba bertanya,
"Berapa lama suda kau batuk seperti ini?"
"Mungkin sepuluh tahun."
141 Bwe-jisiansing berpikir sebentar, lalu berkata, "Kalau
begitu, seharusnya kau tidak minum lagi. Batuk terlalu
banyak tidak baik untuk hatimu. Kalau kau terus
minum"." Li Sun-Hoan memotong sambil tertawa, "Tidak baik
untuk hatiku" Hatiku sudah rusak total."
Tiba-tiba ia berhenti bicara. Matanya menyelidik. Ia
berkata perlahan, "Ada yang datang."
Kata Bwe-jisiansing, "Orang yang datang pagi-pagi buta
seperti ini pasti bukan tamu kakakku. Kurasa mereka
datang mencari aku."
Ia mendengar suara itu dengan jelas sekarang. Ada
beberapa orang yang datang. Langkah mereka semua
sangat ringan. Dan seseorang berbicara lantang, "Apakah di sini betul
Bwe-hoa-cau-tong (Klinik Keluarga Bwe)?"
Sesaat kemudian terdengarlah suara Bwe-toasiansing.
"Datang pagi-pagi buta macam ini, kalian perampok atau
pencuri?" Orang itu menjawab, "Kami datang berkunjung, bukan
untuk merampok atau mencuri. Kami membawa hadiah."
Bwe-toasiansing tertawa dingin. "Datang membawa
hadiah di pagi buta" Maksud kalian pasti tidak baik.
Silakan pergi." 142 Kata orang itu sambil tertawa, "Jikalau demikian, aku
harus membawa pulang lukisan Ong Mo-kiat ini."
Sebelum kalimatnya selesai, pintu sudah terbuka lebar.
Bwe-jisiansing mengangkat alisnya, katanya, "Orangorang
ini menyelidiki kesukaan kakakku sebelum datang.
Mereka pasti menginginkan sesuatu. Mari kita dengarkan
apa permintaan mereka."
Ia tidak keluar dari ruangan. Dibukanya pintu sedikit saja
untuk melihat siapa yang datang.
Ada tiga orang. Yang pertama berusia tiga puluhan.
Tubuhnya pendek, wajahnya seram. Matanya berkilatkilat.
Tangannya memegang sebuah kotak panjang.
Orang yang kedua wajahnya seperti buah prun.
Jenggotnya panjang sampai ke pinggang. Ia
mengenakan jubah ungu. Wajahnya gagah. Tampak
seperti seorang pemimpin.
Yang ketiga adalah seorang anak berusia sepuluh
tahunan. Mukanya bundar, matanya bundar. Ia
mengenakan baju warna merah dengan leher bulu
kelinci. Seperti Anak Merah kecil yang didandani.
Selain anak ini, kedua orang yang lain tampak kuatir dan
tidak sabar. Orang berwajah seram itu memegang kotak dan
membungkuk ke arah Bwe-toasiansing. Katanya,
143 "Lukisan ini dibeli oleh majikanku seharga 1000 tail
emas. Telah diselidiki keasliannya. Bukalah."
Mata Bwe-toasiansing memang tidak pernah lepas dari
kotak itu. Namun sahutnya, "Tidak mungkin kau
menghadiahkannya kepadaku dengan cuma-cuma. Apa
yang kau inginkan?" Orang itu tersenyum. "Kami hanya ingin tahu di mana
Bwe-jisiansing berada."
Bwe-toasiansing langsung bernafas lega, katanya,
"Mudah saja." Segera disambarnya kotak itu dari tangan orang itu.
Teriaknya, "Loji, keluarlah. Ada yang ingin bertemu."
Bwe-jisiansing menghela nafas, menggelengkan kepala
kesal. "Kurang ajar. Setelah kau dapatkan lukisan, kau
tak peduli pada adikmu sendiri."
Orang tua berjubah ungu dan orang berwajah seram itu
langsung melihat Bwe-jisiansing. Wajah keduanya
tampak gembira. Hanya anak kecil itu yang menggelenggelengkan
kepalanya, lalu bertanya, "Lihatlah orang ini.
Apakah dia kelihatan seperti orang yang bisa
menyembuhkan?" Sahut Bwe-jisiansing, "Aku tak bisa menyembuhkan
orang yang sakit parah, tapi aku takkan membunuh
orang yang sakit ringan. Aku ada di tengah-tengah."
144 Orang tua berjubah ungu itu kuatir anak itu akan salah
bicara lagi, sehingga cepat-cepat dikatakannya, "Telah
lama kudengar bahwa kau memiliki "tangan yang bisa
menghadirkan musim semi". Jadi aku datang, berharap
bisa membawamu pergi sebentar. Berapa banyak uang
yang kau minta, aku dapat membayarnya di muka."
Bwe-jisiansing tertawa. "Sepertinya kau sudah paham
dengan kebiasaanku. Tidakkah kau takut aku akan
melarikan diri?" Orang tua berjubah ungu terdiam, seakan-akan hendak
berkata bahwa Bwe-jisiansing tidak mungkin dapat
melarikan diri. Orang yang pendek itu pun kemudian memaksakan diri
tertawa, dan berkata, "Jika Bwe-jisiansing bersedia pergi,
kami akan memberikan lebih daripada sekedar emas dan
perak." Bwe-jisiansing melanjutkan lagi, "Selain pembayaran,
tahukah kau bahwa aku punya kebiasaan lain" Perampok
tak akan kurawat. Pencuri tak akan kesembuhkan."
Orang pendek itu tersenyum sambil berkata, "Cayhe
adalah Pah Eng. Walaupun aku bukan siapa-siapa, orang
ini, Cin Hau-gi, Cin-loyacu cukup terkenal dalam dunia
persilatan. Pasti Bwe-jisiansing pernah mendengar
tentang dia." Sahut Bwe-jisiansing sambil memandang orang berjubah
ungu itu, "Cin Hau-gi" Engkau adalah "Si Semangat Baja
Terbentang ke Delapan Arah" Cin Hau-gi?"
145 Sahut Pah Eng, "Benar. Ia adalah majikanku."
Bwe-jisiansing menganggukkan kepalanya, katanya,
"Kelihatannya kau cukup bonafid. Baiklah. Datang
beberapa hari lagi, dan mungkin aku akan pergi
denganmu. Sebelum ia selesai bicara, Anak Merah itu telah
melompat, dan berteriak, "Orang ini sombong betul. Hei,
kenapa kita harus membuang-buang waktu berbicara
dengan dia" Kita tangkap saja, masalah selesai."
Pah Eng menarik baju anak ini, dan memaksakan untuk
tersenyum. "Jika penyakitnya tidak kritis, tidak apalah
menunggu beberapa hari. Tapi kita tidak dapat
menunggu bahkan beberapa jam saja."
Sahut Bwe-jisiansing, "Jadi pasienmu penting, dan
pasienku tidak penting?"
Kata Pah Eng, "Maksud Bwe-jisiansing, kau punya pasien
di sini?" "Betul sekali. Sebelum aku memulihkannya aku tak bisa
pergi." Pah Eng berkata terbata-bata, "Ta..tapi pasienku adalah
putra tertua Cin Hau-gi. Ia adalah murid terbaik Siau-limsi."
Sergah Bwe-jisiansing tak senang, "Lalu kenapa kalau dia
adalah putra Cin Hau-gi. Atau murid Siau-lim-si. Apakah
menurutmu dia lebih berharga daripada pasienku?"
146 Saat ini amarah Cin Hau-gi sudah meluap, tapi ia tidak
bisa berkata apa-apa. Mata Anak Merah itu berputar, lalu berkata tiba-tiba,
"Bagaimana jika pasienmu mati?"
Bwe-jisiansing tertawa dingin, "Jika dia mati, tentu saja
aku tak perlu lagi merawat dia. Sayangnya, dia tidak
mungkin mati." Ang-hai-ji (Si Anak Merah) tertawa cekikikan, katanya,
"Jangan terlalu yakin."
Secepat kilat ia lari masuk ke ruang dalam. Bahkan Sang
Kusir pun terpana. Pah Eng dan Cin Hau-gi hanya saling
pandang, namun tidak mencegah anak itu.
Setelah ada di dalam ruangan, Anak Merah itu langsung
melihat pada Li Sun-Hoan, katanya sombong, "Jadi
kaulah pasien itu." Li Sun-Hoan tersenyum. "Adik kecil, benarkah kau ingin
aku mati sekarang juga?"
Ang-hai-ji menjawab, "Betul. Jika kau mati, maka si tua
bangka itu bisa pergi merawat Cin-toako."
Selagi ia masih berbicara, tiga anak panah kecil telah
melesat dari lengan bajunya, terarah pada dahi dan
tenggorokan Li Sun-Hoan. Kecepatan dan tenaganya
kuat sekali. 147 Tak ada yang mengira bahwa anak sepuluh tahun ini
sungguh berbisa. Jika orang itu bukan Li Sun-Hoan, pasti
ia sudah tergeletak mati.
Namun Li Sun-Hoan dengan tenang melambaikan
tangannya dan menangkap ketiga panah itu. Katanya
kemudian, "Kau masih sangat muda, tapi sudah begitu
kejam. Aku tak bisa membayangkan seperti apa engkau
setelah dewasa." Ang-hai-ji tertawa dingin. "Kau pikir hanya dengan
mempertontonkan kepintaranmu menangkap panah, lalu
kau bisa mengguruiku?"
Tiba-tiba, sambil membalikkan badan, dihunusnya
sebilah pedang pendek. Dan sebelum berakhir
kalimatnya, tujuh sabetan telah menyerang Li Sun-Hoan.
Anak ini bukan hanya cepat dan gesit, ia juga sangat
berbahaya. Banyak pendekar yang lebih berpengalaman
pun tak bisa menandinginya. Ia bertempur, seolah-olah
lawannya adalah musuh bebuyutannya, dan satu-satunya
keinginannya adalah melubangi tubuh Li Sun-Hoan
dengan pedangnya." Kata Li Sun-Hoan, "Sungguh, anak ini akan tumbuh
menjadi Im Bu-tek (Tokoh Yang Maha Kejam
berikutnya." Kata Sang Kusir, "Walaupun julukan Im Bu-tek adalah Si
Pedang Darah, ia tidak pernah membunuh orang yang
tidak berdosa. Tapi anak ini"."
148 Ang-hai-ji tersenyum seperti setan kecil. "Bagaimana
dengan Im Bu-tek . Aku sudah membunuh orang sejak
umur tujuh tahun. Bagaimana dengan dia?"
Ia melihat Li Sun-Hoan masih tetap duduk di tempat
yang sama, maka diubahlah jurus-jurusnya. Semakin
dahsyat dan mematikan. Li Sun-Hoan tersenyum getir. "Betul sekali. Bahkan Im
Bu-tek pun mungkin tidak sekejam ini dalam usia
semuda engkau." Wajah Sang Kusir menjadi kelam. "Jika ia tumbuh
dewasa, ia pasti berbahaya untuk masyarakat.
Mungkin"." Ang-hai-ji telah mengeluarkan seratus jurus, namun
belum juga bisa menang. Akhirnya ia menyadari bahwa


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia telah bertemu lawan yang sangat tangguh. Ia merasa
sangat marah, sampai matanya pun menjadi merah.
Dikertakkan giginya dan katanya, "Tahukah kau siapa
orang tuaku" Jika kau lukai aku, mereka akan
mencincangmu hidup-hidup."
Li Sun-Hoan menjadi berang, katanya, "Jadi hanya kau
saja yang boleh membunuh orang, tapi mereka tidak
boleh melukaimu?" Sahut Ang-hai-ji , "Jika kau memang punya nyali, silakan
saja bunuh aku." Li Sun-Hoan merasa ragu-ragu untuk sesaat. Lalu
katanya, "Aku masih tidak ingin membunuhmu, sebab
149 engkau masih sangat muda. Dengan didikan yang baik,
engkau masih ada kesempatan menjadi orang yang baik.
Pergilah sekarang, sebelum aku berubah pikiran."
Anak Merah inipun tahu bahwa kali ini dia tidak punya
kesempatan untuk menang. Ditariknya pedangnya, lalu
bertanya, "Ilmu silatmu sungguh hebat. Siapakah
engkau" Mengapa aku belum pernah bertemu
denganmu?" Sahut Li Sun-Hoan, "Kau tanyakan Cayhe, supaya bisa
membalas dendam?" Tiba-tiba di wajah Ang-hai-ji terbayang senyum yang
sangat lugu, katanya, "Kau tidak membunuhku, mengapa
aku harus membalas dendam" Aku sungguh
menghormati engkau. Aku telah mengeluarkan seratus
tujuh jurusku, namun engkau tidak bergerak
sejengkalpun." Mata Li Sun-Hoan bercahaya, "Kau ingin belajar dariku?"
Ang-hai-ji menjadi sangat girang, tanyanya, "Benarkah
kau mau menerima aku sebagai muridmu?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Jika aku dapat membantu
orang tuamu untuk menjagamu, mungkin kau masih
punya kesempatan di kemudian hari."
Sebelum ia selesai bicara, Anak Merah ini telah berlutut
di hadapannya, katanya, "Didiklah aku, dan terimalah
sembah sujud murid."
150 Waktu kata "murid" diucapkannya, tiga kilat sinar melesat
dari belakang bajunya. Tubuh anak ini penuh senjata rahasia.
Li Sun-Hoan terkejut setengah mati. Jika ia belum
berpengalaman, dan jika gerak refleksnya tidak secepat
kilat, ia pasti sudah mati di tangan anak ini.
Ang-hai-ji , waktu melihat Li Sun-Hoan belum mati juga,
segera bangkit, dan berteriak, "Kau pikir kau ini siapa"
Berani-beraninya kau hendak mendidikku menggantikan
orang tuaku. Kau pikir kau pantas jadi guruku?"
Wajah Sang Kusir menjadi sedingin es dan berkata,
"Seseorang yang punya hati berbisa seperti ini, tidak
pantas hidup." Li Sun-Hoan menghela nafas. Diputarnya telapak
tangannya dan dihempaskannya ke depan.
Cin Hau-gi dan Pah Eng tahu bahwa Ang-hai-ji masuk ke
dalam untuk membunuh orang. Namun seincipun mereka
tidak bergerak. Bwe-toasiansing melamun memandangi lukisan barunya.
Tak peduli apapun yang sedang terjadi di dunia.
Sebaliknya Bwe-jisiansing bertanya, "Anak yang kalian
bawa, saat ini sedang berusaha membunuh orang. Dan
kalian diam saja?" 151 Pah Eng mengangkat tangannya dan tersenyum. "Jujur
saja, walaupun kami mau, kami tak dapat
mencegahnya." Bwe-jisiansing tersenyum dingin, "Namun kalau dialah
terbunuh hari ini, pedulikah engkau?"
Pah Eng tidak menjawab, namun tetap tersenyum.
Kata Bwe-jisiansing, "Melihat ekspresimu, aku tahu
bahwa dalam pandanganmu ilmu silatnya cukup tinggi.
Jadi hanya dialah yang dapat membunuh orang. Orang
lain takkan sanggup membunuhnya, bukan?"
Pah Eng hanya dapat menahan tawanya. "Jujur saja,
ilmu silatnya memang hebat. Banyak pesilat tangguh
telah mati di tangannya. Dan lagi, ia punya ayah dan ibu
yang hebat. Walaupun banyak orang telah dirugikan,
mereka tak dapat berbuat apa-apa."
"Jadi orang tuanya tidak mau mengaturnya?"
"Untuk anak sepandai ini, orang tua sebaiknya tidak
mengekang terlalu keras."
Sahut Bwe-jisiansing, "Kau benar. Waktu orang tuanya
melihat dia membunuh orang, mereka mungkin
menegurnya di depan orang-orang. Namun dalam lubuk
hati mereka, mereka lebih bahagia dari siapapun juga.
Sayangnya, hari ini ia bertemu dengan pasienku. Hari ini
hari sialnya." 152 Lanjut Bwe-jisiansing, "Pasienku hanya perlu
mengibaskan tangannya, dan nyawa anak itupun akan
melayang." Pah Eng tertawa. "Hanya mengibaskan tangannya untuk
membunuh dia" Aku rasa tidak mungkin. Maksudmu,
pasien itu adalah Li Tamhoa, Si Pisau Terbang pencabut
nyawa, yang tak pernah luput?"
Bwe-jisiansing mendesah. "Jujur saja, pasienku ini
memang Li Sun-Hoan."
Waktu didengarnya kalimat ini, wajah Pah Eng langsung
pucat pasi. Dia tertawa kering. "Mengapa kau".
bercanda seperti ini?"
Sahut Bwe-jisiansing, "Jika kau tidak percaya, lihat saja
sendiri." Pah Eng segera merangsak ke dalam sambil berteriak,
"Li-tayhiap, Li Tamhoa, sayangkanlah nyawanya!"
Bwe-jisiansing mengeluh. "Orang-orang yang mengaku
gagah ternyata kosong melompong. Hanya hidup anakanaknya
sendiri yang dianggap berharga. Hidup orang
lain tak ada artinya. Hanya mereka yang boleh
membunuh. Orang lain tak boleh menyentuh mereka."
Di wajah Cin Hau-gi yang tegang tiba-tiba terbentuk
seulas senyuman. 153 Ia berusaha keras untuk menahan senyumnya. Malahan
berkata, "Jika Li Sun-Hoan berani membunuh anak itu, ia
akan menyesal seumur hidup."
Waktu telapak tangan Li Sun-Hoan maju, tidak tampak
adanya gerakan yang aneh.
Walaupun Ang-hai-ji masih kecil, ia sudah
berpengalaman. Ia melihat telapak tangan itu, namun
tidak menghindar atau menangkis. Ia pikir, lawan hanya
berusaha mengalihkan perhatiannya, dan jurus yang
mematikan akan datang sesudahnya. Ia hanya terus
menyabetkan pedangnya. Telapak tangan itu tidak mengandung jurus, namun
pedang dapat berubah arah sewaktu-waktu. Walaupun
telapak tangan Li Sun-Hoan dapat memukul anak itu,
pedang anak itu pun dapat melukai Li Sun-Hoan.
Jurus-jurus pedangnya sungguh hebat. Hanya sedikit
pesilat saja yang mampu menandingi kecepatannya,
tenaganya, ketepatannya, dan perhitungannya. Bukan
gurunya yang hebat. Anak ini memang mempunyai bakat
alami. Tapi sayang, kali ini ia berhadapan dengan Li Sun-Hoan.
Walaupun telapak tangannya tidak mengandung jurus,
gerakan sangat sangat cepat. Kecepatannya tak
terbayangkan. Jadi berapa banyak gerak tipu yang dikuasai Ang-hai-ji ,
ia takkan sempat menggunakannya. Sebelum pedangnya
154 mengenai Li Sun-Hoan, telapak tangannya telah
memukul dada anak itu. Namun Ang-hai-ji tidak merasa sakit. Ia hanya merasa
suatu sensasi yang aneh menjalar ke sekujur tubuhnya.
Rasanya seperti sehabis minum arak hangat.
Pada saat yang sama, seseorang menubruk masuk
sambil berteriak, "Li-tayhiap. Sayangkanlah nyawanya!"
Namun Ang-hai-ji telah telentang di tanah. Seakan-akan
baru bangun dari tidur. Badannya terasa lemah sekali,
dan ia tidak bisa bergerak.
Tanya Pah Eng kuatir, "Siauya Hun, engkau baik-baik
saja?" Ang-hai-ji menyadari ada sesuatu yang salah. Matanya
merah. "Sep" sepertinya aku telah dilukai dengan dalam
oleh orang ini. Cepat. Beritahu ayahku untuk datang
membalas dendam." Lalu ia pun menangis meraung-raung.
Pah Eng tak tahu apa yang harus dilakukannya. Keringat
bercucuran dari dahinya. Sang Kusir berkata dingin. "Kungfu anak ini telah
dimusnahkan, namun setidaknya ia tetap hidup. Itu
hanya karena Siauyaku sungguh welas asih. Jika itu
aku".." Pah Eng pura-pura tidak mendengar.
155 "Jika kau ingin membalas dendam, silakan saja."
Pah Eng diam saja. Lalu ia berlutut di depan Li Sun-
Hoan. Li Sun-Hoan terperangah, tanyanya, "Apa hubunganmu
dengan anak ini?" Sahut Pah Eng, "Cayhe Pah Eng. Li Tamhoa pasti tidak
mengenal aku. Namun aku mengenal Li Tamhoa."
Kata Li Sun-Hoan, "Bagus. Jika orang tua anak ini ingin
membalas dendam, beri tahu mereka untuk mencariku."
Ang-hai-ji terus menangis meraung-raung, dan
berteriak-teriak, "Kau jahat sekali! Berani-beraninya kau
musnahkan kungfuku. Aku tidak mau hidup lagi" tidak
mau hidup lagi." Sang Kusir membentaknya, "Ini pengajaran bagimu
untuk tidak menyakiti orang lain. Jika kau mengerti, kau
mungkin dapat hidup lebih lama. Kalau tidak, kau akan
segera mati." Lalu terdengar seseorang berkata, "Kalau begitu,
mengapa Li Tamhoa yang berdarah dingin belum mati
juga?" "Siapa itu?" Seorang tua berjubah ungu masuk. "Sudah sepuluh
tahun. Li Tamhoa tidak mengenaliku lagi?"
156 Li Sun-Hoan tersenyum, sahutnya, "Oh, Si Semangat
Baja Terbentang ke Delapan Arah, Cin-loyacu. Tak heran
anak ini dapat membunuh tanpa ragu-ragu. Bersama
denganmu, siapa yang tak dapat dibunuhnya?"
Cin Hau-gi menjawab dingin, "Kurasa orang yang
kubunuh tak sampai setengah dari yang Li-heng (saudara
Li) bunuh." Kata Li Sun-Hoan, "Cin-loyacu tak perlu merendah.
Hanya saja, jika aku membunuh, itu karena aku adalah
pembunuh berdarah dingin. Jika kau membunuh, itu
demi keadilan dunia!"
Ia menjengek dan lanjutnya, "Jika anak ini berhasil
membunuhku, kabar yang tersiar pasti adalah bahwa dia
membunuh bukan karena berebut tabib, tapi karena dia
dan Cin-tayhiap bahu-membahu memberantas kejahatan.
Begitu kan?" Walaupun Cin Hau-gi telah berpengalaman dan tahu
bagaimana menjaga raut wajahnya tetap tenang, tak
urung warna merah merayapi selebar wajahnya.
Ang-hai-ji yang tadinya mendengarkan dengan seksama,
kini mulai meraung-raung lagi, "Paman Cin. Mengapa tak
kau bunuh dia untuk membalaskan dendamku?"
Cin Hau-gi tersenyum dingin. "Jika orang lainlah yang
melukaimu, pasti dendammu akan dibalaskan. Tapi
karena orang inilah yang melukaimu, kau takkan bisa
berbuat apa-apa." 157 Kata Ang-hai-ji , "Ke"kenapa?"
Cin Hau-gi memandang Li Sun-Hoan, lalu bertanya pada
anak itu, "Tahukah kau siapa dia?"
Ang-hai-ji menggelengkan kepalanya dan berkata keras,
"Aku hanya tahu dia adalah seorang penjahat kejam!"
Seulas senyum keji terbayang di wajah Cin Hau-gi. "Dia
adalah "Si Pisau Kilat" yang terkenal di seluruh dunia, Li
Sun-Hoan. Dia dan ayahmu adalah saudara angkat
sehidup semati!" Waktu mendengar kata-kata ini Ang-hai-ji sangat
terkejut, namun Li Sun-Hoan merasa hampir pingsan.
"Siapa ayahnya?"
Pah Eng mendesah, katanya, "Ia adalah Liong Siau-in,
anak tertua Liong-siya, Liong Siau-hun!"
[Penulisan nama ayah dan anak dalam huruf romawi
sama persis. Untuk selanjutnya, untuk ayahnya akan
ditulis sebagai Liong Siau-hun, dan untuk anaknya Liong
Siau-in] Saat itu, nyawa Li Sun-Hoan seperti terbang
meninggalkan raganya. Matanya berkejap-kejap, dan air
mata pun mengalir. Ekspresi Sang Kusir pun berubah. Keringat mulai
membasahi dahinya. 158 Ia tahu benar tentang hubungan Li Sun-Hoan dengan
pasangan Liong Siau-hun dan Lim Si-im. Sekaranga ia
melukai putra mereka. Dapat dibayangkannya betapa
hancur hati Li Sun-Hoan. Kata Pah Eng, "Aku tak menyangka akan jadi seperti ini.
Semuanya berawal ketika putra Cin-loyacu hendak
menangkap Bwe-hoa-cat (Bandit Bunga Sakura).
Sayangnya ia terluka dalam pertempuran itu. Dengan
obat-obatan kami yang terbaik, kami berhasil
menyelamatkan nyawanya. Namun ia perlu pertolongan
lebih lanjut untuk terus hidup. Kami tahu bahwa Si Tabib


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sakti Bwe-jisiansing adalah ahli menyembuhkan luka
nomor satu di dunia, terlebih khusus luka akibat senjata
rahasia. Oleh sebab itulah kami datang. Siapa sangka
malah jadi begini." Ia bicara pada dirinya sendiri, tak ada yang
mendengarkan. Bwe-jisiansing juga dapat merasakan kepdihan pada
wajah Li Sun-Hoan. Ia memeriksa luka Ang-hai-ji , lalu
bangkit berdiri. "Anak ini tak kurang suatu apapun. Ia
dapat melakukan apa saja, sama seperti orang lain."
"Bagaimana dengan ilmu silatnya?"
Sahut Bwe-jisiansing dingin, "Mengapa dia perlu ilmu
silat" Masih ingin membunuh lagi?"
Kata Pah Eng, "Bwe-jisiansing, kau tidak paham. Liongsiya
hanya punya satu putra, dan ia sangat berbakat
dalam ilmu silat. Pasangan itu menaruh harapan yang
159 begitu besar padanya. Berharap ia akan dapat membawa
kehormatan bagi keluarganya. Jika mereka tahu, ia tidak
bisa lagi belajar ilmu silat, betapa sedihnya hati mereka."
Bwe-jisiansing tertawa dingin, "Kau hanya bisa
menyalahkan pendidikannya yang sangat jelek.
Membiarkan putra mereka menjadi begini kejam. Itu
bukan salah orang lain!"
Li Sun-Hoan tidak menangkap satu pun kata percakapan
ini. Entah mengapa, ia tiba-tiba tenggelam ke masa lalu.
Begitu banyak kenangan lama, yang tidak seharusnya
dibangunkan, bermunculan satu per satu.
Ia ingat hari itu adalah hari ketujuh di tahun yang baru.
Ia mempunyai sedikit urusan penting, sehingga ia harus
pergi dari rumah sebelum perayaan tahun baru selesai.
Hari itu, juga turun salju. Lim Si-im memasak masakan
yang khusus. Ia pun duduk menemani Li Sun-Hoan
minum arak dan menikmati salju yang turun.
Lim Si-im tumbuh dewasa di rumahnya. Ayahnya adalah
saudara laki-laki istri muda ayah Li Sun-Hoan. Sebelum
mereka meninggal, mereka telah membicarakan tentang
pernikahan anak-anak mereka.
Akan tetapi Li Sun-Hoan dan Lim Si-im tidaklah seperti
anak-anak orang kaya pada umumnya, yang suka
menjaga jarak. Mereka bukan hanya sepasang kekasih,
mereka adalah sahabat karib.
160 Walaupun sepuluh tahun telah berlalu, Li Sun-Hoan
mengingat hari itu bagai hari kemarin saja.
Hari itu bunga Bwe mekar sangat indah. Namun senyum
Lim Si-im yang sudah setengah mabuk jauh lebih indah
daripada bunga Bwe. Hatinya yang lugu dipenuhi dengan
sukacita dan kebahagiaan.
Namun". tragedi menunggu di depan pintu.
Dalam perjalanan, musuh-musuhnya berkomplot dengan
preman-preman lokal untuk membunuh dia. Walaupun
sembilan belas orang dapat dibunuhnya, ia pun terluka.
Mereka menangkapnya dan memasukkannya ke dalam
kurungan. Saat itulah Liong Siau-hun tiba.
Dengan tombak perak dirusaknya kurungan itu, sehingga
nyawa Li Sun-Hoan selamat. Lalu dirawatnya luka-luka Li
Sun-Hoan dengan sabar, sampai sembuh betul. Lalu
diantarnya Li Sun-Hoan pulang.
Sejak saat itulah mereka menjadi sahabat karib.
Namun tidak berapa lama kemudian, Liong Siau-hun
jatuh sakit. Orang yang kuat seperti dia, sakit parah
dalam setengah bulan saja, tubuhnya menjadi sangat
kurus. Setelah ia bertanya berkali-kali, baru Li Sun-Hoan tahu
bahwa penyakit Liong Xiau Yun disebabkan oleh Lim Siim.
Ia telah jatuh cinta, sampai hampir jadi gila.
161 Ia tidak tahu bahwa Lim Si-im adalah tunangan Li Sun-
Hoan. Oleh sebab itu, ia minta izin pada Li Sun-Hoan
untuk boleh menikah dengan "sepupunya". Ia berjanji, ia
akan menjaganya sepenuh hati.
Bagaimana Li Sun-Hoan harus menjawabnya"
Namun bagaimana mungkin ia hanya berpangku tangan
melihat penoLiongnya, sahabat karibnya, mati perlahanlahan"
Di lain pihak, tidak mungkin ia bisa membujuk Lim Si-im
untuk menikah dengan orang lain. Ia tidak mungkin mau.
Hatinya menjadi penuh duka cita, penuh kontradiksi. Ia
hanya dapat menemukan sedikit ketenangan dalam arak.
Setelah lima hari lima malam minum, akhirnya ia
mengambil keputusan bulat. Keputusan yang paling pahit
seumur hidupnya. Ia memutuskan untuk membiarkan Lim Si-im
meninggalkannya. Ia harus memberikan jalan bagi Lim Si-im dan Liong
Siau-hun untuk bertemu. Ia mulai hidup tidak karuan. Walaupun Lim Si-im
membujuknya untuk berubah, ia hanya tertawa saja.
Bahkan membawa dua pelacur terkenal pulang ke
rumah. Setelah dua tahun, hati Lim Si-im akhirnya hancur luluh.
Seluruh impiannya hancur berantakan.
162 Rencana Li Sun-Hoan telah berhasil. Namun
kemenangannya dipenuhi dengan kesedihan, dan rasa
sakit bukan kepalang. Bagaimana mungkin dia dapat
terus berada di sana dan terus melihat bunga Bwe itu"
Maka diberikannya seluruh rumah dan isinya sebagai
hadiah pernikahan mereka. Lalu ia pergi sendirian. Telah
diputuskannya, tak akan pernah ditemuinya Lim Si-im
lagi. Namun sekarang, ia telah melukai anak tunggal mereka.
Li Sun-Hoan menelan kenangan pahit ini, dan menelan
air matanya. Ia bangkit berdiri dan berkata, "Di mana
Liong-siya" Aku ikut engkau untuk menemuinya."
Plakat bertuliskan "Li-wan (Taman Li)" kini berganti
menjadi "Hin-hun-ceng (perkampungan Hun berjaya)".
Namun tulisan di sebelah kiri kanannya masih
terpampang. "Satu keluarga, tujuh kelulusan ujian (Cinsu)"
"Ayah anak, ketiganya menjadi Tamhoa"
Li Sun-Hoan memandangi tulisan ini, seakan-akan
seseorang menendang perutnya.
Pah Eng telah menggendong Ang-hai-ji masuk. Cin Haugi
pun menarik Bwe-jisiansing bersamanya. Namun
orang-orang di sana menatap Li Sun-Hoan.
163 Mereka semua heran mengapa orang asing ini
memandangi tempat ini begitu rupa"
Bab 8. Masa Lalu Tak Mungkin Diubah
Dulu taman ini adalah milik Li Sun-Hoan. Ia tumbuh di
sini. Masa kecilnya menyenangkan dan penuh kenangan
indah. Namun demikian, di tempat ini pulalah ia
mengantarkan kedua orang tuanya dan kakaknya ke
tempat peristirahatan mereka yang terakhir.
Siapa sangka, ia menjadi orang asing di tempat ini.
Li Sun-Hoan tersenyum. Sebuah lagu teringat olehnya,
"Lihat dia sedang membangun rumah. Lihat dia sedang
menjamu tamu. Lihat rumahnya hancur berantakan."
Ia sungguh memahami lagu ini sekarang. Memahami
pertemuan dan perpisahan dalam hidup, lagu sendu
kehidupan. Sang Kusir berkata pelan, "Siauya, mari kita masuk."
Li Sun-Hoan menarik nafas panjang, tertawa getir, dan
berkata, "Karena kita sudah ada di sini, cepat atau
lambat kita harus masuk, bukan?"
Baru saja kakinya melangkah masuk ke pintu depan,
seorang laki-laki tiba-tiba berteriak kasar, "Siapa kau"
Berani-beraninya kau masuk ke rumah Liong-siya!"
164 Seseorang dengan wajah burik, mengenakan mantel bulu
domba, dan tangannya memegang sangkar burung,
datang dan menghalangi langkah Li Sun-Hoan.
Kata Li Sun-Hoan, "Kau adalah"."
Si wajah burik berkacak pinggang dan menjawab galak,
"Aku adalah Koankeh pengurus rumah tangga di sini.
Anak gadisku adalah adik angkat Nyonya Liong. Apa
maumu?" Sahut Li Sun-Hoan, "Mmmm". kalau begitu, aku
menunggu di sini saja."
Si wajah burik tertawa dingin dan berkata, "Kau tak
boleh menunggu di sini. Kau pikir pintu depan rumah
Tuan Liong ini tempat nongkrong?"
Sang Kusir sangat geram, namun ia berusaha keras
menahan diri. Lalu si wajah burik berteriak lagi, "Aku suruh kalian
pergi! Apakah kalian berlagak tuli?"
Li Sun-Hoan masih dapat menahan geramnya, namun
Sang Kusir tak tahan lagi.
Baru saja hendak dihajarnya orang burik itu, terdengar
suara tergesa-gesa dari dalam, "Sun-huan, Sun-huan,
benarkah kau yang datang?"
Seorang laki-laki setengah umur yang gagah dan
berpakaian indah keluar, wajahnya penuh dengan
165 kegembiraan dan harapan. Segera setelah dilihatnya Li
Sun-Hoan, ia memeluk Li Sun-Hoan erat-erat, katanya,
"Aku benar. Betul-betul kau".betul-betul kau"."
Bahkan sebelum selesai berbicara, air matanya telah
berLimang-Limang. Bagaimana mungkin Li Sun-Hoan tidak mempunyai
perasaan yang serupa, katanya, "Toako?"
Si wajah burik hanya bisa melongo dan berdiri di situ
seperti orang tolol. Liong Siau-hun terus-menerus berkata, "Toako, aku
selalu ingat padamu selama bertahun-tahun ini" ingat
padamu"." Diucapkannya kalimat ini berulang-ulang, dan akhirnya ia
tertawa dan berkata, "Kita saudara angkat bertemu
kembali adalah peristiwa yang bahagia. Mengapa kita
malah menangis seperti nenek-nenek?"
Ia terus tertawa-tawa dan mengajak Li Sun-Hoan masuk.
Lalu ia berseru, "Panggilkan Nyonya. Semua orang
kemari. Mari kuperkenalkan dengan saudara angkatku.
Kau tahu siapa dia" Hehehe" aku jamin kalian pasti
kaget." Sang Kusir memandang mereka, di matanya air mata
sudah mengambang. Hatinya terasa masam, tak tahu
apakah ini kebahagiaan, atau kesedihan.
Baru sekarang si wajah burik bernafas lagi. Sambil
dipukul-pukulnya kepalanya ia berkata, "Mati aku, ia
166 adalah Li". Li Tamhoa. Katanya rumah ini adalah
hadiahnya kepada Tuan dan Nyonya. Tapi aku malah
menghalangi dia masuk. A"aku pantas mati."
Ang-hai-ji , Liong Siau-in, duduk di sofa besar di ruang
keluarga, dikelilingi beberapa orang. Ia tahu sekarang
bagaimana hubungan Li Sun-Hoan dengan ayahnya,
sehingga ia jadi merasa sangat takut. Bahkan untuk
menangis pun tidak berani.
Namun pada saat Liong Siau-hun membawa masuk Li
Sun-Hoan, dua orang yang berdiri dekat Liong Siau-in
segera maju. Sambil menuding Li Sun-Hoan, seorang
berkata, "Apakah kau yang melukai In-siauya?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Benar."
Orang itu berkata lagi, "Bagus. Kau memang punya
nyali." Dua orang, satu dari kiri dan satu dari kanan menyerang
Li Sun-Hoan bersamaan. Li Sun-Hoan tidak bergerak sama sekali, namun Liong
Siau-hun menyorongkan telapak tangannya dan
menendang sambil melompat, menyelesaikan kedua
penyerang itu. Dengan marah ia berteriak, "Beraniberaninya
kau menyerang dia! Kalian berdua memang
punya nyali. Tahukah kalian siapa dia?"
Kedua penjilat ini tak menyangka bahwa perbuatan
mereka menjadi senjata makan tuan.
167 Salah seorang berkata tergagap, "Ka..kami hanya
berusaha membantu Siauya?"
Liong Siau-hun berkata dengan penuh wibawa, "Apa
maksud kalian" Putra Liong Siau-hun adalah putra Li
Sun-Hoan. Ia berhak mendidik anak itu. Jika ia
mengambil nyawa setan kecil itu pun, bukan masalah
bagiku." Tambahnya lagi, "Mulai saat ini, masalh ini tak perlu
diungkit-ungkit lagi. Siapa yang berani mengungkitnya,
berarti dengan sengaja mencari permusuhan dengan
aku!" Li Sun-Hoan berdiri mematung, tak tahu harus merasa
apa. Jika Liong Siau-hun memaki-maki dia, atau memutuskan
persaudaraan mereka, mungkin ia malah merasa lebih
lega. Namun sebaliknya, Liong Siau-hun menilai
hubungan mereka sangat berharga, membuat Li Sun-
Hoan semakin merasa bersalah dan tertekan. "Toako,
aku tak menyangka"."
Liong Siau-hun menepuk pundaknya, dan berkata sambil
tersenyum, "Toako, sejak kapan kau jadi pemalu" Anak
berandalan ini terlalu dimanja oleh ibunya. Tidak
seharusnya aku mengajari dia kungfu."
Lanjutnya, "Ayo, ayo. Ambilkan arak kemari. Siapa yang
dapat membuat kami bersaudara mabuk akan kuberi 500
tail perak." 168 Ketika ia bicara tentang uang itu, siapakah dalam
ruangan itu yang tidak menjadi rakus" Semua orang
segera berlomba-lomba menyulangi mereka.


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar suara berkata, "Nyonya telah tiba."
Akhirnya Li Sun-Hoan berjumpa lagi dengan Lim Si-im.
Walaupun Lim Si-im bukan wanita sempurna,
kecantikannya pun tak dapat disangkal. Wajahnya pucat,
tubuhnya kurus, dan matanya, walaupun sangat cerah,
tapi pandangannya dingin. Namun perilakunya,
keanggunannya, tak ada bandingannya.
Apapun yang terjadi, ia dapat membuat kehadirannya
dirasakan orang. Siapapun yang berjumpa dengannya,
takkan dapat melupakannya.
Wajah ini telah hadir dalam benak Li Sun-Hoan ribuan
kali. Namun setiap kali selalu tampak sangat, sangat
jauh. Setiap kali Li Sun-Hoan akan memeluknya, ia selalu
bangun dari mimpinya, dengan sekujur tubuh berkeringat
dingin. Memandangi malam yang kelam dan dingin,
menunggu datangnya fajar dengan hati perih. Namun
setelah pagi tiba pun, ia tetap merasa hancur, tetap
kesepian. Kini wanita dalam mimpinya berada di depan matanya.
Namun kenyataan kadang-kadang lebih kejam daripada
angan-angan. Dalam kenyataan, ia tidak punya pilihan
untuk melarikan diri. Ia hanya bisa menggunakan
169 senyum untuk menyembunyikan perasaan yang
sesungguhnya. Ia memaksakan diri untuk tersenyum,
sapanya, "Toaso (Kakak ipar), apa kabar?"
"Toaso". Wanita impiannya kini telah menjadi Toasonya. Sang
Kusir memaLingkan wajahnya, tak kuasa melihat lebih
jauh. Karena hanya dia seoranglah yang tahu bagaimana
menyakitkannya bagi Li Sun-Hoan untuk memanggilnya
"Toaso". Jika ia ada di tempat Li Sun-Hoan, ia tidak yakin ia
mampu mengucapkannya. Ia tidak tahu, sanggupkah ia
menerima kenyataan sepahit itu.
Jika ia tidak memaLingkan wajahnya, air matanya pasti
sudah berLimang-Limang. Namun, Lim Si-im sepertinya tidak mendengar
sapaannya. Kesedihannya tertumpah seluruhnya pada putranya.
Waktu anak ini melihat ibunya, segera ia berlari ke
pelukannya, lalu kembali menangis meraung-raung, "Aku
tidak bisa lagi belajar kungfu, aku sudah cacad. A"Aku
tak mau hidup lagi!"
Lim Si-im memeluknya erat-erat, tanyanya, "Siapa yang
melukaimu?" Ang-hai-ji menjawab cepat, "DIA!"
170 Kepala Lim Si-im berputar ke arah yang ditunjuk oleh
putranya, dan matanya bertemu dengan wajah Li Sun-
Hoan. Ia menatap Li Sun-Hoan, seakan-akan menatap seorang
asing. Sedikit demi sedikit kebencian merebak di
matanya. Ia berkata sekata demi sekata, "Kau".
Benarkah kau yang melukainya?"
Li Sun-Hoan hanya dapat mengangguk cepat.
Tidak tahu tenaga dari mana yang menahan dia tetap
berdiri. Lututnya terasa sangat lemas.
Lim Si-im terus menatapnya tanpa berkedip, lalu katanya
sambil menggigit bibirnya, "Bagus. Bagus sekali. Aku
sudah tahu sejak lama bahwa kau takkan membiarkan
aku hidup dengan tenang. Kau bahkan mengambil
secercah kebahagiaanku yang terakhir. Kau"."
Liong Siau-hun memotong kata-katanya, "Kau tak boleh
berbicara seperti itu padanya. Ini bukan kesalahannya.
Semuanya karena Anak In suka mencari masalah.
Sekarang ia bisa berhenti berbuat onar. Dan lagi, pada
saat itu ia tidak tahu bahwa anak itu adalah putra kita."
Ang-hai-ji berteriak, "Dia tahu! Dia sudah tahu. Pada
awalnya dia tak sanggup melukai aku. Tapi waktu aku
dengar bahwa dia adalah sahabat ayah, aku berhenti.
Tapi dia malah mengambil kesempatan dan melukai
aku." 171 Tubuh Sang Kusir hampir meledak mendengar ucapan
anak ini, namun Li Sun-Hoan hanya berdiri terdiam,
bahkan tidak berusaha membela diri.
Ia telah melewati lembah tergelap dalam hidupnya. Buat
apa berdebat dengan anak kecil"
Namun Liong Siau-hun membentak, "Anak kurang ajar,
masih berani kau berbohong!"
Ang-hai-ji hanya menangis terus sambil berkata, "Aku
tidak bohong, Bu. Sungguh aku tidak bohong!"
Liong Siau-hun dengan marah hendak menarik anak itu,
tapi Lim Si-im menghalanginya, dan bertanya keras, "Kau
mau apa?" Liong Siau-hun menghentakkan kakinya, sahutnya, "Anak
setan ini sungguh terlalu liar. Aku akan membuatnya
cacad sekarang, supaya ia tidak lagi membuat
keributan!" Wajah Lim Si-im yang pucat jadi bersemu merah, dan
berkata, "Kalau begitu silakan bunuh aku juga!"
Pandangannya tiba-tiba beralih pada Li Sun-Hoan, dan
berkata dengan seringai dingin, "Kalian adalah laki-laki
yang gagah perkasa. Pasti mudah bagi kalian berdua
untuk membunuh seorang anak kecil. Tambah satu
wanita lemah, tak akan jadi soal, bukan?"
Liong Siau-hun mengeluh panjang, katanya, "Si-im, sejak
kapan kau jadi ngaco begini?"
172 Lim Si-im tidak menggubrisnya dan segera menggendong
anaknya pergi ke kamarnya. Langkahnya ringan, namun
sudah cukup untuk meluluhlantakkan hati Li Sun-Hoan.
Liong Siau-hun menghela nafas, katanya, "Maafkanlah
dia, Sun-huan. Ia biasanya cukup mau mengerti. Namun
waktu seorang wanita menjadi seorang ibu, kadangkadang
ia jadi tidak masuk akal."
Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tahu. Demi anak, semua yang
dilakukan ibu adalah benar."
Dipaksakannya tersenyum, dan dilanjutkannya,
"Walaupun aku belum pernah jadi ibu, aku pernah jadi
anak seorang ibu." Pameo "Jika kau minum untuk mengurangi kesedihanmu,
kau malah akan merasa tambah sedih", tidaklah terlalu
tepat. Sedikit arak memang akan membuat seseorang
semakin teringat akan masa lalu, masa lalu yang pahit.
Namun jika seseorang mabuk berat, maka ia akan lupa
segalanya. Kelihatannya Li Sun-Hoan paham akan hal ini, oleh sebab
itu ia minum sedemikian rupa, seolah-olah hidupnya
bergantung pada botol arak itu.
Tidak sulit untuk menjadi mabuk. Namun seseorang yang
memiliki begitu banyak persoalan akan minum lebih
sering dan lebih banyak. Jadi waktu tiba saatnya ia ingin
mabuk, ia tidak bisa mabuk lagi.
Kini hari telah gelap. 173 Begitu banyak arak telah diminumnya, namun Li Sun-
Hoan tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda akan
mabuk. Tapi tiba-tiba ia menyadari, tidak ada seorang pun yang
mabuk. Hampir 20 orang ada di situ dan mereka telah
minum begitu lama. Namun tidak seorang pun mabuk.
Sungguh aneh. Malam telah semakin larut. Wajah setiap orang sungguh
kelam. Sepertinya mereka sedang menantikan
kedatangan seseorang. Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng. Hari sudah tengah
malam. Wajah semua orang langsung berubah. Salah satunya
berkata, "Sudah tengah malam. Mengapa Tio-toaya
belum datang juga?" Li Sun-Hoan mengangkat alisnya dan bertanya,
"Siapakah Tio-lotoa ini" Mengapa tidak ada yang minum
arak sebelum dia datang?"
Seorang dari mereka tersenyum dan berkata, "Aku tak
ingin menyembunyikan ini dari Li Tamhoa, namun
sebelum Tio-toaya tiba, kami semua tidak berani
minum." Seorang yang lain berkata, "Tio-toaya berjulukan Thi-binbu-
su (Si Wajah Besi Maha Adil), Tio Cing-ngo. Ia pun
kakak angkat Liong-siya. Apakah kau tidak tahu?"
174 Li Sun-Hoan tersenyum lebar, katanya, "Dalam sepuluh
tahun terakhir ini, kelihatannya kakak angkatku telah
menjaLim persahabatan dengan begitu banyak orang
hebat. Aku bersulang untukmu."
Wajah Liong Siau-hun menjadi merah, ia tersenyum
terpaksa dan berkata, "Toako adalah saudaramu juga.
Mari, aku pun ingin bersulang untukmu."
Kata Li Sun-Hoan, "Tidak jelek juga. Tak kusangka aku
tiba-tiba mempunyai beberapa orang kakak. Namun aku
tidak tahu apakah pahlawan-pahlawan besar ini mau
menganggap aku sebagai adik."
Liong Siau-hun terbahak-terbahak, sahutnya, "Mereka
akan gembira luar biasa. Mengapa mereka tidak
senang?" "Tapi"." Tidak jelas apa yang hendak dikatakannya, tapi tiba-tiba
ia mengganti pembicaraannya. "Tio-toaya telah lama
berjulukan Thi-bin-bu-su. Katanya ia tidak pernah
tersenyum. Jika aku bertemu dengannya, mungkin aku
takkan berselera lagi untuk minum. Tak kusangka semua
orang di sini menunggunya datang sebelum mulai
minum." Liong Siau-hun berpikir sejenak, lalu ia tersenyum,
katanya, "Bwe-hoa-cat telah muncul lagi"."
Li Sun-Hoan memotongnya dengan cepat, "Aku sudah
dengar." 175 Kata Liong Siau-hun, "Tapi tahukah kau di mana dia
berada?" Jawab Li Sun-Hoan, "Kudengar orang ini tak pernah
menetap." Liong Siau-hun menyahut cepat, "Benar. Ia bisa berada
di manapun juga. Tapi aku berani jamin, saat ini ia
sedang berada di kota ini. Malah mungkin ada dekat
rumahku." Waktu ia mengatakan hal ini, leher semua orang
langsung menciut. Api besar di tengah ruangan seakanakan
tak mampu menghalangi angin dingin dari luar.
Li Sun-Hoan bertanya, "Maksudmu ia telah muncul?"
Liong Siau-hun menjawab perlahan. "Betul. Putra tertua
Cin-samko hampir mati di tangannya dua hari yang lalu."
Li Sun-Hoan bertanya, "Siapa lagi yang dilukainya?"
Jawab Liong Siau-hun, "Aku tak tahu jawabannya.
Biasanya orang ini hanya melukai satu orang sekali
bertempur. Dan lagi, ia hanya muncul setelah tengah
malam!" Lalu lanjutnya sambil terkekeh, "Caranya
membunuh sama seperti cara seseorang minum arak. Ia
menetapkan waktunya, dan juga dosisnya."
Li Sun-Hoan ikut terkekeh, namun ia tidak tampak
tenang lagi. Tanyanya, "Bagaimana dengan semalam?"
176 Sahut Liong Siau-hun, "Semalam tak ada kejadian
apapun." Kata Li Sun-Hoan, "Kalau begitu, mungkin tujuannya
memang Cin-toasiauya. Ia tak akan muncul lagi."
Namun jawab Liong Siau-hun, "Ia akan muncul cepat
atau lambat." "Kenapa" Apakah ia punya masalah denganmu, Toako?"
Liong Siau-hun menggelengkan kepalanya, katanya,
"Tujuannya bukan Cin Tiong ataupun diriku."
"Lalu siapa?" Liong Siau-hun belum sempat menyelesaikan
jawabannya, "Tujuannya adalah Lim"."
Waktu Li Sun-Hoan mendengar kata "Lim", jawahnya
langsung berubah. Namun ternyata ia tidak menyebut
"Lim Si-im", namun "Lim Sian-ji".
Li Sun-Hoan menghela nafas lega dalam hati, ia
bertanya, "Lim Sian-ji" Siapa dia?"
Liong Siau-hun tertawa terbahak-bahak, katanya,
"Toako, jika kau tak tahu siapa Lim Sian-ji, maka engkau
sudah terlalu tua. Jika ini terjadi sepuluh atau lima belas
tahun yang lalu, mungkin kau akan lebih mengenal nama
ini dibandingkan dengan orang lain."
Li Sun-Hoan juga tertawa. "Ia pasti sangat cantik."
177 Kata Liong Siau-hun, "Ia tidak hanya cantik, ia disebut
sebagai wanita tercantik seluruh jagad persilatan. Jumlah
pahlawan muda yang jatuh cinta padanya tidak
terhitung." Kemudian ia melihat pada orang-orang yang ada di sana,
dan dengan geli berkata, "Kau pikir mereka semua ini
datang untuk aku" Jika Lim Sian-ji tidak ada di sini,
walaupun kusuguhkan makanan dan arak yang terbaik,
mungkin tak ada seorangpun yang sudi datang."
Wajah semua orang di situ bersemu merah. Namun
wajah dua orang pemuda menjadi merah padam. Liong
Siau-hun menatap mereka berdua dan katanya, "Kalian
berdua cukup beruntung. Setidaknya sekarang kalian
punya kesempatan. Jika Toako ini masih muda, kalian tak
mungkin punya secuilpun harapan."
Li Sun-Hoan pun tertawa, katanya, "Jadi kakakku
menganggap aku benar-benar tua" Tubuhku mungkin
tua, namun hatiku tetap muda."
Mata Liong Siau-hun berbinar-binar, lalu tertawa lagi.
"Benar, kau memang benar. Walaupun ia punya begitu
banyak pengagum, namun kurasa ia akan tertarik


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padamu." Sahut Li Sun-Hoan, "Sayangnya aku telah tenggelam
dalam arak sepuluh tahun ini. Teknikku sudah
ketinggalan jaman." Liong Siau-hun memegang tangannya erat-erat, katanya,
"Tapi ada suatu hal yang tidak kau sadari. Nona Lim
178 tidak hanya cantik, ia juga sangat berambisi. Ia tidak
ingin menikah dengan siapapun. Namun ia telah
mengumumkan bahwa siapa pun yang berhasil
membunuh Bwe-hoa-cat , sekalipun dia sudah tua atau
burikan, ia bersedia menjadi istrinya."
Sahut Li Sun-Hoan, "Jadi mungkin karena inilah Bwehoa-
cat bermaksud membunuh dia."
Liong Siau-hun menjawab, "Benar.Bwe-hoa-cat pergi ke
Leng-hiang-siau-tiok dua hari yang lalu untuk mencari
dia. Dia tidak menyangka bahwa Cin Tionglah yang ada
di sana, sehingga ia melukai Cin Tiong.
Mata Li Sun-Hoan bercahaya, "Jadi Cin-toasiauya juga
adalah salah satu pengagumnya?"
Liong Siau-hun terkekeh, lalu berkata, "Tadinya ia punya
kesempatan besar, namun sekarang?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Leng-hiang-siau-tiok telah
kosong sejak lama. Kini, karena wanita itu tinggal di
sana, suasananya pasti lebih hangat. Bahkan pemudapemuda
yang sedang dimabuk cinta pun datang ke
sana." Wajah Liong Siau-hun menjadi merah, katanya, "Lenghiang-
siau-tiok adalah tempat kau tinggal dulu.
Seharusnya tak kubiarkan orang lain mendiaminya.
Tapi" tapi"."
Li Sun-Hoan memotongnya cepat, "Kalau tempat itu
dapat merasakan kehadiran seorang yang cantik, itu
179 keuntungan baginya. Jika sang hutan menyadari siapa
yang ada di sana, mereka pasti akan bersuka cita.
Mereka takkan membiarkan aku meludah sembarangan
lagi di sana." "Namun apakah hubungan wanita ini denganmu, Toako?"
Liong Siau-hun terbatuk dua kali, katanya, "Ia bertemu
dengan Si-im waktu ia pergi berdoa ke kuil. Mereka
langsung cocok dan menjadi saudari angkat. Sama
seperti kau dan aku."
Kata Li Sun-Hoan, "Jadi ayahnya adalah pengurus rumah
tangga yang bertemu denganku di pintu depan?"
Liong Siau-hun tertawa, sahutnya, "Tak bisa dipercaya
bukan" Sebenarnya tak ada yang percaya orang burik itu
memiliki anak seperti dia. Ini yang namanya "Dalam
sarang gagak lahir burung api (burung phoenix)".
Lalu kata Li Sun-Hoan, "Tio-toaya sedang mengumpulkan
orang untuk melindunginya" Apakah Tio-toaya kini telah
menjadi seorang romantis?"
Liong Siau-hun seperti tidak menangkap maksud Li Sun-
Hoan, dan ia terus berkata, "Di samping hendak
melindunginya, ia juga ingin menangkap Bwe-hoa-cat .
Dan lagi, begitu banyak orang telah bersusah-payah
mengumpulkan uang untuk hadiah yang dijanjikan.
Seluruh uang itu ada di rumahku sekarang. Jika sesuatu
terjadi pada uang itu"."
180 Waktu Li Sun-Hoan mendengar, ia langsung bertanya,
"Mengapa Toako bersedia memikul beban yang begitu
berat?" Jawab Liong Siau-hun, "Seseorang harus memikulnya."
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu katanya, "Sudah lewat
tengah malam. Mungkinkah si bandit tidak akan datang
malam ini?" Ia tiba-tiba bangkit, dan katanya lagi, "Karena Tio-toaya
belum juga datang, dan tidak ada yang mau minum, aku
pikir aku akan berjalan-jalan. Mungkin aku akan
mengunjungi teman-teman lamaku, pohon-pohon Bwe."
Kata Liong Siau-hun, "Mungkin kau tak hanya akan
bertemu dengan pohon Bwe, tapi juga dengan Bwe-hoacat
." Li Sun-Hoan hanya tersenyum.
Liong Siau-hun bertanya, "Mengapa kau pergi
menghadapi bahaya sendirian?"
Li Sun-Hoan hanya terus tersenyum.
Liong Siau-hun masih memandangnya, lalu berkata
sambil tersenyum, "Baik, baiklah. Aku tahu, kalau kau
sudah ingin, tak ada orang yang dapat menahanmu. Lagi
pula, jika Bwe-hoa-cat tahu bahwa kau ada di sini, ia
pasti tidak akan berani muncul."
181 Pohon-pohon Bwe di taman masih ada. Tapi apakah yang
telah terjadi pada orang dalam taman itu"
Li Sun-Hoan duduk di sana sendirian. Dipandangnya
secercah cahaya lilin di kejauhan. Sepuluh tahun yang
lalu, rumah itu adalah miliknya. Orang-orang dalam
rumah ini adalah pelayannya.
Kini, semuanya telah berlalu. Tak dapat kembali lagi.
Hanya mimpi, dan kesendirian yang tinggal tetap.
Mimpi memang menyakitkan. Namun tanpa mimpi itu,
bagaimana bisa ia bertahan hidup"
Setelah menyeberangi jembatan di hutan pohon Bwe,
ada sebuah bilik kecil di antara pepohonan. Ini adalah
tempat Li Sun-Hoan dulu berlatih silat dan membaca
buku. Jika ia membuka jendela bilik itu, ia dapat melihat
rumah itu, dan melihat orang itu tersenyum manis
padanya. Namun kini?" Waktu cinta makin mendalam, ia menjadi dangkal. Li
Sun-Hoan menghela nafas. Dibersihkannya salju di
bahunya, dan ia mulai menyeberangi jembatan ini. Tak
ada seorang pun di sini. Ia pun tidak mendengar apaapa.
Waktu Bwe-hoa-cat beraksi adalah lewat tengah
malam. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke
sini pada saat itu. 182 Ia tidak berniat menemui Lim Sian-ji. Ia tahu, Lim Sian-ji
pun tak akan tinggal di situ lama. Ia hanya ingin melihat
bekas biliknya. Saat itulah terdengar suara tawa halus.
Seluruh tubuh Li Sun-Hoan menegang. Tubuhnya yang
biasanya malas-malasan kini penuh dengan tenaga, dan
ia segera melesat ke arah suara itu.
Suara tawa itu kedengaran seperti tawa seorang wanita.
Dan tawa yang sangat halus.
Lalu dilihatnya sekelebat bayangan putih melarikan lari di
belakangnya. Lalu sekelebat bayangan hitam datang
menyerangnya. Tubuh orang ini cukup besar, dan gerakannya cepat.
Walaupun jaraknya masih sekitar tiga meteran, Li Sun-
Hoan sudah dapat merasakan angin yang kuat dan dingin
datang menyambutnya. Li Sun-Hoan menyadari, ilmu silat orang ini aneh, tapi
sangat hebat. Bwe-hoa-cat ! Mungkinkah memang dia"
Li Sun-Hoan tidak menangkis. Jika tidak benar-benar
perlu, ia tidak pernah akan bertempur mati-matian
dengan siapapun. Ia merasa, tenaganya jauh lebih
penting dari pada tenaga orang lain.
183 Suatu ketika, seorang temannya mendesak dia untuk
bertanding tenaga dalam, namun Li Sun-Hoan terus
menolak. temannya ingin tahu alasannya.
Li Sun-Hoan hanya menjawab, "Aku kan bukan kerbau.
Kenapa aku harus bertarung seperti seekor kerbau?"
Ia menganggap ilmu silat juga adalah ilmu seni.
Gerakannya harus luwes. Jika seseorang memaksa
berduel dengan orang lain, kedua orang itu pastilah
bodoh seperti kerbau. Karena Deng Lie adalah sahabatnya, ia bisa menolak
ajakannya. Namun orang ini menginginkan kematiannya,
maka mula-mula ia harus menutup seluruh jalan Li Sun-
Hoan untuk melarikan diri.
Selain itu, kedua orang ini sedang berlari saling
mendekati. Jika Li Sun-Hoan mengelak, berarti ia sudah
kalah selangkah. Ketika musuh menyerang lagi, Li Sun-
Hoan akan benar-benar tidak bisa berkutik.
Oleh sebab itu, tiba-tiba Li Sun-Hoan mundur.
Kecepatannya berubah arah, sungguh mengagumkan.
Bahkan lebih cepat daripada ikan di air.
Namun orang berbaju hitam itu pun terus merangsak
dengan telapak tangan teracung ke arahnya.
Setelah mundur dengan kecepatan bagai kilat, tiba-tiba
tubuh Li Sun-Hoan menjadi santai. Tangannya seolahKANG
ZUSI at http://cerita-silat.co.cc/
184 olah tidak bergerak, namun pisau terbangnya telah
melesat! Orang berbaju hitam itu menjerit kesakitan. Ia
melompat, berbalik arah, dan kemudian lari masuk
kembali ke dalam hutan. Li Sun-Hoan tetap berdiri, seolah-olah merasa bosan. Ia
tidak mengejar. Sebelum berhasil keluar dari hutan, orang berbaju hitam
itu telah terjerembab. Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya dan menghela
nafas. Diikutinya tetesan darah itu, dan ditemukannya
tubuh orang itu. Tangannya sedang memegangi lehernya, darah masih
terus membanjir keluar. Pisau kecil yang berkilat itu telah
dicabut, tergeletak di samping tubuhnya.
Li Sun-Hoan memungut pisaunya, dan memperhatikan
wajah orang itu yang menggambarkan rasa sakit luar
biasa. Tanyanya, "Jikalau kau bukan Bwe-hoa-cat ,
mengapa kau menyerang aku?"
Orang ini hanya bisa mengertakkan gigi.
Li Sun-Hoan berkata, "Walaupun kau tidak mengenal
aku, aku ingat siapa engkau. Kau adalah murid tertua In
Gok. Aku bertemu denganmu sepuluh tahun yang lalu.
Aku tak pernah lupa pada orang yang pernah kutemui."
185 Orang itu berusaha sungguh-sungguh untuk berbicara.
"Ak".Aku jug"a meng"enalimu."
"Jika kau mengenaliku, mengapa kau ingin
membunuhku" Kau ingin aku tutup mulut" Bahkan jika
engkau punya janji kencan dengan seseorang di tempat
ini. Itu pun bukan rahasia yang terlalu besar, bukan?"
Orang ini ingin menjawab, tapi tidak bisa.
Li Sun-Hoan hanya bisa menggelengkan kepalanya,
katanya, "Aku tahu, kau pasti sedang berbuat sesuatu
yang kau tidak ingin orang lain tahu. Maka kau ingin
membunuhku. Mungkin pada saat itu kau tidak tahu
bahwa orang itu adalah aku."
Ia mendesah lagi sebelum melanjutkan. "Karena kau
ingin membunuhku, maka aku harus membunuhmu. Kau
memilih orang yang salah. Demikian pula aku"."
Tiba-tiba orang itu menjerit keras dan menubruk ke arah
Li Sun-Hoan. Li Sun-Hoan berdiri mematung. Sesaat sebelum telapak
tangannya menyentuh dada Li Sun-Hoan, ia terkulai,
selamanya takkan bangun lagi.
Li Sun-Hoan memandangnya cukup lama. Lalu ia
menengadah dan berkata, "Dua malam yang lalu, putra
Cin Hau-gi. Malam ini giliran murid In Gok. Sepertinya
Lim Sian-ji punya banyak waktu senggang dan punya
selera yang cukup baik pula. Kenalannya adalah anakanak
muda kenamaan. Namun adakah anak gadis yang
186 tidak bermimpi bertemu pangerannya" Apa yang dipikir
oleh pemuda-pemuda yang dimabuk cinta ini" Ini kan
bukan kejahatan. Mengapa mereka
menyembunyikannya" Apakah ada rahasia lain di balik
semua ini?" Lilin di Leng-hiang-siau-tiok masih menyala. Ada
bayangan seseorang di sana. Tampaknya seperti orang
yang pergi melarikan diri tadi. Tubuh itu sangat ramping.
Mungkinkah itu Lim Sian-ji"
Sambil berpikir, Li Sun-Hoan berjalan ke sana.
Matanya tiba-tiba berbinar, seperti sedang memikirkan
sesuatu yang sangat menarik.
Angin dingin berhembus melewati hutan itu dan salju
pun berjatuhan ke tanah. Tiba-tiba salju itu terhambur, seakan-akan digerakkan
oleh kekuatan gaib. Seseorang sedang menyerang dari
belakang. Li Sun-Hoan menegakkan tubuhnya, menyadari
sepenuhnya akan adanya tenaga pedang yang sedang
terarah padanya. Pedang itu telah menyayat sebagian jubahnya.
Di malam yang dingin ini, dalam hutan Bwe yang sepi,
ada berapa orangkah yang menginginkan nyawanya" Ia
telah berkelana selama sepuluh tahun, dan baru hari ini
pulang! 187 Mungkinkah ini penyambutan yang telah dipersiapkan
untuknya" Jika Li Sun-Hoan mengelak ke kiri, tangan kanannya pasti
buntung. Jika ia mengelak ke kanan, tangan kirinyalah
yang akan buntung. Jika ia maju, punggungnya akan
ditembus pedang. Ke manapun dia pergi, tak mungkin ia
menghindari pedang ini! Ujung pedang itu telah menembus jubahnya.
Di saat yang tepat, tubuh Li Sun-Hoan berpindah. Dapat
dirasakannya dinginnya ujung pedang itu lewat sangat
dekat dengan tubuhnya. Dalam semua pertempurannya, belum pernah ia sedekat


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini dengan kematian. Namun musuhnya lebih terkejut lagi karena serangannya
gagal. Tiba-tiba ujung pedang itu berganti arah, menukik
ke bawah ke arah Li Sun-Hoan. Tapi pada saat itu pisau
Li Sun-Hoan telah menyayat pergelangan tangannya.
Pisau ini sangat sangat cepat, tak ada yang dapat
membayangkan kecepatannya.
Orang itu terkejut luar biasa. Ia menjerit keras.
Dilepaskannya pedangnya selagi bergerak mundur.
Adakah ilmu silat yang lebih cepat daripada Pisau
Terbang Si Li Kecil"
Tiba-tiba seseorang beseru, "Toako, berhenti!"
188 Suara ini milik Liong Siau-hun.
Li Sun-Hoan berusaha menenangkan diri. Liong Siau-hun
telah masuk ke dalam hutan. Penyerang Li Sun-Hoan pun
unjuk diri. Ia adalah seorang pemuda berwajah gagah
dan berpakaian serba putih.
Liong Siau-hun segera berdiri di antara mereka berdua.
Ia bertanya, "Bagaimana kalian berdua bisa jadi
bertempur?" Mata anak muda itu bercahaya di tengah malam, seperti
mata burung hantu. Ia menatap Li Sun-Hoan dan
menyahut dingin, "Aku menemukan orang mati di dekat
hutan. Maka aku yakin bahwa orang di dalam hutan
pastilah Bwe-hoa-cat ."
Li Sun-Hoan tersenyum, "Mengapa tidak terpikir olehmu
bahwa orang mati itu adalah si bandit?"
Anak muda itu tertawa dingin, katanya, "Bagaimana
mungkin Bwe-hoa-cat mati dengan sangat mudah?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Maksudmu, Bwe-hoa-cat hanya
mungkin terbunuh oleh dirimu" Sayang sekali"."
Liong Siau-hun segera memotong sambil tertawa, "Kalian
berdua, tenanglah dulu. Ini hanya suatu
kesalahpahaman. Untung saja kami datang cepat. Kalau
tidak, mungkin akan ada yang terluka."
189 Li Sun-Hoan tersenyum sedikit, lalu diambilnya pedang
yang masih tersangkut di jubahnya. Ia memandangi
pedang itu, lalu pujinya, "Pedang yang sangat bagus!"
Ia mengembalikan pedang itu pada si anak muda, dan
berkata, "Pedangnya sangat terkenal. Pemiliknya pun
pasti terkenal. Hari ini terjadi salah paham, namun aku
gembira bisa bertemu denganmu. Tidak setiap hari
seseorang bisa bertemu dengan pedang setenar itu."
Muka anak muda itu menjadi merah padam. Setelah
diterimanya kembali, dijentiknya pedang itu dan patahlah
pedang itu menjadi dua. Li Sun-Hoan mengeluh, katanya, "Pedang yang luar
biasa. Sungguh sayang."
Anak muda itu menatap Li Sun-Hoan sambil berkata,
"Tanpa pedang itu pun aku masih bisa membunuh. Kau
tidak perlu menguatirkan aku."
Li Sun-Hoan tertawa. "Kalau saja aku tahu, lebih baik
baik kuminta pedang itu untuk ditukarkan dengan jubah
yang baru." Anak muda itu tertawa mengejek, sahutnya, "Kau tak
perlu kuatir akan hal itu juga. Jangankan satu, sepuluh
jubah pun akan kuganti."
Kata Li Sun-Hoan, "Tapi tak ada satu jubah pun seperti
milikku." "Apa sih istimewanya" Apakah warnanya khusus?"
190 Li Sun-Hoan berkata dengan wajah serius, "Bukan
warnanya. Hanya saja, jubahku ini punya mata."
Bab 9. Pertemuan Kembali Waktu anak muda itu mendengar perkataan Li Sun-Hoan,
ia berusaha tenang. Lalu ia menyeringai dan berkata,
"Sangat menarik. Perkataanmu sangat menarik.
Bagaimana sehelai jubah bisa punya mata?"
Li Sun-Hoan tersenyum dan menjawab, "Kalau jubahku
tidak punya mata, bagaimana ia dapat melihat
kedatangan pedangmu" Lalu bagaimana aku dapat
mengelak dari bokonganmu?"
Wajah anak muda itu langsung kecut, tangannya
bergetar. Liong Siau-hun terbatuk dua kali, lalu tertawa. "Kalian
berdua sungguh pandai berkelakar. Siauya dari Congkiam-
san-ceng (Istana Pedang Rahasia) tentu tidak perlu
pusing urusan pedang. Mengapa kau mempermasalahkan
tentang jubahmu?" Kata Li Sun-Hoan, "Jadi ini adalah Yu-siaucengsu."
Liong Siau-hun menjawab sambil tersenyum, "Betul. Ia
adalah putra dari putra tertua Cianpwe Cong-liong (Naga
Rahasia). Ia juga adalah murid tunggal Si Nomor Satu
Pedang Elang Salju. Kalian pasti akan sering berjumpa di
kemudian hari." 191 Mata Yu Liong-sing masih menatap Li Sun-Hoan dan
berkata dingin, "Aku tak tahu apakah itu mungkin.
Namun temanmu ini, namanya adalah?"
Sahut Liong Siau-hun, "Oh, jadi Yu-heng belum
mengenal adikku. Shenya adalah Li, namanya Li Sun-
Hoan. Di dunia ini, mungkin hanya adikku inilah yang
pantas menjadi sahabatmu."
Waktu mendengar nama itu, wajah Yu Liong-sing
berubah lagi. Dipandangnya pisau Li Sun-Hoan.
Namun Li Sun-Hoan seakan-akan mendengar
pembicaraan mereka. Benaknya sibuk berpikir, "Satu lagi
pemuda yang terkenal"." Tiba-tiba seseorang datang
dan bertanya lantang, "Siapa yang membunuh orang di
luar sana?" Orang ini cukup kekar. Suaranya menggelegar.
Ekspresinya garang. Orang ini adalah Tuan yang
Terhormat, Tio Cing-ngo. Li Sun-Hoan tersenyum, lalu katanya, "Selain aku, siapa
lagi yang dapat melakukannya?"
Mata Tio Cing-ngo menatap Li Sun-Hoan tajam, bagai
sebilah pisau. Teriaknya, "Kau" Seharusnya sudah dapat
kuduga. Ke manapun engkau pergi, bau kematian selalu
mengikutimu." Li Sun-Hoan berkata, "Jadi orang itu tidak pantas mati?"
Tio Cing-ngo bertanya, "Tahukah kau siapa dia?"
192 Sahut Li Sun-Hoan, "Sayangnya bukan Bwe-hoa-cat ."
Kata Tio Cing-ngo kemudian, "Jika kau tahu dia bukan
Bwe-hoa-cat , mengapa masih juga kau bunuh dia?"
Li Sun-Hoan menjawab dengan tenang, "Walaupun aku
tidak ingin membunuh dia, aku pun tak ingin dia
membunuhku. Apapun yang terjadi, lebih enak
membunuh daripada terbunuh."
Tio Cing-ngo bertanya lagi, "Jadi dialah yang ingin
membunuhmu lebih dulu?"
"Ya." "Kenapa?" Sahut Li Sun-Hoan, "Aku juga ingin tahu. Tapi waktu
kutanya, dia tidak menjawab."
Tio Cing-ngo terus mengejar, "Mengapa tak kau biarkan
dia hidup?" Kata Li Sun-Hoan, "Aku pun ingin dia tetap hidup. Tapi
apa daya, sekali pisau itu lepas dari tanganku, aku tak
bisa menjamin hidup mati musuhku."
Tio Cing-ngo menghentakkan kakinya dan berkata
dengan kesal, "Kau sudah pergi, mengapa engkau
kembali lagi?" Li Sun-Hoan tersenyum, jawabnya, "Karena aku begitu
merindukanmu, Tio-toaya."
193 Tio Cing-ngo sangat marah, sampai mukanya menjadi
kuning. Ia mengacungkan telunjuknya pada Liong Siauhun
dan berteriak, "Bagus sekali. Masalah ini disebabkan
oleh adikmu yang pandai itu. Tidak ada orang lain yang
bertanggung jawab." Liong Siau-hun hanya bisa tersenyum, katanya, "Sabar
dulu, Toako. Mari kita bicarakan baik-baik."
Sahut Tio Cing-ngo kasar, "Apa lagi yang mau
dibicarakan" Sudah cukup sulit kita harus berhadapan
dengan Bwe-hoa-cat . Sekarang kita pun harus
berhadapan dengan Si Setan Hijau, In Gok, pula."
Li Sun-Hoan tertawa dingin, katanya, "Betul. Aku telah
membunuh murid In Gok, Ku Tok. Segera setelah dia
tahu, dia pasti akan datang untuk membalas dendam.
Tapi dia hanya akan mencari aku. Mengapa Tio-toaya
jadi kuatir?" Tiba-tiba Liong Siau-hun menyela, "Ku Tok datang
setelah lewat tengah malam. Ia pasti punya maksud
yang kurang baik. Toako, kau tidak salah telah
membunuhnya. Jika itu terjadi padaku, mungkin aku juga
akan berbuat demikian."
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Tio Cing-ngo telah
berbalik dan pergi. Yu Liong-sing pun tiba-tiba tersenyum, katanya, "Tiotoaya
tampaknya memang sudah tua. Emosimu jadi
semakin besar, tapi nyalimu jadi semakin kecil. Apa
194 salahnya In Gok datang" Paling tidak kita bisa
menyaksikan aksi pisau terbang yang terkenal itu."
Kata Li Sun-Hoan, "Jika kau ingin melihat pisauku, kau
tidak perlu menunggu sampai In Gok datang."
Muka Yu Liong-sing pun berubah lagi. Ia ingin
mengatakan sesuatu, tapi waktu ia melihat pisau Li Sun-
Hoan, diurungkannya niatnya. Kemudian ia juga berbalik
dan pergi. Liong Siau-hun bermaksud untuk mengejar mereka, tapi
kemudian ia berhenti. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Walaupun kau tidak menyukai mereka dan
tidak memandang mereka sebelah mata, tidak
seharusnya kau membuat mereka marah."
Sahut Li Sun-Hoan, "Siapa yang peduli" Mereka semua
berpikir aku sangat bejad. Tak jadi soal apakah aku
menjengkelkan mereka atau tidak. Sebenarnya, bagus
juga membuat mereka sangat marah dan pergi dari sini.
Aku jadi bisa merasa tenang."
Kata Liong Siau-hun, "Lebih baik punya teman banyak
daripada sedikit." Tapi Li Sun-Hoan menjawab, "Berapa banyak orang yang
dapat disebut "teman?" Punya teman yang seperti
saudara kandung, satu saja sudah cukup."
Liong Siau-hun tertawa gembira. Dirangkulnya pundak Li
Sun-Hoan dan berkata, "Toako, aku sungguh bahagia
195 mendengar kau berbicara demikian. Walaupun kubuat
semua sahabatku marah, itu pun tidak apa-apa."
Li Sun-Hoan tiba-tiba merasakan suatu kehangatan
dalam tubuhnya, namun ia mulai terbatuk-batuk lagi.
Kata Liong Siau-hun, "Batukmu"."
Durjana Dan Ksatria 4 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Pedang Tanpa Perasaan 1
^