Pencarian

Rajawali Emas 2

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Kembali Kwa Hong tersenyum lebar, senyum yang dulu meruntuhkan hati Kui Lok, akan tetapi yang sekarang membayangkan sesuatu yang amat mengerikan.
"Lian Bu Tojin berani mencelaku dan dia seorang ketua yang tidak baik, seorang guru yang mencelakai murid sendiri. Pedang pusaka ini memang patut berada di tanganku karena hanya akulah yang akan dapat mengangkat tinggi nama Hoia-san-pai. Tadi aku yang menjadi pemimpin dan ciang-bujin (ketua) baru Hoa-san-pai datang, kalian tidak mau segera menyambut dengan penghormatan. Maka sepuluh orang murid tadi kubunuh sebagai peringatan!"
Setelah berkata demikian, Kwa Hong memandang ke sekelilingnya dan semua orang tosu yang berada di situ mengkeret lehernya, menundukkan pandang matanya karena nyali mereka terbang lenyap begitu mereka bertemu pandang dengan Kwa Hong.
Pada saat itu terdengar sayup-sayup suara orang berteriak dari bawah gunung,
"Enci Hong... tunggu... jangan tinggalkan aku....!"
Suara itu berkumandang sampai di puncak gunung dan belum lama dengung suara lenyap, orangnya telah tiba di situ. Siapa lagi kalau bukan Koai Atong!
Diam-diam Kui Lok dan Thio Bwee kagum dan terkejut sekali. Sebagai ahli-ahli silat tinggi dua orang muda ini dapat mengukur betapa hebatnya khi-kang dari Koai Atong sekarang, dari bawah gunung sudah dapat "mengirim suara" ke atas dan gin-kangnya pun demikian hebat sehingga dalam sekejap saja sudah dapat mendaki puncak Hoa-san-pai.
Setelah tiba di situ, Koai Atong tertawa dan meringis gembira melihat Kwa Hong sudah berada di situ bersama burung rajawali. Di dalam perjalanan, Kwa Hong naik burung dan membiarkan Koai Atong berlari-lari mengikuti bayangan burung,
"Ha-ha-ha, he-he-he, sudah kumpul semua di sini, ha-ha!"
Tapi Kui Lok dan Thio Bwee tidak mempedulikan orang tinggi besar ini, karena mereka masih marah bukan main mendengar ucapan Kwa Hong tadi, Kui Lok segera membentak,
"Kwa Hong! Jadi kau hendak menggunakan kekerasan dan merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai" Jangan kau berlaku sewenang-wenang, mengingat bahwa kau adalah bekas murid Hoa-san-pai sendiri, hayo lekas kembalikan pedang pusaka dan berlutut menerima dosa."
Mata Kwa Hong berkilat. "Kui Lok, kau begini kurang ajar terhadap ketuamu"
Hayo kau yang berlutut!" Sambil bertolak pinggang Kwa Hong memerintah.
"Suheng, mari kita bunuh siluman ini!" Thio Bwee berseru keras dan biarpun ia sudah tak berpedang lagi, dengan nekat ia lalu menyerang Kwa Hong dengan pukulan maut yang amat keras. Akan tetapi dengan enak Kwa Hong miringkan tubuhnya dan sekali kakinya bergerak, Thio Bwee sudah kena ditendang roboh!
Kui Lok marah sekali dan menyerang dengan pedangnya. Kepandaian Kui Lok sudah maju pesat sekali dan dalam hal ilmu pedang, boleh dibilang ia sudah menjagoi di Hoa-san-pai. Apalagi permainan pedangnya dilakukan dengan tangan kiri, maka sifatnya pun istimewa dan sukar diketahui perubahan-perubahannya. Ketika Kwa Hong belum meninggalkan perguruan, kalau dibuat ukuran antara mereka, agaknya ilmu pedang Kui Lok tidak kalah oleh kepandaian Kwa Hong, maka pemuda itu dengan penuh semangat menyerang dan mengira bahwa tak mungkin ia akan kalah.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika tahu-tahu cambuk bertali yang berada di tangan kiri Kwa Hong bergerak, tahu-tahu lima ujung cambuk dengan anak panah itu telah membelit pedangnya dan sekali renggut Kui Lok tak dapat mempertahankan pegangannya lagi. Pedang terampas oleh Kwa Hong. Sambil tertawa melengking tinggi Kwa Hong mengambil pedang itu, menggigit ujungnya, menggerakkan tangan dan... "pletakk!" pedang itu patah menjadi dual Gerakannya sama benar dengan cara burung rajawali mematahkan pedang.
Kui Lok menjadi pucat, akan tetapi untuk menjaga nama Hoa-san-pai ia harus melawan mati-matian. Sambil berseru keras ia menerjang maju dan menyerang Kwa Hong dengan pukulan-pukulan dahsyat.
"Atong, kauhajar dan usir bocah ini, tapi jangan bunuh dia!" kata Kwa Hong.
Terdengar Koai Atong tertawa-tawa berkakakan dan tiba-tiba Kui Lok merasa tubuhnya diangkat orang lalu dilontarkan ke atas sampai empat lima meter tingginya. Tubuhnya melayang dan berjungkiran di udara, ketika turun diterima lagi oleh Koai Atong lalu dilontarkan lagi. Benar-benar Kui Lok dijadikan bola oleh Koai Atong yang mempermainkannya.
"Siluman jahat!" Kui Lok memaki, akan tetapi makin lama ia menjadi makin lemah dan ketika Koai Atong melemparnya ke depan, tubuhnya terbanting dan bergulingan. Dengan payah Kui Lok mencoba untuk berdiri, akan tetapi kepalanya pening dan ia roboh kembali, ditertawai oleh Koai Atong dan Kwa Hong.
Thio Bwee lari mendekat dan membantu Kui Lok bangun. la menyuruh Kui Lok duduk kemudian dengan marah sekali Thio Bwee meloncat lagi untuk menyerang Kwa Hong. Tadi ia hanya terbanting saja dan hal ini belum membuat ia kapok. Hatinya terlalu sakit menyaksikan betapa kekasihnya dipermainkan dan dihina seperti itu.
Melihat kenekatan Thio Bwee, Kwa Hong menjadi marah sekali. "Perempuan rendah, kau tidak tahu bahwa aku sudah berlaku murah kepada kalian"
Agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit!" Setelah berkata demikian, cambuknya bergerak, sinar hijau berkelebat. Thio Bwee menjerit dan terjungkal, juga Kui Lok mengaduh dan roboh. Keduanya dapat merayap bangun kembali, dan ternyata bahwa dua murid Hoa-san-pai ini telah terluka oleh panah hijau, masing-masing pada pundaknya. Perih dan panas rasanya, akan tetapi tidak seperih dan sepanas hati mereka.
"Pergi....!" Kwa Hong menudingkan cambuknya keluar. "Pergi sebelum berubah lagi pikiranku dan kuhancurkan kepala kalian!"
Thio Bwee memandang dengan mata melotot, maksud hatinya hendak melawan lagi sampai mati. Akan tetapi Kui Lok yang melihat sikapnya ini segera memegang lengannya dan menariknya pergi dari situ. Dua orang muda itu pergi meninggalkan puncak seperti dua ekor anjing diusir saja, benar-benar merupakan hal yang amat menyakitkan hati mereka.
Seperginya dua orang muda itu keadaan menjadi sunyi. Puluhan orang tosu Hoa-san-pai tidak ada yang berani bergerak, bernapas pun mereka takut keras-keras. Kwa Hong menyapu mereka dengan pandang matanya yang tajam melebihi pedang.
"Siapa mau pergi" Siapa tidak mau menurut perintahku" Lihat contohnya."
Gambuknya menyambar beberapa kali dan... kepala dari sepuluh mayat para tosu tadi telah terpukul hancur oleh panah-panah di ujung cambuknya! Benar-benar amat mengerikan.
"Hayo katakan, kalian mau mengangkatku sebagai ketua ataukah tidak?"
Seorang tosu yang sudah agak tua maklum bahwa melawan berarti mati dengan cara yang mengerikan, dan melawan pun akan sia-sia saja. Maka ia lalu mendahului teman-temannya berlutut dan menyatakan suka mengangkat Kwa Hong sebagai ketua. Saudara-saudaranya pun menjatuhkan diri berlutut.
Kwa Hong tertawa gembira, tapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti ketika ia melihat Koai Atong masih berdiri tegak sambil tertawa-tawa.
"Heiii... kenapa kau tidak berlutut?"
Koai Atong kaget dan bingung. "Lho..., berlutut" Aku kan suamimu...."
"Tidak peduli, saat ini semua orang harus berlutut kepadaku!" bentak Kwa Hong dan terpaksa Koai Atong berlutut pula. Kwa Hong mengangkat dada, mengedikkan kepala dengan penuh kebanggaan dan merasa seakan-akan ia telah menjadi seorang ratu!
Semenjak saat itu Kwa Hong tinggal di Hoa-san-pai sebagai ketua, dibantu oleh "suaminya" Koai Atong. Kwa Hong amat ditakuti oleh para tosu, akan tetapi juga diam-diam ada sebagian besar tosu Hoa-san-pai amat membencinya. Di samping ini, tentu saja terdapat tosu-tosu yang merasa amat girang oleh karena semenjak Kwa Hong yang menjadi ketua, peraturan-peraturan tidak tegas lagi, dan larangan-larangan juga seakan-akan dihapuskan oleh Kwa Hong. Oleh karena ini banyak tosu yang mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan tidak mentaati hukum dan peraturan Agama To. Orang-orang inilah yang benar-benar setia kepada Kwa Hong dan Koai Atong sehingga secara tersembunyi di antara kelompok tosu Hoa-san-pai ini terdapat pemisah antara rombongan yang pro Kwa Hong dengan rombongan yang diam-diam kontra. Namun kesemuanya tidak berani berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Kwa Hong dan Koai Atong. Sementara itu, Kwa Hong dan Koai Atong terus memperdalam latihan-latihan mereka secara sembunyi, mempelajari semua gerakan-gerakan aneh dari burung rajawali emas dan mereka berdua menggabungkan pendapat masing-masing untuk menciptakan ilmu silat yang hebat, gabungan dari ilmu silat Hoa-san-pai, ilmu silat Tibet, Jing-tok-ciang, dan gerakan dari burung rajawaii emas!
Peristiwa perampasan kedudukan ketua di Hoa-san-pai ini menimbulkan geger di dunia kang-ouw yang baru saja tenang karena tumbangnya Pemerintahan Mongol. Banyak tokoh besar di dunia kang-ouw mengerutkan kening dan merasa penasaran sekali.
Mari kita ikuti Kui Lok dan Thio Bwee yang meninggalkan puncak Hoa-san-pai dengan perasaan hancur. Mereka terluka hebat di pundak mereka, terkena racun panah hijau yang amat berbahaya. Namun luka di hati mereka lebih hebat lagi. Mereka tidak saja telah dikalahkan secara mudah dan memalukan sekali, akan tetapi lebih daripada itu, mereka telah terhina. Di sepanjang jalan menuruni puncak Thio Bwee menangis, dan Kui Lok menghiburnya.
"Kui-koko, daripada mengalami penderitaan dan penghinaan seperti ini lebih baik aku mati saja... kenapa tadi kita tidak melawan terus saja sampai mati"
Untuk apa hidup lebih lama menghadapi penghinaan seperti ini...?" Saking sedihnya dan juga karena luka beracun di pundaknya membuat tubuhnya lemas, gadis ini terhuyung-huyung ke depan.
Kui Lok cepat mengejar dan merangkulnya. Ia merasa amat kasihan kepada gadis ini dan sinar matanya memandang penuh kasih sayang. Sejenak mereka berpandangan, akhirnya Thio Bwee menangis terisak-isak di atas dadanya. Kui Lok menggunakan tangannya dengan mesra dan halus mengusap air mata yang bercucuran membasahi pipi Thio Bwee.
"Bwee-moi, jangan berduka, jangan putus harapan. Selama kita masih berdua, kesukaran apa yang takkan kuat kita hadapi" Ah, Bwee-moi... setelah ini hari aku melihat Kwa Hong, baru terbuka betul-betul mataku betapa bodohku dahulu, tak dapat membedakan antara batu permata dan batu karang. Dia begitu jahat, begitu kejam dan ganas seperti siluman sedangkan kau... kau begini gagah perkasa, mulia dan halus. Bwee-moi, marilah kita pergi mencari Supek Lian Ti Tojin untuk mohon pertolongannya, tidak hanya kepada kita yang terluka hebat... tapi terutama sekali... untuk menyelamatkan Hoa-sanpai kita...."
Mendengar ini, Thio Bwee mengangkat mukanya, memandang dengan mata terbelalak. "Pergi... ke... Im-kan-kok?"" . .
Mau tak mau tersenyum juga Kui Lok melihat wajah kekasihnya begitu ketakutan. Ah, gadis yang tidak takut menghadapi kematian ini sekarang takut begitu mendengar nama Im-kan-kok! "Bwee-moi, apa kau takut?"
"Tidak... tidak asal bersama engkau... tapi... aku ngeri juga, Koko...."
"Setelah keadaan kita seperti ini, apa lagi yang harus ditakuti, Moi-moi" Hayo kita percepat usaha untuk mencari Supek." Keduanya lalu berjalan lagi bergandengan tangan, hati mereka telah bulat nekat untuk mencari supek mereka.
Yang disebut Im-kan-kok (Lembah Akhirat) adalah sebuah lembah gunung di Hoa-san yang amat mengerikan keadaannya dan tidaklah aneh kalau tempat yang terlarang bagi para anggauta Hoa-san-pai ini jarang atau tak pernah didatangi manusia. Kalaupun ada manusia kebetulan datang ke tempat itu, hendak apa dan mencari apakah" Jurang yang amat luas dan dalamnya tak dapat diukur pandangan mata itu sunyi mengering di sebelah kirinya, penuh batu-batu karang yang merupakan lerengnya atau tebingnya, tajam runcing licin tak mungkin dituruni manusia. Di sebelah kanan lain lagi pemandangannya, penuh pohon-pohon dan di antara pohon-pohon yang tumbuhnya tidak karuan dan liar malang-melintang itu terdapat tiga buah air terjun yang amat tinggi. Keadaan di sebelah kiri dan kanan benar-benar merupakan pemandangan yang berlawanan sekali, padahal keduanya merupakan bagian dari Im-kan-kok itu.
Dengan susah payah Kui Lok dan Thio Bwee berjalan melalui jalan liar yang amat sukar, merayap-rayap melalui pinggir lembah. Kaki mereka sakit-sakit dan bagian tubuh yang tidak tertutup kain baret-baret terkena duri-duri tetumbuhan liar yang selalu menghadang di depan mereka. Setengah hari mereka berjalan dengan penuh kesukaran ini, dengan hati berdebar-debar pula karena sebagai murid-murid Hoa-san-pai mereka maklum bahwa mereka telah memasuki daerah terlarang bagi orang-orang Hoa-san-pai.
Tentang Lian Ti Tojin di Im-kan-kok ini, hanya sedikit mereka mendengar dari mendiang Lian Bu Tojin. Ketua Hoa-san-pai itu hanya mengatakan bahwa Lian Ti Tojin telah memilih Im-kan-kok sebagai tempat untuk mengasingkan diri dan menghukum diri, dan Im-kan-kok dianggap sebagai tempat pelaksanaan hukuman. Tidak diceritakan kesalahan apakah yang dilakukan Lian Ti Tojin itu maka dia menghukum diri sendiri di situ. Hanya berkali-kali Ketua Hoa-san-pai itu melarang murid-muridnya memasuki daerah terlarang ini dengan ancaman mati, malah berkata pula bahwa ilmu silat yang dimiliki oieh Lian Ti Tojin adalah ilmu silat Hoa-san-pai yang amat tinggi, beberapa kali lebih tinggi dari pada ilmu silat yang dimiliki Lian Bu Tojin sendiri. Selain ini, juga ketika mengasingkan diri empat.puluh tahunan yang lalu, Lian Ti Tojin mengancam bahwa siapa saja berani mengganggunya di Im-kan-kok pasti akan dibunuhnya!
bagian 12 "LEMBAH ini begitu luas, ke mana kita dapat mencarinya?" bisik Tio Bwee kepada Kui Lok ketika mereka beristirahat di bagian yang penuh pohon-pohon yang merupakan hutan-hutan liar dan di depan mereka tampak air terjun pertama yang airnya berwarna-warni tertimpa sinar matahari.
"Memang sukar kalau harus mencari begitu saja. Akan tetapi jangan kau khawatir, Moi-moi. Dahulu aku pernah mendengar dari mendiang ayahku ketika ayah mendongeng tentang Supek di Im-kan-kok. Menurut ayah, di bagian terbawah dari air terjun yang berada di tengah-tengah dan yang terbesar, terdapat sebuah gua yang amat besar. Gua ini terletak di belakang air terjun dari atas. Nah, agaknya di situlah Supek Lian Ti Tojin bertapa."
Thio Bwee memandang ke depan. Dari tempat itu sudah kelihatan air terjun yang paling besar itu, di tengah-tengah antara dua air terjun lainnya. Suara air terjun bergemuruh menimbulkan pendengaran yang menyeramkan dan melihat air terjun yang ratusan meter dalamnya itu membuat Thio Bwee merasa ngeri. Tak terasa lagi ia memegang tangan Kui Lok erat-erat.
"Aduh,..!" Kui Lok mengeluh. Thio Bwee kaget dan menengok. Ternyata ia tadi telah memegang lengan yang kiri dengan tangan kanannya dan lengan kiri Kui Lok telah agak membengkak dengan warna kehijauan. Bukan main kagetnya, apalagi ketika pada saat itu baru ia tahu bahwa tangan kirinya juga membengkak dan agak kehijauan, dan sakit sekali kalau ditekan. Ternyata bahwa luka di pundak kiri mereka telah makin menghebat, agaknya racun telah menjalar sampai ke lengan tangan.
Mereka berpandangan, maklum akan keadaan mereka itu yang amat berbahaya. Sinar mata mereka sudah banyak menyatakan isi hati mereka dan keduanya menjadi berduka sekali. Kui Lok menarik tangan kanan Thio Bwee diajak berdiri.
"Moi-moi...." katanya dengan suara gemetar, "kita harus cepat-cepat pergi dan cepat menjumpai Supek, kalau tidak... aku khawatir tak ada waktu lagi...
Thio Bwee mengangguk dan kedua orang muda ini kembali berjalan dengan susah payah, menyelinap di antara tetumbuhan berduri, menuju ke arah air terjun ke dua. Akhirnya sampai juga mereka di tempat itu. Air selebar lima meter lebih terjun dari atas, berkilauan ditimpa sinar matahari. Biarpun air itu terjun amat dalamnya, namun suara air menimpa batu-batu di bawah terdengar dari tempat itu, malah berkumandang di empat penjuru gunung.
Ketika dua orang itu menengok ke bawah, hati mereka berdebar menyaksikan betapa dalamnya lembah itu. Bagaimana mereka harus turun mendekati dasar lembah"
Setelah mencari-cari dengan pandang matanya, akhirnya Kui Lok berkata,
"Bwee-moi, terpaksa kita harus turun melalui pohon-pohon dan tetumbuhan, kita harus merayap ke bawah. Perjalanan ini amat sukarnya, dan amat berbahayanya, akan tetapi, Moi-moi, kali ini kita berjuang untuk nyawa kita."
Thio Bwee menjenguk ke bawah lalu memandang kekasihnya sambil tersenyum pahit. "Aku mengerti, Koko. Bersamamu aku akan kuat menghadapi apa saja."
Mendengar pernyataan ini, dengan terharu Kui Lok lalu mengusap rambut kepala Thio Bwee kemudian berbisik, "Mati hidup kita takkan berpisah lagi, adikku." Setelah berkata demikian pemuda ini lalu mulai menuruni tebing yang amat dalam dan curam itu, diikuti oleh Thio Bwee. Baiknya. dua orang ini adalah orang-orang yang sudah terlatih semenjak kecil, tubuh mereka kuat dan ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Andaikata mereka tidak terluka, kiranya, pekerjaan menuruni tebing sambil bergantungan atau berpegangan pada akar-akar dan pepohonan ini akan merupakan hai yang amat mudah bagi mereka. Akan tetapi keadaan mereka sekarang amat buruk.
Selain tubuh lemas akibat penderitaan batin, juga tangan kiri mereka sakit dan hampir lumpuh sehingga untuk menuruni tebing hanya mengandalkan kedua kaki dan tangan kanan saja. Sedangkan tangan kiri mereka hanya dipergunakan untuk membantu belaka.
Dua jam lebih mereka merayap dan bergantungan di antara akar-akar pohon dan batu-batu, akhirnya mereka bergantungan pada pohon terakhir dan tidak bisa turun ke bawah lagi! Bagaimanapun mereka mencari-cari, tidak ada lagi tempat untuk berpegang atau berinjak, jalan ke bawah sudah putus. Ketika mereka menengok ke bawah, tampak oleh mereka air terjun itu menimpa dasar lembah dan menimbulkan uap air yang tebal. Samar-samar tampak air di bawah mereka, air yang berputaran seperti air mendidih tapi amat lebarnya seperti sebuah telaga kecil yang terjadi karena air terjun itu.
"Bagaimana, Koko?" tanya Thio Bwee terengah-engah kelelahan.
Kui Lok mengerutkan kening. "Tidak mungkin turun lagi secara tadi, Moi-moi.
Kembali naik juga lebih sukar. Jalan satu-satunya kita harus berani terjun ke bawah."
"Terjun ke air itu....?"
"Sedikit-sedikit kita dapat berenang, tak perlu takut, Bwee-moi. Mari, ikuti aku!" Dengan nekat Kui Lok lalu meloncat ke bawah dan Thio Bwee segera mengikutinya. Dua orang muda itu melayang-layang turun dari tempat yang tingginya masih ada belasan meter akan tetapi yang keadaan bawahnya tidak dapat tampak nyata karena uap air yang tebal.
"Byurr! Byurr!" Air muncrat tinggi ketika tubuh dua orang muda itu tiba di permukaan air yang luar biasa dinginnya. Akan tetapi alangkah kaget rasa hati Kui Lok dan Thio Bwee ketika mereka mendapat kenyataan bahwa air itu berputar amat kuatnya, merupakan ulekan (air berputar) besar, Tubuh mereka hanyut terseret oleh putaran itu, tenaga putaran demikian besarnya sehingga mereka tak berdaya, tak mampu berenang ke pinggir. Kui Lok maklum bahwa kalau terus-menerus begini, mereka akan celaka.
"Bwee-moi, tahan napas, menyelam terus berenang ke arah pinggir sana, ke belakang air terjun!" teriaknya dengan napas terengah-engah payah. Setelah gadis itu memberi isyarat bahwa ia telah mengerti apa yang dimaksudkan oleh kekasihnya, mereka lalu menyelam dan benar saja, di bagian bawah ternyata tenaga putaran itu tidak hebat lagi dan dengan mudah mereka dapat berenang melalui air terjun. Akhirnya keduanya dapat mendarat di belakang air terjun dengan napas hampir putus dan tenaga habis. Namun, bukan main girang hati mereka karena melihat kekasih berada di sampingnya. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut dan Thio Bwee tak kuasa menahan air matanya, Kui Lok memeluknya dan pada saat itu hati ke dua orang muda ini makin bersatu dan rnakin teguh cinta kasih mereka.
"Bwee-moi, biarpun aku tahu kau amat lelah, akan tetapi terpaksa kita harus melanjutkan penyelidikan kita. Kita sudah sampai di tempat yang dimaksudkan."
Keduanya berdiri dan memeriksa tempat itu. Di balik air terjun ini benar saja terdapat gua yang amat besar dan dalam. Suara air terjun bergemuruh amat hebatnya sehingga kalau mereka ingin bicara, mereka harus saling berdekatan dan bersuara keras-keras. Sambil begandeng tangan dua orangg muda ini merangkak-rangkak memasuki gua itu, kemudiari dengan berani dan nekat mereka terus maju memasuki lubang besar yang merupakan terowongan gelap. Mula-mula terowongan yang panjang dan lebar itu gelap sekali dan amat licin sehingga dua orang muda ini harus meraba-raba dan merangkak, akan tetapi setelah masuk kurang lebih dua ratus meter, mulai tampak sinar terang dari depan dan jalan tidak begitu licin lagi.
Setelah membelok tiga kali mereka tiba di sebuah ruangan di bawah tanah yang amat luas dan terang karena sinar matahari masuk dari atas kanan kiri yang terbuka. Tempat ini bersih sekali dan kelihatan beberapa buah benda berbentuk meja kursi terbuat daripada batu. Malah di sebelah depan tampak dua buah lubang berbentuk pintu. Tak salah lagi, tempat seperti ini sudah pasti didiami manusia.
Tiba-tiba terdengar suara parau. "Apa kalian mempunyai nyawa rangkap maka berani masuk ke sini?" Dua orang muda itu membelalakkan mata memandang tajam, namun mereka hanya melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu mereka roboh dengan pandang mata berkunang-kunang.Thio Bwee segera roboh pingsan, sedangkan Kui Lok sebelum pingsan masih sempat berkata perlahan, "Teecu dari Hoa-san-pai...."
Entah berapa lama mereka berdua roboh pingsan, tahu-tahu ketika ia siuman, Kui Lok mendapatkan dirinya bersama Thio Bwee sudah berada di dalam sebuah kamar batu yang kering dan berhawa hangat nyaman. Cepat ia bangun dan menolong Thio Bwee. Hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu juga sudah mulai sadar. Penerangan di kamar ini suram, hanya diterangi oleh sebuah lampu sederhana di atas meja batu.
"Ah, kiranya sudah malam...." pikir Kui Lok dan ia melihat Thio Bwee bergerak hendak bangun. Dua orang ini berpandangan dan keduanya bersyukur masih dapat melihat masing-masing dalam keadaan selamat.
"Koko.... mana... mana dia?" bisik Thio Bwee.
"Tenanglah, Moi-moi. Siapa yang menempati tempat ini, tentulah orang baik-baik, buktinya kita tidak diganggu malah dibawa ke tempat ini. Lebih baik kita beristirahat dan memulihkan tenaga sambil menanti datangnya pagi."
Dua orang muda itu yang maklum bahwa mereka tentu akan menghadapi hal-hal yang hebat, mungkin hal yang amat berbahaya, segera duduk bersila dan bersamadhi untuk menjernihkan pikiran dan menenangkan hati serta memulihkan tenaga yang telah terlalu banyak dikerahkan ketika mencari gua ini. Mula-mula memang sukar bagi mereka untuk bersamadhi, selalu saja timbul dalam pikiran mereka bayangan yang berkelebat tadi, dan terngiang di telinga mereka suara parau yang membentak marah. Akan tetapi karena dua orang ini adalah orang-orang gemblengan dari Hoa-san-pai, maka akhirnya dapat juga mereka menenangkan hati dan mendiamkan pikiran, duduk bersamadhi dengan tekun.
Menjelang pagi, di antara suara gemuruh air terjun, terdengar kicau burung dari luar. Kui Lok dan Thio Bwee sadar dari samadhinya dan menikmati pendengaran-pendengaran yang aneh itu. Suara air terjun, kicau burung, kokok ayam hutan, benar-benar mendatangkan ketenangan dan mendatangkan suara penuh damai dan tenteram di dalam hati. Yang mengherankan mereka, bagaimana suara-suara penghuni hutan itu dapat terdengar dari dalam kamar itu. Lama mereka masih duduk termenung, tidak merasa betapa matahari makin lama makin terang cahayanya.
Ada angin bertiup dari arah pintu dan lampu kecil itu padam. Tapi kamar ini tidak menjadi gelap karena ternyata bahwa cahaya matahari telah sampai juga ke tempat itu. Kui Lok merasa tidak enak kalau diam saja di situ, maka sambil memberanikan hatinya ia mengajak Thio Bwee untuk keluar dari kamar. Begitu keluar dari kamar mereka mendengar suara orang bicara, suaranya parau dan jelas,
"Kenapa tidak kaubunuh saja" Huh, kau sudah ingin keluar dari sini agaknya!
Tua bangka bodoh!" Mendengar ini, Kui Lok dan Thio Bwee bergidik. Namun dengan nekat mereka malah menuju ke arah suara dan di dalam sebuah ruangan batu mereka melihat seorang kakek tinggi kurus sedang duduk bersila dan menuding-nuding ke arah hidungnya sendiri sambil memaki-maki! Kakek itu rambutnya panjang sekali, dibiarkan terurai sampai ke pahanya, pakaiannya sederhana dari kain kasar berwarna putih.
"Apa kau kasihan melihat pemuda ganteng" Ataukah jatuh hati melihat gadis cantik manis" Aha, tidak semua itu, kau tergila-gila untuk sekali lagi melihat manusia ramai! Waah, tak tahu malu, tua bangka gila!"
Orang tua itu seakan-akan tidak melihat kedatangan Kui Lok dan Thio Bwee.
Dua orang muda itu cepat berlutut setelah mereka memasuki ruangan dan Kui Lok segera berkata,
''Teecu berdua Kui Lok dan Thio Bwee datang menghadap Locianpwe." Pemuda itu tidak berani menyebut supek karena selama hidupnya ia belum pernah bertemu dengan Lian Ti Tojin, mana dia tahu apakah kakek ini betul supeknya itu ataukah bukan"
Tanpa menengok ke arah mereka kakek itu tiba-tiba bertanya, "Kalian masih ada hubungan apa dengan Lian Bu?"
"Beliau adalah Suhu teecu berdua...." kata Kui Lok, masih meragu apakah orang' ini benar-benar tokoh aneh dari Hoa-san-pai yang selama ini merupakan iblis yang amat ditakuti oleh seluruh anggauta Hoa-san-pai.
"Jangan bohong! Lian Bu hanya lebih muda beberapa tahun dariku, sebagai Ketua Hoa-san-pai masa mempunyai murid-murid begini muda dan tidak becus apa-apa?"
"Teecu berdua... tadinya memang cucu-cucu murid, akhir-akhir ini berlatih langsung di bawah petunjuk Lian Bu Tojin suhu."
"Tidak becus... tidak becus.., he, orang-orang muda, apakah gurumu tidak memberi tahu bahwa orang tidak boleh datang ke Im-kan-kok" Bahwa siapapun yang mendatangi tempat ini akan kubunuh mampus?" pertanyaan ini diucapkan dengan suara keren.
"Teecu memang sudah tahu... dan sekiranya Locianpwe ini benar adalah Supek Lian Ti Tojin, teecu berdua hanya mohon ampun...."
"Kalian sudah tahu tapi berani juga datang ke sini?" Sebelum Kui Lok dan Thio Bwee dapat melihat apa yang dilakukan kakek itu, tahu-tahu mereka berdua sudah terguling dan pingsan lagi!
Mereka tadi hanya melihat kakek itu menggerakkan lengan kanannya dan tahu-tahu mereka roboh tidak ingiat apa-apa.
Ketika mereka sadar kembali, kakek itu masih duduk bersila seperti tadi dan Kui Lok segera menolong Thio Bwee. Keadaan mereka makin payah karena selain terluka pundak mereka dan dua kali dipukul roboh, juga semenjak kemarin perut mereka kosong sama sekali. Kui Lok girang bahwa Thio Bwee juga segera sadar kembali dan agaknya pukulan jarak jauh dari kakek itu hanya membuat mereka roboh dan pingsan saja, tapi tidak teluka hebat.
Kedua orang muda ini heran mengapa kakek itu tidak membunuh mereka.
"Anak murid Hoa-san-pai sampai terluka oleh Jing-tok-ciang (Racun Hijau)..., hemmm, memalukan sekali....!" Kakek itu berkali-kali mengucapkan kata-kata ini seorang diri, sedikit pun tidak menoleh ke arah dua orang muda itu.
Mendengar ini, timbul harapan dalam hati Kui Lok. Serta-merta ia berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Teecu berdua datang menghadap Supek untuk memohon pertolongan Supek.... Hoa-san-pai terancam bahaya kemusnahan.
Supek harap maklum bahwa Suhu telah tewas terbunuh orang...."
"Hemmm, tidak dulu-dulu terbunuh orang sudah amat mengherankan.
Sebodoh dia menjadi ketua, hemmm...."
Bingung dan mendongkol juga hati Kui Lok melihat sikap orang yang menjadi supeknya ini. Benar-benar berwatak aneh dan luar biasa.
"Supek, tidak saja Suhu telah tewas, akan tetapi musuh besar itu juga menewaskan sepuluh orang suheng...."
"Gurunya tolol mana murid-muridnya tidak goblok" Mampus karena ketidak becusan sendiri, untuk apa kauceritakan kepadaku?" kakek itu memotong tanpa menoleh kepada Kui Lok.
"Supek, musuh itu masih merampas pedang pusaka Hoa-san-pai dan sekarang malah menduduki Hoa-san-pai dan mengangkat diri sendiri sebagai ketua!"
Untuk sejenak kakek itu diam tak bergerak tak bersuara seakan-akan kaget juga dan berpikir akan tetapi segera ia mengangguk-angguk dan berkata,
"Biar, lebih baik begitu! Biarpun murid Hoa-san-pai sendiri yang menjadi ketua kalau tidak becus macam Lian Bu, untuk apa"
Biarlah dipegang orang lain, tentu lebih lihai dari Lian Bu dan lebih bijaksana!"
Kui Lok tercengang dan habis akal. Thio Bwee semenjak tadi diam saja akan tetapi hatinya panas bukan main.
"Sudahlah, Suheng, untuk apa bicara lagi kepada seorang murid Hoa-san-pai yang tidak berbudi"' Didengar kata-katanya apa sih bedanya dia dengan iblis betina Kwa Hong yang telah merampas kedudukan Suhu" Keduanya sama-sama murid Hoa-san-pai yang murtad dan khianat!"
Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah mereka dan dua orang muda itu hampir mengeluarkan suara jeritan saking kaget dan ngerinya. Muka kakek itu bukan muka manusia lagi, akan tetapi muka tengkorak! Muka itu sama sekali tidak ada dagingnya, hanya tulang tengkorak terbungkus kulit kering, mulutnya terbuka kosong, lubang hidungnya menjadi satu dan sepasang matanya bersembunyi amat dalam sehingga sepintas lalu seakan-akan kedua lubang matanya itu kosong saja!
"Apa kaubilang?" tanyanya dan sepasang biji mata yang bersembunyi dalam-dalam di kepala itu mengintai kepada Thio Bwee amat tajam menakutkan.
"Oh.... tidak... tidak...." Thio Bwee memalangkan lengan kanan di depan muka sambil mundur-mundur ketakutan.
Mulut yang ompong kosong itu terbuka lebar mengeluarkan suara ketawa yang menyeramkan, kemudian disambung kata-katanya dengan suara keren,
"Bocah, coba katakan lagi. Betulkah yang menewaskan Lian Bu dan yang merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai adalah seorang murid Hoa-san-pai sendiri?"
Karena Thio Bwee masih belum dapat menguasai dirinya, Kui Lok cepat berkata, "Betul sekali, Supek. Orang itu malah seorang gadis muda dan masih terhitung saudara seperguruan teecu berdua. Akan tetapi dia telah murtad, menikah dengan seorang ahli racun hijau bernama Koai Atong kemudian bersama suaminya itu mengacau Hoa-san-pai dan merampas kedudukan ketua." Kemudian secara singkat namun jelas Kui Lok menceritakan kejadian hebat yang menimpa Hoa-san-pai.
"Ha-ha, aku mau lihat! Mau lihat macam apa bocah yang berani menyaingi Lian Ti Tojin dalam hal pengkhianatan terhadap partai itu, Apakan dia selihai aku" Ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia telah meloncat sampai ke pintu ruangan. Sekarang tampak oleh Kui Lok dan Thio Bwee betapa tubuh kakek itu pun hampir sama dengan keadaan mukanya, kurus kering seperti rangka hidup! Sesampainya di situ tiba-tiba ia berhenti dan berkata seorang diri,
"Tidak bisa... tidak bisa... kalau aku pergi harus ada yang menggantikan aku di sini. Ha, benar juga. Kalian berdua harus menggantikan aku di Im-kan-kok sini, seharusnya sampai empat puluh tahun. Akan tetapi karena kalian berdua, maka hukuman buat kalian hanya dua puluh tahun seorang. Sebelum dua puluh tahun tak boleh keluar dari sini, Bersumpahlah!"
Kui Lok dan Thio Bwee saling pandang. Thio Bwee nampak ragu-ragu.
Bagaimana mungkin mereka harus berdiam di situ selama dua puluh tahun"
Akan tetapi Kui Lok segera berkata,
"Bwee-moi, kita sudah terluka parah. Agaknya biarpun kuat keluar dari tempat ini, belum tentu bisa hidup lebih lanjut. Lian Ti supek, teecu berdua sanggup tinggal di sini sampai dua puluh tahun asal saja Supek suka pergi ke Hoa-sanpai dan menyelamatkan partai daripada cengkeraman siluman betina Kwa Hong."
"Bersumpahlah!"
Tanpa ragu-ragu lagi Kui Lok dan Thio Bwee bersumpah takkan meninggalkan tempat itu sebelum dua puluh tahun! Mendengar sumpah ini, kakek itu tertawa terbahak-bahak. "Ha-ha-ha-ha, senang hatiku. Ada dua orang sekarang yang akan dapat merasakan betapa hebat penderitaanku di sini selama empat puluh tahun lebih, ini. Ha-ha-ha!"
bagian 13 Diam-diam Kui Lok merasa gemas juga. Kiranya supeknya ini pun bukan orang baik-baik, yang merasa girang melihat orang lain menderita. Saking gemasnya ia berkata untuk mengecewakan hati kakek itu, "Supek keliru sangka. Teecu berdua sudah terluka hebat oleh racun Jing-tok, kiranya takkan lama hidup di dunia ini dan tidak akan lama merasai penderitaan seperti yang Supek rasakan!"
"Uh-uh, goblok! Kaukira aku sebodoh kau dan gurumu" Sebelum aku pergi kalian sudah akan sembuh. Hayo kalian pelajari ini dan ikuti perbuatanku!"
Setelah berkata demikian kakek itu berjungkir balik, kedua kakinya ke atas dan kepalanya di bawah di atas tanah, dengan jungkir balik ini ia "berdiri" di atas kepalanya dengan tubuh lurus.
Kui Lok dan Thio Bwee tidak berani membantah, apalagi mereka dapat menangkap maksud kakek itu yang hendak menyembuhkan mereka.
Keduanya segera berjungkir balik dan menggunakan kepandaian untuk
"berdiri" di atas kepala dengan tubuh lurus-lurus.
"Lihat baik-baik, tiru gerakan kedua tanganku, terutama gerakan tangan kiri!"
Kakek itu dengan perlahan lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti orang bersilat. "Salurkan hawa Thai-yang dari pusar ke dada, tekan dengan kekuatan dalam supaya berputar tiga belas kali di dada lalu kerahkan tenaga ke pundak yang terluka terus ke sepanjang lengan kiri sambil pukulkan begini!" Kakek itu bergerak-gerak dan memberi petunjuk yang dituruti oleh dua orang itu dengan taat. Pelajaran ini ada hubungannya dengan ilmu silat Hoa-san-pai, maka sebagai anak murid Hoa-san-pai yang sudah tinggi ilmunya tentu saja mereka dapat melakukan semua petunjuk itu dengan baik dan tepat.
Tiba-tiba Kui Lok dan Thio Bwee berseru girang karena dari pundak mereka mengucur darah kental hijau, tanda bahwa racun yang berada di tubuh mereka mulai mengucur keluar. Makin giat mereka melakukan gerakan itu dan terus-menerus darah kehijauan mengalir keluar dari pundak mereka. Saking gembira hati mereka melihat hasil pengobatan ini, mereka sampai lupa tidak memperhatikan lagi kepada kakek yang tadi memberi petunjuk kepada mereka dan yang sekarang sudah tidak terdengar suaranya lagi. Ketika mereka kelelahan dan beristirahat, barulah ternyata oleh mereka bahwa kakek itu telah lenyap darl situ!
Kedua orang muda itu saling pandang. Darah kehijauan membasahi lantai.
Dalam pertemuan pandang mata ini jalan pikiran mereka sama. Mereka maklum bahwa kakek itu sudah keluar dan mereka sudah bersumpah untuk tidak keluar dari tempat itu selama dua puluh tahun! Mulut tidak bicara akan tetapi sinar mata mereka bicara banyak dan tak tertahankan lagi Thio Bwee menubruk Kui Lok sambii menangis tersedu-sedu. Untuk sesaat Kui Lok memeluknya dan membiarkan kekasihnya itu menuangkan kedukaan hatinya melalui air matanya, kemudian sambil mengelus-elus kepala Thio Bwee, ia berkata,
"Lapangkan hatimu, Moi-moi. Asal kita masih selalu berdampingan, kiranya kita tidak perlu takut atau berduka. Andaikata tidak akan terjadi, perubahan dalam kehidupan kita dan harus berada di sini sampai dua puluh tahun, apa boleh buat, hitung-hitung kita berkorban untuk Hoa-san-pai! Sekarang yang penting kita harus memeriksa tempat ini, kalau Supek sampai bisa hidup di sini selama empat puluh tahun tentu di sini cukup bahan makanan dan kebutuhan hidup. Sementara itu, kita betul-betul sehat dan terhindar dari bahaya keracunan."
Lambat laun Thio Bwee terhibur juga, apalagi karena apabila mereka keluar dari gua, pemandangan di sekitar air terjun benar-benar hebat dan indah bukan main, lagipula banyak terdapat buah-buahan dan binatang-binatang yang akan menjadi rnakanan mereka. Yang paling menggembirakan hati adalah ketika di sebuah ruangan di bawah tanah, mereka melihat betapa dinding ruangan itu penuh dengan ukir-ukiran yang berupa huruf-huruf dan gambar-gambar. Inilah pelajaran ilmu silat yang selama ini diciptakan oleh supek mereka di tempat itu Ilmu silat aneh yang bersumber kepada ilmu silat Hoa-san-pai yang aseli, jauh lebih hebat daripada ilmu silat yang pernah mereka pelajari di Hoa-san-pai.
Kita tinggalkan dulu dua orang muda yang saling mencinta dan yang terpaksa hidup sebagai suami isteri di Lembah Akhirat itu. Hidup seperti Adam dan Hawa di Taman Firdaus! Jauh dari dunia ramai berteman bunga-bunga, buah-buahan dan binatang-binatang hutan.
Ramai sekali di Puncak Hoa-san-pai pada pagi hari itu, tanda bahwa tentu telah terjadi hal-hal luar biasa. Memang sudah sering kali, hampir setiap hari di Puncak Hoa-san terjadi hal-hal aneh semenjak Kwa Hong menjadi Ketua Hoa-san-pai. Hampir setiap hari ada saja tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi sahabat baik mendiang Lian Bu Tojin naik ke puncak, tidak saja mengabarkan tentang kematian kakek itu, juga untuk menyaksikan sendiri kekacauan Hoa-san-pai karena merasa penasaran. Dan hebatnya, setiap kali ada tokoh persilatan naik ke puncak, sebagian besar daripada mereka ini tidak bisa turun lagi karena mereka itu binasa di bawah tangan Kwa Hong, Koai Atong, atau rajawali emas!
Pagi hari ini Beng Tek Cu, tosu dari Bu-tong-pai yang semenjak dahulu menjadi sahabat baik Lian Bu Tojin bersama empat orang adik seperguruannya, naik ke Puncak Hoa-san-pai. Perlu diketahui bahwa Beng Tek Cu ini adalah tokoh Bu-tong-pai yang dahulu di waktu Hoa-san-pai bermusuhan dengan Kun-lun-pai, tosu ini berpihak kepada Lian Bu Tojin. Oleh karena itu, tidak heranlah apabila tosu tua ini sengaja mendaki Puncak Hoa-san-pai ketika ia mendengar berita mengejutkan bahwa Lian Bu Tojin tewas oleh seorang cucu muridnya sendiri yang sekarang telah menduduki kursi ketua di Hoa-san-pai! Beng Tek Cu ini orangnya tinggi besar dan gagah, biarpun usianya sudah enam puluh tahun lebih namun masih tampak kuat dan bersemangat, wataknya sejak muda galak dan jujur dan ilmu pedangnya sudah terkenal di empat penjuru dunia persilatan. Empat orang sutenya juga bukan tokoh-tokoh rendah, melainkan jago-jago Bu-tong-pai yang sudah menguasai ilmu silat dan Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat.
Bukan main rnarah dan herannya hati Beng Tek Cu ketika ia mendengar bahwa sahabat baiknya Lian Bu Tojin, tewas oleh muridnya sendiri. la sudah mengenal Kwa Hong, malah semua murid Hoa-san-pai sudah dikenal oleh tosu Bu-tong-pai ini. Maka dengan amarah meluap-luap dan juga terheran-heran ia segera membawa adik-adik seperguruannya untuk "membereskan" kerusuhan di Hoa-san-pai.
Baru saja memasuki wilayah Hoa-san-pai di kaki Hoa-san itu ia dan adik-adiknya sudah melihat perubahan hebat yang terjadi pada partai persilatan besar di puncak itu. Para tosu anggauta Hoa-san-pai tidak ada yang menyambut dengan penuh penghormatan dan ramah-tamah seperti dulu lagi.
Malah di sana-sini terdapat tosu-tosu yang segera menyelinap pergi dan memandang penuh curiga ketika lima orang tosu Bu-tong-pai ini naik ke gunung itu. Telinga mereka yang terlatih sudah mendengar di sebelah atas orang-orang berteriak sambung-menyambung ke atas, melaporkan kedatangan mereka, begini,
"Beng Tek Cu dan empat orang sutenya dari Bu-tong-pai. hendak menghadap Nio-nio (Dewi)....!!"
Beng Tek Cu mendongkol sekali, apa-lagi mendengar sebutan Nio-nio itu.
Hemm, bukan main sombongnya. Apakah Kwa Hong gadis muda itu yang kini mengangkat diri menjadi ketua dan disebut Dewi" Kedatangannya sudah diketahui, tuan rumah atau nyonya rumah tentu sudah mengadakan persiapan. Entah sambutan apa yang akan ia terima. Beng Tek Cu mengajak adik-adiknya mempercepat perjalanan ke puncak.
Setelah mereka makin tinggi mendaki, di kanan kiri jalan makin sering mereka melihat tosu-tosu Hoa-san-pai melakukan penjagaan, tidak seperti dulu dengan ramah-tamah dan hormat menyambut kedatangan para tamu, melainkan dengan cara bersembunyi-sembunyi. Akan tetapi tak dapat mereka menahan kemarahan hati mereka ketika sampai di lereng terakhir bawah puncak, mereka melihat kuburan-kuburan baru berderet-deret, tidak kurang dari dua puluh jumlahnya. Di depan kuburan itu terdapat bong-pai (batu nisan) sederhana dan kasar yang ditulisi nama-nama yang dikubur. Lima orang tosu Bu-tong-pai ini sudah mendengar akan korban-korban yang jatuh semenjak Hoa-san-pai dipegang oleh Kwa Hong, yaitu mereka yang datang karena tidak senang dan hendak membela mendiang Lian Bu Tojin. Jadi dengan maksud yang sama dengan maksud mereka sekarang. Agaknya sengaja korban itu dikubur di pinggir jalan naik ke puncak agar semua pendatang melihatnya! Alangkah sombongnya!
"Kwa Hong murid durhaka! Kejahatanmu sudah melampaui takaran, pinto datang untuk mengakhiri keganasanmu!" Beng Tek Cu berteriak dengan pengerahan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergema sampai ke puncak gunung.
Belum lenyap gema suaranya yang keras itu, dari puncak gunung tampak bayangan seorang tinggi besar berlari-lari cepat turun ke arah mereka. Para tosu Hoa-san-pai yang tadinya bersembunyi di kanan kiri jalan, sekarang juga muncul dengan pedang di tangan dan dengan sikap siap untuk mengeroyok.
Akan tetapi Beng Tek Cu dan kawan-kawannya berdiri dengan tenang, sama sekali tidak gentar terhadap munculnya para tosu Hoa-san-pai itu. Mereka menujukan pandangan mata mereka kepada orang tinggi besar yang berlari turun seperti terbang cepatnya itu. Diam-diam Beng Tek Cu kaget dan kagum menyaksikan gin-kang orang itu. demikian hebatnya sehingga gerakannya seperti burung terbang saja, kedua kaki seakan-akan tidak menyentuh tanah dan kedua lengan yang panjang itu dikembangkan ke kanan kiri dan digerakkan seperti gerakan sayap burung!
Orang itu bukan lain adalah Koai Atong! Bocah tua ini marah sekali mendengar orang memaki-maki Kwa Hong. Maka cepat ia menyambut musuh-musuh baru ini. Di lain pihak, Beng Tek Cu dan teman-temannya yang belum pernah melihat Koai Atong, merasa heran dan juga geli setelah Koai Atong datang dekat. Mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar setengah tua yang pakaiannya berkembang-kembang dari topi sampai sepatunya pun berkembang, gerak-geriknya seperti anak kecil dan lebih pantas kalau orang itu dimasukkan golongan orang gila. Melihat keadaan orang ini, dapatlah Beng Tek Cu dan kawan-kawannya menduga bahwa mereka berhadapan dengan Koai Atong, tokoh aneh di dunia kang-ouw yang sekarang kabarnya menjadi menjadi suami Kwa Hong! Kalau gadis murid Hoa-san-pai yang cantik jelita itu tidak menjadi gila otaknya, mana mungkin sudi menjadi isteri orang macam ini"
Sementara itu, setelah berhadapan dan melihat bahwa yang memaki-maki
"isterinya" adalah lima orang tosu yang tidak dikenalnya, Koai Atong menuding dan membentak,
"Tosu-tosu bau dari mana berani mampus, datang-datang memaki Enci Hong!"
"Sobat yang baru datang ini apakah bukan Koai Atong?" tanya Beng Tek Cu karena masih ragu-ragu apakah betul Koai Atong yang terkenal itu hanya seperti orang gila ini.
Koai Atong membelalakkan kedua matanya yang sudah lebar itu. "Eh?" Kau tahu namaku" Siapakah kau tosu yang sudah kenal namaku?"
"Pinto Beng Tek Cu dari Bu-tong-pai dan mereka ini adalah sute-suteku. Koai Atong, pinto mendengar bahwa kau dan Kwa Hong murid murtad dari Hoa-san-pai itu telah membunuh Lian Bu Totiang, membunuh tosu-tosu Hoa-sanpai dan banyak orang-orang gagah yang datang ke sini, kemudian malah merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai. Benarkah semua pengacauan ini"
Koai Atong, kau sebagai murid seorang sakti seperti Giam Kong Hwesio, kenapa menjadi tersesat sampai begini jauh?"
Menghadapi ucapan ini dan melihat pandang mata Beng Tek Cu yang tajam berpengaruh, Koai Atong menjadi jerih juga. la menundukkan muka dan tidak dapat menjawab, seperti anak kecil dimarahi ayahnya! Pada saat itu, terdengar suara melengking tinggi, datangnya dari udara dan amat nyaring menyakitkan anak telinga.
"Beng Tek Cu! Kau dan sute-sutemu pergilah dari sini, jangan mencampuri urusan Hoa-san-pai!" Jelas bahwa itu adalah suara wanita yang merdu tapi nyaring dan melengking tinggi. Beng Tek Cu dapat menduga bahwa suara itu tentulah suara Kwa Hong, akan tetapi dia tidak mengerti bagaimana suara itu datangnya dari atas!
"Kwa Hong murid murtad, pinto datang untuk mengakhiri riwayatmu yang busuk!" teriak Beng Tek Cu.
"Koai Atong, tolol! Orang memaki aku, kenapa diam saja" Serang dan bunuh mereka semua, tosu-tosu bau ini!" Suara Kwa Hong terdengar lagi dan tiba-tiba Koai Atong mengeluarkan pekik melengking seperti burung dan tahu-tahu ia telah menggerakkan kedua lengannya yang panjang untuk menyerang kalang-kabut kepada lima orang tosu itu. Beng Tek Cu dan sute-sutenya cepat mengelak, akan tetapi tetap saja dua orang tosu Bu-tong-pai itu terkena pukulan yang amat aneh gerakannya sehingga mereka roboh terguling! Beng Tek Cu marah dan juga heran bukan main. Sute-sutenya itu terhitung murid-murid Bu-tong-pai tingkat dua, memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga Iwee-kang yang sudah kuat sekali. Akan tetapi bagaimana begitu mudah roboh hanya oleh sekali serangan Koai Atong ini" la sendiri ketika mengelak tadi sengaja mengebutkan lengan baju untuk menahan pukulan, akan tetapi lengan bajunya terpukul membalik dan ujungnya sudah hancur.
"Koai Atong, kau menjadi antek siluman betina jahat. Patut dibasmi lebih dulu!" Beng Tek Cu membentak sambil mencabut pedangnya. Dua orang sutenya yang tadi roboh oleh pukulan Koai Atong, juga sudah bangun kembali dan seperti yang lain-lain, dengan marah mereka pun mencabut pedang.
Baiknya dalam gebrakan pertama tadi Koai Atong hanya menggunakan gaya serangan rajawali emas tanpa mempergunakan hawa pukulan Jing-tok-ciang, maka dua orang tosu yang terpukul roboh tidak mengalami luka hebat.
Sekarang lima orang tosu itu dengan pedang di tangan mengurung Koai Atong.
Orang tinggi besar ini nampak kebingungan. Memang bertempur bagi Koai Atong merupakan permainan yang rnenyenangkan, maka ia tertawa-tawa ha-ha-hi-hi sambil berputaran perlahan dan melirik-lirik lima orang lawannya, kedua kakinya berjungkit, kedua lengan dikembangkan dan berge-rak-gerak seperti sayap burung hendak terbang, sikapnya lucu sekali tapi juga aneh dan membuat lima orang tosu Bu-tong-pai itu berhati-hati sekali tidak segera menyerang.
Beng Tek Cu memberi tanda isyarat kepada adik-adiknya dan lima orang tosu ini secara otomatis lalu mengambil kedudukan masing-masing dan membentuk barisan Bu-tong Ngo-heng-tin. Dengan teratur dan otomatis kelimanya lalu bergerak melangkah maju mengitari Koai Atong, tanpa menyerang akan tetapi sikap dan kedudukan mereka sering berubah-ubah, kelihatan indah sekali seperti gerakan tarian yang teratur. Pedang mereka berkelebatan berpindah-pindah pasangan kuda-kuda, ke mana pun mereka melangkah, mata mereka mengincar ke arah Koai Atong.
Biarpun pada umumnya Koai Atong amat bodoh dan sederhana pikirannya seperti kanak-kanak, namun dalam hal ilmu silat ia telah berpengalaman banyak. Selama mengikuti suhunya dahulu, ia telah merantau dari dunia barat sampai ke lautan timur, entah sudah berapa ratus kali pertempuran ia alami.
Tentu saja melihat Bu-tong Ngo-heng-tin ini, ia segera maklum bahwa ia menghadapi barisan yang amat tangguh dan berbahaya. Sama sekali ia tidak gentar, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa ia merasa bingung juga. la dan Kwa Hong hanya meniru gerakan-gerakan rajawali emas dalam menghadapi lawan seorang, belum pernah melihat bagaimana gerakan burung sakti itu kalau menghadapi keroyokan seperti sekarang ini. Maka sudah tentu saja ia takkan dapat mempergunakan gerakan yang ia pelajari dari rajawali emas dan terpaksa menggunakan kepandaiannya sendiri, terutama sekali Jing-tok-ciang.
"Hei, Koai Atong, apa kau takut menghadapi Ngo-heng-tin kami" Kalau takut, lekas berlutut dan minta ampun!" ejek Beng Tek Cu dan empat orang sutenya segera pula mengeluarkan kata-kata memaki dan mengejek. Memang inilah termasuk siasat daripada Ngo-heng-tin, yaitu membuat lawan marah-marah dan memancing lawan agar supaya menyerang.
Koai Atong memang seperti anak kecil. Begitu diejek dan dimaki-maki, ia menjadi marah dan cepat ia memutar lengan kiri menyerang ke arah Beng Tek Cu. Hebat sekali serangannya karena memang semenjak berpisah dari gurunya, ia telah memperdalam Ilmu Pukulan Jing-tok-ciang ini, apalagi gerakannya sudah dicampur pula dengan gerakan rajawali!
Beng Tek Cu maklum akan kehebatan serangan ini maka cepat ia melompat mundur sambil memutar pedangnya. Koai Atong sebaliknya kaget bukan main karena pada saat ia bergerak menyerang itu, ia mendengar desir angin dari kanan kiri dan belakang, melihat pula empat sinar menyambar dan menyerang ke arah empat bagian tubuhnya yang paling lemah! Terpaksa ia menarik kembali serangannya terhadap Beng Tek Cu tadi dan menggunakan kegesitannya untuk mengelak dari empat serangan itu, lalu dalam kemarahannya ia menyerang seorang di antara empat tosu itu yang terdekat.
Akan tetapi, seperti juga tadi, yang diserangnya melornpat mundur dan empat tosu yang lain berbareng menyerangnya dengan pedang dari belakang dan kanan kiri.
Inilah kehebatan Bu-tong Ngo-heng-tin. Memang kelihaiannya baru terasa kalau lawan menyerang seorang di antara lima pelakunya. Karena si Penyerang ini otomatis tentu membiarkan beberapa bagian tubuhnya terbuka kalau ia menyerang dan kesempatan inilah yang dipakai oleh empat orang tosu lain untuk menyerang, sedangkan seorang tosu yang diserang harus menjauhkan diri dan menyelamatkan diri sendiri.
Koai Atong mulai bingung dan repot sekali. Serangannya selalu gagal.
Bagaimana tidak akan gagal kalau begitu menyerang seorang, ia dihantam oleh empat orang" Bukan hanya gagal, malah setiap kali menyerang berarti ia terancam bahaya maut. Ia banyak pengalaman, maka setelah beberapa kali gagal menyerang malah terdesak hebat, akhirnya Koai Atong tidak mau menyerang lagi dan berdiri saja diam menjaga diri. Dan ternyata dugaannya benar, lima orang lawannya itu pun berdiri diam menanti dia melakukan penyerangan seperti tadi!
bagian 14 Memang lima orang dalam bentuk barisan Bu-tong Ngo-heng-tin ini mempergunakan tipu Memancing Ular Keluar dari Rumput. Sekarang setelah Koai Atong diam saja, dengan sendirinya tipu mereka itu gagal. Sampai lama dua pihak saling menanti agar lawan menyerang lebih dulu, akan tetapi keduanya tidak mau mengalah.
Beng Tek Cu memberi isyarat lagi dan tiba-tiba seorang tosu yang berdiri di sebelah kiri Koai Atong menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah lambung bocah tua itu. Belum sampai serangan ini sudah disusul oleh tosu ke dua di belakangnya, lalu disusul tosu lain dan demikianlah, dalam sekejap mata saja lima orang tosu itu susul-menyusul dalam serangan mereka. Koai Atong tadinya menanti datangnya serangan untuk merobohkan Si Penyerang itu, siapa kira serangan itu datangnya susul-menyusul secara otomatis dan teratur sekali sehingga kembali ia sibuk melayani semua serangan tanpa mendapat kesempatan sama sekali untuk balas menyerang! Malah kadang-kadang penyerangan bertubi-tubi itu tiba-tiba berubah sifatnya menjadi serangan serentak berbareng, lalu bertubi-tubi lagi. Inilah gerak tipu dalam Bu-tong Ngo-heng-tin yang disebut Serangan Angin Topan.
Andaikata para tosu itu hanya mengeroyoknya mengandalkan ilmu silat saja, kiranya tidak sukar dan tidak akan memakan waktu lama bagi Koai Atong untuk merobohkan mereka seorang demi seorang. Akan tetapi karena mereka mempergunakan gerakan teratur dalam barisan Bu-tong Ngo-heng-tin yang amat lihai, kini Koai Atong bingung sekali dan terdesak hebat.
"Curang... kalian curang.... Enci Hong bantulah aku....! Tosu-tosu bau ini curang dan lihai sekali....!"
Terdengar suara melengking tinggi, makin lama. makin dekat dan lima orang tosu itu menanti dengan hati berdebar dan sikap waspada. Kemudian disusul suara wanita, "Koai Atong, kau benar-benar memalukan. Melawan lima orang keledai bau ini saja kalah" Memalukan Hoa-san-pai itu namanya!" Dan lima orang tosu itu kaget sekali ketika memandang ke atas mereka melihat Kwa Hong duduk di atas punggung seekor burung rajawali emas, bukan seperti manusia lagi, lebih patut seorang dewi atau seorang siluman! Akan tetapi mereka tidak sempat memperhatikan lebih lama lagi karena tiba-tiba burung rajawali yang indah itu sudah menukik ke bawah, menyambar ke arah mereka.
Sepasang cakar yang kuat ditambah sebuah patuk yang menyerang mereka, disusul oleh lima sinar hijau. Hebat bukan main serangan ini, hebat dan tidak tersangka-sangka. Lima orang tosu itu karena diserang sekaligus, tak sempat menyusun dan mengatur barisan, otomatis mereka bergerak sendiri-sendiri untuk menyelamatkan diri, ada yang mengelak jauh dari ada yang menangkis dengan pedang. Kasihan sekali mereka yang menangkis dengan pedang, yaitu dua orang tosu. Pedang mereka patah dan leher mereka disambar sinar hijau.
Mereka menjerit dan roboh terguling, tewas di saat itu juga menjadi korban panah hijau di ujung cambuk Kwa Hong!
Koai Atong tertawa bergelak lalu tubuhnya yang tinggi besar itu rnenerjang maju. Kini barisan itu sudah pecah dan buyar, maka beberapa kali serang saja Koai Atong sudah berhasil merobohkan dua orang tosu yang lain, dipukulnya tewas dengan Jing-tok-ciangnya yang lihai. Tinggal Beng Tek Cu yang sejak tadi masih sempat mengelak dan menyelamatkan diri. Akan tetapi ia pun maklum bahwa menghadapi dua orang aneh ini ia tidak berdaya. Ilmu silat yang dimainkan Koai Atong amat dahsyat, sedangkan bantuan yang dilakukan oleh Kwa Hong di atas punggung rajawali emasnya lebih dahsyat lagi. la masih mencoba untuk melakukan serangan penghabisan dengan pedangnya, diputarnya senjata ini dan dengan jurus terlihai dari Bu-tong-pai ia menerjang Koai Atong. Namun enak saja Koai Atong menggerakkan kaki dan mengembangkan lengan, semua serangannya terhindar. Dari atas burung rajawali menyambar dan biarpun Beng Tek Cu sudah berusaha untuk mengelak, namun tetap saja tubuhnya menjadi korban sambaran dua buah panah hijau. la menjerit, pedangnya terlepas, tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh dengan kedua mata melotot.
"Kurang ajar....!" Inikah iblis cilik yang mengotorkan nama Hoa-san-pai?"
Suara ini pun datangnya dari atas, amat mengagetkan Kwa Hong dan Koai Atong karena terdengar parau dan menusuk telinga. Ketika mereka menengok ke kanan kiri, tidak kelihatan seorang pun manusia. Diam-diam Kwa Hong bergidik juga dan ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti datang.
Kalau ia teringat akan dongeng tentang Lembah Akhirat yang didengarnya dahulu ketika ia masih menjadi murid Hoa-san-pai ia merasa serem.
Diperintahnya rajawali emas untuk turun dan hinggap di atas tanah. Ia meloncat turun dan mendekati Koai Atong.
"Koai Atong, siapa yang bicara tadi?" Koai Atong juga celingukan menoleh ke kanan kiri, lalu menggeleng kepalanya. Ia tidak pernah mendengar tentang cerita Hoa-san-pai, maka ia tidak merasa takut, hanya terheran-heran.
"Jangan-jangan itu tadi suara rohnya Beng Tek Cu!" katanya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara itu, kini tidak hanya keras dan parau, malah menggetarkan jantung menusuk-nusuk anak telinga, suara menggetar yang amat hebat, membuat sebelah dalam telinga Seakan-akan hendak pecah!
Inilah suara orang bernyanyi dan kata-kata yang dinyanyikanya adalah ujar-ujar dalam kitab To-tik-king:
"Orang baik adalah guru orang tidak baik, orang tidak baik adalah murid orang baik, siapa tidak menjunjung tinggi gurunya, ia akan tersesat jauh, inilah kegaiban berahasia."
Suara yang menyanyikan ujar-ujar ini demikian keras dan buruknya, amat tidak enak didengar sehingga Koai Atong dan Kwa Hong menggigil seluruh tubuh mereka, hampir tidak kuat mendengar lebih lama lagi. Dua orang ini merasa betapa suara itu memasuki telinga dan terus menusuk ke dalam jantung, seakan-akan menyerang semua isi dada dan hendak memecahkan kepala. Sebagai seorang ahli silat tinggi, Koai Atong kaget sekali dan cepat-cepat ia duduk bersila mengerahkan Iwee-kangnya untuk menahan pengaruh luar biasa dari suara nyanyian itu Kwa Hong juga maklum akan hal ini maka ia pun cepat mengerahkan Iwee-kangnya. Bahkan burung rajawali emas, biarpun tidak terpengaruh secana mutlak, juga kelihatan gelisah dan mengeluarkan suara merintih seperti orang menangis. Hebatnya, nyanyian dengan suara buruk itu diulang-ulang terus dan makin lama rnakin pucatlah muka Koai Atong dan Kwa Hong.
Bagi ahli-ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya, melakukan serangan tanpa menggerakkan anggauta tubuh bukanlah hal yang aneh. Jangan dikira bahwa suara itu tidak akan dapat dipergunakan sebagai senjata. Malah dapat dijadikan senjata yang lebih ampuh daripada tajamnya pedang. Bagi seorang yang tingkat Iwee-kangnya sudah tinggi, yang tenaga dalamnya sudah kuat sekali, maka di dalam suaranya dapat diisi getaran yang cukup kuat untuk merobohkan seorang pandai! Bisa melemahkan semangat, bisa menggetarkan jantung dan menghancurkan urat-urat syaraf. Orang yang bernyany-nyanyi kali ini memang agaknya sengaja hendak mempergunakan Iwee-kang dan khikang dalam suaranya untuk menyerang Kwa Hong dan Koai Atong, untuk membunuh mereka tanpa menggerakkan kaki tangan.
Akan tetapi, dalam saat-saat yang amat berbahaya bagi dua orang itu, tiba-tiba terdengar suara lain dari arah yang berlawanan. Juga suara ini adalah suara orang bernyanyi, akan tetapi suaranya nyaring dan gagah, enak didengar dan sekaligus mempunyai pengaruh melawan suara pertama yang buruk dan tidak enak tadi. Anehnya, juga nyanyian ini adalah nyanyian yang kata-katanya diambil dari ayat-ayat To-tik-king!
"Mengenal keadaan orang lain adalah bijaksana, mengenal keadaan diri sendiri adalah waspada. Mengalahkan orang lain adalah kuat, menaklukkan diri sendiri adalah gagah perkasa, Puas dan mengenal batas berarti kaya raya, memaksakan kehendak sendiri berarti nekat.
Tahu diri dan tahu kewajiban akan berlangsung, mati tidak tersesat berarti panjang umur."
Baru satu kali saja suara nyanyian ini terdengar, suara pertama tadi segera lenyap dan tidak terdengar lagi. Juga Kwa Hong dan Koai Atong sudah tidak lagi tersiksa oleh pengaruh suara pertama dan keduanya sekarang sudah meloncat berdiri dengan sikap waspada dan hati-hati.
"Siapa pun hendak membela si jahat, aku tidak takut! Siluman betina yang mengotorkan Hoa-san-pai harus kubasmi!" Baru saja terhenti kata-kata ini, tahu-tahu di depan Kwa Hong dan Koai Atong sudah berdiri seorang kakek yang tinggi kurus, rambutnya panjang awut-awutan, mukanya persis tengkorak hidup dengan sepasang mata yang berlubang dalam.
"Setan....! Ada setan....!" Otomatis Koai Atong mundur-mundur dan bersembunyi di belakang Kwa Hong.
Kakek yang seperti tengkorak hidup itu bukan lain adalah Lian Ti Tojin, tertawa terkekeh-kekeh akan tetapi tidak memandang kepada Koai Atong, melainkan menoleh ke kanan kiri seperti mencari orang lain. Memang dia sedang mencari orang yang tadi melawan nyanyiannya yang juga seperti dia tadi telah bernyanyi tanpa memperlihatkan diri.
"Pembela Si jahat, keluarlah saja kalau memang hendak melawan aku!"
katanya dan tiba-tiba dari mulutnya menyembur darah segar! la terbatuk-batuk beberapa kali dan tahulah Kwa Hong dan Koai Atong bahwa kakek ini ternyata teiah menderita luka dalam yang hebat! Bagaimanakah Lian Ti Tojin dapat menderita luka seperti itu" Bukan lain karena "adu suara" tadi. Kakek ini sudah amat tua, mungkin ia kuat bertahan hidup sampai sekian lama karena ia berada dalam gua itu. Sekarang, begitu keluar di dunia ramai, ia sudah merasa betapa kesehatan tubuhnya terganggu hebat. Apalagi ketika ia sedang menggunakan ilmunya untuk menyerang Kwa Hong dan Koai Atong dengan suaranya, ia telah mendapat perlawanan dari suara orang lain. la harus mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam "adu tenaga" ini dan karena tubuhnya yang sudah terlalu tua itu memang mulai lemah, ia menderita luka dalam yang hebat. Karena kelemahannya inilah maka ia tadi tidak segera keluar, melainkan menggunakan suaranya untuk menyerang dua orang yang dianggapnya perusak nama Hoa-san-pai.
Tadinya Kwa Hong dan Koai Atong kaget dan jerih, akan tetapi setelah melihat kakek itu memuntahkan darah dan tahu bahwa dia itu luka hebat, mereka tidak takut lagi. Malah Koai Atong lalu menuding sambil memaki.
"Kakek tua bangka bikin kaget orang saja. Kukira kau tadi setan! Mau apa kau datang ke sini?" Lalu ia menuding ke arah mayat lima orang tosu Bu-tong-pai tadi. "Apa kau datang mau membeli bangkai-bangkai ini?"
Kwa Hong segera membentak, "Atong, jangan main-main!" Kwa Hong lebih tajam pandang matanya dan ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang sakti, ia malah setengah menduga bahwa kakek ini agaknya "orang aneh" dari Lembah Akhirat.
"Aku mau bertemu dengan Ketua Hoa-san-pai. Mana dia?" Lian Ti Tojin berkata sambil memandang Kwa Hong dengan sinar mata yang membuat Kwa Hong merasa ngeri, Akan tetapi Kwa Hong sekarang berbeda jauh dengan Kwa Hong dahulu. Setelah merobohkan banyak jago-jago terkenal, ia memandang rendah kepada orang lain dan mempunyai keyakinan penuh akan kelihaian diri sendiri ditambah bantuan Koai Atong dan burung rajawali emas. Dengan mengangkat dada dan mengedikkan kepalanya ia menjawab gagah.
"Orang tua, akulah Ketua Hoa-san-pai. Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke sini?"
Kakek itu tertegun. Diam-diam Lian Ti Tojin memang terheran sekali. Benar-benar gadis cantik jelita dan muda belia inikah yang telah mengacau Hoa-sanpai" Benarkah gadis ini yang sudah membunuh sutenya, Lian Bu Tojin" Sukar untuk dapat dipercaya.
"Kau Ketua Hoa-san-pai" Apa buktinya?" tanyanya memancing karena masih ragu-ragu. Tadi ia hanya dari jauh, malah mendengar pula betapa dua orang ini menewaskan lima tosu itu, maka biarpun ia yakin bahwa dua orang ini pengacaunya, namun sama sekali tak pernah ia sangka bahwa wanitanya demikian muda belia, masih seperti kanak-kanak! Maka setelah berhadapan muka ia malah menjadi ragu-ragu. Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa mengejek, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Hoa-san Po-kiam telah dihunusnya. "Inilah tandanya bahwa aku Ketua Hoa-san-pai!"
Wajah kakek yang seperti mayat itu menjadi makin mengerikan ketika ia berdongak dan mengeluarkan keluhan panjang. "Aahhh... hukum karma...
inilah hukum karma....! Kwa Hong, kau murid Hoa-san-pai murtad, membunuh guru merampas pedang menduduki kursi Ketua dan aku... ha-ha-ha, akulah yang harus membasmi! Hukum karma....! Dahulu aku pun melakukan perbuatan dosa seperti yang kaulakukan. Aku menyeleweng, menurutkan nafsu, mengganggu anak bini orang, membunuh jago-jago ternama. Ketika guru menegur, malah kulawan dan kubunuh, ha-ha-ha....! Aku berdosa besar... aku menyesal... kuserahkan kedudukan ketua kepada sute Lian Bu Tojin. Aku menghukum diri di Im-kan-kok, puluhan tahun menyesali perbuatan sendiri tapi agaknya Thian masih belum sudi mengampuni dosa-dosaku.
Buktinya, hari ini aku dihadapkan dengan engkau! Aku masih mempunyai tugas terakhir, menolong nama baik Hoa-san-pai. Agaknya inilah penebusan dosaku... ha-ha-ha-ha, hukum karma....!!"
Wajahnya berubah lagi dan sepasang matanya menyambar seperti kilat ketika ia membentak, "Kwa Hong, kau berhadapan dengan supekmu. Hayo lekas berlutut minta ampun dan mengakui dosamu!" Suaranya seperti halilintar menyambar dan selagi Kwa Hong terpengaruh oleh bentakan hebat ini tiba-tiba secepat kilat tangan kakek itu bergerak merampas pedang. Kwa Hong kaget dan biarpun serangan itu mendadak sekali namun kedua kakinya yang bergerak aneh seperti kaki burung dapat membuat ia mengelak. Sayang sekali, lengan tangan kakek itu setelah tidak berhasil merampas pedang masih terus bergerak mulur (me-manjang) dan tahu-tahu pedang Hoa-san-pai telah dapat dirampas oleh Lian Ti Tojin!
"Ha-ha-ha, po-kiam ini memang seharusnya di tanganku...." Kakek itu ber gelak akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika tiba-tiba tubuhnya terlempar ke samping dan terhuyung-huyung. Ternyata Koai Atong dengan gerakan "sayap rajawali" telah menyerangnya dan membuatnya terhuyung-huyung. Begitu hebatnya serangan Koai Atong ini. Di lain pihak, Koai Atong yang tadi marah sekali melihat orang itu berani merampas pedang dari tangan Kwa Hong, juga kaget dan kagum melihat kakek yang hampir mati saking tuanya itu hanya terhuyung-huyung dan tidak roboh terkena pukulannya Jing-tok-ciang yang ampuh.
Lian Ti Tojin marah dan cepat memasang kuda-kuda, kemudian dua orang aneh itu saling serang dengan hebat. Kwa Hong memandang dengan muka pucat, apalagi ketika Lian Ti Tojin tiba-tiba dapat memisahkan diri dari Koai Atong dan dengan pedang pusaka di tangan melakukan penyerangan hebat sekali kepadanya. Serangan ini hebat bukan main, sinar pedang sampai menjadi panjang seperti pelangi dan sepasang mata Kwa Hong silau karenanya. Bahkan Koai Atong sendiri tidak berdaya melihat Kwa Hong terancam bahaya maut.
Pedang pusaka Hoa-san-pai yang ampuh di tangan Lian Ti Tojin yang lihai itu berkelebat menyambar kearah, tenggorokan Kwa Hong, agaknya takkan dapat dihindarkan lagi oleh Kwa Hong.
"Traaaangggg!!" Bunga api muncrat menyilaukan mata. Lian Ti Tojin berteriak kaget dan heran. Pedang pusaka Hoa-san-pai itu terlepas dari pegangannya yang terasa sakit dan sebelum pedang itu jatuh ke atas tanah, Kwa Hong sudah menyambar dan memegangnya. Di depan kakek ini berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah yang memegang sebatang pedang.yang kini sudah buntung karena beradu dengan pedang pusaka Hoa-san-pai tadi!
Kakek sakti itu kaget dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang biarpun masih muda namun memiliki kepandaian tinggi. Agaknya ia pemuda inilah yang tadi bernyanyi melawan pengaruh suaranya. Akan tetapi sebelum ia sempat menegur, Koai Atong sudah menerjangnya dengan hebat. Terpaksa Lian Ti Tojin mengelak dan melayani Koai Atong dan kembali dua orang aneh ini bertempur hebat. Pertempuran kini lebih hebat dan seru daripada tadi karena Lian Ti Tojin tidak memegang pedang lagi.
Sementara itu, Kwa Hong dengan pedang pusaka di tangan, berdiri memandang laki-laki yang telah menolongnya dari ancaman maut tadi, wajahnya pucat, air matanya mengalir turun membasahi kedua pipinya. Sinar matanya penuh kasih mesra, penuh harap bercampur kekuatiran, bibirnya menggigil tanpa dapat mengeluarkan suara. Adapun laki-laki muda itu berdiri mematung memandang Kwa Hong, sinar matanya penuh iba hati dan juga penyesalan, anehnya, wajahnya yang tampan dengan kulit muka yang tadinya putih sehat itu perlahan-lahan mulai berubah kehijauan!
Siapakah pemuda ini" Bukan lain orang, dia ini adalah Tang Beng San, pemuda yang menggemparkan dunia persilatan ketika beberapa bulan yang lalu ia secara tidak resmi merebut gelar kejuaraan ilmu pedang dan berhak disebut Raja Pedang! Tan Beng San inilah yang menjadi biang keladi sehingga timbul peristiwa hebat di Hoa-san-pai, karena sesungguhnya dia inilah yang menghancurkan kalbu dan mematahkan hati Kwa Hong. Kwa Hong mencintanya sepenuh jiwa raganya dan di antara mereka telah ada hubungan yang sungguhpun terjadi bukan atas kehendak mereka melainkan karena pengaruh racun yang hebat, namun hubungan itulah yang mengakibatkan Kwa Hong mengandung! Dan, seperti kita telah baca dalam cerita Raja Pedang Beng San tidak bersedia menjadi suami Kwa Hong karena memang dia telah mencinta orang lain yaitu, Kwee Bi Goat puteri tunggal Song-bun-kwi Kwee Lun.
Melihat adanya seorang tosu Hoa-san-pai tua yang muncul pula di belakang Beng San, dapat diduga bagaimana Raja Pedang ini bisa sampai di tempat ini.
Tak lain adalah tosu Hoa-san-pai lalu lari minta bantuan kepada Beng San di Min-san. Di sana ia menuturkan segala peristiwa yang terjadi di Hoa-san-pai.
Mendengar penuturan itu, Beng San menjadi marah dan berduka sekali.
Hubungannya dengan Hoa-san-pai amat baik dan ia amat sayang kepada Lian Bu Tojin, maka mendengar bahwa kakek ini dibunuh oleh Kwa Hong dan Koai Atong, ia menjadi berduka sekali.
Apalagi yang membunuhnya adalah Kwa Hong! Kini begitu berhadapan dengan Kwa Hong, Beng San memandang penuh keharuan hatinya dan diam-diam ia harus mengakui bahwa sebetulnya dialah yang membuat gadis Hoa-san-pai ini menjadi begini. Dua orang muda ini saling pandang tanpa menghiraukan Koai Atong yang bertempur mati-matian melawan Lian Ti Tojin, juga tidak pedulikan para tosu Hoa-san-pai yang baru sekarang berani muncul dari tempat sembunyi mereka semenjak munculnya Lian Ti Tojin yang mereka takuti.
"San-ko...." akhirnya Kwa Hong dapat mengeluarkan kata-kata dengan suara setengah berbisik dan air matanya masih menitik turun, "Akhirnya kau... kau datang kepadaku...." Kau datang menyelamatkan nyawaku... dan kau hendak menerima diriku... hendak membawa aku pergi...." Begitukah, San-ko....?"
Pertanyaan terakhir ini diucapkan penuh harapan, mengiris hati Beng San dan hanya dengan pengerahan batin yang amat kuat saja Beng San dapat menahan air matanya supaya tidak membasahi mata.
Beberapa kali Beng San menelan ludah menahan gelora hatinya, kemudian ia dapat mengatasi perasaannya dan menarik muka marah lalu berkata, suaranya penuh teguran.
"Hong-moi, kenapa kaulakukan semua ini" kenapa kau mengajak Koai Atong membunuh Lian Bu Tojin dan mengacau Hoa-san-pai" Kenapa kau menggila dan meramipas kedudukan Ketua Hoa-san-pai, malah membunuh banyak sekali orang gagah" Kulihat lima orang tosu Bu-tong-pai yang terkenal gagah dan budiman juga sudah kaubunuh. Hong-moi, kenapa kau tersesat begini jauh" Kedatanganku ini untuk mencegah kau melanjutkan kegilaan ini!"
"Ohhh....!" Kwa Hong terhuyung mundur tiga langkah dengan muka membayangkan hati yang perih seperti ditusuk jarum beracun. Kemudian setelah menghapus air matanya, ia maju lagi, wajahnya berubah beringas dan marah. Matanya bersinar-sinar penuh api dan bentak-nya,
"Kaulah orang pertama yang ingin sekali aku membunuhnya!" Secepat kilat ia menggerakkan pedang pusaka Hoa-san-pai di tangannya, sedangkan tangan kirinya juga menggerakkan cambuk dengan ilmu panah hijau itu ke arah Beng San. Gerakannya dahsyat, penuh kemarahan dan kebencian, gerakan maut mencari korban.
bagian 15 Namun, kali ini serangan Kwa Hong yang dahsyat dan keji itu tidak berhasil.
Kali ini ia menghadapi seorang yang telah mewarisi ilmu silat sakti, seorang yang telah menguasai ilmu silat Im-yang Sin-kiam-sut ciptaan Pendekar Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu. Apalagi karena dalam mempelajari gerakan-gerakan rajawali emas, baru beberapa bulan saja Kwa Hong melatih diri, maka boleh dibilang kepandaiannya dalam ilmu yang mujijat ini belum masak benar.
Mana bisa dia menghadapi serangan raja pedang seperti Beng San" Begitu orang muda itu menggerakkan tubuh dan kedua kaki tangannya bersilat, tahu-tahu pedang pusaka Hoa-san-pai itu sudah terampas olehnya dan cambuk dengan lima anak panah itu terlepas dari pegangan Kwa Hong. Kwa Hong berdifi lemas, mukanya makin pucat ketika ia berhadapan dengan Beng San yang kini sudah berdiri di depannya memegang pedang Hoa-san Po-kiam dengan kedua kaki tegak terpentang dan pandang mata tajam penuh kemarahan.
"Hong-moi, sekali lagi kuperingatkan kau. Bertobatlah dan Jangan teruskan perbuatan-perbuatanmu yang keji dan jahat!"
Tiba-tiba Kwa Hong membanting-banting kaki dan menangis tersedu-sedu.
Melihat sikap itu, makin hancur hati Beng San. Kenal betul ia akan sifat Kwa Hong ini, masih sama dengan dulu, kalau jengkel membanting-banting kaki.
"Aku memang tidak kuat melawanmu. Hayo... Beng San... kau boleh bunuh aku... mari, kauteruskan pedang itu ke perutku ini... ya ke perut ini, biar mati sekalian... anak kita... uhu-hu-hu...."
Seperti orang gila Kwa Hong menerjang ke arah pedang di tangan Beng San yang menjadi kaget sekali mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut Kwa Hong. "Apa kau bilang....?"" Ia meloncat ke samping, mukanya kini berubah hijau sekali, hijau mengerikan. Inilah sifat aneh dari Raja Pedang Tan Beng San. Di dalam tubuhnya sudah penuh dengan dua macam hawa, yaitu hawa Thai-yang dan Im-kang yang amat luar biasa sehingga tiap kali ia merasa kaget atau malu, mukanya berubah hijau, Sebaliknya kalau marah mukanya akan berubah merah sekali sampai kehitaman! Dapat dibayangkan betapa hebat rasa kagetnya ketika ia mendengar ucapan Kwa Hong yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya itu.
"Hayo... kaubunuh aku dan anak kita.... mahluk yang tidak tahu apa-apa di perutku ini...." Kwa Hong masih maju-maju sambil rnenangis terisak-isak.
".... Hong-moi....! Kaumaksudkan... kau... kau mengandung... karena...
dahulu itu?"" Setelah berkata demikian, Beng San terhuyung-huyung pedang pusaka Hoa-san-pai terlepas dari tangannya. Ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, seluruh tubuhnya gemetar lemah.


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, pertempuran antara Koai Atong dan Lian Ti Tojin berjalan amat serunya. Mereka berdua secara mati-matian bertempur, mengerahkan seluruh kepandaian mereka. Ilmu silat yang dimiliki Lian Ti Tojin adalah ilmu silat Hoa-san-pai yang aseli dan selama puluhan tahun kakek ini sudah melatih diri sehingga tingkat ilmunya benar-benar sudah jauh melampaui tingkat kepandaian aseli dari Koai Atong. Akan tetapi, biarpun baru beberapa bulan mempelajari gerakan rajawali emas, ternyata Koai Atong telah mempelajari ilmu gerakan yang hebat sekali dan kepandaian baru inilah yang menyelamatkan dia sehingga sampai sekian lamanya belum juga Lian Ti Tojin berhasil memukulnya roboh. Di samping ini, memang Lian Ti Tojin sudah terlalu tua, sudah berpuluh tahun tidak pernah bertanding dan selain ini juga telah menderita luka dalam yang hebat ketika tadi "bertanding kekuatan"
dengan Beng San melalui suara. Biarpun makin lama Koai Atong makin terdesak hebat, namun tidaklah mudah bagi Lian Ti Tojin untuk merobohkannya dengan cepat.
Semenjak tadi Koai Atong kebingungan. Berkali-kali ia berteriak minta bantuan Kwa Hong, namun agaknya Kwa Hong sama sekali tidak pernah rnendengarnya. Kemudian setelah melihat Kwa Hong dikalahkan Beng San dan melihat "isterinya" itu menangis tersedu-sedu minta mati, makin kalut pikiran Koai Atong. Gerakannya makin tidak karuan dan beberapa kali ia terkena pukulan Lian Ti Tojin. Namun Begitu roboh ia bangun kembali dan menyerang lagi dengan nekat. Koai Atong sudah muntah-muntah darah dan ia maklum bahwa sebentar lagi ia pasti takkan kuat menahan. Pikiran ini membuat ia menjadi nekat. Ketika Lian Ti Tojin mendesaknya, ia malah membiarkan dirinya dipukul, akan tetapi juga kesempatan ini ia pergunakan untuk menghantam pundak lawannya itu dengan Jing-tok-ciang, menggunakan seluruh tenaganya yang masih ada.
"Plakk-plakk-blugg!" Tubuh Koai Atong terpental dan roboh tak berkutik lagi karena nyawanya sudah melayang, akan tetapi juga tubuh Lian Ti Tojin terlempar, Ia masih dapat mengimbangi dan tidak roboh, hanya terhuyung-huyung dengan muka pucat lalu muntahkan darah segar tiga kali. Mukanya yang seperti tengkorak itu makin menakutkan ketika ia menoleh ke arah Beng San dan Kwa Hong. la melihat Beng San menutupi muka dengan kedua tangan, sedangkah Kwa Hong yang tadinya menangis ketika melihat Koai Atong tewas, cepat menyambar pedang pusaka Hoa-san-pai di atas tanah dan cambuknya. Lian Ti Tojin marah sekali kepada Kwa Hong, biarpun ia sudah terluka parah ia masih mengerahkan tenaga dan lompat menerjang. Kwa Hong juga meloncat ke atas punggung burungnya dan pada saat Lian Ti Tojin menubruk, ia disambut "tendangan" cakar burung rajawali. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa meter jauhnya dan kakek ini bangun berdiri lagi dengan terheran-heran bukan main. Seorang jagoan ilmu silat yang bagaimanapun juga belum tentu akan dapat merobohkannya hanya dengan sekali "tendang" saja, akan tetapi burung itu ternyata benar-benar telah merobohkannya dengan tendangan yang bukan main hebatnya. Ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan baru sekarang ia merasa dadanya sakit sekali.
Tiba-tiba berkelebat sinar hijau di atas kepalanya. Lian Ti Tojin berusaha mengelak, namun telambat. Sambaran cambuk di tangan Kwa Hong dari atas itu amat dahsyat, apalagi rajawali emas terbang tanpa mengeluarkan bunyi.
Belakang kepala Lian Ti Tojin terkena pukulan sebuah anak panah hijau dan kakek yang sudah tua renta ini roboh terjungkal, tewas tak jauh dari mayat Koai Atong.
Setelah berhasil menewaskan Lian Ti Tojin, Kwa Hong di atas punggung burungnya lalu menyerang dari atas hendak menyerang Beng San. Dengan suaranya yang melengking tinggi Kwa Hong memberi aba-aba kepada burungnya untuk menyerang Beng San yang lihai. Baru sekarang ia teringat untuk rninta bantuan rajawali emas itu.
Beng San masih berdiri membungkuk dengan kedua tangan menutupi mukanya. Ketika merasa ada angin bertiup dari atas kepalanya, secara otomatis ia menggerakkan kedua tangannya ke atas. Inilah gerakan seorang ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya. Ilmu kepandaian ini sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga jangankan baru dalam keadaan berduka dan masih sadar, biarpun sedang tidur andaikata ada sesuatu tentu secara otomatis ia dapat menjaga diri. Penjagaan ini dilakukan sesuai dengan datangnya serangan, maka ketika ia merasa ada angin bertiup dari atas yang mengandung tenaga dahsyat, ia segera menangkis.
Hebat sekali tenaga tangkisan Beng San ini. Burung yang menerkamnya itu terpukul kembali oleh hawa tangkisan itu sehingga terbangnya menyeleweng dan terlempar ke samping dan beberapa helai bulunya gugur. Kwa Hong malah hampir terjungkal. dari tempat duduknya!
Beng San kini memandang dan kaget melihat bahwa hampir saja ia mencelakai Kwa Hong tadi, maka katanya dengan suara lemah,
"Kwa Hong, kaubunuhlah aku yang penuh dosa, tapi pergunakan tanganmu sendiri...."
Kwa Hong yang sudah marah itu kembali memerintah burungnya menyambar.
Burung rajawali itu sudah amat patuh kepada Kwa Hong. Apalagi tadi ia tertangkis hampir saja runtuh, maka ia pun marah sekali. Sambarannya kini amat hebat, tidak hanya kedua kakinya menerkam, malah pelatuknya turut pula menyerang dan mematuk.
Namun, kini Beng San berada dalam keadaan sadar. Mana bisa burung itu mencelakainya" Dengan gerakan kaki yang ringan sekali Beng San dapat mengelak. "Aku tidak mau terbunuh oleh burung bedebah ini, Hong-moi...
kalau kau mau bunuh aku, turunlah dan bunuhlah aku dengan tanganmu sendiri...."
Kwa Hong mengeluarkan suara aneh seperti orang menangis tapi juga seperti suara ketawa, lalu disambungnya, "Tidak....! Terlalu enak kalau kau mati... hi-hi-hik, kau harus hidup... Beng San, kau harus hidup menebus perbuatanmu yang menghancurkan hatiku....! Kautunggu saja, kelak anak di kandunganku inilah yang akan membunuhmu. Anakmu sendiri... hi-hi-hik... anakmu sendiri akan membunuhmu....!"
"Hong-moi..., jangan....! Kaubunuhlah aku sekarang....!" teriak Beng San penuh kengerian, akan tetapi burung itu telah terbang ke atas amat cepatnya dan sebentar saja sudah membawa Kwa Hong amat jauh, hanya kelihatan sebuah titik kuning emas di angkasa raya! Beng San merasa betapa matanya berkunang dan gelap, penuh oleh air mata sehingga ia pergunakan kedua tangannya untuk menutup mukanya dan menguatkan hati untuk menahan tekanan batin yang maha berat itu.
Entah berapa lamanya ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru ia sadar ketika mendengar suara orang berkata,
"Tan-taihiap, kau telah menyelamatkan Hoa-san-pai kami dari tangan seorang iblis jahat. Tak lain kami semua murid Hoa-san-pai menghaturkan terima kasih, dan mohon petunjuk selanjutnya."
Beng San cepat mengeringkan air matanya dan mengangkat muka memandang. Ternyata bahwa para tosu Hoa-san-pai semua telah muncul di situ dan berlutut di depannya! Adapun yang bicara tadi adalah tosu tua yang telah datang ke Min-san dan minta pertolongannya. Tentu saja ia menjadi kaget dan sibuk sekali melihat para tosu itu berlutut memberi hormat kepadanya. Cepat-cepat ia berkata,
"Para Totiang harap bangkit dan mari kita bicara baik-baik. Janganlah memberi hormat seperti ini, aku sama sekali tidak berani terima. Bangkitlah!" Di dalam suaranya mengandung pengaruh yang tak dapat dibantah lagi, maka para tosu itu lalu bangun berdiri.
Setelah para tosu itu berdiri, terjadilah keributan. Beberapa orang tosu menuding-nuding dan. rnencela tosu-tosu lain yang tadinya mereka anggap taat dan tunduk serta membantu Kwa Hong. Para tosu itu tentu saja menjadi ketakutan dan menyangkal sehingga terjadi percekcokan dan keributan. Beng San yang memperhatikan keributan itu segera maju melerai sambil berkata,
"Para Totiang harap jangan cekcok sendiri. Tidak ada gunanya saling menyalahkan dan tidak perlu menekan mereka yang tadinya jatuh ke bawah pengaruh Kwa Hong. Di dunia ini, manusia manakah yang tak pernah menyeleweng dan bersalah" Tanpa adanya kesalahan dan dosa, manusia takkan dapat sadar dan bertobat, takkan mampu membedakan baik benar.
Yang penting adalah kesadaran akan dosa itu, maka biarpun tadinya ada beberapa orang Totiang yang bertindak keliru, asal sekarang sudah sadar dan bertobat, kiraku tidak perlu ditekan terus."
Para tosu dapat menerima ucapan ini dan kembali mereka berunding, kini dengan hati rukun dan tidak saling menyalahkan seperti tadi.
"Tan-taihiap, keadaan Hoa-san-pai kami sudah morat-marit dan rusak. Mohon petunjuk Tai-hiap bagaimana supaya Hoa-san-pai dapat dibangun kembali.
Kami kehilangan pimpinan," kata tosu tua.
"Aku sudah mendengar bahwa Saudara Kui Lok dan Thio Bwee diusir oleh Kwa Hong. Cucu murid yang masih ada sekarang hanyalah Thio Ki yang sekarang tinggal di Tin-yang menjadi piauwsu (pengawal barang). Para Totiang harap tinggal di sini dan mengurus semua mayat ini secara baik-baik, biarlah aku yang pergi mengabarkan ke Sin-yang dan minta kepada Saudara Thio Ki untuk datang ke sini dan mengurus pembangunan Hoa-san-pai. Kurasa hanya dia seorang yang berhak, karena dia pun murid dari mendiang Lian Bu Tojin."
Para tosu menyatakan persetujuan mereka dan berangkatlah Beng San turun gunung dengan wajah muram. Pertemuannya dengan Kwa Hong tadi benar-benar membuat ia berubah menjadi manusia lain. Ketika ia mendaki Puncak Hoa-san, Ia merupakan seorang manusia bahagia karena selama ini ia tinggal di Min-san bersama isterinya, yaitu Kwee Bi Goat, hidup dengan penuh cinta kasih dan damai, saling mencinta dan rukun. Ketika ada tosu Hoa-san-pai datang dan menceritakannya tentang malapetaka yang menimpa Hoa-san-pai dan mohon pertolongannya, Beng San tak dapat menolak karena ia mengingat akan hubungannya dengan partai itu. Isterinya mengatakan hendak ikut, akan tetapi oleh karena Beng San tahu bahwa akan buruk jadinya kalau isterinya itu bertemu dengan Kwa Hong, maka ia mencegah dan menyatakan bahwa tidak baik bagi kesehatan isterinya untuk melakukan perjalanan jauh, karena keadaan Bi Goat yang sedang mengandung itu. Demikianlah ia tinggalkan Bi Goat di Min-san bersama ayah mertuanya, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun.
Siapa sangka bahwa pertemuannya dengan Kwa Hong akan menghancurkan hatinya seperti ini!
"Aduh... aku tidak berharga lagi mendekati Bi Goat...." Di sepanjang perjalanan menuju ke Sin-yang mencari Thio Ki, Beng San membayangkan isterinya dengan hati remuk redam. Setelah apa yang ia lakukan bersama Kwa Hong dan ternyata Kwa Hong mengandung keturunannya, ia merasa berdosa besar dan merasa tidak berharga untuk mendekati isterinya terkasih dan suci.
Ketika mendaki Puncak Hoa-san tadi ia masih merupakan seorang suami yang berbahagia, sekarang ia meninggalkan puncak dengan hati terjepit derita sengsara. Namun dasar seorang berwatak satria, sungguhpun diri sendiri mengalami penderitaan batin yang maha besar, namun ia terus melanjutkan usahanya untuk menolong Hoa-san-pai. la harus mencari Thio Ki dan menarik orang muda kakak Thio Bwee itu agar suka turun tangan membangun kembali Hoa-san-pai yang dikacau oleh Kwa Hong.
Mari kita mendahului perjalanan Beng San yang sedang menuju ke Sin-yang untuk mencari Thio Ki dan kita melihat apa yang terjadi di Sin-yang. Seperti telah dituturkan, Thio Ki adalah murid Hoa-san-pai juga, malah dalam tingkatnya, ia adalah cucu murid yang paling tua. Thio Ki adalah kakak kandung Thio Bwee dan pemuda Hoa-san-pai yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tampan ini sekarang telah bekerja membuka piauw-kiok di Sin-yang.
Pada masa itu, perusahaan piauw-kiok (kantor exspedisi) amat maju karena banyaknya orang jahat sehingga para saudagar selalu mengirim barang-barangnya yang berharga di bawah perlindungan jago-jago dari piauw-kiok, Karena kepandaiannya memang tinggi dan sebagai murid Hoa-san-pai, sebentar saja Thio Ki sudah membuat nama baik, ditakuti penjahat dan dipercaya langganan pengirim barang.
Thio Ki telah menikah dengan seorang gadis bernama Lee Giok. Bukan gadis sembarangan. Selain cantik jelita juga gadis ini hebat kepandaiannya, bahkan lebih tinggi ilmu pedangnya kalau dibandingkan dengan Thio Ki sendiri. Hal ini tidak aneh karena Lee Giok adalah seorang gadis keturunan bangsawan Kerajaan Goan yang lalu, yang menjadi murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan Si Raja Pedang Tanpa Tandingan! Selain menjadi murid orang sakti, juga Lee Giok terkenal sebagai seorang gadis patriot yang dalam jaman perjuangan melawan Kerajaan Mongol telah berjasa besar (baca.Raja Pedang).
bagian 16 Suami isteri ini hidup rukun dan damai di Sin-yang. Thio Ki amat mencintai isterinya itu, sungguhpun sebetulnya di dalam hati kecilnya Lee Giok tidak mencinta suaminya. Bukan karena Thio Ki kurang gagah atau kurang tampan, melainkan karena cinta kasih pertamanya telah gagal, dibawa mati seorang patriot besar murid Kun-lun-pai bernama Kwee Sin. Hal ini tidak aneh karena sebagai seorang patriot tentu saja ia kagum kepada lain orang patriot dan ketika orang yang dicintanya itu Kwee Sin, meninggal dunia, hatinya menjadi hampa dan ia tidak banyak membantah ketika ia dijodohkan dengan Thio Ki, seorang pemuda yang selain gagah juga tampan. Hanya sedikit hal yang mengecewakan hati Lee Giok, yaitu bahwa suaminya ini sama sekali tidak memiliki jiwa patriotik.
Di Sin-yang mereka berdua hidup dalam keadaan cukup. Perusahaan Piauw-kiok yang didirikan Thio Ki mendatangkan hasil lumayan. Mereka dapat memberi sebuah rumah yang cukup besar dengan pekarangan yang luas juga.
Karena pekerjaan suaminya itu mengharuskan suaminya lebih sering keluar rumah daripada berada di rumah, untuk mengurangi kesepian, Lee Giok memelihara banyak ayam dan binatang ternak lain di rumahnya. Juga la menanam banyak kembang indah di pekarangannya.
Pada sore hari itu di pekarangan rumah Thio Ki nampak sunyi. Sehari itu tidak nampak Lee Giok atau pelayannya keluar dari dalam rumah. Padahal sudah tiga hari Thio Ki berada di rumah. Dan pada hari itu pun Thio Ki tidak pergi ke perusahaannya. Akan tetapi mengapa kelihatan begitu sunyi" Malah-malah tiga orang pelayan rumah tangga sejak pagi tadi sudah disuruh pulang semua dan disuruh libur sepekan lamanya oleh Lee Giok. Para pelayan itu terheran-heran, akan tetapi tidak berani membantah kehendak nyonya rumah itu.
Apakah yang terjadi" Kalau kita menengok ke dalam rumah, keadaannya lebih aneh lagi. Thio Ki dan Lee Giok berada di ruang tengah, muka mereka agak pucat dan biarpun di dalam rumah, mereka berpakaian ringkas dan di pinggang mereka tergantung pedang seperti orang yang siap akan bertempur!
Dan kedua orang suami isteri ini bersikap begini semenjak malam tadi.
Memang tidak aneh kalau diketahui sebabnya. Ada bahaya maut mengancam keselamatan mereka, bahkan keselamatan para pelayan dan malah semua yang hidup di dalam rumah itu terancam bahaya maut. Malam tadi, lewat tengah malarn, dua orang suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi ini mendengar tindakan kaki ringan di atas genteng rumah mereka. Thio Ki adalah seorang yang biasa melakukan perjalanan dan biasa berhadapan dengan orang-orang jahat, juga Lee Giok bukanlah pendekar kemarin sore, maka mendengar suara ini mereka dapat meloncat keluar dari kamar, tanpa mengeluarkan suara ribut-ribut mereka berdua sudah mengejar, seorang lewat pintu belakang, seorang melalui pintu depan, terus meloncat ke atas genteng rumah sendiri. Akan tetapi mereka tidak melihat sesuatu dan setelah mencari-cari beberapa lama, mereka melihat berkelebatnya bayangan orang dari bawah, baru saja orang itu meloncat keluar dari ruangan dalam. Gerakan orang itu gesit dan ringan sekali. Akan tetapi Lee Giok dan Thio Ki sudah cepat menerjang ke depan menghadang dan Thio Ki membentak,
"Penjahat dari mana berani marnpus mengganggu rumahku?"
Orang itu tertawa, suara ketawanya melengking tinggi dan sekali berkelebat sudah melayang melalui atas kepala suami isteri itu. Lee Giok dan Thio Ki kaget sekali cepat mengejar. Mereka tidak sempat melihat, wajah orang itu.
Ketika melihat dua orang itu mengejar, Si Penjahat lalu membalikkan tubuh di tempat yang gelap, kedua tangannya bergerak dua kali ke depan seperti orang memukul. Thio Ki dan Lee Giok dapat menduga bahwa itu tentulah serangan gelap, mungkin senjata rahasia, maka mereka cepat berhenti dan siap siaga.
Tidak ada senjata rahasia melayang datang, tapi , tiba-tiba mereka merasa terdorong ke belakang dan hampir terjengkang roboh kalau tidak cepat-cepat berjungkir-balik. Mereka merasa dada mereka agak sesak sekali oleh tenaga dorongan yang tidak kelihatan itu. Pada saat mereka berdiri kembali, penjahat itu telah lenyap, hanya rneninggalkan gema suara ketawanya yang melengking tinggi, suara ketawa wanita! Juga meninggalkan ganda yang harum semerbak.
Thio ki dan Lee Giok mengejar sampai jauh keluar rumah, namun sia-sia saja.
Dengan kecewa dan lesu mereka kembali memasuki rumah dan apa yang mereka lihat membuat mereka mengertak gigi saking marah, akan tetapi juga membuat wajah mereka pucat. Di dalam kamar mereka, di atas dinding yang putih, terdapat tulisan-tulisan corat-coret merah yang berbunyi: Sebelum lewat besok malam, semua yang bernyawa di rumah ini akan mati.
Tidak ada tanda tangan apa-apa dan tulisan dilakukan dengan darah. Ketika rnereka memeriksa ke belakang, ternyata dua ekor anjing peliharaan yang tidur di belakang telah mati dengan kepala pecah. Agaknya darah anjing ini yang dipakai untuk menulis "surat maut" itu.
"Apa kau mengenal suaranya?" akhirnya Thio Ki bertanya kepada isterinya.
Lee Giok menggeleng kepala dan keningnya berkerut, "Jelas dia seorang perempuan, akan tetapi karena gelap tidak dapat mengenalnya. Suaranya pun seakan-akan pernah mendengarnya tapi entah di mana."
"Kepandaiannya hebat...." Thio Ki menarik napas panjang. "Entah mengapa dia melakukan ini?"
"Dia tentu tidak datang seorang diri," kata Lee Giok, sepasang matanya yang jeli itu bergerak-gerak cerdik. "Tulisan ini baru saja ditulis, darahnya masih belum beku, bangkai anjing itu pun masih hangat. Tentu hal ini dilakukan pada saat kita mengejar penjahat perempuan itu. Yang datang ke sini pada malam ini sedikitnya tentu dua orang, mungkin lebih."
Thio Ki lebih gelisah mendengar ini. la tak dapat menyangkal pendapat isterinya yang cerdik itu. "Seorang saja demikian lihainya, kalau mereka itu berkawan, benar... berbahaya....!"
"Tak perlu gelisah. Kalau orang sudah menghendaki untuk memusuhi kita, tidak ada jalan lain kecuali melawan mati-matian. Hanya aku ingin sekali tahu siapa mereka dan apa sebabnya... Apakah selama beberapa bulan ini menjadi piauwsu kau tidak menanam bibit permusuhan yang hebat dengan golongan hitam (penjahat)!"
"Tidak, tidak ada. Melihat tulisan ini, agaknya Si Penulis mempunyai dendam yang amat mendalam terhadap kita." Muka Thio Ki makin pucat.
Tiba-tiba Lee Giok mengangkat alisnya, matanya bersinar-sinar. "Ah, siapa lagi kalau bukan dia" Hemm, sejak dulu memusuhi aku, hemm... tapi... ah, kalau benar dia mengapa ilmu kepandaiannya begitu hebat?"
"Siapakah" Siapakah yang kaumaksudkan, isteriku?" Thio Ki bertanya penuh perhatian.
"Aku teringat akan Kim-thouw Thian-li....."
Thio Ki menahan napas, ia pun teringat sekarang. Memang agaknya kalau ada musuh besar wanita, kiranya dia itulah, Kim-thouw Thian-li (Dewi Berkepala Emas, ketua dari Ngo-lian-kauw (Agama Lima Terang)). Seorang siluman yang hebat dan kejam. Apalagi gurunya yang bernama Hek-hwa Kui-bo (Setan Betina Hitam). Bergidiklah Thio Ki teringat mereka itu dan bulu tengkuknya meremang.
"Kalau betul dia... Hek-hwa Kui-bo... ah... bagaimana baiknya?" Ia nampak ketakutan sekali dan sekali lagi di lubuk hati Lee Giok tertikam oleh kekecewaan suaminya. Ia makin kenal betul bahwa di balik keangkuhan dan kegagahan Thio Ki terdapat sifat penakut yang tidak menyenangkan hatinya.
"Orang-orang seperti kita ini apakah pantas ketakutan menghadapi ancaman musuh?" Dalam ucapan Lee Giok ini terkandung kekecewaan dan teguran yang amat terasa oleh Thio Ki. Maka ia segera berdiri dan menepuk dada sambil berkata,
"Jangan kuatir isteriku. Aku suamimu tentu saja tidak takut menghadapi musuh yang manapun juga, tidak pula takut menghadapi kematian sebagai seorang gagah. Hanya aku meragukan apakah kita mampu melawan mereka itu kalau benar-benar mereka terdiri dari Hek-wa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li?"
Agak senang juga hati Lee Giok. Memang beginilah seharusnya sikap orang yang menjadi suaminya. "Kalau betul dugaan kita bahwa mereka itu adalah Kim-thouw Thian-li dan gurunya, sudah tentu kita bukanlah lawan mereka.
Akan tetapi, nyawa berada di tangan Thian. Jangankan baru mereka berdua, biarpun kita diancam oleh seratus orang macam mereka, kalau Thian belum menghendaki mati, kiranya kita pun akan selamat. Sebaliknya, kalau Thian sudah menghendaki kematian kita, biarpun andaikata kita melarikan diri, tentu musuh akan dapat mengejar dan membunuh kita juga. Sama-sama mati, bukankah lebih baik mati sebagai orang gagah?"
"Kau betul, isteriku, Seribu kali lebih baik mati sebagai harimau yang baru mati setelah melakukan perlawanan gigih daripada mati sebagai seekor babi yang tidak melakukan perlawanan malah melarikan diri."
"Bukan begitu saja, pendirian seorang gagah malah lebih tinggi lagi. Lebih baik mati sebagai seekor harimau daripada hidup sebagai seekor babi!"
Thio Ki mengangguk-angguk. "Kau betul... kau betul...."
"Kita harus berjaga-jaga," kata pula Lee Giok setelah agak lama mereka merenung, "pertama-tama besok pagi-pagi tiga orang pelayan kita harus pergi dari sini pulang ke kampung masing-masing. Biar mereka berlibur sepekan, baru me reka diperbolehkan kembali ke sini. Aku tidak suka kalau karena permusuhan kita, orang lain yang tidak tahu apa-apa ikut terancam bahaya."
Demikianlah, pada keesokan harinya, tiga orang pelayan mereka suruh pulang, diberi bekal uang dan dipesan supaya jangan kembali sebelum sepekan, Kemudian suami isteri ini berjaga-jaga sehari penuh dengan pedang selalu di pinggang. Mereka makan sambil berjaga-jaga dan tidak pernah berpisah sebentar pun juga. Mereka maklum akan kelihaian lawan, maka biarpun siang hari, mereka tidak berani meninggalkan kewaspadaan. Apalagi setelah hari itu menjelang malam, mereka makin berhati-hati.
Pintu-pintu depan dan belakang mereka tutup dan dipalang kuat-kuat. Hanya pintu samping yang kecil mereka tutup saja tanpa dipalangi. Dengan cerdik Lee Giok memasangkan anak panah terpentang di busur yang dihubungkan dengan pintu-pintu dan jendela sehingga siapa saja berani memasuki rumah dengan jalan merusak, pasti akan disambut anak panah. Sedangkan dia sendiri dan Thio Ki selain membawa pedang juga menyediakan kantong senjata rahasia piauw secukupnya. Tidak begini saja, malah di depan pintu Lee Giok menyebar paku-paku yang sudah ditekuk sehingga merupakan perintang bagi musuh.
Setelah sore terganti malam, keadaan di rumah Thio Ki makin sunyi lagi.
Memang rumah ini agak jauh dari tetangga dan mempunyai pekarangan yang luas. Apalagi suami isteri yang berjaga-jaga di ruangan dalam itu, Lampu-lampu penerangan di luar rumah dipasang semua, terang benderang, akan tetapi disebelah dalam, di ruangan itu, sengaja digelapkan. Inilah siasat Lee Giok agar mereka dapat melihat kedatangan musuh tanpa diketahui oleh musuh itu.
Waktu merayap agak keras, menggerakkan daun-daun pohon, mengeluarkan bunyi yang terdengar amat mengerikan bagi orang-orang yang berada dalam cekaman ketegangan itu. Keduanya tidak dapat melihat apa-apa, biarpun mereka mengintai dari lubang-lubang di antara pintu keluar, keadaan sunyi saja, namun mereka memasang telinga baik-baik. Setiap bunyi harus terdengar oleh mereka dan ini penting sekali bagi ahli-ahli silat. Kadang-kadang telinga dapat mendahului mata dan telingalah yang menyelamatkan nyawa, kadang-kadang. Keadaan di ruangan itu begitu sunyi sehingga andaikata ada jarum jatuh, tentu akan terdengar oleh mereka.
Beberapa kali terdengar suara orang atau kaki kuda dari jauh, hanya sayup sampai terbawa angin lalu, Thio Ki memandang bayangan isterinya di dalam gelap dan bangkitlah kasih sayangnya yang besar. Ngeri ia kalau memikirkan bagaimana mereka nanti harus menghadapi musuh yang lihai. Bagaimana kalau sampai dia atau isterinya tewas" Terharu hatinya memikirkan dan tak terasa pula ia menjamah tangan isterinya dengan mesra dan penuh kasih.
Agaknya Lee Giok merasai ini, maka cepat-cepat mengibaskan tangan suaminya. Dalam keadaan seperti itu Lee Giok tidak mau memperlihatkan perasaan lemah, apalagi seluruh panca indera harus dipusatkan untuk memperhatikan keadaan di luar.
"Ssttt, dengar.. baik-baik...." bisiknya rnemperingatkan suaminya.
"Srrtt-srttt!" Suami isteri itu menghunus pedang, digenggam erat-erat dan berdiri siap siaga. Mereka mendengar langkah kaki yang amat ringan datang dari depan!
"Jaga kanan kiri pintu...." bisik lagi Lee Giok. Thio Ki maklum akan maksud isterinya dan ia lalu berdiri di sebelah kiri pintu sedangkan isterinya menjaga di sebelah kanan. Menurut rencana Lee Giok, musuh itu biar mendobrak pintu kalau bisa melalui lantai penuh paku, kemudian menerima sambaran anak panah dan diterjang oleh mereka berdua dari kanan kiri. Biarpun musuh lebih pandai, kiranya takkan dapat menyelamatkan diri kalau dihujani serangan seperti ini.
Suara langkah kaki yang ringan itu makin lama makin dekat, berhenti di depan pintu di mana telah disebar paku-paku oleh Lee Giok. Keadaan makin tegang dan makin sunyi setelah langkah kaki itu berhenti dan tak terdengar lagi. Lee Giok yang biasanya tabah dan sudah biasa menghadapi saat-saat tegang ketika ia masih menjadi pejuang dahulu, kini mau tidak mau mengeluarkan keringat dingin. Apalagi Thio Ki yang memang sudah merasa gelisah sekali.
Tubuhnya menggigil dan setiap saat ia bisa kalap, meloncat dan menerjang siapa saja yang muncul di saat itu. Senjata-senjata rahasia sudah siap di tangan kedua orahg ini.
Tiba-tiba terdengar suara perlahan di luar pintu, suara wanita yang bicara seorang diri setengah berbisik, "Aneh sekali... di luar terang mengapa di dalam gelap dan sunyi" Pergikah orang-orangnya" Dan paku-paku ini...." Suara itu berhenti sebentar lalu terdengar ia memanggil,
Pendekar Sadis 13 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih 9
^