Pencarian

Rajawali Emas 6

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


"Tidak, harus kauberikan kepadaku!" bentak Hek-hwa Kui-bo sambil menerjang maju hendak merampas Liong-cu-kiam yang amat diinginkan itu.
Akan tetapi sekali menggerakkan kaki secara aneh usaha Hek-hwa Kui-bo untuk merampas pedang itu gagal dan ia hanya menangkap angin. Diam-diam nenek ini kaget sekali. Biarpun tadi dalam pengeroyokan atas diri Raja Pedang ia sudah mendapat kenyataan betapa lihainya wanita muda ini, namun tak pernah disangkanya akan demikian hebat sehingga serangannya merampas pedang dapat digagalkan hanya dengan menggerakkan kaki saja!
"Kalian ini tua bangka tak tahu diri! Bukalah matamu baik-baik dan lihat kepada siapa kalian bicara! Kalau tidak ada aku dan rajawali emasku, mana bisa kalian mengalahkan Bu-tek Kiam-ong" Sekarang masih berlagak hendak merampas pedang" Lihat, yang di tangan kananku ini adalah Hoa-san Po-kiam pedang pusaka Hoa-san-pai yang menandakan bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai. Dan di tangan kiriku ini adalah Liong-cu-kiam yang menandakan bahwa aku lebih lihai daripada Bu-tek Kiam-ong dan tentu saja lebih lihai daripada kalian tua bangka. Mau pedang" Hi-hi-hi, kalau kalian sudah mengidam kuburan, boleh, majulah untuk kutebas batang leher kalian, seorang satu!" Ia meyodorkan kedua pedang itu ke depan sambil tersenyum-senyum penuh ejekan.
Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi saling pandang. Baru satu kali selama hidup mereka itu mereka menerima hinaan dan kekalahan dari seorang muda, yaitu dari Beng San. Dan sekarang ada seorang gadis muda lagi yang mengejek dari menantang mereka. Tanpa mengeluarkan suara, saling pandang ini cukup bagi dua orang tokoh itu bersepakat mencoba kepandaian mereka yang sebetulnya berpasangan itu kepada gadis aneh ini. Serentak keduanya bergerak menyerang Kwa Hong!
Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa sambil menangkis dengan sepasang pedangnya. Akan tetapi suara ketawanya tidak berlangsung lama karena ia segera menjadi repot sekali oleh pengeroyokan dua orang itu. Hek-hwa Kui-bo mainkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut sedangkan Song-bun-kwi mainkan Yang-sin Kiam-sut dan mereka dapat bekerja sama secara baik sekali.
Menghadapi pasangan ilmu pedang sakti ini, Kwa Hong segera terdesak hebat dan untung baginya ia sudah paham betul akan gerakan dan perubahan geseran kaki menurut gerakan rajawali emas, sehingga biarpun terdesak hebat ia masih dapat menyelamatkan diri secara aneh. Akhirnya ia melengking keras minta bantuan rajawali.
Rajawali emas menyambar-nyambar di atas kepala dua orang itu Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo tadi sudah menyaksikan ketika rajawali itu merampas pedang dari tangan Cia Hui Gan, maka mereka kaget dan cepat meloncat dan menjatuhkan diri. Kesempatan ini dipergunakan Kwa Hong untuk meloncat ke atas punggung burungnya, sambil tertawa-tawa berkata,
"Aku tidak ada waktu untuk main-main dengan kaiian dua orang tua bangka!"
cepat burungnya terbang meninggalkan dua orang itu yang menyumpah-nyumpah saking mendongkol dan marahnya.
"Ah, kenapa begini tolol" Aku harus menangkap Beng San keparat!" tiba-tiba Song-bun-kwi teringat akan urusannya dan tanpa menoleh lagi kepada Hek-hwa Kui-bo ia berlari cepat mengejar ke arah larinya Beng San dan Li Cu tadi.
Hek-hwa Kui-bo datang bersama Beng Kui. Memang ia dimintai tolong oleh orang muda itu setelah Beng Kui mendengar bahwa Beng San telah kehilangan ingatan dan kepandaiannya. Seperti telah dituturkan di bagian atas, antara Hek-hwa Kui-bo dan Beng Kui terdapat kerja sama lagi ketika mereka membantu pemberontak-pemberontak yang hendak menggulingkan kedudukan Kaisar pertama dari Kerajaan Beng. Kini Beng Kui berhasil dengan usahanya, yaitu menculik Beng San dan Li Gu. Akan tetapi, di belakang orang muda itu mengejar Song-bun-kwi dan mungkin juga Kwa Hong, siapa tahu"
Sudah menjadi tugasnya untuk membantu Beng Kui, maka ia pun lalu meninggalkan tempat itu dan menyusul Beng Kui karena ia tahu ke mana pemuda itu membawa pergi dua orang korbannya itu.
Dalam kempitan Beng Kui, Beng San tak berdaya. Akan tetapi diam-diam ia memutar terus otaknya yang sejak pertempuran di Thai-san tadi mengalami guncangan-guncangan hebat. Banyak hal yang membingungkannya. Sekarang kakak kandungnya menangkap dia dan isterinya. Apakah kesalahannya" Apa pula kesalahan isterinya" Dan ke mana mereka berdua hendak dibawa"
Hendak diapakan" Seingatnya, isterinya adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, puteri dari Song-bun-kwi. Kenapa tadi Song-bun-kwi, teringat ia sekarang, tidak menolongnya dan menolong isterinya"
"Aku tidak peduli itu semua...." akhirnya hatinya memutuskan karena kepalanya serasa pecah karena kepeningan ketika ia mencoba memecahkan semua rahasia itu. ".... asal saja Bi Goat jangan diganggu...." Ia merasa kuatir sekali kalau-kalau isterinya diganggu orang. Kalau sampai terjadi demikian biarpun yang mengganggunya itu kakak kandungnya, biarpun dia sendiri tidak bisa silat, hemm... dia akan mencegahnya dan melawan mati-matian mempertaruhkan nyawanya sendiri.
"Kui-ko, kenapa kau menangkap kami suami isteri dan ke mana kau hendak membawa kami?" Beng San akhirnya bertanya. Akan tetapi yang ditanya tidak menjawab, melainkan berlari makin cepat lagi. Beng San mengulang-ulang pertanyaannya, namun Beng Kui tetap tidak menjawab sedangkan Li Cu tidak dapat bersuara karena jalan darah di lehernya telah tertotok.
Semenjak Beng Kui gagal dalam rencana pemberontakannya dahulu, hatinya menjadi lebih sakit dan menaruh dendam kepada Beng San. Ia sudah mendengar betapa adik kandungnya itulah yang telah menggagalkan pencegatan terhadap Kaisar, malah ia mendengar betapa dengan kerja sama antara Beng San dan Li Cu,
Ho-hai Sam-ong tewas pula dalam pertempuran. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan betapa gurunya sendiri pun turun tangan di kota raja menghadapinya, maka ia menaruh sakit hati terhadap bekas gurunya, terhadap Li Cu dan terutama sekali terhadap Beng San. Inilah yang menyebabkan mengapa ia sengaja datang ke Thai-san bersama Hek-hwa Kui-bo ketika ia mendengar berita bahwa Beng San yang ia takuti itu telah kehilangan kepandaiannya dan menjadi orang gila.
Sebagai seorang bekas pemberontak, tentu saja Beng Kui tidak dapat bebas.
Ia menyembunyikan diri sambil menunggu saat baik, malah membuat tempat persembunyian tak jauh dari Puncak Thai-san. Di sebuah hutan ia telah mendirikan rumah besar dan ia mempunyai banyak kaki tangan yang masih setia kepadanya dan Beng Kui kalau berada di tempatnya ini menganggap diri sendiri seolah-olah telah menjadi seorang "raja kecil". Isterinya, puteri pangeran yang bertubuh lemah, tidak ia ajak dalam perantauan dan persembunyiannya ini, melainkan ia tinggalkan di tempat persembunyiannya dekat kota raja.
Menjelang senja. Beng Kui memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Thai-san sebelah utara. Hutan itu gelap dan amat liar, tak pernah didatangi manusia. Akan tetapi ternyata di tengah-tengah hutan besar itu terdapat sebuah rumah besar dikelilingi rumah-rumah agak kecil. Inilah
"perkampungan" kecil yang dijadikan tempat persembunyian Beng Kui bersama pengikut-pengikutnya. Kedatangannya disambut oleh beberapa orang kaki tangannya. Beng Kui langsung memasuki rumahnya dan membanting tubuh Beng san ke atas lantai. Pemuda ini terbanting dan bergulingan dan terdengar beberapa orang anak buah Beng Kui tertawa mengejek.
"Kui-ko, di manakah ini" Rumah siapa dan apa yang hendak kaulakukan terhadap kami" Kaulepaskan isteriku!" Beng San tidak pedulikan tubuhnya yang sakit-sakit lalu merangkak bangun. Andaikata Beng Kui tidak semarah itu, kiranya hal ini akan menimbulkan, keheranannya.
Akan tetapi ia lupa bahwa tadi ia telah menotok jalan darah di tubuh Beng San yang membuat adiknya itu lumpuh.
"Kau mau tahu apa yang hendak kulakukan" Ha-ha-ha, aku takkan membunuhmu sekarang! Kau harus melihat dulu apa yang akan kulakukan terhadap perempuan tak tahu malu ini!" ia melempar Li Cu ke atas sebuah dipan diruangan itu. Gadis itu jatuh lemas dan tak dapat bergerak, hanya sepasang matanya yang memandang tajam penuh kemarahan dan kebencian, Beng Kui mengejar maju dan sekali tangannya bergerak ia telah membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Li Cu dapat bicara kembali. Saking marahnya sampai gadis itu tidak mampu mengeluarkan perkataan apa-apa!
"Kui-ko, kau tahu bahwa aku tidak takut mati. Kau mau bunuh aku, boleh bunuh. Akan tetapi kau harus bebaskan Bi Goat, dia itu tidak mempunyai dosa apa-apa terhadap dirimu. Kalau kau benci kepadaku, kalau kau marah kepadaku, boleh kauperlakukan aku sesukamu, tapi jangan, ganggu Bi Goat!"
kembali Beng San memohon kepada kakaknya.
Beng Kui tertawa mengejek, "Sudah kukatakan tadi, kau tidak kubunuh sekarang. Kau perlu hidup untuk menyaksikan betapa aku akan membuat wanita tak tahu malu ini sebagai barang permainanku. Ya, aku harus membalas, dia harus menjadi permainanku, ha-ha... dan di depan matamu, Beng San! Kalau aku sudah bosan, baru kurusak mukanya dan kubebaskan dia dan kaupun akan kulempar ke dalam jurang di belakang rumah. Sudah terlalu sering kau merusak rencanaku, sudah terlalu banyak kau menggagalkan usahaku." Ia ketawa lagi dan berpaling kepada beberapa orang anak buahnya yang berada di situ, berdiri seperti patung.
"Sediakan hidangan untukku!" Orang-orang itu memberi hormat sambil berlutut lalu mengundurkan diri. Beng Kui tertawa lagi. "Lihat Beng San, lihat baik-baik. Biarpun kau sudah menggagalkan semua rencanaku, namun aku tetap dapat hidup sebagai raja. Dan kau akan kujadikan anjing, manusia bukan binatang pun bukan, hidup tidak mati pun belum. Dan dia... ha-ha, perempuan yang mencintamu ini yang melempar aku memilih kau, dia akan melihat bahwa aku jauh iebih berharga daripadamu."
Beng San sukar menangkap arti semua ucapan itu, ia berusaha mengingat-ingat dan memeras otaknya maka ia berdiri bengong seperti patung batu.
Adapun Li Cu saking marahnya sampai seperti gagu tak dapat bicara, hanya pancaran matanya yang berapi-api seperti hendak membakar tubuh Beng Kui dengan api kebencian yang berkobar-kobar. Akan tetapi di samping kebencian dan kemarahannya ini, diam-dian Li Cu menjadi terheran-heran. Belum pernah ia melihat suhengnya itu seperti sekarang ini. Alangkah jauh bedanya dengan dahulu. Makin memuncak herannya ketika hidangan yang mewah disediakan di atas meja. Beng Kui makan minum seorang diri dengan sikap berlebihan.
Orang-orang yang melayaninya kelihatan amat menghormat seakan-akan melayani seorang kaisar saja. Dilihat keadaannya sekarang dan dibandingkan dengan dahulu, agaknya lebih pantas kalau dikatakan bahwa Beng Kui telah berubah pikirannya atau tidak waras lagi pikirannya.
Setelah selesai makan, Beng Kui melemparkan beberapa potong tulang kepada Beng San sambil tertawa dan berkata, "He, anjing... nih kuberi tulang, makanlah! Ha-ha-ha!"
Beng San berdiri tak bergerak, hanya memandang kepada kakak kandungnya yang seperti orang gila itu. "Kui-ko ingatlah... kenapa kau menjadi begini...."
kau seperti orang gila...."
"Keparat!" Tubuh Beng Kui bergerak tangannya kiri kanan menampar dan
"plak-plak-plak!" muka Beng San sudah dihujani tamaparan yang keras sehingga Beng San terhuyung-huyung dan kedua pipinya menjadi merah.
"Bersihkan meja dan tinggalkan kami. Tutup pintu depan, jaga baik-baik!"
Beng Kui memberi perintah kepada orang-orangnya yang dengan sigap lalu mengerjakan perintah orang muda itu. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah ditinggalkan pergi oleh para pelayan.
Beng San masih berdiri tegak, bekas tamparan kakaknya masih tampak di kedua pipinya. Setelah semua pelayan pergi, Beng Kui mencabut pedang Liong-cu-kiam dari pinggangnya, lalu menghampiri Beng San yang berdiri dengan sikap tegak, sama sekali tidak kelihatan takut. Kiranya biarpun kehllangan ingatan dan kepandaian, namun Beng San tidak pernah kehilangan keberanian dan ketabahannya.
"Hemm, kau hendak bunuh aku, Kui-ko" Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut. Akan tetapi jangan sekali-kali kau mengganggu isteriku. Dia... tidak berdosa, kenapa kau menawannya" Lekas kaubebaskan dia!"
"Beng San keparat, hayo kau lekas berlutut! Hayo!"
Akan tetapi Beng San berdiri tegak dan memandang dengan matanya yang kini bersinar tenang dan bodoh. Teringat ia akan segala pelajaran filsafatnya dan ia menjawab, "Kui-ko, aku hanya dapat berlutut kepada Tuhan, kepada nenek moyang, kepada ayah bunda, kepada guru, kepada pemimpin dan kepada orang yang telah kuperlakukan dengan keliru sehingga aku patut minta ampun kepadanya. Padamu aku tidak salah apa-apa, kenapa harus berlutut!"
"Keparat!" Kaki Beng Kui bergerak dan lutut Beng San keduanya telah kena ditendang dengan cepat. Beng San tak dapat mempertahankan diri lagi dan jatuh berlutut.
Beng Kui tertawa bergelak-gelak, "Ha-ha-ha, akhirnya kau berlutut juga di depanku. Hemm, kau mengaku adik kandungku, akan tetapi semenjak pertemuan kita kau selalu menjadi perintang, selalu menjadi penghalang dan selalu menjadi pengacau hidupku! Sudah sepatutnya kalau kau kubunuh!"
"Beng Kui, kau ini manusia apakah" Cih, tak tahu malu, curang, dan benar-benar pengecut besar! Kau berani bertingkah setelah melihat Beng San kehilangan ingatannya. Coba kalau dia masih seperti biasa, aku berani bertaruh kau akan lari tunggang-langgang kalau ber-temu dengan dia! Huh, muak perutku melihat mukamu!" Ucapan ini keluar dari mulut Li Cv yang marah bukan main menyaksikan betapa Beng Kui memperlakukan Beng San seperti itu.
bagian 33 Pucat muka Beng Kui mendengar cacian yang luar biasa menghinanya ini.
Selama hidupnya belum pernah Li Cu berani bicara seperti ini kepadanya, kepada dia yang menjadi kakak seperguruannya, juga menjadi bekas tunangan! Benar-benar penghinaan yang melampaui batas. Sekali melompat ia telah berada di pinggir dipan, memandang kepada Li Cu yang rebah miring di atas dipan karena masih tertotok, namun sepasang matanya memandang tajam penuh kebencian.
"Kau berani menghinaku" Apa kaukira aku pun tak dapat mempermainkan dan menghinamu?" Pedangnya berkelebat dan "brettt" robeklah baju Li Cu. Baju luar berwarna merah itu robek lebar sekali sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda, Beng Kui tertawa terbahak-bahak sedangkan Li Cu menjadi pucat sekail, tak berani mengeluarkan kata-kata lagi saking ngerinya melihat perbuatan bekas suhengnya yang seperti kemasukan iblis itu,
"Kui-ko, jangan kauganggu isteriku!" Beng San lari menghampiri dan mengangkat tangan hendak mencegah kakaknya bertindak lebih jauh.
Akan tetapi sambil membalikkan tubuh Beng Kui menendang lagi dengan kerasnya sehingga tubuh Beng San terlempar dan terbanting pada dinding.
Namun Beng San sudah nekat. Ia bangun lagi, menghampiri dan berseru.
"Tak boleh kau menghina isteriku... Tak boleh..."
Sekali lagi ia terjungkal karena tendangan Beng kui pada perutnya. Kali ini agak sukar Beng San untuk bangkit. Tendangan itu membuat napasnya menjadi sesak. Akan tetapi sambil merangkak mendekati kakaknya lagi dan merangkul kedua kakinya "Kui-ko, jangan...jangan kau menggangu isterku..., bunuhlah aku kalau kau kehendaki, tapi bebaskan dia...."
Beng Kui mehjadi gemas sekali, Pedang di tangannya berkelebat ke arah Beng San. Li Cu menjerit dan... rambut di kepala Beng San terbabat putus. Li Cu terisak-isak saking kuatirnya, akan tetapi Beng San sama sekali tidak kelihatan gentar biarpun tadi pedang itu hampir saja membabat putus batang lehernya.
"Kui-ko, sekali lagi kuminta, jangan kauganggu isteriku."
"Bangsat, kalau aku mengganggunya kau mau apa" Hayo kau mau apa" Beng Kui menantang.
"Biarpun aku tidak pandai silat, aku akan melawanmu!" kata Beng San sambil berusaha untuk berdiri.
"Ha-ha-ha-ha, kau hendak melawan" Nah, terimalah bacokan ini!" Pedang di tangannya berkelebat dan kini benar-benar melayang ke arah batang leher Beng San dengan cepat dan kuat.
"Beng San....!!" Li Cu menjerit lagi dengan sekuat tenaga dan ia hampir pingsan melihat pedang itu menyambar leher kekasihnya.
Beng San terjungkal dan tak bergerak. Akan tetapi lehernya tidak putus dan tidak ada setetes pun darah keluar. Kiranya tadi Beng Kui hanya menakut-nakuti saja dan membalik pedangnya sehingga punggung pedangnya yang menghantam belakang kepala Beng San, bukan mata pedangnya. Pukulan ini keras sekali dan Beng San tersungkur, tak mampu bangun kembali. Ia merasa seperti melayang-layang dari tempat yang amat tinggi penuh bintang beraneka warna beterbangan di sekelilingnya. Ia jatuh terus ke bawah, makin lama makin cepat. Mula-mula melalui ruangan yang putih seperti salju, lalu ruangan merah seperti darah, Kemudian setelah melalui beberapa ruangan yang beraneka warna ia tidak melihat apa-apa lagi. Hanya perasaannya masih menyatakan bahwa ia terus melayang-layang ke bawah. Telinganya mendengar suara yang mengerikan, mengiang-ngiang dan mendengung-dengung, kadang-kadang rendah, lalu disusul suara ketawa terbahak-bahak yang bergema di sekelilingnya, disusul suara tangis yang memilukan!
Apakah aku sudah mati" Di mana aku berada" Bukan aku yang mati, melainkan Bi Goat! Ah, Bi Goat sudah mati dan ia mengunjungi kuburannya. Bi Goat isterinya yang tercinta, telah mati. Apakah aku juga sudah menyusulnya dan sekarang terseret"
"Bi Goat... Bi Goat...." Ia mencoba untuk memanggil, namun tidak terdengar suaranya.
"Beng San....!!" Teriakan ini seperti terdengar dari tempat yang amat jauh dan Beng San merasa seakan-akan ia berhenti melayang. Tahu-tahu ia merasa telah berada di atas bumi. Mimpikah aku" Siapa yang memanggilku tadi"
Apakah Bi Goat" Ia merasa kini bahwa tubuhnya sedang rebah tertelungkup.
Ah, tentu ia mimpi, tapi....
"Beng San....!!" Makin keras panggilan ini, suara wanita dan jerit itu menyayat hati benar. Ia membuka mata. Benar saja, ia sedang rebah tertelungkup. Akan tetapi mengapa di atas lantai" Kedua kakinya sakit dan lehernya juga sakit. Ia menoleh ke atas. Apa yang dilihatnya membuat ia bengong dan terbelalak.
Gilakah dia" Kenapa dia melihat semua ini" Ia melihat Beng Kui kakaknya dan LiCu yang tidak dapat bergerak di atas dipan dan Beng Kui yang berdiri di dekat dipan sambil tertawa-tawa. "Beng San...!!" Kembali Li Cu memekik dan kembali Beng Kui tertawa,
"Ha-ha-ha, kau boleh seribu kali memanggilnya. Dia tak dapat bangun lagi, anjlng lemah itu. Ha-ha, Li Cu, benar-benar aku masih hampir tak dapat percaya kalau kau dapat jatuh cinta kepada orang gila!"
Beng Kui, kenapa kau begini kejam" Apakah kau hendak membunuh adik kandungmu sendiri" Apakah kesalahannya" Kalau begitu, kau bunuh aku juga, Beng kui."
"Tidak, kau takkan kubunuh. Sayang kecantikanmu. Aku masih cinta kepadamu, Li Cu. Dan kau, mau tidak mau, harus menemaniku di dalam hutan ini."
"Tidak! Aku lebih baik mati! Beng Kui ingatlah. Aku... aku hanya cinta kepada Beng San. Aku mau mati atau tidak bersama dia. Kalau kau sudah membunuhnya, kaubunuhlah aku. Kalau kaulakukan itu, aku bersumpah takkan menaruh dendam kepadamu. Bunuhlah aku." Li Cu terisak-isak menangis.
"Benar-benar aneh kau ini, Li Cu. Beng San sudah gila, dia selain gila juga menjadi orang lemah. Kau dianggapnya isterinya yang bernama Bi Goat, yang sudah mati. Terang bahwa ia tidak mencintamu sebagai Li Cu, melainkan mencintamu sebagai Bi Goat. Kenapa kau bisa membalas cinta kasih orang gila macam itu" Aku belum membunuhnya, Li Cu. Akan tetapi, kalau kau dengan suka rela mau menjadi isteriku, aku akan bebaskan dia. Sebaliknya, kalau kau tetap keras kepala, aku akan membunuhnya setelah menyiksanya seperti anjing gila, dan kau tetap akan kujadikan isteriku!"
Sepasang mata Li Cu terbelalak lebar dan kemarahahnya tak dapat ditahannya lagi. "Keparat, kau! Iblis kau! Tuhan akan mengutukmu, jahanam!"
"Ha-ha-ha, kau hendak mengamuk lagi" Ha-ha, Li Cu, mati hidupmu di tanganku, tahu?"
"Aku tidak takut! Kau iblis bermuka manusia. Terkutuklah kau!"
"Ha-ha-ha, makin manis saja kalau kau marah-marah." Pedangnya bergerak perlahan dan "brettt!" sekarang pakaian dalam yang menempel di tubuh Li Cu robek pula oleh ujung pedang. Li Cu menjerit ngeri dan menutupkan matanya yang penuh air mata. Akan tetapi apa dayanya" Tubuhnya tak mampu bergerak. Tiba-tiba tubuh Beng Kui terlempar ke belakang, menimpa meja yang tadi ia pakai makan minum sampai meja itu patah-patah kakinya! Kaget bukan main Beng Kui yang tadi merasa seakan-akan tubuhnya bisa terbang melayang begitu saja. Cepat ia meloncat bangun sambil mempersiapkan pedang yang masih terpegang olehnya. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, matanya terbelalak lebar seakan-akan hendak meloncat keluar dari tempatnya. Ia melihat Beng San sudah berdiri di depannya dengan sepasang.mata yang bersinar-sinar penuh api kemarahan, dan sepasang mata itu sekarang bercahaya ganjil dan menyeramkan seperti dahulu!
Ia masih belum mau percaya kalau , Beng San yang tadi melemparkannya.
Tak mungkin! Bukankah tadi setelah ia hantam belakang kepala Beng San dengan punggung pedangnya, adiknya itu roboh dan pingsan" Tentu saja manusia yang sudah mabok kemenangan dan mabok pangkat ini tidak sadar bahwa di dunia ini kekuasaan manusia sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan. Manusia yang merasa dirinya menang, yang merasa dirinya kuat sendiri, yang merasa dirinya benar sendiri, menyatakan bahwa manusia seperti ini adalah manusia yang berjiwa rendah.
Atau setidaknya, pada saat itu hati nuraninya dikuasai oleh iblis. Segala kemenangan, kekuatan dan kebenaran seluruhnya terletak di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Merupakan rahmat-Nya bagi manusia. Oleh karena itu, segala rahmat dari Tuhan harus dipersembahkan kemudian kepada-Nya dengan jalan mengakui dengan segala kerendahan hati bahwa sanya kesemuanya itu datang dari pada-Nya. Pengakuan yang tulus akan hal ini akan menjauhkan manusia dari mabok kemenangan serta kekuasaan.
Pada saat punggung pedang di tangan Beng Kui tadi menghantam belakang kepala Beng San, Tuhan memperlihatkan kekuasaan-Nya. Hantaman itu tepat mengenai jalan darah yang menjurus ke kepala, menggetarkan urat saraf di kepala Beng San yang terganggu ketika dia dahulu terpukul oleh kedukaan karena kematian isterinya. Bagaikan air yang mengalir kembali setelah bendungannya dibuka, ingatan Beng San kembali perlahan-lahan dan semua ini ditambah oleh pendengarannya ketika Beng Kui dan Li Cu berdebat.
Terbukalah semua ingatan dan pengertiannya dan sekaligus membuat ia marah bukan main. Baiknya ia dapat cepat sadar kembali dan dapat mencegah sebelum Beng Kui melakukan perbuatan yang lebih biadab lagi.
"Beng San....!" Li Cu berseru lirih, namun di dalam seruan lirih.ini terkandung jerit yang memecahkan kesunyian angkasa, penuh kekagetan, penuh keheranan, penuh gairah dan harapan.
Beng San melirik ke arah Li Cu, akan tetapi cepat-cepat ia membuang muka ketika melihat keadaan nona itu yang tubuhnya bagian atas tidak tertutup lagi baik-baik karena bajunya yang koyak-koyak lebar itu. Tanpa banyak cakap ia lalu meloloskan bajunya sendiri dan melemparkan bajunya ini di atas tubuh Li Cu yang tidak tertutup. Barulah ia berani berpaling. Mereka berpandangan sejenak, keduanya dengan mata berlinang air mata. Beng San sudah tahu semua ketika tadi ia mendengar percakapan antara Li Cu dan Beng Kui.
"Nona, biarlah kubebaskan kau dari totokan...."
"Beng San, awas!" teriak Li Cu.
Beng San dengan tenang tapi cepat menggeser kakinya dan tangannya bergerak ke kiri Pedang Liong-cu-kiam menyambar lewat di pinggir kepalanya.
"Beng Kui, kau benar-benar tak tahu diri...." ia mencela sambil melompat ke tengah ruangan, terpaksa belum dapat membuka totokan atas diri Li Cu.
Namun kemarahan Beng Kui sudah memuncak. Sepasang matanya menjadi merah dan berputar-putar liar.
"Kau orang gila banyak tingkah... mampuslah!" bentaknya dan pedangnya kembali menyambar-nyambar. Banyak orang bilang bahwa orang gila menganggap diri sendiri waras dan menganggap orang waras sebagai orang gila. Kiranya keadaan Beng Kui cocok dengan pendapat ini. Dia memaki gila akan tetapi dia sendirilah yang mengamuk seperti orang gila. Pedangnya mengeluarkan suara dan berubah menjadi segulung sinar panjang yang melayang-layang dan menyambar-nyambar hebat ke arah Beng San. Namun, sekaligus Beng San sudah mendapatkan kembali semua kepandaiannya yang memang tak pernah hilang, hanya "terlupa" oleh ingatannya. Secara otomatis kakinya bergerak-gerak dan semua serangan pedang itu dapat ia hindarkan dengan amat mudahnya.
"Beng Kui, kau orang tua yang tidak mau dihormati adiknya. Sekali lagi sekarang aku beri kesempatan kepadamu untuk pergi dari sini dengan aman.
Pergilah tapi tinggalkan Liong-cu-kiam."
"Jangan banyak cakap!" Beng Kui malah memaki dan pedangnya terus menyerang. Tiga kali Beng San minta kepada kakaknya untuk pergi dengan aman, namun jawabannya selalu serangan maut yang ditujukan kepadanya secara nekat. "Kau memang keras kepala!" seru Beng San kemudian. Pada saat itu pedang di tangan Beng Kui menusuk dadanya. Beng San tiba-tiba menggunakan gerakan merendahkan tubuh, kemudian dari bawah tangannya bergerak ke atas, yang kanan merampas gagang pedang yang kiri memukul dengan pukulan Pek-in Hoat-sut. Hawa pukulan yang mengandung uap putih itu melumpuhkan seluruh tenaga Beng Kui dan dengan mudah pedang di tangannya berpindah tempat! Ia masih hendak menerjang dengan tangan kosong, namun kaki kiri Beng San menendangnya sehingga ia tepental keluar ruangan itu dan bergulingan sampai jauh.
Beberapa orang anak buah Beng Kui menyerbu ke dalam. "Pergilah kalian!"
seruan Beng San ini demikian berpengaruh, apalagi disertai dorongan tangan kiri ke depan yang membuat tiga orang sekaligus terjengkang tanpa tersentuh tubuhnya, sehingga merekat semua menjadi kaget dan jerih. Pada saat itu, terdengar hiruk pikuk di luar dan terdengar suara banyak orang berlari-lari pergi meninggalkan tempat itu, seakan-akan takut menghadapi sesuatu yang hebat.
"Song-bun-kwi setan tua jangan ganggu orang-orang ini! Nona Kwa Hong, orang-orang ini adalah teman-teman Tan Beng Kui-enghiong, jangan ganggu!"
Terdengar suara Hek-hwa Kui-bo.
Beng San terheran-heran dan hanya berdiri di tengah ruangan itu, pedang Liong-cu-kiam di tangan celananya robek-robek dibagian yang ditendang Beng Kui tadi, sedangkan tubuhnya bagian atas telanjang karena bajunya tadi ia lemparkan kepada Li Cu. Ia kelihatan seperti seorang bajak sungai!
Berturut-turut mereka meloncat masuk. Mula-mula Song-bun-kwi, disusul Kwa Hong dan kemudian sekali Hek-hwa Kui-bo. Tiga orang itu begitu memasuki ruangan berdiri tertegun seperti melihat setan di tengahari! Adapun Beng San begitu , melihat Song-bun-kwi, segera menjura dengan hormat dan berkata,
"Gak-hu (Ayah Mertua)...."
Song-bun-kwi masih mengira bahwa Beng San kehilangan kepandaiannya, maka ia membentak, "Aku bukan ayah mertuamu! Keparat, kau pembunuh anakku Bi Goat dan karenanya sekarang akan kupatahkan batang lehermu!" Ia menerjang ke depan. Tapi sinar hijau menyambar dan menghalangi gerakan kakek ini. Sinar itu tidak lain adalah panah-panah hijau dari Kwa Hong.
"Perlahan dulu Song-bun-kwi!" Memang Kwa Hong tidak ingin melihat Beng San terbunuh oleh orang lain. Mati atau hidupnya Beng San dialah sendiri yang berhak memutuskan pikirnya.
"Hong-moi kau juga di sini?" tegur Beng San dengan suara halus.
Kwa Hong seketika menjadi pucat, apalagi ketika melihat pedang Liong-cu-kiam di tangan pemuda itu. "Kau...sudah ingatkah....?"
"Bangsat, kau sudah membunuh anak perempuanku. Kalau kau sudah ingat, tentu kau takkan mungkir lagi!" Song-bun-kwi membentak sambil melangkah maju.
Beng San tersenyum sedih, "Gak-hu, aku amat mencinta Bi Goat. Bagaimana aku dapat membunuhnya" Bi Goat meninggal karena berduka dan marah yang ditimbulkan oleh Hong-moi. Memang aku lama meninggalkan Bi Goat, akan tetapi hal itu adalah karena aku merasa amat berduka dan menyesal serta malu karena perbuatanku bersama Kwa Hong dahulu. Kemudian aku membantu orang-orang gagah melindungi Kaisar dari pengkhianatan beberapa orang, maka pulangku terlambat. Aku menyesal sekali, Gak-hu, tapi sesungguhnya bukan aku yang menyebabkan kematian isteriku. Dia tahu bahwa aku mencintanya. Tapi Tuhan lebih kuasa dari segala di dunia ini...."
Beng San nampak sangat berduka.
"Keparat, kau bisa saja memutar omongan. Isteri melahirkan anak sampai mati tapi kau sebagai suami tidak menjaganya!" "Ah, Gak-hu. Memang aku merasa berdosa besar. Sekarang di manakah anakku itu, Gak-hu" Biarlah aku akan merawatnya penuh kasih sayang, sebagai pengganti Bi Goat dan...."
"Tutup mulut! Kau laki-laki mata keranjang, kau laki-laki hina-dina, kau... kau sudah main gila dengan perempuan lain. Hemmm hendak menyangkal, kau?"
Kakek ini menudingkan telunjuknya ke arah Li Cu yang masih rebah terselimut baju luar Beng San, rebah miring tak bergerak di atas dipan! Semua mata memandang dan Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa genit penuh arti ketika meliht baju Beng San menyelimuti tubuh Li Cu. Wajah Li Cu sebentar pucat sebentar merah sekali. Namun Beng San tetap tenang.
"Aku tidak main gila dengan siapapun juga. Mungkin karena kehilangan ingatan aku menjadi seperti gila dan syukurlah... berkat pertolongan Nona Cia yang berbudi mulia sampai sekarang aku masih terlindung. Gak-hu, kauberikanlah puteraku."
"Putera apa" Pedang inilah yang akan menghabisi nyawamu!"
"Nanti dulu, Song-bun-kwi. Aku pun hendak bicara dengan Beng San!" Kwa Hong menghadang di depan dan terpaksa Song-bun-kwi menunda penyerangannya Kwa Hong kini menghadapi Beng San. Orang muda itu menjadi agak pucat. Baginya jauh lebih berat menghadapi Kwa Hong daripada menghadapi musuh yang manapun juga.
"Adik Hong, apakah selama ini kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya halus sewajarnya karena di lubuk hatinya orang muda ini benar-benar merasa kasihan sekali kepada gadis itu.
Tersedu kerongkongan Kwa Hong mendengar pertanyaan yang halus ini. Akan tetapi ia segera menjawab, "Baik-baik saja, San-ko, aku sengaja mencarimu dan syukurlah kalau kau hendak sembuh kembali. Marilah kauikut dengan aku, San-ko. Mari kita pelihara anak kita baik-baik. Tentang musuh-musuhmu ini, jangan kuatir, San-ko, Hong-moimu ini sanggup membunuh mereka seperti orang membunuh anjing!" Setelah berkata demikian, Kwa Hong tertawa, suara ketawanya melengking menyeramkan sekali.
Ucapan terakhir dan suara ketawa Kwa Hong itu menusuk jantung Beng San, karena ia maklum bahwa Kwa Hong sekarang sudah bukan Kwa Hong yang dulu lagi. Wajahnya jelas membayangkan watak yang sombong, kejam, dan tidak wajar.
"Hong-moi, kau tahu bahwa tak mungkin aku memenuhi permintaanmu ini.
Kau dan aku telah melakukan perbuatan terkutuk, itu memang benar. Akan tetapi hal itu terjadi di luar kesadaran kita, Hong-moi. Tentang anak itu kau sendiri hendak mendidiknya syukurlah. Kalau kau keberatan, boleh kauberikan kepadaku karena juga menjadi tanggung jawabku."
"Kau... kau...! Kwa Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis terisak-isak. Hatinya sedih bukan kepalang. tadinya ia mengharapkan akan dapat membawa Beng San dengan secara paksa karena Beng San sudah kehilangan kepandaiannya dan ia sanggup merampas Beng San dari tangan siapapun juga. Akan tetapi sekarang Beng San kelihatannya sudah sembuh kembali, bagaimana mungkin"
"Beng San, katakan di mana adanya Beng Kui" Pedangnya kaupegang, kau apakan dia?"
"Dia sudah pergi..." jawab Beng San acuh tak acuh, kemudian ia menoleh ke arah Li Cu dan berkata "Nona Cia, agaknya lebih baik kita segera pergi dari tempat ini. Tapi aku harus membebaskan kau dari totokan lebih dulu..." ia melangkah maju, tapi sebelum ia sempat meyembuhkan Li Cu, tiga bayangan orang berkelebat dan angin-angin pukulan dahsyat, datang menyambar dari tiga jurusan disusul berkelebatnya senjata-senjata tajam! Beng san maklum bahwa tiga orang sakti itu "sudah turun tangan". Ia menarik napas panjang dengan sedih, akan tetapi tubuhnya bergerak didahului sinar pedang Liong-cu-kiam tangannya.
bagian 34 Tiga orang itu menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kepandaian mereka. Namun Beng San sekarang memegang Liong-cu-kiam panjang. Kalau ia boleh diumpamakan seekor harimau, sekarang harimau itu tumbuh sayap dan pandai terbang. Memang ilmu silatnya yang paling hebat adalah ilmu Im-yang Sin-kiam-sut, sekarang ilnu pedang ini dimainkan dengan sebatang pedang seperti Liong-cu-kiam yang panjang, sudah tentu hebatnya bukan kepalang. Tiga orang itu, biarpun masing-masing memiliki kepandaian luar biasa, namun menghadapi Beng San mereka tak dapat berdaya banyak, seakan-akan menghadapi benteng baja yang tidak saja sukar tembus, malah dari dalam benteng menyambar ujung-ujung pedang runcing dan ampuh, setiap saat mengancam nyawa mereka.
Beng San bukanlah orang yang suka membunuh orang. Sebetulnya dia menpunyai watak yang pantang membunuh orang. Apalagi sekarang yang ia hadapi adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah ada hubungan dengannya, yang sudah dikenalnya baik. Tak mungkin ia mau membunuh mereka.
Kelihaiannya bermain pedang memungkinkannya menggoreskan luka ringan pada pundak Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Dua orang tua ini menjadi malu dan jerih. Sambil mengeluh mereka berturut-turut lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu. Kwa Hong yang seorang diri menghadapi Beng San, tadinya menjadi nekat. Pedang Hoa-san Po-kiam di tangan kiri sedangkan di tangan kanannya memegang pedang Liong-cu-kiam yang pendek. Permainan pedangnya hebat dan liar, dahsyat bukan main sehingga diam-diam Beng San terkejut juga. Namun ilmu pedang itu dimainkan dengan cara yang masih mentah.
Lebih-lebih terhadap Kwa Hong, Beng San, sama sekali tidak mau melukainya.
Setelah ia menindih pedang Hoa-san Po-kiam dengan pedangnya sendiri, tangan bergerak mencengkeram ke depan dan di lain saat pedang Liong-cu-kiam yang pendek telah berpindah ke tangan kirinya.
"Kembalikan pedang itu!" teriak Kwa Hong sambil menangis.
"Yang ini bukan pedangmu, Hong-moi. Tak boleh kau merampasnya," jawab Beng San.
Dengan pekik panjang Kwa Hong memanggil burungnya. Terdengar suara genteng hancur berantakan, langit-langit di atas ruangan itu tiba-tiba menjadi rusak dan berlubang besar di mana menerobos masuk seekor burung rajawali emas. Beng San pernah melihat burung ini dan kembali ia menjadi kagum bukan main. Kwa Hong terisak lalu meloncat ke punggung burung, kemudian burung itu terbang menerobos melalui pintu depan dan sebentar saja menghilang dari situ. Sampai beberapa lama Beng San berdiri bengong.
Pedang Liong-cu-kiam berada di kedua tangannya. Kemudian ia membalikkan tubuh menghampiri Li Cu yang masih rebah tak bergerak dan tadi menonton semua itu dengan hati terharu. Ternyata bahwa pengorbanannya terhadap diri Beng San tidak sia-sia. Buktinya baru saja sembuh Beng San lagi-lagi telah melindungi dan membebaskannya dari ancaman bahaya maut.
"Nona Cia, maafkan kelancanganku!" kata Beng San. Tangannya bergerak cepat menotok dua jalan darah di tubuh Li Cu, lalu mengurut punggungnya sebentar. Setelah itu ia membalikkan tubuh dan berkata,
"Nona, setelah kau dapat bergerak, harap bajuku itu kaupakai dulu."
Li Cu menjadi merah mukanya. Ia bergerak perlahan, tubuhnya masih sakit semua rasanya. Ketika ia bangun, baju yang menyelimuti tubuhnya itu jatuh dan cepat-cepat ia menutupi dadanya. Akan tetapi usahanya Ini sebetulnya tak perlu karena Beng San berdiri membelakanginya. Karena terpaksa dan tak mungkin hanya memakai bajunya yang sudah dikoyak-koyak pedang Beng Kui tadi, ia mengenakan baju Beng San yang terlalu besar itu. Setelah selesai, ia berkata,
"Kenapa... kau tidak membunuh mereka?" ,
"Membunuh siapa?" tanya Beng San tanpa menoleh.
"Beng Kui jahanam itu...."
"Dia itu jelek-jelek kakak kandungku, bagaimana aku tega membunuhnya?"
jawab Beng San cepat. "Hek-hwa Kui-bo yang pernah melukaiku dengan racun dan hampir membunuhku...." desak pula Li Cu yang merasa penasaran mengapa semua orang yang jahat itu dibiarkan pergi oleh Beng San.
"Dia itu dahulu pernah menurunkan ilmu silat kepadaku, secara tidak resmi dia adalah guruku pula. Bagaimana aku dapat membunuhnya" Dan pula, Nona, bukankah kau selamat terhindar dari racunnya itu?" Jantung Beng San berdebar ketika ia teringat cara ia menolong gadis itu dari pengaruh racun di paru-parunya!
Di belakangnya, wajah Li Cu juga tiba-tiba menjadi merah. Gadis ini merasa heran bukan kepalang. Hampir dua tahun ia merawat Beng San, otomatis ia sudah merasa menjadi isteri Beng San biarpun hanya dalam sebutan. Akan tetapi kenapa sekarang ia menjadi begini canggung, sungkan dan malu-malu kepada Beng San" Diam-diam rasa kuatir dan gelisah menggerogoti hatinya.
Beng San yang kehilangan ingatannya, mau saja hidup di sampingnya, malah menganggap dia sebagai isterinya yang bernama Bi Goat. Akan tetapi setelah sekarang sadar dan mendapatkan kembali ingatannya, apakah masih mau hidup seperti itu" Apakah ini bukan berarti saat perpisahan"
"Kwa Hong itu... kenapa tidak kau-bunuh....?" Ia berusaha menekan hatinya dengan melanjutkan pertanyaan ini.
"Tak mungkin, Nona. Dia itu... secara tidak sadar... telah menjadi ibu anakku... perbuatan terkutuk di luar kesadaran kami berdua... dia sudah amat menderita... karena aku, mana bisa aku membunuhnya" Biarpun dia akan membunuhku, agaknya aku tetap akan mengalah...."
"Hemm...." suara Li Cu terdengar kaku dan kalau Beng San melihat sinar matanya ia akan tahu-bahwa gadis itu marah! "Dan Song-bun-kwi,...?"
"Apalagi dia. Dia itu ayah mertuaku, sama juga dengan ayahku. Mana boleh aku membunuh ayah Bi Goat?"
Sudah jelas! Beng San sekarang sudah kembali ingatannya. Beng San yang terlalu mencinta isterinya, Bi Goat. Sampai-sampai mengorbankan Kwa Hong.
Mana sudi hidup bersama dia" Teringat akan ini, tak tertahankan lagi Li Cu terisak menangis.
Beng San cepat membalikkan tubuh. "Eh, kenapa kau menangis, Nona?" Suara ini mengandung penuh perhatian sehingga tangis Li Cu makin menghebat.
Beng San sampai menjadi bingung, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam pendek.
"Ini... ini pedangmu... jangan kau menangis...."
Li Cu menerima pedang tanpa berkata apa-apa.
"Nona Cia, setelah semua pertanyaanmu kujawab, kenapa kau menangis?"
Beng San bertanya, matanya yang tajam memandang penuh selidik.
Li Cu yang sekarang menjadi gugup. Tentu saja ia tidak sudi menyatakan isi hatinya. Ia mencari alasan dan pada saat itu ia teringat akan ayahnya.
Wajahnya menjadi pucat dan serentak ia meloncat sampai Beng San menjadi kaget.
"Celaka! Ayahku....! Mereka tadi mengeroyoknya... tak mungkin bisa sampai ke sini kalau tidak... ah, Ayah....!" Li Cu menjerit lalu melompat keluar dan berlari cepat sekali. Beng San baru saja kembali ingatannya, maka yang diketahui olehnya hanyalah semenjak saat ia sembuh tadi. Sebelum itu gelap baginya maka ia tidak ingat betapa Bu-tek Kiam-ong untuk melindunginya telah dikeroyok oleh tiga orang tokoh sakti tadi. Meiihat Li Cu yang berlari-lari sambil menjerit memanggil-manggil ayahnya dan menangis, ia pun ikut pula berlari dan sebentar saja ia dapat menyusul gadis itu, lalu lari di sebelahnya tanpa banyak bertanya.
Setibanya di puncak Gunung Thai-san, dua orang muda ini melihat betapa penduduk perkampungan di kaki gunung sedang sibuk mengurus dan menangisi jenazah Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan!
"Ayaaaahhh....!!" Li Cu menubruk mayat ayahnya dan roboh pingsan.
Li Cu jatuh sakit. Demam panas menyerang tubuhnya setelah berkali-kali ia pingsan. Sampai sepekan ia rebah di pembaringan dalam keadaan setengah sadar.
Selama itu Beng San merawat dan melayaninya dengan penuh perhatian. Beng San mengalami hal-hal aneh ketika ia berhadapan derigan para penduduk yang dulu membantu Cia Hui Gan merampungkan rencana tempat tinggalnya.
Mereka itu menyebutnya "tuan muda" yang dianggapnya sebagai suami dari
"nyonya muda" yang sekarang sakit. Kemudian, setelah mereka semua menyatakan kegembiraan hati bahwa nyonya muda dan suaminya dapat kembali dengan selamat, mereka menyatakan kegirangan pula bahwa tuan muda sudah sembuh dari sakitnya lupa ingatan. Mereka pulalah yang menceritakan tentang pertempuran itu sehingga terbuka mata Beng San akan segala yang telah terjadi kepada dirinya selama hampir dua tahun ini. Tahulah ia bahwa ia sebagai seorang gila menganggap Li Cu sebagai isterinya, sebagai Bi Goat dan betapa selama hampir dua tahun ini Li Cu merawatnya penuh kecintaan. Juga ia tahu sekarang bahwa Cia Hui Gan tewas dalam membela dia!
Semua ini ditambah lagi dengan keadaan Li Cu yang mengigau ketika demam panas menyerangnya. Li Cu mengigau tentang masa lalu, tentang cinta kasihnya kepada Beng San. Semua ini membuat Beng San demikian terharu sehingga ia menitikkan air mata ketika duduk di pinggir pembaringan gadis itu.
Dengan amat tekun ia merawat Li Cu dan siang malam tidak pernah meninggalkan kamar itu.
Sembilan hari kemudian demam meninggalkan tubuh Li Cu dan gadis ini pada pagi hari itu sadar. Dilihatnya Beng San duduk di kursi tertidur! Namun suara gerakan Li Cu cukup untuk membangun-kannya. Mereka berpandangan sejenak.
"Kau... kau masih di sini....?"
"Di mana lagi kalau tidak di sini....?" jawab Beng San halus, sinar matanya gembira sekali.
"Ayah... bagaimana....?" Matanya meragu dan ia memandang ke arah pintu kamarnya, agaknya ingin menjenguk keluar.
"Sudah beres, sudah kuurus pemakamannya."
Li Cu menarik napas panjang, hatinya menjerit-jerit namun air matanya sudah kering. "Berapa lama aku rebah di sini...?"
"Kau terserang demam, Nona. Sembilan hari sembilan malam kau dalam keadaan tidak sadar. Karena itulah aku lancang mewakilimu mengurus pemakaman ayahmu."
Li Cu bergerak hendak duduk. Melihat kelemahan gadis itu, Beng San cepat membantunya. Ia merasa kasihan sekali dan cepat ia menghibur, "Harap kaukuatkan hatimu. Nona. Ingatlah bahwa mati hidup seorang manusia berada di tangan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki kematian seseorang, ada saja yang menjadi lantarannya. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah perkasa, mati dikeroyok tokoh-tokoh besar dalam melindungi... aku yang tak berharga...."
"Tidak! Bukan melindungi kau, melainkan membela aku!" Cepat Li Cu membantah.
"Apa bedanya, Nona" Membela engkau karena kau berusaha melindungi aku."
"Kau merawatku terus-menerus selama aku sakit?" cepat Li Cu memotong omongan Beng San, mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah.
Beng San mengangguk dan memandang dengan mata penuh perasaan. "Nona Cia, apa artinya perawatan sembilan hari kalau dibandingkan dengan perawatanmu selama hampir dua tahun" Kau amat mulia, kau mengorbankan...."
"Kau dalam sakit, kau kehilangan ingatan!" Li Cu cepat memotong, mukanya kini menjadi merah sekali. "Siapa lagi kalau bukan aku yang akan merawatmu" Kaupun sudah beberapa kali menyelamatkan nyawaku, sudah sepatutnya aku membalas kebaikanmu."
Dengan keras kepala Beng San melanjutkan setelah menggeleng kepala untuk menyangkal alasan Li Cu yang lemah itu. "Kau mengorbankan dirimu, mengorbankan nama baik ayahmu. Dalam gilaku aku menganggap kau isteriku, menganggap kau Bi Goat. Namun... kau menerima semua itu, kau malah memaksa ayahmu membawaku ke sini mengorbankan segalanya untuk aku, malah berusaha membuat tempat perlindungan yang aman untukku. Li Cu... Nona Cia... mengapa kaulakukan semua itu?"
Li Cu menunduk, menyembunyikan mukanya di belakang bantal yang diangkatnya. Suaranya terdengar lirih bertanya, "Semua itu bohong. Kau yang kehilangan ingatan bagaimana kau bisa tahu itu semua" Bohong...."
"Aku mendengar percakapanmu dengan Beng Kui pada saat aku sadar.
Kemudian aku mendengar penuturan saudara-saudara yang berada di sini, dan ketika kau sakit, kau mengigau...."
Cepat bantal itu diturunkan dan sepasang mata itu memandangnya penuh pertanyaan. Wajah itu merah dan tidak tampak lagi bahwa gadis ini habis sakit kecuali tubuhnya yang agak kurus itu.
"Beng San...." terhenti kata-kata Li Cu ketika ia teringat betapa janggal panggilan ini yang begitu saja keluar dari bibirnya dengan suara mesra.
"Ya...." Kau hendak bilang apakah, Nona....?"
Makin gugup Li Cu. Biasanya, ketika belum sembuh, Beng San selalu menyebutnya "isteriku" sehingga ia sudah biasa benar dengan sebutan itu.
Sekarang, orang yang telah ia anggap sebagai suaminya dalam batin itu, menyebutnya nona!
"... andaikata benar semua itu..., tapi waktu itu keadaanmu dalam lupa ingatan. Kau mau tinggal di sini karena... karena kau mengira bahwa aku Bi Goat. kau mengira bahwa aku isterimu yang sudah meninggal dunia itu...." ia berhenti lagi.
"Betul, Nona. Lalu bagaimana?" Beng San bertanya tenang dan sabar,
".... sekarang kau sudah sembuh..., kau sudah mendapatkan kembali ingatanmu... kau tahu bahwa aku bukan isterimu Bi Goat... kau tahu bahwa aku hanya seorang gadis yatim piatu sebatang kara..." Sampai di sini ia terisak dan menutup mukanya dengan bantal. Beng San tidak berkata apa-apa hanya menanti dengan sabar.
".... aku... aku bukan apa-apamu... tak berhak menahanmu... kau tentu akan pergi dari sini." Tiba-tiba ia menurunkan bantalnya dan dengan mata basah ia bertanya, "Mengapa kau masih belum juga pergi dari sini" Aku bukan Bi Goat!"
Wajah Beng San tiba-tiba menjadi pucat dan matanya membayangkan kegelisahan besar. "Tapi... tapi kau... isteriku..."
Li Cu menggigit bibirnya, bukan main jengahnya. Ia merasa malu sekali kalau teringat akan semua perbuatannya itu. Tapi ia harus rnembela diri, tak mungkin ia mengaku begitu saja bahwa ia mencinta Beng San. Ia harus mencari alasan mengapa ia berbuat demikian, untuk membela diri.
"Isterimu adalah Bi Goat...."
"Tapi..... bukankah hampir dua tahun kau mengaku sebagai isteriku....?"
Li Cu membuang muka. "Karena kau menganggap aku Bi Goat. Aku harus merawatmu dan karenanya tiada lain jalan kecuali membiarkan kau menganggap aku isterimu Bi Goat. Sekarang kau sudah sembuh, sudah sadar dan ingat bahwa aku bukanlah isterimu Bi Goat, bahwa aku bukan apa-apamu dan kau boleh pergi meninggalkanku sekarang juga!" Beng San merasa tubuhnya lemas, seakan-akan dilolos semua urat-urat dari tubuhnya.
Jantungnya terasa ringan kosong, perasaannya hampa. Ah, mengapa aku tidak tahu diri, pikirnya. Sudah terang bahwa Li Cu Melakukan semua itu karena hanya hendak membalas budi pertolongannya karena kasihan, apa lagi" Tak mungkin gadis seperti Li Cu bisa cinta kepadanya, seorang laki-laki yang menjadi hina namanya karena urusannya dengan Kwa Hong, seorang duda yang sudah mempunyai anak. Dua malah anaknya, satu anak Kwa Hong, ke dua anak Bi Goat. Mana sudi Li Cu kepadanya"
"...ah... maaf... maaf.... sungguh aku tak tahu diri...." bagaikan mimpi kedua kakinya bergerak menuju ke pintu kamar, dengan langkah limbung seperti orang mabuk arak ia keluar dari kamar itu. Jiwanya menjerit-jerit, musnah semua harapannya untuk dapat hidup mengenyam kebahagiaan. Hanya sekelumit harapan untuk hidup baru setelah ditinggal Bi Goat. Li Cu, Li Cu.....
Jerit hatinya, tak kuat aku berpisah dari sisimu!
Ia tidak melihat betapa dari atas pembaringan Li Cu memandangnya dengan wajah pucat pula dan sepasang mata itu mengucurkan air mata yang jatuh berderai membasahi kedua pipinya. Tak tahu ia betapa gadis itu turun perlahan-lahan dari pembaringan dan berjalan pula mengikutinya keluar dari kamar itu. Tak tahu pula betapa jiwa Li Cu menjerit-jerit minta ia kembali pula. Jeritan jiwa mengetar-getar penuh kekuatan gaib. Seakan-akan terasa oleh kedua orang muda itu. Dalam detik itu juga terjadilah peluapan rasa melalui bibir dan gerakan masing-masing. Pada saat itu pula Li Cu menjatuhkan diri berlutut. Berbareng pula jerit mereka keluar dari lubuk hati melalui bibir-bibir yang bergetar.
"Li Cu, tak kuat aku berpisah dari sisimu....!"
"Beng San, kembalilah Beng San....!" Keduanya terpaku kaget oleh suara masing-masing dan setelah pengertian mereka dapat menangkap apa yang diucapkan oleh yang lain, Beng San segera berlari maju dengan kedua lengan terbuka diterima oleh Li Cu dengan kedua lengan terbuka pula. Beng San menjatuhkan diri berlutut dan kedua orang itu saling berdekapan sambil berlutut, tak kuasa mengeluarkan suara kecuali isak dan sedu.
Sunyi senyap saat itu, sunyi yang membahagiakan hati masing-masing yang merasa seakan-akan baru saja mereka mendapatkan kembali semangat mereka yang hampir hilang. Sampai lama mereka berpelukan tanpa mengeluarkan suara. Akhirnya terdengar Li Cu berkata tanpa mengangkat mukanya yang bersembunyi di dada Beng San.
"Tapi... kau hanya mencinta Bi Goat..."
"Itu dahulu, Li Cu. Setelah ia meninggal... kaulah orang yang menggantikannya... lebih daripada itu malah... kau mulia, setia, penuh pengorbanan. Ah... alangkah mulianya engkau... aku cinta kepadamu, Li Cu dan aku tidak kuat untuk berpisah dari sisimu."
"Beng San...." Li Cu menangis penuh kebahagiaan dan keharuan.
"Li Cu... cintakah kau kepadaku" Dan bersediakah kau menjadi isteriku?"
"Masih perlukah kau bertanya, Beng San" Di waktu kau sakit dan hilang ingatan, aku sudah suka menjadi isterimu walaupun hanya sebutan belaka.
Apalagi sekarang setelah engkau sembuh. Tentang cinta... belum pernah selama hidupku aku mencinta orang seperti cintaku kepadamu."
"Li Cu, dewiku sayang...."
Hening lagi sejenak dan keduanya terbenam dalam lautan madu, mabok oleh kemesraan asmara yang bergelora dalam hati masing-masing.
"Beng San, orang bilang kau mata keranjang. Betulkah?"
Beng San tersenyum ditahan. "Memang aku mata keranjang. Akan tetapi, bidadari dari kahyangan sekalipun belum tentu dapat menggerakkan hatiku.
Hanya engkaulah yang membuat aku lupa segala, melihat engkau aku jadi mata keranjang! Ah, andaikata ada seribu engkau, aku akan sanggup untuk mencinta semua!"
"Ah, kau memang mata keranjang!" tegur Li Cu manja.
"Bertemu dengan seorang dewi seperti engkau, Li Cu, siapa orangnya takkan mencinta" Siapa orangnya takkan jatuh hati" Kau cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, kau setia dan gagah perkasa, pendekar wanita sejati, kau berbudi mulia seperti Kwan Im, kau dewi pujaan hatiku, cinta kasihmu suci murni semoga
aku dapat mengimbanginya...." Beng San merayu.
"iihh, kau selain mata keranjang juga.... ceriwis!"
bagian 35 Hati siapa takkan ikut merasa bahagia menyaksikan kebahagiaan sepasang orang muda seperti Li Cu dan Beng San" Hati siapa takkan ikut merasa senang melihat orang lain bahagia" Hanya hati yang dikotori iblis iri cemburu jua yang tak tahan menyaksikan orang lain berbahagia. Untung, di dunia ini tak banyak orang demikian. Kita merasa berbahagia melihat orang lain seperti sepasang orang muda itu berbahagia dalam pertemuan dua hati menjadi satu, diikat dan dikekalkan oleh cinta kasih nan suci.
Sayang, di samping mereka yang berbahagia oleh asmara, banyak pula yang sengsara oleh asmara yang sama. Memang asmara mendatangkan bahagia dan sengsara silih berganti, menimbulkan banyak cerita yang aneh-aneh. Beng San sendiri hampir saja binasa karena asmara kandas, baiknya ia bertemu dengan Li Cu dan sebaliknya malah menemukan kembali kebahagiaan hidup.
Memang demikianlah hidup di dunia ini. Kebahagiaan duniawi takkan kekal, berubah-ubah dan hal yang demikian ini memang berlaku bagi segala benda, mati atau hidup, di dunia ini. Ada siang ada malam, ada dingin ada panas, adakalanya hujan adakalanya terang, adakalanya sengsara adakalanya bahagia. Kebahagiaan datang tak terduga-duga seperti halnya kebahagiaan Beng San. Demikian pula kesengsaraan datang tanpa disadari seperti halnya penderitaan Bi Goat yang telah tiada. Kenyataan ini merupakan pelajaran hidup yang amat penting, yaitu bahwa manusia tak perlu berputus asa di waktu menghadapi kegagalan, juga tidak semestinya bangga dan tidak mabok dikala mendapatkan kemenangan. Tidak membanjir di waktu pasang, tidak kering di waktu surut, seperti air laut yang tenang teguh sehingga dapat menerima perubahan keadaannya tanpa rnenderita kerusakan.
Di antara sekian banyaknya orang yang sedang "surut" nasibnya, adalah Thio Ki. Telah diceritakan di depan betapa Thio Ki dan isterinya, Lee Giok, diserbu oleh Kim-thouw Thian-li yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin sehingga akhirnya Lee Giok terculik oleh Siauw-coa-ong Giam Kin. Seperti kita ketahui, Thio Ki terbebas daripada kematian karena mendapat bantuan Li Cu dan kemudian Beng San dan atas permintaan Beng San, Thio Ki pergi ke Hoa-san untuk berobat dan membereskan urusan Hoa-san-pai yang dikacau oleh Kwa Hong.
Besarlah hati para tosu di Hoa-san-pai ketika mereka melihat munculnya Thio Ki, karena pada waktu itu Hoa-san-pai benar-benar sudah kacau-balau, tidak ada yang mengurusnya semenjak Lian Bu Tojin tewas di tangan Kwa Hong.
Bukan main sedihnya hati Thio Ki ketika mendengar dari para tosu tentang nasib Lian Bu Tojin dan Hoa-san-pai. Ia merasa amat marah dan gemas kepada Kwa Hong, juga terheran-heran mengapa Kwa Hong sekarang berubah seperti iblis dan juga amat lihai"
Para tosu tadinya hendak mengangkatnya sebagai Ketua Hoa-san-pai, namun Thio Ki menolak keras. "Mana bisa aku menjadi Ketua Hoa-san-pai?" teriaknya kaget. "Tingkatku di Hoa-san-pai amat rendah, pula aku masih muda. Banyak para susiok dan supek di sini, bagaimana aku berani mengangkat diri menjadi Ketua" Pula, orang dengan kepandaian seperti Sukong Lian Bu Tojin sendiri masih tidak kuat menjaga keselamatan Hoa-san-pai, apalagi orang seperti aku" Tidak, aku tidak berani menjadi ketua, akan tetapi aku sanggup untuk sementara berada di sini untuk mempertanggung-jawabkan Hoa-san-pai.
Biarlah kita menanti sampai kembalinya Tan Beng San Tai-hiap, karena kiranya hanya dia yang akan dapat menolong kita."
Akan tetapi sampai berbulan-bulan Thio Ki dan para tosu Hoa-san-pai menanti dengan sia-sia. Malah akhirnya dia minta bantuan para tosu yang disebarnya ke segenap penjuru untuk melakukan penyelidikan, kemudian dia sendiri lalu pergi mencari isterinya atau Beng San. Hasilnya juga nihil. Sama sekali Thio Ki tidak tahu apa yang terjadi atas diri isterinya, juga tidak tahu bahwa pada waktu itu Beng San sendiri juga menghadapi malapetaka yang hebat. Hatinya makin risau dan ia mendapat firasat tidak enak dalam hatinya bahwa isterinya tentu mengalami malapetaka besar. Ia berduka sekali, terutama kalau teringat bahwa isterinya itu sedang mengandung.
Beberapa bulan kemudian pada suatu hari selagi Thio Ki berlatih silat membimbing para tosu di belakang kuil, tiba-tiba terdengar suara melengking aneh. Para tosu menjadi pucat mendengar ini. Mereka pernah dahulu mendengar suara ini, yaitu suara burung rajawali emas yang menjadi binatang tunggangan Kwa Hong. Bagaikan anak-anak kelinci takut mendengar auman harimau, mereka berlari ke belakang Thio Ki dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, jantung berdebar keras. Thio Ki sendiri terkejut dan menengok ke atas di mana ia melihat seekor burung yang besar dan indah terbang berkeliling.
"Eh, burung apakah itu" Besar sekali!" katanya.
".... celaka... dia datang kembali....!" seorang tosu tua berkata.
Seketika Thio Ki teringat akan cerita yang ia dengar tentang Kwa Hong dan rajawalinya, maka ia pun terkejut dan menanti penuh perhatian. Ketika ia menengok, ia melihat dengan heran dan kaget bahwa semua tosu yang berada di belakangnya sudah pada berlutut! Burung itu terbang makin dekat, menukik ke bawah dan terdengarlah bentakan nyaring.
"Siapa ini berani menyambut Ketua Hoa-san-pai tanpa berlutut" Apa kau sudah bosan hidup?" Ucapan ini disusul menyambarnya sinar hijau ke arah kepala Thio Ki.
"Hong-moi....!" Thio Ki berteriak dan inilah yang menyelamatkan nyawanya karena sinar itu tiba-tiba menyeleweng tidak jadi mengenai kepalanya akan tetapi ada hawa pukulan yang demikian dahsyatnya sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi Thio Ki terguling dan terbanting ke atas tanah!
"Sumoi....!" Thio Ki memanggil lagi sambil merangkak bangun. Kiranya Kwa Hong sudah berdiri di atas tanah, burung raksasa itu telah terbang ke atas sambil bercuitan. Thio Ki cepat bangun, akan tetapi kaki kiri Kwa Hong bergerak ke arah lututnya dan... untuk kedua kalinya Thio Ki roboh lagi. Ia mengangkat muka dengan heran. Bukan main terkejutnya ketika ia melihat Kwa Hong. Jelas bahwa wanita ini adalah Kwa Hong, masih semanis dan secantik dahulu. Akan tetapi tarikan mulut itu benar-benar menimbulkan kengerian padanya.
"Heh, kiranya engkau" Thio Ki, biarpun engkau sendiri juga harus berlutut di depanku, di depan Ketua Hoa-san-pai!"
"Sumoi, apakah kau sudah gila?" Thio Ki melompat bangun. "Betulkah kau telah membunuh Sukong, mengangkat diri menjadi Ketua Hoa-san-pai"
Sumoi, kenapa begitu" Kau yang dulu berjiwa gagah...." Kata-kata Thio Ki terhenti karena ia sudah roboh lagi, kini agak parah karena ia kena ditampar pundaknya oleh tangan kiri Kwa Hong yang memiliki hawa pukulan luar biasa dahsyatnya. Mata Kwa Hong berkilat marah.
"Memang aku bunuh dia. Kau pun akan kubunuh karena kau berani bersikap kurang ajar kepadaku! Kau bicara tentang kegagahan" Hi-hi-hik, kau sendiri gagah apanya" Isteri dibawa lari orang lain, dipermainkan, kau enak saja di sini. Huh, laki-laki apa kau ini" Lebih baik mampus!"
Thio Ki seketika bangun lagi, lupa akan rasa nyeri luar biasa pada pundaknya.
Mukanya pucat. "Sumoi... kau melihat Lee Giok" Di mana dia" Bagaimana dengan dia...." Apakah si bangsat Giam Kin...." Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, napasnya sesak karena gelisah dan marah.
"Hi-hi-hik, isterimu dibawa lari orang, dipermainkan orang. Syukur, baru senang ya rasanya terpisah dari orang yang kau kasihi" Hu-hu-hu...." Tiba-tiba Kwa Hong menangis tersedu-sedu karena ia teringat akan dirinya sendiri yang juga tak dapat berkumpul dengan orang yang ia cinta.
Thio Ki kaget dan juga bingung, akan tetapi berita itu terlalu mengguncangkan hatinya sehingga ia tidak pedulikan lagi yang lain. Ia bangun dan memegang tangan Kwa Hong. "Sumoi... demi Tuhan... katakanlah, di mana Giam Kin yang menculik isteriku....?"
Kwa Hong menghentikan tangisnya, lalu matanya liar lagi, penuh kebengisan.
"Kau mau mencari dia" Boleh kuantar kau menyusul dia ke akhirat. Dia sudah kubunuh!"
"Dan Lee Giok bagaimana...." Ah, sumoi...." mata Thio Ki terbelalak dan sikapnya mengancam, "apakah kau juga membunuh dia....?"


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwa Hong tertawa lagi, tertawa menyeramkan. "Kalau betul, kau mau apa?"
"Kau... kau... iblis kejam.....!" Dengan nekat Thio Ki menerjang bekas adik seperguruannya itu. Akan tetapi pada waktu itu tingkat kepandaiannya tidak berarti apa-apa kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwa Hong.
Sekali menangkis dan sekali mendorong saja kembali Kwa Hong berhasil merobohkannya. Kwa Hong tertawa lagi sambil mengeluarkan pedang Hoa-san Po-kiam.
"Hi-hik, kau manusia rendah berani melawan Ketua Hoa-san-pai" Mampuslah kau!" Pedang Hoa-san Po-kiam itu diangkat tinggi-tinggi untuk ditebaskan ke arah leher Thio Ki.
Pada saat itu sebutir batu kecil menyambar ke arah pedang itu sehingga gerakan pedang tertahan di udara, disusul bentakan nyaring, "Hong Hong!!"
Kwa Hong kaget bukan main. Sambaran batu itu hebat sekali akan tetapi baginya tidaklah terlalu mengagetkan. Yang membuat ia kaget adalah suara bentakan tadi. Cepat ia memandang dan ... tubuhnya tiba-tiba gemetar dan pedang yang dipegangnya itu terlepas, jatuh ke atas tanah. Ia berdiri terpaku seperti patung, matanya terbelalak memandang laki-laki yang melangkah lebar menghampirinya, laki-laki setengah tua yang berwajah keren dan gagah perkasa, yang tangan kirinya putus sebatas pergelangan tangan.
"Ayah....!" Hati Kwa Hong menjerit akan tetapi bibirnya hanya mengeluarkan suara yang serak.
Di lain saat laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya dengan mata berapi-api dan alisnya terangkat naik, wajahnya membayangkan kemarahan, kedukaan dan sesal yang amat besar. Laki-laki itu memang ayah Kwa Hong, yaitu Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong. Di dalam cerita Raja Pedang telah dituturkan betapa murid pertama dari mendiang Lian Bu Tojin ini melarikan diri dari Hoa-san bersama sumoinya, Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa setelah tangan kirinya buntung oleh pedang gurunya sendiri dalam usahanya menolong nyawa sumoinya dari serangan pedang Lian Bu Tojin.
Kwa Tin Siong tak dapat menyangkal bahwa ia memang jatuh cinta kepada Liem Sian Hwa, sumoinya sendiri itu dan sebaliknya Sian Hwa juga diam-diam mencinta suhengnya ini setelah hatinya hancur lebur oleh kelakuan tunangannya, yaitu mendiang Kwee Sin murid Kun-lun-pai. Setelah melarikan diri dari Hoa-san, keduanya lalu mengasingkan diri, hidup berdua di sebuah puncak gunung. Mereka merasa malu untuk turun gunung dan karena senasib, pula karena mereka memang saling mencinta, maka keduanya lalu bersumpah saling setia dan menjadi suami isteri. Dengan tekun kedua orang ini lalu memperdalam ilmu silat mereka dan karena keduanya memang telah mewarisi ilmu silat tinggi dari Hoa-san-pai, memiliki dasar-dasar yang amat kuat, maka ketekunan mereka berhasil baik sehingga ilmu kepandaian mereka maju pesat sekali.
Betapapun juga, ketika Kwa Tin Siong mendengar akan sepak terjang puterinya terhadap Hoa-san-pai, malah sudah membunuh Lian Bu Tojin, ia tidak dapat terus tinggal diam berpeluk tangan mendengar Hoa-san-pai dirusak dan dikacau oleh puterinya sendiri yang terkasih. Setelah bermufakat dengan isterinya, ia lalu turun dari gunung dan menuju ke Hoa-san-pai.
Kedatangannya tepat pada saat Kwa Hong hendak membunuh Thio Ki sehingga ia dapat mencegahnya.
Di belakang Kwa Tin Siong terlihat seorang wanita cantik dan gagah, menggendong seorang anak kecil. Inilah Liem Sian Hwa dan anak itu adalah Kun Hong, anak suami isteri ini.
Kita kembali ke pertemuan antara ayah dan anak yang menegangkan ini. Para tosu yang segera mengenal Kwa Tin Siong segera bangkit dari berlutut dan memandang penuh ketegangan, juga kelegaan hati.
"Hong Hong, jadi benarkah semua berita yang kudengar" Benarkah kau berubah menjadi iblis, membunuh Lian Bu Tojin sukongmu sendiri, merampas kedudukan ketua Hoa-san-pai, membunuh banyak orang tosu Hoa-san-pai, dan sekarang kulihat kau malah hendak membunuh Thio Ki" Hong Hong..., bagaimana kau bisa berubah begini....?"
Naik sedu-sedan dari dada Kwa Hong. Dua butir air mata menitik turun dan ia hanya dapat berbisik, "Ayah...."
"Kau membunuh Suhu, malah membunuh Supek Lian Ti Tojin, mengusir Kui Lok dan Thio Bwee, melakukan perbuatan gila-gilaan di luar! Aku mendengar bahwa kau telah memiliki kepandaian yang luar biasa. Hemmm, sekarang aku, Kwa Tin Siong ayahmu telah berada di sini. Coba kaukeluarkan kepandaianmu itu untuk membunuh ayahmu sendiri! Hayo, kau tunggu apa lagi?" Suara Kwa Tin Siong yang tadinya bengis sekarang berubah serak mengandung penyesalan besar yang menusuk hatinya.
"Ayah...." "Tak usah kau ragu-ragu. Lawanlah aku! Kau boleh mencoba membunuh ayahmu ini, kalau tidak akulah yang akan membunuhmu!"
"Ayah....!" "Kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya takkan luntur selama dunia belum kiamat, akan tetapi kasih sayang seorang gagah selalu berdasarkan kebenaran dan keadilan! Demi kasih sayangnya, seorang ayah yang gagah takkan segan-segan menghukum anaknya sendiri yang menyeleweng dari keadilan dan kebenaran. Perbuatan-perbuatanmu melampaui segala garis, hukumannya hanyalah mati! Kalau aku tidak mampu menghukum mati kepadamu, lebih baik aku mati dalam tanganmu. Majulah!"
"Ayah....!" Kemarahan Kwa Tin Siong memuncak. Keraguan anaknya ini dianggapnya sebagai sifat pengecut. "Terimalah hukuman dariku!" Ia membentak dan menerjang maju dengan tangan kanannya. Pukulan yang ia lakukan adalah pukulan Hoa-san-pai yang hebat, pukulan penuh tenaga Iwee-kang yang akan dapat membikin pecah sebuah batu besar. Maksudnya hendak membunuh anaknya dengan sekali pukul agar lekas selesai urusan yang menghancurkan hatinya itu. Juga pukuian ini adalah jurus yang disebut Pukulan Dewa Mabuk yang biasa dipergunakan kalau keadaan sudah amat terdesak sehingga tak ada jalan keluar lagi. Biarpun amat hebat dan berbahaya bagi yang diserang, namun tidak kurang berbahayanya bagi yang menyerang sendiri karena sekali dapat dielakkan atau ditangkis, kedudukan Si Penyerang menjadi lemah dan tidak terjaga sehingga mudah dirobohkan lawan yang mampu menghindarkan pukulan ini.
Akan tetapi, alangkah kaget hati Kwa Tin Siong ketika melihat betapa puterinya itu sama sekali tidak mengelak! Betapapun marahnya terhadap anaknya ini, tadi Kwa Tin Siong sengaja melakukan pukulan ini karena ia sudah mendengar betapa lihai Kwa Hong sehingga gurunya sendiri, Lian Bu Tojin, tak mampu melawannya. Tentu ia sudah memperhitungkan bahwa Kwa Hong pasti akan dapat menghindarkan serangan ini dan berbalik akan merobohkannya. Ia rela mati di tangan anaknya untuk menebus dosa yang diperbuat oleh Kwa Hong. Demikian sucinya kasih sayang orang tua ini terhadap puterinya. Oleh karena inilah maka ia kaget sekali ketika pukulannya sama sekali tidak ditangkis maupun dielakkan oleh Kwa Hong yang menerimanya dengan mata meram! Untuk menarik kembali pukulan itu tidak mungkin lagi.
Tiba-tiba bayangan kuning emas menyambar dan tepat pada saat pukulan Kwa Tin Siong mengenai tubuh Kwa Hong, jago Hoa-san-pai ini terlempar ke belakang karena dipukul sayap rajawali emas. Kwa Hong terjengkang roboh dan nyawanya tertolong oleh serbuan rajawali emas itu sehingga pukulan ayahnya hanya mempunyai kekuatan setengahnya saja. Sambil melengking keras rajawali itu mengamuk, menerjang dengan marah ke arah Kwa Tin Siong yang terlempar empat meter lebih jauhnya. Akan tetapi sambil membentak marah Liem Sian Hwa sudah menerjang maju dengan pedang di tangan.
Wanita muda ini berjuluk Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), gerakannya gesit bukan main dan permainan pedangnya lihai sekali. Biarpun serangannya dapat dielakkan oieh burung itu, namun ia berhasii menyelamatkan suaminya dari cengkeraman kim-tiauw. Sementara itu, para tosu serentak bangkit dan mengeroyok dengan pedang mereka. Juga Kwa Tin Siong yang tidak terluka berat, sudah bangun dan menyambar pedang Hoa-san Po-kiam yang jatuh dari tangan Kwa Hong. Sekarang burung itu dikeroyok oleh Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa dan puluhan orang tosu Hoa-san-pai.
Hujan pedang menyambar ke arah tubuh kim-tiauw yang melawan dengan hebat sekali. Setiap kali sayapnya menampar, sedikitnya ada dua orang tosu roboh, patuk dan cakarnya sudah membinasakan banyak lawan. Namun jumlah pengeroyoknya terlampau banyak sehingga setiap kali ada pedang mengenai tubuhnya, beberapa helai bulu rontok beterbangan. Juga pedang di tangan Liem Sian Hwa telah berhasil melukai kakinya sehingga mengeluarkan darah. Namun burung itu terus mengamuk dan sekali lagi Kwa Tin Siong yang agaknya paling ia benci itu terpukul roboh oleh kibasan sayapnya yang lihai.
Tiba-tiba Kwa Hong yang sudah siuman kembali mengeluarkan bunyi melengking panjang. Rajawali itu cepat menyambar tubuh Kwa Hong, dicengkeramnya baju di bagian punggung dan membawa nonanya itu terbang pergi dengan kecepatan yang luar biasa. Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa dan para tosu hanya dapat berdongak memandang dengan penuh kengerian dan kekaguman sampai burung itu lenyap dari pandangan mata. Kwa Tin Siong menarik napas panjang ketika melihat betapa dalam pertempuran yang hanya sebentar itu ada delapan orang tosu yang tewas dan banyak yang terluka!
Pertemuan ini mendatangkan banjir air mata dan Kwa Tin Siong tak dapat menolak ketika para tosu mengangkatnya sebagai ketua Hoa-san-pai. Ketika Kwa Tin Siong mendengar tentang Lee Giok yang katanya pun terbunuh oleh Kwa Hong, ia menggigit bibirnya dan menghibur Thio Ki. "Dia terlampau lihai,"
katanya. "Baru burungnya saja tak terlawan oleh kita, untungnya tadi dia tidak berani melawanku. Andaikata dia turun tangan, kita semua kiranya takkan dapat hidup lagi." Semenjak saat itu Kwa Tin Siong memimpin para tosu dan memperhebat latihan ilmu silat di antara para murid Hoa-san-pai untuk menjaga kalau-kalau kelak terjadi penyerbuan ke Hoa-san-pai. Juga Thio Ki tekun memperdalanm ilmu silatnya.
Kwa Tin Siong berusaha menyelidiki dengan menyebar para tosu untuk menyatakan kebenaran berita tentang Lee Giok, lupa berusaha mencari Li Cu dan Beng San yang mereka harapkan akan dapat memberi keterangan tentang isteri Thio Ki itu. Akan tetapi semua usahanya sia-sia belaka. Akhirnya karena putus asa, Thio Ki malah meninggalkan keduniaan dan masuk menjadi seorang tosu. Ia sekarang tekun mempelajari Agama To sambil memperdalam ilmu silatnya di bawah pimpinan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Di bawah pimpinan suami isteri perkasa ini, lambat laun Hoa-san-pai mendapatkan kembali keangkerannya dan merupakan partai persilatan yang kuat. Hanya terdapat satu hal yang aneh, yaitu pada diri Kwa Kun Hong, putera Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Kiranya semua orang akan menduga bahwa suami isteri ini tentu akan memberi gemblengan istimewa kepada putera mereka agar kelak menjadi seorang yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa.
Namun dugaan ini keliru. Mungkin sekali karena melihat akibat pada diri puterinya, Kwa Hong, maka ketua Hoa-san-pai itu agaknya merasa kuatir kalau-kalau puteranya kelak pun akan mengalami nasib buruk karena pandai ilmu silat. Ia sama sekali tidak melatih ilmu silat kepada Kun Hong, sebaliknya melatih bun (ilmu kesusastraan) dan tentang agama!
bagian 36 Kakek waktu mempunyai kekuasaan yang amat mengherankan dan tak dapat dilawan oleh siapa dan apapun juga. Segala yang berada di dalam dunia ini ditelan oleh waktu, tidak pengecualian, mempergunakan daya keampuhannya yang berupa usia tua. Benda paling keras macam besi pun akhirnya menyerah kepada waktu, diganyang hancur oleh usia tua. Manusia yang paling pandai, yang paling gagah perkasa dengan kedudukan tertinggi, kekuasaan terbesar, akhirnya akan menyerah kepada Kakek Waktu. Semua akan musnah sedangkan waktu akan berjalan terus, menelan segala apa yang dihadapannya.
Yang, sudah lampau hanya merupakan kenangan sepintas lalu saja, seakan-akan masa puluhan tahun hanya terjadi dalam sekejap mata. Sebaliknya, yang akan datang merupakan dugaan dan teka-teki yang takkan diketahui oleh seorang pun manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang dapat menguasai Kakek Waktu, karena Tuhahlah pengatur dan pengisi waktu dengan segala macam peristiwa di dunia seperti yang dikehendaki-Nya.
Waktu memang amat aneh. Kalau diperhatikan dan diikuti jalannya, amat-lah lambat ia merayap, lebih lambat daripada jalannya siput. Akan tetapi kalau tidak diperhatikan, amat cepatlah ia melewat, lebih cepat daripada terbangnya pesawat jet atau roket sekalipun.
Demikian pula dengan keadaan waktu di dalam cerita ini. Tanpa kita sadari lagi, tahu-tahu kita sudah dibawa oleh waktu terbang cepat tujuh belas tahun lamanya semenjak Kwa Tin Siong datang kembali ke Hoa-san-pai dan menjadi Ketua Hoa-san-pai sebagai pengganti gurunya, Lian Bu Tojin yang telah tewas oleh Kwa Hong dan Koai Atong. Tujuh belas tahun telah lewat bagaikan dalam sekejap mata saja!
Selama itu, tidak terjadi hal-hal penting. Memang harus diakui bahwa setelah Kaisar yang baru berhasil menghalau dan membasmi semua bekas teman seperjuangan yang hendak memberontak, keadaan pada umumnya menjadi aman tenteram.
Di Puncak Hoa-san-pai juga kelihatan aman dan damai semenjak terjadi keributan belasan tahun yang lalu, akibat sepak terjang Kwa Hong. Sekarang banyak kelihatan para tosu Hoa-san-pai bekerja di sawah ladang, memikuli kaleng-kaleng air dari sumber. Bahkan dengan gembira selalu mereka kelihatan berlatih ilmu silat Hoa-san-pai di pelataran belakang kuil Hoa-san-pai yang besar itu.
Berbeda dengan belasan tahun yang lalu ketika Hoa-san-pai masih diketuai oleh Lian Bu Tojin sekarang Hoa-san-pai tidak lagi mempunyai murid-murid muda yang bukan tojin. Orang-orang kelihatan berlatih ilmu silat di situ semua adalah tosu-tosu Hoa-san-pa belaka. Para tosu amatlah maju kalau dibandingkan dengan dahulu. Dahulu para tosu Hoa-san-pai kurang memperhatikan pelajaran ilmu silat yang agaknya "diborong" oleh murid-murid yang bukan tosu. Akan tetapi sekarang para tosu itu lekas kelihatan amat maju dalam pelajaran ini. Ilmu silat yang mereka mainkan amat baik dan gerakan mereka menunjukkan latihan matang.
Tujuh belas tahun bukanlah waktu singkat untuk mematangkan ilmu silat bagi para murid Hoa-san-pai yang tadinya memang sudah memiliki kepandaian dasar. Apalagi yang melatih mereka adalah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, suami isteri yang sudah mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai, terutama sekali ilmu pedangnya. Juga Thio Ki yang sekarang sudah menjadi tosu itu amatlah maju, merupakan murid kepala dan kini bahkan seringkali mewakili Ketua Hoa-sanpai untuk melatih para tosu di pelataran belakang kuil.
Thio Ki yang sudah menjadi tosu mempunyai nama pendeta Thian Beng Tosu dan ia merupakan tosu yang amat tekun mempelajari ilmu kebatinan untuk menghibur hatinya yang tertekan hebat.
Patut dikasihani nasib Thio Ki. Kalau ia terkenang kepada isterinya, Lee Giok yang menurut anggapannya sudah terbunuh oleh Kwa Hong, hatinya menjadi perih dan hanya dengan membaca kitab-kitab Agama To yang kedukaannya dapat terhibur. Berbeda dengan Thio Ki yang sudah menjadi tosu, Kwa Tin Siong tidak masuk menjadi tosu. Hal ini adalah karena ia mempunyai isteri, maka biarpun ia sudah menjadi Ketua Hoa-san-pai, namun ia tetap menjadi
"orang biasa" dan bukan pendeta. Oleh karena itu pula, sebagai ketua umum Hoa-san-pai, ia mengangkat Thian Beng Tosu (Thio Ki) menjadi ketua bagian Agama To, dibantu oleh beberapa orang tosu tua yang menjadi ahli dalam keagamaan ini. Kwa Tin Siong sendiri hidup rukun damai dengan isterinya dan puteranya, pekerjaannya sehari-hari selain memimpin para tosu Hoa-san-pai dalam ilmu silat, juga sering kali tampak ketua ini bekerja di sawah ladang bersama para tosu lainnya.
Seperti juga halnya dengan keadaan apa saja di jagat ini, bahwa segala sesuatu takkan kekal adanya, takkan ada hujan atau terang tiada akhir, takkan pula ada kedukaan ataupun kesenangan tiada akhir. Selama Kwa Tin Siong menjadi Ketua Hoa-san-pai, memang keadaan di puncak bukit itu tampak aman tenteram, penuh damai yang menyamankan hati. Pada hari yang amat sejuk hawa udaranya, amat nyaman cahaya matahari pagi menembusi halimun gunung, amatlah tak tersangka-sangka akan datang hal-hal yang mengganggu ketenteraman Hoa-san-pai.
Gangguan itu mula-mula terjadi di malam hari tanpa ada seorang pun anggauta Hoa-san-pai yang tahu. Ketika pagi-pagi hari para tosu mulai dengan pekerjaan mereka sehari-hari, tiba-tiba seorang tosu berseru heran sambil menuding ke arah atas kuil. Seperti biasa, di puncak kuil itu berkibar bendera Hoa-san-pai yang berdasar kuning dengan tuiisan biru, tanda dari perkumpulan Hoa-san-pai. Akan tetapi sekarang bendera itu agak turun dan di puncak tiang bendera berkibar sebuah bendera kecil yang asing. Akan tetapi dari bawah jelas terlihat bahwa bendera itu adalah sebuah bendera berdasar warna merah dengan sulaman macan hitam. Menaruh bendera di atas bendera Hoa-san-pai hanya mempunyai satu arti, yaitu orang hendak menghina dan merendahkan Hoa-san-pai. Ribut-ribut di luar kuil ini menarik hati Thian Beng Tosu yang segera berlari keluar. Melihat bendera kecil itu, wajahnya segera berubah merah dan ia mengepal tinjunya menahan marah.
Tak lama kemudian Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga berlari keluar diikuti oleh seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang berwajah tampan dan bersikap halus. Dia ini bukan lain adalah Kwa Kun Hong. Mereka diberi iaporan oleh seorang tosu tentang peristiwa itu, maka tergesa-gesa keluar untuk rnenyaksikan.
Kwa Tin Siong sendiri, juga isterinya, tidak mengenal bendera merah dengan gambar harimau hitam itu. Akan tetapi ketika Kwa Tin Siong melihat sikap Thian Beng Tosu (Thio Ki) yang nampak marah, ia segera bertanya,
"Apakah kau mengenal bendera itu" Apa artinya ini?"
Thian Beng Tosu segera menjawab pertanyaan supeknya, "Teecu mengenal baik, tak nyana sama sekaii bahwa kumpulan bangsat itu berani mengejar teecu (murid) ke sini, malah, berani menghina Hoa-san-pai!" Ia menarik napas panjang. "Hemmm, tentu mereka telah mempunyai pimpinan orang pandai sehingga pada malam hari tanpa kita ketahui sama sekali dapat memasangkan bendera itu."
Liem Sian Hwa adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang semenjak dulu berwatak keras dan gagah. Kedua telinganya sudah merah ketika ia menyaksikan penghinaan bendera itu, sekarang mendengar kata-kata murid keponakannya ia menjadi makin panas hatinya. "Huh, memasang bendera begitu saja apa sih hebatnya?" Baru saja ia berkata demikian, tubuhnya sudah melesat ke atas dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu ia sudah meloncat tinggi di puncak tiang bendera! Tangan kirinya bergerak menyambar tiang bendera sehingga tubuhnya berjungkir-balik dengan lurus, kemudian tangan kanannya membetot bendera kecil itu terlepas dari tiang. Kemudian dengan sebelah tangan pula ia menaikkan bendera Hoa-san-pai di puncak tiang seperti semula. Setelah semua ini ia lakukan dengan berjungkir balik dan dengan tangan kiri menahan tubuh di puncak tiang itu, ia menekan tiang dan tubuhnya melayang turun lagi, hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara dan mukanya sedikitpun tidak menunjukkan tanda bahwa ia telah mempergunakan banyak tenaga.
Para tosu berseru kagum dan memuji Sang Nyonya Ketua yang memang patut dipuji. Tidak percuma Liem Sian Hwa mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) karena memang gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Kun Hong bersorak memuji,
"Hebat....! Ibu seperti burung saja, ah... bukan main indahnya gerakan Hui-liong Cai-thian (Naga Terbang ke Langit) tadi!"
Seketika wajah Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong berubah terheran-heran.
Mereka saling pandang, kemudian keduanya memandang kepada putera mereka dengan mata penuh selidik dan penuh pertanyaan. Tentu saja mereka terheran-heran karena bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa gerakan tadi adalah gerakan Hui-liong Cai-thian" Padahal di antara para tosu, kiranya hanya Thian Beng Tosu seorang yang tahu akan ilmu meloncat Hoa-san-pai yang sukar ini, sedangkan Kun Hong sama sekali tidak pernah belajar silat semenjak kecilnya. Hampir saja Kwa Tin Siong mengajukan pertanyaan, akan tetapi perhatian mereka tertarik oleh seruan Thian Beng Tosu, "Ah, surat apakah yang tertempel di bendera itu?"
Semua orang melihat. Benar saja. Pada bendera kecil itu terdapat sehelai surat yang ditempel dengan tusukan jarum. Liem Sian Hwa menyerahkan bendera, berikut surat kepada suaminya yang segera mengambil surat itu dan membacanya. Setelah membaca, keningnya berkerut dan berkatalah Ketua Hoa-sanpai ini kepada semua tosu yang mengerumuni tempat itu.
"Gerombolan penjahat bermaksud buruk terhadap kita. Mulai saat ini kalian semua boleh terus bekerja seperti biasa, akan tetapi jangan berpisahan, harus berkelompok sedikitnya lima orang. Kalau ada orang asing naik ke gunung, jangan sembrono dan jangan mencari perkara. Langsung laporkan kepada kami."
Sambil berbisik-bisik dengan hati tegang para tosu itu ialu melanjutkan pekerjaan mereka. Kwa Tin Siong seanak isteri lalu masuk ke dalam mengajak Thian Beng Tosu.
"Ki-ji (Anak Ki)," Kata Kwa Tin Siong. Memang sudah biasa ia memanggil Thio Ki dengan sebutan anak Ki, maka sampai Thio Ki menjadi tosu pun masih disebut demikian. "Apakah kau mengenal penulis surat ini?" Ia menyerahkan surat kecil itu kepada Thian Beng Tosu yang segera membacanya.
Kalau dalam waktu dua belas jam Thio Ki tidak turun mengantarkan nyawanya ke Im-kan-kok, terpaksa kami tidak melihat muka Ketua Hoa-san-pai lagi dan menyerbu Hoa-san-pai. untuk mengambil nyawa Thio Ki.
Surat itu ditandai gambar harimau hitam dan tulisannya kasar lagi buruk, bukan tulisan seorang ahli. Membaca ini, seketika wajah Thio Ki atau sekarang bernama Thian Beng Tosu ini menjadi pucat, giginya beradu dan tangannya mengepal, surat itu diremasnya.
"Keparat betul Bhe Lam Si Macan Hitam itu!" katanya.
Thio Ki atau Thian Beng Tosu lalu bercerita. Dahulu sebelum ia menjadi tosu Hoa-san-pai dan masih menjadi seorang piauwsu (pengawal barang) di Sin-yang, pernah pada suatu hari barang kawalannya dirampok oleh segerombolan perampok yang dipimpin oleh Hek-houw Bhe Lam. Seorang pembantunya tewas dan barang kawalan itu dirampas. Thio Beng Tosu atau dahulu masih bernama Thio Ki lalu bersama isterinya, Lee Giok, mendatangi sarang perampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya mereka dapat mengalahkan Bhe Lam dan merampas kembali barang kawalannya. Bhe Lam berhasil melarikan diri setelah menderita luka berat.
'"Demikianlah, Supek. Agaknya Bhe Lam itu tidak melupakan urusan lama dan biarpun teecu sudah menjadi tosu di sini, dia masih mencari dan hendak membalas dendam. Perkenankan teecu pergi menemuinya dan sekali ini teecu takkan tanggung-tanggung membasminya agar ia tidak mengacau ketenteraman dunia." Setelah berkata demikiah Thian Beng Tosu lalu bergerak hendak pergi mencari musuh besarnya,
Kwa tin Siong menggerakkan tangan mencegah. "Nanti dulu, jangan kau terlalu sembrono dan tergesa-gesa. Kalau dahulu dia pernah kaukalahkan dan sekarang berani datang menantang, sudah tentu ia mempunyai andalan yang kuat. Kalau tidak demikian, tak mungkin ia bersikap menantang. Pula, kalau hendak menuntut balas, mengapa harus sampai belasan tahun lamanya" Kita harus hati-hati dan jangan gegabah. Dengan mendatangi Hoa-san-pai, memasang bendera menghina bendera kita, itu saja menunjukkan bahwa ia memandang rendah kepada Hoa-san-pai. Setelah ia berbuat demikian jauh, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"
"Yang amat mengherankan adalah tempat ia menanti di Im-kan-kok," kata Liem Sian Hwa sambil mengerutkan keningnya. "Im-kan-kok adalah tempat suci yang juga menjadi tempat larangan bagi kita, kenapa musuh justeru menanti di sana" Thio Ki, kau harus berhati-hati, benar pendapat supekmu, kita semua harus menghadapi urusan ini bersama."
Tiba-tiba Kun Hong tertawa, "Orang itu tak tahu diri sekali berani mengganggu Hoa-san-pai. Twa-suko jangan takut, orang itu memberi waktu dua belas jam, tentu nanti tenga hari dia datang. Biarkan dia datang, hendak kita lihat bagaimana macamnya. Untuk mendatangi undangannya ke Im-kan-kok hanya akan membuat dia leluasa mengatur jebakan."
"Hush, kau tahu apa tentang urusan ini?" ibunya membentak.
Kwa Tin Siong teringat akan sesuatu dan ia lalu bertanya dengan suara bengis,
"Kun Hong, kau tadi tahu akan gerakan ibumu, dari mana kau tahu" Hayo bicara, jangan kau sembunyikan sesuatu dariku!"
Leher Kun Hong mengkeret ketika ia dibentak ayahnya, wajahnya menjadi merah dan ia menjawab gugup, "Ah, tidak sekali-kali aku melanggar larangan Ayah. Aku tak pernah mempelajari ilmu silat, hanya aku telah membaca catatan Ayah dan Ibu tentang ilmu silat Hoa-san-pai. Mempelajari tidak boleh, kalau membaca kan tidak ada larangan, bukan" Aku memang suka membaca apa saja, Ayah."
Diam-diam Ketua Hoa-san-pai ini tertegun. Membaca begitu saja tanpa mempelajari prakteknya, namun sudah dapat melihat gerakan orang, benar-benar hal ini amat luar biasa dan membutuhkan kecerdikan yang jarang bandingannya. Ia kagum dan juga bangga sekali, akan tetapi mulutnya berkata, "Hemm, lain kali kau tidak boleh membaca segala macam kitab pelajaran ilmu silat"
"Baik, Ayah," kata Kun Hong sambil tunduk.
Karena menguatirkan keselamatan puteranya yang tidak pandai ilmu silat, Kwa Tin Siong hendak menyuruh puteranya itu tinggal saja di kamarnya, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan perintah, tiba-tiba seorang tosu masuk dan melaporkan bahwa ada tiga orang tosu tua yaitu Pak-thian Sam-lojin datang berkunjung. Wajah Kwa Tin Siong menunjukkan perasaan girang dan heran akan kunjungan yang tak tersangka-sangka ini. Tiga Orang Tua dari Utara itu adalah sahabat-sahabat baik mendiang gurunya, Lian Bu Tojin. Tentu saja kunjungan ini amat menyenangkan hatinya, apalagi di waktu Hoa-san-pai sedang menghadapi ancaman musuh. Dari tiga orang kakek yang berkepandaian tinggi itu dapat diharapkan bantuannya.
"Persilakan mereka masuk," katanya, lalu ia bersama isterinya, juga Thian Beng Tosu yang masih ingat akan nama tiga orang kakek itu segera menyambut di pintu ruangan.
Tak lama kemudian masuklah tiga orang kakek itu. Usia mereka sudah tua sekali, akan tetapi sikap mereka masih gagah. Tiga orang tosu yahg mengenakan pakaian longgar, dengan wajah keren dan tindakan kaki ringan, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Melihat mereka, Kwa Tin Siong, isterinya dan Thian Beng Tosu segera menjura dengan hormat. Tiga orang kakek itu mengelus jenggot dan seorang di antara mereka yang tertua dan yang berjenggot panjang sekali segera berkata,
"Sudah lama kami mendengar bahwa Hoa-san-pai sudah berganti ketua.
Menyesal kami tidak dapat datang ketika terjadi malapetaka di Hoa-san. Mula-mula memang kami ingin datang dan membalaskan sakit hati sahabat kami Lian Bu Tojin, akan tetapi kemudian kami mendengar bahwa Sicu telah menggantikan kedudukan mendiang sahabat kami itu. Betapapun juga, kami ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Hoa-san-pai sudah bangun kembali. Siapa kira di tengah perjalanan kami melihat adanya gerombolan orang jahat yang mengancam Hoa-san-pai. Apakah Sicu sudah mengetahuinya?"
Kwa Tin Siong mempersilakan para tamunya duduk lalu menghaturkan terima kasih. "Sam-wi Locianpwe benar-benar telah mencapaikan diri untuk memperhatikan keadaan Hoa-san-pai. Untuk budi kecintaan itu kami menghaturkan banyak terirna kasih. Memang benar seperti yang Locianpwe katakan tadi, ada segerombolan penjahat datang mengganggu, akan tetapi kiranya hal ini tak patut untuk membikin Sam-wi capai hati. Hanya urusan kecil saja."
Kui Tosu, yaitu tosu tertua daripada tiga kakek itu, mengerutkan alisnya yang sudah putih. Ia memang berwatak berangasan. "Hemm, Sicu sebagai murid dari Lian Bu Tojin sudah tentu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Hoa-sanpai. Akan tetapi harap diketahui bahwa kepandaian tidak ada batasnya dan kiraku hari ini belum tentu kepandaian Hoa-san-pai akan dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh. Tahukah Sicu siapa yang datang mengganggu?"
bagian 37 Diam-diam Kwa Tin Siong tidak senang mendengar ucapan ini. Dia adalah seorang gagah yang tak pernah takut menghadapi lawan, akan tetapi oleh karena tiga orang kakek ini datang sebagai tamu dan adalah sahabat-sahabat mendiang gurunya, ia menahan kesabaran dan bertanya,
"Yang saya ketahui hanya bahwa orang yang memimpin gerombolan pengacau itu bernama Bhe Lam, seorang penjahat Sin-yang berjuluk Hek-houw (Harimau Hitam). Penjahat cilik macam itu perlu apa diributkan?"
Tosu termuda dari tiga orang kakek itu yang bernama Lai Tosu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Kalau hanya harimau hitam saja apa artinya" Besar atau kecil kalau hanya Hek-houw saja tidak lebih daripada seekor kucing hitam! Ketahuilah, Kwa-sicu, di belakang si Harimau Hitam itu masih ada dua mahluk yang lebih menakutkan lagi. Kau tahu siapa mereka" Yang seorang adalah Kim-thouw Thian-li Ketua Ngo-lian-kauw dan yang ke dua adalah Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa)!"
Kwa Tin Siong kaget bukan main mendengar nama-nama ini. Tentu saja ia sudah mengenal Kim-thouw Thian-li yang sudah berkali-kali membikin keruh keadaan Hoa-san-pai, malah wanita inilah yang mula-mula merusak Hoa-sanpai sehingga terjadi hal yang berlarut-larut dan permusuhan yang menjadi-jadi (baca cerita Ra|a Pedang). Kim-thouw Thian-li merupakan musuh besar Hoa-san-pai, berarti musuh besarnya. Kepandaian wanita itu memang hebat sekali, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar untuk menghadapinya. Yang membikin Ketua Hoa-san-pai ini kaget sekali adalah disebutnya nama Toat-beng Yok-mo. Kakek iblis itu sudah belasan tahun menghilang dari dunia kangouw, kenapa sekarang bisa muncul bersama Kim-thouw Thian-li membantu Hek-houw Bhe Lam"
Melihat kekuatiran di wajah tuan rumah, Bu Tosu orang ke tiga dari Pak-khia Sam-lojin dengan sombong berkata,
"Kwa-sicu tak usah kuatir, Kim-thouw Sian-li dan Toat-beng Yok-mo boleh menakuti orang lain, akan tetapi lihat saja, ada pinto bertiga di sini yang siap untuk meghancurkannya!"
Kwa Tin Siong belum hilang kagetnya dan ia berkata, "Terima kasih atas janji Sam-wi untuk membantu kami. Akan tetapi benar-benar saya tidak mengerti mengapa Toat-beng Yok-mo dapat berada dengan mereka?"
"Ha-ha-ha, Kwa-sicu masih belum mendengar" Agaknya karena belasan tahun sibuk mengurus Hoa-san-pai, tidak tahu akan kejadian di dunia luar! Kakek tua bangka tukang obat itu tergila-gila kepada Kim-thouw Thian-li dan kabarnya ia telah memperisteri Ketua Ngo-lian-kauw itu. Ha-ha, benar-benar tua bangka tak tahu malu!" kata Lai Tosu.
"Akan tetapi Sicu tak perlu merasa kuatir," sambung Kui Tosu tenang. "Biarkan mereka datang, kita atur jebakan untuk mereka. Para tosu supaya mengatur bai-hok (barisan terpendam) di sekeliling puncak, siap dengan senjata lengkap. Kami sudah melihat bahwa gerombolan mereka hanya terdiri dari tiga puluh orang lebih. Kita menang banyak. Kita biarkan mereka masuk dan Sicu boleh menghadapi Bhe Lam sedangkan kami bertiga akan menggempur Toat-beng Yok-mo. Tentang Kim-thouw Thian-li, kami rasa cukup kalau dihadapi oleh isterimu dan murid-muridmu. Sementara itu, para tosu datang mengurung dan mengeroyok anak buah mereka yang tidak banyak jumlahnya itu. Dengan cara ini, kami rasa kita akan dapat membunuh mereka semua, jangan ada yang bisa lolos agar kelak mereka tidak mendatangkan bencana pula!"
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mengangguk-angguk, setuju dengan rencana siatsat ini. Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong berseru marah, "Tidak boleh....! Tidak boleh, jahat sekali itu! Masa kita Hoa-San-pai harus membunuhi orang-orang itu" Tidak boleh, mana ada aturan manusia membunuh manusia lain" Ini perbuatan terkutuk, oleh Thian!"
Semua orang kaget, apalagi Pak-thian Sam-lojin. Mereka menengok memandang kepada pemuda itu dengan heran.
"Kwa-sicu, siapakah orang muda ini?" tanya Kui Tosu.
"Dia adalah Kun Hong, anak kami yang bodoh," jawab Kwa Tin Siong dan ia sudah melototkan matanya untuk menegur anaknya. Akan tetapi Kui Tosu sudah mendahuluinya, bertanya dengan keren.
"Orang muda, kalau kau menganggap rencana kami, itu tidak boleh dijalankan, habis kalau menurut pikiranmu bagaimana baiknya menghadapi musuh-musuh yang akan menyerbu?"
"Ha-ha, bocah berlagak pintar!" kata Lui Tosu. "Apakah kau ingin agar mereka itu datang menyerbu dan membunuh kita semua?"
"Tidak demikian maksudku. Harap Sam-wi Totiang tidak salah sangka," jawab Kun Hong, suaranya tetap dan tegas. "Kalau ada seorang gila memaki-maki seorang waras, lalu si waras itu balas memaki-maki si gila, lalu bagaimana perbedaan antara mereka" Mana si waras dan mana si gila" Demikian pula, kalau ada orang jahat berencana hendak membunuh kita, lalu kita berencana pula untuk membunuh mereka, bukankah watak kita tiada bedanya dengan orang jahat itu" Mereka hendak membunuh kita, kita pun hendak membunuh mereka. Siapa di antara kita yang jahat" Siapa benar siapa salah?"
Kwa Tin Siong sendiri melengak mendengar omongan puteranya ini. Memang ia tahu bahwa watak puteranya amat keras dan juga amat berani dalam mengemukakan pendapatnya, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani ini.
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan terheran-heran. Kui Tosu lalu membantah
"Tentu ada perbedaannya! Kita hendak membunuh mereka dengan dasar hendak membasmi orang-orang jahat!"
"Apa Totiang mengira bahwa mereka pun tidak mempunyai dasar dengan kehendak mereka membunuh kita" Setiap perbuatan tentu ada dasarnya, yaitu dasar untuk kemenangan sendiri, untuk kebaikan sendiri. Pendapat seorang takkan sama, dasar yang dipakai orang tidak sama pula. Semua orang memperebutkan kebenaran, kebenaran sendiri tentu!"
"Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" Kui Tosu mulai marah.
Karena bocah ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai, maka ia mau melayaninya, kalau bukan putera Kwa tin Siong, tentu tidak sudi bicara dengannya.
"Maaf, Totiang. Harap Totiang, juga Ayah dan Ibu dan para susiok dan suheng suka menjawab dulu pertanyaanku. Kalau kukatakan bahwa yang berhak atas sesuatu benda adalah pembuatnya, apakah salah kata-kataku ini?"
"Tentu saja begitu," jawab Thian Beng Tosu karena yang lain-lain tidak menjawab.
"Nah, Suheng sudah menjawab dan membetulkan kata-kataku. Yang berhak atas sesuatu adalah pembuatnya. Lalu, siapakah yang membuat manusia ini hidup di dunia" Salahkah kalau kukatakan bahwa Tuhan yang memberi hidup?"
Kembali pemuda ini berhenti dan memandangi mereka dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.
"Benar pula, Kun Hong," jawab Thian Beng Tosu.
"Nah, kalau kita semua mengakui bahwa yang memberi hidup adalah Tuhan, berarti hidup kita ini millk Tuhan. Oleh karena itu pula, hanya Tuhanlah yang berhak untuk mengakhiri hidup kita, jadi hanya Tuhan pula yang berhak membunuh manusia. Kalau kita sudah tahu akan hal ini, mudah saja bagi kita menjawab. Perbuatan membunuh itu baik atau jahat?"
Tidak ada yang menjawab, Kun Hong penasaran dan menghadapi ayahnya.
"Ayah selalu mengajar agar supaya aku hanya mengatakan apa yang menjadi isi hatiku. Mengapa sekarang pertanyaanku tidak ada yang menjawab" Ayah, bukankah menurut sebab-sebab tadi, membunuh itu baik ataukah jahat?"
"Memang, membunuh adalah perbuatan yang tidak baik," akhirnya ayahnya berkata perlahan.
Mata Kun Hong berseri-seri dan bersinar-sinar. "Nah, kalau perbuatan membunuh ini termasuk perbuatan jahat, mengapa kita merencanakan hendak membunuh orang malah" Mengapa kita hendak membalas kejahatan dengan kejahatan pula" Kalau orang lain yang hendak membunuh termasuk golongan penjahat, habis kita ini apa kalau juga meniru perbuatan mereka" Membalas perbuatan baik dengan kebaikan pula adalah sikap seorang budiman.
Membalas kejahatan dengan kebaikan hanya mungkin dapat dilakukan oleh alam, hanya mungkin dapat dilakukan oleh Tuhan. Hanya manusia yang sudah dapat menyatukan diri dengan alam saja yang akan mencapai kebajikan ini, yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan. Akan tetapi seorang manusia bijaksana, seorang budiman biarpun belum dapat membalas kejahatan dengan kebaikan, sedikitnya harus dapat membalas kejahatan dengan keadilan!"
Semua orang di sini maklum bahwa yang dikemukakan oleh pemuda itu adalah ajaran-ajaran dalam agama dan filsafat yang memang telah dipelajarinya semenjak ia kecil.
"Semua orang telah mempelajari kebenaran, akan tetapi tidak berani membela dan mempertahankan kebenaran yang dipelajarinya itu! Ayah, dan ibu, dan semua susiok dan suheng. Hoa-san pai takkan bernama kalau dibangun dengan darah dan pembunuhan. Hoa-san-pai adalah perkumpulan untuk menuntun orang-orang mempelajari Agama Tao agar manusia dapat membersihkan diri daripada kejahatan, bagaimana mungkin mengajar orang membersihkan diri dari kejahatan dengan jalan terjun ke dalam kejahatan itu sendiri?"
Melihat pemuda ini makin bersemangat, Kwa Tin Siong merasa tidak enak hati dan ia lalu membentak, "Kun Hong, kau ini anak kecil hendak memberi pelajaran kepada orang-orang tua" Soal begitu saja, kita semua sudah tahu, apalagi Sam-wi Locianpwe ini. Yang kau kemukakan itu adalah pelajaran-pelajaran yang masih rendah dan semua juga sudah mengetahuinya."
Tahu tidak sama dengan mengerti, malah mengerti pun tidak sama dengan sadar, Ayah! Tahu saja tanpa mengerti isinya percuma. Mengerti sekalipun tanpa kesadaran takkan ada gunanya. Yang penting tahu, lalu mengerti akan isinya, sadar untuk menerapkan pengertian ini dengan batinnya, kemudian disusul dengan ketaatan bulat terhadap pengertian ini. Apa gunanya kalau kita hanya tahu dan mengerti bahwa membunuh itu jahat, akan tetapi kita malah nekat melakukannya" Pendeknya, anak tidak setuju kalau Hoa-san-pai mempunyai orang-orang yang suka menjadi pembunuh sesama manusia!"
"Hemm, hemmm, aneh sekali anakmu, Kwa-sicu!" kata Kui Tosu dengan muka merah. Tosu tua yang berangasan ini tak dapat menahan lagi kesabarannya.
"Eh, kongcu cilik, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimarna kita akan, menghadapi gerombolan Harimau Hitam itu?"
"Alam mempunyai hukum yang diatur oleh Tuhan. Manusia pun mempunyai hukum yang diatur oleh pemerintahan negara. Kita sebagai manusia harus tunduk kepada hukum pula. Masyarakat telah diatur dengan adanya petugas-petugas yang berkewajiban mengatur hukum-hukum itu. Kalau ada hal yang tidak beres dan melanggar hukum, merekalah yang wajib mengurusnya.
Sekarang gerombolan itu kalau sudah datang ke sini, kita ajak bicara secara aturan. Kalau mereka tidak mau terima uluran dan hendak melanggar hukum, biar kita laporkan kepada lurah dan para petugas di dusun, tak jauh di kaki gunung sana."
Meledak suara ketawa tiga orang tosu tua itu. ketika mendengar omongan ini.
Kwa Tin Siong menjadi amat merah mukanya karena sikap Kun Hong ini jelas membuka kenyataan bahwa puteranya itu tidak tahu-menahu tentang dunia persilatan, di mana hukum yang dipakai adalah hukum persilatan yang jauh bedanya dengan hukum pemerintah.
"Kwa-sicu, kau benar-benar aneh sekali mendidik anakmu seperti ini! Ha-ha-ha, tidak nyana mendiang Lian Bu Tojin mempunyai cucu murid seperti ini!"
Kun Tosu tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking geli.
"Locianpwe, harap maafkan puteraku, memang semenjak kecil tak pernah diberi pendidikan ilmu silat, melainkan ilmu surat dan filsafat. Betapapun juga, menurut pendapatku yang bodoh, jauh lebih baik tidak tahu akan ilmu silat sehingga jauh daripada bermusuh-musuhan seperti dalam penghidupan kita orang-orang persilatan."
Pada saat itu terdengar suara nyaring di luar pintu, suara wanita yang berteriak-teriak, "Hayo, mana dia si orang she Kwa" Suruh dia lekas keluar menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam dan kepalanya!"
Semua orang kaget sekali. Bagaimana bisa ada seorang musuh datang begitu saja tanpa diketahui oleh para penjaga yang sudah diatur serapi-rapinya" Kwa Tin Siong menyangka bahwa yang datang tentulah Kim-thouw Thian-li, maka ia lalu melangkah keluar, diikuti semua orang termasuk Pak-thian Sam-lojin.
Setelah mereka tiba di luar, semua orang ini dibikin bengong saking herannya.
Bukan Kim-thouw Thian-li yang berdiri di situ, melainkan seorang gadis tanggung berusia sekitar tujuh belas tahun, yang berdiri dengan tegak di tengah pelataran depan kuil. Gadis ini cantik sekali, sepasang matanya tajam bergerak-gerak cepat memandang ke kanan kiri, mulut kecil yang berbibir merah itu manis tersenyum-senyum setengah mengejek. Pakaiannya sederhana sekali, dari kain kasar dan dengan jahitan sederhana seperti biasanya pakaian gadis-gadis gunung, juga tidak kelihatan membawa senjata apa-apa sehingga benar-benar seperti seorang dara gunung yang cantik manis sekali. Karena ia tidak bersenjata, maka ia mirip seorang gadis yang kurang waras pikirannya. Kalau tidak demikian, bagaimana seorang gadis seperti dia berani bicara tidak karuan di Hoa-san-pai" Berbeda kiranya kalau dia membawa senjata, tentu dia merupakan seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat maka berani membuka suara besar.
Pendekar Kidal 9 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Amarah Pedang Bunga Iblis 4
^