Pencarian

Senja Jatuh Di Pajajaran 13

Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 13


akibatnya mereka saling serang dan saling bunuh.
Sementara keempat perwira sudah mulai berhadapan
dengan enam orang pengawal keluarga Raja. Mereka
berkelahi dengan menggunakan senjata tajam. Para
pengawal keluarga Raja nampak dibantu oleh seorang
pemuda tampan yang dikenal Ginggi sebagai Sang
Lumahing Majaya, putra terkasih Raja dari salah seorang
selirnya. Pemuda elok itu memiliki kepandaian juga, namun
nampak sekali tingkatannya di bawah kepandaian para
penyerangnya. Selintas Ginggi melihat, pemuda itu cepat
sekali terdesak oleh serangan seorang perwira. Apalagi
pemuda elok itu hanya menggunakan keris, sedangkan
penyerangnya menggunakan pedang. Kalau pertempuran
dilakukan satu lawan satu, dalam waktu singkat Sang
Lumahing Majaya pasti akan kalah. Hanya untung sekali
jumlah pengawal keluarga Raja lebih banyak ketimbang
para penyerangnya. Antara pengawal dan pemuda itu bisa
saling mengisi dan saling menutupi kekosongan.
Sementara itu Ginggi sudah terlibat perkelahian dengan
Ki Sunda Sembawa. Kandagalante dari Sagaraherang ini
demikian kaget dan marahnya melihat Ginggi berdiri di
fihak Raja. Ginggi tak tahu, apakah kekagetan Ki Sunda
Sembawa ini karena sebelumnya tak menduga atas sikap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ginggi sekarang, ataukah tidak. Yang jelas ada sinar
kebencian Ki Sunda Sembawa yang terpancar di matanya.
"Pengkhianat engkau! Aku harus bunuh! Aku harus
bunuh engkau!" teriak Ki Sunda Sembawa dengan
geramnya. Ginggi sekarang agak tenang sebab Sang Prabu sudah
terlindungi oleh para pengawalnya. Kalau Ki Sunda
Sembawa memaksa hendak menyerang Raja, rasanya sudah
tak semudah itu. Dan rupanya Ki Sunda Sembawa pun merasakan situasi
ini. Itulah sebabnya pejabat itu kini seperti menimpakan
kemarahannya kepada Ginggi.
Dengan gerengan keras Ki Sunda Sembawa berlari di
antara air sebatas dada dan mengarahkan serangan
terhadap Ginggi. (O-anikz-O) Merah Darah Telaga Rena Perkelahian satu lawan satu terjadi antara Ginggi dan Ki
Sunda Sembawa. Dalam pertempuran itu Ginggi nampak
jadi fihak yang terdesak. Hal ini karena di samping Ki
Sunda Sembawa begitu bernafsu untuk membunuh Ginggi,
juga karena Ginggi sendiri hanya main kelit saja. Pemuda
itu tak secuil pun punya niat membunuh Ki Sunda
Sembawa. Tujuan semula hanyalah hendak mencegah
pembunuhan terhadap Raja saja. Dia pun tak berniat
melumpuhkan atau mengalahkan Ki Sunda Sembawa.
Biarlah dia ditangkap para pengawal Raja.
Namun Ginggi merasa heran, ternyata dia dibiarkan
berkelahi sendirian. Belasan pengawal yang sudah berdiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kokoh dengan air telaga sebatas dada itu hanya
menyaksikan saja dan seperti tak punya minat membantu
Ginggi. "Kubunuh engkau pengkhianat! Kubunuh engkau
manusia dungu!" teriak Ki Sunda Sembawa. Dia menjadi
semakin marah manakala melihat ke samping, keempat
perwiranya telah tewas mengambang di permukaan telaga.
Keempat orang itu rupanya tak mampu melawan kepungan
para pengawal. Tadi saja ketika mereka menghadapi enam
orang pengawal ditambah tenaga putra mahkota Sang
Lumahing Majaya, telah begitu sulitnya untuk segera
menerobos pengawalan. Apalagi ketika datang bala bantuan
belasan pengawal yang baru datang dari darat. Maka ketika
tenaga bantuan datang, keempat perwira itu tak mampu
bertahan lagi. Mereka tewas dalam membela ambisi
tuannya, yaitu Sunda Sembawa.
Belasan perwira kerajaan yang turun ke permukaan
telaga sekarang jumlahnya kian bertambah lagi oleh belasan
atau bahkan puluhan perwira yang ikut turun memperkuat
pengawalan. Perkelahian Ginggi dan Ki Sunda Sembawa di
air telaga sepertinya kini berada di tengah kepungan para
perwira. Semuanya membuat lingkaran dalam keadaan
siaga, kendati sikap mereka hanya mengawasi perkelahian
saja. Sebetulnya kepandaian Ginggi berada di atas Ki Sunda
Sembawa. Namun karena sikap pemuda itu yang mengalah,
pertempuran sepertinya seru dan berimbang. Ki Sunda
Sembawa dengan ganasnya membuat tusukan dan sabetan
dengan kerisnya. Sedangkan Ginggi yang bertangan kosong
hanya berkelit dan memutar untuk menghindarkan berbagai
serangan dahsyat itu. Banyak dugaan mengapa Ginggi dibiarkan berkelahi
seorang diri. Ini mungkin karena para perwira tak merasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkepentingan membantu Ginggi. Hampir semua perwira
sepertinya mengetahui bahwa Sang Prabu telah memerintahkan agar pemuda itu ditangkap. Kalau ada yang
turun tangan menangkap Ki Sunda Sembawa sepertinya
mereka membantu Ginggi. Mereka seperti tengah membuat
siasat, biarlah dua serigala berebut mangsa, siapa yang
menang giliran dirinya yang diserang. Mungkin para
perwira pun tengah menunggu hasil pertempuran. Siapa
kelak yang akan menang, itulah yang mendapat giliran
diserang pasukan perwira. Sialan, pikir Ginggi.
Karena merasa Raja telah terselamatkan, ada terbetik
dalam benak Ginggi untuk meloloskan diri saja dari
kepungan dan membiarkan Ki Sunda Sembawa seorang diri
di sana. Tapi ketika pemuda itu melihat ke darat, di sana
ada puluhan pasukan panah dan semuanya telah siap
melepas anak panah dari busur.
Bergetar hati Ginggi, sebab Ki Darma pernah berkata
bahwa Pasukan Panah Pajajaran sungguh hebat.
Sementara di tempat lain, sudah terlihat puluhan korban
bergelimpangan. Korban-korban itu bercampur-baur. Ada
para pejabat bergeletakan, ada juga tubuh para perwira dan
prajurit biasa. Ginggi sedikit was-was melihat jajaran pasukan pemanah
itu. Mereka sudah dalam keadaan siap melepas anak panah.
Siapa yang akan mereka serang" Dirinyakah" Ki Sunda
Sembawakah" Atau keduanya"
Celaka, pikir Ginggi. Usaha untuk melarikan diri menuju
daratan rupanya sudah tertutup rapat oleh barisan panah.
Ke arah mana Ginggi harus melarikan diri"
Sementara itu Sang Prabu beserta keluarganya sudah
dibimbing untuk meninggalkan telaga. Mereka dikawal
ketat oleh puluhan perwira.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mana para pengawal lain" Mengapa yang ada di sini
hanya puluhan orang?" teriak Sang Prabu gemas dan
marah. "Ampun Paduka" di puncak bukit pun tengah terjadi
pertempuran. Secara tiba-tiba ada gemuruh sorak-sorai
pasukan asing. Nah"dengarkan Paduka! Mereka mulai
menyerang!" teriak seorang perwira dengan suara parau.
Mendengar berita ini, Ki Sunda Sembawa berhenti
menyerang Ginggi. Kepalanya dimiringkan seperti ingin
mendengar suatu suara. Padahal sudah sejak tadi Ginggi
mendengar suara gemuruh banyak orang. Inilah saat
penyerbuan pasukan dari timur. Mereka ternyata datang
dari punggung Bukit Badigul sebelah selatan. Dan melihat
pasukan pengawal Raja di sini jumlahnya sedikit, ada
kemungkinan mereka pun sudah tahu akan ada penyerangan pasukan misterius itu. Mereka pasti tengah
menghadangnya di puncak bukit, atau bahkan mungkin
sudah saling berhadapan. "Hahaha! Mereka datang! Mereka datang! Hahahaha!!"
Ki Sunda Sembawa berteriak dan tertawa terbahak-bahak.
"Sunda Sembawa, apa ini artinya?" teriak Sang Prabu
sambil menghentikan pasukan pengawal agar tak melanjutkan langkah menuju daratan.
"Artinya, kejatuhan dirimu terjadi hari ini. Besok pagi di
saat matahari bersinar cerah, yang menjadi Raja di Pakuan
adalah Sang Prabu Sunda Sembawa!" kata Ki Sunda
Sembawa dengan congkaknya.
"Jangan sombong Sunda Sembawa. Engkau melawan
keinginan Sang Rumuhun. Sebentar lagi engkau akan tewas
di sini. Tidak sadarkah kendati engkau membawa pasukan
begitu banyaknya dari wilayah timur tapi kau sendirian di
tepi telaga ini" Kau lihat ke darat, puluhan pasukan panah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah siap menghadang!" kata Sang Prabu tenang. Ucapan
ini ditimpali oleh suara tertawa keras Ki Sunda Sembawa.
"Engkau Raja dungu, sebab engkau hanya merajai istana
kosong belaka. Hampir sebagian besar penghuninya sudah
bersujud kepada Prabu Sunda Sembawa!" kata Ki Sunda
Sembawa diiringi tawa keras.
Antara percaya dan tidak kepada ucapan ini, Sang Prabu
Ratu Sakti segera mengajak para pengawalnya untuk
mendekati daratan. Berusaha mencapai daratan berarti mendekati jajaran
puluhan anggota pasukan berpanah. Dan Ginggi terperangah kaget manakala dari daratan serentak
berhamburan puluhan panah yang dilepas dengan
kepandaian khas. "Awas serangan panah!!!" teriak Ginggi ke arah para
pengawal Raja. Mereka pun amat terkejut dengan
peringatan ini sebab tidak menduga sedikit pun bahwa para
anggota pasukan pemanah itu mengarahkan sasaran ke arah
Sang Prabu Sakti. Serentak belasan orang melindungi Raja
beserta keluarganya. Puluhan anak panah yang datang menyerang mereka
tepis dengan senjata pedang. Tapi anak panah datangnya
beruntun. Ada beberapa perwira yang tak sanggup menepis
dengan baik dan menjadi sasaran empuk panah-panah itu.
Ginggi menghitung, dalam dua gerakan penyerangan,
lima perwira terjungkal karena dadanya tertembus panah.
Namun para perwira pengawal begitu setia terhadap
Raja, lima orang terjungkal segera tergantikan oleh belasan
perwira yang lain. Dengan gagah berani mereka
melayangkan pedangnya ke kiri dan kanan sekali pun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa orang di antara mereka sudah ada yang terjungkal
lagi. Para wanita dan selir Raja berteriak histeris karena rasa
takut dan tegangnya. Dan tiga wanita jatuh terjerembab.
Dua orang karena saking takutnya tapi seorang wanita jatuh
karena anak panah menembus perutnya.
Sang Prabu berteriak-teriak histeris dengan kejadian ini.
Dia mencoba melepaskan diri dari kawalan dan akan
menghambur mendekati KI Sunda Sembawa yang berdiri
agak jauh terpisah bertolak pinggang dan tertawa terbahak-
bahak. "Engkau biadab Sunda Sembawa! Engkau manusia
durhaka, jahat dan tak punya rasa malu!" teriak Sang
Prabu. "Lepaskan! Aku sanggup membunuh durjana itu!"
teriak Sang Prabu. "Hahaha! Lepaskan dia! Dulu engkau perwira kerajaan.
Tapi kepandaianmu sudah hilang entah ke mana karena
tergantikan oleh kebiasaan bermewah-mewah dan main
perempuan. Engkau tidak sekuat dulu lagi!" teriak Ki Sunda
Sembawa menantang. Sementara itu beberapa pengawal sudah berjatuhan lagi
karena serangan anak panah. Ki Sunda Sembawa tawanya
semakin keras menyaksikan adegan ini, membuat Ginggi
sebal hatinya. Ada terpikir untuk memukul jatuh
Kandagalante ambisius ini. Namun sebelum niatnya
terlaksana, secara tiba-tiba terdengar teriakan ngeri Ki
Sunda Sembawa. Ginggi kaget setengah mati sebab tanpa diketahui awal
mulanya, dada Ki Sunda Sembawa sudah tertusuk sebuah
anak panah. Serangan itu jelas datang dari daratan dan
dilepas oleh pasukan pemanah itu. kelirukah pasukan
pemanah itu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ow, tidak! Dan Ginggi yang berdiri terpaut dua tiga
tindak dari kedudukan Ki Sunda Sembawa segera
melempar tubuhnya ke samping sebab hamburan anak
panah datang ke arah dia dan Ki Sunda Sembawa.
Ginggi lolos dari serangan karena sudah melempar
tubuhnya tapi Ki Sunda Sembawa tidak. Dia masih berdiri
terpaku ketika tiga batang anak panah sekaligus menembus
bagian leher dan tangan kanannya.
Ginggi berdiri lagi, melihat pasukan berpanah dengan
kaget. Mengapa mereka menyerang membabi-buta kesana-
kemari" Ginggi saksikan Sang Prabu Ratu Sakti pun masih
tetap menjadi incaran serangan anak panah dan begitu pun


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya. Sedangkan tubuh limbung Ki Sunda Sembawa
masih terus dihujani anak panah lagi. Sehingga ketika tubuh
itu terjerembab ke permukaan air telaga, sudah ada belasan
anak panah tertancap di sekujur tubuhnya.
Sambil berkelit kesana-kemari karena anak panah terus
berhamburan mengarah padanya, Ginggi melihat tubuh Ki
Sunda Sembawa timbul tenggelam di permukaan telaga. Air
telaga yang tadinya begitu bening kini sudah berubah
menjadi merah karena darah Ki Sunda Sembawa.
Para wanita tetap menjerit-jerit histeris karena serangan
panah ini. Sementara para perwira pun dengan susah-payah
berusaha menghalau serbuan-serbuan itu. ada dua orang
yang nekad berlari menuju daratan. Tapi sebelum keduanya
sampai di tempat tujuan, tubuh-tubuh mereka sudah
tertembus banyak anak panah.
Ginggi cepat berpikir, siapa gerangan pasukan panah ini.
Namun serentak dugaannya mengarah pada satu tuduhan.
Ya, siapa lagi yang mengendalikan pasukan berpanah ini
kalau bukan Ki Banaspati"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ya, inilah tujuan Ki Banaspati. Dia akan membunuh
Raja tapi juga menyingkirkan Ki Sunda Sembawa.
Dengan demikian dia sendirilah kelak yang memetik
kemenangan. Licin, licik dan buasnya Ki Banaspati. Aku harus cari
dia, kata Ginggi dalam hati. Sambil berkelit kesana-kemari,
Ginggi melakukan beberapa loncatan. Dia harus mencapai
daratan di mana pasukan panah yang sudah berada di
bawah pengaruh Ki Banaspati berada.
Usaha ini benar-benar untung-untungan sebab hujan
panah begitu deras mengancam jiwanya. Tapi apa boleh
buat, sebab semua tak ada bedanya. Dan lebih baik mati
sambil berusaha melawan dari pada mati sia-sia di tengah
air telaga. Ginggi bergerak memilih saat-saat anak panah sudah
dilepas. Sebab di saat itulah ada kekosongan serangan. Tapi
usaha ini memang tidak begitu mudah sebab di sana ada
tiga barisan pemanah masing-masing berjumlah duapuluh
orang dan secara bergiliran melepas anak panahnya. Hanya
sedikit saja antaranya saat pelepasan panah-panah pertama
dengan kedua dan seterusnya.
Untuk menahan hujan anak panah itu sesekali Ginggi
melakukan pukulan jarak jauh dengan mengerahkan tenaga
dalamnya. Namun tentu itu dilakukan hanya sesekali saja
sebab kalau terlalu diobral bahkan hanya akan mencelakakan dirinya sendiri saja.
Sudah ada satu anak panah menancap di bahunya. Tidak
terlalu dalam, tapi sakitnya terasa kiut-miut dan sedikit
mengganggu gerakannya. Ginggi tak berani mencabutnya,
sebab kalau dicabut begitu saja, takut lukanya semakin
melebar dan darah akan lebih banyak keluar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekarang Ginggi sudah berada di bagian air agak
dangkal, hanya sebatas betis saja. Serbuan anak panah
datang sejajar setinggi tubuhnya berdiri. Bila hendak
menghindarkan serangan itu, Ginggi harus meloncat ke
udara melebihi ketinggian serangan itu sendiri. Tentu dia
harus meloncat secara tiba-tiba dan waktunya harus
dihitung. Maka ketika barisan pemanah melepaskan
serangan mendatar, Ginggi segera meloncat dan jumpalitan
di udara. Serangan pertama gagal total dan serangan kedua
terpaksa harus mengubah posisi semula. Ginggi lihat
barisan pemanah kedua agak sedikit bingung mengubah
posisinya. Dari gerakan mendatar mereka harus sedikit
miringkan busurnya tapi begitu kesulitan untuk mengikuti
gerakan Ginggi. Soalnya pemuda itu bersalto di udara
beberapa kali dan tubuhnya seperti naik-turun, sehingga
gerakan busur pun naik-turun mengikuti gerakan salto
sebelum anak panah benar-benar dilepas. Dan ketika anak
panah dilepas, arahnya begitu lemah dan tak tepat sasaran.
Namun ketika Ginggi sudah berdiri di tanah, serangan
panah datang lagi. Di sini Ginggi mengirim serangan
pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam.
Namun karena jarak dia dengan barisan pemanah sudah tak
begitu jauh lagi, serangan pukulan ini bukan saja
merontokkan anak-anak panah, melainkan juga menyerang
para pemanahnya. Beberapa orang menjerit ngeri ketika tubuh-tubuh
mereka terlontar ke belakang seperti daun kering tertiup
angin. Ginggi tak memberi kesempatan kepada yang
lainnya untuk memasang anak panahnya, sebab dengan
secepat kilat dia meloncat ke depan dan merangsek mereka
dengan serangan-serangan sepasang tangannya. Secara
berturut-turut Ginggi melucuti busur-busur mereka sehingga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penyerangan anak panah baik kepadanya mau pun kepada
Raja dan keluarganya terhambat sudah.
Pasukan panah memang bisa juga berkelahi jarak dekat,
namun mereka sebenarnya lebih akhli lagi dalam
melepaskan anak panah. Itulah sebabnya ketika dipaksa
Ginggi harus melakukan perkelahian langsung, kendati
jumlah mereka banyak namun kekuatan mereka masih jauh
di bawah keakhlian Ginggi. Dalam sebentar saja belasan
dari mereka sudah tumbang dan jatuh bergeletakan kendati
tak sampai mati. Kedudukan mereka menjadi semakin terdesak manakala
para perwira yang mengawal Raja dan keluarganya,
sebagian ikut melakukan penyerangan ke arah pasukan
panah. Dan Ginggi mengeluh menyaksikan sepak-terjang
para perwira kerajaan ini. Mereka menyerang pasukan
panah dengan beringas dan penuh kebencian. Pedang-
pedangnya mereka tebaskan kesana-kemari dengan ganasnya dan belum merasa puas sebelum pedang-pedang
itu menghirup darah para korbannya. Musuh yang telah
dilumpuhkan Ginggi pun mereka bunuh juga.
Ini sudah bukan lagi pertempuran tapi lebih berupa
semacam pembantaian. Kendati jumlah pasukan pemanah
masih lebih besar ketimbang jumlah para perwira, namun
tingkat kepandaian para perwira Raja sudah terkenal
kehebatannya. Ginggi kagum melihat sepak-terjang mereka
yang demikian gagah berani, namun sekaligus juga ngeri
melihat keganasannya itu. Sekarang di tepi telaga mayat
sudah semakin bergelimpangan, mungkin ratusan banyaknya. Mereka adalah mayat para pejabat yang saling
bertempur sendiri, juga mayat-mayat pasukan panah. Darah
berceceran di mana-mana, sehingga kesegaran alam tepi
telaga ini berubah menjadi tempat yang menyebarkan bau
amis darah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Merasa bahwa usahanya sudah gagal, sisa-sisa pasukan
panah segera berpencar untuk menyelamatkan diri masing-
masing. Satu dua orang perwira masih mencoba
mengejarnya tapi sebagian besar tetap menjaga Raja dan
seluruh keluarganya. Walau dengan perasaan kacau, namun Ginggi merasa
bahwa keinginannya untuk menjaga Raja dari kematian
sudah dianggap berjalan secara baik. Dia akan meninggalkan tempat itu untuk segera memburu puncak
Bukit Badigul di mana terjadi pertempuran yang diduga
Ginggi lebih besar lagi. "Hai pengawal! Tangkap pemuda itu!" teriak Sang Prabu
Ratu Sakti sambil menudingkan telunjuknya ke arah
Ginggi. Ginggi menoleh ke belakang. Dengan amat marahnya
dia melihat empat orang perwira menghunus pedang serta
memburu dirinya. Ketika empat perwira menghambur ke arahnya, Ginggi
malah sengaja berlari mendekat ke arah mereka. Namun
tiga depa sebelum terjadi bentrokan, Ginggi meloncat ke
atas seperti terbang melewati ubun-ubun empat perwira.
Ginggi jumpalitan di udara dan tubuhnya melayang di atas
kepala Sang Ratu Prabu Sakti. Para pengawal yang
mengurung Sang Prabu dalam upaya memberi perlindungan merasa kesulitan untuk menyerang pemuda
itu karena kedudukannya tepat di atas kepala Sang Prabu.
Kalau mereka harus dengan gegabah, bisa-bisa malah tubuh
Raja yang mereka serang. Keragu-raguan para perwira dimanfaatkan sebaik-
baiknya oleh Ginggi untuk segera turun dan menelikung
tangan Sang Prabu ke belakang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan bunuh Raja!" para perwira berteriak-teriak
sambil mengamang-amangkan senjata. Di belakang Ginggi
pun ada gerakan orang hendak melakukan serangan tapi
Ginggi tak berupaya menoleh.
"Bunuhlah aku dari belakang kalau kalian berani!" teriak
Ginggi. Tapi tentu saja penyerang dari belakang segera hentikan
gerakannya. Barangkali mereka takut, begitu serangannya
dilakukan, Ginggi pun akan membunuh Raja.
"Sang Prabu, engkau begitu bernafsu untuk menangkapku, apa sebenarnya salahku?" tanya Ginggi
marah dan penasaran. "Engkau punya hubungan dengan Ki Darma, engkau
pun pengkhianat!" kata Sang Prabu masih bersikap tenang.
"Sudah dua kali aku berada di belakang dirimu seperti
ini. Kalau aku benci Raja, amat mudah untuk
mencelakakan bahkan membunuhmu. Engkau mudah
sekali menuding pengkhianat kepada orang yang tak bisa
menyenangkan dirimu. Padahal Ki Darma selama ini tidak
pernah berniat mencelakakanmu bahkan penguasa- penguasa sebelummu. Dan kau lihatlah pula orang-orang
yang selama ini gemar membuat dirimu tenggelam dalam
kesenangan. Semua yang pandai mengucapkan kata manis,
malah itulah yang mencelakakanmu!" kata Ginggi dengan
gemas. Serta-merta Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke
arah para pengawal dan hendak berlalu dari tempat itu.
"Seharusnya hari kemarin engkau beberkan rencana
penyerbuan ini, maka tak nanti akan terjadi korban begini
banyak!" kata Sang Prabu. "Sikapmu merugikan negara!"
teriaknya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ginggi merandeg dan menjawab tanpa menoleh ke
belakang. "Pangeran Yogascitra sudah aku beri tahu dan
pasti sudah melaporkannya. Apa yang dia katakan, itulah
yang aku ketahui!" tuturnya ketus.
"Tapi Pangeran Yogascitra kurang rinci memberi
laporan. Dia tak tahu siapa pasukan dari timur itu.
Banaspati kami kejar tapi dia menghilang. Bangsawan Soka
dan Ki Bagus Seta kami tangkap dan periksa tapi mereka
bilang tak tahu-menahu. Kami tak punya bukti ketelibatan
mereka. Semua orang hanya mencurigai sesuatu karena
laporan engkau semata. Semua kekuatan prajurit disebar
untuk menyelidiki kekuatan yang dimaksud tapi sampai
dengan tadi pagi, tak diketemukan sebuah kekuatan yang
diduga akan menyerbu Pakuan. Tidak juga tahu perihal
pengkhianatan Si Sunda Sembawa dan baru bisa terbongkar
barusan. Itu semua engkaulah penyebabnya! Kau tak
sungguh-sungguh dalam menyelamatkan negara," kata Sang
Prabu lagi dengan nada tak senang.
Dalam hatinya Ginggi sedikit membenarkan tudingan
ini. Tapi dia sendiri pun sebetulnya hanya samar saja
mendapatkan data penyerbuan kekuatan dari timur itu.
Bukankah semuanya hanya didapat dari perkiraan-
perkiraan yang dia baca lewat sandi rahasia"
"Akhirnya kita hanya bisa saling menyalahkan. Aku juga
menyalahkanmu, mengapa keinginanku, keinginan seorang
rakyat tidak kau penuhi?" kata Ginggi. "Tapi setidaknya aku
tetap cinta Pajajaran, seperti kecintaan Ki Darma yang mau
mengabdi tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan pujian.
Sekarang bebaskan aku dari sini, sebab aku akan
melaksanakan kewajiban sebagai warga Pajajaran. Kalian
dengar di atas bukit sana, pertempuran besar tengah terjadi.
Aku harus melaksanakan titah Ki Darma, bahwa apa pun
yang terjadi di bumi Pajajaran, rakyat tak berdosa jangan


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sampai jadi korban!" kata Ginggi sambil meloncat pergi dan
nampaknya dibiarkan oleh para perwira yang ada di sana.
(O-ani-kz-O) Untuk tiba di punggung bukit, Ginggi memotong jalan
setapak, sehingga bisa datang ke tempat itu dengan cepat.
Benar saja perkiraannya. Di punggung Bukit Badigul
sedang terjadi peperangan yang cukup besar.
Punggung bukit itu berupa tegalan atau padang alang-
alang dan berbentuk sebuah lapangan. Kata penduduk,
Bukit Badigul pada saat-saat tertentu selalu digunakan
upacara keagamaan. Tidak dinyana sedikit pun bahwa hari
ini, bukit suci ini harus digunakan untuk pembantaian
manusia. Ada sekitar ribuan orang di tegalan itu. mereka
tengah bertempur mati-matian, saling berhadapan satu
sama lain dan sulit memisahkan mana kawan dan mana
lawan. Ada prajurit melawan prajurit, ada prajurit melawan
rakyat kalau menilik jenis pakaian yang dikenakannya.
Namun bila Ginggi ingat kejadian semalam, orang-orang di
bawah pimpinan Kandagalante Sunda Sembawa atau Ki
Banaspati memang kebanyakan datang dengan menyamar
sebagai rakyat biasa. Kelompok mereka yang mengintai tepi
telaga dan berhasil dia lumpuhkan pun semua memakai
pakaian rakyat kebanyakan.
Korban sudah berjatuhan. Baik yang tewas mau pun
yang luka-luka bergeletakan di sana-sini. Di beberapa
bagian, tegalan pun sudah berubah menjadi merah karena
darah. Pertempuran itu tidak seimbang. Pasukan penyerbu
jumlahnya masih lebih sedikit ketimbang Pasukan Pakuan.
Lebih dari itu, Pasukan Pakuan sepertinya memiliki tenaga
lebih terampil ketimbang anggota pasukan penyerbu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ginggi dengan perasaan heran bahkan melihat sepak-terjang seorang anggota pasukan pemerintah yang
nampak aneh dalam melakukan perkelahian. Dia banyak
melumpuhkan pasukan penyerbu tapi sedikit pun tidak
berupaya membunuh lawan-lawannya. Berbeda dengan
pasukan pemerintah, dia malah tidak memakai pakaian
seragam perwira, melainkan menggunakan pakaian rakyat
biasa saja. Jurus-jurus berkelahinya membuat hati Ginggi
bergetar sebab dia hafal betul, itulah jurus-jurus yang biasa
diperagakan Ki Darma yang dikombinasikan dengan jurus-
jurus aneh namun Ginggi pun telah kenal akan gerakan itu.
(O-anikz-O) Penutup "Ki Rangga Guna?" gumam Ginggi dengan perasaan
tak tentu. Ginggi mengucak-ucak sepasang matanya kalau-kalau
dia salah lihat. Tapi beberapa kali dia menggosok mata,
pandangannya tidak berubah. Yang dilihatnya benar-benar
Ki Rangga Guna! Ki Rangga Guna masih hidup dan bebas dari
kungkungan Ki Banaspati. Ginggi begitu bahagia melihat
kenyataan ini. Dia tersenyum seorang diri. Dia baru
mengerti kini, kelompok-kelompok pasukan musuh yang
bersembunyi di sekitar telaga pasti telah dilumpuhkan Ki
Rangga Guna secara diam-diam. Musuh tak berdaya tapi
tak tewas. Itulah kebiasaan Ki Rangga Guna. Seperti yang
diungkapkannya kepada Ginggi, bahwa dia pantang
membunuh sebab manusia tak berhak membunuh
sesamanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jasa Ki Rangga Guna dalam melumpuhkan para
pemberontak cukup besar. Pasukan yang akan membunuh
Raja gagal melaksanakan tugasnya karena jauh sebelumnya
kekuatan mereka sudah tak utuh lagi. Itu pasti hasil tindak-
tanduk Ki Rangga Guna. Sekarang di Bukit Badigul ini,
jumlah pasukan musuh jauh berkurang karena Ki Rangga
Guna turun tangan ikut melumpuhkan musuh.
Ginggi berpikir, sebaiknya dia pun ikut turun tangan
melumpuhkan pihak penyerbu. Bukan tak percaya kepada
para prajurit dan perwira Pakuan, sebab tanpa bantuan Ki
Rangga Guna atau dirinya, sebetulnya kendati secara
perlahan namun pihak Pasukan Pakuan akan bisa
mengatasi pemberontakan ini. Tapi mengapa Ki Rangga
Guna tetap memaksakan diri turun tangan, barangkali
karena dia ingin mengurangi korban tewas. Kalau pihak
Pakuan sendiri yang melakukan penyelesaian, maka mereka
akan membantai habis pasukan penyerbu. Tapi bila Ki
Rangga Guna yang bergerak, musuh hanya akan lumpuh
tanpa tewas. Berpikir sampai di situ, Ginggi pun segera terjun ke arena
pertempuran. Dia bertempur di dekat seorang perwira yang
begitu ganasnya membabati musuh. Ginggi mencoba
mengurangi korban tewas dengan cara mendahului. Setiap
musuh yang dekat, sebelum disabet pedang perwira, Ginggi
dahului dengan sodokan kepalan atau tusukan jari ke urat
syaraf lawan, yang penting lawan roboh tak berkutik, tapi
nyawanya masih utuh. Pada mulanya perwira itu mengerutkan dahi dan sedikit
kaget karena secara tiba-tiba pemuda itu sudah ada di
sampingnya. Dia kaget karena mungkin sudah kenal Ginggi
sebagai pemberontak. Namun karena pemuda itu nampak
ada di pihaknya, perwira itu malah seperti senang hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hahaha! Engkau orang aneh anak muda!" kata perwira
itu di tengah kesibukannya menggerak-gerakkan pedang.
Perwira itu seperti terbawa arus sikap Ginggi, melumpuhkan lawan tanpa bermaksud menewaskannya.
Hanya gerakannya saja yang tetap ganas sehingga musuh
putus nyalinya. "Mereka hanya terbawa-bawa sikap pemimpinnya saja,
jadi tak perlu kita bunuh," kata Ginggi pada perwira itu.
"Benar juga. Yang penting, kita harus bisa membekuk
biang keladinya!" sahut si perwira sambil menangkis sebuah
serbuan ujung tombak. Batang tombak kutung karena
sabetan mata pedang yang demikian runcingnya. Pemilik
tombak meringis kecut dan akhirnya lari tunggang-langgang
karena takut lehernya kena tebas.
Medan pertempuran sudah benar-benar dikuasai pasukan
pemerintah. Sebagian tentara musuh melarikan diri,
serabutan ke berbagai arah. Tapi sebagian besar telah
terkepung di tengah-tengah karena mereka terperangkap
oleh taktik pertempuran yng disusun oleh para perwira
kerajaan. Bila Ginggi ingat akan keterangan Ki Darma
tempo hari, maka inilah siasat perang yang bernama cakra-
bihwa, Siasat ini digunakan terbalik. Cakra-bihwa biasanya
dilakukan bila pasukan terperangkap dalam kepungan
musuh. Caranya, di dalam kepungan musuh mereka
membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu setiap selang dua
orang, keluar satu perwira. Tugas mereka adalah berusaha
membobol kepungan. Sekarang kedudukan pasukan perwira terbalik. Posisi
mereka bertindak sebagai pihak pengepung, yaitu melingkari lawan dan membiarkan mereka ada di tengah.
Dari setiap dua orang yang ada dalam lingkaran itu, keluar
satu perwira dan mencoba melakukan gempuran. Namun
setiap lawan hendak balik menggempur perwira itu segera
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melompat ke belakang dan ganti formasi. Dengan
demikian, secara bergantian mereka melakukan penyerangan dan ganti pula melakukan pengawalan, begitu
seterusnya, membuat musuh yang dikepung merasa
kebingungan. Ginggi menghitung lebih dua ratus orang yang
terperangkap siasat perang cakra-bihwa ini. Kedudukan
mereka semakin terhimpit sebab jumlah pihak pengepung
bahkan lebih dari enam ratus orang. Ketika lingkaran
semakin kecil, maka semakin ketat pula lingkaran
pengepungan. Ginggi menghitung lagi, kini ada tiga lapis
lingkaran, ketiganya berputar-putar dengan arah berlawanan dan membuat lawan yang terkepung menjadi
bingung. Pasukan yang terjepit di tengah kepungan, menjadi
semakin kacau formasinya setelah belasan perwira secara
berani melakukan salto-salto di udara dan masuk ke tengah
kepungan. Untuk sementara belasan perwira harus mati-
matian melakukan gempuran atau bahkan menahan
gempuran lawan. Namun hebatnya, sambil berusaha
melakukan sepak-terjang penyerangan atau sebaliknya
belasan perwira itu menyusun formasi lingkaran baru.
Dengan demikian, kini terbentuk satu formasi lingkaran lagi
namun berada di tengah kepungan. Benar-benar hebat
formasi ini, sebab musuh kini seolah digempur dari luar dan
dalam. Jerit-jerit kesakitan mulai terdengar di sana-sini dan
semua keluar dari mulut-mulut pasukan musuh. Formasi
mereka sudah demikian kacau dan hancur. Mereka bingung
sebab serangan datang dari depan dan belakang. Kian lama
lingkaran di tengah kian melebar pula sebab kian banyak
perwira yang melakukan salto dan menerobos masuk ke
tengah kepungan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lawan yang ada dalam kepungan hanya menunggu
waktu saja untuk segera dibantai habis oleh teknik
pertempuran cakra-bihwa ini.
Ginggi berteriak-teriak agar pasukan pemerintah tidak
begitu ganas membantai mereka. Ginggi berteriak
mengabarkan bahwa biang keladi kerusuhan sudah bisa
dilumpuhkan dan Raja pun selamat. Namun teriakan
Ginggi tenggelam ke dalam gemuruh pertempuran. Jerit
kesakitan terdengar membahana dan membuat bulu kuduk
merinding saking ngerinya mendengar teriak-teriakan itu.
Apalagi di seputar tegalan, tubuh-tubuh bertumpuk dan
bergeletakan dan darah membanjir di mana-mana.
Pertempuran sekarang hanya terpusat pada lingkaran itu
saja, sebab di tempat lain, perkelahian sudah usai. Ginggi
hanya berdiri termangu sebab dia tak tahu harus berbuat
bagaimana lagi. Melihat ketatnya pengepungan ini, Ginggi
tak mungkin ikut masuk lingkaran, sebab kalau pun terjun
ke arena yang demikian ketatnya dia akan masuk dalam
putaran pembantaian itu sendiri.
Ini adalah pertempuran dengan mengunakan taktik
barisan dan bukan pertempuran perseorangan seperti tadi.
Berbagai gerak dan jurus, dikendalikan oleh satu komando
dan tidak berjalan sendiri-sendiri.
Ki Rangga Guna pun nampak mulai bingung untuk
dapat melibatkan diri dalam pertempuran ini. Dia tak bisa
lagi turun tangan untuk mengurangi korban. Ki Rangga
Guna bahkan meloncat mendekati tempat di mana Ginggi
berdiri termangu. "Ini korban yang sia-sia"Benar-benar sia-sia?" gumam
Ki Rangga Guna, "Astaghfirullah" Astagfirullah"
Astaghfirullah!" gumam Ki Rangga Guna mengusap
wajahnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ginggi melirik dan menatap orang tua itu dengan heran
dan menduga-duga. "Paman, bagimana kita mencegah pembantaian ini?"
tanya Ginggi bingung. "Kita sudah berusaha sekuatnya. Tapi barangkali ini
kehendak Allah" Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!" gumam
Ki Rangga Guna lagi. Ginggi menatap ke arah pertempuran dengan pandangn
kosong. Sudah tak terlihat lagi mayat-mayat bergelimpangan. Sudah tak terdengar lagi jerit-jerit
kesakitan. Yang ada hanyalah hati pemuda itu yang kosong
dan perasaannya yang hampa.
Dengan tubuh seperti kehilangan berat badan, Ginggi
membalikkan arah dan berjalan meninggalkan arena
pertempuran begitu saja. "Ginggi"!" teriak Ki Rangga Guna memanggil. Tapi
Ginggi terus saja berlalu.
"Ginggi! Ada panah tertancap di bahumu. Mari aku
cabut!" teriak Ki Rangga Guna menyusul pemuda itu. tapi
Ginggi seperti tidak mendengar panggilan orang tua itu.
(O-ani-kz-O) Di sebuah tempat sunyi, jauh di benteng luar, Ginggi
mendapatkan pengobatan sederhana dari Ki Rangga Guna.
Panah sudah tercabut dari bahunya namun luka itu akan
melebar sebab kulit dan sedikit daging pada bagian bahu
harus sedikit disayat.

Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih engkau selamat, Paman?" gumam
Ginggi sambil berdiri dan mulai hendak melangkah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku terlalu sembrono memasuki wilayah Sagaraherang,
sehingga akhirnya ditangkap Ki Banaspati karena tak mau
diajaknya kerja sama. Tapi di saat persiapan mereka hampir
matang, aku bisa kabur bahkan aku akhirnya bisa
menyadarkan beberapa wilayah Kandagalante lainnya
untuk mengurungkan rencana dan tak ikut memberontak,
sehingga kekuatan yang datang ke Pakuan sedikit
berkurang," kata Ki Rangga Guna menerangkan sambil
melangkah mengikuti Ginggi.
"Setelah itu aku berkelana ke wilayah Cirebon dan
bergabung dengan mereka," sambung lagi Ki Rangga Guna.
Mendengar ini Ginggi merandeg dan menatap Ki
Rangga Guna. "Engkau telah memasuki kehidupan agama baru,
Paman?" tanya Ginggi
Ki Rangga Guna mengangguk.
"Aku menyadari, pada saatnya zaman akan segera
berubah, meninggalkan hal-hal lama dan memasuki hal-hal
baru," tutur Ki Rangga Guna.
"Engkau mencintai agama baru, Paman?"
"Pada dasarnya, tak ada agama baru atau agama lama,
sebab setiap agama yang baik akan membawa kedamaian
hidup. Namun Allah Maha Penyayang. Dia selalu
menginginkan manusia punya nilai kesempurnaan. Itulah
sebabnya, setiap agama pada waktu kurun tertentu akan
disempurnakan dan makin disempurnakan. Ini adalah
kurun waktu di mana Allah mempercayai akan kemampuan
umat manusia untuk mencapai tingkat kesempurnaan.
Itulah sebabnya Allah menurunkan agama paling sempurna
dan terakhir, sebab sesudah ini tak akan ada agama baru
lagi. Inilah agama akhir zaman di mana semua manusia di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bumi ini wajib mengikutinya," ujar Ki Rangga Guna
menjelaskan. Ginggi termenung, berdiri mematung sambil berpangku
tangan. "Mari anakku, masuklah engkau pada agamaku," ajak Ki
Rangga Guna dengan lemah-lembut.
Ginggi menatap dengan dalam-dalam.
"Kalau saya menolak, apakah saya akan diperangi,
Paman?" tanya Ginggi.
"Mengapa engkau berpikiran begitu?"
"Pajajaran pun digempur karena tidak mau memasuki
agama baru?" gumam Ginggi.
"Masya Allah! Jangan campurkan agama dan politik.
Agamaku hanya menganjurkan orang mengikutinya karena
inilah agama yang paling sempurna dalam membawa umat
manusia menuju jalan keselamatan. Tapi kalau sudah
diajak mereka tetap menolak juga, itu adalah hak mereka
dengan risiko-risiko tertentu kelak di pengadilan Tuhan.
Sementara peperangan yang selama ini berlangsung antara
Pajajaran dengan negara-negara agama baru, pendapatku
itu hanyalah pertentangan politik semata," ujar Ki Rangga
Guna. "Saya dibiarkan kosong oleh Ki Darma selama berada di
Puncak Cakrabuana. Barangkali ini kebijaksanaan beliau
agar di saat kosong begini saya disuruhnya memilih sesuatu
yang terbaik buat diri saya sendiri," gumam Ginggi. "Saya
pun ingin memiliki kedamaian. Dan akan saya cari agama
yang bisa membawa kedamaian hati namun bukan hasil
pengaruh dan gagasan orang lain," kata pemuda itu mulai
hendak berlalu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Semoga Allah membukakan hatimu untuk segera
memilih agama yang bisa menghantarmu ke kedamaian
hakiki, anakku. Tapi hati-hatilah, waktu terus berlalu juga
dan Allah akan selalu mencatatnya, sejauh mana kita
mempergunakan dan memanfaatkan waktu yang sedikit
itu?" kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengangguk mengiyakan. Dia hendak segera
berlalu pergi, ketika tiba-tiba ingat sesuatu.
"Paman"Raden Purbajaya telah tewas. Barangkali,
sayalah pembunuhnya?" kata Ginggi tapi masih menatap
tajam Ki Rangga Guna. Sedangkan yang ditatap hanya
tersenyum pahit. "Aku sudah mendengar semuanya. Dia diutus oleh
Cirebon agar mengajak penghuni istana Pakuan untuk
memasuki agama baru. Namun pemuda itu hatinya
dipenuhi urusan pribadi sehingga akhirnya mencelakakan
dirinya sendiri. Anakku ketahuilah, agamaku melarang
orang memiliki kebencian. Aku sebagai warga Pajajaran,
sebetulnya tetap berkeinginan Pajajaran tetap hidup dan
besar. Tatanan pemerintahan sudah baik, tinggal membentuk sikap yang baik dari orang-orangnya. Alangkah
baiknya bila kebesaran Pajajaran dijalankan melalui tata-
cara agama baru," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi tersenyum tipis mendengarnya.
"Kita lihat saja perkembangan zaman, Paman?" gumam
Ginggi. Dan akhirnya mereka berpisah di sana. Ki Rangga Guna
berdiri mematung memperhatikan Ginggi yang melangkah
lesu menuju ke timur. Senja sudah mulai jatuh. Sebagian menimpa pintu
gerbang timur, sebagian menimpa punggung pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan di atas tanah di mana Ginggi melangkah, bayangan
besar matahari senja yang terhalang kokohnya tembok-
tembok gerbang telah menutupi bayangan tubuh pemuda
itu, gelap dan suram. (O-ani-kz-O) Ginggi terus menuju ke timur dia akan kembali ke
Puncak Cakrabuana sebab hatinya tak yakin Ki Darma
telah tiada. Dia pun akan berusaha mencari kampung kecil
bernama Caringin di wilayah Cirebon, sebab Ki Darma
pernah bilang, bila dia ingin tahu siapa dia sebenarnya,
maka harus menuju Kampung Caringin.
Bila Ginggi masuk ke sebuah wilayah Kandagalante,
maka sesekali akan tersimak juga lantunan dan tembang-
tembang ki juru pantun yang cepat sekali membawa berita
baru dari Pakuan. Melalui berita-berita pantun, Ginggi mendapatkan
khabar bahwa beberapa bulan sesudah peristiwa besar itu,
Sang Prabu Ratu Sakti akhirnya turun tahta juga karena
tetap dianggap melakukan pelanggaran moral. Raja yang
penuh ambisi ini memerintah sejak tahun 1543 dan berakhir
tahun 1551. Penggantinya adalah Sang Lumahing Majaya
dikenal juga sebagai Sang Prabu Nilakendra.
Untuk mengurangi kemelut di istana, Sang Prabu yang
masih belia ini segera menangkap Bangsawan Soka dan Ki
Bagus Seta namun kemudian meninggal karena sakit dan
kecewa. Sang Prabu juga mengumumkan bahwa Ki
Banaspati dicap pemberontak dan harus diburu sampai
diketemukan kendati sembunyi di ujung dunia. Sedangkan
Pangeran Yogascitra sekeluarga, begitu pun Ginggi,
disebut-sebut Ki Juru Pantun sebagai para pahlawan
Pajajaran yang berjuang mempertahankan Pakuan tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pamrih. Namun yang paling melegakan Ginggi adalah
ketika lantunan juru pantun menembangkan kisah-kisah
kedigjayaan seorang perwira setia bernama Ki Darma
Tunggara. Ini hanya memberi tanda bahwa Ki Darma telah
dibersihkan namanya. Sebelum tiba di Puncak Cakrabuana Ginggi melakukan
pengembaraan kesana-kemari termasuk pula memasuki
wilayah-wilayah Kandagalante yang pernah dia kunjungi
ketika berangkat dulu. Dengan senyum tipis dia melihat
gadis Asih dari Kandagalante Tanjungpura telah bersuamikan pemuda di sana. Dan senyum pahitnya
membayang manakala tiba di Desa Cae ketika mendengar
khabar bahwa Nyi Santimi akhirnya menjadi istri muda
Kuwu Suntara, yaitu ayah kandung Suji Angkara.
Semua serba terjadi dan semua membawa arti.
Sambil berjalan sendirian di bawah bayang-bayang senja,
Ginggi bersenandung melantunkan tembang yang pernah
didendangkan Ki Darma dulu :
Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila tak
sanggup memilihya maka kita orang-orang yang kalah!
Tamat Bandung, Februari 1992 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 4 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Keris Pusaka Nogopasung 7
^