Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 27

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 27


"Semua hamba lakukan demi keselamatan Ingkang Sinuwun."
Mada tak menerangkan bahwa sebenarnya hatinya merasa kurang enak untuk menotok dan mengumpulkan penghuni rumah. Hanya ia merasa tidak mempunyai pilihan lain.
Raja masih ingin bersabda, ketika Mada menggerakkan kedua tangannya, meminta semuanya berdiam. Ia bahkan meminta Raja naik ke blandar, bagian tiang atas rumah. Secara agak paksa. Baru kemudian memerintahkan ketiga prajurit bersiaga di balik pintu. Ia sendiri duduk sambil membetulkan sabit.
Benar dugaannya. Terdengar suara langkah kaki yang serentak, dan rumah persembunyian telah dikepung. Pintu depan disentakkan, ditarik ke arah kanan.
Membuka lebar. Mada memandang dengan sorot mata terkejut.
Berpura-pura atau tidak, yang dilihat memang membuat kaget.
Karena para prajurit telah berjejer dengan tombak terhunus. Juga dari arah belakang.
"Kamu terlalu tenang duduk di situ, Bekel Mada."
Suara yang mau tak mau membuat Mada menolehkan kepalanya.
Dari arah belakang berjalan mendekat seorang yang tinggi besar, dada berbulu lebat.
"Kamu tak menyembah padaku?"
"Maaf, hamba tak mengetahui nama besar Paduka."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Patih Singasari hanya satu.
"Apakah namamu demikian besar, sehingga silau oleh dirimu sendiri, dan tak mau melihat kerikil kecil?"
Mada menyembah. "Maaf, seribu ampun.
"Mohon dilimpahkan hukuman yang setimpal.
"Hamba tak mengenali nama besar Patih Arya Wangkong, yang menjaga Keraton Petilasan, beserta seluruh isinya.
"Mohon ampun." Patih Wangkong bersungut. Pandangan matanya menerawang ke seluruh ruang. Dalam beberapa kejap kemudian, para prajuritnya sudah menghadapkan penghuni rumah, melucuti ketiga prajurit.
"Kamu tak akan lolos.
"Sejak ada kabar berita bahwa Raja meloloskan diri, seluruh desa telah dikepung rapat. Kamu tak akan meloloskan diri di depanku.
"Sekarang semuanya telah terbuka.
"Katakan, di mana Raja Jayanegara"!"
"Bunuhlah hamba, Patih perkasa.
"Hamba tak bisa menunaikan tugas dengan baik. Raja sesembahan..."
Belum selesai kalimat Mada, Patih Wangkong menggerung keras.
Kedua kakinya bergerak cepat. Mada hanya sempat mengangkat tangannya untuk melindungi wajah yang tersodok keras. Tubuhnya terguling.
Tujuh tombak tertuju ke seluruh tubuhnya, termasuk leher, hanya dalam jarak satu jari dari kulit.
"Kamu benar-benar tak mengenalku.
"Katakan di mana Raja Jayanegara"!"
"Kalau hamba bisa menyertai Raja, apakah mungkin hamba sendirian bersama para prajurit di sini" Patih mengetahui sendiri, hamba masuk kemari tanpa Raja sesembahan.
"Kami berpisah, terpaksa dipisahkan, karena serbuan Senopati Jurang Grawah."
"Kamu pantas dihukum mati karena melupakan tugas.
"Kenapa kamu malah menyembunyikan diri di sini?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hamba ingin menyelamatkan nyawa yang hanya selembar ini, Patih yang perkasa.
"Karena semua prajurit yang meloloskan diri telah tertangkap, karena Keraton Tua atau Keraton Daha dan Keraton Petilasan Singasari telah mengakui takhta yang baru."
Patih Wangkong menggerakkan kakinya dengan sebat. Cepat, keras, mengandung tenaga. Menginjak leher Mada.
"Katakan di mana?"
Mada memejamkan mata. Betapapun hebat ilmunya, rasanya tak akan sanggup melawan. Tujuh tombak tak bakal bisa dielakkan, apalagi telapak kaki yang sudah menyentuh jakunnya.
Patih Wangkong mendengus. Tubuhnya berbalik, menyeret salah satu prajurit kawal. Menarik paksa.
"Kamu juga bungkam?"
Hanya sekejap sebagai batas waktu. Patih Wangkong menggerakkan telapak tangannya. Bunyi plak yang keras, dan prajurit itu terkulai.
Begitu tangan Patih Wangkong melepaskan pegangan, tubuh itu ambruk di tanah.
Patih Wangkong menyambar prajurit kedua dan ketiga sekaligus.
Masing-masing dipegangi lehernya dengan keras. Ini berarti, satu sentakan kuat akan membuat dua kepala beradu keras. Dengan tangan yang kukuh seperti yang dimiliki Patih Wangkong, batok kepala terasa lembek.
"Masih tak mau bicara?"
"Lebih baik mengorbankan diri, daripada mengatakan kepada pengikut Senopati Kuti."
"Bangsat!" Patih Wangkong membalik. Kini menarik Mada. "Aku bunuh kamu karena lalai dalam menjalankan tugas. Bukan karena Kuti atau segala luwak."
Mada menahan getaran di dadanya.
Dengan menyebut luwak, bisa diketahui perasaan Patih Wangkong yang sebenarnya. Terutama karena sikap Patih Keraton Singasari ini sedemikian terbukanya.
Sebutan luwak, sebenarnya berarti musang. Akan tetapi dalam pembicaraan tertentu luwak dianggap binatang yang licik, yang culas,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang mencuri makanan di malam hari. Tidak gagah perkasa seperti singa, harimau, atau banteng.
Mada bisa menangkap getaran kebencian Patih Wangkong.
"Menyembahlah. "Kalau masih ingin diampuni segala dosa yang paling hina."
Suara Mada dibarengi dengan tubuhnya sendiri merunduk turun, sambil menyembah dan bersila.
Patih Wangkong dan pengikutnya baru sadar ketika Raja Jayanegara meloncat turun dari atas. Segera semuanya menunduk dan menyembah rata dengan tanah.
"Kalau kalian memang masih ingin ngabekti, jangan membuang waktu terlalu lama."
"Sendika dawuh, Ingkang Sinuwun-"
Raja mengangguk. "Kita menuju Singasari."
Mada mengertakkan giginya.
"Maaf, maaf sekali, Raja sesembahan.
"Rasa-rasanya..."
Patih Wangkong menyembah. Adatnya yang keras membuatnya berani memotong ucapan Mada.
"Kamu berani meragukan kesetiaan Pangeran Kertawardhana?"
Siasat Pengakuan KERAS adatnya, lancang gerakannya, seketika tindakannya. Seakan tak ada pengendalian sama sekali atas apa yang diucapkan atau dilakukan. Begitulah Patih Wangkong. Begitu merasa Mada berbicara sembarangan dan merendahkan junjungannya, Patih Wangkong langsung menuding ke biji mata Mada.
Yang dengan gagah menampik keras.
Tenaga keras. Tangan Patih Wangkong terpuntir.
"Bangsat!" "Jaga mulutmu di depan Raja."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Baru kemudian Patih Wangkong sadar dan menahan diri. Meskipun wajahnya menjadi merah menahan geram.
"Raja Sesembahan tidak akan meninggalkan tempat ini. Apalagi mengungsi ke Keraton Petilasan Singasari.
"Patih Wangkong, saya menyampaikan hormat akan kesetiaan Patih serta Pangeran Anom Angon Kertawardhana yang mulia. Saya berbesar hati karena kesetiaan dan pengabdian kalian semua.
"Tapi Raja menghendaki kalian berangkat kembali ke Keraton Petilasan Singasari. Kumpulkan seluruh prajurit yang setia, pimpin menuju Keraton, bersama Pangeran Kertawardhana.
"Bersikaplah seolah akan mengakui takhta Senopati Kuti yang berhati luwak. Di sana saya akan menghubungi Patih."
"Apakah itu berarti kamu tidak percaya kesetiaan dan pengabdian kami?"
"Itu akan terbukti semuanya di Keraton.
"Apakah Patih benar-benar mengakui takhta yang sekarang, atau menyiapkan diri untuk menyerbu."
"Sejak kapan kamu begitu ketus, Mada?"
"Sejak saya mendapat tugas dari Raja.
"Sejak Patih melangkah kemari, sejak sebelum Patih bertanya, saya sudah merasakan kesetiaan Patih Wangkong yang teguh perkasa. Tapi semua itu hanya perasaan.
"Dalam tindakan yang gawat, kita tak bisa mengandalkan perasaan, tidak hanya mendengarkan suara hati, agar tidak makan hati di belakang hari.
"Saya harus meyakinkan diri, bahwa Patih Wangkong yang perkasa bukan sedang mencari Raja karena perintah Senopati Kuti. Saya bersedia membayar dengan nyawa untuk menguji itu.
"Saya percaya sepenuhnya kepada Patih Wangkong yang perkasa, yang gagah berani. Tapi andai ada prajurit yang bertindak sembrono, gagal lah semua rencana kita. Andai ada prajurit yang ingin mendapat pangkat dan derajat tinggi dengan menjual kabar ini, gagal lah menegakkan kebenaran dan kejayaan Keraton."
Patih Wangkong mengangguk.
"Baik. Siasat pengakuan ini akan saya lakukan.
"Hanya aku tak menyangka kamu bisa sekeji Raja Muda Gelang-Gelang."
"Siasatnya bisa sama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tujuannya berbeda."
Raja menggerakkan tangannya.
"Ingsun merestui apa yang dikatakan Mada."
"Sendika dawuh, Sinuwun"
Patih Wangkong dan pengikutnya menyembah hormat, kemudian mundur dengan berjalan jongkok.
Mada mengawasi hingga bayangan mereka hilang, baru kemudian masuk kembali.
"Apa rencanamu selanjutnya, Mada?"
"Mohon ampun, seribu ampun.
"Hamba ingin kita berpindah ke selatan. Menunggu saat baik untuk kembali ke Keraton."
"Saat baik yang bagaimana?"
"Ampun, Raja Sesembahan.
"Saat baik ialah kalau Pangeran Anom Wengker serta seluruh prajurit Daha juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian tak ada lagi yang akan mendukung Senopati Kuti.
"Pengerahan prajurit Daha dan Singasari sangat besar artinya bagi dukungan pengabdian kepada Raja yang Besar. Seluruh penduduk akan mengetahui dan menjadi saksi bahwa nama harum dan besar dan berwibawa Raja yang Sejati tetap besar tiada tandingannya."
"Bagaimana kamu bisa memastikan Daha juga akan datang ke Keraton?"
"Hamba sendiri yang akan berangkat ke sana."
Raja mengangguk. "Lakukan apa yang kamu rasa benar."
"Sembah bagi Raja."
Mada kemudian memerintahkan kedua prajurit kawal yang tak diragukan pengabdiannya untuk segera berangkat. Ia meminta maaf kepada pemilik rumah, dan meminta mengubur prajurit yang gugur dengan baik-baik.
Suatu hari kelak jika ada hari baik, Mada berjanji akan kembali untuk mengadakan penghormatan kepada prajurit yang gugur dalam menjalankan tugas.
Semua dilakukan dengan cepat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sebelum seluruh kalimatnya bisa dimengerti oleh pendengarnya yang masih duduk keheranan dan ketakutan, Mada telah pergi meninggalkan.
Bergabung dengan Raja dan menuju Desa Badander. Untuk sementara bisa mengistirahatkan Raja di tempat yang aman. Mada sendiri kemudian mengatur siasat. Dan melakukan sendiri.
Yang pertama disebarkan ialah berita bahwa Raja telah mangkat.
Kabar ngayawara, tanpa sumber resmi, ini mudah sekali berkembang di masyarakat. Dengan demikian membuat mereka gelisah. Mada tinggal mengarahkan agar penduduk seluruhnya berduyun-duyun menuju alun-alun Keraton, sambil membuka pakaian bagian atas. Hanya selembar bagian bawah sebagai penutup. Kemudian berjemur di alun-alun.
Siasat dede atau menjemur diri ini sangat tepat dilakukan. Dengan menjemur diri akan menarik perhatian penduduk yang lain. Mereka yang ingin mengetahui apa yang terjadi akan ikut dede.
Cara ini dilakukan penduduk jika ada peristiwa yang merisaukan, dan mereka ingin meminta penjelasan resmi dari Raja. Dalam hal ini, peristiwa yang merisaukan itu adalah berita mangkatnya Raja Jayanegara.
Dengan berada di alun-alun, kumpulan manusia itu tak bisa dibedakan, mana yang prajurit. Dengan bertelanjang dada, lebih sulit lagi dikenali. Dengan cara ini, Mada ingin melancarkan serangan mendadak.
Untuk mengadakan pendekatan ke Daha, tak terlalu gampang. Sebab Patih Arya Tilam tampaknya serba curiga, penuh prasangka, dan jalan pikirannya tidak sesederhana jalan pikiran Patih Wangkong. Agak sulit bagi Mada membujuk dan mengatakan maksud yang sebenarnya.
Satu-satunya jalan adalah memakai nama Putri Tunggadewi serta Putri Raja Dewi yang meminta bantuan pembebasan. Mada memakai bukti cundhuk yang sebenarnya berasal dari tanduk biasa. Jalan pikirannya, ini satu-satunya benda yang mungkin tak bisa dibuktikan seketika benar dan tidaknya.
Perhitungan Mada yang kemudian ialah, kalaupun Pangeran Muda Wengker tidak membantu sepenuhnya, ia tidak berada di pihak lawan.
Paling tidak, ragu atau menunggu.
Dalam hal ini Mada sulit memastikan bagaimana sikap Pangeran Muda Wengker, karena yang terakhir ini tak memberikan jawaban yang jelas.
Demikian pula jawaban yang diberikan Patih Tilam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagaimana saya bisa mempercayai kamu ini utusan putri Keraton, kalau selama ini kami tak pernah mendengar kabar dan tak pernah berhubungan?"
"Patih Tilam yang bijak.
"Dengan mengutus hamba, Putri memilih prajurit yang dekat dengan Raja."
"Bagaimana saya bisa percaya kalau bayangan Raja tak terlihat?"
"Maaf, Patih Tilam. "Kalau Raja sendiri yang berkenan meminta, apakah artinya pengabdian itu" Semua akan jelas dan terang benderang. Itu artinya bukan menunjukkan kesetiaan, akan tetapi menjalankan tugas. Justru pada situasi seperti inilah kesetiaan itu diperlihatkan."
"Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu bukan utusan Senopati Kuti yang berpura-pura menguji kami?"
"Kalau Senopati Kuti, hanya perlu mengirim utusan. Barang lima prajurit, dan Patih Tilam mengakui takhta yang baru."
"Oh, itu caranya memojokkan kami"
"Dengan mengungkap bahwa pengakuan takhta adalah pengkhianatan" Iya" Begitu, prajurit kecil Mada?"
"Waktu saya tidak banyak, Patih yang arif.
"Hamba hanya melaporkan apa yang terjadi, sesuai dengan gambaran sebenarnya kepada Raja."
Yang tidak diketahui Mada ialah bahwa Patih Tilam sangat berhati-hati dalam bertindak. Boleh dikatakan bertolak belakang dibandingkan Patih Wangkong. Patih Tilam selalu bisa membuat orang yang berhadapan dengannya menduga-duga apa yang sebenarnya dilakukan, dan apa yang sebenarnya disembunyikan.
Karena ketika utusan Senopati Kuti datang memeriksa, Patih Tilam menyerahkan lima prajurit sebagai pengganti prajurit bhayangkara.
Patih Tilam kemudian mengirim utusan untuk mengakui Senopati Kuti sebagai penguasa Keraton. Tapi Patih Tilam pula yang berdiam-diam memerintahkan para prajuritnya berjaga di sekitar Keraton.
Sebagai penasihat rohani Pangeran Muda Wengker, tindakan Patih Tilam sulit diduga. Meskipun kelihatan berbantah dengan Mada, Patih Tilam pula yang memohon Pangeran Muda Wengker segera berangkat ke Keraton.
"Saya sendiri akan membuktikan kesetiaan dengan mengalirkan darah saya di Keraton. Demi asma Pangeran Muda."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Beda Buah dengan Bijinya MADA mempersiapkan dengan sepenuh kemampuannya. Langkah terakhir yang akan ditempuh ialah menuju Perguruan Awan, untuk minta restu dan bantuan dari Jaghana.
Dengan hadirnya Jaghana, Mada merasa aman luar-dalam untuk merebut Keraton dari tangan Senopati Kuti.
Akan tetapi Perguruan Awan terlalu luas tanpa batas, dan tak bisa menemui penghuninya dengan gampang.
Apalagi saat itu telah terjadi perubahan.
Ketika Halayudha menghardik Ngwang dengan menanyakan ilmu membal, dengan menuduh Ngwang mencuri ilmu, Upasara masih dalam keadaan terluka.
Nyai Demang berdiri setengah melindungi, demikian juga Gendhuk Tri. Sementara Jaghana masih bersila di samping Upasara.
"Sudah jelas Ngwang mencuri dari Kitab Klungsu. Kenapa masih perlu ditanya segala?"
Halayudha mengejapkan matanya.
Suara Gendhuk Tri yang diucapkan dengan penuh kesungguhan, membuatnya terbengong-bengong.
"Kitab Klungsu"
"Rasanya aku belum pernah mendengar."
"Mana mungkin mendengar kalau selama ini kitab itu hanya boleh dikidungkan dalam hati?"
Nyai Demang menghela napas lega.
Gendhuk Tri yang sekarang ini ternyata masih Gendhuk Tri yang dulu. Yang bicara seenaknya, yang menyerang sana, mengacau sini, yang membolak-balik dan membelokkan jalan pikiran orang. Gendhuk Tri yang dulu, yang nakal, yang menggoda, yang menikmati kebingungan orang lain.
Dengan mengatakan Kitab Klungsu, jelas Gendhuk Tri hanya main-main. Sebab Nyai Demang sendiri belum pernah mendengar adanya kitab klungsu, atau buku mengenai biji asam. Bahkan dari caranya menjawab pertanyaan Halayudha, sebenarnya Gendhuk Tri sangat keterlaluan mempermainkan.
Sewaktu Halayudha mengatakan belum pernah "mendengar", oleh Gendhuk Tri diartikan mendengar dalam artian wadak. Sehingga
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dijawab tak mungkin mendengarkan karena cara membacanya di dalam hati.
Akan tetapi justru jawaban yang tak masuk akal ini membuat Halayudha tertarik. Hingga kedua tangannya menggaruk-garuk kepalanya.
"Bagaimana mungkin"
"Maukah kamu mengidungkan bagiku?"
"Ilmu itu tidak untuk dikidungkan."
"Celaka. "Bagaimana kalau kamu tulis dan aku membaca dalam hati?"
"Baik, aku akan melakukan untukmu.
"Karena kamu pernah menolongku, meskipun nyatanya malah membuat aku menderita."
Halayudha menyeringai. "Mana mungkin" "Upasara tetap tak bisa menghalau bercak dalam tubuhmu. Aku bisa kalau kamu tidak membandel. Tenaga air dalam tubuhmu itu aneh.
Adakalanya menolak tenaga bumi, adakalanya menerima.
"Ngwang saja terbengong-bengong. Ia bisa mengatakan adanya tenaga im dan tenaga yang. Tapi juga tetap tak mengerti kenapa bisa bertabrakan.
"Upasara sendiri keok. Katanya ia memadukan tenaga menjadi tenaga tanah air. Tapi sekarang malah merenung seperti anak kecil kehilangan mainan. Seperti anak muda kehilangan asmara.
"Betul tidak?" "Betul." Mendadak Halayudha menjentikkan ibu jari dan jari telunjuk.
Suaranya menggema, bergaung keras sekali. Bahkan pohon-pohon dalam jarak sepuluh tombak seperti terguncang.
"Rasanya aku mengerti pemecahannya.
"Tapi nanti saja. Setelah kamu memberitahu isi Kitab Klungsu."
Sewaktu Halayudha menjentikkan jarinya, tangan Jaghana mendekap tangan Upasara. Mengeluarkan getaran hangat, yang disambut Upasara.
Ngwang memperhatikan dengan saksama.
Setiap gerakan yang paling kecil pun tak lolos dari pengamatannya.
Gendhuk Tri menorehkan jarinya di tanah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Klungsu itu biji asam Klungsu itu bukan asam Sebab klungsu itu berat Tapi ringan Kalau dibanting akan melenting
Buah asam rasanya asam Kalau dibanting menjadi pecah
Itulah beda biji dengan buah....
Halayudha memegangi kepalanya. Rambutnya semakin awut-awutan.
Kalimat yang dituliskan Gendhuk Tri dieja, dibaca berulang-ulang.
Beberapa kali jidatnya ditepuk.
"Aku tak menangkap maknanya.
"Jangan-jangan kamu sudah gendheng."
Halayudha menggebrak. Dengan menggerakkan kakinya, seluruh tulisan terhapus, sementara gerakan itu tak berhenti di situ. Kedua kakinya terjulur keras, menyambar Gendhuk Tri. Memotong habis.
Gendhuk Tri mengangkat tubuhnya, menghindari sabetan kaki. Serta-merta Halayudha menarik kembali kakinya, Gendhuk Tri bersiaga.
"Nah, itu ajaran Kitab Air.
"Jelas sekali. Di mana ada tempat rendah, air mengalir. Begitu seranganku ditarik atau lewat, kamu berdiri di situ. Coba ulangi kalau tidak percaya."
Halayudha kembali mengulang.
Menebas kaki Gendhuk Tri. Dalam putaran yang menyeruak, menggulung jarak setombak tepat di kaki Gendhuk Tri. Yang mau tak mau terpaksa jungkir-balik ke atas.
Halayudha menggerakkan kedua tangannya ke arah kanan. Satu telunjuknya menuding.
"Di sana." Gendhuk Tri berusaha menolak tarikan tubuh ke arah tempat yang dituding Halayudha. Namun tenaga Halayudha ternyata sangat kuat.
Sehingga tubuhnya mendarat pada tempat yang telah disebutkan.
"Ya, kan" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Air mengalir kalau ada tempat rendah. Kalau ada tempat yang lebih dingin. Tanah bisa lebih bertahan, walau di sebelahnya ada jurang.
"Itu bedanya. "Itu yang mau disatukan Upasara.
"Sebetulnya bisa juga.
"Mada mestinya tahu. Ah, di mana dia sekarang"
"Tapi apa peduliku dengan anak kecil itu"
"Aneh, bayangannya selalu jelas.
"Aku tak mau terpengaruh. Aku ingin tahu tentang ilmu membal tadi."
Kalimat yang tidak keruan ujung-pangkalnya itu dibarengi dengan gerakan mendadak. Tubuh Ngwang dirangkul kencang, dan berusaha dibanting keras.
Kalau kena. Karena Ngwang tidak membiarkan begitu saja. Begitu ada angin menyambar, serta-merta tubuhnya terangkat dari tanah. Dalam gerakan yang ringan sekali.
Melayang. Halayudha memakai kedua tangan sebagai tumpuan, dan tubuhnya melejit ke atas. Dibarengi dengan teriakan keras, kedua tangannya menyambar Ngwang.
"Tahan!" Teriakan Jaghana terlambat.
Pada saat itu Ngwang membuka lebar kedua kaki dan tangannya!
Halayudha tak sempat menghindar. Dada dan perutnya terkena pukulan telak.
Tubuhnya terbanting! Tendangan dan sekaligus pukulan yang masuk bersih. Tubuh Halayudha sampai ngejengklak, dengan kepala ke arah belakang seakan lehernya tak bisa menyangga lagi.
Ngwang membalik. Kali ini jurus yang sama dimainkan untuk menerjang Gendhuk Tri!
Menyambar keras. Nyai Demang mengibarkan selendangnya. Berusaha menahan sekuatnya. Ternyata arah serangan Ngwang tidak ke arah Gendhuk Tri, karena mendadak membelok ke arah Upasara!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tubuh yang bisa meliuk bagai kapas tertiup angin, atau bahkan bagai angin itu sendiri, meruncing ke arah Upasara.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak langsung menyerang, melainkan berputar bagai gasing.
Kencang. Ngwang memang tidak langsung menyerang, melainkan membuat Upasara mengikuti gerakan yang ada. Memuntir sedemikian rupa, seolah memasukkan Upasara yang terluka ke dalam putaran beliung.
Pusaran angin! Gendhuk Tri menyadari bahaya besar.
Seperti juga Halayudha, Gendhuk Tri tidak menyangka sama sekali bahwa tenaga angin Ngwang masih lebih banyak yang tersimpan.
Selama ini ia hanya memperlihatkan sebagian kecil saja. Baru bagian luarnya.
Pertarungan Angin-Air PUTARAN tubuh Ngwang membelit, menelikung sempit. Hanya dalam lima putaran, tubuh Upasara seperti tak bisa dikendalikan. Ketika Ngwang meloncat tinggi, Upasara seakan terseret. Ikut terbawa. Bahkan sewaktu Ngwang sudah berdiri tegak, tubuh Upasara masih berputar bagai gasing.
Tanpa berpikir panjang, Gendhuk Tri mengentak keras. Ujung selendang dan kedua tangannya yang terbuka lebar, menyambar masuk.
Dalam putaran yang kencang dan sempit, Gendhuk Tri tak bisa menemukan sela-sela yang pas. Akan tetapi ketajaman tenaganya yang diselusupkan mampu menyelinap.
Meskipun itu bisa diartikan bahaya yang lain. Sebab dengan demikian pukulan Gendhuk Tri bisa mengenai tubuh Upasara. Akan tetapi risiko apa pun akan ditanggung, daripada berdiri bengong.
Ngwang tetap memutar tubuh Upasara dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menampik pukulan Gendhuk Tri. Kesiuran angin lembut berubah bagai sentakan badai. Sekejap saja berubah tekanannya.
Namun bukan Gendhuk Tri kalau terjegal dengan serangan mendadak. Justru dengan itu Gendhuk Tri bangkit menerjang. Keras dihadapi dengan keras. Pukulan Ngwang disambut sama keras dengan meloncatkan tubuh ke atas, sementara kakinya menyaduk ulu hati Ngwang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ngwang melihat peluang menang di atas. Satu tangan tertekuk, berubah bagai patuk burung elang yang menyambar ubun-ubun Gendhuk Tri.
"Cuma sebegini."
Gendhuk Tri masih bisa mengeluarkan seruan ejekan, sebelum membuat berat tubuhnya melorot ke bawah. Tangan Ngwang menghantam angin, sementara dadanya termakan serbuan lawan yang mendadak bertambah sangat cepat.
Tak banyak pilihan bagi Ngwang.
Selain menurunkan tubuh Upasara, sebagai penangkis.
Kali ini Gendhuk Tri memperlihatkan keunggulannya. Menyerobot masuk,
Gendhuk Tri bukannya meneruskan tendangan ke arah lawan, melainkan masuk melalui selangkangan Ngwang. Yang kalaupun tidak berdiri di atas tanah, tetap bisa dilewati. Baru kemudian muncul membalik di belakang Ngwang. Langsung menyambar daun telinga.
Memuntir habis. Bagi yang tidak biasa menghadapi, apa yang diperlihatkan Gendhuk Tri memang serba tidak biasa. Menerobos lewat selangkangan saja bukan ukuran permainan silat yang lazim. Apalagi kemudian memuntir daun telinga.
Justru yang tak terduga itu merupakan keunggulan Gendhuk Tri.
Perpaduan antara kenakalan dan permainan. Karena sebenarnya Gendhuk Tri bisa menyerang bagian kepala yang lebih menentukan meraih kemenangan.
Nyatanya justru dengan cara "main-main", Gendhuk Tri dulu mampu mengecoh Ugrawe atau juga Halayudha. Sekarang justru yang sama berhasil untuk menjebak Ngwang.
Yang merasa sangat kesakitan.
Meringis sambil memutar tubuh. Tubuh Upasara dilepaskan, dan kini sepenuhnya siap bertarung menghadapi Gendhuk Tri.
Darah mengucur dari kedua telinga Ngwang yang seperti tinggal tertempeli daging tipis. Dalam keadaan yang murka, Ngwang mengeluarkan suara tak menentu. Bagai angin ribut, kaki dan tangannya meloncat dan terentang.
Tendangan dan jotosan maut.
Gendhuk Tri menjejakkan tubuh. Gesit melejit. Melalui tubuh Ngwang yang menerjang lurus. Sedemikian cepatnya sehingga Ngwang seperti menangkap angin. Juga merasa dingin bagian ubun-ubunnya karena tersenggol ibu jari kaki Gendhuk Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mulut kotor macam ini mau mengisap ibu jari kakiku?"
Ngwang mengeluarkan suitan keras. Jelas bisa ditandai bahwa kini sepenuhnya murka. Tenaga dalam yang tersimpan selama ini meluncur keras. Setiap kali bersuit suaranya sangat nyaring, dan udara yang keluar dari bibirnya membentuk garis.
Yang anehnya, Gendhuk Tri tak bisa menembus.
Atau berusaha menghindari.
Hal yang terpaksa dilakukan Gendhuk Tri mengingat tercium bau amis keras yang membuat kulitnya terasa gatal-gatal panas menyengat.
Sesuatu yang mengingatkan akan adanya racun keras.
Dengan posisi seperti ini, dengan makin banyak suitan, yang berarti lingkaran atau juga garis putih, Gendhuk Tri terdesak. Kini mulai repot dan terdesak. Sabetan selendangnya juga kandas, tak mampu membuyarkan asap tipis yang membeku.
Bahkan kemudian asap tipis lurus itu meruncing. Dengan satu kedutan keras, asap tipis lurus itu berubah bagai panah pendek.
Menusuk dari berbagai arah.
Ngwang menjeritkan pekik kemenangan.
Gendhuk Tri berdiri. Tak meloncat, tak menghindar. Kedua tangannya mengembang. Kakinya setengah mengangkang. Kepalanya mengibas keras, sehingga rambutnya terurai, dan menyampok asap tipis yang menusuk. Sedangkan yang meruncing ke arah tubuh yang lain dibiarkan saja.
Pameran tenaga dalam yang luar biasa. Dengan kemampuan mengerahkan tenaga dalam berdasarkan kekuatan air, Gendhuk Tri berusaha meredam serangan lawan.
Pekik kemenangan Ngwang berubah menjadi pekik yang berbeda nadanya. Sama sekali tak menduga bahwa Gendhuk Tri mampu menenggelamkan serangannya. Tiupan beliung yang mampu memutar tubuh Upasara, ternyata bisa dimentahkan Gendhuk Tri.
Yang tetap berdiri tegak.
Nyai Demang bersorak girang dalam hati. Adalah di luar dugaannya bahwa Gendhuk Tri bukan hanya mampu bertahan, akan tetapi mampu memperlihatkan keunggulan. Bisa menandingi, dan sewaktu tangan Gendhuk Tri membekuk, Ngwang yang meloncat mundur.
Meskipun tidak paham sepenuhnya pertarungan kekuatan air dengan kekuatan angin, Nyai Demang bisa mengikuti, bahwa setelah badai yang ditiupkan Ngwang tak mempan, posisinya jadi berbalik. Angin badai hanya menggerakkan air di permukaan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pujian Nyai Demang makin meninggi. Sehingga merasa bahwa sesungguhnya ilmu Gendhuk Tri telah melesat sangat jauh. Bahkan mengungguli Halayudha.
Ada benarnya, ada tidak benarnya.
Ada benarnya bahwa ilmu Gendhuk Tri telah berkembang sangat pesat. Akan tetapi kalau diukur lebih tinggi dari Halayudha masih perlu dibuktikan. Karena kekalahan Halayudha terutama sekali karena tak menyangka adanya serangan tak terduga.
Demikian pula halnya dengan Ngwang.
Cara Gendhuk Tri mengatasi tiupan angin tajam, membuyarkan pemusatan pikiran, justru karena mengira lawan bisa diatasi seketika.
Pada titik peluang yang kritis itulah Gendhuk Tri balik menghantam.
Jago dari mana pun, dalam tingkat apa pun, dalam keadaan tertindih seperti itu, akan sulit bangkit seketika. Dan lawan yang mengetahui akan mempergunakan sekuat tenaga. Sebelum Ngwang bisa memperbaiki kuda-kudanya, sebelum bisa kembali ke semangatnya.
Tekukan tangan Gendhuk Tri mengeluarkan bunyi keras. Ketika tangan itu terangkat ke atas, menebarkan suara keras. Bagai kena tebas, Ngwang terjungkal.
Gendhuk Tri meloncat dan menerkam dari atas.
Ngwang berusaha menggelindingkan tubuhnya. Bergulingan sekenanya.
Benar-benar terbalik. Ngwang yang unggul pada permainan atas dengan ilmu meringankan tubuh yang tiada tara, kini dipaksa bergulingan. Sementara Gendhuk Tri justru menyambar dari atas. Bagai burung elang mempermainkan anak ayam.
Ngwang benar-benar terdesak.
Dengan paksa Ngwang melepaskan pakaiannya, dan melemparkan ke arah lain, untuk memancing perpindahan tenaga Gendhuk Tri.
Yang hanya dengan sekali sampok, membuat pakaian itu terbang bagai buntalan pakaian basah.
Ngwang membungkus dirinya. Kepalanya dimasukkan ke dalam tekukan antara kaki. Tubuhnya benar-benar tertutup, ketika menggelinding.
Gendhuk Tri berusaha meloncat. Untuk menerkam! Atau menendang.
Atau apa saja. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya saja, mendadak tenaganya menjadi macet. Ada ganjalan berat, terutama di bawah pusarnya. Sedemikian ngilunya sehingga tak mampu berdiri.
Ingatannya masih bisa jalan, bahwa bercak-bercak hitam yang terlihat di kulit itulah yang mengganjal lancarnya pengerahan tenaga dalam.
Bahwa pemaksaan tenaga yang berlebih menyebabkan bercak hitam menyebar kembali. Ketika berada di tempat di mana pusat kekuatan akan tersalur, membuntu. Benturan itulah yang mendadak menghentikan gerak Gendhuk Tri.
Nyai Demang benar-benar melongo.
Mulutnya terbuka tapi tak mengeluarkan suara.
Ngwang melihat kesempatan untuk menggulung tubuh sambil berdiri.
Telanjang dada, mengawasi sekitarnya dengan senyum kemenangan.
Nyai Demang tak bisa bernapas dengan baik.
Halayudha masih terbaring. Upasara demikian juga. Kini Gendhuk Tri. Jaghana malah tenggelam dalam semadinya. Tinggal dirinya yang seperti diimpit mimpi buruk.
Matanya bercahaya ketika melihat sosok bayangan masuk ke dalam arena. Tapi hatinya kemudian jadi lebih dingin dan membeku, manakala sadar bahwa yang muncul adalah Pangeran Hiang.
Yang memegang Kangkam Galih. Pedang tipis hitam dicekal erat.
Yang membuat Nyai Demang beku adalah sorot mata Pangeran Hiang yang dingin, ganjil, seolah tak mengenali Nyai Demang!
Asmara Tanah air YANG lebih mengerikan lagi, ada bau tubuh yang menusuk hidung, tercium dari jarak jauh. Bau tubuh yang membuat Nyai Demang merasa terganggu pernapasannya.
Ngwang membungkuk, rata dengan tanah.
Nyai Demang masih menangkap perkataannya. Ngwang seolah mengatakan bahwa selangkah lagi takhta Tartar akan menjulang sampai langit tingkat tujuh. Hanya dengan satu tebasan pedang atau tiupan beliung darinya.
Pangeran Hiang memandang dingin.
"Pangeran..." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang berusaha meneriakkan nama yang menyekat erat di tenggorokannya. Semakin kuat memaksa diri, yang terjadi seperti kejadian yang pernah dialami. Kesadarannya berangsur tenggelam.
Makin dalam. Sehingga tidak mengetahui bahwa tubuh Halayudha sudah menggeliat. Bisa duduk dan terlongong-longong memandangi sekitarnya.
Jaghana masih bersila. Upasara merangkak bangkit. Mendekati tubuh Gendhuk Tri.
"Adik Tri..." "Kakang..." Jari tangan Upasara yang gemetar memegang tangan Gendhuk Tri.
Gendhuk Tri balas meremas.
"Kita telah menghancurkan diri kita sendiri. Telah menyia-nyiakan...."
Upasara menggeleng. "Kakang tidak apa-apa.
"Kakang menemukan kemungkinan penyembuhan bercak hitam Adik Tri."
Gendhuk Tri tersenyum. Tubuhnya sedikit bergoyang.
"Kita terlambat, Kakang."
"Kita tidak terlambat, Adik Tri...."
Ngwang melangkah maju setindak. Matanya melirik tajam ke arah Jaghana yang masih bersemadi. Telinganya mendengar suara lirih, semacam kidungan, semacam bisikan, semacam senandung, semacam angin, semacam getar.
Tanah air menyatu bagai daya asmara tanah air meluas tanpa batas hanya daya asmara yang kekal abadi
seperti tanah air yang menyamai
yang menandingi KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bukan takhta, bukan Keraton
tanah air adalah pembarep dan pamungkas
tanah air awal sekaligus akhir
tanah air tanah sekaligus air
yang mengatasi mati bukan candi yang mengatasi hidup bukan mati yang mengatasi segalanya bukan dewa tetapi daya asmara
asmara tanah air, asmara paminggir, asmara pamungkas asmara para raja
... ... Ngwang menduga Jaghana yang menembangkan kidung. Tapi suara lirih itu juga terdengar dari arah Upasara Wulung. Atau juga getaran bibir Gendhuk Tri.
Halayudha mendadak bangkit berdiri. Mengubah gerakan tangan dan kakinya. Kepalanya miring mencoba menangkap kidungan yang sayup.
Tanah air tak mengenal batas
semua laut bisa dikuras semua gunung bisa dipangkas
seluas pandangan Sri Baginda Raja Kertanegara
tanah air bukan takhta yang bisa diwariskan tanah air bukan harta yang bisa dibagi, dikurangi, dicurangi
tanah air bukan pribadi sebab semua bisa memiliki
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tanpa menimbulkan iri, risi
tanah air adalah ibu yang menyusui, yang mengasihi
tanah air adalah daya asmara sejati
yang menggerakkan berahi ... ... Apa pun yang terjadi, Ngwang tak mau memberikan kesempatan.
Karena melihat bahwa kidungan samar itu bisa membuat Halayudha bangkit berdiri. Seakan mendapat tiupan sukma kehidupan.
Padahal, tubuh Halayudha memang berbeda. Simpanan kekuatannya bisa memulihkan kesadarannya.
Ngwang tak mau memberi peluang perubahan yang bisa membalikkan suasana sekarang ini. Tubuhnya terangkat dari tanah. Dengan satu gerakan sangat gesit, merampas Kangkam Galih dari tangan Pangeran Sang Hiang.
Halayudha tersedak. Ia meloncat ke depan akan tetapi tubuhnya masih sempoyongan.
Jangan kata menubruk maju, untuk bisa tegak di tempatnya saja kelihatannya masih belum bisa sempurna.
Yang bergerak pertama adalah Jaghana.
Yang tetap bersila, menunduk, tapi beralih tempatnya. Berada di antara Gendhuk Tri dan Upasara Wulung!
Tempat di mana tusukan Kangkam Galih tertuju.
Ngwang memang tidak menusuk langsung ke arah Upasara ataupun Gendhuk Tri. Karena masih merasa perlu berjaga-jaga jika kedua lawan yang luar biasa ini mampu mengeluarkan serangan mendadak. Ngwang tak ingin terjebak, di saat-saat di mana kemenangan sudah berada di tangan.
Makanya tusukannya tertuju ke arah tangan Upasara Wulung yang bergenggaman dengan Gendhuk Tri.
"Tusuk!" Teriakan Pangeran Hiang melecut Ngwang yang untuk sesaat seperti menahan laju Kangkam Galih! Ujung pedang hitam tipis yang mampu menetas besi bagai memotong batang pisang itu tak tertahan lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jaghana yang mencekal erat tangan Upasara Wulung dan Gendhuk Tri tersenyum. Matanya yang jernih, suci, seakan memancarkan sinar.
Meskipun Kangkam Galih amblas di dadanya yang selalu licin telanjang.
Sewaktu Kangkam Galih ditarik dengan sodetan, yang tertinggal adalah luka yang menganga.
Bersih. Tak ada darah menetes. Hanya lapisan daging yang terbelah, tulang iga yang patah.
Kepergian orang suci. Kembalinya orang yang diterima Dewa Maha Pencipta.
Persinggahan Abadi TUBUH Jaghana telentang. Dari dada sampai perut menganga luka, dengan sobekan melintang. Tapi siapa pun yang melihatnya tidak ngeri, tidak jijik. Bukan karena tak ada darah yang muncrat atau tumpah.
Melainkan karena ada kekuatan yang tiba-tiba menyertai kepergiannya.
Awan memayungi matahari. Ujung-ujung daun rumput dan semua tumbuhan bergerak sangat perlahan, disentuh angin lembut. Bau wangi menyebar, tersimpan lama bagi siapa pun yang mengisap udara saat itu.
Alam terasa sangat damai. Tenang.
Lestari. Tak tergetar sedikit pun sisa-sisa kebencian atau ketegangan.
Meskipun Ngwang masih memegang erat Kangkam Galih, yang anehnya juga tak mengucurkan atau basah oleh darah.
"Om." Suara yang salah nada. Sumbang. Mengganggu ketenteraman.
Karena ketenangan lebih menggetarkan. Lebih mendalam rasa yang terendapkan. Meskipun bukannya tanpa pergolakan. Justru Pangeran Hiang yang tampak berubah wajahnya. Ada bayangan Gemuka yang muncul kembali. Gemuka yang gagah perkasa, yang jemawa tanpa tanding, mati dengan cara mengenaskan. Dengan seluruh tubuhnya yang seolah memuncratkan darah penderitaan dan kesengsaraan. Akhir yang alot berkelojotan.
Sementara Jaghana justru sebaliknya.
Tanpa darah, bahkan menyebarkan bau harum bunga melati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha mengelus rambutnya dari pangkal hingga ujung. Puluhan kali matanya menyaksikan kematian, baik dengan tangannya sendiri secara langsung ataupun tidak. Baik yang didengar ataupun yang samar-samar dialami. Tokoh-tokoh yang paling hebat, ia saksikan kematiannya. Baik Ratu Ayu Bawah Langit yang mengenaskan, gurunya sendiri yang pernah ditumpuki batu, ataupun bahkan anaknya sendiri.
Ia mendengar bahwa tokoh yang paling dipuja selamanya, Sri Baginda Raja Kertanegara, juga meninggal dunia dengan cara mengenaskan.
Baginda Sanggrama Wijaya sendiri pun demikian, kurang-lebihnya.
Bahkan empu sakti dan berjiwa luhur, Mpu Raganata, tak selembut dan sedamai seperti apa yang sekarang disaksikannya.
Dibandingkan dengan tokoh-tokoh utama yang sakti, Eyang Kebo Berune, Puspamurti, Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, atau para pemimpin keprajuritan, tak ada yang menyamai keabadian yang begitu menyentuh. Bahkan tidak dialami Eyang Sepuh, yang masih kembali dari moksa.
Dari segala macam ilmu yang didalami secara tuntas, untuk pertama kalinya Halayudha menemukan kesempurnaan perjalanan keabadian pada diri Jaghana.
Dewa pun belum tentu bisa kembali ke asalnya dengan kasampurnan yang sejati.
Persinggahan abadi yang indah. Yang meninggalkan makna penuh bahwa kematian bisa berarti ketulusan, kesucian yang abadi. Kekal sepanjang masa.
Getaran yang sama, rumasuk dalam jiwa Upasara maupun Gendhuk Tri. Dalam keadaan luka di dalam, dalam keadaan tersendat, keduanya merasa ditunjukkan kepada tempat yang sangat membahagiakan, tanpa keraguan.
Nyai Demang yang terkena kekuatan sirep bau minyak atau bau tubuh Pangeran Hiang sampai terbangun. Pengaruh harum sirep seakan pudar lebih cepat. Nyai Demang duduk bersila dalam keheningan sambil mengucapkan segala doa dan mantra dari mata batinnya.
Siapa pun yang mengenal Jaghana, hanya mempunyai kata-kata pujian untuk mengenangnya. Tak pernah ada kesan atau rasa, di mana Jaghana sengaja berbuat jahat atau curang atau nakal untuk kepentingannya sendiri.
Sewaktu berusia dua puluhan tahun, ketika pertama kali Upasara terjun ke gelanggang persilatan dari penempaan yang dahsyat di Ksatria Pingitan, Jaghana yang sederhana telah mempengaruhi jiwanya.
Walaupun saat pertama bertemu, Upasara belum bisa menerima seorang yang tidak mengenakan pakaian selain kain gombal penutup bagian tubuhnya yang penting. Kepalanya dibiarkan pelontos, tubuhnya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
gemuk, bibirnya selalu tersenyum dengan sorot mata sebening embun pagi hari. Pemakaian nama Jaghana adalah bentuk pengejawantahan, bentuk nyata yang membumi. Perjalanan hidup Upasara selanjutnya membuatnya mengenal Jaghana lebih dalam. Juga ketika Jaghana menerima pilihan Eyang Sepuh, bahwa Upasara Wulung yang lebih pantas memimpin Perguruan Awan.
Jaghana, murid angkatan pertama yang mengabdi sepenuhnya pada ajaran Perguruan Awan, menerimanya dengan rasa bahagia. Sikap menerima dengan penghormatan yang tulus mulus, tidak hanya terwujud dalam jurus-jurus ilmu silatnya, melainkan tercermin dari seluruh tindakannya.
Nyai Demang juga merasakan hal yang sama, meskipun dari sudut yang lain. Di antara sekian lelaki yang mengenalnya, hanya Jaghana yang tidak pernah setitik pun berbuat tidak senonoh. Sekelebat bayangan dibagi selaksa pun tak pernah dirasakan. Baginda begitu ingin mencicipi. Bahkan Dewa Maut sempat tergoda dan berbuat di luar kemauannya. Upasara sendiri pernah tertarik dengannya.
Tapi tidak bagi Jaghana. Sebutan paman kepadanya adalah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Bahkan ketika mengobati Nyai Demang dengan cara yang tidak biasanya, kesan kurang ajar itu tidak ada. Walau tidak berarti dingin.
Segala puja dan puji. Segala doa dan mantra untuk seorang yang tak pernah berniat menonjolkan diri, tak pernah menginjak rumput, atau bahkan mengambil buah yang tak ditanamnya sendiri.
Seekor semut, seekor nyamuk, seekor cacing, bahkan mungkin angin tak pernah merasa dirugikan oleh Jaghana.
Kalau ada pertanyaan yang membersit adalah kenapa Dewa Yang Mahadewa berkenan memanggilnya sekarang" Kenapa bukan aku, Nyai Demang, yang merasa melakukan banyak penyimpangan dalam hidup"
Kenapa bukan aku, Halayudha, yang menumpuk dosa lebih tinggi dari gunung" Kenapa bukan aku, Gendhuk Tri, yang membuat keonaran"
Kenapa bukan aku, Upasara Wulung, yang menjadi ragu di saat yang menentukan dan menyengsarakan batin wanita yang dikasihi" Kenapa bukan aku, batu, yang merasa tanpa guna. Kenapa bukan aku, daun, yang sudah kering"
Barangkali dalam bentuk lain, pertanyaan itu juga tergema dalam sanubari Pangeran Hiang. Yang masih terkesima, seakan tak menyadari sepenuhnya bahwa pedang yang tadi digenggam yang menghentikan kehidupan Jaghana.
Ngwang maju setindak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Untuk meyakinkan pandangannya. Untuk membuktikan bahwa matanya tidak menemukan setetes darah.
Matanya berkejap-kejap memandang ke langit. Bibirnya berkomat-kamit. Lalu, dalam satu tarikan napas, kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih.
Memandang sekitarnya. Siap melakukan serangan yang berikutnya.
Pedang tipis hitam yang telah mengantarkan tokoh-tokoh utama selama ini, seakan masih mencium kematian. Bergetar.
"Pangeran..." Suara Nyai Demang terdengar serak.
"Tak ada yang mengemis kebaikan. Tak ada artinya persaudaraan."
Suara Halayudha terdengar lantang dan nyaring. Cepat sekali ia memotong ucapan Nyai Demang yang ingin mengembalikan ingatan Pangeran Hiang.
"Majulah kalian berdua. Ingsun akan menghadapi sebagaimana halnya Raja Tanah Jawa.
"Kalau kalian tak mau mendahului, jangan salahkan Ingsun"
Kaki kiri Halayudha terentang maju.
Ngwang melayang. Kangkam Galih di tangannya menyabet perkasa, seakan kesiuran anginnya yang tajam mampu memapras ranting dan dedahanan. Akan tetapi agaknya Halayudha tidak gentar. Ia merangsek maju. Menyusup di bawah sabetan pedang, jari tangan kirinya yang terbuka meraup.
Menyerang dada sebelah kiri. Sambil berputar. Sehingga dalam satu gerakan, seakan tangan kanannya siap mencengkeram tengkuk Ngwang.
Ngwang yang berusaha menarik sedikit pedangnya, membuat Halayudha jungkir-balik menyelamatkan diri. Dua serangannya terpaksa ditarik kembali, juga putaran tubuhnya ke arah kanan, menjadi ke arah kiri. Berbalik ke tempatnya semula, dengan dua kaki secara keras menyapu.
Ngwang hanya menurunkan pedang ke bawah.
Arahnya lurus bagai tongkat.
Halayudha melejit ke atas. Dua tangannya yang perkasa mengeluarkan tenaga pukulan memberondong, memancarkan hawa panas yang menyengat keras. Kesembilan jarinya menusuk-nusuk tajam, kadang menggoresi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya dengan cara itulah Halayudha mampu merepotkan Ngwang.
Tapi selebihnya, semua serangannya kandas atau bahkan sangat menyulitkan dirinya. Hanya dengan menarik pedang untuk melindungi, tak ada terobosan serangan. Bahkan jika Ngwang memakai pedang untuk mengurung diri, dan sesekali melancarkan serangan, Halayudha akan makin terdesak.
Pertarungan yang tidak seimbang.
Pertarungan pincang, berat sebelah. Ngwang dengan pedang saktinya meredam habis serangan Halayudha. Keunggulan kembangan jurus dan permainan silat Halayudha menjadi kandas setiap kali Ngwang mengajak adu senjata. Kalah kekuatan dan posisi ini menyebabkan Halayudha dikuras kemampuannya, karena harus memilih serangan yang bisa mengacaukan lawan.
Ngwang seperti menikmati keunggulannya. Tak merasa perlu buru-buru menyikat lawan. Malah sebaliknya, menunggu kesempatan yang baik. Karena tak ada yang perlu dipertaruhkan lagi.
Krekalasa Warna HANYA soal waktu. Kesalahan yang paling buruk pun tak akan banyak mempengaruhi hasil pertarungan. Keadaan Halayudha lebih buruk dari Jaghana.
Meskipun demikian, Halayudha tidak kelihatan kehilangan semangat.
Dengan terpontang-panting, dengan jungkir-balik untuk menyelamatkan nyawanya, daya serangnya yang kecil-kecilan masih bisa membuat Ngwang menahan nafsu kemenangan.
Untuk pertama kalinya, Halayudha dipaksa berada dalam keadaan mati-hidup yang tak bisa dihindari dengan kelicikan atau keculasan.
Sekarang ini ilmu silatnya benar-benar diuji sepenuhnya.
Ngwang menggertak maju. Sabetan Kangkam Galih kini menerabas, menggunting jalan mundur Halayudha. Kegesitan yang pesat bisa diimbangi dengan ilmu mengentengkan tubuh yang belum ada tandingannya. Satu-satunya halangan bagi Ngwang hanyalah tidak terbiasa memainkan pedang tipis, sehingga mengganggu kelincahan geraknya. Namun kekurangan itu terisi dan terimbangi oleh kesaktian pedangnya.
"Om." Cegatan tusukan lambung langsung menyodet ke atas. Serangan yang mematikan karena Halayudha tak mungkin meloncat mundur atau bergeser ke kanan atau ke kiri. Kalaupun mencoba mengerahkan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kemampuan tenaga air seperti Gendhuk Tri, Ngwang hanya tinggal memutar pergelangan tangannya.
Ujung pedangnya bisa menukik ke bawah.
Halayudha tak akan bisa meloloskan diri!
Kalau sebelumnya Gendhuk Tri mampu menundukkan Ngwang, tidak berarti Gendhuk Tri mampu mengungguli Halayudha. Ilmu silat Gendhuk Tri menjadi unggul karena kekuatan tenaga air memang tak terduga. Dan saat itu Ngwang tidak seperti sekarang ini. Menggenggam erat Kangkam Galih.
Pegangan tangan Gendhuk Tri mengeras di jari-jari Upasara Wulung.
Meskipun dipenuhi dendam pribadi, Gendhuk Tri tak tega melihat keadaan Halayudha.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang memilih meluncur ke bawah.
Ujung Kangkam Galih beralih ke bawah.
Jres! Pedang itu menebas ke dalam tanah. Amblas sampai gagangnya.
Sehingga Ngwang yang melayang di atas tanah tertarik ke bawah.
Tubuhnya terseret kekuatan pedang sakti. Dengan kekuatan menyentak dan di luar dugaannya sendiri.
Perhitungan Ngwang atau siapa pun, tetap tak menyangka bahwa Kangkam Galih benar-benar sakti. Digerakkan dengan tenaga keras atau kuat, kesaktiannya berlipat. Sehingga pengubahan tenaga menusuk menjadi menghunjam, terus menusuk.
Tanah keras terlalu empuk bagi Kangkam Galih.
Akibatnya amblas terus ke dalam. Tubuh Ngwang tersedot ke bawah oleh kekuatan ayunan tikamannya.
Apa pun akibatnya, tubuh Halayudha tak mungkin lolos. Secepat apa pun ia bergerak, hunjaman tetap lebih cepat.
Tak mungkin memiringkan tubuh menghindari serangan. Itu akan mengurangi kecepatannya bergerak. Sebelum bisa miring, Kangkam Galih berhasil memanggangnya.
Begitulah perhitungan yang bisa terjadi.
Nyatanya tidak. Nyatanya tubuh Ngwang yang terjungkal, melayang di angkasa.
Dada Nyai Demang seakan meledak.
Ada yang ingin diteriakkan, tapi mampat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dugaannya yang pertama adalah Pangeran Hiang yang turun tangan.
Karena begitu tubuh Ngwang terjungkal bagai orang yang terpeleset dan tak mampu menguasai keseimbangan, ada bayangan yang begitu dekat berkelebat. Merenggangkan kaki berupa tendangan, dengan gerakan nggajul. Menendang dengan ujung jari kaki ke arah atas. Entah bagian tubuh mana yang terkena gajulan, sehingga arah terjungkalnya Ngwang jadi berubah. Dari terjerembap ke tanah menjadi melayang lagi ke angkasa.
Saat itu memang tubuh Pangeran Hiang berkelebat.
Sebat, bagai kilat. Tak terlalu berlebihan jika Pangeran Hiang dalam saat-saat kritis terobek nuraninya dan turun tangan.
Namun jalan pikiran Nyai Demang mempertanyakan. Untuk apa Pangeran Hiang menendang Ngwang, kalau jelas lawan sudah telanjur dikalahkan" Kalau Pangeran Hiang menahan Ngwang saat menghabisi Upasara Wulung, Gendhuk Tri, atau dirinya, Nyai Demang bisa menerima.
Tapi kalau Halayudha"
Rasanya sulit diterima. Dan lagi, rasanya Halayudha masih berkelebat.
Memang masih. Dengan sangat luar biasa Halayudha menyambar gagang Kangkam Galih, dengan tubuh masih meluncur, menyabetkan Kangkam Galih.
Terdengar suara terengah.
Darah muncrat. Nyai Demang menggigit lidahnya tak terasa. Potongan tangan yang masih berdarah, masih mengeluarkan gerakan, jatuh tepat di depannya.
Tangan Pangeran Hiang. Kutung mulai dari pangkal bahu!
Tangan kanan Pangeran Hiang.
Yang kelima jarinya seperti masih bergerak-gerak terus, sementara bagian pangkalnya menyemburkan darah segar.
Cepat dan tangkas jalan pikiran Nyai Demang, akan tetapi tak bisa mengartikan apa yang baru saja terjadi.
Gendhuk Tri tak bisa mengamati dengan jelas rangkaian kejadian yang seakan lebih cepat dari kilat. Sabetan cahaya kilat masih bisa dilihat pangkalnya, akan tetapi kejadian yang belakangan sulit diikuti
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mata. Yang ia tahu hanya bagian akhirnya. Sehingga harus disusun sendiri.
Yang dilihat Gendhuk Tri ialah bahwa kenyataan Halayudha lolos dari maut. Bahkan lebih dari itu, sewaktu tubuh Ngwang terpeleset, Halayudha bisa menendang keras. Sehingga tubuh tanpa kekuatan itu terpental. Saat itulah Halayudha mencabut Kangkam Galih, menyambar lawan dengan menyabetkan pedang. Saat itu Pangeran Hiang sudah bergerak.
Dan tangannya, tangan kanannya, tertebas.
Bagaimana Halayudha bisa meloloskan diri, masih diperkirakan kemungkinannya. Meskipun bagi Upasara Wulung bisa terbaca. Bahwa pada kejapan terakhir, Halayudha mempergunakan kekuatan sukma sejati, atau tenaga sukma sejati, sukmanya terogoh dengan sendirinya.
Ngrogoh sukma yang sempurna.
Sebagaimana dulu Upasara memainkan, atau lebih tepat mengalami, ketika tubuhnya seolah menjadi dua atau tiga sosok yang berada di tempat yang berbeda.
Kini Halayudha yang mempunyai pencarian yang sama dengan pendalaman yang sama kuatnya, juga terpanggil sukmanya. Tubuhnya pecah menjadi dua. Seakan melintas ke belakang, seakan jatuh ke bawah.
Dalam hal ini Upasara sendiri tidak bisa memastikan di mana tubuh Halayudha berada. Berbeda dari dirinya, saat Ngrogoh Sukma Sejati, tubuh yang sebenarnya seakan terpaku di satu tempat. Meskipun tubuh yang lain berada di tempat yang berbeda, dan menghadapi lawan yang berbeda pula.
Tidak mudah bagi Upasara menangkap gejolak batin Halayudha.
Karena memang titik tolak pendalaman dari sikap yang mendasari berbeda.
Pada diri Halayudha pencapaian sukma sejati sebagai inti kekuatan tidaklah semurni Upasara Wulung. Akan tetapi, dalam hal ini tak bisa dikatakan lebih rendah atau kalah unggul. Kekuatan utama sukma sejati, justru pada kekuatan yang telah dimiliki, sikap mendalam dan mendasar yang ada.
Pada diri Halayudha, kemenangan adalah mutlak, dengan risiko atau cara apa pun. Menyembulnya kemenangan itu dalam batas yang paling akhir, yaitu mempertahankan hidupnya.
Kekuatan sukma sejati memancar. Dan karena Halayudha pada dasarnya tidak bersih, yang mencuat ke luar adalah pencapaian pikirannya, batinnya, sukmanya. Yaitu secara sadar mengecoh lawan, dengan gerakan Krekalasa Warna.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Krekalasa berarti bengkarung atau bunglon, binatang yang mampu menyesuaikan warna kulitnya dengan alam sekitarnya. Maka pecahan tubuh Halayudha pun untuk menjebak serangan lawan. Dalam hal ini, Halayudha bisa menerjang dari bawah, dengan menggunakan kekuatan dan gerakan air, jika tusukan Ngwang tidak diubah.
Bagi Upasara, bisa jadi itu semua menjadi masalah. Akan tetapi tidak bagi Halayudha. Dengan pemahaman yang begitu mendalam dan larut pada berbagai ajaran dan ilmu silat, Halayudha susah dipastikan apakah dirinya penganut ajaran kekuatan bumi, air, atau bahkan dari Tartar dan atau juga dari Jepun. Semua bisa dimainkan tanpa bertentangan, karena pribadi Halayudha yang mendasari tak pernah menyatu. Karena sikap Halayudha sendiri mampu mencampakkan sementara apa yang sedang diyakini.
Dengan gerakan krekalasa, Ngwang terjebak. Celakanya, ia tidak menyadari kekuatan Kangkam Galih yang meskipun tipis tapi sangat berat ketika digerakkan.
Dan hanya Halayudha yang bisa sama ganasnya dengan Ngwang.
Ketika Ngwang kehilangan keseimbangan, Halayudha tidak hanya membiarkan lolos. Tapi juga menendang keras dengan gajulan sepenuh tenaga, karena kini posisi tubuhnya berada di belakang Ngwang.
Bukan berhenti di situ saja.
Melihat lawan sungsang-sumbel, Halayudha mencabut Kangkam Galih dan menebas.
Dan tidak hanya berhenti di situ pula.
Halayudha masih mencecar lawan.
Tubuhnya memutar, dan Kangkam Galih digetarkan. Pindah dari tangan kiri ke tangan kanan. Sekali tubuhnya melayang, sekaligus melancarkan 24 tusukan yang berbeda arahnya.
Pukauan Angin HALAYUDHA tak menyisakan sedikit kemungkinan bagi lawan. Kalau dalam satu sabetan berhasil mengutungkan lengan, Halayudha tak peduli sabetan kedua dan ketiga akan mengutungkan apa dan siapa yang terkena.
Dua puluh empat sabetan yang dilancarkan menunjukkan keganasan itu. Bahwa tenaga dalam Halayudha sepenuhnya dikerahkan dengan geram, dapat dilihat dari caranya memainkan pedang Kangkam Galih yang membabi buta, sehingga bisa dirasakan wibawa maut yang menyebar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ngwang yang sudah telanjang dada, memutar tubuhnya, melesat bagai pijaran kilat, sambil memanggul Pangeran Hiang. Tanpa sungkan atau malu-malu, tubuhnya meninggalkan gelanggang pertarungan begitu saja.
Hanya satu tangannya sempat melepaskan senjata rahasia, bersamaan tangan kiri Pangeran Hiang juga melepaskan pukulan.
Halayudha memperhitungkan bahwa Ngwang bisa melarikan diri. Itu sebabnya ia ingin mengunci dengan berbagai arah kemungkinan, sambil menutup diri, karena sadar bahwa lawan mampu menggunakan senjata rahasia yang serba tak bisa diperhitungkan sebelumnya. Terutama ragamnya yang aneh. Walau akibatnya sama, yaitu menghancurkan lawan dengan tega.
Hal yang tak diperhitungkan Halayudha adalah bahwa ketika ia menerjang tadi, Ngwang memuntahkan sesuatu dari tubuhnya. Bau wangi yang larut dalam angin.
Yang bisa bekerja begitu keras dan sangat cepat!
Semacam aji sirep atau ajian untuk memukau, untuk menghilangkan kesadaran. Halayudha pernah mengetahui keampuhan bubuk pagebluk yang datang dari tanah Syangka. Yang bila ditebarkan akan menguasai kesadaran dan melimbungkan. Tapi yang sekarang ini ternyata jauh lebih hebat.
Karena pukauan itu berkembang bersama angin, sesuai dengan kekuatan utama Ngwang.
Barangkali yang paling mengenali adalah Nyai Demang. Ia pernah merasakan pengaruh yang menindih seketika, sehingga tak sadar siapa yang berbuat padanya. Sedemikian kuatnya, sehingga Upasara Wulung ataupun Jaghana yang waktu itu ada di dekatnya juga tak segera menyadari dari mana datangnya pukauan.
Dan karena kemampuan tenaga dalam Nyai Demang paling lemah, dirinyalah yang lebih dulu terkuasai. Sebelum Ngwang mengempos seluruh kemampuannya. Mengeluarkan sengatan terakhir.
Halayudha tak mampu melancarkan pengejaran, bahkan sebaliknya.
Kesadarannya rontok dengan cepat, pandangannya kabur. Ia masih sempat melihat luncuran senjata rahasia berupa ujung jarum kecil, namun tangannya kaku untuk ditarik.
Jarum berkait, yang baru diketahui kemudian, meluncur deras karena dorongan tenaga dalam Pangeran Hiang.
Baru tahu kemudian, karena sebagian besar jarum berkait itu terangkup pada selendang Gendhuk Tri. Yang tubuhnya melayang sambil melepaskan selendang, bersamaan dengan Upasara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Keduanya masih tetap bergandengan ketika melayang ke bawah.
Halayudha terhuyung-huyung kembali. Dadanya terasa sesak. Hanya karena tenaga dalamnya cukup kuat dan kemauannya sangat keras, tidak membuatnya jatuh terduduk.
Halayudha mengelap wajahnya beberapa kali.
"Kalian jangan menduga aku akan mengucapkan terima kasih, karena sudah diselamatkan dari serangan jarum racun berkait.
"Aku bisa mengatasi sendiri."
Napas Halayudha tersengal-sengal.
"Kalian berdua sungguh hebat.
"Ngwang gendheng tadi juga hebat.
"Tapi aku tetap yang terhebat. Aku yang membuat mereka lari. Tapi itu belum berarti kemenangan. Rasa-rasanya keratonku berada dalam bahaya jika mereka pergi ke sana."
Halayudha terbatuk-batuk.
Dadanya terasa sakit. "Jangan tahan napas di dada...."
"Ingsun lebih tahu. "Lebih tahu apa yang harus dilakukan. Keratonku!"
Halayudha menggerung. Kakinya masih sempoyongan, akan tetapi dipaksakan berjalan. Sambil menyeret Kangkam Galih yang seolah membelah tanah saking tajamnya.
Barulah di tempat yang agak sepi, Halayudha mengerahkan tenaga dalam murni untuk mengusir angin yang melumatkan kesadarannya.
Halayudha sengaja memilih tempat yang sepi untuk keamanan dan untuk menyembunyikan bahwa pengaruh sirep Pendita Ngwang tak bisa dianggap main-main.
Halayudha tak ingin orang lain melihat kelemahannya.
Apalagi orang lain itu Upasara Wulung dan Gendhuk Tri.
Yang kini menjelma bagai pasangan kekuatan yang menyatu. Dua nama yang sepanjang perjalanan hidupnya sebagai tokoh tak terkalahkan menurut ukurannya sendiri, selalu mementokkan keunggulannya.
Upasara Wulung, Halayudha sudah mempunyai perhitungan jauh sebelumnya. Ksatria sakti mandraguna yang satu ini memang susah diri. Pendalamannya tentang Kitab Bumi seakan selalu ditakdirkan selangkah lebih dulu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sampai di tataran Ngrogoh Sukma Sejati pun, Upasara sudah lebih dulu memperlihatkan.
Akan tetapi Gendhuk Tri dipandang lain. Gendhuk Tri bukan hanya mengalami kemajuan yang berarti, akan tetapi bahkan mampu melakukan loncatan besar dalam perkembangan ilmu silat maupun ketenangan tenaga dalamnya.
Bukti nyata tak terbantah siapa pun terlihat jelas ketika Gendhuk Tri berhasil menaklukkan Gemuka tanpa menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga. Itu merupakan kekuatan dalam yang luar biasa.
Bukti lain yang hanya diketahui Halayudha ialah ketika ia mengadu tenaga dalam dengan Gendhuk Tri. Mengejutkan sekali, bahwa Gendhuk Tri bisa menandingi. Hanya karena pengalaman dan pendalamannya yang kurang dibandingkan dirinya, Halayudha bisa meringkus Gendhuk Tri.
Akan tetapi dalam keadaan yang sudah sedemikian payah, Gendhuk Tri masih mempunyai benteng pertahanan yang kuat. Sehingga usaha Halayudha untuk menerobos tergagalkan. Bahkan kemudian akibatnya timbul bercak-bercak hitam yang terlihat di permukaan kulit.
Itu menandakan bahwa tenaga dalam Gendhuk Tri tak bisa dikalahkan, tak bisa diungguli.
Yang bisa hanya dihancurkan.
Halayudha memang tidak memperhatikan risiko penderitaan Gendhuk Tri. Ia memaksakan diri, juga melalui tenaga dalam Mada.
Nyatanya tetap tidak berhasil.
Bahkan Upasara sendiri pun kelihatannya juga tidak berhasil.
Tidak berhasil" Kalau mau jujur dengan diri sendiri, Halayudha tak bisa begitu saja menyimpulkan dengan satu pengertian: bahwa Upasara tidak berhasil.
Meskipun kenyataannya, yang terlihat seperti itu. Bercak itu belum bisa pulih. Masih mengganjal pada Gendhuk Tri.
Toh itu tak mengurangi kekaguman Halayudha kecil-kecilan. Karena Gendhuk Tri hanya terpengaruh pada saat-saat tertentu saja. Kalau bercak itu tidak menghalangi, keadaannya tak berbeda sedikit pun.
Apalagi namanya kalau bukan simpanan tenaga dalam yang dahsyat"
Kembali ke pernyataan semula bahwa Upasara telah gagal, rasanya pernyataan itu bisa berubah menjadi masih gagal. Karena justru di saat-saat terakhir itu, Upasara bisa bergandengan tangan dengan Gendhuk Tri. Artinya benturan tenaga dalamnya dengan tenaga dalam Gendhuk Tri tak lagi mematikan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau benar ini yang terjadi, dalam tahapan berikutnya hanya tinggal menyempurnakan. Kalau itu yang terjadi, Halayudha merasa tingkat kesempurnaan Upasara Wulung, dan bisa juga Gendhuk Tri, sulit ditandingi lagi.
Kaitannya dengan apa yang dikatakan Upasara Wulung sebagai kekuatan tanah air. Yang terpahami sepenuhnya oleh Halayudha akan tetapi tak sepenuhnya mampu mewujudkan.
Yang paling meng-goreh-kan, merisaukan pikirannya, ialah kematian Jaghana. Kematian yang pasrah, yang dilakukan dengan bersemadi, bersila, menyambut tusukan Ngwang.
Bagi Halayudha masih merupakan teka-teki.
Bahwa Jaghana memiliki rasa setia kawan, membela kawan dengan mengorbankan diri, serambut dibagi selaksa pun tak diragukan lagi.
Akan tetapi kalau dinalar secara perlahan, Jaghana tak usah melakukan!
Tidak dengan bersemadi dan menerima tusukan.
Bisa dengan memotong serangan lawan. Atau mendului menyerang.
Apalagi posisi Upasara dan Gendhuk Tri saat itu tidak dalam keadaan sangat terancam. Bahwa mereka berdua bisa celaka sangat mungkin terjadi. Akan tetapi belum tentu harus ditengahi dengan pengorbanan diri.
Rasanya ada wadi, misteri, yang disampaikan Jaghana. Lebih kuat dugaan itu, karena sebelumnya Jaghana, Gendhuk Tri, maupun Upasara Wulung mengidungkan sesuatu yang ada kaitannya dengan tanah air.
Kidungan tanah air. Halayudha tak mampu menerobos masuk, atau memberi makna pilihan kematian Jaghana. Tetapi merasa pasti ada sesuatu yang cukup berarti.
Bisa jadi itu merupakan inti pemecahan kekuatan tanah air.
Tetapi inti yang bagaimana dan apa"
Bukankah kalau dirinya yang lebih dulu bisa menyingkap, tak ada lagi yang mampu menandingi sampai tujuh puluh turunan"
Pedang Kematian Abadi KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
HALAYUDHA masih berada di tempatnya. Jalan pikirannya masih berkutetan mengenai kematian Jaghana. Dicobanya menerobos dengan berbagai kemungkinan lintasan menerawang.
Saat-saat sebelum akhir hayatnya, Jaghana yang hanya mengenal ajaran dari Kitab Bumi, mampu mengungkapkan ajaran Kidungan Pamungkas. Mampu menggelarkan ajaran mahamanusia yang tidak bertentangan dengan takhta. Itu perubahan yang berarti, dan mungkin satu-satunya yang pernah terjadi. Jaghana menjadi Truwilun.
Dalam waktu perubahan yang singkat itu, Jaghana menemukan dan atau dipertemukan dengan murid-murid baru, di antaranya Mada.
Seakan kebetulan yang membalikkan nasib seseorang.
Kebetulan karena ini bertentangan dengan ajaran Perguruan Awan.
Selama ini Perguruan Awan tidak pernah mengangkat murid secara resmi. Kalau ada yang menggabungkan diri, jadilah mereka sebagian dari penghuni Perguruan Awan. Tak pernah ada yang berkelana ke luar dan kemudian mengangkat murid. Tapi, yang tak pernah terbayangkan bisa terjadi, bisa juga menjadi kenyataan. Dan ini mengubah nasib Mada. Dari seorang yang sama sekali tak dikenal, menjadi pusat perhatian. Mada seakan lahir begitu saja dari perut bumi. Didasari ajaran mahamanusia dari Jaghana, kemudian dipimpin langsung oleh Eyang Puspamurti, dan kemudian sekali selalu berlatih bersamanya.
Rasanya tak ada murid baru yang mempunyai guru dan pembimbing yang merupakan tokoh kelas satu seperti Mada.
Mada, bisa jadi juga akan menjadi kunci pemecahan wadi kematian Jaghana. Halayudha bisa mengeduk paksa keterangan yang nanti akan diperdebatkan dengan Mada.
Dari sudut pandang yang lain, bisa pula diperoleh dari Kangkam Galih. Pedang tipis-hitam-panjang, sejak masih dalam sarung galih asam, sudah menjadi senjata yang ganas. Gebukannya membuat tulang kepala jadi adonan lumpur. Ketika lepas dari sarung, Kangkam Galih makin merajalela. Menebarkan maut dengan cara yang mengerikan.
Pasti sekali Jaghana mengenal keampuhan Kangkam Galih. Ketika pedang itu ditudingkan Jaghana justru memilih untuk menghadang.
Kenapa" Kenapa Jaghana masih perkasa dan mencoba mengalahkan Ngwang, sebelum Ngwang merebut Kangkam Galih"
Bukan tidak mungkin pemecahan itu berasal dari pedang sakti pengantar kematian yang abadi. Bukan tidak mungkin, kalau diingat Jaghana sebelumnya bahkan berusaha keras mengungguli Ngwang.
Terutama dengan memindahkan keampuhan ilmu Ngwang. Cara
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
memindahkan yang sempurna, yang jauh lebih cepat dari yang bisa dilakukan Halayudha.
Bisa diartikan, saat itu belum terlintas dalam pikiran Jaghana untuk membiarkan tubuhnya dibelah. Masih penuh dengan dorongan untuk mempertahankan diri. Masih berkobaran semangat hidup, di mana dirinya sudah mencapai tahap pencerahan.
Tahap di mana semua ilmu yang dipelajari sudah menyatu dengan sikap hidupnya, dalam segala tindak-tanduknya. Pemecahan Kidungan Pamungkas, sebagai bentuk yang menyatu dari Kidungan Paminggir dengan Kidungan Para Raja, merupakan penemuan yang paling gemilang.
Jalan pikiran yang dipenuhi dengan pencerahan itu pula yang membuat Jaghana bisa memahami dengan cepat apa yang diperlihatkan Ngwang. Seakan hanya dengan menyalin mampu memindahkan semua simpanan Ngwang.
Itu sudah dibuktikan. Dari kejadian ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya Jaghana tak perlu kalah dari Ngwang. Betapapun Ngwang berhasil menciptakan jurus-jurus yang mengandaskan serangan dari Kitab Bumi, Jaghana masih akan tetap bisa memahami.
Dan menandingi. Atau mengungguli. Halayudha menimang Kangkam Galih.
Berusaha menggerakkan dengan memainkan berbagai jurus. Jurus dari Kitab Bumi, Kitab Air, dari Syangka, Jepun, Hindia. Setiap kali dijajal, bahkan sabetan anginnya mampu meretakkan dahan atau melukai kulit pohon.
Mendadak Halayudha menghentikan permainannya di tengah jalan.
Kangkam Galih diletakkan di sebelahnya, sementara ia bersila kembali.
Duduk tepekur, punggung sedikit melengkung. Kedua tangan terangkum berkaitan di depan, jatuh lepas di tanah. Matanya ditutup.
Serentak dengan itu, kemampuan indrianya ditenggelamkan.
Getaran mulai mendenging lewat telinganya.
Halayudha memasrahkan diri dengan mengeluarkan tenaga sukma sejati.
memanggil tanda nada, sukma dari dalam tubuhnya.
Ngrogoh Sukma Sejati, yang dilakukan dengan cari membisik tanpa suara, memanggil tanda nada, sukma dari dalam tubuhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tubuh yang melengkung itu bergetar. Seluruh ujung jari, kaki, rambut, telinga seperti bergetar. Seperti dilewati ratusan semut secara teratur. Makin lama makin cepat, temponya makin meninggi, seirama dengan tarikan napasnya.
Dap. Halayudha merasa sukmanya melepas dari getaran. Pandangan matanya yang masih tertutup seperti menemukan dirinya sendiri, seperti masih berada di tempat, masih mengenali Kangkam Galih, masih merasakan semilirnya angin.
Hanya saja di depannya berdiri bayangan tubuh Jaghana. Yang tak berubah sedikit pun, kecuali sobekan menganga.
"Maaf, saya terpaksa memanggil Paman Jaghana....
"Paman sudah sampai di akhir perjalanan rupanya."
Bayangan itu tersenyum tipis.
"Saya ingin mengetahui kenapa Paman memilih jalan menerima tusukan Kangkam Galih. Apakah itu merupakan kunci pemecahan persatuan kekuatan tanah air, ataukah pencerahan yang lain?"
Bayangan Jaghana seperti berbicara, seperti tetap tersenyum, akan tetapi Halayudha bisa mendengar jelas.
"Saya tidak memilih jalan kematian atau kehidupan. Semuanya datang sendiri. Apakah itu pencerahan atau pemecahan, adalah jawaban yang sesungguhnya sama dengan apakah saya memilih atau tidak memilih.
"Kekuatan tanah air, bukan sesuatu yang istimewa, karena tak ada yang lebih istimewa dari yang lain."
"Kenapa Kangkam Galih?"
"Kangkam Galih adalah barang, berujud pedang. Barang tak pernah menyatukan atau memisahkan, karena tidak memiliki sukma. Pedang diisi, bisa menjadi hidup. Tetapi tetap barang yang mati."
"Apakah dengan itu berarti harus ditolak?"
Bayangan Jaghana makin mengabur.
"Maaf, Paman, apakah yang hidup itu?"
"Manusia, dan itulah adanya mahamanusia.
"Manusia, hanya manusia yang mampu mengubah diri menjelma menjadi mahamanusia. Binatang tak bisa mencapai menjadi maha binatang sampai selamanya.
"Manusia berasal dari manusia.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yang mengasalkan manusia, manusia juga, dan akan membuahkan manusia. Itulah yang disebutkan dalam Tembang Tanah air, yang melintas dan dikidungkan sesaat sebelum Kangkam Galih menusuk.
"Kangkam Galih tak akan melahirkan Kangkam Galih lain yang menjelmakan Kangkam Galih berikutnya.
"Sukma sejati tidak berada pada barang mati."
Suara yang terdengar dalam telinga batin Halayudha makin melemah.
Kemampuan Halayudha dipusatkan, akan tetapi bayangan Jaghana mengabur dan lenyap.
Tinggal tubuhnya yang masih bergetar.
Dan mulai menerima sekitarnya. Getaran Kangkam Galih yang diletakkan di sisinya, letak pohon dan dedaunan, serta bau tanah.
Sesuatu yang juga dirasakan ketika merogoh sukma, akan tetapi terasakan ada bedanya.
Yang sekarang terasakan sangat wadak.
Halayudha mengatur napasnya. Setelah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, Halayudha bangkit. Diambilnya Kangkam Galih dan diamati dengan cermat.
Sangat cermat. Mencoba menerobos di balik guratan besi atau campuran dari besi, yang bukan tidak mungkin menyimpan kekuatan tertentu. Yang bukan tidak mungkin dari guratan itu tercermin kidungan, atau cara-cara melatihnya.
Seperti yang dilihat dulu, Kangkam Galih tetap berwarna hitam kelam, tipis panjang, tak menyimpan sesuatu yang lain.
Halayudha menjinjing. Ringan langkahnya, perlahan ayunannya.
Seperti juga pikirannya yang disusun satu demi satu. Terutama mengenai Tembang Tanah air, seperti yang baru saja diuraikan bayangan Jaghana. Terutama tentang manusia yang bisa menjelma sebagai mahamanusia.
Didengar selintas seperti tak ada yang berbeda dari pengertian yang selama ini dimengerti semua orang. Namun pastilah mengandung sesuatu yang mempunyai makna yang dalam, karena menjadi pembicaraan terakhir sukma Jaghana.
Halayudha melangkah perlahan menuju Keraton.
Meskipun masih berpikir keras mengenai kematian Jaghana, Halayudha merasa masih berurusan dengan Ngwang maupun Pangeran Hiang. Itu sebabnya masih mencekal Kangkam Galih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan Kangkam Galih, yang meskipun disebut sebagai barang mati, Halayudha lebih percaya menghadapi Ngwang maupun Pangeran Hiang.
Yang pasti akan menyatroni Keraton.
Kalau kedua tokoh itu menyerang dengan sisa kekuatan terakhir, Senopati Kuti dan para dharmaputra yang lain tak akan mampu menahan.
Pun andai Mada ikut bergabung.
Persiapan Enam Penjuru MADA memilih caranya sendiri. Sejak membawa Raja meninggalkan Keraton, seakan sayapnya tumbuh, cakarnya keluar. Tanggung jawab yang diemban, membongkar kemampuannya yang selama ini terpendam. Sebagai prajurit kawal Raja, Mada memperlihatkan kemampuan yang lebih dari itu.
Warisan ajaran mengenai tata keprajuritan dari Eyang Puspamurti yang pernah menjadi senopati, yang puluhan tahun terakhir hidupnya hanya memperdalam mengenai hal itu, mampu diserap Mada. Dan dipergunakan.
Gemblengan yang diperoleh Mada tidak melalui tahapan demi tahapan, melainkan seakan disuntak seluruhnya. Sehingga boleh dikatakan cara menyerapnya pun secara menyeluruh.
Ada untung dan ada ruginya.
Untung, karena dengan demikian Mada bisa memperoleh pengajaran banyak dalam waktu yang singkat. Seorang prajurit biasa memerlukan pengajaran lama sebelum memperoleh apa yang diperoleh Mada.
Sementara Mada, dengan posisinya sebagai prajurit kawal Raja, telah terlibat dalam percaturan tingkat tinggi.
Rugi, karena dengan demikian cara berpikir dan bertindak Mada kadang menyimpang dari tata krama yang ada. Dorongan untuk cepat melaksanakan keputusan dan bertindak langsung kadang tidak dimengerti orang-orang di dekatnya.
Seperti tindakan Mada untuk menuju Perguruan Awan. Untuk menemui Jaghana dan meminta restu. Walau akhirnya Mada kembali di tengah perjalanan setelah menemukan darah yang berceceran, potongan tangan.
Mada hanya mengucapkan doa, dan kemudian kembali ke markas persembunyiannya di Badander. Ketika Raja mendesak dengan pertanyaan kapan menyerbu Keraton, Mada menghaturkan bahwa saatnya akan tiba.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalimat Mada yang sederhana, pendek, terasa menyinggung tata krama keprajuritan yang paling dasar. Walau dalam pengasingan, Raja yang tergantung keamanannya pada Mada, tetap tak bisa menerima sikap semacam itu.
Padahal, Mada tak mempunyai pikiran lain, selain mengabdi, dan mempersembahkan yang terbaik.
"Apakah Ingsun juga tak boleh mengetahui rencanamu, Mada?"
"Hamba hanya akan melaksanakan dawuh..."
"Lalu apa yang kamu tunggu lagi?"
Mada mengibaskan tangannya, menyuruh para prajurit yang lainnya menyingkir. Setelah yakin tak ada yang mendengarkan, barulah Mada mengutarakan rencananya.
"Benar semua yang disabdakan Ingkang Sinuwun.
"Bahwa Pangeran Muda Wengker serta Pangeran Anom Kertawardhana telah menyatakan kesetiaan. Akan tetapi sesungguhnya selama ini, sebagaimana Raja sesembahan yang mulia tahu, pangeran anom bawahan Keraton Majapahit ada enam.
"Empat yang lainnya adalah Pangeran Anom Pajang, Pangeran Anom Lasem, Pangeran Anom Mataun, serta Pangeran Anom Wirabumi.
Kesemuanya mempunyai prajurit-prajurit, mempunyai garis komando yang berdiri sendiri-sendiri.
"Meskipun kekuatannya tidak sehebat Keraton Tua, keempat pangeran anom ini bisa menjadi kekuatan yang merepotkan bila tidak berada dalam satu komando."
"Dengan kata lain, sebelum keenamnya mengakui Ingsun, kamu masih akan menunggu"
"Sampai kapan, Mada?"
Mada menyembah. "Sampai kapan, Mada"
"Sampai Ingsun dilupakan?"
"Mohon beribu ampun, Raja Sesembahan yang Mulia, Hamba merasa perlu meyakinkan diri hamba bahwa enam penjuru memiliki irama yang sama, impian yang sama. Waktu selalu dibutuhkan, akan tetapi kita tak bisa nggege mangsa, mempercepat musim.
"Musim mangga berbuah, tak bisa dipercepat kalau mengharapkan mangga yang lezat sebagaimana diciptakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau dari enam pangeran anom ada yang tidak seirama, besar sekali kemungkinannya Senopati Kuti akan berlindung ke sana. Dan hamba akan mengalami kesulitan selama mereka belum bisa terbasmi.
"Sebab perimbangannya akan berbalik.
"Hamba bersama prajurit berada di tempat terang, sementara mereka berada di tempat yang gelap. Seperti keadaan kita sekarang. Kita lebih leluasa bergerak.
"Mohon beribu ampun.
"Hamba hanya mengutarakan apa yang ada dalam benak hamba, yang belum teruji kebenarannya. Mohon Raja Sesembahan mempertimbangkan.
"Apa pun sabda Raja, hamba akan segera menjalankan.
"Kalau Raja bertitah menyerbu sekarang, sebelum keringat kering hamba sudah akan berada di barisan depan menyerbu Keraton. Kalau hamba rewel dan kurang tata krama, karena hamba ingin memastikan bahwa tak ada lagi kraman, tak ada pemberontakan. Ini yang terakhir.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Demikianlah pendapat hamba."
"Apakah para dharmaputra sangat kuat?"
"Sangat kuat, kalau mereka bersatu.
"Sekarang ini sekurangnya Senopati Tanca secara resmi mengatakan tidak berada dalam satu barisan. Sejauh hamba tahu, Senopati Banyak diliputi keraguan.
"Dengan dua senopati tidak menyatu, hamba lebih berani menerjang habis hingga tandas."
"Gagasanmu tidak seburuk caramu bicara." "Mohon beribu ampun.
"Hamba tak pernah belajar tata krama, hamba lebih mengenal lumpur dibandingkan batu bata...."
'Tadinya Ingsun mengira kamu sengaja menunda-nunda, agar Ingsun mensabdakan ada pangkat tinggi jika kamu memenangkan perebutan kembali Keraton.
"Kalaupun begitu, kamu hanya bisa mencapai jika serangan balik ini berhasil."
Mada menyembah. "Kalau benar nantinya Ingsun kembali ke Keraton, akan ada perubahan besar. Selama ini yang menjabat mahapatih tak sepenuhnya bisa menjalankan kewajiban dan wewenangnya.
"Mengherankan sekali Jabung Krewes. Ia sama sekali tidak memperlihatkan apa pangkat dan derajatnya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Begitulah, Raja Sesembahan yang Mulia.
"Mahapatih Jabung Krewes, ibarat kata adalah suh, simpai, pengikat utama. Sehingga jika suh tidak kuat, tak ada sapu, yang ada adalah kumpulan lidi.
"Sapu tanpa suh, bukanlah sapu. Tidak bisa digunakan untuk menyapu, malah mengotori. Selain itu juga lebih mudah dipatahkan."
"Ingsun lebih tahu mengenai hal itu.
"Kamu kadang bicara lancang."
Mada menyembah hingga rata dengan tanah.
"Tetapi kali ini kuampuni, Mada.
"Aku menyadari sekali, ketika harus menempuh perjalanan malam tanpa wanita tanpa pelayan yang memijati dan mengelap keringat atau menyisir rambutku. Aku menyadari bahwa itu semua ternyata bisa terjadi.
"Wolak-waliking zaman, zaman bisa berbolak-balik. Yang di atas menjadi di bawah. Seorang Raja Tanah Jawa seperti aku, bisa dipaksa berkeringat dan lapar serta haus.
"Aku belajar banyak, Mada.
"Dan aku tak akan mengulangi apa yang terjadi padaku saat ini. Aku membutuhkan kamu, saat ini.
"Segera setelah semua rencana kamu selesai, Ingsun yang akan memutuskan...."
Sampai di sini, nada Ingsun mulai meninggi, membuat dada Raja membusung terangkat.
"Selama ini kukira telah dilakukan Jabung Krewes dengan baik.
Nyatanya semua omong kosong. Selama ini aku telah berbuat baik, mengampuni Tujuh Senopati Utama, tetapi mereka ternyata berbuat sangat kurang ajar.
"Ingsun tak akan pernah membiarkan mereka hidup."
"Demikian sabda Raja Sesembahan.
"Itu yang akan terjadi. Dengan mengandalkan waktu. Ada yang bisa dibasmi seketika, ada yang dibiarkan selama tidak merupakan ancaman.
"Menumpas habis seluruhnya sampai tandas hanya akan membuat lebih banyak dendam permusuhan di belakang hari. Sementara dengan membiarkan beberapa di antaranya, citra keadilan dan kemurahan yang muncul. Yang pada dasarnya untuk menyempurnakan kemenangan."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sejak kapan kamu membaca Kitab Perang?"
"Mohon beribu ampun.
"Hamba hanya mampu mengingat serba sedikit apa yang diajarkan Eyang Puspamurti."
"Memenangkan perang adalah menundukkan strategi lawan.
Mematikan sebelum lawan bisa menggunakan.
"Mada, asal kamu ingat baik-baik.
"Ingsun tak bisa menunggu lebih lama lagi. Badanku, kulitku, rambutku, rasanya sudah menjadi kental. Tak banyak beda dengan kamu sekalian.
"Ingat itu, Mada."
Mada menyembah hingga rata dengan tanah.
"Ingsun tak mau tahu apa yang kamu lakukan dengan enam pangeran anom atau dengan siapa pun, dengan cara apa pun.
"Ingsun menghendaki segera kembali ke Keraton.
"Bisa kamu lakukan, Mada?"
Mada menyembah hormat lagi.
"Buktikan, Mada."
Mada masih menunduk hingga rata dengan tanah, di mana kaki Raja berdiri.
Serangan Seribu Lintah PATIH TILAM, yang paling tua dan berpengaruh, datang ke Desa Badander bersama Patih Wangkong secara hampir bersamaan.
Keduanya menemui Mada untuk sowan kepada Raja.
"Saya yang akan menyampaikan apa yang Paman Patih ingin sampaikan."
"Apakah itu berarti kamu menghalangi kami?" Suara Patih Tilam terdengar dingin nadanya.
"Bisa diartikan demikian.
"Saya tidak menghendaki dalam saat yang gawat seperti ini, Raja Sesembahan memperoleh keterangan yang bertentangan. Tak cukup waktu untuk merenungkan, sehingga kita semua terkena akibatnya bila Raja sudah bersabda."
Patih Wangkong mendesis. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku sudah menyiapkan seluruh prajurit. Mau tunggu apa lagi?"
"Maaf, Paman Patih Arya Wangkong.
"Saya yang menjadi pemimpin senopati sekarang ini. Dalam peperangan, hanya ada satu kepala. Kereta tak bisa berjalan sempurna bila ada dua atau tiga sais."
"Aku muak dengan omonganmu.
"Kita jadi berperang atau tidak?"
Mada ganti mendesis. "Kalaupun semua prajurit mundur, saya tetap akan maju sendirian."
"Apa yang kamu andalkan, sehingga berani membuka mulut lebar?"
Suara Patih Tilam tetap dingin, menyudutkan.
"Saya hanya mengandalkan kekuatan penduduk.
"Prajurit kita banyak jumlahnya, terlatih, mempunyai kesetiaan tinggi.
Akan tetapi tidak disiapkan untuk mengadakan penyerangan bersama.
Kalah menyatu dengan prajurit Keraton atau juga prajurit pilihan Tujuh Senopati Utama.
"Peperangan besar hanya akan membuat kita malu karena tak bisa saiyeg saeka kapti, tak bisa kompak."
"Aku sudah melihat kemungkinan itu, Mada.
"Sebaiknya kita memakai siasat perang Brajasutiknalungid. Dengan prajurit inti yang kuat dan mampu menggempur atau mundur, kita bisa segera menguasai Keraton."
Patih Tilam mengatakan dengan suara perlahan, seolah tidak ingin didengar sempurna oleh Mada. Dalam hatinya ingin menjajal sejauh mana Mada mengetahui mengenai siasat perang. Dengan mengatakan secara samar dan cepat, kata-kata braja, sutikna, lungid disatukan.
Artinya kata itu adalah panah yang tajam. Dalam siasat perang, mengandalkan satu pasukan tempur pilihan yang akan menggempur maju. Merupakan ujung panah yang menyusup maju mendahului. Dan karena jumlahnya tidak begitu banyak, bisa segera ditarik mundur, apabila situasi tidak memungkinkan untuk menang.
Siasat perang ini pernah dipergunakan Ugrawe ketika menggempur Keraton Singasari. Dibarengi dengan barisan Supit Urang, atau barisan yang membentuk lingkaran, dengan kekuatan utama di sapit kanan maupun kiri. Dua kekuatan ini merupakan inti penyerbuan dan bisa bergerak leluasa untuk memindahkan medan pertempuran.
Nyatanya berhasil menggempur dan menaklukkan para prajurit sekitar Keraton, sementara barisan Panah Runcing menyusup masuk ke
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Keraton. Dan berhasil sempurna, karena Sri Baginda Raja Kertanegara maupun Mpu Raganata, mahapatih utama, berhasil ditewaskan.
Mada menggeleng mantap. "Brajasutiknalungid sebagai siasat perang waktu itu sangat memungkinkan, karena ada para ksatria pilihan yang digabungkan.
Terutama sekali juga karena Sri Baginda Raja tidak menduga ada manusia berhati culas seperti halnya Raja Muda Gelang-Gelang.
"Saya tidak mengatakan siasat perang itu tidak baik. Justru sebaliknya, tokoh yang bernama Ugrawe sangat linuwih, sangat pinunjul, lebih hebat dari siapa pun, karena mampu mempergunakan kekuatan yang tak terduga oleh lawan.
"Namun saya sendiri menilai siasat perang itu sebagai serangan licik, tanpa mengurangi kehebatan strategi perang yang dilancarkan secara tepat."
"Aku tidak mengerti, karena kamu susah payah mengumpulkan kami yang begitu luas berpengalaman dalam perang, kemudian mengubah menjadi serangan yang mengandalkan kekuatan penduduk"
"Bisa apa mereka"
"Kalau memang penduduk bisa berperang, tak ada lagi gunanya prajurit atau senopati atau patih seperti aku."
"Paman Patih Wangkong.
"Sekarang perkenankan saya mengatakan rencana penyerangan, dan kemungkinan peperangan.
"Mengetahui kekuatan lawan dan mengakui kelemahan sendiri, adalah langkah pertama.
"Saat ini, kekuatan Tujuh Senopati Utama adalah karena keunggulan dan kesatuan kepemimpinan. Telah dibuktikan bahwa Keraton bisa dikuasai mutlak kurang dari setengah malam.
"Saat ini, kelemahan kita justru pada jumlah prajurit yang kurang memadai, dengan keterampilan di bawah prajurit Tujuh Senopati Utama. Peperangan yang akan terjadi lebih banyak membuktikan perkiraan saya.
"Kita akui, prajurit Keraton selalu lebih unggul dari prajurit kanoman, prajurit yang dipimpin para pangeran anom.
"Saya lebih mengandalkan serangan dengan siasat Wredu-Angga Sasra, yang bergerak menyeluruh serta bersamaan."
Patih Tilam mengelus bibir atas, tepat di bawah hidung. Sebagai orang yang dituakan, sebagai patih sekaligus penasihat rohani Pangeran Anom Wengker, pandangannya sangat luas. Sesaat melihat Mada, sudah
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
terasakan kelebihan prajurit yang satu ini. Seakan memancarkan kekuatan yang sangat mendesak, menyeruak, dan siap meledak.
Sekarang terbukti. Dengan mengajukan gagasan siasat Wredu-Angga Sasra, Mada membalik siasat yang selama ini dipakai dalam peperangan.
Wredu berarti ulat, wredu-angga berarti lintah, sedangkan sasra berarti seribu. Gerakan Wredu-Angga Sasra selama ini selalu diterapkan dalam membentuk barisan atau baris-berbaris. Gerakan tangan dan kaki yang bersamaan, diatur sedemikian rupa sehingga mirip gerakan seribu lintah bersamaan.
Tak pernah terpikirkan bahwa gerak baris-berbaris ini menjadi siasat perang.
"Saya mengetahui bahwa gagasan saya sangat tidak masuk akal.
Paman Patih yang jauh lebih berpengalaman.
"Namun ada alasan kenapa sebaiknya kita memakai siasat Seribu Lintah.
"Pertama, karena penduduk sekitar sudah terkumpul di alun-alun.
Jumlah mereka sangat banyak. Kalau ada satu atau dua atau tiga yang menggerakkan maju secara bersamaan, akan merupakan kekuatan yang tak terbendung.
"Satu-dua prajurit dengan gampang bisa membunuh, akan tetapi itu hanya akan memancing peperangan besar. Kalau kita mempunyai pemimpin yang kuat untuk meneriakkan maju ke depan. Dalam kebersamaan yang menyatu, prajurit Keraton akan bimbang.
Membunuhi penduduk gampang, akan tetapi mereka akan berpikir bahwa sungguh tidak layak prajurit membunuhi penduduk biasa.
Dalam kebimbangan itulah barisan kita merangsek maju bagai gerakan seribu lintah.
"Dalam hal ini yang kita perlukan hanyalah para pemimpin yang namur laku, yang menyamar di antara para penduduk yang pepe, berjemur.
"Merekalah yang mengarahkan serangan dan maju dengan aba-aba.
"Alasan kedua, yang bagi saya sangat penting, adalah bahwa serangan ini serentak, menyeluruh, melibatkan semua penduduk dan prajurit.
Yang mempunyai makna besar, bahwa mereka semua mendukung dan mengakui takhta Raja. Keunggulan ini sangat berarti, karena menggambarkan bahwa peperangan yang terjadi bukan hanya antara prajurit Tujuh Senopati Utama dan prajurit Raja, melainkan prajurit Tujuh Senopati Utama melawan seluruh penduduk dan prajurit.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pemusatan kekuatan ini menjadi sangat penting, ketika kita semua melakukan kewajiban dan menangkap Tujuh Senopati Utama. Dan alam pikiran kita semua akan terbebas dari rasa bersalah kalau kita menganggap bahwa mereka adalah kraman, yang memusuhi penduduk."
Patih Tilam kembali mengangguk dalam hati.
Gerakan baris Wredu-Angga Sasra, atau Seribu Lintah, dalam hal ini memang bisa menjadi bagian serangan. Serangan yang menyeluruh.
Kalau benar ini berhasil, Patih Tilam makin percaya bahwa Mada memiliki sinar yang berbeda dengan kebanyakan senopati.
Tapi Patih Tilam tak berubah wajahnya.
Nada suaranya tetap dingin.
"Kamu akan mengorbankan penduduk biasa yang tak bersenjata" Di mana sifat prajurit yang seharusnya justru mengayomi?"
"Saya tidak mengorbankan penduduk biasa."
"Apakah..." "Mereka itu ada yang menjadi korban,
"Tetapi saya tidak mengorbankan."
"Tahukah kamu, Mada, bahwa kata-katamu itu terlalu tajam dan kamu menjadi terlalu pintar untuk mengubah kebenaran?"
"Saya tidak paham kata-kata Paman Patih yang bijak.
"Saya hanya menjalankan tugas dan wewenang yang ada di pundak saya sekarang ini."
"Kamu yang bertanggung jawab kalau ada yang menjadi korban?"
"Saya tak akan lari dari tanggung jawab.
"Saya akan menerima semua tuntutan dan menanggung semua kesalahan ini. Kecuali kalau Paman Patih mengemukakan gagasan yang lain, yang bisa meyakinkan untuk merebut kemenangan."
"Apakah kamu yakin?"
"Besok, saat matahari menyatu dengan bumi, saat bayangan tubuh terinjak sepenuhnya, keyakinan saya akan menjadi kenyataan."
Pemberontakan Pamungkas TEPAT ketika matahari bersinar di atas ubun-ubun, ketika bayangan lurus dengan tubuh, penduduk yang melakukan pepe, berjemur, bergerak serentak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Patih Wangkong yang tak sabaran langsung berada di depan. Lautan manusia bagai gelombang pasang yang menggetarkan isi Keraton.
Melewati alun-alun, bagian depan sudah di depan gerbang, sebagian masih di sitihinggil, sementara bagian belakang masih tertinggal di jalan masuk.
Senopati Jurang Grawah tidak memperhitungkan bahwa masyarakat yang dihadapi bisa menjadi kekuatan yang membuat bulu kuduknya bangkit. Betapa tidak, jika mereka hanya bisa mendesak maju, merangsek maju, menggertak maju. Tombak tak bisa menghalangi.
Bahkan satu-dua korban yang jatuh membuat kemarahan menjadi berlipat.
Hanya dalam waktu singkat, Keraton telah dipenuhi lautan manusia yang terus mendesak maju. Manusia tanpa senjata.
Senopati Kuti dan Senopati Pangsa belum sempat mengatur siasat dan menerapkan perintah, ketika Patih Wangkong sudah menggempur.
"Atas nama Raja Majapahit yang mulia.
"Para pemberontak yang hina harap meletakkan senjata!"
Diiringi bunyi genderang, bende, dan teriakan serta naiknya umbul-umbul dari berbagai penjuru, Mada memimpin di barisan tengah, mengawal joli indah.
Senopati Kuti mempersiapkan serangan bertahan yang terakhir. Akan tetapi perintahnya tak ada yang dipenuhi prajuritnya. Meskipun sigap dan cekatan, rasanya mereka masih ragu menghunjamkan senjata kepada penduduk yang tidak bersenjata. Sehingga terus terdesak mundur.
Senopati Kuti mencabut kedua kerisnya. Berusaha memotong arus maju yang makin merapat, ketika Patih Arya Wangkong menerjang ganas. Permainan silatnya yang lugas, serba tergesa, memang bukan tandingan Senopati Kuti. Akan tetapi gerebekan yang mengimpit rapat menyebabkan Senopati Kuti tak bisa berbuat banyak.
Apalagi Senopati Pangsa memilih mundur ke arah kaputren, yang segera disambut Patih Tilam. Pertarungan tak seimbang terjadi.
Tak seimbang karena Patih Tilam menyiapkan jebakan dengan jitu, sementara Senopati Pangsa dalam keadaan kacau-balau. Seakan patah semangat sebelum terjadi pertarungan yang sesungguhnya. Hanya dalam lima jurus, Senopati Pangsa berhasil ditundukkan dengan tusukan ujung tombak.
Robohnya Senopati Pangsa dibarengi dengan teriakan dahsyat.
Teriakan bergemuruh sebagai tanda kemenangan. Senopati Wedeng bahkan tertusuk senjatanya sendiri. Senopati Yuyu seakan melakukan serangan nglalu atau serangan bunuh diri. Sendirian Senopati Yuyu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menyerang ke arah joli utama. Sambutan serangan dari berbagai jurusan menyudahi gerakannya, jauh sebelum bisa menyentuh joli.
Mada meloncat maju setelah menyembah ke arah joli.
Tubuhnya yang gempal, dadanya yang bidang, serta rambutnya yang berombak terlihat jelas di antara para prajurit yang menyamar maupun penduduk biasa.
Langsung menyerbu ke dalam.
Senopati Jurang Grawah berusaha menahannya. Akan tetapi hanya dengan tangan kosong Mada menyambut. Tusukan kedua, ketiga dihindari dengan menggeser kakinya. Tusukan keempat dibiarkan begitu saja, sementara pukulannya datang membarengi.
Yang diincar adalah bagian pangkal leher.
Jurang Grawah tak menduga Mada senekat itu. Kedua tangannya ditarik mundur.
Itulah kekeliruannya. Setidaknya kalau tidak ditarik atau malah diteruskan, Mada akan mengubah serangannya kalau tak ingin pundaknya putus. Karena berada dalam keraguan menarik kekuatan itulah Mada membenamkan kedua tangannya ke leher.
Dengan satu pengerahan tenaga keras, terdengar bunyi keretekan keras, seolah tulang belakang Jurang Grawah hancur. Tubuhnya bagai batang pisang ketika terbanting rata ke tanah.
"Kuti, akulah lawanmu."
Besar semangat Mada. Lebih besar lagi keberanian memanggil nama Kuti begitu saja. Seakan nama besar Senopati Utama tak ada harganya.
Patih Wangkong yang belum bisa menundukkan, merasa sedikit terjegal. Karena Mada langsung mengambil alih pertarungan.
"Jaga mulutmu..."
Kalimat Senopati Kuti belum selesai, ketika gulatan Mada mencengkeram. Mada benar-benar tidak memedulikan. Dadanya terkena pukulan, akan tetapi pinggang lawan berhasil dicekal, diangkat untuk dibanting. Bersamaan dengan itu tubuh Mada melayang dengan kedua kaki terentang.
Menendang jauh tubuh Senopati Kuti.
Patih Wangkong tak pernah membayangkan, bahwa di balik tubuh yang gemuk itu tersimpan kekuatan dan kegesitan. Senopati Kuti yang begitu perkasa bisa ditendang dan dibanting dalam satu rangkulan.
Bahkan masih juga disertai tendangan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu ternyata belum semuanya. Ketika terkena tendangan tubuh Senopati Kuti terpental makin jauh. Akan tetapi Mada bergerak lebih cepat lagi. Mendahului ke tempat jatuhnya tubuh, dan sambil membalik tubuh, Mada melancarkan serangan tendangan. Sekali lagi tubuh Senopati Kuti terlempar.
Dengan mengerahkan kekuatan terakhir, Senopati Kuti membidikkan kedua kerisnya secara bersamaan. Mada membalikkan tubuhnya, berputar tiga kali di tengah udara, sebelum turun menyambar.
Lagi-lagi dengan tenaga penuh, Mada menubruk maju. Langsung memeluk tubuh Senopati Kuti rapat. Dan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Terdengar bunyi krak yang agak keras.
Mada mengempos lagi tenaga dalamnya dan menarik kuat sekali lagi.
Bunyi berikutnya merupakan sisa-sisa tulang dan atau kekuatan yang ada. Tubuh Senopati Kuti terkulai, sebelum untuk kesekian kalinya diempaskan Mada dengan bantingan berkekuatan penuh. Senopati Utama yang perkasa itu betul-betul dihajar habis. Tubuhnya terjajar di dinding Keraton, sebelum akhirnya nglumpruk, tanpa tenaga.
Jatuh merapat ke dinding.
"Yang menyerah mendapat pengampunan, yang menyerang mendapat kemenangan."
Agak susah mengartikan apa yang diucapkan Mada. Karena dalam kalimat itu separuh pertama berlaku untuk lawan, separuh sisanya untuk prajurit.
Bagi lawan yang menyerah akan mendapat pengampunan, sementara prajuritnya yang menyerang akan mendapat penghargaan.
Tapi memang saat itu bukan saat yang longgar untuk menafsirkan kata-kata. Teriakan yang tanpa makna sekalipun bisa mempunyai arti menggugah dan mengobarkan peperangan.
Senopati Banyak yang meletakkan senjata segera diringkus. Tubuh Senopati Kuti diangkat tinggi-tinggi oleh Mada, diputar di atas kepalanya.
"Ayo, majulah semua jika ingin mati lebih ngenas."
Sebelum bayangan tubuh di alun-alun membentuk sempurna, para pemberontak sudah berhasil ditundukkan. Mada segera memerintahkan agar Raja dibawa ke dalam.
Ia sendiri kemudian berbalik ke arah pintu gerbang.
"Pertarungan melawan kejahatan telah selesai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ini pemberontakan pamungkas, yang terakhir di Keraton. Barang siapa mencoba tidak setia, akan diselesaikan sekarang juga.
"Tak ada pengampunan.
"Tak ada bibit di kelak kemudian hari."
Gagah, penuh wibawa, agak sedikit jemawa, kalimat Mada benar-benar menggetarkan.
Menggetarkan hati Patih Tilam yang sejak pertama mengakui bahwa Mada adalah prajurit pilihan. Apa yang dulu pernah membuat Mahapatih Jabung Krewes terheran-heran, terulang kembali. Hanya bedanya Patih Tilam merasa ancaman besar bagi dirinya. Yang entah kenapa telah terbayang dalam benaknya.
Mada bergerak sangat cepat. Dan terus bergerak. Sebelum matahari tenggelam di bagian barat, semua prajurit bawahan dharmaputra telah dilucuti dan ditawan, dan dihitung jumlahnya. Para penduduk diminta kembali ke tempat semula, karena keadaan telah tenang kembali.
Barang siapa yang membangkang atau sengaja mencari keuntungan dalam keributan, digolongkan sebagai pemberontak.
Dan sewaktu obor dinyalakan, Mada mengatakan bahwa prajurit dan pemimpin dari enam kanoman, yang dipimpin para pangeran anom, diminta agar segera kembali ke daerahnya masing-masing.
"Ya, malam ini juga.
"Termasuk Paman Patih Tilam dan Paman Patih Wangkong. Tugas telah selesai, dan selanjutnya menunggu dawuh Raja yang berikutnya."
Mada seakan tidak memedulikan perasaan yang melintas di wajah Patih Tilam dan Patih Wangkong.
Malah mengesampingkan dengan bertanya.
"Apakah kurang jelas, Paman Patih?"
"Apa lagi yang kamu rencanakan, Mada?"
"Akan segera saya sampaikan kepada Raja.
"Karena saya prajurit Raja."
Patih Tilam mengangguk. "Saya tak tahu, apakah wangsit yang saya terima tidak mungkin keliru. Akan tetapi kamu melakukan kesalahan yang besar, Mada.
"Dan kamu tak punya waktu untuk menyesali.
"Kamu akan mengingat apa yang kukatakan ini."
Niatan Ungkal Bener KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
MADA memandang tanpa berkedip. Sikapnya tak berubah.
"Paman Patih, saya bisa menganggap ramalan perhitungan Paman terlalu dilebih-lebihkan. Tetapi saya tidak ingin mengatakan itu.
"Semua kesalahan akan saya tanggung sendiri.
"Saya hanya menjalankan tugas dan wewenang saya sebagai prajurit.
Bahwa sesungguhnya untuk membasmi pemberontakan sampai tandas dan tak boleh bersemi lagi, adalah dengan memisahkan siapa lawan dan siapa kawan. Karena Keraton merupakan pusat segalanya, saya memulai dari Keraton.
"Saya sadar sepenuhnya bahwa tindakan saya sangat kurang ajar.
Pangeran Muda Wengker bakal murka. Juga Pangeran Angon Kertawardhana. Juga keempat pangeran anom dan para patih lainnya.
Saya yang mengundang dengan sangat hormat, tapi seakan sekarang ini bernada mengusir.
"Saya akan menanggung semua ini."
"Tajam lidahmu, Mada.
"Apakah kamu mengharapkan dengan tersingkirnya kami semua, Raja akan mengangkatmu sebagai mahapatih?"
"Mahapatih Jabung Krewes masih sepenuhnya menjabat dan Raja belum mencari penggantinya."
"Jadi apa yang kamu cari?"
"Menjalankan tugas dan wewenang sebagai prajurit."
Patih Tilam mengangguk. "Baik. "Sebagai sesama prajurit yang menjalankan tugas, saya menolak.
Saya hanya menerima perintah dari atasan saya."
Mada mengangguk. "Saya akan menemui para pangeran anom. Semuanya. Keenam-enamnya."
Mada tak perlu melakukan sendiri. Karena yang kemudian terjadi adalah Raja menyatakan sendiri, bahwa Keraton sudah sepenuhnya dikuasai. Raja tak memerlukan lagi penjagaan. Pada hari tertentu, bulan tertentu yang akan ditetapkan kemudian, Raja akan mengadakan pertemuan besar.
Yang lebih mencengangkan lagi ialah kenyataan bahwa Jabung Krewes masih tetap kembali ke kedudukannya semula sebagai mahapatih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak banyak yang menduga kejadian seperti itu.
Raja Jayanegara menyabdakan dengan suara yang mantap. Seakan kini sepenuhnya seluruh kekuasaan kembali utuh di tangannya. Tak ada yang perlu dikuatirkan lagi.
Tidak juga ketika secara resmi memberi pengampunan kepada Senopati Banyak, satu di antara enam senopati utama yang ikut menguasai Keraton.
Mahapatih Jabung Krewes maupun Senopati Utama Banyak tak menduga akan perubahan nasibnya, ketika Raja memanggilnya.
Mahapatih Jabung Krewes bahkan menghadap dengan rambut terurai dan mengenakan kain putih, sebagai pertanda menyerah tanpa akan membantah semua dosa dan kesalahan.
"Ingsun yang mengangkatmu, Jabung Krewes. Dan hanya Ingsun yang bisa mencabut derajat dan pangkatmu.
"Mulai hari ini, kamu menjalankan tugas sebagaimana biasa."
Jabung Krewes gemetar, menyembah ke kaki Raja.
"Kamu tidak becus. "Itu dulu. "Sekarang masih ada sisa waktu untuk membuktikan bahwa kamu masih mempunyai sisa umur untuk mengabdi kepada Ingsun."
"Sembah sujud ke kaki Raja...."
"Manusia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Kecuali Ingsun, yang tak bisa berbuat keliru."
Jabung Krewes tidak menyadari sama sekali bahwa di balik pengampunan yang maha asih, tersimpan sesuatu yang sengaja tidak diungkapkan. Raja menyadari bahwa pada lapisan para senopati, kini terjadi kekosongan utama. Dengan tumbangnya para senopati utama, dengan lepasnya Halayudha, tak ada lagi yang bisa diandalkan. Para pangeran anom, dengan para pengikutnya, masih menyisakan tanda tanya. Kesetiaan mereka selama ini adalah kesetiaan untuk tidak memihak kepada pemberontak.
Dengan memaksakan kekosongan kepada senopati yang lain, akan sulit dikendalikan. Dengan beban dosa sebesar gunung, Jabung Krewes sekarang ini akan melata di bawah telapak kakinya.
Demikian pula halnya dengan Senopati Banyak. Sekurangnya dengan memberikan ampunan, sisa-sisa prajurit yang setia kepada Senopati Utama akan terpecah keinginannya membalas dendam. Di samping bisa dikuras seluruh keterangan di balik semua yang belum muncul ke permukaan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mada memang termasuk yang sangat diperhatikan. Prajurit kawal yang satu ini memang sangat istimewa. Kemampuannya bertindak dalam situasi yang kritis sangat menentukan. Keunggulan ilmu silatnya juga bisa diandalkan.
Hanya saja tradisi yang mengalir dalam darahnya bukanlah tradisi prajurit. Bukan anak-turun prajurit. Ditambah lagi masih terlalu muda dari segi pengalaman, sehingga tindakannya sangat gegabah.
Sekurangnya masih bertindak tanpa mengikuti garis kuasa yang menyangkut tata krama keprajuritan. Itu yang tak bisa diterima. Karena sebagai prajurit, seharusnya hanya menjalankan perintah tanpa pertimbangan lain.
Sementara Mada beberapa kali menunjukkan bahwa suara hatinya merupakan getar pertama pilihan tindakannya. Lebih memiliki sifat ksatria daripada prajurit. Lebih memakai pendekatan ungkal bener dibandingkan kesetiaan pengabdian yang membuta.
Ungkal bener adalah sifat-sifat yang lebih banyak dimiliki dan diperlihatkan secara menonjol oleh para ksatria maupun pendeta. Selalu ungkal-mengasah-kebenaran.
Titik-tolak langkah dan tindakannya seolah memihak kepada kebenaran, tanpa peduli tata cara dan tata krama keprajuritan. Ini bisa menimbulkan gangguan di belakang hari, jika jiwanya tidak bisa menerima secara utuh tata nilai Keraton. Yang kadang bisa bertentangan dengan jiwa ksatria atau pendeta.
Raja Jayanegara mengetahui cara terbaik untuk mengatasi masalah ini.
Dengan memanggilnya. "Kamu tahu kenapa hari ini Ingsun timbali?"
Mada menyembah dengan hormat.
"Mada, jasamu besar bagi Keraton.
"Ingsun ingin memberikan bebana, hadiah yang menyenangkan hidupmu. Kamu mempelajari tata krama keprajuritan, memperdalam ilmumu.
"Tak perlu menunggu waktu terlalu lama.
"Berangkatlah segera ke Daha. Di sana ada Patih Tilam yang sakti, yang bisa mengajarmu."
Mada menyembah hormat. "Sendika dawuh Dalem, siap melaksanakan perintah Raja."
"Satu hal lagi, Mada.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ingsun merasa ada yang mengganjal hatimu. Atas perkenanku, katakan apa yang ingin kamu sampaikan."
"Hamba segera menjalankan perintah Raja."
"Tak mau kaukatakan?"
"Sesungguhnya memang tak ada, Raja Sesembahan.
"Hanya hal kecil, sedemikian kecilnya sehingga sebenarnya hamba hanya memperbesar."
"Apa itu?" "Rasa-rasanya selain Paman Upasara Wulung, masih ada Pangeran Tartar yang bisa mengganggu ketenteraman Keraton untuk waktu yang lama."
"Kamu kira kamu bisa mengatasi kalau kamu di sini?"
Mada menyembah. "Mereka pernah datang dengan prajurit lengkap, dengan senopati pilihan. Tapi tak pernah bisa mengalahkan. Mereka datang lagi dan berusaha datang menculik Baginda, tetapi bisa disapu bersih. Apalagi hanya sisa-sisanya.
Mada kembali menyembah. "Berangkatlah, Mada."
Raja meninggalkan Mada yang masih menyembah.
Mada masih tepekur agak lama, sebelum akhirnya menyembah hormat kepada Mahapatih Jabung Krewes dan mundur. Tidak perlu kembali ke rumah kediamannya yang memang tidak ada. Tak perlu berpamitan, karena memang tak ada yang dipamiti.
Mada langsung berangkat menuju tempat tugasnya yang baru.
Mengabdi kepada Patih Tilam. Memang dalam sudut hatinya tumbuh pertanyaan. Kenapa harus mengabdi kepada Patih Tilam, kalau patih Daha itu sangat tidak menyukai sikapnya.
Akan tetapi Mada menganggapnya sebagai perintah, dan ia menjalankan. Apa yang segera teringat adalah bayangan Eyang Puspamurti, yang selama ini menggembleng secara ketat mengenai pengabdian.
Semua kalimat yang pernah diucapkan Eyang Puspamurti terngiang kembali. Ini yang memperkuat niatnya, tanpa merasa sedikit pun bahwa dirinya kini disingkirkan. Bahwa dirinya dimasukkan ke situasi yang paling tidak enak.
Pendekar Latah 2 Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan Hoa San Lun Kiam Karya Chin Yung Badai Awan Angin 2
^