Senopati Pamungkas Dua 7
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 7
"Aku mendengar semua itu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bukankah secara gamblang telah diperkirakan bahwa seorang Jayakatwang bisa mengangkat senjata kepada Baginda Raja. Apa pun kebaikan yang telah ditanam sejak Jayakatwang belum lahir."
"Oho, jadi itu yang kamu maksudkan telah mengatakan segalanya"
"Truwilun, apakah kamu lupa kisah mengenai Kidung Paminggir Bahwa kitab itu ditulis Eyang Sepuh dari Perguruan Awan, yang juga melahirkan Kitab Bumi! Bahwa Baginda Raja sedemikian murkanya, sehingga sejak saat itu Baginda Raja tak sudi melihat bayangannya sekalipun"
"Apakah kamu tak pernah mendengar, Truwilun?"
"Sejauh yang hamba dengar, begitulah permulaannya.
"Baginda Raja sedemikian murka, seperti siapa saja yang mendengarkan.
Karena dari kitab itu, kidungan yang ada bisa diartikan jauh melenceng dari kehendak para Dewa. Bahwa orang-orang paminggir, orang-orang yang tidak diperhitungkan, orang-orang kesrakat, selama ia masih manusia, bisa naik ke jenjang yang tinggi.
"Bahwa bukan hanya keturunan raja yang bisa memegang takhta.
Bahwa orang-orang pinggiran, suatu ketika akan memegang kekuasaan, baik secara resmi ataupun tidak."
"Tunggu," Baginda memotong dengan cepat. "Apakah itu yang mau kamu katakan dari sorot sinar matamu tadi" Apakah itu ada kaitannya dengan penerus setelah putraku Jayanegara memegang takhta untuk waktu yang tidak lama"
"Itukah yang ingin kamu katakan?"
"Hamba tak akan mengatakan apa yang samar dan tak terlihat. Kalau betul hamba bisa mengetahui, hamba tak akan berani berdusta."
"Truwilun, rasa-rasanya kamu mengetahui apa yang telah terjadi di Keraton Singasari. Sejauh ini keterangan yang ada agak simpang-siur.
Apa yang sesungguhnya terjadi sehingga Baginda Raja tak mau menerima dan merestui Kidung Paminggir?"
"Kidungan itu diciptakan oleh Eyang Sepuh, karena perkenan dan permintaan Baginda Raja. Akan tetapi ketika kitab itu dijabarkan dan diuraikan, Baginda Raja merasa bahwa Eyang Sepuh menyiapkan kraman, pemberontakan besar-besaran seluruh rakyat. Bahwa mereka mempunyai hak yang sama untuk berada di kursi kekuasaan, di dampar kencana.
"Ajaran yang sangat kurang ajar.
"Meniadakan tata krama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Menjungkir-balikkan sejarah. Mengubah kemauan para Dewa."
"Dan kemudian Baginda Raja merasa bahwa itu yang akan terjadi?"
"Baginda Raja menegaskan, bahwa keleluasaan manusia tak pernah jelas batasnya. Bahwa kesempurnaan manusia akan dicapai saat menjadi maha-manusia."
"Truwilun, jelaskan padaku, kenapa Baginda Raja melihat kemungkinan menjadi mahamanusia pada diri manusia?"
"Hamba baru saja mengatakan, bahwa Baginda Raja membuat batas tanpa tepi. Usaha yang dilakukan Baginda Raja tak pernah setengah-setengah. Itu sebabnya seluruh senopati yang ada dikirimkan ke tanah seberang. Itu sebabnya Ksatria Pingitan didirikan. Itu sebabnya semua penduduk diajari ilmu silat yang bersumber dari Kitab Bumi secara besar-besaran.
"Hamba hanya bisa menangkap seujung rambut dari gagasan Baginda Raja yang maha luas, yang melihat sesuatu tanpa batas-batas yang ada.
Demikian juga halnya dalam melihat manusia."
"Apakah ada pengaruhnya, dalam dunia persilatan dan keprajuritan?"
"Masih harus dibuktikan, Baginda.
"Sewaktu Kitab Bumi diresmikan sebagai ajaran resmi ilmu kanuragan, terjadilah perubahan besar-besaran yang luar biasa. Semua penduduk, semua lelaki, tanpa kecuali, bisa bermain silat. Setiap saat ada prajurit yang berada di tengah sawah, di tengah laut, di pasar.
"Rencana berikutnya untuk meresmikan Kitab Air, agak sayang, tak bisa dilaksanakan karena sejarah berjalan berbeda dari yang diperkirakan Baginda Raja.
"Apalagi dengan Kidung Paminggir.
"Adakah gemanya?"
"Kitab Bumi, Baginda bisa menemukan secara langsung. Sejak menghadapi prajurit dari Gelang-Gelang, hingga penggiringan pasukan Tartar yang kesohor, sampai sekarang ini.
"Pengaruh Kitab Air, sekarang mulai terasakan dengan munculnya Pendeta Manmathaba, Pangeran Anom, Gendhuk Tri, yang dalam beberapa waktu dekat ini akan meramaikan percaturan dunia persilatan.
"Kitab Paminggir... tak ada yang mampu meramaikan apa yang sesungguhnya bakal terjadi dengan gelombang perubahan dalam jagat ini. Sebab semua dibuka kemungkinannya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Berbeda dari Kitab Bumi dan Kitab Air, Kitab Paminggir dalam kidungannya sama sekali tidak menyinggung cara berlatih ilmu silat atau mengatur pernapasan."
"Justru karena itu agak mengerikan, Baginda. Dengan niat, niyatingsun menjadi mahamanusia, dengan bekal Kitab Bumi atau Kitab Air, segala apa bisa terjadi. Segala jalan bisa ditempuh dan diadakan.
"Tak ada lagi yang bisa dibedakan, mana jalan ksatria yang sesungguhnya dan mana jalan yang menjadikan pembenaran semata."
"Apakah aku masih akan mengalaminya?"
"Baginda sudah mengalami, sekarang ini...."
Baginda memejamkan matanya. Menghela napas berat.
Tubuhnya seperti menggigil.
Bersamaan dengan masuknya Pendeta Manmathaba yang menyembah hormat, bersila, dan menunduk dengan dalam.
Sanggar Pamujan di Simping
BAGINDA mengelus dagunya sambil mengembuskan napas kesal.
"Ada kabar apa, Manmathaba?"
"Duh, Baginda, semata-mata hanya karena menjalankan tugas dari Raja, sehingga hamba memberanikan diri menyeruak kemari. Segala dosa dan kehinaan sepenuhnya hamba tanggung.
"Berat menjadi senopati yang ngemban dawuh, menjalankan perintah Raja."
"Apa yang menjadi dawuh pada malam begini?"
"Raja telah membangun sanggar pamujan di wilayah Keraton yang paling tenteram, paling indah, di wilayah Simping. Sanggar pamujan yang lama telah diperbaharui, telah dijadikan lebih indah dari semua sanggar pamujan yang ada dalam wilayah kekuasaan Keraton.
"Bila Baginda berkenan..."
"Cukup!" Baginda berdiri dengan gagah.
"Raja yang memberi titah itu anakku. Yang kujadikan raja karena kehendakku."
"Hamba hanya..."
"Tidak bisakah menunggu...
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dewa Jagat Binatara, atas nama para Dewa yang kuasa, sedemikian inikah balas budi yang dilakukan putraku" Memberitahu ayahnya di tengah malam, agar segera berangkat ke Simping, agar tak berdiam lagi di Keraton"
"Mimpi pun tak pernah seperti ini."
Lalu dalam tarikan napas yang berikutnya, menatap ke arah Truwilun.
"Semua yang kamu katakan benar, Truwilun.
"Aku sudah mengalami masa itu. Sekarang ini. Mengulang apa yang dialami Baginda Raja. Hanya kali ini oleh putraku sendiri...."
Pendeta Manmathaba menyembah hormat.
"Tidak ada maksud buruk Raja.
"Baginda bisa memilih di mana saja...."
"Tanggalkan topengmu, Manmathaba.
"Aku mempunyai pengalaman lebih luas dari wilayah yang pernah kamu jelajahi. Apa pun kalimat yang dipakai, aku tak baik tinggal di Keraton.
"Karena kamu diminta menyampaikan malam ini juga.
"Luar biasa." Tangan Baginda mengibas. Pendeta Manmathaba masih menyembah.
"Apakah gerakan tanganku bahkan tak punya arti untuk memerintahkan kamu minggat dari hadapanku, Manmathaba?"
"Secepatnya, Baginda.
"Hanya saja Raja memerintahkan Truwilun menghadap...."
Alis Baginda berkerut. "Tahukah kamu bahwa Truwilun tak akan meninggalkan tempat ini?"
"Hamba diperintahkan untuk menghadapkan. Sebisa mungkin hamba menjalankan tugas."
Mendadak Baginda menepukkan kedua tangannya keras sekali.
Tawanya menggelegar. Sehingga Gendhuk Tri merinding.
"Ini hebat, kelewat-lewat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku tak mau mencampuri urusan siapa saja. Hanya ingin mendengar dari mulut Truwilun. Apakah kamu akan sowan kepada rajamu ataukah kamu menunggu di sini?"
Truwilun menyembah. "Kalau batu tak bisa mendekat, manusia yang mendekati batu. Kalau gunung tak bisa mendatangi, manusia yang mendatangi."
Baginda mengangguk. "Aku terluka, Truwilun.
"Sakit dadaku. "Tapi aku ingin menitipkan putra. Barangkali kamu masih bisa berbuat sesuatu...."
Baginda menunduk, menepuk pundak Truwilun, mendekap. Sesaat.
Kemudian bergegas pergi, diiringkan prajurit yang mengawal.
Truwilun dan Manmathaba masih terus menyembah, sampai bau harum tubuh Baginda tak berbekas lagi.
"Kita berangkat sekarang, Senopati Manmathaba?"
Pendeta Manmathaba menyunggingkan senyumnya.
"Tadinya aku mengira kamu ini peramal sakti mandraguna, yang ilmunya linuwih, bisa melihat ke masa depan. Tak tahunya melihat apa yang terjadi sekarang saja tak mampu.
"Ilmu anak-anak yang kamu pamerkan tak ada gunanya bagiku.
"Bagaimana mungkin Raja tergugah memanggilmu" Apakah Halayudha itu yang ingin memancing di kericuhan"
"Truwilun, benarkah kamu bisa meramal" Benarkah kamu mempunyai ilmu nujum yang mengagumkan"
"Kenapa kamu tak bisa melihat siapa diriku yang sebenarnya" Kenapa kamu menyebutku Senopati Manmathaba?"
"Maaf, Senopati Manmathaba, rasanya Senopati tidak berharap disebut sebagai Pendeta, karena terlibat langsung dengan cara mengatur pemerintahan.
"Saya tak bisa menyebut sebagai Mahapatih, karena nyatanya masih ada Mahapatih Nambi, yang walaupun tidak berada di Keraton, masih memegang pangkat tersebut. Dan Raja belum berniat mengangkat dua mahapatih."
"Raja dan Permaisuri telah mengatakan dan menjanjikan pangkat itu
" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau demikian halnya, kenapa Senopati Manmathaba kuatir dengan kebodohan saya?"
Manmathaba berdiri. Tangannya menepiskan pakaian yang dikenakan.
"Apa pun atau siapa pun, tak bisa bermain-main denganku. Tidak juga kamu atau Halayudha. Setiap saat aku bisa melumatkan tubuhmu.
"Truwilun, bersiaplah.
"Para pengawal akan menyertaimu."
Truwilun menunduk hormat. Menghela napas. Lalu berjalan ke arah halaman. Menemui Cantrik yang masih mengikuti.
Para prajurit Keraton bersenjata lengkap mengawal dari segala penjuru.
"Saya berangkat dulu, Cantrik...."
"Sumangga..." Sampai di sini Gendhuk Tri tak melihat apa-apa. Karena bayangan Truwilun makin menjauh dan hilang dalam kegelapan.
Janaka Rajendra menghapus keringat di dahinya.
"Pangeran Anom..."
"Apa, Adik Tri?"
"Rasa-rasanya akan banyak terjadi perubahan dalam Keraton. Untuk sementara pasti akan merepotkan Pangeran. Karena itu, bagaimana kalau kita berpisah di sini saja" Saya akan meneruskan perjalanan seorang diri, dan Pangeran tak perlu menerjang bahaya...."
"Adik Tri, kalau Adik tidak menghendaki saya temani, Adik bisa mengatakan langsung. Saya akan pergi dengan sendirinya. Tapi kalau memakai alasan yang lain, saya tak akan menerima. Tak ada sanggar pamujan di Simping bagi saya...."
Gendhuk Tri menggeleng cepat.
"Bukan begitu masalahnya."
"Kalau begitu, biar saja saya menemani Adik."
Kali ini Gendhuk Tri yang menyeka keningnya.
"Baiklah, baiklah. "Kita berdua tak perlu mempertengkarkan masalah ini. Hanya kelihatannya Keraton akan membara kembali...."
Yang namanya Keraton selalu membara, Adik. Saya hidup dan dibesarkan di Keraton.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ya, ya, Pangeran benar.
"Akan tetapi sekali ini..."
"Selalu begitu...."
"Ya sudah, selalu begitu!
"Yang sekarang ini, raja sekarang ini, ternyata mulai mengasingkan Baginda. Dalam pengaruh Manmathaba yang sakti dan jahat, seluruh Keraton bisa porak-poranda. Agaknya yang bernama Halayudha juga masih berperan.
"Saya mempunyai dugaan kuat, bahwa Halayudha yang langsung melaporkan kepada Raja, bahwa Baginda datang ke Kiai Truwilun Dan mengusulkan sesuatu, agar Raja berada di tanah yang lapang, tak ada batu sandungan.
"Melihat ketelengasan hati Raja dan cara memutuskan perkara begitu cepat, bukan tidak mungkin sekarang ini semua telah terbasmi.
"Semua siapa saja"
Hampir saja Gendhuk Tri menyebutkan nama Upasara. Nama itu sudah bergantung di ujung lidahnya, akan tetapi ditelan kembali.
"Raja benar-benar sendirian. .
"Senopati Agung Brahma dikirim ke seberang. Kemudian Baginda ditempatkan di sanggar pamujan, di Simping. Mahapatih Nambi diistirahatkan.
"Tak ada lagi yang tersisa."
"Kalau semua yang menghalangi dihabisi, atau yang dianggap melawan dihabisi seketika, wah, akan banyak korban. Termasuk Upasara Wulung yang masih menjadi tawanan."
"Kenapa Pangeran lebih memperhatikan Kakang Upasara"
"Tak ada yang tidak saya kagumi dalam diri Upasara Wulung. Ksatria yang begitu luhur budinya, tetapi begitu buruk nasibnya.
"Mudah-mudahan jasadnya dimakamkan dengan baik."
"Ngawur!" Kali ini Gendhuk Tri berteriak keras, hingga seluruh isi rumah terkejut.
"Siapa yang bilang Kakang Upasara sudah meninggal"
Tata Tentrem JANAKA RAJENDRA terkejut melihat reaksi Gendhuk Tri. Lebih terkejut lagi karena serentak dengan itu puluhan prajurit menyerbu masuk.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ruangan bagian dalam yang tadinya lengang, sepi, kini dipenuhi para prajurit yang berdiri dengan senjata terhunus. Gendhuk Tri dan Janaka Rajendra yang berada di balik ruang utama melihat bayangan Cantrik menyelinap masuk.
Wajahnya tampak kuyu, sedih, prihatin, menggeleng lembut.
"Barang siapa menyebut-nyebut nama Upasara Wulung, harap segera keluar," terdengar perintah dari salah seorang pemimpin prajurit.
Gendhuk Tri ragu antara menampakkan diri atau bersembunyi.
"Kalian tak bisa menyembunyikan diri terus-menerus. Kalau tikus tak mau keluar, rumahnya yang dibakar."
Ini yang tersirat dari wajah Cantrik.
Bahwa kesulitan yang utama, rumah yang didiami ini bisa diobrak-abrik atau bahkan dibakar. Dengan demikian akan terjadi keonaran, dan masyarakat yang sedianya datang berobat kepada Kiai Truwilun jadi tidak mempunyai tempat lagi.
"Maaf...," kata Gendhuk Tri lirih.
Sekali menekuk lututnya, tubuhnya melayang dari bagian belakang.
Sehingga memancing para prajurit agar ke bagian lain rumah.
Namun ternyata di sana sudah ada pasukan yang menunggu.
"Mau lari ke mana, tikus kecil?"
Rasa dongkol Gendhuk Tri meninggi sampai sebatas leher.
"Aku di sini. Marilah mendekat, biar kalian mengetahui siapa aku.
Jangan main sesongaran, membusungkan dada seperti anak kecil.
Kalian boleh menjajal menangkapku, setelah kalian mengatakan apa salahku."
"Sungguh tak kukira, anak gadis kemarin sore berani bermulut lebar.
Masih berani bertanya apa salahnya"
"Sungguh berlebihan.
"Ketahuilah bahwa kami semua ini para prajurit penjaga keamanan, menjaga tata tentrem, agar semua berjalan tertib dan damai. Kami berhak menahan dan mengetahui serta menanyakan hal-hal yang dianggap bisa mengganggu tata tentrem.
"Karena kamu meneriakkan nama Upasara, lebih baik kita bicara di tempatku bekerja."
Diam-diam Gendhuk Tri merasa heran.
Rasanya belum sepekan lalu ia malang-melintang di Keraton. Rasanya saat itu seluruh prajurit Keraton melihat ke arahnya. Meskipun
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sekarang penampilannya sedikit berbeda, akan tetapi bukan berarti tak bisa dikenali dengan gampang.
Namun nyatanya para prajurit yang mengepungnya ini sama sekali tak mengenali. Berarti mereka adalah para prajurit yang baru.
Yang agaknya dibentuk secara mendadak untuk menjadi prajurit yang menjaga tata tentrem, agar masyarakat menjadi tertib dan damai.
Dilihat dari sisi ini benar dugaannya semula. Bahwa selalu banyak perubahan mendadak yang dilancarkan dari Keraton.
Bahkan membicarakan Upasara saja dinilai mengganggu tata tentrem sehingga harus berurusan dengan pihak prajurit Keraton.
"Memangnya apa salahnya menanyakan Kakang Upasara?"
"Tak perlu berpura-pura. Larangan pertama yang dikeluarkan adalah dilarang keras membicarakan siapa atau apa yang melakukan kraman di hari penobatan.
"Kalau mau sok gagah, akui kesalahanmu."
Gendhuk Tri merasa sebal. Tangannya bergerak cepat. Memutar ke depan, sementara kakinya juga membuat gerakan memutar. Tubuhnya bergerak, dan seirama dengan itu, dua prajurit yang berada di depan terdorong dalam putaran. Hanya dengan sekali menyentak dan menarik tenaganya, dua prajurit itu bertubrukan. Jatuh berimpitan dan berteriak.
"Tidak berhenti di situ saja, Gendhuk Tri menerjang maju. Setiap gerakan, baik dengan siku, tinju, tendangan, sabetan, membuat para prajurit yang bersiaga gagah jadi tunggang-langgang. Buyar tak tentu tempatnya berdiri.
"Apalagi ketika Janaka Rajendra ikut bergabung.
"Belum tiga jurus dimainkan bersama, para prajurit yang mengepung terpontang-panting. Sebagian besar malah tergeletak di tanah sambil memegangi bagian tubuhnya yang benjol atau kesakitan.
"Adik, jangan kita buat onar di sini. Pasti sebentar lagi akan datang bantuan."
"Sayang juga. Ini permainan menarik. Tetapi daripada Cantrik tertimpa bencana, kita lebih baik pergi."
Gendhuk Tri menotol dan tubuhnya melayang ke angkasa dengan indah. Janaka Rajendra melakukan gerakan yang sama. Sehingga keduanya bagai pasangan penari yang sedang memamerkan kebolehannya. Apalagi ketika keduanya turun bersamaan, menotol tanah, dan kemudian dengan gerakan yang sama melayang kembali.
Bagai sepasang kupu-kupu yang menari.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya karena Gendhuk Tri tak ingin melibatkan Truwilun dan Cantrik serta penduduk yang berobat, ia segera melarikan diri ke arah yang lebih jauh lagi.
"Pangeran, berapa lama sebenarnya kita berjalan?"
"Kenapa, Adik?"
"Bukan kenapa-kenapa. Rasanya belum ada sepasar kita berada di Keraton kini keadaannya jauh berubah. Para prajurit yang siap mengamankan tata tentrem berkeliaran di sembarang tempat. Memata-matai setiap sudut, menangkap semua pembicaraan."
"Mereka menjadi sangat hati-hati."
Hal ini terbukti pada keesokan harinya. Ketika keduanya melintas di depan pasar yang biasanya ramai di pagi hari. Tempat yang menguntungkan karena di pinggiran jalan menuju ke arah Keraton.
Beberapa waktu yang lalu, Gendhuk Tri selalu menemukan tempat yang menyenangkan untuk mengisi perut.
Sekali ini sangat sepi. Masih ada satu atau dua warung yang berjualan. Akan tetapi selebihnya tutup, dan lebih banyak prajurit yang membawa tombak dan pedang, berjalan kian-kemari mengawasi keadaan secara mencolok.
"Saat pasukan Tartar menyerbu Keraton, tak dijaga seperti sekarang ini."
"Sssttt, jangan bicara keras-keras, Adik."
"Ini benar-benar keterlaluan. Kalau menjaga tata tenteram dengan berlebihan, pasar pun menjadi sepi."
Tetapi Gendhuk Tri menyadari bahwa cara pengamanan yang sekarang ini sangat membatasi gerak-geriknya. Jangan kata mendekat ke arah Keraton, di jalan pun diawasi dengan ketat. Lebih membuatnya kecut, karena hampir semua yang ditemui tak mau menjawab apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan beberapa orang segera memalingkan mukanya dan pergi meninggalkan begitu saja.
Kesadaran lain yang menyelinap dalam benaknya ialah bahwa rumah yang dipakai Truwilun bisa ditutup. Kalau dilihat sebagai sumber keonaran, Cantrik akan menemui kesulitan besar. Juga masyarakat yang datang ke tempat itu.
Gendhuk Tri sedikit menyesali apa yang diperbuat.
"Kita masih bisa berbuat sesuatu, kalau mau...."
"Apa?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Misalnya kita memberi laporan kepada pengawal Keraton, bahwa Cantrik dan Truwilun tak pernah berbuat jahat atau merencanakan gangguan...."
"Siapa yang bisa menjamin"
"Pangeran Anom" Dengan menyebut nama itu saja pasti sudah mengundang bahaya."
"Repot juga. "Bagaimana sebaiknya, Adik?"
Pembicaraan mereka juga tidak bisa berjalan lancar. Karena sesekali harus berdiam, sewaktu ada iringan prajurit yang berbaris bersama.
"Saya tak tahu. Kalau mau tahu apa yang terjadi di dalam Keraton, hanya dengan satu jalan. Mendaftarkan diri menjadi prajurit."
"Mana mungkin" Saya akan segera dikenali."
"Masa Pangeran tak mempunyai kenalan sedikit pun" Dulu kan berdiam di Keraton."
"Semua yang dekat hubungannya dengan saya ikut pindah."
"Pasti bukan semuanya. Masih ada yang tersisa."
Janaka Rajendra membenarkan gagasan Gendhuk Tri. Keduanya menyusup ke arah salah seorang kerabat Keraton. Dengan mengendap-endap, Janaka Rajendra bisa menemui, dan setelah meyakinkan bahwa dirinya sekadar mampir untuk pergi lagi, bisa memperoleh keterangan.
Yang intinya seperti yang telah diduga Gendhuk Tri.
Sejak penobatan Raja Jayanegara, wilayah sekitar Keraton dijaga oleh prajurit khusus. Tugas utamanya ialah menjaga agar tata tenteram bisa terlaksana. Siapa saja yang dicurigai berbuat onar, bisa ditangkap.
Siapa saja dapat dikenai tuduhan seperti itu. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, beberapa orang lebih suka meninggalkan wilayah dekat Keraton secara diam-diam.
Karena yang terjadi semacam balas dendam. Para prajurit baru bisa menangkap siapa saja, dengan alasan mengganggu ketenteraman.
Situasi sangat buruk karena para pedagang dan para saudagar tak bisa bergerak. Bahkan di pelabuhan tak ada kegiatan sama sekali. Kegiatan seolah berhenti.
Hanya mereka yang sakit, sudah tua, dan tak bisa menjadi prajurit yang berani bertahan.
Janaka Rajendra menitikkan air matanya.
Di Langit, Mega Pun Tak Bersisa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
GENDHUK TRI tak menduga keprihatinan Pangeran Anom sedalam itu. Selama ini dianggapnya hanya sekadar basa-basi kalau membicarakan Keraton atau rakyat kecil. Kalau ada sedikit perhatian, itu juga sebatas para pengikutnya.
Akan tetapi ternyata Pangeran Anom mempunyai perhatian yang mendarah daging. Tetesan air mata duka memperlihatkan hubungan batin selama ini.
"Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, entah apa jadinya nanti.
"Adik Tri, saya akan sowan ke Raja."
"Mana mungkin...."
"Saya sangat mengenal Raja. Kami dilahirkan dengan usia yang tak jauh berbeda. Kami dibesarkan dalam tradisi yang sama. Kami masih dipertalikan oleh darah yang berdekatan.
"Rasanya segarang apa pun, Raja masih akan mendengarkan apa yang saya katakan. Seperempat bagian saja didengarkan, akan memperbaiki keadaan."
"Apa yang Pangeran rencanakan?"
"Menyampaikan bahwa keadaan ini sangat gawat. Kalau sampai pasar dan pelabuhan tak ada kegiatan, berarti habislah semuanya. Kalau sampai penduduk merasa tak tenteram berdiam di rumahnya sendiri, itu pertanda keruntuhan kepercayaan."
"Lalu?" "Saya tahu Adik akan menertawakan saya. Akan tetapi inilah kewajiban saya menyampaikan hal yang sebenarnya."
"Itu baik, Pangeran.
"Akan tetapi Pangeran justru akan menemui bahaya. Senopati Agung Brahma akan diungkit-ungkit, demikian juga Ibu. Semua jadi berantakan."
"Barangkali akan begitu. Namun saya tak bisa berdiam diri. Demi kebesaran Keraton, demi kebenaran..."
"Kalau Pangeran memang mantap, silakan."
Janaka Rajendra mengangguk.
"Selama ini saya ingin menemani Adik. Tetapi ternyata saya tak bisa memenuhi janji. Segera setelah semua urusan ini selesai, saya tetap akan mencari Adik."
Gendhuk Tri seperti tertusuk sentuhan halus di relung hatinya.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama ini mereka selalu berduaan. Selama ini Gendhuk Tri menduga bahwa Pangeran Anom mati-matian ingin berdekatan dengannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sehingga melupakan segala urusan. Termasuk kembali ke tanah seberang.
Ternyata itu belum semuanya.
Ternyata di balik itu, masih ada nada ksatria yang tetap bisa berbicara.
Kalau selama ini Gendhuk Tri ingin melepaskan diri dari Pangeran Anom sekarang justru merasa berat. Akan tetapi, sebaliknya dari menahan, Gendhuk Tri malah mengangguk.
"Selama ini semua kebaikan Pangeran..."
"Saya tak ingin mendengar ucapan terima kasih dari Adik. Kita bukan orang lain yang perlu mengutarakan itu."
"Baik kalau tak perlu ucapan seperti itu.
"Pangeran... saya minta Pangeran berhati-hati."
"Demikian juga Adik.
"Kalau sempat bertemu Kakang Singanada, sampaikan permintaan maaf saya. Dan salam saya, serta rasa iri saya akan kebahagiaannya."
Gendhuk Tri menjilat bibirnya.
"Juga kepada Upasara Wulung, ksatria yang saya kagumi.
"Kalau saya mau bicara jujur, saya rela kalau Adik hidup berdampingan dengan Upasara. Maaf, saya tak berhak berbicara seperti ini.
"Barangkali karena akan berpisah sebentar lagi, saya bicara secara ngawur. Tapi ini semua perasaan saya, yang menjadi lebih lega kalau saya katakan. Adik Tri mau mengerti?"
Tak ada cara lain selain mengangguk.
"Saya tak tahu nasib apa yang akan terjadi pada diri saya. Keraton telah berubah menjadi kuburan raksasa. Siapa yang masuk ke dalamnya tak bisa keluar lagi.
"Barangkali hal yang sama akan terjadi pada diri saya.
"Kalau semua itu terjadi, Adik Tri... biarlah saya alami sendiri. Saya sempat mempunyai kenangan kehidupan yang paling indah.
"Sewaktu bersama Adik."
Wajah Gendhuk Tri berganti antara merah malu dan dingin kuatir.
"Kalau saya selamat, orang yang pertama saya cari adalah Adik Tri.
Maukah Adik bertemu lagi dengan saya?"
"Dengan senang hati, Pangeran."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Janaka Rajendra tersenyum.
Tangannya gemetar memegang bahu Gendhuk Tri.
Tanpa suara. Tanpa kata-kata. Lalu bergegas berjalan menjauh. Melangkah ke arah pintu luar tanpa menoleh. Gendhuk Tri ingin meneriakkan sesuatu, akan tetapi mulutnya terkunci. Dan hati kecilnya merasa dingin.
Ada sesuatu yang turut hilang bersama langkah-langkah Pangeran Anom Seperti langit sekarang ini. Bersih dari mega. Tampak sedemikian luas tapi mengesankan kosong. Gendhuk Tri termangu.
Apa sesungguhnya yang telah terjadi dengan dirinya"
Hanya dalam waktu yang singkat, sangat singkat. Sewaktu dirinya kena racun pagebluk, diam-diam Pangeran Anom membantu. Lalu di tengah pertarungan di halaman Keraton, terang-terangan Pangeran Anom membantunya. Sampai ketika merawat dan mencoba mengobati Singanada, kemudian mempelajari Kitab Air bersama Kiai Sambartaka.
Sehingga akhirnya mengikuti perahu ke negeri seberang, dan lebih dulu ke pinggir.
Ada sesuatu yang aneh, yang menggembirakan.
Tetapi juga memilukan. Daya asmara yang tulus, yang rela, yang murni dari Pangeran Anom menggugah jiwanya. Menyentuh kedewasaannya. Membuka simpul yang talinya tak disadari.
Apakah selama ini Pangeran Anom kecewa kepada sikapnya yang tak memberi jaminan sesuatu di belakang hari" Ataukah sikapnya yang agak tiba-tiba ingin masuk ke Keraton lebih dikarenakan mendengar nama Upasara" Yang sangat dikagumi dan rela menyerah dalam persaingan asmara" Ternyata tidak gampang menerima kenyataan ini.
Jauh dalam hatinya, Gendhuk Tri tidak meremehkan Pangeran Anom.
Tidak menganggap sebagaimana ia mengenal Galih Kaliki dulu, atau bahkan Dewa Maut. Bahkan diakui secara diam-diam, hatinya mulai tertarik dengan segala kebaikan dan kebajikan serta perhatiannya yang berlebih.
Semua dirasakannya sebagai daya tarik utama Pangeran Anom. Di samping wajahnya yang bercahaya.
Kalau ia tak bisa memberikan harapan atau janji tertentu, karena itulah kenyataan yang sesungguhnya. Gendhuk Tri tak tahu harus mengatakan apa, harus menjanjikan apa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketulusannya tak menghendaki ia mengatakan sesuatu yang lebih banyak untuk menenteramkan hati atau menghibur.
Tidak. Selama ini hatinya sudah tercabut untuk Kakang Upasara Wulung. Tak ada orang lain yang bisa menggantikan kedudukan Upasara di dalam hatinya.
Tapi juga disadari bahwa itu semua tidak mungkin.
Saat kesadaran itu membayang, secara tidak langsung ia menjatuhkan pilihan kepada Singanada. Dan tekadnya sudah bulat. Ia tak bisa mempermainkan kepercayaan yang ditumpahkan kepadanya, dan telah disanggupi.
Itu sebabnya ia merasa sangat kikuk terhadap Pangeran Anom.
Di satu pihak daya asmara perlahan tumbuh, tapi di pihak lain dimatikan perlahan karena tak ingin membuat kekecewaan lebih besar di kelak kemudian hari.
Kalau ada sesuatu yang menghibur Gendhuk Tri ialah bahwa selama ini hubungannya dengan Pangeran Anom baik-baik saja. Tidak saling menyakiti, tidak mendustai dari lubuk hati masing-masing.
Gendhuk Tri tersadar dari lamunannya ketika meninggalkan kediaman kerabat Keraton, dan di sudut jalan ada papan pengumuman yang ditulis besar-besar.
Pemberitahuan bahwa barang siapa melihat orang atau menemukan senjata yang mencurigakan, diharapkan segera melaporkan kepada prajurit Keraton. Barang siapa melihat orang asing yang selama ini belum pernah dilihat ada di sekeliling Keraton, diharapkan melaporkan.
Barang siapa merasa diajak membicarakan sesuatu mengenai tata kenegaraan, diharap melaporkan kepada prajurit Keraton.
Barang siapa... Makin lama Gendhuk Tri makin menyadari bahwa suasana Keraton memang lebih mengerikan dari yang dibayangkan. Membersit rasa kuatir akan nasib yang menimpa Pangeran Anom.
Benarkah Keraton menjadi kuburan raksasa"
Siapa yang masuk tak akan keluar lagi"
Gendhuk Tri menepi ketika terdengar langkah para prajurit. Di barisan depan terlihat enam belas prajurit berkuda yang mengibarkan panji. Diiringi barisan yang rapat. Agaknya mereka tengah mengawal seorang bangsawan, kalau dilihat cara pengawalannya. Agaknya sedang dalam keadaan tergesa.
Gendhuk Tri tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya ketika melihat selintas bahwa yang dikawal beramai-ramai itu adalah Ratu Ayu Azeri Baijani.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Atau matanya yang salah lihat"
Memasang dan Menelan Umpan
MESKIPUN jarak penglihatan cukup jauh, Gendhuk Tri bisa mengenali Ratu Ayu walau hanya sekelebatan. Baginya tokoh yang satu itu bisa menjadi jelas dalam angannya.
Pertanyaan pertama yang segera muncul ialah apa yang sesungguhnya direncanakan di balik penampilan Ratu Ayu. Karena agaknya arak-arakan yang sekarang terjadi seperti sengaja mempertontonkan hal ini. Semacam memasang umpan.
Kalau benar dugaannya, berarti memang ada yang diarah. Siapa lagi kalau bukan Upasara Wulung"
Gendhuk Tri bersorak dalam hati. Kalau ini benar, berarti Upasara bisa meloloskan diri. Rada mustahil, akan tetapi bukannya tidak mungkin. Dan karena masih berada di sekitar Keraton, atau diduga begitu, Upasara dipancing kembali pemunculannya dengan menampilkan Ratu Ayu.
Atau ada hal lain" Gendhuk Tri tak bisa menebak dengan tepat, tak bisa mencari pegangan dugaannya, karena kemudian disusul barisan prajurit yang lain. Yang berjajar rapi, mendatangi penduduk sekitar.
"Aku, Senopati Jaran Pengasihan, yang berkuasa atas keamanan dan ketenteraman wilayah Keraton, dengan ini menyatakan bahwa para penduduk Majapahit tidak diperkenankan melakukan segala sesuatu yang tidak mendapat restu dariku.
"Segala hal yang bertentangan dengan ini dapat dikenai hukuman."
Bahwa setiap penguasa baru memunculkan senopati baru, bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa penguasa yang baru kelihatan perlu turun tangan sendiri menerangkan kepada penduduk, di saat ada barisan lain yang secara sengaja mengarak Ratu Ayu ini membuatnya bertanya-tanya.
"Tak ada yang perlu ditonton, tak ada yang perlu dilihat. Semua penduduk dianjurkan kembali ke rumah masing-masing, dan hanya menerima komando dariku."
Belum habis bicaranya, prajuritnya segera membubarkan kerumunan. Sesuatu yang agak sia-sia, karena iringan prajurit yang membawa Ratu Ayu bersorak riuh rendah.
Bahkan kemudian bernyanyi bersama:
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seekor kuda membawa beban
masuk ke Keraton ia merasa dirinya prajurit
yang dimakan tetaplah rumput
seekor kuda tak pernah makan nasi
apa pun yang digendongnya....
Menurut Gendhuk Tri ini agak keterlaluan. Jelas bahwa rombongan yang mengiringkan Ratu Ayu sengaja menyindir dengan tembang yang biasa dimainkan anak-anak. Dari liriknya, arahnya meledek Senopati Jaran Pengasihan. Karena kuda yang dimaksudkan dalam lirik itu artinya sama saja dengan jaran.
"Jangan terpancing emosi. Kita prajurit menjaga ketenteraman.
Selama mereka hanya bersorak-sorai, biarkan saja. Akan tetapi jika mulai membuat keonaran, aku perintahkan untuk mengambil tindakan tegas dan keras."
Gendhuk Tri makin melongo.
Mana mungkin dalam wilayah dinding Keraton bisa muncul dua komando yang bertentangan" Agaknya juga, kedua kelompok ini saling menunggu, saling memasang umpan, agar kelompok lain bergerak lebih dulu, untuk kemudian bisa diamankan.
Persaingan bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi kalau diperlihatkan secara terbuka, dalam wilayah dinding Keraton, kelihatannya sangat tidak menggembirakan.
Mau tak mau Gendhuk Tri bertambah gelisah. Berarti di Keraton sendiri masih berlangsung perebutan kekuasaan secara terang-terangan. Sehingga sampai tingkat para senopati berebut keunggulan.
Kalau begini situasinya, Pangeran Anom akan sia-sia. Sebelum ia melangkah masuk, sudah disergap oleh kelompok yang berbeda dan akan saling memanfaatkan.
Gendhuk Tri tak habis mengerti. Dalam waktu yang sangat singkat, segala tata aturan bisa jungkir-balik tidak keruan. Kini bahkan pertengkaran pendapat itu mengakar sampai ke tingkat para prajurit.
"Penduduk tidak diperkenankan menyimpan senjata. Baik keris, tombak, pedang, cundrik, atau apa saja. Selain prajurit yang resmi, sama sekali tidak diperkenankan. Bagi yang lain, akan dikenai hukuman."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri mendekat ke arah barisan prajurit yang mengawal Ratu Ayu. Kini dalam jarak yang lebih dekat, matanya bisa melihat bahwa Ratu Ayu memang masih seperti gelaran yang dipakai.
Wajahnya benar-benar mencerminkan ratu. Keayuannya segera bisa diakui.
Hanya sekarang tubuhnya kelihatan sangat kurus, wajahnya pucat, cara duduknya di atas joli terbuka seperti tak ada tenaga sama sekali.
Gendhuk Tri mencari-cari kalau-kalau melihat bayangan Senopati Sariq atau pengikut Ratu Ayu yang setia. Namun kelihatannya tak ada wajah yang asing.
Gendhuk Tri menyadari bahwa Ratu Ayu seperti terkena pengaruh kekuatan sihir, atau semacam bubuk pagebluk, sehingga hanya badaniahnya saja yang dihadirkan. Pandangan matanya kosong melompong.
"Ratu Ayu, di mana Adimas Upasara?"
Teriakan yang sangat akrab di telinga Gendhuk Tri.
Itulah suara Nyai Demang!
Benar, bersamaan dengan itu muncul sosok bayangan yang menggendong mayat di punggungnya.
Dengan pemunculan Nyai Demang, para prajurit pengawal segera membuat barisan pertahanan. Akan tetapi dengan menepiskan kiri-kanan sambil terus melangkah mendekat, barisan para prajurit terdepak ke kanan dan kiri.
Bagai ditebas dengan kekuatan yang besar.
"Ratu, di mana Upasara?"
Mendadak terdengar terompet dan genderang ditabuh bertalu-talu.
Dari arah Keraton muncul barisan yang lain. Dipimpin senopati yang lain, yang segera menuju ke arah Nyai Demang.
"Aku, Senopati Kebo Pengasihan, memerintahkan agar semua prajurit mundur. Biarlah aku yang membereskan wanita tidak waras ini."
Belum habis kata-katanya, Nyai Demang menyambar ke arahnya.
Dengan sekali tekuk, Senopati Kebo Pengasihan berada dalam cengkeramannya. Tubuhnya diangkat ke atas.
Digoyangkan. "Kamu mengerti apa urusan ini?"
Dengan sekali sentak, tubuh Senopati Kebo Pengasihan melayang dan ambruk ke tanah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang maju ke arah joli. Kedua tangannya bergerak cepat dan para prajurit yang menjaga joli terlempar sambil mengeluarkan jeritan mengerikan.
"Ratu Ayu, kamu masih mengenaliku?" Suara Nyai Demang sangat jelas nadanya. Tidak seperti sebelumnya yang hanya bisa berhaha-hihi tak keruan.
Ratu Ayu mengangguk. "Di mana Adimas Upasara" Apa benar mereka telah menguburkannya di perut binatang buas?"
Gendhuk Tri tak bisa menahan diri. Tubuhnya melayang ke depan, dan hinggap di sisi Nyai Demang!
"Ke mana kamu selama ini?"
"Nyai, kamu baik-baik saja?"
"Apa benar Upasara diumpankan ke binatang buas?"
Gawat, pikir Gendhuk Tri.
Dalam keadaan seperti ini, ternyata Nyai Demang belum pulih kesadarannya. Dilihat dari pembicaraannya yang masih melantur, bisa dimengerti keadaannya. Meskipun sudah lebih baik, akan tetapi pengaruh kekuatan Eyang Kebo Berune yang menempel di punggungnya tidak hilang sepenuhnya.
Gawat juga karena ternyata Ratu Ayu, dalam pengertian yang berbeda, juga mengalami nasib yang sama.
"Nyai segalanya belum jelas. Mari kita sama-sama membuktikan di mana kebenaran yang sesungguhnya.
"Ratu Ayu, apakah kamu bisa berbicara?"
Ratu Ayu mendongak sebentar.
Lalu menunduk lagi. "Nyai, mari kita masuk ke Keraton. Kita jebol apa yang menghalangi."
"Untuk apa?" "Untuk menjemput Kakang Upasara."
"Siapa?" "Adimas Upasara!" teriak Gendhuk Tri kesal.
"Baik. Mari..."
Nyai Demang segera membalikkan tubuh. Tidak lagi memedulikan Ratu Ayu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Perhitungan Gendhuk Tri mengenai Nyai Demang tak meleset.
Meskipun sudah lebih bisa diajak bicara, akan tetapi Nyai Demang yang sekarang ini hanya tubuhnya saja yang sehat. Pengaruh utama masih tetap kekuatan dalam dari Eyang Kebo Berune.
"Segala macam patung boneka kecil, menyingkirlah."
Sekali menggebrak, Gendhuk Tri membuka jalan. Dengan Nyai Demang di sampingnya, lima jurus berikutnya mereka berdua telah sampai di depan pintu utama.
"Tak semudah itu masuk ke Keraton...."
Pendeta Manmathaba tersenyum dingin. Di tangannya, Bandring Cluring berayun-ayun.
Pukulan Lima Arah GENDHUK TRI bersiul. "Pendeta tua, kamu tak bisa main-main lagi dengan segala jenis ilmu kebal kulit kentang. Mari, aku jajal sedikit...."
Seperti watak yang sebenarnya, Gendhuk Tri benar-benar tak mau menunggu lawan atau kawan. Tidak menunggu reaksi Manmathaba ataupun persiapan Nyai Demang. Tidak menunggu apakah gertakannya berhasil mempengaruhi atau tidak.
Tangan kirinya menyabet ke kiri, ke arah yang kosong, sementara tubuhnya membalik. Dengan tendangan kaki kanan. Tanpa memedulikan bandring yang tengah diputar.
Nyai Demang dengan terhuyung-huyung ikut maju, ke arah tubuh Manmathaba bergerak.
Manmathaba justru menarik mundur bandringnya. Bunyi tok-pletok yang keras berurutan berganti deru angin. Agaknya Manmathaba jeri.
Atau setidaknya memperhitungkan gerakan dan tenaga dalam Gendhuk Tri.
Pukulan tangan kiri Gendhuk Tri yang diarahkan ke tempat kosong, tenaganya jauh berbeda sifatnya dengan tenaga tendangan kaki kanan.
Apa-lagi putaran tubuhnya mendesirkan tenaga yang berbeda lagi sifatnya. Dalam satu gerakan, Gendhuk Tri memperlihatkan pengaturan tenaga air, kayu, dan api. Yang sifatnya berbeda-beda. Manmathaba surut karena ingin mengetahui apakah rangkaian tenaga yang berikut tenaga bumi dan disusul dengan tenaga logam mulia.
Gebrakan semacam ini akan mudah dimengerti karena rangkaian yang agak urut ialah tenaga kayu, api, bumi, logam mulia, air, bisa diperkirakan. Dengan mengenali cara mengatur tenaga lawan,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Manmathaba akan merasa lebih mudah menguasai. Karena hal semacam itu sudah dikenali.
Kalau ada yang membuat Manmathaba sedikit ngeri terhadap gadis yang suka nekat ini hanyalah karena mereka mempunyai dasar ilmu yang sama.
Apa yang dikatakan Gendhuk Tri bahwa ia mengetahui ilmu kebal, pastilah bukan omong kosong belaka.
Manmathaba menangkis tendangan kaki dengan telapak tangan mendongak ke atas, seakan siap memelintir. Dugaannya tidak meleset.
Gendhuk Tri tidak menarik mundur kakinya, malah memakai sebagai pijakan kuda-kuda. Karena kemudian meloncat ke atas seakan terbang.
Gendhuk Tri boleh bangga dengan gerakannya, akan tetapi bagi Manmathaba ini keberuntungan. Dengan loncatan ke atas, Manmathaba sudah memperkirakan dua kaki yang akan mencoba menjepit lehernya dalam gerakan memutar.
Manmathaba mengerahkan tenaga ke bahu. Dua bandringnya menghalau Nyai Demang, sementara lehernya dibiarkan dijepit.
Jika Gendhuk Tri memakai tenaga bumi yang tenang, dan tenaga logam mulia yang berat, dari kaki kiri maupun kanan, ia siap mengandaskan.
Dengan memakai tenaga sebaliknya!
Tenaga bumi akan dilawan dengan tenaga logam. Di sini, ia mengerti betul bahwa tenaga bumi menjadi kurang berarti dibandingkan tenaga logam mulia. Seakan bumi hanya berarti kalau menyimpan logam mulia.
Demikian juga seterusnya. Tenaga kayu kalah oleh tenaga api, tenaga api kalah oleh tenaga air, tenaga air terserap oleh bumi.
Dalam pertarungan cepat seperti sekarang ini, bisa saja urutan itu dibalik. Bisa jadi jepitan kedua kaki Gendhuk Tri memakai tenaga air, atau gabungan antara air dan kayu.
Kembangan atau variasi serangan yang bagaimanapun dibolak-balik urutannya, tak membuat Manmathaba takut. Karena merasa menguasai rangkaian gerakan.
Dalam pertarungan semacam ini akan cepat diketahui siapa yang unggul dan siapa yang keteter atau terdesak.
Semakin orang mengetahui kembangan serangan lawan dari inti gerakannya, semakin besar kemungkinannya untuk mematikan. Itu sebabnya dalam suatu pertarungan, betapapun berbeda-beda jurusnya, bisa tetap digolongkan dalam inti yang sangat mendasar.
Perhitungan Gendhuk Tri lain lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahwa Manmathaba tidak terlalu menggeser leher membuktikan bahwa ia siap menghadapi. Baik karena merasa menguasai, ataupun karena merasa tak terganggu.
Tapi Gendhuk Tri tetap Gendhuk Tri.
Adu keras pun akan dilayani.
Menyadari lawan memberi umpan, tak disia-siakan. Disambut.
Gerakan kakinya yang memuntir leher lawan malah diperkencang, dipercepat putarannya. Tubuhnya bagai gasing, sementara rambutnya yang tergerai menyapu angin.
Gerakan yang indah. Sangat berbeda dari gerakan Nyai Demang yang serba tanggung karena menggendong mayat, yang bagai gerakan limbung, menyusup dari sisi kiri tahu-tahu muncul dari sisi kanan. Biasan tangannya mendorong bandul bandring menjauh.
Gendhuk Tri memperkeras jepitannya begitu menyentuh pundak lawan Terdengar teriakan keras. Tubuh Manmathaba terguling, mengerang, dan mendadak meloncat ke angkasa. Kali ini kedua tangannya mengembang dan mendorong tubuh Gendhuk Tri. Yang seketika terputar ke arah belakang!
"Wu....!" Teriakan itu berasal dari Manmathaba yang alisnya sedikit berkerut.
Ia bisa mengenali bahwa pengaturan tenaga dalam Gendhuk Tri seperti yang diduganya. Tak meleset sedikit pun.
Hanya saja, Gendhuk Tri mampu mengembangkan lebih jauh. Dalam memainkan urutan tenaga dasar dari semua tenaga, yaitu tenaga emas kayu, air, api dan bumi, bukan dimainkan secara berurutan atau berbalik-balik, melainkan dalam satu pengaturan! Bisa dilakukan secara serentak!
"Aha, kamu mengenali ilmu kanak-kanak itu?"
Teriakan Gendhuk Tri seakan menertawakan lawan. Walau jelas ia sendiri terdesak, akan tetapi dalam soal adu silat lidah, ia tak pernah mau kalah.
"Wu apa ini?" Kembali Gendhuk Tri menyerang. Tangan kanan memukul ke depan, tangan kiri ke samping, demikian juga dengan gerakan kaki, seakan kaki kanan dan kaki kiri tidak satu sasaran.
Liukan tubuhnya juga dalam irama yang berbeda.
Kali ini Manmathaba tak berani memandang enteng. Dengan menahan rasa herannya, ia terpaksa melangkah mundur hingga dekat
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
pintu. Sehingga serangan lawan dari jurusan yang berbeda bisa terhalangi.
"Ilmu naga apa itu namanya?"
"Nyai akan segera tahu," jawab Gendhuk Tri.
Jawaban Gendhuk Tri memperlihatkan bahwa ia menyadari pada saat seperti ini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang adalah Eyang Kebo Berune. Yang tidak mengenali jurus-jurus dan pengaturan tenaga yang dimainkan. Karena menurut dugaan Gendhuk Tri, gerakannya bukan sesuatu yang tak dimengerti Nyai Demang. Baik karena pengetahuannya yang luas, maupun karena secara langsung Nyai Demang bergaul dengan para ksatria dari Tartar.
Kalau Manmathaba saja bisa segera mengenali, pastilah Nyai Demang juga bisa. Hanya karena kini yang menguasai adalah Eyang Kebo Berune, jadinya lain.
"Rasanya iya...."
"Nyai sudah pernah tahu. Coba perhatikan baik-baik...."
Tubuh Gendhuk Tri menggeliat, menerobos masuk pintu. Begitu bandul Manmathaba bergerak, Gendhuk Tri bisa membelokkan tubuhnya dengan gerakan indah.
Sekarang, keterlindungan Manmathaba justru menjadi halangan!
Dinding kiri-kanan menjadi penghalang.
Dalam hati Manmathaba tak habis mengerti. Bagaimana mungkin gadis seusia Gendhuk Tri mampu mempelajari dan langsung mempraktekkan dengan leluasa beberapa dasar ilmu kelas utama.
Bagaimana mungkin dasar-dasar Kitab Air bisa dimainkan dengan dasar-dasar ilmu dari negeri Tartar.
Apa yang diperlihatkan Gendhuk Tri dan diteriaki Wu adalah pameran kemahiran itu.
Wu yang menekankan lima unsur tadi menjadi salah satu bagian saja.
Yaitu yang biasa disebut Wuxing. Sedangkan serangan yang berbeda kanan dan kiri, kaki dan tangan, serta gerakan tubuh disebut Wufang-Pukulan Lima Arah. Utara, timur, selatan, barat, dan pusat.
Wuxing dan Wufang adalah bagian dari lima Wu yang secara lengkapnya mencakup juga Wucai-Lima Asmara, Wucai-Lima Warna, serta Wujing- Lima Logam.
Kalau tadinya Manmathaba hanya menduga lima kemungkinan, sekarang sedikitnya harus berjaga-jaga dari lima kali lima kemungkinan, yaitu 25 kemungkinan pengaturan tenaga dari satu gerakan.
Makin jelas bahwa Gendhuk Tri tak bisa dipandang enteng.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini yang mengherankan sejak menyuruk masuk di tengah pintu.
Dan akan tetap membuat Manmathaba heran jika dikatakan bahwa sesungguhnya Gendhuk Tri berguru langsung dari sumber utama ilmu tersebut, yaitu dari Naga Nareswara, Raja Segala Naga!
Sesungguhnya, itu kelebihan yang tak disadari oleh lawan-lawan Gendhuk Tri. Karena mereka menduga bahwa keunggulan yang diperlihatkan Gendhuk Tri adalah keunggulan dari satu pendalaman akan suatu ilmu. Bukan rangkuman dari berbagai tradisi yang sumbernya berlainan.
Sesungguhnyalah, ini yang juga kurang disadari oleh Gendhuk Tri sendiri.
Kalau saja ia memahami kelebihannya, hasilnya akan lain. Gendhuk Tri bisa menghantam dan menyudutkan lawan dengan lebih terarah.
Pukulan Bertumbuh-Bertambah
PERJALANAN hidup Gendhuk Tri dalam dunia persilatan memang tidak biasa. Tidak seperti Upasara Wulung yang sejak lahir sudah dilatih secara tekun dan terarah oleh Ngabehi Pandu. Atau juga seperti Pangeran Anom yang mendapat didikan langsung dari ayahnya, Senopati Agung Brahma.
Gendhuk Tri, sejauh bisa mengenang dirinya, berasal dari penduduk biasa. Yang tumbuh tanpa darah bangsawan secara langsung dan jelas.
Kulitnya hitam, raut wajah, bentuk hidung, bibir, mata, ataupun kening sama sekali tak menunjukkan dirinya keturunan bangsawan.
Ia begitu saja mengikuti apa yang biasa terjadi pada anak dusun.
Belajar nembang, dan diajari untuk bisa menjadi sinden-penembang, dan menjadi penari untuk menghibur Baginda Raja.
Saat itulah Mpu Raganata merasa eman, sayang kalau anak gadis kecil yang lugu ini hanya mengakhiri hidupnya sebagai wanita penghibur. Tanpa setahu Baginda Raja, Mpu Raganata melarikan dan menyerahkannya ke dalam asuhan Jagaddhita, yang juga murid tidak langsung Mpu Raganata, yang bisa saja dijadikan murid karena alasan yang tak sepenuhnya diketahui.
Perjalanan hidup ini membuat Gendhuk Tri tidak mempelajari ilmu silat dari tata aturan yang semestinya. Apalagi ia menerkam langsung berbagai pengalaman dalam berbagai medan pertarungan yang ganas.
Baru belakangan Gendhuk Tri menyadari bahwa sumber ilmu silatnya ialah Kitab Air. Sewaktu mempelajari kembali bersama Singanada ataupun Pangeran Anom, dan terlebih lagi bersama Kiai Sambartaka, segalanya menjadi terbuka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apa yang dipelajari selama ini mempunyai dasar pijakan yang jelas dan ke arah mana hubungannya. Dengan keterbukaan yang sering diartikan pencerahan itulah Gendhuk Tri bisa menggabungkan dengan apa yang dipelajari dari Naga Nareswara. Apa yang selama ini diketahui secara terpisah, sekarang bisa disatukan.
Lejitan pikiran dan rasa yang menyatu itulah yang membuat Gendhuk Tri bisa segera membaca rahasia ilmu kebal yang dimainkan Manmathaba!
Hal yang sama ketika menghadapi lawan, kekuatan jurus-jurus Wu bisa menyeruak dengan sendirinya.
Ada semacam naluri yang muncul dengan sendirinya, yang terangkai untuk menggabungkan semua kekuatan yang ada, yang selama ini tersimpan.
Sewaktu menyerang dengan tenaga air, kayu, api, bumi, dan logam mulia kombinasi dari rangkaian yang sama yang berasal dari tradisi lain bisa muncul dengan sendirinya.
Itulah yang terlihat ketika memainkan jurus Pukulan Lima Arah atau Wufang.
Kalau simpul mengenai hal ini terbuka, kemungkinan yang lain juga bisa terjadi dengan sendirinya. Selama Gendhuk Tri menguasai.
Ini sesungguhnya yang ditakuti atau setidaknya membuat Manmathaba menjadi sangat berhati-hati.
Pengetahuannya yang luas, secara tidak sengaja justru membuatnya waswas. Seperti juga ketika berlindung di tengah pintu. Dari terlindung, menjadi terhalang.
Pengetahuan Manmathaba yang luas, membuatnya bersiaga kalau-kalau Gendhuk Tri nanti memainkan tidak dengan pengerahan Tenaga Wu, melainkan dengan mengubah menjadi pengerahan Tenaga Jiu atau memainkan Tenaga Sembilan.
Seperti yang pernah ditunjukkan oleh Singanada, yang mampu melipat-gandakan tenaga dalam sembilan kali lebih besar.
Sebenarnya kalau itu yang terjadi, masih tidak membuat Manmathaba kuatir.
Yang dikuatirkan adalah bila Gendhuk Tri mahir memainkan gabungan dari Pukulan Lima, Pukulan Sembilan, dan jenis pukulan lain.
Sebab kembangan pukulan dari negeri Tartar sangat luas dan rangkaiannya tidak terduga. Pada seorang tokoh yang sudah menguasai, pengerahan tenaga itu bisa berarti memasuki tahap bertambah-bertumbuh. Tahap di mana ketika memainkan Tenaga Delapan Belas
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
misalnya, berarti Tenaga Sembilan. Tenaga Tujuh Belas berarti Tenaga Delapan.
Rangkaian ini makin rumit, apabila rangkaian Tenaga Tiga dan Tenaga Delapan digabung. Hasilnya bukan Tenaga Sebelas atau Tenaga Dua. Melainkan tetap Tiga dan Delapan. Tenaga Tiga mirip dengan Tenaga Sheng yang berarti tenaga yang selalu bertambah saat mengenai sasaran. Sementara Tenaga Delapan mirip dengan Tenaga Fa, keamanan untuk bertahan, yang dilambangkan dengan kemakmuran.
Kalau keliru mengenali sebagai Pukulan Dua bisa mengira bahwa pukulan tersebut kosong dan sebagai pancingan, dan akibatnya terkena sasaran.
Sebenarnya Gendhuk Tri tidak mendalami seperti yang diperkirakan Manmathaba. Jurus-jurusnya meluncur begitu saja. Begitu menemukan reaksi, segera menjawab dengan sendirinya.
Dengan dasar-dasar ajaran Mpu Raganata, dimatangkan dengan tenaga Kitab Bumi dan menerima didikan tidak langsung dari Naga Nareswara Gendhuk Tri menjadi gadis yang sulit dikalahkan oleh mereka yang seusia dengannya.
Keluwesan itulah yang menyebabkan Gendhuk Tri mampu berpasangan dengan Singanada, ataupun dengan Pangeran Anom.
Padahal jelas sumber tenaga dalam kedua tokoh itu sangat berbeda.
Sepuluh jurus telah berlalu.
Perlahan tetapi pasti, Manmathaba mulai bisa membaca pengerahan tenaga yang belum sempurna. Maka memasuki jurus ketiga belas, Manmathaba memancing Gendhuk Tri merasuk masuk, dan dengan segera memapak maju.
Tangan kanan miring, lurus ke atas dengan jari yang lengket satu sama lain, sementara tangan kirinya memainkan dua bandring sekaligus.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gendhuk Tri masuk perangkap.
Nyai Demang berteriak keras.
"Awas... Awas... Mundur...!"
Dalam kilatan pikiran, agaknya hubungan Nyai Demang dengan Gendhuk Tri muncul kembali. Pribadi Nyai Demang yang utuh menguasai pikiran dan perasaannya.
Itu sebabnya Nyai Demang tidak memedulikan keselamatan dirinya, menyerbu masuk.
Manmathaba telah siap. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kedua kakinya menyapu keras, dan tubuh Nyai Demang terungkit ke atas.
Gerakan Nyai Demang memang tidak sempurna. Baik karena beban mayat di punggungnya maupun karena tenaga dalamnya tak bisa sepenuhnya menyatu dengan tenaga dalam Eyang Kebo Berune.
Makanya bisa diungkit. Hingga sempoyongan. Bahkan terjatuh.
Sementara pada saat yang sama dengan terungkitnya tubuh Nyai Demang, Gendhuk Tri tak bisa meloloskan diri. Ia telanjur masuk ke daerah serangan lawan. Mundur atau menjatuhkan diri sangat sulit.
Kalaupun bisa, bandul Bandring Cluring siap menghancurleburkan.
Maju berarti dada atau wajahnya kena tebas tangan Manmathaba yang telah rapat oleh pengerahan tenaga.
"Ladlahom...." Tak ada yang mendengar ucapan kaget Puspamurti. Karena ketiganya tengah bergulat dalam pertarungan yang tak memungkinkan pecahnya perhatian.
Manmathaba mengeraskan tenaganya. Kelima jari yang rapat, dalam Gerakan miring menebas dada Gendhuk Tri, yang tubuhnya sedang melaju ke arahnya. Kalaupun Gendhuk Tri mencoba mendahului atau menangkis, adu tenaga dalam yang terjadi. Ini berarti Gendhuk Tri akan terluka parah.
Manmathaba merasakan kemenangan.
Batas kelingking seakan memecahkan tubuh Gendhuk Tri!
Hanya anehnya, tubuh Gendhuk Tri justru melesat jauh! Menerobos ke dalam Keraton.
Tanpa kurang suatu apa! Berdiri tegar sambil mengumbar senyum.
Manmathaba mengeluarkan seruan kagum.
Ia begitu yakin telah merebut kemenangan. Ia yakin bahwa tak ada orang lain yang secara diam-diam menolong Gendhuk Tri.
Tapi nyatanya Gendhuk Tri segar bugar.
Bisa lolos. Bahkan senyumannya berubah menjadi tawa yang meringkik, mendesis.
"Wanara Seta..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri meringis. Seakan malah gembira dan sekaligus bangga dikenali sebagai kera putih atau Wanara Seta.
"Lahir dari batu, akulah lawanmu sekarang ini..."
Tubuh Manmathaba menggigil. Bandringnya terkulai.
Jurus yang baru saja dimainkan oleh Gendhuk Tri sangat dikenali oleh Manmathaba sebagai jurus yang mengambil pengerahan tenaga dari batu yang terbelah. Batu itu adalah tenaga dalam lawan yang mengurung secara sempurna.
Ini adalah ilmu dari Sembilan Jalan Buddha yang paling sulit dipelajari. Dasar jurus Wanara Seta adalah kisah mengenai kelahiran seekor kera dari kandungan batu. Yang menjadi kisah klasik, karena kera putih inilah yang kelak kemudian hari menuntun sang ksatria utama menuju Jalan Buddha yang sesungguhnya.
Kalau benar Gendhuk Tri sampai di tingkat itu, berarti Manmathaba keliru menduga. Satu lagi kekeliruan yang bisa berarti kematian bagi Manmathaba. Karena jika saat itu Gendhuk Tri berbalik dan melancarkan serangan, Manmathaba tamat riyawatnya.
Tapi kalau sekarang tubuhnya menggigil, itu karena sebab yang lain.
Pertemuan Mahamanusia MANMATHABA menggigil karena tulang kakinya menjadi ngilu, sehingga tak kuat menahan tubuhnya.
Sesaat ketika mengungkit kaki Nyai Demang dan menggajul, menendang ke atas dengan keras, kelihatannya sepintas ia unggul.
Tubuh lawan bisa terpental, terbanting jatuh karena beban di punggung.
Akan tetapi yang juga tak diduganya sama sekali ialah bahwa setelah itu Manmathaba merasa kakinya tak bisa digerakkan. Menjadi ngilu luar biasa, seakan semua tulangnya remuk, berkeping-keping, dan setiap serpihan menimbulkan rasa sakit yang menggigit sarafnya.
Manmathaba menggigil karena hatinya terguncang.
Selama ini dirinya tokoh kelas satu di negerinya. Pemimpin para pendeta sekaligus juga empu yang tidak mempunyai lawan. Sewaktu melihat peluang untuk menanamkan pengaruh di tanah Jawa yang telah dirintis oleh Pendeta Sidateka, ia berangkat disertai tiga pengikutnya.
Langkah-langkah pendahuluan menunjukkan siapa dirinya. Dengan bubuk pagebluk ia bisa menguasai semua bangsawan di Keraton tanpa kecuali. Termasuk Raja dan Permaisuri. Dengan ilmu silatnya dan senjata andalan Bandring Cluring ia merontokkan semua ksatria di
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tanah Jawa. Termasuk Upasara Wulung yang sudah menyandang gelar lelananging jagat. Gebrakan sapu bersih, tanpa ada yang mampu menghadang.
Siapa sangka belum sebulan ia telah terjungkal kembali di tempat di mana ia mampu mengalahkan semuanya"
Rasa-rasanya tak habis pikir.
Apalagi dikalahkan seorang gadis, dan seorang wanita yang menggendong mayat.
Betapa nanti semua tumbuhan dan batu di negerinya akan menertawakan kalau mengetahui hal ini.
Saat itu Manmathaba menyadari kesalahannya. Pertama ia tak menduga bahwa Gendhuk Tri ternyata bisa lolos dari kurungannya. Bisa jadi ini dikarenakan ia menganggap enteng lawan. Ini berdasarkan perhitungan bahwa yang paling perkasa seperti Upasara Wulung mampu ditekuk habis.
Kedua karena hal yang sama, tak menduga bahwa tenaga dalam Nyai Demang bisa menerobos masuk, dan menghancurkan.
Perhitungan Manmathaba yang paling jauh pun tak menemukan bahwa sesungguhnya Nyai Demang dialiri tenaga dalam yang dimiliki Eyang Kebo Berune. Tenaga dalam yang luar biasa, yang dihimpun dalam Pukulan Pu-Ni. Pukulan yang pada intinya bertenaga menghancurkan sekaligus.
Seperti diketahui jurus-jurus yang dahsyat itu diciptakan oleh tokoh-tokoh kelas utama sebagai penangkal Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang telah diajarkan secara luas, dan diperdalam oleh hampir semua ksatria.
Ilmu-ilmu itu diciptakan karena kekuatiran bahwa kalau Dua Belas Jurus Nujum Bintang menjadi kekuatan yang disalahgunakan, tetap ada penangkalnya.
Walaupun yang kemudian sangat dikenal adalah Delapan Jurus Penolak Bumi akan tetapi ilmu-ilmu yang lain tak kalah saktinya. Baik ilmu Mpu Raganata, Paman Sepuh, maupun Kebo Berune sendiri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pada ajaran ilmu Mpu Raganata, jurus-jurus penangkal itu disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah, yang intinya Mengetahui Sebelum Terjadi. Sebelum lawan memainkan jurus tertentu, sudah bisa diketahui. Bahkan sebelum satu gerakan yang paling kecil sekalipun.
Dengan kata lain mengembangkan kekuatan batin untuk menangkap apa yang dirasakan lawan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pada ajaran Eyang Sepuh, terciptalah jurus-jurus yang kemudian dikenal sebagai Tepukan Satu Tangan, yang intinya menjadikan dirinya tumbal, menjadikan dirinya sebagai korban. Semakin rela diri kita berkorban, menyerahkan diri, semakin mungkin untuk mementahkan serangan. Dengan kata lain, inti utamanya ialah pasrah.
Pada ajaran Paman Sepuh, lahirlah jurus-jurus yang terangkai dalam Banjir Bandang Segara Asat, yang intinya memindahkan tenaga serangan lawan untuk memerangi sendiri. Dengan kata lain, tenaga dalam lawan yang membanjir dipindahkan untuk menghantam balik, dengan perumpamaan terjadi banjir besar saat laut surut.
Pada ajaran Kebo Berune, lahir jurus-jurus yang dikenal dengan sebutan Pukulan Pu-Ni, yang intinya menghancurleburkan tenaga lawan saat serangan lawan datang. Keras dilawan dengan lebih keras. Dengan kata lain, saling menghancurkan tenaga dalam.
Pada ajaran lain, yang sebenarnya bukan semata-mata diciptakan untuk menangkal, adalah Kitab Air. Eyang Putri Pulangsih mencari pengembangan tenaga dari sifat air, sebagai kemungkinan lain dari pengembangan tenaga dalam yang bersifat bumi.
Bahwa kemudian yang diakui secara resmi adalah Tumbal Bantala Parwa, itu semua merupakan kesepakatan para tokoh utama, yang direstui oleh Baginda Raja.
Besar sekali kemungkinannya karena inti ajaran Eyang Sepuh dalam Kitab Penolak Bumi adalah sikap pasrah, sumarah. Sikap menyerah secara tulus dalam artian yang luas, baik kepada sang Maha Pencipta ataupun kepada Raja, lebih sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat maupun Keraton.
Sekurangnya jika dibandingkan dengan ajaran Kebo Berune ataupun Paman Sepuh yang lebih mengandalkan kepada tenaga keras menghancurkan Atau dibandingkan ajaran Mpu Raganata yang mengacu kepada kebatinan yang terkuasai.
Manmathaba bukannya tidak mengetahui bahwa ada begitu banyak ilmu atau ajaran yang tangguh di jagat ini.
Yang tak diduganya, bahwa seorang Nyai Demang menyimpan tenaga merusak yang dahsyat.
Itulah yang dirasakan kini.
Tulang-tulang kakinya seakan remuk jadi bubuk.
Dalam keadaan di mana dirinya menjadi pemenang satu-satunya, tiba-tiba harus menyadari kekalahan yang memalukan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Manmathaba menghimpun kekuatannya yang terakhir. Bandul bandringnya memutar dengan keras, dan meluncur lepas ke arah Nyai Demang.
Yang tengah terduduk. Yang tak sepenuhnya sadar bahaya mengancam.
Gendhuk Tri tak sempat memberi peringatan atau menolong.
Terdengar bunyi pletok keras. Kipas kayu besar Puspamurti yang dilemparkan untuk menghadang remuk menjadi bubuk. Seakan ditumbuk oleh palu godam yang besar.
"Ladlahom. "Siapa suruh kamu membunuh?"
Satu tangan Puspamurti bergerak, dan tubuh Manmathaba terjatuh ke bawah. Tanpa tenaga dorongan keras pun, Manmathaba sudah akan ambruk!
"Siapa kamu?" Pertanyaan Nyai Demang dalam nada yang ganjil menandai bahwa Eyang Kebo Berune yang menguasai alam pikiran.
"Aku adalah aku. "Sejak kapan kamu main-main di tubuh orang lain?"
"Sejak aku mau."
"Sejak kamu mau. Baik juga. Tak kuduga ada juga yang mau mempelajari Kitab Pamungkas"
Nyai Demang berdiri dengan gagah. Gerakannya cepat dan agak patah.
"Ngawur. Aku adalah Kebo Berune, senopati ulung dan ksatria utama Keraton Singasari yang menguasai dan menaklukkan tlatah Berune.
Mana mungkin aku mempelajari ilmu lain"
"Aku hanya mempelajari dari ajaranku sendiri."
"Ladlahom. "Kok teganya kamu ini mengingkari harkatmu sebagai manusia. Apa kurangnya?"
"Ngawur." "Memang. Itulah kita berdua. Manusia-manusia yang perkasa. Yang mementahkan soal dunia dan alam. Soal mati dan hidup tanpa jarak.
"Ladlahom. "Baguslah itu. Kita sesama manusia."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang meludah ke arah Puspamurti, yang justru bergelak.
"Rasanya baru sekarang aku ketemu sesama manusia. Manusia yang tengik yang busuk, yang mahamanusia. Yang malu mengakui sebagai manusia. Yang tidak mau disebut penjilat, pencuri ajaran orang lain.
"Hei Kebo, siapa kamu ini" Semakin kamu menolak, semakin jelas bahwa kamu ini mengintip ajaran yang bukan milikmu. Tapi ya memang begitu.
"Itulah maha manusia."
Kali ini Gendhuk Tri yang bengong.
Berbagai pengertian masuk ke dalam kesadarannya. Yang bukan tidak mungkin akan menyingkap apa yang terjadi selama lima puluh tahun lalu.
Puspamurti, tokoh yang aneh ini, selalu menyembunyikan diri dan mengaku sebagai penganut ajaran Kidung Pamungkas. Kitab yang dianggap paling sesat oleh Kiai Sambartaka, karena mengagungkan manusia.
Setelah sekian lama bersembunyi, kemudian muncul untuk lebih meyakini Kidung Pamungkas, Puspamurti merasa sekian banyak ksatria tak ada satu pun yang mempelajari.
Baru sekarang merasa bertemu dengan seorang yang menurut dugaannya, diam-diam mempelajari.
Tanpa pemberitahuan Kiai Sambartaka mengenai Kidung Pamungkas, Gendhuk Tri tak bisa mengerti arah pembicaraan Puspamurti dengan Kebo Berune.
Gelombang Tanpa Buih DALAM kepala Gendhuk Tri terbentuk gambaran apa yang sedang terjadi.
Puspamurti menemukan "saudara seperguruan", sementara Kebo Berune menolak dengan keras.
"Kebo tua, sekian lama aku mencari tahu bagaimana bentuk mahamanusia itu sebenarnya. Bagaimana mahamanusia itu bisa mengatasi soal hidup dan soal mati.
"Sekarang baru aku tahu. Ternyata seperti ini kelihatannya. Kamunya sudah mati, akan tetapi masih bisa berkuasa atas manusia lain, masih bisa bercakap, masih bisa menjawab.
"Ladlahom, inilah rupanya yang kupertanyakan."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu... kamu menuduhku..."
"Apa bedanya" "Kamu merasa hina" Ladlahom. Apa artinya kehinaan dan tidak"
"Menjadi hina atau mulia, kamu kan tetap manusia. Dan akan selalu tetap manusia. Kalau kamu hina, kamu tidak berubah jadi cacing. Kalau kamu mulia, kamu tidak akan menjadi bunga.
"Ladlahom. "Sayangnya kamu tidak mau mengakui sebagai manusia. Tapi tak apa. Tak mau mengakui sebagai manusia, karena ia mahamanusia, itu juga manusia dan sekaligus mahamanusia.
" Ladlahom. "Dasar-dasar ilmu silat kamu boleh juga. Tak buruk. Tapi mengganggu. Begitu kamu mempelajari Kidung Pamungkas, semua itu tak ada gunanya. Malah merusakmu.
"Iya, kan" "Lihat dan rasakan sendiri. Tenaga dalammu jadi ngawur dan saling berebut, sehingga tubuhmu jadi cacat. Lihat dan rasakan sendiri, bagaimana aku tetap tegak seperti layaknya manusia."
Sekarang, sedikit-banyak Gendhuk Tri lebih memahami latar belakang Eyang Kebo Berune.
Tokoh yang satu ini di masa mudanya tak pernah diperhitungkan oleh Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh, maupun Putri Pulangsih.
Bahkan dalam menyusun kitab kanuragan yang akan dijadikan babon, induk segala ilmu silat, pun tak diajak bicara.
Akan tetapi karena tekadnya yang besar, Kebo Berune terus mempelajari. Dari kemungkinan besar selalu gundah, karena merasa tak bisa mengungguli empat tokoh yang lain. Sampai kemudian merasa mendapat "pencerahan" dari Kidung Pamungkas. Itulah yang diperdalam.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Puspamurti, kesadaran batin Kebo Berune tidak siap untuk menerima nilai-nilai menjadi mahamanusia. Ini menjadi sumber pertarungan batin, yang ternyata tak pernah selesai.
Akibatnya tubuhnya menjadi lumpuh.
Lumpuh seluruhnya. Gambaran ini tak seluruhnya bertentangan dengan apa yang pernah diperkirakan oleh Gendhuk Tri, bahwa gangguan dalam latihan tenaga dalam yang menyebabkan Kebo Berune menjadi cacat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mengikuti cara berpikir Puspamurti, soal mencuri ajaran ilmu lain, soal tidak mau mengakui adalah hal yang biasa. Hal yang biasa terjadi pada maha manusia.
Akan tetapi justru karena Kebo Berune belum bisa menerima ajaran dalam Kidung Pamungkas sepenuhnya, tuduhan itu membuatnya murka dan terhina.
Agaknya ini yang dilihat pula oleh Puspamurti.
"Kebo manusia, lihat diriku.
"Aku adalah aku. Apakah aku lelaki atau perempuan, apa bedanya kalau aku manusia" Apakah aku bersuami atau beristri, apa salahku"
Apakah aku mencuri ilmu silat atau mengajarkan, apa bedanya" Kalau aku mau pakai kipas, biar saja kipas ukuran seberapa pun.
"Aku adalah aku. "Aku adalah manusia. Dan kamu juga manusia, Kebo. Ilmu curian atau bukan, apa bedanya" Ilmu ciptaan sendiri atau orang lain, apa membedakanmu sebagai manusia" Satu jurus atau seratus jurus, apa perlu dipertanyakan?"
"Tidak... aku bukan..."
"Ya, kamu bukan daun, bukan cacing, bukan Dewa. Kamu manusia.
Sama dengan aku, sama dengan Upasara Wulung, sama dengan yang lainnya, hanya lebih mengerti...."
Puspamurti berbicara seolah membuka simpanan pembicaraan yang telah dipendam puluhan tahun. Nyatanya begitu.
Hingga tidak menyadari bahwa ketika mengucapkan nama Upasara Wulung, seketika itu pula Gendhuk Tri bereaksi. Tubuhnya meloncat ke atas, satu tangan meraup tubuh Manmathaba dan tangan yang lain segera menggampar pipi.
Plok-plok-plok! Keras dan geram pukulan Gendhuk Tri, karena membekas di kedua pipi Manmathaba yang disusul cairan darah menetes dari sudut bibir.
Gerakan Gendhuk Tri menyambar tubuh Manmathaba dan mengangkat serta menampar, merupakan rangkaian gerakan "menjadi gelombang tanpa menimbulkan buih". Penamaan yang mulai dihayati Gendhuk Tri.
Dalam kaitan ini, sebenarnya buih dimaksudkan sebagai emosi, sebagai rasa kasar yang mencuat ke luar. Seharusnya Gendhuk Tri tidak mengikuti perasaan hatinya.
Akan tetapi hal ini memang sulit terkuasai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan karena Gendhuk Tri tidak memahami. Sebab utama ia
"berbuih" yang membuatnya menggampar pipi, karena secara emosional kepekaannya terlukai oleh sikap Manmathaba pada Upasara Wulung.
Padahal itu yang menyebabkan ia datang dan menerjang ke Keraton.
"Katakan di mana Kakang Upasara.
"Jawab atau..."
Plak-plak... Plak. Tamparan yang terakhir membuat kepala Manmathaba terkulai ke belakang. Sewaktu Gendhuk Tri melepaskan pegangannya, tubuh Manmathaba melongsor ke bawah. Yang segera disambut dengan tekukan lutut Gendhuk Tri, sehingga tubuhnya mental lagi ke atas.
Tangan kiri Gendhuk Tri kembali bergerak.
Seiring dengan suara plak, Manmathaba memuntahkan darah disertai beberapa buah gigi yang somplak sampai ke akar-akarnya.
"Akan kubikin ompong. Akan kutelanjangi di sini, dan kukencingi kalau kamu tetap kepala batu...."
Puspamurti jadi menengok.
"Ladlahom. "Manusia kok bisa kesetanan. Harusnya setan yang kemanusiaan.
Gadis dusun, jangan ganggu omongan sesama manusia."
Mana mungkin Gendhuk Tri memedulikan Puspamurti. Sekali tangannya bergerak, leher Manmathaba tercekik.
"Satu tenaga kecil, kamu mati dengan mendelik.
"Katakan di mana Kakang Upasara...."
"Ya, di mana Adimas...." Kali ini suara Nyai Demang nyaring sekali.
Langkahnya perlahan mendekat.
"Ladlahom. "Kebo, kamu kalah dengan manusia yang kamu pakai, kan?"
"Di mana?" Suara Nyai Demang meninggi. Tangannya mengusap wajah Manmathaba yang sudah berubah bentuknya akibatnya tamparan berturut-turut dari Gendhuk Tri.
"Manmathaba, kamu pendeta tinggi. Tidak baik mati dengan cara seperti ini. Katakan di mana Adimas Upasara...."
"Di mana dia?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kali ini baik Gendhuk Tri maupun Nyai Demang terkesima. Suara kuatir yang menanyakan di mana Upasara terdengar sangat menggeletar. Seperti suara rintihan yang terendam luka lama.
Suara Ratu Ayu. Suara seorang istri yang memprihatinkan suaminya!
Sepersekian kejap, Nyai Demang dan Gendhuk Tri saling pandang.
Seolah dalam sepersekian kejap keduanya menyadari bahwa sebenarnya yang paling berhak kuatir adalah Ratu Ayu. Pada kejapan berikutnya sekaligus juga lucu. Mereka bertiga mempertanyakan orang yang sama.
Seorang gadis, seorang janda, dan seorang ratu!
"Kamu tak akan memperoleh jawaban," jawab Manmathaba tenang sekali.
"Kalian bisa mengalahkanku, akan tetapi kalian tak bisa memaksaku."
Nyai Demang terdiam. Ratu Ayu melangkah mundur.
Gendhuk Tri malah tersenyum.
"Kamu pikir, aku tak bisa memaksa kamu buka mulut?"
"Coba saja," tantang Manmathaba. "Kalau kamu kencingi saya, siapa yang lebih malu?"
Puspamurti tertawa lebar.
Kalimat-kalimat yang terdengar membuat perhatiannya teralihkan, untuk
sesaat. "Akan aku bawa tubuhmu ke Kiai Sambartaka. Biar ia bawa kamu ke negerimu sana...."
Gendhuk Tri asal mengancam saja. Karena mengetahui bahwa mereka berdua mempunyai dendam permusuhan yang mendarah daging sejak beberapa keturunan.
Di luar dugaannya, Manmathaba menutupkan matanya.
"Bunuh aku." "Enak saja." "Akan kukatakan di mana Upasara. Setelah itu bunuh aku. Kamu harus berjanji. Atau beri kesempatan aku membunuh diri.
"Bagaimana?" Duka yang Tertunda KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"BOLEH juga permintaanmu. Aku tak mau membunuhmu karena akan mengotori tanganku.
"Sekarang katakan di mana Kakang Upasara."
Manmathaba mengerjapkan matanya. Menelan ludahnya dengan perasaan penuh. Seolah merasakan setiap getaran urat tubuhnya sebagai akhir semua gerakan.
Jauh dalam hati Manmathaba mengagumi bahwa jiwa ksatria sangat berharga. Kalau Gendhuk Tri sudah berjanji, biar bagaimanapun ia akan memenuhinya.
Itu seratus kali lebih baik baginya. Dibandingkan harus diserahkan hidup-hidup kepada Kiai Sambartaka. Manmathaba tak bisa membayangkan berapa puluh turunannya bakal menanggung kehinaan kalau hal itu sampai terjadi.
"Katakan..." "Upasara telah lama mati."
Tangan Gendhuk Tri terangkat ke atas. Siap menampar keras. Kalau itu dilakukan, tulang pipi Manmathaba bakal hancur.
Nyai Demang menjerit keras. Tubuhnya bergoyang-goyang dan ambruk. Sementara Ratu Ayu merintih kecil sebelum akhirnya jatuh tak bergerak
Sekelebat, Gendhuk Tri menduga bahwa Manmathaba sengaja memainkan perasaannya. Akan tetapi dugaan itu melemah dengan sendirinya. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kehormatan terakhir sangat tergantung pada Gendhuk Tri, sulit dibayangkan bahwa Manmathaba akan memainkan peranan mempermainkan perasaan.
Kalau Halayudha, sangat boleh jadi.
Sepicik apa pun, agaknya Manmathaba tak perlu bersiasat lagi. Tak ada gunanya, di saat-saat yang terakhir.
Jalan pikiran Gendhuk Tri berbalik lagi.
Jangan-jangan memang sengaja begitu. Agar...
Agar apa" Agar ia membunuhnya! "Kamu keliru, Manmathaba. Aku tak akan membunuhmu karena gusar berita yang kamu sampaikan. Akalmu bisa ketahuan. Dari mana kamu mengetahui Kakang Upasara telah..."
Manmathaba menghela napas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Upasara terluka dalam di pundak kirinya. Sumber kekuatannya selama ini. Dalam tawanan keadaannya memburuk, karena siksaan.
Baik dari aku maupun dari Halayudha.
"Usahanya untuk mengembalikan kekuatan makin membuat parah lukanya.
"Itulah sesungguhnya."
"Dusta! Tak mungkin."
"Di belakang Keraton, di bawah pohon sawo kecik yang membelukar ada gundukan tanah. Kenalilah sendiri. Barangkali bukan dia, tapi itulah yang kusaksikan.
"Aku sendiri tak begitu mudah percaya. Upasara Wulung tokoh yang sakti. Bahkan lebih dari siapa pun, ia bisa memulihkan tenaga dalamnya yang hilang. Mampu mengembangkan dan mengerahkan kembali tenaga cadangan yang, barangkali, hanya dia satu-satunya yang memiliki."
"Baik, aku akan seret kamu ke sana. Kalau dusta, aku panggil Kiai Sambartaka...."
Perlahan Manmathaba mengangguk.
"Ladlahom. "Duka saja kok bisa tertunda. Dasar bukan manusia. Apa kalian bertiga ini tak punya perasaan sebelumnya" Tak punya firasat apa-apa"
Kok sampai ditinggal mati saja tidak merasakan...."
"Tutup mulutmu, kanyawandu...."
Makian Gendhuk Tri terdengar sangat kasar. Dengan menyebut kanyawandu, Gendhuk Tri menyamakan Puspamurti sebagai "wanita yang tidak mempunyai jenis kelamin".
Kata-kata yang paling kasar yang diteriakkan dengan murka.
"Kalau Upasara mau mempelajari Kidung Pamungkas, nasibnya tak akan seburuk ini."
"Aku bilang, tutup mulutmu."
Kali ini tubuh Gendhuk Tri yang gemetaran. Menahan kemurkaan dan perasaan campur aduk tak menentu.
"Tenangkan perasaan.
"Yang mati memperoleh ketenangan, kalau kita rela melepaskan."
Gendhuk Tri berpaling ke arah datangnya suara.
Pandangannya hampir tak bisa dipercaya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kiai Truwilun mendatangi dengan langkah perlahan. Penuh ketenangan dan kearifan. Di balik mata yang selalu menyiratkan kedamaian dan kebahagiaan, tersirat duka yang sarat. Tetapi juga kepasrahan.
"Kiai..." "Dewa Yang Maha dewa menghendaki yang terbaik...."
Gendhuk Tri menyeka wajahnya, dengan tangan masih gemetar.
Kalau tadi masih ada setitik harapan bahwa apa yang dikatakan Manmathaba bohong, kini seakan tak ada lagi pegangan.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rasanya lebih tidak mungkin kalau Truwilun berdusta. Ia tak mempunyai alasan untuk itu! Ia bisa mengetahui apa yang terjadi bukan sekadar dari ramalan, melainkan ia sendiri baru berada dalam Keraton.
Mungkin... "Saya berusaha menolong sebisa mungkin, akan tetapi nasib dan takdir telah digariskan...." "Kakang..."
Tubuh Gendhuk Tri menjadi limbung. Dadanya sesak. Semua urat tubuhnya melemah. Tarikan napas yang sangat dalam dan panjang, tak sedikit mengurangi kepekatan yang menindih.
Apa arti ini semua" Upasara Wulung, Upasara kakangnya, yang selalu hidup dalam angannya tiba-tiba saja diberitakan sudah mati. Tidak dalam pertarungan habis-habisan yang menegangkan. Tidak dalam pertarungan utama seperti di Trowulan, atau ketika menghadapi senopati Tartar di ujung benteng selama pembebasan Singasari.
Tapi meninggal karena luka oleh keris.
Meninggal tidak secara ksatria gagah.
Apa artinya ini semua"
Apakah ini juga kemauan Dewa" Dewa yang mana yang menghendaki kematian Upasara" Apa dosa Upasara sehingga harus meninggal sedini ini"
Bibir Gendhuk Tri mengering.
Pandangannya berputar. Kepalanya menjadi pening.
"Mungkin kematian yang menyenangkan." Suara Puspamurti memecah kesunyian yang berlangsung lama. "Upasara lahir tanpa diketahui siapa sanak saudara atau orangtuanya. Tapi ia ditangisi sedikitnya tiga wanita, seorang dukun sakti, dan masih banyak yang lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Entahlah, aku tak tahu. Apakah kenangan itu perlu atau tidak.
"Ladlahom" Perlahan ia mendekati Nyai Demang. Berjongkok.
"Ilmumu masih dangkal, Kebo. Kekuatanmu kalah oleh yang hidup.
Kematianmu benar-benar tak menguasai hidup.
"Bangkitlah. Jawablah aku kalau kuasa."
Nyai Demang yang diajak bicara melongo. Pandangannya tak berkedip. Puspamurti berdiri.
Dengan satu gerakan memutar yang cepat sekali, kedua tangannya menyerang Eyang Kebo Berune yang membeku. Dengan sekali sentak, tubuh yang sudah lama menjadi mayat terangkat dan melayang di tengah udara.
Seketika tercium bau busuk.
Agaknya setelah sekian lama meninggal, karena kekuatan tertentu dari tenaga dalam yang dilatih, Eyang Kebo Berune masih bisa mempertahankan jasad kasar dan kemauannya. Sehingga meskipun sudah menjadi mayat, tubuhnya masih utuh.
Hanya setelah Nyai Demang terkena pukulan batin yang tak tertahankan, penguasaan itu terputus. Saat itulah Puspamurti melepaskan.
Agaknya juga kekuatan yang menahan proses pembusukan alami itu hanya bertahan sementara.
Karena begitu terlepas, tubuh Eyang Kebo Berune seperti telah membusuk sekian lama. Sehingga tubuh itu hancur meleleh dan memancarkan bau busuk ke seluruh penjuru.
Nyai Demang sendiri seperti lepas dan pengaruh gaib yang selama ini menguasainya. Seperti memperoleh kembali pribadinya. Hanya saja, di saat memperoleh kembali penguasaan jiwa dan raganya, saat itu justru merasakan sentakan batin yang mengguncang kekuatannya.
Truwilun mendekati Nyai Demang, menuntun ke pinggir.
"Dewa Maha kasih, Nyai... Maha Di Atas, Maha... Ingat, Nyai..."
Truwilun juga mengajak Gendhuk Tri. Akan tetapi dengan mata merah dan pandangan buas, Gendhuk Tri mengibaskan tangannya.
Truwilun hanya menghela napas dalam, lalu membopong Ratu Ayu.
"Kakang... Rakyat Turkana menunggu Kakang... Takhta Turkana..."
Semua prajurit dan senopati yang melihat sejak awal tetap terdiam.
Juga ketika Manmathaba berusaha menyeret tubuhnya sambil menahan kesakitan yang menghebat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya Puspamurti yang masih berdiri.
Wajahnya menengadah, mencari sesuatu di langit.
Kedua tangannya ditekuk beberapa kali, dan setiap kali menimbulkan suara tak-tak-tak.
"Maha manusia menguasai mati atas hidup. Apa hanya dalam bentuk Kebo tadi"
"Kalau kematian memang ada, apa arti Kidung Pamungkas sesungguhnya?"
Tangis di Perjalanan PUSPAMURTI masih tertegun.
Pertarungan pikiran terus berlangsung. Tak banyak yang mengetahui bagaimana riwayat hidupnya, dan bagaimana keadaan dirinya. Hingga lebih banyak menganggap sebagai orang aneh, yang mempunyai hubungan langsung dengan Permaisuri Indreswari.
Sesungguhnya Puspamurti sejak awal mempelajari Kidung Pamungkas, dan memilih kitab itu sebagai babon utama untuk mempelajari ilmu silat. Terutama sejak awal gagasan itu dituliskan.
Tenggelam dalam kesendiriannya, Puspamurti masuk merasuk dalam ajaran Kitab Pamungkas. Puluhan tahun dihabiskan hanya dengan membaca dan mempelajari kitab yang mengagungkan manusia. Sesuai dengan ajaran itu, sekurangnya dalam tanggapan Puspamurti, ia bisa melakukan segalanya seorang diri. Tak memerlukan orang lain. Sampai kemudian mendengar cerita mengenai ksatria lelananging jagat, sehingga Puspamurti meninggalkan persembunyiannya. Karena tidak mengetahui di mana pertemuan, serta tak mau bertanya, Puspamurti nyasar ke Keraton.
Saat itu di Keraton sedang diadakan penghimpunan kekuatan yang setia kepada Raja Jayakatwang. Sehingga kedatangannya tidak menimbulkan kecurigaan. Karena memang saat itu banyak senopati dan ksatria yang datang bergabung. Baik dari tanah Jawa maupun dari negeri seberang.
Karena kebetulan bisa bertemu langsung dengan Permaisuri Indreswari yang memperlakukan dengan baik, Puspamurti kerasan di Keraton. Apalagi ia mendapat perlakuan sangat istimewa. Pada saat itulah Permaisuri Indreswari menjanjikan akan memberikan Kitab Pamungkas yang asli.
Itu yang ditunggu. Setelah diberikan, kembali mempelajari dari awal.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Puspamurti tak merasa berhubungan atau tergantung perintah siapa pun. Maka sebenarnya kedudukannya dalam hal ini tidak memihak siapa saja, atau bisa diperalat oleh salah seorang penguasa.
Kalau ia keluar dari kamarnya karena mendengar keributan, juga tak jelas akan berpihak ke mana. Karena baginya, tak ada perbedaan benar harus ke mana atau berbuat apa.
Satu-satunya yang menggembirakan hanyalah bahwa dirinya mendapat pelayanan sangat istimewa, dan di sekitarnya begitu banyak manusia yang memainkan ilmu silat.
Sampai kemudian melihat Nyai Demang yang menggendong Kebo Berune, dan serta-merta mengenali perwujudan nyata dari salah satu sifat maha manusia dalam soal mengalahkan kematian.
Kegembiraan karena menemukan saudara seperguruan "satu aliran"
runtuh ketika mengetahui bahwa Kebo Berune tak berkuasa atas tubuh Nyai Demang.
Itu yang menyebabkannya tertegun.
Bukan karena dari dalam Keraton muncul rombongan yang berarakan dengan rapi. Ia hanya melihat dari kejauhan, memandangi apa yang terjadi.
Baginda Kertarajasa ternyata jengkar kedaton, meninggalkan Keraton.
Dalam iringan yang panjang, penuh dengan simbol kebesaran. Hanya karena rombongan terhenti di mulut pintu, perhatiannya jadi tersedot.
Baginda terhenti karena melihat Truwilun yang berada di pinggir.
"Aku melihat kamu pertama kali bersedih, Truwilun. Pandangan matamu tak bercahaya lagi...."
Truwilun menyembah hormat.
"Apa yang bisa membuatmu sedih?"
Truwilun menceritakan apa yang dilihat, kaitannya dengan kematian Upasara Wulung yang menyebabkan Gendhuk Tri, Nyai Demang, serta Ratu Ayu tenggelam dalam duka.
Baginda menggeleng. "Bagus juga kalau hal ini diketahui langsung oleh Gayatri. Ksatria yang menjadi pujaan hatinya, yang dianggap masih selalu mengenangnya, ditangisi tiga wanita...."
Truwilun menyembah hormat.
"Aku bisa membaca perasaanmu, Truwilun.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa aku lebih memasalahkan kematian Upasara yang ditangisi, dibandingkan dengan kekalahan Manmathaba, atau bahkan kematian Upasara itu sendiri.
"Itu yang akan kamu katakan"
"Aku bisa membacamu. Seterang matahari.
"Truwilun, aku masih belum bisa membebaskan rasa manusia yang biasa. Kecemburuan, keirian, keinginan untuk merasakan getaran duniawi masih besar.
"Itu sebabnya aku berpikir, apa yang akan kulakukan di Simping"
Bersemadi" Berdoa"
"Apa itu mungkin, kalau hatiku masih di sini?"
Baginda menoleh ke belakang.
Sebentar. Lain menutup tirai tandu, dan memerintahkan rombongan berangkat.
Berurutan, perlahan dalam kehormatan besar.
Iringan berlalu. Sampai kemudian Halayudha muncul dan membubarkan kerumunan
"Senopati Jaran Pengasihan, Kebo Pengasihan, Gudel Pengasihan, Lembu dan segala macam binatang pengasihan atau yang dikasihani...
adalah tugas kalian bersama untuk menjaga tata tenteram Keraton.
"Hal semacam ini tak boleh terjadi lagi.
"Aku perintahkan segera tempat ini dibersihkan. Dan mulai sekarang tak perlu ada keributan lagi. Hanya ada satu perintah, dari Raja."
Dari suaranya jelas Halayudha ingin segera tampil kembali.
Kekalahan Manmathaba membuka peluangnya untuk maju dan mengisi.
Selama ini dirinya dikesampingkan.
Maka segala cara dicari untuk membuat suasana serba onar.
Sehingga Manmathaba tak bisa sepenuhnya menguasai-bahkan terhadap senopati-senopati yang baru diangkat.
Hal yang pertama dilakukan ialah menggosok para senopati lama, untuk tidak patuh begitu saja. Arakan Ratu Ayu untuk menunjukkan masih adanya kekuatan yang harus diperhitungkan. Karena ini tak ada perintah dari Manmathaba, yang secara tidak resmi menjadi mahapatih.
Demikian juga usulan kepada Raja agar Baginda bisa segera berangkat ke Simping. Keresahan akan mencuat ke permukaan, karena tindakan-tindakan ini pasti akan menyinggung pengikut Baginda yang setia, di samping menampar kekuasaan Manmathaba.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ada kegiatan yang tidak dikuasai secara penuh.
Tidak tahunya rencananya yang telah disusun sedemikian rapinya menjadi berantakan gara-gara Gendhuk Tri maupun Nyai Demang. Yang ternyata dengan tidak mengalami banyak kesulitan bisa mengalahkan Manmathaba.
Dengan cara begitu, posisi Halayudha jadi berubah lagi. Bisa-bisa, dirinyalah yang dimusuhi pengikut Baginda. Padahal dukungan itulah yang tadinya diharapkan agar posisinya di hadapan Raja bisa dianggap kuat.
Kini, dengan mundurnya Manmathaba, Raja akan berpaling ke arahnya. Tak bisa tidak.
Maka ketika malam harinya ditimbali, Halayudha segera bergegas.
Raja Jayanegara sedang bercengkerama dilayani para dayang dan penari sewaktu Halayudha merunduk masuk.
"Halayudha, agaknya pengawasan di Keraton masih belum sempurna.
Apalagi dengan mundurnya Manmathaba.
"Aku perintahkan hari ini juga kamu berangkat ke Lumajang. Panggil kembali Mahapatih Nambi. Kurasa hanya dia yang bisa menyatukan kembali keamanan dan ketenteraman."
Tiga geledek yang berbunyi sekaligus saat itu tak akan membuat Halayudha seterkejut sekarang ini.
Tak masuk akal bahwa ternyata Raja masih lebih memperhitungkan Nambi.
"Nambi lebih setia. Padanya aku bisa percaya.
"Temui dia, Halayudha...."
"Sendika dawuh...."
Halayudha menyembah dan segera berlalu. Dengan perasaan masih belum menentu. Baginya keputusan Raja sangat tidak masuk akal.
Pengaruh siapa yang membuat Raja memanggil kembali Nambi"
Kalau itu yang terjadi nanti, Halayudha makin merasa terjepit.
Selama ini hubungannya dengan Mahapatih Nambi boleh dikatakan kurang baik. Kalau Mahapatih kembali, keleluasaannya akan sangat terbatas.
Kenapa kembali ke Nambi"
Ataukah Raja melihat bahwa pergolakan yang akan muncul dari pengikut Baginda akan bisa ditenangkan dengan pulihnya kekuasaan Nambi" Karena mahapatih yang satu ini pilihan Baginda"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Benarkah Raja yang masih muda usia ini mempunyai strategi yang begitu hebat"
Apa pun yang dirisaukan saat ini, tak ada alasan untuk tidak segera menjalankan tugas.
Perjalanan duka. Tak ubahnya dengan Permaisuri Gayatri yang terpaksa mengikuti Baginda, yang terpaksa mendengar kabar kematian Upasara Wulung.
Bedanya, dirinya tidak mengikuti Baginda.
Berarti masih ada peluang kecil yang akan dimainkan dengan hati-hati. Namun juga hatinya ciut. Tak gampang suasananya sekarang ini.
Raja Jayanegara tak seperti dugaannya semula. Bukan bersuka ria menikmati singgasana, akan tetapi juga secara langsung memutuskan.
Dengan pertimbangan yang cukup masak.
Perlawanan Semu HALAYUDHA tak bisa bertahan lama-lama.
Begitu menerima perintah Raja, segera menyiapkan sepuluh prajurit pilihan, dan memerintahkan berangkat secepatnya. Ia sendiri minta disiapkan tiga ekor kuda sekaligus, agar perjalanan tak tertunda.
Lepas dari gerbang Keraton, Halayudha sedikit memperlambat gerak lajunya. Karena sadar bahwa ada yang mengikuti. Dengan cepat jalan pikirannya bekerja, karena mengetahui bahwa yang mengikuti bukan orang sembarangan.
"Ada perlu apa Senopati mendadak pergi dengan tergesa?"
Halayudha membalik tubuhnya. Kudanya ikut terangkat kaki depannya.
Di depannya berdiri Senopati Tantra yang berjalan cepat mendekati.
Otak Halayudha segera menemukan apa yang harus dilakukan, dikatakan, begitu mengetahui hadirnya Senopati Tantra, yang merupakan orang kepercayaan Senopati Semi serta Kuti.
"Rasanya Senopati Tantra lebih tahu."
"Apakah tidak lebih baik dikatakan saja?"
Halayudha tersenyum dalam hati.
Selama ini hubungannya dengan sesama senopati memang kurang baik. Apalagi dengan senopati utama yang diangkat sebagai dharmaputra oleh Baginda Kertarajasa. Di antara tujuh senopati yang diistimewakan, Senopati Kuti dan Senopati Semi yang secara terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kini saatnya ia memainkan peranannya.
"Saya hanya ngemban dawuh, menjalankan perintah Raja. Senopati Tantra jangan memperlambat gerak maju saya."
"Begitu tergesakah?"
"Bahkan barangkali sudah terlambat, kalau diingat persiapan yang sudah sedemikian rapi."
Senopati Tantra mengerutkan keningnya.
"Tak ada untungnya bagi saya mengatakan apa keperluan saya.
Harap diketahui saja, bahwa belum tentu kalian bisa menemukan jalan yang lapang menjadi pegangan kalian senopati yang diistimewakan Baginda, tak bersisa lagi.
"Baginda telah kena tundung ke Simping.
Halayudha sengaja menggunakan kata tundung yang artinya diusir.
Sebutan menyakitkan dan menghina karena diucapkan untuk Baginda.
Sama dengan membakar jenggot para pengikutnya yang setia.
"Kamu terlalu kasar, Halayudha...."
"Saya bisa lebih kasar lagi, Tantra.... Mari kita lihat, siapa yang bisa bergerak lebih cepat. Dengan Mahapatih berpihak kepada Raja, kalian semua bisa memperkirakan apa yang akan terjadi."
"Kamu akan ke Lumajang?"
"Terlalu mudah diketahui, karena tak ada kepercayaan kepada para senopati yang kini ada di Keraton. Segala macam senopati pengasihan, yang diberi pangkat dan derajat, tak lebih dari cacing yang diberi prada..."
Umpan yang pertama bagi Halayudha ialah memastikan agar lawan mengetahui dirinya pergi ke Lumajang. Yang berarti memanggil kembali Mahapatih Nambi. Yang ditambahi arti oleh Halayudha bahwa ini bukti bahwa Raja tidak mempercayai senopati yang ada. Sekaligus Halayudha mengaitkan dengan diangkatnya berbagai senopati yang memakai nama Pengasihan, yang dianggap tetap cacing meskipun dilapisi emas.
"Halayudha tahu bahwa semua senopati pengasihan diangkat oleh Manmathaba. Namun dengan melemparkan kesalahan, seolah kelompok dharmaputra yang sengaja membentuk barisan.
"Tak segampang itu. Halayudha...."
"Apakah aku perlu memperlihatkan surat perintah Raja?"
Halayudha mencabut cincin dari jari manisnya. Tantra tak ragu lagi bahwa Halayudha memang menjadi utusan resmi Raja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tantra, masih ada waktu untuk bertobat. Sebagai sesama senopati, saya memberi kesempatan padamu untuk sowan kepada Raja. Besar kemungkinan Raja berkenan mengampuni orang yang bersedia bertobat...."
Senopati Tantra menggeram. Kakinya menginjak tanah lebih keras.
"Saya tahu selama ini pengaruh Senopati Semi dan Senopati Kuti..."
Beringas Senopati Tantra menggebrak maju. Satu tangan bergerak cepat merampas tali kekang kuda Halayudha. Yang hanya dengan sedikit menjepit perut kuda dan menarik keras, sambaran lawan bisa dihindari.
Senyum kemenangan Halayudha memancing kemarahan Senopati Tantra yang segera menghunus kerisnya. Tubuhnya terayun ke depan, mengangkasa. Tusukan kerisnya langsung ke tangan Halayudha, persis yang memegang tali kekang.
Halayudha menjilat bibirnya. Tali kekangnya justru dibuka, disabetkan kearah keris. Dengan sekali sentak, tali ditarik kuat.
Senopati Tantra merasa tenaganya terpancing. Masih terkelebat bayangan untuk adu tenaga Karena merasa lebih unggul. Keris dan tali kekang, bagaimanapun lebih menguntungkan pemegang keris.
Tapi Halayudha tidak membiarkan tali kekangnya putus. Bersamaan dengan menyentak, tangan kanannya yang bebas meraup wajah Senopati Tantra. Yang terpaksa membuang ke belakang dan melepaskan sergapannya. Hanya ketika membuang ke belakang, pada saat menyentuh tanah, tubuhnya kembali lagi menyerang. Halayudha hanya mengeluarkan suara dingin. Kaki depan kuda yang ditunggangi mendadak terangkat keras, disertai ringkikan tinggi.
Tendangan kaki kuda ke arah tubuh yang tengah menyergap.
Bagi Senopati Tantra serangan kaki kuda tak menjadi masalah besar Dengan mudah Ia bisa menangkis atau menghindar. Akan tetapi ternyata bersamaan dengan itu, tubuh Halayudha melorot turun, memutari punggung dan perut kuda, untuk menyerang dan bawah.
Gesit, liat, dan tepat. Tungkai kaki Senopati Tantra bisa disentuh dan disentakkan.
Sehingga ketika bisa menginjak tanah, agak terpincang-pincang.
Sementara Halayudha sudah duduk kembali di punggung kuda dengan gagah.
"Tantra... cukup...."
Suara yang mempunyai pengaruh besar menghentikan langkah Senopati Tantra.
"Bagus, kamu mendengar perintah dengan baik. Seperti kuda ini..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha tidak memedulikan wajah Senopati Tantra yang marah terbakar. Halayudha memutar kudanya dan segera melaju ke arah timur.
Tanpa melihat pun Halayudha mengetahui bahwa Senopati Semi yang memerintahkan agar pertarungan tak usah dilanjutkan. Bagi Halayudha sudah cukup untuk meletikkan dendam permusuhan.
Api telah disulut. Dengan cara seperti ini, biar bagaimanapun kelompok Senopati Semi akan memperhitungkan apa yang akan dilakukan nanti.
Dengan harapan, bahwa mereka tidak sabar dan membuat gerakan perlawanan. Saat itulah Halayudha akan maju menumpas. Perlawanan semu itu sengaja diciptakan, agar lawan terpancing.
Dan lawan bergerak lebih dulu.
Saat itu Halayudha akan mendahului.
Untuk itu Halayudha memerlukan sedikit persiapan. Maka kira-kira sepenanak nasi, ia memberi perintah kepada sepuluh anak buahnya untuk tidak menyatu.
"Kita berpencar untuk menghindari kuntitan orang yang tidak menyukai tugas. Kalau perlu kita hanya bertemu di Lumajang."
Tak sulit bagi Halayudha untuk memutar kudanya ketika sendirian.
Memutar balik ke Keraton.
Berindap masuk, menemui Permaisuri Indreswari.
"Apa lagi yang kamu ributkan?"
Dengan suaranya yang gemetar Halayudha menceritakan apa yang ada di kepalanya. Bahwa ketika sedang mengemban dawuh, ia mendengar adanya kelompok senopati yang akan melakukan perlawanan.
"Saat Keraton tengah sepi. Karena Manmathaba sudah kalah, karena tak ada lagi yang ditakuti. Duh, Permaisuri yang agung dan bijaksana...
Bahkan mereka menyinggung-nyinggung nama Yang Mulia...."
"Apa yang mereka katakan tentang diriku?"
"Mereka mengatakan, kenapa Permaisuri tidak mengikuti Baginda ke Simping" Kata mereka, bukankah selayaknya istri mengikuti suaminya"
"Mereka picik dan tak bisa membedakan antara permaisuri dan selir yang harus melayani Baginda...."
"Orang-orang kecil mulai berani bersuara....
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku tak bisa menerima kalimatmu begitu saja, Halayudha. Aku akan meneliti secara saksama apakah laporanmu benar atau tidak. Kalau tidak, kamu tahu sendiri akibatnya."
"Hamba hanya melaporkan apa adanya...."
"Apa yang ada di kepala mereka ini" Dikiranya aku lebih suka di sini karena di sini lebih enak" Keraton ini makin lama makin menjadi tempat orang bisa membuka mulut sembarangan....
"Baik kalau begitu. Akan kuselesaikan sekarang juga. Akan kupanggil semuanya...."
Halayudha tak menduga bahwa itu yang akan dilakukan Permaisuri Indreswari. Dugaannya: secara diam-diam Permaisuri Indreswari akan mengadakan penyelidikan. Dan bukan memanggil secara terbuka.
"Maaf, Permaisuri Yang Mulia, mana ada pencuri mengakui perbuatannya"
"Aku sudah muak dengan omongan di belakang. Panggil Kuti, Semi, Pangsa... menghadapku, sekarang juga. Bersama kamu di sini. Aku ingin tahu semuanya."
Taktik Menampi Beras SEKALI ini Halayudha tak berkutik.
Ia tak bisa pergi ke mana pun, sementara tujuh senopati utama yang diistimewakan diperintahkan menghadap Permaisuri. Bagi Halayudha, kini dirinya seperti ditelanjangi.
Dengan berhadapan langsung, kedoknya terbuka. Secara tidak langsung Senopati Semi mengetahui dengan jelas tak terbantah bahwa Halayudha mempunyai tipu muslihat busuk. Di belakang hari atau sekarang ini juga, dirinya bisa hancur.
Sebagai sesama ksatria, menghadapi para senopati pilihan ini, Halayudha tidak gentar. Pertarungan satu melawan satu akan dihadapi dengan tenang. Akan tetapi sekali ini jauh berbeda. Tak ada pertarungan terbuka satu lawan satu.
Yang ada adalah satu orang melawan kekuasaan.
Dirinya menghadapi seluruh Keraton.
Terang tak mungkin bisa menang. Bahkan untuk mundur pun tak sempat.
Selama menunggu, Halayudha berusaha berpikir keras. Segala taktiknya yang dikira kuat, setiap kali buyar tak menentu. Keinginannya untuk mengadu domba yang dianggap begitu matang, bisa dimengerti oleh Permaisuri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Padahal dengan melaporkan kepada Permaisuri, Halayudha tadinya mengira bisa masuk ke sisi yang lebih aman.
Akan tetapi justru sebaliknya.
Berarti hanya tinggal satu pegangan. Yaitu Raja!
Berbekal cincin Keraton, Halayudha berusaha menghadap Raja.
Meskipun ini hanya bersifat untung-untungan, akan tetapi tak ada kesempatan yang lain. Di saat para senopati yang dipanggil belum terkumpul, Halayudha berharap bisa sowan ke Raja.
Betapa leganya ketika akhirnya dirinya dipersilakan menghadap.
Sekali ini Halayudha memantapkan dirinya. Tak akan ragu lagi.
"Apa lagi urusannya?"
"Duh, Raja yang bijaksana... hamba ternyata tak bisa menunaikan tugas dengan baik. Hamba bersedia dihukum sekarang juga. Dengan ini hamba mengembalikan mandat Raja, mengembalikan cincin...."
"Sebelum aku menghukum mati, apa yang akan kamu katakan?"
"Dalam perjalanan, hamba mendengar suara-suara aneh yang tak bisa dipercaya. Suara dari tujuh senopati utama yang meminta bantuan Permaisuri Indreswari agar Mahapatih Nambi tak perlu ditarik kembali ke Keraton...."
"Tujuh senopati utama... senopati utama?"
"Duh, Raja yang bijak...
"Mereka masih memakai sebutan dharmaputra, gelar pemberian Baginda. Sesungguhnyalah mereka ini masih berharap Baginda berada di Keraton.
"Itu sebabnya mereka memohon kepada Permaisuri, yang mengetahui jasa-jasa ketujuh senopati saat membangun Keraton...."
"Apakah suara aneh yang kamu dengar ada buktinya?"
"Saat ini mereka sedang dikumpulkan Permaisuri. Untuk didengar dan dipertimbangkan usulnya, agar Mahapatih Nambi tak usah ditarik kembali. Kalau tidak begitu, pastilah tak perlu menahan hamba yang sudah berada dalam perjalanan...."
Raja Jayanegara mengeluarkan suara agak keras.
"Sampai sejauh itukah"
"Ibu lupa bahwa aku sekarang adalah raja. Dan raja hanya seorang, satu-satunya yang didengar dan memerintah.
"Kadang aku tidak percaya padamu. Tapi sekali ini agaknya perlu didengarkan. Semakin tidak masuk akal kabar itu, kadang semakin ada kebenarannya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi Halayudha ini merupakan permainan terakhir.
Kalau usahanya gagal, semuanya berantakan. Dan habislah dirinya.
Karena kini ia bermain langsung di pusat kekuasaan.
Nyatanya lebih berhasil. Ibarat kata seperti beras yang ditampi. Yang diputar-putar di atas nyiru. Makin di pinggir, gerakan itu makin kuat. Sedang di tengah, berasnya justru tak bergerak. Tapi sumber gerak di pinggir berasal dari bagian tengah.
Inilah yang sekarang dimainkan.
"Menurut pendapatmu, kenapa senopati utama melakukan itu?"
"Bisa saja kesalahan ditimpakan kepada para senopati, yang masih lebih setia kepada Baginda. Mohon maaf atas kelancangan yang berdosa ini.
"Akan tetapi, lebih maaf lagi, rasa-rasanya Permaisuri Indreswari membuka peluang untuk muncul pengaduan seperti ini. Karena tanpa peluang, rasa-rasanya, para senopati tetap tak berani mendongak."
"Bisa kuterima. "Mereka tetap prajurit, tetap kawula. Kalau tak diberi kesempatan, tetap tak berani membuat tafsiran kenapa Baginda pergi ke Simping karena aku telah memerintahkan.
"Bisa kuterima alasanmu.
"Yang menjadi pertanyaanku sekarang, kenapa Ibunda memberi kelonggaran itu"
Masuk! Tepat!
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Halayudha tahu bahwa kegelisahan dan kecurigaan mulai bersemi.
Dan akan sangat cepat tumbuh.
Kalau Raja sudah mencurigai Ibunda Ratu-dan atau sebaliknya, berarti sudah segalanya.
Halayudha tak perlu memberikan jawaban.
Karena tanpa dikatakan pun, Raja mengetahui. Atau menduga bahwa campur tangan Ibunda Ratu bisa diartikan belum menganggap raja yang sekarang ini mampu mengatasi sendiri. Bahwa raja yang sekarang ini masih terlalu kanak-kanak untuk mengambil keputusan.
"Agaknya mereka semuanya perlu tahu siapa yang memerintah Keraton
"Halayudha, kamu tetap berangkat ke Lumajang...."
"Hamba..." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tak ada urusan. Ingsun yang akan menyelesaikan, tanpa harus mengangkat pantat dari tempat ini...."
Halayudha menyembah. Memundurkan diri. Tidak segera menuju Lumajang, akan tetapi menghadap kepada Permaisuri Indreswari. Melaporkan bahwa ia meninggalkan tempat penantian, karena ada prajurit yang mengetahui kehadirannya, dan melaporkan kepada Raja. Sehingga ia dianggap tidak mau menjalankan tugas.
"Hamba melaporkan juga mengenai komplotan senopati utama yang sudah diselesaikan persoalannya oleh Permaisuri Yang Mulia...."
"Apa lagi?" "Hanya itu...."
"Jangan kamu sembunyikan sesuatu...."
"Duh, hamba tak bisa menghaturkan apa-apa...."
"Apakah Raja juga menanyakan kenapa aku tidak segera ke Simping?"
Halayudha menyembah hormat dan menggeleng.
"Apakah Raja menyinggung kenapa aku yang memanggil para senopati utama?"
Halayudha kembali menyembah dan menggeleng lembut.
"Apakah ini menjadi persoalan?"
Halayudha menyembah, tidak menggeleng.
"Apa" "Katakan, Halayudha!"
"Raja Jayanegara hanya mengisyaratkan Permaisuri jangan terlalu berbaik dan bermurah hati...."
Permaisuri bangkit dari duduknya.
"Apakah tersirat bahwa aku dianggap tidak mengetahui dan tidak bijaksana, karena terlalu murah dan baik hati" Apakah aku dianggap tidak mengetahui urusan Keraton"
"Raja Jayanegara adalah putraku.
"Kukandung. Kulahirkan. Kudidik.
"Sejak sebelum berada dalam kandungan pun, aku sudah menyiapkan takhta untuknya. Segala penderitaan dan pengorbanan kulakukan untuk putraku.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah mungkin aku tidak mengetahui keadaan dan tata pemerintahan dan tipu muslihat"
"Apa aku sudah sedemikian bodoh, sehingga menjadi terlalu mulia, terlalu baik hati?"
Halayudha menggigil. Kali ini betul-betul karena gemetar. Untuk pertama kalinya, komentar Permaisuri Indreswari terdengar secara langsung. Dan di luar dugaannya. Tak pernah diperhitungkan sama sekali. Selama ini dianggapnya sebagai satu.
Ya ibunya, ya anaknya. Ternyata tersisa pula ganjalan.
Betapapun kecilnya, ternyata bisa diperbesar.
"Lalu apa maumu?"
"Hamba hanya mengabdi...."
"Kamu tetap akan ke Lumajang?"
"Biarlah hamba mati kaku di tempat ini...."
"Tidak, Halayudha. "Matamu bersinar terang ketika kusebut nama Lumajang. Kamu lebih suka pergi ke sana. Karena itu berarti menunaikan tugas Raja.
"Itulah mengabdi."
Halayudha tak berani menelan ludah.
"Kala Gemet putraku. Tapi ia raja....
"Ibunya bukan ibunya, ramanya bukan lagi ramanya...."
Suaranya mengandung nada getir.
Luh Putri Boyongan NAPAS Permaisuri Indreswari tersengal.
Bibirnya gemetar, kering, pandangannya kosong, menembus jarak pandang di depannya. Walaupun Halayudha mampu menyelam ke dalam alam pikiran Permaisuri, barangkali tetap tak bisa menemukan alasan yang tepat. Apa yang sesungguhnya membuat Permaisuri Indreswari mendadak begitu berduka, begitu merintih. Jalan pikiran Halayudha terhenti kepada perhitungan bahwa duka itu terasakan, karena kini Raja memutuskan sesuatu di luar pengetahuan ibunya.
Atau sekitar itu. Lebih jauh lagi tak teraba.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan salah Halayudha kalau tak bisa menangkap getaran kepiluan.
Karena selama ini Halayudha tidak benar-benar bisa merasakan apa yang sesungguhnya bertarung dalam batin Permaisuri.
Kasih Diantara Remaja 5 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Pendekar Pedang Kail Emas 5
"Aku mendengar semua itu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bukankah secara gamblang telah diperkirakan bahwa seorang Jayakatwang bisa mengangkat senjata kepada Baginda Raja. Apa pun kebaikan yang telah ditanam sejak Jayakatwang belum lahir."
"Oho, jadi itu yang kamu maksudkan telah mengatakan segalanya"
"Truwilun, apakah kamu lupa kisah mengenai Kidung Paminggir Bahwa kitab itu ditulis Eyang Sepuh dari Perguruan Awan, yang juga melahirkan Kitab Bumi! Bahwa Baginda Raja sedemikian murkanya, sehingga sejak saat itu Baginda Raja tak sudi melihat bayangannya sekalipun"
"Apakah kamu tak pernah mendengar, Truwilun?"
"Sejauh yang hamba dengar, begitulah permulaannya.
"Baginda Raja sedemikian murka, seperti siapa saja yang mendengarkan.
Karena dari kitab itu, kidungan yang ada bisa diartikan jauh melenceng dari kehendak para Dewa. Bahwa orang-orang paminggir, orang-orang yang tidak diperhitungkan, orang-orang kesrakat, selama ia masih manusia, bisa naik ke jenjang yang tinggi.
"Bahwa bukan hanya keturunan raja yang bisa memegang takhta.
Bahwa orang-orang pinggiran, suatu ketika akan memegang kekuasaan, baik secara resmi ataupun tidak."
"Tunggu," Baginda memotong dengan cepat. "Apakah itu yang mau kamu katakan dari sorot sinar matamu tadi" Apakah itu ada kaitannya dengan penerus setelah putraku Jayanegara memegang takhta untuk waktu yang tidak lama"
"Itukah yang ingin kamu katakan?"
"Hamba tak akan mengatakan apa yang samar dan tak terlihat. Kalau betul hamba bisa mengetahui, hamba tak akan berani berdusta."
"Truwilun, rasa-rasanya kamu mengetahui apa yang telah terjadi di Keraton Singasari. Sejauh ini keterangan yang ada agak simpang-siur.
Apa yang sesungguhnya terjadi sehingga Baginda Raja tak mau menerima dan merestui Kidung Paminggir?"
"Kidungan itu diciptakan oleh Eyang Sepuh, karena perkenan dan permintaan Baginda Raja. Akan tetapi ketika kitab itu dijabarkan dan diuraikan, Baginda Raja merasa bahwa Eyang Sepuh menyiapkan kraman, pemberontakan besar-besaran seluruh rakyat. Bahwa mereka mempunyai hak yang sama untuk berada di kursi kekuasaan, di dampar kencana.
"Ajaran yang sangat kurang ajar.
"Meniadakan tata krama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Menjungkir-balikkan sejarah. Mengubah kemauan para Dewa."
"Dan kemudian Baginda Raja merasa bahwa itu yang akan terjadi?"
"Baginda Raja menegaskan, bahwa keleluasaan manusia tak pernah jelas batasnya. Bahwa kesempurnaan manusia akan dicapai saat menjadi maha-manusia."
"Truwilun, jelaskan padaku, kenapa Baginda Raja melihat kemungkinan menjadi mahamanusia pada diri manusia?"
"Hamba baru saja mengatakan, bahwa Baginda Raja membuat batas tanpa tepi. Usaha yang dilakukan Baginda Raja tak pernah setengah-setengah. Itu sebabnya seluruh senopati yang ada dikirimkan ke tanah seberang. Itu sebabnya Ksatria Pingitan didirikan. Itu sebabnya semua penduduk diajari ilmu silat yang bersumber dari Kitab Bumi secara besar-besaran.
"Hamba hanya bisa menangkap seujung rambut dari gagasan Baginda Raja yang maha luas, yang melihat sesuatu tanpa batas-batas yang ada.
Demikian juga halnya dalam melihat manusia."
"Apakah ada pengaruhnya, dalam dunia persilatan dan keprajuritan?"
"Masih harus dibuktikan, Baginda.
"Sewaktu Kitab Bumi diresmikan sebagai ajaran resmi ilmu kanuragan, terjadilah perubahan besar-besaran yang luar biasa. Semua penduduk, semua lelaki, tanpa kecuali, bisa bermain silat. Setiap saat ada prajurit yang berada di tengah sawah, di tengah laut, di pasar.
"Rencana berikutnya untuk meresmikan Kitab Air, agak sayang, tak bisa dilaksanakan karena sejarah berjalan berbeda dari yang diperkirakan Baginda Raja.
"Apalagi dengan Kidung Paminggir.
"Adakah gemanya?"
"Kitab Bumi, Baginda bisa menemukan secara langsung. Sejak menghadapi prajurit dari Gelang-Gelang, hingga penggiringan pasukan Tartar yang kesohor, sampai sekarang ini.
"Pengaruh Kitab Air, sekarang mulai terasakan dengan munculnya Pendeta Manmathaba, Pangeran Anom, Gendhuk Tri, yang dalam beberapa waktu dekat ini akan meramaikan percaturan dunia persilatan.
"Kitab Paminggir... tak ada yang mampu meramaikan apa yang sesungguhnya bakal terjadi dengan gelombang perubahan dalam jagat ini. Sebab semua dibuka kemungkinannya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Berbeda dari Kitab Bumi dan Kitab Air, Kitab Paminggir dalam kidungannya sama sekali tidak menyinggung cara berlatih ilmu silat atau mengatur pernapasan."
"Justru karena itu agak mengerikan, Baginda. Dengan niat, niyatingsun menjadi mahamanusia, dengan bekal Kitab Bumi atau Kitab Air, segala apa bisa terjadi. Segala jalan bisa ditempuh dan diadakan.
"Tak ada lagi yang bisa dibedakan, mana jalan ksatria yang sesungguhnya dan mana jalan yang menjadikan pembenaran semata."
"Apakah aku masih akan mengalaminya?"
"Baginda sudah mengalami, sekarang ini...."
Baginda memejamkan matanya. Menghela napas berat.
Tubuhnya seperti menggigil.
Bersamaan dengan masuknya Pendeta Manmathaba yang menyembah hormat, bersila, dan menunduk dengan dalam.
Sanggar Pamujan di Simping
BAGINDA mengelus dagunya sambil mengembuskan napas kesal.
"Ada kabar apa, Manmathaba?"
"Duh, Baginda, semata-mata hanya karena menjalankan tugas dari Raja, sehingga hamba memberanikan diri menyeruak kemari. Segala dosa dan kehinaan sepenuhnya hamba tanggung.
"Berat menjadi senopati yang ngemban dawuh, menjalankan perintah Raja."
"Apa yang menjadi dawuh pada malam begini?"
"Raja telah membangun sanggar pamujan di wilayah Keraton yang paling tenteram, paling indah, di wilayah Simping. Sanggar pamujan yang lama telah diperbaharui, telah dijadikan lebih indah dari semua sanggar pamujan yang ada dalam wilayah kekuasaan Keraton.
"Bila Baginda berkenan..."
"Cukup!" Baginda berdiri dengan gagah.
"Raja yang memberi titah itu anakku. Yang kujadikan raja karena kehendakku."
"Hamba hanya..."
"Tidak bisakah menunggu...
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dewa Jagat Binatara, atas nama para Dewa yang kuasa, sedemikian inikah balas budi yang dilakukan putraku" Memberitahu ayahnya di tengah malam, agar segera berangkat ke Simping, agar tak berdiam lagi di Keraton"
"Mimpi pun tak pernah seperti ini."
Lalu dalam tarikan napas yang berikutnya, menatap ke arah Truwilun.
"Semua yang kamu katakan benar, Truwilun.
"Aku sudah mengalami masa itu. Sekarang ini. Mengulang apa yang dialami Baginda Raja. Hanya kali ini oleh putraku sendiri...."
Pendeta Manmathaba menyembah hormat.
"Tidak ada maksud buruk Raja.
"Baginda bisa memilih di mana saja...."
"Tanggalkan topengmu, Manmathaba.
"Aku mempunyai pengalaman lebih luas dari wilayah yang pernah kamu jelajahi. Apa pun kalimat yang dipakai, aku tak baik tinggal di Keraton.
"Karena kamu diminta menyampaikan malam ini juga.
"Luar biasa." Tangan Baginda mengibas. Pendeta Manmathaba masih menyembah.
"Apakah gerakan tanganku bahkan tak punya arti untuk memerintahkan kamu minggat dari hadapanku, Manmathaba?"
"Secepatnya, Baginda.
"Hanya saja Raja memerintahkan Truwilun menghadap...."
Alis Baginda berkerut. "Tahukah kamu bahwa Truwilun tak akan meninggalkan tempat ini?"
"Hamba diperintahkan untuk menghadapkan. Sebisa mungkin hamba menjalankan tugas."
Mendadak Baginda menepukkan kedua tangannya keras sekali.
Tawanya menggelegar. Sehingga Gendhuk Tri merinding.
"Ini hebat, kelewat-lewat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku tak mau mencampuri urusan siapa saja. Hanya ingin mendengar dari mulut Truwilun. Apakah kamu akan sowan kepada rajamu ataukah kamu menunggu di sini?"
Truwilun menyembah. "Kalau batu tak bisa mendekat, manusia yang mendekati batu. Kalau gunung tak bisa mendatangi, manusia yang mendatangi."
Baginda mengangguk. "Aku terluka, Truwilun.
"Sakit dadaku. "Tapi aku ingin menitipkan putra. Barangkali kamu masih bisa berbuat sesuatu...."
Baginda menunduk, menepuk pundak Truwilun, mendekap. Sesaat.
Kemudian bergegas pergi, diiringkan prajurit yang mengawal.
Truwilun dan Manmathaba masih terus menyembah, sampai bau harum tubuh Baginda tak berbekas lagi.
"Kita berangkat sekarang, Senopati Manmathaba?"
Pendeta Manmathaba menyunggingkan senyumnya.
"Tadinya aku mengira kamu ini peramal sakti mandraguna, yang ilmunya linuwih, bisa melihat ke masa depan. Tak tahunya melihat apa yang terjadi sekarang saja tak mampu.
"Ilmu anak-anak yang kamu pamerkan tak ada gunanya bagiku.
"Bagaimana mungkin Raja tergugah memanggilmu" Apakah Halayudha itu yang ingin memancing di kericuhan"
"Truwilun, benarkah kamu bisa meramal" Benarkah kamu mempunyai ilmu nujum yang mengagumkan"
"Kenapa kamu tak bisa melihat siapa diriku yang sebenarnya" Kenapa kamu menyebutku Senopati Manmathaba?"
"Maaf, Senopati Manmathaba, rasanya Senopati tidak berharap disebut sebagai Pendeta, karena terlibat langsung dengan cara mengatur pemerintahan.
"Saya tak bisa menyebut sebagai Mahapatih, karena nyatanya masih ada Mahapatih Nambi, yang walaupun tidak berada di Keraton, masih memegang pangkat tersebut. Dan Raja belum berniat mengangkat dua mahapatih."
"Raja dan Permaisuri telah mengatakan dan menjanjikan pangkat itu
" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau demikian halnya, kenapa Senopati Manmathaba kuatir dengan kebodohan saya?"
Manmathaba berdiri. Tangannya menepiskan pakaian yang dikenakan.
"Apa pun atau siapa pun, tak bisa bermain-main denganku. Tidak juga kamu atau Halayudha. Setiap saat aku bisa melumatkan tubuhmu.
"Truwilun, bersiaplah.
"Para pengawal akan menyertaimu."
Truwilun menunduk hormat. Menghela napas. Lalu berjalan ke arah halaman. Menemui Cantrik yang masih mengikuti.
Para prajurit Keraton bersenjata lengkap mengawal dari segala penjuru.
"Saya berangkat dulu, Cantrik...."
"Sumangga..." Sampai di sini Gendhuk Tri tak melihat apa-apa. Karena bayangan Truwilun makin menjauh dan hilang dalam kegelapan.
Janaka Rajendra menghapus keringat di dahinya.
"Pangeran Anom..."
"Apa, Adik Tri?"
"Rasa-rasanya akan banyak terjadi perubahan dalam Keraton. Untuk sementara pasti akan merepotkan Pangeran. Karena itu, bagaimana kalau kita berpisah di sini saja" Saya akan meneruskan perjalanan seorang diri, dan Pangeran tak perlu menerjang bahaya...."
"Adik Tri, kalau Adik tidak menghendaki saya temani, Adik bisa mengatakan langsung. Saya akan pergi dengan sendirinya. Tapi kalau memakai alasan yang lain, saya tak akan menerima. Tak ada sanggar pamujan di Simping bagi saya...."
Gendhuk Tri menggeleng cepat.
"Bukan begitu masalahnya."
"Kalau begitu, biar saja saya menemani Adik."
Kali ini Gendhuk Tri yang menyeka keningnya.
"Baiklah, baiklah. "Kita berdua tak perlu mempertengkarkan masalah ini. Hanya kelihatannya Keraton akan membara kembali...."
Yang namanya Keraton selalu membara, Adik. Saya hidup dan dibesarkan di Keraton.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ya, ya, Pangeran benar.
"Akan tetapi sekali ini..."
"Selalu begitu...."
"Ya sudah, selalu begitu!
"Yang sekarang ini, raja sekarang ini, ternyata mulai mengasingkan Baginda. Dalam pengaruh Manmathaba yang sakti dan jahat, seluruh Keraton bisa porak-poranda. Agaknya yang bernama Halayudha juga masih berperan.
"Saya mempunyai dugaan kuat, bahwa Halayudha yang langsung melaporkan kepada Raja, bahwa Baginda datang ke Kiai Truwilun Dan mengusulkan sesuatu, agar Raja berada di tanah yang lapang, tak ada batu sandungan.
"Melihat ketelengasan hati Raja dan cara memutuskan perkara begitu cepat, bukan tidak mungkin sekarang ini semua telah terbasmi.
"Semua siapa saja"
Hampir saja Gendhuk Tri menyebutkan nama Upasara. Nama itu sudah bergantung di ujung lidahnya, akan tetapi ditelan kembali.
"Raja benar-benar sendirian. .
"Senopati Agung Brahma dikirim ke seberang. Kemudian Baginda ditempatkan di sanggar pamujan, di Simping. Mahapatih Nambi diistirahatkan.
"Tak ada lagi yang tersisa."
"Kalau semua yang menghalangi dihabisi, atau yang dianggap melawan dihabisi seketika, wah, akan banyak korban. Termasuk Upasara Wulung yang masih menjadi tawanan."
"Kenapa Pangeran lebih memperhatikan Kakang Upasara"
"Tak ada yang tidak saya kagumi dalam diri Upasara Wulung. Ksatria yang begitu luhur budinya, tetapi begitu buruk nasibnya.
"Mudah-mudahan jasadnya dimakamkan dengan baik."
"Ngawur!" Kali ini Gendhuk Tri berteriak keras, hingga seluruh isi rumah terkejut.
"Siapa yang bilang Kakang Upasara sudah meninggal"
Tata Tentrem JANAKA RAJENDRA terkejut melihat reaksi Gendhuk Tri. Lebih terkejut lagi karena serentak dengan itu puluhan prajurit menyerbu masuk.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ruangan bagian dalam yang tadinya lengang, sepi, kini dipenuhi para prajurit yang berdiri dengan senjata terhunus. Gendhuk Tri dan Janaka Rajendra yang berada di balik ruang utama melihat bayangan Cantrik menyelinap masuk.
Wajahnya tampak kuyu, sedih, prihatin, menggeleng lembut.
"Barang siapa menyebut-nyebut nama Upasara Wulung, harap segera keluar," terdengar perintah dari salah seorang pemimpin prajurit.
Gendhuk Tri ragu antara menampakkan diri atau bersembunyi.
"Kalian tak bisa menyembunyikan diri terus-menerus. Kalau tikus tak mau keluar, rumahnya yang dibakar."
Ini yang tersirat dari wajah Cantrik.
Bahwa kesulitan yang utama, rumah yang didiami ini bisa diobrak-abrik atau bahkan dibakar. Dengan demikian akan terjadi keonaran, dan masyarakat yang sedianya datang berobat kepada Kiai Truwilun jadi tidak mempunyai tempat lagi.
"Maaf...," kata Gendhuk Tri lirih.
Sekali menekuk lututnya, tubuhnya melayang dari bagian belakang.
Sehingga memancing para prajurit agar ke bagian lain rumah.
Namun ternyata di sana sudah ada pasukan yang menunggu.
"Mau lari ke mana, tikus kecil?"
Rasa dongkol Gendhuk Tri meninggi sampai sebatas leher.
"Aku di sini. Marilah mendekat, biar kalian mengetahui siapa aku.
Jangan main sesongaran, membusungkan dada seperti anak kecil.
Kalian boleh menjajal menangkapku, setelah kalian mengatakan apa salahku."
"Sungguh tak kukira, anak gadis kemarin sore berani bermulut lebar.
Masih berani bertanya apa salahnya"
"Sungguh berlebihan.
"Ketahuilah bahwa kami semua ini para prajurit penjaga keamanan, menjaga tata tentrem, agar semua berjalan tertib dan damai. Kami berhak menahan dan mengetahui serta menanyakan hal-hal yang dianggap bisa mengganggu tata tentrem.
"Karena kamu meneriakkan nama Upasara, lebih baik kita bicara di tempatku bekerja."
Diam-diam Gendhuk Tri merasa heran.
Rasanya belum sepekan lalu ia malang-melintang di Keraton. Rasanya saat itu seluruh prajurit Keraton melihat ke arahnya. Meskipun
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sekarang penampilannya sedikit berbeda, akan tetapi bukan berarti tak bisa dikenali dengan gampang.
Namun nyatanya para prajurit yang mengepungnya ini sama sekali tak mengenali. Berarti mereka adalah para prajurit yang baru.
Yang agaknya dibentuk secara mendadak untuk menjadi prajurit yang menjaga tata tentrem, agar masyarakat menjadi tertib dan damai.
Dilihat dari sisi ini benar dugaannya semula. Bahwa selalu banyak perubahan mendadak yang dilancarkan dari Keraton.
Bahkan membicarakan Upasara saja dinilai mengganggu tata tentrem sehingga harus berurusan dengan pihak prajurit Keraton.
"Memangnya apa salahnya menanyakan Kakang Upasara?"
"Tak perlu berpura-pura. Larangan pertama yang dikeluarkan adalah dilarang keras membicarakan siapa atau apa yang melakukan kraman di hari penobatan.
"Kalau mau sok gagah, akui kesalahanmu."
Gendhuk Tri merasa sebal. Tangannya bergerak cepat. Memutar ke depan, sementara kakinya juga membuat gerakan memutar. Tubuhnya bergerak, dan seirama dengan itu, dua prajurit yang berada di depan terdorong dalam putaran. Hanya dengan sekali menyentak dan menarik tenaganya, dua prajurit itu bertubrukan. Jatuh berimpitan dan berteriak.
"Tidak berhenti di situ saja, Gendhuk Tri menerjang maju. Setiap gerakan, baik dengan siku, tinju, tendangan, sabetan, membuat para prajurit yang bersiaga gagah jadi tunggang-langgang. Buyar tak tentu tempatnya berdiri.
"Apalagi ketika Janaka Rajendra ikut bergabung.
"Belum tiga jurus dimainkan bersama, para prajurit yang mengepung terpontang-panting. Sebagian besar malah tergeletak di tanah sambil memegangi bagian tubuhnya yang benjol atau kesakitan.
"Adik, jangan kita buat onar di sini. Pasti sebentar lagi akan datang bantuan."
"Sayang juga. Ini permainan menarik. Tetapi daripada Cantrik tertimpa bencana, kita lebih baik pergi."
Gendhuk Tri menotol dan tubuhnya melayang ke angkasa dengan indah. Janaka Rajendra melakukan gerakan yang sama. Sehingga keduanya bagai pasangan penari yang sedang memamerkan kebolehannya. Apalagi ketika keduanya turun bersamaan, menotol tanah, dan kemudian dengan gerakan yang sama melayang kembali.
Bagai sepasang kupu-kupu yang menari.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya karena Gendhuk Tri tak ingin melibatkan Truwilun dan Cantrik serta penduduk yang berobat, ia segera melarikan diri ke arah yang lebih jauh lagi.
"Pangeran, berapa lama sebenarnya kita berjalan?"
"Kenapa, Adik?"
"Bukan kenapa-kenapa. Rasanya belum ada sepasar kita berada di Keraton kini keadaannya jauh berubah. Para prajurit yang siap mengamankan tata tentrem berkeliaran di sembarang tempat. Memata-matai setiap sudut, menangkap semua pembicaraan."
"Mereka menjadi sangat hati-hati."
Hal ini terbukti pada keesokan harinya. Ketika keduanya melintas di depan pasar yang biasanya ramai di pagi hari. Tempat yang menguntungkan karena di pinggiran jalan menuju ke arah Keraton.
Beberapa waktu yang lalu, Gendhuk Tri selalu menemukan tempat yang menyenangkan untuk mengisi perut.
Sekali ini sangat sepi. Masih ada satu atau dua warung yang berjualan. Akan tetapi selebihnya tutup, dan lebih banyak prajurit yang membawa tombak dan pedang, berjalan kian-kemari mengawasi keadaan secara mencolok.
"Saat pasukan Tartar menyerbu Keraton, tak dijaga seperti sekarang ini."
"Sssttt, jangan bicara keras-keras, Adik."
"Ini benar-benar keterlaluan. Kalau menjaga tata tenteram dengan berlebihan, pasar pun menjadi sepi."
Tetapi Gendhuk Tri menyadari bahwa cara pengamanan yang sekarang ini sangat membatasi gerak-geriknya. Jangan kata mendekat ke arah Keraton, di jalan pun diawasi dengan ketat. Lebih membuatnya kecut, karena hampir semua yang ditemui tak mau menjawab apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan beberapa orang segera memalingkan mukanya dan pergi meninggalkan begitu saja.
Kesadaran lain yang menyelinap dalam benaknya ialah bahwa rumah yang dipakai Truwilun bisa ditutup. Kalau dilihat sebagai sumber keonaran, Cantrik akan menemui kesulitan besar. Juga masyarakat yang datang ke tempat itu.
Gendhuk Tri sedikit menyesali apa yang diperbuat.
"Kita masih bisa berbuat sesuatu, kalau mau...."
"Apa?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Misalnya kita memberi laporan kepada pengawal Keraton, bahwa Cantrik dan Truwilun tak pernah berbuat jahat atau merencanakan gangguan...."
"Siapa yang bisa menjamin"
"Pangeran Anom" Dengan menyebut nama itu saja pasti sudah mengundang bahaya."
"Repot juga. "Bagaimana sebaiknya, Adik?"
Pembicaraan mereka juga tidak bisa berjalan lancar. Karena sesekali harus berdiam, sewaktu ada iringan prajurit yang berbaris bersama.
"Saya tak tahu. Kalau mau tahu apa yang terjadi di dalam Keraton, hanya dengan satu jalan. Mendaftarkan diri menjadi prajurit."
"Mana mungkin" Saya akan segera dikenali."
"Masa Pangeran tak mempunyai kenalan sedikit pun" Dulu kan berdiam di Keraton."
"Semua yang dekat hubungannya dengan saya ikut pindah."
"Pasti bukan semuanya. Masih ada yang tersisa."
Janaka Rajendra membenarkan gagasan Gendhuk Tri. Keduanya menyusup ke arah salah seorang kerabat Keraton. Dengan mengendap-endap, Janaka Rajendra bisa menemui, dan setelah meyakinkan bahwa dirinya sekadar mampir untuk pergi lagi, bisa memperoleh keterangan.
Yang intinya seperti yang telah diduga Gendhuk Tri.
Sejak penobatan Raja Jayanegara, wilayah sekitar Keraton dijaga oleh prajurit khusus. Tugas utamanya ialah menjaga agar tata tenteram bisa terlaksana. Siapa saja yang dicurigai berbuat onar, bisa ditangkap.
Siapa saja dapat dikenai tuduhan seperti itu. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, beberapa orang lebih suka meninggalkan wilayah dekat Keraton secara diam-diam.
Karena yang terjadi semacam balas dendam. Para prajurit baru bisa menangkap siapa saja, dengan alasan mengganggu ketenteraman.
Situasi sangat buruk karena para pedagang dan para saudagar tak bisa bergerak. Bahkan di pelabuhan tak ada kegiatan sama sekali. Kegiatan seolah berhenti.
Hanya mereka yang sakit, sudah tua, dan tak bisa menjadi prajurit yang berani bertahan.
Janaka Rajendra menitikkan air matanya.
Di Langit, Mega Pun Tak Bersisa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
GENDHUK TRI tak menduga keprihatinan Pangeran Anom sedalam itu. Selama ini dianggapnya hanya sekadar basa-basi kalau membicarakan Keraton atau rakyat kecil. Kalau ada sedikit perhatian, itu juga sebatas para pengikutnya.
Akan tetapi ternyata Pangeran Anom mempunyai perhatian yang mendarah daging. Tetesan air mata duka memperlihatkan hubungan batin selama ini.
"Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, entah apa jadinya nanti.
"Adik Tri, saya akan sowan ke Raja."
"Mana mungkin...."
"Saya sangat mengenal Raja. Kami dilahirkan dengan usia yang tak jauh berbeda. Kami dibesarkan dalam tradisi yang sama. Kami masih dipertalikan oleh darah yang berdekatan.
"Rasanya segarang apa pun, Raja masih akan mendengarkan apa yang saya katakan. Seperempat bagian saja didengarkan, akan memperbaiki keadaan."
"Apa yang Pangeran rencanakan?"
"Menyampaikan bahwa keadaan ini sangat gawat. Kalau sampai pasar dan pelabuhan tak ada kegiatan, berarti habislah semuanya. Kalau sampai penduduk merasa tak tenteram berdiam di rumahnya sendiri, itu pertanda keruntuhan kepercayaan."
"Lalu?" "Saya tahu Adik akan menertawakan saya. Akan tetapi inilah kewajiban saya menyampaikan hal yang sebenarnya."
"Itu baik, Pangeran.
"Akan tetapi Pangeran justru akan menemui bahaya. Senopati Agung Brahma akan diungkit-ungkit, demikian juga Ibu. Semua jadi berantakan."
"Barangkali akan begitu. Namun saya tak bisa berdiam diri. Demi kebesaran Keraton, demi kebenaran..."
"Kalau Pangeran memang mantap, silakan."
Janaka Rajendra mengangguk.
"Selama ini saya ingin menemani Adik. Tetapi ternyata saya tak bisa memenuhi janji. Segera setelah semua urusan ini selesai, saya tetap akan mencari Adik."
Gendhuk Tri seperti tertusuk sentuhan halus di relung hatinya.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama ini mereka selalu berduaan. Selama ini Gendhuk Tri menduga bahwa Pangeran Anom mati-matian ingin berdekatan dengannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sehingga melupakan segala urusan. Termasuk kembali ke tanah seberang.
Ternyata itu belum semuanya.
Ternyata di balik itu, masih ada nada ksatria yang tetap bisa berbicara.
Kalau selama ini Gendhuk Tri ingin melepaskan diri dari Pangeran Anom sekarang justru merasa berat. Akan tetapi, sebaliknya dari menahan, Gendhuk Tri malah mengangguk.
"Selama ini semua kebaikan Pangeran..."
"Saya tak ingin mendengar ucapan terima kasih dari Adik. Kita bukan orang lain yang perlu mengutarakan itu."
"Baik kalau tak perlu ucapan seperti itu.
"Pangeran... saya minta Pangeran berhati-hati."
"Demikian juga Adik.
"Kalau sempat bertemu Kakang Singanada, sampaikan permintaan maaf saya. Dan salam saya, serta rasa iri saya akan kebahagiaannya."
Gendhuk Tri menjilat bibirnya.
"Juga kepada Upasara Wulung, ksatria yang saya kagumi.
"Kalau saya mau bicara jujur, saya rela kalau Adik hidup berdampingan dengan Upasara. Maaf, saya tak berhak berbicara seperti ini.
"Barangkali karena akan berpisah sebentar lagi, saya bicara secara ngawur. Tapi ini semua perasaan saya, yang menjadi lebih lega kalau saya katakan. Adik Tri mau mengerti?"
Tak ada cara lain selain mengangguk.
"Saya tak tahu nasib apa yang akan terjadi pada diri saya. Keraton telah berubah menjadi kuburan raksasa. Siapa yang masuk ke dalamnya tak bisa keluar lagi.
"Barangkali hal yang sama akan terjadi pada diri saya.
"Kalau semua itu terjadi, Adik Tri... biarlah saya alami sendiri. Saya sempat mempunyai kenangan kehidupan yang paling indah.
"Sewaktu bersama Adik."
Wajah Gendhuk Tri berganti antara merah malu dan dingin kuatir.
"Kalau saya selamat, orang yang pertama saya cari adalah Adik Tri.
Maukah Adik bertemu lagi dengan saya?"
"Dengan senang hati, Pangeran."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Janaka Rajendra tersenyum.
Tangannya gemetar memegang bahu Gendhuk Tri.
Tanpa suara. Tanpa kata-kata. Lalu bergegas berjalan menjauh. Melangkah ke arah pintu luar tanpa menoleh. Gendhuk Tri ingin meneriakkan sesuatu, akan tetapi mulutnya terkunci. Dan hati kecilnya merasa dingin.
Ada sesuatu yang turut hilang bersama langkah-langkah Pangeran Anom Seperti langit sekarang ini. Bersih dari mega. Tampak sedemikian luas tapi mengesankan kosong. Gendhuk Tri termangu.
Apa sesungguhnya yang telah terjadi dengan dirinya"
Hanya dalam waktu yang singkat, sangat singkat. Sewaktu dirinya kena racun pagebluk, diam-diam Pangeran Anom membantu. Lalu di tengah pertarungan di halaman Keraton, terang-terangan Pangeran Anom membantunya. Sampai ketika merawat dan mencoba mengobati Singanada, kemudian mempelajari Kitab Air bersama Kiai Sambartaka.
Sehingga akhirnya mengikuti perahu ke negeri seberang, dan lebih dulu ke pinggir.
Ada sesuatu yang aneh, yang menggembirakan.
Tetapi juga memilukan. Daya asmara yang tulus, yang rela, yang murni dari Pangeran Anom menggugah jiwanya. Menyentuh kedewasaannya. Membuka simpul yang talinya tak disadari.
Apakah selama ini Pangeran Anom kecewa kepada sikapnya yang tak memberi jaminan sesuatu di belakang hari" Ataukah sikapnya yang agak tiba-tiba ingin masuk ke Keraton lebih dikarenakan mendengar nama Upasara" Yang sangat dikagumi dan rela menyerah dalam persaingan asmara" Ternyata tidak gampang menerima kenyataan ini.
Jauh dalam hatinya, Gendhuk Tri tidak meremehkan Pangeran Anom.
Tidak menganggap sebagaimana ia mengenal Galih Kaliki dulu, atau bahkan Dewa Maut. Bahkan diakui secara diam-diam, hatinya mulai tertarik dengan segala kebaikan dan kebajikan serta perhatiannya yang berlebih.
Semua dirasakannya sebagai daya tarik utama Pangeran Anom. Di samping wajahnya yang bercahaya.
Kalau ia tak bisa memberikan harapan atau janji tertentu, karena itulah kenyataan yang sesungguhnya. Gendhuk Tri tak tahu harus mengatakan apa, harus menjanjikan apa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketulusannya tak menghendaki ia mengatakan sesuatu yang lebih banyak untuk menenteramkan hati atau menghibur.
Tidak. Selama ini hatinya sudah tercabut untuk Kakang Upasara Wulung. Tak ada orang lain yang bisa menggantikan kedudukan Upasara di dalam hatinya.
Tapi juga disadari bahwa itu semua tidak mungkin.
Saat kesadaran itu membayang, secara tidak langsung ia menjatuhkan pilihan kepada Singanada. Dan tekadnya sudah bulat. Ia tak bisa mempermainkan kepercayaan yang ditumpahkan kepadanya, dan telah disanggupi.
Itu sebabnya ia merasa sangat kikuk terhadap Pangeran Anom.
Di satu pihak daya asmara perlahan tumbuh, tapi di pihak lain dimatikan perlahan karena tak ingin membuat kekecewaan lebih besar di kelak kemudian hari.
Kalau ada sesuatu yang menghibur Gendhuk Tri ialah bahwa selama ini hubungannya dengan Pangeran Anom baik-baik saja. Tidak saling menyakiti, tidak mendustai dari lubuk hati masing-masing.
Gendhuk Tri tersadar dari lamunannya ketika meninggalkan kediaman kerabat Keraton, dan di sudut jalan ada papan pengumuman yang ditulis besar-besar.
Pemberitahuan bahwa barang siapa melihat orang atau menemukan senjata yang mencurigakan, diharapkan segera melaporkan kepada prajurit Keraton. Barang siapa melihat orang asing yang selama ini belum pernah dilihat ada di sekeliling Keraton, diharapkan melaporkan.
Barang siapa merasa diajak membicarakan sesuatu mengenai tata kenegaraan, diharap melaporkan kepada prajurit Keraton.
Barang siapa... Makin lama Gendhuk Tri makin menyadari bahwa suasana Keraton memang lebih mengerikan dari yang dibayangkan. Membersit rasa kuatir akan nasib yang menimpa Pangeran Anom.
Benarkah Keraton menjadi kuburan raksasa"
Siapa yang masuk tak akan keluar lagi"
Gendhuk Tri menepi ketika terdengar langkah para prajurit. Di barisan depan terlihat enam belas prajurit berkuda yang mengibarkan panji. Diiringi barisan yang rapat. Agaknya mereka tengah mengawal seorang bangsawan, kalau dilihat cara pengawalannya. Agaknya sedang dalam keadaan tergesa.
Gendhuk Tri tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya ketika melihat selintas bahwa yang dikawal beramai-ramai itu adalah Ratu Ayu Azeri Baijani.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Atau matanya yang salah lihat"
Memasang dan Menelan Umpan
MESKIPUN jarak penglihatan cukup jauh, Gendhuk Tri bisa mengenali Ratu Ayu walau hanya sekelebatan. Baginya tokoh yang satu itu bisa menjadi jelas dalam angannya.
Pertanyaan pertama yang segera muncul ialah apa yang sesungguhnya direncanakan di balik penampilan Ratu Ayu. Karena agaknya arak-arakan yang sekarang terjadi seperti sengaja mempertontonkan hal ini. Semacam memasang umpan.
Kalau benar dugaannya, berarti memang ada yang diarah. Siapa lagi kalau bukan Upasara Wulung"
Gendhuk Tri bersorak dalam hati. Kalau ini benar, berarti Upasara bisa meloloskan diri. Rada mustahil, akan tetapi bukannya tidak mungkin. Dan karena masih berada di sekitar Keraton, atau diduga begitu, Upasara dipancing kembali pemunculannya dengan menampilkan Ratu Ayu.
Atau ada hal lain" Gendhuk Tri tak bisa menebak dengan tepat, tak bisa mencari pegangan dugaannya, karena kemudian disusul barisan prajurit yang lain. Yang berjajar rapi, mendatangi penduduk sekitar.
"Aku, Senopati Jaran Pengasihan, yang berkuasa atas keamanan dan ketenteraman wilayah Keraton, dengan ini menyatakan bahwa para penduduk Majapahit tidak diperkenankan melakukan segala sesuatu yang tidak mendapat restu dariku.
"Segala hal yang bertentangan dengan ini dapat dikenai hukuman."
Bahwa setiap penguasa baru memunculkan senopati baru, bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa penguasa yang baru kelihatan perlu turun tangan sendiri menerangkan kepada penduduk, di saat ada barisan lain yang secara sengaja mengarak Ratu Ayu ini membuatnya bertanya-tanya.
"Tak ada yang perlu ditonton, tak ada yang perlu dilihat. Semua penduduk dianjurkan kembali ke rumah masing-masing, dan hanya menerima komando dariku."
Belum habis bicaranya, prajuritnya segera membubarkan kerumunan. Sesuatu yang agak sia-sia, karena iringan prajurit yang membawa Ratu Ayu bersorak riuh rendah.
Bahkan kemudian bernyanyi bersama:
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seekor kuda membawa beban
masuk ke Keraton ia merasa dirinya prajurit
yang dimakan tetaplah rumput
seekor kuda tak pernah makan nasi
apa pun yang digendongnya....
Menurut Gendhuk Tri ini agak keterlaluan. Jelas bahwa rombongan yang mengiringkan Ratu Ayu sengaja menyindir dengan tembang yang biasa dimainkan anak-anak. Dari liriknya, arahnya meledek Senopati Jaran Pengasihan. Karena kuda yang dimaksudkan dalam lirik itu artinya sama saja dengan jaran.
"Jangan terpancing emosi. Kita prajurit menjaga ketenteraman.
Selama mereka hanya bersorak-sorai, biarkan saja. Akan tetapi jika mulai membuat keonaran, aku perintahkan untuk mengambil tindakan tegas dan keras."
Gendhuk Tri makin melongo.
Mana mungkin dalam wilayah dinding Keraton bisa muncul dua komando yang bertentangan" Agaknya juga, kedua kelompok ini saling menunggu, saling memasang umpan, agar kelompok lain bergerak lebih dulu, untuk kemudian bisa diamankan.
Persaingan bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi kalau diperlihatkan secara terbuka, dalam wilayah dinding Keraton, kelihatannya sangat tidak menggembirakan.
Mau tak mau Gendhuk Tri bertambah gelisah. Berarti di Keraton sendiri masih berlangsung perebutan kekuasaan secara terang-terangan. Sehingga sampai tingkat para senopati berebut keunggulan.
Kalau begini situasinya, Pangeran Anom akan sia-sia. Sebelum ia melangkah masuk, sudah disergap oleh kelompok yang berbeda dan akan saling memanfaatkan.
Gendhuk Tri tak habis mengerti. Dalam waktu yang sangat singkat, segala tata aturan bisa jungkir-balik tidak keruan. Kini bahkan pertengkaran pendapat itu mengakar sampai ke tingkat para prajurit.
"Penduduk tidak diperkenankan menyimpan senjata. Baik keris, tombak, pedang, cundrik, atau apa saja. Selain prajurit yang resmi, sama sekali tidak diperkenankan. Bagi yang lain, akan dikenai hukuman."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri mendekat ke arah barisan prajurit yang mengawal Ratu Ayu. Kini dalam jarak yang lebih dekat, matanya bisa melihat bahwa Ratu Ayu memang masih seperti gelaran yang dipakai.
Wajahnya benar-benar mencerminkan ratu. Keayuannya segera bisa diakui.
Hanya sekarang tubuhnya kelihatan sangat kurus, wajahnya pucat, cara duduknya di atas joli terbuka seperti tak ada tenaga sama sekali.
Gendhuk Tri mencari-cari kalau-kalau melihat bayangan Senopati Sariq atau pengikut Ratu Ayu yang setia. Namun kelihatannya tak ada wajah yang asing.
Gendhuk Tri menyadari bahwa Ratu Ayu seperti terkena pengaruh kekuatan sihir, atau semacam bubuk pagebluk, sehingga hanya badaniahnya saja yang dihadirkan. Pandangan matanya kosong melompong.
"Ratu Ayu, di mana Adimas Upasara?"
Teriakan yang sangat akrab di telinga Gendhuk Tri.
Itulah suara Nyai Demang!
Benar, bersamaan dengan itu muncul sosok bayangan yang menggendong mayat di punggungnya.
Dengan pemunculan Nyai Demang, para prajurit pengawal segera membuat barisan pertahanan. Akan tetapi dengan menepiskan kiri-kanan sambil terus melangkah mendekat, barisan para prajurit terdepak ke kanan dan kiri.
Bagai ditebas dengan kekuatan yang besar.
"Ratu, di mana Upasara?"
Mendadak terdengar terompet dan genderang ditabuh bertalu-talu.
Dari arah Keraton muncul barisan yang lain. Dipimpin senopati yang lain, yang segera menuju ke arah Nyai Demang.
"Aku, Senopati Kebo Pengasihan, memerintahkan agar semua prajurit mundur. Biarlah aku yang membereskan wanita tidak waras ini."
Belum habis kata-katanya, Nyai Demang menyambar ke arahnya.
Dengan sekali tekuk, Senopati Kebo Pengasihan berada dalam cengkeramannya. Tubuhnya diangkat ke atas.
Digoyangkan. "Kamu mengerti apa urusan ini?"
Dengan sekali sentak, tubuh Senopati Kebo Pengasihan melayang dan ambruk ke tanah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang maju ke arah joli. Kedua tangannya bergerak cepat dan para prajurit yang menjaga joli terlempar sambil mengeluarkan jeritan mengerikan.
"Ratu Ayu, kamu masih mengenaliku?" Suara Nyai Demang sangat jelas nadanya. Tidak seperti sebelumnya yang hanya bisa berhaha-hihi tak keruan.
Ratu Ayu mengangguk. "Di mana Adimas Upasara" Apa benar mereka telah menguburkannya di perut binatang buas?"
Gendhuk Tri tak bisa menahan diri. Tubuhnya melayang ke depan, dan hinggap di sisi Nyai Demang!
"Ke mana kamu selama ini?"
"Nyai, kamu baik-baik saja?"
"Apa benar Upasara diumpankan ke binatang buas?"
Gawat, pikir Gendhuk Tri.
Dalam keadaan seperti ini, ternyata Nyai Demang belum pulih kesadarannya. Dilihat dari pembicaraannya yang masih melantur, bisa dimengerti keadaannya. Meskipun sudah lebih baik, akan tetapi pengaruh kekuatan Eyang Kebo Berune yang menempel di punggungnya tidak hilang sepenuhnya.
Gawat juga karena ternyata Ratu Ayu, dalam pengertian yang berbeda, juga mengalami nasib yang sama.
"Nyai segalanya belum jelas. Mari kita sama-sama membuktikan di mana kebenaran yang sesungguhnya.
"Ratu Ayu, apakah kamu bisa berbicara?"
Ratu Ayu mendongak sebentar.
Lalu menunduk lagi. "Nyai, mari kita masuk ke Keraton. Kita jebol apa yang menghalangi."
"Untuk apa?" "Untuk menjemput Kakang Upasara."
"Siapa?" "Adimas Upasara!" teriak Gendhuk Tri kesal.
"Baik. Mari..."
Nyai Demang segera membalikkan tubuh. Tidak lagi memedulikan Ratu Ayu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Perhitungan Gendhuk Tri mengenai Nyai Demang tak meleset.
Meskipun sudah lebih bisa diajak bicara, akan tetapi Nyai Demang yang sekarang ini hanya tubuhnya saja yang sehat. Pengaruh utama masih tetap kekuatan dalam dari Eyang Kebo Berune.
"Segala macam patung boneka kecil, menyingkirlah."
Sekali menggebrak, Gendhuk Tri membuka jalan. Dengan Nyai Demang di sampingnya, lima jurus berikutnya mereka berdua telah sampai di depan pintu utama.
"Tak semudah itu masuk ke Keraton...."
Pendeta Manmathaba tersenyum dingin. Di tangannya, Bandring Cluring berayun-ayun.
Pukulan Lima Arah GENDHUK TRI bersiul. "Pendeta tua, kamu tak bisa main-main lagi dengan segala jenis ilmu kebal kulit kentang. Mari, aku jajal sedikit...."
Seperti watak yang sebenarnya, Gendhuk Tri benar-benar tak mau menunggu lawan atau kawan. Tidak menunggu reaksi Manmathaba ataupun persiapan Nyai Demang. Tidak menunggu apakah gertakannya berhasil mempengaruhi atau tidak.
Tangan kirinya menyabet ke kiri, ke arah yang kosong, sementara tubuhnya membalik. Dengan tendangan kaki kanan. Tanpa memedulikan bandring yang tengah diputar.
Nyai Demang dengan terhuyung-huyung ikut maju, ke arah tubuh Manmathaba bergerak.
Manmathaba justru menarik mundur bandringnya. Bunyi tok-pletok yang keras berurutan berganti deru angin. Agaknya Manmathaba jeri.
Atau setidaknya memperhitungkan gerakan dan tenaga dalam Gendhuk Tri.
Pukulan tangan kiri Gendhuk Tri yang diarahkan ke tempat kosong, tenaganya jauh berbeda sifatnya dengan tenaga tendangan kaki kanan.
Apa-lagi putaran tubuhnya mendesirkan tenaga yang berbeda lagi sifatnya. Dalam satu gerakan, Gendhuk Tri memperlihatkan pengaturan tenaga air, kayu, dan api. Yang sifatnya berbeda-beda. Manmathaba surut karena ingin mengetahui apakah rangkaian tenaga yang berikut tenaga bumi dan disusul dengan tenaga logam mulia.
Gebrakan semacam ini akan mudah dimengerti karena rangkaian yang agak urut ialah tenaga kayu, api, bumi, logam mulia, air, bisa diperkirakan. Dengan mengenali cara mengatur tenaga lawan,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Manmathaba akan merasa lebih mudah menguasai. Karena hal semacam itu sudah dikenali.
Kalau ada yang membuat Manmathaba sedikit ngeri terhadap gadis yang suka nekat ini hanyalah karena mereka mempunyai dasar ilmu yang sama.
Apa yang dikatakan Gendhuk Tri bahwa ia mengetahui ilmu kebal, pastilah bukan omong kosong belaka.
Manmathaba menangkis tendangan kaki dengan telapak tangan mendongak ke atas, seakan siap memelintir. Dugaannya tidak meleset.
Gendhuk Tri tidak menarik mundur kakinya, malah memakai sebagai pijakan kuda-kuda. Karena kemudian meloncat ke atas seakan terbang.
Gendhuk Tri boleh bangga dengan gerakannya, akan tetapi bagi Manmathaba ini keberuntungan. Dengan loncatan ke atas, Manmathaba sudah memperkirakan dua kaki yang akan mencoba menjepit lehernya dalam gerakan memutar.
Manmathaba mengerahkan tenaga ke bahu. Dua bandringnya menghalau Nyai Demang, sementara lehernya dibiarkan dijepit.
Jika Gendhuk Tri memakai tenaga bumi yang tenang, dan tenaga logam mulia yang berat, dari kaki kiri maupun kanan, ia siap mengandaskan.
Dengan memakai tenaga sebaliknya!
Tenaga bumi akan dilawan dengan tenaga logam. Di sini, ia mengerti betul bahwa tenaga bumi menjadi kurang berarti dibandingkan tenaga logam mulia. Seakan bumi hanya berarti kalau menyimpan logam mulia.
Demikian juga seterusnya. Tenaga kayu kalah oleh tenaga api, tenaga api kalah oleh tenaga air, tenaga air terserap oleh bumi.
Dalam pertarungan cepat seperti sekarang ini, bisa saja urutan itu dibalik. Bisa jadi jepitan kedua kaki Gendhuk Tri memakai tenaga air, atau gabungan antara air dan kayu.
Kembangan atau variasi serangan yang bagaimanapun dibolak-balik urutannya, tak membuat Manmathaba takut. Karena merasa menguasai rangkaian gerakan.
Dalam pertarungan semacam ini akan cepat diketahui siapa yang unggul dan siapa yang keteter atau terdesak.
Semakin orang mengetahui kembangan serangan lawan dari inti gerakannya, semakin besar kemungkinannya untuk mematikan. Itu sebabnya dalam suatu pertarungan, betapapun berbeda-beda jurusnya, bisa tetap digolongkan dalam inti yang sangat mendasar.
Perhitungan Gendhuk Tri lain lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahwa Manmathaba tidak terlalu menggeser leher membuktikan bahwa ia siap menghadapi. Baik karena merasa menguasai, ataupun karena merasa tak terganggu.
Tapi Gendhuk Tri tetap Gendhuk Tri.
Adu keras pun akan dilayani.
Menyadari lawan memberi umpan, tak disia-siakan. Disambut.
Gerakan kakinya yang memuntir leher lawan malah diperkencang, dipercepat putarannya. Tubuhnya bagai gasing, sementara rambutnya yang tergerai menyapu angin.
Gerakan yang indah. Sangat berbeda dari gerakan Nyai Demang yang serba tanggung karena menggendong mayat, yang bagai gerakan limbung, menyusup dari sisi kiri tahu-tahu muncul dari sisi kanan. Biasan tangannya mendorong bandul bandring menjauh.
Gendhuk Tri memperkeras jepitannya begitu menyentuh pundak lawan Terdengar teriakan keras. Tubuh Manmathaba terguling, mengerang, dan mendadak meloncat ke angkasa. Kali ini kedua tangannya mengembang dan mendorong tubuh Gendhuk Tri. Yang seketika terputar ke arah belakang!
"Wu....!" Teriakan itu berasal dari Manmathaba yang alisnya sedikit berkerut.
Ia bisa mengenali bahwa pengaturan tenaga dalam Gendhuk Tri seperti yang diduganya. Tak meleset sedikit pun.
Hanya saja, Gendhuk Tri mampu mengembangkan lebih jauh. Dalam memainkan urutan tenaga dasar dari semua tenaga, yaitu tenaga emas kayu, air, api dan bumi, bukan dimainkan secara berurutan atau berbalik-balik, melainkan dalam satu pengaturan! Bisa dilakukan secara serentak!
"Aha, kamu mengenali ilmu kanak-kanak itu?"
Teriakan Gendhuk Tri seakan menertawakan lawan. Walau jelas ia sendiri terdesak, akan tetapi dalam soal adu silat lidah, ia tak pernah mau kalah.
"Wu apa ini?" Kembali Gendhuk Tri menyerang. Tangan kanan memukul ke depan, tangan kiri ke samping, demikian juga dengan gerakan kaki, seakan kaki kanan dan kaki kiri tidak satu sasaran.
Liukan tubuhnya juga dalam irama yang berbeda.
Kali ini Manmathaba tak berani memandang enteng. Dengan menahan rasa herannya, ia terpaksa melangkah mundur hingga dekat
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
pintu. Sehingga serangan lawan dari jurusan yang berbeda bisa terhalangi.
"Ilmu naga apa itu namanya?"
"Nyai akan segera tahu," jawab Gendhuk Tri.
Jawaban Gendhuk Tri memperlihatkan bahwa ia menyadari pada saat seperti ini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang adalah Eyang Kebo Berune. Yang tidak mengenali jurus-jurus dan pengaturan tenaga yang dimainkan. Karena menurut dugaan Gendhuk Tri, gerakannya bukan sesuatu yang tak dimengerti Nyai Demang. Baik karena pengetahuannya yang luas, maupun karena secara langsung Nyai Demang bergaul dengan para ksatria dari Tartar.
Kalau Manmathaba saja bisa segera mengenali, pastilah Nyai Demang juga bisa. Hanya karena kini yang menguasai adalah Eyang Kebo Berune, jadinya lain.
"Rasanya iya...."
"Nyai sudah pernah tahu. Coba perhatikan baik-baik...."
Tubuh Gendhuk Tri menggeliat, menerobos masuk pintu. Begitu bandul Manmathaba bergerak, Gendhuk Tri bisa membelokkan tubuhnya dengan gerakan indah.
Sekarang, keterlindungan Manmathaba justru menjadi halangan!
Dinding kiri-kanan menjadi penghalang.
Dalam hati Manmathaba tak habis mengerti. Bagaimana mungkin gadis seusia Gendhuk Tri mampu mempelajari dan langsung mempraktekkan dengan leluasa beberapa dasar ilmu kelas utama.
Bagaimana mungkin dasar-dasar Kitab Air bisa dimainkan dengan dasar-dasar ilmu dari negeri Tartar.
Apa yang diperlihatkan Gendhuk Tri dan diteriaki Wu adalah pameran kemahiran itu.
Wu yang menekankan lima unsur tadi menjadi salah satu bagian saja.
Yaitu yang biasa disebut Wuxing. Sedangkan serangan yang berbeda kanan dan kiri, kaki dan tangan, serta gerakan tubuh disebut Wufang-Pukulan Lima Arah. Utara, timur, selatan, barat, dan pusat.
Wuxing dan Wufang adalah bagian dari lima Wu yang secara lengkapnya mencakup juga Wucai-Lima Asmara, Wucai-Lima Warna, serta Wujing- Lima Logam.
Kalau tadinya Manmathaba hanya menduga lima kemungkinan, sekarang sedikitnya harus berjaga-jaga dari lima kali lima kemungkinan, yaitu 25 kemungkinan pengaturan tenaga dari satu gerakan.
Makin jelas bahwa Gendhuk Tri tak bisa dipandang enteng.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini yang mengherankan sejak menyuruk masuk di tengah pintu.
Dan akan tetap membuat Manmathaba heran jika dikatakan bahwa sesungguhnya Gendhuk Tri berguru langsung dari sumber utama ilmu tersebut, yaitu dari Naga Nareswara, Raja Segala Naga!
Sesungguhnya, itu kelebihan yang tak disadari oleh lawan-lawan Gendhuk Tri. Karena mereka menduga bahwa keunggulan yang diperlihatkan Gendhuk Tri adalah keunggulan dari satu pendalaman akan suatu ilmu. Bukan rangkuman dari berbagai tradisi yang sumbernya berlainan.
Sesungguhnyalah, ini yang juga kurang disadari oleh Gendhuk Tri sendiri.
Kalau saja ia memahami kelebihannya, hasilnya akan lain. Gendhuk Tri bisa menghantam dan menyudutkan lawan dengan lebih terarah.
Pukulan Bertumbuh-Bertambah
PERJALANAN hidup Gendhuk Tri dalam dunia persilatan memang tidak biasa. Tidak seperti Upasara Wulung yang sejak lahir sudah dilatih secara tekun dan terarah oleh Ngabehi Pandu. Atau juga seperti Pangeran Anom yang mendapat didikan langsung dari ayahnya, Senopati Agung Brahma.
Gendhuk Tri, sejauh bisa mengenang dirinya, berasal dari penduduk biasa. Yang tumbuh tanpa darah bangsawan secara langsung dan jelas.
Kulitnya hitam, raut wajah, bentuk hidung, bibir, mata, ataupun kening sama sekali tak menunjukkan dirinya keturunan bangsawan.
Ia begitu saja mengikuti apa yang biasa terjadi pada anak dusun.
Belajar nembang, dan diajari untuk bisa menjadi sinden-penembang, dan menjadi penari untuk menghibur Baginda Raja.
Saat itulah Mpu Raganata merasa eman, sayang kalau anak gadis kecil yang lugu ini hanya mengakhiri hidupnya sebagai wanita penghibur. Tanpa setahu Baginda Raja, Mpu Raganata melarikan dan menyerahkannya ke dalam asuhan Jagaddhita, yang juga murid tidak langsung Mpu Raganata, yang bisa saja dijadikan murid karena alasan yang tak sepenuhnya diketahui.
Perjalanan hidup ini membuat Gendhuk Tri tidak mempelajari ilmu silat dari tata aturan yang semestinya. Apalagi ia menerkam langsung berbagai pengalaman dalam berbagai medan pertarungan yang ganas.
Baru belakangan Gendhuk Tri menyadari bahwa sumber ilmu silatnya ialah Kitab Air. Sewaktu mempelajari kembali bersama Singanada ataupun Pangeran Anom, dan terlebih lagi bersama Kiai Sambartaka, segalanya menjadi terbuka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apa yang dipelajari selama ini mempunyai dasar pijakan yang jelas dan ke arah mana hubungannya. Dengan keterbukaan yang sering diartikan pencerahan itulah Gendhuk Tri bisa menggabungkan dengan apa yang dipelajari dari Naga Nareswara. Apa yang selama ini diketahui secara terpisah, sekarang bisa disatukan.
Lejitan pikiran dan rasa yang menyatu itulah yang membuat Gendhuk Tri bisa segera membaca rahasia ilmu kebal yang dimainkan Manmathaba!
Hal yang sama ketika menghadapi lawan, kekuatan jurus-jurus Wu bisa menyeruak dengan sendirinya.
Ada semacam naluri yang muncul dengan sendirinya, yang terangkai untuk menggabungkan semua kekuatan yang ada, yang selama ini tersimpan.
Sewaktu menyerang dengan tenaga air, kayu, api, bumi, dan logam mulia kombinasi dari rangkaian yang sama yang berasal dari tradisi lain bisa muncul dengan sendirinya.
Itulah yang terlihat ketika memainkan jurus Pukulan Lima Arah atau Wufang.
Kalau simpul mengenai hal ini terbuka, kemungkinan yang lain juga bisa terjadi dengan sendirinya. Selama Gendhuk Tri menguasai.
Ini sesungguhnya yang ditakuti atau setidaknya membuat Manmathaba menjadi sangat berhati-hati.
Pengetahuannya yang luas, secara tidak sengaja justru membuatnya waswas. Seperti juga ketika berlindung di tengah pintu. Dari terlindung, menjadi terhalang.
Pengetahuan Manmathaba yang luas, membuatnya bersiaga kalau-kalau Gendhuk Tri nanti memainkan tidak dengan pengerahan Tenaga Wu, melainkan dengan mengubah menjadi pengerahan Tenaga Jiu atau memainkan Tenaga Sembilan.
Seperti yang pernah ditunjukkan oleh Singanada, yang mampu melipat-gandakan tenaga dalam sembilan kali lebih besar.
Sebenarnya kalau itu yang terjadi, masih tidak membuat Manmathaba kuatir.
Yang dikuatirkan adalah bila Gendhuk Tri mahir memainkan gabungan dari Pukulan Lima, Pukulan Sembilan, dan jenis pukulan lain.
Sebab kembangan pukulan dari negeri Tartar sangat luas dan rangkaiannya tidak terduga. Pada seorang tokoh yang sudah menguasai, pengerahan tenaga itu bisa berarti memasuki tahap bertambah-bertumbuh. Tahap di mana ketika memainkan Tenaga Delapan Belas
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
misalnya, berarti Tenaga Sembilan. Tenaga Tujuh Belas berarti Tenaga Delapan.
Rangkaian ini makin rumit, apabila rangkaian Tenaga Tiga dan Tenaga Delapan digabung. Hasilnya bukan Tenaga Sebelas atau Tenaga Dua. Melainkan tetap Tiga dan Delapan. Tenaga Tiga mirip dengan Tenaga Sheng yang berarti tenaga yang selalu bertambah saat mengenai sasaran. Sementara Tenaga Delapan mirip dengan Tenaga Fa, keamanan untuk bertahan, yang dilambangkan dengan kemakmuran.
Kalau keliru mengenali sebagai Pukulan Dua bisa mengira bahwa pukulan tersebut kosong dan sebagai pancingan, dan akibatnya terkena sasaran.
Sebenarnya Gendhuk Tri tidak mendalami seperti yang diperkirakan Manmathaba. Jurus-jurusnya meluncur begitu saja. Begitu menemukan reaksi, segera menjawab dengan sendirinya.
Dengan dasar-dasar ajaran Mpu Raganata, dimatangkan dengan tenaga Kitab Bumi dan menerima didikan tidak langsung dari Naga Nareswara Gendhuk Tri menjadi gadis yang sulit dikalahkan oleh mereka yang seusia dengannya.
Keluwesan itulah yang menyebabkan Gendhuk Tri mampu berpasangan dengan Singanada, ataupun dengan Pangeran Anom.
Padahal jelas sumber tenaga dalam kedua tokoh itu sangat berbeda.
Sepuluh jurus telah berlalu.
Perlahan tetapi pasti, Manmathaba mulai bisa membaca pengerahan tenaga yang belum sempurna. Maka memasuki jurus ketiga belas, Manmathaba memancing Gendhuk Tri merasuk masuk, dan dengan segera memapak maju.
Tangan kanan miring, lurus ke atas dengan jari yang lengket satu sama lain, sementara tangan kirinya memainkan dua bandring sekaligus.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gendhuk Tri masuk perangkap.
Nyai Demang berteriak keras.
"Awas... Awas... Mundur...!"
Dalam kilatan pikiran, agaknya hubungan Nyai Demang dengan Gendhuk Tri muncul kembali. Pribadi Nyai Demang yang utuh menguasai pikiran dan perasaannya.
Itu sebabnya Nyai Demang tidak memedulikan keselamatan dirinya, menyerbu masuk.
Manmathaba telah siap. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kedua kakinya menyapu keras, dan tubuh Nyai Demang terungkit ke atas.
Gerakan Nyai Demang memang tidak sempurna. Baik karena beban mayat di punggungnya maupun karena tenaga dalamnya tak bisa sepenuhnya menyatu dengan tenaga dalam Eyang Kebo Berune.
Makanya bisa diungkit. Hingga sempoyongan. Bahkan terjatuh.
Sementara pada saat yang sama dengan terungkitnya tubuh Nyai Demang, Gendhuk Tri tak bisa meloloskan diri. Ia telanjur masuk ke daerah serangan lawan. Mundur atau menjatuhkan diri sangat sulit.
Kalaupun bisa, bandul Bandring Cluring siap menghancurleburkan.
Maju berarti dada atau wajahnya kena tebas tangan Manmathaba yang telah rapat oleh pengerahan tenaga.
"Ladlahom...." Tak ada yang mendengar ucapan kaget Puspamurti. Karena ketiganya tengah bergulat dalam pertarungan yang tak memungkinkan pecahnya perhatian.
Manmathaba mengeraskan tenaganya. Kelima jari yang rapat, dalam Gerakan miring menebas dada Gendhuk Tri, yang tubuhnya sedang melaju ke arahnya. Kalaupun Gendhuk Tri mencoba mendahului atau menangkis, adu tenaga dalam yang terjadi. Ini berarti Gendhuk Tri akan terluka parah.
Manmathaba merasakan kemenangan.
Batas kelingking seakan memecahkan tubuh Gendhuk Tri!
Hanya anehnya, tubuh Gendhuk Tri justru melesat jauh! Menerobos ke dalam Keraton.
Tanpa kurang suatu apa! Berdiri tegar sambil mengumbar senyum.
Manmathaba mengeluarkan seruan kagum.
Ia begitu yakin telah merebut kemenangan. Ia yakin bahwa tak ada orang lain yang secara diam-diam menolong Gendhuk Tri.
Tapi nyatanya Gendhuk Tri segar bugar.
Bisa lolos. Bahkan senyumannya berubah menjadi tawa yang meringkik, mendesis.
"Wanara Seta..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri meringis. Seakan malah gembira dan sekaligus bangga dikenali sebagai kera putih atau Wanara Seta.
"Lahir dari batu, akulah lawanmu sekarang ini..."
Tubuh Manmathaba menggigil. Bandringnya terkulai.
Jurus yang baru saja dimainkan oleh Gendhuk Tri sangat dikenali oleh Manmathaba sebagai jurus yang mengambil pengerahan tenaga dari batu yang terbelah. Batu itu adalah tenaga dalam lawan yang mengurung secara sempurna.
Ini adalah ilmu dari Sembilan Jalan Buddha yang paling sulit dipelajari. Dasar jurus Wanara Seta adalah kisah mengenai kelahiran seekor kera dari kandungan batu. Yang menjadi kisah klasik, karena kera putih inilah yang kelak kemudian hari menuntun sang ksatria utama menuju Jalan Buddha yang sesungguhnya.
Kalau benar Gendhuk Tri sampai di tingkat itu, berarti Manmathaba keliru menduga. Satu lagi kekeliruan yang bisa berarti kematian bagi Manmathaba. Karena jika saat itu Gendhuk Tri berbalik dan melancarkan serangan, Manmathaba tamat riyawatnya.
Tapi kalau sekarang tubuhnya menggigil, itu karena sebab yang lain.
Pertemuan Mahamanusia MANMATHABA menggigil karena tulang kakinya menjadi ngilu, sehingga tak kuat menahan tubuhnya.
Sesaat ketika mengungkit kaki Nyai Demang dan menggajul, menendang ke atas dengan keras, kelihatannya sepintas ia unggul.
Tubuh lawan bisa terpental, terbanting jatuh karena beban di punggung.
Akan tetapi yang juga tak diduganya sama sekali ialah bahwa setelah itu Manmathaba merasa kakinya tak bisa digerakkan. Menjadi ngilu luar biasa, seakan semua tulangnya remuk, berkeping-keping, dan setiap serpihan menimbulkan rasa sakit yang menggigit sarafnya.
Manmathaba menggigil karena hatinya terguncang.
Selama ini dirinya tokoh kelas satu di negerinya. Pemimpin para pendeta sekaligus juga empu yang tidak mempunyai lawan. Sewaktu melihat peluang untuk menanamkan pengaruh di tanah Jawa yang telah dirintis oleh Pendeta Sidateka, ia berangkat disertai tiga pengikutnya.
Langkah-langkah pendahuluan menunjukkan siapa dirinya. Dengan bubuk pagebluk ia bisa menguasai semua bangsawan di Keraton tanpa kecuali. Termasuk Raja dan Permaisuri. Dengan ilmu silatnya dan senjata andalan Bandring Cluring ia merontokkan semua ksatria di
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tanah Jawa. Termasuk Upasara Wulung yang sudah menyandang gelar lelananging jagat. Gebrakan sapu bersih, tanpa ada yang mampu menghadang.
Siapa sangka belum sebulan ia telah terjungkal kembali di tempat di mana ia mampu mengalahkan semuanya"
Rasa-rasanya tak habis pikir.
Apalagi dikalahkan seorang gadis, dan seorang wanita yang menggendong mayat.
Betapa nanti semua tumbuhan dan batu di negerinya akan menertawakan kalau mengetahui hal ini.
Saat itu Manmathaba menyadari kesalahannya. Pertama ia tak menduga bahwa Gendhuk Tri ternyata bisa lolos dari kurungannya. Bisa jadi ini dikarenakan ia menganggap enteng lawan. Ini berdasarkan perhitungan bahwa yang paling perkasa seperti Upasara Wulung mampu ditekuk habis.
Kedua karena hal yang sama, tak menduga bahwa tenaga dalam Nyai Demang bisa menerobos masuk, dan menghancurkan.
Perhitungan Manmathaba yang paling jauh pun tak menemukan bahwa sesungguhnya Nyai Demang dialiri tenaga dalam yang dimiliki Eyang Kebo Berune. Tenaga dalam yang luar biasa, yang dihimpun dalam Pukulan Pu-Ni. Pukulan yang pada intinya bertenaga menghancurkan sekaligus.
Seperti diketahui jurus-jurus yang dahsyat itu diciptakan oleh tokoh-tokoh kelas utama sebagai penangkal Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang telah diajarkan secara luas, dan diperdalam oleh hampir semua ksatria.
Ilmu-ilmu itu diciptakan karena kekuatiran bahwa kalau Dua Belas Jurus Nujum Bintang menjadi kekuatan yang disalahgunakan, tetap ada penangkalnya.
Walaupun yang kemudian sangat dikenal adalah Delapan Jurus Penolak Bumi akan tetapi ilmu-ilmu yang lain tak kalah saktinya. Baik ilmu Mpu Raganata, Paman Sepuh, maupun Kebo Berune sendiri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pada ajaran ilmu Mpu Raganata, jurus-jurus penangkal itu disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah, yang intinya Mengetahui Sebelum Terjadi. Sebelum lawan memainkan jurus tertentu, sudah bisa diketahui. Bahkan sebelum satu gerakan yang paling kecil sekalipun.
Dengan kata lain mengembangkan kekuatan batin untuk menangkap apa yang dirasakan lawan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pada ajaran Eyang Sepuh, terciptalah jurus-jurus yang kemudian dikenal sebagai Tepukan Satu Tangan, yang intinya menjadikan dirinya tumbal, menjadikan dirinya sebagai korban. Semakin rela diri kita berkorban, menyerahkan diri, semakin mungkin untuk mementahkan serangan. Dengan kata lain, inti utamanya ialah pasrah.
Pada ajaran Paman Sepuh, lahirlah jurus-jurus yang terangkai dalam Banjir Bandang Segara Asat, yang intinya memindahkan tenaga serangan lawan untuk memerangi sendiri. Dengan kata lain, tenaga dalam lawan yang membanjir dipindahkan untuk menghantam balik, dengan perumpamaan terjadi banjir besar saat laut surut.
Pada ajaran Kebo Berune, lahir jurus-jurus yang dikenal dengan sebutan Pukulan Pu-Ni, yang intinya menghancurleburkan tenaga lawan saat serangan lawan datang. Keras dilawan dengan lebih keras. Dengan kata lain, saling menghancurkan tenaga dalam.
Pada ajaran lain, yang sebenarnya bukan semata-mata diciptakan untuk menangkal, adalah Kitab Air. Eyang Putri Pulangsih mencari pengembangan tenaga dari sifat air, sebagai kemungkinan lain dari pengembangan tenaga dalam yang bersifat bumi.
Bahwa kemudian yang diakui secara resmi adalah Tumbal Bantala Parwa, itu semua merupakan kesepakatan para tokoh utama, yang direstui oleh Baginda Raja.
Besar sekali kemungkinannya karena inti ajaran Eyang Sepuh dalam Kitab Penolak Bumi adalah sikap pasrah, sumarah. Sikap menyerah secara tulus dalam artian yang luas, baik kepada sang Maha Pencipta ataupun kepada Raja, lebih sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat maupun Keraton.
Sekurangnya jika dibandingkan dengan ajaran Kebo Berune ataupun Paman Sepuh yang lebih mengandalkan kepada tenaga keras menghancurkan Atau dibandingkan ajaran Mpu Raganata yang mengacu kepada kebatinan yang terkuasai.
Manmathaba bukannya tidak mengetahui bahwa ada begitu banyak ilmu atau ajaran yang tangguh di jagat ini.
Yang tak diduganya, bahwa seorang Nyai Demang menyimpan tenaga merusak yang dahsyat.
Itulah yang dirasakan kini.
Tulang-tulang kakinya seakan remuk jadi bubuk.
Dalam keadaan di mana dirinya menjadi pemenang satu-satunya, tiba-tiba harus menyadari kekalahan yang memalukan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Manmathaba menghimpun kekuatannya yang terakhir. Bandul bandringnya memutar dengan keras, dan meluncur lepas ke arah Nyai Demang.
Yang tengah terduduk. Yang tak sepenuhnya sadar bahaya mengancam.
Gendhuk Tri tak sempat memberi peringatan atau menolong.
Terdengar bunyi pletok keras. Kipas kayu besar Puspamurti yang dilemparkan untuk menghadang remuk menjadi bubuk. Seakan ditumbuk oleh palu godam yang besar.
"Ladlahom. "Siapa suruh kamu membunuh?"
Satu tangan Puspamurti bergerak, dan tubuh Manmathaba terjatuh ke bawah. Tanpa tenaga dorongan keras pun, Manmathaba sudah akan ambruk!
"Siapa kamu?" Pertanyaan Nyai Demang dalam nada yang ganjil menandai bahwa Eyang Kebo Berune yang menguasai alam pikiran.
"Aku adalah aku. "Sejak kapan kamu main-main di tubuh orang lain?"
"Sejak aku mau."
"Sejak kamu mau. Baik juga. Tak kuduga ada juga yang mau mempelajari Kitab Pamungkas"
Nyai Demang berdiri dengan gagah. Gerakannya cepat dan agak patah.
"Ngawur. Aku adalah Kebo Berune, senopati ulung dan ksatria utama Keraton Singasari yang menguasai dan menaklukkan tlatah Berune.
Mana mungkin aku mempelajari ilmu lain"
"Aku hanya mempelajari dari ajaranku sendiri."
"Ladlahom. "Kok teganya kamu ini mengingkari harkatmu sebagai manusia. Apa kurangnya?"
"Ngawur." "Memang. Itulah kita berdua. Manusia-manusia yang perkasa. Yang mementahkan soal dunia dan alam. Soal mati dan hidup tanpa jarak.
"Ladlahom. "Baguslah itu. Kita sesama manusia."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang meludah ke arah Puspamurti, yang justru bergelak.
"Rasanya baru sekarang aku ketemu sesama manusia. Manusia yang tengik yang busuk, yang mahamanusia. Yang malu mengakui sebagai manusia. Yang tidak mau disebut penjilat, pencuri ajaran orang lain.
"Hei Kebo, siapa kamu ini" Semakin kamu menolak, semakin jelas bahwa kamu ini mengintip ajaran yang bukan milikmu. Tapi ya memang begitu.
"Itulah maha manusia."
Kali ini Gendhuk Tri yang bengong.
Berbagai pengertian masuk ke dalam kesadarannya. Yang bukan tidak mungkin akan menyingkap apa yang terjadi selama lima puluh tahun lalu.
Puspamurti, tokoh yang aneh ini, selalu menyembunyikan diri dan mengaku sebagai penganut ajaran Kidung Pamungkas. Kitab yang dianggap paling sesat oleh Kiai Sambartaka, karena mengagungkan manusia.
Setelah sekian lama bersembunyi, kemudian muncul untuk lebih meyakini Kidung Pamungkas, Puspamurti merasa sekian banyak ksatria tak ada satu pun yang mempelajari.
Baru sekarang merasa bertemu dengan seorang yang menurut dugaannya, diam-diam mempelajari.
Tanpa pemberitahuan Kiai Sambartaka mengenai Kidung Pamungkas, Gendhuk Tri tak bisa mengerti arah pembicaraan Puspamurti dengan Kebo Berune.
Gelombang Tanpa Buih DALAM kepala Gendhuk Tri terbentuk gambaran apa yang sedang terjadi.
Puspamurti menemukan "saudara seperguruan", sementara Kebo Berune menolak dengan keras.
"Kebo tua, sekian lama aku mencari tahu bagaimana bentuk mahamanusia itu sebenarnya. Bagaimana mahamanusia itu bisa mengatasi soal hidup dan soal mati.
"Sekarang baru aku tahu. Ternyata seperti ini kelihatannya. Kamunya sudah mati, akan tetapi masih bisa berkuasa atas manusia lain, masih bisa bercakap, masih bisa menjawab.
"Ladlahom, inilah rupanya yang kupertanyakan."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu... kamu menuduhku..."
"Apa bedanya" "Kamu merasa hina" Ladlahom. Apa artinya kehinaan dan tidak"
"Menjadi hina atau mulia, kamu kan tetap manusia. Dan akan selalu tetap manusia. Kalau kamu hina, kamu tidak berubah jadi cacing. Kalau kamu mulia, kamu tidak akan menjadi bunga.
"Ladlahom. "Sayangnya kamu tidak mau mengakui sebagai manusia. Tapi tak apa. Tak mau mengakui sebagai manusia, karena ia mahamanusia, itu juga manusia dan sekaligus mahamanusia.
" Ladlahom. "Dasar-dasar ilmu silat kamu boleh juga. Tak buruk. Tapi mengganggu. Begitu kamu mempelajari Kidung Pamungkas, semua itu tak ada gunanya. Malah merusakmu.
"Iya, kan" "Lihat dan rasakan sendiri. Tenaga dalammu jadi ngawur dan saling berebut, sehingga tubuhmu jadi cacat. Lihat dan rasakan sendiri, bagaimana aku tetap tegak seperti layaknya manusia."
Sekarang, sedikit-banyak Gendhuk Tri lebih memahami latar belakang Eyang Kebo Berune.
Tokoh yang satu ini di masa mudanya tak pernah diperhitungkan oleh Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh, maupun Putri Pulangsih.
Bahkan dalam menyusun kitab kanuragan yang akan dijadikan babon, induk segala ilmu silat, pun tak diajak bicara.
Akan tetapi karena tekadnya yang besar, Kebo Berune terus mempelajari. Dari kemungkinan besar selalu gundah, karena merasa tak bisa mengungguli empat tokoh yang lain. Sampai kemudian merasa mendapat "pencerahan" dari Kidung Pamungkas. Itulah yang diperdalam.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Puspamurti, kesadaran batin Kebo Berune tidak siap untuk menerima nilai-nilai menjadi mahamanusia. Ini menjadi sumber pertarungan batin, yang ternyata tak pernah selesai.
Akibatnya tubuhnya menjadi lumpuh.
Lumpuh seluruhnya. Gambaran ini tak seluruhnya bertentangan dengan apa yang pernah diperkirakan oleh Gendhuk Tri, bahwa gangguan dalam latihan tenaga dalam yang menyebabkan Kebo Berune menjadi cacat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mengikuti cara berpikir Puspamurti, soal mencuri ajaran ilmu lain, soal tidak mau mengakui adalah hal yang biasa. Hal yang biasa terjadi pada maha manusia.
Akan tetapi justru karena Kebo Berune belum bisa menerima ajaran dalam Kidung Pamungkas sepenuhnya, tuduhan itu membuatnya murka dan terhina.
Agaknya ini yang dilihat pula oleh Puspamurti.
"Kebo manusia, lihat diriku.
"Aku adalah aku. Apakah aku lelaki atau perempuan, apa bedanya kalau aku manusia" Apakah aku bersuami atau beristri, apa salahku"
Apakah aku mencuri ilmu silat atau mengajarkan, apa bedanya" Kalau aku mau pakai kipas, biar saja kipas ukuran seberapa pun.
"Aku adalah aku. "Aku adalah manusia. Dan kamu juga manusia, Kebo. Ilmu curian atau bukan, apa bedanya" Ilmu ciptaan sendiri atau orang lain, apa membedakanmu sebagai manusia" Satu jurus atau seratus jurus, apa perlu dipertanyakan?"
"Tidak... aku bukan..."
"Ya, kamu bukan daun, bukan cacing, bukan Dewa. Kamu manusia.
Sama dengan aku, sama dengan Upasara Wulung, sama dengan yang lainnya, hanya lebih mengerti...."
Puspamurti berbicara seolah membuka simpanan pembicaraan yang telah dipendam puluhan tahun. Nyatanya begitu.
Hingga tidak menyadari bahwa ketika mengucapkan nama Upasara Wulung, seketika itu pula Gendhuk Tri bereaksi. Tubuhnya meloncat ke atas, satu tangan meraup tubuh Manmathaba dan tangan yang lain segera menggampar pipi.
Plok-plok-plok! Keras dan geram pukulan Gendhuk Tri, karena membekas di kedua pipi Manmathaba yang disusul cairan darah menetes dari sudut bibir.
Gerakan Gendhuk Tri menyambar tubuh Manmathaba dan mengangkat serta menampar, merupakan rangkaian gerakan "menjadi gelombang tanpa menimbulkan buih". Penamaan yang mulai dihayati Gendhuk Tri.
Dalam kaitan ini, sebenarnya buih dimaksudkan sebagai emosi, sebagai rasa kasar yang mencuat ke luar. Seharusnya Gendhuk Tri tidak mengikuti perasaan hatinya.
Akan tetapi hal ini memang sulit terkuasai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan karena Gendhuk Tri tidak memahami. Sebab utama ia
"berbuih" yang membuatnya menggampar pipi, karena secara emosional kepekaannya terlukai oleh sikap Manmathaba pada Upasara Wulung.
Padahal itu yang menyebabkan ia datang dan menerjang ke Keraton.
"Katakan di mana Kakang Upasara.
"Jawab atau..."
Plak-plak... Plak. Tamparan yang terakhir membuat kepala Manmathaba terkulai ke belakang. Sewaktu Gendhuk Tri melepaskan pegangannya, tubuh Manmathaba melongsor ke bawah. Yang segera disambut dengan tekukan lutut Gendhuk Tri, sehingga tubuhnya mental lagi ke atas.
Tangan kiri Gendhuk Tri kembali bergerak.
Seiring dengan suara plak, Manmathaba memuntahkan darah disertai beberapa buah gigi yang somplak sampai ke akar-akarnya.
"Akan kubikin ompong. Akan kutelanjangi di sini, dan kukencingi kalau kamu tetap kepala batu...."
Puspamurti jadi menengok.
"Ladlahom. "Manusia kok bisa kesetanan. Harusnya setan yang kemanusiaan.
Gadis dusun, jangan ganggu omongan sesama manusia."
Mana mungkin Gendhuk Tri memedulikan Puspamurti. Sekali tangannya bergerak, leher Manmathaba tercekik.
"Satu tenaga kecil, kamu mati dengan mendelik.
"Katakan di mana Kakang Upasara...."
"Ya, di mana Adimas...." Kali ini suara Nyai Demang nyaring sekali.
Langkahnya perlahan mendekat.
"Ladlahom. "Kebo, kamu kalah dengan manusia yang kamu pakai, kan?"
"Di mana?" Suara Nyai Demang meninggi. Tangannya mengusap wajah Manmathaba yang sudah berubah bentuknya akibatnya tamparan berturut-turut dari Gendhuk Tri.
"Manmathaba, kamu pendeta tinggi. Tidak baik mati dengan cara seperti ini. Katakan di mana Adimas Upasara...."
"Di mana dia?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kali ini baik Gendhuk Tri maupun Nyai Demang terkesima. Suara kuatir yang menanyakan di mana Upasara terdengar sangat menggeletar. Seperti suara rintihan yang terendam luka lama.
Suara Ratu Ayu. Suara seorang istri yang memprihatinkan suaminya!
Sepersekian kejap, Nyai Demang dan Gendhuk Tri saling pandang.
Seolah dalam sepersekian kejap keduanya menyadari bahwa sebenarnya yang paling berhak kuatir adalah Ratu Ayu. Pada kejapan berikutnya sekaligus juga lucu. Mereka bertiga mempertanyakan orang yang sama.
Seorang gadis, seorang janda, dan seorang ratu!
"Kamu tak akan memperoleh jawaban," jawab Manmathaba tenang sekali.
"Kalian bisa mengalahkanku, akan tetapi kalian tak bisa memaksaku."
Nyai Demang terdiam. Ratu Ayu melangkah mundur.
Gendhuk Tri malah tersenyum.
"Kamu pikir, aku tak bisa memaksa kamu buka mulut?"
"Coba saja," tantang Manmathaba. "Kalau kamu kencingi saya, siapa yang lebih malu?"
Puspamurti tertawa lebar.
Kalimat-kalimat yang terdengar membuat perhatiannya teralihkan, untuk
sesaat. "Akan aku bawa tubuhmu ke Kiai Sambartaka. Biar ia bawa kamu ke negerimu sana...."
Gendhuk Tri asal mengancam saja. Karena mengetahui bahwa mereka berdua mempunyai dendam permusuhan yang mendarah daging sejak beberapa keturunan.
Di luar dugaannya, Manmathaba menutupkan matanya.
"Bunuh aku." "Enak saja." "Akan kukatakan di mana Upasara. Setelah itu bunuh aku. Kamu harus berjanji. Atau beri kesempatan aku membunuh diri.
"Bagaimana?" Duka yang Tertunda KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"BOLEH juga permintaanmu. Aku tak mau membunuhmu karena akan mengotori tanganku.
"Sekarang katakan di mana Kakang Upasara."
Manmathaba mengerjapkan matanya. Menelan ludahnya dengan perasaan penuh. Seolah merasakan setiap getaran urat tubuhnya sebagai akhir semua gerakan.
Jauh dalam hati Manmathaba mengagumi bahwa jiwa ksatria sangat berharga. Kalau Gendhuk Tri sudah berjanji, biar bagaimanapun ia akan memenuhinya.
Itu seratus kali lebih baik baginya. Dibandingkan harus diserahkan hidup-hidup kepada Kiai Sambartaka. Manmathaba tak bisa membayangkan berapa puluh turunannya bakal menanggung kehinaan kalau hal itu sampai terjadi.
"Katakan..." "Upasara telah lama mati."
Tangan Gendhuk Tri terangkat ke atas. Siap menampar keras. Kalau itu dilakukan, tulang pipi Manmathaba bakal hancur.
Nyai Demang menjerit keras. Tubuhnya bergoyang-goyang dan ambruk. Sementara Ratu Ayu merintih kecil sebelum akhirnya jatuh tak bergerak
Sekelebat, Gendhuk Tri menduga bahwa Manmathaba sengaja memainkan perasaannya. Akan tetapi dugaan itu melemah dengan sendirinya. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kehormatan terakhir sangat tergantung pada Gendhuk Tri, sulit dibayangkan bahwa Manmathaba akan memainkan peranan mempermainkan perasaan.
Kalau Halayudha, sangat boleh jadi.
Sepicik apa pun, agaknya Manmathaba tak perlu bersiasat lagi. Tak ada gunanya, di saat-saat yang terakhir.
Jalan pikiran Gendhuk Tri berbalik lagi.
Jangan-jangan memang sengaja begitu. Agar...
Agar apa" Agar ia membunuhnya! "Kamu keliru, Manmathaba. Aku tak akan membunuhmu karena gusar berita yang kamu sampaikan. Akalmu bisa ketahuan. Dari mana kamu mengetahui Kakang Upasara telah..."
Manmathaba menghela napas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Upasara terluka dalam di pundak kirinya. Sumber kekuatannya selama ini. Dalam tawanan keadaannya memburuk, karena siksaan.
Baik dari aku maupun dari Halayudha.
"Usahanya untuk mengembalikan kekuatan makin membuat parah lukanya.
"Itulah sesungguhnya."
"Dusta! Tak mungkin."
"Di belakang Keraton, di bawah pohon sawo kecik yang membelukar ada gundukan tanah. Kenalilah sendiri. Barangkali bukan dia, tapi itulah yang kusaksikan.
"Aku sendiri tak begitu mudah percaya. Upasara Wulung tokoh yang sakti. Bahkan lebih dari siapa pun, ia bisa memulihkan tenaga dalamnya yang hilang. Mampu mengembangkan dan mengerahkan kembali tenaga cadangan yang, barangkali, hanya dia satu-satunya yang memiliki."
"Baik, aku akan seret kamu ke sana. Kalau dusta, aku panggil Kiai Sambartaka...."
Perlahan Manmathaba mengangguk.
"Ladlahom. "Duka saja kok bisa tertunda. Dasar bukan manusia. Apa kalian bertiga ini tak punya perasaan sebelumnya" Tak punya firasat apa-apa"
Kok sampai ditinggal mati saja tidak merasakan...."
"Tutup mulutmu, kanyawandu...."
Makian Gendhuk Tri terdengar sangat kasar. Dengan menyebut kanyawandu, Gendhuk Tri menyamakan Puspamurti sebagai "wanita yang tidak mempunyai jenis kelamin".
Kata-kata yang paling kasar yang diteriakkan dengan murka.
"Kalau Upasara mau mempelajari Kidung Pamungkas, nasibnya tak akan seburuk ini."
"Aku bilang, tutup mulutmu."
Kali ini tubuh Gendhuk Tri yang gemetaran. Menahan kemurkaan dan perasaan campur aduk tak menentu.
"Tenangkan perasaan.
"Yang mati memperoleh ketenangan, kalau kita rela melepaskan."
Gendhuk Tri berpaling ke arah datangnya suara.
Pandangannya hampir tak bisa dipercaya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kiai Truwilun mendatangi dengan langkah perlahan. Penuh ketenangan dan kearifan. Di balik mata yang selalu menyiratkan kedamaian dan kebahagiaan, tersirat duka yang sarat. Tetapi juga kepasrahan.
"Kiai..." "Dewa Yang Maha dewa menghendaki yang terbaik...."
Gendhuk Tri menyeka wajahnya, dengan tangan masih gemetar.
Kalau tadi masih ada setitik harapan bahwa apa yang dikatakan Manmathaba bohong, kini seakan tak ada lagi pegangan.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rasanya lebih tidak mungkin kalau Truwilun berdusta. Ia tak mempunyai alasan untuk itu! Ia bisa mengetahui apa yang terjadi bukan sekadar dari ramalan, melainkan ia sendiri baru berada dalam Keraton.
Mungkin... "Saya berusaha menolong sebisa mungkin, akan tetapi nasib dan takdir telah digariskan...." "Kakang..."
Tubuh Gendhuk Tri menjadi limbung. Dadanya sesak. Semua urat tubuhnya melemah. Tarikan napas yang sangat dalam dan panjang, tak sedikit mengurangi kepekatan yang menindih.
Apa arti ini semua" Upasara Wulung, Upasara kakangnya, yang selalu hidup dalam angannya tiba-tiba saja diberitakan sudah mati. Tidak dalam pertarungan habis-habisan yang menegangkan. Tidak dalam pertarungan utama seperti di Trowulan, atau ketika menghadapi senopati Tartar di ujung benteng selama pembebasan Singasari.
Tapi meninggal karena luka oleh keris.
Meninggal tidak secara ksatria gagah.
Apa artinya ini semua"
Apakah ini juga kemauan Dewa" Dewa yang mana yang menghendaki kematian Upasara" Apa dosa Upasara sehingga harus meninggal sedini ini"
Bibir Gendhuk Tri mengering.
Pandangannya berputar. Kepalanya menjadi pening.
"Mungkin kematian yang menyenangkan." Suara Puspamurti memecah kesunyian yang berlangsung lama. "Upasara lahir tanpa diketahui siapa sanak saudara atau orangtuanya. Tapi ia ditangisi sedikitnya tiga wanita, seorang dukun sakti, dan masih banyak yang lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Entahlah, aku tak tahu. Apakah kenangan itu perlu atau tidak.
"Ladlahom" Perlahan ia mendekati Nyai Demang. Berjongkok.
"Ilmumu masih dangkal, Kebo. Kekuatanmu kalah oleh yang hidup.
Kematianmu benar-benar tak menguasai hidup.
"Bangkitlah. Jawablah aku kalau kuasa."
Nyai Demang yang diajak bicara melongo. Pandangannya tak berkedip. Puspamurti berdiri.
Dengan satu gerakan memutar yang cepat sekali, kedua tangannya menyerang Eyang Kebo Berune yang membeku. Dengan sekali sentak, tubuh yang sudah lama menjadi mayat terangkat dan melayang di tengah udara.
Seketika tercium bau busuk.
Agaknya setelah sekian lama meninggal, karena kekuatan tertentu dari tenaga dalam yang dilatih, Eyang Kebo Berune masih bisa mempertahankan jasad kasar dan kemauannya. Sehingga meskipun sudah menjadi mayat, tubuhnya masih utuh.
Hanya setelah Nyai Demang terkena pukulan batin yang tak tertahankan, penguasaan itu terputus. Saat itulah Puspamurti melepaskan.
Agaknya juga kekuatan yang menahan proses pembusukan alami itu hanya bertahan sementara.
Karena begitu terlepas, tubuh Eyang Kebo Berune seperti telah membusuk sekian lama. Sehingga tubuh itu hancur meleleh dan memancarkan bau busuk ke seluruh penjuru.
Nyai Demang sendiri seperti lepas dan pengaruh gaib yang selama ini menguasainya. Seperti memperoleh kembali pribadinya. Hanya saja, di saat memperoleh kembali penguasaan jiwa dan raganya, saat itu justru merasakan sentakan batin yang mengguncang kekuatannya.
Truwilun mendekati Nyai Demang, menuntun ke pinggir.
"Dewa Maha kasih, Nyai... Maha Di Atas, Maha... Ingat, Nyai..."
Truwilun juga mengajak Gendhuk Tri. Akan tetapi dengan mata merah dan pandangan buas, Gendhuk Tri mengibaskan tangannya.
Truwilun hanya menghela napas dalam, lalu membopong Ratu Ayu.
"Kakang... Rakyat Turkana menunggu Kakang... Takhta Turkana..."
Semua prajurit dan senopati yang melihat sejak awal tetap terdiam.
Juga ketika Manmathaba berusaha menyeret tubuhnya sambil menahan kesakitan yang menghebat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya Puspamurti yang masih berdiri.
Wajahnya menengadah, mencari sesuatu di langit.
Kedua tangannya ditekuk beberapa kali, dan setiap kali menimbulkan suara tak-tak-tak.
"Maha manusia menguasai mati atas hidup. Apa hanya dalam bentuk Kebo tadi"
"Kalau kematian memang ada, apa arti Kidung Pamungkas sesungguhnya?"
Tangis di Perjalanan PUSPAMURTI masih tertegun.
Pertarungan pikiran terus berlangsung. Tak banyak yang mengetahui bagaimana riwayat hidupnya, dan bagaimana keadaan dirinya. Hingga lebih banyak menganggap sebagai orang aneh, yang mempunyai hubungan langsung dengan Permaisuri Indreswari.
Sesungguhnya Puspamurti sejak awal mempelajari Kidung Pamungkas, dan memilih kitab itu sebagai babon utama untuk mempelajari ilmu silat. Terutama sejak awal gagasan itu dituliskan.
Tenggelam dalam kesendiriannya, Puspamurti masuk merasuk dalam ajaran Kitab Pamungkas. Puluhan tahun dihabiskan hanya dengan membaca dan mempelajari kitab yang mengagungkan manusia. Sesuai dengan ajaran itu, sekurangnya dalam tanggapan Puspamurti, ia bisa melakukan segalanya seorang diri. Tak memerlukan orang lain. Sampai kemudian mendengar cerita mengenai ksatria lelananging jagat, sehingga Puspamurti meninggalkan persembunyiannya. Karena tidak mengetahui di mana pertemuan, serta tak mau bertanya, Puspamurti nyasar ke Keraton.
Saat itu di Keraton sedang diadakan penghimpunan kekuatan yang setia kepada Raja Jayakatwang. Sehingga kedatangannya tidak menimbulkan kecurigaan. Karena memang saat itu banyak senopati dan ksatria yang datang bergabung. Baik dari tanah Jawa maupun dari negeri seberang.
Karena kebetulan bisa bertemu langsung dengan Permaisuri Indreswari yang memperlakukan dengan baik, Puspamurti kerasan di Keraton. Apalagi ia mendapat perlakuan sangat istimewa. Pada saat itulah Permaisuri Indreswari menjanjikan akan memberikan Kitab Pamungkas yang asli.
Itu yang ditunggu. Setelah diberikan, kembali mempelajari dari awal.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Puspamurti tak merasa berhubungan atau tergantung perintah siapa pun. Maka sebenarnya kedudukannya dalam hal ini tidak memihak siapa saja, atau bisa diperalat oleh salah seorang penguasa.
Kalau ia keluar dari kamarnya karena mendengar keributan, juga tak jelas akan berpihak ke mana. Karena baginya, tak ada perbedaan benar harus ke mana atau berbuat apa.
Satu-satunya yang menggembirakan hanyalah bahwa dirinya mendapat pelayanan sangat istimewa, dan di sekitarnya begitu banyak manusia yang memainkan ilmu silat.
Sampai kemudian melihat Nyai Demang yang menggendong Kebo Berune, dan serta-merta mengenali perwujudan nyata dari salah satu sifat maha manusia dalam soal mengalahkan kematian.
Kegembiraan karena menemukan saudara seperguruan "satu aliran"
runtuh ketika mengetahui bahwa Kebo Berune tak berkuasa atas tubuh Nyai Demang.
Itu yang menyebabkannya tertegun.
Bukan karena dari dalam Keraton muncul rombongan yang berarakan dengan rapi. Ia hanya melihat dari kejauhan, memandangi apa yang terjadi.
Baginda Kertarajasa ternyata jengkar kedaton, meninggalkan Keraton.
Dalam iringan yang panjang, penuh dengan simbol kebesaran. Hanya karena rombongan terhenti di mulut pintu, perhatiannya jadi tersedot.
Baginda terhenti karena melihat Truwilun yang berada di pinggir.
"Aku melihat kamu pertama kali bersedih, Truwilun. Pandangan matamu tak bercahaya lagi...."
Truwilun menyembah hormat.
"Apa yang bisa membuatmu sedih?"
Truwilun menceritakan apa yang dilihat, kaitannya dengan kematian Upasara Wulung yang menyebabkan Gendhuk Tri, Nyai Demang, serta Ratu Ayu tenggelam dalam duka.
Baginda menggeleng. "Bagus juga kalau hal ini diketahui langsung oleh Gayatri. Ksatria yang menjadi pujaan hatinya, yang dianggap masih selalu mengenangnya, ditangisi tiga wanita...."
Truwilun menyembah hormat.
"Aku bisa membaca perasaanmu, Truwilun.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa aku lebih memasalahkan kematian Upasara yang ditangisi, dibandingkan dengan kekalahan Manmathaba, atau bahkan kematian Upasara itu sendiri.
"Itu yang akan kamu katakan"
"Aku bisa membacamu. Seterang matahari.
"Truwilun, aku masih belum bisa membebaskan rasa manusia yang biasa. Kecemburuan, keirian, keinginan untuk merasakan getaran duniawi masih besar.
"Itu sebabnya aku berpikir, apa yang akan kulakukan di Simping"
Bersemadi" Berdoa"
"Apa itu mungkin, kalau hatiku masih di sini?"
Baginda menoleh ke belakang.
Sebentar. Lain menutup tirai tandu, dan memerintahkan rombongan berangkat.
Berurutan, perlahan dalam kehormatan besar.
Iringan berlalu. Sampai kemudian Halayudha muncul dan membubarkan kerumunan
"Senopati Jaran Pengasihan, Kebo Pengasihan, Gudel Pengasihan, Lembu dan segala macam binatang pengasihan atau yang dikasihani...
adalah tugas kalian bersama untuk menjaga tata tenteram Keraton.
"Hal semacam ini tak boleh terjadi lagi.
"Aku perintahkan segera tempat ini dibersihkan. Dan mulai sekarang tak perlu ada keributan lagi. Hanya ada satu perintah, dari Raja."
Dari suaranya jelas Halayudha ingin segera tampil kembali.
Kekalahan Manmathaba membuka peluangnya untuk maju dan mengisi.
Selama ini dirinya dikesampingkan.
Maka segala cara dicari untuk membuat suasana serba onar.
Sehingga Manmathaba tak bisa sepenuhnya menguasai-bahkan terhadap senopati-senopati yang baru diangkat.
Hal yang pertama dilakukan ialah menggosok para senopati lama, untuk tidak patuh begitu saja. Arakan Ratu Ayu untuk menunjukkan masih adanya kekuatan yang harus diperhitungkan. Karena ini tak ada perintah dari Manmathaba, yang secara tidak resmi menjadi mahapatih.
Demikian juga usulan kepada Raja agar Baginda bisa segera berangkat ke Simping. Keresahan akan mencuat ke permukaan, karena tindakan-tindakan ini pasti akan menyinggung pengikut Baginda yang setia, di samping menampar kekuasaan Manmathaba.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ada kegiatan yang tidak dikuasai secara penuh.
Tidak tahunya rencananya yang telah disusun sedemikian rapinya menjadi berantakan gara-gara Gendhuk Tri maupun Nyai Demang. Yang ternyata dengan tidak mengalami banyak kesulitan bisa mengalahkan Manmathaba.
Dengan cara begitu, posisi Halayudha jadi berubah lagi. Bisa-bisa, dirinyalah yang dimusuhi pengikut Baginda. Padahal dukungan itulah yang tadinya diharapkan agar posisinya di hadapan Raja bisa dianggap kuat.
Kini, dengan mundurnya Manmathaba, Raja akan berpaling ke arahnya. Tak bisa tidak.
Maka ketika malam harinya ditimbali, Halayudha segera bergegas.
Raja Jayanegara sedang bercengkerama dilayani para dayang dan penari sewaktu Halayudha merunduk masuk.
"Halayudha, agaknya pengawasan di Keraton masih belum sempurna.
Apalagi dengan mundurnya Manmathaba.
"Aku perintahkan hari ini juga kamu berangkat ke Lumajang. Panggil kembali Mahapatih Nambi. Kurasa hanya dia yang bisa menyatukan kembali keamanan dan ketenteraman."
Tiga geledek yang berbunyi sekaligus saat itu tak akan membuat Halayudha seterkejut sekarang ini.
Tak masuk akal bahwa ternyata Raja masih lebih memperhitungkan Nambi.
"Nambi lebih setia. Padanya aku bisa percaya.
"Temui dia, Halayudha...."
"Sendika dawuh...."
Halayudha menyembah dan segera berlalu. Dengan perasaan masih belum menentu. Baginya keputusan Raja sangat tidak masuk akal.
Pengaruh siapa yang membuat Raja memanggil kembali Nambi"
Kalau itu yang terjadi nanti, Halayudha makin merasa terjepit.
Selama ini hubungannya dengan Mahapatih Nambi boleh dikatakan kurang baik. Kalau Mahapatih kembali, keleluasaannya akan sangat terbatas.
Kenapa kembali ke Nambi"
Ataukah Raja melihat bahwa pergolakan yang akan muncul dari pengikut Baginda akan bisa ditenangkan dengan pulihnya kekuasaan Nambi" Karena mahapatih yang satu ini pilihan Baginda"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Benarkah Raja yang masih muda usia ini mempunyai strategi yang begitu hebat"
Apa pun yang dirisaukan saat ini, tak ada alasan untuk tidak segera menjalankan tugas.
Perjalanan duka. Tak ubahnya dengan Permaisuri Gayatri yang terpaksa mengikuti Baginda, yang terpaksa mendengar kabar kematian Upasara Wulung.
Bedanya, dirinya tidak mengikuti Baginda.
Berarti masih ada peluang kecil yang akan dimainkan dengan hati-hati. Namun juga hatinya ciut. Tak gampang suasananya sekarang ini.
Raja Jayanegara tak seperti dugaannya semula. Bukan bersuka ria menikmati singgasana, akan tetapi juga secara langsung memutuskan.
Dengan pertimbangan yang cukup masak.
Perlawanan Semu HALAYUDHA tak bisa bertahan lama-lama.
Begitu menerima perintah Raja, segera menyiapkan sepuluh prajurit pilihan, dan memerintahkan berangkat secepatnya. Ia sendiri minta disiapkan tiga ekor kuda sekaligus, agar perjalanan tak tertunda.
Lepas dari gerbang Keraton, Halayudha sedikit memperlambat gerak lajunya. Karena sadar bahwa ada yang mengikuti. Dengan cepat jalan pikirannya bekerja, karena mengetahui bahwa yang mengikuti bukan orang sembarangan.
"Ada perlu apa Senopati mendadak pergi dengan tergesa?"
Halayudha membalik tubuhnya. Kudanya ikut terangkat kaki depannya.
Di depannya berdiri Senopati Tantra yang berjalan cepat mendekati.
Otak Halayudha segera menemukan apa yang harus dilakukan, dikatakan, begitu mengetahui hadirnya Senopati Tantra, yang merupakan orang kepercayaan Senopati Semi serta Kuti.
"Rasanya Senopati Tantra lebih tahu."
"Apakah tidak lebih baik dikatakan saja?"
Halayudha tersenyum dalam hati.
Selama ini hubungannya dengan sesama senopati memang kurang baik. Apalagi dengan senopati utama yang diangkat sebagai dharmaputra oleh Baginda Kertarajasa. Di antara tujuh senopati yang diistimewakan, Senopati Kuti dan Senopati Semi yang secara terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kini saatnya ia memainkan peranannya.
"Saya hanya ngemban dawuh, menjalankan perintah Raja. Senopati Tantra jangan memperlambat gerak maju saya."
"Begitu tergesakah?"
"Bahkan barangkali sudah terlambat, kalau diingat persiapan yang sudah sedemikian rapi."
Senopati Tantra mengerutkan keningnya.
"Tak ada untungnya bagi saya mengatakan apa keperluan saya.
Harap diketahui saja, bahwa belum tentu kalian bisa menemukan jalan yang lapang menjadi pegangan kalian senopati yang diistimewakan Baginda, tak bersisa lagi.
"Baginda telah kena tundung ke Simping.
Halayudha sengaja menggunakan kata tundung yang artinya diusir.
Sebutan menyakitkan dan menghina karena diucapkan untuk Baginda.
Sama dengan membakar jenggot para pengikutnya yang setia.
"Kamu terlalu kasar, Halayudha...."
"Saya bisa lebih kasar lagi, Tantra.... Mari kita lihat, siapa yang bisa bergerak lebih cepat. Dengan Mahapatih berpihak kepada Raja, kalian semua bisa memperkirakan apa yang akan terjadi."
"Kamu akan ke Lumajang?"
"Terlalu mudah diketahui, karena tak ada kepercayaan kepada para senopati yang kini ada di Keraton. Segala macam senopati pengasihan, yang diberi pangkat dan derajat, tak lebih dari cacing yang diberi prada..."
Umpan yang pertama bagi Halayudha ialah memastikan agar lawan mengetahui dirinya pergi ke Lumajang. Yang berarti memanggil kembali Mahapatih Nambi. Yang ditambahi arti oleh Halayudha bahwa ini bukti bahwa Raja tidak mempercayai senopati yang ada. Sekaligus Halayudha mengaitkan dengan diangkatnya berbagai senopati yang memakai nama Pengasihan, yang dianggap tetap cacing meskipun dilapisi emas.
"Halayudha tahu bahwa semua senopati pengasihan diangkat oleh Manmathaba. Namun dengan melemparkan kesalahan, seolah kelompok dharmaputra yang sengaja membentuk barisan.
"Tak segampang itu. Halayudha...."
"Apakah aku perlu memperlihatkan surat perintah Raja?"
Halayudha mencabut cincin dari jari manisnya. Tantra tak ragu lagi bahwa Halayudha memang menjadi utusan resmi Raja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tantra, masih ada waktu untuk bertobat. Sebagai sesama senopati, saya memberi kesempatan padamu untuk sowan kepada Raja. Besar kemungkinan Raja berkenan mengampuni orang yang bersedia bertobat...."
Senopati Tantra menggeram. Kakinya menginjak tanah lebih keras.
"Saya tahu selama ini pengaruh Senopati Semi dan Senopati Kuti..."
Beringas Senopati Tantra menggebrak maju. Satu tangan bergerak cepat merampas tali kekang kuda Halayudha. Yang hanya dengan sedikit menjepit perut kuda dan menarik keras, sambaran lawan bisa dihindari.
Senyum kemenangan Halayudha memancing kemarahan Senopati Tantra yang segera menghunus kerisnya. Tubuhnya terayun ke depan, mengangkasa. Tusukan kerisnya langsung ke tangan Halayudha, persis yang memegang tali kekang.
Halayudha menjilat bibirnya. Tali kekangnya justru dibuka, disabetkan kearah keris. Dengan sekali sentak, tali ditarik kuat.
Senopati Tantra merasa tenaganya terpancing. Masih terkelebat bayangan untuk adu tenaga Karena merasa lebih unggul. Keris dan tali kekang, bagaimanapun lebih menguntungkan pemegang keris.
Tapi Halayudha tidak membiarkan tali kekangnya putus. Bersamaan dengan menyentak, tangan kanannya yang bebas meraup wajah Senopati Tantra. Yang terpaksa membuang ke belakang dan melepaskan sergapannya. Hanya ketika membuang ke belakang, pada saat menyentuh tanah, tubuhnya kembali lagi menyerang. Halayudha hanya mengeluarkan suara dingin. Kaki depan kuda yang ditunggangi mendadak terangkat keras, disertai ringkikan tinggi.
Tendangan kaki kuda ke arah tubuh yang tengah menyergap.
Bagi Senopati Tantra serangan kaki kuda tak menjadi masalah besar Dengan mudah Ia bisa menangkis atau menghindar. Akan tetapi ternyata bersamaan dengan itu, tubuh Halayudha melorot turun, memutari punggung dan perut kuda, untuk menyerang dan bawah.
Gesit, liat, dan tepat. Tungkai kaki Senopati Tantra bisa disentuh dan disentakkan.
Sehingga ketika bisa menginjak tanah, agak terpincang-pincang.
Sementara Halayudha sudah duduk kembali di punggung kuda dengan gagah.
"Tantra... cukup...."
Suara yang mempunyai pengaruh besar menghentikan langkah Senopati Tantra.
"Bagus, kamu mendengar perintah dengan baik. Seperti kuda ini..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha tidak memedulikan wajah Senopati Tantra yang marah terbakar. Halayudha memutar kudanya dan segera melaju ke arah timur.
Tanpa melihat pun Halayudha mengetahui bahwa Senopati Semi yang memerintahkan agar pertarungan tak usah dilanjutkan. Bagi Halayudha sudah cukup untuk meletikkan dendam permusuhan.
Api telah disulut. Dengan cara seperti ini, biar bagaimanapun kelompok Senopati Semi akan memperhitungkan apa yang akan dilakukan nanti.
Dengan harapan, bahwa mereka tidak sabar dan membuat gerakan perlawanan. Saat itulah Halayudha akan maju menumpas. Perlawanan semu itu sengaja diciptakan, agar lawan terpancing.
Dan lawan bergerak lebih dulu.
Saat itu Halayudha akan mendahului.
Untuk itu Halayudha memerlukan sedikit persiapan. Maka kira-kira sepenanak nasi, ia memberi perintah kepada sepuluh anak buahnya untuk tidak menyatu.
"Kita berpencar untuk menghindari kuntitan orang yang tidak menyukai tugas. Kalau perlu kita hanya bertemu di Lumajang."
Tak sulit bagi Halayudha untuk memutar kudanya ketika sendirian.
Memutar balik ke Keraton.
Berindap masuk, menemui Permaisuri Indreswari.
"Apa lagi yang kamu ributkan?"
Dengan suaranya yang gemetar Halayudha menceritakan apa yang ada di kepalanya. Bahwa ketika sedang mengemban dawuh, ia mendengar adanya kelompok senopati yang akan melakukan perlawanan.
"Saat Keraton tengah sepi. Karena Manmathaba sudah kalah, karena tak ada lagi yang ditakuti. Duh, Permaisuri yang agung dan bijaksana...
Bahkan mereka menyinggung-nyinggung nama Yang Mulia...."
"Apa yang mereka katakan tentang diriku?"
"Mereka mengatakan, kenapa Permaisuri tidak mengikuti Baginda ke Simping" Kata mereka, bukankah selayaknya istri mengikuti suaminya"
"Mereka picik dan tak bisa membedakan antara permaisuri dan selir yang harus melayani Baginda...."
"Orang-orang kecil mulai berani bersuara....
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku tak bisa menerima kalimatmu begitu saja, Halayudha. Aku akan meneliti secara saksama apakah laporanmu benar atau tidak. Kalau tidak, kamu tahu sendiri akibatnya."
"Hamba hanya melaporkan apa adanya...."
"Apa yang ada di kepala mereka ini" Dikiranya aku lebih suka di sini karena di sini lebih enak" Keraton ini makin lama makin menjadi tempat orang bisa membuka mulut sembarangan....
"Baik kalau begitu. Akan kuselesaikan sekarang juga. Akan kupanggil semuanya...."
Halayudha tak menduga bahwa itu yang akan dilakukan Permaisuri Indreswari. Dugaannya: secara diam-diam Permaisuri Indreswari akan mengadakan penyelidikan. Dan bukan memanggil secara terbuka.
"Maaf, Permaisuri Yang Mulia, mana ada pencuri mengakui perbuatannya"
"Aku sudah muak dengan omongan di belakang. Panggil Kuti, Semi, Pangsa... menghadapku, sekarang juga. Bersama kamu di sini. Aku ingin tahu semuanya."
Taktik Menampi Beras SEKALI ini Halayudha tak berkutik.
Ia tak bisa pergi ke mana pun, sementara tujuh senopati utama yang diistimewakan diperintahkan menghadap Permaisuri. Bagi Halayudha, kini dirinya seperti ditelanjangi.
Dengan berhadapan langsung, kedoknya terbuka. Secara tidak langsung Senopati Semi mengetahui dengan jelas tak terbantah bahwa Halayudha mempunyai tipu muslihat busuk. Di belakang hari atau sekarang ini juga, dirinya bisa hancur.
Sebagai sesama ksatria, menghadapi para senopati pilihan ini, Halayudha tidak gentar. Pertarungan satu melawan satu akan dihadapi dengan tenang. Akan tetapi sekali ini jauh berbeda. Tak ada pertarungan terbuka satu lawan satu.
Yang ada adalah satu orang melawan kekuasaan.
Dirinya menghadapi seluruh Keraton.
Terang tak mungkin bisa menang. Bahkan untuk mundur pun tak sempat.
Selama menunggu, Halayudha berusaha berpikir keras. Segala taktiknya yang dikira kuat, setiap kali buyar tak menentu. Keinginannya untuk mengadu domba yang dianggap begitu matang, bisa dimengerti oleh Permaisuri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Padahal dengan melaporkan kepada Permaisuri, Halayudha tadinya mengira bisa masuk ke sisi yang lebih aman.
Akan tetapi justru sebaliknya.
Berarti hanya tinggal satu pegangan. Yaitu Raja!
Berbekal cincin Keraton, Halayudha berusaha menghadap Raja.
Meskipun ini hanya bersifat untung-untungan, akan tetapi tak ada kesempatan yang lain. Di saat para senopati yang dipanggil belum terkumpul, Halayudha berharap bisa sowan ke Raja.
Betapa leganya ketika akhirnya dirinya dipersilakan menghadap.
Sekali ini Halayudha memantapkan dirinya. Tak akan ragu lagi.
"Apa lagi urusannya?"
"Duh, Raja yang bijaksana... hamba ternyata tak bisa menunaikan tugas dengan baik. Hamba bersedia dihukum sekarang juga. Dengan ini hamba mengembalikan mandat Raja, mengembalikan cincin...."
"Sebelum aku menghukum mati, apa yang akan kamu katakan?"
"Dalam perjalanan, hamba mendengar suara-suara aneh yang tak bisa dipercaya. Suara dari tujuh senopati utama yang meminta bantuan Permaisuri Indreswari agar Mahapatih Nambi tak perlu ditarik kembali ke Keraton...."
"Tujuh senopati utama... senopati utama?"
"Duh, Raja yang bijak...
"Mereka masih memakai sebutan dharmaputra, gelar pemberian Baginda. Sesungguhnyalah mereka ini masih berharap Baginda berada di Keraton.
"Itu sebabnya mereka memohon kepada Permaisuri, yang mengetahui jasa-jasa ketujuh senopati saat membangun Keraton...."
"Apakah suara aneh yang kamu dengar ada buktinya?"
"Saat ini mereka sedang dikumpulkan Permaisuri. Untuk didengar dan dipertimbangkan usulnya, agar Mahapatih Nambi tak usah ditarik kembali. Kalau tidak begitu, pastilah tak perlu menahan hamba yang sudah berada dalam perjalanan...."
Raja Jayanegara mengeluarkan suara agak keras.
"Sampai sejauh itukah"
"Ibu lupa bahwa aku sekarang adalah raja. Dan raja hanya seorang, satu-satunya yang didengar dan memerintah.
"Kadang aku tidak percaya padamu. Tapi sekali ini agaknya perlu didengarkan. Semakin tidak masuk akal kabar itu, kadang semakin ada kebenarannya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi Halayudha ini merupakan permainan terakhir.
Kalau usahanya gagal, semuanya berantakan. Dan habislah dirinya.
Karena kini ia bermain langsung di pusat kekuasaan.
Nyatanya lebih berhasil. Ibarat kata seperti beras yang ditampi. Yang diputar-putar di atas nyiru. Makin di pinggir, gerakan itu makin kuat. Sedang di tengah, berasnya justru tak bergerak. Tapi sumber gerak di pinggir berasal dari bagian tengah.
Inilah yang sekarang dimainkan.
"Menurut pendapatmu, kenapa senopati utama melakukan itu?"
"Bisa saja kesalahan ditimpakan kepada para senopati, yang masih lebih setia kepada Baginda. Mohon maaf atas kelancangan yang berdosa ini.
"Akan tetapi, lebih maaf lagi, rasa-rasanya Permaisuri Indreswari membuka peluang untuk muncul pengaduan seperti ini. Karena tanpa peluang, rasa-rasanya, para senopati tetap tak berani mendongak."
"Bisa kuterima. "Mereka tetap prajurit, tetap kawula. Kalau tak diberi kesempatan, tetap tak berani membuat tafsiran kenapa Baginda pergi ke Simping karena aku telah memerintahkan.
"Bisa kuterima alasanmu.
"Yang menjadi pertanyaanku sekarang, kenapa Ibunda memberi kelonggaran itu"
Masuk! Tepat!
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Halayudha tahu bahwa kegelisahan dan kecurigaan mulai bersemi.
Dan akan sangat cepat tumbuh.
Kalau Raja sudah mencurigai Ibunda Ratu-dan atau sebaliknya, berarti sudah segalanya.
Halayudha tak perlu memberikan jawaban.
Karena tanpa dikatakan pun, Raja mengetahui. Atau menduga bahwa campur tangan Ibunda Ratu bisa diartikan belum menganggap raja yang sekarang ini mampu mengatasi sendiri. Bahwa raja yang sekarang ini masih terlalu kanak-kanak untuk mengambil keputusan.
"Agaknya mereka semuanya perlu tahu siapa yang memerintah Keraton
"Halayudha, kamu tetap berangkat ke Lumajang...."
"Hamba..." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tak ada urusan. Ingsun yang akan menyelesaikan, tanpa harus mengangkat pantat dari tempat ini...."
Halayudha menyembah. Memundurkan diri. Tidak segera menuju Lumajang, akan tetapi menghadap kepada Permaisuri Indreswari. Melaporkan bahwa ia meninggalkan tempat penantian, karena ada prajurit yang mengetahui kehadirannya, dan melaporkan kepada Raja. Sehingga ia dianggap tidak mau menjalankan tugas.
"Hamba melaporkan juga mengenai komplotan senopati utama yang sudah diselesaikan persoalannya oleh Permaisuri Yang Mulia...."
"Apa lagi?" "Hanya itu...."
"Jangan kamu sembunyikan sesuatu...."
"Duh, hamba tak bisa menghaturkan apa-apa...."
"Apakah Raja juga menanyakan kenapa aku tidak segera ke Simping?"
Halayudha menyembah hormat dan menggeleng.
"Apakah Raja menyinggung kenapa aku yang memanggil para senopati utama?"
Halayudha kembali menyembah dan menggeleng lembut.
"Apakah ini menjadi persoalan?"
Halayudha menyembah, tidak menggeleng.
"Apa" "Katakan, Halayudha!"
"Raja Jayanegara hanya mengisyaratkan Permaisuri jangan terlalu berbaik dan bermurah hati...."
Permaisuri bangkit dari duduknya.
"Apakah tersirat bahwa aku dianggap tidak mengetahui dan tidak bijaksana, karena terlalu murah dan baik hati" Apakah aku dianggap tidak mengetahui urusan Keraton"
"Raja Jayanegara adalah putraku.
"Kukandung. Kulahirkan. Kudidik.
"Sejak sebelum berada dalam kandungan pun, aku sudah menyiapkan takhta untuknya. Segala penderitaan dan pengorbanan kulakukan untuk putraku.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah mungkin aku tidak mengetahui keadaan dan tata pemerintahan dan tipu muslihat"
"Apa aku sudah sedemikian bodoh, sehingga menjadi terlalu mulia, terlalu baik hati?"
Halayudha menggigil. Kali ini betul-betul karena gemetar. Untuk pertama kalinya, komentar Permaisuri Indreswari terdengar secara langsung. Dan di luar dugaannya. Tak pernah diperhitungkan sama sekali. Selama ini dianggapnya sebagai satu.
Ya ibunya, ya anaknya. Ternyata tersisa pula ganjalan.
Betapapun kecilnya, ternyata bisa diperbesar.
"Lalu apa maumu?"
"Hamba hanya mengabdi...."
"Kamu tetap akan ke Lumajang?"
"Biarlah hamba mati kaku di tempat ini...."
"Tidak, Halayudha. "Matamu bersinar terang ketika kusebut nama Lumajang. Kamu lebih suka pergi ke sana. Karena itu berarti menunaikan tugas Raja.
"Itulah mengabdi."
Halayudha tak berani menelan ludah.
"Kala Gemet putraku. Tapi ia raja....
"Ibunya bukan ibunya, ramanya bukan lagi ramanya...."
Suaranya mengandung nada getir.
Luh Putri Boyongan NAPAS Permaisuri Indreswari tersengal.
Bibirnya gemetar, kering, pandangannya kosong, menembus jarak pandang di depannya. Walaupun Halayudha mampu menyelam ke dalam alam pikiran Permaisuri, barangkali tetap tak bisa menemukan alasan yang tepat. Apa yang sesungguhnya membuat Permaisuri Indreswari mendadak begitu berduka, begitu merintih. Jalan pikiran Halayudha terhenti kepada perhitungan bahwa duka itu terasakan, karena kini Raja memutuskan sesuatu di luar pengetahuan ibunya.
Atau sekitar itu. Lebih jauh lagi tak teraba.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan salah Halayudha kalau tak bisa menangkap getaran kepiluan.
Karena selama ini Halayudha tidak benar-benar bisa merasakan apa yang sesungguhnya bertarung dalam batin Permaisuri.
Kasih Diantara Remaja 5 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Pendekar Pedang Kail Emas 5