Pencarian

Kisah Si Rase Terbang 2

Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Bagian 2


lebih lanjut. "Bukan begitu, Taysu, kedua Tuan Ma dan Li itu justeru pergi ke Pakkhia untuk menyambut
Hoan Pangcu dari Hin Han Kay Pang."
"Hoan Pangcu juga diundang?" tanya Po Si yang menjadi agak terkejut, mendengar
disebutkannya nama itu. "Sebenarnya, berapa banyak kawan-kawan si Rase Terbang yang akan
datang menyateroni?"
"Kabarnya ia hanya seorang diri, tidak berkawan."
Tanya-jawab itu telah menarik perhatian Whi Su Tiong, In Kiat, To Pek Swee dan yang lain-lain.
Pengalaman mereka sudah cukup banyak. Mengingat, bagaimana tuan rumah itu mengumpulkan
begitu banyak tokoh-tokoh ternama, sedang si Rase Terbang hanya seorang diri saja, mereka jadi
beranggapan, bahwa tuan rumah itu sengaja hendak mengadakan keramaian, atau mungkin juga
mempunyai maksud lain lagi. Betapa lihay juga lawan itu, umpama Hian Bengcu dan Leng Ceng Ki
Su berdua masih belum dapat menandinginya, jika mendapat bantuan tenaga seorang lagi saja,
tentu sudah akan cukup untuk menjatuhkan lawan itu. Mengapa tuan rumah itu sampai harus
mengundang 'Kim Bian Hud' dan Hoan Pangcu" Bukankah itu agak terlalu berlebih-lebihan saja"
Berbeda dengan mereka semua, Lauw Goan Ho menjadi terkejut, ketika mendengar
disebutkannya nama Hoan Pangcu. Kay Pang (Partai Pengemis) selalu memusuhi pemerintah Boan
dan sebulan sebelumnya Kaisar Kian Liong telah memerintahkan delapan belas jago-jago utama
dari keraton menangkap pemimpin pengemis itu. Akhirnya dengan suatu tipu muslihat yang licin,
Hoan Pangcu itu telah dapat ditangkap dan dijebeluskan ke dalam penjara. Lauw Goan Ho adalah
salah seorang dari delapan belas jago keraton itu.
Karena peristiwa itu sangat dirahasiakan, maka orang luar hampir tiada yang mengetahuinya
Pikir Lauw Goan Ho, "Mengapa orang she Li dan orang she Ma itu tidak langsung menuju ke
markas Partai Pengemis di Taytong, di propinsi Shoasay" Mereka justeru pergi ke Pakkhia
(Peking). Mungkinkah mereka sudah mengetahui ditangkapnya" Tetapi, jika sudah tahu, mengapa
mereka masih mau mengundangnya lagi untuk turut membantu menghadapi si Rase Terbang?"
Sementara berpikir begitu, mukanya lantas saja turut berubah. Po Si Taysu melihat perubahan
mukanya itu dan lantas menegurnya, 'Apakah Lauw Tayjin mengenal orang itu?"
"Tidak, boanseng (yang muda) hanya pernah mendengar nama Hoan Pangcu yang terkenal
sebagai jago terkemuka di daerah utara dan pernah memukul mati seekor harimau dengan
tangannya" Agaknya Po Si Taysu kurang percaya kepada keterangan berpura-pura itu, tetapi ia hanya
bersenyum sedikit dan selanjutnya tidak mengguberis lagi orang she Lauw itu, sebaliknya ia
berpaling kepada si pegawai berleher panjang dan menanya lagi, "Bagaimanakah si Rase Terbang
itu dan apakah sebenarnya yang menjadi sebab permusuhannya dengan majikanmu?"
"Hamba tidak tahu. Majikan tidak pernah menceritakannya dan hamba tidak berani menanya."
Sementara itu pelayan-pelayan sebawahan si leher panjang telah menyediakan makanan dan
arak. Meski tempat itu berada di puncak gunung yang begitu sukar dicapai, tetapi ternyata mereka
dapat menyediakan makanan yang enak dan arak yang baik untuk para tamu itu, yang sama
sekali tidak menduga akan dapat menikmati hidangan sedemikian.
"Karena merasa berterima kasih kepada Tuan-Tuan yang sudah memerlukan datang
berkunjung, maka nyonya telah menyuruh kami mempersilakan Tuan-Tuan minum berapa cawan
lebih banyak," ujar si leher panjang
Walaupun berada di sekitar meja perjamuan, tetapi Co Hun Ki dan To Cu An masih saja saling
memandang dengan mata membelalak dan Ciu Hun Jang maupun Him Goan Hian juga masih
saling memandang sambil menggosok-gosok kepalan. To Pek Swee yang duduk berhadapan
dengan The Sam Nio pun ingin sekali melabrak nyonya itu dan sebaliknya si nyonya pun
memandangnya dengan mata melotot.
Dari antara tamu-tamu itu hanya Po Si Taysu yang terus berbicara dan tertawa-tawa, sambil
terus pula makan minum sepuas-puasnya. Agaknya ia tidak pantang makan daging, meskipun ia
seorang hweeshio. Tak lama kemudian datanglah seorang pelayan yang menyuguhkan manthauw (semacam
bakpauw tetapi tidak ada isinya) yang masih panas. Karena memang sudah merasa lapar sedari
tadinya, maka semua tamu-tamu itu menyambutnya dengan gembira.
Ketika mereka mengulurkan tangan hendak mengambil makanan itu, mendadak terdengar
bunyi seakan-akan peluit bercampur dengan bunyi mendesis dan segera terlihat sebatang panah
api membubung tinggi di angkasa. Di antara asapnya yang tertinggal di belakangnya, sama-sama
dapat dilihat sesuatu yang seakan-akan melukiskan seekor rase terbang.
"Soat San Hui Ho!" teriak Po Si Taysu sambil melonjak bangun demi melihat lukisan di antara
asap tadi. Mendengar teriakan ini yang lain-lain semua menjadi pucat.
Dalam pada itu si leher panjang segera menghampiri hweeshio itu dan sambil memberi hormat
ia berkata, "Majikan belum pulang, sebaliknya musuh sudah datang, maka terpaksa harus Taysu
yang memegang pimpinan di sini, harap Taysu jangan menolak."
"Jangan takut, ada aku di sini, biarlah ia naik kemari," jawab Po Si tanpa berpikir.
Agaknya si leher panjang masih ragu-ragu. Sesaat kemudian, sambil menjura lagi, ia berkata,
"Ada sesuatu yang hamba tak berani mengutarakannya kepada Taysu."
Dengan suara lantang Po Si menjawab, "Katakan saja!"
"Karena curamnya lereng puncak ini, si Rase tak akan mampu naik kemari. Maka harap Taysu
suka turun ke bawah dan memberitahukan kepadanya, bahwa majikan belum pulang."
"Kerek saja ia naik kemari. Hiar aku yang menghadapinya." "Justeru yang hamba kuatirkan
adalah jika ia naik kemari, sehingga nyonya majikan akan menjadi terkejut karenanya. Jika sampai
kejadian demikian hamba tak ada muka lagi untuk berjumpa dengan majikan."
Sikap ragu-ragu si pegawai ini tentu saja membangkitkan kemendongkolan Po Si. Ia mendapat
kesan bahwa kesanggupannya disangsikan orang dan perasaannya jadi tersinggung.
"Kau kuatir, jika aku akan tak sanggup melayani si Rase Terbang?" tanyanya
"Mana hamba berani." Sambil mengucapkan kata-kata ini si leher panjang memberi hormat
sekali lagi "Nah, maka biarkan dia datang kemari."
Karena terpaksa, maka si leher panjang menurut, tetapi secara diam-diam ia memberi kisikan
kepada kawannya. Mungkin ia berpesan agar dilakukan sesuatu untuk melindungi nyonya majikan
mereka. Melihat kelakuan orang itu, Po Si bersenyum dingin tetapi ia tinggal diam saja Sesaat kemudian
ia memerintahkan agar meja perjamuan tersebut disingkirkan dan para tamu itu diaturnya duduk
di sepanjang dinding ruangan tersebut.
Tak lama kemudian " sebelum mereka selesai minum " terdengar teriakan seseorang
melaporkan, "Tamu sudah datang!" dan berbareng dengan itu, kedua belah daun pintu depan
segera terpentang. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, berhenti minum dan memandang keluar,
segera juga mereka jadi kecewa, karena yang masuk hanya dua anak tanggung yang berjalan
berjajar. Kedua kacung itu sama tingginya, usia mereka lebih-kurang dua belas atau tiga belas tahun.
Kedua-duanya mengenakan pakaian dari kulit tiauw yang putih. Dua kuncir kecil yang diikat
dengan pita merah berdiri tegak di atas kepala mereka dan di punggung masing-masing terdapat
sebatang pedang. Dua-dua, mereka beroman sangat cakap dan alis maupun mata mereka seakan-akan lukisan
saja. Selain segala itu, wajah mereka seakan-akan pinang dibelah dua saja, sedikitpun tiada
perbedaannya. Hanya, jika yang di sebelah kanan menggendong pedangnya agak ke kanan
sedikit, sebaliknya yang di sebelah kiri membawa pedangnya pada pundak kirinya, sedang
tangannya menggenggam sebuah kotak.
Pemandangan agak ganjil ini yang benar-benar di luar dugaan mereka semua, tak dapat tidak
membangkitkan keheranan mereka. Ketika dua anak itu sudah datang cukup dekat, mereka
melihat, bahwa di ujung kuncir masing-masing terdapat sebutir mutiara yang kecil tetapi putihbersih
dan berkeredep. Him Goan Hian adalah seorang PiauwThauw (Pemimpin) suatu piauw kiok ternama sedang To
Pek Swee adalah orang yang telah kenyang makan asam garam dalam kalangan rimba hijau
(perampok). Maka tak mengherankan, jika mereka lebih mengenal benda mustika daripada
kawan-kawan mereka. Segera mereka mengetahui, bahwa dua butir mutiara di ujung kuncir dua
kacung itu adalah barang yang sangat langkah dan hati mereka serentak tergoncang.
"Dua butir mutiara itu saja sudah tak terkira harganya, ditambah pula dengan baju kulit tiauw
mereka yang putih seluruhnya tanpa ada sedikit juga cacadnya, sungguh-sungguh bukan pakaian
yang umum. Bahkan anak-anak orang kaya atau anak-anak orang berpangkat sekalipun belum
tentu dapat berpakaian seperti mereka," pikir orang ini.
Dalam pada itu, dua anak itu sudah segera menghampiri Po Si Taysu yang duduk di tengah dan
memberi hormat kepadanya. Setelah selesai melakukan peradatan ini, si anak yang di sebelah kiri
segera mengangsurkan kotaknya.
Si leher panjang menggantikan tuan rumah menyambut kotak tersebut, untuk segera dibawa
menghadap kepada Po Si. Setelah dibuka, ternyata kotak itu tidak berisi apa-apa lagi kecuali
secarik surat yang artinya lebih-kurang sedemikian,
"Boanseng, Ouw Hui yang akan menerima pengajaran sesuatu, menetapkan agar pertandingan
di puncak yang bersalju ini diadakan tepat tengah hari ini.
Tulisan surat itu sungguh bagus dan dari gayanya dapat dilihat, bahwa penulisnya sudah
terlatih sekali menggunakan gaya lio (salah satu model tulisan Tionghoa).
'Ah, ternyata julukannya 'HUI HO" adalah hanya kebalikan namanya "OUW HUI" saja, (jika dieja
dalam bahasa Kuo Yu)," pikir Po Si setelah membaca tulisan itu.
Kepada kedua kacung itu ia bertanya, 'Apakah majikanmu sudah datang?"
"Majikan muda pasti akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan, hanya karena kuatir, jika
majikan rumah ini akan menunggu-nunggu terlalu lama, maka kami telah diperintahkan membawa
kabar kemari," jawab si kacung yang di sebelah kanan dengan suaranya yang masih kekanakkanakan.
'Apakah kamu saudara kembar?" tanya Po Si pula. Agaknya ia tertarik pada kedua anak itu.
"Benar," kata kacung itu dan ia segera memberi hormat pula untuk kemudian berbalik, berdua
dengan saudaranya hendak meninggalkan ruangan itu. Tetapi sebelum mereka melangkah keluar,
si leher panjang telah coba menahan mereka.
"Saudara-saudara kecil, silahkan makan dulu berapa potong kuwe, kemudian baru berangkat,"
katanya dengan maksud baik.
"Banyak-banyak terima kasih, toako, sebelum mendapat perkenan majikan, kami tak berani
tinggal lama-lama di sini," jawab si bocah pula.
Tian Ceng Bun juga sangat ketarik kepada dua bocah itu, ia meraup segenggaman buahbuahan
dan mengangsurkannya kepada mereka. "Makanlah sedikit buah-buahan segar ini,"
katanya. Sekali ini mereka tidak menolak, bocah yang di sebelah kiri menyambuti pemberian itu sambil
mengucapkan terima kasih dengan tertawa.
Sebaliknya kejadian ini telah membangkitkan rasa kurang senang Co Hun Ki. Ia memang suka
cemburu dan adatnya memang pemarah. Sikap mengasih yang diperlihatkan Tian Ceng Bun tadi,
walaupun terhadap dua anak kecil, telah menyebabkan ia naik darah. Segera ia mencari garagara.
Katanya, "Hm, anak sekecil itu menggendong-gendong pedang. Apakah kamu mengerti kiam
sut (Ilmu silat dengan pedang)?"
Mendengar kata-katanya yang mengejek, kedua kacung itu menjadi heran. Dengan sikap
bingung mereka memandang Co Hun Ki. Kemudian dengan berbareng mereka menjawab, "Kami
tidak bisa." "Kalau tidak bisa, mengapa berlagak membawa-bawa pedang! Tinggalkan pedangmu!" bentak
Co Hun Ki. Tanpa menunggu jawaban pula ia mengulurkan tangannya dan membetot dua pedang
itu dari punggung bocah-bocah itu.
Tindakan Hun Ki ini sangat cepat dan sama sekali tidak diduga. Maka sebelum dua anak itu
mengetahui apa yang sedang tenadi, mata semua orang di sekitar situ telah disilaukan dua
kelebatan sinar yang keluar dari pedang kedua bocah itu. Dua batang pedang itu telah berada di
tangan Tio Hun Ki. Karena hasil yang sangat mudah ini. Hun Ki menjadi kegirangan dan tertawa-tawa. Berbareng
dengan tertawanya ia mengoceh. "Haha. kamu hanya.."
Tetapi sebelum ia dapat mengucapkan lebih daripada tiga kata ini, kedua anak itu telah
melompat ke depannya dan segera mencekek leher Hun Ki, yang selalu berada di sebelah kiri
menggunakan tangan kirinya, sedang saudaranya menggunakan tangan kanannya. Co Hun Ki
sudah berdaya sedapat-dapatnya untuk meloloskan diri, tetapi sebelum ia menyadari apa yang
akan diperbuat kedua bocah itu, kedua kakinya telah terangkat naik, disapu dari kiri-kanan oleh
dua bocah itu dengan berbareng. Tubuhnya yang besar-berat segera terpelanting di lantai dengan
menerbitkan bunyi yang nyaring juga.
Gerakan Hun Ki merebut pedang itu sudah sangat cepat, tetapi robohnya dibanting ini terlebih
cepat pula. Semua yang berada di situ jadi melongo dan sebelum keheranan mereka hilang, dua
bocah itu sudah menubruk lagi untuk merebut kembali pedang mereka.
Hun Ki tentu saja tak mau menyerah mentah-mentah. Tadi ia dapat dirobohkan dengan mudah
saja, karena ia sama sekali belum bersiap-sedia. Tetapi setelah terpelanting ia segera menekankan
tangannya pada lantai dan dengan cara itu ia meloncat bangun. Kedua tangannya yang masih
belum mau melepaskan dua bilah pedang itu diacungkannya tegak ke atas agar dua anak itu tidak
merebut kembali senjata-senjata itu.
Sangkanya ia akan dapat mengingusi anak-anak itu dengan cara ini. Tetapi sesaat kemudian
ternyata, bahwa ia kembali salah menghitung. Sekali lagi, entah bagaimana, kedua kacung itu
lelah dapat mencekek lehernya ilan setelah tubuhnya ditarik serta kjkinya disapu dari kiri-kanan,
sekali lagi ia terpelanting, bahkan sekali ini lebih keras daripada vang pertama. Ketika ia pertama
kali dirobohkan, masih boleh dianggap, bahwa robohnya hanya karena belum bersiap-sedia, tetapi
setelah dirobohkan untuk kedua kalinya, bahkan secara lebih cepat dan keras, tak dapat disangkal
pula bahwa robohnya benar-benar karena serangan anak-anak itu yang sangat aneh dan cepat
bagaikan kilat. Meski bagaimana, Co Hun Ki adalah Pemimpin Thian Liong Bun, di samping itu usianya masih
muda dan tenaganya sedang kuat-kuatnya. Jika ia berdiri tegak dua-dua bocah itu tak akan lebih
tinggi dadanya. Bahwa ia telah dirobohkan mereka sehingga dua kali berturut-turut, adalah suatu
peristiwa yang sangat memalukan baginya, apa lagi terjadinya justeru di muka orang banyak.
Mengingat segala ini, ia menjadi gusar dan memang sesuai dengan adatnya, napsumembunuhnya
segera berkobar. Sedang badannya masih menempel pada lantai, ia sudah
menggerakkan pedang yang di tangan kirinya miring ke bawah sedang tangan kanannya
mengayunkan pedang ke arah bocah-bocah itu. Nyata sekali, bahwa maksudnya adalah
membunuh kedua anak itu yang sebenarnya tidak berdosa.
Melihat serangannya ini, Tian Ceng Bun terperanjat sekali. Ia ini tahu bahwa dalam kalapnya,
Co Hun Ki telah menggunakan salah satu serangan yang terlihay dari ilmu pedang Thian Liong
Bun. Kiranya serangan "Ji Long Than Shoa" (Ji Long Memikul Gunung) ini sudah pasti tak akan
dapat dihindarkan kedua anak itu. Karena menyangka demikian maka, terdorong rasa kasihan
kepada anak-anak itu, ia berteriak, "suheng, janganlah berlaku kejam!"
Ketika terdengar teriakan Tian Ceng Bun, Co Hun Ki sudah tak dapat menarik kembali
serangannya. Meskipun biasanya ia suka menurut kata sumoaynya, tetapi sekali ini ia hanya dapat
membelokkan arah serangannya, apalagi karena ia juga bermaksud memberikan sedikit tanda di
dada kedua anak itu. Tetapi di luar dugaan semua orang, bocah yang berada di sebelah kiri itu sudah menyelusup ke
bawah ketiak kanannya dan kacung yang berada di sebelah kanan menyerobot ke sebelah kirinya.
Setelah serangannya ini gagal, Co Hun Ki berniat mengulangi serangannya, tetapi apa mau
dikata, sebelum ia sempat menarik kembali pedangnya, dua sosok bayangan mendadak telah
berkelebat di sampingnya. Agaknya dua bocah itu sudah menyerangnya lagi. Terpaksa dan
dengan terburu-buru Co Hun Ki melontarkan dua batang pedang itu dan kedua tangannya, di
dorongnya di depan untuk menolak dua anak itu sambil membentak, "Pergi!" Dua kali ia telah
diselomoti anak-anak itu, maka kali ini ia tidak mau mengambil risiko lagi. Dorongannya ini telah
dilakukannya dengan mengerahkan Seantero tenaganya. Jika dua anak itu terkena, sedikitnya
mereka akan terluka. Ternyata perhitungan Co Hun Ki meleset lagi. Mendadak, entah dengan cara apa dua bocah itu
lenyap dari depannya. Sesaat kemudian di belakangnya terdengar tertawa cekikikan. Buru-buru
Hun Ki berbalik tetapi hanya untuk ... melihat, bagaimana dua anak itu secepat kilat menyelusup
lagi di bawah kedua ketiaknya. Sebelum Hun Ki sempat melakukan sesuatu, tengkuknya sudah
kena diketok dua kali, masing-masing anak itu sekali. Kemudian dua-dua anak itu merangkul
lehernya. Ia mengenal bahaya sekarang. Sebisa-bisanya ia berusaha menyelamatkan diri. Ia coba
mengelakkan bahaya dengan melengakkan badannya ke belakang agar anak-anak itu terpental
dilontarkan tenaga gerakannya itu.
Lagi-lagi ia kecele. Baru saja ia mulai bergerak atau dua anak itu sudah segera melepaskan
rangkulan pada lehernya. Ia jadi sangat terperanjat, karena ia tahu, bahwa bahaya yang
dihadapinya menjadi semakin besar. Sedapat mungkin ia menahan badannya yang sudah
digerakkan ke belakang itu. Pada saat itu, dua-dua kacung itu telah menggerakkan kaki mereka
lagi untuk menyapu kaki Hun Ki, yang segera jadi terangkat naik ke depan.
Sambil berteriak-teriak mencaci dua anak itu, Co Hun Ki roboh untuk ketiga kalinya. Kali ini
lebih keras pula dibandingkan dengan yang terdulu, karena memang bagian tubuh atasnya sedang
digentakkannya sendiri ke belakang sedang kakinya di saat itu juga disepak ke depan oleh dua
bocah itu. Demikian keras jatuhnya kali ini, sehingga tulang-tulangnya seakan-akan terlepas berantakan
rasanya. Seketika itu ia berdaya untuk bangun kembali, tetapi ia sudah tak punya tenaga lagi,
dengan merintih kesakitan ia terlentang kembali di atas lantai. Melihat keadaan suhengnya yang
demikian menyedihkan itu, Ciu Hun Jang buru-buru menghampirinya dan memayangnya bangun,
hingga Co Hun Ki tidak usah terlentang lama-lama di lantai, menjadi tontonan yang sangat
memalukan Thian Liong Bun.
Kesempatan ini telah digunakan kedua bocah itu untuk memungut pedang mereka.
Peristiwa ini ternyata belum akan berakhir sampai di situ saja, dalam malu dan gusarnya Hun Ki
menjadi nekat. Dengan wajah muram-menyeramkan, dengan mata merah-melotot, ia mencabut
pedangnya sendiri dan tanpa mengucapkan "ba" atau "bu," dengan tipu silat "Pek Hong Koan Jit",
ia menikam bocah yang di sebelah kiri.
Pada saat itu Ciu Hun Jang juga menghunus pedangnya. Ia telah melihat, bagaimana berulangulang
suhengnya telah dipermainkan kedua bocah itu, sehingga tubuhnya penuh tanda-tanda
matang biru. Ia sudah mengerti bahwa dua bocah itu, meski masih kanak-kanak, memang sangat
lihay dan sukar dilawan. Apalagi seperti tadi mereka berdua mengerubuti Hun Ki seorang. Maka
jika ia kini turut maju untuk membantu suhengnya melayani mereka, rasanya ia tidak melanggar
aturan. Segera, setelah menghunus pedangnya, Hun Jang menyerang bocah yang kanan.
Melihat datangnya lawan baru ini, si bocah yang kiri mengisyaratkan sesuatu kepada
saudaranya dan dengan bersama-sama mereka menangkis serangan dua orang lawan mereka.
Setelah menghalau serangan-serangan lawan itu, mereka melompat mundur berapa tindak dan
berteriaklah si bocah sebelah kiri, "Taysu, kami hanya diperintah menyampaikan surat oleh


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

majikan kami, apakah dosa kami terhadap dua Tuan itu, sehingga mereka mendesak kami dengan
semau-maunya saja?" "Mereka hanya ingin meng-uji-uji kepandaian kamu berdua, sama sekali tiada maksud jahat
mereka. Coba-coba kamu menemani mereka berlatih," kata Po Si dengan bersenyum.
"Kalau begitu, silakan Tuan-Tuan memberi petunjuk," kata si bocah sebelah kiri.
Sesaat kemudian mereka sudah bertempur dengan serunya.
Semua pegawai dalam rumah itu telah datang semua. Mereka telah mendengar, bahwa dua
bocah pembawa surat itu telah bergeberak dengan salah seorang tamu dan mereka jadi kepingin
tahu. Beramai-ramai mereka telah datang ke ruangan tamu dan berkerumun di bawah cim che
untuk menonton keramaian itu.
Si bocah yang sebelah kiri memegang pedangnya di tangan kiri, sedang saudaranya memegang
pedangnya ditangan kanan.Mereka menyerang atau mengelakkan serangan lawan dengan
berbareng dengan gerakan-gerakan seakan-akan mereka adalah dua raga yang sejiwa saja.
Serangan mereka selalu berantai dan datangnya bertubi-tubi, agaknya seperti juga mereka telah
berlatih menggunakan pedang sedari masih bayi. Kerja sama antara mereka sedemikian rapinya,
sehingga kelihatannya mereka itu adalah "dwi-tunggal" yang tak dapat dipisahkan- satu dari yang
lain. Sebaliknya dua suheng-tee murid Thian Liong Bun itu juga melayani mereka dengan penuh
semangat. Benar-benar seruh mereka bertempur. Setelah sekian lama masih juga belum berhasil,
Co Hun Ki maupun Ciu Hun Jang menjadi gemas dan menyerang dengan lebih ganas pula.
Sebentar saja mereka bertempur beberapa puluh jurus, tetapi Hun Ki dan Hun Jang masih
belum juga bisa menarik keuntungan. Whi Su Tiong tidak sabar. Di samping itu ia pun menjadi
kuatir. Ia melihat, bahwa ilmu dua anak itu adalah ilmu pedang Tat Mo kiam hoat pelajaran Siauw
Lim Pay yang tiada keanehannya. Hanya dua anak itu yang memainkannya secara aneh sekali.
Jika yang satu menyerang yang lain menjaganya. Dengan demikian yang menyerang itu tidak usah
kuatir akan dibokong, sedang saudaranya yang menjaga tidak perlu buru-buru menyerang. Karena
itu perhatian mereka jadi tidak usah dibagi-bagi dan sesuatu gerakan mereka jadi sangat leluasa.
Whi Su Tiong menaksir, bahwa ia masih dapat merebut senjata kedua anak itu. Ditambah lagi
dengan kenyataan, bahwa dua sutitnya sudah tidak berdaya, sehingga mungkin sekali tidak lama
lagi, nama partai Thian Liong Kun akan runtuh. Dua soal itu telah mendorongnya untuk segera
bertindak. Sambil membentak, ia memerintahkan kepada Hun Ki dan Hun Jang supaya lekas
mundur dan ia sendiri yang akan melayani dua anak itu.
Dua orang muda itu, yang memang sedang kewalahan, tentu saja menjadi sangat girang,
mendengar teriakan susiok mereka dan sambil mengiakan, mereka sudah akan melompat mundur.
Tetapi maksud mereka ini tak dapat dilaksanakan, karena tepat pada saat itu, dua lawan kecil
itu sudah datang menyerang pula, bahkan dengan gerakan-gerakan yang lebih cepat dari
sebelumnya. Bertubi-tubi datangnya serangan-serangan anak-anak itu, silih-berganti mereka
menyerang, deras bagaikan hujan lebat. Dengan sendirinya Hun Ki dan Hun Jang harus
mengangkat senjata pula untuk membela diri. Dengan demikian mereka jadi terlibat lagi dalam
pertempuran yang tidak menguntungkan mereka. Makin lama, keadaan kedua murid Thian Liong
Bun ini menjadi semakin mengenaskan. Terengah-engah mereka dipaksa bertempur terus oleh
serangan-serangan dua bocah itu, yang tiada sudah-sudahnya
Tian Ceng Bun juga turut menjadi kuatir melihat keadaan kedua suhengnya. Pikirnya, "Biarlah,
aku yang akan membebaskan kedua suheng agar kemudian Whi susiok yang melayani dua anak
itu. Whi susiok lebih berpengalaman dan tidak seceroboh Co suheng Kurasa ia tentu akan
berhasil." Ia segera mencabut pedangnya dan maju ke dalam kalangan pertempuran sambil berseru, "Jiwi
suheng, silakan mundur."
Ia tiba di antara mereka, tepat pada saat Hun Ki sedang didesak dengan hebat sekali oleh
kacung yang serba kiri itu. Tanpa berpikir panjang-panjang ia mengangkat pedangnya dan
menangkis serangan si anak. Tak pernah diduganya, bahwa serangan bocah itu dapat berubah
arah dengan sangat cepatnya. Serangan terhadap Hun Ki tadi, setelah ditangkis olehnya, justeru
jadi berbalik mengarah pundak kirinya. Mau tak mau ia harus menangkis pula dan sesaat
kemudian sudah ternyata, bahwa bukannya ia berhasil membebaskan dua suhengnya, bahkan dia
sendiri jadi terlihat dalam pertempuran itu tanpa mampu menyingkir lagi.
Setelah lewat berapa waktu lagi, Hun Ki jadi semakin penasaran. Ia tak mengerti, mengapa
mereka sebagai murid-murid Thian Liong Bun yang sangat kenamaan, bertiga masih tidak mampu
menundukkan dua anak kecil. Ia menganggap soal ini sebagai hal yang akan menghapus pamor
Thian Liong Bun, jika sampai tersiar di luar. Dengan adanya anggapan ini, darahnya semakin
mendidih dalam tidak berdayanya.
Sementara itu si bocah yang serba kanan melihat saudaranya harus melayani dua orang lawan
dan keadaannya sudah tidak seleluasa tadi. Serentak ia membelokkan senjatanya dan menyerang
Hun Ki. Tepat pada saat Hun Ki berputar untuk menghadapi anak ini si bocah yang serba kiri
sudah meloncat ke arah Ciu Hun Jang dan menyerangnya tanpa membuang-buang waktu.
Gerakan mereka yang sangat lincah dan sedap dipandang itu sudah mendatangkan pujian orang
banyak disertai tepuk tangan riuh. Dua anak itu kini sudah bertukar siasat dan menghadapi tiga
lawan itu dengan bersatu. Sesaat kemudian sudah kelihatan, bahwa mereka sudah berada di atas
angin lagi. Agaknya In Kiat juga sudah mengerti, bahwa soal ini saban saat dapat menjadi sebab
kehancuran nama partainya, maka ia segera menganjurkan kepada Whi Su Tiong supaya segera
maju sendiri. Whi Su Tiong pun sepaham dengan In Kiat. Ia mengangguk dan setelah meringkaskan
pakaiannya ia segera lompat ke dalam gelanggang pergumulan itu. "Biarlah aku melayani mereka
bermain-main!" serunya dengan maksud supaya tiga-tiga keponakan-murid itu akan segera
mengundurkan diri. Pertama-tama ia menyerang jalan darah "Ki Kut Hiat" si anak serba kanan dengan tangan
kirinya, sedang tangan kanannya berusaha merebut pedang anak itu.
Para penonton yang menyaksikan betapa cepat gerakan Whi Su Tiong itu, jadi berkuatir untuk
keselamatan anak itu Akan tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa kekuatiran mereka tidak
berdasar sama sekali. Dengan mengeluarkan sinar berkilau-kilau, pedang si bocah, sekonyongkonyong
sudah berada di dekat punggung Whi Su Tiong.
Inilah suatu kejadian yang sama sekali tidak diduganya. Bocah yang serba kiri ini terang-terang
sedang melayani Hun lang dengan asyik sekali, maka ia tidak menyangka, jika bocah itu akan
dapat berbalik menyerang dirinya dengan sangat tiba-tiba sedemikian. Ia baru sadar setelah
mendengar teriakan Ceng Bun, "Awas, susiok, awas!"
Untung bagi Whi Su liong, bahwa peringatan ini datang tidak terlambat, sehingga ia masih
sempat menyingkir dari bahaya. Tetapi tidak urung leher bajunya masih terbeset robek dengan
mengeluarkan bunyi memberebet.
"Harap Tuan suka berhati-hati," kata si bocah serba kiri sebagai memberi nasehat. Agaknya ia
telah sengaja tidak mau melukakan orang tua itu.
Pengalaman ini tentu saja menyebabkan wajah Su Tiong menjadi merah seketika dan
selanjutnya ia berlaku lebih tenang serta lebih berwaspada. Berdasarkan pengalamannya yang
luas ia melayani lawan kecil itu dengan tenang dan hati-hati. Tak berani ia sembarang menyerang
lagi. Dengan "Toa Kim Na Ciu" (ilmu menangkap dengan tangan kosong) ia menantikan
kesempatan untuk merampas pedang si bocah.
Kepandaian Whi Su Tiong tidak sama dengan anggauta-anggauta Thian Liong Bun yang lain.
Ilmu silatnya dengan tangan kosong sudah dilatih puluhan tahun dan sangat dimalui orang. Maka
benar-benar sukar dipercaya, jika, meski ditambah tenaganya seorang lagi, mereka berempat
masih belum dapat mengatasi dua anak kecil. Kesempatan yang dinanti-nantikannya tidak
kunjung tiba. Karena melihat kenyataan ini, In Kiat jadi mulai menimbang-nimbang untuk turun tangan juga.
Pikirnya, "Cabang selatan dan cabang utara berasal satu juga, maka selalu harus saling bantumembantu
dalam menghadapi kesulitan. Runtuhnya pamor cabang utara berarti juga runtuhnya
nama cabang selatan, maka biarpun kelak dikatakan orang bahwa kita merebut kemenangan
dengan mengandalkan jumlah yang lebih besar, mau tak mau, aku harus membantu mereka
mempertahankan pamor Thian Liong Bun sebagai keseluruhan."
Segera juga ia sudah maju, menyerang si bocah sebelah kiri dengan tipu serangan "Hui Seng
Kiong Gwat" (Bintang Sapu Menerjang Bulan) yang ditujukan ke arah dada si anak.
Demi pedang In Kiat berkelebat mengancam saudaranya, si bocah yang sebelah kanan berseru,
"Aha, bagus, bagus, kau juga turuti" Bersama dengan seruannya ia segera berbalik menyerang
pergelangan tangan In Kiat dengan pedangnya.
Serangan bocah itu membuat In Kiat berpikir, "Cara kerja sama dua bocah ini benar-benar
sempurna dan tak ada bandingannya."
Untuk mengelakkan tusukan anak itu, In Kiat menurunkan tangannya sedikit, tetapi karena
gerakannya ini, serangannya terhadap si bocah di sebelah kiri juga menjadi gagal.
Ruangan tamu itu, kini sudah menjadi gelanggang pertempuran yang seru antara dua batang
pedang melawan empat batang pedang dan sepasang tangan kosong yang menerbitkan angin
menderu-deru. Sudah sekian puluh jurus mereka bertempur, tetapi keadaan tetap tidak berubah,
keseimbangan kekuatan antara kedua belah fihak masih tetap sebagai semula.
Agaknya tangan To Cu An menjadi gatal juga, lebih-lebih ketika melihat, bahwa muka Tian
Ceng Bun sudah berwarna merah dan penuh keringat yang berulang-ulang sudah harus
disusutnya. Nyata sekali, bahwa ia sudah sangat lelah.
Tak dapat To Cu An menahan sabar lagi. "Ceng moay, mengasolah dulu, biar aku yang
menggantikan kau!" serunya sambil menerjunkan diri ke dalam medan pertempuran.
Turut sertanya ini membangkitkan amarah Co Hun Ki, yang meski berada dalam bahaya, tak
dapat menyingkirkan rasa cemburunya. Dengan mata melotot ia ini membentak, "Tak usah kau
bermuka-muka!" Pada saat itu juga ia mengangkat pedangnya, untuk menangkis serangan bocah
yang di sebelah kanan, tetapi berbareng dengan itu pula, tinjunya melayang ke arah hidung To Cu
An. Melihat sikap saingannya yang sangat dogol ini, To Cu An jadi tertawa geli dan ia menyingkir ke
samping untuk kemudian memutar ke belakang bocah yang serba kiri. Meski sudah terluka, tetapi
berkat ilmu goloknya yang bagus, ia dapat juga bertempur dengan tidak kurang tangkasnya.
Tetapi, sebaliknya, ilmu pedang kedua bocah itu juga luar biasa sekali, semakin banyak musuh
yang datang mengeroyok, semakin hebat pula daya tempur mereka, seakan-akan mereka
mempunyai tenaga simpanan yang tak kunjung habis dan keluarnya sedikit demi sedikit
mengimbangi tambahan tenaga fihak lawan.
Keadaan To Cu An, setelah menerjunkan diri dalam pertempuran itu, sangat tidak
menggirangkan. Di samping harus menahan serangan dahsyat dari kedua lawan kecil itu, ia masih
harus pula memperhatikan Co Hun Ki yang saban-saban mendadak menyerang, bila saja ada
kesempatan. Demi untuk menjaga keselamatan puteranya, To Pek Swee bertindak maju, mendekati
kalangan pertempuran. Cambuk bajanya disiapkan untuk turun tangan setiap saat.
Sesaat kemudian, di antara hujan senjata itu, Co Hun Ki menyerang To Cu An lagi. To Pek
Swee yang memang sudah berjaga-jaga, tentu saja terus turun tangan. Cambuknya sudah segera
melayang, menangkis serangan Hun Ki kepada puteranya itu dan sesaat kemudian ia melancarkan
serangan pembalasan terhadap Co Hun Ki.
Para penonton yang tidak mengerti persoalan mereka, menjadi bingung. Mereka tak mengerti
mengapa yang sedang bertempur telah menyerang orang yang datang membantu nhaknya untuk
kemudian berbalik diserang oleh seorang lain lagi, yang maju paling akhir ini. Tak dapat mereka
membedakan siapa " di dalam pertempuran gaduh itu " akan menyerang siapa atau siapa
berkawan dengan siapa. Tetapi di antara para penonton itu terdapat seorang yang perhatiannya bukan dipusatkan
pada pertunjukan gaduh itu. Orang itu adalah Him Goan Hian yang matanya selalu masih
mengincar kotak besi yang diperebutkan di lembah tadi. Ia telah melihat jelas bagaimana, ketika
akan menyeburkan diri ke dalam pertarungan itu, Whi Su Tiong telah menyesapkan kotak tersebut
ke dalam bajunya. Melihat keadaan pertempuran yang sudah menjadi kacau itu, ia segera memperoleh suatu akal
licik. Menurut perhitungannya ia akan dapat mengail di air keruh, menarik keuntungan daripada
kekacauan pertempuran itu. Rencananya adalah untuk segera turut serta dalam pertempuran itu
dan mencari kesempatan untuk merebut kotak besi yang diincarnya sekalian membalas dendam
kepada ayah dan anak she To itu. Sambil meloncat maju ia berteriak kepada suhengnya, "Lauw
suheng, mari kita mengambil bagian dalam keramaian ini!"
Sedari kecil Lauw Goan Ho sudah bergaul dengan suteenya ini, maka maksud tersembunyi
dalam teriakan suteenya, segera dimengertinya. Tanpa menunggu sampai dianjurkan untuk kedua
kalinya, ia segera mengangkat senjata dan menyerbu ke tengah pergumulan itu. Dua orang
suheng dan sutee ini sedikit demi sedikit berkisar ke dekat Whi Su Tiong.
Berbeda dengan lawan-lawannya yang masing-masing mengandung maksud licik sendirisendiri,
dua bocah itu berhati tulus dan tak bersyakwasangka sama sekali. Sangka mereka, dua
orang itu memang ingin turut mengerubuti mereka. Maka demi melihat dua orang itu masuk,
mereka mendahului menyerang dengan serentak.
Di antara orang-orang Thian Liong Bun, Tian Ceng Bun berotak paling cerdas, ia melihat bahwa
Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian terus menerus mengincar susioknya, meskipun mereka sedang
sibuk sekali melayani serangan dua bocah itu. Seketika itu juga ia sudah dapat menebak tujuan
mereka. Tanpa ayal lagi ia memperingatkan susioknya, "Whi susiok, awas kotak besimu!"
Dalam pada itu Whi Su Tiong memang sedang was-was. Seantero kepandaiannya sudah
dikeluarkannya semua, tetapi ia tetap tidak berhasil. Dua bocali itu tetap tidak dapat ditundukkan
Pada saat itu mendadak in mendengar teriakan Tian Ceng Bun. Hatinya jadi semakin tidak
tenteram dan ia berpikir, "Hari ini, kami sembilan orang tak dapat mengalahkan dua orang anak
kecil. Terang kita sudah kehilangan muka. Jika harus pula kehilangan kotak besi ini, benar-benar
kita bernasib malang."
Dalam sedetik ia berpikir demikian itu, ia telah berlaku lengah dan sesaat kemudian ia
merasakan datangnya sambaran angin tajam. Ternyata pada saat itu, setelah menghalau pedang
Co Hun Ki dan Ciu Hun jang berdua, si bocah yang selalu berada di sebelah kiri itu, telah
membelokkan pedangnya untuk memmbacok ke arah mukanya. Karena mendongkol dan
penasaran ditambah lagi hatinya sudah si makin gelisah, maka ia akhirnya menjadi kalap dan hati
kejamnya sudah segera menguasai alam pikirannya lagi! Sambil mengegos, ia menghunus
pedangnya dan di dalam hatinya ia berkata, 'Apa boleh buat, sudah ketelanjur harus kehilangan
muka!" Di antara sembilan orang itu, kepandaian Su Tiong adalah yang tertinggi setelah ia mencabut
senjatanya, maka segera terdengar bunyi nyaring karena beradunya beberapa senjata dan
senjata-senjata To Si Hu Cu, Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian sudah dibenturnya terpental
semua. Dalam saat yang sama, In Kiat mundur ke belakang sedikit sambil menjaga diri rapatrapat.
Dengan mundurnya yang lain-lain, maka Whi Su Tiong jadi dapat bergerak dengan leluasa dan
semangatnya terbangun seketika. Dengan suatu gerakan yang sangat tangkas ia segera
menyerang kepala si bocah yang di sebelah kanan.
Serangan ini datangnya sangat cepat lagi mendadak dan justeru pada saat itu si bocah sedang
menahan gaitan Lauw Goan Ho, sehingga agaknya tak mungkin ia akan dapat membalikkan
pedangnya untuk menangkis serangan Whi Su Tiong. Ternyata si bocah juga menginsyafi hal ini
dan ia segera menurunkan tubuhnya sedikit untuk mengelit serangan dari samping itu. Agaknya
gerakannya itu agak terlambat, meskipun ia tidak sampai terlukakan tetapi mutiara yang
menghiasi kuncirnya telah terbelah menjadi dua.
Seketika itu muka dua bocah kembar itu telah berubah, dan bocah yang di sebelah kanan itu
berteriak, "Koko!" Hampir-hampir ia menangis.
Tian Ceng Bun tak dapat menyetujui perbuatan susioknya ini. Menurut anggapannya, tiada
gunanya susiok itu menghina seorang anak kecil sebagai bocah itu.
Tetapi sebelum ia dapat berpikir lebih lanjut, mendadak kelihatan sepasang sinar putih
menyilaukan telah menyambar pergi-datang disertai dengan bunyi-bunyi nyaring karena
beradunya beberapa senjata. Ternyata senjata-senjata Him Goan Hian dan Lauw Goan Ho sudah
kutung ditabas kedua bocah itu, yang kini melancarkan serangan-serangan secepat kilat dari kirikanan.
Kedua orang itu tak kepalang kagetnya dan segera meloncat mundur. Pada saat itu semua
orang itu melihat, bahwa masing-masing bocah itu sudah bertambah memegang sebilah belati
yang mengeluarkan sinar berkeredep menyilaukan.
"Selesaikan perhitunganmu dengan ia!" teriak bocah yang serba kiri itu kepada adiknya.
Sementara itu ia tidak menghentikan gerakannya dan segera sudah terdengar lagi berapa bunyi
nyaring karena patahnya senjata. Dua bilah belati (atau lebih tepat dua bilah pedang pendek)
kedua bocah itu, ternyata adalah senjata-senjata mestika yang dapat memotong aneka macam
logam sebagai juga memotong tanah liat.
Dalam gerakan mundurnya Co Hun Ki telah bergerak agak lambat dan iga kirinya masih
tergores pedang pendek anak yang serba kiri itu. Juga ikat pinggangnya turut terpotong dan
sarung pedangnya jatuh di lantai dengan menerbitkan bunyi nyaring.
Di sebelah sana, si bocah yang serba kiri sedang menerjang Whi Su Tiong dengan pedang
panjangnya di tangan kanan dan pedang pendeknya di tangan kiri. Dengan menggunakan dua
macam senjata, serangan-serangan masing-masing tangan itu juga berbeda dan ditambah lagi
dengan kegusarannya, dapat dimengerti jika anak itu telah membuat Whi Su Tiong sibuk sekali.
Dengan hati terkejut lagi gusar Whi Su Tiong mendapat kenyataan, bahwa, dengan
pengalamannya yang luas, ia masih tidak dapat mengenali ilmu silat si anak. Selain itu ia pun tidak
berani mengadu pedangnya dengan pedang pendek lawannya, maka ia terus-menerus terdesak
mundur. Sebaliknya anak itu sudah tidak memperhatikan lagi musuh-musuh lain dan segala daya
upayanya dipusatkan kepada keinginannya merobohkan Whi Su Tiong semata-mata. Kakaknya "
si bocah yang serba kiri " menjaga dari belakang, mereka melayani musuh-musuh mereka
dengan saling menempel punggung.
Sesaat kemudian, juga cambuk baja To Pek Swee sudah tertabas kutung sebagian. Segera
musuh-musuh itu sudah tidak berani datang lagi terlalu dekat kepada mereka, beberapa orang itu
hanya berani berputar-putar di sekeliling kalangan pertempuran sambil kadang-kadang menyerang
dari jauh saja. Yang paling cemas hatinya adalah In Kiat, Hun Ki, Hun lang dan Ceng Bun berempat. Tanpa
dapat berbuat sesuatu untuk menolong Whi Su Tiong, mereka harus menyaksikan, bagaimana
tokoh Thian Liong Hun itu terdesak sedemikian ruipa, sehingga benar-benar mati kutunya. Pada
saat itu ia sudah tak dapat mundur lagi, punggungnya sudah menempel di tembok, sedang
kawan-kawan separtainya tak dapat menembusi rintangan si kacung yang kiri.
Diam-diam Po Si Taysu juga sangat terheran-heran melihat permainan pedang dua anak itu. Di
awal pertempuran, ketika hanya melayani Hun Ki seorang, kepandaian dua anak itu kelihatan
biasa saja, tidak ada keistimewaannya. Tetapi saban kali fihak musuh mendapat tambahan tenaga
seorang, daya tempur kedua bocah itu pun bertambah sesuai dengan jumlah musuh mereka. Pada
saat itu dengan ditambah sebilah pedang pendek di masing-masing tangan mereka, keadaan
sudah segera berubah secara menyolok sekali. Agaknya sembilan orang dewasa itu sudah tidak
dapat mengimbangi lagi ketangkasan mereka.
Pada suatu saat, secara tiba-tiba si bocah yang kiri memperhebat serangannya dan demi
pedangnya berkelebat dengan gerakan-gerakan secepat kilat, segera senjata-senjata Lauw Goan
Ho dan To Cu An sudah menjadi semakin pendek, terpapas kutung sebagian lagi. Antara delapan


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang sedang dihadapi anak yang kiri itu, hanya Tian Ceng Bun yang masih memegang
senjata utuh. Terang sekali, bahwa bocah-bocah itu tidak mau membuat ia malu, karena mereka
berterima kasih kepadanya untuk kebaikannya tadi.
Sebaliknya keadaan Whi Su Tiong sudah semakin menyedihkan. Dengan punggung menempel
pada dinding dan dengan susah-payah ia coba bertahan sekuat tenaganya. Pada suatu saat ketika
pedang lawannya datang mengancam lagi ia menangkis dengan gerak tipu "Hoay Tiong Pau Goat"
(Memeluk Sang Bulan di Dalam Pangkuan). Dengan gerakan ini ia mencoba menyampok dan
menekan pedang lawan ke bawah, sesuai dengan ajaran ilmu silat pada umumnya, yakni bila
serangan musuh datang dari atas tangkisan juga harus dilakukan dengan gerakan dari atas ke
bawah untuk menindih senjata lawan. Tetapi pada saat itu, di luar sangkaannya, mendadak ia
merasakan seakan-akan pedangnya bertambah berat berpuluh-puluh kali. Ternyata justeru
pedangnya yang seketika itu telah tertindih senjata si anak.
Walaupun keadaan ini seharusnya sangat mengejutkan, tetapi Whi Su Tiong telah menjadi
gembira karenanya. Ia beranggapan, bahwa betapa bagus juga ilmu pedang si bocah, tak nanti
anak sekecil itu akan dapat menandinginya dalam hal adu tenaga. Serentak ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk menggempur tenaga lawan kecil itu. Lagi-lagi perhitungannya meleset,
berbeda dengan sangkaannya, si bocah mendadak saja menarik kembali pedangnya dan menabas
dengan pedang pendeknya. Sesaat itu Whi Su Tiong merasakan pedangnya mendadak menjadi
enteng dan ternyata senjata itu hanya tinggal sepotong.
Pada saat itu ia benar-benar terkejut dan tanpaberpikir panjang ia segera menimpukkan sisa
senjatanya itu ke muka musuhnya. Dengan mudah saja anak itu dapat mengelakkan timpukannya,
bahkan secepat kilat, si anak sudah melancarkan serangan lagi dengan pedang panjangnya dari
kiri-kanan, sehingga Whi Su Tiong jadi terkurung rapat di antara sinar pedang yang tiada hentinya
menyambar-nyambar dari segala penjuru. Whi Su Tiong menjadi ketakutan setengah mati,
mukanya pucat-lesi dan keringatnya berketel-ketel turun membasahi badannya.
Melihat keadaan Whi Su Tiong yang sungguh berbahaya itu, serentak In Kiat, Co Hun Ki dan
Ciu Hun Jang menghamburkan senjata-senjata rahasia. Tetapi si bocah yang kiri, yang melindungi
adiknya, meloncat secepat angin dan dengan menggerakkan tangannya berapa kali, ia sudah
menangkap semua bor beracun, senjata rahasia istimewa Thian Liong Bun, yang sangat
dibanggakan orang-orang partai tersebut. Ternyata di bawah pegangan pedang pendeknya
terdapat sebuah jaring kecil untuk menampung senjata rahasia yang datang menyerang.
Meskipun sudah tidak bersenjata lagi tetapi Whi Su Tiong masih cukup tangkas dan untuk
sementara ia masih dapat mengelit serangan-serangan yang datangnya bertubi-tubi dan deras
laksana hujan itu. Tetapi untuk melakukan serangan pembalasan ia sudah tak mampu lagi. Pula,
mengetahui betapa tajamnya senjata lawan kecil itu, ia jadi tidak berani berlaku semberono.
Di antara angin senjatanya yang menderu-deru terdengar si bocah berteriak, "Gantikan
mutiaraku'. Gantikan mutiaraku!"
Dapat dimengerti bahwa Whi Su Tiong seratus, bahkan seribu kali lebih suka menggantikan
mutiara bocah itu. Tetapi apa mau dikata, mutiara ia tak punya lagi pula ia sudah telanjur
kehilangan muka karena kekalahannya ini
Pada saat itu Po Si Taysu mengerti, bahwa jika pertempuran itu tidak dihentikan, tidak lama
lagi akan tiba saatnya Whi Su Tiong akan jatuh sebagai kurban belati si anak.
Di luar kemauannya, hweeshio tua itu menjadi bingung juga. Whi Su Tiong adalah tamu yang
telah diundangnya naik ke atas gunung itu, maka tak dapat ia membiarkannya dihina seorang
budak musuh. Dinilai dari ilmu silat yang sampai saat itu diperlihatkan kedua bocah itu, ia
mengetahui, bahwa ia sendiri masih dapat mengatasi keadaan. Tetapi sebaliknya, ia telah
menyaksikan, bagaimana dua anak itu setiap kali kekuatan lawan mereka bertambah, juga turut
bertambah tenaga sesuai dengan kebutuhan. Maka ia menjadi ragu-ragu dan tak berani segera
turun tangan. Ia kuatir, jika ia akan tak mampu menandingi anak-anak itu, yang batas-batas
kepandaiannya tak dapat ditaksir. Andaikata ia maju dan menderita kekalahan, di mana ia harus
menempatkan mukanya"
Sementara Po Si memikirkan persoalan itu, tanpa dapat mengambil keputusan, keadaan Whi Su
Tiong sudah jadi semakin payah. Bajunya sudah robat-rabit, mukanya penuh darah dan keringat,
dada dan lengannya sudah penuh dengan luka-luka bekas tergores senjata si anak.
Dalam putus asanya, sudah berapa kali Whi Su Tiong hampir meratap mohon diampuni, tetapi
selalu ia masih mengingat kedudukannya sebagai tokoh terutama dalam partainya dan terus
menahan penderitaannya. Sebaliknya si bocah pun tiada hentinya berteriak minta mutiaranya
diganti. Agaknya si leher panjang sudah tak dapat membiarkan keadaan itu berlangsung terus. Katanya
kepada Po Si, "Taysu, lebih baik kau segera turun tangan untuk membereskan dua bocah itu."
Po Si masih tetap ragu-ragu dan hanya menjawab dengan berapa kata yang tidak tegas.
Pada saat yang sangat genting itu, mendadak terdengar suatu bunyi mendesir yang nyaring
dari angkasa di sebelah luar. Ternyata bunyi itu diterbitkan sesuatu benda yang melayang di
angkasa dengan mengeluarkan sinar api berwarna biru. Wajah si leher panjang segera kelihatan
gembira, ia tahu, bahwa panah api itu adalah tanda kedatangan seorang tamu lagi yang diundang
majikannya. Sesaat sebelumnya ia sudah menjadi sangat jengkel, karena melihat bagaimana si hweeshio "
salah seorang undangan majikannya " agaknya ketakutan menghadapi dua anak kecil itu,
berbeda dengan ucapannya sendiri yang semula sangat terkebur itu.
Tanpa ayal, si leher panjang berlari-lari menghampiri alat kerekan itu untuk memimpin
kawannya mengerek naik dan menyambut tamu itu. Si leher panjang ini adalah pengurus rumahtangga
di rumah itu dan ia bertanggung-jawab atas keselamatan rumah-tangga majikannya
selama si majikan pergi. Ia she Ie, asalnya juga seorang tokoh yang ternama juga dalam kalangan
Kang Ouw dan ia juga cerdik serta tangkas.
Sementara itu keranjang yang memuat para tamu sudah dikerek sampai di lamping gunung,
dalam tidak sabarnya untuk mengetahui siapa yang datang, maka Ie koankee melongok ke
bawah. Ketika itu yang dilihatnya adalah sesusun benda hitam yang agaknya bukan berbentuk
manusia. Sesaat kemudian, setelah keranjang itu dikerek lebih dekat ia melihat, bahwa bendaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
benda itu adalah berapa buah koper, berapa pot kembang dan suatu benda yang mirip dengan
hiolo. Selain itu masih terdapat pula beberapa macam benda yang semuanya membangkitkan
keheranan Ie koankee. Di dalam hatinya timbul pertanyaan, apakah sekian banyak barang itu
dibawa si tamu sebagai sumbangan untuk majikannya" Setelah keranjang itu tiba di puncak, ia
buru-buru membongkar isinya dan segera menyuruh sebawahannya menurunkannya kembali
keranjang itu ke bawah. Kali ini yang berada dalam keranjang adalah tiga orang wanita, dua orang
berusia kira-kira empat puluh tahun dengan muka serta dandanan seperti pelayan, yang seorang
lagi adalah seorang gadis yang berusia lebih-kurang enam belas tahun. Ia ini berwajah bulat dan
pada kedua pipinya terdapat sujen, dandanannya seperti seorang dayang.
Begitu lekas ia melangkah keluar dari keranjang tersebut ia memandang Ie koankee sejenak ia
lalu segera berkata, "Kau adalah Ie toako, bukan" Aku sudah mendengar, bahwa lehermu
panjang." Kata-katanya ini disertai dengan suara tertawa riang yang enak kedengarannya.
Biasanya Ie koankee paling mangkel, jika orang menyebutkan cacadnya ini, tetapi menghadapi
ketawa manis si dayang, ia tak dapat berbuat lain daripada bersenyum juga, sambil mengangguk
mengiakan. "Namaku Khim Ji. Yang itu adalah Ciu Nai Ma (Babu Susu she Ciu) yang telah membesarkan
siocia dengan air susunya. Yang satu lagi adalah encim Han dan siocia paling suka makan sayur
masakannya. Siocia sendiri masih berada di bawah, maka lekas kau menurunkan kembali
keranjang ini untuk menyambutnya." Demikian tanpa kikuk-kikuk si dayang menyerocos terus.
Pada saat itu Ie koankee sebenarnya ingin menanyakan, siapakah nona yang datang itu, tetapi
ia tak mendapat ketika sama sekali, karena Khim Ji terus mengoceh sambil menurunkan barangbarang
bawaannya yang makin mengherankan si leher panjang. Yang dikeluarkan dari keranjang
tersebut adalah, sangkar burung, kucing, burung kakatua, berapa pot kembang lagi dan aneka
ragam barang tetek-bengek yang aneh-aneh. Agaknya Khim Ji sibuk sekali menurunkan barangbarang
itu, tetapi selama itu juga mulutnya tidak pernah menganggur.
"Aih, puncak ini benar-benar tinggi, di sini juga tidak ada rumput maupun bunganya, rasarasanya
nona tidak akan betah tinggal di sini. Ie toako, kau terus tinggal di sini, apakah kau tidak
merasa jemu?" terdengar pula dari mulutnya yang bawel.
Sebenarnya Ie koankee sudah sangat mendongkol melihat tingkah laku si bawel, pikirnya,
"Sedang majikan sibuk sekali bersiap-siap untuk menghadapi musuh tangguh, mengapa mendadak
sontak datang sanak yang membawa orang bawel seperti dia ini."
Berbeda dengan yang dipikirnya, mulutnya justeru menanyakan, "She apakah nonamu" Apakah
ia masih terhitung sanak majikanku?"
Sambil tertawa, Khim Ji menjawabnya, "Coba kau tebak. Sekali melihat aku terus tahu siapa
kau ini, sebaliknya, she nonaku saja kau tidak tahu. Tadi, jika bukannya aku terus menyebutkan
namaku, kutanggung kau juga tidak tahu. Eh ... eeh jangan lari, awas nona nanti marah."
Kata-katanya yang terakhir ini membuat Ia koankee menganga kebingungan Tetapi sesaat
kemudian ia mengetahui bahwa kata-kata Khim Ji itu ditujukan kepada si kucing kecil yang
barusan hendak lari, tetapi telah dapat dipegang dan diangkat si bawel.
Melihat betapa repotnya dayang itu mengeluarkan barang-barang dari dalam keranjang, Ie
koankee hendak membantunya. Tetapi, ternyata ia telah berbuat salah lagi.
"Hai, jangan dikacaukan. Di dalam peti itu terdapat buku-buku bacaan siocia, jika kau
mengangkatnya terbalik begitu, buku-buku itu tentu akan berantakan ... eeh, eh ... jangan, jangan
... bunga lanhoa itu tak boleh disentuh seorang laki. Menurut siocia, bunga lanhoa itu paling suci
dan jika kesentuh orang laki, malamnya akan segera menjadi layu,"
le koankee tertegun dan buru-buru meletakkan kembali pot kembang itu. Baru saja ia berbuat
demikian, atau kembali ia harus mengalami kekagetan tak terkira. Mendadak ia mendengar orang
bersajak di sampingnya. Buru-buru ia menoleh, tetapi yang dilihatnya adalah kakatua, yang masih
terus mengucapkan sajak tersebut.
Dalam jengkelnya tetapi berbareng geli, ia memerintahkan orang-orangnya menurunkan
keranjang untuk mengerek si siocia naik. Lagi-lagi ia agaknya telah keliru, sekali ini adalah si Babu
Susu yang mengatakan, bahwa ia harus mengambil mantel dari koper itu dulu, untuk mengganjal
tempat duduk dalam keranjang tersebut, yang dikatakannya sangat keras dan tak enak untuk
duduk. Ie koankee tak dapat bersabar lagi, melihat, bagaimana si Babu Susu itu mengambil kunci,
membuka koper dan kemudian berunding dulu dengan rekannya untuk menetapkan mantel apa
yang harus digunakan untuk keperluan itu, yang terbuat dari bulu rase atau yang terbuat dari bulu
tiauw. Pikiran Ie koankee tak dapat melupakan pertempuran di ruangan tamu itu. Ia ingin segera
mengetahui, bagaimana kesudahannya dengan Whi Su Tiong, maka sambil meninggalkan pesan
sesuatu kepada salah seorang bawahannya, ia berlari-lari kembali ke ruangan tamu tersebut.
Begitu melangkah masuk ia mendapat kenyataan, bahwa selama itu tidak terjadi perubahan
dalam pertempuran itu. Whi Su Tiong masih tetap terempas-empis terdesak mepet pada dinding,
hanya keadaannya sudah semakin payah. Bajunya sudah semakin compang-camping, sepatu
kirinya sudah terlepas dan kuncirnya sudah tertabas, sehingga rambutnya berserakan di lantai.
In Kiat, Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang, yang telah dapat meminjam senjata dari para pegawai
rumah itu, berusaha sekuat-kuatnya untuk mendobrak rintangan si bocah yang kiri untuk
menolong Whi Su Tiong, tetapi sampai sedemikian jauh mereka tetap tidak berhasil, bahkan
lambat laun, karena desakan si bocah, mereka jadi terpisah semakin jauh dari Whi Su Tiong. Di
fihak lain, Lauw Goan Ho sudah berulang-kali hendak mempergunakan kesempatan itu untuk
merebut kotak besi itu. Tetapi si bocah yang kiri itu selalu dapat menghalang-halanginya
mendekati Whi Su Tiong. Semakin keras ia menerjang, semakin keras pula ia terdampar kembali
oleh ancaman senjata si anak, hampir-hampir ia sendiri kena dilukakan. Karena pengalaman ini,
akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya dan mundur, keluar dari kalangan pertempuran.
Melihat segala itu, Ie koankee jadi berpikir, "Ketika berangkat, majikan telah menyerahkan
segala-gala kepadaku, jika sekarang tamu-tamu itu harus mengalami malu besar ini, muka
majikan juga seakan-akan mendapat tamparan. Biarpun harus binasa, aku tak dapat
mengantapkan orang she Whi itu dihina terus-menerus."
Setelah mengambil ketetapan ini, ia segera menuju ke kamarnya untuk mengambil goloknya "Ci
Kim Pat Kwa To". Dengan membekal senjatanya ia kembali ke ruangan tamu dan segera berteriak,
"Saudara-saudara kecil, jika kamu tidak mau berhenti dengan segera, janganlah mengatakan,
bahwa kami, fihak Soat Hong San Chung, berlaku kurang sopan!"
Dua bocah kecil itu tidak menghiraukan seruannya, mereka meneruskan serangan-serangan
mereka, tetapi si bocah yang kanan menjawab, "Majikan muda kami hanya menyuruh kami
membawa surat, bukannya untuk berkelahi. Maka, asal dia mengganti mutiaraku, aku akan segera
mengampuninya!" Sambil mengucapkan kata-kata ini ia melangkah maju dan segera berhasil
melukakan pundak Whi Su Tiong sekali lagi.
Ie koankee sudah akan membuka suara lagi, ketika mendadak terdengar suara wanita yang
merdu, sudah mendahuluinya. 'Ah, jangan berkelahi, jangan berkelahi. Aku paling tidak suka
melihat orang mengangkat senjata dan menggerakkan kaki-tangan untuk saling menghantam."
Terpesona oleh nada suara yang empuk berirama itu, semua orang menengok ke belakang.
Seorang gadis yang mengenakan baju kuning berdiri di ambang pintu. Putih bersih laksana salju
yang baru turun warna kulitnya, matanya yang jernih menatap wajah semua hadirin di situ dan
mulutnya senantiasa bersenyum menggiurkan.
Kecantikan gadis jelita ini bukannya terlalu luar biasa, tetapi murni dan bersinar suci,
mempesona dan menarik, laksana batu permata yang tiada cacadnya.
Mereka yang berada dalam ruangan itu adalah orang-orang Kang Ouw yang sudah menjelayah
ke mana-mana dan kenyang mengalami rupa-rupa kejadian. Tetapi berhadapan dengan gadis
jelita itu, mereka merasa seakan-akan memasuki dunia lain. Tanpa kecuali, mereka jatuh di bawah
pengaruh matanya yang suci dan agung itu dan merasa diri sendiri rendah serta kotor. Yang
paling usil mulut pun tak berani berlaku kurang ajar terhadapnya.
Berbeda dengan yang lain-lain, dua anak itu tidak menghiraukan kedatangan si nona. Karena
usia mereka yang masih terlalu muda, maka pikiran mereka pun masih sangat sederhana.
Menggunakan kesempatan, ketika semua orang itu masih ternganga, dua bocah itu telah bergerak
secepat kilat dan berturut-turut senjata-senjata orang-orang itu yang masih utuh sudah terbabat
kutung semua. "Sudahlah, sudahlah, saudara kecil, jangan membikin onar lagi. Lihat, bagaimana kau telah
melukakan orang itu. Iiih, benar mengerikan," kata nona itu sambil bertindak maju untuk
memisahkan. "Dia belum mau mengganti mutiaraku!" jawab bocah yang kanan itu setengah menangis.
"Mutiara apa?" Si bocah mengacungkan pedangnya ke dada Su Tiong dan segera berjongkok untuk memungut
belahan mutiaranya yang berada di dekatnya.
"Lihatlah, ia yang merusakkan dan aku menuntut supaya ia menggantinya," kata si bocah.
Saking menyesalnya, hampir-hampir ia menangis.
Gadis itu mendekatinya untuk memeriksa pecahan mutiara itu. 'Ah, memang bagus sekali
mutiara ini, aku pun tak dapat menggantinya ... tetapi, tunggulah sebentar. Khim Ji, ambillah
sepasang kuda batu giok itu dan berikan kepada dua saudara kecil ini."
Si dayang tidak segera menurut, agaknya ia merasa sayang untuk memberikan dua barang
bagus itu dengan cuma-cuma. Ia sudah akan membantah, tetapi sebelum ia dapat mengatakan
apa-apa, si gadis " yang agaknya sudah dapat menebak pikirannya " bersenyum dan berkata,
"Dasar kau terlalu pelit. Coba lihat dua saudara kecil ini yang begini tampan. Bukankah sesuai
benar, jika sepasang kuda-kudaan itu dipakai mereka?"
Dua anak itu menjadi bingung dan mereka saling memandang. Ketika itu Khim Ji tak berani
membantah pula dan segera membuka koper yang dimaksudkan dan mengambil dua barang
berharga itu, yang berada dalam sebuah kantong sutera. Setelah dikeluarkan, si gadis segera
menggantungkan kuda-kudaan itu pada pinggang dua anak itu. Ternyata mulut setiap kudakudaan
diikat dengan benang sutera, sehingga dapat digantungkan, sebagai yang dilakukan si
nona barusan. Si bocah yang kiri menyambut pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih. Tetapi agaknya
ia masih ragu-ragu. Ia melihat betapa bagusnya kuda-kudaan itu yang terbuat dari batu giok putih
yang diukir dengan seksama dan indah. Walaupun tak tahu berapa harganya, tetapi ia mengerti,
bahwa barang itu sangat berharga dan karena itu ia justeru menjadi sangsi. Lagi pula ia tidak
mengetahui asal-usul gadis itu.
Ketika itu si bocah yang kanan sudah memungut juga belahan mutiaranya yang satu lagi.
Sambil memperlihatkan kepingan mutiara itu kepada si gadis, ia menerangkan, "Mutiaraku ini
adalah mutiara mestika yang dapat mengeluarkan sinar di waktu malam. Mutiara kakakku adalah
pasangannya. Maka sekalipun sekarang sudah ada kuda giok ini, keadaan kami masih ganjil juga."
Setelah dua anak itu berdiri berendeng, si nona melihat persamaan antara mereka yang sangat
menyolok dan mengerti, bahwa mereka adalah saudara kembar. Ia tahu, bahwa rusaknya mutiara
itu tidak begitu berarti, tetapi kepincangan dalam keadaan mereka itu, akibat perbuatan si orang
yang di saat itu sudah bermandikan darah, telah membikin mereka kalap. Ia mengambil kudakudaan
itu dari tangan si anak dan mengusulkan agar dua belahan mutiara itu dimasukkan ke
dalam mata kuda-kudaan "Bukankah menjadi bagus sekali?" tanyanya kemudian.
Si bocah yang kiri menjadi girang sekali. Segera ia juga mencabut mutiaranya dari kuncirnya
dan membelah permata itu dengan pedang pendeknya.
'Adik, sekarang kuda-kudaan maupun mutiara kita sudah serupa lagi," katanya dengan suara
riang. Si bocah yang kanan juga menjadi gembira dan segera menghaturkan terima kasih kepada si
gadis. Kemudian ia juga menjura kepada Whi Su Tiong sambil berkata, "Sekarang kau, orang tua,
jangan marah." Whi Su Tiong mendongkol sekali, ia ingin mengetuk kepala anak itu, tetapi keberaniannya
sudah lenyap, sampai pun memaki ia sudah tak berani. Dengan terpaksa ia harus mandah dihina,
sedang badannya berlumuran darah
Sesaat kemudian, dengan bergandengan tangan, dua bocah itu sudah akan bertindak pergi,
akan tetapi sebelum meninggalkan tempat itu, si bocah yang kiri menoleh kepada nona itu dan
bertanya, "Bolehkah kami mengetahui nama nona agar kami dapat melaporkannya kepada
majikan kami dan juga, kami sangat berterima kasih atas budi nona."
"Siapakah majikanmu?" si nona berbalik menanya.
"Majikan kami she Ouw," jawab si bocah.
Seketika itu juga, wajah si gadis berubah. 'Ah, jadi kamu adalah pesuruh-pesuruh Soat San Hui
Ho," tanyanya. "Benar." "Aku she Biauw dan jika majikanmu menanyakan, katakanlah bahwa pemberi dua kuda giok itu
adalah puteri Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu 'Kim Kian Hud', Biauw Jin Hong."
Mendengar ucapan si gadis yang terakhir, semua orang terkejut bukan main. Mereka hanya
mengenal 'Kim Bian Hud' sebagai jago yang tak terkalahkan, tetapi tak ada yang menduga, bahwa
ia punya seorang puteri yang lemah-lembut serta cantik-agung sebagai gadis itu.
Berdasarkan sikap dan tindak-tanduknya, semula semua hadirin mengira, bahwa ia itu puteri
seorang pembesar tinggi yang berasal dari keluarga terpelajar, tak pernah mereka menyangka,
bahwa gadis itu adalah puteri si-orang pendekar dari kalangan Kang Ouw yang sangat disegani
orang.

Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mendengar keterangannya, dua bocah itu jadi saling memandang dan bersama-sama
meletakkan kuda-kudaan pemberian si nona ke atas meja. Kemudian, tanpa mengucapkan
sepatah kata, mereka berlalu dengan berendeng.
Melihat kelakuan dua anak itu, si gadis tertawa, tetapi ia pun tidak mengatakan suatu apa.
Yang pada saat itu paling girang adalah Khim Ji, ia segera sudah menyimpan lagi sepasang
kuda giok itu. "Siocia, dua bocah itu benar tidak mengenal adat. Hadiah yang begini bagus mereka
kembalikan, jika aku yang diberi____"
Tetapi sebelum Khim Ji dapat menyelesaikan kata-katanya, Biauw siocia sudah memotong
pembicaraannya, "Sudahlah, jangan banyak bicara lagi. Apakah kau tak kuatir dikatakan terlalu
pelit?" Sementara itu, demi mendengar siapa nona yang baru datang itu, Po Si segera tampil ke muka
dan dengan nyaring ia bertanya, "Ah, tak tahunya nona adalah puteri Biauw Tayhiap. Apakah
ayahmu baik?" "Bukankah gelar Taysu terdiri dari dua huruf, Po di atas dan Si di bawah" Ayah telah memesan
untuk menyampaikan salam kepada Taysu."
"Terima kasih, tak pernah kusangka, bahwa Biauw Tayhiap juga mengenal namaku yang
rendah." Po Si tertawa, agaknya ia puas sekali. Kemudian ia menanya pula, "Bolehkah aku
mengetahui nama nona yang mulia?"
"Boanpwee bernama Yok Lan. Silakan kalian duduk saja, aku harus segera masuk ke belakang
untuk menemui pehbo dulu."
Sebagai penutup kata-katanya ia memberi hormat kepada sekalian hadirin, yang segera juga
membalas penghormatannya.
"Nona ini benar-benar boleh dipuji. Sebagai puteri seorang pendekar yang tiada tandingannya,
sedikit pun ia tidak jumawa atau berlagak," pikir mereka semua.
Biauw Yok Lan bahkan tidak segera meninggalkan mereka, la masih menunggu lagi sampai
semua orang itu sudah duduk, baru ia bertindak masuk.
Sesaat kemudian, di sebelah luar, sudah terlihat pula kedatangan delapan orang pelayan lakilaki
dan perempuan. Dandanan mereka semua juga bagus-bagus. Mereka menggotong macammacam
koper, kasur bantal, sangkar burung, pot kembang dan lain-lain lagi. Agaknya mereka
telah sengaja dibawa untuk melayani si nona.
Melihat barang bawaan yang sangat banyak serta berharga itu, To Pek Swee dan To Cu An
ayah dan anak jadi saling memandang. Mereka memang mencari sesuap nasi dengan melakukan
pekerjaan membegal dan mereka bersyukur, bahwa mereka bukan berjumpa dengan rombongan
itu di tengah jalan, sehingga tak dapat tidak mereka tentu akan berusaha merampasnya.
Andaikata sampai kejadian begitu, mencari bencana sendiri"
Sementara itu Whi Su Tiong sedang membersihkan darah yang berlepotan di mukanya dan di
seluruh tubuhnya. Untungnya si kacung tadi tidak mempunyai niatan untuk mencelakainya. Semua
luka-lukanya hanya luka yang enteng.
Tian Ceng Bun segera menghampirinya dan membubuhkan obat pada luka-lukanya. Karena
tidak ada pembalut yang lebih baik, maka Whi Su Tiong lalu merobek bajunya untuk digunakan
sebagai gantinya. Pada saat itu, secara tiba-tiba, terdengar bunyi bergedubrak yang nyaring. Seakan-akan sudah
berjanji, semua orang meloncat ke arah itu, karena yang jatuh itu adalah peti besi yang tadi
disembunyikan di dalam baju Whi Su Tiong.
Tetapi Whi Su Tiong, yang memang berdiri paling dekat dari peti itu, sudah segera berjongkok
untuk memungutnya kembali. Sambil melakukan itu, ia mengayunkan sebelah tangannya yang lain
untuk menghalau para penyerbu. Pada detik tangannya sudah menyentuh tutup kotak itu, tibatiba
pundaknya terasa ditubruk suatu tenaga yang sangat kuat dan tanpa dapat dicegah pula ia
terhujung dan jatuh di atas lantai. Seketika itu juga ia melompat bangun, hanya untuk mendapat
kenyataan, bahwa kotak tersebut sudah berada di tangan Po Si Taysu.
Karena tak seorang di antara mereka yang tidak gentar terhadap kegagahan si hweeshio, maka
mereka semua mundur kembali dan hanya mengawasi gerakannya tanpa mengucapkan si patah
kata. Setelah lewat sekian lama, baru Co Hun Ki memecahkan kesunyian.
"Taysu, kotak itu adalah pusaka Thian Liong Bun, maka kumohon kau suka
mengembalikannya," katanya.
Jawab Po Si hanyalah tertawa yang nyaring dan bernada agak mengejek.
"Kau menganggap barang ini sebagai pusaka partaimu. Baiklah, jika memang benar demikian,
tentu kau tahu apa yang terdapat di dalamnya, bukan" Sekarang, coba katakan apakah isinya"
Jika kau dapat menebaknya dengan jitu, kata-katamu boleh dianggap benar dan kau boleh
mengambilnya sebagai hakmu yang sah," katanya dengan nyaring. Pada penutup kata-katanya ia
mengangsurkan kotak itu ke depan, ke arah Co Hun Ki.
Seluruh muka Hun Ki menjadi merah, sepatah pun ia tak dapat menjawab, tangannya yang tadi
sudah diangsurkan untuk menyambut, segera ingin ditariknya kembali, tetapi karena malu, ia
membatalkan niatnya dan menurunkannya dengan perlahan-perlahan.
Hun Ki memang tidak tahu apa yang berada di dalam peti itu. Pengetahuannya hanya terbatas
pada ujar gurunya yang mengatakan bahwa barang itu adalah milik partainya dan tak boleh
diperlihatkan kepada sembarangorang. Selama hidupnya, gurunya selalu menyimpan dan menjaga
barang itu dengan teliti. Belum pernah ia melihat kotak itu dibuka dan belum sekali gurunya
menceriterakan apa dan dari mana asal-usul kotak itu. Bukan saja Hun Ki, bahkan In Kiat dan Whi
Su Tiong yang tergolong tokoh-tokoh tertua dalam lingkungan Thian Liong Bun, hanya dapat
saling memandang dengan terlongong-longong.
Sedang mereka membungkam dalam seribu bahasa, mendadak Ciu Hun Jang menyeletuk,
"Tentu saja kita mengetahui isinya, yaitu golok mustika!"
Dalam lingkungan Thian Liong Bun kepandaian Ciu Hun Jang hanya termasuk golongan kedua.
Gurunya juga tidak terlalu menyayang padanya, sedang otaknya juga tidak seberapa cerdas. Oleh
karena itu, tak heran jika Whi Su Tiong dan rekan-rekan separtainya semua terkejut.
"Kau tahu apa" Lebih baik kau diam saja!" bentak mereka di dalam hati.
Sungguh mereka tidak menyangka, bahwa justeru mereka yang keliru. Sesaat kemudian Po Si
sudah membenarkan kata-kata Hun Jang.
"Benar, memang isinya bukan lain daripada golok mustika. Tetapi tahukah kau siapa pemiliknya
yang sah dan bagaimana barang itu bisa terjatuh ke dalam tangan Thian Liong Bun?"
Keheranan Whi Su Tiong dan rekan-rekannya tak dapat dilukiskan, terkaan Hun Jang yang jitu
itu benar-benar di luar dugaan mereka. Maka menghadapi pertanyaan Po Si yang terakhir ini,
dengan penuh pengharapan mereka menantikan jawaban Hun Jang. Tetapi sekali ini, Hun Jang
sendiri melongo tanpa dapat menjawab sepatah saja.
"Barang itu adalah pusaka Thian Liong Bun, sudah berapa turunan menjadi peraturan partai
kami, bahwa siapa yang mendapatkan golok itu akan diangkat menjadi Ciang Bun Jin," akhirnya
tercetus juga dari mulutnya secara dipaksakan.'
"Salah, salah besar! Memang sudah kuduga, bahwa kau tak akan dapat menerkanya," kata Po
Si sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sebaliknya, kau sendiri tahu apa?" tanya Hun Jang dengan penasaran.
"Lima puluh tahun yang lalu, aku mendengar cerita ini dari chungcu tempat ini. Justeru garagara
ini, ia harus berselisih dengan Soat San Hui Ho. Jika bukan karena kalian sedikit maupun
banyak masih ada sangkut-pautnya dengan soal ini, guna apa loolap mengajak kalian naik
kemari," demikian Po Si mulai menerangkan.
Demi mendengar kata-katanya, tanpa kecuali, semua hadirin jadi sangat terkejut. Menurut
anggapan mereka, hari itu mereka telah terjebak semua dalam perangkap si hweeshio yang ingin
mengangkangi pusaka itu, dan setelah berada di situ, agaknya sukar untuk mereka dapat berlalu
dalam keadaan hidup. Seakan-akan sudah dijanjikan lebih dahulu, dengan serentak mereka menghunus senjata dan
bertindak maju, mengurung Po Si di tengah-tengah. Juga mereka, yang sebagai Whi Su Tiong,
sudah kehilangan senjata karena dikuningi dua bocah tadi, memungut sisa atau lebih benar
reruntuk senjata mereka untuk turut mengepung.
Po Si tak menjadi gentar karenanya. Sambil bersenyum ia berjalan mengelilingi garis kepungan
itu, laksana seorang jenderal yang sedang memeriksa barisan.
"Kalian hendak mengeroyok loolap?" tanyanya dengan lantang.
Walaupun mereka semua mendengar pertanyaannya yang diucapkan dengan nyaring, tetapi
seorang jua tiada yang berani menjawab atau segera membuka serangan Mereka hanya
memandangnya dengan beringas.
Sekian lama keadaan ini berlangsung tanpa terjadi perubahan. Tiba-tiba terdengar Lauw Goan
Ho berteriak, "Marilah kita maju beramai-ramai. Bunuh saja hweeshio ini, mustahil kita tidak dapat
merobohkannya. Urusan kita sendiri boleh diselesaikan kemudian!"
Memang sedari tadi semua orang itu sudah mengandung niatan demikian, maka demi
mendengar anjuran Lauw Goan Ho barusan, dengan serentak mereka sudah hendak maju
menyerang. Tetapi sebelum mereka dapat melakukan sesuatu, di angkasa sebelah luar telah terdengar
suatu letusan yang dahsyat.
Dalam kekagetan mereka, orang-orang itu jadi saling memandang dengan diliputi kebingungan.
Berselang berapa saat dari luar sudah kelihatan seorang berlari-lari mendatangi. Orang itu
ternyata adalah Ie koankee.
"Celaka, tuan-tuan!" jauh-jauh sudah terdengar seruannya.
Semua mata sekarang ditujukan kepadanya. Wajah Ie koankee tampak muram dan sikapnya
gugup. "Apakah Soat San Hui Ho sudah datang?" tanya Hun Ki sebagai yang pertama-tama membuka
suara. "Bukan! Tetapi tambang dan roda pengerek untuk naik-turun gunung ini telah dihancurkan
orang!" "Hah!" seru mereka dengan berbareng. Wajah mereka pucat seketika.
"Tak mungkin!" "Apakah di sini tidak ada tambang lain?"
"Mustahil tiada cara lain untuk naik-turun!"
Seruan-seruan itu terdengar bercampur-aduk. Tak dapat dikenali apa yang diucapkan siapa.
"Celakanya, justeru di atas puncak ini hanya terdapat seutas tambang itu saja, dan karena
lengah sebentar, alat-alat itu sudah dihancurkan dua bocah tadi!" Ie koankee menerangkan.
"Mengapa sampai dapat dihancurkan?" tanya Po Si dan wajahnya sudah menjadi pucat juga.
"Setelah menurunkan dua bocah itu, kawan-kawanku semua masuk untuk mengaso. Sesaat
kemudian terdengar letusan tadi. Ketika aku memburu untuk melihat apa yang terjadi, kulihat
bahwa alat-alat pengerek itu sudah hancur. Tentunya, dua bocah itu telah memasang bahan
peledak di bawah roda itu dengan diberi sumbu panjang yang sampai di bawah, di mana
kemudian mereka menyalakannya." Demikian Ie koankee melanjutkan ceritanya dengan ditambah
tafsirnya sendiri tentang bagaimana dua-dua tambang dan roda itu diledakkan.
Pada saat itu tidak ada seorang yang tidak merasa cemas. Dengan tergesa-gesa mereka
memburu ke depan untuk melihat sendiri. Benar saja alat-alat pengerek itu sudah hancur
berarakan dan tak berguna lagi. Satu-satunya keuntungan adalah bahwa pada saat terjadinya
ledakan itu, tidak ada orang di dekatnya, jika ada, tak usah disangsikan lagi betapa akan
akibatnya. "Taysu, dapatkan kau menerka maksud si Rase Terbang dengan perbuatannya ini?" tanya In
Kiat, wajahnya mencerminkan penasarannya.
"Mudah saja. Ia menghendaki, supaya kita semua mati kelaparan di atas puncak ini," jawab Po
Si. "Mengapa ia menghendaki kematian kita semua, sedang kita tidak bermusuh dengan ia."
"Memang dengan kita, ia tidak mempunyai ganjalan apa-apa. Tetapi permusuhannya dengan
tuan-rumah kita sedalam lautan. Lagipula kotak besi itu berada di tanganmu, hal ini sama saja
artinya dengan menerbitkan permusuhan."
Karena penjelasan Po Si yang terakhir ini, mereka jadi semakin cemas. Mereka menggigil dan
dalam putus-asa, mereka bungkam dengan wajah muram. Ungan tindakan lesu, mereka mengikuti
Po Si kembali keruangan tamu.
Sementara itu Biauw Yok Lan juga sudah keluar. Agaknya ia lelah dikejutkan letusan tadi dan
kini ia ingin tahu apa sebenarnya telah terjadi. Setelah mendapat penjelasan, ia bertanya, "Taysu,
apakah dengan muslihat ini si Rase Terbang memang sengaja hendak membikin kita mati
kelaparan di sini?" "Hal ini tak usah diragukan pula, maka paling baik sekarang kita bekerja sama untuk mencari
lalan turun dari gunung ini." Kemudian kepada yang lain-lain ia menambahkan, "Permusuhan
piibadi baik dikesampingkan dulu, demi untuk keselamatan kil.i bersama."
"Kurasakan kita tidak usah terlalu kuatir. Dalam sedikit hari lagi ayahku akan datang dan pasti
sekali ia akan dapat menolong kita pergi dari sini," kata Yok Lan dengan penuh keyakinan.
Karena kata-kata dan sikap Yok Lan ini, semua orang itu menjadi terhibur juga. Memang benar,
dengan adanya gadis itu di situ, tak mungkin 'Kim Bian Hud' berpeluk tangan saja. Hampir
bersama mereka menarik napas lega.
Sungguh berbeda dengan mereka, Po Si justeru menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
sikap tidak percaya. "Meskipun dalam hal ilmu silat, Biauw Tayhiap tiada tandingannya, tetapi kusangsikan apakah
ia dapat mendaki lamping gunung yang sangat curam ini," pendapatnya.
"Jika orang lain dapat naik ke sini, bahkan mendirikan perkampungan ini, mengapa ayahku tak
dapat mencapai puncak ini?" Yok Lan membantahnya.
"Dimusim panas, memang tidak terlalu sukar untuk mendaki sampai di sini. Tetapi sekarang,
dalam musim dingin, salju yang menutupi seluruh lereng, membuatnya terlalu licin untuk dipanjat.
Jika harus menunggu sampai tibanya musim panas dan salju-salju itu lumer, sedikitnya kita harus
menunggu tiga bulan lagi. koankee, berapa banyakkah persediaan bahan makanan di sini?"
"Justeru kami sedang mengirim orang untuk membeli persediaan baru, dan mungkin sekali
besok ia akan sudah tiba kembali. Persediaan yang masih ada kurang-lebih hanya cukup untuk
dua puluh hari, tetapi karena kedatangan kalian maka seharinya kita membutuhkan lebih banyak
lagi, sehingga kutaksir persediaan itu hanya akan cukup untuk sepuluh hari lagi."
Sedikit sinar terang yang tadi dilihat orang-orang itu, sudah dihapuskan seanteronya oleh katakata
Po Si dan Ie koankee barusan. Sekarang mereka benar-benar putus-asa dan di dalam hati,
mereka mencaci si Rase Terbang, yang menurut anggapan mereka luar biasa kejamnya.
"Jika akhirnya kita harus mati juga, setidaknya kita harus mengetahui persoalan yang
menyebabkan kejadian ini," kata Yok Lan. "Taysu, sebenarnya karena apa kita jadi dianggap
musuh oleh si Rase Terbang" Berapa tinggikah kepandaiannya sehingga tuan rumah kita begitu
ketakutan kepadanya" Lagipula apakah hubungannya dengan kotak besi itu?"
Pertanyaan gadis ini sama juga dengan pencetusan isi hati semua hadirin. Tanpa kecuali,
mereka semua ingin mengetahui soal itu sejelas-jelasnya. Walaupun tadi mereka bertempur matimatian
berebut kotak itu, sampai ada yang tewas karenanya, tetapi di antara mereka itu, tidak ada
yang mengetahui pusaka atau mustika apa dan apa kegunaannya, hingga harus diperebutkan
nekat-nekatan begitu. Mereka hanya tahu, bahwa isinya benda mustika, lain tidak.
"Baiklah. Setelah kita seakan-akan terjepit di sini, buru-buru juga tiada gunanya. Mari kita
membicarakannya dengan jelas dan berterus terang dan sesudah itu kita harus bersatu-padu.
Mungkin kita masih dapat mencari jalan keluar. Sebaliknya, jika kita masih saja ingin saling
membunuh, tak usah disangsikan lagi, bahwa dengan demikian kita akan celaka semua dan
agaknya inilah yang diinginkan si Rase Terbang," kata Po Si.
Orang-orang itu menyetujui pendapatnya dan segera duduk mengelilinginya. Pada saat itu,
hawa di atas gunung sudah jadi semakin dingin dan Ie koankee menyuruh sebawahannya
menyalakan api. Dengan tenang semua orang itu kini duduk menantikan Po Si mulai dengan
ceritanya. Si hweeshio, sebaliknya, tidak segera mulai. Lebih dulu ia mengangkat cangkirnya dan minum
dengan perlahan-lahan. "Benar harum teh ini," pujinya dan sesaat kemudian ia mulai, "Kisah ini agak terlalu panjang
jika harus diceritakan seluruhnya. Apakah kalian ingin melihat dulu golok mestika yang disimpan di
dalam kotak ini?" Semua orang menyetujui usulnya.
"Saudara, kau adalah Ciang Bun Jin Thian Liong Bun cabang utara, silakan membukanya untuk
diperlihatkan kepada yang lain," kata Po Si sambil menyodorkan kotak itu kepada Hun Ki.
Hun Ki menerimanya, tetapi mendadak ia ingat, bagaimana tadi, ketika To Cu An membuka
tutup kotak, telah menyambar anak-anak panah dari dalamnya, untuk melukakan musuh. Seketika
itu ia tak berani membukanya, kuatir jika di dalam kotak itu dipasang alat-alat dan senjata rahasia
yang dapat mencelakakannya, tetapi ia hanya bersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Jika orang memperhatikan kotak itu, ia akan mendapat kenyataan, bahwa peti itu sudah tua
dan berkarat. Saking tuanya, dinding-dindingnya juga sudah legok di sini dan menonjol di bagian
sana. Teranglah, bahwa barang itu, barang kuno yang sedikitnya sudah berusia ratusan tahun,
tetapi selain itu tidak ada tanda-tanda lain yang istimewa. Tampaknya hanya seperti kotak biasa
saja. Lewat beberapa saat, Hun Ki mengambil keputusan untuk membuka juga tutup peti besi itu.
Pikirnya, "Jika aku tak berani membukanya, aku tentu akan ditertawakan si bangsat kecil To Cu
An." Sambil menggertak gigi dan menahan napas, ia segera memegang tutup peti itu. Ia
mengerahkan tenaganya, tetapi walaupun ia sudah berusaha sekuat-kuatnya, tutup peti tersebut
tak bergeming sedikit jua.
Ia menghentikan usahanya untuk memeriksa, mengapa barang itu tidak dapat dibuka. Untuk
keheranannya, ia tak mendapatkan lubang kunci atau alat lain. Ia menjadi penasaran, dengan
kedua-dua tangannya dan sambil mengeluarkan Seantero tenaganya ia menarik lagi, tetapi lagilagi
segala daya-upayanya hanya sia-sia belaka.
Melihat, bagaimana suhengnya sudah mengerahkan seluruh tenaganya tanpa memperoleh
hasil, Ceng Bun segera mengerti, bahwa kotak tersebut tentu mempunyai suatu alat rahasia. Jika
orang hendak membukanya secara paksa, bukan saja ia tak akan berhasil, bahkan mungkin sekali
ia akan mendapat celaka karenanya. Oleh karena itu, ia segera menoleh kepada Hun Jang dan
mengusulkan supaya ia saja yang coba membukanya.
Hun Jang tak pernah menduga, bahwa ia akan diminta melakukan itu, ia menjadi ragu-ragu
dan menjawab, "A ... aku tidak bisa."
Walaupun ia sudah terang-terang menolak, tetapi Tian Ceng Bun tetap mengambil kotak itu
dan menyodorkannya kepadanya.
"Aku yakin, bahwa kau bisa membukanya," ujarnya dengan halus dan disertai senyuman.
Dengan terpaksa Hun Jang mengambil dan menempatkan kotak itu di atas meja. Ia tidak
segera mencoba membukanya selaku Hun Ki tadi, sebaliknya ia hanya meraba-raba seluruh
tutupnya, kemudian jari tangannya bergerak mengelilingi tepi kotak itu. Tiga kali ia mengulangi
gerakan itu dan akhirnya ia menekankan jempolnya ke tengah dasar peti itu dari bawah. Hampir
pada saat itu juga dengan mengeluarkan bunyi menjebelak, tutup peti itu seakan-akan meloncat.
Segenap anggauta Thian Liong Bun yang berada di situ, menjadi heran. Mereka melirik ke arah
Hun Jang dan dengan terheran-heran mereka menanya di dalam hati, "Siapa yang
mengajarkannya, bagaimana ia harus membuka peti itu?"


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi mereka tidak memikirkannya lama-lama. Segera juga mereka sudah mendekati peti itu
dan menjenguk ke dalamnya Isi peti itu, benar-benar sebilah golok yang masih berada dalam
sarungnya. Po Si mengangkat golok itu dan menunjuk ke tepi sarungnya, di mana terdapat dua baris hurufhuruf
kecil. "Coba periksalah," katanya.
Sarung golok itu sudah berkarat dan penuh dengan lumut. Goloknya sendiri juga sebilah golok
kuno biasa yang tidak ada tanda-tanda keistimewaanya, hanya arti huruf-huruf itu yang agak
aneh, "Membunuh seorang kusamakan dengan membunuh ayahku, memperkosa seorang wanita
kuanggap sama dengan memperkosa ibuku."
Maksud tulisan itu sudah terang. Maksudnya adalah, melarang orang melakukan perbuatan
tersesat, tetapi mengapa harus diukirkan kepada sarung golok itu"
"Tahukah kalian, bagaimana asal-usul dua baris perkataan ini?" tanya Po Si.
"Entahlah," jawab semua hadirin berbareng.
"Inilah hukum militer Cwan Ong Li Cu Seng, sedang golok ini adalah golok Cwan Ong, ketika
dengan tentaranya yang berjumlah jutaan ia berusaha menegakkan kerajaannya untuk menolong
negara dari kemusnaan."
Semua hadirin memandang wajah Po Si dengan sikap heran. Agaknya mereka masih belum
percaya akan kebenaran ceritanya.
Ketika itu, Cwan Ong sudah meninggal ratusan tahun sebelumnya, tetapi sepak-terjangnya dan
kewibawaannya masih diingat dan dikagumi semua orang gagah dan penyinta tanah air.
"Jika kalian masih tidak percaya, lihatlah di sebelah sini," kata Po Si sambil membalikkan golok
itu. Di sebelah itu, diukirkan tiga huruf yang agak besar, "Cwan Ong Li".
Melihat tiga huruf itu, mau tak mau mereka harus percaya juga.
"Dahulu, ketika para pahlawan dan puluhan ceecu (kepala perampok) berserikat untuk
bergerak, Li Cu Seng telah diangkat menjadi pemimpin besar dan diberi gelar "Cwan Ong".
Belasan tahun ia berjoang dengan susah-payah, akhirnya ia dapat merebut Pakkhia dan dinasti
Beng berakhir dengan bunuh diri Kaisar Cong Ceng. Setelah itu ia dinobatkan sebagai raja baru
dan nama kerajaannya adalah "Tay Sun". Jika bukan karena si penghianat Gouw Sam Kwi menjual
negara dan membiarkan bahkan mengundang tentara Boan melewati Dinding Besar, memasuki
tanah air kita, sampai hari ini pasti keturunannya masih berkuasa sebagai raja dan kita tidak harus
menelan hinaan bangsa asing seperti sekarang. Sedari jaman purba, belum pernah ada yang
dapat mengadakan gerakan besar-besaran seperti yang diselenggarakannya."
Po Si berhenti sebentar dan menghela napas.
"Sungguh sayang, bahwa ia menjadi kaisar hanya beberapa hari itu saja, belum sampai
sebulan. Tahun Cong Ceng ke-tujuh belas tanggal 19 bulan tiga ia memasuki Pakkhia. Pada
tanggal 12 bulan empat ia harus meninggalkan istananya untuk membendung serbuan tentara
Boan di sebelah utara. Akhir bulan itu ia mengalami kekalahan besar dan ia harus mengundurkan
diri ke sebelah barat daya. Sejak itu negeri kita dikuasai dan diilas-ilas bangsa asing dan bangsa
kita terpaksa menelan saja hinaan penjayah yang semena-mena itu." (Kisah Cwan Ong merebut
Pakkhia, bacalah buku "PEDANG ULAR EMAS atau KIM COA KIAM")
Cerita Po Si ini sangat menusuk bagi Lauw Goan Ho, si gundal bangsa Boan. Dengan sikap
gusar ia menatap wajah hweeshio itu. Di dalam hatinya ia berkata, "Besar benar nyalinya, ia
berani mengucapkan kata-kata yang sukar diampuni."
Ketika itu Po Si sudah mengembalikan golok itu ke dalam peti. Setelah berhenti sebentar ia
melanjutkan ceritanya, "Si penghianat Gouw Sam Kwi masih mengejar terus dan pada suatu hari,
dalam suatu pertempuran yang sengit, Cwan Ong terluka parah. Setelah menderita kekalahan ini,
ia sudah tak punya pengharapan lagi untuk merebut kemenangan. Dari Hoolam ia mundur ke
Ouwpak. Sementara itu dalam keadaan putus-asa, banyak panglima dan perwiranya yang jadi
bertengkar antara kawan sendiri, malah sampai ada yang saling membunuh. Dengan demikian
tenaga angkatan perangnya jadi terpecah-belah dan banyak berkurang. Ia mundur terus, sehingga
akhirnya ia terkepung rapat di bukit Kiu Kiong San di keresidenan Bu Ciang Hu. Dengan sisa
tentaranya, yang terdiri daripada pengikut-pengikutnya yang paling setia, ia berulang-ulang
berusaha menembusi kepungan musuh, tetapi karena tentaranya yang berjumlah kecil itu sudah
letih sekali, segala daya-upayanya sia-sia saja."
Po Si berhenti lagi sebentar. Biauw Yok Lan memandang golok itu dan ia membayangkan
kepahlawanan dan kegagahan Cwan Ong, ia sangat ketarik dan pada saat ia mengingat
kemusnaan tentara pahlawan itu dan tewasnya si pahlawan sendiri, ia sangat berduka dan
wajahnya juga segera berubah menjadi guram.
"Dalam menghadapi bahaya kemusnaan itu, Cwan Ong
" lul.impingi empat pengawalnya v.mg paling setia. Keempat-?"m patnya mempunyai
kepandaian v.mg sangat tinggi. Empat orang 11 u masing-masing she Ouw, lluuw, Hoan dan Tian.
Dalam melindungi keselamatan Cwan Ong mereka selalu bekerja sama
" lengan erat, maka dalam tentara Cwan Ong mereka biasa disebut
" lengan Ouw Biauw Hoan Tian, gabungan she mereka."
Di antara para hadirin, yang berotak cerdas sudah segera mengerti, bahwa empat orang ilu
tentu mempunyai hubungan vnng erat dengan peristiwa yang mereka alami.
Tian Ceng Bun melirik ke arah Biauw Yok Lan, yang pada saat itu sedang mengorek-ngorek api
dalam perapian. Agaknya ia sedang melayangkan pikirannya ke jaman yang lampau itu di bawah
pengaruh kisah yang baru didengarnya dari mulut Po Si.
Sebelum meneruskan pula ceritanya, Po Si lebih dulu menatap wajah Lauw Goan Ho. Kemudian
dengan suara nyaring yang bernada angker ia mulai berbicara lagi.
"Entah sudah berapa banyak kesulitan dan bahaya yang telah dihadapi empat pahlawan itu,
dan entah berapa kali mereka sudah menyelamatkan jiwa Cwan Ong. Karena jasa-jasa mereka
yang dibuat dengan kesetiaan dan kejujuran tak tergoyangkan, tentu saja Cwan Ong jadi sangat
mempercayai mereka. Dari empat orang yang gagah berani ini, si orang she Ouw berkepandaian
paling tinggi, selain itu ia juga berotak cerdas sekali, la terkenal sebagai 'Hui Thian Ho Li' (Rase
Terbang)." Kata-kata terakhir ini sangat mengejutkan bagi semua hadirin. Mereka mengeluarkan
teriakan tertahan. Po Si sama sekali tidak menghiraukan seruan mereka itu. Ia terus mengisahkan
riwayat itu tanpa menengok. "Sementara itu, keadaan Cwan Ong di atas Kiu Kiong San, sudah jadi
sedemikian gentingnya. Berulang kali Cwan Ong mengirim orang untuk minta bala bantuan. Tetapi
setiap kali sampai di kaki gunung, utusan itu sudah harus mengalami bencana. Pada saat-saat
terakhir, karena keadaan sudah hampir tak tertahankan lagi, terpaksa ia mengirim tiga orang dari
empat pengawal utamanya, yang she Biauw, she Hoan dan she Tian untuk mencari bala bantuan.
Pengawal she Ouw itu ditinggalkan untuk mengawani dan melindungi keselamatan Cwan Ong
seorang diri. Tiga orang itu berhasil menembusi kurungan musuh dan dapat pula kembali
membawa bala bantuan. Berapa terkejutnya mereka, ketika setiba mereka ternyata Cwan Ong
sudah mengalami nasib malang dan menurut kabar yang tersiar, sudah tewas terbunuh. Mereka
menangis tersedu-sedu, bahkan dalam kedudukannya, pahlawan she Tian itu sudah hendak
membunuh diri sebagai pernyataan setia kepada junjungannya. Untungnya ia keburu dicegah oleh
dua kawannya. Mereka membujuknya dengan mengatakan, bahwa sakit hati yang sedalam laut itu
harus dibalas dulu. Kemudian mereka menyelidiki tentang bencana yang telah menimpa Cwan Ong
dan bagaimana ia telah tewas. Dari keterangan yang mereka kumpulkan dari sana-sini, mereka
mendapat kesan, bahwa rekan mereka she Ouw itu masih hidup. Mengingat, bahwa kepandaian
orang itu tiada taranya dan kecerdasannya juga sangat luar biasa, mereka berpendapat, bahwa
dengan bimbingan rekan tersebut, mereka akan dapat juga melaksanakan pembalasan sakit hati
itu. Dengan keyakinan ini, mereka lantas berichtiar mencari jejak rekan she Ouw itu."
Po Si berhenti sebentar untuk menghirup tehnya.
"Menurut cerita yang tersiar di antara kaum tua di kalangan Bulim (kalangan ahli-ahli silat) hasil
usaha ketiga orang itu, yang mencari rekan mereka, telah berekor panjang, bahkan turunmenurun
pesan mereka itu diturunkan kepada anak-cucu mereka, supaya peristiwa itu tidak
dilupakan." Bercerita sampai di sini, Po Si menoleh kepada Biauw Yok Lan dan berkata, "Loolap adalah
orang luar yang hanya mengetahui sedikit sekali tentang hal ini. Nona Biauw tentu mengetahui
segala sesuatu yang mengenal kejadian itu dan jika ia yang bercerita, kisah ini tentu akan menjadi
lebih menarik dan lebih lengkap."
Yok Lan tidak menolak dan segera sudah mulai menggantikan si hweeshio bercerita tanpa
mengangkat kepala. "Ketika aku genap berusia tujuh tahun, aku melihat pada suatu malam ayahku membersihkan
dan mengasah pedang. Aku mengatakan, bahwa aku takut melihat senjata dan aku minta
kepadanya supaya menyimpan dan tidak bermain lagi dengan senjatanya. Tetapi ayah
mengatakan, bahwa ia masih membutuhkan pedang itu untuk membunuh seorang lagi dan jika ia
sudah menyelesaikan itu, baru ia akan menyimpan pedangnya untuk selama-lamanya. Mendengar
perkataannya itu, aku jadi semakin ketakutan. Karena berulang-ulang aku mendesak, supaya ia
tidak membunuh orang, maka kemudian ia menceritakan kisah ini."
"Ia menceritakan, bahwa pada suatu waktu, di masa dahulu, pernah terjadi, bahwa saking
miskinnya, rakyat sampai tak dapat makan apalagi berpakaian. Ketika itu, kulit pohon sampai pun
rumput dimakan oleh rakyat yang sangat kelaparan itu. Beribu-ribu orang harus mati kelaparan,
tidak terkecuali bayi-bayi yang ibunya telah kekeringan air tetek. Akan tetapi, di tengah-tengah
penderitaan rakyat jelata yang demikian hebatnya itu para pembesar negeri masih saja memeras
rakyat dan memungut pajak yang berat-berat dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil
bumi yang sudah ingat sedikit itu. Di samping mereka, kaum hartawan juga turut memberatkan
beban si orang kecil dengan memungut uang tewa tanah yang sangat tinggi. Sungguh kasihan,
mereka yang tak dapat memenuhi segala kemauan pembesar korup dan hartawan kejam itu,
ditangkap-tangkapi dan disiksa untuk kemudian dibunuh. Jiwa rakyat kecil dianggap remeh
sebagai juga jiwa semut. Ayah telah mengajarkan aku menyanyikan sebuah lagu yang menurut,
katanya, adalah gubahan seorang "bun bu siang coan" (seorang ahli sastera yang juga mahir
dalam hal silat). Perlukah aku mengulangi lagu itu?"
Po Si sudah dapat menebak siapa yang dimaksudkan dengan "bun bu siang coan" itu, yakni Li
Giam, salah seorang perwira Li Cu Seng yang sangat terkenal. Tetapi hadirin yang lain agaknya
belum tahu siapa yang dimaksudkan itu dan mereka segera mengatakan, "Silakan, nona."
Lagu Li Giam itu melukiskan keadaan pada masa itu, membawakan amanat penderitaan rakjat,
terutama kaum petani yang tertindas paling hebat. Dengan sedikit kata-kata yang sangat tepat,
diceriterakannya, bagaimana panen gagal, harga-harga barang keperluan sehari-hari membubung
tinggi, sehingga rakyat harus memakan rumput atau akar-akar tanaman. Dilukiskannya, dengan
cara yang sangat mengharukan, bagaimana, di tengah-tengah kesengsaraan yang memuncak itu,
pembesar-pembesar korup masih hidup mewah bahkan berlaku sangat sewenang-wenang, teladan
mana segera sudah diikuti para hartawan. Masa itu tiada salahnya disebutkan "Jaman banjir airmata
dan darah." Dengan penuh perhatian para hadirin mendengarkan uraian Yok Lan mengenai syair lagu
tersebut yang kemudian dinyanyikannya juga. Ketika itu adalah di pertengahan masa
pemerintahan Kaisar Kian Liong dan keamanan dalam negeri sedang baiknya. Tetapi terhadap
bencana alam sebagai banjir dan paceklik semua orang tak dapat melakukan sesuatu. Maka di
daerah-daerah tertentu, yang setiap tahun harus mengalami malapetaka, penghidupan rakyat
masih tiada bedanya dengan di masa yang dikisahkan dalam lagu itu. Banyak antara mereka yang
sudah pernah melihat sendiri kejadian seperti itu. Lagi pula Yok Lan telah menguraikan dan
membawakan lagu itu dengan cara dan suara yang sangat tepatnya, maka, segera juga semua
hadirin seakan-akan merasakan sendiri apa yang dikisahkan. Mereka terpesona dan hati mereka
jadi turut berduka karenanya.
Beberapa saat kemudian Yok Lan sudah meneruskan lagi ceritanya.
"Karena penderitaan itu yang berlarut-larut tanpa ada akhirnya, bahkan semakin lama kian
hebat, maka akhirnya rakyat tak dapat bersabar lagi, apalagi setelah kemudian muncul seorang
pahlawan yang berjiwa besar. Di bawah pimpinannya, tentara rakyat itu kemudian dapat
menguasai Pakkhia (Peking) dan mengakhiri riwayat pemerintah kerajaan yang sangat lalim itu.
Sungguh malang, bahwa tidak lama kemudian pemimpin yang sangat mulia itu dibunuh orang
jahat. Sebagai tadi diceritakan Taysu, tiga pengawalnya kemudian mencari rekan mereka yang
agaknya tidak turut tewas. Mereka berkeyakinan penuh, bahwa dengan pimpinannya, mereka
akan dapat melaksanakan pembalasan sakit hati Cwan Ong."
Dalam pada itu, bangsa Boan sudah berhasil menjayah seluruh tanah air kita. Di mana-mana
semua simpatisan Cwan Ong dan patriot lain dikejar dan, bila saja ketangkap tentu disiksa
sehingga tewas. Karena ancaman bahaya itu, maka untuk keselamatan mereka harus
melaksanakan maksud mereka itu dengan menyamar. Seorang menyamar sebagai tabib keliling,
seorang lagi sebagai pengemis dan yang ketiga sebagai kuli. Tiga orang ini dan rekan mereka
yang sedang dicari itu adalah saudara-saudara angkat, dalam perhubungan mereka selama
bertahun-tahun, keempat orang ini sudah menjadi sangat akrabnya, bahkan sampai melebihi
hubungan antara saudara kandung. Selama delapan tahun mereka mencarinya tanpa mengenal
lelah, tanpa dapat menemukan jejaknya. Akhirnya mereka berpendapat, bahwa rekan itu yang
sekalian menjadi saudara angkat tertua mereka, tentu sudah tewas dalam pertempuran. Tak usah
dijelaskan, betapa sedihnya mereka pada saat itu."
Kata-kata Yok Lan diucapkan, sebagai juga ia sedang bercerita kepada anak kecil. Agaknya ia
meniru gaya ayahnya krtika bercerita dahulu. Nada m laranya sangat sabar lagi halus, sebagai
juga dengan itu ia hendak mengutarakan kasih sayangnya. Semua hadirin mendapat perasaan
v.mg aneh dan mereka jadi mengerti bahwa 'Kim Bian Hud' bukan saja seorang pendekar yang
biijiwa besar, tetapi juga seorang .iv.ih yang sangat baik.
"Setelah lewat pula berapa tahun tanpa mendapat hasil sedikit jua, mereka menghentikan
usaha mereka dan memutuskan untuk coba melaksanakan pembalasan sakit hati itu dengan
bertiga saja. Sementara itu mereka sudah mengetahui, bahwa si penghianat, Gouw Sam Kwi,
sudah diangkat menjadi raja muda di Inlam. Mereka bertekad bulat untuk membinasakannya dan
mereka segera juga berangkat ke Inlam."
Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian saling memandang. Yang seorang seakan-akan hendak
mengecam sang kawan yang telah menyeretnya ke dalam peristiwa itu, sehingga ia harus
mengalami atau mendengar kata-kata yang menusuk berulang-ulang. Sang sutee sebaliknya ingin
mengetahui, bagaimana sikap suhengnya terhadap kata-kata itu.
"Setelah mereka tiba di Kun Beng, ibu kota Inlam, mereka segera mencari keterangan tentang
istana persemayaman penghianat keji itu dengan seksama. Maksud mereka adalah supaya dengan
sekali bergerak saja mereka akan berhasil. Tak mau mereka mengeprak ular di antara rumput"
"Pada tanggal 5 bulan tiga mereka sudah merasa cukup mengetahui hal istana itu dan dengan
senjata lengkap mereka menyateroni istana si penghianat."
"Penjagaan di sekitar tempat kediaman itu, ternyata sangat rapat, mungkin karena si
penghianat memang sudah mengetahui, bahwa lambat dan lekas tentu juga akan ada yang
mencoba membunuhnya. Karena penjagaan yang luar biasa kerasnya itu, maka ketiga saudara
tadi hanya dapat mencapai halaman yang berdekatan dengan kamar tidur si penjual tanah air.
Sebelum mereka dapat masuk ke dalam, mereka sudah kepergok dan harus bertempur melawan
lebih duapuluh orang pengawal istana itu. Karena kepandaian mereka yang sudah jarang ada
tandingannya, mereka dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan sangat cepatnya, setelah
berapa orang di antara para pengawal itu sudah tewas atau terluka yang lain segera kabur
serabutan. Tanpa membuang-buang waktu, mereka menyerbu ke dalam. Tetapi, agaknya
memang belum ditakdirkan harus mati, pada saat penghianat itu sudah tak mungkin terlolos dari
tangan mereka, mendadak dari suatu ruangan samping keluar seorang yang meloncat ke depan
penghianat itu dan menghalang-halangi mereka turun tangan. Tak dapat dilukiskan betapa
kagetnya tiga saudara itu, ketiga mereka mendapat kenyataan bahwa penghalang itu adalah
kakak angkat mereka yang telah dicari siang-malam selama bertahun-tahun itu. Dengan
kepandaiannya yang memang jauh lebih tinggi daripada mereka bertiga, kakak angkat itu dapat
menghindarkan si penghianat dari kematian."
"Dalam kekalapan mereka, tanpa memperdulikan segala apa, mereka segera menerjang si
kakak. Dalam pada itu, para pengawal istana itu sudah datang membanjiri halaman di sekitar
ruangan itu. Karena yakin, bahwa mereka tak akan dapat melawan begitu banyak orang, mereka
menerjang keluar dengan membuka jalan darah. Tetapi dalam peristiwa itu, yang menyamar
sebagai kuli itu telah tertawan. Gouw Sam Kwi memeriksa sendiri perkaranya. Karena ia tidak mau
mengaku dan tetap membungkam terhadap segala pertanyaan, maka atas perintah si penghianat
ia dihajar habis-habisan dan kedua tulang kakinya dipatahkan, kemudian ia dimasukkan ke dalam
penjara." "Mungkin karena menyesal atas perbuatannya sendiri, secara diam-diam kakak angkat mereka
itu kemudian menolongnya secara diam-diam. Setibanya kembali di antara saudara-saudaranya, si
kuli dan kedua saudara itu saling merangkul dengan mengucurkan entah berapa banyak air-mata.
Di samping kegirangan mereka, karena dapat berkumpul lagi, mereka juga merasa sangat sedih,
karena ternyata, bahwa kakak angkat yang sangat dipuja itu, telah menakluk kepada musuh dan
menggagalkan usaha mereka yang telah disiapkan sekian lama dengan memeras sekian banyak
keringat. Mengingat perubahan jiwa si kakak itu " dari seorang pahlawan menjadi seorang budak
musuh " hati mereka dirasakan pedih sekali. Sebagai juga semua pengalaman ini belum cukup
menyiksa mereka, tak lama kemudian mereka bahkan mendapat tahu terang halnya si kakak
angkat bahwa kakak angkat itu telah membinasakan sendiri junjungan mereka, ketika sudah
sekian lama, sia-sia menantikan kedatangan mereka kembali dengan bala bantuan. Kemudian ia
telah menakluk kepada musuh dan karena dianggap berjasa, ia telah diberi pangkat yang tinggi
dan sampai pada hari itu, pangkatnya sudah menanjak menjadi tootok (penguasa perang di suatu
daerah tertentu). Kemudian, setelah mendapat kepastian akan kebenaran berita ini, mereka
memutuskan untuk pertama-tama membuat perhitungan dengan bekas rekan ini dan baru setelah
itu berusaha membunuh si penghianat lagi."
Pada saat itu semua hadirin agak terkejut. Sepanjang pendengaran mereka, memang benar,
bahwa Cwan Ong telah tewas karena penghianatan salah seorang sebawahannya, tetapi mereka
sama-sekali tidak pernah menyangka, bahwa yang berhianat itu adalah "Hui Thian Ho Li",
pengawal Cwan Ong yang sangat dipercaya.
Setelah menghela napas panjang-panjang, Biauw Yok Lan melanjutkan pula kisah itu.
"Karena memang sedari semula mereka sudah bukan tandingan si Rase terbang," tentu saja,
setelah salah seorang di antara mereka bercacad, mereka tak dapat melawan bekas rekan itu.
Tetapi ketika mereka sedang memikirkan akal untuk melaksanakan maksud mereka, si Rase
Terbang telah mengirimkan surat undangan kepada mereka untuk datang di telaga Tinti pada
tanggal 15 bulan tiga, untuk bersama-sama meminum arak.
"Mereka beranggapan, bahwa undangan itu hanya tipu muslihat si kakak, tetapi mengingat,
bahwa daerah itu berada di bawah kekuasaannya, sehingga tidak mungkin mereka dapat
menghindari kejarannya. Maka, apa boleh buat, walaupun harus menghadapi bahaya yang
bagaimana besar juga, mereka berangkat menjumpainya. Tetapi, diam-diam mereka membekal
senjata. Ternyata si Rase Terbang sudah menantikan mereka. Agaknya ia hanya datang seorang
diri tanpa membawa kawan, pakaian yang dikenakannya juga terbuat dari kain kasar, sebagai
dahulu, ketika mereka masih bersama-sama menunaikan tugas dalam tentara rakyat. Segera
setelah berkumpul, mereka membeli makanan dan minuman untuk bekal bertamasya di telaga di
bawah sinar bulan purnama. Dilihat sepintas lalu, mereka sebagai juga sudah berbaik kembali
seperti di masa bersama-sama berjuang."
"Sambil menikmati arak dan makanan bekal mereka dan juga menikmati hawa sejuk di bawah
sinar bulan purnama, mereka mengobrol, mengenangkan kembali segala sesuatu yang


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggembirakan di masa yang lampau. Si kakak angkat sama sekali tidak menyebut-nyebut hal
junjungan mereka. Ketiga saudara itu pun tidak berani menanyakan hal itu dan mereka juga
hanya membicarakan hal-hal yang menyenangkan saja. Semangkuk demi semangkuk, si Rase
terbang minum terus dan setelah lama sekali, setelah sang bulan naik tinggi, ia mendadak
mendongak dan berseru, 'Saudara-saudara, sepuluh tahun kita berpisah dan baru sekarang kita
dapat berkumpul lagi. Hari ini, aku merasa sangat berbahagia!"
"Saudaranya yang menyamar sebagai tabib keliling tak dapat bersabar pula. Dengan tertawa
mengejek ia menjawab, 'Hm! Dengan pangkatmu yang tinggi dan kehidupanmu yang mewah,
tentu saja kau menjadi berbahagia! Hanya, entah bagaimana perasaan Goanswee pada saat ini.'
Walaupun Cwan Ong akhirnya sudah naik takhta sebagai kaisar, tetapi karena sudah biasa sedari
awal perjuangan, mereka menyebutnya sebagai Goanswee (Jenderal Besar), mereka tak dapat
mengubah panggilan itu."
"Dalam pada itu, demi mendengar kata-kata si tabib, si Rase Terbang menghela napas
panjang-panjang dan mengatakan, bahwa beliau tentu merasa kesepian dan setelah urusan di
tempat itu beres, ia akan menunjukkan jalan, agar mereka dapat menjumpainya. Seketika
mendengar kata-katanya, ketiga saudaranya menjadi sangat gusar, karena mereka beranggapan,
bahwa mereka akan ditunjukkan jalan ke akherat untuk menjumpai arwah Cwan Ong. Yang
menyamar sebagai kuli sudah hendak mencabut senjatanya, tetapi keburu dicegah saudaranya "
yang menyamar sebagai tabib " dengan kerlingan mata. Yang tersebut belakangan ini segera
mengangkat botol dan menambahkan arak ke dalam cangkir toako mereka. Bersama dengan itu,
ia menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Goanswee mereka, setelah tiga saudara
angkat itu meninggalkan Kiu Kiong San. Si toako mengerutkan alisnya dan menjawab, bahwa
undangannya hari itu memang dimaksudkan untuk membicarakan hal ini. Pada saat itu, mendadak
yang menyaru sebagai pengemis menunjuk ke belakang si toako dan mengeluarkan seruan
tertahan seakan-akan ia melihat seseorang mendatangi secara tak terduga."
"Ketika sang kakak menoleh, dengan serentak si tabib dan si pengemis menyerangnya, dari
belakang. Bokongan mereka ini menyebabkan toako itu kehilangan lengan kanannya dan
punggungnya terluka berat. Dengan berseru kaget, kesakitan dan marah, si Rase Terbang
menoleh dan mengulurkan sebelah tangannya. Dengan sekali bergerak saja ia sudah dapat
merampas golok kedua penyerangnya yang segera dilemparkannya ke dalam telaga. Ketika
kemudian tangannya itu berkelebat sekali lagi, si tabib telah kena ditotok jalan darahnya dan tak
dapat berkutik lagi."
"Segera setelah itu ia berteriak, 'Kita berempat telah bersumpah sebagai saudara, mengapa
kamu sekarang hendak mencabut nyawaku"' Seruan si Rase terbang ini dijawab saudaranya yang
menyamar sebagai kuli. Katanya, 'Kau telah mencelakakan Goanswee, menjualnya kepada musuh
untuk mendapat kemewahan, mengapa kau masih tidak malu menyebut-nyebut hal sumpah
setia"' Menutup kata-katanya, ia segera menyerang juga, tetapi sang toako dapat mementalkan
goloknya dengan tendangan dan senjatanya itu segera menyusul senjata-senjata dua saudaranya
yang telah tenggelam ke dasar telaga lebih dahulu. Sebagai jawaban atas caci adik angkatnya ia
tertawa dan mengatakan, 'Bagus, kamu setia, sangat setia!' Ketiga adik angkat itu tertegun lagi
ketakutan, walaupun sudah terluka parah ditambah lagi sebelah tangannya sudah kutung, ia
masih sangat gagah dan dapat mengalahkan mereka dalam serintasan saja. Sementara itu, si
toako sudah menghentikan tertawanya dan kini justeru berbalik menangis, di antara tangisnya
terdengar penyesalannya, bahwa karena perbuatan tiga saudaranya, rencana pekerjaan besarnya
menjadi hancur berantakan."
"Setelah mengucapkan kata-katanya itu, ia segera melepaskan si tabib. Karena menyangka,
bahwa ia tentu tidak akan mau sudah begitu saja, maka pada saat yang sama, si pengemis
menghantam dadanya. Serangan ini, yang sangat mendadak dilancarkannya dengan Seantero
tenaganya dan tak dapat dielakkan lagi oleh si Rase Terbang, toako ini segera memuntahkan
darah, tetapi berbareng dengan itu, ia mengangkat sebelah tangannya. Ketiga saudaranya
terperanjat, tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa ia tidak bermaksud mencelakakan mereka. Ia
menghajar dinding perahu yang lantas saja sompelak sebagian, sedang perahu itu jadi tergetar
seluruhnya 'Meskipun aku sekarang sudah terluka berat, tetapi, jika aku mau, dengan mudah saja
aku dapat mencabut tiga nyawa kalian, yang bagiku sama mudahnya dengan membalikkan
sebelah tanganku,' ujarnya dengan ketawa getir."
"Tiga orang itu takut bukan main. Mereka berkeyakinan, bahwa jiwa mereka tak akan dapat
ditolong lagi. Maka, dengan tekad untuk menjual jiwa semahal-mahalnya, mereka mundur ke
suatu sudut, di mana kemudian ketiga-tiganya berdiri bejajar, bersiaga, menantikan
perkembangan selanjutnya. Akan tetapi untuk keheranan mereka, ia sama sekali tidak berusaha
untuk melanjutkan serangannya, bahkan menarik napas panjang-panjang sambil menunduk dan
berkata, 'Jagalah, jangan sampai kejadian malam ini tersiar di luar. Jika puteraku mendengar hal
ini, ia tentu akan mencari kalian untuk balas, dan kupastikan, bahwa kalian bertiga bergabung,
masih juga bukan tandingannya. Maka, untuk menghindarkan kalian daripada tuduhan membunuh
kakak angkat sendiri, lebih baik aku membunuh diri saja" dengan selesainya kata-kata ini, ia
menghunus goloknya sendiri dan tanpa dapat dicegah oleh siapa juga ia sudah menggorok
lehernya sendiri" 'Agaknya si kuli tidak tega melihat kakak itu akan menemui ajalnya secara begitu
mengenaskan. Ia segera meloncat ke sampingnya dan hendak menolongnya. Tetapi ia terlambat
tetapi sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, kakak itu masih dapat berpesan,
"Saudara yang baik, aku sudah akan berpulang. Golok kebesaran Goanswee banyak kegunaannya.
Ia... Ia, orang tua, di Ciok Mui Kiap ____' Pada saat itu, sebelum dapat menyelesaikan pesannya,
ia sudah keburu mangkat. Tiga adik angkatnya tak dapat mengucapkan sepatah kata dan untuk
berapa saat mereka hanya memandang jenazahnya dengan terlongong-longong. Pelbagai macam
perasaan mengaduk dalam alam pikiran mereka. Sedih, menyesal, kasihan tapi juga puas silih
berganti menguasai perasaan mereka Sesaat kemudian mereka mendapatkan kembali kesadaran
mereka dan mereka segera melihat, bahwa golok yang barusan digunakan menggorok lehernya
sendiri oleh kakak mereka itu, adalah golok kebesaran Cwan Ong dahulu."
Tanpa terasa semua mata beralih memandang golok yang berada di dalam peti itu. Entah apa
yang terkilas dalam alam pikiran mereka, pada saat itu. Sedang yang lain masih diam dengan
pikiran masing-masing, mendadak saja Lauw Goan Ho berteriak, "Aku tidak percaya!"
To Pek Swee menjadi gusar. "Kau tahu apa!" bentaknya
"Aku tidak mau percaya, bahwa Li Cu Seng " yang telah membuat banjir darah di suatu daerah
yang ribuan li luasnya " dapat mengadakan hukum militer sedemikian, sebagai empat belas huruf
itu," katanya dengan menggelengkan kepalanya.
Atas bantahannya ini tak ada yang dapat menjawab, setelah lewat beberapa lama, baru Ie
koankee yang menjawabnya. Katanya, "Kau mengatakan, bahwa Cwan Ong telah membunuh
orang bagaikan membabat rumput saja Kaukah, atau siapa yang telah melihat kejadian itu?"
"Semua orang berkata begitu. Tak mungkin mereka semua bohong," bantah si gundal
pemerintah Boan. "Kamu, golongan pembesar, memang selalu mengatakan, bahwa Cwan Ong sangat kejam.
Tetapi, sebaliknya, Cwan Ong justeru telah berjuang untuk rakyat, bersama dengan rakyat dan
dipilih serta didukung oleh rakjat. Memang banyak yang telah dibunuhnya Tetapi semua itu,
adalah pembesar negeri atau hartawan lalim, penindas rakyat kecil. Maksud undang-undang
empat belas huruf itu, ialah untuk melarang sebawahannya bertindak sewenang-wenang lebihlebih
membunuh orang yang tidak berdosa Sependengaranku, segala perintahnya telah diturut
dengan taat" Sebenarnya Lauw Goan Ho masih akan membantah lagi, tetapi ketika melihat, bahwa sebagian
besar para hadirin menentang pendiriannya, bahkan ada yang bersikap agak keras, ia menjadi
kuncup sendiri dan segera menelan kembali kata-katanya yang sudah akan diucapkan barusan.
Untuk mengalihkan perhatian orang banyak, demi keselamatan suhengnya, Him Goan Hian
segera meminta Yok Lan melanjutkan ceritanya
Segera Yok Lan telah melanjutkan kisah itu.
"Setelah dapat menguasai perasaannya, si kuli berkata, Ia mengatakan, bahwa Goanswee
berada di Ciok Mui Kiap, apakah maksudnya"' Si tabib mengutarakan pendapatnya, bahwa
mungkin sekali kakak itu hendak mengatakan, bahwa Goanswee mereka dikubur di tempat
tersebut. Sebaliknya, si pengemis mempunyai pandangan lain lagi. Menurut ia, si Rase Terbang
mungkin hanya menjusta, mengingat, bahwa ia itu mempunyai banyak akal. Bahwa ia tak percaya
akan kejujuran kakak angkat mereka itu memang dapat dimengerti. Bukankah, setelah
meninggalnya Cwan Ong, si penghianat Gouw Sam Kwi mengirimkan jenazahnya ke kota-raja
untuk mendapat hadiah besar. Bukankah kepala pahlawan itu kemudian digantung di atas pintu
gerbang kota-raja untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai dan bukankah setelah menempuh
Jago Kelana 4 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Naga Beracun 8
^