Pencarian

Pedang Kiri 23

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Bagian 23


sisi kiri, tanyanya:"Cu-hengadapetunjukapa?"
"Kita sedang merundingkan pelaksanaan pernikahan rangkap
ini, kau dan aku sama2 menjadi comblang, adalah jamak kalau kita urun2 pendapat."
"Baiklah, biar kududuk di kursi terakhir saja," ucap Yong Kingtiong sambil menarik kursi.
"AnakGi,"panggil Thi-hujin, "kaupun kemari."
Kun-gi datang ke samping ibunya, katanya: "Ibu ada pesan
apa?", "Menurut Tong-gakhumu, setelah perjodohan ini diresmikan,
ada lebih baik kalian lekas melangsungkan pernikahan, ibu sudah tua, lebih baik juga bila kau lekas berkeluarga supaya ibu
menunaikan kewajiban sebagai orang tua terhadap ayahmu, maka
ibu putuskan untuk merangkap pernikahan sekaligus pada bulan
sepuluh yang akandatang. . . . "
Sebelum ibunya habis bicara, Kun-gi tiba2 menjatuhkan diri,
teriaknya sambil berlinang air mata: "Bu, pernikahan anak lebih baik ditunda saja."
"Kenapa?" tanya Thi-hujin.
"Walau kita sudah membunuh Han Jan to, tapi biang keladi
yang merebut Hek-liong hwe kan bukan dia, maka anak pikir akan
pergi keJiat-ho, dengankeduatangankusendiriakan kupenggal
kepala Ki Seng-jiang dan bangsat Ci Kun jin, lalu pergi ke kotaraja pula mencari tulang jenazah ayah."
Tong Thian jong melirik ke arah Cu Bun-hoa dan Yong King-
tiong. Cu Bun-hoa mengerti, sebelum Thi-hujin bicara dia sudah
batuk2 ringan, lalu mendahului buka suara: "Ling-lote memang anak berbakti, tekadnya patut dipuji, tapi ibumu sudah kepingin membopong cucu, apalagi tadi soal ini sudah dirundingkan dan
disetujui pernikahan akan dilangsungkan bulan sepuluh, jadi masih ada waktu tiga bulan, maka menurut pendapat Lohu biarlah Linglote menikah dulu baru pergi ke Jiat-ho."
Yong King-tiong ikut mengusulkan: "Apa yang dikatakan Cu-
cengcu memang tidak salah, kalau Ki Seng-jiang dan Ci Kun-jin
berada di Jiat-ho, mereka toh tidak akan merat begitu saja, dengan bekal kepandaian Kongcu sekarang tidak sulit untuk membunuh
mereka, soal tulang jenazah Hwecu, urusan sudah terjadi dua
puluhan tahun, mungkin sukar untuk menemukan, lebih baik
Kongcu turuti keinginan ibumu, kembali dulu ke Kanglam, setelah melangsungkan pernikahan, tahun depan musim semi baru kau
mulai bergerak ke utara."
"Bu," seru Kun-gi mendongak. "dendam ayah belum terbalas.
tulang ayah belum juga ditemukan, sekali2 anak tidak akan
menikah, dari sini ke Jiat-ho tidak jauh, buat apa harus pulang pergi menunda waktu. Menurut pendapat anak, mumpung berita
Hekliong-hwe hancur belum mereka dengar, akan lebih mudah aku
bekerja di Jiat-ho, keparat Ki Seng jiang itu licik dan culas, pasti dia akan meningkatkan kewaspadaan dan penjagaan, bahwa Ci Kun-jin
tidak menjabat pangkat lagi, pasti minta perlindungan pula kepada Ki Seng-jiang di Jiat-ho, orang ini bernyali sekecil tikus, begitu memperoleh kabar tentu menyembunyikan diri, hal ini akan
mempersulit usaha anak malah, maka anak pikir, lebih cepat kita bekerja akan lebih baik, biarlah sekarang juga anak berangkat
supaya urusan tidak bocor."
Thi hujin berpikir sebentar, akhirnya mengangguk, katanya:
"Begitupun baik, pernikahan dilangsungkan setelah kau beres menuntut balas sakit hati ayahmu, supaya arwah ayahmu di alam
bakaterhiburdan tenteram. . . . . "tak tertahandia meneteskanair mata.
Sambil mengelus jenggot, Tong Thian-jong berkata kepada Un
Ithong: "Un-heng, kalau demikian keinginan Hiansay karena
baktinya terhadap orang tua, biarlah kita racun dan bius para cakar alap2 yangbercokoldiJiatho itu."
Cepat Kun-gi bicara: "Perjalanan ke Jiat-ho ini cukup kulakukan sendiri saja, kalau banyak orang mungkin menimbulkan perhatian
musuh, untuk ini Siausay takberanibikincapai paraGakhu."
"Seorang diri Hiansay tentu kekurangan tenaga, Jiat-ho jangan kau samakan dengan Coat ceng-san-ceng."
"Siau-say akan bekerja melihat gelagat," Kun-gi tetap kukuh pendapat. Lalu dia, berpaling kepada Yong King tiong, tanyanya:
"Yong-lopek, apakautahu keadaanKiSeng jiang?"
Yong King-tiong tertawa, katanya: "Bangsat tua ini adalah biang keladi yang menimbulkan pemberontakan dalam Hek liong hwe
sehingga Han Jan-to mengkhianat, Losiu membencinya sampai
ketulang sumsum, maka gerak-geriknya selalu kuselidiki dari
berbagai pihak, memang sedikit banyak aku tahu keadaannya,
sayang selama dua puluh tahun ini hasil yang kuperoleh kurang
memuaskan, dari sini dapatlah kita simpulkan betapa licin bangsat tua ini?"
"Dia adalah anak angkat almarhum kakek luar-ku, kemungkinan ayahkupun mati oleh muslihatnya," demikian timbrung Ban Jin cun,
"Ling-heng, bagaimana kalau Siaute ikut kau" Akan kutanya dia berhadapan." -Tangan kanannya tampak terkepal, jelas betapa bencidan dendamnya.
"Kalau Ban -heng curiga Ki Seng-jiang yang membunuh
ayahmu, tak enak aku merintangimu, tapi kita harus bekerja secara diam2 . . ...."
"Bukan hanya membunuh ayah saja," kata Ban Jin-cun sengit,
"keluarga Ban kami tertumpas habis seluruhnya, kemungkinan pula dia yang menjadi biang keladinya."
"Ya, itu kemungkinan," timbrung Yong King-tiong, "Ki Seng-jiang sekarang menjabat Congtay pasukan pengawal yang
bertugas di istana peristirahatan kerajaan di Jiat-ho, boleh
dikatakan dia yang paling berkuasa di sana, kalau dia bisa
berkuasa pula di Coat-sengsan-ceng yang berada di Tay-piat-san, ini membuktikan bahwa mungkin dia pula yang menjadi orang di
belakang layar menguasai Hek-liong-hwe selama ini."
Sampai di sini mendadak dia menepuk paha, serunya tertawa:
"Ya, tidak salah, pernah Losin dengar dari Han Jan-to bahwa jago2
kosen yang sering diutus ke berbagai propinsi kebanyakan datang dari villa kerajaan dan dari anggota bayangkari yang bertugas di Jiat-ho itu, karena raja Boan setahun paling2 datang sekali ke
sana, maka hari2 biasa boleh dikatakan amat iseng, maka tugas
untuk mengawasi para utusan rahasia dan menumpas para
pemberontak seluruhnya dipikul oleh barisan bayangkari di villa kerajaan itu, Hekliong hwe merupakan salah satu komplotan
mereka untuk menghadapi kaum persilatan, sudah tentu tugas ini
di bawah kekuasaan Ki Seng jiang pula."
"Jadi Cui Kin in hanya utusan pula. Ai, sayang tempo hari kita tidak menahannya."
"Itu kan kehendak gurumu, pasti beliau punya alasan yang
tepat," ujar Thi hujin.
Mendadak Thian-hi Siansu merangkap kedua tangan sambil
bersabda, katanya: "Tay-thong Su-siok kemaren malam juga bicara dengan Lolap, katanya Cui-sicu bukan saja adalah murid
kesayangan Soat-san Sinni, malah dia punya asal-usul istimewa,
terang bukan utusan dari Ki Seng jiang.".
"Apa pula yang dikatakan guruku?" tanya Kun-gi, "bolehkan Losiansu menerangkan?"
"Tay thong Taysu hanya bilang demikian, soal lain Lolap tidak tahu, Oya, Cui-tongcu itu pernah kemari dua kali, kalau menurut pandangan Lolap dia tidak mirip manusia yang kejam suka
membunuh, bila Ling-sicu kelak bertemu dia, lebih baik tidak
menyudutkan dia sehingga membikinnya serba susah, kalau
dipaksa dia bisa menempuh jalan lain ini tentu tidak
menguntungkan kedua pihak."
Kun-gi merasakan omongan paderi tua ini masih terselip hal2
yang kurang dimengerti dikatakan bahwa Cui Kin-in mempunyai
asal-usul, tapi tidak mau menjelaskannya. Memangnya kenapa"
Apakah karena gurunya, yaitu Soat-san Sinni, maka orang lain
harus mengalah kepadanya" Dalam hati berpikir, segera ia
bertanya kepada Yong King-tiong: "Paman Yong, setiap tempat mempunyai adat dan kebiasaan sendiri, apakah paman bisa
menceritakan keadaan di Jiat-ho pada umumnya?"
"Seng-tek-hu berada di sebelah, barat propinsi Jiat-ho, semula merupakan kota pegunungan, maka raja Boan mendirikan Villa
disana yang dinamakan Pi-siok-ceng, Ki Seng jiang adalah
penguasa Pi-siok-ceng itu, tapi kedudukannya lebih tinggi dari
komandan bayangkari yang bertugas di istana raja, malah
merangkap wakil gubernur yang berkuasa di seluruh propinsi
Jiat-ho, pasukan bayangkari yang ada di villa itu terbagi dua
barisan, setiap barisan terdiri sepuluh kelompok, setiap kelompok sebelas orang, itu berarti Ki Seng-jiang mempunyai dua ratusan
anak buah yang seluruhnya memiliki kepandaian silat yang tinggi, mereka adalah sampah persilatan yang menjual diri dan rela
dijadikan antek, tapi diantara mereka tak sedikit terdapat para cendekia, pendek kata mereka lebih unggul dari para jago pedang Hwi-liong-tong yang bertugas di Hek-liong-hwe," sebentar berhenti lalu ia menyambung: "O, ya, hampir Losiu lupa, Ki Seng-jiang adalah laki2 yang kemaruk paras cantik, dia punya gundik yang
menetap di luar Pi-siok-ceng, konon dalam sebulan ada dua
puluhan hari dia menetap di rumah gundiknya itu, kalau Kongcu
dapat menyelidiki tempat tinggal gundiknya itu, kukira lebih leluasa turun tangan daripada membunuhnya di Pi-siok-ceng."
"Banyak terima kasih atas keterangan paman, Wanpwe pasti
dapat menyelidikinya," kata Kun-gi. "Ada sebuah hal pula, kau harus hati2," pesan Yong King-tiong lebih lanjut, "di luar kota Sek-tek terdapat delapan kuil Lama, semuanya dikepalai paderi
Tibet, mereka adalah murid2 dari aliran Ih-ka-bun, ilmu silat
mereka menyendiri, konon waktu Ki Seng-jiang memimpin barisan
bayangkari di istana raja pernah mengangkat seorang Lama
sebagai guru, maka kuil2 Lama itu kemungkinan bersekongkolan
dengan Ki Seng-jiang, hal inipun harus diperhatikan."
Mendengar Ban Jin-cun mau pergi, maka Kho Keh-hoa tidak
mau ketinggalan, sekarang dia baru dapat kesempatan bicara:
"Lingheng sudah berjanji hendak mengajak Ban-heng, memangnya aku disisihkandalamtugas muliaini?"
"Betul," timbrung Tong Siau-khing. "Ling-heng, kalau ayah, Un-lopekdanCu-lopektidakjadipergi, makaakuharusikutpergi."
Baru saja Kun-gi mau buka suara, tahu2 Bok-tan, Giok-lan, Tong
Bun-khing, Un Hoan-kun dam Cu Ya-khim dan lain2 serempak juga
menyatakan mau ikut. Hanya Pui Ji ping seorang yang tunduk
kepala tanpa memberi komentar, sudah tentu hadirin tiada yang
memperhatikan dia. Thi-hujin tersenyum pada hadirin, katanya: "Kaum muda
memang suka bergerombol, tujuan kita bukan untuk tamasya,
kalau banyak orang malah menarik perhatian musuh, begini saja,
anak Gi boleh seperjalanan dengan Ban-siauhiap, tapi di tengah
jalan harus berpencar, pura2 tidak saling kenal, Bok-tan boleh ikut bersamaku untuk memberi bantuan bilamana perlu kepada anak
Gi, sementara Giok-lan selekasnya kembali ke Pek-hoa ciu
(semenanjung seratus bunga), membubarkan Pek-hoa-pang,
sementara para Cengcu diharap pulang membawa puteri masing2
ke Kanglam, kali ini betapapundilarang menyusul
keJiat-hosupayatidak terjadisesuatu di luar perhitungan."
Rencana yang diatur Thi-hujin sudah tentu tidak sempurna, tapi
juga merupakan cara pemecahan untuk sementara, secara tidak
langsung dia memperingatkan kepada Thong Thian jong. Un
It-hong dan Cu Bun-hoa supaya lebih memperhatikan dam
mengendalikan puteri2nya, betapapun Jiat ho adalah daerah
kekuasaan kerajaan yang diperkuat dengan barisan bayangkari,
jadi jangan disamakan sepertitempat tamasya.
"Jadiibujuga maupergi?" tanyaKun-gi keheranan.
Thi-hujin tertawa, katanya: "Kalau ibu juga pergi kan dapat memberi bantuan padamu", jangan kuatir pasti tidak akan
menambah beban bagimu."
"Ibu besan tidak usah kuatir," timbrung Tong Thian jong,
"biarlah kita tinggal di sini beberapa hari sambil menunggu ibu besan dam bakal menantu kita kembali lagi ke sini baru sama2
pulang mengurus pernikahan."
"Nah, semua sudah dengar," sela Un It-hiong, yang tidak punya tugas siapapun dilarang ikut pergi,"
Yong King-tiong menambahkan: "Baiklah kita atur begini saja, kita menunggu kabar baik di sini sambil mempersiapkan pesta
pernikahan, dari-pada berpencar tak keruan paran."
Keputusan sudah ditetapkan, walau Kho Keh-hoa, Tong Siau
khing dan nona2 yang lain amat getol ingin pergi, tapi tiada
seorangpunyangberanibuka mulut.
"Kalau ibu tiada pesan lagi, anak ingin berangkat sekarang juga," demikian Kun gi minta diri.
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Begitupun baik, berangkat
lebih dini lebih cepatsampai ketepattujuan, besokpagi2 ibusegera menyusulmu."
Lalu mereka menentukan cara dan tanda2 rahasia untuk
mengadakan kontak. Kun-gi dan Ban Jin cun diharuskan ingat
semua tanda2 rahasia itu, kemudian satu persatu diizinkan
berangkat. Setelah Kun-gi berangkat lebih dulu, diam2 Thi-hujin panggil
Ban jin-cun, dengan suara lirih dia memberi pesan entah apa
kepada Ban Jin-cun, tampak anak muda, itu mengiakan lalu
berangkat. Giok-lan mengajak Ci-hwi dan Hu-yong pamit pada Thi hujin
dan lain, merekapun segera berangkat kembali ke Pek-hoa-ciu.
Sisa yang lain menetap di Gak koh-bio, setelah makan malam, Pa
Thiangi dan Ting Kiau juga pergi secara diam2, mereka
memperoleh tugas untuk menyiapkan kereta dan kuda.
Malam itu tiada kejadian apa2, hari kedua pagi2 benar Pa Thian-
gi sudah kembali, langsung memberi laporan kepada Thi hujin.
Ting Kiau sudah menyaru kusir dan menunggu di luar.
Sementara Thi-hujin dan Bok-tan menyamar sebagai ibu
beranak, setelah berpamitan merekapun meninggalkan
Gak-koh-bio secara diam2.
Kira2 menjelang tengah hari, Cu Ya-khim tampak berlari2
memasuki pendopo dan berteriak gugup: "Yah, celaka, Piaumoay minggat secara diam2."
Cu Bun hoa kaget sekali, tanyanya: "Anak Khim, apa katamu" Ji ping ke mana?"
"Waktu bangun tidur tadi pagi Piau-moay sudah mengeluh
katanya badannya kurang sehat, barusan akan kutengok dia
dikamarnya, tapi tidak kutemukan bayangannya, kemungkinan dia
menyusul ke Jiat ho."
Cu Bun-hoa berkerut kening, katanya sambil membanting kaki:
"Anak ini, ai, kalau betul2 dia menyusul ke Jiat-ho, ini bukan main2. Ling-lote dan Ling-hujin tidak tahu akan hal ini, pasti bisa celaka dia."
"Kemarin sudah kurasakan se-olah2 nona Pui dirundung
persoalan rumit apa, mungkin karena Thi-hujin kemarin melarang
orangbanyakikut, makadan menjadinekat."
"Bukan begitu persoalannya," ucap Cu Ya-khim sambil cekikikan.
"Selama ini Piaumoay diam2 kasmaran kepada Piaukonya, jadi dia minggat dengan uring2an."
"Anak perempuan, sembarang omong," Cu Bun-hoa segera
menegur puterinya. Tong Bun-khing segera mendekati ayahnya serta berbisik sekian
lamanya. Tampak Tong Thian-jong mengerut kening, katanya:
"Kukira nona Pui belum pergi jauh, marilah kita membagi jurusan untuk menyusulnya kembali, umpama tidak ketemu juga harus
selekasnya memberi kabar kepada ibu besan."
"Usul Tong-loko memang benar," sela Yong King-tiong: "Urusan jangan ditunda, marilah kita kerjakan dengan berpencar."
"Kalau ketemu lalu bagaimana?" tanya Un It-hong.
"Kukira ibu besan pergi hanya membawa Bok-tan dan Ting Kiau, kalau terjadi sesuatu pasti kekurangan tenaga, apakah perlu kita menyusul lagi satu rombongan, dan secara diam2 memberi
bantuan kepada mereka?"
"Aku jarang berkecimpung dalam Bu lim di daerah Kanglam,
biarlah aku saja yang berangkat," Un It-hong menampilkan diri.
"Teman2 Kangouw yang kenal padaku juga jarang2," Cu
Bun-hoa ikut bicara. "Baiklah kitabagibegini saja, Tong-lokotetapdi sini, Un-lokodan Cu-loko berpencar dalam dua rombongan, secara diam2 satu
dengan lain harus selalu mengadakan kontak untuk mencari jejak
nona Pui, ketemu atau tidak harus langsung maju ke Jiat-ho dan
secara diam2 memberi bantuan dimana perlu kepada Ling-hujin,
jalanan daerah ini aku cukup apal, cuma aku sendiri kurang leluasa ke Jiat ho. biarlah kubantu mencari jejak nona Pui di daerah yang berdekatan sini saja, bagaimana pen-dapat hadirin"
Tong Thian-jong tertawa sambil mengelus jenggot, katanya:
"Untuk menjagakedudukandisini, memangtepatpilihanjatuhpada diriku."
Dia maklum bahwa Yong King tiong memilih dirinya memang
tepat dan mengandang arti yang mendalam, karena sebagai
Ciangbunjin keluarga Tong, tidak sedikit kaum persilatan dari aliran putih dan golongan hitam yang mengenalnya, bahwa dirinya
mendadak muncul di Jiat-ho pasti menarik perhatian banyak orang, maka lebihbaik diaberjagadisini saja.
Un It-hong segera berkata: "Baiklah kita atur demikian, aku dengan jite (Un It kiau) dan anak Hoan satu rombongan,
sementara Cu-heng dan puterinya satu rombongan."
Kho Keh-hoa cepat menimbrung: "Wanpwe ingin pergi bersama
Cu-cencu." Diam2 Tong Bun-Khing menjawil engkohnya Tong Siau-khing
segera menoleh ke arah ayahnya, katanya: "Yah, anak dan Ji-moay juga ikut pergi, dengan Cu-losiok."
Tong Thian-jong mendengus sambil menarik muka: "Lagi2
adikmu yang membikin gara2."
Terpaksa Tong Bun khing berteriak: "Yah, izinkanlah kami ikut berangkat?"
Tong Thian-jong mengangguk, katanya: "Ya nona Un dan nona
Bok-tan juga pergi, kalau puteriku tidak ikut pergi, bukankah orang lain akan merebut pahalanya" Sudah tentu ayah terpaksa
menyetujui." "Yah!"seru Tong Bun-khingdengan jengahkarenadiolok2.
Tong Thian-jong tergelak2, katanya: "Anak perempuan selalu berkiblat keluar, memangnya ayah salah omong?"
"Baiklah, tak perlu banyak bicara," ajar Cu Bun hoa, "kita harus lekas berangkat.
Maka Un It hong dan Cu Bun hoa masing2 memimpin
rombongannya terus berangkat, Yong King-tiong juga bawa kelima
jago pedangnya menyusul belakangan.
>O< >O< >O<
Hou-pak-gau merupakan jalan penting keluar masuk tembok
besar di sebelah barat laut, di kanan kirinya gunung gunung
sambung menyambung tak berujung pangkal, tembok besar bagai
ular raksasa menjalar di pegunungan yang turun naik itu, pintu2
gerbang sudah tentu didirikan di pegunungan itu pula, lebarnya
cukupuntuk lewatsatukereta, keadaandisini cukupberbahaya.
Untuk wilayah Jiat-ho, Hou-pak-gau merupakan pintu gerbang
utama hubungan langsung antara Jiat-ho dengan kotaraja, maka
setiap hari orang dan kendaraan yang lalu lalang di sini cukup
ramai. Tatkala itu menjelang magrib, sang surya sudah hampir
terbenam, burung sama terbang kembali ke sarang, barisan
keretapun beriring sedang kembali memasuki kota supaya tidak
kemalaman dijalan. Pada saat begitulah tiba2 terdangar suara kelintingan berpadu
dengan derap tapal kuda tengah berpacu kencang keluar dari Hoa
pak-gau ke arah utara, agaknya penumpang kuda itu ada urusan
penting, pecutnya diayun berulang kali membedal kudanya


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin kencang, jalan pegunungan yang berdebu itu seketika
menjadi berhamburan sehingga orang2 yang beramai mengayun
langkah mau masuk kota sama mencaci kalang kabut.
Penunggang kuda itu tak peduli dengan caci maki orang,
kudanya tetap dibedal kencang dan sekaligus dilarikan puluhan li.
Setelah melewati suatu tempat yang bernama La hay-kou
penunggang kuda itu merogoh saku mengeluarkan sebuah panji
kecil segi tiga terus diayun kian-kemari ke arah hutan di lereng gunung sana, mulutpun berteriak: "Perhatian, sudah datang."
-Belum habis bicara, kedua kakinya mengempit perut kuda terus
dibedal pula ke depan. Kira2 semasakan air kemudian, dari kejauhan terdangar pula
derap tapal kuda yang berlari pelan2 mendatangi, kiranya ada dua ekor kuda yang jalan beriring. Yang di depan adalah kuda warna
coklat mulus. di belakangnya adalah kuda warna ceplok putih
hitam, kudanya kuda pilihan yang kekar, cuma dilarikan pelan2,
jelas kedua penunggangnya memang tidak begitu pandai naik
kuda. Meski lambat lari kuda toh lebih cepat daripada orang
berjalan, kejap lain kedua kuda itupun sudah tiba didepan hutan.
Jarak semakin dekat dan kelihatan penunggang kuda coklat itu
adalah pemuda berbaju sutera, usia-nya belum ada dua puluh,
alisnya tebal, matanya besar bercahaya, bibirnya merah, kuncir
hitam yang cukup besar menjuntai di belakang punggungnya,
sungguhgagahdan menariksekali.
Yang berkuda ceplok hitam-putih adalah kacung berusia enam
belasan, wajahnya bersih dan cukup cakap juga, gerak geriknya
tampak cerdik. Majikan dan pelayan dua orang ini jelas adalah
anak bangsawan entah keluarga mana di kotaraja yang hendak
buru2 masuk ke kota. Tatkala kedua kuda tunggangan mereka hampir mendekati
hutan, tiba2 dari dalam rimba berkumandang suitan nyaring
melengking. Segera muncul bayangan tujuh delapan orang laki2
berkedok seperti burung terbang melayang hinggap di tengah
jalan, golok di tangan mereka tampak mengkilap, cepat mereka
berpencar mengurung kedua orang penunggang kuda.
Sudah tentu pemuda baju sutera itu menjadi ketakutan, hampir
saja dia terjungkal jatuh dari punggung kudanya, giginya berkrutuk saling beradu, katanya gemetar: "Ka . . . . .ka. . . . .kalian. . . .
.mau. . . . . .. mauapa?"
Pemimpin rombongan laki2 berkedok membentak: "Jangan
cerewet, lekas turun, tuan besar hanya ingin harta tak mau nyawa.
kalau kau masih ingin hidup tinggalkan harta bendamu, tuan akan mengampuni jiwa kalian dan boleh lekas masuk kota." Pemuda baju sutera mengiakan berulang sambil melorot turun, tapi segera terjungkalbergulingan saking lemaskakinya.
Kacung yang berada di belakangnya juga melompat turun
dengan ketakutan, lekas dia memburu maju memapah majikannya,
serunya gemetar: "Kongcuya, bagaimana baiknya?" -saking takut kedua lututnya juga lemas tak bertenaga, ada keinginan memapah
majikannyatahu2diaikutterjungkalroboh sekaliansalingtindih.
Seorang lelaki berkedok menghampiri dengan melotot,
sementara pemimpin orang2 berkedok itu mengambil buntalan di
punggung kuda terus dibuka, lainya kecuali berapa perangkat
pakaian masih ada sebuntal uang emas lima puluh tahil. Sorot
mata laki2 ini tampak mengunjuk rasa girang, tapi dia lantas
mendengus hardiknya: "Anak bangsawan yang keluyuran dari
kotaraja masa hanya membawa sangu sedikit ini" Bagaimana kita
harus membagi hasil?"
Laki2 bergolok yang menatap kedua majikan dan pelayan itu
mendekat serta menodongkan golok-nya, bentaknya: "Lekas
katakan, masih ada barang lain di badanmu?"
Melihat keadaan gawat, pemuda baju sutera lekas berteriak:
"Ceng-ji, lekas . . . . . . uang perak perak dikantongmu keluarkan semua."
Dengan tangan gemetar kacung itu merogoh kantong dan
mengeluarkan uang emas dan beberapa keping uang perak dan
diletakan di tanah, katanya: "Semua . . . . . . semua ada . . . . . .
ada disini." "Hanyainisaja?" laki2bergolok itu menyeringai.
Kacung itu ketakutan, mukanya pucat kuning, sahutnya: "Betul .
. . . . . tiada lagi."
Laki2 bertopeng itu menjadi berang, golok dia tempelkan ke
leher pemuda baju sutera, ancamnya: "Kalau mau hidup lekas katakan, di mana kau simpan uangmu?"
Pemuda baju sutera semakin lunglai ketakutan, mukanya seperti
mayat, mulut megap2 dan bersuara lemah: "Toaya, am . . . . . . .
ampun!" Kacungnya merangkak dan menyembah, serunya: "Tuan2 besar
harapmaklum...... Kongcu maupulang ....... uang sangunya sudah
habis di tengah jalan, sungguh . . . . . . . hanya itu saja yang masih ada."
Menyeringai pemimpin rombongan itu, katanya: "Agaknya
sebelum melihat peti mati kalian tidak akan menangis, tuan
besarmu. ." Takut luar biasa pemuda baju sutera itu, ia berteriak: "Ampun, am. . . ampun?"
Pada saat gawat itulah "tring", tiba2 golok yang mengancam leher pemuda baju sutera itu mencelat, belum lagi pemegang golok itu sempat berteriak kaget, tahu2 goloknya sudah terbang jauh.
Terdengar seorang mendengus: "Begal bernyali besar, berani beroperasidijalan raya dekat kota raja?"
Sekilas tampak mencorong sorot mata pemuda baju sutera yang
masih lunglaiditanah. Kala itu hari sudah mendekati petang, kejadian teramat
mendadak, serempak kawanan begal berkedok itu melengak,
mereka menoleh kesana. Tampak dari arah Ko-pak-gau entah
sejak kapan berdiri seorang laki2 muka merah, jubah panjang
warna biru yang dipakainya sudah luntur, terbuat dari kain kasar pula, jelas dia orang dari kalangan kurang mampu.
"Saudaradarigolongan mana?"hardik pemimpin begal.
Laki2 jubah biru luntur itu menyahut angkuh: "Aku bukan orang dari golongan manapun."
Sekilas mengerling ke arah laki2 jubah biru, pemimpin begal
menjengek: "Saudara agaknya bukan penduduk setempat, kuharap kautidak mencampuriurusanoranglain, menyingkirlah!
Laki2 jubah biru bergelak tawa, katanya: "Setiap orang di
kolong langit ini boleh mengurus apapun yang terjadi di kolong
langit ini, akutidak senang melihatcara membegaldengan
kekerasanbegini." Pemimpin begal terbahak2, katanya: "Anak muda, kenapa tidak kau pentang matamu, memangnya kau belum pernah dengar
nama besar Jit hiong (tujuh jagoan) dari Ko-pak-gau?" -Waktu dia mengulap sebelah tangan, dua laki2 berkedok segera mengayun
golok menubruk ke arah laki2 jubah biru itu.
Keruan pemuda baju sutera kaget. teriaknya kuatir: "Kalian tak boleh membunuh orang"
"Hanya dua saja yang maju masih belum tandinganku," ejek laki2 jubah biru. Waktu bicara ke-dua orang berkedok itupun sudah menubruk tiba, tanpa bicara mereka ayun golok terus membacok
dan menabas. Jangankan mengawasi, melirikpun tidak laki2 jubah biru atas
serangan kedua golok ini, ia tidak berkelit juga tidak mengegos, waktu mata golok hampir mengenai badannya, tiba2 tangan kanan
meraih, sebat sekali pergelangan tangan laki2 sebelah kanan yang pegang golok dia betot terus didorong ke kiri.
Hakikatnya tidak terlihat jelas, tahu2 golok dari orang itu sudah didorong menubruk ke sebelah kiri, goloknya terayun kencang
melintang, "trang", dengan tepat dia tangkis bacokan golok temannya yang menyerang dari sebelah kiri. Keduanya sama
tergetar sakit tangannya oleh benturan keras ini, hampir saja golok tak kuasa dipegang lagi, serempak mereka tertolak mundur dua
langkah. Hanya segebrak saja keduanya sudah kecundang, sudah
tentu mereka tidak terima, sembari menghardik kembali mereka
putar golok menyerbu pula.
"Manusia yang tidak tahu diri," jengek laki2 jubah biru. Tiba2
badannya berputar, kaki kanan terayun menyapu kencang. Gerak
sapuan kaki secepat kilat, belum lagi kedua laki2 berkedok itu
menubruk tiba, dua2nya sudah tersapu jungkir-balik dan mencelat dua tombakjauhnya.
Celakalah mereka menggelinding ke lereng gunung, meski tidak
sampai terluka parah, tapi tulang seluruh tubuh serasa retak,
setengah harian mereka menjerit kesakitan tak mampu bergerak.
Kaget dan gusar pemimpin begal, sambil ang-kat tinggi golok
bajanya dia membentak: "Semua maju, cacah hancur tubuh
keparat ini!" -Lima orang berkedok serentak merubung maju, sinar golok kemilau segera menyambar.
Pemuda baju sutera dan kacungnya kini sudah berdiri, malah
mereka tidak menampilkan rasa takut lagi. Kini kedua orang ini
dapat menonton, kelima orang berkedok bagai lima ekor harimau
kelaparan ingin menerkam mangsanya, mereka menubruk sambil
ayungolok membacok dan membabatserabutandarisegalaarah.
Tapi laki2 jubah biru itu tetap tenang2, di antara gerakan kedua tangannya, dengan telak tangan kanannya dapat menepuk pundak
kiri laki2 berkedok pemimpin begal itu, orang itu mengerang
tertahan dan terpental, "bruk", dengan keras terbanting dua tombak jauhnya. Sekali tangan kiri meraih pula laki2 jubah biru tangkap pergelangan tangan seorang lagi, golok yang masih
terpegang di tangan orang itu dia angkat untuk mengetuk golok
orang ketiga yang menyerang tiba. "Trang", golok orang ketiga kontan mencelat, berbareng dia lepaskan pegangannya sehingga
laki2 yang dia pegang itu roboh tersungkur mencium tanah.
Sekaligus tiga musuh telah dia bereskan, begitu sikut kanan
bekerja, dia sodok pula orang ke empat tepat di bawah ketiaknya.
Orang inipun mengerang kesakitan, dengan mundur sempoyongan
dia mendekap perutnya sambil menungging. Kembali lengan baju
si jubah biru mengebut, dengan telak ujung lengan bajunya
menggubat golok orang kelima. Kali ini kepandaian yang dia
unjukkan lebih menakjubkan lagi, betapa keras dan tajam golok
baja itu, tapi entah mengapa, hanya sekali kebas golok lawan
sudah tergulung. " Bruk", tahu2 golok besar itu berubah selarik sinar kemilau terbang tinggi meluncur ke dalam hutan dan lenyap tak keruan paran, pemilik golok sendiri sampai berdarah
tangannya, cepat dia melompat mundur sambil mendekap tangan
sendiri. Kejadian ini terlalu panjang diceritakan, padahal hanya
berlangsung dalam sekejap saja. Bagi pandangan si pemuda baju
sutera dan kacungnya, begal2 yang garang itu tahu2 lantas kalang-kabut dihajar oleh penolongnya.
Laki2 jubah biru tidak bertindak lebih jauh, dengan berdiri
menggendong tangan dia tertawa lantang: "Jago Kok-pak-gau apa segala, kiranya hanya begini saja, malam ini hanya sedikit kuberi peringatan, kalau berani melakukan pembegalan dan mencabut
jiwa orang, awas bila kebentur di tangan-ku lagi pasti tidak kuberi ampun."
Lekas pemimpin begal merangkak bangun, setelah menjemput
goloknya, tanpa bicara dia memberi tanda kepada keenam
saudaranya terus ngacir. Melihat kawanan begal sudah pergi, bergegas kacung itu
membenahi barang mereka yang tercecer di jalan. Pemuda baju
suterapun menghela napas lega, dia menghampiri serta menjura
kepada laki2 jubah biru, katanya: "Syukur tuan telah menolong kami berdua, budi pertolongan jiwa ini takkan kulupakan
selamanya, harap terimalah pujihormatku."
Lekas laki2 jubah biru balas menjura, katanya: "Berat kata2
Kongcu, kawanan begal ini berani beroperasi di daerah dekat
kotaraja, mereka patut dihajar adat, apalagi kebentur di tanganku, sebagai kaum persilatan wajib kubantu yang lemah dan menindas
yang lalim. Selanjutnya kuyakin mereka pasti takkan berani
bertingkah pula ditempat ini, silakan Kongcu melanjutkan
perjalanan, Cayhe juga ingin lekas sampai ke tempat tujuan,
mohon pamit," Habis berkata dia menjura terus putar badan dan melangkah
pergi. "Tunggu sebentar saudara," seru pemuda baju sutera.
Laki2 jubah biru berhenti, tanyanya menoleh: "Kongcu masih ada urusan apa?"
"Saudara seorang pendekar yang membantu kaum lemah dan
membela kebenaran. Pernah kubaca dalam hikayat para pendekar
di jaman dahulu, kukira jaman sekarang sudah tiada kaum
pendekar segala, baru hari ini bertemu dengan saudara sehingga
mataku benar2 terbuka, sungguh beruntung sekali aku ini. Kini
cuaca sudah hampir gelap, saudara jelas sudah tak keburu masuk
kota, tak jauh di depan adalah An kiang tun, umpama saudara
buru2 melanjutkan perjalanan juga harus cari penginapan, maka
menurut hemat Siaute, bagaimana kalau saudara kuundang ke
sana untuk makan minum bersama sambil mengobrol, sudikah kau
memberi muka?" Melihat orang memohon dengan tulus dan jujur, tanpa terasa dia tertawa, katanya: "Kongcu sudah bilang demikian, bagaimana pula aku berani menolaknya" Memang Cayhe akan
menginap di Ankiang-tun, kalau undangan Kongcu kutolak, rasanya kurang hormat."
Pemuda baju sutera kegirangan, serunya: "Saudara sudi
memberi muka, sungguh menyenangkan,"
ia mengawasi laki2 jubah biru, lalu berkata pula: "Kita bertemu di tengah perjalanan bukan lantaran pertolongan saudara tadi,
yang terang kita agaknya memang ada jodoh, panggilan "Kongcu"
padaku sungguh tak berani kuterima, kalau sudi biarlah kita saling membahasakan saudara saja, entah bagaimana pendapatmu?"
"Cayhe orang persilatan yang kasar, bagaimana ... ... "
"Aku yang muda Pho Kek-pui, kalau saudara sudi boleh panggil akuKekpuisaja, entahsiapanamadarishesaudarayang mulia?".
"Cayhe Lim Cu jing."
"Kiranya Lim heng, malam sudah tiba, marilah kita berangkat saja. Lim-heng."
"Boleh Pho-heng naik kuda saja," ucap Lim Cu jing.
Sudah tentu Pho Kek pui tidak mau naik kuda, katanya: "Dari sini tak jauh ke An-kiang tun, kebetulan mendapat teman
Lim-heng, biarlah kita jalan kaki saja sambil ngobrol " -Lalu dia berpaling memberi pesan kepada kacungnya: "Ceng-ji, bawalah kuda berangkatlah lebih dulu ke An-kiang-tun, mintalah Ban-an-can meluangkan dua kamar bersih untuk kami, suruh pula siapkan
beberapa macam hidangan kegemaranku, malam ini aku akan
ngobrolsemalamsuntuk dengan Lim-heng."
Sambil mengiakan kacung itu cemplak kuda terus dibedal ke
depan, Pho Kek-pui mengiringi Lim Cu-jing berjalan kaki sambil
ngobrol panjang lebar, Terasa oleh Lim Cu jing bahwa pemuda
belia ini bukan saja sikapnya ramah, tutur katanya juga lembut, terpelajar, pengetahuannya cukup luas, sehingga percakapan
mereka semakin cocok dan intim.
Tiba di An-kiang-tun, lampupun telah menyala di mana2, toko2
kecil di pinggir jalan sudah tutup pintu semuanya, hanya kelihatan beberapa sinar pelita masih menyorot keluar dari sela2 pintu
jendela, tak jauh di muka tampak sebuah lampion warna kuning
dengan sinar guram bergoyang tertiup angin malam, di sanalah
letak Ban-an-can, sebuah hotel merangkap rumah makan.
An-kiang-tun hanya sebuah tempat persinggahan kaum musafir
yang kemalaman di tengah perjalanan, tapi karena letaknya tepat di tengah antara Ko-pak-gau dan Lian-ping, banyak kaum
pedagang yang terpaksa nginap di sini, maka jalan raya yang
ramai ini menjadi pusat perbelanjaan penduduk setempat. Setelah tutup toko, penduduk suka keluyuran di luar mencari angin dan
jajan di warung2, sudah tentu di sini ada pula sarang judi dan
perempuan yang siap menghibur laki2 yang kesepian.
Ban-an-can memiliki dua macam kamar, kamar biasa dan kamar
istimewa, kamar istimewa ini biasa dikhususkan untuk kaum
perempuan bangsawan atau isteri pejabat yang kebetulan nginap
di hotel kecil ini, di seberang jalan ada pula sebuah rumah makan, meskitidakbesar, tapi menyediakan delapan meja juga.
Kamar istimewa Ban-an-can malam ini seluruhnya diborong Pho-
kongcu. Kacung cakap itu bersama seorang pelayan hotel telah
menunggu di muka pintu, melihat Pho-kongcu datang bersama,
Lim Cu-jing, lekas dia memburu maju serta menjura, katanya:
"Lapor Kongcu, hamba sudah pesan kamar dan hidanganpun
sudah siap, silakan Kongcu masuk kedalam."
Pelayan juga maju menyambut serta membungkuk: "Silakan
para Kongcu!" Pho Kek-pui berpaling, katanya: "Silakan Lim-heng."
Lim Cu-jing balas menyilakan orang, akhirnya mereka masuk
bersama keruang depan, tertampak ada beberapa meja, keadaan
rada sepi, banyak meja yang kosong, meja yang terbesar dan
terletak di tengah tampak sudah siap menghidangkan beberapa
macam masakan. Ceng-jidanpelayansama2 melayani mereka makan minum.
Pho Kek-pui silakan Lim Cu-jing minum dan makan sambil ajak
bicara: "Lim-heng, ke manakah tujuanmu?"
Lim Cu-jing hirup secangkir arak lalu menyahut: "Ke Jiat-ho."
"Untuk apa Lim-heng ke Jiat-ho?"
"Ada seorang paman Cayhe membuka Piau-kiok disana, khusus
mengantar barang keluar perbatasan, Cayhe sudah lama berkelana
di Kangouw, selama ini tidak membawa hasil apa2, maka ingin
kesana mencaripekerjaantetapsaja."
Pho Kek-pui mengerling, sorot matanya menampilkan rasa
gegetun, mulutnya sudah terbuka tapi urung bicara, tapi akhirnya toh dia berkata juga: "Dengan bekal kepandaian Lim heng yang tinggi ini hanya mau bekerja dalam sebuah Piau-kiok, apakah tidak membenamkan masa depanmu sendiri?"
Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Cayhe seorang Kangouw,
terpaksa harus mencari hidup dalam percaturan dunia persilatan, bekerja di Piaukiok hanyalah jalan satu2nya yang dapat
kutempuh?" "Walau Siaute baru pertama kali ini bertemu dengan Lim-heng, tapi rasanya kita seperti sahabat lama saja, kita sudah saling
membahasakan saudara lagi, bila Lim-heng sudi pergi ke kotaraja, Siauteakanbantu mencarikan pekerjaandisana."
Lim Cu-jing menggeleng, katanya tertawa: "Banyak terima kasih atas kebaikan Pho-heng, kota-raja adalah kota mewah, orang
Kangouwsepertidiriku inibelumtentucocokhidup dikotaramai itu.
Ceng-jiangkatpoci, dia isi penuhpulacangkir keduaorang.
Pho Kek-pui angkat cangkir dan berkata: "Budi pertolongan Limheng yang besar tak berani Siaute bilang akan membalasnya,
biarlah kuaturkan secangkir arak ini sekaligus untuk merayakan
persahabatan baru kita." -Lalu dia tenggak habis lebih dulu araknya.
Lim Cu-jing mengiringi minum, katanya: "Kita kan sudah
bersahabat, kalau Pho-heng selalu bicara soal menolong jiwa
segala, apa tidak merikuhkan kiranya?"


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pho Kek-pui tertawa, katanya: "Lim-heng benar, Siaute memang pantas dihukum "
Setelah Ceng-ji mengisi penuh cangkir mereka, kembali dia
tenggak habis secangkir, tanyanya: "Di rumah Lim-heng masih punya famili siapa?"
"Di rumah masih ada ibunda seorang saja."
Berputar bola mata Pho Kek-pui, katanya: "Berapa usia Lim-
heng, belum berkeluarga bukan?" Setelah dua cangkir masuk
perut, mukanya tampak mulai merah.
"Cayhe berusia dua puluh empat, kaum kelana Kangouw, mana
berani berumah tangga?"
Tiba2 Pho Kek-pui tertawa pula, katanya: "Lim-heng lebih tua empat tahun dari aku, pantasnya aku panggil Toako padamu."
-Sebelum Lim Cu jing bicara dia menyambung lagi: "Lim-heng begini gagah dan serba pintar, ada sepatah kata ingin kuutarakan, entah boleh tidak?"
"Pho-heng boleh bicara saja."
"Siaute punya seorang adik perempuan, tahun ini berusia
sembilan belas, Siaute tidak berani mengagulkan dia, tapi dapat dikatakan serba pandai dan cukup sempurna, kalau Lim-heng sudi
Siaute suka membantumu . . . . "
Lekas Lim Cu-jing menggoyang tangan, katanya: "Pho heng
suka berkelakar, Cayhe seorang gelandangan Kangouw., sekali2
tak beranipikirkansoal nikahsegala."
"Kenapa Lim-heng merendahkan derajat sendiri, seorang
pahlawan tidak dinilai keturunannya, Siaute sudah bilang Lim-heng pasti bukan orang sembarangan, kalau adikku bisa memperoleh
suamisegagahkau justerudiayanguntung."
"Pho-heng terlalu memuji, soal ini jangan dibicarakan lagi, Cayhe ...."
Kebetulan pelayan mengantarkan hidangan pula, Pho Kek-pui
mengawasinya dengan tertawa, tapi dia tidak berbicara lebih
lanjut. Lekas sekali hidangan susul menyusul disuguhkan pula
sampai memenuhi meja. Meski bukan masakan pilihan, tapi di
tempat sekecil ini dapat menghidangkan masakan ini, boleh
dikatakan lumayanlah. Menghadani hidangan yang memenuhi meja di depannya, Lim
Cu jing menjadi rikuh, katanya: "Buat apa Pho-heng memesan masakan sebanyak ini?"
"Siaute dapat berkenalan dengan Lim-heng, sungguh beruntung sekali, maka Siaute perlu merayakannya, malah Siaute kuatir
hidanganinitidak memenuhiseleraLimheng."
Haru Lim Cu jing dibuatnya, katanya: "Pho-heng terlalu baik padaku."
Pho Kek-pui sudah mulai terpengaruh oleh arak yang
ditenggaknya, mukanya tampak merah, matanya mengerling,
tanyanya: "Orang jaman dulu sering menggunakan arak untuk
mengikat persaudaraan, sejak kini Siaute pandang Lim-heng
sebagai saha-bat karibku, apakah Lim-heng sudi pandang Siaute
sebagai teman sehaluan pula?"
"Pho-heng sudi pandang Cayhe sebagai orang sendiri, sudah
tentu kuterima maksud baikmu ini."
Pho Kek-pui berseru girang: "Apakah kau bicara setulus hati?"
"Persahabatan yang sejati harus terukir di dalam hati, sudah tentu Cayhe bicara sejujurnya."
"Bagus, Lim-heng, hayo habiskan secangkir lagi, malam ini
Siaute benar2 sangat gembira."
Begitulah mereka makan minum sampai Pho Kek-pui hampir
mabuk, menyadari keadaannya yang sudah tak tahan lagi, Pho
Kekpui berkata: "Lim-heng masih kuat minum, tapi Siaute tak tahan lagi, sungguh sayang. Mohon maaf, biarlah Siaute masuk
kamar istirahat saja."
"Betul, silakan Pho-heng istirahat saja," ucap LimCu jing.
Ceng-ji dan dua pelayan segera melayani Pho Kek-pui masuk ke
kamarnya. " Kenapa kau tidak menungguku?"
"Nona mau ke mana"
"Kau menyamar lagi bukankah ka hendak menemuka pengejaranmu?" , u n "Betul, kenapa?"
"Aku ikut, boleh tidak?"
K n gi te teg n sah tn a menggeleng "Jangan
non cant Malamitutiadaterjadi apa2, esokpagi waktu LimCu-jingbangun
tidur dan membuka pintu, seorang pelayan sudah berdiri di depan pintu dan mengangsurkan sepucuk surat, katanya: "Lim-ya sudah
"Pho-kongcu ada urusan penting, sebelum fajar telah berangkat lebih dulu," jawab pelayan.
Lim Cu-jing heran, tapi dia manggut2. Pelayan segera berlalu,
tak lama kemudian datang pula membawa sebaskom air untuk cuci
muka. Lim Cu-jing membuka sampul surat, dia keluarkan secarik kertas
yang ditulis dengan huruf yang bergaya indah dan rapi, bunyi surat itu demikian:
Diaturkan kepada saudara. Cu jing yang mulia,
Persahabatan di rantau sungguh merupakan pengalaman yang
menyenangkan selama hidup Siaute. Karena ada urusan penting,
pagi2 Siaute sudah berangkat lebih dulu, kuatir mengganggu tidur Lim heng, terpaksa kutinggalkan sepucuk surat ini, dalam
perjalanan ke Jiat-ho, bila Lim-heng gagal mendapatkan pekerjaan, di sini terlampir sepucuk surat untuk seorang pembesar kenalanku.
boleh saudara ke sana dan mencobanya, kuda seekor kutinggalkan
supaya Lim-heng gunakan, demikian pula lima puluh tahil emas ini untuk sangu di perjalanan, untuk ini sudi kiranya Lim-heng
menerimanya. Hanyasekiansajayangdapatkuutarakan
melaluisuratini, Salam hangat dari adikmu,
Pho Kek-pui. Habis membaca surat ini, diam2 Lim Cu-jing membatin: "Dia
punya hubungan baik dengan penguasa di Jiat ho, memangnya dia
bangsa Ki-jin?" Waktu dia merogoh ke dalam sampul, di dalam memang ada
lempitan sampul surat yang lain dan bertuliskan: "Disampaikan kepada Hu-tok-jong pribadi."-Nadanya tidak begitu sungkan.
Waktu sampul itu dia balik ternyata tidak direkat, keruan Lim
Cu-jing semakin heran, maka dia keluarkan surat di dalamnya dan dibaca, tulisannya hanya sebaris yang berbunyi: "Dengan ini kuperkenalkan sahabatku Lim Cu-jing, harap dilayani semestinya, kebaikan yang diterimanya akan kurasakan juga." -Di bawah
tulisan ada sebuah cap bergaris melingkar, waktu ditegasi kiranya dua huruf Boan.
Nada surat yang satu ini bila dibanding dengan isi surat yang
ditujukan dirinya sungguh sangat jauh bedanya, kalau surat untuk dirinya menyatakan penyesalannya harus berpisah dan betapa
tebal rasa persahabatannya, tapi surat yang kedua ini bernada
memerintahdariseorang atasankepadabawahannya.
Pho Kek-pui, memangnya siapa dia"
Segera Cu-jing lempit pula surat itu dan dimasukkan ke dalam
sampul terus disimpan dalam kantong, setelah bebenah lalu dia
keluar. Rekening hotel jelas sudah dibayar oleh Pho Kek-pui, di luar pelayan sudah menuntun seekor kuda dan menunggunya. Di
depan pelana kuda terikat sebuah buntalan warna ungu, bobotnya
agak berat, kiranva berisi uang mas. Meski keberatan terpaksa
Cu-jing terima juga barang tinggalan ini, sekenanya dia rogoh saku memberi sekeping uang perak kepada pelayan, kuda terus dibedal
melanjutkan perjalanan. ooo(00dw00)ooo Kota Seng-tek terletak di barat propinsi Jiat-ho, sebuah kota
pegunungan yang permai. Tahun ke-42 kaisar Khong-hi bertahta, dia mendirikan Pi-siok-
san-ceng di sini, akhirnya dinamakan villa raja di Jiat-ho,
bangunannya megah dan angker, letaknya di atas puncak yang
menghadap danau dan membelakangi pegunungan yang indah
permai. Meski kota pegunungan, tapi Seng-tek merupakan pusat
pemerintahan di daerah ini. Terutama kaisar Khong-hi sering
liburan di sini, tamasya dan berburu binatang. Kehidupan dalam
kota cukup makmur ramai, meski kurang sepadan dibanding
kotaraja, tapi tak kalah ramai dan makmurnya dari pada ibu kota propinsi lain.
Kota ini merupakan pusat berkumpulnya suku bangsa Han,
Mancu, Mongol, Tibet dan Uigur, orang2 yang berlalu lalang di
jalan raya sama mengenakan pakaian adat suku bangsa masing2,
meski berbeda bahasa dan tata cara, tapi mereka dapat bergaul
dan bersahabat dengan rukun, masing2 berusaha menurut
lapangan kerja sendiri, tak pernah terjadi pertikaian.
Jadi kota gunung ini seperti sebuah perkampungan besar dari
lima suku bangsa yang campur aduk, keadaan yang luar biasa ini
takkan terdapat di kota2 lain. Jalan raya yang menjurus ke arah timur terhitung tempat yang paling ramai di seluruh kota,
pedagang, restoran, berbagai macam toko serba ada di sini.
Maklumlah Sengtek merupakan kota terbesar di daerah
Ko-pak-gau, kaum pedagang dari segala penjuru sama berpusat di
sini, kalau bukan berbelanja juga mesti menginap dan bertamasya di kota pegunungan yang sejuk dan nyaman ini, sudah tentu
keadaan dalam kota semakin ramai.
Di jalan raya timur yang agak menjurus ke ujung sana terdapat
sebuah gang kecil yang melintang bernama Tam-hoa-pui, agar
mengikuti perubahan jaman, gang kecil ini sekarang dinamakan
Khek-can oh-hui, karena di gang kecil ini banyak terdapat hotel atau losmen. Di sini ada sembilan hotel besar kecil, yang terbesar adalah Tang sun-can, pintu luarnya saja begitu luas sampai
menggunakan tujuh sayap pintu masuk, di dalamnya beberapa
lapis pekarangan dan bangunan, bukan saja kamar2 di sini cukup
baik, pelayanan pun istimewa, Tang-sun-ting yang terletak
dibilangan paling depan merupakan bangunan yang mewah untuk
tempat makan minum. tamu2 yang tidak menginap juga boleh
makan di sini sesukanya. Kalau jalan raya timur ini paling ramai di seluruh kota, maka gang kecil dengan restoran Tang sun ting dari Tang-sun-can ini adalah paling menonjol di bilangan jalan raya
timur ini. Padahal dalam satu gang kecil itu ada sembilan hotel yang sama
membuka restoran pula, konon setelah Tang-sun-ting penuh sesak
dan tak kuasa melayani arus tamunya baru tamu2 yang datang
belakangan mau masuk ke restoran yang lain, tapi restoran yang
lain setiap hari juga selalu penuh sesak. Usaha dalam satu bidang adalah jamak kalau bersaing, saling sirik dan dengki, tapi cukong atau pemilik Tang-sun-can ini kabarnya mempunyai asal-usul yang tidak sembarangan, bukan saja di seluruh wilayah Jiat-ho dia
cukup terpandang, di kalangan pemerintahan juga dia cukup
dihargai, hubungan cukup intim dengan para pejabat yang
berkuasa dari kelas rendah sampai tingkat tinggi, kabarnya majikan Tang sun can memang punya tulang punggung yang kuat di
kotaraja. Seorang tokoh yang kaya raya, yang punya tulang punggung
para pejabat lagi adalah jamak kalau tersohor dan dikenal baik
oleh khalayak ramai di Jiat-ho, kenyataan justeru tidak demikian.
Anehnya, sampaipun pegawai Tang-sun-can sendiri, kecuali tahu
majikan mereka dipanggil Kan loya, segala sesuatu prihal
majikannya tiada seorangpun yang tahu. Kan-loya se-olah2 tokoh
misterius, orang yang cuma berada di belakang tabir, maka tiada seorangpun yang tahu dan pernah melihat mukanya.
Oleh karena itu timbul rekaan orang bahwa pemilik Tang
sun-can adalah salah seorang pembesar di kotaraja yang menanam
modalnya di sini, sementara Kan-loya tidak lebih hanyalah salah seorang budak yang dipercaya saja untuk mengurusi
perusahaannya. Sudah tentu ini hanya rekaan saja, siapapun tiada yang bisa membuktikannya.
Pada siang hari itu, di depan pintu Tang-sun-can datang
seorang laki2 bermuka merah, usianya paling2 baru empat likuran, mengenakan jubah biru yang sudah luntur warnanya, tapi kuda
yang ditungganginya ternyata seekor kuda pilihan yang gagah
kekar. Sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia kaum
persilatan. Pelayan yang bertugas di luar pintu segera menerima tali
kendali, sementara seorang pelayan lagi maju menyambut sambil
menjura: "Tuan mau menginap atau mau makan siang sekedar
melepas lelah?" "Mau menginap," sabut laki2 muka merah.
"Tuan silakan!" pelayan munduk2 sambil menyilakan tamunya masukke dalam.
Laki2 muka merah segera melangkah masuk ke dalam, pelayan
berkata pula: "Tuan mau kamar istimewa atau kamar biasa?"
"Kamar istimewa," sahut laki2 muka merah singkat.
Mendengar orang mau menginap di kamar istimewa, semakin
lebar tawa pelayan, berulang dia mengiakan, katanya: "Tuan tamu she apa dan datang dari mana."
Laki2 muka merah kurang senang, katanya: "Apa2an, nginap di hotel juga harus laporan segala?"
"Harap tuan tidak salah paham," lekas pelayan menjelaskan,
"soalnya pihak berwenang di sini semalam mengeluarkan
maklumat, barang siapa menginap dihotel harus didaftar, nama
dan asal usul serta alamat asalnya, memang demikianlah
ketentuan setiap tahun bila tiba musimnya orang berburu, bagi
tuan2 tamu lama pasti sudah paham, mungkin tuan baru sekali ini datang ke Jiat ho?"
"O," laki2 muka merah mengangguk maklum. "Baiklah, aku Lim Cu-jing, datang dari Kanglam. Sudah cukup?"
"Tuan memang suka berterus terang, soalnya daftar harus
dilaporkan, harap tuan tidak kecil hati. Mari kutunjukkan
kamarnya." pelayan segera bawa Lim Cu jing memasuki sebuah kamar kamar istimewa dari Tang-sun-can memang betul2
istimewa, bukan saja kamarnya besar luas, jendelanya juga
berkaca dan pintu angin serba ukiran, perabotnya mewah dan
antik, kain seprei dan bantal guling semuanya baru.
"Bagaimanadengan kamar inituan?" tanyapelayan.
Lim Cu jing manggut, pelan2 dia melangkah masuk. Pelayan
segera menuang secangkir teh dan disuguhkan, katanya: "Tuan masih ada pesan apa?"
"Sudah tiada," sahut Lim Cu-jing. Pelayan segera mengundurkan diri sambil menutup pintu dari luar.
Lim Cu-jing merebahkan diri di ranjang sesaat lamanya,
kemudian membuka pintu dan keluar menuju ke Tan-sun-ting.
setelah makan siang baru dia tanya kasir di mana letak jalan
"Rejeki", sudah itu lalu dia berlenggang ke jalan raya.
Letak jalan Rejeki sudah mendekati pintu gerbang kota selatan,
di sini keadaan agak sepi dan tenang, kecuali ada sebuah toko
buku daritoko kelontong, tiadaorang lain lagiyangberjualan.
Sebetulnya Lim Cu-jing sudah jauh2 hari mencari tahu keadaan
di sini, sudah tentu keadaan ini tidak membuatnya heran, sengaja dia mondar-mandir beberapa kali di jalan raya situ baru pelan2
memasuki toko buku, langsung dia menjura kepada seorang tua
yang duduk di kursi serta menyapa dengan tawa: "Selamat siang Lotiang."
Laki2 tua itu sedang berangin2 sambil mengisap pipa
cangklongnya, melihat Lim Cu jing memasuki tokonya segera dia
menyambut sambit tertawa lebar: "Siangkong mau membeli buku apa?"
"Cayhe bukan mencari buku, mohon tanya kepada Lotiang, di
jalan Rejeki ini ada sebuah Tin-wan Piaukiok, entah ke mana
sekarang pindahnya?"
Laki2 tua memandang Lim Cu-jing sekilas lagi, katanya:
"Agaknya tuan baru pertama kali datang ke Jiat-ho sini" Tin-wan Piaukiok sudah lama tutup pintu."
Lim Cu-jing pura2 melengak kaget, katanya menegas: "Tin-wan Piaukioksudah tutuppintu?"
"Kira2 dua bulan yang lalu, Lo-piauthau Lim Tiang-khing
meninggal dunia, maka perusahaan itu-pun menghentikan
usahanya." Hou-pian-liong jiau ( cambuk harimau cakar naga) Lim Tiang-
khing terhitung jago silat kenamaan di lima propinsi utara, Lionghou-ki ( panji naga harimau ) dari Tin-wan Piaukiok sudah jauh
menjelajah keluar perbatasan selama tiga puluhan tahun dan
belum pernah mengalami musibah apapun.
Lim Cu-jing mengunjuk rasa kecewa, katanya sambil menjura:
"Kalau begitu banyak terima kasih atas keterangan Lotiang,"
segera dia mengundurkan diri.
Beruntun dua hari Lim Cu-jing tinggal di hotel, karena iseng,
maka dia sering keluyurandijalanraya.
Hati ketiga tengah hari, waktu dia pulang ke hotel, baru saja dia melangkah masuk, pelayan lantas berlari menghampiri, katanya:
"Lim-ya, pagi tadi datang seorang Jin-ya mencarimu, hamba bilang engkau sedang pergi, maka Jin-ya itu bilang siang ini akan datang lagi."
Lim Cu jing heran, di Jiat ho boleh dikatakan dia tidak punya
seorang kenalan siapapun, maka dia bertanya: "Apa dia tidak memperkenalkan namanya?"
"Tidak, Jin-ya itu cuma bilang teman baikmu."
Lim Cu-jing berpikir katanya. "Aneh, Cayhe selamanya tidak punya teman she Jin."
"Mungkin engkau lupa, untung dia tadi bilang mau datang lagi siang ini."
Lim Cu jing mengiakan dan kembali ke kamarnya. Pelayan
segera mengaturkan minuman. Lim Cu-jing tidak tahu siapa orang
she Jin itu" Untuk keperluan apa pula mencari dirinya" Sehabis
minum baru saja dia duduk di kursi di dekat jendela, didengarnya orang mengetuk pintu, pelan2 daun pintu terpentang, kepala
pelayan tadi tampak menongol, katanya dengan tertawa: "Lim-ya, tuan Jin itu sudah datang mencarimu lagi."
Waktu Lim Cu jing berdiri, pelayan sedang berkata pula di luar
pintu: "Silakan Jin-ya!"
Maka tertampaklah seorang laki2 berusia sekitar lima puluhan
mengenakan jubah sutera panjang warna biru tua melangkah
masukdengan pelahan. Lim Cu-jing yakin dirinya tidak pernah kenal laki2 ini, tapi karena orang sudah masuk terpaksa dia menyambut kedatangannya.
Sebelum Lim Cu-jing buka suara laki2 itu sudah tertawa sambil
menjura, katanya:"Tuan initentunyaLim-tayhiap?"
"Cayhe memang betulLim Cu jing."
"Aku yang rendah Jin Ji-kui, pagi tadi aku sudah kecelik.


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

majikan kami sudah tak sabar lagi, baru saja habis makan siang
kami didesak pula datang kemari, syukurlah bisa ketemu dengan
Limtayhiap. Haha, berhadapan muka lebih jelas dari pada
mendengar namanya, sungguh menyenangkan dapat berkenalan
dengan Limtayhiap." Melihat sikap orang yang ramah dan berseri, kata2nya
mengumpak lagi, diam2 Cu-jing merasa bingung, lekas dia balas
menjura dan berkata., "Jin-lotiang terlalu memuji, pagi tadi Cayhe ada urusan dan keluar hingga tuan kecelik, untuk ini Cayhe mohon maaf, marisilakan Jin-lotiang duduk."
Mereka lalu duduk berhadapan di dekat jendela. Lim Cu-jing
menuang secangkir teh, katanya: "Jin-lotiang silakan minum."
Jin Ji kui menerima dengan kedua tangan, tawanya semakin
lebar, katanya: "Terima kasih."
"Kedatangan Jin-lotiang entah ada petunjuk apa?" tanya Lim Cu jing kemudian.
"Cayhe pengurus surat2 di balai kota, atas perintah majikan sengaja kemari menyampaikan salam kepada Lim-tayhiap," kiranya dia adalah sekretaris walikota di sini.
Tampak serius muka Lim Cu-jing, katanya: "Kiranya Jin-lotiang adalah sekretaris walikota yang berkuasa, mohon maaf akan
kelancangan cayhe ini."
"Ah, kenapa Lim-tayhiap bilang demikian, semalam majikan
menerima surat dari istana, baru kami tahu bahwa Lim-tayhiap
telah berada di Jiat-ho, maka tadi pagi Cayhe lantas diutus
ke-mari, Jiatho memang daerah kecil, tapi Lim-tay-hiap adalah
tamu terhormat dari majikan kami, apa-puntidakpantas kalau
menginap di hotel." Diam2 Lim Cu-jing, sudah maklum apa yang dinamakan surat
kiriman dari istana pasti kiriman Pho Kek-pui. Maka dia balas
menjura. katanya: "Berat kata2 Jin-lotiang, kedatangan Cayhe ke Jiat-ho ini, tujuan semula adalah cari pekerjaan pada seorang
paman. Ini urusan pribadi yang sepele, mana berani kubikin repot pada majikanmu?"
"Surat dari istana sudah menjelaskan bahwa Lim-tayhiap punya seorang paman yang membuka Piaukiok di Jiat-ho, Lim-tayhiap
diundang untuk membantu usahanya. maka Lim tayhiap tidak mau
bekerja di kotaraja. Tapi dengan bekal kepandaian Lim-tayhiap
kalau sampai terbenam di kalangan Kangouw kan terlalu sayang,
dalam surat majikan kami ada pesan betapapun diharus kau
memanfaatkan kehadiran Lim-tayhiap serta bakatmu yang tinggi,
waktu Cayhe datang tadi, majikan sudah siap menunggu
kedatanganmu, harap sudi kiranya Lim-tayhiap datang dan bicara
langsung dengan beliau, bagaimana kalau sekarang juga Lim-
tayhiap berangkat?" Lim Cu jing ragu2 katanya: "Cayhe adalah rakyat kecil . . . . "
Sebelum Cu jing habis bicara, Jin Ji kui telah menukas: "Kenapa Lim-tayhiap begini sungkan dan merendah diri, majikan kami
adalah anak buah setia yang ditugaskan di sini oleh istana, adalah tugas kami untuk mengundang Lim-tayhiap ke sana, toh kita sudah terhitung satu keluarga. kalau terlalu banyak bicara akan
merenggangkan hubungan malah." -Sampai di sini dia mendahului berdiri. "Lim-tayhiap, marilah berangkat sekarang, jangan
membuat majikan menunggu terlalu lama,"
Karena didesak, terpaksa Lim Cu jing ikut berbangkit, katanya:
"Jin-lotiang sudah bicara sejelas ini, baiklah Cayhe menurut saja."
Jin Ji-kui tergelak2, katanya: "Lim-tayhiap kembali sungkan lagi.
Haha, terus terang, entah mengapa, walau baru pertama kali ini
kita bertemu, baru bicara beberapa patah kata saja, namun Cayhe merasa Lim-tayhiap sebagai teman lama layaknya, agaknya kita
memang berjodoh." "Malah Jin lotiang, yang terlalu mengagulkan Cayhe selanjutnya harap Lotiang suka membantu"
Tidak kepalang senang hati Jin Ji-kui karena diumpak, katanya
dengan tertawa: "Kita sekali bertemu seperti kenalan lama.
selanjutnya memang harus saling bantu." -Tiba2 dia berseru tertahan seperti ingat sesuatu, katanya: "Eh, panggilan Lim-tayhiap tak berani kuterima, usiaku memang lebih tua beberapa tahun,
kalau sudi boleh kau membahasakan saudara tua padaku,
selanjutnya akan kupanggil kau Lote, bagaimana pendapat Lim-
tayhiap?" "Loko sudi mengalah, baiklah Siaute menurut saja " sahut Cu jing.
Jin Ji-kui semakin girang, dia pegang kencang tangan Lim Cu-
jing, katanya: "Baiklah, selanjutnya aku menjadi saudara tua,"
-Sembari bicara mereka lantasberanjakkeluar.
Tiba di luar tampak seorang perajurit menunggu di luar pintu
sambil menuntun kuda. Sementara kacung kuda tadi juga sudah
mengeluarkan kuda tunggangan Lim Cu-jing. Serdadu itu bantu Jin Ji-kui naik ke punggung kuda, setelah Lim Cu-jing juga cemplak ke atas kudanya, kata Jin Ji-kui: "Lim-lote, biar Lokoko menunjukkan jalan bagimu." -Lalu dia mengulap tangan. Serdadu itu segera menarik tali kendali dan jalan di depan, Lim Cu jing jalankan
kudanya pelan2 mengikuti di belakang. Tidak lama mereka sudah
tiba di balai kota. Tampak di depan pintu gerbang yang megah itu berdiri sebuah
tiang bendera besar dan tinggi, bendera kebesaran walikota
berkibar2 ditiup angin. Di undakan pendopo berjajar enam serdadu yang berdinas jaga, semuanya menyoreng golok dipinggang.
kelihatan garang dan gagah.
Setelah turun dari kuda, Jin Ji-kui mengajak tamunya masuk
lewat pintu sebelah kanan. Tiba di dalam, mereka berada di
sebuah serambi panjang yang menembus ke pintu kedua, di depan
pintu berdiri dua serdadu, waktu Jin Ji-kui datang serentak mereka berdiri tegak memberi hormat.
Jin Ji-kui tidak hiraukan mereka, dia terus jalan ke dalam
membawa Lim Cu-jing memasuki sebuah serambi yang berpagar
kayu warna merah, di luar pagar adalah taman bunga, di bawah
emper ada beberapa sangkar yang berisi berbagai macam jenis
burung yang sedang berkicau, suasana di sini terasa tenteram dan sejuk, harum bunga dan kicau burung terasa mengasyikkan.
Sembari jalan Jin Ji-kui berkata lirih: "To Swe mungkin sudah menunggu di kamar buku, biar langsung kubawa engkau ke sana
saja." "Loko, sampai detik ini Cayhe masih belum tahu siapa she dan nama To swe?"
"To swe (walikota) she Pho, satu marga dengan yang kuasa di istana, namanya Bin thay."
"To-swe sedang memeriksa surat dan menyelesaikan urusan
dinas di kamar buku. disanalah letak kantornya pula yang penting, cuma kau boleh tak usah menggunakan adat pemerintahan,
biasanya jarang dia terima tamu dikantornya itu, soalnya beliau pandang Lote bukan orang luar lagi."
"Ya, berkatkebijaksanaanTo-swe,"ucap LimCu-jing.
Kebetulan mereka sudah tiba di depan kamar buku, tampak di
depan taman bunga ada sebaris rumah2 mungil yang dipajang
serba antik dan indah, kerai bambu menjuntai turun, suasana di
sini sunyi senyap. Di sini terdapat empat pintu panjang, tembok memanjang mengelilingi bangunan dan taman, pada setiap pintu
berjaga dua orang serdadu.
Jin Ji-kui langsung mendekati pintu, ia bersuara lirih: "lote tunggu dulu sebentar, biar Lokoko masuk memberi laporan."
Setelah itu dia meluruskan kedua tangan, dia membasahi
kerongkongan lalu menjura ke arah dalam sambil berseru: "Hamba JinJi-kui mengiringi LimCu-jingsiap menghadap To-swe."
Baru habis dia bicara, tampak seorang pengawal baju hijau
menyingkap kerai muncul diambang pintu, sekilas dia lirik kedua orang lalu berkata: "Tayjin mempersilakan!"
Cepat Jin Ji-kui angkat sebelah tangannya "Silakan
Lim-lote!" "Cayhe baru datang, silakan Lokoko dulu," ucap Lim
Cu-jing. Jin Ji-kui terpaksa melangkah masuk dulu, kiranya itulah sebuah ruang tamu yang cukup besar dan luas. di sini terasa nyaman,
pajangan serba serasi, di bagian dalam ada sebuah pintu
rembulan, melewati pintu bundar ini baru tiba di kamar, buku.
Kebetulan dari balik pintu rembulan ini beranjak keluar seorang laki2 bermuka putih bersih, alisnya gombyok, matanya besar
tajam. Orang ini terang adalah walikota she Pho adanya. Dengan
pakaian preman yang sederhana, sikapnya kelihatan angker dan
berwibawa menandakan bahwa dia seorang yang disegani.
Bergegas Jin Ji-kui membungkuk sembilan puluh derajat, katanya
sambil mengunjuk Lim Cu-jing: "Lapor Tayjin, tuan inilah Lim Cujing adanya."
Lim Cu-jing ikut menjura, katanya: "Rakyat kecil Lim Cu jing menyampaikan hormat kepada To-swe Tayjin."
Pho-tujong ( walikota she Pho yang sekaligus memegang
kekuasaan militer ) menatap Lim Cu-jing sekian lamanya, mukanya yang putih menampilkan secercah senyum, katanya sambil
mengangguk: "Lim-congsu tak usah banyak adat, silakan duduk."
-Lalu dia menghampiri kursi besar berlapis beludru dan duduk
disana. Lim Cu-jing menjura pula tanpa bergerak, katanya: "Di hadapan Tayjin,rakyatkecil macamkuinimanaberani........"
sebelum dia habis bicara Pho-tujong telah menyela :
"Lim-congsu jangan sungkan, di sini kamar bukuku, biasanya Lohu tidak suka peradatan, silakan duduk saja."
"Memang," timbrung Jin Ji-kui bermuka2, "To-swe Tayjin paling sukabebas, Lim-congsubolehduduksajauntukbicara."
Setelah menyatakan terima kasih, terpaksa Lim Cu-jing duduk di
kursisamping Pho-tu-jong.
"Ji-kui," ucap Pho-tu-jong, "kaupun duduklah."
Jin Ji-kui mengiakan dengan munduk2, lalu duduk di kursi
sebelah Lim Cu-jing. Pengawal tadi segera menyuguhkan dua cangkir minuman terus
mengundurkan diri. Pho-tujong mengelus jenggot, katanya dengan tertawa:
"Semalam Lohu menerima surat dari istana, baru kuketahui bahwa Lim-congsu telah tiba di Jiat-ho, menurut Thio-po yang mengantar surat, kedatangan Lim-congsu ke Jiat-ho ini berniat mencari kerja di sebuah Piaukiok milik pamanmu" Piaukiok manakah milik
pamanmu itu?" "To-swe harap maklum, paman membuka Tin-wan Piaukiok di
Jiat-ho ini." "O, maksudmu Hou-pian-liong-jiau Lim Tiang-khing." ucap Pho-tu-jong, lalu berpaling ke arah Jin Ji kui: "Kalau tidak salah Lim piauthau juga pernah bekerja untuk urusan dinas kita."
Jin Ji-kui berdiri dan menjura, katanya: "Ya, Tin-wan Piaukiok pernah dua kali mengawal upeti, malah Lim-piauthau sendiri yang membawanyake-maridari Ki lin."
"Em," Pho-tu-jong bersuara puas, lalu berpaling pula, katanya kepada Lim Cu jing: "Masih ada sedikit kesan Lohu atas Lim-piauthau, apakah dia ke-luarga semarga dengan Congsu?""
"Bukan, hanya kebetulan saja beliau sahabat karib ayahku
almarhum," sahut Lim Cu-jing.
"Jadikau bermaksud kerjadiperusahaanpengawalan itu?"
"Bulan lima tahun ini beliau pernah tulis surat padaku supaya aku datang ke Jiat-ho, tapi kemarin waktu aku mendatanginya di
jalan Rejeki, konon Piaukiok itu sudah tutup usaha, malah
Lim-piauthau sudah meninggal dua bulan yang lalu, keluarganya
entah pindah kemana."
Sambil mengelus jenggot kambingnya, Pho tu-jong bertanya:
"Hok-ti keke sengaja suruh Thio-po menyusul kemari, kepada Lohu dia perkenalkan Lim-congsu karena Lim-congsu memiliki Kungfu
yang luar biasa, sayang kalau bakat sebaik ini di sia2kan, kini Tin-wan Piaukiok sudah tutup usaha, biarlah sementara
Lim-congsu bekerja dikantor Lohu saja, biar nanti kuperiksa dan kucarikan lowongan yang sepadan dengan bakat dan kemampuan
Limcongsu" Waktu mendengar Hok-ti-keke tadi sekilas Lim-Cu-jing
melengak, baru sekarang dia mengerti surat dari "istana" yang dimaksudkan kiranya dari Hok-ti-keke, hakikatnya dia sendiri tidak tahu di mana Hok-ti (istana marga Hok itu serta siapa pula
orangnya. Cuma dia tahu "keke" adalah panggilan bahasa Boan untuk seorang puteri raja.
Mungkinkah Pho Kek-pui" Betul dia she Pho, nama palsu ini
sengajapakai"Kek"yangsenadadengan"Ke",jelasyangdi maksud adalah "Keke" itu. Tanpa terasa merah muka Lim Cu-jing, sesaat dia jadibingung dantak mampubersuara.
Pho tujong memandanginya dengan tertawa, katanya pula:
"Dari Thio-po kudapat tahu bahwa Keke ada menulis surat
perkenalan supaya Congsu kemari mencariku, bila seorang gila
pangkat dan kedudukan, sebelum kuundang tentu dia sudah
mencariku, namun hal ini tidak kau lakukan, dari hal ini dapatlah kunilai bahwa Limcongsu seorang yang tak acuh terhadap pangkat
dan nama, sungguh harus dipuji."
Karena orang sudah bicara blak2an, terpaksa Lim Cu jing
keluarkan surat perkenalan yang ditulis sendiri oleh Pho Kek-pui.
Sikapnya sedikit kikuk dan risih, katanya ragu2: "Karena paman sudah meninggal dan menghentikan usahanya, semula aku berniat
pulang saja, maka surat perkenalan inipun tidak jadi kusampaikan, kepada To-swe, harap dimaklumi."
Meski dalam hati dia menduga "Keke" yang dikatakan
Pho-tujong ini adalah Pho Kek-pui, tapi sebelum hal ini terbukti dia tidak berani menyinggungPho Kek-pui dantidakberani
tanyasiapakahKekeitu"
Seterima surat itu Pho-tujong tergelak2, katanya: "Kalau tidak kutanya, surat inipun tidak akan dikeluarkan." -Sekilas dia baca isi surat itu lalu berkata kepada Jin Ji-kui dengan tertawa: "Surat yang dibawa Thio-po semalam isinya memang tegas, tapi Lohu kenal itu tulisan Hoa-suya, surat yang ini baru betul2 tulisan Keke pribadi.
waktu kecil dulu dia sering naik di punggung Lohu seperti
menunggang kuda, maka gaya tulisannya amat kukenal."
Agaknya dia bangga bahwa Keke menunggang punggungnya
seperti naik kuda, ini lebih memperjelas bahwa Pho-tujong ini dulu adalah pembantu di istana Hok itu.
Habis berkata Pho-tujong angsurkan surat itu kepada Jin Ji-kui, katanya pula: "Ji kui, coba kau ikut pikirkan, di mana baiknya menempatkan Lim-lote sesuai bakatnya" Ini tugas dari Keke, maka kau harus lebih perhatikan." -Dari Lim-congsu dia ubah panggilan Lim lote, ini lantaran dalam surat Pho Kek-pui menyebut "temanku Lim-Cu-jing", nadanya amat hormat dan mengindahkan terhadap Lim Cu jing. adalah jamak kalau diapun berubah sikap dan
bermuka2 demikelanjutan karirnya.
Dengan laku hormat Jin Ji kui terima surat itu, sebelah tangan
memelintir kumis, sesaat dia berpikir, katanya kemudian: "Hamba ada sebuah usul, entah bagaimana pendapat To-swe?"
"Coba jelaskan."
"Di kantor kita ini bukan saja tiada lowongan, umpama ada
jabatannya juga terlalu rendah, kurang sembabat dengan bakat
Lim-congcu . . . . "
"Memangnya ada jabatan yang lebih tinggi di kantor kita di wilayah hat-ho ini?" tanya Pho-tujong.
Jin Ji kui tertawa lebar, katanya: "Hanya kedudukan To-swe saja yang paling tinggi di sini, umpama komandan barisan jaga di istana paling2 juga cuma berpangkat wakil Tu jong, maka menurut
pendapat hamba, lebih baik Lim congsu di masukkan kepasukan
bayangkari pasanggerahan, Pertama di sana bukan kantor
pemerintahan yang harus selalu dinas, tapi kedudukan lebih tinggi dari pada pejabat pemerintahan biasa, namanya lebih dihormati.
Kedua, kecuali setiap tahun sekali baginda raja cuti dan berburu di sini, hari biasa tiada tugas2 penting. bukankah di sana jauh lebih baik daripada kerja di kantor kita ini" Apalagi To swe sekaligus bisa memberikan pertanggungan jawab kepada Keke"
Pho tujong manggut2, katanya: "Usulmu memang baik, kenapa
tadi tidak kupikir kesana."-Lalu dia bertanya: "Lantas jabatan apa yangadadidalampasukan bayangkari, apakautahu?"
"Dalam pasukan bayangkari pasanggerahan baginda terdiri dari tiga barisan, setiap barisan dipimpin oleh seorang komandan dan seorang wakilnya, setiap barisan terdiri dari sepuluh kelompok, setiapkelompokdipimpin seoranglagi.. .. "
"Cukup," potong Pho-tu-jong "coba kau pergi cari tahu, adakah lowongan pimpinan barisan atau wakilnya" Kalau ada suruhlah Ki
jongtay berikan lowongan itu kepada Lim-lote, katakan ini pesan dariistana Hok."
Lekas Jin Ji kui berkata: "Bukankah nanti malam Tayjin hendak menjamu Lim-congsu, menurut pendapat hamba, sekalian undang
saja Ki-jongtay kemari, secara langsung To-swe bisa bicara
padanya, kan lebih baik?" agaknya laki2 ini pan-dai melihat arah angin, dia sengaja bermuka2 kepada Lim Cu-jing demi kepentingan dirinya kelak.
"Betul," ujar Pho-tu-jong, "pergilah kau suruh orang mengundang Ki-jongtay kemari."
Jin Ji-kui mengiakan lalu keluar.
Dengan rasa tidak tenteram Lim Cu-jing berkata: "Terima kasih banyak atas kebaikan To-swe, hamba hanya mengharapkan
tempat berteduh, bila menduduki jabatan terlalu tinggi jangan2
akan menimbulkanrasasirikorang lain."
"Lote tak usah kuatir, jangankan soal ini sudah ditangani sendiri oleh Keke, umpama Lohu sendiri yang mengutus orang ke sana,
siapa yang berani tidak tunduk padanya" Soal ini pasti Lohu atur dengan baik."
"Budi kebaikan To-swetidakakan hamba lupakan selamanya."
"Tolo Keke bukan saja adalah anak angkat Seng-cin-ong, malah ia menjabat sastra di istana timur, kelak kemungkinan bisa terpilih sebagai permaisuri, dengan keke sebagai tulang punggung Lote,
memangnya apapula yang dikuatirkan" Haha Lohu dulu juga
utusan istana Hok, kini Lote terhitung orang sana pula, kita
terhitung orang sendiri, kalau Lohu tidak berusaha membantu
orang sendiri, memangnya membantu siapa?" Sekarang lebih jelas bagi Lim Cu jing bahwa istana Hok yang dimaksud ternyata adalah istana Hok-kun-ong, tak heran pengaruhnya begitu besar (
Menurut tradisi bangsa Boan, puteri Kun-ong dipanggil Tolo Keke.).
Tengah bicara Jin Ji-kui sudah kembali. katanya sambil menjura
kepada Pho-tujong: "Lapor To-swe, hamba sudah suruh. Pho An pergi mengundang Kijongtay."
Pho tujong mengangguk. Jin Ji-kui lalu berpaling kepada Lim
Cujing, katanya: "Seperti biasanya To swe Tayjin saat ini harus menyelesaikan beberapa urusan dinas, silakan Lim-congsu istirahat ala kadarnya di kamar saja, malam nanti To-swe akan mengadakan
perjamuan untukmu." Lim Cu jing berdiri dan mohon diri. Setiba di kamar Jin Ji-kui, Lim Cu-jing bertanya: "Siapakah orang yang Lokoko suruh datang kemari?"
"Dia komandan pasukan bayangkari dipesanggerahan raja, she Ki bernama Seng-jiang, asal orang Kanglam, konon Kungfunya
tinggi, sudah lama dia terjun kepasukan perang, dulu ikut
menumpas pemberontakan di Siau-kim-jwan. keberaniannya
mendapat penghargaan Hok-kun-ong, tatkala To-swe masih
memimpin barisan bayangkari dia sudah berpangkat kelas tiga, dia berjasa pula dan dinaikkan pangkatnya menjadi komandan
pasukan bayangkari, hitung2dia masih termasukbawahan To-swe."
Sambil mengobrol mereka membuang waktu di kamar Jin Ji-kui,
tak lupa Jin Ji-kui keluarkan seperangkat pakaian baru dan
diberikan kepada Lim Cu-jing. .
Menjelang petang Jin Ji-kui berdiri mengajak: "Waktu hampir tiba, marilah, supaya To-swe tidak menunggu."
Jin Ji-kui membawa Lim Cu-jing menyelusuri serambi panjang
berliku2 dan akhirnya kembali ke taman sebelah barat, di mana
terdapat sebuah ruang makan.
Baru saja mereka memasuki ruangan, seorang pelayan maju
menyambut: "Tayjin sudah menunggu, harap Jin-loya membawa
Lim-ya ke dalam." lekas Jin Ji-kui mempercepat langkah membelok ke kiri di sana
ada sebuah pintu bundar, dua pelayan perempuan baju hijau
bergaun putih segera menyingkap kerai menyilakan mereka jalan.
Lekas Lim Cu-jing melangkah masuk dan menjura, katanya:
"Maaf membuat To swe menunggu."
"Lohu juga baru tiba, silakan kalian duduk," ucap Pho-tujong..
MakaLimCujingdanJinJi kuiduduk di sebelahbawahnya.
Pho-tujong tanya kepada Jin Ji-kui: "Ji kui. kau suruh Pho An mengundang Ki jongtay, sudahkah kau terangkan untuk makan
malam di sini?" "Hamba sudah memberi pesan padanya, sekarang seharusnya
dia sudah sampai." Baru selesai dia bicara, didengarnya di luar pengawal berteriak:
"Lapor To-swe, Ki-jongtay telah tiba."
Pho-tujong berseru: "Boleh silakan masuk."
Waktu kerai tersingkap, tampak seorang laki2 tua berperawakan
sedang mengenakan pakaian dinas beranjak masuk dengan
langkah cepat2, langsung dia memberi hormat kepada Pho-tujong,
serunya: "Bawahan menyampaikan hormat kepada To swe."
Orang ini berusia lima puluhan, wajahnya bersih, cuma tulang
pipinya menonjol tinggi, sekilas pandang orang akan tahu bahwa
dia seorang cerdik yang banyak akal muslihat licik. Dia bukan lain adalah Ki Seng-jiang, yang dahulu berkuasa di Coat-seng san-ceng, tapi jabatan sebenarnya adalah wakil Tu jong di daerah Jiat ho ini, komandanbarisan bayangkaripesanggrahanraja.
Pho tujong hanya mengangguk, katanya tertawa. "Seng jiang, di kamar makan sini, segala peradatan boleh dibuang jauh, lekas
duduk." Ki Sengjiang mengiakandengan berdiritegak.
Pho tujong berpaling, katanya: "Ji kui, kau tak beritahu kalau makan malaminibersifatpribadi."
Sebelum Jin Ji kui menjawab Ki Seng-jiang sudah mendahului:


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lapor To-swe, Ji-kui sudah memberi pesan pada Pho An tentang perjamuan makan ini, tapi hamba ada tanya kepada Pho An dan
mengetahui To swe hendak menjamu utusan dari istana Hok,
hamba tidak berani kurang hormat, maka kukenakan pakaian dinas
ini." "Memangnya kau sok pintar, kau sudah kubilang bersifat
pribadi, kenapa harus bertele2 begini" Lekas buka jubah
kebesaranmu, nanti kuperkenalkan kalian."
Ki Seng jiang mengiakan, dia melepas kopiah serta membuka
jubah, seorang pengawal menyambutnya dan mengundurkan diri.
Pho tujong menunjuk Ki Seng jiang, katanya pada Lim Cu-jing:
"Lim-lote, mari Lohu perkenalkan, dia inilah komandan tertinggi dari pasukan bayangkari pesanggerahan raja, Ki-jongtay." -Lalu dia berpaling kepada Ki Seng jiang: "Lim-lote ini bernama Lim Cu-jing, utusan dari istana Hok."
Lim Cu-jing dan Jin Ji-kui sudah berdiri tatkala Ki Seng-jiang
masuk. Setelah diperkenalkan lekas Lim Cu-jing merangkap kedua
tangan, katanya:"CayheLimCu-jing, selamatbertemu Jongtay."
"Kiranya Lim-heng, syukur dapat berkenalan denganmu," Ki Seng-jiangbalas menghormatdengan basabasialakadarnya.
"Kalian boleh duduksemaunya,"kata Pho-tu-jong.
Tiga orang lantas duduk bersama. Pho tujong merogoh keluar,
dua pucuk surat dan diangsurkan kepada Ki Seng jiang, katanya:
"Seng jiang, kedua surat ini kiriman dari istana Hok, sepucuk lagi adalah tulisan Keke pribadi, boleh kau baca."
Ki Seng jiang terima dan baca surat2 itu dengan hormat, lalu
dilempit pula serta diaturkan kembali, katanya membungkuk: "Limheng adalah utusan istana Hok, kalau To-swe ada perintah yang
perlu kukerjakan silakan katakan saja."
"Dugaanmu memang betul," ucap Pho-tujong, "sebagai utusan istana Hok yang langsung membawa surat perkenalan Keke, kalau
kita memberi jabatan rendah, tentu menurunkan pamor Keke,
kupikir lebih baik dicarikan kedudukan di pasukan bayangkari yang kau pimpin, tugas ini akan lebih cocok dengan bakat dan
kemampuannya." "Pesan To swe pasti kuperhatikan, cuma mungkin harus sedikit merendahkan derajat Lim-heng ." ucap Ki Seng-jiang.
"Coba kau pikir dalam pasukan bayangkari adakah lowongan
wakil pimpinan utama, biarlah dia membiasakan diri lebih dulu,
setelah menyesuaikan diri kelak bila ada kesempatan dapat
mengangkatnya lebih lanjut." Sekali minta jabatan wakil pimpinan, sudah tentu hal ini membuat Ki Seng-jiang serba susah, tapi di
mulut dia mengiakan. Lekas Jin Ji kui menimbrung dengan tertawa: "Pasukan
bayangkari ada tiga baris pasukan, jadi hanya tiga jabatan wakil pimpinan utama, mungkin Ki jongtay punya kesulitan, maka
menurut pendapat hamba, bagaimana kalau diadakan mutasi,
salah satu wakil pimpinan utama dipindah kemari membantu
To-swe, Entah bagaimana pendapat To swe?"
"Begitupun boleh. Kelompok ketiga dari barisan keamanan kota masih ada lowongan wakil pimpinan, kalau dibanding
kedudukannya malah lebih tinggi."
Ki Seng-jiang berpikir sejenak, lalu berkata: "Pesan To swe pasti akan kulaksanakan, baiklah kumutasikan saja wakil komandan dari barisan pertama Pian Mi ci kemari."
"Baik, Ji-kui, besok kau siapkan suratnya, Pian Mi ci dimutasikan ke barisan keamanan kota," lalu ia berpaling pula kepada Ki Seng jiang: "Sementara surat2 Lim-lote tolong kau saja yang
menguruskan." Ki Seng-jiang mengiakan, lalu berpaling kepada Lim Cu-jing:
"Besok Lim-heng boleh datang ke Le kiong untuk melaporkan diri."
"Terima kasih atas bantuan To-swe dan Jong-tay," kata Cu-jing.
"Besok pagi2, biar kutemani Lim lote melaporkan diri." timbrung Jin Ji kui.
Esok paginya Jin Ji-kui mengiringi Lim Cu-jing menunggang
kuda menuju ke Pi-siok-san-ceng. Pesanggrahan lui didirikan di
atas bukit, luasnya ada puluhan hektar, sekeliling dipagari tembok tinggi, di luar tembok mengalir sungai yang cukup lebar dan dalam.
Diantara pepohonan yang menghijau subur tampak beberapa
bentuk bangunan megah berloteng tersebar di sana sini. Panorama di sini tak kalah dengan pemandangan di puncak2 gunung ternama
seperti Thay-san dan Heng san.
Waktu mereka keluar dari pintu utara, dari kejauhan sudah
nampak bukit menghijau permai, di antara lebatnya dedaunan, di
sebelah selatan sana berjajar menjulang tinggi tiga bangunan
istana yang angker. Dari kejauhan Jin Ji-kui menuding, katanya: "Lim-lote, itulah pasanggerahan raja, maju lagi beberapa jauh kita harus turun dan berjalan kaki."
Kejap lain mereka sudah tiba di tempat ketentuan bahwa
pembesar sipil harus turun dari tandu dan pembesar militer turun dari kuda, sambil menarik kendali kuda mereka terus maju ke
depan. Dari rumah sebelah kanan sudah ada orang keluar menyambut
kedatangan mereka, setelah memberi hormat dia tuntun kedua
ekor kuda ke istal. Dari sini menuju ke gedung induk kira2 masih ada setengah li,
tapi setiap lima langkah seorang serdadu berdiri tegak berjaga, setiap puluhan tombak ada satu pos penjagaan lagi, semua
serdadu yang bertugas disinibersenjata lengkap.
Belum lagi Jin Ji-kui sampai di tempat tujuan, dari istana ketiga sebelah kanan beranjak keluar seorang laki2 bergolok dengan ikat pinggang ketat, memakai topi lancip, dia memapak maju serta
menyapa: "Hamba Coh Te-seng, atas perintah Jong-tay sejak tadi sudah menanti kedatangan Jin-loya dan Lim ya."
"Terima kasih, bikin capai Coh heng saja," ujar Jin Ji-kui tertawa, Lim Cu jing balas menjura pula.
"Silakan, biar hamba menunjukkan jalan," ucap Coh Te-seng, lalu mendahului beranjak ke istana.
Bagian dalam istana adalah sebuah lapangan luas yang dialasi
papan batu marmer, tak jauh ke depan ada sebuah aliran sungai
kecil, di atas sungai dibangun sebuah jembatan batu putih yang
diukir indah. Tidak jauh dari jembatan, mereka dihadapi undakan batu yang
lebar, tidak tinggi cuma puluhan undakan, di sebelah atasnya lagi adalah istana yang dibangun laksana jamrut di atas mahkota
kerajaan. Pintu gerbang istana tertutup rapat, beberapa laki2
bergolokbertugas jaga disini.
Coh Te-seng hawa mereka menaiki undakan batu terus menuju
ke sebelah kiri, di mana ada sebuah jalan batu yang dipagari
pepohonan tua dan besar mencakar langit. kira2 setengah li
perjalanan, tampak sebuah lapangan rumput yang amat luas, di tengah
lapangan itulah berderet lima bangunan berloteng, di luar pintu berjaga dua laki2 bergolok, seragam pakaiannya mirip Coh
Te-seng. Pada kiri kanan masing2 terdapat bangunan asrama,
kelihatan teratur amat rapi.
Lim Cu-jing tahu di sinilah letak markas pasukan bayangkari
yang bertugas jaga pesanggerahan raja ini.
Baru saja Coh Te seng membawa mereka berdua menaiki
undakan, tampak Ki Seng jiang telah memapak keluar, wajahnya
yang bersih tampak cerah, tawanya lebar, katanya: "Jin-lote, Lim lote, maaf akan keterlambatan sambutanku."
"Jongtay terlalu sungkan, aku hanya menemani Lim lote saja."
Lim Cu-jing maju serta memberi hormat: "Hamba datang untuk lapor kepada Jongtay."
Ki Seng-jiang terbahak2, katanya: "Lim lote jangan sungkan, sebelum urusan dinas diumumkan, kau masih terhitung tamu kita,
mari kita bicara di dalam."
Ki Seng-jiang persilakan mereka masuk ke kamar tamu dan
berduduk. Seorang pengawal keluar menyuguhkan teh.
"Jin-lote," kata Ki Seng Jiang, "apakah surat2 dari To swe sudah diselesaikan?"
"Sudah, sekalian kubawa serta," sahut Jin Ji-kui sambil mengeluarkan gulungan surat dinasnya dan diangsurkan.
Seterima surat dinas itu Ki Seng jiang membacanya sebentar
lalu berteriak keras: "Penjaga?"
Pengawal yang jaga di luar pintu mengiakan dan berlari masuk,
serunya: "Hamba siap menerima perintah."
"Pergilah kau panggil pimpinan utama barisan kesatu dan
wakilnya, Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci." demikian perintah Ki Sengjiang.
Pengawalitu mengiakanterus mengundurkandiri.
Dari bajunya Ki Seng jiang keluarkan sepucuk surat, dengan
tertawa ia berkata kepada Lim Cu-jing: "Lim lote, inilah surat pengangkatanmu, kau baru datang sementara ini untuk beberapa
lama dudukilah jabatan ini."
Tampak terharu Lim Cu-jing, dengan gugup dia terima surat
pengangkatan itu, lalu berkata dengan sikap tegak: "Terima kasih akan kebaikan Jong-tai, mungkin hamba tidak sesuai untuk jabatan ini."
"Ini maksud To-swe sendiri, apalagi utusan dari istana Hok, memangnya tidak sesuai apanya" Lote tidak perlu berterima kasih padaku, asal kau bekerja dengan giat, rajin dan baik, bila ada
kesempatanpasti kubantu memberi laporan kepihakatas."
Setelah kedua orang bicara, lekas Jin Ji-kui menjura, katanya:
"Kiong-hi Lim-lote telah memangku jabatannya."
Dalam pada itu, dari luar tampak masuk dua orang, yang di
depan seorang setengah umur berperawakan gemuk. wajahnya
bulat, alis tebal mata sipit. Laki2 di belakangnya berperawakan sedang, usianya sekitar tiga puluhan enam, tampak kekar berotot, langkahnya gesit. Tiba di ambang pintu kedua orang berdiri tegap, si gendut itu buka suara: "Hamba Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci datang menghadap."
Ki Seng-jiang manggut2, katanya: "Kalian boleh masuk."
Kedua orang jelas adalah pimpinan utama dan wakilnya dari
barisan kesatu. Maka Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci beranjak ke dalam ruangan besar.
Jin Ji-kui sudah berdiri menyambut, katanya menjura:
"Pui-heng, Pian-heng, selamat bertemu."
Lim Cu jing juga berdiri, tapi dia hanya menyapa dengan
anggukan kepala. Wajah bulat Pui Hok-ki yang gembur penuh daging lebih tampak
berseri tawa, berulang dia balas menjura, katanya: "Jin-lo, kau baik2 saja."
Ki Seng-jiang segera menuding Lim Cu-jing, katanya kepada Pui
Hok-ki: "Hok-ki, adik Lim Cu-jing ini adalah utusan istana Hok."
-Lalu dia balas perkenalkan kedua orang kepada Lim Cu jing.
Mendengar utusan istana Hok, semakin lebar tawa Pui Hok-ki,
berulangdia menjurasambil basa-basisekedarnya.
"Kita orang sendiri, hayolah duduk." ucap Ki Seng-jiang.
Dariatas meja Ki Seng-jiang ambilsuratpemindahandan berkata
kepada Pian Mi-ci: "Selamat Pian-heng, inilah surat pengangkatan untukmu, kau dimutasikan setingkat lebih tinggi ke kantor balai kota menjabat wakil komandan barisan keamanan kota, sementara
jabatanmusekarangakandi isioleh Lim-lote."
Wakil pimpinan utama dari barisan bayangkari dimutasikan
menjadi wakil komandan barisan keamanan kota, menurut
jamaknya jabatannya naik setingkat, tapi pasukan bayangkari
betapapun adalah tenaga2 ahli dan terdidik yang bisa selalu
mendampingi baginda, kini dimutasikan ke kantor balai kota,
berarti sudah keluar lingkungan istana.
Mimik Pian Mi-ci menunjuk perasaan yang aneh, sudah tentu dia
juga mengerti, soalnya Lim Cu-jing orang utusan istana Hok, untuk mencarikan jabatan sesuai bagi Lim Cu-jing, terpaksa dirinyalah yang dikorbankan. Tapi ini perintah, terpaksa dia menerima,
katanya: "Hamba terima perintah, entah kapan harus laporan?"
"Setelah menyelesaikan surat2 mutasimu di sini, boleh segera kau melaporkan diri ke sana,"
Bahwa penggantinya sudah hadir, adalah jamak kalau dia harus
segera menyingkir. Maka Pian Mi-ci mengiakan pula.
Ki Seng-jiang tertawa lebar, katanya: "Pasukan keamanan kota tiada bedanya dengan barisan bayangkari, semua adalah orang
kita sendiri, bukankah dulu aku juga bertugas di bawah pimpinan Toswe, malah jabatan Pian-heng sekarang lebih tinggi daripada
aku waktu itu." Pian Mi-ci kembali mengiakan, katanya: "Baiklah, sekarang juga hamba menyelesaikan surat mutasi, bila Jongtay tiada pesan lain, hamba mohon diri saja."
"Baiklah, selesaikanlah surat2mu, kebetulan Jin-lote berada di sini, siang nanti kau harus kembali, aku akan menjamu kedatangan Lim-lote, sekaligus untuk menjamu perpisahan dengan Pian-heng,
biarlah kita bergembira bersama."
Setelah Pian Mi-ci pergi Ki Seng-jiang berpaling kepada Pui Hok-ki, katanya. "Hok-ki, sejak kini Lim-lote termasuk orangmu. boleh kau iringi dia menemui He-congkoan untuk laporkan diri dan
menyelesaikan surat2nya."
Lekas Pui Hok-ki berdiri sambil mengiakan, lalu berkata kepada
Lim Cu-jing dengan tertawa, "Lim-heng, bawalah surat2mu, ikutlah aku ke sekretariat."
"Mohon bantuan Pui ling-pan (pimpinan she Pui)," seru Cu jing.
MukabulatPui Hok-kitampak berseri, katanya:"Lim-hengjangan sungkan, untuk selanjutnya kita terhitung orang sendiri, saling bantu adalah semestinya." -Karena Lim Cu jing orang utusan istana Hok, makasengajadiamerapatdanmengambilhatinya.
Setelah mohon diri kepada Ki Seng jiang, kedua orang langsung
masuk ke istana lebih dalam. He-congkoan adalah Thay-kam
(dayang-kebiri) yang berkuasa di pasanggerahan ini, tahu bahwa
Lim Cu-jing utusan istana Hok, sudah tentu pelayanannya berbeda dengan yang lain, setelah dia periksa surat2 yang ada, segera dia isi formulir riwayat hidup Lim Cu-jing serta nama tiga turunan
leluhurnya, maka selesailah soal mutasi ini, Lim Cu jing pula
memperoleh sebentuk medali perak tanda pangkat wakil pimpinan
barisan kesatu. Siang hari itu Ki Seng jiang mengadakan perjamuan di kamar
tamu itu, tamunya ada tiga orang, yaitu Lim Cu-jing serta Pian
Mi-ci yang kini dimutasikan ke barisan keamanan kota, orang
ketiga adalah Jin Ji kui. Sementara para tamu pengiring ada lima, yaitu pimpinan utama barisan kesatu Pui Hok-ki, pimpinan utama
barisan kedua Hok Ji-liong, wakilnya Pok Coan-seng, pimpinan
utama barisan ketiga Pi Si-hay dan wakilnya Keh Tiang-sin.
Biasanya jarang ada perjamuan besar macam ini dalam pasukan
bayangkari seperti sekarang.
Hanya kedatangan seorang wakil pimpinan utama yang baru
ternyata Jongtay telah menyambutnya dengan perjamuan sebesar
ini, agaknya kecuali menyambut kehadirannya, sekaligus juga
untuk pesta perpisahan dengan Pian Mi-ci, tapi Lim Cu-jing
kenyataan duduk di kursi utama, jelas perjamuan ini lebih
mengutamakan kepada Lim Cu jing. Tiada alasan lain karena Lim
Cu-jing adalah orangnya Tolo Keke. Bukankah semalam To-swe
sendiri juga telah mengadakan perjamuan menyambut
kedatangannya" Biarpun para pimpinan utama dan para wakilnya ini semula juga
tokoh2 Bu-lim yang sudah lama berkecimpung di dunia Kangouw,
tapi sekali sudah masuk kalangan pemerintahan, siapapun akan
kemaruk harta dan pangkat, kalau tidak siapa yang sudi menjual
nyawa, relamenjadi antekdancakaralap2 kerajaanpenjajah"
Pho-tujong juga orang dari istana Hok, untuk apa pula dia harus bermuka2 kepada Lim Cu-jing, hal ini tidak sukar diterka, yakni lantaran Lim Cu-jing didukung oleh seorang yang punya kuasa
tinggi di istana Hok, mereka yang cerdik akan lekas memahami liku2 ini, maka adalah jamak pula bila para pimpinan utama dan
para wakilnya yang hadir dalam perjamuan ini berusaha memikat
dan mengikat persahabatan dengan Lim Cu-jing, secara bergiliran mereka menyuguh arak kepada Lim Cu jing.
Lim Cu jing juga tahu dan dapat melihat gelagat bahwa arak
yang disuguhkan padanya adalah arak persahabatan, arak menjilat untuk menarik hatinya.
Hampir selesai perjamuan, seorang pengawal tampak masuk
mendekatiKiSeng-jiangsertaberbisik di telinganya.
Ki Seng jiang tampak melengak, tanyanya: "Mana orangnya?"
"Ada di luar," sahut pengawal itu, "tanpa izin Jongtay dia tidak berani masuk."
Ki Seng jiang mengulap tangan, katanya: "Suruh dia masuk."
Pengawal mengiakan sambil meluruskan kedua tangan, setelah
membungkuk terus mengundurkan diri. Tak lama kemudian sudah
berjalan masuk pula membawa seorang baju hijau. Usia orang ini
lima puluhan, mukanya lancip tirus, tubuhnya tinggi kurus, begitu melangkah masuk segera ia memberi hormat dan berseru: "Hamba menghadap Jongtay."
Melihat si baju hijau ini, Lim Cu-jing tampak melenggong. Dia
kenal orang ini adalah salah satu dari kedelapan Koan-tay
Hek-liong hwe, yaitu Tu Hong-seng adanya.
Ki Seng jiang mengangguk, katanya: "Tu-heng tidak usah
banyak adat, kau buru2 menghadapku, apakah Cui-congkoan yang
mengutusmu untuk minta bala bantuan kesana?"
Kembali Lim Cu jing melenggong mendengar pertanyaan ini,
pikirnya: "Agaknya Cui Kin-in berkuasa untuk memerintahkan bantuan dari pasukan bayangkari di pesanggerahan raja ini,
bukankah ini berarti jabatan dan kekuasaan Cui Kin-in jauh lebih tinggi daripada Ki Seng-jiang" Bahwa Cong-kam (komisaris umum)
Hek-liong-hwe dapat memerintah dan menguasai pada pasukan
bayangkaridisini, memangnyasiapakahdiasebenarnya?"
Tu -Hong seng tampak berdiri tegak, sahutnya: "Lapor Jongtai, hamba datang untuk memberi laporan."
"Urusan apa boleh kau katakan saja."
"Hek liong hwe telah dipukul hancur oleh musuh, Jan-hwecu, Nao-tongcu, Ci tongcu dan Nyo-jilingpun yang ditarik dari pasukan bayangkaridi sinisemuanyasudahgugur."
Diam2 Lim Cu-jing mengangguk, pikirnya: "Kiranya Nyo Ci-ko adalahwakilpimpinanutamadaribarisan bayangkaridisini."
"Prang", muka Ki Seng jiang seketika berubah pucat, cangkir yang dipegangnya terlepas jatuh berantakan, tanyanya gugup:
"Bagaimana dengan Cui-congkam?"
"Agaknya Cui-congkam sudah meninggalkan tempat itu," sahut Tu Hong-seng.
Sesaat baru Ki Seng-jiang menenangkan diri, seperti teringat
apa2, wajahnya kini menjadi kelam, tanyanya: "Kau tahu siapa saja yang telah menyerbu Hek-liong-hwe?"
"Hamba hanya tahu kalau mereka adalah orang2 Pek hoa-pang, yang menjadi tulang punggung Pek-hoa-pang adalah kedua puteri
Thi Tionghong, pentolan Hek liong-hwe dulu, tapi yang paling lihay di antara mereka Cong-houhoat Pek-hoa-pang yang bernama Ling
Kun-gi, konon dia adalah putera Ling Tiang-hong, murid
Hoan-jiu-jilay, Hek-liong-hwe boleh dikatakan seluruhnya runtuh di tangan orang she Ling ini."
Berubah pula air muka Ki Seng Jiang, serunya murka: "Lagi2
bocah keparat she Ling itu."
Tu Hong-sing mengeluarkan setumpukan kertas tebal dan
diangsurkan, katanya: "Inilah laporan tertulis hamba, semuanya tercatat dengan jelas di sini."
Seorang pengawal maju menerima kertas laporan itu dan
dihaturkan kepada Ki Seng-jiang. Tapi Ki Seng jiang mengulap
tangan, katanya: "Bawalah ke kamar bukuku saja,--Lalu dia
berkata kepada Tu Hong-sing: "Bagus sekali, Tu heng boleh
istirahat dulu, sementara boleh kau tinggal di markas, setelah aku mohon petunjuk langsung dari Cui-cong-koan baru kuputuskan
tindakan selanjutnya."
Tu Hong-sing mengiakan, katanya sambil memandang ke arah
Ki Seng jiang: "Jongtai, masih ada soal penting yang akan hamba laporkan."
"Yang hadir di sini semua orang kita sendiri, ada urusan penting atau rahasia apa boleh kau katakan saja." .
Tu Hong sing mengiakan dan berkata: "Waktu hamba keluar
perbatasan, di tengah jalan pernah kulihat dua rombongan orang
yang mencurigakan, mereka mirip komplotan Pek hoa-pang,
tujuannya juga ke Jiat-ho sini."
"Ada berapa orang?" tanya Ki Seng jiang.
"Jumlahnya tidak banyak, mungkin kuatir menarik perhatian
orang, maka mereka berpencar dalam beberapa kelompok."
Tiba2 terunjuk hawa nafsu membunuh pada wajah Ki
Seng-jiang, katanya tertawa dingin: "Berani juga mereka meluruk ke Jiat ho. Hehe, jelas tujuannya adalah mencari perhitungan


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada aku orang she Ki."
Lalu dia mengulap tangan, "Baiklah, kau boleh mundur dulu.
Semalam kau menginap di mana?" "Hamba menginap di losmen Liong-kip,"
"Lebih baik kau tetap kembali ke penginapanmu, perhatikan
disekelilingmu, nanti kusuruh orang Hamba terima perintah, sahut To Hong-Sin terus mengundurkan diri.
Setelah perjamuan usai, Sin Ji kui dan Pian Mi-ci mohon diri, Ki Seng jiang dan lain mengantar sampai di depan pintu. Akhirnya Ki Seng-jiang berpaling kepada Lim Cu jing, katanya: "Lim-heng, tolong kau antarkan Jin loya, sekembalinya langsung ke kamar
bukuku. Waktu Lim Cu-jing kembali setelah mengantar Jin Ji-kui,
pengawal Ki Seng-jiang telah menunggunya, katanya: "Jongtai sudah menunggu di kamar buku, Lim-lingpan silakan ikut hamba."
Kamar buku terletak di sebelah timur, ruang tengah adalah
tempat tinggal Ki Seng-jiang, dinding kamar buku penuh
digantungi lukisan kuno, tepat di tengah kamar terletak rak buku Ki Seng-jiang tampak duduk di belakang rak buku di kursi berukir dan berlapis sutera sulaman, agaknya dia tengah membaca laporan Tu
Hong-sing tadi. Tepat di atas kepala pada dinding dibelakangnya tergantung sebilah pedang panjang, coraknya kuno, jelas pedang
pusaka juga. Ki Seng jiang adalah anak pungut Ui-san-it-kiam Ciok-boh Lojin, sudah tentu diapun seorang jago pedang.
Pui Hok ki, pimpinan utama barisan kesatu tampak duduk di
kursi yang membelakangi jendela sebelah kiri. Setiba di depan
pintu, pengawal itu berhenti serta membungkuk, serunya: "Lapor Jongtay, Lim-jilingpan telah tiba."
"Silakan masuk!" seru Ki Seng-jiang
Lim Cu-jing segera melangkah masuk. "Silakan duduk
Lim-heng," ucap Ki Seng-jiang.
LimCujing lantasduduk di kursisebelah Pui Hok-ki.
Ki Seng-jiang menatapnya, katanya kalem:
"Ingin aku mohon sekedar penjelasan dari Lim-heng . . ."
Berdetak jantung Lim Cu jing, katanya sambil berbangkit: "Entah soal apa yang Jongtay ingin tanyakan?"
"Lim heng sengaja diutus oleh istana Hok kepada To-swe,
tentunya kau memiliki Kungfu yang tidak sembarang, tapi ingin
kutanya asal-usul dan aliran dari mana ilmu yang Lim heng
pelajari?" "Menjawab pertanyaan Jongtay, hamba tiada masuk golongan
tidak punya aliran, semasa hidup ayahku bekerja di Piaukiok juga, beliau adalah saudara angkat Lim piauthau dari Tin-wan Piau-kiok, ilmu cakar kucing yang kupelajari dari ayah adalah pelajaran
kampungan, paling2 hanya bisa main kepalan, telapak tangan,
golok dan pedang." Ki Seng jiang tersenyum, katanya: "Hou-pian-liong-jiu Lim-
lopiauthau pernah menggetarkan Kwan-tang, bahwa ayah Lim -
heng seangkatan dengan Lo piauthau, tentunya beliau juga
seorang persilatan yang punya nama."
"Waktu ayah almarhum angkat saudara dengan Lim-piauthau
usianya masih terlalu muda. Setelah ayah menikah, ibu melarang
ayah berkecimpung di Kangouw, katanya usaha di Piaukiok hanya
mempertaruhkan jiwa belaka, penghasilan juga tidak memadai,
sebaliknya bahaya yang harus ditempuh teramat besar, lebih baik hidup tenang di kampung halaman dengan usaha dagang kecil2an,
maka sejak itu ayah lantas putus hubungan dengan
Lim-lopiauthau, sampai sekarang sudah dua puluhan tahun lebih . .
. . " Agaknya Ki Seng jiang tidak tertarik oleh cerita riwayat
hidupnya, katanya: Apakah Lim-heng pernah meyakinkan
Ginkang?" "Semasa ayah masih hidup beliau memang pernah melatih
Ginkang dan Lwekang padaku," kalau hanya ketinggian dua-tiga tombak, saja masih dapat kucapai."
"Itu sudah cukup, nah sekarang Hok-ki, kau mencoba dia."
Pui Hok ki mengiakan terus berbangkit, katanya dengan
tertawa: "Lim-heng, Jongtay ada sebuah tugas rahasia yang
teramat penting minta supaya kau menyelesaikannya, tapi pihak
lawan semuanya adalah musuh2 tangguh, kuatir Lim-heng
mengalami sesuatu alangan dan tentu akan sukar memberi laporan
kepada To-swe, maka Lim-heng sengaja di undang ke kamar buku
ini, kita perlu mengetahui sampai di mana tingkat kemampuan
Lim-heng. . . " "Ada tugas apa yang akan Jongtay serahkan, umpama
menerjang lautan api dan terjun minyak mendidih juga hamba
tidak akan menolak," seru Lim Cu jing.
Pui Hok ki berkata: "jongtay ingin supaya aku menjajalmu satu dua jurus, Lim-heng jangan sungkan, juga tidak usah ragu2 dan
kuatir, boleh turun tangan sekuat tenaga menurut kemampuan,
cukup asal saling tutul atau jamah saja," sembari bicara dia mulai pasang kuda2 serta menambahkan: "Lim heng hati2, aku akan
turun tangan."Kelima jari tangan kanannya terkembang, bagai cakar iaterus mencengkerampundak LimCu-jing.
Gerakan yang kelihatan lamban ini adalah Kin-na jiu-hoat yang
lihay, pimpinan utama barisan kesatu ini ternyata memang
membekal kepandaian tinggi, dari jurus permainan ini sudah dapat dinilai kemantapan tipu, serangannya dengan pakai jari yang keras.
Lim Cu-jing tertawa tawar, ujarnya: "Hamba mana berani
"-Sambil bicara badannya masih berdiri tegak tidak mengegos atau berkelit. Tatkala telapak tangan Pui Hok-ki, hampir menyentuh
pundaknya, mendadak ia berputar ke kanan, kelima jari tangan kiri menegak terus didorong keluar, ujung jarinya menyapu dan
menyerempet pergelangan tangan Pui Hok-ki. Gerakan ini
merupakan tipu serangan biasa, namanya "mendorong jendela
melihat gunung", gerakan untuk menutup dan mematahkan
serangan, jadi kelihatannya tiada yang istimewa. Tapi Ki Seng-jiang dan Pui Hok-ki adalah jago silat yang cukup tajam pandangannya, sekali Lim Cu-jing bergerak, meski gerakan yang sepele, tapi jelas mengandung gaya perubahan yang menakjubkan, serentak
menimbulkan deru angin yang kencang menyerempet pergelangan
tangan Pui Hok-ki. Pada hal jarak pergelangan tangan Pui Hok-ki masih ada satu
kaki jauhnya dengan tangan Lim Cu-jing, tapi orang sudah
merasakan tangannya seperti tersampuk mistar besi, tiba2
tangannya terasa sakit. Keruan bukan main kagetnya, lekas Pui
Hok-ki tarik tangannya seperti orang berjingkat kaget karena
keselomot api, matanya terbeliak menatap Lim Cu-jing, katanya
dengan keheranan: "Lim-heng ternyata hebat sekali."
Lim Cu-jing telah meluruskan kedua tangannya. katanya:
"Terima kasih atas kemurahan hati Toa-lingpan."
Pui Hok ki tergelak2, katanya: "Jongtai memang ahli, tentunya sudah menyaksikan sendiri, gerakan menyapu Lim-heng tadilah
betul2 menaruh belas kasihan padaku, kalau tidak, pergelangan
tanganku ini tentu sudah cacat."
Ki Song-jiang tampak riang, katanya mengangguk: "Cukuplah, hanya sejurus saja sudah meyakinkan bahwa tiada tugas apapun
yang takkan bisa diselesaikan oleh Lim-heng."
"Jongtai terlalu memuji," ucap Lim Cu-jing, -"hamba ingin tanya, apakah Toa-lingpan juga mahir menggunakan senjata rahasia?"
"Apa?"" seru Pui Hok-ki sambil goyang tangan, "Lim-heng ingin bertanding Am-gi denganku" Sudahlah. barusan aku sudah pamer
kebodohan, memangnya Lim-heng tega membikin malu aku lagi."
"Toa-lingpan jangan salah mengerti, bukan begitu maksud
Cayhe, soalnya Jongtai tadi ada tanya soal Ginkang, maka hamba
ingin mencobanya." "Memangnya untuk apa Lim-heng tanya soal Am-gi?" tanya Pui Hok-ki.
Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Bila Toa-lingpan, sekarang
membawa Am-gi, bolehlah dicoba sekarang juga."
Agaknya Ki Seng-ji ing tertarik, katanya kepada Pui Hok-ki:
"Hokki, baiklah, biarkan dia mencobanya Pui Hok-ki menyengir, katanya: "Inilah perintah, terpaksa aku menurut keinginan Jongtai, biarlah aku konyol sekali lagi."
Pui Hok-ki mengeluarkan tiga batang panah pendek, tanyanya
kepada Lim Cu-jing: "Cara bagaimana Lim-heng akan
mencobanya?" "Sebatang saja sudah cukup." ujar Cu jing, lalu dia tuding keluar jendela. "Inilah panah timpuk yang paling kecil, mungkin harus ditimpukkan dengan kekuatan jari. Baiklah, sekarang boleh Toalingpan menimpuknya keluar jendela."
Sekenanya Pui Hok-ki jemput sebatang panah dan ditimang2 di
telapaktangan, katanyatertawa:"Apayangharuskubidik?"
"Terserah, Toa-lingpan mau membidik lurus ke depan atau
ditimpukkan ke angkasa juga boleh."
"Baiklah," sahut Pui Hok-ki, begitu tangan terayun, panah kecil itu lantas meleset keluar jendela,
Pada saat itulah Lim Cu-jing yang berdiri di samping Pui Hok-ki mendadak menutul kedua kakinya, badannya melesat lurus ke
depan bagai meteor mengejar rembulan, mengudak ke arak panah
kecil yang meluncur keluar. Gerakan keduanya sungguh cepat luar biasa.
Ki Seng jiang dan Pui Hok ki tidak pernah bayangkan bahwa
tujuan Lim Cu-jing suruh Pui Hok-ki menimpuk panah pendek Itu
hanya untuk dikejarnya. Dalam Bu-lim sudah sering orang
mendemonstrasikan kepandaian menyambut dan menimpuk
senjata rahasia secara berhadapan. Tapi Lim Cu-jing baru
mengudak panah setelah panah itu ditimpukkan, bahwa dia sudah
mengejar tentu dapat menangkap panah itu. Bila Lim Cu-jing tidak yakin dapat menyandak senjata rahasia itu, tak mungkin dia berani pamer dihadapanorangdan mempersulitdirisendiri. Pikiran mereka
berdua sama maka dengan mendelong mereka menyaksikan
dengan hati berdebar kejadian hanya sepercikan api belaka, belum lagi mereka melihat jelas kejadian sesungguhnya, terasa angin
berkesiur, tahu2 Lim Cu-jing sudah melayang masuk pula lewat
jendela dan hinggap di hadapan mereka.
Tampak di antara dua jari tangan kanannya menjepit sebatang
panah kecil, katanya sambil menjura dengan tertawa lebar:
"Jongtai, dihadapan Toa-lingpan Cayhe telah pamer kejelekan,"
Terpancar cahaya aneh pada sinar mata Ki Seng-jiang, katanya
tertawa. " Tak heran Keke sampai begitu tinggi menilaimu, haha, demonstrasi yang Lim-heng tunjukkan barusan, jangankan dalam
pasukan bayangkari kita tiada seorangpun yang mampu
menandangi kau, meski jago2 lihay dari istana rajapun sukar
mencari bandingannya."
Kedua bola mata Pui Hok-ki terbeliak sekian lamanya, akhirnya
dia tertawa ngakak serunya: "Dengan bekal kepandaian yang
barusan Lim-heng pamerkan, adalah pantas kalau aku menukar
jabatan dengan kau, malah terasa kurang setimpal aku menjadi
wakilmu." Lim Cu-jing menjadi gugup, katanya: "Jangan, Toa-lingpan
berkata demikian, hamba jadi tidak enak hati."
"Aku bicara sejujurnya," ucap Pui Hok-ki, "dalam jangka sepuluh tahun, Lim-heng pasti menonjol dan mengungguli jago2 silat
manapun, naik pangkat hidup senang, hahaha . . . . "
Walau masih tertawa, tapi mimik Ki Seng-jiang tampak kurang
wajar mendengar umpakan Pui Hok-ki ini, katanya sambil goyang2
tangan: "Marilah, kita bicara sambil duduk." Lalu dia kembali ke kursi kebesarannya.
LimCu-jing danPui Hok-kipun dudukpuladi kursi semula.
Menghadap ke arah Lim Cu-jing, pelan2 Ki Seng-jiang berkata:
"Barusan kau telah melihat orang yang bernama Tu Hong-seng, dia adalah Koan-tai dari pihak pemerintah yang sengaja ditanam dalam Hek-liong-hwe, beberapa hari yang lalu kabarnya Hek-liong-hwe
telah digempur oleh Pek-hoa-pang dan hancur lebur ...........
"Hek-liong-hwe?" Lim Cu-jing pura2 menepekur, "rasanya hamba pernah mendengar orang memperbincangkan, tapi nama
Pek-hoapang, selamanya belum pernah hamba dengar?"
Ki Seng-jiang tersenyum: "Itulah suatu sindikat gelap yang terorganisir baik dan rapi, tidak pernah terjun ke percaturan dunia persilatan secara terbuka, sudah tentu kau tak tahu, begini dia jemput kertas laporan Tu Hong seng dan diangsurkan, katanya:
"Inilah laporan Tu Hong-seng, boleh kau membacanya dengan
teliti, nanti pasti akan mengerti. Menurut laporan Tu Hong-seng, kaum pemberontak dari Pek-hoa-pang sudah menyusup ke Jiat ho
Pedang Kiri Pedang Kanan 6 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 14
^