Pencarian

Pendekar Bayangan Malaikat 1

Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Bagian 1


Pendekar Bayangan Malaikat
Lanjutan Pendekar Bayangan Setan
Karya : Khu Lung saduran Tjan ID
Lavilla di web Dimhad Ebook by Dewi KZ Composed by: Cersilanda (http://www.cersilanda.com)
JILID: 1 Belum habis ia mengucapkan kata-katanya mendadak gadis
itu menjerit ngeri dan menggeletak di atas tanah dalam
keadaan tak bernyawa. Tan Kia-beng yang sedang memusatkan seluruh perhatian
untuk mendengarkan perkataannya sama sekali tidak
menduga kalau pada waktu itu ada orang yang melancarkan
serangan bokongan ke arahnya, menanti ia tersadar kembali
keadaan sudah terlambat. Dengan cepat kepalanya didongakkan melakukan
pemeriksaan di sekeliling tempat itu, tampaklah dari balik
sebuah batu cadas di sebelah kiri agaknya tampak sesosok
bayangan manusia sedang berkelebat lewat.
Ia segera membentak keras, dengan tangan sebelah
melindungi dada dan tangan yang lain dipentangkan siap-siap
melancarkan serangan, tubuhnya menubruk ke depan.
Mendadak telapak tangannya didorong ke depan
melancarkan satu pukulan berhawa dingin yang amat dahsyat,
bagaikan tiupan angin topan dengan cepat hawa pukulan
tersebut menghajar batu cadas dihadapannya sehingga
hancuran batu beterbangan memenuhi angkasa. Tetapi tak
sesosok bayangan manusiapun yang ditemukan disana.
Setelah melancarkan serangan tadi, hawa murninya lantas
buyar sedang tubuhnyapun melayang turun kembali ke atas
tanah. Tiba-tiba.... Segulung angin serangan jari yang amat santar dengan
amat tajam menerjang jalan darah "Leng Thay Hiat"nya diikuti suara seseorang yang aamt menyeramkan sedang tertawa
dingin tiada hentinya. Ketika ia menengok ke samping bayangan manusia yang
baru saja membokong dirinya itu kembali sudah lenyap tak
berbekas. Tetapi dengan ketajaman matanya, sebentar saja ia sudah
berhasil menemukan kurang lebih tiga puluh kaki dari dirinya
berada secara samar-samar tampak sesosok bayangan
manusia yang sedang berkelebat lewat.
Ia merasa bayangan manusia yang tinggi kurus itu mirip
sekali dengan perawakan dari "Gien To Mo Lei" Go Lun, di
dalam keadaan amat gusar tubuhnya siap-siap melakukan
pengejaran ke arah depan.
Mendadak ia teringat kembali peristiwa yang sedang
berlangsung di atas kuil Sam Cing Kong digunung Bu-tong, tak
terasa lagi teriaknya keras, "Aduuh celaka! aku sudah
membuang banyak waktu untuk suatu peristiwa besar"
Niatnya untuk mengejar Gien To Mo Li segera dibatalkan,
sebaliknya ia lantas putar badan, laksana anak panah yang
terlepas dari busurnya meluncur ke arah kuil Sam Cing Kong.
Dari tempat kejauhan tampaklah di dalam kuil Sam Cing
Kong sudah terang benderang oleh cahaya obor, suara
bentakan gusar bergema silih berganti, hal ini membuat
hatinya merasa semakin menyesal.
Gerakan tubuhnya segera dipercepat, hanya di dalam
sekejap saja ia sudah tiba di depan ruangan Yen Si Tien.
Tampaklah di depan bangunan tersebut sedang
berlangsung dua pertempuran yang amat sengit, It Jan
Tootiang serta Wie Jan Tootiang masing-masing dengan
menyebarkan diri memimpin sebuah barisan pedang Kiu Kong
Kiam Tin disebelah kiri kanan bangunan tersebut.
Sedang orang yang melakukan terjangan ke dalam barisan
adalah dua orang Lhama gendut yang memakai jubah warna
merah. Leng Hong Tootiang, si kakek tongkat perak serta Sak Ih
sekalian berdiri sejajar di atas tangga di depan pintu ruangan,
disampingnya berdiri pula seorang Toosu tua yang amat
gagah dengan rambut berwarna keperak perakan serta
mencekal sebuah Hut-tim ditangannya. jelas dialah sang Bu
tong cianpwee yang berdiam dibelakang gunung.
Di tengah-tengah kalangan, berdiri pula serombongan
manusia dengan seorang lelaki berperawakan tinggi besar
yang rambut kuning, bermuka hijau dengan mata tunggal
serta gigi seperti taring berdiri dipaling depan, agaknya
manusia berwajah seram ini merupakan pemimpin dari
penyerbuan kali ini Agaknya Leng Hong Tootiang sekalian pada saat ini sedang
memusatkan seluruh perhatiannya pada kedua barisan pedang
Kiu Kong Kiam Tin tersebut, sehingga sewaktu Tan Kia-beng
tiba disisinya mereka sama sekali tidak merasa.
Tan Kia-beng pun tidak ingin mengganggu perhatian
mereka, diam-diam ia berdiri disamping dan memperhatikan
perubahan selanjutnya dari kalangan pertempuran itu.
Ia merasakan pengaruh dari kedua buah barisan pedang itu
jauh lebih dahsyat jika dibandingkan dengan barisan yang
menghadapi dirinya kemarin, segulung hawa pedang yang
amat santer dengan rapatnya mengurungi seluruh angkasa
membuat kalangan tersebut penuh diliputi oleh kawan
pembunuhan. Kedua orang Lhama ada di dalam barisan, semuanya
melakukan perlawanan dengan mengandalkan tangan kosong,
kedua buah ujung jubahnya yang lebar berkelebat kesana
kemari tiada hentinya. Dimana sambaran ujung bajunya tiba, cahaya pedang
segera buyar dan kalut diiringi suara dengungan yang
membisingkan telinga. Cukup ditinjau dari keadaan ini, sudah jelas memperlihatkan
kalau tenaga dalam dari kedua orang Lhama tersebut sangat
sempurna sekali, bahkan jurus jurus serangan yang mereka
gunakan pun sama sekali berbeda dengan jurus jurus dari
daerah Tionggoan. Pertempuran kali ini tak dapat disamakan dengan
pertandingan silat keadaan biasa, pertempuran kali ini
menyangkut mati hidupnya partai Bu-tong-pay, karena itu It
Jan Tootiang serta Wie Jan Tootiang yang bertindak selaku
pimpinan dari kedua buah barisan pedang tersebut berusaha
keras untuk mempertahankan diri dengan sekuat tenaga dan
dengan paksakan diri memperkecil lingkungan barisan pedang
itu. Tetapi, lingkaran seluas dua depa yang ada di tengah-
tengah kalangan selama ini tak berhasil diperkecil bahkan
untuk mendesak maju selankahpun tidak sanggup.
Tan Kia-beng dengan tenangnya berdiri disamping
memperhatikan kedua orang Lhama yang terkurung di dalam
barisan pedang itu, ia merasa kedua orang hweesio tersebut
sebenarnya belum mengeluarkan seluruh tenaganya.
Hal ini membuat dia diam-diam merasa bergidik atas
keselamatan para toosu2 Bu-tong pay itu, ketika diliriknya
Leng Hong Tootiang maka tampaklah air mukanyapun sudah
berubah serius, agaknya ciangbunjin dari Bu-tong pay inipun
sudah melihat bila barisan pedang Kiem Kong Kiam Tin
sebagai barisan andalan partai Bu-tong pay sebentar lagi akan
hancur ditangan kedua orang Lhama berbaju merah itu.
Pada waktu itulah mendadak si kakek tua berambut putih
bermata tunggal itu memperdengarkan suara tertawanya yang
amat menyeramkan.... "Heee.... heee.... heee.... waktunya sudah tiba, barisan
bobrok ini tiada harganya kalian pertahankan terus, cepat-
cepat dihancurkan saja!"
Kedua orang Lhama berbaju merah itu segera menyahut
dengan suara yang lancang dari kedudukan bertahan kini
mereka berganti melancarkan serangan.
Tampaklah awan merah berkelebat kesana kemari,
segulung hawa pukulan yang mana dahsyat dengan tiada
hentinya menyambar keempat penjuru.
Hanya di dalam sekejap saja suara jeritan ngeri salng susul
menyusul bergema memenuhi angkasa, dari barisan pedang
yang dipimpin oleh It Jan Tootiang ada dua orang toosu yang
berhasil kena dihajar pental dari barisan dan rubuh ke atas
tanah tak berkutik. Leng Hong Tootiang perlahan-lahan menghela napas
panjang, baru saja ia ada maksud untuk menghentikan
serangan itu, kembali suara jeritan ngeri berkumandang
memenuhi angkasa. Sang Lhama yang berada di dalam barisan Wie Jan
Tootiang berhasil mengirim satu pukulan ke atas dada toosu
tersebut sehingga terpukul mundur ke belakang dengan
sempoyongan. Kedua buah barusan pedang itu kontan jadi kacau balau,
sebenarnya dengan mudah sekali kedua orang Lhama berbaju
merah itu dapat menerjang keluar dari kepungan tetapi
mereka berdua yang sudah terbiasa melakukan tindakan
kejam mendadak bersuit aneh.
Ujung jubahnya kembali dibabat ke depan dengan dahsyat,
diiringi suara jeritan ngeri beberapa orang toosu sekali lagi
kena terpukul luka oleh serangan mereka.
Sak Ih yang melihat saudara seperguruannya kena dijagal
dengan begitu kejam, dalam hati merasa teramat gusar.
pedangnya segera dicabut keluar dari sarung lalu meloncat ke
depan. "Jangan turun tangan jahat terlebih dulu, aku orang she-
Sak sudah datang!" Pedangnya laksana serentetan pelangi dengan mendadak
menggulung ke depan sedang tubuhnyapun dengan cepat
melayang turun ke tengah kalangan.
Mendadak.... Di tengah udara kembali terlihat cahaya keperak perakan
berkelebat lewat, "Gien To Mo Lei" Go Lun dengan mencekal
sebilah golok melengkung laksana taburan bintang dilangit
sudah melayang datang dari balik tembok pekarangan
menghadang dihadapan Sak Ih.
"Heee.... heee.... sembilan orang bersama-sama
mengerubuti seorang, sekalipun mati semua juga tak usah
disayangkan." teriaknya sambil tertawa dingin tiada
hentinya.... "Orang lain menganggap barisan Kiu Kong Kiam
Tin dari partai Bu-tong-sangat dahsyat tetapi kami orang-
orang dari Isana Kelabang Emas menganggapnya seperti
sebuah permainan kanak kanak saja, bilamana kalian sudah
terbiasa menggunakan barisan hidung kerbau, kenapa tidak
kumpulkan seluruh hidung kerbau yang ada untuk
mengerubuti bersama dengan begitu siauw ya mupun tak
usah repot repot pergi mencari mereka satu persatu.
Sak Ih yang mendengar perkataan itu saking gusarnya tak
sepatah katapn bisa diucapkan keluar, mendadak ia
membentak keras pedangnya dengan mendadak dibabat ke
arah depan. Di sekeliling tubuhnya segera tergulunglah serentetan
ombak pedang yang amat dahsyat, bagaikan berpuluh puluh
bilah pedang bersama-sama menyerang ke depan seketika itu
juga seluruh kalangan kena terkurung olehnya rapat rapat.
"Haaa.... haaa.... jurus serangan ini sih masih lumayan
juga!" seru si Gien To Mo Lei sambil tertawa sombong.
Tubuhnya segera miring kesamping, kakinya menginjak
kedudukan "Ci Wu" memotong tajam kepinggir golok
melengkungnya, dengan menimbulkan cahaya yang
menyilaukan mata segera menyambut datangnya serangan
pemuda tersebut. Keanehan dari jurus serangannya serta perubahan gerak
dari golok lengkungnya yang telengas benar-benar luar biasa
sekali. Sak Ih yang melihat sikapnya sangat congkak, diam-diam
makinya dalam hati, "Hmmm! Bangsat cilik kau jangan
sombong dulu! Sebentar lagi aku akan suruh kau merasakan
kelihayanku." Mendadak pergelangan tangannya digetarkan, dimana
cahaya kehijau hijauan berkelebat mengurung seluruh
angkasa pedangnya laksana sambaran kilat membabat ke
depan. Hanya di dalam sekejap saja ia sudah melancarkan dua
belas buah serangan dengan berganti delapan buah saja,
kontan saja seluruh angkasa dipenuhi dengan desiran hawa
pedang yang menggidikkan badan.
Gien To Mo Lei yang melihat Sak Ih berhasil menyalurkan
hawa murninya melalui ujung pedang, dalam hati baru mulai
merasa berdesir, senyuman yang semula menghiasi bibir pun
segera lenyap tak berbekas.
Ia tidak berani lagi bersikap sombong seperti
kedatangannya semula, golok lengkung ditangannya diputar
sedemikian rupa mengeluarkan ilmu goloknya yang paling
dahsyat untuk mempertahankan diri dari kurungan cahaya
hijau pihak lawan. Seketika itu juga cahaya hijau serta cahaya putih berkilauan
menusuk hati. dalam waktu yang amat singkat semua orang
sudah merasa sulit untuk membedakan siapa kawan siapa
lawan. Ketika itu kedua buah barisan pedang Kiu Kong Kim Tin
yang mengerubuti kedua orang Lhama berjubah merah itu
sudah kacau balau tidak karuan, kecuali yang terluka dan mati
para toosu toosu lainnya pada mengundurkan diri ke
belakang. Sang Lhama berjubah merah yang ada di sebelah kiri
dengan wajah lebar persegi mendadak tertawa seram.
"Haaaaaa.... haaaaaa.... Bu-tong pay menyebut dirinya
sebagai partai pedang nomor satu dikolong langit dan
selamanya cuma berani bertempur mengandalkan jumlah
banyak untuk mencari kemenangan, ternyata tak seorang
diantara kalian ada yang berani bergebrak seorang lawan
seorang dengan Hud-ya mu...."
Air muka Leng Hong Tootiang segera berubah hebat,
dengan cepat pedangnya dicabut keluar siap-siap meloncat
masuk ke dalam kalangan. Tan Kia-beng yang selama ini berdiam diri, ketika itu mulai
merasa bahwa dirinya yang sudah datang untuk membantu
orang saat inilah seharusnya menampilkan diri.
Dengan cepat ia membentak nyaring, "Tootiang sebagai
seorang ketua partai yang terhormat kenapa harus turun


Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan sendiri melayani kaum penjahat yang sangat rendah
kedudukannya" biarlah cayhe yang turun tangan menjajal
kepandaian silat dari jagoan gurun pasir ini."
Sembari berkata tubuhnya meloncat ke depan dan
melayang tepat dihadapan Lhama berjubah merah itu.
Leng Hong Tootiang yang melihat Tan Kia-beng berebut
untuk turun tangan, dalam hati baru merasa lega.
Sang Lhama ini berhasil menghancurkan barisan Kiu Kong
Kiam Tin dengan begitu mudah, jelas bahwa kepandaian
silatnya luar biasa sekali, bilamana misalnya dia yang turun
tangan sendiri jikalau menang masih tidak mengapa, tetapi
bila kalah" bukankah nama besar dari Bu-tong pay selama
ratusan tahun ini akan terkubur bersama-sama dirinya"
Sang Lhama itu sebenarnya sedang membakar hati Leng
Hong Tootiang agar cepat-cepat turun tangan sehingga
tugasnya untuk membasmi partai Bu-tong pay bisa segera
terlaksana, siapa sangka di tengah jalan sudah muncul
seorang pemuda tampan yang masih muda sekali usianya, tak
terasa lagi ia tertawa terbahak-bahak.
"Haaaa.... haaaa.... haaaa.... apakah partai Bu-tong pay
benar-benar tidak ada orang lagi" buat apa mengirim seorang
bocah cilik untuk menghantar kematian?" ejeknya.
"Hmmm! lebih baik kau jangan keburu bangga" balas
jengek Tan Kia-beng dingin, "lebih baik cepat-cepat sebutkan
gelarmu yang bau!" Mungkin disebabkan kata-kata "Gelar bau" itu membuat
hawa amarahnya berkobar, sepasang matanya yang sipit
mendadak memancarkan cahaya hijau yang amat tajam.
"Hud-ya mu adalah Tolunpah!" teriaknya seram, "Jika kau betul-betul ingin cari mati, biar Hud-ya mu mengabulkan
keinginanmu itu." Tangannya yang besar segera dipentangkan dan
mencengkeram ke arah dada pemuda tersebut. Jurus ini sama
sekali tidak memakai aturan jelas menandakan bila dia selalu
memandang enteng pihak musuhnya.
Tan Kia-beng tertawa dingin tiada hentinya, ia tetap berdiri
tegak tanpa berkelit, menanti kelima jari pihak lawan hampir
menempel pakaian di depan dadanya mendadak ia menarik
dadanya itu ke belakang. Sedang datang laksana sambaran
kilat meluncur ke depan mencengkeram pergelangan
tangannya. Melihat datangnya serangan tersebut To Lun Pah baru
merasa terperanjat, sang pergelangan tangan ditendang ke
bawah, ujung jubahnya dikebut ke depan mengancam jalan
darah "Chiet Kan" di depan dada.
Serangan tangan kanan dari Tan Kia-beng yang didorong ke
depan tetapan tidak berubah, sedang telapak kirinya
disilangkan di depan dada kemudian mendorong pula ke
depan. "Blaaam...." dengan keras lawan keras ia menerima
datangnya serangan kebutan tersebut, tak kuasa lagi masing-
masing pihak mundur satu langkah ke belakang.
Saat inilah To Lun Pah baru merasakan hatinya benar-benar
terperanjat bercampur bergidik, ia tidak menyangka pemuda
ini memiliki kepandaian silat yang begitu dahsyat.
Melihat serangan yang dilancarkan ke depan tidak mencapai
hasil, lhama berjubah merah ini segera bersuit nyaring,
sepasang ujung jubahnya bersama-sama dibabat ke depan
segencar tiupan angin topan dan curahan hujan badai.
Di dalam sekejap saja ia sudah melancarkan dua puluh satu
buah serangan berantai Dalam waktu yang amat singkat angin pukulan menderu
deru menyesakkan napas, pasir dan kerikil beterbangan
mengaburkan pandangan, daerah sekitar tiga kaki kena
terkurung dibawah sambaran ujung jubahnya.
Tan Kia-beng mengerti pertempuran malam ini menyangkut
mati hidup dari partai Bu-tong pay dikemudian hari, sepasang
telapak tangan segera dibentangkan keluar, tubuhnya
menerobos masuk ke dalam lingkaran cahaya merah kemudian
mengeluarkan ilmu pukulan "Swie Soat Peng Hun San Tiap
Sin" nya yang paling lihay.
Angin pukulan segera menderu-deru diiringi hawa dingin
yang menusuk tulang, laksana gelombang di tengah-tengah
samudra dengan gencarnya menerjang masuk ke dalam
lingkaran cahaya merah itu kemudian memecah dan
mengurung keseluruh angkasa.
Dengan demikian suatu pertempuran sengit yang amat seru
dengan cepat segera berlangsung dengan ramainya.
Kita balik pada Sak Ih yang bergebrak melawan Gien To Mo
Lei, walaupun sudah bergebrak sebanyak lima puluh jurus
lebih diantara mereka masih belum juga barhasil menentukan
siapa dia menang siapa yang kalah.
Dalam hati mulai merasa sangat cemas, pikirnya diam-diam.
"Bilamana cuma seorang manusia tak bernama yang tak
tahu diri saja aku sudah merasa sulit untuk meringkusnya,
buat apa aku ikut memperebutkan gelar jago pedang nomor
wahid dikolong langit?"
Gerakan pedangnya segera berubah, dengan cepat ilmu
pedang "Jan Jan Pek Swie Siauw Tiong Han nya dikeluarkan
tampaklah segunung cahaya tajam yang menyilaukan mata
membumbung tinggi keangkasa menggulung ke arah gerakan
golok musuh. Siapa sangka, masing-masing pihak ternyata mempunyai
maksud hati yang sama. Gien To Mo Lei yang merupakan
putra angkat dari majikan Isana Kelabang Emas bukan saja
mempunyai sifat yang tinggi hati bahkan tindakannya pun
sangat kejam dan telengas, cukup ditinjau dari tindakannya
membunuh Lo Hong-ing serta membokong Tan Kia-beng
sudah jelas kelihatan sekali.
Kini sesudah bergebrak beberapa saat melawan Sak ih
belum juga berhasil meringkus pihak lawannya, dalam hati ia
mulai merasa cemas bercampur kuatir.
Baru saja serangan gencar dari Sak Ih dikerahkan, jurus-
jurus beracunnyapun ikut mengalir keluar laksana air bah.
Terdengar suara dengungan keras diiringi pekikan keras
serasa naga saktinya membumbung tinggi ke tengah angkasa,
di tengah berkelabatnya bayangan manusia masing-masing
pihak budak pada berpisah dan mundur beberapa langkah ke
belakang. Bentrokan kekerasan yang baru saja terjadi ini sama sekali
tidak berhasil menentukan siapa yang menang siapa yang
kalah, tetapi dalam hati masing-masing, pada tahu untuk
merubuhkan pihak lawan bukanlah suatu pekerjaan yang
gampang. Si "Gien To Mo Lei" segera membabatkan golok
lengkungnya ke tengah udara, kemudian memperdengarkan
suara tertawanya yang amat menyeramkan.
"Heee.... heee.... bangsat cilik! bilamana kau punya
kepandaian, ayoh terimalah jurus serangan Hong Im Si Pian
ku ini!" Mendadak golok lengkungnya membentuk segumpalan
cahaya tajam keperak perakan kemudian laksana perputaran
bintang dilangit menekan ke arah bawah dengan sangat
gencar. Sreeet! Sreeet! Sreeet! laksana sebuah bukit golok
serangan tersebut menggulung datang dengan gencar dan
mengerikan. Buru-buru Sak Ih menggetarkan pedangnya membentuk
serangkaian bayangan bunga bunga pedang.
"Kau lihat saja aku orang she Sak hendak menghancurkan
jurus seranganmu itu!" bentaknya keras.
Criiinng! Criiing! Percikan bunga api menyambar keempat
penjuru, masing-masing pihak mundur dua langkah ke
belakang dengan sempoyongan.
Melihat serangannya gagal si Golok Perak Go Lun memutar
mutar biji matanya, selapis napsu membunuh dengan cepat
melintas di atas wajahnya mendadak ia memasukkan kembali
golok lengkungnya ke dalam sarung.
"Ilmu pedangmu sudah aku coba, mari sekarang kita adu
kepandaian dengan menggunakan kepalan kosong." teriaknya
setengah meraung. Tanpa berpikir panjang lagi Sak Ih pun segera memasukkan
pedangnya itu ke dalam. "Heee.... heeee.... sang majikan akan mengiringi maksud
hati tetamunya. aku orang she-Sak akan mengiringi
keinginanmu itu" serunya sambil tertawa dingin.
Di atas wajah Gien To Mo Lei kontan terlintaslah serentetan
senyuman kejam, mendadak tubuhnya mencelat ke depan, di
dalam waktu yang amat singkat kepalannya melancarkan
sembilan buah serangan gencar serta delapan buah tendangan
kilat, semua serangannya tersebut tertunjuk pada tempat
tempat yang berbahaya. Saat ini napsu membunuh pada benak Sak Ih pun sudah
berkobar, ia sama sekali tidak berkelit maupun menghindar
dari datangnya serangan tersebut.
Sepasang telapak tangannya segera dipentangkan, dengan
gerakan yang sama tidak banyak tidak kurang ia balas
mengirim tujuh belas buah pukulan dahsyat.
Masing-masing pihak dengan mengandalkan gerakan yang
tercepat untuk berusaha menundukkan pihak lawannya, di
dalam sekejap saja dua puluh jurus sudah berlalu tanpa
berhasil menentukan siapa yang menang siapa yang kalah.
Disebabkan oleh kejadian ini nafsu membunuh semakin
berkobar di dalam benak mereka, serangan serangan yang
dilancarkanpun semakin ganas dan semakin berbahaya.
Mendadak.... "Braaaak!" di tengah suara getaran yang
sangat keras, mereka berdua kembali mengadu tenaga dalam
untuk kedua kalinya. Leng Hong Tootiang yang dari jauh melihat kejadian ini
benar-benar mengerutkan alisnya rapat rapat, saking
kuatirnya sehingga tanpa terasa lagi kakinya mulai bergeser ke
tengah kalangan siap-siap melancarkan serangan disaat
sutenya menghadapi keadaan kritis.
Pada waktu itulah di tengah suara bentrokan yang keras,
Sak Ih muntahkan darah segar dan mundur terhuyung huyung
sejauh depa ke belakang. Sedangkan Gien To Mo Lei pun jatuh telungkup ke depan,
tetapi dikarenakan sifatnya yang sombong sebentar kemudian
ia sudah bangun berdiri dengan sempoyongan, tak kuasa lagi
pemuda suku Biauw inipun muntahkan darah segar.
Kiranya mereka berdua sama-sama sudah menderita luka
dalam yang amat parah. Sak ih dibawah bimbingan dua orang toosu berusia
pertengahan buru-buru mengundurkan diri dari kalangan,
sedang Gien To Mo Lei pun dibawah bimbingan seorang busu
suku Biauw mengundurkan diri dari tempat itu. Melihat
kejadian semakin lama semakin menegangkan si orang tua
berambut kuning yang mempunyai wajah sangat
menyeramkan itu segera maju dua langkah ke depan agaknya
ia sudah merasa tidak sabaran lagi.
"Hey! kau adalah seorang ciangbunjin sebuah partai besar,
mengapa tidak cepat-cepat turun tangan bergebrak dengan
Loohu?" teriaknya sambil menuding Leng Hong Tootiang.
"Sikapnya yang main sembunyi seperti cucu kura-kura boleh
dihitung manusia macam apakah itu?"
Walaupun Leng Hong Tootiang adalah seorang beribadat
yang punya iman tebal, setelah mendengar perkataan tersebut
hawa amarahnya berkobar juga, ia mendengus dingin
kemudian melangkah ke depan siap-siap untuk turun tangan.
Belum sempat dia melangkah dua tindak ke depan, si toosu
tua yang berdiam di belakang gunung tahu-tahu sudah
menjelang ke depan si kakek berambut kuning itu sambil
menjura. "Pinto Thian Liong Ci sudah lama tidak mencampuri urusan
dunia kangouw" katanya keren. Isana Kelabang Emas jauh
berada di gurun pasir dengan kami orang-orang Bulim di
daerah Tionggoan sama sekali tiada ikatan ikatan sakit hati
apapun, mengapa kalian beberapa kali berbuat jahat dengan
menjagali kawan-kawan Bulim" kali ini kalian mengirim tanda
Kouw Hung Leng Tiap kepada partai kami dengan maksud
hendak membasmi kami dari muka bumi, sebenarnya apakah
maksud tujuanmu" harap saudara suka memberi penjelasan!"
"Haaaa.... haa.... kau kira perkara ini bisa dijelaskan dengan
dua tiga patah kata saja?" Sela si kakek berambut kuning itu
sambil tertawa terbahak-bahak, Aku "Touw Yen Lu" atau si
Bangau Mata Satu cuma tahu menerima perintah untuk
datang kemari melaksanakan tugas, sedang soal omongan
yang tidak berguna rasanya malas untuk dibicarakan lagi, lebih
baik kau keluarkan kepandaianmu saja untuk menentukan
siapa yang lebih unggul diantara kita!"
Mendengar perkataan itu Thian Liong Ci mengerutkan
alisnya rapat-rapat kemudian tertawa terbahak-bahak dengan
nyaringnya, suara tertawa tersebut keras bagaikan pekikan
naga serta ringkikan bangau membuat seluruh angkasa
bergema dan bergetar tiada hentinya.
Daun dan ranting pada bergoyang keras, pasir beterbangan
memenuhi angkasa, hal ini jelas menunjukkan bagaimanakah
hebatnya tenaga dalam yang dimiliki sang toosu tua ini.
Air muka si Touw berubah hebat, di dalam pandangan
seorang jagoan semacam dia dalam sekali pandang saja ia
sudah tahu bagaimanakah sempurnanya ilmu lweekang toosu
itu. Ia sama sekali tidak menduga bila di dalam partai Bu-tong
pay masih ada seorang manusia yang demikian lihaynya, hal
ini membuat dirinya tak berani turun tangan secara gegabah.
Baru saja suara tertawa dari Thian Liong Ci sirap dari
tengah udara, di tengah kalangan pertempuran kembali
berlangsung suara getaran yang memekikkan telinga.
Tolunpak sang Lhama berjubah merah itu ternyata berhasil
dihantam oleh Tan Kia-beng dengan menggunakan jurus "Jiet
Ceng Tiong Thian" sehingga muntah darah segar dan
tubuhnya mencelat sejauh tujuh, delapan depa kemudian
rubuh dengan sempoyongan.
Sedangkan Tan Kia-beng sendiri pun tergetar mundur dua
langkah ke belakang oleh tenaga pantulan tersebut. Baru saja
kuda-kudanya berhasil dibetulkan, mendadak.... cepat
bagaikan sekuntum awan merah menubruk datang dimana
ujung jubahnya berkelebat segulung hawa pukulan laksana
tiupan angin topan menggulung ke bawah dengan ganas,
dahsyat dan mengerikan. Tan Kia-beng yang hawa murninya belum pulih tak berani


Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima datangnya serangan tersebut dengan keras lawan
keras, tubuhnya segera mencelat ke samping untuk
menghindar. Gelar dari Lhama ini adalah Khela dan merupakan suheng
dari Tolunpak. Ilmu "Budhie Sian Kang" nya sudah berhasil
dilatih mencapai delapan bagian kesempurnaan, silatnyapun
jauh lebih ganas dari Tolunpak.
Tubuhnya bagaikan seekor burung elang raksasa berputar
putar di tengah angkasa, kemudian sambil pentangkan jubah
warna merahnya segera menerjang ke atas tubuh Tan Kia-
beng. Tan Kia-beng yang melihat posisinya terdesak sehingga
dirinya berada dalam keadaan berbahaya, berturut-turut
melancarkan beberapa gerakan sekaligus, setelah bersusah
payah akhirnya ia berhasil juga untuk meloloskan diri dari
datangnya serangan tersebut.
Tetapi waktu itu serangan dari Khela sudah seperti orang
kalap saja, dahsyat dan lancar bagaikan titiran air hujan,
hanya di dalam waktu yang singkat ia berhasil mengurung
pemuda tersebut ke dalam lingkaran awan merahnya.
Si kakek tongkat perak yang melihat Tan Kia-beng berada
dalam keadaan bahaya, tongkat peraknya segera dibabat ke
depan dengan gencar. Belum sempat ia ikut menerjunkan diri ke dalam kalangan
dari pihak Isana Kelabang Emas segera muncul beberapa
orang Bu-su suku Biauw yang langsung menghadang
perjalanannya. "Heee.... heee.... hendak mengandalkan jumlah banyak
untuk merebut kemenangan." bentaknya keras.
Di tengah suara bentakan nyaring serangan melanda
datang bagaikan air bah, kontan saja si kakek bertongkat
perak kena terdesak mundur berulang kali.
Ketika itu It Jan Tootiang sudah berhasil membentuk
sebuah barisan Kiu Kong Kiam Tin kembali, melihat si kakek
tongkat perak kena terhadang ia segera memimpin anak
buanya menerjunkan diri ke dalam kalangan pertempuran.
Agaknya satu pertumpahan darah yang amat mengerikan
segera akan berlangsung kembali.
Terhadap kepandaian silat yang dimiliki Tan Kia-beng,
agaknya Leng Hong Tootiang mempunyai kepercayaan yang
amat besar bersama itu pula ia tidak ingin menciptakan
pertumpahan darah yang lebih besar, karena itu buru-buru
bentaknya. "It Jan sute, untuk sementara kau jangan keburu napsu.
Tan Sauw-hiap tidak akan menderita kalah!"
Sedikitpun tidak salah, pada waktu itu Tan Kia-beng sudah
berhasil menguasai keadaan kembali, telapak tangannya
laksana mengamuknya taupan serta menggulungnya ombak
disamudra balas menghajar ke arah tubuh musuhnya.
Sekalipun Khela memahami sakti "Budhie Sian Kang", tidak
urung kena didesak pula sehingga mundur ke belakang
berulang kali. Dalam keadaan gusar ia segera berseru nyaring, "Anjing
cilik! bilamana kau punya nyali, terimalah pukulan dari Hud-ya
mu ini!" teriaknya keras.
Sepasang ujung jubahnya dikebut ke depan sejajar dengan
dada, segulung awan merah yang tipis bagaikan kabut
mengikuti gerakan tersebut segera mendesak ke arah depan.
Kelihatannya gerakan itu lemah lembut tak bertenaga,
padahal sekalipun emas maupun baja akan hancur bila
tersambar oleh pukulan tersebut.
Tan Kia-beng mengerutkan alisnya rapat-rapat, sepasang
matanya berubah merah membara, sambil membentak keras
sepasang telapak tangannya didorong ke depan melancarkan
ilmu pukulan "Sian Im Kong Sah Mo Kang"
Begitu kedua gulung hawa pukulan tersebut terbentur
menjadi satu maka terdengarlah suara ledakan yang
memekikkan telinga. angin taupan melanda keempat penjuru
memaksa tubuh Tan Kia-beng tak tertahan lagi mundur tujuh,
delapan langkah ke belakang.
Khela sendiripun kena terdesak mundur sebanyak tiga,
empat langkah, tak terasa lagi ia tertawa aneh dengan
seramnya. "Heee.... heee.... ilmu pukulan aliran hitam yang demikian
ganas pun bisa muncul di atas gunung Bu-tong-san, sungguh
menggelikan sekali," ejeknya.
"Kau tidak usah keburu merasa bangga," teriak Tan Kia-
beng sambil membetulkan kuda kudanya dan tertawa panjang.
"Aku suruh kau merasakan pukulanku!"
Sepasang telapak tangannya membentuk gerakan Thay
khek di tengah udara kemudian ditekan ke arah depan.
Dua gulung asap hijau serta asap putih dengan hebatnya
lantas meluncur ke depan dengan kecepatan laksana kilat.
Khela yang melihat serangannya dilancarkan ke depan
dengan begitu halus tak bertenaga, di dalam anggapannya
pemuda itu kembali melancarkan serangan dengan ilmu
kepandaian semacam "Sian Im Kong Sah Mo Kang", ia sama
sekali tak ambil gubris. Ujung jubahnya disambar ke arah depan dengan gunakan
delapan, sembilan bagian tenaga sakti "Budhie Sian Kang"
nya. Dalam hati ia ada maksud menggunakan jurus serangan ini
hendak memukul luka musuh tangguhnya ini.
Siapa sangka.... begitu kedua gulung hawa pukulan
tersebut terbentur jadi satu, ia baru merasakan keadaan
sedikit tidak beres. Untuk menarik diri sudah tak sempat lagi di tengah suara
jeritan ngeri yang menyayat hati, tubuhnya terpental setinggi
dua kaki ke tengah udara. Dari mulutnya muntahkan darah
segar dengan derasnya. Dimana angin gulung bertiup lewat, semburan darah segar
tersebut menyebar keempat penjuru bagai curahan hujan
deras. Ilmu pukulan "Jie Khek Kun Yen Kan Kun So" dari Tan Kia-
beng ini adalah sebuah ilmu kepandaian istimewa, semakin
besar tenaga perlawanan yang dilancarkan pihak musuh maka
daya kekuatan pukulannya pun semakin besar.
Dalam keadaan terdesak tadi ia sudah menggunakan ilmu
saktinya ini, kontan saja membuat seluruh hadirin yang ada di
dalam kalangan jadi terperanjat semua dibuatnya.
Terutama Si Touw Yen Lu yang menaruh perhatian serius
terhadap ilmu pukulan tersebut mendadak tubuhnya
berkelabat ke depan mendekati Tan Kia-beng.
Tindakannya ini sama sekali bukan bermaksud meminjam
kesempatan itu hendak membokong Tan Kia-beng, sebaliknya
ia hendak menyelidiki asal usul dari ilmu kepandaian tersebut.
Sebaliknya Thian Liong Ci yang berdiri dihadapannya sudah
salah menyangka maksud hatinya, melihat dia melayang ke
depan iapun segera ikut mencelat ke depan menghalangi jalan
perginya. "Heee.... heee.... tindakan dari saudara bukankah kurang
terus terang?" serunya sambil tertawa dingin.
Si Bangau Mata Satu sudah terbiasa bersikap tinggi hati,
iapun malas untuk memberikan penjelasan, telapak tangannya
itu dengan ringan lantas didorong ke depan.
"Jadi kau merasa tidak puas?" jengeknya.
"Bu Liang So Hud!" seru Thian Liong Ci sambil menjura.
"Pinto memang ada maksud minta beberapa petunjuk
kepandaian sakti yang dimiliki saudara."
Sewaktu mereka berdua sedang berbicara itulah secara
diam-diam masing-masing pihak sudah saling mengukur
tenaga lweekang pihak lawannya, walaupun begitu tubuh
mereka sama sekali tidak bergerak sedikitpun, jelas kekuatan
mereka adalah seimbang. Tetapi diam-diam Thian Liong Ci merasa terperanjat juga,
usianya pada tahun ini sudah mencapai sembilan puluh. Ilmu
lweekangnyapun sudah berhasil dilatih mencapai taraf
kesempurnaan, tetapi saat ini ia tidak dapat mengapa apakan
pihak lawannya. Hal ini jelas menunjukkan kalau si Bangau
Mata Satu ini bukanlah manusia sembarangan.
Selagi kedua orang itu siap mengerahkan hawa murninya
untuk suatu pertempuran yang sengit, mendadak di depan
ruang Yen Si Tien berkumandang datang suara pujian kepada
Sang Buddha yang amat keras disusul munculnya seorang
hweesio gemuk besar yang memakai jubah abu abu dengan
memimpin delapan belas orang hweesio bersenjata toya
melayang datang. "Pinceng Hwee Gong dari Siauw-lim-sie mendapat perintah
dari ciangbunjin untuk menunggu perintah dari tootiang,"
ujarnya sambil menjura ke arah Leng Hong Tootiang
"Terima kasih atas bantuan kalian.... Silahkan masuk ke
dalam ruangan," seru Leng Hong Tootiang buru-buru sambil
membalas hormat. Baru saja perkataan itu selesai diucapkan, kembali
terdengar suara ujung baju yang tersampok angin. Delapan
orang tosu berjubah merah dengan menyoren pedang bagai
delapan kuntum awan merah melayang turun dari atas
wuwungan rumah bangunan Yen Si Tien tersebut.
"Kun-lun Pat To menghunjuk hormat buat supek!" seru
mereka hampir serentak sambil memberi hormat.
"Haaa.... haaa.... tidak kusangka saudara-saudara sekalian
suka turun tangan memberi bantuan kepada kami, hal ini
membuat aku Leng Hong merasa sangat menyesal sekali" seru
Leng Hong Tootiang sambil tertawa terbahak-bahak.
Mendadak dari kejauhan berkumandang datang suara
tertawa terbahak-bahak disusul suara yang menyambung
perkataan yang lain, "Tujuh partai besar selamanya bersatu
padu sejak kapan pernah terpecah belah" ini hari aku orang
she Loo Hu baru tersadar kembali dari impian!"
Sreeet! laksana anak panah yang terlepas dari busur tahu-
tahu Loo Hu Cu sudah melayang mendatang dari mulut
gunung. Di dalam sekejap saja kekuatan dari partai Bu-tong pay
berlipat ganda, si Bangau Mata Satu yang melihat beberapa
orang pembantu utamanya sudah menderita luka parah
sedang pihak lawan memperoleh bala bantuan yang begitu
kuat, dalam hati tahu bila rencananya malam ini sudah
menemui kegagalan. Mendadak ia merangkap tangannya menjura ke arah Thian
Liong Ci. "Gunung nan hijau tak akan berubah, air yang tenang tetap
mengalir, pertempuran kita malam ini lebih baik ditunda
sampai kemudian hari saja!" serunya.
Tubuhnya lantas mencelat ke tengah udara sambil berteriak
keras, "Bubar!"
Tubuhnya bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari
busur segera melayang melewati tembok pekarangan, di
dalam beberapa kali kelebatan saja sudah lenyap tak
berbekas. "Haaa.... haaa.... kalian boleh mengundurkan diri secara
perlahan-lahan, kami pihak Bu-tong-pay bukanlah manusia
manusia yang suka melakukan pembunuhan secara besar
besaran" seru Thian Liong Ci sambil tertawa tergelak.
Menanti orang-orang dari Isana Kelabang Emas sudah pada
membubarkan diri, semua ia baru putar badan dan menghela
nafas panjang, dengan wajah yang amat serius ujarnya
kepada Leng Hong Tootiang, "Walaupun diluaran partai kita
yang memperoleh kemenangan dalam pertempuran malam ini
tetapi pihak kita sudah mengeluarkan seluruh kekuatan yang
ada bahkan memperoleh pula bantuan yang amat berharga
dari Tan Sauw-hiap, sebaliknya orang lain tidak lebih cuma
menggunakan sebagian kekuatannya saja, soal ini kau harus
mengerti dan selalu waspada.
Buru-buru Leng Hong Tootiang memberi hormat.
Nasehat dari Supek sedikitpun tidak salah. tecu akan
memperhatikan terus"
"Ehmmm! sekarang kau pergilah menyambut kedatangan
para tetamu...." ujar Thian Liong Ci lagi sambil ulapkan
tangannya "Bagaimana dengan luka Ih jie" suruh mereka
hantar dirinya ke belakang gunung"
Setelah itu sambil tersenyum ia mengangguk pula ke arah
Tan Kia-beng kemudian baru melayang ke arah gunung
sebelah belakang. Ketika itu It Jan Ci sudah memerintahkan anak buahnya
untuk mengubur mereka yang mati dan merawat mereka yang
terluka, kemudian bersama-sama berkumpul ke dalam
ruangan Yan Si Tien. Para tetamu yang hadir pada saat ini kebanyakan pernah
melakukan pertempuran dengan Tan Kia-beng, dan boleh
dikata mereka merupakan musuh musuh besarnya.
Oleh karena itu untuk menghindarkan hal-hal yang tidak
diinginkan, Tan Kia-beng segera bangun berdiri mohon pamit.
"Musuh tangguh yang menyerang partai Bu tong sudah
berlalu, cayhe pun akan mohon pamit, bersamaan itu pula aku
hendak melakukan pengejaran terhadap mereka dan
melakukan penyelidikan terhadap gerakan Isana Kelabang
Emas kali ini. Pada saat ini Loo Hu Cu seperti sudah berganti dengan
manusia yang lain mendadak ia berjalan ke depan dan
mencekal tangan pemuda itu erat-erat.
Peristiwa yang pernah terjadi tempo dulu, kebanyakan
ditimbulkan karena kesalah pahaman," ujarnya perlahan. "Tan heng tidak usah merasa sakit hati lagi karena urusan ini. Kini
kalangan Bulim di daerah Tionggoan sudah terancam oleh
suatu peristiwa pembunuhan secara besar besaran, kau
janganlah menyingkir dari sini! Mari kita bersama-sama
mengatur siasat untuk menghadapi mereka."
Ia merandek sejenak kemudian setelah hela napas panjang
tambahnya, "Terus terang saja pinto katakan, tindakanku
tempo dulu memang mengandung maksud untuk merebut
gelar jagoan pedang nomor wahid dari kolong langit itu, tetapi
setelah mengalami berbagai kejadian aku baru merasa bila
pikiranku tempo dulu sebenarnya terlalu tak tahu diri!"
Tan Kia-beng yang secara mendadak melihat ia berubah
seratus delapan puluh derajat dalam hati merasa rada ada
diluar dugaan, buru-buru sambungnya, "Ilmu pedang Tootiang
sangat tinggi dan memang sepatutnya mendapatkan gelar
jago pedang nomor wahid dikolong langit, sedang mengenai
urusan yang telah silam masing-masing pihak merasa sulit
untuk menghindarkan diri, cayhepun merasa ada tempat
tempat yang tidak benar."


Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leng Hong Tootiang sewaktu melihat sikap Loo Hu Cu sama
sekali berubah, dalam hatipun merasa kegirangan, dengan
cepat ia menimbrung dari samping, "Urusan yang sudah silam
biarkanlah berlalu dan tidak usah diungkap kembali. Saudara
saudara sekalian silahkan ambil tempat duduk. Pinto ada
urusan penting yang hendak disampaikan kepada saudara
saudara sekalian." Ia merandek sejenak kemudian dengan wajah serius
sambungnya kembali, "Dihadapan kita saat ini ada dua
persoalan yang harus kita selidiki, pertama. Mengapa secara
tiba-tiba pihak Isana Kelabang Emas melakukan penyerbuan
ke atas kuil Sam Cing Kong digunung Bu-tong san ini" setelah
kejadian ini apakah tindakan tersebut dapat dilakukan pula
terhadap partai-partai yang lain" Kedua, secara bagaimana
saudara saudara sekalian bisa mengetahui kalau partai kami
kena diserang dan segera berangkat kemari untuk memberi
pertolongan?" "Menurut penglihatan dari aku si pengemis tua" sambung
kakek tongkat emas Thio Cau dengan cepat. "Bilamana
gerakan penyerbuan ke atas gunung Bu-tong san pada malam
ini berhasil mencapai pada sasarannya maka pihak Isana
Kelabang Emas segera akan melakukan penyerbuan secara
besar-besaran keseluruh Bulim, tetapi ternyata malam ini
mereka tidak berhasil memperoleh hasil kemungkinan sekali di
dalam suatu jangka waktu tertentu mereka akan bungkamkan
diri. Sedangkan mengapa pihak musuh melakukan penyerbuan
ke atas gunung Bu-tong, menurut penglihatan aku si pengemis
tua, maksud tujuan dari Isana Kelabang Emas adalah hendak
menguasahi seluruh Bulim di daerah Tionggoan. Bu-tong-pay
tidak lebih hanya sasaran mereka yang pertama."
"Omintohud!" puji Hwee Gong Thaysu dari Siauw-lim-pay.
"perkataan dari Thio Thay hiap sedikitpun tidak salah,
kedatangan partai kami untuk memberi pertolongan kepada
pihak Bu-tong pay tidak lebih hanya kebetulan saja, setelah
peristiwa kereta maut, hampir boleh dikata pandangan seluruh
partai sudah ditujukan ke gurun pasir, karena itu sewaktu
segerombolan manusia-manusia aneh itu memasuki daerah
Tionggoan mata-mata yang disebar berbagai tempat partai
segera mendapatkan berita ini, ternyata gerak gerik mereka
sangat mencurigakan sekali, terutama di sekitar daerah Mo
Pak. Hal ini jelas membuktikan bahwa tujuannya sudah tentu
partai Bu-tong-pay, karenanya ciangbunjin kami segera
memberi perintah agar pinceng sekali setiap saat bersiap sedia
memberi bantuan pada pihak Bu tong."
Perlahan-lahan Leng Hong Tootiang menghela napas
panjang. "Heeei.... jika demikian adanya, tindakan dari partai kami
sedikit rada gegabah"
"Soal ini sih bukan demikian adanya...." bantah Loo Hu Cu
sambil menggeleng. "Inilah yang dimaksudkan dengan yang
menghadapi bingung yang menonton terang. Too heng pun
tak perlu terlalu menyalahkan diri sendiri, hal yang penting
pada saat ini adalah secara bagaimana menghadapi tantangan
bertempur yang telah disampaikan oleh pihak Isana Kelabang
Emas!" Mendengar perkataan tersebut si kakek tongkat perak
segera berteriak keras, "Bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh. aku percaya semua partai yang ada di daerah
Tionggoan suka menggabungkan diri untuk bersama-sama
menghancurkan musuh tangguh. Peristiwa di atas gunung Bu
tong pada malam ini merupakan suatu bukti yang nyata, aku
si pengemis tua segera akan melaporkan urusan ini kepada
Pangcu kami, maaf aku harus mohon diri terlebih dulu!"
Selesai berkata ia bangun berdiri, menjura keempat penjuru
kemudian meloncat keluar dari ruangan tersebut.
Tujuan kedatangan Tan Kia-beng ke atas gunung Bu tong
kali ini, tidak lain adalah pertama mencari tahu waktu
diadakannya pertemuan puncak para jago. Kedua,
mempersatukan kekuatan seluruh partai untuk bersama-sama
membendung serbuan dari Isana Kelabang Emas.
Kini melihat para pemimpin semua partai sudah tersadar
kembali, hal ini menunjukkan bila urusan tersebut tak usah
dikuatirkan olehnya kembali.
Sekarang tinggal soal kapan diselenggarakannya pertemuan
puncak para jago, bilamana seperti yang dikatakan Leng Hong
Tootiang, pertemuan tersebut hendak diundur, maka
menggunakan kesempatan yang sangat baik ini ia tidak
hendak melakukan perjalanan ke gurun pasir.
Tempo dulu yang dikuatirkan keselamatannya cuma "Ban
Lie Im Yen" Lok Tong, suhunya seorang saja, tetapi kini iapun
harus merasa kuatir terhadap keselamatan dari suhengnya Si
Penjagal Selaksa Lie" Hu Hong beserta "Pek Ih Loo Sat" Hu Siauw-cian.
Disamping itu semua, iapun ingin membongkar rahasia
lenyapnya Cu Swie Tiang Ciang bertiga di gurun pasir, jika
didengar dari perkataan dari bercelana hijau Lo Hong-ing,
agaknya mereka bertiga masih hidup dan cuma tertawan oleh
pihak Isana Kelabang Emas saja.
Hanya sayang eprkataan dari Lo Hong-ing belum selesai
diucapkan ia sudah dibunuh mati oleh Gien To Mo Lei, dengan
demikian keadaan yang sebenarnya jadi tidak diketahui jelas.
Selagi pemuda ini putar otak dan termenung berpikir keras,
mendadak terdengar Hwee Gong Siansu dari Siauw-lim-pay
sudah buka mulut kembali.
"Supek kemi Yen Yen Thaysu meminta pinceng untuk
menyampaikan suatu kabar kepada Thian Liong Cianpwee
mengenai pertemuan puncak para jago di atas gunung Ui san
yang akan datang" katanya perlahan, "Setelah dirundingkan
dengan Liok lim Sin Ci dan meminjam pula keadaan situasi
Bulim saat ini yang lagi kacau maka pertemuan tersebut
bermaksud hendak kami undur selama setahun kemudian,
entah bagaimana pendapat dari dia orang tua?"
"Menurut pendapat pinto sendiri, rasanya keputusan ini
memang sangat cocok sekali" jawab Leng Hong Tootiang
setelah termenung sebentar. "Tetapi mengenai urusan ini lebih
baik Siansu rundingkan sendiri dengan supek kami."
Ia lantas memerintahkan seorang toosu cilik yang ada
dibelakangnya untuk memimpin Hwee Gong thaysu menuju ke
belakang gunung guna menemui Thian Liong Ci.
Tan Kia-beng yang mendengar toosu tersebut sedang
membicarakan soal pertemuan puncak digunung Ui san, ia
merasa inilah suatu kesempatan yang paling baik untuk
mencari berita, buru-buru tanyanya, "Tootiang! Tolong tanya
pertemuan puncak para jago di atas gunung Ui san ini
diputuskan oleh siapa yang siapa pula penyelenggaranya"
siapa pula yang berhak ikut serta di dalam pertemuan ini?"
"Sebetulnya pertemuan ini pada mula hanya diadakan oleh
beberapa orang sahabat karib untuk saling mengukur
kepandaian silat masing-masing." kata Leng Hong Tootiang
mulai memberi keterangan. "Tetapi akhirnya orang-orang yang
mengikuti pertemuan ini semakin lama semakin banyak dan
akhirnya berubah menjadi suatu pertemuan sekali dalam lima
tahun untuk memperebutkan gelar 'Jago pedang nomor wahid
dikolong langit' tempo dulu pertemuan ini tak ada yang
bertindak sebagai penyelenggara, menanti pada dua
pertemuan yang lalu kami baru berhasil menentukan suatu
peraturan, baik dari golongan Hek-to maupun dari golongan
Pek-to masing-masing kita memilih dua orang ciangpwee yang
mempunyai kedudukan tinggi, ditambah pula dengan jago
pedang pada pertemuan yang lalu sehingga berjumlah lima
orang bergabung sebagai sebuah panitia penyelenggara.
Barang siapa yang pernah belajar ilmu silat, tidak perduli
dari golongan apapun mereka berhak untuk ikut serta di dalam
pertemuan ini. "Sedang panitia penyelenggara pertemuan puncak para
jago pada kali ini masing-masing adalah Yen Yen Thaysu dari
Siauw-lim-pay serta Thian Liong Tootiang dari Bu-tong-pay
golongan Pek-to kemudian Liok lim Sin Ci serta Hay Thian Shin
shu mewakili golongan Hek-to.
"Bilamana salah satu yang termasuk sebagai panitia
penyelenggara mati atau disebabkan sesuatu urusan tak dapat
hadir, maka orang itu boleh memberikan tanda pengenal
pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya
melakukan tugas" Saat itulah Tan Kia-beng baru tahu situasi yang jelas
mengenai pertemuan puncak para jago di atas gunung Ui san,
tak terasa diam-diam, "Diantara lima orang penyelenggara
sudah ada tiga orang yang setuju bila pertemuan puncak
tersebut diundur penyelenggaraannya.
Cu Swie Tiang Ciang pun jauh lenyap di gurun pasir, aku
rasa pertemuan ini sudah pasti akan diundur, kenapa ada
orang tidak menggunakan kesempatan yang sangat baik ini
untuk berangkat ke gurun pasir?"
Setelah mengambil keputusan, iapun lantas bangun berdiri
untuk mohon pamit. "Cayhe sudah lama sekali datang mengganggu ketenangan
Tootiang, karena ada sedikit urusan yang hendak diselesaikan,
maaf cayhe akan mohon diri terlebih dulu" katanya.
Selesai berkata tubuhnya lantas meloncat keluar dari
ruangan Yen Si Tien dan berlari turun gunung.
Terkisahkan Tan Kia-beng seorang diri dengan menunggang
kuda melakukan perjalanan cepat menuju ke gurun pasir.
Dia adalah seorang Tionggoan ketujuh yang melakukan
perjalanan menuju ke gurun pasir, sudah tentu perkataan ini
diucapkan menurut apa yang ia ketahui. Disamping itu masih
ada pula orang-orang yang tak dikenal atau tak diketahui
olehnya yang berangkat ke gurun pasir berapa jumlah yang
pasti tentu saja ia tidak faham.
Sembari melanjutkan perjalanan, hatinya terus menerus
berpikir, "Cu Swie Tiang Cing, Tan Ci Lian Thiat Bok Tootiang
serta Leng Siauw Kiam khek semuanya merupakan jagoan
lihay dari Bulim mengapa diantara mereka bertiga tak seorang
pun yang berhasil kembali ke Tionggoan dengan selamat"
dengan mengandalkan kepandaian silat yang mereka miliki
bagaimana mungkin bisa bersama-sama terjebak di dalam
cengkeraman pihak musuh"
Disamping itu suhunya si "Ban Lie Im Yen" Lok Tong
walaupun kepandaian silatnya tak dapat melampaui ketiga
orang yang ada di depan tetapi dengan pengalamannya yang
luas serta kepergian yang terencana bagaimana mungkin tak
ada kabar beritanya pula" dia harus berusaha untuk
memecahkan teka teki ini dengan mengandalkan seluruh
kepandaian silat yang dimilikinya ia hendak mengadu kekuatan
dengan orang-orang Istana Kelabang Emas.
JILID: 2 Karena si "Penjagal Selaksa Lie" Hu Hong, Pek Ih Loo Sat
serta Ui Tootiang berturut turut sudah berangkat ke gurun
pasir, ia harus mengejar dan menyusul mereka.
Oleh sebab itu selama diperjalanan jarang sekali ia
berhenti, tidak lama kemudian sampailah pemuda itu didaeran
luar perbatasan yang paling ditakuti oleh kaum pelancong....
Saat itu musim rontok baru mulai, padang rumput, di
daerah Kang Lam walaupun masih menghijau tetapi di daerah
diluar perbatasan sudah mengering dan mulai berubah jadi
layu, angin dingin bertiup serasa menyayat wajah. padang
pasir terbentang tiada ujung pangkalnya....
Pandangan ini benar-benar membuat hati terasa sedih,
sunyi dan seram.... Sang pemuda yang dibesarkan di daerah Kang Lam, setelah
melihat pemandangan di sekitar sana yang begitu
mengenaskan, tak terasa lagi ia mulai bersenandung syair dari
penyair terkenal Cang Jien Leng
"....Tetamu dari luar perbatasan, berkawan dengan pasir
dan debu, jangan belajar pendekar kelana, bersenandung
sambil menuntun keledai...."
Diam-diam pikirnya kembali, "Tidak kusangka gurun pasir
adalah demikian sunyi dan seramnya, asap rumah
pendudukpun tidak kelihatan, aku harus pergi kemana untuk
mencari Isana Kelabang Emas tidak aneh kalau orang-orang
tempo dulu paling takut melakukan perjalanan melalui tempat
ini" Setelah merasa ragu ragu sejenak, akhirnya ia membakar
dan memberi samangat pada diri sendiri, "Teringat aku orang
she Tan adalah seorang lelaki sejati yang berhasil memiliki
kepandaian silat amat tinggi, seharusnya aku berusaha keras
untuk menemukan sarang kaum penjahat dan membasminya
dari muka bumi, kenapa cuma sedikit siksaan yang belum apa
apa ini sudah membuat dirimu putus asa?"
Teringat akan hal ini, semangatnya pun mulai berkobar
kembali, mendadak ia mengempit kencang lambung kudanya.
Diiringi suara ringkikan yang keras, kembali pemuda
tersebut melanjutkan perjalanannya di atas padang pasir yang
sunyi dan tiada ujung pangkalnya itu.
Sang surya perlahan-lahan lenyap dibalik permukaan tanah,
angin dingin mulai bertiup menyayatkan wajah malam hari
perlahan-lahan mulai menjelang datang.
Ketika itu Tan Kia-beng masih melakukan perjalanan cepat
di atas gurun pasir, walaupun semangatnya berkobar-kobar
untuk menaklukan padang pasir yang tiada ujung pangkalnya
ini tetapi saat ini ia merasaakan kesedihan juga di dalam
hatinya. Akhirnya ia menggertak gigi kencang dan menelan ludah
untuk membasahi kerongkongannya, kemudian melarikan
kudanya kembali ke depan.
Mendadak.... Disebelah kiri dibawah sebuah bukit batuan yang tinggi
secara samar-samar memancar keluar serentetan cahaya
lampu. Keadaan dari Tan Kia-beng waktu itu seperti telah
menemukan sesuatu yang berharga, tanpa berpikir panjang
lagi kudanya segera dilarikan ke arah berasalnya sinar itu.
Setelah kudanya mendekati tempat tersebut, ia baru
menemukan bila tempat itu boleh dikata merupakan sebuah
sorga di tengah padang pasir.
Tempat itu merupakan sebuah tebing gunung yang putih
bersih, terdapat pula pohon pohon yang rindang serta air yang
putih bersih. Sinar lampu yang ditemuinya tadi ternyata beradal dari
sebuah gua tebing disisi kolam tersebut.
Dengan cepat ia meloncat turun dari kudanya, baru saja ia
hendak menyapa, mendadak dari balik gua sudah


Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkumandang keluar suara seseorang yang amat merdu
sekali, "Tia! seperti ada orang datang."
"Sejak tadi Tia mu sudah tahu!" sahut seseorang dengan
suara serak dan agak tidak sabaran. "Coba kau tanya, dia
datang kemari hendak berbuat apa"
Diikuti dari balik gua menongol keluar sebuah batok kepala
yang bertanya dengan suara merdu, "Eeei.... kau datang
kemari mau apa?" "Cayhe sedang melakukan perjalanan lewat sini"
"Cis....! Siapa yang tidak tahu kalau kau adalah tetamu
yang melakukan perjalanan dan lewat tempat ini, aku tanya
kau hidup dengan bekerja sebagai apa?"
Hal ini seketika itu juga membuat Tan Kia-beng merasa
susah untuk menjawab. Selama ini ia tak pernah bekerja
apapun untuk hidup, lalu secara bagaimana diriya pada saat
ini harus memberikan jawaban"
Setelah termenung berpikir sebentar, mendadak teringat
olehnya akan syair yang pernah disenandungkan olehnya
tempo dulu, ".... Jangan belajar pendekar kelana,
bersenandung sambil menuntun keledai."
Dengan keras segera sahutnya, "Seorang pendekar kelana!"
Ketika itulah suara yang serak dan tua kembali
berkumandang keluar, "Suruh dia masuk!"
"Tia suruh kau masuk!" lanjut suara yang merdu tadi
dengan keras. Perkataan-perkataan yang diucapkan sama sekali tidak
pakai aturan dan tidak tahu sopan santun ini, bilamana
dihadapi Tan Kia-beng pada hari-hari biasa, ia tentu tak akan
suka untuk masuk ke dalam gua tersebut.
Tapi saat ini mau tak mau terpaksa ia harus masuk ke
dalam gua sambil menundukkan kepalanya.
Begitu berada di dalam gua, ia merasakan pandangannya
jadi terang benderang. Kiranya ruangan di dalam gua tersebut
sangat lebar sekali bahkan ruangan itu dapat dibagi menjadi
ruangan depan serta ruangan belakang.
Meja, kursi, pembaringan bangku, tungku dan bermacam-
macam alat keperluan sehari hari semuanya terdapat dalam
ruangan tersebut, seorang kakek tua berambut panjang yang
berbadan bongkok duduk bersila di atas pembaringan.
Disisi pembaringan tersebut berdirilah seorang nona yang
rambutnya dikuncir menjadi dua bagian.
Walaupun pakaian yang dikenakan nona ini adalah pakaian
rakyat Mongolia tetapi tak dapat menutupi kecantikan
wajahnya yang benar-benar sangat menarik itu, terutama
sekali sepasang biji matanya yang bulat besar dan jeli serta
kedua buah sujennya yang menarik hati hal ini membuat
jantungnya terasa rada berdebar pikirnya, "Tidak kusangka di
daerah yang demikian sunyi dan sepinya ternyata bisa muncul
seorang nona yang sedemikian cantiknya"
Walaupun di dalam hati ia berpikir demikian tetapi sinar
matanya tidak berani memandang ke arah nona itu terlalu
lama sambil menundukkan kepalanya pemuda itu langsung
berjalan kehadapan si orang tua tersebut lalu menjura.
"Cayhe sedang melakukan perjalanan jauh dan kini
kemalaman sehingga harus mengganggu ketenangan Loo
tiang, bilamana kau orang tua merasa leluasa ijinkanlah cayhe
untuk menginap semalam disini."
Si kakek tua itupun agak dibuat keheranan oleh munculnya
sang pemuda tersebut melihat wajahnya yang gagah serta
sikapnya yang romantis keadaannya mirip sebagai seorang
terpelajar tetapi ia menyebutkan dirinya pendekar kelana, hal
ini jelas menunjukkan bila ia pun memiliki kepandaian silat.
Tetapi mengapa gerak geriknya sama sekali tidak mirip
sebagai seorang jagoan" tak terasa lagi pikirnya kembali,
"Apakah tenaga dalamnya sudah berhasil dilatih hingga
mencapai pada puncak kesempurnaan?"
Setelah ragu ragu sejenak kembali ia membantah sendiri
pendapatnya itu. "Tidak! tidak mungkin. bila ditinjau dari usianya, dia tidak
lebih baru berusia dua puluh tahunan."
Apa yang dipikirkan olehnya sangat tepat tenaga lweekang
yang dimiliki Tan Kia-beng pada saat ini benar-benar sudah
berhasil mencapai pada puncak kesempurnaan seperti apa
yang dipikirkan oleh si orang tua itu apalagi sesudah ilmu
pukulan "Jie Khek Kun Yen Kan Kun So" nya berhasil miliki
boleh dikata hawa murni yang didapatkan dari Han Tan
Loojien pada saat ini hampir separuh bagian sudah bersatu
dan bergabung dengan kekuatan yang ditimbulkan dari pil ular
raksasa seribu tahun itu.
Atau boleh dikata setiap kali ia menemui suatu pertempuran
yang sengit, tenaga dalamnyapun memperoleh kemajuan satu
tingkat lebih sempurna, hanya saja ia sendiri sama sekali tidak
merasakan. Tan Kia-beng yang mengajukan permohonan untuk
menginap semalam disana ternyata sama sekali tidak
memperoleh jawaban yang memuaskan hati dari si orang tua
itu. "Entah Khek koan ada maksud hendak pergi kemana
sehingga harus menginap semalam disini?" balik tanyanya
dengan nada sangat dingin.
Pertanyaan ini benar-benar membuat Tan Kia-beng
gelagapan setengah mati. Thian tahu bila maksud tujuan
datang ke gurun pasir adalah hendak mencari tahu letak Isana
Kelabang Emas. Tetapi dimana Isana Kelabang Emas itu berada dia
sendiripun sama sekali tidak tahu, sudah tentu kepergiannya
kali inipun tak ada tujuan yang tertentu, dengan demikian
pemuda tersebut harus memberikan jawabannya dengan kata-
kata yang bagaimana"
Lama sekali, akhirnya dengan paksakan diri ia menyahut,
"Tujuan cayhe adalah berkelana diseluruh daerah luar
perbatasan, dengan demikian tujuannya tertentu tak ada"
"Oooouw.... begitu"....." jengek si orang tua itu sambil
tertawa dingin. Cukup dua patah kata sudah mengandung berbagai
persoalan yang mencurigakan didalamnya.
Tampaklah sang nona yang berada disisi orang tua itu
segera mencibirkan bibirnya.
"Hmmm! Melihat bentuk tubuhnya kelihatan kau adalah
seorang yang jujur, kiranya kaupun seorang pembohong,"
serunya keras. Tan Kia-beng segera mengerutkan alisnya baru saja hendak
memberi penjelasan, si orang tua itu sudah mengulapkan
tangannya. "Siapa yang suruh kau banyak bicara! Cepat siapkan sedikit
makanan untuk menangsal perut tetamu yang sedang
kelaparan ini" perintahnya.
Kembali nona itu mencibirkan bibirnya setelah itu baru
putar badan berjalan menuju kegua sebelah belakang.
Tan Kia-beng yang melihat sikap dari kedua orang itu
segera merasakan bila keadaan situasi di tempat tersebut
sama sekali tidak cocok dengan kebiasaannya. Lama sekali ia
harus berpikir untuk mengucapkan sesuatu patah kata.
"Loo tiang tahukah kau di tengah gurun pasir ini ada
sebuah Isana Kelabang Emas?" akhirnya dia bertanya.
Diam-diam si orang tua itu menganggukkan kepalanya
berulang kali. "Ehmmm....! ternyata sedikitpun tidak salah" pikirnya diam-diam sedang diluaran sengaja ia bersikap wajar, jawabnya,
"Isana Kelabang Emas memang ada, cuma saja tidak jelas
tempatnya yang pasti, Khek koan! apakah kau hendak pergi
kesana?" "Benar!" "Entah apa maksudmu pergi kesana?"
"Soal ini...." "Apakah kau memiliki tanda pengenal?"
Tan Kia-beng segera merasakan hatinya rada bergerak,
buru-buru dari dalam sakunya ia mengambil keluar tanda
pengenal pualam yang didapatkan dari si pencuri sakti Su Hay
Sin Tou untuk ditunjukkan kepada si orang tua itu.
"Tanda pengenal pualam ini sebagai bukti" katanya.
Ia menganggap si orang tua ini adalah mata mata dari
Isana Kelabang Emas sehingga ia telah pura pura berlagak
pinter dan mengeluarkan tanda pualam tersebut.
Siapa sangka justru disebabkan tingkahnya ini hampir
hampir saja nyawanya ikut melayang secara mengeewakan.
Si orang tua itu segera menerima medali pualam itu untuk
dipandang sekejap. selintas hawa napsu membunuh dengan
cepat berkelebat di atas wajahnya yang tua, tetapi sebentar
kemudian sudah pulih kembali seperti sedia kala.
"Aaah....! tidak kusangka usia Khek koan kecil ternyata
sudah memperoleh penghargaan yang begitu tinggi dari
majikan Isana Kelabang Emas" seru si orang tua itu sambil
mengembalikan medali pualam itu ketangannya, "Sungguh
mengagumkan.... sungguh mengagumkan! tetapi entah Khek-
koan berasal dari partai mana?"
Bilamana semisalnya secara terus terang ia mengucapkan
nama dari suhunya "Ban Lie Im Yen" Lok Tong, kemungkinan
sekali tidak bakal terjadi suatu urusan, justru pada saat ini
pemuda tersebut pura pura berlagak pintar.
"Suhuku selamanya berkelana tidak menentu, selama ini
belum pernah mendirikan perguruan maupun partai"
jawabnya. "Goooo...." si orang tua tidak lagi bertanya lebih lanjut.
Ketika itu sang nona berkuncir tersebut sudah muncul
kembali dari ruangan belakang dengan membawa secawan air
teh serta sepiring daging lalu dihidangkan di atas meja.
"Di tengah gurun pasir tak ada makanan yang enak untuk
melayani para tetamu, harap Khek koan suka bersantap ala
kadarnya" ujarnya perlahan.
Suara perkataan tersebut amat halus dan merdu bahkan
membawa nada ucapan dari daerah ibu kota. Ketika itulah
secara mendadak Tan Kia-beng baru merasakan heran serta
curiga terhadap kedua orang itu.
Di tempat yang begini sunyi dan jauh di luar perbatasan
bagaimana mungkin kedua orang itu bisa berbicara bahasa
Han dengan demikian lancar"
Jika demikian adanya maka si ayah beranak ini tentulah
orang-orang bangsa Han. Tetapi pada saat ini perutnya benar-
benar merasa lapar dan dahaga sehingga tanpa sungkan
sungkan lagi ia menyapu habis makanan yang dihidangkan di
atas meja. Setelah terasa kenyang, sambil membersihkan bibirnya ia
baru bertanya kembali, "Loo tiang mungkin juga bangsa Han,
bukan?" "Ehmm!" "Siapakah namamu?"
Diam-diam si orang tua itu mulai berpikir, "Bagaimanapun
dia tak bakal lolos lagi dari cengkeramanku, beritahukan
namaku pun rasanya tak ada halangan."
Perlahan-lahan lantas jawabnya, "Hay Thian Sin Shu!"
Mendengar disebutnya nama tersebut saking terperanjatnya
hampir hampir saja Tan Kia-beng melompat ke atas dari
tempat duduknya, walaupun ia tidak kenal Hay Thian Sin Shu
tetapi Leng HOng Tootiang pernah memberi tahukan
kepadanya kalau Hay Thian Sin Shu adalah jagoan dari
kalangan Hek-to yang telah dipilih sebagai anggota panitia
penyelenggara pertemuan puncak para jago digunung Ui san
yang akan datang tetapi mengapa dia bisa muncul disini"
"Loocianpwee apakah Hay Thian Sin Shu yang pernah
angkat nama bersama-sama Liok lim Sin Cie?" tanyanya
dengan perasaan sangat kaget bercampur berdesir.
"Ehmmm....! kau merasa sedikit heran bukan?"
Mendadak si orang tua itu meloncat turun dari
pembaringan, lalu melepaskan otot-ototnya sehingga berbunyi
gemurutukan yang amat ramai.
Tubuhnya secara mendadak mengembang semakin besar,
dari sepasang matanya memancarkan cahaya tajam kemudian
menengadah ke atas tertawa terbahak-bahak dengan
seramnya. "Haaa.... haaa.... haaa.... sudah lama Loohu tidak pernah
berburu. Malam ini loohu kepingin sekali membunuh kau anak
kelinci untuk memuaskan hatiku."
Suara tertawanya ini secara diam-diam disalurkan pula
tenaga lweekang yang sempurna membuat seluruh tubuh Tan
Kia-beng goncang amat keras dengan telinga mendengung
yang tiada hentinya. Buru-buru ia mengerahkan hawa murninya untuk menekan
goncangan tersebut kemudian dengan wajah melengak
memandang ke arah si orang tua itu dengan penuh
keheranan. Perlahan-lahan Hay Thian Sin Shu menghentikan suara
tertawanya, dengan wajah seram ujarnya dingin, "Sorga ada
jalan kau tidak mau lalui, neraka tak ada jalan sengaja kau
menerjang datang. Hm! memang nasibmu yang lagi sial"
Ia merandek sejenak, kemudian sambil menggape
sambungnya kembali, "Bangsat cilik, Mari ikutilah diriku, aku
mau suruh kau matipun menjadi setan yang jelas mengetahui
duduk persoalannya".
Tan Kia-beng merasa tidak paham apa maksud yang
sebenarnya dari si orang tua itu, tetapi dikarenakan selama ini
pemuda tersebut menaruh rasa kagum dan menghormat
terhadap Hay Thian Sin Shu maka sengaja ia bersabar dan
mengikuti apa yang diucapkan untuk berjalan keluar dari gua
tersebut. Hanya sebentar saja, sampailah kedua orang itu disebuah
padang batuan yang terjal dan tiba di pinggiran sebuah jurang
yang sangat curam serta berbahaya.
Tiga penjuru dari tebing curam ini terkurung oleh dinding
tebing yang terjal dengan sebuah jurang yang dalamnya
ribuan kaki. Secara samar-samar tampaklah dibalik lembah yang sangat
dalam itu kerangka manusia berserakan memenuhi seluruh
permukaan tanah, keadaannya sangat mengerikan sekali.
Melihat pemandangan semacam itu, tidak terasa lagi Tan
Kia-beng merasakan hatinya berdesir.
"Heee.... heee kau sudah melihat bukan?" seru Hay Thian
Sin Shu sambil tertawa dingin tiada hentinya. "Kerangka
kerangka putih itu adalah kawan kawan sejalanmu, mereka
bersama-sama menemui ajalnya disini. sudah tentu kau tak
akan merasa kesunyian bukan?"


Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali kepalanya didongakkan dan tertawa terbahak-
bahak. "Inilah jalan yang tercepat untuk menuju keIsana Kelabang
Emas, kalu hendak terjun sendiri ke bawah jurang itu ataukah
menunggu Loohu yang turun tangan memaksa dirimu?"
Sekali lagi Tan Kia-beng dibuat melengak oleh perkataan
dari si orang tua itu, alisnya dikerutkan kemudian bentaknya
keras, "Sebenarnya apa maksudmu?"
"Tempat inilah merupakan tempat tinggal yang paling
sempurna bagi manusia-manusia yang menganggap bajingan
sebagai ayah dan ikut berbuat jahat terhadap sesamanya"
Mendadak tubuhnya bergerak maju ke depan, kelima
jarinya dipentangkan lebar-lebar kemudian mencengkeram
dada pemuda tersebut. Serangannya ini dilakukan secepat sambaran kilat,
kehebatannyapun luar biasa sekali.
Diam-diam Tan Kia-beng merasa sangat terperanjat sekali,
telapaknya segera diputar membentuk serangkaian bayangan
telapak menutup seluruh tubuhnya dengan sangat rapat, inilah
jurus "Hoa Yu Peng Hun" atau hujan bunga laksana tepung
dari ilmu pukulan aliran Khong tong pay.
"Hmmm! Seorang murid perguruan kenamaan!" jengek Hay
Thian Sin Shu dingin. Kelima jarinya mendadak dipentangkan lebar-lebar,
segulung angin serangan yang tajam menembusi datangnya
angin pukulan langsung mengancam jalan darah kematian "Yu
Bun". Kesempurnaan dari tenaga dalamnya, serta kelincahan di
dalam gerakan serangannya ditambah lagi kematian dalam
tenaganya tidak malu disebut sebagai seorang jago
kenamaan. Ketika itu Tan Kia-beng sudah tak sempat lagi untuk
mengundurkan diri ke belakang terpaksa sambil
menggerakkan pundaknya ia menerjang ke depan, tenaga
dalamnya dengan lembek tapi mantap meluncur keluar
menyambut datangnya serangan tersebut.
Jurus yang digunakan olehnya pada saat ini merupakan
sebuah gerakan dari aliran Bu-tong pay, sedang tenaga
pukulan yang ia gunakanpun sebesar lima bagian.
Dua gulung angin pukulan tersebut begitu bertemu menjadi
satu, desiran tajam yang ditimbulkan dari angin pukulan
tersebut kontan saja lenyap tidak berbekas bagaikan batu
yang tenggelam di tengah samudra, sedangkan pundak Tan
Kia-beng tak kuasa untuk menahan diri sehingga bergetar
amat keras. Diluaran jelas Tan Kia-beng sudah kalah satu jurus, padahal
di dalam hati Hay Thian Sin Shu merasa amat terperanjat.
Disebabkan ia ada maksud untuk membinasakan pihak
musuhnya di dalam pukulan ini, maka dalam jurus tersebut si
orang tua itu sudah mengerahkan tenaganya sebesar tujuh,
delapan bagian. Tidak disangka ternyata pihak lawan sama
sekali tidak terluka oleh pukulan tersebut, ini sudah tentu
membuat hatinya bergetar sangat keras, hawa napsu
membunuhpun mulai terlintas di atas wajahnya.
"Hmmm! tidak kusangka kepandaianmu masih mempunyai
juga beberapa bagian kesempurnaan" serunya sambil tertawa
dingin. Telapak tangannya segera disilangkan di depan dada dan
siap-siap untuk menerjang kembali ke depan.
Mendadak.... "Papa....! untuk sementara kau jangan turun tangan dulu,
biarlah aku yang turun tangan membereskan dirinya!"
serentetan suara yang sangat merdu berkumandang datang.
Nona yang berdandan seperti gadis mongol itu dengan
mencekal sebilah pedang pendek yang memancarkan cahaya
keemas-emasan laksana serentetan pelangi terbang mencelat
ke tengah udara langsung menerjang ke arah tubuh Tan Kia-
beng. Tan Kia-beng yang melihat datangnya serangan tersebut
amat ganas, ia tidak berani berlaku gegabah. Kakinya
meluncur lima depa ke belakang untuk menghindar.
Siapa sangka ilmu pedang dari nona tersebut begitu
dilancarkan keluar, laksana mengalirnya air disungai meluncur
keluar dan menerjang ke depan tiada hentinya.
Tampaklah cahaya keemas-emasan berkelebat menyilaukan
mata, hawa pedang berdesir menggidikkan badan, jurus-jurus
serangan yang aneh ganas dan telengas kontan saja
mendesak pemuda itu harus mundur ke belakang berulang
kali, ternyata untuk beberapa saat tak ada sedikit
kesempatanpun baginya untuk balas melancarkan serangan.
Apalagi pedang pendek itu memancarkan cahaya yang
sangat tajam dan agaknya merupakan sebilah pedang pusaka
hal ini membuat pemuda tersebut merasa rada ragu-ragu.
Pada waktu itu Tan Kia-beng sudah berada dekat sekali
dengan tepi jurang, kurang lebih tiga depa dibelakang
tubuhnya sudah merupakan sebuah jurang yang amat dalam.
"Aku tidak boleh menghindar lagi" diam-diam pikir dalam
hati. "Bilamanya sampai terperosok masuk ke dalam jurang,
kejadian itu bukanlah suatu permainan ringan!"
Setelah berpikir sampai disitu, mendadak ia membentak
keras. Telapak tangannya kontan melancarkan dua buah
serangan dahsyat disertai dengan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya, kehebatan serangan tersebut benar-benar sangat
luar biasa. Begitu telapak tangannya didorong, segulung angin pukulan
berhawa Yan sangat dahsyat laksana tiupan angin taupan
menguglung ke arah depan membuat sang nona tersebut
bergetar sangat keras. Tubuhnya berturut-turut terdesak mundur delapan depa ke
belakang, sedang sinar pedangnya dipaksa kacau balau tidak
karuan. Tetapi dengan sipatnya yang keras kepala sesudah kena
terdesak mundur mendadak badannya kembali mendesak
maju. Ia membentak keras pedangnya dengan menimbulkan
desiran angin tajam kembali membabat ke depan.
Pada saat itu Tan Kia-beng pun sudah mencabut keluar
seruling pualamnya, diantara berkelebatnya cahaya putih yang
membumbung keangkasa terdengarlah suara bentrokan
senjata tajam bergema memenuhi angkasa disertai percikan
bunga-bunga api. Di tengah bentrokan pedang pendek serta seruling itulah,
tubuh sang nona cantik tersebut kembali terpukul pental,
pedang pendek ditangannya hampir-hampir saja terlepas dari
cekalan sedang tubuhnya tergetar mundur lima enam langkah
dengan sempoyongan. Beberapa kali kena didesak mundur! hal ini membuat nona
tersebut saking gemasnya air matanya bercucuran mebasahi
pipi. "Aku akan adu jiwa dengan dirimu!" teriaknya melangking.
Gerakan pedang laksana pelangi menubruk ke arah depan.
Tetapi, belum sempat ia berhasil mencapai pada sasarannya
tangannya sudah kena dicengkeram oleh sebuah tangan yang
besar dan penuh keriputan.
"Yong jie! aku mundurlah, biar aku tanyai dulu dirinya"
bentaknya nyaring. Tan Kia-beng yang kena terpukul mundur oleh serangan
dari sang nona itu tadi, ia sama sekali tidak mendesak ke
depan lebih lanjut, seruling pualamnya dilintangkan di depan
dada, wajahnya sangat serius.
Jelas sekali ia sudah dibuat gusar oleh tindakan mereka
ayah beranak yang berulang kali melancarkan serangan ke
arahnya. Hay Thian Sin Shu setelah berhasil mencegah gerakan dari
nona tersebut, dengan wajah keheranan tanyanya keren, "Apa
hubunganmu dengan Han Tan Loo jien" cepat katakan
sejujurnya sehingga jangan sampai aku salah turun tangan
mengambil tindakan!"
"Ooouw aku" aku adalah ahli warisnya!"
"Haaa.... haaa.... haaa.... bilamana dikatakan kau adalah
cucu muridnya mungkin Loohu masih suka percaya" seru Hay
Thian Sin Shu sambil tertawa terbahak-bahak "Sekarang kau
mengaku sebagai ahli warisnya, bukankah hal ini sama dengan
kau lagi menipu dirimu sendiri?"
"Seruling pualam putih ini merupakan bukti yang nyata,
mau percaya atau tidak itu terserah padamu, Sekarang aku
mau bertanya kepadamu, kalian ayah beranak tanpa sebab
melancarkan serangan gencar kepadaku sebetulnya apa
maksud tujuanmu" Bilamana kalian tidak suka memberi
penjelasan, Hm.... sampai waktunya janganlah salahkan aku
orang she Tan akan turun tangan terlalu telengas!"
Dalam hati Hay Thian Sin Shu berpikir keras, akhirnya
setelah lewat beberapa saat lamanya ia menghela napas
panjang. "Heeei.... bilamana kau adalah ahli waris dari dia orang tua,
hal ini membuat loohu merasa serba salah," ujarnya
kemudian. Kembali ia termenung beberapa saat, mendadak orang tua
itu mendongakkan kepala "Sebenarnya siapakah kau?" bentaknya keras. "Siapa yang memperkenalkan dirimu untuk memasuki Isana Kelabang
Emas" Mengapa dengan usiamu yang masih muda bukannya
berjalan pada arah yang benar sebaliknya malah
mengecewakan susah payah dari dia orang tua, apakah kau
merasa punya muka untuk mempertanggung jawabkan
perbuatanmu ini terhadap Han Tan Loo cianpwee?"
Sehabis mendengar perkataan tersebut Tan Kia-beng baru
tersadar kembali apa sebenarnya yang sudah terjadi.
Kiranya mereka ayah beranak sungguh sungguh telah
menganggap dirinya sebagai anak buah Isana Kelabang Emas.
Tak terasa lagi pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
"Haaa.... haaa.... sekalipun cayhe tidak berbaktipun tidak
akan melepaskan kedudukan yang terhormat dari seorang
Kauwcu, sebaliknya pergi berbakti kepada orang lain!" serunya
keras. "Terus terang saja aku katakan, kedatangan cayhe kali ini
ke gurun pasir bukan lain khusus bertujuan hendak mencari
perhitungan dengan orang-orang pihak Isana Kelabang Emas".
"Sungguh"...." tanya Hay Thian Sin Shu setengah percaya
setengah tidak. Tetapi sikapnya sudah jauh lebih ramah.
"Tindakan orang-orang Isana Kelabang Emas amat ganas,
kejam dan telengas, secara samar-samar mereka ada hasrat
untuk membasmi seluruh jagoan Bulim di daerah Tionggoan,
Tindakannya melakukan serbuan secara besar-besaran ke atas
kuil Sam Cing Kong barusan ini tanpa sebab merupakan suatu
bukti yang nyata" ujar Tan Kia-beng lebih lanjut. "Kedatangan dari cayhe kali ini, pertama, hendak mencari tahu jejak dari
suhuku si 'Ban Lie Im Yen' Lok Tong dan kedua, ingin mencari
kesempatan untuk bergebrak melawan majikan Isana
Kelabang Emas". "Ha.... ha.... ha.... kalau begitu hampir saja lohu sudah
salah melukai dirimu!" seru Hay Thian Sin Shu sambil tertawa
terbahak-bahak sehabis mendengar perkataan tersebut.
Tan Kia-beng sendiripun ikut tertawa terbahak-bahak.
"Bilamana bukan nona ini sudah ikut campur, hampir-
hampir saja cayhepun akan salah melukai Loocianpwee!"
katanya pula. "Hmmm! sungguh besar sekali lagaknya!" diam-diam pikir
Hay Thian Sin Shu di dalam hati.
Sebaliknya nona itu sudah mencibirkan bibirnya sambil
tertawa dingin tiada hentinya.
"Hmm! dengan mengandalkan kau dapat melukai
ayahku"...." jengeknya.
Agaknya gadis itu menaruh kepercayaan penuh terhadap
kepandaian silat yang dimiliki ayahnya.
"Tutup mulut!" buru-buru Hay Thian Sin Shu membentak
keras. "Bocah cilik, kau harus sedikit tahu sopan!"
Kembali si orang tua itu menoleh ke arah Tan Kia-beng dan
sambil menuding ke arah gadis tersebut perkenalkannya.
"Dia adalah siauw li, Cha Giok Yong orang-orang kangouw
memberi julukan kepadanya sebagai Leng Poo Sian ci!"
Buru-buru Tan Kia-beng maju ke depan menjura,
"Ooouw...." Kiranya nona Cha, cayhe she Tan bernama Kia-
beng, dikemudian hari masih membutuhkan banyak petunjuk
dari nona" sapanya halus.
"Huuu.... usil!" seru Leng Poo Sianci sambil tertawa
cekikikan. Dengan cepat ia putar badan dan berlari meninggalkan
tempat tersebut. "Tempat ini bukan tempat untuk bercakap-cakap. mari kita
berbicara di dalam saja" ajak Hay Thian Sin Shu kemudian
sambil mengulapkan tangannya.
Dengan cepat orang itu memimpin Tan Kia-beng kembali ke
dalam gua semula. Sambil berjalan diam-diam Tan Kia-beng mulai berpikir, ia
merasa heran mengapa Hay Thian Sin Shu memilih tempat ini
untuk mengasingkan diri" bukankah pandangan di Kang Lam
jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan tempat itu, kendati
tempat yang didiami oleh mereka pada saat ini boleh dikata
jelek jika dibicarakan dari sudut pandangan sekeliling daerah
luar perbatasan ini"
Selagi ia berpikir keras itulah tiba-tiba terdengar Hay Thian
Sin Shu sudah buka suara menegur, "Mungkin kau merasa
heran bukan mengapa aku bisa berdiam di tempat yang sunyi
dan tandus ini?" Tan Kia-beng mengangguk....
Perlahan-lahan Hay Thian Sin Shu menghela napas
panjang. "Heee.... kemungkinan sekali kau pernah mendengar orang
berkata bukan bahwa jago pedang nomor wahid dikolong
langit pada saat ini si 'Cu Swie Tiang Cing' Tan Cu Liang
bertiga menerima undangan untuk mengunjungi daerah gurun
pasir?" Sekali lagi Tan Kia-beng mengangguk, tetapi paras
mukanya berubah rada tegang karena persoalan inilah yang
ingin dia ketahui selama ini.
"Karena sejak kepergian mereka bertiga ke gurun pasir
ternyata tidak ada kabar beritanya lagi, waktu itu Loohu
merasa sangat keheranan oleh sebab itu dengan seorang diri
aku lantas berangkat menuju ke gurun pasir untuk menyelidiki
sebab sebab lenyapnya mereka, siapa sangka bukannya
memperoleh berita yang aku inginkan, sebaliknya hampir-


Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir saja Loohu terluka dibawah pukulan ilmu 'Hong Mong
Cie Khie' dari 'Ci Lan Pak' Kong Sun Su.
"Setelah Loohu terpukul sehingga terluka parah, dan tanpa
memperoleh sedikit hasil pun, dengan mati matian aku
melarikan diri ke arah Selatan, siapa sangka ketika itulah aku
menerjang sampai ke tempat ini dan di dalam sebuah gua
telah menemukan kitab pusaka 'Lei Hwee Sin Kang'
peninggalan dari seorang Lhama yang pernah mengasingkan
diri di tempat ini. bersamaan itu pula aku merasa tempat ini
sangat cocok sekali sebagai tempat latihan ilmu "Lei Hwee Sin
Kang" tersebut. "Demi suksesnya melatih ilmu sakti tersebut dari kitab
pusaka itu, Loohu lantas mengambil keputusan untuk kembali
dulu ke daerah Kang Lam dan mengajak Yong-Jie datang
kemari agar kami bisa bersama-sama berlatih."
"Selama ini apakah kau orang tua pernah memperoleh
kabar yang menyangkut keselamatan dari Cu Swie Tiang
Cing?" "Setelah Loohu berdiam selama tiga tahun lamanya disini,
aku baru tahu bila di Gurun pasir ada suatu Isana Kelabang
Emas yang mempunyai pengaruh sangat kuat serta asal usul
yang tidak jelas, aku lantas menduga bila Cu Swie Tiang Cing
sekalian telah terperangkap di dalam isatana tersebut. Cuma
saja dikarenakan pada waktu itu ilmu sakti Lei Hwee sin Kang
ku belum berhasil kulatih hingga mencapai titik sempurna,
maka aku tidak berani bertindak secara gegabah."
"Tempat ini merupakan pusat persimpangan jalan baik dari
Selatan, Timur, Barat maupun Utara. apakah Loocianpwee
pernah menemui orang-orang yang mencurigakan?"
"Haaa.... haaa....haaa.... justru disebabkan soal inilah
barusan hampir-hampir saja aku hendak turun tangan jahat
terhadap dirimu" ujar Hay Thian Sin Shu sambil tertawa
terbahak-bahak. "Tempat ini terlalu terasing dan sepi, sudah
tentu buatan merupakan persimpangan jalan yang tragis,
hanya saja ada beberapa orang seperti halnya dengan dirimu
telah salah jalan dan tiba di sini, bilamana aku menemui
mereka-mereka yang ada maksud hendak menggabungkan
diri dengan pihak Isana Kelabang Emas maka tanpa sungkan
sungkan lagi Loohu segera turun tangan dan mempersilahkan
dia untuk berdiam didasar jurang ini, selama beberapa tahun
ini mungkin sekali sudah ada ratusan orang banyaknya yang
terkubur didasar jurang tersebut"
Selesai mendengar perkataan itu tak terasa dalam hati Tan
Kia-beng mulai merasa bilatindakan dari si orang tua tersebut
sebenarnya pada kelewat kejam, mendadak tanya lagi, "Lalu
apakah suhuku si 'Ban Lie Im Yen' Lok Tong pernah lewat
tempat ini?" "Suhumu memang lewat tempat ini, hanya saja niatnya
untuk menolong 'Cu Swie Tiang Cing' Tan Cu Liang terlalu
besar sehingga tanpa sayang ia cukur gundul rambut sendiri
menjadi Hweesio, dan kini berdiam di dalam sebuah kuil yang
bernama kuil Bu Lah Sie yang tidak jauh dari Isana Kelabang
Emas." "Apa! suhuku sudah jadi pendeta?"
"Tindakannya ini tidak lain hanya merupakan suatu siasat
belaka, pada tahun ini karena latihan ilmu 'Lei Hwee Sin Kang'
dari Loohu sudah mencapai pada taraf puncaknya maka jarang
sekali aku mengadakan hubungan dengan dirinya, dengan
demikian urusan yang menyangkut soal Isana Kelabang
Emaspun rada kurang paham, kurang lebih tujuh tujuh empat
puluh sembilan hari lagi ilmu Sin Kang dari Loohu sudah
hampir mencapai puncak kesempurnaannya."
Tan Kia-beng menggerakkan bibirnya hendak berbicara
mendadak air mukanya berubah hebat, sambil tertawa dingin
tubuhnya berkelebat keluar dari gua diikuti Hay Thian Sin Shu
menyusul dari belakang. Tampaklah di pinggir batu-batu cadas yang berserakan
diluar gua berdirilah lima orang jagoan berdandan suku Biauw
sambil tertawa seram tiada hentinya.
"Heee.... heee.... heee.... tidak kusangka di tempat ini
ternyata bersembunyi mata-mata heee....heee.... nyali kalian
betul-betul sangat!" serunya hampir berbareng.
Air muka Hay Thian Sin Shu berubah seram, dengan cepat
ia mengerling sekejap ke arah Tan Kia-beng kemudian tertawa
terbahak-bahak dengan kerasnya.
"Haaa.... haaa.... haaa.... entah kawan-kawan sekalian
berasal dari aliran mana" mengapa kalian mengatakan Loohu
adalah seorang mata mata?" tegurnya.
Seorang kakek tua berkepala kecil bermata tikus dengan
mencekal sebuah golok lesar bergerigi munculkan dirinya dari
barisan. "Yayamu adalah anak buah dari majikan Isana Kelabang
Emas!" sahutnya sambil memandang ke arah Hay Thian Sin
Shu tajam-tajam. "Thian Huang Ngo Oh khusus datang kemari
untuk memeriksa keadaan di delapan penjuru, gerak gerik kau
keledai tua sangat mencurigakan sekali, hal ini bagaimana
mungkin lolos dari pandangan mata yayamu semua?"
Di dalam kalangan hitam Hay Thian Sin Shu terkenal
sebagai seorang cianpwee dan seorang jago kenamaan yang
dikenal oleh setiap orang.
Walaupun dia sama sekali tidak kenal degan Thay Huang
Ngo Oh ini, tetapi ia pernah juga mendengar disebutkannya
nama tersebut, cuma saja dikarenakan ia harus berlatih ilmu
sakti Lei Hwee Sin Kang maka kulit tubuhnya sudah berubah
jadi merah padam, apalagi iapun berdandan dengan potongan
orang mongolia maka untuk beberapa waktu Thian Huang Ngo
Oh sama sekali tidak mengenali si orang tua ini.
Selesai mendengar perkataan dari Toa-Oh tersebut, Hay
Thian Sin Shu tak kuat menahan sabar lagi ia tertawa
terbahak-bahak sedang ujung bajunya mendadak dikebutkan
ke depan. Dimana cahaya merah berkelebat lewat.... tiba-tiba Toa-Oh
menjerit kesakitan. Tubuhnya mencelat ke tengah udara
setinggi dua kaki kemudian jatuh dengan kerasnya di atas
batu cadas. Seketika itu juga darah segar memancar keluar memenuhi
angkasa, baju yang dikenakan hancur lebih menjadi
berkeping-keping dan tersebut tersebar keempat penjuru
tertiup angin. Kiranya Hay Thian Sin Shu telah menggunakan ilmu sakti
"Lei Hwee Sin Kang" nya.
Pada waktu Hay Thian Sin Shu turun tangan itulah Tan Kia-
beng pun laksana serentetan sambaran kilat menubruk ke
arah Su-Oh lainnya. Tubuhnya belum sampai, segulung angin pukulan berhawa
dingin sudah menggulung keluar dan menekan mereka
dengan sangat dahsyat. Di dalam dunia kangouw terutama di dalam kalangan Hek-
to, Thian Huang Ngo Oh juga terhitung jago-jago kejam yang
sangat lihay. Melihat serangan Tan Kia-beng menyambar
datang mereka bersama-sama membentak gusar.
Masing-masing sambil mencabut keluar senjata tajam golok
bergeriginya melancarkan serangan balasan yang dahsyat ke
arah depan. Hanya di dalam sekejap saja angin serangan disertai
kelebatan cahaya golok menyambar lewat dari empat penjuru.
Tan Kia-beng membentak keras. telapak tangan didorong
ke depan membuat dengan gerakan mendatar, diikuti
badannya berputar kelima jarinya laksana pancingan baja
mencengkeram dua bilah golok yang menyambar datang dari
sebelah kiri. Terdengarlah serentetan suara jeritan ngeri bergema lewat,
Sam Oh serta Su-Oh yang ada disebelah kanan bagaikan
layang-layang putus tali terpental jatuh ke tengah angkasa
bersama-sama goloknya dengan meninggalkan serangkaian
hujan darah yang amat deras.
Bluuk! Bluuk! dengan menimbulkan suara benturan keras,
tubuh mereka berdua tahu-tahu sudah terjatuh ke atas
permukaan dan jatuh tertanam di dalam tanah.
Kejadian yang sangat mendadak ini seketika juga membuat
Jie-Oh serta Ngo-Oh saking takutnya jadi tertegun dan lupa
untuk melarikan diri. Ketika itulah Hay Thian Sin Shu sudah melayang datang
kehadapan mereka, belum sempat jari tangan melancarkan
untuk menotok jalan darah mereka mendadak dari tempat
kejauhan terdengar suara bentakan yang amat nyaring tetapi
merdu, "Papa.... jangan bunuh mereka, tinggalkan kedua
orang itu buat diriku"
Terlihatlah serentetan cahaya pelangi laksana seekor naga
menyambar lewat, selagi Tan Kia-beng dibuat melengak oleh
tindakan yang secara mendadak itu, suara jeritan ngeri sudah
berkumandang memenuhi angkasa.
Jie-Oh yang berada jauh lebih dekat dengan gadis tersebut
sudah kena terbabat mati oleh sambaran pelangi berwarna
keemas-emasan tersebut. Bagaimanapun Hay Thian Sin Shu mempunyai pengalaman
sangat luas, begitu mendengar suara bentakan ari Leng Poo
Sianci tadi, laksana kilat ia sudah melancarkan serangan
menotok jalan darah dari Ngo Oh kemudian mengempit
badannya dan meloloskan diri dari lingkungan cahaya pedang.
"Kau jangan bergurau, ayoh cepat berhenti!" bentaknya
keras. Ketika Leng Poo Sianci berhasil membabat mati Jie Oh dan
mendengar pula suara bentakan tersebut dengan cepat ia
menarik kembali pedangnya ke belakang, dengan sepasang
mata dipentangkan lebar-lebar ujarnya keheranan, "Mengapa
mereka tidak boleh dihukum mati?"
"Bunuh memang harus dibunuh, tapi harus tinggali satu
untuk ditanyai!" Dengan amat gusar Hay Thian Sin Shu melotot sekejap ke
arah putrinya, kemudian ia membanting tubuh Ngo Oh keras
keras ke atas tanah. "Heee.... heee.... heee.... kau kenal siapakah Loohu?"
serunya sambil tertawa dingin.
Saat itulah Ngo Oh baru mengenal kembali bilamana si
orang tua tersebut bukan lain adalah nenek moyang dari para
jago di kalangan Hek, Hay Thian Shu adanya.
Saking takut dan terperanjatnya seluruh tubuhnya gemetar
sangat keras. "Noow.... kii....ranya, Cha Loocianpwee maaf hamba tidak
tahu!" serunya gelagapan.
"Hmm! Sejak kapan kau menggabungkan diri dengan pihak
Isana Kelabang Emas?"
"Belum sampai dua, tiga bulan."
"Bagaimana dengan gerakan pihak Isana Kelabang Emas
pada waktu dekat ini?"
"Siauw jien cuma tahu mereka tiada hentinya mengirim
jago-jago lihay menuju daerah Tionggoan, karena urusan apa
Siauw jien tidak berhasil mengetahuinya."
"Ehmm....! Apakah pihak Isana Kelabang Emas pernah
mengungkap soal Cu Swie Tiang Cing, Tan Cu Lian?"
"Urusan yang sangat penting ini siauw-jien semakin tidak
tahu." Tan Kia-beng mengerti bila apa yang diucapkan oleh Ngo-
Oh ini adalah perkataan yang benar, sambungnya mendadak,
"Seorang petugas keamanan yang baru saja diterima sebagai
anggota bagaimana mungkin bisa tahu urusan sebegitu
banyak?" Dengan dingin Hay Thian Sin Shu mendengus, mendadak
tangannya diayunkan ke atas kemudian menekan ke arah
bawah. Terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati
berkumandang memenuhi angkasa, tahu-tahu Ngo-Oh sudah
kena terhajar oleh angin pukulannya sehingga darah segar
mengucur keluar dari tujuh lubang, nyawanya seketika itu
juga melayang meninggalkan raganya.
Terhadap perbuatan Hay Thian Sin Shu yang suka
membunuh ini, dalam hati Tan Kia-beng merasa sangat tidak
puas. Dengan cepat ia merangkap tangannya menjura.
"Setelah mengetahui berita yang menyangkut soal suhuku,
cayhe kepingin sekali cepat-cepat berangkat untuk
mengadakan pertemuan, baiklah aku orang she Tan mohon
diri terlebih dulu." katanya.
"Tunggu sebentar! Aku berangkat bersama-sama dirimu,"
mendadak Leng Poo Sianci berseru dari samping.
Mendengar perkataan itu Tan Kia-beng kerutkan alisnya
rapat-rapat. "Kepergianku kali ini harus menempuh keadaan yang
sangat berbahaya sekali, lebih baik nona jangan ikut pergi"
katanya. "Heee.... heee.... kau kira aku bisa menjegal kakimu ya....?"
teriak Leng Poo Sianci sambil tertawa dingin tiada henti.
"Hmm!! Jangan menganggap kau adalah seorang manusia
yang luar biasa. Kau tidak suka mengajak aku pergi aku bisa
berangkat sendiri." Kedua buah kuncirnya dikebaskan kesamping, dengan
sangat marah ia putar badan dan berlari masuk ke dalam gua.
Tan Kia-beng yang dikatai demikian dalam hati merasa
serba susah dan tidak enak.
"Buat apa kau harus bersikap demikian?" katanya sambil
tertawa malu-malu. "Aaah....! buat apa kau perduli dirinya" kau cepatlah pergi!"
seru Hay Thian Sin Shu buru-buru. "Ingat! suhumu berada
dikuil Bu Lah sie dengan sebutan Im Yen!"
Tan Kia-beng mengangguk mengiakan setelah merangkap
tangannya menjura ia lantas meloncat naik ke atas kudanya
dan melanjutkan perjalanan menuju ke arah utara.
Sejak memperoleh berita yang menyangkut keselamatan
suhunya, semangat Tan Kia-beng kembali berkobar.
Disamping itu iapun sudah menghilangkan sebuah batu yang
mengganjel hatinya. Selama di tengah perjalanan kali ini ia melarikan kudanya
cepat-cepat menuju kekuil Bu Lah Sie.
Di daerah Gurun Pasir jarang sekali kelihatan orang
melakukan perjalanan, selama di dalam perjalanan kali ini
jarang sekali pemuda dengan sesosok manusiapun.
Pada saat itulah mendadak sinar matanya dapat menemui
sesosok bayangan kuda yang secara samar-samar berlari
kebalik tumbuhan alang-alang kemudian lenyap tak berbekas
hatinya merasa sangat curiga.


Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmmm! jika ada orang hendak mencari gara-gara dengan
diriku, akan kusuruh dia merasakan kelihayanku," pikirnya di
dalam hati. Hawa murninya segera disalurkan mengelilingi seluruh
tubuh, telapak tangannya diam-diam dilintangi ke depan siap-
siap melancarkan serangan.
Tidak selang beberapa saat kemudian sampailah pemuda
itu disisi tumbuhan alang tadi, selagi ia bersiap-siap hendak
melakukan pemeriksaan dengan teliti mendadak dari
tumbuhan alang-alang terdengarlah suara tertawa cekikikan
yang amat merdu. Sinar matanya dengan cepat berkelebat, tetapi sebentar
kemudian pemuda tersebut sudah dibuat melengak.
Kiranya orang itu bukan lain adalah Leng Poo Sianci, si
gadis nakal tersebut. Pada saat ini ia sedang berbaring di atas
alang-alang sambil memandang ke arahnya tertawa,
"Eeei.... mengapa kau ikut datang?" tegurnya kemudian
dengan alis yang dikerutkan.
"Ehmmm.... kau boleh kemari, lalu apa aku tidak boleh ikut
datang kesini?" seru Leng Poo Sianci sambil mencibirkan
bibirnya. "Bukannya aku melarang kau datang kemari, sebaliknya aku
tidak ingin kau ikut menempuh bahaya."
"Hmmm! aku senang sekali! buat apa kau ikut mengurusi
diriku?" Terhadap gadis yang nakal ini agaknya Tan Kia-beng tak
dapat berbuat apa-apa, dengan gusar ia mengempit perut
kudanya kemudian melanjutkan perjalanan cepat ke arah
depan tanpa memperduli dirinya lagi.
"Eeeiii.... eeeii.... kau tunggu sebentar. Aku ada perkataan
yang hendak kusampaikan kepadamu" mendadak terdengar
Leng Poo Sianci berteriak keras dari arah belakang.
Mendengar suara teriakan tersebut terpaksa Tan Kia-beng
menahan tali les kudanya kembali.
Sedang Leng Poo Siancipun menggunakan kesempatan itu
untuk berlari mengejar. "Eeeii.... kau marah?" tanyanya takut-takut, lagaknya mirip seorang bocah yang telah melakukan kesalahan.
"Kenapa aku harus marah?"
"Ehmm....! kalau tidak marah kenapa kau tidak menggubris
diriku?" "Bukannya aku tidak mau menggubris dirimu, aku tak
mengharapkan kau suka ikut aku dan pergi menempuh
bahaya." "Kau tidak mengharapkan aku pergi menempuh bahaya
seorang diri?" "Heeei....!" perlahan-lahan Tan Kia-beng menghela napas
panjang. "Aku berbuat demikian demi suhuku beserta
keselamatan dari beratus ratus orang jago-jago Bulim. Aku
harus pergi menempuh bahaya!"
"Lalu kau anggap tindakan itu benar" kau pergi menempuh
bahaya demi suhumu dan ak upergi menempuh bahaya demi
kau bukankah hal ini cocok sekali" Eeei.... kau boleh berlega
hati! Aku masih bisa menjaga diriku sendiri, kau tidak perlu
merasa khawatir buat keselamatanku."
Sikapnya terhadap Tan Kia-beng sangat mesra melebihi
hubungan kawan yang diakrabi bahkan tanpa sungkan
sungkan sudah mengucapkan kata-kata tersebut, hal ini
membuat Tan Kia-beng tak bisa berbuat apa apa lagi dan
terpaksa cuma bisa menghela napas panjang.
"Orang semacam kau tentu mempunyai banyak kawan
bukan?" sambung Leng Poo Sianci lebih lanjut. "Oouw....!
Sekarang aku sudah tahu, tentunya kau tidak suka aku berada
disisimu bukan"...."
"Huusss....! Kau jangan berpikir dan berbicara
sembarangan," potong Tan Kia-beng sambil menggeleng. "Aku
hanya tidak ingin kau ikut pergi menempuh bahaya, bilamana
sampai terjadi sesuatu peristiwa maka kau suruh aku berbuat
apa untuk mempertanggung jawabkan persoalan ini
dihadapan ayahmu?" "Haah. kalau kau sudah bicara begitu, aku bisa merasa
berlega hati sudah!" teriak Leng Poo Sianci sambi lmeloncat
kegirangan. Maksud hati dari Tan Kia-beng yang sebenarnya tidak ingin
membawa serta dirinya tetapi sekarang gadis tersebut sudah
datang, pemuda tersebut jadi tak ada alasan lagi untuk
menolak! Ia merasa nona ini amat cantik tetapi kasar dan mau
menang sendiri, bahkan gemar membunuh. Sikapnya sama
sekali berbeda dengan Pek Ih Loo Sat maupun Mo Tan-hong.
Disamping itu iapun merasa bila membawa serta gadis
tersebut maka hal ini hanya mendatangkan kerepotan saja
buat dirinya. Selama di dalam perjalanan pergaulan mereka berdua
makin lama semakin akrab, ada kalanya Tan Kia-beng pun
menceritakan hal hal yang lucu dan menggelikan sehingga
sering sekali membuat si gadis tersebut bertepuk tangan
kegirangan. Lagaknya mirip sekali dengan seorang nona cilik
yang lincah dan polos. Disebabkan "Leng Poo Sianci" Cha Giok Yong sudah sangat
lama berdiam diluar perbatasan, terhadap jalanan disekitar
sana ia sangat hafal sekali. Beruntung sekali membawa serta
gadis ini sehingga pemuda itu tidak sampai salah jalan.
Hari itu, kuil Bu Lah Sie sudah berada di depan mata. Tan
Kia-beng yang disebabkan sebentar lagi akan bertemu muka
dengan suhunya dalam hatinya merasa sangat girang
Hampir tiga tahun lamanya ia belum pernah menemui
suhunya, untuk sekali dia orang tua berada dalam keadaan
sehat walafiat bagaimana hal ini tidak membuat dia jadi
kegirangan" Tidak sampai beberapa saat kemudian sampailah mereka di
depan kuil Bu Lah Sie Kuil tersebut adalah sebuah kuil besar yang angker dan
megah, begitu tiba di depan pintu Tan Kia-beng tak dapat
menahan sabar lagi, ia segera meloncat turun dari kudanya
kemudian langsung menerjang masuk ke dalam pintu kuil.
Siapa sangka.... baru saja kakinya melangkah masuk ke
dalam pintu kuil tersebut di dalam benaknya terlintaslah suatu
bayangan hitam yang tak beres.
Ia menemukan kuil yang amat sunyi, tenang dan keren ini
sama sekali tak mendatangkan bau harum dupa
sembahyangan, sebaliknya secara samar-samar menyiarkan
bau amis darah yang memuakkan.
Dengan hati yang kebat kebit dan tidak tenang, Tan Kia-
beng segera menerjang masuk ke dalam ruangan besar,
berputar keberanda.... Mendadak.... Suatu pemandangan yang sangat mengerikan dan
mendebarkan hati, hampir hampir saja merenggut hatinya
meloncat keluar dari mulut. Terlintaslah di dalam halaman
yang luas mayat mayat hweesio berserakan dan
bergelimpangan memenuhi seluruh permukaan tanah.
Potongan lengan, buntungan kaki, kucuran darah segar
berceceran mengotori seluruh tempat, pemandangan yang
amat mengerikan ini benar-benar membuat setiap orang
merasa bergidik. Kendati Tan Kia-beng memiliki kepandaian serta tenaga Sin
Kang yang maha dahsyat tak urung dibuat tertegun juga
setelah melihat kejadian yang sangat mengerikan ini.
"Suhuku sudah cukur gundul dan menjadi hweesio di dalam
kuil ini," pikirnya diam-diam. "Mungkinkah iapun ikut terbunuh di antara mayat mayat hweesio yang berserakan ini?"
Ketika itu Leng Po Siancipun sudah ikut datang ke dalam
halaman tersebut. Walaupun dia adalah seorang gadis yang
benci akan kejahatan dan tindakannya kejam serta telengas,
tetapi setelah melihat pembunuhan secara besar besaran
terhadap satu, dua ratus orang hweesio tidak urung saking
kagetnya seluruh paras mukanya berubah menjadi pucat pasi
bagaikan mayat. Bagaimanapun ia yang cuma bertindak sebagai penonton
jauh lebih cepat berhasil menenangkan pikirannya dari pada
Tan Kia-beng, dengan besarkan nyali ujarnya kemudian sambil
tepuk tepuk pundak pemuda tersebut.
"Kau kuatir suhumu ikut terbunuh?" tegurnya, "Menurut penglihatanku dengan kepandaian silat yang dimilikinya
sekalipun tak berhasil menangkan musuh, untuk
mengundurkan diri rasanya masih sanggup!...."
Diingatkan oleh perkataan tersebut Tan Kia-beng menjadi
tersadar kembali, ia merasa perkataan tersebut sedikitpun tak
salah. "Menurut penglihatanku," sambung Leng Poo Sianci lebih
lanjut, "para hweesio yang kena dibunuh kebanyakan adalah
para hweesio yang tak berilmu. Bilamana mereka
berkepandaian mengapa disekitar sini tidak kelihatan adanya
bekas bekas suatu pertarungan?"
Pada waktu itu darah panas sudah bergolak diseluruh tubuh
Tan Kia-beng, hawa gusarnya sudah memuncak sampai pada
taraf yang tak terkendalikan lagi.
Mendadak ia tertawa keras dengan seramnya.
"Haaa.... haaa.... haa.... bajingan bangsat!.... Tindakan
kalian sungguh kejam sekali, terhadap anak murid kaum
Buddha yang tidak tahu urusanpun kalian sudah turun tangan
kejam. Tidak perduli suhuku sudah terbunuh atau belum,
pokoknya dendam berdarah akan mewakili arwah arwah para
hweesio dari kuil Bu Lah Sie ini menuntut balas."
Agaknya Leng Poo Sianci pun kena terpengaruh oleh
semangat serta nadanya yang penuh kesedihan ini.
"Aku Leng Poo Sianci pun akan ikut satu bagian di dalam
pembalasan dendam ini!" teriaknya keras.
Baru saja mereka selesai berseru, tiba-tiba
"Heee.... heee.... heee.... aku takut patung arca tanah liat
sukar melewati sungai, untuk melindungi kalian sendiripun
tidak tentu bisa berhasil," dari balik ruangan kuil tersebut
berkumandang keluar suara yang amat dingin dan
menyeramkan menyambut perkataan mereka.
"Siapa?" bentak Tan Kia-beng keras, tubuhnya dengan
kecepatan laksana sambaran kilat berkelebat ke depan disusul
Leng Poo Sianci dari belakang.
Setelah masuk ke dalam kuil maka tampaklah di atas meja
sembahyang duduk seorang manusia aneh berbaju hitam
dengan rambut kuning seperti alang alang panjang terurai
sepundak, wajahnya berwarna hijau menyeramkan, sedikitpun
tak kelihatan arah maupun daging sehingga persis mirip
sesosok kerangka manusia. Sepasang tangannya yang kurus
hitam dan berkuku seperti kuku burung garuda tersilang
didelan dada. Bilamana bukannya dari sepasang matanya yang jauh lebih
menjorok ke dalam itu memancarkan cahaya ekhijau hijauan,
boleh dikata orang akan menyangka dia hanyalah sesosok
mayat kering belaka. Leng Poo Sianci si gadis cilik itu setelah menemui keanehan
dari orang tersebut, hatinya terasa berdebar sehingga tanpa
terasa lagi ia sudah mundur dua langkah ke belakang.
Sebaliknya air muka Tan Kia-beng sangat tawar, sedikit
perubahanpun tidak kelihatan.
"Apakah kau yang membasmi Hweesio penghuni kuil ini?"
tegurnya dingin. JILID: 3 "Heee.... heee.... heee.... Sudah tentu bukan orang lain,
memang benar Loohu yang turun tangan!"
"Mereka mempunyai dendam sakit hati apa dengan dirimu?"
"Barang siapa yang berani menyalahi loohu, semuanya akan
kuhukum mati. Termasuk kalian berduapun tidak terkecuali."
Begitu selesai si orang aneh itu berbicara Leng Poo Sianci
sudah mencabut keluar pedangnya sambil membentak keras,
"Bangsat busuk! setan mayat hidup, Nona akan cabut
nyawamu!" Tubuhnya mencelat ke depan siap melancarkan serangan,
tetapi keburu ditahan oleh Tan Kia-beng.
"Tunggu sebentar, biar aku tanyai dirinya terlebih dulu!"
serunya. Perlahan-lahan ia menoleh ke arah si manusia aneh
tersebut kemudian tanyanya, "Siapakah sebenarnya dirimu?"
apakah kau dikirim oleh orang-orang Isana Kelabang Emas?"
"Loohu adalah 'Kui So Siang Ong' atau si kakek dewa
bertangan setan Im Khei, telah lama aku si orang tua dengar
dari perguruan Teh Leng Kauw sudah muncul seorang bocah
cilik yang menimbulkan gelombang di dalam dunia kangouw,
mungkin orang itu adalah kau bukan?"
Perlahan-lahan ia menoleh ke arah Leng Poo Sianci,
kemudian tertawa seram bagaikan suara kuntilanak.
"Heee.... heee....hee.... kau bocah perempuan berani juga
memaki secara begitu kurang ajar terhadap aku si kakek dewa
bertangan setan.... kurang ajar.... memang kau sudah bosan
hidup!" teriaknya. Mendadak sang tangan diayunkan ke depan, Leng Poo
Sianci segera merasakan pergelangan tangannya jadi kaku
dan tegang, pedang pendeknya tahu-tahu sudah terlepas dari
cekalan kemudian meluncur ke arah tangan si Kui So Sian
Ong. Saking kagetnya ia menjerit keras, badannya buru-buru
mencelat ke depan siap-siap merebut pedangnya kembali.
Sekonyong-konyong.... Dari samping meluncur datang segulung angin pukulan
yang amat halus menghadang di tengah jalan.
Daya hisap yang sedang menarik pedang pendek itu
menjadi lemas kembali dan jatuh ke atas tanah.
Belum sampai pedang itu mengenai tanah kebetulan tubuh
Leng Poo Sianci sudah meluncur datang, dengan cepat
tangannya menyambar mencekal kembali pedangnya.
"Heee.... heee.... heee.... tidak nyana ternyata kau masih
mempunyai sedikit simpanan," seru Kui So SIan Ong sambil
tertawa kering. "Tetapi.... hmmm! kendati kepandaian silatmu
bagaimana lihaynyapun jangan harap bisa meloloskan diri dari
kuil Bu Lah Sie ini dalam keadaan hidup-hidup."
"Haaa.... haaa.... haaa.... cuma mengandalkan sedikit
kepandaian silat itu daja kau sudah ingin menahan diriku"....
tidak mudah, tidak mudah kawan!" teriak Tan Kia-beng
tertawa terbahak-bahak. "Hmmm! kalau tidak percaya lihatlah sendiri!"
Tiba-tiba Kui So Sian Ong menegakkan badannya, laksana
sesosok bayangan setan tahu-tahu ia sudah melayang turun
ke atas tanah.

Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eeei.... kau jagakan diriku dari samping biar aku hancurkan
dulu manusia bukan manusia, setan tidak mirip setan ini," bisik Tan Kia-beng kemudian kepada Leng Poo Sianci.
Tubuhnya dengan cepat mencelat ke depan menghadang
jalan pergi dari si kakek dewa bertangan setan itu.
"Hey bajingan iblis pengacau masyarakat pembunuh
manusia yang terkutuk, bilamana aku tidak kasi sedikit
pembalasan yang setimpal hal ini terlalu enak buat dirimu,
Ayoh cepat lancarkan serangan! bilamana ingin melarikan
diri.... heee.... heee.... tidak mudah" serunya.
Si kakek dewa bertangan setan kontan saja mendongakkan
kepalanya dengan seram tertawa terbahak-bahak.
"Dengan mengandalkan kepandaian silat kau situyul cilik
yang masih bau susu berani juga bergebrak melawan Loohu,
sungguh menggelikan sekali!"
Ia merandek sejenak, kemudian sambil menuding ke depan
sambungnya kembali, "Kau tidak usah cemas, nih! orang yang
khusus datang kemari untuk membereskan dirimu sudah tiba!"
Baru saja perkataannya selesai diucapkan mendadak dari
empat penjuru berkumandang datang suara tertawa seram
yang sangat aneh. Sreet....! Sreet....! Sreet....! di tengah suara desiran tajam,
terlihatlah beberapa sosok bayangan melayang datang
dihadaoan pemuda tersebut.
Dalam keadaan terperanjat, Tan Kia-beng segera menyapu
sekejap kesekeliling tempat itu.
Tampaklah orang yang paling depan bukan lain si kakek tua
yang memimpin penyerbuan ke gunung Bu-tong-san tempo
dulu, si Bangau Mata Satu Kweek Hwee adanya.
Orang yang berada disebelah kirinya adalah Sam Biauw Ci
Sin sedang disebelah kanannya adalah si Lhama berbaju
merah Tolunpah serta Khelah berdua.
Menggunakan kesempatan sewaktu beberapa orang itu
melayang turun ke tengah kalangan itulah, bagaikan bayangan
setan saja tubuh Kui So Sian Ong sudah berkelebat ke
belakang tubuh mereka. Kecuali si kakek dewa bertangan setan serta si Bangau
Bermata Satu, hampir boleh dikata semua jago lainnya
merupakan panglima-panglima yang pernah dikalahkan
ditangannya. Walaupun begitu, mereka semua boleh dikata cuma terpaut
satu tingkat saja dari kepandaiannya, bilamana saat ini mereka
turun tangan secara bersama-sama sekalipun jagoan lihay
kelas wahidpun jangan harap bisa bertahan lama.
Melihat dari pihak Isana Kelabang Emas sudah berdatangan
begitu banyak jago-jgao lihay, diam-diam pemuda itu merasa
amat terperanjat. Tetapi diluaran ia masih tetap
mempertahankan ketenangan hatinya.
"Haaa.... haaa.... haaa.... beruntung sekali pada ini hari
kalian dapat berkumpul secara bersama-sama, Dalam hal ini
aku orang she Tan harus mengucapkan selamat bertemu buat
kalian semua" serunya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaa.... haaa.... haaa.... semenjak kau memperlihatkan
kegagahanmu berada di atas gunung Bu-tong-san depan kuil
Sam Cing Kong, loohu memperhitungkan bila kau pasti akan
datang mengunjungi gurun pasir kami, tetapi.... heee....
heee.... bocah, apakah kau tidak terlalu memandang enteng
kami dari pihak Isana Kelabang Emas?" seru si Bangau Mata
Satu Kwek Hwie sambil tertawa terbahak-bahak pula.
Leng Poo Sianci yang berdiri disisi Tan Kia-beng selamanya
paling tidak takut langit maupun bumi, saat ini setelah melihat
beberapa orang itu mengurung kalangan tersebut rapat rapat
dan memandang ke arah mereka dengan sepasang mata
melotot lebar-lebar, tidak urung dalam hati merasa rada
tegang juga. Kendati gadis ini tidak kenal dengan beberapa orang jagoan
tersebut, tetapi di dalam pandangan seorang yang bertenaga
lihay di dalam satu kali pandang saja ia sudah merasa bila
beberapa orang yang hadir di tengah kalangan pada saat ini
paling sedikit sudah mempunyai dasar tenaga dalam hasil
latihan selama sepuluh tahun lamanya.
Menghadapi keadaan seperti ini ia tidak berani turun tangan
secara gegabah lagi, gadis itu cuma berdiri disisi Tan Kia-beng
sambil mencekal pedangnya erat-erat dan menantikan
perubahan selanjutnya. Tan Kia-beng yang berada dalam keadaan bahaya, hatinya
malah berbalik jauh lebih tenang, diam-diam ia menyalurkan
hawa murni mengelilingi seluruh tubuh, sinar matanya
menyapu sekejap kesekeliling kalangan
Di dalam pertandingan kepandaian silat di kalangan Bulim,
siapa lemah dia mati, siapa kuat dia menang, menggunakan
siasat maupun menghadapi suatu kematian bukan merupakan
satu persoalan yang serius" katanya mendadak "Tetapi
mengapa kalian dari pihak istana Kelabang Enas menggunakan
tindakan yang sedemikian kejam untuk membasmi seluruh
anak murid kuil Bu Lah Sie yang sama sekali tidak mengerti
akan ilmu silat" aku harap kalian suka memberi penerangan
sejelas-jelasnya". "Soal ini kau tidak usah ikut campur" teriak Sam Biauw Ci
Sin secara mendadak. "Keledai keledai gundul tersebut berani
menyembunyikan mata-mata dalam sarangnya. Sudah tentu
kami tak akan mengijinkan mereka untuk melanjutkan hidup!"
Dari sepasang mata Tan Kia-beng segera memancarkan
cahaya yang sangat tajam melototi dirinya tanpa berkedip.
"Jadi dengan demikian pembunuhan kejam yang terjadi di
Pendekar Panji Sakti 11 Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Pendekar Guntur 2
^