Pencarian

Si Kumbang Merah 18

Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Bagian 18


"Hyaaattt !" Sebuah tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dari Tang Cun Sek menyentuh pundak Tang Gun. Biarpun yang terkena tamparan hanya pundak, namun rasa nyerinya sampai menembus ke jantung. Tang Gun terpelanting dan sebelum dia dapat bangkit kembali, Tang Cun Sek sudah menyusulkan serangan totokan dan Tang Gun roboh lemas tak sadarkan diri lagi.
"Bagus, coba kaulawan aku!" Tiba-tiba saja Ang-hong-cu Tang Bun An sudah menyerang Cun Sek dengan hebatnya. Cun Sek sama sekali tidak menyangka bahwa ayanya akan menyerangnya, maka saking kaget dan herannya, dia tidak sempat lagi menghindarkan dirinya dan dua buah totokan mengenai pundak dan dadanya. Dia mengeluh dan roboh tak sadar diri lagi, dalam keadaan tertotok.
Ang-hong-cu tertawa. "Ha-ha-ha, anak-anak nakal kalian! Ayah mana yang tidak ingin menyenangkan anaknya" Akan tetapi kalian juga harus menjadi anak-anak yang berbakti. Jangan khawatir, anak-anakku. Aku akan memberikan dua orang gadis itu kepada kalian, akan tetapi aku adalah Si Kumbang Merah penghisap kembang. Aku harus menghisap madu mereka dulu, baru akan kuserahkan mereka kepada kalian, ha-ha-ha!" sambil tertawa-tawa, Si Kumbang Merah mencengkeram punggung baju kedua orang pemuda yang pingsan itu mengangkat mereka seperti orang menjinjing dua ekor ayam saja dan menurunkan tubuh mereka di dalam pondok, di atas lantai. Kemudian dia menutupkan daun pintu pondok dan keluar lagi.
Si Kumbang Merah ini memang suka akan segala yang indah-indah. Bukan hanya wanita cantik, akan tetapi dia suka pula akan kembang-kembang yang indah dan harum. Di sekeliling pondok di puncak bukit itupun penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Dia duduk di tengah-tengah taman yang dibuatnya sendiri itu sambil melamun dan menikmati keindahan alam. Waktu itu, musim semi telah lewat dan musim bunga membuat semua tanaman di situ berbunga. Bunga-bunga ini menarik kumbang dan kupu-kupu yang beterbangan di sekitar tempat itu, hinggap dari satu ke lain bunga untuk menghisap madunya.
Ang-hong-cu Tang BunAn dengan sangat asyik memandang kupu-kupu yang bermain-main di antara bunga-bunga itu. Ketika ada seekor kumbang merah terbang dengan cepat, mendahului kupu-kupu yang banyak itu hinggap di kembang-kembang yang masih penuh madunya, dia memandang dengan hati tertarik. Pandang matanya membayangkan kegembiraan dan kebanggaan. Melihat kumbang merah menghisap madu kembang-kembang itu, diapun teringat akan semua pengalaman hidupnya. Sejak muda, diapun telah menghisap madu gados-gadis muda yang cantik, tak terhitung banyaknya.
Si Kumbang Merah ini sama sekali tidak tahu betapa pada saat dia melamun itu, dua orang yang ditakutinya sedang melakukan pengejaran lewat terowongan rahasia!
Akhirnya, Hay Hay dan Han Siong tiba di ujung lorong rahasia di bawah tanah itu dan mereka merasa kagum melihat bahwa terowongan itu menembus ke sebuah lereng bukit yang dikepung jurang. Jalan satu-satunya menuju bukit itu hanyalah melalui terowongan rahasia tadi! Maka, merekapun tidak merasa ragu lagi. Sudah pasti Si Kumbang Merah yang mereka kejar itu berada di bukit ini. Merekapun lalu mendaki bukit itu dengan cepat namun hati-hati sekali karena maklum betapa licik dan berbahayanya lawan yang mereka kejar.
Ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok. Nampaknya sunyi saja di sekitar tempat itu. Pondok itu seperti tidak ada penghuninya dan di sekeliling pondok terdapat taman bunga yang amat indah karena pada waktu itu, hampir semua tanaman berbunga. Dari tempat mereka mengintai saja sudah nampak banyak kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga.
"Sebaiknya kita berpencar agar tidak terjebak keduanya. Engkau menuju pondok lewat depan dan aku lewat belakang, Han Siong. Akan tetapi berhati-hatilah. Orang itu penuh tipu muslihat."
Han Siong mengangguk dan mereka lalu berpencar. Hay Hay menyelinap di antara pohon-pohon, mengambil jalan memutar menuju ke arah belakang pondok, sedangkan Han Siong berindap-indap menghampiri pondok dari arah depan. Jantung dalam dada Hay Hay berdebar tegang ketika dia melihat Ang-hong-cu Tang Bun An duduk seorang diri di belakang pondok, di dalam taman bunga, dikelilingi bunga-bunga beraneka ragam dan warna! Orang yang dicari-carinya berada di tengah taman itu, seorang diri! Dia tidak ragu lagi walaupun kini orang itu tidak berjenggot dan berkumis. Wajahnya bersih dan tampan, namun itulah wajah Han Lojin! Seorang pria yang usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, tampan dan gagah, dengan sinar mata penuh semangat, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan hidungnya mancung. Dia yakin bahwa itulah wajah Ang-hong-cu yang sebenarnya! Wajah Han Lojin merupakan satu diantara wajah penyamarannya saja, walaupun wajah Han Lojin tidak berubah, hanya ditambah kumis dan jenggot.
Membayangkan nasib para gadis yang telah menjadi korban orang ini, terutama sekali Pek Eng dan Cia Ling, Hay Hay menjadi marah dan dia sudah hampir melompat keluar ketika dia menahan diri karena melihat pria itu tertawa-tawa seorang diri seperti orang yang miring otaknya.
Ang-hong-cu bangkit berdiri sambil tertawa, lalu dia memetik setangkai mawar merah yang baru mekar dan semerbak mengharum. Diciumnya mawar itu dan dia nampaknya menikmati keharuman mawar itu, mencium dengan mata terpejam. Kemudian, dia membuka mata, memandang bunga mawar yang tadi diciuminya itu, dan jari-jari tangannya memereteli kelopak bunga itu satu demi satu, menaburkannya di atas tanah, lalu membuang tangkainya. Dipetiknya bunga lain, diciuminya seperti tadi, penuh kasih sayang dan kemesraan seolah-olah hendak dihisap habis keharuman bunga itu, namun tak lama kemudian kembali jari-jari tangannya memereteli sampai habis.
Hay Hay yang mengintai, memandang dengan mata terbelalak dan dia menahan napas seperti terpesona. Dia melihat bunga-bunga itu seperti gadis-gadis yang menjadi korban Si Kumbang Merah, dihisap keharumannya lalu dirusak, dicampakkan begitu saja setelah keharumannya dihisap!
Setelah menghabiskan belasan batang kembang, Si Kumbang Merah lalu menangkap seekor kupu-kupu bersayap kuning kebiruan, indah sekali. Diamatinya kupu-kupu itu, wajahnya berseri, pandang matanya mengagumi keindahan sayap kupu-kupu, kemudian, jari tangan yang kejam itu memereteli sayap kupu-kupu. Kupu-kupu itu meronta-ronta sampai akhirnya semua sayapnya patah-patah dan habis dan tinggal tubuhnya menggeliat-geliat dan meronta-ronta di atas tanah. Si Kumbang Merah memandang ke arah kupu-kupu itu, ke arah kelopak bunga yang bertebaran di depan kakinya dan diapun tertawa-tawa.
"Manusia berwatak iblis!"
Si Kumbang Merah terkejut mendengar seruan ini dan dia cepat membalikkan tubuhnya. Matanya terbelalak penuh keheranan ketika dia melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Hay Hay!
"Kau?". ?"!" serunya kaget karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa puteranya yang paling disegani ini dapat menyusulnya di situ.
"Ang-hong-cu, engkau manusia iblis! Engkau memperlakukan para gadis yang tidak berdosa seperti kembang-kembang itu, seperti kupu-kupu itu. Engkau memperkosa, mempermainkan wanita sesuka hatimu, kemudian engkau campakkan mereka dengan kejam! Engkau tidak patut hidup dipermukaan bumi ini, dan engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang busuk!"
"Hemmm, orang muda. Lupakah engkau bahwa engkau she Tang, bahwa engkau adalah putera Ang-hong-cu, puteraku" Engkau, seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, apakah engkau hendak menjadi seorang yang durhaka, pengkhianat, membuat dosa menentang ayah kandung sendiri" Seorang pendekar harus berbakti kepada ayahnya!"
"Ang-hong-cu, engkau seorang penjahat besar, tidak perlu lagi memberi wejangan dan berkhotbah. Seorang gagah membela kebenaran dan keadilan, dan dalam membela kebenaran dan keadilan, hubungan keluarga tidak masuk hitungan! Biar ayah sendiri, kalau jahat dan melanggar kebenaran dan keadilan, harus kutentang!"
"Ha-ha-ha, Hay Hay anakku yang ganteng dan gagah! Coba katakan, kesalahan apa yang telah kulakukan" Kebenaran dan keadilan yang bagaimana yang telah kulanggar" Jangan melemparkan fitnah kepada ayah kandung sendiri!"
"Hemm, Ang-hong-cu. Sejak kapan engkau mengaku-aku anak kepadaku" Ibuku sendiri kauperkosa, kaupermainkan dan kemudian kaucampakkan begitu saja sampai ia membunuh diri. Dan masih banyak sekali wanita-wanita yang kaurusak hidupnya, gadis-gadis tidak berdosa, bahkan pendekar-pendekar wanita! Engkau manusia berwa tak iblis!"
"Ha-ha-ha, kaumaksudkan wanita-wanita itu" Hay Hay, engkau anak kecil tahu apa! Wanita itu seperti bunga, indah dan harum, sudah sepatutnya dikagumi dan dinikmati, dan seorang laki-laki, seperti engkau, sungguh tolol kalau sampai terjatuh oleh rayuan wanita dan bertekuk lutut kepadanya. Akhirnya engkau sendiri yang akan menderita, yang akan dikhianati cintamu, ditinggal menyeleweng dengan pria lain!"
"Tidak semua wanita seperti itu!"
"Tidak semua wanita" Ha-ha-ha, engkau memang masih hijau. Karena pengalaman maka aku tahu benar akan hal itu. Dari pada disakiti hati oleh wanita, dari pada dipermainkan oleh wanita, lebih baik aku yang mempermainkan mereka."
"Engkau memang jahat dan keji!"
"Dan engkau sungguh mengecewakan hatiku. Engkau gagah perkasa dan tampan, engkau pandai menundukkan hati wanita, akan tetapi engkau lemah, engkau munafik, engkau pura-pura alim!"
"Cukup! Aku tidak mau banyak bicara lagi denganmu!" Hay Hay membentak dengan hati panas dan sebal.
"Hay Hay, habis engkau mau apa?"
"Aku akan menangkapmu! Ang-hong-cu, menyerahlah. Engkau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu!"
"Menyerah" Kepada anakku sendiri" Ha-ha-ha, anak baik, jangan dikira bahwa ayahmu ini selemah itu! Kalau aku tidak mau menyerah, habis engkau mau apa?"
"Terpaksa aku menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!"
"Anak durhaka, engkau perlu dihajar. Majulah!" Tentu saja ini hanya merupakan gertakan yang membual karena sebenarnya di sudut hatinya, Ang-hong-cu Tang Bun An merasa jerih terhadap Hay Hay. Dahulu pernah dia menjadi pecundang, dikalahkan anaknya sendiri itu. Karena maklum akan kehebatan Hay Hay, maka Si Kumbang Merah telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu rantai baja dengan kedua ujung dipasangi sebuah pisau dan sebuah kaitan. Diputarnya rantai itu dan terdengarlah suara mendesing-desing dan nampak gulungan sjnar putih gemerlapan.
Hay Hay juga melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang dapat digulung dan dipakai sebagai sabuk itu. Begitu pedang itu digerakkan, nampak sinar emas bergulung-gulung.
"Trangg! Cringgg?"!!"Ketika beruntun pisau dan kaitan itu menyambar dahsyat, Hay Hay menyambut dengan tangkisan pedang Hong-cu-kiam sambil mengerahkan tenaga dengan maksud untuk membabat putus senjata lawan dengan pedang pusaka dari Cin-ling-pai itu. Pisau dan kaitan membalik, akan tetapi tidak sampai rusak. Hal ini menunjukkan bahwa senjata di tangan Si Kumbang Merah itupun terbuat dari baja yang kuat. Mereka segera bertanding dengan seru. Keduanya bertanding dengan hati-hati dan mengeluarkan semua simpanan ilmu mereka karena maklum bahwa lawan tidak boleh dipandang ringan, harus dihadapi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Kita tinggalkan dulu ayah dan anak yang sedang bertanding dengan hebatnya itu, dan mari kita menengok keadaan di dalam pondok. Karena tenggelam ke dalam lamunan ketika berada di taman tadi, Ang-hong-cu Tang Bun An lupa keadaan dua orang puteranya yang telah ditotok dan ditinggalkan di dalam pondok tadi. Selain lengah, juga dia memandang ringan mereka, mengira bahwa kedua orang pemuda itu sudah diberi pelajaran dan tentu tidak akan berani bertingkah.
Mula-mula Cun Sek yang terbebas dari totokan. Dia dapat bergerak dan mengomel panjang pendek. "Ayah jahat, tega dia menipu anak-anaknya sendiri?". !" omelnya dan dia lalu membebaskan totokan pada diri Tang Gun. Tang Gun yang dapat bergerak, segera hendak menyerangnya.
"Jangan salah paham, Gun-te! Kita telah ditipu oleh tua bangka itu. Kalau kita maju bersama, dia tentu merasa berat, maka dia mengadu kita. Setelah engkau roboh, dia menotokku!"
"Eh" Kenapa begitu?"
"Hemm, tak salah lagi. Dia hendak menguasai sendiri dua orang gadis kita."
Tang Gun mengepal tinju. "Hemm, aku sudah rnelupakan apa yang telah dia lakukan kepada ibuku. Aku hendak menganggap dia ayahku yang sejati dan aku mau berbakti kepadanya. Tidak tahunya dia". dia"."
Sama dengan aku, Gun-te. Dia orang yang amat jahat dan curang, bahkan tega mencurangi anak-anaknya sendiri. Mari kita lihat apakah dua orang gadis kita masih ada."
Mereka berdua memasuki dua kamar itu dan legalah hati mereka ketika mereka melihat bahwa Kui Hong dan Bi Lian masih rebah terlentang di atas pembaringan dalam keadaan tertotok. Mereka menambahkan lagi totokan agar dua orang gadis itu tidak dapat bergerak dalam waktu yang cukup lama.
"Kalau begitu, mari kita cari dia dan kita keroyok dia!" seru Tang Gun dengan marah.
"Nanti dulu, Gun-te?".. " Cun Sek menggosok-gosok dagunya sambil memandang kepada tubuh Bi Lian. "Memang belum tentu kalau kita kalah melawan dia akan tetapi seandainya kita kalah tentu usaha kita sia-sia belaka. Dua orang gadis kita tentu akan dirampasnya. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita memiliki dulu kekasih kita masing-masing, setelah itu baru kita pergi mencarinya. Kalau begitu, andaikata kita kalah sekalipun, dua orang gadis itu sudah menjadi milik kita!"
" Ah, benar sekali ?". engkau benar, toa-ko!" kata Tang Gun dan diapun segera lari ke dalam kamar sebelah dimana menggeletak tubuh Siangkoan Bi Lian dalam keadaan yang sama dengan Kui Hong, yaitu tak mampu bergerak dan lemas tertotok.
Dua orang gadis yang tak mampu bergerak itu, tubuh mereka lemas tertotok, hanya dapat memandang dengan mata mendelik penuh kemarahan saja ketika dua orang pemuda itu menghampiri mereka di atas pembaringan masing- masing.
Tang Gun memasuki kamar di mana Bi Lian rebah terlentang dan menutupkan daun pintu kamar itu. Dengan napas memburu dan wajah merah dia duduk di tepi pembaringan Bi Lian. Gadis itu memandang kepadanya dengan mata mendelik penuh kebencian.
"Sumoi, kenapa engkau memandangku seperti itu" Aih, sumoi, semua ini kulakukan demi cintaku kepadamu. Aku sayang padamu, sumoi, aku cinta padamu?""."
Bi Lian membuang muka. Beberapa kali ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya, namun sia-sia saja. Totokan pertama saja belum lenyap pengaruhnya dan tadi Tang Gun sudah menotoknya lagi. Ia membenci orang yang pernah diterima ayah ibunya menjadi suhengnya ini. Kalau saja ia mampu bergerak, tentu dibunuhnya orang ini, dipenggalnya kepalanya, ditembusinya jantungnya dengan pedang.
"Sumoi, engkau akan menjadi korban Si Kumbang Merah. Karena itu, untuk menyelamatkanmu, demi cintaku kepadamu, terpaksa aku akan menggaulimu. Terpaksa, sumoi, agar engkau lebih dulu menjadi milikku dan Si Kumbang Merah tidak akan menjamahmu lagi dan engkau?". menjadi isteriku, Bi Lian."
Bi lian bukan hanya tertotok yang membuat ia tidak mampu bergerak, bahkan ia tidak mampu bersuara. Dapat dibayangankan betapa sakit rasa hatinya ketika Tang Gun mulai merangkulnya, menindihnya, memeluk dan menciumi mukanya, pipinya, hidung dan bibirnya tanpa ia mampu mengelak, Dan perasaan hatinya seperti disayat-sayat ketika ia melihat dan merasa betapa tangan pemuda itu mulai menggerayangi tubuhnya dan membukmatanya dan air mata mulai menitik keluar dari pelupuk matanya, tanpa dapat ditahannya. Siangkoan Bi Lian adalah seorang gadis yang berhati tabah, pemberani, bahkan galak dan keras sehingga ia pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) di dunia kang-ouw. Bahkan menangispun seperti pantangan baginya. Jarang sekali ia menangis. Akan tetapi sekali ini, menghadapi ancaman yang baginya lebih mengerikan dari pada maut, ia tidak dapat menahan air matanya. Ia akan diperkosa orang, akan diperhina orang tanpa mampu mengelak, tanpa mampu membela diri, bahkan tidak mampu bersuara untuk memaki!
"Jangan menangis, isteriku. Aku sayang padamu, aku tidak akan menyakitimu, sayang?". " kata Tang Gun ketika melihat air mata mengalir keluar dari kedua mata itu dan dengan nafsu semakin menggelora, diapun mengecup pipi yang basah air mata itu.
Makin deras air mata mengalir dari kedua mata Bi Lian. Kubunuh kau, kubunuh kau?""!!! Kalimat ini berulang-ulang diucapkan di dalam hati. Ia tidak berani membuka mata dan akan menerima aib yang akan menimpa dirinya itu untuk mempertebal rasa dendam dan bencinya.
"Brakkkk!" pada saat terakhir yang amat gawat bagi kehormatan Siangkoan Bi Lian itu, tiba-tiba pintu kamar itu jebol ditendang orang dari luar. Sesosok bayangan menyambar ke arah Tang Gun yang siap menanggalkan pakaian dari tubuhnya sendiri.
Tang Gun terkejut, mencoba untuk mengelak sambil menangkis. Namun, masih saja tendangan kaki orang itu menyerempet pahanya dan diapun meloncat dari atas pembaringan sambil mencabut pedang Kwan-im-kiam!
"Sumoi?".!" Han Siong memanggil lirih melihat sumoinya menggeletak terlentang dalam keadaan sudah telanjang bulat sama sekali. Cepat dia menggerakkan tangannya menotok jalan darah di pundak dan tengkuk gadis itu. "Cepat berpakaian, sumoi!"
Bi Lian dapat bergerak. Biarpun kaki tangannya masih terasa kaku, ia cepat meraih pakaiannya dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa.
Tang Gun marah bukan main. Diumpamakan daging sudah di depan mulut, kini tergelincir lepas. "Keparat busuk!"bentaknya dan diapun menyerang dengan pedang Kwa-im-kiam. Akan tetapi, Han Siong sudah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini dia menuding ke arah pedang di tangan Tang Gun sambil membentak dengan suara nyaring penuh wibawa.
"Engkau memegang ular itu untuk apa?"
Tang Gun tertegun. "Ular?".. ?" Dan otomatis dia memandang ke arah pedang di tangan kanannya dan matanya terbelalak lebar, mukanya pucat seketika.
"Ular?". !!" teriaknya dan dia melemparkan pedang itu ke atas lantai dengan jijik karena yang dilihatnya bukan lagi pedang, melainkan seekor ular yang dipegang tangan kanannya. Timbul perasaan takut di hatinya dan diapun hendak melarikan diri melalui pintu yang dijebol itu. Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu sumoinya, Siangkoan Bi Lian, telah berdiri di ambang pintu menghadangnya!
"Suheng, serahkan keparat ini kepadaku. Tolonglah Cia Kui Hong, ia berada di kamar sebelah!" kata Siangkoan Bi Lian. Mendengar ini, Han Siong melorlcat keluar dari dalam kamar itu.
"Jahanam busuk, sekarang kita membuat perhitungan sampai tuntas!" kata Bi Lian dengan sikap tenang, namun sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan mukanya merah karena ia sudah marah sekali. Tang Gun merasa jerih sekali.
"Sumoi ?". aku telah khilaf?" maafkanlah aku, sumoi dan biarkan aku pergi. Aku menyesal?" "
"Jahanam busuk! Engkau telah membohongi dan menipu orang tuaku sehingga engkau berhasil mencuri ilmu silat kami! Kemudian, aku yang menjadi sumoimu sudah bersusah-payah hendak membantumu mencari musuhmu. Kiranya engkau adalah ahak Ang-hong-cu dan bersekongkol dengan ayahmu untuk menawanku secara curang dan pengecut! Semua ini ditambah lagi dengan perbuatanmu yang terkutuk tadi. Engkau hendak memperkosa aku! Dan sekarang engkau minta maaf" Hemmm, orang she Tang! Biar membunuhmu sampai seratus kali, hutangmu masih belum lunas!"
Tang Gun merasa takut sekali. Ketika sumoinya itu menjadi tawanan, diapun tidak lagi menyembunyikan kenyataan dirinya bahwa dia bernama Tang Gun dan putera Ang-hong-cu, maka sekarang Bi Lian sudah mengetahui semua rahasianya. Bagaikan seekor anjing tersudut, matanya melirik ke sana-sini mencari lubang untuk melarikan diri. Dan pandang matanya melihat pedang Kwan-im-kiam yang tadi dibuangnya karena pedang itu berubah menjadi ular. Kini pedang itu menggeletak di sana, tidak lagi berbentuk ular, melainkan sebatang pedang biasa! Tahulah dia bahwa tadi dia berada di bawah pengaruh sihir! Kini, melihat Kwan-im-kiam menggeletak di sana, matanya berkilat dan tiba-tiba dia membuat gerakan ke kiri, menubruk ke arah pedang itu.
"Deessss?".!!" Tubuhnya terpelanting oleh sebuah tendangan yang datang dari kiri dan mengenai lambungnya. Tang Gun cepat meloncat bangun lagi dan ternyata pedang Kwan-im-kiam telah berada di tangan Bi Lian. Gadis itu tersenyum mengejek.
"Pedang ini terlalu bersih untuk dijamah tanganmu yang kotorr" katanya dan menyimpan kembali pedang itu kedalam sarung pedang yang sudah diambilnya dari atas meja, lalu memasang pedang itu di punggungnya. Dengan menyimpan pedang pusaka miliknya itu, berarti ia memandang rendah Tang Gun yang cukup dihadapi dengan tangan kosong saja.
Tang Gun tidak melihat jalan lain kecuali membela diri. Cintanya terhadap Bi Lian lenyap bagaikan asap tipis tertiup angin, dan kini yang ada hanyalah kebencian dan keinginan untuk membunuh gadis itu atau setidaknya untuk dapat menghindarkan diri dari ancamannya. Cinta nafsu memang tidak tahan uji. Cinta nafsu bukanlah cinta, melainkan rangsangan gairah nafsu belaka. Sekali nafsu itu terpuaskan, maka cintanyapun akan luntur, dan kalau nafsu itu tidak tercapai, maka cintanya berubah kebencian. Dia menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang dikuasai gadis itu. Setidaknya dia akan dapat menandingi Siangkoan Bi Lian, apa lagi karena gadis itupun tidak mempergunakan pedangnya.
Tang Gun menggerak-gerakkan kedua lengannya menghimpun tenaga dalam, kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring diapun menyerang dengan pukulan dahsyat. Melihat betapa suhengnya atau lebih tepat bekas suheng itu memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu ciptaan ayah ibunya, hati Bi Lian menjadi semakin penasaran dan marah. Dimainkannya ilmu ini mengingatkannya bahwa pemuda di depannya telah menipu ayah ibunya sehingga mereka berkenan menerima Tang Gun sebagai murid dan mengajarkan ilmu itu kepadanya. Maka, Bi Lian juga memainkan ilmu silat itu dan merekapun bertanding dengan seru dan mati-matian. Karena gerakan mereka sama, maka nampaknya mereka seperti latihan saja. Namun sesungguhnya, mereka saling serang dengan dahsyat, dengan jurus-jurus maut. Tentu saja Bi Lian menang matang latihannya, di samping tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi. Akan tetapi Tang Gun dapat mempertahankan dengan kenekatannya.
Sementara itu, ketika mendengar ucapan Bi Lian tadi, Han Siong cepat meloncat keluar kamar itu. Dia percaya sepenuhnya bahwa sumoinya itu pasti akan marnpu rnengalahkan lawannya. Kini dia harus menolong Cia Kui Hong lebih dulu yang berada di kamar sebelah.
Seperti juga tadi, kini dia menendang roboh daun pintu kamar sebelah dan benar saja, di situ terjadi hal yang hampir sama. Tang Cun Sek sedang rnenggeluti Cia Kui Hong. Akan tetapi agaknya Tang Cun Sek tidaklah tergesa-gesa seperti Tang Gun. Dia mencoba untuk merayu dan menundukkan hati Kui Hong. Agaknya Cun Sek ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia tidak tergesa-gesa hendak rnemperkosanya. Berbeda dengan Bi Lian yang tadi sudah hampir diperkosa, kini Kui Hong masih berpakaian lengkap. Cun Sek hanya membelai dan merayunya, memeluk dan menciuminya tanpa Kui Hong dapat mengelak atau melawan. Gadis inipun lemas tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki tangan, tidak mampu berteriak.
"Brakkkkk?". !!" Ketika daun pintu jebol, barulah Cun Sek terkejut. Agaknya, dibakar nafsu berahinya, dia tadi tidak begitu memperhatikan kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah. Baru setelah daun pintu kamar itu jebol, dia terkejut dan meloncat turun dari pembaringarn, membalik sambil mencabut sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, pedang pasangan yang dirampasnya dari Cia Kui Hong.
"Keparat!" bentak Han Siong dan diapun sudah menerjang dengan pedang Gin-hwa-kiam. Sinar perak berkilat menyilaukan mata, Cun Sek terkejut bukan main ketika mengenal siapa orangnya yang datang merobohkan daun pintu. Tentu saja dia mengenal Pek Han Siong, bahkan dia pernah kalah oleh pemuda ini. Karena maklum betapa lihainya lawan ini, diapun rnenggerakkan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam rnenangkis sambil mengerahkan tenaganya.
Tranggg"..!!" Sepasang pedang di tangan Cun Sek terpental dan hampir terlepas dari pegangan. Dia terkejut bukan main karena dia sempat terhuyung ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Han Siong untuk meloncat ke dekat pembaringan. Tangan kirinya membuat totokan dua kali pada tubuh Kui Hong dan gadis inipun terbebas dari totokan.
Cun Sek yang ketakutan meloncat ke pintu, akan tetapi Han Siong sudah mendahuluinya dan menghadang di pintu sambil membentak. "Engkau hendak lari ke mana?"
Cun Sek terkejut dan semakin jerih, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, diapun menjadi nekat dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Namun, serangannya dapat ditangkis dengan mudahnya oleh Han Siong. Sementara itu, Kui Hong menggerak-gerakkan kaki tangannya untuk mengusir kekakuan dan kepegalan, kemudian ia meloncat ke depan.
"Saudara Pek Han Siong, serahkan jahanam ini kepadaku! Aku yang akan membereskannya!"
Pek Han Siong maklum akan perasaan Cia Kui Hong, maka setelah mendesak lawan sehingga Cun Sek meloncat ke belakang, dia lalu menyerahkan pedangnya kepada gadis itu.
"Nona Cia Kui Hong, pakailah pedang ini. Pedang ini rampasan dari Sim Ki Liong, kuserahkan padamu untuk dikembalikan ke Pulau Teratai Merah!"
"Gin-hwa-kiam?".!" Kui Hong berseru girang ketika menerima pedang i tu dari tangan Han Siong. Setelah menyerahkan pedang itu kepada Kui Hong yang dia percaya akan mampu mengalahkan Cun Sek, Han Siong lalu meloncat keluar untuk melihat keadaan Bi Lian. Bagaimanapun juga, dia mengkhawatirkan keselamatan sumoinya atau gadis yang dicintainya itu.
** * "Trang?". Cring?"". tranggg !!"
Bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata ketika berulang kali kedua senjata itu bertemu di udara. Hay Hay mengerahkan tenaga saktinya, akan tetapi la wannya, Si Kumbang Merah, ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki tenaga yang dahsyat pula. Pertandingan antara mereka merupakan pertandingan bisu, tidak ada yang menyaksikan, akan tetapi pertandingan itu merupakan pertandingan antara mati dan hidup bagi Ang-hong-cu Tang Bun An. Si Kumbang Merah ini maklum bahwa Hay Hay atau Tang Hay, puteranya yang amat dikagumi, juga amat disegani, tidak mungkin akan suka melepaskannya. Dan dia tidak mau ditangkap. Ditangkap berarti penghinaan besar sebelum kematian, mungkin hukun buang atau hukum seumur hidup, atau juga mati dikeroyok para pendekar yang sakit hati kepadanya. Tidak, dia harus dapat membunuh Hay Hay kalau dia ingin bebas, maka, pertandingan itu merupakan persoalan mati hidup baginya dan dia mengeluarkan semua ilmu simpanannya, juga mengerahkan seluruh tenaganya. Hanya satu yang dia khawatirkar yaitu kalau pemuda itu mempergunakan sihirnya. Dia sendiri memiliki kekuatan untuk menolak pengaruh sihir, akan tetapi kalau kekuatan sihir pemuda itu terlalu kuat, dia akan terpengaruh dan ini berarti dia akan celaka.
Namun, sedikitpun tidak terpikir oleh Hay Hay untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Tidak, dia harus menunjukkan kepada orang ini, ayah kandungnya, bahwa dia seorang pendekar gagah sejati. Dia akan menggunakan ilmu silat untuk menangkap orang tua itu. Yang membuat Hay Hay mengalami kesulitan adalah karena dia tidak mau membunuh lawan, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Kalau saja dia berkelahi dengan tekad membunuh, kiranya tidak akan demikian sukarnya seperti sekarang. Dia membatasi serangannya agar kalau sampai mengenai sasaran, tidak sampai membunuh lawan dan hal ini tentu saja mengurangi daya serangnya, mengurangi kehebatan serangan itu.
"Trang-tranggg ?".., haiiiiittt?".!" Setelah dua kali pisau di ujung rantai itu bertemu pedang di tangan Hay Hay, tiba-tiba Si Kumbang Merah membuat gerakan berputar dan kini ujung lain dari rantai itu menyambar ganas. Ujung lain ini merupakan kaitan. Karena sambaran itu amat cepat sampai mengeluarkan suara berdesing, Hay Hay kembali menggerakkan pedangnya menangkis.
"Cringgg?"". !" Dan ujung rantai yang berbentuk kaitan itu kini melibat pedang dan kaitannya mengkait pedang. Pada saat Hay Hay menarik untuk melepaskan pedangnya dari libatan rantai, tiba-tiba pisau itu menyambar lagi ke arah lehernya!
Serangan susulan ini hanya dapat terjadi karena Hay Hay tidak bermaksud membunuh lawannya. Kalau dia menghendaki, dapat saja dia mengerahkan tenaga mujijat yang dia latih dari Song Lojin, tenaga sin-kang yang diperkuat tenaga sihir sehingga rantai itu akan putus dan pedangnya dapat meluncur menusuk dada lawan. Akan tetapi karena dia tidak ingin membunuh lawan, maka dia mengerahkan tenaga untuk menarik lepas pedangnya dan hal ini membuat lawan memperoleh peluang untuk menyerangkan pisau di ujung rantai.
Dalam keadaan terdesak itu, Hay Hay merendahkan tubuhnya mengelak. Kembali gerakan inipun merupakan mengalah, hanya menghindarkan diri. Kalau dia mau, dengan kekuatan tangannya yang dahsyat, dia dapat menyambar dan menangkap rantai di balik pisau itu dan melontarbalikkan pisau ke arah penyerangnya. Karena sikap mengalah ini, keadaannya makin terdesak dan selagi dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya, Si Kumbang Merah yang banyak pengalaman, memiliki banyak tipu muslihat dalam ilmu silatnya, telah mengirim tendangan secara tiba-tiba.
"Desss?".. !" Tubuh Hay Hay terlempar dan dia bergulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran pisau dan kaitan berganti-ganti karena lawannya sudah mengejarnya dan menghujankan serangannya. Biarpun dia tidak terluka, namun dadanya yang tertendang terasa nyeri. Dia berhasil menghindarkan desakan senjata lawan dan meloncat berdiri. Namun Si Kumbang Merah tidak memberi kesempatan dia mengatur kedudukannya, terus melakukan serangan dengan gencar. Hanya dengan menggunakan langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-san saja Hay Hay mampu menghindarkan diri dari semua sambaran senjata itu.
Pertandingan antara ayah dan anak ini sungguh hebat. Ang-hong-cu Tang Bun An sudah mengeluarkan seluruh simpanan kepandaiannya untuk merobohkan puteranya, namun semua serangannya sia-sia belaka dan karena usianya, juga karena dia seorang yang sejak muda menghamburkan tenaga melalui keroyalannya dengan wanita, maka mulailah dia terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dan tenaganya mulai berkurang.
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan kecil, "Tar-tar-tarrr?". !" dan sebatang cambuk dengan ganasnya menyambar-nyambar di atas kepala Si Kumbang Merah, membuat dia terkejut dan cepat memutar rantainya ke atas kepala sambil meloncat ke belakang.
"Mayang?". !" kata Hay Hay yang juga menghentikan serangannya. Dia merasa girang melihat adiknya selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu menyerang Ang-hong-cu. "Jangan mencampuri, biarkan aku sendiri menghadapinya! Ini urusan antara aku dan dia!"
Mayang mengerutkan alisnya, bertolak pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengamangkan cambuknya ke arah Ang-hong-cu, matanya mencorong marah memandang kepada orang yang menjadi ayah kandungnya itu.
"Tidak, koko. Ini juga urusanku! Aku harus membunuh iblis ini! Dia pernah mempermainkan ibuku, menyia-nyiakan ibuku. Kemudian, biarpun dia tahu bahwa aku ini anaknya, dia masih tega menjebakku, menawanku, bahkan dia menawan enci Kui Hong dan enci Bi Lian dengan niat yang jahat sekali. Aku harus membunuhnya!" Ia menerjang lagi dan cambuknya sudah meledak-ledak menyerang Ang-hong-cu Tang Bun An yang cepat menggerakkan sepasang senjata di kedua ujung rantai untuk membela diri, dan balas menyerang.
Sim Ki Liong yang datang bersama Mayang, segera menerjang maju pula untuk membantu Mayang.
"Sim Ki Liong, kau pengkhianat!" bentak Ang-hong-cu dengan marah. Akan tetapi Sim Ki Liong diam saja dan terus menyerang dengan pedangnya.
Melihat ini, Hay Hay merasa tidak enak sekali. "Ki Liong, mundurlah. Ini urusan antara ayah dan anak, orang luar tidak boleh mencampuri!" Dia meloncat ke dalam pertempuran dan mendengar ini, Sim Ki Liong meloncat keluar lapangan dan hanya menjadi penonton. Dia masih merasa tidak enak terhadap Hay Hay karena bagaimanapun juga, tadinya dia adalah musuh pemuda itu. Baru sekarang dia benar-benar menyadari betapa dia telah melakukan penyelewengan besar sejak dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah.
Hay Hay meloncat ke depan, akan tetapi bukan untuk mengeroyok Si Kumbang Merah. Dia merasa malu untuk mengeroyok, maka dia membiarkan saja Mayang menyerang ayah mereka itu, sedangkan dia hanya bergerak melindungi Mayang dari serangan Ang-hong-cu. Tentu saja Ang-hong-cu menjadi repot bukan main. Bagaimanapun juga, Mayang memiliki kepandaian yang sudah tinggi dan serangan dengan cambuknya itu ganas bukan main. Sedangkan semua serangan balasan dari Ang-hong-cu kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis gadis itu, tentu ditangkis oleh Hay Hay yang selalu melindungi Mayang!
"Tarrr?". !" Cambuk itu meledak keras ketika ujungnya menyambar ke arah kepala Ang-hong-cu. Orang tua ini cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya ke samping dan sambil mengelak, kaitan di ujung rantainya menyambar dari bawah ke arah perut gadis itu. Mayang tidak mau mengandalkan bantuan kakaknya saja. Ia meloncat ke kiri untuk menghindarkan serangan lawan sambil menggerakkan lagi cambuknya.
"Tarrr?"!" Kini ujung cambuk menotok ke arah jalan darah di pundak lawan.
"Prattt!" Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya, kemudian tiba-tiba dia bergulingan ke kiri. Mayang agak bingung melihat gerakan bergulingan ini, akan tetapi karena lawan menjauh, disangkanya Ang-hong-cu hendak melarikan diri maka iapun mengejar dengan loncatan.
"Singgg?" !" Kini pisau di ujung rantai menyambar dari bawah ke arah lutut Mayang. Gadis itu terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi kaitan baja itu mengejarnya, menyambar ke arah perut.
"Tranggg!" Kaitan itu terpental oleh tangkisan Hay Hay yang melihat datangnya bahaya mengancam adiknya.
"Jahanam!" Mayang memaki dan cambuknya menyambar dahsyat sampai tiga kali beruntun. "Tar-tar-tarrr?".!"
Ang-hong-cu kembali bergulingan mengelak dan menjauh, akan tetapi tetap saja ujung cambuk itu menyambar ke arah punggung.
"Brettt?". !" Robeklah punggung baju itu dan kulit punggungnya sempat dipatuk ujung cambuk sehingga terluka dan berdarah!
Ang-hong-cu mengeluarkan teriakan nyaring dan kini rantainya menyambar-nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga Mayang terpaksa harus berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dan hanya karena ada gulungan sinar pedang Hong-cu-kiam sajalah maka gelombang serangan rantai itu dapat dibendung, bahkan selanjutnya, serangan cambuk dari Mayang kembali membuat Ang-hong-cu kelabakan. Makin payahlah keadaan Si Kumbang Merah ini karena serangan-serangan Mayang cukup berbahaya sedangkan dia tidak mampu membalas karena gadis itu dilindungi pedang di tangan Hay Hay. Napasnya semakin memburu pakaiannya sudah basah oleh keringat dan bau cendana makin semerbak keluar dari tubuhnya.
Sementara itu, ketika Pek Han Siong meninggalkan Cia Kui Hong untuk menghadapi Tang Cun Sek dan cepat pergi melihat keadaan Siangkoan Bi Lian, pertandingan antara Bi Lian dan Tang Gun sudah berpindah keluar kamar, Tang Gun membela diri mati-matian, bahkan tidak lagi bertangan kosong karena ketika didesak, dia menyambar benda apa saja untuk dijadikan senjata. Kursi, bangku, pot bunga dan apa saja. Namun, semua senjata sementara itu dapat dipukul atau ditendang hancur oleh Bi Lian yang sudah marah sekali. Tang Gun berusaha lari dan meloncat ke luar kamar, akan tetapi cepat sekali Bi Lian sudah mengejarnya dan kini Tang Gun mati-matian membela diri karena didesak terus oleh Bi Lian. Ketika Han Siong muncul, pemuda inipun hanya berdiri di pinggir dan menjadi penonton. Dia tentu saja tidak mau mengeroyok, apa lagi melihat betapa Bi Lian sama sekali tidak membutuhkan bantuan.
Sepasang mata Tang Gun melotot karena marah dan juga rasa takut, mulutnya kering berbusa dan pipi kanannya bengkak membiru karena tadi terkena tamparan tangan kiri Bi Lian. Juga gerakan kakinya kurang tangkas karena paha kirinya juga pernah tercium ujung sepatu Bi Lian sehingga kain celana di paha berikut kulit dan dagingnya terobek dan berdarah.
"Hyaaaattt?". !" Bi Lian menyerang lagi, serangan pancingan dengan sebuah jurus dari Kim-ke Sin-kun yang sudah dikenal baik oleh Tang Gun. Melihat ini, tahulah Tang Gun bagaimana dia harus menghadapi serangan yang dilakukan dengan tendangan terbang itu. Tubuh Bi Lian meluncur dari atas bagaikan seekor ayam yang menerjang lawan. Serangan ini hampir tidak mungkin untuk ditangkis. Menangkisnya berarti membahayakan diri sendiri, maka Tang Gun mengambil jalan yang paling aman. Dia tidak menyambut serangan, melainkan melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, lalu berguling dan meloncat. Dia tidak tahu bahwa gerakannya ini sudah diperhitungkan oleh Bi Lian dan gadis inipun bergulingan di atas tanah mengejar. Begitu Tang Gun meloncat bangun, tiba-tiba gadis itupun meloncat dan menyerang dari bawah sambil mengeluarkan suara melengking.
Tang Gun terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung. Apa lagi ketika gadis itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba jantungnya seperti diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut dan dadanya, diapun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas seketika! Memang Bi Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu pukulan yang dibarengi ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung lawan yang pernah dipelajarinya dari seorang di antara dua gurunya yang menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)! Iapun meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah tak bernyawa lagi. Ia membayangkan betapa tadi Tang Gun menggelutinya, bahkan menelanjanginya dan iapun meludah ke arah mayat itu.
"Sumoi?" !" Pek Han Siong memanggil.
Bi Lian memutar tubuhnya. Melihat Han Siong, bayangannya berlanjut. Betapa Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut menyerang Tang Gun.
"Suheng?". !" Dan teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya, Bi Lian menggigil.
"Kenapa, sumoi".. ?" Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya. "Engkau kenapa?"
Bi Lian menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa, suheng".. hanya aku teringat tadi?" kalau engkau tidak cepat datang menolongku?". ahhhh?". si keparat itu?"" "
"Sudahlah, sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong. Lihat, ia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Mereka bahkan berkelahi di luar rumah."
Keduanya lalu berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu di mana Kui Hong masih bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan.
Tang Cun Sek maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong membebaskan totokan Kui Hong dan membuat gadis itu dapat bergerak lagi, kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia Kui Hong. Menghadapi Pek Han Siong seorang saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah ketika bertanding melawan Kui Hong memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai. Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu singkat. Akan tetapi, Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari dalam kamar.
"Jahanam busuk, engkau hendak lari ke rnana?" Kui Hong mengejar. Ketika tiba di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi! Dia menjadi bingung dan saat itu, Kui Hong sudah menyusulnya dan langsung menyerangnya. Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong.
Seperti juga pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, kini pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar saudara seperguruan. Seperti kita ketahui, Cun Sek telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bahkan kini menjadi ketuanya! Akan tetapi Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga ia telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek. Dan Kui Hong juga memanfaatkan kelebihannya ini. Biarpun Cun Sek dapat membela diri dengan baik dan rapat, namun lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui Hong. Kini Gin-hwa-kiam berada di tangannya maka iapun memainkan ilmu pedang tunggal Gin-hwa-kiamsut yang dipelajari dari kakeknya, sambil kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya.
Ketika Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di situ, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek dengan hebatnya.Melihat ini, Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu dan hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya. Jelas bahwa gadis ini memperoleh kemajuan pesat dan semakin hebat saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau ia menjadi ketua Cin-ling-pai.
Kui Hong tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka iapun dapat menduga bahwa Bi Lian telah berhasil "membereskan" Tang Gun. Ia merasa penasaran karena ia sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka, ia mengeluarkan seruan melengking nyaring dan pedang Gin-bwa-kiam diputar dengan cepat dah mengandung tenaga yang amat kuat menempel dua batang pedang lawan. Cun Sek terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan dirinya, dia menarik sepasang pedang itu dan meloncat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong, ia menancapkan pedangnya di atas tanah, melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking.
"Hyaaaaattt... !!" Tenaga dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah di antara jurus ilmu silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang amat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya dan merupakan ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis.
"Desssss?". !!" Biarpun dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan gadis itu menerobos dan hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, kemudian dada di bagian bawah Cun Sek dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia mengeluarkan suara parau dan terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam terlempar ke atas dan diapun tewas seketika. Kui Hong meloncat dan dengan kedua tangannya ia menyambut sepasang pedang miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan tenang ia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian.
"Engkau sudah bereskan jahanam itu?" tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini
mengangguk. Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong.
"Saudara Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini kukembalikan Gin-hwa-kiam yang kaupinjamkan kepadaku tadi."
Han Siong memberi hormat dan menolak dengan halus. "Ah, nona Cia Kui Hong, kenapa berterima kasih. Di antara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada ialah saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku hanya pinjam dari saudara Tang Hay".. ah, di mana Hay Hay" Kenapa dia tidak nampak"..?""
"Kaumaksudkan, dia datang bersamamu?" tanya Kui Hong, tertarik.
"Memang kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Dia mengambil jalan belakang, aku dari depan dan?".. ah, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa dipergunakan Mayang. Mari!" Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok itu.
Mereka bertiga lari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan kumis.
"Hemm, agaknya inilah wajah yang aseli dari Ang-hong-cu!" kata Han Siong. Mereka melihat betapa Mayang mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas karena gadis itu dilindungi oleh Hay Hay. Pakaiannya sudah cabik-cabik, dan mukanya sudah penuh guratan merah terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga.
"Jahanam, engkau kiranya masih di sini?" tiba-tiba Kui Hong membentak ddn sekali loncat, ia telah berada di depan Sim Ki Liong yang nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan atau sikap melawan. Melihat ini, Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang jahat dan ikut pula menangkapnya.
"Sim Ki Liong, hayo cepat pergunakan senjatamu. Kita selesaikan semua perhitungan antara kita di sini. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau T eratai Merah untuk menghukummu, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi kejahatanmu."
"Nona, aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo di Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili suhu dan subo menghukumku, silakan, nona. Aku siap menerima hukuman mati sekalipun, aku tidak akan melawan, aku menerima kesalahanku."
Kui Hong tertegun. Tidak percaya. Ia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai, dan belum tentu ia akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini dengan mudah. Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekalipun, tanpa melawan"
"Sim Ki Liong!" bentaknya dengan gemas. "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!"
Tiba-tiba Ki Liong menjatuhkan diri berutut, tidak menghadap Kui Hong, melainkan ke arah selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan, "Suhu dan subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu merasa bersalah, dan kalau suhu dan subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk menghukum teecu, maka teecu menerimanya dengan rela. Mohon suhu dan subo memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa."
Mendengar ini, Kui Hong mengerutkan alisnya. Ia masih menganggap bahwa Ki Liong berpura-pura atau bersandiwara agar ia merasa iba. Maka ia berkata lantang, "Bagus, kalau begitu, biar aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan dunia!"
Ia melangkah maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya, siap untuk menerima pancungan pedang Kui Hong.
"Enci Kui Hong, jangan?"..!!" Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu dan teriakan ini mengejutkan Kui Hong sehingga ia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut.
"Enci Kui Hong, jangan bunuh dia!"
Kui Hong mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak. "Mayang, dia seorang yang jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!"
"Tidak, enci Kui Hong! Biarpun dia pernah tersesat, namun dia telah menyadarinya dan bertaubat. Bahkan dia telah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa hendak membunuhnya, kaubunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!" Ucapan Mayang ini membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang matanya.
"Adik Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga?".."
"Mayang, minggir kau!" Kui Hong membentak.
"Tidak, enci!" Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun.
"Aih, Mayang. Ada apa dengan engkau" Kenapa engkau mendadak melindungi Sim Ki Liong?" tanyanya, penasaran.
"Enci Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku".. aku cinta padanya. Aku pernah mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga terpaksa aku berpisah darinya. Sekarang, jangan engkau memaksa aku berpisah pula dari orang yang kucinta."
Semua orang terbelalak, kagum akan keberanian dan ketulusan hati gadis peranakan Tibet itu, juga terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki Liong, mengerutkan alisnya.
"Mayang, jangan memaksa aku untuk merobohkanmu lebih dulu agar aku dapat membunuh keparat itu."
"Aku bersedia mati bersama dia, enci Kui Hong!"
Pada saat yang menegangkan itu, Hay Hay sedang bertanding lagi melawan Ang-hong-cu. Akan tetapi telinganya mendengar dan mengikuti perdebatan itu dan hatinya menjadi gelisah bukan main. Dia tahu bahwa ada hubungan kasih antara Sim Ki Liong dan adiknya, dan kini bahkan adiknya membuat pengakuan yang demikian terbuka bahwa iapun mencinta pemuda itu. Dan mendengar suara Kui Hong agaknya berkeras hendak membunuh Ki Liong, Hay Hay menjadi semakin khawatir. Karena perhatiannya terpecah, bahkan sebagian besar ditujukan ke arah adiknya dan Kui Hong, maka perlawanannya terhadap desakan Ang-hong-cu menjadi lemah dan diapun terdesak. Saking khawatirnya, Hay Hay meloncat ke belakang dan menoleh ke arah Kui Hong.
"Hong-moi?". , jangan bunuh dia. Dia telah membantu kami melawan para penjahat?""
"Cratt?"" aughhh?".. !" Hay Hay sudah mengelak namun tetap saja pangkal lengan kirinya tersabet pisau di ujung rantai yang digerakkan Ang-hong-cu Tang Bun An secara curang karena dia melihat kesempatan baik sekali ketika Hay Hay meloncat dan menoleh ke arah Kui Hong tadi. Hay Hay terhuyung dan melihat ini, Si Kumbang Merah menerjang dengan senjatanya. Kaitan itu menyambar ganas ke arah leher Hay Hay.
"Tranggg?"" !" Kaitan itu membalik ketika ditangkis oleh pedang di tangan Kui Hong yang sudah menolong Hay Hay.
"Ang-hong-cu iblis busuk! Engkau curang dan pengecut!" bentak Kui Hong sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu sedangkan pedang Gin-hwa-kiam siap di tangan kanan.
Ang-hong-cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Cia Kui Hong! Katanya engkau ketua Cin-ling-pai, akan tetapi ternyata hanya menjadi seorang pengeroyok. Siapa yang curang dan pengecut" Ha-ha, nona manis, engkau boleh membantu Hay Hay dan bersama dia mengeroyok aku!"
"Hong-moi, mundur. Aku masih sanggup menghadapinya!" kata Hay Hay setelah memberi obat bubuk kepada luka di pangkal lengan kirinya. Kui Hong memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut.
"Akupun tidak sudi mengeroyok, dan akupun percaya bahwa engkau tentu akan dapat mengalahkannya, hay-ko. Dan aku percaya engkau harus tahu bahwa kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, penjahat harus di hukum, tidak perduli siapapun dia! Hubungan keluarga tidak mempengaruhi keadilan!" Setelah berkata demikain, Kui Hong melangkah mundur. Gadis ini melihat betapa tadi ketika membantu Mayang, Hay Hay sama sekali tidak pernah menyerang Ang-hong-cu, seolah-olah dia tidak tega dan sengaja mengalah terhadap ayah kandungnya itu. Karena itu kini ia mengingatkan Hay Hay agar tidak lemah. Ialah orangnya yang akan merasa menyesal dan kecewa bukan main kalau sampai Hay Hay melupakan kebenaran dan keadilan karena hubungan keluarga dan sengaja melindungi ayah kandungnya yang jahat sekali itu.
Hay Hay memandang kepada Kui Hong dan dua pasang mata itu saling tatap, dua pasang sinar mata bertaut sebentar. "Aku mengerti, Kui Hong!"
Kini Hay Hay menghadapi Ang-hong-cu dan begitu dia mengeluarkan suara melengking nyaring yang memekakkan telinga dan mengguncang jantung, diapun menerjang dengan pedang Hong-cu-kiam diputar cepat. Nampak sinar emas bergulung-gulung, menyambar ke arah Ang-hong-cu yang cepat menyambut dengan senjata rantainya.
"Tranggg! Cringgg?"!"
Si Kumbang Merah terkejut bukan main karena kini Hay Hay menggunakan tenaga sakti yang amat dahsyat sehingga ketika kedua ujung rantainya bertemu dengan pedang, dua senjata itu, pisau dan kaitan, menjadi patah! Sinar pedang emas itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, demikian cepatnya sehingga kembali Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya yang dipegang kedua tangan pada ujung yang sudah tidak ada senjatanya lagi.
"Tranggg?". !" Rantai itu putus menjadi dua dan tubuh Ang-hong-cu terjengkang lalu dia berguljngan sampai jauh.
Dia melompat bangun, wajahnya berubah pucat matanya terbelalak, akan tetapi wajah itu menjadi merah kembali dan dia tersenyum menyeringai.
"Bagus, Hay Hay! Engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah. Senjataku sudah putus dan tidak ada gunanya lagi, akan tetapi aku rnasih mempunyai tangan dan kaki!" Dia membuang dua potong rantai itu dan mernasang kuda-kuda dengan sikup gagah sekali. Tubuhnya tegak lurus, kaki kanan diangkat sehingga tumitnya menempel lutut kiri, tangan kanan menempel di pinggang dengan jari tangan terbuka, dan tangan kiri sedikit bengkok ke depan, juga dengan jari tangan terbuka.
Hay Hay menyarungkan pedang Hong-cu-kiam di pinggangnya. Dia adalah seorang gagah yang tidak mau melawan orang bertangan kosong dengan senjata, apa lagi dia memang ingin menangkap Ang-hong-cu, bukan membunuhnya. Melihat Ang-hong-cu masih hendak melawannya dengan tangan kosong, bahkan bersikap menantang, Hay Hay menyimpan pedangnya dan diapun melompat ke depan lawan.
Ang-hong-cu menyambut Hay Hay dengan serangan gencar. Dia menyerang dengan kedua tangan terbuka, kadang-kadang menusuk dan kedua tangannya dipergunakan membacok dan menusuk seperti golok, kadang-kadang tangan itu terbuka untuk mencengkeram, dan di lain saat sudah dirobah lagi dengan kepalan yang memukul dahsyat.
Namun, dalam hal ilmu silat tangan kosong, Hay Hay jauh lebih lihai dibandingkan ayah kandungnya itu. Bukan hanya dia telah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh Delapan Dewa, namun juga semua ilmunya itu menjadi matang oleh gemblengan kakek sakti Song Lojin. Betapapun hebatnya ilmu silat tangan kosong Ang-hong-cu yang memiliki banyak kembangan dan tipu muslihat, namun begitu Hay Hay memainkan ilmu silat Cui-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak), Ang-hong-cu menjadi bingung dan repot sekali. Dia sama sekali tidak mengenal gerakan puteranya itu dan tidak tahu bagaimana perubahannya. Namun, dia melihat betapa lawannya seolah-olah berubah menjadi banyak, padahal Hay Hay sama sekali tidak mempergunakan ilmu sihir .
Namun Ang-hong-cu tidak mau menyerah begitu saja. Dia mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi, dia sudah terlampau lelah, tenaganya semakin berkurang dan setiap kali mereka mengadu lengan, dia terdorong dan terhuyung ke belakang, dan menyeringai kesakitan. Hay Hay mendesak terus.
Kui Hong, Mayang, Han Siong dan Bi Lian hanya menoton dan mereka semua merasa lega dan kagum karena melihat betapa Hay Hay dapat mengungguli lawan yang amat tangguh itu. Dalam kesempatan ini, dengan suara lirih Mayang menceritakan tentang Sim Ki Liong kepada Kui Hong. Ki Liong sendiri berdiri agak menjauh, juga ikut menonton pertandingan, namun lebih banyak menunduk. Baru terbuka benar matanya betapa selama ini dia lebih banyak bergaul dengan orang-orang sesat. Hal itu diakuinya, akan tetapi juga dia merasa terpaksa sekali. Dia sudah salah langkah untuk pertama kalinya ketika dia tergila-gila kepada Kui Hong kemudian melarikan diri dari Pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka Gin-hwa-kiam. Itulah kesalahannya yang pertama, yang memaksa dia bergaul dengan para penjahat dan orang sesat karena perbuatan itu tidak memungkinkan dia untuk berdekatan dengan para pendekar. Kini baru terasa olehnya betapa ilmu silat dapat mendatangkan perasaan bangga dan bahagia kalau dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kalau dipergunakan untuk menentang kejahatan. Sebaliknya, kalau dipergunakan untuk mengejar kesenangan nafsu, hidupnya akan berlepotan kejahatan dan tidak akan merasakan ketentraman lagi.
Pada suatu saat, Hay Hay menerjang lawannya dengan pukulan dari bawah depan. Memang gaya permainannya sama aneh dan sukar diduga. Maklum karena penciptanya adalah Ciu-sian Sin-kai, si pengemis dewa arak sehingga gerakan itu seperti gerakan orang mabok kebanyakan minum arak. Justeru gerakan seperti itu malah membuat lawan menjadi bingung. Ketika melihat tangan Hay Hay meluncur ke arah dadanya dengan gerakan yang aneh dan cepat, sama sekali tidak dapat menghindarkan lagi, Ang-hong-cu menjadi nekat. Dia tidak perduli lagi akan keselamatan dirinya, dan dia menerima begitu saja pukulan itu, akan tetapi membarengi dengan gerakan kedua tangannya mencengkeram ke arah leher Hay Hay dari kanan kiri!
"Dukk!?" Dada Ang-hong-cu terpukul.
"Plakk!" Pukulan kedua tangan terbuka dari Ang-hong-cu juga mengenai leher Hay hay, akan tetapi alangkah kagetnya Ang-hong-cu yang merasa betapa dadanya nyeri dan napasnya sesak, ketika kedua tangan itu mengenai leher, dia merasa seolah-olah menampar leher yang terbuat dari baja yang keras dan licin. Kedua tangannya meleset ke bawah dan kini mencengkeram kedua pundak Hay Hay.
"Brettt.....!" Baju di kedua pundak Hay Hay robek dan jari-jari tangan itu mencengkeram kulit dan daging sehingga kedua pundak Hay Hay luka berdarah!
Hay Hay menggerakkan kakinya dan lututnya menendang. "Brukkk!" Perut Si Kumbang Merah tertendang lutut dan diapun roboh telentang, meringis kesakitan. Dia masih berusaha untuk bangkit berdiri sambil kedua tangan memegangi dadanya, akan tetapi dia terjatuh kembali, jatuh terduduk.
Kui Hong, Bi Lian, Mayang, dan Han Siong kini berloncatan mendekati, Ang-hong-cu dan tangan mereka siap untuk memukul. Jelas nampak dari sikap dan pandang mata mereka bahwa empat orang itu akan membunuh Ang-hong-cu. Melihat ini, tanpa memperdulikan kedua pundak dan pangkal lengan kiri yang terluka parah, Hay Hay mendahului mereka, meloncat menghadang antara mereka berempat dan tubuh Ang-hong-cu yang masih terduduk dan meringis kesakitan.
"Jangan?". ! Kalian tidak boleh membunuhnya!" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya melindungi Ang-hong-cu yang biarpun masih meringis kesakitan, akan tetapi kini dia mengangkat muka memandang dan wajah yang kesakitan itu berseri gembira!
"Hay-koko, aku harus membunuhnya untuk membalaskan sakit hati ibuku!" kata Mayang yang sudah siap dengan cambuknya.
"Hay 'Hay, ingatlah engkau kepada adikku Pek Eng!" kata Han Siong.
"Dan ingat kepada Cia Ling. Aku harus membunuhnya!" kata Kui hong.
"Hay-ko, orang ini terlalu jahat, kejam seperti iblis. Sudah sepatutnya kita bunuh dia!" kata pula Bi Lian.
Hay Hay menggeleng kepalanya dengan tegas. "Tidak, siapapun tidak boleh membunuhnya. Aku sudah berjanji untuk menangkapnya dan menyeret dia ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan semua dosanya. Aku menangkapnya untuk menentang kejahatannya. Sekarang dia sudah tertangkap, dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, kalau ada yang hendak membunuhnya, terpaksa aku akan melindunginya. Bagaimanapun, dia ini.... ayah kandungku!"
"Bagus! Engkau seorang laki-laki sejati, Hay-ko!" Kui Hong berseru dengan wajah gembira sekali dan iapun kini melangkah maju, berdiri disamping Hay Hay, sikapnya menantang.
"Hay-ko benar! Aku akan membantu dia melindungi Si Kumbang Merah kalau ada yang hendak membunuhnya!"
Bi Lian dan Han siong mengerutkan alisnya, dan Mayang memandang bingung. Tiba-tiba mereka semua memandang kepada Ang-hong-cu yang tertawa bergelak sambil duduk bersila, "Ha-ha-ha-ha-ha! semua anak-anakku yang tidak mampu mengalahkan aku ingin membunuhku. sebaliknya, Tang Hay, satu-satunya anakku yang mampu mengalahkan aku bahkan hendak melindungiku dan tidak mau membunuhku. Ha-ha-ha-ha, engkau memang hebat, Tang Hay. Engkau lebih hebat dari ayahmu. sayang sekali engkau lemah dan tidak dapat menikmati hidupmu. Engkau mata keranjang akan tetapi hanya lahirnya saja. Engkau tidak sepenuhnya mewarisi watakku. Akan tetapi aku cukup puas. Aku kalah oleh anakku sendiri. Tang Hay, apa yang akan kau lakukan sekarang terhadap diriku?"
Hay Hay rnernandang dengan alis berkerut. "Aku akan rnenyerahkanmu kepada Menteri Cang. Beliau seorang pembesar yang adil dan bijaksana, tentu akan memberi hukuman yang adil. Nah itu, beliau datang?".. "
Memang pada saat itu terdengar suara gaduh dan muncullah Cang Taijin bersama puluhan orang perajurit pengawal. Mereka berhasil menemukan terowongan bawah tanah dan sampai di tempat itu.
"Ha-ha-ha, tidak ada seorangpun di duhia ini yang berhak membunuhku!" Ang-hong-cu berseru sambil tertawa bergelak. Semua orang memandang dan Hay Hay cepat menangkap lengan Ang-hong-cu, akan tetapi terlambat. Orang itu sudah menelan sebutir pel hitam dan tiba-tiba saja dia terkulai roboh. Wajahnya berubah rnenghitam, namun dia masih tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa itu berhenti dan Si Kumbang Merah terkulai lemas, tewas dengan mata terbelalak dan mulut masih terbuka seperti orang tertawa.
Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di dekat mayat ayahnya dan dia memejamkan mata, seperti orang berdoa. Bagaimanapun juga pria ini adalah ayah kandungnya!
Tak lama kemudian, Hay Hay bangkit dan memondong mayat ayahnya, mencari tempat yang baik di bukit itu, lalu menggali lubang kuburan. Tanpa banyak cakap lagi Pek Han Siong membantunya, bahkan Mayang dapat pula menangisi mayat ayah kandungnya yang pernah dirindukannya itu. Yang terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggauta badan. Tubuh yang semestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya, akhirnya menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang kendali juga telah dikuasai kuda-kuda nafsu. Badan bagaikan kereta. Baik kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir dan kendalinya, semua semestinya menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya kuda-kuda nafsu, maka kereta badan takkan dapat bergerak maju. Tanpa adanya kusir pikiran dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan tetapi kalau kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi, dan menjadi liar, maka nafsu akan kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang, segalanya ikut menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang Jiwa.
Sebaliknya, kalau jiwa yang menjadi majikannya, dan semua alat itu hanya menjadi
hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang seutuhnya. Hanya kalau jiwa ini dapat bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Kasih, maka jiwa akan mendapatkan kembali kekuasaannya atas semua hambanya, yaitu jasmani.
Setelah jenazah Ang-hong-cu Tang Bun An atau Si Kumbang Merah dimakamkan, juga jenazah Tang Gun dan Tang Cun Sek yang dikubur di sebelah kiri Ang-hong-cu. Hay Hay menyembahyangi kuburan mereka secara sederhana, bersama Mayang.
Menteri Cang Ku Ceng menyatakan penghargaan dan terima kasihnya kepada para pendekar yang untuk kedua kalinya membantu pemerintah membasmi gerombolan yang dianggap berbahaya. Namun seperti biasa, Hay Hay dan para pendekar lainnya tidak bersedia menerima anugerah jabatan, bahkan menolak pemberian hadiah berupa harta kekayaan. Hal ini membuat Menteri Cang menjadi semakin kagum dan hormat kepada mereka.
** * "Nona Cia, kalau nona memperbolehkan dan masih percaya kepadaku, aku mohon agar. Gin-hwa-kiam diserahkan kepadaku." kata Sim Ki Liong kepada Cia Kui Hong, didengarkan oleh para pendekar lainnya.
"Benar, enci Kui Hong. Kami sudah membicarakan tentang hal itu dan akupun ikut mengharap sukalah kiranya engkau menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada Liong-koko."
"Menyerahkan Gin-hwa-kiam kepadamu?" Kui Hong mengulang dengan heran. "Untuk apa?" Sinar matanya penuh selidik menatap wajah Ki Liong.
"Nona Cia. Pedang Gin-hwa-kiam adalah pusaka Pulau Teratai Merah. Aku yang dahulu melarikannya, mencurinya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa aku telah sadar dan bertaubat, aku ingin mengembalikan sendiri pusaka itu kepada suhu dan subo. Aku akan menghadap, suhu dan subo, dan seandainya suhu dan subo marah dan hendak menghukumku, aku akan menerimanya dengan rela."
"Aku akan menemaninya, enci Hong. Andaikata engkau belum dapat percaya kepadanya, tentu engkau percaya kepadaku, bukan?" kata Mayang.
Kui Hong nampak bimbang, kemudian ia menoleh kepada Hay Hay dan biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya jelas minta pertimbangan pendekar itu. Sungguh aneh, ia sendiri tidak mengerti mengapa kepada Hay Hay ia berpaling untuk minta pertimbangan. Hay Hay dapat menangkap pandang mata itu, dan dia menghela napas panjang.
"Beruntunglah orang yang sakit dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja dihinggapi suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari kejahatannya lalu bertaubat, dari pada orang baik yang membanggakan dan menyombongkan kebaikannya sehingga takabur. Aku sendiri kini dapat mempercayai Sim Ki Liong karena aku yakin bahwa adikku Mayang tidak akan salah pilih."
"Aku setuju dengan pendapat Hay-ko." kata Siangkoan Bi Lian. Gadis ini bukan saja teringat betapa ia pernah menjadi murid dua orang datuk sesat, akan tetapi juga ia tahu bahwa ayahnya adalah putera seorang datuk sesat, bahkan ibunya puteri suami isteri yang menjadi datuk besar dunia hitam sebagai raja dan ratu!
Kui Hong termenung. Ia teringat akan neneknya di Pulau Teratai Merah. Neneknya itu dahulunya seorang datuk besar kaum sesat dengan julukan Lam Sin (Malaikat Selatan), akan tetapi kemudian setelah menikah dengan kakeknya, berubah menjadi pendekar yang menentang kejahatan.
"Baiklah, kau boleh antarkan pedang pusaka ini kembali ke Pulau Teratai Merah. Andaikata engkau menipuku, aku masih dapat mencarimu dan membuat perhitungan."
Sim Ki Liong yang sejak bertaubat nampak muram wajahnya, kini dia nampak gembira bukan main. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar kembali. Dia menerima pedang Gin-hwa-kiam dan memberi hormat kepada Kui Hong. "Nona Cia, dahulu mataku seperti buta, melihat engkau sebagai seorang gadis yang tinggi hati, keras dan kejam. Sekarang baru aku dapat melihat betapa engkau amat bijaksana. Terima kasih, nona, engkau telah menghidupkan kembali semangat dan harapanku. Mari, adik Mayang, sekarang juga kita berangkat ke Pulau Teratai Merah!"
Mayang lari menghampiri Hay Hay dan memegang lengan pemuda itu. "Hay-ko, engkau tidak marah bukan dengan keputusanku untuk menemani Liong-koko?"
Hay Hay tersenyum. "Sama sekali tidak, adikku. Aku bahkan merasa gembira sekali dan aku hanya mendoakan agar engkau berbahagia. Ki Liong, jaga adikku baik-baik."
Sim Ki Liong dan Mayang lalu berpamit dari semua orang dan merekapun berangkat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata para pendekar. Setelah bayangan dua orang ini lenyap, Bi Lian saling pandang dengan Han Siong, sedangkan Kui Hong saling pandang dengan Hay Hay. Mereka masih merasa terharu akan perubahan yang terjadi pada diri Sim Ki Liong. Sungguh, cinta kasih dapat merobah segala!
Tiba-tiba Siangkoan Bi Lian melangkah maju menghampiri Pek Han Siong. Ia melepaskan pedang Kwan-im-kiam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Han Siong.
"Suheng, engkau terimalah pedang ini." katanya lirih.
Han Siong memandang dengan mata terbelalak. "Kwan-im-kiam" Akan tetapi, ini adalah pedangmu, sumoi. Pedang pusaka milik ayah ibumu!"
"Tidak suheng. Pedang ini milikmu. Ingat ayah dan ibu sudah memberikan Kwan-im-kiam ini kepadamu."
"Tapi?" tapi?".." Han Siong mengerutkan alisnya karena diingatkan akan kenyataan pahit itu, " suhu dan subo memberikan pedang ini sebagai ikatan dan ikatan itu sudah putus " Dia tidak berani menjelaskan dengan kata "perjodohan" karena di situ terdapat Kui Hong dan Hay Hay.
Siangkoan Bi Lian tersenyum dan wajahnya nampak manis sekali. "Benar, suheng. Itu dahulu. Setelah pedang ini kembali ke tanganmu, bukankah berarti ikatan perjodohan itu telah bersambung kembali?"
Wajah Han Siong seketika berubah merah dan matanya kembali terbelalak, namun sinar kebahagiaan terpancar dari pandang matanya itu. "Bi Lian?"., sumoi?".. ini?".. ini?". benarkah ini?"". eh, maksudku, engkau?"" engkau mau?".." Dia tidak dapat bicara terus terang karena merasa malu didengar Hay Hay dan Kui Hong.
Bi Lian mengangguk sambil tersenyum. "Terserah kepadamu, suheng. Ada dua jalan. Engkau dapat menghadap ayah dan ibu dan mengembalikan pusaka ini, atau engkau boleh datang bersama orang tuamu ke sana. Nah, aku pergi dulu, menanti di sana bersama ayah dan ibu. Hay-ko, adik Hong, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, Bi Lian meloncat dan berlari cepat sekali menuju ke jalan keluar satu-satunya yang tadi juga dilewati Ki Liong dan Mayang, yaitu jalan menuju ke terowongan bawah tanah.
Han Siong masih berdiri tertegun dengan Kwan-im-kiam di tangan. Baru dia sadar ketika Hay Hay merangkul pundaknya dan sahabatnya itu tertawa gembira. "Han Siong, bocah ajaib, sekarang engkau menjadi bocah beruntung! Kionghi (selamat), Han Siong!"
"Hay Hay".., kau".. kaupikir, ia".. ia".." Han Siong masih salah tingkah karena terguncang keharuan dan kegembiraan.
"Ia menanti datangnya pinangan orang tuamu, bocah bodoh!"
Han Siong tersenyum lalu mengangkat kedua tangan ke arah Hay Hay dan Kui Hong, "Selamat tinggal?" selamat tinggal dan terima kasih!" Dan diapun melompat pergi dengan cepatnya, diikuti pandang mata Hay Hay dan Kui Hong.
Mereka berdiri saling pandang. Kini hanya tinggal mereka berdua saja di bukit itu bersama tiga gundukan tanah kuburan. Dalam keadaan itu, terbayanglah dalam ingatan mereka semua pengalaman mereka dahulu. Pernah mereka mengalami banyak hal yang hebat ketika mereka melakukan perjalanan bersama (baca kisah Pendekar Mata Keranjang). Kui Hong teringat bahwa Hay Hay merupakan pria pertama yang telah menjatuhkan hatinya! Juga Hay Hay teringat betapa pernah dia tertarik sekali kepada Kui Hong, namun dahulu dia selalu menolak perasaan cinta yang membutuhkan persatuan sebagai suami isteri. Baru sekarang dia menyadari bahwa sebetulnya, dia sudah ingin sekali memiliki seorang teman hidup, seorang isteri yang mencinta dan dicinta, seorang calon ibu anak-anaknya. Dan dalam diri Kui Hong dia melihat segala keindahan yang pernah didambakannya. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya. Pandang mata dan sikap gadis itu, suaranya, juga ketika tadi minta pertimbangan kepadanya melalui pandang mata tentang diri Sim Ki Liong. Dia melangkah maju menghampiri. Kui Hong menyambut dengan pandang matanya, tidak menjauh.
"Kui Hong?" "
"Hay Hay?".. "
Gelora perasaan yang aneh itu demikian kuatnya, membuat mereka merasa canggung dan sukar untuk bicara. Akan tetapi Hay Hay dapat menguasai perasaannya dan diapun menyerahkan Hong-cu-kiam kepada gadis itu.
"Pangcu".."
"Hushh, tidak sudi aku disebut pangcu olehmu. Tidak enak?"!"
"Akan tetapi engkau memang ketua Cin-ling-pai. Baiklah, Hong-moi, ini kukembalikan Hong-cu-kiam kepadamu. Pedang ini adalah pusaka Cin-ling-pai dan kebetulan aku dapat merampasnya dari Tang Cun Sek."
"Engkau bawalah, Hay-ko. Aku sudah mempunyai Hok-mo Siang-kiam. Kelak kau boleh kembalikan ke Cin-ling-san, aku akan menunggu dl sana?"" kata Kui Hong, teringat akan ucapan Bi Lian kepada Han Siong tadi.
Hay Hay tersenyum maklum, akan tetapi dia lalu menghela napas panjang. "Hong-moi, Han Siong akan datang bersama ayah ibunya untuk meminang Bi Lian. Akan tetapi aku?"." Aku sebatang kara, tiada ayah ibu lagi."
"Takutkah engkau menghadap seorang diri kepada orang tuaku" Biasanya engkau begitu pemberani, Hay-ko!"
"Tapi".. tapi?". bagaimana kalau aku di tolak?"
"Hemm, keputusan sepenuhnya berada di tanganku."
"Hong-moi, engkau".. engkau?" sudikah engkau menjadi isteriku?"
Kui Hong memandang kepadanya dan dua pasang mata bertemu. Sebetulnya, tidak perlu lagi mereka bicara. Sinar mata mereka sudah bicara banyak dan tanpa bertanya sekalipun, mereka sudah tahu bahwa mereka saling mencinta, bahwa mereka dengan hati bahagia suka menjadi suami isteri.
"Hay-ko, satu di antara sifatmu yang menarik hatiku adalah keterbukaanmu ini. Akan tetapi, katakanlah, kenapa engkau tiba-tiba ingin memperisteri aku?"
"Hemm, mengapa" Karena aku clnta padamu tentu saja."
"Aneh! Masih terngiang di telingaku betapa dahulu engkau mengatakan tidak ada cinta itu di hatimu. Engkau tidak ingin terikat walaupun engkau memuji-muji diriku. Engkau suka akan keindahan akan tetapi tidak mau terikat".."
"Dahulu aku bodoh, Hong-moi. Mana ada orang yang lahir terus pintar" Harus melalui kebodohan dulu untuk menjadi pintar, bukan" Kini mataku terbuka sudah. Engkaulah segala keindahan di dunia ini! Dan tanpa engkau, aku akan kehilangan semua keindahan itu. Perjodohan adalah satu diantara kodrat manusia, tak terelakkan lagi, kecuali mereka yang sengaja hendak menyiksa diri tidak mau menikah dan menjadi orang alim. Dan aku bukan orang alim!"
"Huh, engkau mata keranjang, siapa bilang alim?" Kui Hong mencela aka tetapi sambil tertawa dan Hay Hay juga tertawa.
"Biar mata keranjang aku tidak cabul, aku tidak seperti mendiang ayahku, aku tidak pernah mempermainkan wanita, aku".."
"Hushh, cukup. Kalau engkau seperti itu, mana mungkin aku sudi menjadi isterimu?"
"Jadi engkau mau?"
"Kalau engkau melamarku kepada orang tuaku!" ,


Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hong-moi?". !!" Hay Hay menangkap Kui Hong dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas, diterimanya dengan lembut, lalu dilemparkan lagi sampai berulang kali. Kui Hong tertawa dan menjerit-jerit, baru berhenti permainan itu setelah Hay Hay menyambutnya dengan dekapan dan tahu-tahu mereka telah berciuman dengan lembut dan mesra.
"Hong-moi, pujaan hatiku, kekasihku, sayangku yang kucinta dengan sepenuh jiwa ragaku, mari kita pergj ke Cin-ling-pai, sayang?""
Kui Hong tertawa geli, akan tetapi juga senang. "Dasar perayu kau, mata keranjang kau!"
Mereka bergandengan tangan sambil tertawa-tawa, meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kebahagiaan dan harapan. Dan sampai di sini, pengarang menghentikan tulisannya karena kisah ini telah selesai, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca di samping menjadi bacaan hiburan di kala senggang. Sampai jumpa dilain kisah.
TAMAT Lereng Lawu, medio Pebruari 1984.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 10 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Pahlawan Harapan 8
^