Pencarian

Sukma Pedang 2

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Bagian 2


membalikkan tenaga orang, sudah terlatih dalam diri Sun Put Ce
dengan matang, Apalagi serangan yang dilancarkan olehnya tadi
ditambah lagi dua bagian. jumlah seluruhnya menjadi sepuluh
bagian. ilmu yang dipelajari Sun Put Ce mempunyai suatu
keistimewaan yaitu bila orang menyerangnya dengan tenaga sebesar
sepuluh bagian, maka tenaga yang membalik akan bertambah
menjadi lima belas bagian.
Dapat dibayangkan berapa besar tenaga yang berbalik
menghantam Hek Houw, Laki-laki itu meringis kesakitan Dari ujung
bibirnya terlihat darah mengalir Tentu saja Hek Houw sudah terkena
luka pada bagian dalam tubuhnya. Dia sampai terhenyak mundur
lima langkah. Anak buahnya menggeram dengan suara keras. Seakan siap-siap
melancarkan serangan. Kwe Po Giok tidak memperdulikan laki-laki
kasar itu. Dia tahu, bila seseorang benar-benar ingin menyerang,
tentu tidak perlu berteriak Teriakan itu pasti hanya gertakan belaka,
Dugaan bocah cerdas itu ternyata benar.... Hek Houw mengulapkan
tangannya. "Mundur! Loocu toh bukan benar-benar sedang bertarung dengan
Sun taihiap!" kata laki-laki, itu sekedar untuk menutupi rasa
malunya. Sekarang dia percaya Sun Put Ce adalah murid Fang
taihiap, bila laki-laki itu memang ingin membunuhnya, tentu
semudah membalikkan telapak tangan.
Anak buahnya terpana, Dengan rasa bersyukur mereka menuruti
perintah majikannya dan mundur teratur.
"Lopek dan cici ini boleh mundur sekarang!" kata Kwe Po Giok
kepada kakek serta cucunya.
"Terima kasih atas bantuan saudara!" kata Peng Chow Ceng
sambil menjura, Dia menarik tangan gadis itu dan segera melangkah
pergi. "Karena Sun taihiap telah turun tangan dalam urusan ini, loocu
terpaksa memberi muka!" kata Hek Houw.
"Kalau Hek taihiap memang mau memberi muka, mengapa tidak
sejak tadi saja?" ujar Kwe Po Giok.
"Saya memang memerlukan jinsom tersebut. Tapi urusan sudah
jadi begini, mau bilang apalagi... Sampai jumpa!" kata Hek Houw,
Dia menjura kepada kedua orang itu dan mengibaskan tangan
kepada anak buahnya untuk meninggalkan tempat tersebut. Arah
yang dipilihnya tentu berlawanan dengan kakek dan cucunya tadi.
"Sun toako, menurutmu apakah Hek Houw akan menyudahi
urusan ini?" tanya Kwe Po Giok setelah tempat itu kosong.
"Pasti!" sahut Sun Put Ce.
"Mengapa kau dapat seyakin itu?" tanya si bocah kembali.
"Karena ia memang jenis orang seperti itu!" katanya.
"Maksudmu, Hek Houw tidak akan mencari kakek Peng Cihow
Ceng dan cucunya lagi?" tanya Kwe Po Giok. Bibirnya tersenyum, Dia
ingin melihat tanggapan Sun Put Ce. Teman seperjalanannya hanya
mengangkat bahu. "Saya lihat kau bukan orang yang bodoh," kata Kwe Po Giok
sambil menganggukkan kepala.
"Tapi saya juga bukan termasuk orang yang pintar," sahut Sun
Put Ce. "Justru di sinilah titik kepinteranmu. Biasanya orang yang
menganggap dirinya tidak pintar, pasti juga bukan orang yang
termasuk bodoh," kata Kwe Po Giok kembali.
Sun Put Ce tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Mereka
berjalan dari arah Selatan kemudian membelok ke arah Tenggara,
Sampai kira-kira tujuh atau delapanpuluh li, mereka duduk dan
beristirahat di bawah sebatang pohon yang rimbun. Kwe Po Giok
mengeluarkan perbekalan dari balik baju-nya. Mereka duduk
menikmati makanan kering itu.
Tiba-tiba, sebuah suara yang tidak asing berkumandang.
"Chow toako.... Aku rasa kita tidak mungkin termasuk dalam
daftar," kata orang yang pertama.
Sebetulnya, selain Toa Tek To Hun, siapa yang berani memastikan
dirinya termasuk dalam daftar?" sahut orang kedua.
"Paling tidak, Fang Tiong Seng pasti termasuk dalam daftar orang
penting baginya. Tapi ternyata sampai sekarang...." kata orang yang
pertama tadi lagi. "Hanya waktunya saja yang belum sampai, Toa Tek To Hun
mungkin melepaskan siapa saja, tapi tidak mungkin mencoret
namanya dari daftar." sahut lagi orang yang kedua.
"Betul juga kata-katamu! Chow toako, menurutmu, apakah ada
orang yang lebih bodoh dari Sun Put Ce di dunia ini?" tanya orang
yang pertama. "Hek Houw! Tidak boleh mengejek bodoh kepada manusia yang
berbudi!" Terdengar sahutan seorang gadis.
Sun Put Ce melirik Kwe Po Giok sekilas, Dalam hatinya terasa ada
kehangatan, Meskipun selama ini, dia tidak perduli orang-orang
selalu mengatakan dirinya bodoh! seorang manusia yang sudah
sering diejek bodoh, tidak akan merasa sakit hati lagi, Tentu berbeda
dengan orang yang menganggap dirinya pandai.
Kwe Po Giok membalas tatapan Sun Put Ce. Dia ikut merasa
bangga mendengar perkataan sang gadis, Paling tidak, dia
menganggap Sun Put Ce terlalu rendah diri, Ternyata gadis itu
bermata tajam juga. Dia memperhatikan rekannya dengan seksama,
Tentunya ada alasan lainnya Iagi.
Orang yang selalu dikira berotak kayu ini ternyata sekali keluar
rumah, sudah bertemu dengan Bwe Mei yang menghadiahkannya
sebuah dompet, Sekarang gadis yang satu ini juga mempunyai
pandangan tersendiri terhadapnya.
Bukankah tidak dapat dikatakan bahwa gadis-gadis ini manusia
yang buta" Mungkin juga Sun Put Ce seperti sebuah berlian yang
belum diasah, Hanya orang yang ahli baru dapat melihat nilainya.
Tapi dalam hati Kwe Po Giok merasa tertekan, sebelumnya dia
tidak akan menyangka kakek dan gadis itu adalah serombongan
dengan Hek Houw. sandiwara yang mereka lakukan terlalu
meyakinkan Hek Houw juga memerankan dengan bagus. Benarbenar
tampak seperti orang yang suka menindas. Pada saat itu,
terdengar suara Peng Chow Ceng kembali.
"Apa yang dikatakan Ai Giok memang ada benarnya, Fang Tiong
Seng pasti tidak akan memilih seorang yang bodoh dan tidak bisa
apa-apa mengurus persoalan sebesar ini!"
Sun Put Ce seketika merasa hormat kepada Peng Chow Ceng,
Bukan karena orang tua itu mengatakan dirinya tidak bodoh. Tetapi
pujiannya kepada sang guru.
"Apakah kita harus memberi pelajaran kepada ketiga orang itu?"
tanya Kwe Po Giok. "Mengapa harus memberi pelajaran kepada mereka?" Sun Put Ce
tidak mengerti. "Mereka kan mempermainkan kita tanpa perasaan?" kata Kwe Po
Giok kesal. "Mungkin bagi perasaan kita terasa dipermainkan tapi mereka
tidak menganggap demikian," kata Sun Put Ce.
"Apakah mereka sedang melindungi dirinya sendiri?" tanya Kwe
Po Giok. Sun Put Ce menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Sungguh tidak dinyana, Kau memang manusia berbudi seperti
yang dikatakan oleh gadis itu," Kwe Po Giok menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sun Put Ce tertawa-tawa. Mereka tidak jadi memberi pelajaran
kepada ketiga orang tersebut Diri mereka dipermainkan hanya
karena rasa takut mereka yang menuntut untuk mencari tahu,
terlalu menyalahkan orang memang tidak baik!
-oooo0oooo- Bagian Empat Matahari bersinar dengan terik. ini adalah hawa yang membuat
orang-orang mengeluh tak tertahankan.
Di rumah keluarga Fang, jendela besar-besar berjumlah tiga buah
telah dipentang dengan lebar, Rasa panas masih tetap tidak
terhalau. Pada waktu ini pepatah hati yang tenang akan terasa
menyejukkan benar-be-nar terbukti, namun hati siapa yang sanggup
tenang saat itu" Tengah hari sudah semakin dekat Fang Tiong Seng duduk di kursi
singa. Wajahnya kelam. Bibir Mo Put Chi semakin berkerut.
Dia benar-benar tidak sanggup menerima keangkeran nama Toa
Tek To Hun. Hari ini dia akan mendapatkan kesempatan untuk
menyaksikannya sendiri, Fang Tiong Seng mengatakan padanya
bahwa waktunya sudah sampai.
Dia tetap menganggap suhu sedang memberikan pelajaran
kepadanya, karena mengharapkan dirinya tidak demikian keras
kepala. Hu Put Chiu berdiri di sebelah kiri Fang Tiong Seng, sedangkan
Mo Put Chi di sebelah kanan. Seluruh anak buah dan para pengawal
berlutut dengan membuat dua baris berjajar. Di pundak mereka
terdapat sebuah buntalan dan pada masing-masing tangan
tergenggam beberapa keping uang emas. Meskipun matahari
bersinar dengan terik, di dalam atau pun luar ruangan terasa kabut
yang tebal. "Kalian telah mengikuti aku selama bertahun-tahun. Namun di
dunia ini tidak ada pesta yang tidak usai. Kalian pergilah!" katanya
dengan wajah sendu. Para anak buah dan pengawal membenturkan kepala ke lantai
sebanyak tiga kali, Dengan air mata yang bercucuran, mereka
mengundurkan diri, peristiwa ini bisa terjadi dalam keluarga Fang,
siapa pun tidak akan menyangkal Tetapi masih ada sebagian orang
yang tetap berdiri di tempatnya.
"Mengapa kalian belum pergi juga?" tanya Fang Tiong Seng
heran. Sebetulnya, Fang Tiong Seng sendiri tidak mempunyai kepastian
diri, Kedua muridnya pun tidak berbeda. Namun para pekerja di
rumah Fang Tiong Seng masih tetap tidak ingin meninggalkan
tempat itu. Apakah mereka ingin menyerahkan nyawa secara
percuma" Seorang pelayan berusia lanjut maju ke depan, Dia menjura ke
arah majikannya. "Kami adalah orang-orang yang tidak mempunyai keluarga, Kami
semua rela bertarung mati-matian dengan manusia jahat itu!"
katanya tegas. "Bertarung mati-matian " Apakah kalian bisa bertarung
melawanmu" Kalian hanya mengantarkan nyawa!" kata "Fang Tiong
Seng dengan suara keras. Kemarau memang telah tiba. Namun dalam ruangan itu terasa
ada awan yang tebal dan gelap, Airmata orang-orang yang hadir
dalam ruangan itu berkilauan diterpa matahari, bagaikan sebatang
pedang panjang yang bersinar ketika dihunus.
"Meskipun sudah pasti tidak dapat hidup, kami rela mati bersama
Tuan!" kata pelayan tua tadi mewakili teman-temannya.
Fang Tiong Seng bangkit dari kursinya. Mereka menatap orangorang
itu dengan tajam, Mereka semua sudah berlutut di
hadapannya, Kemarahan di wajahnya telah sirna. Tiba-tiba Fang
Tiong Seng tertawa terbahak-bahak. Kadang-kadang sebuah suara
tawa lebih menyakitkan dari ratap tangis.
"Tidak disangka aku, Fang Tiong Seng, masih mempunyai
demikian banyak teman, Pada waktu biasa, mungkin aku sering
kasar terhadap kalian, Hari ini, terimalah hormat saya!" katanya
sambil menekuk kaki dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan para
anak buahnya. Jilid 03 Mo Put Chi dan Hu Put Chiu juga menjatuhkan diri seketika,
Seluruh ruangan itu tidak ada yang tidak berlutut. Airmata dan suara
ratap tangis memecahkan keheningan.
"Ambil pedangku!" teriak Fang Tiong Seng dengan gagah, Suara
ini menggetarkan hati setiap orang, Mo Put Chi pun semakin yakin
tidak akan kalah, Hu Put Chiu semakin riang, Anak buah Fang Tiong
Seng tidak menangis lagi.
Seakan mereka yakin, asalkan pedang majikannya sudah
tergenggam di tangan, tidak ada urusan yang tidak dapat
diselesaikan. Tidak ada musuh yang tidak dapat dikalahkan Mereka
berdiri serentak dengan gagah.
-oooo0oooo- Hawa terasa menyengat. Di mana-mana sama, tidak terkecuali di
pegunungan. Tidak ada angin yang bertiup, Tumbuh-tumbuhan
terpaku tidak bergerak, Hanya langkah kaki Kwe Po Giok dan Sun
Put Ce yang tidak henti bergerak.
Dalam pertengahan Tiong Chiu, mereka harus sampai di
perkampungan nelayan daerah laut Timur, Walaupun waktunya
sudah tidak lama lagi, tetapi mereka tidak mau tergesa-gesa.
Meskipun langkah kaki menuju arah Timur Laut, hati mereka tetap
berada di tempat asal mereka datang.
"Sekarang sudah tengah hari," kata Kwe Po Giok dengan mata
memandang jauh. "Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Sekarang manusia jahat itu pasti sudah sampai di Jin Gi Tong,
ruangan dalam keluarga Fang yang berarti ruangan adil bijak-sana,"
kata bocah itu kembali. "Betul!" kata Sun Put Ce.
Siapa pun tidak ingin memandang mata teman seperjalanannya,
Tetapi meskipun mereka tidak saling memandang, mereka tahu
bagaimana perasaan hati masing-masing.
"Pedang, telapak tangan dan senjata rahasia lopek sangat
terkenal, Mungkinkah dari ketiga ilmu itu tidak ada satu pun yang
sanggup mengalahkan Toa Tek To Hun?" Kwe Po Giok sulit untuk
menerima kenyataan ini. Sun Put Ce tidak menyahut Dia membalikkan tubuh ke arah
Tenggara dan berlutut. Laki-laki itu menyembah sebanyak tiga kali.
-oooo0oooo- Langkah kaki terus menuju timur laut, namun hati tetap beralih ke
arah Tenggara, lama sekali kedua orang itu tidak berkata apa-apa.
Memang tidak ada uraian yang dapat menjelaskan perasaan hati
mereka. Kwe Po Giok benar-benar tidak tahan lagi, Dalam hal
berdiam diri, dia masih bukan tandingan Sun Put Ce.
"Coba kau bayangkan.,., Bagaimana keadaan Jin Gi Tong
sekarang?" tanyanya, Sun Put Ce menyahut.
"Kau tidak memikirkan atau sama sekali tidak berani berpikir?"
Lagi-lagi Kwe Po Giok. "Pikiran manusia paling sulit dikendalikan bukan?" sahut Sun Put
Ce. "Tidak salah! Banyak para pertapa yang mensucikan dirinya
mengalami kegagalan karena tidak sanggup mengendalikan
pikirannya!" kata Kwe Po Giok seraya menarik nafas.
Sun Put Ce tidak memberikan tanggapan.
"Mereka tidak dapat tidak memikirkan kejadian yang telah mereka
alami selama hidup!" kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Maka dari itu, dalam buku sejarah Toa Chiu Yin Guan Bun ada
sebuah pepatah! Setiap tanaman pasti berakar! Tahukah kau artinya
tanaman di sini?" tanya Kwe Po Giok.
"Kalau kau sudah tahu, buat apa bertanya?" kata Sun Put Ce.


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa engkau tidak tolong menjelaskan?" tanya Kwe Po Giok.
"Maksudnya kenangan dan pikiran!" sahut Sun Put Ce terpaksa.
"Kalau ada yang berani mengatakan Sun Put Ce tidak berakal,
lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan hal itu," kata Kwe Po Giok.
Sun Put Ce hanya melirik sekilas tanpa menjawab.
"Tahukah engkau mengapa saya berkata demikian?"-tanya Kwe
Po Giok. "Tentu ada alasanmu sendiri!" sahut Sun Put Ce kalem.
"Omonganmu kadang-kadang seperti mengoceh sembarangan,
sebetulnya tidak!" kata Kwe Po Giok dengan wajah serius.
Sun Put Ce meneruskan langkah dengan perlahan, Dari jauh
terlihat sebuah sungai. Sebuah perahu kecil sedang berlayar di
tengah sungai itu. Tiga orang dengan pedang di tangan sedang
berdebat. "Lautan tak terbatas, seperti hawa amarah dalam diri manusia,
Manusia di kalangan BuIim seperti tidak tahu apa artinya kebaikan.
Mereka menjadi suka saling membunuh," kata Kwe Po Giok sambil
tertawa dingin. "Benar juga!" sahut Sun Put Ce. "Apakah kita harus menyeberangi
sungai itu juga?" tanya Kwe Po Giok kepada teman seperjalanannya.
"Bila tidak, kita terpaksa memutar cukup jauh!" sahut Sun Put Ce.
Lebar sungai itu kira-kira tiga puluh meter, Jago yang mempunyai
kepandaian setinggi apa pun, tidak mungkin dapat melayang ke
seberang, Mau tidak mau, mereka harus naik perahu. Perahu kecil
itu paling-paling panjangnya dua setengah meter, Lebarnya tidak
mencapai satu meter, Di dalamnya terisi empat orang. Yang satu
adalah tukang perahu, Kakinya besar dan tampak tidak kokoh,
usianya sekitar empat puluh lima tahunan. Tangannya besar dan
berotot, Bambu hijau yang tergenggam di kanan kiri bergerak cepat,
Seperti seekor capung besar yang sedang beterbangan
Ketiga orang lainnya, yang satu tua dengan rambut yang sudah
berwarna putih, Usianya mungkin sudah lebih dari tujuh puluh,
Hidungnya merah, alisnya panjang.
Satunya lagi, hampir sebaya dengan si tukang perahu, Bajunya
perlente, wajahnya tenang, dengan sebuah pedang di tangan. Yang
paling muda usianya sekitar tiga puluhan Tampangnya terpelajar
Juga menggenggam sebatang pedang, Bahkan pedang yang bagus,
Ketiga orang itu sedang bertarung.
Bila yang tua menyerang yang paling muda, laki-laki setengah
umur itu akan membantu yang muda. Dan kalau yang muda
membalas serangan yang tua, yang setengah baya itu juga akan
beralih membantu yang tua.
Pertarungan seperti ini membuat orang yang melihatnya bingung,
Mereka yang sendiri meskipun tahu masalahnya, juga tidak dapat
berpikir bagaimana cara menyelesaikan urusan tersebut! Tukang
perahu duduk di ujung dan memperhatikan pertarungan ketiga
orang itu. Air yang memercik memenuhi perahu pun tidak
diperdulikannya. Kwe Po Giok dan Sun Put Ce duduk di sebuah rumah kayu yang
digunakan untuk tempat meneduh dan memperhatikan jalannya
pertarungan itu Tukang perahu membuka topi kerudungnya. Ternyata dia adalah
seorang perempuan. "Apa yang sebetulnya kalian pertengkarkan" Apakah kalian tidak
jadi menyeberangi sungai?" tanyanya kesal.
"Toaso.... di antara kami, hanya satu orang yang boleh
menyeberangi sungai ini." kata orang yang paling muda.
"Mengapa" Apakah kedua orang yang lainnya tidak jadi
menyeberang!" tanya tukang perahu itu heran.
"Bukan! Mereka akan dijadikan umpan ikan!" sahut orang yang
paling muda itu. Tukang perahu itu tidak bersuara lagi. Sebetulnya
siapa yang akan menjadi umpan ikan, saat ini masih terlalu pagi
dibicarakan. Orang yang tertua itu jelas dari Go Bi pay, ilmu mengapung di
atas airnya telah menunjukkan identitas dirinya, Juga sangat lihai.
Kepandaiannya di darat mungkin tidak berapa hebat. Terlihat dari
caranya mengelit serangan laki-laki setengah baya itu, tetapi
meskipun sinar pedangnya berkilauan, sekali berbentur dengan
pedang pusaka di tangan orang yang paling muda pasti akan
menyebabkan pedang lawan bergetar.
"Kalau dinilai dari umur, aku yang paling tua. Mestinya aku yang
menyeberang dan menerima barang," kata si orang tua.
Laki-laki setengah baya tadi tertawa dingin.
"Umur tua apa gunanya" Manusia yang mati di pedang Toa Tek
To Hun semuanya berusia limapuluh ke atas!" katanya dengan nada
mengejek. "Oey Kek Bun, Yap Thian! Kalian masih belum pantas untuk
menerima barang itu, Di antara kita bertiga, mungkin hanya aku It
Cheng Hong yang paling pantas, Kalian terjunlah ke dalam sungai.
Aku tidak tega membunuh kalian!" kata si orang muda.
Rupanya orang tua itu adalah Pak Hay Ok Hi alias si Nelayan buas
dari laut Utara, Oey Kek Bun. Dan laki-laki setengah baya itu adalah
Bong San To Mo atau iblis pedang dari Bong San. pertarungan
mereka kali ini, lagi-lagi untuk menghindari diri dari keganasan Toa
Tek To Hun. Hanya karena kedatangan pembunuh bayaran dari Fu
Sang tersebut, jago-jago Bulim jadi gempar dan ketakutan.
Nama It Cheng Hong memang terkenal, tapi kalau dibandingkan
dengan Cheng Song dan Lie Cheng Hong masih kalah satu tingkat,
Apakah setelah membunuh para jago kelas satu, Toa Tek To Hun
juga akan membasmi para jago kelas dua" Tidak ada seorang pun
yang tahu! Kwe Po Giok dan Sun Put Ce memandang ke arah jembatan
penyeberangan Di sana terhenti sebuah tandu dengan warna-warna
yang menyolok, Selain empat orang laki-laki bertubuh tegap sebagai
penggotong tandu, masih ada dua gadis muda dengan pakaian
semarak berdiri di kiri kanan tandu tersebut.
"Apalagi itu?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Pertengkaran mereka tampaknya ada hubungan dengan tandu
berwarna warni itu," kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Mungkin orang atau barang yang ada dalam tandu tersebut,"
kata Kwe Po Giok. "Betul!" "Kalau kita berebut untuk menyeberangi sungai lebih dahulu,
mungkin kita yang akan mendapatkan orang atau barang dalam
tandu itu!" kata-kata Kwe Po Giok seperti penjelasan juga seperti
pertanyaan. "Buat apa harus berbuat seperti kata-mu?" tanya Sun Put Ce.
"Kalau barang yang dapat membuat orang puas dan senang?"
kata Kwe Po Giok memancing reaksi rekannya.
"Tidak ada bedanya!" sahut Sun Put Ce tegas.
"Sama?" tanya Kwe Po Giok heran melihat keteguhan manusia
yang satu ini. Sun Put Ce mengangguk yakin.
"Apakah kau tahu siapa atau barang apa ! yang ada dalam tandu
itu?" tanya Kwe Po Giok. Sun Put Ce menggelengkan kepalanya kali
ini. "Penyakit lamamu kambuh lagi! Kalau kau tidak tahu siapa atau
barang apa yang ada dalam tandu itu, mengapa kau mengatakan
tidak ada bedanya?" tanya Kwe Po Giok penasaran.
Sun Put Ce tetap tidak menjawab.
"Coba kau jelaskan!" desak Kwe Po Giok.
"Karena di dunia ini tidak ada barang yang tidak berharga, Hanya
tergantung dari sudut mana kita melihatnya!" Akhirnya Sun Put Ce
menjelaskan. "Perkataan itu memang benar Namun apakah ketiga orang itu
juga tidak tahu pernyataan ini?" kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
Kwe Po Giok jadi malas meneruskan perdebatan yang tidak ada
penyelesaiannya itu. Pada saat yang sama, laki-laki muda itu telah
mengelit dari serangan orang tua tersebut Kakinya dengan gerakan
cepat menendang ke arah orang berusia setengah baya. Tendangan
itu bukan main kerasnya, tepat pada perut Bong San to mo.
"Pung!" Suara benda berat terjatuh ke dalam air terdengar jelas, Tidak
terlihat Bong San to mo muncul lagi ke permukaan, orang tua itu
seakan sadar bukan tandingan It Cheng Hong, tanpa menunggu
diserang lagi, dia terjun ke dalam sungai.
It Cheng Hong menyarungkan pedangnya dan tertawa terbahakbahak.
Pada saat itu, dia semakin yakin, bahwa dalam daftar hitam
Toa Tek To Hun pasti tertera namanya. Bila dia adalah pembunuh
bayaran itu, dan mengetahui sekarang ada seorang manusia seperti
It Cheng Hong, dia juga tidak akan melepaskannya!
Suara tawanya terdengar aneh, Dia sedang menertawai dirinya
yang dapat mengalahkan dua jago kelas dua dunia persilatan
Dengan demkian dirinya naik satu tingkat menjadi jago kelas satu.
Namun dia juga berduka karena pasti tidak akan terlepas dari
manusia jahat dari Fu Sang itu, Dalam tawanya tersirat nada suka
dan duka. "Tukang perahu! Cepat kendalikan perahu menuju jembatan
penyeberangan!" perintahnya sambil tertawa terus, Dia baru sadar,
akibat pertarungan tadi, perahu sudah tergeser makin menjauh.
Dia tidak menyangka sepasang bambu hijau di tangan tukang
perahu itu secepat kilat hampir menghantam punggungnya, Dengan
ketangkasan yang tak kalah cepat, It Cheng Hong berkelit.
Dia tertawa keras, It Cheng Hong menghentakkan kaki ke
landasan perahu, tangannya memegang badan perahu sebagai
tumpangan, Dengan sekali loncat, dia sudah sampai di ujungnya.
Serangan yang gagal, membuat tukang perahu itu terkejut It
Cheng Hong benar-benar berarti sehembusan angin. Paling tidak,
kecepatannya sama. Dia sadar kega-galannya akan berekor panjang,
Tanpa berpikir dua kali lagi, perempuan setengah baya itu terjun ke
dalam sungai. Sekali lagi It Cheng Hong tertawa nyaring, nadanya terdengar
penuh keangkuhan. Seakan dia sudah merajai rimba persilatan Toa
Tek To Hun terlupakan untuk sementara. Dia mengambil dayung
bambu hijau yang tertinggal oleh perempuan tadi. It Cheng Hong
lalu mengayuh dengan kencang dan sekuat tenaga, Tapi perahu
tersebut tidak meluncur bahkan membuat sebuah lingkaran It Cheng
Hong mencoba sekali lagi.
Namun yang terjadi tetap sama, Suatu hal yang memang belum
pernah dilakukan, kalau dilihat terasa mudah. Tapi tidak demikian
bila kita mencobanya sendiri. Tadi It Cheng Hong melihat
perempuan tukang perahu itu mendayung dengan mudah, seperti
tidak mengeluarkan tenaga sama sekali.
Dicobanya berulang-ulang, tapi hasilnya tetap sama. Perahu itu
sudah mirip sebuah komedi putar, Terus membuat lingkaranlingkaran
Wajah It Cheng hong merah padam karena kesal Dia
mengangkat dayung itu dan mencoba sampai lima enam kali. Tentu
saja bagi orang yang mengerti caranya, melakukan hal seperti itu
mudah sekali, Dengan marah, It Cheng Hong mematahkan dayung bambu
tersebut menjadi dua bagian Dengan demikian, bila dia ingin
menyeberangi sungai, rasanya harus meminta kemurahan hati Thian
yang di atas untuk menghempaskan angin kencang!
Pada musim panas seperti ini, darimana datangnya angin" Pada
saat itu juga, dua orang manusia melayang ke atas perahu itu. It
Cheng Hong menolehkan kepala untuk melihat Tentu saja dia tidak
mengenal Sun Put Ce dan Kwe Po Giok.
Ternyata tanpa diduga Sun Put Ce telah mencengkeram leher
baju Kwe Po Giok dan membawanya melayang ke atas perahu
tersebut It Cheng Hong marah sekali, Dia mengeluarkan pedangnya
dan bersiap-siap menyerang kedua orang itu.
"Kurang ajar! Kalian ingin mencari keuntungan dariku?"
bentaknya. Sun Put Ce bergeser ke samping, Dia mengibas-ngibas tangannya
dengan repot. "Saudara jangan salah paham!" katanya,
"Apa yang salah paham" Kalian pasti ingin menarik keuntungan
dariku!" sahut It Cheng Hong menatap tajam.
"Siapa yang ingin menarik keuntungan darimu" Apakah kau bisa
menyeberangi sungai ini?" tanya Sun Put Ce.
"Bisa atau tidak, apa urusannya dengan-mu?" bentak It Cheng
Hong. "Kalau kau tidak dapat menyeberangi sungai ini, mana mungkin
urusanmu bisa terselesaikan?" tanya Sun Put Ce tenang.
Kwe Po Giok yakin kali ini It Cheng Hong tidak akan berani
mengatakan urusanku selesai atau tidak, apa urusannya denganmu"
Ternyata dugaannya memang tidak ke-1iru. Menyeberangi sungai
rasanya sangat penting bagi It Cheng Hong, Apakah di dalam tandu
yang ada di jembatan penyeberangan sana ada seorang gadis
secantik bidadari" persoalan ini mungkin hanya It Cheng Hong yang
dapat menjawab, Mungkin juga dia sendiri kurang jelas! Hal yang
paling sulit diterima di dunia ini adalah ketidak tahuan....
"Byar, Byur!" Suara air yang terpukul oleh dayung menyegarkan hati It Cheng
Hong, Sun Put Ce mendayung dengan cepat, Sebentar saja sudah
jauh ke tengah. "Loheng, mengapa tidak sejak tadi kau mengatakan bahwa kau
menguasai ilmu yang satu ini?" tanya It Cheng Hong dengan senyum
lebar. Sun Put Ce tidak menjawab, Bibirnya menyungging senyuman
yang tipis. "Siapa nama besar loheng" Melihat gerakanmu melayang ke
perahu sambil mencengkeram bocah ini, rasanya lumayan juga,
Meskipun masih kalah sedikit dari aku!" katanya dengan suara
bangga. Sun Put Ce tetap tersenyum saja tanpa menjawab.
"lt Cheng Hong taihiap! Hari ini adalah pesta kemenanganmu
bukan?" kata Kwe Po Giok dengan nada mengejek.
"Siapa yang menyuruh anak kecil seperti kau ikut bicara?" Bentak
It Cheng Hong. "Kalau dilihat dari keindahan tandu ,di seberang itu, isinya tentu
seorang pengantin yang cantik jelita...." Kwe Po Giok seperti berkata
pada dirinya sendiri. It Cheng Hong tidak menjawab, Dia hanya memandang tandu itu
dengan tatapan mata yang tajam, Wajahnya berubah-ubah,
"Aneh sekali... Kalau mendengar pembicaraan kalian bertiga tadi.
Rasanya kalian sedang memperebutkan orang atau barang dalam
tandu itu. Tetapi tampaknya kau...." kata-kata Kwe Po Giok terhenti
It Cheng Hong mendelikkan matanya dengan garang.
"Dasar! Kalau tidak bicara bisa mati" Kalau berani mengucapkan
sepatah kata lagi. Loocu akan menebas kepalamu!" teriak It Cheng
Hong kesal. "Kalau dilihat dari tandunya saja, sudah begitu mewah!" kata Sun
Put Ce. "Tentu saja," sahut It Cheng Hong tidak berani membentak Sun
Put Ce karena dia masih membutuhkan orang itu.
"Keluarga pengantin ini pasti kaya raya...." kata Sun Put Ce
kembali.

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It Cheng Hong diam tidak menyahut. Pada saat itu, perahu sudah
hampir mendekat dengan jembatan penyeberangan tersebut It
Cheng Hong tampaknya tidak sabar lagi. Dia menghentakkan kaki
dan melayang ke seberang.
Keempat laki-laki penggotong tandu segera menyongsongnya,
Mereka saling menyerang, It Cheng Hong ternyata benar-benar
cukup tangguh, Tidak sampai dua puluh jurus, keempat laki-laki itu
sudah terguling roboh. Kedua dayang itu melihat rekannya mengalami kekalahan,
spontan menyerang, ilmu mereka lebih tinggi dari ke empat
penggotong tandu tadi, tetapi kalau dibandingkan dengan It Cheng
Hong tentu masih jauh, Meskipun memerlukan waktu yang lebih
lama, akhirnya mereka terpaksa mengaku kalah juga dengan It
Cheng Hong. Dia mendekati tandu berwarna warni tersebut lalu berusaha
mengulurkan tangannya lewat tirai yang tertutup.
"Kemarikan barang itu!" katanya.
Gerakannya memang cepat, Dia sudah dapat membayangkan
tentunya orang yang berada dalam tandu, ilmunya lebih tinggi dari
kedua dayangnya, Ternyata dugaannya masih kurang tepat, Siku
tangannya dicengkeram oleh orang dalam tandu itu.
Suara tertawa yang merdu pun berkumandang. Tentunya yang
tertawa adalah orang dalam tandu itu, bukan It Cheng Hong.
Kwe Po Giok menatap Sun Put Ce, Rekannya tidak membalas
tatapan itu. Seakan peristiwa apapun di dunia ini tidak membuatnya
tercengang. "Coba kau tebak, manusia macam apa yang berada dalam tandu
itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Seorang perempuan," sahut Sun Put Ce ringan.
"ltu sih tidak perlu kau jelaskan! Maksud saya perempuan macam
apa?" tanya Kwe Po Giok sekali lagi. Sun Put Ce tidak menjawab,
selamanya dia tidak pernah mengemukakan apa yang diketahuinya
lebih dahulu daripada orang lain.
"Saya rasa pasti seorang perempuan yang jelek sekali!" pancing
Kwe Po Giok. "Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Mengapa kau yakin bukan seorang perempuan cantik?" tanya
Kwe Po Giok menatapnya heran. Sun Put Ce tidak menjawab.
"Manusia macam apa pun ada di dunia ini!" katanya dengan nada
kesal, Dia yakin apa yang sering dikatakan kedua suheng Sun Put Ce
memang benar. Pada saat itu terdengar suara perempuan dalam tandu itu....
"Apa yang ingin kau katakan?" pertanyaan itu sudah tentu
diajukan kepada It Cheng Hong.
"Saya hanya ingin Bi jin sim," jawabnya.
"Hanya ingin hatinya, tidak mau orang-nya?" tanya perempuan itu
sekali lagi dengan suara manja.
"Selama hidupku ini aku tidak pernah mempunyai tempat tinggal
yang tetap. Langit adalah atap rumahku, tanah adalah tempat
tidurku, Bagaimana aku berani menyusahkan hidup seorang wanita
cantik?" sahut It Cheng Hong.
"lt Cheng Hong.... Bila kau menginginkan Bi jin sim, tentu saja
mudah sekali, tetapi kau juga harus menerima diriku," kata
perempuan dalam tandu itu dengan suara tegas.
"Kouwnio, seumur hidup ini aku tidak pernah berhenti bertualang,
Ada Bi jin sim di tangan, hidupku akan menjadi tenang, Aku dapat
berkelana ke penjuru dunia, Tetapi Bi jin harus hidup. Aku hanya
takut kau akan sengsara, selamanya tidak dapat mendapatkan
kebahagiaan!" sahut It Cheng Hong sambil menarik nafas panjang.
"lt Cheng Hong! Benarkah yang kau ucapkan adalah demi
kebaikan diriku?" tanya perempuan dalam tandu.
"Aku berani bersumpah berat!" sahut It Cheng Hong.
"Sudahlah! Anggap saja aku mempercayai perkataanmu! Bukalah
tirai tandu ini!" perintah perempuan itu.
It Cheng Hong menyingkap tirai itu sedikit Tangan seorang
perempuan terulur dan menyerahkan semacam barang, sayangnya
dari tempat Kwe Po Giok dan Sun Put Ce tidak dapat melihat
bagaimana rupa perempuan itu. Tapi dari sikap It Cheng Hong yang
wajar-wajar saja, dapat dipastikan perempuan itu tidak seberapa
jelek, Atau mungkin It Cheng Hong sendiri belum melihat wajahnya"
"Dia sudah menyerahkan Bi jin sim kepada It Cheng Hong,
Mungkin dia juga sudah menyerahkan hatinya sendiri," kata Kwe Po
Giok. Sun Put Ce tidak memberikan tanggapan.
"Apakah kau mempunyai pandangan yang lain?" tanya Kwe Po
Giok heran. Dia tidak mengatakan, "betul" kali ini.
"Tidak," sahut rekannya.
"Sebenarnya It Cheng Hong telah bersedia menerima hati wanita
cantik itu, mengapa dia tidak mau menerima orangnya" Apakah Bi
jin sim itu hanya semacam barang?" tanya Kwe Po Giok kurang
mengerti. "BetuI," Kata-kata itu kembali diucapkan oleh Sun Put Ce.
Kwe Po Giok dengan dongkol mendelik matanya sekejap, Rupanya
Sun Put Ce tidak pernah menjawab sesuatu yang tidak diyakini
olehnya. "Barang macam apa?" tanya bocah itu.
"Hanya pernah mendengar cerita orang, Barang itu dapat
membawa kehangatan pada musim dingin, Memberi kesejukan pada
musim panas, Dapat menjadi bala penangkal setan. Malam hari
ketika tertidur, sering bermimpi bertemu dengan bidadari," sahut
Sun Put Ce. Mata Kwe Po Giok membuka dengan lebar....
"Apakah bukan ocehanmu saja?" tanyanya kurang percaya.
"Untuk apa saya harus mengoceh yang tidak-tidak?" kata Sun Put
Ce tenang. Benar juga.... bila kita mendapatkan barang seperti itu, hidup kita
masih akan tentram," kata Kwe Po Giok.
"Tentu saja!" sahut Sun Put Ce dengan kepala terangguk-angguk,
"Seperti apa bentuk Bi jin sim itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Mungkin sebentar lagi akan terlihat...." sahut rekannya.
It Cheng Hong mengatupkan kedua tangannya dan menjura....
"Cung Kouwnio, mengapa kau masih belum menyerahkan Bi jin
sim itu?" tanya laki-laki itu.
Rupanya tangan yang terulur itu hanya mempermainkan It Cheng
Hong. Dia menarik kembali barang yang tergenggam tadi. Saat ini,
tangan tersebut terulur lebih panjang. Terlihat kesepuluh jari jemari
yang lentik dan halus. Dari tangan itu orang akan membayangkan
betapa cantik pemiIiknya. Tetapi It Cheng Hong tampaknya belum
dapat melihat wajah perempuan itu, sebab tidak terdengar pekikan
kagum atau jeritan menakutkan.
Tangan yang lembut dan halus itu menyerahkan semacam barang
ke tangan It Cheng Hong. warnanya merah darah, Berkilauan
menyolok mata. Kali ini dia tidak mempermainkannya Iagi. Dengan
perasaan berbaur, It Cheng Hong menerima dan menatapnya
dengan seksama, Alisnya yang berkerut pasti menandakan
keraguannya akan kemukjizatan barang tersebut Tetapi kalau
melihat sinarnya yang berkilauan, rasanya tidak usah diragukan lagi.
"It Cheng Hong.... Kau belum membuka kain cadar wajahku
ini...." Terdengar suara si perempuan dalam tandu itu berkata. It
Cheng Hong terpana sejenak, Namun dia maju juga dan
mengulurkan tangannya. Kwe Po Giok dan Sun Put Ce
memperhatikan dengan seksama, Karena kedua orang itu ingin
membuktikan dugaannya. Tiba-tiba It Cheng Hong mengeluarkan jeritan aneh. Kemudian
tubuhnya mundur sebanyak tiga tindak. Tangannya gemetar,
mukanya berkerut-kerut. Apakah seorang manusia bila bertemu
dengan setan, akan menunjukkan penampilan seperti itu"
"Aku she Cung, dan adik Cung tao pun sangat buruk rupa.
Benarkah kau lebih memilih mati daripada menerima diriku?" tanya
perempuan dalam tandu tersebut.
"Tidak... tidak!" sahut It Cheng Hong gugup.
"Lalu... mengapa tubuhmu gemetar?" tanya perempuan itu lagi.
"Karena engkau terlalu baik kepadaku, barang yang begini
berharga, saya tidak dapat menahan getaran hati dan gembiranya
perasaan!" sahut It Cheng Hong dengan suara kikuk.
"Dia berbohong!" kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut rekannya seperti biasa.
"Sebetulnya bagaimana bentuk wajah perempuan itu?" tanya Kwe
Po Giok penasaran. "Kalau tidak terlalu jelek, tentunya terlalu cantik!" jawab Sun Put
Ce. "Mungkinkah terlalu cantik?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Jika ada
sesuatu yang tak segera dijawabnya, ada kemungkinan hal itu
terjadi. It Cheng Hong seperti ingin kabur, Dari sinar matanya yang
jelalatan, Kwe Po Giok dan Sun Put Ce dapat menangkap isi hatinya.
"Mengapa kau tergesa-gesa ingin mendapatkan barang itu?"
tanya perempuan dalam tandu tersebut.
"Untuk diberikan kepada seorang teman," sahut It Cheng Hong,
perempuan itu memperdengarkan suara tertawa beberapa kali.
"Rasanya bukan..." katanya, "Mengapa aku harus mendustaimu?"
tanya It Cheng Hong. "Kau mempunyai banyak alasan untuk mendustai diriku, Kau tidak
ingin mengatakan hal yang sebenarnya karena kau takut
ditertawakan olehku, Terang-terangan kau memberikan barang ini
untuk mencari perlindungan kepada seseorang," kata perempuan
tersebut. It Cheng Hong terkesiap, wajahnya berubah hebat Tubuhnya
limbung dan mundur sebanyak tiga depa. Perempuan dalam tandu
itu tiba-tiba menerjang keluar, Kali ini giliran Kwe Po Giok yang
terkejut Bentuk tubuhnya masih lumayan. Wajahnya justru mirip dengan
seekor burung yang masih merah. Ditambah dengan bulu-bulu halus
berwarna putih memenuhinya, Lubang hidungnya mencuat keatas,
Mulutnya lebar dan ditumbuhi dua buah taring yang menonjol
keluar. Tidak heran It Cheng Hong begitu terkejut, tetapi meskipun
perempuan itu begitu buruk rupa, tidak seharusnya It Cheng Hong
menggunakan segala macam dusta dan tipuan untuk mendapatkan
barang itu. Bila hanya mendengar suaranya yang merdu dan melihat
tangannya yang halus, siapa pun tidak akan menyangka bahwa dia
adalah seorang perempuan yang demikian jelek wajahnya.
It Cheng Hong lari terbirit-birit. perempuan jelek itu mengejarnya,
Kedua dayang tadi tetap berdiri di tempat semula menatap keadaan
kedua orang itu. Mereka tahu mengejar pun akan sia-sia saja.
"Apakah perempuan itu akan menurunkan tangan jahat kepada It
Cheng Hong?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menganggukkan kepalanya.
"Tapi mengapa harus It Cheng Hong" Apakah dia benar-benar
menyukainya?" Kembali bocah itu bertanya. Sekali lagi Sun Put Ce
menganggukkan kepalanya. "Sebelum perempuan itu keluar dari tandunya, kau dan aku telah
melihat bentuk tangannya yang halus dan suaranya juga amat
lembut Apakah kau sudah menduga bahwa wajahnya sejelek itu?"
tanya Kwe Po Giok kembali.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya, Kwe Po Giok menatapnya
dengan tajam, Sulit baginya untuk menyelami isi hati teman
seperjalanannya itu. Matahari tetap terik, sampai sejauh selaksa li pun tidak terlihat
awan, Tengah hari telah tiba. Di dalam ruangan keluarga Fang,
masih terdapat orang-orang yang sama.
Yang pergi, sudah berangkat sejak tadi.
Yang tinggal, di usir pun masih tetap terpukau di tempatnya,
Bedanya, di setiap kepala anak buah dan murid Fang Tiong Seng
sekarang terlibat sehelai kain putih.
Fang Tiong Seng tetap duduk di kursi singa itu. Lama sekali dia
tidak mengeluarkan suara. Seperti sudah menjadi mayat yang di
balsem. Tiba-tiba dia mengeluarkan pedangnya, Diamatinya pedang
itu dengan seksama. "Lahir sebagai orang Bulim. seharusnya mati dalam pertarungan
Hidup tidak terasa enak, mati pun tidak susah!" katanya.
Suara yang keras ini menggetarkan hati setiap orang, Mereka
percaya, pertarungan yang paling akbar sudah di depan pelupuk
mata. Pada saat itu, terdengar sahutan yang tidak kalah keras dari
luar ruangan itu. "Kata-kata yang bagus!"
Mata yang mengandung amarah dari Mo Put Chi semakin
membelalak, Hati Hu Put Chiu semakin berdebar Matahari yang
panas semakin membara. Di ruangan yang besar dari keluarga Fang
telah bertambah satu orang, Fang Tiong Seng dengan langkah lebar
dan wajah berwibawa berjalan keluar dari ruangan besar itu.
Dia berdiri berhadapan dengan Toa Tek To Hun, Para anak buah
dan kedua muridnya ikut keluar dan membentuk dua barisan yang
rapi. "Saudara adalah Toa Tek To Hun?" tanya Fang Tiong Seng.
"Betul!" sahut orang itu.
"Di dalam golok ada sukma, di dalam pedang pun demikian juga,
Saudara telah memberikan sukma saudara pada pedang di tangan,
aku pun demikian juga, Mati atau pun hidup akhir pertarungan ini,
aku Fang Tiong Seng tidak akan memasukkannya di dalam hati!"
ujar pendekar besar itu. Toa Tek To Hun seakan tergerak hatinya mendengar ucapan
tersebut, Setelah Tiong-goan kehilangan demikian banyaknya jagojago
pilihan, masih ada juga yang dapat mengucapkan kata-kata
seperti itu, Toa Tek To Hun tidak pernah menyangkanya. Oleh sebab
itu, dia menjura dalam-dalam terhadap Fang Tiong Seng.
"Mengapa saudara perlu melakukan adat seperti tadi?" tanyanya,
"Kau adalah satu-satunya pendekar sejati yang pernah kutemui di
Tionggoan! Hiai pun kau akan mati atau tetap hidup, Toa Tek To
Hun tetap menghormati manusia seperti dirimu!" katanya tegas.
"Terima kasih!" kata Fang Tiong Seng.
"Tidak usah sungkan!" sahut Toa Tek To Hun.
Laki-Iaki itu meraba pedangnya, perbuatan ini membuat perhatian
orang yang hadir terpukau padanya, Tangannya mengumpulkan
kekuatan. Sinar pedang berkilauan menimbulkan suara angin yang
gemuruh, perubahan gerakannya begitu menyakitkan mata.
Membuat nafas orang-orang yang sedang memperhatikan terhenti
untuk sementara. pertarungan ini adalah huatu penentuan Bila kali
ini tidak dapat merebut kemenangan, para jago di Bulim juga pasti
akan mengalami kekalahan yang mengenaskan.
Pedang di tangan Toa Tek To Hun digerakkan. Hawanya
memenuhi tempat itu. Fang Tiong Seng berdiri tanpa bergerak di
keningnya terdapat luka memanjang. Pada saat itu, hati setiap orang
di penuhi rasa putus asa, kecuali Toa Tek To Hun seorang tentunya.
"Bagus! jurus yang teramat cepat, pedangnya juga sama cepat!"
kata Fang Tiong Seng dengan suara tawa yang aneh.
Darah segar mengucur dengan deras dari keningnya. Tubuh Fang
Tiong Seng bergoyang-goyang. Dia mencoba melangkah, tapi segera


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjungkal ke tanah. Murid, anak buah dan para pelayan
mengerumuninya. Suara ratapan terdengar memenuhi ruangan
tersebut Toa Tek To Hun sudah berada di depan pintu.
"Toa Tek.... jangan pergi dulu!" Terdengar suara teriakan dari
dalam ruangan. Pedang di tangan Mo Put Chi seperti terbang menusuk dari arah
belakang, Toa Tek To Hun tidak menoIeh. langkahnya dipercepat.
Tusukan pedang itu mengenai tempat kosong. Mo Put Chi tidak mau
sudah, dia berteriak keras dan menyerang sekali lagi, Toa Tek To
Hun menggeser tubuhnya sedikit. Tubuhnya membalik. Tangan
leruIur dengan gerakan yang tidak tertangkap oleh mata, jari
telunjuknya menyentil ujung pedang Mo Put Chi. "Ting!"
Seiring dengan dentingan suara itu, pedang di tangan Mo Put Chi
terlepas dan melayang jauh, Akhirnya tertancap di tengah-tengah
sebatang pohon di jalanan.
Dengan tangan kosong, Mo Put Chi menyerangnya lagi, Dia
seakan tidak mau mengakui kekalahan ini, Hasilnya tetap sama,
Tidak seujung jari pun, dia dapat menyentuh tubuh Toa Tek To Hun.
Benar-benar suatu pemandangan yang mengharukan.
Toa Tek To Hun meneruskan langkahnya, Dia tidak melirik
sekejap pun kepada Mo Put Chi. serangannya yang bertubi-tubi
hanya menguras tenaga tanpa hasil. Akhirnya Mo Put Chi terpaksa
berhenti, dia terlihat putus asa. Airmatanya sampai mengalir tanpa
henti. "Toa Tek To Hun! Mengapa kau tidak menghunus pedang dan
membunuh saja diriku ini?" teriaknya marah.
Toa Tek To Hun menghentikan langkah kakinya. Kepalanya
menoleh kepada Mo Put Chi sekejap, "Karena kau masih belum
pantas mati di bawah pedangku!" sahut Toa Tek To Hun.
Pada saat itu, Mo Put Chi baru sadar kesombongannya tidak
berlebihan. Bukan hanya dia yang tidak pantas, semua orang yang
berada dalam ruangan dalam pun tidak ada yang pantas, Mo Put Chi
dari marah berubah sedih.
Tubuhnya gemetar, air matanya bercucuran Bayangan Toa Tek To
Hun makin mengecil dan akhirnya menghilang. Semuanya terjadi
begitu cepat, Meski-pun pertarungan ini sudah memenuhi pikiran
setiap orang, tapi kenyataannya jauh berbeda.
Begitu cepat penyelesaiannya. Terlalu cepat sehingga mereka
seperti baru mengalami sebuah mimpi buruk, orang-orang itu hampir
tidak percaya bahwa semuanya telah berlalu.
Mata Mo Put Chi beralih ke pedangnya yang tertancap di batang
pohon. Dengan langkah lebar dia mendekat dan mencabut pedang
itu. Mo Put Chi tidak ingin berpikir lebih lama lagi, dia ingin segera
membunuh diri. Perbuatan bunuh diri sebenarnya tidak sesuai dengan namanya,
tetapi gurunya sendiri sudah mengalami kejadian yang mengenaskan
Dia sendiri pun sudah mencoba, Untuk membalas dendam ini,
sulitnya melebihi segala hal di dunia, Mati adalah sntu-satunya jalan
keluar Apa salahnya mengikuti gurunya menuju alam baka" Bukankah
suhu sudah mengatakan bahwa hari ini merupakan batas
waktunya yang terakhir" Namun pada saat pedangnya sudah siap
menggorok lehernya sendiri, tiba-tiba Hu Put Chiu menerjang keluar
dan menahan pedang di tangannya....
Mo Put chi marah sekali, dia mendelik ke arah ji sutenya.
"Apa maksudmu menahan pedang ini?" bentaknya.
"Suheng, kau tidak boleh bunuh diri, karena kau memang tidak
perlu mati!" jawab Hu Put Chiu.
"Mengapa?" tanya Mo Put Chi dengan mata masih membara.
"Karena suhu juga belum mati!" sahut Hu Put Chiu yakin.
"Aku tidak percaya!" kata Mo Put Chi.
"Suheng.... Mengapa kau tidak masuk saja dan membuktikannya
sendiri?" Hu Put Chiu menyarankan.
Setelah mengalami kejadian ini, tubuh siapa yang tidak
mengeluarkan keringat dingin "
Keluarga Fang menjadi kalang kabut, Anak buah dan para pelayan
berlarian kesana kemari. Mereka saling memberitahu bahwa majikan
mereka tidak mati. Dalam pertarungan kali ini, mengharapkan kemenangan seperti
bermimpi di siang hari. Oleh sebab itu, dalam pikiran para pelayan
dan anak buah Fang Tiong Seng, tidak matinya majikan tersebut
merupakan suatu hal besar dunia Bulim.
Harapan seorang manusia memang paling mudah berubah, pada
saat pertarungan belum berlangsung, mereka mengharapkan
majikannya akan meraih kemenangan sekarang pertarungan telah
berlalu, harapan mereka tentu saja majikannya itu tidak mati.
Tidak matinya Fang Tiong Seng dengan "harus menang" sebelum
pertarungan berlangsung mempunyai nilai yang sama. Dua-duanya
menggetarkan hati anak buah serta para pelayan keluarga Fang,
Tidak jadi mati, masih mempunyai kesempatan untuk mengulangi
kembali. Bila ingin menebus suatu kekalahan, manusia harus dapat
mencapai titik " tidak mati" terlebih dahulu.
Saat itu, Fang Tiong Seng dipapah oleh para pelayannya untuk
duduk di kursi singa, Kedua matanya tertutup rapat. Di keningnya
terdapat luka memanjang. Baginya pertarungan memang telah usai,
Meskipun tidak sampai mati, rasanya baru saja ter-jaga dari sebuah
impian buruk. Mungkinkah perasaannya lebih enak mati daripada
hidup" Siapa yang dapat menyelami bagaimana perasaan hatinya
saat ini" Kedua matanya terpejam rapat, keIihatannya lemas sekali. Atau
dia sedang mengenang kembali pertarungan tadi. Mo Put Chi dan Hu
Put Chiu masuk dengan langkah berlari-lari, Mereka mengalirkan air
mata, rasa kejut dan gembira tertera jelas di wajah keduanya.
Kejadian ini memang di luar dugaan. Karena dalam hati kecil
mereka, suhunya pasti akan meraih kemenangan, meskipun pernah
terlintas pikiran yang buruk, tapi yang mereka bayangkan adalah
seperti apa yang dialami oleh Chi Siong, Kiam Khek dan rekanrekannya.
Mereka sungguh tidak menyangka akhir pertarungan ini
akan menjadi begini. Peristiwa ini membangkitkan kembali semangat mereka. Paling
tidak, Toa Tek To Hun tidak sanggup melakukan seperti yang biasa
dilakukannya. Sekali sinar pedang berkilau, musuh rubuh dengan
bermandi darah. Mo Put Chi menghampiri suhunya....
"Apakah kau orang tua benar-benar tidak apa-apa?" tanyanya
dengan suara pilu. "Aku pun tidak menyangka gerakannya kali ini akan menaruh
belas kasihan kepadaku...." sahut Fang Tiong Seng dengan wajah
kelam. "Tidak, suhu! Kau merupakan orang pertama di Tionggoan yang
dihormatinya. Oleh sebab itu, gerakan pedangnya bukan menaruh
rasa belas kasihan, tapi rasa hormat!" kata Hu Put Chiu.
"Benar, suhu! Apa yang dikatakan sute memang tidak salah, Dia
terlalu menghormati suhu. sebetulnya dia telah berusaha sekuat
tenaga, Namun ketika pedang itu sudah mendekat, dia tidak tega
membunuh suhu, tetapi hanya melukai saja!" sahut Mo Put Chi.
Fang Tiong Seng tidak tahu mana yang lebih benar. Dia tidak
menyahut. "Sekarang telah terbukti. Meskipun ilmu pedang Toa Tek To Hun
memang lihai, tapi dia masih belum dapat mengendalikan perasaan
hatinya," kata Hu Put Chiu.
"Namun... bila aku yang mendapatkan kesempatan untuk
membunuhnya, aku tidak akan terpengaruh rasa kasihan atau pun
rasa hormat. Sebab bila orang ini tidak mati, di dalam kangouw
entah masih harus mengorbankan berapa banyak jiwa!" kata Fang
Tiong Seng tegas. Ruangan itu sunyi senyap, Akhir pertarungan ini tidak dapat
dikatakan paling baik atau pun paling buruk!
"Sayang sekali... meskipun aku berlatih lagi selama sepuluh tahun,
masih tetap bukan tandingannya...." Fang Tiong Seng menarik nafas
panjang. "Benarkah ilmu pedangnya sedemikian lihai?" tanya Mo Put Chi.
"Aku sudah pernah mengatakan pada saat sekarang ini, hanya
ada satu orang yang dapat menahan serangan pedangnya..." sahut
Fang Tiong Seng. -oooo0oooo- Kapal layar panca warna penghuninya setengah dewa.
"Benarkah di dunia ini ada manusia semacam itu?" tanya Ho Put
Chiu. "Tentu ada" Sahut Fan Tiang Seng.
Di wajah setiap orang terbersik setitik harapan.
"Apakah sang sute dan Po Giok dapat berhasil menemuinya?"
tanya Hu Put Chiu entah kepada siapa.
"Aku berharap mereka berhasil..." kata Fang Tiang Seng
-oooo0oooo- Bagian Lima Pinggir pantai. Disini adalah perkampungan nelayan yang telah
porak poranda. Pemandangan seperti ini rasanya tidak akan membuat manusia
kerasan. Begitu pula Kwe Po Giok dan Sun Put ce. Mereka juga tidak
menyukai tempat itu. Tapi nyatanya mereka telah sampai, suka atau
tidak bukan persoalan lagi. Untuk menunggu adalah persoalan lain.
Untuk menunggu layar panca warna dari kapal dewa itu, mereka
hampir-hampir merasa jenuh.
Angin laut tiap hari berhembus. Matahari menyengat. Waktu
seperti itu sungguh sulit dilalui, wajah kedua orang itu merah
hangus, Kulit yang tersengat matahari menjadi terkelupas, membuat
belang wajah mereka. Di tempat seperti ini, untuk menghilangkan waktu luang,
memancing adalah jalan yang terbaik, Kadang-kadang ada beberapa
kapal layar yang lewat, tapi tidak satupun yang berlayar
pancawarna, "Mungkinkah di dunia ini ada layar pancawarna" Ada kapal
dewa?" tanya Kwe Po Giok setengah putus asa. Dia masih seorang
bocah cilik, kesabarannya tentu kalah jauh dengan rekannya yang
lebih tua. "Ada.... Pasti ada!" sahut Sun Put Ce.
"Karena Fang lopek mengatakan ada, lalu kau juga yakin pasti
ada?" tanya Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Tapi kita sudah beberapa hari diam di tempat ini, bayangan layar
panca warna pun tidak terlihat," kata Kwe Po Giok mengeluh.
"Cepat atau lambat, kita pasti berhasil menemukannya!" kata Sun
Put Ce yakin. "Bagaimana kalau dewa itu telah mati?" tanya Kwe Po Giok.
"Berarti nasib kita sudah ditakdirkan menunggu sampai akhir
zaman," sahut Sun Put Ce seakan bila peristiwa itu benar-benar
terjadi, tetap tidak akan menggoyahkan hatinya.
"Saya hanya takut, bila kita menunggu sampai saat itu, Toa Tek
To Hun telah berhasil membunuh seluruh jago di Tionggoan!" kata
Kwe Po Giok. Sun Put Ce tidak menyahut. Apakah Toa Tek To Hun akan
membasmi seluruh jago persilatan di Tionggoan" Dia yakin, tidak,
Hatinya dikaluti bermacam-macam pikiran, Karena mereka sudah
sampai di tempat ini, jalan satu-satunya hanya menunggu.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce memancing ikan kembali, Apakah
memancing ikan suatu kesenangan atau penderitaan" ini harus
dilihat dari si pemancingnya sendiri.
Apakah dia memancing karena hobby atau hanya mengisi waktu"
Seperti kedua orang tersebut, mereka melakukannya untuk
mengisi waktu luang, tentu saja merupakan suatu penderitaan. Kwe
Po-giok berkali-kali mengangkat pancingnya. Umpannya telah habis
dimakan namun tak ada seekor ikanpun yang terkail. Hanya Sun Put
Ce yang berhasil mendapat seekor ikan kecil sepanjang tiga cun.
Dalam anggapan hari mereka meskipun Sun Put Ce berhasil
mendapatkan seekor ikan kecil, toh masih jauh lebih baik daripada
dirinya yang tidak berhasil, meskipun merasa kurang senang.
"Kau senang ikan?" tanya bocah itu dengan wajah bersungutsungut.
"Sedikit..." sahut rekannya.
"Andaikata kau tidak mendapat seekor ikanpun, apakah kau tetap
menyukai ikan?" tanya Kwe Po-giok penasaran.
"Betul." Sahut Sun Put-ce.
"Apakah ikan menyukai manusia?" tanya Kwe Po Giok dengan
nada mengejek. "Paling tidak mereka menyukai umpan pada kail manusia," jawab
sang rekan, "Sebetulnya ikan dapat menjadi sahabat manusia, Tapi
kadang-kadang mereka bisa menjadi musuh besar, Benar atau
tidak?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menatapnya dalam-dalam.. "Benar!" sahutnya.
"Coba kau terka. Bagaimana keadaan Fang lopek sekarang?"
tanya Kwe Po Giok berganti memandangnya. Sun Put Ce
menggeleng kepala dengan lesu.
"Saya dapat melihat bahwa dirimu sangat menderita saat ini!"
kata Kwe Po Giok. "Apakah kau tidak?" Sun Put Ce berbalik bertanya.
"Saya.,." Tentu saja. Saya selalu menganggap memancing itu
menyebalkan, menghabiskan waktu dengan percuma," sahutnya
kesal. "Waktu luang adalah emas." kata Sun Put Ce datar.
Pada saat itu, Sun Put Ce mendongakkan kepalanya untuk
menatap seekor burung camar, Dia menelusuri sampai ke bawah.
Diantara batu-batu karang, ada sesuatu yang lebih menarik daripada
burung camar itu sendiri, Seorang gadis duduk di sebuah bebatuan
Tangannya melambai-lambai ke arah Sun Put Ce.
Seumur hidupnya, Sun Put Ce tidak pernah berdekatan dengan
seorang gadis, sebelumnya dia selalu mempunyai anggapan bahwa
perempuan adalah makhluk yang telah ditentukan.
Dunia ini tidak dapat tanpa perempuan, juga tidak boleh terlalu
dekat dengan makhluk tersebut, Tidak disangka, begitu keluar dari
pintu perguruan, dia telah bertemu dengan dua di antara makhluk
tersebut, Bwe Mei malah memberikan sebuah dompet yang harum
untuknya. Dan kejadian sekarang, mimpi pun tidak pernah dibayangkan
Sejak perjumpaan mereka tempo hari, bila dia sedang menyendiri
atau sedang tidur, bayangan gadis itu sering berputar di benaknya,
Karena hal ini, paling tidak anggapannya terhadap seorang gadis
sudah mulai berubah. Dia tidak lagi berpikir bahwa perempuan itu makhluk yang "tidak
boleh terlalu didekati", Malah dia mempunyai anggapan kalau bisa
agak dekat sedikit, bukankah menyenangkan"
Gadis yang melambaikan tangannya itu tampak tidak asing. Tapi
Sun Put Ce yakin, dia bukan Bwe Mei yang memberikan dompet
kepadanya, Mengapa Bwe Mei menghadiahkan dompet untuknya"
Bila pertanyaan ini diajukan kepada Sun Put Ce, tentu dia akan sulit
menjawabnya. Sama seperti mengapa Toa Tek To Hun harus
membunuh para jago kelas satu di Tionggoan"
Apa yang terjadi di dunia memang sering di luar dugaan"
Kehidupan manusia ibarat sebuah panggung sandiwara ... Tiba-tiba
Sun Put Ce teringat. Gadis itu adalah cucu Peng Chow Ceng. Juga
merupakan salah satu dari ketiga orang yang bersandiwara di


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapan mereka, Sun Put Ce kagum kepada mereka, Setidaknya
sandiwara yang dijalankan telah berhasil mengelabui dia dan Kwe Po
Giok. Mengapa mereka harus menjalankan peranan seperti itu" Apakah
mereka ingin menguji dirinya dan Kwe Po Giok" Kalau begitu, berarti
sejak semula mereka telah tahu bahwa dirinya adalah anak murid
Fang Tiong Seng! Dia merasa Chow Ai Giok tidak dapat disamakan
dengan Bwe Mei.... Kalau dia teringat kepada gadis itu, dia pasti harus menyimpan
dengan baik dompet yang diberikan kepadanya, Dia tidak
seharusnya bermain api dengan gadis lain, Namun kata-kata Ai Giok
seperti "jangan menganggap bodoh seorang manusia yang berbudi",
juga sering terngiang-ngiang di telinganya.
Kemudian, dia juga merasa dompet yang diberikan oleh Bwe Mei
hanya sebagai tanda terima kasih karena telah menyelamatkan
nyawanya, pikirannya menjadi ruwet.
Dia melihat Ai Giok melambaikan tangannya sekali lagi, kemudian
menyelinap di antara batu-batu karang di tepi pantai tersebut, Dia
pernah mendengar orang berkata bahwa perempuan adalah
makhluk yang tidak pernah setengah-setengah.
Kalau tidak lebih baik dari kaum laki-laki, pasti jauh lebih jahat
dari mereka, Dia tidak tahu apakah pikirannya sendiri yang
melangkah terlalu jauh terhadap sikap dan tingkah laku kedua gadis
itu" Tanpa mengatakan sepatah kata pun Sun Put Ce menuruni bukit
karang tersebut. Tentu saja dia masih mempunyai alasan yang lain.
Siapa tahu gadis itu dapat memberikan sedikit keterangan tentang...
Kwe Po Giok meliriknya sekilas, Dia tidak menanyakan tujuan Sun
Put Ce karena dia memang tidak mengetahui kehadiran gadis itu,
Kadangkala Kwe Po Giok juga tidak menyelami perasaan Sun Put Ce,
meskipun kepintarannya lebih tinggi dari manusia umumnya.
Dia hanya mengira Sun Put Ce sedang mencari umpan ikan di
balik batu-batu karang tersebut, Dia tahu anak rajungan dapat
dijadikan umpan, LagipuIa untuk mencarinya harus menggali pasirpasir
di sepanjang pesisir pantai itu.
Tidak lama kemudian, Sun Put Ce telah menghilang di balik batu
karang yang besar-besar. Chow Ai Giok duduk di atas sebuah batu
yang licin dan mengkilap, Bajunya tampak sederhana, jauh berbeda
dengan penampilan Bwe Mei.
Kain yang digunakan sebagai bahan baju itu amat tipis, Meskipun
Ai Giok mengenakan pakaian dalam, tapi bentuk payudaranya yang
menyembul tetap membuat sebuah pemandangan yang indah.
Angin laut berhembus, meniupkan segulung keharuman dari
tubuh gadis itu. Sun Put Ce berdiri dengan sikap lugu. Ai Giok
tersenyum-senyum, Dia menepuk-nepuk batu karang di sampingnya,
sebagai isyarat agar Sun Put Ce duduk di sana, Sun Put Ce bagai
setengah mabuk. Baru kali ini keluar merantau, sudah menemui dua peristiwa yang
mimpi pun tidak berani dibayangkan Sejak berkenalan dengan Bwe
Mei, sudah berulangkali dia memikirkan rupanya sendiri. Dilihat dari
bentuk luar, dia tidak dapat menandingi It Cheng Hong, Dari
kecerdasan dia pun tidak setimpal dengan Kwe Po Giok. keningnya
tidak seberapa lebar, Alis dan mata masih lumayan, Hidungnya tidak
termasuk mancung, Bibirnya malah agak tebal sedikit.
Bentuk wajahnya sulit dilukiskan. Tidak bundar, namun juga tidak
dapat disebut berbentuk persegi, Juga tidak terlalu panjang, Kulitnya
berwarna gelap, Manusia seperti dirinya, paling mudah dibedakan
dengan orang lain. Dia tidak habis pikir, Apa yang membuat kedua
gadis itu tertarik kepadanya"
Bagaimana pun dia tidak enak menolak permintaan seorang gadis
yang telah menyusulnya sejauh ribuan li. Dia duduk di samping gadis
itu. Angin laut memang tidak terlalu kencang, namun meniup
rambut-rambut kecil yang terurai di kepala Ai Giok, Sun Put Ce yakin
sekali darah hangatnya mengaliri seluruh bagian tubuh.
Menimbulkan suatu perasaan yang janggal! Pada saat itu, dia baru
percaya bahwa perempuan merupakan makhluk yang telah
ditentukan oleh Thian! "Sun toako.... Kalian sungguh pandai menyenangkan diri.... Jauhjauh
ke sini hanya untuk memancing,..." kata gadis itu.
"Betul!" sahutnya.
"Memang sengaja memancing ikan atau kebetulan ada urusan
yang perlu ditangani" Lalu sekalian memancing?" tanya Chow Ai
Giok. "Mengisi waktu luang," sahut Sun Put Ce.
"Saya dengar, Toa Tek To Hun juga tidak akan melepaskan
suhumu, Fang Tiong Seng taihiap, Benarkah?" tanya gadis itu
kembali. "Benar!" sahutnya,
"Lalu mengapa kau bisa datang ke perkampungan nelayan ini
untuk memancing?" tanya gadis itu dengan pandangan menyelidiki.
Sun Put Ce tertawa getir tanpa menjawab.
"Sun toako.... Kau benar-benar seorang manusia yang jujur...."
kata Ai Giok sambil menarik nafas.
"Aku... aku.,.," Sun Put Ce menjadi kikuk.
"Sun toako... kalau ada sesuatu yang ingin kau ucapkan, silahkan!
jangan malu-malu!" kata gadis itu membesarkan hati laki-laki di
sampingnya. "Sebetulnya tidak ada yang ingin kukatakan Aku hanya takut
membuat kau kecewa..." sahut Sun Put Ce dengan suara ragu.
"Saya tidak takut. sebetulnya sejak pertama kali bertemu, saya
sudah... sudah...." kata-katanya tidak dapat dilanjutkan, dia
bergeser lebih dekat dengan Sun Put Ce.
Sun Put Ce yakin, tubuh dan tulang kerangka seorang gadis tidak
sama dengan seorang laki-laki. Nafasnya agak memburu.
Hal ini pasti tidak dapat mengelabui Chow Ai Giok. Namun apa
yang dapat dilakukan olehnya tidak dapat melampaui batas lagi,
perempuan selalu menghindari anggapan rendah dan kurang
pendidikan dari seorang laki-laki, meskipun apa yang sanggup
mereka lakukan dapat membuat para laki-laki lupa diri!
Di antara laki-laki dan perempuan ada kata-kata "jodoh", Bila
tidak, kalau dinilai dari raut wajah dan ilmu silat Chow Ai Giok, mana
mungkin dia takut tidak menemukan pemuda yang lebih dari Sun Put
Ce! Chow Ai Giok mengeluarkan suatu benda dari balik pakaiannya,
Dia menyerahkannya ke tangan laki-laki itu.
"Benda ini sengaja saya sulam untukmu, bila kau melihatnya,
seperti bertemu dengan diri saya...." katanya dengan wajah tersipusipu.
Sun Put Ce merasakan aliran darahnya semakin cepat. Angin laut
tidak dapat menyejukkan hatinya yang panas membara. Karena di
tangannya tergenggam sebuah dompet yang memancarkan bau
harum. Lagi-lagi sebuah dompet! Apakah seorang gadis selalu
memberikan dompet sebagai isyarat perasaannya kepada seorang
laki-laki" Kalau demikian, nilai dompet ini tidak terkira!
Kesedihan dalam hatinya, kesepian, kejenuhan selama menunggu
selama beberapa hari ini segera sirna bersama dompet di tangannya
dan gerakan yang ditunjukkan Chow Ai Giok, semangatnya bangkit
seperti sekumpulan api yang disiram minyak. Semakin membara!
seandainya seorang gadis saja bisa begitu terbuka pandangannya,
dirinya tentu tidak boleh sekaku itu.
Tiba-tiba Sun Put Ce membentangkan kedua tangannya dan
memeluk Chow Ai Giok. Pada saat demikian, dia tambah yakin
bahwa kulit dan tubuh seorang gadis berbeda sekali dengan seorang
laki-laki. perasaannya bergelora, Bagaikan sebuah perahu yang
terombang-ambing di tengah lautan!
Chow Ai Giok tampak terkejut Tapi rasa terkejutnya bukan karena
merasa dihina, atau pun takut. Dia justru merasa hal itu memang
yang sedang dinanti-nantikannya dan sama sekali tidak menyangka
akan terlaksana! Mungkin juga perasaan itu sama dengan perasaan
laki-Iaki itu sendiri. Tiba-tiba Sun Put Ce teringat sebuah dompet yang lain, Dompet
yang satu itu lebih dahulu diterimanya. Dia merasa perbuatannya
sekarang sangat menyalahi pemilik dompet itu. Tiba-tiba dia
melepaskan rangkulannya, SebetuInya, pelukan Sun Put Ce tadi
tidak terlalu ketat. Perbuatan seperti itu semestinya kurang sopan,
Dia seperti memeluknya dengan setengah hati, Tidak seharusnya
memeluk, toh dia sudah memeluk, Tidak berani memeluk, dia toh
memeluk dengan hati ragu, Benar-benar sulit diuraikan. Bagi Sun
Put Ce yang tidak berdekatan dengan seorang gadis, mana mengerti
teori ini" "Chow Kouwnio, maafkanlah aku!" katanya dengan suara lirih.
Ai Giok menatapnya dengan heran, "Mengapa harus minta maaf?"
tanya gadis itu. "Waktu kecil sudah mendapat didikan dari keluarga, setelah
dewasa juga mendapat ajaran dari suhu, Tidak seharusnya aku
melakukan perbuatan yang tidak sopan." katanya.
"Sun toako.... Saya tidak menyalahkan dirimu, Kalau orang lain,
tentu saja tidak boleh!" sahut Ai Giok dengan wajah tersipu-sipu.
"Apakah Chow Kouwnio hanya datang seorang diri?" tanya Sun
Put Ce mengalihkan pembicaraan.
"Betul!" sahutnya.
"Mengapa kouwnio bisa datang sendirian ke perkampungan
nelayan ini?" tanya Sun Put Ce tidak mengerti.
Wajah Chow Ai Giok menunjukkan perubahan hebat.
"Saya ingin bermain-main," sahutnya dingin.
"Apakah nona pernah mendengar jejak atau keadaan Toa Tek To
Hun saat ini?" tanya Sun Put Ce tidak memperdulikan perubahan
gadis itu. "Tidak...." jawab Chow Ai Giok.
"Chow Kouwnio.... Terhadap kesalahan tadi, aku harap kau mau
memaafkan," kata Sun Put Ce dengan perasaan tidak enak.
"Sudah saya katakan bahwa saya tidak perduli. Mengapa kau
begitu pengecut?" sahut sang gadis.
"Bukan pengecut, tapi merasa berdosa kepada dompet ini,"
sahutnya sambil meraba pakaian yang dikenakannya. Chow Ai Giok
jadi kesal bercampur geli.
"Merasa berdosa kepada dompet itu" Bukankah saya sudah
memberikannya kepadamu?" tanya gadis itu dengan wajah
tersenyum. "Bukan dompet yang kau berikan, tetapi dompet yang lain," sahut
Sun Put Ce. senyuman Ai Giok langsung sirna, matanya mendelik.
"Kau masih memiliki dompet yang lain" Darimana" Coba saya
lihat!" serunya dengan suara keras.
Sun Put Ce benar-benar buta tentang hubungan antara laki-laki
dan perempuan. Dengan jujur dia menerangkan adanya dompet lain,
bahkan dikeluarkannya dompet itu untuk diperlihatkan kepada Chow
Ai Giok. Apa salahnya memperlihatkan kepada gadis ini" pikirnya
dalam hati, Toh tidak lebih hanya sebuah dompet!
Chow Ai Giok merebut dompet itu dari tangan Sun Put Ce. Dia
memperhatikan dengan seksama, tidak sama dengan miliknya. Yang
ini malah lebih halus dan indah.
"Siapa yang memberikannya padamu?" tanyanya dengan nada
dingin, "Nona Bwe Mei," sahut Sun Put Ce terus terang,
Chow Ai Giok terpana. Mungkinkah karena dompet itu lebih bagus
atau dia tidak menyangka gadis itu yang memberikannya.
"Hu li cing si siluman srigala!" katanya dengan nada benci.
Tangan gadis itu terangkat, Sun Put Ce tidak keburu
mencegahnya lagi. Dompet itu telah terlempar jauh ke dalam laut.
Laki-laki itu merasa agak marah, tapi sebelum dia sempat
menegurnya, gadis itu sudah membalikkan tubuh dan pergi
meninggalkan tempat itu. Sun Put Ce benar-benar tidak tahu hati seorang gadis sulit
dimengerti. Mereka tidak mengerti apa arti sebuah persahabatan.
Mereka hanya tahu tentang cinta.
Dompet yang dilempar oleh Chow Ai Giok masih terapung-apung,
Kalau permukaan sudah basah semua, tentu dompet itu akan
tenggelam Sun Put Ce tidak dapat membiarkan dompet itu
tenggelam. Kejadian ini sama dengan tidak menghargai pemberian
Bwe Mei. Gadis itu merupakan orang pertama yang memandangnya tinggi,
dalam hatinya, tidak terkira rasa terima kasih atas perhatian Bwe
Mei. Tanpa sempat membuka baju lagi, dia segera terjun ke dalam
laut. "Pung!!!" Lautan ada sebagian yang kalau dilihat tidak dalam, tapi begitu
terjun baru merasakan tidak terlalu dangkal juga, Sun Put Ce hanya
mengingat dompet itu, dia meraih dan menggenggamnya erat-erat.
Dia juga lupa bahwa dirinya sama sekali tidak bisa berenang.
Beberapa kali tangannya menggapai kalang kabut, lalu perlahanlahan
tenggelam. Meneguk air laut yang asin tentu saja bukan pengalaman yang
menyenangkan Meskipun harus mati tenggelam, tangannya tetap
tidak mau melepaskan dompet yang telah berhasil diraihnya,
ingatannya pun lambat laun menghilang.
Ketika tersadar kembali, dia menemukan dirinya rebah di batu
yang tadi ia duduki bersama Chow Ai Giok. Kwe Po Giok berdiri di
sampingnya. Tubuhnya juga bawah kuyup, Sun Put Ce sudah dapat
menduga apa yang telah terjadi.
Dia melihat Kwe Po Giok sedang mengedarkan pandangannya ke
sekitar tempat tersebut. Apakah dia masih tetap mencari layar panca
warna itu" Sun Put Ce memaksakan dirinya untuk duduk.
"Kwe Siaute.... Terima kasih atas pertolonganmu!" katanya
dengan suara lemah, Kwe Po Giok mengalihkan tatapannya kepada
teman seperjalanannya itu.
"Sampai di sini beberapa hari, saya masih tidak tahu bahwa kau
adalah seorang pengagum wanita," sahutnya tenang.
"Saya..." Sun Put Ce gugup wajahnya merah.
"Sekarang saya baru percaya kata-kata "Thao hua un" yang
berarti rejeki didekati wanita," katanya seperti kepada dirinya
sendiri. "Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Tapi ada yang mengatakan manusia yang mendapatkan Thao
hua un, justru sedang sial," katanya lagi.
"Betul!" sahut Sun Put Ce kembali, "Kalau tidak, mana mungkin
kau hampir mati tenggelam?" kata bocah itu. Sun Put Ce tidak
menyahut "Meskipun kau mendapatkan Thao hua un... tetapi kau
sama sekali tidak mengerti hati kaum perempuan...." kata Kwe Po
Giok, Sekali ini dia menarik nafas panjang.
"Aku?" tanya Sun Put Ce sedikit heran, "Lidah seorang
perempuan, senjata rahasia terakhir mereka," kata Kwe Po Giok.
Sun Put Ce segera tahu bahwa perbuatannya dengan Chow Ai
Giok pasti diintip oleh bocah ini, Dia merasa kurang enak.
"Pada saat seperti sekarang, perbuatanku memang tidak patut,"
sahut Sun Put Ce. "Saat seperti sekarang, mencari kesenangan memang paling
pantas," ejek Kwe Po Giok sinis. Sun Put Ce memperhatikannya
dengan tajam, Sekarang dia baru sadar, apa yang diketahui oleh
Kwe Po Giok jauh melebihi usianya.
jilid 04 "Ada suatu hal yang membuat saya kagum terhadapmu!" kata


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwe Po Giok, Sun Put Ce menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Keberanian dan kesetiaan terhadap sebuah dompet, saya
sungguh tidak dapat melebihi dirimu," ujarnya menjelaskan.
Sun Put Ce menarik nafas panjang.
"Sejak usia tiga tahun sudah mendapat gelar bocah ajaib.
Memang tidak terlalu ber-lebihan," katanya.
"Coba kau terka, bagaimana keadaan Fang lopek sekarang?"
tanya Kwe Po Giok tanpa memperdulikan pujian Sun Put Ce.
Rekannya tidak menyahut. "Saya juga tidak tahu bagaimana keadaannya, tapi saya yakin Toa
Tek To Hun sudah pergi mencarinya," kata Kwe Po Giok dengan
suara sendu. Sun Put Ce tetap tidak mengeluarkan suara.
Matahari terbit, matahari tenggelam. Pagi atau senja, Di
pegunungan atau pun di daratan. Langkah kaki Toa Tek To Hun
tetap tegar, jejak kakinya masih terlihat rapi dan teratur, Di samping
jejak kaki, ada tetesan darah segar, Menitik dari ujung pedangnya.
Di padang rumput, ataupun dalam hutan belantara, sepertinya
semua ada jejak kaki orang itu. jejak kaki itu seperti mengatakan
"Pedang adalah aku. Aku adalah pedang, Aku lahir, aku datang
hanya untuk kemenangan Menang, hidup. Kalah, mati, Di dalam
hidup ini tidak ada pilihan yang lain."
Di sampingnya terasa ada sebuah suara yang menyahut.
"Saya percaya kedatangan Siansing kali ini hanya untuk
memenangkan semua pertarungan."
Sinar pedang berkilauan. Suaranya bergemuruh, Kening terdapat
jalur luka memanjang, Satu-satu musuh pun rubuh bermandikan
darah. Para pesilat dari Tionggoan yang tidak takut ataupun gentar,
pasti dari golongan tingkat tiga atau empat.
Manusia takut ternama, babi takut menjadi gemuk, Kadangkala
tidak terkenal justru membawa keberuntungan. Biasanya manusia
berusaha menjadi terkenal. Usaha apapun berani dilakukan untuk
menjadi terkenal. Saat ini, untuk menghilangkan nama yang sudah
terlanjur terkenal, sama sekali tidak mungkin. Satu-satunya jalan
hanya mencari dewa pelindung.
Hendak mencari dewa pelindung, harus pintar, serta memiliki
sesuatu yang dapat dijadikan imbalan. Oleh sebab itu, Peng Chow
Ceng dan Hek Houw bersusah payah memainkan sandiwaranya, It
Cheng Hong menggunakan perkawinan untuk menipu Bi jin sim.
Dunia seperti permainan catur, Benar-benar boleh dipercayai.
Di kota ini, penginapan dan rumah makan Thai Pek Ki sangat
terkenak. Dalam jarak sejauh ratusan li, siapa pun pernah
mendengar nama Tai Pek Ki itu. Usaha seperti ini, yang penting
dapat menyediakan kamar yang bagus. Dapat mencari juru masak
yang bisa mengolah bermacam-macam masakan enak. Nama pun
akan melambung selamanya.
Hari ini, Thai Pek Ki mendapat kunjungan seorang pesilat, Dia
menempelkan kain berwarna merah dengan tulisan dari tinta hitam
di atas pintu, Huruf yang tertera adalah: "Cu Thi Jui" alias Si mulut
besi Cu. Pengurus rumah makan dan penginapan Thai Pek Ki kurang
senang, Dia berjalan keluar dari pintu belakang dan mengetuk pintu
kamar Cu Thi Jui. "Apakah tamu yang bernama Cu Sian-sing ada di tempat?"
tanyanya. "Siapa di sana?" Terdengar sahutan dari dalam.
"Saya adalah pengurus penginapan ini," katanya menjelaskan
Seorang laki-laki berkacak pinggang setelah pintu dibuka.
"Ada keperluan apa?" tanyanya,
"Apakah Cu Siansing akan membuka usaha di penginapan ini?"
pengurus penginapan itu balik bertanya.
Cu Thi Jui tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku adalah seorang perantau, Sampai di mana, membuka usaha
di mana. Kalau ramai akan menetap lebih lama beberapa hari, kalau
usaha sepi, tentu aku akan melepaskan merek di depan segera,"
sahutnya. "Cu Siansing.... Saya hanyalah seorang pengurus di sini, Yang
dapat mengambil keputusan adalah majikan pemilik kami, Majikan
kami itu paling tidak suka kejadian seperti ini, Lebih baik kau cepatcepat
melepaskan merek di depan itu," katanya.
"Apakah kau tidak percaya ramalan bintang?" tanya laki-laki itu.
"Tidak heran. Kau tidak percaya karena belum bertemu dengan
orang keluarga Fang. Saya justru ingin membuktikan bahwa ramalan
bintang benar-benar hebat!" katanya setelah melihat pengurus
penginapan itu menggelengkan kepalanya.
"Cayhe masih tidak percaya...." sahut pengurus penginapan itu.
"Pengurus Liu, kau masih belum mengerti. sebetulnya ramalan
bintang bukan hanya dongeng yang tersiar di luaran. Ramalan ini
seperti ilmu jiwa. Dengan melihat apa yang berkecamuk dalam jiwa
seseorang ditambah ilmu perjalanan bintang di atas langit, hasilnya
benar-benar mengagumkan jauh sebelum jaman sekarang sudah
banyak yang menggunakannya. Seperti Ko pocu liau dari dinasti
Chow, awal dinasti Han ada Shi Fu, akhir dinasti Han ada Cu kian
peng. Di sebelah Utara ada Hong Po Giok, Gok sik. Kai huat Chien,
Masih ada lagi dari sebelah Tenggara, Ku Lien, Lai ho, pada zaman
dinasti Thang ada Yan Thian Cen, Thio Kincan, Budha pengemis Kai
hut Ying li, Kim liang hong dan lain-lain," katanya panjang lebar.
Tidak disangka-sangka, pengurus itu juga mengalami ramalan
bintang ini. "Zaman dinasti Song ada Ma I To Jin, Ceng miao ing, Fu pan dan
Liu si pek," sahutnya.
"Betul! Betul!" Dinasti Goan ada Lie Kok Yong, Choa kui, dinasti
Beng ada Gouw Kok Chai, Yuan ki, Li fen, Hung Peng Lu, Chen ju
lan, dan yang terakhir pada zaman dinasti Ching masih ada Tan
Tham Suk dan Cek Kok Fan yang menggunakannya," sahut Cu Thi
Jui. Tanpa dinyana, meskipun pengetahuan tentang ramalan bintang
cukup dalam, dia tetap menggeleng kepalanya.
"Liu Cangkwe tidak percaya pasti ada sebabnya," kata Cu Thi Jui.
"Boleh dikatakan demikian...." jawab Liu Cangkwe itu.
"Mungkinkah pernah ditipu dengan ramalan bintang?" tanya Cu
Thi Jui kembali. "Hanya kata-katanya yang omong kosong," sahut pengurus
penginapan itu. "Sebagian pendeta yang mengerti ilmu meramal atau sihir di
Kangouw tujuannya memang hanya mencari makan dengan menipu,
tapi Liu Cangkwe tidak boleh menyamakan semuanya," kata Cu Thi
Jui mencoba meyakinkan pengurus penginapan tersebut
"Dulu, kira-kira dua puluh tahun yang lampau, di kampung saya
ada seorang bernama Sun poa sin atau Manusia setengah dewa she
Sun, Ramalannya bagai ramalan dewa. Apa yang akan terjadi kelak
dapat diramalkannya dengan tepat. Saya jadi penasaran, suatu hari,
saya memintanya untuk meramal nasib saya, ternyata nama
besarnya tidak sesuai dengan kenyataan," jawab Liu Cangkwe
menjelaskan. "Ramalannya tidak tepat bukan?" tanya Cu Thi Jui menduga
perkataan orang selanjutnya.
Liu Cangkwe mengangguk dengan senyum mengandung ejekan.
"Dengan cara apa ia mengatakannya" Dari raut wajah, garis
tangan, Pekji (tanggal dan jam kelahiran) atau dari huruf?" tanyanya
kembali. "Dari huruf...." jawab Liu Cangkwe.
"Dari huruf justru saya paling ahli," kata Cu Thi Jui lagi.
Liu Cangkwe menganggap muka orang ini ternyata cukup tebal,
Masih berani sembarangan mengoceh.
"Waktu telah berlalu sebanyak hampir dua puluh tahun Huruf apa
yang saya cabut ketika itu pun sudah saya lupa lagi..." kata Liu
Cangkwe. "Bagaimana kalau Liu Cangkwe masuk sebentar?" undang tamu
itu. Pengurus penginapan itu terlihat enggan. Mungkin karena
pekerjaannya masih banyak yang belum diselesaikan.
"Liu Cangkwe,.. bila cayhe salah menebak, kau tidak percaya pun
belum terlambat" kata Cu Thi Jui mengibaskan tangannya
mempersilahkan pengurus itu masuk ke dalam.
Liu Cangkwe itu terpaksa menurutinya, Si Mulut Besi Cu
mengambil sebuah bumbung bambu. Di dalamnya berisi batangbatang
bambu dengan berbagai tulisan. Dia menyerahkannya ke
tangan Liu Cangkwe tadi, Laki-laki itu mengocok-ngocoknya sejenak,
kemudian dia memejamkan mata dan mencabut sebatang bambu
itu. Dia membuka mata dan membaca huruf Ci pada bambu itu.
Huruf itu berarti budi. "Apa yang ingin Liu Cangkwe tanyakan?" tanya Cu Thi Jui.
"lstri, rejeki, dan turunan," katanya.
"Liu Cangkwe lahir dalam edaran shio apa?" tanyanya kembali.
"Yo (kambing)." sahut pengurus penginapan itu. Sejenak hening,
lalu tampak si peramal Cu menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Alisnya berkerut, "Liu Cangkwe apakah ingin saya mengatakan hal yang
sebenarnya?" tanya peramal itu.
"Tentu saja saya ingin kebenaran," sahut Liu Cangkwe.
"Liu Cangkwe sudah digariskan hidup menyendiri Tidak beristri
Apalagi anak, Tentu tak usah dibicarakan lagi. Mengenai rejeki,
hanya sampai di sini saja, Saya melihat pekerjaan Liu Cangkwe juga
tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi," sahutnya sambil
menghela nafas. Liu Cangkwe membelalakkan mata saking terkejut.
"Siansing dapat mengetahui darimana?" tanyanya dengan mata
membelalak. "Huruf Ci yang Cangkwe dapatkan, Atas adalah kambing, bawah
adalah aku, Kalau memang hanya ada engkau, dengan sendirinya
tidak ada orang lainnya. Juga karena huruf 'kambing" tadi terputus,
rejeki Cangkwe juga tidak lama lagi," sahutnya.
"Siansing rupanya benar-benar tepat mendapat sebutan Cu Thi
Jui. Saya memang masih menyendiri sampai saat ini," kata Lui
Cangkwe. Cu Thi Jui tersenyum tipis.
"Liu Cangkwe,... ini barulah sebagian kecil. Cayhe masih bisa
menghitung yang lainnya. Kau bekerja kepada seorang majikan, Dan
majikan tersebut meskipun kekayaannya melebihi satu kota, tapi.,,
aih! orangnya tidak ada di sini, saya sungkan mengatakannya," katakatanya
sengaja dihentikan. "Mengapa Siansing tidak meneruskan?" tanya Liu Cangkwe
penasaran. "Saya tidak ingin membuka rahasia orang di hadapan orang
lainnya," sahut peramal tersebut.
"Baiklah! Cu Siansing tunggu sebentar Saya akan mengundang
Loya kemari!" kata Liu Cangkwe langsung membalikkan tubuh dan
meninggalkan tempat itu. Dia tidak tahu, di belakang punggungnya, Cu Thi Jui menyungingkan
sebuah senyuman licik. Kira-kira sepeminuman teh, terdengar suara dari ruangan luar.
Sebuah tandu yang mewah diturunkan Liu Cangkwe menyingkap
tirai penutup. Seorang laki-laki dengan baju perlente dan berusia
kira-kira lima puluh tahunan turun dari tandu tersebut wajahnya
persegi Telinganya besar, Tubuh-nya jauh lebih gemuk dan gempal
dari Liu Cangkwe. Cu Thi Jui si peramal berdiri di depan pintu kamarnya dengan
gaya orang penting. Setelah diperkenalkan ternyata pemilik
penginapan tersebut bernama Oey Thian Gie. Bukan saja kaya raya,
juga amat berkuasa, Para pejabat kota itu semua mendengarkan
kata-katanya. Manusia sekaya ini tentu mempunyai pandangan yang luas.
Rakyat setempat sangat menghormatinya, tapi Cu Thi Jui tidak
menganggap dirinya harus menghormati orang tersebut.
"Liu Cangkwe mengatakan bahwa ramalan Siansing seperti dewa,"
katanya setelah memperhatikan Cu Thi Jui beberapa saat Si peramal
Cu hanya tertawa-tawa saja.
"Hanya pujian kosong dari Liu Cangkwe, kalau saya benar-benar
seperti dewa, untuk apa saya memasang merek di penginapan ini
dan mengoceh yang bukan-bukan!" katanya merendah.
"Kata-kata itu masih harus dibuktikan.... Apakah Siansing bisa
menguraikan arti mimpi?" tanya Oey Thian Gie.
"Sedikit-sedikit," sahutnya tanpa menyombongkan diri.
"Liina belas tahun yang lalu, Lohu pernah pergi ke Ho sian ko bio,
sebuah tempat sembahyang yang sangat termashyur, Dalam mimpi
itu, seseorang memberikan sebuah semangka kepada saya, Ternyata
ketika semangka di tangan, Lohu hanya melihat setengahnya. Bila
Siansing menguraikan mimpi tersebut, apa artinya?" tanya Oey
Thian Gie. "Apa yang Oey Tangke ingin ketahui?" ujar Cu Thi Jui.
"Keturunan!" sahut pemilik penginapan itu.
"Kalau menurut hal yang umum terjadi, semangka itu mempunyai
biji yang banyak, seharusnya turunan Oey Tangke juga banyak,"
kata Cu si peramal. "Memang begitulah kata sebagian besar yang pernah Lohu
tanyakan," sahut Oey Thian Gie,
Cu Thi Jui berdiri, Dia menatap wajah pemilik penginapan itu
dengan tajam, kepalanya menggeleng perlahan.
"Salah besar! Salah besar!" ujarnya.
Oey Thian Giei menatap Liu Cangkwe yang berdiri di sisinya, Mata
kedua orang itu sama-sama memancarkan sinar terkejut.
"Kalau Cu Siansing yang menguraikan mimpi tersebut, apa
maknanya?" tanyanya penasaran Cu Thi Jui tidak segera menjawab
Dia adalah seorang manusia yang amat cerdas. Biasanya orang yang
cerdik tidak akan menonjolkan diri dari luar, Dia menunggu sampai
Oey Thian Gie terlihat tidak sabar lagi, baru menjawab...
"Oey Tangke ingin mendengarkan kata-kata yang hanya
menyenangkan atau yang sebenarnya?"
"Tentu yang sebenarnya," sahut Oey Thian Gie mulai kesal, Wajah
Cu si peramai meskipun tersenyum atau tidak, selalu ber-penampilan
seperti orang yang bodoh.
"Kalau Oey Tangke ingin saya mengatakan yang sebenarnya,
baiklah! Dulu Oey Tangke datang ke Ho sian ko bio meminta mimpi
tentang anak, Dalam mimpi itu terlihat seseorang memberikan
sebuah semangka kepadamu. Tetapi setelah ada di tangan, tinggal
setengah, Hal ini menandakan bahwa bukan turunan Oey Tangke
banyak, tetapi sepi," kata Cu si peramal menjelaskan.
Oey Thian Gie terkesiap, Di dunia ternyata ada orang yang begitu
berani dan yakin terhadap perkataannya sendiri! Yakin terhadap diri
sendiri memang baik, Namun perkataan yang terlalu yakin seperti
yang diucapkannya barusan, bisa membawa bahaya, Dengan uang
dan kekuasaan Oey Thian Gie, dia bisa membeli kepalanya, Oey
Thian Gie berdiri dari tempat duduknya.
Manusia semacam ini memang sedikit, Manusia yang berani bicara
dengan jujur di hadapannya lebih sedikit lagi, setidaknya orang ini
mempunyai keistimewaan Oey Thian Gie tiba-tiba duduk kembali,
Tidak mengatakan apa-apa, berarti apa yang diramalkan oleh Cu
Laothao memang tepat. Hanya berdasarkan cerita sebuah mimpi aneh, orang ini telah
dapat menebak dengan tepat, Kecuali sebelumnya dia telah mencari
tahu tentang dirinya,

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cu Siansing sudah pernah mendengar tentang saya?" tanyanya
dengan pandangan menyelidik.
"Cayhe tidak heran dengan pertanyaan itu," katanya sambil
menggelengkan kepala. "Lohu masih ingin meminta sedikit pelajaran," kata Oey Thian Gie
selanjutnya. "Silahkan," sahut Co laothao tanpa terlihat gentar sedikit pun.
"Saya ingin mencabut sebuah huruf" kata Oey Thian Gie.
"Meskipun cayhe ahli dalam bidang ini, tapi tidak dapat dikatakan
selalu tepat seratus persen," sahut Cu laothao,
"Cu Siansing terlalu merendahkan diri," Oey Thian Gie sinis.
Cu laothao menyodorkan bumbung bambu di hadapan Oey Thian
Gie. Dia meminta laki-laki itu mencabut sebatang, Huruf yang
terlihat adalah "Ling" yang berarti sukma.
"Apa yang ingin Oey Tangke ketahui?" tanya Cu laothao.
"Selain kata sepi yang telah Siansing uraikan, kita boleh
berbincang-bincang tentang istri dan rejeki," kata Oey Thian Gie.
"Oey Tangke pernah menjadi pejabat pada zaman pemerintahan
Chao," kata Cu Thi Jui.
"Benar! Hal ini diketahui oleh hampir setiap orang dalam kota ini,"
sahut Oey Thian Gie datar.
"Pernah menjabat yang saya maksudkan tidak sama dengan
anggapan orang-orang," kata Cu Thi Jui dengan berani, Wajah Oey
Thian Gie tampak berubah sekejap.
"Apa arti ucapan Cu Siansing ini" Apakah saya hanya berbicara
sembarangan tentang masa menjadi pejabat?" tanyanya dengan
nada tidak senang. "Tentu saja benar! Apakah Oey Tangke ingin mendengar katakata
yang sejujurnya?" tanya Cu laothao tanpa memperdulikan
kemarahan pemilik penginapan tersebut.
"Hanya ingin mendengar yang sebenarnya!" sahut Oey Thian Gie.
"Baik! Lihat huruf Ling ini. Ada tiga huruf khou berderet sejajar,
Tiga huruf yang sejajar itu menunjukkan suatu masa. Di atas ada
huruf yi. Di bawah terdapat huruf ca. Dapat diartikan hujan yang
deras dan gunung yang kokoh.
Dari huruf ini, saya dapat melihat bahwa masa jabatan Oey
Tangke dulu didapatkan dengan uang dan kekuasaan. Sama sekali
bukan prajurit sejati yang menunggu kenaikan pangkat dalam waktu
lama dan telah berkorban banyak untuk negara," katanya tenang.
Mata Oey Thian Gie merah membara. Wajah Liu Cangkwe
berubah hebat, Kedua tukang pukul yang menjaga di luar ingin
segera menerjang masuk, Belum ada orang yang demikian tidak
sopan terhadap majikannya.
Oey Thian Gie mengibaskan tangannya memberi isyarat kepada
kedua tukang pukul itu agar jangan bertindak apa-apa. Cu laothao
tampak tenang sekali, Dia seperti tidak melihat gerakan bersiap-siap
dari kedua tukang pukul tadi. Oey Thian Gie seperti dilepas
kedoknya di muka umum, Hatinya memang kurang senang, Namun
bidang pekerjaan orang itu memang memerlukan kejujuran. Dia juga
tidak dapat terlalu menyalahkannya.
Yang penting, apa yang dikatakan Cu laothao memang benar, Dia
menggunakan uang dan kekuasaan untuk menjabat dalam
pemerintahan pamannya adalah seorang menteri, Adiknya sendiri
pernah mempunyai hubungan yang dalam dengan salah seorang
keluarga raja, Karena kehamilannya dan tidak dapat bersatu, dia
memilih jalan pendek dengan menggantung diri.
Hal ini menyebabkan kematian dua nyawa, Keluarga raja itu
menjadi tidak enak hati. Dia tidak dapat menikahi adiknya karena
suatu alasan tertentu, "Dengan demikian, dia membalas kebaikan
yang pernah diberikan adiknya, Keluarga raja itu memberikan
kedudukan yang cukup tinggi kepadanya.
Begitulah jabatan itu didapatkan olehnya, Hal ini tidak mungkin
diketahui oleh orang luar. Keterangan ini juga yang membuat Oey
Thian Gie kagum terhadap Cu laothao.
"Nama besar Siansing benar-benar mengagumkan, Tolong lihat
bagaimana rejeki saya selanjutnya?" tanya Oey Thian Gie penasaran.
"Mungkin tidak begitu tepat...." sahut Cu laothao.
"Lohu mempercayai Siansing sepenuhnya," sahut Oey Thian Gie.
Cu laothao meminta Oey Thian Gie menyebutkan tanggal, hari serta
jam kelahirannya. Dia sama sekali tidak sempat duduk, Setelah
meneguk secawan teh, dia menatap laki-laki itu.
"Tangke tidak lama lagi akan mendapatkan kerugian besar"
katanya menerangkan Oey Thian Gie tampaknya tidak terlalu
merisaukan sedikit kerugian Hartanya toh banyak sekali.
"Apakah jumlahnya besar sekali?" tanya Oey Thian Gie.
Cu Thi Jui menganggukkan kepalanya. "Berapa besar?" tanya Oey
Thian Gie ingin menegaskan.
"Tidak dapat terhitung." sahut Cu loa-thao alias Cu si peramal
"Cu Siansing dapat mengatakan nilainya besar sekali, namun tidak
dapat memberikan gambaran yang tepat, Atau Siansing memang
ragu menyebutkannya?" tanya Oey Thian Gie dengan nada kurang
senang. "Cayhe hanya bisa meramal sampai di sini, Bila Oey Tangke
kembali ke rumah dan memikirkan kata saya dengan seksama,
mungkin Oey Tangke sendiri akan mendapatkan gambaran," sahut
Cu laothao. Oey Thian Gie tidak berkata apa-apa lagi, Mungkin dia sudah
mengerti maksud Cu Thi Jui atau mungkin dia menganggap manusia
ini toh bukan dewa.. tidak ..tentu apa yang diramalkannya benarbenar
akan terjadi. Sebelum meninggalkan tempat itu, dia memberikan uang sebesar
limapuluh perakan kepada Cu laothao, Untuk saat itu, Oey Thian Gie
sudah termasuk amat royal. Dia keluar dari ruangan tersebut Liu
Cangkwe menyingkapkan tirai tandu agar majikannya masuk ke
dalam Dengan suara rendah dia berbisik....
"Orang itu jelas adalah orang persilatan, kata-katanya belum
tentu dapat dipercayai. "Tidak! Apa yang dikatakannya sungguh tepat, maksud katakatanya
tentang nilai yang tak terhitung adalah...." Oey Thian Gie
tidak jadi meneruskan kata-katanya.
Otomatis, Liu Cangkwe juga tidak berani banyak bertanya. Dia
hanya mengantar tandu itu sampai pekarangan depan.
Pada saat itu, Cu laothao tersenyum dengan rasa puas dan
bangga. -oooo0ooooKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Malam yang sangat indah, Rembulan bersinar terang, Angin tidak
terlalu kencang, ini bukan saat yang tepat bagi pejalan malam untuk
mengurus sesuatu. Oey Thian Gie ragu-ragu, apakah dia harus menemui selirnya
malam ini" Bukankah maksud Cu laothao bahwa dia akan kesepian
itu, berarti tidak mempunyai keturunan" Dengan Lian Pue dan Siau
sing semuanya berjumlah tujuh orang selirnya.
Masih tidak menyamakan seorang raja, namun masih dapat
menyaingi menantu dan ipar raja. Mungkinkah dari ketujuh selir itu,
tidak ada seorangpun yang dapat berbuah" Dia masih merasa
kurang puas. Maka dari itu, kalau memungkinkan dia masih ingin menambah
satu, dua orang selir, Dia tidak percaya bahwa yang didapatkannya
semua adalah ayam yang tidak dapat bertelur.
Begitu kembali ke rumah, dia segera mencari pengurus rumahnya
dan bagian keuangan Dia menanyakan apakah ada hutang yang
belum dilunasi oleh para peminjam" Bagian keuangannya
melaporkan bahwa hanya satu yang belum membayar. jumlahnya
hanya tujuh puluh tail perak saja.
Hal apa yang akan membuatnya mengalami kerugian besar"
Mungkin hanya omong kosong kaum penipu! Tapi dua hal yang lain
dikatakannya dengan tepat Oey Thian Gie berpikir sejenak, Berhatihati
toh tidak ada salahnya! Oey Thian Gie memutuskan untuk mengunjungi siau jit malam ini.
Siau jit yang dimaksudkan adalah selir nomor tujuh, namanya Kim
siau lok. Tahun ini baru berusia tujuh belas.
Tidak terhitung kurus, juga tidak termasuk gemuk, Kulit tubuhnya
tidak seberapa hitam, tapi juga tidak dapat dikatakan putih, Bentuk
mata dan hidungnya biasa-biasa saja. Bentuk kakinya kecil. Kalau
melangkah seperti sempoyongan Ada semacam gaya genit yang
tidak dapat dikatakan. Dia masih mempunyai satu keistimewaan yang jarang dimiliki
gadis lain, Oey Thian Gie tidak pernah mengatakannya kepada siapa
pun. Oey Thian Gie juga tahu, perempuan semacam ini belum tentu
dapat memberikan keturunan untuknya, Tapi dia mencari Siau lok
bukan hanya untuk menyemaikan bibitnya saja.
Oey Thian Gie minum banyak sekali jalannya agak limbung. Kim
siau lok memapahnya. Laki-laki itu ingin memeluknya, keduanya tapi
malah terjatuh ke atas tempat tidur. Biar pun dia minum seberapa
banyak, asal masih tersisa sedikit kesadaran hal pertama yang akan
dilakukannya adalah memeluk pinggang Kim siau lok yang ramping
itu. Gadis itu adalah keponakan luar Liu Cangkwe, Dia juga yang
menjadi comblang keduanya, sebab itu pula yang membuat Liu
Cangkwe dapat menjadi pengurus penginapan dan salah satu orang
kepercayaan Oey Thian Gie.
Bagi seorang yang sudah setua Liu Cangkwe, dapat menjadi
pengurus sebuah penginapan sudah merupakan rejeki besar, Apalagi
penginapan Thai Pek Ki yang begitu besar dan terkenal.
Seorang gadis yang mempunyai pinggang ramping ditambah lagi
satu keistimewaan yang lain, sudah pasti akan disayangi, Di antara
ketujuh selir Oey Thian Gie, memang Kim siau lok yang paling sering
di-kunjunginya. Kim siau lok sering bersembahyang ke beberapa bio yang
termashyur. Dia sering berpikir, seandainya dia dapat melahirkan
seorang anak untuk Oey Thian Gie, mana mungkin harta warisan
sebanyak itu terjatuh ke tangan orang lain"
Kim siau lok tidak habis pikir, Kalau bukan takdir Oey Thian Gie
sendiri yang tidak mempunyai keturunan, masa tujuh orang
perempuan tidak ada satu pun yang bisa melahirkan"
Oey Thian Gie dan Kim siau lok bermesraan sejenak. Waktu sudah
hampir memasuki kentongan ketiga, selanjutnya adalah menikmati
keistimewaan Kim siau lok yang satu itu. Siau lok baru saja
membuka pakaian atasnya. Dia meniup penerangan yang berupa lilin sampai padam Tiba-tiba
Oey Thian Gie teringat sesuatu, Perasaan mabuknya sirna seketika,
Kecuali barang yang satu itu, apakah yang lebih baik tidak terkira
nilainya" Sekarang dia baru benar-benar mengagumi Cu laothao, Apa yang
dikatakannya selalu benar dan tepat, Kalau tidak percaya kata-kata
orang itu, tentu akan terjadi hal yang benar-benar menakutkan
Akibatnya pun akan mengerikan! Dalam sekejap, dia bangkit dan
duduk, Dengan gerakan cepat, dia mengenakan seluruh pakaiannya,
Kim siau lok terpana... "Ada apa, Loya?" tanya gadis itu.
Oey Thian Gie tidak menyahut Dia tidak ada waktu untuk
menjelaskan segalanya, Wajah Kim siau lok terlihat sedih.
"Apakah ada perbuatan saya yang salah?" tanyanya dengan mata
membasah. Oey Thian Gie hanya memiringkan barang itu. Hal yang lainnya tidak
menarik perhatiannya lagi, Dengan adanya barang tersebut, dia
merupakan manusia yang memiliki barang pusaka yang tidak ternilai
di dunia ini. Juga menjadi jimat agar dirinya tidak menjadi tua. Asalkan dia
dapat hidup sampai delapan puluh atau sembilan puluh tahun, dia
masih bisa membuktikan bahwa dirinya masih ada kesempatan
untuk mempunyai keturunan.
Bahkan jauh lebih perkasa dari anak muda usia dua puluhan,
barang itu adalah pusaka tak ternilai di kolong langit Dia mengira
apa yang dikatakan sebagai kerugian yang tidak terhitung adalah
barang pusaka itu. Siapa tahu anak buahnya ada yang mengincar
benda pusaka tersebut"
Oey Thian Gie memutuskan untuk memindahkan benda pusaka itu
dari tempat penyimpanan yang lama ke sebuah tempat yang lebih
rahasia. Untuk keamanan benda tersebut, Siau lok jadi kehilangan
perhatian. Kehilangan gadis itu, di dunia pasti masih bisa mendapatkan Siau lok
yang lain. Kehilangan Bi jin sim, di dunia ini tidak ada lagi Bi jin sim
kedua. Dia segera mencari kepala pengawalnya, Chao toa king, Di tempat
penyimpanan barang pusaka dia menemukan kepala pengawal itu
berjaga dengan sigap. "Chao toa king, apa yang terjadi malam ini, sama sekali tidak
boleh diberitahukan kepada siapa pun!" perintahnya.
"Loya harap jangan khawatir!"
"Apakah ada manusia yang tangan dan kakinya kotor di gedung
ini?" tanya Oey Thian Gie.
"Apakah maksud Loya, orang yang mengincar benda pusaka di
dalam ruangan ini?" tanya Chao toa king lagi.
"Ini tidak perlu kau urus!" kata Oey Thian Gie.
"Loya... Paling tidak, enam orang anak buah saya tidak akan
berbuat sesuatu yang merugikan Loya. Saya berani menjamin
dengan kepala saya!" sahutnya tegas.
"Bagus! sekarang kau tunggu di pintu rahasia kedua. Siapa pun
tidak boleh ada yang masuk!" perintahnya tegas.
"Baik, Loya!" sahut Chao toa king.
Oey Thian Gie membuka pintu rahasia ketiga, lalu keempat.
Kemudian dia membuka sebuah lemari besi yang kokoh, Manusia
yang mempunyai tenaga besar apa pun, tidak mungkin bisa
menggeser lemari besi ini.
Dari dalam lemari itu, Oey Thian Gie mengeluarkan sebuah kotak
persegi. Kotak itu tidak seberapa besar, Dengan hati-hati dan tegang
dia membukanya.... Sinar berwarna kemerahan terpancar dari
kotak,tersebut. Samar-samar terlihat bentuk tubuh seorang perempuan yang
tidak mengenakan sehelai benang pun. Entah bahannya terbuat dari
batu kumala jenis apa, sehingga dapat terukir demikian indah, Yang
ini baru benar-benar Bi jin sim yang asli.
Keistimewaan Bi jin sim justru terletak di bentuknya yang seakan
seorang wanita hidup, Lihat saja bagian kepalanya terbuat dari batu
kumala hitam asli, bukan dicat atau semacamnya, demikian juga
bagian alisnya, Bagaimana batu kumala dengan warna berbeda-beda
dapat diukir tepat pada bagiannya masing-masing"
Di bagian mata terbagi warna hitam dan putih dengan serasi,
Seluruh tubuhnya berwarna putih. Hanya bagian jantungnya yang
berbentuk hati dengan warna merah. Suatu hasil karya yang
sungguh mengagumkan. Warna merah dari jantung merupakan batu kumala, Ada juga
orang yang menyebutnya Ke hiat ang (Merah darah ayam). Bagi
toko emas atau permata, batu jenis ini tentu tidak asing lagi. Selain
harganya sangat tinggi, juga sangat sulit didapat, Batu kumala putih,
hitam dan merah masih dapat ditemukan, tapi coba kita tanyakan
pada toko emas atau pun permata, mungkinkah mencari sebuah
batu berbentuk tubuh seorang wanita dengan paduan ketiga macam
batu tersebut..."

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja tidak mungkin ada duanya lagi. Dan siapa pula yang
sanggup mengukir seorang wanita dari jenis batu yang aneh ini,
sehingga terbagi jelas antara rambut alis, mata, dan jantung"
Apalagi bagian jantungnya. Kalau kita perhatikan dengan seksama,
seakan terlihat ada darah yang sedang mengalir di dalamnya....
Ada satu lagi keistimewaan Bi jin sim ini. Yaitu bila seorang lakilaki
memeluknya dalam tidur selama setengah tahun,
keperkasaannya akan kembali muda. Melebihi pemuda yang sedang
menginjak puber. Tentu saja yang dimaksudkan adalah persoalan yang menyangkut
hubungan antara laki-laki dan perempuan, Paling tidak, bagi Oey
Thian Gie akan berguna sekali.
Oleh sebab itu, benda pusaka ini makin tinggi nilainya di mata
Oey Thian Gie. Asalkan dia masih hidup lebih panjang satu hari,
tentu bisa berusaha menyemaikan bibit agar mendapatkan
keturunan Lagipula tanpa mengenal kata lelah!
Dengan hati-hati Oey Thian Gie menutup kembali kotak tersebut
Dia memasukkannya kedalam balik pakaiannya, Siau lok sebetulnya
merupakan istri muda kesayangan Oey Thian Gie.
Melebihi siapa atau barang apa pun di dunia ini. Tapi kalau dia
bandingkan dengan Bi jin sim, tentu akan terlihat jelas
perbedaannya. Dia keluar dari ruangan penyimpanan benda pusaka
itu, Dipanggilnya Chao toa king.
"Malam hari harus dijaga lebih ketat, terutama di sekitar kamar
Siau lok. Harus ditambah lagi beberapa orang penjaga!" perintahnya.
"Baik! Hamba mengerti!" sahut Chao toa king.
Oey Thian Gie terus memikirkan tempat penyimpanan yang
terbaik, sedangkan tempat penyimpanan benda pusaka yang
berpintu empat lapis saja, dia kurang yakin, apakah masih ada
tempat lain yang lebih aman. Dalam waktu yang singkat dia tidak
mendapatkan pikiran yang baik. Asalkan tempat yang tidak terlihat
olehnya, hati Oey Thian Gie tidak mungkin bisa tenang, Untuk
sementara paling baik disimpan dalam tubuhnya sendiri.
Dia kembali ke kamar Kim siau lok, Gadis itu sedang bertopang
dagu, wajahnya tampak kurang senang. Sikap Loya yang dingin,
baru pertama kali dia alami sejak masuk ke dalam keluarga itu, Oey
Thian Gie memelukya erat-erat.
"Loya, Siau lok tidak tahu melakukan kesalahan apa," katanya
manja. Oey Thian Gie merasakan perbuatannya tadi memang kurang
pantas, Dia memeluk Siau lok lebih erat lagi.
"Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa!" sahutnya mesra.
"Pasti ada. Kalau tidak, mana mungkin sikap Loya seaneh itu.
Pertama dingin, kemudian hangat, lalu sekarang tidak dingin juga
tidak hangat," kata Siau lok dengan tampang cemberut.
Oey Thian Gie mencium rambutnya yang memancarkan
keharuman. "Apa yang percaya dingin, lalu hangat, kemudian tidak dingin tidak
hangat, Kau ini ada-ada saja. Aku tidak pernah bersikap dingin
terhadapmu." kata Oey Thian Gie.
"Loya berbohong.... Hanya Siau lok yakin Loya memang boleh
berbohong apa saja. Tetapi Siau lok tentu tidak boleh...." Seseorang
kalau sudah terbiasa disanjung dan dipuji tentunya akan wajar-wajar
saja menanggapinya. Bagi Oey Thian Gie, kata-kata pujian seperti itu tidak akan
dimasukkannya di dalam hati. Kekuasaan dan kebebasan adalah cara
hidup yang menyenangkan. Siau lok tidak berkata apa-apa lagi, setiap kali Oey Thian Gie
memeluk pinggang gadis itu, rasanya berat untuk melepaskan lagi, Kalau bukan karena
teringat akan Bi jin sim, Oey Thian Gie tidak pernah menempuh
setengah perjalanan, sedangkan Siau lok maklum sekali apa yang
diinginkannya bila sudah sampai taraf tertentu.
Jadi seorang gadis memang tidak mudah. Dia harus mengerti apa
yang disukai kaum laki-laki. Dan harus menghindari apa yang tidak
disukainya, Laki-laki yang menghadapi mereka dengan kadangkadang
baik, kadang-kadang jahat, justru paling susah dilayani.
Siau lok sudah seperti aliran air, yang mengikuti kemana arus
membawanya. Oey Thian Gie pun tidak sanggup bertahan lebih lama
lagi, Pada saat seperti itu, Kim siau lok sering merasa sombong, Selir
yang lain pasti tidak akan sanggup memberikan seperti dirinya, Dia
yakin sekali, Dia tidak merasakan bahwa apa yang dilakukannya
adalah sesuatu yang amat rendah, dia juga tidak sadar bahwa
keistimewaannya itu bisa menarik laki-laki yang mana saja.
Oey Thian Gie sangat memaklumi perasaan seorang perempuan,
karena dia sudah banyak bergaul dengan jenis yang satu ini. Dalam
waktu satu tahun, dia pasti akan pergi ke Kim Leng sekali, lalu ke
Lok Yang satu kali, Peking juga.
Masih ada beberapa kota yang tidak begitu besar, Di tempattempat
tersebut, dia juga mempunyai beberapa orang simpanan, Dia
melakukan semua itu bukan disebabkan dirinya memang genit, tapi
dia ingin merasakan berbagai jenis perempuan dari usia yang
berbeda dan suku bangsa yang berlainan. Di samping itu, dia juga
mengharapkan bahwa salah satu di antaranya akan sanggup
memberikan keturunan kepadanya.
Dia pernah berjanji kepada para perempuan simpanannya itu, Bila
saja ada salah satu dari mereka yang sanggup melahirkan seorang
anak baginya, Dia akan membuatkan sebuah rumah yang mewah
juga uang emas untuk seumur hidup. Namun, meskipun dengan
imbalan yang begitu besar, setelah lewat lima tahun, hasilnya tetap
sia-sia. Oleh sebab itu, setiap kali Oey Thian Gie teringat kata-kata
tukang ramal yang dulu, hatinya pasti kesal. Dia akan berteriakteriak
marah, inikah yang disebut banyak anak dan cucu"
Sebaliknya, Cu Thi Jui memang pantas dipuji, Tukang ramal ini
membuat hatinya puas. Tetapi dia juga khawatir sekali, Begini
banyaknya harta, bila tidak ada keturunan, kepada siapa dia akan
mewariskan semuanya"
Kim siau lok membuka bajunya sekali lagi.
"Siau lok.... Tadi kau mengatakan pertama aku bersikap dingin,
lalu hangat kemudian tidak dingin tidak hangat, Apa artinya?" tanya
Oey Thian Gie yang tiba-tiba teringat ucapan selirnya yang rada
janggal "Yang sudah lewat tidak usah dibicarakan lagi." sahut Siau
lok seraya bermaksud memadamkan penerangan di kamar itu.
"Kalau kau tidak mau mengatakan, aku akan menggelitik
dirimu...." kata Oey Thian Gie dengan pura-pura mengulurkan
tangan, Siau lok paling takut geli. Dia segera menciut ke ujung
tempat tidur, Dia menutupi tubuhnya dengan pakaian yang sudah
terlepas tadi. "Aduh Loya! Ampun.... Saya paling tidak kuat geli," teriaknya
malu-malu. "Hayo cepat katakan!" ancam Oey Thian Gie tersenyum-senyum.
"Loya kan sudah tahu.,., Mengapa harus bertanya lagi?" kata Kim
siau lok tersipu-sipu. "Aku sama sekali tidak tahu...." sahut Oey Thian Gie keheranan.
"Loya pelupa sekali, Bukankah barusan kau tinggalkan kamar ini
dengan tergesa-gesa, bahkan tidak mengucapkan sepatah kata
pun?" kata Siau lok manja.
"ltu karena aku teringat sesuatu hal yang penting, Lalu jelaskan
tentang kata hangat tadi?" tanya Oey Thian Gie dengan pandangan
meneliti. "Setelah Loya pergi kira-kira setengah peminuman teh, Loya
kembali lagi, Begitu masuk lalu memadamkam lilin dan memeluk
diri.Siau lok, kemudian.,." Wajah Siau lok makin merah.
Oey Thian Gie terpana. Mungkinkah Siau lok sedang bergurau
dengannya" Kaum laki-laki kadang-kadang juga harus mengeraskan
hati, berlagak acuh sedikit, karena hubungan antara laki-Iaki dan
perempuan tidak selamanya perang hangat saja, sewaktu-waktu
juga bisa terjadi perang dingin.
"Setelah Loya mendapatkan apa yang Loya inginkan, Loya terus
pergi lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Siau lok pikir
mungkin Loya sedang marah, tidak tahunya sekarang Loya kembali
lagi untuk...." kata Siau lok dengan suara lirih. Di dalam hati Oey
Thian Gie terasa kurang enak, Bagi seorang laki-laki, lebih baik
memperistri seorang perempuan dan tidak menyentuhnya sama
sekali, dari pada ada laki-laki lain yang menyentuhnya.
Laki-laki seperti Oey Thian Gie juga tidak berbeda, perempuan
simpanannya ada beberapa orang. Dalam satu tahun, dia hanya
sempat mengunjungi mereka satu atau dua kali.
Sisa hari sebanyak tiga ratusan itu, mereka terpaksa menderita
kesepian, Oey Thian Gie masih tetap mengutus beberapa orang
kepercayaannya untuk mengawasi perempuan-perempuan tersebut.
Laki-laki yang dikatakan oleh Siau lok, masuk ke kamar gadis itu
hanya berbeda beberapa detik sejak dia keluar, Oey Thian Gie mana
mungkin bisa menerima penghinaan seperti ini.
Dulu pernah terjadi peristiwa yang sama. Salah seorang selirnya
tertangkap basah sedang bermesraan dengan laki-laki lain, akhirnya
mereka berdua menerima hukuman yang mengerikan! Oey Thian Gie
memandang Siau lok dengan tatapan tajam.
"Siau lok.... Tadi kau mengatakan bahwa setelah aku pergi
dengan tergesa-gesa, lalu tidak sampai setengah peminuman teh
aku kembali lagi?" tanyanya sekali lagi.
"Loya! Apa yang terjadi dengan dirimu malam ini" Apakah
perbuatan yang kau lakukan tadi sudah tidak ingat lagi?" Siau lok
berbalik bertanya kepada tuannya.
"Setelah kembali, kita langsung melakukan..." kata-kata Oey
Thian Gie sengaja dihentikan sampai di situ saja.
"Loya.... Kapan Siau lok berani menolakmu?" kata gadis itu
Panji Wulung 15 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Jodoh Rajawali 29
^