Pencarian

Sukma Pedang 6

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Bagian 6


selatan. Kepalanya tertunduk, entah apa yang menggelayuti
pikirannya. Mo Put Chi selalu melangkah dengan gaya seperti itu. Langkah
yang tergesa-gesa, pikiran terus berkecamuk. Meskipun tidak ada
urusan penting yang harus dikerjakannya, dia tetap berjalan dengan
langkah lebar. Beberapa hari ini dia telah menelusuri kota kecil tersebut, setiap
gang pun tidak diabaikan olehnya, Dia ingin mencari pembunuh
sutenya tersebut. "Put Chi.... Kau benar-benar tidak dapat menyamai Put Ce. Kau
harus belajar banyak darinya!" Kata-kata itu terngiang di telinganya
setiap saat. Hatinya masih belum paham, namun dia memastikan
dirinya tidak akan belajar dari Sun Put Ce.
Dia mengangkat kepalanya dan menatap ke kejauhan, Tiba-tiba
dia melihat seseorang berdiri tegak di tengah jalan, Seakan memang
sengaja menantinya dan menghadangnya di tempat itu.
Orang itu mengenakan sebuah topeng, Di kepalanya terikat
secarik kain berwarna hijau pupus. Dengan demikian, sulit baginya
untuk menebak apakah laki-laki atau perempuan yang menghadang
di tengah jalan tersebut. Bahkan tua atau muda pun tidak dapat
diterkanya. Tidak ada satu orang pun yang boleh menghadang jalannya,
Karena dia adalah Mo Put Chi. Manusia yang tidak kenal kata kalah,
Dan disebabkan oleh kemunculan orang aneh itu pula, hatinya
terbersit sedikit harapan.
"Kau yang membunuh Suteku?" tanyanya dengan mata menatap
tajam. Orang itu tidak menjawab, kalau bukan angin malam
menghembusi lengan bajunya dan menerbitkan suara berdesir, dia
tentu akan menganggapnya sebagai sebuah patung. Kekesalan di
hati Mo Put Chi memang sudah penuh, dia merasa orang ini
memang merupakan sasaran yang tepat sebagai wadah
penampungan kemarahannya.
"Aku bertanya sekali lagi.... Bila kau tetap tidak menjawab, berarti
kau telah mengakuinya" Apakah kau pembunuh Hu Put Chiu?"
tanyanya garang. Manusia bertopeng itu bagai terpaku di tempat itu, Di benak Mo
Put Chi terngiang kembali kata-kata gurunya.
"Kau memang tidak dapat menandingi Sun Put Ce... kau harus
belajar banyak darinya... kau harus belajar banyak darinya."
Api kemarahan terasa membara di dada-nya. Pedangnya
dikeluarkan dari sarung, Orang dan pedang bersatu, Luncuran
pedangnya mengarah ke leher orang tersebut....
Mo Put Chi adalah murid tertua Fang Tiong Seng, ilmunya paling
tinggi selama ini. Oleh sebab itu, dia sangat yakin terhadap dirinya
sendiri, Namun ketika serangannya sudah dekat sekali, entah
dengan gerakan apa orang itu dapat mundur dua langkah dan luput
dari serangan. Tampaknya seperti hanya salah pengertian Orang itu tetap berdiri
di tengah jalan tanpa bergerak, Rasa tak kenal kalahnya tetap
membara. Namun perasaan yakin terhadap ilmunya sendiri lenyap
entah kemana. Sekali lagi menyerang ke depan, ternyata orang itu
membalas. Pedang yang digunakan oleh orang itu aneh sekali, Bentuknya
tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek, Kalau dibandingkan
dengan pedang biasa, rasanya terlalu pendek, Tapi kalau
dibandingkan dengan pisau pendek, rasanya justru terlalu panjang,
Gerakan dan serangan pedang pendek itu juga aneh sekali, Belum
sampai lima jurus, pedang Mo Put Chi telah terhempas ke tanah.
Pada saat itu, keyakinan diri Mo Put Chi entah terbang ke mana.
Dia merasa putus asa dan sedih, Kemasyhuran nama perguruannya
telah tercoreng di tangannya. Namun dia tidak akan bunuh diri
karena persoalan ini. Dia ingin mengambil pedangnya yang terlempar dan bertarung
kembali, Pedang di tangan manusia bertopeng ini berkelebat
mengarah tenggorokkannya. Mo Put Chi menghindarkan diri dengan
susah payah. Tiba-tiba gerakan orang itu merandek sejenak Dengan
cepat, dia menggunakan kesempatan untuk meloncat mundur.
Ternyata ada orang lain yang menyerang manusia bertopeng ini
dari belakang, Dapat dikatakan bahwa nyawa Mo Put Chi juga
diselamatkan oleh orang tersebut. Bila tidak, tenggorokkannya pasti
sudah tertembus. Orang yang datang itu keluar dari sebelah kiri
taman rumah penduduk. Ternyata dia adalah Sun Put Ce.
Meskipun adik seperguruannya datang tepat pada waktunya, Mo
Put Chi tidak merasa perlu berterima kasih kepadanya, Dia masih
mendongkol oleh ucapan Fang Tiong Seng yang memintanya banyak
belajar dari Sun Put Ce. Susah mengungkapkan perasaan hatinya saat itu. Dia tidak bisa
melaksanakan hal yang dalam mimpi pun tidak pernah terbayangkan
olehnya, Belajar dari Sun Put Ce. Manusia bertopeng itu
membalikkan tubuh dan menyerang Sun Put Ce. serangannya selain
cepat juga keji, Namun Sun Put Ce mengelak serangan itu dengan
gaya jauh lebih mudah dari abang seperguruannya.
Mo Put Chi makin tidak senang, dia juga ikut menusuk sekali,
Manusia bertopeng itu menggeser ke samping untuk menghindarkan
diri, penampilannya terlihat lebih kelabakan dari sebelumnya Apakah
disebabkan oleh kedatangan Sun Put Ce yang membuyarkan
konsentrasinya..." Setelah melihat kejadian ini, hati Mo Put Chi masih kurang senang
juga. Bahkan semakin kecut dan tertekan. Namun Sun Put Ce
tampaknya tidak tahu perasaannya, Dia tetap menyongsong setiap
bahaya serangan manusia bertopeng tanpa memperdulikan
keselamatan dirinya sendiri.
Yang penting baginya hanyalah keselamatan Mo Put Chi. Dia tidak
sadar bahwa perbuatannya itulah yang membuat abang
seperguruannya semakin kesal, Dalam anggapannya, Sun Put Ce
hanya bermaksud mengambil hati.
Kadang-kadang manusia memang aneh, Mem-benci seseorang
tapi tanpa ada alasan tertentu Mungkin juga sekedar rasa iri dan
merasa dibedakan oleh sang suhu, Atau mungkin karena perhatian
musuhnya sekarang lebih tertarik pada Sun Put Ce"
Sebetulnya Sun Put Ce juga merasa agak gentar, kalau bukan
beberapa jurusnya yang aneh dapat menahan serangan manusia
bertopeng, mungkin dia hanya bisa menerima lima enam jurus saja.
ilmunya yang baru membuat rasa percaya dirinya tumbuh.
Dia semakin gencar melawan musuh itu, Ternyata Mo Put Chi
tidak mau ketinggalan Meskipun dalam hati dia membenci Sun Put
Ce, namun dia tetap tidak dapat membiarkan sam sutenya melawan
manusia bertopeng itu seorang diri.
Tampaknya sasaran manusia bertopeng itu beralih pada Sun Put
Ce. Dia menyerang murid bungsu Fang Tiong Seng terlebih dahulu,
kemudian baru menyerang kembali ke arah Mo Put Chi.
Tidak banyak bicara tentu berbeda dengan menganggap rendah,
Mo Put Chi mengira diamnya Sun Put Ce berarti merendahkan
derajatnya, Tiba-tiba dia menghentikan serangannya.
Musuhnya tentu saja kesenangan Nanti masih ada waktu untuk
mengurus yang satunya, Dia berturut-turut menyerang sebanyak
tujuh kali, Tujuh buah serangan itu belum pernah dilihat Mo Put Chi
seumur hidupnya, Dia merandek sejenak, Hatinya cepat mengambil
keputusan, jiwa Sun Put Ce sedang terancam.
Secepat kilat dia memburu ke dalam pertarungan yang sedang
berlangsung sengit, Dia membantu Sun Put Ce menghindarkan diri
dari serangan yang ganas itu. Namun baru saja tubuhnya bergerak,
serangan ke delapan dari manusia bertopeng itu telah menghunjam
bahu Sun Put Ce. Mo Put Chi merasa sedikit menyesal, Bagaimana pun orang itu
adalah adik seperguruannya, Dia meraung dengan suara keras,
Pedang di tangannya menghunjam ke depan Serangan ini bukan
main lihainya, Tidak disangka, lawannya tidak merasa kerepotan
Dengan mudah dia berhasil memutar badannya dan membalas
dengan sebuah tusukan pula.
Nasib Mo Put Chi tidak sebaik manusia bertopeng itu. Uhhh!
Terdengar keluhan dari mulutnya, begitu terasa ada hawa dingin di
bagian bawah tubuhnya, dia cepat melirik sekilas, Paha kanannya
telah berlubang, Darah segar mengucur dengan deras. Sun Put Ce
panik sekali. Dia mempertahankan rasa sakit di bahunya, Dengan
sekali loncat, dia mendorong Mo Put Chi.
"Suheng! Cepat lari! Biar siaute yang menghadapinya!" teriaknya.
Rasa benci dalam hati Mo Put Chi langsung tersapu oleh kata-kata
Sun Put Ce itu. Dia baru sadar bahwa adik seperguruannya benarbenar
menyayanginya. Bukan hanya sekedar mengambil hati saja.
Sun Put Ce bagaikan berubah menjadi Toa suhengnya. Paha
kanannya terus mengalirkan darah. Bagaimana dia dapat bertarung
lagi" "Suheng! Cepat pulang dan mencari bala bantuan! Siaute masih
mengimbangi untuk sesaat!" teriak Sun Put Ce dengan tangan terus
menyerang, Terlihat sekali dia mulai kewalahan.
Mo Put Chi menggertakkan gigi. Dia menyerang lagi dengan kaki
terpincang-pincang. "Apakah aku cuma bisa memanggil bala bantuan?" bentaknya
keras-keras. Manusia bertopeng itu mempunyai keyakinan bahwa dia dapat
membunuh kedua orang itu dalam lima atau paling banyak tujuh
jurus. Namun perhatiannya malah terpusat kepada Sun Put Ce.
Serangan yang dilancarkan semuanya mematikan. Sudah jelas dia
ingin membunuh yang muda dulu baru yang besar.
Sampai musuh pun memandang hina kepadanya, Mo Put Chi tidak
dapat menahan diri lagi, Dia menyerang dan mengelak dengan air
mata bercucuran, Keadaan mereka sudah sangat terdesak, Tiba-tiba
sebuah suara tepukan tangan berkumandang dari ujung jalan.
"Yang tua menghina yang muda, Terhitung manusia macam apa"
Coba kuperhatikan baik-baik. Tentu aku bisa mengenali dirimu!" kata
orang itu. Yang berbicara ternyata Bwe Mei, Kiau Bu Suang tidak berhasil
menyandak dirinya. Dia tidak tinggal di penginapan kecil itu lagi. Dia
pindah ke rumah seorang penduduk, namun dia belum
memberitahukan Sun Put Ce.
Tidak tahunya kata-kata Bwe Mei membawa akibat lain, Bukan
berhenti, tapi malah manusia bertopeng itu bahkan menyerang tiga
kali lebih hebat Serangan pertama mengenai paha kanan Mo Put Chi,
Di pahanya sudah terlihat dua buah lubang luka yang cukup dalam.
Serangan kedua juga mengenai Mo Put Chi, tapi di bagian
punggungnya, Dan serangan ketiga mengenai bagian bawah ketiak
Sun Put Ce. setelah itu, secepat kilat dia menghilang dari arena
tersebut. Mata Sun Put Ce jelalatan, Bwe Mei yang tadi tertepuk tangan dan
berbicara di ujung jalan juga sudah tidak terlihat lagi.
"Bwe kouwnio... Bwe kouwnio!" teriak Sun Put Ce.
Tidak ada jawaban, Mungkin Bwe Mei sudah pergi jauh. Dia
mengalihkan pandangan ke arah Mo Put Chi, Abang seperguruannya
itu telah mendeprok di tanah.
"Suheng! Apakah kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.
"Omong kosong! Kau tidak lihat keadaanku?" bentak Mo Put Chi.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Kau mengenal nona tadi?" tanya Mo Put Chi denga nada dingin.
"Betul!" sahut Sun Put Ce. Tidak senang apa gunanya" Toh di
dunia ini ternyata ada seorang gadis yang begitu cantik
memperhatikannya, malah mengusir musuh mereka!
"Dia hanya mengucapkan beberapa patah kata, musuh tangguh
itu lalu pergi. Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Mo Put Chi
dengan nada yang sama. "Tidak tahu," sahut Sun Put Ce. "Usia manusia bertopeng itu tidak
terlalu tinggi. Mungkin sekitar tiga puluhan, Di Tionggoan ternyata
ada jago yang begitu lihai?" Mo Put Chi seperti berkata kepada
dirinya sendiri. "Dia adalah seorang perempuan!" sahut Sun Put Ce.
"Perempuan" Tampaknya dalam hal ini, kau juga lebih
berpengalaman dari pada aku!" kata Mo Put Chi dengan suara keras.
"Tidak mungkin!" sahut Sun Put Ce dengan wajah tertunduk.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau dia adalah seorang perempuan?"
tanya Mo Put Chi penasaran.
"Pertama, ketika jarak kita agak dekat dengannya, Tubuhnya
memancarkan harum pupur, Kedua, tenggorokkannya tidak
menonjol," sahut Sun Put Ce tenang. Mo Put Chi terpana, Sejenak
kemudian dia menarik nafas.
"Sute.... Tampaknya segala macam apa pun aku tetap tidak bisa
menandingimu" katanya.
"Suheng! Kau telah kehilangan darah banyak. Biar Siaute
memapahmu kembali ke rumah," sahut Sun Put Ce mengalihkan
persoalan. Membiarkan Sun Put Ce memapahnya pulang, sama dengan
mengakui keunggulan adik seperguruanya itu. Padahal dia sendiri
juga banyak kehilangan darah, Sun Put Ce memaksakan diri
memapah Mo Put Chi. Dia berjalan dengan langkah cepat, Berbeda dengan
kebiasaannya. Dia menahan rasa sakit dari luka yang cukup dalam,
Begitu sampai di depan pekarangan keluarga Fang, Sun Put Ce jatuh
tidak sadarkan diri. Mo Put Chi merasa menyesal Kalau mengingat perkataan "di dunia
ini segala macam manusia ada, herannya yang macam dirimu juga
ada", dia jadi merasa malu. Namun mereka sadar bahwa apa yang
terjadi di balik semua ini merupakan sebuah penderitaan yang masih
panjang.... -ooo0ooo- Sinar mata Fang Tiong Seng tajam menusuk semuanya sudah ada
dalam dugaan Mo Put Chi. Pandangan suhunya terhadap Sun Put Ce
lebih tinggi, tapi dia tidak begitu kesal lagi, pandangannya sendiri
juga sudah banyak berubah.
Perasaan terima kasihnya telah berubah menjadi rasa kagum dan
hormat. Bahkan perasaan yang tadinya hanya ditujukan kepada
Fang Tiong Seng malah berkurang. Idola dalam hati sebetulnya
susah diubah, kecuali ada kejadian yang luar biasa, sesuatu yang
tulus dan ikhlas dapat menjadi idola yang konkrit.
Sebetulnya bukan Mo Put Chi saja yang merasa kekagumannya
kepada Fang Tiong Seng berkurang, Dalam hati Sun Put Ce juga
mulai terbit perasaan itu. Mereka belum tahu apa sebenarnya yang
terjadi Namun jauh dalam lubuk hati mereka, dapat merasakan
perubahan sikap Fang Tiong Seng akhir-akhir ini.
Hati Sun Put Ce jauh lebih tertekan daripada Mo Put Chi. Mungkin
karena otaknya lebih cerdas, Dia dapat menangkap suatu kejadian
dari segi yang berlainan. Kedua orang itu diberikan satu kamar
bersama untuk merawat luka.
Dulu... tapi hal ini tidak mungkin terjadi lagi, bila Mo Put Chi
sekamar dengan Sun Put Ce, Hut Pu Chi pasti akan
menertawakannya, sekarang Hut Put Chi sudah tiada. Mo Put Chi
memandang lampu penerangan dengan termangu-mangu. Sun Put
Ce memandangnya dengan terpesona, Ketika abang seperguruan itu
menolehkan kepalanya, dia mendapatkan sinar mata Mo Put Chi
yang terarah kepadanya.

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sute... kau sedang memperhatikan aku?" tanyanya.
"Oh! Ti... tidak!" sahut Sun Put Ce gugup.
"Kau berbohong!" kata Mo Put Chi.
"Suheng... aku tidak berbohong, Aku hanya sedang berpikir,"
sahut Sun Put Ce. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Mo Put Chi.
"Mengingat sebuah peristiwa yang malang" sahut Sun Put Ce
dengan wajah tertunduk. "Peristiwa malang apa?" tanya Mo Put Chi tidak mengerti
"Suheng.... Harap maafkan Siaute, karena aku tidak dapat
mengatakannya," sahut Sun Put Ce pilu.
"Mengapa kau tidak dapat memberitahukan kepadaku?" tanya Mo
Put Chi kurang puas. "Aku benar-benar tidak dapat mengatakannya," sahut Sun Put Ce.
"Omong kosong!" bentak Mo Put Chi.
Biar pun hanya omong kosong, Sun Put Ce tetap tidak dapat
mengatakannya. Karena dia tahu, Toa suhengnya jauh lebih kolot
pikirannya, Dia sadar sudah merubah pendirian seseorang, Mo Put
Chi mendengus satu kali, sikapnya itu tidak mengherankan Sun Put
Ce lagi. "Kenapa" Apakah kau menganggap dirimu benar-benar murid
suhu yang paling cerdas?" tanya Mo Put Chi.
"Mengapa Suheng bisa mempunyai pikiran seperti itu?" Sun Put
Ce menarik nafas. "Bukankah suhu mengatakan bahwa dirimu lebih baik daripada
aku?" Suara Mo Put Chi makin tidak sedap didengar.
"Suhu mengatakan itu hanya agar dirimu makin bersemangat
untuk belajar," sahut Sun Put Ce lirih.
"Belajar darimu bukan?" sindir Mo Put Chi kembali
"Betul!" sahut Sun Put Ce terpaksa, "Apakah kau merasa dirimu
bisa menjadi guruku?" tanya Mo Put Chi sinis.
"Suheng.... Untuk kata "sabar" kau benar-benar harus banyak
belajar," sahut Sun Put Ce.
Mo Put Chi tidak dapat mengucapkan apa-apa lagi.
-ooo0ooo- Dia bukan orang yang tidak mempunyai otak, Bila tidak, tadi dia
pasti mengamuk. Untuk kata "sabar" memang dia akui dirinya bukan
tandingan Sun Put Ce. Sebelumnya dia memang tidak mengira Sun Put Ce sedang
bersabar. Dia menganggap sutenya tidak mempunyai kemampuan
Otak udang! Sekarang dia baru mengerti Bahkan mengerti dengan
jelas. itulah semacam ilmu yang hebat. ilmu "sabar" Mo Put Chi
menarik nafas. "Sute... dalam hal ini aku benar-benar bukan tandinganmu,"
katanya. "Suheng.... Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna." sahut
Sun Put Ce. "Tidak salah! Namun bila kita bisa mencapai taraf hampir
sempurna, sudah boleh dibilang hebat. itulah dirimu!" kata Mo Put
Chi sambil mengacungkan jempol tangannya.
"Suheng... kau masih belum mengerti diriku," sahut Sun Put Ce.
"Saat ini aku mengerti dirimu jauh dari sebelumnya," kata Mo Put
Chi yakin. "Aku?" tanya Sun Put Ce heran.
"Betul! Kau sebetulnya mempunyai banyak kelebihan," kata Mo
Put Chi. "Suheng... kata-katamu membuat siaute malu," sahut Sun Put Ce.
"Kalau kau tidak malu maka kau bukan Sun Put Ce. Sampai suhu
pun memuji-muji dirimu," kata Mo Put Chi tersenyum.
"Apa kelebihanku?" tanya Sun Put Ce tersipu.
"Pokoknya banyak, sampai kaum perempuan pun menyukai
dirimu," kata Mo Put Chi.
Sun Put Ce terpana. Dia merasa mendengar nada yang
bersemangat ketika suhengnya mengatakan soal perempuan. Kalau
hal ini terjadi beberapa bulan yang lalu, dia tentu tidak bisa mengerti
perasaan yang ditampilkan Mo Put Chi saat ini.
Sejak berdekatan dengan Chow Ai Giok dan Bwe Mei,
perasaannya terhadap perempuan sudah lebih jelas, Dia sudah
dapat mengerti jiwa seorang perempuan, Meskipun dia belum
mengetahui bagaimana laki-laki dan perempuan melakukan
hubungan yang mendalam. Namun daya tarik yang ditimbulkan oleh
seorang perempuan kurang lebih dia tahu sedikit
Setidaknya sekarang dia mengerti, mengapa bila kaum laki-laki
berbicara soal perempuan, suaranya pasti lebih bersemangat
perasaannya lebih peka, dan tangannya juga akan gemetar!
"Suheng... sebetulnya itu tidak terhitung apa-apa," kata Sun Put
Ce. "Tidak,., tidak! ini juga boleh dibilang sebuah ilmu pengetahuan,"
sahut Mo Put Chi. "Suheng... bila kau menyukai seorang perempuan, kau akan
berani mendekatkan diri," kata Sun Put Ce menjelaskan.
"Mendekatkan diri" Bagaimana caranya?" tanya Mo Put Chi yang
tidak mempunyai pengalaman sama sekali.
"Sering-sering mengajak berbincang dan bertemu," kata Sun Put
Ce sok tahu. sebetulnya dia sendiri tidak tahu apakah perkataannya
itu benar" Dia hanya ingin banyak mengobrol dengan suhengnya
saja, "Apa yang harus kita bicarakan?" tanya Mo Put Chi mulai tertarik.
Tiba-tiba sebuah suara menyahut dari luar.
"Perempuan bagaikan api setan dalam neraka. Bila kau
mendekatinya, maka dia tidak akan melepaskan dirimu. Kecuali
sampai dirimu hangus terbakar!"
Ternyata yang berbicara adalah pelayan tua Fang Yen. Katakatanya
ada benarnya juga. Namun toa suheng tidak mungkin
mengerti. Malam sudah larut. Angin kencang terus menghembus, Hujan
turun deras, Chow Sek Ki dan cucunya, Chow Ai Giok sedang
berbincang-bincang. "Yaya.... siapakah sebenarnya yang membunuh Bok lang kun dan
Hong Be?" Terdengar suara Chow Ai Giok bertanya.
"Mestinya bukan Toa Tek To Hun," sahut Chow Sek Ki setelah
merenung sejenak. "Siapa yang bisa membunuh Hong Be?" tanya Chow Ai Giok
kembali. "Banyak orang yang memiliki kemungkinan itu," sahut sang kakek.
"Bukan Toa Tek To Hun?" tanya Chow Ai Giok kurang puas.
Chow Sek Ki menggelengkan kepalanya.
"Yaya... apa yang kita tunggu di sini?" tanya Chow Ai Giok
kembali. "Aku ingin mencari orang yang menyamar sebagai Toa Tek To
Hun!" kata kakek itu tegas dan optimis.
"Apa yang akan Yaya lakukan kalau sudah ketemu dengannya?"
tanya sang cucu itu penasaran.
Chow Sek Ki tidak menjawab, Dia terlihat merenung sambil
memandang keluar jendela, Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
Di dalam ruangan itu sudah bertambah satu orang.
Kakek Chow Ai Giok tampak terkejut.
"Rupanya kau...!"
Sinar pedang berpijar, Secepat kilat sudah kembali ke sarungnya,
Sekali serangan hasilnya sudah terlihat.
Chow Sek Ki tidak mau kalah set. Dia juga sudah menghunus
pedangnya. Elang salju bukan orang biasa, Dia adalah susiok dari
Bok lang kun. "Srettt!!!" Sekali lagi pedang orang itu dikeluarkan. Serangan pertamanya
yang dikira berhasil ternyata gagal. Dia hanya sempat melukai dada
Chow Sek Ki. Serangan keduanya lebih dahysat daripada yang
pertama. Kembali dada Elang salju tertusuk, Serangan ketiga
laksana kilat Chow Sek Ki tidak sempat menghindari lagi. Dia berdiri
mematung, Rasa dingin menyelinap di jan-tung, Tubuh Chow Sek Ki
limbung, "Bukk!!!" Tanpa sempat ditahan oleh cucunya, dia rubuh di tanah. Nafasnya
putus seketika! "Tang!!!" Pedangnya terlepas dari tangan. Di keningnya terlihat jalur luka
memanjang, darah segar berhamburan ke seluruh tubuhnya.
Chow Ai Giok bagaikan bermimpi buruk, Tiga kali serangan,
jumlahnya tidak mencapai satu setengah jurus, Bahkan kematian
Bok lang kun membutuhkan jurus lebih banyak.
Di dunia Bulim saat ini, siapa yang sanggup membunuh si Elang
salju hanya dengan menggunakan satu setengah jurus" Kecuali Toa
Tek To Hun siapa lagi"
Manusia bertopeng tadi pasti Toa Tek To Hun. Chow Ai Giok
menyesal tadi tidak sempat turun tangan membantu kakeknya
menghadapi lawan, sebetulnya dia bukannya takut, hanya
kemunculan manusia bertopeng, berambut panjang dan berpakaian
hitam itu terlalu tiba-tiba.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau orang itu adalah Toa Tek
To Hun. Lagipula, dia tidak perlu terlalu khawatir, karena kakeknya
adalah Elang salju yang ilmunya tinggi. justru karena pikiran itulah,
dia sekarang menyesal seumur hidup. Dan saat ini, pembunuh itu
telah melarikan diri Pasti Toa Tek To Hun! Pasti dia! Orang lain tentu
tidak sanggup membunuh kakeknya.
Chow Ai Giok berlutut di samping jenazah kakeknya terpaku.
Bagaimana kalau orang itu bukan Toa Tek To Hun" Bukankah akhirakhir
ini telah terjadi serentetan pembunuhan" Dan semua itu bukan
hasil karya Toa Tek To Hun.
Bila benar kejadiannya seperti itu, berarti masa pembunuhan Toa
Tek To Hun sudah berlalu. Lantas siapa orang yang satu ini"
sayangnya dia tadi duduk membelakangi orang berpakaian hitam itu,
sehingga dia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan sinar
matanya, namun kalau saja dia melihat dengan jelas, apakah orang
itu akan membiarkannya hidup sampai sekarang"
Elang salju mati dalam satu setengah jurus, Bagaimana kalau
berita ini tersebar di luaran" Reaksi apa yang akan timbul" Biarpun
orang itu adalah Toa Tek To Hun, Chow Ai Giok tetap mengharapkan
kakeknya bisa bertahan sebanyak tiga puluh jurus. Tapi apa bedanya
kalau kakeknya tetap mati.
Mulai sekarang dia akan hidup seorang diri. Dihapusnya airmata
yang membasahi pipi, Tinjunya dikepalkan.
"Aku harus membalaskan dendam Yaya!" sumpahnya, Dia
menatap langit, Dia berdoa dalam hati. Tangisnya semakin pilu, Dia
meraung dengan suara keras.
"Toa Tek To Hun! Dengan cara apa pun aku harus membasmi
dirimu!" Tiba-tiba, sebuah suara yang dingin terdengar bertanya
kepadanya. "Apakah Toa Tek To Hun ada di sini tadi?"
Chow Ai Giok membalikkan tubuh, Lagi-lagi seorang laki-laki
berambut panjang. Berpakaian hitam dan mengenakan topeng.
Orang itu berdiri kira-kira tiga depa di be-lakangnya, Kalau
manusia berpakaian hitam ini bermaksud buruk, tentunya Chow Ai
Giok telah tergeletak tanpa nyawa.
Tadinya gadis itu marah sekali, Dia mengira pembunuh kakeknya
datang kembali, setelah diperhatikan dengan seksama, dia yakin
yang ini bukan manusia bertopeng tadi.
Tubuhnya tinggi besar, punggungnya lurus, dari tangan yang
tersembul dan bagian leher, Chow Ai Giok mengira-ngira. Usia orang
ini tidak mungkin lebih dari empat-puluh. sedangkan pembunuh tadi,
punggungnya agak bungkuk, tubuhnya kurus.
Dia mengingat-ngingat kejadian sebelumnya. Rasanya tangan
pembunuh tadi sempat terlihat olehnya. Tangan yang kasar dan
berkeriput Hal ini membuktikan bahwa orang tadi usianya jauh lebih
tua dari yang satu ini. Manusia bertopeng yang ada di hadapannya sekarang, Chow Ai
Giok pernah bertemu satu kali, Yaitu pada waktu dia bertarung
sengit dengan Bwe Mei. Orang ini muncul dan membuat gadis itu
melarikan diri, Chow Ai Giok percaya, orang yang satu ini masih
kalah lihai dengan yang tadi.
Dia yakin, biar pun orang ini berilmu tinggi, namun dalam sepuluh
jurus saja belum tentu bisa membunuh kakeknya.
"Siapa kau?" tanya Chow Ai Giok dengan nada berat.
"Siapa yang membunuh kakekmu?" Orang itu balik bertanya.
"Toa Tek To Hun!" sahut Chow Ai Giok.
Manusia bertopeng itu tampaknya terpana.
"Apakah kau pernah bertemu dengan Toa Tek To Hun?" tanyanya
kembali. "Pernah atau tidak, apa urusanya denganmu?" bentak Chow Ai
Giok kesal. "Toa Tek To Hun menggunakan sebatang pedang kutung." kata si
manusia bertopeng. "Mengapa dia harus menggunakan pedang kutung?" tanya Chow
Ai Giok heran. "Kalau tidak menggunakan pedang kutung, berarti orang itu
bukan Toa Tek To Hun!" sahut manusia bertopeng itu kembali.
"Mengapa?" tanya Chow Ai Giok.
"Setelah membunuh Tang hay sin sian, Toa Tek To Hun
mematahkan pedangnya sendiri, Dia bersumpah sejak itu tidak akan
membunuh pendekar Tionggoan lagi!" kata manusia bertopeng itu
menjelaskan. Chow Ai Giok sekarang yakin bahwa pembunuh kakeknya bukan
Toa Tek To Hun. Bukan saja pedang orang itu tidak kutung, lagipula
usianya tidak mungkin di bawah empat puluh tahun, Namun, biar
bagaimana pun dia tidak dapat mengatakan" bahwa pembunuh
kakeknya bukan Toa Tek To Hun.
Sebab bila kejadian ini tersebar di luaran, nama besar Elang salju
akan kandas seketika, Kalau mati di tangan Toa Tek To Hun,
seharusnya masih bisa dimaklumi Bukankan Tanghay sin sian yang
dikatakan manusia setengah dewa saja mati di bawah pedang orang
tersebut..." sedangkan di kening Fang Tiong Seng saja masih ada
kenang-kenangan yang ditinggalkan olehnya!
"Orang itu adalah Toa Tek To Hun!" kata Chow Ai Giok kemudian.
Orang yang mati pun memerlukan nama baik, Apalagi kakeknya
adalah Elang salju, Mungkin ada satu hal lagi yang penting, Mati di
tangan orang asing tidak menanggung malu, tapi mati di tangan
sesama pendekar Tionggoan terasa mengenaskan.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau orang itu pasti Toa Tek To Hun?"
tanya manusia bertopeng itu.
"Karena dia membawa pedang kutung." sahut Chow Ai Giok,
"Berapa jurus yang digunakannya untuk membunuh kakekmu?"
tanya manusia bertopeng itu kembali.
"Tiga belas jurus!" sahut Chow Ai Giok.
Manusia bertopeng itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Toa Tek palsu!" katanya.
"Tidak... Yang asli!" sahut Chow Ai Giok berkeras kepala.
"Pasti palsu!" sahut manusia bertopeng itu tak kurang yakinnya.
"Mengapa kau begitu pasti kalau Toa Tek To Hun ini palsu?" tanya
Chow Ai Giok kesal. "Karena Toa Tek To Hun tidak pernah menyerang lebih dari satu


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kali, Bila lawannya tidak mati, dia pasti akan meninggalkannya
begitu saja, Fang Tiong Seng adalah bukti nyata," kata manusia
bertopeng itu. "Mungkin saja kebiasaannya sudah dirubah," sahut Chow Ai Giok
berkeras konyol. "Apa yang disebut kebiasaan adalah sesuatu yang tidak mungkin
dirubah," kata manusia bertopeng itu sambil tertawa dingin.
"Apa pun di dunia ini bisa berubah setiap saat Coba aku bertanya
pada mu. Apakah setiap hari dulunya kau juga mengenakan
topeng?" Chow Ai Giok memang banyak akal.
"Ini..." "Kalau dulu tidak pernah mengenakan topeng, mengapa sekarang
justru mengenakan?" tanya Chow Ai Giok setengah mendesak.
"Kenyataan memaksa aku berbuat demikian," sahut manusia
bertopeng itu akhirnya. "Apa yang dimaksudkan dengan kenyataan yang memaksakan"
Orang yang tidak pernah mengenakan topeng, tentu selamanya juga
tidak perlu mengenakannya, Ternyata kau sekarang
mengenakannya, ini berarti bahwa kebiasaanmu telah berubah!"
sahut Chow Ai Giok ketus.
Manusia bertopeng itu mengangkat bahunya.
"Apakah kau melihat dengan mata kepala sendiri ketika Toa Tek
To Hun membunuh kakekmu?" tanyanya.
"Tidak salah!" sahut Chow Ai Giok.
"Jurus yang digunakannya berjumlah tiga belas?" tanya manusia
bertopeng itu kembali. Tampaknya dia masih kurang yakin.
"Benar!" sahut gadis itu.
"Biarpun jumlahnya kurang separuh, dalam tujuh jurus dapat
membunuh kakekmu juga sudah terhitung lumayan," kata manusia
bertopeng itu. "Apanya yang lumayan?" Tiga belas jurus. Sedikit pun tidak
kurang!" sahut Chow Ai Giok.
"Karena di tubuh Chow Sek Ki terdapat banyak luka, Hal ini
membuktikan bahwa pembunuh itu bukan Toa Tek To Hun, tapi
orang lain," kata manusia bertopeng.
"Tidak! Dia adalah Toa Tek To Hun! Dia memerlukan jurus yang
banyak karena lawannya adalah Elang saiju!" sahut Chow Ai Giok
dengan nada ketus. Manusia bertopeng itu memperhatikan bekas luka di tubuh Cho
Sek Ki dengan seksama, Dia tertawa-tawa tapi tidak sepatah kata
pun diucapkannya sebagai bantahan, Dia adalah seorang ahli silat,
Dia dapat melihat bekas luka di tubuh Chow Sek Ki bukan
menggunakan pedang kutung, tapi pedang yang masih utuh. Bekas
luka yang ditinggalkan oleh pedang kutung dan pedang utuh tentu
berlainan. "Baiklah! Kita tidak usah mendebatkan pepesan kosong ini. Kalau
kau berniat membalas dendam, hanya aku yang dapat
membantumu!" kata manusia bertopeng itu.
"Apakah kau benar-benar sanggup membantuku?" tanya Chow Ai
Giok kurang yakin. "Apakah kau mengira aku tidak sanggup?" Manusia bertopeng itu
memandang Chow Ai Giok dengan tajam.
"Kakekku saja tidak sanggup melawannya. Aku rasa hanya sedikit
orang yang sanggup!" kata Chow Ai Giok sambil menarik nafas
panjang. "Kalau aku memang tidak sanggup, apakah aku masih fcisa hidup
sampai hari ini?" tanya manusia bertopeng itu.
"Kalau ilmumu memang demikian tinggi, mengapa kau harus
menutup wajahmu?" Chow Ai Giok ingin keyakinan.
"Kakekmu sendiri seorang jago kelas tinggi, Mengapa dia harus
mengubah nama menjadi Peng Chow Ceng?" tanya manusia
bertopeng itu lagi. Wajah gadis itu merah padam. Melihat itu, manusia bertopeng
jadi tertawa terbahak-bahak. Dia merasa menang dalam perdebatan
tersebut. Tentu saja Chow Ai Giok tahu alasan kakeknya mengganti
nama. Dulu mereka pura-pura menyamar menjadi pengawal barang
rahasia, Tampang kakeknya dibuat ketolol-tololan. Semua itu tentu
untuk menghindarkan diri dari ancaman kematian.
Badai besar yang ditimbulkan oleh Toa Tek To Hun begitu dahsyat
Setiap insan yang mempunyai nama besar di Bulim, mau tidak mau
harus menyembunyikan identitasnya agar selamat dari incaran
manusia Fu sang itu. Tidak ada seorang pun yang berani menyombongkan diri sebagai
pendekar kelas satu, Orang yang namanya makin terkenal malah
menyamar sebagai Bubeng siau cut. Tapi mati pun, Chow Ai Giok
menyangkal kakeknya adalah seorang pengecut yang takut mati.
"Yaya mengganti nama karena mengawal sebuah barang rahasia!"
teriak Chow Ai Giok. "Chow kouwnio.... ikut aku!" kata manusia bertopeng itu tiba-tiba.
"Mengapa?" "Karena hanya aku yang dapat melindungimu dan membalaskan
dendam kakekmu!" sahut manusia bertopeng itu.
"Tidak perlu!" "Kau harus ikut denganku!"
"Mengapa?" tanya Chow Ai Giok kurang senang.
"Karena kau sudah tahu identitasku!" sahut manusia bertopeng
itu. Dia teringat hari itu Bwe Mei pernah menyebutkan namanya di
depan gadis ini. Pasti dia tidak begitu bodoh atau pikun sehingga
melupakannya. "Kau ingin menggunakan kekerasan?" bentak Chow Ai Giok.
"Untuk kebahagiaanmu, Menggunakan kekerasan pun harus aku
lakukan," sahut manusia bertopeng .
"Kalau kau memaksakan keinginanmu, aku akan bunuh diri!" kata
Chow Ai Giok. "Bila kau sampai melakukannya, hal ini menandakan
kebodohanmu!" sahut manusia bertopeng itu.
"Kalau kau pintar, seharusnya sudah boleh pergi sejak tadi," kata
Chow Ai Giok sambil mencibirkan bibirnya.
"Angkatlah jenazah kakekmu, kemudian ikut aku!" perintah si
manusia bertopeng. "Tidak!" teriak Chow Ai Giok.
Tiba-tiba manusia bertopeng itu menyerbu ke arahnya, Chow Ai
Giok tahu dirinya tidak sempat menghunuskan pedangnya lagi.
Namun dia masih yakin dengan pukulan tangan kosongnya, Dia
mengira bila dirinya dapat bertahan sebanyak sepuluh jurus, pasti
ada kesempatan untuk kabur.
Tapi dalam satu jurus saja, dirinya sudah tertotok, Sekejap
kemudian, dia mendapatkan dirinya sudah berada dalam pelukan
manusia bertopeng itu. Dia ingin mati, namun teringat akan dendam
sang kakek yang belum terbalas, Dia memang belum mati. Baginya
kematian adalah hal yang sulit.
Mendung memenuhi langit. Chow Ai Giok berdiri di depan kuburan kakeknya, Air matanya
bercucuran. Kepalanya ditengadahkan ke atas. Dia berdoa dalam
hati. Dengan cara apa pun, aku harus membalas dendam bagi Yaya.
Manusia bertopeng berjongkok di samping membakar kertas
sembahyang, sekarang topengnya sudah dilepas, Chow Ai Giok tidak
begitu sebal melihatnya. Namun hatinya masih belum tahu siapa
sebetulnya orang ini. Kalau membandingkan Sun Put Ce dengan laki-laki ini, tentu saja
Sun Put Ce tidak dapat menandingi ketampanannya. Namun...
manusia seperti Sun Put Ce memang aneh, Makin dipandang, makin
menawan. Makin diperhatikan makin menarik, Makin dinilai makin
terasa adanya jiwa seorang laki-laki sejati.
Di dunia ini memang sudah jarang ada laki-laki yang sejati, Chow
Ai Giok menghela nafas. Akhimya laki-laki yang sebelumnya
mengenakan topeng itu mengajaknya menyembah sebanyak tiga
kali, Tindakannya membuat Chow Ai Giok terharu. Orang yang
menghormati kakeknya sama dengan menghormati dirinya juga.
Akhirnya dia memang menepati kata-katanya sendiri, Dengan cara
apa pun dia tetap ingin membalaskan dendam bagi kakeknya.
Cara apa pun ditempuh... dia menepatinya. Karena laki-laki itu
memang hanya ingin dia mengikutinya dengan satu cara. Dia
berbagi tempat tidur dengan laki-laki tersebut, Hubungan mereka
sudah amat akrab. Laki-laki itu mengaku bernama Pa lun. Berasal
dari wilayah Barat. Oleh karena itu, namanya tidak dikenal oleh
orang Tionggoan. Laki-laki itu juga meyakinkan bahwa dirinya
sanggup membunuh Toa Tek To Hun, Hujan badai kehidupan
manusia sudah berlalu, Dia laksana sekuntum bunga yang baru saja
tertimpa badai. Demi Yaya, dia merasa harus berkorban.
"Pa lun.... Mungkin Yaya bukan dibunuh oleh Toa Tek To Hun...."
kata Chow Ai Giok berterus terang, Bagaimana laki-laki itu harus
membalaskan dendamnya kalau si pembunuh siapa orangnya masih
belum ketahuan. "Bukan?" tanya laki-laki itu.
Chow Ai Giok menggelengkan kepalanya.
"Bukankah kau mengatakan bahwa orang itu berambut panjang,
mengenakan pakaian hitam dan menggenggam sebuah pedang
kutung?" tanya laki-laki itu kembali.
"Memang berambut panjang dan berpakaian hitam, tapi
pedangnya tidak kutung," sahut gadis itu.
"Senjatanya adalah pedang panjang?" tanya laki-laki tersebut.
"Betul!" sahut Chow Ai Giok.
Laki-laki itu merenung sejenak.
"Berapakah usianya menurut perkiraanmu?" tanyanya kembali.
"Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak berhadapan
dengannya," sahut Chow Ai Giok.
"Apakah kau tidak melihat ciri-cirinya yang lain?" tanya Pa lun.
"Ada, Tangannya berkeriput. Lagipula tampak bintik-bintik coklat
seperti ketuaan. Badannya kurus sekali!" sahut Chow Ai Giok.
Wajah Palun berubah hebat.
"Papan gilasan!" serunya.
"Papan gilasan" Apa artinya?" tanya Chow Ai Giok kebingungan
"Maksudku... mungkin orang yang membunuhnya adalah
seseorang yang mempunyai bentuk tubuh seperti sebuah papan
gilasan!" sahut Palun menutupi hal yang sebenarnya.
"Siapa orang itu?" tanya Chow Ai Giok penasaran.
"Biar kuselidiki dulu sampai jelas, Kelak akan kuberitahukan
kepadamu," sahut Pa-Iun. Laki-laki itu lalu turun dari tempat tidur
dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa. Sebelum dan
sesudah melakukan hubungan tentu lain ceritanya. Ada orang yang
mengatakan bahwa kebanyakan laki-laki seperti itu. Tapi Chow Ai
Giok tidak mengerti. "Pa lun.... Apakah kau akan pergi?" ta-nyanya.
"Betul!" sahut laki-laki itu.
"Seharusnya kau lebih sering menemaniku," kata Chow Ai Giok.
"Aku mempunyai banyak urusan penting, Tidak dapat
menemanimu sepanjang hari." Kata-kata ini memang sebenarnya,
namun tidak enak di dengar.
"Pa lun.... Apakah kau memang tidak bisa membalaskan dendam
Yaya?" tanya Chow Ai Giok dengan hati pilu.
"Aku tidak dapat memastikan, tapi aku akan berusaha sekuat
tenaga," sahut Palun, jawabannya makin lama makin tidak sopan
perasaan Chow Ai Giok makin tersayat.
"Pa lun.... Kau tahu perasaanku sedang sedih, Mestinya kau agak
lembut sedikit," katanya.
Laki-laki itu mendengus sekali.
"Aku sudah cukup lembut Kalau kau menganggap masih kurang
juga, silahkan mencari laki-laki lain!" bentaknya dengan suara keras.
Wajah Chow Ai Giok berubah hebat.
"Pa lun.... Apakah ucapan ini bagi seorang manusia?" serunya.
"Kau memang tidak usah menganggapku sebagai seorang
manusia!" sahut laki-laki itu sinis.
"Apa yang kau katakan?" teriak Chow Ai Giok marah.
"Terhadap perempuan yang lain, aku mungkin masih mempunyai
selera sebanyak dua atau tiga kali. Tapi terhadap perempuan seperti
dirimu, aku hanya ingin mencoba satu kali saja!" sahut Palun
mengejek. Chow Ai Giok bagai sebuah bom yang siap meledak kapan saja,
Laki-laki ini memang bukan manusia! Biarpun dia memilih dengan
mata tertutup, rasanya nasibnya tidak akan begitu sial bertemu
dengan laki-laki seperti ini.
Apakah ini merupakan hukum karma baginya" Chow Ai Giok
meng-hempaskan diri di tempat tidur Dia tidak ingat lagi rasa sakit di
bagian bawah perutnya. Dia hanya dapat meratapi nasibnya yang
malang! Seandainya dia tidak terburu nafsu untuk mempercayai laki-laki
ini, tentu dirinya juga tidak akan terhina seperti sekarang.
Chow Ai Giok menatap laki-laki itu dengan sorot mata penuh
kebencian Dia juga membenci dirinya sendiri.
Apakah di dunia ini ada perempuan yang lebih rendah dari
dirinya" Apakah ada perempuan lain yang mudah menyerahkan
kesuciannya hanya karena beberapa patah kata manis dan janji
muluk seorang laki-laki"
Sekarang dia baru sadar, laki-laki ini memang hanya pantas
disebut binatang Bahkan binatang yang paling nista, Benci apa
gunanya" semuanya toh tidak mungkin kembali lagi.
Pada saat itu, dia telah belajar sesuatu yang berharga, Dia harus
"sabar", Dia harus membalaskan dendam bagi kakeknya, Dia juga
ingin membayar kembali perbuatan laki-laki ini.
"Pa lun.... Kau hendak kemana?" tanyanya lembut.
"Apakah kau ingin mengatur diriku?" tanya laki-laki itu kembali
dengan nada ketus. "Paling tidak, kau boleh memberitahukan kepadaku bila kau masih
ingin kembali," kata Chow Ai Giok dengan sebuah senyum terpaksa.
Tiba-tiba Palun tertawa terbahak-bahak, Suaranya mengandung
nada kebanggaan terhadap dirinya sendiri, Chow Ai Giok sadar
sekali. Laki-laki ini telah mempermainkannya, Dirinya masih
dibiarkan hidup termasuk sebuah keberuntungan. Suara tawanya
belum sirap, orangnya sudah melangkah keluar.
"Namamu pasti bukan Palun," kata Chow Ai Giok lirih, Laki-laki itu
tidak menyahut Namun yakin Palun mendengar ucapannya.
Di tengah ruangan keluarga Fang. Meja perabuan penuh dengan
bunga-bunga dan buah-buahan. Dua lilin putih menghias di bagian
kiri dan kanan, Di bagian tengah ada gambar wajah Tang hay sin
sian. Di depan gambar ada sebuah papan nama, Di dalam ruangan
terlihat Fang Tiong Seng, Siau kiong cu, Sun Put Ce, Mo Put Chi,
Kwe Po Giok, dayang Cui thian dan beberapa pelayan.
Kwe Po Giok, Siau kiong cu, dan dayang Cui thian mengenakan
pakaian berkabung, Semuanya mengalirkan airmata, Tiba-tiba Siau
kiong cu membalikkan tubuh dan berlutut di hadapan Kwe Po Giok.
"Seumur hidupku, aku belum pernah berlutut di hadapan orang
lain, Tetapi hari ini aku harus memberi hormat dengan menyembah
kepada Fang taihiap, tentunya atas jerih payah karena telah
mengurus jenazah ayahku dengan baik," katanya.
Tradisi memang demikian Siapa bilang Siau kiong cu tidak
mengerti kehormatan" Memang dia belum pernah menyembah
kepada orang lain dalam seumur hidupnya, Fang Tiong Seng


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghela nafas panjang. "Toa Tek To Hun telah meninggalkan Tionggoan atas permintaan
ayahmu, Kematiannya membawa manfaat besar bagi Bu-lim.
Sayangnya, aku tidak cukup dapat diandalkan. Dendam ayahmu
belum bisa terbalas. Sekarang, aku hanya dapat berbuat sedikit kebaikan dalam
menangani para jago yang telah meninggal demi bangsa dan
negaranya," kata laki-laki itu.
Kecuali Sun Put Ce dan Kwe Po Giok berdua, wajah semua orang
berubah, Kalau kenyataan ilmunya tidak bisa menandingi musuh,
apa boleh buat" Dapat mengorbankan diri bagi kepentingan kaum
Bulim, Fang Tiong Seng sudah dianggap hebat.
-ooo0ooo- Di sebuah villa, Malam hari. Asap yang keluar dari pipa cangklong
menambah romantisnya suasana. Dua orang manusia duduk
berhadapan. Tubuh bagian atas teIanjang, Dua cawan terletak di
hadapan masing-masing. Seorang masih terhitung muda. Yang satunya lagi sudah terhitung
tua. Udara di dalam kamar panas membara, Bagaikan sebuah
ruangan kecil yang berisi dua puluhan orang, Bagian atas tubuh
perempuan itu tetap tersampir sehelai selendang yang tidak terikat.
Kulitnya putih halus. Matanya sayu, seperti selembar undangan bagi
yang laki-laki. "Bukankah Toa Tek To Hun sudah pergi" Mengapa Elang salju
bisa mati dalam keadaan yang berbeda dengan korbannya yang
lain?" tanya perempuan itu.
"Siapa yang bisa membuktikan kepergiannya?" sahut laki-laki
bertubuh papan gilasan itu.
"Benar juga." "Kita masih belum tahu kebenarannya," kata si papan gilasan.
"Kalau kau sempat bertarung lagi dengan Toa Tek To Hun, berapa
besar keyakinanmu untuk meraih kemenangan?" tanya sang
perempuan. Si papan gilasan tertawa keras. Nadanya mengandung
keangkuhan. "Aku tahu kau pasti yakin dengan dirimu sendiri," kata si
perempuan itu. Si papan gilasan menggelengkan kepala, perempuan yang
sepintar dirinya tidak banyak, namun terkadang dia merasa masih
belum memahami isi hati laki-laki itu sepenuhnya.
"Mengapa kau menggelengkan kepalamu?" tanyanya.
"Karena tidak ada satu orang pun yang dapat mengalahkan Toa
Tek To Hun," sahut si papan gilasan.
"Kau juga tidak sanggup?" tanya perempuan itu dengan nada
kurang percaya. "Tentu!" sahutnya. "Lalu.... Mengapa kau tertawa tadi?" Bibir
perempuan itu cemberut, membuat papan gilasan itu bertambah
senang. "Sebab pertanyaanmu lucu sekali, bukankah kau menanyakan
berapa besar keyakinanku?" sahutnya.
"Ternyata kau juga belum ada kesanggupan," kata perempuan itu
sambil menarik nafas. perempuan itu tampaknya sedikit kecewa, Si
papan gilasan justru ingin melihat mimik kekecewaannya. Namun dia
tetap melayani laki-laki itu dengan penuh gairah. Asalkan
menghadapi seorang laki-laki dengan penuh gairah, maka kau pasti
akan menjadi kesayangannya.
Malam semakin larut. Gelora cinta telah berlalu. Perempuan itu
menghapus keringat yang membasahi keningnya.
"Bagaimana kalau Toa Tek To Hun tidak jadi meninggalkan
Tionggoan?" tanyanya.
"Pasti ada orang yang akan mengusirnya." kata si papan gilasan
sambil turun dari tempat tidur dan mengenakan pakaian.
"Siapa yang sanggup mengusirnya?"
"Semestinya seorang tokoh yang di luar dugaan siapa pun."
Dia tidak bertanya lagi, Dia tahu, banyak bertanya pun tiada
gunanya. "Kau tidur saja di sini, Aku harus pulang dulu," kata si papan
gilasan. Perempuan itu menganggukkan kepalanya berulang kali, begitu
laki-iaki bertubuh papan gilasan itu pergi, dia segera turun dari
tempat tidur dan mengganti pakaiannya. Tidak lama kemudian,
tampak dia juga meninggalkan tempat tersebut.
-ooo0ooo- Si papan gilasan berjalan melewati lorong panjang yang sepi.
sembilan di antara sepuluh rumah yang ada di tempat itu tertutup
pintunya, Hanya lampu penerangan penjual susu kacang yang masih
bersinar. Ada beberapa orang yang sedang menikmati minuman
hangat tersebut. Dengan langkah yakin si papan gilasan masuk ke dalam, Sinar
matanya terpaku kepada seorang perempuan berusia tiga puluhan
perempuan yang cantik menawan, Perempuan itu juga sedang
memandang kearahnya, namun dia langsung menundukkan
wajahnya, Si papan gilasan mempunyai perasaan, "asalkan masih hidup, di
mana pun dapat bertemu". Dunia memang luas, tetapi terkadang
bisa menciut sehingga untuk berjalan saja seolah akan bertabrakan
dengan hidung sendiri, Dia duduk di hadapan perempuan itu.
"Lian lian... sudah lama tidak bertemu, Bagaimana kabarmu?"
tanyanya dengan suara lembut.
"Lumayan," jawab Lian lian acuh tak acuh.
"Dulu akulah yang menyia-nyiakan dirimu," kata si papan gilasan.
"Mungkin takdir yang telah menentukan," sahut Lian lian kembali.
"Tidak! Aku pulang terburu-buru. Tidak sempat berpamit lagi
denganmu. Aih! Siapa sangka sekali berpisah lebih dari sepuluh
tahun." kata si papan gilasan sambil menarik nafas panjang. .
"Meskipun saat itu aku sangat kesal, tapi akhirnya aku dapat
berpikir dengan hati-lapang," sahut Lian lian.
"Aku benar-benar tidak dapat menandingimu. Lian lian,., aku tidak
menyangka kau akan datang ke Tionggoan, Mengapa tidak
membiarkan aku menunjukkan rasa persahabatan sebagai tuan
rumah yang baik?" tanya laki-laki tersebut Tampaknya dia dibuat
terpesona oleh perempuan itu.
"Masa lalu seperti gumpalan asap, buat apa dikenang kembali?"
sahut Lian lian. "Orang-orang kebanyakan sedang menyembunyikan diri, kau
malah datang ke daerah ini," kata si papan gilasan.
"Aku pernah mendengar bahwa Toa Tek To Hun juga tidak
melepaskan dirimu," ujar perempuan itu.
Si papan gilasan menunjuk bekas luka di keningnya. Dia menarik
nafas panjang. "Orang yang berhasil lolos dari serangan Toa Tek To Hun, hanya
engkau seorang," kata Lian lian selanjutnya.
"Mungkin merupakan sebuah hinaan bagiku."
"Tidak, Tiong Seng! Setiap orang juga berharap selamat, hanya
saja nasib mereka tidak sebaik dirimu," sahut Lian lian.
Laki-laki yang dipanggil si papan gilasan adalah Fang Tiong Seng.
Dari bentuk tubuhnya yang kurus sudah dapat diterka, perempuan
yang bermesraan dengannya tadi di ruang bawah tanah sebuah villa,
tentu saja dayang Cui thian.
Fang Tiong Seng sudah banyak mendengar ucapan seperti yang
dikatakan Lian lian barusan. Tapi, karena yang mengucapkannya
Lian lian, maka bagi Fang Tiong Seng, artinya jadi berbeda, Ternyata
Lian lian semakin menawan dibandingkan dulu. Benar-benar di luar
dugaannya. Jika dulu ia merenungkan baik-baik, tidak mungkin dia pergi tanpa
pamit, sekarang dia merasa agak menyesal karena dulu telah
menyia-nyiakannya. Namun, pertemuannya kembali dengan Lian lian
jauh lebih baik daripada yang terbayangkan olehnya, Semua seperti
telah direncanakan dengan matang.
Kalau dibandingkan dengan perempuan yang bermesraan
dengannya tadi, dia merasa hanya sekedar penghibur hati saja.
Kecantikannya jauh di bawah lian lian. Boleh juga dibilang bahwa
Lian lian Iebih feminin. "A lian... aku masih bujangan," kata Fang Tiong Seng dengan
suara lirih. Bujangan hanya menunjukkan bahwa dia belum pernah secara
resmi mengawini seorang perempuan, namun tidak membuktikan
bahwa dia tidak pernah berhubungan dengan wanita.
Lian lian tersenyum-senyum. Cara senyumnya membuat Fang
Tiong Seng kurang tenang. Karena pengalamannya luas sekali,
senyum apa pun dapat dilihat olehnya dalam arti makna senyum itu
sendiri. "Tidak pernah ada perempuan dalam hidupmu?" tanya Lian lian
sambil lalu. "Perempuan...?"
"Betul!" "Perempuan apa yang kau maksudkan?" tanya Fang Tiong Seng. .
"Tentu saja perempuan yang mendekati dirimu atau perempuan
yang didekati olehmu" sahut Lian lian.
Jilid: 11 Fang Tiong Seng merasa serba salah, kalau dia tidak mengakui,
kemungkinan besar malah akan menerima reaksi yang kurang
menyenangkan. Dia menarik nafas panjang. Dia merasa bila menarik
nafas pada saat mendesak adalah sebuah siasat untuk berdusta.
"Apakah aku salah bicara?" tanya Lian lian santai.
"Tidak... aku memang berhubungan dengan seorang perempuan,"
kata Fang Tiong Seng dengan wajah tertekan penampilannya saat ini
dengan penampilannya ketika di ruangan bawah tanah tadi, berbeda
sekali. Bagaikan dua orang lain saja, "Seorang perempuan yang rela
menjual nyawanya demi diriku, Dia patut dikasihani Terhadapku dia
sangat setia," lanjutnya.
Wajah Lian lian seperti menahan tawa.
"Apakah sungguh-sungguh setia?" tanyanya.
"Maksudmu... dia tidak pantas setia terhadapku?"
"Pantas..." sahut Lian lian.
"Lalu.... Apanya yang salah?" tanya Fang Tiong Seng. Dia merasa
Lian lian menyembunyikan sesuatu darinya.
"Apakah kau merasa bahwa dia benar-benar begitu setia
terhadapmu?" kata perempuan itu dengan nada mengejek.
Alis Fang Tiong Seng berkerut.
"Apakah kau mengenalnya?" tanya laki-laki bertubuh kurus
tersebut. "Bukankah dia dayang Cui thian?" kata Lian lian sambil menunduk
dan menikmati susu kacangnya, Fang Tiong Seng terpana. Dia
merasa bersyukur mengaku dirinya memang mempunyai seorang
perempuan simpanan. Ternyata Lian lian selama ini menyelidiki
dirinya dengan seksama. "Betul! Dia adalah dayang Cui thian," sahutnya.
"Dia memang seorang perempuan yang penampilan luarnya
lumayan," kata Lian lian tersenyum manis.
"Apa maksudmu dengan penampilan luar" Apakah isi hatinya tidak
sama dengan yang terlihat dari luar?" tanya Fang Tiong Seng
penasaran. "Tampaknya aku tidak boleh memberitahukan hal ini kepadamu,"
sahut Lian lian. "Hal apa?" tanya Fang Tiong Seng.
"Aku harus pergi. Kadang-kadang banyak pertanyaan yang harus
kau cari sendiri jawabannya," kata Lian lian sambil bangun dari
kursinya. Fang Tiong Seng memegang tangannya, "A Iian... hari ini bisa
bertemu, berarti antara kita memang ada jodoh," katanya lirih.
"lni hanya kebetulan, Tidak ada hubungannya dengan jodoh!"
sahut Lian lian. "Tidak... aku ingin sekali mendengar hal yang tadi kau katakan,"
kata Fang Tiong Seng dengan mata memohon, Alis mata Lian lian
berkerut. "Aku benar-benar menyesal," sahutnya.
"Menyesal karena apa?" tanya Fang Tiong Seng.
"Karena telah kelepasan bicara, padahal urusan ini tidak ada
gunanya dengan diriku," sahut Lian lian sambil menghela nafas.
"Kau salah kalau berkata seperti itu. Memandang kebaikan kita
pada masa dulu, kau malah harus memberitahukannya kepadaku,"
kata Fang Tiong Seng. "Dia bergendakan dengan laki-laki lain," sahut Lian lian dengan
nada terpaksa. "Siapa?" tanya Fang Tiong Seng hampir tidak percaya, Karena
dayang Cui thian adalah sebuah biji catur penting yang di
tempatkannya di samping Tang hai sin sian. Selama beberapa tahun
ini dia sangat setia terhadapnya. Sebelumnya, dia tidak pernah
mencurigai dayang Cui thian. Namun... ada beberapa hal yang dia
sendiri tutupi dari perempuan itu.
"Akhir-akhir ini ada seseorang yang menyamar sebagai Toa Tek
To Hun. Apakah kau sudah pernah mendengar berita ini?" tanya Lian
lian. "Pernah...." sahut Fang Tiong Seng.
"Dialah laki-laki itu," kata Lian lian.
"Siapa dia?" tanya Fang Tiong Seng terperanjat.
"Cap sa tai po Kiau Bu Suang," sahut Lian lian sepatah demi
sepatah. Fang Tiong Seng termangu-mangu, Namun dia percaya penuh.
Hanya Kiau Bu Suang yang sanggup membunuh Bok lang kun dan
Hong Be. "Kalau begitu..." kata Fang Tiong Seng. "Berita tentang dirinya
yang Cao hue jit mo dan lumpuh total palsu?"
"Tentu.... Bila tidak, siapa yang dapat membunuh Elang salju?"
sahut Lian lian. "Dia juga?" Suaranya terdengar aneh ketika menanyakan hal ini.
Lian lian menganggukkan kepalanya.
Fang Tiong Seng tiba-tiba merasakan sungguh tidak enak
mengenakan topi hijau bak seorang laki-laki yang mengetahui
istrinya menyeleweng, Dia hampir tidak berani membayangkan
manusia seperti dirinya masih bisa mengenakan topi hijau.
Lian lian mungkin mengerti juga perasaannya, Laki-laki memang
selalu egois, Dia tidak suka mengenakan topi hijau, namun
perbuatan mereka sendiri di luaran entah menimbulkan berapa
banyak penderitaan bagi sang istri.
"Kau tidak percaya?" tanya Lian lian dengan suara datar.
"Sebelum menyaksikan dengan mata kepala sendiri, aku tidak
begitu mudah percayai sahut Fang Tiong Seng.
Lian lian menarik nafas panjang.
"Mengapa kau menarik nafas?" tanya Fang Tiong Seng tidak
mengerti. "Karena aku menganggap bahwa menjadi seorang manusia itu
tidak mudah. Menjadi manusia yang baik dan jujur lebih sulit lagi,"
sahut Lian lian. "Maksudmu...." "Aku hidup sampai usia di atas tiga puluh tahun, Baru kali ini aku
membeberkan keburukan orang lain," sahut Lian lian.
"A lian... bila kau tidak mengatakannya, apakah hatimu bisa
tenang?" tanya Fang Tiong Seng.


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kata-kata yang sudah terucapkan toh tidak mungkin bisa ditarik
kembali," sahut Lian lian.
"Kau harus membuktikannya kepadaku," kata Fang Tiong Seng.
"Tentu, Tapi kau juga harus berjanji, dalam keadaan apa pun, kau
tidak boleh mengatakan bahwa aku yang memberitahukan
kepadamu," sahut Lian lian.
"Aku menjamin dengan harga diriku!" kata Fang Tiong Seng.
Lian lian bangkit dari duduknya, Fang Tiong Seng juga mengikuti
perbuatannya, Dia belum pernah mendengar kata-kata orang,
Apalagi mengenai simpanannya. Namun sekarang, dia tidak mau
berpikir lebih jauh lagi, yang penting melihat dengan mata kepala
sendiri. Tapi ada satu hal yang membingungkannya. Dayang Cui thian
berada di vilanya. Apakah Kiau Bu Suang berani menemuinya di
tempat itu" Dia mengikuti Lian lian keluar dari kota tersebut, namun ketika
mendekati villa-nya, perempuan itu berganti arah, Fang Tiong Seng
akhirnya mengerti bahwa tempat pertemuan kedua orang itu bukan
di kandangnya sendiri. Setelah melewati lima enam li, mereka sampai di sebuah dusun
kecil. "Apakah kau ingin membunuhnya saat ini juga atau menyelidiki
dulu dengan sek-sama?" tanya Lian lian.
"Aku belum dapat memastikannya," sahut Fang Tiong Seng.
"Aku tidak ke sana, Kau pergi sendiri Tempatnya di belakang
taman itu. Rumah yang terbuat dari bambu," katanya.
Fang Tiong Seng yakin bahwa Lian lian tidak akan mendustainya,
Namun hubungan mereka dulu pernah mengalami kegoncangan,
Bagi perempuan tertentu, hal ini bisa menjadi alasan untuk
membalas dendam. Dengan ginkangnya yang tinggi, dia naik ke atas atap, seharusnya
tidak akan diketahui oleh penghuni rumah tersebut Di dalamnya
tidak ada penerangan Terdengar suara orang bercakap-cakap.
Bagi orang yang berpengalaman nada pembicaraan seperti itu,
pasti setelah mengadakan hubungan intim, Sisa nafas yang
tersengal-sengal masih ada.
"Si papan gilasan ada gerakan apa?" tanya yang laki-laki.
"Rasa curiganya sangat tebal, kita tidak boleh tergesa-gesa,"
sahut si perempuan. "Apakah dia yang membunuh Elang salju?" tanya laki-laki itu
kembali. "Delapan bagian. Coba kau pikir dengan seksama, Mengandalkan
ilmu silat para jago Bulim saat ini, selain engkau dan dia, siapa lagi
yang dapat membunuh Elang salju?" sahut perempuan itu.
"Betul!" kata laki-laki tersebut.
"Bukankah Elang salju mempunyai seorang cucu perempuan"
Mungkin dia tahu siapa yang membunuh kakeknya?" tanya
perempuan itu. "Kalau dia tahu, tidak mungkin dia dibiarkan hidup," kata laki-laki
tersebut. Fang Tiong Seng merasa darahnya naik ke atas kepala. Dia sudah
percaya kata-kata Lian lian sepenuhnya, Namuh dia tidak menyerbu
masuk ke rumah itu, Dia merasa terlalu enak bagi kedua orang itu
menerima kematian yang begitu mudah. Dia ingin sebuah cara yang
lain, Perlahan-lahan dia mundur dari tempat pengintaiannya, Dia
menganggukkan kepala pada Lian lian.
-ooo0ooo- Bagian Lima Belas Matahari bersinar dengan terik, Di daerah pegunungan juga tidak
terdengar kicauan burung. Kwe Po Giok di depan. Sun Put Ce di
belakang. Kedua orang itu melangkah di jalanan setapak daerah
pegunungan. Di dekat pohon yang lebat, Kwe Po Giok menghentikan
langkahnya. "Memang sudah waktunya beristirahat" kata Sun Put Ce.
Kwe Po Giok tidak menjawab. Dia memandang rekannya lekatlekat.
"Meskipun kita belum lama berkenalan, tapi hubungan kita cukup
akrab, Apalagi setelah mengalami suka duka bersama," Sun Put Ce
melanjutkan kata-katanya.
"Tidak salah, Oleh sebab itu, aku hanya ingin kau yang
mengantarkan kepergianku" sahut Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak menjawab.
"Sun Put Ce.... Aku sudah cukup mengerti jiwamu," kata Kwe Po
Giok selanjutnya. "Iya... aku tahu," sahut rekannya.
"Aku juga tahu bahwa Fang Tiong Seng yang meminta engkau
mengantarkan aku." kata Kwe Po Giok sambil tersenyum getir.
"Kau benar-benar tahu?" tanya Sun Put Ce dengan mata
terbelalak. "Tentu! Sejak usia tiga tahun, saya sudah mendapat sebutan
bocah ajaib!" sahut Kwe Po Giok.
Wajah Sun Put Ce berubah kelam.
"Ada baiknya juga kalau kau tahu, Akhir-nya kau toh akan tahu
juga," katanya dengan bibir gemetar.
"Fang Tiong Seng memerintahkan kau membunuh saya bukan?"
tanya Kwe Po Giok yang sebetulnya sudah yakin. Sun Put Ce
menganggukkan kepalanya, Air mata bercucuran membasahi pipi.
"Mengapa kau harus menangis?" tanya Kwe Po Giok.
"Perintar itu tidak boleh dibantah, Orang yang tak patut dibunuh
juga harus kubunuh, Hal ini adalah alasan yang tepat untuk
mengelurkan airmata. Engkau dan aku adalah teman sependeritaan
Bagaimana aku tidak berduka menerima kenyataan ini?" sahut Sun
Put Ce. "Mendengar ucapan ini, rasanya mati pun aku rela," sahut Kwe Po
Giok. "Siaute.... Maafkan aku!"
" Sejak semula aku sudah memaafkan dirimu.... Tahukah kau,
mengapa FangTiong Senjt menyuruh engkau membunuh aku?"
tanyai Kwe Po Giok. "Mungkin karena kau menyimpan beberapa rahasia." sahut Sun
Put Ce. "Rahasia apa?" tanya Kwe Po Giok dengan alis dikerutkan.
"Untuk apa kau menguji diriku" Bukan-kah sejak usia tiga tahun
kau sudah mendapat sebutan bocah ajaib?" sahut Sun Put Ce
dengan nada getir. "Kalau Fang Tiong Seng seorang penjahat, apakah kau tetap akan
melaksanakan perintahnya?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menganggukkan kepala dengan terpaksa.
"Bukankah berarti kau tidak membedakan lagi mana putih dan
mana hitam?" tanya Kwe Po Giok dengan mata menusuk.
"Dia adalah suhuku, apalagi dia mengasuhku sejak kecil," jawab
Sun Put Ce. "Hanya untuk membalas budi, kau rela berbuat kejahatan?" teriak
Kwe Po Giok dengan suara keras.
"Setia dan budi tidak dapat dipisahkan Harap siaute bersiap-siap."
sahut Sun Put Ce dengan nada sedih.
"Pulanglah segera!" kata Kwe Po Giok.
"Pulang?" "BetuI! Katakan bahwa aku tidak sanggup melawanmu kemudian
melarikan diri." kata Kwe Po Giok menyarankan.
"Dia tidak akan percaya." sahut Sun Put Ce sambil
menggelengkan kepala. "Mengapa kau selamanya tidak bisa ber-ubah" Selalu menurut
meskipun diinjak-injak!" bentak Kwe Po Giok sinis.
"Aku memang selalu begitu," sahut Sun Put Ce.
Tiba-tiba Kwe Po Giok menghunus pedangnya. Sun Put Ce juga
menghunus pedang panjangnya, Dia malah langsung menyerang,
serangannya mengandung jurus perguruan Tang hay sin sian. Sama
sekali tidak dapat dianggap enteng, Namun Sun Put Ce mengelakkan
diri dengan mudah. Sun Put Ce terpana sejenak.
"Bagus sekali!" serunya.
"Seranganmu luput Niatmu masih belum berhasil Mengapa kau
mengatakan bagus?" tanya Kwe Po Giok heran.
"Kewajiban tetap harus dilaksanakan Kalau tidak bisa
membunuhmu, bukankah malah lebih baik?" sahut Sun Put Ce.
"Kalau aku yang ingin membunuhmu?" tanya Kwe Po Giok dengan
nada sedih. "Kau ingin membunuhku?" Sun Put Ce tampak terpana.
"Kau anggap aku tidak sanggup?" tanya Kwe Po Giok ketus.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Bukan! sekarang aku percaya kau sudah memiliki kemampuan
itu," sahut Sun Put Ce.
"Tahukah kau mengapa aku ingin membunuhmu?" tanya Kwe Po
Giok kembali. "Karena aku ingin membunuhmu!" sahut Sun Put Ce tenang.
"Tidak salah! Bila aku tidak membunuhmu kau tetap akan
membunuhku," kata Kwe Po Giok dengan nada pilu.
"Bagaimana kalau aku tidak jadi membunuhmu?" tanya Sun Put
Ce. "Kau tidak mungkin membatalkan niat-mu!" sahut Kwe Po Giok.
"Kau memang pintar sekali. Aku sudah mendapat perintah suhu.
Apa pun tidak dapat merubah keputusanku," kata Sun Put Ce.
"Bagaimana kalau aku tidak membalas?" tanya Kwe Po Giok.
"Sama juga!" kata Sun Put Ce.
Tiba-tiba pedangnya berkelebat itulah salah satu dari tiga belas
jurus andalan Fang Tiong Seng, Tiga belas jurus sayap bangau!
Kwe Po Giok mundur dua langkah. Tam-paknya bukan tidak
sanggup melawan, Sun Put Ce menyerang beberapa kali berturutturut.
Untuk melaksanakan perintah suhu, dia terpaksa menahan
kepiluan di dada. Meskipun berat, dia tetap harus melaksanakan kewajibannya. Kwe
Po Giok mundur terus. Tangannya memutar pedang untuk
menangkis serangan lawannya, Bila diperhatikan dengan seksama,
jurus yang digunakannya mirip orang yang sedang merangkai
bunga. Merangkai bunga banyak jenisnya, Setiap jenisnya menunjukkan
pandangan yang berbeda-beda. Seperti ilmu pedang atau ilmu golok
dari berbagai aliran yang tidak sama. Gerakan yang berbeda juga
menimbulkan kekuatan yang berbeda pula.
Ingatan Kwe Po Giok sangat tajam, Setiap perubahan yang
dilihatnya akan teringat selamanya, Gerakannya bagai bunga-bunga
yang bermekaran di musim semi, Sun Put Ce berteriak nyaring, Dia
mengeluarkan sebuah jurus ampuh dari ajaran Fang Tiong Seng,
namun Kwe Po Giok berhasil memecahkannya. Dia sendiri agak
terkejut melihat kenyataan tersebut.
Kekuatan apa yang membuat dirinya maju sepesat ini" Rangkaian
bunga benar-benar bisa digunakan untuk melawan ilmu pedang"
Rasanya tidak masuk akal, Hal ini memang perlu dimaklumi
Meskipun dia sudah banyak belajar. Tapi selama ini dia boleh
dibilang tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan ilmunya.
Tiba-tiba Kwe Po Giok melesat ke udara. Tubuhnya memutar
seperti sebuah kitiran angin. Ketika turun, tubuhnya meluncur,
Tangan yang tergenggam di tangan terulur lurus, Mengarah
tenggorokan Sun Put Ce....
Sebetulnya Sun Put Ce juga sempat melihat Siau kiong cu
merangkai bunga ketika berada di atas kapal Tang hai sin sian, Dia
juga sempat belajar sedikit ingatannya juga sangat tajam. Namun
orang yang benar-benar mengerti dirinya sangat sedikit Lagipula
yang dilihat olehnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Kwe Po
Giok. "Aku sudah memecahkan ketiga belas jurus sayap bangaumu,"
kata Kwe Po Giok dengan suara dingin.
Ternyata ada senyuman tersungging di bibir Sun Put Ce.
"Bagus sekali! Cara pemecahan yang sangat bagus!" katanya
nyaring, Mereka bagaikan dua orang sahabat yang sedang berlatih
Tidak tampak keseriusan sama sekali.
"Kau bilang cara pemecahannya bagus?" tanya Kwe Po Giok
mengira dirinya salah dengar.
"lya! Bagus sekali!" sahut Sun Put Ce dengan nada yakin.
Kwe Po Giok tiba-tiba menyerang dengan tenaga penuh. Sun Put
Ce juga memperlihatkan reaksi yang cepat Dia menggeser tubuh
sejauh tiga depa. Namun dia terlambat beberapa detik. pedang Kwe
Po Giok telah menyayat tenggorokannya. Darah segar menyembur
Tubuh Sun Put Ce rubuh ke tanah.
Kwe Po Giok terpana, "Mengapa kau tidak menghindar" Aku yakin kau masih sanggup
melakukannya," kata pemuda itu sedih,
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Tidak.... Aku memang bukan tandinganmu lagi. Dan aku tahu
kau tidak akan tega membunuhku...."
"Tentu tidak... Aku hanya ingin kau membawa sedikit bekas luka
kembali ke rumah Fang Tiong Seng," sahut Kwe Po Giok.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan diriku...." Sun Put Ce jatuh
tidak sadarkan diri. Ketika tersadar, Sun Put Ce memicingkan mata menatap
sekitarnya. Kwe Po Giok sudah tidak terlihat lagi. Namun di
sampingnya berlutut seorang lain.
"Kau sudah bangun.... Akhirnya nyawamu berhasil dipungut
kembali," kata Bwe Mei dengan nada lega.
Sun Put Ce bagai baru terjaga dari sebuah mimpi buruk, Meskipun
hanya sebuah mimpi buruk, Sun Put Ce menganggap bahwa di
dalam dunia lebih banyak penderitaan dari pada kebahagiaan.
Tapi biar bagaimana hidup lebih baik dari pada mati. Paling tidak,
dia dapat bersama gadis cantik ini sekarang, Mungkin juga untuk
selamanya. Ternyata Kwe Po Giok tetap tidak membunuhnya, Dia
mengeluarkan tangan untuk meraba tenggorokan Entah siapa yang
sudah membalutnya dengan obat Apakah Kwe Po Giok menganggap
dirinya sudah mati" Atau sengaja melepaskannya" Hal ini belum
dapat dijelaskan saat ini.
"Bwe Kouwnio.... Kau yang menyelamatkan nyawaku?" tanya Sun
Put Ce. "Bila Kwe Po Giok benar-benar ingin membunuhmu, aku pasti juga
tidak sanggup menyelamatkan," sahut Bwe Mei.
"Menurut perkiraan Bwe Kouwnio, Kwe Po Giok memang tidak
bermaksud membunuh aku?" tanya Sun Put Ce ingin penjelasan
yang lebih lengkap. "Tentu saja! Mungkin juga dia mengira bahwa kau tidak akan
tertolong lagi," sahut Bwe Mei.
"Bagaimana pun, kau adalah penolongku," kata Sun Put Ce.
"Sun toako.... Kita tidak usah membicarakan hal ini," pinta gadis
itu. "Apa yang ingin kau bicarakan" Aku pasti bersedia menemani,"
kata Sun Put Ce. "Aduh! Sekarang saat apa?"
"Ditilik dari sinar matahari Rasanya hari belum begitu siang,"
sahutnya. "Maksudku.... waktu dan detik ini kita tidak perlu meributkan
segala pepesan kosong, lebih baik kita cari sebuah tempat untuk
merawat luka," kata Bwe Mei sambil tertawa getir.
"Baik...." Sun Put Ce merasa bahwa setiap perempuan pasti


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki jiwa keibuan. ini merupakan hukum alam, Tidak heran kalau
suhengnya merasa iri. Dia memang tidak memiliki kelebihan, tapi
banyak perempuan yang menaruh perhatian kepadanya.
Lilin merah besar memancarkan sinar membara, Dua orang
manusia duduk berhadapan. Di bawah cahaya, sang wanita terlihat
semakin cantik, apalagi dia adalah seorang wanita yang sudah
matang dan banyak pengalaman.
Di dalam dada Kiau Bu Suang ada setungku api, persis seperti api
yang keluar dari lilin merah, Dayang Cui thian memang tidak dapat
melebihi Lian lian, Chow Ai Giok juga tidak dapat menandinginya,
Chow Ai Giok hanya menang remaja saja, Gadis memang selalu
memikat. "Lian toa moicu, Aku sudah melaksanakan apa yang kau pinta,"
kata Kiau Bu Suang. Dengan kedudukan Kiau Bu Suang, sebetulnya tidak ada orang
yang dapat membuatnya bicara dengan nada selembut itu. Meskipun
seorang laki-laki bisa malang melintang di dunia persilatan, tapi
seorang perempuan selalu menemukan jalan untuk
menundukkannya. Wajah Lian lian sangat kaku, justru kekakuannya yang membuat
Kiau Bu Suang agak segan, Bila dia sering tertawa-tawa maka
seorang laki-laki akan menganggapnya gampangan. Dia mempunyai
kepandaian untuk memancing seorang laki-laki. Umpan apa pun
yang diikatkan pada kailnya, seekor ikan besar akan terpancing.
Dia menganggap laki-laki mudah dikendalikan, lagipula ia
mempunyai naluri alami dalam menangani seorang laki-laki. Dan
wajah kaku memang lebih mujarab dari tawa senyum.
Lian lian meliriknya sekilas, Meskipun wajahnya kaku namun sinar
matanya justru mengandung gairah. Kiau Bu Suang hampir tidak
dapat menahan diri. Tapi dia sadar, perempuan yang satu ini tidak
dapat disamakan dengan dayang Cui thian dan Chow Ai Giok,
perempuan lain tentu mudah diajak ke atas tempat tidur, Lian lian
merupakan kekecualian. Dia mempunyai wibawa yang mana laki-laki
tidak akan berani bertindak kurang sopan.
"Apa yang telah kau lakukan?" tanya Lian lian dengan suara
dingin. "Dayang Cui thian sudah kukuasai, dia akan melaporkan setiap
tindak tanduk orang itu," kata Kiau Bu Siang menjelaskan.
"Apa sudah terlihat hasilnya?" tanya Lian lian kembali.
"Paling tidak, si papan gilasan sudah terpikat olehnya," jawab Kiau
Bu Suang. "Terpikat?" tanya Lian lian memperdengarkan tawa sinis.
"Tentu! Dayang Cui thian mempunyai keistimewaan yang dapat
membuat kaum laki-laki terlena," sahut Kiau Bu Suang yakin.
"Kau kira dia benar-benar bisa menguasainya?" kata Lian lian
memancing rasa penasaran Kiau Bu Suang.
"Apakah menurut Lian toa moicu, dia tidak akan sanggup?" tanya
Kiau Bu Suang. "Doakan saja dia sanggup.... Apakah ada hasil lainnya?" kata Lian
lian dengan jawaban mengambang.
"Gerakan pihak sana tidak akan lolos dari perempuan itu," sahut
Kiau Bu Suang yakin. "Apakah dia berhasil memancing siapa yang membunuh Hiat Eng
(Elang salju)?" tanya Lian lian kembali.
"Saya rasa semuanya tinggal menunggu waktu saja," sahut Kiau
Bu Suang. Tampang laki-laki itu terlihat agak aneh sewaktu mendengar
pertanyaan tersebut, seolah ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Baiklah kalau begitu, Kita boleh memberi dia sedikit waktu lagi,"
kata Lian lian setelah merenung sejenak.
"Ada urusan apa lagi?" tanya Kiau Bu Suang.
"Selidiki sampai jelas apakah Toa Tek To Hun sudah
meninggalkan Tionggoan?" kata Lian lian.
"BetuL., betul! persoalan ini perlu diselidiki sampai jelas," sahut
Kiau Bu Suang, Dia menuangkan arak ke dalam cawan Lian lian.
"Lian toa moicu.... Harap kau tidak membuat aku kecewa, juga
jangan membuat aku terlalu berharap kosong," lanjutnya.
Sinar mata Lian Han bagaikan tungku yang membara, Tatapan
Kiau Bu Suang terpaku kepadanya. Cahaya yang terpancar dari mata
mereka bagaikan sepasang lilin yang menyala di dalam kamar
tersebut Kiau Bu Suang mengulurkan tangan untuk menggenggam
jari-jarinya yang lentik dan halus.
Bentuk tangan itu sangat mempesona. Tidak terlihat sedikit pun
urat yang menonjol. Warna kulitnya seputih batu kumala. KesepuIuh
jarinya lentik-lentik, Namun Lian lian menariknya kembali.
"Usahalah lebih giat. Aku tidak akan mengecewakan dirimu,"
katanya. Diambilnya pedang panjang yang tergeletak di meja. Sekali lagi
dia menoleh dan tersenyum kepada Kiau Bu Suang, Hati laki-laki itu
laksana terbang di angkasa.
Dalam ruangan keluarga Fang.
Menjelang siang matahari baru terbit, karena hujan turun terus
menerus selama setengah hari. Mo Put Chi masuk dan
membungkukkan tubuhnya dengan hormat.
"Suhu... Teecu sudah mencari kemana-mana, Namun bayangan
Sam sute tetap tidak kelihatan," katanya melaporkan.
Fang Tiong Seng tidak menoleh, dia tetap sibuk mengguntingi
tangkai bunga yang telah layu.
"Apakah kau melihat Kwe Po Giok?" tanyanya.
"Teecu juga tidak melihatnya, Suhu," sahut Mo Put Chi.
"Siau kiong cu?" tanya Fang Tiong Seng kembali.
"Tidak juga. Teecu rasa mungkin dia bersama-sama Kwe Po
Giok," sahut Mo Put Chi.
Fang Tiong Seng tidak bersuara, Hanya suara gerakan gunting
yang menimbulkan bunyi cep! cep! Berkali-kali. pokoknya rantingranting
yang kering dan segala macam yang tidak bermanfaat harus
dibuang. "Suhu... Mengapa tidak menanya kepada Cui A ie (bibi)" Mungkin
dia tahu jejak Kwe Po Giok dan Siau kiong cu," kata Mo Put Chi
menyarankan. "Suhu menyuruhmu mencari Sun Put Ce. Mengenai orang lain,
Suhu bisa urus sendiri," sahut Fang Tiong Seng tetap menekuni
pekerjaannya. "Baik!" "Put Chi.... Coba kau pikir baik-baik.... Kemana kira-kira perginya
Sun Put Ce?" tanya Fang Tiong Seng.
Mo Put Chi menggelengkan kepalanya.
"Teecu tidak tahu, Sun sute orangnya bijaksana. Mestinya tidak
akan mengalami apa-apa. Hanya...." kata-katanya terhenti Dia raguragu
melanjutkan apa yang terlintas di benaknya.
"Apakah ada hal yang sulit kau jelaskan kepada Suhu?" tanya
Fang Tiong Seng dengan mata menatap tajam.
"Bukan... bukan! Teecu dengar sute mempunyai hubungan yang
cukup dekat dengan dua orang gadis," sahut Mo Put Chi gugup.
"Gadis?" Fang Tiong Seng merasa ucapan itu benar-benar di luar
dugaannya. "Tidak heran kalau Suhu tidak tahu, sebetulnya siapapun tidak
mengira kalau Sun sute berwatak mata bongsang," kata Me Put Chi.
"Berdekatan dengan gadis saja, belum dapat disebut mata
bongsang," sahut Fang Tiong Seng ketus.
"Betul, Suhu. Cuma teecu kira tidak pulangnya sam sute, mungkin
ada kaitannya dengan salah seorang gadis tersebut," kata Mo Put
Chi. "Cari terus, Terutama jejak Kwe Po Giok dan Siau kiong cu!"
perintah Fang Tiong Seng sambil melanjutkan pekerjaannya kembali
"Baik!" sahut Mo Put Chi. Dia membalikkan tubuh dan keluar dari
taman itu. Sun Put Ce dan Bwe Mei menyewa rumah penduduk yang
mempunyai tiga kamar kecil.
Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut perasaan rasanya
lain sekali, Hujan terus turun membuat pemandangan semakin
indah, Rumput menghijau, Gunung dengan selimut kabut menjulang,
pikirannya jauh lebih tenang. Malam hari hanya terdengar suara
jangkrik dan kodok. Sun Put Ce tiba-tiba merasa kehidupan yang selama ini dijalaninya
amat tawar, Dunia Bulim penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat.
Keadilan tidak dijunjung tinggi lagi, Manusia lebih kejam dari
binatang, Mereka tidak segan memangsa sesamanya, Dia ingin sekali
meninggalkan keramaian untuk selamanya dan dapat hidup
berdampingan dengan Bwe Mei.
Kedua orang itu duduk berhadapan di meja makan, Di atasnya
terdapat sepiring tahu. Bwe Mei sedang memetiki sayuran, Dia
menatap leher Sun Put Ce sekejap.
"Apakah sudah terasa lebih baik?" tanyanya.
"Saya tidak mengharapkan luka ini cepat sembuh," sahut Sun Put
Ce. Namun dia tetap menganggukkan kepalanya sebagai jawaban,
"Tidak mengharapkan cepat sembuh?" tanya Bwe Mei heran.
"Betul. Karena setelah sembuh, saya harus pergi," kata Sun Put
Ce dengan wajah murung. "Mengapa kau harus pergi?" tanya Bwe Mei.
"Kalau pikiran saya bisa terlepas dari segalanya, Hari itu juga tidak
perlu memenuhi perintah untuk membunuh Kwe Po Giok," sahut Sun
Put Ce. "Sekarang berubah haluan pun masih belum terlambat," kata Bwe
Mei. "Apakah kau kira saya bisa mengkhianati Suhu?" tanya Sun Put
Ce. "Mengkhianati orang jahat sama artinya dengan memulai hidup
baru," sahut Bwe Mei sambil menghela nafas.
Sun Put Ce tidak sanggup berkhianat, namun bukan berarti dia
tidak menerima sama sekali nasehat Bwe Mei. Gadis itu sedang
memandanginya. Sinar matanya memancarkan kasih sayang yang
dalam. "Kalau kau mau berjanji untuk tidak kembali lagi ke tempat
suhumu, sekarang juga aku akan mempersembahkan segalanya
untukmu," kata Bwe Mei.
Dia menjatuhkan diri ke dalam pelukan Sun Put Ce. Laki-laki itu
hampir pingsan, Setiap orang pasti berharap memeluk kekasih hati.
Melakukan sesuatu yang sering terbayang di alam mimpi. Begitu
pula Sun Put Ce, Dalam keadaan tertentu, kebutuhannya akan
perempuan melebihi kebutuhan mengisi perut atau menghilangkan
rasa dahaga. Pada saat itu, mungkin dia rela mengorbankan
segalanya asal keinginan hatinya terpenuhi.
Hal ini sebetulnya mudah sekali didapatkan. Asalkan dia berjanji
untuk tidak kembali lagi pada suhunya, dia akan memperoleh apa
yang terbayang dalam mimpinya segera. Dalam hati kecilnya, Sun
Put Ce sadar, apa yang diperintahkan kepadanya bukan perbuatan
seorang laki-laki sejati.
Namun, dia melaksanakan perintah tersebut dengan hati ikhlas,
Budi suhu yang telah membesarkannya selalu terbayang di pelupuk
mata. "Pek sang hau wi sin" (Segala kebaktian harus diutamakan)
pepatah itu tidak dapat terlepas dari sanubarinya.
Payudara Bwe Mei lembut seperti kapas, namun membawa
kehangatan musim panas, dia bahkan memeluk Sun Put Ce eraterat,
Harum keringat yang mengalir serta aroma bedak menerpa
hidungnya. Dalam seumur hidupnya, baru pertama kali ia begitu
dekat dengan seorang perempuan.
Dengan penuh gairah dia membalas pelukan Bwe Mei dan
menciuminya dengan penuh nafsu. Kedua orang itu bagai terekat
menjadi satu. Untuk sementara yang ada hanya degupan jantung
dan nafas yang memburu. Bwe Mei juga belum pernah diperlakukan demikian mesra oleh
seorang laki-laki. Beginikah rasanya berdekatan dengan laki-laki"
perempuan yang berpikir demikian, pasti sedang dilanda oleh
asmara. Bagaimanakah laki-laki itu" Dia sendiri belum dapat
menjawab dengan pasti. Sun Put Ce merangkulnya, wajah keduanya saling menempel.
Gesekan-gesekan tersebut membawa perasaan tersendiri dalam jiwa
mereka. Dalam hati Sun Put Ce hanya ada satu perasaan, ternyata
seorang gadis bisa membawa kenikmatan sebesar ini! Tentu saja,
bukan semua perempuan bisa memberikan kenikmatan demikian.
Dia menggendong Bwe Mei dan meletakkannya di tempat tidur.
Senja sudah merayap, melepas segaris sinar merah yang menerobos
melalui jendela, cahayanya menerangi wajah gadis itu.
Rona merah di pipinya membuat wajah itu semakin mempesona.
Pandangan mata Sun Put Ce sudah tersihir oleh pakaiannya yang
mulai terbuka sebagian. Namun tangannya masih belum mulai
meraba karena perintah suhunya masih terus terngiang di telinga....
"Kau harus melaksanakan dengan sebaik-baiknya, Aku
menyuruhmu melakukannya, harus lebih handal dari toa suhengmu
sendiri." Tiba-tiba Sun Put Ce membalikkan tubuh dan keluar dari rumah
itu. Tadinya Bwe Mei mengira Sun Put Ce akan menutup pintu. Hari
masih belum gelap. Tentunya semua jendela atau pintu harus
terkunci rapat, Meskipun pikirannya ruwet, namun menyandarkan
hidup kepada laki-laki seperti ini, tentu akan tenang selamanya.
Untuk mencegah Sun Put Ce kembali ke samping orang jahat itu,
dia rela mempersembahkan benda yang paling berharga bagi
seorang gadis. Tetapi setelah menunggu sekian lama, dia tetap tidak
mendengar sedikit pun gerakannya.
"Apakah dia tiba-tiba berubah pikiran dan kembali ke samping
suhunya lagi?" tanya Bwe Mei dalam hati.
Dia tidak menemukan alasan lain yang lebih tepat, keadaan dalam
rumah itu sunyi senyap, Di dalam ruangan tidak terdapat seorang
pun, hanya tinggal dia seorang diri, Tiba-tiba hatinya merasa
terpukul, Dia merasa dihina dan dianggap rendah, Bwe Mei bangkit
dan duduk tegak, airmatanya bercucuran.
Pada saat itu, dari arah luar berkumandang suara tawa yang
mengandung ejekan. Kemudian disusul bayangan seseorang yang
menerobos masuk. Rasa malu Bwe Mei sudah pada puncaknya,
Orang yang datang ternyata Chow Ai Giok, Bwe Mei yakin dia sudah
melihat semua yang terjadi dari tempat persembunyiannya.
Tidak salah! Kalau Sun Put Ce tidak segera tersadar dan
meninggalkan tempat itu, keduanya pasti sudah mati di atas tempat
tidur. Chow Ai Giok sudah berpengalaman, dia tentu saja mengerti
bagaimana perasaan Bwe Mei saat itu.
"Sengaja menyerahkan diri pun tidak di terima," ejeknya sambil
mencibirkan bibir. Bwe Mei juga berpikir begitu, Dia tetap tidak menemukan alasan
penolakan Sun Put Ce terhadap dirinya. Oleh sebab itu dia menjadi
benci. "Apa urusannya denganmu?" bentaknya kepada Chow Ai Giok.
"Kalau bukan Sun Put Ce orangnya jujur, reaksinya cepat, tentu
kau pikir segala tipu dayamu yang tidak tahu malu itu sudah
sanggup menjeratnya," sahut gadis itu.
"Aku tahu dia seorang laki-laki yang baik, namun aku cuma
memaksa dirinya untuk berbakti saja," kata Bwe Mei sendu.
"He... he... he...." Chow Ai Giok tertawa terkekeh-kekeh.


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe Mei bangkit dari tempat tidur, Dia menepi ke sudut di mana
pedangnya tergantung. "Ambil saja pedangmu itu," sindir Chow Ai Giok yang dapat
menangkap maksudnya. "Chow Ai Giok! Aku menganggap kau ini kurang pekerjaan!" kata
Bwe Mei. "Kurang kerjaan?" tanya gadis itu seraya melebarkan senyumnya.
"Tidak salah! Kakek sendiri terbunuh, bukannya berusaha mencari
siapa pembunuhnya, malah merepotkan urusan orang lain," kata
Bwe Mei. Chow Ai Giok dipermainkan oleh Kiau Bu Suang, semuanya adalah
kebodohan dirinya sendiri. Dia tidak dapat menyalahkan orang lain,
Tapi di mana pun manusia dalam dunia memiliki sifat yang sama.
Mereka pasti tidak ingin menunjukkan kebodohannya sendiri
Apalagi menyalahkan diri sendiri Oleh sebab itu, dia membenci
setiap orang, baik laki-laki ataupun perempuan. Hanya satu yang
terkecuali, yaitu Sun Put Ce.
Dia tahu, Sun Put Ce bukan tidak meneruskan niatnya karena dia.
Namun dalam hatinya dia tetap kagum terhadap laki-laki yang satu
ini. Di dunia ini kebanyakan kaum laki-laki bersifat sama, Lebih baik
jangan memulai, bila sudah terlanjur membuka jalan, jangan harap
dapat dihentikan Kecuali Sun Put Ce!
Dia tidak tahu mengapa laki-laki yang satu ini sangat ber-beda"
Apakah dia orang yang benar-benar tolol" Sehingga makanan yang
sudah terhidang di depan mata pun dapat dicampakkannya" Paling
tidak, perempuan yang bisa mengerti dan laki-laki yang tahu diri
selalu dikagumi orang! Chow Ai Giok semakin membenci Bwe Mei.
"Setelah urusan ini selesai, baru mencari sang pembunuh pun
belum terlambat," katanya tenang.
"Aku bisa menduga siapa pembunuhnya, namun aku tidak akan
mengatakannya kepadamu," sahut Bwe Mei.
"Kau pasti akan memberitahukannya kepadaku!" kata Chow Ai
Giok sambil mengeluarkan pedang.
"Tidak akan!" sahut Bwe Mei kukuh.
"Harus! Karena pedang ini akan membuatmu bicara!" kata Chow
Ai Giok dengan mata membara.
"Pedangku juga akan melarang aku bicara," sahut Bwe Mei.
"Mari kita buktikan. Ucapan siapa yang akan menjadi kenyataan
Bwe Mei.... Hari ini kau tidak bisa lolos lagi. Dan nasibmu-pun akan
berubah!" kata Chow Ai Giok.
Bwe Mei tidak ingin bersilat lidah dengannya, Dia langsung
menyerang, Tentu saja dia bukan lawan Chow Ai Giok, Dia hanya
mencari akal untuk melarikan diri. Namun hati Chow Ai Giok telah
dipenuhi rasa benci, dan kebencian ini bagai ditumpahkan kepada
diri Bwe Mei seluruhnya. Dia adalah turunan Hiat Eng. Keganasan
dan pengalamannya tidak dapat menandingi Bok lang kun. Namun
ada beberapa jurus yang Bok lang kun sendiri belum sempat
mempelajarinya. Berkali-kali Bwe Mei bermaksud menerobos pintu dan melarikan
diri, Namun Chow Ai Giok tidak memberinya kesempatan Dia
mengeluarkan seluruh kepandaian menahan serangan gadis itu
sebanyak tiga puluh delapan jurus.
Bahaya kematian mendekatinya setindak demi setindak. Dia dapat
melihat hawa pembunuhan dari sinar mata Chow Ai Giok, Tiba-tiba
gadis itu merubah gerakannya, Dia mengeluarkan sebuah jurus yang
aneh, serangannya terlalu cepat.
Bwe Mei terkesiap, Dia percaya tidak sanggup mempertahankan
diri, Dengan panik diangkatnya pedang untuk menangkis. Tidak
dinyana, pedangnya belum mengenai tubuh lawannya, malah
pedang Chow Ai Giok sudah bergeser ke samping dan menebasnya.
"Creepp!!!" Sepotong benda melayang bersamaan dengan suara
mengerikan itu. Pada saat rasa terkejutnya belum sirna, Bwe Mei
merasakan lengan kanannya lebih ringan dari biasa. Dia
menundukkan kepala untuk melihat benda yang terlempar tadi
ternyata adalah kutungan lengan kanannya. Bwe Mei menjerit
histeris... Kutungan tangan itu masih menggenggam pedang erat-erat, Di
dunia ini ternyata masih ada hal yang lebih mengerikan daripada
kematian, Siapa yang tidak ngeri melihat anggota tubuhnya sendiri
melayang jatuh ke tanah"
Bwe Mei mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menyumbat luka
bekas kutungan lengannya itu. Dia bermaksud mundur dan lari.
Tiba-tiba Chow Ai Giok melemparkan sebotol obat ke tangannya,
"Untukmu!" katanya.
Tekanan bathin Bwe Mei tidak terkira lagi, Wajahnya pucat tanpa
darah setitik pun. "Apa lagi yang kau inginkan?" teriaknya.
"Aku memberi obat untukmu!" sahut Chow Ai Giok tenang.
"Kau memberi obat untukku?" tanya Bwe Mei seakan tidak
percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Mengapa tidak?" sahut Chow Ai Giok.
"Mengapa kau tidak membunuh aku?" tanya Bwe Mei dengan
pandangan sayu, "Mengapa aku harus membunuhmu?" Chow Ai Giok balik
bertanya. "Alasan apa yang membuat kau tidak membunuhku?" Bwe Mei
kembali bertanya. "Karena aku hanya ingin melihat dirimu cacat. Bukan melihat
dirimu mati," sahut Chow Ai Giok sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau...!" Tubuh Bwe Mei terhuyung-huyung, Dalam keadaan
demikian mendengar perkataan Chow Ai Giok, ia seperti ada ribuan
jarum yang menusuki jantungnya.
"Cukup kejam! Cukup kejam!" serunya.
Chow Ai Giok tertawa terbahak-bahak, Dia seakan menikmati
tontonan yang segar, penderitaan Bwe Mei membuat perasaannya
gembira, Tidak terlintas sedikit rasa kasihan pun di benaknya.
"Di dunia ini masih banyak orang yang lebih kejam dariku!"
katanya sinis. Kata-katanya mungkin benar, namun perempuan sekejam dirinya
pasti tidak banyak. "lngat! Kalau kau masih ingin hidup, obat ini harus lekas dipakai
Sehari borehkan sebanyak tiga kali, Kalau tidak, darahmu akan
mengalir terus dan mati!" kata gadis itu selanjutnya.
"Kau takut aku akan mati?" tanya Bwe Mei.
"Tepat! Tapi untuk selamanya kau tidak akan menemukan
jawabannya." kata gadis itu.
Dia membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat tersebut, Bwe
Mei segera mem-borehkan obat di atas lukanya, Dia termasuk gadis
pemberani. Kalau hal ini terjadi pada diri orang lain, tentu sudah
jatuh pingsan sejak tadi.
Namun dia tidak hentinya bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah
dia lebih baik mati" Kalau ingin mati, tidak perlu menghentikan
darah yang mengalir, Kalau ingin hidup, harus secepatnya memakai
obat itu. Chow Ai Giok ingin dirinya terus hidup agar dipandang hina oleh
orang lain, dengan demikian perasaannya baru dapat bergembira, Di
dunia ini ternyata ada manusia macam dirinya, Mereka membangun
kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Manusia semacam ini
biasanya bersifat jahat, selamanya susah dirubah, Atau kalau tidak,
mereka pernah mengalami hal yang terlalu menyakitkan sehingga
ingin melihat semua orang di dunia ikut menderita seperti halnya
mereka sendiri. Manusia semacam ini sudah tidak waras, mereka rela melakukan
apa saja asal dapat membuat orang lain lebih menderita daripada
mereka. Apa yang dilakukan Kiau Bu Suang terhadapnya
meninggalkan kepedihan yang dalam. Dia ingin membalas
sepuasnya. Seorang perempuan paling tidak sanggup menerima
penghinaan seperti itu. Hanya kesuciannya yang diinginkan Setelah
itu, tidak ada kedua kalinya!
-ooo0oooKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Sun Put Ce berlutut di bawah kaki Fang Tiong Seng. Dia
melaporkan semua pengalamannya.
Tempat ini adalah ruang rahasia, hanya mereka berdua yang ada
dalam ruangan tersebut Fang Tiong Seng terkejut sekali, Pokoknya,
asal mendengar ada seseorang yang berilmu tinggi, hatinya akan
terkesiap. Di dunia ini tidak boleh ada orang yang dapat
menandinginya. "Kau mengatakan bahwa Kwe Po Giok sangat lihai?" tanyanya
sekali lagi, Dia berharap pendengarannya salah tadi.
"Paling tidak, teecu bukan tandingannya," sahut Sun Put Ce.
"Siapa orangnya yang sanggup membuat ilmunya setinggi itu
dalam waktu demikian singkat?" tanya Fang Tiong Seng.
"Tidak ada orang yang sanggup, Suhu," sahut Sun Put Ce.
"Jangan berkata yang bukan-bukan!" bentak Fang Tiong Seng.
"Suhu.... Pertama kali ia datang kemari, ilmunya sudah tidak
dapat dipandang rendah" kata Sun Put Ce.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Fang Tiong Seng dengan
pandangan menyelidik "Teecu pergi bersamanya ke lautan Timur
untuk mencari Tang hay sin sian, Dia pernah menimpuk Cu lao
thaiya dengan makanan kecilnya sendiri sampai mati," sahut Sun Put
Ce menjelaskan. Dia menceritakan kembali kejadian yang dialaminya bersama Kwe
Po Giok di pesisir pantai tempo hari, Fang Tiong Seng tiba-tiba
seperti berubah menjadi sebuah patung kayu, Dia berdiri tegak
tanpa bergeming sedikit pun.
Sejak dulu Sun Put Ce sudah tahu, kalau suhunya tidak berbicara
dan mematung, berarti otaknya sedang bekerja. Juga sedang
membuat rencana, Dan rencananya tentu menyangkut kematian
seseorang. "Tentunya kau dapat melihat, jurus apa yang digunakannya?"
tanya Fang Tiong Seng kemudian.
Sun Put Ce adalah seorang yang mempunyai akal tinggi, paling
tidak, dia jauh lebih cerdas dari Toa suheng dan Ji suhengnya, Kalau
berganti dengan kedua orang itu, mereka pasti akan mengatakan
seluruh hal yang diketahuinya kepada suhu tersebut. Tetapi dia juga
tidak berbohong sama sekali, pikirannya kalut, Kalau dia
mengatakan bahwa ilmu Kwe Po Giok berasal dari rangkaian bunga,
tentu suhunya akan mengejar bocah itu sampai dapat, Mungkin Siau
kiong cu juga tidak terlepas dari bahaya.
"Jurus yang digunakannya sangat aneh." Akhirnya Sun Put Ce
menjawab. "Tidak dapat menebak dari perguruan mana?" tanya Fang Tiong
Seng. Sun Put Ce tidak lupa budi suhu yang telah membesarkannya.
Keadaannya saat ini adalah karena terpaksa, Iya...." sahutnya.
"Ketika di atas kapal, apakah dia pernah belajar ilmu silat dari
Tang hay sin sian?" tanya Fang Tiong Seng kembali.
"Teecu yakin tidak pernah," sahut Sun Put Ce. Dia memang tidak
berbohong, Kwe Po Giok memang tidak pernah belajar langsung dari
Tang hay sin sian. Fang Tiong Seng merenung sejenak, "Bagaimana kungfunya Siau
kiong cu?" tanyanya.
"Setahu teecu, Siau kiong cu tidak bisa ilmu silat," sahut Sun Put
Ce. "Tidak bisa?" Fang Tiong Seng menghentikan pertanyaannya, Dia
menatap Sun Put Ce dengan pandangan menyelidiki seakan ingin
melihat kejujuran dari sinar matanya itu.
Fang Tiong Seng tentu saja tidak percaya. Biarpun dia tahu, Sun
Put Ce tidak suka berdusta, sebetulnya Sun Put Ce sendiri tidak tahu
apakah Siau kiong cu bisa ilmu silat" Namun dia hanya mendugaduga
saja dalam menjawab pertanyaan suhunya.
Dia hanya pernah melihat gadis itu merang-kai bunga dan sama
sekali belum pernah melihatnya melatih silat, Dia berani menjawab
seperti itu juga ada alasannya, Dia sering melihat para pelayan
mengangkat kan benda-benda yang agak berat untuk Siau kiong cu.
Kelihatannya gadis itu memang bertubuh lemah,
"Benar-benar tidak bisa" Sedikit pun tidak?" tanya Fang Tiong
Seng sekali lagi. "Betul!" sahut Sun Put Ce kepalang tanggung.
"Mustahil!" kata Fang Tiong Seng, Dia berhenti sejenak untuk
memperhatikan reaksi murid bungsunya,
"Segala yang kuperintahkan kepadamu, sama sekali tidak boleh
diceritakan kepada orang lain, mengerti?" lanjutnya.
"Baik!" sahut Sun Put Ce.
"Termasuk suhengmu!" kata Fang Tiong Seng lagi.
"Baik!" -ooo0ooo- Di tepi telaga ada sebuah gedung yang mewah. Tanahnya tidak
terlalu luas, namun bentuk bangunannya sangat istimewa. Orang
yang ahli dalam hal bangunan, tentu akan mengetahui bahwa
pemiliknya pasti bukan dari kalangan biasa.
Sebuah jembatan yang panjang dibuat untuk mencapai sebuah
tempat peristirahatan di tengah telaga, Atapnya berbentuk pagoda,
dengan empat tiang yang besar-besar sebagai penyangga, Di
tengah-tengahnya terdapat sebuah meja marmer dengan beberapa
buah kursi batu kumala. Di sekelilingnya terbuka, Di musim semi orang dapat menatap
keindahan telaga dan mendengar rintik hujan yang merdu. pada
musim dingin terlihat gumpalan salju dan menikmati cahaya
rembulan, Pokoknya, setiap saat tempat itu memang tepat untuk
digunakan sebagai pelipur hati.
Pemilik gedung dan tempat peristirahatan itu bernama See Kong
Be Hun. Orang ini bisa ilmu silat, bahkan ilmunya cukup tinggi
namun dia tidak pernah berkelana di dunia Bulim, itulah sebabnya
jarang orang-orang dunia kangouw yang mengenal orang ini.
sedangkan Kwe Po Giok dan Siau kiong cu malah tinggal di tempat
ini. Ternyata See Kong Bo Hun adalah Susiok Kwe Po Giok.
Istri See Kong Bo Hun sudah meninggal Dia tidak mempunyai
keturunan Kecuali lima orang pelayan yang mengurus gedung itu,
tidak ada keluarga lainnya lagi, Kedatangan Kwe Po Giok dan Siau
kiong cu meramaikan suasana rumah, membuat See Kong Bo Hun
senang bukan kepalang. Mereka disediakan kamar tidur yang paling besar. Dia juga
berpesan, bila pasangan itu menikah, jangan tinggal di tempat lain
melainkan menetap di gedungnya saja. Telaga itu memang tidak
terlalu besar, namun cukup luas juga. jelas telaga itu bukan telaga
alam, tapi buatan, Namun hasil karya orang yang membuatnya perlu
diberi acungan jempol. Pada jaman itu mungkin orang yang dapat
membuat telaga buatan seindah itu dapat dihitung dengan jari.
Pada musim panas pun angin tetap berhembus membawa
kesejukan, Tempat ini memang cocok untuk memadu kasih, Pada
saat ini, Kwe Po Giok dan Siau kiong cu sedang duduk berhadapan
Mereka duduk di ruangan besar dengan sebuah kolam kecil yang
dikelilingi tumbuh-tumbuhan. Bentuknya seperti taman. Dengan
rumput-rumput yang tebal, namun ruangan ini tidak terbuka
seluruhnya sebagaimana taman-taman biasa.
Usia Siau kiong cu sudah tujuh belas, dan Kwe Po Giok masuk
delapan belas tahun, Namun keduanya masih kekanak-kanakan,
Tetapi daya minum orang dewasa pun tidak akan sekuat kedua


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

remaja tersebut. Wajah Siau kiong cu memburat kemerahan di pipi,
membuat kecantikannya semakin nyata.
"Po Giok.... Mengapa kau ingin membunuh Sun Put Ce?" tanya
gadis itu. "Karena dia terlalu setia terhadap Fang Tiong Seng," sahut Kwe
Po Giok. "Setia terhadap guru apa apa salahnya " tanya Siau kiong cu.
"Saya juga mempunyai pikiran yang sama...." kata Kwe Po Giok,
"Lalu mengapa kau ingin membunuhnya?" tanya Siau kiong cu
tidak habis mengerti akan sikap kekasihnya itu.
"Dia yang ingin membunuh saya, sedangkan saya belum berhasil
membunuhnya," sahut Kwe Po Giok.
"Dia tidak mati?" tanya Siau kiong cu terkejut.
"Betul.... seharusnya dia belum mati," sahut Kwe Po Giok.
"Apakah kau tidak sampai hati turun tangan terhadapnya?" tanya
Siau kiong cu. "Dia adalah orang baik, Juga sangat berbakat. Sayang sekali
pendiriannya terlalu kukuh, apa pun sukar merubah niat dalam
hatinya," Kwe Po Giok menjelaskan.
Siau kiong cu menarik nafas panjang.
"Dapat memandang debu seperti permata, dia juga mempunyai
kesulitan tersendiri yang tidak dapat diutarakan, Untuk apa kau
terlalu menyusahkan dirinya?" sahut Siau kiong cu.
"Bagaimana kau dapat menganggap hal ini tidak terlalu
menyusahkannya?" tanya Kwe Po Giok.
"Yang kau maksudkan adalah tidak beraninya Sun Put Ce
mengkhianati suhunya, bukan" Bagaimana kalau kau yang
mengganti dirinya saat ini?" Siau kiong cu balik bertanya.
Tiba-tiba wajah Kwe Po Giok menjadi kelam. Dia merenung sekian
lama. "Lu ji.... pertanyaanmu bagus sekali, mungkin mata manusia
diciptakan lebih baik untuk memandang orang daripada diri sendiri
Manusia biasanya memang hanya bisa menyalahkan orang lain,
sedangkan diri sendiri selalu benar," sahutnya kemudian.
Nama Siau kiong cu adalah Lulu, Kwe Po Giok memanggilnya Lu ji
(Anak Lu)," sebagaimana Tang hay sin sian selalu "memanggilnya.
"Akhirnya kau memaklumi Sun Put Ce juga," kata gadis tersebut
Kwe Po Giok menganggukkan kepalanya.
"Entah bagaimana caranya dia melaporkan kejadian tersebut
kepada suhunya?" "Bukankah kau mengatakan bahwa dia sangat cerdas?" tanya Siau
kiong cu. "Aku memang pernah berkata demikian," sahut Kwe Po Giok.
"Kalau begitu, dia pasti bisa mengemukakan alasan yang tepat,"
kata Lu ji. Dia berhenti sejenak, "Fang Tiong Seng mempunyai
seorang simpanan. Tahukah kau siapa orangnya?"
Wajah Kwe Po Giok berubah semakin kelam.
"Luji.... sebaiknya kau tidak usah menanyakan hal tersebut,"
katanya. "Caramu ini bukankah membuat aku semakin penasaran?" tanya
Siau kiong cu. "Keringkan cawan," kata Kwe Po Giok berusaha mengalihkan
percakapan. "Tidak.... Sebelum kau mengatakan siapa orangnya, aku tidak
mau minum," sahut Siau kiong cu keras kepala.
"Orang itu adalah dayang Cui thian," kata Kwe Po Giok akhirnya.
Cawan di tangan Siau kiong cu terlepas.
"Trang!!!" Suaranya memekakkan telinga, pecahan cawan itu berserakan
kemana-mana. isinya juga tumpah, sebagian bahkan membasahi
pakaiannya sendiri. Tiba-tiba Siau kiong cu berdiri dan mencengkeram tangan Kwe Po
Giok. "Po Giok.... Katakan.... Apakah dia menjadi mata-mata di samping
ayahku selama ini?" tanyanya.
Kwe Po Giok tidak sanggup menatap mata gadis itu, dia hanya
menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Coba kau katakan... apakah ayahku cao hue jit rao, ada
hubungannya dengan dayang Cui thian?" tanya Siau kiong cu
dengan mata semakin membara.
Sekali ini Kwe Po Giok menggelengkan kepalanya.
"Maksudmu, tidak ada hubungannya?" tanya Siau kiong cu kurang
percaya. "Tidak.... Aku tidak tahu," sahut Kwe Po Giok.
Air mata Siau kiong cu bercucuran "Po Giok, salahkah bila aku
menganggap dayang Cui thian sebagai musuh besar nomor dua?"
tanyanya. "Tidak...." sahut Kwe Po Giok, Pada saat itu, sebuah bayangan
meloncat ke tepi kolam, Kwe Po Giok terperanjat Orang-orang Bulim
tidak mungkin mengetahui mereka berada di tempat ini. Untuk
melindungi Siau kiong cu, Kwe Po Giok segera menarik lengan gadis
itu dan menyerang orang yang baru datang.
Serangan ini sedikitnya mengandung lwekang sebanyak tujuh
bagian, orang-orang Buiim saat ini yang bisa menerima serangan itu
tidak banyak, Namun orang yang baru datang itu dengan mudah
mengelit ke samping, tangannya dikibas-kibaskan.
"Jangan salah paham!" katanya.
Ketika kedua remaja itu menatap tamu yang baru datang, mereka
mengira mungkin benar-benar telah terjadi salah paham, Bisa jadi
orang ini adalah tamu pemilik rumah, perempuan ini berusia tiga
puluhan, mungkin kurang sedikit. Cantik, mempunyai daya tarik
tersendiri Laki-laki mana pun yang menatapnya pasti akan tergerak .
Kwee Po Giok merangkapkan kedua kepalannya, Dia menjura
hormat. "Kouwnio adalah...."
"Namaku Lian lian," sahut perempuan itu.
"Apakah Kouwnio yang mendapat julukan It ki bwe?" tanya Kwe
Po Giok dengan mata terbelalak.
"Betul!" sahut Lian lian.
Kwe Po Giok pernah mendengar nama It ki bwe, namun belum
pernah melihat orangnya. Dia sama sekali tidak menyangka orang
yang bernama besar itu ternyata masih demikian belia.
"Apakah Kouwnio mengenal pemilik gedung ini?" tanyanya.
"Tidak, Aku sengaja datang untuk menemui kalian berdua," kata
Lian lian. "Lian cici menemui kami untuk keperluan apa?" tanya Lu ji.
"Siapa Fang Tiong Seng, aku rasa tidak perlu dijelaskan lagi.
Sekarang sayapnya terbentang semakin lebar. Kita tidak boleh
menganggap remeh, Untuk membasmi orang ini, harus kerja sama
yang kompak," sahut Lian lian.
"Betul! Tidak boleh terulang kembali kejadian seperti Toa Tek To
Hun. Para jago kaum Buiim bukannya bersatu, malah
menyembunyikan diri masing-masing," sambung Lu ji.
"Apa yang dikatakan Siau kiong cu memang tepat! Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh!" kata Lian lian. Dia menoleh ke arah
Kwe Po Giok. "Bagaimana pendapat Kwe siaute tentang hal ini?"
tanyanya. Kwe Po Giok adalah seorang sin tong (Anak ajaib), Tentu saja dia
mempunyai pikiran tersendiri Apalagi dia pernah mendengar tentang
masa lalu Lian lian. "Siaute bersedia mendengar Lian cici lebih dahulu," sahutnya.
"Kepintaran Kwe siaute melebihi orang biasa, Bila kita bekerja
sama, tentu tidak sulit membasmi musuh besar ini," kata Lian lian.
"Apakah Lian kouwnio tahu rahasia tentang Fang Tiong Seng?"
tanya Kwe Po Giok. "Kemungkinan besar, kedatangan Toa Tek To Hun adalah atas
undangannya," sahut Lian Han, Kwe Po Giok tidak menggeleng atau
menganggukkan kepalanya. "Tentunya dengan maksud meminjam tangan menyembelih
ayam," lanjut perempuan itu. Hal ini bukan rahasia lagi bagi Kwe Po
Giok. "Mengapa Kwe siaute diam saja" Apakah terkaanku salah?" tanya
Lian lian. "Mungkin benar... Hanya saja Lian kouwnio tampaknya juga
kurang yakin," sahut Kwe Po Giok.
"Aku masih mengetahui satu hal lain," kata Lian Iian kemudian.
"Hal apa?" tanya Kwe Po Giok.
"Aku juga tahu siapa yang membunuh Bok lang kun, Hong be dan
Hiat Eng," sahut Lian Iian.
"Orang yang membunuh Bok lang kun dan Hong be adalah Kiau
Bu Suang, Dan siapa yang membunuh Hiat Eng belum jelas, Menurut
Chow Ai Giok, orang itu dandanannya persis Toa Tek To Hun," kata
Kwe Po Giok mendahuluinya.
"Apakah dia benar-benar Toa Tek To Hun?" tanya Lian lian.
"Bukan," sahut Kwe Po Giok.
"Mengapa kau bisa tahu kalau bukan Toa Tek To Hun?" tanya Lian
lian kembali. "Berdasarkan akal sehat," sahut Kwe Po Giok.
"Kwe siaute... apakah kau ada minat bekerja sama denganku?"
tanya Lian Iian. "Tentu saja ada. silahkan Kouwnio menjelaskan lebih terperinci,"
sahut Kwe Po Giok tenang.
"Besok malam pada kentungan ketiga, aku akan mengajak Kwe
siaute menemui dua orang, Setelah itu baru kita rundingkan
bagaimana cara kerja sama kita, Apakah Kwe siaute setuju?" sahut
Lian lian. "Siapa yang ingin ditemui?" tanya Kwe Po Giok penasaran Lian
lian tersenyum manis. "Rahasia besar tidak boleh dibicarakan Besok malam Kwe siaute
akan tahu dengan sendirinya," sahutnya.
Lian lian sudah pergi, Di tempat itu kembali tinggal dua orang
remaja tersebut Tiba-tiba Siau kiong cu menjawil lengan kekasihnya.
"Po Giok.... Menurutmu Lian lian cantik tidak?" tanyanya.
"Cantik," sahut Kwe Po Giok.
"Menurutmu... apanya yang cantik?" tanya Siau kiong cu kembali.
Kwe Po Giok mencoba mengingat-ingat.
"Semuanya cantik," sahutnya kemudian.
Kwe Po Giok berbicara apa adanya, Dia menjawab pertanyaan
Siau kiong cu menurut kenyataan yang dilihatnya. Namun dia lupa,
seharusnya tidak boleh memuji kecantikan seorang perempuan di
depan perempuan lainnya. Hal ini malah akan merunyamkan
suasana. Siau kiong cu tersenyum-senyum. Mimik wajahnya tampak aneh.
"Apakah raut wajahku tidak dapat menandinginya?" tanya gadis
itu. "Tidak... kau lebih cantik," sahut Kwe Po Giok.
"Apakah bentuk tubuhku yang tidak dapat menandinginya?" tanya
Siau kiong cu tidak mau sudah.
"Juga tidak," sahut Kwe Po Giok. Wajah Siau kiong cu berubah
kelam. "Po Giok.... Kau toh belum pernah melihat bentuk tubuhku,
Bagaimana kau bisa tahu kalau aku dapat menandinginya?" tanya
gadis itu. "lni hanya dugaan sepintas lalu saja," sahut Kwe Po Giok.
"Hal seperti ini tidak boleh main duga saja. Harus membandingkan
dengan jelas," kata Siau kiong cu.
"Bandingkan dengan jelas" Bagaimana caranya?" tanya Kwe Po
Giok keheranan. Siau kiong cu tidak menjawab, Fuhhh!!!
Lilin di atas meja ditiupnya, Di sekitar kolam gelap gulita, Namun
sedikit cahaya rembulan yang menerobos masih dapat membuat
mata memandang dengan samar-samar.
Hati Kwe Po Giok berdebar-debar, Dia melihat Siau kiong cu
sedang melepaskan bajunya, Dia tidak habis pikir, Siau kiong cu
adalah seorang gadis yang polos, mengapa dia sanggup melakukan
hal seperti ini" Namun matanya memang tidak salah lihat. Siau kiong cu jelasjelas
sedang melepaskan bajunya. Bahkan satu persatu dengan gaya
memikat, Akhirnya hanya tertinggal tubuh telanjang tanpa sehelai
benang pun. "Lu... Lu ji.... Apa... apa yang kau lakukan?" tanya Kwe Po Giok
gugup. Siau kiong cu membalikkan tubuhnya.
"Untuk pertama kalinya aku merasa cemburu kepada seorang
perempuan sedangkan tampaknya kau sangat menyukai nya. Terus
terang saja... kalau aku seorang laki-laki, aku juga pasti akan tertarik
kepadanya," kata Siau kiong cu.
"Lu ji.... jangan berkata sembarangan!" sahut Kwe Po Giok.
"Aku tidak sembarangan berkata, Aku benar-benar
memperhatikan persoalan ini. Aku hanya ingin tahu... Apakah aku
benar-benar lebih bagus dari dia atau tidak dapat menandingi
dirinya?" kata Siau kiong cu dengan nada polos.
"Lu ji,... Kau tentunya melebihi dia!" sahut Kwe Po Giok.
"Tidak tentu, Po Giok. Sinar matamu ketika memandangnya... ada
beberapa hal yang tadinya tidak begitu kuperhatikan Aku ingat... kau
belum pernah menatapku seperti itu!" kata Siau kiong cu.
Jilid: 12 Sinar rembulan yang redup, menerobos masuk melalui jendela,
Tubuh Siau kiong cu yang berkulit halus makin kentara, pinggangnya
yang ramping, payudaranya yang ranum, sepasang pahanya yang
mempesona dan gayanya yang lemah gemulai, adalah kenyataan
yang terpampang di depan mata.
Tanpa sadar Kwe Po Giok menghampirinya. Dia memeluk gadis itu
dengan segenap cinta kasih, selamanya dia tidak pernah menyangka
kalau Lu jinya ternyata mempunyai keberanian sebesar itu.
Mungkin juga Siau kiong cu percaya bahwa Kwe Po Giok hanya
menikmati tanpa maksud merusak, namun tubuhnya sedang
bergetar jantungnya berdebar-debar, Terbukti berapa besar
keberanian yang dikeluarkannya untuk melakukan hal tersebut,
untuk memamerkan tubuhnya yang tiada cacat, dia terpaksa
melakukannya. Untuk meyakinkan laki-laki itu dan membuktikan modalnya tinggi,
dia berbuat suatu hal yang bahkan dirinya sendiri pun tidak pernah
membayangkan selama ini. "Po Giok.... Katakanlah terus terang.... Apakah aku tidak dapat
menandingi perempuan itu?" tanya Siau kiong cu dengan nada
sendu. "Tidak... tidak.... Kau jauh lebih bagus dari dia!" sahut Kwe Po
Pendekar Penyebar Maut 28 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 14
^