Pencarian

Sukma Pedang 9

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Bagian 9


saja, perempuan juga tidak akan menyukai laki-laki yang benarbenar
bodoh. Sun Put Ce benar-benar merupakan teladan bagi kaum laki-laki
yang bijaksana, Dia sebetulnya cocok sebagai pemimpin dunia,
Hanya saja dia terlalu rendah diri, perhatiannya besar terhadap siapa
saja, ia lebih menitik beratkan budi daripada dendam.
Oleh karena itu, meskipun dia tidak termasuk laki-laki berwajah
tampan seperti Kwe Po Giok ataupun Kiau Bu Suang, tapi
perempuan yang menggandrunginya lebih banyak dari kedua orang
yang disebut pertama. Dan yang paling penting bukan itu saja, dia mempunyai rasa
hormat yang tinggi kepada orang yang lebih tua, kepada orang yang
berusia sebaya dan terlebih-lebih besarnya rasa setia kepada kekasih
hati. Untuk kebenaran, dia tidak ragu-ragu menelan semua kepahitan,
mengorbankan diri sendiri, lagi pula tidak terburu-buru mengambil
keputusan seperti Mo Put Chi. Laki-laki semacam dia seperti
sepotong batu kumala yang belum digosok.
Lambat laun orang akan mengetahui bahwa dia adalah sesuatu
yang berharga, Namun Siau kiong cu toh mengetahuinya lebih dini,
Bukan dia saja, juga Bwe Mei dan Chow Ai Giok.
Sayangnya, dia terlambat satu langkah dari Bwe Mei. Tetapi dia
memiliki rasa percaya diri yang tebal. Baik status diri, kecantikan dan
kecerdasan otaknya. Dia percaya sekali kepada dirinya sendiri.
Dia tidak menganggap dirinya bersalah apabila mengejar laki-laki
yang diingininya selama laki-laki itu belum mengikat janji ataupun
terikat secara resmi, Karena bila hal itu berhasil, dia bukan hanya
memenuhi kepuasan hatinya sendiri, tetapi juga membuat laki-laki
itu menjadi seorang yang berilmu tinggi, sehingga dapat
membalaskan sakit hati para jago Tionggoan yang telah gugur. .
Siau lok sudah mendengar kisah cinta kasih antara Sun Put Ce
dan Bwe Mei yang berliku-liku, wajahnya terlihat murung, Hatinya
merasa apa yang diharapkan Siau kiong cu terlalu berat untuk dapat
terlaksana. "Moi moi. Kalau aku menjadi dirimu. Aku pasti tidak akan
meneruskan niat ini," katanya.
"Cici. Nyatanya kau memang bukan aku," sahut Lu ji.
"Tetapi... kalau kau memang bertekad meneruskan niat ini,
mungkin memang ada hasilnya, namun Moi moi harus menyadari,
menyakiti orang lain kadang-kadang sama juga dengan menyakiti
diri sendiri. Paling tidak, akibatnya akan seperti itu," kata Siau lok
sambil menarik nafas panjang.
Perempuan itu memang bukan seperti perempuan penghibur
lainnya. "Cici, urusan yang lain kau tidak usah terlalu pusingkan, engkau
hanya perlu memberitahukan kepadaku bagaimana caranya
mendapatkan laki-laki itu," sahut Siau kiong cu.
"Bunuh saja Bwe kouwnio itu," kata Siau lok.
"Bagaimana kau bisa memberikan nasehat sejahat itu?" tanya
Siau kiong cu. "Apakah kau kira bila tidak membunuh Bwe kouwnio itu, kau akan
mendapatkan laki-lakinya?" kata Siau lok.
"Aku justru mengharap nasehat yang tidak mencelakai gadis
tersebut," sahut Siau kiong cu.
"Aih...." Siau lok menarik nafas kembali "Sebetulnya kau bunuh
atau tidak, sama saja. Setelah laki-laki itu direbut olehmu, apakah
Bwe kouwnio bisa hidup lebih lama?" tanyanya.
"lni yang kau maksudkan membunuhnya?"
"Jika kau memecahkan hubungan kedua orang itu, dan pada
akhirnya kau sendiri juga tidak mendapatkan apa-apa. Apa yang
akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Siau lok.
Kepala Siau kiong cu tertunduk mendengar ucapan tersebut.
"Moi moi aku bermaksud baik. Kau jangan salah sangka, Laki-laki
di dunia ini sangat banyak, memaksakan diri untuk mendapatkan
yang satu itu hanya akan membuat diri Moi moi menderita," kata
Siau lok menasehati. "Apakah perempuan macam dirimu juga ada perasaan?" tanya
Siau kiong cu dengan suara ketus, Tatapan matanya tajam sekali.
Dia sendiri tidak pernah menyangka kalau dirinya dapat
mengeluarkan kata-kata seperti itu.
Ketika dia meninggalkan rumah hiburan tersebut, Siau lok sama
sekali tidak marah kepadanya, Dia malah berpesan kepadanya.
Apabila seorang perempuan ingin menguasai hati seorang laki-laki,
menguasai dalam arti selamanya. Hanya satu kata yang perlu di
ingat, "kejujuran". Tanpa kejujuran, dia tidak mungkin akan
memperolehnya. Mereka berpisah di depan pintu kamar. Siau kiong cu berjanji,
kalau urusannya dapat terselesaikan dengan sempurna, dia akan
kembali lagi untuk menebus Siau lok agar terlepas dari lembah nista
tersebut. -ooo0ooo- Fang Tiong Seng kembali berlatih ilmu pedang.
Setelah berhasil membunuh Toa Tek To Hun, hatinya semakin
tidak tenang, Dia merasa bahaya di sekitar dirinya semakin menebal.
Sikap manusia di mana-mana sama saja. Ketika hati mereka ingin
melakukan sesuatu, mereka akan melakukannya tanpa berpikir
akibat yang timbul.Seakan bila semua sudah terlaksana maka hati
pun akan puas, Kenyataannya tidak semua yang demikian, Kadangkadang
kekecewaan yang timbul malah lebih besar dari sebelumnya.
Sebetulnya, makin tinggi kedudukan seseorang, beban yang
dipikulnyapun semakin berat. Malah adakalanya pikiran semakin
banyak sehingga menjatuhkan diri sendiri.Bila seseorang
memandang ke atas dari tempat yang rendah, hal itu sering
menimbulkan perasaan pusing, karena tidak terbiasa, Tapi apabila
memandang ke atas dari tempat yang cukup tinggi, maka tidak akan
menimbulkan akibat apa-apa. Artinya, manusia lebih baik menurut
apa yang sewajarnya harus dialami, jangan memaksa diri untuk
suatu yang mustahil. Pada kentungan kedua lewat sedikit, Fang Tiong Seng baru mulai
berlatih ilmu silatnya, Tiba-tiba ada seorang yang melayang datang
dengan selembar daun kering sebagai alas. Suara yang diterbitkan
dari luncurannya memekakkan telinga, Fang Tiong Seng
memperhatikan orang tersebut, "Cayhe rasanya tidak mengenal..."
"Aku mengenalmu sudah cukup," sahut orang yang baru datang
itu. Orang itu berwajah persegi matanya sipit. penampilannya seperti
orang yang sedang murung hatinya.
"Tempat ini adalah taman bagian belakang dari Jin gi san cuang,"
kata Fang Tiong Seng mengingatkan.
"Jin Gi san cuang adalah kekayaan alam Bulim, Tidak dapat
dikatakan milikmu seorang," sahut orang itu.
Fang Tiong Seng tertawa. "Cayhe ingin tahu maksud perkataan saudara," katanya.
"Fang Tiong Seng.... selamanya menutupi kejahatan dengan
berlagak mulia. Setiap perbuatan busukmu dilakukan dengan rapi.
Setiap tahun kau pasti pergi ke tempat yang jauh. Dan kalau kembali
pasti saku terisi penuh, Apa yang kau lakukan kau anggap tidak ada
yang tahu. Kau merampok, membakar rumah orang, Kejahatan yang kau
lakukan sungguh tidak sedikit, harta yang kau dapatkan seluruhnya
dari cara tidak benar, Apakah kau berani mengatakan Jin Gi san
cuang ini dibangun dengan harta pribadimu?" tanya orang tersebut.
"Rupanya kau adalah seorang yang penuh perhatian," sahut Fang
Tiong Seng. "Tidak perlu memujiku terlalu tinggi. Manusia she hua ini juga
bukan orang baik-baik. Oleh sebab itu, aku dapat mengetahui
dasarmu," kata orang itu sambil tertawa lebar.
"Rupanya Co san tuan chang Huan can lei, Hua taihiap!" seru
Fang Tiong Seng ikut memperlihatkan senyumnya.
"Fang Tiong Seng. Apa yang kukatakan tidak salah bukan?" tanya
Hua can lei. Fang Tiong Seng tersenyum semakin lebar.
"Ada keperluan apa hua taihiap berkunjung?" tanyanya,
"Aku terdesak uang sebesar lima laksa tail. Aku harap kau dapat
menyumbangnya untukku," sahut Hua can lei.
"Boleh... jumlah kecil," kata Fang Tiong Seng.
Hua can lei seumur hidupnya pernah mengalami tujuh kali
kemalangan, Pertama ketika usianya tujuh tahun, Dia kehilangan
ibunya, Sepuluh tahun, kehilangan ayahnya, Tigapuluh tahun,
kehilangan istri. Usia tigapuluh dua sampai tigapuluh enam anaknya
yang empat orang mati berturut-turut, Oleh karena itu, nama aslinya
yang Hua Cuan Fang diganti menjadi Hua can lei (Hua mengalirkan
airmata) panggilan Co san tuan chang (pembelah usus dari gunung
Co) disebabkan hal itu juga.
"Sejak Toa Tek To Hun datang ke Tionggoan dan membunuh
sebagian besar jago kelas satu, Hanya kau seorang yang selamat
dari serangannya. Aku sudah menduga kalau ada udang di balik
batu," sahut Hua can lei.
"Aku bersedia mendengar keterangan selanjutnya," kata Fang
Tiong Seng. "Pernah terdengar berita bahwa kedatangan Toa Tek To Hun
adalah atas undanganmu. Kau ingin meminjam tangannya untuk
melenyapkan sebagian besar jago yang mungkin akan
menggoyahkan kedudukanmu," sahut Hua can lei.
"Semakin bicara semakin kacau, Lalu kemana perginya Toa Tek
To Hun sekarang" Mengapa dia bisa melepaskan jago kelas satu
seperti Hua heng?" tanya Fang Tiong Seng.
"Karena cayhe tidak berada di Tionggoan," sahut Hua can lei.
"Setahuku.... Asalkan orang yang namanya tertera dalam daftar
Toa Tek To Hun, meskipun tidak berada di Tionggoan, tetap akan
dicarinya sampai ketemu, Kecuali satu hal," kata Fang Tiong Seng.
"Kecuali satu hal apa?" tanya Hua can lei.
"Menyebarkan berita bahwa dirinya sudah mati atau mengarang
cerita palsu seperti Kiau Bu Suang yang mengatakan dirinya Coa hue
jit mo. Toa Tek To Hun tidak membunuh orang yang demikian," kata
Fang Tiong Seng. "Apakah cayhe menyebarkan berita bahwa cayhe cao hue jit mo?"
tanya Hua can lei. "Meskipun tidak menyiarkan berita seperti itu. Namun Hua heng
menyembunyikan diri ke tempat yang susah dicapai Toa Tek To Hun
tidak berhasil menemukan Hua heng," kata Fang Tiong Seng.
"Maksudmu, Aku sengaja menyembunyikan diri?" tanya Hua can
lei. "Aku merasa berat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun,
cayhe merasa kagum terhadap beberapa jago yang berani
menghadapi Toa Tek To Hun, meskipun mereka harus
mengorbankan diri," sahut Fang Tiong Seng.
"Sayangnya cayhe terlambat satu langkah," kata Hua can lei
sambil tersenyum sinis. "Apa maksud perkataan Hua heng itu?" tanya Fang Tiong Seng.
"Kalau Toa Tek To Hun masih ada di Tionggoan, cayhe mau
bertarung dengannya," sahut Hua can lei.
Fang Tiong Seng tertawa dingin.
"Kalau Hua heng bersedia, boleh bertanding denganku saja,"
katanya. "Toa Tek To Hun pernah mengalahkanmu," sahut Hua can 1ei.
"Justru karena dia pernah mengalahkan aku, maka aku
mengajukan pertandingan ini, seandainya Hua heng bisa
mengalahkan aku, baru pantas menantang Toa Tek To Hun," kata
Fang Tiong Seng. "Manusia she Hua bersedia menerima," sahutnya.
Kedua orang itu berdiri berhadapan, pedang masing-masing telah
tergenggam di tangan, Kalau diurut dari tingkatan, nama Hua can lei
masih berada di atas Fang Tiong Seng. Namun Fang Tiong Seng
adalah satu-satunya lawan yang dapat lolos dari ancaman pedang
Toa Tek To Hun. Ketika mata mereka bertemu, pedang masing-masing juga
dihunus dalam waktu yang bersamaan. Sinar-sinar berpijaran bagai
bunga api. Kedua orang itu saling menyerang sebanyak lima kali,
namun lima kali serangan itu berbaur menjadi satu. Pada serangan
keenam, salah satu pedang tersebut telah masuk kembali ke dalam
sarungnya. Kelebatan cahaya dari pedang telah sirna. Pedang telah disimpan
kembali, Orang yang pedangnya belum ditarik kembali menatap
lawannya dengan hati kecut. Kedua tangannya terkulai ke bawah.
Darah mengucur deras dari kening. Kedua matanya terbelalak,
seakan tidak mempercayai apa yang dialaminya.
Apa yang dialirkan oleh Hua can lei bukan air mata lagi, namun
darah segar. Ada sekelumit manusia yang berlatih pedang separuh
hidupnya, namun ketika bertarung dengan lawan, toh dia hanya
menyerang seadanya. Tanpa sempat memilih tempat kematian bagi
lawannya itu. Ketika Toa Tek To Hun merajalela, dia menyembunyikan diri,
Setelah jejak orang itu tidak menentu, entah dia muncul dari mana.
Satu hal lagi yang tidak dapat dimaafkan dia sudah tahu kalau
kedatangan Toa Tek To Hun adalah atas undangan Fang Tiong
Seng. Toh, dia masih berani memeras Fang Tiong Seng sebanyak lima
laksa tail, Lima laksa tail memang kecil bagi Fang Tiong Seng,
Namun, bagi orang semacam dia, pasti tidak akan mengeluarkan
uang dalam keadaan seperti itu.
Sebelumnya, Hua can lei seharusnya sudah memikirkan hal itu.
Fang Tiong Seng bukan orang yang suka diancam, jika dia
memintanya secara baik-baik, mungkin akhir ceritanya tidak akan
seperti ini. Tetapi, orang yang sudah mati kan tidak bisa hidup
kembali" Jilid 16 Bagian Dua Puluh Satu Sun Put Ce setiap hari berkumpul bersama Bwe Mei. Dia mereka
berlatih tanpa mengenal lelah, Hubungan mereka pun semakin
dalam.Sedangkan Mo Put Chi juga berubah menjadi orang baru
setelah berkenalan dengan Lian hu. Bila dulu dia hanya makan dua
mangkok nasi sehari tiga kali, sekarang bertambah menjadi empat
mangkok, wajahnya selalu dipenuhi senyuman, Dia tampaknya jauh
lebih riang daripada ketika Hu Put Chiu masih hidup. Sun Put Ce
mengingatkannya agar memberitahu Lian hu supaya hubungan
mereka jangan dilaporkan kepada sang suci, Lian hu mengatakan
bahwa saat ini dia masih belum ingin bertemu dengan Lian-lian. Dia
juga memberitahu Mo Put Chi maksud kedatangannya. Rupanya dia
menerima perintah dari suhunya untuk menyelidiki tindak tanduk
Lian lian, Mereka berasal dari perguruan Lam hai (Lautan Selatan).
Mo Put Chi semakin kagum terhadap sutenya. Kalau bukan Sun
Put Ce yang membuka jalan, mungkin seumur hidupnya dia tidak
pernah mempunyai keberanian untuk mendekati seorang
perempuan. Hari ini Mo Put Chi dan Sun Put Ce keluar rumah. Tidak lama
kemudian mereka berpencar diri, Tanpa disangka-sangka, Sun Put
Ce bertemu dengan Siau kiong cu. Dia mengira pertemuan itu hanya
kebetulan saja. Siapa tahu, dalam hal ini perempuan paling pandai memainkan


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peran perangkap tikus, Tentu saja laki-laki yang menjadi tikusnya,
Meskipun perangkap itu adalah sebuah benda mati, tapi tikusnya
adalah makhluk hidup. "Siau kiong cu, kau sudah terlepas dari cengkeraman Lian lian?"
tanya Sun Put Ce dengan nada gembira.
"Betul, Sun Toako," sahut Lu ji.
"Apakah kau sudah bertemu dengan Siau Kwe?" tanya Sun Put Ce
kembali. "Tidak, Apakah kau sendiri pernah bertemu dengannya?" Gadis itu
membalikkan pertanyaan Sun Put Ce.
"Beberapa hari yang lalu, Bukankah dia menerima surat darimu
dan berjanji untuk bertemu denganmu di Coa kok?" tanya Sun Put
Ce. Siau kiong cu terpana. "Tidak pernah ada kejadian seperti itu. Aku tidak pernah menulis
surat kepadanya," sahutnya.
"Celaka! Kwe Po Giok pasti ditipu oleh Lian lian, Siau kiong cu....
Bagaimana kau dapat terlepas dari tangannya?" tanya Sun Put Ce.
"Dia meminta aku mengajarkan Kiam sut rangkaian bunga.
Terang-terangan dia tahu bahwa aku tidak mungkin menjelaskan
semuanya," kata Siau kiong cu.
"Tentu saja," sahut Sun Put Ce.
"Betul, Dia menggunakan kebaikan palsu untuk melunakkan
hatiku. Tentunya dengan harapan aku akan tergerak dan
menjelaskan semuanya. Dia juga mengarang sebuah cerita bohong
bahwa orang yang bekerja sama dengannya menaruh perhatian
terhadapku, dengan demikian dia takut kalau diriku akan ternoda
dan untuk menunjukkan kebaikan hatinya, dia melepaskan diriku,"
kata Siau kiong cu. "Dia benar-benar melepaskan dirimu?" tanya Sun Put Ce.
"Betul Tapi, aku tahu dia tentu mengikutiku secara diam-diam,"
kata Siau kiong cu. "Lalu bagaimana kau terlepas dari kuntitannya, padahal kau tidak
bisa ilmu silat?" tanya Sun Put Ce.
"Meskipun aku tidak bisa ilmu silat, namun aku paham sekali sifat
air. Dia tentu tidak menduganya," kata Siau kiong cu.
"Kau melarikan diri lewat jalan air?" tanya Sun Put Ce. Suaranya
seakan kagum sekali, "Di daerah pegunungan itu ada sebuah air terjun yang deras,
Mereka tentu tidak mengira kalau aku akan mengambil jalan yang
berbahaya itu," kata Siau kiong cu menjelaskan.
"Hal ini sebetulnya tidak mengherankan Kau dibesarkan di tengah
lautan, tentu paham sekali ilmu dalam air. Siau kiong cu.... Di mana
kau tinggal sekarang?" tanya Sun Put Ce.
"Aku juga tidak tahu harus tinggal di mana," sahut Siau kiong cu.
"Siau kiong cu kalau tidak keberatan Untuk sementara boleh
tinggal dengan Bwe kouwnio, Kalian bisa saling melindungi. Bukankah
tidak ada hal lain yang lebih bagus lagi?" kata Sun Put Ce.
"Sun Toako.... Aku tidak ingin mengganggu kalian. Aku ingin
menyewa sebuah rumah sendiri," sahut Siau kiong cu.
"Baiklah, Aku akan mencari secepat mungkin," kata Sun Put Ce.
Sun Put Ce memang banyak mengenal penduduk kota itu, Dia
sangat pandai bergaul penduduk setempat sangat menyukainya,
Tidak lama kemudian dia sudah berhasil mencari sebuah pondokan
untuk gadis itu. Siau kiong cu langsung pindah hari itu juga.
"Sun Toako.... Setelah kejadian ini, aku ingin mewariskan semua
ilmu peninggalan ayah kepada orang yang sesuai," katanya.
"Memang sudah seharusnya begitu," sahut Sun Put Ce
menyetujui. "Aku merasa Sun Toako merupakan pilihan yang tepat," kata Siau
kiong cu kembali. "Aku" Tidak.... Tidak bisa," sahut Sun Put Ce gugup.
"Betul. Tidak ada orang yang lebih sesuai daripada Sun Toako,"
kata Siau kiong cu tegas.
Sun Put Ce termangu-mangu.
"Mengapa Siau kiong cu tahu kalau aku sanggup mempelajari ilmu
itu?" tanyanya. "Aku tahu. Kau pernah menyaksikan aku merangkai bunga
beberapa kali, Daya tangkapmu sungguh cepat, Dalam waktu yang
hanya beberapa kali saja kau sudah mengerti maknanya yang
dalam," sahut Siau kiong cu.
"Tetapi, Siau Kwe adalah Sin tong. Yang dipelajarinya lebih
banyak dari aku. Dia baru...."
Siau kiong cu menggelengkan kepala menukas perkataan Sun Put
Ce. "Aku sudah mengajarkan semua ilmu pedang rangkaian bunga itu
kepadanya, tapi yang paling sederhana pun tidak bisa diterimanya
dengan cepat," katanya.
"Mengapa?" tanya Sun Put Ce.
"Mungkin karena dia terlalu membanggakan dirinya sendiri," sahut
Siau kiong cu. Sun Put Ce terpana. Ternyata ada juga hal yang tidak dapat dipelajari oleh Sin tong.
Tadinya dia mengira tidak ada hal yang tidak dapat dilakukan oleh
Sin tong. "Karena aku takut ada orang jahat yang mengincar diriku, lebih
baik aku cepat-cepat mewariskannya kepada orang yang pantas
menerimanya," kata Siau kiong cu selanjutnya,
Sun Put Ce berusaha menolak,
"Siau kiong cu.... Aku rasa tidak ada orang yang lebih sesuai
daripada Siau Kwe," sahutnya.
"Tetapi saat ini, entah dia ada di mana. sedangkan waktu tidak
memungkinkan lagi untuk menunda," kata Siau kiong cu.
Sun Put Ce tiba-tiba merasa, bahwa keselamatan dan keadaan
Kwe Po Giok sekarang tidak terlalu menjadi perhatian Siau kiong cu.
Dia benar-benar tidak mengetahui apa alasannya.
"Siau kiong cu.... Kalau kau masih ingin meminum arak, aku
rasanya tidak sanggup lagi, Harap maafkan," katanya.
Siau kiong cu tidak memperdulikan kata-kata itu.
"Sebelum ayahku pergi, dia pernah mengatakan kepadaku, Sun
Toako merupakan orang yang dapat diandalkan Mungkin beliau
sudah menyiratkan bahwa dirinya tidak melarang bila aku
meninggalkan ilmu pedang ini kepadamu. sayangnya ayah tidak
sempat mengenalmu lebih lama," sahut Siau kiong cu.
"Siau kiong cu.... Aku tetap menganggap Siau Kwe lebih pantas
menerimanya," kata Sun Put Ce berkeras.
"Sun Toako,... Apakah kau menganggap Kiam hoat ayah tidak
cukup tinggi?" tanya Siau kiong cu.
"Tidak.... Tentu tidak!" sahut Sun Put Ce gelagapan.
"Nah.... Apa yang kau tunggu lagi" Tidakkah kau lihat bahaya
yang semakin mengancam Bulim sekarang?" kata Siau kiong cu.
Sun Put Ce tidak sanggup memberi jawaban.
"Baik. Kita mulai sekarang, Aku harap Sun Toako datang setiap
hari, Aku akan merangkai bunga di depan Toako, Tentu Siau Kwe,
aku harap Sun Toako juga membantu mencarinya," kata Siau kiong
cu kembali "Ketika dikurung oleh Lian lian tempo hari, apakah Siau kiong cu
masih mengingat di mana tempatnya?" tanya Sun Put Ce.
"Tampaknya seperti sebuah biara," sahut Siau kiong cu.
Sun Put Ce merenung sesaat.
"Mungkinkah Cui goat si?" tanyanya.
"Kemungkinan besar betul, Tadinya ada Toa pei su thay dan dua
orang nikouw yang menetap di sana. Toa pei su thay adalah kepala
biara tersebut Namun belakangan, mereka tidak terlihat lagi. Aku
selalu merasa bahwa keadaan mereka lebih banyak bahaya dari
pada selamatnya," sahut Siau kiong cu.
Sebetulnya, yang paling dikhawatirkan Siau kiong cu memang
masalah ilmu pedang ayahnya yang belum mendapatkan ahli waris
yang sesuai. ***** Yang dipelajari oleh Sun Put Ce dan Bwe Mei memang ilmu
pedang peninggalan Tang hay sin sian. Tapi dia tidak
memberitahukan kepada Siau kiong cu.
Siau kiong cu merangkai sejambangan bunga untuk diperlihatkan
kepada Sun Put Ce. Dengan cepat laki-laki itu dapat memahaminya,
Tetapi pikirannya terus tertuju kepada Bwe Mei.
Dia menjelaskan apa yang dipahaminya dengan tergesa-gesa,
Tentu saja Siau kiong cu mengerti isi hatinya.
Gadis itu pernah memamerkan keindahan tubuhnya agar dilihat
oleh Kwe Po Giok. Mengapa sekarang dia berubah haluan" Bukankah
dia dapat dianggap gadis yang begitu mudah berubah hatinya dan
tidak setia" Sebetulnya, Siau kiong cu juga dapat dikatakan seorang Sin tong.
Dia dapat merasakan kalau Kwe Po Giok dapat terpincut oleh
kecantikan dan kegenitan Lian lian, pandangannya terhadap
perempuan itu tempo hari, menyiratkan gairah dan harapan.
Kwe Po Giok tidak pernah memandangnya dengan tatapan seperti
itu, Dia mengatakan bahwa dirinya tidak memandang dengan
tatapan seperti itu karena menghormatinya, Tapi Siau kiong cu tidak
menganggap demikian. Pengetahuan dan usianya tidak dapat di-samakan, Dia tahu, biar
bagaimana pun rasa hormat seseorang terhadap kekasih-nya,
namun hubungan antara laki-laki dan perempuan memang tidak
terlepas dari gairah dan nafsu. Sebaliknya, dia merasa dirinya
mempunyai kekurangan sehingga perasaan Kwe Po Giok kepadanya
menjadi tidak menggebu-gebu.
Dapat juga dikatakan bahwa antara laki-laki dan laki-laki lainnya
bisa ada persahabatan tapi antara laki-laki dan perempuan tidak
mungkin, Yang ada hanya rasa cinta atau benci. Dan itu berarti
kalau hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah mencapai
taraf tertentu, pasti akan terjalin hubungan batin yang dalam.
Meskipun Sin tong, pada saat kedewasaannya sudah sampai, pasti
akan mempunyai keinginan dan kebutuhan yang sama.
Sun Put Ce menceritakan kejadian itu kepada Bwe Mei.
"Siau kiong cu ingin mewariskan ilmu pedang peninggalan Tang
hay sin sian kepadamu, hal ini membuktikan bahwa dia sudah
mengenal sifatmu benar-benar," kata Bwe Mei datar.
"Bwe Mei.... Kata-katamu ini seakan lebih membela dirinya," sahut
Sun Put Ce. "Apakah ucapanku salah?" tanya Bwe Mei.
"Apakah aku terhitung seorang pendekar?"
"Kalau kau tidak berjiwa pendekar, mungkinkah pilihan Bok lang
kun jatuh pada dirimu?" tanya Bwe Mei.
"Bwe Mei.... jangan terlalu besar hati," sahut Sun Put Ce.
"Bagaimana mungkin" Hanya saja, mendengar nada suaramu,
rasanya rasa kepercayaan Siau kiong cu terhadap Kwe Po Giok
sudah hilang sebagian," kata Bwe Mei.
"Siau Kwe juga tidak dapat disalahkan. Usianya masih terlalu
muda. Perasaan ingin main-mainnya masih kuat. Dia belum cukup
serius menangani sesuatu hal," sahut Sun Put Ce.
"Mungkin ini juga penyebab Siau kiong cu tidak yakin terhadap
dirinya, Apalagi Lian lian justru berhasil menculik Siau kiong cu lewat
tangannya," kata Bwe Mei.
"Apakah kau anggap hanya karena hal ini maka Siau kiong cu
kehilangan kepercayaan kepada Siau Kwe?" tanya Sun Put Ce.
Bwe Mei tersenyum-senyum.
"Mungkin kepercayaannya, beralih kepadamu," sahutnya.
"Bwe Mei.... Kau terlalu curiga," kata Sun Put Ce.
"Aku hanya bergurau, Siapa suruh kau menanggapi secara
serius?" sahut Bwe Mei.
Bwe Mei masuk ke dapur untuk mempersiapkan makanan, Sun
Put Ce tahu, meskipun gadis itu menyangkal tapi dalam hatinya
memang ada sedikit kecurigaan. Sun Put Ce mengajarkan apa yang
dipelajarinya dari Siau kiong cu kepada Bwe Mei.
Lian lian ternyata jauh lebih jalang dari dayang Cui thian,
Perempuan seperti dia, persis seperti para gundikdi Istana Raja,
Biarpun laki-laki macam apa yang berhasil digaetnya, tentu akan
diajaknya berbuat mesum. Yang penting laki-laki. Baik tua ataupun
muda. Sejak bertemu Kwe Po Giok untuk pertama kalinya. Dia sudah
merasa kalau pemuda itu sudah cukup dewasa, Dia tahu,
perempuan yang diinginkan Kwe Po Giok bukan sejenis Siau kiong cu
yang lemah lembut. Dia menginginkan seorang perempuan yang dapat membuat
hatinya berdebar-debar, yang dapat membuat bulu kuduknya berdiri
dan membuat hatinya tegang.
Kwe Po Giok telah terjatuh dalam pelukan Lian lian, Begundalnya
sendiri sudah dapat melihat dengan jelas.
"Asalkan kau berhasil memancing ilmu pedang Tang hay sin sian
dari dirinya, aku tidak melarang kau mempergunakan siasat apa
pun," katanya. Lian lian mana mungkin tidak mengerti apa maksudnya" Oleh
sebab itu, Lian lian hari ini mengajak Kwe Po Giok minum arak
berdua, Dia sengaja mengenakan pakaian yang tembus pandang.
Yang terlihat jelas justru bagian dada dan sela-sela pahanya. Apa
yang paling senang dinikmati pemuda itu memang bagian tersebut
Lian lian merasa bangga terhadap dirinya. Dia yakin Kwe Po Giok
sudah berada dalam cengkeramannya
"Kwe siaute.... Aku tahu kau sangat menyukaiku," katanya.
"Tidak salah," sahut Kwe Po Giok.
"Sebetulnya aku juga tertarik padamu," kata Lian lian.
"Sayang sekali usia kita terpaut jauh," sahut Kwe Po Giok.
"Usia tidak menjadi soal. Di dunia ini banyak sekali laki-laki tua
beristri muda. Begitu juga sebaliknya, Yang penting sama-sama
suka," kata Lian lian sambil tersenyum manis.
Dia sengaja meliuk-liukkan pinggangnya dengan gaya memikat.
Tampaknya dia ingin membuat Kwe Po Giok kesem-sem.
"Kau tidak takut dia akan cemburu?" tanya Kwe Po Giok.
"Dia siapa?" tanya Lian lian pura-pura tidak mengerti.
"Siapa lagi kalau bukan laki-lakimu," sahut Kwe Po Giok.
"Dia tidak berhak cemburu. Dia juga tidak berani mengatur
kemauanku," kata Lian lian.
"Kau bebas sekali," Hati Kwe Po Giok tergerak.
Api yang dikobarkan perempuan ini memang jauh lebih panas dari
Siau kiong cu. Kwe Po Giok ingin sekali mencobanya, Kenyataannya
jarang sekali ada laki-laki yang sanggup menolak gairah yang
dibangkitkan oleh Lian lian.
"Kau ingin bukan" Maka dari itu kau harus jujur terhadap cici,"
kata Lian lian. "Tentu, Apa yang ingin aku lakukan pasti akan segera dilakukan
dengan baik," sahut Kwe Po Giok.
"Kalau kau memberitahukan seluruh ilmu pedang peninggalan
Tang hay sin sian, aku tentu tidak akan mengecewakan dirimu.
Kapan saja kau menginginkannya, aku akan memberikan pada
waktu itu juga," kata Lian lian.
"Memberikan pada waktu itu juga?" tanya Kwe Po Giok yang
tampaknya tertarik dengan tawaran tersebut.
"Tentu, Karena aku juga menyukaimu," kata Lian lian.
"Di mana sebetulnya Siau kiong cu sekarang?" Dia tetap tidak
dapat melupakan Siau kiong cu.


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah kulepaskan Benar-benar sudah kulepaskan," sahut Lian
lian. "Baiklah, Aku percaya kata-katamu. Bila kau ingin mempelajari
ilmu pedang peninggalan Tang hay sin sian, maka kau harus
mempelajari sim hoatnya terlebih dahulu," kata Kwe Po Giok.
"Sim hoat?" tanya Lian lian.
"Betul, Tanpa mempelajari sim hoatnya, untuk selamanya kau
jangan harap dapat berlatih ilmu pedang tersebut," sahut Kwe Po
Giok. "Kau akan mengajarkan sim hoatnya terlebih dahulu?" tanya Lian
lian. "Betul, Aku akan membacakan sebaris rahasianya, Kau coba-coba
duduk sekitar satu kentungan, Kau lihat sendiri bagaimana
reaksinya," kata Kwe Po Giok dengan wajah serius.
"Kau sungguh-sungguh bisa mengajari aku?" tanya Lian lian.
Kwe Po Giok menyapu tubuh Lian lian dengan sikap penuh gairah.
"Bukankah semua ini demi mendapatkan dirimu yang cantik?"
sahutnya. Lian lian tertawa dengan gaya mengundang, Dapat membuat
seorang anak muda terbangkit birahinya, dia merasa sangat bangga,
perempuan memang perempuan, Tapi daya tariknya berlainan,
Kecerdasan otaknya juga tidak sama, Seperti juga seorang
perempuan yang cantik, Ada yang dapat memanfaatkan
kelebihannya, ada yang tidak berani.
Kwe Po Giok memberitahukan sekelumit rahasia sim hoat
tersebut, Lian lian segera duduk bersila dan mengikuti ajarannya,
Kwe Po Giok sendiri juga duduk bersila, Hanya saja tujuan mereka
berbeda, Lian lian sedang memusatkan pikirannya mempelajari sim
hoat Tang hay sin sian, sedangkan Kwe Po Giok sedang berusaha
melepaskan totokan jalan darahnya.Sebab dia selalu yakin dirinya
adalah Sin tong. Dia memang tertarik dengan kegenitan perempuan
itu, namun menyelamatkan diri lebih penting dari segalanya.
Kira-kira sepeminuman teh kemudian, dia telah berhasil
melancarkan kembali jalan darah yang tertotok, Dia membuka mata
dan memandang Lian lian, perempuan itu memang mempesona,
Sampai sekarang, dia belum pernah bertemu dengan seorang
perempuan yang mempunyai daya tarik demikian hebat perempuan
yang dapat membuat seorang laki-laki enggan mengedipkan matanya.
Tanpa dapat menahan diri, dia mengulurkan tangan untuk
menjamah. Tiba-tiba dia terperanjat karena pada waktu yang bersamaan,
Lian lian juga membuka matanya.
"Apa yang hendak kau lakukan?" tanyanya.
"Aku hanya ingin meraba," sahut Kwe Po Giok.
"Mengapa harus meraba?" tanya Lian lian.
"Aku hanya ingin membuktikan, apakah perasaan dalam khayalan
dan kenyataan itu sama rasanya?" kata Kwe Po Giok.
"Siau Kwe.... Ternyata kau memang Sin tong."
"Sejak usia tiga tahun, orang sudah tahu kalau aku Sin tong,"
sahut Kwe Po Giok tersenyum.
"Tetapi, Sin tong di dunia ini mungkin bukan hanya satu dua
saja," kata Lian lian.
"Apakah dirimu juga termasuk salah satu di antaranya?" tanya
Kwe Po Giok. "Meskipun aku tidak termasuk, namun aku mengerti sekali jiwa
Sin tong," kata Lian lian,
Tiba-tiba dia mengulurkan tangan untuk menampar salah satu
jalan darah penting di bagian dada Kwe Po Giok, Mungkin dia sama
sekali tidak menyangka kalau pemuda itu sudah dapat mengeluarkan
tenaga. Dia terkejut sekali ketika telapak tangannya disambut oleh
pemuda tersebut. Pada saat yang sama, mereka bangkit.
"Blang!!!" Pertemuan antara kedua telapak itu belum dapat memastikan
kepandaian siapa yang lebih tinggi Karena di pihak Lian lian,
memang tidak sungguh-sungguh ingin melukai Kwe Po Giok,
sedangkan pemuda itu tidak menyangka adanya serangan tersebut.
Namun pada serangan kedua dan ketiga, Lian lian terdesak mundur
sebanyak lima langkah. Semuanya telah usai, impiannya seakan melayang jauh, Dia
segera menarik diri. Bukan Lian lian tidak berani bertanding kembali
tapi dia juga merasa lebih baik mundur teratur. Dia terpaksa melihat
Kwe Po Giok menghilang dari hadapannya.
Dia menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja dia tetap
memejamkan mata dan membiarkan Kwe Po Giok menjamahnya.
Mungkin pemuda itu akan menunduk sepenuhnya. Namun hal itu
juga tidak berani dipastikan. Karena Kwe Po Giok adalah seorang Sin
tong sedangkan dirinya bukan.
Sun Put Ce merangkul sekumpulan bunga. Dia memang tidak
pandai merangkai bunga, namun dia amat menyukainya.
Siau kiong cu sering meminta dia membawa pulang bunga-bunga
segar. Dia sudah mempelajari cukup banyak dari rangkaian bunga
Siau kiong cu. Gadis itu pernah menyatakan bahwa daya tangkapnya
lebih cepat dari Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak tahu apakah dia menyukai Siau kiong cu. Tapi
dia tahu pasti dirinya sangat menghormati gadis itu. Namun dia
merasa perhatian dan kasih sayang Siau kiong cu terhadapnya
semakin mendalami Dia sering memaksa Sun Put Ce melepaskan
balutan luka di tangannya dan membersihkannya sendiri.
Kadang kala dia juga memasakkan makanan yang enak-enak. Dan
satu persoalan lagi yang membuat hatinya tidak tenang, Antara
hitam dan putih bola mata Siau kiong cu, dia melihat secercah sinar
yang tidak dimengertinya, Siau kiong cu sering mencuri pandang
terhadapnya. Sun Put Ce memang belum terlalu lama berdekatan dengan
perempuan, namun pengetahuannya tentang lawan jenis itu sudah
cukup mendalam. Hatinya merasa tertekan Dia merasa dirinya turut
bersalah kalau membiarkan perasaan itu tumbuh. Meskipun tanpa
maksud demikian pada mulanya.
Dengan serangkum bunga di tangan, dia mengetuk pintu rumah
Siau kiong cu. Gadis itu cepat-cepat membukakan dan menerima
rangkuman bunga tersebut.
"Toako..." Dia memanggil dengan suara merdu.
Tanpa sepengetahuan kedua orang itu, ada sepasang mata yang
memandang dengan terbelalak. Mata itu seperti sebuah koin
besarnya, Mereka sudah masuk ke dalam. Kwe Po Giok keluar dari
tempat persembunyiannya dan menghampiri pintu rumah itu.
Siau kiong cu yang dikenalnya sudah jauh berubah, Dulu dia pasti
akan menundukkan kepala kalau dipandang oleh seorang laki-laki.
Mengapa dia menjadi demikian berani dan terbuka" Kwe Po Giok
merasa Siau kiong cu semakin lincah dan gairah hidupnya juga
terlihat jelas. Apa sebabnya" Kwe Po Giok takut memikirkan dugaannya sendiri.
Dia menganggap Sun Put Ce bukan sahabat yang jujur, Oleh karena
itu, dia belum mau mengunjukkan dirinya. Dia melihat Siau kiong cu
merangkai bunga di hadapan Sun Put Ce. Dia juga melihat gadis itu
membersihkan lukanya. Kwe Po Giok yang mengintip dari balik kegelapan, semakin
belingsatan, Hatinya gemas. Semakin kesal hatinya, semakin tidak
mau dia bertemu dengan Siau kiong cu. Chow Ai Giok mondar
mandir setiap hari. Seekor anjing gila sudah cukup menakutkan.
Tampaknya dia lebih menakutkan daripada seekor anjing gila.
Sejak Kiau Bu Siang terbunuh, dia sudah berusaha menemui
beberapa tabib terkenal Namun setiap tabib yang ditemuinya selalu
mengatakan bahwa kandungannya sudah cukup besar sehingga
berbahaya apabila digugurkan, pikirannya semakin kalut.
Dia membenci kaum laki-laki. Dengan sendirinya, dia juga
membenci benih dalam perutnya, Dia tidak sanggup meredakan
kemarahan di hatinya. Oleh sebab itu, di mana-mana dia
menimbulkan bencana. Hari ini, dia melihat Kwe Po Giok sedang mengetuk sebuah rumah
penduduk di pinggiran kota, Dari dalam terdengar sahutan.
"Apakah Kwe Po Giok yang memanggil?"
"Betul," sahut Kwe Po Giok.
"Kwe Siaute ada urusan apa?" tanya suara dari dalam rumah itu.
"Bwe kouwnio, Aku ingin menanyakan satu hal kepadamu," kata
Kwe Po Giok kembali. "Hal mengenai apa?" tanya suara dalam rumah itu sekali lagi.
"Mengenai Sun Toako dan Lu ji," sahut Kwe Po Giok.
"Masuklah!" Hanya sekejap pintu itu terbuka lalu menutup kembali
Mendengar nada suaranya saja, Chow Ai Giok sudah tahu kalau
orang yang ada di dalam rumah tersebut adalah Bwe Mei. Dia sama
sekali tidak menyangka rumah penduduk yang dilewatinya setiap
hari merupakan tempat tinggal gadis itu.
Pada saat itu, Kwe Po Giok sedang bercakap-cakap dengan Bwe
Mei sambil minum teh, Dia tahu kalau dengan cara kekerasan, gadis
itu pasti tidak akan mengatakan apa-apa.
"Bwe ci... mengapa sebelah tanganmu dapat terkutung?"
tanyanya. "Jangan diungkit kembali Siapa lagi kalau bukan Chow Ai Giok,
perempuan busuk itu!" sahut Bwe Mei.
"Tidak tersangka.... Baru satu bulan berpisah ternyata sudah
demikian banyak kemalangan yang terjadi," kata Kwe Po Giok.
"Kemalangan apa lagi?" tanya Bwe Mei heran.
"Misalnya, aku pernah terjatuh kedalam cengkeraman Lian lian,
sebelumnya Siau kiong cu juga mengalami hal yang sama," kata Kwe
Po Giok. "Betul. Untung kalian mendapat kesempatan untuk meloloskan
diri," sahut Bwe Mei. "Bwe ci... mengapa Lu ji tidak tinggal bersamasama
denganmu?" tanya Kwe Po Giok.
"Dia takut mengganggu aku. Mungkin juga takut dirinya
terganggu," sahut Bwe Mei.
"Tahukah kau kalau Sun Toako ke tempatnya setiap hari?" tanya
Kwe Po Giok. "Tahu," sahut Bwe Mei. "Tampaknya dia tidak takut terganggu
oleh Sun Toako," kata Kwe Po Giok sambil tersenyum sinis.
Saat itu juga, Bwe Mei langsung dapat menebak maksud
kedatangan pemuda tersebut.
"Kwe siaute,.,, Aku mempercayai mereka."
"Paling tidak, aku juga mempercayai Lu i ji," sahut Kwe Po Giok.
Mendengar kata-kata itu, dalam hati Bwe Mei timbul perasaan
untuk membesarkan hati Sun Put Ce.
"Sebetulnya Siau kiong cu yang memaksa dia ke sana, Dia ingin
menunjukkan intisari ilmu pedang dari rangkaian bunganya," kata
gadis itu. "Kalau begitu, berarti Lu ji yang mencoba memikatnya," tanya
Kwe Po Giok. "Kata-kata "memikat" rasanya terlalu kasar," kata Bwe Mei
"Kalau tidak menggunakan kata-kata itu, bagaimana menjelaskan
ucapanmu tadi?" tanya Kwe Po Giok.
"Rupanya sejak terlepas dari cengkeraman Lian lian, kau belum
sempat bertemu dengannya," kata Bwe Mei.
"Betul. Aku justru melihat Sun Toako merangkul sekumpulan
bunga ke tempatnya. Sikap kedua orang itu lebih panas dari api,"
sahut Kwe Po Giok. "Siau Kwe.... Tidak boleh terlalu banyak curiga, Aku percaya
penuh kepada Sun Toa-ko. Terhadap Siau kiong cu pun sama," kata
Bwe Mei. "Karena yang pertama adalah laki sejati sedangkan yang satunya
dari keluarga baik-baik?" tanya Kwe Po Giok.
"Boleh dikatakan demikian," sahut Bwe Mei. "Siau Kwe.... jangan
menduga yang bukan-bukan, Lekas kembali dan temui Siau kiong
cu." "Bagaimana kalau kau yang menjadi diriku saat ini?" tanya Kwe
Po Giok yang ingin mengetahui apa tindakan Bwe Mei.
"Kalau aku menjadi engkau, maka aku akan segera menemuinya
dan menanyakan sampai persoalan ini jelas," katanya.
"Coba kau tebak. Bagaimana Lu ji memanggil Sun Put Ce?" tanya
Kwe Po Giok. "Kalau bukan Sun Toako, tentunya Toako saja," sahut Bwe Mei
"Betul. Cuma panggilan itu terdengar amat manis," kata Kwe Po
Giok. Bwe Mei tertawa-tawa, Dia juga tidak berani memastikan kalau di
antara kedua orang itu tidak ada hubungan pribadi perkembangan
mereka terlalu cepat rasanya. Tapi, demi keselamatan umum, Bwe
Mei tetap menganjurkan Sun Put Ce menemui Siau kiong cu. Untuk
itu, Bwe Mei harus membujuknya berkali-kali. Kalau saja sikap Bwe
Mei seperti Kwe Po Giok, mungkin persoalannya akan berlainan.
Bwe Mei membujuk Kwe Po Giok pulang ke tempat Siau kiong cu.
Namun hatinya sendiri menjadi gelisah.
"Mungkinkah Sun Toako akan jatuh cinta kepada Siau kiong cu"
Mengapa gadis itu bisa berubah hatinya" Sun Toako tidak mungkin
mengandung maksud lain terhadap gadis itu," katanya dalam hati.
Pertanyaan-pertanyaan itu mengelilingi benaknya sepanjang hari
Tepat pada saat itu, Chow Ai Giok muncul dari depan pintu, Mata
kedua orang itu merah membara, sekali lihat saja, Bwe Mei sudah
dapat menduga maksud kedatangan Chow Ai Giok.
Karena dia baru kehilangan sebuah lengan. Dia masih mempunyai
sebuah tangan lainnya dan sepasang kaki, Dia pernah mengatakan
kalau hatinya sedang gembira, mungkin dia akan datang lagi untuk
meminta bagian tubuhnya yang lain.
"Kau sudah berubah," kata Bwe Mei. "Berubah sekali."
"Apanya yang berubah?" tanya Chow Ai Giok.
"Paling tidak, matamu sudah berubah," kata Bwe Mei dingin.
"Mata?" tanya Chow Ai Giok tidak mengerti.
"Matamu seperti mata seekor binatang buas," sahut Bwe Mei.
"Kau memang mempunyai lidah yang tajam. Kedatanganku adalah
mengambil sebelah kakimu," kata Chow Ai Giok.
Bwe Mei mengertakkan giginya.
"Apakah kau tidak menyadari satu hal?" tanyanya.
"Hal apa?" tanya perempuan itu bingung.
"Bagaimana kau harus melindungi sebelah kaki atau tanganmu,"
sahut Bwe Mei ketus. Tawa Chow Ai Giok seperti lolongan srigala, Orang yang hatinya
jahat, Bukan hanya terlihat dari penampilan tapi suaranya juga
menyiratkan sifat sejahat hatinya.
Bwe Mei sudah meraih pedangnya, Dia pernah bertanya kepada
Sun Put Ce, Apa bila dia mempelajari kiam hoat peninggalan Tang
hay sin sian, berapa lama waktu yang diperlukannya untuk dapat
menandingi Chow Ai Giok. Sun Put Ce mengatakan bahwa kemungkinan dalam satu bulan
setengah saja, dia sudah tidak usah takut akan dikalahkan oleh
perempuan itu, tetapi sekarang waktu yang diberikan oleh Sun Put
Ce belum sampai. Kalau tidak salah dia baru belajar selama satu bulan lewat tiga
hari, Api kebencian membara di hatinya, Bwe Mei belum yakin
dengan kemampuannya sendiri Tampaknya Chow Ai Giok justru
terbalik, ia seperti sudah melihat kemenangan yang akan diraihnya.
"Bwe Mei.... Ternyata nasibmu jauh lebih malang daripadaku,"
kata Chow Ai Giok. "Aku memang tidak pernah menyatakan bahwa nasibku baik,"


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahut Bwe Mei. "Kekasihmu telah terjatuh dalam pelukan perempuan lain," kata
Chow Ai Giok. "Kalau memang benar, rasanya bukan sesuatu yang
mengherankan," sahut Bwe Mei.
"Tampaknya jiwamu sangat besar," kata Chow Ai Giok.
"Terlahir sebagai perempuan, rasanya sudah lumrah mengalami
hal demikian. Tapi engkau,.,."
"Apa dengan aku?" tanya Chow Ai Giok dengan pandangan
menusuk. "Kiau Bu Suang sudah mati. Bayi itu akan terlahir tanpa ayah.
Kalau kabar yang kuterima tidak salah, kau pernah mencari berbagai
tabib untuk menggugurkannya bukan?" sindir Bwe Mei.
Chow Ai Giok tidak menyangka kalau lawannya dapat mengetahui
peristiwa busuk yang dialaminya. Apalagi soal menggugurkan
kandungan, Keburukan sendiri pasti takut diketahui orang lain, Chow
Ai Giok menghunus pedangnya perlahan-lahan.
Dia sengaja menggunakan jempolnya meraba ujung pedang
tersebut seakan ingin membuktikan ketajaman senjatanya.
"Kaki sebelah mana yang ingin kau pertahankan untuk
sementara?" tanyanya ketus.
"Sebentar lagi kau merasakan keluguan dan kekanak-kanakan
dirimu sendiri," sahut Bwe Mei sambil tertawa dingin.
"Perempuan maling! Kalau aku mengatakan bahwa kakimu hanya
akan tersisa berapa cun, maka yang akan terjadi tentu ! seperti yang
aku katakan, Aku berani bertaruh untuk hal itu!" bentak Chow Ai
Giok, Laksana seorang penjagal binatang, Mereka sudah memenggal
leher binatang itu setiap hari. Maka jarak antara kepala leher pasti
sama seperti sebelumnya. Ketika baru sampai tadi, dia sempat mendengar Bwe Mei
memanggilnya sebagai perempuan busuk. Hatinya sudah panas
sekali. Sejak kematian Kiau Bu Suang tempo hari, Dia mengakui
harga dirinya telah tiada.
Bwe Mei tidak ingin berdebat lagi dengan Chow Ai Giok, Kalau
pertarungan ini tidak dapat dimenangkan olehnya, sama saja dirinya
tinggal menunggu kematian, Matanya tentu tidak dapat terpejam
apabila dia mati di tangan perempuan ini.
Dengan penuh keyakinan, Chow Ai Giok menyerang satu kali, Dia
mengira bahwa dengan ilmu yang dimilikinya, dia dapat mendesak
Bwe Mei dalam satu jurus, jurus kedua dikeluarkan, niatnya tentu
akan terlaksana. Tapi, kenyataannya ternyata jauh di luar dugaan, pedang Bwe Mei
lebih dulu mengancam tempat yang berbahaya, Chow Ai Giok harus
memikirkan cara menghindarkan diri supaya dia tidak celaka oleh
serangan tersebut. Kalau dia berkeras hendak mengambil sebelah
kaki Bwe Mei. Dia pasti harus menebusnya dengan selembar nyawa.
Chow Ai Giok terkejut sekaligus marah. Dia berseru lantang,
Tubuhnya melejit mundur. Seperti seekor serigala yang tertusuk
panah, Dia meraung keras, seakan ingin menelan Bwe Mei hiduphidup.
Mata-nya memandang dengan tatapan menusuk, Giginya
dikertakkan. "Bagaimana mungkin" Baru belum lama aku mengutungkan
lengannya, Sungguh-sungguh tidak masuk akal," gumamnya
seorang diri. Bwe Mei tidak menjawab. serangannya telah membawa hasil,
Rasa percaya dirinya semakin menebal. Perasaan ingin membalas
dendam memenuhi hatinya, Sinar matanya menyapu bagian tubuh
lawan yang diincar. Bagian kakinya. Dia belum pernah
menggenggam pedang seerat itu selama hidupnya. Karena dia tahu,
Chow Ai Giok kali ini pasti akan menyerangnya dengan jurus maut
ajaran Hiat Eng. Bwe Mei juga tidak bodoh. Dia tahu lawannya memang benarbenar
ingin mencelakainya. Chow Ai Giok berteriak sekali lagi,
serangannya memang amat berbahaya. cahayanya bagaikan
sambaran petir yang menyilaukan mata. Bwe Mei terpaksa mengelit,
Rasa percaya dirinya belum terpupuk penuh, Kalau saja dia
menyambut serangan itu dengan keyakinan yang tebal, tentu
akibatnya tidak sama. "Trang!!!" Pedang di tangan Bwe Mei melayang, Tetapi dia
menyadari bahwa dirinya sama sekali tidak boleh kalah. perubahan
jurus yang dikeluarkannya belum sempurna, sedangkan pedang di
tangan Chow Ai Giok sudah di depan mata. Rasa percaya diri Bwe
Mei seakan sedang diuji, Dia belum sempat mengelak.
"Bret!!!" Lengan bajunya sudah terkoyak. Disusul datangnya
sebuah serangan yang tidak kalah dahsyat Bwe Mei menggelinding
di tanah. Dia mencoba mengelak dengan cara berputar Chow Ai Giok
memastikan dirinya untuk mendapatkan sebelah kaki Bwe Mei.
sedangkan gadis itu tahu, kalau dia kalah kali ini berarti mati,
Kehilangan sebelah kaki juga lebih baik mati. Keadaannya benarbenar
terdesak, Chow Ai Giok tertawa sinis.
Dia berpikir dalam hati. Kalau tidak cukup menyerang tiga kali, dia
akan menyerang sepuluh kali, Pokoknya sampai berhasil mengutungi
sebelah kaki Bwe Mei. ingin kulihat kau dapat bertahan berapa lama!
Asalkan dia tidak memberi kesempatan untuk gadis itu berdiri dan
kabur dari tempat tersebut, dapat dipastikan bahwa sebelah kaki
Bwe Mei akan menjadi miliknya, Bwe Mei juga mempunyai pendapat
yang sama. Tiba-tiba terdengar sebuah suara dengan nada berat.
"Kejam... tidak berperasaan!" Suara yang terdengar adalah suara
seorang perempuan Chow Ai Giok menolehkan kepalanya, Sebelum
dia sempat membentak suara itu terdengar kembali.
"Chi fang... Chan cao!" Chi fang artinya aliran air di kolam,
sedangkan Chan cao adalah panggilan untuk sejenis bunga yang
hanya tumbuh di musim semi daerah utara.
Bunga-bunga yang sering ditemui di sekitar daerah itu palingpaling
Mei kui (mawar) Yek lai hiang (bunga sedap malam) Jit thau
hue (bunga matahari sedangkan bunga yang disebut tadi hanya
suatu kiasan, Yang mana menjelaskan bahwa kehidupan jangan
disia-siakan. Dalam keadaan yang bagaimana bahaya pun harus berusaha
menyelamatkan diri Chow Ai Giok mengira ada orang yang datang
mengacau, Tidak demikian dengan Bwe Mei. Dia mengerti arti kiasan
tersebut. Dalam keadaan terdesak di mana pedang Chow Ai Giok hampir
mengenai tumitnya, dia segera merubah gerakan, Pedang yang tadi
melayang sudah ada di tangannya kembali hahkan dia berhasil
menghindarkan diri dari serangan Chow Ai Giok. Semua ini tentu di
luar dugaan perempuan itu.
Sekarang giliran Bwe Mei yang memegang peranan, Dia
menyerang Chow Ai Giok dengan gaya yang bagus. Perlu
diketahui,dalam ilmu silat bukan hanya diperlukan kecepatan, tapi
juga ketetapan mencapai sasaran, Cepat saja tidak sulit Tapi
memadukan kecepatan dan ketetapan yang susah dipelajari.
Serangan itu benar-benar di luar jangkauan pikiran Chow Ai Giok,
"Sret!!!" Dia tidak dapat menghindar lagi. Sebuah tangan
mencelat ke udara, Dalam keadaan terdesak dapat menyelamatkan
diri sendiri bahkan dapat melukai lawannya, sungguh terasa mustahil
Bwe Mei hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Di mana dia saat ini" Kapan hal ini terjadi" Dia bagaikan berada
dalam alam mimpi, Mungkinkah ilmu pedangnya bisa mencapai
kekuatan sehebat itu"
Lengan sebelah kanan Chow Ai Giok telah terlepas dari
persendiannya. ia berdiri mematung dengan tubuh gemetar,
wajahnya menunjukkan rasa terkejut penderitaan yang dialami oleh
Sun Put Ce dan Bwe Mei ternyata dialaminya sendiri sekarang.
Pada saat itu, dia hanya merasakan bahwa bagian tubuh sebelah
kanannya menjadi ringan, Darahpun belum mengalir Dia merasa
marah, juga penasaran, Karena dia tidak mengerti kata-kata "Chi
fang dan Chan cao" yang terucap dari mulut orang yang baru datang
itu. Sekarang Bwe Mei berbalik dari pecundang menjadi pemenang,
Dia merasa apa yang dialami olehnya dan Sun Put Ce harus diberi
bunga. Paling tidak, dia masih ingin mengutungi sebelah kaki Chow
Ai Giok. Karena perempuan itu sendiri yang memulai semua
kekejaman ini. Sekali pedang terhunus, Terdengar seseorang berseru....
"Bwe ci, dia akan mati...."
Apakah karena dia tahu kalau Chow Ai Giok sama saja sudah mati
apabila kehilangan sebelah kaki lagi sehingga dia tidak tega atau
kalau mati dengan begitu mudah maka rasa kepuasan hanya
bersikap sementara" Bwe Mei menarik kembali pedangnya dengan wajah kaku, Karena
sedikit itulah maka paha sebelah kiri Chow Ai Giok tertusuk juga.
Luka itu cukup dalam, Yang berteriak ternyata Siau kiong cu.
Kwe Po Giok belum menemuinya. Dia datang juga dengan maksud
tertentu. Dia ingin mendengar bagaimana penyambutan Bwe Mei
terhadapnya. Siapa sangka malah peristiwa ini yang dialaminya.
Dia mengagumi Sun Put Ce. Dia menyukai sikapnya yang rendah
diri, sederhana dan menghormati siapa saja, Laki-laki itu selamanya
tidak pernah memamerkan sampai di mana tinggi ilmu silat yang
dimilikinya. Juga tidak sok pahlawan pandangan ini sama dengan pandangan
Bwe Mei. Gadis itu sendiri merasa sedikit cemburu terhadap Siau
kiong cu, tapi dia tidak pernah menusukkannya secara terangterangan.
Siau kiong cu tentunya tahu mengapa Chow Ai Giok ingin
membunuh gadis itu. Pasti karena Sun Put Ce juga. sedangkan dia
sendiri menyukai Sun Put Ce. semestinya dia senang karena ada
orang lain yang melenyapkan satu saingan untuknya, Namun....
Pada dasarnya Siau kiong cu memang orang yang baik hati, Dia
tidak dapat menerima keuntungan dengan cara demikian.
"Siau kiong cu! Dia terlalu kejam. Dia memperlakukan kami
dengan cara yang keji," kata Bwe Mei.
"Masalah harus diperkecil, jangan malah dibesarkan Sebelah
lengan telah dibayar dengan sebelah lengan pula, Sudahlah....
Apakah Chow kouwnio mempunyai obat luka?" tanyanya sambil
menoleh ke arah perempuan itu.
Tubuh Chow Ai Giok masih gemetar. Dia melirik sekilas ke arah
Siau kiong cu. Tanpa mengucapkan terima kasih sedikit pun, dia
membalikkan tubuh dan pergi dengan membawa pandangan benci.
Di atas tanah terlihat kutungan lengan perempuan itu. Hati mereka
jadi tergetar. Bwe Mei merasa sakit hatinya masih belum lenyap, Namun dia
berlutut di hadapan Siau kiong cu.
"Kalau hari ini Siau kiong cu tidak kebetulan datang dan memberi
tahu rahasia ilmu pedang tersebut. Aku, Bwe Mei pasti sudah
tergeletak dengan sebelah kaki," katanya.
Siau kiong cu tergopoh-gopoh membimbingnya bangun Dia
menarik nafas. "Bwe-ci.... sebetulnya aku kemari dengan maksud tertentu.
Sungguh memalukan bila dikatakan," sahutnya.
"Siau kiong cu mempunyai maksud apa?" tanya Bwe Mei.
Siau kiong cu menggelengkan kepalanya, Cinta kasih bisa
membutakan segalanya, Malam ini dia sudah melihat kenyataan
tersebut. "Siau moi hampir saja melakukan kesalahan," katanya.
Bwe Mei tentu mengerti apa yang dimaksudkan Tapi dia purapura
tidak tahu, Siau kiong cu membantunya membalut luka di
lengan. "Sun Toako jujur, setia, rendah diri, lagi-pula kepintarannya
melebihi orang lain, perempuan mana yang tidak memuji laki-laki
seperti itu?" katanya.
Bwe Mei tetap tidak mengatakan apa-apa.
"Laki-laki sejati memang tidak akan menarik keuntungan dari
orang lain dengan cara yang licik, Mulai hari ini, aku tetap akan
mengajarkan ilmu silat rangkaian bunga kepadanya, tapi api dalam
hati ini pasti akan dipadamkan" kata Siau kiong cu selanjutnya.
Bwe Mei merasa kagum terhadap gadis itu.
"Apakah Siau kiong cu sudah bertemu dengan Siau Kwe?"
tanyanya. "Maksudmu Kwe Po Giok?"
"Betul. Dia sudah terlepas dari cengkeraman Lian lian," kata Bwe
Mei. "Kapan terjadinya hal itu?" tanya Siau kiong cu.
"Dua hari yang lalu," sahut Bwe Mei.
Siau kiong cu tertawa getir.
"Tampaknya dia sedang cemburu," katanya.
"Kalau Siau kiong cu bersedia, aku akan menjelaskan kepada Siau
Kwe. Orang yang cerdas dan baik hati seperti Siau kiong cu tentu
akan dimengerti olehnya," sahut Bwe Mei.
Siau kiong cu tampaknya tidak memperhatikan apa yang
dikatakan gadis itu. Dia berdiri sambil menengadahkan kepalanya ke
atas. "Apakah Siau kiong cu sungguh-sungguh menyukai Sun Toako?"
tanya Bwe Mei mengalihkan pembicaraan Siau kiong cu terpana, Dia
sama sekali tidak siap menerima pertanyaan seperti itu.
"Bwe ci.... Mengapa kau tiba-tiba mengajukan pertanyaan
tersebut?" tanyanya rikuh.
"Kau adalah in jinku (penolong). Apa yang tidak dapat kita bahas
bersama?" sahut Bwe Mei.
Siau kiong cu selalu terlihat lemah gemulai dan lemah lembut,
Tapi sebetulnya dia hanya lembut di luar namun keras di dalam.
"Bwe ci ingin menggunakan Sun Toako sebagai balas jasa, Kau
anggap apa Sun Toako itu" Dan kau anggap apa diriku ini?"
tanyanya dengan nada berwibawa.
Hubungan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan tidak dapat
diperjual belikan. Juga bukan suatu sarana untuk diperalat Siau
kiong cu sangat anggun, Biar dilihat dari sudut mana pun. Dia juga
sangat cerdas, Mendengar perkataan Bwe Mei tadi dia sudah dapat
menerka tujuannya. Dia tidak akan berbuat seperti Chow Ai Giok yang seakan
mengemis cinta kasih Kiau Bu Suang, Sampai kapan pun tidak akan,
Namun, dia juga tidak mudah melepaskan kesempatan yang terlihat
di depan mata, Pada saat itu, terdengar ketukan di pintu.
"Bwe ci.... jangan katakan kalau aku ada di sini, Harap berikan
satu kesempatan padaku agar dapat memadamkan perasaan di hati,
Kalau tidak, kita akan sama-sama terluka," katanya memperingatkan
"Maksud Siau kiong cu...."
"Aku juga menyukai Sun Toako, Celaka tidak?" sahutnya.
"Perasaan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan paling sulit
diraba. Kalau memang Siau kiong cu menyukainya, aku rasa tidak
ada salahnya," sahut Bwe Mei di luar dugaan Siau kiong cu.
"Tidak ada salahnya?" tanya Siau kiong cu heran.
"Betul. itu hanya keberuntungan seorang laki-laki sejati," sahut
Bwe Mei tersenyum Siau kiong cu tidak menjawab. Dia mencari tempat untuk
menyembunyikan diri, Bwe Mei segera bangkit dan membuka pintu,
Sun Put Ce melangkah masuk ke alam. Hidungnya diciutkan
beberapa kali, "Bwe Mei... Biar aku tebak.,., Pasti tim daging sapi
bukan?" tanyanya. "Betul," sahut Bwe Mei.


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bwe Mei.... Akhir-akhir ini aku sering merasa seakan sudah
berumah tangga. Kadang-kadang banyak urusan yang belum selesai tapi rasanya
sudah ingin cepat-cepat pulang ke rumah untuk menengok istri
tersayang, Walaupun kita masih suci bersih," kata Sun Put Ce.
"Bagaimana kau tahu kalau aku pasti akan menikah denganmu?"
tanya Bwe Mei. "Bagaimana aku bisa mengira kalau kau tidak mau menjadi
istriku?" Sun Put Ce mengembalikan pertanyaan Bwe Mei.
"Sun Toako... percayakah kau kalau di dunia ini masih ada
perempuan lain yang lebih kau cintai dan lebih mencintai dirimu?"
tanya Bwe Mei. Sun Put Ce terpana. "Siapa?" tanyanya.
"Kau rasa ada tidak?" tanya Bwe Mei kembali
"Tidak ada," sahut Sun Put Ce yakin.
"Kalau Siau kiong cu menyukaimu. Apakah kau akan
menikahinya?" tanya Bwe Mei.
"Tidak." Nada suara Sun Put Ce tidak terdengar dibuat-buat.
Bwe Mei mengira dia sedang berdusta.
"Tidak?" tanyanya kurang percaya.
"Aku menghormati Siau kiong cu. Aku juga berterima kasih
kepadanya. Tapi bagaimana pun aku tidak dapat menyuntingnya,"
kata Sun Put Ce tegas. "Mengapa?" tanya Bwe Mei.
"Tidak dapat, ya, tidak dapat Tidak harus ada alasannya bukan?"
sahut Sun Put Ce. Bwe Mei tidak menyangka kalau hati Sun Put Ce demikian teguh.
Dia merasa kagum sekali. Namun dia tahu hati Siau kiong cu pasti terluka.
"Siau kiong cu ada di sini," katanya.
Sun Put Ce mengira Bwe Mei sedang bergurau.
"Biarpun dia ada di sini, aku juga tetap akan berkata seperti tadi,"
sahutnya sambil tersenyum-senyum.
Tepat pada saat itu, Siau kiong cu sedang keluar dari pintu
belakang, Dia sempat mendengar ucapan Sun Put Ce. Dia adalah
seorang gadis yang polos, Berakal sehat dan tahu diri. Dia akan
menentukan pilihannya, tapi tidak akan memaksa kehendaknya, Dia
sudah pergi. Sekarang dia harus menanti Kwe Po Giok, Dia sangat mengagumi
Sun Put Ce namun dia tidak ingin bersedih karena penolakannya,
Andaikata dia tidak jadi menikah dengan Kwe Po Giok pun, dia tetap
akan menjelaskan segalanya.
Sepanjang jalan dia merenung, Dia memikirkan cara yang terbaik
untuk mengatasi masalahnya dengan Siau Kwe. Dia bukan tidak
tertarik kepada pemuda itu lagi. Namun dia ingin sifatnya yang suka
menyombongkan diri itu dirubah.
Sampai di rumah pikiran tersebut masih menghantuinya.
**** Fang Tiong Seng duduk di bagian kepala meja makan, Mo Put Chi
dan Sun Put Ce menemani duduk di sebelah kiri dan kanan, Nasi dan
berbagai macam masakan telah terhidang di atas meja, Semuanya
dapat menerbitkan selera.
Tapi Fang Tiong Seng belum menggerakkan sumpitnya, Dengan
sendirinya Mo Put Chi dan Sun Put Ce tidak berani mendahului
Suasana di ruangan itu terasa kaku. Seperti ada sebuah bom yang
siap untuk meledak. Mo Put Chi bukan jenis orang yang sabar.
"Suhu tampaknya sedang marah kepada seseorang?" tanyanya.
"Betul! Kau!" sahut Fang Tiong Seng. Matanya mendelik dan
telunjuknya diarahkan kepada Mo Put Chi.
Sun Put Ce dan Mo Put Chi sama-sama terkejut.
"Kalau teecu memang melakukan kesalahan, silahkan Suhu
memberi hukuman," kata Mo Put Chi.
"Tidak perlu aku yang menghukummu, perbuatan yang bodoh!
Sebentar lagi ada petugas yang mencarimu," sahut Fang Tiong Seng
sinis. "Petugas?" Mo Put Chi semakin tercenung, "Biarpun betapa
bodohnya, teecu juga tidak akan melanggar kesalahan yang
berakibat demikian."
"Kurang ajar! Kejadian sudah terlanjur begini masih berusaha
menghindar. Coba kau tanya.... Siapa yang membunuh It ki bwe
Lian-lian?" tanya Fang Tiong Seng dengan suara bengis.
"lt ki bwe Lian lian sudah mati?" Sampai Sun Put Ce sendiri
rasanya tidak percaya. "Suhu.... Kapan terjadinya?" Siapa yang membunuh Lian-lian?"
Fang Tiong Seng mendelik sekali lagi ke arah Mo Put Chi.
"Tanya dia!" bentaknya.
Mo Put Chi segera menjatuhkan diri di hadapan Fang Tiong Seng.
"Suhu.... Teecu juga tidak tahu apa-apa. Teecu tidak membunuh
Lian-lian," katanya.
"Ada orang yang melihat kalian selalu keluar masuk berpasangan.
Bahkan menyewa sebuah rumah kecil di luar desa, Akhir-akhir ini
kalian sering kuperintahkan untuk mencari orang, Aku masih
mengira kalian melaksanakan tugas dengan sepenuh hati, ternyata
tenggelam dalam lembah asmara sehingga kasmaran!" Fang Tiong
Seng berkata dengan suara tinggi.
Sun Put Ce memandang ke arah Mo Put Chi. suhengnya tampak
semakin tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Suhunya.
"Suhu.... seandainya teecu memang berniat membunuh Lian lian,
rasanya teecu masih bukan tandingannya," sahut Mo Put Chi.
Sun Put Ce juga mempunyai pendapat yang sama. Dia tahu
tentunya telah terjadi salah pengertian Mo Put Chi juga sudah mulai
mengerti. Suhu telah menganggap Lian hu sebagai Lian-Lian.
"Suhu.... Teecu hanya mengenal Lian hu. Sama sekali tidak
mengenal Lian lian," kata Mo Put Chi.
"Lian hu" Siapa Lian hu itu?" tanya Fang Tiong Seng heran.
"Lian hu adalah moi-moinya Lian lian, Usia mereka berbeda hanya
tiga tahun, Wajah mereka sangat mirip," sahut Mo Put Chi
menjelaskan. Wajah Fang Tiong Seng berubah hebat, Meskipun dia berusaha
sewajar mungkin, namun dia tetap tidak dapat mengelabui mata Sun
Put Ce yang tajam. Tapi, dia adalah orang yang cerdik, Dia tidak
memperlihatkan bahwa tingkah laku Suhunya telah menerbitkan
kecurigaan dalam hati. "Apakah Suhu salah mengira Lian hu adalah Lian-lian?" tanyanya.
Fang Tiong Seng tidak menjawab.
"Apakah ada orang yang membunuh Lian hu?" Suara Mo Put Chi
bagaikan tercekat di tenggorokan.
"Tidak salah, Kepala desa sudah mengutus beberapa orang untuk
memeriksa mayat. perempuan itu terbunuh dalam satu jurus," sahut
Fang Tiong Seng. Mo Put Chi adalah orang yang lugu, Bila dia sudah mencintai
seseorang, maka dia akan mencintainya sampai akhir hayat.
Kejadian ini terlalu mendadak sekali Mo Put Chi tidak dapat
menerimanya. Tiba-tiba dia bangkit lalu berteriak seperti seekor harimau
ngamuk, "Lian hu!!!"
Dia menghambur keluar dari ruangan makan. Kakinya belum
sempat menginjak ruangan tengah, Fang Tiong Seng terdengar
berteriak. "Kembali!" Suaranya sangat berwibawa, Mo Put Chi sangat
penurut. Meskipun dia tidak melangkah kembali ke dalam, tapi
kakinya terpaku di tempatnya.
"Kau hendak ke mana?" bentak Fang Tiong Seng.
"Suhu.... Aku ingin melihat Lian hu. Aku juga ingin mencari
pembunuh itu," sahutnya.
Fang Tiong Seng menarik nafas panjang. "Meskipun peraturan
dalam perguruan aku, Fang Tiong Seng, amat ketat, Tapi aku tidak
pernah melarang muridku bergaul dengan perempuan. Put Chi....
Benarkah kau tidak membunuh Lian hu?" tanyanya.
"Teecu amat menyayanginya, Selama ini teecu masih merasa
tidak cukup memberikan kasih sayang kepadanya, Mana mungkin
teecu bisa membunuhnya?" sahut Mo Put Chi dengan mata merah.
"Pada saat ini, petugas sedang memeriksa keadaan mayat Lian
hu. Lebih baik kau jangan pergi, Mereka mungkin akan mencurigai
dirimu," kata Fang Tiong Seng dengan nada memperingatkan.
"Tidak, Suhu,... Bagaimana pun teecu harus pergi..." sahut Mo Put
Chi. Sejak masuk dalam perguruan Fang Tiong Seng, mungkin ini
adalah untuk pertama kalinya dia membantah kata-kata sang Suhu,
Fang Tiong Seng tampaknya tidak marah, Hal ini juga merupakan
keistimewaan. Sesuatu yang luar biasa banyak terjadi hari ini, Di
dalam pandangan Sun Put Ce, keistimewaan itu seperti berubah
menjadi sesuatu yang wajar.
Karena, apabila kita menggabungkan sesuatu yang istimewa dan
biasa maka setiap benda atau pun setiap hal akan terasa sempurna.
"Put Ce.... Coba kau tebak, Siapa yang dapat membunuh Lian
hu?" tanya Fang Tiong Seng.
Sun Put Ce merenung sejenak.
"Suhu... Lian lian dan saudaranya tidak cocok, Mungkinkah dia
yang membunuh Lian hu?"
"Dia" Cici membunuh adiknya sendiri?" tanya Fang Tiong Seng
seakan terkejut mendengar perkiraan Sun Put Ci
"Suhu.,., Andaikata Lian lian tahu adiknya ada hubungan dengan
suheng. Lian lian tentu tahu kalau adiknya akan sulit diajak bekerja
sama, Bukan tidak mungkin dia yang membunuh Lian hu. Tentu saja
tidak sengaja. Bisa jadi di antara mereka terjadi pertengkaran,
karena khilaf Lian lian lupa diri dan membunuh adiknya," sahut Sun
Put Ce. Fang Tiong Seng mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya.,., Mungkin juga. Put Chi.... Dalam hal ini bukannya Suhu
tidak menaruh perasaan iba pada dirimu, tapi kau tetap tidak boleh
kesana," kata Fang Tiong Seng.
"Suhu.... Teecu hanya melihat dari kejauhan," Begitu ucapannya
selesai, dia langsung melangkahkan kaki dan keluar dari ruangan
tersebut. Fang Tiong Seng terdiam sekian lama, Tampaknya ada pikiran
yang menggelayuti benaknya,
Namun dia tidak mencegah Mo Put Chi lagi.
"Put Ce.... Kau lihat.... Sebagai murid terbesar perguruan Suhu,
tindakan suhengmu begitu tidak sopan," katanya.
Bola mata merah, Ada butiran airmata yang menggenang di sana.
"Suheng hanya pergi meninjau. Mungkin ada sesuatu yang dapat
menyimpulkan siapa pembunuh Lian hu. Apalagi yang mati adalah
kekasihnya," sahut Sun Put Ce seraya menarik nafas panjang.
-ooo0ooo- Langit hitam, angin bertiup kencang.
Di dalam kuil tua tidak terlihat sinar lampu, Kalau ada, tentu orang
ini tidak akan berdiam di sana. Di atas meja sembahyang rebah
seseorang, Apabila orang umum melihatnya, tentu tidak akan
menduga kalau itu adalah seorang manusia. Kentungan ketiga belum
sampai, tapi sudah hampir, Di luar kuil berdiri sesosok bayangan,
Orang yang rebah di atas sembahyang sama sekali tidak bergerak.
"Untuk apa kau menjanjikan cayhe bertemu di tempat ini?" tanya
orang yang baru datang. "Ketika datang, aku bersama-sama dengan Hua can lei. Dia
mengatakan ingin mencari dirimu, Apakah kau sudah bertemu
dengannya?" tanya orang yang rebah di atas meja sembahyang itu.
"Belum." "Kurang asem! Aku sudah menduga kau akan berkata demikian."
Sahut orang yang rebah di atas meja sembahyang.
"Sifat Hok su thi Seebun Cu Yap selamanya tidak berubah," kata
orang yang baru datang sambil mendengus.
Orang yang rebah di atas meja sembahyang itu ternyata Hok su
thi (Si mayat hidup dari Hun bang), Seebun Cu Yap adanya, Ketika
masih muda, dia pernah tertusuk panah beracun dari suku liar di
Lam hong. Wajah sebelah kirinya rusak berat.
Sampai sekarang tidak dapat disembuhkan. Yang paling aneh
justru bentuk kepalanya, sebelah kiri masih tersisa rambut seperti
bulu jagung, Yang sebelah kanan botak sama sekali, Dengan wajah
seperti ini, tidak heran kalau dia mendapat gelar Hok su thi.
Seebun Cu Yap dan Hua can lei memang tidak mengetahui
kedatangan Toa Tek To Hun yang menimbulkan badai di Tionggoan.
Ketika mereka tahu, jejak orang itu tidak terdengar lagi. Tetapi
mereka mempunyai dugaan bahwa kedatangan Toa Tek To Hun
tentu ada hubungannya dengan Fang Tiong Seng. Karena dia adalah
satu-satunya manusia yang luput dari kematian.
"Manusia she Fang.... Kau sudah membunuh Hua can lei,
mengapa masih tidak berani mengakui?" tanya Seebun Cu Yap.
"Bukannya tidak berani. Karena membunuh dia sama sekali bukan
sesuatu yang patut dibanggakan." sahut Fang Tiong Seng.
"Manusia she Fang. Berapa besar keyakinanmu untuk
mengalahkan aku?" tanya Seebun Cu Yap kembali.
"Sepuluh bagian," sahut Fang Tiong Seng yakin.
"Kalau begitu, Toa Tek To Hun pasti mati dalam tanganmu?"
tanya Seebun Cu Yap. "Tidak perlu banyak omong, Aku ingin berkenalan dengan Han
hong ciangmu," kata Fang Tiong Seng.
Begitu ucapannya habis, Han hong ciang telah sampai di depan
mata. Orang ini tidak mau kehilangan kesempatan baik. Caranya
yang licik memang cocok dengan Fang Tiong Seng.
Jago kelas satu ini sama sekali tidak menduga dirinya akan
langsung diserang. Sedikit kerepotan dia mengelit, Han hong ciang
mulai memperlihatkan pengaruhnya, ilmu itu adalah sejenis ilmu
yang mengerahkan tenaga dalam namun hawa yang terpancar
dingin sekali Han hong ciang (Telapak angin dingin) adalah ilmu
andalan Seebun Cu Yap. Meskipun Fang Tiong Seng berusaha keras untuk menghindarkan
diri tetapi bahu kirinya masih sempat tersambar. Dia tahu dirinya
sudah terkena Han hong ciang, Dia tidak khawatir, karena dengan
tenaga dalamnya yang tinggi, dia dapat mengeluarkan racun dingin
tersebut dengan mudah. Fang Tiong Seng memang tetap Fang Tiong
Seng adanya, Dia tidak gugup sama sekali.
Pedangnya dengan cepat meluncur. Tidak dapat diuraikan sampai
di mana kecepatan atau pun perubahan gerakannya, Seebun Cu Yap
tergetar melihat serangan tersebut, Dia segera mengeluarkan golok
bajanya, semuanya serba cepat, Rasanya sulit membedakan siapa
yang lebih cepat dan siapa yang lebih lambat, Sampai di mana
kecepatannya" Sampai di mana kelambatannya" Hanya terdengar
suara Cep! Disusul dengan pedang yang masuk kembali ke dalam
sarung. Di antara kedua mata Seebun Cu Yap terdapat luka memanjang.
Darah memancur dengan deras, Dia masih berteriak sekali sebelum
rubuh ke tanah. Angin di ketinggian mengeluarkan hembusan yang keras, Deru
suaranya dapat terdengar sampai kejauhan. Kegelapan makin kelam
menyelimuti padang rumput yang menjadi saksi bisu. Ketika Fang
Tiong Seng keluar dari kuil itu, ada sepasang mata dari balik patung


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dewa Kwang kong yang menatap tajam.
Dia memperhatikan Fang Tiong Seng yang menghilang di
kegelapan malam. Tidak lama kemudian, orang itu keluar dari
tempat persembunyiannya, Dia berdiri di samping tubuh Seebun Cu
Yap yang mulai kaku. Matanya tidak berkedip melihat ke arah luka
yang mematikan laki-laki itu.
Siapa pun tidak menyangka kalau dia adalah Toa Tek Tok Hun!
-----------------------------------
Halaman 59 2/d 63 Hilang -----------------------------------
Jilid 17 Bagian Dua puluh Dua Malam beriring hujan. Ada angin yang berhembus.
Di dalam rumah juga ada segelombang badai menerjang. Lilin
merah melambai-lambai. Manusianya sendiri sudah mulai mabuk.
Setiap kali dia meminum arak bersama laki-laki ini, sebentar lagi
tentu akan terjadi hujan badai, Dia mengangkat cawannya tinggitinggi.
Sinar matanya mengikuti cahaya lilin yang tertiup angin. "Mari
kita keringkan cawan ini," katanya.
Laki-laki itu mengangkat cawan serta mendongakkan kepala dan
meminum arak tersebut sampai kering, Kemudian dia meremas
cawan di tangannya sampai hancur.
"Ada apa?" tanya perempuan itu terkejut.
"lni adalah cawan terakhir yang kita pakai," sahut laki-laki
tersebut. "Mengapa?" "Karena kita akan mengisi arak besok dengan cawan yang lain,"
Lian lian tertawa merdu. "Tiong Seng, dalam hal apa pun, kau tetap berbeda dengan orang
biasa," katanya. "Kalau sama, maka aku Fang Tiong Seng tidak akan hidup sampai
hari ini," sahut laki-laki yang ternyata Fang Tiong Seng adanya.
"Rencanamu akan terwujud tidak lama lagi," kata Lian lian.
"Tinggal satu tokoh lagi yang harus kulenyapkan, maka tidak akan
lagi duri yang menusuk mata ini," sahut Fang Tiong Seng.
"Siapa?" tanya Lian lian, "Tokku Peng dan muridnya, salah satu di
antara sam sauya, yaitu Miao Hua Fang!" sahut Fang Tiong Seng.
"Bukankah mereka terdiri dari dua orang" Mengapa kau tadi
berkata satu?" tanya Lian lian bingung.
"Aku tahu mereka akan bergandengan tangan menghadapiku
Maka aku menganggap lawan tersebut hanya satu," sahut Fang
Tiong Seng. "Krek!!!" Lian lian juga meremas cawan di tangannya sampai
remuk. "Betul, Arak yang akan kita minum besok harus diisi dengan
cawan baru!" serunya.
Fang Tiong Seng menatapnya dengan pandangan dingin. Dalam
keadaan seperti biasa, dia akan menyeret Lian lian ke atas tempat
tidur. Pada mulanya, Lian lian mengira daya tariknya telah
menyentuh hati kecil laki-laki itu. Tiba-tiba dia sadar, sinar matanya
mengandung maksud tertentu, sinar mata demikian bukan semacam
gairah untuk mengajaknya naik ke tempat tidur.
Lian lian melihat hawa panas yang berbeda dalam sinar mata
tersebut. "Tiong Seng... Sinar matamu bagai sebatang pedang, bahkan
pedang yang sudah terhunus dari sarungnya," kata perempuan itu.
"Lian lian.... Kerja sama kita telah berakhir," sahut Fang Tiong
Seng, Wajah Lian lian berubah pucat "Kerja sama" Apakah termasuk
cinta kasih kita?" tanyanya.
"Betul, Setiap kali aku bekerja sama dengan seorang perempuan,
aku tidak pernah menambahkan hubungan cinta kasih ke dalamnya,
Terhadap engkau juga demikian, begitu juga dayang Cui thian atau
perempuan-perempuan yang lainnya," sahut Fang Tiong Seng.
"Masih ada perempuan-perempuan lain?" tanya Lian lian.
"Pertanyaan bodoh! Laki-laki yang bercita-cita tinggi, tidak
mungkin hanya memiliki beberapa orang perempuan saja," sahut
Fang Tiong Seng sinis. "Apakah besok akan ada perempuan lain yang jauh lebih cantik
daripada aku dalam pelukanmu?" tanya Lian lian.
"Tidak salah!" sahut Fang Tiong Seng.
"Siapa?" perempuan seperti mereka ternyata sama saja, Rupanya
siapa orang yang menggantikan kedudukan mereka jauh lebih
penting dari selembar nyawa sendiri.
Fang Tiong Seng tersenyum sekilas, Meskipun senyuman itu
sangat tipis, namun Lian lian sudah dapat melihat keyakinannya
yang besar. "Yang ini adalah seorang gadis, Bahkan seorang gadis yang
cantiknya bagaikan bidadari," sahutnya.
"Siapa orangnya?" tanya Lian lian sekali lagi.
"Lian-lian... Tidakkah kau menganggap bahwa pertanyaanmu
hanya sia-sia belaka?" sahut Fang Tiong Seng.
"Apakah kau akan membunuh diriku?" tanya Lian lian.
"Aku masih berharap kalau bukan aku yang harus turun tangan.
Aku tetap tidak tega melakukannya," kata Fang Tiong Seng.
Lian-lian tertawa dingin.
"Kau adalah seorang manusia berdarah dingin. Apakah kata-kata
"tidak tega bisa masuk dalam kamusmu?" tanyanya.
"Ada satu hal yang ingin kuberitahukan kepada dirimu, seandainya
kau ingin memanggilku manusia berdarah dingin, masih belum
terlambat," kata Fang Tiong Seng tersenyum lembut.
"Tentang apa?" tanya Lian-lian.
"Maaf... Tadinya aku mengira telah membunuhmu," sahut Fang
Tiong Seng. "Apa maksudmu?" tanya Lian-lian.
"Aku telah membunuh Lian hu," sahut Fang Tiong Seng tenang.
Mata Lian lian terbelalak Dia menatap tajam ke arah laki-laki
setengah baya yang mempunyai wajah welas asih dan lemah lembut
itu. Dia mulai menderita, Hal ini disebabkan oleh penyesalan
"Seandainya dia membuka mata agar dapat melihat dengan tajam,"
"Seandainya sejak dini dia tahu kalau adiknya telah datang. Apakah
musibah ini tetap akan terjadi?"
Akibat perbuatannya yang tercela maka adiknya mati terbunuh.
Biarpun ia mati sebanyak seratus kali juga belum dapat menebus
dosanya yang setumpuk. "Namun ada satu hal yang perlu kujelaskan Pada waktu itu aku
mengira dia adalah dirimu," kata Fang Tiong Seng.
"Tampaknya kau tidak memberi kesempatan kepadanya untuk
memperkenalkan diri," sahut Lian lian sinis.
"Bukan begitu.... Dia sendiri yang tidak segera menjelaskan siapa
dia sebetulnya, Tampaknya dia ingin menyamar dirimu agar aku
bicara sejujurnya," kata Fang Tiong Seng.
"Rasanya kau juga tidak memberi kesempatan kepadaku untuk
membela diri?" tanya Lian-lian.
"Tidak! Aku pasti akan memberimu kesempatan Selama bertahuntahun,
tidak sedikit kesenangan yang telah kau berikan kepadaku,
Aku tentu akan memberi kebebasan kepadamu untuk memilih jalan
melepaskan diri dari tempat ini," kata Fang Tiong Seng.
Dia dapat mengucapkan semua itu dengan wajar, Memang tidak
sama dengan orang yang biasa, Dia tidak perduli bagaimana
tanggapan lawan terhadapnya, Karena dia tidak perduli segala
macam adat istiadat atau pun etika dalam kehidupan manusia, Dia
hanya tahu satu hal! Di dunia ini yang kuat akan menindas lawannya
yang lemah. Semua persoalan di dunia ini ada di dalam tangan manusia itu
sendiri, Tidak ada Thian atau Tuhan yang mengaturnya, Baginya,
segala bentuk kepercayaan di dunia ini hanya ada dalam benak
orang bodoh. *** Lian lian telah mengenakan baju luarnya. Dia juga mengambil
pedangnya yang tergeletak di samping tempat tidur.
"Aku ingin bertarung denganmu," katanya.
"Aku telah mengatakan bahwa aku akan memberimu kesempatan
Selama ini, aku selalu menurut apa katamu, bukan?" kata Fang
Tiong Seng dengan suara lembut.
Ini adalah gaya kehidupan Fang Tiong Seng, Selama dia
menampilkan wajah yang lembut dan penuh perhatian kepada
sesamanya, Kalau dia sampai menunjukkan kemarahan, berarti
lawan bicaranya telah berbuat suatu kesalahan.
Kedua orang itu keluar dari halaman depan. Lian lian menatap
setumpuk rumput yang luas. Bentuknya seperti sebuah tikar, Dan di
sampingnya ada segulung tali, Selain itu ada sebuah salib dan kereta
kecil yang terbuat dari besi lengkap dengan paculnya.
Orang yang usianya masih muda rasanya tidak pernah
memikirkan soal kematian, sedangkan orang yang sudah berusia
lanjut saja enggan mengungkat soal ajal yang akan menjemput
mereka segera. Kematian terlalu jauh untuk dijangkau oleh pikiran biasa.
Meskipun setiap orang tahu bahwa di dunia ini akan ada kematian,
tapi orang hidup tidak mau repot memikirkannya. "Kematian" juga
merupakan suatu penyakit yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun.
Namun Lian lian telah merasakan hawa kematian yang
menggigilkan. Dia seakan tidak dapat percaya, bahwa pada saat
dirinya sudah mati, sebuah peti mati pun dia tidak dapatkan, Yang
ada hanya setumpukan rumput yang akan menutupi tubuhnya yang
tersalib. Dia sudah dapat membayangkan apa yang akan dilakukan Fang
Tiong Seng terhadap dirinya apabila dia sudah mati. Kereta yang
sudah tersedia itu tentu akan menjadi sarana supaya dirinya dapat
dibuang ke dalam jurang setelah diikat dan ditutupi tikar rumput
tersebut, sedangkan Fang Tiong Seng sendiri sudah lama
mempersiapkan sebuah peti mati untuk keperluan dirinya kalau dia
sudah mati. Bahkan peti mati itu dirawat dengan baik. Setiap tahun pasti dia
akan menyuruh orang memeriksa kayunya dan memelitur sehingga
mengkilap kembali. "Aku sangat mengagumi dirimu...." kata Lian lian, "Manusia
semacam dirimu ternyata dapat mengelabui orang-orang dalam
Bulim dan membuat mereka menuruti apa yang kau inginkan."
Fang Tiong Seng mengunjukkan sebuah senyum manis di sudut
bibirnya. "Orang yang sependapat denganmu sangat banyak," sahutnya.
"Kalau kau dapat membunuhku dalam setengah jurus, Aku akan
mati dengan mata terpejam," kata Lian lian.
"Aku telah mengatakan bahwa aku akan menurut apa
kemauanmu," sahut laki-laki berdarah dingin itu. Kedua orang itu
menghunus pedang masing-masing dalam waktu yang bersamaan
Tiba-tiba Lian lian bertanya dengan nada penuh ejekan.
"Apakah kau pernah membayangkan kalau pada suatu hari
keningmu juga akan ditembusi sebatang pedang?"
"Dulu aku pernah membayangkannya," kata Fang Tiong Seng.
"Siapa kira-kira orangnya?" tanya Lian lian.
"Toa Tek To Hun. Tapi sekarang tidak perlu dikhawatirkan lagi. Di
dunia Bulim saat ini, tidak pernah akan terdengar nama itu lagi,"
kata Fang Tiong Seng. "Aku justru menganggap bahwa saat kematianmu tidak akan lama
lagi. Sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk
menyaksikannya," sahut Lian lian ketus.
Fang Tiong Seng menarik nafas panjang, Dia seakan turut
menyayangkan Lian lian yang tidak mendapat kesempatan untuk
menyaksikan hari kematiannya.
Tiba-tiba pedang Lian lian sudah terhunus. ilmu pedang
perguruan Lamhai tidak boleh dianggap enteng, Nama perguruan
mereka sudah sangat terkenal sejak berpuluh-puluh tahun yang
lampau. Serangan Lian lian kali ini pasti merupakan jurus yang
mematikan. Serangan dengan jurus yaiag mematikan telah dikeluarkan,
pedang Fang Tiong Seng juga ikut berkelebat. Tampaknya dia
mengeluarkan pedang belakangan masih lebih cepat sekedipan
mata. "Kehidupan" seseorang dapat ditentukan dalam waktu
sekedipan mata itu. "Kematian" seseorang juga dapat menjadi
sempurna dalam sekejapan mata. Tenggorokan Lian lian telah
tertembus oleh pedang di tangan Fang Tiong Seng.
Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa kali sebelum rubuh ke
tanah. Tangan kiri Fang Tiong Seng menangkap tubuh yang hampir
mencapai tanah itu. sedangkan tangan kanannya meraih tikar
rumput dan berbagai macam peralatan yang lainnya, Dia
meninggalkan tempat tersebut dengan tenang.
Bagi Fang Tiong Seng, membunuh seseorang adalah pekerjaan
yang mudah sekali, Semudah membalikkan telapak tangannya. Oleh
karena itu, dia tidak percaya apa yang dikatakan Lian lian tadi,
Umurnya masih sangat panjang. Dia tidak mungkin dibunuh oleh
siapa pun. Tidak ada orang lagi yang dapat menandinginya di dunia
ini. *** Hujan badai antara Siau kiong cu dan Kwe Po Giok sudah berlalu,
Hal ini disebabkan karena Siau Kwe yang mau mengalah
terhadapnya, Namun, tidak mudah baginya untuk menerima
tanggapan orang lain yang mengira dirinya bukan Sin tong.
Oleh karena itu, Kwe Po Giok setiap hari pasti keluar rumah. Dia
ingin mengurangi beban hatinya, jangan sampai masalah tersebut
menjadi penghalang antara dirinya dan Siau kiong cu.
Kentungan kesatu baru lewat Siau kiong cu sedang membasuh diri
di sebuah ruangan khusus, Air yang hangat menyamankan
perasaannya yang kacau belakangan ini. Di tempat yang gelap ada
sepasang mata yang sedang mengintai.
Mata itu sangat tajam, berpengalaman, dan mengetahui dengan
jelas bagaimana bentuk tubuh seorang perempuan yang sempurna.
Tubuh Siau kiong cu tidak gemuk ataupun kurus, Setiap lekukannya
memberi kesan keindahan. Kulitnya bercahaya bagai sehelai sutera,
Juga amat halus. Ada satu hal lagi yang paling utama, Dia masih suci
bersih bagai sebuah batu kumala.
Gadis yang suci bersih selalu mendapat rasa hormat dan kasih
sayang siapa pun yang memandangnya, Meskipun seorang laki-laki
yang berjiwa busuk juga akan mempunyai pendapat yang sama.
Siau kiong cu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang
diperhatikan oleh seseorang, Dia memang tidak bisa ilmu silat
pendengarannya tidak cukup tajam untuk mengetahui kehadiran
seseorang yang mempunyai ginkang tinggi. Sampai dia selesai
mengenakan pakaiannya, barulah sepasang mata itu menghilang di
kegelapan. Karena kematian Lian hu, Mo Put Chi jadi kehilangan
keseimbangan. Dia memang sangat menyayangi gadis itu, Dia juga
seorang yang berpikiran polos, ia bukan jenis manusia yang sanggup
menerima pukulan bathin yang begitu berat.
Mo Put Chi pergi ke balai desa dan mengatakan kepada petugas di
sana bahwa dia yang membunuh Lian hu. Tentu saja dia diinterogasi
oleh pihak berwajib. Belakangan dia mengatakan bahwa dia tidak
membunuh Lian hu, tapi kematiannya mungkin disebabkan olehnya,
Namun para petugas sudah curiga kepadanya, Dia ditahan dan


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dijebloskan ke dalam penjara, Tekanan bathinnya semakin kuat. Dia
telah menjadi gila. Manusia macam Mo Put Chi, apabila menghadapi kenyataan
demikian, tentu akan berakibat buruk, Tidak heran kalau dia jadi
gila. *** "Tinggal satu halangan lagi," Fang Tiong Seng berkata kepada
dirinya sendiri. Setelah berhasil melewati satu halangan ini, dunia Bulim akan
bertekuk lutut di bawah kakinya, Tidak ada seorang pun yang
sanggup menerima satu jurus serangannya lagi. Tingkatannya
sekarang sudah tidak mungkin ada yang melampaui lagi.
Janji untuk bertemu di tempat pembakaran mayat ada baiknya,
Tempat ini terpencil di pelosok desa. Tempatnya juga jauh di atas
gunung, Apalagi pada saat seperti ini, orang-orang sedang terlelap
dalam dunia mimpi. Tidak mungkin ada yang mengetahui apa yang
diperbuatnya, pertarungan kali ini, kedua belah pihak sama-sama
tidak ingin ada yang mengetahui kalau lawannya terbunuh oleh
salah satu dari mereka. Tujuan mereka hanya membunuh, bukan
untuk mencari nama, Karena lawannya akan bergabung berdua
untuk bertarung dengannya.
Sekitar tujuh li dari tempat pembakaran mayat tersebut ada
sebuah dermaga yang sudah tidak terpakai Di bawah dermaga ada
sebuah jurang yang dalam, Sebuah sungai yang deras mengalir
disana, Orang yang pandai berenang pun tidak berani memandang
enteng tempat yang begitu berbahaya.
Mereka justru memilih tempat ini untuk bertarung, Masing-masing
membelakangi jurang yang dalam itu. Sebelum berangkat tadi, Fang
Tiong Seng sempat memberi pesan kepada Sun Put Ce. Apabila
sampai kentungan kelima dia belum juga kembali, maka dia harus
datang ke tempat itu untuk membereskan jenasahnya.
Fang Tiong Seng sama sekali tidak menjelaskan siapa Iawannya.
Bagi laki-Iaki itu, kejadian seperti ini merupakan yang pertama
kalinya, Namun Sun Put Ce juga mempunyai pikiran tersendiri.
Bahkan dia memberitahukan pikirannya itu kepada Kwe Po Giok dan
Siau kiong cu. Selama ini dia sangat setia terhadap Suhunya, tetapi
gilanya Mo Put Chi membuat hatinya sakit.
Ketika Fang Tiong Seng sampai di tepi dermaga tua itu, Tokku
Peng dan muridnya Miao Hua Fang sudah sampai lebih dahulu,
pertarungan kali ini pasti merupakan pertarungan yang paling
mendebarkan. Karena ilmu yang dimiliki Tokku Peng jauh di atas Hua can lei atau
pun Seebun Cu Yap. Apalagi dia bergabung dengan muridnya dalam
menghadapi Fang Tiong Seng. Pertarungan ini juga menentukan
masa depan kedua belah pihak, Fang Tiong Seng beranggapan,
kalau dia dapat memenangkan pertarungan ini, maka di dunia Bulim
tidak ada tokoh yang perlu dikhawatirkan lagi.
Sedangkan Tokku Peng berpikir kalau dia memenangkan
pertarungan dan berhasil membunuh Fang Tiong Seng, berarti dia
telah menyelamatkan dunia persilatan dari ancaman bahaya orang
jahat ini. Dia juga telah membalaskan dendam tokoh-tokoh yang
gugur akibat ulahnya. Dengan demikian, bukan saja dunia Bulim akan tentram kembali,
namun ia juga dapat melewatkan hidup dengan tenang, Tokku Peng
sudah berusia enam puluhan. Rambutnya telah memutih sebagian,
pedang yang digunakannya lebih panjang lima cun dari pedang
biasa. Lebarnya juga melebihi kira-kira dua cun.
Muridnya Sam ta siau ya (Ada juga yang memanggilnya sam ta
kongcu) yaitu Miao Hua Fang memakai senjata berupa sepasang
roda dengan gerigi berwarna hitam putih. Siapakah Fang Tiong Seng
itu" Mungkinkah dia tidak tahu seberapa hebatnya gabungan kedua
guru dan murid tersebut. "Fang Tiong Seng, tentunya kau sudah tahu alasan kami yang
ingin membunuhmu," kata Tokku Peng.
Fang Tiong Seng tertawa terkekeh-kekeh.
"Tokku Peng.... Yang kau maksudkan kami adalah kau dan
muridmu bukan?" tanyanya.
"Demi keselamatan kaum Bulim, tidak ada orang yang akan
menyalahkan kami," sahut Tokku Peng.
"Demi keselamatan kaum Bulim" Apakah alasannya sudah tepat?"
tanya Fang Tiong Seng. "Fang Tiong Seng, meskipun kau pandai bersilat lidah, tapi di
dunia ini masih banyak orang yang tidak terjerat dalam tipu
dayamu!" sahut Tokku Peng dengan suara tajam.
Fang Tiong Seng sengaja tertawa lebih keras, Seakan dia ingin
menjelaskan bahwa di dunia ini tidak mungkin ada orang yang tidak
terjerat dalam kepalsuannya, orang-orang yang terjerat makin
banyak, mereka malah bersedia melakukannya tanpa mengetahui
dirinya telah diperalat. Apa yang dilakukannya selama ini sudah menjadi kebiasaan.
Setiap kesempatan yang terluang akan digunakannya baik-baik. Dia
tidak akan membiarkan seorang pun lepas dari cengkeramannya.
Mungkin kebiasaan itu akan menjadi sesuatu yang wajar.
Dia juga akan tertipu, Tertipu oleh dirinya sendiri justru
perangkap ini yang paling susah dilepaskan dalam dunia ini. Siapa
pun jangan harap membuka perangkap yang menjerat diri sendiri.
"Apakah kau juga tertipu olehku?" tanya Fang Tiong Seng.
"Pasti kau sendiri yang menyebarkan berita bahwa Toa Tek To
Hun sudah mati. Mana kenyataannya?" Tokku Peng membalikkan
pertanyaan tersebut. "Mengapa aku harus menyiarkan berita seperti itu?" sahut Fang
Tiong Seng tenang. "Karena dalam berita yang tersiar, engkaulah yang membunuh
Toa Tek To Hun," kata Tokku Peng.
"Toa Tek To Hun memang sudah mati, Apa yang tidak benar"
Tapi, aku masih belum sanggup membunuhnya," sahut Fang Tiong
Seng. "Tipuanmu sungguh hebat. Kau sengaja berkata demikian agar
orang memandang rendah padamu," kata Tokku Peng.
Fang Tiong Seng tertawa terkekeh-kekeh sekali lagi.
"Aku sendiri belum mempunyai pikiran sejauh itu," sahutnya.
"Dalam anggapanmu, apakah Toa Tek To Hun sudah mati?" tanya
Tokku Peng dengan mata menyelidik.
"Tentu sudah mati," kata Fang Tiong Seng.
"Kalau bukan kau yang membunuhnya mengapa kau bisa tahu
bahwa dia sudah mati?" tanya Tokku Peng.
"Kabar yang tersiar memang demikian, kalau tidak, mengapa dia
menghentikan rentetan pembunuhan yang dilakukannya?" sahut
Fang Tiong Seng. Tiba-tiba Tokku Peng tertawa terbahak-bahak.
"Tampaknya kau hanya sembarangan mengoceh saja," katanya.
Wajah Fang Tiong Seng berubah serius.
"Apakah yang kukatakan salah?" tanyanya.
"Toa Tek To Hun sama sekali tidak mati," sahut Tokku Peng.
Mata Fang Tiong Seng terbelalak. Dia mengira telinganya salah
dengar. "Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanyanya.
"Karena aku melihatnya dengan mata kepala sendiri," kata Tokku
Peng. Sekali lagi Fang Tiong Seng terpana.
"Kapan kau melihatnya?" tanyanya.
"Dua hari yang lalu," sahut Tokku Peng.
Keterangan itu membuat hati Fang Tiong Seng tergetar. Siapa
pun bisa berbohong, tetapi dia tahu, Tokku Peng tidak. Dia juga
tidak mungkin bisa salah lihat.
"Fang Tiong Seng, hal ini membuktikan bahwa kedatangan Toa
Tek To Hun adalah atas undanganmu," kata Miao Hua Fang dingin.
"Kalau memang demikian, mengapa Toa Tek To Hun harus
menghilang sekian lama"Dan mengapa dia muncul lagi sekarang"
Bukankah dia akan menundukkan para jago di Tionggoan apabila dia
terus membunuhi jago-jago kelas satu." sahut Fang Tiong Seng.
"Hal ini disebabkan oleh Kiau Bu Suang yang melihat pertarungan
antara Toa Tek To Hun dengan Tang hay sin sian, Manusia sakti itu
telah lama terkena Cao hue jit mo.Kepandaiannya telah punah, Toa
Tek To Hun terharu melihat pengorbanannya yang besar, Dia
berjanji untuk meninggalkan Tionggoan dan tidak akan membunuh
lagi.Toa Tek To Hun yang muncul belakangan adalah samaran
dirimu dan Kiau Bu Suang," kata Miao Hua Fang.
Fang Tiong Seng tidak memberikan pendapatnya, Pokok
pembicaraan kembali lagi pada Toa Tek To Hun.
"Tokku Peng... Apakah kau benar-benar melihat Toa Tek To
Hun?" tanyanya dengan hati penuh harap kalau dia salah dengar.
"Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak pernah
mengucapkan kejujuran sama sekali," sahut Tokku Peng.
"Bagaimana membuktikan kalau yang kau lihat benar-benar
adalah Toa Tek To Hun?" tanya Fang Tiong Seng.
"Karena sejak membunuh Lau san chi siong sampai Chao pak
seng, aku selalu mengintip dari kejauhan," sahut Tokku Peng.
Tiba-tiba Fang Tiong Seng tertawa terbahak-bahak.
"Aku tahu mengapa kau tertawa?" kata Tokku Peng sinis.
"Kau memang seharusnya mengerti," sahut Fang Tiong Seng.
"Kau pasti akan mengatakan, mengapa aku tidak mengunjukkan
diri melihat Toa Tek To Hun membunuh para jago di Tiong-goan,
bukan?" tanya Tokku Peng tenang.
"Kau toh sudah menjelaskan sendiri, buat apa aku mengulanginya
kembali?" kata Fang Tiong Seng.
"Untuk mengetahui kenyataan dari suatu hal, kita harus dapat
menahan diri. Apalagi waktu itu aku baru saja bertempur dengan It
to hun Seeto Kang dan Hok su thi Seebun Cu Yap, serta Go bun tho
sehingga mendapat luka dalam. Ketika itu muridku Miao Hua Fang
juga tidak ada di sisiku. Oleh sebab itu, aku tidak dapat turun tangan,"
sahut Tokku Peng. Paling tidak, alasannya memang tepat dan tidak dibuat-buat.
Namun, Fang Tiong Seng masih belum mengerti mengapa Toa Tek
To Hun tidak mati. Sekarang, Tokku Peng telah mengeluarkan pedang panjangnya,
Miao Hua Fang juga siap dengan senjatanya yang berupa sepasang
roda bergerigi hitam putih. Fang Tiong Seng sama sekali tidak berani
memandang ringan kedua guru dan murid tersebut.
Dia juga menghunus pedangnya, Pedang di tangannya telah
banyak membunuh manusia, Bahkan manusia yang termasuk jago
kelas satu di Bulim. Oleh karena itu, setiap dia menghunus pedang
tersebut, rasa percaya dirinya pun makin bertambah.
Terlalu sering dia membunuh orang hanya dengan setengah jurus.
Lawannya bahkan belum sempat menghunus pedang, Kekuatannya
sudah sulit ditandingi apa lagi setelah dia berhasil melenyapkan Toa
Tek To Hun, dia semakin yakin tidak ada orang yang sanggup
mengalahkannya lagi. Malam musim panas. Hawa terasa pengap, Angin semakin enggan
bertiup semilir. Di kening ketiga orang itu telah terlihat peluh
membasah. Tokku Peng dan muridnya saling lirik sekilas, Pedang di
tangan Tokku Peng bergerak perlahan.
Gerakan ini tidak mirip seperti orang yang sedang mengadu
nyawa, Malah memberi kesan seakan seorang guru yang memberi
contoh kepada murid-muridnya, Dan karena takut melukai mereka,
maka tenaga yang dikeluarkan hanya sedikit.
Tetapi Fang Tiong Seng tahu, gerakan itu akan berlanjut sebuah
serangan yang mematikan perubahannya akan mengejutkan siapa
saja yang melihat. Dalam waktu yang sekejap, dia sadar, kecuali Toa
Tek To Hun, Tokku Peng dan muridnya merupakan lawan terberat
yang pernah ditemuinya. Pedang Fang Tiong Seng juga sudah bergerak. Deru angin yang
mengiringinya memekakkan telinga, Miao Hua Fang tidak mau
ketinggalan. Dia segera melancarkan sebuah serangan, Fang Tiong
Seng berhasil memecahkan jurus yang dikerahkan oleh Tokku Peng,
Tanpa membuang waktu dia berkelit untuk menghindari sepasang
roda yang mengancam dirinya.
Miao Hua Fang gagal melukai Fang Tiong Seng, Dia berputar
sekali, kembali sepasang rodanya meluncur ke arah laki-laki itu. Kali
ini rodanya yang bergerigi hitam berhasil mengunci pedang Fang
Tiong Seng. Serangan ini merupakan jurus andalan Tokku Peng dan muridnya,
Pada saat yang sama, pedang Tokku Peng dengan gerakan kilat
mengincar bagian dadanya, Fang Tiong Seng tergetar.
Hal ini benar-benar di luar dugaannya, Nama besar Tokku Peng
benar-benar nyata. Bagi Fang Tiong Seng, tokoh yang nama
besarnya betul-betul diperoleh dengan kepandaian sejati, lawan
seperti mereka dapat terhitung oleh jari.
"Trang! Tring! Trang!!!"
Tiba-tiba pedang Fang Tiong Seng sudah terlepas dari roda di
tangan Miao Hua Fang. Entah bagaimana cara Fang Tiong Seng
melepaskan pedangnya dari kurungan roda tersebut. Dengan
kecepatan yang tidak sanggup dilihat oleh mata biasa, pedangnya
memutar. Leher Miao Hua Fang sudah tersayat sebagian. Kulit dan
daging di tenggorokan itu menghambur di udara, pemandangan ini
membuat Tokku Peng terkesima. Namun, Fang Tiong Seng tidak
menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Tokku Peng, Dia
ingin berduel dengan orang tua itu untuk mengetahui sampai di
mana perbedaan di antara mereka.
"Tokku Peng, berapa jurus?" tanya Fang Tiong Seng dengan nada
angkuh. Tokku Peng kecewa, putus asa, Dia tidak sanggup mengucapkan
apa-apa. Dengan mata kepala sendiri dia melihat muridnya telah
berhasil mengunci pedang lawan, dia juga tidak membuang waktu
dan segera menyerang. Bagaimana kejadiannya malah bisa berakhir
demikian tragis" jurus andalannya masih belum dapat mengalahkan
lawan, ilmu apa yang digunakan Fang Tiong Seng"
Sebetulnya cara Fang Tiong Seng melepaskan pedangnya dari
cengkeraman roda bergerigi Miao Hua Fang bukan salah satu dari
ketigabelas jurus bangau terbangnya, Dia menggunakan ilmu yang
ditinggalkan oleh Tang hay sin sian. Ia memperalat Lian lian untuk
menipu Siau kiong cu agar merangkai bunga di depan
perempuan itu. Dia mengintai dari balik kegelapan, Kemudian Lian
lian juga berhasil membujuk Kwe Po Giok agar menunjukkan
kepadanya. Meskipun apa yang diperlihatkan kedua muda mudi itu belum
seluruhnya, namun Fang Tiong Seng adalah orang yang sudah
banyak makan asam garam, Dia sudah mempelajari ilmu silat sejak
kecil pengetahuan dan kecerdasannya melebihi orang lain. Dengan
caranya sendiri, dia berhasil menguraikan cukup banyak ilmu
peninggalan Tang hay sin sian tersebut. Bahkan dia
menggabungkannya dengan ilmu pedangnya sendiri.
"Dari awal sampai akhir tidak mencapai empat jurus setengah,"
gumam Tokku Peng. "Apakah kau merasa sedih?" tanya Fang Tiong Seng.
"Bukan sedih, Tetapi sekarang aku baru menyadari bahwa selama
ini aku telah membuang waktu yang berharga, Ternyata aku masih
menganggap diriku sebagai tokoh nomor satu atau paling tidak
nomor dua di Bulim," sahut Tokku Peng.
"Sebetulnya perkiraanmu tidak terlalu salah. Meskipun kau tidak


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

termasuk tokoh nomor satu atau pun nomor dua di Bulim, tapi
perkiraanmu memang tidak meleset jauh, kau termasuk tokoh
nomor tiga saat ini," kata Fang Tiong Seng.
"Siapa tokoh nomor dua itu?" tanya Tokku Peng.
Manusia memang aneh, Sampai saat itu, mereka masih sempat
berdiskusi siapa tokoh nomor satu, dua atau tiga.
"Mungkin seorang bocah yang baru meningkat dewasa," gumam
Fang Tiong Seng ragu. "Bocah" Berapa usianya?" tanya Tokku Peng.
"Mungkin belum cukup dua puluh tahun," sahut Fang Tiong Seng.
Tokku Peng berdiri terpaku di kegelapan malam. Dia hampir tidak
dapat percaya bahwa tokoh nomor dua di Bulim saat ini hanya
seorang pemuda yang usianya belum mencapai duapuluh tahun.
"Kau juga tidak perlu merasa sedih, seorang pemuda yang masih
ingusan berada di bawah deretanku, juga bukan hal yang
membanggakan," kata Fang Tiong Seng.
Tokku Peng sama sekali tidak mendengar apa yang diucapkan
Fang Tiong Seng barusan. Tatapan matanya terpusat pada luka
dileher Miao Hua Fang. Dia merasa bersalah, Karena dirinya, maka
Miao Hua Fang mengalami kematian yang begitu tragis. Tiba-tiba
pedang di tangannya diarahkan ke dadanya sendiri.
*** Fang Tiong Seng menggelengkan kepala dengan tertawa getir.
"Orang seperti dirimu juga bisa memilih kematian dengan cara
demikian pengecut?" tanyanya.
"Kematianku tidak perlu disayangkan ingin mengadu nyawa pun
sia-sia saja," sahut Tokku Peng.
"Tapi seorang pendekar tidak boleh mati dengan cara demikian
sedangkan kau adalah seorang pendekar," kata Fang Tiong Seng.
Dia memang tidak berharap jago nomor tiga itu mati dengan cara
demikian. Kesenangannya akan berkurang, Dia juga akan kehilangan
sebuah ujian yang dapat menentukan seberapa tinggi ilmu yang
dimilikinya sekarang. Tokku Peng memandang alam di sekitarnya. Rumput-rumput
menghijau, Cahaya bulan bersinar, Semua itu merupakan sebuah
pemandangan yang sulit dilupakan. Kenyataannya, hidup tentu lebih
senang daripada mati. Namun, dia tahu bahwa dirinya tidak mungkin
meninggalkan tempat itu dalam keadaan hidup.
"Kau pasti menginginkan kematian dengan cara itu?" tanya Fang
Tiong Seng. "Tentu!" sahut Tokku Peng.
"Apakah kau tidak perduli nama baik yang telah kau pupuk selama
ini?" tanya Fang Tiong Seng.
"Guru dan murid bergabung masih belum dapat menandingimu
mana ada lagi segala nama baik yang tersisa?" sahut Tokku Peng
kecewa. "Tidak tentu! Nama baik setelah orangnya mati tetap akan ada.
Tinggal bagaimana keputusanmu saja?" kata Fang Tiong Seng. Dia
benar-benar manusia licik. Untuk tujuan pribadinya, dia tega
menggunakan segala macam cara dan orang itu toh akhirnya mati
juga. "Keputusanku sudah bulat!" sahut Tokku Peng.
"Semestinya itu bukan keputusan yang terakhir," kata Fang Tiong
Seng. "Fang Tiong Seng.... Kalau kau menjadi diriku, kau pasti akan
menggunakan tangan dan pedang sendiri mengakhiri hidupmu,"
sahut Tokku Peng. "Aku tidak akan sebodoh itu!" kata Fang Tiong Seng.
"Meskipun kau tidak mungkin, tapi aku tetap pada keputusanku!"
sahut Tokku Peng tegas. *** Fang Tiong Seng tertawa dingin, "Kalau tekadmu sudah bulat, aku
juga tidak memaksa. Hanya ada satu hal yang perlu kuingatkan
kepadamu," katanya. "Hal apa?" tanya Tokku Peng, "Kalau kau memaksa ingin bunuh
diri, maka sesudahnya aku akan menyiarkan kepada teman-teman di
Bulim bahwa kalian guru dan murid kalah di tanganku hanya dengan
satu jurus saja," sahut Fang Tiong Seng sinis.
Tokku Peng meraung keras-keras. suaranya mirip ratapan serigala
di musim dingin, Dia merasa menyesal telah menantang Fang Tiong
Seng. Tadinya dia berharap dapat menyelamatkan dunia Bulim dari
cengkeraman orang jahat ini.
Thian sungguh tidak adil terhadapnya. Harapannya yang suci di
balas dengan cara sekeji ini. Sekarang, menyesal pun sudah
terlambat. Nama baik tetap penting bagi manusia yang sudah mati.
Bukankah ada pepatah yang mengatakan, "harimau mati
meninggalkan kulitnya, gajah mati meninggalkan gadingnya,
sedangkan manusia mati meninggalkan kehaf uman namanya"
Paling tidak, Tokku Peng merasa nama baik sangat penting,
Bukan hanya karena dia ingin disanjung orang, tapi apabila Fang
Tiong Seng benar-benar menyebarkan berita bahwa mereka guru
dan murid hanya sanggup menerima satu jurus dari orang itu, maka
dunia Bulim akan gempar. Tidak mungkin ada lagi yang berani
menghalangi niat jahatnya.
Fang Tiong Seng tetap Fang Tiong Seng. Hanya sepatah
perkataan saja sudah sanggup merubah keputusan Tokku Peng.
pedangnya ditarik kembali dari dada. Dia ingin mengadu nyawa
dengan manusia jahat itu. Setidaknya, dia ingin mati dengan cara
yang gagah perkasa. "Begini baru dapat disebut seorang pendekar," kata Fang Tiong
Seng. Tiba-tiba, pedang di tangan Tokku Peng diangkat ke atas. Fang
Tiong Seng masih berdiri di tempatnya dengan tangan
menggenggam pedang erat-erat. Sekali melengos, serangan Tokku
Peng luput. Melihat serangannya yang pertama tidak berhasil, dia
kembali menyerang tiga kali beruntun. Pedang Fang Tiong Seng
yang tadinya mengarah ke bawah, tiba-tiba menyerang ke atas,
Tokku Peng seakan melihat kembang api sedang berpijar,
pandangan matanya berkunang-kunang.
Angin dingin, menyelimuti dirinya. Pada serangan ketiga dari Fang
Tiong Seng, dia tidak dapat menghindar lagi, Tubuhnya masih
terpaku di tempat, tapi kepalanya melayang ke udara. Setelah lima
detik kemudian, tubuhnya baru menyusul rubuh ke tanah.
Suatu pemandangan yang sangat menyeramkan terjadi Kepala
Tokku Peng masih berputar di udara. Fang Tiong Seng menyabetkan
pedangnya sekali lagi Kepala itu terbelah menjadi dua sebelum
berdebum ke atas tanah, jatuhnya tepat di samping tubuh itu
sendiri. Pedang di tangan Fang Tiong Seng dimasukkan kembali ke
dalam sarungnya. Ternyata dengan seorang diri melawan Tokku Peng yang
termasyur, dia juga hanya memerlukan dua jurus setengah,
bagaimana hal ini tidak membuat kepalanya menjadi besar" Oleh
karena itu, Fang Tiong Seng mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak, pula jika tidak tertawa saat ini, kapan lagi dapat
merapat kebanggaan seperti ini"
Semakin lama, rasa percaya. dirinya semakin tinggi, Meskipun
orang yang dikatakan tokoh nomor dua di Bulim saat ini
mengunjukkan diri, dia juga akan mempunyai rasa keyakinan yang
sama. Rasa percaya diri itu amat penting, banyak hal di dunia ini
terlaksana karena keyakinan yang teguh, sedangkan para manusia
yang gagal, biasanya merupakan mereka yang mempunyai
kemampuan, tapi tidak percaya kepada dirinya sendiri.
Fang Tiong Seng baru saja hendak meninggalkan tempat itu.
seseorang meloncat ke dalam kancah pertarungan tersebut, Orang
yang datang ternyata Kwe Po Giok, Dia juga merupakan orang yang
disebut tokoh nomor dua di Bulim saat ini oleh Fang Tiong Seng.
*** "Bagus sekali! Orang yang seharusnya tampil sudah ada di sini.
Dengan demikian, membuat pekerjaanku jauh lebih ringan," kata
Fang Tiong Seng. "Aku justru tidak menganggap kalau dirimu dapat disebut sebagai
tokoh nomor satu di Bulim," sahut Kwe Po Giok dengan nada
mengejek. Fang Tiong Seng menatap Kwe Po Giok dengan seksama, Pemuda
ini adalah Sin tong. sedangkan Sin tong tentu tidak dapat disamakan
dengan orang biasa. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh
Kwe Po Giok. Pada masa kecilnya, Fang Tiong Seng juga sudah
mendapat panggilan Sin tong.
"Dayang Cui thian pernah mengatakan bahwa dia menitip sebuah
dompet sulaman yang terbuat dari kapas kepada Siau kiong cu.
Kwe Po Giok mendengus satu kali.
"Dompet sulaman apa?" tanyanya.
"Dompet sulaman, ya dompet sulaman," sahut Fang Tiong Seng.
"Kalau memang dia mempunyai dompet seperti itu, dia pasti
sudah mengatakannya padaku," kata Kwe Po Giok.
Fang Tiong Seng mengira dayang Cui thian mungkin hanya
menipu dirinya agar dapat memperpanjang waktu sehingga dia
mempunyai kesempatan melarikan diri. Untung saja saat itu dia
tidak berpikir panjang dan langsung membunuhnya.
"Sebetulnya tidak perlu menitip segala macam dompet pada Siau
kiong cu. Sejak semula kau sendiri sudah menunjukkan wajahmu
yang sebenarnya," kata Kwe Po Giok yang cerdik,
Meiihat kerut di wajah Fang Tiong Seng, dia sudah dapat
menduga apa isi dompet yang dimaksudkan.
"Aku?" tanya Fang Tiong Seng terkejut.
Sampai hari ini, dia masih yakin bahwa rahasianya ini tak banyak
yang mengetahui. Apakah bocah ini juga sedang mempermainkan
dirinya" "Toa Tek To Hun, baru pertama kali menginjak tanah Tionggoan,
bagaimana dia bisa tahu siapa-siapa saja tokoh-tokoh kelas satu di
negeri ini, itu bahkan tahu di mana tempat tinggal mereka.
sasarannya selalu tepat!" Dengan demikian, terbukti bahwa ada
seseorang yang menjadi petunjuk baginya, sedangkan di antara
semua jago-jago yang diincarnya, tidak ada satu pun yang dapat
meloloskan diri dari kematian. Mengapa dirimu merupakan
kekecualian" Sejak dulu, aku sudah berpikir ke situ." sahui Kwe Po
Giok. "Sin tong" memang tidak dapat di samakan dengan orang biasa."
kata Fang Tiong Seng. "Sebetuinya bukan aku saja, Sun Put Ce juga sudah lama
mengetahuinya," sahut Kwe Po Giok.
"Sejak semula aku sudah tahu Sun Put Ce bukan orang bodoh,
Mungkin dia malah lebih pintar darimu," kata Fang Tiong Seng. Kwe
Po Giok tidak suka mendengar kata-kata itu. Dia tidak percaya
bahwa di dunia ini ada begitu banyak Sin tong.
"Kau pernah mengutus Sun Put Ce membunuhku bukan?"
tanyanya. "Coba kau terka, untuk apa aku mengutusnya membunuhmu?"
"Mungkin karena kau sudah tahu kalau dia bukan tandinganku?"
tanya Kwe Po Giok tenang.
Fang Tiong Seng tersenyum. Pada saat orang itu tersenyum,
Dendam Membara 2 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Memanah Burung Rajawali 19
^