Pencarian

Suling Naga 19

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


"Apa yang subo maksudkan?" tanyanya dengan heran.
Mereka itu mencari mati karena melakukan pelanggaran daerah kita," jawab pula gurunya dengan sikap masih gembira dan acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan muridnya.
"Tapi.... tapi mengapa, subo" Mengapa Subo membiarkan saja mereka melanggar wilayah kita dan memasuki daerah berbahaya itu?"
Kini Sin-kiam Mo-li menoleh kepada muridnya. "Hemn aku tidak menyuruh mereka
melakukan pe-langgaran, bukan" Kalau sampai mereka mampus, itu adalah salah mereka Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
554 sendiri!" Sejenak Hong Li tidak mampu membantah. Memang tak dapat disalahkan kalau gurunya membiar-kan saja lima orang itu memasuki daerah berbahaya dan menghadapi kematian mereka, akan tetapi, meng-apa gurunya demikian kejam membiarkan lima orang menghadapi kematian tanpa mencegahnya"
"Subo, kalau begitu biarlah aku yang akan mem-beri tahu mereka agar mereka mundur dan tidak me-lanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah ini. Mungkin mereka tidak tahu bahwa daerah ini berbahaya," katanya pula.
Tiba-tiba gurunya tertawa. "Hemm, Hong Li engkau tidak tahu. Apa kaukira mereka itu tidak tahu" Mereka sengaja memasuki daerah kita karena mereka hendak mencari aku."
"Eh" Jadi subo mengenal mereka" Mau apa mereka mencari subo?"
"Mereka hendak membunuhku."
Sepasang mata Hong Li terbelalak kiranya ada permusuhan di antara lima orang itu dan subonya. Pantas subonya membiarkan saja mereka menghadapi bahaya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran sekali.
"Subo, kenapa mereka hendak membunuh subo" Dan siapakah sesungguhnya mereka itu?"
"Beberapa pekan yang lalu, seorang teman mere-ka memasuki daerah ini, mungkin dengan niat jahat, dan tewas di pasir maut. Kematiannya itu adalah kesalahannya sendiri, akan tetapi teman-temannya agaknya kini datang hendak menuntut balas atas kematian kawan mereka.
Mereka adalah orang-orang dari perkumpulan Cin-sa-pang (Perkumpulan Sungai Cin Sa), orang-orang sombong tak tahu diri sehingga berani menantangku." Di dalam suara wanita cantik ini terkandung kemarahan. "Biar mereka tahu rasa se-karang agar tidak memandang rendah kepadaku."
Hong Li memandang lagi dan melihat betapa de-ngan cekatan lima orang itu kini berloncatan dan ma-suk semakin dalam di antara pohon-pohon. "Gerak-an mereka lincah dan cekatan.
Bagaimana kalau mereka sampai di rumah subo?"
"Tidak begitu mudah. Tiga orang pelayanku su-dah siap menyambut mereka. Lihat!"
Hong Li memandang dan benar saja, ia melihat tiga bayangan orang berlari turun setelah keluar dari dalam rumah mungil. Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah mereka, akan tetapi melihat ba-ju mereka itu, yang seorang merah, seorang putih dan seorang hitam, iapun tahu bahwa mereka itu adalah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Baru sekarang ia melihat betapa tiga orang pelayan itu berloncatan dengan amat cepatnya. Memang ia sudah menduga bahwa mereka sebagai pelayan-pelayan subonya agak-nya pandai pula ilmu silat, akan tetapi tidak disangkanya mereka akan dapat bergerak secepat itu.
Dan kini terjadilah tontonan yang memang menegangkan dan mendebarkan hati Hong Li.
Dari tempat yang tinggi itu, ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana. Mula-mula Ang Nio yang lebih dulu bertemu dengan seorang di antara lima orang penyerbu itu. Tepat di tengah-tengah setelah orang itu mampu naik sampai ke bagian tengah daerah yang penuh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
555 pohon-pohon itu, agaknya bingung dan berputar-putar di sekitar tempat itu. Hong Li tidak tahu apa yang mereka bicarakan, akan tetapi keiihatan betapa laki-laki itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio dengan gerakan yang cepat. Dan ia melihat betapa Ang Nio mengelak dan balas menyerang, tak kalah cepatnya gerakan pelayan itu. Ia melihat betapa dua orang itu berkelahi dengan gerakan-gerakan cepat dan kini laki-laki itu mengeluarkan senjata sebatang go-lok besar. Ang Nio juga mengeluarkan sebatang pe-dang tipis dan perkelahian menjadi semakin seru dan menegangkan hati Hong Li. Biarpun ia tidak tahu secara jelas urusannya, akan tetapi mendengar penu-turan subonya tadi, tentu saja ia berpihak kepada Ang Nio.
Dianggapnya bahwa pria yang menyerbu itu memang tak tahu diri, berani melanggar daerah orang lain, bahkan iapun tadi melihat betapa pria itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio.
Perkelahian itu tidak berlangsung lama ketika dari tempat Hong Li menonton, terdengar laki-laki itu berteriak dan tubuhnya roboh. Perkelahian itu paling lama hanya berlangsung tigapuluh jurus dan pedang di tangan Ang Nio telah menembus dada la-wannya yang roboh dan tewas. Sementara itu, di bagian lain juga terjadi perkelahian antara Pek Nio melawan seorang penyerbu. Juga di sebelah kiri, nampak Hek Nio melayani seorang penyerbu lain.
Hong Li memandang dengan hati berdebar. Agak-nya, baik Pek Nio maupun Hek Nio, dapat mengata-si perkelahian itu dan dengan pedang di tangan, mereka mendesak lawan masing-masing yang bersen-jata golok. Seperti juga tadi, kurang lebih tigapuluh jurus kemudian, lawan mereka itu roboh oleh pedang mereka. Dari tempat yang cukup jauh itu Hong Li tidak melihat darah mengalir, akan tetapi ia melihat betapa tiga orang telah roboh dan tewas. Kini tinggal dua orang lagi yang secara kebetulan dapat saling bertemu di bawah sebatang pohon besar. Mereka bi-cara dan menuding ke sana-sini, ke kanan kiri, agak-nya saling menceritakan bahwa mereka berdua men-jadi bingung dan tidak tahu jalan mana yang akan dapat membawa mereka ke rumah kecil mungil yang tadi nampak dari kaki gunung.
Tiba-tiba mereka terkejut dan membalikkan tu-buh. Tiga orang wanita pelayan itu, masing-masing menyeret tubuh seorang lawan yang sudah mati, muncul dari balik pohon dan berada di depan mereka! Tentu saja dua orang laki-laki itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa tiga orang kawan me-reka tahu-tahu telah menjadi mayat diseret oleh tiga orang wanita cantik itu. Agaknya merekapun tahu bahwa mereka berada dalam keadaan berbahaya seka-li.
Tiga orang kawan mereka sudah tewas oleh tiga orang wanita ini, dan tentu mereka seperti menye-rahkan nyawa saja kalau melawan. Tanpa dikoman-do lagi, dua orang itu
membalikkan tubuh melarikan diri turun gunung.
"Hik-hik!" Hong Li mendengar suara subonya terkekeh. "Mereka kira akan dapat lolos begitu saja" Bodoh!"
Hong Li memandang kepada dua orang itu yang melarikan diri cerai berai karena lorong itu sempit dan banyak sekali cabang-cabangnya. Ia yang sudah mempelajari rahasia lorong itu segera tahu bahwa mereka berdua mngambil jalan yang keliru! Mereka bukan menuju turun gunung, melainkan akan terpu-tar-putar saja melalui tempat-tempat yang amat berba-haya.
Tentu mereka berdua itu akhirnya akan terpe-rangkap di tempat berbahaya, tak mungkin lolos se-perti kata-kata subonya tadi, pikirnya. Dugaannya memang tepat karena tak lama kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan teriakan me-ngerikan, walaupun hanya terdengar lapat-lapat dari tempat Hong Li berdiri itu. Ia cepat memandang dan Hong Li mengerutkan alis, jantungnya berdebar tegang penuh kengerian. Kiranya seorang di antara dua laki-laki yang melarikan diri tadi, kini salah langkah menginjak padang rumput dan segera tubuh-nya tersedot karena di bawah rumput yang hijau su-bur dan indah itu terdapat Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
556 lumpur yang dapat menye-dot mahluk yang bergerak, dan yang terjatuh ke tem-pat itu. Dan walaupun dari tempat ia menonton ti-dak nampak, Hong Li tahu bahwa tentu nampak di permukaan padang rumput itu ekor-ekor ular yang seperti belut, yang tentu kini sudah mengeroyok orang yang terjatuh ke situ. Teriakan-teriakan itu masih susul-menyusul, kemudian sunyi dan padang rumput itu sudah nampak hijau dan indah kembali. Orang itu sudah tenggelam dan kalau digali, agaknya hanya akan ditemukan tulang rangkanya saja!
Hong Li bergidik. Ia sudah melihat kedahsyatan tempat itu ketika ia mempelajari tempat itu dan rahasianya, diberi petunjuk oleh tiga orang pelayan, dan Ang Nio melempar seekor kelenci ke tempat itu. Ia melihat betapa kelenci itu yang bergerak mencoba untuk lari, disedot semakin dalam dan iapun melihat pula ekor-ekor ular tersembul ketika mereka
memperebutkan kelenci yang disedot ke bawah dan lenyap!
Kini Hong Li yang wajahnya menjadi agak pucat karena merasa ngeri, mengikuti larinya orang ke dua dengan pandang matanya. Jantungnya berdebar pe-nuh ketegangan. Ia merasa kasihan kepada orang itu dan diam diam ia mengharapkan agar orang terakhir itu akan berhasil menyelamatkan diri turun gunung. Kalau saja saat itu ia berada di bawah dan dekat de-ngan orang itu, tentu, tanpa ragu-ragu lagi ia aksn meneriakkan petunjuk agar orang itu dapat menemu-kan jalan yang benar dan dapat meninggalkan tempat itu dengan selamat.
Dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan, Hong Li memandang ke arah orang terakhir yang tersaruk-saruk mencari jalan keluar itu. Terdengar pula suara gurunya menahan ketawa. Mau tak mau Hong Li merasa tak senang dan meli-rik. Dilihatnya betapa wajah cantik gurunya itu tam-pak berseri, matanya penuh kegembiraan mengikuti gerakan orang terakhir itu dan tiba-tiba Hong Li me-rasa ngeri. Sikap gurunya ini tiada bedanya sikap seekor kucing yang menanti dan melihat seekor tikus yang sudah tersudut! Iapun kembali menujukan pandang matanya ke bawah.
Orang yang berlari-larian itu kini tubuhnya sudah penuh keringat karena beberapa kali dia menghapus keringat dari muka dan lehernya, memandang ke kanan kiri mencari jalan keluar, lalu lari lagi setelah memilih satu di antara lorong yang bercabang-cabang itu.
"Jangan ke sana....!" Tiba-tiba Hong Li berseru, akan tetapi seruannya tentu saja tidak terdengar orang itu. Dan orang itupun sudah sampai di tempat yang amat berbahaya itu. Tak lama kemudian, orang itu sudah mengeluarkan suara jeritan me-nyayat hati dan tubuhnya sudah tenggelam sampai ke pinggang di pasir maut! Pasir maut itu adalah sebuah kolam pasir, akan tetapi pasir itu dapat ber-putar dan menyedot seperti lumpur tadi. Pasirnya li-cin dan mudah bergerak, sedangkan kolam itu dalam sekali. Sedikit saja orang yang terjatuh ke situ berge-rak, maka tubuhnya akan tenggelam semakin dalam!
Hong Li merayap turun melalui tihang-tihang yang menyangga menara itu, tihang-tihang bambu yang besar.
"Hong Li, hendak ke mana engkau?" Gurunya menegur heran.
"Subo, aku harus menolong orang itu!" kata Hong Li dan ia merasa heran bahwa gurunya diam saja, tidak menghalangi dan juga tidak menegurnya lagi. Ia terus merayap turun dan setelah tiba sete-ngah lebih tinggi menara itu, iapun berani meloncat turun, kemudian ia lari menuju ke tempat oarang itu tenggelam di pasir maut.
"Diam, jangan bergerak sedikitpun!" Hong Li berseru setelah tiba di tepi kolam. "Aku akan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
557 menolongmu, jangan bergerak sedikitpun. Makin engkau bergerak, tubuhmu akan semakin tenggelam!"
Laki-laki itu berusia empatpuluh tahun lebih. Setelah dekat, kini Hong Li melihat betapa wajah itu kasar dan buruk, sepasang matanya liar akan tetapi pada saat itu, dia berada dalam keadaan putus asa dan ketakutan. Melihat munculnya seorang gadis cilik yang usianya baru belasan tahun di tepi kolam dan mendengar bahwa gadis itu akan menolongnya, laki-laki itu memandang dengan penuh harapan.
"Tolonglah aku.... ah, selamatkanlah aku...." Suaranya lirih dan gemetar penuh rasa takut.
Ngeri dia membayangkan kematian di depan matanya, kematian yang mengerikan. Ketika tadi dia menginj-ak pasir, kakinya terjeblos sebatas lutut. Dia beru-saha untuk mengangkat kakinya, akan tetapi semakin dia berusaha, semakin dalam tubuhnya tenggelam sampai kini dia tenggelam sebatas dada, hanya kedua lengannya saja yang mampu bergerak. Begitu mende-ngar peringatan Hong Li, diapun tidak berani ber-gerak dan benar saja. Setelah dia tidak bergerak sama sekali, tubuhnya berhenti tenggelam semakin dalam. Akan tetapi, napasnya sesak dan tubuhnya dari dada ke bawah yang tertanam di pasir itu terasa panas bu-kan main.
"Tenanglah dan jangan bergerak," kata pula Hong Li. Ia lalu melepaskan ikat pinggangnya yang panjang, hanya meninggalkan sedikit saja secukupnya untuk mengikat celananya dan mempergunakan ikat pinggang itu untuk menyelamatkan orang itu. Ujung ikat pinggang itu diganduli sebuah batu dan dilem-parnya ke arah orang yang tenggelam.
"Tangkap ujung ikat pinggang ini dan jangan bergerak, biar aku yang akan menarikmu keluar! Ingat, jangan bergerak agar tubuhmu tidak tenggelam sema-kin dalam!"
Orang itu menangkap ujung ikat pinggang, akan tetapi karena dia terlalu bergairah untuk segera dapat keluar, dia menarik ikat pinggang itu dan tubuhnya bergerak maka tubuh itu segera tersedot semakin da-lam sampai ke leher!
"Tolol, jangan bergerak kataku!" Hong Li mem-bentak marah dan mulailah ia mengerahkan tenaga-nya untuk menarik orang itu keluar dari pasir. Laki-laki itu kini sudah terlampau takut sehingga tidak berani berkutik, bahkan bersuarapun dia tidak berani lagi. Pasir sudah sampai ke dagunya dan turun bebe-rapa sentimeter lagi, tentu mulut dan hidungnya ter-tutup dan berarti kematian baginya. Akan tetapi di-am-diam hatinya girang dan juga kagum bukan main melihat betapa anak perempuan yang baru belasan tahun usianya itu memiliki kekuatan yang demikian hebat sehingga dia merasa betapa tubuhnya sedikit demi sedikit mulai tertarik keluar! Dia tadi melibat--libatkan ujung tali itu pada pinggang dan lengannya sehingga biarpun kini kedua lengannya sebagian sudah tenggelam pula, ketika tali itu ditarik, tubuhnya terbetot keluar. Sedikit demi sedikit sampai akhir-nya tubuhnya keluar sebatas pinggang!
"Tariklah lagi, nona yang baik, tarik terus....!" Laki-laki itu terengah-engah, penuh ketegangan dan harapan. Dan Hong Li menarik terus, keringat mem-basahi dahi dan lehernya.
"Prattt....!" Tiba-tiba ikat pinggang itu putus tengahnya dan tubuh orang yang sudah naik sampai ke pinggul itu tenggelam kembali sampai ke pinggang di mana dia mengeluh panjang pendek dan tidak berani bergerak sama sekali!
"Jangan bergerak, aku akan mencari alat lain untuk menarikmu keluar," kata Hong Li. Gadis Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
558 ini lalu menggunakan tenaganya untuk merobohkan se-batang pohon kecil yang panjangnya ada tiga meter. Ia mengguncang-guncang pohon kecil itu sampai akarnya jebol dan akhirnya berhasil menumbangkan-nya. Setelah membuangi cabang, ranting dan daun-nya, ia
menggunakan batang pohon yang besarnya hanya sebetis kakinya itu untuk menolong orang itu. Batang pohon itu cukup panjang dan ujungnya dapat dipegang oleh orang itu dengan kedua tangan. Lalu Hong Li mulai menarik lagi, perlahan-lahan dan akhirnya ia berhasil menarik tubuh orang itu sampai keluar dari kolam pasir. Orang itu menjatuhkan diri di atas tanah, terengah-engah dan mukanya yang tadi pucat sekali, sekarang berubah agak merah. Dia me-ngeluarkan suara seperti setengah menangis dan setengah tertawa. Kemudian dia bangkit duduk meman-dang Hong Li dan matanya terbelalak.
"Nona, sungguh engkau hebat sekali!"
Hong Li cemberut. Baru teringat ia bahwa ia te-lah menolong musuh gurunya, merasa seperti seorana pengkhianat. "Kenapa engkau melanggar wilayah ka-mi" Engkau memang bersalah dan sepatutnya dihu-kum. Akan tetapi aku kasihan padamu, tidak tega melihat orang terjatuh ke kolam pasir maut. Nah, sekarang pergilah, akan kutunjukkan jalan keluar un-tukmu."
Tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu Hong Li sudah ditangkapnya.
Gadis cilik terkejut, meronta dan hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena laki-laki itu sudah menotoknya, menotok jalan darah-nya yang membuat ia tidak mampu berkutik lagi. Hong Li terkejut dan marah bukan main.
"Apa yang kaulakukan ini?" bentaknya.
Laki-laki itu menyeringai dan secara kurang ajar mengelus dagu Hong Li. "Engkau cantik dan manis sekali! Sekarang engkau menjadi tawananku dan eng-kau harus menunjukkan jalan keluar yang akan menyelamatkan diriku. Kalau tidak, aku akan mencekik-mu sampai mampus!"
Hong Li terbelalak. Kalau saja ia tadi bercuriga, kiranya tidak akan demikian mudahnya ia tertawan dan tertotok. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang yang baru saja
diselamatkannya dari ancaman maut mengerikan berbalik malah bertindak curang dan jahat kepadanya. Akan tetapi ia tidak mempunyai waktu lagi untuk berheran dan penasaran karena kini laki-laki itu telah mengikat kedua tangannya ke belakang tubuhnya, menotok jalan darah yang membuat ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi kini tubuhnya dapat bergerak lagi.
"Hayo cepat tunjukkan jalan itu kepadaku, kalau engkau menipuku, tentu engkau akan kusiksa sampai mampus!" kata laki-laki itu sambil mencengkeram pundak Hong Li.
Gadis cilik ini merasa penasaran dan marah sekali sampai kedua matanya mengeluarkan air mata. Bukan air mata karena takut, melainkan karena marah dan penasaran sekali.
"Sudah, jangan menangis dan cepat tunjukkan jalannya!" laki-laki itu mengira bahwa anak perempuan itu menangis karena takut. Dia mendorong tu-buh Hong Li dan anak perempuan ini terpaksa melangkah maju. Ia tahu bahwa dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu, melawanpun tidak akan ada gunanya. Dan iapun tidak dapat mengeluarkan suara.
Sesungguhnya hal ini tidak perlu dilakukan orang itu. Walaupun tidak ditotok, iapun tidak mau mengeluarkan suara. Untuk apa" Minta tolong kepada suhunya dan tiga orang pelayan"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
559 Ia telah mengkhianati mereka, dan ia yakin bahwa gurunya yang berada di menara itu tentu melihat semua peristiwa yang dia-laminya ini. Perlu apa minta tolong" Memalukan saja.
Biarlah, ia sudah bersalah, dan biarlah kini ia menerima hukumannya. Ia melangkah terus, pun-daknya masih dicengkeram laki-laki yang mengikutinya dari belakang.
Hong Li tidak membawa laki-laki itu melalui jalan yang akan menyelamatkannya. Sama sekali tidak. Di dalam dadanya kini membawa api kemarahan yang membuat ia ingin membalas perbuatan laki-laki ini yang dianggapnya terlalu jahat. Mudah saja baginya untuk menjerumuskan laki-laki ini ke dalam perang-kap-perangkap maut, akan tetapi iapun tentu akan ikut terjebak dan mati bersama laki-laki ini. Dan ia tidak takut mati, hanya ia tidak sudi kalau harus mati bersama laki-laki ini. Tidak mau melakukan perja-lanan ke alam baka berbareng dengan dia, bahkan dari tempat yang sama. Tidak, dia harus dapat mencari perangkap yang lebih baik.
Akhirnya tibalah Hong Li di jalan buntu! Di de-pan nampak jurang yang amat curam, yang tidak mungkin dilalui. Di situ terdapat dua jalan bercabang ke kiri dan ke kanan. Kedua lorong ke kanan dan ke kiri ini tertutup daun-daun kering, nampaknya aman dan mudah dilewati. Namun, Hong Li yang sudah hafal akan rahasia lorong-lorong itu, maklum bahwa melangkah ke kiri berarti akan membawa mereka terjatuh ke dalam sumur yang di dasarnya tidak ku-rang dari limabelas meter dalamnya, terdapat batu--batu meruncing yang akan menyambut tubuh mereka! Di balik daun-daun kering yang ke kiri itu terdapat lubang sumur itu. Kalau melangkah ke kanan, mere-ka akan terjatuh ke dalam kolam lumpur yang juga berbahaya sekali karena tubuh akan terus tenggelam semakin dalam dan akhirnya akan tewas pula. Akan tetapi, tidaklah secepat kalau terjatuh ke dalam sumur itu matinya. Hanya adanya ular-ular lumpur yang sebetulnya semacam belut yang suka makan da-ging manusia, yang membuat ia bergidik ngeri mem-bayangkan betapa tubuhnya bagian bawah akan digerogoti binatang-binatang itu sebelum ia mati. Ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah melompati sumur di sebelah kiri. Sumur itu tidak lebar, paling lebar satu setengah meter saja. Sekali melompat juga akan me-lampauinya dan selamat.
Tidak, ia tidak boleh membawa laki-laki itu melompat, karena begitu melompat, laki-laki itu tentu akan mudah turun dan keluar dari daerah berbahaya. Melihat anak perempuan itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu, laki-laki itu mengguncang pundaknya dan membentaknya dengan nyaring, "Hayo cepat tunjukkan jalan!" Diapun bingung melihat betapa jalan itu yang bagian depan buntu, menuju ke jurang yang amat curam, sedangkan jalan kanan dan kiri sama saja tertutup daun-daun kering. Dia tahu beta-pa berbahayanya lorong-lorong di situ dan dia tidak tahu mana jalan yang benar, yang kanan ataudah kiri.
Tanpa ragu-ragu Hong Li menudingkan telunjuknya ke kanan! Laki-laki itu nampak lega dan diapun memperkuat cengkeramannya di pundak Hong Li mendorong tubuh anak itu
membelok ke kanan dan menghardik, "Hayo jalan!"
Hong Li sudah hafal benar akan rahasia tempat itu. Paling banyak lima langkah mereka akan terje-blos. Ia memperhitungkan langkahnya dan setelah empat langkah, tiba-tiba saja ia membalikkan tubuh-nya, meloncat ke belakang dan menendang dengan cepat sekali. Laki-laki itu terkejut, melangkah ke samping akan tetapi ketika cengkeraman tangannya terlepas, dia masih sempat menangkap lagi pundak itu, maka begitu tubuhnya terjeblos, dia membawa Hong Li ikut pula terpelanting dan terjeblos ke da-lam kolam lumpur!
"Auhhhhh, toloonggg....!" Laki-laki yang merasa ngeri dan ketakutan itu, perasaan takut Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
560 yang sudah sejak tadi menghantuinya, tidak dapat menahan lagi mulutnya dan berteriak minta tolong. Dalam kekagetannya tadi, dia melepaskan cengkeramannya dan tubuh Hong Li terpelanting dan terjeblos sejauh dua depa di sebelah depannya. Kalau laki-laki itu yang tadi meronta tenggelam sampai dada, Hong Li tenggelam sampai ke pinggang dan mereka kini saling berpandangan.
Dan laki-laki yang terbelalak dengan muka pucat dan berkaok-kaok minta tolong itu melihat betapa tubuh anak perempuan itu nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum mengejek memandangnya!
Biarpun Hong Li tidak mampu mengeluarkan suara, namun pandang matanya mengejek
sepenuhnya dan rasa puas membayang di sepasang matanya. Ga-dis cilik ini kehilangan rasa takutnya, lupa akan adanya ular-ular di dalam lumpur, karena girangnya da-pat membuat laki-laki yang jahat itu kini tidak ber-daya.
Hong Li teringat ketika tiba-tiba ia melihat benda yang mengkilap bermunculan di permukaan lumpur yang tertutup daun-daun kering itu. Ular atau belut lumpur! Matanya terbelalak dan hampir saja ia menjerit saking ngeri dan jijiknya, apalagi ketika ada seekor ular atau belut itu yang muncul tak jauh dari hidungnya, seolah-olah binatang itu ingin berkenalan dulu dengan wajah-wajah para calon korbannya. Akan tetapi ia menahan perasaan ngeri ini dan menggigit bibir. Tidak demikian dengan laki-laki itu. Dia mengeluarkan pekik yang mengerikan karena memang pada saat itu, ada bagian bawah tubuhnya yang mulai dijilati atau digigit.
Berbareng dengan dengan jeritan laki-laki itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu tubuh Hong Li telah terlibat kain hitam dan tubuh itu lalu terbe-tot naik oleh kain yang melilitnya, kemudian tubuh Hong Li ditarik keluar dari lumpur oleh tangan Sin--kiam Mo-li yang sudah berdiri di tepi kolam lumpur itu, menggunakan sabuk hitam menolong muridnya.
Begitu tiba di tepi kolam, Hong Li menubruk kaki gurunya. "Subo, maafkan aku.... tidak....
hukumlah aku, subo...." katanya setengah menangis saking kesal dan marahnya terhadap laki-laki jahat itu.
Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Engkau sudah cukup terhukum, Hong Li."
Pada saat itu, kembali terdengar teriakan-teriak-an mengerikan. Hong Li menengok dan melihat be-tapa laki-laki itu dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali, menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi karena dia keras meronta, maka tubuhnya cepat sekali tersedot semakin dalam dan lumpur sudah mencapai lehernya! Hong Li tidak dapat melihat le-bih lanjut dan diapun menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya. Akan tetapi
telinganya masih mendengar jeritan-jeritan itu, kemudian pekik itupun terhenti tiba-tiba seolah-olah orang itu tiba-tiba dicekik. Ia tahu apa yang terjadi. Tentu mulut yang berteriak itu kini telah terbenam kedalam lumpur. Ia tidak berani menengok. Baru setelah tidak ada lagi suara terdengar dari belakangnya, ia berani menengok- dan kolam lumpur itu telah tenang, tidak ada suara apa-apa lagi, tidak ada gerakan apa-apa lagi dan lumpur telah tertutup kembali oleh daun-daun kering,
Hong Li bergidik dan ia tetap berlutut. Tubuhnya agak menggigil, bukan hanya karena kedinginan. Sebuah tangan lembut menyentuh kepalanya dan terdengar suara Sin-kiam Mo-li.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
561 "Hong Li, sejak tadi aku melihat keadaanmu, dan kalau aku menghendaki, sejak tadi tentu aku dapat membebaskanmu dari cengkeraman jahanam itu. Akan tetapi aku sengaja
membiarkan saja, hanya memba-yangi agar engkau memperoleh pengalaman. Ketika engkau menipunya masuk lumpur, aku tahu bahwa engkau tentu sudah merasa menyesal dan
mendapat kenyataan betapa jahatnya orang ini. Nah, pelajaran ini agar kauingat selalu, muridku. Jangan percaya kepada orang lain begitu saja, dan bersikaplah hati-hati selalu terhadap orang lain, apa lagi yang belum kauketahui benar bagaimana wataknya."
"Akan tetapi, subo. Aku sungguh tak dapat membayangkan bagaimana ada orang sejahat itu.
Ditolong malah membalas dengan kekejaman dan kejahatan!"
Sin-kiam Mo-li tertawa, kemudian berkata dengan suara tegas, "Semua orang di dunia ini juga begitu, Hong Li. Setiap orang bertindak demi kebaikan dan keuntungan diri sendiri, karena itu, siapa kalah cerdik, siapa kalah kuat, dia menjadi korban. Engkau harus kuat dan cerdik, dan kalau perlu mendahului lawan sebelum engkau yang menjadi korban. Yang ada bukan baik dan jahat, melainkan cerdik dan bo-doh, muridku."
Diam-diam Hong Li merasa tidak setuju dan he-ran sekali mendengar nasihat gurunya ini, akan tetapi ia tidak mau membantah. Alangkah bedanya nasihat gurunya ini dari nasihat ayah ibunya! Ayah ibunya selalu mengajakkan agar ia mempergunakan kepan-daiannya untuk menolong sesama manusia yang men-derita, untuk membela kebenaran dan keadilan,
me-nentang kejahatan. Akan tetapi, gurunya ini agaknya hanya mengajarkan agar ia selalu bersikap cerdik dan tidak mempercaya semua orang, bahkan turun tangan lebih dahulu sebelum menjadi korban kejahatan orang lain.
Gurunya lalu mengajaknya pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika ia memperoleh kesempatan bicara dengan tiga orang pelayan itu, ia memperoleh keterangan bahwa tiga orang penyer-bu yang lain, yang telah tewas di tangan mereka, mayatnya tidak mereka kubur melainkan mereka lem-parkan begitu saja ke dalam kolam lumpur!
Hong Li hanya menyimpan rasa ngeri dan tidak setujunya, dan mulai saat itu ia lebih banyak menutup mulut, walaupun diam-diam ia merasa heran akan keadaan guru dan tiga orang pelayan itu. Namun ia memang pandai mempergunakan kesempatan dan sejak ia mengetahui bahwa tiga orang pelayan wanita itu lihai, ia mulai mengajak mereka untuk menemani-nya berlatih silat. Dan ternyata memang mereka itu lihai sekali dan merupakan teman berlatih yang baik, walaupun dari mereka ia tidak dapat memperoleh il-mu baru. Setidaknya, setiap orang dari mereka itu dapat melayaninya dalam latihan silat.
Mulai hari itu, gurunya seringkali mengajak Hong Li naik ke menara dan menganjurkan muridnya untuk berlatih siu-lian di dalam panggung tertutup di puncak menara. Dan anak itu memang suka naik ke me-nara karena dari situ ia dapat melihat pemandangan yang luas, dan dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling tempat tinggal gurunya. Kadang-kadang biarpun baru beberapa hari tinggal di situ, kalau se-dang berdiri melamun di puncak menara dan meman-dang gunung-gunung yang jauh, timbul perasaan rindu kepada ayah ibunya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika matahari sudah naik dan menebarkan cahayanya yang keemas-an dan masih lembut ke permukaan bumi, Hong Li sudah berlatih silat seorang diri di bawah menara. Kemudian ia naik ke atas menara. Ia masih belum mampu dengan sekali meloncat naik ke atas, melain-kan hanya meloncat sampai setengah tihang, menyam-bar tihang dan memanjat naik. Kini ia berdiri di puncak, di depan pondok, memandang ke arah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
562 timur di mana matahari membuat angkasa di timur cemerlang dan indah bukan main.
Beberapa kelompok awan membentuk raksasa-raksasa aneh, akan tetapi warna-nya yang biru keabuan itu mulai memudar tertimpa cahaya matahari.
Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh sesosok tubuh yang mendaki kaki gunung dan menuju ke arah rumah gurunya. Orang itu berjalan perlahan dan kini sudah tiba di luar daerah berbahaya yang mengelilingi rumah gurunya. Tadinya disangka oleh Hong Li bahwa orang itu hanya kebetulan lewat saja dan tidak akan memasuki daerah berbahaya, akan tetapi ketika orang itu mulai memasuki lorong yang menuju ke daerah yang penuh bahaya, iapun terkejut dan merasa khawatir sekali. Siapakah orang itu, pikirnya. La-wan ataukah kawan" Dan ia merasa ngeri memba-yangkan betapa akan jatuh korban lagi di tempat berbahaya itu.
Bagaimanapun juga, hatinya tidak setuju dengan adanya daerah rahasia yang penuh dengan bahaya maut itu. Betapapun jahatnya lima orang yang menyerbu tempo hari, cara mereka menemui kemati-an sungguh amat mengerikan dan terlalu kejam.
Akan tetapi, perasaan khawatirnya segera beru-bah menjadi perasaan heran dan kagum.
Orang yang baru datang itu, biarpun hanya dengan langkah-lang-kah yang perlahan, namun ternyata orang itu selalu mengambil jalan yang benar! Dari tempat tinggi itu Hong Li dapat melihat dengan mudah. Dari situ ia dapat melihat keadaan lorong-lorong rahasia itu seperti melihat peta dan iapun sudah hafal mana yang benar dan mana yang menyesatkan dan berbahaya. Dan orang itu selalu membelok melalui lorong yang benar, seolah-olah telah mengenal dengan baik jalan-jalan yang penuh dengan rahasia itu. Langkah-lang-kahnya teratur dan kakinya seperti telah mengenal tempat berbahaya, selalu berjalan melalui tempat aman dan menghindarkan jebakan-jebakan rahasia yang banyak terdapat di situ. Kalau begitu, tentu seorang sahabat baik gurunya yang sudah sering da-tang ke sini, pikir Hong Li. Hatinya tertarik sekali dan cepat ia turun dari menara untuk melihat dari dekat siapa adanya orang yang baru datang itu.
Ia berlari menuju ke rumah dan heranlah ia me-lihat bahwa orang yang tadi dilihatnya dari menara itu ternyata kini sudah tiba di depan rumah. Dari atas nampaknya dia berjalan perlahan, akan tetapi ternyata sudah tiba di depan rumah dengan selamat, berarti bahwa orang itu benar-benar telah mampu melalui lorong-lorong rahasia yang amat berbahaya itu. Dan kini orang itu telah berhadapan dengan gurunya. Juga tiga orang pelayan wanita berada di situ, akan tetapi mereka berdiri agak jauh sambil memandang dengan sikap khawatir. Hong Li lari mendekati tiga orang pelayan itu dan kini ia dapat melihat wajah pendatang itu dengan jelas.
Begitu melihatnya, Hong Li terbelalak dan merasa terkejut bukan main ketika ia mengenal bahwa pendatang itu bukan lain adalah Ang I Lama, orang yang dahulu menculiknya dari kebun rumah orang tuanya! Tidak salahlagi. Ia mengenal wajah itu, mengenal tubuh tinggi kurus yang memakai jubah pendeta berwarna merah itu Melihat munculnya kakek ini, kemarahan muncul dalam hati Hong Li.
Agaknya kakek itu tahu pula akan kehadiran Hong Li dan dia memandang dengan penuh perhatian.
"Omitohud, agaknya inilah anak itu. Eh, anak baik, ke sinilah dan mari engkau ikut pinceng pulang ke rumah orang tuamu. Ke sinilah....!" Kakek itu melambaikan tangan ke arah Hong Li.
Anak perempuan ini terkejut bukan main karena biarpun hatinya tidak menghendaki, namun kedua kakinya di luar kehendaknya sudah melangkah meng-hampiri kakek itu! Melihat ini, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
563 gurunya membentak. "Hong Li, kembali ke tempatmu!" Dan dalam bentakan ini terkandung kekuatan yang agaknya membuyarkan pengaruh panggilan kakek itu. Hong Li seperti baru dapat menguasai kedua kakinya sendiri dan ia berhenti melangkah, terkejut melihat keadaan dirinya dan iapun berlari kembali mendekati tiga orang pelayan yang segera merangkulnya.
"Siocia, engkau di sini saja dan jangan bergerak," bisik Ang Nio. Hong Li mengangguk dan melepaskan diri dari rangkulan mereka. Ingin ia melihat bagai-mana gurunya menghadapi kakek anehitu. Ia tidak merasa khawatir karena bukankah gurunya pernah menang dari kakek itu ketika merampas dirinya dari tangan kakek itu yang, dikalahkannya di dalam kuil tua dahulu"
Sementara itu, Ang I Lama sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li dan terdengar suaranya yang lemah lembut, "Sekali lagi, Sin-kiam Mo-li, pinceng minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menye-rahkan anak itu kepada pinceng."
"Ang I Lama, tidak malukah engkau mengeluar-kan kata-kata seperti itu" Lupakah engkau akan nasib Sai-cu Lama yang menjadi suhengmu" Hemm, tak kusangka bahwa engkau yang dianggap sebagai seorang pertapa yang memiliki kesaktian, ternyata sama sekali tidak mengenal budi antara saudara, dan tidak setia, bahkan ingin mengkhianati golongan sen-diri.
Pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku!" Sikap Sin-kiam Mo-li ketus dan tegas.
"Omitohud.... untuk kembali ke jalan benar masih belum terlambat. Kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan" Sadarlah dan serahkan anak itu kepada pinceng."
"Kakek tua bangka! Ia telah menjadi murid dan anak angkatku! Dengar baik-baik, ia telah menjadi anakku! Lihatlah, aku adalah seekor harimau betina, mana sudi melepaskan anaknya?"
Tiba-tiba Hong Li terkejut bukan main melihat bahwa gurunya telah berubah menjadi seekor harimau yang besar. Harimau itu mengeluarkan auman yang menggetarkan tanah di mana ia berdiri. Hong Li melirik ke arah tiga orang pelayan wanita itu. Mereka juga berdiri dengan mata terbelalak memandang, akan tetapi mereka bersikap tenang saja, agaknya tidak merasa heran melihat betapa majikan mereka telah berubah menjadi seekor harimau besar dan buas!
Kao Hong Li bukanlah anak sembarangan. Ia keturunan dua orang keluarga besar yang amat ter-kenal di dunia persilatan, yaitu ayahnya adalah ketu-runan keluarga Istana Gurun Pasir sedangkan ibunya keturunan keluarga Pulau Es, gudangnya orang-orang sakti. Tentu saja ia, biarpun usianya baru tigabelas tahun, tahu benar bahwa gurunya berubah menjadi harimau hanya merupakan hasil ilmu sihir belaka, bu-kan sungguh-sungguh menjadi harimau!
Betapapun juga, ia masih belum kuat untuk menembus pengaruh sihir ini, maka dalam penglihatannya, gurunya berubah menjadi harimau, sesuai dengan ucapannya tadi! Dan kini
"harimau betina" yang hendak memperta-hankan anaknya itu dengan buasnya, sambil menge-luarkan suara mengaum dahsyat, menyerbu, mener-jang dan menubruk ke arah Ang I Lama!
"Omitohud, engkau semakin jauh tersesat!" Ang I Lama menggerakkan tubuhnya, jubah merah-nya berkibar ketika dia meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari tubrukan harimau. Ketika harimau itu membalik dan hendak menubruk lagi, Ang I Lama yang telah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
564 menyambar segenggam tanah, menyambitkan tanah itu ke arah harimau.
"Siancai, kembalilah kepada keaselianmu, Sin-kiam Mo-li!"
Harimau itu hendak mengelak, namun terlambat dan ketika ada tanah menyentuh tubuhnya, terdengar suara ledakan keras dan harimau itu mengaum, akan tetapi segera lenyap dan berubah kembali menjadi Sin-kiam Mo-li yang nampak terhuyung. Wanita ini marah sekali.
Ia mengangkat kedua tangan ke atas dan dari tubuhnya keluarlah asap hitam bergu-lung-gulung yang segera menutupi tubuhnya dan membuat keadaan di situ menjadi gelap.
Diam-diam Hong Li merasa ngeri menyaksikan ini. Sungguh hebat ilmu sihir gurunya, akan tetapi kakek itupun memiliki ilmu kepandaian tinggi yang ternyata sanggup menaklukkan harimau jadi-jadian tadi. Akan tetapi kembali Ang I Lama tidak nampak gugup,
"Omitohud....!" serunya berkali-kali dan diapun merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian mulutnya meniup dan buyarlah asap hitam itu, makin lama semakin menipis dan akhirnya nam-paklah kembali Sin-kiam Mo-li yang menjadi semakin penasaran. Wanita cantik ahli sihir ini maklum bah-wa agaknya ia tidak akan mampu mengalahkan kakek itu kalau mempergunakan sihir, maka ia segera me-nerjang maju, sekali ini menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkan oleh dua tangan wanita itu. Angin menyambar dahsyat dan terdengar bunyi bercuitan ke-tika kedua tangan itu menyambar.
Kembali kakek itu mengelak ke samping dan ke-dua lengannya digerakkan untuk menangkis dari sam-ping.
"Dukkk!" Kedua pasang lengan itu bertemu di udara dan seperti ada halilintar saja yang menyambar terasa oleh Hong Li akibat dari adu kekuatan dahsyat itu. Angin pukulan membuat ia mundur dua langkah sambil terbelalak memandang. Ia melihat gurunya
terhuyung, sedangkan kakek itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Senyum lembut itu sejak tadi tak pernah meninggalkan wajah Ang I Lama. Sin-kiam Mo-li menjadi semakin marah dan ia me-nyerang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Pendeta Lama itu dengan tenang menyambut dan terjadilah perkelahian yang hebat. Gerakan Sin-kiam Mo-Ii amat cepat, berloncatan menyambar-nyambar bagaikan see-kor burung yang menyerang seekor ular, akan tetapi pendeta itu bagaikan seekor ular melingkar, dengan gerakan tenang namun mantap menyambut setiap serangan dari manapun juga datangnya, menangkis sambil balas
menyerang. Walaupun dia hanya mem-balas dengan tamparan-tamparan atau cengkeraman, namun serangannya mengandung kekuatan yang mem-buat lawannya harus cepat
menghindarkan diri. Bi-arpun gerakan gurunya itu amat cepatnya, namun Hong Li yang sudah menguasai dasar ilmu silat tinggi, dapat mengikuti gerakannya sehingga ia dapat melihat betapa tangguhnya kakek yang bernama Ang I Lama itu. Kalau ia tidak salah menduga, gurunya kalah dalam hal tenaga oleh kakek itu. Hal ini ter-bukti betapa gurunya selalu menghindarkan bentrok-an lengan kalau serangannya ditangkis lawan, dan setiap kali terpaksa kedua lengan bertemu, tentu tu-buh gurunya terdorong ke belakang atau terhuyung.
Dugaan anak perempuan itu memang tepat. Sin-kiam Mo-li merasa betapa dahsyatnya tenaga lawan dan ia maklum bahwa kalau ia harus selalu menghin-darkan bentrokan, maka akhirnya ia akan terdesak. Cepat kedua tangannya bergerak ke balik bajunya dan di lain saat, tangan kiri wanita itu telah meme-gang sebuah kebutan bergagang emas dengan bulu merah, sedangkan tangan kanannya memegang seba-tang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Kiranya Sin-kiam Mo-li memiliki sepasang senjata yang amat hebat, yaitu kebutan dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
565 pedang. Nama juluk-annya, Sin-kiam (Pedang Sakti) saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai, sedangkan kebutan di tangan kirinya itupun sama se-kali tak boleh dipandang ringan, karena ujung setiap lembar bulu kebutan itu telah dicelup racun sehingga orang yang terkena sabetan ujung kebutan itu tentu akan keracunan!
"Sing-sing....wuuuuttt....!" Nampak gulungan sinar putih dan merah dari pedang dan ke-butan ketika wanita itu menyerang dengan cepatnya ke arah lawan.
"Siancai....!" Ang I Lama berseru dan ce-pat dia membuat langkah-langkah yang aneh untuk menghindarkan diri. Beberapa kali dia berhasil meng-elak, kemudian tiba-tiba tangannya memegang seun-tai tasbeh dan dengan benda ini yang diputar-putar, dia berhasil menangkis kebutan dan pedang.
"Trik! Trik! Tranggg....!" Nampak api berpijar ketika pedang bertemu dengan biji-biji tas-beh itu. Dan kembali pertemuan tenaga melalui sen-jata itu membuat Sin-kiam Mo-li terdorong ke bela-kang.
Perkelahian berlangsung semakin seru. Kadang-kadang tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka yang menjadi satu. Agaknya tingkat kepandaian mereka memang seim-bang, hanya kakek pendeta itu memiliki tenaga yang lebih kuat walaupun mungkin dia kalah dalam hal kecepatan gerakan. Juga di antara mereka terdapat perbedaan besar dalam hal serangan. Kalau Sin-kiam Mo-li menyerang dengan hebat, setiap serangannya merupakan serangan maut yang mengarah nyawa, se-baliknya pendeta itu selalu berhati-hati dalam serang-annya dan jelas bahwa dia banyak mengalah dan tidak bermaksud memburuh lawan.
Betapapun juga, karena kalah tenaga, nampaknya Sin-kiam Mo-li terdesak dan terhimpit, dan kadang-kadang terhuyung ke belakang. Hal ini membuat Hong Li memandang khawatir.
"Majulah, bantulah subo," desaknya berulang-ulang kepada tiga orang pelayan itu.
Tiga orang pelayan itu semua memegang sebatang pedang, akan tetapi mereka tidak berani maju, mera-sa betapa ilmu kepandaian mereka masih terlampau rendah untuk membantu majikan mereka mengeroyok pendeta Lama yang demikian saktinya. Melihat ini, Hong Li menjadi tidak sabar lagi. Dirampasnya pedang dari tangan Ang Nio dan iapun berkata,"Kalau begitu, biarlah aku yang membantu subo!" Ia pun meloncat ke depan.
Tiga orang pelayan itu terkejut. "Siocia.... mereka berseru, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah menerjang maju dan masuk ke dalam arena perkelahian merekapun tak dapat mencegah lagi.
"Lama jahat!" Hong Li membentak dan pedangnya menusuk ke arah lambung pendeta itu.
Ang I Lama terkejut melihat anak perempuan itu menyerangnya dengan pedang. Dia tidak mengelak, membiarkan pedang itu mengenai lambungnya dan berkata, "Omitohud, anak baik, pinceng datang untuk membebaskanmu!
"Takk!" Pedang itu membalik dan Hong Li me-rasa tangannya nyeri karena pedangnya seperti men-usuk baja saja.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
566 Sebelum ia mampu mengelak, tiba-tiba tangan kiri pendeta Lama itu telah menangkap pundaknya. "Mari ikut bersama pinceng, anak baik!" kata pula Ang I Lama. Akan tetapi Hong Li menjadi marah dan meronta.
"Lepaskan aku, pendeta jahat!" dan kembali pedangnya menusuk, kini mengarah dada kakek itu.
"Trakkk!" Pedangnya patah menjadi dua po-tong! Dan sekali Ang I Lama menggerakkan tangan kirinya, tubuh Hong Li telah terlempar ke atas dan berada dalam podongan kakek itu.
"Lepaskan anakku!" Sin-kiam Mo-li membentak dan pedangnya membacok ke arah kepala Ang I Lama.
"Tranggg....!" Tasbeh itu menyambar dan menangkis pedang, membuat pedang terpental.
Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li membentak dan kebuta-nnya kini menyambar ke arah.... kepala Hong Li yang dipondong pendeta itu. Tentu saja Ang I Lama terkejut bukan main, sama sekali tidak me-nyangka bahwa wanita itu akan menyerang anak yang dipondongnya. Dengan agak tergesa-gesa diapun menggerakkan tasbehnya melindungi Hong Li dan menangkis kebutan.
"Prattt!" Bulu-bulu kebutan itu kini melibat tasbeh dan terjadi tarik menarik. Pada saat itu, Hong Li yang tidak tahu bahwa baru saja nyawanya terancam maut ketika wanita itu menyerangnya de-ngan kebutan, kini ingin membantu gurunya. Melihat betapa mereka saling tarik senjata masing-masing, Hong Li menggunakan tangannya, mencengkeram ke arah mata Ang I Lama!
"Siancai....!" Ang I Lama terkejut bukan main. Anggauta tubuhnya tidak akan takut mengha-dapi serangan seorang anak kecil seperti Hong Li, akan tetapi kalau yang diserang itu matanya, tentu saja mata itu tidak dapat dibuat kebal! Untuk mempergunakan sihir mempengaruhi anak itu, sudah tidak keburu lagi. Terpaksa dia menarik kepalanya ke be-lakang untuk mengelak dan pada saat itu, pedang di tangan kanan Sin-kiam Mo-li sudah menyambar dan menusuk lambung pendeta Lama itu. Demikian ce-pat gerakan ini, dilakukan pada saat yang tepat, mem-pergunakan kesempatan selagi pendeta itu repot mengelak dari cengkeraman tangan Hong Li sehingga tak mungkin dapat dihindarkan lagi.
"Cappp....!" Biarpun pendeta itu mempergunakan sin-kang, namun sudah tidak keburu dan pe-dang itu menancap sampai dalam dan ketika dicabut, darahpun muncrat dan pada saat itu, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas kembali Hong Li dari pondongan Ang I Lama.
"Omitohud....!" Ang I Lama menggunakan tangan kiri mendekap luka di lambungnya, lalu membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu, membawa luka yang dalam di
lambungnya! Sin-kiam Mo-li tidak berani mengejar. Ia tahu bahwa pendeta itu lihai bukan main dan kalau ia tidak memperoleh kesempatan baik tadi, belum tentu ia akan keluar sebagai pemenang. Ia tadi telah bertindak cerdik bukan main dengan menyerang kepala Hong Li. Memang, ia, membahayakan keselamatan nyawa anak itu tadi. Akan tetapi akal itu bagus se-kali. Serangan yang mematikan itu tentu saja mem-buat Ang I Lama yang ingin menyelamatkan Hong Li, menjadi kaget dan melindungi dan terbukalah kesempatan baginya untuk menyerang. Apa Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
567 lagi di bantu oleh Hong Li. Ia puas dengan dirinya sendiri dan juga girang bahwa ternyata anak angkat dan muridnya itu setiakepadanya. Ia tidak berani mengejar karena ia tidak yakin apakah Lama itu menderita luka yang cukup parah.
Dirangkulnya Hong Li dan diciuminya pipi anak itu. "Hong Li, bagus sekali, engkau telah membantuku mengalahkan Lama yang jahat itu!"
"Akan tetapi, subo. Hampir saja aku celaka olehnya. Dia sungguh lihai dan jahat sekali!" kata Hong Li.
"Memang dia lihai dan jahat, maka engkau harus berlatih dengan baik agar kelak dapat mengalahkan orang-orang seperti dia ini."
"Di bawah bimbingan subo, tentu aku akan dapat menguasai ilmu-ilmu yang hebat, dan sekarang di dalam perlindungan subo aku merasa aman. Subo, jangan lupa mengajarkan ilmu sihir kepadaku."
Sin-kiam Mo-Ii tertawa dan menggandeng anak itu, diajak masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Hong Li merasa girang dan puas pula, sama sekali ia tidak tahu bahwa baru saja ia kehilangan seorang pe-nolong yang akan mampu membawanya kembali kepada orang tuanya dan bahkan membebaskannya dari cengkeraman seorang wanita iblis yang
sesung-guhnya merupakan musuh besar keluarganya!
Sin-kiam Mo-li tidaklah sebaik hati seperti yang dibayangkan oleh Hong Li. Anak perempuan ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia diculik dari ke-bun rumah orang tuanya, terdapat rahasia besar di balik semua peristiwa itu. Yang melakukan penculikan terhadap dirinya sama sekali bukanlah Ang I Lama yang pada waktu itu masih tekun bertapa di dalam guha pertapaannya. Lalu siapakah yang me-lakukan penculikan itu" Bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri! Wanita cantik yang tinggi semampai inilah yang menyamar sebagai Ang I Lama dan melakukan penculikan dengan mempergunakan nama Ang I Lama!
Hal ini dapat dilakukannya dengan amat mudah karena selain pandai ilmu silat, iapun pandai ilmu sihir dan pandai melakukan penyamaran.
Akan tetapi, mengapa Sin-kiam Mo-li melakukan hal itu dan siapakah ia sebenarnya" Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat dari Kim Hwa Nio-nio! Ketika Kim Hwa Nio-nio
bersekongkol dengan Sai-cu Lama, Sin-Kiam Mo-li sedang melakukan perantauan ke daerah pantai selatan dan ia tidak tahu akan perseku-tuan itu, juga tidak mencampurinya. Ketika ia pu-lang ke utara, baru ia mendengar bahwa ibu angkat-nya, juga gurunya itu, ternyata telah tewas bersama Sam Kwi dan Sai-cu Lama dalam sebuah komplotan yang dihancurkan oleh para pendekar, terutama ke-turunan keluarga Pulau Es dan keluarga Istana Gu-run Pasir.
Tentu saja ia terkejut dan berduka, juga sakit hati. Akan tetapi iapun maklum siapa itu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ia merasa tidak mampu menandingi mereka itu dengan berterang, maka ia lalu melakukan balas dendam dengan cara lain. Setelah melakukan penyelidikan, iapun menja-tuhkan pilihannya kepada Kao Hong Li, satu-satunya anak yang menjadi keturunan dari kedua pihak, ketu-runan keluarga Pulau Es, juga keturunan keluarga Gurun Pasir. Dan terjadilah penculikan itu. Ia se-ngaja mempergunakan nama Ang I Lama yang mahir dalam ilmu sihir dan mudah dipalsu, dengan maksud untuk mengadu domba. Ia harus membangkitkan Ang I Lama sebagai sute dari Sai-cu Lama agar suka menentang dua keluarga pendekar yang menjadi mu-suh mereka berdua itu. Akan tetapi ia cukup menge-nal Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
568 watak Ang I Lama yang saleh dan tidak mau menggunakan kekerasan, melainkan hanya bertapa dengan tekun dan tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai. Maka ia
mempergunakan siasatnya, menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengadu dom-ba. Tadinya, niatnya hanya selain mengadu domba, juga menimbulkan duka kepada keluarga itu yang kehilangan puterinya. Mungkin puteri mereka itu akan ia bunuh untuk membalas dendam.
Akan tetapi setelah ia melihat Hong Li yang demikian manis dan tabah, hatinya tertarik dan timbul pikirannya untuk memanfaatkan rasa sukanya itu demi dua keuntungan. Pertama, ia akan merasa puas memiliki murid dan anak angkat yang amat baik dan berbakat, memenuhi kerinduannya akan seorang keturunan, dan ke dua, ia akan mendidik anak itu agar kelak mengikuti jejak-nya yang berlawanan dengan jalan hidup musuh-musuhnya, yaitu kedua keluarga pendekar itu!
Hong Li tidak tahu akan semua itu. Ia hanya mengenal gurunya sebagai seorang wanita berilmu tinggi dan pandai sihir yang telah menyelamatkannya dari tangan Ang I Lama!
Walaupun pada hari-hari terakhir ini ia mendapat kenyataan bahwa gurunya dapat berwatak keras dan kejam terhadap musuh-musuhnya, seperti yang diperlihatkannya ketika
meng-hadapi lima orang penyerbu dari Cin-sa-pang itu, namun ia menganggap gurunya seorang gagah yang baik hati, terutama terhadap dirinya. Dan iapun de-ngan penuh ketekunan mempelajari ilmu-ilmu dari Sin-kiam Mo-li, seorang wanita cantik yang dalam hal tingkat kepandaian, tidak berada di bawah tingkat mendiang gurunya, yaitu Kim Hwa Nio-nio.
*** Dua orang pendeta Lama yang sedang bertapa itu terkejut sekali ketika melihat seorang pendeta Lama lain roboh terpelanting di depan guha mereka, kemu-dian terdengar suara orang itu mengerang kesakitan.
Dua orang pendeta Lama itu cepat keluar dari guha tempat pertapaan mereka dan alangkah kaget hati mereka ketika mereka mengenal bahwa yang ro-boh itu adalah Ang I Lama, seorang tokoh Lama yang amat mereka kenal dan masih terhitung paman seper-guruan mereka.
"Susiok...." Keduanya berlutut dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka melihat bahwa paman guru mereka itu terluka pada lambungnya, luka yang kini membengkak besar sekali, tanda bahwa selain luka itu parah, juga bahwa luka itu tidak terawat selama beberapa hari sehingga mem-bengkak. Melihat keadaan luka itu dan wajah paman guru mereka yang membiru, dua orang pendeta ini dengan sedih mengetahui bahwa keadaan paman guru mereka sudah payah dan sukar untuk dapat disela-matkan nyawanya.
"Susiok, apa yang telah terjadi" Mengapa susiok terluka seperti ini?" tanya pendeta pertama.
"Susiok, siapa yang melakukan ini?" tanya pen-deta ke dua.
Akan tetapi keadaan Ang I Lama sudah demikian payah. Napasnya tinggal satu-satu dan sukar sekali baginya untuk mengeluarkan suara walaupun mulut-nya bergerak-gerak. Akan tetapi, di dalam batin Ang I Lama, sedikitpun tidak ada rasa dendam terhadap Sin-kiam Mo-li, maka tidak ada sedikitpun niat di ha-tinya untuk memberi tahu kepada orang lain siapa yang telah melukainya. Yang menjadi keinginan hati-nya adalah untuk memberi tahu kepada Kao Cin Liong dan Suma Hui di mana adanya anak mereka yang diculik orang itu. Akan tetapi sukar sekali mulutnya mengeluarkan kata-kata dan dengan pengerahan tena-ga terakhir Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
569 diapun memaksa diri untuk menyampai-kan isi hatinya itu kepada dua orang pendeta Lama ini. Akhirnya dapat juga dia mengeluarkan suara lirih sehingga dua orang pendeta Lama itu harus mendekatkan telinga mereka agar dapat menangkap lebih jelas.
".... Kao Cin Liong dan isterinya.... mereka.... cepat.... ouhhh...." kakek itu terkulai dan napasnyapun terhenti. Dia mengerah-kan tenaga terlalu banyak namun tidak kuat
melan-jutkan kata-katanya.
Dua orang pendeta Lama itu saling pandang de-ngan mata terbelalak. Merekapun tentu saja menge-nal siapa yang bernama Kao Cin Liong itu, seorang yang dikenal baik oleh para pendeta Lama karena pernah memimpin pasukan pemerintah untuk menumpas
pemberontakan di barat. Panglima Kao amat ter-kenal dan tentu saja mereka kini terkejut dan heran mendengar disebutnya nama panglima itu dan isterinya sebagai pembunuh Ang I Lama!
Dua orang pendeta itu merasa betapa penting dan gawatnya urusan, maka setelah
menyempurnakan jenazah Ang I Lama dengan membakarnya, lalu mem-bawa abu jenazah itu, pergi meninggalkan tempat pertapaan mereka dan cepat mereka menuju ke Tibet. Dan di depan para pimpinan Lama, mereka lalu menceritakan pengalaman mereka ketika
menemukan Ang I Lama dalam keadaan sekarat sampai meninggal dunia karena luka parah di lambungnya.
Ketika para pimpinan Lama mendengar bahwa pesan terakhir dari Ang I Lama adalah nama Kao Cin Liong dan isterinya, para pimpinan Lama itu saling pandang. Mereka ingat bahwa belum lama ini, suami isteri itu memang datang kepada mereka dan mena-nyakan di mana adanya Ang I Lama! Dan mereka melihat sikap isteri pendekar bekas panglima itu jauh dari pada lembut, bahkan agaknya nyonya itu marah sekali terhadap Ang I Lama. Dan kini muncul dua orang pendeta Lama yang menceritakan bahwa Ang I Lama tewas dengan luka di
lambungnya. Pada hal, Ang I Lama adalah seorang pendeta Lama yang me-miliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Tidak semba-rang orang akan dapat melukainya, dan pula, pendeta itu adalah seorang yang halus budi dan tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga. Siapa lagi kalau bukan suami isteri pendekar itu yang telah membunuhnya" Mungkin karena Ang I Lama masih sute dari Sai-cu Lama seperti yang ditanyakan oleh isteri pendekar itu.
"Hemm, kita tidak boleh tinggal diam saja. Tanpa sebab mereka telah membunuh seorang yang hidup bersih dan suci seperti Ang I Lama. Kalau hal ini kita diamkan saja, bukankah semua orang lalu meman-dang rendah kepada kita, para Lama" Kita dapat membiarkan seorang Lama seperti Sai-cu Lama dibas-mi dan dibunuh sekalipun tanpa sedikit juga campur tangan. Akan tetapi kalau sampai seorang seperti saudara Ang I Lama dibunuh tanpa dosa, sungguh merupakan hal yang penuh dengan penasaran. Kita harus bertindak terhadap mereka!"
"Akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal sakti dan budiman! Apa lagi kita semua mengenal siapa adanya Kao Cin Liong, bekas pangli-ma yang gagah perkasa!"
kata Lama ke dua. "Kita tidak perlu takut demi membela kebenar-an!" kata Lama ke tiga.
Ketua para Lama menarik napas panjang mende-ngar pendapat para pembantunya.
"Omitohud, semo-ga Sang Buddha menerima saudara Ang I Lama sesuai engan amal
kebaikannya sewaktu dia hidup. Kita memang tidak boleh tinggal diam, juga kita tidak perlu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
570 merasa takut untuk menghadapi ketidakadilan, akan tetapi bagaimanapun juga, kita harus bertindak dengan hati-hati dan tidak menurutkan nafsu amarah. Kita harus ingat bahwa kita berhadapan dengan ketu-runan orang-orang besar. Kao-taihiap adalahketurunan dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kita sama sekali tidak menghendaki kalau kita sampai menanam permusuhan dengan ke-dua keluarga itu. Maka, jalan satu-satunya hanyalah mencari seorang perantara untuk menuntut keadilan kepada keluarga mereka, terutama sekali keluarga Gu-run Pasir mengingat bahwa Kao-taihiap adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."
Mendengar ucapan ketua mereka ini, para pendeta Lama merasa setuju. Bagaimanapun juga, mereka per-caya bahwa keluarga para pendekar itu adalah orang-orang yang selalu menunjukkan kebenaran dan keadil-an. Kalau sampai peristiwa pembunuhan terhadap diri Ang I Lama yang tidak berdosa ini sampai dilaporkan kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, tentu orang sakti itu akan bertindak adil walau terhadap puteranya sendiri sekalipun.
Mereka lalu mengadakan perundingan dan meng-ingat bahwa mungkin sekali urusan yang timbul an-tara Ang I Lama dan Kao Cin Liong berdua itu ada hubungannya dengan mendiang Sai-cu Lama, maka semua pendeta Lama setuju untuk kedua kalinya minta bantuan sahahat mereka, yaitu Tiong Khi Hwesio. Bukankah Tiong Khi Hwesio yang bersama para pendekar membasmi komplotan Sai-cu Lama" Karena agaknya urusan kematian Ang I Lama ini
merupakan lanjutan dari pembasmian komplotan Sai-cu Lama, maka orang perantara yang mereka anggap paling tepat adalah Tiong Khi Hwesio. Apa lagi ke-tua Lama mengetahui bahwa antara Tiong Khi Hwe-sio dan keluarga Gurun Pasir masih terdapat ikatan yang amat erat.
"Kalau tidak keliru, ikatan keluarga antara Tiong Khi Hwesio dan isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir," demikian katanya. Kenyataan ini memperte-bal kepercayaan para pendeta Lama bahwa Tiong Khi Hwesio memang merupakan orang yang paling tepat untuk menjadi perantara menuntut keadilan ke Gu-run Pasir.
Tiong Khi Hwesio lalu dihubungi. Pendeta ini semenjak kembali dari menunaikan tugasnya yang berhasil baik, telah kembali ke tempat pertapaannya, di dalam sebuah pondok sederhana di puncak sebuah bukit di Pegunungan Himalaya. Dia merasa heran akan tetapi juga tidak menolak ketika seorang pende-ta Lama menyadarkannya dari pertapaan dan menyam-paikan undangan para pimpinan Lama agar dia suka datang ke Lhasa karena ada urusan yang amat pen-ting.
Setelah hwesio tua ini tiba di depan para pendeta Lama, dia disambut dengan amat ramah.
Melihat wa-jah yang penuh kedamaian dari pendeta ini, para pim-pinan Lama merasa tidak enak hati sendiri. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi teramat penting maka mereka mengesampingkan semua perasaan tidak enak dan pimpinan para Lama segera menceritakan kepada Tiong Khi Hwesio tentang peristiwa yang terjadi. Tentang kematian Ang I Lama terbunuh orang, tentang suami isteri Kao Cin Liong yang sebe-lumnya datang minta keterangan dari para Lama tentang Ang I Lama, kemudian para pimpinan Lama menyatakan pendapat mereka yang juga merupakan tuduhan mereka bahwa suami isteri pendekar itulah yang membunuh Ang I Lama.
"Saudara Tiong Khi Hwesio tentu sudah menge-nal siapa adanya Ang I Lama, yang sudah sejak puluh-an tahun hidup bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga tidak mungkin menanam per-musuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, beberapa hari sebelum Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
571 dia terbunuh, pendekar Kao Cin Liong dan isterinya datang ke sini minta keterangan tentang Ang I Lama, dan melihat sikap mereka, ter-utama sekali isteri Kao-taihiap, jelas bahwa mereka sedang marah atau tidak suka kepada Ang I Lama yang mereka ketahui adalah sute dari Sai-cu Lama. Tak lama setelah mereka berdua pergi mencari Ang I Lama, dia ternyata dibunuh orang dan sebelum menghembuskan napas terakhir, Ang I Lama hanya dapat
menyebutkan nama Kao Cin Liong dan isterinya. Semua ini kami anggap sudah cukup kuat untuk menjadi bukti kebenaran pendapat kami bahwa mereka ber-dua yang membunuh Ang I Lama. Terutama harus diingat bahwa Ang I Lama memiliki kepandaian yang tinggi, dan hanya orang-orang seperti suami isteri itu sajalah yang kiranya akan mampu membunuhnya,"
Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan menghadapi urusan seperti itu. Memang semua alasan para pimpinan Lama ini masuk di akal, dan bagaimanapun juga, Kao Cin Liong masih terhitung keponakannya. Ibu kandung pende-kar itu, Wan Ceng, adalah adik tirinya seayah berla-inan ibu.
Dengan sikap tenang Tiong Khi Hwesio menanti sampai keterangan para Lama itu selesai, barulah dia bicara, sikapnya masih tenang, suaranya halus. "Lalu apa maksud para saudara Lama sekarang mengundang pinceng datang ke sini. Apa yang dapat pinceng laku-kan dalam urusan ini?"
"Kami sedang merasa bingung. Urusan pembu-nuhan ini tidak mungkin didiamkan saja.
Akan tetapi kamipun tidak ingin menanam permusuhan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, maka kamipun teringat kepada saudara Tiong Khi Hwesio yang menjadi saudara kami yang amat baik. Terutama sekali mengingat akan adanya tali kekeluargaan sau-dara dengan mereka, maka kami mengharapkan ban-tuan saudara untuk menjadi perantara di antara kami dan mereka untuk menuntut keadilan."
Tiong Khi Hwesio mengangguk-angguk dan mena-rik napas panjang. Dalam usianya yang sudah tua ini, yang ingin dihabiskannya dalam kedamaian dan ke-tenteraman, ternyata masih ada saja urusan yang me-ngejarnya. Namun, semua itu dianggapnya sudah sewajarnya, maka diapun tidak mengeluh dan tidak pula merasa penasaran atau kecewa.
"Omitohud...., kehendak Thian jadilah! Pinceng akan menemui keluarga itu dan
membicara-kan urusan ini."
Para pimpinan Lama merasa lega. Kalau tidak ada Tiong Khi Hwesio yang menjadi
perantara, me-reka khawatir kalau-kalau akan terjadi permusuhan yang makin hebat. Para pimpinan maklum bahwa banyak di antara pendeta Lama yang masih belum dapat menguasai dorongan perasaan dan kematian Ang I Lama itu dapat menimbulkan kemarahan dan den-dam yang besar.
Beberapa hari kemudian, Tiong Khi Hwesio meninggalkan Pegunungan Himalaya, menuju ke timur dan dia berjalan seorang diri seperti orang melamun. Dia melihat kenyataan yang amat aneh dalam kehidupan ini. Seorang seperti Ang I Lama, bagaimana sampai tertimpa malapetaka seperti itu, dibunuh orang" Pada hal, dia tahu benar bahwa Ang I Lama adalah seorang pendeta yang sejak puluhan ta-hun sudah mundur dari semua urusan dan keramaian dunia, tidak pernah bermusuhan dengan siapapun ju-ga, bahkan tidak pernah meninggalkan tempat-tempat yang sunyi dan sepi.
Hidup dan mati adalah urusan Tuhan. Manusia tidak menguasai kedua hal itu. Manusia hanya Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
572 wajib mengisi kehidupan dan tergantung dari dirinya sendi-rilah akan bagaimana jadinya dengan hidupnya. Dia sendirilah yang akan mewarnai kehidupannya. Na-mun segalanya bukan dia yang menentukan. Betapa-pun pandainya seseorang, betapapun kuatnya, dia ti-dak mungkin dapat mempertahankan hidupnya kalau Tuhan sudah menghendaki kematiannya.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita lalu begitu saja "menye-rahkan nasib" kepada Tuhan.


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ini sama saja dengan mempersatukan Tuhan demi kepentingan diri sendiri, bahkan condong untuk memperbudak kekuasaan ter-tinggi di alam mayapada ini. Tidak ada kekuasaane apapun di dunia ini yang akan mau menolong kita kalau kita sendiri tidak mau menolong diri sendiri, karena sesungguhnya di dalam diri kita terdapat pula kekuasaan itu, melalui panca indriya kita, melalui pikiran kita, melalui seluruh urat syaraf di tubuh ki-ta. Semua kekuasaan itu sudah ada pada kita, maka kalau tidak kita pergunakan, tentu saja tidak adalagi kekuasaan yang akan menolong diri kita.
"Percaya kepada Tuhan" atau yang lazimnya di-sebut iman bukan hanya permainan lidah belaka, se-perti yang kita lihat dalam kehidupan kita ini. Iman tanpa perbuatan hanya merupakan kemunafikan terselubung saja. Sebaliknya, perbuatan tanpa iman, dalam arti kata kesadaran sepenuhnya, keyakinan sedalamnya akan kekuasaan tertinggi yang menentutan segala-galanya, maka perbuatan itu akan dapat memyeleweng tanpa kemudi, hanya didorong oleh naluri dan kepentingan diri sendiri, sama saja dengan perbuatan binatang-binatang yang tidak memiliki akal budi dan pikiran. Kalau kita ingin berhasii, kita harus bertin-dak. Kalau ingin selamat, harus menjaga diri. Dan apa bila semua itu sudah kita lakukan, namun ternya-ta akhirnya gagal, maka kita harus mencari sebab ke-gagalan itu dalam diri sendiri! Karena semua hal baik maupun kegagalan bersumber dari diri sendiri, bukan karena kesalahan orang lain, dan adalah licik untuk berkeluh kesah dan melontarkan semuaratapan kepada Tuhan, seolah-olah Tuhan yang bertanggung jawab atas kegagalan kita! Kalau ada kegagalan, tentu ada kesalahan dalam tindakan kita, walaupun mungkin saja mata kita tidak melihat adanya kesalahan itu. Kita selalu condong untuk membenar-kan diri sendiri, kita merasa amat sukar untuk mengoreksi diri, untuk meneliti tindakan sendiri, untuk menemukan kesalahan dalam diri sendiri.
Cara yang ditempuh Tuhan kadang-kadang bah-kan seringkali sukar untuk dimengerti oleh akal ma-nusia yang amat terbatas ini. Kita biasanya hanya menerima segala akibat penempuhan cara yang penuh rahasia itu, kalau menyenangkan kita bersyukur, kalau menyusahkan kita mengeluh, karena semua penda-pat kita didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Padahal, belum tentu kalau sesuatu yang kita anggap bu-ruk menimpa diri kita itu memang benar buruk. Belum tentu! Banyak sudah buktinya bahwa peristiwa buruk yang menimpa kita itu merupakan peng-hindaran yang luar biasa pada diri kita dari ancaman bahaya yang lebih hebat lagi! Seperti sebuah operasi pada tubuh kita, nampaknya menyusahkan, padahal operasi itu penting sekali untuk melenyapkan penya-kit yang jauh lebih ganas yang ada pada diri kita.
Karena itu, orang bijaksana selalu akan menerima segala macam peristiwa yang menimpa dirinya tanpa menilainya sebagai baik maupun buruk, selalu mene-rima apa adanya tanpa membanding-bandingkan, de-ngan penuh kesadaran bahwa segala yang terjadi sudah
dikehendaki oleh Tuhan, maka sudah wajarlah! Orang bijaksana akan selalu mengerti dan yakin bah-wa "semua kehendak Tuhan jadilah!" sementara dia selalu waspada akan segala perbuatannya, lahir batin, termasuk jalan pikirannya, ucapannya, gerak-geriknya. Tidak menginginkan atau menyesali yang sudah lalu, tidak mengharapkan atau menjauhi hal yang belum datang. Bahkan sama sekali tidak memusingkan masa lalu dan masa depan, melainkan sepenuhnya hidup saat ini, sekarang ini, detik demi detik.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
573 Semua hal inilah yang menjadi isi batin Tiong Khi Hwesio ketika dia berjalan seorang diri dengan tenangnya. Kewaspadaannya membuat dia dapat meli-hat segala hal yang terjadi dalam dirinya, di luar diri-nya dan apa yang terjadi dalam kehidupan manusa pada umumnya di dunia ini. Dia melihat kepalsuan-kepalsuan menyelimuti hampir seluruh kehidupan manusia, kebaikan-kebaikan palsu karena kebaikan-kebaikan itu dilakukan orang sebagai cara untuk memperoleh sesuatu sebagai imbalan, kehormatan dipuja-puja, agama dipakai sebagai alat untuk mencapai kemenang-an, dipakai untuk menutupi kebencian yang membakar batin terhadap golongan lain, dipakai untuk menangkat diri dan golongan sendiri ke tempat yang lebih tinggi dan bersih, dipakai untuk mencemooh mereka yang dianggap kotor dan lebih rendah. Kesucian dipergunakan sebagai kebersihan pakaian yang membungkus diri, yang dianggap akan dapat menyucikan danmembersihkan tubuh yang sebenarnya kotor. Per-adaban menjadi hal yang paling tidak beradab, namun menang karena disahkan oleh umum.
Kesopanan hanya sebatas kulit, kesopanan terletak pada pangkat, pakaian, senyum dan ucapan belaka. Tidak pernah lagi ada kesatuan antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Apa yang dipikirkan lain dari apa yang di ucap-kan, dan apa yang diucapkan tidak cocok dengan apa yang diperbuat. Kemunafikan dan kepalsuan di ma-na-mana. Tidak ada lagi cinta kasih yang tulus ikhlas, tanpa memihak, tanpa memilih, yang ada hanyalah cinta nafsu, cinta yang didorong demi kepentingan, demi kesenangan diri pribadi.
Dia bahkan melihat betapa orang-orang melarikan diri ke guha-guha, ke gunung-gunung atau mengubur diri di dalam kelenteng atau kuil-kuil, menyiksa diri, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu mela-kukan semua itu hanya sebagai cara untuk mendapat-kan sesuatu yang mereka harap-harapkan, tentu saja sesuatu yang akan menyenangkan hati mereka, akan memberi kepuasan terhadap keinginan mereka. Atau ada pula yang melakukan hal itu karena ingin mela-rikan diri dari kehidupan yang membuat mereka mu-ak, berduka, kecewa dan sakit hati. Dan tentu saja pelarian inipun merupakan cara untuk mencari sesua-tu yang lebih menyenangkan! Semua perbuatan manusia sudah menjadi palsu karena selalu
menyembunyikan pamrih untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi.
"Ya Tuhan, apa akan jadinya dengan kita manusia ini?" Akhirnya Tiong Khi Hwesio berbisik da-lam hatinya. "Mungkinkah kita menanggalkan semua kepalsuan dan kemunafikan itu, melenyapkan semua pamrih mencari kesenangan dan kepuasan diri pribadi itu, menanggalkan semuanya sehingga kita dapat menghadap Tuhan dalam keadaan telanjang, dalam keadaan kosong sama sekali" Mungkinkah kita men-jadi kosong dan diam sehingga menjadi jernih, se-hingga sinar-Mu dapat menembus dan memasuki ba-tin. Sehingga kita mengenal cinta kasih yang suci murni?"
Angin bersilir menimbulkan suara bisik-bisik pada daun-daun di pohon. Tiong Khi Hwesio menghenti-kan langkah, menengadah dan memandang daun-daun pohon yang bergoyang-goyang. Seperti menari-nari sambil saling bergeseran menimbulkan suara bisik-bisik seperti berdendang dan diapun tersenyum.
*** Sim Houw dan Bi Lan telah tiba di daerah Tembok Besar. Bi Lan telah bersikap biasa kembali, merupakan seorang gadis yang bagi Sim Houw sukar untuk dijajaki isi hatinya.
Kadang-kadang Sim Houw seperti melihat dengan jelas bahwa gadis itu membalas perasaan hatinya, membalas cintanya. Ada keme-sraan hangat dalam senyum dan pandang matanya, namun Sim Houw membantah sendiri kenyataan ini. Tak mungkin, katanya. Bagaimana Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
574 mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan, yang usianya tidak akan lebih dari delapanbelas atau sembilanbelas tahun, jatuh cinta kepada dia yang sudah menjelang tua" Usianya sudah hampir tigapuluh lima tahun! Bi Lan tentu memandang dia sebagai seorang sahabat baik, bahkan mungkin sebagai seorang kakak yang melindunginya! Kalau dia mempunyai pikiran yang bukan-bukan, bagaimana nanti pendapat Bi Lan" Bukankah dia scakan-akan menjadi pagar makan tanaman, seorang pelindung yang hendak mengganggu gadis yang
dilindunginya" Tidak, dia tidak akan melakukan hal itu, sampai matipun tidak! Kecuali kalau memang Bi Lan cinta padanya, akan tetapi, tak mungkin hal itu terjadi.
Kedukaan kadang-kadang melanda hati Sim Houw, akan tetapi hanya sebentar karena melihat ke-lincahan dan kegembirian Bi Lan yang jenaka, lenyap-lah kedukaannya.
Bagaimanapun juga, melakukan perjalanan bersama gadis itu, pahit maupun manis
mengalami bersama Bi Lan, merupakan kebahagiaan yang menghapus segala duka dan
keprihatinan hati-nya. Dia tidak akan memikirkan hal lain, takkan memikirkan hal yang belum terjadi, apa akan jadinya kelak. Yang penting, sekarang Bi Lan berada di sam-pingnya selalu dan itu sudah cukup baginya!
Musim salju lewat baru saja dan mereka mema-suki bulan musim semi. Biarpun
pemandangan amat indah dan bunga-bunga sudah mulai ada yang berkem-bang, namun
musim salju masih meninggalkan hawa dingin menyusup tulang. Seringkali, walaupun sudah mengenakan pakaian tebal dan sudah mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, tetap saja Bi Lan merengek kedinginan sehingga terpaksa Sim Houw yang merasa kasihan menghentikan perjalanan untuk membuat api unggun, biarpun pada tengah ha-ri. Karena itu perjalanan menjadi amat lambat dan baru setelah mereka tiba di daerah Tembok Besar, hawa tidak begitu dingin seperti ketika mereka melalui puncak-puncak pegunungan yang tinggi.
Berkali-kali Bi Lan berhenti untuk menikmati pemandangan yang amat ajaib. Tembok Besar itu nampak seperti seekor naga, memanjang dari barat ke timur seperti tiada habisnya.
Nampak indah dan kokoh kuat.
Setelah hari menjadi malam baru mereka menca-pai Tembok Besar dan hawa kembali
menjadi amat dinginnya di malam hari itu. Mereka berlindung di bawah tembok dan Sim Houw segera membuat api unggun, memanggang bekal makanan yang terdiri dari roti kering dan daging kering. Setelah makan dan minum secara sederhana, mereka lalu duduk
beristirahat di dekat api unggun.
"Begini sunyi...." kata Bi Lan dan tubuhnya agak menggigil, bukan karena kedinginan lagi karena api unggun itu bernyala dengan indahnya, melainkan merasa ngeri juga. Ia berada di dalam alam yang be-gitu luasnya hanya bersama Sim Houw, seolah-olah mereka berdua sajalah manusia-manusia yang hidup di dunia ini. Sunyi dan kadang-kadang terdengar suara-suara binatang yang aneh-aneh, yang belum pernah didengar sebelumnya. Ketika terdengar bunyi lolong yang mengerikan dan panjang berkali-kali, seperti saling sahut dari sebelah kanan dan kiri, Bi Lan ber-bisik.
"Toako.... suara apakah itu?"
Sim Houw menatap wajah yang cantik kemerahan di bawah sinar api unggun itu sambil tersenyum.
"Itulah suara serigala-serigala yang berkeliaran di daerah ini, Lan-moi."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
575 "Serigala" Aku pernah mendengar namanya akan tetapi belum pernah melihatnya."
"Seperti seekor anjing biasa, tidak berapa besar, namun dia adalah anjing liar yang buas.
Lebih kuat dan tangkas dari pada anjing biasa karena sejak lahir berada di dalam alam bebas yang mempunyai hukum rimba, sudah biasa dengan perkelahian mati-matian, baik untuk membela diri maupun untuk mencari makan."
Bi Lan menarik napas lega. "Suaranya demikian mengerikan, ternyata hanya seperti seekor anjing bia-sa, sama sekali tidak berbahaya."
Kembali Sim Houw tersenyum dan suaranya ter-dengar lembut, bukan untuk menakut-nakuti ketika dia memperingatkan, "Moi-moi, biarpun serigala hanya merupakan seekor anjing biasa, namun dia jauh lebih berbahaya dari pada anjing. Selain kuat dan tangkas, yang paling berbahaya adalah karena dia licik dan cerdik, juga biasanya hanya menyerbu dengan gerombolan yang cukup banyak. Karena itu, binatang lain yang lebih besar dan kuat, takut menghadapi se-rigala. Bahkan harimaupun akan lari menjauhkan diri, takut dikeroyok."
Bi Lan terbelalak dan kembali ia menoleh ke ka-nan kiri dengan sikap ketakutan. Hal ini menggelikan hati Sim Houw dan diapun berkata, "Lan-moi, kalau serigala-serigala itu mengenalmu, tentu mereka yang akan menggigil ketakutan."
"Aku ngeri membayangkan kelicikan mereka. Mereka itu seperti segerembolan orang jahat yang curang dan licik, yang beraninya hanya melakukan pengeroyokan."
"Memang, dan di dunia kang-ouw, orang-orang macam itu memang ada yang disebut sebagai gerombolan serigala."
Tiba-tiba suara lolong serigala itu berubah menjadi suara menyalak-nyalak dan
menggonggong yang riuh, seolah-olah ada banyak anjing yang marah-marah dan
menggonggong secara berbareng, tidak seperti tadi, melolong saling saut. Mendengar ini, Sim Houw mengerutkan alisnya. Sebagai keturunan ahli-ahli pemburu binatang buas diapun dapat menduga apa artinya suara riuh rendah itu.
"Celaka, mereka telah menyerbu sesuatu. Mari kita lihat!" kata Sim Houw.
"Ih, untuk apa melihat" Paling-paling mereka itu mengeroyok seekor binatang buas yang lebih besar."
"Siapa tahu" Aku khawatir kalau-kalau mereka itu mengeroyok manusia yang perlu kita tolong. Lihat, bulan sudah muncul dan cuaca tidak begitu gelap. Kita dapat mencari ke arah suara hiruk-pikuk itu."
"Mana ada manusia di tempat seperti ini, toako?"
"Engkau tidak tahu. Biarpun jarang, kadang-ka-dang ada saja rombongan saudagar yang berlalu-lalang di sini, yaitu mereka yang membawa barang dagangan keluar dan masuk Tembok Besar. Marilah."
Mereka lalu menggendong buntalan pakaian me-reka dan memadamkan api unggun. Dengan Sim Houw berada di depan dan Bi Lan di belakangnya, mereka lalu berloncatan dengan hati-Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
576 hati, menuju ke arah suara hiruk-pikuk yang terdengar di sebelah ti-mur. Mereka menyusuri sepanjang Tembok Besar karena suara ribut-ribut itu terdengar di sebelah dalam tembok, bukan di luar.
Akhirnya, setelah mendengar betapa suara gonggongan serigala itu kini bercampur dengan suara menguik dan ketakutan sehingga Sim Houw menduga tentu binatang-binatang itu mengeroyok seekor bina-tang lain yang kuat, mereka tiba di tempat terbuka, di kaki tembok.
Masih nampak ada api unggun kecil menyala di dekat kaki tembok, dan tak jauh dari situ, di atas rumput yang kuning dan baru bersemi setelah layu selama berbulan-bulan karena musim salju, nam-pak seorang laki-laki sedang dikepung dan dikeroyok oleh gerombolan anjing serigala yang jumlahnya tidak kurang dari duapuluh ekor! Melihat betapa di seki-tar tempat itu terdapat bangkai-bangkai serigala ber-serakan, dapat diketahui bahwa pengeroyok itu tadi-nya jauh lebih banyak lagi!
Bi Lan hendak meloncat untuk membantu, akan tetapi Sim Houw memegang lengannya.
"Sssttt.... lihat betapa gagahnya dia. Dia tidak membutuhkan bantuan...."
Bi Lan memandang dan iapun menjadi kagum. Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap, berdiri kokoh, kuat di atas tanah, lengan kanan ditekuk dengan tangan di bawah pinggang, jari-jari tangan terbuka dan terlentang, lengan kiri diangkat dengan tangan di de-pan dada, juga terbuka, kedua kaki terpentang lebar ke kanan kiri, sedikitpun tidak bergerak walaupun serigala-serigala itu mengepungnya sambil menyalak-nyalak dan meringis memperlihatkan taring-taring yang runcing dan memandang dengan mata yang me-rah beringas dan buas.
Tiba-tiba dua ekor serigala menubruk dari bela-kang sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat. "Licik....!" Bi Lan memaki lirih.
"Bukk! Desss!" Laki-laki itu memutar tubuh seolah-olah di belakang kepalanya ada matanya yang melihat gerakan dua ekor binatang itu, kakinya menendang dan tangannya menyambar.
Robohlah dua ekor binatang itu, berkelojotan dan berkuik-kuik seperti anjing-anjing kena gebuk.
"Bagus....!" Bi Lan memuji.
"Kau melihat gerakan itu" Dia murid Siauw-lim-pai atau setidaknya menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai," kata Sim Houw, juga kagum.
Laki-laki yang tak dapat dilihat jelas mukanya karena cuaca tidak cukup terang itu memang gagah sekali. Sedikitpun dia tidak nampak gugup, tenang-tenang saja dia menanti serigala-serigala yang mengepungnya menyerang dari berbagai arah. Namun, setiap kali ada serigala yang menerjangnya, tentu disambut pukulan tangan miring atau tendangan dan sekali pukul atau satu kali tendang saja sudah cukup- untuk membuat seekor serigala roboh dan tidak mam-pu bangun kembali.
Serigala-serigala itu agaknya tidak menjadi jera, mereka ini menerjang dari empat penjuru.
Laki-laki itu nampak menggerakkan tubuh ke sana-sini sambil menendang dan menampar dan kini ada delapan ekor serigala yang terpelanting ke sana-sini. Barulah sisa gerombolan itu menjadi jerih, mereka mengeluarkan suara seperti menangis dan mundur-mundur, lalu me-larikan diri sambil melolong-lolong, seolah-olah mera-sa kecewa dan menangisi kesialan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
577 mereka malam itu. Laki-laki itu tidak mengejar, sejenak berdiri tegak memandang ke sekeliling. Tidak kurang dari limabe-las ekor anjing serigala yang berserakan menjadi bang-kai di sekitar tempat itu, ada pula yang masih berke-lojotan lemah. Laki-laki itu lalu melompat dan memanjat naik ke atas tembok sambil menatap bulan yang sudah naik agak tinggi di timur.
Sim Houw dan Bi Lan hanya memandang dengan kagum. Betapa gagahnya laki-laki itu, seperti sebuah patung seorang pendekar yang gagah perkasa berdiri di tempat sunyi itu, diterangi sinar bulan. Tiba-tiba laki-laki itu bicara dengan suara nyaring, kata-katanya jelas dan satu-satu, teratur seperti sajak.
"Melihat kejam dan buasnya serigala
mengganggu dan membunuh orang tak berdosa
kenapa tidak turun tangan dan membasminya"
Penjajah lebih kejam dari pada serigala
mencekik dan menindas rakyat jelata
mengapa orang-orang gagah
tidak bangkit dan mengusirnya?"
Mendengar ucapan itu, Sim Houw dan Bi Lan merasa disindir. Jangan-jangan laki-laki itu memang sengaja menyindir mereka! Memang selama ini Sim Houw mendengar akan adanya orang-orang ga-gah, terutama dari Siauw-lim-pai, yang mengadakan gerakan, bangkit menentang pemerintah penjajah yang mereka namakan "berjuang untuk kemerdekaan rakyat".
Tentu saja pihak pemerintah menganggapnya sebagai pemberontakan-pemberontakan kecil dan semua gerakan itu ditindas oleh pasukan besar sehingga sampai demikian jauh, belum ada gerakan yang berhasil. Mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, tidak pernah mencampuri urusan itu. Dan kalau baru-baru ini mereka membantu para pendekar untuk membasmi komplotan Sai-cu Lama yang menjadi kaki tangan pembesar lalim Hou Seng, maka hal itu me-reka lakukan tanpa ada hubungannya sama sekali dengan pemerintahan, melainkan semata-mata karena mereka memusuhi komplotan jahat itu.
Selagi Bi Lan hendak keluar dari tempat persembunyiannya, tiba-tiba Sim Houw memegang lengannya dan memberi tanda agar gadis itu tidak bergerak, kemudian dia menuding ke depan. Bi Lan mengikuti arah yang ditunjuk dan kini iapun dapat melihat bergeraknya beberapa bayangan orang ke arah tem-bok. Kemudian, nampak lima sosok tubuh yang bergerak dengan gesitnya, berloncatan ke atas tembok besar itu dan di tangan mereka nampak pula senjata tajam berkilauan tertimpa sinar bukan. Akan tetapi bukan itu saja, masih nampak Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
578 bayangan banyak orang di bawah tembok. Sim Houw dan Bi Lan mengintai dan memandang dengan hati tertarik.
"Lie Tek San, engkau telah di kepung! Menyerah-lah sebelum kami mempergunakan
kekerasan!" Se-orang di antara lima penyerbu itu membentak. Di bawah sinar bulan, nampak bahwa lima orang tua berpakaian sebagai perwira-perwira kerajaan, dan tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa laki-laki itu telah dikepung oleh pasukan pemerintah, entah berapa jumlah mereka. Dan Sim Houw terkejut juga men-dengar disebutnya nama Lie Tek San itu. Dia pernah mendengar bahwa Lie Tek San adalah seorang pen-dekar gagah perkasa yang
melakukan gerakan menen-tang pemerintahan, menentang penjajah Bangsa Mancu. Dia hanya mendengar bahwa Lie Tek San seorang pendekar dari daerah Hok-kian, seorang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang di antara mereka yang dapat lolos ketika pemerintah menyerbu dan membakar kuil Siauw-lim-si. Biarpun dia tidak pernah mencampuri urusan perjuangan menentang pemerintah, namun, diam-diam hatinya sudah merasa kagum terhadap pendekar itu, maka kini dia memandang dengan hati tegang.
Laki-laki tinggi tegap yang disebut Lie Tek San itu kini menghadapi lima orang tadi, sikapnya tenang dan tetap gagah. Sejenak dia memandang mereka, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, kalian minta aku menyerah" Dengarlah, Lie Tek San telah bersumpah untuk menentang-kaum penjajah, melepaskan bangsaku dari cengkeraman kuku penjajah Mancu dan kalian minta aku menyerah" Ha-ha-ha!"
Pemimpin rombongan itu membentak, "Lie Tek San, berbulan-bulan kami mencarimu.
Engkau pemberontak hina, kami harus menangkapmu, hidup atau mati, dan menyeretmu untuk dihadapkan pada peng-adilan yang akan menghukum seorang pemberontak hina!
Sambil bertolak pinggang, Lie Tek San menjawab, suaranya lantang dan ini saja
membuktikan bahwa dia memiliki tenaga khi-kang yang kuat. "Mendengar sua-ramu, engkau tentu seorang Han. Akan tetapi engkau merendahkan diri menghamba pada penjajah Mancu!
Apakah sudah tidak ada lagi darah Han mengalir di dalam tubuhmu" Apakah engkau tidak melihat beta-pa bangsa kita diinjak-injak selama berpuluh-puluh tahun oleh orang-orang Mancu" Ingat baik-baik. Bangsa kita adalah bangsa yang besar, dengan jumlah yang amat banyak. Menurut sejarah, karena Bangsa Han dipimpin oleh orang-orang yang hanya mengejar kesenangan, dan karena perpecahan antara bangsa sendiri, maka bangsa kita yang besar sampai dapat ditundukkan dan dikuasai, dijajah oleh Bangsa Mancu, suku bangsa yang jumlahnya kecil itu, suku bang-sa yang biadab dan terbelakang. Ratusan juta Bangsa Han yang mendiami tanah air yang amat luas dapat diperhamba oleh sekelompok orang Mancu sampai seratus tahun lebih! Mengapa bisa demikian" Tak lain karena adanya anjing-anjing penjilat macam eng-kau inilah yang sudah membantu penjajah Mancu untuk menginjak-injak bangsa sendiri. Tidak malukah engkau kepada nenek moyangmu dan anak cucumu kelak yang akan mengutuk dan memaki-maki namamu?" Suara Lie Tek San penuh semangat dan
kemarahan. Sim Houw dan Bi Lan yang mencuri de-ngar, merasa betapa bulu tengkuknya meremang, me-rasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka,
"Lie Tek San pemberontak hina! Engkau melaw-an pemerintah yang sah!" Si kumis tebal yang menjadi pemimpin pasukan itu, membentak marah.
"Pemerintah penjajah Mancu kau bilang sah" Siapa yang mengesahkan" Anjing-anjing penjilat macam kau" Tak tahu malu!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
579 "Tangkap pemberontak ini!" Si kumis tebal berteriak dan mereka berlima sudah mengurung orang tinggi besar yang gagah itu dengan golok besar ditangan. Mereka mengurung dengan membentuk ngo-eng-tin (barisan lima unsur), dengan rapi dan dengan gerakan ringan mereka mengepung dan siap menye-rang, menutup semua jalan keluar. Melihat gerakan dan barisan ini, Lie Tek San berseru nyaring, suara-ya penuh teguran dan ejekan.
"Kiranya kalian ini yang terkenal dengan julukan Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho), bukan" Kalian adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, orang-orang Han aseli yang telah merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat para penjajah Mancu, menjijikkan sekali!
Kalian hanya mengotorkan nama Bu-tong-pai yang besar!"
Lima orang itu memang benar Huang-ho Ngo-liong yang namanya terkenal sekali di
sepanjang lembah Huang-ho dan mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berilmu tinggi. Mendengar makian itu, mereka menjadi semakin marah.
"Lie Tek San manusia sombong, pemberontak hina! Bu tong-pai tidak ada hubungan apapun dengan kedudukan kami sebagai perwira, dan Bu-tong-pai juga bukan pemberontak macam Siauw-lim-pai!" Si kumis tebal itu menggerakkan goloknya menyerang, diikuti oleh empat orang pembantunya yan semua masih terhitung sute (adik seperguruan) sendiri.
Laki-laki tinggi besar yang baru saja membasmi serigala-serigala yang menyerbunya dengan kedua tangan kosong, kini menghadapi lima orang itu dengan tangan kosong pula. Dengan geseran-geseran kaki yang kokoh kuat dan cepat, tokoh Siauw-lim-pai ini mengelak dan membalas serangan dengan pukulan dan tendangan kaki. Akan tetapi, lima orang itu dapat bergerak saling bantu dengan rapi sekali merupakan barisan lima orang yang saling melindungi dan saling memperkuat serangan. Karena maklum bahwa lima orang
pengeroyoknya ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan segerombolan serigala yang menyerang dengan buas tanpa perhitungan hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, melainkan merupakan pengeroyok-pengeroyok yang lihai dan berbahaya, Lie Tek San lalu mainkan Ilmu Silat Kong-jiu-jip-pek-to (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan Seratus Golok). Tubuhnya bergerak dengan amat gesitnya, menyelinap di antara sambar sinar golok dan berusaha untuk masuk ke dalam ba-risan dan mematahkan lingkaran yang saling melin-dungi itu.
Namun, lima orang murid Bu-tong-pai itu ternyata lihai bukan main dan betapapun kuatnya Lie Tek berusaha mengacaukan rangkaian lima batang golok itu, usahanya selalu gagal dan barisan lima golok itu menjadi semakin kuat dan berbahaya saja. Berapa kali hampir saja tubuh pendekar Siauw--lim-pai itu tercium golok kalau saja dia tidak cepat melempar diri dan beberapa kali dia harus berguling-an. Akhirnya Lie Tek San meloncat sambil mengge-kkan tangan dan nampak sinar berkilauan ketika ia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang panjang.
Terdengar suara berdencingan nyaring ketika pedang itu bergerak menangkisi golok-golok yang datang bagaikan hujan. Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan kini perkelahian menjadi semakin seru terjadi di atas tembok yang lebar itu.
Si kumis tebal mengeluarkan aba-aba dan kini pasukan yang tadinya hanya mengepung dan menon-ton, mulai memperketat kepungan, bahkan banyak yang sudah naik ke atas tembok dan menggunakan bermacam senjata mereka, ada tombak, golok atau pedang, untuk
mengeroyok Lie Tek San. Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
580 Pendekar Siauw-lim-pai itu mengamuk dengan pedangnya. Namun, jumlah pengeroyok
terlalu ba-nyak. Pasukan itu terdiri lebih dari limapuluh orang, merupakan pasukan istimewa yang bertugas mengadakan pembersihan di perbatasan. Akan tetapi yang membuat Lie Tek San terdesak adalah Ngo-heng-tin yang dilakukan oleh Huang-ho Ngo-liong itu. Barisan lima orang ini ganas sekali, setelah kini dibantu oleh pasukan, gerakan mereka menjadi semakin tangkas dan kuat sehingga dua kali Lie Tek San tercium ujung golok pada pundak dan pahanya sehingga dua bagian tubuh itu terobek kulit dagingnya dan berdarah. Akan tetapi, biarpun dia telah terluka, Lie Tek San masih mengamuk terus dan sedikitnya sudah ada sepuluh orang anggauta pasukan yang roboh oleh pedangnya.
Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan sejak ia nonton perkelahian itu dengan hati tegang.
Sejak tadi, mereka berdua mengadakan perundingan sambil mata mereka tak pernah
meninggalkan perkelahi-an itu.
"Tidak semestinya kita mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan," kata Sim Houw yang maklum betapa hati Bi Lan condong untuk membantu Lie Tek San. "Sangat tidak enak kalau sampai dicap pemberontak dan menjadi orang buruan pemerintah. Kehidupan kita tidak akan leluasa lagi."
"Tapi.... betapa mungkin kita memeluk tangan saja melihat orang sedemikian gagahnya terbunuh" Lihat, dia mulai terdesak, terlalu banyak lawan dan terlalu banyak darah keluar dari luka pahanya itu." Bi Lan berkata.
Sim Houw tak dapat menjawab. Bagaimanapun juga, semua ucapan Lie Tek San yang penuh semangat tadi telah membakar hatinya dan menyentuh perasaan halusnya. Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan itu. Memang, Bangsa Han kini dijajah dan dipermainkan oleh orang-orang Mancu yang se-sungguhnya adalah bangsa biadab yang datang jauh dari utara, dari luar Tembok Besar. Andaikata semua orang Han seperti Lie Tek San ini sikapnya dan bang-kit, akan bisa apakah orang-orang Mancu itu" Per-bandingan rakyat mereka mungkin satu lawan seratus. Sayangnya, banyak di antara orang Han yang mabok kesenangan dan kemuliaan, tidak segan-segan untuk membantu orang-orang Mancu, memperkuat pemerin-tah penjajah.
"Sim-ko, lihat.... dia terluka lagi. Apakah kita harus membiarkan seorang gagah terbunuh begi-tu saja oleh gerombolan anjing itu?"
Sim Houw melihat betapa tubuh Lie Tek San terhuyung karena sebatang tombak di tangan seorang perajurit telah mengenai punggungnya. Dia masih mampu melindungi punggung itu dengan sin-kang, namun mata tombak itu sudah terlanjur melukainya dan masuk setengah jari dalamnya. Dia membalik dan dengan tendangan kilat dia merobohkan perajurit itu, mencabut tombaknya dan melontarkan tombak itu ke depan, menyerang si kumis tebal.
"Tranggg....!" Si kumis tebal menangkis dan tombak itu melesat ke samping, mengenai dada seorang perajurit sehingga perajurit itupun roboh berkelojotan!
"Mari kita bantu dia!" Akhirnya Sim Houw mengambil keputusan sedangkan Bi Lan yang sejak tadi sudah merasa gatal tangan akan tetapi belum mau mencampuri perkelahian sebelum Sim Houw menyetujuinya, begitu mendengar ucapan ini langsung saja meloncat ke depan dan melayang naik ke atas Tembok Besar. Karena ia maklum betapa lihainya Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho) yang mengeroyok Lie Tek San, sambil meloncat Bi Lan sudah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
581 mencabut pedang Ban-tok-kiam dan iapun mengamuk. Begitu pedangnya berke-lebat, empat lima batang senjata para pengeroyok patah-patah dan kakinya yang terayun ke kanan kiri merobohkan empat lima orang pengeroyok. Kemudian Bi Lan menyerbu lima orang
pemimpin pasukan yang mulai mendesak Lie Tek San dengan hebatnya.
"Lan-moi, jangan bunuh orang!" Sim Houw masih mengingatkan Bi Lan dan gadis inipun ingat bahwa ia memegang Ban-tok-kiam dan tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan iapun naik ke situ bukan untuk membunuh orang. Ia tidak pernah bermusuhan dengan anak buah pasukan itu ataupun lima orang perwira yang mengeroyok Lie Tek San. Ia naik hanya untuk menyelamatkan pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.
"Larikan dia, toako, biar aku yang menahan mereka!" teriaknya dan pedangnya diputar menyerang lima orang itu.
Huang-ho Ngo-liong terkejut sekali melihat munculnya seorang gadis yang memutar sebatang pedang yang mengandung hawa yang mengerikan, apa lagi melihat betapa dengan mudahnya gadis itu meroboh-kan beberapa orang perajurit. Juga kemunculan gadis ini disusul munculnya seorang laki-laki yang dengan tangan kosong merampasi senjata para perajurit, dan merobohkan banyak perajurit hanya dengan dorong-an tangan yang nampaknya tidak menyentuh lawan! Mereka lalu bersatu menyambut gadis berpedang yang menyerang mereka.
Terdengar bunyi nyaring dan lima orang itu terkejut bukan main. Dua batang golok di antara mereka patah menjadi dua, sedangkan tiga yang lain merasa betapa telapak tangan mereka panas seperti dibakar oleh gagang golok mereka sendiri! Ketika mereka meloncat ke belakang, Sim Houw lalu meloncat ke depan, menyambar tangan Lie Tek San yang masih terhuyung dan agaknya nanar karena luka-lukanya.
"Lie-enghiong, mari kita pergi saja!" Sim Houw menariknya dan membantunya meloncat turun dari tembok. Lie Tek San maklum bahwa dalam keadaan luka-luka itu, melanjutkan perkelahian berarti bunuh diri. Kini muncul dua orang yang menolongnya, maka diapun tidak banyak cakap, lalu membiarkan dirinya ditarik dan diajak lari oleh laki-laki tampan yang tangannya lembut namun mengandung tenaga besar itu.Sementara itu, Bi Lan memutar pedangnya melin-dungi dari belakang. Huang-ho Ngo-liong berteriak memberi aba-aba dan mereka sendiripun lalu melaku-kan pengejaran, namun sinar pedang Ban-tok-kiam membuat mereka bergidik dan gentar. Sementara itu, Lie Tek San yang melihat betapa gadis itu memutar pedang yang mengandung sinar menyilaukan dan ha-wa yang mengerikan, terkejut dan kagum bukan main.
Akhirnya lima orang Huang-ho Ngo-liong tidak melanjutkan pengejarannya karena selain mereka sendiri jerih menghadapi pedang di tangan Bi Lan, juga anak buah mereka sudah merasa gentar dan ha-nya melakukan pengejaran dari jauh dengan ragu-ragu saja. Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca menjadi gelap.
"Sebaiknya kita berhenti dulu untuk mengobati luka-lukamu, Lie-enghiong," kata Sim Houw ketika mereka melihat bahwa pasukan itu tidak mengejar lagi dan mereka sudah tiba agak jauh dari tempat itu di kaki sebuah bukit.
Mereka berhenti dan Sim Houw cepat mengelu-arkan obat luka dan mengobati luka-luka di pung-gung, pundak dan paha orang gagah itu. Biarpun luka-luka itu terasa nyeri dan perih, namun Lie Tek San sama sekali tidak mengeluh ketika Sim Houw merawatnya. Di bawah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
582 sinar api unggun yang dibuat Bi Lan, mereka bercakap-cakap sambil mengobati luka-luka itu.
"Siapakah ji-wi dan bagaimana dapat mengenal-ku?" tanya Lie Tek San, memandang gadis dan orang muda itu bergantian dengan sinar mata kagum.
"Maafkan kami, terus terang saja kami sudah sejak engkau dikeroyok gerombolan serigala itu telah mengintaimu, Lie-enghiong. Kami sedang melakukan perjalanan dan kemalaman di sini, lalu kami mende-ngar suara serigala menyalak-nyalak. Kami datang dan melihat engkau dikeroyok. Kami tidak memban-tu karena engkau dapat membasmi serigala-serigala itu.
Kemudian, kami melihat munculnya lima orang itu yang menyebut namamu. Namamu
sebagai seorang pejuang tokoh Siauw-lim-pai telah sering kami de-ngar."
"Akan tetapi, ji-wi (kalian berdua) memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku, dan pedang pusaka nona ini.... hemm, sungguh luar biasa. Siapakah ji-wi?"
"Nama saya Sim Houw...."
"Ahhh....! Apakah pendekar yang baru muncul dengan julukan Suling Naga" Aih benar. aku dapat melihat suling di ikat pinggangmu. Sung-guh mengagumkan sekali, Sim-taihiap yang masih muda sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw!"
Sim Houw tersenyum. "Lie-enghiong terlalu memuji. Usiamu mungkin hanya beberapa tahun saja lebih tua dari pada usiaku, dan engkau sudah mem-buat nama besar dalam perjuangan."
"Dan siapakah nona yang gagah perkasa ini?" tanya Lie Tek San, girang bahwa dia dapat berke-nalan dengan seorang pendekar yang mulai terkenal dengan julukan Suling Naga.
"Lie-enghiong, nama saya Can Bi Lan dan saya tidaklah begitu terkenal seperti Sim-toako,"
kata Bi Lan tersenyum. "Akan tetapi.... ilmu kepandaian nona he-bat, dan terutama pedang itu. Apakah nama pedang pusakamu itu, nona Can?"
Karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar dan pejuang ternama, Bi Lan tidak ragu-ragu untuk memberi keterangan yang sebenarnya. "pedang ini adalah Ban-tok-kiam...."
"Wahhh....! Pernah aku mendengar dari para suhu di kuil Siauw-lim-si bahwa Ban-tok-kiam adalah sebuah di antara pusaka dari Istana Gurun Pasir! Benarkah pusaka ini milik locianpwe Pende-kar Naga Sakti Gurun Pasir seperti yang pernah kudengar seperti dongeng dari para suhu di kuil?" tanya Lie Tek San girang.
Bi Lan mengangguk. "Pusaka ini milik isteri pendekar itu yang kebetulan sekali adalah suboku dan beliau meminjamkan pusaka ini kepadaku. Seka-rang kami sedang menuju ke sana untuk mengemba-likan pusaka ini."
Mendengar ini, kembali jagoan Siauw-lim-pai terkejut dan girang sekali. Dia memandang wajah
gadis itu penuh kagum, kemudian menatap wajah Sim Houw dan menggeleng-geleng
kepalanya. "Ya Tuhan, sungguh tidak kusangka bahwa malam ini aku dapat bertemu dengan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
583 orang-orang muda yang sakti! Sungguh aku merasa amat gembira dan ter-hormat sekali!"
"Ah, aku hanya menjadi murid suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir selama satu tahun saja," kata Bi Lan merendah.
"Dan kami yang merasa amat kagum, girang dan terhormat telah dapat berkenalan dengan seorang pejuang perkasa. Nama Lie Tek San sudah mengge-tarkan kolong langit dan kami merasa kagum bukan main," kata Sim Houw dengan suara sungguh-sung-guh.
Tiba-tiba Lie Tek San memandang tajam dan bertanya, "Benarkah Sim-taihiap kagum terhadap para pejuang?"
"Mengapa tidak" Bagi kami para pejuang adalah pendekar-pendekar yang mempergunakan ilmunya untuk kebaikan."
Orang gagah itu mengerutkan alisnya. "Hanya sebegitu pengertian pejuang bagi Sim-taihiap?"
Tiba-tiba Sim Houw menarik tangan Lie Tek San, dan bersama Bi Lan dia sudah mengajak orang gagah itu melompat menjauhi api unggun, bahkan Bi Lan menggunakan kakinya menendang tumpukan kayu terbakar itu sehingga cerei-berai dan padam. Pada saat mereka berlompatan itu, terdengar suara berde-sing dan banyak sekali anak panah meluncur dan menyerang ke tempat di mana mereka tadi duduk. Dan serangan anak panah ini disusul teriakan-teriak-an banyak orang dan ternyata tempat itu telah dike-pung oleh pasukan pemerintah.
"Tangkap pemberontak-pemberontak hina!" ter-dengar bentakan nyaring dan suara ini penuh wibawa.
Ketika tiga orang itu memandang, ternyata ada belasan orang perwira, dipimpin oleh seorang pangli-ma brewokan tinggi besar yang tadi mengeluarkan suara bentakan itu, sedangkan di luar kepungan me-reka terdapat pula puluhan orang pasukan yang bersenjata lengkap!
Obor-obor segera bernyala dipegang oleh banyak perajurit sehingga tempat yang terkepung itu kini menjadi terang dan nampak jelas wajah-wajah tiga orang yang dikepung itu, Dan kini Sim Houw dan Bi Lan juga dapat melihat wajah para perwira dan pa-nglima itu, dan mereka mengenal pula bahwa yang memimpin pasukan ini adalah Coa-ciangkun, perwira tinggi yang pernah mereka jumpai ketika mereka bersama para pendekar lainnya membasmi komplot-an Sai-cu Lama dan Bhok Gun! Coa-ciangkun inilah yang dulu memimpin pasukan pemerintah yang akan membantu Bhok Gun dan kawan-kawannya, akan tetapi oleh pendekar Kao Cin Liong, bekas seorang panglima pemerintah, Coa-ciangkun dibuat tidak ber-daya sehingga dia tidak berani campur tangan dalam bentrokan antara dua kelompok kang-ouw itu. Dan kini, Coa ciangkun yang memimpin pasukan menge-jar-ngejar Lie Tek San dan telah mengurung mereka bertiga!
Sementara itu, agaknya Coa-ciangkun juga menge-nal Sim Houw dan Bi Lan, karena dia berkata dengan lantang, "Ahhh, kiranya pemberontak Lie Tek San bersekutu dengan Pendekar Suling Naga dan gadis ini.... hemmm, bukankah engkau gadis yang di-katakan sumoi dari nona Ciong Siu Kwi, murid dari Sam Kwi, yang telah berkhianat itu" Bagus! Kira-nya kini para pendekar dan juga murid datuk sesat telah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 11 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Kisah Sepasang Rajawali 15
^