Pencarian

Gajahmada 1

Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 1


Gajahmada iii Gajahmada Langit Kresna Hariadi TIGA SERANGKAI SOLO iv Gajahmada Gajahmada Langit Kresna Hariadi Editor: Sukini Desain sampul: Hapsoro Ardianto
Penata letak isi: Nugroho Dwisantoso
Cetakan pertama: 2004 Cetakan kedua: 2005 Cetakan ketiga: 2006 Cetakan keempat: 2006 Penerbit Tiga Serangkai Jln. Dr. Supomo 23 Solo Anggota IKAPI Tel. 62-271-714344, Fax. 62-271-713607
http:// www.tigaserangkai.co.id
e-mail: tspm@tigaserangkai.co.id
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hariadi, Langit Kresna
Gajahmada/Langit Kresna Hariadi" Cet. IV " Solo Tiga Serangkai, 2006
x, 582 hlm. ; 21 cm ISBN 979"668"558"2
1. Fiksi I. Judul ?Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved
Dicetak oleh PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Gajahmada v
Kata Pengantar Penerbit Sejarah adalah guru kehidupan. Sosoknya yang usang justru kerap memberi ilham pencerahan. Pembacaan atas sejarah dapat mempertemukan manusia dengan segenap kearifan. Pada titik paling spektakuler, sejarah yang terangkum dalam karya Ilahiah bernama kitab suci, bahkan mampu mengantarkan manusia tunduk di haribaan Tuhannya atas nama keimanan.
Fiksi, sebagai karya seni boleh saja lahir dan besar dari ranah imajinasi. Akan tetapi, arti penting karya fiksi bagi pembentukan dan pelestarian peradaban tidak dapat dikecilkan hanya karena ia menyandang label sebagai buah imajinasi.
Imajinasi dalam novel-novel Jules Verne mampu membimbing ilmuwan semacam J.D. Watson menemukan DNA, Auguste Pichard menemukan lampu neon. Penemuan-penemuan lain seperti balon udara, kapal selam nuklir, hujan buatan, dan rudal, sedikit banyak berutang pada imajinasi Verne.
Keteguhan pada komitmen-komitmen moral yang kemudian diekspresikan melalui karya fiksi jualah yang membuat orang-orang semacam Pramudya Ananta Toer, Gao Xingjian, dan Boris Pasternak tergusur dari kesempatan menjalani hidup secara wajar.
Atas nama karya fiksi tokoh-tokoh ini harus rela hidupnya dinistakan dengan segala kenelangsaannya.
vi Gajahmada Sejarah dan fiksi, dua hal besar, penting, kadang ekstrem, bahkan tidak masuk akal. Lantas, kemungkinan seperti apa yang bakal lahir dari sintesis dua hal dahsyat ini" Pasti, bukan hal yang remeh-temeh, apalagi kosong.
Gajahmada dan Majapahit adalah ikon yang akan selalu hadir dalam pentas sejarah panjang perjalanan bangsa ini. Hanya, barangkali tidak terlalu banyak yang mengetahui bahwa di balik dua nama besar ini tersimpan kisah amat memesona, penuh gejolak, dan menggugah.
Fakta sejarah inilah yang ditautkan dengan fiksi sehingga lahir sebuah epos berjudul Gajahmada. Eksplorasi kesejarahan ini akan mengabarkan kepada Anda bahwa nama besar Majapahit bukan hanya terbangun karena luas wilayahnya, ketangguhan Gajahmada, pemerintahan Raden Wijaya, atau Jayanegara. Di balik segala kemegahan itu ada pasukan elite bernama Bhayangkara yang sumbangsihnya membuat kita mengenal Majapahit dengan segala kebesarannya seperti sekarang ini.
Semoga karya ini mampu menjadi "teman" bagi Anda yang ingin melakukan pembacaan sejarah dan menghikmati kearifan di dalamnya karena hidup manusia mestinya adalah sebuah hidup yang menyejarah.
Tiga Serangkai Gajahmada vii Mengais Kepingan Sejarah Mempelajari sejarah dengan tidak sedang belajar sejarah, itulah yang Anda lakukan dengan membaca buku tebal ini yang oleh sang pengarang tidak diniatkan menjadi buku sejarah. Ini hanya novel, epos sejarah yang berkesanggupan menjebak benak Anda untuk tidak dapat menghindarinya. Lembar demi lembar bagai bahasa gambar dalam film, yang bertutur amat rinci bagaimana silsilah raja-raja masa silam menjadikan Anda paham tidak dengan niat berusaha memahami, apalagi menghafalkan. Kelebihan luar biasa yang dimiliki sang pengarang yang terefleksikan dalam bagaimana cara menghadirkan sosok Gajahmada dan sepak terjangnya, menghadirkan pasukan kecil Bhayangkara dengan segala keuletannya, sekaligus mengajak kita berwisata kembali ke masa lampau. Sungguh, cara pengarang dalam menghadirkan kembali sebuah istana yang bahkan tak tersisa satu pilar pun penyangganya benar-benar membuat saya miris.
Sejarah, adalah sebuah wilayah yang dari dimensi waktu berada di bagian lalu. Saya pernah memperoleh sebuah pendapat dari salah seorang anak saya tentang naifnya bangsa kita"ketika negara maju seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa sibuk dengan eksplorasi terhadap masa depan, sibuk membuat kalkulasi serta ramalan dengan jebolnya lapisan ozon, bagaimana membuat rancangan terhadap kesejahteraan umat manusia pada masa datang supaya anak cucu tidak menjadi penyangga dosa generasi lapis sebelumnya, sibuk mengeksplorasi luar angkasa dan mencari viii
Gajahmada kemungkinan bertempat tinggal di planet lain selain bumi"kita justru sibuk dan terkagum-kagum dengan kebesaran Sriwijaya dan Majapahit. Negara lain sibuk mengelola masa depan sementara bangsa kita sibuk terlena mengagumi kebesaran masa silam yang telah terbenam di wilayah sejarah.
Saya memiliki jawaban untuk pertanyaan itu, bahwa pada hakikatnya eksplorasi total terhadap ilmu pengetahuan adalah dalam rangka mengungkap rahasianya. Sejauh kegiatan ekplorasi terhadap ilmu pengetahuan itu tak lain adalah dalam rangka menguak habis segala rahasia dan misteri penciptaan dunia dari awal dan perjalanan panjangnya, apa yang dilakukan itu di antaranya dengan mengais kepingan-kepingan sejarah. Tentu mempelajari sejarah bukan dalam hubungan batin emosional terhadap kebesaran masa lalu, tetapi dari mempelajarinya merupakan salah satu sumbangsih terhadap perjalanan kehidupan manusia, utamanya penghuni ranah kepulauan Nusantara.
Sebagian pengetahuan yang kita butuhkan itu ada di buku ini, untaian sejarah yang tersaji dalam bentuk novel epos sejarah.
Sepanjang karier perjalanan saya di militer, saya salut dengan penerjemahan yang dilakukan oleh pengarang dalam mengupas bentuk dan bagaimana perang di masa silam. Istilah-istilah, perang brubuh, gelar perang Cakrabyuha, Diradameta, dan Supit Urang rasanya masih relevan dikaji melalui sudut dan cara pandang ilmu militer modern.
Saya menyarankan agar Anda juga membaca.
Brigjen (purnawirawan) H. M. Lintang Waluyo Gajahmada ix
saya dedikasikan kisah ini
untuk seseorang yang kepada beliau
saya banyak belajar guru yang dengannya saya tak pernah
berjumpa yang karya-karyanya amat menyusup
memengaruhi jiwa saya, SH Mintardja Gajahmada 1 1 Perjalanan sejarah berlangsung sangat panjang dan tak diketahui di mana ujungnya. Ada dua wangsa yang tercatat dan keberadaan mereka ditandai dengan megah dalam wujud candi Borobudur di arah barat Gunung Merapi dan candi Jonggrang di Prambanan di arah selatan gunung itu pula. Garis keturunan Syailendra dan garis keturunan Sanjaya silih berganti menyelenggarakan pemerintahan. Agama Hindu dan Buddha marak mewarnai kehidupan segenap rakyatnya. Hukum ditegakkan, negara dalam keadaan gemah ripah loh jinawi.
Dari prasasti Balitung ditulis bahwa Medang Ri Pohpitu atau Medang di Pohpitu, Raja Mataram yang pertama adalah Sanjaya, disusul oleh Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watu Humalang, dan Balitung. Pada prasasti Canggal tertulis bahwa pada tahun Saka yang telah lalu dengan ditandai angka Caka Cruti Indria Rasa, pada hari Senin, hari baik, tanggal tiga belas bagian terang bulan Kartika, sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda di bukit yang bernama Stirangga untuk keselamatan rakyat.
Perjalanan waktu mengubah segalanya. Pemerintahan di tanah Jawa Dwipa bergeser ke arah timur, ada Isyana yang meninggalkan jejak amat jelas bersamaan dengan Warmadewa di Bali dan Sriwijaya di Sumatra. Sejak berkuasanya Sindok, Jawa bagian timur menggantikan Jawa wilayah tengah di atas panggung sejarah. Empu Sindok dan keturunannya banyak meninggalkan prasasti, berturut-turut sampai pada 2
Gajahmada garis keturunan berikutnya, Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatungga-dewa, yang memerintah dengan aman dan damai negara Medang Kamulan.
Manakala Sri Dharmawangsa pralaya, Airlangga berhasil meloloskan diri serta membangun kembali reruntuhan pemerintahan. Tahun 1019, atau dalam sengkalan Gatra Candra Maletik Ing Sasadara, oleh para pendeta Buddha, Siwa, dan Hindu, Airlangga dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangsa. Pemerintahan Airlangga benar-benar memberikan air kehidupan bagi segenap rakyatnya. Namun, sebuah kekeliruan telah dilakukan oleh Airlangga yang mengesampingkan persatuan dan kesatuan dengan membelah kerajaan menjadi dua. Sri Sanggramawijaya, sang pewaris takhta yang ternyata tidak bersedia dinobatkan menjadi raja, mendorong Airlangga untuk bertindak adil atas dua anaknya yang lain. Kahuripan dibelah menjadi Jenggala yang beribu kota di Kahuripan dan Panjalu yang beribu kota di Daha.
Sebagaimana terlihat dari jejak-jejaknya, Jenggala tidak mampu berkembang menjadi negara yang besar. Jenggala lenyap dari percaturan sejarah, sebaliknya Panjalu atau Kediri masih meninggalkan jejak kemegahannya.
Berturut-turut Sri Jayawarsa Digdaya Castraprabu, dilanjutkan oleh Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuawanatustikirana Sarwaniwaryawirya Parakramadigdayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Candrakapala berwujud tengkorak dengan taring.
Selanjutnya, pemerintahan Prabu Jayabhaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Dharmmecwara Madhusudanawataranindhita Suhrtsingha Parakramma Digjayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Narasingha. Jayabhaya digantikan Sarwecwara, selanjutnya digantikan Sri Aryyeccwara yang menggunakan Ganeca sebagai lambang kekuasaan. Ketika Aryyeccwara surut digantikan Sri Gandra yang bergelar Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handhabuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Sri Gandra.
Pemerintahan Sri Gandra berakhir, dilanjutkan oleh Raja Crngga yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarwwecwara Triwikramawataranindita Gajahmada 3
Crnggalancana Digwijayotunggadewa, yang menggunakan Changka atau kerang bersayap sebagai lambang kerajaan.
Raja Kediri terakhir, Sri Kertajaya, menggunakan lambang Garudhamuka sebagaimana Airlangga, leluhurnya. Akan tetapi, Sri Kertajaya menganggap dirinya sebagai penjelmaan dewa dan meminta kepada para Brahmana, pendeta Siwa dan Buddha untuk menyembahnya.
Para pemuka agama tak bisa menerima perlakuan itu dan merestui Ken Arok, maling kecil dari Karautan untuk melakukan makar setelah dengan gemilang berandalan ini merampok kekuasaan Tumapel melalui kelicikan otaknya.
Nasib Kertajaya berakhir ketika Ken Arok mengalahkannya dalam pertempuran yang amat berdarah di Ganter. Sejak itu garis keturunan Ken Arok mulai berkibar sekaligus banyak diwarnai peristiwa berdarah.
Keris Empu Gandring berbicara atas nama dendam. Berturut-turut mati tertikam oleh keris dengan pamor berbau amarah itu: Empu Gandring sang pencipta keris itu sendiri, disusul Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel yang beristrikan Sang Ardhanareswari yang cantik jelita, Ken Dedes. Selanjutnya, mati menyedihkan Kebo Ijo yang menjadi korban fitnah dan kelicikan Ken Arok ketika mengangkat diri sendiri menjadi Akuwu di Tumapel dan nantinya menjadi raja pertama di Singasari bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi. Ken Arok menjadi korban keganasan keris yang sama, ia harus menggeliat sekarat dibunuh Batil Pengalasan utusan Anusapati. Batil Pengalasan membayar dengan nyawanya karena Anusapati tidak ingin rahasianya terbongkar, disusul kemudian oleh kematian Anusapati dalam permainan adu jago melalui tikaman yang tidak terduga yang dilakukan oleh Tohjaya, anak Umang. Terakhir, Tohjaya harus membayarnya melalui kematian yang hina, Raja Singasari ini dibunuh oleh pengangkat tandunya sendiri setelah Singasari diterjang banjir bandang akibat gempuran gabungan kekuatan Ranggawuni, anak Anusapati dan Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong A Teleng.
Pemerintahan yang terjadi banyak diwarnai dengan perebutan kekuasaan dan persaingan. Antara garis keturunan Ken Dedes dan Ken Umang saling mengintip celah untuk saling menjatuhkan, serta
4 Gajahmada kemungkinan Kediri bakal bangkit kembali dan menusuk dari arah belakang.
Kertanegara lengah. Ketika segenap prajurit dia kirim ke Pamalayu, bagaikan banjir bandang prajurit Kediri menyerang Singasari. Pasukan yang ada tak sanggup membendung serbuan pasukan Jayakatwang.
Raden Wijaya, anak Lembu Tal, cucu Mahisa Cempaka yang menjadi menantu Kertanegara mencoba menyusun kembali puing-puing pilar pemerintahan yang runtuh. Di bumi Tarik, Raden Wijaya memulai babat hutan, dan dinamailah tempat itu Majapahit hanya oleh sebuah alasan didapat buah maja yang terasa pahit. Majapahit juga berarti Wilwatikta.
Atas dukungan para pendeta, Brahmana Buddha dan Syiwa, Raden Wijaya naik takhta bergelar Kertarajasa Jayawardhana.
Majapahit tumbuh dan berkembang, tetapi tetap saja diwarnai dengan banyak makar yang berawal dari ketidakpuasan. Ranggalawe yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa bukan ia yang diangkat menjadi Mahapatih memilih mengangkat senjata. Kidung Ranggalawe bertutur bagaimana Kebo Anabrang berhasil membunuh Ranggalawe.
Dalam kidung Sorandaka diceritakan pula bagaimana Kebo Anabrang mampu meredam pemberontakan Sora. Nambi dan ayahnya mengangkat senjata dengan membuat beteng di Pajarakan, tetapi Pajarakan dan Lumajang dapat digilas. Nambi dan segenap keluarganya ditumpas.
Di Lasem, Ra Semi juga mengangkat senjata memerdekakan diri, mencoba meniru yang dilakukan Ken Arok terhadap Kertajaya di Kediri.
Hingga akhirnya tibalah kini, para Rakrian Dharma Putra Winehsuka melakukan makar.
Gajahmada 5 2 Malam yang senyap menyergap istana Majapahit. Beberapa buah obor telah dinyalakan dan mencoba menerangi sudut-sudut istana.
Beberapa prajurit terlihat berjalan mondar-mandir di regol dan halaman, beberapa yang lain duduk termangu menatap kabut yang turun. Di langit, bulan purnama timbul tenggelam seperti berada di wilayah antara ada dan tiada. Tebalnya kabut akhirnya memberangus gemilang cahayanya menjadi adukan warna putih yang penuh oleh gumpalan teka-teki tak berjawab, dari mana asal kabut itu juga sebagai pertanda bakal ada kejadian apa.
Udara yang dingin memberangus siapa pun untuk menggigil.
Seorang perempuan tua merasa cemas minyak kelentik yang dibuatnya seharian akan beku di musim bediding yang menyengat itu. Sebenarnya soal minyak kelentik terbuat dari santan kelapa yang membeku tidaklah masalah karena bila hawa panas menjamahnya, keadaan beku itu akan mencair lagi. Sesungguhnya, ibu kota Majapahit jarang-jarang disergap kabut, tetapi kali ini benar-benar bagai sebuah keajaiban. Beberapa prajurit bahkan menjadikan kabut itu sebagai tontonan. Makin lama kabut yang turun makin tebal merampok jarak pandang. Empat buah obor besar di pendapa yang menyala karena minyak lemak terlihat amat kabur, bahkan makin tidak terlihat kecuali cahaya temaram yang bergelombang. Angin yang berembus dengan halimun uleng-ulengan akhirnya membunuh obor tanpa meninggalkan rasa kasihan. Satu per satu cahaya penerang istana itu padam. Cahaya di langit yang disebarkan bulan sama sekali tidak membantu.
Udara yang turun terasa dingin menggigit tulang. Rupanya angin telah berembus salah kaprah. Kabut yang semula mengemuli puncak Gunung Arjuno, Gunung Welirang, dan Gunung Anjasmoro bergerak ke arah utara dan menyebar ke segenap sudut kotaraja Majapahit, menyebar dan menyergap wilayah di sekitarnya. Angin menderu-deru 6
Gajahmada tanpa hujan itu menumbuhkan tanda tanya karena gejala alam yang demikian terasa aneh. Jarang sekali angin berembus keras tanpa membawa butiran hujan, apalagi kabut yang teraduk bagai memindahkan siapa pun yang menyaksikan dari dunia nyata menuju dunia hantu atau dunia antah berantah. Berada di dalamnya, kaki bagai tidak menginjak tanah.
Istana Majapahit yang megah, yang dibangun dengan dinding tebal berbatu berawal dari sebuah desa bernama Tarik, berada pada garis lurus ke selatan dari Pelabuhan Sungai juga Benteng Canggu yang terletak di arah selatan pedukuhan Majakerta. Salah satu pintu gerbangnya yang menjulang gagah disebut Candi Wringin Lawang. Siapa pun yang mengerjakan penyelesaian puncak pintu gerbang itu atau apabila orang memanjat tingginya pohon kelapa, dari tempat itu akan tampak beberapa pohon cemara yang menandai taman makam Antahpura berada, di sana, di tempat yang orang juga menyebutnya Trowulan terletak sebuah segaran tempat para ratu dan putri istana membasahi diri dalam acara lelumban.
Istana Majapahit menghadap ke arah barat dengan alun-alun berdinding rangkap menjadikan adanya alun-alun dalam dan luar. Luas alun-alun dengan dinding menjulang setinggi rumah dirasa masih belum cukup dan dipandang perlu membangun alun-alun luar serta melingkarinya dengan pagar dinding batu yang menjulang lebih tinggi.
Pintu gerbangnya yang amat megah ditandai nama Purawaktra.
Sepanjang jalan yang membelah alun-alun bagian dalam ditanami pohon tanjung berselang-seling dengan pohon bramastana menjadikan istana yang lazim disebut Bale Manguntur atau Tatag Rambat itu terasa sejuk dan sangat asri.
Di Bale Manguntur inilah dilaksanakan pasewakan dan pisowanan ageng sekaligus menjadi bagian muka istana raja. Pasewakan dan pisowanan biasanya diikuti oleh segenap kesatria, para pendeta, pujangga serta dua orang dharmadyaksa dengan tujuh pembantu yang selalu menyertainya.
Bagian utara istana diperuntukkan para pujangga dan menteri, bagian timur tempat duduk para pendeta Siwa, semuanya menghadap ke sebuah Gajahmada 7
arah berupa rumah kecil tempat duduk raja yang biasa disebut Balai Witana.
Dari Balai Witana, bila pandangan ditebarkan melintas ke depan terlihat barisan pohon asoka yang sedang mekar bunganya berwarna merah dan putih sangat indah. Pohon asoka berselang-seling dengan pohon tanjung dan pohon bramastana juga melingkupi bangunan memanjang bernama Panca Ri Wilwatikta. Bila tatapan diarahkan menembus dinding terdapat gedung yang baru saja selesai dibangun ditandai nama Wisma Dharmadyaksa Kasaiwan Hyang Brahmaraja.
Candi Bajang Ratu meski bernama candi, itu sebutan untuk pintu gerbang kota sisi selatan sebagaimana Candi Wringin Lawang adalah sebutan untuk pintu gerbang di arah utara yang pintunya terbuat dari terali baja. Candi Bajang Ratu merupakan bekas pintu utama istana yang juga disebut Wijil Kapindho, berseberangan letak dengan pintu gerbang berikutnya yang disebut Candi Tikus karena banyak sekali ditemukan tikus di tempat itu dan dinamailah gerbang itu Candi Tikus.
Lebih ke utara lagi, terdapat sebuah lapangan luas yang sering dimanfaatkan untuk berlatih perang, letaknya tak jauh dari Jati Pasar.
Lapangan itu dinamai Bubat yang setiap tahun di bulan Caitra selalu diadakan perayaan besar. Bagai pasar tiban, banyak orang mengunjungi pasar itu untuk berbelanja atau menghibur diri. Luas lapangan membentang ke timur setengah krosa dan ke utara setengah krosa. Cukup memeras keringat untuk berlari mengelilingi dalam geladi perang. Di tanah lapang yang luas ini sering juga digunakan berlatih watangan sebagaimana alun-alun bagian dalam di depan Bale Manguntur juga dimanfaatkan berlatih oleh para prajurit untuk ngembat watang, bahkan berlatih ilmu perang ngrabasa mungsuh.
Kabut yang turun tebal itu juga menjarah lapangan Bubat. Kabut juga dengan kejam membungkus wilayah di luar batas dinding kotaraja.
Para prajurit bersiaga penuh. Ke sudut-sudut istana, Gajahmada"yang berpangkat bekel, tetapi memegang kendali penuh atas pasukan kawal istana yang memiliki nama menggetarkan, Bhayangkara"menyebar segenap prajuritnya untuk berada dalam kesiagaan tertinggi. Prajurit 8
Gajahmada yang menjadi bagian dari pasukan khusus dengan derajat kemampuan melebihi prajurit dari kesatuan yang lain benar-benar prajurit yang terlatih, trengginas dalam bertindak, cukat terampil dalam mengambil langkah.
Kabut itu terbawa angin deras. Angin deras menyebabkan kabut menghilang, tetapi muncul lagi karena hawa dingin yang menggigit tulang.
Angin deras yang membawa udara dingin menggigit itu pula yang menyebabkan para istri dengan ketat memeluk suaminya, atau anak yang menyusup mencari perlindungan di balik dekapan ibunya. Para orang tua yang menganggap yang terjadi itu sebagai sebuah keganjilan segera keluar untuk mencermati.
Di sudut sebuah perondan tiga lelaki terheran-heran.
"Apa ini?" bertanya salah seorang di antara mereka.
"Angin membawa kabut!" jawab seorang di antara mereka.
"Ya aku tahu," ucap yang pertama, "maksudku, kabut ini sangat aneh. Kabut ini terlalu tebal dan tidak wajar. Aku bahkan tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas."
"Itu karena matamu lamur," jawab orang di sebelahnya.
Yang seorang lagi yang pendiam ikut bicara.
"Tidak ada yang aneh dengan kabut ini. Hanya kabut biasa dan hanya gejala alam biasa. Hanya kebetulan sangat tebal. Di masa mudaku, di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing aku sering berhadapan dengan keadaan seperti ini."
Laki-laki yang mengaku pernah tinggal di kaki Gunung Sindoro itu menguap.
"Aku mengantuk," ucapnya. "Aku mau tidur."
Laki-laki itu beranjak naik ke perondan dan segera membungkus diri dengan kain sarung kumal yang dimilikinya. Akan tetapi, orang tua biasanya menggunakan ngelmu titen, kemampuan untuk menandai sebuah peristiwa. Ki Wongso Banar dan Ki Dipo Rumi, dua orang penduduk biasa yang tinggal di luar dinding kotaraja Majapahit itu memiliki wawasan Gajahmada 9
yang jarang dimiliki oleh orang lain. Apabila malam tiba, apalagi langit tampak jernih, mereka sering kali memerhatikan bintang-bintang di langit.
Kedudukan bintang yang juga disebut kartika bagi mereka memiliki makna. Itulah sebabnya kemunculan bintang kemukus dengan ekor yang memanjang dan terlihat benderang memberi kecemasan di hati Ki Wongso Banar dan Dipo Rumi. Apalagi, kini muncul keganjilan. Kabut tebal membungkus kotaraja. Betapa berdebar isi dada orang tua itu.
"Bagaimana menurutmu Adi Dipo Rumi?" bertanya laki-laki tua dengan rambut yang sudah memutih itu. "Apakah menurutmu apa yang baru saja kita lihat bukan suatu hal yang amat mendebarkan?"
Ki Dipo Rumi dan Wongso Banar rupanya memiliki perbendaharaan pengetahuan yang langka yang tidak dimiliki orang pada umumnya. Bahwa kemunculan bintang kemukus merupakan isyarat yang tidak baik, hal itu sudah diketahui oleh orang banyak. Namun, bahwa munculnya kabut dengan angin deras tak berhujan, hanya orang tertentu yang menandai kejadian aneh seperti itu. Apalagi, sehari sebelumnya ketika langit terlihat bersih, tampak bintang kemukus dengan ekornya yang memanjang gemerlapan.
Wirahandaka, seorang pemuda yang menemani kedua orang itu menyimak pembicaraan yang terjadi dengan penuh perhatian. Meski rasa penasarannya terpacu, Wirahandaka berusaha menahan diri untuk tak bertanya.
"Apa yang terjadi ini seperti pengulangan atas apa yang pernah terjadi pada masa silam. Sehari menjelang perang besar yang terjadi antara Tumapel di bawah kendali Ken Arok melawan Kediri di bawah Kertajaya, terjadi keganjilan seperti ini. Kabut tebal dan badai melintas di malam saat langit sedang berhias kemukus, seolah menjadi pertanda khusus akan adanya perang yang meminta banyak korban," berkata Ki Wongso Banar.
"Bukan hanya perang atas Tumapel dan Kediri," tambah Ki Dipo Rumi, "tetapi juga di malam menjelang kehancuran Singasari yang digempur Jayakatwang, kabut tebal menyergap kotaraja Singasari dengan amat pekatnya. Ditandai kemunculan angin deras, pertempuran yang 10
Gajahmada sangat berdarah terjadi di kotaraja Singasari. Kertanegara yang tidak dikelilingi prajuritnya karena dikirim ke Pamalayu digempur Jayakatwang.
Kertanegara pralaya."
Gejala alam seperti itu Ki Dipo Rumi dan Wongso Banar memercayainya.
Wirahandaka atau juga dipanggil Wirandaka akhirnya tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Apakah bisa dipastikan, dengan demikian besok akan terjadi peristiwa besar" Peristiwa apakah itu" Besok negeri ini akan diserbu negara lain atau bagaimana?"
Ki Wongso Banar dan Dipo Rumi saling pandang.
"Apa yang kita bicarakan ini hanyalah ilmu titen, Wirandaka," balas Dipo Rumi. "Bahwa dahulu kala ada beberapa perang besar yang meminta banyak korban nyawa, umumnya ditandai munculnya lintang kemukus. Setelah beberapa hari bintang yang memiliki ekor menyala benderang itu menampakkan diri, pertanda munculnya kabut dengan pusingan angin itu makin mempertegas bakal hadirnya peristiwa itu.
Jika kau bertanya akan terjadi peristiwa apakah besok, aku sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengintip hari esok."
Wirandaka termangu penasaran, "Kalau ternyata besok tidak terjadi apa-apa?"
Wiro Banar memandang Wirandaka dengan tajam.
"Aku yakin besok akan terjadi sesuatu yang luar biasa."
"Ya," Ki Dipo Rumi meyakinkan, "aku juga yakin besok akan terjadi sesuatu. Nah, kaudengar suara apa itu?"
Wirandaka berdesir ketika telinganya menangkap suara melengking menyayat. Suara burung gagak di malam hari benar-benar menimbulkan rasa tidak nyaman di hati siapa pun. Bukan hanya burung gagak, suara burung bence pun ikut membelah malam bersahutan. Apalagi, ketika beberapa ekor anjing menyalak bersahutan beradu keras dan saling mengejek. Seorang bocah amat ketakutan oleh suara anjing itu dan
Gajahmada 11 bersembunyi di sela pelukan ayah dan ibunya. Bagi bocah itu, di luar sana ketika anjing sedang saling menggonggong, sedang ada hantu yang mencuri perhatian anjing-anjing itu. Bukan anjing itu yang membuat bocah itu ketakutan, tetapi lebih karena hantunya, yang matanya melotot akan lepas, lidahnya menjulur terayun-ayun menetes-netes.
Suasana terasa sangat hening. Seiring dengan waktu yang bergerak membelah ke pusat malam, kabut yang membungkus kotaraja Wilwatikta terasa makin pekat. Bahkan, akhirnya Ki Wongso Banar dan Dipo Rumi tidak bisa saling memandang. Obor yang dipegang Wirandaka kehabisan minyak. Minyak yang dibuat dari lemak itu akhirnya tidak bersisa.
"Apakah jika siang datang, keadaan akan tetap seperti ini?" bertanya Wirandaka yang ternyata dilibas rasa cemasnya.
"Tentu tidak. Kautahu jawabnya," balas Ki Wongso Banar.
3 Adalah pada saat itu, ternyata bukan hanya Ki Wongso Banar yang terusik mata hatinya oleh keganjilan yang terjadi dan luar biasa itu.
Penghuni wisma kepatihan terpancing oleh kabut yang melayang menembus bilik pribadinya. Mahapatih Arya Tadah yang menempati wisma kepatihan sudah uzur, bahkan usianya tidak terpaut banyak dengan Raden Wijaya yang setelah naik takhta bergelar Kertarajasa Jayawardhana.
Pengabdian, jasa-jasa, dan kecintaannya yang luar biasa terhadap negara membawa Tadah pada kedudukannya sebagai Mahapatih.
Tadah yang tengah berbaring dalam bilik pribadinya dan memerhatikan keadaan, segera bangkit berdiri. Rasa heran dan takjubnya 12
Gajahmada kian menjadi manakala melihat kabut yang amat pekat seolah menyergap wisma kediamannya.
Seorang prajurit bergegas mendekat.
"Ada apa ini?" bertanya Mahapatih Tadah.
"Kabut Gusti Patih," jawab prajurit itu dengan sigap. "Sebuah keajaiban alam tengah terjadi. Kabut tebal turun menyergap kota."
Tadah termangu. Rupanya Tadah teringat tontonan langka seperti ini pernah disaksikannya sekian tahun yang lalu.
Dengan tertatih Tadah melangkah turun ke halaman. Prajurit itu sigap membantunya. Arya Tadah yang tua menggapaikan tangannya seolah ingin memegang kabut itu, tetapi sebagaimana atas udara, Mahapatih Tadah tidak menangkap apa pun.
Kabut yang turun benar-benar tebal. Bahkan dari tempatnya, Mapatih Tadah tidak berhasil melihat regol depan wisma kepatihan.
Yang terlihat hanya warna putih. Jika Tadah menengadah, tepat di bagian di mana bulan berada, kabut tampak keputih-putihan.
Tiba-tiba Tadah berdesir. Tadah pun tertegun.
"Ada apa, Gusti Patih?" bertanya prajurit muda itu.
"Kaudengar suara itu?" balas Mapatih Arya Tadah.
Prajurit muda itu menyempatkan memerhatikan keadaan dengan lebih cermat dan saksama. Ada suara anjing menggonggong di kejauhan, ada pula suara bence yang melengking menyayat membelah malam.
Namun, baginya anjing yang melolong atau burung bence yang menyayat bukan hal aneh.
Barulah suara yang agak ganjil itu muncul belakangan.
"Burung gagak?" desis prajurit itu.
Terdengar suara burung gagak. Burung kelam yang konon menjadi lambang kematian. Burung gagak mempunyai ketajaman indra luar biasa, setidak-tidaknya burung gagak tahu jika ada orang yang sedang sakit yang akan segera mati. Jika seseorang sakit dan di atap wuwungan Gajahmada 13
hinggap seekor burung gagak, boleh diyakini orang yang sakit itu akan segera mati. Atau, jika burung gagak hadir di sebuah tempat dalam jumlah yang banyak, sangat mungkin di tempat itu nantinya akan terjadi bencana yang akan banyak menelan korban jiwa.
Kabut turun tebal dan terdengar burung gagak yang berteriak-teriak di tengah malam, ditingkah oleh angin menderu. Bukankah angin menderu macam itu akan membungkam burung gagak atau ribuan mulut burung branjangan sekalipun"
"Malam ini memang terjadi kejadian yang nganeh-anehi, Gusti Patih,"
berkata prajurit yang menemaninya.
Arya Tadah mencoba memerhatikan, tetapi kabut tebal menghadang pandangan matanya.
Mapatih Tadah yang telah sampai pada sebuah simpulan berdesir tajam. Mapatih Tadah yang telah banyak mengenyam asam garam kehidupan serta mumpuni dalam membaca tanda-tanda alam, tidak bisa menutupi rasa cemasnya. Arya Tadah menjadi tambah gelisah oleh kenangan terhadap tanda-tanda yang muncul di saat terjadi peristiwa-peristiwa besar. Malam menjelang kematian Ken Dedes misalnya, badai dan kabut tebal bahkan menyapu seluruh negeri. Ribuan bahkan jutaan ekor kunang-kunang beterbangan menjadikan suasana bertambah keruh, membingungkan, dan mengundang cemas siapa pun. Esok harinya, semua orang menemukan jawabnya ketika prajurit berkuda membacakan wara-wara di pasar-pasar dan di tempat-tempat ramai.
Berbeda dengan kematian Ken Dedes yang para dewa di langit menandainya, kematian Umang sama sekali tidak ditandai apa pun.
Bahkan, mayatnya ditemukan membusuk setelah dua hari lewat.
"Bagaimana Gusti Patih?" tanya prajurit itu yang merasa heran pada sikap Mapatih Tadah.
Arya Tadah tidak menjawab. Laki-laki tua itu terus melangkah, bahkan turun ke jalan. Patih Tadah tidak melihat apa pun kecuali tebalnya kabut. Jika kabut itu makin menebal maka besar kemungkinan jarak pandang hanya tinggal selangkah ke depan.
14 Gajahmada "Pergilah ke istana," tiba-tiba Tadah berkata, "panggil Bekel Gajahmada. Suruh dia menghadapku sekarang."
Tanpa banyak bicara prajurit itu segera melaksanakan tugasnya.
Sesaat kemudian terdengar suara kuda berderap meninggalkan wisma kepatihan. Berbeda dengan manusia, kuda tidak begitu mengalami kesulitan meski kabut amat tebal. Dengan indranya yang tajam, kuda itu bahkan seperti memiliki jalannya sendiri seolah tidak memerlukan mata.
Dengan gelisah Arya Tadah menunggu kedatangan Bekel Gajahmada di pendapa wisma kepatihan.
Sementara itu, oleh kabut yang turun, para prajurit pengawal istana justru menjadi sangat waspada. Dalam keadaan yang aneh seperti itu, terlalu mudah bagi pihak yang ingin membuat kekacauan untuk melaksanakan niatnya. Para prajurit segera berloncatan dengan pedang serta tombak terhunus, bahkan anak panah melekat di busurnya, ketika terdengar kuda berderap mendatangi mereka. Namun, prajurit dari wisma kepatihan itu segera mengucapkan kata-kata sandi tertentu yang dimengerti oleh para prajurit pengawal istana.
"Ada apa?" bertanya pimpinan prajurit penjaga regol utama.
"Mahapatih Arya Tadah meminta Bekel Gajahmada untuk menghadap sekarang," jawab prajurit itu tegas.
Bekel Gajahmada yang berdiri tidak jauh dari tempat itu dan tengah mengamati keadaan bergegas mendekat.
"Mahapatih memanggilku?" bertanya Bekel Gajahmada.
"Ya!" jawab prajurit dari wisma kepatihan itu.
"Baik. Aku segera ke sana," jawab Bekel Gajahmada. "Kembalilah lebih dulu, aku akan menyusul karena ada persoalan yang harus aku selesaikan dulu."
Prajurit penghubung dari wisma kepatihan itu segera minta diri meninggalkan halaman istana. Sesaat setelah prajurit itu naik ke atas kudanya, ia tertegun karena di halaman istana itu juga terdengar suara burung gagak yang menyayat. Rupanya tidak hanya seekor karena dari Gajahmada 15
arah yang lain juga terdengar suara lengkingan yang serak tidak nyaman di telinga. Bahkan, seperti ada benang penghubungnya. Dari arah yang lain terdengar lolong anjing yang menyayat. Dari sebuah rumah peternakan, ayam-ayam di kandang ikut riuh menyumbang, menandai keadaan itu dengan suara bersahutan riuh rendah.
Sekali sentak pada tali kekang, kuda yang ditungganginya segera berderap, membawanya kembali ke wisma kepatihan yang tidak terlampau jauh jaraknya.
Bekel Gajahmada adalah seorang pemuda yang bertubuh kekar.
Badan dan pikirannya amat sehat, seorang prajurit muda yang memiliki kelebihan khusus dibanding prajurit yang lain, bukan saja kemampuan bela diri yang dikuasainya, tetapi juga kecerdasan yang bisa dipergunakan untuk menghadapi keadaan rumit sekaligus memecahkannya. Itulah sebabnya meski Gajahmada belum terlampau lama menduduki pangkat bekel, telah mendapatkan kepercayaan untuk memimpin pasukan khusus.
Pasukan yang kecil saja, tetapi memiliki kemampuan luar biasa. Pasukan itu diberi nama Bhayangkara.
Pasukan Bhayangkara adalah pasukan pengawal istana, lapis terakhir yang menjadi tameng hidup bagi raja serta segenap keluarganya. Itu sebabnya, prajurit Bhayangkara disaring dari prajurit pilihan dan digembleng secara khusus. Secara pribadi masing-masing anggota pasukan khusus memiliki kemampuan yang mendebarkan karena daya tahannya dalam menghadapi keadaan sesulit apa pun amat tinggi. Apalagi, perannya sebagai pasukan sandi, tidak ada beteng serapat apa pun yang tidak bisa ditembusnya. Patih Tadah yang memiliki gagasan untuk membentuk pasukan itu telah mensyaratkan kemampuan olah bela diri yang tinggi bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari pasukan itu. Itu sebabnya, setiap anggota pasukan khusus berlatar belakang kemampuan olah kanuragan beragam.
Sebagaimana Mapatih Tadah yang terusik oleh munculnya kabut, Gajahmada juga memerhatikannya dengan saksama.
"Dalam keadaan seperti ini, apabila ada yang memancing di air keruh tentu merepotkan sekali," berkata Bekel Gajahmada pada diri 16
Gajahmada sendiri. Itu sebabnya, Gajahmada meminta kepada segenap anak buahnya untuk meningkatkan kewaspadaan.
Gajahmada meninggalkan halaman istana dengan berjalan kaki.
Begitu Gajahmada keluar dari regol halaman, seolah-olah lenyap begitu saja ditelan oleh tebalnya kabut yang turun. Rupanya kabut yang menyergap kotaraja Majapahit makin pekat sehingga pimpinan prajurit Bhayangkara itu harus mengandalkan pendengaran.
Gajahmada terus melangkah. Dengan diganduli berbagai pertanyaan, Gajahmada melangkah lurus mengambil arah ke wisma kepatihan. Didorong oleh rasa gelisahnya, Bekel Gajahmada mempercepat gerak langkah kakinya. Meski lurus menuju wisma kepatihan, sejatinya Gajahmada harus melintasi alun-alun untuk sebuah keperluan.
Bekel Gajahmada tak bermaksud langsung menemui Patih Arya Tadah karena ada orang yang harus ditemuinya. Siapa orang itu, Gajahmada tidak mengetahuinya. Seorang prajurit yang menjadi bawahannya menyerahkan sebuah surat yang ditulis di atas lembaran daun tal. Prajurit itu menemukan surat dimaksud melekat pada anak panah yang menyambar saka peneduh Purawaktra.
"Akan ada sebuah peristiwa penting besok, peristiwa yang mungkin akan menggilas istana. Bila Ki Bekel Gajahmada ingin mendapatkan gambaran lebih utuh atas siapa saja pemerannya, temui aku di bawah beringin kurung," demikian isi pesan yang tergurat di lembaran daun tal itu.
Gajahmada berjalan tidak sakadar berjalan. Sadar bahwa tatapan matanya tidak mungkin membelah kabut, Gajahmada berusaha menelengkan telinganya. Menjelang tepi alun-alun sebelah utara, yang di sana terdapat sebuah jalan menuju wisma kepatihan, Gajahmada berdesir.
Ada seseorang yang menghadang langkahnya. Orang itu yang tampaknya yakin akan bertemu dengan Bekel Gajahmada berdehem mewartakan keberadaannya.
"Siapa?" bertanya Gajahmada.
Gajahmada 17 Orang yang menghadangnya itu belum menjawab. Namun, Gajahmada mampu mengikuti gerak langkah yang diambil orang itu.
"Kaukah yang mengirim pesan untukku?" tegas Gajahmada sekali lagi.
Bekel Gajahmada menelengkan wajah. Karena tebal kabut bagai melumpuhkan indra penglihatannya, dengan sepenuh kesadaran bekel muda itu mengandalkan telinga.
"Sebut aku Manjer Kawuryan," jawab orang itu.
Dari suaranya Gajahmada tahu orang itu mengenakan topeng.
Terdengar dari getar suaranya yang tertahan. Manjer Kawuryan, Ki Bekel memahami apa artinya. Tangsu manjer kawuryan berarti bulan tengah bercahaya benderang.
"Ada keperluan apa kau menemuiku?" bertanya Gajahmada.
"Aku bermaksud baik," jawab orang itu. "Kau hanya memiliki waktu sangat sempit sejak saat sekarang. Karena, fajar menyingsing nanti sebuah pasukan segelar sepapan akan bergerak menggilas istana."
Bekel Gajahmada amat berdesir. Bekel Gajahmada tidak mungkin mengabaikan keterangan itu mengingat kegiatan kelompok telik sandi pasukan Bhayangkara yang selama ini bekerja keras menemukan bentuk kegiatan aneh. Kegiatan itu sampai saat ini masih belum diketahui ke mana arahnya. Gajahmada segera menghubungkan keterangan orang itu dengan apa saja yang telah diketahuinya.
"Kekuatan dari mana yang akan menyerbu istana itu?" tanya Gajahmada.
Namun, orang itu tidak menjawab. Dengan tenang ia berjalan menjauh meninggalkan Bekel Gajahmada.
Gajahmada ingin mencegah orang itu dan mempertegas pertanyaannya, tetapi kabut yang tebal melumpuhkan niatnya. Bekel Gajahmada merasa tak ada gunanya memaksakan diri menanyai orang itu, yang dengan segera lenyap dari tak hanya pandangan mata, tetapi juga dari telinganya. Beberapa saat lamanya Bekel Gajahmada terpaku 18
Gajahmada berdiri di tepi alun-alun itu. Dengan saksama ia memerhatikan keadaan yang terasa sepi, senyap, dan damai. Rasanya sulit dipercaya di balik keadaan itu bersembunyi sebuah bahaya yang siap menggulung Majapahit. Akan tetapi, siapa pun orang itu, selama ini mengalirkan keterangan sangat penting. Meskipun keterangan itu diterimanya selapis demi selapis, nyatanya semua yang disampaikan benar. Kegiatan geladi berlebihan yang dilakukan pasukan tertentu menjadi isyarat adanya hal yang tak wajar.
"Benarkah besok akan terjadi makar?" bertanya Gajahmada di dalam hati.
Dalam perjalanan sejarahnya yang masih muda, Majapahit yang kini berada di bawah pemerintahan Kalagemet yang bergelar Jayanegara telah bertubi-tubi mengalami gempuran oleh berbagai pemberontakan.
Ranggalawe sahabat Raden Wijaya memilih mengangkat senjata melawan Sri Kertarajasa Jayawardhana karena merasa tidak memperoleh jabatan yang sesuai dengan pengabdiannya. Nambi yang menurut Ranggalawe tak memiliki jasa sebesar yang dilakukannya dipilih Kertarajasa Jayawardhana menduduki jabatan patih.
Lembu Sora menyusul mengangkat senjata pula karena fitnah yang dilakukan seorang pejabat culas yang menjadi kepercayaan Jayanegara.
Disusul kemudian oleh makar yang dilakukan Juru Demung dan Gajah Biru. Sikap Jayanegara yang di mata Bekel Gajahmada adakalanya kurang bijak menyebabkan Rakrian Patih Majapahit sendiri, Nambi, ikut mengangkat senjata. Kini akankah peristiwa semacam itu terjadi lagi"
Oleh rasa penasarannya Gajahmada bergegas melanjutkan langkahnya menuju wisma kepatihan yang tidak seberapa jauh lagi. Akan tetapi, pikirannya makin tidak tenang. Waktu yang diberikan oleh orang tidak dikenal itu hanyalah sampai saat fajar menyingsing. Rentang waktu yang sempit itulah yang harus digunakan untuk menghimpun prajurit dan mengumpulkan kekuatan. Namun, prajurit yang mana"
Ada banyak kesatuan keprajuritan yang bertugas menjaga ketenteraman dan menjamin keamanan berlangsungnya pemerintahan Jayanegara. Kesatuan-kesatuan itu berada di bangsal kesatrian masing-masing dengan dipimpin oleh prajurit berpangkat temenggung atau Gajahmada 19
serendah-rendahnya senopati. Jika dibutuhkan pasukan dalam waktu singkat untuk membetengi istana, kesatuan yang manakah yang harus dipilih" Sayang sekali, orang yang mengaku bernama Manjer Kawuryan tidak menyebut dengan jelas siapa orang yang akan mbalelo serta pasukan mana saja yang terlibat dalam gerakan itu.
Gajahmada membawa kegelisahannya sampai ke halaman kepatihan. Beberapa prajurit berloncatan menghadangnya.
"Bekel Gajahmada!" ucap Gajahmada dengan tegas. "Gusti Mahapatih Tadah memerlukan aku."
Pimpinan prajurit pengawal wisma kepatihan itu segera memberikan penghormatan karena pangkatnya lebih rendah kemudian mengantarkannya menghadap Mapatih Arya Tadah yang telah menunggu cukup lama di pendapa. Mapatih Tadah rupanya amat terganggu oleh udara dingin, kabut, dan angin deras, itu terlihat dari batuknya yang kemekel.
"Saya menghadap, Mapatih!" ucap Gajahmada sambil memberikan penghormatan.
"Duduklah!" jawab Arya Tadah.
Antara Bekel Gajahmada dan Patih Tadah telah terjalin hubungan erat. Bahkan, melalui Tadahlah beberapa tahun yang lalu Gajahmada mendapat kesempatan mengabdikan diri menjadi prajurit di Majapahit.
Hubungan yang erat itu bahkan berubah menjadi hubungan layaknya orang tua dan anak.
"Apa pendapatmu terhadap keadaan yang aneh ini, Bekel?"
bertanya Tadah. Bekel Gajahmada menebar pandang. Kabut yang turun melayang-layang kian tebal. Jarak pandang dari tempatnya ke arah tiang pendapa amat terganggu kabut itu.
"Kabut yang turun benar-benar luar biasa, Gusti Patih," jawabnya.


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bekel Gajahmada menunggu Arya Tadah akan menyampaikan kalimat berikutnya. Namun, yang dilihat Gajahmada adalah Mapatih 20
Gajahmada Arya Tadah yang justru termangu seolah ada sesuatu yang tengah direnungkan. Bekel Gajahmada tetap menunggu sampai Tadah kembali berbicara.
"Ada tiga buah peristiwa penting yang aku catat yang sekarang akan kuceritakan kepadamu. Peristiwa pertama adalah ketika leluhur Sri Baginda, pendiri Singasari terbunuh oleh keris Empu Gandring.
Tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi tewas di tangan seorang batil dari Pangalasan, peristiwa itu konon ditandai dengan turunnya kabut yang sangat tebal menyergap istana Singasari. Kabut yang tebal dan udara dingin itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Batil Pangalasan dengan tidak menyimpan keraguan secuil pun. Ia membenamkan keris rautan Empu Gandring ke dadanya. Suasana saat itu kira-kira seperti sekarang ini. Singasari yang memang berada di ketinggian dan udaranya dingin, dikemuli kabut amat tebal."
Arya Tadah terdiam sejenak seperti sedang mengumpulkan ingatan.
Dengan sabar Bekel Gajahmada menunggu Mapatih Tadah melanjutkan ceritanya.
"Peristiwa yang kedua adalah saat Singasari akhirnya benar-benar runtuh, saat Tuanku Sri Kertanegara terbunuh oleh serangan Jayakatwang dari Kediri. Serangan itu dilakukan di pagi buta, juga ketika kabut turun dengan tebalnya. Pasukan segelar sepapan membuat kekacauan dari arah utara.
Namun, yang sebenarnya terjadi pasukan yang lebih besar lagi datang bagaikan banjir bandang menggilas kotaraja Singasari dari arah selatan."
Patih Tadah menyela ucapannya dengan batuk. Bekel Gajahmada menyimak cerita itu dengan cermat. Gajahmada tahu, Mapatih Arya Tadah akan menghubungkan peristiwa itu dengan keadaan ganjil yang saat ini tengah berlangsung.
"Ketika Jayakatwang menyerbu Singasari, saat itu kabut yang turun begitu tebal. Siapa pun mengalami kesulitan untuk melihat benda-benda di sekitarnya. Keadaan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Jayakatwang untuk melakukan serangan dadakan. Dan, yang terakhir adalah ketika Majapahit benar-benar dililit duka, saat Tuanku Baginda Kertarajasa Jayawardhana mangkat. Kauingat apa yang terjadi?"
Gajahmada 21 Bekel Gajahmada mengangguk. Gajahmada juga menyaksikan keajaiban alam itu. Di siang hari matahari bercahaya pucat kekuning-kuningan. Hal itu berlangsung beberapa hari lamanya seiring dengan Sri Baginda yang gering. Ketika malam itu Sri Baginda mangkat, kabut turun amat tebal ditandai pula dengan kehadiran burung gagak yang berkaok-kaok di tengah malam. Majapahit bagaikan dipayungi mendung duka ketika Raden Wijaya menutup mata untuk selamanya.
"Apakah dengan demikian malam ini akan terjadi sesuatu?" bertanya Bekel Gajahmada.
Mapatih Arya Tadah menghela tarikan napas resah.
"Aku tak bisa menutupi kegelisahanku, Bekel Gajahmada. Suara burung gagak itu, tidakkah kaudengar?"
Bekel Gajahmada mengangguk.
"Lalu ada penggalan kejadian lain yang kusebut sebagai ngelmu titen.
Kemunculan kabut tebal di malam menjelang kejadian-kejadian penting itu, atau kemunculan lintang kemukus dalam beberapa hari ini di langit sebelah timur agak ke utara. Semua itu mungkin bisa dianggap sebagai kejadian biasa. Seperti munculnya matahari di pagi hari dan munculnya bulan di malam hari, hal yang biasa."
Bekel Gajahmada mencuatkan alisnya.
"Dengan demikian, aku menjadi cemas besok bakal terjadi sesuatu!"
Arya Tadah menambah. Gajahmada yang menunduk itu kemudian menengadah dan mengarahkan pandangan matanya ke wajah Arya Tadah yang tampak samar. Tidak tercegah, Gajahmada memang harus menghitung apa yang disampaikan oleh orang tak dikenal dan mengaku bernama Manjer Kawuryan yang meminta untuk bertemu di Wringin Kurung bahwa banjir bandang akan terjadi saat fajar menyingsing.
Selama ini kecemasan dan kegelisahannya disimpan rapat. Akan tetapi, akhirnya Bekel Gajahmada merasa waktunya telah tiba untuk melapor apa yang diketahuinya.
22 Gajahmada "Menurut Mapatih, apa nama Manjer Kawuryan mempunyai arti?"
Pertanyaan Gajahmada yang membelok seperti tanpa arah itu menyebabkan Arya Tadah agak bingung. Arya Tadah memandang Gajahmada sangat lekat.
"Manjer kawuryan itu terang benderang. Bila ada kalimat sasadara manjer kawuryan, itu berarti bulan terang benderang. Kenapa?" balas Tadah.
Gajahmada menggeser duduknya agak mendekat.
"Sebenarnya baru saja aku bertemu dengan orang yang menyebut dirinya dengan nama Manjer Kawuryan. Aku tidak tahu, pamrih apa yang ada dalam benaknya. Orang itu baru saja memberi tahu aku bahwa besok istana akan diserbu oleh banjir bandang berkekuatan segelar sepapan."
Dengan jelas dan gamblang Bekel Gajahmada menceritakan apa yang diketahuinya. Mahapatih Tadah menyimak cerita Bekel Gajahmada itu dengan perasaan tegang.
"Kau tidak berhasil mengenali orang itu?" bertanya Mapatih Tadah.
Bekel Gajahmada menggeleng.
"Tidak Gusti Mahapatih!" jawabnya. "Orang itu mengenakan topeng untuk menutupi wajahnya supaya tak bisa dikenali, baik suaranya maupun wajahnya."
"Menurutmu orang itu sudah tua?" kembali Patih Tadah bertanya.
Bekel Gajahmada mencoba mengingat warna suara orang itu.
"Masih muda," jawab Gajahmada tanpa keraguan.
Mapatih Tadah yang makin gelisah segera bangkit.
"Ada orang yang akan melakukan makar, siapa?" bertanya Mapatih Tadah seperti kepada diri sendiri.
Lelaki tua itu berjalan mondar-mandir sambil mengelus jenggotnya yang memutih.
Gajahmada 23 "Siapa menurutmu Bekel Gajahmada" Kau mempunyai dugaan, siapa kira-kira orang yang keracunan bunga kecubung dan tidak sadar atas tindak dan perbuatannya itu?" ulang Mapatih Arya Tadah.
Bekel Gajahmada berpikir. Segenap pejabat penting diingatnya satu per satu, dinilai dan ditimbangnya. Akan tetapi, Bekel Gajahmada tidak menemukan sesuatu yang pantas untuk digunakan mencurigai seseorang akan melakukan tindakan makar, mencoba merebut takhta dari Sri Baginda Jayanegara.
Di Majapahit terdapat tiga kelompok kesatuan pasukan besar yang masing-masing berkekuatan segelar sepapan, pasukan Jalapati di bawah pimpinan Rakrian Temenggung Banyak Sora. Temenggung Banyak Sora adalah seorang prajurit yang pilih tanding dan memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap Sri Baginda Jayanegara. Lalu pasukan Jalayuda di bawah kendali Rakrian Temenggung Panji Watang. Sebagaimana Banyak Sora, Temenggung Panji Watang juga mumpuni dalam olah keprajuritan serta memiliki kemampuan olah perang yang tinggi. Terakhir adalah pasukan Jala Rananggana yang memiliki Candrakapala berwujud tengkorak sebagai lambang pasukan. Temenggung Pujut Luntar memimpin pasukan dari kesatuan Jala Rananggana itu.
Sebagaimana kedua Rakrian Temenggung yang lain, sangat sulit bagi Bekel Gajahmada membayangkan Temenggung Pujut Luntar akan makar terhadap kekuasaan Jayanegara. Namun, ada pepatah dalam laut bisa ditebak, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu. Boleh jadi salah seorang dari mereka akan memanfaatkan keadaan dengan mengerahkan pasukan yang mereka pimpin untuk berbuat makar.
Demikian pula dengan Mapatih Arya Tadah. Orang tua itu mencoba memilah-milah, tetapi tidak menemukan seseorang yang dicurigai bakal membuat ontran-ontran.
"Siapa?" sekali lagi Tadah bertanya seperti kepada diri sendiri.
"Saya tidak menemukan seorang pun yang pantas dicurigai, Gusti Patih," jawab Bekel Gajahmada.
24 Gajahmada "Apakah masih ada yang tidak puas terhadap pengangkatan Tuanku Jayanegara?" bertanya Arya Tadah seolah kepada diri sendiri.
Bekel Gajahmada tergiring untuk merenung ulang. Raden Wijaya setelah berhasil membangun Majapahit mengawini empat putri anak Kertanegara. Mereka adalah Ratu Dyah Sri Tribuaneswari yang didudukkan sebagai permaisuri, Ratu Dyah Sri Narendraduhita, Ratu Dyah Dewi Prajnaparamita serta Ratu Dyah Dewi Gayatri yang diangkat sebagai Rajapadni.
Istri Wijaya, Dyah Dewi Gayatri, memberikan dua keturunan yang tidak bisa diharapkan untuk diangkat menjadi raja karena perempuan.
Kedua anak Gayatri atau Rajapadni itu adalah Sri Gitarja yang juga bernama Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani yang mempunyai calon suami bernama Cakradara atau Kertawardana. Sri Gitarja diangkat menjadi pemangku di Kahuripan bergelar Breh Kahuripan. Anak Gayatri kedua adalah Rajadewi Maharajasa yang diangkat menjadi pemangku Daha bergelar Breh Daha juga telah mempunyai calon suami bernama Kudamerta.
Ketika pulang dari Pamalayu, pasukan yang dikirim oleh Sri Kertanegara kembali dengan membawa dua gadis boyongan bernama Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Jingga dikawinkan dengan seorang bangsawan Melayu, melahirkan Adityawarman atau Arya Damar yang bersahabat erat dengan Gajahmada, sedangkan Dara Petak diangkat sebagai permaisuri yang justru dituakan oleh Raden Wijaya karena telah memberinya anak laki-laki dan padanya dianugerahkan gelar Stri Tinuhweng Pura atau Stri Tinuwa Hing Pura yang berarti permaisuri yang dituakan di dalam pura karena memberinya keturunan berjenis kelamin laki-laki yang padanya diharapkan akan menjadi penerus kekuasaan Wilwatikta.
Satu-satunya anak laki-laki Raden Wijaya itu adalah Kalagemet yang kemudian diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya menggunakan nama Jayanegara. Sering kali Arya Tadah menilai bahwa Kalagemet atau Jayanegara amat berbeda dengan ayahnya. Sebagai raja yang tidak merasakan pahit getir membangun negara, Kalagemet acap mengabaikan Gajahmada 25
perasaan pejabat yang dahulu bahu-membahu bersama ayahnya bekerja keras meletakkan pilar berdirinya negara baru setelah Singasari lenyap dari percaturan. Apakah perilakunya yang adakalanya melampaui batas itu yang mendorong orang untuk mbalelo terhadap kekuasaan Jayanegara"
Bekel Gajahmada mengenal dengan baik segenap janda yang ditinggalkan Raden Wijaya karena Gajahmadalah orang yang bertanggung jawab mengamankan mereka untuk segala hal. Jika Putri Tribuanatunggadewi atau Sri Gitarja akan bepergian, Gajahmada yang bertugas menyusun pengawalan dan mendampinginya ke mana pun mereka pergi. Oleh karena itu, Bekel Gajahmada merasa yakin kalau ada pihak tertentu yang bakal melakukan pemberontakan jelas tak mungkin ada hubungannya dengan keluarga istana. Terlebih-lebih Ratu Gayatri yang telah memutuskan diri menjadi seorang biksuni, menjauh dari gebyar kehidupan. Demikian juga dengan Ratu Dewi Narendraduhita dan Ratu Dewi Prajnaparamita, mereka tidak memiliki keturunan sehingga sama sekali tak ada alasan bagi keluarga istana untuk mendalangi tindakan makar. Pun persoalan Jayanegara yang terlahir dari Dara Petak sama sekali bukan masalah karena segenap kerabat keluarga memang tidak ada yang mempersoalkan.
Gajahmada terus memutar benak. Nama demi nama dipilah-pilahnya hingga kemudian muncul nama-nama mereka yang mendapat anugerah Winehsuka dari Sri Jayanegara. Orang-orang yang mendapat anugerah Winehsuka atau selengkapnya dinamai para Dharmaputra Winehsuka itu adalah mereka yang sangat tinggi pengabdian dan kesetiaannya kepada raja. Para Rakrian Dharmaputra Winehsuka itu antara lain, Rakrian Kuti, Rakrian Tanca, Rakrian Pangsa, Rakrian Banyak, Rakrian Wedeng, Rakrian Yuyu, dan Rakrian Semi yang menjadi pemangku kekuasan Majapahit di Lasem. Bekel Gajahmada segera mengesampingkan nama-nama itu. Tidak mungkin para Rakrian Dharmaputra Winehsuka berbuat gila. Mereka tidak mempunyai dukungan kekuatan untuk bertindak. Dharmaputra tidak memegang kendali prajurit pada tingkat yang memadai seperti menguasai tiga pasukan utama, pasukan Jalapati, pasukan Jalayuda, dan pasukan Jala Rananggana.
26 Gajahmada Mahapatih Arya Tadah duduk kembali dan menatap wajah Gajahmada dengan tatapan sangat lekat. Udara yang dingin memancing Arya Tadah untuk batuk beberapa saat.
Suaranya nyaris berbisik.
"Firasatku mengatakan bahwa benar sesuatu akan terjadi. Boleh jadi, peringatan yang diberikan orang yang mengaku Manjer Kawuryan itu benar. Jika besok pagi pasukan segelar sepapan akan menggilas istana bagaikan banjir bandang, harus disiapkan kekuatan yang sama atau lebih besar."
Bekel Gajahmada tersenyum getir.
"Pasukan mana yang harus dihubungi untuk menghadapi tindakan itu, Gusti Patih?"
Pertanyaan yang sederhana itu rupanya sangat sulit untuk dijawab karena menyembunyikan persoalan yang tidak sederhana. Pertanyaan itu pula yang seperti membingungkan Mapatih Arya Tadah untuk kembali memilah tiga orang temenggung yang mengendalikan tiga pasukan besar, Jalapati, Jalayuda, dan Jala Rananggana.
"Kau mencurigai mereka?" bertanya Tadah.
Gajahmada menghirup udara sedikit lebih banyak. Waktu yang bergerak tidak tercegah menggiring Gajahmada makin gelisah dan resah.
"Jika ada orang yang bermaksud makar, orang itu harus memiliki pasukan segelar sepapan. Siapakah orang yang memiliki prajurit segelar sepapan yang dibutuhkan untuk mendukung pemberontakan itu, Gusti Patih?"
Mapatih Tadah memandangi wajah Bekel Gajahmada tanpa berkedip.
"Jalayuda, Jalapati, Jala Rananggana. Siapa di antara mereka yang amat mungkin dicurigai?" bertanya Tadah.
"Tak sekadar mencurigai Gusti Patih. Namun, harus diperoleh bukti nyata. Untuk itu, harus segera dikirim telik sandi."
Gajahmada 27 Patih Arya Tadah terdiam. Tadah makin gelisah. Kabut makin tebal dan burung gagak itu berkaok-kaok makin riuh, membuat risih gendang telinga.
Arya Tadah yang sejenak memejamkan mata terkenang pada laporan yang diberikan seorang prajurit rendahan bernama Gajahsari beberapa hari sebelumnya. Namun, laporan Gajahsari itu dianggapnya sama sekali tidak mendasar.
Bekel Gajahmada terkejut ketika Patih Tadah tiba-tiba melepas lencana yang dikenakannya. Itulah lambang atau lencana Mahapatih yang memiliki kekuasaan besar dan luas. Mapatih Arya Tadah menyerahkan lencana itu kepada Gajahmada. Kepada orang-orang kepercayaannya, terutama yang berada di barisan sandi, Arya Tadah selalu membekali dengan lencana yang menjadi ciri khasnya, tetapi bukan lencana utama itu.
Bekel Gajahmada penasaran.
"Apa artinya ini Gusti Patih?" bertanya Bekel Gajahmada.
"Dengan lencana itu padamu," jawab Mapatih Tadah, "aku berikan wewenang kepadamu untuk bertindak atas namaku dan atas nama Tuanku Jayanegara untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan jika benar terjadi tindakan makar itu. Pakailah."
Dengan sigap Bekel Gajahmada mengenakan lencana yang diterimanya itu di dada sebelah kiri. Gajahmada sadar, dengan lencana itu di tangannya, ia bisa bertindak atau mengambil langkah tertentu demi menjamin keamanan istana serta keutuhan Majapahit. Bahkan, para temenggung harus menghormati langkah-langkah yang diambilnya seolah langkah-langkah itu keputusan Mahapatih Arya Tadah sendiri.
Bekel Gajahmada yang gelisah merasa dikejar waktu yang sempit untuk segera bertindak segera minta diri.
28 Gajahmada 4 Gajahmada segera mengumpulkan beberapa anak buahnya yang tergabung dalam pasukan khusus Bhayangkara. Mereka adalah Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Risang Panjer Lawang, Mahisa Kingkin, Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Panji Saprang, Mahisa Geneng, Gajah Pradamba, Singa Parepen, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. Masih ada puluhan Bhayangkara yang lain, tetapi mereka sedang berada di Bali mengawal perjalanan Cakradara, Kudamerta serta Lembu Anabrang yang sedang melaksanakan tugas negara.
Segenap prajurit Bhayangkara itu merasa heran melihat Bekel Gajahmada telah mengenakan lencana khusus milik Mapatih Tadah.
"Besok pagi saat matahari terbit, ada orang gila yang akan melakukan pemberontakan!" berkata Bekel Gajahmada tanpa basa-basi.
Gempar segenap pasukan Bhayangkara yang ada. Mereka saling pandang. Perhatian mereka kemudian terpusat kepada Bekel Gajahmada.
"Dalam beberapa hari ini, ada pihak tak dikenal telah menghubungiku, memberi tahu kemungkinan buruk bakal adanya tindakan pemberontakan terhadap kekuasaan Tuanku Sri Jayanegara.
Mahapatih Arya Tadah memberiku kekuasaan untuk menghadapi keadaan ini. Itu sebabnya lancana ini ada di tanganku."
Segenap prajurit yang ada merasa degup jantungnya dipacu agak lebih kencang. Jika benar akan terjadi tindakan makar, para prajurit berkemampuan khusus itu harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk melindungi keluarga istana, menjadi tameng hidup untuk menjamin keselamatan mereka.
Pradhabasu tak mampu menahan penasaran di hatinya. Lelaki gagah itu maju selangkah.
Gajahmada 29 "Siapa yang akan melakukan tindakan makar itu?" tanya Pradhabasu.
Pertanyaan itu sekaligus mewakili rasa ingin tahu teman-temannya.
"Aku belum tahu pihak mana yang akan melakukan pemberontakan itu. Kita belum memiliki keterangan sama sekali. Artinya, kita baru menebak dan meraba-raba, seperti keadaan kita dalam pekat dan tebalnya kabut ini. Oleh karena itu, aku minta segera dikirim beberapa telik sandi untuk mencari tahu. Kirim orang untuk melihat ada apa di bangsal prajurit Jalayuda, Jalapati, serta Jala Rananggana. Cepat lakukan mumpung kita masih memiliki waktu."
Dengan cekatan para prajurit itu berbagi tugas. Sejenak kemudian beberapa ekor kuda telah berderap kencang meninggalkan halaman istana. Dengan sigap pula Bekel Gajahmada mengatur pertahanan darurat. Beberapa prajurit berkemampuan khusus ditempatkan di segenap sudut istana. Prajurit anak panah menempatkan diri dengan sebaik-baiknya di tempat-tempat yang telah ditentukan.
Namun, kabut yang turun tebal itu benar-benar membuat napas menjadi sesak. Kabut yang demikian tebal menghadang pandangan mata dan menyebabkan para prajurit Bhayangkara akan kesulitan untuk menghitung kekuatan musuh dan pengambilan langkah-langkah tertentu.
Bekel Gajahmada melangkah mondar-mandir.
"Apa kita harus membangunkan Sri Baginda?" bertanya Gagak Bongol yang selalu berada tak jauh dari Bekel Gajahmada.
"Jangan dulu," Bekel Gajahmada menjawab. "Sebaiknya jangan mengundang kepanikan sebelum duduk persoalannya jelas."
Antara Gajahmada dan Gagak Bongol terjalin hubungan yang dekat.
Bersama-sama mereka telah banyak mengenyam kepahitan peperangan.
Itulah yang menyebabkan antara Gagak Bongol dan Gajahmada terjalin hubungan persaudaraan yang akrab. Bekel Gajahmada nyaris tidak pernah meninggalkan Gagak Bongol ketika menghadapi saat-saat sulit. Selain Gagak Bongol, Bhayangkara yang sangat dipercayainya adalah Lembang Laut.
30 Gajahmada Waktu terus merambat. Bekel Gajahmada tambah gelisah. Bekel Gajahmada merasa keadaan yang dihadapinya benar-benar tidak menentu. Tebalnya kabut makin mempertegas keadaan yang tidak menentu itu.
Akhirnya, beberapa telik sandi yang disebar telah kembali.
Kedatangan mereka kebetulan nyaris bersamaan.
"Apa yang akan kaulaporkan?" Bekel Gajahmada mendahului.
"Apa yang kaucurigai tampaknya benar Kakang Bekel. Tidak seorang pun terlihat di bangsal Jala Rananggana. Bangsal itu sepi!" lapor Pradamba dengan napas tersengal.
"Kamu?" bertanya Bekel Gajahmada kepada Gajah Geneng.
"Tidak ada kegiatan yang mencurigakan di bangsal Jalapati. Semua kelihatan seperti biasanya," jawab Gajah Geneng.
"Bagaimana dengan bangsal kesatrian Jalayuda?" tanya Bekel Gajahmada kepada Panji Saprang.
"Tak ada yang mencurigakan di bangsal Jalayuda," jawab Panji Saprang dengan tegas.
Gajahmada termangu. Sejenak kemudian pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu manggut-manggut. Kini cukup jelas bagi Gajahmada bahwa pasukan Jala Rananggana berada di belakang rencana tindakan makar itu.
"Pasukan Jalapati ada di tempat. Pasukan Jalayuda juga ada di tempat. Dengan demikian, pandangan mata kita jelas terarah kepada pasukan Jala Rananggana. Aneh juga rasanya, ketika kita dihadapkan pada kenyataan yang tidak terduga bahwa Temenggung Pujut Luntar yang menekuk wajah paling dalam di saat seba di pasewakan itu ternyata minger kiblatnya. Ia mencoba menggoyang pilar istana Majapahit yang dibangun dengan susah payah oleh Baginda Sri Kertarajasa Jayawardhana."
Tak seorang pun yang berbicara, semua diam. Namun, bagai bersepakat mereka mencoba membayangkan sosok prajurit Gajahmada 31
berkemampuan olah perang yang memimpin pasukan segelar sepapan.
Prajurit berpangkat temenggung itu adalah Pujut Luntar.
"Aku sama sekali tidak menduga," desis Singa Parepen.
"Ya," Riung Samudra menegaskan. "Aku juga tak mengira Temenggung Pujut Luntar sanggup melakukan itu. Bukankah dahulu Temenggung Pujut Luntar boleh dikata tangan kanan Lembu Anabrang, kedudukan yang diperolehnya itu karena jasa-jasanya menggempur beteng Pajarakan dan membenamkan Sora, mencampakkan dari angan-angannya?"
Suasana kembali hening. Gajahmada melihat keadaan benar-benar tidak bisa dianggap sepele. Bekel Gajahmada merasa selamat atau tidaknya keluarga raja berada di pundaknya. Benar-benar sebuah tanggung jawab yang berat.
Gajahmada menatap langit mencari bintang-bintang. Tak ada bintang di sana.
"Ini sudah tengah malam?" tanya Bekel Gajahmada.
"Sebentar lagi!" jawab Gagak Bongol sigap.
"Semoga saja Temenggung Pujut Luntar belum menyadari bahwa kita telah mencium gerakannya. Aku akan menemui Temenggung Panji Watang dan Temenggung Banyak Sora. Aku berharap mereka masih memiliki kesadaran untuk bela negara, tidak mendahulukan kepentingan dirinya sendiri. Waktu yang ada harus kita gunakan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya, termasuk kemungkinan paling jelek, mengungsi. Karena itu, aku tugaskan kepadamu Panjang Sumprit, Lembu Pulung, Kartika Sinumping, dan Jayabaya untuk mempersiapkan pengamanan pengungsian para ratu, terutama Tuan Putri Breh Daha dan Tuan Putri Breh Kahuripan yang saat ini datang berkunjung.
Pengawalan ini dipimpin Lembu Pulung. Kausiap?" tegas Bekel Gajahmada.
"Siap!" jawab Lembu Pulung dengan tegas.
Lembu Pulung amat menyadari kecantikan kedua putri itu memang sanggup membuat pikiran waras menjadi gila. Bukan hal yang aneh
32 Gajahmada dan luar biasa apabila kecantikan kedua putri itu mampu membuat orang lupa diri meski mereka masing-masing telah mempunyai calon suami. Soal para janda Raden Wijaya, kecuali Dyah Ratu Prajnaparamita, kebetulan sedang berkumpul di Rimbi. Dengan demikian, Gajahmada tidak terlampau mencemaskan mereka.
"Jangan menunggu waktu, persiapkan segala sesuatunya mulai sekarang," Bekel Gajahmada memberi perintah.
5 Segera terjadi kesibukan yang luar biasa di halaman Tatag Rambat Bale Manguntur istana Majapahit. Dengan cermat Gajahmada mengatur persiapan-persiapan untuk membendung banjir bandang yang akan terjadi. Akan tetapi, sejauh itu Bekel Gajahmada belum menugasi seseorang untuk membangunkan Prabu Jayanegara sebelum mendapat jawaban yang pasti atas gerakan-gerakan yang mencurigakan yang dilakukan oleh pasukan Jala Rananggana di bawah pimpinan Temenggung Pujut Luntar itu.
Gajahmada yang tidak ingin kehilangan lacak atas gerakan apa pun yang terjadi di bangsal kesatrian pasukan Jala Rananggana, menempatkan tiga orang telik sandi untuk segera menemukan tempat pasukan Jala Rananggana berada setelah jelas-jelas tidak berada di bangsal kesatriannya.
Sejenak kemudian berderap dua ekor kuda membelah malam. Bekel Gajahmada ditemani Gagak Bongol menuju bangsal pasukan Jalapati.
Kedatangan Bekel Gajahmada mengagetkan empat prajurit yang berjaga-jaga di regol utama kesatrian Jalapati. Mereka berloncatan sambil melintangkan pedang dan tombak.
Gajahmada 33 "Siapa?" bertanya seorang prajurit.
"Bekel Gajahmada dari Bhayangkara," Gajahmada menjawab pertanyaan itu tegas.
Bekel Gajahmada segera menghitung keadaan. Ternyata memang benar, sesuai laporan telik sandi, pasukan Jalapati tetap berada di bangsal kesatriannya. Namun, Bekel Gajahmada merasa tak harus memercayai keadaan itu begitu saja. Tanpa banyak bicara Gagak Bongol selalu mengambil jarak tidak seberapa jauh dan bersiap siaga jika sampai terjadi sesuatu.
"Aku akan menghadap Rakrian Temenggung Banyak Sora!"
berkata Bekel Gajahmada dengan tegas.
Para prajurit penjaga regol kesatrian Jalapati saling pandang.
"Tengah malam seperti ini?" bertanya seorang di antara mereka.
"Ya. Apa yang akan kubicarakan hal yang sangat penting dan tak bisa ditunda."
Waktu memang baru berada di pertengahan malam. Dari kejauhan terdengar suara kentongan dipukul dengan nada doromuluk sebagai pertanda keadaan aman sekaligus malam berada di puncaknya.
Gajahmada merasa sesak karena waktu baginya cepat sekali bergerak.
Sebenarnyalah waktu yang dimilikinya amat sempit dan terbatas.
Salah seorang dari pengawal regol bangsal kesatrian yang bertubuh paling besar dan paling kekar maju ke depan. Orang itu mencoba tampil mewakili teman-temannya.
"Ini waktu tengah malam. Kau mestinya tahu bahwa di saat seperti ini, pimpinan kami Rakrian Temenggung Banyak Sora tidak bisa diganggu. Rakrian Temenggung sedang beristirahat," ucap prajurit itu dengan lantang.
Bekel Gajahmada menjadi jengkel. Dalam tatanan keprajuritan antara lain disebut bahwa prajurit harus siap siaga setiap saat dan siap menjalankan perintah meski tengah malam sekalipun, apalagi jika negara berada dalam keadaan bahaya. Bekel Gajahmada yang merasa kecewa 34
Gajahmada itu tidak mau bertele-tele. Waktu yang ada amat sempit untuk membual dan diboroskan dengan membicarakan segala macam omong kosong.
Bekel Gajahmada segera mengangkat lencana Mahapatih, diacungkan kepada segenap prajurit itu.
"Aku tidak punya waktu banyak. Aku harus berbicara dengan Rakrian Banyak Sora sekarang juga!" ucap Bekel Gajahmada dengan tegas.
Rontok nyali prajurit bertubuh tinggi besar itu setelah melihat lencana yang diacungkan Bekel Gajahmada. Prajurit itu ternyata sadar bahwa pemegang lencana itu tak ubahnya Mahapatih sendiri. Akhirnya, dengan bergegas mereka mempersilakan Bekel Gajahmada menunggu. Seorang prajurit berlari-lari menuju bangunan paling besar yang terletak di bagian paling depan dari bangsal kesatrian itu. Tidak berapa lama kemudian prajurit itu telah kembali mengiringkan Temenggung Banyak Sora.
Temenggung Banyak Sora menguap membuang rasa kantuk.
Banyak Sora memandang Bekel Gajahmada dengan perasaan tidak begitu senang. Banyak Sora merasa mimpinya yang indah terganggu.
"Benarkah kau membawa pertanda lencana dari Mapatih?" bertanya Banyak Sora.
Bekel Gajahmada mengangguk sambil menunjukkan lencana yang ada di tangannya.
"Dengan cara bagaimana kaudapatkan lencana itu?" kembali Banyak Sora bertanya.
Bekel Gajahmada kurang senang pada pertanyaan itu. Sebaliknya, Gagak Bongol yang berada tidak jauh darinya berada dalam kesiagaan tertinggi. Tangan kanannya tetap melekat di gagang pedang. Gagak Bongol telah sampai pada sebuah simpulan jika ternyata Banyak Sora terlibat dalam rencana makar dan kemudian menjebak Bekel Gajahmada, ia akan mengamuk sejadi-jadinya. Serangan dadakan yang dilakukannya diharapkan mampu membenamkan Temenggung Banyak Sora ke pintu gerbang kematian.
Gajahmada 35 "Mohon maaf Rakrian Temenggung, apakah aku diizinkan menyambungkan pertanyaan itu kepada Mahapatih Tadah bila nanti aku telah kembali menghadap kepadanya?" balas Gajahmada.
Merah padam wajah Banyak Sora yang hanya bisa mengumpat dalam hati. Meski yang ada di hadapannya hanya seorang prajurit berpangkat bekel, ia memiliki otak dan tidak mau diremehkan.
Gajahmada segera mencairkan keadaan.
"Meski aku memegang lencana ini, aku perlu minta maaf karena telah mengganggu istirahat Rakrian Temenggung!" ucap Bekel Gajahmada.
Rakrian Temenggung Banyak Sora termangu.
"Persoalan penting macam apa yang kaubawa hingga kau harus memamerkan lencana Mahapatih kepadaku?" bertanya Banyak Sora.
Gajahmada menoleh ke kiri dan kanan terarah kepada segenap prajurit yang mengelilinginya.
"Persoalan yang aku bawa hanya layak kubicarakan tanpa didengar oleh orang lain!" jawab Bekel Gajahmada.
Rakrian Banyak Sora memerhatikan wajah Bekel Gajahmada lebih cermat. Rakrian Banyak Sora melirik Gagak Bongol yang tangannya melekat erat pada gagang senjatanya.
"Ikut aku!" berkata Banyak Sora.
Rakrian Banyak Sora membawa Bekel Gajahmada ke dalam bangunan induk dari bangsal kesatrian Jalapati. Di bangunan itulah biasanya Rakrian Temenggung Banyak Sora menggembleng segenap prajuritnya agar makin trengginas, yang pada akhirnya selalu siap untuk dihadapkan pada keadaan macam apa pun.
Gagak Bongol tetap mengawal Bekel Gajahmada.
"Tak ada siapa pun yang akan mendengar pembicaraan kita.
Bicaralah!" ucap Banyak Sora tegas.
Bekel Gajahmada tidak mau membuang waktu.
36 Gajahmada "Berdasarkan laporan telik sandi, besok pagi akan ada kraman."
Rakrian Banyak Sora terlonjak. Mendadak kakinya terasa seperti kesemutan atau kaku karena dibelit ular bandotan. Kata-kata Bekel Gajahmada yang disampaikan tanpa basa-basi, apalagi rasa sungkan itu menyebabkan matanya terbelalak. Kali ini Rakrian Banyak Sora tidak berani menganggap remeh lagi.
"Apa kaubilang" Akan terjadi kraman?" tegasnya.
Bekel Gajahmada mencoba membaca perubahan wajah Rakrian Banyak Sora dengan cermat, menerjemahkan apakah raut wajah yang kaget itu gambaran dari kaget sesungguhnya, atau hanya berpura-pura kaget. Bekel Gajahmada merasa sedikit lega saat merasa kekagetan yang ditunjukkan Rakrian Banyak Sora itu mewakili perasaannya yang sebenarnya.
"Siapa yang akan melakukan kraman?" tanya Banyak Sora. Suaranya terdengar agak bergetar.
"Rakrian Temenggung benar-benar tidak tahu" Atau, sekadar berpura-pura tidak tahu?" pancing Bekel Gajahmada.
Wajah Rakrian Banyak Sora memerah. Pertanyaan itu membuatnya tidak senang. Dipandanginya Bekel Gajahmada itu seperti akan mengorek isi benaknya.
"Apakah Mahapatih menuduhku akan melakukan kraman?"
bertanya Rakrian Banyak Sora dengan suara kasar dan nada kurang senang. Justru karena itu Bekel Gajahmada menjadi agak lega. Dengan demikian, masih bisa diharapkan ada pasukan yang bisa digunakan menghadapi pasukan yang memberontak.
"Cepat katakan kepadaku, siapa yang akan mbalela atas kuasa Tuanku Jayanegara" Biarlah aku nanti yang akan menghadapinya!" ucap Rakrian Temenggung Banyak Sora, suaranya tertahan.
"Menurut laporan telik sandi," Bekel Gajahmada mulai bertutur,
"pada saat ini bangsal kesatrian Jala Rananggana kosong, tidak seorang pun ada di bangsal itu. Pasukan Jalapati dan Jalayuda yang masih ada di Gajahmada 37
tempat. Keadaan yang kusampaikan ini mungkin bisa memberikan gambaran kepada Rakrian Temenggung ada apa kira-kira."
Rakrian Temenggung Banyak Sora termangu. Yang kemudian muncul di kelopak matanya adalah wujud sosok seorang Temenggung yang pilih tanding dan memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi.
Orang itu adalah Pujut Luntar. Secara pribadi Rakrian Temenggung Banyak Sora menyimpan perasaan tidak begitu suka kepada Temenggung Pujut Luntar karena perilakunya yang suka menjilat dan memutar balik keadaan untuk mencari muka. Kini terbukti, orang itu malah merencanakan makar.
Rakrian Temenggung Banyak Sora mondar-mandir sambil mengelus-elus janggutnya.
"Aku kaget mendengar Pujut Luntar menjadi gila. Selama ini aku melihat Pujut Luntar memang seorang penjilat dan suka mencari muka.
Namun, tak kuduga kegilaannya ternyata lebih dari itu. Namun demikian, aku tidak yakin Pujut Luntar akan bertindak sendiri. Tentu ada pihak lain yang bekerja sama dengannya. Apakah sudah kauperoleh keterangan siapa orang yang berada di belakangnya?" tanya Banyak Sora.
Pertanyaan itu justru membuat Bekel Gajahmada terdiam. Benarkah Pujut Luntar bergerak sendiri" Gajahmada merasa memang tidak mungkin Temenggung Pujut Luntar bekerja sendiri. Tentu ada pihak lain yang mengipasinya. Tetapi siapa"
"Telik sandi akan segera mendapatkan jawabnya," jawab Bekel Gajahmada dengan tegas. "Mewakili Mahapatih Arya Tadah, aku ingin mendapat kepastian jawaban, bagaimana sikap pasukan Jalapati setelah mengetahui keadaan seperti ini?"
Pandangan Rakrian Temenggung Banyak Sora lurus tertuju pada manik mata Bekel Gajahmada.
"Akan aku siapkan pasukanku untuk membetengi istana," jawab Rakrian Banyak Sora tegas. "Tidak sampai mendekati datangnya pagi, pasukanku telah pasang gelar."
38 Gajahmada Bekel Gajahmada lega. Setidak-tidaknya bisa diharapkan banjir bandang yang akan terjadi itu bisa diredam.
Bekel Gajahmada segera minta diri. Sejenak kemudian dua ekor kuda yang ditunggangi Bekel Gajahmada dan Gagak Bongol kembali berderap meninggalkan bangsal kesatrian Jalapati. Gajahmada merasa harus berburu waktu supaya segera sampai di bangsal Jalayuda untuk menemui pimpinan pasukan itu dan mempertegas sikapnya.
Sepeninggal Bekel Gajahmada, Rakrian Temenggung Banyak Sora segera mengumpulkan segenap pasukannya. Banyak Sora tidak menggunakan isyarat kentongan untuk memanggil para senopati bawahannya, tetapi melalui utusan yang menghubungi mereka satu per satu. Para senopati baru merasa jelas duduk persoalannya setelah Temenggung Banyak Sora menyampaikan apa yang terjadi. Sejenak kemudian terjadilah kesibukan yang luar biasa di bangsal kesatrian Jalapati.
Dalam perjalanan, Gagak Bongol tidak bisa menyimpan kecemasannya.
"Apakah kau memercayai Rakrian Temenggung Banyak Sora?"
Bekel Gajahmada memperlambat laju kudanya. Kabut tebal menjadi masalah bagi pandangan matanya, tetapi tidak bagi kuda-kuda yang sudah amat terlatih itu.
"Kau menduga Rakrian Temenggung Banyak Sora hanya berpura-pura kaget?" bertanya Bekel Gajahmada.
"Kalau ternyata pasukan Jalapati justru bersekongkol dengan pasukan Jala Rananggana, yang terjadi kau justru telah mengundang bahaya ke halaman istana Majapahit!" lanjut Gagak Bongol.
"Kemungkinan itu kecil. Jika Rakrian Temenggung Banyak Sora terlibat dalam rencana pemberontakan ini, kita berdua tidak akan keluar dengan selamat dari bangsalnya," jawab Gajahmada. Dalam hati Gagak Bongol membenarkan jawaban itu.
Sejenak kemudian Bekel Gajahmada dan Lurah Gagak Bongol telah sampai di gerbang kesatrian pasukan Jalayuda. Prajurit penjaga Gajahmada 39
regol kesatrian mengantarkannya menemui Temenggung Panji Watang.
Rupanya Temenggung Panji Watang belum tidur dan baru selesai mengadakan pertemuan dengan beberapa senopati bawahannya. Justru karena itu Gajahmada tidak bisa mencegah degup jantungnya melaju lebih kencang.
"Panji Watang baru saja mengadakan pertemuan dengan anak buahnya. Berhati-hatilah!" bisik Bekel Gajahmada kepada Gagak Bongol.
Gagak Bongol mengangguk. Dengan ramah Rakrian Temenggung Panji Watang menerima kehadiran Bekel Gajahmada. Belum sempat Gajahmada mengutarakan apa yang menjadi keperluannya, Panji Watang telah memerintahkan kepada seorang perempuan untuk mengeluarkan hidangan. Bekel Gajahmada merasa agak heran karena ada seorang wanita di bangsal kesatrian Jalayuda itu. Bekel Gajahmada manggut-manggut saat melihat minuman yang disuguhkan adalah minuman yang memabukkan.
Bekel Gajahmada menyapukan pandangan mencoba mencermati keadaan. Diperhatikannya segenap sudut bangsal utama yang sekaligus menjadi kediaman Temenggung Panji Watang itu. Di halaman beberapa prajurit tengah membuat perapian, dari sana asal bau daging yang dibakar.
Kabut tebal melayang-layang. Bekel Gajahmada mengalami kesulitan untuk memerhatikan jarak yang lebih jauh lagi.
Di sebelah Panji Watang, Senopati Ranggayuda membeku dengan tangan mengelus-elus gagang senjatanya.
"Ada apa malam-malam seperti ini kauberkunjung ke sini?" tanya Panji Watang.
Sekuat tenaga Bekel Gajahmada menghapus kesan di wajahnya agar tak terbaca oleh Temenggung Panji Watang.
"Agaknya," ucap Bekel Gajahmada di dalam hati, "ada hubungan antara Jalayuda dan Jala Rananggana. Aku curiga pasukan Jalayuda termasuk di antara mereka yang akan melakukan tindakan makar. Para prajurit Jalayuda tentu tidak akan membutuhkan waktu lama untuk 40
Gajahmada membuka gelar perang dan kemudian menyerbu istana. Jarak antara bangsal ini dengan istana tidak terlampau jauh."
Rupanya Temenggung Panji Watang tahu tamunya sedang merenung memikirkan sesuatu.
"Kenapa tertegun" Apa yang sedang kaupikirkan?" bertanya Temenggung Panji Watang.
Bekel Gajahmada menggeretakkan gigi. Pimpinan prajurit Bhayangkara itu menjadi tidak sabar. Waktu yang ada sangat mepet dan ia harus segera mendapatkan jawaban pasti, apakah pasukan Jalayuda terlibat dalam rencana makar itu.
"Rakrian Temenggung," berkata Bekel Gajahmada, "kedatanganku di tengah malam ini mewakili Mahapatih Tadah. Gusti Mapatih Tadah membutuhkan jawaban, pasukan Jalayuda terlibat atau tidak dalam rencana makar besok pagi itu."
Ucapan Bekel Gajahmada yang terlampau terus terang itu memaksa raut wajah Rakrian Temenggung Panji Watang untuk berubah. Panji Watang tidak menduga tamunya akan berbicara langsung ke persoalan itu tanpa tedheng aling-aling.
Rakrian Temenggung Panji Watang menghela napas.
Bekel Gajahmada menunggu jawabnya dengan tidak sabar.
"Bagaimana Rakrian?" Bekel Gajahmada menegaskan.
"Jadi Gusti Mapatih Tadah sudah tahu?"
"Sudah," jawab Gajahmada tegas.
"Aku tidak terlibat dalam persoalan ini. Dan, aku tidak akan melibatkan diri dalam persoalan Rakrian Kuti," berkata Panji Watang.
Nama Ra Kuti disebut, menyebabkan rona wajah Bekel Gajahmada berubah. Demikian juga Gagak Bongol tidak bisa menyembunyikan kaget yang menyentak dadanya. Ra Kuti benar-benar sebuah nama yang tidak dihitung sebelumnya. Belum lama Rakrian Kuti dan beberapa orang kawannya telah mendapat anugerah dari Baginda Jayanegara Gajahmada 41
sebagai Dharmaputra Winehsuka, diberi anugerah kebahagiaan. Siapa mengira Rakrian Kuti justru terlibat dalam rencana makar itu.
Apakah masih ada pihak lain lagi yang terlibat" Bekel Gajahmada menyimpan pertanyaan itu dalam hati. Bekel Gajahmada menunggu sejenak.
"Ra Kuti dan segenap Dharmaputra Winehsuka yang merencanakan tindakan makar itu. Terus terang aku mengatakan, Ra Kuti telah menghubungiku, merayuku untuk ikut terlibat dalam pemberontakan itu, tetapi aku menolak," lanjut Panji Watang.
Betapa tajam Gajahmada memandang wajah Rakrian Panji Watang.
Bekel Gajahmada merasa ada sikap yang tidak seharusnya, tetapi yang telah dilakukan oleh Rakrian Temenggung Panji Watang itu sikap yang dinilainya keliru.
"Jika Rakrian Temenggung mengetahui rencana makar itu, mengapa Rakrian tidak melaporkan hal itu ke istana?" bertanya Gajahmada.


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulut Panji Watang terbungkam. Ada sesuatu yang dipikirnya.
Barangsiapa mengetahui tindakan kejahatan, tetapi hanya diam tidak melakukan apa pun maka yang bersangkutan bisa dianggap melakukan kesalahan. Apalagi, Temenggung Panji Watang seorang prajurit yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman negara ternyata tak melakukan apa-apa maka sikap Rakrian Panji Watang yang seperti itu sungguh sulit diterima. Bahkan, bisa dikatakan Panji Watang terlibat secara tidak langsung dalam tindakan makar itu.
Panji Watang bukannya tidak mengetahui hal itu. Akan tetapi, rupanya Panji Watang memiliki pertimbangan dan maksud-maksud tertentu.
Mendapat pertanyaan itu, Panji Watang hanya tersenyum.
"Aku menganggap apa yang terjadi besok bukanlah urusanku.
Tugasku adalah menjaga ketenteraman negara. Jika ada negara lain mencoba mengganggu ketenteraman Majapahit maka aku akan maju di barisan paling depan untuk menghadapinya. Namun, jika yang bertikai adalah keluarga sendiri lebih baik aku menempatkan diri di luar arena."
42 Gajahmada Jawaban itu tentu saja makin membuat Bekel Gajahmada kaget dan tertegun. Dengan demikian, Bekel Gajahmada memperoleh gambaran apa yang terjadi. Yang sulit dipahami Gajahmada adalah alasan Rakrian Temenggung Panji Watang menganggap pemberontakan itu sebagai pertikaian antara keluarga. Itu jelas alasan yang dianggapnya mengada-ada. Jayanegara diangkat menjadi raja atas keputusan Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana. Dengan demikian, kedudukannya sebagai raja tidak bisa diganggu gugat. Bekel Gajahmada juga tidak melihat pertikaian yang dijadikan alasan itu. Sri Gitarja Tribuana Tunggadewi dan Rajadewi Maharajasa, anak Raden Wijaya yang lain tidak mempersoalkan dan sangat mendukung pengangkatan Kalagemet menjadi raja dengan gelar Sri Jayanegara. Bahkan, biwara yang disampaikan mendiang ayahnya yang menaikkan derajat Dara Petak yang sakit-sakitan menjadi Stri Tunuhweng Pura sama sekali tidak ada yang mempersoalkan.
Tidak masuk akal jika Panji Watang menganggap rencana makar itu sebagai persoalan keluarga, apalagi Ra Kuti bukanlah anggota keluarga garis keturunan Raden Wijaya. Baunya sangat menyengat, Panji Watang tentu bermaksud memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingannya sendiri.
Gajahmada memeras otak. "Kini aku mendapatkan gambaran. Para Rakrian Dharmaputra Winehsuka yang mendalangi rencana pemberontakan itu. Para Rakrian Winehsuka mengajak Temenggung Pujut Luntar. Dengan janji-janji tertentu, mungkin jabatan yang tinggi, Rakrian Temenggung Pujut Luntar bersedia bergabung. Ra Kuti tidak berani mengajak Rakrian Temenggung Banyak Sora karena Rakrian Banyak Sora mempunyai sikap yang tegas.
Selanjutnya, Ra Kuti tentu juga merayu Rakrian Temenggung Panji Watang. Namun, Panji Watang mempunyai sikap lain. Jelas Rakrian Panji Watang menyimpan tujuan tersendiri. Manakala pasukan yang bertempur besok sudah sama-sama remuk, Panji Watang tampil menggilas semuanya. Jika perhitunganku ini tidak salah, yang aku hadapi ini benar-benar orang yang cerdik sekaligus culas," ucap Gajahmada untuk diri sendiri.
Gajahmada 43 Merasa telah menemukan jawaban, Bekel Gajahmada tersenyum.
Diliriknya Gagak Bongol yang telah bersiaga dengan tangan kanannya yang melekat di gagang senjata.
"Jadi, Rakrian tidak akan ikut campur terhadap pertikaian yang besok akan terjadi?" desak Gajahmada.
"Ya!" jawab Panji Watang dengan tegas.
"Sebenarnya siapa menurut Rakrian Panji, mereka yang bertikai itu?" bertanya Bekel Gajahmada.
"Aku bukan anak kecil yang layak diberi pertanyaan seperti itu.
Semua orang tahu apa jawabnya."
Bekel Gajahmada makin jengkel.
"Persoalannya bukan siapa yang tengah bertikai, kalaupun dianggap orang yang bertikai itu ada. Tuanku Sri Jayanegara adalah raja yang sah, yang pengangkatannya sebagai Pangeran Pati dilakukan sendiri oleh Tuanku Prabu Rajasa. Mengapa Rakrian tidak mengambil sikap membela Tuanku Jayanegara" Ra Kuti itu siapa?" desak Bekel Gajahmada.
"Kau menganggap tidak ada yang bertikai?" bertanya Panji Watang.
Nada suaranya terdengar ketus.
"Para istri Tuanku Rajasa tak ada yang keberatan terhadap pengangkatan Tuanku Jayanegara. Lebih dari itu, Tuan Putri Breh Daha dan Tuan Putri Breh Kahuripan telah menerima pengangkatan itu dengan ikhlas."
Ada senyum sinis yang menyungging di sudut mulut Panji Watang.
Meskipun Panji Watang dengan segera menghapus kesan itu, Bekel Gajahmada telanjur melihatnya.
"Rupanya secara pribadi Rakrian Panji Watang tidak suka kepada Tuanku Jayanegara," kata Bekel Gajahmada dalam hati.
Rakrian Temenggung Panji Watang mulai tak suka dengan sikap dan kehadiran Bekel Gajahmada. Akan tetapi, Panji Watang harus menahan diri karena Bekel Gajahmada membawa lencana Mahapatih.
44 Gajahmada Bila Gajahmada tidak memegang benda itu, dengan senang hati ia akan mengayunkan tangannya menggampar wajahnya.
Suasana kemudian berubah menjadi hening karena Temenggung Panji Watang menjadi tak suka kepada Gajahmada yang pangkatnya hanya Bekel, tetapi dirasa tidak menghormatinya yang berpangkat jauh lebih tinggi. Untuk mencapai pangkat temenggung seorang bekel masih harus melompati pangkat senopati. Lebih dari itu, belum tentu seorang temenggung memegang pasukan.
Sebaliknya, Bekel Gajahmada tidak kalah jengkelnya.
"Sebelum saya kembali, Rakrian Temenggung," berkata Bekel Gajahmada datar, "saya ingin mendapatkan jawaban yang tegas. Besok pagi akan ada kraman, Rakrian Temenggung tak akan menggerakkan pasukan melindungi istana?"
"Sudah aku bilang," bentak Panji Watang, "aku tidak akan ikut campur dalam pertikaian itu. Aku menganggapnya sebagai persoalan yang tidak perlu melibatkanku, melibatkan pasukan Jalayuda."
Simpulan yang jelas dan tegas telah diperolehnya. Dengan demikian, Bekel Gajahmada telah mendapatkan kepastian bahwa pasukan Jalayuda tidak bisa diharapkan. Bahkan, sikap pasukan Jalayuda itu bisa dikatakan makar. Raja dalam bahaya, tetapi pasukan Jalayuda hanya diam, tindakan itu sangat tak bisa dibenarkan.
Gagak Bongol yang menyimak pembicaraan itu nyaris saja isi dadanya meledak. Akan tetapi, dengan sekuat tenaga Gagak Bongol berusaha menahan diri. Semula Bekel Gajahmada dan Gagak Bongol menduga mereka tak akan bisa keluar dari bangsal Jalayuda. Namun, ternyata Rakrian Panji Watang membiarkan mereka pergi. Sikap itu pun dirasa aneh. Akan tetapi, Bekel Gajahmada dan Gagak Bongol tidak kesulitan untuk menemukan jawabnya. Bila Gajahmada dan Gagak Bongol ditahan maka tidak akan ada perlawanan dari istana dalam menghadapi serbuan pasukan Jala Rananggana. Itu berarti kesegaran pasukan itu akan tetap utuh, berbeda jika perlawanan yang diberikan menyebabkan kelelahan luar biasa maka bukanlah pekerjaan yang sulit bagi Panji Watang yang muncul belakangan dalam menggilas mereka.
Gajahmada 45 Tanpa banyak bicara Bekel Gajahmada dan Gagak Bongol membedal kudanya, kembali berderap ke istana. Kabut yang turun tidak mereda, bahkan terasa makin kental. Namun, untunglah kuda-kuda yang mereka tunggangi tidak direpotkan oleh keadaan itu. Seolah bagi kuda-kuda itu, tebalnya kabut bukan masalah. Binatang pemakan rumput itu terus berderap.
Semula Gagak Bongol bermaksud diam. Akan tetapi, akhirnya Gagak Bongol tidak bisa menahan lagi. Isi dadanya bergolak.
"Apa artinya Kakang Bekel?" teriak Gagak Bongol. "Sikap Panji Watang yang seperti itu apa bukan pemberontakan" Sebagai seorang temenggung, Rakrian Panji Watang berkewajiban untuk melindungi negara, melindungi raja dan segenap keluarganya. Apa yang diucapkannya tadi hanya omong kosong. Kedengarannya bijak sekali, Temenggung Panji Watang menganggap apa yang akan terjadi nanti sebagai pertikaian antara keluarga yang tidak perlu dicampuri. Pertikaian apa" Tidak ada pertikaian itu. Alasan itu hanya mengada-ada, Kakang Bekel."
Bekel Gajahmada tidak menjawab. Kudanya terus berderap.
"He, Kakang Bekel. Kau tidak mendengar kata-kataku?" teriak Gagak Bongol sekali lagi.
"Jangan memboroskan waktu. Apa yang kautahu, aku tahu pula, kita harus cepat kembali ke istana."
Istana benar-benar senyap. Gajahmada tahu kalau segenap prajurit melakukan baris pendhem di balik dinding dan parit memanjang, di belakang gerumbul semak dan perdu. Namun, Bekel Gajahmada sekaligus merasakan betapa getir, jumlah prajurit yang ada itu tidak ada artinya jika dihadapkan pasukan segelar sepapan yang akan menggilas istana bagai banjir bandang.
Menjelang gerbang Purawaktra, Gajahmada segera meneriakkan kata-kata sandi. Sejenak kemudian pintu regol Purawaktra yang ditutup rapat itu terbuka. Para prajurit Bhayangkara segera mengelilinginya.
"Tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan?" tanya Bekel Gajahmada.
46 Gajahmada "Tidak terjadi sesuatu Kakang. Atau, jawaban yang lebih tepat adalah sampai saat ini belum," Gajah Pradamba yang juga disebut Gajah Enggon menjawab.
Bekel Gajahmada menengadah, maksudnya ingin melihat gemerlapnya bintang-bintang di langit untuk mengukur waktu. Namun, kabut tebal yang melayang-layang amat mengganggunya. Lamat-lamat, dari kejauhan terdengar suara burung gagak yang melengking menyayat.
Gajahmada berdesir saat sejenak kemudian terdengar burung gagak berteriak seperti memberikan jawaban. Suara burung gagak itu berasal dari arah wuwungan istana.
"Burung gagak sialan!" ucap Bekel Gajahmada dalam hati.
Segenap anak buahnya merasa tidak sabar lagi untuk segera mengetahui apa yang diperoleh Bekel Gajahmada dari pasukan Jalayuda atau Jalapati.
"Bagaimana hasilnya Kakang Bekel?" Lembu Pulung bertanya.
Bekel Gajahmada menebar pandang menyentuh semua wajah anak buahnya.
"Rakrian Dharmaputra Winehsuka berada di belakang semuanya ini!" Bekel Gajahmada mengawali.
Para prajurit Bhayangkara kaget.
"Winehsuka?" desis Panji Saprang Tandi.
Bekel Gajahmada mengangguk.
"Ra Kuti penggeraknya?" tekan Saprang Tandi.
Sekali lagi Bekel Gajahmada mengangguk, "Ra Kuti, Ra Wedeng, Ra Pangsa, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Tanca. Mereka mengobarkan kraman menggunakan alasan basi, seolah ada pertikaian di dalam keluarga istana. Padahal, pertikaian itu sama sekali tidak ada."
Para Bhayangkara saling pandang.
"Pasukan mana yang terlibat?" giliran Malan Liwung bertanya.
Gajahmada 47 "Pasukan Jala Rananggana terlibat, mereka tak ada di bangsal kesatrian. Rakrian Pujut Luntar terbujuk oleh rayuan Ra Kuti hingga mau bergabung. Pasti Rakrian Kuti memberikan iming-iming janji kepadanya, mungkin jabatan patih atau bahkan raja hingga Pujut Luntar minger kiblatnya."
Bekel Gajahmada menghirup udara mengisi paru-parunya. Segenap Bhayangkara sangat jengkel.
"Aku telah menemui Rakrian Temenggung Banyak Sora. Kita boleh berharap, Rakrian Banyak Sora masih memiliki jiwa prajurit sejati.
Temenggung Banyak Sora kaget ketika aku sampaikan kemungkinan adanya makar itu. Banyak Sora berjanji akan segera mengirim pasukannya. Sebelum matahari terbit diharapkan mereka telah pasang gelar."
Para Bhayangkara merasa agak lega. Dengan demikian, masih ada kemungkinan menyelamatkan istana dari kehancuran.
"Bagaimana dengan Jalayuda?" Risang Panjer Lawang bertanya sambil mengelus-elus jenggot.
"Mengenai Panji Watang, aku ingin sekali mendapat kesempatan untuk menyobek mulutnya dengan pedangku ini," ucap Gagak Bongol.
Para Bhayangkara kaget. "Panji Watang memihak mereka yang akan melakukan pemberontakan?" Risang Panjer Lawang bertanya.
"Panji Watang mencoba memainkan perannya sendiri!" Gajahmada menjawab. "Panji Watang tahu para Rakrian Winehsuka akan melakukan makar. Bahkan, sangat mungkin para Rakrian Winehsuka mengajak Panji Watang untuk bergabung. Namun, Panji Watang tidak bersedia. Panji Watang memutuskan pasukan Jalayuda akan menempatkan diri di luar dan hanya menjadi penonton."
Para Bhayangkara tambah bingung. Mereka sulit menerima penjelasan itu.
"Menjadi penonton?" Gajah Pradamba meletupkan kejengkelannya.
48 Gajahmada "Apakah Panji Watang tidak merasa berkewajiban untuk melindungi raja dan menyelamatkan negara?"
Bekel Gajahmada tersenyum. Gagak Bongol menggeram.
"Rakrian Panji Watang menganggap persoalan ini sebagai persoalan keluarga yang tidak perlu dicampuri," Gajahmada menambahkan.
"Orang itu sudah gila," umpat Gajah Pradamba.
"Menurut kalian apakah ada pertikaian keluarga itu?" pancing Bekel Gajahmada.
Para Bhayangkara terdiam. Mereka butuh waktu mencerna alasan Panji Watang yang tidak mau melibatkan diri itu.
"Alasan itu mengada-ada. Aku curiga panji Watang menyembunyikan maksud tertentu," Panjang Sumprit yang semula hanya diam ikut menyampaikan pendapatnya.
"Pertikaian antara keluarga itu tidak ada, pengangkatan Tuanku Jayanegara sebagai putra mahkota dilakukan sendiri oleh Kertarajasa Jayawardhana. Semua pihak mendukung keputusan itu."
"Itu sebabnya, tadi aku mengatakan Rakrian Temenggung Panji Watang akan memainkan perannya sendiri. Lugas saja kita menebak, Panji Watang memang berharap pertempuran itu berlangsung dan kemudian sama-sama hancur. Dengan demikian, Panji Watang akan berdiri di atas puing-puing pertempuran itu sebagai pemenang."
6 Para Bhayangkara mendapat gambaran makin jelas atas apa yang sebenarnya sedang berlangsung. Dengan demikian, apa yang akan terjadi Gajahmada 49
nanti di saat fajar menyingsing telah dapat diperkirakan. Pasukan Jala Rananggana adalah pasukan yang amat terlatih dan sangat disegani. Pada awalnya prajurit Jala Rananggana bercikal bakal dari prajurit Pamalayu yang pernah dikirim ke Sumatra ketika negara masih bernama Singasari.
Itu sebabnya, tandang grayang dan sepak terjang pasukan Jala Rananggana dikenal amat tangguh dan nggegirisi. Apalagi, di belakang mereka terdapat orang-orang muda seperti Ra Kuti, Ra Banyak, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, dan Ra Tanca.
Dengan cekatan Bekel Gajahmada mempersiapkan segala sesuatunya. Salah satu sesanti yang diyakini oleh prajurit Bhayangkara adalah berjuang sampai titik darah penghabisan, berusaha sampai nyawa terpisah dari raga. Itu sebabnya, Bekel Gajahmada dan segenap pasukan Bhayangkara terus berusaha dan bersikap seolah semua masalah pasti bisa diatasi. Kesulitan macam apa pun pasti menyisakan celah, demikian juga dengan persoalan yang muncul di tengah malam buta itu.
"Pasukan Jala Rananggana telah meninggalkan bangsalnya.
Pertanyaan yang muncul, di mana mereka sekarang masanggrah. Oleh karena itu, kita harus segera menemukan mereka. Kuberikan tugas itu kepada Lembang Laut. Aku percaya pekerjaan itu terlampau ringan untukmu. Sekembali dari tugas itu, mampirlah ke wisma kepatihan.
Sampaikan semua yang kauketahui kepada Mahapatih. Sampaikan pula persiapan-persiapan yang telah kita lakukan. Usahakan hanya Mahapatih Tadah tanpa orang lain yang mendengar laporanmu," Bekel Gajahmada berbicara tegas.
"Siap!" jawab Lembang Laut trengginas.
"Jangan menunggu besok, sekarang berangkatlah," lanjut Gajahmada.
Beberapa prajurit berkesempatan menyalami Lembang Laut yang siap melaksanakan tugas pengintaian itu. Purawaktra segera dibuka untuk memberi jalan kepada Lembang Laut. Lembang Laut adalah prajurit Bhayangkara yang mempunyai kemampuan khusus dan luar biasa. Ia seorang pelacak jejak yang ulung, hidungnya setajam hidung serigala sehingga hanya dengan membaca angin ia tahu harus bergerak ke mana.
50 Gajahmada Di luar Purawaktra, di lapangan yang jauh lebih luas daripada lapangan di dalam benteng istana, Lembang Laut yang berlari-lari kecil itu kemudian berhenti. Dengan ketajaman hidungnya, ia memerhatikan keadaan di sekelilingnya.
"Dari sebuah tempat yang tidak terduga!" desis Lembang Laut.
Akhirnya, Lembang Laut berlari amat kencang.
Bekel Gajahmada memerhatikan anak buahnya.
"Bagaimana persiapanmu?" bertanya Gajahmada pada kelompok Panjang Sumprit.
Panjang Sumprit serta ketiga rekannya, Lembu Pulung, Jayabaya, dan Kartika Sinumping bertugas mengamankan para putri kedaton.
Jika istana dijarah pemberontakan, para Bhayangkara bisa membayangkan betapa sekar kedaton, Breh Daha dan Breh Kahuripan, akan menjadi jarahan. Lebih-lebih Rakrian Kuti dikenal sebagai lelaki doyan perempuan.
Panjang Sumprit maju selangkah.
"Kami akan membawa para putri menyusul Tuan Putri Tribuaneswari dan Narendraduhita yang saat ini sedang mengunjungi Tuan Putri Gayatri. Hanya ada Ibunda Putri Prajna, Tuan Putri Rajadewi, dan Tunggadewi. Untuk mengawal para Tuan Putri itu kami membutuhkan tenaga lebih banyak," jawab Panjang Sumprit mewakili kelompoknya.
Namun, Bekel Gajahmada justru tidak sependapat.
"Perjalanan banyak orang justru akan menarik kecurigaan. Apalagi, jika menggunakan tandu. Berikan pengertian kepada para Tuan Putri akan keadaan ini. Berikan pengertian agar beliau mau menyamar sebagai orang kebanyakan," desak Gajahmada.
"Jika demikian," Panjang Sumprit menjawab, "kumohon Kakang Bekel yang menyampaikan kepada para Tuan Putri agar mengerti.
Bertempur sampai mati adalah hal yang amat gampang. Sebaliknya, menyampaikan hal-hal seperti yang Kakang Bekel maksud itu kepada Gajahmada 51
para Tuan Putri adalah pekerjaan yang amat sulit. Tolong Kakang Bekel saja."
Bekel Gajahmada tersenyum. Gajahmada tidak keberatan memenuhi permintaan itu.
"Baiklah," Gajahmada menukas. "Sekarang aku merasa telah tiba saatnya kita berbicara persiapan yang akan kita lakukan sebelum aku membangunkan Tuanku Baginda."
Bagi Bekel Gajahmada, dinding menjulang yang mengelilingi istana seolah telah menjadi bagian dari dirinya. Sudut-sudut istana yang menghadap ke arah barat, kolam memanjang dan dalam yang mengelilingi bagian dalam dinding istana, serta sudut-sudut bangunan mulai dari segala yang ada di Tatag Rambat atau yang lazim disebut sebagai Bale Agung Manguntur serta Balai Witana tepat di tengahnya yang digunakan raja untuk menerima mereka yang sewaka, tidak ada yang lepas dari perhatiannya. Dengan ketajaman nalarnya Bekel Gajahmada selalu berpikir, seandainya terjadi ontran-ontran bagian manakah dari sudut-sudut istana itu yang menjadi titik lemah dan bisa dimanfaatkan musuh.
"Aku menghendaki penjagaan yang rapat. Namun, karena tenaga yang ada sangat terbatas, pusatkan pengawasan di empat pintu gerbang.
Lalu tempatkan masing-masing satu orang yang melakukan baris pendhem untuk mengamati terowongan air. Amat mungkin terowongan air digunakan menyusup masuk ke balik dinding!" perintah Bekel Gajahmada.
Perintah itu tidak harus dilakukan dua kali. Para Bhayangkara dengan cekatan menerjemahkannya. Manakala segala perintahnya telah dilaksanakan, Gajahmada bergegas menuju bangunan induk istana.
Di dalam dinding istana yang menghadap ke arah barat dan dikelilingi benteng bata yang menjulang setinggi tiga puluh kaki, dibelah oleh dua buah jalan masing-masing dari pintu gerbang Purawaktra membelah alun-alun dalam istana hingga sampai di dinding sebelah timur. Tepat di pertengahan dinding sebelah utara juga terdapat pintu 52
Gajahmada terbuat dari besi berukir yang dijaga ketat para prajurit, membelah wilayah istana menyusur alun-alun menuju selatan hingga dinding benteng istana sebelah selatan. Berbeda dengan utara, barat, dan timur, dinding selatan tanpa pintu gerbang.
Di belakang Balai Tatag Rambat itulah letak bangunan istana utama yang menjadi kediaman raja, tidak menyatu dengan Balai Manguntur, tetapi dihubungkan jalan pendek dan menurun melalui pintu gerbang tersendiri yang ditandai dengan nama Candi Bajang Catur, berupa empat buah gupala kecil memanggul gada yang bersikap seolah mengawasi siapa pun yang melintas tempat itu.
Sri Jayanegara tengah tidur nyenyak saat pintu biliknya diketuk. Sri Jayanegara segera membuka mata. Jayanegara masih membutuhkan waktu beberapa saat untuk menenangkan diri.
"Siapa?" tanya Jayanegara.
Gajahmada lega karena Sri Jayanegara terbangun.
"Hamba Tuanku, Bekel Gajahmada. Ada hal amat penting yang menyebabkan hamba tidak bisa menunda waktu untuk membangunkan Tuanku," jawab Gajahmada.
Sri Jayanegara mengenal Bekel Gajahmada dengan baik. Jayanegara merasa tenang karena dikelilingi oleh prajurit berkemampuan khusus yang diberinya nama Bhayangkara yang berarti mengelilingi atau melindungi. Jika Bekel Gajahmada sampai membangunkan tidurnya, berarti sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Jayanegara bangkit dan membuka pintu.
"Ada apa?" bertanya Jayanegara.
Bekel Gajahmada agak kebingungan harus memulai dari mana.
"He, kabut tebal sekali" Waaaah," Sri Jayanegara kaget melihat kabut yang demikian tebal menyelimuti istana.
Kabut tebal itu menjadi tontonan yang menarik. Beberapa buah obor yang dinyalakan untuk menerangi segenap sudut istana terlihat Gajahmada 53
temaram. Sri Jayanegara memerhatikan keganjilan alam itu dengan lebih saksama. Kabut tebal sering dilihatnya pagi hari. Akan tetapi, kabut yang sedemikian tebal seperti saat itu, belum pernah Jayanegara menyaksikannya. Gajahmada membulatkan hati menepis keraguan.
"Hamba Tuanku. Hamba harus menyampaikan kepada Tuanku bahwa pada saat ini keselamatan istana sedang terancam. Ada pihak tertentu yang hendak melakukan makar!" ucap Bekel Gajahmada.
Sri Jayanegara terhenyak.
"Apa?" tanya Jayanegara seperti tak percaya pada pendengarannya.
Bekel Gajahmada diam. Pimpinan pasukan kecil Bhayangkara itu merasa apa yang disampaikannya telah cukup jelas.
"Siapa?" tanya Jayanegara dengan suara agak bergetar. "Siapa orang yang akan melakukan tindakan makar itu?"
Seperti sebuah kebetulan, tiba-tiba terdengar burung gagak di wuwungan melengkingkan teriakannya lagi, menyayat membelah malam.
Jayanegara menengadah menyempatkan memerhatikan suara itu.
"Dari wuwungan Tuanku!" ucap Bekel Gajahmada.
Jayanegara menjadi tidak sabar, "Siapa yang akan menggoyang kekuasaanku?"
"Hamba telah melakukan penyelidikan Tuanku!" jawab Gajahmada.
"Para Dharmaputra Winehsuka, Ra Kuti, Ra Pangsa, Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Wedeng bersatu padu dengan pasukan Jala Rananggana, mereka menyiapkan serbuan banjir bandang yang akan mereka lakukan pagi ini."
Jayanegara berusaha tenang. Akan tetapi, tetap saja tangannya bergetar. Jayanegara tiba-tiba merasa dadanya bagaikan terbelah. Rakrian Kuti dan teman-temannya belum lama yang lalu telah diberinya gelar anugerah sebagai para Rakrian Winehsuka. Penganugerahan itu dilakukannya sendiri dengan sebuah upacara di istana. Namun, kini para Winehsuka itu menusuknya dari belakang. Di depannya mereka menekuk 54
Gajahmada wajah amat dalam, tetapi dari belakang mereka menggoyang-goyangkan pantatnya.
Dengan jelas dan gamblang Gajahmada kemudian membeberkan semua yang diketahui. Disampaikannya dengan lugas tanpa dikurangi atau ditambahi. Sri Jayanegara yang di masa remaja bernama Kalagemet itu menyimak laporan Bekel Gajahmada dengan cermat. Kemarahan Baginda Jayanegara makin menjadi ketika Bekel Gajahmada juga melaporkan sikap Temenggung Panji Watang yang mengambil keputusan untuk tidak melindungi istana dan negara, tetapi memilih menempatkan diri di luar perang yang akan terjadi. Rakrian Temenggung Panji Watang menganggap apa yang terjadi itu hanyalah pertikaian antarkeluarga yang tidak perlu dicampuri.
Meski amat kecewa, pengganti Prabu Sri Rajasa Jayawardhana itu berusaha untuk bersikap tenang.
"Menghadapi keadaan ini, apa yang sudah kaulakukan?" tanya Jayanegara.
"Hamba Tuanku. Izinkanlah hamba menyampaikan kenyataan yang ada. Hamba sampaikan kenyataan apa adanya, tanpa hamba kurangi atau hamba tambahi agar Tuanku mendapat gambaran yang benar,"
Gajahmada berbicara. "Katakan!" balas Jayanegara.
"Rakrian Temenggung Banyak Sora dengan segenap kesatuan Jalapati telah menyatakan akan menempatkan diri melindungi Tuanku.
Namun demikian, karena jumlah pasukan yang akan menyerbu istana nantinya boleh dikata bagaikan banjir bandang maka besar kemungkinan istana tidak akan bisa dipertahankan."
Makin serak suara Sri Jayanegara, "Hal itu jangan sampai terjadi,"
ucapnya. Bekel Gajahmada bisa mengerti betapa kecewanya Jayanegara, tetapi Bekel Gajahmada tidak mau berbohong dan memberikan gambaran yang salah dan menyesatkan.
Gajahmada 55 "Para prajurit Bhayangkara akan berjuang sekuat tenaga Tuanku.
Demikian juga dengan prajurit Jalapati, akan berusaha melindungi Baginda. Kami berharap usaha kami memberikan perlawanan akan membuahkan hasil. Namun, kami tidak berani mengesampingkan kemungkinan paling buruk seandainya upaya itu tetap saja tidak berhasil membendung banjir bandang."
Bekel Gajahmada berhenti sejenak sambil mencerna sikap Sri Jayanegara. Raja Majapahit itu terpaksa harus mendengar apa yang dikatakan Bekel Gajahmada. Ada saatnya siapa pun harus mendengarkan apa yang diucapkan raja, tetapi kini tiba saatnya pula raja harus mendengarkan apa yang akan disampaikan Bekel Gajahmada. Betapapun sulit Jayanegara untuk menerima hal itu, betapapun pahitnya melebihi rasa pahit brotowali, yang pahit itu terpaksa harus ditelan.
"Jika kemungkinan buruk itu terjadi, hamba telah menyiapkan pasukan untuk menyelamatkan kerabat istana, termasuk Tuanku."
Meluap isi dada Jayanegara.
"Kau memaksaku menjadi pengecut untuk melarikan diri?"
sergapnya. Bekel Gajahmada bersikap tenang.
"Hamba Tuanku," berkata Gajahmada. "Hamba telah mengambil keputusan untuk mengungsikan kerabat istana. Sementara untuk Tuanku, hamba mengatakan, pengungsian itu hanya sebagai pilihan terakhir jika musuh memang tidak bisa dibendung."
Sri Jayanegara manggut-manggut. Tak tercegah isi dadanya amat sesak. Kemarahan, kejengkelan, dan kekecewaan campur aduk menjadi satu. Satu hal yang sulit diterima Jayanegara, para Rakrian Dharmaputra Winehsuka ternyata musang berbulu ayam, tidak tahu diri. Ra Kuti dan kawan-kawannya yang telah diberi gelar kehormatan sebagai orang-orang Winehsuka itu ternyata menikamnya dari belakang. Kekecewaan yang amat sangat itu harus ditelannya. Sebenarnyalah tidak ada yang melebihi rasa sakit selain dikhianati.
"Mahapatih Tadah sudah diberi tahu?" bertanya Jayanegara.
56 Gajahmada "Hamba Tuanku!" jawab Bekel Gajahmada. "Mahapatih Tadah yang memanggil hamba dan memberi tahu kemungkinan itu. Hamba menjadi yakin setelah para telik sandi yang hamba sebar menegaskan apa yang disampaikan oleh Mahapatih Tadah. Hamba baru saja mengirim utusan menghadap Mahapatih Tadah."
Jayanegara termangu. Bayangan wajah Rakrian Kuti makin lekat di matanya. Rakrian Kuti yang pintar omong, yang bila sewaka menekuk wajahnya amat dalam, merapatkan tangannya amat lekat pada saat menyembah, pintar mengambil hati itu, siapa mengira sanggup melakukan tindakan yang nyaris tidak masuk akal, mengkhianatinya.
Perjodohan Busur Kumala 15 Kemelut Blambangan Seri Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Senopati Pamungkas 30
^