Hamukti Palapa 4
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 4
yang bergerak amat lamban, menunggu bisa jadi merupakan pekerjaan
paling membosankan. Prajaka dengan wajahnya yang datar sangat tidak peduli pada apa
pun. Namun, untuk kedatangan ayahnya, remaja dengan kelainan jiwa
itu bergerak mendekat. Kalau ada senyum, senyum itu hanya sekilas.
"Bagaimana kabarmu, Prajaka" Tidak melihatmu sepekan seperti
sudah setahun lamanya," kata Pradhabasu.
Prajaka tidak memberi tanggapan apa pun. Tatapan matanya tetap
kosong dan jatuhnya entah ke mana. Dengan senyum dan anggukan
menghormat yang diberikan kepada Dyah Menur, Gajah Enggon
melangkah mendekat ikut memerhatikan apa yang akan dilakukan
mantan Bhayangkara Pradhabasu.
"Prajaka, lihat Ayah," kata Pradhabasu.
Sang Prajaka mulai menggerakkan bola matanya dan memandang
lurus ke mata ayahnya. 162 Gajah Mada Dengan senyum seperti menyembunyikan sesuatu, Pradhabasu
mengeluarkan semua anak panah dari endong di punggungnya dan
menjatuhkan anak panah itu hingga berserakan di tanah, hanya
tersisa sekepal yang tidak ikut disebar. Gajah Enggon dan Dyah
Menur mengerutkan kening karena tak memahami apa maksud
perbuatannya. "Empat puluh satu," kata Sang Prajaka setelah melirik sekilas.
Pradhabasu memeluk anaknya dengan erat dan selanjutnya
mengembangkan raut senyum penuh kebanggaan yang ditujukan itu
kepada Gajah Enggon. "Meski kau seorang prajurit berpangkat senopati," kata Pradhabasu,
"kau tak akan mampu mengalahkan kecerdasan anak ini. Mari kita hitung
bersama-sama." Dengan pandangan mata tak habis mengerti, Senopati Gajah
Enggon memerhatikan apa yang dilakukan Pradhabasu yang menghitung
jumlah anak panah yang semula dijatuhkan. Demikian pula dengan Dyah
Menur, memerhatikan dengan cermat.
"Empat puluh satu, nah benar, kan?"
Agak terlambat bagi Senopati Gajah Enggon untuk terbelalak.
Demikian juga amat terlambat bagi Dyah Menur untuk menyadari.
Senopati Gajah Enggon bergegas menempatkan diri di depan Sang
Prajaka, berharap akan berbalas pandang, tetapi Prajaka tidak melayani
keinginan itu. Pandangan matanya kosong tanpa isi, seolah titik jatuhnya
di tempat para jin dan hantu yang bersembunyi di alam lain.
"Menurutmu, anak ini tolol atau cerdas?"
Terbuka lebar mulut Gajah Enggon, matanya masih melotot.
"Mau diulang?" tanya Pradhabasu.
Tantangan itu langsung diterima oleh Senopati Gajah Enggon,
yang dengan bergegas mengeluarkan anak panah dari endong-nya. Anak
panah itu disebar di tanah, tetapi tidak semua. Sang Prajaka hanya
membutuhkan waktu tak lebih dari sekejap dalam melirik.
Hamukti Palapa 163 "Dua puluh tiga," kata Sang Prajaka tanpa keraguan.
Sang Prajaka kembali sebagaimana tabiatnya, menebar tatapan
matanya yang kosong dengan titik pandang kabur karena menembus
wilayah lamunan, tidak jatuh ke pepohonan atau benda apa pun. Sang
Prajaka kembali ke dunianya yang berada di luar dunia manusia. Di
dunia lain itu, semua gerak lelembut terlihat olehnya, tidak terlihat oleh
orang lain. Senopati Gajah Enggon yang dengan gugup memungut dan
menghitung anak panah yang ditebar, menemukan kenyataan yang
membuat jantungnya serasa berhenti berdenyut. Dengan mata
terbelalak, Gajah Enggon memerhatikan raut muka Sang Prajaka dengan
Pradhabasu tak henti-hentinya menahan senyum. Gajah Enggon bahkan
memerlukan menghitung ulang.
"Sekarang aku ulangi pertanyaanku, apakah menurutmu anakku ini
bocah tolol atau pintar?"
Gajah Enggon tidak mampu mencerna pertanyaan itu. Ia masih
terlalu sibuk dengan rasa kagetnya. Pradhabasu menyentuh pundaknya.
Gajah Enggon berbalik, raut mukanya berlepotan rasa takjub.
"Bagaimana anakmu melakukan itu?" tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu mengangkat pundak, senyumnya terasa aneh.
"Aku tidak tahu," jawabnya.
Gajah Enggon tak mampu meredakan rasa herannya, yang ia
puasi hal itu dengan mengulang menebar anak panah ke lantai. Kali ini
lebih banyak. Prajaka menoleh hanya sekilas. Namun, kali ini mulutnya
terkunci, pandangan matanya jatuh ke pagar yang penuh daun beluntas
di halaman. "Berapa, Prajaka?" tanya Gajah Enggon.
Prajaka tidak menjawab. Remaja berkelainan jiwa itu lebih memilih
menjadi patung beku. Namun, Pradhabasu segera menyentuh pundak
bocah itu. "Berapa?" tanya Pradhabasu kepada anaknya.
164 Gajah Mada "Lima puluh tujuh," jawab Sang Prajaka.
Gajah Enggon akhirnya merasa yakin bocah berkelainan jiwa itu
ternyata memiliki kemampuan langka. Hening yang melintas sekilas
seperti setan lewat yang menyita waktu dan perhatian.
Namun, Gajah Enggon segera menyisihkan rasa takjubnya kepada
bocah dengan kelainan jiwa itu karena ia harus memberikan perhatian
kepada pemilik rumah. Dengan ramah, Dyah Menur memberikan
penghormatan dan salamnya. Gajah Enggon membalas mengangguk
ketika Dyah Menur mengangguk sedikit membungkuk. Dari jarak cukup
dekat, kini Gajah Enggon bisa memerhatikan raut wajah Dyah Menur
yang telah membuat resah Gajah Mada, dengan cukup jelas.
"Selamat datang, Tuan Senopati," ucapnya dengan suara lirih, tetapi
terdengar jelas. Dengan sangat bergegas, Senopati Gajah Enggon membalas,
"Kabarku baik, Nyai. Aku berharap demikian juga dengan keadaan
Nyai." Dyah Menur tersenyum amat sejuk. Itulah senyum yang
menenteramkan keadaan, menyiram amarah, dan menimbulkan rasa
segan. Apalagi, betapa santun tutur kata perempuan itu, serasa semua
yang akan diucapkan telah disaring dengan teliti. Gajah Enggon merasa,
betapa beruntung Pradhabasu memiliki istri dengan kelebihan itu. Istri
yang dari tutur kata dan suaranya sangat sejuk meneduhkan hati. Yang
dari senyumnya serasa menjanjikan kedamaian tanpa batas dan yang dari
kecantikannya menyebabkan tak perlu melirik perempuan lain.
Melihat keberuntungan sahabatnya itu, Gajah Enggon kemudian
mengarahkan perhatiannya kepada dirinya sendiri. Sejauh ini nasibnya
kurang begitu bagus. Jodoh yang ditunggu-tunggu belum datang juga,
sementara waktu terus merayap mengantarkannya menuju ke makin
tua. "Apakah Prajaka merepotkanmu?" kali ini Pradhabasu bertanya.
Dyah Menur menggeleng. Hamukti Palapa 165 "Tentu tidak, Kakang," jawabnya lembut, "karena Prajaka seperti
punya dunianya sendiri. Beberapa hari ini, ia sangat menarik perhatianku.
Ia mulai menjawab dengan ucapan-ucapan yang lebih panjang meski
tatapan matanya selalu ke arah lain. Namun, yang mengagetkanku adalah
apa yang baru saja dilakukan."
Pradhabasu tidak bisa menutupi rasa senangnya. Namun, ketika
dengan mendadak kenangannya tertuju kepada ibu bocah itu, senyum
itu mendadak hilang dan kembali berubah menjadi nyeri yang menggigit.
Akan tetapi, dengan segera Pradhabasu membuang kenangan itu.
Pradhabasu mengedarkan pandangan matanya sekilas seperti ada yang
sedang dicari. "Di mana Kuda Swabhaya?" tanya Pradhabasu.
"Sedang tidur," jawab Dyah Menur.
Dengan segera Gajah Enggon menduga nama yang baru saja
disebut itulah yang dipersoalkan oleh Gajah Mada, dan dicemaskan kelak
di kemudian waktu akan menjadi sumber masalah dengan kemungkinan
akan mengganggu peralihan kekuasaan.
Namun, Gajah Enggon melihat dengan bocah itu menjadi anak tiri
Pradhabasu, sebenarnya Gajah Mada tidak perlu mencemaskan apa pun
karena Pradhabasu tentu tidak akan membiarkan hal macam itu terjadi.
Sebelumnya, anak Dyah Menur dengan Raden Kudamerta itu bernama
lain, nama Kuda Swabhaya, Pradhabasulah yang memberi.
Dyah Menur tidak membiarkan percakapan yang terjadi di
halaman rumah itu berlangsung lama. Ia mempersilakan Gajah Enggon
masuk. Dyah Menur merasa tidak nyaman percakapan itu diperhatikan
tetangganya yang bersembunyi di balik pagar di seberang jalan.
Entah apa yang menarik perhatian Ki Draba Alit itu dengan tetap
bertahan di tempatnya. Barulah Ki Draba Alit beranjak ketika tidak terlihat
siapa pun kecuali Prajaka yang sedang sibuk menghitung bilah daun pada
pelepah pohon jambe. Ketika tanpa sengaja pandangan mata Prajaka jatuh
ke arah dirinya bersembunyi, dengan gugup Ki Draba Alit menyelamatkan
diri ke balik pohon, berusaha agar kakinya jangan sampai terlihat.
166 Gajah Mada Dyah Menur berdebar-debar manakala kesempatan yang diharapkan
itu ia peroleh. Akan tetapi, sebagai perempuan, ia hanya bisa
menempatkan diri menunggu Pradhabasu yang mendahului berbicara.
Ketika Dyah Menur sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan
dan minum, Pradhabasu menemuinya.
"Aku akan pergi untuk waktu cukup lama, Nyai. Itu sebabnya,
mungkin aku akan menitipkan Prajaka lebih lama. Untuk itu, telah aku
siapkan semua kebutuhan yang Nyai perlukan. Aku ada uang dalam
jumlah yang cukup untuk kebutuhan hidup yang kauperlukan selama
aku pergi." Hati Dyah Menur serasa terbelah, tetapi dengan sangat tidak terlihat
ia menyembunyikan warna hatinya. Senyumnya tetap sejuk dan menawan,
kepalanya tetap menunduk agar tak terbaca bahasa wajahnya.
"Ke mana Kakang akan pergi?" balas perempuan itu.
Pradhabasu menerawang. "Istana Majapahit kehilangan dua buah pusaka amat penting. Aku
harus menemani Senopati Gajah Enggon mencarinya. Aku tak tahu
berapa lama waktu yang aku butuhkan, mungkin sebulan atau mungkin
lebih." Dyah Menur merasa napasnya sedikit sesak. Kini, setelah waktu
bergerak cukup lama, ia punya alasan untuk selalu memikirkan laki-
laki itu. Alasan untuk berharap apa yang dulu pernah dibicarakan akan
dibahas lagi. Namun, jangankan untuk membahasnya, kini Pradhabasu
bahkan berpamitan untuk perjalanan yang panjang.
Padahal, betapa ingin Dyah Menur memperoleh kesempatan
berbicara, membahas pinangan yang dulu pernah dilontarkan. Hanya
sayang, kedudukannya sebagai perempuan menyebabkan ia tak mungkin
melakukan itu. Sebagai perempuan, Dyah Menur hanya bisa menunggu
dan berharap. Tidak mungkin baginya mendahului berbicara karena
Dyah Menur merasa yang demikian itu saru.119
119 Saru, Jawa, tidak pantas dilakukan
Hamukti Palapa 167 Dari kampil-nya, Pradhabasu mengeluarkan segenggam uang dengan
warna kuning mengilat yang diserahkan kepada Dyah Menur. Bahwa
uang itu terbuat dari emas maka nilainya tentu sangat banyak. Namun,
perempuan itu tidak dengan segera menerima. Ia memilih menunduk
mengunyah gelisahnya. Dadanya mendadak sesak, tetapi sekuat tenaga
perempuan cantik itu berusaha mengusai diri.
"Kenapa?" tanya Pradhabasu.
Tatapan mata Dyah Menur masih jatuh ke dekat kakinya.
"Ada apa, Nyai?"
Dyah Menur yang menunduk itu mendongak dan segera menghapus
semua kesan dari wajahnya dengan tersenyum. Diterimanya uang dalam
bungkusan kain itu dan siap untuk digunakan sebagai biaya hidup lebih
dari setahun sekalipun. Dengan uang yang demikian banyak, Dyah Menur
merasa cemas perjalanan yang ditempuh Pradhabasu akan berjalan lama.
Merenda waktu amat lama dalam menunggu tentu merupakan pekerjaan
menyedihkan. "Tidak ada apa-apa," jawabnya lirih dengan kembali menundukkan
kepala. Namun, Pradhabasu menangkap adanya sesuatu yang disembunyikan.
Yang ia tak tahu adalah bagaimana cara mengejar supaya Dyah Menur
mau lebih terbuka. "Benda pusaka apa yang hilang dicuri itu?" tanya perempuan itu.
"Sebuah payung dan cihna," jawab Pradhabasu.
Dyah Menur mengerutkan kening,
"Payung dan cihna?"
Pradhabasu mengangguk. "Kalau kau pernah mendengar," tambah Pradhabasu, "payung yang
hilang adalah payung Kiai Udan Riwis yang dipergunakan memayungi
ketika diselenggarakan wisuda, antara lain terhadap mendiang Tuanku
Prabu Wijaya, juga terhadap mendiang Tuanku Prabu Kalagemet Sri
168 Gajah Mada Jayanegara. Payung itu pula yang digunakan mewisuda Prabu Putri Sri
Gitarja dan Dyah Wiyat Rajadewi dan perkawinan beliau. Itu sebabnya,
kau bisa membayangkan betapa besar makna kehilangan yang dialami
Majapahit saat ini. Benda berikutnya cihna. Cihna itu merupakan benda
yang pertama dibuat. Itu sebabnya, dianggap sebagai cihna pusaka. Benda
itu juga ikut tercuri lenyap dari ruang perbendaharaan pusaka."
Dyah Menur Hardiningsih menyimak penjelasan itu dengan
saksama dan bisa memahami betapa berat tugas yang diemban oleh
Pradhabasu. "Tetapi, mengapa yang ditugasi Kakang Pradhabasu?" tanya Dyah
Menur. Pradhabasu merasa lehernya seperti tercekik.
"Maksudmu?" balasnya.
"Mengapa harus Kakang Pradhabasu yang menjalankan tugas itu?"
tekan Dyah Menur. Pradhabasu terheran-heran dan takjub. Pradhabasu tidak salah
mendengar bahwa ada getar yang berbeda terlontar dari ucapan
perempuan di depannya itu. Ucapan Dyah Menur bagai ucapan seorang
istri yang merajuk. "Kenapa dengan pertanyaanmu itu?" tanya Pradhabasu.
Dyah Menur menunduk dan Pradhabasu menyimak dengan
cermat. "Bukankah Kakang tak lagi menjadi seorang prajurit di Majapahit.
Jadi, mengapa Kakang Pradhabasu harus terbebani oleh tugas itu?"
Dyah Menur menambah dengan suara tersendat.
Pradhabasu akhirnya merasa lehernya makin kaku dan mengalami
kesulitan bernapas. Selanjutnya, Pradhabasu merasa yakin bahwa ada
semacam rasa tak ikhlas yang diungkapkan Dyah Menur melihat apa
yang akan dilakukannya. Dyah Menur tak setuju dengan perjalanan
panjang yang akan ditempuh itu. Ada semacam rasa tak rela ditinggal
Hamukti Palapa 169 pergi demikian lama. Masalahnya, bagaimana harus mengungkapkan
perasaan itu.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun, Pradhabasu memiliki jawabannya.
"Apa yang akan aku lakukan merupakan panggilan jiwa, Nyai,"
katanya. "Apa yang akan aku lakukan bukan karena negara menugaskan
kepadaku untuk mencari pusaka yang hilang itu. Namun, aku merasa
terpanggil untuk melakukannya. Aku merasa ikut bertanggung jawab
untuk ikut menemukan kembali benda yang hilang itu."
Lalu, hening. Mulut Dyah Menur terbungkam. Ketika tangannya
mengaduk bongkahan gula kelapa di dalam air jahe, ia lakukan itu dengan
kepala menunduk. "Apakah Nyai ingin aku tidak pergi?" tanya Pradhabasu.
Meski Nyai Dyah Menur diam, sejenak kemudian ia menggeleng.
Pradhabasu menghirup tarikan napas panjang dan memenuhi
semua ruang di lorong paru-parunya. Pradhabasu berusaha menebak
latar belakang apa yang menjadi penyebab sikap berbeda perempuan itu.
Akan tetapi, apa pun latar belakang itu, Pradhabasu merasa perjalanan
yang akan ditempuhnya untuk melacak jejak dua benda pusaka negara
yang hilang tak boleh dibatalkan. Tidak ada yang bisa menghalangi
langkah yang akan ditempuh, gempa bumi yang menyebabkan tanah
terbelah sekalipun. Namun, Pradhabasu tidak membiarkan Dyah Menur dan anaknya,
juga Prajaka yang dititipkan kepadanya berada dalam keadaan tak
terlindung. Untuk itu, ia meninggalkan uang lebih dari cukup agar Dyah
Menur tidak kekurangan. Sementara itu, untuk keamanannya, menjelang
perjalanannya, Pradhabasu menyempatkan menemui Buyut Wirasari,
mantan prajurit tua dari kesatuan pasukan Jalapati, yang terpilih menjadi
buyut menggantikan ayahnya. Atas nama hubungan persahabatan yang
pernah terjalin selama menjadi prajurit, Pradhabasu menitipkan Dyah
Menur dan anaknya, juga Sang Prajaka ke perlindungannya. Kebetulan
rumah Ki Buyut Wirasari tidak terlampau jauh, hanya berselisih tiga
rumah saja. 170 Gajah Mada "Aku titipkan anak istriku, Kakang," kata Pradhabasu.
Buyut Wirasari mengangguk penuh hormat. Apalagi, terhadap
Senopati Gajah Enggon yang pernah menyandang jabatan demikian
tinggi sebagai pimpinan pasukan Bhayangkara. Permintaan bantuan itu
akan dilaksanakan dengan kesungguhan hati.
Dan, ketika tiba saatnya Pradhabasu dan Gajah Enggon harus
melambaikan tangan pamitan dan perpisahan, Dyah Menur masih
mampu mengusai diri. Namun, ketika derap kuda yang membawa
mereka meninggalkan halaman untuk kemudian lenyap di balik sebuah
tikungan, Dyah Menur ternyata tak mampu mengusai diri, tak mampu
ia mencegah air mata yang bergulir.
Ki Buyut Wirasari tanggap atas keadaan.
"Berdoalah, Nyai. Semoga Ki Pradhabasu segera kembali. Selanjutnya,
selama menunggu suami Nyai kembali, kuminta Nyai tinggal bersama
kami." Dyah Menur mengangguk. Tak ada ucapan apa pun yang terlontar
dari mulut perempuan itu. Ketika Sang Prajaka datang mendekat dengan
raut muka yang aneh, Dyah Menur merengkuh dan memeluknya dengan
ketat. Dalam hati Dyah Menur hanya bisa meratapi rasa kecewanya
karena waktu yang digunakan Pradhabasu menengoknya dan menengok
Prajaka sangat singkat. Sang Prajaka kali ini mengarahkan pandangan matanya ke barisan
pohon kelapa di kejauhan. Pohon-pohon kelapa itu telanjur menjulang
demikian tinggi sehingga tak ada yang berani memanjat untuk memetik
buahnya. Untuk bisa memetik buah kelapa dari pohon yang telanjur
tinggi, seorang penduduk pernah melatih seekor kera besar. Dengan
keperigelannya yang khusus itu, kera besar itu akhirnya menjadi
langganan penduduk yang membutuhkan bantuannya.
Untuk kera tersebut disediakan hadiah kerang rebus, sedangkan
pemiliknya mendapat bagian kelapa. Jika kera itu memetik sepuluh butir
kelapa, pemiliknya berhak satu butir.
Hamukti Palapa 171 Dengan sedikit memicingkan mata, Sang Prajaka menghitung ada
berapa jumlah buah dalam barisan memanjang itu.
13 S enja membayang di kaki langit ketika Pradhabasu dan Gajah
Enggon belum lama meninggalkan rumah Dyah Menur dan akan
menapaki jarak yang cukup jauh menuju Ujung Galuh. Di sepanjang
perjalanan yang ditempuh, dua orang pilih tanding dengan kemampuan
keprajuritan yang mumpuni itu melihat betapa gersang apa pun yang
mereka pandang. Kemarau kali ini memang sungguh keterlaluan, tanah-
tanah sawah merekah menjadi bongkahan-bongkahan menyedihkan.
Tidak ada tanaman yang bisa tumbuh dengan keadaan tanah seperti itu.
Sungguh tak ada yang bisa dilakukan oleh para petani.
"Kalau sampai bulan depan tak juga turun hujan, sulit membayangkan
apa yang akan terjadi karena persediaan bahan makanan yang dihimpun
negara makin menipis," kata Gajah Enggon sambil berteriak.
Pradhabasu yang berada di belakang membalap.
"Rakyat akan makan tanah," balasnya.
"Ya," jawab Gajah Enggon. "Kalau rakyat makan tanah, kita tak
perlu khawatir. Ada cukup banyak persediaan tanah yang tak akan habis
untuk dimakan." Meski berkelakar, kelakar itu tidak menyebabkan Pradhabasu dan
Gajah Enggon harus tertawa.
"Masalahnya, bagaimana cara mengajari rakyat makan tanah agar
mereka tidak kelaparan?" lanjut Gajah Enggon.
172 Gajah Mada Pradhabasu menyalip dan selanjutnya berada di depan.
"Kau harus memberi contoh. Kurasa kalau kau yang memberi
contoh, rakyat akan meniru. Bukankah kau Senopati Gajah Enggon
yang terkenal itu?" Kali ini, Gajah Enggon benar-benar tertawa.
Perjalanan menuju Ujung Galuh masih jauh. Sementara itu, matahari
telah doyong ke arah barat. Serombongan burung kuntul terbang berarak
entah dengan tujuan ke mana. Keberadaan burung kuntul itu sungguh
menarik di musim kemarau yang panjang ini karena menjadi pertanda di
suatu tempat entah di mana, yang pasti di tempat itu masih ada air.
Kuda Pradhabasu terlonjak dan sontak meringkik ketika dengan
agak mengejut Pradhabasu menarik tali kendali kekang kudanya. Gajah
Enggon yang berkuda di depan segera melakukan hal yang sama. Dengan
tangkas Gajah Enggon segera memutar balik kudanya dan mengarahkan
pandangan ke tempat yang sama, nun di sana ada asap mengepul.
"Kebakaran?" desis Pradhabasu.
Pradhabasu tidak perlu mempertimbangkan apa pun untuk segera
melecut kuda yang ditungganginya menuju tempat dari mana asap
tampak membubung tinggi. Gajah Enggon membalap tidak kalah cepat.
Pradhabasu dan Gajah Enggon yang telah sampai di tempat yang dituju
segera menarik simpulan, kebakaran itu bukan jenis kebakaran yang tak
di sengaja karena ada beberapa sosok tubuh yang tergeletak dengan
penyebab yang tak ada hubungannya dengan api.
Seorang perempuan dengan luka berdarah di punggungnya terkulai
memeluk tubuh seorang lelaki yang menjadi mayat. Pradhabasu yang
datang mendekatinya mendapatkan kenyataan, perempuan itu telah tak
bernyawa. Luka yang cukup parah telah menguras darahnya. Perempuan
itu tak mau kehilangan suaminya. Itu sebabnya, ia ikut mati menemani
suaminya. Gajah Enggon tidak melihat siapa pun di sekitar rumah itu. Hanya
ada empat buah rumah yang terbakar semuanya. Setidaknya kebakaran
Hamukti Palapa 173 itu telah terjadi cukup lama karena hanya menyisakan arang. Beberapa
tubuh yang tergeletak mungkin pemilik rumah itu, atau sebagian yang
lain mungkin melarikan diri menyelamatkan diri. Gajah Enggon yang
berlari mengitari rumah-rumah terbakar itu meyakini dugaannya.
"Orang-orang tadi pelakunya?" tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu segera teringat pada serombongan orang yang sebelum-
nya berpapasan dengannya. Pradhabasu mengerutkan keningnya.
"Apa artinya ini?" tanya Pradhabasu.
Gajah Enggon mengangkat bahu karena sama tak tahu jawabnya.
"Harus ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di tempat ini,"
Pradhabasu berkata. Gajah Enggon dan Pradhabasu segera melakukan pemeriksaan.
Semua mayat laki-laki dan perempuan, dan di antaranya bahkan ada
yang masih bocah diperiksanya dengan cermat. Yang paling menarik
perhatiannya adalah seekor kuda yang tergeletak juga ikut menjadi
mayat. Gajah Enggon melihat salah satu rumah dilengkapi dengan kandang
kuda. Yang menjadi perhatian Enggon dan Pradhabasu, kuda itu mati
oleh anak panah yang menembus perutnya. Dengan segera disimpulkan,
kuda yang mati bukan hanya oleh api, tetapi juga oleh anak panah.
Keadaan itu dengan segera menumbuhkan pertanyaan.
Gajah Enggon mencabut anak panah itu dan memerhatikan.
"Ini jenis anak panah untuk berburu," ucapnya.
"Kalau begitu," kata Pradahabasu, "kuda ini mungkin milik
pelaku pembantaian ini, sementara anak panah dilepas oleh penduduk
dari rumah-rumah ini. Sebagai gantinya, pembantai pemilik kuda itu
merampas kuda milik penduduk pedukuhan ini."
Kembali Pradhabasu memeriksa semua mayat, tetapi tidak ada
tanda-tanda yang mengarah ke dugaan anak panah yang menembus
tubuh kuda itu berasal dari salah satu orang yang terbunuh menjadi
174 Gajah Mada mayat itu. Mayat-mayat yang terbantai itu sama sekali tidak memberikan
tanda-tanda adanya perlawanan.
Pradhabasu menoleh ketika dari arah salah satu rumah yang terbakar
terdengar ringkik kuda. Pradhabasu yang mendekat mendapati kuda
itu tidak bisa menjauh karena lehernya terikat tali. Beruntunglah kuda
hitam itu karena api tidak sampai menyentuhnya. Andaikata kuda itu
bisa bercerita, tentulah Pradhabasu akan bertanya.
"Tak seorang pun yang bisa memberi keterangan mengenai apa
yang terjadi?" Gajah Enggon mengangguk. Pradhabasu menerawang dan
memandang langit. "Apakah kita kembali ke kotaraja?"
Gajah Enggon berpikir, matanya memejam. Namun, sejenak
kemudian perwira dengan pangkat senopati itu menggeleng.
"Kita sudah sejauh ini," ucapnya. "Jika orang itu berniat jahat di
kotaraja, ia akan terantuk batunya. Penjagaan di kotaraja demikian ketat
dengan telik sandi menyebar di mana-mana. Tak mungkin ada yang bisa
lolos dari saringan para telik sandi. Tanpa harus kita beri tahu, para prajurit
Majapahit sudah bisa menandai kehadiran mereka."
Gajah Enggon dan Pradhabasu akhirnya harus mencuci piring
bekas pesta orang lain karena mayat-mayat itu tak mungkin dibiarkan.
Menggunakan sebuah cangkul, dibuat sebuah lubang besar yang
dilakukan itu dengan bahu-membahu. Peluh pun bagai diperas berleleran,
apalagi matahari yang sudah jauh doyong ke barat itu masih memberi
hawa panas yang menyengat.
Sebenarnya Pradhabasu tidak hanya berdua dengan Gajah Enggon
di tempat itu karena dari balik lebatnya papringan yang berada tidak jauh
dari tempat itu, seseorang sedang mengamati apa yang dilakukan. Setelah
beberapa saat memerhatikan dengan jantung berlarian, akhirnya orang
itu memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya. Bahwa orang itu
tetap bersikap waspada, terlihat dari anak panah yang biasa digunakan
berburu tetap melekat di gendewa yang terentang.
Hamukti Palapa 175 Pradhabasu yang mulai menurunkan mayat-mayat ke liang lahat,
menghentikan pekerjaannya. Dengan alis mencuat, dipandanginya orang
yang mendekat itu. Gajah Enggon melihat betapa pemuda itu menyangga
beban yang sangat berat. "Siapa kalian?" bertanya pemuda itu.
Pradhabasu dan Gajah Enggon tidak dengan segera menjawab.
Dengan penuh selidik, mereka memerhatikan pemuda yang merentang
langkap itu. Pemuda itulah yang kemudian menjadi tidak sabar.
"Siapa kalian?" ulangnya dengan bentakan.
Pradhabasu dan Gajah Enggon yang semula berdampingan
memisahkan diri mengambil jarak, menyebabkan pemuda dengan anak
panah itu bingung mengarahkan bidikannya.
"Apakah kau penduduk pedukuhan ini?" Pradhabasu justru balas
bertanya. Ucapan Pradhabasu yang dilakukan dengan tenang itu menyebabkan
pemuda itu kebingungan. "Siapa namamu?" lanjut Pradhabasu.
Pemuda itu tidak menjawab. Ia membalas pandangan Pradhabasu
dan Gajah Enggon bergantian. Kebingungan berbau panik yang dialami
menyebabkan pemuda itu tak mampu berbicara. Pandangan matanya
tertuju ke lubang galian yang telah dibuat, pada mayat-mayat yang telah
digeletakkan di dalamnya.
Beban yang teramat berat rupanya memang sedang disangga
pemuda itu. Raut wajahnya membeku ketika dengan amat perlahan ia
melangkah mendekati tepi galian dan memandang tubuh-tubuh yang
telah kehilangan nyawa. Pradhabasu dan Gajah Enggon menempatkan
diri menunggu. "Ceritakan apa yang terjadi. Aku Senopati Gajah Enggon dari
pasukan khusus Bhayangkara dan ini sahabatku, Pradhabasu. Kebetulan
kami lewat tak jauh dari tempat ini ketika melihat sisa kebakaran yang
terjadi," kata Gajah Enggon.
176 Gajah Mada Pemuda itu terkulai. Langkap dan anak panah yang semula
dipegangnya dengan erat jatuh karena tak ada sisa kekuatan untuk
menggenggamnya. Sisa kekuatan yang ada rupanya dipergunakan untuk
menguasai diri. Bahwa apa yang dilakukan itu bukan hal yang mudah,
sangat terbaca dari wajahnya yang merah padam, giginya terkatup saling
menggigit. Gajah Enggon dan Pradhabasu akhirnya memilih menempatkan
diri menunggu pemuda itu menguasai diri sambil terus melanjutkan
pekerjaannya. Mayat terakhir yang masih tersisa dengan hati-hati
dimasukkan ke dalam galian kuburan itu. Pemuda yang mengalami
kekalutan luar biasa itu seperti orang tersadar dari lamunan melihat
orang-orang di depannya mulai menguruk.
"Biarlah aku yang akan mengerjakan pekerjaan itu," ucapnya.
Gajah Enggon dan Pradhabasu saling lirik.
"Adakah yang bisa kauceritakan, apa yang terjadi?" tanya Enggon.
Pemuda itu membalas pandangan Pradhabasu dengan mata berkilat-
kilat menahan amarah, tangan kanannya gemetar seperti orang buyutan,
gemetar juga mulutnya. Kalau saja pelaku pembantaian itu berada di
depannya dan andaikata ia mempunyai kemampuan untuk mengalahkan
mereka, tentu anak panahnya yang akan berbicara mewakili dirinya.
"Aku tak tahu apa sebenarnya kesalahan kami. Mereka menyerbu
dan membakar rumah kami dengan alasan yang sama sekali tidak kami
mengerti," jawab pemuda itu dengan suara yang amat serak.
Pradhabasu termangu. "Kalau boleh aku tahu, siapa namamu?" tanya Gajah Enggon.
"Namaku Tumangkar," jawabnya.
"Apakah orang-orang yang melakukan pembantaian ini sebanyak
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lima orang, mereka datang dengan berkuda?" Pradhabasu bertanya.
"Ya," jawab Tumangkar, suaranya terbata. "Seorang di antaranya
seorang lelaki yang sudah tua dan agak buta. Meski begitu, orang itulah
Hamukti Palapa 177 yang paling bengis. Perintah-perintah yang disalurkan dan caci maki
yang diucapkan mengerikan sekali."
Kembali Pradhabasu dan Gajah Enggon saling lirik. Pradhabasu
yang berbalik, memerhatikan jalan panjang yang semula dilewatinya.
Ketika Pradhabasu mencoba mengenang kembali rombongan orang-
orang itu, memang benar salah seorang di antara mereka berusia lanjut.
Meski sudah lanjut, nyatanya masih mampu menunggang kuda dengan
perigel trengginas. "Bagaimana kalian bisa tahu?" Tumangkar mengurai rasa
penasarannya. "Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan mereka," jawab
Pradhabasu. "Orang-orang itu sedang menuju ke kotaraja."
Hening yang menyeruak adalah karena Pradhabasu dan Gajah
Enggon berusaha menerka latar belakang apa di balik peristiwa itu.
Sekelompok orang berkuda melakukan pembantaian tanpa latar belakang
yang jelas dan dilakukan secara acak tentulah karena menyimpan maksud
tertentu. Raut muka Pradhabasu tiba-tiba berubah setengah terbelalak.
"Ada apa?" tanya Gajah Enggon.
"Mungkin mereka orang-orang yang dimaksud Kakang Gajah
Mada?" Gajah Enggon melangkah mundur dan berjalan mondar-mandir.
"Orang-orang yang oleh Ibu Suri diramalkan akan kembali masuk
ke istana untuk melakukan pencurian?"
Pradhabasu mengangguk. "Yang mereka lakukan adalah untuk memancing para prajurit agar
perhatiannya teralihkan. Dengan demikian, mereka akan leluasa masuk
ke dalam gedung perbendaharaan pusaka. Apakah ini berarti kita harus
kembali untuk memberitahukan kemungkinan itu kepada Kakang Gajah
Mada?" kata Pradhabasu.
178 Gajah Mada Pertanyaan itu menyebabkan Gajah Enggon harus berpikir keras.
Apa yang telah dilontarkan mantan Bhayangkara Pradhabasu itu memang
masuk akal, sebagaimana sangat masuk akal lima orang berkuda yang
sebelumnya berpapasan dengannya dicurigai sebagai orang-orang yang
diramalkan oleh Ibu Suri Rajapatni Gayatri akan kembali masuk ke istana
karena merasa tak puas dengan hasil pencurian pertama.
"Kita tak perlu kembali," jawab Gajah Enggon.
Sontak Pradhabasu mencuatkan alis.
"Apa maksudmu?" kejar Pradhabasu. "Bukankah perjalanan yang
kita tempuh kali ini adalah dalam rangka mengejar mereka, mengejar
orang-orang yang mencuri pusaka-pusaka itu" Mengapa kau berpendapat
tak perlu kembali?" Gajah Enggon segera teringat pada petunjuk yang diterimanya dari
Ibu Suri. Ada satu bagian dari petunjuk itu yang menjadi alasan kuat
untuk tak perlu kembali ke istana apa pun yang terjadi. Setidaknya malam
ini, apa pun yang terjadi harus sampai ke Ujung Galuh.
"Kisanak Tumangkar, kalau boleh aku tahu, siapa saja keluargamu
yang menjadi korban pembantaian ini?" tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu mencuatkan alis makin tinggi melihat Gajah Enggon
membelokkan persoalan. "Tidak ada satu pun," jawab Tumangkar. "Namun bagiku, para
tetanggaku adalah keluargaku. Bagaimana aku bisa merasa tak pernah
kehilangan dengan kematian-kematian ini?"
Gajah Enggon termangu beberapa saat lamanya. Pradhabasu
merasa makin heran melihat Gajah Enggon mengeluarkan lencana
dari balik bajunya. Itulah lencana yang hanya dimiliki oleh prajurit
yang menyandang pangkat senopati. Ketika masih menjadi prajurit
Bhayangkara, Pradhabasu juga pernah memiliki lencana macam itu.
Akan tetapi, benda itu telah lama hilang. Lagi pula, karena Pradhabasu
tak lagi menjadi prajurit Bhayangkara, ia merasa tak berhak lagi memiliki
benda itu. Hamukti Palapa 179 "Kisanak Tumangkar," kata Gajah Enggon. "Kauingin membalas
perbuatan orang-orang yang telah membantai para tetanggamu ini?"
Pertanyaan itu menyebabkan Tumangkar terlonjak. Kalau mungkin,
tentu saja Tumangkar sangat ingin. Namun, kekuatan mana yang bisa
digunakan menghukum orang-orang yang tanpa alasan jelas telah
membantai para tetangganya itu"
"Kauingin orang-orang itu dihukum, bukan?"
Tumangkar mengangguk tegas. Gajah Enggon menyerahkan
lencana miliknya, menyebabkan Tumangkar bingung, demikian juga
dengan Pradhabasu. "Pergilah ke kotaraja," lanjut Gajah Enggon. "Temuilah Patih Gajah
Mada dan ceritakan apa yang terjadi di tempat ini. Sampaikan pesanku
kepadanya bahwa orang-orang itu membuat kekacauan untuk mengalihkan
perhatian. Mereka adalah maling-maling yang akan melakukan pencurian
di istana. Agar kau tidak mengalami rintangan selama perjalanan yang
akan kautempuh dengan mengalami pemeriksaan yang dilakukan para
prajurit, tunjukkan lencana ini dan katakan kepada mereka kalau kau
menerima benda ini dariku. Ceritakan kepada Patih Gajah Mada apa
yang menimpa penduduk pedukuhan ini, sampaikan pula para pelakunya
memasuki kotaraja." Tumangkar menerima lencana itu dan mengamatinya beberapa
saat. Tumangkar mencoba mengingat nama orang-orang di depannya,
tetapi telanjur lupa. "Kalau Ki Patih Gajah Mada bertanya, aku menerima benda ini
dari siapa?" "Katakan, aku dan sahabatku singgah di padukuhanmu. Namaku
Senopati Gajah Enggon dan ini sahabatku, Pradhabasu."
Tumangkar masih memerhatikan lencana yang dipegangnya dan
beralih kepada orang yang menyerahkan benda itu. Menyadari pemilik
lencana itu bukan orang sembarangan, Tumangkar segera memberikan
penghormatan. Agar tidak hilang, lencana itu disimpan di saku bajunya.
180 Gajah Mada "Kulihat ada kuda hitam di sana, itu milik siapa?" tanya Gajah
Enggon sambil mengarahkan telunjuknya.
"Kuda milik tetanggaku," jawab Tumangkar sambil melirik ke
galian kubur. Gajah Enggon mengarahkan perhatiannya ke lubang galian itu.
"Kalau kau tak keberatan, berangkatlah sekarang," kata Gajah
Enggon. "Gunakan kuda itu untuk menempuh perjalanan ke kotaraja,
apakah kau keberatan?"
Wajah Tumangkar berkilat-kilat.
"Apakah dengan demikian orang-orang jahat itu akan mendapatkan
hukuman?" Gajah Enggon mengangguk. "Tentu," jawabnya. "Patih Gajah Mada pasti akan memburu mereka
dan memberi hukuman setimpal."
Tumangkar yang merasa berkepentingan, tergugah semangatnya.
Tanpa banyak bicara, Tumangkar mengambil kuda hitam yang telah
ditinggal mati pemiliknya. Tanpa banyak bicara pula, Tumangkar
melompat naik dan membalapkan kudanya bak mengejar matahari yang
akan segera tenggelam di langit barat.
Pradhabasu tak mampu menahan rasa herannya.
"Aku tidak tahu cara berpikirmu, mengapa kita tidak kembali ke
kotaraja?" Pradhabasu merasa heran karena Gajah Enggon tidak dengan
segera menjawab pertanyaan itu. Jika Gajah Enggon tidak menyediakan
jawaban yang masuk akal, sikap Gajah Enggon yang demikian layak
dipertanyakan. "Kakang Gajah Mada pasti bisa mengatasi ulah orang-orang itu.
Janganlah berpikir keadaan tak bisa diatasi tanpa kita!"
Alis Pradhabasu tambah mencuat.
Hamukti Palapa 181 "Aku tidak paham," Pradhabasu agak meradang. "Kepergian kita
adalah untuk mengejar maling-maling itu, bukan" Kita telah menemukan
jejaknya. Orang-orang yang berniat kembali masuk ke lingkungan istana
kita temukan jejaknya. Akan tetapi, mengapa kita tidak mengambil
langkah kembali?" Gajah Enggon kebingungan. Ia merasa harus terus melanjutkan
perjalanan. Namun, apa yang dipersoalkan Pradhabasu memang
memerlukan jawaban. "Kaupercaya Ibu Suri Gayatri adalah seorang yang waskita?" tanya
Gajah Enggon. Pradhabasu tidak menjawab, tetapi diliriknya Gajah Enggon.
"Aku berkeyakinan demikian," lanjut Gajah Enggon. "Karena aku
sangat percaya dengan petunjuk yang diberikan oleh Ibu Ratu, aku tak
boleh menoleh ke belakang. Aku harus memulainya dari Ujung Galuh.
Ibu Ratu berpesan, malam ini pula apa pun yang terjadi, aku harus sudah
sampai di Ujung Galuh. Bahkan, andaikata gempa bumi kembali terjadi
dan mengguncang istana, Ibu suri melarangku kembali."
Pradhabasu yang mencuat alisnya itu menambahinya dengan
mengerutkan dahi. Pradhabasu berusaha keras memahami apa yang
disampaikan Gajah Enggon. Masih ada hal-hal yang sulit dipahami.
Pradhabasu memutar otak dan memeras ingatan. Dikenangnya kembali
apa yang dikatakan Gajah Mada kepadanya.
"Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri memanggilku dan mengingatkan,
boleh jadi maling yang mencuri cihna gringsing lobheng lewih laka dan
songsong itu akan masuk kembali ke ruang perbendaharaan pusaka.
Aku tak percaya dengan pasukan Bhayangkara meski berkekuatan penuh
melakukan penjagaan istana. Maka, aku ikut melibatkan diri dalam
pengamanan istana secara langsung. Ternyata, perhitungan Ibu Suri
Rajapatni Biksuni Gayatri salah."
Pradhabasu termangu. "Kau benar," ucapnya. "Ibu Suri Gayatri orang yang sidik paningal
dan waskita. Beliau bahkan telah meramalkan maling itu akan masuk
182 Gajah Mada kembali dan telah memberi peringatan kepada Kakang Gajah Mada.
Kita lanjutkan saja perjalanan kita."
Gajah Enggon menghela tarikan napas untuk mengisi rongga
paru-parunya. "Ayo, kita selesaikan pekerjaan ini dan kita lanjutkan perjalanan,"
kata Gajah Enggon. Pekerjaan mengubur mayat itu harus dilanjutkan karena tak mungkin
membiarkan begitu saja mayat-mayat tersebut. Ketika pekerjaan itu
selesai dan dua kesatria yang dalam darahnya mengalir darah Bhayangkara
itu melanjutkan perjalanannya, di barat matahari makin rendah. Di sejauh
mata memandang, mendung yang dirindukan tidak tampak. Namun,
Pradhabasu dan Gajah Enggon yang telah berada di atas kuda masing-
masing kembali memicingkan mata. Jauh sekali di arah barat, tampak
asap membubung tinggi. "Orang-orang itu sedang meninggalkan jejak," kata Pradhabasu.
14 O mbak yang menjilat pasir di tepian pantai di Ujung Galuh
tidaklah terlalu besar. Manakala tatapan mata diarahkan menyapu dari
ujung langit bagian timur hingga ujung langit bagian barat, di garis
cakrawala di arah barat Pulau Madura, bintang-bintang gemerlapan.
Bulan sepenggal yang mulai menampakkan diri di langit barat
bersamaan dengan datangnya petang hanya menyapa sebentar untuk
kemudian segera tenggelam di balik langit. Namun, agaknya bulan sabit
itu berjanji bahwa esok akan datang berkunjung lagi dengan rentang
waktu sedikit lebih lama. Esoknya lagi akan hadir lebih lama lagi dan
Hamukti Palapa 183 kelak akan menjadi purnama yang sempurna. Ketika sasadara 120 manjer
kawuryan,121 anak-anak akan bersukacita dan menggelar permainan.
Tidak sebagaimana hari-hari sebelumnya, kali ini pelabuhan
Ujung Galuh tampak berbeda dari biasanya. Kapal-kapal yang datang
dari Swarnabhumi membuang sauh dan menjadi tontonan dari arah
pantai. Kapal-kapal bukan dari jenis kapal dagang itu diterima dengan
penuh persahabatan karena meski kapal perang, kedatangan mereka
ke Ujung Galuh dengan membawa perdamaian. Beberapa awak kapal
turun ke daratan untuk menjelaskan kepada penduduk apa keperluan
kedatangannya. Ratusan prajurit yang mengawaki, masing-masing tetap berada
di dalam kapalnya karena Aditiawarman yang memimpin armada itu
memerintahkan segenap anak buahnya untuk tetap berada di dalam kapal,
untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya salah paham. Namun,
dengan senang hati para awak kapal melayani perahu-perahu kecil yang
merapat menjual berbagai kebutuhan.
Perjalanan ke Ibu Kota Majapahit menyusur Kali Mas yang
merupakan sempalan dari Sungai Brantas tak mungkin dilanjutkan
dengan menggunakan perahu karena sungai dangkal kekurangan
air, bahkan dengan perahu yang paling kecil sekalipun tak mungkin
dilakukan. Aditiawarman memutuskan perjalanan ke kotaraja akan dilanjutkan
esok dengan jalan darat. Apa boleh buat perjalanan itu akan dilakukan
dengan berjalan kaki atau dengan berkuda jika bisa memperoleh kuda.
Dengan uangnya, Aditiawarman siap membeli berapa pun jumlah
kuda jika ada yang menjual. Namun, keterangan yang diperoleh harus
membuatnya kecewa. Tidak ada pasar kuda atau ternak di Ujung Galuh.
Untuk membeli kuda, apalagi dalam jumlah banyak, harus dilakukan di
pasar hewan yang menusuk masuk di kedalaman Daha. Sebuah tempat
yang mengarah lurus ke selatan dari Ujung Galuh.
120 Sasadara, Jawa Kuno, bulan
121 Sasadara manjer kawuryan, Jawa, rembulan bercahaya terang benderang
184 Gajah Mada Para nelayan di Ujung Galuh adalah orang-orang yang pintar
memanfaatkan keadaan. Dengan segera, mereka mengisi perahu-perahu
kecil mereka dengan berbagai bahan makanan dan kebutuhan lainnya.
Saling berebut para nelayan itu menjajakan dagangannya dengan merapat
ke kapal-kapal besar itu. Berapa pun jumlah beras dan minyak yang
mereka jual, diborong habis. Demikian juga dengan bumbu-bumbu dan
air yang dikirim dalam wadah kemaron.122
Dari para nelayan itulah, untuk pertama kalinya, Aditiawarman
memperoleh keterangan yang sangat penting mengenai siapa
yang kini menduduki takhta. Keterangan itu yang akhirnya harus
direnungkannya. "Paman sudah tahu siapa yang menjadi Raja Majapahit?" tanya
Aditiawarman kepada Pu Wira.
Pu Wira yang muncul turun dari tangga yang menghubungkan lantai
atas dengan lantai bawah itu, mengerutkan dahi.
"Siapa?" tanya Pu Wira.
"Dua orang putri Bibi Gayatri, dua-duanya diangkat menjadi
raja bersama. Sri Gitarja dan Dyah Wiyat yang kini menduduki
dampar. Apakah dengan demikian, Paman Pu Wira masih akan tetap
bermimpi?" Pu Wira terbungkam mulutnya.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku harus mengubah cara pandangku, Paman. Aku tidak boleh
datang ke Majapahit dengan membawa mimpi seperti yang telanjur
Paman berikan kepadaku."
Pu Wira gelisah. Dari raut mukanya terlihat sikap aneh, serasa tidak
bisa menerima kenyataan itu. Namun, Pu Wira masih berharap, siapa
tahu orang-orang Majapahit melihat keberadaan Aditiawarman dan
terbuka pikirannya untuk meluruskan keadaan dengan mengembalikan
dampar ke tempat seharusnya.
122 Kemaron, Jawa, tempayan
Hamukti Palapa 185 Namun, Pu Wira menyimpan isi hati itu dan tidak mengungkapkannya.
Supaya tidak terbaca raut mukanya, Pu Wira berjalan menuju pagar kapal
dan menaburkan pandangan matanya ke kegelapan daratan, ke arah nyala
di kejauhan yang sejatinya berasal dari obor yang oleh para penduduk
ditancapkan di halaman. Semula obor itu jumlahnya banyak, tetapi makin
larut makin berkurang karena kehabisan minyak.
Sebaliknya, jika dilihat dari daratan, kapal-kapal besar itu mampu
membangun mimpi mengerikan. Dalam keremangan malam, kapal itu
menjelma menjadi kapal hantu yang dihuni oleh mayat-mayat hidup, yang
berasal dari semua awak kapal yang menjadi arwah penasaran setelah
dibantai oleh hantu laut.
Dari bibir pantai yang menjilat, Gajah Enggon memerhatikan
kapal-kapal itu dengan segenap rasa cemas karena bisa menandai
rombongan kapal yang membuang sauh itu bukan milik Majapahit.
Tepatnya, Majapahit tidak punya dan bahkan belum mampu membuat
kapal perang seperti itu. Armada yang dimiliki Majapahit berukuran lebih
kecil dan ramping, yang ditempatkan di sebuah teluk yang terlindung
di Madura. Kedatangan kapal perang entah dari mana itu sontak menimbulkan
tanda tanya dan mengundang kekhawatiran, untuk keperluan macam apa
mereka datang merapat ke Majapahit.
Gajah Enggon hanya sendiri dalam memerhatikan keadaan.
Pradhabasu tidak berada di sebelahnya karena sedang mencari
keterangan. Pradhabasu yang pergi mencari keterangan telah kembali.
"Mereka tamu dari Dharmasraya, Swarnabhumi."
Gajah Enggon kaget. "Swarnabhumi?" "Ya," jawab Pradhabasu. "Aditiawarman yang datang."
"Waaah, saudara sepupu mendiang Sri Baginda Kalagemet!"
186 Gajah Mada Pradhabasu mengarahkan perhatiannya ke arah kapal yang paling
besar, kapal yang membuatnya merasa iri karena begitu megahnya, begitu
kukuh dan kuat. Rasa khawatir yang semula menyesaki dadanya melumer
setelah mengetahui kapal-kapal itu milik Swarnabhumi. Apalagi, antara
Aditiawarman dan Patih Gajah Mada terjalin hubungan persahabatan
yang akrab. "Kupikir, ke depan, Majapahit harus memiliki kapal-kapal seperti
itu," ucap Pradhabasu.
"Ya," jawab Gajah Enggon.
Gajah Enggon ingat pada apa yang pernah dikatakan Gajah Mada
tentang harapan dan mimpi besarnya atas bagaimana Majapahit di
masa depan nantinya. Gajah Mada berharap Majapahit kelak akan
menjadi sebuah negara yang besar dengan wilayah luas yang tidak
hanya berwawasan Dwipantara sebagaimana pernah dikumandangkan
oleh Prabu Sri Kertanegara yang hanya berkutat seluas Jawa. Akan
tetapi, jauh lebih luas dengan wawasan Nusantara yang merangkul
wilayah dari timur tempat matahari terbit dan di barat ke arah matahari
tenggelam. Jauh di ujung timur, lebih dekat dengan sarang matahari, ada sebuah
wilayah yang dihuni oleh orang-orang berkulit hitam, dan di sebelah
barat, di tempat matahari tenggelam, ada sebuah wilayah bernama
Tumasek. Konon, lebih ke barat lagi masih ada wilayah antah berantah yang
dihuni oleh orang-orang berkulit putih. Begitu putih kulit orang itu
hingga jika mereka minum, airnya terlihat melintasi leher.
Gajah Mada mengatakan, untuk bisa menggapai mimpi itu
diperlukan kekuatan yang besar. Majapahit harus memiliki kekuatan
prajurit yang mampu mengikat semua wilayah ke dalam satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Dalam mimpi Gajah Mada, Gajah Enggon ingat,
untuk semua itu diperlukan armada laut yang besar. Maka, kapal-kapal
besar seperti yang sedang membuang sauh itu sangat dibutuhkan
Majapahit. Kapal-kapak besar itu harus didukung oleh jumlah prajurit
Hamukti Palapa 187 yang besar, kekuatan yang nggegirisi.123 Untuk meluaskan wilayah, negara
lain yang tidak mau menyatu mungkin perlu diserbu. Namun, mungkin
pula negara yang ringkih kekuatannya tak perlu diserbu, ditakut-takuti
saja sudah tunduk menyatakan takluk.
"Apakah menurutmu, kita perlu menemui tamu itu?" tanya
Pradhabasu. Gajah Enggon berpikir. "Ya," jawabnya. "Meski mereka berasal dari Swarnabhumi, kita
harus tahu untuk keperluan apa mereka datang ke Majapahit. Negara
Singasari pernah punya pengalaman buruk terhadap negara Gelang-
Gelang, Kediri. Gelang-Gelang yang telah dianggap sebagai keluarga
sendiri dan kedua rajanya saling berbesanan, nyatanya Gelang-Gelang
sanggup menusuk dari belakang. Hal itu terjadi ketika Singasari sedang
terlena mengirim semua pasukannya ke Sumatra, dipimpin langsung oleh
Lembu Anabrang. Siapa tahu Swarnabhumi membawa maksud sama."
"Ya," Pradhabasu menjawab. "Aku juga berpikir demikian. Sekarang
kita harus mencari sewaan perahu dan menitipkan kuda-kuda kita ke
penduduk." Gajah Enggon dan Pradhabasu beranjak, tetapi tiba-tiba terjadi
sesuatu yang menyengat mereka.
Petir yang tiba-tiba hadir meledak menggelegar benar-benar
mengagetkan. Cahaya kilatnya yang muncrat benderang sekali. Dengan
gugup, Pradhabasu dan Gajah Enggon mengarahkan perhatiannya ke
langit. Maka, betapa takjub dan berdebar Gajah Enggon dan Pradhabasu
menyaksikan sebuah keganjilan yang jarang-jarang terjadi itu. Petir yang
terjadi susul-menyusul itu terjadi di tempat yang sama.
Sebenarnyalah petir yang kehadirannya di tempat yang tak tepat,
dengan keadaan yang tidak sesuai itu, menyentakkan siapa pun. Penduduk
Ujung Galuh yang berdatangan ke pantai untuk bisa menyaksikan kapal-
123 Nggegirisi, Jawa, menakutkan, mengerikan, juga berarti dahsyat
188 Gajah Mada kapal besar itu dari dekat tersentak oleh bledek 124 yang memuncratkan
cahaya, membelah udara, dan menimbulkan suara sangat keras dan
bernada tinggi. Mereka kaget karena langit demikian bersih tak ada mendung,
bagaimana petir bisa hadir dengan keadaan yang demikian" Beberapa
nelayan yang sedang berada di atas perahu tak kalah kaget. Semua
mengarahkan pandangan matanya ke tempat yang sama dan bergegas
mengarahkan biduknya menepi. Guruh itu gemuruh, bahkan sekali lagi
dan sekali lagi. Cahayanya yang membelah angkasa mampu menjadi
penerang meski hanya beberapa kejap.
"Ibu Suri ternyata benar," Gajah Enggon berbisik.
Pradhabasu tidak menoleh,
"Maksudmu?" balas Pradhabasu.
"Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri berpesan, untuk menemukan
jejak payung dan lambang negara yang hilang itu, ikutilah ke mana
hujan turun. Itu sebabnya, Ibu Suri berpesan begitu kukuh, malam ini
aku harus sampai di tempat ini. Ke Ujung Galuh aku harus mengikuti
jejaknya. Dengan demikian, gugurlah dugaanmu. Maling pencuri payung
dan cihna gringsing lobheng lewih laka bukanlah orang yang sama dengan
orang-orang yang membuat kekacauan tadi."
Ucapan Gajah Enggon itu memang membuat Pradhabasu
penasaran. Akan tetapi, ada hal lain yang membuat Pradhabasu tak
pernah menggeser tatapan matanya dari sebuah arah di luasnya langit.
Nun di sana, ternyata ada sekepal mendung yang jika diperhatikan
dengan cermat, seperti sedang bergolak. Udara yang lembap dan suhu
yang dingin menjadi cikal bakal terbentuknya mendung.
Bagai diingatkan oleh sesuatu, Gajah Enggon tiba-tiba melompat
ke atas kuda. Pradhabasu kaget.
"Ke mana?" teriaknya.
124 Bledhek, Jawa, petir Hamukti Palapa 189 "Ikuti aku, kita ke timur."
Dengan berpacu kencang beradu balap dengan angin yang
berembus deras dari arah pantai, Gajah Enggon mengarahkan kudanya
ke timur. Namun, apa yang ia lakukan itu bukan pekerjaan gampang
karena berpacu di atas tanah padat dan di atas pasir empuk sangatlah
berbeda. Dengan rasa penasaran, Pradhabasu menempatkan diri di
belakangnya. "Kita mencari apa?" teriak Pradhabasu.
"Benda-benda yang hilang itu ada di sini, pencurinya berada di sini,"
balas Gajah Enggon tak kalah keras.
Gajah Enggon makin bersemangat memacu kudanya manakala dari
arah bibit mendung yang makin menebal kembali terdengar ledakan petir.
Pradhabasu berdebar tegang ketika mendung yang berada tepat di atas
kepalanya itu makin menebal dan bergolak, serasa ada kekuatan yang
memengaruhi. Mendung yang terbentuk serasa melalui waktu tergesa,
dari langit yang semula bersih dengan cepat berubah menjadi gelap yang
berusaha merata. Sebenarnyalah dugaan Gajah Enggon beralasan. Di sebuah tempat
di bagian bibir pantai yang memanjang, seseorang tengah berdiri tegak
di balik rimbunnya pandan laut dan pepohonan yang tumbuh lebat.
Orang itu berpakaian serba hitam dan memakai ikat kepala. Pakaian
yang dikenakan ringkas dengan rambut tidak digelung keling, dibiarkan
terurai menutup pundaknya.
Orang itu berdiri dengan tangan kanan memegang songsong
yang terbuka, dan menempatkan diri berlindung dari angin di bawah
payung itu. Rambutnya yang panjang berkibar, demikian juga dengan
ikat kepalanya. Ikat kepala yang dipakai orang itu bukanlah ikat kepala
sembarangan karena benda itu adalah cihna gringsing lobheng lewih laka yang
hilang dari perbendaharaan pusaka.
Orang itu tetap bertahan berdiri tegak meski angin yang deras
menyapu wajahnya dengan butir-butir pasir yang lembut. Angin yang
bertiup deras bahkan mematahkan sebuah ranting dan menerjang
190 Gajah Mada wajahnya. Namun, ia tetap bergeming, tidak terusik dan berdiri tenang.
Juga tidak terusik ketika mendengar kuda yang berderap dari arah barat
makin lama makin dekat. Orang itu rupanya yakin, tempatnya terlindung
dan tak akan tampak dari garis pantai. Malam yang gelap melindunginya,
lebatnya semak pandan laut juga ikut melindunginya.
Kuda yang mendekat itu hanya untuk melintas terus ke arah timur.
Gajah Enggon mengalami kesulitan untuk menerka tempat maling
payung dan lambang negara itu berada karena di sepanjang pantai
banyak ditumbuhi pandan liar yang mampu menyembunyikan apa pun
dari perhatiannya. Maka, betapa kesal Gajah Enggon yang tak berhasil
menemukan orang yang dicari. Senopati Gajah Enggon dan Pradhabasu
balik arah menuju ke barat.
Petir kembali muncrat, gerimis yang turun lamat-lamat menjanjikan
harapan bagi penduduk di sepanjang pantai itu, yang di samping bekerja
sebagai nelayan mereka juga bertani.
Hujan memang sangat dirindukan kehadirannya. Namun, mendung
yang menebal ditambah gerimis yang akan berubah menjadi hujan
deras akan makin mempersulit Gajah Enggon menemukan orang
yang dicari. Di langit, bintang-bintang tak lagi kelihatan. Pekat udara
dengan segera berubah menebal dan menyebar ke mana-mana menjadi
gumpalan mendung. Pradhabasu takjub dan terheran-heran, jarak dari
petir pertama tidaklah terlalu jauh, tetapi mendung bisa menebal dan
merata dalam waktu singkat.
Gajah Enggon melompat turun.
"Bagaimana?" tanya Pradhabasu.
"Pepohonan di sepanjang pantai ini terlampau lebat," ucap Gajah
Enggon. "Amat sulit menemukan orang yang bersembunyi di baliknya,
kecuali kalau siang hari."
"Kau benar-benar yakin, pencuri payung itu berada di sini?" tanya
Pradhabasu. "Ikutilah ke mana hujan turun, itu kata Ibu Suri Rajapatni," jawab
Gajah Enggon tegas. Hamukti Palapa 191 Sorak-sorai riuh terjadi di bagian pantai yang lain, yang dilakukan
oleh penduduk yang menyaksikan kapal. Itu terjadi ketika hujan benar-
benar turun dan mengguyur. Anak-anak muda tidak merasa risih dengan
turunnya hujan meski malam hari. Mereka berlarian dan berbasah-basah.
Sementara itu, para orang tua telah menyelamatkan diri dengan berteduh
atau telah kembali ke rumah masing-masing.
Di sela bongkahan tanah, baik di sawah maupun di pekarangan, ular
sanca yang tidur panjang terbangun oleh air yang menyentuh tubuhnya.
Ular itu menggeliat dan siap untuk berburu. Bukankah dengan hujan
telah tiba, akan ada banyak binatang yang selama ini tidur panjang lalu
terbangun" "Akhirnya, hujan yang kita tunggu datang juga," ucap seorang suami
dengan rasa senang. "Ya," balas istrinya, "besok kita menebar benih."
"Apa kita masih punya benih" Benihnya sudah kita makan,
bukan?" "Masih ada," jawab istrinya.
Hujan yang turun deras berlaga dengan petir yang meledak susul-
menyusul. Agak menakutkan dan menyebabkan bocah-bocah segera
mencari perlindungan. Akan tetapi, bagi orang-orang tua, gelegar petir
itu dianggapnya sebagai anugerah dari Hyang Widdi setelah didera
kemarau yang berkepanjangan.
Orang-orang yang semula menyemut di sepanjang pantai akhirnya
berhamburan kembali ke rumah masing-masing. Sebagian nekat dengan
berbasah-basah, sebagian yang lain menggunakan sepelepah daun pisang
untuk melindungi diri dari hujan.
Di antara penduduk ada juga yang punya keyakinan aneh. Sebuah
mangkuk yang terbuat dari tanah liat diletakkan di halaman. Air hujan
yang terwadahi ditampung di jambangan. Baginya air hujan baik untuk
tubuh. Orang itu juga berkeyakinan, air hujan yang diwadahi kendi dan
ditempatkan di bawah tempat tidur disertai doa tertentu akan mengusir
para hantu agar tidak menyelinap di alam mimpi. Itu sebabnya, bagi
192 Gajah Mada yang punya bayi dengan kebiasaan tidur gelisah, di bawah tempat
tidurnya selalu ada tempayan berisi air hujan. Setahun sekali air hujan
itu harus diganti karena kehilangan khasiatnya. Nantinya jika tempayan
itu diperhatikan, akan penuh jentik-jentik anak nyamuk.
Adalah Gajah Enggon yang gelisah karena setelah mondar-mandir
tak berhasil menemukan jejak orang yang dicarinya. Hujan yang turun
dengan lebat dan malam yang tak berbintang, menyebabkan jarak
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandang menjadi demikian pendek. Tak ada yang bisa diharapkan dari
keadaan yang demikian itu. Bahkan, akhirnya laut di depan pun tak
tampak. Laut bisa ditandai keberadaanya dari suara ombaknya yang tak
seberapa besar yang berusaha menggerus pantai.
Maka, apa boleh buat, yang bisa dilakukan hanyalah menunggu
meski hal itu terasa menjemukan. Akan tetapi, hujan itu ternyata
menyita waktu cukup lama dan berlangsung amat deras, membasahi
tanah yang semula berwujud bongkahan, menjadikannya bubur lumpur,
lalu merembes ke kedalamannya. Air yang berlimpah memenuhi parit,
memenuhi hamparan sawah, dan sungai. Katak-katak yang semula sedang
tidur panjang tersentak kaget begitu menyadari tubuhnya basah kuyup.
Katak-katak itu menjadi begitu gembira dan dengan segera saling sapa
dengan sesama temannya. Namun, katak sering kurang waspada karena
ular juga terbangunkan dari tidur panjang dan segera mengintai mereka.
Ular sanca berukuran besar sebenarnya malas memangsa katak. Ular
sanca lebih senang memangsa tikus atau kucing, bahkan anak babi pun
ditelannya. Akan tetapi, jika tidak ada rotan, akar pun jadi. Demikian
pula dengan ular berukuran besar itu, tidak ada tikus, katak pun jadi.
Tak sulit bagi ular untuk menentukan tempat katak berada dari suaranya
yang demikian riuh itu. Akhirnya, hujan mereda. Seperti awalnya, demikian juga dengan
akhirnya. Hujan itu berhenti dengan tiba-tiba. Oleh sebagian orang,
kehadiran hujan itu dianggap aneh, tetapi banyak juga yang menganggap
biasa saja. Gajah Enggon memandang langit, sebagian terlihat bersih
dengan bintang-bintang yang gemerlapan, sebagian lain gelap gulita.
"Bagaimana sekarang?" tanya Pradhabasu.
Hamukti Palapa 193 "Sejujurnya aku tak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang,"
Gajah Enggon menjawab. Namun, jawaban itu bagai mendatanginya. Gajah Enggon terbelalak
dan sangat terlambat untuk bertindak ketika dengan tiba-tiba terdengar
suara kuda meringkik dan melesat akan melewatinya. Gajah Enggon
dan Pradhabasu berlompatan menepi karena tak ingin tertabrak oleh
penunggang kuda itu. "Gila!" Gajah Enggon meletup.
Dalam sekelebatan dengan bertumpu pada cahaya bintang yang
mulai muncul dan kunang-kunang yang beterbangan, Pradhabasu dan
Gajah Enggon masih bisa menandai sebuah benda panjang dalam
dekapan orang berkuda itu.
"Orang itu membawa payung," teriak Gajah Enggon.
Pradhabasu dan Gajah Enggon lari sekencang-kencangnya ke
tempat kuda-kuda mereka yang terikat pada batang pohon ambruk di
atas pasir. Dua kesatria Bhayangkara itu makin terlambat karena ikatan
tali itu saling melilit dan terikat demikian kuatnya. Saat sesuatu sedang
dibutuhkan, sikap gugup justru menjadi hambatan.
"Sial," umpat Pradhabasu yang merasa cemas bakal kehilangan
jejak buruannya. Ketika tali kekang yang saling membelit itu akhirnya berhasil
diurai, sungguh sangat terlambat. Jejak maling yang membawa payung
itu lenyap sebagaimana lenyap pula suara derapnya. Namun demikian,
Gajah Enggon dan Pradhabasu tak mau putus asa begitu saja. Jejak
samar itu harus dikejar, sampai ke ujung langit sekalipun, jauh ke dalam
perut bumi sekalipun. Akan tetapi, malam yang begitu hitam memang menyulitkan. Gajah
Enggon tidak mungkin memaksakan diri. Ketika di depan menghadang
tebing dan karang dengan ombak yang menghantam susul-menyusul,
sadarlah Gajah Enggon, maling itu tidak melewati tempat itu. Orang
itu telah berbelok entah di mana.
194 Gajah Mada "Bagaimana?" tanya Pradhabasu.
Pradhabasu memutar kudanya dan berdiri saling berdampingan.
"Apakah kau berhasil menandai sesuatu?" tanya Gajah Enggon.
"Ya," jawab Pradhabasu. "Aku melihat orang itu mendekap sebuah
benda panjang yang aku yakini pasti payung. Tuan Putri Ibu Suri benar
adanya." "Aku juga, aku yakin benda panjang yang dibawa orang itu payung,"
tambah Gajah Enggon. Lalu hening! Kapal-kapal besar yang mengapung diam menjadi
perhatian mereka. Hanya beberapa buah obor di kapal itu yang masih
hidup, menjadikan bayangannya mirip hantu yang menakutkan.
"Kita menunggu datangnya pagi, kau sependapat?"
"Ya, kita akan mencari jejak maling payung itu besok, tak mungkin
kita lakukan sekarang," jawab Gajah Enggon.
Basah kuyup itu sungguh sangat mengganggu dan bisa menyebabkan
demam. Namun, Gajah Enggon dan Pradhabasu tak mungkin berganti
pakaian karena basah itu tembus ke buntalan bawaannya.
Gajah Enggon yang meraba mendapati pakaian cadangan yang
dibawanya ikut basah sehingga tak ada gunanya berganti pakaian.
Dalam diam bagai kehilangan mulut, dua orang lelaki gagah itu berpikir,
terutama Gajah Enggon memeras kenangan pertemuannya dengan Ibu
Suri Gayatri. Apa yang disampaikan Rajapatni kepadanya teramat samar
dan mirip teka-teki yang menyerahkan sepenuhnya kepadanya untuk
menemukan apa jawabnya. "Lihat itu," Pradhabasu berbisik.
Gajah Enggon menoleh mengarahkan perhatiannya.
"Mungkin nelayan," ucap Gajah Enggon.
Jauh dari arah timur atau dari arah mereka semula, tampak obor
bergerak yang tentu obor itu berada di tangan orang berjalan, berayun-
ayun seolah berasal dari tangan lunglai dan lemah.
Hamukti Palapa 195 Pemegang obor itu memang tangan yang lemah karena tubuh
penyangganya sudah tua renta. Namun, semangat kakek berambut putih
itu untuk berjalan dan terus berjalan tak kendur. Persoalan penting yang
dibawanya mendorongnya berjalan lebih lekas. Akan tetapi, selekas apa
pun tetaplah tertatih. Andaikata ia masih muda, mungkin ia akan berlari
sekencang-kencangnya. "Kita mungkin bisa meminta keterangan kepada orang itu?" tanya
Pradhabasu. "Tak perlu," jawab Gajah Enggon. "Aku yakin tak ada orang
yang bisa memberi keterangan di tempat ini. Penduduk desa ini sama
bingungnya dengan kita. Mereka tak akan bisa memahami mengapa
hujan deras turun dengan mendadak di tempat ini."
"Atau, pendapatmu salah," balas Pradhabasu.
"Salah bagaimana?"
"Penduduk pelabuhan ini menganggap hujan yang turun sebagai hal
yang biasa saja meski turunnya dengan mengejut tanpa kulonuwun 125 lebih
dulu. Terlalu tak masuk akal hujan itu turun karena sebuah payung."
Gajah Enggon terbungkam. Pradhabasu yang berharap siapa pun
yang membawa obor itu akan mendatangi tempatnya berada, merasa
betapa lamban pembawa obor itu berjalan, seolah tak bergeser sama
sekali. Justru karena itulah, Pradhabasu dan Gajah Enggon tergerak
untuk mendekat mendatanginya. Pradhabasu dan Gajah Enggon tidak
naik ke atas punggung kuda, kuda-kuda itu dituntun.
Betapa terperanjat Pradhabasu dan Gajah Enggon mendapati
pembawa obor itu ternyata seorang kakek yang demikian renta. Jalannya
yang tertatih, sedikit bongkok, dan rambut, kumis, serta jenggot yang
memutih menjadi pertanda usianya tentu telah lebih dari tujuh puluh
tahun. Orang tua itu rupanya juga rabun. Ia tidak melihat meski Gajah
Enggon dan Pradhabasu telah menghadangnya.
125 Kulonuwun, Jawa, permisi
196 Gajah Mada "Selamat malam, Kiai," Gajah Enggon menyapa.
Kakek itu rupanya juga tuli menilik tidak mendengar kuda yang
meringkik. Baru ia terlihat kaget setelah berada pada jarak yang amat
dekat. "Kalian rupanya?" seru kakek itu dengan suara agak meletup.
Gajah Enggon dan Pradhabasu saling pandang, segera keduanya
merasa ada yang aneh. "Kiai merasa mengenal kami?" Pradhabasu meletupkan rasa
herannya. "Apa?" balas kakek itu yang kurang begitu jelas menangkap
pertanyaan. Gajah Enggon mendekat. "Apakah Kiai merasa mengenal kami?" kini Gajah Enggon yang
bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Pertanyaan yang dilontarkan dengan suara keras itu ternyata bisa
ditangkap cukup jelas. Kakek itu menyeringai sambil mengangkat
obornya untuk mengenali wajah-wajah masih muda di depannya.
"Tentu aku mengenalmu. Aku bahkan sudah menunggu cukup lama,
salah satu dari kalian akan kuambil menantu," jawab kakek itu.
Sungguh sebuah jawaban yang mengagetkan, yang memaksa Gajah
Enggon dan Pradhabasu terbelalak. Demikian kaget Gajah Enggon
sampai tidak mampu berbicara. Dengan mulut setengah terbuka, Gajah
Enggon memandang kakek tua itu dengan takjub dan akhirnya sedikit
geli. Mungkin kakek tua itu sangat pikun atau bisa jadi ia tidak waras.
"Ayo, kalian ikut aku," lanjut orang itu.
Pradhabasu dan Gajah Enggon saling lirik, dan mendadak berubah
menjadi seekor kerbau yang telah diikat lehernya. Gajah Enggon dan
Pradhabasu melangkah bagai tanpa pertimbangan mengikuti langkah
kaki kakek tua yang berjalan tertatih di depannya. Rasa ingin tahu yang
menyeruak mendorong Pradhabasu dan Gajah Enggon mengikuti dari
belakang. Hamukti Palapa 197 "Umurmu berapa, Kiai, dan kalau boleh aku tahu, namamu?"
Pradhabasu memecah keheningan.
Kakek itu tidak menjawab dan tetap terus berjalan.
"Ia tidak mendengar," bisik Gajah Enggon.
Pradhabasu menggamit kakek itu dan memaksanya menoleh.
"Umurmu berapa dan siapa namamu?" ulang Pradhabasu.
"Umur?" "Ya!" balas Pradhabasu.
"Dan namaku?" Pradhabasu mengangguk dan membiarkan kakek tua itu mengobori
dirinya. Api obor itu terlalu dekat dengan wajahnya.
"Namaku Agal, sebut saja Ki Agal!" jawab kakek tua itu. "Kalau
soal umur, aku sudah tua sekali. Orang-orang yang sepantaran denganku
banyak yang mati. Mungkin tujuh puluh atau delapan puluh tahun,
mungkin kurang mungkin lebih."
Gajah Enggon bertambah penasaran.
"Kiai Agal," Gajah Enggon berkata, "benarkah seperti yang kaukatakan,
kau mengenal aku" Kau merasa menunggu kedatanganku?"
Mungkin suara Gajah Enggon tidak jelas karena kalah oleh suara
ombak yang gemericik. Lelaki tua bernama Agal itu tidak menjawab.
Dengan tertatih-tatih ia berjalan menyusuri tanah berpasir yang basah.
Pradhabasu menggamit Gajah Enggon.
"Tak ada gunanya berurusan dengan orang ini, sebaiknya kita pergi
saja," kata Pradhabasu.
"Jangan!" Pradhabasu tersentak, jawaban itu berasal dari mulut lelaki tua itu.
"Sebaiknya kalian ke rumahku dulu," ucapnya.
Pradhabasu menggamit tangan orang itu. Kiai Agal berhenti.
198 Gajah Mada "Benarkah kau merasa berkepentingan dengan kami?" tanya
Pradhabasu. "O, tentu," jawabnya.
"Kautahu, siapa kami?" lanjut Pradhabasu.
Kiai Agal tak hanya memandang wajah Gajah Enggon dan
Pradhabasu, tetapi mendekatkan obornya. Pradhabasu nyaris melenguh
karena obor itu begitu dekat dengan wajahnya.
"Kau sudah aku puter giling 126 untuk datang ke tempat ini karena
aku ingin kau menjadi menantuku. Takdirmu berada di tempat ini,"
ucap orang itu lagi. Pradhabasu menjadi jengkel. Pertanyaan yang dilontarkan tidak
memperoleh jawaban. Sebaliknya, lelaki tua itu lebih banyak berbicara
kepentingannya. Beranggapan orang tua itu mungkin gila, Pradhabasu
melekatkan jari miring di keningnya. Sebaliknya, Gajah Enggon mulai
merasa curiga meski tak tahu bagian mana yang harus dicurigai.
"Namamu Gajah Enggon, bukan?" tanya orang itu.
Pertanyaan yang dilontarkan dengan begitu ringan itu menjadi
sebuah palu godam yang menghantam dada. Pradhabasu merasa wajahnya
mendadak menebal melebihi tebal bibir sumur di rumahnya dan serasa
bagai air mendidih yang disiramkan ke wajahnya. Pradhabasu terkejut
bukan kepalang. Demikian juga dengan Gajah Enggon, yang sama sekali
tidak menduga orang itu mengetahui namanya. Justru oleh karena itulah,
Gajah Enggon terbungkam. "Ayo, rumahku masih jauh," kata Kiai Agal.
Kiai Agal kembali berjalan dengan tertatih. Ketika terlihat olehnya
sebatang kayu tergeletak, diambilnya kayu itu dan dimanfaatkan sebagai
tongkat. Batuknya datang berselang-seling dengan sendawanya sambil
sesekali melenguh menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.
126 Puter giling, idiom Jawa, kemampuan magis yang digunakan untuk menghadirkan orang yang dikehendaki meski berada di tempat sangat jauh.
Hamukti Palapa 199 Akan halnya Pradhabasu dan Gajah Enggon, akhirnya tak berani
meremehkan kakek tua itu, yang ternyata tahu siapa dirinya. Pertanyaan
dan rasa penasaran yang sontak menyeruak adalah bagaimana orang tua
itu bisa tahu namanya. "Kiai Agal," Pradhabasu tak bisa menguasai rasa heran.
"Ada apa?" balas Kiai Agal tanpa menoleh.
"Kalau usiamu sudah setua itu, berarti anakmu pasti tak bisa dibilang
muda lagi. Anakmu pasti juga sudah tua dan mungkin telah berusia enam
puluh tahun lebih. Lantas, bagaimana bisa kau mengambil temanku
sebagai menantu?" Kiai Agal kembali bersendawa, rupanya perutnya sedang
bermasalah. "Bukan untuk anakku, tetapi cucuku," jawabnya. "Jangan khawatir,
cucuku tidak akan membuatmu kecewa. Cucuku memiliki wajah yang
cantik dan amat pantas menjadi istri seorang prajurit Bhayangkara. Nama
cucuku Rahyi Sunelok."
Sekali lagi desir sangat tajam merambati permukaan jantung Gajah
Enggon dan Pradhabasu. Kakek tua bernama Agal itu ternyata juga tahu,
mereka adalah prajurit. Boleh diyakini, orang itu memiliki ketajaman
dalam memandang, bisa disebut orang yang weruh sakdurunge winarah dan
waskita. Orang-orang tua yang banyak mengedepankan laku prihatin
memang sangat mungkin menguasai kemampuan macam itu.
Langit kembali bersih dan mendung yang semula begitu tebal lenyap
tersapu angin yang berembus demikian deras. Sejauh mata memandang
ke arah laut, yang tersaji hanya hitam malam. Sementara itu, sejauh
telinga menyimak, yang terdengar suara gemericik ombak yang tak
berkesudahan. Akhirnya, setelah menempuh jarak yang lumayan jauh, setidaknya
untuk ukuran Kiai Agal yang serenta itu, sampailah Gajah Enggon dan
Pradhabasu di rumahnya, sebuah rumah yang terpencil dan jauh dari
rumah-rumah yang lain.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
200 Gajah Mada "Pedukuhanku ini bernama Ban Culuk," kata Kiai Agal. "Batasnya
sungai yang tadi kita lintasi. Pedukuhan yang rumah penduduknya padat
tadi bernama Plampang Tampu. Namun, sebutan untuk semua wilayah
daerah ini adalah Ujung Galuh. Nah, itulah rumahku."
Rasa penasaran Gajah Enggon segera terjawab, rasa ingin tahunya
terpuasi. Gadis yang ternyata sangat cantik membukakan pintu untuknya.
Cahaya lampu ublik yang menyala kecil menerpa sebagian wajahnya,
memancing rasa ingin tahu yang lebih besar lagi. Gajah Enggon berusaha
untuk tenang, tetapi ia tak mampu menolak rasa ketertarikannya.
"Inilah cucuku, Rahyi Sunelok," kata Kiai Agal.
Gajah Enggon dilibas rasa takjub. Sementara itu, Pradhabasu dililit
rasa penasaran. "Bagaimana" Apakah cucuku terlalu jelek untukmu?"
Pertanyaan yang membingungkan itu memang layak membuat
Gajah Enggon tak tahu harus bersikap bagaimana. Sebaliknya, gadis
cantik bernama Rahyi Sunelok itu hanya bisa menunduk. Akan tetapi,
Pradhabasu menangkap dengan jelas bahasa wajahnya bahwa ia merasa
sangat bahagia dengan pertemuan itu. Gemerlap matanya tak bisa
menipu. Pradhabasu tak mampu menahan diri untuk tidak merasa takjub.
"Bagaimana, Enggon?" Kiai Agal mengulang.
Gajah Enggon gugup, hatinya berdebar. Pradhabasu yang
memandang wajahnya kebingungan.
"Kalau kamu, menurutmu bagaimana" Apakah Enggon
menganggap cucuku tak pantas menjadi istrinya?" tanya Kiai Agal, kali
ini ditujukan kepada Pradhabasu.
Pradhabasu tersenyum dan itulah untuk pertama kali Pradhabasu
merasa senyum yang merekah dari bibirnya itu senyum yang terasa
aneh. Namun, rasa takjub dan penasarannya lebih membutuhkan
jawaban. Sekilas sempat muncul rasa iri, mengapa yang bernasib mujur
seperti itu bukan dirinya. Akan tetapi, dengan segera Pradhabasu
Hamukti Palapa 201 menepis dan membayangkan wajah perempuan yang sedang menunggu
kepulangannya, Dyah Menur Hardiningsih.
"Sudah kausiapkan bilik untuk tamumu?" tanya Kiai Agal kepada
cucunya. "Sudah, Kek," jawab gadis bernama Rayi Sunelok itu.
"Kalian berdua istirahatlah, besok aku akan mengundang beberapa
tetangga untuk mengawinkanmu dengan cucuku. Mati pun aku rela
setelah aku melihat cucuku berada dalam perlindungan laki-laki yang
bisa diandalkan." Tanpa banyak bicara dan tidak memberi kesempatan untuk bertanya,
Kiai Agal dan cucunya memasuki salah satu bilik rumah yang sederhana
itu. Gajah Enggon dan Pradhabasu saling pandang ketika beberapa
jenak kemudian mendengar bait-bait kakawin yang dibaca dengan suara
serak terbata. Pradhabasu dan Gajah Enggon yang menyimak bacaan
kakawin itu tidak mengenali apa judulnya. Pembacaan kakawin dalam
tembang itu ternyata tidak hanya dilakukan Ki Agal, Gajah Enggon
merasa hanyut di aliran air deras manakala mendengar "calon istrinya"
juga memperdengarkan suaranya, suara yang lembut dan indah, melebihi
indahnya tembang dari bibir seorang waranggana.127
"Apa arti semua ini?" tanya Gajah Enggon yang kebingungan
dengan berbisik. "Kau benar-benar beruntung," balas Pradhabasu.
"Apakah menurutmu, aku harus menerima?"
"Ya, kenapa tidak. Kau harus menerima gadis itu sebagai istrimu
atau kalau menolak, kau akan menyesal seumur hidupmu karena mungkin
tawaran itu akan diberikan kepadaku. Ingat, bukankah Ibu Suri Gayatri
mengatakan bahwa dari Ujung Galuhlah hidupmu dimulai?" kata
Pradhabasu dengan suara lebih berbisik.
127 Waranggana, Jawa, pesinden
202 Gajah Mada Gajah Enggon gelisah. Gajah Enggon saling melekatkan kedua
tangan, dengan meremas-remas jemari ia memandang ke arah bilik
tempat suara lembut dalam alunan macapat 128 itu berasal.
"Jadi, ini yang dimaksud Ibu Suri Gayatri?" tanya Gajah Enggon
dengan ragu. Perlahan, tetapi betapa mantap Pradhabasu mengangguk.
"Selamat!" ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Namun, Gajah Enggon tidak dengan segera menerima jabat tangan
itu. "Sekali lagi, apakah menurutmu sebaiknya aku menerima gadis itu
sebagai istriku?" Pradhabasu tersenyum. "Selama ini kau mengalami kesulitan dalam mencari jodoh karena
betapa kikuk kau dalam menghadapi perempuan. Kali ini ada gadis yang
demikian cantik menawarkan diri menjadi istrimu, menurutku tidak ada
alasan bagimu untuk menolak."
Malam itu akan menjadi malam yang jauh lebih panjang dari malam
biasanya karena Pradhabasu dan Gajah Enggon terlalu banyak menelan
rasa penasaran yang tanpa jawaban. Namun, ketika Gajah Enggon
bertanya kepada diri sendiri, ia sungguh merasa bahagia. Waktu yang
terus bergerak dilaluinya dengan tersenyum tak berkesudahan.
"Aku lapar!" tiba-tiba Pradhabasu nyeletuk.
Gajah Enggon merasa seperti diingatkan.
"Aku juga!" balasnya.
128 Macapat, Jawa, seni menyanyikan tembang Jawa atau kakawin. Tembang Jawa pada mulanya berbentuk baku, meliputi nada, irama, dan guru lagu, seperti Dandang Gula, Mas Kumambang, Asmaradana, dan sebagainya.
Hamukti Palapa 203 15 L aporan yang masuk bertubi-tubi sehingga banyak prajurit dikirim
untuk melihat apa yang terjadi. Mundur ke waktu sebelumnya, ketika
itu hari masih belum senja, laporan kebakaran dan pembunuhan yang
dilakukan dengan cara brutal itu sungguh mengagetkan Patih Gajah
Mada dan Mahapatih Arya Tadah. Beberapa anak panah sanderan 129
dilepas ke udara, menimbulkan suara mendesing, menjadi perintah bagi
para prajurit, tak hanya prajurit Bhayangkara, tetapi juga prajurit dari
kesatuan yang lain untuk waspada. Khusus untuk prajurit penyelenggara
keamanan istana, mereka berada dalam kesiagaan tertinggi.
Dari anjungan pengintai di pintu gerbang Purawaktra, Gajah
Mada yang berdiri berdampingan dengan Mahapatih Amangkubumi
Arya Tadah memerhatikan asap yang membubung tinggi dari beberapa
arah. Dari segala penjuru terdengar kentongan dipukul bertalu-talu,
merampas perhatian siapa pun untuk waspada. Untuk melihat bagaimana
api membakar beberapa rumah penduduk dengan menandai asapnya,
Arya Tadah memaksa diri untuk naik. Gajah Mada menuntunnya meniti
tangga batu merah. "Apa artinya ini, Gajah Mada?" tanya Arya Tadah dengan gusar.
"Siapa orang yang berani membuat kekacauan macam itu?"
Gajah Mada tidak memiliki jawabnya. Dengan tidak berkedip, ia
memerhatikan asap yang membubung naik ke langit. Baik Mahapatih
Amangkubumi Tadah maupun Patih Gajah Mada memberikan
perhatiannya kepada Senopati Gagak Bongol, pimpinan pasukan
Bhayangkara yang baru, yang datang bergegas menaiki tangga. Dengan
sigap, Gagak Bongol memberikan penghormatannya.
"Apa yang akan kausampaikan, Gagak Bongol?" tanya Gajah Mada.
129 Sanderan, Jawa, anak panah berpeluit yang biasanya juga dilengkapi api sebagai penyampai perintah/
isyarat. 204 Gajah Mada Tangkas Gagak Bongol memberikan penghormatannya.
"Orang-orang gila yang entah dengan maksud apa," Gagak Bongol
menjawab, "mereka melakukan pembantaian dan membakar rumah-
rumah tanpa alasan yang jelas. Mereka meninggalkan jejak kematian di
mana-mana. Saat ini pengejaran besar-besaran sedang dilakukan, tetapi
masih belum ada laporan yang masuk."
Gajah Mada memeras otak dan mencoba mencari jawab apa maksud
orang-orang yang melakukan pembantaian itu.
"Ada berapa orang pelaku perbuatan gila itu?" tanya Gajah Mada.
"Tidak jelas, Kakang Gajah," jawab Gagak Bongol. "Namun, jika
menilik mereka meninggalkan jejak di mana-mana, tentu dilakukan
oleh beberapa orang, bisa lebih dari lima orang atau bahkan sepuluh
orang. Mereka bertindak cepat dan langsung menghilang entah ke mana.
Pelakunya jelas bukan orang gila karena tidak mungkin lebih dari lima
orang gila secara bersama. Jelas ada alasan yang mendorong mereka
melakukan itu, entah dendam yang mana yang menjadi alasan itu."
Gajah Mada yang mengarahkan pandangan matanya ke atap
Manguntur, kembali membalikkan badan dan memerhatikan asap yang
membubung terbawa angin, memberi tahu siapa pun yang melihatnya,
sedang ada orang tak waras menabur tembang kematian. Gajah Mada
akhirnya merasa tidak ada gunanya berlama-lama berdiri di atas anjungan
pengawasan di gapura Purawaktra itu.
"Mari kita turun, Paman," kata Gajah Mada ditujukan kepada Tadah,
"berada di atas lama-lama kepalaku pusing."
Tanpa bicara, Arya Tadah yang tua itu ikut turun dengan tangan
dibimbing oleh Gagak Bongol. Kekacauan yang timbul itu menyebabkan
prajurit Bhayangkara berada dalam kesiagaan tinggi. Istana tempat tinggal
Prabu Putri Tribhuanatunggadewi dijaga ketat. Demikian pula dengan
istana di sebelahnya yang menjadi tempat kediaman Prabu Putri Dyah
Wiyat Rajadewi, dipagar betis depan, belakang, dan samping.
Dibimbing oleh Gajah Mada, Mapatih Arya Tadah naik ke gedung jaga
perwira. Rupanya di sana sedang ada sesuatu yang menarik perhatian.
Hamukti Palapa 205 "Ada apa?" tanya Gajah Mada.
"Seseorang mengaku bernama Tumangkar memaksa ingin bertemu
dengan Ki Patih," jawab seorang prajurit.
"Tumangkar?" ulang Gajah Mada. "Apa keperluannya?"
"Ia hanya mau mengatakan kepada Ki Patih. Ia memegang lencana
Senopati Gajah Enggon," jawab prajurit yang seorang lagi.
Patih Gajah Mada meninggalkan Mahapatih Arya Tadah yang
memilih duduk beristirahat. Menaiki dan kemudian turun dari anjungan
pengintaian di atas Purawaktra menyebabkan dadanya terasa nyeri.
Usia yang tua menyebabkan Arya Tadah tak mampu lagi melakukan
pekerjaan yang berat. Pada usia yang makin tua seperti itu, Mahapatih
Arya Tadah mulai meluangkan waktu jauh lebih banyak untuk urusan
kebajikan. Ke depan, Tadah mulai menimbang, siapa gerangan orang
yang layak dipilih sebagai penggantinya menduduki kursi kepatihan
sebagai amangkubumi. Gagak Bongol bergegas mengikuti Gajah Mada.
Di penjagaan gerbang Purawaktra, dengan raut muka sedikit cemas,
Tumangkar menatap para prajurit yang mengelilinginya. Para prajurit
itu menyibak saat Gajah Mada datang mendekat. Gajah Mada langsung
mengarahkan perhatiannya kepada lelaki di depannya.
"Kamu yang ingin bertemu denganku?"
"Benar, Ki Patih," jawab Tumangkar. "Aku membawa pesan penting
yang harus aku sampaikan kepada Ki Patih. Orang yang menyuruhku
membekaliku dengan lencana ini."
Gajah Mada memerhatikan lencana dalam genggaman tangan itu.
"Apa pesan Senopati Gajah Enggon?"
Disimak semua yang hadir, Tumangkar menceritakan apa yang
terjadi dan telah menimpa para tetangganya yang tumpes tapis 130 dibantai
130 Tumpes tapis, Jawa, tumpas habis
206 Gajah Mada oleh orang tidak dikenal. Bahwa apa yang menimpa para tetangganya
menjadi beban demikian berat menyebabkan Tumangkar agak tersendat
dalam menceritakan apa yang terjadi. Namun, Gajah Mada dan segenap
prajurit yang mengelilingi bisa menyimak dengan rinci.
"Tuan Senopati Gajah Enggon berpesan, orang-orang yang
membuat kekacauan itu para maling yang akan menyelinap masuk ke
istana. Onar yang dilakukan adalah untuk memancing para prajurit keluar
dari istana," kata Tumangkar mengakhiri ceritanya.
Gajah Mada dan Gagak Bongol saling pandang.
"Ada lagi pesan yang lain?" tanya Gajah Mada.
Tumangkar menggeleng. "Tidak, Tuan," jawabnya.
Gajah Mada bertolak pinggang sambil menyebar pandangan mata
menggerataki wajah semua prajurit yang mengelilinginya dan menyimak
pembicaraan yang terjadi. Akhirnya, Gajah Mada meminta perhatian
Senopati Bhayangkara Gagak Bongol yang telah mempersiapkan diri
menunggu perintah. "Bongol!" ucapnya perlahan, tetapi sangat berwibawa.
"Ya," jawab Senopati Gagak Bongol.
"Kaupunya gambaran apa yang akan terjadi nanti?"
Gagak Bongol mengangguk. "Ya," jawabnya. "Sirep dengan kekuatan besar mungkin akan
muncul dan terjadi lagi. Lalu, maling-maling itu akan berlompatan masuk
melalui dinding dan kembali akan memasuki gedung perbendaharaan
pusaka. Aku harus mempersiapkan penyambutan dengan menyesuaikan
diri pada apa yang akan dilakukan tamu-tamu tak diundang itu."
Gajah Mada sependapat dan sepenuhnya percaya dengan langkah
pengamanan dan penyambutan yang akan dilakukan. Menilik perkembangan,
agaknya benar apa yang diramalkan oleh Ibu Suri Gayatri bahwa maling-
maling yang mencuri lambang negara dan payung akan masuk lagi.
Hamukti Palapa 207 Maka demikianlah, Senopati Gagak Bongol ditemani Gajah Mada
segera mengambil tindakan dan menggelar jebakan. Para prajurit
Bhayangkara tak terkecuali dipersiapkan bekerja sama dengan para
prajurit dari kesatuan lain. Hanya dalam waktu singkat, menggunakan
isyarat-isyarat tertentu yang telah disepakati, perintah itu telah tersalur
ke segenap sudut ibu kota. Para prajurit yang melakukan pengintaian
telah memahami apa yang harus dikerjakan.
Senja yang merah bergerak menuju gelap malam. Mapatih Arya
Tadah mulai menandai keganjilan itu. Gajah Mada yang kembali ke
Manguntur mendapati Arya Tadah sedang berdiri di halaman sambil
menengadah memindai sesuatu yang tak kasatmata.
"Kau merasakan dan memerhatikan itu, Gajah Mada?" tanya
Tadah. Gajah Mada merasa tak paham.
"Apa maksud Paman Tadah?" tanya Gajah Mada.
"Perhatikan udara ini?"
Gajah Mada menyimak dengan saksama dan serasa mendadak
datangnya, bulu kuduknya bangkit. Apa yang dirasakan Patih Arya Tadah
benar, memang ada sesuatu yang mengalir di udara yang tidak wajar.
Udara yang mengalir ia rasakan terlampau sejuk meninabobokkan.
"Tanpa harus menunggu waktu begitu malam datang, kekuatan
sirep itu pun telah digelar," kata Tadah.
Mendapati perkembangan yang demikian, Gagak Bongol bertindak
cekatan. Apa yang terjadi itu disalurkan melalui isyarat khusus yang dengan
segera menyebar ke segala penjuru hingga ke paling ujung. Dengan
demikian, segenap prajurit telah membekali diri dan mempersiapkan
diri menghadapi apa yang akan terjadi. Oleh kesadaran itu, kantuk yang
akan datang akan dilawannya dengan sekuat tenaga.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau merasakan?" bertanya seorang prajurit rendahan yang
berjaga-jaga tak jauh dari Bajang Ratu.
Prajurit yang ditanyai memejamkan mata. Perlahan ia menggeleng.
208 Gajah Mada "Aku sudah berusaha," ucapnya, "tetapi, aku tak menemukan bedanya.
Aku merasa udara yang mengalir kali ini sama seperti sebelumnya, tak
ada yang aneh." "Kau merasa mengantuk?" tanya prajurit pertama. "Coba
kauperhatikan keadaan dengan cermat, apakah kau merasa mengantuk,
kalau ya artinya harus waspada."
Prajurit kedua itu menggeleng. Kerut wajah dan bahasa tubuhnya
menandai bahwa prajurit rendahan itu merasa cemas.
"Perhatikan saja, kalau kau merasa kantuk datang lebih awal, itu
pertanda sirep sedang disebar. Jangan tidur, kalau kau tertidur, penjahat
itu akan dengan mudah menebas kepalamu."
Adanya kekuatan sirep yang mencemari udara telah tersebar dari
ujung ke ujung dan mendorong siapa saja yang menerima keterangan
itu untuk memerhatikan keadaan. Ada yang mengaku bisa menandai
udara aneh itu. Namun, ada pula yang tidak merasakan apa-apa. Udara
aneh itu setidaknya telah mengusik ketenangan pejabat dharmadyaksa
kasogatan,131 yang dengan langkah perlahan menemui Gajah Mada dan
Mahapatih Arya Tadah. Kehadiran Dharmadyaksa Kasogatan Samenaka132 mudah ditandai
dari tubuhnya yang tinggi kurus serta jubahnya yang menutup seluruh
tubuhnya. Akan tetapi, yang mengagetkan Gajah Mada adalah orang
yang datang bersama pejabat agama Buddha itu. Gajah Mada menerima
kehadirannya dengan perasaan meluap. Tiga tahun sejak apa yang
terjadi dan menimpa Prabu Jayanegara, ia menghilang lagi tak ada kabar
beritanya. Kini, orang itu terlihat lagi batang hidungnya.
Gajah Mada merasa memerlukan menyapa orang itu lebih dulu.
131 Dharmadyaksa kasogatan, Jawa Kuno, jabatan untuk petinggi yang mengurusi masalah-masalah agama Buddha yang dijabat oleh ayah Prapanca, Sang Samenaka atau mungkin Dang Acarya Kanakamuni.
Pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, jabatan itu dipegang oleh Prapanca yang amat diduga ia adalah Dang Acarya Nadendra. Para ahli juga mengira Prapanca adalah nama samaran dari Winada.
132 Samenaka, nama dharmadyaksa kasogatan pendahulu Prapanca, sangat diduga ayah Prapanca.
Penulusuran Prof. Dr .Slamet Muljono juga menyebut nama Dang Acarya Kanakamuni sebagai pendahulu Dang Acarya Nadendra.
Hamukti Palapa 209 "Dari melanglang buana ke mana saja selama ini kau, Pancaksara?"
Gajah Mada bertanya. Pancaksara tersenyum lebar. Ia merasa senang bertemu kembali
dengan sahabat yang dikaguminya itu.
"Aku baru saja kembali dari Pulau Kalimantan," jawab Pancaksara.
"Ada banyak kisah yang akan aku ceritakan. Rasanya, meski berhari-
hari aku bercerita, tak akan cukup untuk menuturkan dari awal hingga
ujung." Gajah Mada mengangguk dan mengarahkan hormatnya kepada
Dharmadyaksa Kasogatan Samenaka.
"Hormatku, Bapa Guru Samenaka," ucap Gajah Mada sambil
mengangguk sedikit agak membungkuk.
Dharmadyaksa Kasogatan Samenaka mengangguk membalas
penghormatan itu, juga membalas penghormatan yang diberikan
Mahapatih Arya Tadah. Pimpinan agama Buddha itu merasa tidak perlu
menunda dengan berbasa-basi. Sang Samenaka langsung mengutarakan
persoalan yang dibawanya.
"Kedatanganku untuk memberi tahu, ada yang aneh dan mungkin
sesuatu akan terjadi malam ini, Kakang Amangkubumi," kata Dang
Acarya Samenaka. Gajah Mada menyimak dengan saksama ucapan Samenaka.
Demikian pula dengan Gagak Bongol yang berdiri agak jauh di belakang.
Patih Amangkubumi tidak buru-buru menjawab, dilakukan itu setelah
beberapa jenak termangu, "Mengenai adanya orang yang menyebar sirep?" Mahapatih
Amangkubumi balas bertanya.
Sang Samenaka mengangguk.
"Kami sudah tahu, Adi Dharmadyaksa Kasogatan," jawab
Mahapatih Arya Tadah. "Itulah sebabnya, saat ini tengah kami lakukan
persiapan penyambutan tamu-tamu itu."
210 Gajah Mada Sang Samenaka menatap tajam.
"Apakah ada kaitannya dengan orang-orang yang melakukan
pembantaian sore tadi?" Sang Samenaka mengejar.
Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah mengangguk.
"Menurut dugaan yang rupanya benar, pembakaran rumah-rumah
dan pembunuhan yang dilakukan terhadap para penduduk sepanjang
sore ini adalah untuk memancing perhatian keluar. Tujuan mereka yang
sebenarnya adalah masuk ke gedung perbendaharaan pusaka. Mereka
maling yang terlalu berani dan tak tahu diri."
Sang Samenaka tak menampakkan perubahan wajahnya. Namun,
sebenarnya agak terkejut melihat Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah
bisa mengetahui sampai sejauh itu.
"Ibu Suri Ratu Gayatri yang memberi tahu kami," lanjut Tadah.
"Ooo," gumam Dharmadyaksa.
"Barangkali Adi Dharmadyaksa Kasogatan punya saran?"
Sang Samenaka yang terdiam beberapa jenak itu kemudian
menggeleng kepala. "Benda apakah yang akan dicuri itu, Kakang Mapatih?" tanya Sang
Samenaka yang tak bisa menutupi rasa kaget.
Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah menoleh kepada Gajah Mada
dan meminta kepadanya menjelaskan. Gajah Mada membaca isyarat
yang diberikan kepadanya itu.
"Bersamaan dengan terjadinya gempa bumi pada malam itu,"
papar Gajah Mada, "adalah bersamaan dengan istana kecurian. Malam
itu barangkali Bapa Dharmadyaksa Kasogatan juga menandai keadaan
seperti malam ini, yaitu adanya kekuatan sirep yang disebar untuk
menidurkan para prajurit.
Istana kehilangan dua buah pusaka penting. Yang pertama adalah
lambang negara atau cihna dan yang kedua songsong Udan Riwis yang
juga lenyap dibawa maling itu. Mungkin tidak puas dengan benda-benda
Hamukti Palapa 211 yang dicuri, mereka berusaha masuk kembali malam ini. Untuk jangan
sampai peristiwa itu terulang kembali dan untuk menangkap pelakunya
serta mengembalikan benda-benda pusaka itu ke tempatnya, malam
ini telah kami siagakan pasukan yang baris pendhem 133 untuk menjebak
mereka." Dengan gamblang Gajah Mada menceritakan apa yang diketahuinya,
yang disimak hal itu dengan penuh perhatian oleh Dharmadyaksa
Kasogatan Samenaka dan anaknya.
Bahwa sejak malam turun, bau sirep itu melayang di udara,
sangat mencuri dan menyita perhatian Dharmadyaksa Kasogatan.
Dharmadyaksa yang memiliki pemahaman yang cukup, layak merasa
cemas karena di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, kemampuan
macam itu bisa disalahgunakan untuk berbagai keperluan.
Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah selanjutnya menemani
Dharmadyaksa Kasogatan berbicara banyak hal. Sementara itu, Gajah
Mada dan sahabat karibnya memilih menyendiri.
"Ada sebuah berita penting yang akan kusampaikan kepadamu.
Itu sebabnya, sejak aku mendarat di Ujung Galuh, aku berpacu bagai
kesetanan," kata Pancaksara.
Gajah Mada memicingkan mata, ada yang janggal dirasakannya.
"Kamu berkuda, sejak kapan kamu berkuda?"
Pancaksara tertawa. "Jika aku tidak berkuda yang aku peroleh itu dari membeli milik
seorang nelayan yang kukenal dengan baik, tamu-tamu dari Swarnabhumi
itu akan tiba lebih dulu. Siang tadi serombongan kapal besar membuang
sauh di Ujung Galuh, yang aku tahu armada itu dipimpin oleh
Aditiawarman." Gajah Mada memandang sahabat lamanya dengan amat lekat.
133 Baris pendhem, Jawa, pasukan dalam sikap melakukan pengintaian
212 Gajah Mada "Kauyakin, mereka tamu dari Swarnabhumi?"
"Aku sangat yakin," jawab Pancaksara dengan tegas. "Aku sempat
berbicara dengan salah seorang dari mereka yang turun ke daratan.
Juga kuyakini dari tulisan yang terpahat di lambung kapal, juga
benderanya. Aku juga tahu kesulitan yang mereka alami yang ingin
melanjutkan perjalanan menyusuri sungai karena sedang kering. Menurut
perhitunganku, mereka akan datang kemari besok dengan berjalan kaki
atau berkuda." "Mereka membawa kuda" Tentu mereka butuh banyak kuda?"
tanya Gajah Mada. Pancaksara menggeleng. "Kulihat tidak. Yang kuduga, mungkin mereka berbelanja kuda lebih
dulu. Satu atau dua sampai lima ekor kuda bisa didapat dengan mudah.
Namun, tidak untuk jumlah yang banyak."
Gajah Mada berjalan mondar-mandir mencerna keterangan baru
itu. Berita yang ia terima dari Pancaksara itu sungguh merupakan berita
yang sangat penting. Persiapan penyambutan harus dilakukan untuk
menghormati tamu-tamu dari mancanagara.134
"Kedua Prabu Putri harus diberi tahu akan datangnya tamu-tamu
penting itu," ucapnya.
Pancaksara bergeser dan memandang puncak Manguntur sambil
membelakangi Gajah Mada yang terdiam. Kepada Gajah Mada,
Pancaksara merasa harus menumpahkan cara pandangnya.
"Aku punya pendapat, mungkin kau bisa mencerna, sekadar agar
kauwaspada," tambah Prapanca.
"Apa?" balas Gajah Mada.
"Menurutku, tak ada salahnya kau bersikap hati-hati," tambah
Pancaksara. 134 Mancanagara, Jawa, luar negeri
Hamukti Palapa 213 Gajah Mada balas memandang Pancaksara yang berbalik dan
menatap tajam. "Di luar sana ada banyak negeri," kata Pancaksara, "yang mem-
punyai pendapat, raja harus berasal dari anak permaisuri dan harus laki-
laki. Siapa tahu, kedatangan tamu kita kali ini membawa cara pandang
macam itu. Apalagi, jika mengingat yang akan datang kali ini adalah
Aditiawarman. Ketika saudara sepupunya mati dan saudara sepupunya
itu tidak meninggalkan anak laki-laki atau saudara laki-laki terdekat,
mungkin Aditiawarman merasa dirinya berada dalam urutan terdekat
untuk menggantikannya. Siapa tahu!"
Gajah Mada berpikir keras mencerna kemungkinan sebagaimana
diuraikan teman dekatnya itu.
Kenangan Gajah Mada segera terputar atas peristiwa yang pernah
terjadi dan menimpa Singasari. Kurang apa Sri Kertanegara pada waktu
itu. Raja Gelang-Gelang keturunan Kertajaya, Jayakatwang, ditempatkan
di tempat yang terhormat. Anak lelakinya bernama Ardaraja diambil
menantu, dikawinkan dengan anak bungsunya.135 Akan tetapi, apakah
balasan dari kebaikan yang diberikan itu" Ketika Singasari sedang kosong
karena para prajurit dikirim ke Sumatra dan Tumasek dengan dipimpin
oleh Lembu Anabrang, Prabu Jayakatwang yang dikipasi Banyak Wide
atau Arya Wiraraja dari Sungeneb menyerbu istana dan membuat karang
abang.136 Nafsu keserakahan untuk berkuasa mendorong Jayakatwang dari
Gelang-Gelang sanggup menggempur Majapahit. Jika lengah, serbuan
memang bisa berasal dari tempat yang tak terduga. Bisa dari musuh atau
bisa pula dari sahabat yang sebelumya mengaku teman sejati. Dengan
latar belakang macam apakah tamu-tamu yang akan datang dari ranah
Swarnabhumi kali ini"
135 Tidak ada catatan sejarah yang menyebut siapa nama anak bungsu Sri Kertanegara ini. Dalam silsilah raja-raja Tumapel-Singasari-Kediri-Majapahit-Demak-Pajang-Mataram-Surakarta-Yogyakarta (Abad XI-XXI) yang dikeluarkan oleh "Tri Dharma" dan disusun oleh Tjo Sugiharto, menempatkan anak bungsu ini sebagai istri Ardaraja dan Ardaraja adalah anak Jayakatwang.
136 Karang abang, Jawa, kekacauan dengan bakar-bakaran
214 Gajah Mada "Ada berapa jumlah kapal yang kaulihat?" tanya Gajah Mada.
"Sepuluh," jawab Pancaksara.
"Sepuluh?" ulang Gajah Mada. "Muat berapa orang untuk setiap
kapal" Dua ratus orang?"
Pancaksara menggeleng lemah karena merasa tak tahu jawabnya.
"Sebuah kapal bisa memuat dua ratus orang sudah cukup besar.
Atau, andai tiga ratus orang sekalipun, berarti jumlahnya tiga ribu
orang. Dengan jumlah itu, sungguh terlalu berani jika berniat menyerbu
Majapahit," ucapnya.
Bintang-bintang di langit yang terlihat sangat gemerlapan, bersih,
dan indah, membuat gelisah karena kerinduan justru sedang tertuju
kepada mendung dan hujan. Gajah Mada yang sedang berpikir itu
mendongak ke langit karena suara cataka terdengar menyayat. Burung
yang minum dari tetes-tetes hujan itu rupanya sungguh menderita.
Akan tetapi, burung cataka itu segera menghentikan keluh-kesahnya.
Ada sebuah firasat kuat, hujan akan turun di sebuah tempat. Maka,
dengan segera ia mengayuh udara melalui kepakan sayapnya yang tak
berkesudahan. Burung cataka itu rupanya tahu di Ujung Galuh akan
turun hujan. "Majapahit membutuhkan kapal-kapal macam itu, bahkan dengan
jumlah yang banyak," kata Gajah Mada.
Pancaksara mengerutkan dahi.
"Untuk bisa menjadi negara yang besar," lanjut Gajah Mada,
"Majapahit harus memiliki prajurit yang tangguh di darat maupun di
lautan. Rasanya, tak sabar aku ingin tahu seperti apa bentuk kapal-
kapal dari Swarnabhumi itu. Kuucapkan terima kasih atas keterangan
yang kauberikan itu, Pancaksara. Esok akan aku minta dilakukan
geladi perang secara utuh berkekuatan segelar sepapan. Kekuatan yang
dimiliki Majapahit itu akan aku pamerkan kepada para tamu agar
mereka berpikir dua kali jika berniat seperti kecurigaanmu, termasuk
Hamukti Palapa 215 andaikata Aditiawarman merasa dirinya yang paling layak dan berhak
menggantikan saudara sepupunya."
Pancaksara bisa menerima apa yang dikatakan Gajah Mada itu, tetapi
ada bagian yang menarik dan Gajah Mada belum menuntaskan.
"Kalau boleh aku tahu, bagaimana masa depan Majapahit yang
kauinginkan?" Gajah Mada berbalik. Dalam siraman cahaya obor, terlihat betapa
besar semangat yang terbaca dari wajahnya.
"Kau yang punya kegemaran menjelajah ke mana-mana, seberapa
luas dunia ini menurutmu?" tanya Gajah Mada.
Pancaksara terpaksa tersenyum karena pertanyaannya tidak berjawab.
Sebaliknya, Gajah Mada malah balas bertanya.
"Luas sekali, ada banyak pulau besar dan kecil," jawab Pancaksara.
"Seberapa banyak" Ada berapa ratus?" Gajah Mada mengejar.
"Ratus?" Pancaksara tersenyum. "Ada banyak, ribuan, membentang
dari timur ke barat dari utara ke selatan. Di lautan luas ada banyak nusa
yang sambung-menyambung. Namun, ada pula wilayah lautan luas
yang bagai tidak berujung, mungkin di ujungnya sana air laut tumpah
ke bawah." Gajah Mada menyimak. "Terus, ada berapa banyak kerajaan?"
"Tak terhitung. Di wilayah Nusantara saja ada banyak negara dengan
raja-rajanya. Belum lagi yang berada di atas angin. Konon, di daerah atas
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angin, manusianya tidak seperti kita. Orang-orang di atas angin raksasa
semua dengan rambut jagung dan mata biru. Butuh puluhan bulan atau
tahun perjalanan untuk bisa bertemu dengan mereka."
Gajah Mada menyimak cerita itu dengan amat berminat.
"Negeri apa saja yang telah kaukunjungi atau setidaknya sudah
kauketahui?" tanya Gajah Mada.
216 Gajah Mada "Ada banyak sekali. Di Sumatra ada Jambi,137 Palembang,
Dharmasraya yang pernah menjadi sahabat Singasari, ada Kandis,
Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kempe, Haru, Temiang, Parlak,
Samudra, Lamuri, Barus, Batan, dan negeri Lampung. Semua negeri
besar dan kecil itu umumnya hidup dengan damai, berdampingan saling
melengkapi melalui hubungan perdagangan. Namun, ada juga yang
bermusuhan dan terlibat perang."
Patih Gajah Mada takjub mendengar itu. Kegemarannya bepergian
dari satu tempat ke tempat lain, menjadikan Pancaksara mempunyai
perbendaharaan pengetahuan yang luas sekali.
"Sudah kaukunjungi semua negara-negara yang kausebut itu?"
tanya Gajah Mada. Pancaksara menggeleng. "Darmasraya, Jambi, dan Lampung sudah aku kunjungi. Selebihnya
kulewati atau aku tidak menyadari sedang berada di negara mana karena
tidak adanya batas yang jelas antara negara satu dengan lainnya."
"Lalu?" tambah Gajah Mada. "Negeri bernama apa saja yang
kautemukan di tanah Kalimantan?"
"Kita menyebutnya Kalimantan," jawab Pancaksara. "Namun, orang
di sana menyebut pulaunya sebagai Tanjung Pura. Aku mencatat ada
negeri, seperti Kapuas,138 Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin,
Sambas, Lawai, Kandangan, lalu Singkawang, Tirem, Landa, Sedu,
Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung,
Tanjung Kutai, dan Malano. Mungkin masih ada lagi negeri-negeri yang
belum kuketahui namanya karena demikian banyaknya."
Jawaban itu memaksa Gajah Mada termangu. Tentulah membutuhkan
kerja keras dan bala tentara darat dan armada laut yang amat besar untuk
137 Jambi, Palembang, dan seterusnya, nama-nama negara di Sumatra yang nantinya dikuasai oleh Majapahit pada zaman keemasannya sebagaimana diterangkan Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.
138 Kapuas, Katingan, dan seterusnya, nama-nama negara di Pulau Kalimantan yang nantinya menjadi bagian dari wilayah Majapahit sebagaimana dituturkan Empu Prapanca dalam Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.
Hamukti Palapa 217 bisa mempersatukan semua wilayah itu. Selebihnya adalah biaya yang
juga sangat besar dan pengorbanan melebihi kepentingan mana pun.
"Bagaimana dengan Hujung Medini?"139 tanya Gajah Mada.
"Kaumiliki pula pengetahuan tentang wilayah itu?"
Pancaksara mengangguk. "Ada beberapa negara besar dan kecil di Hujung Medini," Pancaksara
berkata. "Ada Pahang,140 Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka,
Muar, Dungun, Tumasek, Kelang, Kedah, Jerai. Karena keramah-
tamahannya, sifat suka damai, dan tak senang perang, nyaris semua
negeri di Hujung Medini telah kudatangi semua."
Patih Gajah Mada mengangguk dengan tatapan mata takjub.
Minatnya terhadap apa yang diceritakan Pancaksara makin menjadi.
Meski belum memiliki gambaran, ke depan, Gajah Mada berharap
akan memiliki kesempatan mengunjungi tempat-tempat yang dimaksud
itu. "Terakhir, bagaimana dengan wilayah di daerah tempat matahari
berasal?" Pancaksara meliukkan badan untuk menipu penat setelah menempuh
perjalanan panjang. Orang lain mungkin jera menempuh perjalanan
hingga ke ujung dunia. Namun, tidak demikian dengan Pancaksara.
Keinginan melihat banyak negeri dari satu tempat ke tempat lain
menyebabkan Pancaksara kebal dari penat. Melihat indahnya gunung dan
ngarai, lembah dan sepanjang pantai berpasir, membuatnya bergairah
dan dipenuhi rasa ingin tahu dan mengalahkan segala rasa penat itu.
Kenangan Pancaksara tertuju pada beberapa wilayah yang dari sana
matahari muncul. Ada beberapa negeri di daerah itu yang dicatatnya,
tetapi tak semua dikunjungi. Di tempat-tempat itulah, Pancaksara
banyak melihat hal-hal tak masuk akal dan bahkan nyaris merenggut
nyawanya. 139 Hujung Medini, penyebutan Semenanjung Melayu
140 Pahang , Langkasuka, dan seterusnya, nama-nama negara di Semenanjung Melayu yang nantinya menjadi bawahan Majapahit sebagaimana liputan Prapanca dalam Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.
218 Gajah Mada Di ujung paling timur perjalanannya, ia harus lari lintang pukang
kembali ke dalam kapal karena dikejar-kejar dan akan dibantai oleh orang
yang berkulit sangat hitam. Hitam warna arang sama dengan warna kulit
orang-orang itu. Pancaksara yang menengadah mengarahkan tatapan matanya ke
sebutir kartika. Ia lakukan itu sambil mengumbar kenangannya ke masa
lalu. "Di timur Jawa ini tentu saja ada Bali," kata Pancaksara. "Berturut-
turut nama negeri yang ada adalah Bedahulu,141 Lo Gajah, Gurun,
Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali,
Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian,
Salayar, Sumbar, Muar, Solor, Bima, Wandan, Ambon Maluku, Wanin,
Seran, dan Timor. Wilayah negara-negara di timur itu amat luas. Di wilayah paling
timur ternyata matahari masih terbit di timurnya lagi. Jika kau berlayar
berbulan-bulan lamanya, akan sampai di sebuah tempat bernama Seran.
Di sana penduduknya berambut demikian keriting sampai tak bisa disisir
memakai serit.142 Di samping rambutnya sangat keriting, orang Seran
dan Onin berkulit sangat hitam, sangat berbalikan dengan matanya
yang putih. Di Seran aku nyaris dibantai oleh penduduk yang tak jelas apa
penyebabnya, entah sekadar salah paham ataukah mereka gemar
memangsa manusia. Namun, tidak jauh dari tempat itu, orang Onin
mempunyai sikap yang berbeda dan lebih ramah. Sebulan lamanya aku
Amarah Pedang Bunga Iblis 5 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Bentrok Rimba Persilatan 21
yang bergerak amat lamban, menunggu bisa jadi merupakan pekerjaan
paling membosankan. Prajaka dengan wajahnya yang datar sangat tidak peduli pada apa
pun. Namun, untuk kedatangan ayahnya, remaja dengan kelainan jiwa
itu bergerak mendekat. Kalau ada senyum, senyum itu hanya sekilas.
"Bagaimana kabarmu, Prajaka" Tidak melihatmu sepekan seperti
sudah setahun lamanya," kata Pradhabasu.
Prajaka tidak memberi tanggapan apa pun. Tatapan matanya tetap
kosong dan jatuhnya entah ke mana. Dengan senyum dan anggukan
menghormat yang diberikan kepada Dyah Menur, Gajah Enggon
melangkah mendekat ikut memerhatikan apa yang akan dilakukan
mantan Bhayangkara Pradhabasu.
"Prajaka, lihat Ayah," kata Pradhabasu.
Sang Prajaka mulai menggerakkan bola matanya dan memandang
lurus ke mata ayahnya. 162 Gajah Mada Dengan senyum seperti menyembunyikan sesuatu, Pradhabasu
mengeluarkan semua anak panah dari endong di punggungnya dan
menjatuhkan anak panah itu hingga berserakan di tanah, hanya
tersisa sekepal yang tidak ikut disebar. Gajah Enggon dan Dyah
Menur mengerutkan kening karena tak memahami apa maksud
perbuatannya. "Empat puluh satu," kata Sang Prajaka setelah melirik sekilas.
Pradhabasu memeluk anaknya dengan erat dan selanjutnya
mengembangkan raut senyum penuh kebanggaan yang ditujukan itu
kepada Gajah Enggon. "Meski kau seorang prajurit berpangkat senopati," kata Pradhabasu,
"kau tak akan mampu mengalahkan kecerdasan anak ini. Mari kita hitung
bersama-sama." Dengan pandangan mata tak habis mengerti, Senopati Gajah
Enggon memerhatikan apa yang dilakukan Pradhabasu yang menghitung
jumlah anak panah yang semula dijatuhkan. Demikian pula dengan Dyah
Menur, memerhatikan dengan cermat.
"Empat puluh satu, nah benar, kan?"
Agak terlambat bagi Senopati Gajah Enggon untuk terbelalak.
Demikian juga amat terlambat bagi Dyah Menur untuk menyadari.
Senopati Gajah Enggon bergegas menempatkan diri di depan Sang
Prajaka, berharap akan berbalas pandang, tetapi Prajaka tidak melayani
keinginan itu. Pandangan matanya kosong tanpa isi, seolah titik jatuhnya
di tempat para jin dan hantu yang bersembunyi di alam lain.
"Menurutmu, anak ini tolol atau cerdas?"
Terbuka lebar mulut Gajah Enggon, matanya masih melotot.
"Mau diulang?" tanya Pradhabasu.
Tantangan itu langsung diterima oleh Senopati Gajah Enggon,
yang dengan bergegas mengeluarkan anak panah dari endong-nya. Anak
panah itu disebar di tanah, tetapi tidak semua. Sang Prajaka hanya
membutuhkan waktu tak lebih dari sekejap dalam melirik.
Hamukti Palapa 163 "Dua puluh tiga," kata Sang Prajaka tanpa keraguan.
Sang Prajaka kembali sebagaimana tabiatnya, menebar tatapan
matanya yang kosong dengan titik pandang kabur karena menembus
wilayah lamunan, tidak jatuh ke pepohonan atau benda apa pun. Sang
Prajaka kembali ke dunianya yang berada di luar dunia manusia. Di
dunia lain itu, semua gerak lelembut terlihat olehnya, tidak terlihat oleh
orang lain. Senopati Gajah Enggon yang dengan gugup memungut dan
menghitung anak panah yang ditebar, menemukan kenyataan yang
membuat jantungnya serasa berhenti berdenyut. Dengan mata
terbelalak, Gajah Enggon memerhatikan raut muka Sang Prajaka dengan
Pradhabasu tak henti-hentinya menahan senyum. Gajah Enggon bahkan
memerlukan menghitung ulang.
"Sekarang aku ulangi pertanyaanku, apakah menurutmu anakku ini
bocah tolol atau pintar?"
Gajah Enggon tidak mampu mencerna pertanyaan itu. Ia masih
terlalu sibuk dengan rasa kagetnya. Pradhabasu menyentuh pundaknya.
Gajah Enggon berbalik, raut mukanya berlepotan rasa takjub.
"Bagaimana anakmu melakukan itu?" tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu mengangkat pundak, senyumnya terasa aneh.
"Aku tidak tahu," jawabnya.
Gajah Enggon tak mampu meredakan rasa herannya, yang ia
puasi hal itu dengan mengulang menebar anak panah ke lantai. Kali ini
lebih banyak. Prajaka menoleh hanya sekilas. Namun, kali ini mulutnya
terkunci, pandangan matanya jatuh ke pagar yang penuh daun beluntas
di halaman. "Berapa, Prajaka?" tanya Gajah Enggon.
Prajaka tidak menjawab. Remaja berkelainan jiwa itu lebih memilih
menjadi patung beku. Namun, Pradhabasu segera menyentuh pundak
bocah itu. "Berapa?" tanya Pradhabasu kepada anaknya.
164 Gajah Mada "Lima puluh tujuh," jawab Sang Prajaka.
Gajah Enggon akhirnya merasa yakin bocah berkelainan jiwa itu
ternyata memiliki kemampuan langka. Hening yang melintas sekilas
seperti setan lewat yang menyita waktu dan perhatian.
Namun, Gajah Enggon segera menyisihkan rasa takjubnya kepada
bocah dengan kelainan jiwa itu karena ia harus memberikan perhatian
kepada pemilik rumah. Dengan ramah, Dyah Menur memberikan
penghormatan dan salamnya. Gajah Enggon membalas mengangguk
ketika Dyah Menur mengangguk sedikit membungkuk. Dari jarak cukup
dekat, kini Gajah Enggon bisa memerhatikan raut wajah Dyah Menur
yang telah membuat resah Gajah Mada, dengan cukup jelas.
"Selamat datang, Tuan Senopati," ucapnya dengan suara lirih, tetapi
terdengar jelas. Dengan sangat bergegas, Senopati Gajah Enggon membalas,
"Kabarku baik, Nyai. Aku berharap demikian juga dengan keadaan
Nyai." Dyah Menur tersenyum amat sejuk. Itulah senyum yang
menenteramkan keadaan, menyiram amarah, dan menimbulkan rasa
segan. Apalagi, betapa santun tutur kata perempuan itu, serasa semua
yang akan diucapkan telah disaring dengan teliti. Gajah Enggon merasa,
betapa beruntung Pradhabasu memiliki istri dengan kelebihan itu. Istri
yang dari tutur kata dan suaranya sangat sejuk meneduhkan hati. Yang
dari senyumnya serasa menjanjikan kedamaian tanpa batas dan yang dari
kecantikannya menyebabkan tak perlu melirik perempuan lain.
Melihat keberuntungan sahabatnya itu, Gajah Enggon kemudian
mengarahkan perhatiannya kepada dirinya sendiri. Sejauh ini nasibnya
kurang begitu bagus. Jodoh yang ditunggu-tunggu belum datang juga,
sementara waktu terus merayap mengantarkannya menuju ke makin
tua. "Apakah Prajaka merepotkanmu?" kali ini Pradhabasu bertanya.
Dyah Menur menggeleng. Hamukti Palapa 165 "Tentu tidak, Kakang," jawabnya lembut, "karena Prajaka seperti
punya dunianya sendiri. Beberapa hari ini, ia sangat menarik perhatianku.
Ia mulai menjawab dengan ucapan-ucapan yang lebih panjang meski
tatapan matanya selalu ke arah lain. Namun, yang mengagetkanku adalah
apa yang baru saja dilakukan."
Pradhabasu tidak bisa menutupi rasa senangnya. Namun, ketika
dengan mendadak kenangannya tertuju kepada ibu bocah itu, senyum
itu mendadak hilang dan kembali berubah menjadi nyeri yang menggigit.
Akan tetapi, dengan segera Pradhabasu membuang kenangan itu.
Pradhabasu mengedarkan pandangan matanya sekilas seperti ada yang
sedang dicari. "Di mana Kuda Swabhaya?" tanya Pradhabasu.
"Sedang tidur," jawab Dyah Menur.
Dengan segera Gajah Enggon menduga nama yang baru saja
disebut itulah yang dipersoalkan oleh Gajah Mada, dan dicemaskan kelak
di kemudian waktu akan menjadi sumber masalah dengan kemungkinan
akan mengganggu peralihan kekuasaan.
Namun, Gajah Enggon melihat dengan bocah itu menjadi anak tiri
Pradhabasu, sebenarnya Gajah Mada tidak perlu mencemaskan apa pun
karena Pradhabasu tentu tidak akan membiarkan hal macam itu terjadi.
Sebelumnya, anak Dyah Menur dengan Raden Kudamerta itu bernama
lain, nama Kuda Swabhaya, Pradhabasulah yang memberi.
Dyah Menur tidak membiarkan percakapan yang terjadi di
halaman rumah itu berlangsung lama. Ia mempersilakan Gajah Enggon
masuk. Dyah Menur merasa tidak nyaman percakapan itu diperhatikan
tetangganya yang bersembunyi di balik pagar di seberang jalan.
Entah apa yang menarik perhatian Ki Draba Alit itu dengan tetap
bertahan di tempatnya. Barulah Ki Draba Alit beranjak ketika tidak terlihat
siapa pun kecuali Prajaka yang sedang sibuk menghitung bilah daun pada
pelepah pohon jambe. Ketika tanpa sengaja pandangan mata Prajaka jatuh
ke arah dirinya bersembunyi, dengan gugup Ki Draba Alit menyelamatkan
diri ke balik pohon, berusaha agar kakinya jangan sampai terlihat.
166 Gajah Mada Dyah Menur berdebar-debar manakala kesempatan yang diharapkan
itu ia peroleh. Akan tetapi, sebagai perempuan, ia hanya bisa
menempatkan diri menunggu Pradhabasu yang mendahului berbicara.
Ketika Dyah Menur sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan
dan minum, Pradhabasu menemuinya.
"Aku akan pergi untuk waktu cukup lama, Nyai. Itu sebabnya,
mungkin aku akan menitipkan Prajaka lebih lama. Untuk itu, telah aku
siapkan semua kebutuhan yang Nyai perlukan. Aku ada uang dalam
jumlah yang cukup untuk kebutuhan hidup yang kauperlukan selama
aku pergi." Hati Dyah Menur serasa terbelah, tetapi dengan sangat tidak terlihat
ia menyembunyikan warna hatinya. Senyumnya tetap sejuk dan menawan,
kepalanya tetap menunduk agar tak terbaca bahasa wajahnya.
"Ke mana Kakang akan pergi?" balas perempuan itu.
Pradhabasu menerawang. "Istana Majapahit kehilangan dua buah pusaka amat penting. Aku
harus menemani Senopati Gajah Enggon mencarinya. Aku tak tahu
berapa lama waktu yang aku butuhkan, mungkin sebulan atau mungkin
lebih." Dyah Menur merasa napasnya sedikit sesak. Kini, setelah waktu
bergerak cukup lama, ia punya alasan untuk selalu memikirkan laki-
laki itu. Alasan untuk berharap apa yang dulu pernah dibicarakan akan
dibahas lagi. Namun, jangankan untuk membahasnya, kini Pradhabasu
bahkan berpamitan untuk perjalanan yang panjang.
Padahal, betapa ingin Dyah Menur memperoleh kesempatan
berbicara, membahas pinangan yang dulu pernah dilontarkan. Hanya
sayang, kedudukannya sebagai perempuan menyebabkan ia tak mungkin
melakukan itu. Sebagai perempuan, Dyah Menur hanya bisa menunggu
dan berharap. Tidak mungkin baginya mendahului berbicara karena
Dyah Menur merasa yang demikian itu saru.119
119 Saru, Jawa, tidak pantas dilakukan
Hamukti Palapa 167 Dari kampil-nya, Pradhabasu mengeluarkan segenggam uang dengan
warna kuning mengilat yang diserahkan kepada Dyah Menur. Bahwa
uang itu terbuat dari emas maka nilainya tentu sangat banyak. Namun,
perempuan itu tidak dengan segera menerima. Ia memilih menunduk
mengunyah gelisahnya. Dadanya mendadak sesak, tetapi sekuat tenaga
perempuan cantik itu berusaha mengusai diri.
"Kenapa?" tanya Pradhabasu.
Tatapan mata Dyah Menur masih jatuh ke dekat kakinya.
"Ada apa, Nyai?"
Dyah Menur yang menunduk itu mendongak dan segera menghapus
semua kesan dari wajahnya dengan tersenyum. Diterimanya uang dalam
bungkusan kain itu dan siap untuk digunakan sebagai biaya hidup lebih
dari setahun sekalipun. Dengan uang yang demikian banyak, Dyah Menur
merasa cemas perjalanan yang ditempuh Pradhabasu akan berjalan lama.
Merenda waktu amat lama dalam menunggu tentu merupakan pekerjaan
menyedihkan. "Tidak ada apa-apa," jawabnya lirih dengan kembali menundukkan
kepala. Namun, Pradhabasu menangkap adanya sesuatu yang disembunyikan.
Yang ia tak tahu adalah bagaimana cara mengejar supaya Dyah Menur
mau lebih terbuka. "Benda pusaka apa yang hilang dicuri itu?" tanya perempuan itu.
"Sebuah payung dan cihna," jawab Pradhabasu.
Dyah Menur mengerutkan kening,
"Payung dan cihna?"
Pradhabasu mengangguk. "Kalau kau pernah mendengar," tambah Pradhabasu, "payung yang
hilang adalah payung Kiai Udan Riwis yang dipergunakan memayungi
ketika diselenggarakan wisuda, antara lain terhadap mendiang Tuanku
Prabu Wijaya, juga terhadap mendiang Tuanku Prabu Kalagemet Sri
168 Gajah Mada Jayanegara. Payung itu pula yang digunakan mewisuda Prabu Putri Sri
Gitarja dan Dyah Wiyat Rajadewi dan perkawinan beliau. Itu sebabnya,
kau bisa membayangkan betapa besar makna kehilangan yang dialami
Majapahit saat ini. Benda berikutnya cihna. Cihna itu merupakan benda
yang pertama dibuat. Itu sebabnya, dianggap sebagai cihna pusaka. Benda
itu juga ikut tercuri lenyap dari ruang perbendaharaan pusaka."
Dyah Menur Hardiningsih menyimak penjelasan itu dengan
saksama dan bisa memahami betapa berat tugas yang diemban oleh
Pradhabasu. "Tetapi, mengapa yang ditugasi Kakang Pradhabasu?" tanya Dyah
Menur. Pradhabasu merasa lehernya seperti tercekik.
"Maksudmu?" balasnya.
"Mengapa harus Kakang Pradhabasu yang menjalankan tugas itu?"
tekan Dyah Menur. Pradhabasu terheran-heran dan takjub. Pradhabasu tidak salah
mendengar bahwa ada getar yang berbeda terlontar dari ucapan
perempuan di depannya itu. Ucapan Dyah Menur bagai ucapan seorang
istri yang merajuk. "Kenapa dengan pertanyaanmu itu?" tanya Pradhabasu.
Dyah Menur menunduk dan Pradhabasu menyimak dengan
cermat. "Bukankah Kakang tak lagi menjadi seorang prajurit di Majapahit.
Jadi, mengapa Kakang Pradhabasu harus terbebani oleh tugas itu?"
Dyah Menur menambah dengan suara tersendat.
Pradhabasu akhirnya merasa lehernya makin kaku dan mengalami
kesulitan bernapas. Selanjutnya, Pradhabasu merasa yakin bahwa ada
semacam rasa tak ikhlas yang diungkapkan Dyah Menur melihat apa
yang akan dilakukannya. Dyah Menur tak setuju dengan perjalanan
panjang yang akan ditempuh itu. Ada semacam rasa tak rela ditinggal
Hamukti Palapa 169 pergi demikian lama. Masalahnya, bagaimana harus mengungkapkan
perasaan itu.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun, Pradhabasu memiliki jawabannya.
"Apa yang akan aku lakukan merupakan panggilan jiwa, Nyai,"
katanya. "Apa yang akan aku lakukan bukan karena negara menugaskan
kepadaku untuk mencari pusaka yang hilang itu. Namun, aku merasa
terpanggil untuk melakukannya. Aku merasa ikut bertanggung jawab
untuk ikut menemukan kembali benda yang hilang itu."
Lalu, hening. Mulut Dyah Menur terbungkam. Ketika tangannya
mengaduk bongkahan gula kelapa di dalam air jahe, ia lakukan itu dengan
kepala menunduk. "Apakah Nyai ingin aku tidak pergi?" tanya Pradhabasu.
Meski Nyai Dyah Menur diam, sejenak kemudian ia menggeleng.
Pradhabasu menghirup tarikan napas panjang dan memenuhi
semua ruang di lorong paru-parunya. Pradhabasu berusaha menebak
latar belakang apa yang menjadi penyebab sikap berbeda perempuan itu.
Akan tetapi, apa pun latar belakang itu, Pradhabasu merasa perjalanan
yang akan ditempuhnya untuk melacak jejak dua benda pusaka negara
yang hilang tak boleh dibatalkan. Tidak ada yang bisa menghalangi
langkah yang akan ditempuh, gempa bumi yang menyebabkan tanah
terbelah sekalipun. Namun, Pradhabasu tidak membiarkan Dyah Menur dan anaknya,
juga Prajaka yang dititipkan kepadanya berada dalam keadaan tak
terlindung. Untuk itu, ia meninggalkan uang lebih dari cukup agar Dyah
Menur tidak kekurangan. Sementara itu, untuk keamanannya, menjelang
perjalanannya, Pradhabasu menyempatkan menemui Buyut Wirasari,
mantan prajurit tua dari kesatuan pasukan Jalapati, yang terpilih menjadi
buyut menggantikan ayahnya. Atas nama hubungan persahabatan yang
pernah terjalin selama menjadi prajurit, Pradhabasu menitipkan Dyah
Menur dan anaknya, juga Sang Prajaka ke perlindungannya. Kebetulan
rumah Ki Buyut Wirasari tidak terlampau jauh, hanya berselisih tiga
rumah saja. 170 Gajah Mada "Aku titipkan anak istriku, Kakang," kata Pradhabasu.
Buyut Wirasari mengangguk penuh hormat. Apalagi, terhadap
Senopati Gajah Enggon yang pernah menyandang jabatan demikian
tinggi sebagai pimpinan pasukan Bhayangkara. Permintaan bantuan itu
akan dilaksanakan dengan kesungguhan hati.
Dan, ketika tiba saatnya Pradhabasu dan Gajah Enggon harus
melambaikan tangan pamitan dan perpisahan, Dyah Menur masih
mampu mengusai diri. Namun, ketika derap kuda yang membawa
mereka meninggalkan halaman untuk kemudian lenyap di balik sebuah
tikungan, Dyah Menur ternyata tak mampu mengusai diri, tak mampu
ia mencegah air mata yang bergulir.
Ki Buyut Wirasari tanggap atas keadaan.
"Berdoalah, Nyai. Semoga Ki Pradhabasu segera kembali. Selanjutnya,
selama menunggu suami Nyai kembali, kuminta Nyai tinggal bersama
kami." Dyah Menur mengangguk. Tak ada ucapan apa pun yang terlontar
dari mulut perempuan itu. Ketika Sang Prajaka datang mendekat dengan
raut muka yang aneh, Dyah Menur merengkuh dan memeluknya dengan
ketat. Dalam hati Dyah Menur hanya bisa meratapi rasa kecewanya
karena waktu yang digunakan Pradhabasu menengoknya dan menengok
Prajaka sangat singkat. Sang Prajaka kali ini mengarahkan pandangan matanya ke barisan
pohon kelapa di kejauhan. Pohon-pohon kelapa itu telanjur menjulang
demikian tinggi sehingga tak ada yang berani memanjat untuk memetik
buahnya. Untuk bisa memetik buah kelapa dari pohon yang telanjur
tinggi, seorang penduduk pernah melatih seekor kera besar. Dengan
keperigelannya yang khusus itu, kera besar itu akhirnya menjadi
langganan penduduk yang membutuhkan bantuannya.
Untuk kera tersebut disediakan hadiah kerang rebus, sedangkan
pemiliknya mendapat bagian kelapa. Jika kera itu memetik sepuluh butir
kelapa, pemiliknya berhak satu butir.
Hamukti Palapa 171 Dengan sedikit memicingkan mata, Sang Prajaka menghitung ada
berapa jumlah buah dalam barisan memanjang itu.
13 S enja membayang di kaki langit ketika Pradhabasu dan Gajah
Enggon belum lama meninggalkan rumah Dyah Menur dan akan
menapaki jarak yang cukup jauh menuju Ujung Galuh. Di sepanjang
perjalanan yang ditempuh, dua orang pilih tanding dengan kemampuan
keprajuritan yang mumpuni itu melihat betapa gersang apa pun yang
mereka pandang. Kemarau kali ini memang sungguh keterlaluan, tanah-
tanah sawah merekah menjadi bongkahan-bongkahan menyedihkan.
Tidak ada tanaman yang bisa tumbuh dengan keadaan tanah seperti itu.
Sungguh tak ada yang bisa dilakukan oleh para petani.
"Kalau sampai bulan depan tak juga turun hujan, sulit membayangkan
apa yang akan terjadi karena persediaan bahan makanan yang dihimpun
negara makin menipis," kata Gajah Enggon sambil berteriak.
Pradhabasu yang berada di belakang membalap.
"Rakyat akan makan tanah," balasnya.
"Ya," jawab Gajah Enggon. "Kalau rakyat makan tanah, kita tak
perlu khawatir. Ada cukup banyak persediaan tanah yang tak akan habis
untuk dimakan." Meski berkelakar, kelakar itu tidak menyebabkan Pradhabasu dan
Gajah Enggon harus tertawa.
"Masalahnya, bagaimana cara mengajari rakyat makan tanah agar
mereka tidak kelaparan?" lanjut Gajah Enggon.
172 Gajah Mada Pradhabasu menyalip dan selanjutnya berada di depan.
"Kau harus memberi contoh. Kurasa kalau kau yang memberi
contoh, rakyat akan meniru. Bukankah kau Senopati Gajah Enggon
yang terkenal itu?" Kali ini, Gajah Enggon benar-benar tertawa.
Perjalanan menuju Ujung Galuh masih jauh. Sementara itu, matahari
telah doyong ke arah barat. Serombongan burung kuntul terbang berarak
entah dengan tujuan ke mana. Keberadaan burung kuntul itu sungguh
menarik di musim kemarau yang panjang ini karena menjadi pertanda di
suatu tempat entah di mana, yang pasti di tempat itu masih ada air.
Kuda Pradhabasu terlonjak dan sontak meringkik ketika dengan
agak mengejut Pradhabasu menarik tali kendali kekang kudanya. Gajah
Enggon yang berkuda di depan segera melakukan hal yang sama. Dengan
tangkas Gajah Enggon segera memutar balik kudanya dan mengarahkan
pandangan ke tempat yang sama, nun di sana ada asap mengepul.
"Kebakaran?" desis Pradhabasu.
Pradhabasu tidak perlu mempertimbangkan apa pun untuk segera
melecut kuda yang ditungganginya menuju tempat dari mana asap
tampak membubung tinggi. Gajah Enggon membalap tidak kalah cepat.
Pradhabasu dan Gajah Enggon yang telah sampai di tempat yang dituju
segera menarik simpulan, kebakaran itu bukan jenis kebakaran yang tak
di sengaja karena ada beberapa sosok tubuh yang tergeletak dengan
penyebab yang tak ada hubungannya dengan api.
Seorang perempuan dengan luka berdarah di punggungnya terkulai
memeluk tubuh seorang lelaki yang menjadi mayat. Pradhabasu yang
datang mendekatinya mendapatkan kenyataan, perempuan itu telah tak
bernyawa. Luka yang cukup parah telah menguras darahnya. Perempuan
itu tak mau kehilangan suaminya. Itu sebabnya, ia ikut mati menemani
suaminya. Gajah Enggon tidak melihat siapa pun di sekitar rumah itu. Hanya
ada empat buah rumah yang terbakar semuanya. Setidaknya kebakaran
Hamukti Palapa 173 itu telah terjadi cukup lama karena hanya menyisakan arang. Beberapa
tubuh yang tergeletak mungkin pemilik rumah itu, atau sebagian yang
lain mungkin melarikan diri menyelamatkan diri. Gajah Enggon yang
berlari mengitari rumah-rumah terbakar itu meyakini dugaannya.
"Orang-orang tadi pelakunya?" tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu segera teringat pada serombongan orang yang sebelum-
nya berpapasan dengannya. Pradhabasu mengerutkan keningnya.
"Apa artinya ini?" tanya Pradhabasu.
Gajah Enggon mengangkat bahu karena sama tak tahu jawabnya.
"Harus ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di tempat ini,"
Pradhabasu berkata. Gajah Enggon dan Pradhabasu segera melakukan pemeriksaan.
Semua mayat laki-laki dan perempuan, dan di antaranya bahkan ada
yang masih bocah diperiksanya dengan cermat. Yang paling menarik
perhatiannya adalah seekor kuda yang tergeletak juga ikut menjadi
mayat. Gajah Enggon melihat salah satu rumah dilengkapi dengan kandang
kuda. Yang menjadi perhatian Enggon dan Pradhabasu, kuda itu mati
oleh anak panah yang menembus perutnya. Dengan segera disimpulkan,
kuda yang mati bukan hanya oleh api, tetapi juga oleh anak panah.
Keadaan itu dengan segera menumbuhkan pertanyaan.
Gajah Enggon mencabut anak panah itu dan memerhatikan.
"Ini jenis anak panah untuk berburu," ucapnya.
"Kalau begitu," kata Pradahabasu, "kuda ini mungkin milik
pelaku pembantaian ini, sementara anak panah dilepas oleh penduduk
dari rumah-rumah ini. Sebagai gantinya, pembantai pemilik kuda itu
merampas kuda milik penduduk pedukuhan ini."
Kembali Pradhabasu memeriksa semua mayat, tetapi tidak ada
tanda-tanda yang mengarah ke dugaan anak panah yang menembus
tubuh kuda itu berasal dari salah satu orang yang terbunuh menjadi
174 Gajah Mada mayat itu. Mayat-mayat yang terbantai itu sama sekali tidak memberikan
tanda-tanda adanya perlawanan.
Pradhabasu menoleh ketika dari arah salah satu rumah yang terbakar
terdengar ringkik kuda. Pradhabasu yang mendekat mendapati kuda
itu tidak bisa menjauh karena lehernya terikat tali. Beruntunglah kuda
hitam itu karena api tidak sampai menyentuhnya. Andaikata kuda itu
bisa bercerita, tentulah Pradhabasu akan bertanya.
"Tak seorang pun yang bisa memberi keterangan mengenai apa
yang terjadi?" Gajah Enggon mengangguk. Pradhabasu menerawang dan
memandang langit. "Apakah kita kembali ke kotaraja?"
Gajah Enggon berpikir, matanya memejam. Namun, sejenak
kemudian perwira dengan pangkat senopati itu menggeleng.
"Kita sudah sejauh ini," ucapnya. "Jika orang itu berniat jahat di
kotaraja, ia akan terantuk batunya. Penjagaan di kotaraja demikian ketat
dengan telik sandi menyebar di mana-mana. Tak mungkin ada yang bisa
lolos dari saringan para telik sandi. Tanpa harus kita beri tahu, para prajurit
Majapahit sudah bisa menandai kehadiran mereka."
Gajah Enggon dan Pradhabasu akhirnya harus mencuci piring
bekas pesta orang lain karena mayat-mayat itu tak mungkin dibiarkan.
Menggunakan sebuah cangkul, dibuat sebuah lubang besar yang
dilakukan itu dengan bahu-membahu. Peluh pun bagai diperas berleleran,
apalagi matahari yang sudah jauh doyong ke barat itu masih memberi
hawa panas yang menyengat.
Sebenarnya Pradhabasu tidak hanya berdua dengan Gajah Enggon
di tempat itu karena dari balik lebatnya papringan yang berada tidak jauh
dari tempat itu, seseorang sedang mengamati apa yang dilakukan. Setelah
beberapa saat memerhatikan dengan jantung berlarian, akhirnya orang
itu memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya. Bahwa orang itu
tetap bersikap waspada, terlihat dari anak panah yang biasa digunakan
berburu tetap melekat di gendewa yang terentang.
Hamukti Palapa 175 Pradhabasu yang mulai menurunkan mayat-mayat ke liang lahat,
menghentikan pekerjaannya. Dengan alis mencuat, dipandanginya orang
yang mendekat itu. Gajah Enggon melihat betapa pemuda itu menyangga
beban yang sangat berat. "Siapa kalian?" bertanya pemuda itu.
Pradhabasu dan Gajah Enggon tidak dengan segera menjawab.
Dengan penuh selidik, mereka memerhatikan pemuda yang merentang
langkap itu. Pemuda itulah yang kemudian menjadi tidak sabar.
"Siapa kalian?" ulangnya dengan bentakan.
Pradhabasu dan Gajah Enggon yang semula berdampingan
memisahkan diri mengambil jarak, menyebabkan pemuda dengan anak
panah itu bingung mengarahkan bidikannya.
"Apakah kau penduduk pedukuhan ini?" Pradhabasu justru balas
bertanya. Ucapan Pradhabasu yang dilakukan dengan tenang itu menyebabkan
pemuda itu kebingungan. "Siapa namamu?" lanjut Pradhabasu.
Pemuda itu tidak menjawab. Ia membalas pandangan Pradhabasu
dan Gajah Enggon bergantian. Kebingungan berbau panik yang dialami
menyebabkan pemuda itu tak mampu berbicara. Pandangan matanya
tertuju ke lubang galian yang telah dibuat, pada mayat-mayat yang telah
digeletakkan di dalamnya.
Beban yang teramat berat rupanya memang sedang disangga
pemuda itu. Raut wajahnya membeku ketika dengan amat perlahan ia
melangkah mendekati tepi galian dan memandang tubuh-tubuh yang
telah kehilangan nyawa. Pradhabasu dan Gajah Enggon menempatkan
diri menunggu. "Ceritakan apa yang terjadi. Aku Senopati Gajah Enggon dari
pasukan khusus Bhayangkara dan ini sahabatku, Pradhabasu. Kebetulan
kami lewat tak jauh dari tempat ini ketika melihat sisa kebakaran yang
terjadi," kata Gajah Enggon.
176 Gajah Mada Pemuda itu terkulai. Langkap dan anak panah yang semula
dipegangnya dengan erat jatuh karena tak ada sisa kekuatan untuk
menggenggamnya. Sisa kekuatan yang ada rupanya dipergunakan untuk
menguasai diri. Bahwa apa yang dilakukan itu bukan hal yang mudah,
sangat terbaca dari wajahnya yang merah padam, giginya terkatup saling
menggigit. Gajah Enggon dan Pradhabasu akhirnya memilih menempatkan
diri menunggu pemuda itu menguasai diri sambil terus melanjutkan
pekerjaannya. Mayat terakhir yang masih tersisa dengan hati-hati
dimasukkan ke dalam galian kuburan itu. Pemuda yang mengalami
kekalutan luar biasa itu seperti orang tersadar dari lamunan melihat
orang-orang di depannya mulai menguruk.
"Biarlah aku yang akan mengerjakan pekerjaan itu," ucapnya.
Gajah Enggon dan Pradhabasu saling lirik.
"Adakah yang bisa kauceritakan, apa yang terjadi?" tanya Enggon.
Pemuda itu membalas pandangan Pradhabasu dengan mata berkilat-
kilat menahan amarah, tangan kanannya gemetar seperti orang buyutan,
gemetar juga mulutnya. Kalau saja pelaku pembantaian itu berada di
depannya dan andaikata ia mempunyai kemampuan untuk mengalahkan
mereka, tentu anak panahnya yang akan berbicara mewakili dirinya.
"Aku tak tahu apa sebenarnya kesalahan kami. Mereka menyerbu
dan membakar rumah kami dengan alasan yang sama sekali tidak kami
mengerti," jawab pemuda itu dengan suara yang amat serak.
Pradhabasu termangu. "Kalau boleh aku tahu, siapa namamu?" tanya Gajah Enggon.
"Namaku Tumangkar," jawabnya.
"Apakah orang-orang yang melakukan pembantaian ini sebanyak
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lima orang, mereka datang dengan berkuda?" Pradhabasu bertanya.
"Ya," jawab Tumangkar, suaranya terbata. "Seorang di antaranya
seorang lelaki yang sudah tua dan agak buta. Meski begitu, orang itulah
Hamukti Palapa 177 yang paling bengis. Perintah-perintah yang disalurkan dan caci maki
yang diucapkan mengerikan sekali."
Kembali Pradhabasu dan Gajah Enggon saling lirik. Pradhabasu
yang berbalik, memerhatikan jalan panjang yang semula dilewatinya.
Ketika Pradhabasu mencoba mengenang kembali rombongan orang-
orang itu, memang benar salah seorang di antara mereka berusia lanjut.
Meski sudah lanjut, nyatanya masih mampu menunggang kuda dengan
perigel trengginas. "Bagaimana kalian bisa tahu?" Tumangkar mengurai rasa
penasarannya. "Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan mereka," jawab
Pradhabasu. "Orang-orang itu sedang menuju ke kotaraja."
Hening yang menyeruak adalah karena Pradhabasu dan Gajah
Enggon berusaha menerka latar belakang apa di balik peristiwa itu.
Sekelompok orang berkuda melakukan pembantaian tanpa latar belakang
yang jelas dan dilakukan secara acak tentulah karena menyimpan maksud
tertentu. Raut muka Pradhabasu tiba-tiba berubah setengah terbelalak.
"Ada apa?" tanya Gajah Enggon.
"Mungkin mereka orang-orang yang dimaksud Kakang Gajah
Mada?" Gajah Enggon melangkah mundur dan berjalan mondar-mandir.
"Orang-orang yang oleh Ibu Suri diramalkan akan kembali masuk
ke istana untuk melakukan pencurian?"
Pradhabasu mengangguk. "Yang mereka lakukan adalah untuk memancing para prajurit agar
perhatiannya teralihkan. Dengan demikian, mereka akan leluasa masuk
ke dalam gedung perbendaharaan pusaka. Apakah ini berarti kita harus
kembali untuk memberitahukan kemungkinan itu kepada Kakang Gajah
Mada?" kata Pradhabasu.
178 Gajah Mada Pertanyaan itu menyebabkan Gajah Enggon harus berpikir keras.
Apa yang telah dilontarkan mantan Bhayangkara Pradhabasu itu memang
masuk akal, sebagaimana sangat masuk akal lima orang berkuda yang
sebelumnya berpapasan dengannya dicurigai sebagai orang-orang yang
diramalkan oleh Ibu Suri Rajapatni Gayatri akan kembali masuk ke istana
karena merasa tak puas dengan hasil pencurian pertama.
"Kita tak perlu kembali," jawab Gajah Enggon.
Sontak Pradhabasu mencuatkan alis.
"Apa maksudmu?" kejar Pradhabasu. "Bukankah perjalanan yang
kita tempuh kali ini adalah dalam rangka mengejar mereka, mengejar
orang-orang yang mencuri pusaka-pusaka itu" Mengapa kau berpendapat
tak perlu kembali?" Gajah Enggon segera teringat pada petunjuk yang diterimanya dari
Ibu Suri. Ada satu bagian dari petunjuk itu yang menjadi alasan kuat
untuk tak perlu kembali ke istana apa pun yang terjadi. Setidaknya malam
ini, apa pun yang terjadi harus sampai ke Ujung Galuh.
"Kisanak Tumangkar, kalau boleh aku tahu, siapa saja keluargamu
yang menjadi korban pembantaian ini?" tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu mencuatkan alis makin tinggi melihat Gajah Enggon
membelokkan persoalan. "Tidak ada satu pun," jawab Tumangkar. "Namun bagiku, para
tetanggaku adalah keluargaku. Bagaimana aku bisa merasa tak pernah
kehilangan dengan kematian-kematian ini?"
Gajah Enggon termangu beberapa saat lamanya. Pradhabasu
merasa makin heran melihat Gajah Enggon mengeluarkan lencana
dari balik bajunya. Itulah lencana yang hanya dimiliki oleh prajurit
yang menyandang pangkat senopati. Ketika masih menjadi prajurit
Bhayangkara, Pradhabasu juga pernah memiliki lencana macam itu.
Akan tetapi, benda itu telah lama hilang. Lagi pula, karena Pradhabasu
tak lagi menjadi prajurit Bhayangkara, ia merasa tak berhak lagi memiliki
benda itu. Hamukti Palapa 179 "Kisanak Tumangkar," kata Gajah Enggon. "Kauingin membalas
perbuatan orang-orang yang telah membantai para tetanggamu ini?"
Pertanyaan itu menyebabkan Tumangkar terlonjak. Kalau mungkin,
tentu saja Tumangkar sangat ingin. Namun, kekuatan mana yang bisa
digunakan menghukum orang-orang yang tanpa alasan jelas telah
membantai para tetangganya itu"
"Kauingin orang-orang itu dihukum, bukan?"
Tumangkar mengangguk tegas. Gajah Enggon menyerahkan
lencana miliknya, menyebabkan Tumangkar bingung, demikian juga
dengan Pradhabasu. "Pergilah ke kotaraja," lanjut Gajah Enggon. "Temuilah Patih Gajah
Mada dan ceritakan apa yang terjadi di tempat ini. Sampaikan pesanku
kepadanya bahwa orang-orang itu membuat kekacauan untuk mengalihkan
perhatian. Mereka adalah maling-maling yang akan melakukan pencurian
di istana. Agar kau tidak mengalami rintangan selama perjalanan yang
akan kautempuh dengan mengalami pemeriksaan yang dilakukan para
prajurit, tunjukkan lencana ini dan katakan kepada mereka kalau kau
menerima benda ini dariku. Ceritakan kepada Patih Gajah Mada apa
yang menimpa penduduk pedukuhan ini, sampaikan pula para pelakunya
memasuki kotaraja." Tumangkar menerima lencana itu dan mengamatinya beberapa
saat. Tumangkar mencoba mengingat nama orang-orang di depannya,
tetapi telanjur lupa. "Kalau Ki Patih Gajah Mada bertanya, aku menerima benda ini
dari siapa?" "Katakan, aku dan sahabatku singgah di padukuhanmu. Namaku
Senopati Gajah Enggon dan ini sahabatku, Pradhabasu."
Tumangkar masih memerhatikan lencana yang dipegangnya dan
beralih kepada orang yang menyerahkan benda itu. Menyadari pemilik
lencana itu bukan orang sembarangan, Tumangkar segera memberikan
penghormatan. Agar tidak hilang, lencana itu disimpan di saku bajunya.
180 Gajah Mada "Kulihat ada kuda hitam di sana, itu milik siapa?" tanya Gajah
Enggon sambil mengarahkan telunjuknya.
"Kuda milik tetanggaku," jawab Tumangkar sambil melirik ke
galian kubur. Gajah Enggon mengarahkan perhatiannya ke lubang galian itu.
"Kalau kau tak keberatan, berangkatlah sekarang," kata Gajah
Enggon. "Gunakan kuda itu untuk menempuh perjalanan ke kotaraja,
apakah kau keberatan?"
Wajah Tumangkar berkilat-kilat.
"Apakah dengan demikian orang-orang jahat itu akan mendapatkan
hukuman?" Gajah Enggon mengangguk. "Tentu," jawabnya. "Patih Gajah Mada pasti akan memburu mereka
dan memberi hukuman setimpal."
Tumangkar yang merasa berkepentingan, tergugah semangatnya.
Tanpa banyak bicara, Tumangkar mengambil kuda hitam yang telah
ditinggal mati pemiliknya. Tanpa banyak bicara pula, Tumangkar
melompat naik dan membalapkan kudanya bak mengejar matahari yang
akan segera tenggelam di langit barat.
Pradhabasu tak mampu menahan rasa herannya.
"Aku tidak tahu cara berpikirmu, mengapa kita tidak kembali ke
kotaraja?" Pradhabasu merasa heran karena Gajah Enggon tidak dengan
segera menjawab pertanyaan itu. Jika Gajah Enggon tidak menyediakan
jawaban yang masuk akal, sikap Gajah Enggon yang demikian layak
dipertanyakan. "Kakang Gajah Mada pasti bisa mengatasi ulah orang-orang itu.
Janganlah berpikir keadaan tak bisa diatasi tanpa kita!"
Alis Pradhabasu tambah mencuat.
Hamukti Palapa 181 "Aku tidak paham," Pradhabasu agak meradang. "Kepergian kita
adalah untuk mengejar maling-maling itu, bukan" Kita telah menemukan
jejaknya. Orang-orang yang berniat kembali masuk ke lingkungan istana
kita temukan jejaknya. Akan tetapi, mengapa kita tidak mengambil
langkah kembali?" Gajah Enggon kebingungan. Ia merasa harus terus melanjutkan
perjalanan. Namun, apa yang dipersoalkan Pradhabasu memang
memerlukan jawaban. "Kaupercaya Ibu Suri Gayatri adalah seorang yang waskita?" tanya
Gajah Enggon. Pradhabasu tidak menjawab, tetapi diliriknya Gajah Enggon.
"Aku berkeyakinan demikian," lanjut Gajah Enggon. "Karena aku
sangat percaya dengan petunjuk yang diberikan oleh Ibu Ratu, aku tak
boleh menoleh ke belakang. Aku harus memulainya dari Ujung Galuh.
Ibu Ratu berpesan, malam ini pula apa pun yang terjadi, aku harus sudah
sampai di Ujung Galuh. Bahkan, andaikata gempa bumi kembali terjadi
dan mengguncang istana, Ibu suri melarangku kembali."
Pradhabasu yang mencuat alisnya itu menambahinya dengan
mengerutkan dahi. Pradhabasu berusaha keras memahami apa yang
disampaikan Gajah Enggon. Masih ada hal-hal yang sulit dipahami.
Pradhabasu memutar otak dan memeras ingatan. Dikenangnya kembali
apa yang dikatakan Gajah Mada kepadanya.
"Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri memanggilku dan mengingatkan,
boleh jadi maling yang mencuri cihna gringsing lobheng lewih laka dan
songsong itu akan masuk kembali ke ruang perbendaharaan pusaka.
Aku tak percaya dengan pasukan Bhayangkara meski berkekuatan penuh
melakukan penjagaan istana. Maka, aku ikut melibatkan diri dalam
pengamanan istana secara langsung. Ternyata, perhitungan Ibu Suri
Rajapatni Biksuni Gayatri salah."
Pradhabasu termangu. "Kau benar," ucapnya. "Ibu Suri Gayatri orang yang sidik paningal
dan waskita. Beliau bahkan telah meramalkan maling itu akan masuk
182 Gajah Mada kembali dan telah memberi peringatan kepada Kakang Gajah Mada.
Kita lanjutkan saja perjalanan kita."
Gajah Enggon menghela tarikan napas untuk mengisi rongga
paru-parunya. "Ayo, kita selesaikan pekerjaan ini dan kita lanjutkan perjalanan,"
kata Gajah Enggon. Pekerjaan mengubur mayat itu harus dilanjutkan karena tak mungkin
membiarkan begitu saja mayat-mayat tersebut. Ketika pekerjaan itu
selesai dan dua kesatria yang dalam darahnya mengalir darah Bhayangkara
itu melanjutkan perjalanannya, di barat matahari makin rendah. Di sejauh
mata memandang, mendung yang dirindukan tidak tampak. Namun,
Pradhabasu dan Gajah Enggon yang telah berada di atas kuda masing-
masing kembali memicingkan mata. Jauh sekali di arah barat, tampak
asap membubung tinggi. "Orang-orang itu sedang meninggalkan jejak," kata Pradhabasu.
14 O mbak yang menjilat pasir di tepian pantai di Ujung Galuh
tidaklah terlalu besar. Manakala tatapan mata diarahkan menyapu dari
ujung langit bagian timur hingga ujung langit bagian barat, di garis
cakrawala di arah barat Pulau Madura, bintang-bintang gemerlapan.
Bulan sepenggal yang mulai menampakkan diri di langit barat
bersamaan dengan datangnya petang hanya menyapa sebentar untuk
kemudian segera tenggelam di balik langit. Namun, agaknya bulan sabit
itu berjanji bahwa esok akan datang berkunjung lagi dengan rentang
waktu sedikit lebih lama. Esoknya lagi akan hadir lebih lama lagi dan
Hamukti Palapa 183 kelak akan menjadi purnama yang sempurna. Ketika sasadara 120 manjer
kawuryan,121 anak-anak akan bersukacita dan menggelar permainan.
Tidak sebagaimana hari-hari sebelumnya, kali ini pelabuhan
Ujung Galuh tampak berbeda dari biasanya. Kapal-kapal yang datang
dari Swarnabhumi membuang sauh dan menjadi tontonan dari arah
pantai. Kapal-kapal bukan dari jenis kapal dagang itu diterima dengan
penuh persahabatan karena meski kapal perang, kedatangan mereka
ke Ujung Galuh dengan membawa perdamaian. Beberapa awak kapal
turun ke daratan untuk menjelaskan kepada penduduk apa keperluan
kedatangannya. Ratusan prajurit yang mengawaki, masing-masing tetap berada
di dalam kapalnya karena Aditiawarman yang memimpin armada itu
memerintahkan segenap anak buahnya untuk tetap berada di dalam kapal,
untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya salah paham. Namun,
dengan senang hati para awak kapal melayani perahu-perahu kecil yang
merapat menjual berbagai kebutuhan.
Perjalanan ke Ibu Kota Majapahit menyusur Kali Mas yang
merupakan sempalan dari Sungai Brantas tak mungkin dilanjutkan
dengan menggunakan perahu karena sungai dangkal kekurangan
air, bahkan dengan perahu yang paling kecil sekalipun tak mungkin
dilakukan. Aditiawarman memutuskan perjalanan ke kotaraja akan dilanjutkan
esok dengan jalan darat. Apa boleh buat perjalanan itu akan dilakukan
dengan berjalan kaki atau dengan berkuda jika bisa memperoleh kuda.
Dengan uangnya, Aditiawarman siap membeli berapa pun jumlah
kuda jika ada yang menjual. Namun, keterangan yang diperoleh harus
membuatnya kecewa. Tidak ada pasar kuda atau ternak di Ujung Galuh.
Untuk membeli kuda, apalagi dalam jumlah banyak, harus dilakukan di
pasar hewan yang menusuk masuk di kedalaman Daha. Sebuah tempat
yang mengarah lurus ke selatan dari Ujung Galuh.
120 Sasadara, Jawa Kuno, bulan
121 Sasadara manjer kawuryan, Jawa, rembulan bercahaya terang benderang
184 Gajah Mada Para nelayan di Ujung Galuh adalah orang-orang yang pintar
memanfaatkan keadaan. Dengan segera, mereka mengisi perahu-perahu
kecil mereka dengan berbagai bahan makanan dan kebutuhan lainnya.
Saling berebut para nelayan itu menjajakan dagangannya dengan merapat
ke kapal-kapal besar itu. Berapa pun jumlah beras dan minyak yang
mereka jual, diborong habis. Demikian juga dengan bumbu-bumbu dan
air yang dikirim dalam wadah kemaron.122
Dari para nelayan itulah, untuk pertama kalinya, Aditiawarman
memperoleh keterangan yang sangat penting mengenai siapa
yang kini menduduki takhta. Keterangan itu yang akhirnya harus
direnungkannya. "Paman sudah tahu siapa yang menjadi Raja Majapahit?" tanya
Aditiawarman kepada Pu Wira.
Pu Wira yang muncul turun dari tangga yang menghubungkan lantai
atas dengan lantai bawah itu, mengerutkan dahi.
"Siapa?" tanya Pu Wira.
"Dua orang putri Bibi Gayatri, dua-duanya diangkat menjadi
raja bersama. Sri Gitarja dan Dyah Wiyat yang kini menduduki
dampar. Apakah dengan demikian, Paman Pu Wira masih akan tetap
bermimpi?" Pu Wira terbungkam mulutnya.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku harus mengubah cara pandangku, Paman. Aku tidak boleh
datang ke Majapahit dengan membawa mimpi seperti yang telanjur
Paman berikan kepadaku."
Pu Wira gelisah. Dari raut mukanya terlihat sikap aneh, serasa tidak
bisa menerima kenyataan itu. Namun, Pu Wira masih berharap, siapa
tahu orang-orang Majapahit melihat keberadaan Aditiawarman dan
terbuka pikirannya untuk meluruskan keadaan dengan mengembalikan
dampar ke tempat seharusnya.
122 Kemaron, Jawa, tempayan
Hamukti Palapa 185 Namun, Pu Wira menyimpan isi hati itu dan tidak mengungkapkannya.
Supaya tidak terbaca raut mukanya, Pu Wira berjalan menuju pagar kapal
dan menaburkan pandangan matanya ke kegelapan daratan, ke arah nyala
di kejauhan yang sejatinya berasal dari obor yang oleh para penduduk
ditancapkan di halaman. Semula obor itu jumlahnya banyak, tetapi makin
larut makin berkurang karena kehabisan minyak.
Sebaliknya, jika dilihat dari daratan, kapal-kapal besar itu mampu
membangun mimpi mengerikan. Dalam keremangan malam, kapal itu
menjelma menjadi kapal hantu yang dihuni oleh mayat-mayat hidup, yang
berasal dari semua awak kapal yang menjadi arwah penasaran setelah
dibantai oleh hantu laut.
Dari bibir pantai yang menjilat, Gajah Enggon memerhatikan
kapal-kapal itu dengan segenap rasa cemas karena bisa menandai
rombongan kapal yang membuang sauh itu bukan milik Majapahit.
Tepatnya, Majapahit tidak punya dan bahkan belum mampu membuat
kapal perang seperti itu. Armada yang dimiliki Majapahit berukuran lebih
kecil dan ramping, yang ditempatkan di sebuah teluk yang terlindung
di Madura. Kedatangan kapal perang entah dari mana itu sontak menimbulkan
tanda tanya dan mengundang kekhawatiran, untuk keperluan macam apa
mereka datang merapat ke Majapahit.
Gajah Enggon hanya sendiri dalam memerhatikan keadaan.
Pradhabasu tidak berada di sebelahnya karena sedang mencari
keterangan. Pradhabasu yang pergi mencari keterangan telah kembali.
"Mereka tamu dari Dharmasraya, Swarnabhumi."
Gajah Enggon kaget. "Swarnabhumi?" "Ya," jawab Pradhabasu. "Aditiawarman yang datang."
"Waaah, saudara sepupu mendiang Sri Baginda Kalagemet!"
186 Gajah Mada Pradhabasu mengarahkan perhatiannya ke arah kapal yang paling
besar, kapal yang membuatnya merasa iri karena begitu megahnya, begitu
kukuh dan kuat. Rasa khawatir yang semula menyesaki dadanya melumer
setelah mengetahui kapal-kapal itu milik Swarnabhumi. Apalagi, antara
Aditiawarman dan Patih Gajah Mada terjalin hubungan persahabatan
yang akrab. "Kupikir, ke depan, Majapahit harus memiliki kapal-kapal seperti
itu," ucap Pradhabasu.
"Ya," jawab Gajah Enggon.
Gajah Enggon ingat pada apa yang pernah dikatakan Gajah Mada
tentang harapan dan mimpi besarnya atas bagaimana Majapahit di
masa depan nantinya. Gajah Mada berharap Majapahit kelak akan
menjadi sebuah negara yang besar dengan wilayah luas yang tidak
hanya berwawasan Dwipantara sebagaimana pernah dikumandangkan
oleh Prabu Sri Kertanegara yang hanya berkutat seluas Jawa. Akan
tetapi, jauh lebih luas dengan wawasan Nusantara yang merangkul
wilayah dari timur tempat matahari terbit dan di barat ke arah matahari
tenggelam. Jauh di ujung timur, lebih dekat dengan sarang matahari, ada sebuah
wilayah yang dihuni oleh orang-orang berkulit hitam, dan di sebelah
barat, di tempat matahari tenggelam, ada sebuah wilayah bernama
Tumasek. Konon, lebih ke barat lagi masih ada wilayah antah berantah yang
dihuni oleh orang-orang berkulit putih. Begitu putih kulit orang itu
hingga jika mereka minum, airnya terlihat melintasi leher.
Gajah Mada mengatakan, untuk bisa menggapai mimpi itu
diperlukan kekuatan yang besar. Majapahit harus memiliki kekuatan
prajurit yang mampu mengikat semua wilayah ke dalam satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Dalam mimpi Gajah Mada, Gajah Enggon ingat,
untuk semua itu diperlukan armada laut yang besar. Maka, kapal-kapal
besar seperti yang sedang membuang sauh itu sangat dibutuhkan
Majapahit. Kapal-kapak besar itu harus didukung oleh jumlah prajurit
Hamukti Palapa 187 yang besar, kekuatan yang nggegirisi.123 Untuk meluaskan wilayah, negara
lain yang tidak mau menyatu mungkin perlu diserbu. Namun, mungkin
pula negara yang ringkih kekuatannya tak perlu diserbu, ditakut-takuti
saja sudah tunduk menyatakan takluk.
"Apakah menurutmu, kita perlu menemui tamu itu?" tanya
Pradhabasu. Gajah Enggon berpikir. "Ya," jawabnya. "Meski mereka berasal dari Swarnabhumi, kita
harus tahu untuk keperluan apa mereka datang ke Majapahit. Negara
Singasari pernah punya pengalaman buruk terhadap negara Gelang-
Gelang, Kediri. Gelang-Gelang yang telah dianggap sebagai keluarga
sendiri dan kedua rajanya saling berbesanan, nyatanya Gelang-Gelang
sanggup menusuk dari belakang. Hal itu terjadi ketika Singasari sedang
terlena mengirim semua pasukannya ke Sumatra, dipimpin langsung oleh
Lembu Anabrang. Siapa tahu Swarnabhumi membawa maksud sama."
"Ya," Pradhabasu menjawab. "Aku juga berpikir demikian. Sekarang
kita harus mencari sewaan perahu dan menitipkan kuda-kuda kita ke
penduduk." Gajah Enggon dan Pradhabasu beranjak, tetapi tiba-tiba terjadi
sesuatu yang menyengat mereka.
Petir yang tiba-tiba hadir meledak menggelegar benar-benar
mengagetkan. Cahaya kilatnya yang muncrat benderang sekali. Dengan
gugup, Pradhabasu dan Gajah Enggon mengarahkan perhatiannya ke
langit. Maka, betapa takjub dan berdebar Gajah Enggon dan Pradhabasu
menyaksikan sebuah keganjilan yang jarang-jarang terjadi itu. Petir yang
terjadi susul-menyusul itu terjadi di tempat yang sama.
Sebenarnyalah petir yang kehadirannya di tempat yang tak tepat,
dengan keadaan yang tidak sesuai itu, menyentakkan siapa pun. Penduduk
Ujung Galuh yang berdatangan ke pantai untuk bisa menyaksikan kapal-
123 Nggegirisi, Jawa, menakutkan, mengerikan, juga berarti dahsyat
188 Gajah Mada kapal besar itu dari dekat tersentak oleh bledek 124 yang memuncratkan
cahaya, membelah udara, dan menimbulkan suara sangat keras dan
bernada tinggi. Mereka kaget karena langit demikian bersih tak ada mendung,
bagaimana petir bisa hadir dengan keadaan yang demikian" Beberapa
nelayan yang sedang berada di atas perahu tak kalah kaget. Semua
mengarahkan pandangan matanya ke tempat yang sama dan bergegas
mengarahkan biduknya menepi. Guruh itu gemuruh, bahkan sekali lagi
dan sekali lagi. Cahayanya yang membelah angkasa mampu menjadi
penerang meski hanya beberapa kejap.
"Ibu Suri ternyata benar," Gajah Enggon berbisik.
Pradhabasu tidak menoleh,
"Maksudmu?" balas Pradhabasu.
"Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri berpesan, untuk menemukan
jejak payung dan lambang negara yang hilang itu, ikutilah ke mana
hujan turun. Itu sebabnya, Ibu Suri berpesan begitu kukuh, malam ini
aku harus sampai di tempat ini. Ke Ujung Galuh aku harus mengikuti
jejaknya. Dengan demikian, gugurlah dugaanmu. Maling pencuri payung
dan cihna gringsing lobheng lewih laka bukanlah orang yang sama dengan
orang-orang yang membuat kekacauan tadi."
Ucapan Gajah Enggon itu memang membuat Pradhabasu
penasaran. Akan tetapi, ada hal lain yang membuat Pradhabasu tak
pernah menggeser tatapan matanya dari sebuah arah di luasnya langit.
Nun di sana, ternyata ada sekepal mendung yang jika diperhatikan
dengan cermat, seperti sedang bergolak. Udara yang lembap dan suhu
yang dingin menjadi cikal bakal terbentuknya mendung.
Bagai diingatkan oleh sesuatu, Gajah Enggon tiba-tiba melompat
ke atas kuda. Pradhabasu kaget.
"Ke mana?" teriaknya.
124 Bledhek, Jawa, petir Hamukti Palapa 189 "Ikuti aku, kita ke timur."
Dengan berpacu kencang beradu balap dengan angin yang
berembus deras dari arah pantai, Gajah Enggon mengarahkan kudanya
ke timur. Namun, apa yang ia lakukan itu bukan pekerjaan gampang
karena berpacu di atas tanah padat dan di atas pasir empuk sangatlah
berbeda. Dengan rasa penasaran, Pradhabasu menempatkan diri di
belakangnya. "Kita mencari apa?" teriak Pradhabasu.
"Benda-benda yang hilang itu ada di sini, pencurinya berada di sini,"
balas Gajah Enggon tak kalah keras.
Gajah Enggon makin bersemangat memacu kudanya manakala dari
arah bibit mendung yang makin menebal kembali terdengar ledakan petir.
Pradhabasu berdebar tegang ketika mendung yang berada tepat di atas
kepalanya itu makin menebal dan bergolak, serasa ada kekuatan yang
memengaruhi. Mendung yang terbentuk serasa melalui waktu tergesa,
dari langit yang semula bersih dengan cepat berubah menjadi gelap yang
berusaha merata. Sebenarnyalah dugaan Gajah Enggon beralasan. Di sebuah tempat
di bagian bibir pantai yang memanjang, seseorang tengah berdiri tegak
di balik rimbunnya pandan laut dan pepohonan yang tumbuh lebat.
Orang itu berpakaian serba hitam dan memakai ikat kepala. Pakaian
yang dikenakan ringkas dengan rambut tidak digelung keling, dibiarkan
terurai menutup pundaknya.
Orang itu berdiri dengan tangan kanan memegang songsong
yang terbuka, dan menempatkan diri berlindung dari angin di bawah
payung itu. Rambutnya yang panjang berkibar, demikian juga dengan
ikat kepalanya. Ikat kepala yang dipakai orang itu bukanlah ikat kepala
sembarangan karena benda itu adalah cihna gringsing lobheng lewih laka yang
hilang dari perbendaharaan pusaka.
Orang itu tetap bertahan berdiri tegak meski angin yang deras
menyapu wajahnya dengan butir-butir pasir yang lembut. Angin yang
bertiup deras bahkan mematahkan sebuah ranting dan menerjang
190 Gajah Mada wajahnya. Namun, ia tetap bergeming, tidak terusik dan berdiri tenang.
Juga tidak terusik ketika mendengar kuda yang berderap dari arah barat
makin lama makin dekat. Orang itu rupanya yakin, tempatnya terlindung
dan tak akan tampak dari garis pantai. Malam yang gelap melindunginya,
lebatnya semak pandan laut juga ikut melindunginya.
Kuda yang mendekat itu hanya untuk melintas terus ke arah timur.
Gajah Enggon mengalami kesulitan untuk menerka tempat maling
payung dan lambang negara itu berada karena di sepanjang pantai
banyak ditumbuhi pandan liar yang mampu menyembunyikan apa pun
dari perhatiannya. Maka, betapa kesal Gajah Enggon yang tak berhasil
menemukan orang yang dicari. Senopati Gajah Enggon dan Pradhabasu
balik arah menuju ke barat.
Petir kembali muncrat, gerimis yang turun lamat-lamat menjanjikan
harapan bagi penduduk di sepanjang pantai itu, yang di samping bekerja
sebagai nelayan mereka juga bertani.
Hujan memang sangat dirindukan kehadirannya. Namun, mendung
yang menebal ditambah gerimis yang akan berubah menjadi hujan
deras akan makin mempersulit Gajah Enggon menemukan orang
yang dicari. Di langit, bintang-bintang tak lagi kelihatan. Pekat udara
dengan segera berubah menebal dan menyebar ke mana-mana menjadi
gumpalan mendung. Pradhabasu takjub dan terheran-heran, jarak dari
petir pertama tidaklah terlalu jauh, tetapi mendung bisa menebal dan
merata dalam waktu singkat.
Gajah Enggon melompat turun.
"Bagaimana?" tanya Pradhabasu.
"Pepohonan di sepanjang pantai ini terlampau lebat," ucap Gajah
Enggon. "Amat sulit menemukan orang yang bersembunyi di baliknya,
kecuali kalau siang hari."
"Kau benar-benar yakin, pencuri payung itu berada di sini?" tanya
Pradhabasu. "Ikutilah ke mana hujan turun, itu kata Ibu Suri Rajapatni," jawab
Gajah Enggon tegas. Hamukti Palapa 191 Sorak-sorai riuh terjadi di bagian pantai yang lain, yang dilakukan
oleh penduduk yang menyaksikan kapal. Itu terjadi ketika hujan benar-
benar turun dan mengguyur. Anak-anak muda tidak merasa risih dengan
turunnya hujan meski malam hari. Mereka berlarian dan berbasah-basah.
Sementara itu, para orang tua telah menyelamatkan diri dengan berteduh
atau telah kembali ke rumah masing-masing.
Di sela bongkahan tanah, baik di sawah maupun di pekarangan, ular
sanca yang tidur panjang terbangun oleh air yang menyentuh tubuhnya.
Ular itu menggeliat dan siap untuk berburu. Bukankah dengan hujan
telah tiba, akan ada banyak binatang yang selama ini tidur panjang lalu
terbangun" "Akhirnya, hujan yang kita tunggu datang juga," ucap seorang suami
dengan rasa senang. "Ya," balas istrinya, "besok kita menebar benih."
"Apa kita masih punya benih" Benihnya sudah kita makan,
bukan?" "Masih ada," jawab istrinya.
Hujan yang turun deras berlaga dengan petir yang meledak susul-
menyusul. Agak menakutkan dan menyebabkan bocah-bocah segera
mencari perlindungan. Akan tetapi, bagi orang-orang tua, gelegar petir
itu dianggapnya sebagai anugerah dari Hyang Widdi setelah didera
kemarau yang berkepanjangan.
Orang-orang yang semula menyemut di sepanjang pantai akhirnya
berhamburan kembali ke rumah masing-masing. Sebagian nekat dengan
berbasah-basah, sebagian yang lain menggunakan sepelepah daun pisang
untuk melindungi diri dari hujan.
Di antara penduduk ada juga yang punya keyakinan aneh. Sebuah
mangkuk yang terbuat dari tanah liat diletakkan di halaman. Air hujan
yang terwadahi ditampung di jambangan. Baginya air hujan baik untuk
tubuh. Orang itu juga berkeyakinan, air hujan yang diwadahi kendi dan
ditempatkan di bawah tempat tidur disertai doa tertentu akan mengusir
para hantu agar tidak menyelinap di alam mimpi. Itu sebabnya, bagi
192 Gajah Mada yang punya bayi dengan kebiasaan tidur gelisah, di bawah tempat
tidurnya selalu ada tempayan berisi air hujan. Setahun sekali air hujan
itu harus diganti karena kehilangan khasiatnya. Nantinya jika tempayan
itu diperhatikan, akan penuh jentik-jentik anak nyamuk.
Adalah Gajah Enggon yang gelisah karena setelah mondar-mandir
tak berhasil menemukan jejak orang yang dicarinya. Hujan yang turun
dengan lebat dan malam yang tak berbintang, menyebabkan jarak
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandang menjadi demikian pendek. Tak ada yang bisa diharapkan dari
keadaan yang demikian itu. Bahkan, akhirnya laut di depan pun tak
tampak. Laut bisa ditandai keberadaanya dari suara ombaknya yang tak
seberapa besar yang berusaha menggerus pantai.
Maka, apa boleh buat, yang bisa dilakukan hanyalah menunggu
meski hal itu terasa menjemukan. Akan tetapi, hujan itu ternyata
menyita waktu cukup lama dan berlangsung amat deras, membasahi
tanah yang semula berwujud bongkahan, menjadikannya bubur lumpur,
lalu merembes ke kedalamannya. Air yang berlimpah memenuhi parit,
memenuhi hamparan sawah, dan sungai. Katak-katak yang semula sedang
tidur panjang tersentak kaget begitu menyadari tubuhnya basah kuyup.
Katak-katak itu menjadi begitu gembira dan dengan segera saling sapa
dengan sesama temannya. Namun, katak sering kurang waspada karena
ular juga terbangunkan dari tidur panjang dan segera mengintai mereka.
Ular sanca berukuran besar sebenarnya malas memangsa katak. Ular
sanca lebih senang memangsa tikus atau kucing, bahkan anak babi pun
ditelannya. Akan tetapi, jika tidak ada rotan, akar pun jadi. Demikian
pula dengan ular berukuran besar itu, tidak ada tikus, katak pun jadi.
Tak sulit bagi ular untuk menentukan tempat katak berada dari suaranya
yang demikian riuh itu. Akhirnya, hujan mereda. Seperti awalnya, demikian juga dengan
akhirnya. Hujan itu berhenti dengan tiba-tiba. Oleh sebagian orang,
kehadiran hujan itu dianggap aneh, tetapi banyak juga yang menganggap
biasa saja. Gajah Enggon memandang langit, sebagian terlihat bersih
dengan bintang-bintang yang gemerlapan, sebagian lain gelap gulita.
"Bagaimana sekarang?" tanya Pradhabasu.
Hamukti Palapa 193 "Sejujurnya aku tak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang,"
Gajah Enggon menjawab. Namun, jawaban itu bagai mendatanginya. Gajah Enggon terbelalak
dan sangat terlambat untuk bertindak ketika dengan tiba-tiba terdengar
suara kuda meringkik dan melesat akan melewatinya. Gajah Enggon
dan Pradhabasu berlompatan menepi karena tak ingin tertabrak oleh
penunggang kuda itu. "Gila!" Gajah Enggon meletup.
Dalam sekelebatan dengan bertumpu pada cahaya bintang yang
mulai muncul dan kunang-kunang yang beterbangan, Pradhabasu dan
Gajah Enggon masih bisa menandai sebuah benda panjang dalam
dekapan orang berkuda itu.
"Orang itu membawa payung," teriak Gajah Enggon.
Pradhabasu dan Gajah Enggon lari sekencang-kencangnya ke
tempat kuda-kuda mereka yang terikat pada batang pohon ambruk di
atas pasir. Dua kesatria Bhayangkara itu makin terlambat karena ikatan
tali itu saling melilit dan terikat demikian kuatnya. Saat sesuatu sedang
dibutuhkan, sikap gugup justru menjadi hambatan.
"Sial," umpat Pradhabasu yang merasa cemas bakal kehilangan
jejak buruannya. Ketika tali kekang yang saling membelit itu akhirnya berhasil
diurai, sungguh sangat terlambat. Jejak maling yang membawa payung
itu lenyap sebagaimana lenyap pula suara derapnya. Namun demikian,
Gajah Enggon dan Pradhabasu tak mau putus asa begitu saja. Jejak
samar itu harus dikejar, sampai ke ujung langit sekalipun, jauh ke dalam
perut bumi sekalipun. Akan tetapi, malam yang begitu hitam memang menyulitkan. Gajah
Enggon tidak mungkin memaksakan diri. Ketika di depan menghadang
tebing dan karang dengan ombak yang menghantam susul-menyusul,
sadarlah Gajah Enggon, maling itu tidak melewati tempat itu. Orang
itu telah berbelok entah di mana.
194 Gajah Mada "Bagaimana?" tanya Pradhabasu.
Pradhabasu memutar kudanya dan berdiri saling berdampingan.
"Apakah kau berhasil menandai sesuatu?" tanya Gajah Enggon.
"Ya," jawab Pradhabasu. "Aku melihat orang itu mendekap sebuah
benda panjang yang aku yakini pasti payung. Tuan Putri Ibu Suri benar
adanya." "Aku juga, aku yakin benda panjang yang dibawa orang itu payung,"
tambah Gajah Enggon. Lalu hening! Kapal-kapal besar yang mengapung diam menjadi
perhatian mereka. Hanya beberapa buah obor di kapal itu yang masih
hidup, menjadikan bayangannya mirip hantu yang menakutkan.
"Kita menunggu datangnya pagi, kau sependapat?"
"Ya, kita akan mencari jejak maling payung itu besok, tak mungkin
kita lakukan sekarang," jawab Gajah Enggon.
Basah kuyup itu sungguh sangat mengganggu dan bisa menyebabkan
demam. Namun, Gajah Enggon dan Pradhabasu tak mungkin berganti
pakaian karena basah itu tembus ke buntalan bawaannya.
Gajah Enggon yang meraba mendapati pakaian cadangan yang
dibawanya ikut basah sehingga tak ada gunanya berganti pakaian.
Dalam diam bagai kehilangan mulut, dua orang lelaki gagah itu berpikir,
terutama Gajah Enggon memeras kenangan pertemuannya dengan Ibu
Suri Gayatri. Apa yang disampaikan Rajapatni kepadanya teramat samar
dan mirip teka-teki yang menyerahkan sepenuhnya kepadanya untuk
menemukan apa jawabnya. "Lihat itu," Pradhabasu berbisik.
Gajah Enggon menoleh mengarahkan perhatiannya.
"Mungkin nelayan," ucap Gajah Enggon.
Jauh dari arah timur atau dari arah mereka semula, tampak obor
bergerak yang tentu obor itu berada di tangan orang berjalan, berayun-
ayun seolah berasal dari tangan lunglai dan lemah.
Hamukti Palapa 195 Pemegang obor itu memang tangan yang lemah karena tubuh
penyangganya sudah tua renta. Namun, semangat kakek berambut putih
itu untuk berjalan dan terus berjalan tak kendur. Persoalan penting yang
dibawanya mendorongnya berjalan lebih lekas. Akan tetapi, selekas apa
pun tetaplah tertatih. Andaikata ia masih muda, mungkin ia akan berlari
sekencang-kencangnya. "Kita mungkin bisa meminta keterangan kepada orang itu?" tanya
Pradhabasu. "Tak perlu," jawab Gajah Enggon. "Aku yakin tak ada orang
yang bisa memberi keterangan di tempat ini. Penduduk desa ini sama
bingungnya dengan kita. Mereka tak akan bisa memahami mengapa
hujan deras turun dengan mendadak di tempat ini."
"Atau, pendapatmu salah," balas Pradhabasu.
"Salah bagaimana?"
"Penduduk pelabuhan ini menganggap hujan yang turun sebagai hal
yang biasa saja meski turunnya dengan mengejut tanpa kulonuwun 125 lebih
dulu. Terlalu tak masuk akal hujan itu turun karena sebuah payung."
Gajah Enggon terbungkam. Pradhabasu yang berharap siapa pun
yang membawa obor itu akan mendatangi tempatnya berada, merasa
betapa lamban pembawa obor itu berjalan, seolah tak bergeser sama
sekali. Justru karena itulah, Pradhabasu dan Gajah Enggon tergerak
untuk mendekat mendatanginya. Pradhabasu dan Gajah Enggon tidak
naik ke atas punggung kuda, kuda-kuda itu dituntun.
Betapa terperanjat Pradhabasu dan Gajah Enggon mendapati
pembawa obor itu ternyata seorang kakek yang demikian renta. Jalannya
yang tertatih, sedikit bongkok, dan rambut, kumis, serta jenggot yang
memutih menjadi pertanda usianya tentu telah lebih dari tujuh puluh
tahun. Orang tua itu rupanya juga rabun. Ia tidak melihat meski Gajah
Enggon dan Pradhabasu telah menghadangnya.
125 Kulonuwun, Jawa, permisi
196 Gajah Mada "Selamat malam, Kiai," Gajah Enggon menyapa.
Kakek itu rupanya juga tuli menilik tidak mendengar kuda yang
meringkik. Baru ia terlihat kaget setelah berada pada jarak yang amat
dekat. "Kalian rupanya?" seru kakek itu dengan suara agak meletup.
Gajah Enggon dan Pradhabasu saling pandang, segera keduanya
merasa ada yang aneh. "Kiai merasa mengenal kami?" Pradhabasu meletupkan rasa
herannya. "Apa?" balas kakek itu yang kurang begitu jelas menangkap
pertanyaan. Gajah Enggon mendekat. "Apakah Kiai merasa mengenal kami?" kini Gajah Enggon yang
bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Pertanyaan yang dilontarkan dengan suara keras itu ternyata bisa
ditangkap cukup jelas. Kakek itu menyeringai sambil mengangkat
obornya untuk mengenali wajah-wajah masih muda di depannya.
"Tentu aku mengenalmu. Aku bahkan sudah menunggu cukup lama,
salah satu dari kalian akan kuambil menantu," jawab kakek itu.
Sungguh sebuah jawaban yang mengagetkan, yang memaksa Gajah
Enggon dan Pradhabasu terbelalak. Demikian kaget Gajah Enggon
sampai tidak mampu berbicara. Dengan mulut setengah terbuka, Gajah
Enggon memandang kakek tua itu dengan takjub dan akhirnya sedikit
geli. Mungkin kakek tua itu sangat pikun atau bisa jadi ia tidak waras.
"Ayo, kalian ikut aku," lanjut orang itu.
Pradhabasu dan Gajah Enggon saling lirik, dan mendadak berubah
menjadi seekor kerbau yang telah diikat lehernya. Gajah Enggon dan
Pradhabasu melangkah bagai tanpa pertimbangan mengikuti langkah
kaki kakek tua yang berjalan tertatih di depannya. Rasa ingin tahu yang
menyeruak mendorong Pradhabasu dan Gajah Enggon mengikuti dari
belakang. Hamukti Palapa 197 "Umurmu berapa, Kiai, dan kalau boleh aku tahu, namamu?"
Pradhabasu memecah keheningan.
Kakek itu tidak menjawab dan tetap terus berjalan.
"Ia tidak mendengar," bisik Gajah Enggon.
Pradhabasu menggamit kakek itu dan memaksanya menoleh.
"Umurmu berapa dan siapa namamu?" ulang Pradhabasu.
"Umur?" "Ya!" balas Pradhabasu.
"Dan namaku?" Pradhabasu mengangguk dan membiarkan kakek tua itu mengobori
dirinya. Api obor itu terlalu dekat dengan wajahnya.
"Namaku Agal, sebut saja Ki Agal!" jawab kakek tua itu. "Kalau
soal umur, aku sudah tua sekali. Orang-orang yang sepantaran denganku
banyak yang mati. Mungkin tujuh puluh atau delapan puluh tahun,
mungkin kurang mungkin lebih."
Gajah Enggon bertambah penasaran.
"Kiai Agal," Gajah Enggon berkata, "benarkah seperti yang kaukatakan,
kau mengenal aku" Kau merasa menunggu kedatanganku?"
Mungkin suara Gajah Enggon tidak jelas karena kalah oleh suara
ombak yang gemericik. Lelaki tua bernama Agal itu tidak menjawab.
Dengan tertatih-tatih ia berjalan menyusuri tanah berpasir yang basah.
Pradhabasu menggamit Gajah Enggon.
"Tak ada gunanya berurusan dengan orang ini, sebaiknya kita pergi
saja," kata Pradhabasu.
"Jangan!" Pradhabasu tersentak, jawaban itu berasal dari mulut lelaki tua itu.
"Sebaiknya kalian ke rumahku dulu," ucapnya.
Pradhabasu menggamit tangan orang itu. Kiai Agal berhenti.
198 Gajah Mada "Benarkah kau merasa berkepentingan dengan kami?" tanya
Pradhabasu. "O, tentu," jawabnya.
"Kautahu, siapa kami?" lanjut Pradhabasu.
Kiai Agal tak hanya memandang wajah Gajah Enggon dan
Pradhabasu, tetapi mendekatkan obornya. Pradhabasu nyaris melenguh
karena obor itu begitu dekat dengan wajahnya.
"Kau sudah aku puter giling 126 untuk datang ke tempat ini karena
aku ingin kau menjadi menantuku. Takdirmu berada di tempat ini,"
ucap orang itu lagi. Pradhabasu menjadi jengkel. Pertanyaan yang dilontarkan tidak
memperoleh jawaban. Sebaliknya, lelaki tua itu lebih banyak berbicara
kepentingannya. Beranggapan orang tua itu mungkin gila, Pradhabasu
melekatkan jari miring di keningnya. Sebaliknya, Gajah Enggon mulai
merasa curiga meski tak tahu bagian mana yang harus dicurigai.
"Namamu Gajah Enggon, bukan?" tanya orang itu.
Pertanyaan yang dilontarkan dengan begitu ringan itu menjadi
sebuah palu godam yang menghantam dada. Pradhabasu merasa wajahnya
mendadak menebal melebihi tebal bibir sumur di rumahnya dan serasa
bagai air mendidih yang disiramkan ke wajahnya. Pradhabasu terkejut
bukan kepalang. Demikian juga dengan Gajah Enggon, yang sama sekali
tidak menduga orang itu mengetahui namanya. Justru oleh karena itulah,
Gajah Enggon terbungkam. "Ayo, rumahku masih jauh," kata Kiai Agal.
Kiai Agal kembali berjalan dengan tertatih. Ketika terlihat olehnya
sebatang kayu tergeletak, diambilnya kayu itu dan dimanfaatkan sebagai
tongkat. Batuknya datang berselang-seling dengan sendawanya sambil
sesekali melenguh menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.
126 Puter giling, idiom Jawa, kemampuan magis yang digunakan untuk menghadirkan orang yang dikehendaki meski berada di tempat sangat jauh.
Hamukti Palapa 199 Akan halnya Pradhabasu dan Gajah Enggon, akhirnya tak berani
meremehkan kakek tua itu, yang ternyata tahu siapa dirinya. Pertanyaan
dan rasa penasaran yang sontak menyeruak adalah bagaimana orang tua
itu bisa tahu namanya. "Kiai Agal," Pradhabasu tak bisa menguasai rasa heran.
"Ada apa?" balas Kiai Agal tanpa menoleh.
"Kalau usiamu sudah setua itu, berarti anakmu pasti tak bisa dibilang
muda lagi. Anakmu pasti juga sudah tua dan mungkin telah berusia enam
puluh tahun lebih. Lantas, bagaimana bisa kau mengambil temanku
sebagai menantu?" Kiai Agal kembali bersendawa, rupanya perutnya sedang
bermasalah. "Bukan untuk anakku, tetapi cucuku," jawabnya. "Jangan khawatir,
cucuku tidak akan membuatmu kecewa. Cucuku memiliki wajah yang
cantik dan amat pantas menjadi istri seorang prajurit Bhayangkara. Nama
cucuku Rahyi Sunelok."
Sekali lagi desir sangat tajam merambati permukaan jantung Gajah
Enggon dan Pradhabasu. Kakek tua bernama Agal itu ternyata juga tahu,
mereka adalah prajurit. Boleh diyakini, orang itu memiliki ketajaman
dalam memandang, bisa disebut orang yang weruh sakdurunge winarah dan
waskita. Orang-orang tua yang banyak mengedepankan laku prihatin
memang sangat mungkin menguasai kemampuan macam itu.
Langit kembali bersih dan mendung yang semula begitu tebal lenyap
tersapu angin yang berembus demikian deras. Sejauh mata memandang
ke arah laut, yang tersaji hanya hitam malam. Sementara itu, sejauh
telinga menyimak, yang terdengar suara gemericik ombak yang tak
berkesudahan. Akhirnya, setelah menempuh jarak yang lumayan jauh, setidaknya
untuk ukuran Kiai Agal yang serenta itu, sampailah Gajah Enggon dan
Pradhabasu di rumahnya, sebuah rumah yang terpencil dan jauh dari
rumah-rumah yang lain.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
200 Gajah Mada "Pedukuhanku ini bernama Ban Culuk," kata Kiai Agal. "Batasnya
sungai yang tadi kita lintasi. Pedukuhan yang rumah penduduknya padat
tadi bernama Plampang Tampu. Namun, sebutan untuk semua wilayah
daerah ini adalah Ujung Galuh. Nah, itulah rumahku."
Rasa penasaran Gajah Enggon segera terjawab, rasa ingin tahunya
terpuasi. Gadis yang ternyata sangat cantik membukakan pintu untuknya.
Cahaya lampu ublik yang menyala kecil menerpa sebagian wajahnya,
memancing rasa ingin tahu yang lebih besar lagi. Gajah Enggon berusaha
untuk tenang, tetapi ia tak mampu menolak rasa ketertarikannya.
"Inilah cucuku, Rahyi Sunelok," kata Kiai Agal.
Gajah Enggon dilibas rasa takjub. Sementara itu, Pradhabasu dililit
rasa penasaran. "Bagaimana" Apakah cucuku terlalu jelek untukmu?"
Pertanyaan yang membingungkan itu memang layak membuat
Gajah Enggon tak tahu harus bersikap bagaimana. Sebaliknya, gadis
cantik bernama Rahyi Sunelok itu hanya bisa menunduk. Akan tetapi,
Pradhabasu menangkap dengan jelas bahasa wajahnya bahwa ia merasa
sangat bahagia dengan pertemuan itu. Gemerlap matanya tak bisa
menipu. Pradhabasu tak mampu menahan diri untuk tidak merasa takjub.
"Bagaimana, Enggon?" Kiai Agal mengulang.
Gajah Enggon gugup, hatinya berdebar. Pradhabasu yang
memandang wajahnya kebingungan.
"Kalau kamu, menurutmu bagaimana" Apakah Enggon
menganggap cucuku tak pantas menjadi istrinya?" tanya Kiai Agal, kali
ini ditujukan kepada Pradhabasu.
Pradhabasu tersenyum dan itulah untuk pertama kali Pradhabasu
merasa senyum yang merekah dari bibirnya itu senyum yang terasa
aneh. Namun, rasa takjub dan penasarannya lebih membutuhkan
jawaban. Sekilas sempat muncul rasa iri, mengapa yang bernasib mujur
seperti itu bukan dirinya. Akan tetapi, dengan segera Pradhabasu
Hamukti Palapa 201 menepis dan membayangkan wajah perempuan yang sedang menunggu
kepulangannya, Dyah Menur Hardiningsih.
"Sudah kausiapkan bilik untuk tamumu?" tanya Kiai Agal kepada
cucunya. "Sudah, Kek," jawab gadis bernama Rayi Sunelok itu.
"Kalian berdua istirahatlah, besok aku akan mengundang beberapa
tetangga untuk mengawinkanmu dengan cucuku. Mati pun aku rela
setelah aku melihat cucuku berada dalam perlindungan laki-laki yang
bisa diandalkan." Tanpa banyak bicara dan tidak memberi kesempatan untuk bertanya,
Kiai Agal dan cucunya memasuki salah satu bilik rumah yang sederhana
itu. Gajah Enggon dan Pradhabasu saling pandang ketika beberapa
jenak kemudian mendengar bait-bait kakawin yang dibaca dengan suara
serak terbata. Pradhabasu dan Gajah Enggon yang menyimak bacaan
kakawin itu tidak mengenali apa judulnya. Pembacaan kakawin dalam
tembang itu ternyata tidak hanya dilakukan Ki Agal, Gajah Enggon
merasa hanyut di aliran air deras manakala mendengar "calon istrinya"
juga memperdengarkan suaranya, suara yang lembut dan indah, melebihi
indahnya tembang dari bibir seorang waranggana.127
"Apa arti semua ini?" tanya Gajah Enggon yang kebingungan
dengan berbisik. "Kau benar-benar beruntung," balas Pradhabasu.
"Apakah menurutmu, aku harus menerima?"
"Ya, kenapa tidak. Kau harus menerima gadis itu sebagai istrimu
atau kalau menolak, kau akan menyesal seumur hidupmu karena mungkin
tawaran itu akan diberikan kepadaku. Ingat, bukankah Ibu Suri Gayatri
mengatakan bahwa dari Ujung Galuhlah hidupmu dimulai?" kata
Pradhabasu dengan suara lebih berbisik.
127 Waranggana, Jawa, pesinden
202 Gajah Mada Gajah Enggon gelisah. Gajah Enggon saling melekatkan kedua
tangan, dengan meremas-remas jemari ia memandang ke arah bilik
tempat suara lembut dalam alunan macapat 128 itu berasal.
"Jadi, ini yang dimaksud Ibu Suri Gayatri?" tanya Gajah Enggon
dengan ragu. Perlahan, tetapi betapa mantap Pradhabasu mengangguk.
"Selamat!" ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Namun, Gajah Enggon tidak dengan segera menerima jabat tangan
itu. "Sekali lagi, apakah menurutmu sebaiknya aku menerima gadis itu
sebagai istriku?" Pradhabasu tersenyum. "Selama ini kau mengalami kesulitan dalam mencari jodoh karena
betapa kikuk kau dalam menghadapi perempuan. Kali ini ada gadis yang
demikian cantik menawarkan diri menjadi istrimu, menurutku tidak ada
alasan bagimu untuk menolak."
Malam itu akan menjadi malam yang jauh lebih panjang dari malam
biasanya karena Pradhabasu dan Gajah Enggon terlalu banyak menelan
rasa penasaran yang tanpa jawaban. Namun, ketika Gajah Enggon
bertanya kepada diri sendiri, ia sungguh merasa bahagia. Waktu yang
terus bergerak dilaluinya dengan tersenyum tak berkesudahan.
"Aku lapar!" tiba-tiba Pradhabasu nyeletuk.
Gajah Enggon merasa seperti diingatkan.
"Aku juga!" balasnya.
128 Macapat, Jawa, seni menyanyikan tembang Jawa atau kakawin. Tembang Jawa pada mulanya berbentuk baku, meliputi nada, irama, dan guru lagu, seperti Dandang Gula, Mas Kumambang, Asmaradana, dan sebagainya.
Hamukti Palapa 203 15 L aporan yang masuk bertubi-tubi sehingga banyak prajurit dikirim
untuk melihat apa yang terjadi. Mundur ke waktu sebelumnya, ketika
itu hari masih belum senja, laporan kebakaran dan pembunuhan yang
dilakukan dengan cara brutal itu sungguh mengagetkan Patih Gajah
Mada dan Mahapatih Arya Tadah. Beberapa anak panah sanderan 129
dilepas ke udara, menimbulkan suara mendesing, menjadi perintah bagi
para prajurit, tak hanya prajurit Bhayangkara, tetapi juga prajurit dari
kesatuan yang lain untuk waspada. Khusus untuk prajurit penyelenggara
keamanan istana, mereka berada dalam kesiagaan tertinggi.
Dari anjungan pengintai di pintu gerbang Purawaktra, Gajah
Mada yang berdiri berdampingan dengan Mahapatih Amangkubumi
Arya Tadah memerhatikan asap yang membubung tinggi dari beberapa
arah. Dari segala penjuru terdengar kentongan dipukul bertalu-talu,
merampas perhatian siapa pun untuk waspada. Untuk melihat bagaimana
api membakar beberapa rumah penduduk dengan menandai asapnya,
Arya Tadah memaksa diri untuk naik. Gajah Mada menuntunnya meniti
tangga batu merah. "Apa artinya ini, Gajah Mada?" tanya Arya Tadah dengan gusar.
"Siapa orang yang berani membuat kekacauan macam itu?"
Gajah Mada tidak memiliki jawabnya. Dengan tidak berkedip, ia
memerhatikan asap yang membubung naik ke langit. Baik Mahapatih
Amangkubumi Tadah maupun Patih Gajah Mada memberikan
perhatiannya kepada Senopati Gagak Bongol, pimpinan pasukan
Bhayangkara yang baru, yang datang bergegas menaiki tangga. Dengan
sigap, Gagak Bongol memberikan penghormatannya.
"Apa yang akan kausampaikan, Gagak Bongol?" tanya Gajah Mada.
129 Sanderan, Jawa, anak panah berpeluit yang biasanya juga dilengkapi api sebagai penyampai perintah/
isyarat. 204 Gajah Mada Tangkas Gagak Bongol memberikan penghormatannya.
"Orang-orang gila yang entah dengan maksud apa," Gagak Bongol
menjawab, "mereka melakukan pembantaian dan membakar rumah-
rumah tanpa alasan yang jelas. Mereka meninggalkan jejak kematian di
mana-mana. Saat ini pengejaran besar-besaran sedang dilakukan, tetapi
masih belum ada laporan yang masuk."
Gajah Mada memeras otak dan mencoba mencari jawab apa maksud
orang-orang yang melakukan pembantaian itu.
"Ada berapa orang pelaku perbuatan gila itu?" tanya Gajah Mada.
"Tidak jelas, Kakang Gajah," jawab Gagak Bongol. "Namun, jika
menilik mereka meninggalkan jejak di mana-mana, tentu dilakukan
oleh beberapa orang, bisa lebih dari lima orang atau bahkan sepuluh
orang. Mereka bertindak cepat dan langsung menghilang entah ke mana.
Pelakunya jelas bukan orang gila karena tidak mungkin lebih dari lima
orang gila secara bersama. Jelas ada alasan yang mendorong mereka
melakukan itu, entah dendam yang mana yang menjadi alasan itu."
Gajah Mada yang mengarahkan pandangan matanya ke atap
Manguntur, kembali membalikkan badan dan memerhatikan asap yang
membubung terbawa angin, memberi tahu siapa pun yang melihatnya,
sedang ada orang tak waras menabur tembang kematian. Gajah Mada
akhirnya merasa tidak ada gunanya berlama-lama berdiri di atas anjungan
pengawasan di gapura Purawaktra itu.
"Mari kita turun, Paman," kata Gajah Mada ditujukan kepada Tadah,
"berada di atas lama-lama kepalaku pusing."
Tanpa bicara, Arya Tadah yang tua itu ikut turun dengan tangan
dibimbing oleh Gagak Bongol. Kekacauan yang timbul itu menyebabkan
prajurit Bhayangkara berada dalam kesiagaan tinggi. Istana tempat tinggal
Prabu Putri Tribhuanatunggadewi dijaga ketat. Demikian pula dengan
istana di sebelahnya yang menjadi tempat kediaman Prabu Putri Dyah
Wiyat Rajadewi, dipagar betis depan, belakang, dan samping.
Dibimbing oleh Gajah Mada, Mapatih Arya Tadah naik ke gedung jaga
perwira. Rupanya di sana sedang ada sesuatu yang menarik perhatian.
Hamukti Palapa 205 "Ada apa?" tanya Gajah Mada.
"Seseorang mengaku bernama Tumangkar memaksa ingin bertemu
dengan Ki Patih," jawab seorang prajurit.
"Tumangkar?" ulang Gajah Mada. "Apa keperluannya?"
"Ia hanya mau mengatakan kepada Ki Patih. Ia memegang lencana
Senopati Gajah Enggon," jawab prajurit yang seorang lagi.
Patih Gajah Mada meninggalkan Mahapatih Arya Tadah yang
memilih duduk beristirahat. Menaiki dan kemudian turun dari anjungan
pengintaian di atas Purawaktra menyebabkan dadanya terasa nyeri.
Usia yang tua menyebabkan Arya Tadah tak mampu lagi melakukan
pekerjaan yang berat. Pada usia yang makin tua seperti itu, Mahapatih
Arya Tadah mulai meluangkan waktu jauh lebih banyak untuk urusan
kebajikan. Ke depan, Tadah mulai menimbang, siapa gerangan orang
yang layak dipilih sebagai penggantinya menduduki kursi kepatihan
sebagai amangkubumi. Gagak Bongol bergegas mengikuti Gajah Mada.
Di penjagaan gerbang Purawaktra, dengan raut muka sedikit cemas,
Tumangkar menatap para prajurit yang mengelilinginya. Para prajurit
itu menyibak saat Gajah Mada datang mendekat. Gajah Mada langsung
mengarahkan perhatiannya kepada lelaki di depannya.
"Kamu yang ingin bertemu denganku?"
"Benar, Ki Patih," jawab Tumangkar. "Aku membawa pesan penting
yang harus aku sampaikan kepada Ki Patih. Orang yang menyuruhku
membekaliku dengan lencana ini."
Gajah Mada memerhatikan lencana dalam genggaman tangan itu.
"Apa pesan Senopati Gajah Enggon?"
Disimak semua yang hadir, Tumangkar menceritakan apa yang
terjadi dan telah menimpa para tetangganya yang tumpes tapis 130 dibantai
130 Tumpes tapis, Jawa, tumpas habis
206 Gajah Mada oleh orang tidak dikenal. Bahwa apa yang menimpa para tetangganya
menjadi beban demikian berat menyebabkan Tumangkar agak tersendat
dalam menceritakan apa yang terjadi. Namun, Gajah Mada dan segenap
prajurit yang mengelilingi bisa menyimak dengan rinci.
"Tuan Senopati Gajah Enggon berpesan, orang-orang yang
membuat kekacauan itu para maling yang akan menyelinap masuk ke
istana. Onar yang dilakukan adalah untuk memancing para prajurit keluar
dari istana," kata Tumangkar mengakhiri ceritanya.
Gajah Mada dan Gagak Bongol saling pandang.
"Ada lagi pesan yang lain?" tanya Gajah Mada.
Tumangkar menggeleng. "Tidak, Tuan," jawabnya.
Gajah Mada bertolak pinggang sambil menyebar pandangan mata
menggerataki wajah semua prajurit yang mengelilinginya dan menyimak
pembicaraan yang terjadi. Akhirnya, Gajah Mada meminta perhatian
Senopati Bhayangkara Gagak Bongol yang telah mempersiapkan diri
menunggu perintah. "Bongol!" ucapnya perlahan, tetapi sangat berwibawa.
"Ya," jawab Senopati Gagak Bongol.
"Kaupunya gambaran apa yang akan terjadi nanti?"
Gagak Bongol mengangguk. "Ya," jawabnya. "Sirep dengan kekuatan besar mungkin akan
muncul dan terjadi lagi. Lalu, maling-maling itu akan berlompatan masuk
melalui dinding dan kembali akan memasuki gedung perbendaharaan
pusaka. Aku harus mempersiapkan penyambutan dengan menyesuaikan
diri pada apa yang akan dilakukan tamu-tamu tak diundang itu."
Gajah Mada sependapat dan sepenuhnya percaya dengan langkah
pengamanan dan penyambutan yang akan dilakukan. Menilik perkembangan,
agaknya benar apa yang diramalkan oleh Ibu Suri Gayatri bahwa maling-
maling yang mencuri lambang negara dan payung akan masuk lagi.
Hamukti Palapa 207 Maka demikianlah, Senopati Gagak Bongol ditemani Gajah Mada
segera mengambil tindakan dan menggelar jebakan. Para prajurit
Bhayangkara tak terkecuali dipersiapkan bekerja sama dengan para
prajurit dari kesatuan lain. Hanya dalam waktu singkat, menggunakan
isyarat-isyarat tertentu yang telah disepakati, perintah itu telah tersalur
ke segenap sudut ibu kota. Para prajurit yang melakukan pengintaian
telah memahami apa yang harus dikerjakan.
Senja yang merah bergerak menuju gelap malam. Mapatih Arya
Tadah mulai menandai keganjilan itu. Gajah Mada yang kembali ke
Manguntur mendapati Arya Tadah sedang berdiri di halaman sambil
menengadah memindai sesuatu yang tak kasatmata.
"Kau merasakan dan memerhatikan itu, Gajah Mada?" tanya
Tadah. Gajah Mada merasa tak paham.
"Apa maksud Paman Tadah?" tanya Gajah Mada.
"Perhatikan udara ini?"
Gajah Mada menyimak dengan saksama dan serasa mendadak
datangnya, bulu kuduknya bangkit. Apa yang dirasakan Patih Arya Tadah
benar, memang ada sesuatu yang mengalir di udara yang tidak wajar.
Udara yang mengalir ia rasakan terlampau sejuk meninabobokkan.
"Tanpa harus menunggu waktu begitu malam datang, kekuatan
sirep itu pun telah digelar," kata Tadah.
Mendapati perkembangan yang demikian, Gagak Bongol bertindak
cekatan. Apa yang terjadi itu disalurkan melalui isyarat khusus yang dengan
segera menyebar ke segala penjuru hingga ke paling ujung. Dengan
demikian, segenap prajurit telah membekali diri dan mempersiapkan
diri menghadapi apa yang akan terjadi. Oleh kesadaran itu, kantuk yang
akan datang akan dilawannya dengan sekuat tenaga.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau merasakan?" bertanya seorang prajurit rendahan yang
berjaga-jaga tak jauh dari Bajang Ratu.
Prajurit yang ditanyai memejamkan mata. Perlahan ia menggeleng.
208 Gajah Mada "Aku sudah berusaha," ucapnya, "tetapi, aku tak menemukan bedanya.
Aku merasa udara yang mengalir kali ini sama seperti sebelumnya, tak
ada yang aneh." "Kau merasa mengantuk?" tanya prajurit pertama. "Coba
kauperhatikan keadaan dengan cermat, apakah kau merasa mengantuk,
kalau ya artinya harus waspada."
Prajurit kedua itu menggeleng. Kerut wajah dan bahasa tubuhnya
menandai bahwa prajurit rendahan itu merasa cemas.
"Perhatikan saja, kalau kau merasa kantuk datang lebih awal, itu
pertanda sirep sedang disebar. Jangan tidur, kalau kau tertidur, penjahat
itu akan dengan mudah menebas kepalamu."
Adanya kekuatan sirep yang mencemari udara telah tersebar dari
ujung ke ujung dan mendorong siapa saja yang menerima keterangan
itu untuk memerhatikan keadaan. Ada yang mengaku bisa menandai
udara aneh itu. Namun, ada pula yang tidak merasakan apa-apa. Udara
aneh itu setidaknya telah mengusik ketenangan pejabat dharmadyaksa
kasogatan,131 yang dengan langkah perlahan menemui Gajah Mada dan
Mahapatih Arya Tadah. Kehadiran Dharmadyaksa Kasogatan Samenaka132 mudah ditandai
dari tubuhnya yang tinggi kurus serta jubahnya yang menutup seluruh
tubuhnya. Akan tetapi, yang mengagetkan Gajah Mada adalah orang
yang datang bersama pejabat agama Buddha itu. Gajah Mada menerima
kehadirannya dengan perasaan meluap. Tiga tahun sejak apa yang
terjadi dan menimpa Prabu Jayanegara, ia menghilang lagi tak ada kabar
beritanya. Kini, orang itu terlihat lagi batang hidungnya.
Gajah Mada merasa memerlukan menyapa orang itu lebih dulu.
131 Dharmadyaksa kasogatan, Jawa Kuno, jabatan untuk petinggi yang mengurusi masalah-masalah agama Buddha yang dijabat oleh ayah Prapanca, Sang Samenaka atau mungkin Dang Acarya Kanakamuni.
Pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, jabatan itu dipegang oleh Prapanca yang amat diduga ia adalah Dang Acarya Nadendra. Para ahli juga mengira Prapanca adalah nama samaran dari Winada.
132 Samenaka, nama dharmadyaksa kasogatan pendahulu Prapanca, sangat diduga ayah Prapanca.
Penulusuran Prof. Dr .Slamet Muljono juga menyebut nama Dang Acarya Kanakamuni sebagai pendahulu Dang Acarya Nadendra.
Hamukti Palapa 209 "Dari melanglang buana ke mana saja selama ini kau, Pancaksara?"
Gajah Mada bertanya. Pancaksara tersenyum lebar. Ia merasa senang bertemu kembali
dengan sahabat yang dikaguminya itu.
"Aku baru saja kembali dari Pulau Kalimantan," jawab Pancaksara.
"Ada banyak kisah yang akan aku ceritakan. Rasanya, meski berhari-
hari aku bercerita, tak akan cukup untuk menuturkan dari awal hingga
ujung." Gajah Mada mengangguk dan mengarahkan hormatnya kepada
Dharmadyaksa Kasogatan Samenaka.
"Hormatku, Bapa Guru Samenaka," ucap Gajah Mada sambil
mengangguk sedikit agak membungkuk.
Dharmadyaksa Kasogatan Samenaka mengangguk membalas
penghormatan itu, juga membalas penghormatan yang diberikan
Mahapatih Arya Tadah. Pimpinan agama Buddha itu merasa tidak perlu
menunda dengan berbasa-basi. Sang Samenaka langsung mengutarakan
persoalan yang dibawanya.
"Kedatanganku untuk memberi tahu, ada yang aneh dan mungkin
sesuatu akan terjadi malam ini, Kakang Amangkubumi," kata Dang
Acarya Samenaka. Gajah Mada menyimak dengan saksama ucapan Samenaka.
Demikian pula dengan Gagak Bongol yang berdiri agak jauh di belakang.
Patih Amangkubumi tidak buru-buru menjawab, dilakukan itu setelah
beberapa jenak termangu, "Mengenai adanya orang yang menyebar sirep?" Mahapatih
Amangkubumi balas bertanya.
Sang Samenaka mengangguk.
"Kami sudah tahu, Adi Dharmadyaksa Kasogatan," jawab
Mahapatih Arya Tadah. "Itulah sebabnya, saat ini tengah kami lakukan
persiapan penyambutan tamu-tamu itu."
210 Gajah Mada Sang Samenaka menatap tajam.
"Apakah ada kaitannya dengan orang-orang yang melakukan
pembantaian sore tadi?" Sang Samenaka mengejar.
Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah mengangguk.
"Menurut dugaan yang rupanya benar, pembakaran rumah-rumah
dan pembunuhan yang dilakukan terhadap para penduduk sepanjang
sore ini adalah untuk memancing perhatian keluar. Tujuan mereka yang
sebenarnya adalah masuk ke gedung perbendaharaan pusaka. Mereka
maling yang terlalu berani dan tak tahu diri."
Sang Samenaka tak menampakkan perubahan wajahnya. Namun,
sebenarnya agak terkejut melihat Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah
bisa mengetahui sampai sejauh itu.
"Ibu Suri Ratu Gayatri yang memberi tahu kami," lanjut Tadah.
"Ooo," gumam Dharmadyaksa.
"Barangkali Adi Dharmadyaksa Kasogatan punya saran?"
Sang Samenaka yang terdiam beberapa jenak itu kemudian
menggeleng kepala. "Benda apakah yang akan dicuri itu, Kakang Mapatih?" tanya Sang
Samenaka yang tak bisa menutupi rasa kaget.
Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah menoleh kepada Gajah Mada
dan meminta kepadanya menjelaskan. Gajah Mada membaca isyarat
yang diberikan kepadanya itu.
"Bersamaan dengan terjadinya gempa bumi pada malam itu,"
papar Gajah Mada, "adalah bersamaan dengan istana kecurian. Malam
itu barangkali Bapa Dharmadyaksa Kasogatan juga menandai keadaan
seperti malam ini, yaitu adanya kekuatan sirep yang disebar untuk
menidurkan para prajurit.
Istana kehilangan dua buah pusaka penting. Yang pertama adalah
lambang negara atau cihna dan yang kedua songsong Udan Riwis yang
juga lenyap dibawa maling itu. Mungkin tidak puas dengan benda-benda
Hamukti Palapa 211 yang dicuri, mereka berusaha masuk kembali malam ini. Untuk jangan
sampai peristiwa itu terulang kembali dan untuk menangkap pelakunya
serta mengembalikan benda-benda pusaka itu ke tempatnya, malam
ini telah kami siagakan pasukan yang baris pendhem 133 untuk menjebak
mereka." Dengan gamblang Gajah Mada menceritakan apa yang diketahuinya,
yang disimak hal itu dengan penuh perhatian oleh Dharmadyaksa
Kasogatan Samenaka dan anaknya.
Bahwa sejak malam turun, bau sirep itu melayang di udara,
sangat mencuri dan menyita perhatian Dharmadyaksa Kasogatan.
Dharmadyaksa yang memiliki pemahaman yang cukup, layak merasa
cemas karena di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, kemampuan
macam itu bisa disalahgunakan untuk berbagai keperluan.
Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah selanjutnya menemani
Dharmadyaksa Kasogatan berbicara banyak hal. Sementara itu, Gajah
Mada dan sahabat karibnya memilih menyendiri.
"Ada sebuah berita penting yang akan kusampaikan kepadamu.
Itu sebabnya, sejak aku mendarat di Ujung Galuh, aku berpacu bagai
kesetanan," kata Pancaksara.
Gajah Mada memicingkan mata, ada yang janggal dirasakannya.
"Kamu berkuda, sejak kapan kamu berkuda?"
Pancaksara tertawa. "Jika aku tidak berkuda yang aku peroleh itu dari membeli milik
seorang nelayan yang kukenal dengan baik, tamu-tamu dari Swarnabhumi
itu akan tiba lebih dulu. Siang tadi serombongan kapal besar membuang
sauh di Ujung Galuh, yang aku tahu armada itu dipimpin oleh
Aditiawarman." Gajah Mada memandang sahabat lamanya dengan amat lekat.
133 Baris pendhem, Jawa, pasukan dalam sikap melakukan pengintaian
212 Gajah Mada "Kauyakin, mereka tamu dari Swarnabhumi?"
"Aku sangat yakin," jawab Pancaksara dengan tegas. "Aku sempat
berbicara dengan salah seorang dari mereka yang turun ke daratan.
Juga kuyakini dari tulisan yang terpahat di lambung kapal, juga
benderanya. Aku juga tahu kesulitan yang mereka alami yang ingin
melanjutkan perjalanan menyusuri sungai karena sedang kering. Menurut
perhitunganku, mereka akan datang kemari besok dengan berjalan kaki
atau berkuda." "Mereka membawa kuda" Tentu mereka butuh banyak kuda?"
tanya Gajah Mada. Pancaksara menggeleng. "Kulihat tidak. Yang kuduga, mungkin mereka berbelanja kuda lebih
dulu. Satu atau dua sampai lima ekor kuda bisa didapat dengan mudah.
Namun, tidak untuk jumlah yang banyak."
Gajah Mada berjalan mondar-mandir mencerna keterangan baru
itu. Berita yang ia terima dari Pancaksara itu sungguh merupakan berita
yang sangat penting. Persiapan penyambutan harus dilakukan untuk
menghormati tamu-tamu dari mancanagara.134
"Kedua Prabu Putri harus diberi tahu akan datangnya tamu-tamu
penting itu," ucapnya.
Pancaksara bergeser dan memandang puncak Manguntur sambil
membelakangi Gajah Mada yang terdiam. Kepada Gajah Mada,
Pancaksara merasa harus menumpahkan cara pandangnya.
"Aku punya pendapat, mungkin kau bisa mencerna, sekadar agar
kauwaspada," tambah Prapanca.
"Apa?" balas Gajah Mada.
"Menurutku, tak ada salahnya kau bersikap hati-hati," tambah
Pancaksara. 134 Mancanagara, Jawa, luar negeri
Hamukti Palapa 213 Gajah Mada balas memandang Pancaksara yang berbalik dan
menatap tajam. "Di luar sana ada banyak negeri," kata Pancaksara, "yang mem-
punyai pendapat, raja harus berasal dari anak permaisuri dan harus laki-
laki. Siapa tahu, kedatangan tamu kita kali ini membawa cara pandang
macam itu. Apalagi, jika mengingat yang akan datang kali ini adalah
Aditiawarman. Ketika saudara sepupunya mati dan saudara sepupunya
itu tidak meninggalkan anak laki-laki atau saudara laki-laki terdekat,
mungkin Aditiawarman merasa dirinya berada dalam urutan terdekat
untuk menggantikannya. Siapa tahu!"
Gajah Mada berpikir keras mencerna kemungkinan sebagaimana
diuraikan teman dekatnya itu.
Kenangan Gajah Mada segera terputar atas peristiwa yang pernah
terjadi dan menimpa Singasari. Kurang apa Sri Kertanegara pada waktu
itu. Raja Gelang-Gelang keturunan Kertajaya, Jayakatwang, ditempatkan
di tempat yang terhormat. Anak lelakinya bernama Ardaraja diambil
menantu, dikawinkan dengan anak bungsunya.135 Akan tetapi, apakah
balasan dari kebaikan yang diberikan itu" Ketika Singasari sedang kosong
karena para prajurit dikirim ke Sumatra dan Tumasek dengan dipimpin
oleh Lembu Anabrang, Prabu Jayakatwang yang dikipasi Banyak Wide
atau Arya Wiraraja dari Sungeneb menyerbu istana dan membuat karang
abang.136 Nafsu keserakahan untuk berkuasa mendorong Jayakatwang dari
Gelang-Gelang sanggup menggempur Majapahit. Jika lengah, serbuan
memang bisa berasal dari tempat yang tak terduga. Bisa dari musuh atau
bisa pula dari sahabat yang sebelumya mengaku teman sejati. Dengan
latar belakang macam apakah tamu-tamu yang akan datang dari ranah
Swarnabhumi kali ini"
135 Tidak ada catatan sejarah yang menyebut siapa nama anak bungsu Sri Kertanegara ini. Dalam silsilah raja-raja Tumapel-Singasari-Kediri-Majapahit-Demak-Pajang-Mataram-Surakarta-Yogyakarta (Abad XI-XXI) yang dikeluarkan oleh "Tri Dharma" dan disusun oleh Tjo Sugiharto, menempatkan anak bungsu ini sebagai istri Ardaraja dan Ardaraja adalah anak Jayakatwang.
136 Karang abang, Jawa, kekacauan dengan bakar-bakaran
214 Gajah Mada "Ada berapa jumlah kapal yang kaulihat?" tanya Gajah Mada.
"Sepuluh," jawab Pancaksara.
"Sepuluh?" ulang Gajah Mada. "Muat berapa orang untuk setiap
kapal" Dua ratus orang?"
Pancaksara menggeleng lemah karena merasa tak tahu jawabnya.
"Sebuah kapal bisa memuat dua ratus orang sudah cukup besar.
Atau, andai tiga ratus orang sekalipun, berarti jumlahnya tiga ribu
orang. Dengan jumlah itu, sungguh terlalu berani jika berniat menyerbu
Majapahit," ucapnya.
Bintang-bintang di langit yang terlihat sangat gemerlapan, bersih,
dan indah, membuat gelisah karena kerinduan justru sedang tertuju
kepada mendung dan hujan. Gajah Mada yang sedang berpikir itu
mendongak ke langit karena suara cataka terdengar menyayat. Burung
yang minum dari tetes-tetes hujan itu rupanya sungguh menderita.
Akan tetapi, burung cataka itu segera menghentikan keluh-kesahnya.
Ada sebuah firasat kuat, hujan akan turun di sebuah tempat. Maka,
dengan segera ia mengayuh udara melalui kepakan sayapnya yang tak
berkesudahan. Burung cataka itu rupanya tahu di Ujung Galuh akan
turun hujan. "Majapahit membutuhkan kapal-kapal macam itu, bahkan dengan
jumlah yang banyak," kata Gajah Mada.
Pancaksara mengerutkan dahi.
"Untuk bisa menjadi negara yang besar," lanjut Gajah Mada,
"Majapahit harus memiliki prajurit yang tangguh di darat maupun di
lautan. Rasanya, tak sabar aku ingin tahu seperti apa bentuk kapal-
kapal dari Swarnabhumi itu. Kuucapkan terima kasih atas keterangan
yang kauberikan itu, Pancaksara. Esok akan aku minta dilakukan
geladi perang secara utuh berkekuatan segelar sepapan. Kekuatan yang
dimiliki Majapahit itu akan aku pamerkan kepada para tamu agar
mereka berpikir dua kali jika berniat seperti kecurigaanmu, termasuk
Hamukti Palapa 215 andaikata Aditiawarman merasa dirinya yang paling layak dan berhak
menggantikan saudara sepupunya."
Pancaksara bisa menerima apa yang dikatakan Gajah Mada itu, tetapi
ada bagian yang menarik dan Gajah Mada belum menuntaskan.
"Kalau boleh aku tahu, bagaimana masa depan Majapahit yang
kauinginkan?" Gajah Mada berbalik. Dalam siraman cahaya obor, terlihat betapa
besar semangat yang terbaca dari wajahnya.
"Kau yang punya kegemaran menjelajah ke mana-mana, seberapa
luas dunia ini menurutmu?" tanya Gajah Mada.
Pancaksara terpaksa tersenyum karena pertanyaannya tidak berjawab.
Sebaliknya, Gajah Mada malah balas bertanya.
"Luas sekali, ada banyak pulau besar dan kecil," jawab Pancaksara.
"Seberapa banyak" Ada berapa ratus?" Gajah Mada mengejar.
"Ratus?" Pancaksara tersenyum. "Ada banyak, ribuan, membentang
dari timur ke barat dari utara ke selatan. Di lautan luas ada banyak nusa
yang sambung-menyambung. Namun, ada pula wilayah lautan luas
yang bagai tidak berujung, mungkin di ujungnya sana air laut tumpah
ke bawah." Gajah Mada menyimak. "Terus, ada berapa banyak kerajaan?"
"Tak terhitung. Di wilayah Nusantara saja ada banyak negara dengan
raja-rajanya. Belum lagi yang berada di atas angin. Konon, di daerah atas
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angin, manusianya tidak seperti kita. Orang-orang di atas angin raksasa
semua dengan rambut jagung dan mata biru. Butuh puluhan bulan atau
tahun perjalanan untuk bisa bertemu dengan mereka."
Gajah Mada menyimak cerita itu dengan amat berminat.
"Negeri apa saja yang telah kaukunjungi atau setidaknya sudah
kauketahui?" tanya Gajah Mada.
216 Gajah Mada "Ada banyak sekali. Di Sumatra ada Jambi,137 Palembang,
Dharmasraya yang pernah menjadi sahabat Singasari, ada Kandis,
Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kempe, Haru, Temiang, Parlak,
Samudra, Lamuri, Barus, Batan, dan negeri Lampung. Semua negeri
besar dan kecil itu umumnya hidup dengan damai, berdampingan saling
melengkapi melalui hubungan perdagangan. Namun, ada juga yang
bermusuhan dan terlibat perang."
Patih Gajah Mada takjub mendengar itu. Kegemarannya bepergian
dari satu tempat ke tempat lain, menjadikan Pancaksara mempunyai
perbendaharaan pengetahuan yang luas sekali.
"Sudah kaukunjungi semua negara-negara yang kausebut itu?"
tanya Gajah Mada. Pancaksara menggeleng. "Darmasraya, Jambi, dan Lampung sudah aku kunjungi. Selebihnya
kulewati atau aku tidak menyadari sedang berada di negara mana karena
tidak adanya batas yang jelas antara negara satu dengan lainnya."
"Lalu?" tambah Gajah Mada. "Negeri bernama apa saja yang
kautemukan di tanah Kalimantan?"
"Kita menyebutnya Kalimantan," jawab Pancaksara. "Namun, orang
di sana menyebut pulaunya sebagai Tanjung Pura. Aku mencatat ada
negeri, seperti Kapuas,138 Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin,
Sambas, Lawai, Kandangan, lalu Singkawang, Tirem, Landa, Sedu,
Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung,
Tanjung Kutai, dan Malano. Mungkin masih ada lagi negeri-negeri yang
belum kuketahui namanya karena demikian banyaknya."
Jawaban itu memaksa Gajah Mada termangu. Tentulah membutuhkan
kerja keras dan bala tentara darat dan armada laut yang amat besar untuk
137 Jambi, Palembang, dan seterusnya, nama-nama negara di Sumatra yang nantinya dikuasai oleh Majapahit pada zaman keemasannya sebagaimana diterangkan Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.
138 Kapuas, Katingan, dan seterusnya, nama-nama negara di Pulau Kalimantan yang nantinya menjadi bagian dari wilayah Majapahit sebagaimana dituturkan Empu Prapanca dalam Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.
Hamukti Palapa 217 bisa mempersatukan semua wilayah itu. Selebihnya adalah biaya yang
juga sangat besar dan pengorbanan melebihi kepentingan mana pun.
"Bagaimana dengan Hujung Medini?"139 tanya Gajah Mada.
"Kaumiliki pula pengetahuan tentang wilayah itu?"
Pancaksara mengangguk. "Ada beberapa negara besar dan kecil di Hujung Medini," Pancaksara
berkata. "Ada Pahang,140 Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka,
Muar, Dungun, Tumasek, Kelang, Kedah, Jerai. Karena keramah-
tamahannya, sifat suka damai, dan tak senang perang, nyaris semua
negeri di Hujung Medini telah kudatangi semua."
Patih Gajah Mada mengangguk dengan tatapan mata takjub.
Minatnya terhadap apa yang diceritakan Pancaksara makin menjadi.
Meski belum memiliki gambaran, ke depan, Gajah Mada berharap
akan memiliki kesempatan mengunjungi tempat-tempat yang dimaksud
itu. "Terakhir, bagaimana dengan wilayah di daerah tempat matahari
berasal?" Pancaksara meliukkan badan untuk menipu penat setelah menempuh
perjalanan panjang. Orang lain mungkin jera menempuh perjalanan
hingga ke ujung dunia. Namun, tidak demikian dengan Pancaksara.
Keinginan melihat banyak negeri dari satu tempat ke tempat lain
menyebabkan Pancaksara kebal dari penat. Melihat indahnya gunung dan
ngarai, lembah dan sepanjang pantai berpasir, membuatnya bergairah
dan dipenuhi rasa ingin tahu dan mengalahkan segala rasa penat itu.
Kenangan Pancaksara tertuju pada beberapa wilayah yang dari sana
matahari muncul. Ada beberapa negeri di daerah itu yang dicatatnya,
tetapi tak semua dikunjungi. Di tempat-tempat itulah, Pancaksara
banyak melihat hal-hal tak masuk akal dan bahkan nyaris merenggut
nyawanya. 139 Hujung Medini, penyebutan Semenanjung Melayu
140 Pahang , Langkasuka, dan seterusnya, nama-nama negara di Semenanjung Melayu yang nantinya menjadi bawahan Majapahit sebagaimana liputan Prapanca dalam Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.
218 Gajah Mada Di ujung paling timur perjalanannya, ia harus lari lintang pukang
kembali ke dalam kapal karena dikejar-kejar dan akan dibantai oleh orang
yang berkulit sangat hitam. Hitam warna arang sama dengan warna kulit
orang-orang itu. Pancaksara yang menengadah mengarahkan tatapan matanya ke
sebutir kartika. Ia lakukan itu sambil mengumbar kenangannya ke masa
lalu. "Di timur Jawa ini tentu saja ada Bali," kata Pancaksara. "Berturut-
turut nama negeri yang ada adalah Bedahulu,141 Lo Gajah, Gurun,
Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali,
Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian,
Salayar, Sumbar, Muar, Solor, Bima, Wandan, Ambon Maluku, Wanin,
Seran, dan Timor. Wilayah negara-negara di timur itu amat luas. Di wilayah paling
timur ternyata matahari masih terbit di timurnya lagi. Jika kau berlayar
berbulan-bulan lamanya, akan sampai di sebuah tempat bernama Seran.
Di sana penduduknya berambut demikian keriting sampai tak bisa disisir
memakai serit.142 Di samping rambutnya sangat keriting, orang Seran
dan Onin berkulit sangat hitam, sangat berbalikan dengan matanya
yang putih. Di Seran aku nyaris dibantai oleh penduduk yang tak jelas apa
penyebabnya, entah sekadar salah paham ataukah mereka gemar
memangsa manusia. Namun, tidak jauh dari tempat itu, orang Onin
mempunyai sikap yang berbeda dan lebih ramah. Sebulan lamanya aku
Amarah Pedang Bunga Iblis 5 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Bentrok Rimba Persilatan 21