Pencarian

Hamukti Palapa 9

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 9


yang bakal menerkam. Ki Bendung Wura bahkan tak berani beranjak ketika dua ekor ular
melintas di kakinya. Ular itu berasal dari jenis yang sangat mematikan,
ular bandotan dan weling. Dua yang lain datang dari arah lain, ular yang
masing-masing berukuran sekepal kaki. Jika ular itu mematuk, tak ada
antiracun yang bisa menghadangnya.
Ketika para prajurit memerhatikan, ada puluhan bahkan mungkin
sampai ke angka ratusan ekor ular hadir di tempat itu, membingungkan
karena merayap-rayap di sela kaki mereka. Seorang prajurit sangat terkejut
440 Gajah Mada ketika seekor ular merayap di bawah kakinya. Gerakan seketika yang
dilakukan prajurit itu berbuah bencana karena ular itu mematuknya.
"Jangan ada yang bergerak!" teriak Ki Bendung Wura yang sadar
ular-ular sangat beracun itu amat peka terhadap gerakan.
Sebuah pelajaran amat berharga sekaligus mengerikan bagi para
prajurit yang kini justru tersandera kebebasannya. Tak seorang pun
yang berani bergerak dan memilih sikap berdiam diri seolah benda mati.
Bahkan, ketika seekor ular menganggapnya batang pohon yang nyaman
untuk dirambati. "Jangan ada yang bergerak!" kembali Ki Bendung Wura memberi
petunjuk. Namun, Ki Bendung Wura sendiri berada dalam bahaya. Seekor
ular dari jenis paling berbahaya menari amat dekat dengan kakinya. Ki
Bendung Wura lebih terbelalak lagi ketika melihat biang dari segala ular
muncul. Merayap dengan perlahan di sela-sela kaki para prajurit, ular
berukuran pinang itu ikut menunggu perintah apa yang akan dijatuhkan
sang peniup seruling. Di dalam bilik keputren, Wirota Wiragati bangkit berdiri. Akan
tetapi, tidak menghentikan alunan serulingnya. Dengan isyarat mata, ia
meminta pada Gayatri untuk membukakan pintu. Kali ini Wirota Wiragati
hanya punya satu celah, mumpung ia masih mampu mengendalikan ular-
ular itu, kesempatan itulah yang tersisa yang bisa dipergunakan untuk
meloloskan diri. Tertangkap prajurit Gelang-Gelang mungkin bukan
masalah yang besar baginya. Namun, ditangkap bekas gurunya sungguh
mengerikan. Dengan alunan seruling mengendalikan gerak semua ular,
Wirota Wiragati berjalan amat hati-hati, bahkan melintas pada jarak amat
dekat dengan Patih Mahisa Mundarang.
Melihat di halaman ada banyak ular, Gayatri bergegas mengunci
pintu dari dalam. Kini, terjawablah rasa penasaran Gayatri, apa yang
dilakukan oleh Wirota Wiragati berhubungan dengan kehadiran ular-ular
itu. Takut sudah ada ular yang menyelinap masuk, dengan panik Gayatri
segera memeriksa semua sudut.
Hamukti Palapa 441 Nyaris pecah kepala Mahisa Mundarang melihat Wirota Wiragati
yang bermain seruling itu meledeknya dengan pelototan mata saat
melintas tepat di depannya, demikian pula dengan Ki Bendung Wura
dan Handaru Pritha yang tersandera oleh ular-ular mematikan tak jauh
dari kaki mereka. Wirota Wiragati juga berjalan melintas di depan Prabu
Jayakatwang yang melotot amat ketakutan, berpegangan tangan dengan
permaisurinya yang tak kalah ketakutan.
Semua ular itu bergerak meliuk, semua menari, semua menjalankan
perintah dari alunan seruling yang mengombak. Dalam keadaan
demikian, Wirota Wiragati tak berani memecah perhatiannya dari tiupan
di lubang serulingnya karena sekejap saja ia lakukan itu, kendalinya
terhadap semua ular akan lenyap.
Pelan, tetapi pasti, Wirota Wiragati makin mendekati pintu regol
dan tibalah saatnya untuk melarikan diri. Wirota Wiragati lari sekencang-
kencangnya bagai dikejar hantu. Kendali atas semua ular terputus,
meninggalkan jejak pembantaian yang mengerikan.
Jatuh banyak korban dalam peristiwa itu. Puluhan prajurit harus
mati kehilangan nyawa, baik melalui dipatuk maupun dibelit ular yang
paling besar. 26 P rabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memandang
takjub kepada ibunya atas nama rasa hormat pada kisah cinta yang
pernah dialaminya dan sama sekali tidak ada rasa cemburu dengan
mengatasnamakan ayahnya, Sang Prabu Sri Kertarajasa Jayawardhana.
442 Gajah Mada Di ujung ceritanya, Ibu Suri Rajapatni Gayatri tersenyum, tetapi amat
sulit menebak apa makna yang mencuat di balik senyum itu. Sungguh
berbeda dari senyum Ibu Suri Tribhuaneswari yang lebih lebar.
Mahapatih Arya Tadah menampakkan tatapan mata membeku.
Demikian pula dengan Patih Gajah Mada dan Senopati Gagak Bongol,
sama membekunya, tak bisa ditebak warna hati atau penilaian macam
apa yang mencuat di wajah dua perwira penting Majapahit itu. Sungguh
sangat berbeda dengan wajah para suami Prabu Putri.
Sri Kertawardhana tersenyum sambil manggut-manggut, sementara
Wijaya Rajasa Hyang Parameswara yang merapatkan dua telapak
tangannya menutup hidung sambil duduk mencangkung ikut terpesona
oleh kisah asmara yang demikian indah dan layak dituturkan kepada
para anak cucu. "Jika hamba boleh tahu, Ibunda," ucap Sri Gitarja, "apakah hadiah
yang Ibu terima dari Paman Wirota Wiragati?"
Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri menatap anaknya dengan sejuk
dan rupanya perlu menimbang sebelum menjawab.
Namun, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menyela, "Aku tahu,"
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
menoleh kepada adiknya. "Apa yang kamu tahu?"
"Mahkota! Mahkota yang dicuri dari rumah bangsawan Ma Panji
Raung! Benar demikian, Ibunda?"
Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri ternyata membenarkan jawaban
itu. Ibu Suri mengangguk.
"Tetapi, bukankah ada dua benda yang dihadiahkan Paman Wirota
Wiragati kepada Ibu" Apa benda yang kedua itu?"
Pertanyaan kedua atas benda kedua itulah yang rupanya harus
ditimbang untuk dijawab atau tidak. Patih Gajah Mada dengan
saksama mencermati bahasa wajah Ibu Suri yang tampak sangat ragu.
Hamukti Palapa 443 Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri yang menarik napas panjang bagai
membenarkan apa yang dirasakan Patih Gajah Mada.
"Karena suatu hal," kata Ibu Suri, "Ibu tidak bisa menceritakan
apa hadiah yang Ibu terima. Biarlah rahasia tentang itu akan Ibu bawa
sampai mati dan tak perlu ada yang mempersoalkan."
Jawaban itu mengagetkan semua yang hadir di ruang itu, bahkan
termasuk Ibu Ratu Tribhuaneswari. Dengan segera, rasa penasaran pun
hadir dan menyergap, menguasai ruangan itu. Akan tetapi, karena Ibu
Suri Rajapatni Biksuni Gayatri telah memutuskan untuk menyimpan
rahasia itu sampai mati, segenap yang hadir di ruangan itu harus
menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang tidak bisa ditawar. Apa
hadiah benda kedua yang diterima Sekar Kedaton Gayatri, pertanyaan
itu akan terus bergaung tanpa henti karena tak berujung pada sebuah
jawaban. Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
merapatkan kedua telapak tangannya, dalam sikap menyembah itu Prabu
Putri meminta perhatian. "Apakah yang kemudian menyebabkan Paman Wirota Wiragati
dan Ibu tidak bertemu dan mewujudkan apa yang dulu pernah
dirancang?" Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri menerawang. Senyumnya muncul
menyusul belakangan. "Itu karena bukan manusia yang menentukan takdir dan perjalanan
hidupnya. Akan tetapi, karena ada kekuasaan yang jauh lebih besar dari
itu. Sejak gempuran balasan yang harus diterima Kediri setelah Raden
Wijaya memanfaatkan prajurit dari Tartar, Kakang Wirota Wiragati
pamit kepadaku, pergi untuk sebuah keperluan. Namun, waktu yang
digunakan Kakang Wirota Wiragati ternyata amat lama. Kehadiran
pasukan dari seberang lautan memancing rasa ingin tahunya. Ia pergi
merantau, melacak jejak kekuatan yang demikian besar yang datang dari
arah matahari tenggelam bertahun-tahun lamanya. Saat Kakang Wirota
Wiragati pulang, aku telah menjadi istri Sang Prabu."
444 Gajah Mada Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa seperti sepakat untuk
manggut-manggut bersama dan saling pandang.
Kini, agak jelas jawabannya, mengapa kisah cinta indah itu tidak bisa
terwujud menjadi kenyataan. Bukan Wirota Wiragati yang menjadi suami
ibunya, tetapi Sanggramawijaya, lelaki yang memang telah dijodohkan
dengannya. Jika kisah cinta itu menjadi kenyataan, mungkin akan berbeda
perjalanan sejarahnya karena dengan demikian tidak akan ada Sri Gitarja
dan tak akan ada Dyah Wiyat.
Namun, masih ada yang perlu diperjelas. Itu dilontarkan Gajah
Mada yang dengan segera merapatkan kedua telapak tangannya meminta
perhatian. "Apa yang akan kautanyakan, Gajah Mada?" tanya Ibu Suri
Gayatri. "Hamba, Ibunda Ratu Rajapatni Ibu Suri," Patih Gajah Mada
berkata. "Hamba mohon izin bertanya sesuatu yang menurut hamba
sangat penting. Bahwa sebagaimana diketahui, ruang perbendaharaan
pusaka telah didatangi maling. Bisakah hamba mendapat keyakinan,
maling pertama yang berhasil mencuri cihna gringsing lobheng lewih laka
dan payung kebesaran istana, Kiai Udan Riwis, sama sekali tidak ada
hubungannya dengan maling kedua yang hadir malam ini?"
Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri mengangguk.
"Apakah Ibu Suri mempunyai dugaan, siapa kira-kira pelaku yang
pertama?" Ruangan yang telah senyap itu makin senyap. Pertanyaan yang
dilontarkan oleh Patih Gajah Mada itu menyebabkan Mahapatih Arya
Tadah merasa tidak nyaman karena dilakukan seperti memeriksa seorang
pesakitan. "Aku mempunyai dugaan siapa pelakunya dan telah aku tunjukkan
bagaimana cara menemukannya kepada Gajah Enggon yang
menghadapku. Aku percaya, Senopati Gajah Enggon akan berhasil
Hamukti Palapa 445 menemukan dua pusaka penting itu. Apalagi, kudengar Gajah Enggon
pergi didampingi oleh Pradhabasu. Untuk pertanyaanmu, biarlah waktu
yang menjawab. Biarlah Pradhabasu dan Senopati Gajah Enggon
memperolehnya melalui kerja keras yang dilaluinya. Aku tidak berhak
menyebut meski hanya sebuah dugaan."
Gajah Mada merasa tak puas memperoleh jawaban itu. Ia masih
punya pertanyaan berikutnya yang disampaikan dengan lugas pula.
"Hamba, Tuan Putri," katanya. "Hamba menaruh hormat kepada
Kiai Wiragati yang memiliki perjuangan dan pengabdian luar biasa
terhadap berdirinya Majapahit. Namun, hamba agak kurang suka dengan
perubahan perilakunya yang terjadi sekarang yang amat merendahkan
nilai nyawa dengan di mana-mana menebar jejak kematian. Menurut
Tuan Putri Ibu Suri, apakah makar yang terjadi di Keta dan Sadeng saat
ini berhubungan erat dengan Kiai Wirota Wiragati?"
Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri mengangguk tanpa keraguan.
"Berarti, mahkota yang dicuri itu adalah dalam rangka
menyempurnakan makar itu, mungkin untuk dipakai mewisuda siapa
pun yang diangkat menjadi raja di Keta?"
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
merasa tidak enak ibunya ditanyai seperti itu. Prabu Putri Gitarja yang
semula bersimpuh di depan ibunya bangkit dan menempati tempat
duduknya. "Cukup, Kakang Gajah Mada. Tidak ada pertanyaan lagi karena
Ibunda Ibu Suri Rajapatni Biksuni dan Ibunda Ratu Tribhuaneswari
harus beristirahat. Kurasa pertemuan ini ditutup sampai di sini."
"Aku sependapat," tambah Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa. Dipimpin oleh Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani, yang turun dari tempat duduknya untuk memberikan
penghormatan bersama-sama, pertemuan di bilik khusus istana para Ibu
Suri itu pun kemudian berakhir. Gajah Mada agak kecewa karena masih
446 Gajah Mada banyak pertanyaan yang membutuhkan kejelasan jawaban, tetapi tidak
diperoleh jawabnya. 27 G agak Bongol yang berjalan berdampingan dengan Gajah Mada
menoleh ketika tiba-tiba Gajah Mada melontarkan sebuah pertanyaan.
"Bisakah kau menebak teka-teki itu, Gagak Bongol?" tanya Gajah
Mada. "Teka-teki yang mana?" balas Senopati Gagak Bongol.
"Cobalah kau berpikir dengan cerdas, hadiah apa yang diberikan
Wirota Wiragati kepada Tuan Putri Ibu Suri Rajapatni Biksuni
Gayatri, sampai-sampai beliau tidak mau membuka kisahnya dan pilih
berkeputusan membawa rahasia itu sampai mati?"
Gagak Bongol termenung, perlahan kemudian ia menggeleng.
Pertanyaan itu terlalu sulit untuk ditemukan jawabnya.
"Jangan tergesa-gesa menyerah. Cobalah kaurenungkan, hadiah
benda apakah yang diterima oleh Tuan Putri Ibu Suri?"
Senopati Gagak Bongol menyempatkan berhenti. Senopati Gagak
Bongol juga menyempatkan berpikir yang ditandai dengan meletakkan
jari di kening. Pun Senopati Gagak Bongol, sampai harus memejamkan
mata agar pemusatan pikirannya benar-benar larut. Akan tetapi, kembali
Gagak Bongol menggeleng. "Aku tidak bisa menebak," jawabnya sama dengan jawaban
sebelumnya. Gajah Mada kembali mengajaknya mengayunkan kaki melintas
alun-alun dengan tujuan pintu gerbang Purawaktra.
Hamukti Palapa 447 "Mungkin Kakang Gajah mampu menebak, apa benda kedua itu?"
Gajah Mada terus berjalan sambil mengarahkan pandangan matanya
lurus ke depan. "Bagaimana?" ulang Gagak Bongol.
"Aku juga tak tahu, tetapi aku berharap pada suatu saat nanti bisa
memastikan. Yang jelas, untuk selanjutnya, aku harus mengarahkan
perhatianku pada Keta di pantai utara dan Sadeng di pantai selatan.
Benda-benda yang hilang itu, aku yakin akan bergerak ke tempat itu.
Payung Udan Riwis dicuri karena akan dimanfaatkan untuk sebuah
wisuda, demikian pula dengan cihna gringsing lobheng lewih laka dan
mahkota yang menyusul hilang belakangan, semua itu ada kaitannya
dengan wisuda pula."
Gajah Mada mengayunkan langkahnya lebih cepat ke pintu gerbang
Purawakta dan berharap akan memperoleh laporan dari segenap prajurit
yang telah disebar. Akan tetapi, belum masuk laporan apa pun ke
Purawaktra. Sebagian besar prajurit yang disebar belum kembali.
"Aku akan pulang dan tidur, tetapi beri tahu aku kalau ada
perkembangan. Besok harus kita gelar latihan perang segelar sepapan dari


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua kesatuan. Kita suguhkan sebuah tontonan yang amat menarik bagi
tamu-tamu kita. Sementara itu, ada baiknya malam ini pula kausampaikan
kepada Rakrian Mahamenteri Halu Dyah Lohak, siapa saja nama-nama
korban pembunuhan yang terjadi siang ini supaya sesegera mungkin
diberikan bantuan kepada keluarganya."
Gagak Bongol mengangguk. "Kakang jangan khawatir, aku sudah pikirkan hal itu."
"Selamat malam, Gagak Bongol," kata Gajah Mada.
"Selamat malam, Kakang Gajah. Selamat beristirahat!"
448 Gajah Mada 28 N yaris semalam suntuk Gajah Enggon tidak bisa tidur dibelit
oleh heran dan takjub atas nasib yang menimpanya. Berada dibingkai
takdirkah pertemuannya dengan gadis bernama Rahyi Sunelok, anak Kiai
Agal yang bertempat tinggal di tepian pantai Ban Culuk, yang menjadi
bagian tak terpisahkan dari pelabuhan Ujung Galuh"
Tentu layak disebut takdir karena pertemuan itu bagai dirancang
secara khusus, bukan jenis pertemuan yang tidak sengaja. Kiai Agal
bahkan sampai harus melepas ilmu puter giling untuk menghadirkan
Gajah Enggon karena rengekan anak gadisnya yang ingin bersuamikan
laki-laki itu. Kejadian itu sungguh mirip dengan apa yang menimpa
Salya ketika bertemu dengan Satyawati yang cantik. Yang membedakan,
mertua Salya berwujud raksasa mengerikan yang oleh karenanya Salya
merasa malu mengakuinya sebagai mertua dan kemudian dibunuhnya
mertua itu. "Aku tidak keberatan dengan perjodohan aneh ini karena aku
berkenan dengan kecantikan Rahyi Sunelok, dan telah diramalkan dengan
tepat oleh Ibu Suri Gayatri. Di samping cantik, agaknya Rahyi Sunelok
juga memiliki hati yang cantik, jauh lebih cantik dari wujud badan wadag-
nya. Tetapi, bagaimana kalau aku bersikap berbeda, misalnya aku tidak
bersedia, bagaimana kalau aku ingin menentukan jalan hidupku sendiri
dengan menolak perjodohan yang aneh ini?"
Berbeda dengan bekas Bhayangkara Pradhabasu yang tidak memiliki
beban dan bisa memanfaatkan waktu untuk tidur meski hanya sekejap.
Sebaliknya, sia-sia bagi Gajah Enggon untuk bisa melelapkan diri.
Apalagi, ketika dari arah kandang mulai terdengar riuh ayam babon
dan anak-anaknya. Hal itu menjadi pertanda pagi akan segera datang.
Dengan demikian, tidak ada gunanya Gajah Enggon memaksa tidur.
Mantan pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu membuka pintu dan
mengayunkan langkah menuju pantai.
Hamukti Palapa 449 Di arah timur, warna hitam gelap telah berubah agak kemerahan
bagai ada api yang membara di sebaliknya. Berbeda dengan di timur,
di sebelah barat masih riuh oleh bintang-bintang yang bertaburan dan
gelap gulita. Gajah Enggon menoleh karena mendengar suara ranting patah
terinjak kaki. Gajah Enggon mengira Pradhabasu yang menyusul,
ternyata bukan. Gajah Enggon kaget dan layak untuk berdebar-debar,
tetapi di hatinya muncul rasa senang.
"Kamu?" desisnya.
Rahyi Sunelok tersenyum. "Sepagi ini Kakang sudah di pantai, Kakang tidak bisa tidur?"
Gajah Enggon tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dengan segera
senyumnya melebar sebagai pengakuan benar sekali tebakan itu.
"Kamu sendiri?" balas Gajah Enggon.
"Aku juga tidak bisa tidur!" jawab Rahyi Sunelok. "Aku gelisah
memikirkan apa yang akan aku jalani hari ini."
Gajah Enggon memandang calon istrinya sangat takjub. Bagaimana
tidak, sehari sebelumnya ia bahkan belum berpikir akan hal itu. Hanya
dalam hitungan waktu sangat pendek dan sangat dipengaruhi oleh pesan
yang diterimanya dari Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri, perjodohan
itu diterimanya. "Mau menemani aku berjalan dari sini sampai ke sana?" tanya
Gajah Enggon. Rahyi Sunelok mengarahkan pandangan matanya ke barat. Jika
berjalan ke sana sampai pada suatu jarak, akan bisa ditarik garis lurus ke
kapal besar yang sedang sandar. Itulah kapal-kapal besar milik tamu-tamu
negeri Majapahit yang berasal dari Dharmasraya di Swarnabhumi.
Oleh karena tak ada lagi lampu yang menyala dari kapal-kapal yang
buang jangkar itu maka penampilannya bisa membelokkan angan-angan,
berubah menjadi kapal hantu yang menakutkan.
450 Gajah Mada "Kakang tahu, kapal dari manakah itu?" tanya Rahyi Sunelok.
Gajah Enggon nyaris menjawab pertanyaan itu, tetapi bergegas
membatalkannya. Ia justru mendapat kesempatan untuk membuka
persoalan. "Apa tidak terbalik pertanyaan itu" Mestinya aku yang bertanya
kepadamu, kapal-kapal dari manakah itu?"
Rahyi Sunelok yang berjalan menempatkan diri di sebelah kiri, Gajah
Enggon, berhenti melangkah.
"Kakang mengira aku tahu?" balas Rahyi Sunelok.
"Kakekmu orang yang sidik paningal. Kiai Agal orang yang tahu apa
pun. Beliau pasti tahu pula dari mana kapal-kapal itu datang, sebagaimana
tidak ada manfaatnya aku menyembunyikan secuil kecil pun jati diriku.
Kiai Agal bisa tahu namaku, bisa tahu aku adalah seorang senopati
pasukan Bhayangkara. Dengan demikian, Kiai Agal tentu dengan mudah
bisa menebak dari mana datangnya kapal-kapal itu."
Rahyi Sunelok memerhatikan kapal-kapal besar yang meskipun
gelap bisa dilihat amat jelas. Rahyi Sunelok berdesir ketika tatapan
matanya telah dipengaruhi angan-angan bawah sadarnya, membayangkan
kapal-kapal itu mirip kapal hantu. Tanpa sadar, Rahyi Sunelok memegang
lengan calon suaminya. Gajah Enggon ikut mengarahkan pandangan
matanya ke kapal-kapal itu.
"Apa yang kaupikir?"
"Andai kapal-kapal itu kapal hantu!" jawab Rahyi.
Gajah Enggon tersenyum, setidaknya ia merasa nyaman lengan
kirinya menjadi tempat mencari perlindungan.
"Jawablah pertanyaanku, Rahyi," kata Gajah Enggon, "sebenarnya
kakekmu sudah tahu kapal-kapal itu berasal dari mana?"
Rahyi Sunelok tersenyum dan tak melepas pelukan di tangan lelaki
calon suaminya itu. Rahyi Sunelok merasa sangat senang. Seumur-umur,
itulah pertama kali ia melakukan. Meski di sekitarnya gelap gulita, itulah
gelap gulita yang indah menyenangkan.
Hamukti Palapa 451 "Semua orang di pelabuhan ini sudah tahu karena beritanya telah
menyebar. Kakek pun sudah tahu kalau mereka adalah rombongan tamu
penting Majapahit yang akan menghadap Prabu Putri."
Gajah Enggon termangu. "Tamu dari mana penumpang kapal itu dan siapa pula pimpinannya"
Kakekmu juga sudah tahu?"
Rahyi Sunelok kembali terdiam. Hal itu karena ia mengalami sedikit
kesulitan untuk menjawab. Rahyi Sunelok menyandarkan kepala di
pundak lelaki yang akhirnya datang secara nyata setelah selama ini hanya
hadir di alam mimpi. "Menurut Kakek, mereka adalah tamu-tamu yang datang dari
Dharmasraya, sebuah negeri yang untuk bisa sampai ke sana butuh
waktu berhari-hari meski perahu berlayar secepat apa pun. Menurut
kakekku pula, Dharmasraya atau Swarnabhumi pernah menjalin
hubungan baik dengan Singasari. Seorang pejabat penting dari Singasari
bernama Dyah Adwaya Brahma dikirim ke negeri itu dan tak pernah
kembali." Gajah Enggon terheran-heran. Kini, Gajah Enggon makin yakin,
Kiai Agal benar-benar bukan orang sembarangan.
"Kenapa pejabat Singasari bernama Dyah Adwaya Brahma itu
tidak kembali?" Rahyi Sunelok tersenyum. "Karena diambil menantu oleh Raja Swarnabhumi."
Gajah Enggon menghentikan ayunan langkah kakinya. Jawaban
yang diberikan Rahyi Sunelok itu makin membuka kesadaran Senopati
Gajah Enggon, calon mertuanya bukanlah orang sembarangan. Bahwa
Kiai Agal bisa mengetahui namanya dalam sekali berjumpa, sudah
membuatnya terheran-heran. Apalagi, ternyata Ki Agal juga mempunyai
pengetahuan yang amat luas.
"Dyah Adwaya Brahma kawin dengan anak Raja Swarnabhumi,
Sang Prabu Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmmadewa, yang bernama
452 Gajah Mada Dara Jingga yang kemudian mempunyai anak bernama Aditiawarman.
Nama terakhir itulah yang sedang bertamu."
Berdesir punggung Gajah Enggon memperoleh jawaban itu. Rasa
penasarannya kian menjadi.
"Rupanya aku menempuh arah yang benar, setidaknya pada
kakek mertuaku aku boleh berharap mendapat petunjuk ke mana arah
yang harus aku tempuh atau apa yang harus aku lakukan untuk bisa
menemukan kembali benda-benda pusaka yang hilang dari gedung
pusaka istana itu," berkata Gajah Enggon dalam hati.
Senopati Gajah Enggon terus mengayunkan langkah menyusuri
pantai dan membiarkan air laut membasahi kaki.
"Boleh aku bertanya sesuatu dan aku minta kau menjawab dengan
jujur," berkata Gajah Enggon.
Perkataan yang menyebabkan Rahyi Sunelok menghentikan langkah
kakinya. "Apa?" tanya Rahyi Sunelok.
"Bagaimana kakekmu bisa tahu tentang diriku" Tahu aku seorang
prajurit, tahu aku bagian dari pasukan khusus Bhayangkara, dan
sebagainya?" Rahyi Sunelok tersenyum, ia menggeleng. Maka, Gajah Enggon
bertambah heran dilibas penasaran.
"Sebenarnya aku yang tahu banyak tentang siapa Kakang!" kata
Rahyi Sunelok. Makin mencuat alis Senopati Gajah Enggon.
"Bagaimana bisa?" tanya laki-laki itu.
"Aku tahu banyak hal tentang Kakang Gajah Enggon. Misalnya,
ketika kekacauan terjadi dimulai pada malam pembakaran layon Sang
Prabu Jayanegara. Sampai-sampai karena peristiwa itu, Kakang pingsan
beberapa hari lamanya, pingsan yang ternyata bukan pingsan yang
sesungguhnya. Pingsan yang Kakang alami itu Kakang gunakan untuk
menguak banyak teka-teki. Aku tahu semua itu," kata Rahyi Sunelok.
Hamukti Palapa 453 Gajah Enggon bertambah bingung.
"Bagaimana bisa?" tanya Gajah Enggon.
Rahyi kembali tersenyum. "Sebulan sebelum itu, kakekku membawaku menemui sahabatnya.
Ketika kakekku kembali, aku justru ditinggal untuk menemani dan
mengabdi kepada sahabatnya itu."
Gajah Enggon menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Beberapa ketombe rontok karenanya.
"Siapa sahabat kakekmu itu?" tanya Gajah Enggon dengan dada
meluap. "Beliau adalah Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri."
Serasa berhenti berdetak jantung Gajah Enggon memperoleh
jawaban itu. Kagetnya diterjemahkan dengan mulutnya yang terbuka
lebar. Gajah Enggon menyempurnakan rasa takjubnya dengan
menggaruk-garuk kepala. "Ibu Suri?" ulangnya.
Rahyi Sunelok tersenyum. "Ketika Kakang Gajah Enggon bersama Ki Patih Gajah Mada
membongkar upaya perebutan kekuasaan yang dilakukan pendukung
Raden Kudamerta dan Raden Cakradara di Balai Prajurit, saat itu
aku duduk bersimpuh melayani keperluan Ibu Suri Rajapatni Biksuni
Gayatri!" Maka, sempurna kekagetan Gajah Enggon.
"Sejak itu, aku tak mampu menghapus kenangan dari wajah Kakang
Gajah Enggon yang selalu hadir dalam mimpiku. Kakekku yang merasa
kasihan kepadaku mengupayakan Kakang bisa hadir di sini. Maka,
hadirlah Kakang malam ini!"
Gajah Enggon melepas tangan Rahyi Sunelok untuk berjalan
mondar-mandir. Akan tetapi, rasa heran itu tetap mengganjal, tetap
tidak terurai. 454 Gajah Mada "Melalui semacam puter giling?" tanya Gajah Enggon.
"Kalau soal itu, aku tidak tahu. Kakek Agal yang tahu," jawab Rahyi
Sunelok lagi. Jika Gajah Enggon memejamkan mata untuk beberapa saat
lamanya, adalah dalam rangka merangkai semua kemungkinan, seperti
peran apa yang dilakukan Ibu Suri, siapa sebenarnya Ki Agal yang
ternyata bersahabat dengan Ibu Suri Gayatri. Menilik semua yang
diceritakan Rahyi Sunelok, kemampuan Kiai Agal menebak banyak hal
rupanya bukan hanya karena sidik paningal. Kiai Agal boleh jadi orang
penting di masa lalu yang kini pilih menyembunyikan diri hidup sebagai
orang biasa di tepian pantai Ujung Galuh.
Gajah Enggon yang membuka mata, kemudian menarik tangan
calon istrinya dan menempatkan tangan itu agar memeluk lengannya.
Rahyi Sunelok yang merasa cemas kembali tersenyum.
"Apakah kakekmu pernah mendongeng siapa dirinya" Bagaimana
sepak terjangnya di masa lalu, dan bagaimana ia bisa bersahabat dengan
Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri?"
Rahyi Sunelok tersenyum, tetapi menggeleng.
"Kakekku berpesan, jika Kakang bertanya soal itu, aku tak boleh
menjawab apa pun," jawab gadis itu. "Tetapi, mungkin Kakang bisa
bertanya langsung kepadanya."
Gajah Enggon kembali diam untuk beberapa saat lamanya sambil
mengarahkan pandangan matanya ke puluhan perahu yang sandar. Gajah
Enggon menghitung, begitu pagi datang maka akan terjadi kesibukan di
kapal-kapal itu. Orang-orangnya akan turun ke daratan untuk kemudian
segera menempuh perjalanan ke Tarik. Perjalanan itu akan ditempuh
dengan jalan kaki karena tak ada kuda atau kalau ada jumlahnya amat
terbatas. Jika Gajah Enggon menduga demikian, dugaan itu salah karena
kapal-kapal itu telah kosong dan hanya ditunggui oleh beberapa prajurit.
Sejak tengah malam, para prajurit dari Swarnabhumi itu telah turun
ke daratan. Dengan berjalan kaki di bawah pimpinan Aditiawarman,
Hamukti Palapa 455 rombongan dari Dharmasraya itu menempuh perjalanan ke Kotaraja
Majapahit dengan harapan hari belum terlalu siang ketika tiba di sana.
Gajah Enggon berbalik dan mengarahkan pandangan matanya ke
langit timur. Dari balik garis laut yang menghubungkan Jawa dengan
Madura, langit di atasnya mulai merah terbakar. Dengan ayunan
perlahan, Gajah Enggon dan Rahyi balik arah. Gajah Enggon merasa
sangat bahagia dan tak habis-habisnya merasa takjub melihat perjalanan
nasibnya. Demikian juga dengan Rahyi Sunelok, merasa hari itu adalah
hari paling indah dari semua hari di perjalanan hidupnya.
Bersamaan dengan matahari mulai terbit, terjadi kesibukan di rumah


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Agal. Api mengepul dari dapur dengan asap menyelinap lewat
genting. Rupanya Ki Agal meminta bantuan dari beberapa perempuan
tetangganya untuk masak. Yang dimaksud tetangga itu tinggal agak
berjauhan karena Ki Agal tinggal di tempat paling ujung, bahkan harus
dipisah oleh sungai kecil. Dalam keadaan kemarau seperti itu, jejak
sungai itu tidak tampak. Namun, jika musim penghujan, arus sungai
sangat deras dan berbahaya.
Dengan senyum yang selalu merekah, Rahyi Sunelok membantu
menyibukkan diri di dapur.
"Yang mana dari dua lelaki itu yang akan menjadi suamimu?" tanya
salah seorang perempuan yang ikut sibuk di dapur sambil mengintip
dari balik pintu. Dua orang lelaki yang sedang dibicarakan, Pradhabasu dan Gajah
Enggon, sedang duduk di atas bangkai perahu di bawah pohon waru.
"Silakan Bibi menebak, menurut Bibi yang mana?" balas Rahyi
Sunelok. "Dua-duanya lelaki gagah perkasa, dua-duanya sama tampannya.
Kalau aku seusia kamu dan akulah yang disuruh memilih, aku akan
memilih dua-duanya."
Rahyi Sunelok tersenyum. "Yang berambut digelung keling itu namanya Pradhabasu. Ia bekas
prajurit dari kesatuan khusus Bhayangkara, yang pilih mengabdikan
456 Gajah Mada diri kepada negaranya dengan cara menempatkan diri di luar. Yang
seorang dengan rambut diurai itu bernama Gajah Enggon. Ia prajurit
Bhayangkara juga, ia berpangkat senopati."
Perempuan yang mengintip dari balik pintu itu memerhatikan
dengan penuh minat dan perhatian.
"Apakah yang bernama Pradhabasu itu calon suamimu?"
"Bukan, Bibi," jawab Rahyi Sunelok. " Calon suamiku yang rambutnya
terurai." Takjub perempuan itu, yang diterjemahkan dengan mata terbelalak.
"Jadi, kau akan menjadi istri seorang senopati?"
Rahyi Sunelok tersenyum tersipu, tetapi tidak dijawabnya pertanyaan
itu. Duduk di atas bangkai perahu yang teronggok di bawah pohon
waru, Senopati Gajah Enggon memandang ke arah kapal-kapal besar,
juga keberanian sebuah perahu kecil yang bergerak di antara kapal-kapal
besar itu. "Ada hal luar biasa dan aneh telah kuketahui berhubungan dengan
Kiai Agal, calon mertuaku itu," Gajah Enggon memecah keheningan.
Pradhabasu amat berminat.
"Keterangan apa yang sudah kauperoleh?"
Gajah Enggon perlahan berbalik.
"Kiai Agal adalah sahabat akrab Tuan Putri Ibu Suri Rajapatni
Biksuni Gayatri. Itulah sebabnya, Ki Agal banyak mengetahui tentang
jati diriku. Pertemuanku dengan calon istriku, bagiku adalah untuk yang
pertama, tetapi tidak bagi Rahyi Sunelok. Saat pengadilan terhadap kaki
tangan Raden Cakradara dan Raden Kudamerta yang berebut kuasa
digelar di Balai Prajurit, saat itulah Rahyi Sunelok mengaku untuk
pertama kali melihatku."
Pradhabasu heran. Hamukti Palapa 457 "Kok bisa?" tanya Pradhabasu.
"Rahyi Sunelok menemani Ibu Suri Gayatri!" jawab Gajah Enggon.
"Beberapa bulan lamanya Rahyi Sunelok mengabdi di istana kediaman
Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri dengan menjadi emban."
Pradhabasu berpikir keras.
"Dengan demikian," ucap Pradhabasu, "sadarkah kau, perkawinanmu
kali ini telah diatur oleh Ibu Suri?"
Gajah Enggon mengangguk. "Karena Ibu Suri Gayatri yang menentukan, kurasa aku akan
menjalaninya dengan ikhlas. Aku tidak akan mempersoalkan bagaimana
caraku menemukan jodohku!"
Pradhabasu tersenyum agak mengejek.
"Bagaimana kamu akan mempersoalkan, calon istrimu sangat cantik
macam itu?" Namun, tetap saja Gajah Enggon dan Pradhabasu tak bisa
memahami beberapa hal yang melatari perkawinan yang bakal terjadi
itu. Bagaimana cara Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri dan Kiai Agal
saling bertukar berita dan keterangan, atau kapan pula Kiai Agal datang
menghadap ke istana. Gajah Enggon layak heran karena tidak mungkin ada tamu yang
menghadap Ibu Suri yang bisa lolos dari perhatiannya.
"Kiai Pawagal?" Pradhabasu meletup.
"Siapa?" tanya Gajah Enggon.
"Boleh jadi, Kiai Agal adalah Kiai Mahisa Pawagal?"
Wajah Gajah Enggon berubah tegang.
"Ada beberapa prajurit muda pilihan ketika Nararrya Sanggramawijaya
pontang-panting menyelamatkan diri dari kejaran Mahisa Mundarang.
Mereka antara lain Maling Wirota Wiragati, Medang Dangdi, Nambi,
Gajah Pagon, Mahisa Pawagal, Lembu Sora, Kebo Kapetengan,
Pamandana, dan prajurit muda yang lain."
458 Gajah Mada Nyaris berhenti berdetak jantung Gajah Enggon.
"Begitukah menurutmu?" tanya Gajah Enggon.
"Kurasa kau harus menemukan cara untuk memperoleh semua
jawaban. Bahkan menurutku, dari calon kakek mertuamu itu, kau akan
memperoleh petunjuk ke mana kita harus melangkah untuk menemukan
jejak dua pusaka yang hilang itu."
Gajah Enggon mengangguk sambil menggaruk ujung hidungnya
yang tidak gatal. Sedikit agak siang, Gajah Enggon dan Pradhabasu melihat para
tetangga laki-laki dan perempuan berdatangan di rumah Kiai Agal yang
sedikit terpencil itu. Untuk tempat duduk para tamu, bahkan ada yang
membawa tikar. Gajah Enggon dan Pradhabasu mencuatkan alis ketika
Rahyi Sunelok muncul dari samping rumah dengan membawa sesuatu.
Senyum gadis itu selalu mengembang, sama mengembangnya
dengan senyum Senopati Gajah Enggon.
"Silakan Kakang mandi di pakiwan, dan berganti pakaian ini," kata
Rahyi. Pradhabasu tersenyum. "Itu pakaian yang harus dipakai calon temanten, bukan?" tanya
Pradhabasu. Kembali Rahyi Sunelok tersenyum.
"Sudah, sana. Mandi dulu," kata Pradhabasu.
"Kamu sendiri tidak mandi?" tanya Gajah Enggon.
"Nanti, setelah kamu," balas Pradhabasu.
Berdebar-debar Pradhabasu ketika hari bergeser sedikit siang, ia melihat
tamu yang datang ke rumah sederhana itu makin banyak. Pradhabasu
menghitung, setidaknya ada sekitar tiga puluh orang yang diundang untuk
menyaksikan perhelatan perkawinan sederhana yang akan digelar di rumah
yang juga sederhana itu. Pradhabasu layak merasa berdebar ketika
di antara para tamu itu hadir seorang kakek tua yang agaknya sangat
Hamukti Palapa 459 dihormati oleh tuan rumah. Boleh jadi, telah lama mereka tidak bertemu,
menilik Ki Agal yang tua itu memberikan pelukan yang hangat.
Hebatnya, meski orang itu sudah tua renta, ia datang dengan
berkuda. "Apa kabarmu, Dangdi?" tanya Ki Agal ramah.
"Keadaanku selalu baik, Kakang Agal. Tak kusangka, di usiamu
yang setua ini, kau masih menikmati hidup dengan menggelar hajatan
seperti ini." Ki Agal dan tamunya saling memberikan pelukan. Bahwa di masa
lalu mereka tentu bersahabat akrab, terlihat dari cara Ki Agal memandang
tamunya yang sudah sama tuanya, demikian pula sebaliknya. Pradhabasu
mendekat berbaur dengan tamu yang lain supaya bisa menyimak
pembicaraan yang terjadi itu.
"Medang Dangdi!" desis Pradhabasu yang merasa sangat takjub.
"Justru di tempat ini aku memperoleh kesempatan bertemu dengan
orang-orang luar biasa. Ki Agal telah menyebut nama Dangdi, yang aku
yakini pasti bernama lengkap Medang Dangdi. Dengan demikian, boleh
aku yakini, nama Kakek Agal adalah Mahisa Pawagal, prajurit muda luar
biasa yang dulu bahu-membahu membantu Narrarya Sanggramawijaya
mendirikan Majapahit. Bukan main!"
"Mana menantumu?" tanya tamu yang sangat dihormati itu.
"Sedang berdandan supaya terlihat paling tampan dan bisa menandingi
kecantikan cucuku!" Pradhabasu yang berharap akan menyimak pembicaraan seputar
kenangan di masa lalu harus kecewa karena antara tuan rumah dan
tamunya saling berbagi cerita tentang kesehatan masing-masing.
Ketika sang waktu bergeser sejengkal lagi, acara yang digelar akan
makin mengerucut. Seorang pendeta Syiwa yang dihadirkan untuk
mengawinkan temanten telah datang.
Dengan penuh minat dan saksama, Pradhabasu memerhatikan tata
upacara yang berlangsung. Mula-mula calon temanten, Senopati Gajah
460 Gajah Mada Enggon, dan calon istrinya, Rahyi Sunelok, dipersilakan keluar setelah
masing-masing berdandan. Pradhabasu tersenyum melihat penampilan
Gajah Enggon yang telah berubah bak seorang pangeran. Rahyi Sunelok
pun benar-benar cantik. Dasarnya Rahyi Sunelok memang gadis cantik. Maka, saat
didandani, kecantikannya menjadi makin gilang-gemilang. Dibimbing
seorang perempuan tua, Rahyi Sunelok dan calon suaminya dibawa
mendekat ke tempat Kiai Agal duduk untuk memberikan penghormatan.
Dengan penuh kesungguhan, Gajah Enggon menghayati upacara itu.
Sebaliknya, Rahyi Sunelok tak mampu menahan air matanya yang bergulir
membasahi pipinya. Setelah pasangan calon temanten itu memperoleh restu dari Kiai
Agal, dengan disaksikan oleh segenap yang hadir, pendeta agama Syiwa
yang dihadirkan di tempat itu memulai upacara. Tanpa ada secuil pun
keraguan, Senopati Gajah Enggon menjalani upacara perkawinan itu
meski sehari sebelumnya, bahkan ia tak pernah membayangkan.
Manakala upacara itu usai, satu per satu yang hadir di hajatan
perkawinan itu memberi selamat. Dengan wajah berseri-seri, Gajah
Enggon menerima uluran jabat tangan ucapan selamat, demikian juga
dengan Rahyi Sunelok yang telah sah menjadi istrinya. Kiai Agal tampak
sangat bahagia. Demikian bahagianya kakek itu sampai diterjemahkan
dengan matanya yang menggenang.
Jika ada hal yang menyebabkan dadanya sesak adalah karena
kesadaran, perkawinan itu mestinya digelar oleh anaknya. Sebagai
seorang suami, Kiai Agal telah tidak ditunggui istrinya karena lebih
dulu dipanggil oleh Sang Pencipta semesta. Sebagai seorang ayah, Kiai
Agal juga telah kehilangan anaknya yang hilang tidak pernah kembali
setelah berhari-hari berlayar mencari ikan di laut. Menghadapi keadaan
itu, anak menantunya tidak mampu menahan kesedihan yang malah
menjadi penyebab kematiannya. Sejak itu, Kiai Agal harus mengasuh
dan membesarkan cucunya. Maka kini, ketika Rahyi Sunelok menemukan jodohnya, Kiai
Agal benar-benar lega. Demikian leganya, bahkan andai Hyang Widdi
Hamukti Palapa 461 beranggapan usianya sudah layak untuk ditutup, Kiai Agal benar-benar
telah siap untuk menerima hal itu.
Ketika tamu-tamu akhirnya pulang, barulah Pradhabasu memperoleh
kesempatan memberikan ucapan selamat. Ia berikan sebuah uluran jabat
tangan dengan genggaman yang amat kuat.
Pradhabasu memandang Gajah Enggon dengan tatapan mata
takjub atas nasib luar biasa yang dialaminya. Gajah Enggon membalas
dengan tatapan mata tak kalah heran mendapati perjalanan hidupnya
yang luar biasa. Tak ada rencana apa pun, bahkan tak pernah terbayang
di hari sebelumnya, hari ini Gajah Enggon yang juga pemilik nama
Gajah Pradamba itu akan menemukan jodohnya. Sekali bertemu, sekali
itu pula mengikat diri sebagai suami istri. Apalagi, wujud dan perilaku
Rahyi Sunelok itu sungguh sangat berkenan di hatinya.
"Selamat!" kata Pradhabasu.
"Terima kasih!" balas Gajah Enggon.
Dengan tatapan mata berseri, pandangan mata sangat bahagia,
Rahyi Sunelok menerima ucapan selamat dari Pradhabasu. Dalam hal
tersenyum, Rahyi Sunelok bukan jenis gadis yang tersenyum lebar.
Dalam tersenyum, cucu Kiai Agal itu selalu tersipu dan itulah yang justru
menjadi daya tariknya. "Selamat, Adi Rahyi. Semoga berbahagia."
"Terima kasih, Kakang," balas Rahyi Sunelok.
Dengan amat bahagia, yang kentara dari bahasa tubuh dan raut
mukanya, Kiai Agal membawa temanten berdua mendekati tamu penting
yang sedang duduk di bawah pohon waru dan memerhatikan laut luas.
Tamu yang dianggap penting itu, sebagaimana Kiai Agal, juga terlihat
ikut bahagia. "Kalian mintalah restu dari kakekmu yang berkenan datang jauh-
jauh dari ujung bumi ini," kata Kiai Agal.
Dangdi, yang diduga Kiai Medang Dangdi, adalah sosok amat
penting yang keberadaannya mirip cerita dalam dongeng. Dengan amat
462 Gajah Mada takjub dan penuh rasa hormat, Gajah Enggon yang telah menduga siapa
orang itu memberikan penghormatannya. Kiai Medang Dangdi tertawa
dengan cara lucu karena tidak terdengar suaranya. Akan tetapi, dari raut
mukanya terlihat jelas ia sedang tertawa.
"Mohon restu, Kiai!" kata Gajah Enggon.
Kiai Medang Dangdi tersenyum lebar, tak menutupi beberapa
giginya yang telah keropos.
"Kuberikan restuku dan kutembangkan puja mantra doa untuk
kebahagiaan kalian berdua. Aku ikut merasakan kebahagiaan sahabatku,
Kiai Agal, yang merasa lega melihat cucunya telah berada dalam
perlindungan yang kukuh. Kau prajurit Bhayangkara dengan pangkat
senopati, bukan?" Gajah Enggon mengangguk. "Bagus itu," tambah Kiai Medang Dangdi. "Sebagai prajurit, kau
layak dibanggakan. Apalagi, prajurit dari kesatuan khusus pasukan
Bhayangkara yang sudah diketahui orang bagaimana pengabdiannya."
Gajah Enggon menyimak dan kembali mengangguk.
"Aku juga mohon restu, Kiai," tambah Rahyi Sunelok.
Rahyi Sunelok mendekat dan bersimpuh. Dengan penuh hormat
dan perasaan, Rahyi Sunelok meraih tangan Kiai Medang Dangdi dan
menciumnya. "O, iya, tentu, kutembangkan pula puja mantra untukmu.
Berbahagialah dan aku doakan semoga kelak kau akan memperoleh
karunia dari Hyang Widdi berupa putra-putra yang berguna bagi nusa
dan bangsamu, berbakti kepada orang tua," jawab Kiai Dangdi penuh
penghayatan. "Terima kasih, Kiai."
Sang waktu bergeser sejengkal dengan matahari naik makin tinggi.
Langit amat bersih tanpa selembar pun mendung. Pradhabasu yang
teringat kejadian semalam sangat penasaran. Hujan semalam yang


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hamukti Palapa 463 demikian deras ternyata tidak meninggalkan jejak yang berarti. Rupanya
air hujan itu terisap habis oleh tanah yang demikian garing.
Mantan Bhayangkara Pradhabasu tergoda ingin mendatangi
tempat semalam ia memergoki orang yang diduga dan diyakini sebagai
pencuri cihna gringsing lobheng lewih laka dan songsong Kiai Udan Riwis.
Namun, kesempatan itu masih belum bisa diperoleh. Kakek tua Medang
Dangdi merasa sedang sangat tertarik kepadanya dan mengajaknya
berbincang. "Jadi, kau juga Bhayangkara?" tanya Kiai Medang Dangdi.
"Dulu, Kiai. Sekarang sudah tidak lagi."
"Kenapa?" tanya Kiai Medang Dangdi dengan tatapan heran.
Di sebelah Kiai Medang Dangdi, Kiai Agal ikut mendengar
dengan rasa ingin tahu. Sementara itu, Gajah Enggon dan istrinya
sedang duduk di bangkai perahu, mengarahkan perhatiannya ke laut
lepas, entah apa yang sedang mereka bicarakan dengan berbisik-bisik
mesra itu. "Jadi, kamu dicopot dari jabatanmu?" tanya Kiai Medang Dangdi
lagi. Pradhabasu menggeleng. "Tidak, Kiai," jawabnya. "Aku mengajukan permohonan untuk
mengundurkan diri. Aku berpendapat, medan pengabdian kepada nusa
dan bangsa bisa dilakukan dari mana saja, oleh siapa saja, dan kapan
saja. Dalam hal pilihanku, aku merasa pengabdianku pada negeriku tak
harus dari dalam pasukan Bhayangkara. Aku bisa melakukan dari luar.
Aku bahkan bisa dengan leluasa melakukan dari luar."
Medang Dangdi dan Kiai Agal saling lirik. Bagaikan bersepakat,
dua kakek tua itu sama-sama tersenyum.
"Rupanya kau merasa kecewa karena melihat sesuatu yang tak
sejalan dengan nuranimu. Itu sebabnya, kaupilih berada di luar?"
Pradhabasu menunduk. Namun, tidak memberi jawaban.
464 Gajah Mada "Sekarang pun," ucap Kiai Agal, "perjalanan yang ditempuh
Anakmas Pradhabasu adalah dalam rangka pengabdian itu, benar
demikian, Anakmas?" Mantan Bhayangkara Pradhabasu dirambati desir di punggungnya.
Sejak semalam, Pradhabasu telah dibingungkan oleh sosok kakek tua
yang banyak tahu itu. Entah dengan cara bagaimana Kiai Agal tahu
perjalanan yang sedang ditempuhnya berkaitan dengan pengabdian yang
diberikannya pada negara, pengabdian yang dilakukan karena adanya
panggilan jiwa. Padahal, baik dengan Kiai Agal maupun dengan Kiai
Medang Dangdi, pertemuan yang terjadi adalah baru saja.
Menyadari tengah berhadapan dengan dua orang waskita, kesempatan
itu segera dimanfaatkan. "Kalau diizinkan, Kiai," kata Pradhabasu. "Bisakah Kiai memberi
petunjuk, ke mana arah yang harus aku tempuh?"
Pertanyaan itu mengubah pembicaraan menjadi lebih mengarah dan
menyita ruang. Gersang di tepi pantai itu menjadi hening. Kiai Medang
Dangdi tiba-tiba berdiri. Jawaban yang diberikan membuat Pradhabasu
penasaran. "Biarlah aku yang memberi jawaban untukmu, tetapi aku ingin
membicarakan sambil menyusur pantai. Ayo, temani aku."
Pradhabasu melihat pantai, panas sedang amat teriknya. Melihat
itu, Kiai Medang Dangdi tertawa.
"Kaukhawatirkan tubuhmu akan menjadi gosong?"
Pradhabasu akhirnya tersenyum. Ia layak kagum melihat kakek tua
di depannya itu benar-benar orang yang harus digolongkan ke dalam
golongan mereka yang mempunyai kemampuan langka, weruh sakdurunge
winarah. Bahkan, baru isi hati yang belum terucap, Kiai Medang Dangdi
sudah bisa menebak. "Bukan main," kata Pradhabasu dalam hati.
Pradhabasu menemani Kiai Medang Dangdi menyusur tepian pantai
yang disiram terik matahari sengat menyengat. Dari bawah pohon waru,
Hamukti Palapa 465 temanten baru Gajah Enggon dan Rahyi Sunelok melambaikan tangan
yang dibalas dengan lambaian tangan pula oleh Pradhabasu. Sambil
berjalan ke arah timur, Kiai Medang Dangdi mengarahkan perhatian ke
arah laut, tempat kapal-kapal besar dari Dharmasraya sedang membuang
sauh. "Tak semua orang bernasib mujur, demikian pula dengan Dyah
Adwaya Brahma. Ia yang semula hanya orang biasa saja, di negeri orang
justru menjadi raja. Sebagai menantu raja dari sebuah negeri besar di
Swarnabhumi, ia malah mewarisi takhta."
Seperti tanpa ujung pangkal, Kiai Medang Dangdi berbicara,
membuat bingung dan tersendat ayunan langkah Pradhabasu.
"Maksud, Kiai?" tanya Pradhabasu.
"Kautahu dari mana asal kapal-kapal itu?" tanya Kiai Medang
Dangdi. "Dari Swarnabhumi," jawab Pradhabasu.
"Swarnabhumi itu beribu kota di Dharmasraya. Yang aku ceritakan
tadi mengenai sahabatku, bernama Dyah Adwaya Brahma. Ia hanya
pejabat biasa yang merayap dari jalur jabatan para tandha, dan aku hanya
prajurit rendahan ketika sama-sama mengabdi di Singasari.
Sebagai tanda persaudaraan dan persahabatan dengan negeri di tanah
Sumatra itu, dikirimlah sebuah cakti berupa arca Amoghapasa. Orang
yang dikirim pergi ke tanah Sumatra itu adalah sahabatku, Dyah Adwaya
Brahma. Nasib mujur menghampirinya karena ia diambil menantu
dikawinkan dengan Dara Jingga, salah satu putri boyongan yang dibawa
pulang oleh Lembu Anabrang dan dengan terpaksa ia dikembalikan ke
Sumatra karena tidak betah di Jawa. Perkawinan itu yang membawa Dyah
Adwaya Brahma menduduki dampar Swarnabhumi. Yang aku dengar,
sahabatku Dyah Adwaya Brahma itu berputra Aditiawarman."
Bangkit semua bulu kuduk Pradhabasu menyadari orang yang
mengayunkan kaki bersamanya itu jelas bukan orang sembarangan.
Pengetahuan orang tua itu merupakan pertanda ia memang bukan orang
sembarangan. 466 Gajah Mada Pradhabasu terus mengayunkan langkah sekadar menempatkan diri
menemani Kiai Medang Dangdi. Perlahan ayunan langkah itu. Meski
pelan, membawa kedua orang itu makin jauh ke timur, bahkan mendekati
sungai kecil yang bermuara di tempat itu.
Pradhabasu akhirnya berhenti dan berdebar-debar ketika menandai
tempat di mana pada malam sebelumnya ia menemukan jejak hilangnya
songsong dan lambang negara yang hilang. Pradhabasu berhenti dan
memerhatikan tempat itu dengan cermat sambil mengenang apa yang
terjadi semalam, mengenang dari mana orang yang dicurigai sebagai
maling itu tiba-tiba menerobos dan berderap memacu kudanya
dengan kencang. "Di sini semalam terjadi sesuatu?" tanya Kiai Medang Dangdi.
Pertanyaan itu menyebabkan Pradhabasu terperanjat.
Kiai Medang Dangdi mengarahkan perhatiannya ke tempat di
sekelilingnya bagai mencari sesuatu yang sebenarnya telah menjadi jejak.
Dengan tegang, Pradhabasu ikut memerhatikan keadaan di sekelilingnya.
Namun, sejatinya tegang yang dialami Pradhabasu lebih karena sosok
Kiai Medang Dangdi yang luar biasa.
"Bagaimana Kiai bisa tahu di tempat ini semalam terjadi sesuatu?"
tanya Pradhabasu. Kiai Medang Dangdi tidak tersenyum. Ombak besar yang menjilat
kakinya tidak digubris sama sekali. Diam yang ia lakukan beberapa saat
adalah dalam rangka berpikir. Kiai Medang Dangdi kemudian berhenti
dan duduk di batu besar di balik bayangan rimbun pandan laut.
Sikap Kiai Medang Dangdi mendadak berubah menjadi
bersungguh-sungguh, menempatkan Pradhabasu mempersiapkan diri
untuk menerima petunjuk. "Kaulihat, Anakmas Gajah Enggon saat ini sedang menikmati
hari-harinya?" tanya Kiai Medang Dangdi.
Pradhabasu agak bingung karena lagi-lagi pertanyaan itu berbelok
tajam. Namun, Pradhabasu mengangguk.
Hamukti Palapa 467 "Dengan Gajah Enggon sedang menjadi temanten baru, apa
kau tega mengajaknya melanjutkan perjalanan?" tanya Kiai Medang
Dangdi. Kali ini, Pradhabasu benar-benar bingung. Hatinya membenarkan,
bahwa terasa aneh baginya mengajak Gajah Enggon langsung
melanjutkan perjalanan. Lagi pula, ke mana perjalanan itu harus
ditempuh jika petunjuknya adalah mengikuti ke mana hujan turun"
"Lanjutkan perjalananmu ke Keta, Anakmas Pradhabasu," kata
Medang Dangdi. "Tinggalkan Anakmas Gajah Enggon. Kau harus
memberi kesempatan kepadanya sebagai temanten baru untuk menikmati
bulan madunya barang sehari dua hari. Selanjutnya, Anakmas Gajah
Enggon, entah apakah ia akan berjalan sendiri atau dengan mengajak
serta istrinya, mereka harus mengambil langkah lain untuk melacak
jejak payung dan lambang negara yang hilang itu. Arah yang berbeda
darimu." Tak berkedip, Pradhabasu memandang lawan bicaranya. Yang
membuat Pradhabasu merasa takjub adalah karena jelas-jelas kakek tua
itu mengetahui tugas penting apa yang sedang diembannya.
"Jadi, aku harus pergi lebih dulu?"
"Pergilah mendahului ke Sadeng dan Keta, dan buanglah pikiran
soal payung dan cihna gringsing lobheng lewih laka dari benakmu. Mungkin
tugasmu yang sebenarnya adalah meredakan hati Ma Panji Keta yang
sedang menggelegak dan meredam nafsu yang sedang mabuk. Di
belakang Ma Panji Keta ada Kiai Wirota Wiragati. Aku berjanji akan
ikut membantu Majapahit dengan membujuk orang itu. Kalau tidak bisa
dibujuk dengan baik-baik, aku dan Kiai Pawagal akan membujuknya
dengan paksa. Biar tua begini, aku masih belum lupa bagaimana cara
berkelahi. Apalagi, Kiai Wirota Wiragati sama tinggal belulangnya
denganku." Raut muka Pradhabasu yang penuh tanda tanya adalah karena terlalu
banyak yang tidak ia pahami. Terlalu banyak persoalan yang ia ingin
tahu jawaban maupun duduk persoalannya. Hanya sayang, Kiai Medang
Dangdi tidak memberi kesempatan banyak untuk bertanya.
468 Gajah Mada "Jangan banyak bertanya, jalankan saja petunjuk yang kuberikan.
Pamitlah kepada pemilik rumah sekaligus pamitkan pula aku. Kuda
yang kubawa kuhadiahkan kepada Rahyi Sunelok, siapa tahu ia
membutuhkan jika memutuskan akan menempuh perjalanan menemani
suaminya." Pradhabasu benar-benar dibuat bingung. Ia tak mampu berbicara.
"Cukup jelas petunjuk yang aku berikan?" tanya kakek tua itu.
Pradhabasu mengangguk. Akan tetapi, dari sikapnya, Pradhabasu
tak bisa menutupi kebingungannya.
"Kiai akan pergi?"
"Ya!" "Kiai tidak merasa perlu balik dan berpamitan?"
"Sudah! Aku sudah berpamitan," jawabnya.
Tentu sebuah jawaban yang menyempurnakan rasa bingungnya.
Pradhabasu yang terjerembab dalam teka-teki sangat besar itu tak
punya pilihan lain, sebagaimana tak mungkin baginya untuk memaksa
kakek tua itu memuasi semua keterangan yang dibutuhkan. Pradhabasu
memberikan penghormatannya dan berjalan balik arah.
29 I ngar-bingar alun-alun Istana Majapahit yang amat luas itu ketika
digelar latihan perang besar-besaran yang dilakukan sejak pagi. Segenap
prajurit melaksanakan latihan itu dengan kesungguhan hati, didasari
kesadaran, ada dua wilayah yang semula merupakan bagian dari Majapahit
Hamukti Palapa 469 berusaha memisahkan diri. Kedua wilayah itu adalah Sadeng dan Keta.
Hanya orang terbatas yang tahu, yaitu hanya pada tingkat pimpinan.
Selain itu, gelar latihan perang besar-besaran itu adalah dalam rangka
dipamerkan kepada tamu-tamu penting dari Dharmasraya Swarnabhumi
yang akan datang ke ibu kota. Diperkirakan ketika siang menanjak
mereka akan sampai. Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang telah mendapat
laporan pada malam sebelumnya juga mempersiapkan diri menerima
tamu yang masih kerabat darahnya itu.
Pagi-pagi sekali, Patih Gajah Mada telah memperoleh laporan dari
telik sandi yang dikirim sejak semalam. Telik sandi yang sebenarnya diberi tugas melacak jejak para maling dan pengacau yang telah mengobok-obok ruang perbendaharaan pusaka di istana. Sebagian dari mereka telah
datang memberikan laporan, sementara sebagian yang lain menempatkan
diri terus mengamati pergerakan orang-orang Swarnabhumi tanpa orang-
orang itu menyadari mereka sebenarnya sedang dipantau.
Ketika orang-orang yang berjumlah sekitar empat ratus orang dari
Dharmasraya itu telah melewati Krian dan mulai melintas bulak makin
mendekati Ibu Kota Majapahit, mereka terkejut ketika melihat banyak
umbul-umbul yang masing-masing dipegang oleh seorang prajurit yang
ditata berbaris memanjang searah jalan. Pu Wira berusaha mengenali
tanda-tanda khusus yang tertera pada umbul-umbul itu.
"Apa yang terjadi, Paman?" tanya Aditiawarman.
Pu Wira merasa perlu menyempatkan berpikir.
"Majapahit sudah mengetahui kedatangan kita, Tuanku," kata Pu
Wira. "Kita disambut dan dijemput rupanya."
Aditiawarman segera mengangkat tangannya sebagai isyarat kepada
segenap anak buahnya untuk bersikap menunggu, tetapi tetap waspada.
Hal itu karena dari arah umbul-umbul itu datang orang berkuda yang
berpacu tidak dengan kencang. Orang berkuda itu datang dengan
memegang bendera pula, dengan warna gula kelapa.
470 Gajah Mada Makin lama orang berkuda pembawa bendera gula kelapa itu makin
dekat dan makin dekat. Aditiawarman menambahkan perintah kepada
para prajurit pengiringnya untuk merapatkan dan merapikan barisan.
Ketika tiba di tempat itu, orang berkuda itu melompat turun. Senyumnya
yang merekah menyebabkan sedikit tegang di hati Aditiawarman agak
mereda. "Aku Prajurit Raga Jampi," ucap pembawa bendera itu tegas.
"Aku mendapat tugas dari Sri Baginda Prabu Putri Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Sri Baginda Prabu Putri
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa untuk menyambut kedatangan tamu-
tamu penting dan terhormat dari Dharmasraya Swarnabhumi. Selamat
datang!" Aditiawarman tersenyum dan tak mampu menutupi rasa kagumnya.
"Terima kasih!" balas Aditiawarman.
Raga Jampi menerjemahkan tugasnya dengan tak banyak
bicara. Setelah melihat rombongan orang-orang dari Dharmasraya
Swarnabhumi secara langsung, telah melihat bagaimana penampilan
para tamu itu, juga melihat bagaimana persenjataan mereka sekaligus
memperkirakan berapa jumlah dan kekuatan mereka, Raga Jampi
dengan cepat mengambil simpulan dan tindakan.
Menggunakan klebet, Raga Jampi memberi isyarat.
Memperoleh isyarat itu, sekitar dua puluh lima kereta kuda yang
disiapkan segera bergerak menjemput. Kereta-kereta kuda itu dihias
dengan janur dan ditarik oleh kuda-kuda yang kekar. Beberapa saat


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para prajurit tamu dari Swarnabhumi terkejut. Namun, dengan segera
mereka memahami, kereta kuda yang datang beriringan itu digunakan
untuk menyambut mereka. Aditiawarman merasa amat senang. Segenap
pengiringnya pun merasa senang karena perjalanan yang masih tersisa
tak perlu ditempuh dengan berjalan kaki.
Tak cukup dengan kereta kuda, di belakangnya lagi nyaris seratus
ekor kuda tanpa penunggang disiagakan untuk penjemputan. Melihat
Hamukti Palapa 471 itu, Pu Wira berdebar-debar. Pu Wira melirik Aditiawarman, yang dilirik
sedang berada dalam keadaan takjub.
"Boleh dibilang perjalanan sudah dekat, tetapi juga bisa dianggap
jauh, Tuan," kata Bhayangkara Raga Jampi. "Untuk mempersingkat
perjalanan yang tinggal sisa ini, kami persilakan Tuan dan segenap prajurit
pengiring untuk naik kereta yang jumlahnya terbatas dan kuda-kuda yang
jumlahnya juga terbatas. Sisanya mungkin bisa dijemput bergantian."
Aditiawarman tersenyum lebar dengan hati sangat senang.
Maka demikianlah, sekitar empat ratus prajurit Dharmasraya
Swarnabhumi, yang itu belum jumlah seluruhnya karena sebagian yang
lain masih berada di kapal, tak perlu lagi harus kecapekan menempuh
perjalanan dengan jalan kaki yang menyebabkan penat dan keletihan luar
biasa. Akan tetapi, rupanya kereta kuda yang disiapkan masih kurang,
demikian pula dengan kuda tunggangan yang disiapkan. Dengan tiap
kereta diisi berjejal sampai sepuluh orang dan lebih dari seratus ekor
kuda, masih menyisakan sejumlah tamu yang harus dijemput ulang.
Di atas kuda yang disiapkan untuknya, Aditiawarman yang
didampingi Bhayangkara Raga Jampi berpacu sambil melambaikan
tangan kepada penduduk yang merapatkan barisan di sepanjang tepi
jalan. Ucapan selamat datang yang ramah itu diterima dengan sukacita
pula oleh para pengiring pangeran pati dari negeri seberang itu. Lambaian
tangan berbalas lambaian tangan. Perjalanan yang tinggal sisa itu
bahkan agak tersendat karena di antara penduduk ada yang menggagas
penyambutan dengan cara lain.
Masing-masing penduduk keluar membawa kendi berisi air segar
yang ternyata memang sangat dibutuhkan oleh para tamu yang kehausan
setelah menempuh perjalanan panjang. Di antara penduduk ada juga yang
mengeluarkan buah-buahan, seperti jambu, mangga, dan pepaya.
Perjalanan tamu-tamu itu akhirnya melintasi batas kota dan telah
memasuki jalan utama dalam kota, makin mendekati istana. Ketika
alun-alun luar yang amat luas telah terlihat, Aditiawarman tidak bisa
menahan rasa ingin tahunya.
472 Gajah Mada "Sedang ada kegiatan apakah itu?" tanya Aditiawarman.
Pu Wira yang menyimak ikut mempersiapkan diri mendengarkan
jawaban yang akan diberikan Raga Jampi.
"Ada dua wilayah Majapahit, masing-masing bernama Keta dan
Sadeng, berniat melakukan makar. Itu sebabnya, dalam beberapa
bulan terakhir dan dilakukan setiap hari, digelar latihan perang sebagai
persiapan menggebuk wilayah-wilayah yang berniat memisahkan diri
dari kesatuan Majapahit."
Jawaban itu membuat Pu Wira yang merasa curiga menjadi gelisah.
Namun, karena kebersihan hatinya dan sama sekali tidak memiliki
prasangka, Aditiawarman mampu bersikap tenang.
Ketika akhirnya tamu-tamu penting itu melintas tepi alun-alun
luar, mereka dibuat terbelalak dengan riuh pertempuran yang amat
dahsyat. Meski sekadar latihan, gerak gelar perang Supit Urang melawan
Glatik Neba itu bagaikan perang sesungguhnya karena telah dirancang
sedemikian rupa. Itu sebabnya, dalam latihan perang macam itu tidak
tertutup kemungkinan terjadinya musibah bagi para prajurit yang tidak
berhati-hati atau sembarangan.
Akan tetapi, orang-orang yang berada di belakang latihan perang
itu memang menghendaki perang yang meski hanya latihan itu bisa
diterjemahkan seolah perang yang sesungguhnya. Itu sebabnya, dari
pagi Senopati Panji Suryo Manduro dan Senopati Gagak Bongol telah
bekerja keras. Senopati Haryo Teleng tidak hadir bersama dua perwira
itu karena telah menempuh perjalanan sandi mengamati apa yang terjadi
di Sadeng dan Keta. Demikian takjubnya, Aditiawarman yang menyaksikan penerjemahan
gelar perang itu, sampai harus berhenti dan tidak beranjak. Saat tamu
penting itu melintas pintu gerbang Purawaktra, makin dibuat terbelalak
karena di alun-alun bagian dalam sedang berlangsung latihan perang
yang tak kalah gemuruh. Beberapa prajurit terluka digotong menepi,
menjadi tanda betapa bobot latihan yang berlangsung benar-benar
mengerikan. Hamukti Palapa 473 Tidak hanya Aditiawarman yang terbelalak, segenap prajurit
pengiringnya juga tersita perhatiannya. Dengan cermat, mereka
mengukur jumlah kekuatan dan membandingkan dengan kekuatan
yang dimiliki Dharmasraya. Dari sisi jumlah, para prajurit Dharmasraya
langsung mampu mengukur betapa luar biasa jumlah prajurit yang
dimiliki Majapahit, yang bisa dilihat dari luas alun-alun yang terisi penuh
sampai berjejal. Orang-orang Dharmasraya mengira, alun-alun Istana
Swarnabhumi sangat luas, tetapi rupanya alun-alun Majapahit berlipat
jauh lebih luas. Akhirnya, bertemulah Aditiawarman dengan Gajah Mada yang
telah menunggu di pintu gerbang Manguntur. Di samping Gajah
Mada, ada Mapatih Arya Tadah dan Senopati Gagak Bongol. Ikut hadir
menyambut pula, para mahamenteri katrini dan beberapa orang tandha
yang bertanggung jawab menyiapkan kebutuhan para tamu, seperti di
mana mereka harus istirahat dan jamuan makan apa saja yang harus
disediakan. Menilik jumlah tamu yang demikian banyak, terpaksa harus
memanfaatkan Tatag Rambat Bale Manguntur untuk menampung.
"Apa kabar, Kakang Gajah Mada?" sapa Aditiawarman penuh
semangat. Gajah Mada juga menunjukkan persahabatan dan keramahannya.
"Kabarku selalu baik, Adi Aditiawarman," jawab Gajah Mada.
Patih Gajah Mada masih menyimpan kenangan betapa tulus
Aditiawarman dalam bersahabat dengannya. Gajah Mada masih
menyimpan kenangan atas pertemuan yang terjadi beberapa tahun yang
lalu. Ketika Prabu Sri Jayanegara masih hidup, Aditiawarman pernah
datang berkunjung. Masih dalam ingatan Gajah Mada, beberapa tahun silam, Aditiawarman
adalah seorang pemuda tampan, gagah, sekaligus seorang prajurit yang
tangguh pilih tanding. Dari Aditiawarman pula, Gajah Mada banyak
mendengar sepak terjang pasukan dari seberang lautan yang masih
berupaya melebarkan wilayahnya sampai ke Campa dan Kamboja.
474 Gajah Mada "Selamat datang, Anakmas Pangeran," Mahapatih Arya Tadah
menyapa. "Paman Arya Tadah?" Aditiawarman meletup.
"Kenapa, Raden?" balas Arya Tadah.
Akan tetapi, Aditiawarman mendadak merasa, menyebut keadaan
Arya Tadah yang berubah menjadi sangat tua merupakan tindakan yang
tidak sopan. Celaka bagi Aditiawarman karena Arya Tadah memang
orang yang sangat peka. "Sudah sesuai dengan kodrat, Raden!" ucap Mapatih Arya Tadah.
"Aku sudah tua, renta, dan sakit-sakitan. Itu sebabnya, sudah amat layak
Arya Tadah beristirahat."
Aditiawarman dan segenap prajurit pengiringnya tidak menyangka
penyambutan yang mereka terima begitu gegap gempita. Hidangan yang
telah disiapkan berupa buah-buahan dan berbagai jenis makanan terus
mengalir memuasi rasa lapar dan dahaga. Para prajurit dari Swarnabhumi
itu juga mendapat kesempatan untuk membersihkan diri di pakiwan,
terutama dipersilakan kepada Aditiawarman yang nantinya akan segera
dipertemukan dengan Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Di samping semua pasugatan 220 yang berlimpah itu, latihan perang
yang berlangsung dengan sangat riuh di alun-alun depan Purawaktra
maupun alun-alun di dalam keraton juga merupakan hidangan tontonan
yang menarik. "Bukan main," desis salah seorang anak buah Aditiawarman.
Di sebelahnya, seorang prajurit tampak kebingungan.
"Aku tidak menyangka ada cara perang macam itu."
Di alun-alun bagian dalam, dua buah kesatuan, kesatuan Jalapati
dan Sapu Bayu sedang berebut kemenangan melalui gelar kekuatan
220 Pasugatan, Jawa, hidangan
Hamukti Palapa 475 masing-masing yang diterjemahkan lewat Cakrabyuha dan gelar perang
Diradameta. Cakrabyuha adalah gelar perang yang diberangkatkan dengan
penuh keyakinan karena besarnya kekuatan yang ia miliki. Cakrabyuha
yang pada bagian luarnya terus menyambar dengan ayunan tombak,
bergerak memberikan tekanan terus-menerus.
Akan tetapi, yang dihadapi gelar dengan sifat cakra bergerigi itu
adalah gelar gajah mengamuk. Sebagaimana Cakrabyuha, Diradameta
diberangkatkan ke medan perang dengan penuh keyakinan atas
jumlah prajurit dan kekuatannya. Gading-gading yang kuat dan
terjangan melalui hentakan yang amat bertenaga, menyebabkan gelar
Cakrabyuha yang demikian perkasa belum mampu menyobek pertahanan
Diradameta. Meski hanya latihan, dan meski semua pedang yang digunakan
adalah pedang kayu, meski anak panah yang dilepas telah ditumpulkan
dengan bagian ujungnya dibalut kain agar tidak membahayakan lawan,
dan meski semua tombak dan trisula telah ditumpulkan sedemikian rupa,
tetap saja ada korban yang berjatuhan.
Melihat itu, betapa bingung anak buah Aditiawarman.
"Ini hanya latihan, bukan?" berbisik seorang prajurit Swarnabhumi.
"Ya!" jawab prajurit di sebelahnya. "Ini hanya latihan!"
"Lihat korban yang digotong menepi itu!" berbisik lagi yang lain.
Demikian pula dengan Pu Wira, perhatiannya tersita tuntas oleh
tontonan luar biasa yang sedang digelar tuan rumah itu.
Ketika Pu Wira mengusulkan kepada Aditiawarman untuk menengok
Majapahit, hal itu didorong oleh angan-angan dan perhitungan-
perhitungan. Pu Wira berpendapat selayaknya raja haruslah seorang
laki-laki yang kuat karena apa jadinya sebuah negara dipimpin oleh
perempuan yang dari kodratnya sudah lemah. Dengan kematian Prabu
Sri Jayanegara maka saudara lelaki terdekatnya adalah Aditiawarman.
Dikipasinyalah anak Raja Dharmasraya itu untuk bergegas datang ke
Majapahit untuk mencari kemungkinan atau celah yang bisa membawa
476 Gajah Mada Aditiawarman ke tampuk pimpinan istana mewarisi kekuasaan dari
saudaranya. Jika Aditiawarman menjadi raja, siapa tahu terbuka sebuah peluang
baginya menduduki tempat terhormat mendampinginya, misalnya
dengan menduduki jabatan sebagai mahapatih.
Rupanya Pu Wira harus menghapus angan-angan itu.
"Bagaimana kabarmu, Kakang Pu Wira?" sapa Arya Tadah.
Pu Wira terkejut dan menoleh.
Belum lagi Pu Wira menjawab, Arya Tadah melanjutkan ucapannya,
"Beberapa tahun yang lalu, Kakang menemani Anakmas Aditiawarman
datang kemari, Kakang Pu Wira kulihat lebih tua dariku. Sekarang
sebaliknya, hanya beberapa tahun kemudian, akulah yang lebih tua dari
Kakang Pu Wira." Pu Wira memerhatikan keadaan Arya Tadah dengan cermat
saksama. Pu Wira membenarkan pendapat itu. Arya Tadah sekarang
memang tampak jauh lebih tua dari beberapa tahun yang lalu. Wajahnya
penuh kerut keriput dan langkah kakinya tak lagi gagah perkasa. Batuk
yang sesekali menyela menjadi pertanda, Mahapatih Amangkubumi
Arya Tadah sedang menghadapi persoalan kesehatan yang tak bisa
dianggap remeh. "Waktu ternyata demikian cepat berlalu, Adi Tadah!" jawab Pu
Wira. "Hanya dalam beberapa tahun kita tidak bertemu, banyak hal
yang berubah. Pada diri Adi Tadah sendiri, tampaknya Adi sering
sakit-sakitan?" "Ya, mungkin karena itu, aku pun cepat menjadi tua?"
Pu Wira kembali memerhatikan keadaan Arya Tadah yang memang
mengalami kemunduran kesehatan. Ketika mendampingi Sri Jayanegara,
Arya Tadah masih terlihat gagah. Kini, jejak gagah perwiranya telah
lenyap entah ke mana. Dalam berjalan pun, Arya Tadah sedikit
terbungkuk. Jejak rambutnya yang dulu legam telah hilang. Rambut Arya
Tadah kini telah memutih semua.
Hamukti Palapa 477 "Aku juga melihat banyak perubahan. Majapahit rupanya makin
makmur, jalan-jalan dibangun bagus, bangunan-bangunan yang dulu
tidak ada sekarang bermunculan di mana-mana. Kekuatan prajurit
yang dimiliki Majapahit benar-benar dahsyat. Hanya lima tahun waktu
berjalan sejak terakhir aku mengunjungi Majapahit, telah terjadi banyak
sekali peristiwa besar. Anakmas Prabu Sri Jayanegara terbunuh, berita
itu lambat sampai di telinga Anakmas Aditiawarman. Itu sebabnya, baru
sekarang Anakmas Aditiawarman bisa datang berkunjung."
Mahapatih Arya Tadah mengangguk menerima penjelasan itu.
"Jadi, baru saja berita kematian itu sampai di Swarnabhumi?"
Pu Wira balas mengangguk.
"Setidaknya mungkin empat bulan setelah Anakmas Prabu Sri
Jayanegara terbunuh, berita itu simpang siur tanpa kejelasan dan sayangnya
tidak memperoleh perhatian yang lebih memadai karena Dharmasraya
sedang disibukkan oleh datangnya utusan dari negeri Tartar yang
mengancam Swarnabhumi untuk takluk menjadi bawahan Tartar."
Mahapatih Arya Tadah memandang dengan tatapan mata tak
berkedip. "Jadi, Swarnabhumi juga memperoleh ancaman itu?"
Pu Wira mengangguk. "Swarnabhumi saat ini sedang memperkuat armada lautnya untuk
mengimbangi sepak terjang negeri Tartar yang merajalela berniat
menundukkan jagat. Namun, dalam hal perang di daratan, Swarnabhumi
rupanya harus banyak belajar dari Majapahit yang memiliki cara
berperang luar biasa."
Arya Tadah memandang tajam.
"Tata cara perang yang dipelajari Majapahit adalah pengembangan
dari gelar-gelar perang yang pernah dikuasai Singasari, juga pernah
dikuasai Kediri dan negara-negara di tanah Jawa sebelumnya. Apakah
makanan enak dan waktu yang panjang menyebabkan Kakang Pu Wira
melupakan itu?" 478 Gajah Mada Pu Wira menggeleng. "Sebenarnya tidak juga!" balas Pu Wira. "Akan tetapi, Dharmasraya
mempunyai cara perang yang jauh berbeda dengan cara perang yang
dikenal di Singasari maupun Majapahit yang mengacu pada berbagai
siasat gelar perang yang bersumber dari apa yang diuraikan Wyasa221
dalam kitab karangannya."
"Bisa kaujelaskan bentuknya?" tanya Mapatih Arya Tadah.
Pu Wira membalas pandangan mata Mapatih Arya Tadah sama
tajamnya.

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sulit sekali untuk menjelaskan, Adi Mapatih," berkata Pu Wira.
"Adi Mapatih baru bisa membedakan jika melihat secara langsung
bagaimana gelar perang yang dilakukan prajurit Dharmasraya. Yang
jelas, prajurit Dharmasraya tidak mungkin berperang beradu muka secara
langsung sebagaimana latihan itu."
Mahapatih Arya Tadah tak bertanya lagi. Namun, diam yang
dilakukan adalah untuk membayangkan bagaimana kira-kita bentuk dan
cara berperang orang-orang dari Swarnabhumi itu.
Perhatian Mahapatih Arya Tadah kemudian terhenti oleh seorang
prajurit yang muncul dari belakang Bale Manguntur yang langsung
mendekat ke Gajah Mada. Prajurit dari kesatuan khusus Bhayangkara itu
tampak berbicara dengan Gajah Mada yang sedang berbincang dengan
tamunya. Usai pembicaraan yang terjadi, prajurit itu berlari-lari lagi, kali
ini mendatangi Arya Tadah.
"Berita apa yang akan kausampaikan kepadaku, Pring Cluring?"
tanya Tadah. "Kedua Prabu Putri siap menerima tamu dari Dharmasraya."
221 Wyasa, pengarang kitab Mahabarata yang namanya demikian terkenal sebagaimana kisahnya. Dalam perang besar darah Barata atau Baratayuda yang terjadi di Kurusetra, perang yang terjadi dilakukan dengan menggunakan aturan-aturan, misalnya jika malam datang, semua pihak langsung meletakkan senjata. Perang akan dilanjutkan esok harinya. Perang yang berlangsung dengan dahsyatnya menggunakan berbagai gelar perang, seperti Cakrabyuha, Diradameta , dan sebagainya. Di samping Mahabarata, ada pula cerita Ramayana yang ditulis oleh Walmiki yang juga berasal dari India.
Hamukti Palapa 479 Mahapatih Arya Tadah memerhatikan kesibukan yang berlangsung
di Manguntur. "Di mana kedua Prabu Putri akan menerima para tamu?"
"Di istana kediaman, Mahapatih!" jawab Bhayangkara Pring
Cluring. Patih Gajah Mada dan Mahapatih Arya Tadah tampak saling
memberi isyarat. Patih Gajah Mada mempersilakan dan menemani
Aditiawarman bersama-sama dengan Pu Wira dan Mahapatih Arya
Tadah berjalan beriringan menuju istana kediaman Sang Prabu Putri
lewat bawah bayangan pohon tanjung yang berderet-derat berselang-
seling dengan pohon semboja.
Suara gemuruh amat riuh terjadi di alun-alun bagian dalam dan
menyita perhatian karena setelah saling memberikan tekanan, akhirnya
mulai tampak ke mana ujung perang yang terjadi. Gelar Cakrabyuha
terdesak oleh gelar perang Diradameta, yang disambut dengan riuh dan
ditepuktangani oleh para penduduk yang menyaksikan. Para prajurit
dari Swarnabhumi tidak ketinggalan memberikan tepuk tangan, bahkan
berjingkrak. Apa yang terjadi dan berlangsung di alun-alun itu sungguh
merupakan tontonan dan wacana baru yang menarik bagi mereka.
Aditiawarman dan Pu Wira sangat tercuri perhatiannya. Namun,
Gajah Mada segera mempersilakan Aditiawarman memasuki gerbang
yang menghubungkan antara Manguntur dan istana kediaman ratu yang
bersebelahan, tetapi berbatas dinding cukup tinggi.
Pintu gerbang yang terbuat dari besi dan sangat kuat itu dijaga
oleh prajurit dengan senjata tombak yang telah ditelanjangi ujungnya.
Aditiawarman melihat beberapa pintu di lingkungan istana itu dijaga
ketat oleh setidaknya empat orang prajurit, masing-masing dengan
senjata siaga. Dengan gendewa di tangan kiri dan anak panah di tangan
kanan, sikap yang demikian berarti prajurit itu siap bertindak menghadapi
keadaan apa pun. Dengan berdebar-debar, Pu Wira memerhatikan ruangan khusus
yang dimasukinya dan sedikit agak lega melihat ada lima buah kursi telah
480 Gajah Mada disiapkan. Pu Wira layak cemas jika kursi itu berjumlah dua atau hanya
tiga karena dengan demikian, ia dan Aditiawarman harus duduk bersila
di lantai. Derajat duduk di lantai tentu lebih rendah daripada mereka
yang duduk di kursi meski lantai ruangan khusus itu digelari permadani
berharga sangat mahal yang agaknya didatangkan oleh pedagang dari
tanah Arab. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya kedua Prabu Putri
muncul dari pintu yang dibuka oleh seorang tandha abdi pelayan dalam
yang bergegas memberi penghormatan ketika Sri Gitarja dan adiknya
lewat, yang masing-masing didampingi suaminya.
Berdebar Pu Wira melihat kursi-kursi itu tidak disiapkan untuk
para tamu. Dengan tersenyum sangat cantik, masing-masing Prabu
Putri duduk. Di sebelah Sri Gitarja duduk Raden Cakradara Sri
Kertawardhana dan di sebelah Dyah Wiyat duduk bangsawan penguasa
Wengker dan Pamotan, Wijaya Rajasa Hyang Parameswara yang ketika
belum mengawini Dyah Wiyat bernama Raden Kudamerta atau Kuda
Amreta. Arya Tadah duduk di kursi ke lima. Dengan demikian, tidak
tersedia kursi untuk para tamu.
"Sombong sekali orang Majapahit!" kata hati Pu Wira.
Setelah memberi hormatnya, Gajah Mada duduk diikuti oleh
Aditiawarman yang meniru semua yang dilakukan Gajah Mada.
Dengan wajah berseri, Aditiawarman memandang dua Prabu Putri yang
dianggapnya adik-adiknya karena dari sisi usia, Aditiawarman lebih tua.
Dengan isi hati bagai diaduk, Pu Wira yang tidak ikhlas menerima cara
penyambutan itu tak punya pilihan lain kecuali ikut duduk bersila di
belakang pangeran pati dari Swarnabhumi itu.
Pu Wira yang memejam mata sejenak adalah dalam rangka
mencermati dan mengenang ke bagian masa lalu.
Pu Wira berasal dari Singasari. Keberadaannya di tanah Dharmasraya
adalah setelah Singasari mengirim pasukan dan menaklukkan negara itu.
Ia dikirim sebagai pejabat yang mewakili Singasari. Oleh karena Dyah
Adwaya Brahma, temannya yang juga pejabat dari Singasari diambil
Hamukti Palapa 481 menantu oleh Prabu Srimat Tribuanaraja Mauliawarmadewa, Pu Wira ikut
tinggal dan memilih tetap berada di Swarnabhumi. Waktu yang berlalu
demikian lama mengubah Pu Wira menjadi orang Swarnabhumi.
Ketika Singasari hangus digilas Jayakatwang, kabar itu sampai pula
di Swarnabhumi dan menimbulkan perdebatan. Akhirnya, diputuskan
Swarnabhumi yang semula berada di bawah Singasari itu tetap menyatu
menjadi bagian dari Majapahit karena yang menjadi Raja Majapahit
selanjutnya adalah Sri Jayanegara, anak Dara Petak.
Setelah merenung dan dengan bersusah payah mencerna, Pu
Wira akhirnya menyadari dan bisa menerima penyambutan itu.
Yang membuatnya kecewa, kini tertutuplah apa yang diangankan,
pupus mimpinya menempatkan Aditiawarman sebagai pengganti Sri
Jayanegara. "Bagaimana kabarmu, Kakang Aditiawarman?" bertanya Prabu
Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani memecah
keheningan. Aditiawarman tersenyum berseri-seri dan amat ikhlas.
"Kabarku baik, Adi Ratu. Perjalanan jauh yang aku tempuh lancar
sekali dan tidak mengalami rintangan suatu apa. Dalam kesempatan
pertama ini, izinkan aku menyampaikan selamat kepada kedua Prabu
Putri," kata Aditiawarman.
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa mengangguk bersama-
sama. Duduk bersila, Pu Wira berusaha menyembunyikan wajahnya yang
merah padam. Dengan memberi ucapan selamat itu, berarti menutup
kemungkinan untuk membicarakan pelurusan atas siapa yang berhak
duduk di dampar. 482 Gajah Mada 30 I kut menyaksikan latihan perang yang berlangsung demikian
dahsyat di alun-alun tak jauh dari Manguntur, tampak dua orang duduk
berdampingan. Dari pakaian yang mereka kenakan, jelas mereka bukan
orang sembarangan karena dua orang itu adalah dua dari tiga orang di
Kementerian Katrini, masing-masing Rakrian Mahamenteri Halu Dyah
Lohak dan Rakrian Mahamenteri Hino Dyah Janardana. Andaikata yang
seorang lagi hadir, yaitu Mahamenteri Sirikan Dyah Mano, lengkaplah
mereka sebagai para mahamenteri katrini.
"Apa yang ada dalam benakmu, Kakang Dyah Janardana?"
Rakrian Mahamenteri Hino Dyah Janardana menoleh dan
mengerinyitkan dahi. "Apakah menurutmu ada sesuatu dalam benakku?"
Dyah Lohak tertawa pendek.
"Aku mengenalmu cukup lama!"
"Lalu?" balas Dyah Janardana sambil melirik.
"Aku yakin, kau sedang memikirkan sesuatu. Kalau melihat raut
mukamu, mungkin sekali sesuatu itu terasa sangat tidak nyaman."
Rakrian Menteri Hino Dyah Janardana mengalihkan pandangan
matanya ke arah hiruk-pikuk perang yang telah berubah menjadi perang
brubuh 222 yang berlangsung amat riuh.
Namun, riuh latihan perang itu tidak seriuh apa yang ada dalam
benaknya. Benar apa yang dikatakan Dyah Lohak, Sang Mahamenteri
Halu. Memang ada sesuatu yang menjadi ganjalan dalam hati. Saat ini
Prabu Putri Sri Gitarja dan Prabu Putri Dyah Wiyat sedang menerima
tamu, jabatannya yang sangat tinggi sebagai mahamenteri katrini sama
222 Perang brubuh, Jawa, perang dengan tak lagi menggunakan gelar
Hamukti Palapa 483 sekali tidak terlihat, sampai-sampai untuk menerima kedatangan tamu
yang demikian penting, ia tidak dilibatkan.
"Menurutku, mungkin, Kementerian Katrini perlu dibubarkan,"
ucap Mahamenteri Hino Dyah Janardana.
Dyah Lohak sangat sependapat dengan apa yang dikatakan
sejawatnya. "Apa yang kita rasakan benar-benar sebuah ketimpangan karena
Mahapatih Arya Tadah yang telah pikun itu tak lagi bekerja dengan benar.
Meski Gajah Mada orang di belakang layar yang telah menempatkan kita
di kedudukan ini, bukan berarti ia boleh menguasai semua pekerjaan
yang menjadi kewenangan kepatihan."
Mahamenteri Janardana menoleh dan mengubah duduknya lurus
berhadapan dengan lawan bicaranya. Mahamenteri Halu Dyah Lohak
menyempatkan menebar pandangan ke segala penjuru sebelum ia
berbicara. "Kakang mendengar desas-desus yang beredar saat ini?"
Dyah Janardana mengerutkan dahi.
"Desas-desus perihal apa?"
"Bahwa Mahapatih Arya Tadah telah mengajukan permohonan
mengundurkan diri dari jabatannya karena keadaan kesehatannya yang
mulai memburuk, sering sakit-sakitan, dan kemampuan melaksanakan
tugasnya juga menurun."
Dyah Janardana mengubah wajahnya menjadi raut wajah tegang.
"Benar begitu?"
Dyah Lohak mengangguk. "Siapa yang dijagokan sebagai penggantinya?" tanya Dyah
Janardana. "Belum tahu! Beberapa pihak menjagokan Kakang?"
"Aku?" tanya Dyah Janardana terlonjak.
484 Gajah Mada Dyah Janardana terbungkam untuk beberapa lama. Dyah Lohak
menunggu sejawatnya itu berbicara. Namun, Dyah Janardana tidak
berkata apa pun. "Bagaimana dengan kesiapan Kakang?" tanya Dyah Lohak.
Perlahan, Dyah Janardana menoleh.
"Kesiapan?" balas Dyah Janardana.
"Aku harus mendapatkan ketegasan sikap Kakang Mahamenteri
Hino. Jika aku dan kawan-kawan menjagokan Kakang sebagai calon
pengganti Mapatih Amangkubumi, lalu bagaimana dengan sikap Kakang"
Apakah Kakang bersedia dan sanggup mengemban jabatan itu?"
Dyah Janardana bertambah termangu. Apa yang disampaikan Dyah
Lohak itu sungguh mengagetkannya. Selama ini tidak terlintas angan-
angan untuk bisa mendaki jabatan setapak lebih tinggi sebagai mahapatih,
orang kedua pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan setelah
raja. "Kalau aku bersedia dan sanggup?" tanya Mahamenteri Hino Dyah
Janardana. "Jika Kakang sanggup, aku akan membantu Kakang dengan
menggalang suara yang nantinya akan kami sampaikan keinginan banyak
kalangan itu kepada kedua Prabu Putri agar mengangkat Kakang. Jika
Kakang Mahamenteri Hino naik jabatan menjadi mahapatih, aku hanya
berharap supaya Kakang bersedia melunturkan jabatan Mahamenteri
Hino kepadaku." Kembali terbungkam mulut Mahamenteri Hino Dyah Janardana
yang kemudian berpikir keras.
"Beri jawaban yang tegas, Kakang!"
Namun, Mahamenteri Hino Dyah Janardana tak gegabah untuk
mengiyakan permintaan itu.
"Kalau benar Mahapatih Arya Tadah mundur" Siapa kira-kira calon
pesaingku?" Hamukti Palapa 485 "Ada banyak!" jawab Dyah Lohak. "Mahamenteri Sirikan Dyah
Mano adalah orang yang berada pada jarak paling dekat sebagai pesaing.
Namun, calon Mahapatih Majapahit bisa juga muncul dari Panca Ri
Wilwatikta yang berjumlah lima orang itu. Bahkan, bisa muncul dari
tempat yang tak terduga, misalnya dari para pimpinan kesatuan prajurit,
bisa dari Jalapati, bisa pula dari Sapu Bayu, dan bisa dari Bhayangkara.
Siapa tahu Prabu Putri lebih berminat mengangkat mereka yang muda-
muda karena anggapan lebih banyak menyimpan cadangan semangat,
padahal kosong melompong di urusan pengalaman."
Mahamenteri Hino Dyah Janardana memandang Dyah Lohak.
"Bagaimana dengan Gajah Mada?"
"Boleh dikata, Gajah Mada berada di tanganku. Bahkan, melalui
pintu yang dimiliki Gajah Mada, aku melihat celah bagi Kakang
untuk bisa meraih jabatan sebagai mahapatih. Ke depan, aku akan
membicarakan hal itu dengannya. Pendek kata, Gajah Mada akan aku
giring untuk mendukungmu."
Dyah Janardana menggeleng lemah.
"Maksudku bukan itu!"
Dyah Lohak mengerutkan kening tanda tak paham.
"Maksud Kakang?"
"Aku pernah mendengar pendapat seorang prajurit muda, anak
penguasa wilayah Pamelekehan. Nama anak muda itu Rakrian Kembar.
Ia mempunyai pendapat yang layak kauperhatikan dan aku membenarkan
pendapat itu. Bahwa Mahapatih Arya Tadah yang akan mengundurkan
diri itu tak hanya mundur begitu saja. Ia punya calon sendiri yang akan
diajukan kepada kedua Prabu Putri. Menurut Rakrian Kembar, calon
yang dijagokan oleh Mapatih Arya Tadah adalah Gajah Mada itu sendiri,
bukan orang lain, bukan kamu dan bukan aku."
Mendengar jawaban itu, betapa berubah tegang raut wajah
Dyah Lohak. Namun, dengan segera pula, Dyah Lohak menggeleng
tegas. 486 Gajah Mada "Tidak bisa!" katanya. "Tidak mungkin hal itu bisa terjadi."
"Kenapa?" tanya Dyah Janardana dengan suara datar dan rendah.
Dyah Lohak bangkit berdiri untuk meliukkan badan sambil
mengedarkan tatapan matanya ke alun-alun yang mulai surut karena tiba
waktunya istirahat. Nantinya, jika matahari tergelincir, latihan perang itu
akan digelar lagi. Sebaliknya, di Manguntur terjadi kesibukan luar biasa. Hidangan


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utama makan siang yang telah disiapkan sejak pagi mulai dikeluarkan.
Prajurit Dharmasraya menyambut keluarnya hidangan itu dengan tepuk
tangan, ibarat pucuk dicinta ulam tiba, sakit lapar itu telah ditemukan
obatnya. Pendapat yang baru saja dilontarkan Dyah Janardana meninggalkan
jejak yang mendalam. Mahamenteri Dyah Lohak layak cemas menyikapi
dugaan Mahamenteri Hino itu. Namun, Dyah Lohak punya alasan
yang sangat kuat. Demikian kuatnya keyakinan itu hingga ia yakin tak
mungkin bisa dibantah. "Gajah Mada itu meski patih, ia masih muda, belum masuk
golongan wredha.223 Tak mungkin ia melangkahi orang-orang yang
sudah tua, yang mempunyai waktu pengabdian lebih lama. Sehebat apa
pun Gajah Mada, ia hanya bocah kemarin sore yang belum memiliki
pengalaman. Dibandingkan Senopati Haryo Teleng dan Senopati Panji
Suryo Manduro, Gajah Mada tak akan mampu bersaing."
Pendapat itu dengan seketika menyebabkan Mahamenteri Hino
Dyah Janardana lagi-lagi menggelengkan kepala, bahkan menggoyangkan
tangannya sebagai tanda tak setuju.
"Salah besar pendapatmu itu," kata Mahamenteri Hino Dyah
Janardana. "Jangan anggap anak kemarin sore Gajah Mada. Kamu lebih
tua, kamu termasuk dalam golongan wredha mantri dan Gajah Mada baru
disebut yuwa mantri, tetapi untuk urusan bagaimana sepak terjang dan
pengalamannya, kaukalah dari Gajah Mada."
223 Wredha, Jawa, senior Hamukti Palapa 487 Dyah Lohak tidak bisa menerima pendapat sejawat tuanya itu
begitu saja. "Tidak bisa, Kakang," ucapnya. "Bagaimana mungkin Gajah Mada
bisa melewati orang-orang yang lebih tua, seberapa hebat pun pengalaman
dan jasanya terhadap negara. Bagaimana cara para Prabu Putri mengambil
keputusan itu" Apakah dengan memejam mata melalui menganggap
Kakang tidak ada, dengan menganggap aku tidak ada, atau menganggap
Kakang Mahamenteri Sirikan tidak ada" Di luar Kementerian Katrini
masih ada Panca Ri Wilwatikta, ada demung, ada temenggung, ada kanuruhan, ada rangga, yang semua nama itu layak untuk diperhitungkan. Ada banyak
orang yang layak ditunjuk menjadi pengganti Arya Tadah. Patih Gajah
Mada masih terlalu muda untuk mengemban jabatan itu."
Dalam hati, Dyah Janardana tetap pada keyakinannya. Namun,
tidak ia keluarkan pendapat itu dan hanya disimpan untuk diri sendiri.
Akan tetapi, apa yang disampaikan sejawatnya di Kementerian Katrini
itu menggoda hatinya. Kalau benar ia didukung banyak pihak untuk
diajukan menduduki jabatan mahapatih di Majapahit setelah Arya Tadah
lengser, mengapa tidak" Masalahnya, benarkah desas-desus yang beredar
itu, Arya Tadah akan lengser dari jabatannya"
"Ada baiknya aku menghadap Mapatih Tadah untuk mengetahui
bagaimana soal rencananya lengser itu. Aku akan menanyakan kepadanya,
siapa calon yang dijagokan untuk menggantikannya. Jabatan mahapatih
adalah jabatan yang sangat tinggi. Boleh dibilang, sesungguhnya
pemerintahan atas sebuah negara berada di tangan mahapatih, raja hanya
lambang. Demikian besar makna jabatan mahapatih, sampai-sampai
Ranggalawe mengangkat senjata, menggugat pengangkatan Nambi yang
ia anggap tidak punya jasa apa-apa itu. Mungkin sejarah akan terulang
kembali. Jika Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih menggantikan
Arya Tadah, akan ada banyak pihak yang tak bisa menerima," lanjut
Dyah Lohak. Dyah Janardana ikut berdiri.
"Berhati-hatilah menjaga mulutmu. Di hadapan Mahapatih Arya
Tadah, jangan kauucapkan pendapatmu itu."
488 Gajah Mada Beriringan Mahamenteri Hino Dyah Janardana dan Mahamenteri
Halu Dyah Lohak berjalan meninggalkan tempat itu. Matahari yang
memanjat tinggi mulai bergulir dari puncaknya. Maka, persiapan latihan
perang babak berikutnya dilanjutkan.
30 A da banyak kegiatan yang dilakukan Aditiawarman setelah
beberapa hari berada di Kotaraja Majapahit, di antaranya dengan
mengunjungi Singasari yang merupakan tanah leluhurnya karena sanak
keluarga Dyah Adwaya Brahma berada di Singasari. Akan tetapi, untuk
kunjungan ke Singasari itu, Gajah Mada tidak bisa menemani karena
harus berada dalam keadaan siaga menghadapi perkembangan yang tidak
terduga terkait gerakan yang sedang dilakukan Keta maupun Sadeng.
Di Singasari, Aditiawarman menginap semalam dan melanjutkan
perjalanan mengunjungi Simping. Namun, Pu Wira tak ikut, bahkan
tidak kembali ke Tarik. Ada banyak sanak keluarga Pu Wira di tanah
kelahirannya di Singasari yang menyebabkan Pu Wira membutuhkan
waktu lebih panjang untuk melepas rasa rindu. Apalagi, ternyata
kepergian Pu Wira ke tanah Dharmasraya meninggalkan beberapa orang
anak kandung dari istri yang dilupakan.
Aditiawarman juga menabur bunga di makam Raden Wijaya yang
sangat dihormatinya dan makam Sri Jayanegara, saudara sepupunya.
Demikian larut Aditiawarman manakala melantunkan puja mantra doa
di makam Raden Wijaya, makam Sri Jayanegara, dan makam bibinya,
Dara Petak. Aditiawarman juga memberikan penghormatan ke makam Ibu Suri
Pradnya Paramita dan Ibu Suri Narendraduhita. Dalam kesempatan
Hamukti Palapa 489 yang amat lapang, Aditiawarman juga menghabiskan waktu amat
banyak melayani berbincang dengan Ibu Ratu Biksuni Rajapatni
Gayatri. Sebagai pemeluk Buddha, Aditiawarman amat haus ilmu
pengetahuan agama Buddha. Karena minatnya yang demikian besar,
Aditiawarman sampai menghabiskan waktu beberapa tahun di negeri
Campa dan negara lainnya yang memiliki pendidikan agama Buddha yang
telah maju. Amat betah putra mahkota dari Swarnabhumi itu berbincang
dengan Ibu Ratu Biksuni sampai lupa waktu.
Demikian pula dengan Prabu Putri Sri Gitarja dan Prabu Putri
Dyah Wiyat, di samping pada dasarnya masih ada hubungan darah
meski tidak secara langsung, Prabu Putri Sri Gitarja menganggap
Aditiawarman benar-benar sebagai saudaranya. Ada banyak rasa ingin
tahu yang dilontarkan Prabu Putri Sri Gitarja mengenai negara-negara
tetangga yang lebih jauh tempatnya dari Swarnabhumi. Pun Prabu Putri
Dyah Wiyat, tak kurang minat dan rasa tertariknya ketika Aditiawarman
bercerita perjalanan panjang yang ditempuhnya sampai ke negeri
Cina. Hadiah kain sutra dengan warna yang sangat indah yang diberikan
kepada Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
maupun Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa diterima dengan
senang hati. Pun demikian hubungan yang terjalin secara pribadi antara
Patih Gajah Mada dan Aditiawarman, terjalin sangat erat.
Kepada Aditiawarman, Gajah Mada banyak bertanya tentang
negeri-negeri di arah matahari tenggelam. Gajah Mada akhirnya tersadar,
di atas langit rupanya masih ada langit, di arah batas barat rupanya
masih ada yang lebih barat lagi. Gajah Mada mencatat sebuah hal yang
sangat penting, bahwa lakon kedatangan utusan negeri Tartar bernama
Meng-Khi yang dipotong telinganya oleh Raja Kertanegara rupanya
bukan hal yang boleh dianggap sederhana. Gajah Mada layak curiga, ke
depan, mungkin masih akan ada lagi utusan atau penyerbuan yang akan
dilakukan negeri Tartar dalam rangka peluasan wilayah yang mereka
lakukan. 490 Gajah Mada Tak hanya hubungan antara Gajah Mada dan Aditiawarman yang
berjalan dengan amat baik, para prajurit dari Dharmasraya pun bergaul
dengan sangat baik dengan para prajurit Majapahit.
Atas gagasan Gajah Mada yang didukung Senopati Gagak Bongol,
ke depan, akan diselenggarakan latihan perang bersama. Akan tetapi,
yang paling menarik perhatian Gajah Mada adalah kapal-kapal perang
yang dibawa tamunya yang kini masih sandar di Ujung Galuh. Seharian
dari waktu yang terus berjalan, Gajah Mada melihat secara langsung
wujud kapal-kapal itu dengan ditemani Aditiawarman. Patih Gajah Mada
merasa sangat takjub menyaksikan kemegahan kapal-kapal itu.
"Dibutuhkan waktu berapa lama untuk membuat kapal sebesar ini,
Pangeran?" tanya Gajah Mada.
"Sebuah kapal dibutuhkan waktu setahun."
Gajah Mada terkejut. "Setahun?" Aditiawarman mengangguk. "Lama sekali?" tanya Gajah Mada.
Aditiawarman tertawa. "Kira-kira diperlukan waktu berapa lama untuk membangun istana
kediaman Adi Prabu Putri Sri Gitarja" Bayangkan dan bandingkanlah
dengan kapal ini, kira-kira dibutuhkan waktu berapa lama untuk
membuatnya." Gajah Mada memerhatikan kapal yang dinaikinya, juga kapal-kapal
yang lain yang sandar di pelabuhan itu. Mendadak Gajah Mada merasa isi
dadanya meluap saat merasa telah menemukan jawaban dari kegelisahan
yang mengganggunya. "Inilah jawabannya!" kata Gajah Mada.
Aditiawarman segera mengerutkan kening, merasa tidak paham
dengan apa yang dimaksud rekannya.
Hamukti Palapa 491 "Negeri Tartar, entah di mana letak negeri itu," kata Gajah
Mada. "Akan merajalela jika tidak diredam. Mereka akan menjadikan
Dharmasraya dan Majapahit sebagai negara para kambing yang tak
berkutik ketika di kat lehernya. Negara-negara lain yang bisa digertak oleh
Tartar itu karena mereka tak memiliki kekuatan yang bisa dipergunakan
untuk melawan. Itulah sebabnya, ke depan, Majapahit harus menjelma
menjadi negara yang kuat. Apa yang telah dilakukan Singasari di masa lalu
terhadap Dharmasraya, jelas merupakan pandangan jauh ke depan untuk
meredam keserakahan dan kesewenang-wenangan negeri Tartar.
Oleh karena itu, aku masih merasa sependapat dengan gagasan
mendiang Prabu Kertanegara, antara Majapahit dengan Dharmasraya
harus tetap bersatu padu. Tak hanya Dharmasraya, tetapi juga negara-
negara lain sewilayah Nusantara, harus di kat menjadi satu kesatuan
besar. Dengan demikian, Tartar atau negeri atas angin yang dihuni oleh
orang-orang yang memiliki rambut merah sekalipun, akan berpikir
seribu kali jika bermaksud menyerang. Jika perlu, Majapahitlah yang
harus menjinakkan Tartar dan mengikatnya menjadi satu bagian tak
terpisahkan." Aditiawarman menyimak ucapan Gajah Mada itu dengan cermat
saksama. Pewaris kekuasaan di tanah Dharmasraya itu tidak merasa
keberatan dengan gagasan itu karena di tubuhnya mengalir darah
Singasari dari ayahnya. Aditiawarman merasa seharusnya bumi Dharmasraya dan Majapahit
menyatu karena bukankah Jayanegara Kalagemet adalah cucu langsung
mendiang Raja Swarnabhumi. Setidaknya, Aditiawarman merasa memiliki
dua tanah tumpah darah. Ia merasa Swarnabhumi adalah adalah bumi
kelahirannya. Aditiawarman merasa Majapahit juga bumi kelahirannya.
"Aku akan mengirim seratus orang pilihan dari Majapahit ke
Swarnabhumi untuk belajar bagaimana cara membuat perahu-perahu
besar seperti ini. Jika Majapahit sudah memiliki seribu kapal seperti ini,
ujung dunia dari timur sampai barat yang aku angankan akan berada
dalam satu ikatan kesatuan yang tak terpisahkan, akan menjadi kanyataan.
Aku merasa tak sabar menunggu itu."
492 Gajah Mada Aditiawarman termangu. "Bagaimana kalau negara-negara yang berada di bawah langit dari ujung
cakrawala ke cakrawala yang lain tidak mau?" tanya Aditiawarman.
Namun, pertanyaan itu hanya dilontarkan dalam hati. Akan tetapi,
sesungguhnya pertanyaan itu sering pula hadir di benak Patih Gajah
Mada, yang menggagas negara Majapahit yang besar.
Agar Majapahit menjadi besar, negara-negara di sekitarnya akan
diminta menyatu. Jika imbauan untuk menyatu itu diterima, akan dikirim
cakti ke negara itu yang sekaligus merupakan pertanda telah berada di
bawah perlindungan Majapahit. Yang antara lain terjemahannya adalah
urusan dalam negeri adalah urusan negeri yang bersangkutan. Sebaliknya,
urusan keamanannya berada di bawah pengaturan Majapahit. Sebagai
tanda menyatu, negeri tersebut hanya berkewajiban seba di pasewakan
yang digelar di Istana Majapahit, yang dilakukan sekali dalam setahun
sambil menyerahkan upeti sekadarnya. Negara yang memiliki sumber
alam kapur barus menyerahkan beberapa kati kapur barus atau hasil
bumi yang lain. Bagaimana jika negara yang di mbau untuk menyatu menjadi bagian
Majapahit itu tidak mau"
"Digebuk!" itulah keyakinan Gajah Mada. "Harus dihindari cara
yang kasar supaya negara lain bersedia menyatu dengan ikhlas sukarela
demi kepentingan bersama yang lebih besar. Apalagi, serangan dari
negara Tartar benar-benar telah berada di depan mata."
Akan tetapi, jauh di kedalaman hati Gajah Mada, sempat pula
muncul pertanyaan, apakah bukan penjajahan namanya jika Majapahit
harus melakukan itu"
Untuk pertanyaan yang mencuat itu, Patih Gajah Mada memiliki
keyakinan bahwa untuk mencapai sebuah tujuan, memang harus dibayar
dengan pengorbanan. Penyatuan semua negara di Nusantara itu adalah
hakikatnya mengajak untuk bersama-sama meraih sebuah tujuan,
bersama-sama menjadi satu kesatuan dalam wadah negara yang besar,
Majapahit. Hamukti Palapa 493 Jika tidak mau, apa boleh buat, harus dipaksa. Jika menggunakan
bahasa mulut tidak bisa, apa boleh buat, harus menggunakan bahasa yang
mudah dipahami, yaitu digempur. Untuk menyatukan semua mutiara
yang terapung-apung di lautan luas itu, harus dibangun armada yang
besar. Majapahit harus memiliki seribu kapal berkuran seperti ini.
Aditiawarman tak bisa menebak karena semua ucapan itu disimpan
jauh di dalam hati. Gajah Mada terus berkeliling hingga perhatiannya kemudian
tertuju pada sebuah benda yang aneh, benda yang belum pernah dilihat
sebelumnya, menggantung di pinggang seorang prajurit.
"Benda apa itu?" tanya Gajah Mada yang heran.
Aditiawarman mengambil benda yang telah membuat Gajah Mada
penasaran itu. "Benda ini namanya peledak atau petasan," jawab Aditiawarman.
"Benda ini aku peroleh dengan membeli ketika aku melakukan
kunjungan ke negeri Cina. Cina berada amat jauh di seberang lautan,
yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk bisa tiba di sana. Raja
Kubhilai Khan yang pernah mengirim utusan ke Singasari tinggal di di
negara ini." Gajah Mada menimang benda yang oleh Aditiawarkan disebut
sebagai peledak itu. Hanya ringan saja benda itu di genggaman tangan
Gajah Mada, yang mengerutkan kening karena tidak tahu bagaimana
cara menggunakan benda itu.
"Bagaimana cara menggunakan benda ini?" tanya Gajah Mada.
Aditiawarman tidak keberatan menunjukkan. Benda yang disebutnya
peledak itu diletakkan di atas batang kayu yang ditegakkan. Menggunakan
batu titikan, Aditiawarman menyalakan api yang kemudian digunakan


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membakar sumbunya. Gajah Mada terheran-heran melihat Aditiawarman
berperilaku seperti orang yang ketakutan, dan mendadak menjauhi benda
sekepal tangan yang mulai menyala itu.
Gajah Mada amat heran karena Aditiawarman menutupi telinganya.
Namun, Gajah Mada segera memperoleh jawabnya sejenak kemudian.
494 Gajah Mada Sebuah ledakan yang amat keras, amat sangat keras dan seumur-umur
Gajah Mada belum pernah mendengar suara sekeras itu, menyebabkan
Gajah Mada terlonjak kaget dan terjengkang.
"Gila," desis Gajah Mada.
Aditiawarman tersenyum dan membantu Gajah Mada bangkit.
Asap ledakan yang menyapu wajahnya menyebabkan Gajah Mada makin
mengerutkan kening. Bau yang singgah di hidungnya adalah bau yang
belum pernah diketahuinya.
"Di Tartar," kata Aditiawarman, "benda ini tak lebih dari sebuah
mainan. Namun, suara ledakannya mampu membuat barisan kuda
berlarian tunggang langgang menyelamatkan diri."
Gajah Mada memerhatikan benda aneh itu dengan penuh
perhatian. "Boleh minta satu?" tanya Gajah Mada.
"Silakan." Gajah Mada memerhatikan benda yang disebut peledak itu
dengan kening yang berkerut, menjadi pertanda ia berpikir sangat
keras, membayangkan bagaimana kira-kira cara membuat benda yang
ledakannya mampu menyebabkan telinga mendadak menjadi tuli itu.
Gajah Mada membayangkan, apa jadinya kalau benda itu dibuat dengan
ukuran jauh lebih besar, sebesar perut misalnya"
Hari demi hari pun berlalu. Aditiawarman yang masih betah
berada di Majapahit akhirnya tahu beberapa peristiwa penting yang
luar biasa dan tengah dihadapi Majapahit. Gajah Mada sama sekali tak
menutupi persoalan yang tengah dihadapi Majapahit terkait apa yang
sedang dipersiapkan Keta dan Sadeng. Bahkan, Gajah Mada juga tak
keberatan menceritakan kemalingan yang dialami Majapahit sehubungan
dengan telah dijebolnya gedung perbendaharaan pusaka istana, yang
menyebabkan beberapa benda penting lenyap dari gedung itu.
Hamukti Palapa 495 31 A da kesedihan dan ada kebahagiaan yang dirasakan secara bersama-
sama. Itulah yang dirasakann Rahyi Sunelok. Sedihnya adalah ketika harus
melambaikan tangan kepada kakeknya yang keberadaannya tak ubahnya
orang tua kandungnya. Setelah menjadi seorang istri, Rahyi Sunelok
memutuskan akan mengikuti perjalanan panjang yang akan ditempuh
suaminya. Perjalanan panjang mencari benda pusaka Istana Majapahit
yang hilang dari gedung pusaka dicuri orang.
Namun, kesedihan itu mungkin hanya sekilas karena memiliki suami
dan menempuh perjalanan dengannya merupakan perjalanan wisata
yang sungguh menyenangkan. Hari-hari bersama suami yang dicintai
sungguh menjadi hari-hari yang menyenangkan.
Setidaknya, telah beberapa hari Gajah Enggon meninggalkan
pelabuhan Ujung Galuh untuk sebuah pekerjaan yang tak masuk akal,
melacak jejak turunnya hujan.Walau tak masuk akal, itulah petunjuk yang
telah diterimanya dari sosok orang yang bukan sembarangan. Orang yang
karena kematangan jiwanya berubah menjadi waskita, weruh sakdurunge
winarah. Dialah biksuni yang paling dihormati di Majapahit, Ibu Suri
Dyah Gayatri. Apalagi, petunjuk aneh itu juga ditekankan oleh Kiai
Agal, mertuanya yang terbukti tak kalah aneh karena bisa mengetahui
banyak hal. Di sebuah tempat bernama Taretes, tak jauh dari kota kecil
Pasuruhan, di ketinggian sebuah bukit, Gajah Enggon memerhatikan
keadaan di sekitarnya. Senopati Gajah Enggon memandang langit
timur dan barat, juga ke arah selatan, tetapi yang dicari tidak tampak
wujudnya. "Langit bersih sekali," kata Gajah Enggon dalam hati.
Sedikit di arah bawah, di dekat sebuah sungai kecil dengan airnya
yang mengalir jernih, Rahyi Sunelok sedang sibuk mencuci pakaiannya,
496 Gajah Mada juga pakaian suaminya. Di dekatnya, dua ekor kuda sedang merumput.
Seekor yang berwarna gelap adalah kuda milik Senopati Gajah Enggon
dan yang seekor lagi milik Rahyi Sunelok sebagai hadiah yang ia terima
dari sahabat kental kakeknya, Kiai Medang Dangdi.
Di dekat kuda-kuda itu, perapian sedang menyala melahap kayu-
kayu kering yang dikumpulkan oleh Senopati Gajah Enggon. Gajah
Enggon sungguh merasa beruntung karena jika perjalanan itu ditempuh
hanya dengan Pradhabasu, ia akan sangat menderita karena hanya bisa
makan alakadarnya. Sedangkan, Rahyi Sunelok, meski dengan bumbu
sekadarnya, semua makanan yang terlahir dari keperigelan tangannya
terasa enak dan mengenyangkan perut.
Untuk perjalanan itu, Rahyi Sunelok telah menyiapkan bekal yang
tak akan habis dimakan sebulan lamanya, termasuk bumbu-bumbu,
terasi dan cabai misalnya. Rahyi Senelok menjejali kantung kain yang
digantungkan di pelana kuda dengan dua benda penting itu, termasuk
bawang merah dan bawang putih, jenis bumbu yang sangat dibutuhkan
ketika membuat sambal. "Bagaimana, Kakang?" Rahyi Sunelok menyambut suaminya yang
telah turun dari ketinggian bukit.
"Langit bersih sekali," jawab Gajah Enggon sambil tidak menolak
ketika istrinya menyuapi.
"Aku makan sendiri, jangan perlakukan aku seperti bayi."
Sunelok menyerahkan nasi di atas sobekan daun pisang itu ke
tangan suaminya. "Kalau begitu suapi aku!" kata Rahyi Sunelok.
Gajah Enggon tertawa mendengar permintaan itu, mengingatkan
Mayat Kesurupan Roh 4 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Harpa Iblis Jari Sakti 6
^