Pencarian

Perawan Lembah Wilis 13

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


Perasaan apapun, terutama sekali marah, senang, dan
susah, dapat menguasai manusia dengan pengaruhnya
dengan membuat manusia menjadi lengah dan bahkan
buta. Dari perasaan yang meluap tak terkendalikan lagi,
muncullah perbuatan-perbuatan yang tidak wajar dan yang
akan merugikan diri sendiri. Perasaan yang tak terkendalikan akan membuat pertimbangan akal budi
menjadi miring, keteguhan hati menjadi goyah dan
kesadaran menjadi lalai. Demikian pula dengan keadaan
Endang Patibroto. Ia terpengaruh rasa sedih dan merana
sehingga ia menjadi lalai, berkurang kewaspadaannya, tidak
sadar bahwa bahaya besar mengancam keluarganya.
TIga bayangan hitam yang amat gesit berkelebat dl
antara kegelapan bayang-bayang pohon di dekat pondok.
Waktu itu sudah jauh lewat tengah malam, bahkan hampir
pagi. Hawa udara amatlah dinginnya dan keadaan amat
sunyi, kesunyian yang tidak wajar karena semua penjaga di
sekitar pondok itupun ikut pula ter-tidur di tempat
penjagaan. Ini hanya menjadi tanda bahwa hal yang tidak
wajar telah terjadi, bahwa malam itu penuh dengan hawa
mujijat aji penylrepan yang dipasang oleh Ni Dewi
Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama. Kini
tiga orang sakti itu telah berkelebat di sekitar pondok.
Semua terjadi sesuai dengan rencana dan siasat Raden
Warutama. Setelah ia tadi berhasil menjadi tamu Endang
Patibroto, dia menyebar sirep dan berhasil menyelinap
keluar dari pondok, diam-diam menemui Dewi Nilamanik
dan Kolohangkoro, kemudian setelah berunding sebentar,
mereka bertiga kembali ke pondok,
Bersambung jilld ke XXIII
Jilid XXIII "MARI masuk bersama dan mengeroyoknya sampai
mampus!" bisik .Ki Kolohangkoro yang sudah amat
bernafsu untuk membunuh Endang Patibroto yang sore hari
tadi telah mengalahkannya.
"Sttt, jangan sembronol" bisik Raden Warutama. "Turut
rencanaku. Anaknya di taman situ, di pohon sore tadi.
Kalian tahu harus berbuat apa. Cepat ............ !"
"Mari, Kolohangkoro, jangan banyak membantah," kata
Ni Dewi Nilamanik. Rencana tadi telah mereka. rundingkan, yaitu, kedua
orang ini akan pergi ke taman untuk menculik Retna Wilis.
Ada-pun Raden Warutama sendiri yang akan memasuki
kamar Endang Patibroto, karena andaikata ketahuan oleh
wanita sakti itu, akan mudah baginya mencari alasan.
Berbeda sekali tentu kalau dua orang bekas lawan Endang
Patibroto itu ikut masuk, tentu akan membuka rahasia
kalau ketahuan oleh si wanita sakti.
Dua orang yang berkelebat cepat seperti setan itu
sebentar saja sudah tiba di bawah pohon. Mereka girang
sekali, terutama Ki Kolohangkoro, ketika melihat bahwa
Retna Wilis masih bergantung di cabang pohon. Diam-
diam mereka menjadi amat kagum. Bocah itu menggantung
dengan kedua kakinya, kelihatan seperti tidak bernyawa
saja, dengan tubuh kelihatan enak dan tidak kaku, seolah-
olah .tidur dalam keadaan seperti itu merupakan sebuah
kenikmatan. "Biar kutangkap dia!" kata Ki Kolohangkoro tidak sabar.
Tanpa menanti jawaban Ni Dewi Nilamanik ia sudah
meloncat ke atas, kedua tangannya diulurkan menjangkau
tubuh Retna Wilis, hendak mencengkeram dan merenggut
tubuh kecil itu terlepas dari batang pohon.
"Aaaggghhh............ I" Tubuh Kr Kolohangkoro yang
tinggI besar itu terlempar kembali ke bawah, jatuh berdebuk
seperti buah nangka busuk, lalu dia merintih diseling kutuk
caci sambil memegangi lehernya. Ternyata bahwa ketika
tangannya tadi mencengkeram, tiba-tiba tangan kanan
Retna Wilis bergerak dan memukul lehernya. Gerakan yang
tiba-tiba dan otomatis. Sungguhpun anak itu masih amat
kecil, namun keadaan samadhi berjungkir-balik itu ternyata
mendatangkan tenaga ajaib kepadanya, dan pukulannya
tadi dilancarkan . secara otomatis karena dia telah
terganggu samadhinya. Pukulan bukan sembarang pukulan
karena itu adalah Aji Wisangnala dan mengandung tenaga
mujijat hasil samadhi semalam suntuk. Dan kiranya Ki
Kolohanghoro tidak akan mungkin dapat terpukul
sedemikian mudahnya kalau ia berhati-hati. Akan tetapi
kakek yang sembrono ini tentu saja tadi memandang rendah
calon korbannya, seorang anak perempuan yang baru
berusia lima enam tahun! "Itulah hasilnya kalau kau berlaku sembrono!" kata Ni
Dewi Nilamanik. Ki Kolohangkoro sudah bangkit lagi dan
pada saat itu, tubuh Retna Wilis sudah melayang turun
dengan ringannya, bocah ini sudah berdiri berhadapan
dengan mereka. Sepasang mata kecil yang bening itu
memandang, sedikitpun tidak membayangkan rasa takut,
malah membayangkan kemarahan.
"Kalian ini siapa" Berani benar mengganggu aku yang
sedang latihan. Kalau ibu mengetahui tentu kalian akan
dibunuh sekarang juga. Eh, di mana ibu?" Anak itu
memandang ke kanan kiri, kemudian kembali menghadapi
dua orang asing itu, penuh kecurigaan.
"Anak balk, marilah kau ikut bersama kami. Ibumu yang
menyuruh kami menyemputmu. Marilahl" kata Ni Dewl
NIlamanik sambil mengulurkan tangan, suaranya manis
dan ramah. "Tidak! Tidak ! Kalian bukan orang baik-baik! Aku tidak
maul" Retna Wilis mundur-mundur dan kedua tangannya
dikepal menjadi tinju-tinju kecil.
"Huah-ha-ha-ha! Kau anak nakal, darahmu tentu manis
sekali. Mari ikut bersamaku, kupondong ............ "
Ki Kolohangkoro menubruk, Retna Wilis mengelak dari
kiri dan memukul. Akan tetapi kali ini tentu saja Ki
Kolohangkoro sudah siap. Sekali ia menyambar, ia sudah
menangkap tangan kanan Retna Wilis yang memukulnya
dan sekali ia membetot, tubuh bocah itu sudah diangkat dan
dipeluknya. Namun Retna Wilis bukanlah sembarang anak
kecil. Ia tidak merasa takut, malah menggunakan . tangan
kirinya menusuk dengan jari-jarii kecilnya ke arah mata Ki
Kolohangkoro! "Ha-ha-ha, tiada ubahnya seekor anak macan!" Ki
Kolohangkoro kembali menangkap lengan kecil itu
sehingga kini kedua lengan Retna Wilis berada dalam
cengkeraman tangan kirinya. Retna Wilis mehonta-ronta
dan berusaha menendangkan kedua kakinya, akan tetapi
karena tubuhnya kini sudah dikempit, ia tidak lapat
bergerak lagi. "Lepaskan ............ Lepaskan aku, engkau setan tua
bangka............ !" Kemudian anak ini menggunakan giginya
yang kecil-kecil dan kuat untuk menggigit tangan yang
mencengkeram kedua lengannya!
"Huah-ha-ha, benar-benar anak setan!" Ki Kolohangkoro
tertawa dan tentu saja lengan dan tangannya yang berbulu
dan berkulit tebal kuat dan kebal itu tidak terluka oleh
gigitan Retna Wilis. "Hayo cepat kita pergi ..........." kata Ni Dewi Nilamanik
yang merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau ibu anak ini
muncul. Ia sudah merasa jerih untuk menghadapi Endang
Patibroto yang selain sakti mandraguna, juga amat liar dan
ganas sehingga kalau tahu puterinya diculik tentu tidak
akan mau sudah kalau belum dapat menghancurkan kepala
mereka! Mereka lalu meloncat dan berlari cepat menuruni
puncak. Sementara itu, dengan jantung berdebar keras, Raden
Warutama mengintai dari celah-celah pintu kamar Endang
PatIbroto. Ia tidak dapat melihat sesuatu, hanya dapat
mendengar tarikan napas yang teratur dan halus, tanda
bahwa orang yang berada di dalam kamar tengah tidur
nyenyak. Ia sudah mempersiapkan akal kalau-kalau Endang
Patibroto terbangun. Setelah menguatkan hatinya, ia
mendorong daun pintu kamar. Bau yang harum
menyambut hidungnya yang sejuk memasuki kamar
melalui lubang-lubang angin yang terdapat di atas jendela
dan pintu. Sebuah lampu kecil bernyala dl atas lemari di
sudut kamar. Namun pandang mata Raden Warutama
melekat pada sesosok tubuh yang membujur terlentang di
atas dipan yang bertilam merah muda. la terpesona! Endang
Patibroto tidur nyenyak di atas dipan itu. Tidak berselimut.
Tubuh yang padat itu hanya melawan hawa dingin dengan
pakaian yang dipakainya lepas-lepas sehingga sebagian
dadanya dan betisnya tampak. Kepalanya terletak miring di
atas bantal, lengan kiri melintang di atas dahi, lengan kanan
di atas perut yang kempis langsing. Rambutnya terurai
kacau, menutupi sebagian muka dan leher, amat hitamnya.
Raden Warutama menahan napas. Alangkah indahnya
penglihatan ini. Endang Patibroto bukan seorang gadis
remaja lagi, bukan pula seorang wanita muda, melainkan
seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh lima atau
tiga puluh enam tahun. Wanita yang matang! Namun
setelah tertidur seperti itu, benar-benar merupakan seorang
wanita cantik jelita menggairahkan, seperti Sang Dewi
Komaratih sendiri, penuh dengan daya tarik yang sukar
dilawan oleh pria yang manapun. Warutama tampak
melamun, berulang kali menghela napas, kemudian
tangannya bergerak dan tercabutlah sebatang keris yang
mengeluarkan sinar hijau, kakinya berindap-indap melangkah maju menghampiri pembaringan.
Endang Patibroto benar-benar sedang tidur nyenyak.
Kesedihan membuatnya seperti terbius, padahal semua aji
penyirepan tadi sama sekali tidak pernah membiusnya.
Namun kesedihan merupakan pembius yang amat ampuh
sehingga ia masih tidak sadar sama sekali betapa nyawanya
terancam maut. Kalau Raden Warutama pada saat itu
menerjang dan menusukkan kerisnya, tentu akan tewasIah
Endang Patibroto. Akan tetapi Warutama meragu, setelah
dekat pembaringan, makin hebatlah ia terpesona. Kini
tampak makin jelas wajah yang ayu itu, dada yang
membusung mengalun halus, mulut yang berbentuk indah
itu setengah terbuka dengan bibir yang merah menantang
dan di baliknya tampak kilau deretan gigi putih. Kedua kaki
Warutama gemetar. Ah, betapa sayangnya kalau dibunuh
begitu saja, pikirnya. Ia mulai memutar otak mencari akal
agar supaya bisa mendapatkan tubuh yang mebuatnya
gandrung ini. Akan tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan,
kerisnya masih menodong lambung. Dia harus dibuat tidak
berdaya, pikirnya, sehingga aku dapat menggagahinya.
Setelah itu, harus membunuhnya.
Raden Warutama memang cerdik. Kalau ia hanya
menggunakan tali atau kain untuk mengikat kaki tangan
Endang Patibroto, tentu ia akan gagal karena sebelum
berhasil membelenggu, wanita sakti itu tentu sudah sadar
dan celaka-lah dia. Kini Warutama mengangkat tangan kiri
dengan jari tangan terbuka, mengukur jarak dan tenaga,
mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian tangan itu dengan
cepat sekali menyambar ke bawah, tepat menghantam
tengkuk Endang Patibroto di belakang telinga kanan.
"Ngekk ............ I Aauhhhhhh ............ Kedua mata
Endang Patibroto terbelalak sekejap ketika pukulan itu
mengenai tengkuknya, mulutnya merintih lirih dan
matanya lalu terpejam, tubuhnya lemas dan ia pingsan. Iblis
dan setan tertawa ria menyaksikan hasil kemenangan
kejahatan, puas gembira menyaksikan perbuatan terkutuk
yang dilakukan Raden Wautama di malam jahanam itu.
Perbuatan-perbuatan jahanam yang terkutuk seperti yang
dilakukan Raden Warutama masih akan terus merajalela
menguasai hati manusia. Setan-setan dan iblis masih akan
terus menguasai manusia yang berbatin lemah, yang tidak
kuasa mengendalikan nafsu-nafsunya dan yang hanya ingin
melampiaskan nafsu yang menjerumuskan mereka ke jalan
sesat. Makin sunyi keadaan di pondok pusat Padepokan
Wilis itu karena semua penjaganya, anak buah Padepokan
Wilis masih nyenyak dl bawah pengaruh aji penyirepan,
tidak tahu sama sekali bahwa di padepokan telah terjadi
malapetaka hebat menimpa diri ketua mereka. Sunyi sepi,
bahkan kerik jengkerik dan nyanyi kutu-kutu walang atogo
terhenti seolah-olah ikut merasa ngeri dan prihatin atas
terjadlnya perbuatan terkutuk itu. Hanya kadang-kadang
saja terdengar suara menyeramkan burung hantu yang
seperti kekeh iblis sendiri beriang gembira menyaksikan
tingkah manusia pengabdi nafsu, seolah-olah binatang yang
tidak mempunyai peradaban lagi. Dan selain kekeh burung
hantu itu, dari dalam pondok terdengar kekeh penuh
kepuasan dari mulut Raden Warutama ketika ia melihat
korbannya tergeletak tak berdaya di hadapannya. Kemudian hanya sunyi, sunyi yang menyayat hati.
Endang Patibroto merintih lirih, menggerakkan kaki
tangannya namun tidak dapat. Kepalanya nanar sekali dan
ia merasa heran mengapa kaki tangannya tak dapat ia
gerakkan. la membuka mata, cepat memejamkan kembali
karena begitu matanya dibuka, kepalanya makin pening. Ia
mengejap-ngejapkan matanya, kemudian membukanya
perlahan-lahan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika
ia mendapat kenyataan bahwa kaki tangannya terpentang
dan terikat dengan kainnya sendiri pada kaki pembaringan!


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Raden Warutama tampak berdiri di kamar, sedang
mengenakan pakaian! Melihat keadaan dirinya yang tak
berpakaian lagi, melihat Raden Warutama, wanita sakti ini
seketika maklum apa yang telah menimpa dirinya. Ia
hampir pingsan lagi namun dikuat-kuatkan dirinya.
"Heh-heh, engkau sudah sadar, manis?" Raden
Warutama yang baru selesai berpakaian itu, membalikkan
tubuh, keris bersinar hijau di tangan kanannya, lalu
melangkah maju. "Sudah tercapai hasratku memilikimu,
Endang Patibroto, dan sekarang bersiaplah untuk mati!"
Sambil berkata demikian, Raden Warutama mengangkat
kerisnya, siap menusuk. Pada saat itu, pada detik yang
mengerikan itulah Endang Patibroto teringat akan wajah
pria yang menyeringai di depannya.
"Sindupati............ !!"
Keris yang sudah siap menusuk itu terhenti. Wajah
Raden Warutama pucat. Akan tetapi ia lalu tertawa. "Ha-
ha-ha, engkau mengenalku, Endang Patibroto" Lebih baik
lagi, agar engkau tidak mati penasaran ............ " Kembali
tangan itu menegang. Tiba-tiba terdengar pekik melengking keluar dari mulut
Endang Patibroto. Itulah Aji Sardulo Bairowo yang hebat
luar biasa. Pekik ini seolah-olah gerengan seribu ekor
harimau marah, menggetarkan seluruh puncak Wilis,
membuat pondok seolah-olah hendak roboh. Dalam
kemarahannya dan sakit hati yang meluap-luap, Endang
Patibroto memekik, merenggutkan kaki tangannya dan
dalam beberapa detik saja ikatan kaki tangannya hancur
semua. Raden Warutama atau yang dahulu bernama Raden
Sindupati makin pucat, tubuhnya menggigil dan cepat
sekali ia sudah meloncat keluar pintu kamar itu dan
melarikan diri, berlindung pada kegelapan akhir malam.
Endang Patibroto hendak meloncat keluar, namun ia
teringat akan keadaan-nya yang telanjang bulat. Cepat ia
menyambar ke arah tempat pakaian, mengambil kain dan
baju, dikenakannya dengan cepat sekali, namun betapapun
juga, sudah memberi banyak waktu kepada Raden
Warutama. Ketlka wanita saktl itu melompat keluar,
datanglah berbondong anak buah Padepokan Wilis.
Klranya pekik sakti Sardulo Bairowo tadi telah membuyarkan aji penyirepan dan mengagetkan serta
membangunkan semua anak buah yang melakukan
penjagaan. Mereka berlarian dan berada dalam keadaan
panik karena memang belum pernah mereka mendengar
pekik saktil ketua mereka yang sedemIkian hebatnya.
"Kejar ............ ! Cari dia ............ ! Tangkap atau bunuh
Warutama ............ !"
"Slapa ............ " Dl mana ............ ?" Anak buah
Padepokan Wilis bingung sendiri.
"Tamu yang semalam berada di sini! Endang Patibroto
membentak. "Cepat ke............ jar, dia lari ............!"
Ketika para anak buahnya berserabutan lari mencari,
Endang Patibroto sendiri cepat-cepat lari menuju ke taman
karena ia teringat akan puterinya. Dengan beberapa
lompatan saja ia sudah tiba di bawah pohon dan ia berdiri
terpaku di situ ketika melihat pohon itu sudah kosong,
Retna Wilis tidak ada lagi tergantung di cabang pohon.
"Anakku ..........!!" Endang Patibroto menjerit. Jerit
tertahan dan ia benar-benar terkejut, gelisah, bingung dan
berduka di samping kemarahannya yang makin berkobar. la
maklum bahwa dirinya telah tertimpa malapetaka hebat,
penghinaan luar biasa yang tiada taranya, ia telah dibuat
pingsan oleh Raden Warutama atau Raden Sindupati
musuh besar-nya itu, dan tahu pula bahwa ia telah
diperkosa dalam keadaan pingsan. Malapetaka ini hebat
bukan main, akan tetapi lenyapnya Retna Wilis lebih hebat
dan lebih berat lagi rasanya. Bagaikan seorang gila, Endang
Patibroto lalu berlari-lari cepat sekali mencari-cari di
seluruh puncak, lalu turun ke lereng-lereng, ke lembah-
lembah. Anak buahnya hanya melihat ketua mereka itu
berkelebatan amat cepatnya, juga di antara para tamu calon
pengikut sayembara di kaki dan lereng bukit, ada yang
melihat wanita sakti ini berkelebatan sampai siang
keesokan harinya. "Anakku ............ ! Retna Wilis ............ !"
Endang Patibroto memanggil-manggil, mencari-cari, diseling caci
makinya, "Si keparat Sindupati! Kau tunggu saja, akan kulumatkan kepalamu, kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu!" Dan akhirnya,
beberapa anak buah Padepokan Wilis yang ikut mencari-cari tanpa aturan,
menemukan ketua mereka itu menggeletak pingsan di
pinggir jurang. Mereka terkejut sekali dan cepat-cepat
mereka lalu mengangkat tubuh ketua mereka itu, membawa
pulang ke puncak dan merawatnya di dalam pondok.
"Lepaskan aku ............ Lepaskan?". !"
Di sepanjang jalan Retna Wilis meronta-ronta terus,
memaki-maki, setiap kali menda-pat kesempatan tentu
memukul, mencakar, menjambak, menggi-git. Akan tetapi
semua itu sia-sia belaka. Ia berada dalam pondongan dua
lengan Ki Kolohangkoro yang kuat dan tubuh raksasa itu
memang kebal. Biarpun sejak kecil sudah digembleng hebat,
tenaga seorang kanak-kanak berusia lima enam tahun saja
tentu tidak berarti bagi Ki Kolohangkoro yang dapat
menerima bacokan senjata tajam sambil tertawa enak.
Ki Kolohangkoro sambil tertawa-tawa memperlakukan
Ratna Wilis sebagai sebutir buah delima yang membuatnya
mengilar. Dibelainya, diciumnya kepala dan tengkuk anak
itu, dijilati dan kalau tidak berkali-kali dilarang oleh Ni
Devil Nilamanik, tentu sudah digigitnya leher Ratna Wilis,
disedotnya darah anak itu sampai habis, diganyangnya
daging yang lunak manis, dihisapnya sumsum dalam tulang
muda yang segar! Mereka berdua sudah berhasil menuruni Gunung Wilis,
menjauhi kaki Wilis, bahkan pagi hari itu Raden Warutama
sudah pula menyusul mereka, bertemu di tempat yang
memang sudah mereka rundingkan sebelumnya.
"Ha-ha-ha, bagaimana, Raden" Berhasikah membunuh
Endang Patibroto?" bertanya Ki Kolohangkoro begitu
Raden Warutama muncul di dalam hutan di mana
keduanya tadi duduk menanti. Retna Wilis yang
mendengar pertanyaan ini menjadi pucat mukanya dan
matanya yang bening terbelalak memandang laki-laki gagah
yang baru muncul. Raden Warutama menggeleng-geleng kepala dan alisnya
berkerut. Ia sungguh merasa tidak puas kepada dirinya
sendiri. Mengapa tldak langsung dibunuhnya saja Endang
Patibroto selagi pingsan" Kalau ia melakukan hal itu, tentu
sekarang Endang Patibroto sudah mati dan tidak akan
khawatir dan pusing-pusing lagi. Akan tetapi ia begitu
bodoh untuk memuaskan nafsunya dan setelah hal itu
terlaksana, akhirnya ia tidak merasa puas juga, bahkan
kecewa. Endang Patibroto berada dalam keadaan pingsan
seperti orang mati, dan sekarang, karena ia menurutkan
nafsu, ia gagal membunuh Endang Patibroto, bahkan
menanamkan dendam dan kebencian luar biasa. Wanita itu
telah mengenalnya pula. Mengingat ini, Raden Warutama
bergidik dan diam-diam ia menggigil penuh kengerian.
Akan tetapi, di depan kedua orang itu ia tidak mau
memperlihatkan kelemahan hatinya dan hanya berkata,
"Dia terlampau sakti untuk dapat dibunuh dengan
mudah. Aku gagal, akan tetapi syukur, kalian berhasil. Kita
harus menjadikan puterinya ini sebagai tanggungan agar dia
tidak mencelakai kita."
"Tadi dia ini sudah menjadi milikku, Raden! Darah dan
dagingnya akan menyempurnakan Kolokroda yang kulatih." "Dan engkau akan mati tersayat-sayat oleh Endang
Patibroto! Jangan bodoh, Ki Kolohangkoro. Dia amat sakti,
sukar dilawan ............ ."
Ni Dewi Nilamanik menyela. "Tidak perlu diributkan hal
ini. Kaupun harus bersabar dulu, Kolohangkoro. Yang
terpenting adalah terlaksananya rencana kita terhadap
Jenggala. Adapun bocah ini, biar kita minta pertimbangan
sang wasi bagaimana baiknya karena hanya sang wasi yang
akan mampu menandingi Endang Patibroto."
Mereka melanjutkan perjalanan dan kini Retna Wilis
yang sudah yakin bahwa tiga orang ini adalah musuh-
musuh ibunya, menjadi makin keras berusaha untuk
melepaskan diri. "Lepaskan aku! Kalian orang-orang biadab! Kalian
orang-orang tak tahu malu, pengecut laknat yang patut
mampus seribu kali! Muka kalian begini tebal, beraninya
hanya sama anak kecil! Kalau memang berani, hayo
kembalikan aku kepada ibu dan hendak kulihat berapa jurus
kalian bertiga ini sanggup bertahan sebelum mampus di
tangan ibuku!" "Hem m, bocah ini tajam lidahnya!" Raden Warutama
mencela marah. "Nyalinya besar, dia tidak mengenal takut,"
kata Ni Dewi Nilamanik. "Dan darahnya tentu mempunyai kekuatan mujijat,
tulangnya bersih ......... hah-ha-ha!" dengus Ki Kolohangkoro yang merasa kecewa mengapa ia belum
diperkenankan melahap darah daging anak.
"Kalian orang-orang biadab! Lepaskan akul Lepaskan !"
jerit Retna Wilis sambil meronta-ronta sehingga terpaksa Ki
Kolohangkoro membungkam mulut yang kecil itu dengan
telapak tangannya yang lebar.
Akan tetapi terlambat. Jerit Retna Wilis tadi sudah
terdengar orang. Buktinya, terdengar orang berlari ke arah
mereka dan muncullah seorang pemuda yang tampan
sekali. Pemuda ini pakaiannya amat indah akan tetapi
sudah agak kotor, wajahnya berkulit kuning bersih,
matanya menyorotkan ketajaman luar biasa, dan ia amatlah
tampannya sehing ga Ni Dewi Nilamanik yang memandangnya sampai terpesona.
"Hemm, mengapa anak itu menjerit jerit" Kalian apakan
dia?" pemuda it menegur sambil memandang kepada Retna
Wilis yang dibungkam mulutnya.
"Waaahh, bedes! Mau apa banyak tanya-tanya" Dia ini
anakku, hayo lekas kau minggatl" bentak Ki Kolohangkoro
sambil memelototkan matanya agar pemuda remaja itu
menjadi takut. "Bukan ............ dia bohong ............ aku bukan anaknya
..........." Retna Wilis sempat menjerit sebelum Ki
Kolohangkoro mendekap mulutnya.
Pemuda itu segera melompat ke tengah jalan
menghadang, sikapnya keren dan suaranya nyaring ketika
ia berkata, "Kisanak, aku tidak mengenal andika bertiga dan aku
sama sekali tidak ingin mencampuri urusan orang lain.
Akan tetapi jelas bahwa anak ini kalian bawa di luar
kehendaknya, maka kuharap andika bertiga suka menaruh
kasihan kepada-nya dan membebaskannya ............ !!"
"Ehhh, kunyuk kecil benar cerewet engkau!" Ki
Kolohangkoro dengan marah lalu melangkah maju dan
menampar dengan tangan kanannya, sedangkan lengan kiri
tetap memondong Retno Wilis. Akan tetapi alangkah heran
dan kagetnya Ketika pemuda yang dipandang rendah itu
dengan gerakan indah sekali dapat mengelak dan
tamparannya, bahkan dari samping, tangan pemuda itu
menjangkau cepat sekali hendak merampas tubuh Retna
Wilis! "Aehhh, kau berani melawan?" Ki Kolohangkoro sudah
meloncat mundur, kemudian dengan beringas ia menerjang
maju lagi, menggunakan lengan kanan dan kaki untuk
menyerang bertubi-tubi. Gerakan tangan dan kaki raksasa
ini menimbulkan angin saking kerasnya. Pemuda itu
berseru kaget dan cepat-cepat mengelak karena ia tahu
bahwa raksasa yang menculik anak itu benar-benar amat
tangguh.

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dewi, kaubunuh dia yang sudah mengetahui tentang
penculikan," kata Raden Warutama kepada Ni Dewi
Nilamanik. Wanita ini mengangguk, maklum bahwa
memang pemuda tampan itu merupakan bahaya bagi
mereka. Tubuhnya melayang ke depan dan tahu-tahu ia
sudah berhadapan dengan pemuda itu. Melihat majunya Ni
Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkorolalu mundur dan
menyeringai lebar. "Bocah bagus, sayang sekali ketampananmu, engkau
harus melepaskah nyawa sekarang juga ............ " kata
wanita itu dengan suara merdu dan ramah, akan tetapi
secepat kilat, tangan kirinya yang kecil dengan jari tangan
terbuka sudah meluncur ke depan menempiling kepala
pemuda Itu. Biarpun tangan kecil itu berkulit halus, namun
kepala yang kena dItempiling tentu akan retak atau
setidaknya akan berantakan isinya.
Pemuda itu kini melihat munculnya wanita cantik yang
gerakannya aneh, tidak berani memandang ringan, lalu
mengangkat tangan kanan menangkis. Lengannya bertemu
dengan lengan kecil yang lunak, akan tetapi aklbatnya,
tubuhnya terpental ke belakang. Pemuda itu terbelalak
kaget, merasa betapa lengan kanannya nyeri seperti ditusuk-
tusuk jarum, dan rasa ngilu sampai menusuk di bahu kanan.
Adapun Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum manis
namun senyum yang membayangkan maut, sudah
melangkah maju, kebutan merah menggetar di tangannya!
"Matilah dengan tenang, bocah bagus ............ !" kata Ni
Dewi Nilamanik, kebutannya bergerak ke atas mengeluarkan bunyi ledakan nyaring.
Tiba-tiba terdengar Ki Kolohangkoro berteriak kaget dan
marah, "Heiii ............ !! Kembalikan anak itu ............ !!"
Pada detik berikutnya terdengar jerit Ni Dewi Nilamanik
karena kebutannya yang ia hantamkan ke arah pemuda itu
tiba-tiba terlepas dari pegangannya dan sudah berpindah ke
tangan seorang -kakek tua yang ternyata telah memondong
Retna Wilis yang sudah dirampasnya tadi dari tangan Ki
Kolohangkoro! Raden Warutama tadi menyaksikan betapa bayangan
hitam menyambar-nyambar disusul teriakan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik, kemudian melihat
betapa secara aneh sekali puteri Endang Patibroto telah
dirampasnya, bahkan sekaligus kakek itu menyelamatkan si
pemuda dan merampas kebutan merah dari tangan Ni Dewi
Nilamanik. Bukan main hebatnya gerakan itu sampai ia
melongo keheranan melihat kakek itu. Juga Ni Dewi
Nilamanik dan Ki Kolohangkoro terbelalak memandang.
Kakek itu sama sekali tidak kelihatan aneh, bahkan biasa
saja, terlalu biasa tidak menimbulkan kesan. Seorang kakek
sederhana yang tubuhnya kecil kate, rambutnya masih
hitam tidak terawat baik, pakaiannya serba hitam.
Pantasnya dia seorang petani miskin. Namun pandang
matanya lembut dan mengandung sesuatu yang jarang
terdapat pada orang lain.
"Kembalikan anak itu!" Ki Kolohangkoro dengan marah
menubruk maju. Kakek itu tidak bergerak dari tempatnya,
hanya memandang tajam dan mendorongkan tangan
kirinya ke depan, sedangkan lengan kanan memondong
tubuh Retna Wilis. Tiba-tiba saja tubuh Ki Kolohangkoro
terhenti di tengah jalan lalu terpelanting roboh. Ia
menggereng, bangkit dan menubruk lagi, akan tetapi
kembali terbanting sebelum dapat menyentuh kakek itu.
Makin keras ia menubruk, makin keras pula ia terbanting
sehingga akhirnya ia duduk terlongong dengan kepala
pening dan mata juling! "Eh, si keparat. Siapakah andika seorang tua yang
lancang tangan mencampuri urusan orang lain?" bentak NI
Dewi Nilamanik sambil melangkah maju, namun ia masih
ragu-ragu untuk menyerang, melihat betapa pukulan jarak
jauh kakek itu tadi amat kuatnya.
"Wah, mulutmu memang tajam, Nilamanik!" Tiba-tiba
Retna Wilis yang berada dalam pondongan kakek Itu
berkata. Bocah ini tadi ketika berada dalam tawanan saja
sudah memperlihatkan sikap berani menentang, apalagi
sekarang setelah mendapat pertolongan seorang kakek sakti.
"Sudah jelas kalian bertiga yang menculik aku dan Eyang
guru ini menolongku, berani bilang beliau lancang tangan"
Tidak tahukah kau bahwa beliau ini calon guruku" Eyang
guru, harap sikat saja mereka ini. Mereka ini orang-orang
jahat! Siluman betina inl namanya Ni Dewi Nilamanik, itu
yang seperti Buto Terung itu namanya Ki Kolohangkoro,
dan yang satunya lagi, tampan tetapi palsu adalah
Warutama." Retno Wilis mengerti akan nama-nama
mereka ketika mendengarkan percakapan mereka di
sepanjang jalan. "Kalau ada ibuku, tentu mereka ini sudah
dibunuh semua. Dasar pengecut, beraninya hanya kepada
anak kecil, kalau menghadapi ibuku, ketua Padepokan
Wilis, belum apa-apa tentu sudah menggigil!"
"Puja-puji untuk para dewata !!" kakek itu berkata lirih,
suaranya halus dan tenang. "Jadi engkau ini puteri Endang
Patibroto ketua Padepokan Wilis?"
"Benar, Eyang Guru. Namaku adalah Retna Wilis.
Harap kau suka mengajarku ilmu pukulan seperti tadi agar
aku dapat merobohkan siluman-siluman tengik ini."
Kakek ini mengangguk-angguk. "Sebagai pengikut-
pengikut Wasi Bagaspati, tentu saja mereka suka
menggunakan siasat kotor. Engkau ingin mengalahkan
mereka" Kalau engkau kusuruh, maukah melawan
mereka?" Retno Wilis melorot dari pondongan kakek itu. "Eyang
telah menjadi Guruku, segala perintah Eyang tentu akan
ku-taati. Haruskah aku menyerang mereka?"
Kembali kakek itu mengangguk-angguk. "Perbuatan
sesat memang perlu dihukum, itu baru adil namanya.
Mereka telah menculikmu, membikin engkau seorang anak
kecil mengalami kesengsaraan. Hukumlah mereka, pergunakan cambuk ini." Kakek itu menyerahkan cambuk
merah, atau kebutan, yang dirampasnya dari tangan Ni
Dewi Nilamanik tadi. Retna Wilis dengan sikap gagah dan tabah melangkah
maju, kebutan merah dipegang gagangnya dengan erat di
tangan kanan. Ia menghampiri Ki Kolohangkoro dengan
pandang penuh kebencian dan kemarahan. Raksasa itu
memandang terbelalak, akan tetapi juga girang karena kini
ia mendapat kesempatan untuk menangkap lagi bocah ini.
Ia akan menyambarnya dan membawanya lari sebelum
kakek sakti yang aneh itu dapat merampasnya kembali.
"Retna Wilis, seranglah dia, hajar dia!" terdengar kakek
itu berseru. Retna Wilis dengan hati tabah lalu menerjang maju,
menghantamkan kebutanitu ke arah paha Ki Kolohangkoro. Si Raksasa tertawa bergelak, tidak
memperdulikan pukulan kebutan, bahkan la lalu menubruk
maju hendak mencengkeram dan menyambar tubuh Retna
Wilis. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget-nya
ketika tiba-tiba tangan dan kakinya tidak dapat ia gerakkan
lagi, atau tertahan oleh sesuatu sehingga terhenti di tengah
jalan. "Tar-tar!" Cambuk itu menghajar pahanya, biarpun tidak
begitu sakit akan tetapi karena tenaga Retna Wilis memang
sudah terlatih, celananya robek di bagian paha, Retna Wilis
terus mencambuki, dan tiap kali Ki Kolohangkoro hendak
bergerak memukul atau menangkis maupun mengelak,
gerakannya selalu terhalang sehingga tidak ada cambuk
Retna Wilis yang tidak mengenai sasaran!
Menyaksikan hasil baik ini, Retna Wilis gembira sekali.
la tertawa-tawa dan mengamuk makin hebat, kini ia
menerjang Ni Dewi Nilamanik. Wanita sakti inipun
berusaha menangkis, bahkan berusaha memukul mati anak
itu, namun seperti juga halnya Ki Kolohangkoro, semua
gerakannya tertahan dan tahulah ia bahwa ini adalah
perbuatan kakek aneh itu. Terpaksa ia mandah dicambuki
sehingga. bajunya robek-robek pula, kulitnya matang biru
oleh cambuknya sendiri. Retna Wilis tidak berhenti sampai di situ saja. Ia kini
menyerang Raden Warutama yang mengalami nasib sial
seperti kedua orang kawannya. Seperti seorang anak kecil
yang mendapat mainan baru, Retna Wilis meloncat-loncat
dan mencambuki tiga orang itu berganti-ganti sampai
pakaian mereka compang-camping semua. Akan tetapi
karena tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang
memiliki kekebalan, akhirnya tangan anak itu sendiri yang
menjadi lelah sehingga tanpa disuruh Retna Wilis berhenti
sendiri dengan tubuh berkeringat!
"Cukup, Retna Wilis. Kembalikan, kebutan itu kepada
pemiliknya!" kata kakek sakti itu.
Retna Wilis melemparkan kebutan ke arah Ni Dewi
Nilamanik yang menerimanya dengan muka merah sekali.
Ki Kolohangkoro menggereng-gereng saking marahnya
namun iapun tidak berani sembarangan bergerak. Hanya
Raden Warutama yang diam saja, mukanya agak pucat;
kemudian ia menjura ke arah kakek itu sambil bertanya,
"Kami bertiga yang bodoh telah menerima petunjuk
Paman. Setelah Paman tahu akan nama dan keadaan kami,
sudah sepatutnya kalau Paman memberitahukan pula nama
Paman kepada kami." "Orang memanggil aku Ki Datujiwa," jawab kakek kecil
Itu sederhana.' "Dan aku Sigit," kata pangeran muda Panji Sigit dengan
sederhana pula karena Ia tidak ingin dikenal orang sebagai
Pangeran Jenggala. Tiga orang itu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi lalu
meninggalkan tempat itu dengan pakaian compang-
camping, kepala tunduk dan hati tidak karuan rasanya.
Mereka kehilangan tawanan, kehilangan muka dan
terancam bahaya pembalasan dendam Endang Patibroto.
Di dalam hati mereka, Ni Dewi Nilamanik dan Ki
Kolohangkoro merasa heran mengapa seringkali bertemu
orang-orang pandai. Berbeda dengan mereka, Raden
Warutama menganggap pengalaman pahit ini sebagai
pelajaran yang membuatnya semakin hati-hati dan
waspada. Memang, Raden Warutama bukan orang
sembarangan. Seperti telah dikenal oleh Endang Patibroto,
dia adalah Raden Sindupati, bekas kawula Jenggala yang
melarikan diri ke Blambangan dan menjadi perwira
Blambangan. Kemudian, seperti telah diceritakan di bagian
depan cerita ini, Raden Sindupati meninggalkan Blambangan yang dihancurkan oleh pasukan-pasukan
Panjalu dan Jenggala di bawah pimpinan Pangeran
Darmokusumo dan Endang Patibroto. Raden Sindupati
melarikan diri ke Bali-dwipa, di mana ia merantau dan
selama lima tahun berguru kepada beberapa orang sakti
sehingga memperoleh kepandaian tinggi. Kemudian ia
kembali ke Jawa-dwipa, merubah bentuk kumis jenggotnya,
juga melukai sendiri bawah dagunya sehingga wajahnya
berubah dan tidak mudah dikenal sebagai Raden Sindupati.
Untuk penyamaran ini ia menggunakan nama Raden
Warutama. Setelah tiga orang yang dipermainkan Ki Datujiwa itu
tak tampak lagi bayangannya, Pangeran Panji Sigit tertawa.
Ia berjongkok dan merangkul Retna Wilis, mengusap
rambut anak itu dan berkata,
"Duhai, betapa bangga hatiku mempunyal seorang
keponakan seperti engkau, Retna Wilis! Engkau pemberani
seperti ibumu. Sungguh pantas menjadi puterl ayunda
Endang Patibroto." Retna Wilis memandang pangeran itu penuh perhatian.
Dia tidak mengenalnya, karena ketika Pangeran Panji Sigit
menjadi tawanan ibunya, ia tidak sempat melihatnya.
Hatinya senang melihat pemuda yang tampan dan gagah
ini, apalagi yang tadi telah menolongnya.
"Namamu tadi Sigit" Engkau telah mengenal ibuku?"
"Tentu saja aku mengenal ibumu, anak manis. Ibumu
adalah kakak iparku sendiri. Aku Pangeran Panji Sigit
............ " "Aihhh ............ I Yang dikabarkan tertawan oleh Bibi
Setyaningsih" Pangeran Jenggala yang hampir dibunuh itu
dan dibela Bibi Setyaningsih" Wah, mengapa ibu hendak
membunuhmu" Engkau tampan dan gagah, baik hati pula.
Engkau tentu akan memasuki sayembara, bukan" Paman
Pangeran, aku akan gembira sekali kalau kau menjadi
suami Bibi Setyaningsih!"
"Tidak akan semudah itu, Retna Wilis ............ " kata Ki
Datujiwa sambil tersenyum. "Mengalahkan ibumu dalam
pertandingan tidak mudah."
"Aku akan membantu! Aku akan membujuk Bibi
Setyaningsih agar mengalah terhadap Paman Pangeran
Panji Sigit, dan membujuk ibu agar mengalah terhadap


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang. Akan tetapi ada syaratnyal"
"Apa syaratnya, Cah-ayu?"
"Kelak Paman harus menemani aku puncak Wilis
bersama Bibi Setyaningsih, sampai lima tahun, dan Eyang
harus mengajar ilmu pukulan yang hebat tadi kepadaku!"
Pangeran Panji Sigit berpikir-plkir, Memang ia tidak
mempunyai keinginan untuk tergesa-gesa pulang ke
Jenggala, karena hal ini hanya akan menimbulkan hal-hal
tidak enak baginya. Selama ramandanya berada di bawah
kekuasaan Suminten, ia tidak mau pulang dan lebih baik
tinggal di puncak Wilis! Maka tanpa ragu-ragu lagi ia
mengangguk, "Baik, aku berjanji memenuhi permintaanmu,
Retna." Juga Ki Datujiwa mengangguk-angguk. "Apa yang
kumiliki belum cukup untuk mengisi dirimu yang memiliki
bakat jauh lebih besar, Angger. Akan tetapi sebagai dasar,
bolehlah." Retna Wilis berseru girang lalu berlari-lari naik gunung
sambil berteriak, "Aku akan cepat menemui ibu dan biblI"
Ki Datujiwa dan pangeran muda itu saling pandang
sambil tersenyum, kemudian mereka mengikuti larinya
Retna Wilis, melindunginya dari jauh karena Ki Datujiwa
menasehati sang pangeran, "Lebih baik kita jangan
menonjolkan tentang pertolongan atas diri Retna Wilis
karena kalau sampai hal itu membuat Endang Patibroto
terpaksa mengalah, hal itu akan menyinggung dan
mencemarkan nama besarnya sebagai seorang pimpinan
Padepokan Wilis. Kalau dia mengalah, biarlah hal itu
terjadi atas kehendaknya sendiri, bukan karena kehadiran
kita sebagal penolong puterinya."
Pangeran Panji Siglt biarpun masih muda, namun ia
memiliki pandangan luas sehingga ia dapat menangkap
maksud nasehat Ki Datujiwa yang sesungguhnya hanya
ingin menjaga muka terang Endang Patibroto. Karena itu,
mereka berdua hanya mengikuti Retna Wilis dari jauh
sampai anak itu bertemu dengan para anak buah
Padepokan Wilis dan beramai-ramai puteri yang hilang itu
diiringkan naik ke puncak di mana Endang Patibroto dan
Setyaningsih menyambutnya dengan penuh kebahagiaan
dan kelegaan hati. Dengan penuh semangat Retna Wilis lalu bercerita
kepada ibunya dan bibinya' tentang pengalamannya diculik
tiga orang musuh itu, kemudian ia menceritakan pula
betapa dirinya ditolong oleh Pangeran Panji Sigit dam
seorang kakek yang bernama Ki Datujiwa.
"Ki Datujiwa ............ ?" Endang Patibroto mengerutkan
kening dan mengingat-ingat akan tetapi merasa tidak
pernah mendengar nama ini.
"Dia hebat, Ibu! Dan aku sudah diangkat menjadi
muridnya!" "Apa ............ ?""
"Benar! Bahkan dengan pertolongannya, aku telah
berhasil merangket mereka, hi-hi-hik! Warutama, Nilamanik, dan Kolohangkoro kuhajar dengan kebutan
milik Nilamanik sampai tubuh mereka matang biru dan
pakaian mereka compang-camping!" Anak itu dengan mata
bersinar-sinar dan wajah berseri menceritakan "pertempurannya" melawan tiga orang sakti itu. Endang
Patibroto mendengarkan dengan kening berkerut. Menurut
cerita anaknya, jelas bahwa kakek yang bernama Ki
Datujiwa itu seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi
hatinya tidak puas. Mengapa kakek itu begitu lancang
mengangkat murid puterinya" Tanpa minta persetujuannya,
hal itu sama dengan memandang rendah kepadanya!
Diganggu pikiran ini, ia tidak mendengarkan lagi cerita
anaknya dan baru sadar ketika anaknya berkata sambil
menarik-narlk tangannya, "Karena itu, dalam pertandingan sayembara nanti, lbu
harus mengalah kepada Eyang Guru! Dan bibi Setyaningsih
harus mengalah terhadap paman pangeran. Dia tampan,
ganteng sekaIi seperti Sang Harjuna dan gagah perkasa,
Bibi!" Wajah Setyaningsih tiba-tiba menjadi merah sekali
sampai ke lehernya, kepalanya menunduk dan ia tidak
berani menentang pandang mata ayundanya. Ada-pun
Endang Patibroto diam saja, hanya hatinya tidak puas.
Sungguh keras dan aneh watak Endang Patibroto. Tadinya
ia bersyukur dan berterima kasih, akan tetapi begitu
puterinya menyatakan bahwa Ki Datujiwa mengangkat
Retna Wilis sebagai murid, timbul amarah dan ketidaksenangan hatinya. -oo0dw0oo- Pagi-pagi sekali para calon pengikut sayembara sudah
berbondong-bondong mendaki puncak Wilis, didahulul
oleh serombongan anak buah Padepokan Wilis yang
dipimpin sendiri oleh LimanWilis sebagai penyambut para
tamu. Lebih dari dua puluh orang calon pengikut
sayembara diiringkan wali masing-masing yang terdiri darI
guru, ayah sendirl, atau jagoan undangan mereka. Mereka
mendaki puncak dengan wajah serius dan hati berdebar-
debar karena sedikit banyak nama Padepokan Wilis,
terutama sekali nama Endang Patibroto sudah membuat
hati mereka gentar. Di antara banyak pengikut ini tampak
Pangeran Panji Sigit dan Ki Datujiwa yang berjalan paling
belakang. Di tengah lapangan di atas puncak, tempat para anak
buah Padepokan Wilis biasanya berlatih ulah yuda, telah
dibangun sebuah panggung yang luasnya ada lima meter
persegi, terbuat daripada balok-balok dan papan tebal.
Panggung inilah yang akan menjadi arena pertandingan
dengan ketentuan bahwa slapa yang dipaksa turun
panggung, berarti kalah. Hal ini sengaja diadakan untuk
mencegah atau mengurangi kekalahan yang mendatangkan
maut, karena yang sudah terguling, tidak akan diserang lagi
dan sudah dianggap kalah. Endang Patibroto, Setyaningslh,
dan Retna Wilis sudah duduk di kursi dekat panggung.
Semua mata tentu saja ditujukan ke arah mereka. Orang-
orang muda yang menjadi calon pengikut, memandang ke
arah Setyaningsih dan banyak di antara mereka yang
menahan napas menelan ludah sendiri. Dara remaja itu
demikian cantik jelita, sehingga bangkitlah semangat
mereka untuk mencoba-coba, siapa tahu akan "kejatuhan
bulan"! Andaikata kalah atau terluka berat sampai mati
sekallpun, mereka tidak akan penasaran memperebutkan
seorang dara seperti dewi kahyangan Itu. Setyaningsih
hanya menyapu mereka dengan pandang mata kosong,
akan tetapi pipi dara inl mendadak menjadi merah dan
matanya berserl ' gembira bercampur malu-malu dan segera
mehundukkan muka ketika pandang matanya bertemu
dengan pandang mata Pangeran Panji Sigit!
Adapun para wall yang datang hendak membela murid,
putera, atau pengundang mereka ini, memandang ke arah
Endang Patibroto dengan pandang mata kagum bercampur
sangsl dan khawatir. Baru melihat saja orang sudah dapat
menduga bahwa Endang Patibroto adalah seorang wanita
yang saktl mandraguna, pandang matanya tajam dan dingin
mengerikan, seluruh pembawaannya membayangkan tenaga mujijat yang menyeramkan. Seorang lawan yang
amat berat, demikian rata-rata di pikiran para wali yang
terdiri daripada orang-orang tua yang digdaya Itu. Tentu
saja para orang muda yang hadlr juga memandang ke arah
Endang Patibroto dengan jerih dan kagum. Kagum
menyaksikan betapa wanita saktl yang amat terkenal itu
ternyata masih cantik jelita, bagaikan buah sudah masak di
samping Setyaningsih yang bagaikan sebutir buah yang
ranum matang ati. Dan jerih karena sesungguhnya dalam
sayembara tanding ini, Endang Patibroto-lah yang
menentukan kesudahannya. Biarpun di antara mereka ada
yang sanggup mengalahkan Setyaningsih, namun kalau
walinya tidak dapat mengalahkan Endang Patibroto, berarti
gagal juga. Setelah hening sejenak, Limanwilis melompat naik ke
atas panggung. Lompatannya ringan, karena tiga orang
kakak beradik Wilis itu telah digembleng aji meringankan
tubuh Bayu Tantra oleh Endang Patibroto. Melihat gaya
lompatan pembantu ketua Padepokan Wilis ini saja, banyak
sudah yang memuji dan menjadi gentar. Lompatan orang
tinggi besar itu sedemikian ringannya seolah-olah lompatan
seekor kucing, dan ketika kedua telapak kakinya menginjak
papan panggung, sedikitpun tidak mengeluarkan suara, juga
tidak menggetarkan panggung. Limanwilis mewakili
ketuanya menyampaikan selamat datang kepada semua
peserta, kemudian menjelaskan peraturan sayembara,
dinyatakan bahwa maksud sayembara ialah memilih
seorang calon jodoh untuk Setyaningsih, adik kandung
ketua Padepokan Wilis dan bahwa di dalam sayembara ini
tidak ada tentang permusuhan, baik pribadi maupun
golongan sehingga pertandingan diatur dengan panggung
agar mengurangi kemungkinan tewas. Hal ini diharapkan
pengertian para peserta sehIngga sifat sayembara hanya
"menguji kepandaian" dan bukanlah pertempuran untuk
membunuh atau melukai lawan. Kemudian ia menutup
sambutannya dengan peraturan terakhir,
"Siapa saja yang berniat memasuki sayembara,
dipersilahkan naik ke panggung secara bergilir. Adapun
ketua kami yang akan menentukan apakah peserta yang
boleh bertanding lebih dahulu ataukah walinya." Kemudian
Limanwilis kembali mempersilahkan peserta pertama naik
ke panggung. Lalu iapun melompat turun dan kembali ke
tempatnya, yaitu rombongan anak buah Padepokan Wilis
yang berbaris rapi dan angker.
Karena sebagian besar para peserta mengambil sikap
"sip", mereka itu hanya menanti dan "melihat-lihat gelagat"
maka sampai lama tidak ada juga yang naik ke panggung!
Keadaan sunyi hening dan menggelisahkan. Akhirnya
terdengar suara kecil nyaring,
"Apakah yang datang para pingecut" Kalau tidak berani
bertanding, untuk apa mengikuti sayembara dan mau apa
datang ke sini?" Semua orang menengok dan memandang ke arah Retna
Wilis yang mengeluarkan ucapan itu. Merahlah muka
semua orang, termasuk Endang Patibroto yang tidak keburu
mencegah puterinya. Di dalam hatinya ia merasa cemas.
Puterinya ini benar-benar amat tajam mulutnya, dan
mempunyai pandangan seperti seorang dewasa saja.
Tiba-tiba tampak bayangan melompat ke atas panggung.
Dia seorang pemuda tampan dan setelah menghadap ke
arah Endang Patibroto, ia berkata, "Saya Pranolo dari
Ponorogo mengambil kehormatan untuk menjadi peserta
pertama!" Tepuk sorak gemuruh menyambut naiknya pemuda ini.
Orang bukan kagum akan gerakannya melompat yang tak
dapat dikatakan gesit, masih kalah oleh Limanwilis tadi,
melainkan memuji ketabahannya naik sebagai orang
pertama. Sekilas pandang Endang Patibroto merasa suka
kepada pemuda ini yang cukup tampan. Dia teringat bahwa
daerah Ponorogo memiliki banyak orang sakti. Akan tetapi
melihat gerakan pemuda ini ketika melompat tadi, jelas
bahwa ilmunya meringankan tubuh kurang tinggi.
Betapapun juga, masih timbul harapan di hatinya. Siapa
tahu kalau-kalau hanya ilmu meringankan tubuhnya saja
yang lemah sedangkan ilmu lainnya kuat. Maka ia memberi
isyarat dengan pandang matanya kepada Setyaningsih yang
bangkit dengan tenang, melangkah maju dan sekali
mengayun tubuh, tubuhnya yang langsing dan berkulit
kuning itu melayang seperti seekor burung terbang, hinggap
di atas panggung di depan Pranolo.
Tepuk tangan makin riuh dan semua orang kini benar-
benar kagum, baik atas gaya loncatan indah itu maupun
untuk kejelitaan yang kini nampak nyata setelah dara itu
berada di atas panggung. Setyaningsih mengikat rambutnya
ke belakang, ujung rambut terurai seperti ekor kuda, di atas
terhias cunduk emas permata. Bajunya berlengan pendek,
berkembang dan berwarna merah. Kembennya berwarna
kuning kehijauan, sedangkan kainnya berwarna biru,
tepinya agak tinggi sehingga tampaklah betis memadi
bunting dan mata kaki yang merit, tungkak yang berwarna
jambon. Kulit lengan dan betis itu bersih halus, kuning
kemerahan amat menggairahkan hati para peserta
sayembara. Dengan sikap tenang Setyaningsih berdiri di
depan Pranolo. Pranolo sejenak seperti terpesona, tak tahu harus berbuat
atau berkata apa melainkan memandang dara yang berada
di depannya. Tercium olehnya keharuman yang tipis dan
pemuda ini menelan ludah. Kebimbangan dan kebingungan
Pranolo, sampai cara ia menelan ludah jelas tampak oleh
semua orang sehingga mulailah terdengar kekeh tawa yang
membuat pemuda itu makin gagap-gugup lagi. Dari bawah
panggung terdengar seorang kakek berkata,
"Pranolo, lawan telah slap, engkau tnenanti apa lagi?"
"Ohh ............ baiklah, Eyang, baik ............ !" Pranolo
menjawab gagap lalu melangkah maju mendekati


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setyaningsih dan berkata, "Maafkan ............ maafkan
keberanianku ............ "
Setyaningsih hanya mengangguk, diam-diam merasa
kasihan juga kepada pemuda yang canggung ini. Pranolo
lalu menerjang maju, serangannyapun bukan serangan
pukulan atau tendangan, melainkan serangan untuk
menangkap lengan dara itu, agaknya ia pikir kalau dapat
menangkap lengan Setaningsih dan mendorongnya turun
panggung, ia tentu akan menang. Gerakannya cukup sebat
dan mantap, namun dalam hal kepandaian ia jauh kalah
oleh Setyaningsih. Gadis ini-pun tidak suka mempermainkan orang. Begitu ia mengelak beberapa kali
daripada sambaran tangan lawan yang hendak menangkap
lengannya, cepat dari samping ia menendang ke arah
belakang lutut kanan Pranolo. Pemuda itu berseru kaget
karena kakinya tiba-tiba melengkung dan ia hampir roboh.
Tiba-tiba pergelangan tangannya disambar oleh Setyaningsih dan sekali dara ini mengayun, tubuh Pranolo
melayang terlempar turun panggung Akan tetapi pemuda
itu tidak terbanting keras, melainkan melayang turun
dengan kaki di bawah sehingga ketika ia mendarat, ia hanya
terhuyung saja dan mengalami kaget.
Tepuk tangan gemuruh menyambut kemenangan
pertama ini. Mereka yang ilmunya tinggi, termasuk Endang
Patibroto, tentu saja mengerti bahwa Setyaningsih menaruh
kasihan kepada lawannya, kalau tidak tentu lemparan ke
bawah panggung itu setidaknya akan membuat kulit lecet
kepala benjut. Endang Patibroto kecewa. Kalau macam itu
saja pemuda-pemuda yang hadir, tidak ada harapan bagi
Setyaningsih untuk mendapatkan jodoh yang patut. la
teringat akan Pangeran Panji Sigit dan mengerling ke arah
pemuda itu. Ia melihat seorang kakek berpakaian
sederhana, bertubuh kecil berdiri di dekat Panji Sigit dan
menduga bahwa tentu itulah yang bernama Ki Datujiwa.
Sinar mata orang itu hebat, pikir Endang Patibroto, akan
tetapi hatinya panas kembali kalau terIngat betapa orang itu
langsung mengangkat Retna Wilis sebagai murid. Pula,
sungguhpun harus ia akui bahwa Pangeran Panji Sigit
mempunyai banyak persamaan dengan mendiang suaminya, Pangeran Panjirawit, wajahnya mirip dan
sikapnya juga sama halusnya, akan tetapi di sudut hati
Endang Patibroto sudah menaruh rasa tidak suka kepada
Jenggala sehingga kalau mungkin, lebih senang kalau ia
melihat adik kandungnya mendapatkan jodoh lain orang.
Kekalahan Pranolo itu diam-diam telah mengundurkan
enam orang peserta lainnya, yaitu mereka yang merasa
masih belum dapat menandingi Pranolo, apalagi harus
melawan Setyaningsih. Betapapun hati mereka gandrung
wuyung, tergila-gila menyaksikan dara remaja yang jelita
dan tangkas itu, namun merekapun merasa segan untuk
mendapat malu seperti Pranolo, baru bertanding dalam
beberapa jurus saja sudah keok!
Berturut-turut maju lagi dua orang pemuda yang masih
muda dan cukup tampan. Melihat sikap mereka itupun
sopan seperti Pranolo, Setyaningsih maju melawan mereka
dan mengalahkan mereka dalam waktu singkat saja,
melemparkan mereka turun dari panggung!
Kembali kekalahan dua orang pemuda yang tingkat
kepandaiannya lebih tinggi dari Pranolo itu membuat
banyak pemuda lainnya diam-diam membatalkan niatnya
mencoba-coba. Kiranya Setyaningslh benar-benar hebat
sekali dan mereka menjadi ngeri sendilri memikirkan betapa
mereka akan dilempar atau dibanting oleh tangan halus itu.
Maka setelah Setyaningsih melompat turun dan duduk
kembali dekat Endang Patibroto sehabis mengalahkan
orang ke tiga, dan ketika Limanwilis mempersilahkan
peserta berikutnya naik panggung, tidak ada seorang-pun
pemuda berani naik dan mereka itu hanya saling pandang
dan saling menanti saja. Memang masih banyak di antara
mereka yang memiliki ilmu kepandaIan tinggi, akan tetapi
mereka yang menyaksikan ketangkasan Setyaningsih
menjadi ragu-ragu apakah mereka akan dapat menandingi
dara perkasa itu. Setelah keadaan mulai menegang karena tidak ada yang
menyambut desakan Limanwilis, tiba-tiba terdengar suara
terbahak dan sesosok bayangan tiInggi besar meloncat naik
ke atas panggung. Terdengar suara berdebukan ketika kedua
kaki laki-laki tinggi besar ini tiba di papan panggung, dan
panggung itu sendiri tergetar! Diam-diam Endang Patibroto
tertarik dan kaget. Pria itu tentu, lebih dari tiga puluh tahun
usianya, tubuhnya tinggi tegap dan kokoh kuat seperti
kebanyakan anak buah Padepokan Wilis. Mukanya cukup
gagah, dengan kumis melintang dan dagu tertutup jenggot
tipis. Ikat kepalanya berkembang merah, sabuknya putih
dan mengkilap, agaknya dari perak, kainnya berdasar
merah dan celananya putih. Begitu tiba di atas panggung,
pria itu menghormat ke arah Endang Patibroto dan berkata,
suaranya keras sekali, "Namaku Joko Bono, di pesisir selatan orang
menyebutku si Lengan Baja. Terus terang saja, aku kagum
menyaksikan kedigdayaan sang dyah ayu sehingga ragu-
ragu untuk menandinginya. Apalagi mendengar nama ketua
Padepokan Wilis, sungguh sampai mati saya tIdak akan
berani lancang melawannya. Akan tetapi, aku hidup
seorang diri di dunia ini, tidak ada wali. Karena ingin
menguji ilmu, aku memaksa diri naik, walinyapun aku
sendiri. Terserah apakah Padepokan Wilis sudi memperkenankan aku ikut atau tidak."
Semua orang memandang penuh perhatian dan hati
mereka merasa tertarik. Biarpun sebagian besar di antara
mereka baru sekali ini bertemu dengan pria tinggi besar itu,
namun nama Si Lengan Baja Joko Bono telah terkenal
sekali sebagai seorang jagoan di pesisir selatan. Terkenal
karena lengan dan tangannya yang kuat sekali, dan
wataknya yang jujur, terbuka dan penuh keberanian. Dari
ucapannya di atas panggung tadipun terbayanglah sifatnya
yang terbuka sehingga Endang Patibroto merasa suka.
Setelah bertukar pandang dengan Setyaningsih, ia
berbisik lirih, "Lawanlah, akan tetapi hati-hati, kedua
lengannya amat kuat dan jangan mengadu tenaga dengan
dia. Pergunakanlah kecepatan, tundukkan dengan Pethit
Nogo sebelum mendorong dia ke bawah."
Setyaningsih mengangguk lalu bangkit dan melompat ke
atas panggung. Semua orang berdebar tegang. Tadinya,
karena ucapan Bono, mereka mengira bahwa sekali ini
tentulah Endang Patibroto sendiri yang naik panggung
karena bukankah Joko Bono itu tidak mempunyai wali"
Endang Patibroto berhak untuk menghadapinya. Akan
tetapi, siapa menduga, ternyata Setyaningsih sendiri yang
maju! Tentu saja mereka menjadi berkhawatir sekali dan
berdesakanlah mereka, maju mendekati panggung agar
dapat menonton lebih jelas.
"Ha-ha-ha! Sungguh Padepokan Wilis menaruh kasihan
kepadaku, membiarkan sang dyah ayu melawanku.
Marilah, Nimas Ayu, biar terbuka mata Bono menyaksikan
aji-aji kesaktian Padepokan Wilis!"
Setyaningsih sudah mengenal watak calon lawannya
yang terbuka dan jujur, maka iapun tersenyum dan
menjawab, "Aku sudah siap. Majulah, Joko Bono."
"Bagus! Awas seranganku ............ hyeew eeetttt ............
!!" Dengan gerakan cepat laksana seekor harimau menubruk
anak kambing, Bono menerjang maju, lengan kanan yang besar itu menyerang dengan kepalan memukul ke arah pundak Setyaningsih. Cepat dan keras sekali, mendatangkan
angin yang sudah terasa oleh
dara itu sebelum kepalannya
tiba. Namun Setyaningsih dengan kecekatan mengagumkan sudah miringkan tubuh dan jari-jari
tangannya yang terbuka dan
diisi dengan Aji Pethit Nogo
menyambar dari samping, mengantam lambung.
"Wuuut ............ plakk............ !" Bono dapat menangkis
tamparan itu dengan lengan kirinya yang seperti juga lengan
kanannya, terlindung lingkaran besi kuningan. Setyaningsih
memang tadi sengaja membiarkan tamparannya tertangkis
karena biarpun ia sudah diberi peringatan oleh ayundanya,
ia masih belum puas kalau tidak mencoba sendiri. Ternyata
tamparan Pethit Nogo itu dapat ditangkis dan. telapak
tangannya terasa panas, tanda bahwa lengan lawan
memang benar amat kuat, sesuai dengan julukannya Si
Lengan Baja! Sebaliknya, Joko Bono juga merasa betapa
kulit lengannya pedas ketika bertemu dengan tamparan jari-
jari tangan lunak kecil itu. Diam-diam ia kaget dan kagum.
Tahulah raksasa muda ini betapa sang ayu benar-benar tak
boleh dipandang ringan. Maka la kembali berseru keras dan
tubuhnya bergerak-gerak maju, kadang-kadang berputar
seperti sebuah kitiran angin, kedua lengannya diputar
sedemikian rupa merupakan baling-baling yang dengan
gencar bergantian menyambar ke arah tubuh Setyaningslh
dengan pukulan, dorongan, tamparan atau cengkeraman.
Dahsyat sekali serangannya ini dan para penonton
menahan napas. Bahkan Endang Patibroto sendiri bersama
Retna Wilis tak terasa lagi maju mendekati panggung
saking tegang dan tertariknya. Pertandingan sekali ini baru
ada harganya untuk ditonton.
Setyanirgsih kelihatannya didesak terus. Namun sesungguhnya dara remaja itu menguasai keadaan karena
betapapun cepat gerakan Joko Bono, dara ini memiliki
gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga setiap pukulan
kepalan tangan besar itu dapat ia lihat dengan nyata dan
dapat ia elakkan. Tubuhnya berkelebat ke kanan kadang-
kadang meloncat ke atas, kadang-kadang menyelinap ke
bawah, kadang-kadang dengan jari-jari tangan terbuka ia
menyampok lengan lawan dari samping. Pethit Nogo
adalah aji pukulan yang mengandalkan jari-jari terbuka,
dengan meminjam tenaga lawan dapat menyampok ke
samping dan apabila dipergunakan untuk menyerang, maka
jari-jari tangan itu mengandung tenaga mujljat yang amat
ampuhnya. Penonton mulai bersorak-sorak. Sungguh menarik
pertandingan ini. Setelah kini Setyaningsih mempergunakan
Aji Bayu Tantra untuk bergerak mengelak dan menyelinap,
baru jelas tampak oleh mereka betapa gerakan kedua orang
itu amat jauh bedanya. Tubuh Joko, Bono yang tadi
bergerak cepat, kini di samping gerakan dara itu kelihatan
seperti gerakan seekor badak yang kuat namun lamban
sekali, sebaliknya dara itu bergerak cepat dan ringan seperti
seekor kijang. Semua pukulan Joko Bono jauh meleset
daripada sasarannya. Ada seperempat jam Joko Bono mengerahkan tenaga
dan kepandaiannya untuk mendesak lawan. Kadang-
kadang ia memang dapat mendesak Setyaningsih ke sudut
panggung dan dengan penuh nafsu ia hendak mendesak
terus agar dara itu terpaksa melompat turun dan dengan
demikian ia akan dinyatakan menang. Namun setiap kali,
dara yang lincah itu dapat menyelinap melalui bawah kedua
lengannya atau melalui atas pundaknya dengan melompat
tinggi dan tahu-tahu telah berada di tengah panggung lagi
sehingga ia harus membalikkan tubuh dan mulai dengan
serangan baru lagi. Beberapa kali sambil mengelak,
Setyaningsih membalas dengan tamparan Aji Pethit Nogo
secara tiba-tiba dan tak terduga. Memang ada beberapa kali
Joko Bonokena diserempet tamparan, akan tetapi karena
tidak tepat dan pukulannya dilakukan sambil mengelak,
sedangkan tubuh Joko Bono memiliki kekebalan yang amat
kuat, maka semua tamparan jari tangannya membalik, tidak
berhasil merobohkan orang kuat itu.
Joko Bono mulai pening kepalanya, pandang matanya
berkunang ketika tiba-tiba Setyaningsih mempercepat
gerakan tubuhnya, meloncat ke sana ke mari sambil
mengerahkan Aji Bayu Tantra. Ia merasa penasaran dan


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil berseru keras ia lalu maju menubruk, mengerahkan
seluruh tenaganya, kedua tangan dikepal dan tangan kirinya
menghantam ke arah kepala Setyaningsih. Dara itu cepat
menggunakan jari-jari tangan kanannya menyampok dari
samping kanan. Akan tetapi ternyata sekali ini Joko Bono
berlaku cerdik. Pukulan tangan kiri itu hanya merupakan
gertak belaka karena tiba-tiba saja tangan kanannya
meluncur ke depan dan ia berhasil menangkap lengan kiri
Setyaningsih! Semua penonton mengeluarkan seruan
tertahan dan mengira bahwa dara itu akhirnya akan kalah
oleh Joko Bono, sungguhpun hal ini tidak berartI bahwa
pria tinggi besar Itu telah lulus dalam sayembara karena ia
harus mengalahkan Endang Patibroto.
( Bersambung jilid ke XXIV )
Jilid XXIV ENDANG Patibroto bersikap tenang-tenang saja. Dia
dapat melihat jelas dan mengerti akan siasat Setyaningsih.
Dara itupun merasa bingung karena lawannya terlampau
kuat sehingga sukar dirobohkan, maka biarpun tidak
kentara oleh siapapun, juga oleh lawannya, ia sengaja
memperlambat gerak tangan kirinya sehingga dapat
tertangkap lawan. Pada saat Joko Bono merasa kegir?ngan,
tiba-tiba tubuh Setyaningsih mencelat ke atas dan berjungkir
balik sambil memutar lengan kirinya yang terpegang.
Gerakan ini tentu saja membawa pula tangan kanan Joko
Bono sehingga terpuntir. Joko Bono kesakitan namun tetap
mempertahankan cengkeramannya dan dari atas,
Bambil meloncat ini, Setyaningslh memukul tengkuk
Joko Bono dengan jari- jari tangan kanannya, dengan Aji
Pethit Nogo sepenuhnya. "Dess .......... ! Aduhhh .......... !"
Joko Bono terhuyung, cengkeramannya lepas, akan
tetapi ia benar-benar kuat karena pukulan dahsyat itu belum
merobohkannya. Namun Setyaningsih sudah meloncat
turun ke belakang tubuhnya, kedua kakinya bergantian
menendang belakang lutut, membuat kaki Joko Bono
melengkung dan berlutut. Saat itulah dipergunakan oleh
Setyaningslh untuk mendorongkan kedua tangannya ke
punggung lawan dengan sekuat tenaga. Joko Bono yang
sudah berlutut itu tentu saja tidak mampu mempertahankan
diri lagi dan tubuhnya bergulingan terus terjatuh dari atas
panggung! "Hebat, aku mengaku kalah .........." teriaknya sambil
bangkit berdiri dan pergi meninggalkan tempat itu dengan
terhuyung-huyung. Tepuk tangan riuh gemuruh menyambut kemenangan
itu. Dara itu menyusut peluhnya dan melompat turun terus
bersama Endang Patibroto dan Retna Wills kembali ke
tempat duduk mereka. Makin gentarlah hatl para muda yang hendak ikut
sayembara. jelas sudah bahwa amat sukar menandingi
kedigdayaan perawan Lembah Wills itu. Joko Bono yang
demikian perkasapun tidak mampu menandinginya. Hanya
ada beberapa orang pemuda, termasuk Pangeran Panji Sigit,
yang masih menantl kesempatan mereka. Melihat betapa
agaknya tidak ada pengikut lagi yang berani nalk ke
panggung, Pangeran Panjl Sigit memandang Ki Datujiwa
yang menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. Pangeran
itu lalu bangkit, akan tetapi selagi ia hendak melangkah
maju mendekatl panggung, tiba-tiba tampak sesosok
bayangan tubuh seorang pria kurus kering melompat ke
panggung mendahululnya. Terpaksa pangeran itu duduk
kembali dan semua mata kini memandang ke arah pria
kurus kering yang berada di atas panggung. Cara orang itu
melompat amat mengagumkan, karena tubuhnya mencelat
ke atas, tinggi sekali, kemudian dari atas ia turun dengan
cara berjungkir, kepalanya di bawah. Semua orang terkejut,
bahkan ada yang menahan pekik, mengira bahwa kepala itu
akan remuk terbanting pada papan panggung. Akan tetapi
anehnya, kepala itu mendarat dengan lunaknya di atas
papan dan laki-laki itu berdiri di atas kepalanya. Kemudian
sekali ia bersuara seperti orang terbatuk, tubuhnya sudah
berjumpalitan dan kini ia berdiri di tengah panggung sambil
tersenyum menyeringai. Semua orang tercengang. Laki-laki itu usianya tentu
sudah mendekati lima puluh tahun, mukanya kurus seperti
tengkorak hidup, matanya berlubang dalam sekali dan
kepalanya gundul. Pakaiannya serba merah berkembang
dan tubuhnya juga kurus kering, kaki kirinya memegang
tongkat bambu yang baru saja dicabutnya dari ikat
pinggang. Kakinya yang telanjang itulah yang menambah
keanehannya, karena kalau tubuhnya kurus kering, adalah
kakinya itu besar dengan jari-jari kaki mekar seperti cakar
bebek. Wajah yang buruk menjijikkan, akan tetapi setiap
orang dapat menduga bahwa laki-laki ini tentu memiliki
kesaktian luar biasa. "Hemmm, si Hantu Kelabang Purwoko berani mencari
bencana .........!" terdengar oleh Pangeran Panji Sigit suara
Ki Datujiwa berbisik lirih. la segera mendekati kakek
penolongnya itu dan bertanya dalam bisikan.
"Orang apakah Purwoko ini, Eyang?"
"Tokoh hitam di pesisir utara, pertapa di Bukit Muria.
Kalau ia mengenalku di sini, tentu dia tak akah berani main
gila," jawab kakek itu sambil mangerutkan kening.
Munculnya orang-orang macam Si Hantu Kelabang ini
menandakan bahwa negara mulai lemah dan tidak aman
sehingga kaum sesat dan golongan hitam mulai keluar dari
sarang mencari kesempatan baik untuk mengacau dan
merampas kedudukan serta keuntungan.
Sementara itu, laki-laki buruk rupa ltu sudah
melambaikan tanganhya yang hanya tinggal tulang
terbungkus kulit ke arah Setyaningsih dan terdengarlah
suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita,
"Bocah denok ayu Setyaningsih! Ke sinilah, manis! Mari
kita main-main sebentar. Engkau layanilah aku sang sakti
Purwoko dan kutanggung engkau akan merasa puas, heh-
heh-heh!" Kaum tua yang berada di situ terkejut mendengar nama
ini dan terdengarlah suara berisik membisikkan sebutan "Si
Hantu Kelabang". Suara berisik ini .terdengar oleh Purwoko
yang segera menyeringai ke arah para tamu sambil berkata,
"Kalian sudah mendengar dan mangenal nama
julukanku" Heh-heh, benar aku Si Hantu Kelabang!"
Setyaningsih menjadi marah sekali. Mukanya yang jelita
itu sebentar pucat sebentar merah mendengar ucapan yang
tIdak senonoh dari pria gundul kurus kering itu. Ia sudah
bangkit berdiri, tangan kiri mengepal tinju, tangan kanan
meraba gagang keris. Akan tetapi lengannya dlsentuh
Endang Patibroto yang memberinya isyarat supaya duduk
kembali. Kemudlan Endang Patibroto bangkit berdiri dan
suaranya terdengar lantang mengatasi semua suara hiruk-
pikuk, "Heh, engkau orang yang bernama Purwoko! Suruh
walimu naik dan bertanding melawan aku! Kalau walimu
menang, barulah engkau berhak menandingi adikku. Pada
saat ini adikku enggan bertanding dengan orang macam
engkau!" Suara berisik terhenti seketika dan semua mata
memandang bahwa pasti akan terjadi hal-hal hebat setelah
kini ketua Padepokan Wilis memperlihatkan kemarahannya. Akan tetapi Purwoko terkekeh sambil
memandang ke arah Endang Patibroto dan menudingkan
telunjuknya yang kecil panjang,
"Heh-heh-heh, engkau tentu Endang Patibroto, bukan"
Denok ayu! Hebat bukan main, tidak kalah oleh adiknya.
Ketahuilah, ayah bundaku telah mati semua, guruku
banyak sekali dan sudah mati. Aku tidak punya wali.
Bagiku sama saja, engkau juga denok, boleh maju main-
main ke sini. Hadiahnya engkau atau adikmu sama juga!
Memang aku datang untuk berkenalan dengan engkau,
Endang Patibroto, dan kebetulan ada sayembara ini, heh-
heh!" Endang Patibroto tersenyum. Senyum yang manis sekali
akan tetapi siapa yang sudah mengenal wanita ini di waktu
mudanya akan maklum bahwa senyum itu adalah senyum
yang menyembunyikan kemarahan hebat dan bahwa
senyum ini dapat menjadi senyum maut yang akan
merenggut nyawa lawan. Terdengar ia bersuara, "Hemmml" dan tahu-tahu tubuhnya sudah meloncat ke atas
panggung. Cara meloncat ini dalam keadaan tegak berdiri,
seolah-olah dari tempat ia berdiri tadi tubuhnya dibawa
angin mujijat dan ia sudah berhadapan dengan Purwoko di
atas panggung. Itulah aji Meringankan tubuh Bayu Tantra
yang sudah mencapai puncaknya! Biarpun apa yang
diperlihatkan Endang Patibroto ini hebat, akan -tetapi tidak
ada yang bertepuk tangan. Suasana terlalu menegangkan
sehingga semua orang memandang dan menahan napas,
lupa untuk bersorak memuji.
"Purwoko, alangkah sombongnya engkau! Kita tidak
saling mengenal dan aku tidak tahu orang macam apa
engkau ini, akan tetapi melihat lagakmu dan mendengar
ucapanmu, mudah saja menilai bahwa engkau ini seorang
yang masih kosong melompong!"
"Gentong kosong suaranya nyaring!" Tiba-tiba terdengar
suara Retna Wills menyela kata-kata ibunya. Semua orang
mau tak mau tertawa geli karena ucapan bocah itu
membuyarkan keadaan yang tegang. "Gasak saja, Ibu,
habiskan giginya yang tinggal dua!"
Endang Patibroto tidak memperdulikan kenakalan
puterinya, lalu berkata lag',
"Purwoko, kalau saja engkau tidak muncul di atas
panggung sayembara, tentu aku tidak akan dapat mengampunimu. Akan tetapi karena kau muncul di sini, marilah kita buktikan apakah kepandaianmu juga sehebat suaramu." "Heh-heh-heh! Engkaupun seorang wanita sombong, Endang Patibroto. Aku sudah banyak mendengar tentang sepak terjangmu. Nah, kau bersiaplah!" Belum juga habis
gema suaranya, kakek gundul itu sudah menerjang maju
dengan tongkatnya, menusuk perut Endang Patibroto
dengan tongkat di tangan kanan sedangkan tangan kirinya
mencengkeram dengan kuku tangan kiri yang tiba-tiba saja
sudah berubah merah seperti dicat!
Endang Patibroto cepat melangkah mundur dan
menyentil ujung tongkat dengan telunjuk kirinya. Ia
mengerti bahwa tangan kirI lawan yang berubah merah Itu
amat berbahaya, tentu mengandung racun yang hebat.
Inilah agak-nya mengapa orang ini mendapat julukan Si
Hantu Kelabang. Agaknya tangan kiri itu telah dilatih
dengan sari racun kelabang sehingga sekali gores dengan
kuku, atau sekali sentuh dengan tangan itu saja sudah
cukup untuk mengirim nyawa lawan meninggalkan
raganya. SI gundul itu berseru kaget ketika tongkatnya tiba-tiba
membalik seperti didorong tenaga raksasa begitu kena
disentil telunjuk tangan wanita itu. Diam-diam ia kagum
dan tahu bahwa tangan wanita itu mengandung hawa sakti
yang kuatnya menggila. Tidak berani lagi ia memandang
ringan dan mulailah kakek ini melakukan serangan dengan
hati-hati sekali. Ia tadi sudah melihat kelincahan
Setyaningsih, maka ia pun dapat menduga bahwa Endang
Patibroto tentu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar
biasa pula. Dia sendiri biarpun tidak dapat mengimbangi
ilmu meringankan diri yang dibuktikan dengan cara
meloncat Endang Patibroto tadi, namun ia mengandalkan
ajinya tangan beracun dan kekuatan hawa sakti yang timbul
dari cara bertempur berjungkir -balik seperti yang ia
demonstrasikan ketika meloncat tadi.
Namun sesungguhnya sudah terlambat bagi Purwoko
untuk menyadari bahwa dia tadi terlalu memandang rendah
Endang Patibroto. Kini wanita sakti itu sudah terlampau
marah dan tubuh yang masih langsing itu tiba-tiba lenyap
dan berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerangnya
dengan pukulan bertubi-tubi. Purwoko memutar tongkatnya
melindungi tubuh, dan gerakan yang cepat ini membuat
tongkatnya menimbulkan gulungan sinar yang menyelimuti
dirinya. Pertandingan berlangsung cepat, sukar diikuti
pandang mata biasa. Hanya tampak gulungan sinar dan
bayang-bayang tubuh berkelebatan, dan terdengar suara
bersiutan. "Plakkk .......... krakkk .......... !!"
Tubuh Purwoko terhuyung ke belakang dan tongkatnya
telah patah-patah dan remuk! Kiranya tadi tongkatnya kena
dicengkeram tangan Endang Patibroto dan direnggutkan
sehingga patah-patah dan remuk, Purwoko yang berusaha
merampas tongkat, kini hanya memegang sepotong kecil


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dan terbawa oleh tenaga betotannya sendir. la
terhuyung ke belakang. Marahlah si gundul. la mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya dan berseru,
"Aku belum kalah, belum turun dari panggung. Endang
Patibroto, kau tidak mau disayang, rasakan kedigdayaan Si
Hantu Kelabang!" Tiba-tiba saja kedua tangan yang tadi
sudah kemerahan kini berubah hitam dan tercium bau yang
wengur seperti bau binatang kelabang atau ular-ular berbisa.
Tubuh yang kurus kering itu melompat berjungkir balik dan
.......... ia menyerang Endang Patibroto dengan kepala di
bawah kaki di atas! Hebat bukan main serangan ini. Hebat dan juga aneh.
Karena keanehan inilah maka amat berbahaya, sukar
diduga dan setiap serangan mengandung hawa beracun
yang dapat merenggut nyawa. Kepala gundul yang berubah
kegunaannya menjadi kaki itu berloncatan dengan suara
"dak-duk-dak-duk!" di atas panggung, kedua kaki di atas
dan bergerak-gerak seperti dua batang tongkat, juga kedua
lengannya bergerak-gerak mencari sasaran, bukan hanya
untuk memukul atau mencengkeram, bahkan kini kedua
tangan itu bergantian menyambitkan jarum-jarum beracun
ke arah Endang Patibroto!
"Serr-serr-serrr I" Jarum-jarum berwarna merah menyambar dari bawah ke arah tubuh Endang Patibroto.
Ketua Padepokan Wilis ini maklum betapa bahayanya
jarum-jarum beracun ini, maka ia menggunakan kegesitannya untuk melayang ke atas dan menyampok
runtuh jarum-jarum itu dengan angin pukulan tangannya.
"Manusia keji tak dapat diberi hati!" kata Endang
Patibroto dan ketika tubuh-nya melayang, tangannya
bergerak dan "cuat-cuat .......... I" dua batang panah anak
panah telah menyambar ke arah kedua kaki Purwoko.
Namun kedua kaki si gundul itu ternyata hebat juga, karena
secara cepat menendang runtuh dua batang anak panah itu
dari samping. Mendadak Purwoko berseru keras dan kedua
tangannya menangkis ke belakang karena tahu-tahu Endang
Patibroto sudah berada di belakangnya dan menendang ke
arah kepalanya. Kiranya panah tangan yang dilepas Endang
Patibroto tadi hanya sebagai jawaban terhadap kiriman
jarum-jarum beracun, sekalian dipergunakan untuk gertak
sehingga ia dapat meloncat ke belakang lawan dan
mengirim tendangan-tendangan kilat.
Si Hantu Kelabang Purwoko ternyata dapat menangkis
tendangan-tendangan itu dan kepalanya di atas papan itu
berputar sehingga tubuhnya membaiik ke belakang. Melihat
ini, Endang Patibroto menggeser kakinya, cepat sekali dan
ia menyerang dari arah belakang tubuh si kurus kering,
melancarkan pukulan-pukulan Pethit Nogo ke arah
punggung dan tendangan-tendangan ke arah tengkuk.
Diserang dari belakang, Purwoko kembali berputar akan
tetapi bayangan Endang Patibroto sudah lenyap karena
wanita itu sudah menggeser kaki pula dan berada di
belakangnya. Demikianlah, bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus, tubuh Endang Patibroto berkelebatan dengan geseran-geseran kaki indah teratur
serta cepat sekali, sedangkan Purwoko yang maklum akan
bahayanya diserang dari belakang, kini berpuat-putar seperti
gasing di atas kepalanya.
Hebat sekali pertandingan itu, Setyaningsih memandang
dengan wajah tegang. Diam-diam ia bersyukur bahwa
ayundanya mencegah ia turun tangan, karena kini jelas
tampak olehnya bahwa akan sukar sekali bagi dia untuk
mengalahkan si gundul yang luar biasa itu. Adapun Retna
Wills yang menonton penuh perhatian, menjadi kagum dan
diam-diam memperhatikan. Gadis cilik ini dapat menduga
bahwa ada persamaannya antara cara si gundul berjungkir
balik dengan cara berlatih samadhi seperti diajarkan ibunya,
yaitu dengan menggantung jungkir balik di cabang pohon.
Para penontong juga memandang ke atas panggung dengan
mata terbelalak. Sebagian besar di antara mereka tidak
dapat mengikuti jalan-nya pertandingan karena terlampau
cepat. Mereka ini hanya melihat tubuh si gundul berputaran
seperti gasing dan tubuh Endang Patibroto berkelebatan
seperti seekor burung srikatan menyambar nyamuk-nyamuk
di udara. Memang tak dapat disangsikan lagi bahwa Si Hantu
Kelabang Purwoko akan menjadi lawan yang terlampau
berat bagi Setyariingsih. Akan tetapi menghadapi Endang
Patibroto ia masih kalah jauh. Andaikata Endang Patibroto
bertanding dengan pamrih membunuh, agaknya pertempuran itu tidak akan berlangsung sedemikian
lamanya dan tentu sekarang juga Purwoko sudah
menggeletak tewas sebagai korban pukulan Gelap Musti
atau Aji Wisangnala. Akan tetapi Endang Patibroto dalam
kedudukannya sebagai ketua Padepokan Wilis, tentu saja
memegang teguh peraturan yang ia keluarkan sendiri, maka
ia berusaha untuk mengalahkan Purwoko tanpa membunuhnya, dan hal inilah yang membuat ia
membutuhkan waktu yang agak lama karena Purwoko
merupakan seorang lawan yang tidak ringan.
"Robohlah .......... !" Tiba-tiba terdengar suara bentakan
Endang Patibroto ketika dengan keras ia sengaja menangkls
serangan kedua kaki Purwoko dengan tamparan jari-jari
tangan yang penuh dengan getaran Aji Pethit Nogo. Hebat
tangkisan itu sehingga tubuh Purwoko mendoyong miring.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Endang Patibroto untuk
membentak dan mendorongkan kedua lengannya ke depan,
dengan Aji Wisangnala. Aji ini kalau dipergunakan untuk
memukul, mungkin tidak akan kuat ditahan oleh seorang
sakti seperti Purwoko sekalipun, akan tetapi sekali ini hanya
dipergunakan oleh Endang Patibroto sebagai pukulan jarak
jauh sehingga hanya hawa pukulan-nya saja yang
mendorong tubuh lawan. "Aduhhh .......... !!" Tubuh Purwoko terguling karena ia
tidak dapat menahan hawa dorongan yang mengandung
rasa panas luar biasa itu. Akan tetapi, begitu tubuhnya
rebah di atas papan panggung, tubuh itu lalu menerjang
maju cepat sekali dengan jalan merayap seperti seekor
kelabang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh
Endang Patibroto. Belum pernah ia menyaksikan hal
sepertI itu, juga ketika masih berguru kepada Dibyo
Mamangkoro ia belum pernah mendengar gurunya
bercerita tentang ilmu aneh seperti itu sungguhpun sudah
banyak ia ketahul tentang pelbagai aji kesaktian golongan
hitam dan kaum sesat. Karena kaget ia tidak dapat
mencegah lagi ketika tangan kiri Purwoko mencengkeram
ujung kainnya! "Aihhhh .......... !" Dalam keadaan terancam mengalami
penghinaan yang memalukan itu, Endang Patibroto tidak
kehilangan akal. Cepat tubuhnya membungkuk dan jari-jari
tangan kanannya menyambar tengkuk Purwoko, mengirim
tamparan Pethit Nogo dengan sebagian tenaga saja.
"Brettt.......... ! Kekkk?".!!"
Ujung kain Endang Patibroto robek sedikit akan tetapi
Purwoko roboh pingsan! Dengan menahan gemas Endang
Patibroto menggunakan kakinya, mencokel tubuh itu
sehingga terlempar ke bawah panggung dalam keadaan
tubuh masih pingsan. Penonton yang tadi menahan napas menyaksikan
pertandingan hebat itu, kini berisik saling membicarakan
pertandingan itu dan kini makin gentarlah hati mereka.
Tidak hanya Setyaningsih sudah memperlihatkan kedigdayaan yang mengagumkan, juga kini Endang
Patibroto membuktikan bahwa dia memang seorang wanita
sakti sukar dicari bandingnya. Setelah Endang Patibroto
meloncat turun dan kembali duduk ke tempatnya, suasana
kembali menjadi hening. "Ayunda benar, dia berbahaya sekali .......... " kata
Setyaningsih. "Ibu, ilmu apakah itu, berjungkir balik seperti yang
dilakukan si gundul?" tanya Retna Wilis.
Endang Patibroto menarik napas panjang dan memeriksa
ujung kainnya yang robek. "Dia tidak sangat sakti, hanya
memiliki siasat-siasat berbahaya. Seperti seekor kelabang
yang curang. Ilmunya berjungkir-balik sungguhpun cukup
kuat, namun dilatih dengan sesat sehingga hanya
tampaknya saja menyeramkan, sebetulnya tidak ada apa-
apanya. Lebih baik lanjutkan latihan samadhi sambil
menggantung di pohon, Retna."
Pada saat itu, keheningan suasana telah pecah oleh
berisiknya para penonton karena kini di atas panggung telah
berdiri seorang pemuda tampan sekali. Pemuda itu bukan
lain adalah Pangeran Panji Sigit. Ia memberi hormat ke
arah Endang Patibroto dan berkata halus,
"Mohon banyak maaf kepada Ayunda. Dorongan kasih
membuat saya nekat memasuki sayembara dan membawa
seorang wali, yaitu Eyang Datujiwa. Mudah-mudahan saja
para dewata melindungi hamba dan akan tercapai apa yang
hamba idam-idamkan. Marilah, Adinda Setyaningsih, kita
menguji kedigdayaan. Hanya sedikit harapan saya
hendaknya Adinda menaruh kasihan kepada saya."
Wajah Setyaningsih sudah menjadi merah sekali ketika
melihat pemuda yang selama ini membuatnya tak enak
tidur tak sedap makan itu telah berdiri menanti di atas
panggung. Saat inilah yang dinanti-nantinya. Dia sudah
bertekat bulat untuk melawan siapa saja secara mati-matian,
kalau perlu mengadu nyawa di atas panggung sayembara
karena ia tidak rela berjodoh dengan laki-laki lain kecuali
pemuda yang kini berada di atas panggung ini! Namun
setelah saatnya tiba, ia merasa kedua kakinya menggigil dan
mukanya panas. Betapapun juga, tanpa disadarinya seperti
orang terkena hikmat gaib, dara jelita itu bangkit berdiri dan
tanpa menoleh sedikitpun kepada ayundanya seperti tadi,
langsung ia menghampiri panggung lalu melompat naik
diiringi sorak-sorai para penonton yang timbul kembali
kegembiraan mereka. Dara jelita itu kini kembali akan
bertanding dan lawannya begitu tampan seperti Sang
Harjuna! Melihat perawakan kedua muda-mudi ini, melihat
wajah mereka, sungguh mereka itu merupakan pasangan
yang amat setimpal, seperti Dewa Komajaya dan Dewi
Komaratih, seperti Sang Harjuna dan Dewi Sembadra.
Sama-sama muda remaja, sama-sama tampan rupawan,
sama-sama agung berwibawa dan sakti mandraguna!
Sejenak mereka berdua berdiri saling berhadapan.
Pangeran Panji Sigit memandang dengan wajah berseri dan
mata bersinar-sinar, membayangkan kasih sayang dan
kemesraan yang tidak dibuat-buat, yang langsung memancar dari lubuk hatinya, namun yang membuatnya
terpesona sehingga sukar untuk mengeluarkan kata-kata.
Hatinya terharu sekali. Kalau mungkin, ia ingin sekali
memeluk dan mencumbu rayu dara ini, bukan sekali-kali
menghadapinya sebagai lawan bertanding! Betapa mungkin
ia bertanding sebagai lawan dan menyerang dara yang
dikasihinya ini" Kalau perlu ia bahkan rela mati di bawah
kakinya, rela mengorbankan apa saja demi cinta kasihnya
yang mendalam! Namun, untuk dapat tercapai cita-cita dan
idaman hatinya, ia harus dapat mengalahkan dara ini dalam
adu kesaktian! Tiada jalan lain karena ia cukup mengenal
watak Endang Patibroto yang keras dan kemauannya yang
sukar ditundukkan oleh apapun juga.
Adapun Setyaningsih, berbeda sekali dengan tadi ketika
menghadapi calon-calon lain, agung berwibawa, tenang dan
memandang dengan mata tajam, kini menundukkan
mukanya, berdiri dengan pundak meringkus (menyempit),
memandang ke arah ujung ibu jari kakinya yang utak-utik
bergerak-gerak menggores-gores papan panggung! Sampai
lama kedua remaja ini berhadapan tanpa mengeluarkan
suara, bahkan tanpa bergerak, lebih gugup dan bingung lagi


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena beberapa orang penonton yang agaknya dapat
menangkap arti gerak-gerik mereka ada yang mulai
terkekeh mentertawakan. "Bibi .......... Jangan melupakan pesanku, lho! Awas,
kalau melanggar, Bibi akan ku-jothak (kumusuhi)!" Tiba-
tiba terdengar teriakan Retna Wills dan semua orang
tertawa sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan
pesan puteri ketua Padepokan Wilis itu. Hanya Endang
Patibroto dan Setyaningsih yang mengetahuinya, juga
Pangeran Panji Sigit dapat menduganya maka hatinya
menjadi lega, maka sambil melempar senyum ke arah
bocah itu ia berkata, "Terima kasih, keponakanku yang manis!"
Setyaningsih menjadi makin jengah dan malu, mukanya
makin menunduk. Seperti dalam mimpi ia mendengar suara
yang halus penuh getaran asmara itu,
"Diajeng, marilah kita mulai, tidak enak dijadikan
tontonan orang." Barulah ia berani mengangkat muka. Sejenak pandang
mata mereka bertemu, bertaut dan melekat mesra.
Kemudian dara itu berbisik, "Marilah .......... silahkan?"?""
Berbareng keduanya bergerak dan terjadilah pertandingan yang amat menarik hati. Keduanya sama-
sama memiliki gerakan yang trengginas dan cepat, dengan
gerak silat yang indah seperti tarian lemah gemulai.
Tampaknya kedua orang muda ini bukan seperti tengah
bertanding yuda, melainkan sedang berlagak dengan tarian
indah di atas panggung. Namun, bagi para penonton yang
kesemuanya memiliki kepandaian, jelas bahwa kedua orang
muda itu benar-benar saling serang dengan cepat dan kuat.
Pertandingan yang amat seru. Sesungguhnya hal ini hanya
kelihatannya saja, karena bagi Endang Patibroto, juga bagi
Ki Datujiwa, dan beberapa orang yang hadir di situ dan
memiliki ilmu kepandaian tinggi, kedua orang remaja itu
tidak bertanding sungguh-sungguh. Memang tampaknya
melakukan pukulan dan tendangan sungguh-sungguh,
dengan gerak silat yang sempurna dan daya serang yang
dahsyat, namun tenaga dalam penyerangan ini selalu
dikendalikan sehingga andaikata lawan akan terkena, dapat
ditarik mundur atau dihilangkan tenaganya sehingga tidak
akan melukai lawan! Mereka itu seolah-olah sedang berlatih
saja! Namun gerakan mereka yang gesit menyuguhkan
tontonan yang indah menarik dan menegangkan bagi
mereka yang tidak tahu sehingga mereka bersorak-sorak
setiap kali seorang di antara mereka tampak terdesak
sampai ke pinggir panggung. Hanya sebentar saja desakan
ini karena segera yang terdesak dapat menguasai keadaan
dan balas mendesak. Tentu saja Setyaningsih tidak menghendaki pemuda
idaman hatinya ini kalah dan terpelanting ke bawah
panggung. Karena hal itu akan berarti bahwa pemuda ini
tidak mungkin menjadi jodohnya! Bukan hanya karena
pesan Retna Wilis saja maka ia mengalah dan tidak
sungguh-sungguh penyerangannya, melainkan juga karena
dia sendiri di dalam hatinya sudah memilih Pangeran Panji
Sigit sebagai calon suaminya. Akan tetapi, Setyaningsih
adalah seorang dara yang pendiam, serius, berpemandangan luas, berwatak adil dan keras hati, tak
mengenal takut asal bersandarkan kebenaran. Watak ini
mendatangkan sifat angkuh dan tidak mau kalah, serta
ingin dihargai. Apalagi oleh orang yang dicintanya. Ia ingin
memperlihatkan kepada pangeran muda ini bahwa dia
bukan seorang lemah, bahwa dia mampu menandingi
pangeran itu kalau dikehendakinya, maka dalam pertempuran inipun, sungguhpun ia tidak ingin mengalahkan si pangeran yang menjadi pilihan hatinya,
akan tetapi ia ingin membuktikan bahwa dia sebetulnya
tidak kalah! Ketika ia mendapat kesempatan setelah pukulannya
ditangkis pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas
dengan Aji Bayu Tantra, demikian cepatnya ia meloncat
sehingga bagaikan terbang saja dan sambil meloncat, ketika
melewati dekat kepala Pangeran Panji Sigit, tangan kirinya
menjangkau dan cepat ia menyambar ikat kepala pangeran
itu, direnggutnya terlepas dari kepala pangeran Itu.
Pangeran Panji Sigit maklum akan isi hati dara yang
dicintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mempertahankan ikat kepalanya, atau dapat ia mengirim
pukulan maut ke perut dara yang sedang melambung di
atasnya itu andaikata dara itu seorang musuh. Akan tetapi
tentu saja ia tidak mau melakukan hal ini, sebaliknya ia
membiarkan ikat kepalanya dirampas dan cepat sekali
lengannya menyambar dan memeluk pinggang yang
ramping dari Setyaningsih dan langsung membawa dara itu
meloncat turun panggung! Setyaningsih terkejut, namun
tidak dapat meronta karena pelukan lengan pada
pinggangnya itu membuat ia menjadi lemas dan seperti
lumpuh! Ketika turun ke atas tanah, Pangeran Panji Sigit lebih
dulu menurunkan dara itu, baru ia turun belakangan.
Dengan demikian, berarti bahwa Setyaningsih yang lebih
dulu turun dari panggung dan ia berada di fihak menang.
Akan tetapi untuk tidak menyinggung perasaan orang yang
dicintanya, ia membungkuk dan berkata sambil tersenyum
dan memegangi rambutnya, "Engkau hebat, Diajeng, telah berhasil merampas ikat
kepalaku. Aku mengaku kalah .......... "
Setyaningsih memandang dengan mata bersinar-sinar
dan muka merah karena girang dan juga jengah, mulutnya
berkata gagap, "Ohhh .......... tidak .......... , kau?".., tidak
kalah ?"" aku yang lebih dulu turun .......... " Setelah
berkata demikian dara ini lari menuju ke tempat dudu
Endang Patibroto dan lupa bahwa tangannya masih
membawa ikat kepala pangeran muda itu.
Pangeran Panji Sigit mengejarnya da bersama Setyaningsih ia lalu menjatuhka diri bertekuk lutut di depan
Endang Pa tibroto sambil berkata, "Mohon Ayunda sudi
memaafkan dan tentang hasil pertandingan tadi, saya hanya
taat aka keputusan Ayunda."
"Sudah terang Bibi Setyaningsih yang kalah!" Retna
Wilis berteriak. "Semua, orang juga melihatnya. Bibi
Setyaningsih yang lebih dulu menginjak tanah, berarti dia
yang lebih dulu dipaksa turun!"
Semua orang yang menonton tertawa Mereka inipun
merasa suka akan pemuda yang tampan, tangkas serta
lemah lembut dan sopan itu. Seperti mendapat aba-aba,
sebagian besar di antara mere berseru, "Pemuda itu
menang.......... !!"
Diam-diam Endang Patibroto meras terharu sekali,
namun sedikit juga tidak tampak pada wajahnya. Ia cukup
yakin sekarang bahwa adik kandungnya benar-benar telah
jatuh cinta kepada Pangeran Panji Sigit. Terkenanglah ia
kepada Joko Wandiro atau Tejolaksono, satu-satunya pria
yang dicintanya dengan tulus ikhlas dan seluruh jiwa
raganya. Betapa merana dan sengsara hidup ini dipisahkan
dari orang yang dicinta. Tentu saja ia tidak tega untuk
membuat adik kandungnya sendiri merana dan menderita
sengsara. Pangeran Panji Sigit memang cukup berharga
untuk menjadi suami Setyaningsih. Akan tetapi sebagai
seorang wanita yang memegang teguh aturan dan amat
keras hati, apalagi karena marah teringat betapa Ki
Datujiwa mengambil puterinya sebagai murid tanpa minta
perkenannya, ia lalu berkata,
"Anggap saja dalam babak pertama ini engkau menang.
Akan tetapi masih da babak ke dua sebagai babak yang
akan menentukan. Suruh walimu naik ke panggung!"
Wajah Pangeran Panji Sigit menjadi pucat. Dari suara
ayundanya ini ia dapat menarik kesimpulan bahwa Endang
Patibroto tidak cocok menerimanya sebagai talon jodoh
Setyaningsih. Biarpun ia maklum bahwa Ki Datujiwa amat
sakti, namun ia masiti meragu apakah kakek itu akan dapat
menandingi Endang Patibroto yang demikian tinggi
ilmunya. Ia menoleh ke arah Setyaningsih, bertukar
pandang dengan sayu, kemudian bangkit berdiri dan
berjalan menghampiri Ki Datujiwa, menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata, "Duh, Eyang .......... , nasib saya berada di tangan
Eyang." Ki Datujiwa tertawa dan mengangkat bangun pemuda
itu. "Tenanglah, Angger. Memang mencapai segala cita-cita
yang baik selalu tidak mudah, namun kita tidak boleh putus
asa." Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menghampiri
panggung dan melompat naik dengan gerakan sederhana.
Semua penonton tercengang. Pemuda yang tampan dan
gagah perkasa tadi mengapa membawa wali seorang kakek
petani yang begini sederhana dan sama sekali tidak
kelihatan sakti" Seorang kakek pendek kecil yang
rambutnya tak terpelihara, pakaiannya sederhana dan
sikapnya tidak agung. Mana mungkin dapat menandingi
Endang Patibroto" "Ibu, jangan lupa, harap mengalah. Dia itu guruku,"
bisik Retna Wills yang tidak tahu bahwa bisikan itu
menambah rasa penasaran di hati Endang Patibroto. "Dia
sudah menolongku, dia baik sekaIi ?"?"."
"Kau anak kecil tahu apa tentang baik dan jahatl" bentak
Endang Patibroto yang sekali berkelebat sudah meloncat
naik ke atas panggung, berhadapan dengan Ki Datujiwa.
Sejenak keduanya saling pandang, seperti dua ekor ayam
hendak mengadu kekuatan lebih dahulu memperhatikan
calon lawan dengan pandang mata menilai.
"Jadi andika inikah yang menjadi wali Panji Sigit?"
"Benar, Sang Dewi. Aku kasihan melihatnya dan
bersedia membantu tercapainya cita-cita murni seorang
pemuda, demi bersatunya dua hati yang saling mencinta."
"Hemmm, andika telah menolong puteriku, sebetulnya
sudah selayaknya kalau aku mengalah. Akan tetapi andika
telah lancang mengangkat puteriku sebagai murid, ini
merupakan penghinaan yang hanya dapat ditebus dengan
nyawa. Mengingat akan pertolongan andika terhadap Retna
Wilis, akupun melupakan penghinaan itu. Tidak ada budi
apa-apa lagi dan karena itu kita harus bertanding sesua
peraturan." Semua orang yang hadir terheran-heran karena kedua
orang di panggung itu hanya berdiri berhadapan tanpa
mengeluarkan suara, hanya melihat betapa bibir kedua
orang itu agak bergerak-gerak. Memang ketika mengeluarkan kata-kata ini, Endang Patibroto yang tidak
ingin orang lain mendengarnya, telah mengerahkan aji
kesaktiannya, bicara dari dalam perut hanya dengan
menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara keras
sehingga hanya terdengar oleh orang yang diajak bicara.
Ki Datujiwa tersenyum, maklum bahwa perbuatan itu
mempunyai dua maksud. Pertama agar tidak terdengar
orang lain. Kedua untuk mendemonstrasikan kesaktian,
karena memang hanya mereka yang sudah memiliki hawa
sakti amat kuat saja yang dapat bicara dalam perut. Maka
iapun menjawab dengan cara yang sama.
"Angger, Sang Dewi Endang Patibroto. Tidak ada yang
menolong, tidak ada pula yang lancang. Semua terjadi
karena memang semestinya demikian. Andika mengajak
aku yang tua bertanding, boleh saja. Akan tetapi karena
dasarnya pengangkatan murid, kalau dibolehkan dewata
dan aku menang, aku akan mengajar ilmu kepada puterimu
selama sepuluh tahun. Bagaimana?"
Endang Patibroto mengerutkan kening dan berpikir.
Betapa mungkin ia berpisah darI puterinya" Akan tetapi
permintaan itupun sudah patut. Kalau kakek ini dapat


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenangkannya, tentu berharga menjadi guru Retna
Wilts. Agar puterinya jangan terbawa pergi, ia harus bisa
menangl Akan tetapi kalau ia menang, berarti akan
membuat hidup adiknya merana!
"Baiklah, Ki Datujiwa. Akan tetapi mengajarnya harus di
sini, andika harus tinggal di puncak Wilis."
Kembali kakek itu tersenyum sabar dan memandang ke
sekeliling, ke arah tamasya alam yang amat indah.
"Memang aku berjodoh dengan Wilis. Boleh, aku menerima
syarat itu." Kini Endang Patibroto berkata dengan mulutnya,
suaranya nyaring, "Bersiaplah andika!" Dan tubuhnya
bergerak maju dengan serangan kilat. Ia mengerahkan Aji
Bayu Tantra dan menggunakan pukulan Pethit Nogo yang
amat dahsyat. Namun yang dipukulnya hanya angin kosong karena
tahu-tahu kakek itu telah lenyap dari depannya dan telah
berada di sebelah kiri sambil berkata,
"Biarlah andika yang menahan serangan-seranganku!"
Sambil berkata demikian, Ki Datujiwa sudah melancarkan pukulan dengan tangan kanan dikepal. Sambil
memukul, kakek itu meloncat ke depan dan sementara
tubuhnya berada di atas ia memukul. Endang Patibroto
menggunakan lengannya menangkis sambil mengipatkan
jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo.
"Dess .......... !" Tubuh Endang Patibroto terdorong ke
belakang sungguhpun ia mampu menangkis pukulan itu. Ia
terkejut dan kagum. Pukulan dengan tubuh melambung
tidaklah sekuat kalau kedua kaki memasang kuda-kuda,
akan tetapi tenaga pukulan kakek itu bukan main kuatnya,
mengandung hawa sakti yang tak terlawan olehnya.
Sebelum ia sempat membalas, kakek itu sudah meloncat dan memukul lagi. Endang Patibroto bertubi-tubi menangkis datangnya pukulan yang seperti hujan dan berkali-kali ia tertolak ke belakang sehingga akhirnya ia mundur-mundur dan berputeran. Belum juga ia mampu membalas karena kakek itu setiap kali ditangkis sudah melambung lagi dan memukul seolah-olah tubuh kakek itu melambung karena tangkisan dan otomatis
menyerang kembali. Makin lama pukulan itu makin kuat
sehingga Endang Patibroto cepat-cepat menahan napas,
mengerahkan tenaga tangkisan yang didahului hawa panas.
Hawa pukulan kedua fihak kini bertemu di udara dan
sebelum kulit lengan mereka bersentuhan, tubuh Endang
Patibroto sudah terpental. Wanita sakti itu makin kaget.
Para penonton yang mengharapkan pertandingan seru,
menjadi kecewa dan terheran-heran. Kalau tadinya mereka
berdua itu saling tangkis, kini mereka berdiri dalam jarak
hampir dua meter dan memukul dari jauh, ditangkis dari
jauh pula, sama sekali lengan mereka tidak pernah
bersentuhan lagi. Namun setiap kali, tubuh Endang
Patibroto terdorong ke belakang. Kiranya dua orang sakti
ini telah mempergunakan pukulan jarak jauh dan hanya
mengandalkan hawa sakti masing-masing.
Baik ketika menangkis, maupun ketika ia memukul dan
ditangkis, Endang Patibroto selalu terdorong tubuh atasnya,
terbawa oleh lengannya. Ia maklum bahwa' ia kalah kuat,
maka dalam penasarannya ia lalu mengeluarkan pekik
Sardulo Bairowo yang dahsyat. Beberapa orang penontong
seketika merasa lumpuh kedua kakinya karena jantung
mereka tergetar hebat. "Sadhu-sadhu-sadhu .......... " Ki Datujiwa berkata
lembut namun tidak terpengaruh, hanya memandang tubuh
lawan yang kini berkelebat seperti seekor burung kepinis,
sambil melancarkan pukulan-pukulan sakti yang luar biasa
dahsyatnya. Mula-mula Endang Patibroto menerjang tubuh
kakek yang berdiri tegak itu sambil memukul dengan Aji
Pethit Nogo sepenuhnya. Namun pukulan dan tubuhnya
terhenti di tengah jalan, terhalang dan dihalau oleh
tangkisan yang keluar dari dorongan tangan Ki Datujiwa. la
menerjang lagi, berselang-seling mempergunakan aji
pukulan Pethit Nogo, Wisangnala, dan Gelap Musti.
Namun kesemuanya tidak berhasil, selalu kandas di tengah
jalan, buyar oleh hawa pukulan yang menangkis.
Di samping rasa penasaran, juga Endang Patibroto
hendak menguji benar-benar kakek ini. Seorang yang
menjadi guru puterinya harus mempunyai kesaktian yang
jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia
lalu memperhebat serangannya. Betapa heran dan kagum
hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa makin hebat
diserang, kakek Itu makin tenang, berdiri tegak, hanya
menyambut setiap serangan dengan dorongan tangan kanan
atau kiri berganti-ganti. Namun, dorongan-dorongan itu
saja sudah cukup membuat semua serangan Endang
Patibroto gagal! Bahkan lebih laripada itu. Makin keras
pukulannya, nakin keras pula ia terpental! Aji Argoselo
untuk memperberat tubuhnya sama sekali tidak ada
hasilnya, bahkan kalau pukulannya keras sekali, ia terpental
dan terhuyung sampai ke tepi papan panggung.
Benarkah Ki Datujiwa memiliki tenaga sakti seampuh
itu" Ia merasa penasaran lalu mengerahkan seluruh
tenaganya, mendorong dengan kedua tangannya melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti! Hebat
bukan main pukulannya ini. Baru hawanya saja sudah
cukup merobohkan seorang lawan sakti. Akan tetapi lebih
hebat lagi kesudahannya karena kakek itupun mendorongkan kedua tangan dan .......... tak dapat
ditahannya lagi tubuh Endang Patibroto mencelat ke
belakang sampai melewati tepi panggung! Semua orang
berteriak karena betapapun saktinya seseorang, kalau sudah
terlempar melewati tepi papan panggung, tentu akan jatuh
ke bawah dan berarti kalah.
Akan tetapi Endang Patibroto, ketua Padepokan Wills,
bukanlah seorang sakti yang biasa. Dia semenjak kecil telah
di gembleng berbagai ilmu, bahkan menjadi murid terkasih
Sang Dibyo Mamangkoro kemudian selama lima tahun
lebih di puncak Wills telah mematangkan Ilmu-ilmunya
dengan tekun sehingga kini merupakan seorang tokoh yang
sukar dicari bandingnya. Biarpun tubuhnya sudah terlempar
melewati tepi papan panggung, namun di udara tubuhnya
itu dapat berjungkir balik dan melayang kembali ke arah
panggung. Itulah Aji Bayu Tantra yang sudah mencapai
tingkat tertingt sehingga dalam melompat dia dapat ber-
jungkir balik dan mengubah arah, membalik ke arah
berlawanan mengandalkan tenaga luncuran tadi!
"Bagus sekali .......... I" seru Ki Datujiwa di antara tepuk
sorak penonton yang merasa kagum bukan main. Gerakan
Endang Patibroto itu seolah-olah gerakan seekor burung
garuda yang terbang membalik. Akan tetapi Ki Datujiwa
maklum bahwa kalau wanita sakti yang ganas ini tidak
segera ditundukkan, pertandingan akan berlarut-larut.
Sekali ini Endang Patibroto bertemu tanding yang jauh
lebih tinggi ilmunya. Ki Datujiwa adalah adik angkat dan
adik seperguruan Ki Tunggaljiwa dan dibandingkan dengan
Endang Patibroto, ia masih menang jauh. Bahkan kakek ini
masih lebih sakti daripada mendiang Dlbya Mamangkoro!
Dengan berdiri tegak, kakek Itu kembali mendorong dan
.......... tubuh Endang Patibroto yang sudah meluncur
kembali ke arah panggung itu kini terdorong lagi keluar
panggung. Endang Patibroto mengeluarkan pekik dan
tubuhnya kembali membalik di udara, namun sekali lagi di-
dorong keluar oleh lawannya! Bagaikan seekor burung
garuda yang berusaha melawan terjangan angin membadai,
Endang Patibroto berkali-kali terdorong keluar dan
akhirnya wanita sakti ini terpaksa mengakui keunggulan
lawan. Ia membiarkan dirinya terdorong lalu menukik ke
bawah, langsung ia menyerang papan panggung dengan
kedua tangannya. Pukulan Gelap Musti mengenai papan
panggung dan terdengarlah suara hiruk-pikuk karena papan
di mana Ki Datujiwa berdiri menjadi ambrol, papan-
papannya terlempar tinggal balok-baloknya sajal Endang
Patibroto sendiri terpaksa turun ke atas tanah dan peluhnya
membasahi muka dan leher, mukanya pucat dan napasnya
agak terengah. Ketika ia memandang, ternyata serangan
terakhir inipun gagal karena kakek itu tidak terlempar turun
seperti yang dikehendakinya, melainkan masih berdiri dl
tempat tadi, hanya kini bukan berdiri di atas papan
melainkan berdiri di atas sebuah di antara balok-balok
penunjang papan. Separoh dari panggung itu telah ambrol
papannya! Endang Patibroto menghela napas panjang, lalu iapun
melompat ke atas sebuah balok di samping Ki Datujiwa
sambil berkata, "Kepandaian Eyang terlampau hebat, saya
mengaku takluk." Kemudian ia memandang ke arah para
tamu dan berkata, "Hendaknya semua saudara yang hadir maklum bahwa
pemenang sayembara adalah Pangeran Panji Sigit yang
berhak menjadi jodoh adikku Setyaningsih. Dengan ini
sayembara ditutup dan dibubarkan!"
Orang-orang menjadi terkejut dan kagum.
"Ah, dia Pangeran Panji Sigit?"
"Pangeran Jenggala!"
"Pantas gagah dan tampan, walinyapun hebat!"
Endang Patibroto telah melompat turun, diikuti oleh Ki
Datujiwa yang tersenyum-senyum, di samping oleh
Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit yang berseri-seri
wajahnya. Setyaningsih merangkul ayundanya dan menangis saking terharu dan bahagia.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ketawa mengejek
dan ketika mereka semua menengok, kiranya si gundul
Purwoko telah berdiri di atas panggung yang tinggal
separoh. Kakek gundul ini telah siuman dan pulih
kesehatannya. Kini ia berdiri di atas panggung sambil
tertawa lalu berkata dengan suaranya yang melengking
tinggi, "Wah, Padepokan Wills bermain curang! Endang
Patibroto sungguh memalukan sebagai ketua Padepokan
Wilis. Kiranya yang menang adalah seorang Pangeran
Jenggala. Tentu saja menang karena memang dimenangkan! Siapa tidak mengetahui adanya sayembara
menggelikan ini" Kalau memang suka mendapat ipar
seorang pangeran, mengapa mengadakan sayembara palsu
ini" Pantas saja, pangeran itu tadi dilayani oleh
Setyaningsih sambil main-main belaka, dan kakek petani
itupun seperti badut karena Endang Patibroto sengaja
mengalah! Kalau me--11 mang bertanding betul-betul, tak
mungkin kalah. Saudara-saudara sekalian kalau tidak
percaya, boleh suruh pangeran itu atau walinya maju
melawan aku! Aku sudah kalah terhadap Endang Patibroto,
akan tetapi kakek petani itu akan kubikin jungkir balik!"
Ucapan Si Hantu Kelabang ini bukan ucapan seorang
tolol. Memang tadi ia melihat pertandingan antara
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, maka iapun tahu
bahwa pertandingan itu tidak sungguh-sungguh. Adapun
tentang Ki Datujiwa, ia hanya melihatnya sebagai seorang
petani tua sederhana, tidak mengenal namanya karena sejak
tadi tidak disebut, dan tingkat kakek ini sudah sedemikian
tingginya sehingga memang tadi tidak kelihatan menggunakan kesaktian. Sebaliknya, Endang Patibrotolah
yang kelihatan memperlihatkan ketangkasan luar biasa.
Kakek itu hanya berdiri dan mendorong-dorongkan kedua
tangannya. Siapa mau percaya" Hanya satu kali kakek itu
memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ketika papan


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panggung tergempur la meloncat ke atas kemudian turun
lagi hinggap di atas balok. Namun, kepandaian ini bagi Si
Hantu Kelabang Purwoko tidaklah mengherankan. Inilah
sebabnya mengapa ia menjadi iri hati dan menuduh yang
bukan-bukan. "Eh, tua bangka seperti cecak kering! Kau melantur tidak
karuan, ya?" Tiba-tiba Retna Wilis sudah melompat ke atas
panggung dan berdiri berhadapan dengan Purwoko di atas
panggung yang tinggal separoh, lalu bertolak pinggang dan
menudingkan telunjuk kirinya. "Kau berani menantang
paman pangeran" Berani menantang eyang guruku" Huh,
tidak memandang tengkuk sendiri! Tak usah mereka turun
tangan, kaulawanlah aku saja! Belum tentu kau menang,
tahu?" Semua orang yang tadinya sudah mau bubaran, kini
tertarik kembali dan menonton sambil tertawa-tawa.
Modar! Ketanggor kau sekarang, ketemu batunya!
Demikian bisik mereka yang merasa tidak senang
menyaksikan lagak Si Hantu Kelabang.
Endang Patibroto sudah bergerak hendak menegur dan
menyuruh puterinya turun, akan tetapi Ki Datujiwa
berbisik, "Biarlah, memang Purwoko perlu dihajar agar mundur
dan tidak berani sewenang-wenang." Tanpa menanti
jawaban, Ki Datujiwa lalu menghampiri panggung dan
meloncat ke atas, berdiri di sudut sambil berkata,
"Retna Wills, beranikah engkau mewakili gurumu dan
ibumu memberi hajaran kepada setan gundul yang tidak
sopan ini?" Melihat gurunya sudah berada di situ, nyali Retna Wills
makin bertambah. Dengan menjebikan mulutnya ke arah
Purwoko, ia menjawab, "Mengapa tidak berani, Eyang
Guru" Biar ditambah lima lagi macam dia, aku tidak takut!"
Si Hantu Kelabang yang tadinya hendak mengejek dan
mengumpat caci orang, kini benar-benar kalah desak dan
bertemu batunya menghadapi Retna Wills. Mau turun
tangan, masa dia seorang tokoh besar harus melayanl
seorang anak kecil yang baru enam tahun umurnya" Tidak
dilayani, dia dimaki-maka di depan orang banyak! Kini
melihat kakek petani yang ia pandang rendah itu sudah
maju, cepat ia berkata, "Eh, kebetulan sekali kau muncul, petani busuk! Hayo
mengakulah bahwa engkau dan Endang Patibroto memang
hanya bermain dagelan, pertandingan tadi tidak sungguh-
sungguh. Kalau memang kau ada kepandaian, coba
kaukalahkan aku!" Dengan suara tenang Ki Datujiwa menjawab, "Muridku
sudah bicara. Aku wakilkan kepada muridku ini, Retna
Wilis. , Kalau kau mampu mengalahkan Retna Wilis,
anggap saja aku sudah kalah oleh-mu. Biarlah semua yang
hadir menjadi saksi."
"Heh .......... ?"" ,Si Hantu Kelabang khawatir kalau-
kalau ia dipermainkan dan ditipu dengan ucapan itu. Bocah
masih begini kecil" Sedangkan ibu bocah inipun yang
berilmu tinggi, tadi menghadapi dia tidak dapat
mengalahkannya dengan mudah. "Sesungguhnyakah omonganmu itu, petani tua bangka?"
"Heeiii, engkau si hantu coro busuk bau! Mengapa kau
memaki-maki orang" Omongan kami semua adalah
sungguh-sungguh, tidak seperti omonganmu yang merupakan angin bau busuk belaka! Hayo lawan aku!"
Kisah Pendekar Bongkok 13 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pedang Pembunuh Naga 14
^