Perawan Lembah Wilis 15
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
fitnah .......... !" Patih yang sudah tua itu menutupi
mukanya dengan kedua tangan, tubuhnya menggigil karena
menahan rasa penasaran dan kemarahan besar.
"Tidak ada fitnahi Aku sendiri yang menjadi saksi,
bagaimana bisa dikatakan fitnah" Pengawal, tangkap
penghianat dan pemberontak ini, laksanakan hukuman
gantung di alun-alun bersama seluruh keluarganyal" Sang
prabu yang sudah diamuk kemarahan itu mengeluarkan
perintah yang disambut isak tangis seluruh keluarga
kepatihan. Namun para pengawal yang sudah mendapat
aba-aba dari Pangeran Kukutan, sudah menangkap mereka
semua, membelenggu dan menggiring mereka keluar dari
ruangan itu, menuju ke alun-alun.
Para ponggawa tidak ada yang berani campur tangan
karena mereka pun yakin akan keadaan ki patih,
sungguhpun hal ini membuat mereka terheran-heran dan
tidak mengerti. Kini alun-alun telah dibanjiri penduduk
yang hendak menyakslkan pelaksanaan hukum massal yang
mengerikan ini. Tiang-tiang gantung dibangun serentak,
tiga puluh enam buah banyaknya. Mengerikan! Hanya
mereka yang menjadi kaki tangan Suminten dan Pangeran
Kukutan saja yang diam-diam tersenyum puas karena
musuh besar mereka yang berbahaya itu kini akan dibasmi
habis. Rakyat biasa menonton dengan wajah pucat dan
banyak pula yang menangis sembunyi-sembunyi.
Sang prabu sendiri duduk di panggung dengan wajah
pucat dan mata sayu. Suminten duduk di dekatnya dengan
wajah berseri, dan Pangeran Kukutan berdirl tegak, gagah
dan masih berpakaian pemburu. Di dekatnya berdirl Raden
Warutama yang menjadi buah bibir para ponggawa, karena
dialah pada saat Itu menjadi pahlawan penolong raja. Para
hukuman sudah digiring berkelompok di dekat tiang-tiang
gantungan. Amat mengharukan keadaan mereka. Ki patih
yang sudah tua dengan kedua tangan dibelenggu, berdiri
dengan kedua kaki terpentang, mukanya yang keriputan
menengadah ke langit, seolah-olah mohon kekuatan dari
para dewata. Bergantlan keluarganya menghampirinya,
memeluk kedua kaklnya dan menangis, namun kakek
perkasa itu tidak mau memandang ke bawah karena ia
maklum bahwa sekali semangatnya runtuh, ia akan menjadi
pilu dan hatinya akan menderita. Ia tidak ingin mati dalam
keadaan seorang pengecut. Karena ia tidak bersalah, mati
pun harus seperti seorang satria perkasa. Perang tanding
terjadi dalam hati dan pikirannya. Betapapun gagah
sikapnya, kalau dia dan keluarganya akan mati di tiang
gantungan, berarti mereka itu mati sebagai keluarga
penghianat! Kalau dia mengamuk pada saat terakhir itu,
akhirnya ia akan mati dikeroyok berikut keluarganya dan
mati sebagai keluarga pemberontak!,
Tiba-tiba ki patih mengeluarkan suara menggereng
seperti seekor harimau terluka dan ia sudah memballkkan
tubuh, menghadap ke arah sang prabu yang duduk di atas
panggung. Kemudian, sambil memandang junjungannya
dengan sepasang mata berkilat-kilat, ia berkata, suaranya
nyaring sehingga terdengar oleh semua orang, memecah
kesunyian yang menegangkan di saat itu,
"Gusti Sinuwun! Hamba bukan seorang penghianat,
karena itu hamba tidak ingin mati sebagai seorang
penghianat terhukum! Keluarga hamba adalah abdi-abdi
yang setia, bukan pula pemberontak! Maka hamba
sekeluarga rela mengorbankan nyawa demi dharma bakti
hamba kepada Paduka Gusti. Namun sekali lagi, bukan
mati sebagai orang hukuman karena hamba tidak berdosa,
melainkan mati membunuh diri karena penyesalan dan
kedukaan menyaksikan Paduka Gusti Sinuwun junjungan
hamba telah terkena bujukan iblis, telah dilemahkan oleh
manusia-manusia berhati iblis seperti Suminten dan
Pangeran Kukutan! Hamba sekeluarga rela berkorban,
namun semoga paduka menjadi sadar ..........!"
Semua orang tertegun dan secepat kilat ki patih yang
memang memiliki kedigdayaan ini telah mematahkan
belenggu tangannya dengan sekali renggut kemudian
tangannya meraih seorang pengawal di dekatnya,
merampas sebatang pedang dan dengan pedang ini ki patih
lalu menyerbu keluarganya sendiri! Hebat bukan main
perlstiwa ini. Gerakan ki patih amat tangkas dan cepat,
tusukan-tusukannya tepat mengenai dada menembus
jantung sehingga setiap keluarga yang terkena tusukannya,
roboh tak sempat menjerit lagi. Isteri-isterinya, putera-
puterinya, para abdi, seorang demi seorang dia robohkan,
dia renggut nyawanya dengan perantaraan ujung pedang.
Mereka yang roboh tak bergerak lagi, mereka yang belum
terbunuh berlutut dan membuka dada sambil memandang
ki patih dengan air mata bercucuran. Semua slap menerima
kematian di tangan ki patih!
Tinggal lima orang kanak-kanak, yaitu cucu buyut ki
patih yang belum roboh tewas. Ki patih meloncat dengan
mengayun pedang. Dari mulut seorang anak laki-laki cucu
buyutnya, berusia paling banyak lima tahun, terdengar
rintihan, "Eyang .......... Eyang Buyut .......... !"
Ki patih yang matanya terbelalak, pedang dan seluruh
pakaian serta kedua lengannya merah oleh darah
keluarganya itu seperti disambar halilintar, berdiri
memandang wajah anak kecil yang menangis itu,
menggigil, pedangnya terlepas dan ia menjatuhkan diri
berlutut, mendekap lima anak kecil yang kini kesemuanya
menangis. "Srrrt .......... srrrtt .......... !" Hujan anak panah yang
dilepas oleh para pengawal atas perintah Pangeran Kukutan
menyambar ke arah kakek dan lima orang cucunya.
Ratusan batang anak panah menancap di tubuh kakek itu
yang dengan tenaga terangkir merangkul lima orang
cucunya, tak bergerak-gerak, dan hanya darah yang
bercucuran dari sekelompok manusia ini membuktikan
bahwa mereka berenam telah menjadi sasaran anak panah.
Ketika para pengawal menyerbu dan mendekat, baru
diketahui bahwa kakek itu memeluk lima orang cucunya
dengan pengerahan tenaga sehingga mereka berlima telah
tewas karena remuk tulang-tulangnya dalam dekapan kakek
mereka sebelum anak-anak panah itu menembus tubuh
mereka bersama tubuh kakek mereka. KI Patih Brotomenggala tewas dalam keadaan memeluk lima orang
cucu buyutnya, dengan mata masih melotot penuh
penasaran akan tetapi mulut membayangkan kasih sayang
mesra kepada keluarganya yang terpaksa ia bunuh sendiri
karena menghindarkan mereka daripada kematian sebagai
keluarga penghianat atau pemberontak!
Penglihatan yang amat hebat itu membuat semua
penonton menggigil, banyak yang bercucuran air mata,
bahkan ada yang pingsan di tempat ia berdiri atau
berjongkok. Sang prabu sendiri ternyata pingsan di tempat
duduknya dan dengan pimpinan Suminten dan Pangeran
Kukutan, sang prabu diusung masuk kemball ke dalam
istana. Para pengawal membubarkan semua penonton dan
melenyapkan mayat-mayat keluarga ki patih, tidak lupa
mencabuti tiang-tiang gantungan yang masih bersih karena
belum digunakan itu. Peristiwa mengerikan itu kembali mengguncangkan
Kerajaan Jenggala, membuat gentar mereka yang tadinya
berfihak kepada Ki Patlh Brotomenggala. Para ponggawa
yang tebal rasa sayang kepada diri sendiri, yang berwatak
pengecut, melihat betapa besar kekuasaan pangeran
mahkota dan selir terkasih sang prabu, maka tanpa malu-
malu mereka ini cepat memalingkan muka dan dengan suka
rela menggabung kepada Pangeran Kukutan. Mereka yang
leblh kokoh batinnya, yang menjunjung kesatriaan di atas
kepentingan pribadi, diam-diam lolos dari kerajaan,
membawa keluarga mereka melarikan diri dan bersembunyi
di gunung-gunung dan sebagian besar lari memasuki daerah
Panjalu. Sang prabu menjadi berpenyakitan semenjak terjadinya
peristiwa mengerikan itu. Atas bujukan Suminten dan
Pangeran Kukutan, juga karena menganggap bahwa orang
yang telah menolong nyawanya itu patut diberi anugerah
besar, apalagi mengingat bahwa Raden Warutama memiliki
kesaktian hebat, maka diangkatlah Raden Warutama
menjadi patih, menggantikan Ki Patih Brotomenggala.
Dengan demikian, secara tidak resmi, Suminten mewakili
raja mengatur rencana. Resminya, Pangeran Mahkota
Kukutan yang mewakili raja mengatur pemerintahan, dan
pelaksanaannya adalah Ki Patih Warutama!
Beberapa malam kemudian setelah terjadinya peristiwa
mengerikan di alun-alun Kerajaan Jenggala, Suminten
berkenan menerima "kunjungan" Ki Patih Warutama di
dalam kamarnya! Karena dia berkedudukan sebagai patih,
tentu saja akan amat menyolokiah kalau Warutama datang
secara berterang, maka Warutama mempergunakan aji
kesaktiannya, memasuki keputren ini seperti seorang
pencuri. Di dalam kamar yang indah dan harum itu,
Suminten dan Pangeran Kukutan menyambutnya dan
berpesta-poralah ketiga orang yang mabuk kemenangan ini,
dengan hidangan-hidangan yang lezat, dilayani oleh emban-
emban yang muda-muda dan cantik-cantik. Tentu saja para
emban dan abdi yang menjadi pelayan di situ, termasuk
beberapa orang pengawal kepercayaan, adalah orang-orang
yang sudah amat dipercaya.
"Sungguh beruntung siasat yang Andika jalankan itu
berjalan dengan amat lancar dan berhasil baik, Paman
Patih," kata Pangeran Kukutan setelah mereka terhenyak
kekenyangan dan kepuasan menghadapi meja yang telah
dibersihkan dari sisa-sisa makanan. "Dan baru sekarang kita
dapat berkumpul sehingga akan dapat terjawablah
pertanyaan-pertanyaan yang sungguh mengganggu perasaanku." "Hal apakah yang hendak Paduka tanyakan?"
"Tentang pasukan gundul itu. Siapakah mereka?"
Patih Warutama tersenyum lebar dan membusungkan
dada. "Mereka "adalah anak buah sahabat kita dari Negeri
Cola." "Permainan yang amat berbahaya sekali!" kata Suminten
sambil memandang dengan sepasang matanya yang jeli dan
bersinar jalang, yang dapat meneliti tubuh seorang pria
penuh penilaian seperti ketika ia memandang patih baru itu
pada saat Itu. "Andika membiarkan dua di antara mereka
tertawan hidup-hidup dan diperiksa di depan gusti sinuwun.
Hatiku hampir berhenti berdetik ketika mereka dlperiksa,
apalagi ketika mereka digertak oleh Brotomenggala.
Bagaimana andaikata mereka itu ketakutan dan mengaku
terus terang?" Patih Warutama memandang ke arah dada Suminten
yang membusung, seolah-olah hendak menembus kulit
halus itu menjenguk hati yang hampir berhenti berdetik.
Mulutnya masih tersenyum bangga. "Tidak mungkin.
Mereka itu adalah orang-orang yang sudah kehilangan
pengaruh atas diri pribadi, sepenuhnya mereka dIkuasaI
oleh ilmu kesaktian sahabat kita yang bernama Cekel
Wisangkoro, murid Sang Wasi Bagaspati yang sakti
mandraguna, wakil dari Negeri Cola."
"Hemm, kiranya begitu" Aku pun amat khawatir
tadinya. Akan tetapi, kupikir bahwa pelaksanaan siasat itu
agak merugikan. Untuk itu Andika telah mengorbankan
hampir lima puluh orang anggauta pasukan gundul.
Bukankah ini berarti mengorbankan nyawa teman-teman
sendiri?" tanya Pangeran Kukutan.
Berkerut kening tebal Patih Warutama. "Pangeran,
Paduka agaknya masih harus banyak belajar. Untuk
mencapai cita-cita, tidak ada jalan yang tak boleh ditempuh
dan dipergunakan. Jangankan hanya mengorbankan nyawa
lima puluh orang kawan, kalau perlu, jalan yang lebih keji
dan buruk lagi harus dilakukan demi tercapainya cita-cita.
Yang penting, cita-cita kita tercapai, bukan" Apa artinya
nyawa puluhan orang mayat hidup itu" Ha-ha-ha!"
Diam-diam Suminten dah Pangeran Kukutan bergidik.
Mereka pun bercita-cita tinggi dan tidak segan-segan
melakukan apa saja demi cita-cita tercapai. Akan tetapi
tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk menempuh
jalan seperti itu, membunuhi kawan sendiri sekian
banyaknya. Kini mereka diam-diam menganggap betapa
benarnya pendapat kawan baru ini dan mereka mengangguk-angguk, seperti murid-murid yang menerima
ajaran lebih tinggi dari seorang guru yang pandai. Melihat
sikap mereka, Patih Warutama lalu melanjutkan kata-
katanya dengan suara bangga. "Manusia hidup harus
bercita-cita untuk mencapai kedudukan tertinggi, karena
hanya dengan kekuasaan dan kedudukan tinggi kita akan
dapat menikmati kesenangan dunia. Selagi hidup, kalau
tidak mereguk arak kenikmatan dunia sepuasnya, apa
artinya" Hanya menanti mati. Dan untuk mencapai cita
cita, kita tidak boleh memilih cara. Cara apa saja harus
ditempuh demi tercapainya cita-cita!"
Orang ini hebat, pikir Suminten Dengan dia ini sebagai
sekutuku, akan berhasillah segala cita-citaku. Maka kini
pandang matanya mulai memancarkan daya tarik yang
amat memIkat ke arah Patih Warutama. Ki patih bukan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak tahu akan hal ini. Dia seorang pria yang sudah
berpengalaman dan sudah mengenal belaka segala sifat
wanita, maka ia makin bangga, wajahnya berseri dan tanpa
diminta ia melanjutkan kata-katanya seperti seorang guru
besar memberi kuliah atau seorang pendeta memberi
wejangan, "Hanya orang yang memperoleh kemenangan saja yang
akan tercapai cita-citanya. Kemenangan adalah kunci
pertama, karena yang menang itu berarti yang berkuasa,
dan sudah barang tentu bahwa yang berkuasa itu selalu baik
dan benar. Yang buruk dan salah, yang patut diinjak-injak
adalah mereka yang kalah. Bayangkan saja, andaikata
dalam urusan menghadapi keluarga Brotomenggala kita
yang kalah, akan bagaimana jadinya dengan kita" Kalau
mereka yang menang, tentu mereka yang berkuasa dan
mereka yang baik dan benar. Kita yang kalah" Menjadi
makanan cacing!" Pangeran Kukutan dan Suminten mendengarkan dengan
pandang mata kagum dan gembira. Mereka lalu minum
hidangan yang terbuat daripada campuran madu dan sari
buah, minuman yang memabukkan dan mempunyai daya
merangsang. Kalau kita mengetahui latar belakang tiga orang ini, akan
terdengar sumbang dan melantur pendapat yang dikemukakan oleh Warutama tadi. Namun, ah, betapa
banyaknya orang di luar kesadaran pribadi mempunyai
pendapat yang serupa. Untuk mencapai cita-cita maka
segala cara dibenarkan! Betapa kotor dan menyesatkan
pendapat seperti itu! Mereka lupa bahwa yang kotor tidak
mencerminkan yang bersih, bahwa yang pahit tidak
memberikan buah yang manis. Kalau cara yang
dipergunakan untuk menempuh cita-cita itu keji, maka
sudah tak dapat disembunyikan lagi bahwa cita-citanya
sendiri pun tentu keji! Tidak mungkin cita-cita yang bersih
ditempuh dengan jalan atau cara yang kotor! Sebaliknya,
cita-cita yang kotor takkan dapat ditempuh dengan cara
yang bersih, atau kalau pun bersih, maka kebersihan cara
itu hanya merupakan siasat atau kedok belaka. Sudah jelas
bahwa cita-cita yang baik dan bersih HARUS dicapai
dengan cara yang baik dan bersih pula!
Pendapat ke dua dari Warutama yang bermoral bejat
tentang kemenangan, kekuasaan dan kebenaran merupakan
pendapat yang tersesat jauh, bahkan mudah menyesatkan
orang. Memang tak dapat disangkal kenyataannya bahwa di
dunia ini banyak berlaku hukum seperti yang dikatakannya,
yaitu siapa menang dia berkuasa dan siapa berkuasa dia
benar dan baik! Akan tetapi ini hanya pendapat orang yang
menjadi kawula iblis, yang hidup demi pemuasan nafsu
pribadi. Pendapat Warutama itu merupakan hukum rimba
yang hanya patut diterapkan pada kehidupan binatang yang
tidak mengenal peri kemanusiaan. Manusia mengenal
pribudi, tahu akan baik dan buruk, mana benar mana salah.
Justeru pribudi menuntut agar setiap manusia ingat bahwa
dalam kemenangan tidak boleh sombong dan mabuk serta
gila kekuasaan. Kemudian, yang kebetulan berkuasa tidak
boleh sewenang-wenang menganggap diri sendiri selalu
benar dan baik. Karena menang dan kalah itu hanya
pandangan belaka, seperti suka dan duka. Yang menang di
lain waktu bisa kalah, demikian sebaliknya. Juga
kedudukan- tinggi atau rendah hanya pandangan, yang
tinggi sewaktu-waktu bisa saja menurun, yang rendah
menalk. Karena itu, pedoman terbaik adalah tidak patah
hati di waktu kalah dan tidak tinggi hati di waktu menang.
Selalu rendah hati, menujukan langkah di atas jalan yang
benar, dan menerima segala peristiwa yang menimpa diri
sebagai kehendak Yang Maha Kuasa!
Suminten yang sedang dimabuk cita-cita setinggl langit,
mendengar ucapan-ucapan Patih Warutama, menjadi amat
tertarik. "Sungguh beruntung bagiku dapat berjumpa
dengan seorang yang pandai seperti Andika! Semoga kerja
sama di antara klta akan tetap kekal abadIl" Ucapan ini
disertai senyum dan diikuti kerling memikat dari sudut
mata. Warutama tertawa, lalu tanpa malu-malu terhadap
Pangeran Kukutan ia berkata,
"Bolehkah sekarang raya mengharapkan hadiah pribadi
dari Sang Ayu?" Suminten terkekeh genit, bibir yang merah itu merekah
dan tampak deretan gigi yang putih dan berbentuk bagus
seperti mutiara. Dengan gaya manja ia menggeliat, menoleh
kepada Pangeran Kukutan sambil berkata,
"Puteranda Pangeran, sudikah Paduka pulang sekarang
karena ibunda ingin sekali beristirahat sambil minta
nasehat-nasehat dari ki patih?"
Pangeran Kukutan maklum akan maksud hati Suminten.
Dia tidak cemburu lagi, karena dia sudah mengenal betul
watak ibu tiri atau juga kekasihnya ini. Tiada bedanya
dengan dia sendiri. Setiap malam harus ada seorang kekasih
yang mengawani melewatkan malam panjang! Dia
mengenal tubuh indah wanita ini yang tak pernah merasa
puas dalam mengabdi nafsu berahi. Ia bangkit dan
tersenyum maklum sambil mengangguk kepada Warutama.
Kemudlan pergi meninggalkan kamar itu untuk mengunjungi seorang di antara kekasihnya yang banyak
terdapat di antara para puteri, abdi wanita, dan selir-selir
pangeran sepuh !ainnya. Asyik dan mesralah kini mereka berdua, Suminten dan
Warutama, setelah mereka ditinggal berdua saja di dalam
kamar itu. Para abdi diusir keluar, pintu kamar ditutup dan
mulailah mereka saling mengenal pribadi masing-masing.
Diam-diam Warutama kagum sekali karena sekarang ia
mengenal betul siapa sebenarnya wanita yang bernama
Suminten ini dan mengapa wanita ini dapat mencapai
kekuasaan di Kerajaan Jenggala. Banyak sudah ia mengenal
wanita yang secara suka rela atau paksaan menjadi
kekasihnya, namun baru sekali ini ia bertemu dengan
seorang wanita yang benar-benar dapat mengimbangi
keahliannya dalam bermain asmara. Sebaliknya, Suminten
juga mendapat kenyataan yang jauh melampaui dugaannya,
bahkan mendapatkan pengalaman yang jauh berada di luar
batas lamunannya. Mimpi pun belum pernah ia menemui
pria yang seperti Warutama, seorang yang sudah matang
dan benar-benar merupakan seorang ahli dalam menyenangkan perasaan dan hati wanita. Mereka berdua
seperti mabuk dan lupa diri, tenggelam dalam lautan nafsu
yang memabukkan dan barulah Patih Warutama sadar dan
tergesa-gesa meninggalkan kamar itu ketika keesokan
harinya, seorang abdi kepercayaan secara terpaksa
mengetuk pintu kamar karena khawatir kalau-kalau sang
prabu berkenan datang berkunjung di pagi hari itu.
Dengan adanya Patih Warutama, makin kuatlah
kedudukan persekutuan yang bercita-cita menguasai
Jenggala ini, dan makin berkembanglah sayap persekutuan
ini, makin jauh kuku-kukunya mencengkeram Jenggala.
Sang prabu yang makin lemah sudah menyerahkan seluruh
kepercayaannya kepada Suminten yang tak kunjung gagal
menina-bobokkan raja tua itu di malam hari, kepada
Pangeran Kukutan yang selalu pandai mencari muka
sebagai seorang putera mahkota yang penuh hormat, taat,
dan berbakti, dan kepada Patih Warutama yang sikapnya
tenang, pribadinya berwibawa, dan pendapat-pendapatnya
jitu itu. Jilid XXVII HANYA tinggal sang permaisuri saja yang kini selalu
diliputi kegelisahan. Permaisuri ini merasa kehilangan
tangan kanannya ketika Ki Patih Brotomenggala sekeluarga
dibasmi. Diam-diam ia menangis di dalam kamarnya dan di
dalam hatinya ia maklum bahwa gilirannya akan tiba kalau
dia tidak cepat-cepat bertindak. Dia tahu benar bahwa yang
menjadi biang keladi pembasmi keluarga Ki Patih
Brotomenggala tentulah Suminten dan Pangeran Kukutan.
Tentu saja sang permaisuri tidak tahu bagaimana caranya,
hanya tahu bahwa Suminten dan Pangeran Kukutan
merupakan persekutuan yang ingin merebut kekuasaan
dengan cara mempengaruhi dan menundukkan sri baginda,
suaminya. Permaisuri ini tidaklah gelisah mengkhawatirkan
keselamatan dirinya pribadi, sama sekali tidak. Dia sudah
tua, dan pula di dalam tubuhnya mengalir darah ksatria
utama. Yang dia khawatirkan adalah keadaan suaminya,
dan terutama sekali keadaan kerajaan. Dapat ia
membayangkan betapa Jenggala akan hancur dan akan
cemar kalau kelak dirajai oleh seorang macam Pangeran
Kukutan yang ia tahu benar adalah seorang muda yang
suka mengganggu anak isteri orang lain, berhati palsu,
pandai bermuka-muka, dan terutama sekali, menjadi
kekasih dan sekutu Suminten. Namun, apakah yang dapat
dilakukan oleh seorang wanita tua yang lemah" Memang,
ada beberapa orang ponggawa tinggi yang selalu setia
kepadanya, akan tetapi dlbandingkan dengan kekuasaan
Suminten dan Pangeran Kukutan di waktu ini, apalagi
dibantu oleh patih yang baru, maka ia sama sekali tidak
mempunyai kekuatan apa-apa. Sang permaisuri hanya
berdoa setiap hari sambil menanti kesempatan baik untuk
menjatuhkan pukulan untuk menghancurkan Suminten dan
sekutunya. -oo0dw0oo- Gadis itu menangis tersedu-sedu sambil melangkah
terhuyung-huyung di dalam hutan yang gelap. Malam telah
tiba, namun dia dipaksa berjalan terus oleh temannya,
seorang laki-laki tua yang membawa obor di tangan kanan,
sedangkan tangan kiranya menggandeng lengan gadis itu.
Mulutnya mengeluarkan suara menghlbur, sungguhpun
suaranya sendiri menggetar penuh keharuan dan hiburan itu
tidak ada artinya sama sekali bagi gadis yang berjalan
sambil tersedu-sedu menangis itu.
Gadis itu bukan lain adalah Widawati, gadis berusia
sembilan belas tahun, cucu Ki Patih Brotomenggala.
Tubuhnya tinggi semampai, perawakannya sedang berisi,
kulitnya hitam manis dan halus, gerak-geriknya serba
luwes. Pada saat itu, pakaiannya kusut, sekusut rambutnya
yang terurai. Ketika sinar obor di tangan laki-laki tua itu
menerangi wajahnya, tampaklah wajah yang ayu menarik.
Wajah yang dapat diduga tentu biasanya cerah gemilang
seperti sinar matahari pagi, dengan bentuk mulut yang
selalu senyum, bibir yang selalu merekah, selalu siap untuk
senyum dan tertawa, siap selalu untuk mengucapkan kata-
kata halus lembut, menutupi deretan gigi yang tidak begitu
rata namun putih bersih, dengan ketidakrataan yang bahkan
menambah manis! Alisnya menjelirit hitam, di atas
sepasang mata yang indah sinarnya karena pandang mata
itu mengandung pengertian mendalam, mengandung
kesabaran dan kasih sayang terhadap segala yang
dipandangnya. Gadis seperti yang muda-muda selalu
datang kepadanya ini, kalau sedang berduka akan
mengharukan hati setiap orang, kalau sedang gembira akan
menyinari semua orang, dan kalau marah akan disangka
pura-pura karena wajah seperti ini memang "tidak pantas"
kalau dipakai marah. Wajah yang bulat telur dengan dagu
kecil meruncing itu menyembunyikan usianya, membuat ia
tampak jauh lebih muda daripada usianya.
Widawati cucu Ki Patih Brotomenggala ini adalah
seorang gadis yang amat rajin mempelajari segala
kepandaian puteri. Terkenal di kepatlhan sebagaI sebagai
seorang gadis yang cerdik dan pandai, baik dalam olah
kewanitaan, kesenian, dan kerajinan tangan, maupun dalam
olah keperajuritan karena sebagai cucu Ki Patih
Brotomenggala yang sakti, tentu saja ia tidak mau
ketinggalan mempelajari seni bela diri yang gerakan-
gerakannya mendekati seni tari itu. Karena kecerdikannya,
gadis ini amat disegani oleh para abdi, bahkan ariggauta
keluarga untuk bertanya segala macam hal yang tidak
dimengertinya. Widawati dengan tekun dan sabar memberi
bimbingan kepada mereka sehingga tampaklah bakatnya
sebagai seorang pendidik yang sabar.
Biasanya, jika mendapat kesempatan mengikuti ramandanya yang sebagai mantu ki patlh yang juga
menjabat pangkat, yaitu sebagai petugas perairan untuk
mengatur pengairan sawah ladang milik istana, seringkali
keluar dan melakukan pemeriksaan, Widawati merasa amat
gembira. Dia seorang gadis pencinta alam dan sifatnya yang
ramah dan riang itu pun sesuai dengan suasana alam
terbuka. Melihat tanah merekah merah dan subur, melihat
rumput hijau seperti permadani, melihat padi di sawah
menguning emas dan bernyanyi tertiup angin, disinari
matahari yang cerah, semua ini menciptakan watak yang
ramah dan baik pada dirinya. Widawati seorang gadis
pencinta alam, seorang gadis pencinta sesama manusia,
yang ramah-tamah, tidak suka menyakiti hati orang lain,
dengan kecantikannya dan kesegaran yang wajar. Namun
kini, biarpun ia melakukan perjalanan melalui hutan-hutan,
di alam yang liar terbuka, ia sama sekali tidak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia hanya menangis
terus, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, pikirannya
kalut, perasaannya hancur, mulutnya merintih-rintih
menyebut nama ayah bundanya, kakek nenek, dan saudara-
saudaranya yang kesemuanya terbasmi habis oleh sri
bagirida dengan tuduhan berkhianat. Sepasang mata yang
biasanya jernih dan berseri penuh kasih dan pengertian itu
kini menjadi merah dan membendul oleh tangis.
Kakek itu adalah Ki Mitra, seorang juru taman, abdi
keluarga pelatih tarian. Hanya juru taman ini sajalah yang
dapat mengantar Widawati lolos dari kerajaan dengan
aman, karena seorang abdi tidak akan kentara kalau pergi
meninggalkan ramah. Memang ini merupakan siasat para
ponggawa tua yang masih setia kepada Ki Patih
Brotomenggala yang cepat-cepat turun tangan mengatur
kebebasan Widawati begitu mendengar bahwa gadis ini
kebetulan saja lolos daripada cengkeraman maut. Memang
dugaan mereka benar karena tidak lama kemudian setelah
Widawati melarikan diri diantar juru taman, datang orang-
orang kepercayaan Pangeran Kukutan mencari gadis itu di
rumah pelatih tarian. Biarpun diberi tahu bahwa gadis itu
tidak berada di situ dan sudah pulang, namun pasukan
pengawal ini tidak percaya dan tetap melakukan
penggeledahan sehingga andaikata Widawati bersembunyi
di dalam gedung itu, pasti akan tertangkap. Pula, para
pengawal ini meneliti apakah penghuni rumah pelatih tari-
tarian itu masih lengkap, dan baru mereka meninggalkan
rumah itu setelah mendapat kenyataan bahwa tidak ada
seorang pun di antara keluarga guru tari itu meninggalkan
rumah. Tentu saja mereka ini tidak perduli dan tidak
menyelidiki apakah seorang juru taman ada atau tidak!
Dengan bantuan para ponggawa tua, akhirnya Ki Mitra
si juru taman bersama Widawati, berhasil bolos keluar dari
istana melalui pintu gerbang bagian selatan. Ki Mitra yang
juga merupakan seorang yang biarpun hanya berpangkat
juru taman namun dapat melihat kemaksiatan merajalela di
dalam kerajaan, dengan taruhan nyawa sendiri membawa
gadis cucu ki patih itu terus melakukan perjalanan ke
selatan, tidak pernah benhenti karena takut kalau-kalau ada
pengejaran dari istana. Widawati adalah seorang gadis yang
terlatih, kalau hanya berjalan kaki sampai jauh saja ia
cukup kuat. Akan tetapi, melakukan perjalanan terus-
menerus tanpa henti dan dengan hati hancur, benar-benar.
amatlah sengsara. Baiknya di situ ada Ki Mitra yang selalu
menghibur dan membesarkan hatinya, menggugah semangatnya sehingga ia dapat bertahan dan malam hari
itu, dengan penerangan obor yang dinyalakan Ki Mitra,
mereka berjalan terus menyusup-nyusup hutan liar.
"Aduh, Ki Mitra ........... hendak kau bawa ke manakah
aku ini" Ah, mengapa mereka tidak membiarkan aku mati
bersama keluargaku agar aku terbebas dari-pada segala
derita ..........." Widawati berhenti dan menyandarkan diri di
batang pohon. Tubuhnya gemetar, wajah yang pucat itu
penuh peluh, dadanya bergelombang, kedua, tangan
membelai leher sendiri seakan-akan hendak mencekik leher
sendiri, kedua matanya dipejamkan dan air matanya
menitik turun melalui kedua pipinya.
Ki Mitra membetulkan obornya yang hampir padam.
Setelah obornya bernyala baik kembali, ia menoleh kepada
gadis itu. Hatinya penuh keharuan dan ia berkata,
"Den-ajeng, hendaknya tenang dan jangan berpendirian
seperti itu. Keluarga Paduka tewas karena fitnah, sama
halnya dengan dibunuh. Paduka tidak boleh bersikap
lemah. Ingat bahwa Paduka adalah keturunan gusti patih
yang sakti mandraguna dan gagah perkasa. Keluarga
Paduka difitnah dan dibunuh orang, hanya Paduka yang
dapat lolos, ini berarti bahwa kelak ada orang yang dapat
membalaskan segala dendam sakit hati ini. Marilah, Den-
ajeng, saya diberi kepercayaan dan tugas oleh para gusti
yang menjadi sahabat keluarga Paduka untuk menyelamatkan Paduka, agar jauh dari jangkauan tangan
iblis-iblis bermuka manusia itu."
"Ke mana" Ke mana engkau hendak membawaku?"
Widawati menyusut air matanya, semangatnya mulai
bangkit karena panas oleh ucapan Ki Mitre yang
mengingatkannya akan semua peristiwa yang menimpa
keluarganya. Dengan tangan terkepal ia teringat kepada
Pangeran Kukutan yang sudah beberapa kali berusaha
untuk menggodanya, namun yang selalu ia tolak dengan
tegas karena biarpun Pangeran Kukutan itu seorang muda
belia yang tampan gagah, namun ia dapat mengenal
moralnya yang bejat. Dari penuturan Ki Mitra di sepanjang
jalan, ia tahu bahwa yang menjatuhkan fitnah, entah
bagaimana caranya sehingga terdapat bukti-bukti bahwa
kakeknya melakukan khianat terhadap raja, adalah
Pangeran Kukutan dan Suminten, wanita cantik selir raja
yang amat dibencinya karena ia sudah banyak mendengar
tentang sifat rendah hina wanita itu.
"Menurut pesan para sahabat keluarga Paduka, kakek
Paduka gusti patih mempunyai dua belas orang pengawal
kepercayaan yang secara aneh telah menghilang pada saat
terjadinya penangkapan keluarga Paduka. Dua belas orang
pengawal itu adalah orang-orang gagah per kasa dan saya
hanya mengenal dan tahu tempat tinggal seorang di antara
mereka yang bernama Wiraman. Ki Wiraman ini berasal
dari dusun Suko, dekat desa tempat asal saya, di selatan. Ke
sanalah saya hendak membawa Paduka, mencari Ki
Wiraman dan selanjutnya menyerahkan Paduka kepadanya. Karena hanya seorang yang memiliki kesaktian
dan sudah terpercaya penuh seperti dua belas orang
pengawal itu sajalah yang akan mampu menyelamatkan
paduka, tidak seperti saya ini, seorang juru taman yang
lemah." Perjalanan dilanjutkan dan dengan bekal dendam sakit
hati terhadap musuh-musuh yang membasmi keluarganya,
Widawati menderita kesengsaraan perjalanan tanpa
mengeluh lagi. Selama sepekan ia mengikuti Ki Mitra
melakukan perjalanan menyusup-nyusup hutan, melalui
dusun-dusun kecil, makan seadanya tidur di mana saja.
Akhirnya tibalah mereka di dusun Suko dan di sini pun
mereka menjumpai bekas tangan musuh-musuh kepatihan.
Ternyata bahwa dusun ini pun diobrak-abrik oleh pasukan
pengawal kerajaan karena pasukan ini terlambat datang
mencari keluarga Wiraman yang telah lolos sehari sebelum
pasukan pengawal datang. Banyak penduduk dusun Suko
disiksa, ada beberapa orang malah dibunuh karena mereka
tidak dapat memberitahukan ke mana perginya Wiraman
dan keluarganya! Apakah sesungguhnya yang terjadi" Wiraman adalah
seorang di antara dua belas orang pengawal kepercayaan Ki
Patih Brotomenggala yang dapat lobos dengan luka-luka di
tubuhnya ketika dua belas orang pengawal ini berusaha
melindungi sang prabu di dalam hutan. Seperti: telah
diceritakan , di bagian depan ketlka peristiwa penghadangan rombongan sang prabu diserbu gerombolan
gundul di hutan dan ketika para pengawal sri baginda
terdesak oleh gerombolan itu, dua belas orang pengawal
pilihan yang secara sembunyi mengawal, lalu muncul dan
mengamuk. Akan tetapi mereka ini disambut oleh tiga
orang yang sakti mandraguna, yaitu Warutama, Ni Dewi
Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro sehingga sebelas orang di
antara mereka tewas dan hanya Wiraman saja yang berhasil
melarikan diri. Ki Wiraman ini langsung menuju ke
kepatihan, akan tetapi karena ia terluka dan hanya dapat
melakukan perjalanan lambat-lambat, ia datang terlambat
karena keluarga kepatihan sudah ditangkap semua! Dapat
dibayangkan betapa kaget dan duka hati ksatria ini. Ia
maklum bahwa keselamatan keluarganya sendiri pun
terancam, maka dengan menahan nyeri di dadanya akibat
luka pukulan, ia memaksa diri pulang ke dusunnya di Suko
dan cepat-cepat ia membawa keluarganya pergi dari dusun
itu, bersembunyi di daerah liar di pantai laut kidul. Untung
ia berlaku cepat, karena Pangeran Kukutan yang kemudian
mendengar akan dua belas orang pengawal rahasia ini,
cepat-cepat mengerahkan pasukan pengawal mencari
keluarga dua belas orang itu dan menangkap mereka
semua! Hanya sehari setelah ia membawa keluarganya lari
dari Suko, datanglah sepasukan pengawal ke dusun itu dan
mengobrak-abrik dusun Suko.
Mendengar berita ini, Ki Mitra maklum bahwa amatlah
tidak aman bagi Widawati untuk berdiam di dusun Suko,
maka terpaksa ia mengajak gadis itu pergi meninggalkan
Suko, untuk ia ajak ke dusunnya sendiri di mana tanggal
keluarga adik kandungnya yang hidup sebagai petani di
situ. Memang dia berasal dari dusun ini, dan ia bermaksud
menitipkan Widawati pada keluarga adiknya untuk
sementara waktu sehingga ia akan lebih mudah pergi
menyusul dan mencari Wiraman yang telah melarikan diri.
Menjelang senja mereka telah melewati gunung karang
terakhir dari pegunungan yang berderet-deret dari barat ke
timur seolah-olah menjadi tanggul pembendung ancaman
Laut Selatan. Widawati sudah lelah sekali, dan baru
sekarang ia mengeluh, "Ki Mitra ........... , masih jauhkah dusunmu" Aku ingin
sekali beristirahat dan berpikir ........."
"Sudah dekat, Den-ajeng, itu di depan ........... eh, hati-
hatilah, di depan ada orang!"
Widawati cepat menundukkan mukanya. Pakaiannya
sudah kusut dan kotor, juga kakinya penuh lumpur dan
debu sehingga ia tidak banyak bedanya dengan gadis-gadis
dusun biasa, apalagi karena telah melepaskan semua
perhiasan emas permata dari tubuhnya dan menyimpannya
di dalam kemben. Hanya menurut nasehat Ki Mitra, ia
harus selalu menyembunyikan mukanya karena wajahnya
terlalu cantik untuk mengaku seorang gadis dusun. Maka
kini otomatis ia menundukkan mukanya agar orang yang
disebut oleh Ki Mitra itu tidak akan melihat wajahnya
apabila mereka bersilang jalan.
Ketika orang yang datang dari depan dan jalannya
berindap-indap menyusuri tepi sawah itu telah datang
dekat, Ki Mitra berseru, suaranya girang sekali, Ah,
Denmas Wiraman ........... ?" Ki Mitra tertegun memandang. "Bukankan andika ........... Denmas Wiraman
........... ?" Mendengar sebutan nama ini, Widawati mengangkat
muka memandang. Pria itu bertubuh sedang dan tegap,
terbayang kekuatan di balik kulit lengan dan dadanya yang
bidang. Usianya empat puluh tahunan, dengan pandang
mata tajam dan wajahnya yang tampan membayangkan
derita hidup yang diterimanya penuh kesabaran. Sabar,
kuat, penuh pengertian membayang pada wajah di bawah
rambut yang sudah mulai terhias warna putih. Seorang pria
yang gagah dan wajahnya mendatangkan kepercayaan.
Wiraman, pria itu, juga memandang penuh perhatian,
dan hanya mengerling sebentar kepada Widawati, lalu
perhatiannya tercurah kembali kepada Ki Mitra. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya kelihatan menderita kelelahan hebat. Akan tetapi pandang matanya
bersinar dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal Ki
Mitra. "Kakang Mitra kalau aku tak salah', duga?" tanyanya.
"Betul, saya adalah Ki Mitra! Ah, Denmas Wiraman,
betapa susah payah saya mencari Andika .......!" Dengan
girang Ki Mitra memegang lengan tangan prla itu.
"Ada apakah" Engkau yang telah bekerja sebagai juru
taman di kota raja, mengapa datang mencariku?"
"Denmas, ceritanya panjang sekali. Marilah Andika ikut
bersama kami ke rumah adik saya di dusun itu, nanti saya
ceritakan semua persoalan yang amat gawat dan penting
..........." "Hemm ........... , boleh, marilah. Akan tetapi ...........
siapakah nini yang ikut bersamamu ini?"
Ki Mitra menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab, lalu
berbisik, "Untuk dia inilah maka saya mencari Andika. Dia
ini adalah satu-satunya cucu gusti patih yang berhasil lolos
dari cengkeraman maut ........... "
"Ahhh ........... Ya Dewata Yang Maha Kasih! Paduka
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cucu gusti patih ........... " Aduhai puteri yang patut
dikasihani betapa hebat penderitaan Paduka ..........!"
Digerakkan oleh hati yang penuh iba Wiraman mendekati
Widawati dengan pandang mata penuh perasaan.
Kedukaan yang sudah memenuhi hati gadis itu kini
meluap. Pria ini adalah seorang kepercayaan kakeknya dan
sikap yang amat baik itu membuatnya terharu sehingga ia
pun lupa diri, melangkah maju dan membiarkan dirinya
dirangkul, menangis di atas dada yang bidang itu.
Wiraman mengelus rambut yang kusut itu, hatinya
seperti disayat-sayat pisau beracun.
"Duh para dewata yang agung, lindungilah kiranya
puteri yang malang ini ........... " bisiknya. Namun dia
seorang satria yang segera dapat mengatasi keharuan
hatinya. "Harap Paduka tenang dan teguh hati, menerima
nasib seperti yang telah ditentukan para dewata. Manusia
hanya sekedar menerima dan mengalami. Mari, mari kita
pergi ke dusun dan di sana bicara panjang lebar dan
menentukan langkah selanjutnya."
Pergilah mereka bertiga ke dusun kecil yang menjadi
kampung halaman Ki Mitra. Mereka disambut dengan
penuh keheranan akan tetapi juga penuh kegirangan oleh
keluarga adik kandung Ki Mitra. Terhadap adiknya, Ki
Mitra memperkenalkan Wiraman sebagal seorang rekan
kerja di kota raja, adapun Widawatt diperkenalkan sebagal
adik misan Wiraman. Agar tidak menimbulkan keraguan,
terpaksa Widawati menyebut "kakang" kepada Wiraman,
sebaliknya Wiraman menyebutnya "nimas".
Malam hari itu, mereka bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing. Hati Wiraman
terharu sekali ketika ia mendengar betapa seluruh keluarga
kepatihan musnah dibasmi oleh . Pangeran Kukutan dan
Suminten. Wajah satria ini menjadi merah, giginya berkerot
dan kedua tangannya dikepal.
"Hem m ........... si bedebah Kukutan dan Suminten!
Tentu saja sang prabu yang sudah sepuh dan kehilangan
kewaspadaan karena mabuk nafsu itu tidak mengerti akan
tipu muslihat mereka! Kalian tunggu saja! Di dunia ini,
masih ada aku Wiraman yang tahu akan semua muslihat
kalian!" "Sebetulnya, rahasia apa yang tersembunyi di balik
peristiwa itu, Kakang Wiraman?" tanya Widawati yang kini
tidak merasa canggung lagi di hadapan pria itu, karena
memang sikap Wiraman wajar dan sopan serta jujur
terhadap dirinya. Wiraman menghela, napas panjang, kemudian mulai
bercerita, "Ketika sang prabu pergi berburu, kami dua balas
orang kepercayaan gusti patih mendapat tugas rahasia dari
gusti patih untuk secara sembunyi melindungi keselamatan
sang prabu. Kami melihat betapa rombongan sang prabu
diserbu oleh gerombolan orang-orang gundul. Tentu saja
kami segera menerjang keluar dari tempat persembunyian
karena para pengawal kewalahan menghadapi serbuan liar
mereka. Akan tetapi, tiba-tiba muncul tiga orang yang
memiliki kesaktian luar biasa sehingga sebelas orang teman-
temanku tewas semua, sedangkan aku sendiri terluka parah.
Aku bersembunyi dan menyaksikan peristiwa hebat. Sang
prabu, Pangeran Kukutan, dan wanita iblis Suminten itu
ditangkap dan diancam hendak dibunuh sisa gerombolan
gundul. Tiba- tiba muncul seorang pria yang mengaku
bernama Raden Warutama yang membunuhi sisa
gerombolan gundul, padahal aku mengenal dia itu sebagai
seorang sakti yang tadinya membantu gerombolan gundul.
Hemm ............. ! Dan sekarang, Warutama itu menjadi
seorang yang berjasa !"
"Kabarnya akan diangkat menjadi patih .........!" kata Ki
Mitra. Wiraman memukulkan tinjunya di atas tanah lantai
kamar kecil itu. "Tentu saja! ini adalah hasil persekutuan
mereka! Siasat yang busuk sekali untuk menonjolkan jasa
Warutama dan untuk menjatuhkan fitnah kepada gusti
patih! Keparat?".! Kalau aku tidak dapat membalas
kekejian ini, aku tidak akan sudi memakai nama Wiraman
lagi!" Suasana menjadi sunyi. Mereka bertiga tenggelam ke
dalam lamunan masing-masing, merasa ngeri kalau
mengenangkan peristiwa itu, ngeri mengingat tipu muslihat
yang demikian keji dan busuknya. Kemudian kesunyian
dipecahkan suara Ki Mitra,
"Sekarang,........... bagaimana........... selanjutnya harus
diatur, Denmas" Tentang Den-ajeng Widawati ini ........... "
"Kakang Mitra lebih baik besok kembali ke kota raja agar
jangan menimbulkan kecurigaan. Kakang berjalan seperti
biasa dan diam-diam memperhatikan keadaan dan
perkembangan di dalam istana agar siap untuk memberi
laporan kalau dibutuhkan. Sedangkan mengenai Diajeng
Widawati, serahkan saja kepadaku. Akulah yang mulai
detik ini bertanggung jawab atas keselamatannya. Aku
sedang memikirkan. jalan terbaik untuk Diajeng Widawati."
Widawati menyusut air matanya. "Kakang Wiraman,
karena membela mendiang Eyang Patih, engkau telah
mengalanil kesengsaraan. Bagaimana aku kini tega untuk
menjadi beban tanggunganmu lagi" Aku akan memperberat
hidupmu, akan membahayakan hidupmu; dan keluargamu
masih amat membutuhkan perlindunganmu ?".."
"Keluargaku ........... ?" Wiraman menghela napas
panjang. "Jangan kau khawatir, Diajeng Widawati.
Keluargaku telah kuungsikan dan mereka kini hidup
sebagai petani-petani yang cukup aman tenteram. Bahkan
sementara ini aku tidak berani mendekati mereka, karena
keadaanku seperti sebuah penyakit menular, siapa yang
kudekati berarti terancatn bahaya. Jenggala sedang mencari-
cariku sebagai seorang yang berbahaya bag Pangeran
Kukutan dan Suminten, juga bagi Patih Warutama, karena
akulah satu-satunya orang yang mengetahui akan rahasia
mereka. Aku bahkan harus menjauhkan diri dari
keluargaku. Isteriku seorang bijaksana, dan aku tidak
khawatir akan keadaan mereka. Juga engkau sendiri
merupakan seorang buronan seperti aku, Diajeng. Engkau
dicari karena engkau merupakan sisa musuh besar yang
tentu akan membalas dendam. Keadaan kita berdua sama-
sama sebagai buronan, maka tidak ada yang saling men jadi
beban, tidak ada yang saling memberatkan. Asal saja
engkau menaruh kepercayaan penuh kepadaku, demi para
dewata, aku tidak akan membiarkan engkau tertimpa
malapetaka, akan kubela dengan seluruh jiwa ragaku."
Makin deras air mata Widawati mengalir dan di antara
linangan air matanya ia memandang kepada pria yang
begini baik terhadap dirinya. Seolah-olah ia mendapatkan
pengganti orang tua dan keluarga dalam diri Wiraman.
Mendapatkan seorang sahabat baik, seorang pelindung,
seorang yang dapat ia sandari dalam kehidupan mendatang,
yang boleh ia percaya sepenuhnya.
Pada keesokan harinya, mereka meninggalkan dusun itu
sesuai rencana yang diatur oleh Wiraman. Ki Mitra kembali
seorang diri ke kota raja setelah dilepas pergi oleh Widawati
yang berkali-kali menghaturkan terima kasih sambil
berlinang air mata. Kemudian Wiraman bersama gadis itu
pergi meninggalkan dusun. Widawati kali ini tidak pernah
bertanya ke mana mereka pergi, karena dia sudah
menyerahkan seluruh keselamatan dirinya ke tangan pria
ini, akan menurut saja ke mana dia dibawa pergi.
-oo0dw0oo- Permaisuri Jenggala seringkali duduk termenung seorang
diri di dalam kamarnya sambil meruntuhkan waspa (air
mata). Semenjak terbasminya keluarga kepatihan, ia merasa
sunyi dan duka, merasa betapa kini ia menghadapi lawan
yang ;amat kuat tanpa kawan yang dapat ia andalkan.
Hatinya selalu perih kalau ia mengingat betapa kini seluruh
istana telah dicehgkeram oleh Suminten, sedangkan seluruh
kerajaan berada di telapak tangan Pangeran Kukutan dan
Patih Warutama yang baru diangkat.
Betapapun juga, sang prameswari tidak pernah putus
harapan untuk menolong suaminya dari cengkeraman
Suminten, terutama sekali mengingat bahwa usahanya
menentang persekutuan mereka itu demi untuk menolong
Kerajaan Jenggala daripada keruntuhan. Ia maklum bahwa
diam-diam masih banyak sekali ponggawa dan para
pangeran yang setia kepadanya, yang diam-diam membenci
persekutuan busuk itu. Dan permaisurl yang sabar dan
tekun ini tidak pernah menghentikan usahanya memata-
matai Suminten. Ia percaya bahwa akan tiba saatnya ia
akan dapat menghancurkan Suminten melalui perbuatan
Suminten sendiri yang ia tahu merupakan seorang wanita
muda pengabdi nafsu berahi, seorang wanita muda yang
hanya pada lahirnya saja mencinta dan setia kepada sang
prabu, akan tetapi sesungguhnya merupakan seorang
wanita yang bermoral bejat, yang setiap malam berganti
pacar untuk melayani nafsu berahinya. Hanya sukarnya,
Suminten amat pandai menjaga diri. Kamarnya selalu
dikepung ketat oleh para pengawal penjaganya, juga para
abdi dalem yang melayaninya adalah orang-orang
kepercayaannya sendiri sehingga sukarlah bagi sang
permaisuri untuk "menerobos" pertahanan penjagaan yang
ketat itu. Namun, sang permaisuri yang sabar dan tekun ini tak
pernah menyerah kalah. Setiap malam ia berdoa mohon
bantuan dewata, dan diam-diam ia selalu memasang mata-
mata yang berupa emban-emban tua yang setia untuk
mengawasi gerak-gerik di keputren di mana Suminten
tinggal dalam bangunan-bangunan dan taman yang amat
mewah. Dan pada malam hari itu agaknya doa yang selalu
ia panjatkan terkabul, karena tiba-tiba masuklah seorang
emban dengan tergesa-gesa, bersembah sujud di depan sang
permaisuri sambil berbisik,
"Duh Gusti, tibalah saatnya kini yang telah dinanti-nanti
oleh Paduka Gusti. Ibis betina itu kini berada di
pesanggrahan di taman sari, agaknya menanti kekasihnya.
Dan pintu tembusan ke taman sari tidak terjaga, sehingga
Paduka dapat masuk ke taman sari bersama hamba.
Mudah-mudahan sekali ini paduka dapat menarigkap basah
si iblis betina, itu."
Wajah yang tua dan masih membayangkan kecantikan
itu, yang selama ini keruh, tiba-tiba berseri. Sejenak sang
permaisuri memejamkan mata dan menengadahkan muka,
seolah-olah menghaturkan terima kasih kepada para
dewata. Kemudian dengan cepat namun tenang ia bangkit,
lalu membiarkan dirinya digandeng oleh emban keperdayaannya itu, keluar dari kamar memasuki taman
sari. Taman sari milik sang permaisuri ini bersambung
dengan taman sari milk Suminten, hanya dibatasi pagar
tinggi. Biasanya, pintu tembusan antara kedua taman itu
dijaga oleh pengawal kepercayaan Suminten dan ditutup.
Akan tetapi malam ini tidak ada pengawal menjaga dan
daun pintunya tidak dipalang sehingga mudahlah sang
permaisuri bersama emban memasukinya. Kedua kaki sang
permaisuri menggigil karena hatinya tegang. Kalau saja
tidak mengingat keselamatan raja dan kerajaan, tentu ia
tidak sudi bertindak sebagai maling dan pengintai macam
ini. Berindap-indap mereka menghampiri pesanggrahan
bercat merah yang mungil di dalam taman sari Suminten
itu. Malam itu gelap, dan hal ini menguntungkan sang
permaisuri yang dapat menghampiri pondok kecil mungil
bercat merah itu sampai dekat sekali. Emban kepercayaannya member! isyarat agar sang permaisuri tidak
mengeluarkan suara sambil menunjuk ke arah jendela kecil
yang bertirai sutera merah. Mereka berdua lalu berindap-
indap menghampiri jendela, di mana emban kepercayaannya itu mengintai ke dalam. Sang permaisuri
juga mengintai dan melihat bahwa Suminten sedang duduk
seorang diri dii dalam kamar itu, termenung. Melihat wajah
cantik madunya ini, hati wanita tua itu menjadi panas.
Sesungguhnya dia bukanlah seorang wanita pencemburu,
bukan wanita yang berhati sesempit itu. Kalau melihat
madunya yang lain, betapapun sang prabu mencinta madu
itu, dia tidak akan menjadi panas hatinya. Akan tetapi lain
lagi halnya dengan Suminten. Dia menganggap wanita ini
bukan hanya memikat sang prabu, melainkan menganggapnya sebagai seorang wanita pengacau kerajaan
yang menimbulkan banyak malapetaka, yang membuat
sang prabu mabuk dan lupa diri sehingga melakukan hal-hal
kejam, dan menganggapnya sebagai seorang musuh
kerajaan yang berniat meruntuhkan Jenggala.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam-diam sang permaisuri berdoa kepada para dewata
agar malam ini dia mendapatkan jalan untuk menjatuhkan
wanita berbahaya itu. Ia berdoa agar dapat menangkap
basah Suminten yang menerima kekasihnya di dalam kamar
pesanggrahan di taman, sehingga dia mendapatkan senjata
untuk menghantam Suminten di depan sang prabu.
Doa permaisuri tua yang menderita batinnya itu agaknya
diterima karena belum lama dia dan embannya mengintai,
tampak sesosok bayangan berindap-indap memasuki taman
sari, langsung menghampiri pondok Itu dan mengetuk
pintunya tiga kali. Suminten sendiri yang membuka pintu
pondok, kemudian terdengar suara mereka berdua di dalam
kamar itu. Ketika sang permaisuri mengintai, hatinya agak
kecewa karena yang memasuki pondok itu bukanlah
seorang pria, melainkan seorang abdi pelayan yang masih
muda dan cantik. Akan tetapi hatinya berdebar tegang
ketika mendengar percakapan mereka.
"Emban, mengapa engkau yang datang" Mana gustimu?" tanya Suminten, suaranya membayangkan kekecewaan dan kemarahan. "Hamba diutus oleh gusti pangeran untuk menghadap Paduka dan menyatakan penyesalannya bahwa gusti pangeran berhalangan datang. Akan tetapi gusti pangeran memerintahkan hamba
menghaturkan sepucuk surat kepada paduka." Berkata
emban itu sambil bersujut dan menghaturkan sebuah
sampul surat. Suminten menjadi merah mukanya, mulutnya merengut
dan ia menampar tangan emban itu sehingga suratnya
melayang jatuh ke atas lantai.
"Aku tidak butuh surat! Pangeran itu memang terlalu!
Kalau dia sudah tidak suka mematuhi panggilanku, bilang
saja terus terang! Sudah sejak sore aku menantinya di sini,
untuk bertemu dengan dia, bukan dengan suratnya! Engkau
adalah kepercayaan sang pangeran, bahkan abdi kinasih
(abdi tercinta), tentu engkau dapat merasakan kekecewaan
seorang wanita yang menanti-nanti akan tetapi tidak
diperhatikan!" "Ampun, Gusti Ayu, harap sudi bersabar. Gusti
pangeran tentu saja terhalang oleh kesibukannya sebagai
seorang putera mahkota, agaknya ada urusan penting yang
........... " "Alasan! Kau abdi terpercaya dan terkasih, tentu saja
hanya akan membelanya. Pendeknya aku tidak suka
menerima suratnya, aku tidak sudi membacanya!"
Sang permaisuri yang mendengarkan dari luar menjadi
berdebar tegang hatinya. Maklumlah ia kini bahwa emban
itu adalah utusan Pangeran Kukutan! Kalau saja ia bisa
mendapatkan surat itu, terrtu dapat ia bawa kepada sang
prabu sebagai bukti pengkhianatan hubungan jina antara
Suminten dan Kukutan! Juga diam-diam dia merasa geli
mendengar ucapan Suminten yang menolak membaca surat
karena ia tahu benar bahwa selir ini tidak pandai membaca!
Seorang selir yang tadinya hanya menjadi abdi dari
Pangeran Panjirawit, mana mungkin dapat membaca surat"
Akan tetapi hatinya makin tegang ketika ia mendengar
percakapan mereka berdua itu lebih lanjut.
Sang emban tertawa genit. "Gusti, hamba sudah
mendapat perintah gusti pangeran bahwa kalau paduka
tidak sudi membaca, hamba disuruh membacakan surat
beliau itu di hadapan Paduka."
"Sukamu! Masa bodoh kalau kau mau baca! Aku sendiri
tidak sudi menyentuh suratnya, apalagi membaca," kata
Sumin.en dengan sikap ngambek dan duduk di atas
pembaringan memutar tubuh membelakangi emban itu.
Emban itu yang agaknya tahu belaka akan hubungan gelap
antara selir sang prabu dan puteranya itu, tersenyum-
senyum dan dengan gerakan genit mengambil surat dari
atas lantai, membuka sampulnya dan kemudian membaca
dengan suara dibuat-buat, merdu dan mesra :
"Adindaku yang tercinta,
juita sayang pujaan kalbu,
Adinda Suminten yang denok ayul
Betapapun rindu hatiku kepada Adinda, ingin
sekali berdekatan dengan Adinda, bercumbu-rayu
bersendau-gurau, berenang berdua di lautan cinta,
ingin mendengar suara emas Adinda, mencium
rambut Adinda yang sedap harum, memeluk tubuh
Adinoa yang indah, kulit yang halus lunak dan
hangat, namun terpaksa malam ini kakanda tak dapat
datang menjumpai Adinda. Malam ini kakanda sibuk
dengan Ki Dukun untuk mengatur siasat yang Adinda
rencanakan. Ramuan racun telah dibuat Ki Dukun,
tidak ada rasanya dan dapat dicampurkan dalam
minum-an untuk sang prabu dan permaisuri.
Di malam Respati depan. Harap Adinda...........
agar pada malam Respati?""
"Cukup! Goblok engkau, emban! Masa hal begitu kau
baca keras-keras! Sang pangeran juga sembrono sekali,
mengirim surat seperti itu kepadaku! Bagaimana kalau
terjatuh ke tangan orang lain" Lekas kau pergi dari sini,
bawa surat yang berbahaya itu, kembalikan kepada sang
pangeran. Katakan bahwa aku bukan anak kecil, aku tahu
apa yang harus kulakukan. Cepat, pergi ........... !"
Emban itu menyembah, menyelipkan surat itu ke dalam
sampul kembali, lalu membawa surat itu pergi keluar dari
dalam pondok. Akan tetapi, ketika emban ini sedang
berjalan tergesa-gesa menyelinap di antara pohon-pohon
yang gelap, tiba-tiba ia menahan pekik karena tahu-tahu di
depannya telah berdiri sang permaisuri! Cepat dia
menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Seorang
emban tua yang menemani permaisuri dengan cepat
menangkap kedua lengannya, dan ditelikung ke belakang,
dan tanp4 banyak cakap sang permaisuri lalu merampas
surat bersampul. "Ampun ........... ampunkan hamba ......harap kembalikan surat itu ........... surat itu milik hamba ...........
hendak dipersembahkan kepada Gusti Ayu Suminten
........... Emban itu meratap dan menangis dengan muka
ketakutan, tubuhnya menggigll seperti orang menderita
sakit demam. "Diam kau?" Sang permaisuri membentak penuh
wibawa. "Hayo ikut bersamaku!"
Dengan masih menangis emban yang sial itu lalu dibawa
pergi memasuki taman sang permaisuri.
"Kau lihat, aku tidak membuka sampul surat kotor yang
kau bawa. Kita tunggu hadirnya sang prabu agar sang prabu
sendiri yang membuka dan memeriksa!"
"Tapi ........... tapi, duh Gusti ..... ampunkan hamba
........... surat ........... surat itu adalah surat ........... ,"
"Cukup! Aku tahu surat kotor macam apa!" bentak sang
permaisuri yang segera memerintahkan seorang abdi untuk
melaporkan sang prabu bahwa urusan darurat yang amat
penting memaksa sang permaisuri untuk mohon menghadap di ruangan dalam. Ruangan ini khusus untuk
tempat keluarga raja berunding tentang masalah-masalah
kekeluargaan yang pelik-pelik dan tidak perlu diketahui oleh
para ponggawa. Tak lama kemudian abdi yang diperintah datang kembali
menyampaikan perintah sang prabu yang telah siap menanti
di ruangan dalam. Permaisuri bersama emban tua
menggiring emban cantik itu memasuki ruangan dalam di
mana sang prabu telah duduk di atas kursi dengan wajah
keruh. Agaknya sang prabu merasa tidak senang diganggu
pada malam hari itu, malam yang merupakan malam
istirahat baginya. Maka begitu sang permaisuri muncul
bersama dua orang emban, sang prabu telah menegurnya
dan dengan sikap yang tidak terlalu manis menanyakan
maksud isterinya mengganggu istirahatnya.
"Harap Kakanda sudi memaafkan kalau mengganggu
Paduka, akan tetapl urusan yang amat penting terjadi
sehingga terpaksa saya mengganggu. Akan tetapi karena
urusan ini menyangkut diri selir Paduka Suminten yang
jelas sedang merencanakan pengkhianatan dan pembunuhan, maka saya harap sukalah Paduka memerintahkan agar Suminten dipanggll menghadap."
Wajah sang prabu berubah mendengar ucapan yang
tenang ini. Sekilas ia memandang ke arah sampul yang
berada di tangan permaisuri dan keningnya ber kerut. Sang
prabu cukup mengenal isterinya ini, seorang puteri yang
angkuh dan berbudi luhur. Lain orang isterinya boleh jadi
akan menurutkan hati cemburu menjatuhkan fitnah, namun
ia merasa yakin bahwa permaisuri tidak akan mau
bertindak seperti itu. Maka dia kini menjadi berdebar risau,
karena biasanya, apa yang dinyatakan oleh permaisuri
pastilah benar dan bukan fitnah, bukan pula main-main. Ia
menekan perasaan yang tegang lalu bertepuk tangan
memberi isyarat. Seorang pengawal yang hanya boleh
menjaga di luar ruangan itu, muncul dan sang prabu segera
memerintahkan untuk memanggil Suminten menghadap.
Karena panggilan ini datangnya dari sang prabu yang
berada di ruangan dalam, tanpa dijelaskan pun Suminten
akan tahu bahwa panggilan ini ada hubungannya dengan
urusan penting mengenai keluarga, dan ia tidak boleh
membawa pelayan. Suasana menjadi tegang sekali ketika mereka yang
berada di dalam ruangan itu menanti munculnya Suminten.
Hanya terdengar isak tertahan si emban muda yang
menangis. Sang prabu mengerti bahwa dalam keadaan
seperti itu, tidak perlu ia bertanya-tanya. Sang permaisuri
akan menjelaskan kesemuanya setelah Suminten datang.
Sementara itu, sang permaisuri lalu menyimpan surat yang
dipegangnya tadi di balik bajunya karena ingin menjatuhkan Suminten dengan tepat dan baru mengeluarkan surat itu ketelah mendengar pengakuan palsu
Suminten yang ia tahu pasti akan mencari-cari alasan. Ia
harus bersikap cerdik menghadapi ular betina itu, pikirnya.
Akhirnya orang yang dinanti-nanti muncullah Suminten
yang cantik jelita, yang ayu dan segar seperti orang baru
saja keluar dari kamar mandi. Sekali lirlk tahulah sang
permaisuri bahwa Suminten telah bertukar pakaian. Tadi
ketika berada di pesanggrahan dalam taman, pakaiannya
serba merah jambon, kembennya tipis semrawang sehingga
terbayang tubuhnya dan lekuk lengkung tubuhnya. Berbeda
dengan tadi ketika menanti kekasih, kini pakaiannya lebih
sopan, masih serba merah dan jelas menonjolkan tubuhnya
yang berbentuk indah menggairahkan, namun patut
menjadi pakaian seorang selir terhormat. Suminten serta
merta menjatuhkan diri berlutut menghaturkan sembah
kepada sang prabu dengan gerak tubuh yang lemah lembut.
Melihat selir terkasih ini, seketika keraguan di hati sang
prabu melenyap. Selirnya ini, Suminten yang begitu mesra
dan penuh kasih sayang kepadanya setiap kali mereka
memadu kasih, menjadi pengkhianat dan pembunuh" Tidak
mungkin! "Duhai Kakanda prabu junjungan hamba!" Suminten
berkata dengan suaranya yang halus merayu, membuat hati
sang permaisuri makin mendidih apalagi mendengar bahwa
kini Suminten tidak lagi menyebut gusti melainkan kakanda
kepada sang prabu. "Paduka amat memerlukan istirahat,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengapa malam-malam Paduka masih terjaga" Hal ini
amat tidak baik bagi kesehatan Paduka!"
Senang hati sang prabu mendengar betapa selirnya ini
amat memperhatikan keadaan kesehatannya. Tidak seperti
permaisuri tua yang rewel.
"Bukan kehendakku, Suminten. Adinda permaisuri yang
menghendaki karena katanya ada urusan penting hendak
disampaikan kepadaku, di hadapanmu. Nah, Adinda
permaisuri, Suminten telah datang menghadap. Lekas
ceritakan apa yang menjadi kehendak hatimu." Nada suara
sang prabu tidaklah ramah. Namun permaisuri itu tetap
tenang, karena ia yakin bahwa sekali ini ia akan menang
dengan adanya senjata surat rahasia itu di tangannya.
"Kakanda tentu masih ingat betapa seringnya saya
memperingatkan Kakanda akan kepalsuan wanita ini,
bukan karena cemburu, melainkan demi mengingat
keamanan paduka dan kerajaan. Namun Paduka tidak
pernah mempercaya saya. Sekarang, saya telah mendapatkan bukti kuat akan kepalsuan Suminten. Eh,
emban yang menjadi kaki tangan pengkhianat, katakan apa
yang kaulakukan di waktu malam tadi?" Sang permaisuri
bertanya kepada emban cantik pembawa surat. Emban itu
gemetar bibirnya ketika menjawab,
"Hamba ........... ........... hamba tidak melakukan sesuatu
kesalahan ........... "
"Cukup!" permaisuri membentak, kini menoleh ke arah
Suminten yang bangkit berdiri dengan sikap menantang.
"Suminten, engkau tadi berada di dalam pesanggrahan di
dalam taman, lalu datang em-ban ini mengantar surat
untukmu. Betul-kah itu?"
Permaisuri mengira bahwa Suminten pasti akan
menyangkal, maka amatlah heran hatinya menyaksikan
keberanian wanita itu ketika Suminten menjawab,"Memang
benar hamba telah menerima surat yang hamba suruh
emban membawa kembali kepada pengirimnya."
Bagus, pikir permaisuri. Engkau berani dan tabah, akan
tetapi keberanianmu memudahkan penyelesaian perkara ini
yang akan menjatuhkanmu! Wajah yang tua itu tersenyum
penuh kemenangan ketika ia menoleh ke arah emban yang
berdiri menggigil di belakang Suminten sambil menghardik,
"Engkau abdi dari mana?"
"Hamba ........... abdi dalem pangeran mahkota ........... "
"Suminten, dari siapakah surat yang kauterima tadi?"
Masih tenang sikap Suminten, bahkan dia mengerling ke
arah sang prabu dengan bibir tersenyum dan mata seolah-
olah menyatakan betapa cerewetnya permaisuri tua ini.
"Surat itu dari puteranda pangeran mahkota." Suaranya
mengandung tuntutan mengapa hal begitu saja dihebohkan.
Akan tetapi wajah sang permaisuri menjadi pucat
mendengar jawaban emban dan Suminten. Jawaban ini saja
sudah jelas membuktikan bahwa antara Pangeran Kukutan
dan Suminten terdapat hubungan gelap, dan mereka telah
bersurat-suratan! Wajah sang prabu berubah menjadi makin
merah dan makin merah, tanda bahwa ia mulai cemburu
dan marah. Sang permaisuri sebaliknya berseri wajahnya.
Wajah tua yang masih berbekas garis-garis cantik ini
tersenyum ketika ia menoleh sang prabu sambil
mengeluarkan surat dari balik bajunya. Melihat surat ini,
Suminten kelihatan kaget, menahan jerit dengan jari-jari
tangan halusnya menutupi bibirnya yang merekah merah.
Melihat ini, sang prabu makin merah mukanya dan sang
permaisuri makin berseri.
"Harap Paduka bersabar. Sebelum saya menyerahkan
surat agar dapat dibaca oleh Paduka pribadi, lebih baik
Paduka mendengarkan lebih dulu apa yang telah saya
dengar dan didengar pula oleh emban saya di pondok
dalam taman sari Karena saya tidak menjatuhkan fitnah,
biarlah emban saya yang menceritakani kesaksiannya.
Emban, ceritakanlah apa yang engkau dengar tadi."
Emban tua Itu sebenarnya amat takut terhadap
Suminten, apalagi Suminten memandangnya dengan mata t
bersinar-sinar dan terdengar suara Suminten "Hm emban!
Perlukah engkau menceritakan hal yang mendatangkan
bencana?" Suara Suminten mengandung aricaman mengerikan sehingga emban tua. itu menjadi ketakutan,
menjatuhkan did berlutut di depan sang permaisuri sambil
berkata, "Mohon Paduka melindungi hamba,Gustl," katanya
sambil menangis. "Emban! Jangan banyak tingkah, lekas Ceritakan!" sang
prabu membentak. Emban itu cepat menyembah dan bercerita, "Hamba
bersama gusti permaisuri menyaksikan dan mendengar ,dari
luar jendela pondok ketika surat itu dl-serahkan oleh abdi
gusti pangeran mahkota kepada ........... Gusti Ayu
Suminten: Kemudian surat itu dibaca oleh abdi ini dan
........... dan ........... "
"Apa bunyinya surat" Katakan!" desak sang permaisuri.
"Menurut pendengaran hamba ........... surat dari gusti
pangeran mahkota itu menyebut tentang persekutuan dan
rencana untuk ........... untuk meracuni Paduka berdua,
Gusti Sinuwun dan Gusti Ratu".."
"Bohong ........... !!" Tiba-tiba Suminten menjerit dengan
mata terbelalak memandang emban tua itu. "Engkau wanita
setan, engkau bohong ........... , menjatuhkan fitnah keji
........... Kakanda harap jangan mendengarkan hasutan-
hasutan busuk dan keji! Hamba lebih baik pergi saja dari
sini daripada mendengarkan fitnah keji yang amat
memuakkan ........... !"
Setelah berkata demikian, Suminten bergerak hendak
meninggalkan ruangan itu...........
Akan tetapi sang permaisuri sudah mengulurkan
tangannya memegang lengan muda yang halus itu. Biarpun
jauh lebih tua, namun permaisuri adalah seorang puteri
yang di masa mudanya suka mempelajari olah keperajuritan, maka masih memiliki tenaga yang kuat
sehingga Suminten tak dapat bergerak.
"Jangan pergi dulul Kedudukanmu hanya selir, itu pun
selir palsu yang berkhianat, bagaimana engkau berani pergi
tanpa diperintah?" Tadinya sang prabu tidak percaya akan tuduhan yang
dijatuhkan kepada selirnya yang terkasih, akan tetapi
mendengar cerita emban tua dan melihat betapa Suminten
yang menyangkal itu hendak melarikan diri, hatinya seperti
ditusuk rasanya. Sikap Suminten yang hendak melarikan
diri itu menghapus keraguannya dan timbullah kecurigaannya. "Suminten, jangan pergi dan tunggu sampai selesai
perkara ini!" katanya.
Nada suaranya sudah berbeda, kehilangan irama kasih
sayang yang biasanya terdapat dalam ucapannya terhadap
Suminten. Sementara itu, dengan wajah berseri penuh kemenangan
yang sudah membayang di depan mata, sang permaisuri
lalu mempersembahkan sampul surat itu - kepada suaminya
sambil berkata, "Saya bersumpah bahwa saya sendiri tidak pernah
membaca surat ini yang semenjak saya rampas dari tangan
emban pengkhianat itu tak pernah terlepas dari tangan saya.
Dan untuk membuktikan bahwa saya dan juga emban saya
tidak membohong, saya persilahkan Paduka membacanya
sendiri surat yang menjijikkan dan kotor ini."
Jari-jari tangan sang prabu yang Sudah tua itu menggigil
ketika ia -mengeluarkari surat dari sampulnya. Bukan
mengglgil karena sudah buyuten, melainkan menggigil
karena tegang, seolah-olah bukan nasib Suminten yang
akan dihancurkan oleh surat Itu, melainkan nasibnya
sendiri. '"Aduh, Kakanda sinuwun sesembahan hamba i"
Suminten sudah merenggutkan lengannya dan lari
menjatuhkari diri berlutut menclumi kaki sang prabu sambil
menangis. "Hamba mohon dengan seluruh hati hamba,
hendaknya jangan dibuka dan dibaca surat itu oleh Paduka
........... hamba ........... hamba ........... tidak ingin
mencelakakan siapa-siapa, hamba lagi, hamba tidak ingin
melihat Paduka menjadi berduka I Percayalah, hamba"
selalu mencinta dan setia kepada Paduka ........... dan
bahwa kesemuanya inI hanyalah fitnah semata .........."
"Kau hendak mengatakan bahwa surat ini bukan dari
Kukutan untukmu?" Sang prabu yang merah 'mukanya
menghardik. "Tidak hamba sangkal, memang benar demikian akan
tetapi ........... "
' "Mundurlah engkau!" Sang prabu menggerakkan
kakinya dan tubuh Suminten terjengkang ke belakang, di
mana wanita ini berlutut lagi sambil menangis sesenggukan.
Emban cantik segera menubruknya dan ikut pula menangis.
Sang permaisuri memandang dengan mulut mengejek,
maklum bahwa tangis wanita muda itu adalah tangis palsu,
air mata buaya. Ia merasa girang bahwa sang prabu mulai
sadar, tidak terpengaruh oleh tangis wanita palsu itu.
Jari-jari tangan sang prabu masih menggigil ketika ia
membuka surat itu, lalu bibirnya yang gemetar mulai
bergerak ketika membaca. Wajah keriputan yang tadinya
mulai memucat, itu kini merah kembali, sepasang mataya
makin lama makin terbelalak lebar. Tiba-tiba sang prabu
tertawa bergelak, suara ketawa aneh yang mengandung rasa
sesal di hati, kemudian ketawanya terhenti diganti suara
menggeram dan tangan kirinya menampar lengan kursinya.
la masih terbelalak seolah-olah tak percaya akan isi surat
yang dibacanya lagi. "Ha-ha-ha! Aahhhh ........... kalau Adinda Ratu sudah
sekeji ini ........... entah aku sudah menjadi gila ataukah
masih waras ........... !." serunya.
Tentu saja sang prameswari menjadi kaget dan heran.
Melihat wajah suaminya, ratu ini menjadi gelisah dan
mukanya berubah pucat. Sudah gilakah sang prabu" Dia
khawatir dan menyesal sekali. Kalau sang prabu menjadi
gila saking hebatnya pukulan batin yang dideritanyari
sungguh bukan demikian yang ia kehendaki. Ia menghendaki sang prabu menjadi sadar dan bebas daripada
cengkeraman wanita iblis Suminten, demi keselamatan
keluarga dan kerajaan. "Kakanda ........... mengapa Paduka
"Diam! Jangan buka lagi mulutmul yang berbisa itu!
Baca saja surat ini!" bentak sang prabu sambil melemparkan
surat ke arah permaisuri. Surat itu melayang ke atas lantai
dan sang permaisuri membungkuk untuk memungutnya
dengan tangan gemetar. Isak tangis Suminten makin
mengguguk. Sang permaisuri memegang surat itu dan membacanya.
Matanya terbelalak, makin lama makin lebar .dan mukanya
menjadi lebih putih daripada kertas yang dipegangnya.
Bibirnya gemetar dan akhirnya terlontar dari mulutnya,
"Aduhh ........... Dewata ........... !" Tubuh sang ratu menjadl
lemas dan robohlah wanita tua Ini, terkulai dan pingsan di
atas lantai. Surat itu terlepas dari tangannya dan melayang
di atas lantai pula. Emban tua menjerit dan menubruk
junjungannya, memanggil-manggil dan menangisi dengan
bingung. Dalam kebingungannya, ia menjadi penasaran,
cepat menyambar surat itu dan membacanya tanpa
permohonan lagi. "Ha-ha-hal Emban berhati busuk, boleh ........... kau
bacalah ........... I" Sang prabu masih ter tawa-tawa,
kemudian terdengar suaranya bercampur isak, "Tak
kunyana ........... tak kusangka ........... Adinda Ratu ...........
demikian keji ......Setelah dia sendiri begini palsu, siapa
pula yang dapat kupercaya .........."
Suminten cepat berdiri dan menubruk sri baginda,
merangkulnya dan berkata dengan kata-kata halus, "Aduh
junjungan hamba, masih ada hamba di sini,. mengapa
Paduka berkeluh-kesah" Di sini hamba, Kakanda, di sini
Suminten ........... biarlah hamba yang akan mengusir
semua kedukaan Paduka! Bukankah hamba tadi sudah
memperingatkan Paduka agar jangan dibaca saja surat itu"
Hanya menimbulkan malapetaka belaka, sang ratu pingsan
dan Paduka berduka?".."
Sang prabu memeluk dan merangku! leher selir terkasih
ini, mengecup dahinya dan berkata mesra, "Aduh wong ayu
........... kalau tidak ada engkau agaknya sudah bosan aku
hidup lebih lama lagi ..........."
Sementara itu, emban yang membaca surat, sama halnya
dengan sang prabu dan sang ratu, terbelalak seolah-olah
tidak percaya. Wajahnya pucat sekali dana mengulang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membaca isi surat itu Puteranda mohon maaf telah beranl menyurat
kepada Ibunda, akan tetapl karena keselamatan
Ibunda, terutama sekali Ramanda terancam bahaya,
terpaksa puteranda melakukannya juga. Puteranda
mendengar dari para penyelidik bahwa Ibunda Ratu
telah merencanakan siasat untuk membunuh Ramanda dan Paduka. Dan puteranda setiap saat
telah memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-
gerak Paduka dan puteranda yang selalu menjaga
keselamatan Ramanda yang sudah sepuh (tua).
Karena puteranda tidak berani mengingatkan sendiri
kepada Ramanda berhubung hal Ini akan menyinggung nama balk Ibunda Ratu, terpaksa
puteranda mohon kepada Ibunda sudilah kiranya
memperingatkan Ramanda daripada bahaya yang tak
tersangka-sangka Ibunda Ratu agaknya telah lupa diri
dengan nafsu kebenciannya kepada Paduka yang
dikasihi Ramanda, kepada puteranda yang dIangkat
menjadi pangeran mahkota, dan kepada Ramanda
yang agaknya telah menyia-nyiakan cinta, kaslhhya
menurut bisikan hatI sang cemburu. Kemudian
terserah kebijalcsanaan Ibunda.
Demikianlah bunyi surat Pangeran Kukutan kepada
Suminten. Emban tua itu terbelalak keheranan. Alangkah
bedanya bunyi surat itu dengan yang dibaca emban cantik
tadi! Padahal surat rampasan itu tak pernah berpisah dari
tangan sang ratu. Emban itu mengerling ke arah emban
muda yang kini bersimpuh di sudut sambil tersenyum-
senyum penuh ejekan kepadanya: Maka tahulah emban tua
ini bahwa ia dan junjungannya telah masuk perangkap,
telah menjadi korban siasat yang busuk dan licik sekali,
yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia berhati
iblis! Tahulah dia yang memang mengerti akan segala
persoalan di dalam keraton, bahwa sang ratu telah. terkena
pancingan, bahwa Suminten sengaja memancing dengan
membuka pintu taman dan berada di dalam pondok taman
malam itu, kemudian emban muda yang menjadi kaki
tangan itu datang membawa surat. Kini mengertilah ia
bahwa sesungguhnya Suminten dan embannya itu tahu
akan kedatangan sang ratu yang mengintai, lalu sengaja si
emban membaca Surat secara palsu, kemudian bahkan
membiarkan dirinya tertangkap. Dan kini jelas pula baginya
bahwa segala sikap Suminten semenjak dipanggil datang,
adalah sikap yang amat cerdik, menjalankan siasat dan
sandiwara yang sukar dimainkan oleh lain orang, kecuali
wanita cantik berhati ular beracun itu. Timbullah
kemarahan besar di hati emban tua ini. Dan karena dia
hanya seorang emban, maka kemarahannya ia timpakan
kepada si emban cantik yang tersenyum-senyum Itu.
"Engkau manusia keji !" jeritnya sambil menubruk
emban muda yang tentu saja melakukan perlawanan. Maka
bergumullah kedua orang emban itu dan karena lebih
muda, emban kepercayaan Suminten yang menang dan
akhirnya, dengan kain tersingkap memperlihatkan pahanya
yang putih pada, emban muda itu dapat menunggangi
emban tua dan menjambak-jambak sambil memuku1 dan
mencakarl muka lawannya. Sang prabu yang masih memeluk Suminten lalu berseru
memanggil pengawal. Lima orang pengawal yang
mendengar ribut-ribut itu cepat muncul dan sang prabu lalu
menudingkan telunjuknya ke arah sang ratu sambil berkata,
"Tangkap sang ratu yang berkhianat, bersama emban tua
keparat ini! Jebloskan sang ratu dalam tahanan dan bunuh
mati sl emban tua!" Lima orang pengawal itu ternganga keheranan, saling
pandang dan sejenak mereka tidak bergerak. Menangkap
sang ratu yang tua" Mereka takut kalau-kalau salah dengar,
maka tidak berani bergerak.
"Apakah kalian tuli" Gusti sinuwun sudah memberi
perintah, kalian masih berdiri seperti arca?" Suminten
berseru marah. "Akan tetapi ........... tetapi .........."
"Kalian berani membangkang terhadap perintahku"
Apakah pengawal-pengawalku sendiri hendak memberontak?" Mendengar perintah ini, para pengawal itu hilang
keraguannya dan cepat mereka menyeret tubuh emban tua
yang sudah dltunggangi dan dipukuli emban muda itu, dan
karena sang permaisurl sudah siuman dan tengah menangis,
para pengawal lalu memegang lengannya, dengan halus
namun paksa mereka membantunya bangun dan menggiringnya keluar dari ruangan itu.
Kembali Kerajaan Jenggala menjadi geger ketika
beberapa hari kemudian rakyat mendengar bahwa sang ratu
mereka ini telah "dibuang" atau "diasingkan", yaitu
ditempatkan di luar istana, di sebuah pesanggrahan yang
terletak di kaki Bukit Anjasmoro sebelah utara, sebuah
pesanggrahan yang amat sederhana bagi seorang bekas
permaisuri raja namun cukup mewah dan indah bagi rakyat
kecil, lengkap dengan segala keperluan dan pelayan, namun
pondok-pondok itu dikurung dinding tinggi dan terjaga oleh
beberapa orang perajurit. Mengingat akan kedudukannya
dan akan hubungan mereka, maka oleh sang prabu, bekas
permaisuri ini tidak dihukum, hanya diasingkan dan
dilarang meninggalkan tempat pengasingan ini sampai mati.
Adapun emban tua yang menjadi abdi kepercayaan bekas
permaisuri itu dihukum mati.
Sang ratu yang kini telah diasingkan, tidak merasa
berduka akan nasib yang menimpa diri. pribadi, melainkan
dia merasa berduka dan gelisah memikirkan nasib sang
prabu, dan terutama sekali nasib Kerajaan Jenggala. Dia
maklum bahwa setelah ia gagal dalam melawan manusia-
manusia iblis yang pada waktu itu sedang mencengkeram
kerajaan, tidak akan ada lagi yang dapat melawan Suminten
dan kaki tangannya. Saking prihatin dan nelangsa hatinya,
bekas ratu ini menanggalkan pakaiannya yang indah dan
mengganti pakaiannya dengan pakaian pendeta, dan setiap
hari pekerjaannya hanya duduk bersamadhi, mengheningkan cipta dan memanjatkan doa kepada para
dewata agar supaya sang prabu dan Kerajaan Jenggala
dilindungi daripada kehancuran.
Dan memang tidak kelirulah apa yang dikhawatirkan
bekas permaisuri ini. Kemenangan mutlak atas diri
permaisuri yang siasatnya diatur oleh Suminten, benar-
benar membuat Suminten dapat mencapai puncak
kekuasaannya. Tepat pula seperti dugaan emban tua yang
kini telah dihukum mati, semua yang terjadi, semenjak di
dalam taman sari, di pesanggrahan Suminten, sampai
kejadian di depan sang prabu, telah lebih dahulu diatur oleh
Suminten. Akal siasat yang amat cerdik dan licik itu adalah
hasil pengolahan mereka bertiga, yaitu Suminten, Ki Patih
Warutama, dan Pangeran Kukutan! Diolah di antara buih-
buih gelombang cinta berahi antara Suminten dan kedua
orang pria yang ia layani bermain cinta secara bergiliran.
Dan hasilnya hebat, seperti siasat yang diatur iblis sendiri.
Sang ratu yang berbathin bersih itu mana mungkin dapat
menghadapi siasat manusia-manusia iblis ini" Dia terjebak
dan terpaksa mengaku kalah.
Kalau Suminten makin besar kekuasaan dan pengaruhnya atas diri sang prabu yang sudah tua, dan
Pangeran Kukutan kini sudah dapat merasa yakin bahwa
sepeninggal ayahandanya, pasti dia yang akan menjadi
penggantlnya, adalah Ki Patih Warutama yang kini hidup
penuh kemewahan dan kesenangan.
Jilid XXVIII SERINGKALI ia tersenyum puas menyaksikan hasilnya.
Dahulu dia hanyalah seorang perwira kecil di Jenggala, dan
karena dia bermain cinta dengan seorang puteri dari selir
raja, dia terpaksa melarikan diri agar tidak dihukum mati.
Dan setelah berkali-kali gagal dalam usahanya mengejar
kemuliaan, gagal di Blambangan dan merantau terlunta-
lunta di Bali, kini dia berhasil menjadi Patih Jenggala!
Ki Patih Warutama yang dahulunya bernama Raden
Sindupati ini adalah seorang pria yang tampan dan gagah,
namun sayang ketampanan dan kegagahannya itu hanya
menjadi pulasan belaka, hanya setebal kulitnya. Hati dan
pikirannya selalu kotor dan menjadi ham daripada nafsu-
nafsunya sendiri, terutama sekali nafsu berahi yang
membuat dia menjadi seorang pria yang gila wanita.
Setelah kini kedudukannya kokoh kuat, la mulai membujuk
Suminten dan Pangeran Kukutan untuk mulai mengadakan
kontak dengan fihak Sriwljaya dan Cola yang wakil-
wakilnya memang sudah banyak yang menyelundup ke
Jenggala. Mulailah kini Ki Patih Warutama mengangkat
pembantu-pembantu yang sesungguhnya adalah anak buah
Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati! Mulailah
pengaruh kedua kerajaan itu menyusup ke Jenggala.
Bukan hanya ini saja usaha yang dilakukan oleh KI Patih
Warutama. Juga kedudukan dan kemuliaannya membuat
penyakit lama dalam dirinya kambuh, yaitu mengejar
wanita-wanita cantik! Dan di Jenggala adalah kedungnya
wanita-wanita cantik! Dengan ketampanan wajahnya,
ditambah kedudukannya sebagai patih, diperkuat pula oleh
kesaktiannya, akan mudah sekali bagi Warutama untuk
mencari perawan, janda, atau isteri orang untuk
diambilnya. Mulailah pria ini berpesta-pora, pesta palsu,
dan ia seolah-olah berlomba dengan Suminten. Suminten
adalah seorang wanita yang gila pria yang selalu haus dan
tak terpadamkan, tak pernah puas nafsu berahinya,
sehingga setiap malam dia harus ditemani seorang pria,
ganti-berganti bahkan hampir setiap malam berganti pria.
Demikian pulalah dengan Warutama. Setelah kini
kedudukannya mencapai tingkat tinggi dan kokoh kuat, ia
tidak menyembunyikan sifatnya ini dan menyaingi
Suminten dalam hal mengumbar nafsunya, berganti-ganti
wanita setiap malam, entah puteri siapa, entah isteri siapa
asalkan cantik jelita dan sesuai dengan seleranya!
Ketika teringat akan bekas kekasihnya dan mengadakan
penyelidikan, ia mendengar bahwa puteri yang dahulu
menjadi kekasihnya, yaitu puteri raja dari selir yang
bernama Wulandari telah menjadi isteri seorang tumenggung, dia menjadI penasaran sekali dan hatinya
takkan dapat merasa puas dan tenteram sebelum ia berhasil
mendapatkan kembali kekasihnya yang dahulu dipaksa
berpisah darinya itu. Dia tidak perduli akan kenyataan
bahwa menurut penyelidikannya, suami Wulandari itu,
yang bernama Tumenggung Matunggal adalah seorang
tumenggung yang menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan
pula, jadi merupakan "anak buah", dan tidak perduli pula
bahwa suami isteri itu telah mempunyai seorang anak
perempuan yang kini sudah menjadi seorang gadis dewasa!
Mulailah ki patih merenung dengan hati penuh kerinduan
kepada bekas kekasihnya dahulu, padahal iapun mengetahui bahwa, kekasihnya itu, Wulandari yang dahulu
amat cantik jelita, kenes dan kewes memikat, kini
sedikitnya tentu sudah berusia empat puluh tahun!
Makin rindu rasa hatinya kalau ia mengenang peristiwa
di masa yang lalu. Wulandari mencinta dirinya,
menyerahkan jiwa raga kepadanya dan ketika hubungan
gelap mereka ketahuan, terpaksa ia melarikan diri. Tadinya
dikabarkan orang bahwa Wulandari telah membunuh diri.
Baru sekarang ia ketahui bahwa hal itu hanya disiarkan
untuk menjaga nama dan kehormatan keluarga raja,
padahal diam-diam gadis bekas kekasihnya itu dikawinkan
dengan Tumenggung Matunggal. Apalagi setelah ia
melakukan penyelidikan dan berhasil melihat bekas
kekasihnya itu, rindu dendam dan berahinya makin
memuncak. Bukan saja terhadap kekasihnya yang ternyata
masih cantik jelita, bahkan lebih "matang" daripada
duapuluh tahun lebih yang lalu, melainkan juga terhadap
Dyah Handini, puteri bekas kekasihnya itu yang kini telah
menjadi seorang perawan jelita! Dan mulailah otaknya yang
cerdik seperti setan itu merencanakan siasatnya yang keji.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-oo0dw0oo- Ki Tumenggung Matunggal merasa girang dan bangga
sekali ketika ia diserahi tugas oleh Ki Patih Warutama
untuk melakukan peninjauan ke Nusabarung dan terus ke
Blambangan, dua kadipaten yang telah ditaklukkan oleh
Jenggala. Baik Nusabarung (baca Badai Laut Selatan)
maupun Belambangan dahulu dapat diserbu dan ditaklukkan berkat kesaktian Endang Patibroto. Setiap
orang pembesar tentu akan merasa girang dan bangga kalau
menjadi utusan atau wakil kerajaan menInjau daerah
taklukan, girang karena biasanya daerah taklukan tentu
akan mellmpahkan hadiah-hadiah dan tanda bukti yang
akan membuatnya pulang dengan harta benda bertumpuk,
dan bangga karena tugas ini membuktikan bahwa dia
adalah orang yang dipercaya oleh kerajaan!
Dengan hati bangga dan besar Ki Tumenggung
Matunggal berangkat beserta pasukannya setelah berpamit
dari isterinya, puterinya, dan selir-selirnya. Sama sekali ki
tumenggung ini tidak pernah mimpi bahwa kepergiannya
yang takkan pernah kembali, dan bahwa perpisahannya
dengan keluarganya adalah perpisahan terakhir! Mengapa
demikian" Karena semua ini adalah siasat keji yang
dilakukan oleh Patih Warutama yang bertekad bulat untuk
mendapatkan kembali bekas kekasihnya, Wulandari yang
telah menjadi nyi tumenggung itu, mendapatkan kembali
Wulandari berikut puterinya, Dyah Handini. Dan untuk
mencapai niat hati keji ini, Patih Warutama tidak segan
untuk melakukan hal yang bagaimana kejamnya pun.
Tumenggung Matunggal harus dilenyapkan! Demikianlah
siasat yang amat busuk dan yang hanya timbul dalam hati
seorang manusia yang sudah menjadi hamba nafsu dan
menjadi murid iblis! Sungguh patut dikasihani orang-orang seperti Ki
Tumenggung Matunggal ini. Seorang manusia pengejar
kemuliaan dan kedudukan dengan - cara apa pun juga,
tidak segan untuk menjilat-jilat atasannya, rela menjadi kaki
tangan Pangeran Kukutan dan mengkhianati kerajaan,
sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya ia hanya
dipergunakan sebagai alat oleh fihak atasan yang dalam hal
mengejar kesenangan pribadi jauh melebihinya, dalam
kekejaman jauh 'melewatinya. Tidak sadar bahwa ia hanya
dipermainkan, dipuji-puji dan diberi hadiah apablia masih
diperlukan, namun sekali fihak atasannya tidak memerlukannya, dia akan dilempar dan dibunuh begitu
saja! Dan alangkah banyaknya manusia-manusia macam
Tumenggung Matunggal ini, yang tidak mempunyai
pendirian, tidak mempunyai kesetiaan. Kepergiannya
melaksanakan tugas meninjau ke daerah-daerah taklukan,
diakhiri dengan kematian dalam perjalanan karena diracun
oleh pengawalnya sendiri, sudah tentu saja pengawal yang
menjalankan perintah Ki Patih Warutama. Adapun racun
yang dipergunakan adalah racun yang diminta oleh Ki
Patih Warutama dari Ni Dewi Nilamanik, racun yang amat
hebat dan tidak dikenal orang sehingga kematian
Tumenggung Matunggal dianggap sebagai kematian wajar,
kematian karena sang tumenggung diserang penyakit
mendadak di dalam perjalanannya.
Malam hari itu nyi tumenggung atau yang dahulunya
bernama Wulandari, puteri dari selir sang prabu, menangis
di dalam kamarnya, menangisi kematian suaminya.
Sesungguhnya ia tidak mencintai suami ini, suami yang
dijodohkan dengan dia secara paksaan. Akan tetapi karena
suaminya itu selalu baik terhadapnya, maka kematiannya
yang mendadak dalam perjalanan itu membuatnya berduka
juga. Dan menjelang tengah malam, ketika nyi tumenggung
yang berduka ini sudah hampir dapat melupakan dukanya
dengan tidur, tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dari luar
dan sesosok bayangan berkelebat masuk ke kamar itu. Wulandarl terkejut dan sejenak berdiri bulu tengkuknya, mengira bahwa roh suaminya yang datang melayang masuk dari jendela itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa pria tampan dan gagah yang berdiri di kamarnya, yang memandangnya dengan senyum membayang di balik kumis
tipis dan pandang mata mesra, adalah Ki Patih Warutama!
Baru satu kali Wulandari melihat patih yang baru ini, yang
sekali itu pun hanya sepintas lalu, akan tetapi ia telah
mengenal ki patih ini karena wajah ki patih mengingatkan
dia akan seorang yang pernah dikenalnya baik-baik, akan
wajah Raden Sindupati, bekas kekasihnya belasan tahun
yang lalu! Mengapa Ki Patih Warutama memasuki
kamarnya" Dan pada waktu malam buta dengan melalui
jendela seperti seorang maling" Jantung Wulandari
berdebar keras, wajahnya menjadi pucat dan kalau saja ia
tidak melihat jelas bahwa ki patihlah orang ini, tentu ia
telah menjerit. Kini dengan tubuh gemetar ia lalu
menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh
teguran, namun halus, "Gusti Patih .......... mengapa Paduka .......... ?"
"Wulandari, jangan takut, bintang pujaanku .......... "
kata Warutama sambil melangkah maju, mendekat.
Wulandari membelalakkan kedua matanya. Ia mengangkat muka dan memandang dengan mata terbelalak, muka makin pucat. Nama kecilnya disebut
begitu saja oleh ki patih, padahal di dalam dunia ini hanya
satu orang saja yang menyebutnya dengan ucapan mesra
"bintang pujaan".
"Paduka .......... Paduka .......... " ia menggagap
kebingungan. Namun kedua tangan ki patih yang kuat itu sudah
memegang pundaknya dan mengangkatnya berdiri. Muka
mereka berdekatan, dua pasang mata berpandangan, dan
terdengar bisikan keluar dari mulut yang menggigil.
"Paduka Gusti Patih Warutama ?"."
Warutama tersenyum. "Benar, aku Ki Patih Warutama?"." "Kenapa Paduka masuk kamar ini ...... " Di tengah
malam melalui jendela" Apakah .......... apakah kehendak
Paduka?" Wulandari sudah dapat menguasai hatinya dan
merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ki patih.
"Apa salahnya" Aku datang untuk menghiburmu, karena
aku merasa kasihan kepada keluarga Tumenggung
Matunggal yang sudah berjasa."
"Akan tetapi .......... ah, Paduka harus cepat keluar dari
sini .......... " Kembali lengan ki patih bergerak dan tanpa dapat
mengelak lagi Wulandari sudah dipeluknya dan dipaksanya
muka yang masih cantik itu menengadah sehingga mereka
kembali saling memandang, muka mereka amat dekat.
"Wulandari, bintang pujaanku .......... tidakkah engkau
mengenal aku, Diajeng" Pangling orangnya masa pangling
suaranya" Andaikata engkau pangling rupa dan suara,
apakah engkau sudah melupakan ini?" Sambil berkata
demikian, Ki Patih Warutama atau yang dahulu bernama
Raden Sindupati itu menundukkan mukanya lalu mencium
leher Wulandari di bawah telinga kini. Ciuman yang khas,
seperti yang ia lakukan dahulu kalau dia bermain cinta
dengan bekas kekasihnya ini, bibirnya mengecup kulit
kuning langsat yang halus itu dan giginya menggigit..........
"Aaggghhhh .......... engkau .......... engkau benar
Kakangmas Sindupati .........." Wulandari berkata lirih dan
mereka kembali berpandangan.
"Engkau mengenalku kini, Diajeng. Akan tetapi
Sindupati sudah tidak ada nama itu sudah dikubur. Aku Ki
Patih Warutama. Sindupati lenyap namun cinta kasihku
kepadamu tak pernah lenyap Diajeng bintang pujaanku
.......... " Warutama lalu mencium mulut yang terbuka
karena tercengang keheranan itu, mencium mata yang
memandangnya penuh takjub karena memang wajah pria
ini sudah amat berubah. Wulandari mula terengah-engah
dan berkata seperti merintih,
"Akan tetapi .......... Kakangmas ......aku .......... aku
sudah menjadi isteri .......... "
Kembali Warutama mencium dan membungkam mulut
itu sehingga Wulandari tidak dapat melanjutkan kata-kata
nya. "Bukan, engkau kini sudah menjadi seorang janda,
Wulandari kekasihku."
".......... tetapi .......... aku .......... suda tua, Kakangmas
.......... " Kembali bibir Warutama sudah menghentikan kata-
katanya. Ki patih ini menciumi kekasih lama ini dengan
penuh kemesraan, menumpahkan semua kerinduannya
selama ini sehingga Wulandari menggigil dibuatnya.
Wanita ini memejamkan matanya dan belaian serta ciuman
kekasihnya yang tak pernah dilupakannya ini membuat
semua bulu di tubuhnya meremang.
"Engkau tidak pernah tua bagiku, Diajeng. Engkau akan
kuboyong ke kepatihan bersama puterimu, engkau akan
hidup bahagia di sampingku, akan kutebus semua
penderitaan yang kita alami selama berpisah, kita takkan
berpisah lagi, Diajeng .......... "
"Kakangmas Sindupati .......... "
"Hushh, namaku Warutama ?"?"."
"Kakangmas Warutama, betapa mungkin itu" Apa yang
akan dikatakan orang kalau kami diboyong ke kepatihan"
Suami .......... suamiku baru saja meninggal .......... dan
.......... " Kembali bibir Warutama yang tiada puasnya itu sudah
menghentikan kata-katanya, menciuminya dengan penuh
kemesraan sehingga naik sedu-sedan dari dalam dada
Wulandari, membuat napasnya sesak, kepalanya pening
seperti, orang mabuk. "Tidak mengapa, Diajeng. Mendiang suamimu seorang
berjasa, sudah sepatutnya kalau keluarganya menerima
penghargaan dariku. Engkau menurut sajalah aku yang
akan mengatur segalanya, aku yang bertanggung jawab."
"Tapi .......... tapi .......... " Hanya sampai di situ saja
bantahan yang keluar dari mulut Wulandari karena ciuman-
ciuman dan belaian-belaian disertai suara bujuk rayu bekas
kekasihnya telah membuai seluruh tubuhnya menjadi
lemas, napasnya terengah-engah dan membuat dia seperti
mabuk, tidak lagi sadar apa yang dilakukannya melainkan
tunduk akan kekuasaan nafsu yang sudah mencengkeramnya. Bahkan ketika Ki Patih Warutama
memondongnya menuju ke pembaringan, dengan sepasang
mata dipejamkan dan mulut merintih tak tentu apa yang
diucapkannya, Wulandari melingkarkan kedua lengannya
ke leher bekas kekasihnya, seperti dua puluh tahunan yang
lalu. Peristiwa pemboyongan nyi tumenggung dan puterinya
ke kepatihan tentu akan menimbulkan geger kalau saja yang
melakukan pemboyongan itu adalah "orang kecil" atau
ponggawa yang kedudukannya masih rendah. Perbuatan
tidak wajar, apalagi melanggar hukum, dari "orang kecil"
tentu akan mencelakakan pembuatnya sendiri. Akan tetapi,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapakah yang berani mencela atau menghalangi perbuatan
"orang besar" seperti Ki Patih Warutama" Tidak dahulu
tidak sekarang, orang yang berkedudukan tinggi dan
memiliki kekuasaan, dapat berbuat seenak perutnya sendiri
tanpa ada orang yang berani mengganggu, karena bukankah
"hukum" berada mutlak di dalam telapak tangannya"
Semenjak dahulu sampai kini, hukum yang dibuat manusia
ternyata gagal untuk melindungi manusia-manusia yang
termasuk golongan kecil, dan pada hakekatnya merupakan
cara untuk menekan si kecil dan sebaliknya melindungi si
besar. Pemboyongan ibu yang baru saja menjadi janda bersama
puterinya ke kepatihan tentu saja menimbulkan keheranan
dan pelbagail dugaan, namun semua ini dapat ditutup oleh
alasan ki patih bahwa hal ini dilakukan oleh ki patih
mengingat akan jasa Tumenggung Matunggal yang tewas
dalam melakukan tugas. Maka habislah urusan itu, bahkan
ki patih dipuji-puji sebagai seorang atasan yang pandai
menghargai jasa bawahannya, dan bahwa ki patih adalah
seorang baik hati yang menaruh kasihan kepada ibu dan
puterinya itu. Namun, sesungguhnya bukan sesederhana ini persoalannya dan hal ini hanya Wulandari yang
mengetahuinya. Mula-mula janda ini merasa berbahagia
sekali karena dia telah dapat berkumpul kembali dengan
kekasih lama, bahkan dapat melanjutkan cinta kasih mereka
yang dahulu diputus dengan paksa. Mula-mula Wulandari
terlena dalam kenikmatan cinta, terbuai oleh bujuk rayu
dan cinta asmara yang dilimpahkan oleh Ki Patih
Warutama. Akan tetapi, ketika pada suatu malam ki patih
menyatakan bahwa ki patih hendak mengambil puterinya,
Dyah Handini, menjadi isteri ki pitih, ia terkejut sekali
seperti disambar halilintar di malam terang bulan!
"Ahhh, Kakangmas .......... ! Betapa mungkin" Tidak bisa
.......... tidak boleh Handini menjadi isterimu .......... "
Ki Patih Warutama merangkulnya, memeluk dan
membelainya sambil tersenyum.
"Mengapa tidak, Wulandari" Dia akan menjadi isteriku,
dan kita bertiga akan dapat berkumpul terus sampai
selamanya! Bukankah hal ini membahagiakan kita bertiga?"
"Tidak boleh .......... ah, Kakangmas, tidak boleh ..........
" Wulandari menangis.
Warutama mengerutkan alisnya, akan tetapi ia masih
tersenyum dan menciumi muka yang mulai basah air mata
itu. "Diajeng Wulandari, ketahuilah bahwa aku mencinta
puterimu. Dia mengingatkan aku kepada engkau ketika
masih muda. Ketika kita dipaksa berpisah, engkau seumur
dia dan persis seperti dia sekarang inilah keadaanmu.
Apakah engkau cemburu" Dia puterimu sendiri. Dan
engkau tentu yakin bahwa kalau dia menjadi isteriku, dia
akan hidup bahagia. Dan engkau pun akan selalu
bersanding di sisiku dan di sisi puterimu. Jangan khawatir,
bintang pujaanku, aku dapat membagi cinta kasihku antara
kalian berdua. Bahkan hubungan suci ini akan mengikat
kita bertiga erat-erat, selamanya tidak akan berpisah lagi."
"Tidak .......... ! Tidak .......... Aahhh, jangan .......... "
Wulandari menangis makin mengguguk.
Sinar mata yang menyeramkan memancar keluar dari
mata Ki Patih Warutama. Kedua tangannya yang tadi
membelai tubuh Wulandari, masih membelainya dan naik
ke atas, membelai dan meraba-raba leher wanita itu,
mengusap usap dengan gerakan-gerakan tangan seperti
hendak mencekiknya. Mulutnya tersenyum dan suaranya
dingin sekali ketika ia bertanya lirih,
"Mengapa" Mengapa tidak" Katakanlah, apa sebabnya
mengapa kau tidak setuju."
Wulandari mengangkat mukanya memandang wajah
pria yang sudah menjatuhkan hati dan segala-galanya itu.
"Kakangmas, dia .......... Dyah Handini itu .......... , dia
.......... adalah anakmu sendiri?"."
Jari-jari yang mengelus leher itu menegang, akan tetapi
belum mencekik, sungguhpun masih membelainya, agak
lebih kasar daripada tadi. Wulandari hendak merenggutkan
dirinya namun tidak dapat.
"Apa kau bilang .......... " Dia anakku?"..?"
"Betul, Kakangmas. Dengarlah dahulu, ketika engkau
melarikan diri .......... dan aku dipaksa kawin dengan
Tumenggung Matunggal, aku sudah .......... sudah
mengandung satu bulan. Dia anakmu, Kakangmas, karena
itu .......... tidak boleh engkau mengambilnya sebagai
isterimu .........."
"Aku tidak percaya! Juga tidak perduli. Dia akan
menjadi isteriku, tak perduli dia anakku atau bukan, tak
perduli engkau setuju atau tidak!?"
"Kakangmas .......... Wulandari berseru dengan suara
penuh permohonan, dengan air mata bercucuran.
"Cukupl Dengar baik-baik. Aku cinta kepada Dyah
Handini, seperti cintaku kepadamu dahulu. Cintaku
kepadamu yang terputus. Kini aku minta dilanjutkan,
karena dia serupa benar dengan engkau dahulu. Hanya ada
dua jalan bagimu. Menyetujui dia menjadi isteriku sehingga
kita bertiga akan dapat terus berkumpul, akan tetapi terus
saling mencinta, atau .......... engkau mati sekarang juga dan
dia tetap menjadi isteriku!" Jari-jari tangan yang masih
melingkari leher Wulandari itu kini mengeras dan cekikan
mulai terasa. Dengan wajah pucat dan air mata mengalir, Wulandari
terpaksa mengangguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata
lagi. "Ha-ha-ha, bagus, itu baru namanya bintang pujaanku
yang sejati!" Ki Patih Warutama tertawa lalu mengecup
bibir Wulandari dengan buas, lalu memaksa wanita yang
nelangsa batinnya itu untuk melayani cinta kasihnya yang
sesungguhnya hanya merupakan cinta berahi, cinta berahi,
cinta nafsu yang selalu menjadi penuntun bagi setiap
perbuatan seorang manusia macam Warutama atau
Sindupati. Demikianlah, biarpun sudah mendengar dari mulut
Wulandari sendiri bahwa Dyah Handini adalah anaknya,
Ki Patih Warutama tidak mau mundur dan melangsungkan
pernikahannya dengan dara yang denok ayu itu. Tentu saja
pesta pernikahan diramaikan dengan mewah dan meriah,
dan orang-orang mulai memuji-muji lagi ki patih yang
dianggapnya amat baik, suka mengangkat derajat anak
seorang tumenggung. Semua orang menganggap betapa
baik nasib Dyah Handini dan ibunya, yang biarpun telah
kehilangan ayah dan suami, namun kini malah dinaikkan
derajatnya sampai berlipat kali! Dyah Handini sendiri
sebagai seorang gadis pada masa itu, hanya menurut
kehendak ibunya dan akhirnya dia pun berbahagia karena
suaminya, biarpun usianya sudah mendekati setengah abad,
harus diakui merupakan seorang pria yang tampan dan
gagah, apalagi amat pandai dan seorang ahli dalam merayu
wanita dan bermain cinta. Segera dara yang denok ini jatuh
dan mabuk oleh rayuan pria yang menjadi suaminya,
sedikit pun tak pernah menduga bahwa suaminya ini
sesungguhnya adalah ayahnya sendiril
Ki Patih Warutama yang pada lahirnya merupakan
seorang patih yang berpengaruh dan berkuasa, merupakan
seorang pria yang tampan dan gagah, sebenarnya batinnya
amatlah rendah. Hanya manusia berperangai binatang saja
kiranya yang sudi melahap puterinya sendiri! Bukan hanya
itu saja, bahkan lebih jauh lagi tingkah dan ulah ki patih ini.
Terang-terangan di depan isterinya, ia melanjutkan
hubungan rahasianya dengan Wulandari! Akhirnya Dyah
Handini juga mengetahui bahwa ibunya telah "diselir" oleh
suaminya. Anak dan ibu menjadi madu! Namun, Dyah
Handini yang sudah jatuh bertekuk lutut oleh belaian kasih
sayang ki patih yang amat pandai, tidak berani marah,
bahkan diam-diam menjadi gembira karena baginya, lebih
baik membagi suaminya dengan ibunya daripada dengan
wanita lain. Terjadilah kemaksiatan yang menjijikkan dalam kamar
Kl Patih Warutama. Kini terang-terangan saja dia bermain
cinta dengan ibu dan anak itu. Dia tidur sekamar dengan
Wulandari dan Dyah Handini, bergiliran mencintai ibu dan
anak, tanpa malu-malu lagi bertiga tidur seranjang! Kadang-
kadang, mereka bertiga duduk bercengkerama, bersendau-
gurau, ki patih duduk di tengah, Wulandari duduk di atas
paha kanannya, Dyah Handini duduk di atas paha kirinya,
memeluk kedua ibu dan anak itu dengan dua lengannya,
bergiliran menciumi dan mencumbu mereka! Hebatnya,
lambat-laun Wulandari dapat melupakan rasa nelangsa di
hatinya dan mulailah ia bergembira dan akhirnya ia merasa
berbahagia mendapat kenyataan betapa ki patih masih tetap
mencintanya seperti cintanya terhadap puterinya. Wulandari merasa mendapat kepuasan lahir batin dan tak
perduli lagilah akan tata susila, tidak malu menyaksikan
puterinya bermain cinta dengan ki patih, juga tidak malu
lagi disaksikan puterinya apabila dia mendapat giliran!
Adakah perbuatan a-susila yang lebih gila daripada ini"
Sementara itu, kedudukan Suminten makin kuat.
Keadaan sang prabu yang sudah tua tiada lebih kuat
daripada seorang tapadaksa yang tak berdaya. Semua
persoalan pemerintahan dipegang oleh tiga serangkai itu,
Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama.
Hubungan dengan wakil-wakil Kerajaan Sriwijaya dan Cola
makin diperkuat dan mulailah diatur rencana untuk
menguasai seluruh Jenggala, kemudian menghantam
Panjalu. Kadipaten sebelah timur sudah pula dihubungi dan
mereka ini, termasuk Kadipaten Nusabarung dah Kadipaten Blambangan yang menaruh dendam terhadap
Panjalu, sudah siap-siap pula untuk membantu jika pecah
perang. Awan gelap menyelimuti angkasa di atas kedua
kerajaan bersaudara itu, kerajaan yang menjadi keturunan
Mataram, yang terpecah karena mendiang Sang Prabu
Airlangga bermaksud bersikap adil dan mencegah perang
saudara dengan cara membagi kerajaan menjadi dua.
-oo0dw0oo- Di kaki Gunung Anjasmoro sebelah utara merupakan
pedusunan yang amat sunyi, yang hanya berpenduduk
beberapa puluh keluarga petani miskin. Namun tempat ini
memiliki pemandangan alam yang indah dan kesunyian
selalu merupakan sifat yang khas daripada keindahan alam.
Di antara pondok-pondok kecil, gubuk-gubuk berdinding
anyaman bambu dan beratap daun kelapa itu terdapatlah
sekelompok bangunan yang dikurung pagar tembok. Pintu
gerbang dinding yang mengurung kelompok bangunan ini
selalu terjaga oleh beberapa orang perajurit pengawal.
Keadaan sekeliling pondok sunyi dan hening, dan hanya
beberapa kali saja setiap harinya ada pelayan tua yang
keluar melalui pintu gerbang untuk mengurus keperluan
penghuni pondok. Pondok ini adalah tempat pengasingan atau pembuangan
bagi bekas permaisuri, sang ratu dari Jenggala! Setelah sang
ratu ini gagal menandingi Suminten yang sangat cerdik
sehingga sang ratu yang hendak "menangkap basah" selir
itu sebaliknya malah masuk perangkap, wanita tua ini
sekarang menjadi seorang buangan, hidup bersunyi diri di
dalam pondok yang dikurung dinding tinggi dan terjaga
slang malam ini. Tidak pernah keluar dari pondok, tidak
pernah bertemu dengan orang lain kecuali para pelayannya
karena bekas permaisuri ini dilarang keluar, dan dilarang
pula menerima kunjungan orang luar.
Akan tetapi pada suatu hari, lewat pagi, sepasang orang
muda memasuki pintu gerbang dinding yang mengurung
pondok pengasingan ini. Mereka berdua tidak dilarang oleh
para penjaga, bahkanpara penjaga cepat-cepat berlutut
memberi hormat dan menyapa dengan penuh kehormatan
kepada pria yang lewat menggandeng wanita itu. Mereka
itu masih muda-muda dan keduanya amatlah eloknya,
bagaikan sepasang dewa asmara Sang Hyang Komajaya
dan Komaratih. Kedua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Panji
Sigit dan isterinya, Setyaningsih. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, setelah menikah di Padepokan Wilis,
Pangeran Panji Sigit mengajak isterinya untuk ke Jenggala.
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa kembalinya ke
Jenggala merupakan perbuatan yang banyak resikonya bagi
dirinya karena dia telah mempunyai seorang musuh yang
berbahaya, yaitu Suminten. Akan tetapi karena pangeran ini
amat mencinta ramandanya, dan pula karena ia berpikir
bahwa setelah ia beristeri, kiranya Suminten tidak begitu
gila untuk menggodanya lagi, maka ia bertekad untuk
pulang ke Jenggala. Di sepanjang perjalanan, pangeran
yang amat memperhatikan keadaan ramandanya dan
keadaan kota raja, bertanya-tanya dan alangkah kaget
hatinya ketika ia mendengar segala peristiwa hebat yang
terjadi di kerajaan ramandanya. Tentang pengangkatan
Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, sama sekali
tidak mendatangkan kesan apa-apa di hatinya karena
memang Pangeran Panji Sigit bukan seorang yang gila akan
kedudukan. Peristiwa yang menimpa keluarga ki patih,
yang didengarnya di jalan, dan tentang penggantian patih
baru, hanya mendatangkan rasa haru dan kasihan di
samping rasa penasaran mengapa paman patih yang
dianggapnya amat baik dan setia itu sampai dijatuhi
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hukuman sekeluarga sedemikian mengerikan. Akan tetapi
ketika ia mendengar bahwa ibunda ratu diasingkan,
dibuang ke kaki Anjasmoro, Pangeran Panji Sigit menjadi
marah sekali. "Setan betina, iblis laknat, siluman keji! Semua ini gara-
gara dial" seru Pangeran muda itu sambil mengepal tinju
dan mukanya menjadi merah sekali.
"Eh, Kakangmas .......... !" Setyaningsih menegur
suaminya. Pangeran Panji Sigit merangkulnya dan ia sadar, dapat
pula menguasai hatinya yang terbakar. Setelah menghela
napas panjang ia berkata,
"Diajeng, sungguh jahat sekali dia itu. Semua ini tentu
hasil perbuatan Suminten. Aduh dewata Yang Maha Agung
.......... mengapa Ramanda Prabu sampai tenggelam
sedemikian dalamnya .......... Diajeng, mari kita pergi ke
kaki Anjasmoro, lebih dahulu kita menjenguk Ibunda
Ratu." Perjalanan dilanjutkan. Kuda tunggangan mereka
dilarikan lebih cepat dan akhirnya mereka dapat juga
menemukan pondok pengasingan di kaki. Gunung
Anjasmoro. Para penjaga tentu saja mengenal Pangeran
Panji Sigit yang memang sejak dahulu amat disuka oleh
semua perajurit, maka dengan mudah saja Pangeran Panji
Sigit dan isterinya memasuki pintu gerbang dan langsung
mencari bekas permaisuri yang menurut para abdi sedang
duduk seperti biasa di belakang pondok.
Hati Pangeran Panji Sigit terasa seperti disayat-sayat
pisau ketika ia melihat wanita tua itu duduk bersila di atas
lantai bertilam tikar. Wajah permaisuri itu masih agung,
sungguhpun segala keadaan memperlihatkan kesederhanaan yang amat tidak pantas bagi seorang bekas
ratu. Muka itu tidak dirias, tidak dibedaki, rambutnya
digelung bersahaja ke belakang, rambut yang sudah
bercampur banyak uban, tubuhnya ditutup libatan kain
Naga Kemala Putih 5 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Pedang 3 Dimensi 12
fitnah .......... !" Patih yang sudah tua itu menutupi
mukanya dengan kedua tangan, tubuhnya menggigil karena
menahan rasa penasaran dan kemarahan besar.
"Tidak ada fitnahi Aku sendiri yang menjadi saksi,
bagaimana bisa dikatakan fitnah" Pengawal, tangkap
penghianat dan pemberontak ini, laksanakan hukuman
gantung di alun-alun bersama seluruh keluarganyal" Sang
prabu yang sudah diamuk kemarahan itu mengeluarkan
perintah yang disambut isak tangis seluruh keluarga
kepatihan. Namun para pengawal yang sudah mendapat
aba-aba dari Pangeran Kukutan, sudah menangkap mereka
semua, membelenggu dan menggiring mereka keluar dari
ruangan itu, menuju ke alun-alun.
Para ponggawa tidak ada yang berani campur tangan
karena mereka pun yakin akan keadaan ki patih,
sungguhpun hal ini membuat mereka terheran-heran dan
tidak mengerti. Kini alun-alun telah dibanjiri penduduk
yang hendak menyakslkan pelaksanaan hukum massal yang
mengerikan ini. Tiang-tiang gantung dibangun serentak,
tiga puluh enam buah banyaknya. Mengerikan! Hanya
mereka yang menjadi kaki tangan Suminten dan Pangeran
Kukutan saja yang diam-diam tersenyum puas karena
musuh besar mereka yang berbahaya itu kini akan dibasmi
habis. Rakyat biasa menonton dengan wajah pucat dan
banyak pula yang menangis sembunyi-sembunyi.
Sang prabu sendiri duduk di panggung dengan wajah
pucat dan mata sayu. Suminten duduk di dekatnya dengan
wajah berseri, dan Pangeran Kukutan berdirl tegak, gagah
dan masih berpakaian pemburu. Di dekatnya berdirl Raden
Warutama yang menjadi buah bibir para ponggawa, karena
dialah pada saat Itu menjadi pahlawan penolong raja. Para
hukuman sudah digiring berkelompok di dekat tiang-tiang
gantungan. Amat mengharukan keadaan mereka. Ki patih
yang sudah tua dengan kedua tangan dibelenggu, berdiri
dengan kedua kaki terpentang, mukanya yang keriputan
menengadah ke langit, seolah-olah mohon kekuatan dari
para dewata. Bergantlan keluarganya menghampirinya,
memeluk kedua kaklnya dan menangis, namun kakek
perkasa itu tidak mau memandang ke bawah karena ia
maklum bahwa sekali semangatnya runtuh, ia akan menjadi
pilu dan hatinya akan menderita. Ia tidak ingin mati dalam
keadaan seorang pengecut. Karena ia tidak bersalah, mati
pun harus seperti seorang satria perkasa. Perang tanding
terjadi dalam hati dan pikirannya. Betapapun gagah
sikapnya, kalau dia dan keluarganya akan mati di tiang
gantungan, berarti mereka itu mati sebagai keluarga
penghianat! Kalau dia mengamuk pada saat terakhir itu,
akhirnya ia akan mati dikeroyok berikut keluarganya dan
mati sebagai keluarga pemberontak!,
Tiba-tiba ki patih mengeluarkan suara menggereng
seperti seekor harimau terluka dan ia sudah memballkkan
tubuh, menghadap ke arah sang prabu yang duduk di atas
panggung. Kemudian, sambil memandang junjungannya
dengan sepasang mata berkilat-kilat, ia berkata, suaranya
nyaring sehingga terdengar oleh semua orang, memecah
kesunyian yang menegangkan di saat itu,
"Gusti Sinuwun! Hamba bukan seorang penghianat,
karena itu hamba tidak ingin mati sebagai seorang
penghianat terhukum! Keluarga hamba adalah abdi-abdi
yang setia, bukan pula pemberontak! Maka hamba
sekeluarga rela mengorbankan nyawa demi dharma bakti
hamba kepada Paduka Gusti. Namun sekali lagi, bukan
mati sebagai orang hukuman karena hamba tidak berdosa,
melainkan mati membunuh diri karena penyesalan dan
kedukaan menyaksikan Paduka Gusti Sinuwun junjungan
hamba telah terkena bujukan iblis, telah dilemahkan oleh
manusia-manusia berhati iblis seperti Suminten dan
Pangeran Kukutan! Hamba sekeluarga rela berkorban,
namun semoga paduka menjadi sadar ..........!"
Semua orang tertegun dan secepat kilat ki patih yang
memang memiliki kedigdayaan ini telah mematahkan
belenggu tangannya dengan sekali renggut kemudian
tangannya meraih seorang pengawal di dekatnya,
merampas sebatang pedang dan dengan pedang ini ki patih
lalu menyerbu keluarganya sendiri! Hebat bukan main
perlstiwa ini. Gerakan ki patih amat tangkas dan cepat,
tusukan-tusukannya tepat mengenai dada menembus
jantung sehingga setiap keluarga yang terkena tusukannya,
roboh tak sempat menjerit lagi. Isteri-isterinya, putera-
puterinya, para abdi, seorang demi seorang dia robohkan,
dia renggut nyawanya dengan perantaraan ujung pedang.
Mereka yang roboh tak bergerak lagi, mereka yang belum
terbunuh berlutut dan membuka dada sambil memandang
ki patih dengan air mata bercucuran. Semua slap menerima
kematian di tangan ki patih!
Tinggal lima orang kanak-kanak, yaitu cucu buyut ki
patih yang belum roboh tewas. Ki patih meloncat dengan
mengayun pedang. Dari mulut seorang anak laki-laki cucu
buyutnya, berusia paling banyak lima tahun, terdengar
rintihan, "Eyang .......... Eyang Buyut .......... !"
Ki patih yang matanya terbelalak, pedang dan seluruh
pakaian serta kedua lengannya merah oleh darah
keluarganya itu seperti disambar halilintar, berdiri
memandang wajah anak kecil yang menangis itu,
menggigil, pedangnya terlepas dan ia menjatuhkan diri
berlutut, mendekap lima anak kecil yang kini kesemuanya
menangis. "Srrrt .......... srrrtt .......... !" Hujan anak panah yang
dilepas oleh para pengawal atas perintah Pangeran Kukutan
menyambar ke arah kakek dan lima orang cucunya.
Ratusan batang anak panah menancap di tubuh kakek itu
yang dengan tenaga terangkir merangkul lima orang
cucunya, tak bergerak-gerak, dan hanya darah yang
bercucuran dari sekelompok manusia ini membuktikan
bahwa mereka berenam telah menjadi sasaran anak panah.
Ketika para pengawal menyerbu dan mendekat, baru
diketahui bahwa kakek itu memeluk lima orang cucunya
dengan pengerahan tenaga sehingga mereka berlima telah
tewas karena remuk tulang-tulangnya dalam dekapan kakek
mereka sebelum anak-anak panah itu menembus tubuh
mereka bersama tubuh kakek mereka. KI Patih Brotomenggala tewas dalam keadaan memeluk lima orang
cucu buyutnya, dengan mata masih melotot penuh
penasaran akan tetapi mulut membayangkan kasih sayang
mesra kepada keluarganya yang terpaksa ia bunuh sendiri
karena menghindarkan mereka daripada kematian sebagai
keluarga penghianat atau pemberontak!
Penglihatan yang amat hebat itu membuat semua
penonton menggigil, banyak yang bercucuran air mata,
bahkan ada yang pingsan di tempat ia berdiri atau
berjongkok. Sang prabu sendiri ternyata pingsan di tempat
duduknya dan dengan pimpinan Suminten dan Pangeran
Kukutan, sang prabu diusung masuk kemball ke dalam
istana. Para pengawal membubarkan semua penonton dan
melenyapkan mayat-mayat keluarga ki patih, tidak lupa
mencabuti tiang-tiang gantungan yang masih bersih karena
belum digunakan itu. Peristiwa mengerikan itu kembali mengguncangkan
Kerajaan Jenggala, membuat gentar mereka yang tadinya
berfihak kepada Ki Patlh Brotomenggala. Para ponggawa
yang tebal rasa sayang kepada diri sendiri, yang berwatak
pengecut, melihat betapa besar kekuasaan pangeran
mahkota dan selir terkasih sang prabu, maka tanpa malu-
malu mereka ini cepat memalingkan muka dan dengan suka
rela menggabung kepada Pangeran Kukutan. Mereka yang
leblh kokoh batinnya, yang menjunjung kesatriaan di atas
kepentingan pribadi, diam-diam lolos dari kerajaan,
membawa keluarga mereka melarikan diri dan bersembunyi
di gunung-gunung dan sebagian besar lari memasuki daerah
Panjalu. Sang prabu menjadi berpenyakitan semenjak terjadinya
peristiwa mengerikan itu. Atas bujukan Suminten dan
Pangeran Kukutan, juga karena menganggap bahwa orang
yang telah menolong nyawanya itu patut diberi anugerah
besar, apalagi mengingat bahwa Raden Warutama memiliki
kesaktian hebat, maka diangkatlah Raden Warutama
menjadi patih, menggantikan Ki Patih Brotomenggala.
Dengan demikian, secara tidak resmi, Suminten mewakili
raja mengatur rencana. Resminya, Pangeran Mahkota
Kukutan yang mewakili raja mengatur pemerintahan, dan
pelaksanaannya adalah Ki Patih Warutama!
Beberapa malam kemudian setelah terjadinya peristiwa
mengerikan di alun-alun Kerajaan Jenggala, Suminten
berkenan menerima "kunjungan" Ki Patih Warutama di
dalam kamarnya! Karena dia berkedudukan sebagai patih,
tentu saja akan amat menyolokiah kalau Warutama datang
secara berterang, maka Warutama mempergunakan aji
kesaktiannya, memasuki keputren ini seperti seorang
pencuri. Di dalam kamar yang indah dan harum itu,
Suminten dan Pangeran Kukutan menyambutnya dan
berpesta-poralah ketiga orang yang mabuk kemenangan ini,
dengan hidangan-hidangan yang lezat, dilayani oleh emban-
emban yang muda-muda dan cantik-cantik. Tentu saja para
emban dan abdi yang menjadi pelayan di situ, termasuk
beberapa orang pengawal kepercayaan, adalah orang-orang
yang sudah amat dipercaya.
"Sungguh beruntung siasat yang Andika jalankan itu
berjalan dengan amat lancar dan berhasil baik, Paman
Patih," kata Pangeran Kukutan setelah mereka terhenyak
kekenyangan dan kepuasan menghadapi meja yang telah
dibersihkan dari sisa-sisa makanan. "Dan baru sekarang kita
dapat berkumpul sehingga akan dapat terjawablah
pertanyaan-pertanyaan yang sungguh mengganggu perasaanku." "Hal apakah yang hendak Paduka tanyakan?"
"Tentang pasukan gundul itu. Siapakah mereka?"
Patih Warutama tersenyum lebar dan membusungkan
dada. "Mereka "adalah anak buah sahabat kita dari Negeri
Cola." "Permainan yang amat berbahaya sekali!" kata Suminten
sambil memandang dengan sepasang matanya yang jeli dan
bersinar jalang, yang dapat meneliti tubuh seorang pria
penuh penilaian seperti ketika ia memandang patih baru itu
pada saat Itu. "Andika membiarkan dua di antara mereka
tertawan hidup-hidup dan diperiksa di depan gusti sinuwun.
Hatiku hampir berhenti berdetik ketika mereka dlperiksa,
apalagi ketika mereka digertak oleh Brotomenggala.
Bagaimana andaikata mereka itu ketakutan dan mengaku
terus terang?" Patih Warutama memandang ke arah dada Suminten
yang membusung, seolah-olah hendak menembus kulit
halus itu menjenguk hati yang hampir berhenti berdetik.
Mulutnya masih tersenyum bangga. "Tidak mungkin.
Mereka itu adalah orang-orang yang sudah kehilangan
pengaruh atas diri pribadi, sepenuhnya mereka dIkuasaI
oleh ilmu kesaktian sahabat kita yang bernama Cekel
Wisangkoro, murid Sang Wasi Bagaspati yang sakti
mandraguna, wakil dari Negeri Cola."
"Hemm, kiranya begitu" Aku pun amat khawatir
tadinya. Akan tetapi, kupikir bahwa pelaksanaan siasat itu
agak merugikan. Untuk itu Andika telah mengorbankan
hampir lima puluh orang anggauta pasukan gundul.
Bukankah ini berarti mengorbankan nyawa teman-teman
sendiri?" tanya Pangeran Kukutan.
Berkerut kening tebal Patih Warutama. "Pangeran,
Paduka agaknya masih harus banyak belajar. Untuk
mencapai cita-cita, tidak ada jalan yang tak boleh ditempuh
dan dipergunakan. Jangankan hanya mengorbankan nyawa
lima puluh orang kawan, kalau perlu, jalan yang lebih keji
dan buruk lagi harus dilakukan demi tercapainya cita-cita.
Yang penting, cita-cita kita tercapai, bukan" Apa artinya
nyawa puluhan orang mayat hidup itu" Ha-ha-ha!"
Diam-diam Suminten dah Pangeran Kukutan bergidik.
Mereka pun bercita-cita tinggi dan tidak segan-segan
melakukan apa saja demi cita-cita tercapai. Akan tetapi
tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk menempuh
jalan seperti itu, membunuhi kawan sendiri sekian
banyaknya. Kini mereka diam-diam menganggap betapa
benarnya pendapat kawan baru ini dan mereka mengangguk-angguk, seperti murid-murid yang menerima
ajaran lebih tinggi dari seorang guru yang pandai. Melihat
sikap mereka, Patih Warutama lalu melanjutkan kata-
katanya dengan suara bangga. "Manusia hidup harus
bercita-cita untuk mencapai kedudukan tertinggi, karena
hanya dengan kekuasaan dan kedudukan tinggi kita akan
dapat menikmati kesenangan dunia. Selagi hidup, kalau
tidak mereguk arak kenikmatan dunia sepuasnya, apa
artinya" Hanya menanti mati. Dan untuk mencapai cita
cita, kita tidak boleh memilih cara. Cara apa saja harus
ditempuh demi tercapainya cita-cita!"
Orang ini hebat, pikir Suminten Dengan dia ini sebagai
sekutuku, akan berhasillah segala cita-citaku. Maka kini
pandang matanya mulai memancarkan daya tarik yang
amat memIkat ke arah Patih Warutama. Ki patih bukan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak tahu akan hal ini. Dia seorang pria yang sudah
berpengalaman dan sudah mengenal belaka segala sifat
wanita, maka ia makin bangga, wajahnya berseri dan tanpa
diminta ia melanjutkan kata-katanya seperti seorang guru
besar memberi kuliah atau seorang pendeta memberi
wejangan, "Hanya orang yang memperoleh kemenangan saja yang
akan tercapai cita-citanya. Kemenangan adalah kunci
pertama, karena yang menang itu berarti yang berkuasa,
dan sudah barang tentu bahwa yang berkuasa itu selalu baik
dan benar. Yang buruk dan salah, yang patut diinjak-injak
adalah mereka yang kalah. Bayangkan saja, andaikata
dalam urusan menghadapi keluarga Brotomenggala kita
yang kalah, akan bagaimana jadinya dengan kita" Kalau
mereka yang menang, tentu mereka yang berkuasa dan
mereka yang baik dan benar. Kita yang kalah" Menjadi
makanan cacing!" Pangeran Kukutan dan Suminten mendengarkan dengan
pandang mata kagum dan gembira. Mereka lalu minum
hidangan yang terbuat daripada campuran madu dan sari
buah, minuman yang memabukkan dan mempunyai daya
merangsang. Kalau kita mengetahui latar belakang tiga orang ini, akan
terdengar sumbang dan melantur pendapat yang dikemukakan oleh Warutama tadi. Namun, ah, betapa
banyaknya orang di luar kesadaran pribadi mempunyai
pendapat yang serupa. Untuk mencapai cita-cita maka
segala cara dibenarkan! Betapa kotor dan menyesatkan
pendapat seperti itu! Mereka lupa bahwa yang kotor tidak
mencerminkan yang bersih, bahwa yang pahit tidak
memberikan buah yang manis. Kalau cara yang
dipergunakan untuk menempuh cita-cita itu keji, maka
sudah tak dapat disembunyikan lagi bahwa cita-citanya
sendiri pun tentu keji! Tidak mungkin cita-cita yang bersih
ditempuh dengan jalan atau cara yang kotor! Sebaliknya,
cita-cita yang kotor takkan dapat ditempuh dengan cara
yang bersih, atau kalau pun bersih, maka kebersihan cara
itu hanya merupakan siasat atau kedok belaka. Sudah jelas
bahwa cita-cita yang baik dan bersih HARUS dicapai
dengan cara yang baik dan bersih pula!
Pendapat ke dua dari Warutama yang bermoral bejat
tentang kemenangan, kekuasaan dan kebenaran merupakan
pendapat yang tersesat jauh, bahkan mudah menyesatkan
orang. Memang tak dapat disangkal kenyataannya bahwa di
dunia ini banyak berlaku hukum seperti yang dikatakannya,
yaitu siapa menang dia berkuasa dan siapa berkuasa dia
benar dan baik! Akan tetapi ini hanya pendapat orang yang
menjadi kawula iblis, yang hidup demi pemuasan nafsu
pribadi. Pendapat Warutama itu merupakan hukum rimba
yang hanya patut diterapkan pada kehidupan binatang yang
tidak mengenal peri kemanusiaan. Manusia mengenal
pribudi, tahu akan baik dan buruk, mana benar mana salah.
Justeru pribudi menuntut agar setiap manusia ingat bahwa
dalam kemenangan tidak boleh sombong dan mabuk serta
gila kekuasaan. Kemudian, yang kebetulan berkuasa tidak
boleh sewenang-wenang menganggap diri sendiri selalu
benar dan baik. Karena menang dan kalah itu hanya
pandangan belaka, seperti suka dan duka. Yang menang di
lain waktu bisa kalah, demikian sebaliknya. Juga
kedudukan- tinggi atau rendah hanya pandangan, yang
tinggi sewaktu-waktu bisa saja menurun, yang rendah
menalk. Karena itu, pedoman terbaik adalah tidak patah
hati di waktu kalah dan tidak tinggi hati di waktu menang.
Selalu rendah hati, menujukan langkah di atas jalan yang
benar, dan menerima segala peristiwa yang menimpa diri
sebagai kehendak Yang Maha Kuasa!
Suminten yang sedang dimabuk cita-cita setinggl langit,
mendengar ucapan-ucapan Patih Warutama, menjadi amat
tertarik. "Sungguh beruntung bagiku dapat berjumpa
dengan seorang yang pandai seperti Andika! Semoga kerja
sama di antara klta akan tetap kekal abadIl" Ucapan ini
disertai senyum dan diikuti kerling memikat dari sudut
mata. Warutama tertawa, lalu tanpa malu-malu terhadap
Pangeran Kukutan ia berkata,
"Bolehkah sekarang raya mengharapkan hadiah pribadi
dari Sang Ayu?" Suminten terkekeh genit, bibir yang merah itu merekah
dan tampak deretan gigi yang putih dan berbentuk bagus
seperti mutiara. Dengan gaya manja ia menggeliat, menoleh
kepada Pangeran Kukutan sambil berkata,
"Puteranda Pangeran, sudikah Paduka pulang sekarang
karena ibunda ingin sekali beristirahat sambil minta
nasehat-nasehat dari ki patih?"
Pangeran Kukutan maklum akan maksud hati Suminten.
Dia tidak cemburu lagi, karena dia sudah mengenal betul
watak ibu tiri atau juga kekasihnya ini. Tiada bedanya
dengan dia sendiri. Setiap malam harus ada seorang kekasih
yang mengawani melewatkan malam panjang! Dia
mengenal tubuh indah wanita ini yang tak pernah merasa
puas dalam mengabdi nafsu berahi. Ia bangkit dan
tersenyum maklum sambil mengangguk kepada Warutama.
Kemudlan pergi meninggalkan kamar itu untuk mengunjungi seorang di antara kekasihnya yang banyak
terdapat di antara para puteri, abdi wanita, dan selir-selir
pangeran sepuh !ainnya. Asyik dan mesralah kini mereka berdua, Suminten dan
Warutama, setelah mereka ditinggal berdua saja di dalam
kamar itu. Para abdi diusir keluar, pintu kamar ditutup dan
mulailah mereka saling mengenal pribadi masing-masing.
Diam-diam Warutama kagum sekali karena sekarang ia
mengenal betul siapa sebenarnya wanita yang bernama
Suminten ini dan mengapa wanita ini dapat mencapai
kekuasaan di Kerajaan Jenggala. Banyak sudah ia mengenal
wanita yang secara suka rela atau paksaan menjadi
kekasihnya, namun baru sekali ini ia bertemu dengan
seorang wanita yang benar-benar dapat mengimbangi
keahliannya dalam bermain asmara. Sebaliknya, Suminten
juga mendapat kenyataan yang jauh melampaui dugaannya,
bahkan mendapatkan pengalaman yang jauh berada di luar
batas lamunannya. Mimpi pun belum pernah ia menemui
pria yang seperti Warutama, seorang yang sudah matang
dan benar-benar merupakan seorang ahli dalam menyenangkan perasaan dan hati wanita. Mereka berdua
seperti mabuk dan lupa diri, tenggelam dalam lautan nafsu
yang memabukkan dan barulah Patih Warutama sadar dan
tergesa-gesa meninggalkan kamar itu ketika keesokan
harinya, seorang abdi kepercayaan secara terpaksa
mengetuk pintu kamar karena khawatir kalau-kalau sang
prabu berkenan datang berkunjung di pagi hari itu.
Dengan adanya Patih Warutama, makin kuatlah
kedudukan persekutuan yang bercita-cita menguasai
Jenggala ini, dan makin berkembanglah sayap persekutuan
ini, makin jauh kuku-kukunya mencengkeram Jenggala.
Sang prabu yang makin lemah sudah menyerahkan seluruh
kepercayaannya kepada Suminten yang tak kunjung gagal
menina-bobokkan raja tua itu di malam hari, kepada
Pangeran Kukutan yang selalu pandai mencari muka
sebagai seorang putera mahkota yang penuh hormat, taat,
dan berbakti, dan kepada Patih Warutama yang sikapnya
tenang, pribadinya berwibawa, dan pendapat-pendapatnya
jitu itu. Jilid XXVII HANYA tinggal sang permaisuri saja yang kini selalu
diliputi kegelisahan. Permaisuri ini merasa kehilangan
tangan kanannya ketika Ki Patih Brotomenggala sekeluarga
dibasmi. Diam-diam ia menangis di dalam kamarnya dan di
dalam hatinya ia maklum bahwa gilirannya akan tiba kalau
dia tidak cepat-cepat bertindak. Dia tahu benar bahwa yang
menjadi biang keladi pembasmi keluarga Ki Patih
Brotomenggala tentulah Suminten dan Pangeran Kukutan.
Tentu saja sang permaisuri tidak tahu bagaimana caranya,
hanya tahu bahwa Suminten dan Pangeran Kukutan
merupakan persekutuan yang ingin merebut kekuasaan
dengan cara mempengaruhi dan menundukkan sri baginda,
suaminya. Permaisuri ini tidaklah gelisah mengkhawatirkan
keselamatan dirinya pribadi, sama sekali tidak. Dia sudah
tua, dan pula di dalam tubuhnya mengalir darah ksatria
utama. Yang dia khawatirkan adalah keadaan suaminya,
dan terutama sekali keadaan kerajaan. Dapat ia
membayangkan betapa Jenggala akan hancur dan akan
cemar kalau kelak dirajai oleh seorang macam Pangeran
Kukutan yang ia tahu benar adalah seorang muda yang
suka mengganggu anak isteri orang lain, berhati palsu,
pandai bermuka-muka, dan terutama sekali, menjadi
kekasih dan sekutu Suminten. Namun, apakah yang dapat
dilakukan oleh seorang wanita tua yang lemah" Memang,
ada beberapa orang ponggawa tinggi yang selalu setia
kepadanya, akan tetapi dlbandingkan dengan kekuasaan
Suminten dan Pangeran Kukutan di waktu ini, apalagi
dibantu oleh patih yang baru, maka ia sama sekali tidak
mempunyai kekuatan apa-apa. Sang permaisuri hanya
berdoa setiap hari sambil menanti kesempatan baik untuk
menjatuhkan pukulan untuk menghancurkan Suminten dan
sekutunya. -oo0dw0oo- Gadis itu menangis tersedu-sedu sambil melangkah
terhuyung-huyung di dalam hutan yang gelap. Malam telah
tiba, namun dia dipaksa berjalan terus oleh temannya,
seorang laki-laki tua yang membawa obor di tangan kanan,
sedangkan tangan kiranya menggandeng lengan gadis itu.
Mulutnya mengeluarkan suara menghlbur, sungguhpun
suaranya sendiri menggetar penuh keharuan dan hiburan itu
tidak ada artinya sama sekali bagi gadis yang berjalan
sambil tersedu-sedu menangis itu.
Gadis itu bukan lain adalah Widawati, gadis berusia
sembilan belas tahun, cucu Ki Patih Brotomenggala.
Tubuhnya tinggi semampai, perawakannya sedang berisi,
kulitnya hitam manis dan halus, gerak-geriknya serba
luwes. Pada saat itu, pakaiannya kusut, sekusut rambutnya
yang terurai. Ketika sinar obor di tangan laki-laki tua itu
menerangi wajahnya, tampaklah wajah yang ayu menarik.
Wajah yang dapat diduga tentu biasanya cerah gemilang
seperti sinar matahari pagi, dengan bentuk mulut yang
selalu senyum, bibir yang selalu merekah, selalu siap untuk
senyum dan tertawa, siap selalu untuk mengucapkan kata-
kata halus lembut, menutupi deretan gigi yang tidak begitu
rata namun putih bersih, dengan ketidakrataan yang bahkan
menambah manis! Alisnya menjelirit hitam, di atas
sepasang mata yang indah sinarnya karena pandang mata
itu mengandung pengertian mendalam, mengandung
kesabaran dan kasih sayang terhadap segala yang
dipandangnya. Gadis seperti yang muda-muda selalu
datang kepadanya ini, kalau sedang berduka akan
mengharukan hati setiap orang, kalau sedang gembira akan
menyinari semua orang, dan kalau marah akan disangka
pura-pura karena wajah seperti ini memang "tidak pantas"
kalau dipakai marah. Wajah yang bulat telur dengan dagu
kecil meruncing itu menyembunyikan usianya, membuat ia
tampak jauh lebih muda daripada usianya.
Widawati cucu Ki Patih Brotomenggala ini adalah
seorang gadis yang amat rajin mempelajari segala
kepandaian puteri. Terkenal di kepatlhan sebagaI sebagai
seorang gadis yang cerdik dan pandai, baik dalam olah
kewanitaan, kesenian, dan kerajinan tangan, maupun dalam
olah keperajuritan karena sebagai cucu Ki Patih
Brotomenggala yang sakti, tentu saja ia tidak mau
ketinggalan mempelajari seni bela diri yang gerakan-
gerakannya mendekati seni tari itu. Karena kecerdikannya,
gadis ini amat disegani oleh para abdi, bahkan ariggauta
keluarga untuk bertanya segala macam hal yang tidak
dimengertinya. Widawati dengan tekun dan sabar memberi
bimbingan kepada mereka sehingga tampaklah bakatnya
sebagai seorang pendidik yang sabar.
Biasanya, jika mendapat kesempatan mengikuti ramandanya yang sebagai mantu ki patlh yang juga
menjabat pangkat, yaitu sebagai petugas perairan untuk
mengatur pengairan sawah ladang milik istana, seringkali
keluar dan melakukan pemeriksaan, Widawati merasa amat
gembira. Dia seorang gadis pencinta alam dan sifatnya yang
ramah dan riang itu pun sesuai dengan suasana alam
terbuka. Melihat tanah merekah merah dan subur, melihat
rumput hijau seperti permadani, melihat padi di sawah
menguning emas dan bernyanyi tertiup angin, disinari
matahari yang cerah, semua ini menciptakan watak yang
ramah dan baik pada dirinya. Widawati seorang gadis
pencinta alam, seorang gadis pencinta sesama manusia,
yang ramah-tamah, tidak suka menyakiti hati orang lain,
dengan kecantikannya dan kesegaran yang wajar. Namun
kini, biarpun ia melakukan perjalanan melalui hutan-hutan,
di alam yang liar terbuka, ia sama sekali tidak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia hanya menangis
terus, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, pikirannya
kalut, perasaannya hancur, mulutnya merintih-rintih
menyebut nama ayah bundanya, kakek nenek, dan saudara-
saudaranya yang kesemuanya terbasmi habis oleh sri
bagirida dengan tuduhan berkhianat. Sepasang mata yang
biasanya jernih dan berseri penuh kasih dan pengertian itu
kini menjadi merah dan membendul oleh tangis.
Kakek itu adalah Ki Mitra, seorang juru taman, abdi
keluarga pelatih tarian. Hanya juru taman ini sajalah yang
dapat mengantar Widawati lolos dari kerajaan dengan
aman, karena seorang abdi tidak akan kentara kalau pergi
meninggalkan ramah. Memang ini merupakan siasat para
ponggawa tua yang masih setia kepada Ki Patih
Brotomenggala yang cepat-cepat turun tangan mengatur
kebebasan Widawati begitu mendengar bahwa gadis ini
kebetulan saja lolos daripada cengkeraman maut. Memang
dugaan mereka benar karena tidak lama kemudian setelah
Widawati melarikan diri diantar juru taman, datang orang-
orang kepercayaan Pangeran Kukutan mencari gadis itu di
rumah pelatih tarian. Biarpun diberi tahu bahwa gadis itu
tidak berada di situ dan sudah pulang, namun pasukan
pengawal ini tidak percaya dan tetap melakukan
penggeledahan sehingga andaikata Widawati bersembunyi
di dalam gedung itu, pasti akan tertangkap. Pula, para
pengawal ini meneliti apakah penghuni rumah pelatih tari-
tarian itu masih lengkap, dan baru mereka meninggalkan
rumah itu setelah mendapat kenyataan bahwa tidak ada
seorang pun di antara keluarga guru tari itu meninggalkan
rumah. Tentu saja mereka ini tidak perduli dan tidak
menyelidiki apakah seorang juru taman ada atau tidak!
Dengan bantuan para ponggawa tua, akhirnya Ki Mitra
si juru taman bersama Widawati, berhasil bolos keluar dari
istana melalui pintu gerbang bagian selatan. Ki Mitra yang
juga merupakan seorang yang biarpun hanya berpangkat
juru taman namun dapat melihat kemaksiatan merajalela di
dalam kerajaan, dengan taruhan nyawa sendiri membawa
gadis cucu ki patih itu terus melakukan perjalanan ke
selatan, tidak pernah benhenti karena takut kalau-kalau ada
pengejaran dari istana. Widawati adalah seorang gadis yang
terlatih, kalau hanya berjalan kaki sampai jauh saja ia
cukup kuat. Akan tetapi, melakukan perjalanan terus-
menerus tanpa henti dan dengan hati hancur, benar-benar.
amatlah sengsara. Baiknya di situ ada Ki Mitra yang selalu
menghibur dan membesarkan hatinya, menggugah semangatnya sehingga ia dapat bertahan dan malam hari
itu, dengan penerangan obor yang dinyalakan Ki Mitra,
mereka berjalan terus menyusup-nyusup hutan liar.
"Aduh, Ki Mitra ........... hendak kau bawa ke manakah
aku ini" Ah, mengapa mereka tidak membiarkan aku mati
bersama keluargaku agar aku terbebas dari-pada segala
derita ..........." Widawati berhenti dan menyandarkan diri di
batang pohon. Tubuhnya gemetar, wajah yang pucat itu
penuh peluh, dadanya bergelombang, kedua, tangan
membelai leher sendiri seakan-akan hendak mencekik leher
sendiri, kedua matanya dipejamkan dan air matanya
menitik turun melalui kedua pipinya.
Ki Mitra membetulkan obornya yang hampir padam.
Setelah obornya bernyala baik kembali, ia menoleh kepada
gadis itu. Hatinya penuh keharuan dan ia berkata,
"Den-ajeng, hendaknya tenang dan jangan berpendirian
seperti itu. Keluarga Paduka tewas karena fitnah, sama
halnya dengan dibunuh. Paduka tidak boleh bersikap
lemah. Ingat bahwa Paduka adalah keturunan gusti patih
yang sakti mandraguna dan gagah perkasa. Keluarga
Paduka difitnah dan dibunuh orang, hanya Paduka yang
dapat lolos, ini berarti bahwa kelak ada orang yang dapat
membalaskan segala dendam sakit hati ini. Marilah, Den-
ajeng, saya diberi kepercayaan dan tugas oleh para gusti
yang menjadi sahabat keluarga Paduka untuk menyelamatkan Paduka, agar jauh dari jangkauan tangan
iblis-iblis bermuka manusia itu."
"Ke mana" Ke mana engkau hendak membawaku?"
Widawati menyusut air matanya, semangatnya mulai
bangkit karena panas oleh ucapan Ki Mitre yang
mengingatkannya akan semua peristiwa yang menimpa
keluarganya. Dengan tangan terkepal ia teringat kepada
Pangeran Kukutan yang sudah beberapa kali berusaha
untuk menggodanya, namun yang selalu ia tolak dengan
tegas karena biarpun Pangeran Kukutan itu seorang muda
belia yang tampan gagah, namun ia dapat mengenal
moralnya yang bejat. Dari penuturan Ki Mitra di sepanjang
jalan, ia tahu bahwa yang menjatuhkan fitnah, entah
bagaimana caranya sehingga terdapat bukti-bukti bahwa
kakeknya melakukan khianat terhadap raja, adalah
Pangeran Kukutan dan Suminten, wanita cantik selir raja
yang amat dibencinya karena ia sudah banyak mendengar
tentang sifat rendah hina wanita itu.
"Menurut pesan para sahabat keluarga Paduka, kakek
Paduka gusti patih mempunyai dua belas orang pengawal
kepercayaan yang secara aneh telah menghilang pada saat
terjadinya penangkapan keluarga Paduka. Dua belas orang
pengawal itu adalah orang-orang gagah per kasa dan saya
hanya mengenal dan tahu tempat tinggal seorang di antara
mereka yang bernama Wiraman. Ki Wiraman ini berasal
dari dusun Suko, dekat desa tempat asal saya, di selatan. Ke
sanalah saya hendak membawa Paduka, mencari Ki
Wiraman dan selanjutnya menyerahkan Paduka kepadanya. Karena hanya seorang yang memiliki kesaktian
dan sudah terpercaya penuh seperti dua belas orang
pengawal itu sajalah yang akan mampu menyelamatkan
paduka, tidak seperti saya ini, seorang juru taman yang
lemah." Perjalanan dilanjutkan dan dengan bekal dendam sakit
hati terhadap musuh-musuh yang membasmi keluarganya,
Widawati menderita kesengsaraan perjalanan tanpa
mengeluh lagi. Selama sepekan ia mengikuti Ki Mitra
melakukan perjalanan menyusup-nyusup hutan, melalui
dusun-dusun kecil, makan seadanya tidur di mana saja.
Akhirnya tibalah mereka di dusun Suko dan di sini pun
mereka menjumpai bekas tangan musuh-musuh kepatihan.
Ternyata bahwa dusun ini pun diobrak-abrik oleh pasukan
pengawal kerajaan karena pasukan ini terlambat datang
mencari keluarga Wiraman yang telah lolos sehari sebelum
pasukan pengawal datang. Banyak penduduk dusun Suko
disiksa, ada beberapa orang malah dibunuh karena mereka
tidak dapat memberitahukan ke mana perginya Wiraman
dan keluarganya! Apakah sesungguhnya yang terjadi" Wiraman adalah
seorang di antara dua belas orang pengawal kepercayaan Ki
Patih Brotomenggala yang dapat lobos dengan luka-luka di
tubuhnya ketika dua belas orang pengawal ini berusaha
melindungi sang prabu di dalam hutan. Seperti: telah
diceritakan , di bagian depan ketlka peristiwa penghadangan rombongan sang prabu diserbu gerombolan
gundul di hutan dan ketika para pengawal sri baginda
terdesak oleh gerombolan itu, dua belas orang pengawal
pilihan yang secara sembunyi mengawal, lalu muncul dan
mengamuk. Akan tetapi mereka ini disambut oleh tiga
orang yang sakti mandraguna, yaitu Warutama, Ni Dewi
Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro sehingga sebelas orang di
antara mereka tewas dan hanya Wiraman saja yang berhasil
melarikan diri. Ki Wiraman ini langsung menuju ke
kepatihan, akan tetapi karena ia terluka dan hanya dapat
melakukan perjalanan lambat-lambat, ia datang terlambat
karena keluarga kepatihan sudah ditangkap semua! Dapat
dibayangkan betapa kaget dan duka hati ksatria ini. Ia
maklum bahwa keselamatan keluarganya sendiri pun
terancam, maka dengan menahan nyeri di dadanya akibat
luka pukulan, ia memaksa diri pulang ke dusunnya di Suko
dan cepat-cepat ia membawa keluarganya pergi dari dusun
itu, bersembunyi di daerah liar di pantai laut kidul. Untung
ia berlaku cepat, karena Pangeran Kukutan yang kemudian
mendengar akan dua belas orang pengawal rahasia ini,
cepat-cepat mengerahkan pasukan pengawal mencari
keluarga dua belas orang itu dan menangkap mereka
semua! Hanya sehari setelah ia membawa keluarganya lari
dari Suko, datanglah sepasukan pengawal ke dusun itu dan
mengobrak-abrik dusun Suko.
Mendengar berita ini, Ki Mitra maklum bahwa amatlah
tidak aman bagi Widawati untuk berdiam di dusun Suko,
maka terpaksa ia mengajak gadis itu pergi meninggalkan
Suko, untuk ia ajak ke dusunnya sendiri di mana tanggal
keluarga adik kandungnya yang hidup sebagai petani di
situ. Memang dia berasal dari dusun ini, dan ia bermaksud
menitipkan Widawati pada keluarga adiknya untuk
sementara waktu sehingga ia akan lebih mudah pergi
menyusul dan mencari Wiraman yang telah melarikan diri.
Menjelang senja mereka telah melewati gunung karang
terakhir dari pegunungan yang berderet-deret dari barat ke
timur seolah-olah menjadi tanggul pembendung ancaman
Laut Selatan. Widawati sudah lelah sekali, dan baru
sekarang ia mengeluh, "Ki Mitra ........... , masih jauhkah dusunmu" Aku ingin
sekali beristirahat dan berpikir ........."
"Sudah dekat, Den-ajeng, itu di depan ........... eh, hati-
hatilah, di depan ada orang!"
Widawati cepat menundukkan mukanya. Pakaiannya
sudah kusut dan kotor, juga kakinya penuh lumpur dan
debu sehingga ia tidak banyak bedanya dengan gadis-gadis
dusun biasa, apalagi karena telah melepaskan semua
perhiasan emas permata dari tubuhnya dan menyimpannya
di dalam kemben. Hanya menurut nasehat Ki Mitra, ia
harus selalu menyembunyikan mukanya karena wajahnya
terlalu cantik untuk mengaku seorang gadis dusun. Maka
kini otomatis ia menundukkan mukanya agar orang yang
disebut oleh Ki Mitra itu tidak akan melihat wajahnya
apabila mereka bersilang jalan.
Ketika orang yang datang dari depan dan jalannya
berindap-indap menyusuri tepi sawah itu telah datang
dekat, Ki Mitra berseru, suaranya girang sekali, Ah,
Denmas Wiraman ........... ?" Ki Mitra tertegun memandang. "Bukankan andika ........... Denmas Wiraman
........... ?" Mendengar sebutan nama ini, Widawati mengangkat
muka memandang. Pria itu bertubuh sedang dan tegap,
terbayang kekuatan di balik kulit lengan dan dadanya yang
bidang. Usianya empat puluh tahunan, dengan pandang
mata tajam dan wajahnya yang tampan membayangkan
derita hidup yang diterimanya penuh kesabaran. Sabar,
kuat, penuh pengertian membayang pada wajah di bawah
rambut yang sudah mulai terhias warna putih. Seorang pria
yang gagah dan wajahnya mendatangkan kepercayaan.
Wiraman, pria itu, juga memandang penuh perhatian,
dan hanya mengerling sebentar kepada Widawati, lalu
perhatiannya tercurah kembali kepada Ki Mitra. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya kelihatan menderita kelelahan hebat. Akan tetapi pandang matanya
bersinar dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal Ki
Mitra. "Kakang Mitra kalau aku tak salah', duga?" tanyanya.
"Betul, saya adalah Ki Mitra! Ah, Denmas Wiraman,
betapa susah payah saya mencari Andika .......!" Dengan
girang Ki Mitra memegang lengan tangan prla itu.
"Ada apakah" Engkau yang telah bekerja sebagai juru
taman di kota raja, mengapa datang mencariku?"
"Denmas, ceritanya panjang sekali. Marilah Andika ikut
bersama kami ke rumah adik saya di dusun itu, nanti saya
ceritakan semua persoalan yang amat gawat dan penting
..........." "Hemm ........... , boleh, marilah. Akan tetapi ...........
siapakah nini yang ikut bersamamu ini?"
Ki Mitra menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab, lalu
berbisik, "Untuk dia inilah maka saya mencari Andika. Dia
ini adalah satu-satunya cucu gusti patih yang berhasil lolos
dari cengkeraman maut ........... "
"Ahhh ........... Ya Dewata Yang Maha Kasih! Paduka
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cucu gusti patih ........... " Aduhai puteri yang patut
dikasihani betapa hebat penderitaan Paduka ..........!"
Digerakkan oleh hati yang penuh iba Wiraman mendekati
Widawati dengan pandang mata penuh perasaan.
Kedukaan yang sudah memenuhi hati gadis itu kini
meluap. Pria ini adalah seorang kepercayaan kakeknya dan
sikap yang amat baik itu membuatnya terharu sehingga ia
pun lupa diri, melangkah maju dan membiarkan dirinya
dirangkul, menangis di atas dada yang bidang itu.
Wiraman mengelus rambut yang kusut itu, hatinya
seperti disayat-sayat pisau beracun.
"Duh para dewata yang agung, lindungilah kiranya
puteri yang malang ini ........... " bisiknya. Namun dia
seorang satria yang segera dapat mengatasi keharuan
hatinya. "Harap Paduka tenang dan teguh hati, menerima
nasib seperti yang telah ditentukan para dewata. Manusia
hanya sekedar menerima dan mengalami. Mari, mari kita
pergi ke dusun dan di sana bicara panjang lebar dan
menentukan langkah selanjutnya."
Pergilah mereka bertiga ke dusun kecil yang menjadi
kampung halaman Ki Mitra. Mereka disambut dengan
penuh keheranan akan tetapi juga penuh kegirangan oleh
keluarga adik kandung Ki Mitra. Terhadap adiknya, Ki
Mitra memperkenalkan Wiraman sebagal seorang rekan
kerja di kota raja, adapun Widawatt diperkenalkan sebagal
adik misan Wiraman. Agar tidak menimbulkan keraguan,
terpaksa Widawati menyebut "kakang" kepada Wiraman,
sebaliknya Wiraman menyebutnya "nimas".
Malam hari itu, mereka bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing. Hati Wiraman
terharu sekali ketika ia mendengar betapa seluruh keluarga
kepatihan musnah dibasmi oleh . Pangeran Kukutan dan
Suminten. Wajah satria ini menjadi merah, giginya berkerot
dan kedua tangannya dikepal.
"Hem m ........... si bedebah Kukutan dan Suminten!
Tentu saja sang prabu yang sudah sepuh dan kehilangan
kewaspadaan karena mabuk nafsu itu tidak mengerti akan
tipu muslihat mereka! Kalian tunggu saja! Di dunia ini,
masih ada aku Wiraman yang tahu akan semua muslihat
kalian!" "Sebetulnya, rahasia apa yang tersembunyi di balik
peristiwa itu, Kakang Wiraman?" tanya Widawati yang kini
tidak merasa canggung lagi di hadapan pria itu, karena
memang sikap Wiraman wajar dan sopan serta jujur
terhadap dirinya. Wiraman menghela, napas panjang, kemudian mulai
bercerita, "Ketika sang prabu pergi berburu, kami dua balas
orang kepercayaan gusti patih mendapat tugas rahasia dari
gusti patih untuk secara sembunyi melindungi keselamatan
sang prabu. Kami melihat betapa rombongan sang prabu
diserbu oleh gerombolan orang-orang gundul. Tentu saja
kami segera menerjang keluar dari tempat persembunyian
karena para pengawal kewalahan menghadapi serbuan liar
mereka. Akan tetapi, tiba-tiba muncul tiga orang yang
memiliki kesaktian luar biasa sehingga sebelas orang teman-
temanku tewas semua, sedangkan aku sendiri terluka parah.
Aku bersembunyi dan menyaksikan peristiwa hebat. Sang
prabu, Pangeran Kukutan, dan wanita iblis Suminten itu
ditangkap dan diancam hendak dibunuh sisa gerombolan
gundul. Tiba- tiba muncul seorang pria yang mengaku
bernama Raden Warutama yang membunuhi sisa
gerombolan gundul, padahal aku mengenal dia itu sebagai
seorang sakti yang tadinya membantu gerombolan gundul.
Hemm ............. ! Dan sekarang, Warutama itu menjadi
seorang yang berjasa !"
"Kabarnya akan diangkat menjadi patih .........!" kata Ki
Mitra. Wiraman memukulkan tinjunya di atas tanah lantai
kamar kecil itu. "Tentu saja! ini adalah hasil persekutuan
mereka! Siasat yang busuk sekali untuk menonjolkan jasa
Warutama dan untuk menjatuhkan fitnah kepada gusti
patih! Keparat?".! Kalau aku tidak dapat membalas
kekejian ini, aku tidak akan sudi memakai nama Wiraman
lagi!" Suasana menjadi sunyi. Mereka bertiga tenggelam ke
dalam lamunan masing-masing, merasa ngeri kalau
mengenangkan peristiwa itu, ngeri mengingat tipu muslihat
yang demikian keji dan busuknya. Kemudian kesunyian
dipecahkan suara Ki Mitra,
"Sekarang,........... bagaimana........... selanjutnya harus
diatur, Denmas" Tentang Den-ajeng Widawati ini ........... "
"Kakang Mitra lebih baik besok kembali ke kota raja agar
jangan menimbulkan kecurigaan. Kakang berjalan seperti
biasa dan diam-diam memperhatikan keadaan dan
perkembangan di dalam istana agar siap untuk memberi
laporan kalau dibutuhkan. Sedangkan mengenai Diajeng
Widawati, serahkan saja kepadaku. Akulah yang mulai
detik ini bertanggung jawab atas keselamatannya. Aku
sedang memikirkan. jalan terbaik untuk Diajeng Widawati."
Widawati menyusut air matanya. "Kakang Wiraman,
karena membela mendiang Eyang Patih, engkau telah
mengalanil kesengsaraan. Bagaimana aku kini tega untuk
menjadi beban tanggunganmu lagi" Aku akan memperberat
hidupmu, akan membahayakan hidupmu; dan keluargamu
masih amat membutuhkan perlindunganmu ?".."
"Keluargaku ........... ?" Wiraman menghela napas
panjang. "Jangan kau khawatir, Diajeng Widawati.
Keluargaku telah kuungsikan dan mereka kini hidup
sebagai petani-petani yang cukup aman tenteram. Bahkan
sementara ini aku tidak berani mendekati mereka, karena
keadaanku seperti sebuah penyakit menular, siapa yang
kudekati berarti terancatn bahaya. Jenggala sedang mencari-
cariku sebagai seorang yang berbahaya bag Pangeran
Kukutan dan Suminten, juga bagi Patih Warutama, karena
akulah satu-satunya orang yang mengetahui akan rahasia
mereka. Aku bahkan harus menjauhkan diri dari
keluargaku. Isteriku seorang bijaksana, dan aku tidak
khawatir akan keadaan mereka. Juga engkau sendiri
merupakan seorang buronan seperti aku, Diajeng. Engkau
dicari karena engkau merupakan sisa musuh besar yang
tentu akan membalas dendam. Keadaan kita berdua sama-
sama sebagai buronan, maka tidak ada yang saling men jadi
beban, tidak ada yang saling memberatkan. Asal saja
engkau menaruh kepercayaan penuh kepadaku, demi para
dewata, aku tidak akan membiarkan engkau tertimpa
malapetaka, akan kubela dengan seluruh jiwa ragaku."
Makin deras air mata Widawati mengalir dan di antara
linangan air matanya ia memandang kepada pria yang
begini baik terhadap dirinya. Seolah-olah ia mendapatkan
pengganti orang tua dan keluarga dalam diri Wiraman.
Mendapatkan seorang sahabat baik, seorang pelindung,
seorang yang dapat ia sandari dalam kehidupan mendatang,
yang boleh ia percaya sepenuhnya.
Pada keesokan harinya, mereka meninggalkan dusun itu
sesuai rencana yang diatur oleh Wiraman. Ki Mitra kembali
seorang diri ke kota raja setelah dilepas pergi oleh Widawati
yang berkali-kali menghaturkan terima kasih sambil
berlinang air mata. Kemudian Wiraman bersama gadis itu
pergi meninggalkan dusun. Widawati kali ini tidak pernah
bertanya ke mana mereka pergi, karena dia sudah
menyerahkan seluruh keselamatan dirinya ke tangan pria
ini, akan menurut saja ke mana dia dibawa pergi.
-oo0dw0oo- Permaisuri Jenggala seringkali duduk termenung seorang
diri di dalam kamarnya sambil meruntuhkan waspa (air
mata). Semenjak terbasminya keluarga kepatihan, ia merasa
sunyi dan duka, merasa betapa kini ia menghadapi lawan
yang ;amat kuat tanpa kawan yang dapat ia andalkan.
Hatinya selalu perih kalau ia mengingat betapa kini seluruh
istana telah dicehgkeram oleh Suminten, sedangkan seluruh
kerajaan berada di telapak tangan Pangeran Kukutan dan
Patih Warutama yang baru diangkat.
Betapapun juga, sang prameswari tidak pernah putus
harapan untuk menolong suaminya dari cengkeraman
Suminten, terutama sekali mengingat bahwa usahanya
menentang persekutuan mereka itu demi untuk menolong
Kerajaan Jenggala daripada keruntuhan. Ia maklum bahwa
diam-diam masih banyak sekali ponggawa dan para
pangeran yang setia kepadanya, yang diam-diam membenci
persekutuan busuk itu. Dan permaisurl yang sabar dan
tekun ini tidak pernah menghentikan usahanya memata-
matai Suminten. Ia percaya bahwa akan tiba saatnya ia
akan dapat menghancurkan Suminten melalui perbuatan
Suminten sendiri yang ia tahu merupakan seorang wanita
muda pengabdi nafsu berahi, seorang wanita muda yang
hanya pada lahirnya saja mencinta dan setia kepada sang
prabu, akan tetapi sesungguhnya merupakan seorang
wanita yang bermoral bejat, yang setiap malam berganti
pacar untuk melayani nafsu berahinya. Hanya sukarnya,
Suminten amat pandai menjaga diri. Kamarnya selalu
dikepung ketat oleh para pengawal penjaganya, juga para
abdi dalem yang melayaninya adalah orang-orang
kepercayaannya sendiri sehingga sukarlah bagi sang
permaisuri untuk "menerobos" pertahanan penjagaan yang
ketat itu. Namun, sang permaisuri yang sabar dan tekun ini tak
pernah menyerah kalah. Setiap malam ia berdoa mohon
bantuan dewata, dan diam-diam ia selalu memasang mata-
mata yang berupa emban-emban tua yang setia untuk
mengawasi gerak-gerik di keputren di mana Suminten
tinggal dalam bangunan-bangunan dan taman yang amat
mewah. Dan pada malam hari itu agaknya doa yang selalu
ia panjatkan terkabul, karena tiba-tiba masuklah seorang
emban dengan tergesa-gesa, bersembah sujud di depan sang
permaisuri sambil berbisik,
"Duh Gusti, tibalah saatnya kini yang telah dinanti-nanti
oleh Paduka Gusti. Ibis betina itu kini berada di
pesanggrahan di taman sari, agaknya menanti kekasihnya.
Dan pintu tembusan ke taman sari tidak terjaga, sehingga
Paduka dapat masuk ke taman sari bersama hamba.
Mudah-mudahan sekali ini paduka dapat menarigkap basah
si iblis betina, itu."
Wajah yang tua dan masih membayangkan kecantikan
itu, yang selama ini keruh, tiba-tiba berseri. Sejenak sang
permaisuri memejamkan mata dan menengadahkan muka,
seolah-olah menghaturkan terima kasih kepada para
dewata. Kemudian dengan cepat namun tenang ia bangkit,
lalu membiarkan dirinya digandeng oleh emban keperdayaannya itu, keluar dari kamar memasuki taman
sari. Taman sari milik sang permaisuri ini bersambung
dengan taman sari milk Suminten, hanya dibatasi pagar
tinggi. Biasanya, pintu tembusan antara kedua taman itu
dijaga oleh pengawal kepercayaan Suminten dan ditutup.
Akan tetapi malam ini tidak ada pengawal menjaga dan
daun pintunya tidak dipalang sehingga mudahlah sang
permaisuri bersama emban memasukinya. Kedua kaki sang
permaisuri menggigil karena hatinya tegang. Kalau saja
tidak mengingat keselamatan raja dan kerajaan, tentu ia
tidak sudi bertindak sebagai maling dan pengintai macam
ini. Berindap-indap mereka menghampiri pesanggrahan
bercat merah yang mungil di dalam taman sari Suminten
itu. Malam itu gelap, dan hal ini menguntungkan sang
permaisuri yang dapat menghampiri pondok kecil mungil
bercat merah itu sampai dekat sekali. Emban kepercayaannya member! isyarat agar sang permaisuri tidak
mengeluarkan suara sambil menunjuk ke arah jendela kecil
yang bertirai sutera merah. Mereka berdua lalu berindap-
indap menghampiri jendela, di mana emban kepercayaannya itu mengintai ke dalam. Sang permaisuri
juga mengintai dan melihat bahwa Suminten sedang duduk
seorang diri dii dalam kamar itu, termenung. Melihat wajah
cantik madunya ini, hati wanita tua itu menjadi panas.
Sesungguhnya dia bukanlah seorang wanita pencemburu,
bukan wanita yang berhati sesempit itu. Kalau melihat
madunya yang lain, betapapun sang prabu mencinta madu
itu, dia tidak akan menjadi panas hatinya. Akan tetapi lain
lagi halnya dengan Suminten. Dia menganggap wanita ini
bukan hanya memikat sang prabu, melainkan menganggapnya sebagai seorang wanita pengacau kerajaan
yang menimbulkan banyak malapetaka, yang membuat
sang prabu mabuk dan lupa diri sehingga melakukan hal-hal
kejam, dan menganggapnya sebagai seorang musuh
kerajaan yang berniat meruntuhkan Jenggala.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam-diam sang permaisuri berdoa kepada para dewata
agar malam ini dia mendapatkan jalan untuk menjatuhkan
wanita berbahaya itu. Ia berdoa agar dapat menangkap
basah Suminten yang menerima kekasihnya di dalam kamar
pesanggrahan di taman, sehingga dia mendapatkan senjata
untuk menghantam Suminten di depan sang prabu.
Doa permaisuri tua yang menderita batinnya itu agaknya
diterima karena belum lama dia dan embannya mengintai,
tampak sesosok bayangan berindap-indap memasuki taman
sari, langsung menghampiri pondok Itu dan mengetuk
pintunya tiga kali. Suminten sendiri yang membuka pintu
pondok, kemudian terdengar suara mereka berdua di dalam
kamar itu. Ketika sang permaisuri mengintai, hatinya agak
kecewa karena yang memasuki pondok itu bukanlah
seorang pria, melainkan seorang abdi pelayan yang masih
muda dan cantik. Akan tetapi hatinya berdebar tegang
ketika mendengar percakapan mereka.
"Emban, mengapa engkau yang datang" Mana gustimu?" tanya Suminten, suaranya membayangkan kekecewaan dan kemarahan. "Hamba diutus oleh gusti pangeran untuk menghadap Paduka dan menyatakan penyesalannya bahwa gusti pangeran berhalangan datang. Akan tetapi gusti pangeran memerintahkan hamba
menghaturkan sepucuk surat kepada paduka." Berkata
emban itu sambil bersujut dan menghaturkan sebuah
sampul surat. Suminten menjadi merah mukanya, mulutnya merengut
dan ia menampar tangan emban itu sehingga suratnya
melayang jatuh ke atas lantai.
"Aku tidak butuh surat! Pangeran itu memang terlalu!
Kalau dia sudah tidak suka mematuhi panggilanku, bilang
saja terus terang! Sudah sejak sore aku menantinya di sini,
untuk bertemu dengan dia, bukan dengan suratnya! Engkau
adalah kepercayaan sang pangeran, bahkan abdi kinasih
(abdi tercinta), tentu engkau dapat merasakan kekecewaan
seorang wanita yang menanti-nanti akan tetapi tidak
diperhatikan!" "Ampun, Gusti Ayu, harap sudi bersabar. Gusti
pangeran tentu saja terhalang oleh kesibukannya sebagai
seorang putera mahkota, agaknya ada urusan penting yang
........... " "Alasan! Kau abdi terpercaya dan terkasih, tentu saja
hanya akan membelanya. Pendeknya aku tidak suka
menerima suratnya, aku tidak sudi membacanya!"
Sang permaisuri yang mendengarkan dari luar menjadi
berdebar tegang hatinya. Maklumlah ia kini bahwa emban
itu adalah utusan Pangeran Kukutan! Kalau saja ia bisa
mendapatkan surat itu, terrtu dapat ia bawa kepada sang
prabu sebagai bukti pengkhianatan hubungan jina antara
Suminten dan Kukutan! Juga diam-diam dia merasa geli
mendengar ucapan Suminten yang menolak membaca surat
karena ia tahu benar bahwa selir ini tidak pandai membaca!
Seorang selir yang tadinya hanya menjadi abdi dari
Pangeran Panjirawit, mana mungkin dapat membaca surat"
Akan tetapi hatinya makin tegang ketika ia mendengar
percakapan mereka berdua itu lebih lanjut.
Sang emban tertawa genit. "Gusti, hamba sudah
mendapat perintah gusti pangeran bahwa kalau paduka
tidak sudi membaca, hamba disuruh membacakan surat
beliau itu di hadapan Paduka."
"Sukamu! Masa bodoh kalau kau mau baca! Aku sendiri
tidak sudi menyentuh suratnya, apalagi membaca," kata
Sumin.en dengan sikap ngambek dan duduk di atas
pembaringan memutar tubuh membelakangi emban itu.
Emban itu yang agaknya tahu belaka akan hubungan gelap
antara selir sang prabu dan puteranya itu, tersenyum-
senyum dan dengan gerakan genit mengambil surat dari
atas lantai, membuka sampulnya dan kemudian membaca
dengan suara dibuat-buat, merdu dan mesra :
"Adindaku yang tercinta,
juita sayang pujaan kalbu,
Adinda Suminten yang denok ayul
Betapapun rindu hatiku kepada Adinda, ingin
sekali berdekatan dengan Adinda, bercumbu-rayu
bersendau-gurau, berenang berdua di lautan cinta,
ingin mendengar suara emas Adinda, mencium
rambut Adinda yang sedap harum, memeluk tubuh
Adinoa yang indah, kulit yang halus lunak dan
hangat, namun terpaksa malam ini kakanda tak dapat
datang menjumpai Adinda. Malam ini kakanda sibuk
dengan Ki Dukun untuk mengatur siasat yang Adinda
rencanakan. Ramuan racun telah dibuat Ki Dukun,
tidak ada rasanya dan dapat dicampurkan dalam
minum-an untuk sang prabu dan permaisuri.
Di malam Respati depan. Harap Adinda...........
agar pada malam Respati?""
"Cukup! Goblok engkau, emban! Masa hal begitu kau
baca keras-keras! Sang pangeran juga sembrono sekali,
mengirim surat seperti itu kepadaku! Bagaimana kalau
terjatuh ke tangan orang lain" Lekas kau pergi dari sini,
bawa surat yang berbahaya itu, kembalikan kepada sang
pangeran. Katakan bahwa aku bukan anak kecil, aku tahu
apa yang harus kulakukan. Cepat, pergi ........... !"
Emban itu menyembah, menyelipkan surat itu ke dalam
sampul kembali, lalu membawa surat itu pergi keluar dari
dalam pondok. Akan tetapi, ketika emban ini sedang
berjalan tergesa-gesa menyelinap di antara pohon-pohon
yang gelap, tiba-tiba ia menahan pekik karena tahu-tahu di
depannya telah berdiri sang permaisuri! Cepat dia
menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Seorang
emban tua yang menemani permaisuri dengan cepat
menangkap kedua lengannya, dan ditelikung ke belakang,
dan tanp4 banyak cakap sang permaisuri lalu merampas
surat bersampul. "Ampun ........... ampunkan hamba ......harap kembalikan surat itu ........... surat itu milik hamba ...........
hendak dipersembahkan kepada Gusti Ayu Suminten
........... Emban itu meratap dan menangis dengan muka
ketakutan, tubuhnya menggigll seperti orang menderita
sakit demam. "Diam kau?" Sang permaisuri membentak penuh
wibawa. "Hayo ikut bersamaku!"
Dengan masih menangis emban yang sial itu lalu dibawa
pergi memasuki taman sang permaisuri.
"Kau lihat, aku tidak membuka sampul surat kotor yang
kau bawa. Kita tunggu hadirnya sang prabu agar sang prabu
sendiri yang membuka dan memeriksa!"
"Tapi ........... tapi, duh Gusti ..... ampunkan hamba
........... surat ........... surat itu adalah surat ........... ,"
"Cukup! Aku tahu surat kotor macam apa!" bentak sang
permaisuri yang segera memerintahkan seorang abdi untuk
melaporkan sang prabu bahwa urusan darurat yang amat
penting memaksa sang permaisuri untuk mohon menghadap di ruangan dalam. Ruangan ini khusus untuk
tempat keluarga raja berunding tentang masalah-masalah
kekeluargaan yang pelik-pelik dan tidak perlu diketahui oleh
para ponggawa. Tak lama kemudian abdi yang diperintah datang kembali
menyampaikan perintah sang prabu yang telah siap menanti
di ruangan dalam. Permaisuri bersama emban tua
menggiring emban cantik itu memasuki ruangan dalam di
mana sang prabu telah duduk di atas kursi dengan wajah
keruh. Agaknya sang prabu merasa tidak senang diganggu
pada malam hari itu, malam yang merupakan malam
istirahat baginya. Maka begitu sang permaisuri muncul
bersama dua orang emban, sang prabu telah menegurnya
dan dengan sikap yang tidak terlalu manis menanyakan
maksud isterinya mengganggu istirahatnya.
"Harap Kakanda sudi memaafkan kalau mengganggu
Paduka, akan tetapl urusan yang amat penting terjadi
sehingga terpaksa saya mengganggu. Akan tetapi karena
urusan ini menyangkut diri selir Paduka Suminten yang
jelas sedang merencanakan pengkhianatan dan pembunuhan, maka saya harap sukalah Paduka memerintahkan agar Suminten dipanggll menghadap."
Wajah sang prabu berubah mendengar ucapan yang
tenang ini. Sekilas ia memandang ke arah sampul yang
berada di tangan permaisuri dan keningnya ber kerut. Sang
prabu cukup mengenal isterinya ini, seorang puteri yang
angkuh dan berbudi luhur. Lain orang isterinya boleh jadi
akan menurutkan hati cemburu menjatuhkan fitnah, namun
ia merasa yakin bahwa permaisuri tidak akan mau
bertindak seperti itu. Maka dia kini menjadi berdebar risau,
karena biasanya, apa yang dinyatakan oleh permaisuri
pastilah benar dan bukan fitnah, bukan pula main-main. Ia
menekan perasaan yang tegang lalu bertepuk tangan
memberi isyarat. Seorang pengawal yang hanya boleh
menjaga di luar ruangan itu, muncul dan sang prabu segera
memerintahkan untuk memanggil Suminten menghadap.
Karena panggilan ini datangnya dari sang prabu yang
berada di ruangan dalam, tanpa dijelaskan pun Suminten
akan tahu bahwa panggilan ini ada hubungannya dengan
urusan penting mengenai keluarga, dan ia tidak boleh
membawa pelayan. Suasana menjadi tegang sekali ketika mereka yang
berada di dalam ruangan itu menanti munculnya Suminten.
Hanya terdengar isak tertahan si emban muda yang
menangis. Sang prabu mengerti bahwa dalam keadaan
seperti itu, tidak perlu ia bertanya-tanya. Sang permaisuri
akan menjelaskan kesemuanya setelah Suminten datang.
Sementara itu, sang permaisuri lalu menyimpan surat yang
dipegangnya tadi di balik bajunya karena ingin menjatuhkan Suminten dengan tepat dan baru mengeluarkan surat itu ketelah mendengar pengakuan palsu
Suminten yang ia tahu pasti akan mencari-cari alasan. Ia
harus bersikap cerdik menghadapi ular betina itu, pikirnya.
Akhirnya orang yang dinanti-nanti muncullah Suminten
yang cantik jelita, yang ayu dan segar seperti orang baru
saja keluar dari kamar mandi. Sekali lirlk tahulah sang
permaisuri bahwa Suminten telah bertukar pakaian. Tadi
ketika berada di pesanggrahan dalam taman, pakaiannya
serba merah jambon, kembennya tipis semrawang sehingga
terbayang tubuhnya dan lekuk lengkung tubuhnya. Berbeda
dengan tadi ketika menanti kekasih, kini pakaiannya lebih
sopan, masih serba merah dan jelas menonjolkan tubuhnya
yang berbentuk indah menggairahkan, namun patut
menjadi pakaian seorang selir terhormat. Suminten serta
merta menjatuhkan diri berlutut menghaturkan sembah
kepada sang prabu dengan gerak tubuh yang lemah lembut.
Melihat selir terkasih ini, seketika keraguan di hati sang
prabu melenyap. Selirnya ini, Suminten yang begitu mesra
dan penuh kasih sayang kepadanya setiap kali mereka
memadu kasih, menjadi pengkhianat dan pembunuh" Tidak
mungkin! "Duhai Kakanda prabu junjungan hamba!" Suminten
berkata dengan suaranya yang halus merayu, membuat hati
sang permaisuri makin mendidih apalagi mendengar bahwa
kini Suminten tidak lagi menyebut gusti melainkan kakanda
kepada sang prabu. "Paduka amat memerlukan istirahat,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengapa malam-malam Paduka masih terjaga" Hal ini
amat tidak baik bagi kesehatan Paduka!"
Senang hati sang prabu mendengar betapa selirnya ini
amat memperhatikan keadaan kesehatannya. Tidak seperti
permaisuri tua yang rewel.
"Bukan kehendakku, Suminten. Adinda permaisuri yang
menghendaki karena katanya ada urusan penting hendak
disampaikan kepadaku, di hadapanmu. Nah, Adinda
permaisuri, Suminten telah datang menghadap. Lekas
ceritakan apa yang menjadi kehendak hatimu." Nada suara
sang prabu tidaklah ramah. Namun permaisuri itu tetap
tenang, karena ia yakin bahwa sekali ini ia akan menang
dengan adanya senjata surat rahasia itu di tangannya.
"Kakanda tentu masih ingat betapa seringnya saya
memperingatkan Kakanda akan kepalsuan wanita ini,
bukan karena cemburu, melainkan demi mengingat
keamanan paduka dan kerajaan. Namun Paduka tidak
pernah mempercaya saya. Sekarang, saya telah mendapatkan bukti kuat akan kepalsuan Suminten. Eh,
emban yang menjadi kaki tangan pengkhianat, katakan apa
yang kaulakukan di waktu malam tadi?" Sang permaisuri
bertanya kepada emban cantik pembawa surat. Emban itu
gemetar bibirnya ketika menjawab,
"Hamba ........... ........... hamba tidak melakukan sesuatu
kesalahan ........... "
"Cukup!" permaisuri membentak, kini menoleh ke arah
Suminten yang bangkit berdiri dengan sikap menantang.
"Suminten, engkau tadi berada di dalam pesanggrahan di
dalam taman, lalu datang em-ban ini mengantar surat
untukmu. Betul-kah itu?"
Permaisuri mengira bahwa Suminten pasti akan
menyangkal, maka amatlah heran hatinya menyaksikan
keberanian wanita itu ketika Suminten menjawab,"Memang
benar hamba telah menerima surat yang hamba suruh
emban membawa kembali kepada pengirimnya."
Bagus, pikir permaisuri. Engkau berani dan tabah, akan
tetapi keberanianmu memudahkan penyelesaian perkara ini
yang akan menjatuhkanmu! Wajah yang tua itu tersenyum
penuh kemenangan ketika ia menoleh ke arah emban yang
berdiri menggigil di belakang Suminten sambil menghardik,
"Engkau abdi dari mana?"
"Hamba ........... abdi dalem pangeran mahkota ........... "
"Suminten, dari siapakah surat yang kauterima tadi?"
Masih tenang sikap Suminten, bahkan dia mengerling ke
arah sang prabu dengan bibir tersenyum dan mata seolah-
olah menyatakan betapa cerewetnya permaisuri tua ini.
"Surat itu dari puteranda pangeran mahkota." Suaranya
mengandung tuntutan mengapa hal begitu saja dihebohkan.
Akan tetapi wajah sang permaisuri menjadi pucat
mendengar jawaban emban dan Suminten. Jawaban ini saja
sudah jelas membuktikan bahwa antara Pangeran Kukutan
dan Suminten terdapat hubungan gelap, dan mereka telah
bersurat-suratan! Wajah sang prabu berubah menjadi makin
merah dan makin merah, tanda bahwa ia mulai cemburu
dan marah. Sang permaisuri sebaliknya berseri wajahnya.
Wajah tua yang masih berbekas garis-garis cantik ini
tersenyum ketika ia menoleh sang prabu sambil
mengeluarkan surat dari balik bajunya. Melihat surat ini,
Suminten kelihatan kaget, menahan jerit dengan jari-jari
tangan halusnya menutupi bibirnya yang merekah merah.
Melihat ini, sang prabu makin merah mukanya dan sang
permaisuri makin berseri.
"Harap Paduka bersabar. Sebelum saya menyerahkan
surat agar dapat dibaca oleh Paduka pribadi, lebih baik
Paduka mendengarkan lebih dulu apa yang telah saya
dengar dan didengar pula oleh emban saya di pondok
dalam taman sari Karena saya tidak menjatuhkan fitnah,
biarlah emban saya yang menceritakani kesaksiannya.
Emban, ceritakanlah apa yang engkau dengar tadi."
Emban tua Itu sebenarnya amat takut terhadap
Suminten, apalagi Suminten memandangnya dengan mata t
bersinar-sinar dan terdengar suara Suminten "Hm emban!
Perlukah engkau menceritakan hal yang mendatangkan
bencana?" Suara Suminten mengandung aricaman mengerikan sehingga emban tua. itu menjadi ketakutan,
menjatuhkan did berlutut di depan sang permaisuri sambil
berkata, "Mohon Paduka melindungi hamba,Gustl," katanya
sambil menangis. "Emban! Jangan banyak tingkah, lekas Ceritakan!" sang
prabu membentak. Emban itu cepat menyembah dan bercerita, "Hamba
bersama gusti permaisuri menyaksikan dan mendengar ,dari
luar jendela pondok ketika surat itu dl-serahkan oleh abdi
gusti pangeran mahkota kepada ........... Gusti Ayu
Suminten: Kemudian surat itu dibaca oleh abdi ini dan
........... dan ........... "
"Apa bunyinya surat" Katakan!" desak sang permaisuri.
"Menurut pendengaran hamba ........... surat dari gusti
pangeran mahkota itu menyebut tentang persekutuan dan
rencana untuk ........... untuk meracuni Paduka berdua,
Gusti Sinuwun dan Gusti Ratu".."
"Bohong ........... !!" Tiba-tiba Suminten menjerit dengan
mata terbelalak memandang emban tua itu. "Engkau wanita
setan, engkau bohong ........... , menjatuhkan fitnah keji
........... Kakanda harap jangan mendengarkan hasutan-
hasutan busuk dan keji! Hamba lebih baik pergi saja dari
sini daripada mendengarkan fitnah keji yang amat
memuakkan ........... !"
Setelah berkata demikian, Suminten bergerak hendak
meninggalkan ruangan itu...........
Akan tetapi sang permaisuri sudah mengulurkan
tangannya memegang lengan muda yang halus itu. Biarpun
jauh lebih tua, namun permaisuri adalah seorang puteri
yang di masa mudanya suka mempelajari olah keperajuritan, maka masih memiliki tenaga yang kuat
sehingga Suminten tak dapat bergerak.
"Jangan pergi dulul Kedudukanmu hanya selir, itu pun
selir palsu yang berkhianat, bagaimana engkau berani pergi
tanpa diperintah?" Tadinya sang prabu tidak percaya akan tuduhan yang
dijatuhkan kepada selirnya yang terkasih, akan tetapi
mendengar cerita emban tua dan melihat betapa Suminten
yang menyangkal itu hendak melarikan diri, hatinya seperti
ditusuk rasanya. Sikap Suminten yang hendak melarikan
diri itu menghapus keraguannya dan timbullah kecurigaannya. "Suminten, jangan pergi dan tunggu sampai selesai
perkara ini!" katanya.
Nada suaranya sudah berbeda, kehilangan irama kasih
sayang yang biasanya terdapat dalam ucapannya terhadap
Suminten. Sementara itu, dengan wajah berseri penuh kemenangan
yang sudah membayang di depan mata, sang permaisuri
lalu mempersembahkan sampul surat itu - kepada suaminya
sambil berkata, "Saya bersumpah bahwa saya sendiri tidak pernah
membaca surat ini yang semenjak saya rampas dari tangan
emban pengkhianat itu tak pernah terlepas dari tangan saya.
Dan untuk membuktikan bahwa saya dan juga emban saya
tidak membohong, saya persilahkan Paduka membacanya
sendiri surat yang menjijikkan dan kotor ini."
Jari-jari tangan sang prabu yang Sudah tua itu menggigil
ketika ia -mengeluarkari surat dari sampulnya. Bukan
mengglgil karena sudah buyuten, melainkan menggigil
karena tegang, seolah-olah bukan nasib Suminten yang
akan dihancurkan oleh surat Itu, melainkan nasibnya
sendiri. '"Aduh, Kakanda sinuwun sesembahan hamba i"
Suminten sudah merenggutkan lengannya dan lari
menjatuhkari diri berlutut menclumi kaki sang prabu sambil
menangis. "Hamba mohon dengan seluruh hati hamba,
hendaknya jangan dibuka dan dibaca surat itu oleh Paduka
........... hamba ........... hamba ........... tidak ingin
mencelakakan siapa-siapa, hamba lagi, hamba tidak ingin
melihat Paduka menjadi berduka I Percayalah, hamba"
selalu mencinta dan setia kepada Paduka ........... dan
bahwa kesemuanya inI hanyalah fitnah semata .........."
"Kau hendak mengatakan bahwa surat ini bukan dari
Kukutan untukmu?" Sang prabu yang merah 'mukanya
menghardik. "Tidak hamba sangkal, memang benar demikian akan
tetapi ........... "
' "Mundurlah engkau!" Sang prabu menggerakkan
kakinya dan tubuh Suminten terjengkang ke belakang, di
mana wanita ini berlutut lagi sambil menangis sesenggukan.
Emban cantik segera menubruknya dan ikut pula menangis.
Sang permaisuri memandang dengan mulut mengejek,
maklum bahwa tangis wanita muda itu adalah tangis palsu,
air mata buaya. Ia merasa girang bahwa sang prabu mulai
sadar, tidak terpengaruh oleh tangis wanita palsu itu.
Jari-jari tangan sang prabu masih menggigil ketika ia
membuka surat itu, lalu bibirnya yang gemetar mulai
bergerak ketika membaca. Wajah keriputan yang tadinya
mulai memucat, itu kini merah kembali, sepasang mataya
makin lama makin terbelalak lebar. Tiba-tiba sang prabu
tertawa bergelak, suara ketawa aneh yang mengandung rasa
sesal di hati, kemudian ketawanya terhenti diganti suara
menggeram dan tangan kirinya menampar lengan kursinya.
la masih terbelalak seolah-olah tak percaya akan isi surat
yang dibacanya lagi. "Ha-ha-ha! Aahhhh ........... kalau Adinda Ratu sudah
sekeji ini ........... entah aku sudah menjadi gila ataukah
masih waras ........... !." serunya.
Tentu saja sang prameswari menjadi kaget dan heran.
Melihat wajah suaminya, ratu ini menjadi gelisah dan
mukanya berubah pucat. Sudah gilakah sang prabu" Dia
khawatir dan menyesal sekali. Kalau sang prabu menjadi
gila saking hebatnya pukulan batin yang dideritanyari
sungguh bukan demikian yang ia kehendaki. Ia menghendaki sang prabu menjadi sadar dan bebas daripada
cengkeraman wanita iblis Suminten, demi keselamatan
keluarga dan kerajaan. "Kakanda ........... mengapa Paduka
"Diam! Jangan buka lagi mulutmul yang berbisa itu!
Baca saja surat ini!" bentak sang prabu sambil melemparkan
surat ke arah permaisuri. Surat itu melayang ke atas lantai
dan sang permaisuri membungkuk untuk memungutnya
dengan tangan gemetar. Isak tangis Suminten makin
mengguguk. Sang permaisuri memegang surat itu dan membacanya.
Matanya terbelalak, makin lama makin lebar .dan mukanya
menjadi lebih putih daripada kertas yang dipegangnya.
Bibirnya gemetar dan akhirnya terlontar dari mulutnya,
"Aduhh ........... Dewata ........... !" Tubuh sang ratu menjadl
lemas dan robohlah wanita tua Ini, terkulai dan pingsan di
atas lantai. Surat itu terlepas dari tangannya dan melayang
di atas lantai pula. Emban tua menjerit dan menubruk
junjungannya, memanggil-manggil dan menangisi dengan
bingung. Dalam kebingungannya, ia menjadi penasaran,
cepat menyambar surat itu dan membacanya tanpa
permohonan lagi. "Ha-ha-hal Emban berhati busuk, boleh ........... kau
bacalah ........... I" Sang prabu masih ter tawa-tawa,
kemudian terdengar suaranya bercampur isak, "Tak
kunyana ........... tak kusangka ........... Adinda Ratu ...........
demikian keji ......Setelah dia sendiri begini palsu, siapa
pula yang dapat kupercaya .........."
Suminten cepat berdiri dan menubruk sri baginda,
merangkulnya dan berkata dengan kata-kata halus, "Aduh
junjungan hamba, masih ada hamba di sini,. mengapa
Paduka berkeluh-kesah" Di sini hamba, Kakanda, di sini
Suminten ........... biarlah hamba yang akan mengusir
semua kedukaan Paduka! Bukankah hamba tadi sudah
memperingatkan Paduka agar jangan dibaca saja surat itu"
Hanya menimbulkan malapetaka belaka, sang ratu pingsan
dan Paduka berduka?".."
Sang prabu memeluk dan merangku! leher selir terkasih
ini, mengecup dahinya dan berkata mesra, "Aduh wong ayu
........... kalau tidak ada engkau agaknya sudah bosan aku
hidup lebih lama lagi ..........."
Sementara itu, emban yang membaca surat, sama halnya
dengan sang prabu dan sang ratu, terbelalak seolah-olah
tidak percaya. Wajahnya pucat sekali dana mengulang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membaca isi surat itu Puteranda mohon maaf telah beranl menyurat
kepada Ibunda, akan tetapl karena keselamatan
Ibunda, terutama sekali Ramanda terancam bahaya,
terpaksa puteranda melakukannya juga. Puteranda
mendengar dari para penyelidik bahwa Ibunda Ratu
telah merencanakan siasat untuk membunuh Ramanda dan Paduka. Dan puteranda setiap saat
telah memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-
gerak Paduka dan puteranda yang selalu menjaga
keselamatan Ramanda yang sudah sepuh (tua).
Karena puteranda tidak berani mengingatkan sendiri
kepada Ramanda berhubung hal Ini akan menyinggung nama balk Ibunda Ratu, terpaksa
puteranda mohon kepada Ibunda sudilah kiranya
memperingatkan Ramanda daripada bahaya yang tak
tersangka-sangka Ibunda Ratu agaknya telah lupa diri
dengan nafsu kebenciannya kepada Paduka yang
dikasihi Ramanda, kepada puteranda yang dIangkat
menjadi pangeran mahkota, dan kepada Ramanda
yang agaknya telah menyia-nyiakan cinta, kaslhhya
menurut bisikan hatI sang cemburu. Kemudian
terserah kebijalcsanaan Ibunda.
Demikianlah bunyi surat Pangeran Kukutan kepada
Suminten. Emban tua itu terbelalak keheranan. Alangkah
bedanya bunyi surat itu dengan yang dibaca emban cantik
tadi! Padahal surat rampasan itu tak pernah berpisah dari
tangan sang ratu. Emban itu mengerling ke arah emban
muda yang kini bersimpuh di sudut sambil tersenyum-
senyum penuh ejekan kepadanya: Maka tahulah emban tua
ini bahwa ia dan junjungannya telah masuk perangkap,
telah menjadi korban siasat yang busuk dan licik sekali,
yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia berhati
iblis! Tahulah dia yang memang mengerti akan segala
persoalan di dalam keraton, bahwa sang ratu telah. terkena
pancingan, bahwa Suminten sengaja memancing dengan
membuka pintu taman dan berada di dalam pondok taman
malam itu, kemudian emban muda yang menjadi kaki
tangan itu datang membawa surat. Kini mengertilah ia
bahwa sesungguhnya Suminten dan embannya itu tahu
akan kedatangan sang ratu yang mengintai, lalu sengaja si
emban membaca Surat secara palsu, kemudian bahkan
membiarkan dirinya tertangkap. Dan kini jelas pula baginya
bahwa segala sikap Suminten semenjak dipanggil datang,
adalah sikap yang amat cerdik, menjalankan siasat dan
sandiwara yang sukar dimainkan oleh lain orang, kecuali
wanita cantik berhati ular beracun itu. Timbullah
kemarahan besar di hati emban tua ini. Dan karena dia
hanya seorang emban, maka kemarahannya ia timpakan
kepada si emban cantik yang tersenyum-senyum Itu.
"Engkau manusia keji !" jeritnya sambil menubruk
emban muda yang tentu saja melakukan perlawanan. Maka
bergumullah kedua orang emban itu dan karena lebih
muda, emban kepercayaan Suminten yang menang dan
akhirnya, dengan kain tersingkap memperlihatkan pahanya
yang putih pada, emban muda itu dapat menunggangi
emban tua dan menjambak-jambak sambil memuku1 dan
mencakarl muka lawannya. Sang prabu yang masih memeluk Suminten lalu berseru
memanggil pengawal. Lima orang pengawal yang
mendengar ribut-ribut itu cepat muncul dan sang prabu lalu
menudingkan telunjuknya ke arah sang ratu sambil berkata,
"Tangkap sang ratu yang berkhianat, bersama emban tua
keparat ini! Jebloskan sang ratu dalam tahanan dan bunuh
mati sl emban tua!" Lima orang pengawal itu ternganga keheranan, saling
pandang dan sejenak mereka tidak bergerak. Menangkap
sang ratu yang tua" Mereka takut kalau-kalau salah dengar,
maka tidak berani bergerak.
"Apakah kalian tuli" Gusti sinuwun sudah memberi
perintah, kalian masih berdiri seperti arca?" Suminten
berseru marah. "Akan tetapi ........... tetapi .........."
"Kalian berani membangkang terhadap perintahku"
Apakah pengawal-pengawalku sendiri hendak memberontak?" Mendengar perintah ini, para pengawal itu hilang
keraguannya dan cepat mereka menyeret tubuh emban tua
yang sudah dltunggangi dan dipukuli emban muda itu, dan
karena sang permaisurl sudah siuman dan tengah menangis,
para pengawal lalu memegang lengannya, dengan halus
namun paksa mereka membantunya bangun dan menggiringnya keluar dari ruangan itu.
Kembali Kerajaan Jenggala menjadi geger ketika
beberapa hari kemudian rakyat mendengar bahwa sang ratu
mereka ini telah "dibuang" atau "diasingkan", yaitu
ditempatkan di luar istana, di sebuah pesanggrahan yang
terletak di kaki Bukit Anjasmoro sebelah utara, sebuah
pesanggrahan yang amat sederhana bagi seorang bekas
permaisuri raja namun cukup mewah dan indah bagi rakyat
kecil, lengkap dengan segala keperluan dan pelayan, namun
pondok-pondok itu dikurung dinding tinggi dan terjaga oleh
beberapa orang perajurit. Mengingat akan kedudukannya
dan akan hubungan mereka, maka oleh sang prabu, bekas
permaisuri ini tidak dihukum, hanya diasingkan dan
dilarang meninggalkan tempat pengasingan ini sampai mati.
Adapun emban tua yang menjadi abdi kepercayaan bekas
permaisuri itu dihukum mati.
Sang ratu yang kini telah diasingkan, tidak merasa
berduka akan nasib yang menimpa diri. pribadi, melainkan
dia merasa berduka dan gelisah memikirkan nasib sang
prabu, dan terutama sekali nasib Kerajaan Jenggala. Dia
maklum bahwa setelah ia gagal dalam melawan manusia-
manusia iblis yang pada waktu itu sedang mencengkeram
kerajaan, tidak akan ada lagi yang dapat melawan Suminten
dan kaki tangannya. Saking prihatin dan nelangsa hatinya,
bekas ratu ini menanggalkan pakaiannya yang indah dan
mengganti pakaiannya dengan pakaian pendeta, dan setiap
hari pekerjaannya hanya duduk bersamadhi, mengheningkan cipta dan memanjatkan doa kepada para
dewata agar supaya sang prabu dan Kerajaan Jenggala
dilindungi daripada kehancuran.
Dan memang tidak kelirulah apa yang dikhawatirkan
bekas permaisuri ini. Kemenangan mutlak atas diri
permaisuri yang siasatnya diatur oleh Suminten, benar-
benar membuat Suminten dapat mencapai puncak
kekuasaannya. Tepat pula seperti dugaan emban tua yang
kini telah dihukum mati, semua yang terjadi, semenjak di
dalam taman sari, di pesanggrahan Suminten, sampai
kejadian di depan sang prabu, telah lebih dahulu diatur oleh
Suminten. Akal siasat yang amat cerdik dan licik itu adalah
hasil pengolahan mereka bertiga, yaitu Suminten, Ki Patih
Warutama, dan Pangeran Kukutan! Diolah di antara buih-
buih gelombang cinta berahi antara Suminten dan kedua
orang pria yang ia layani bermain cinta secara bergiliran.
Dan hasilnya hebat, seperti siasat yang diatur iblis sendiri.
Sang ratu yang berbathin bersih itu mana mungkin dapat
menghadapi siasat manusia-manusia iblis ini" Dia terjebak
dan terpaksa mengaku kalah.
Kalau Suminten makin besar kekuasaan dan pengaruhnya atas diri sang prabu yang sudah tua, dan
Pangeran Kukutan kini sudah dapat merasa yakin bahwa
sepeninggal ayahandanya, pasti dia yang akan menjadi
penggantlnya, adalah Ki Patih Warutama yang kini hidup
penuh kemewahan dan kesenangan.
Jilid XXVIII SERINGKALI ia tersenyum puas menyaksikan hasilnya.
Dahulu dia hanyalah seorang perwira kecil di Jenggala, dan
karena dia bermain cinta dengan seorang puteri dari selir
raja, dia terpaksa melarikan diri agar tidak dihukum mati.
Dan setelah berkali-kali gagal dalam usahanya mengejar
kemuliaan, gagal di Blambangan dan merantau terlunta-
lunta di Bali, kini dia berhasil menjadi Patih Jenggala!
Ki Patih Warutama yang dahulunya bernama Raden
Sindupati ini adalah seorang pria yang tampan dan gagah,
namun sayang ketampanan dan kegagahannya itu hanya
menjadi pulasan belaka, hanya setebal kulitnya. Hati dan
pikirannya selalu kotor dan menjadi ham daripada nafsu-
nafsunya sendiri, terutama sekali nafsu berahi yang
membuat dia menjadi seorang pria yang gila wanita.
Setelah kini kedudukannya kokoh kuat, la mulai membujuk
Suminten dan Pangeran Kukutan untuk mulai mengadakan
kontak dengan fihak Sriwljaya dan Cola yang wakil-
wakilnya memang sudah banyak yang menyelundup ke
Jenggala. Mulailah kini Ki Patih Warutama mengangkat
pembantu-pembantu yang sesungguhnya adalah anak buah
Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati! Mulailah
pengaruh kedua kerajaan itu menyusup ke Jenggala.
Bukan hanya ini saja usaha yang dilakukan oleh KI Patih
Warutama. Juga kedudukan dan kemuliaannya membuat
penyakit lama dalam dirinya kambuh, yaitu mengejar
wanita-wanita cantik! Dan di Jenggala adalah kedungnya
wanita-wanita cantik! Dengan ketampanan wajahnya,
ditambah kedudukannya sebagai patih, diperkuat pula oleh
kesaktiannya, akan mudah sekali bagi Warutama untuk
mencari perawan, janda, atau isteri orang untuk
diambilnya. Mulailah pria ini berpesta-pora, pesta palsu,
dan ia seolah-olah berlomba dengan Suminten. Suminten
adalah seorang wanita yang gila pria yang selalu haus dan
tak terpadamkan, tak pernah puas nafsu berahinya,
sehingga setiap malam dia harus ditemani seorang pria,
ganti-berganti bahkan hampir setiap malam berganti pria.
Demikian pulalah dengan Warutama. Setelah kini
kedudukannya mencapai tingkat tinggi dan kokoh kuat, ia
tidak menyembunyikan sifatnya ini dan menyaingi
Suminten dalam hal mengumbar nafsunya, berganti-ganti
wanita setiap malam, entah puteri siapa, entah isteri siapa
asalkan cantik jelita dan sesuai dengan seleranya!
Ketika teringat akan bekas kekasihnya dan mengadakan
penyelidikan, ia mendengar bahwa puteri yang dahulu
menjadi kekasihnya, yaitu puteri raja dari selir yang
bernama Wulandari telah menjadi isteri seorang tumenggung, dia menjadI penasaran sekali dan hatinya
takkan dapat merasa puas dan tenteram sebelum ia berhasil
mendapatkan kembali kekasihnya yang dahulu dipaksa
berpisah darinya itu. Dia tidak perduli akan kenyataan
bahwa menurut penyelidikannya, suami Wulandari itu,
yang bernama Tumenggung Matunggal adalah seorang
tumenggung yang menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan
pula, jadi merupakan "anak buah", dan tidak perduli pula
bahwa suami isteri itu telah mempunyai seorang anak
perempuan yang kini sudah menjadi seorang gadis dewasa!
Mulailah ki patih merenung dengan hati penuh kerinduan
kepada bekas kekasihnya dahulu, padahal iapun mengetahui bahwa, kekasihnya itu, Wulandari yang dahulu
amat cantik jelita, kenes dan kewes memikat, kini
sedikitnya tentu sudah berusia empat puluh tahun!
Makin rindu rasa hatinya kalau ia mengenang peristiwa
di masa yang lalu. Wulandari mencinta dirinya,
menyerahkan jiwa raga kepadanya dan ketika hubungan
gelap mereka ketahuan, terpaksa ia melarikan diri. Tadinya
dikabarkan orang bahwa Wulandari telah membunuh diri.
Baru sekarang ia ketahui bahwa hal itu hanya disiarkan
untuk menjaga nama dan kehormatan keluarga raja,
padahal diam-diam gadis bekas kekasihnya itu dikawinkan
dengan Tumenggung Matunggal. Apalagi setelah ia
melakukan penyelidikan dan berhasil melihat bekas
kekasihnya itu, rindu dendam dan berahinya makin
memuncak. Bukan saja terhadap kekasihnya yang ternyata
masih cantik jelita, bahkan lebih "matang" daripada
duapuluh tahun lebih yang lalu, melainkan juga terhadap
Dyah Handini, puteri bekas kekasihnya itu yang kini telah
menjadi seorang perawan jelita! Dan mulailah otaknya yang
cerdik seperti setan itu merencanakan siasatnya yang keji.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-oo0dw0oo- Ki Tumenggung Matunggal merasa girang dan bangga
sekali ketika ia diserahi tugas oleh Ki Patih Warutama
untuk melakukan peninjauan ke Nusabarung dan terus ke
Blambangan, dua kadipaten yang telah ditaklukkan oleh
Jenggala. Baik Nusabarung (baca Badai Laut Selatan)
maupun Belambangan dahulu dapat diserbu dan ditaklukkan berkat kesaktian Endang Patibroto. Setiap
orang pembesar tentu akan merasa girang dan bangga kalau
menjadi utusan atau wakil kerajaan menInjau daerah
taklukan, girang karena biasanya daerah taklukan tentu
akan mellmpahkan hadiah-hadiah dan tanda bukti yang
akan membuatnya pulang dengan harta benda bertumpuk,
dan bangga karena tugas ini membuktikan bahwa dia
adalah orang yang dipercaya oleh kerajaan!
Dengan hati bangga dan besar Ki Tumenggung
Matunggal berangkat beserta pasukannya setelah berpamit
dari isterinya, puterinya, dan selir-selirnya. Sama sekali ki
tumenggung ini tidak pernah mimpi bahwa kepergiannya
yang takkan pernah kembali, dan bahwa perpisahannya
dengan keluarganya adalah perpisahan terakhir! Mengapa
demikian" Karena semua ini adalah siasat keji yang
dilakukan oleh Patih Warutama yang bertekad bulat untuk
mendapatkan kembali bekas kekasihnya, Wulandari yang
telah menjadi nyi tumenggung itu, mendapatkan kembali
Wulandari berikut puterinya, Dyah Handini. Dan untuk
mencapai niat hati keji ini, Patih Warutama tidak segan
untuk melakukan hal yang bagaimana kejamnya pun.
Tumenggung Matunggal harus dilenyapkan! Demikianlah
siasat yang amat busuk dan yang hanya timbul dalam hati
seorang manusia yang sudah menjadi hamba nafsu dan
menjadi murid iblis! Sungguh patut dikasihani orang-orang seperti Ki
Tumenggung Matunggal ini. Seorang manusia pengejar
kemuliaan dan kedudukan dengan - cara apa pun juga,
tidak segan untuk menjilat-jilat atasannya, rela menjadi kaki
tangan Pangeran Kukutan dan mengkhianati kerajaan,
sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya ia hanya
dipergunakan sebagai alat oleh fihak atasan yang dalam hal
mengejar kesenangan pribadi jauh melebihinya, dalam
kekejaman jauh 'melewatinya. Tidak sadar bahwa ia hanya
dipermainkan, dipuji-puji dan diberi hadiah apablia masih
diperlukan, namun sekali fihak atasannya tidak memerlukannya, dia akan dilempar dan dibunuh begitu
saja! Dan alangkah banyaknya manusia-manusia macam
Tumenggung Matunggal ini, yang tidak mempunyai
pendirian, tidak mempunyai kesetiaan. Kepergiannya
melaksanakan tugas meninjau ke daerah-daerah taklukan,
diakhiri dengan kematian dalam perjalanan karena diracun
oleh pengawalnya sendiri, sudah tentu saja pengawal yang
menjalankan perintah Ki Patih Warutama. Adapun racun
yang dipergunakan adalah racun yang diminta oleh Ki
Patih Warutama dari Ni Dewi Nilamanik, racun yang amat
hebat dan tidak dikenal orang sehingga kematian
Tumenggung Matunggal dianggap sebagai kematian wajar,
kematian karena sang tumenggung diserang penyakit
mendadak di dalam perjalanannya.
Malam hari itu nyi tumenggung atau yang dahulunya
bernama Wulandari, puteri dari selir sang prabu, menangis
di dalam kamarnya, menangisi kematian suaminya.
Sesungguhnya ia tidak mencintai suami ini, suami yang
dijodohkan dengan dia secara paksaan. Akan tetapi karena
suaminya itu selalu baik terhadapnya, maka kematiannya
yang mendadak dalam perjalanan itu membuatnya berduka
juga. Dan menjelang tengah malam, ketika nyi tumenggung
yang berduka ini sudah hampir dapat melupakan dukanya
dengan tidur, tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dari luar
dan sesosok bayangan berkelebat masuk ke kamar itu. Wulandarl terkejut dan sejenak berdiri bulu tengkuknya, mengira bahwa roh suaminya yang datang melayang masuk dari jendela itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa pria tampan dan gagah yang berdiri di kamarnya, yang memandangnya dengan senyum membayang di balik kumis
tipis dan pandang mata mesra, adalah Ki Patih Warutama!
Baru satu kali Wulandari melihat patih yang baru ini, yang
sekali itu pun hanya sepintas lalu, akan tetapi ia telah
mengenal ki patih ini karena wajah ki patih mengingatkan
dia akan seorang yang pernah dikenalnya baik-baik, akan
wajah Raden Sindupati, bekas kekasihnya belasan tahun
yang lalu! Mengapa Ki Patih Warutama memasuki
kamarnya" Dan pada waktu malam buta dengan melalui
jendela seperti seorang maling" Jantung Wulandari
berdebar keras, wajahnya menjadi pucat dan kalau saja ia
tidak melihat jelas bahwa ki patihlah orang ini, tentu ia
telah menjerit. Kini dengan tubuh gemetar ia lalu
menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh
teguran, namun halus, "Gusti Patih .......... mengapa Paduka .......... ?"
"Wulandari, jangan takut, bintang pujaanku .......... "
kata Warutama sambil melangkah maju, mendekat.
Wulandari membelalakkan kedua matanya. Ia mengangkat muka dan memandang dengan mata terbelalak, muka makin pucat. Nama kecilnya disebut
begitu saja oleh ki patih, padahal di dalam dunia ini hanya
satu orang saja yang menyebutnya dengan ucapan mesra
"bintang pujaan".
"Paduka .......... Paduka .......... " ia menggagap
kebingungan. Namun kedua tangan ki patih yang kuat itu sudah
memegang pundaknya dan mengangkatnya berdiri. Muka
mereka berdekatan, dua pasang mata berpandangan, dan
terdengar bisikan keluar dari mulut yang menggigil.
"Paduka Gusti Patih Warutama ?"."
Warutama tersenyum. "Benar, aku Ki Patih Warutama?"." "Kenapa Paduka masuk kamar ini ...... " Di tengah
malam melalui jendela" Apakah .......... apakah kehendak
Paduka?" Wulandari sudah dapat menguasai hatinya dan
merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ki patih.
"Apa salahnya" Aku datang untuk menghiburmu, karena
aku merasa kasihan kepada keluarga Tumenggung
Matunggal yang sudah berjasa."
"Akan tetapi .......... ah, Paduka harus cepat keluar dari
sini .......... " Kembali lengan ki patih bergerak dan tanpa dapat
mengelak lagi Wulandari sudah dipeluknya dan dipaksanya
muka yang masih cantik itu menengadah sehingga mereka
kembali saling memandang, muka mereka amat dekat.
"Wulandari, bintang pujaanku .......... tidakkah engkau
mengenal aku, Diajeng" Pangling orangnya masa pangling
suaranya" Andaikata engkau pangling rupa dan suara,
apakah engkau sudah melupakan ini?" Sambil berkata
demikian, Ki Patih Warutama atau yang dahulu bernama
Raden Sindupati itu menundukkan mukanya lalu mencium
leher Wulandari di bawah telinga kini. Ciuman yang khas,
seperti yang ia lakukan dahulu kalau dia bermain cinta
dengan bekas kekasihnya ini, bibirnya mengecup kulit
kuning langsat yang halus itu dan giginya menggigit..........
"Aaggghhhh .......... engkau .......... engkau benar
Kakangmas Sindupati .........." Wulandari berkata lirih dan
mereka kembali berpandangan.
"Engkau mengenalku kini, Diajeng. Akan tetapi
Sindupati sudah tidak ada nama itu sudah dikubur. Aku Ki
Patih Warutama. Sindupati lenyap namun cinta kasihku
kepadamu tak pernah lenyap Diajeng bintang pujaanku
.......... " Warutama lalu mencium mulut yang terbuka
karena tercengang keheranan itu, mencium mata yang
memandangnya penuh takjub karena memang wajah pria
ini sudah amat berubah. Wulandari mula terengah-engah
dan berkata seperti merintih,
"Akan tetapi .......... Kakangmas ......aku .......... aku
sudah menjadi isteri .......... "
Kembali Warutama mencium dan membungkam mulut
itu sehingga Wulandari tidak dapat melanjutkan kata-kata
nya. "Bukan, engkau kini sudah menjadi seorang janda,
Wulandari kekasihku."
".......... tetapi .......... aku .......... suda tua, Kakangmas
.......... " Kembali bibir Warutama sudah menghentikan kata-
katanya. Ki patih ini menciumi kekasih lama ini dengan
penuh kemesraan, menumpahkan semua kerinduannya
selama ini sehingga Wulandari menggigil dibuatnya.
Wanita ini memejamkan matanya dan belaian serta ciuman
kekasihnya yang tak pernah dilupakannya ini membuat
semua bulu di tubuhnya meremang.
"Engkau tidak pernah tua bagiku, Diajeng. Engkau akan
kuboyong ke kepatihan bersama puterimu, engkau akan
hidup bahagia di sampingku, akan kutebus semua
penderitaan yang kita alami selama berpisah, kita takkan
berpisah lagi, Diajeng .......... "
"Kakangmas Sindupati .......... "
"Hushh, namaku Warutama ?"?"."
"Kakangmas Warutama, betapa mungkin itu" Apa yang
akan dikatakan orang kalau kami diboyong ke kepatihan"
Suami .......... suamiku baru saja meninggal .......... dan
.......... " Kembali bibir Warutama yang tiada puasnya itu sudah
menghentikan kata-katanya, menciuminya dengan penuh
kemesraan sehingga naik sedu-sedan dari dalam dada
Wulandari, membuat napasnya sesak, kepalanya pening
seperti, orang mabuk. "Tidak mengapa, Diajeng. Mendiang suamimu seorang
berjasa, sudah sepatutnya kalau keluarganya menerima
penghargaan dariku. Engkau menurut sajalah aku yang
akan mengatur segalanya, aku yang bertanggung jawab."
"Tapi .......... tapi .......... " Hanya sampai di situ saja
bantahan yang keluar dari mulut Wulandari karena ciuman-
ciuman dan belaian-belaian disertai suara bujuk rayu bekas
kekasihnya telah membuai seluruh tubuhnya menjadi
lemas, napasnya terengah-engah dan membuat dia seperti
mabuk, tidak lagi sadar apa yang dilakukannya melainkan
tunduk akan kekuasaan nafsu yang sudah mencengkeramnya. Bahkan ketika Ki Patih Warutama
memondongnya menuju ke pembaringan, dengan sepasang
mata dipejamkan dan mulut merintih tak tentu apa yang
diucapkannya, Wulandari melingkarkan kedua lengannya
ke leher bekas kekasihnya, seperti dua puluh tahunan yang
lalu. Peristiwa pemboyongan nyi tumenggung dan puterinya
ke kepatihan tentu akan menimbulkan geger kalau saja yang
melakukan pemboyongan itu adalah "orang kecil" atau
ponggawa yang kedudukannya masih rendah. Perbuatan
tidak wajar, apalagi melanggar hukum, dari "orang kecil"
tentu akan mencelakakan pembuatnya sendiri. Akan tetapi,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapakah yang berani mencela atau menghalangi perbuatan
"orang besar" seperti Ki Patih Warutama" Tidak dahulu
tidak sekarang, orang yang berkedudukan tinggi dan
memiliki kekuasaan, dapat berbuat seenak perutnya sendiri
tanpa ada orang yang berani mengganggu, karena bukankah
"hukum" berada mutlak di dalam telapak tangannya"
Semenjak dahulu sampai kini, hukum yang dibuat manusia
ternyata gagal untuk melindungi manusia-manusia yang
termasuk golongan kecil, dan pada hakekatnya merupakan
cara untuk menekan si kecil dan sebaliknya melindungi si
besar. Pemboyongan ibu yang baru saja menjadi janda bersama
puterinya ke kepatihan tentu saja menimbulkan keheranan
dan pelbagail dugaan, namun semua ini dapat ditutup oleh
alasan ki patih bahwa hal ini dilakukan oleh ki patih
mengingat akan jasa Tumenggung Matunggal yang tewas
dalam melakukan tugas. Maka habislah urusan itu, bahkan
ki patih dipuji-puji sebagai seorang atasan yang pandai
menghargai jasa bawahannya, dan bahwa ki patih adalah
seorang baik hati yang menaruh kasihan kepada ibu dan
puterinya itu. Namun, sesungguhnya bukan sesederhana ini persoalannya dan hal ini hanya Wulandari yang
mengetahuinya. Mula-mula janda ini merasa berbahagia
sekali karena dia telah dapat berkumpul kembali dengan
kekasih lama, bahkan dapat melanjutkan cinta kasih mereka
yang dahulu diputus dengan paksa. Mula-mula Wulandari
terlena dalam kenikmatan cinta, terbuai oleh bujuk rayu
dan cinta asmara yang dilimpahkan oleh Ki Patih
Warutama. Akan tetapi, ketika pada suatu malam ki patih
menyatakan bahwa ki patih hendak mengambil puterinya,
Dyah Handini, menjadi isteri ki pitih, ia terkejut sekali
seperti disambar halilintar di malam terang bulan!
"Ahhh, Kakangmas .......... ! Betapa mungkin" Tidak bisa
.......... tidak boleh Handini menjadi isterimu .......... "
Ki Patih Warutama merangkulnya, memeluk dan
membelainya sambil tersenyum.
"Mengapa tidak, Wulandari" Dia akan menjadi isteriku,
dan kita bertiga akan dapat berkumpul terus sampai
selamanya! Bukankah hal ini membahagiakan kita bertiga?"
"Tidak boleh .......... ah, Kakangmas, tidak boleh ..........
" Wulandari menangis.
Warutama mengerutkan alisnya, akan tetapi ia masih
tersenyum dan menciumi muka yang mulai basah air mata
itu. "Diajeng Wulandari, ketahuilah bahwa aku mencinta
puterimu. Dia mengingatkan aku kepada engkau ketika
masih muda. Ketika kita dipaksa berpisah, engkau seumur
dia dan persis seperti dia sekarang inilah keadaanmu.
Apakah engkau cemburu" Dia puterimu sendiri. Dan
engkau tentu yakin bahwa kalau dia menjadi isteriku, dia
akan hidup bahagia. Dan engkau pun akan selalu
bersanding di sisiku dan di sisi puterimu. Jangan khawatir,
bintang pujaanku, aku dapat membagi cinta kasihku antara
kalian berdua. Bahkan hubungan suci ini akan mengikat
kita bertiga erat-erat, selamanya tidak akan berpisah lagi."
"Tidak .......... ! Tidak .......... Aahhh, jangan .......... "
Wulandari menangis makin mengguguk.
Sinar mata yang menyeramkan memancar keluar dari
mata Ki Patih Warutama. Kedua tangannya yang tadi
membelai tubuh Wulandari, masih membelainya dan naik
ke atas, membelai dan meraba-raba leher wanita itu,
mengusap usap dengan gerakan-gerakan tangan seperti
hendak mencekiknya. Mulutnya tersenyum dan suaranya
dingin sekali ketika ia bertanya lirih,
"Mengapa" Mengapa tidak" Katakanlah, apa sebabnya
mengapa kau tidak setuju."
Wulandari mengangkat mukanya memandang wajah
pria yang sudah menjatuhkan hati dan segala-galanya itu.
"Kakangmas, dia .......... Dyah Handini itu .......... , dia
.......... adalah anakmu sendiri?"."
Jari-jari yang mengelus leher itu menegang, akan tetapi
belum mencekik, sungguhpun masih membelainya, agak
lebih kasar daripada tadi. Wulandari hendak merenggutkan
dirinya namun tidak dapat.
"Apa kau bilang .......... " Dia anakku?"..?"
"Betul, Kakangmas. Dengarlah dahulu, ketika engkau
melarikan diri .......... dan aku dipaksa kawin dengan
Tumenggung Matunggal, aku sudah .......... sudah
mengandung satu bulan. Dia anakmu, Kakangmas, karena
itu .......... tidak boleh engkau mengambilnya sebagai
isterimu .........."
"Aku tidak percaya! Juga tidak perduli. Dia akan
menjadi isteriku, tak perduli dia anakku atau bukan, tak
perduli engkau setuju atau tidak!?"
"Kakangmas .......... Wulandari berseru dengan suara
penuh permohonan, dengan air mata bercucuran.
"Cukupl Dengar baik-baik. Aku cinta kepada Dyah
Handini, seperti cintaku kepadamu dahulu. Cintaku
kepadamu yang terputus. Kini aku minta dilanjutkan,
karena dia serupa benar dengan engkau dahulu. Hanya ada
dua jalan bagimu. Menyetujui dia menjadi isteriku sehingga
kita bertiga akan dapat terus berkumpul, akan tetapi terus
saling mencinta, atau .......... engkau mati sekarang juga dan
dia tetap menjadi isteriku!" Jari-jari tangan yang masih
melingkari leher Wulandari itu kini mengeras dan cekikan
mulai terasa. Dengan wajah pucat dan air mata mengalir, Wulandari
terpaksa mengangguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata
lagi. "Ha-ha-ha, bagus, itu baru namanya bintang pujaanku
yang sejati!" Ki Patih Warutama tertawa lalu mengecup
bibir Wulandari dengan buas, lalu memaksa wanita yang
nelangsa batinnya itu untuk melayani cinta kasihnya yang
sesungguhnya hanya merupakan cinta berahi, cinta berahi,
cinta nafsu yang selalu menjadi penuntun bagi setiap
perbuatan seorang manusia macam Warutama atau
Sindupati. Demikianlah, biarpun sudah mendengar dari mulut
Wulandari sendiri bahwa Dyah Handini adalah anaknya,
Ki Patih Warutama tidak mau mundur dan melangsungkan
pernikahannya dengan dara yang denok ayu itu. Tentu saja
pesta pernikahan diramaikan dengan mewah dan meriah,
dan orang-orang mulai memuji-muji lagi ki patih yang
dianggapnya amat baik, suka mengangkat derajat anak
seorang tumenggung. Semua orang menganggap betapa
baik nasib Dyah Handini dan ibunya, yang biarpun telah
kehilangan ayah dan suami, namun kini malah dinaikkan
derajatnya sampai berlipat kali! Dyah Handini sendiri
sebagai seorang gadis pada masa itu, hanya menurut
kehendak ibunya dan akhirnya dia pun berbahagia karena
suaminya, biarpun usianya sudah mendekati setengah abad,
harus diakui merupakan seorang pria yang tampan dan
gagah, apalagi amat pandai dan seorang ahli dalam merayu
wanita dan bermain cinta. Segera dara yang denok ini jatuh
dan mabuk oleh rayuan pria yang menjadi suaminya,
sedikit pun tak pernah menduga bahwa suaminya ini
sesungguhnya adalah ayahnya sendiril
Ki Patih Warutama yang pada lahirnya merupakan
seorang patih yang berpengaruh dan berkuasa, merupakan
seorang pria yang tampan dan gagah, sebenarnya batinnya
amatlah rendah. Hanya manusia berperangai binatang saja
kiranya yang sudi melahap puterinya sendiri! Bukan hanya
itu saja, bahkan lebih jauh lagi tingkah dan ulah ki patih ini.
Terang-terangan di depan isterinya, ia melanjutkan
hubungan rahasianya dengan Wulandari! Akhirnya Dyah
Handini juga mengetahui bahwa ibunya telah "diselir" oleh
suaminya. Anak dan ibu menjadi madu! Namun, Dyah
Handini yang sudah jatuh bertekuk lutut oleh belaian kasih
sayang ki patih yang amat pandai, tidak berani marah,
bahkan diam-diam menjadi gembira karena baginya, lebih
baik membagi suaminya dengan ibunya daripada dengan
wanita lain. Terjadilah kemaksiatan yang menjijikkan dalam kamar
Kl Patih Warutama. Kini terang-terangan saja dia bermain
cinta dengan ibu dan anak itu. Dia tidur sekamar dengan
Wulandari dan Dyah Handini, bergiliran mencintai ibu dan
anak, tanpa malu-malu lagi bertiga tidur seranjang! Kadang-
kadang, mereka bertiga duduk bercengkerama, bersendau-
gurau, ki patih duduk di tengah, Wulandari duduk di atas
paha kanannya, Dyah Handini duduk di atas paha kirinya,
memeluk kedua ibu dan anak itu dengan dua lengannya,
bergiliran menciumi dan mencumbu mereka! Hebatnya,
lambat-laun Wulandari dapat melupakan rasa nelangsa di
hatinya dan mulailah ia bergembira dan akhirnya ia merasa
berbahagia mendapat kenyataan betapa ki patih masih tetap
mencintanya seperti cintanya terhadap puterinya. Wulandari merasa mendapat kepuasan lahir batin dan tak
perduli lagilah akan tata susila, tidak malu menyaksikan
puterinya bermain cinta dengan ki patih, juga tidak malu
lagi disaksikan puterinya apabila dia mendapat giliran!
Adakah perbuatan a-susila yang lebih gila daripada ini"
Sementara itu, kedudukan Suminten makin kuat.
Keadaan sang prabu yang sudah tua tiada lebih kuat
daripada seorang tapadaksa yang tak berdaya. Semua
persoalan pemerintahan dipegang oleh tiga serangkai itu,
Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama.
Hubungan dengan wakil-wakil Kerajaan Sriwijaya dan Cola
makin diperkuat dan mulailah diatur rencana untuk
menguasai seluruh Jenggala, kemudian menghantam
Panjalu. Kadipaten sebelah timur sudah pula dihubungi dan
mereka ini, termasuk Kadipaten Nusabarung dah Kadipaten Blambangan yang menaruh dendam terhadap
Panjalu, sudah siap-siap pula untuk membantu jika pecah
perang. Awan gelap menyelimuti angkasa di atas kedua
kerajaan bersaudara itu, kerajaan yang menjadi keturunan
Mataram, yang terpecah karena mendiang Sang Prabu
Airlangga bermaksud bersikap adil dan mencegah perang
saudara dengan cara membagi kerajaan menjadi dua.
-oo0dw0oo- Di kaki Gunung Anjasmoro sebelah utara merupakan
pedusunan yang amat sunyi, yang hanya berpenduduk
beberapa puluh keluarga petani miskin. Namun tempat ini
memiliki pemandangan alam yang indah dan kesunyian
selalu merupakan sifat yang khas daripada keindahan alam.
Di antara pondok-pondok kecil, gubuk-gubuk berdinding
anyaman bambu dan beratap daun kelapa itu terdapatlah
sekelompok bangunan yang dikurung pagar tembok. Pintu
gerbang dinding yang mengurung kelompok bangunan ini
selalu terjaga oleh beberapa orang perajurit pengawal.
Keadaan sekeliling pondok sunyi dan hening, dan hanya
beberapa kali saja setiap harinya ada pelayan tua yang
keluar melalui pintu gerbang untuk mengurus keperluan
penghuni pondok. Pondok ini adalah tempat pengasingan atau pembuangan
bagi bekas permaisuri, sang ratu dari Jenggala! Setelah sang
ratu ini gagal menandingi Suminten yang sangat cerdik
sehingga sang ratu yang hendak "menangkap basah" selir
itu sebaliknya malah masuk perangkap, wanita tua ini
sekarang menjadi seorang buangan, hidup bersunyi diri di
dalam pondok yang dikurung dinding tinggi dan terjaga
slang malam ini. Tidak pernah keluar dari pondok, tidak
pernah bertemu dengan orang lain kecuali para pelayannya
karena bekas permaisuri ini dilarang keluar, dan dilarang
pula menerima kunjungan orang luar.
Akan tetapi pada suatu hari, lewat pagi, sepasang orang
muda memasuki pintu gerbang dinding yang mengurung
pondok pengasingan ini. Mereka berdua tidak dilarang oleh
para penjaga, bahkanpara penjaga cepat-cepat berlutut
memberi hormat dan menyapa dengan penuh kehormatan
kepada pria yang lewat menggandeng wanita itu. Mereka
itu masih muda-muda dan keduanya amatlah eloknya,
bagaikan sepasang dewa asmara Sang Hyang Komajaya
dan Komaratih. Kedua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Panji
Sigit dan isterinya, Setyaningsih. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, setelah menikah di Padepokan Wilis,
Pangeran Panji Sigit mengajak isterinya untuk ke Jenggala.
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa kembalinya ke
Jenggala merupakan perbuatan yang banyak resikonya bagi
dirinya karena dia telah mempunyai seorang musuh yang
berbahaya, yaitu Suminten. Akan tetapi karena pangeran ini
amat mencinta ramandanya, dan pula karena ia berpikir
bahwa setelah ia beristeri, kiranya Suminten tidak begitu
gila untuk menggodanya lagi, maka ia bertekad untuk
pulang ke Jenggala. Di sepanjang perjalanan, pangeran
yang amat memperhatikan keadaan ramandanya dan
keadaan kota raja, bertanya-tanya dan alangkah kaget
hatinya ketika ia mendengar segala peristiwa hebat yang
terjadi di kerajaan ramandanya. Tentang pengangkatan
Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, sama sekali
tidak mendatangkan kesan apa-apa di hatinya karena
memang Pangeran Panji Sigit bukan seorang yang gila akan
kedudukan. Peristiwa yang menimpa keluarga ki patih,
yang didengarnya di jalan, dan tentang penggantian patih
baru, hanya mendatangkan rasa haru dan kasihan di
samping rasa penasaran mengapa paman patih yang
dianggapnya amat baik dan setia itu sampai dijatuhi
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hukuman sekeluarga sedemikian mengerikan. Akan tetapi
ketika ia mendengar bahwa ibunda ratu diasingkan,
dibuang ke kaki Anjasmoro, Pangeran Panji Sigit menjadi
marah sekali. "Setan betina, iblis laknat, siluman keji! Semua ini gara-
gara dial" seru Pangeran muda itu sambil mengepal tinju
dan mukanya menjadi merah sekali.
"Eh, Kakangmas .......... !" Setyaningsih menegur
suaminya. Pangeran Panji Sigit merangkulnya dan ia sadar, dapat
pula menguasai hatinya yang terbakar. Setelah menghela
napas panjang ia berkata,
"Diajeng, sungguh jahat sekali dia itu. Semua ini tentu
hasil perbuatan Suminten. Aduh dewata Yang Maha Agung
.......... mengapa Ramanda Prabu sampai tenggelam
sedemikian dalamnya .......... Diajeng, mari kita pergi ke
kaki Anjasmoro, lebih dahulu kita menjenguk Ibunda
Ratu." Perjalanan dilanjutkan. Kuda tunggangan mereka
dilarikan lebih cepat dan akhirnya mereka dapat juga
menemukan pondok pengasingan di kaki. Gunung
Anjasmoro. Para penjaga tentu saja mengenal Pangeran
Panji Sigit yang memang sejak dahulu amat disuka oleh
semua perajurit, maka dengan mudah saja Pangeran Panji
Sigit dan isterinya memasuki pintu gerbang dan langsung
mencari bekas permaisuri yang menurut para abdi sedang
duduk seperti biasa di belakang pondok.
Hati Pangeran Panji Sigit terasa seperti disayat-sayat
pisau ketika ia melihat wanita tua itu duduk bersila di atas
lantai bertilam tikar. Wajah permaisuri itu masih agung,
sungguhpun segala keadaan memperlihatkan kesederhanaan yang amat tidak pantas bagi seorang bekas
ratu. Muka itu tidak dirias, tidak dibedaki, rambutnya
digelung bersahaja ke belakang, rambut yang sudah
bercampur banyak uban, tubuhnya ditutup libatan kain
Naga Kemala Putih 5 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Pedang 3 Dimensi 12