Pencarian

Si Bayangan Iblis 7

Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Plakk!" Sui In terpelanting roboh dan pingsan.
428 Wanita itu kembali terkekeh. "Huh, segala macam budak ingusan
berani mengacau ke sini" Keram ia dalam ruangan bawah tanah!"
Sambil menyeringai, Pek-mau-kwi Ciong Hu memondong tubuh
Sui In yang pingsan dan melihat wajah anak buahnya itu, nenek
yang amat lihai itu menghardik, "Awas kau, Pek-mau-kwi. Kalau
engkau ganggu wanita itu, engkau akan kubunuh! Semua anak
buahku harus tertib dan taat, tidak boleh melakukan sesuatu
tanpa diperintah, sehingga menggagalkan semua rencana.
Mengerti?" Muka yang.tadinya menyeringai senang itu tiba-tiba berubah
masam, akan tetapi Pek-mau-kwi mengangguk. "Baik, saya
mentaati perintah, Kui-bo."
Nenek itu kini menghadapi hwesio yang bernama Kwan Seng
Hwesio, wakil kepala kuil itu dan berkata dengan nada
mengancam. "Kwan Seng Hwesio, ingat, tak seorangpun hwesio di kuil ini
pernah melihat wanita tadi. Mengerti! Kalau ada yang lancang
mulut, aku akan membawa kepala Gwat Kong Hwesio kepadamu,
sebelum membunuh kalian semua!"
Dengan wajah pucat, hwesio itu merangkap kedua tangan di
depan dada sambil membungkuk. "Omitohud, kami tidak berani
lancang mulut." Nenek itu tersenyum mengejek, lalu ia menghilang di balik daun
pintu menyusul perginya Pek-mau-kwi yang tadi memondong
tubuh Sui In. Daun pintu tertutup lagi dari dalam.
429 Setelah berada seorang diri, Kwan Seng Hwesio berulang-ulang
menyebut "Omitohud......" sambil memandang ke arah tubuh
suhengnya, Gwat Kong Hwesio, yang rebah tak sadarkan diri itu.
Suhengnya kini bukan disandera lagi melainkan diracuni dan obat
penawar racun itu ada pada nenek itu. Tanpa pertolongan nenek
itu, suhengnya akan tewas.
Itulah sebabnya mengapa belasan orang hwesio di kuil itu tidak
berdaya sama sekali dan terpaksa mentaati perintah gerombolan
orang asing yang jahat, yang telah menawan Gwat Kong Hwesio
dan bersembunyi di kuil itu.
Rombongan penjahat itu terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh
dua orang. Yang pertama adalah Bouw Sian-seng yang
sebetulnya adalah Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan)
seperti yang diduga oleh Pek-liong dan Hek-liong-li. Adapun
orang kedua bukan lain adalah Kui Lo-ma yang sebetulnya
adalah Thian-thouw Kui-bo (Biang Setan Kepala Besi), Kedua
orang kakek dan nenek ini adalah dua orang di antara Kiu Lo-mo
(Sembilan Iblis Tua). Mula-mula Lam-hai Mo-ong yang melihat persaingan di antara
para pangeran. Hal ini membuat datuk sesat ini girang sekali
karena dia melihat kesempatan yang teramat baik untuk
mengangkat dirinya dengan membonceng kemelut yang timbul
karena persaingan dan pertentangan di antara para pangeran.
Dengan cerdik dia menyelidiki keadaan para pangeran.
Pada suatu hari ketika Pangeran Souw Cun, yang sudah lama
diincernya untuk dapat diperalat, sedang berburu. Lam-hai Mo430
ong menyuruh anak buahya untuk menghadang dan menyerang
pangeran itu sebagai perampok. Para pengawal pangeran itu
sudah roboh semua oleh para "perampok" sehingga nyawa
Pangeran Souw Cun terancam bahaya maut. Muncullah Lam-hai
Mo-ong sebagai bintang penyelamat dengan mengusir para
"perampok" itu.
Tentu saja Souw Cun berterima kasih, juga kagum akan kelihaian
kakek itu. Dan diapun mengakui kakek itu sebagai gurunya,
bahkan memboyongnya ke istananya. Atas nasehat Lam-hai Moong, pangeran itu memperkenalkan Lam-hai Mo-ong kepada
orang-orang istana sebagai Bouw Sian-seng yang menjadi
gurunya dalam hal sastera!
Melihat betapa dia membutuhkan bantuan untuk menyukseskan
rencananya yang besar, dia lalu memberi kabar kepada
rekannya, yaitu Tiat-thouw Kui-bo dan menarik nenek iblis itu ke
dalam istana pula. Nenek itu menyamar sebagai seorang wanita
ahli masak dan ahli pijat, dan Bouw Sian-seng berhasil
memasukkan rekannya yang memakai nama Kui Lo-ma bekerja
kepada Pangeran Kim Ngo Him, yaitu mantu kaisar yang juga
berambisi untuk memperebutkan kedudukan.
Demikianlah, Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma, diam-diam
mengadakan hubungan dan mereka berhasil pula menyelundupkan anak buah mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh
dunia kang-ouw yang pandai ilmu silat dan kuat, sampai belasan
orang ke dalam istana. Selain itu, di kota raja mereka juga
mempunyai puluhan orang anak buah yang mereka sebar di luar
istana sebagai mata-mata.
431 Dengan teratur, makin lama kedua orang datuk sesat itu makin
kuat menancapkan kuku mereka untuk menanam pengaruh
mereka di istana melalui dua orang pangeran itu. Bahkan Bouw
Sian-seng dan Kui Lo-ma telah menguasai kuil istana dengan
menangkap kepala kuil dan melihat betapa Gwan Kong Hwesio,
kepala kuil itu, keras kepala dan tidak sudi menyerah, Kui Lo-ma
lalu membuat dia pingsan dengan racun.
Karena tidak ingin melihat kepala kuil itu dibunuh, terpaksa Kwan
Seng Hwesio dan teman-temannya menyerah kepada dua orang
datuk itu. Mereka merahasiakan kehadiran para penjahat itu di
istana, dengan janji bahwa mereka tidak akan membantu mereka
dalam perkelahian, juga bahwa setelah urusan mereka di istana
selesai, mereka akan membebaskan dan memberi obat
penyembuh kepada Gwat Kong Hwesio.
Mulailah Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo menyebar maut.
Merekalah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis, melakukan
pembunuhan kepada mereka yang dianggap dapat menjadi
penghalang suksesnya cita-cita mereka. Ketika mereka tidak
berhasil membunuh Ciok Tai-jin yang dijaga ketat oleh Cu Sui In
dan para pengawal, mereka memasang mata-mata di situ. Maka,
mereka tahu bahwa Sui In, janda yang murid Kun-lun-pai itu,
akan minta bantuan seorang susioknya bernama Giam Sun.
Mendengar ini Lam-hai Mo-ong menyuruh para pembantunya,
yaitu Pek-mau-kwi dan Huang-ho Siang-houw, untuk mendahului
wanita muda itu dan mereka berhasil membunuh Giam Sun!
Bahkan hampir mereka membunuh Sui In pula kalau tidak muncul
Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang berhasil menyelamatkannya.
432 Apakah yang dikehendaki dua orang datuk sesat itu" Mereka
bercita-cita muluk dan melaksanakan permainan besar tingkat
tinggi. Mereka melihat persaingan dan perebutan kedudukan di
istana, memperebutkan kursi putera mahkota untuk kelak
menggantikan kaisar. Maka, mereka berdua melihat kesempatan
yang amat baik. Kalau mereka dapat membantu seorang pangeran sehingga
pangeran itu kelak menjadi kaisar, sudah pasti mereka akan
menerima kedudukan tinggi sebagai balas jasa. Mereka akan
diangkat menjadi kok-su (penasihat negara) atau setidaknya tentu
kedudukan menteri akan menjadi bagian mereka! Kemuliaan,
kehormatan dan kekuasaan akan menjadi bagian mereka!
Mereka menjatuhkan pilihan mereka kepada Pangeran Souw
Kian. Pangeran dari selir yang usianya delapanbelas tahun ini
adalah seorang pemuda yang agak terbelakang, bodoh dan
bebal, hanya menyeringai saja dan tidak mempunyai semangat
apa-apa. Kalau sampai pangeran ini dapat menjadi calon tunggal dan kelak
menjadi kaisar, tentu dapat mereka kuasai. Maka, diam-diam
Bouw Sian-seng yang dikenal sebagai seorang sasterawan, guru
Pangeran Souw Cun, mulai mendekati ibu Pangeran Souw Kian,
menjanjikan bahwa dia sanggup membimbing dan mengajar
pangeran itu agar kelak menjadi seorang pandai. Karena janji
yang muluk-muluk ini, ibu pangeran itu menaruh kepercayaan
dan harapan besar kepada Bouw Sian-seng.
433 Mulailah pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dua orang
datuk bersama kaki tangannya. Pembunuhan-pembunuhan itu
dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi
halangan, juga untuk menimbulkan pertentangan di antara para
pangeran. Di dalam kemelut di istana itu, nampaklah bahwa
semua pangeran terlibat, bahkan Pangeran Souw Han yang
tadinya dianggap alim dan baik, terlibat pula dan bahkan
terbunuh! Hanya Pangeran Souw Kian seoranglah yang sama
sekali tidak perduli, tidak mencampuri dan nampak "bersih", sama
sekali tidak ikut bersaing.
Karena markas besar para pengacau itu justeru berada di kuil
istana, dan mereka menyamar sebagai orang-orang yang sama
sekali tidak mencurigakan, maka semua upaya untuk menangkap
Si Bayangan Iblis gagal selalu.
Cu Sui In merupakan orang pertama yang menyelidiki ke dalam
kuil itu, maka ia segera dirobohkan dan ditawan oheh Kui Lo-ma.
Wanita muda itu kalau sampai lolos, berbahaya sekali. Ialah satusatunya orang yang telah menemukan rahasia mereka.
Kalau nenek itu tidak segera membunuh Sui In, hal itu hanya
membuktikan kecerdikannya. Ia tahu bahwa bahaya mulai
membayangi komplotannya. Oleh karena itu, kalau ada orang
penting tertangkap, sebaiknya dijadikan sandera, tidak segera
dibunuh. Kalau dibunuh, sudah tidak ada harganya lagi, akan
tetapi kalau masih dibiarkan hidup, sekali waktu mungkin amat
berharga! Ini sebabnya maka ia mengancam Pek-mau-kwi yang
ia tahu mata keranjang itu agar jangan mengganggu Sui In.
434 "Y" Cian Hui mengerutkan alisnya yang tebal ketika dua orang
perajuritnya datang menghadap dan melaporkan bahwa mereka
bertemu dengan Siauw In yang membawa cincin Hong-houw dan
memesan kepada mereka agar melapor kepada Cian Ciang-kun
bahwa gadis itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak
bukit. Mengapa Sui In melakukan penyelidikan ke sana" Di sana hanya
ada kuil dengan belasan orang hwesio yang dapat dipercaya
sepenuhnya. Para hwesio itu tidak mungkin terlibat dalam
pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang bersih, juga
setia. Oleh karena itu, dia tidak begitu tertarik ketika mendengar
laporan anak buahnya tentang penyelidikan yang dilakukan janda
muda yang cantik itu. Akan tetapi, hatinya mulai merasa khawatir juga ketika malam
tiba dan dia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa janda
itu belum juga kembali ke rumah mendiang Pangeran Souw Han,
di mana ia ditugaskan bersama para dayang lainnya. Dia
mengerahkan seregu pasukan untuk mencari ke bukit itu. Namun,
Sui In lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Para hwesio di kuil itu sudah ditanya, akan tetapi tidak ada
seorangpun yang mengaku pernah melihat wanita muda itu. Cian
Hui lalu keluar sendiri untuk ikut mencari, namun sia-sia. Karena
khawatir, diapun lalu pergi mengunjungi bagian istal kuda untuk
menjumpai Pek-liong. Karena Cian Hui memiliki kekuasaan dan
dia dikenal oleh semua pekerja, mereka itu mentaatinya ketika
435 mereka disuruh pergi sehingga Cian Hui dengan leluasa dapat
mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Pek Liong dan
juga Hek-liong-li. Mereka bertiga bercakap-cakap di dalam
gudang jerami, duduk di lantai yang penuh jerami kering.
Cian Hui menceritakan tentang lenyapnya Sui In setelah wanita
itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit.
Mendengar ini, Liong-li menepuk dahinya sendiri. "Aiihh, kenapa
aku begini bodoh" Tentu saja! Tempat yang paling tidak mungkin,
yang sedikitpun tidak akan mendatangkan kecurigaan, tempat
seperti itulah merupakan tempat persembunyian yang paling baik!
Di seluruh istana ini, bukit itu dan kuil itu merupakan tempat yang
amat aman kalau dipakai melindungi diri. Siapa akan menyangka
ke sana" Dan orang tentu akan sungkan untuk menggeledah dan
mengganggu para hwesio di kuil itu!
"Benar sekali, li-hiap," kata Cian Hui. "Aku sendiripun selama
melakukan penyelidikan, belum pernah mencurigai mereka.
Memang meragukan sekali tempat seperti itu menjadi sarang
pembunuh. Para hwesio itu pasti tidak akan membiarkan begitu
saja. Akan tetapi, tempat itu tidak boleh dilewatkan, harus
digeledah. Sekarang aku teringat bahwa sejak terjadinya
peristiwa kemelut di istana, ketua kuil itu jatuh sakit dan sampai
sekarang tidak dapat menemui tamu karena sakitnya."
"Hemm, mencurigakan sekali. Sebaiknya kita lebih dahulu
menengok keadaan kepala kuil itu," kata Pek-liong-eng.
"Sebaiknya malam ini juga kita berangkat ke sana. Mari, tai-hiap
dan li-hiap, kita berangkat sekarang juga!" ajak Cian Ciang-kun.
436 "Nanti dulu," kata Liong-li. "Kita menghadapi pembunuhpembunuh jahat dan lihai. Kita tidak tahu bagaimana keadaan
mereka dan berapa banyak anak buah mereka. Oleh karena itu,
membasmi rumput harus dengan akar-akarnya, dan kalau kita
menyerbu ke sana, mereka semua harus dapat ditangkap.
Sebaiknya kalau engkau kerahkan pasukan untuk mengepung
bukit itu agar jangan sampai ada penjahat yang mampu melarikan
diri dan lolos. Setelah itu baru kita menggeledah kuil itu."
Cian Hui setuju dan Pek-liong juga membenarkan. Malam itu juga
Cian Ciang-kun mengerahkan pasukan dan mengepung bukit itu
dengan ketat. Setelah itu barulah mereka berangkat dan di lereng bukit kecil itu
mereka berpencar. Pek-liong dan Liong-li terus mendaki ke
puncak di mana terdapat kuil itu, dan Cian Hui tinggal di lereng
untuk mengatur pengepungan pasukan-pasukannya.
"Y" Malam itu bulan masih terang seperti siang. Hal ini memudahkan
Pek-liong dan Liong-li yang mendaki ke puncak. Bukit itu tidak
besar, dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak, berdiri di
luar pekarangan kuil yang dipagari tembok.
Kuil itu nampak sunyi dan mati, seolah tidak ada penghuninya.
Memang kalau malam kuil itu ditutup dan tidak menerima tamu,
akan tetapi biasanya dalam keadaan menganggur itu, para
hwesio membaca kitab atau berdoa sehingga terdengar suara
mereka dari luar. Setidaknya akan terdengar suara ketukan
berirama yang menuntun doa mereka. Akan tetapi malam itu
437 sama sekali tidak terdengar suara apapun, seolah kuil itu telah
berubah menjadi kuburan. Dengan mudah mereka melompati pagar tembok dan berada di


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebun samping kuil itu. Mereka menyelinap di antara pohonpohon dan semak, mendekati kuil yang besar sekali itu. Maklum,
kuil itu adalah kuil istana yang sudah ratusan tahun umurnya,
dibuat kokoh kuat seperti benteng karena tempat itu dianggap
tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang luar, kecuali bagian
luarnya di mana disediakan meja-meja sembahyang dan orang
hanya boleh datang berkunjung di waktu pagi sampai sore saja.
Di bagian dalam kuil itu yang menjadi tempat tinggal atau asrama
para hwesio, merupakan tempat suci yang tidak boleh dikunjungi
orang lain. Biarpun tembok kuil itu tinggi dan sama sekali tidak berjendela,
bukan merupakan hal sukar bagi Pek-liong dan Liong-li untuk
memanjat dan berloncatan sehingga mereka dapat tiba di
wuwungan kuil yang bergenteng tebal sekali. Bagaikan dua ekor
burung walet mereka melayang dan berlompatan di atas
wuwungan tanpa menimbulkan suara.
Mereka merasa aneh dan heran. Setelah menyelidik ke sana-sini,
mereka mendapat kenyataan bahwa di bawah gelap, tidak ada
penerangan sama sekali, seolah-olah orang-orang yang tinggal di
kuil itu dengan sengaja memadamkan semua penerangan. Pada
hal, malam belum larut benar. Tidak mungkin pada waktu itu
semua hwesio sudah tidur dan membiarkan kuil itu ditelan
kegelapan seperti itu! Pantasnya ada unsur kesengajaan dalam
keadaan itu. 438 Setelah saling pandang dan memberi isyarat dengan pandang
mata mereka, Pek-liong dan Liong-li melayang ke atap yang lebih
rendah dan tiba-tiba di bagian samping kiri bangunan kuil besar
itu, mereka melihat sinar dari sebuah ruangan di bawah! Mereka
cepat meloncat ke atas ruangan yang merupakan satu-satunya
ruangan yang ada penerangannya. Begitu kaki mereka menginjak
genteng, terdengar suara dari bawah.
"Omitohud......, penjahat dari manakah begitu berani mengotori
tempat suci ini?" Pek-liong dan Liong-li terkejut dan cepat mereka mengintai ke
bawah. Mereka melihat seorang hwesio duduk bersila di sudut
ruangan kepalanya yang gundul licin itu menunduk sehingga
wajahnya tidak dapat menerima cahaya redup lilin yang dipasang
di atas meja di ruangan itu.
Sepasang pendekar ini terkejut karena mereka tidak mengira
bahwa gerakan mereka yang amat ringan dan yang mereka
lakukan dengan hati-hati itu dapat didengar orang. Tentu hwesio
di bawah itu lihai sekali. Dan Cian Hui dengan tegas mengatakan
bahwa para hwesio di kuil itu tidak ada yang memiliki ilmu
kepandaian silat tinggi! Kembali sepasang pendekar itu saling pandang dan keduanya
sudah setuju akan tindakan selanjutnya yang akan mereka ambil.
"Lo-suhu, maafkan kami berdua. Kami bukan penjahat dan kami
ingin menghadap lo-suhu!" kata Pek-liong.
"Omitohud......, masuklah saja!" kata pula hwesio itu dengan
suara yang dalam dan lembut.
439 Pek-liong dan Liong-li membuka genteng. Keduanya memandang
penuh perhatian, sebelum meloncat masuk, dan mendapat
kenyataan bahwa tidak ada hal yang perlu diragukan atau
dicurigai. Ruangan itu cukup luas, tidak mempunyai jendela,
hanya ada sebuah pintu ke dalam yang daunnya tertutup.
Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah dipan di sudut di mana
hwesio itu duduk bersila, dan sebuah meja kecil di mana terdapat
lilin menyala dan beberapa buah kitab. Selanjutnya, kosong.
Dinding yang menghadap ke bagian luar tidak berjendela,
sehingga jalan satu-satunya, masuk ke kamar itu hanya melalui
pintu yang menembus ke dalam tadi, dan melalui lubang di atap
yang mereka buat tentu saja. Tentu hwesio di bawah itu dapat
memberi banyak keterangan kepada mereka.
"Kita turun," bisik Liong-li.
Pek-liong mengangguk dan pendekar ini mendahului Liong-li,
melompat turun. Liong-li maklum bahwa Pek-liong, seperti biasa,
tentu ingin menjadi orang pertama kalau memasuki ruangan yang
belum dikenal dan mungkin mengandung bahaya, agar kalau
sampai terjebak, dialah yang akan terjebak lebih dahulu. Dan
Liong-li juga membiarkan ini. Lebih baik seorang saja di antara
mereka yang terjebak, dari pada keduanya karena kalau yang
seorang terjebak, yang lain dapat menolongnya.
Setelah ia melihat Pek-liong tiba di lantai kamar itu dan tidak
terjadi sesuatu, iapun melompat turun pada saat Pek-liong
memberi isyarat bahwa keadaan aman. Akan tetapi, begitu Liongli melayang turun ke dalam ruangan itu, tiba-tiba lilin di atas meja
440 itu padam dan keadaan menjadi gelap sama sekali. Liong-li
mengerahkan gin-kangnya dan kedua kakinya dapat hinggap di
atas lantai dengan ringan. Pada saat itu, mereka mendengar
suara senjata rahasia menyambar-nyambar ke arah mereka!
Dua orang pendekar itu setiap saat memang sudah siap siaga.
Tidak pernah mereka itu lengah, apa lagi dalam keadaan sedang
melakukan penyelidikan seperti itu. Sejak tadi, seluruh syaraf di
tubuh mereka sudah dalam keadaan siap dan waspada, maka
begitu mereka menduga datangnya bahaya, keduanya sudah
menggerakkan tangan kanan dan Liong-li sudah mencabut Hekliong-kiam, sedangkan Pek-liong sudah mencabut Pek-liongkiam. Ketika senjata-senjata rahasia itu menyambar ke arah
mereka, keduanya memutar pedang dan semua senjata rahasia
kecil berbentuk paku-paku beracun itu runtuh.
Liong-li meloncat ke arah di mana tadi hwesio itu duduk. Akan
tetapi, ternyata bukan hanya hwesio itu yang lenyap, bahkan
dipannya pun lenyap! Tahulah ia bahwa hwesio di atas dipan tadi
memang merupakan alat perangkap.
Ia melihat Pek-liong masih terus menangkisi senjata rahasia yang
terus menyambar ke arah pendekar itu. Tahulah Hek-liong-li
bahwa pakaian Pek-liong yang putih itulah yang merupakan
sasaran lunak di dalam kegelapan itu. Ia mengeluarkan segulung
sutera hitam dan melemparkannya ke arah Pek-liong.
"Kau pakailah ini!" sutera hitam itu mengembang ketika meluncur
ke arah Pek-liong. Pek-liong menyambar sutera hitam itu dan di
lain saat diapun lenyap ditelan kehitaman. Mereka berdua sudah
441 berdiri mepet dinding dan menahan napas agar tidak terlalu keras
bersuara. "Kita pukul runtuh dinding di kanan itu yang menembus keluar,"
bisik Liong-li. Wanita perkasa ini tidak perlu membuat penjelasan lagi karena ia
dan Pek-liong seolah telah memiliki satu hati dan satu
kecerdasan. Begitu ia berbisik, keduanya sudah menerjang, ke
dua tangan mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga
sin-kang mereka. "Brakkkkk......!" Dinding kamar itupun jebol dan cahaya bulan
menerjang masuk. Dua sosok tubuh itu meluncur keluar dan mereka tiba di tempat
terbuka, di taman samping kuil itu. Akan tetapi, baru saja mereka
yang tadi meloncat keluar itu turun ke atas tanah, nampak banyak
orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi
muka mereka dengan topeng hitam, telah mengepung mereka.
Jumlah mereka tidak kurang dari limabelas orang, semua
mengenakan pakaian dan topeng yang sama dan bermacam
senjata berada di tangan mereka. Ada yang memegang pedang,
atau sepasang pedang, golok, tombak, rantai dan sebagainya.
Gerakan mereka ketika mengepung tadi ringan, tanda bahwa
mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.
Pek-liong dan Liong-li otomatis berdiri saling membelakang,
hampir beradu punggung dengan pedang pusaka di tangan
masing-masing, tidak bergerak, akan tetapi mata mereka
442 mengikuti gerakan semua orang yang mengepung itu. Bulan
bersinar terang sehingga mereka dapat melihat semua
pengepung dengan baik. "Hemm, segerombolan Kwi-eng-cu (Bayangan Iblis) lengkap di
sini!" kata Liong-li.
"Hek-liong-li, engkaulah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis
dan membuat kekacauan di istana. Kami akan membunuhmu!
Dan engkau juga, Pek-liong-eng!" kata seorang diantara mereka
dengan suara yang parau. Orang ini juga berpakaian hitam dan
bertopeng hitam seperti yang lain, akan tetapi Liong-li maklum
siapa dia. Siapa lagi kalau bukan Bouw Sian-seng" Ia mengenal tubuh yang
tinggi kurus itu. Kini tidak lagi bongkok, tentu bongkok itu hanya
pura-pura saja. Dan ditangannya nampak sebatang rantai baja!
Ini tentu Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong, akan tetapi
Liong-li tidak sempat banyak cakap karena pada saat itu belasan
orang bertopeng hitam sudah menyerang mereka dari segala
jurusan. Liong-li dan Pek-liong memutar pedang mereka melakukan
perlawanan. Dan keduanya terkejut. Sudah jelas bahwa Bouw
Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong itu lihai sekali karena dia adalah
seorang datuk di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua), akan
tetapi yang lainnya juga rata-rata amat lihai. Terutama sekali
seorang di antara mereka yang kurus kering, dengan sepasang
mata kehijauan mencorong seperti mata kucing yang mengintai
dari balik topengnya. 443 Si kurus kering ini agaknya sengaja menghadapi Liong-li dan
ternyata pedangnya lihai bukan main. Adapun Bouw Sian-seng
menghadapi Pek-liong, dibantu beberapa orang temannya yang
juga lihai. Diam-diam Liong-li mengingat-ingat sambil memutar
pedang melindungi dirinya, siapa lawannya ini. Ia menduga
bahwa tentu ia seorang wanita karena di antara hujan senjata itu
Liong-li masih sempat mencium keharuman yang menyambar dari
pakaian si kurus kering itu.
Seorang wanita" Begini lihai" Siapa gerangan wanita ini" Dan
iapun teringat akan pengalamannya ketika ia melakukan
penyelidikan di atas gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo
Him. Ia pernah diserang seorang bertopeng hitam yang kurus kering
seperti ini, dan yang juga amat lihai, dan bayangan itu lenyap ke
dalam gedung Pangeran Kim Ngo Him. Lalu ia melihat munculnya
seorang nenek yang dipanggil Kui Lo-ma. Jangan-jangan, seperti
halnya Bouw Sian-seng, nenek Kui Lo-ma itupun seorang
penjahat besar yang menyelundup dan menyamar sebagai
seorang pelayan di gedung Pangeran Kim Ngo Him.
Akan tetapi, Liong-li tidak dapat terus mengingat-ingat karena
hampir saja ia celaka karena perhatiannya tidak terpusat. Pedang
si kurus kering itu hampir saja membabat pundaknya. Untung ia
masih cukup cekatan untuk melempar tubuh ke samping dan
bergulingan menyelamatkan diri.
"Kita pergi!" tiba-tiba Pek-liong berseru. `
444 Liong-li maklum bahwa Pek-liong juga menghadapi pengeroyokan
ketat yang amat membahayakan keselamatannya. Lawan terlalu
banyak dan rata-rata lihai, walaupun tidak selihai Bouw Sian-seng
dan si kurus kering itu. Dua orang ini saja memiliki tingkat yang
sebanding dengan mereka, maka kalau dilanjutkan, mereka tentu
akan terancam bahaya. Maka, sambil bergulingan, pedang di
tangannya menyambar menjadi gulungan sinar hitam.
Ketika pengeroyoknya mundur, iapun meloncat keluar dari
kalangan pertempuran, dan bersama Pek-liong iapun
mengerahkan gin-kang dan mereka berdua berlari cepat
menuruni tempat itu, melompati pagar tembok kuil dan terus
melarikan diri. Cian Hui menyambut dua orang pendekar yang berlarian itu dan
sebelum dia sempat bertanya, Liong-li sudah cepat berkata,
"Ciang-kun, atur penjagaan yang ketat, kalau perlu tambah lagi
pasukan dan mengepungnya agak naik mendekati kuil. Jangan
sampai ada seorangpun di antara mereka lolos. Kami bertemu
dengan mereka, belasan orang banyaknya, mungkin masih ada
lagi yang bersembunyi. Kami kira tempat persembunyian mereka
memang di dalam kuil itu!"
Cian Hui tidak banyak bertanya, cepat dia mengumpulkan para
jagoan istana, para perwira dan mereka menggerakkan pasukan
naik, lebih dekat ke puncak di mana kuil itu berada. Pengepungan
tentu saja menjadi lebih ketat dan takkan ada seorangpun
manusia yang meninggalkan tempat itu dapat lolos dari
445 pengamatan mereka. Cian Hui juga mengirim utusan untuk minta
bala bantuan sehingga kini pengepungan itu berlapis-lapis!
Setelah mengatur pengepungan, barulah Cian Hui dapat
mengadakan perundingan dengan Pek-liong dan Liong-li. Dia
mendengarkan laporan dua orang pendekar itu tentang apa yang
mereka alami di kuil. Perwira ini mengerutkan alisnya dan merasa
khawatir sekali. "Tentu Cu Sui In terjatuh ke tangan mereka!" katanya. "Kita harus
cepat menyerbu kuil itu!"
"Tenanglah, Ciang-kun. Mereka adalah orang-orang pandai, tidak
akan membunuh tawanan begitu saja. Tawanan orang penting
bagi mereka amat berharga, untuk dijadikan sandera. Dan
keadaan para hwesio itupun amat mencurigakan. Tidak mungkin
mereka itu bekerja sama dengan gerombolan penjahat. Tentu
ada sesuatu yang memaksa mereka mentaati perintah para
penjahat," kata Liong-li.
"Kukira rahasianya terletak pada sakitnya kepala kuil. Aku
mempunyai dugaan bahwa mereka telah menyandera pula
kepala kuil itu, dan dengan disanderanya kepala kuil, maka
semua hwesio menjadi tidak berdaya dan terpaksa mentaati
mereka untuk menyelamatkan kepala kuil," kata Pek-liong.
"Kita tidak boleh tergesa-gesa. Bulan sudah hampir condong ke
barat. Sebaiknya tunggu terang matahari pagi baru kita
menyerbu. Sekarang, kuharap Ciang-kun mengirim orang untuk
menyelidiki, apakah Bouw Sian-seng berada di gedung Pangeran
446 Souw Cun dan juga apakah nenek yang bernama Kui Lo-ma
berada di gedung Pangeran Kim Ngo Him."
Biarpun dia merasa heran, Cian Hui tidak banyak bertanya atau
membantah, bahkan dia segera mengutus orang kepercayaannya
untuk melakukan penyelidikan. Tak lama kemudian utusan itupun
kembali, dengan berita bahwa kedua orang yang dicari Liong-li itu
tidak berada di gedung tempat mereka bekerja, dan tak seorang
pun tahu ke mana mereka pergi malam itu! Mendengar ini, Liongli tersenyum.
"Sudah kuduga, dua orang itulah pemimpin gerombolan yang
disebut Bayangan Iblis!"
"Ehhh?" Kini Cian Ciang-kun memandang heran.
"Hemm, Bouw Sian-seng itu pasti Lam-hai Mo-ong, aku mengenal
gerakan silatnya ketika bertanding denganku tadi. Sedangkan
yang kau namakan Kui Lo-ma itu kurasa tentu Tiat-thouw Kui-bo.
Bukankah begitu, Liong-li?"
"Engkau benar, Pek-liong. Siapa lagi kalau bukan dua orang di
antara Kiu Lo-mo itu?"


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cian Hui menjadi semakin kaget dan heran, dan diapun kagum
bukan main kepada sepasang pendekar itu setelah menerima
penjelasan. Mereka lalu membuat rencana penyerbuan sebentar
lagi setelah kegelapan disapu sinar matahari pagi.
"Y" 447 Pagi-pagi sekali, Cian Hui yang ditemani belasan orang jagoan
istana dan seregu perajurit pengawal, sudah mengetuk pintu
depan kuil yang masih tertutup. Berulang-ulang pintu itu diketuk
dengan keras dan daun pintu itupun dibuka oleh para hwesio
yang nampak pucat ketakutan ketika melihat siapa yang
mengetuk pintu kuil mereka. Apa lagi ketika Cian Hui
memperlihatkan tek-pai tanda kekuasaan yang diperolehnya dari
kaisar, para hwesio itu menjatuhkan diri berlutut karena tek-pai
merupakan kekuasaan tertinggi dan pemegangnya seolah
menggantikan kaisar sendiri pada saat itu.
"Para hwesio keluar semua, tak seorangpun boleh tinggal di kuil!"
teriak Cian Hui. Para hwesio tidak ada yang berani membantah. Tak lama
kemudian keluarlah semua hwesio yang tinggal di kuil, kecuali
seorang saja, yaitu Gwat Kong Hosiang, ketua kuil.
"Di mana Gwat Kong Hosiang" Hayo katakan, di mana dia?" Cian
Hui menghardik karena dia marah sekali mendapat kenyataan
bahwa kuil itu menjadi tempat persembunyian para penjahat, atau
setidaknya, para hwesio ini tentu tahu akan rahasia para penjahat
dan pembunuh itu. "Omitohud......!" Kwan Seng Hwesio melangkah maju dan
memberi hormat. "Harap Ciang-kun suka memaafkan para hwesio
ini, karena kami terpaksa sekali bersikap seperti ini......"
"Kwan Seng Hwesio, kita berdua telah bersama-sama mengabdi
di istana dengan setia selama bertahun-tahun! Sekarang aku
tidak membutuhkan pembelaan diri kalian, melainkan
448 membutuhkan keterangan. Jawablah saja. Di mana adanya Gwat
Kong Hosiang!" "Dia sedang sakit......"
"Antarkan aku kepadanya!" hardik pula Cian Hui dengan tak
sabar. "Omitohud...... baiklah, Ciang-kun, Mari pinceng (saya) antarkan
ke kamarnya......" "Lo-suhu......!" Para hwesio yang lain berseru dengan muka pucat
dan khawatir. Perbuatan Kwan Seng Hwesio itu pasti berakibat
dibunuhnya ketua mereka seperti yang selalu diancamkan oleh
para penjahat. "Omitohud, itulah kesalahan kita," kata Kwan Seng Hwesio. "Kita
tidak cukup menyerah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa
sehingga kita takut menghadapi ancaman manusia. Kalau Yang
Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, apapun juga di dunia
ini tidak akan mampu menghindarkannya, sebaliknya kalau Yang
Maha Kuasa menghendaki seseorang tidak mati, tidak ada
kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu
membunuhnya." "Sudahlah, lo-suhu. Tidak perlu berkhotbah di saat ini. Antarkan
aku!" kata Cian Hui, kemudian dia berkata kepada para
pembantunya. "Geledah seluruh kuil!"
Kwan Seng Hwesio melangkah ke dalam, diikuti oleh Cian Hui.
Hwesio itu menuju ke kamar belakang setelah melalui lorong
449 yang berliku panjang. Kuil itu memang besar dan luas sekali.
Setelah tiba di depan pintu sebuah kamar, Kwan Seng Hwesio
berhenti dan berkata dengan suara gelisah.
"Di kamar inilah Gwat Kong Hwesio rebah dalam keadaan sakit
parah dan pingsan, Ciang-kun."
Biarpun dia kini percaya kepada hwesio itu, namun Cian Hui tetap
bersikap hati-hati. "Tolong kau buka pintu kamarnya, lo-suhu."
Dengan sikap yang tegang dan wajah yang pucat, Kwan Seng
Hwesio membuka daun pintu kamar itu. Kamar itu agak gelap,
maka Cian Hui melangkah maju mendekati Kwan Seng Hwesio,
menjenguk ke dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan
dan sinar-sinar hitam kecil menyambar ke arah mereka.
Cian Hui berusaha untuk mengelak dengan loncatan, namun
gerakannya kalah cepat. Sebuah di antara paku-paku itu masih
mengenai pangkal pahanya dan diapun roboh pingsan. Dia tidak
tahu betapa Kwan Seng Hwesio juga roboh dengan banyak paku
mengenai tubuhnya, dan wakil kepala kuil itupun roboh pingsan.
Beberapa orang muncul dari samping, dari sebuah pintu rahasia
dan mereka menyeret tubuh Cian Hui dan Kwan Seng Hwesio
memasuki pintu rahasia yang menembus ke ruangan-ruangan
bawah tanah. Dua orang itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Ketika dia membuka kedua matanya, wanita itu membungkuk dan
mengguncang pundaknya. "Cian Ciang-kun, syukur engkau
sudah sadar......" 450 Cian Hui memandang. Alangkah cantiknya wajah itu, walaupun
rambut itu kusut dan muka itu agak pucat, pandang matanya
penuh kegelisahan. Diapun bangkit duduk dan menyeringai
kesakitan ketika pahanya yang sebelah atas terasa amat nyeri.
Akan tetapi hatinya merasa kelegaan yang besar ketika dia
mengenal wajah itu, wajah Cu Sui In! Wanita muda itu masih
hidup dan dalam keadaan selamat, walaupun nampaknya
menderita. "Nona Sui In......" akan tetapi dia tidak melanjutkan kata-katanya
karena rasa nyeri yang menusuk di pangkal pahanya.
"Bagaimana rasanya. Ciang-kun" Sakit benarkah" Engkau
terkena paku beracun dari nenek iblis itu. Tadi aku telah
mencabutnya...... maafkan aku, Ciang-kun. Engkau masih
pingsan dan aku terpaksa mencabut paku itu karena kalau
dibiarkan, tentu racunnya akan makin banyak memasuki
tubuhmu." Sekilas terlintas dalam benaknya, bagaimana wanita muda itu
dapat melakukannya. Lukanya berada, di pangkal paha! Tempat
yang...... agaknya tidak pantas dan tidak sopan dilihat seorang
wanita yang bukan apa-apanya, apa lagi wanita muda dan cantik
seperti Cu Sui In. Akan tetapi, keadaan menghapus bayangan itu
dengan cepat dan diapun memandang ke kanan kiri. Dia melihat
Gwat Kong Hosiang rebah telentang di atas dipan seperti mayat,
dan Kwan Seng Hwesio juga rebah di atas lantai dalam keadaan
pingsan. "Bagaimana dengan mereka?" tanyanya.
451 Sui In memandang gelisah. "Keadaan mereka sungguh
mengkhawatirkan sekali. Gwat Kong Hosiang sudah pingsan
sejak aku ditawan, dan Kwan Seng Hwesio ada tiga batang paku
menancap di tubuhnya. Aku...... aku merasa ngeri dan tidak
berani mencabut paku-paku itu."
Cian Hui mencoba untuk merangkak mendekati Kwan Seng
Hwesio, dan melihat ini, Sui In cepat membantunya walaupun
wanita ini juga telah terluka cukup berat. Ia telah terkena
tamparan beracun dari Tiat-thouw Kui-bo dan sampai kini, dada
sebelah kanan terasa nyeri bukan main. Melihat wanita itu
menyeringai menahan sakit, Cian Hui bertanya.
"Engkau...... terluka......?"
Sui In mengangguk. "Nenek iblis itu memukul dadaku dan terasa
nyeri bukan main....."
Kwan Seng Hwesio menderita luka terkena paku beracun,
sebatang di pangkal lengan kanan, sebatang di pundak dan
sebatang di dada. Cian Hui mengumpulkan tenaganya dan
mencabuti tiga batang paku itu, dibantu oleh Sui In.
Pada saat itu terdengar langkah kaki orang dan muncullah di situ
seorang kakek dan seorang nenek. Seorang kakek berusia
enampuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus bermuka lembut
seperti seorang pelajar tua, dan seorang nenek yang tubuhnya
kurus kering, wajahnya juga lembut akan tetapi matanya
mencorong hijau. 452 "Cian Ciangkun," kata kakek itu dan suaranya juga lembut. "Kalau
engkau menghendaki kalian berempat hidup, engkau perintahkan
semua pasukanmu untuk mundur dan lindungi kami keluar dari
istana." Cian Hui tidak dapat bangkit berdiri. Dia duduk dan memandang
kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kemarahan. Ini
kiranya dua orang yang memimpin gerombolan Bayangan Iblis
yang melakukan pembunuhan- pembunuhan keji itu! Sui In juga
duduk di dekatnya, nampak penuh ketabahan dan juga wanita ini
memandang kepada mereka dengan berani dan penuh
kemarahan. Cian Hui tertawa. "Ha-ha-ha, kalian seperti tikus-tikus yang sudah
tersudut! Bagaimana mungkin aku dapat memerintahkan pasukan
untuk mundur" Tidak mungkin kulakukan itu, selain tidak bisa,
juga aku tidak sudi!"
"Cian Ciang-kun, engkau pemegang tek-pai, dapat melakukan
perintah apa saja dan pasti akan ditaati siapa saja di istana ini!"
Sui In khawatir kalau Cian Hui menyerahkan tek-pai, maka ia
berkata lirih. "Tadi mereka mencari tek-pai dan menggeledah
semua pakaianmu tanpa hasil."
Cian Hui tertawa lagi. Untung bahwa dia tadi bersikap hati-hati
sekali. Sebelum dia masuk bersama Kwan Seng Hwesio, dia
menitipkan tek-pai itu kepada seorang panglima kepercayaannya,
minta agar tek-pai itu diserahkan kepada Pek-liong kalau terjadi
apa-apa dengan dia. 453 "Tek-pai tidak ada padaku. Andaikata adapun, sampai mati aku
tidak akan sudi memenuhi permintaanmu, Lam-hai Mo-ong."
Kakek itu terbelalak. "Kau sudah mengetahui siapa aku?"
"Ha-ha-hah tentu saja. Engkau Lam-hai Mo-ong dan nenek ini
tentu Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar menjadi Kui Lo-ma!
Sudah habis riwayat kalian, dua orang datuk sesat dari Kiu Lomo!"
Kakek dan nenek itu saling pandang dan kini si nenek yang
berwajah lembut melangkah maju. Sekali tangannya menyambar,
ia telah menjambak rambut kepala Sui In dan menariknya lepas
dari dekat Cian Hui. Dengan nekat Sui In memukul, akan tetapi
sekali jari tangan nenek itu menotok, Sui In menjadi lemas tidak
mampu bergerak lagi. "Cian Hui, engkau sudah tahu siapa kami, tentu tahu pula bahwa
kami dapat menyiksa dan membunuh kalian berempat tanpa
berkedip!" "Hemm, siapa takut mati, nenek iblis" Lebih baik kami mati dari
pada harus membebaskan kalian. Tempat ini sudah dikepung
pasukan, biar kalian mempunyai tiga kepala dan enam tangan
ditambah sayap sekalipun, kalian takkan dapat lolos dari sini.
Kalianpun akan mampus!"
"Keparat!" Lam-hai Mo-ong menangkap dan mencengkeram
pundak Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. "Aku dapat
mematahkan semua tulangmu, menyiksamu dengan hebat
sebelum engkau mati!"
454 "Nanti dulu, Mo-ong!" kata Tiat-thouw Kui-bo. "Jangan bunuh dia
dulu. Biar dia melihat dengan matanya sendiri bagaimana wanita
ini mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Panggil
ke sini empat-lima orang anak buah yang paling buas dan suruh
mereka memperkosa wanita ini di depan matanya. Hendak kulihat
apakah Cian Ciang-kun masih akan berkeras kepala!"
Mendengar ini, baik Sui In sendiri maupun Cian Hui menjadi
pucat. Kalau siksaan seperti itu dilaksanakan, dan mereka
percaya bahwa dua orang manusia iblis ini sanggup melakukan
kekejian bagaimanapun juga, tentu mereka berdua takkan dapat
menahannya. Bagi mereka, lebih baik mati dari pada harus
mengalami ancaman itu. Akan tetapi mereka tidak berdaya.
Pada saat itu, terdengarlah suara melengking nyaring dari luar.
Tentu suara itu didorong, tenaga khikang yang amat kuat. Kalau
tidak begitu, bagaimana dapat menerobos memasuki ruangan
bawah tanah itu" "Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo! Dengarlah baik-baik, ini
kami Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang bicara!"
Kakek dan nenek itu terkejut, saling pandang dan nenek itu
melemparkan tubuh Sui In ke sudut ruangan dan kakek itupun
mendorong tubuh Cian Hui sampai terlempar beberapa meter.
Cian Hui merangkak mendekati Sui In dan dengan susah payah
berhasil membebaskan totokan pada tubuh wanita itu.
Sui In yang merasa gelisah, menggigil karena ngeri sehingga
Cian Hui merangkulnya. Akan tetapi Sui In tidak menangis,
merasa aman dalam rangkulan perwira itu.
455 "Engkau gagah, Ciang-kun. Aku senang dapat mati bersama
engkau......" "Engkaupun hebat, Sui In. Jangan putus asa, kita belum mati......"
Kakek dan nenek itu tidak memperdulikan mereka. Keduanya
mendekati pintu terowongan untuk dapat mendengarkan lebih
baik, akan tetapi mereka tidak menjawab. Di luar ruangan
tahanan itu nampak belasan orang anak buah mereka
bergerombol karena mereka itupun kini menjadi gelisah setelah
mengetahui bahwa kuil itu telah terkepung pasukan.
"Tiat-thouw Kui-bo, dengarlah. Aku Hek-long-li menantangmu.
Kita bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang
lebih kuat. Engkau mendapat kesempatan untuk membalaskan
anggauta Kiu Lo-mo yang lain, yang telah kubunuh!" terdengar
suara nyaring dan mendengar suara yang amat dikenalnya itu,
Cian Hui menjadi girang sekali. Itu adalah suara Hek-liong-li!
Suara itu disusul suara lain yang juga nyaring sekali karena dapat
menembus ke ruangan bawah tanah dengan jelas, "Lam-hai Moong, aku Pek-liong-eng menantangmu untuk bertanding satu
lawan satu! Jangan menjadi pengecut dan menawan orang-orang
yang tidak bersalah."
Lam-hai Mo-ong tertawa. Hanya suaranya saja yang tertawa,
akan tetapi wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Wajahnya
membayangkan kegelisahan.
"Ha-ha-ha, Pek-liong-eng! Engkau mengatakan kami pengecut,
akan tetapi engkau dan Liong-li lebih pengecut lagi. Kalian hanya
456 berani menantang kami karena kalian membawa pasukan yang
besar jumlahnya! Kalian yang mengaku pendekar-pendekar yang
gagah perkasa sepatutnya merasa malu! Kalau kami keluar, tentu
pasukan akan mengeroyok kami!"
"Dengar, kalian kakek dan nenek busuk!" terdengar lagi suara
Liong-li. "Kami bukan pengecut. Kami berdua tantang kalian
berdua, dan kami berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan.
Kalau kalian berdua mampu mengalahkan kami berdua, kalian
boleh pergi tanpa kami ganggu. Akan tetapi kalianpun harus
berjanji untuk tidak mengganggu Gwat Kong Hosiang, dan Kwan
Seng Hwesio, Cian Hui Ciang-kun, dan Cu Sui In!"
"Baik, kami berjanji. Pek-liong dan Liong-li, ucapanmu didengar


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak orang. Nama kalian akan hancur dan menjadi bahan
ejekan dunia kang-ouw kalau kalian melanggar janji!" kata Lamhai Mo-ong dan diapun memberi isyarat kepada Tiat-thouw Kuibo untuk keluar.
Semua pengikut mereka juga mengikuti dua orang pimpinan ini
keluar, karena tentu saja, mereka tidak mau ditinggalkan di
ruangan bawah tanah itu dan setiap orang menginginkan
mendapatkan kebebasan. Kalau dua orang pimpinan mereka
menang tentu mereka semua akan diperbolehkan lolos dari
lingkungan istana. Cian Hui dan Sui In yang ditinggalkan oleh gerombolan itu, hanya
mampu menanti karena mereka menderita luka keracunan yang
cukup hebat, membuat mereka merasa nyeri dan lemah. Mereka
mencoba untuk bergerak keluar dari ruangan bawah tanah itu,
457 akan tetapi baru saja mereka tiba di pintu ruangan tahanan yang
kini sudah terbuka, keduanya tidak kuat menahan lagi dan
mereka terguling roboh tak sadarkan diri.
"Y" Pek-liong-li, dan para perwira dan jagoan istana yang jumlahnya
belasan orang, memandang penuh perhatian ketika kakek dan
nenek itu keluar dari pintu rahasia dan diikuti oleh belasan orang
anak buah mereka. Kini, baik kakek dan nenek itu maupun para
pengikutnya, tidak lagi mengenakan topeng sehingga wajah
mereka dapat dikenali. Seperti yang telah diduga oleh Pek-liong, di antara para pengikut
itu terdapat Pek-mau-kwi Ciong Hu, si Iblis Rambut Putih dan dua
orang kakak beradik Huang-ho Siang-houw (sepasang Harimau
Sungai Huang-ho). Akan tetapi mudah diduga bahwa anak buah
mereka itu adalah orang-orang dunia hitam yang sesat dan ratarata, memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Bukan hanya Pek-liong-liong-li dan para perwira saja yang
memandang gerombolan yang selama ini mengacau istana
sebagai Si Bayangan Iblis akan tetapi juga ratusan pasang mata
dari para perajurit pasukan pengawal yang telah mengepung kuil
itu memandang dan mengikuti gerak gerik gerombolan itu ketika
mereka keluar dari kuil dan berada di pekarangan depan kuil di
mana Pek-liong dan Liong-li bersama para perwira sedang
menanti. Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi telah menerangi seluruh
pekarangan. Namun tidak ada wajah seorangpun di situ yang
458 cerah. Wajah sepasang pendekar dan semua jagoan istana, juga
para perajurit pengawal, membayangkan kemarahan. Adapun
wajah gerombolan pengacau itu dibayangi kegelisahan dan
ketegangan. Melihat mereka keluar tanpa membawa empat orang yang
mereka tawan, Liong-li membentak dengan suara tegas. '"Mo-ong
dan Kui-bo! Belum apa-apa kalian sudah hendak melanggar janji!
Di mana empat orang tawanan itu?"
"Mereka berada di dalam, terluka. Kami tidak melanggar janji dan
kami siap melawan kalian orang-orang muda sombong!" kata
Lam-hai Mo-ong. Liong-li menoleh kepada seorang perwira dan berkata, "Ciangkun, tolong periksa dulu apakah benar empat orang itu dalam
keadaan selamat di dalam sana."
"Baik," jawab perwira itu yang segera memasuki pintu rahasia
yang kini sudah terbuka itu.
Liong-li tidak mau ditipu. Kalau empat orang itu telah dibunuh
oleh gerombolan Bayangan Iblis, iapun tidak mau memegang
janji, tidak mau bersusah payah mengadu ilmu melawan kakek
dan nenek datuk sesat itu! Ia akan mengerahkan semua jagoan
istana untuk mengeroyok dan menangkap gerombolan itu.
Tak lama kemudian, perwira itu muncul kembali dan diapun
melapor kepada Liong-li. "Li-hiap, mereka masih hidup walaupun
dalam keadaan terluka."
459 "Hi-hi-hih, Hek-liong-li, kami adalah datuk-datuk persilatan yang
ternama. Kami tidak akan melanggar janji!" kata Tiat-thouw Kuibo.
"Kui-bo, seperti aku tidak tahu saja akan watak curang Kiu Lo-mo!
Kalian memenuhi janji hanya karena sudah tersudut!"
"Hek-liong-li, tidak perlu banyak cakap lagi. Apakah engkau ingin
menjilat ludahmu sendiri yang sudah kaukeluarkan" Masih
berlakukah tantanganmu kepadaku tadi?"
"Tentu saja. Majulah, Kui-bo!" kata Liong-li yang sudah siap siaga
menandingi nenek yang ia tahu amat lihai dan berbahaya itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan-seruan nyaring dan
nampaklah rombongan kaisar datang ke tempat itu! Melihat kaisar
muncul diiringi para pengawal, semua orang, kecuali gerombolan
penjahat, memberi hormat.
"Tangkap gerombolan Bayangan Iblis dan penggal leher mereka
semua!" bentak Kaisar dengan nada suara marah.
Kaisar memang marah sekali karena baru saja dia mendengar
laporan bahwa seorang puteranya, yaitu Pangeran Souw Kian,
bersama ibunya, telah tewas di dalam kamar pangeran itu karena
mereka membunuh diri dengan minum racun! Selir itu
meninggalkan surat pengakuan bahwa gerombolan Si Bayangan
Iblis melakukan semua pembunuhan itu dengan maksud agar
kelak yang menjadi putera mahkota adalah Pangeran Souw Kian,
dengan janji bahwa kelak apabila Pangeran Souw Kian menjadi
460 kaisar, pimpinan gerombolan itu akan mendapatkan kedudukan
tinggi. Kiranya selir itu ketika mendengar bahwa gerombolan itu gagal
dan dikepung, ia meracuni puteranya dan diri sendiri. Lebih baik
mati dari pada menderita malu dan juga ngeri menghadapi
hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka.
Kaisar menjadi marah sekali dan mendengar laporan bahwa kini
gerombolan itu telah dikepung di sarang mereka, yaitu kuil istana
di puncak bukit. Kaisar lalu memerintahkan pasukan
pengawalnya untuk mengiringkannya naik ke bukit itu.
Ketika kaisar mengeluarkan perintah, Hek-liong-li dan Pek-liongeng terkejut sekali. Perintah itu pasti akan dilaksanakan dan ini
berarti mereka melanggar janji kepada dua orang datuk. Maka,
dua orang pendekar itu cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut
di depan kaisar. "Ampunkan hamba berdua, Sribaginda!" kata Hek-liong-li,
"Hamba berdua sudah menantang dua orang pimpinan Si
Bayangan Iblis untuk bertanding dan sudah berjanji. Mohon
paduka memberi kesempatan kepada hamba berdua untuk
bertanding dengan dua orang pimpinan gerombolan Si Bayangan
Iblis." Kaisar mengerutkan alisnya, "Siapakah kalian?"
"Hamba bernama Lie Kim Cu, Sribaginda."
"Hamba bernama Tan Cin Hay," kata pula Pek-liong.
461 "Mereka adalah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, Sribaginda,"
seorang perwira melapor. Kaisar mengangguk-angguk dan menghelus jenggotnya. Diamdiam dia kagum. Tentu saja dia telah mendengar laporan, bahkan
dari Cian Hui sendiri bahwa dua orang pendekar inilah yang
diharapkan akan mampu menangkap Si Bayangan Iblis. Tak
disangkanya bahwa sepasang pendekar yang dikabarkan amat
lihai itu ternyata hanyalah sepasang orang yang masih muda.
"Mereka benar, Sribaginda. Mohon diberi kesempatan kepada
mereka untuk menandingi orang-orang jahat itu!" tiba-tiba
terdengar suara lembut dan muncullah Permaisuri Bu Cek Thian
yang dilindungi pasukan pengawal pribadinya, dipimpin oleh
gadis kembar yang tak pernah terpisah dari samping permaisuri
itu, ialah Bi Cu dan Bi Hwa.
"Hamba sendiri yang mengutus Hek-liong-li untuk menyelidiki dan
menangkap Bayangan Iblis," kata pula permaisuri itu setelah
memberi hormat kepada kaisar dan mereka berdua segera
menduduki kursi yang sudah dibawa datang oleh para pengawal.
Kaisar dan permaisuri itu sudah duduk seperti hendak menonton
pertunjukan yang menarik.
"Baik, kami setuju diadakan pertandingan itu. Akan tetapi, sekali
para penjahat itu berbuat curang, segera kepung dan robohkan
mereka semua!" kata kaisar penuh wibawa.
"Terima kasih, Sribaginda," kata Liong-li dan Pek-liong berbareng
dan merekapun kini menghadapi lagi kakek dan nenek yang
berdiri dengan wajah pucat dan gelisah, sedangkan belasan
462 orang anak buah mereka berdiri dengan muka membayangkan
ketakutan. "Nah, engkau beruntung sekali, Kui-bo. Dalam kesempatan
terakhir engkau masih diberi kesempatan untuk memamerkan
kepandaian, bahkan disaksikan oleh penonton agung!" kata
Liong-li sambil mencabut pedangnya dam nampaklah sinar hitam
berkilauan. "Cabut senjatamu dan mulailah!"
Tiat-thouw Kui-bo maklum bahwa ia tidak dapat mengelak lagi,
tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan melawan Hekliong-li yang sudah lama dianggapnya sebagai musuh besar.
Kesempatan baik untuk membalas dendam walaupun
kedudukannya sungguh tidak menguntungkan, seolah ia berada
di dalam guha naga yang tidak memungkinkan ia lolos lagi.
Andaikata ia dapat menang melawan Liong-li, belum tentu kaisar
akan mau membebaskannya begitu saja. Akan tetapi kalau ia dan
Mo-ong dapat mengalahkan Pek-liong dari Liong-li, masih ada
harapan bagi mereka untuk mengamuk dan melarikan diri. Musuh
atau lawan terberat bagi mereka hanyalah dua orang pendekar
muda itu. "Baik, Hek-liong-li, engkau atau aku yang akan menjadi
pemenang, Asal engkau tidak mengeroyokku saja!" kata Tiatthouw Kui-bo sambil mencabut senjatanya, yaitu sebatang
pedang yang berkilau saking tajamnya.
Pada saat itu, para pangeran berdatangan untuk menyaksikan
sendiri gerombolan Bayangan Iblis yang selama ini mengacau
463 dan melakukan banyak pembunuhan di dalam istana dan juga di
luar istana. "Kui Lo-ma......! Apa yang kaulakukan ini" Benar engkaukah ini?"
Pangeran Kim Ngo Him yang baru tiba berseru dengan penuh
keheranan sambil menghampiri nenek yang biasanya dikenalnya
sebagai tukang masak dan ahli pijat itu. Sikapnya ini
membuktikan bahwa pangeran mantu kaisar ini memang benar
tidak tahu menahu tentang gerakan gerombolan pembunuh Si
Bayangan Iblis yang dipimpin oleh pelayannya itu.
"Mundurlah, pangeran. Pangeran telah memelihara seekor srigala
dalam gedung pangeran. Ia bukan Kui Lo-ma, melainkan Tiatthouw Kui-bo yang menyamar. Ia seorang datuk sesat, seorang di
antara Kiu Lo-mo yang jahat dan kejam," kata Hek-liong-li.
Mendengar ini wajah pangeran itu menjadi pucat dan segerti
orang ketakutan diapun melangkah ke belakang menjauhi nenek
itu yang hanya menyeringai.
Ketika melihat munculnya Pangeran Souw Cun, Liong-li segera
teringat akan kematian Pangeran Souw Han, dan teringat pula
betapa ia pernah dihina bahkan dicambuki pangeran itu, maka ia
mempergunakan kesempatan itu untuk menudingkan telunjuknya
ke arah Pangeran Souw Cun dan berkata,
"Inilah dia pangeran yang bersekongkol dengan gerombolan
Bayangan Iblis! Dialah yang telah menyuruh bunuh Pangeran
Souw Han!" 464 Tentu saja ucapan Liong-li ini membuat semua mata memandang
kepada Pangeran Souw Cun, termasuk mata kaisar dan
permaisuri Bu Cek Thian. "Bohong! Itu fitnah belaka. Seperti juga pangeran Kim Ngo Him,
aku tidak tahu menahu tentang gerombolan......"
"Ha-ha-ha-ha!" Lam-hai Mo-ong tertawa memotong ucapan
Pangeran Souw Cun. "Kalau sudah begini, perlu apa berpurapura lagi, pangeran" Semua usaha dan cita-cita kita telah gagal,
digagalkan oleh Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau saja
pangeran tidak menyuruh bunuh Pangeran Souw Han, belum
tentu secepat ini kita mengalami kegagalan!"
Mendengar ucapan ini, Pangeran Souw Cun menjadi pucat
sekali. "Tangkap pengkhianat itu!" Kaisar membentak marah dan
Pangeran Souw Cun terkulai lemas menjatuhkan diri berlutut
minta-minta ampun kepada ayahnya. Namun, kaisar tetap
memberi isyarat kepada para pengawal yang segera menangkap
dan menyeret pangeran itu untuk ditawan. Bukan Pangeran Souw
Cun saja yang dttangkap, bahkan seluruh keluarganya termasuk
ibunya juga ditangkap. "Nah, sekarang majulah, Kui-bo," kata Liong-li.
Nenek itu memandang dengan mata mencorong, mata kehijauan
yang seperti mata kucing, kemudian, tiba-tiba saja tangan kirinya
bergerak dan beberapa batang paku beracun menyambar ke arah
tubuh Liong-li. Namun, wanita perkasa ini sudah tahu bahwa, Kui465
bo mempunyai senjata rahasia paku beracun yang amat
berbahaya, maka ia sudah siap siaga dan sekali Hek-liong-kiam
di tangan kanan diputar, nampak gulungan sinar hitam dan
semua paku itupun runtuh.
SERANGAN paku ke arah tubuh bagian atas lawan itu
merupakan gertakan untuk mengalihkan perhatian saja, karena
begitu Liong-li memutar pedang menangkis, Kui-bo sudah
meloncat ke depan, tubuhnya merendah dan pedangnya
meluncur, menyapu ke arah kedua kaki Liong-li. Serangan tibatiba ini amat berbahaya karena pada saat itu, Liong-li sedang
memutar pedang menangkis paku-paku itu.
Namun, Liong-li tidak pernah lengah dan begitu nampak sinar
pedang menyapu ke arah kakinya, dengan gerakan ringan sekali
tubuhnya sudah meloncat ke atas, berjungkir balik di udara dan
tubuh itu meluncur turun bagaikan seekor naga, kepala di depan
dan didahului putaran pedangnya menyerang ke arah kepala Kuibo. Nenek iblis terpaksa menggerakkan pedangnya menangkis
sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Tranggg......!" Tubuh Liong-li terpental dam wanita ini berjungkir
balik beberapa kali baru tubuhnya meluncur turun kembali ke atas
lantai di depan Tiat-thouw Kui-bo.
Nenek itu sendiri terhuyung ke belakang dan dari akibat benturan
pedang itu saja dapat diketahui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, mereka berimbang! Hanya Liong-li lebih pandai mengatur
keseimbangan dirinya sehingga akibat benturan tenaga itu dapat
466 diatasinya dengan baik, membuat gerakannya nampak indah
sedangkan nenek itu terhuyung seperti hendak jatuh.
Tiat-thouw Kui-bo menjadi semakin marah. Ia memang amat
membenci Liong-li. Pendekar wanita itu bersama Pek-liong telah
membunuh dua orang rekannya, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua
Berhati Hitam) di daerah Lok-yang, dan Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis
Arak Muka Tertawa) di Bukit Merak daerah Po-yang. Seperti juga
ia dan Lam-hai Mo-ong, dua orang rekannya itu adalah anggauta
Kiu Lo-mo, maka tentu saja, Kui-bo mendendam kepada Liong-li.
Kalau selama ini ia dan Lam-hai Mo-ong belum bertindak
melakukan pembalasan, hal itu adalah karena ia sedikit banyak
merasa jerih terhadap pendekar wanita itu. Melakukan
penyerangan ke rumah pendekar wanita itu amat berbahaya
karena rumah itu diperlengkapi alat-alat rahasia dan perangkap
yang sukar diatasi. Ia dan Mo-ong hanya menanti kesempatan
baik saja. Ketika melihat Liong-li di istana, kesempatan itu muncul, akan
tetapi ia dan Mo-ong sibuk dengan urusan yang lebih besar, yaitu


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari kekuasaan di istana. Kini, kesempatan itu tiba, akan
tetapi keadaannya terjepit dan terkepung, bahkan disaksikan oleh
Kaisar dan Permaisuri. Tiada jalan lain baginya kecuali melawan
dengan nekat dan mati-matian.
"Hyaaattt......!" Nenek itu mengeluarkan suara melengking nyaring
dan pedangnya diputar cepat, berubah menjadi gulungan sinar
yang menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Namun, wanita cantik
berpakaian serba hitam itu menyambut dengan gerakan tenang
467 dan mantap. Berkali-kali kedua pedang itu bertemu dan
menimbulkan pijar bunga api.
Keduanya sudah saling serang dengan hebatnya. Hanya ahli-ahli
silat yang sudah tinggi tingkatnya dapat mengikuti gerakan
mereka yang amat cepat. Bagi mereka yang tidak mengenal ilmu
silat, dua orang .yang sedang bertanding itu seolah-olah
merupakan dua bayangan yang berkelebatan dan menjadi satu
digulung dua sinar pedang, sukar dibedakan mana Liong-li mana
Kui-bo. Pada suatu saat, ketika Liong-li menyerang dengan bacokan
pedangnya dari atas menyambar ke arah kepala lawan. Kui-bo
menyambutnya dengan tangkisan ke atas. Kedua pedang
bertemu dan melekat karena pengerahan sin-kang kedua pihak.
Saat kedua pedang melekat di udara itu, Kui-bo menggerakkan
tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah
dada Liong-li. Pukulan maut ini berbahaya sekali karena
mengandung hawa beracun. Namun, Liong-li sudah siap dan ia sudah mengerahkan tenaga
istimewa yang membuat tangan kirinya menjadi merah. Itulah
Hiat-tok-ciang (Tangan Racun Darah), satu diantara ilmu-ilmu
yang dikuasai Liong-li. "Desss......!" Dua buah telapak tangan bertemu, keduanya
mengandung pukulan beracun dan akibatnya, Kui-bo terhuyung
ke belakang sambil menyeringai karena telapak tangan kirinya
terasa panas. Sebaliknya, Liong-li juga tergetar hebat dan
468 keduanya kini sudah siap untuk melanjutkan pertandingan matimatian itu.
Melihat keadaan rekannya agaknya tidak akan dapat menang
dengan mudah, tentu saja Lam-hai Mo-ong merasa khawatir
sekali. Satu-satunya kawan yang dapat diandalkannya
menghadapi Pek-liong dan Liong-li hanyalah Kui-bo. Anak
buahnya, walaupun memiliki kepandaian cukup tinggi, bukanlah
tandingan sepasang pendekar itu. Maka, diapun sudah meloncat
ke depan Pek-liong. "Pek-liong-eng, mari kita mengadu nyawa, bukan hanya menjadi
penonton saja!" teriaknya dan diapun sudah melolos rantai
bajanya. "Hemm, majulah, Mo-ong," kata Pek-liong dan sekali tangan
kanannya bergerak, nampak sinar putih berkelebat dan Pedang
Naga Putih telah berada di tangannya.
Lam-hai Mo-ong tidak banyak cakap lagi, segera mengeluarkan
suara gerengan seperti seekor biruang dan diapun sudah
memutar rantai bajanya dan menyerang dengan dahsyat. Namun,
Pek-liong sudah siap siaga dan dengan lincah sekali pendekar ini
sudah mengelak dari sambaran rantai dan membalas dengan
tusukan pedangnya. Namun, lawannya adalah seorang datuk yang lihai, dan dapat
pula menghindarkan tusukan pedang dengan mudah sambil
menggerakkan rantainya menyapu ke arah kaki Pek-liong yang
meloncat ke atas. Perkelahian mati-matian segera terjadi antara
Lam-hai Mo-ong dan Pek-liong-eng.
469 Kini para penonton mengagumi dua perkelahian yang amat
hebat. Kaisar sendiri walaupun pernah mempelajari ilmu silat di
waktu mudanya, menjadi pening juga menyaksikan gerakan
empat orang itu yang terlalu cepat baginya. Namun, para jagoan
istana dan para perwira memandang penuh kagum. Belum
pernah mereka menyaksikan pertandingan silat yang demikian
hebatnya. "Kui-bo, kita bertukar lawan!" tiba-tiba Mo-ong berteriak, rantainya
kini menyeleweng dan menyambar ke arah Liong-li ketika dua
orang wanita yang sedang bertanding itu tiba di dekatnya.
Tiat-thouw Kui-bo agaknya sudah mengenal benar siasat
rekannya itu, maka tubuhnya sudah mencelat ke kanan dan
pedangnya menyerang Pek-liong. Diserang secara mendadak
oleh musuh yang berganti tempat itu, baik Liong-li maupun Pekliong menjadi agak bingung dan hampir saja Liong-li terkena
sambaran rantai baja. Biarpun ia sudah mengelak dengan cepat membanting tubuh ke
belakang lalu bergulingan, tetap saja ia terhuyung dan kini
dikurung oleh gulungan sinar rantai yang panjang. Akan tetapi,
wanita perkasa itu segera dapat menguasai dirinya, memutar
Hek-liong-kiam dan dapat mengimbangi rangkaian serangan
lawan. Demikian pula Pek-liong sempat terkejut dan terdesak
oleh pedang Kui-bo, namun diapun segera dapat mengembalikan
keseimbangannya. Akan tetapi, beberapa kali kakek dan nenek iblis itu bertukar
tempat dan setiap mereka berganti tempat, Pek-liong dan Liong-li
470 dibuat bingung dari terdesak. Agaknya memang pertukaran
tempat yang berganti-ganti itu merupakan siasat kakek dan nenek
itu. "Pek-liong, sudah tiba saatnya kita mainkan Sin-liong-kiam
(Pedang Naga Sakti)!" tiba-tiba Liong-li berseru dan iapun
meloncat ke dekat Pek-liong dan mereka saling membelakangi.
Kini baru kakek dan nenek itu tahu bahwa siasat mereka tadi
hanya memancing dua orang itu mengeluarkan ilmu pedang yang
mereka ciptakan bersama, yang merupakan inti dari kehebatan
sepasang naga putih dan naga hitam itu! Kalau saja Mo-ong
menantang Pek-liong untuk bertanding pula, belum tentu mereka
akan mengeluarkan ilmu ini.
Dan begitu Pek-liong dan Liong-li memainkan Sin-liong-kiam yang
mereka ciptakan bersama, dua orang kakek dam nenek itupun
menjadi terkejut dan terdesak hebat. Ilmu pedang itu memang
merupakan ilmu pedang gabungan dari semua kepandaian
mereka, dan dengan bekerja sama mereka itu seolah-olah hanya
mempunyai satu hati, satu pikiran dan satu perasaan!
Gulungan sinar pedang putih dan hitam itu saling membantu,
saling memperkuat dan mengisi kekosongan masing-masing dan
biarpun lawan mereka merupakan dua orang datuk yang lihai
sekali. Kini dua orang itu terdesak dan terkepung gulungan sinar
pedang hitam putih dan mereka hanya dapat menangkis saja
tanpa sempat membalas karena mereka masih bingung oleh
gerakan dua batang pedang yang saling bantu dengan gerakan
aneh dan hebat itu. 471 Agaknya, kalau saja dua orang pendekar ini tidak bekerja sama
dengan ilmu pedang ciptaan mereka, kiranya tidak akan mudah
bagi mereka mengalahkan lawan masing-masing, karena
kekuatan mereka sesungguhnya seimbang. Mereka memang
menang cepat karena memang masih muda, akan tetapi
kemenangan ini diimbangi oleh kemenangan pihak lawan dalam
hal pengalaman. Setelah mereka bekerja sama, kekuatan mereka menjadi berlipat
ganda. Hal ini bukan hanya karena ilmu pedang Sin-liong-kiamsut, memang ciptaan mereka, namun antara Pek-liong dan Liongli memang terdapat hubungan yang amat aneh.
Mereka itu sekali saling pandang saja seperti telah dapat
membaca isi hati masing-masing, dan begitu mereka berdekatan,
mereka seperti sudah saling bantu dan jalan pikiran mereka
searah, juga perasaan mereka sama peka terhadap rekannya.
Inilah kelebihan Pek-liong dan Liong-li yang tidak ada pada kedua
orang lawan mereka sehingga mereka mampu membuat Kui-bo
dan Mo-ong menjadi repot sekali.
Ketika Kui-bo terhuyung oleh sambaran pedang Pek-liong,
kesempatan itu dipergunakan oleh Liong-li untuk menerjang ke
depan. Pedangnya diputar cepat ketika ia melihat Kui-bo yang
sudah kewalahan itu menangkis sehingga tanpa dapat dicegah
lagi, pedang di tangan Kui-bo terlepas.
Kui-bo menjadi terkejut dan marah, tangan kirinya bergerak dan
tiga batang paku beracun terakhir yang masih dimilikinya
meluncur dan menyambar ke arah Liong-li. Liong-li sudah
472 menduga akan hal ini, pedangnya berkelebat menangkis dengan
pukulan sehingga tiga batang paku itu membalik dan menyambar
ke arah Tiat-thouw Kui-bo sendiri.
"Aughhh......!" Nenek itu kena disambar pakunya sendiri yang
tepat mengenai lehernya. Ia terjengkang dan berkelonjotan
sekarat. Sementara itu, melihat rekannya roboh, Lam-hai Mo-ong menjadi
gentar. Dia mencoba untuk meloncat ke kiri, untuk melarikan diri,
akan tetapi dia berhadapan dengan tombak para perajurit
pengawal. Dia memutar rantai mengamuk dan robohlah dua
orang perajurit. Akan, tetapi Pek-liong sudah menghadapinya lagi.
"Iblis tua, jangan pengecut! Engkau hendak lari ke mana?" Pekliong sudah mendesak dengan pedangnya.
Lam-hai Mo-ong menjadi semakin panik. Dia telah membunuh
dua orang perajurit, maka dia tahu bahwa tentu tidak ada ampun
baginya. Melihat Pek-liong menyerangnya, diapun meloncat ke
belakang, kemudian sambil mengambil ancang-ancang, dia
bahkan melompat tinggi ke arah Pek-liong dengan rantai baja
diputar. Melihat ini, Pek-liong juga meloncat menyambutnya. Nampaknya
ke dua orang itu hendak berbenturan di udara. Akan tetapi,
akhirnya tubuh kakek itu terpelanting dan ketika tiba di atas
tanah, dia terbanting keras. Rantainya terlempar dan kedua
tangannya mendekap perut, matanya terbelalak dan ternyata
perutnya robek oleh pedang Pek-liong. Hanya sebentar kakek itu
sekarat, lalu tewas seperti rekannya, Tiat-thouw Kui-bo yang telah
473 tewas lebih dahulu tenggorokannya. karena paku beracun menancap di Melihat betapa dua orang pimpinan mereka itu tewas,
gerombolan penjahat itu menjadi ketakutan. Agaknya tadi Pekmau-kwi Ciong Hu dan dua orang bersaudara Huang-ho Sianghouw sudah saling berbisik mengatur siasat untuk
menyelamatkan diri. Begitu melihat Lam-hai Mo-ong roboh, mereka bertiga sudah
mencabut pedang dan serentak mereka meloncat ke arah tempat
duduk permaisuri Bu Cek Thian! Mereka tadi sudah mengatur
siasat bahwa untuk dapat meloloskan diri, mereka harus dapat
menyandera seorang penting.
Kaisar sendiri terjaga kuat, akan tetapi mereka melihat betapa
permaisuri hanya dilindungi oleh dua orang pengawal wanita, dua
orang gadis kembar. Mereka mengira bahwa tentu mereka akan
dapat dengan mudah menyandera permaisuri dan mereka akan
memaksa kaisar untuk membebaskan mereka, menukar nyawa
mereka dengan keselamatan sang permaisuri.
Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka meloncat
dekat Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang gadis kembar yang
menjadi pengawal pribadi permaisuri itu, menyambut Huang-ho
Siang-houw dengan pedang mereka dan gerakan dua orang
gadis kembar ini amat cepat dan kuat! Segera Huang-ho Sianghouw terlibat dalam perkelahian pedang melawan dua orang
gadis kembar ini, sedangkan Pek-mau-kwi sendiri ternyata tahutahu dihadang oleh Liong-li!
474 Pek-mau-kwi menyerang mati-matian karena maklum bahwa dia
menghadapi lawan yang amat tangguh, yang baru saja
merobohkan Tiat-thouw Kui-bo. Akan tetapi, memang tingkatnya
kalah jauh dibandingkan Liong-li, maka dalam beberapa gebrakan
saja Pek-mau-kwi roboh dengan dada tertembus pedang Naga
Hitam. Dua orang Huang-ho Siang-houw juga repot menghadapi
sepasang gadis kembar murid-murid Bu-tong-pai yang lihai itu.
Merekapun roboh dan tewas oleh pedang Bi Cu dan Bi Hwa.
Sementara itu, melihat robohnya tiga orang pembantu utama
pimpinan mereka, belasan orang anak buah gerombolan Si
Bayangan Iblis sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyerah.
Mereka semua ditangkap dan diseret ke dalam penjara untuk
diadili kelak. Pek-liong dan Liong-li segera memasuki pintu rahasia, diikuti oleh
para jagoan istana. Dan di dalam ruangan di bawah tanah itu
mereka melihat Cian Hui dan Sui In yang roboh pingsan, juga dua
orang hwesio Gwat Kong Hosiang dan Kwan Seng Hwesio yang
terluka parah. Seperti dengan sendirinya, Liong-li menghampiri Cian Hui dan
Pek-liong menghampiri Sui In. Setelah memeriksa dan
mendapatkan kenyataan bahwa Cian Hui dan Sui In menderita
luka dalam karena pukulan beracun, Liong-li dan Pek-liong
menotok beberapa jalan darah di tubuh mereka sehingga mereka
siuman, lalu kedua orang pendekar itu memapah mereka yang
terluka keluar dari ruangan bawah tanah.
475 Melihat Kaisar dan Permaisuri sendiri berada di kuil yang menjadi
medan perkelahian itu, Cian Hui yang terluka parah lalu
menjatuhkan diri berlutut, diikuti Sui In dan juga Pek-liong dan
Liong-li. Kaisar tersenyum, gembira dan memuji-muji mereka
berempat. Ketika mendengar betapa Cian Hui dan Sui In. terluka pukulan
beracun dan bahwa Liong-li dan Pek-liong hendak mengobati
mereka, Kaisar memerintahkan untuk memberi kamar-kamar
untuk tamu agung bagi mereka. Juga dia memerintahkan
permaisuri untuk membagi-bagi hadiah yang layak bagi mereka
berempat yang sudah berjasa membongkar rahasia gerombolan
Si Bayangan Iblis, bahkan telah membasmi gerombolan itu.
Kemudian Kaisar dan Permaisuri kembali ke istana.
"Y" Semalam suntuk, baik Pek-liong maupun Liong-li, di kamar
masing-masing dalam istana, kamar yang besar dan indah,
mengerahkan sin-kang mereka dan mengobati Cian Hui dan Sui
In. Mereka melakukan cara pengobatan yang sama. Cian Hui
duduk bersila di atas pembaringan, Liong-li duduk di belakangnya
dan menempelkan telapak kedua tangannya di punggung perwira
itu dan menyalurkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun dan
memulihkan tubuh yang terluka.
Demikian pula cara Pek-liong mengobati Sui In di kamarnya. Bagi
orang lain, tentu terasa janggal dan aneh melihat betapa Pekliong yang mengobati Sui In dan bukan Liong-li, dan demikian
sebaliknya Liong-li yang mengobati Cian Hui. Akan tetapi bagi
476 sepasang pendekar itu, hal ini tidak ada halangannya. Liong-li
memang lebih dekat dengan Cian Hui, sedangkan Pek-liong
datang ke kota raja bersama Sui In.
Pada keesokan harinya, dua orang yang terluka itu sudah hampir
sembuh. Hawa beracun sudah dibersihkan dan mereka tinggal


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beristirahat beberapa hari saja, maka mereka akan sembuh sama
sekali. Di kamar Liong-li, Cian Hui memegang kedua tangan Liong-li
dengan pandang mata terharu. "Li-hiap, tanpa bantuanmu bukan
saja gerombolan Si Bayangan Iblis tidak mungkin dapat dibasmi,
bahkan akupun tentu sudah tewas. Bagaimana aku dapat
membalas budimu selain mengabdi kepadamu selama hidupku.
Li-hiap, sekali lagi kuulangi permohonanku kepadamu. Sudilah
kiranya engkau menjadi teman hidupku selamanya, menjadi
isteriku, dan aku akan menumpahkan seluruh perasaan kasih
sayang dan baktiku kepadamu."
Liong-li tersenyum dan dengan lembut melepaskan kedua
tangannya yang digenggam oleh perwira yang gagah perkasa itu.
Akan tetapi ia masih duduk di atas pembaringan berhadapan
dengan perwira itu. Senyumnya lembut dan manis sekali.
"Ciang-kun, sudah berkali-kali sejak malam tadi engkau
mengajukan lamaran dan sudah berkali-kali pula terpaksa aku
menolaknya. Aku tahu, setiap orang wanita yang bijaksana, akan
merasa bangga dan berbahagia sekali dapat menjadi isterimu.
Engkau seorang pria yang gagah perkasa dan setia, dan engkau
seorang pria yang hebat. Akan tetapi maafkan, aku tidak dapat
477 mengikatkan diriku dalam suatu pernikahan. Aku ingin bebas.
Terus terang saja Ciang-kun, akupun kagum kepadamu, dan aku
suka kepadamu. Kalau engkau menghendaki diriku, Ciang-kun,
akupun akan menyambutnya dengan gembira. Akan tetapi
pernikahan" Tidak! Aku tidak ingin terikat."
Cian Hui mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang cantik
jelita itu dan dalam pandang matanya terbayang keheranan dan
keraguan. "Akan tetapi, mengapa, li-hiap" Kalau engkau tidak menolakku,
berarti engkau cinta pula kepadaku. Kenapa tidak dengan
pernikahan?" Liong-li tersenyum lagi dan menggeleng kepalanya. "Panjang
ceritanya, akan tetapi cukup kalau kauketahui bahwa aku tidak
berharga menjadi isterimu, Cian Ciang-kun. Aku seorang
petualang, hidupku penuh musuh penuh ancaman bahaya......"
"Kalau aku menjadi suamimu, aku akan melindungimu, li-hiap.
Aku akan mengubah hidupmu, menjadi seorang ibu rumah
tangga yang hidup tenang dan tenteram, penuh kasih sayang dari
suami dan anak-anakmu......"
Liong-li tertawa, tertawa lepas tanpa menutup mulutnya seperti
biasanya para wanita bersopan-sopan. Akan tetapi karena
kewajarannya itu, dalam pandangan Cian Hui yang sudah tergilagila, Liong-li nampak semakin menarik dan menggairahkan.
"Ha-ha, Ciang-kun. Membayangkan aku menjadi seperti itu
sungguh membuat aku merasa ngeri! Rasanya aku menjadi
478 seperti boneka hidup. Hidup penuh damai dan tenteram, tanpa
tantangan tanpa ancaman. Aih, betapa menjemukan kehidupan
seperti itu bagiku, Ciang-kun!
"Tidak, terus terang saja, aku suka padamu, aku suka bercintaan
denganmu, akan tetapi hanya itu, tidak ada ikatan cinta kasih
yang membuat kita menjadi suami isteri. Tidak, aku tidak dapat
menikah dan menjadi isterimu, Ciang-kun. Aku tidak cinta
padamu seperti itu, aku hanya suka kepadamu sebagai seorang
pria yang jantan dan mengairahkan."
Cian Hui terbelalak. "Kalau begitu, engkau telah mencinta pria
lain, Li-hiap!" Sepasang alis Liong-li yang indah itu berkerut. "Tidak tahulah."
"Ah, sekarang aku mengerti! Li-hiap, engkau tentu mencinta Pekliong-eng! Dapat kurasakan itu, dapat kulihat dari sikap kalian.
Dan hal itu tidak aneh. Li-hiap kalian saling mencinta!"
Kerut merut di antara sepasang alis itu makin mendalam. "Pekliong" Ah, tentu saja aku sayang padanya, aku dan dia adalah
satu hati satu pikiran, Ciang-kun. Aku mau mengorbankan nyawa
untuknya dan diapun demikian. Hal itu kami anggap wajar."
"Kalau begitu kenapa li-hiap tidak menikah dengan dia"
Pasangan yang amat serasi! Benar, kalian saling mencinta dan
kalian harus menjadi suami isteri......"
"Cukup! Tidak ada yang mengharuskan kami!! Dan hubungan
kami bahkan lebih akrab dari pada hanya sepasang kekasih.
479 Sudahlah, engkau tidak perlu mencampuri urusan kami. Aku
masih bersedia menyambutmu kalau engkau hendak
membuktikan kasih sayangmu kepadaku, Ciang-kun."
Wanita itu memandang dan tersenyum dengan sikap menantang
dan penuh daya pikat. Sejenak jantung dalam dada Cian Hui
terguncang dan ingin sekali dia menubruk dan mendekap wanita
yang amat menggairahkan hatinya itu. Namun, dia menahan diri,
bahkan dia meloncat turun dari atas pembaringan.
"Li-hiap, kauanggap aku ini laki-laki yang tidak dapat menghargai
wanita" Li-hiap, aku cinta kepadamu. Cinta yang tumbuh dari
sanubariku, bukan sekedar hendak melampiaskan nafsu berahi
saja. Aku cinta padamu, ingin membahagiakanmu, ingin
berdampingan selamanya denganmu, ingin menjadi ayah anakanakmu. Aku menghormatimu, kagum kepadamu dan lebih baik
aku mati dari pada harus menghinamu dengan perbuatan yang
tidak sopan. Li-hiap, curahan cinta kasih hanya dapat kulakukan
jika li-hiap telah menjadi isteriku."
Wajah Liong-li berubah merah. Baru sekarang ia bertemu
seorang pria yang menolak begitu saja, pada hal ia
melakukannya dengan suka rela, dengan senang hati. Sungguh
perwira ini seorang pria yang hebat dan ucapannya yang lembut
itu seperti pedang menikam perasaannya, membuat ia merasa
malu, merasa rendah dan kotor. Akan tetapi, ia menyimpan
perasaan itu dan iapun tersenyum cerah.
"Lengkaplah sudah segala sifat baik pada dirimu, Ciang-kun.
Sungguh aku merasa kagum sekali dan ini juga membuktikan
480 betapa jauh bedanya antara kita, dan betapa aku sungguh tidak
patut menjadi isterimu. Nah, kalau begitu, selamat berpisah dan
selamat tinggal, Cian Ciang-kun. Hadiah dari Sribaginda untukku
kuberikan kepadamu. Kauterimalah sebagai tanda peringatan
dariku. Aku pergi, Ciang-kun!"
"Li-hiap........!" Cian Hui berseru, akan tetapi wanita itu hanya
menoleh sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, tanda
bahwa ia sama sekali tidak menyesal atau marah. Cian Hui
terhenyak di kursi dan termenung, berulang kali menghela napas
panjang dan dia merasa jantungnya kosong dan sunyi.
Sementara itu, di kamar lain yang tidak begitu jauh dari situ,
kamar yang sama indahnya, Pek-liong juga duduk berhadapan di
atas pembaringan dengan Cu Sui In. Janda muda ini sudah
sembuh dan kini ia memandang pendekar itu dengan sinar mata
penuh kagum dan terima kasih.
"Tai-hiap, sungguh besar budi yang telah tai-hiap limpahkan
kepadaku. Karena bantuan tai-hiap maka dendamku dapat
terbalas, dan kalau tidak ada tai-hiap yang menolongku berulang
kali, tentu aku sudah tewas di tangan orang jahat. Tai-hiap,
bagaimana aku dapat membalas budimu yang besar itu?"
Pek-liong menjulurkan lengan dan tangannya menyentuh dagu
yang halus meruncing manis itu. "Tidak ada budi tidak ada balas,
adik yang manis. Aku senang sekali dapat membantumu. Engkau
seorang wanita muda yang bernasib malang, masih muda sudah
menjadi janda. Engkau cantik jelita dan manis, bahkan memiliki
481 ilmu kepandaian yang cukup tinggi, cerdik dan berani. Aku suka
sekali kepadamu, adik Sui In."
Wajah wanita itu menjadi kemerahan. Memang sejak pertama kali
bertemu dengan pendekar ini, ia sudah jatuh hati. Pria ini terlalu
hebat dan ia kagum sekali.
"Tai-hiap terlalu memuji. Sebaliknya, tai-hiap adalah seorang
pendekar besar yang amat mengagumkan. Tai-hiap, aku ingin
sekali membalas semua budimu. Kalau tai-hiap sudi menerimaku,
aku ingin melayanimu selama hidupku."
"Aih, apa maksudmu, adik Sui In?" Pek-liong menyentuh kedua
pundak Sui In dan wanita itupun merebahkan diri dalam
dekapannya, menyandarkan muka di dada yang bidang itu.
"Tai-hiap, aku akan berbahagia sekali untuk menjadi sisihanmu,
menjadi isterimu, atau selirmu, atau pelayanmu......"
Pek-liong mengangkat muka yang bersandar di dadanya itu dan
mengecup bibirnya. Menerima ciuman ini, Sui In memejamkan
matanya dan langit bagaikan runtuh baginya. Ia sudah siap
menyerahkan segala-galanya untuk pria yang dikaguminya dan
dicintanya itu. "Adik Sui In, apa yang kaukatakan itu, akupun kagum dan suka
padamu, engkau seorang wanita yang hebat. Akan tetapi
ketahuilah bahwa aku tidak mau terikat oleh siapapun. Kalau kita
berdua saling menyukai dan dengan suka rela menyerahkan diri
untuk saling mencinta, aku akan senang sekali. Akan tetapi aku
tidak mau diikat dengan pernikahan, atau dengan ikatan apapun.
482 Setelah ini, kita harus berpisah dan mengambil jalan masingmasing, dan semua ini hanya merupakan kenangan indah saja
bagi kita." Mendengar ini, Sui In merasa seperti dilempar kembali ke bumi
dari langit ke tujuh. Ia membelalakkan matanya, memisahkan diri
dari dada Pek-liong, menghadapi pemuda itu dan memandang
seperti orang yang tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
"Tai-hiap, engkau tidak...... tidak cinta padaku........?"
Pek-liong tersenyum. "Aku suka padamu, aku cinta padamu, akan
tetapi bukan cinta yang harus dilanjutkan dengan ikatan."
"Ahhh...... ahhh......!" Wanita muda itu terisak dan menutupi
mukanya dengan kedua tangan, menangis lirih.
Pek-liong mengerutkan alisnya dan diapun turun dari atas
pembaringan. "Adik Sui In, kenapa engkau menangis?"
Dari balik kedua tangannya, Sui In menahan isaknya. "Tai-hiap,
maafkan aku....... Kusangka tai-hiap mencintaku seperti aku
mencintamu. Aku mengharapkan untuk dapat menghabiskan sisa
hidupku di sampingmu. Aku dengan bahagia akan menyerahkan
diri, menyerahkan segalanya untukmu, bukan sekedar membalas
budi, melainkan karena aku...... aku cinta padamu. Akan tetapi
tai-hiap tidak suka menerimaku......."
483 Pek-liong mengangguk-angguk. "Aku tahu sekarang, Sui In.
Engkau memang seorang wanita yang amat baik, juga terhormat.
Dan aku akan mengutuk diri sendiri kalau menyeretmu
melakukan hal yang tidak kausukai, yang akan kauanggap
sebagai suatu perbuatan aib. Aku seorang petualang, adik In, aku
tidak ingin terikat dengan pernikahan, aku ingin hidup sendiri.
"Nah, selamat tinggal, adik Sui In, dan jangan menangis. Aku
semakin kagum dan hormat padamu. Sampaikan hormatku
kepada Sribaginda dan kalau aku diberi hadiah, biarlah hadiah itu
untuk engkau dan Cian Ciang-kun. Kalian lebih berhak
menerimanya!" "Tai-hiap......!" Akan tetapi Pek-liong sudah meloncat keluar dan
lenyap. Sui In menangis sedih. Ia merasa kehilangan. Ia tidak
mengharapkan hadiah. Ia hanya ingin dapat hidup di samping
pendekar yang dikagumi dan dicintanya itu, untuk selamanya.
Akan tetapi pendekar itu menolaknya!
Pek-liong mau bermesraan dengannya, akan tetapi tidak mau
menikahinya. Dan pendekar itu demikian jujur, berterus terang,
dan sama sekali tidak mau menjamahnya lagi setelah ia
mengharapkan ikatan. Pada hal, sekali saja pendekar itu
merangkulnya, ia akan jatuh bertekuk lutut, dengan atau tanpa
janji ikatan. "Tai-hiap...... ah, tai-hiap......" Ia terhuyung keluar dari dalam
kamar itu, untuk mencarinya, untuk mobon kepada Pek-liong agar
484 mengasihani dirinya. Akan tetapi, ia tidak melihat pendekar itu di
luar. Hatinya terasa perih dan kosong, dan ia tentu akan terhuyung
roboh kalau saja tidak ada lengan yang kuat merangkul
pinggangnya. Ia menoleh dan melihat bahwa yang merangkulnya
sehingga tidak sampai roboh itu adalah Cian Hui!
"Tenangkan hatimu, In-moi...... kulihat Tan tai-hiap sudah
pergi......" Karena kepalanya terasa pening, Sui In terpaksa bersandar
kepada perwira itu dan membiarkan dirinya dituntun masuk ke
dalam kamarnya kembali. "Duduklah dan tenangkan dirimu, agaknya lukamu belum
sembuh, In-moi," kata perwira itu dan membantu Sui In duduk di
atas pembaringan. Dia sendiri duduk di atas kursi yang
berdekatan. "Dia...... dia menolakku..... dia tidak mau menerima
pengabdianku...... dia tidak cinta padaku........" seperti mengigau
Sui In berbisik. Cian Hui tersenyum pahit. Betapa sama nasib wanita ini dengan
dia. Wanita ini seorang janda, diapun seorang duda. Wanita ini
agaknya tidak diterima ketika menyatakan ingin menjadi isteri
Pek-liong dan dia sendiri ditolak Liong-li yang tidak mau terikat
dengannya! 485 "In-moi, tenangkan hatimu. Mereka itu bukanlah orang-orang
biasa seperti kita. Mereka adalah petualang-petualang, pendekarpendekar yang tidak mau terikat dengan pernikahan, tidak mau
terkurung dalam rumah tangga."
Sui In mengangkat muka menoleh ke arah perwira itu sambil
menyusut air matanya. ".......mereka......?" tanyanya.
Sambil tersenyum pahit perwira itu mengangguk. "Benar, mereka,
In-moi. Li-hiap Hek-liong-li juga menolak lamaranku untuk
menjadi isteriku! Mereka orang-orang aneh, In-moi, berbeda
dengan kita......" Sui In terbelalak, tidak tahu harus tertawa atau menangis.
"Ahhh......, betapa sama nasib kita. Kalau begitu.... mereka itu,
mereka saling mencinta!"
Cian Hui mengangguk. "Aku yakin begitu. Akan tetapi mereka
orang-orang aneh, cinta merekapun aneh."
Dua orang yang bernasib sama ini saling pandang, kemudian
keduanya tersenyum. Mereka sama maklum dan mereka merasa
terhibur mendengar nasib yang lain, seolah-olah dalam
penderitaan dan kekecewaan mereka, ada teman yang senasib,
ada kawan dan ini merupakan hiburan besar.
Mereka saling menghibur dan melihat betapa masa depan
mereka cerah, karena mereka saling merasa kasihan dan timbul
suatu niat ingin saling mengisi kekosongan hati masing-masing.
Yang seorang duda, seorang lagi janda, keduanya tidak
mempunyai anak. Apa lagi yang menghalang"
486 Dua orang pengawal datang mengetuk pintu dan menyampaikan
perintah kaisar yang memanggil mereka berdua, juga memanggil
Pek-liong dan Liong-li. Mereka segera menghadap, melaporkan
tentang kepergian dua orang pendekar itu dan betapa mereka itu
meninggalkan pesan bahwa mereka tidak mengharapkan imbalan


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jasa. Kaisar merasa kagum sekali dan melimpahkan semua
anugerahnya kepada Cian Hui dan Sui In. Duda dan janda ini
meninggalkan istana dengan hadiah mereka, dengan hati yang
gembira dan penuh harapan yang gemilang.
Mereka tidak tahu bahwa hancurnya gerombolan Si Bayangan
Iblis itu mendatangkan keuntungan yang besar sekali kepada
satu orang, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian! Peristiwa itu membuat
para pangeran menjadi jera dan tidak ada lagi yang berani
memperebutkan pengaruh di istana. Dengan demikian maka
kekuataan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.
Sementara itu, jauh di luar kota raja, Pek-liong dan Liong-li
menunggang kuda berdampingan. Mereka menjalankan kuda
dengan perlahan dan sejak mereka bertemu di pintu gerbang
istana, Liong-li melihat betapa wajah Pek-liong agak muram, tidak
berseri seperti biasanya. Akan tetapi mereka tidak banyak bicara
dan mereka keluar istana, membeli dua ekor kuda dan
melanjutkan perjalanan naik kuda keluar dari kota raja.
"Bagaimana dengan Cu Sui In?" tiba-tiba Liong-li bertanya, untuk
memancing omongan. Tanpa menoleh Pek-liong balas bertanya, "Ada apa dengannya?"
487 "Apakah ia merupakan seorang kekasih yang menyenangkan?"
Pek-liong menoleh dan pandang mata mereka bertemu sejenak,
lalu Pek-liong menunduk kembali. "Ia seorang wanita yang hebat,
wanita yang terhormat, aku kagum padanya."
Wajah Liong-li herseri dan mulutnya membayangkan senyum
ditahan, ia sudah mengenal isi hati rekannya itu seperti mengenal
telapak tangannya sendiri. Pek-liong menyebut Sui In wanita
terhormat, dan wajahnya muram, dan ia teringat akan
pengalamannya sendiri dengan Cian Hui.
"Ahh" Ia...... ia menolak cintamu?"
"Tidak, ia hanya seorang wanita terhormat. Ia ingin menjadi
isteriku, terpaksa menolak dan kami berpisah sebagai sahabat,
bukan sebagai kekasih. Engkau tentu lebih berhasil."
Liong-li tertawa sampai terkekeh-kekeh dan mula-mula Pek-liong
memandang heran dengan alis berkerut, akan tetapi tidak lama
kemudian diapun tertawa bergelak karena dari sikap wanita itu
diapun dapat menjenguk isi hatinya dan dapat menduga apa yang
telah terjadi, "Ha-ha-ha, diapun menolak karena ingin melamarmu menjadi
isterinya?" Liong-li mengangguk. "Nasib kita sama. Baru sekali ini aku ditolak
seorang pria." 488 "Akupun demikian. Akan tetapi sungguh mengagumkan. Dia pria
dan dia sungguh cinta padamu. Akan tetapi dia mampu
menolakmu. Hebat!" Liong-li menggeleng kepalanya, "Tidak ada yang hebat. Dia pria
yang terikat oleh hukum dan peraturan, tidak bebas seperti kita.
Hanya ada sedikit ucapannya yang sampai sekarang menjadi
pemikiran." "Ucapan apakah itu?"
"Dia bilang bahwa kita saling mencinta......"
"Memang kita saling mencinta!" kata Pek-liong cepat dan tegas
tanpa keraguan. "Tapi dia bilang semestinya kita menikah!"
"Menikah?" Pek-liong menunduk dan mengerutkan alisnya seperti
orang yang sedang berpikir keras. Akan tetapi dia melarikan
kudanya sehingga Liong-li terpaksa juga harus melarikan
kudanya. Mereka berdiam diri, hanya melarikan kuda.
Dalam keadaan seperti itu, keduanya tidak dapat mengetahui apa
isi hati masing-masing. Tidak tahu akan persamaan perasaan
yang membuat mereka masing-masing menjadi bingung dan
melamun. Setiap kali berada dalam pelukan seorang pria, Liong-li selalu
menganggap pria itu Pek-liong, atau setidaknya, ada sedikit
bagian dari Pek-liong berada pada pria itu! Sebaliknya, setiap kali
489 merangkul seorang wanita, Pek-liong juga selalu teringat kepada
Liong-li dan merasa bahwa seolah Liong-li yang dirangkulnya,
bukan wanita lain! Mereka membalapkan kuda dengan lamunan masing-masing,
untuk kemudian berpencar kembali ke tempat tinggal masingmasing, namun lamunan itu masih akan berkepanjangan dan
akan menimbulkan lain kisah sepasang pendekar itu.
TAMAT Lereng Lawu, akhir Juni 198
490 Pendekar Sakti 14 Anak Berandalan Karya Khu Lung Seruling Gading 14
^